1

BAB IV AKULTURASI BUDAYA HINDU DAN ISLAM

Proses lahirnya sebuah kebudayaan (dalam hal ini adalah budaya yang bersifat fisik) berawal dari konsepsi yang hadir dari para pencipta (penggagas ide) dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor antara lain; kepribadian, lingkungan, tingkat religiusitas dan perkembangan budaya yang hadir di lingkungan penggagas ide tersebut menetap. Sebuah gagasan/ide yang muncul tidak serta merta lepas dari apa yang dinamakan dengan falsafah. Berawal dari kepribadian dan nilai-nilai religius yang tertanam dalam diri masyarakat dan menjadi sesuatu yang diyakini. Kemudian sang penggagas tersebut membangun budayanya yang kaya akan nilai- nilai luhur dan filosofi yang agung.

A. Deskripsi Unsur Budaya dan Simbol pada Masjid Al-Karomah Depok 1. Unsur Islam a. Mihrab masjid Dalam menjalankan ibadah shalat, umat Islam harus menghadap ke kiblat yaitu Ka’bah, maka pada dinding tengah masjid di bagian Barat dibuat sebuah ceruk atau ruangan relatif kecil yang masuk pada dinding atau disebut dengan mihrab.1 Sebuah ruangan kecil yang hanya diperuntukkan untuk satu orang sebagai pemimpin diwaktu sholat, dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan pengimaman atau paimaman dalam bahasa Sunda.2 Ruang ini merupakan ruang tertutup dengan sebuah pintu masuk di bagian depan, sehingga ruangan ini selalu gelap dan terasing.3 Beberapa pendapat menyebutkan bahwa pencetus ide pembentukan mihrab adalah Mu’awiyah, akan tetapi lain pihak beranggapan bahwa pencetus ide tersebut adalah al-Walid. Dari kesimpulan di atas, terdapat kemungkinan bahwa pencetus ide pembentukan mihrab adalah al-Walid, hal ini dilatarbelakangi dari kesenangannya

1 Yulianto Sumalyo, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2006), hlm. 7. 2 Mundzirin Yusuf Elba, Mesjid Tradisional di Jawa, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983), hlm. 23. 3 Hasan Mu’arif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam , (Jakarta : Kogos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 197. 2

dalam mengubah-ubah arsitektur masjid, seperti penambahan bangunan berupa menara.4 Masjid Al-Karomah Depok memiliki dua buah mihrab. Mihrab pertama berada di ruangan utama (lihat gambar 24) dan hanya difungsikan pada saat pelaksanaan shalat jum’at dan shalat I’ed (idul fitri dan idul Adha) saja. Sedangkan untuk shalat lima waktu (sholatul maktubah) mihrab yang difungsikan berada di serambi, tepatnya di sebelah Timur pintu tengah ruangan ke dua (lihat gambar 51 di halaman 53 dan gambar 81 di halaman 66). Keterangan pasti yang menjelaskan maksud pendirian kedua mihrab ini tidak tergambar jelas. Akan tetapi, berdasarkan pada pernyataan yang dikemukakan Bapak Mustajib Masyadi pada bab sebelumnya,5 terdapat kemungkinan bahwa hal ini bertujuan untuk tetap menjaga, memelihara dan menyucikan ruangan utama dari perbuatan pada hal-hal berbau syirik, sehingga dalam pelaksanaan shalat maktubah hanya memanfaatkan ruangan serambi. Sedangkan tempat imam ketika memimpin shalat berjama’ah (mihrabnya) letaknya tepat di depan (sebelah Timur) pintu tengah ruangan kedua. Pada awalnya, umat Islam dalam menjalankan shalat menghadap ke arah mana saja mereka kehendaki. Namun pada perkembangannya kemudian, arah hadap shalat dipusatkan mengarah ke Masjidil Haram di Mekkah,6 yakni ketika turun surat al-Baqarah ayat 144 yang berbunyi :7 ً قد نرى تقلُّ َب َو ْج ِه َك فِي ال َّسما ِء َف َلنُ َو ِل ينَّ َك قِ ْب َلة تَ ْر َض َها َف َو ِ ل َو ْج َه َك َش ْط َرا ْل َم ْس ِج ِد ا ْل َح َرا ِم َو َح ْي ُث َما ُك ْنتُ ْم فَ َولُّواْ ٌو ٌجوه ُك ْم َش ْط َره، َو ِا َّن الَّ ِذ ْين اُوتُواْ اا ْل ِكت َب َلي ْع َل ُمو َن أنَّهُ ال َح ُّق ِم ْن َربِ ِه ْم و َماهللا بِغف ٍل ع َّما يعلم ْو َن. “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu mengengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu kea rah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu

4 Sidi Gazalba, Mesdjid; Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Antara, 1962), hlm. 282. 5 lihat pernyataan di bagian penjelasan tentang mihrab masjid. 6 Arah kiblat untuk daerah-daerah di Indonesia kira-kira ke arah barat laut. Untuk tepatnya ada perhitungan khusus tentang arah kiblat ini, dan kini telah ada daftar azimuth untuk menentukan arah kiblat untuk daerah atau kota-kota tertentu. Sedangkan untuk daerah kurang lebih 18° dari barat ke arah barat laut. 7 Al-Qur-an Dan Terjemahnya, (Medinah Munawwarah : Komplek Percetakan Al-Qur’an Khadim al-Haramain asy-Syarifain al-Malik Fahd at-Thiba’at al-Musyhaf asy-Syarif, 1990 M/1411 H), hlm. 37. 3

berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” Pemaparan di atas menunjukkan sebuah bentuk pemusatan pada bagian masjid untuk merujuk pada Ka’bah sebagai Kiblat umat Islam, sehingga mihrab ini menjadi sebuah simbol kepemimpinan dalam beribadah khususnya shalat. Banyak masjid-masjid lama yang dibangun di Indonesia tidak memiliki kesesuaian pada posisi arah kiblatnya dan umumnya hanya berdasarkan pada arah Barat-Timur saja, sehingga pada perkembangannya kemudian shaf shalat (di bagian dalam ruangannya) menjadi menyerong dan tidak sejajar dengan tembok masjid. Akibatnya, banyak bagian ruang yang terbuang dan menyebabkan berkurangnya nilai estetika dalam penataan interior ruangan.8 Menurut perhitungan arah kiblat yang benar, yaitu Cirebon berada pada 18° dari barat ke arah Barat Laut, sehingga pengaturan dalam shaf shalat di dalamnya tidak banyak ruang yang terbuang.9 b. Mimbar Keberadaan mimbar menjadi sebuah komponen yang cukup penting terkait dengan pelaksanaan ibadah shalat Jumat, yakni sebagai tempat penyampaian khutbah Jum’at. Khutbah merupakan salah satu syarat sahnya shalat Jumat, oleh karena itu sebuah masjid pun (mungkin harus) dilengkapi dengan adanya bagian yang dinamakan dengan mimbar.10 Masjid Al-Karomah Depok memiliki sebuah mimbar dengan bentuk yang sangat sederhana, hanya berupa podium dengan tempat duduk (bagian belakang yang terbuat dari kayu jati yang dibentuk seperti papan) dengan tiga anak tangga yang menjadi satu dilengkapi dengan tongkat atau cis11 (lihat gambar 41 dan 43). Bahan dasar yang digunakan untuk membuat mimbar berasal dari kayu jati tanpa pewarnaan (cat kayu atau sejenisnya) dan dihiasi dengan ukiran bermotif floral. Motif floral

