Pengantar Interior Bangunan Jawa

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Pengantar Interior Bangunan Jawa MODUL PENGANTAR INTERIOR BANGUNAN JAWA Disusun oleh Martino Dwi Nugroho, M.A. 1 PENDAHULUAN A. Tujuan Umum 1. Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini mempelajari tentang jenis-jenis rumah Jawa, fungsi ruang, konstruksi, estetika termasuk landasan filosofinya. Mata kuliah ini juga mempelajari tentang karakteristik masyarakat Jawa yang tercermin dalam interior rumah tradisional Jawa. 2. Kompetensi Mata Kuliah Setelah mempelajari mata kulaih ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang karakteristik bangunan Jawa, serta mampu mengaplikasikan kaidah-kaidah bangunan Jawa pada desain interior. 3. Srategi Perkuliahan Kuliah teori (kelas), diskusi dan presentasi), kuliah lapangan. B. Materi Pembahasan Tatap Kompetensi Dasar Materi Produk muka 1 Mahasiswa mengetahui Penyampaian Rencana Kegiatan Rencana KBM yang akan Pembelajatan dilakukam 2 Mahasiswa mengetahui Dasar-dasar folisofi dan pandangan arsitektur Jawa dan hidup orang Jawa pada arsitektur. Kebudayaan 3 Mahasiswa mengetahui Jaman Prasejarah, Hindu Budha, tentang sejarah Bangunan Majapahit, Mataram Islam. Jawa 4 Mahasiswa mengetahui Perkembangan masyarakat Kalang tentang sejarah dari abad 4 – mataram Islam beserta masyarakat Kalang karakteristinya 5 Mahasiswa mengetahui Penyampaian tentang konstruksi- tentang isi naskah Kawruh konstruksi rumah Jawa berdasar Kalang naskah Kawruh Kalang. 6 Mahasiswa mengetahui Penyampaian tentang makna – tentang makna ruang bagi makna ruang pada pendhapa, orang Jawa pringgitan, dalem ageng, gandhok, 2 gadri pawon dan halaman. 7 Mahasiswa mengetahui Penyampaian tentang jenis-jenis tentang Ragam Hias dan ragam hias beserta makna dan Konstruksi penerapannya pada bangunan jawa (kampung, limasan, joglo, dan tajug) dikaitkan dengan stratifikasi masyarakat Jawa. 8. Mahasiswa mengetahui Penyampaian makna pemantesan tentang makna pada ruang Jawa dikaitkan dengan pementasan (teatrikal) stratifikasi pada masyarakat Jawa pada ruang (rakyat biasa, bangsawan dan raja) 9 MID semester Ujian tertulis 10. Mahasiswa mengetahui Survey dan kuliah lapangan di tentang kaidah-kaidah rumah Jawa rakyat biasa rumah Jawa Pada masyarakat biasa 11 Mahasiswa mengetahui Survey dan kuliah lapangan di tentang kaidah-kaidah rumah Jawa Bangsawan rumah Jawa Bangsawan 12 Mahasiswa mengetahui Survey dan kuliah lapangan di tentang interior Kraton Kraton Jogja Jogja 13 Mahasiswa mengetahui Survey dan kuliah lapangan tentang tentang kaidah-kaidah kaidah-kaidah bangunan Tajug bangunan Tajug 14 Mahasiswa mengetahui Diskusi dan presentasi hasil survey perbandingan antara dan analisa tentang komparasi. Bangunan Jawa pada masyarakat biasa, bangsawan, kraton, dan Tajug (masjid Jawa) 15 Mahasiswa mengetahui Diskusi dan presentasi hasil survey perbandingan antara dan analisa tentang komparasi. Bangunan Jawa pada masyarakat biasa, bangsawan, kraton, dan Tajug (masjid Jawa) 16. Ujian Akhir Semester Desain ruang (residence atau komersial) menggunakan kaidah bangunan Jawa disertai konsep. 3 BAB I ARSITEKTUR JAWA DAN KEBUDAYAAN Sebuah bentuk menghasilkan rupa. Rupa bentuk adalah alat terpenting dalam membedakan suatu bentuk dengan lainnya, biasanya mengacu pada kontur sebuah garis, garis paling luar sebuah bidang, atau batas dari massa tiga dimensi. Ada beberapa kategori besar dari rupa bentuk. Rupa bentuk alami menunjukkan citra dan bentuk-bentuk alam. Rupa bentuk ini mungkin terlihat abstrak, biasanya melalui proses penyederhanaan dan masih mempertahankan karakteristik utama dari sumber-sumber alamnya. Rupa bentuk yang paling jelas adalah lingkaran, segitiga, dan bujur sangkar atau segiempat.1 Saka yang ada di Dalem atau rumah Jawa pada umumnya berbentuk bujursangkar dan segiempat. Bentuk ini lebih stabil, mempunyai kesan unity, mudah dibuat, dan dapat disusun di berbagai ruang.2 Umpak yang ada di dalem atau rumah Jawa pada umumnya berbentuk bunga padma 3 dan lurus tanpa bentuk padma. Bentuk padma ini merupakan garis lengkung ke dalam kemudian melengkung keluar. Menurut Agus Sachari, kebudayaan Jawa sebenarnya merupakan rekonstruksi dari enam kebudayaan dominan yang mengalami proses transformasi. Keenam kebudayaan itu adalah kebudayaan Hindu, Budha, Cina, Islam, Kolonial, dan Kebudayaan Jawa.4 Dalam 1 Periksa DK. Ching, Ilustrasi Desain Interior, Erlangga, Jakarta, 1996, 104. 