MODUL PENGANTAR INTERIOR BANGUNAN JAWA

Disusun oleh Martino Dwi Nugroho, M.A.

1 PENDAHULUAN

A. Tujuan Umum 1. Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini mempelajari tentang jenis-jenis rumah Jawa, fungsi ruang, konstruksi, estetika termasuk landasan filosofinya. Mata kuliah ini juga mempelajari tentang karakteristik masyarakat Jawa yang tercermin dalam interior rumah tradisional Jawa. 2. Kompetensi Mata Kuliah Setelah mempelajari mata kulaih ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang karakteristik bangunan Jawa, serta mampu mengaplikasikan kaidah-kaidah bangunan Jawa pada desain interior. 3. Srategi Perkuliahan Kuliah teori (kelas), diskusi dan presentasi), kuliah lapangan. B. Materi Pembahasan Tatap Kompetensi Dasar Materi Produk muka 1 Mahasiswa mengetahui Penyampaian Rencana Kegiatan Rencana KBM yang akan Pembelajatan dilakukam 2 Mahasiswa mengetahui Dasar-dasar folisofi dan pandangan arsitektur Jawa dan hidup orang Jawa pada arsitektur. Kebudayaan 3 Mahasiswa mengetahui Jaman Prasejarah, Hindu Budha, tentang sejarah Bangunan , Mataram Islam. Jawa 4 Mahasiswa mengetahui Perkembangan masyarakat Kalang tentang sejarah dari abad 4 – mataram Islam beserta masyarakat Kalang karakteristinya 5 Mahasiswa mengetahui Penyampaian tentang konstruksi- tentang isi naskah Kawruh konstruksi rumah Jawa berdasar Kalang naskah Kawruh Kalang. 6 Mahasiswa mengetahui Penyampaian tentang makna – tentang makna ruang bagi makna ruang pada , orang Jawa pringgitan, dalem ageng, gandhok,

2 gadri dan halaman. 7 Mahasiswa mengetahui Penyampaian tentang jenis-jenis tentang Ragam Hias dan ragam hias beserta makna dan Konstruksi penerapannya pada bangunan jawa (kampung, limasan, , dan ) dikaitkan dengan stratifikasi masyarakat Jawa. 8. Mahasiswa mengetahui Penyampaian makna pemantesan tentang makna pada ruang Jawa dikaitkan dengan pementasan (teatrikal) stratifikasi pada masyarakat Jawa pada ruang (rakyat biasa, bangsawan dan raja) 9 MID semester Ujian tertulis 10. Mahasiswa mengetahui Survey dan kuliah lapangan di tentang kaidah-kaidah rumah Jawa rakyat biasa rumah Jawa Pada masyarakat biasa 11 Mahasiswa mengetahui Survey dan kuliah lapangan di tentang kaidah-kaidah rumah Jawa Bangsawan rumah Jawa Bangsawan 12 Mahasiswa mengetahui Survey dan kuliah lapangan di tentang interior Kraton Jogja Jogja 13 Mahasiswa mengetahui Survey dan kuliah lapangan tentang tentang kaidah-kaidah kaidah-kaidah bangunan Tajug bangunan Tajug 14 Mahasiswa mengetahui Diskusi dan presentasi hasil survey perbandingan antara dan analisa tentang komparasi. Bangunan Jawa pada masyarakat biasa, bangsawan, kraton, dan Tajug (masjid Jawa) 15 Mahasiswa mengetahui Diskusi dan presentasi hasil survey perbandingan antara dan analisa tentang komparasi. Bangunan Jawa pada masyarakat biasa, bangsawan, kraton, dan Tajug (masjid Jawa) 16. Ujian Akhir Semester Desain ruang (residence atau komersial) menggunakan kaidah bangunan Jawa disertai konsep.

3 BAB I ARSITEKTUR JAWA DAN KEBUDAYAAN

Sebuah bentuk menghasilkan rupa. Rupa bentuk adalah alat terpenting dalam membedakan suatu bentuk dengan lainnya, biasanya mengacu pada kontur sebuah garis, garis paling luar sebuah bidang, atau batas dari massa tiga dimensi. Ada beberapa kategori besar dari rupa bentuk. Rupa bentuk alami menunjukkan citra dan bentuk-bentuk alam. Rupa bentuk ini mungkin terlihat abstrak, biasanya melalui proses penyederhanaan dan masih mempertahankan karakteristik utama dari sumber-sumber alamnya. Rupa bentuk yang paling jelas adalah lingkaran, segitiga, dan bujur sangkar atau segiempat.1 Saka yang ada di Dalem atau rumah Jawa pada umumnya berbentuk bujursangkar dan segiempat. Bentuk ini lebih stabil, mempunyai kesan unity, mudah dibuat, dan dapat disusun di berbagai ruang.2 Umpak yang ada di dalem atau rumah Jawa pada umumnya berbentuk bunga padma 3 dan lurus tanpa bentuk padma. Bentuk padma ini merupakan garis lengkung ke dalam kemudian melengkung keluar. Menurut Agus Sachari, kebudayaan Jawa sebenarnya merupakan rekonstruksi dari enam kebudayaan dominan yang mengalami proses transformasi. Keenam kebudayaan itu adalah kebudayaan Hindu, Budha, Cina, Islam, Kolonial, dan Kebudayaan Jawa.4 Dalam

1 Periksa DK. Ching, Ilustrasi Desain Interior, Erlangga, Jakarta, 1996, 104. 2 Periksa Phyllis Sloan Allen, Mirriam F. Stimpson, Beginnings of Interior Environment, 7th edition (America: Macmillan College Publishing Company, 1994), 11. 3Dalam ikonografi Hindu, Padma umumnya digambarkan dalam bentuk teratai yang sedang mekar. Padma ini sebagai laksana, yaitu tanda khusus yang dapat digunakan sebagai identitas yang dapat menandai dewa tertentu. Periksa Ratnaesih Maulana, Ikonografi Hindu, (Jakarta: Fakultas Sastra Universitas , 1997), 38-41. 4 Periksa Sachari, Metodologi Penelitian Budaya Rupa (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003), 77. Lebih lanjut dijelaskan oleh Agus Sachari bahwa transformasi merupakan suatu proses yang panjang yang didahului oleh terjadinya inkulturasi dan akulturasi, proses dialog dan sintesis budaya, serta diikuti oleh berbagai pergeseran dan perkembangan nilai-nilai untuk menjadi suatu kebudayaan baru.

4 konteks saka dan umpak, ternyata yang banyak berpengaruh adalah kebudayaan Hindu, Budha, Islam, dan kebudayaan Jawa. 1. Pengaruh Hindu dan Budha Bentuk ragam hias ini berasal dari bentuk profil singgasana singgasana para dewa. Yang memiliki ragam hias ini hanya umpak. Ragam hias padma ini adalah untuk menambah keindahan. Umpak yang sederhana hanya bergaris lurus saja. Selain itu, padma adalah lambang kesucian, seperti yang banyak dijumpai pada bangunan candi, baik candi Siwa maupun candi Budha. Kesucian yang dilambangkan padma ini rupa-rupanya mempunyai makna yang identik dengan arti kokoh dan kuat, yang tidak tergoyahkan oleh segala macam bencana yang menimpanya.5

Padma

Gunung, Bersemayam para dewa Umpak (sebagai citra)

Skema 1. Representasi umpak sebagai gunung Umpak dapat direpresentasikan sebagai gunung. Hal tersebut dapat dilihat dari stilasi pada umpak yang menyerupai gunung di dalem pangeran. Orang Jawa menganggap bahwa gunung adalah tempat yang suci karena di

Inkulturasi adalah latihan setiap pelaku kebudayaan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi. Adapun akulturasi adalah pertemuan dua kebudayaan dan masing-masing dapat menerima nilai-nilai bawaannya. (Periksa Agus Sachari, Desain dan Kesenirupaan Indonesia Dalam Wacana Transformasi Budaya (: ITB Press, 2000), 85-86.) 5Periksa Sugiyarto Dakung, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa (Jakarta: Departemen Pendidiakan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1998), 154-155.

5 puncak gunung bersemayam para Dewa (menurut kepercayaan Hindu). Atau dengan kata lain bahwa di bawah dewa adalah gunung, seperti juga padma sebagai tempat duduk atau berada di bawah para dewa. Umpak bermotif padma, sehingga dapat dikatakan bahwa umpak adalah gunung. Menurut Denys Lombard6, di Jawa, konsep dari telaah kosmologi Sansekerta telah datang melengkapi bentuk-bentuk pemujaan asli yang lebih kuna yang ditujukan kepada gunung-gunung dan yang dikaitkan pada diri sang raja. Pada pemujaan kuno itu terdapat tema Gunung Meru7, pusat jagad raya, baik yang bersifat Brahmana maupun Budhis, lalu gagasan maharaja terkait pada poros itu dan harus dianggap sebagai Penguasa Gunung, seperti Dewa Siwa yang di India yang memang dianggap sebagai penguasa gunung. Oleh karena itu,

6 Periksa Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Buku III (Jakarta: Gramedia, 1996), 60. 7 Gunung Meru adalah gunung dalam mitologi Hindu tempat bersemayam para dewa dan mahkluk kedewaan, serta menjadi pusat jagad raya (periksa Frick, 1997, 221). Terkait dengan Gunung Meru sebagai pusat jagad raya, Robert Heine-Geldern mengatakan: ”Menurut doktrin Brahma jagad ini terdiri dari Jambudwipa, sebuah benua berbentuk lingkaran dan terletak di pusat, dikelilingi oleh tujuh buah samudra berbentuk cincin dan tujuh buah benua lain berbentuk cincin juga. Di luar samudra terakhir dari ketujuh samudra tadi, jagad ditutup oleh barisan pegunungan yang sangat besar. Di tengah-tengah Jambudwipa, jadinya di tengah-tengah jagad, berdirilah Gunung Meru, gunung kosmis yang diedari oleh matahari, bulan, dan bintang-bintang. Di puncaknya terletak kota dewa-dewa yang dikelilingi pula oleh tempat- tempat tinggal dari delapan lokapala atau dewa-dewa penjaga jagad. Menurut susunan Budhisme-pun, Gunung Meru menjadi pusat dari jagad raya.gunung ini selanjutnya dikelilingi oleh tujuh barisan pegunungan, masing-masing dipisahkan sesamanya oleh tujuh buah samudra berbentuk cincin. Di luar rantai pegunungan yang terakhir terletak lautan dan di dalam lautan ini dijumpai empat buah benua, masing-masing pada penjuru mata angin. Benua yang terletak di selatan Gunung Meru adalah Jambudwipa, tempat tinggal umat manusia. Jagad raya itupun dikelilingi oleh sebuah dinding besar yang terdiri batu-batu karang, disebut barisan cakrawala. Pada lereng Gunung Meru terletak swarga yang terendah, yaitu swarga dari keempat Raja Besar atau penjaga-penjaga dunia, pada puncak-puncak swarga kedua, yaitu swarga ketigapuluh tiga dewa serta Sudarsana, kota-kota dewa, tempat Indra bersemayam sebagai raja. Di atas Gunung Meru memuncak ke atas lapisan-lapisan lainnya dari kayangan” (periksa Robert Heine- Geldern, Konsepsi Tatanegara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara, terjemahan Deliar Noer (Jakarta: Rajawali, 1982), 4-5.

6 orang Jawa berusaha merepresentasikan hal tersebut ke dalam berbagai hasil kebudayaan, misalnya tumpengan, gunungan, atap rumah termasuk juga bentuk umpak. Lebih lanjut Mangunwijaya mengatakan bahwa citra dasar gunung selalu dihayati sebagai dunia atas. Dalam berarsitektur, orang secara spontan merasakan penghayatan dasar ’yang tinggi’ dengan lawannya ’yang rendah’. Yang tinggi dihubungkan dengan segala yang mulia, yang ningrat, yang aman, dan yang menguasai sekitar. Adapun yang rendah, lazim sekali dihubungkan dengan realita-realita yang kurang baik, yang berbahaya, yang membawa penyakit, kaum bawahan.8

Gambar 22. Umpak di Kraton dari stilasi bunga padma yang menjadi landasan Dewa Brahma. (Foto: Martino Dwi Nugroho, 2008 dan gambar dari http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Brahma_1820.jpg)

8 Periksa Mangunwijaya, Wastu Citra (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1992), 96.

7 Hubungan antara saka dan umpak dapat dimaknai sebagai hubungan lingga dan yoni pada paham Hindu. Simbol dari dewa tertinggi Siwa adalah linga (lingga), memberi bentuk phallus yang khas pada batu-batu tegak dari masa Prasejarah yang sakral. Pasangan wanita dari linga adalah yoni, adalah versi yang lebih indah dari batu-batu horisontal wanita dari tahta leluhur Indonesia; yoni berfungsi sebagai alas bagi linga itu sendiri, juga bagi patung- patung peringatan raja.9 Linga dalam arsitektur Jawa direpresentasikan dengan saka, sedangkan yoni direpresentasikan dengan umpak. Peranan para dewa biasanya sangat mutlak dalam menjamin keleatarian alam semesta. Dengan kata lain model yang transenden akan membawa pikiran manusia pada suatu pandangan bahwa otoritas para dewa adalah satu- satunya model yang paling benar bagi kelestarian tata alam semesta, atau satu- satunya jalan untuk memecahkan soal hidup mati. Pemposisian supra, dimana satu unsur (misalnya dewa) mutlak berada di atas unsur lain (misalnya manusia). Prinsip hubungan seperti ini biasa diwujudkan dalam sistem klasifikasi yang berlawanan (oposisi biner 10 ), misalnya suci atau murni terhadap dosa atau bernoda.11 Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa saka (terutama ) adalah representasi dari Dewa. Hal tersebut didasarkan atas : 1. Dewa-dewa dianggap sebagai penguasa gunung.

9 Periksa Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, alih bahasa RM Soedarsono (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2000), 34. 10 Menurut Arthur Asa Berger, makna dapat dipahami dengan menggunakan oposisi biner, karena makna itu bersifat relasional. Segala sesuatu baru bermakna karena adanya suatu relasi sejenis yang dilekatkannya. Hubungan tersebut dapat bersifat tersurat maupun tersirat tetapi dengan satu tau lain cara hubungan itu pasti ada. Arti muncul dari hubungan-hubungan dan hubungan yang sangat penting dari sifat oposisi. Kita mungkin tidak menyadari hubungan dalam sertiap situasi yang terjadi, sehingga di mana ada arti di situ ada oposisi. Periksa Arthur Asa Berger, Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), 205-209. 11 Periksa PM. Laksono, Pemikiran Orang Jawa Ketika Membaca Tanda-Tanda Zaman, Jurnal Kejawen, Edisi 3 Tahun II (Yogyakarta: Narasi, 2007), 9.

8 2. Dewa-dewa duduk di atas bunga padma, sehingga dapat dikatakan bahwa dewa menguasai padma, atau yang duduk di atas padma pasti dewa (meskipun banyak arca yang menunjukkan bahwa yang duduk di atas padma adalah raja yang telah meninggal. Dalam kebudayaan Indonesia-Hindu, raja dipandang sebagai titisan dewa). Dengan kedudukannya sebagai raja dewa, raja yang telah meninggal dipuja, dan diwujudkan sebagai dewa dalam bentuk patung.12

Lingga (laki-laki)

Dewa Dewa

Gunung Padma

Yoni (perempuan)

Gambar 23. Makna Saka dan Umpak. (Gambar: Martino Dwi Nugroho, 2008) Ajaran Hindu yang berkembang berabad-abad sebelum Islam datang, tidak dapat disangkal telah meletakan pondasi seni sebagai bagian dari ritualisme dan mampu membangun kesadaran persuasif yang terelakan dalam kompleks estetika budaya masyarakat Jawa. Masa ini memang tidak diragukan lagi nilai estetisnya bagi masyarakat Jawa.

2. Pengaruh Islam Pengaruh Islam pada rumah tinggal pangeran sangat kecil. Visualisasi religius keIslaman pada saka dan umpak yang merupakan unsur pokok struktur bangunan Jawa tidak begitu menonjol, sehingga dapat diketahui bahwa representasi ke-Islaman pada dalem pangeran tidak kelihatan. Pengaruh agaman islam lebih mengutamakn penyiaran agaman

12Periksa Wiyoso Yudoseputro, Jejak-Jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama (Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia, 2008), 67.

9 Islam daripada budaya jasmani (bangunan kurang mendapat tempat) termasuk dalem pangeran. Hal tersebut berbeda dengan Kraton Yogyakarta yang merupakan titik puncak kehidupan masyarakat dan kehidupan Jawa- Islam yang mencerminkan kehidupan religius dalam kehidupan masyarakat Jawa. Terutama pada saka dan umpak, ragam hias di kraton terdapat unsur- unsur Islam yang berbentuk seperti kaligrafi yang menggunakan huruf tradisional. Sugiyarto Dakung mengatakan: ”Terdapat beberapa kaligrafi berhuruf Arab: a. Huruf Arab yang digambarkan atau dipahatkan secara wajar. b. Huruf Arab yang distilisasikan sehingga berupa suatu hiasan. c. Huruf Arab yang dirangkum sehingga berupa hiasan. d. Kata Jawa yang mirip dengan kata Arab yang diwujudkan dalam bentuk ujudnya.

