PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU PADA ZAMAN AL MA’MUN (813-833 M) TESIS

DiajukankepadaPengelola Magister FakultasIlmuTarbiyahdanKeguruan (FITK) untukmengikutiUjianPromosiTesispada Program MagisterPendidikan Agama

Oleh: Ahmad Khumaidi Al Anshori NIM: 2113011000011

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1436 H

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. PADANAN AKSARA Huruf Arab Huruf Latin Keterangan Tidak dilambangkan ا B Be ب T Te خ Ts Te dan es ز J Je ض H Ha dengan garis bawah غ Kh Ka dan Ha خ D De ز Dz De dan Zet ش R Er ض Z Zet ظ S Es غ Sy Es dan Ye ش S Es dengan garis bawah ص D De dengan garis bawah ع T Te dengan garis bawah ط ػ Z Zet dengan garis bawah Koma terbalik di atas hadap „ ع kanan ؽ Gh Ge dan Ha F Ef ف Q Ki ق K Ka ن L El ل M Em و N En ٌ H Ha ِ W We ٔ A Apostrof ء Y Ye ي

i

B. VOKAL Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan Arab Latin A Fathah -َ- I Kasrah -ِ- U Dammah -ُ- Ai A dan i -َ- ي Au A dan u -ُ- و

C. VOKAL PANJANG Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan Arab Latin  A dengan Topi di atas -- اَ Î I dengan Topi di atas -- يِ Û U dengan Topi di atas -- وُ

D. KATA SANDANG Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf dialihaksarakan menjadi huruf (l), baik diikuti huruf syamsiyyah ,ال maupun qamariyah. Contoh: al-syamsu bukan asy-syamsu dan al-jannah

E. SYADDAH/TASYDID Syaddah/tasydîd dalam tulisan Arab dilambangkan dengan ّ, dalam alih aksara dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syiddah. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada huruf-huruf syamsiyyah tidak ditulis an-naum َانَُٕو yang didahului kata sandang. Misalnya kata melainkan al-naum

F. TA MARBÛTAH Ta marbûtah jika berdiri sendiri dan diikuti oleh kata sifat (na’at) dialihaksarakan menjadi huruf (h). Namun, jika huruf tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf (t). Contoh: No Kata Arab Alih Aksara Madrasah هذرست 1 -Al-jâmi‟ah al الجاهعت اإلسالهيت 2 islâmiyyah Wihdat al-wujud وحذة الىجىد 3

ii

iii

iv

v

vi

vii

viii

ix

x

xi

ABSTRAK

Ahmad Khumaidi Al Anshori. NIM: 2113011000011; “Paradigma Pengembangan Ilmu pada Zaman Al-Ma’mun (813-833 M)”. Tesis Program Magister Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN SYarif Hidayatullah Jakarta. 2015 Paradigma dapat dipahami sebagai sekumpulan keyakinan dasar yang mengarahkan pada tindakan penelitian ilmiah. Paradigma seseorang tentang ilmu, akan menentukan sikap dan perilakunya terhadap ilmu tersebut. Khalifah al-Ma‟mun merupakan salah satu Kholifah Daulah Abbasiyah yang termasuk kedalam The Golden Age (Zaman Keemasan). Selama pemerintahan al-Ma‟mun banyak hal yang ia lakukan, khususnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan mempengaruhi pemikiran al-Ma‟mun. Masalah utama dalam penelitian ini adalah: “Paradigma Pengembangan ilmu bagaimanakah yang di kembangkan pada zaman al-Ma‟mun? Penelitian ini bertujuan: Mengungkap fakta tentang paradigma pengembangan terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun (813-833M). Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang sejarah paradigma pengembangan ilmu pengetahuan (sains) dalam pendidikan Islam di zaman klasik dan masih relevan pada masa kini. Data primer dalam penelitian ini adalah dari Kitab Al-Kamil fi Tarikh oleh Ibn Atsir dan Kitab Wa’fiyat Al- A’yan wa Anba Al-Zaman oleh Ibn Khalikan dan Mukadimah Ibn Khaldun oleh Ibnu Khaldun yang menjelaskan tentang pertumbuhan ilmu dan perkembanganya pada zaman al-Ma‟mun Dinasti Abbasiyah (813-833). Adapun data sekundernya adalah karya tulis Tarikh Al-Tarbiyah al-Islamiyah oleh Ahmad Syalabi, The History of Arabic oleh Philip K. Hitti dan Science Civilization in Islam oleh Syyed Hoesen Nasr dan para ilmuwan yang telah menulis sejarah ilmu. Oleh karena itu penelitian ini sepenuhnya adalah studi pustaka. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa Paradigma pengembangan ilmu pada zaman al-Ma‟mun merupakan pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang melihat ilmu pengetahuan (sains) dari aspek ontologis yang membahas alam jagat raya yang disusun sebagai ilmu pengetahuan (sains), epistemologis dengan metode ijbari atau eksperimen dan observasi yang dilakukan di laboratorium, dan aksiologis dimana Islam menganjurkan dan mendorong manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan alam (sains) yang merupakan satu kesatuan dari Allah. Paradigma pengembangan ilmu di zaman al-Ma‟mun terpusatkan pada ilmu-ilmu alam (Natural Sciences) dengan Pola gerakan intelektual yang integrated pada zamannya. Kata Kunci: Paradigma, Pengembangaan, Ilmu, Zaman, Al-Ma‟mun xii

ABSTRACT

Ahmad Khumaidi Al Anshori. NIM: 2113011000011; "Paradigm Development of Science in the Al-Ma'mun". The Master degree program thesis Islamic Religion teaching Faculty of Education and educations in teaching and care (FITK) UIN Syarif Hidayatullah State Islamic University in Jakarta . 2015 Paradigm can be understood as a set of basic beliefs that direct the actions of scientific research. Paradigm someone about science, will determine the attitude and behavior towards the art. Caliph al-Ma'mun was one Kholifah Daula Abbasid included into The Golden Age (Golden Age). During the reign of al-Ma'mun many things he did, especially in developing science. His passion for science influence the thinking of al-Ma'mun. The main problem in this research is: "The paradigm of how science Development that was developed at the time of al-Ma'mun? This study aims: Revealing the facts about the development paradigm for the science education in the history of Islam in the time of al-Ma'mun (813-833M). This research is useful to provide information about the history of the development paradigm of science (science) in Islamic education in antiquity and is still relevant today. Primary data in this study is from the Book of Al- Kamil fi Tarikh by Ibn Atsir and Book Wa'fiyat wa Al-Anba A'yan Al-Zaman by Ibn Khalikan and Ibn Khaldun Preamble by Ibn Khaldun, explaining the growth of science and its development in the time Abbasid al-Ma'mun (813- 833). The secondary data is writing Tarbiyah Tarikh al-Ahmad al-Islamiyah by Syalabi, The History of Arabic by Philip K. Hitti Science and Civilization in Islam by Nasr Hoesen Syyed and scientists who have written the history of science. Therefore this research entirely is literature. The results achieved in this study concluded that the paradigm of development of science in the time of al-Ma'mun an integrated development based on monotheism who see science (science) of natural discuss ontological aspects of the universe that is structured as a science (science), epistemological ijbari method or experiments and observations made in the laboratory, and axiological where Islam advocate and encourage people to develop the natural sciences (science) which is a unity of God. Paradigm development of science in the age of al-Ma'mun concentrated in natural sciences (Natural Sciences) with integrated movement pattern intellectual of his time.

Keywords: Paradigm, Deveplopment, Knowledge, The Time, Al Ma‟mun

xiii

هلخص البحث

أحوذ خويذي األنصاري. رَقنُ الطالِب: 2113011000011 ؛ " نوىرج تنويت العلن في عهذ الـوأهُىى " . رسالت هاجستير برناهج التربيت اإلسالهيت بكليت التربيت والتعلين (FITK) بجاهعت شريف هذايت اهلل اإلسالهيت الحكىهيت بجاكرتا عام 5102 هـ.

ًٌٔكٍ فٓى انًُٕشض كًعػًٕح يٍ انؼًرمساخ األساسٍح انرً ذٕظّ ذظطفاخ انثحس انؼهًً. شرض يا فً انًُٕشض ػٍ انؼهى، ٔذحسٌس انًٕالف ٔانسهٕن ذعاِ انفٍ. كاٌ انرهٍفح انًأيٌٕ شًهد ٔاحسج زأال انرهٍفح انؼثاسً إنى انؼظط انصْثً )انؼظط انصْثً(. فً ػٓس انًأيٌٕ أشٍاء كصٍطج فؼهّ، ذظٕطا فً ذغٌٕط انؼهٕو. شغفّ نهؼهى ذؤشط ػهى ذفكٍط انًأيٌٕ. انًشكهح انطئٍسٍح فً ْصا انثحس: "إٌ ًَٕشض نكٍفٍح ػهٕو انرًٍُح انرً ذى ذغٌٕطْا فً ٔلد انًأيٌٕ؟ ٔذٓسف ْصِ انسضاسح: انكشف ػٍ انحمائك حٕل ًَٕشض انرًٍُح نرؼهٍى انؼهٕو فً ذاضٌد اإلسالو فً ػٓس انرهٍفح انًأيٌٕ )-318 M388(. ْصا انثحس ْٕ يفٍس نرٕفٍط انؼًهٕياخ ػٍ ذاضٌد ًَٕشض انرًٍُح فً انؼهٕو )ػهٕو( فً انرطتٍح اإلساليٍح فً انؼظٕض انمسًٌح، ٔال ذعال طانحح انٍٕو. انثٍاَاخ األٔنٍح فً ْصِ انسضاسح يٍ كراب آل كًٍم فاي انراضٌد التٍ األشٍط ٔكراب wa'fiyat A'yan ٔا آل األَثا انرً كرثٓا تٍ انعياٌ انسٌثاظح Khalikan ٔاتٍ ذهسٌٔ اتٍ ذهسٌٔ يٍذالل شطغ انًُٕ انؼهى ٔذغٕضِ فً ػٓس انرهٍفح انرالفح انؼثاسٍح - Ma'mun 833-813)(. انثٍاَاخ انصإَي ْٕ كراتح عطتٍّ Tarikh االحًس االساليٍح يٍ لثم Syalabi، ذاضٌد انهغح انؼطتٍح يٍ لثم فٍهٍة ن حرً انؼهى ٔانحضاضج فً اإلسالو َظط Syyed Hoesen ٔانؼهًاء انصٌٍ كرثٕا فً ذاضٌد انؼهى. ٔتانرانً ْصا انثحس ْٕ األزب ذًايا. انُرائط انرً ذحممد فً ْصِ انسضاسح ذهظد إنى أٌ ًَٕشض ذغٕض انؼهى فً ظيٍ انًأيٌٕ ٔانرًٍُح انًركايهح انمائًح ػهى انرٕحٍس انصٌٍ ٌطٌٔ انؼهى )انؼهى( يٍ انغثؼًٍ يُالشح انعٕاَة انٕظٕزٌح نهكٌٕ انصي ٌرشكم كؼهى )انؼهى(، انؼًطفٍّ عطٌمح ijbari أٔ انرعاضب ٔانًالحظاخ انرً أتسٌد فً انًررثط، ٔانمًًٍ حٍس زاػٍح اإلسالو ٔذشعٍغ انُاغ ػهى ذغٌٕط انؼهٕو انغثؼٍٍح )انؼهٕو( ًْٔ ٔحسج يٍ اهلل. ذغٌٕط ًَٕشض انؼهى فً ػظط انًأيٌٕ ذرطكع فً انؼهٕو انغثؼٍٍح )انؼهٕو انغثؼٍٍح( يغ يركايم انفكطٌح ًَظ انحطكح يٍ ٔلرّ. كلواث البحث: النوىرج والتنويت، والعلىم، عهذ، الـوأهىى