2 Periksa Phyllis Sloan Allen, Mirriam F. Stimpson, Beginnings of Interior Environment, 7th edition (America: Macmillan College Publishing Company, 1994), 11. 3Dalam ikonografi Hindu, Padma umumnya digambarkan dalam bentuk teratai yang sedang mekar. Padma ini sebagai laksana, yaitu tanda khusus yang dapat digunakan sebagai identitas yang dapat menandai dewa tertentu. Periksa Ratnaesih Maulana, Ikonografi Hindu, (Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1997), 38-41. 4 Periksa Sachari, Metodologi Penelitian Budaya Rupa (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003), 77. Lebih lanjut dijelaskan oleh Agus Sachari bahwa transformasi merupakan suatu proses yang panjang yang didahului oleh terjadinya inkulturasi dan akulturasi, proses dialog dan sintesis budaya, serta diikuti oleh berbagai pergeseran dan perkembangan nilai-nilai untuk menjadi suatu kebudayaan baru. 4 konteks saka dan umpak, ternyata yang banyak berpengaruh adalah kebudayaan Hindu, Budha, Islam, dan kebudayaan Jawa. 1. Pengaruh Hindu dan Budha Bentuk ragam hias ini berasal dari bentuk profil singgasana singgasana para dewa. Yang memiliki ragam hias ini hanya umpak. Ragam hias padma ini adalah untuk menambah keindahan. Umpak yang sederhana hanya bergaris lurus saja. Selain itu, padma adalah lambang kesucian, seperti yang banyak dijumpai pada bangunan candi, baik candi Siwa maupun candi Budha. Kesucian yang dilambangkan padma ini rupa-rupanya mempunyai makna yang identik dengan arti kokoh dan kuat, yang tidak tergoyahkan oleh segala macam bencana yang menimpanya.5 Padma Gunung, Bersemayam para dewa Umpak (sebagai citra) Skema 1. Representasi umpak sebagai gunung Umpak dapat direpresentasikan sebagai gunung. Hal tersebut dapat dilihat dari stilasi pada umpak yang menyerupai gunung di dalem pangeran. Orang Jawa menganggap bahwa gunung adalah tempat yang suci karena di Inkulturasi adalah latihan setiap pelaku kebudayaan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi. Adapun akulturasi adalah pertemuan dua kebudayaan dan masing-masing dapat menerima nilai-nilai bawaannya. (Periksa Agus Sachari, Desain dan Kesenirupaan Indonesia Dalam Wacana Transformasi Budaya (Bandung: ITB Press, 2000), 85-86.) 5Periksa Sugiyarto Dakung, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta (Jakarta: Departemen Pendidiakan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1998), 154-155. 5 puncak gunung bersemayam para Dewa (menurut kepercayaan Hindu). Atau dengan kata lain bahwa di bawah dewa adalah gunung, seperti juga padma sebagai tempat duduk atau berada di bawah para dewa. Umpak bermotif padma, sehingga dapat dikatakan bahwa umpak adalah gunung. Menurut Denys Lombard6, di Jawa, konsep dari telaah kosmologi Sansekerta telah datang melengkapi bentuk-bentuk pemujaan asli yang lebih kuna yang ditujukan kepada gunung-gunung dan yang dikaitkan pada diri sang raja. Pada pemujaan kuno itu terdapat tema Gunung Meru7, pusat jagad raya, baik yang bersifat Brahmana maupun Budhis, lalu gagasan maharaja terkait pada poros itu dan harus dianggap sebagai Penguasa Gunung, seperti Dewa Siwa yang di India yang memang dianggap sebagai penguasa gunung. Oleh karena itu, 6 Periksa Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Buku III (Jakarta: Gramedia, 1996), 60. 