Perwujudannya sebagai berikut: a. Tulisan Subhanahu yang terdapat pada kerangka bangunan dhadhapeksi, pada sebelah ujung-ujungnya. b.Urutan huruf Arab: mim, ha, mim, dan dhal (Mohammad) yang distilisasikan sehingga merupakan suatu bentuk hiasan padma pada umpak, songkok pada umpak, dan motif sorotan pada balok-balok kerangka bangunan yang kesemuanya mengagungkan nama Nabi Muhammad SAW. c. Rangkaian huruf Arab: mim, ha, mim, dhal serta huruf-huruf ra, sin, wau, lam, alif, lam, lam, dan ta simpul. Dimaksudkan untuk menyebutkan: Muhammad Rasul Allah. Distilisasikan sehingga merupakan suatu bentuk hiasan motif putri mirong pada saka”.13

13 Periksa Dakung, 1998, 190.

10

Gambar 24. Kaligrafi berbentuk huruf Arab di Kraton Yogyakarta (Gambar: Sugiyarto Dakung, 1998, 190)

Ragam hias-ragam hias tersebut selalu menyebut nama Nabi Muhammad yang merupakan nabi terbesar dalam agama Islam. Pada dalem pangeran, unsur-unsur kaligrafi pada umpak tetap dipertahankan, sedangkan pada saka dihilangkan. Istana kerajaan di Indonesia di samping berfungsi sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya, juga sebagai pusat pemerintahan. Lebih dari pada itu kraton adalah pusat kegiatan seni budaya yang pengaruhnya terasa kepada masyarakat dan bangsa. Dalam sejarah seni rupa Islam di dunia, istana para raja juga menjadi sumber pengenalan karya seni rupa. Di istana inilah pembinaan dan pengembangan kesenian dijalankan para penguasa pemerintahan feodal sesuai dengan tradisi yang telah dicapai dan tuntunan kebudayaan baru. Sebagai bangunan profan, kraton lebih melambangkan kekuasaan raja daripada kebesaran agama. Agama Islam memang tidak banyak berbicara pada konsep bangunan dan hiasannya. Ini tidak berarti bahwa nilai-nilai budaya Indonesia pada zaman Islam lama tidak berpengaruh pada pendirian bangunan istana. Di sinilah terasa lagi kenyataan bahwa pandangan hidup setiap bangsa yang bersumber pada tradisi di tiap daerah

11 atau negara mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap kaidah seni bangunan, khususnya bangunan istana.14

Foto 13. Ragam hias kaligrafi pada saka di Kraton Yogyakarta. (Foto: Martino Dwi Nugroho, 2008)

Pertumbuhan Islam di Indonesia didukung oleh tradisi lama di satu pihak dan kebudayaan asing non-Islam di lain pihak. Kekuasaan Islam yang timbul di pulau Jawa dan sebagian di Sumatra sesuai dengan kepentingan strategi politik dan kebudayaannya berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tradisi kebudayaan lama yang berasal dari zaman Hindu selama tidak bertentangan dengan asas ajaran Islam. Penggunaan motif tumbuh-tumbuhan dengan stilasi bentuk berdasar pola hias yang padat dan penuh adalah gaya seni hias Islam kuno di Indonesia yang dapat dibedakan dengan gaya seni hias di negara lain. Gaya seni hias yang

14 Periksa Yudoseputro, Jejak-Jejak ..., 2008, 180

12 bersumber pada seni Majapahit inilah yang menjadi ciri dari seni hias Islam kuno di Indonesia yang tampak pada bangunan dan benda pakai.15 Kekayaan seni hias untuk bangunan istana sejalan dengan kemajuan yang dicapai dalam perkembangan seni dekoratif Islam purba. Terutama pada zaman pemerintahan Sultan Agung, seni dekoratif mencapai puncak kemajuan, sehingga kesenian Indonesia-Islam menampilkan karya yang bermutu. Pada waktu itu seni istana menghasilkan berbagai karya dekoratif yang berhubungan dengan seni pandai logam mulia dan seni ukir kayu. Perkembangan seni dekoratif berpengaruh besar pada kegiatan seni kerajinan dan seni bangunan. Maka tidak diragukan lagi bahwa berbagai teknik telah dicapai untuk menghias istana.16

3. Kebudayaan Jawa. Masyarakat Jawa mengenal dua falsafah bentuk dasar yang selalu menjadi anutan hampir di seluruh kehidupannya, yaitu bentuk piramida dan kerucut. Bentuk dasar ini kemudian dapat dibagi lagi atas dua sudut pandang yaitu sudut pandang vertikal (makrokosmos, tegak lurus, mengatas, alam atas) dan sudut pandang horisontal (mikrokosmos, mendatar, mendunia, alam tengah atau bawah). Sudut pandang vertikal secara sederhana dapat digambarkan dalam bentuk segitiga, dan sudut pandang horisontal dapat digambarkan sebagai segiempat.17

TABEL XVIII. Representasi Falsafah Hidup Dengan Bangun Rupa Falsafah hidup Bangun Rupa 1. Yang Maha Kuasa (diletakan di sudut 1. Segitiga sama sisi. paling atas dari segitiga sebagai lambang 2. Gunungan

15 Periksa Wiyoso Yudoseputro, Seni Rupa Islam di Indonesia (Bandung: Angkasa, 1986), 9. 16Periksa Yudoseputro, 1986, 62-63.

17 Periksa Sachari, 2003, 75.

13 yang tertinggi dan sempurna. 3. Kerucut 2. Alam kehidupan (Alam atas, alam tengah, 4. Susunan Prisma dan alam bawah). 3. Hirarki sosial (Raja, priyayi, dan rakyat). 4. Bahasa (Krama inggil, Krama madya, ngoko). 5. Falsafah hidup (Cipta, Rasa, dan Karsa). 1. Arah mata angin (Utara, barat, aku, timur, Segiempat dengan garis dan selatan). diagonal. 2. Sedulur papat lima pancer. 3. Mancapat

(Periksa Sachari, 2003, 76).

Adapun ragam hias yang ada di saka yaitu mirong, saton, dan praba. Mirong atau putri mirong dalam ragam hias bangunan tradisional ialah suatu bentuk pahatan yang menggambarkan seorang putri yang terlihat dari belakang. Menurut legenda, hiasan ini merupakan perwujudan dari Nyi Roro Kidul yang datang ke kraton khusus untuk menyaksikan pertunjukan tari Semang18, tetapi beliau tidak menampakkan diri, hanya bersembunyi di berlakang

18 Tarian Bedhaya Semang menurut para pakar diciptakan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, pembangun kebesaran kerajaan Mataram pada abad 17 (periksa Umar Kayam, Ngayogyakarta dalam Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat (Jakarta: Himpunan Wastraprema, 1990), 14). Tarian sakral Bedhaya Semang dari Kraton Yogyakarta dipentaskan setelah sekitar 132 tahun tidak pernah dipertontonkan di depan umum. Bedhaya Semang terakhir dipentaskan pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII (1870 Masehi) dan biasanya tarian itu digelar setiap peringatan jumenengan (naik tahta) raja Mataram Islam, dan dilanjutkan dengan para raja di Kasultanan Yogyakarta. Salah satu syarat pokok dalam tarian Bedhaya Semang adalah sembilan penari yang tampil semuanya harus masih lajang dan perawan. Itu bermakna tarian itu memang benar-benar suci. Oleh sebab itulah kenapa Bedhaya Semang dianggap tarian keramat. Periksa http://www.sinarharapan.co.id/berita/0210/08/sh05.html.

14 tiang.19 Hiasan mirong ini dipakai di Kraton Yogyakarta terutama di bangunan- bangunan utama seperti Gedong Kuning tempat tinggal Sri Sultan, Bangsal Kencono, Bangsal Pancaniti, dan Bangsal Witana. Kata Praba berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sinar, cahaya bayangan kepala atau belakang punggung dan hiasan wayang yang berada di punggungnya (mirip gambar sayap). Kalau di candi-candi artinya menjadi cahaya kesucian di kepala para dewa. Ragam hias ini dibuat dengan teknik sunggingan, berwarna kuning emas, hijau, biru, dan merah. Ragam hias praba berbentuk relief atau lukisan timbul yang ditempatkan pada saka guru, saka penanggap, dan saka èmpèr, baik pada bagian atas maupun pada bagian bawah. Hiasan praba ini dipakai di Kraton Yogyakarta. Maksud dari pemberian hiasan praba ini agar tiang-tiang atau saka-saka menjadi bersinar atau bercahaya. Saton adalah hiasan pahatan dengan garis kotak – kotak. Pada tiap kotak berisikan hiasan bunga, baik bunga tunggal maupun bunga ganda. Hiasan saton ini dapat dijumpai pada tiang bangunan rumah pada bagian atas dan bawah, pada balok – balok blandar, sunduk, pengeret tumpang, ander, sebagai pengisi bidang ( tebeng pintu ) yang selalu ditempatkan pada ujung dan pangkal. Hiasan saton selain untuk memberi keindahan juga memberi kelengkapan pada ragam hias tumpal dan tlacapan, yang berfungsi sebagai landasan atau dasar.20 Sedikitnya ornamentasi pada saka dan umpak pada rumah pangeran di Yogyakarta dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

1. Kesederhanaan. Menurut Noordi Pakuningrat, para pangeran memang suka kesederhanaan.21 Hal tersebut dapat dilihat dari minimnya ornamentasi atau ragam

19 Periksa Ismunandar, Joglo. Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Edisi Kedua, Cetakan Keempat (Semarang: Effhar Offset, 2007), 55. 20 PeriksaDakung, 1998, 143-144, 167-170, 176-178. Periksa juga Ismunandar, 2007, 49-57. 21 Wawancara dengan R.M. Nordi Pakuningrat di Pendapa Dalem Pakuningratan pada tanggal 21 Februari 2009.

15 hias pada interior dalem khususnya pada saka, baik pada pendapa maupun dalem ageng. Namun, kesederhanaan tersebut tetap mencerminkan prestige seorang pangeran dalam menjaga ”praja”, seperti yang dikatakan oleh Sartono: ”Gaya hidup yang dipandang dari perpektif simbolik itu merupakan suatu subkultur dari tradisi Kejawen ebagai tradisi besar Jawa, yang didukung oleh golongan sosial tertentu. Terciptalah ruang sosio kultural, di mana golongan yang memiliki gaya hidup itu dapat menghayati hidupnya sesuai dengan status dan peranannya dalam masyarakat. Dengan gaya hidup itu dipertahankan pula prestige serta kekuasaan sosial yang sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kedudukan politik dan ekonomisnya. Di sini ada pengaruh yang saling memperkuat. Justru presitige sosial tersebut memungkinkan memungkinkan gaya hidup kaum elit menjadi model dan mendorong unsur-unsur sosial lain untuk menirunya., tidak lain karena gaya hidup itu sendiri menjadi simbol status. Di sini dijumpai nilai khas yang berkaitan dengan status, ialah apa yang di dalam bahasa Jawa disebut praja”.22

2. Tidak boleh melebihi kraton atau menyamai kraton. Mengungkap permasalahan kehidupan kraton tidak dapat dipisahkan dari persoalan sumber legitimasi kekuasaan raja. Konsep negara gung yang harus dilihat sebagai pusat kosmologis pemerintahan, dan manca negara yang merupakan subordinasi negara gung, memperlihatkan bagaimana legitimasi kekuasaan raja terhadap para kerabat dan rakyatnya. Kerajaan tradisional, dalam konsep politiknya mengakui bahwa raja merupakan penguasa yang memiliki dasar sebagai dewa-raja atau kalifatullah. Raja sebagai orang yang dinilai mempunyai karisma serta kekuatan melebihi manusia biasa, memiliki kekuasaan yang amat besar terhadap kerabat dan rakyatnya. Adanya konsep dewa-raja pada masa Hindu Jawa yang memandang raja sebagai inkarnasi dewa, berlanjut pada masa Islam

22 Periksa Sartono Kartodirdjo, Perkembangan Peradaban Priyayi (Yogyakarta: UGM Press, 1987), 54.

16 dalam pengertian khalifatullah.23 Hal tersebut semakin memperkuat kedudukan raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dikerajaan. Kedudukan raja sebagai wakil Tuhan, memungkinkan seorang raja untuk menuntut pengakuan bahwa dirinya adalah penguasa tunggal yang mempunyai kekuasaan terhadap kesetiaan dan ketaatan penuh dari bawahannya. Institusi yang berhubungan dengan ketaatan, kesetiaan, kewibawaan, serta keagungan cukup memperlihatkan fungsinya bagi budaya kehidupan masyarakat Jawa. Melihat kenyataan dari alam pikiran tersebut, tentu saja prinsip dan pandangan hidup itu sangat berpengaruh bagi kehidupan lingkungannya. Seorang raja yang memerintah kerajaan Jawa selalu digambarkan bahwa ia tidak hanya memiliki kekuasaan terhadap negara dan harta benda, melainkan juga terhadap bawahannya dengan segala kehidupan pribadinya termasuk dalam rumah tinggalnya. Kraton adalah pusat kehidupan masyarakat Jawa. Hal tersebut terkait dengan stratifikasi sosial yang terjadi di Jawa dimana posisi Pangeran ada di bawah Sultan. Menurut etika Jawa, pada masa yang lalu tidak akan seseorang membangun rumah yang melebihi atau setidak-tidaknya menyamai rumah pembesarnya atau rumah orang-orang yang kedudukannya lebih tinggi daripada dirinya.24 Sikap seperti itu mencerminkan rasa hormat kepada golongan yang lebih tinggi. Thomas Stamford Raffles menjelaskan tentang rasa hormat kepada golongan atas yang terjadi di istana: ”Dari semua ini, yang paling terlihat jelas adalah upacara istana. Orang asing biasanya terpesona dengan adanya penghormatan dan penghargaan yang sangat ekstrim dari rakyat kepada atasan mereka, yang sudah menjadi karakter orang Jawa. Penghormatan kepada derajad yang dianggap lebih tinggi, kepada orang berpengalaman, kepada ayah ibu dan orang tua, sudah terlihat pada gambaran karakter mereka. Tapi penghormatan yang berlebihan kepada golongan yang lebih tinggi, yang dibawa oleh lembaga politik yang ada di daerah tersebut, patut mendapat perhatian khusus... .

23 Periksa Mari S. Condronegoro, Busana Adat Kraton Yogyakarta 1877-1937 (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995), 5. 24Periksa Kartodirdjo, 1987, 29.

17

Sumbu kosmis utara selatan

Mengenai tradisi penghormatan yang ditunjukkan kepada golongan yang lebih tinggi di Jawa, dalam keadaan apapun, tidak seorangpun yang dapat berdiri saat kehadiran orang yang lebih tinggi derajadnya, juga tidak bisa berkata dengan bahasa yang sama dengan apa yang digunakan oleh orang yang lebih tinggi derajadnya. Putra mahkota atau keluarga raja sekalipun tidak ada yang boleh berdiri pada saat raja hadir. Larangan yang sama juga diterapkan pada keluarga masing-masing pemimpin yang lebih rendah. Jika penghormatan semacam ini

18 terbatas pada keluarga kerajaan saja, mungkin bisa disamakan dengan negara lain di wilayah timur, dimana wajar untuk seorang rakyat merendahkan dirinya di hadapan raja, tapi di Jawa kebiasaan dari pemerintah Jawa adalah bahwa setiap pendelegasian kewenangan menuntut kepatuhan dalam tingkat yang sama. Jadi, dari pekerja biasa ke atas tidak ada yang berani berdiri dihadapan orang yang tingkatnya lebih tinggi”.25 Prinsip hormat memainkan peranan besar dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa. Ungkapan yang tepat atas hormat (urmat) didasarkan atas pandangan bahwa semua hubungan kemasyarakatan tersusun secara hirarkis. Oleh karena itu orang wajib memeliharanya dan membawa diri. Pernyataan corak tertib sosial yang demikian itu pun merupakan suatu kebaikan bagi orang Jawa.26 Pandangan itu sendiri berdasarkan cita-cita tentang suatu masyarakat yang teratur baik, di mana setiap orang mengenal tempat dan tugasnya dan dengan demikian ikut menjaga agar seluruh masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras. Kesatuan itu diakui oleh semua dengan membawa diri sesuai dengan tuntutan tatakrama sosial. Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh kehidupan orang Jawa.27 Representasi dari rasa ’urmat’ ini diwujudkan dengan tidak adanya ornament pada saka, kecuali pada Dalem Mangkubumen yang merupakan tempat tinggal putra mahkota. Unsur dasar yang memegang peranan penting dalam kebudayaan Jawa adalah cara pandang masyarakatnya. Mereka memiliki pemikiran dasar yang menjadi acuan dalam penataan interior sebuah ruang, karena tiap bentukan dianggap memiliki makna. Mulder secara garis besar membagi pemikiran orang Jawa menjadi 3 bagian. Pertama, bentuk lebih penting dari isi. Isi dan bentuk, keduanya tidak bisa dipisahkan. Orang Jawa beranggapan bahwa bentuk yang lahiriah (konkrit) memiliki arti atau mantera. Kehidupan Jawa bersifat seremonil,

25Periksa Thomas Stanford Raffles, History of , terjemahan Eko Prasetyaningrum et.al. (Yogyakarta: Narasi, 2008), 209. 26Periksa Hildred Geertz, Keluarga Jawa (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), 154 27 Periksa Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, Sebuah Analisis Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 1984), 60.

