BAB IV AKULTURASI BUDAYA HINDU DAN ISLAM Proses Lahirnya
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
1 BAB IV AKULTURASI BUDAYA HINDU DAN ISLAM Proses lahirnya sebuah kebudayaan (dalam hal ini adalah budaya yang bersifat fisik) berawal dari konsepsi yang hadir dari para pencipta (penggagas ide) dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor antara lain; kepribadian, lingkungan, tingkat religiusitas dan perkembangan budaya yang hadir di lingkungan penggagas ide tersebut menetap. Sebuah gagasan/ide yang muncul tidak serta merta lepas dari apa yang dinamakan dengan falsafah. Berawal dari kepribadian dan nilai-nilai religius yang tertanam dalam diri masyarakat dan menjadi sesuatu yang diyakini. Kemudian sang penggagas tersebut membangun budayanya yang kaya akan nilai- nilai luhur dan filosofi yang agung. A. Deskripsi Unsur Budaya dan Simbol pada Masjid Al-Karomah Depok 1. Unsur Islam a. Mihrab masjid Dalam menjalankan ibadah shalat, umat Islam harus menghadap ke kiblat yaitu Ka’bah, maka pada dinding tengah masjid di bagian Barat dibuat sebuah ceruk atau ruangan relatif kecil yang masuk pada dinding atau disebut dengan mihrab.1 Sebuah ruangan kecil yang hanya diperuntukkan untuk satu orang sebagai pemimpin diwaktu sholat, dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan pengimaman atau paimaman dalam bahasa Sunda.2 Ruang ini merupakan ruang tertutup dengan sebuah pintu masuk di bagian depan, sehingga ruangan ini selalu gelap dan terasing.3 Beberapa pendapat menyebutkan bahwa pencetus ide pembentukan mihrab adalah Mu’awiyah, akan tetapi lain pihak beranggapan bahwa pencetus ide tersebut adalah al-Walid. Dari kesimpulan di atas, terdapat kemungkinan bahwa pencetus ide pembentukan mihrab adalah al-Walid, hal ini dilatarbelakangi dari kesenangannya 1 Yulianto Sumalyo, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2006), hlm. 7. 2 Mundzirin Yusuf Elba, Mesjid Tradisional di Jawa, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983), hlm. 23. 3 Hasan Mu’arif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta : Kogos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 197. 2 dalam mengubah-ubah arsitektur masjid, seperti penambahan bangunan berupa menara.4 Masjid Al-Karomah Depok memiliki dua buah mihrab. Mihrab pertama berada di ruangan utama (lihat gambar 24) dan hanya difungsikan pada saat pelaksanaan shalat jum’at dan shalat I’ed (idul fitri dan idul Adha) saja. Sedangkan untuk shalat lima waktu (sholatul maktubah) mihrab yang difungsikan berada di serambi, tepatnya di sebelah Timur pintu tengah ruangan ke dua (lihat gambar 51 di halaman 53 dan gambar 81 di halaman 66). Keterangan pasti yang menjelaskan maksud pendirian kedua mihrab ini tidak tergambar jelas. Akan tetapi, berdasarkan pada pernyataan yang dikemukakan Bapak Mustajib Masyadi pada bab sebelumnya,5 terdapat kemungkinan bahwa hal ini bertujuan untuk tetap menjaga, memelihara dan menyucikan ruangan utama dari perbuatan pada hal-hal berbau syirik, sehingga dalam pelaksanaan shalat maktubah hanya memanfaatkan ruangan serambi. Sedangkan tempat imam ketika memimpin shalat berjama’ah (mihrabnya) letaknya tepat di depan (sebelah Timur) pintu tengah ruangan kedua. Pada awalnya, umat Islam dalam menjalankan shalat menghadap ke arah mana saja mereka kehendaki. Namun pada perkembangannya kemudian, arah hadap shalat dipusatkan mengarah ke Masjidil Haram di Mekkah,6 yakni ketika turun surat al-Baqarah ayat 144 yang berbunyi :7 ً قد نرى تقلُّ َب َو ْج ِه َك فِي ال َّسما ِء َف َلنُ َو ِل ينَّ َك قِ ْب َلة تَ ْر َض َها َف َو ِ ل َو ْج َه َك َش ْط َرا ْل َم ْس ِج ِد ا ْل َح َرا ِم َو َح ْي ُث َما ُك ْنتُ ْم فَ َولُّواْ ٌو ٌجوه ُك ْم َش ْط َره، َو ِا َّن الَّ ِذ ْين اُوتُواْ اا ْل ِكت َب َلي ْع َل ُمو َن أنَّهُ ال َح ُّق ِم ْن َربِ ِه ْم و َماهللا بِغف ٍل ع َّما يعلم ْو َن. “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu mengengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu kea rah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu 4 Sidi Gazalba, Mesdjid; Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Antara, 1962), hlm. 282. 5 lihat pernyataan di bagian penjelasan tentang mihrab masjid. 6 Arah kiblat untuk daerah-daerah di Indonesia kira-kira ke arah barat laut. Untuk tepatnya ada perhitungan khusus tentang arah kiblat ini, dan kini telah ada daftar azimuth untuk menentukan arah kiblat untuk daerah atau kota-kota tertentu. Sedangkan untuk daerah Cirebon kurang lebih 18° dari barat ke arah barat laut. 7 Al-Qur-an Dan Terjemahnya, (Medinah Munawwarah : Komplek Percetakan Al-Qur’an Khadim al-Haramain asy-Syarifain al-Malik Fahd at-Thiba’at al-Musyhaf asy-Syarif, 1990 M/1411 H), hlm. 37. 