xiv

KATA PENGANTAR

.   . Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat dan salam dihaturkan kepada pendidik pertama, Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menggariskan rambu-rambu Pengembangan sehingga dapat mengangkat derajat dan martabat manusia sebagaimana mestinya. Dalam kesempatan ini, penulisan menyadari bahwa selama penulisan tesis ini, sejujurnya penulis banyak sekali mengalami berbagai kesulitan dan kendala baik dalam literatur, dan waktu dalam penyelesaiannya, terutama dalam menganalisis dan memahami berbagai bahan bacaan. Namun berkat bantuan dan dorongan moril dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan selama penulisan tesis ini dapat diatasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga terutama kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Fachriany, M.Pd. selaku Ketua, Dr. Jejen Musfah, M.A. selaku Sekretaris dan Azkia Muharom Albantan, M.Pd.I. selaku Staf Program Magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Prof. Dr. H. Murodi, M.A., selaku pembimbing, tesis ini. Terima kasih atas perhatian dan kesabarannya dalam mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 5. Dr. Khalimi, M.A., selaku penguji proposal dalam tesis ini. Terima kasih atas bimbingan, perhatian dan kesabarannya pada saat menguji proposal tesis ini. 6. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Dr. Jejen Musfah, M.A., dan Dr. Khalimi,M.A., selaku penguji Work In Progress (WIP) I-II (Pra Tesis I- II). Terima kasih atas bimbingan, perhatian, dan kesabarannya pada saat menguji WIP I dalam tesis ini. 7. Seluruh Dosen Program Magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mencurahkan ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan,

xv

xvi

xvii

DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI ...... i SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ...... iii SURAT PERNYATAAN JURUSAN ...... iv LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI WIP I ...... v LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI WIP II ...... vi LEMBAR PENGESAHAN PENGUSJI PROMOSI TESIS ...... vii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... viii ABSTRAK ...... ix KATA PENGANTAR ...... xii DAFTAR ISI ...... xiv DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ...... xvi

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Permasalahan ...... 14 C. Tujuan Penelitian ...... 15 D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian ...... 15 E. Kajian Pustaka ...... 16 F. Metodologi Penelitian ...... 18

BAB II PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU DALAM PENDIDIKAN ISLAM ...... 23 A. Paradigma Keilmuan ...... 23 B. Konsep Ilmu dalam Islam ...... 27 C. Pandangan Islam terhadap Alam ...... 49 D. Pandangan Islam tentang Dikotomi Ilmu ...... 58 E. Dualisme Keilmuan dalam Pendidikan Islam ………………………63

BAB III SEJARAH PERTUMBUHAN ILMU PENGETAHUAN DAN PERKEMBANGAN DALAM ISLAM ...... 69 A. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Rasulullah SAW...... 69 B. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Khulafa‟ al-Rasyidin ...... 71 C. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Bani Umayyah ...... 73 D. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Daulah Abbasiyah ...... 78 E. E. E. Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan dan Perkembangannya dalam Islam ...... 81 xviii

BAB IV PARADIGMA PENGEMBANGAN SAINS DAN PENDIDIKAN ISLAM PADA ZAMAN AL MA’MUN ...... 97 A. Biografi Al Ma‟mun ...... 97 B. Paradigma Pengembangan Sains dalam Islam ...... 102 C. Langkah-langkah Kholifah Al-Ma‟mun dalam Mengembangkan Sains ...... 105 D. Hasil Pencapaian Al-Ma‟mun dalam Mengembangkan Sains …………………………………………………………...…. 122 E. Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Sains) dan Pengaruhnya terhadap Sistem Kemajuan Masyarakat Islam…….………….….. 166 F. Pola Gerakan Intelektual yang Integrated Zaman Al Ma‟mun ..… 172 G. Model Pengembangan Ilmu-Ilmu Alam (Sains) di Zaman Al-Ma‟mun ……………………………………………. 177 H. Paradigma Pengembangan Sains Integrated yang Berbasis pada Tauhid dari Aspek Aksiologis, Epistemologis, dan Ontologis …. 184

BAB V PENUTUP ...... 203 A. Kesimpulan ...... 203 B. Saran ...... 206 Daftar Pustaka Lampiran

xix

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Tabel. 2.1 : Pandangan Integral Holistik ……………………………… 25 Gambar 2.2: Konseptual Islam Tentang Ilmu dan Penelitian ………….. 49 Gambar 3.1: Silsilah Kholifah Abbasiyah Zaman Integrasi Ilmu ……… 81 Gambar 4.1: Konsep dasar pendidikan Multikultural pada Institusi Baitul Hikmah ……………………………………………. 127 Tabel 4.2: Kronologi Riwayat Hidup Ulama dan Ilmuwan serta Keahliannya pada Zaman al-Ma‟mun …………………… 166 Gambar 4.3: Pola Bangunan Sains (Natural Sciences) Integratif ……… 189 Tabel. 4.4: Paradigma Pengembangan Ilmu pada zaman Al-Mansyur, Harun Al-Rasyid dan Al Ma‟mun ………………………. 200 Gambar 4.5: Pola Gerakan Intelektual Integratif zaman Al-Ma‟mun.…. 204

xx

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula) (Al-Qur‟an, al-Kahf: 109). Ayat ini menggambarkan betapa luas kandungan ilmu-ilmu yang diturunkan Allah baik yang terdapat dalam ayat- ayat Qur‟aniah maupun dalam ayat-ayat kauniah. Oleh karena itu, tidak heran jika para ulama dan para filosof muslim sejak zaman dahulu menjadikan al- Qur‟an sebagai sumber ilmu pengetahuan. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa penerjemahan karya-karya pemikiran Yunani ke dalam bahasa Arab, menyebabkan maraknya pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam, termasuk pengembangan pendidikan Islam di masa klasik (Nasution,1985: 56), (Nata, 2010: 159), (Sarton, 1972: 523-24). Pemikran filsof masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Syria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Walaupun pendidikan di masa klasik tidak sekompleks pendidikan modern. Pendidikan Islam di masa klasik dapat dikatakan maju, bahkan dianggap telah mencapai masa keemasan dalam sepanjang sejarah. Sejak permulaan penterjemahan karya-karya pemikiran Yunani, pendidikan Islam mengalami kemajuan pesat baik dalam materi pengajarannya (kurikulum) maupun ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Nasution, 1985: 46). Agar tidak salah persepsi, maka penulis sedikit mendeskripsikan, bahwa ketika al-Qur‟an diturunkan, ilmu pengetahuan telah berkembang di Mesir, Syiria, Babilonia, Yunani, Romawi, India, Cina dan Persia, akan tetapi ilmu pengetahuan tersebut banyak yang di tinggalkan, seperti Filsafat oleh Yunani atau bahkan Romawi memandang hal tersebut tidak bernilai (Nata, 2003: 68-69). Baik al-Qur‟an dan Hadits sesungguhnya tidak mempertentangkan ilmu. Akan tetapi jika ada pembagian ilmu agama dengan ilmu umum hanyalah paradigma manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan pada sumber objek kajiannya saja. Misalnya jika objek ontologisnya yang dibahas wahyu al-Qur‟an atau penjelasannya pada hadits dengan menggunakan metode ijtihad maka yang dihasilkannya adalah ilmu- ilmu agama seperti: Tafsir, Hadits, Tasawuf, Fiqih, Teologi dan lain sebagainya. Kemudian jika objek ontologisnya yang di bahas fenomena sosial dengan menggunakan metode observasi, wawancara, maka yang dihasilkannya adalah ilmu sosial seperti: Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Sejarah, Antropologi dan lain sebagainya. Kemudian jika objek ontologinya yang dibahas alam jagat