19 jadi setiap kegiatan menjadi terorganisir, nyata dan resmi, termasuk pula didalamnya cap, tanda tangan, lambang-lambang yang lain memainkan peranan yang maha besar. Kedua, bentuk yang sempurna telah ada; bentuk ini hanya harus ditaati dan diisi. Bentuk yang sudah ada dianggap sempurna. Untuk mengisi kesempurnaan itu, orang harus menunggu “waktu baik”, tetapi waktu tidak dipergunakan untuk membentuknya. Orang Jawa menaati kenyataan yang sempurna, dengan pengertian orang Jawa menghormati bentuk yang sudah ada. Ketiga, dalam cara berpikir, waktu tidak memainkan peranan yang penting Sebagai variabel yang berdiri sendiri waktu tidak difahami. Bentuk adalah buah pikiran (hasil kebudayaan) yang paling penting dan sudah meliputi waktu. Dari ketiga pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil kebudayaan Jawa berasal dari kehidupan orang Jawa dari waktu ke waktu yang melambangkan setiap aktivitasnya.28 Keraton sebagai pusat budaya, di mana raja sebagai masineas olah cipta dan tumbuh kembangnya seni rupa yang lahir di balik dinding kraton memang dianggap seni klasik yang bermutu tinggi dibanding seni rupa rakyat yang lahir di pedesaan. Keduanya akan bermuara pada peningkatan kentalnya karakter peradaban secara terintegrasi bagi masyarakat Jawa dan mendasari dinamika pluralitas budaya baru di masa berikutnya. Para perintis ilmu sosiologi, Durkheim dan Mauss mengatakan bahwa konsepsi mikrokosmis yang membagi ruang pemukiman menjadi empat bagian, tidak lain adalah sebuah manifestasi dalam bentuk fisik dari sebuah metode klasifikasi dari benda-benda. Konsepsi ruang mikrokosmis semacam itu tidak hanya membagi ruang pemukiman menjadi empat sektor, tetapi juga menempatkan setiap penghuni, benda, warna, dan angka di salah satu dari keempat sektor tersebut. Pembagian ini dilakukan dengan menggunakan mata angin utara, selatan, barat, dan timur sebagai pemandu arah. Santosa memperkirakan bahwa kultur bilangan empat baru berkembang di Nusantara

28 Periksa Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986), 75.

20 setelah bangsa Melayu-deutero tiba di Nusantara sekitar abad 500-300 SM. Konsep bilangan empat dan salib digunakan oleh banyak etnis di Indonesia sebagai pengertian dasar dalam melakukan orientasi dalam ruang atau pada pembentukan sebuah satuan ruang. Konsep ini berlaku baik untuk mendirikan rumah ataupun sebuah desa.29 Orientasi bilangan empat yang menunjuk arah mata angin utara, selatan, barat, dan timur menimbulkan suatu titik atau imajinasi tugu poros, pusat yang terjadi oleh persilangan garis-garis timur-barat dan utara- selatan. Persilangan tersebut membentuk Pusering Jagad (poros pusat cakrawala). Penentuan bilangan empat dan terdapat persilangan yang membentuk pusat digunakan dalam pembuatan saka guru. Pendapa dan dalem ageng membentuk empat persegi panjang dan area saka guru menjadi pusatnya. Hal tersebut sama dengan konsep moncapat dan konsep sedulur papat lima pancer dimana kedua konsep tersebut merupakan corak magis yang mengandung empat hal dimana terdapat pusat (lima) sebagai pusatnya. Konsep keblat papat lima pancer yang diartikulasikan dalam pendapa dan dalem ageng yaitu keempat saka guru dan satu entitas tengah yang bersifat maya (sebagai pancer). Juga konsep tentang keempat arah mata angin beserta dewa penjaga yang ada di tiap mata angin (utara: Dewa Wisnu, selatan: Dewa Anantaboga, barat: Dewa Yamadipati, dan timur: Dewa Mahadewa).30 Tabel 20 menunjukan bahwa area guru yang terdiri dari empat saka guru menjadi pusat, pancer, puser, menjulang tinggi ke atas seperti konsep moncapat31.

29Periksa Suryadi Santosa, Arsitektur-Kota Jawa, Kosmos, Kultur & Kuasa (Jakarta: Centropolis-Magister Teknik Perencanaan Universitas Tarumanegara, 2008), 47-57. 30Periksa Frick, 1997, 85. 31 Moncapat adalah penyusunan dari empat desa yang terletak di sebelah utara, selatan, timur, dan barat termasuk suatu desa induk. Selain itu dapat diartikan sebagai corak magis empat-lima yang mengandung empat mata angin dan pusatnya sebagai aturan administratif kuno maupun awal mula mikrokosmis. (periksa Frick,1997, 90, 222).

21

Tegangan datar Pusat sebagai proses, Perwujudan dualisme dipertunjukkan oleh dilambangkan oleh dengan tegangan vertikal cakram pedoman dan gunung suci Mahameru. antara manusia dan pusatnya (moncapat). dewanya.

Tabel 20. Konsep moncapat (Frick, 1997, 91)

Konsep moncapat di atas kemudian direpresentasikan dengan keletakan saka dan umpak, seperti pada gambar di bawah ini.

Gambar 25. Saka Guru sebagai pusat, pancer, puser, dan representasi konsep moncapat di pendapa Dalem Tejokusuman. (Gambar: Martino Dwi Nugroho, 2009)

22

Utara, Hitam, Wage

Barat, Pusat, Timur, Kuning, Pancawarna, Putih, Pon Kliwon Legi

Selatan, Merah, Pahing

Gambar 26. Sistem menurut arah mata angin dengan lima dasar dikaitkan dengan pasaran hari Jawa (Lombard, 2008, 101).

Perlambangan warna-warna di atas diambil dan diperluas oleh agama Islam yang memberinya makna moral. Perpadanan baru yang diperoleh adalah sebagai berikut: putih adalah warna ketenangan batin (mutmainah), merah adalah warna marah (amarah), kuning adalah warna keinginan (supiah), dan hitam adalah warna kecemburuan (luwamah). 32 Komponen arsitektural yang dianggap penting (utama: lebih ke arah sakral/fungsi simbolik) diletakan pada central space, dan komponen lain mengelilingi secara simetris (pamidhangan dan keempat saka guru ada di pancer atau pusat/tengah-tengah).33 Keletakan saka dan umpak di pendapa dan dalem ageng pada dalem pangeran di Yogyakarta disusun berdasar konsep Vastu Purusha Mandala34 dimana pusatnya dinamakan saka

32 Periksa Lombard, 2008, 101 33Periksa Josef Prijotomo, Ideas And Form of Javanese Architecture (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1992), 42. 34 Vastu Purusha adalah suatu persegi empat yang dibagi sembilan persegi kecil. Terdapat persegi empat yang terletak di tengah sebagai pusat atau puser. Vastu purusha adalah roh ruang yang dengan wajahnya yang menghadap ke bawah melindungi lahan bangunan

23 guru. Dalam sebagian besar buku pegangan tentang tata cara pembangunan suatu kuil Hindu dinyatakan bahwa setiap bangunan kuil harus mengikuti kerangka- kerangka dasar yang sederhana, dan istilah yang paling umum dinamakan Vastu- Purusha-Mandala. Vastu-Purusha-Mandala berlaku pula bagi pembangunan suatu kota, desa, perbentengan, atau seluruh hal yang berkaitan dengan dimensi keruangan. Pada dasarnya, diagram ini merupakan suatu Vastu atau norma dasar semesta, jejak (tapak) mengenai kosmos dan menampakkan bentuk yang dianggap sebagai Purusha (insan, atau personifikasi gejala semesta dasar yang awal, asli, utama, dan sejati) yang universal dalam suatu mandala (bentuk, form) di dunia yang fenomenal. Secara tepat proporsi, Vastu-Purusha-Mandala itu sendiri tidak penting karena tidak pernah secara tepat merupakan cetak biru tentang candi atau kuil, melainkan suatu ramalan atau perkiraan yang memuat kemungkinan- kemungkinan untuk dijadikan acuan bagi pembangunan kuil. Vastu-Purusha- Mandala pada dasarnya berbentuk persegi dari sejumlah persegi yang dikonversikan dalam bentuk persegi-persegi utama. Ukuran yang paling sederhana terdiri dari bentuk persegi yang berjumlah 81 (9x9). Bagian inti yang terdiri dari 4 atau 9 bagian ditujukan bagi dewa-dewa utama, yakni Brahma.35 Pada gambar 27 menunjukkan bahwa pusat dihuni oleh Dewa Brahma. Dewa Brahma mempunyai bermacam-macam nama sebutan salah satunya adalah Bodha36 atau guru, sehingga dapat dikatakan bahwa saka yang berada di pusat dinamakan saka guru seperti dalam Vastu Purusha Mandala dimana pusatnya

(periksa Frick, 1997, 149). Dari semua aturan dan perintah di dalam Vastushastras, satu hal yang ditemukan untuk membangun bangunan oleh para perancang dari zaman lampau untuk masa kini adalah Vastu Purusha Mandala. Vastu Purusha Mandala telah digambarkan sebagai " suatu kumpulan aturan yang mencoba untuk memudahkan terjemahan dari konsep mengenai agama ke dalam format secara ilmu bangunan (http://www.nexusjournal.com/N2002-Nathan.html)

35 Periksa Soeroso. Jantra dan Mandala dalam Arsitektur Candi. Berkala Arkeologi Sangkhakala No. III/1998-1999 (Medan: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional – Balai Arkeologi Medan, 1998/1999), 41 - 57. 36 Periksa Maulana, 1997, 27.

24 dihuni oleh Dewa Brahma yang mempunyai sebutan Bodha atau guru. Adapun gambar 25 menunjukan penerapan prinsip Vastu Purusha Mandala pada salah satu pendapa yaitu Dalem Tejokusuman.

Gambar 27. Vastu Purusha Mandala (Gambar: www.boloji.com)

25

Gambar 28. Penerapan prinsip Vastu Purusha Mandala pada pendapa Dalem Tejokusuman (Gambar: Martino Dwi Nugroho, 2009)

26

BAB II SEJARAH ARSITEKTUR JAWA

Telah banyak teori yang mencoba menjelaskan perihal bagaimana caranya pengaruh kebudayaan India (Hindu-Buddha) sampai ke kepulauan Indonesia. Hal yang sudah pasti adalah berkat adanya pengaruh tersebut penduduk kepulauan Indonesia kemudian memasuki periode sejarah sekitar abad ke-4 M. Menurut J.L.A Brandes (1887), penduduk Asia Tenggara termasuk yang mendiami kepulauan Indonesia telah mempunyai 10 kepandaian menjelang masuknya pengaruh kebudayaan India, yaitu: (1) mengenal pengecoran logam, (2) mampu membuat figur-figur manusia dan hewan dari batu, kayu, atau lukisan di dinding goa, (3) mengenal instrumen musik, (4) mengenal bermacam ragam hias, (5) mengenal sistem ekonomi barter, (6) memahami astronomi, (7) mahir dalam navigasi, (8) mengenal tradisi lisan, (9) mengenal sistem irigasi untuk pertanian, (10) adanya penataan masyarakat yang teratur.i Dalam kondisi peradaban seperti itulah mereka kemudian berkenalan dan menerima para niagawan dan musafir dari India ataupun dari Cina.

Setelah berinteraksi dengan para pendatang dari India, maka diterimalah beberapa aspek kebudayaan penting oleh penduduk kepulauan Indonesia. Aspek- aspek kebudayaan dari India yang diterima oleh nenek moyang bangsa Indonesia benar-benar barang baru, yang tidak mereka kenal sebelumnya, yaitu: (1) Aksara Pallava; (2) Agama Hindu dan Budha; (3) Perhitungan angka tahun Saka. Melalui ketiga aspek kebudayaan dari India itulah kemudian peradaban nenek moyang bangsa Indonesia terpacu dengan pesatnya, berkembang dan menghasilkan bentuk-bentuk baru kebudayaan Indonesia kuna yang pada akhirnya pencapaian itu diakui sebagai hasil kreativitas penduduk kepulauan Indonesia sendiri. Salah satu hasil kebudayaan yang merupakan kreatifitas penduduk Indonesia adalah arsitektur. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya peninggalan-peninggalan arkeologis.

27 Sejarah perkembangan Arsitektur Jawa

Arsitektur Jawa yang dikenal saat ini pada dasarnya merupakan perkembangan arsitektur tradisional masa lalu yang dimulai pada jaman prasejarah 2500 SM hingga 200 M. Tetapi kejelasan identifikasi tentang arsitektur Jawa mulai terlihat pada masa Hindu Budha (Jawa Tengah) abad 7-10 dengan dibangunnya candi-candi yang memuat relief tentang bentuk arsitektur tradisional Jawa terutama candi (Budha) dan Candi Loro Jonggrang (Hindu), dan semakin jelas lagi pada masa Jawa Timur abad 11-15 dengan masa kejayaan Majapahit dimana konstruksi kayu untuk arsitektur rumah tinggal mulai diperkenalkan (Frick, 1997: 31-74, Santosa, 2008: 60). Sejarah perkembangan rumah Jawa dimulai dari jaman Masa neolitik (2500- 1500 SM) dan megalitik ( 1500 SM-200 M). Pada masa itu orang Jawa hidup dalam masyarakat pedesaan yang sudah dikonsolidasikan dan menjadi inti masyarakat baru yang memperkembangkan desa atau kampung tradisional. Bentuk gubuk mereka masih agak kecil, berbentuk kerucut dengan atap yang langsung menempel ke tanah dan dibuat dari daun-daunan. Pada perkembangannya, teknik tradisional tentang pembangunan rumah yang dapat dibongkar pasang (knock down) mulai dikembangkan. Hal ini dikarenakan rumah tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka yaitu ladang berpindah serta pembukaan hutan dengan cara membakarnya. Atap rumah yang berbentuk kerucut sudah terpisah dari tanah.

28

Kemudian dilanjutkan dengan jaman atau masa Hindu Budha. Zaman keemasan peradaban Jawa dimulai pada akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9 saat wangsa Sailendra yang beragama Budha mengambil alih kekuasaan di Jawa dari wangsa Sanjaya. Tempat kedudukan pemerintahan dinamakan Keraton, yang berarti istana raja dan rumah tangga istana. Pada masa itu juga konstruksi kayu diperkenalkan kepada rakyat. Hal tersebut dapat dilihat pada candi Prambanan atau disebut juga candi Roro Jonggrang. Pada relief candi Loro Jonggrang terdapat dua ragam bangunan berdasarkan material, yaitu bangunan yang terbuat dari batu dan bangunan yang terbuat dari kayu. Untuk penelitian ini dikhususkan pada bangunan kayu, karena pengungkapan bangunan-bangunan dari batu sudah dapat terwakili dari bentuk candi-candinya sendiri yang tersebar di sekitar Yogyakarta, misalnya candi Prambanan, Borobudur, , , dan lain-lain. Adapun bukti artefak bangunan dari kayu tidak ada bukti arkeologisnya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan bangunan dari kayu ialah bangunan yang konstruksi utamanya adalah rangka yang menyangga bagian atap yang bahannya dari kayu. Bangunan ini

29 umumnya mempunyai bagian-bagian atap, penyanggayang diberi atau tidak diberi dinding dan alas ataupun lantai. Bagian-bagian tadi dapat juga digolongkan sebagai kepala, badan, dan kaki. Bangunan-bangunan tersebut dapat langsung berdiri di atas tanah ataupun dapat berdiri di atas tanah ataupun dapat berdiri di atas suatu dasar yang ditinggikan, mempunyai bentangan atau jarak tiang penyangga yang lebih besar dari bangunan dengan konstruksi susunan batu dan memberi kesan ringan (Atmadi,1979: 5). Sesuai dengan batasan yang digariskan, maka untuk membaca bangunan kayu yang ada pada relief Candi Loro Jonggrang digunakan patokan sebagai berikut: 1. Tiang-tiang penyangga bagian atap adalah relatif lebih kecil dan jarak antara tiang lebih lebar. 2. Bentuk-bentuk atap pelana, limasan, tajug ataupun lainnya dengan konstruksi atap ringan. 3. Tampak bangunan memberi kesan ringan.

Relief candi Loro Jonggrang yang memuat gambar bangunan Jawa

Sekitar abad ke-13 hingga abad ke–14 pada saat Majapahit diperintah oleh Hayam Wuruk, dalam bidang arsitektur dikembangkan ekspresi dan teknik pembangunan yang baru. Buku pelajaran bagi bermacam bagian pembangunan diterbitkan, pengetahuan dasar tentang pembangunan rumah kediaman, candi,

30 pemandian dan tata kota diadakan pada waktu itu. Pembangunan dengan batu alam dihentikan dan penggunaan batu merah beserta konstruksi kayu diistimewakan dan diperkembangkan sedemikian rupa sehingga masih dipergunakan pada masa kini dalam arsitektur dan tata kota.ii Arsitektur bangunan rumah tinggal pada masa Majapahit dapat dibedakan dalam tiga kelompok : 1. Arsitektur Jawa Kuno. Arsitektur Jawa Kuno mempunyai ciri-ciri : Konstruksi bangunan dari kayu yang merupakan tiang berdiri di atas tanah. Mempunyai kolong dan tanpa pemisah ruang. Pemisah ruang hanya dilakukan dengan menggunakan kain atau bahan tidak permanen yang pada siang hari dapat dilepas. Penutup atap menggunakan alang-alang atau ijuk. 2. Arsitektur Majapahit Lama Arsitektur Majapahit Lama mempunyai ciri-ciri : Konstruksi bangunan dari kayu yang berdiri di atas batur dan masih belum ada pembatas yang permanen. Penutup atapnya sudah genting Bangunan semacam ini dapat berfungsi sebagai pendapa maupun sebagai tempat untuk istirahat atau tidur. 3. Arsitektur Majapahit Akhir Arsitektur Majapahit Akhir mempunyai ciri-ciri sama dengan arsitektur Majapahit Lama. Sudah mempuyai batas permanen bangunan

31

Namun demikian perlu diketahui bahwa akhir periode Majapahit masih pula dijumpai ketiga macam bangunan di Atas terutama karena adanya perbedaan fungsi bangunan yang masih digunakan pada waktu itu. Seperti pada relief candi yang dibangun pada periode yang sama. Adanya perubahan nilai-nilai sosial dan mulai susahnya mendapatkan bahan bangunan kayu, menjadikan bangunan-bangunan yang menggunakan kayu untuk kolom maupun dinding secara perlahan berkurang dari perbendaharaan arsitektur Jawa. Hal ini didpercepat dengan adanya penduduk baru dari pulaupulau lain dan orang-orang asing yang datang ke Majapahit dalam rangka berdagang. Mereka mendirikan berbagai macam bangunan yang menggunakan bahan bangunan

32 tradisi membangun rumah sesuai dengan kebutuhan baru sehingga bangunannya mempunyai ciri yang berbeda. Kemudian orang Jawa meniru cara membangun para pendatang baru, sehingga terjadi suatu sinkritisme ungkapan arsitektur yang dapat dilihat pada relief candi. Bangunan tersebut tidak terdapat di tempat lain kecuali di Jawa pada waktu itu.

Arsitektur bangunan sakaral pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan bangunan biasa. Ketiga macam bangunan yang tersebut di atas dapat pula dilihat dalam suatu tapak, yang mempunyai aturan pengelompokan bangunan tersendiri.bangunan sakral yang ada pada situs Majapahit pada umumnya mempunyai dua atau tiga halaman. Halaman pertama mempunyai seperti yang terdapat pada Waringin Lawang untuk kelompok bangunan Hindu. Pada kelompok bangunan Budha tidak ditemukan tanda-tanda candi Bentar. Masuk halaman kedua ditemukan atau Gapura seperti bajang Ratu. Dengan emikian dapat dikatakan bahwa pola dan bentuk bangunan sakral diBAli adalah turunan dari bangunan sakral Hindu Majapahit.

