Pengantar Interior Bangunan Jawa
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
MODUL PENGANTAR INTERIOR BANGUNAN JAWA Disusun oleh Martino Dwi Nugroho, M.A. 1 PENDAHULUAN A. Tujuan Umum 1. Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini mempelajari tentang jenis-jenis rumah Jawa, fungsi ruang, konstruksi, estetika termasuk landasan filosofinya. Mata kuliah ini juga mempelajari tentang karakteristik masyarakat Jawa yang tercermin dalam interior rumah tradisional Jawa. 2. Kompetensi Mata Kuliah Setelah mempelajari mata kulaih ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang karakteristik bangunan Jawa, serta mampu mengaplikasikan kaidah-kaidah bangunan Jawa pada desain interior. 3. Srategi Perkuliahan Kuliah teori (kelas), diskusi dan presentasi), kuliah lapangan. B. Materi Pembahasan Tatap Kompetensi Dasar Materi Produk muka 1 Mahasiswa mengetahui Penyampaian Rencana Kegiatan Rencana KBM yang akan Pembelajatan dilakukam 2 Mahasiswa mengetahui Dasar-dasar folisofi dan pandangan arsitektur Jawa dan hidup orang Jawa pada arsitektur. Kebudayaan 3 Mahasiswa mengetahui Jaman Prasejarah, Hindu Budha, tentang sejarah Bangunan Majapahit, Mataram Islam. Jawa 4 Mahasiswa mengetahui Perkembangan masyarakat Kalang tentang sejarah dari abad 4 – mataram Islam beserta masyarakat Kalang karakteristinya 5 Mahasiswa mengetahui Penyampaian tentang konstruksi- tentang isi naskah Kawruh konstruksi rumah Jawa berdasar Kalang naskah Kawruh Kalang. 6 Mahasiswa mengetahui Penyampaian tentang makna – tentang makna ruang bagi makna ruang pada pendhapa, orang Jawa pringgitan, dalem ageng, gandhok, 2 gadri pawon dan halaman. 7 Mahasiswa mengetahui Penyampaian tentang jenis-jenis tentang Ragam Hias dan ragam hias beserta makna dan Konstruksi penerapannya pada bangunan jawa (kampung, limasan, joglo, dan tajug) dikaitkan dengan stratifikasi masyarakat Jawa. 8. Mahasiswa mengetahui Penyampaian makna pemantesan tentang makna pada ruang Jawa dikaitkan dengan pementasan (teatrikal) stratifikasi pada masyarakat Jawa pada ruang (rakyat biasa, bangsawan dan raja) 9 MID semester Ujian tertulis 10. Mahasiswa mengetahui Survey dan kuliah lapangan di tentang kaidah-kaidah rumah Jawa rakyat biasa rumah Jawa Pada masyarakat biasa 11 Mahasiswa mengetahui Survey dan kuliah lapangan di tentang kaidah-kaidah rumah Jawa Bangsawan rumah Jawa Bangsawan 12 Mahasiswa mengetahui Survey dan kuliah lapangan di tentang interior Kraton Kraton Jogja Jogja 13 Mahasiswa mengetahui Survey dan kuliah lapangan tentang tentang kaidah-kaidah kaidah-kaidah bangunan Tajug bangunan Tajug 14 Mahasiswa mengetahui Diskusi dan presentasi hasil survey perbandingan antara dan analisa tentang komparasi. Bangunan Jawa pada masyarakat biasa, bangsawan, kraton, dan Tajug (masjid Jawa) 15 Mahasiswa mengetahui Diskusi dan presentasi hasil survey perbandingan antara dan analisa tentang komparasi. Bangunan Jawa pada masyarakat biasa, bangsawan, kraton, dan Tajug (masjid Jawa) 16. Ujian Akhir Semester Desain ruang (residence atau komersial) menggunakan kaidah bangunan Jawa disertai konsep. 