2 raya seperti langit, bumi, tumbuh-tumbuhan, bulan, bintang, binatang, air, api, udara, batu-batuan dan lain sebagainya dengan menggunakan penelitian eksperimen di laboratorium, maka yang dihasilkannya adalah ilmu alam (Natural Sciencis) seperti: Ilmu Kimia, Biologi, Astronomi, Fisika dan lain sebagainnya (Nata, 2003: 69-70). Jika di atas objek ontologisnya masing-masing menggunakan metode yang berbeda seperti, metode ijtihad, eksperimen (ijbari), observasi, maka untuk objek kajiannya menggunakan metode mujadalah atau logika terbimbing maka yang dihasilkannya adalah Filsafat dan ilmu-ilmu Humaniora. Dan jika objek ontologinya menggunakan intuisi dengan metode penyucian batin (tazkiyah al-nafs), maka ilmu yang dihasilkan adalah ilmu ma‟rifah. Jika menyesuaikan pada judul penelitian ini, Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kerangka berpikir untuk melihat suatu permasalahan. Pengertian paradigma selanjutnya berkembang dari definisi paradigma pengetahuan yang dikembangkan oleh Kuhn dalam rangka menjelaskan cara kerja dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk „masyarakat ilmiah‟ dalam disiplin tertentu. Pengertian lain dari paradigma ilmiah adalah sebagai gambaran intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu subjek kajian. Perspektif intelektual inilah yang kemudian akan membentuk ilmu pengetahuan normal (normal science) yang mendasari pembentukan kerangka teoritis terhadap kajian-kajian ilmiah. Pengertian paradigma juga menjadi gambaran fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan. Paradigma memberikan batasan mengenai apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh (Bachtiar, 2006: 45). Dalam mengembangkan suatu paradigma ilmu, harus dapat melihat cara pandang yang menjadi aspek filosofis dan metodologis dalam menemukan ilmu pengetahuan, yaitu: dimensi ontologis (dimensi yang membicarakan hakikat ilmu), dimensi epistemologis (dimensi yang membicarakan bagaimana memperoleh ilmu), dimensi aksiologis (dimensi yang membicarakan nilai ssebuah ilmu), dimensi retorik (dimensi yang membicarakan tentang bahasa yang dipakai dalam pemikiran ilmu), dan dimensi metodologis (dimensi yang membicarakan metode-metode memperoleh ilmu). Sebagai contoh: Jika kita berhadapan dengan seorang musuh, maka sudut padang kita adalah bagaimana caranya agar dapat menjatuhkan (mengalahkan) musuh tersebut, dan begitupula sebaliknya, jika kita melihat seorang teman, maka bagaimana caranya agar kita dapat mengambil kebaikan dari teman tersebut. Sejak penterjemahan buku-buku Yunani, kurikulum dalam pendidikan Islam mengalami kemajuan pesat. Lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya hanya mengajarkan ilmu agama, seperti zawwiyah, hanqoh,

3 pendidikan yang bersifat non-formal atau halaqah yang dilaksanakan di masjid-mesjid, mulai mengajarkan ilmu pengetahuan, seperti matematika, filsafat, dll. Misalnya di Kuttab, yaitu salah satu dari lembaga pendidikan tingkat dasar, pada abad pertama masa Islam hanya mengajarkan pelajaran membaca dan menulis ilmu agama (Stanton,1994: 35). Sebagaimana Ahmad Shalabi berpandangan bahwa kuttab lebih fokus pada pendidikan anal-anak tentang al-Qur‟an dan isinya. Namun sejak abad 8 M, kuttab mulai mengajarkan ilmu non-agama (Syalabi, 1954: 16-17). Dikarenakan lembaga pendidikan belum menghasilkan sarjana-sarjana di berbagai bidang yang Islami, maka muncul gagasan, bahwa madrasah- madrasah yang diselenggarakan oleh swasta atau pemerintah ingin memasukkan mata pelajaran ilmu pengetahuan umum dalam lembaga pendidikan yang didirikannya. Gagasan semacam ini juga dilatarbelakangi sejarah umat Islam sejak abad ke-2 Hijriah sampai akhir abad ke-4 telah didirikan lembaga-lembaga pendidikan yang di bangun Darul Hikmah di Kairo dan , disampaing ilmu agama, sastra, dan sejarah, dipelajari pula aljabar, fisika, kedokteran, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya (Tamsir, 2006: 47- 48). Dalam Integrasi Ilmu, Abuddin Nata dkk. menyatakan bahwa masa awal dari Dinasti Abbasiyah pada tahun 133-766 H / 750-1258 M. masa awal abad pertengahan umat Islam memiliki kekayaan ilmu dan pengetahuan (Nata, 2003: 16). Akan tetapi, memasuki abad pertengahan sampai akhir abad ke-19 M. Umat Islam mengalami kemunduran, khususnya dalam bidang pendidikan Islam (Rahman, 2000: 103). Faktor penyebabnya yakni: hancurnya sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan, karena serangan tentara Mongol yang mengancurkan kota Bagdad, hilangnya budaya berfikir rasional dikalangan umat Islam, dan Serangan Al-Ghazali pun turut membuat hilangya budaya berpikir ilmiah di kalangan umat Islam, karena Imam Al Ghazali mengkritik para filsuf dan tokoh rasionalis seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina yang dikemukakannya dalam buku Tahafut al-Falasifah (Nizar, 2008: 233- 234, Zuhairini, 2006: 109). Adapun faktor penyebab kemunduran lainnya yang terjadi di atas akibat dikotomi adalah. Pertama, pihak kaum pendukung ilmu-ilmu agama menganggap ilmu-ilmu umum itu bid‟ah atau haram dipelajari karena berasal dari orang-orang kafir, sementara para pendukung ilmu-ilmu umum menganggap ilmu-ilmu agama sebagai mitologi yang tidak akan mencapai tingkat ilmiah, karena tidak bersifat empiris (Kartanegara, 2003: 2). Kedua, adanya kesenjangan tentang sumber ilmu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu- ilmu umum yakni, munculnya perbedaan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu- ilmu umum. Pada umumnya pendukung ilmu-ilmu agama hanya akan menganggap valid sumber Ilahiah dalam bentuk kitab suci yakni Al-Qur‟an dan Hadis dan menolak sumber-sumber non-skripual sebagai sumber otoritatif

4 untuk menjelaskan kebenaran sejati atau akidah. Di pihak lain ilmuwan- ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui pengamatan inderawi atau dapat dibuktikan secara ilmiah (Kartanegara, 2005: 22-23). Ketiga, berkenaan dengan objek-objek ilmu yang dianggap “sah”, bagi kaum sains modern segala objek yang bisa di observasi dianggap sah. Sedangkan, para pendukung ilmu-ilmu agama justru sebaliknya, objek-objek yang non-fisik (metafisik) seperti Tuhan, malaikat sebagai objek-objek yang mulia, yang mana bagi yang mempelajarinya akan menemukan kebahagiaan. Keempat, munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Kelima, menyangkut metode ilmiah. Sains modern seperti dikatakan oleh Zainuddin Sardar, pada dasarnya hanya mengenal satu metode ilmiah yang disebut metode observasi atau eksperimen. Sedangkan kaum agamis, mengembangkan metode-metode yang menjauhkan umatnya dari menggunakan pengamatan indra dan juga penalaran akal dalam ilmu-ilmu agama (Kartanegara, 2005: 8- 9). Keenam, sulitnya mengintegrasikan berbagai pengalaman manusia, khususnya indera, intelektual, dan intiusi sebagai pengalaman-pengalaman legitimate dan real dari manusia. Sains modern dengan bias positivistisnya yang kuat sering menganggap tidak objektif seluruh pengalaman manusia selain pengalaman indrawi. Sedangkan kaum agamis dengan penekanannya yang kuat terhadap pengalaman mistik dan religious, yang memuncak pada kenabian dan pewahyuan, para ulama sering mengabaikan pentingnya pengalaman inderawi dan rasional, sebagaimana yang digeluti dalam bidang- bidang filsafat dan ilmiah, sehingga terjadi ketimpangan yang akut dalam memberikan penekanan terhadap pengalaman indrawi (Kartanegara, 2005: 8- 9). Kebenaran di atas, penulis maksudkan adalah dalam hal akidah, satu- satunya sumber yang otoritatif untuk mencapai kebenaran melalui al-Qur‟an dan al-Hadits, sedangkan akal tidak mampu mengetahui mana yang baik atau yang buruk, karena informasi tentang itu hanya bisa dicapai melalui kitab suci bukan dalam hal ilmu pengetahuan. Bahwasanya sains modern Barat sering menganggap rendah setatus keilmuan dari ilmu-ilmu keagamaan, bahkan ketika yang terakhir berbicara tentang hal-hal ghaib maka ilmu agama tidak bisa dipandang ilmiah. Karena ilmu-ilmu tersebut dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersifat empiris, padahal ilmu-ilmu agama pasti akan berbicara ihwal yang gaib, seperti Tuhan, Malaikat dan sebagainya sebagai pembicaraan yang pokok mereka. Bahkan dalam pandangan Syafi‟i Ma‟arif yang dikutip oleh Moh. Sofwan mengatakan bahwa: Pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendidikan atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun. Dua model yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang

5

bercorak tradisionalis (ketimuran), yang dalam perkembangannya lebih menekankan aspek doktriner-normatif yang cendrung eksklusif- apologestis. Adapun model yang kedua adalah pendidikan Islam yang modernis (ala barat) yang pada perkembangannya ditenggarai mulai kehilangan ruh-ruh mendasarnya (trasendental)” (Sofwan, 2004: 6). Implikasi dari anggapan ini terhadap paradigma umat Islam, ternyata menimbulkan konsekuensi yang tidak baik. Tidak sedikit umat Islam berlomba-lomba untuk menjadi beriman atau orang alim dengan mempelajari ilmu agama saja, dengan alasan untuk tujuan akhirat dan mengabaikan ilmu umum. Dampak yang terjadi yakni sedikit sekali umat Islam yang mempelajari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), padahal hal tersebut adalah cerminan dari budaya yang maju pada sebuah bangsa atau negara. Pada akhirnya perkembangan iptek dikuasai oleh orang-orang Barat, dimana sebelumnya Barat pernah di tutupi kegelapan atau disebut The Dark Age, akibat dari otoriter gereja, yang menjadikan agama Kristen menjadi agama resmi Negara dan berkuasa (Burn, 1964: 37), (Paus dan pemuka- pemuka agama Kristen kala itu menetapkan beberapa teori ilmu pengetahuan dan mensucikannya sehingga menjadi teori yang tidak terbantahkan. Siapa pun yang menentang otoriter gereja akan menghadapi pengadilan di mahkamah gereja (inkuisisi) (Burn, 1964: 246-247). Akhirnya, masa kejayaan yang pernah terjadi, sebutan untuk umat Islam tidak lebih dari sekedar kaum tradisional, atau sebutan lain yang terkesan ortodok. Sementara umat Islam sedang mencapai puncak kejayaannya. Hampir semua disiplin ilmu pengetahuan sudah dikembangkan. Mulai dari ilmu eksak seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, optik, teknik, hingga ilmu-ilmu non-eksak seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Lebih dari sepuluh abad (dari abad 6 M hingga 16 M) umat Islam menguasai kemajuan iptek dan menjadi penghulu bagi dunia saat itu (Titus, 1985: 36). Kejadian di atas, demikian jelas sangat bertolak belakang dengan keadaan yang pernah terjadi pada pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Mereka sangat menghargai dan mencintai ilmu pengetahuan, sebagaimana ilmuan Muslim pada masa tabi‟in atau sesudahnya. Al-Qur‟an dan al-Sunah sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Yang ada dalam al-Qur‟an adalah ilmu. Sedangkan pembagian adanya ilmu agama dan ilmu umum sejatinya merupakan hasil dari kesimpulan manusia yang mengidentifikasikan berdasarkan objek kajiannya. Tergantung ontologisnya yang dibahas berdasarkan pada wahyu seperti; Fiqih, Tafsir, Tasawuf dsb. ataukah pada alam jagat raya atau berdarkan pada pengamatan dan eksperimen seperti; fisika, biologi, kimia, astronomi dsb (Kartanegara, 2005: 16). Dengan demikian para ulama, baik di era klasik maupun kontemporer, selama mereka

6 berpedoman kepada al-Qur‟an dan al-Sunah yang mendorong mengembangkan ilmu pengetahuan, tradisi ilmiah yang kuat, dukungan dari penguasa, stabilitas politik, struktur sosial dan pendidikan yang turut mewarnainya, baik formal, nonformal dan informal. Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam mampu menguasai ilmu pengetahuan, sains dan teknologi melebihi atau melampaui kemampuan umat sebelumnya dan umat yang lain sezamannya. Umat Islam mampu menguasai ilmu kedokteran, ilmu perbintangan, ilmu pasti, ilmu alam, ilmu hitung dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Semua hal itu tidak terlepas dari peran dan aktivitas para ilmuwan muslim yang selalu menggali, mendalami, memahami serta mencari berbagai rahasia alam dan ilmu pengetahuan yang tersimpan dalam al-Qur‟an. Para ilmuwan muslim menempatkan al-Qur‟an sebagai sumber juga sebagai paradigma kerangka berpikir dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak berbagai penemuan para ilmuwan muslim yang sangat mengagumkan dalam dunia sains dan teknologi. Dalam tradisi intelektual Islam, pendidikan telah lama dikenal yaitu sejak awal Islam. Pada masa awal, pendidikan identik dengan upaya da‟wah Islamiyah, karena itu pendidikan berkembang sejalan dengan perkembangan agama itu sendiri. Fazlur Rahman, menyatakan kedatangan Islam membawa untuk pertama kalinya suatu instrumen pendidikan tertentu yang berbudayakan agama, yaitu al-Qur‟an dan ajaran ajaran nabi Muhammad sendiri (Rahman,2000: 263). Tetapi, perlu digaris bawahi pula, bahwa pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara (Syalabi, 1954: 1). Bahkan keadaan pada saat umat Islam mengalami puncak kejayaan yang sangat luar biasa, di zaman dinasti Abbasiyah. Umat Islam menoreh prestasi yang gemilang di mata dunia. Perubahan tersebut terjadi setelah tahun 750 M. Konesp paradigma mengembangkan ilmu pengetahauan dalam Islam, sebagaimana yang dipraktikan para ulama dan ilmuan Islam di zamna klasik (Nata, 2012: 4-5). Gerakkan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja‟far al-Mansur dinasti Abbasiyah. Setelah ia mendirikan kota Baghdad (144 H/762 M) dan menjadikannya sebagai ibu kota Negara. Ia menarik banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqih, tafsir, tauhid, sejarah. Akan tetapi yang lebih mendapat perhatian adalah penerjemahan buku ilmu yang berasal dari luar (al-Gurabi, 1954: 137). Strategi penguasa daulah Abbasiyah, oleh karenanya banyak memperkerjakan kaum terpelajar sebagai staff pemerintahan (Jenggis, 2011: 51). Di sisi lain masa puncak kejayaannya, umat Islam menguasai peradaban dunia, di mana pada saat itu negara-negara barat masih berada dalam kegelapan (the dark age) atau lebih tepatnya hampir mendekati pada kehancuran (Dawson, 1962: 151). Negara-negara Barat umumnya masih dalam

7 cengkeraman pengaruh dogma-dogma gereja yang amat sangat otoriter, jika dilihat secara politis sebenarnya dalam rangka melindungi kekuasaan kerajaan. Semua orang yang berpikir kritis, meskipun hasil pemikiran ilmiah, yang berguna untuk ilmu pengetahuan dan kemajuan, tetapi berbeda dengan paham yang dianut gereja selama ini, diberantas, bahkan tidak sedikit yang akhirnya dihukum mati karenanya karena tidak sepaham oleh peraturan yang dibuat oleh gereja (Jenggis,2011: 55). Pertentangan gereja ini mencapai puncaknya di tahun 1616 (Hart, 1982: 56). Hal tersebut pernah terjadi pada ilmuwan Barat yang bernama Galileo Galilei pada tahun1042 M, saat itu Galileo dipaksa merubah keyakinannya tentang Heliocentris karena bertentangan dengan paham gereja yang menganut paham Geocentris. Paham Heliocentris adalah paham yang menyatakan bahwa dalam tata surya, bumi mengelilingi matahari, yakni matahari sebagai pusat peredaran. Sedangkan Geosentris meyatakan bahwa bumi sebagai pusat peredaran, planet-planet lain termasuk matahari mengelilingi bumi (Ahmed, 1997: 5). Galileo Galilei merupakan tokoh utama selain Descartes yang melakukan matematisasi alam. Ia mentransformasikan buku tentang alam, yang telah dianggap oleh umat Islam, Kristen, Yahudi berabad-abad lamanya sebagai tanda-tanda Allah (sign of god), kedalam sebuah buku matematika yang dipahami oleh pengetahuan matematis-bawaan pikiran manusia. Di satu sisi juga mengidentifikasi bahwa paradigma dikotomis yang nondiskriminatif dapat membawa pada penyatuan ilmu (Nasr, 1996: 136). Pemikiran Galileo ternyata sejalan dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan apa yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur‟an (Ahmed, 2000: 7). Dalam masa rezim dan kekuasaan Islam di kala kejayaannya, pada masa dinasti Abbasiyah, pemerintahan Islam justru memfasilitiasi transformasi ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat pesat. Penterjemahan terhadap karya-karya ilmu pengetahuan Yunani dilakukan besar-besaran. Di mana Yunani sudah memiliki banyak kemajuan dalam kajian teori, namun belum dapat dikembangkan. Tokoh-tokoh besar yang memajukan ilmu pengetahuan, baik di bidang ilmu-ilmu kedokteran, sosial dan ilmu pasti muncul dari kalangan umat Islam. Merekalah yang menjadi pelopor ilmu kedokteran, astronomi, sastra, aljabar, kimia, seni, sosial dan sebagainya. Maka sudah sepantasnya umat Islam dapat menjadi pusat perhatian dunia, karena peradaban yang sangat maju dan berkembang (Rahman, 2000: 104). Para Cendikiawan muslim bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-buku Yunani, tetapi menambahkan ke dalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan falsafat. Dengan demikian timbulah ahli-ahli ilmu pengetahuan dan filosof-filosof Islam. Filsof-filsof Islam, sebagaimana halnya dengan filosof- filosof Yunani, bukan hanya mempunyai sifat filsof, tetapi juga sifat ahli ilmu pengetahuan. Karangan-karangan mereka bukan hanya terbatas dalam lapangan

8 falsafat, tetapi juga lapangan ilmu pengetahuan (Nasution, 1985: 71). Penerjemahan buku-buku Yunani merupakan salah satu faktor dalam gerak intelektual yang dibangkitkan dalam dunia Islam abad ke-9 dan terus berlanjut sampai abad ke-12 (Saefuddin, 2002: 8). Ironisnya ketika dalam puncak kejayaannya, umat Islam justru terbawa derasnya arus kebudayaan, yaitu proses dari akibat akulturasi atau mungkin juga diakibatkan karena kekurang kehati-hatian umat muslimin itu sendiri terhadapnya. Mereka telah memasukkan ke dalam ilmu-ilmu yang mereka kaji, teori-teori yang bertentangan dengan ajaran Islam, sepertiyang telah diuraikan oleh Al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah (Kehancuran para Filsuf). Buku tersebut dibuat karena berkecamuk pemikiran bebas yang membuat banyak orang meninggalkan ibadah (Majid (ed), 1984: 33). Akhirnya, terjadi pulalah pertentangan yang hebat di kalangan ilmuwan Islam dan tokoh agama Islam (Zaini, 1989: 9). Menurut Fuad al-Ahwani dalam bukunya berjudul Filsafat Islam, mengatakan: Pertentangan sebenarnya berawal sejak terjadinya percampur adukan antara ilmu filsafat dan ilmu kalam setelah abad 6 H. Ilmu kalam menelan mentah-mentah kaidah-kaidah ilmufi lsafat yang kemudian dituangkan ke dalam berbagai buku dengan nama ilmu tauhîd, yakni pembahasan problem ilmu kalam dengan menekankan penggunaan semantik (logika) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh kaum filosof (Ahwani , 1985: 22).