33

Periode selanjutnya adalah masuknya Islam di Indonesia pada abad ke-7 dan berkembang pada abad ke-12. Periode ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari periode Hindu Budha. Pedoman dan peraturan seni bangunan pada jaman Islam disempurnakan dan mencapai puncak perkembangan seni bangunan kayu. Bangunan masjid dan istana raja adalah contoh bagaimana tradisi arsitektur kayu mencapai bentuknya apda jaman Islam.iii

34 BAB III SEJARAH ORANG KALANG

Waktu yang lampau, kegiatan perencanaan dan perancangan dilakukan oleh seseorang yang dianggap ahli oleh lingkungan masyarakat tersebut, yang diserahi tanggungjawab untuk mengembangkan pemikirannya untuk menciptakan bangunan rumah tinggal. Rumah tinggal yang diciptakan lebih banyak tergantung pada pemuka ahli teknik tersebut disebut Kalang 37 dari pada pihak calon pemakainya, sehingga kesamaan atau perubahan yang terjadi sangat tergantung pada perubahan yang diinginkan oleh pemuka ahli tersebut. Kalang yang artinya tukang kayu ahli bangunan rumah, adalah para tenaga kerja yang dilatih dan dididik oleh para guru adat, yang kebanyakan dari lingkungan Kraton, sebagai abdi dalem kraton. Mereka belajar dari guru adat dengan cara latihan, sedang guru adat mengetahui hal-hal tersebut dari membaca ajaran-ajaran yang bersifat simbolik yang dibuat oleh pujangga kraton.

37 Kalang juga diartikan sebagai orang yang menguasai tentang perencanaan dan tata bangunan rumah tinggal dari kayu dengan alasan : 1. Kayu tidak mudah rusak dikikis air hujan. 2. Kayu merupakan bahan yang mudah didapat. 3. Perabot dari bahan kayu mudah dikerjakan, perbaikan perabot dari kayu mudah dilakukan Kalang dibagi menurut keahlian – keahlian tertentu, yaitu : 1. Kalang Blandhong yaitu orang yang ahli dalam pemilihan dan penebangan kayu. 2. Kalang Adeg yaitu orang yang ahli perencanaan. 3. Kalang Abreg yaitu orang yang ahli pembongkaran rumah lama dari kayu. 4. Kalang Obong yaitu orang yang ahli tentang pemeliharaan dan pembersihan hutan. (periksa Harmanto Bratasiswo, Bauwarna, Adat Tata Cara Jawa, (Jakarta, Yayasan Suryo Sumirat, 2000), 295). Selanjutnya menurut Ismunandar, di Yogyakarta, para ahli tersebut tidak disebut jabatannya secara lengkap, melainkan cukup disebut dengan istilah Kalang saja. Dengan istilah itu orang sudah mengenalnya sebagai ahli perancang maupun pembuat bangunan tempat tinggal yang ulung (periksa Ismunandar, Joglo. Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Edisi Kedua, Cetakan Keempat (Semarang: Effar Offset, 2007), 5.)

35 Pengetahuan-pengetahuan tentang pembuatan rumah tersebut kemudian dituliskan dalam bentuk naskah supaya pengetahuan yang bersifat turun temurun dapat dibaca dan diketahui oleh masyarakat luas.38 Orang kalang sudah berdiam di Jawa sejak masa sebelum Hindu atau sebelum abad VII. Pada kehidupanya di rawa-rawa dan hutan-hutan tersebut menjadikan golongan ini mempunyai pengetahuan atau keahlian di bidang perkayuan dan selanjutnya dikenal sebagai ahli membuat benda-benda dari kayu. Pada masa Majapahit orang-orang kalang menyumbangkan tenaga untuk pembuatan saluran-saluran pengairan, pembuatan jalan, membangun istana dan tempat suci, dan membuka tanah-tanah persawahan serta ikut berperang meluaskan jajahan. Pada masa Mataram Islam berkuasa dan pada masa pemerintahan Belanda, banyak golongan Kalang yang bekerja pada Belanda sebagai tenaga dalam pembuatan galangan kapal dan pembangunan kota Batavia. Pada masa Mataram Islam, oleh Sultan Agung mereka dikumpulkan dan diberi tempat tinggal menetap dan dijadikan hamba-hamba raja yang mengurusi dalam hal pembuatan benda-benda dari logam, mendirikan bangunan-bangunan istana, bahkan membuat masjid untuk raja yang beragama Islam tersebut menebang dan mengangkat kayu jati dari hutan-hutan.39 Di Jawa, orang Kalang tersebar hampir di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Komunitas Kalang ditemukan mulai dari Cilacap, Adipala, Gombong, Ambal Karanganyar, Petanahan, Solo, Tulungagung, hingga Malang.

38 Periksa Arya Ronald, Ciri-Ciri Karya Budaya Di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Yogyakarta, 1990), 435-436. 39 Periksa Emiliana Sadilah, Kesadaran Budaya Tentang Tata Ruang Pada Masyarakat di DIY (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), 2. Lebih lanjut Ismunandar menjelaskan bahwa teknik penyusunan rumah Jawa seperti teknik penyusunan batu-batu candi. Tetapi bukan rumah orang Jawa yang meniru bentuk candi, melainkan benetuk candilah yang meniru rumah orang Jawa. Mengapa demikian? Karena candi yang sekarang ada seperti Dieng, candi Borobudur, Pawon, dan lain-lain pada umumnya baru berdiri pada abad ke-8, sedangkan sebelum agama Hindu dan Budha datang di Indonesia, nenek moyang kita telah mempunyai tempat tinggal yang cukup permanen untuk melindungi diri dan keluarganya.(periksa Ismunandar, 2007, 3)

36 Di utara Jawa, tercatat di kota-kota seperti Tegal, Pekalongan, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Demak, Pati, Cepu, Bojonegoro, Surabaya, Bangil, hingga Pasuruan terdapat komunitas Kalang.40 Masyarakat Kalang ini mempunyai kebiasaan berpindah tempat. Hal tersebut dapat diketahui dari pendapat Raffles: ”Ketika orang Kalang hendak pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, mereka menggunakan pedati yang memiliki dua bendi yang mantap, dengan poros yang dapat berputar, dan ditarik oleh dua atau lebih ekor kerbau, tergantung dari keadaannya. Dalam gerobak tersebut mereka menempatkan bahan bangunan yang merupakan bekas konstruksi gubugnya yang dulu, peralatan pertanian, dan beberapa barang berharga. Mereka menganut kebiasaan ini hingga akhir-akhir ini. Sejak mereka tunduk pada peraturan para pemimpin Jawa, mereka biasa pindah dari satu tempat ke tempat lain di Jawa Seperti halnya pada masyarakat Kalang. Sebuah komunitas yang menarik dalam kaitannya dengan sosio-kultural Jawa. Mereka diduga merupakan penduduk asli dan terkenal sebagai seniman. Mereka berasal dari wilayah kerajaan Majapahit Hindu di Jawa Timur dan , yang diminta negara Mataram Islam untuk memenuhi kebutuhan akan seni. Pada dasarnya mereka tidak berbeda dengan suku bangsa Jawa lainnya. Namun akibat dari berbagai perjalanan sejarah yang dilalui dan perubahan-perubahan dalam sistem kemasyarakatan menjadikan mereka sebagai komunitas tersendiri, ekslusif, dan terpisah dari masyarakat sekitar. Kelompok masyarakat ini kemudian bergerak pada bidang usaha terutama perdagangan, jasa, transportasi, dan juga bidang seni ukir kayu dan emas.

40 Disarikan dari Andrianto Soekarnen dan Heru Prasetya, Mereka Orang Kalang, Mereka Berekor?, berdasar penelitian Soelardjo Pontjosutirto, Marjanto Poerwomartono, dan Herry Soeagijardjo dari Fakultas Hukum UGM tahun 1971, Majalah Trust, Edisi 09 - 10 Tahun VI 31 Desember - 6 Januari 2007, www. Majalahtrust.com, diringkas oleh penulis.

37 Keuletannya dalam berusaha menjadikan mereka pada golongan yang berada. Bahkan ada yang menjulukinya “Konglomerat Tradisional” (Syahban:1998 dalam Hidayati : 2000) Setelah ditinggal Sultan Agung pada tahun 1700-an, masyarakat Kalang menjadi kaya raya karena pekerjaannya. Mereka membangun rumah mewah dengan arsitektur Hindu Jawa. Kondisi sosio-kulturalnya yang khas sebagai bagian dari etnis Jawa dengan kemampuan ekonomi yang tinggi menjadikan rumah tinggal masyarakat Kalang pun mempunyai cirikhas yang berbeda. Mereka menyebutnya “Rumah Kalang”. Pada abad ke-18 jumlah orang Kalang dikerajaan Mataram memang sudah banyak. Pada waktu diaadakan perjanjian Gianti 1755 yang membagi kerajaan Mataram manjadi dua bagian, golongan Kalang pun dibagi menjadi dua bagian dibawah kasultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta. Bangunan mewah rumah Kalang dengan arsitektur Tradisonal Jawa di Kotagede didirikan sekitar tahun 1850 (kurang lebih 156 tahun yang lalu). Berlokasi di dekat sungai Gajah Wong, sepanjang kawasan jalan Tegalgendu- Mondorakan. Pada mulanya rumah Kalang muncul dengan bangunan berupa Joglo Jawa dengan musholla dan ornamen-ornamen Arab. Lalu sebuah perubahan penting terjadi selama tahun 1920-1930-an, ketika masyarakat Kalang yang dimonopoli oleh Belanda (Pemerintah Kolonial) menangani pegadaian dan perdagangan berlian dan opium. Pada masa ini, masyarakat Kalang mulai mendandani rumah mereka. Karakteristik rumah Kalangpun mengalami perkembangan yang secara inklusif dilatarbelakangi budaya Jawa dan dipengaruhi budaya asing Eropa, bahkan ada pula gaya Cina yang tertuang pula pada bentuk fisik dan ornamennya. Bentuk Rumah Kalang yang pada mulanya menggunakan bentuk asli rumah tinggal bangsawan Jawa mulai mengalami perubahan. Diantaranya adalah bangunan Joglo yang dijadikan rumah induk terletak di bagian belakang, sedangkan pada bagian depan berupa bangunan dengan model Eropa yang cenderung berbentuk baroque, berikut corak corinthian dan doriq. Selain itu, bangunan pendopo pun sudah termodifikasi menjadi tertutup, tidak lagi terbuka

38 seperti halnya pendopo Joglo pada bangunan rumah tinggal bangsawan Jawa sebelumnya. Dalam Penelitiannya, Pontjosoetirto (1971) menyatakan bahwa pada hakekatnya masyarakat Kalang adalah penduduk asli Jawa, tidak berbeda dengan suku bangsa Jawa lainnya. Namun akibat dari perjalanan sejarah yang dilalui menjadikan masyarakat ini sebagai komunitas tersendiri dan hidup terpisah-pisah. Identitas goongan ini dianggap kabur karena belum adanya kejelasan dan kepastian. Ada beberapa versi mengenai asal-usul nama ‘kalang’, ada yang mengartikan sebagai pagar atau batas, dari bahasa Jawa “dikalangi”, karena pada masa Sultan Agung golongan ini dikumpulkan pada suatu tempat dan diberi pagar kuat dan tinggi. Pada kamus besar Geric ke Rcorda (dalam Pontjosoetirto, 1971), Kalang diartikan “kejaba” sesuatu yang ditempatkan di luar/di pisah dari yang lain. Dan T.Altona memberi penafsiran Kalang berasal dari “kepalang” yang berarti tertutup/orang yang berada di luar karena tertutup dari dalam. Dan beberapa versi asal nama tersebut mengindikasikan bahwa golongan Kalang merupakan masyarakat yang dipisahkan/terpisah dari golongan masyarakat lain. Sebagaimana asal namanya golongan inipun ada berbagai versi. Beberapa penelitian pada umumnya mengisahkan bahwa golongan kalang adalah keturunan perkawinan tidak wajar antara manusia dan binatang, manusia golongan rendah dengan golongan tinggi, atau keturunan dari golongan status sosial rendah. Salah satu versi menyebutkan golongan Kalang adalah keturunan perkawinan seorang tukar ukir Bali dngan adik Sultan Agung yang diusir dari istana dan lari ke selatan Kebumen. Sementara Nakamura, 1983 (dalam Hidayati:2000), orang Kalang kemungkinannya adalah tawanan perang Sultan Agung yang dibawa dari Bali. Dari berbagai versi tersebut kesemuanya mendudukan golongan ini pada posisi yang kurang menguntungkan. Dari kilasan sejarah, beberapa ahli berpendapat bahwa orang golongan Kalang ada sejak jaman dulu. Hal ini membuktikan dengan adanya beberapa tulisan Kuno pada batu yang menyebutkan nama golongan tersebut, diantara piagam dari batu di desa Tegal sari, Tegalharjo Magelang (Insterupsi Kuburan

39 Candi) yang dibuat pada 9 masehi. Namun menurut G.H Van Faber, timbulnya golongan ini bersamaan dengan kedatangan bangsa Hindu ke Indonesia khususnya Jawa pada 4 Masehi. Pada kehidupanya di rawa-rawa dan hutan-hutan tersebut menjadikan golongan ini mempunyai pengetahuan/keahlian di bidang perkayuan dan selanjutnya dikenal sebagai ahli membaut benda-benda dari kayu (Pontjosoetirto:1971dalam Hidayati:2000) Pada masa Majapahit orang-orang Kalang menyumbangkan tenaga untuk pembuatan saluran-saluran pengairan, pembuatan jalan, membangun istana, dan tempat suci, dan membuka tanah-tanah persawahan serta ikut berperang meluaskan jajahan. Pada masa Mataram berkuasa dan pada masa pemerintahan Belanda, banyak golongan Kalang yang bekerja pada Belanda sebagai tenaga dalam pembuatan galangan kapal dan pembangunan kota Batavia. Pada masa Mataram, oleh Sultan Agung mereka dikumpulkan dan diberi tempat tinggal menetap dan dijadikan hamba-hamba raja yang mengurusi dalam hal pembuatan benda-benda dari logam, mendirikan bangunan-bangunan istana, menebang dan mengangkat kayu jati dari hutan-hutan. Pada masa ini orang Kalang diberi gelar bupati dengan sebutan “Kalang Mendhak” dengan keahlian sendiri-sendiri. Kalang Blandong ditugasi menebang kayu/pohon dihutan, Kalang Obong melakukan pembersihan hutan, Kalang Adeg sebagai perencana bangunan, dan kalang Abrek bertugas merobohkan bangunan (Ismunandar,1993) Pada abad ke-18 jumlah orang Kalang dikerajaan Mataram sudah banyak, pada waktu diaadakan perjanjian Gianti 1755 yang membagi kerajaan Mataram manjadi dua bagian. Golongan Kalang pun dibagi menjadi dua bagian dibawah kasultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta. Pengaruh Islam yang semakin besar dan luas mempengaruhi kedudukan dan manusia dianggap berderajat sama (Pontjosoetirto,1971) Menurut pontjosoetirto (1971) berdasar ikatan kekerabatannya masyarakat kalang dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Kalang Obong, golongan orang kalang dari keturunan Pancar laki-laki (pihak ayah dari golongan kalang).

40 2. Kalang Kamplong, golongan kalang dari pancar perempuan ( hanya pihak ibu dari golongan kalang).

Pembagian ini mempunyai kaitan dengan pelaksanaan upacara kematian golongan tersebut karena golongan kalang Obonglah yang dapat melaksanakan upacara kematian adat Obong. Upacara kematian ini ada kesamaan dengan upacara di Tengger dan Bali. Upacara ini dilaksanakanpada hari ke-1000 meninggalnya anggota golongan tersebut. Dari tinjauan historis terlihat bahwa orang Kalang terkenal dengan keuletannya, hal ini berkat tempaan hidup yang dialaminya. Keuletannya dalam berusaha menjadikan golongan ini sebagian besar adalah orang kaya. Dalam masyarakat Kalang berlaku pepatah “Digarua dilukua suket grinting tetep mendeles” yang berarti “meskipun dalam kondisi ditekan, masyarakat kalang tetap dapat bertahan”. Usaha dari masyarakat ini antara lain adalah berdagang kain, perhiasan dan kerajinan kayu serta jasa transportasi. Dari segi historis masih terlihat adanya perbedaan pendapat dari beberapa peneliti yang berkaitan dengan waktu kemunculan masyarakat ini, hal ini disebabkan hanya muncul sekilas-sekilas dalam pemberitaan sejarah. Diakhir penelitiannya, Pontjosoetirto(1971) menyimpulkan bahwa masyarakat kalang ditinjau dari asal usul keturunannya dibedakan menjadi dua golongan: 1. Kalang yang berasal dari keturunan Abdi dalem (golongan pertama ini hampir keturunannya saja) 2. Kalang dengan identitas tersendiri.

Antara golongan satu dan dua tidak saling mengenal dan beranggapan pula mereka tidak sekeluarga. Hal ini didukung pula oleh pernyataan Ismunandar (1993) yang menyebutkan bahwa para pejabat Kalang pada masa Sultan Agung berbeda dengan orang-orang Kalang yang berasal dari nenek moyang tertentu seperti Kalang Obong.