8 Zein M. Wiryoprawiro. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1986), hlm. 158. 9 Aplikasi Micro Qiblat pada Android. 10 Yulianto Sumalyo, Op. Cit., hlm 7. 11 Cis biasanya dibuat dari berbagai macam kayu, tetapi ada juga cis yang dibuat dari besi.Biasanya sebuah mesjid hanya mempunyai sebatang cis, kadang-kadang bagian bawah cis yang dibuat dari kayu itu dilapisi dengan besi, dan bagian atasnya meruncing atau merupakan bentuk dwisula/trisula. Lihat, G.F. Pijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, terj. Tudjimah dan Yessy Augusdin (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 29. 4

yang ada pada setiap mimbar masjid di Jawa, terkhusus di Cirebon umumnya berupa pengulangan dedaunan disertai bunga-bunga dan penggambaran dari tumbuhan dengan motif sulur, patran dan lung. Hal ini menjadi popular, karena dalam Islam sangat melarang hadirnya unsur makhluk hidup (hewan) dalam bangunan atau hiasan bangunan, sehingga sebagai penggantinya adalah dengan hiasan bermotif floral. Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya, fungsi dari mimbar adalah sebagai media penyampaian khutbah terkhusus dalam pelaksanaan Shalat Jum’at, sehingga dalam penggambaran dari motif yang ada pun terlihat tidak jauh berbeda dengan fungsinya, yakni sebagai sarana penyebaran dakwah Islam dengan dibantu oleh seluruh lapisan masyarakat dengan rasa kepercayaan dan persatuan. 2. Unsur non-Islam Masjid tidak hanya berfungsi sebagai sarana keagamaan atau pendidikan saja, akan tetapi tersirat pula sebuah makna yang muncul dari lambang-lambang diseitarnya. Lambang atau simbol yang muncul baik dalam bentuk tata cara, tingkah laku ataupun lambang fisik contohnya. Pendekatan yang diarahkan pada bentuk fisik lebih menekankan pada lambang atau simbol12 yang disebut pendekatan semiotik (pendekatan formalis).13 Sebagaimana telah disinggung pada Bab I, bahwa sebuah lambang memiliki makna melalui hadirnya tanda, objek, dan interpretant. Adapun simbol yang sering muncul dan digunakan yaitu simbol-simbol bernuansa utamanya adalah Islam, Hindu (Jawa dan ) serta Eropa. Adapun unsur simbolik pada Masjid Al-Karomah Depok adalah sebagai berikut : a. Denah Persegi Empat Penggunaan denah segi empat pada bangunan masjid memiliki dua versi. Versi pertama adalah pendapat W.F. Stutterheim mengatakan bahwa ketika dilihat dari bentuknya, model masjid lebih mengacu kepada bangunan gelanggang ayam () masa pra-Islam. Wantilan memiliki bentuk persegi empat dan beratap namun tidak berdinding. Model wantilan ini merupakan bagian perkembangan dari struktur dasar pendopo yang beratap susun tiga sebagaimana meru.14 Ketika sisi-sisi

12 yang sering kurang memperhatikan fungsi atau efisiensi. 13 Zein M. Wiryoprawiro, Perkembangan ArsitekturMasjid di Jawa Timur (Surabaya: PT. Bina Ilmu), hlm. 159. 14 A. Bagoes P. Wiryomartono, Seni Bangunan Dan Seni Binakota Di Indonesia Kajian Mengenai Konsep, Struktur, Dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Budha, Islam Hingga Sekarang. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama), 1995), hlm. 9. 5

wantilan ini ditutup dan di bagian baratnya dibuat mihrab, maka bangunan ini pun telah memenuhi syarat sebagai bangunan masjid.15 Pendapat W.F. Stutterheim dibantah oleh Sutjipto Wirjosuparto yang dikutip dalam buku Masjid Tradisional di Jawa, bahwa ia berpendapat bahwa model bangunan masjid cenderung mengacu pada model bangunan tradisional Jawa yaitu mendapa (mandapa, pandapa, pendopo). Model bangunan ini berasal dari masa Hindu atau pra-Islam yang mempunyai denah berbentuk persegi empat dan dibangun di atas tanah.16 Kedua pendapat di atas memiliki alasan dan latar belakang masing-masing. Namun ketika bentuk persegi empat ini dikaitkan dengan model bangunan pra-Islam di Indonesia, penulis sependapat dengan pendapat Sutjipto Wirjosuprapto dengan melihat pada denah berbentuk bujur sangkar yang ada pada pondasi bangunan masjid (bagian terbawah yang ada untuk bangunan berdinding). Juga melihat dari arsitektur rumah tradisional Bali sebagai salah satu contoh bangunan tradisional yang masih dapat dilihat hingga saat ini. Dengan menggunakan konsep Tri Hita Karana salah satunya berbentuk bujur sangkar seperti pada bangunan sakaroras yang berfungsi sebagai sumanggen untuk kegiatan adat dan kegiatan lainnya.17 Pada seni konstruksi bangunan, bangunan masjid ini selain memiliki pengaruh kuat dari kebudayaan Hindu, juga dipengaruhi oleh seni arsitektur China. Menurut penuturan dari juru kunci Masjid Al-Karomah Depok Bapak H. Hariri mengatakan bahwa masjid ini dibangun oleh orang China dengan konsep bangunan menggunakan konstruksi rangka bangun China.18 Pernyataan ini di dukung dengan