7 Gunung Meru adalah gunung dalam mitologi Hindu tempat bersemayam para dewa dan mahkluk kedewaan, serta menjadi pusat jagad raya (periksa Frick, 1997, 221). Terkait dengan Gunung Meru sebagai pusat jagad raya, Robert Heine-Geldern mengatakan: ”Menurut doktrin Brahma jagad ini terdiri dari Jambudwipa, sebuah benua berbentuk lingkaran dan terletak di pusat, dikelilingi oleh tujuh buah samudra berbentuk cincin dan tujuh buah benua lain berbentuk cincin juga. Di luar samudra terakhir dari ketujuh samudra tadi, jagad ditutup oleh barisan pegunungan yang sangat besar. Di tengah-tengah Jambudwipa, jadinya di tengah-tengah jagad, berdirilah Gunung Meru, gunung kosmis yang diedari oleh matahari, bulan, dan bintang-bintang. Di puncaknya terletak kota dewa-dewa yang dikelilingi pula oleh tempat- tempat tinggal dari delapan lokapala atau dewa-dewa penjaga jagad. Menurut susunan Budhisme-pun, Gunung Meru menjadi pusat dari jagad raya.gunung ini selanjutnya dikelilingi oleh tujuh barisan pegunungan, masing-masing dipisahkan sesamanya oleh tujuh buah samudra berbentuk cincin. Di luar rantai pegunungan yang terakhir terletak lautan dan di dalam lautan ini dijumpai empat buah benua, masing-masing pada penjuru mata angin. Benua yang terletak di selatan Gunung Meru adalah Jambudwipa, tempat tinggal umat manusia. Jagad raya itupun dikelilingi oleh sebuah dinding besar yang terdiri batu-batu karang, disebut barisan cakrawala. Pada lereng Gunung Meru terletak swarga yang terendah, yaitu swarga dari keempat Raja Besar atau penjaga-penjaga dunia, pada puncak-puncak swarga kedua, yaitu swarga ketigapuluh tiga dewa serta Sudarsana, kota-kota dewa, tempat Indra bersemayam sebagai raja. Di atas Gunung Meru memuncak ke atas lapisan-lapisan lainnya dari kayangan” (periksa Robert Heine- Geldern, Konsepsi Tatanegara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara, terjemahan Deliar Noer (Jakarta: Rajawali, 1982), 4-5. 6 orang Jawa berusaha merepresentasikan hal tersebut ke dalam berbagai hasil kebudayaan, misalnya tumpengan, gunungan, atap rumah termasuk juga
Recommended publications
  • Signifikansi Arsitektural Volkstheater Sobokartti Karya Thomas Karsten
    SIGNIFIKANSI ARSITEKTURAL VOLKSTHEATER SOBOKARTTI KARYA THOMAS KARSTEN Bharoto Abdul Malik Eddy Prianto Penerbit UNDIP Press 2019 SIGNIFIKANSI ARSITEKTURAL VOLKSTHEATER SOBOKARTTI KARYA THOMAS KARSTEN © 2019 UNDIP Press Penerbit UNDIP Press Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedharto, SH., Tembalang Semarang 50275 INDONESIA telepon (024) 76480683 e-mail: [email protected] Editor : Bharoto Abdul Malik Eddy Prianto Desainer sampul : Abdul Malik ISBN 978-979-097-607-8 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun,tanpa izin tertulis dari Penerbit. Dicetak oleh UPT UNDIP Press Semarang ii iii iv v PENGANTAR Buku ini mengetengahkan kajian arsitektural terhadap Gedung Volks- theater (teater rakyat) Sobokartti. Gedung rancangan arsitek ir. Tho- mas Karsten (1884-1945) ini berada di Jalan dr. Cipto no. 31-33, Se- marang. Pada masa kini telah banyak pihak yang mengenal, baik so- sok arsitek maupun hasil karya arsitekturnya itu. Setidaknya tiga da- sawarsa terakhir ini menunjukkan kajian tentang keduanya telah ter- publikasi dalam buku maupun artikel. Sepengetahuan penulis, Helen Jessup merupakan peneliti awal yang menyinggung kehadiran Tho- mas Karsten dalam praktik arsitektur di Hindia Belanda. Ia menyebut- kannya dalam artikel untuk majalah Mimar edisi tahun 1984 dengan judul “ The Dutch Colonial Villa, Indonesia ”. Yulianto Sumalyo juga pernah membahas Thomas Karsten, dengan menyandingkan bersama beberapa arsitek seangkatannya, dalam disertasi doktoral berjudul “L’Architecture Colonial Hollandais en Indonesie ” pada tahun 1988. Pada tahun yang sama sejarawan Huib Akihary juga memberikan por- si bahasan tentang Karsten dalam “Architectuur en Stedebouw van In- donesie 1870/1970”. Sebenarnya masih banyak lagi artikel maupun penelitian tentang Thomas Karsten di waktu-waktu selanjutnya.