41 Dari penelitian diatas belum menyatakan secara pasti pemilahan dan perbedaan antara kedua golongan tersebut berkaitan dengan konteks hisoris yaitu asal usul masing masing golongan dan sosio-kulturalnya ( spesifikasi profesi, ritual, atau sistem kekerabatan masing-masing golongan). Dengan demikian perlu pengkajian lebih lanjut. Golongan kedua yang sampai saat ini masih eksis, dan kemudian dikenal sebagai golongan Kalang Tegalgendu. Pada penelitian ini difokuskan pada rumah tinggal golongan kedua. Masyarakat Kalang ini mempunyai kebiasaan berpindah tempat. Hal tersebut dapat diketahui dari pendapat Raffles: ”Ketika orang Kalang hendak pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, mereka menggunakan pedati yang memiliki dua bendi yang mantap, dengan poros yang dapat berputar, dan ditarik oleh dua atau lebih ekor kerbau, tergantung dari keadaannya. Dalam gerobak tersebut mereka menempatkan bahan bangunan yang merupakan bekas konstruksi gubugnya yang dulu, peralatan pertanian, dan beberapa barang berharga. Mereka menganut kebiasaan ini hingga akhir-akhir ini. Sejak mereka tunduk pada peraturan para pemimpin Jawa, mereka biasa pindah dari satu tempat ke tempat lain di Jawa

42

BAB IV KAWRUH KALANG

Isi utama naskah Kawruh Kalang ini adalah pembuatan bagian-bagian konstruksi dari sebuah lingkungan bina Jawa dan mencakup pengukuran serta penyelesaian detil-detil konstruksi. Hal ini memberi kesempatan untuk melihat adanya rangkaian antara bagian konstruksi yang satu dengan bagian konstruksi yang lain. Prijotomo menjelaskan bahwa terdapat beberapa naskah Kawruh Kalang yaitu: TABEL I. Nama-Nama Naskah Kawruh Kalang41 Kode Judul Keterangan KSW Serat Tjarijos Bab Kawroeh Aksara Jawa bahasa Jawa, tulisan tangan, Kalang (1901) penyusun R. Sasrawiryatma KSP Serat Tjarijos Bab Kawroeh Aksara latin bahasa Jawa, ketikan, penyusun Kalang (1934) R. Sasrawiryatma, pelatinan atas perintah Dr. Th. Pigeaud. KSN Serat Tjarijos Bab Kawroeh Aksara latin bahasa Jawa, ketikan, penyusun Kalang (1992) R. Sasrawiryatma, pelatinan oleh E. Siti Nuryanti. KM Kawroeh Kalang (1906) Aksara Jawa, bahasa Jawa, tulisan tangan, penyusun Mangoendarma KMN Kawroeh Kalang (1936) Aksara latin, bahasa Jawa, ketikan, penyusun Mangoendarma, yang melatinkan nn. (Periksa: Prijotomo, Re) Konstruksi Arsitektur ..., 2006, 54).

41 Kode-kode di atas dilakukan oleh Josef Prijotomo, (Re-)Konstruksi Arsitektur Jawa (Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika, 2006, 54.

43 Tabel II yang dikutip dari Josef Prijotomo berikut memperlihatkan naskah yang masuk dalam rekomendasi menjadi naskah baku.

TABEL II. Naskah yang Masuk Rekomendasi Menjadi Naskah Baku Kode Judul Hasil Pemerikasaan Saran KMN Kawroeh Kalang Naskah aksara latin bahasa Jawa, Tidak ketikan oleh nn. Isi dan substansi dinominasikan tidak banyak berselisih, meski ada, karena pengkataan dan tanda baca. KM Kawroeh Kalang Naskah aksara Jawa bahasa Jawa Dinominasikan menjadi naskah baku KSW Serat Tjarijos Naskah aksara Jawa bahasa Jawa Dinominasikan menjadi naskah baku KSP Serat Tjarijos Naskah aksara latin bahasa Jawa, Tidak ketikan oleh nn. Isi dan substansi dinominasikan tidak banyak berselisih, meski ada, karena pengkataan dan tanda baca. KSN Serat Tjarijos Naskah aksara latin bahasa Jawa, Tidak ketikan oleh nn. Isi dan substansi dinominasikan tidak banyak berselisih, meski ada, karena pengkataan dan tanda baca. (Periksa Prijotomo, (Re) Konstruksi Arsitektur ..., 2006, 110).

Naskah yang direkomendasikan menjadi Naskah baku yaitu:

TABEL III. Naskah Baku Kawruh Kalang Dari pemeriksaan fisik KSW dan KM

44 Dari pemerikasaan Isi/Substansi KSW dan KM (Periksa Prijotomo, (Re) Konstruksi Arsitektur ..., 2006, 110).

Menurut Prijotomo, KM (Kawruh Kalang – disusun oleh Mangoendarma) memiliki usia yang lebih muda daripada KSW (Serat Tjarijos Grijanipun Tijang Djawi – penyusun R. Sasrawiryatma), padahal baik isi maupun fisik dari kedua naskah ini memperlihatkan kesamaan yang tinggi, hingga nyaris dapat dikatakan sebagai sebuah dokumen yang sama tetapi ditulis oleh dua orang yang berbeda. Dengan demikian tidak terlihat adanya kerugian dan kehilangan signifikasi apabila KM disisihkan dari penunjukan sebagai naskah baku. Oleh karena itu, ditetapkan bahwa dalam kelompok Kawruh Kalang ada satu naskah yang ditetapkan sebagai naskah baku yakni KSW.42 Buku ini (KSW) memuat keterangan tentang pembuatan rumah Jawa tradisional : rumah Taju, jug loro, limasan, gajah sap, saka, tumpang 5, suh kuningan atau mamas, umpak dari marmer atau batu, gaya diukir, panitih, molo, ander, dudur, takir, tumpang, reng, sirap, wuwung, cukil, tutup kèyong, tutup kèncong, tanda, angka Kalang yang disebut angka ageng, dapur rumah, sajèn, kayu jati. Teks ini disusun oleh R. Sasrawiryatma di Surakarta pada tahun 1928. Sekarang, teks tersebut disimpan di Perpustakaan Museum Sonobudoyo dengan kode PB A 285 31. Jika dilihat dari angka tahun pembuatan Naskah Kawruh Kalang yang direkomendasikan yaitu KSW seperti tertera pada tabel 1 yaitu tahun 1901, maka dapat diinterpretasikan bahwa rumah pangeran yang dibangun pada abad ke-19 sampai abad ke-20 diasumsikan menggunakan kaidah Kawruh Kalang. A. Saka Menurut Ismunandar, setelah pemasangan umpak selesai, kemudian dilanjutkan dengan pemasangan saka. Setiap saka harus berjarak sama agar supaya bangunan tersebut tidak miring. Saka guru harus lebih besar dari saka penanggap dan saka peningrat (dalam Prijotomo disebut dengan saka èmpèr yang selanjutnya istilah tersebut akan dipergunakan dalam analisis). Selain itu saka

42 Periksa Prijotomo, (Re) Konstruksi Arsitektur ..., 2006, 111.

45 guru akan menyangga atap brunjung43. Selanjutnya menurut Ismunandar, saka (tiang) yang akan dibuat biasanya berbentuk bulat dan bujur sangkar (segi empat) serta dibuat dari bambu dan kayu tahun. Yang dimaksud dengen kayu tahun adalah kayu yang tidak pernah dimakan oleh rayap dan mempunyai warna-warna yang sangat indah, misal coklat muda atau coklat tua (kayu jati), hitam (glugu) dan kuning (kayu nangka).44 Saka juga dihias dengan bermacam-macam ragam hias yaitu semacam kaligrafi, mirong, saton, dan probo.

a b c

Gambar 6. Ragam hias (a) kaligrafi, (b) praba dan (c) mirong pada saka (Gambar: Dakung, 1998, 167-191).

Penerapan ragam hias ini dapat dilihat pada foto 3 di bawah ini:

43 Brunjung adalah atap rumah bentuk joglo yang paling atas (Periksa Hamzuri, Rumah Tradisional Jawa (Jakarta: Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tanpa tahun), 177.) 44 Periksa Ismunandar K, 2007, 46

46

Foto 3. Ragam hias kaligrafi, mirong, dan praba di Bangsal Witono, Kraton Yogyakarta. (Foto: Martino Dwi Nugroho, 2008)

Tentang griya tajug untuk hastana – istana, panjangnya saka diambil dari diagonal dalam yang terjadi di dalam sektor gajah (belahing pojokan salebeting gajah), diukur pada pojok –pojok yang luar, karena jerambahnya atau lantainya rata (jarambahipun waradin). Hal tersebut terdapat pada naskah Kawruh Kalang pada Bab III yang ditulis oleh R. Sasrawiryatma di Surakarta dilatinkan oleh KRT. Rintaiswara: Pangkat kaping tiga : Bab pandamelipun saka

Menggah griya taju ingkang kagem ing astana panjanging sakanipun amendhet ukur belahing pojokan salebeting gajah, katerusaken pojok sami angsal manisipun ing jawi amargi astana makaten jarambahipun waradin.

(Bab III) (Tentang Pembuatan Saka)

47 (Mengenai griya taju yang di bangun untuk istana, ukuran panjang dari saka supaya mengambil jauhnya sudut sampai sudut (diagonal) dari gajah, ukuran dijatuhkan pada tepi luar sebab lantainya rata.)

Bab ini memang hanya ini menyampaikan ukuran saka dari griya taju yang berkaitan dengan ada atau tidaknya pembedaan tinggi lantai. Menurut Prijotomo, untuk griya-griya yang lain (griya jugloro, griya limasan, dan sebagainya) berlaku asas mengukur yang sama yakni digunakan panjang dari diagonal pamidhangan (pamidhangan = rangkaian balandar dan pangeret di dhapur (tipe pokok) juglo). Panjang saka (guru) = panjang dari diagonal pamidhangan (Balandar-Pengeret)45

Gambar 7. Rumus Penentuan Tinggi Saka guru (Gambar: Martino Dwi Nugroho, 2009)

Untuk dhapur (tipe pokok) taju = panjang balandar = panjang balandar hingga diagonal pamidhangan.46

45 Periksa Prijotomo, (Re) Konstruksi Arsitektur ..., 2006, 128. 46 Prijotomo, (Re) Konstruksi Arsitektur ..., 2006, 127-128.

48

Gambar 8. Saka (tiang) (Frick, 1997, 116).

Naskah Kawruh Kalang pada bab tiga ini hanya mengatur ukuran dari tinggi saka guru saja. Sedangkan saka penanggap dan saka èmpèr tidak diatur lebih lanjut. Selain itu, naskah ini juga tidak mengatur tentang ukuran keliling saka guru. Untuk mengetahui perbandingan atau proporsi saka guru dengan saka penanggap dan saka èmpèr, lihat gambar di bawah ini.

Gambar 9. Tinggi saka guru, saka pananggap, dan saka èmpèr (Prijotomo, 2006, 417)

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa tinggi saka guru lebih tinggi dari saka penanggap (di tiap ruangan ketinggian saka guru berbeda-beda). Saka penanggap lebih tinggi dari saka èmpèr. Sektor guru adalah bagian pertama dan bagian inti dari konstruksi dalam pembuatan rumah Jawa. Saka guru adalah saka

49 di sektor atau bagian guru. Sehingga dapat dikatakan bahwa tinggi saka guru menjadi pedoman atau perbandingan untuk menentukan tinggi saka penanggap dan saka èmpèr. 47

B. Umpak Konstruksi rumah Jawa tradisional berdasarkan atas sistem yang dapat dibongkar-pasang (knock down). Konstruksi ini dapat dilihat dari fondasinya. Fondasi umpak yang tradisional ini terletak di atas permukaan tanah dan tidak boleh tertanam di dalam tanah seperti yang terdapat di bangunan vernakular Eropa. Umpak, terutama yang mengalasi saka guru, berasal dari batu alam dan biasanya bermotif ragam hias padma yang menambah keindahan. Menurut Ismunandar, umpak mempunyai bermacam-macam arti, ialah batu penyangga tiang, corak kain batik, kata-kata pujian dalam surat, hiasan karangan, dan irama gending yang terakhir. Tetapi yang dimaksudkan di sini adalah batu penyangga tiang (saka). Umpak dipasang pada seluruh bangunan rumah, entah itu berbentuk joglo, limasan dan lain-lainnya pada umumnya dibuat dari batu alam yang keras dan biasanya berwarna hitam. Pembuatan umpak pada umumnya dilakukan oleh para pembuat kijing (maésan).48 Menurut Prijotomo, ukuran tinggi umpak saka-guru adalah sama dengan besarnya ukuran keliling penampang (badan) saka guru. Bila untuk umpak saka – penanggap, tingginya adalah sebesar setengah dari badan saka- penanggap. Bila untuk saka-èmpèr, tingginya adalah sepantasnya saja, asalkan tidak menyamai atau bahkan melebihi tinggi dari umpak-umpak yang

47 Penelitian ini hanya membahas tentang tinggi saka saja, dikarenakan jika akan mengetahui tentang konstruksi secara lengkap tentang pembuatan saka harus membongkar bangunan. Hal tersebut jelas tidak mungkin untuk dilakukan. Secara lengkap pada Bab III tentang pembuatan saka juga mengatur pembuatan purus, tentang tatahan pada badan saka, dan pembuatan gulu maled (periksa Prijotomo, (Re) Konstruksi Arsitektur ..., 2006, 345-346) 48 Periksa Ismunandar , 2007, 36-39.

50 telah disebut tadi. Saka guru adalah saka/tiang yang berada di sektor guru, sedangkan saka-pananggap adalah saka/tiang yang berada di sektor penanggap. Umpak masing-masing saka itu ditentukan ketinggiannya dengan mendasarkan pada ukuran dari ukuran keliling penampang saka. Tinggi umpak saka-guru = keliling penampang (badan) saka guru. Tinggi umpak saka-penanggap = ½ keliling penampang saka penanggap.49

Saka guru

Gambar 10. Rumus tinggi umpak saka guru (Gambar: Martino Dwi Nugroho, 2009)

Hal tersebut terdapat pada naskah Kawruh Kalang pada Bab IV yang ditulis oleh R. Sasrawiryatma di Surakarta dan dilatinkan oleh K.R.T. Rintaiswara :

Pangkat kaping sekawan Bab pandameling umpak

Menggah inggiling umpak punika ingkang tumrap ing saka guru sami kaliyan agenging badanipun saka. Bilih kaanggé dedeging saka pananggal (penanggap), dedegipun amung sapalih agenging saka pananggal (pananggap). Bilih kanggé dedeging umpak saka èmpèr amung kapantesa kémawon saprayoginipun uger boten nyamèni kaliyan umpak sanès-sanèsipun wau. Déné bab wewangunan amung wewaton sakaparengipun ingkang badhé nganggé.

49 Periksa Prijotomo, (Re) Konstruksi Arsitektur ..., 2006, 128.

51 (Bab III) (Pembuatan Umpak) (Ukuran tingginya umpak (neut-pen) untuk saka guru sama dengan besarnya badan (ukuran keliling sisi penampang –pen.) saka guru tersebut. Umpak untuk saka-penanggap, tingginya hanya separo dari besar badan saka- penanggap, tetapi bila untuk umpak dari saka-emper, tingginya hanya sepantasnya asalnya tidak menyamai ukuran umpak yang terdahulu itu. Mengenai bangun atau wujudnya, boleh sesukanya.)50

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa penentuan tinggi umpak berdasar ukuran keliling saka. Adapun keliling umpak tidak dijelaskan lebih lanjut. Dalam naskah Kawruh Kalang ini hanya diatur tinggi umpak saka guru dan tinggi umpak saka penanggap. Adapun tinggi umpak saka èmpèr tidak diatur lebih lanjut. Ukuran umpak untuk dalem lebih besar dan lebih tinggi dibanding dengan pendapa. Hal tersebut disesuaikan dengan keluasan ruang, yaitu pendapa dan dalem. Tentang keluasan ruang, di dalam naskah Kawruh Kalang menyebutkan bahwa pendapa (griya ngajeng) lebih kecil dibanding dengan dalem (griya wingking), seperti yang terdapat di Bab IV yang ditulis oleh R. Sasrawiryatma di Surakarta dan dilatinkan oleh K.R.T. Rintaiswara: Griya wingking punika pandamelipun ageng utawi panjang. Kadamela ageng panjangipun angungkuli saking griya ngajeng. Sanadyan inggiling siti bebatur ing griya pisan, inggih kadamela inggil griya wingking. Pamanggihipun para leluhuring kina anggènipun kadamel béda ageng lan panjangipun makaten wau tumrapipun ingkang nganggèni ing bab kaluhuring pangkat sarta kalangkunganing rejekinipun sageda ageng inggil ing wingking utawi saya panjanga ing wingking, dados tegesipun sageda anglangkungi bapa tuwin kaki ing ngajeng.

50 Periksa Prijotomo, (Re) Konstruksi Arsitektur ..., 2006, 347

52 (Griya wingking (bangunan atau rumah belakang) itu dalam hal besar dan panjang, dibuat melebihi ukuran dari griya ngajeng (=pandhapa- pen.); demikian pula dengan ketinggian siti bebaturan (lantai-pen.), juga dibuat lebih tinggi dari pada griya ngajeng. Pendapat dari para leluhur jaman dulu adalah dengan maksud dan harapan, semoga pada akhirnya penghuninya mendapat keluhuran pangkat dan derajat, bahagia dan penuh rejeki, atau dengan kata lain supaya enak dan berbahagia dibelakang meskipun berjerih payah di muka.)51

Meski dalan naskah kawruh kalang tidak disebutkan tentang kesakralan pada ruang dalem, perbedaan dimensi pada umpak ini mengindikasikan bahwa terdapat nilai kesakralan pada ruang dalem dibanding dengan pendapa. Selain itu, terdapat aturan bahwa umpak yang dicat dan diprada serta berukir hanya boleh digunakan oleh kraton, sedangkan masyarakat umum hanya boleh menggunakan umpak yang berwujud polos. Seperti yang terdapat Bab IV : Wondéné umpak punika ingkang sampun kaagem ing karaton boten angemungaken mawi cèt utawi prada kémawon, nanging sami dipun elis utawi sami kaukir. Mila umpak ingkang wujud makaten wau lajeng dados awisan. Ingkang kénging amung ing karaton. Tumrapipun ing ngakathah amung kénging nganggé ingkang wujud lus-lusan utawi lugas (bares salumrahing umpak ) tanpa cèt sasampunipun.

(Umpak yang digunakan di istana tidak hanya dicat dan di-prada tetapi juga diukir. Oleh karena itu, wujud ini menjadi pantangan, yang dibolehkan hanyalah keraton. Untuk masyarakat umum, yang di buat adalah umpak yang lus-lusan (polos-pen.) saja wujudnya, tanpa dicat.)52

51 Periksa Prijotomo, (Re) Konstruksi Arsitektur ..., 2006, 347 52 Periksa Prijotomo, (Re) Konstruksi Arsitektur ..., 2006, 347

53 Bab III yang membahas pembuatan umpak, juga mengulas tentang griya yaitu sama dengan kata giri raya atau gunung yang besar. Tampaknya pembuatan umpak yang terdapat pada naskah Kawruh Kalang berbentuk seperti gunung. Dalam penentuan dimensi, sistem ukuran (petungan) menggunakan proporsi ukuran tubuh manusia. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 11 berikut ini.