15 I.G.N. Anom, Masjid Kuno Indonesia (Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 1998/99), hlm. 17. 16 Mundzirin Yusuf Elba, Mesjid Tradisional di Jawa (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983),hlm. 22. 17 Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, Arsitektur Rumah Tradisional Bali, cet. 3 (Bali : Udayana University Presss, 2010), hlm. 35-36. 18 Hasil wawancara dengan H. Hariri selaku Juru Kunci Masjid Al-Karomah Depok pada tanggal 6 Januari 2015 dikediamannya di blok Bojong Desa Depok kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon. Pernyataan di atas senada dengan keterangan yang disampaikan ketika wawancara penulis dengan Bapak Anbaruddin Sucipto yang menceritakan bahwa pada saat pembangunan Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon, Kalau memang zaman pendirian Masjid Al-Karomah Depok se zaman dengan Syekh Syarif. Terdapat cerita bahwa arsitektur Masjid Sang Cipta rasa adalah Raden Sepat. Ketika membangun Masjid Agung ia ditemani oleh 500 ahli tukang. Tidak menutup kemungkinan ketika periodenya sama memiliki kesamaan. Ada sebuah riwayat ketika peletakkan batu pertama, Syekh Syarif berpodato dan mempersilahkan kepada semua warganya juga kepada warga selain islam, dari warga tersebut ada seorang pemuda (pengawal pribadi Ong Tien) bernama Youn I Chin bersedia membantu dan meminta izin untuk mendirikan klenteng di Jamblang, dalam pendirian nya itu dengan minta bantuan sunan gunung jati (sehingga ada satu saka di klenteng yang konon sama dengan yang di masjid agung). Dan Youn Qie Chit dimakamnkan secara Islam di Jamblang. Karena ketika melihat 6

bukti penggunaan kayu sebagai material penyusun rangka dan peyangganya atap bangunan juga dari daun pintu dan slot pembuka pintu.19 Bentuk stilistika tersusun dari Susunan Bata (Ting) dengan bangunan menggunakan konstruksi kayu dan kombinasi warna yang menyolok seperti merah, layaknya bangunan Masjid Al- Karomah Depok.20 Dalam Filosofi arsitektur Cina pun sangat dipengaruhi oleh filosofi kepercayaan dan ajaran agama. Terdapat simbol dan lambang-lambang dari bentuk ideal dan keharmonisan dalam tatanan masyarakat. Bentuk ideal dan keharmonisan dalam masyarakat ini dapat dilihat dari filosofi Tien-Yuan Ti-Fang.21 Bentuk persegi melambangkan keteraturan, intelektualitas manusia sebagai manifestasi penerapan keteraturan atas alam.22

Gambar 133. Sketsa denah ruangan utama Masjid Al-Karomah berbentuk persegi orang yang membuat Gua Sunyaragi adalah arsitekturnya juga dari China. Bisa jadi arsitek dari Masjid Al-Karomah Depok adalah dari orang China. Begitu juga dengan pembuatan masjid Depok seperti pernyataan di atas dibangun oleh seorang arsitek China atau menggunakan arsitektur China sebagaimana pernyataan di atas. Terdapat dugaan bahwa si empunya adalah salah satu dari rangkaian hubungan antara Cirebon dengan China, sehingga menghasilkan sebuah akulturasi budaya fisik melalui bangunan masjid. Meskipun tidak dapat dipungkiri, arsitektur lokal pun turut serta mempengaruhinya. Hasil wawancara dengan Bapak Akbarudiian Sucipto, sejarawan Cirebon pada tanggal 9 Januari 2015 di kantornya. 19 Hasil wawancara dengan Bapak Akbarudiian Sucipto, sejarawan Cirebon pada tanggal 9 Januari 2015 di kantornya. 20 //httpraziq_hasan.staff.gunadarma.ac.id//Downloadsfiles13338ARSITEKTUR+CINA.pdf. arsitektur China. Di download pada 1 Januari 2015, hlm. 5. 21 Ibid, Tien-Yuan Ti-Fang yang berarti langit bundar dan bumi persegi. 22 Ibid. Bundar melambangkan ketidakteraturan sifat alam. Filosofi Tien-Yen-Chih-Chi, artinya di antara langit dan manusia, menggambarkan peralihan dua alam yang disimbolkan dalam bentuk bundar-segi empat-bundar. 7

Gambar 134. Bentuk Wantilan yang digunakan sebagai tempat menyabung ayam b. Atap Tumpang Atap Masjid Al-Karomah Depok mengambil bentuk meru, yaitu memakai bentuk atap tumpang dengan jumlah ganjil, yaitu dua (biasanya tetap dihitung satu), tiga, lima, atau lebih.23 Bangunan suci dalam agama Hindu ini merupakan lambang dari lapisan alam, mulai dari alam terendah sampai alam tertinggi.24 Bentuk atap yang digunakan pada Masjid Al-Karomah Depok juga mirip dengan penggambaran bangunan pada relief-relief candi di Jawa Timur yang mungkin bangunan ini merupakan hasil dari representasi dari bangunan suci lainnya, yang membedakan hanya terbuat dari bahan kayu dan bambu.25 Atap Masjid Al-Karomah Depok beratap tumpang dua (atap ruangan utama sebagai bangunan asli)26 dengan bahan

23 Jumlah tingkatan meru menunjukkan kelas sosial, yaitu dua tingkat untuk rakyat, lima tingkat untuk abdi raja, tujuh tingkat untuk pangeran, dan sebelas tingkat untuk raja. Hamzuri, Rumah Tradisional Jawa (Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional, 1985), hlm. 79-80. Konsep tingkatan dalam meru pada masa pengaruh Islam, jumlah tingkatan diperkecil dan dipakai untuk konsep atap tumpang masjid. Pada masjid kerajaan menggunakan atap tumpang dua atau lima. Lihat, pula di Hamzuri hlm. 47. Sumber lain mengatakan bahwa atap tumpang yang disesuaikan dengan ajaran Islam, yaitu jika atap tumpang dua berarti penyatuan hamba dengan Tuhannya; atap tumpang tiga dikaitkan dengan Syariah, Thariqah, dan Hakikat (lihat, Mundzirin Yusuf Elba, Mesjid Tradisional di Jawa, hlm. 26); dan atap tumpang lima dikaitkan dengan rukun islam. 24 http://siwagrha.wordpress.com. Dipublikasikan tanggal 20 September 2007. 25 R. Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III (Jakarta: Kanisius, 1973), hlm. 76. 26 Bangunan-bangunan lain merupakan bangunan tambahan yang dibangun pada abad 20-an sebagai bentuk perluasan areal masjid. Pada bagian serambi besar dengan tiga atap tumpang dan serambi kecil satu susunan atap. 8