3 BAB I ARSITEKTUR JAWA DAN KEBUDAYAAN Sebuah bentuk menghasilkan rupa. Rupa bentuk adalah alat terpenting dalam membedakan suatu bentuk dengan lainnya, biasanya mengacu pada kontur sebuah garis, garis paling luar sebuah bidang, atau batas dari massa tiga dimensi. Ada beberapa kategori besar dari rupa bentuk. Rupa bentuk alami menunjukkan citra dan bentuk-bentuk alam. Rupa bentuk ini mungkin terlihat abstrak, biasanya melalui proses penyederhanaan dan masih mempertahankan karakteristik utama dari sumber-sumber alamnya. Rupa bentuk yang paling jelas adalah lingkaran, segitiga, dan bujur sangkar atau segiempat.1 Saka yang ada di Dalem atau rumah Jawa pada umumnya berbentuk bujursangkar dan segiempat. Bentuk ini lebih stabil, mempunyai kesan unity, mudah dibuat, dan dapat disusun di berbagai ruang.2 Umpak yang ada di dalem atau rumah Jawa pada umumnya berbentuk bunga padma 3 dan lurus tanpa bentuk padma. Bentuk padma ini merupakan garis lengkung ke dalam kemudian melengkung keluar. Menurut Agus Sachari, kebudayaan Jawa sebenarnya merupakan rekonstruksi dari enam kebudayaan dominan yang mengalami proses transformasi. Keenam kebudayaan itu adalah kebudayaan Hindu, Budha, Cina, Islam, Kolonial, dan Kebudayaan Jawa.4 Dalam 1 Periksa DK. Ching, Ilustrasi Desain Interior, Erlangga, Jakarta, 1996, 104. 2 Periksa Phyllis Sloan Allen, Mirriam F. Stimpson, Beginnings of Interior Environment, 7th edition (America: Macmillan College Publishing Company, 1994), 11. 3Dalam ikonografi Hindu, Padma umumnya digambarkan dalam bentuk teratai yang sedang mekar. Padma ini sebagai laksana, yaitu tanda khusus yang dapat digunakan sebagai identitas yang dapat menandai dewa tertentu. Periksa Ratnaesih Maulana, Ikonografi Hindu, (Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1997), 38-41. 4 Periksa Sachari, Metodologi Penelitian Budaya Rupa (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003), 77. Lebih lanjut dijelaskan oleh Agus Sachari bahwa transformasi merupakan suatu proses yang panjang yang didahului oleh terjadinya inkulturasi dan akulturasi, proses dialog dan sintesis budaya, serta diikuti oleh berbagai pergeseran dan perkembangan nilai-nilai untuk menjadi suatu kebudayaan baru. 4 konteks saka dan umpak, ternyata yang banyak berpengaruh adalah kebudayaan Hindu, Budha, Islam, dan kebudayaan Jawa. 1. Pengaruh Hindu dan Budha Bentuk ragam hias ini berasal dari bentuk profil singgasana singgasana para dewa. Yang memiliki ragam hias ini hanya umpak. Ragam hias padma ini adalah untuk menambah keindahan. Umpak yang sederhana hanya bergaris lurus saja. Selain itu, padma adalah lambang kesucian, seperti yang banyak dijumpai pada bangunan candi, baik candi Siwa maupun candi Budha. Kesucian yang dilambangkan padma ini rupa-rupanya mempunyai makna yang identik dengan arti kokoh dan kuat, yang tidak tergoyahkan oleh segala macam bencana yang menimpanya.5 Padma Gunung, Bersemayam para dewa Umpak (sebagai citra) Skema 1. Representasi umpak sebagai gunung Umpak dapat direpresentasikan sebagai gunung. Hal tersebut dapat dilihat dari stilasi pada umpak yang menyerupai gunung di dalem pangeran. Orang Jawa menganggap bahwa gunung adalah tempat yang suci karena di Inkulturasi adalah latihan setiap pelaku kebudayaan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi. Adapun akulturasi adalah pertemuan dua kebudayaan dan masing-masing dapat menerima nilai-nilai bawaannya. (Periksa Agus Sachari, Desain dan Kesenirupaan Indonesia Dalam Wacana Transformasi Budaya (Bandung: ITB Press, 2000), 85-86.) 