Gambar 11. Satuan pètungan dalam Kawruh Kalang (Periksa Prijotomo, Pètungan, Sistem…, 1995, 38)

Frick memperjelas sistem proporsi dalam pembuatan rumah Jawa (lihat tabel 4 di bawah ini) TABEL IV. Satuan Pétungan Dengan Proporsi Anatomi Tubuh Manusia Gambar Keterangan

Depo: panjang dua tangan yang direntangkan (± 1.70 cm)

Kilan: jarak antara ujung jempol dan ujung jari

54 kelingking. 2 kilan = 1 hasta (16-20 cm)

Hasta: jarak antara ujung jari tangan dan ujung siku (4 hasta = 1 depo).

Tapak /pecak: panjang telapak kaki dari tumit sampai ujung jari kaki. 1 tapak = 10 jempol (22-28 cm).

Kaki: panjang antara tepi luar dari 2 kepalan tangan kanan dan kiri dengan ibu jari yang direntangkan dan dipertautkan ujungnya. 1 kaki = 12 jempol = 31,4cm

Nyari/jempol = lebar jempol tangan. 1 jempol = 2.6 cm

Sakpengawe/awean : tinggi badan antara telapak kaki dan tangan menyudut yang direntangkan. 1 awean mungkin dapat disamakan dengan 12 cengkang = 162-198 cm.

Dedeg : satuan tinggi badan manusia.

55 Cengkang : jarak antara ujung ibu jari dan ujung telunjuk apabila jari-jari tersebut direntangkan (13,5 – 16,5 cm)

Tebah : satuan ukuran ini adalah selebar telapak tangan (± 9 cm).

(Periksa: Frick, 1997, 76-78)

56 BAB V MAKNA RUANG BAGI ORANG JAWA

A. Pendahuluan Membicarakan ruang tidak bisa terlepas dari segi arsitekturalnya dalam hal ini rumah atau orang Jawa menyebutnya omah/papan. Aktifitas-aktifitas dalam rumah terjadi di dalam ruang. Rumah sudah tidak mungkin terpisah dari kehidupan manusia pada masa kini di bumi ini. Rumah sudah merupakan kebutuhan pokok bagi manusia ( sandang, pangan lan papan ). Rumah dalam hal ini adalah perpanjangan dari berhuni dan budaya berhuni ini membuat manusia mengenal dirinya sebagai insan manusia. Rumah/omah dalam kaitan ini merupakan suatu konsep berhuni orang Jawa dalam mengaktualisasikan diri, baik pribadi maupun sosial yang meliputi serangkaian kegiatan rutin maupun ritualnya. Dalam dunia orang Jawa, keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi penghuninya selalu berlangsung dalam ruang, waktu, makna dan pesan dan dalam pemikiran orang Jawa tatanan spasial (spatial order) lebih diutamakan dari pada tatanan waktu (temporal order)53. Hal itu menunjukan bahwa ruang bagi orang Jawa mempunyai arti yang sangat penting. Memahami rumah/omah sama dengan memahami kehidupan suatu kelompok kebudayaan. Suatu kebudayaan sering memancarkan suatu watak khas tertentu yang tampak dari luar. Watak khas ini dalam ilmu antropologi disebut etos atau watak khas yang sering tampak pada gaya tingkah laku, kegemaran-kegemaran dan berbagai hasil karya manusia54. Dalam hal ini kebudayaan Jawa memancarkan keselarasan, kesuraman, ketenangan berlebih-lebihan yang sering mengesankan kelambanan, kegemaran akan tingkah laku yang njlimet dan kegemaran akan karya atau gagasan yang rumit. Selain itu etos kebudayan Jawa adalah sopan santun

53 Revianto Budi S., Omah, Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya, 2000, hlm. 8. 54 Posman Simanjuntak, Berkenalan Dengan Antropologi, Jakarta, Erlangga, 1997, hlm. 20.

57 dan gaya tingkah laku yang menganggap pantang berbicara dan tertawa keras gerak-gerik yang ribut dan agresif. Berhuni adalah suatu kebudayaan yang terpentas melalui ruang. Arsitektur sebagai ruang tempat hidup manusia dapat diterapkan seperti konsep mikrokosmos sebagai gambaran makrokosmos yang tidak terhingga55. Orang Jawa menganggap bahwa rumah sebagai tempat tinggal diungkapkan sama dengan pribadi yang memiliknya. Sistem mendirikan rumah tidak begitu saja terjadi tanpa menghiraukan nilai-nilai psikologis dan spiritual. Oleh karena itu ruang-ruang pada rumah Jawa mempunyai makna yang sifatnya spiritual, magis tapi masuk akal (logis). Ruang-ruang itu mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi yang pada dasarnya hal itu berhubungan dengan keseimbangan alam (nyata dan ghaib). Selain itu tulisan-tulisan tentang rumah Jawa dirasa masih sangat kurang. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat memancing para peneliti untuk meneliti lebih dalam tentang rumah Jawa ini yang ternyata mempunyai nilai filosofis yang tinggi dan masih banyak untuk dapat di gali lagi sehingga hasil dari kebudayaan Jawa ini dapat dilestarikan..

B. Organisasi ruang Sebelum membahas tentang organisasi ruang lebih lanjut perlu kiranya mengetahui tentang orientasi bangunan tradisional Jawa. Rumah tradisional di Jawa pada umumnya merupakan ungkapan dari hakikat penghayatan terhadap kehidupan. Orientasi terhadap sumbu kosmis dari arah utara selatan tempat tinggal Ratu Kidul, Dewi Laut Selatan dan Dewi pelindung Kerajaan Mataram. Orientasi terhadap sumbu kosmis dari arah barat timur untuk rakyat biasa adalah tidak mungkin karena arah timur dipergunakan sebagai unsur dari bagian keraton. Arah timur juga

55 Heinz Frick, Pola Struktural danTeknik Bangunan di Indonesia, Yogyakarta, Kanisius, 1997, hlm 83.

58 merupakan tempat tinggal Dewa Yamadipati yang dalam cerita pewayangan mempunyai tugas mencabut nyawa orang56. Pada arsitektur atau rumah Jawa terdapat beberapa jenis rumah. Dalam hal ini hanya akan dibahas tiga jenis rumah yang sebagian besar terdapat pada masyarakat Jawa, yaitu rumah kampung, rumah limasan dan rumah joglo. Bentuk rumah kampung ini susunan ruangannya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ruang depan yang fungsinya untuk menerima tamu, ruang tengah dan ruang belakang yang dibagi menjadi tiga kamar (senthong) yaitu senthong kiwa, senthong tengah, senthong tengen57. Bentuk rumah limasan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan rumah bentuk kampung. Susunan ruangan dibagi menjadi tiga ruangan yaitu ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang.Tetapi ruang tengah lebih luas dari pada ruang depan dan ruang belakang. Pada ruang belakang dibagi menjadi 3 senthong yaitu senthong kiwa, senthong tengah dan senthong tengen. Penambahan senthong atau kamar biasanya ditempatkan di sebelah kiri senthong kiwa dan di sebelah kanan senthong tengen58.

56 Lihat Heinz Frick, 1997, hlm. 84. 57 Sugiyarto Dakung, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1981/1982, hlm. 54. 58 Lihat Sugiyarto Dakung, 1981/1982, hlm. 55

59

Bentuk rumah limasan

Bentuk rumah joglo mempunyai susunan ruang yang lebih jelas dibandingkan susunan ruangan rumah bentuk kampung dan limasan. Oleh karena itu bentuk rumah joglo dikatakan sebagai tipe ideal dari pada rumah tradisional Jawa. Susunan ruangan pada rumah bentuk joglo yang banyak dimiliki oleh masyarakat biasa dibagi juga menjadi tiga bagian, yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendapa, ruang tengah atau ruang untuk pentas wayang ( ringgit ) yang disebut pringgittan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruangan itu terdapat 3 buah senthong (kamar) yaitu senthong kiwa, senthong tengah (petanen) dan senthong kanan. Rumah bentuk joglo yang dimilki golongan bangsawan (ningrat) biasanya bangunannya lebih lengkap. Disebelah kiri kanan dalem ada bangunan kecil memanjang yang disebut gandhok yang memiliki kamar-kamar59. Gandhok kiwa (wetan

59 Lihat Sugiyarto Dakung, 1981/1982, hlm. 55.

60 omah) untuk tidur kaum laki-laki dan gandhok tengen (kulon omah) untuk kaum perempuan. Dan yang paling belakang adalah dapur (pawon)60.

bentuk rumah Joglo

Tiap-tiap ruangan tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Pada bentuk rumah kampung dan limasan ruangan itu sudah dibagi-bagi menjadi kamar-kamar yang fungsional. Disamping adanya ruangan teras, yang terletak di depan. Biasanya teras ini untuk menerima tamu lelaki, sedang untuk tamu perempuan ada di ruangan dalam. Susunan ruang dalam yang ada dibagi menjadi beberapa kamar, yaitu kamar kiri (senthong kiwa), kamar tengah (senthong tengah) dan kamar kanan (senthong tengen). Untuk golongan petani senthong kiwa berfungsi untuk menyimpan senjata atau barang-barang keramat, senthong tengah untuk menyimpan benih atau bibit akar-akaran dan gabah. Sedangkan senthong tengen untuk tempat tidur. Kadang-kadang senthong tengah dipakai pula untuk

60 Lihat Heinz Frick, 1997, hlm. 86.

61 mengheningkan cipta dan berdoa kepada Tuhan, juga sebagai tempat pemujaan kepada Dewi Sri atau Dewi Kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga. Oleh karena itu senthong tengah disebut juga pasren atau petanen. Senthong tengah tersebut diberi batas dengan kain yang disebut langse atau dari gedheg berhias anyaman yang disebut patang-aring. Pada bentuk rumah joglo milik bangsawan di Jawa senthong tengah ini berisi bermacam-macam benda-benda lambang (perlengkapan) yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci). Macam-macam benda lambang ini berbeda dengan benda-benda lambang petani. Namun keduanya mempunyai arti lambang kesuburan, kebahagiaan rumah tangga itu. Personifikasinya adalah Dewi Sri61.

Bagian dalem pada rumah jawa

Sehingga dapat dikatakan bahwa jenis, fungsi atau organisasi ruang tersebut ternyata fleksibel, tergantung dari kebutuhan, tingkat sosial dan tingkat ekonominya pemilik rumah.

61 Lihat Sugiyarto Dakung, 1981/1982, hlm. 57.

62

63 C. Makna ruang Makna bersifat intersubjektif karena ditumbuhkembangkan secara individual, tapi makna-makna itu dihayati secara bersama dan diobjektivikasikan dalam masyarakat. Konfigurasi ruang dikonsepkan sebagai pengejawantahan dari kekuasaan yang mengaturnya, maka akan selalu ada kewenangan atas setiap ruang yang memiliki aturan. Ide tentang ruang menjadi identik dengan ide tentang teritori (kewilayahan) sebagai ruang yang terkontrol, sehingga secara konseptual setiap ruang ada pemiliknya sebagaimana bapak menguasai rumah dan raja memerintah negara. Teritori atau kewilayahan dalam hal ini adalah merupakan tempat yang nyata, relatif tetap dan tidak berpindah –pindah mengikuti gerakan individu yang bersangkutan. Teritori juga dapat dikatakan sebagai wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang62. Kepemilikan atau hak dalam kewilayahan atau teritori ditentukan oleh persepsi dari orang lain atau orang-orang yang bersangkutan sendiri. Secara mendalam ruang terbentuk dalam interaksi antara seseorang dengan permukaan bumi. Orang Jawa melakukan upacara-upacara yang memuliakan interaksi awal manusia dengan tanah. Untuk memapankan eksistensi di bumi, segera sesudah seorang bayi lahir, ari-ari sang bayi (yang merupakan bagian dari “empat saudara kandung” yang menjaga seorang individu, yakni : air ketuban, ari-ari, darah dan tali pusar) dikubur didekat rumah menyusun “kakaknya” sang air ketuban yang telah tumpah lebih dahulu. Sebuah periuk tanah yang dilubangi alasnya diletakkan terbalik diatas kubur tersebut untuk melingkupinya sepenuhnya dengan tanah. Menata ruang tidak hanya menyelaraskan dengan semesta tetapi dengannya kesejahteraan wilayah dapat dicapai.dengan kesadaran akan tatanan yang dominan, tradisi Jawa menganggap bahwa huru hara dan

62 Oman Sukmana, Dasar-Dasar Psikologi Lingkungan, Malang, Bayu Media dan UMM Press, 2003, hlm. 161.

64 musibah diakibatkan oleh kondisi lupa akan tatanan atau “lali”. Dengan melupakan tatanan, seseorang tidak sadar terhadap keteraturan sosial dan fisikal disekelilingnya khususnya posisi relatifnya dalam keluarga dan masyarakat sehingga dia cenderung untuk melanggar aturan moral. Dalam kebiasaan orang Jawa, seseorang akan membasuh kakinya ketika masuk rumah untuk melepaskan emosi dan kesialan yang mungkin menempel pada tubuhnya di jalanan. Di luar rumah adalah dunia yang berbahaya karena kacau balau dan penuh huru hara. Di rumahlah orang menemukan ketentraman terlindung dari galau dunia luar. Mencuci kaki akan melunturkan sarap sawan, hal buruk yang harus dilepaskan ketika masuk rumah. Sarap sawan juga berati halangan yang lekat pada orang yang penuh kesialan, sebagai ungkapan sarap sawane wong sukerta, yang baru bisa dilepaskan dari orang tersebut dengan upacara ruwatan. Dalam kesejajaran ini, rumah dapat dianggap sebagai struktur untuk meruwat yang akan melindungi penghunuinya dari ancaman kekacauan dan kesialan. Ruang, suatu unsur kunci arsitektur dialami orang Jawa melalui arah (orientasi) dan suasana. Tempat bagi orang Jawa lebih kongkrit karena tindakan yang tepat selalu didasari atas posisi seseorang dalam dunia. Tempat adalah unsur kunci dalam pandangan dunia orang Jawa. Tempat dinilai sebagai lokasi dan dibatasi oleh arah-arah, yang maknanya terungkap sepenuhnya dalam pelaksanaan ritual. Pemahaman penghuni terhadap makna yang terbentuk di dalam rumahnya akan terwujud sebagai susunan ruang dan tercermin dalam perilaku keseharian dengan mengekspresikan pemahamannya terhadap rumah melalui penyusunan obyek maupun penempatan tubuh dalam ruang. Dalam hubungan antara susunan ruang dan tindakan ragawi, terdapat dua cara utama untuk menyatakan suatu setting ruang secar positif dengan mengartikulasikan pusatnya dan secara negatif dengan mendefinisikan batasnya. Berkait dengan tindakan ragawi dalam ruang, suatu pusat cenderung akan menjadi orientasi bagi pengguna, sementara suatu

65 pembatas akan mengisyaratkan partisipannya: siapa saja yang boleh dan siapa saja yang tidak boleh memasuki ruang tersebut. Batas bagi suatu ruang dapat berupa elemen fisik dan dapat berupa non fisik. Elemen fisik dapat berupa peninggian lantai, jajaran kolom, teritis ataupun perbedaan derajat terang yang kontras. Sementara itu pembatas ruang non fisik dapat mengambil bentuknya dalam suatu regulasi atau aturan, baik yang mempersilahkan atau yang melarang orang untuk memasuki ruang tertentu63. Dalam banyak hal, mekanisme kontrol berupa “aturan masuk” ke dalam ruang ini berlaku secara berbeda terhadap orang yang berbeda.Seperti diketahui bahwa setiap orang mempunyai jarak pribadi (personal space) dan privasi yang berbeda-beda. Secara umum jarak pribadi mempunyai dua fungsi yaitu fungsi perlindungan (protective function) untuk mencegah dari potensi ancaman fisik dan psikologis, privasi yang tidak cukup. Selanjutnya fungsi yang kedua adalah fungsi komunikasi yang akan menjadi sangat penting dalam interaksi manusia64. Pusat adalah posisi yang relatif. Suatu objek akan menjadi pusat jika melalui tindakan penghuninya, ia dianggap sebagai hal yang penting, lebih dari sekedar berada di tengah-tengah ruang atau memiliki bentuk yang secara mencolok berbeda. Sosok pusat akan menjadi orientasi, baik bagi tubuh atau bagi objek-objek lain. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa rumah Jawa pada umumnya dibagi menjadi tiga ruang ( depan, tengah dan belakang). Dalam bab ini, ruang depan dan rumah tengah akan digabung karena mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai ruang publik. Sehingga dalam pembahasan ini hanya terdapat dua atau sepasang ruang yaitu ruang depan/luar dan ruang belakang/dalam. Pasangan ini mewujudkan gagasan utama yang melandasi pembentukan setting domestik: sebagai tempat bermukim dan tempat untuk membangun hubungan.