3 berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” Pemaparan di atas menunjukkan sebuah bentuk pemusatan pada bagian masjid untuk merujuk pada Ka’bah sebagai Kiblat umat Islam, sehingga mihrab ini menjadi sebuah simbol kepemimpinan dalam beribadah khususnya shalat. Banyak masjid-masjid lama yang dibangun di Indonesia tidak memiliki kesesuaian pada posisi arah kiblatnya dan umumnya hanya berdasarkan pada arah Barat-Timur saja, sehingga pada perkembangannya kemudian shaf shalat (di bagian dalam ruangannya) menjadi menyerong dan tidak sejajar dengan tembok masjid. Akibatnya, banyak bagian ruang yang terbuang dan menyebabkan berkurangnya nilai estetika dalam penataan interior ruangan.8 Menurut perhitungan arah kiblat yang benar, yaitu Cirebon berada pada 18° dari barat ke arah Barat Laut, sehingga pengaturan dalam shaf shalat di dalamnya tidak banyak ruang yang terbuang.9 b. Mimbar Keberadaan mimbar menjadi sebuah komponen yang cukup penting terkait dengan pelaksanaan ibadah shalat Jumat, yakni sebagai tempat penyampaian khutbah Jum’at. Khutbah merupakan salah satu syarat sahnya shalat Jumat, oleh karena itu sebuah masjid pun (mungkin harus) dilengkapi dengan adanya bagian yang dinamakan dengan mimbar.10 Masjid Al-Karomah Depok memiliki sebuah mimbar dengan bentuk yang sangat sederhana, hanya berupa podium dengan tempat duduk (bagian belakang yang terbuat dari kayu jati yang dibentuk seperti papan) dengan tiga anak tangga yang menjadi satu dilengkapi dengan tongkat atau cis11 (lihat gambar 41 dan 43). Bahan dasar yang digunakan untuk membuat mimbar berasal dari kayu jati tanpa pewarnaan (cat kayu atau sejenisnya) dan dihiasi dengan ukiran bermotif floral. Motif floral 8 Zein M. Wiryoprawiro. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1986), hlm. 158. 9 Aplikasi Micro Qiblat pada Android. 10 Yulianto Sumalyo, Op. Cit., hlm 7. 11 Cis biasanya dibuat dari berbagai macam kayu, tetapi ada juga cis yang dibuat dari besi.Biasanya sebuah mesjid hanya mempunyai sebatang cis, kadang-kadang bagian bawah cis yang dibuat dari kayu itu dilapisi dengan besi, dan bagian atasnya meruncing atau merupakan bentuk dwisula/trisula. Lihat, G.F. Pijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, terj. Tudjimah dan Yessy Augusdin (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 29. 4 yang ada pada setiap mimbar masjid di Jawa, terkhusus di Cirebon umumnya berupa pengulangan dedaunan disertai bunga-bunga dan penggambaran dari tumbuhan dengan motif sulur, patran dan lung. Hal ini menjadi popular, karena dalam Islam sangat melarang hadirnya unsur makhluk hidup (hewan) dalam bangunan atau hiasan bangunan, sehingga sebagai penggantinya adalah dengan hiasan bermotif floral. Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya, fungsi dari mimbar adalah sebagai media penyampaian khutbah terkhusus dalam pelaksanaan Shalat Jum’at, sehingga dalam penggambaran dari motif yang ada pun terlihat tidak jauh berbeda dengan fungsinya, yakni sebagai sarana penyebaran dakwah Islam dengan dibantu oleh seluruh lapisan masyarakat dengan rasa kepercayaan dan persatuan. 2. Unsur non-Islam Masjid tidak hanya berfungsi sebagai sarana keagamaan atau pendidikan saja, akan tetapi tersirat pula sebuah makna yang muncul dari lambang-lambang diseitarnya. Lambang atau simbol yang muncul baik dalam bentuk tata cara, tingkah laku ataupun lambang fisik contohnya. Pendekatan yang diarahkan pada bentuk fisik lebih menekankan pada lambang atau simbol12 yang disebut pendekatan semiotik (pendekatan formalis).13 Sebagaimana telah disinggung pada Bab I, bahwa sebuah lambang memiliki makna melalui hadirnya tanda, objek, dan interpretant. Adapun simbol yang sering muncul dan digunakan yaitu simbol-simbol bernuansa utamanya adalah Islam, Hindu (Jawa dan Bali) serta Eropa. Adapun unsur simbolik pada Masjid Al-Karomah Depok adalah sebagai berikut : a. Denah Persegi Empat Penggunaan denah segi empat pada bangunan masjid memiliki dua versi. Versi pertama adalah pendapat W.F. Stutterheim mengatakan bahwa ketika dilihat dari bentuknya, model masjid lebih mengacu kepada bangunan gelanggang ayam (wantilan) masa pra-Islam. Wantilan memiliki bentuk persegi empat dan beratap namun tidak berdinding. Model wantilan ini merupakan bagian perkembangan dari struktur dasar pendopo yang beratap susun tiga sebagaimana meru.14 Ketika sisi-sisi 12 yang sering kurang memperhatikan fungsi atau efisiensi. 13 Zein M. Wiryoprawiro, Perkembangan ArsitekturMasjid di Jawa Timur (Surabaya: PT. Bina Ilmu), hlm. 159. 14 A. Bagoes P. Wiryomartono, Seni Bangunan Dan Seni Binakota Di Indonesia Kajian Mengenai Konsep, Struktur, Dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Budha, Islam Hingga Sekarang. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama), 1995), hlm. 9. 5 wantilan ini ditutup dan di bagian baratnya dibuat mihrab,