5Periksa Sugiyarto Dakung, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta (Jakarta: Departemen Pendidiakan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1998), 154-155. 5 puncak gunung bersemayam para Dewa (menurut kepercayaan Hindu). Atau dengan kata lain bahwa di bawah dewa adalah gunung, seperti juga padma sebagai tempat duduk atau berada di bawah para dewa. Umpak bermotif padma, sehingga dapat dikatakan bahwa umpak adalah gunung. Menurut Denys Lombard6, di Jawa, konsep dari telaah kosmologi Sansekerta telah datang melengkapi bentuk-bentuk pemujaan asli yang lebih kuna yang ditujukan kepada gunung-gunung dan yang dikaitkan pada diri sang raja. Pada pemujaan kuno itu terdapat tema Gunung Meru7, pusat jagad raya, baik yang bersifat Brahmana maupun Budhis, lalu gagasan maharaja terkait pada poros itu dan harus dianggap sebagai Penguasa Gunung, seperti Dewa Siwa yang di India yang memang dianggap sebagai penguasa gunung. Oleh karena itu, 6 Periksa Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Buku III (Jakarta: Gramedia, 1996), 60. 7 Gunung Meru adalah gunung dalam mitologi Hindu tempat bersemayam para dewa dan mahkluk kedewaan, serta menjadi pusat jagad raya (periksa Frick, 1997, 221). Terkait dengan Gunung Meru sebagai pusat jagad raya, Robert Heine-Geldern mengatakan: ”Menurut doktrin Brahma jagad ini terdiri dari Jambudwipa, sebuah benua berbentuk lingkaran dan terletak di pusat, dikelilingi oleh tujuh buah samudra berbentuk cincin dan tujuh buah benua lain berbentuk cincin juga. Di luar samudra terakhir dari ketujuh samudra tadi, jagad ditutup oleh barisan pegunungan yang sangat besar. Di tengah-tengah Jambudwipa, jadinya di tengah-tengah jagad, berdirilah Gunung Meru, gunung kosmis yang diedari oleh matahari, bulan, dan bintang-bintang. Di puncaknya terletak kota dewa-dewa yang dikelilingi pula oleh tempat- tempat tinggal dari delapan lokapala atau dewa-dewa penjaga jagad. Menurut susunan Budhisme-pun, Gunung Meru menjadi pusat dari jagad raya.gunung ini selanjutnya dikelilingi oleh tujuh barisan pegunungan, masing-masing dipisahkan sesamanya oleh tujuh buah samudra berbentuk cincin. Di luar rantai pegunungan yang terakhir terletak lautan dan di dalam lautan ini dijumpai empat buah benua, masing-masing pada penjuru mata angin. Benua yang terletak di selatan Gunung Meru adalah Jambudwipa, tempat tinggal umat manusia. Jagad raya itupun dikelilingi oleh sebuah dinding besar yang terdiri batu-batu karang, disebut barisan cakrawala. Pada lereng Gunung Meru terletak swarga yang terendah, yaitu swarga dari keempat Raja Besar atau penjaga-penjaga dunia, pada puncak-puncak swarga kedua, yaitu swarga ketigapuluh tiga dewa serta Sudarsana, kota-kota dewa, tempat Indra bersemayam sebagai raja. Di atas Gunung Meru memuncak ke atas lapisan-lapisan lainnya dari kayangan” (periksa Robert Heine- Geldern, Konsepsi Tatanegara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara, terjemahan Deliar Noer (Jakarta: Rajawali, 1982), 4-5. 6 orang Jawa berusaha merepresentasikan hal tersebut ke dalam berbagai hasil kebudayaan, misalnya tumpengan, gunungan, atap rumah termasuk juga