Sejak saat itu, sampai berabad-abad lamanya umat Islam tidak mau mendekati ilmu filsafat yang dianggap dapat membawa kepada kekafiran dan atheisme. Hal ini juga semakin diperparah oleh beberapa ulama yang kemudian mengeluarkan fatwa-fatwa yang mengharamkan ilmu pengetahuan, terutama ilmu filsafat, serta mengkafirkan orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Lebih parahnya lagi, orang-orang yang mempelajari dan mengajarkannya ditangkap lalu dipenjarakan dan disiksa, serta buku-bukunya dibumi hanguskan, seperti yang dialami oleh Al-Rukn dan Ibn Rusyd. Meskipun Ibnu Rusyd sangat berhati-hati agar buku fiqih dan filsafatnya tidak menyinggung orang lain, dengan mengemukakan pendapatnya secara tidak langsung, akan tetapi tetap saja masih mendapat serangan yangbelum pernah di terima pemikir sebelumnya. Ia dianggap kafir dan bukunya pun di bakar (Amin, 1995: 192). Bahwasanya pemilahan (bukan pemisahan) antara ilmu agama dan ilmu umum, meskipun dengan maksud dan arah yang mungkin tidak persis sama, penulis juga mendapati cendikiawan muslim, seperti Al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Ibn Jama‟ah, Syafi‟i, Ibnu Khaldun al-Qabisi, dan al-Zarnuji, karena kecenderungannya terhadap agama, perioritas terhadap ilmu umum dengan

9 ilmu agama, sehingga memiliki implikasi pada tatanan paradigma keilmuan masyarakat (Sopyan, 2010: 120-121). Al-Ghazali dalam bukunya, Ihya „Ulûm al-Dîn, juga mengklasifikasikan ilmu pengetahuan kepada dua macam ilmu, yakni (1) ilmu syar‟iyyah, dan (2) ilmu ghairu syar‟iyyah. Ia memandang bahwa ilmu syar‟iyyah adalah ilmu wajib yang tidak diragukan lagi dampak bagi penuntutnya, sedangkan ilmu ghairu syar‟iyyah termasuk ilmu yang diserahkan pencapaiannya kepada manusia melalui penangkapan pancainderanya, penalaran hatinya dan penghayatan hatinya (al-Ghazali, t.t: 5). Berbeda dengan ilmu syar‟iyyah yang bersifat wajib dan sudah jelas kebenarannya, kebenaran ilmu-ilmu ini bersifat relatif yang tingkat validitasnya masih sangat terbatas karena perbedaan pemaknaan dan penafsiran setiap individu, sehingga tidak wajib mempelajarinya dan tergantung kepada minat masing-masing individu. Sedangkan dalam kitab al-Mustashfa miliknya, dalam kitab ini menjelaskan bahwa Ghazali mengkalisifikasikan hukum agama harus diambil dari ajaran-ajaran wahyu bukan dari akal manusia. Pemikiran ini merupakan bentuk antisipatif terhadap pemikiran Mu‟tazilah yang menyatakan bahwa akal manusia termasuk sumber syari‟at Islam. Dalam sejarah Islam memang didapati bahwa dalam perjalanan rezim dan politik Islam telah mengalami suatu kejadian yang memicu resistensi umat Islam terhadap ilmu-ilmu non-agama. Ketika al-Ma‟mun berkuasa, ia meneruskan jejak ayahnya (Harun al-Rasyid) dengan mendirikan Baitul al Hikmah (Yunus, 1992: 62-63). suatu lembaga perguruan tinggi dan memiliki perpustakaan rasional untuk kegiatan penelitian dan penterjemahan pada 830 M. (Asrorah, 1992: 30), (Nasution, 1985: 68). Kejadian-kejadian politis yang bisa diketengahkan di antaranya adalah pada masa pemerintahan khalifahaAl- Ma‟mun zaman dinasti Abbasiyah yang menerapkan Mihnah (ujian) bagi orang-orang yang menempati posisi penting di pemerintahan, termasuk juga para pemuka masyarakat. Hal ini terjadi karena khalifah Al-Ma‟mun yang berpaham Mu‟tazilah kemudian menjadikan paham tersebut sebagai paham resmi negara. Pada waktu itu, yang sedang hangat diperdebatkan adalah isu tentang mempersoalkan apakah Al-Qur‟an itu bersifat qodim atau tidak. Istilah lainnya adalah apakah Al-Qur‟an itu makhluk atau bukan? (Zahra, 1996: 176). Yang tergolong persoalan yang memunculkan mahkamah pemeriksaan yang pertama dalam sejarah Islam. Dalam kondisi tersebut, jika keadaan Negara (daulah) lemah, maka akan muncul banyak fitnah dan mihnah, sehingga hilanglah persaudaraan dan persatuan di kalangan umat Islam dan sebalinya menjadi permusuhan (Al-Sayyis, t.t: 111). Fenomena politik khalifah al-Ma‟mun dalam pemaksaan paham Muta‟zilah dalam persepektif teori analisis diskursus kemunculan sebuah institusi, praktik dan konsep hangat terkait dengan empat hal: will (keinginan), power (kekuasaan), discipline (disiplin) dan regime (pemerintahan) (Zahrah,

10

1996: 175). Hal tersebut dikenal dengan sebutan formasi diskursif (discursive formations), bangunan yang mendasar adanya sebuah diskursus. Analisis diskursus ini memberikan pemahaman, bahwa khalifah al-Ma‟mun menginginkan ilmu pengetahuan yang berkembang tetap terkontrol dan dibatasi oleh pemerintah dan paham Mu‟tazillah sebagai tamengnya (Al- Sayyis, t.t: 509). Akan tetapi akibat peristiwa Mihnah tersebut, banyak pemuka-pemuka Islam dari ahli fiqh dan hadits yang disiksa karena tidak sejalan dengan paham al-Ma‟mun yang menyatakan bahwa al-Qur‟an tidak qadim atau al-Qur‟an adalah makhluk (Zahrah, 1996: 176). Hal ini jelas menyulut kemarahan umat Islam kala itu. Implementasi ajaran Mu‟tazilah yang dipengaruhi filsafat dan bersifat rasional, telah menimbulkan peristiwa yang menyakitkan mayoritas umat Islam, sehingga mereka membenci dan menentang ilmu-ilmu yang bersifat rasional. Puncaknya atau klimaksnya, umat Islam kemudian menjauhi dan membenci semua ilmu non-agama kecuali sebagian kecil saja seperti ilmu hitung (hisab) karena diperlukan dalam ilmu faraidh (ilmu pembagian pusaka atau waris) (Hanafi, 1996:19). Akan tetapi umat Islam yang eksis pada era kontemporer ini berhutang kepada khalifah al-Ma‟mun karena dia adalah khalifah yang paling banyak perhatiannya pada perkembangan ilmu pengetahuan, maka layak jika kahlifah al-Ma‟mun disebut sebagai khalifah sains. Bahkan ia yang pertama kali mendirikan gerakan pemikiran dalam sejarah, sekaligus pemakarsa paling besar dalam penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani (Masood, 2009: 46). Al-Ma‟mun ingin umat Islam maju dalam segala hal, terutama dalam ilmu pengetahuan. Ia mengajak umat Islam agar selalu menggunakan akal berfikir. Oleh karena itu dengan adanya Mihnah, al-Ma‟mun agak keras terhadap umat Islam, terutama masalah qodariyah. Akan tetapi yang mendikotomi ilmu bukanlah al-Ma‟mun, karena sudah jelas arah dan tujuannya agar umat Islam maju dengan menggunakan akal berfikir rasional, dan orang yang membuat menjauhi ilmu adalah orang-orang setelah al-Ma‟mun yang tidak suka dengan cara al-Ma‟mun. Seorang pakar sejarah sains dari universitas Harvad, Abdel Hamid Sabra pernah menuturkan dalam Ahmad P. Jengis : Gerakan penterjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani dan Suryani ke dalam bahasa Arab mewakili fase pertama dari tiga tahap Islamisasi sains. Beliau menyebutkan: Pertama. Sebagai fase peralihan atau akuisisi, di zaman sains Yunani memasuki wilayah peradaban Islam bukan sebagai kekuatan penjajah, melainkan sebagai tamu yang diundang. Kedua. Adalah fase penerimaan atau adopsi, dimana Umat Islam mulai mengambil dan menikmati karya-karya ilmiah yang dibawa sang tamu. Lahirlah orang-

11

orang seperti Jabir ibn Hayyan, al-Kindi, dan Abu Ma‟asyar. Ketiga. Tahap selanjutnya, fase asimilasi dan naturalisasi. Pada tahap ini umat Islam bukan hanya sekedar menerima dan menikmati, tetapi juga mulai mampu meramu dan mengolah karya-karya ilmiah sendiri, menciptakan karya-karya baru, bahkan menyebarkan ke masyarakat luas. Inilah yang ditunjukkan oleh al-Khawarizmi dan Umar al Khayyam dalam Matematika, Ibnu Sina dan Ibn an Nafis dalam kedokteran, Ibn Haytsam dan Ibn al Syatir dalam Astronomi, al Biruni dan al Idris dalam Geografi, dan masih banyak lagi sederetan ilmuwan-ilmuwan muslim lainnya (Jenggis P., 2011: 51-52).