penutup awalnya dari welit,27 kemudian digantikan dengan genting.28 Secara tipologis, bentuk atap masjid-masjid kuno masih mengikuti pola bangunan yang berasal dari tradisi pra-Islam, seperti yang sangat lazim digunakan pada Pura di Bali yang disebut dengan atap meru. Pengaruh Hindu memberikan kemungkinan konstruksi berkembangnya model struktur atap jenis ini. Karena metode dakwah yang digunakan oleh para wali tidak dilakukan dengan cara tegas, melinkan dengan pendekatan budaya. Salah satu contoh yang masyhur adalah melalui seni wayang, yang telah berhasil dikembangkan oleh Sunan Kalijaga sebagi pencetusnya. Begitu pula dengan bentuk atap masjid ini, masyarakat Indonesia pra-Islam (atau tepatnya disebut dengan Nusantara) telah hidup dalam ajaran agama yang di dalamnya tertanam sebuah prinsip sebagai representasi ajaran agama melalui tata kehidupan, salah satunya melalui tradisi membangun sebuah bangunan. Seperti yang telah disebutkan di awal, bahwa pembangunan sebuah rumah tinggal atau rumah adati Bali itu dengan berpegang pada pedomn asta kosala-kosali, sebuah pedoman yang dipakai masyarakat Hindu Bali dalam membangun sebuah pemukiman atau bangunan begitu pula yang terjadi dengan budaya Jawa.29 c. Memolo masjid Salah satu ciri dari masjid kuno yang ada di Jawa adalah hadirnya sebuah konstruksi teratas atap bangunan berbentuk persegi dilengkapi hiasan di atasnya. Hiasan ornamentif ini bernama memolo atau mastaka. Ketika kita hanya berbicara pada konteks simbol dari jumlah atap tumpang yang terdapat pada Masjid Al- Karomah Depok, kita tidak akan mengetahui gambaran makna secara jelas. Namun, dari penuturan Bapak Harjono selaku Ketua DKM Masjid Al-Karomah Depok mengatakan bahwa bentuk memolo pada bagian teratas atap masjid yang disertai dengan susunan atapnya lebih menggambarkan sebuah makna simbol. Yakni menggambarkan sebuah perjalanan hidup seorang manusia. Mulai dari lahir atau

27 Bahan welit ini kemungkinan diambil dari bahan-bahan yang ada disekitarnya (dengan melihat pada mata pencaharian masyarakat Depok khususnya dan Cirebon umumnya yang mayoritas bermatapencaharian sebagai petani). 28 Pengubahan material penutup atap ini kemungkinan terjadi setelah perkembangan tekhnologi manusia semakin pesat, ditambah lagi dengan masuknya pengaruh dari Eropa, selain pengaruh dari Asia dan Timur Tengah yang sudah masuk terlebih dahulu. 29 Ketika berbicara historis, antara masyarakat Hindu Jawa dan Hindu Bali masih memiliki keterikatan yakni peristiwa perpindahan (keluarnya) masyarakat Jawa yang pindah serta menetap di Bali. Dimana kejadian tersebut akibat dari serangan tentara Demak di tahun 1419 Masehi. Selengkapnya lihat Agus Aris Munandar, Catuspatha Arkeologi , hlm. 67. 9

anak-anak yang digambarkan pada memolo pada serambi kecil dengan atap bertumpang satu. Masa remaja atau dewasa ditandai dengan memolo pada serambi besar yang menggambarkan masa remaja (dengan gejolak masa mudanya) dengan penggambaran bunga yang sedang mekar dan tingginya konstruksi atap bangunan masjid dengan bentuk tumpang tiga. Kemudian masa tua dengan ditandai bentuk memolo seperti bunga yang telah layu, tanda ketuaan ini pun sesuai dengan penempatannya yakni pada bangunan asli (awal) masjid dengan atap tumpang dua (sebagaimana keumuman dari masjid-masjid tua di Jawa)30, memolo yang digunakannya pun merupakan memolo asli yang diletakkan bersamaan dengan pembangunan masjid ini. Terakhir adalah memolo pada bagian mihrab awal (pertama) yang menggambarkan tanda (nisan) dari seseorang yang telah kembali kepangkuan sang Ilahi, tepatnya berada pada mihrab yang sudah tidak difungsikan lagi.31

Gambar 135. Sketsa ruangan utama dilihat secara vertikal

30 Seperti yang terlihat di Masjid Keramat Megu Gede, Masjid Gamel, 31 Hasil wawancara dengan bapak Harjono, selaku Ketua DKM Masjid Al-Karomah Depok, pada tanggal 02 Desember 2014 dikedimannya di Blok Palian, Desa Depok, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon. 10

Gambar 136. Kepala Sketsa salah satu candi sebagai sebuah representasi

Badan bangunan yang berbentuk atap meru.

Kaki

d. Gapura dan Tembok Keliling Pola pembentukan gapura di Cirebon dikenalkan oleh Raden Sepat. Raden Sepat, diceritakan dalam babad adalah kepala tukang atau arsitek asal Majapahit yang membuat kota Cirebon.32 Gapura Masjid Al-Karomah Depok adalah bangunan baru yang dibuat sebagai bentuk pengembangan seni dalam pembangunan aksesoris tambahan dari masjid. Namun dapat kita lihat, (lihat gambar 116-119) bahwa bangunan ini terlihat serupa dengan Candi Bentar,33 contohnya Gapura Waringin Lawang salah satu peninggalan pada masa kerajaan Majapahit.34 Bangunan ini biasanya berfungsi sebagai bangunan terluar dari suatu komplek candi, juga sebagai pintu masuk utama menuju sebuah halaman pertama komplek hunian (baik itu bangunan suci ataupun tempat tinggal) dengan bentuk tidak memiliki anak tangga (ada pula yang memiliki anak tangga).35 Begitu pula dengan fungsi gapura yang ada

32 Marwati D. Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, cet. 3, ed. Pemutakhiran (Jakarta : balai Pustaka, 2009), hlm. 286. 33 Candi bentar adalah sebuah bangunan yang umumnya berfungsi sebagai pintu masuk menuju suatu tempat dengan bentuk tidak berdaun pintu. Bentar sendiri berarti terbelah dari bawah sampai lepas keatas tanpa pintu atau lawang. Candi ini dapat dihiasi dengan hiasan yang agung (terbaik), sedang atau hiasan sederhana dengan mengikuti pola penerapan wadahnya (hiasan mengikuti bentuk penampilan bentarnya). 34 Abdul Wahid, Pesona Majapahit Esa Damar Pinuluh, (Yogyakarta : Buku Biru, 2010), hlm. 177-179. 35 Made Susila Patra, Hubungan Seni Bangunan Dengan Hiasan Dalam Rumah Tinggal Adati Bali. (Jakarta : PN. Balai Pustaka), hlm. 40. 11

pada komplek Masjid Al-Karomah Depok ini, sebagai pintu masuk menuju komplek masjid, tanpa menghapus fungsi gapura-gapura lain yang ada di Depok.