    [Show full text]
  • Download Download
    KAJIAN PENDAHULUAN TEMUAN STRUKTUR BATA DI SAMBIMAYA, INDRAMAYU The Introduction Study of Brick Structural Found in Sambimaya, Indramayu Nanang Saptono,1 Endang Widyastuti,1 dan Pandu Radea2 1 Balai Arkeologi Jawa Barat, 2 Yayasan Tapak Karuhun Nusantara 1Jalan Raya Cinunuk Km. 17, Cileunyi, Bandung 40623 1Surel: [email protected] Naskah diterima: 24/08/2020; direvisi: 28/11/2020; disetujui: 28/11/2020 publikasi ejurnal: 18/12/2020 Abstract Brick has been used for buildings for a long time. In the area of Sambimaya Village, Juntinyuat District, Indramayu, a brick structure has been found. Based on these findings, a preliminary study is needed for identification. The problem discussed is regarding the type of building, function, and timeframe. The brick structure in Sambimaya is located in several dunes which are located in a southwest-northeastern line. The technique of laying bricks in a stack without using an adhesive layer. Through the method of comparison with other objects that have been found, it was concluded that the brick structure in Sambimaya was a former profane building dating from the early days of the spread of Islam in Indramayu around the 13th - 14th century AD. Keywords: Brick, structure, orientation, profane Abstrak Bata sudah digunakan untuk bangunan sejak lama. Sebaran struktur bata telah ditemukan di kawasan Desa Sambimaya, Kecamatan Juntinyuat, Indramayu. Berdasarkan temuan itu perlu kajian pendahuluan untuk identifikasi. Permasalahan yang dibahas adalah mengenai jenis bangunan, fungsi, dan kurun waktu. Struktur bata di Sambimaya berada pada beberapa gumuk yang keletakannya berada pada satu garis berorientasi barat daya – timur laut. Teknik pemasangan bata secara ditumpuk tanpa menggunakan lapisan perekat.
    [Show full text]
  • Jurnal Sosiologi – Andalas
    April. 2015. Vol. 5, No. 02 ISSN 2307-227X International Journal of Research In Social Sciences © 2013-2015 IJRSS & K.A.J. All rights reserved www.ijsk.org/ijrss ANALISYS OF SOCIOLOGY DESIGN IN SETTLEMENTS KAUMAN YOGYAKARTA CAMA JULI RIANINGRUM, AGUS SACHARI, AND IMAM SANTOSA Art and Design Department Bandung Institute of Technology (ITB) Bandung, Indonesia Faculty of Art and Design – Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia [email protected] ABSTRACT Kauman settlement, located inside the complex of Kraton Yogyakarta (Palace of Yogyakarta) in Indonesia, is an urban village settlement offering a sanctuary peace and tranquillity in the midst of the hustle and bustle of urban Yogyakarta. The settlement is nearly three centuries old and over time has developed a new set of social norms of its residents while maintaining traditional Javanese and Islamic values. Since its establishment in 1775 to the present day, Kauman settlement has maintained its physical and non-physical originality. Physically, maintenance of traditional Javanese architecture is seen in the layout of the settlement and its buildings. Non-physically, maintenance of traditional Javanese values and its Muslim adherents is seen in a tight-knit, harmonious, tranquil society with the mosque as its centre. The design of the settlement is inseparable to the systems of value, social dynamics, human resources, and wisdom of its founders and settlers. Kauman settlement in Yogyakarta is a representation of a Muslim identity closely adhering traditional Javanese values in everyday life. Keywords: Javanese cultural values, Kauman settlement, Sociology, Design INTRODUCTION Sultan Hamengkubuwono I ordered the construction of a mosque in front of palace and Kauman Yogyakarta is a settlement originally west of the north square to complete the part of the royal bureaucracy (Kraton) in Java.