Di samping itu, kejadian lainnya yang bisa dianggap besar pengaruhnya adalah fatwa yang sangat keras dari peranan al-Asy‟ari dengan kapasitas intelektualnya tentang hukum mempelajari ilmu filsafat, yang kemudian menjadi pegangan penting bagi golongan Ahl al-Sunnah. Dengan meminjami metode Mu‟tazilah, berhasil merumuskan paham Suni (Majid, 2000: 34). Sebelumnya, memang beberapa tokoh sudah menghujat dan menentang ilmu filsafat seperti Ibn Hazm, Al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn Al-Qayyim, tetapi pengaruhnya tidak sehebat pengaruh fatwa al-Asy‟ari (Zaini, 1989: 9). Munculnya fatwa di atas secara otomatis pendidikan Islam kehilangan dimensi dialektikal konkret kemanusiaan dan memunculkan dimensi vertikal keabadian. Seharusnya antara kedua dimensi tersebut menjadi karakteristik utama pendidikan Islam. Artinya, secara filosofis pendidikan Islam tidak hanya menyentuh persoalan hidup yang multidimensional di dunia, tetapi juga menyangkut dimensi transendental. Akan tetapi sejarah mencatat tidak demikian. Menurut Abuddin Nata, sejarah Islam mencatat bahwa sejak abad pertengahan (13 M) sampai dengan awal abad modern (18M) perhatian umat Islam lebih banyak tertuju pada ilmu-ilmu agama, moral, tasawuf sebagaimana yang dikemukakan di atas. (Nata, 2012: 2). Sedangkan al Ghazali dan Ibn Taimiyah, mengajak umat Islam untuk membangun kerangka berfikir memahmai Islam secara benar. Al Ghazali dan Ibn Taimiyah mengemukakan kesalahan terbesar ulama Islam adalah terseretnya pemikiran mereka dalam arus pemikiran filsafat Yunani, dimana filsafat mengajarkan kemerdekaan untuk berfikir bebas yang telah merusak pola berfikir umat Islam di bidang kalam dan tidak mustahil akan merembet pula dalam pemikiran hukum Islam. Bagi al-Ghazali pemikiran semacam itu akan berbahaya terhadap subtansi ajaran Islam dan harus ditolak. Karena akan mengakibatkan budaya sekuler, seperti, mempercayaai sepenuhnya akal dibandingkan dengan wahyu (Nata, 2012: 2). Kejadian ini terus berlanjut berabad-abad lamanya, hingga memasuki abad ke-20 M. umat Islam baru menyadari adanya sesuatu yang telah hilang dari mereka, yakni budaya mengeksplorasi ilmu pengetahuan.

12

Munculnya Islam sebagai sebuah agama yang membawahi suatu tujuan untuk memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Islam merupakan salah satu agama yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Al-Qur‟an sebagai sebuah kitab suci telah memancarkan sinar cahaya ilmu pengetahuan bagi para ilmuwan Muslim. Al-Qur‟an dijadikan sebagai sumber dan kerangka berpikir dalam merenungkan kekuasaan Allah dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi bagi para ilmuwan Muslim. Alam jagat raya adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan, dengan memahami dan mengkaji alam jagat raya maka para ahli akan menemukan berbagai teori yang disusun menjadi ilmu pengetahuan alam (sains), seperti ilmu tumbuh-tumbuhan (flora), makhluk hidup (biologi), binatang (fauna), perbintangan dan planet (astronomi), benda cair dan keras (fisika), melalui ilmu-ilmu murni ini lahir ilmu botani, kimia, kedokteran dan lain sebagainya. Dengan menyadari alam sebagai ciptaan dan ayat Allah, maka manusia semakin memahami alam dengan segala hukum, hikmah, dan rahasia yang terkandung di dalamnya, maka manusia akan menyadari kelemahan dirinya sekaligus bersyukur kepada-Nya. Dengan cara demikian seorang ilmuan dengan ilmunya yang luas dapat digunakan, mengenal, mendekati, dan mencintai Allah Swt. sebagaimana Ian Babour dikatakan dengan ungkapan menemukan Tuhan dalam sains (Babour, 1997: 87). Terjadinya perkembangan ilmu yang selanjutnya melahirkan paradigma budaya dan peradaban, karena adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur‟an dan Sunah yang memerintahkan manusia menggunakan daya cipta (pikiran), rasa (potensi batin), karsa (potensi fisik), yang digunakan untuk membaca, menulis, dan meneliti baik yang bersifat bayani, burhani, ijbari, jadali maupun irfani. Faktor yang bersifat internal ini dapat pula disebut faktor yang disengaja, yakni Allah Swt. dan Rasul-Nya secara sengaja menjadikan Islam sebagai agama ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan dan peradaban. Adapun faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar ajaran Islam, yakni faktor yang sudah ada sebelum datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. namuan demikian, dari segi pemanfaatnnya berbagai faktor tersebut ada juga dilakukan secara sengaja, yakni dilakukan atau usaha, dorongan dan dukungan dari khalifah yang berkuasa pada waktu itu. Ketika para ilmuwan Muslim atau umat Islam mulai mengabaikan, meninggalkan serta menjauhkan kajian al-Qur‟an yang mendalam dari aktivitas keilmuan dan aktivitas kehidupan, maka di situlah titik awal kemunduran umat Islam. Dan jika hal itu terus berlangsung sampai saat ini, dan kalau ada kajian- kajian al-Qur‟an itu hanya sebatas kajian biasa bukan kajian yang mendalam. Suatu kajian untuk menemukan rahasia alam dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an dan hadits telah dijadikan sebagai dasar bagi semua aktivitas ilmiah dalam sejarah

13

Islam. Paradigma atau sudut pandang yang paling dominan dalam mendukung pengembangan ilmu adalah faktor yang bersifat nonfisik, seperti faktor motivasi dan niat yang tulus, kesungguhan dalam meneliti, orientasi kehidupan yang lebih mengutamakan segi-segi yang bersifat inteletual, moral, dan spiritual, serta penghargaan terhadap orang-orang yang mendalami ilmu agama dan umum. Keadaan ini semakin diperkuat lagi oleh adanya dominasi kekuasan dan pengaruh para ulama dan ilmuwan di masyarakat. Menurut Abbuddin Nata, di masa sekarang saat dimana para ulama dan ilmuwan kurang dihargai dan tergeser peran dan kedudukannya oleh kekuasaan para penguasa, menyebabkan ukuran ketinggian suatu bangsa bukan lagi ilmu, moral dan spiritual, melainkan hal-hal yang bersifat materialistic, hedonistik, kapitalistik, dan skularistik yang di sertai dengan terjadinya kehancuran di bidang moral dan akhlak mulia. Faktor-faktor yang bersifat nonfisik inilah yang saat ini dapat dikatakan mengalami krisis, sehingga walaupun secara ekonomi, teknologi dan keamanan sudah meningkat, namun tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perkembangan gerakan intelektual (Nata, 2012: 18-19). Paradigma sangat penting perannya dalam mempengaruhi teori, analisis mau pun tindak perilaku seseorang (Sitanggang, Rinto, 2010: “http://www.docstoc.com.). Karena paradigma sangat menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui. Paradigma pulalah yang mempengaruhi pandangan seseorang apa yang baik dan buruk, adil dan yang tidak adil. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang melihat sesuatu realitas sosial yang sama, akan menghasilkan pandangan, penilaian, sikap dan perilaku yang berbeda pula. Perbedaan ini semuanya dikarenakan perbedaan paradigma yang dimiliki, yang secara otomatis memengaruhi persepsi dan tindak komunikasi seseorang. Berdasarkan dari latar belakang di atas, penulis sekiranya memandang bahwa persoalan pengembangan terhadap ilmu dalam pendidikan Islam adalah kunci permasalahannya terhadap kemajuan atau kemundurannya umat Islam, karena pandangan seseorang terhadap ilmu pengetahuan akan menentukan sikapnya ke depan, apakah ia akan mengutamakan, akan menganggap biasa- biasa saja, atau bahkan akan sangat tidak peduli dan meninggalkannya. Itu semua menjadi semacam spirit kehidupan bagi berkembanganya budaya eksplorasi ilmu pengetahuan untuk masyarakat Islam. Jika melihat daripada paradigma dengan meninjau ulang sejarah keilmuan abad pertengahan (antara abad 8-12), maka dapat didapati bahwa ilmu pengetahuan berkembang dibangun oleh ilmuwan Islam dengan sangat pesat, bahkan mewarnai dunia saat itu. Tradisi keilmuan berkembang hingga mampu melahirkan karya-karya besar dan monumental. Padahal jika diukur dengan kondisi infra struktur yang ada saat itu belum cukum memadai dan kurang mendukung bagi perkembangan keilmuan tersebut. Akan tetapi, meski

14 demikian bagaimana itu dapat terwujud? Apa sebetulnya yang mendorong perkembangan ilmu sejak saat itu? Apakah karena epistemologinya, ontology atau aksiologi yang benar? Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan yang ada, penulis mencoba meneliti tentang Paradigma pengembangan ilmu pada zaman al-Ma‟mun priode klasik melalui adanya pengembangan dari fenomena- fenomena alam jagat raya yang menghasilkan ilmu alam (natural sciencis). Penulis mencoba memaparkannya melalui pendekatan perspektif sejarah Islam (Islamic historical perspective), dimana perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam pada puncaknya dengan mengetengahkan judul “Paradigma Pengembangan Ilmu Zaman Al-Ma‟mun (813 -833 M)”.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat di identifikasi permasalahan sesuai dengan judul penelitian ini, maka dapat di identifikasikan beberapa hal, diantaranya: a. Siapakah sebenarnya al-Ma‟mun itu? b. Paradigma atau sudut pandang bagaimanakah pengembangan ilmu pengetahuan yang ada pada zaman al-Ma‟mun itu? c. Apakah yang dimaksud dengan paradigma pengembangan ilmu? d. Bagaimana peranan atau langkah-langkah apa saja yang dilakukan al- Ma‟mun dalam mengembangkan peradaban Islam di era klasik? e. Tradisi intelektual yang berkembang bagaimanakah di zaman al-Ma‟mun? f. Ilmu pada fenomena apa saja yang berkembang pada masa kepemimpinan al-Ma‟mun? g. Institusi-institusi apa saja yang berkembang pada kepemimpinan al- Ma‟mun? h. Bagaimanakah peranan ulama dan ilmuan dalam mengintegrasikan ilmu pengtahuan?

2. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang didapatkan, agar tidak meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, maka akan dibatasi hanya pada : a. Biografi al-Ma‟mun b. Paradigma Pengembangan sains c. Pengembangan institusi-institusi pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun d. Tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan ilmu pada pemerintahan zaman al-Ma‟mun e. Tradisi intelektual yang berkembang f. Langkah-langkah al-Ma‟mun dalam mengembangkan sains g. Hasil pencapaian al-Ma‟mun dalam mengembangkan ilmu pengetahauan

15 h. Pengembangan sains dan pengaruhnya terhadap kemajuan Masyarakat Islam i. Ilmu-ilmu yang integrated (Tauhid) berdasarkan pada fenomena alam

3. Perumusan Masalah Setelah membatasi permasalahan di atas main research question pada penelitian ini adalah “Paradigma Pengembangan Ilmu bagaimanakah yang di kembangkan atau digunakan pada zaman al-Ma‟mun? maka sub dari permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan- pertanyaan sebagai berikut: a. Siapakah al-Ma‟mun itu? b. Apa yang dimaksud paradigma pengembangan sains? c. Langkah-langkah apa saja yang dilakukan al-Ma‟mun dalam mengembangkan sains? d. Hasil bagaimanakah, yang dapat dicapai al-Ma‟mun dalam mengembangkan sains ?

C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan permasalahan dalam penelitian ini, maka tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Mengungkap fakta tentang pengaruh paradigma pengembangan terhadap sains dalam sejarah pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun. 2. Menganalisis secara kritis fakta sejarah tentang Paradigma pengembangan ilmu pengatahuan dan pengaruhnya dalam pendidikan Islam, kemudian menjadikannya sebagai pelajaran yang berharga bagi umat Islam terutama dalam mengelola sistem pendidikannya. 3. Menemukan akar-akar sejarah tentang proses terjadinya pengembangan sains pengetahuan dalam pendidikan Islam pada priode klasik khususnya pada zaman al-Ma‟mun.

D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian Manfaat atau signifikansi penelitian ini, seiring dengan semangat yang diharapkan dari tujuan penelitian,maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini diantaranya: 1. Menjelaskan sejarah tentang paradigma pengembangan ilmu dan pengaruhnya dalam pendidikan Islam, serta kontribusinya yang sangat berharga bagi Masyarakat Islam terutama dalam sistem pendidikan Islam. 2. Memberikan informasi tentang sejarah atau proses pengambangan sains pengetahaun dalam pendidikan Islam zaman klasik. 3. Mengetengahkan informasi tentang fakta pengaruh paradigma pengembanagn terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan Islam.

16

4. Wacana dan pelajaran yang berharga bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan Islam, khususnya pendidikan Islam di Indonesia.

E. Kajian Pustaka Ada Beberapa tulisan yang membahas tentang tema, yaitu “Upaya- upaya integrasi ilmu, seperti tulisan dari karya ilmiah “Asnawi dalam Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Studi Komparasi Pola Pembelajaran antara Pesantren Tradisional Plus dan Pesantren Modern)”dan tulisan “Abuddin Nata” dalam Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Dalam tulisan ini memuat hal ihwal Paradigma pengembangan Ilmu berdasarkan pada objek ontologis yang dibahas adalah wahyu (al-Qur‟an) dan hadits, dengan menggunakan metode ijtihad, maka akan menhasilkan ilmu-ilmu agama. (Asnawi, Tesis, 2010: tidak dipublikasikan, Nata, 2003). Selanjutnya tulisan Affandi Mochtar, dkk dalam “Paradigma Baru Pendidikan Islam”. (Mochtar, dkk., 2008). Dalam tulisan tersebut membicarakan pola pengembangan baru dalam pendidkan Islam di Indonesia melalui pengalaman yang berharga yang pantas untuk di implementasikan secara komperhensif dan intensif di perguruan tinggi khususnya. Lalu tulisan M. Zainuddin, dalam “Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam: Menyiapkan Generasi Ulul Albab”. Dalam tulisan tersebut berbicara tentang konsep integrasi ilmu dan agama dalam pendidikan Islam, dengan menyiapkan generasi ulul albab yang dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan memiliki kontribusi bagi lembaga pendidikan Islam. (Zainuddin, 2008). Selanjutnya tulisan Latifudin, dalam “Paradigma Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam”. Tesis karya Latifudin mengungkapkan Pola pendidikan multicultural berbasis agama akan mendorong terciptanya budaya toleransi dengan memadukan model-model pengembangan ilmu sains dan agama di sekolah maupun di masyarakat. (Latifudin, Tesis, 2008. tidak dipublikasikan) Kalau sekiranya juga hendak dipaksakan untuk dipersamakan secara obyek dan waktu penelitian, yakni penelitian sejarah tentang paradigma pengembangan ilmu terhadap umat Islam terhadap ilmu adalah kejadian atau peristiwa Mihnah di zaman pemerintahan Dinasti Abbasiyah pada masa pemerintahan khalifah al-Ma‟mun. Tentang bahasan peristiwa Mihnah secara khusus dan mendalam, penulis dapati satu tulisan, yakni tesis karya Didin Izzuddin dengan judul “Mihnah dan Politisasi Teologi: Studi Sejarah dan Politik”. (Izzuddin, Tesis, 2000:. tidak dipublikasikan. Kesimpulannya, Didin Izzuddin mengungkapkan bahwa peristiwa Mihnah adalah lebih sebagai peristiwa politis daripada teologis yang diterapkan oleh al-Ma‟mun. Dimana al-Ma‟mun berkeinginan umat Islam maju dengan menggunakan akal dan dengan hal tersebut dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.

17

Kemudian dalam tulisan lainnya, penulis menemukan satu karya yang membahas khusus tentang pengembangan ilmu adalah tulisan singkat Ahmad Choirul Rofiq, Jurnal Studi Keislaman, “Ulumuna”, Signifikansi Teori-teori Popper, Khun, Lakatos terhadap Pengembanagn Ilmu-Ilmu Keislaman”. Dalam tulisan tersbut ia menjelaskan bahwa pada waktu masyarakat Barat memasuki zaman kegelapan (dark age) dan berada pada titik nadir, ironisnya pendulum ilmu pengetahuan berpindah kepada umat Islam yang mampu meraih masa keemasan. (the golden age). Pada waktu itu peradaban Islam mencapai puncaknya kejayaannya. Gerakan penerjemah karya-karya filsafat dan ilmu pengetahuan berharga dari bahasa Yunani, Syiria, Sanskrit, Pahlavi, kedalam bahasa Arab. terutama yang paling impresif adalah pada ,masa pemerintahan khalifah al-Ma‟mun (813-833 M) dengan Bayt al-Hikmah yang pada mulanya adalah pusat penerjemahan dan penelitian yang kemudian menjadi sebuah akademi yang sangat besar. (Rofiq, 2010: Jurnal Studi Keislaman,Vol.IXV,No.1). Kegiatan penerjemahan itu sangat intensif. Aktifitas ilmiah dikonsentrasikan dipusat-pusat kota metopolitan, misalnya Baghdad, Damaskus, Aleppo, Qayrawan, Fez, dan Kairo di bawah naungan dan sepenuhnya di dukung oleh pemerintahan Islam, sehingga berhasil mentransfer ilmu dan peradaban lain serta selanjutnyaya mengembangkannya dengan penuh kegemilangan. Kesuksesannya terbukti dengan penuh dan banyaknya ilmuan yang hasil pemikirannya kemudian dimanfaatkan oleh Barat sejak abad XII. (Nakosteen, 1964:144-5). Dalam tulisan tersebut menjelaskan bahwa al-Ma‟mun memusatkan perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan melalui penterjemahan sampai menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dari pusat peradaban di kota-kota taklukkan Abbasiyah. Dalam penelitian ini memiliki distingsi atau perbedaan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya, jika penelitian sebelumnya membicarakan politik pemerintahan al-Ma‟mun dengan menerapkan Mihnah, lalu ada juga yang membicarakan pengembangan ilmu antara ilmu pengetahuan agama dan umum, lalu ada juga yang membicarakan tentang Paradigma Baru Pendidikan Islam, dan ada juga yang membicarakan tentang paradigma pengembangan ilmu melalui metode Ijtihad dari wahyu dan hadits dan Integrasi ilmu agama dan umum, maka kelebihan daripada penelitian ini lebih memfokuskan pada “Paradigma atau Pola Pengembangan yang bersifat Integrated yang berbasis pada tauhid di zaman al-Ma‟mun dengan focus penelitian pada fenomena- fenomena ilmu alam jagat raya”. Dibawah ini adalah sumber-sumber dari kitab-kitab sejarah dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut: 1. “Al-Kâmil fi al-Târîkh” oleh Ibn Atsir. 2. “Târîkh Al-Umam wa al-Mulk” oleh Al-Thabari

18

3. “Dhuhâ al-Islam”oleh Ahmad Amin. 4. “Al-Maushu‟ah al-Târîkh al-Islâmî wa al-Hadharah al-Islâmiyyah” oleh Ahmad Syalabi 5. “Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah”oleh Abu Zahrah. 6. Fajar Islam oleh Ahmad Amin Jenis kitab-kitab diatas ini pun sama-sama menampilkan persoalan Pengembangan ilmu dalam bentuk uraian tentang madzhab dan aliran teologis. Meskipun demikian, semua referensi tersebut adalah referensi yang berharga bagi penulis untuk lebih akurat dalam melacak sumber data sejarah tentang Paradigma Pengembangan ilmu pada zaman al-Ma‟mun.