63 Lihat Revianto Budi Santosa, 2000, hlm. 42. 64 Lihat Oman Sukmana, 2003, hlm. 149.

66 Bagian depan sebuah rumah merupakan wilayah yang berorientasi keluar tempat prestise domestik dan keteraturan sosial ditampilkan dalam bentuk perbedaan-perbedaan status dan formalitas65. Dalam hubungan sosial, status terjelas diekspresikan dalam penggunaan bahasa Jawa yang memiliki banyak tingkatan. Dengan memainkan dan mencoba beberapa tingkatan bahasa dalam ujaran, seorang pembicara secara sadar menilai status lawan bicaranya dan menilai status relatifnya sendiri dengan tujuan menegosiasikan pola hubungan. Seperti bahasa, setting spasial disusun untuk membentuk kecenderungan beberapa hubungan tertentu. Krama atau bahasa Jawa tinggi yang formal guna menegaskan jarak dan penghormatan diekspresikan dengan baik dalam setting rumah depan, dimana seseorang muncul untuk menemui orang lain. Menemui orang lain sering diasosiasikan dengan laki-laki, karena laki-laki dianggap (atau menganggap dirinya) sebagai pewakilan dari rumah yang harus berhadapan dengan dunia luar. Sebagai figur teladan dalam rumah tangga, dia wajib memelihara prestisenya. Dia harus memperhalus kemampuan berbahasa dan tingkah laku karena masyarakat mengawasinya. Sehingga jarak pribadi yang terjadi pada ruang bagian depan termasuk dalam kategori jarak pribadi dan jarak sosial. Menurut teori jarak pribadi berkisar antara 0-1,5 kaki dan biasanya merupakan kontak antara teman, tetangga, kenalan dan sebagainya dengan media komunikasinya berupa kata-kata. Sedang jarak sosial berkisar antara 4-1 kaki dan biasanya merupakan kontak bisnis dan kontak dengan orang tertentu66. Kekuasaan, sesuatu yang secara sosial berkesesuaian dengan status, tidak selayaknya dipamerkan secara mencolok pada bagian paling depan kepada masyarakat luas. Derajat kesederhanaan tertentu pada bagian luar harus diekspresikan; begitu pula kekuasaan harus mendominasi sekelilingnya dengan cara yang tidak kentara. Ruang depan mengemban tugas mengindikasikan status sosial dari sang pemilik. Ia biasanya merupakan

65 Lihat Revianto Budi Santosa, 2000, hlm. 211. 66 Lihat Oman Sukmana, 2003, hlm. 150.

67 bagian dari rumah yang secara sosial paling rapi dan paling prestisius, guna menaikkan status pemiliknya dihadapan tetamu. Namun demikian, fasad atau sisi paling depan dari tempat ini biasanya tampil sederhana. Karena ruang ini berfungsi sosial, maka ruang ini mempunyai sifat terbuka. Sebagai pengimbang terhadap keterbukaannya, ruang depan harus meneguhkan pusatnya agar orientasi ruang masih dapat dikenali. Pusat yang mengikat diekspresikan pada sosok dan tindakan. Kolom-kolom yang tinggi dengan mahkota tumpang sari di tengah pendhapa atau jogan adalah sosok vertikal yang mendefinisikan pusat ruangan. Tindakan mendefinisikan pusat ini dapat juga berarti mengekspresikan kewenangan tuan rumah sebagai pumpunan kekuatan di ranah yang dikuasainya. Sedangkan rumah dalam merupakan wilayah yang berorientasi ke dalam, tempat kita bertemu diantara diri kita sendiri dalam lingkungan terdekat kita. Sebagai setting tempat seseorang bermukim dan menjadi bagiannya, bagian belakang rumah dikonstruksikan sebagai ranah yang terjaga. Bagian ini terlingkup dengan baik dengan memaksimumkan pembatasnya. Diantara berbagai cara untuk mengartikulasikan sosok ruang belakang ini untuk mencapai karakternya sebagai bagian yang terjaga adalah meninggikan, menebalkan dan menyusun berlapis-lapis dinding pelingkup, serta mereduksi bukaan sehingga mengurangi penembusan sinar matahari. Secara fungsional, keterjagaan ini berarti membatasi akses. Sifat dasar bagian ini lebih berkarakter protektif daripada privat semata. Sehingga ruang ini mempunyai fungsi teritori yang lebih tinggi daripada ruang depan. Orang-orang yang telah diakrabi yang kepadanya penghuni percaya ataupun orang-orang dengan status yang lebih rendah yang berada dibawah kekuasaan tuan rumah adalah diantara kelompok orang yang diperkenankan memasuki lingkup ini. Sehingga dapat dikatakan jarak yang terjadi dalam ruang ini adalah jarak intim dan jarak pribadi.

68

Pendhapa yang bersifat terbuka

Bagian dalam dari rumah, yang diasosiasikan dengan perempuan, merupakan tempat kaum perempuan secara rutin melakukan tugas-tugas domestik mereka67. Berkenaan dengan kekeramatan, ditempat ini mereka melakukan ritual-ritual domestik. Khususnya yang berkaitan dengan penyimpanan beras nasi dan pemeliharaan pusaka. Dalam ritus itu, perempuan mengemban kapasitas untuk menjaga kesejahteraan keluarga dan akumulasi kekuatan dalam rumah. Sebagai tempat yang berorientasi ke dalam, rumah dalam juga bebas dari pengawasan publik tanpa adanya kesempatan untuk menunjukan status, sebuah penampilan yang mengesankan dan susunan yang rapi menjadi kurang penting dalam wilayah ini. Senthong yang berada pada ruang dalam dianggap sebagai ruang suci.

67 Lihat Revianto Budi Santosa, 2000, hlm. 215.

69

Ruang dalem yang sakral dengan cahaya yang minimal

Gadri atau ruang makan merupakan ranah privat dan miliknya perempuan

70

Sifat ruang pada rumah Jawa

Berdasarkan kedudukan pemilik dalam tata jenjang dan kekayaanya, komplek perumahannya dianjurkan untuk disesuaikan menjadi lebih besar atau lebih kecil. Bentuk yang terkecil merupakan reduksi atas rumah induk dalem agung. Dalam pengertian komplek perumahan tradisional berperan pola antropomorf sebagai ekspresi berhubungan dengan seni bangunan yang dirangkaikan pada sumbu utara selatan. Antropomorf berarti berbentuk mirip dalam wujud manusia. Menurut pola antropomorf, bagian pendopo dan pringgitan (ruang luar ) sepadan dengan kepala, ruang dalam dan gandhok sepadan dengan badan dengan pengertian gandhok sebagai lengan. Dapur sepadan dengan kaki68.

68 Lihat Heinz Frick, 1997, hlm. 88.

71 Kegunaan ruang dalam rumah tradisional Jawa

Kegunaan ruang dalam rumah tradisional jawa merupakan suatu tata ruang yang didasarkan pada kegiatan yang secar terus menerus berlangsung dan berulang–ulang, yang dilakukan setiap rumah tangga, baik berperan sebagai pribadi–pribadi, kelompok keluarga, maupun sebagai manusia yang melakukan kegiatan kemasyarakatan di dalam salah satu atau beberapa ruang.

Jenis ruang Kebutuhan kepentingan Regol Pernikahan Upacara adat Kematian Upacara adat Pringgitan Kelahiran Adat persiapan Adat selamatan Pendewasaan Adat selamatan Pernikahan Adat persiapan Upacara adat Adat selamatan Adat pasca nikah Pendopo Pendewasaan Upacara adat wanita Upacara adat lelaki Adat selamatan Pernikahan Upacara adat Adat selamatan Kematian Upacara keagamaan Upacara adat Adat selamatan Dalem Kelahiran Adat persiapan Adat selamatan Pendewasaan Upacara adat wanita Upacara adat lelaki Adat selamatan Pernikahan Adat persiapan Upacara adat Adat selamatan Adat pasca nikah Kerumah tanggaan Upacara adat Adat selamatan Upacara keagamaan Kematian Penyemayaman jenazah Upacara keagamaan Upacara adat Adat selamatan Senthong tengah Pernikahan Adat persiapan Upacara adat Kerumah tanggaan Upacara adat Upacara keagamaan Senthong kiwo Kelahiran Adat persiapan

72 Proses kelahiran Pernikahan Adat persiapan Upacara adat Kerumah tanggaan Pembinaan / pendidikan Senthong tengen Kerumah tanggaan Pembinaan/ pendidikan Pawon Kerumah tanggaan Proses kerja Gandhok wetan Pendewasaan Upacara adat wanita Pernikahan Adat persiapan Adat pasca nikah Kerumah tanggaan Upacara adat Pembinaan / pendidikan Pross kerja Kemasyarakatan Gandhok kulon Pedewasaan Upacara adat lelaki Pernikahan Adat persiapan Adat pasca nikah Kerumah tanggaan Upacara adat Pembinaan / pendidikan Proses kerja Kemasyarakatan Gandhok buri Pernikahan Adat persiapan Kerumah tanggaan Pembinaan / pendidikan Proses kerja

Tabel 1 : kegunaan ruang pada rumah tinggal tradisional jawa. Sumber : Arya Ronald, 1999

D. Gender Dalam Rumah Jawa Gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain dan dapat berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain69. Bias gender tak pelak lagi membayangi pembahasan rumah ketika lelaki dan perempuan berbagi peran di ruang tersebut. Namun demikian, stereotip perempuan dikurung di rumah sementara lelaki menikmati prestise masyarakat tampaknya tak dapat diterima tanpa dikritisi dengan wacana tanding yang dapat dibangun berdasar gejala yang dijumpai di ruang-ruang domestik Jawa.

69 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 8.

73 Bagi orang Jawa, kategorisasi gender tampaknya bukan urusan ya dan tidak secara mutlak. Menjadi laki-laki sejati tidak harus berarti bahwa dia harus menjauhkan dirinya dari sifat keperempuanan. Memiliki kapasitas- kapasitas perempuan dengan tetap mempertahankan karakteristik laki-laki (atau sebaliknya) adalah suatu tanda kekuatan. Citra orang Jawa mengenai “super hero” sering lebih bersifat keperempuan-perempuanan ketimbang macho. Seorang satria sejati dianugrahi kapasitas untuk bisa mencala putra mencala putri, bisa menjadi laki-laki sekaligus perempuan. Dalam tokoh pewayangan sosok seperti itu digambarkan sebagai Arjuna atau Janaka. Sementara lelaki menyandang kapasitasnya keluar untuk mewakili keluarga, dalam ranah domestik perempuan diidentifikasikan ke dalam dengan keluarga atau dengan rumah itu sendiri. Dalam menjaga kapasitasnya, perempuan memegang kendali terhadap sumber-sumber domestik sebagaimana dia juga mengelola pengeluaran keluarga. Sebagai pengendali, perempuan bukan hanya memelihara pusat-pusat kekuasaan domestik yang tersembunyi, tapi juga yang paling berhak atas ruang tersebut. Namun demikian, lelaki pada kesempatan-kesempatan publik biasanya tetaplah sosok yang paling tampil sebagai representasi sang rumah dan isinya. Selain itu bias gender pada rumah Jawa juga dapat dilihat melalui sudut pandang agama dalam hal ini Islam. Kenapa Islam? Seperti diketahui bahwa agama Islam mempunyai pengaruh yang besar pada kebudayaan Jawa sebagaimana agama Hindu temasuk didalamnya arsitektur yaitu masjid. Dalam masjid terdapat pembagian zona antara laki-laki dan perempuan. Zona laki-laki di depan dan zona perempuan di belakang. Patokan-patokan yang ada di masjid dapat juga dilihat pada rumah Jawa yang membagi rumahnya menjadi dua bagian yaitu ruang depan untuk laki-laki dan ruang belakang untuk perempuan.

74 BAB VI RAGAM HIAS DAN KONSTRUKSI RUMAH JAWA

A. Ornamen atau Ragam Hias

Menurut Dalijho (1983 : 25), kata ornamen berasal dari bahasa latin orname yang antara lain berarti ’ menghias ’ dan ornementum yang berarti ’perhiasan, hiasan, kelengkapan, hiasan, keindahan’. Dijelaskan oleh Guntur, (2004 : 2) menyebutkan bahwa ornamen adalah suatu elemen tambahan pada bentuk struktural. Bentuk elemen tersebut terdapat pada bangunan, furnitur, senjata, instrumen dan lain – lain dalam bentuk tiga dimensi. Ornament atau ragam hias merupakan suatu elemen dekoratif yang digunakan untuk menyemarakkan wujud permukaan yang merupakan aksentuasi estetis, baik pengolahan bentuk – bentuk alami seperti binatang, tumbuhan dan sebagainya tanpa bermaksud menyembunyikan benda yang dikenai ragam hias tersebut. Atau dapat juga dikatakan bahwa ragam hias merupakan salah satu corak seni rupa yang sengaja diterapkan pada suatu benda atau ruang agar mempunyai keindahan.

Ornamen pada bangunan tradisional Yogyakarta pada dasarnya terdiri dari dua yaitu konstruksional dan tidak konstruksional. Ornamen konstruksional yaitu ornamen yang menyatu dengan bangunan sedangkan yang tidak konstruksional adalah ornamen yang terlepas dari konstruksi bangunan. Menurut Dakung (1987 : 132-190), ornamen pada bangunan tradisional Yogykarta terbagi dalam beberapa kelompok, antara lain :

1. Flora a. Lunglungan Kata lunglungan berasal darikata dasar lung yang berarti batang tumbuh – tumbuhan melata yagn masih muda, jadi yang berbentuk melengkung. Umumnya lunglungan ini tidak diberi warna. Ada yagn diberi warna khususnya pada rumah –rumah para bangsawan, diberi warna secara sunggingan. Dapat ditempatkan pada balok kerangka rumah, pemindangan, tebeng jendela, daun pintu, patang

75 aring dan lain sebagainya. Hiasan ini terutama berfungsi untuk memberikan keindahan pada suatu bangunan.

Gambar 4 : Lunglungan b. Saton Hiasan pahatan dengan garis kotak – kotak. Pada tiap kotak berisikan hiasan bungan, baik bungan tunggal maupun bungga ganda. Dapat dijumpai pada tiang bangunan rumah pada bagian atas dan bawah, pada balok – balok blandar, sunduk, pengeret tumpang, ander, sebagai pengisi bidang ( tebeng pintu ) yang selalu ditempatkan pad ujung dan pangkal. Hiasan saton selain untuk memberi keindahan juga memberi kelengkapan pad aragam hias tumpal tlacapan, yang berfungsi sebagai landasan atau dasar.

Gambar 5 : Saton c. Wajikan Kata wajikan berasal dari kata wajik. Disebut wajikan karena bentuknya seperti irisan wajik berbentuk belah ketupat sama sisi. Ragam hias ini ada yang memiliki garis tepi ada yang tidak. Ragam hias ini ditempatkan pada tengah – tengah tiang banguna tetapi tidak konstruksional. Ragam hias ini selain untuk menambah keindahan, juga mengurangi kesan tinggi pada tiang bangunan.

Gambar 6: Wajikan

76 d. Nanasan Nanasan berasal dari kata nanas, yaitu nama buah dari pohon nanas. Ragam hias ini ditempatkan pada kunci blandar tumpang pada bangunan bentuk joglo di setiap sudut luarnya, ditengah – tengah dhadhapeksi,diujung saka benthung. Berfungsi untuk menambah keindahan pada suatu bangunan. Nanas tersebut melambangkan : ’untuk mendapatkan yang lezat, orang harus mengatasi yang penuh duri.

Gambar 7 : Nanasan e. Tlacapan Kata tlacapan berasal dari kata dasar tlacap, yaitu ragam hias yang berupa deretan segi tiga sama kaki, dan sama besar. Dapat diisi dengan hiasan lunglungan, daun atau bunga secara stilisasi. Biasanay ditempatkan pada pangkal dan ujung balok kerangka bangunan. Hiasan ini menggambarkan sinar matahari atau cahaya sorot yang mempunyai maksud kecerahan dan keagungan.

Gambar 8 : Tlacapan f. Kebenan Kata kebenan berasal dari kata keben yaitu berbentuk segi empat menonjol meruncing bagaikan mahkota. Pada rumah tradisional tidak diberi warna dan pada bangunan – bangunan para bangsawan ada yang bewarna polos seperti bangunannya. Ditempatkan pada kancing blandar tumpang ujung bawah atau ujung bawah saka benthung.

77

Gambar 9 : Kebenan g. Patran Ragam hias patran merupakan bentuk ragam hias tepian atau hiasan pada bidang datar kecil memanjang. Wujudnya berupa gambar dereten daun terbuka yang distilisasi. Ditempatkan pada balok – balok kerangka.

Gambar 10 : Patran h. Padma Bentuknya berasal dari singasana sang Budha yang berbentuk bunga teratai. Ditempatkan sebagai alas tiang.

Gambar 11 : Padma 2. Fauna a. Pekdi garudo Perwujudan ragam hias peksi garudha ini dapat berupa : gambar, pahatan relief, maupun pahatan plastis. Lukisannya ada yang bercorak naturalistis, distilisasikan dan ada simbolis saja. Ditempatkan pada bubungan, tebeng, papan datar di atas pintu, jendela, senthong tengah, patang aring, pintu-pintu gerbang dan lain-lain. Merupakan lambang pemberantas kejahatan.

78 Gambar 12 : Pekdi garudo

b. Ular naga Perwujudan ular naga ini umumnya digambarkan secara utuh dan lengkap. Pewarnaan ini dapat secara naturalistis, secara sunggingan, dapat pula polos. Hiasan ini banyak dijumpai pada bangunan pintu gerbang, bubungan rumah letaknya ada yang berhadapan, bertolak belakang, berjajar dan berbelitan.

Gambar 13 : Ular naga c. Jago Kata jago berarti ayam jantan. Tetapi pengertian jago, adalah merupakan lambang kejantanan, keberanian, kelaki-lakian, jadi merupakan gambaran orang yang menjadi andalan, baik dalam fisik maupun kekuatan batin.

Gambar 13 : Jago 3. Alam a. Gunungan Ragam hias gunungan sering disebut juga dengan kayon. Ragam hias ini ditempatkan pada bubungan rumah dibagian tengah-tengah tepat. Merupakan lambang alam semesta dengan puncaknya yang melambangkan keagungan dan keesaan.

79 Gambar 14 : Gunungan b. Probo Kata Praba berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sinar. Ragam hias ini selalu berwarna berupa kuning emas, hijau, biru, merah secara sunggingan. Ragam hias praba berbentuk relief atau berupa lukisan timbul yang ditempatkan pada tiang-tiang utama, baik pada bagian atas maupun pada bagian bawah.

Gambar 15 : Probo c. Kepetan Dalam ragam hias bangunan rumah tradisional di sini, kepetan adalah hiasan pada bangunan yang ujudnya mirip kipas. Sering dijumpai pada patang aring di bagian senthong. Letak hiasan ini selalu pada setiap sudut bidang-bidang daun pintu. Hiasan perwujudan matahari ini dimaksudkan agar penghuni rumah selalu mendapat penerangan, mendapat kehidupan yang layak dan memberi sinar terang kepada masyarakat.