Gambar 137. Gapura Candi Waringin Lawang Setelah memasuki gapura candi bentar menuju komplek Masjid Al-Karomah Depok, maka akan terlihat komplek masjid yang dikelilingi oleh tembok keliling (dalam tradisi bangunan Bali disebut dengan tembok penyengker) lengkap gapura berbentuk (pertemuan di antara sudut tembok,36 lihat gambar 112-113) dengan letak yang sejajar, bagitu pula dengan tembok keliling Masjid Al-Karomah Depok. Bentuk gapura paduraksa ini memiliki kesamaan dengan bentuk angkul- angkul di Bali (angkul-angkul dibagi pada beberapa jenis yang namanya dibedakan sesuai penempatannya).37 Contoh yang masih ada hingga kini adalah pada struktur bangunan tradisional Bali (lihat gambar 03), gapura dan tembok keliling masjid pun terlihat secara lahiriyah mengadopsi bangunan-bangunan Hindu yang juga menggunakan tembok keliling sebagai pembatas sebuah komplek bangunan atau

36 Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, Arsitektur Rumah Tradidional Bali Berdasarkan Asta Kosala Kosali, (Bali : Udayana University Press, 2010, hlm. 86. Paduraksa berasal dari kata “padu” dan “Raksa.” Padu artinya pertemuan atau perpaduan, sedangkan “Raksa” artinya pemegang. Dengan demikian “paduraksa” adalah pemegang pertemuan tembok-tembok penyengker pekarangan yang jika dalam konteks bangunan rumah tinggal Bali difungsikan sebagai pembatas yang bertugas mengamankan pekarangan rumah dan segala isinya. ). Made Susila Patra, hlm. 43. Selengkapnya lihat Made Susila Patra. 37 Ibid, hlm. 71-76. 12

hunian. Bangunan ini secara arsitetural berfungsi sebagai bagian peralihan yang mengalihkan alur sirkulasi yang menghalangi pandangan langsung dari luar ke dalam.38 Selain itu, terdapat makna filosofis terkait dengan kepercayaan dalam agama Hindu, yakni sebagai bentuk kesopanan (tata karma), mempertegas konsep “Tri Angga” dalam tata nilai penetapan daerah (zoning) adalah nista, madya dan utama yang menggambarkan sebuah perlindungan dan keamanan (yang memisahkan kekuatan negatif dan positif) dan sebagai pertemuan akan rasa.39 Dalam penggunaan warna pada tembok keliling adalah sebuah harmonisasi suatu bangunan, ketika bangunan pintu masuk dan temboknya berbahan dari batu bata merah, maka paduraksanya pun terdiri dari bahan yang sejenis.40 Di sepanjang tembok keliling yang disertai dengan gapura, terdapat juga hiasan yang dikenal dengan nama candi laras/kemuncak (lihat gambar 112 sampai 115 dan gambar 129 sampai 131). Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya (lihat pembahasan tentang ornamen konstruktif di bab III, tepatnya di halaman 85) bahwa candi laras berfungsi sebagai penghias tembok keliling. Penggunaan desain tembok keliling dengan gapura dan candi laras pada komplek Masjid Al-Karomah Depok menggambarkan sebuah bentuk keseimbangan antara budaya lokal dan modern yang padu dan hidup secara berdampingan.41 e. Ragam Hias Seni dan tradisi membangun masjid memiliki satu keterpaduan dimana kebudayaan Islam memandang keindahan sebagai nilai tempat bergantungnya seluruh kekuatan Islam yang terpancar melalui keindahan dari Al-Qur’an. Estetika dalam Islam menurut Al-Faruqi adalah wujud bukti ke-ilahi-an di mana Al-Qur’an tidak dapat diragukan lagi.42 Ornamen yang ada pada bangunan-bangunan Islam lebih banyak didominasi oleh ornamen bernuansa floral dibandingkan dengan fauna

38 Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, Op. CIt. hlm. 78. 39 Ibid, hlm. 86. 40 Made Susila Patra, Op. Cit, hlm. 43. 41 Pendapat ini didasarkan pada hasil pengamatan penulis selama penelitian berlangsung, dengan melihat gapura dan pagar keliling yang ada disekitar Depok memperlihatkan masih kuatnya budaya masa lalu (Majapahit) dengan dibentuknya gapura pada pintu masuk desa, pintu masuk blok Bojong dan pintu masuk kearah komplek masjid Al-Karomah Depok berbentuk candi bentar dan pagar keliling pada setiap komplek pemakaman yang ada di Depok semuanya dihiasi dengan hiasan candi laras di bagian atasnya. 42 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG Kepustakaan Populer Gramedia), hlm. 181. 13

juga dihiasi dengan warna merah. Penggunaan motif floral ini dilatarbelakangi oleh larangan Islam dalam penggunaan ornamen atau hiasan dengan makhluk bernyawa seperti manusia atau binatang pada tempat ibadah,43 sehingga ornamen-ornamen yang ada lebih didominasi dengan motif floral, geometris dan kaligrafi. Namun, perkembangan Islam di Indonesia cenderung berlawanan dengan hal tersebut. Kenyatann yang ada adalah masih terlihatnya seni budaya non-ikonoklastik.44 Dominasi seni non-ikonoklastik tersebut salah satunya tergambar pada ragam hias yang ada di kepala mimbar Masjid Al-Karomah Depok. Ragam hias terdapat pada bagian kepala mimbar Masjid Al-Karomah Depok secara keseluruhan berupa hiasan motif floral teratai yang dilengkapi dengan dedaunan. Akan tetapi, ketika diperhatikan secara seksama, ornamen pada mimbar ini memiliki kesamaan (mirip) dengan ukiran kala-makara yang telah mengalami proses distilisasi (lihat gambar 99 ornamen mimbar masjid Al-Karomah).45 Hal ini terjadi, melihat dari alasan yang dikemukakan di atas tentang larangan penggunaan unsur makhluk hidup pada bangunan tempat ibadah, sehingga si empunya46 ketika membuat mimbar tidak lagi menggunakan unsur makhluk hidup secara nyata melainkan menstilisasikan bentuknya dengan motif floral dedaunan dan bunga teratai.47 Sebuah dugaan yang selain berlandaskan alasan tersebut juga sebagai salah satu saluran dakwah Islam (karena masyarakat Hindu di Nusantara saat itu sangat gemar menciptakan bangunan yang indah disertai dengan banyaknya hiasan bernafas keagamaan).48