    [Show full text]
  • Tradition Concept in Kauman Yogyakarta Settlement As a Representation of Javanese Cultural Values
    Arts and Design Studies www.iiste.org ISSN 2224-6061 (Paper) ISSN 2225-059X (Online) Vol.21, 2014 Tradition Concept in Kauman Yogyakarta Settlement As A Representation of Javanese Cultural Values Cama Juli Rianingrum 1* Dr. AgusSachari, MSn 2. Dr. Pribadi Widodo, MSn. 3 1. Lecturer: Faculty of Arts and Design of Trisakti University, Jakarta-Indoneisa, PO Box 11440 Jakarta - Indonesia 2. Faculty of Arts and Design of Bandung Institute of Technology, Bandung-Indonesia 3. Faculty of Arts and Design of Bandung Institute of Technology, Bandung-Indonesia *E-mail of the corresponding author: [email protected] Abstract The Kauman settlement in Yogyakarta is an urban village settlement that is almost three centuries old and located at the heart of the Yogyakarta business and tourism center. The settlement was founded in 1775 by Sri Sultan Hamengkubuwono I as housing facility for the abdi dalem (palace employees) on religious affairs. The settlement has undergone many changes influenced by politics, power and globalization that eventually brought modernization to the settlement. Starting from 1912, the settlement began to be strongly influenced by Muhammadiyah organization. Even though the Kauman settlement is now an open community and no longer part of the palace bureaucracy, its people still practice the way of life based on Javanese cultural values supported by piety in practicing Islamic rules in daily life from generation to generation. The Kauman settlement today exist authentically as both a Muslim society and part of the Javanese traditional culture. This authenticity is visible in the settlement layout and the buildings within, which reflect a calm and cozy urban village settlement with its own characteristics amidst the business and tourism center of Yogyakarta.
    [Show full text]
  • Akulturasi Di Kraton Kasepuhan Dan Mesjid Panjunan, Cirebon
    A ULTURASI DI KRATON KA URAN DAN MESJID PANJUNAN, CIREBON . Oleh: (.ucas Partanda Koestoro . I' ... ,.. ': \.. "\.,, ' ) ' • j I I. ' I Pendukung kebiidayaan adalati manusia. Sejak kelahirannya dan dalam proses scis.ialisasi, manusia mendapatkan berbagai pengetahu­ an. Pengetahuan yang didapat dart dipelajari dari lingkungan keluarga pada lingkup. kecil dan m~syarakat pa.da. lingkup besar, mendasari da:µ mendorong tingkah lakunya. .dalam mempertahankan hidup. Sebab m~ri{isjq ti.da.k , bertin~a~ hanya k.a.rena adanya dorongan untuk hid up s~ja, tet~pi i1:1g~ kp.rena ~ua~u desakan baru yang berasal dari ·budi ma.nusia dan menjadi dasar keseluruhan hidupnya, yang din<lmakan - · ~ \. ' . kebudayaan. Sehingga s~atu . masyarakat ketik? berhadapan dan ber- i:riteraksi dengan masyarakat lain dengan kebudayaan yang berlainan, kebudayaan baru tadi tidak langsung diterima apa adanya. Tetapi dinilai dan diseleksi mana yang sesuai dengan kebudayaannya sendiri. Budi manusia yang menilai ben.da dan kejp.dian yang beranek~ ragam di sekitarhya kemudian memllihnya untuk dijadikan tujuan maupun isi kelakuan ·buda\ranva (Su tan Takdir Alisyahbana, tanpa angka tahun: 4 dan 7). · · II. Data sejarah yang sampai pada kita dapat memberikan petunjuk bahwa masa Indonesia-Hindu selanjutnya digantikan oleti masa Islam di Indonesia. Kalau pada masa Indonesia-Hindu pengaruh India men~ jadi faktor yang utama dalam perkembangari budaya masyarakat Iri­ donesia, maka dalam masa Islam di Indonesia, Islam pun inenjadi fak­ tor yang berpengaruh pula. Adapun pola perkembangan kebudayaan Indonesia pada masa masuknya pengaruh Islam~ pada dasarnya 'tidak banyak berbeda dengan apa yang terjadi dalam proses masuknya pe­ ngaruh Hindu. Kita jumpai perubahan-perubahan dalam berbagai bi­ dang .