Gambar 16 : Kepetan d. Mega mendung Mega mendhung merupakan motif tepi awan atau pinggir awan. Ragam hias ini ada yang diberi warna ada yaang polos seperti warna kayu. Penempatan ragam hias mega mendhung biasanya pada blandar-blandar tumpang sisi dalam, digunakan pada tepi tebeng pintu atau jendela, daun pintu, atau tebeng sekat (rana). Ragam hias ini bersifat gelap terang, berbentuk bolak-balik diartikan bahwa manusia selalu ingat bahwa dunia ini ada sifat baik dan buruk.

80

Gambar 17 : Mega mendung e. Banyu tetes Arti banyu tetes adalah air yang menetes. Ragam hias ini menggambarkan tetesan air hujan yang turun dari tepi genting. Bentuknya selalu berselingan dengan ragam hias patran. Ragam hias ini ada yang diberi warna ada yaang polos seperti warna kayu. Penempatannya selalu bersamaan dengan ragam hias patran pada bagian kerangka bangunan. Ragam hias ini merupakan lambang “tiada kehidupan tanpa air”.

Gambar 18 : Banyu tetes 4. Lain-lain a. Mustaka Kata mustaka berarti kepala. Dalam hal ini adalah kepala atau bangunan yang berbentuk tajug. Karena bangunan bentuk tajug itu lazimnya untuk bangunan masjid dan makam, maka hiasan mustaka umumnya hanya terdapat pada bangunan masjid dan makam

Gambar 19 : Mustaka b. Semacam Kaligrafi Ragam hias semacam kaligrafi pada dasarnya menggunakan huruf Arab, yang berfungsi sebagai hiasan. Ragam hias semacam kaligrafi itu ada yang ditempatkan pada kerangka bangunan rumah dhadhapeksi, patang aring,

81 tebeng pintu, tiang pagar tembok dan lain sebagainya. Perwujudannya dapat berupa :

Kaligrafi c. Mirong Mirong dalam ragam hias bangunan rumah tradisional ini adalah suatu bentuk pahatan yang menggambarkan ”putri mungkur” atau gambaran seorang putri terlihat dari belakang. Warna dasar tiang-tiangnya umumnya merah tua kecoklatan. Sedang warna tepi selalu warna kuning emas darri bahan prada mas. Ragam hias ini selalu pada tiang-tiang bangunan.

Mirong d. Kemamang Ragam hias kemamang berupa wajah raksasa dengan dua buah mata yang membelalak, hidung serta mulutnya terbuka dengan lidah terjulur keluar. Ragam hias ini selalu diberi warna tertentu. Umumnya ditempatkan pada bagian topeng suatu bangunan pintu gerbang, beteng dan pada pintu masuk. Kemamang mempunyai arti menelan segala sesuatu yang bersifat jahat yang berkehendak untuk masuk.

82

Kemamang e. Makutha Kata makutha berarti mahkota. Ragam hias ini selalu menggambarkan bentuk mahkota. Ragam hias ini ditempatkan pada bubungan rumah dibagian tengah atau bagian tepi kanan kiri.

Makutha f. Panah Panah dalam bahasa kawinya disebut warayang, yaitu bentuk ragam hias berupa beberapa buah anak panah yang distilisasi dan menghadap ke satu titik. Ditempatkan pada bagian-bagian tebeng pintu, tebeng jendela.

Panahan g. Anyam-anyaman Macam nama ragam hias seni anyam-menganyam pada bangunan rumah Jawa tradisional yang banyak kita dapati sebagai dinding rumah atau sekat- sekat pada bangunan rumah seperti pada patang aring misalnya, ada beberapa buah jumlahnya, antara lain : menyan kobar, tirta teja, blarak ngirit, limaran, tlacapan, untu walang, limaran, saton, andha-andhe, dan lain sebagainya.

83

Anyam-anyaman

B. Konstruksi Rumah Jawa Membicarakan ruang tidak bisa lepas dengan segi arsitekturalnya, dalam hal ini rumah atau orang Jawa menyebutnya omah/papan. Perkembangan tipe-tipe bangunan Jawa bermula dari tipe tajug. Kemudian tipe ini berkembang melalui pemanjangan menjadi tipe joglo dan selanjutnya berkembang lagi menjadi tipe limasan. Sebuah manuskrip yang berjudul Kawruh Kambeng yang ditulis oleh Mas Behi Sutosukarya tahun 1933 di Pendapa Prangwedanan, 1. Menggah dapoeripun grija ingkang minongko oewiting wewatonipun amoeng satoenggal, winastan tadjoe, ing temboeng Arab winastan makoeta, nanging katelahing temboeng sami winastan tadjoeg. Awit saking dapoering grija tadjoe poenika ladjeng kapentjar dapoeripun malih ngantos dados kalih oetawi tiga, tuwin langkoeng saking tetiga.70 (Sesungguhnya (bahwa) dapur (bentuk) rumah yang jadi patokan/pokok utama hanya satu, disebut taju, dalam bahasa Arab disebut makuta, tetapi yang sudah umum disebut tajug. Sebab dari dhapur rumah tersebut terus dibagi-bagi lagi hingga menjadi dua atau tiga, bahkan bisa lebih dari ketiganya.) Perkembangan ini dimungkinkan karena adanya penggandaan terhadap tipe tajug. Sementara itu tipe kampung dimungkinkan terjadinya

70 Periksa Manuskrip Kawruh Kambeng, 1, ditulis oleh Mas Behi Sutosukarya tahun 1933 di Pendapa Prangwedanan Surakarta atas perintah Th. Pigeaud. Naskah tersebut saat ini disimpan di Museum Sonobudoyo dengan kode PB E.91 55, bahasa Jawa aksara Latin.

84 karena ada pengubahan pada atap bangunan, bukan pada bagian yang mengalami pemanjangan lewat penggandaan.71

Mengingat dalam bahasa Jawa dikenal tingkatan bahasa yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko yang merupakan representasi dari sikap unggah-ungguh (penghormatan terhadap seseorang yang lebih tua), dalam bahasa arsitekturnya juga terdapat ungkapan untuk kalangan atas (bangsawan), tengah (orang kaya atau terpandang), dan bawah. Struktur sosial kalangan bangsawan atau pangeran dan kerabatnya terungkap dalam bentuk rumah bertipe joglo (biasa disebut dalem), kalangan orang kaya atau terpandang dalam bentuk rumah bertipe limasan, dan masyarakat kebanyakan dalam bentuk rumah bertipe kampung.72 Perbedaan nama- nama tersebut berdasarkan bentuk atapnya. Dengan adanya fenomena kultural yang bertingkat-tingkat itu, maka kehidupan manusia Jawa juga tumbuh berakar pada konsep tingkatan atau hirarki. Penjelasan tentang konstruksi – konstruksi pada rumah Jawa dapat dilihat pada gambar-gambar dibawah ini:

71 Periksa Josef Prijotomo, Petungan, Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), 10, 11, 77. 72 Periksa Arya Ronald, Nilai-Nilai Arsitektur Tradisional Rumah Jawa (Yogyakarta: UGM Press, 2005), 142.

85

Bagian-bagian dari konstruksi rumah Jawa

86

87

88 BAB VII WAYANG DALAM INTERIOR BANGUNAN JAWA

Wayang adalah seni pertunjukkan asli Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. UNESCO, lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia. Banyak negara memiliki pertunjukkan boneka. Namun, pertunjukkan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikkan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Dan untuk itulah UNESCO memasukannya ke dalam Daftar Warisan Dunia pada tahun 2003.

Pringgitan : ringgit= wayang

Dalam memahami suatu pertunjukan sebagai fenomena yang berbeda namun berada dalam kontinuitas spasial dan sosial, kita harus menilai lingkungan di luar

89 panggung sama pentingnya dengan yang di atas panggung untuk membaca makna pertunjukan itu. Secara spasial, prinsip ini berarti bahwa panggung di mana pertunjukan itu dilakukan bukanlah sebuah ruang yang berdiri sendiri terpisah dari tatanan spasial di sekelilingnya. Ketika tempat tinggal menjadi teater, rumah memelihara karakteristiknya sebagai ruang domestik untuk berpengaruh terhadap susunan spasial pada seting teaterikal. Secara sosial, gagasan ini berarti audiens dapat dilihat sebagai aktor-aktor diluar panggung yang kehadirannya turut membentuk susunan spasial yang telah mengubah tempat tinggal menjadi seting teaterikal. Pemrakarsa pentas yang penuh kewenangan, tetamu yang dihormati, orang-orang yang berkeliaran, roh-roh para nenek moyang yang dipercaya menghadiri pementasan---- merupakan kelompok audiens yang menonton pementasan itu dengan berbagai kedudukan sosial dan kapasitas yang berbeda untuk mempengaruhi waktu dan spasialitas dari pementasan itu73. Penjelajahan aspek-aspek spasial seni pertunjukan di rumah Jawa di mulai dengan wayang kulit. Wayang kulit pada dasarnya merupakan pentas solo seorang dalang, penafsir tunggal lakon yang dipentaskan. Dalang adalah seorang yang menerima pendelegasian otoritas sepenuhnya dari yang empunya pertunjukan untuk berpentas. Dengan membentangkan layar yang ditimpa bayangan, waang menghasilkan sebuah dualitas yang dengan kentara memisahkan ranah pelaku dan ranah pemilik pertunjukan. Susunan spasial pertunjukan wayang sangat tergantung pada hubungan antara tempat pertunjukan dan kewenangan penyelenggara terhadap pentas dan ruang. Seringkali wayang menjadi pertunjukan satu sisi (dengan penonton dari satu arah) ketika dipisahkan dari setting rumah. Dalam sebuah setting publik, tidak ada bagian belakang yang perlu diklaim di bawah wewenang penyelenggara yang secara fungsional untuk melayani para tamu atau secara simbolis sebagai sebuah wadah kekuatan.

73 Lihat Revianto Budi Santosa, 2000, 160.

90

Siluet dalam pertunjukan wayang

Dualitas yang setara dengan pertunjukan wayang juga bisa dibaca dalam pengorganisasian ruang pada beberapa pementasan istana. Relasi antara ruang domestik dan pertunjukan ini akan dikaji melalui genre tarian perempuan dan drama tari yang dikembangkan di dalam lingkungan tembok istana dan rumah- rumah bangsawan. Suatu lakon wayang, bagaimanapun juga, harus diawali dan diakhiri pada tempat tertentu; dia tidak dapat di awali di sembarang tempat meskipun dapat di sembarang waktu. Dia juga harus melintasi tempat tertentu ditengahnya. Dengan demikian lakon wayang awal, tengah dan akhir yang didasarkan pada ruang ketimbang waktu” . pertunjukan wayang membentuk tanda pembagian wilayah luar dan dalam dari sebuah rumah. Dalam dirinya sendiri, pertunjukan wayang membangun suatu struktur spasial tertentu yang membentuk dualitas yang dihasilkan dengan mendirikan layar, sehingga ia bisa ditampilkan dimana saja. Ketika suatu ranah domestik mengalami peralihan menjadi suatu ruang pertunjukan, maka tatanan yang semula telah membentuk ruang-ruangnya akan mengalami interaksi dengan tatanan yang dituntut oleh pertunjukan tersebut. Rumah menyediakan ruang-ruangnya agar pertunjukan bisa terselenggara dengan baik, sebaliknya pertunjukan pun menyesuaikan tuntutan ruangnya dengan susunan rumah.

91 KEPUSTAKAAN

A. PUSTAKA YANG DITERBITKAN

Alasuutari, Pertti. Researching Culture: Qualitative Method and Cultural Studies. London & New Delhi: SAGE Publications Inc., 1955.

Albiladiyah, S. Ilmi. Peranan Dalem Tejokusuman dalam Pengembangan Seni Budaya Kraton Yogyakarta. Laporan Peneltian Jarahnitra, No. 010/D/1997, Yogyakarta : Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1996/1997.

Allen, Phyllis Sloan, Mirriam F. Stimpson. Beginnings of Interior Environment, Edisi 7. America: Macmillan College Publishing Company, 1994.

Bratasiswo, Harmanto. Bauwarna, Adat Tata Cara Jawa. Jakarta, Yayasan Suryo Sumirat, 2000.

Ching, Francis D.K. Ilustrasi Desain Interior. Terjemahan Paul Hanoto Adjie. Jakarta: Erlangga, 1996.

Colombijn, Freek. Kota Lama Kota Baru. Yogyakarta: Ombak, 2005.

Condronegoro, Mari S. Busana Adat Kraton Yogyakarta 1877-1937. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995.

Dakung, Sugiyarto. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidiakan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1998.

Feldman, Edmund Burke. Art as Image and Idea. Englewood Cliffs New Jersey: Prentice-Hall Inc, 1967.

Frick, Heinz. Pola Struktural dan Teknik Bangunan Di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Geertz, Hildred. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers, 1983.

Heine-Geldern, Robert. Konsepsi Tatanegara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Terjemahan Deliar Noer. Jakarta, Rajawali, 1982

Hamzuri, Rumah Tradisional Jawa. Jakarta: Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tanpa tahun.

Haryono, Timbul. Artefak, Kualitas dan Validitasnya Sebagai Data Arkeologi.

92 Yogyakarta: Artefak, Buletin Himpunan Mahasiswa Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, No. 1/I/1984.

______. Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni. Surakarta: ISI Press Solo, 2008.

Holt, Claire. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, alih bahasa RM Soedarsono, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2000.

Mantra IB. Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976/1977.

Ismunandar, Joglo. Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Semarang: Effhar Offset, 2007.

Kartodirdjo, Sartono. Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta: UGM Press, 1987.

Kayam, Umar. Ngayogyakarta dalam Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat. Jakarta: Himpunan Wastraprema, 1990.

Laporan Kegiatan Inventarisasi Asset Budaya Kawasan Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prop. DIY bekerja sama dengan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY, 1993/1994.

Lombard, Dennys. Nusa Jawa Silang Budaya. Buku III, Jakarta: Gramedia, 1996.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa, Sebuah Analisis Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia, 1984.

Mangunwijaya, Wastu Citra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.

Masinambow, E.K.M. & Rahayu S.Hidayat, (Ed), Semiotik, Mengkaji Tanda dalam Artifak. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

Maulana, Ratnaesih. Ikonografi Hindu (Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1997.

Mulder, Niels. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986.

Parimin, Ardi Pardiman. et. al., Karakteristik Kawasan Dalam Dalam Beteng Kraton Yogyakarta. Laporan Penelitian, Yogyakarta: UGM, 1998.

Prijotomo, Josef. Ideas And Form of Javanese Architecture. Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1992.

93 ______. (Re-)Konstruksi Arsitektur Jawa. Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika, 2006.

______. Petungan, Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995.

Raffles, Thomas Stanford. History of Java. Terjemahan Eko Prasetyaningrum et.al., Yogyakarta: Narasi, 2008.

Rapoport, Amos. House Form and Culture. USA: Prentice-Hall, 1969.

Ronald, Arya. Ciri-Ciri Karya Budaya Di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1990.

______. Nilai-Nilai Arsitektur Tradisional Rumah Jawa. Yogyakarta: UGM Press, 2005.

Sachari, Agus. Desain dan Kesenirupaan Indonesia Dalam Wacana Transformasi Budaya. Bandung: ITB Press, 2000.

______. Estetika, Makna, Simbol, dan Daya. Bandung : ITB, 2002.

______. Metodologi Penelitian Budaya Rupa. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.

Sadilah, Emiliana. Kesadaran Budaya Tetntang Tata Ruang Pada Masyarakat di DIY. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.

Santosa, Revianto Budi. Omah, Membaca Makna Rumah Jawa. Yogyakarta: Bentang, 2000.

Santosa, Suryadi. Arsitektur-Kota Jawa, Kosmos, Kultur & Kuasa. Jakarta: Centropolis-Magister Teknik Perencanaan Universitas Tarumanegara, 2008.

Soedarsono, R.M. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001.

______. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999.

Soemardjan, Selo. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogayakarta: Gadjah Mada University Press, 1981.

Soeratman, Darsiti. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Tamansiswa, 1989.

94 Surjomihardjo, Abdurrachman. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, Sejarah Sosial 1880-1930. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.

Yudoseputro, Wiyoso. Jejak-Jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama. Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia, 2008.

______. Seni Rupa Islam di Indonesia. Bandung: Angkasa, 1986.

B. MANUSKRIP

Kawruh Kambeng, ditulis oleh Mas Behi Sutosukarya tahun 1933 di Pendapa Prangwedanan Surakarta atas perintah Dr. Th. Pigeaud. Koleksi Perpustakaan Museum Sonobudoyo dengan kode PB E.91 55, bahasa Jawa aksara Latin.

Kawruh Kalang, ditulis oleh R. Sasrawiryatma di Surakarta pada tahun 1928. Koleksi Perpustakaan Museum Sonobudoyo dengan kode PB A 285 31, bahasa Jawa aksara Jawa.

C. PUSTAKA ELEKTRONIK http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Brahma_1820.jpg http://www. majalahtrust.com, Andrianto Soekarnen dan Heru Prasetya, Mereka Orang Kalang, Mereka Berekor?, berdasar penelitian Soelardjo Pontjosutirto, Marjanto Poerwomartono, dan Herry Soeagijardjo dari Fakultas Hukum UGM tahun 1971, Majalah Trust, Edisi 09 - 10 Tahun VI 31 Desember - 6 Januari 2007. http://www.kompas.com/kompascetak/0706/11/sorotan/359000 2.htm - 51k - Peninggalan yang Terabaikan, Senin, 11 Juni 2007. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0210/08/sh05.html http://www.nexusjournal.com/N2002-Nathan.html http://www.boloji.com Vastu Purusha Mandala, 12 maret 2006.

95

96 i Timbul Haryono, Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologis, Surakarta, ISI Press, 2008, 79 ii Heinz Frick, Pola Struktural dan Teknik Bangunan Di Indonesia, Yogyakarta, Kanisius, 1997, 31-49. iii Wiyoso Yudoseputro, Jejak-Jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama, Jakarta, Yayasan Seni Visual Indonesia, 2008, 154.

97