43 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 185. Pelarangan penggambaran/pelukisan makhluk hidup dalam hiasan bangunan peribadatan dianggap akan mengganggu konsentrasi pendekatan lahir-batin terhadap Dzat Allah, dan dikhawatirkan munculnya pelukisan Dzat Allah dan Rasulullah sehingga membawanya pada syirik yang sangat dilarang. 44 Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) http://www. Ebsoft.web.id, dicopy pada tanggal 12 Februari 2014. Ikonoklasme adalah gerakan untuk menghapuskan gambar dan patung dari ibadat suatu agama. 45 Karena dalam Islam, terdapat larangan untuk menggambar atau menghias sesuatu dengan bentuk menyerupai manusia atau binatang. 46 Disebut sebagai “si empunya”, karena tidak diketahui siapa yang memiliki ide dan atau orang yang membuatnya. 47 Sebuah penggambaran ketika melihat ornament ini dari sudut pandang motif floral bahwa ornamen pada mimbar ini merupakan ukiran berbentuk goyoran dengan motif hias ukir berupa patra pada bagian samping kanan kiri (sepanjang lajur atas) dipenuhi dengan motif hias lung-lungan.47 48 Sebagai bentuk kecintaan dan ketaatan kepada agama yang dianut, sehingga dalam membangun sebuah bangunan selalu berpedoman pada aturan agama. Selengkapnya lihat Made Susila 14

Motif kala-makara merupakan asosiasi bentuk penggambaran wajah seekor dengan sepasang tanduk dan sepasang taring yang mencuat dari pipi kanan kirinya.49 Sebuah perwujudan atas simbol kemenangan (Kirttimukha) dan melindungi candi dari ancaman kejahatan yang mengganggu kesuciannya. Asumsi ini diperkuat dari hasil wawancara dengan sejumlah praktisi seni yang menggambarkan bahwa motif yang ada pada kepala mimbar ini berbentuk ukiran Majapahitan,50 ada pula yang mengatakan bahwa ukiran ini merupakan ukiran Padjajaran51 dengan jenis lekukan- lekukan pahatan yang cenderung rumit pada tiap garisnya.52 Ragam hias ornamen yang tergambarkan di atas merupakan hiasan yang diambil dari tradisi seni pra-Islam seperti pada bagian relief candi-candi Hindu, khususnya zaman Majapahit. Langgam hiasan Majapahit kemudian disempurnakan dan diperkaya pada zaman Islam, dengan penambahan pola hias yang berasal dari tradisi hias dari Islam, Barat dan China.53 Di mana pada masa pra-Islam (khususnya agama-agama India, dalam hal ini adalah agama Hindu dan Budha) nilai dari sebuah seni senantiasa menjadi alat kesadaran religius, meski terkadang digambarkan secara berlebihan dan terlalu beragam. Sebuah gambaran figuratif dari kebenaran agama yang disampaikan melalui pesan-pesan figuratif dan gerak plastis yang berperan sebagai simbol-simbol logis. Sedangkan dalam Islam makna simbol yang terwujud merupakan bentuk sublimasi bukti ke-Ilahi-an yang bersumber pada Al-Qur’an sebagai kebenaran dan keindahan tertinggi (keindahan seni Islam yang berkembang dari tahapan syari’at, tarekat, hakikat, dan ma’rifat) sepanjang sejarah Islam yang mengacu pada Keesaan Tuhan yang absolut dan tidak dapat diumpamakan secara figuratif.54

Patra, Hubungan Seni Bangunan Dengan Hiasan Dalam Rumah Tinggal Adati Bali dan Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, Arsitektur Rumah Tradidional Bali Berdasarkan Asta Kosala Kosali. 49 Agus Aris Munandar, Catuspatha Arkeologi Majapahit, (Jakarta : Wedatama Widya Sastra, 2011), hlm. 6. 50 Wawancara dengan praktisi seni ukir, Lukman Hakim pada tanggal 10 Desember 2014 di kediamannya di blok Demangan Desa Depok. 51 Wawancara dengan Pak Katura seorang praktisi seni batik, pada 3 November di kediamannya di Trusmi Kulon. 52 Berikut adalah ciri motif floratif Padjajaran : terdapat cula, daun pokok, angkup, endhong, simbar, benangan, pecahan, trubusan. 53 Hasan Mu’arif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta : Kogos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 197. 54 Hasan Mu’arif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta : Kogos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 190. 15

Makna yang tersirat dalam filosofi agama Hindu baik ornamen kalamakara merupakan simbol dunia tengah atau dunia manusia yang menjadi penjagaan dari unsur positif dan negative. Sedangkan motif bunga teratai merupakan simbol tumbuhan suci perlambang dunia atas dan bawah atau disebut sebagai ragam hias lotus atau padma. Bagi masyarakat Cirebon, bunga teratai disimbolkan sebagai bagian dari Hayyun Billahi Ruhin (hidup tanpa nyawa)55 atau simbol yang menggambarkan bahwa teratai hidup tidak di atas air, karena yang kita jumpai sampai saat ini adalah Bunga Teratai selalu hidup diatas air atau tergantung dengan air. Penggunaan warna pada bangunan yang dominasi warna merah ketika dikaitkan dengan budaya Pra-Islam, dimana bangunan-bangunan pra-Islam banyak didominsai warna merah sebagai warna yang memiliki filosofi penyelarasan dengan alam atau penyatuan dengan alam lingkungan.56 Kemudian, ketika melihat dari pengaruh arsitektur China terdapat prinsip-prinsip dasar, salah satunya adalah stilistika. Dimana seluruh permukaan bangunan penuh dengan dekorasi, pola lantai : diagonal (Jen), hexagonal (Kou), susunan bata (Ting) dan bangunan menggunakan konstruksi kayu dengan kombinasi warna yang menyolok seperti merah, kuning dan hitam.57 Dalam penggunaan warna untuk interior dengan elemen utama perabot berukir keumuman China dengan menggunakan warna sebagai lambang prestise atau kebanggaan. Terdapat dugaan bahwa penggunaan warna merah ini selain sebagai perpanjangan dari budaya-budaya yang ada juga sebagai sebuah penanda akan keagungan masjid sebagai sebuah bangunan sakral bagi umat Islam.