    [Show full text]
  • THE BALI TEMPLE RUN Temples in Bali Share the Top Spot on the Must-Visit List with Its Beaches
    CULTURE THE BALI TEMPLE RUN Temples in Bali share the top spot on the must-visit list with its beaches. Take a look at some of these architectural marvels that dot the pretty Indonesian island. TEXT ANURAG MALLICK he sun was about to set across the cliffs of Uluwatu, the stony headland that gave the place its name. Our guide, Made, explained that ulu is ‘land’s end’ or ‘head’ in Balinese, while watu is ‘stone’. PerchedT on a rock at the southwest tip of the peninsula, Pura Luhur Uluwatu is a pura segara (sea temple) and one of the nine directional temples of Bali protecting the island. We gaped at the waves crashing 230 ft below, unaware that the real spectacle was about to unfold elsewhere. A short walk led us to an amphitheatre overlooking the dramatic seascape. In the middle, around a sacred lamp, fifty bare-chested performers sat in concentric rings, unperturbed by the hushed conversations of the packed audience. They sat in meditative repose, with cool sandalwood paste smeared on their temples and flowers tucked behind their ears. Sharp at six, chants of cak ke-cak stirred the evening air. For the next one hour, we sat open-mouthed in awe at Bali’s most fascinating temple ritual. Facing page: Pura Taman Saraswati is a beautiful water temple in the heart of Ubud. Elena Ermakova / Shutterstock.com; All illustrations: Shutterstock.com All illustrations: / Shutterstock.com; Elena Ermakova 102 JetWings April 2017 JetWings April 2017 103 CULTURE The Kecak dance, filmed in movies such as There are four main types of temples in Bali – public Samsara and Tarsem Singh’s The Fall, was an temples, village temples, family temples for ancestor worship, animated retelling of the popular Hindu epic and functional temples based on profession.
    [Show full text]
  • Tata Bangunan Rumah Tinggal Daerah Pecinan Di Kota Probolinggo Jawa Timur
    TATA BANGUNAN RUMAH TINGGAL DAERAH PECINAN DI KOTA PROBOLINGGO JAWA TIMUR Diana Thamrin Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra - Surabaya e-mail: [email protected] ABSTRAK Kota Probolinggo merupakan salah satu kota administratif penting di Jawa di jaman Kolonial Belanda. Jauh sebelum kekuasaan Belanda, orang Tionghoa membawa tradisi dan agama mereka dan berdiam di bagian Timur kota sepanjang sungai Banger yang dahulu merupakan akses utama distribusi bahan perdagangan. Di jaman VOC, mayoritas orang Tionghoa memainkan peranan penting dalam perdagangan dan menjadi perantara bagi pedagang Belanda dan pribumi. Interaksi dengan orang Eropa maupun pribumi merubah gaya hidup mereka sehingga terjadi percampuran budaya antara budaya asal mereka, dengan lingkungan pribumi maupun orang Belanda dan secara tidak langsung mempengaruhi tata bangunan rumah mereka. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif dan bertujuan untuk mendeskripsikan tata bangunan rumah-rumah tinggal tersebut secara keseluruhan akibat aktivitas perdagangan dan mengetahui bagaimana perwujudan pengaruh budaya-budaya yang ada di lingkungan orang Tionghoa, baik dari budaya Tionghoa, Belanda (Eropa) dan lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas perdagangan dan jarak dari jalur perdagangan mempengaruhi bentuk bangunan dan organisasi ruang, sedangkan elemen interior maupun elemen dekoratif dari masing-masing budaya mengalami akulturasi dan pengembangan. Meski telah terjadi akulturasi budaya pada tata bangunan rumah tinggal, budaya kolonial tetap menjadi budaya yang dominan, dan budaya Tionghoa seperti hirarki dalam rumah tangga maupun hormat pada leluhur tetap dipertahankan sebagai identitas. Kata kunci: tata bangunan, Probolinggo, Pecinan, kolonial Belanda, desain interior ABSTRACT Probolinggo was one of the important administrative trade cities in Java. Long before the Dutch reign, Chinese diasporas had settled along the Banger river in the east of the city bringing along with them their traditions and religion.