B. Analisis Akulturatif pada Masjid Al-Karomah Depok Arsitektur sebagai hasil karya masyarakat meliputi faktor, kondisi geografis, budaya setempat, dan teknologi sangat mempengaruhi penampilan fisik sebuah bangunan masjid, sehingga perwujudan bangunan masjid memperlihatkan citra tersendiri karena iklim, material bangunan, teknologi, atau keahlian seniman yang

55 Abdul Hakim, Suhuf Jurnal Al-Qur'an Dan Kebudayaan, “Akulturasi Budaya Bangunan Masjid Tua di Cirebon”, Vol. 4, No. 2, (Jakarta: Badan Balitbang Dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011), hlm. 311. 56 Made Susila Patra, Hubungan Seni Bangunan Dengan Hiasan Dalam Rumah Tinggal Adati Bali, (Jakarta : PN. Balai Pustaka, 1985), hlm. 21. 57http//raziq_hasan.staff.gunadarma.ac.id//Downloadsfiles13338//ARSITEKTUR+CINA.pdf. // Arsitektur China. di download pada tanggal 9 Januari 2015. 16

juga berbeda-beda.58 Hal inilah yang menjadikan masjid mempunyai ciri khas sesuai dengan daerahnya, juga didukung oleh adanya toleransi dan keterbukaan Islam terhadap pola arsitektur.59 Keadaan sebelum terjadi proses akulturasi, hingga pada saat proses itu mulai berjalan, dalam ilmu antropologi disebut dengan base line of acculturation, yaitu titik awal proses akulturasi. Menurut Redfield, Linton, dan Herskovits, akulturasi meliputi fenomena yang timbul sebagai hasil pertemuan antar kelompok-kelompok manusia yang mengadakan kontak langsung secara terus-menerus. Akibatnya, kebudayaan yang dimiliki satu kelompok itu akan menimbulkan perubahan pada pola-pola kebudayaan asli yang dimiliki oleh salah satu kelompok atau pada keduanya tanpa menghilangkan kepribadian aslinya.60 Proses akulturasi budaya Jawa dan Hindu pada arsitektur Masjid Al-Karomah dapat dicermati pada beberapa aspek dan unsur. Pertama yaitu denah bangunan berbentuk persegi empat. Kedua, pemakaian atap dengan konstruksi atap tumpang. Ketiga, pemakaian mustaka sebagai unsur pelengkap atap. Keempat, pembangunan tembok keliling yang mengacu pada estetika dan pola bangunan-bangunan keagamaan pra-Islam. Kelima, penempatan pintu masuk utama yang berbentuk paduraksa. Keenam, ornamen dan ragam hias pada bagian kepala mimbar. Selain ini, masih terdapat beberapa poin yang tergambar dari bentuk akulturasi budaya antara Hindu dan Islam dalam konteks pelestarian budaya lokal melalui penggunaan budaya material salah satunya bentuk bangunan masjid (bagian dari komplek masjid). Seperti pembangunan ruangan pawestren, serambi dan pendopo pembangunan gapura berbentuk candi bentar pada jalan menuju pintu masuk desa, blok dan komplek masjid Al-Karomah Depok sebagai bagian tambahan yang dibangun di areal sekitar masjid. Proses budaya yang seringkali terjadi dan mendorong terjadinya proses akulturasi secara baik. Konsep asimilasi yang digunakan sebagai sebuah proses kontak budaya dengan budaya sekitar, sehingga menimbulkan terjadinya proses

58 Tawalinuddin Harits, Suhuf Jurnal Al-Qur'an Dan Kebudayaan Masjid-Masjid di Dunia Melayu Nusantara, Vol. 3, No. 2, (Jakarta: Badan Balitbang Dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), hlm. 282. 59 Abdul Rochym, Mesjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia (Bandung: Angkasa, 1983), hlm. 6-7. 60 J.W.M. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hlm. 115. 17

akulturasi budaya yang akan menularkan kebudayaan tertentu. Setiap ada kontak budaya, di situ akan terjadi perkenalan bahkan penggabungan dua kebudayaan atau lebih. Begitu juga halnya dengan asimilasi yang terjadi pada arsitektur Masjid Al- Karomah Depok. Meskipun Masjid Al-Karomah Depok dibangun dengan berbagai arsitektur yang cenderung lahir dari budaya non-Islam, namun Masjid Al-Karomah Depok tidak dialihfungsikan. Pengaruh yang ada hanya sebatas pada sisi estetika dan konstruksi semata, tetapi fungsi praktis sebagai bangunan peribadatan tetap diutamakan. Akulturasi yang terlihat pada arsitektur Masjid Al-Karomah Depok (ruangan utama sebagai bangunan kuno yang ada di komplek masjid) antara lain dapat kita lihat pada aspek konstruktif, ornamentif, dan fungsionalis, seperti berikut : 1. Aspek Konstruktif Pada aspek ini, kita melihat bahwa Masjid Al-Karomah Depok menggunakan ruang persegi empat sebagai ruanga utama dalam pelaksanaan ritual keagamaan di mana pola ini merupakan pola asli bangunan Islam. Hal ini terlihat dari bentuk persegi empat pada Masjid Nabawi (masjid yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw sebagai basic penyebaran dan pendidikan Islam) yang kemudian dibawa oleh para pendakwah Islam ke Nusantara (sebutan bagi Indonesia) yang melebur bersama dengan bentuk konstruksi bangunan yang ada di Nusantara (sebutan bagi Indonesia tempo dulu). Denah konstruksi yang kemudian berpadu bersama kontruksi atap bentuk dan bersusun dua layaknya bangunan-bangunan masjid kuno di Jawa sebagai representasi bangunan candi Hindu, sehingga dapat dikatakan bahwa pola denah bangunan masjid Al-Karomah Depok merupakan bentuk asli bangunan Islam yang berakulturasi dengan pola bangunan lokal yang ada dan telah lama hidup sebelumnya.61 2. Aspek Ornamentif Akulturasi budaya pada Masjid Al-Karomah Depok juga dapat kita lihat pada penggunaan ornamennya, yakni pada bagian kepala mimbar. Ragam hias yang digunakan untuk memperindah bangunan masjid, juga mengadopsi dari budaya Hindu; seperti ornamen bunga teratai dan dedaunan sebagai proses stilisasi dari penggambaran motif kala-makara yang telah berkembang jauh sebelum masa Islam

61 Hasan Mu’arif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta : Kogos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 16-17. 18

(masa kerajaan Hindu). Dari penggambaran tersebut, bahwa ornamen pada mimbar Masjid Al-Karomah Depok masih memakai motif kala-makara yang telah distilisasi dengan gayanya yang hampir sama dengan gaya hiasan kala-makara pada relung candi-candi Jawa.62 Mastaka yang berada di atas atap Masjid Al-Karomah Depok merupakan penggambaran dari perjalanan hidup manusia. Mastaka yang secara keseluruhan berjumah empat ini menggambarkan bagainama kehidupan manusia sejak lahir, beranjak remaja, dewasa hingga memasuki masa tuanya dan akan kembali kepada pemilik dari kehidupannya (mati).63 Bentuk mastaka ini mengadopsi dari budaya Hindu yaitu dengan konsep Dewi Pinakasih dan Bhatara Kresna. Di sepanjang tembok keliling masjid terdapat ornamen atau hiasan yang disebut dengan candi laras, dan bentuknya mirip dengan bangunan candi Hindu. Gapura pintu masuk komplek masjid Al-Karomah Depok berbentuk gapura paduraksa dengan dua pintu di utara dan selatan masjid, mengadopsi dari budaya Hindu yang merupakan perbatasan daerah profan dengan daerah semi sakral. Kemudian pada pintu masuk utama menuju ruang utama Masjid Al-Karomah Depok berbentuk gapura paduraksa juga, dan banyak ditemukan pada bangunan-bangunan suci agama Hindu, yang merupakan perbatasan antara daerah semi sakral dengan daerah yang sakral. 3. Aspek Fungsionalis Aspek kegunaan yang dapat dilihat pada arsitektur Masjid Al-Karomah Depok antara lain terletak pada ruangan utama. Penggunaan ruangan utama lengkap dengan mihrabnya masih digunakan sebagaimana fungsinya, namun sedikit mengalami pengurangan frekuensi pendayagunaannya. Ruangan ini hanya digunakan pada saat pelaksanaan shalat Jum’at dan shalat I’ed (idul fitri dan Idul Adha) semata. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kesakralan dari bangunan masjid dan menghindarkan dari pengkhususan terhadap ruangan utama masjid. Bagian lainnya adalah pada mimbar masjid, yang masih digunakan sebagai tempat untuk menyampaikan khutbah pada pelaksanaan shalat Jum’at.

62 Hasan Muarif Ambary, Op. Cit., hlm. 17. 63 Hasil wawancara dengan Bapak Harjono selaku Ketua DKM Masjid Al-Karomah Depok pada tanggal 10 November 2014. 19

Masjid Al-Karomah Depok masih mempertahankan fungsi utamanya yakni sebagai tempat ibadah dan pengembangan ilmu keagamaan (meskipun tidak seramai pada masjid-masjid lainnya), karena konsep suasana yang diusung masjid ini adalah keheningan sebagai sarana menuju kekhusyu’an dalam beribadah dan mendekatkan diri pada Allah swt. Setiap bahan material yang digunakan pada bangunan ini baik batu bata, Kayu Jati, genting dan sebagainya digunakan untuk membangun ruangan- ruangan menggunakan konsep sederhana sebagaimana konsepnya, yakni menjaga kekyusu’an dalam beribadah. Sehingga pada ruangan utama ini, tidak terdapat hiasan atau ornamen yang mencolok atau berlebihan. Terdapat stagnasi fungsional pada salah satu gapura pintu masuk masjid, tepatnya di pintu masuk masjid sebelah Utara yang sudah tidak lagi difungsikan (sebagi pintu masuk) atau dibiarkan tertutup tanpa pernah dibuka lagi. Hal ini dilatarbelakangi oleh faktor efisiensi terhadap pemanfaatan sarana semata, tanpa mengurangi aspek-aspek lain yang ada (konstruksi bagian bawah gapura masjid yang berbentuk sedikit meninggi dari lapisan tanah halaman masjid). Sebagai pengganti dari stagnasi pintu gapura ini, telah dibangun gerbang di sebelah Utara dekat ruangan DKM yang dilengkapi tempat parkir sebagai pintu lain yang letaknya lebih dekat dengan tempat parkir dan tempat bersuci, sehingga memudahkan pengunjung yang membawa kendaraan untuk masuk ke masjid melalui gerbang baru tersebut (gerbang ketiga).64 Selain fungsi fisik dari bangunan, fungsi lain dari didirikannya sebuah masjid adalah sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan. Seperti yang tertera pada tabel di bab sebelumnya, bahwa kegiatan pengembangan keagamaan di Masjid Al-Karomah Depok masih dilaksanakan secara internsif di lingkungan masjid, contohnya seperti  Kegiatan jiping ibu-ibu, dengan materi pembelajarannya adalah kitab seputar keagamaan, seperti ketauhidan, fiqh dan hikmah kehidupan. Kegiatan ini dilakukan secara rutin setiap hari Sabtu dimulai pada pukul 08.00 dan berakhir 11.00 WIB.  Pembacaan Ratibul Haddad selalu dilaksanakan setiap minggunya pada malam Selasa ba’da Isya di serambi masjid. Pelaksanaan pembacaan Ratibul

64 Hasil wawancara dengan Bapak Mustajib Masyadi selaku ketua Yayasan Syekh Pasiraga Depok pada tanggal 16 November 2014. 20

Haddad selain diadakan di masjid, juga dilaksanakan di seluruh mushollah yang ada di Desa Depok.  Pelaksanaan Haul Sesepuh Depok (haul buyut-buyut atau leluhur Depok) yang tentunya juga melibatkan Masjid ini sebagai salah satu sarana kegiatan yang berlangsung antara minggu terkhir di Bulan Juni atau minggu pertama Bulan Juli dalam kalender Nasional.65  Peringatan Hari Besar Islam, seperti peringatan maulid Nabi Muhammad saw, Rajaban dan lainnya juga senantiasa diadakan di masjid sebagai sarananya.  Kegiatan-kegiatan dakwah dan pengembangan keagamaan lain pun turut serta dilaksanakan di Masjid Al-Karomah. Seperti pelaksanaan kegiatan shalawat Nariyah se-Cirebon pada tanggal 21 September 2014. Kegiatan ini berjalan di bawah naungan dan Kanoman yang secara rutin dilaksanakan setiap mingguan di mana para jama’ah secara bergantian bershalawat di masjid atau sarana keagamaan lain di tiap desa di wilayah tiga Cirebon, termasuk juga di Masjid Al-Karomah Depok.

Gambar 138. Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, dokumentasi 2015

65 Hasil Wawancara dengan saudara Farihin selaku sekretaris DKM masjid Al-Karomah Depok, pada tanggal 7 September 2014 di kediaman Penulis pukul 20.00 WIB. 21

Gambar 139. Kegiatan Shalawat Nariyyah se-Cirebon bertempat di Masjid Al- Karomah Depok Dari hasil emaparan di atas, terlihat bentuk akulturasi budaya yang didominasi oleh Arsitektur Hindu sebesar 60% (lihat pula tabel akultuasi budaya pada Masjid Al-Karomah Depok pada halaman lampiran), kemudian sisanya diikuti dengan prosentase arsitektur Islam, lokal (jawa dan Bali), China dan Eropa di mana kesemua budaya ini ada dan berkembang di Cirebon dengan gerak dinamika sosialnya sendiri.