    [Show full text]
  • Magisterarbeit
    MAGISTERARBEIT Titel der Magisterarbeit Synkretismen im Sakral- und Profanbau Javas Eine globalgeschichtliche Perspektive Verfasserin Desiree Weiler B.A. angestrebter akademischer Grad Magistra der Philosophie (Mag. phil.) Wien, 2012 Studienkennzahl lt. Studienblatt: A 066 805 Studienrichtung lt. Studienblatt: Magisterstudium der Globalgeschichte Betreuer: Univ.-Prof. Dr.techn. Erich Lehner Ich erkläre ehrenwörtlich, dass ich die vorliegende wissenschaftliche Arbeit selbstständig angefertigt und die mit ihr unmittelbar verbundenen Tätigkeiten selbst erbracht habe. Ich erkläre weiters, dass ich keine anderen als die angegebenen Hilfsmittel benutzt habe. Alle ausgedruckten, ungedruckten oder dem Internet im Wortlaut oder im wesentlichen Inhalt übernommenen Formulierungen und Konzepte sind gemäß den Regeln für wissenschaftliche Arbeiten zitiert. Die während des Arbeitsvorganges gewährte Unterstützung einschließlich signifikanter Betreuungshinweise ist vollständig angegeben. Die wissenschaftliche Arbeit ist noch keiner anderen Prüfungsbehörde vorgelegt worden. Diese Arbeit wurde in gedruckter und elektronischer Form abgegeben. Ich bestätige, dass der Inhalt der digitalen Version vollständig mit dem der gedruckten Version übereinstimmt. Ich bin mir bewusst, dass eine falsche Erklärung rechtliche Folgen haben wird. Wien, am Dank an: Familie Weiler Ana Purwa Laura Sprenger Helmut Rachl Lucia Denkmayr Katharina Höglinger Christian Tschugg Marc Carnal Prof. Dr. Erich Lehner Dr. Ir. Ikaputra Gadjah Mada Universität in Yogyakarta 4 Inhaltsverzeichnis
    [Show full text]
  • Pakuwon Pada Masa Majapahit: Kearifan Bangunan Hunian Yang Beradaptasi Dengan Lingkungan
    Pakuwon Pada Masa Majapahit: Kearifan Bangunan Hunian yang Beradaptasi dengan Lingkungan Agus Aris Munandar Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Berdasarkan data relief yang dipahatkan pada dinding candi-candi zaman Majapahit (Abad k-14—15 M), dapat diketahui adanya penggambaran gugusan perumahan yang ditata dengan aturan tertentu. Sumber tertulis antara lain Kitab Nagarakrtagama menyatakan bahwa gugusan perumahan dengan komposisi demikian lazim dinamakan dengan Pakuwon (pa+kuwu+an). Kajian yang diungkap adalah perihal bentuk-bentuk bangunan dalam gugusan Pakuwon, keletakannya pada natar (halaman) sesuai arah mata angin, dan juga fungsi serta maknanya dalam kebudayaan masa itu. Bentuk bangunan hunian masa Majapahit berdasarkan data yang ada, cukup berbeda dengan dengan bangunan hunian (rumah-rumah) dalam masa selanjutnya di Jawa. Perumahan di Jawa sesudah zaman Majapahit cenderung merupakan bangunan tertutup dengan sedikit bukaan untuk sirkulasi udara, adapun bangunan hunian masa Majapahit berupa bentuk arsitektur setengah terbuka, dan hanya sedikit yang tertutup untuk aktivitas pribadi penghuninya. Bangunan hunian mempunyai ciri antara lain (a) berdiri di permukaan batur yang relatif tinggi, (b) setiap bangunan memiliki beranda lebar, dan (c) jarak antar bangunan dalam gugusan Pakuwon telah tertata dengan baik. Agaknya orang-orang Majapahit telah menyadari bahwa bangunan huniannya harus tetap nyaman ditinggali walaupun berada di udara yang lebab dan panas matahari terus menerpa sepanjang tahun, dan kadang-kadang banjir juga memasuki permukiman. Bentuk bangunan hunian masa Majapahit, hingga awal abad ke-20 masih dapat dijumpai di Bali sebagai bangunan dengan arsitektur tradisional Bali. Akan tetapi dewasa ini bangunan tradisional tersebut telah langka di kota-kota besar Bali, begitupun di pedalamannya.
    [Show full text]
  • Wayang Purwa: a Religio-Cultural Acculturation
    THE CONFLUENCE BETWEEN ISLAM AND JAVANESE MYSTICISM IN THE AESTHETICS OF WAYANG PURWA: A RELIGIO-CULTURAL ACCULTURATION Mrs. Anak Agung Lindawati Kencana A Thesis Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Master of Arts Program in Southeast Asian Studies (Interdisciplinary Program) Graduate School Chulalongkorn University Academic Year 2014 Copyright of Chulalongkorn University การหลอมรวมของรหัสยลัทธิในศาสนาอิสลามและความเชื่อชวาที่ปรากฏในสุนทรียศาสตร์ของ วายัง ปูรวะ: การผสมผสานกันทางศาสนาและวัฒนธรรม นางอานัคอากุง ลินดาวะตี เคนคานา วิทยานิพนธ์นี้เป็นส่วนหนึ่งของการศึกษาตามหลักสูตรปริญญาศิลปศาสตรมหาบัณฑิต สาขาวิชาเอเชียตะวันออกเฉียงใต้ศึกษา (สหสาขาวิชา) บัณฑิตวิทยาลัย จุฬาลงกรณ์มหาวิทยาลัย ปีการศึกษา 2557 ลิขสิทธิ์ของจุฬาลงกรณ์มหาวิทยาลัย Thesis Title THE CONFLUENCE BETWEEN ISLAM AND JAVANESE MYSTICISM IN THE AESTHETICS OF WAYANG PURWA: A RELIGIO-CULTURAL ACCULTURATION By Mrs. Anak Agung Lindawati Kencana Field of Study Southeast Asian Studies Thesis Advisor Associate Professor Withaya Sucharithanarugse, Ph.D. Thesis Co-Advisor Assistant Professor Imtiyaz Yusuf, Ph.D. Accepted by the Graduate School, Chulalongkorn University in Partial Fulfillment of the Requirements for the Master's Degree Dean of the Graduate School (Associate Professor Sunait Chutintaranond, Ph.D.) THESIS COMMITTEE Chairman (Associate Professor Sunait Chutintaranond, Ph.D.) Thesis Advisor (Associate Professor Withaya Sucharithanarugse, Ph.D.) Thesis Co-Advisor (Assistant Professor Imtiyaz Yusuf, Ph.D.) External Examiner (Associate Professor
    [Show full text]
  • Download Article (PDF)
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 307 1st Social and Humaniora Research Symposium (SoRes 2018) Construcion of the Spatial Concept of Art and Culture in Keraton Kacirebonan, Indonesia Ina Helena Agustina, Astri Mutia Ekasari, Irland Fardani, Hilwati Hindersah Department of Urban and Regional Planning Universitas Islam Bandung Bandung, Indonesia [email protected] Abstract—Art is an integral part in the spread of Islamic Cirebon who was also a member of Wali Sanga and held the religion in the past. Keraton Kacirebonan as one of the three title Sunan Gunung Jati, together with Sunan Kalijaga took Keratons in Cirebon, was initially built with the purpose of advantage of using the mask dance and other means of cultural spreading Islam in Java island. Until now, art and cultural performances such as Wayang Kulit and Gamelan as a form of activities remain intact in Keraton Kacirebonan. It has a studio preaching and to expedite the spread of Islam. Art wasn’t specifically designed for this purpose namely Sanggar Tari meant for the sake of art itself, but as a means of teaching the Topeng Gaya Slangit as tari topeng or traditional mask dance religion and practical purposes [3]. Such statement supports the itself conveys the meaning of life. The purpose of this paper is to notion that the art of mask dance which uniquely belongs to construct the spatial concept of art and culture in Keraton Cirebon and its people is not merely an expression of art but Kacirebonan. The method applied in this paper is a theoretical also has its own meaning from its existence.
    [Show full text]
  • The Elements of Local and Non-Local Mosque Architecture for Analysis of Mosque Architecture Changes in Indonesia
    The International Journal of Engineering and Science (IJES) || Volume || 7 || Issue || 12 Ver.I || Pages || PP 08-16 || 2018 || ISSN (e): 2319 – 1813 ISSN (p): 23-19 – 1805 The Elements of Local and Non-Local Mosque Architecture for Analysis of Mosque Architecture Changes in Indonesia Budiono Sutarjo1, Endang Titi Sunarti Darjosanjoto2, Muhammad Faqih2 1Student of Doctoral Program, Department of Architecture, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia 2Senior Lecturer, Department of Architecture, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia Corresponding Author : Budiono Sutarjo --------------------------------------------------------ABSTRACT---------------------------------------------------------- The mosque architecture that deserves to use as a starting point in the analysis of architectural changes in Indonesian mosques is the Wali mosque as an early generation mosque in Indonesia. As a reference, the architectural element characteristic of Wali mosque (local mosque) needs to be known, so that this paper aims to find a description of a local mosque (Wali mosque), and also description of architectural elements of non- local mosques (mosques with foreign cultural context) because one of the causes of changes in mosque architecture is cultural factors. The findings of this paper are expected to be input for further studies on the details of physical changes in the architectural elements of mosques in Indonesia. The study subjects taken were 6 Wali mosques that were widely known by the Indonesian Muslim community as Wali mosques and 6 non-local mosques that were very well known and frequently visited by Indonesian Muslim communities. Data obtained from literature studies, interviews and observations. The analysis is done by sketching from visual data, critiquing data, making interpretations, making comparisons and compiling the chronology of the findings.
    [Show full text]