F. Metodologi Penelitian Dalam penulisan ini mengikuti sedikitnya empat langkah pokok dalam metodologi penelitian sejarah, yakni dengan: 1. Heuristic,yaitu mencari dan mengumpulkan obyek atau gambaran dari suatu zaman secara menyeluruh tentang data, fakta dan peristiwa yang sebenarnya mengenai obyek penelitian. 2. Kritik atau verifikasi, yakni menyingkirkan bahan-bahan (atau bagian- bagian daripadanya) yang tidak otentik. 3. Interpretasi atau menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya berdasarkan bahan-bahan yang otentik. 4. Historiografi, yaitu penyusunan atau penulisan kesaksian sejarah itu menjadi suatu kisah atau penyajian yang berarti Data, fakta dan peristiwa tersebut diperoleh dari sumber-sumber yang dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan metodologi sejarah. (Nata, 2011: 365). Karena itu, sumber-sumber yang ditulis oleh penulis sezaman, orang yang terlibat atau menyaksikan peristiwa yang menjadi obyek penelitian ini merupakan faktor yang menentukan. (Kuntowijiyo, 1994: 33) Adapun pendekatan politik lebih bermakna secara umum, yakni kajian tentang jalannya sejarah yang ditentukan oleh kejadian politik, perang diplomasi dan tindakan tokoh-tokoh politiknya. Sedangkan pendekatan sejarah pendidikan digunakan untuk membahas segala aspek yang berhubungan dengan pendidikan berdasarkan peninggalan atau dokumen sejarah yangada. Dengan pendekatan historis-kritis diharapkan dapat lebih mengungkap dan mengkritisi kenyataan sejarah yang didapat dari dokumen sejarah itu untuk menemukan esensi dasarnya. Adapun hasil akhir yang diharapkan dari tulisan ini lebih bersifat deskriptif, yakni memberikan gambaran umum dan menyeluruh tentang kejadian sejarah masa lalu dengan menarik ke masa kini.

19 a. Obyek penelitian Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka sasaran atau obyek penelitian hanya diarahkan pada: 1) Paradigma pengembangan sains 2) Biografi Kholifah al-Ma‟mun 3) Langkah-langkah al-Ma‟mun dalam mengembangkan sains pengetahuan dalam memajukan peradaban Islam di zaman klasik 4) Hasil yang dapat dicapai al-Ma‟mun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan 5) Sumbangan al-Ma‟mun terhadap kemajuan Islam di zaman klasik dan juga tokoh-tokoh lain yang ikut berperan dalam mengembangkan ilmu. 6) Fenomena-fenomena alam yang berlandaskan pada penelitian ijbari atau eksperimen di zaman al-Ma‟mun b. Sumber data 1) Data tertulis (library research) atau Data dokumentasi. Melalui sumber ini, penulis mencari dan menelusuri bahan-bahan yang ada hubungannya dengan teori paradigma pengembangan ilmu dalam sejarah pendidikan Islam. dan Melalui sumber ini, penulis mencari dan menelusuri bahan-bahan atau tulisan-tulisan penting tentang al- Ma‟mun pada dinasti Abbasiyah tahun 813-833 M. Sumber data primer dalam penelitian ini secara eksplisit agak sulit penulis dapatkan. Akan tetapi setelah beberapa konsultasi dengan para pakar sejarah pendidikan di kampus UIN Jakarta, secara umum didapati buku-buku sejarah dan pendidikan Islam yang mendukung atau menjelaskan tentang pemikiran dan kronologis terjadinya paradigma pengambangan terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan Islam. Buku-buku tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 1. “Târîkh Al-Umam wa al-Mulk‟ oleh At-Thabari. 2. “Dhuhâ al-Islâm” dan “Fajar Isla” oleh Ahmad Amin. 3. “Al-Maushu‟ah al-Târîkh al-Islâmi wa al-Hadharah al-Islâmiyyah” oleh Ahmad Syalabi. 4. “Ihya‟ „Ulûm al-Dîn”, oleh Al-Ghazali. 5. “Tarikh al-Firaq al Islamiyah”, oleh Ali Mustafa al Gurabi 6. “The Histoy of Arab” oleh Philip K. Hitty 7. “Muqodimah Ibnu Khladun” oleh Ibnu Khaldun 8. “Tarikh al-Baghdadi” oleh Ahmad al-Baghdadi 9. “Religion and the Order of Nature” oleh Sayyed Hosein Nasr 10. “The Making of Europe” oleh Christhoper Dawson 11. Al-Biruni oleh Al-Biruni 12. Al-Kamil fii Tarikh, oleh Ibn Atsir 13. Wafiyat Al-A‟yan wa Anba Al-Zaman, oleh Ibn Khalikan

20

Data sekunder dalam penelitian ini diambil dari karya tulis parailmuwan yang telah menulis teori-teori sejarah pendidikan yang digunakan sebagai pembanding dalam menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Karya tulis tersebut diantaranya: 1. “Al-Tarbiyyah fial-Islâm” karya Al-Ahwani. 2. “Al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah” karya Muhammad Athiyah al-Abrasy. 3. “Al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah fi al-Qarnal-Râbi” karya Hasan Abd al-„Ali. 4. “ Tarik at-Tarbiyyah al-Islâmiyyah” karya Ahmad Syalabi. 5. “Science Civilization in Islam” oleh Syyed Hossein Nasr Setelah data dikumpulkan kemudian dikaji, dianalisis dan diinterpretasi, untuk selanjutnya dengan analisis deskriptif dituangkan secara apa adanya dengan sedikit interpretasi dan pengambilan substansi dengan analisis yang cermat ke dalam konstruksi pembahasan yang logis, sistematis dan komprehensif. Kemudian dilakukan analisis komparatif, tidak saja terhadap pernyataan yang sama, tetapi juga yang berbeda selagi masih dalam permasalahan yang sama. Selanjutnya, agar tidak terjebak kepada pembahasan yang bersifat naratif dan konvensional, penelitian ini juga akan berusaha mencari penyebab mengapa suatu keadaan atau peristiwa terjadi dengan analisis kritis sehingga data tersajikan secara seimbang, yakni secara objektif-deskriptif sekaligus menyajikan pandangan kritis subjektif penulis. c. Teknik Pengumpulan Data 1) Dokumentasi Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode dokumentasi untuk mendapatkan bahan-bahan dokumenter. Hal ini di dasarkan bahwa pendidikan Islam menyimpan bahan-bahan dokumenter berupa: hasil-hasil penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Selanjtnya penelusuran referensi yang dimaksudkan di sini adalah penulis melakukan pencarian dan penelaahan buku-buku dan karya tulis ilmiah lainnya yang ada keterkaitannya dengan masalah yang di teliti. Juga melalui metode ini, penulis berusaha mencari kajian-kajian teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti untuk digunakan dalam penulisan tesis ini. Metode penelusuran referensi ini tentu saja berkaitan erat dengan data tertulis berupa buku-buku dan sumber tertulis lainnya yang biasa terseimpan di perpustakaan. Oleh karena itu, penulis mempergunakan kartu kutipan yang lazim dipakai untuk kegiatan ini. Kartu tersebut digunakan untuk mencatat kutipan hasil bacaan. Pada

21

kartu kutipan ditulis nama pengarang, nama buku, penerbit, tempat terbit, tahun terbit, dan halam yang dikutip, termasuk di dalamnya informasi jilid dan cetakan. Selanjutnya, penulis mengorganisir nama pengarangnya berdasarkan abjad. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mengklasifikasi dan mentabulasi data. d. Teknik Pengolahan dan Analisa Data Dalam uraian terdahulu disebutkan bahwa data penelitian ini ada yang tertulis, yaitu data pustaka atau dokumentasi. Oleh karena itu, berdasarkan pemetaan tersebut, maka data tertulis yang diperoleh akan diperlakukan dengan cara ditelaah, dibandingkan, dikategorisasikan, kemudian dilakukan analisis deskriptif. Penelitian ini menggunakan lebih dari satu jenis data, (Bryman, 1988: 131) dan menggunakan metode ganda (triangulasi) (Brannen, 1997: 20) Terkait triangulasi, Meleong menjelaskan bahwa metode ini digunakan sebagai tekhnik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam hal ini, teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya (Moleong, 1995: 85). e. Pendektan Penelitian Pendekatan yang akan digunakan dalam tulisan ini, karena menyangkut paradigma berpikir umat di suatu zaman dan beberapa intrik politik yang terjadi sebagai pemicunya, maka pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan sosisologis dan historis. Dapat dikatakan bahwa jenis penelitian dalam tesis ini, penelitian kualitatif. Hal ini logis karena penelitian ini merupakan paradigma pengembangan terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan Islam yang terjadi pada zaman Kholifah al-Ma‟mun (813-833 M) dan sesudahnya. Selanjutnya penelitian yang bersifat kualitatif ini tidak dapat dipisahkan dari pendekatan grouded research atau grouded theory yang intinya adalah semua analisa harus berdasarkan data yang ada dan bukan beradasrkan ide yang ditetapkan sebelumnya. Selanjutnya dari sisi pendekatan studi, penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi-historis. Kedua pendekatan ini digunakan karena obyek yang diteliti membutuhkan jasa ilmu-ilmu tersebut. Pendekatan sosiologis digunakan untuk memahami arti subyektif dari perilaku sosial, bukan semata- mata menyelidiki arti obyektifnya (Abdurrahman, 2003: 11). Penelitian ini menggunakan pendekatan historis dengan asumsi bahwa kajian Paradigam pengembangan terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan Islam pada zaman pemerintahan Kholifah al-Ma‟mun di tahun 813-833 M. dan perkembangan pada sesudahnya, sebagai wadah berlangsungnya proses

22 tersebut dengan dimensi sejarah. Artinya, dengan pendekatan historis, penelitian ini mencoba mengupayakan agar pemikiran, gagasan, dan konsep dapat dibuktikan melalui data-data yang dapat dilacak dalam dokumen sejarah (Nata, 2005:.8) atau secara empirik dapat dilakukan konfirmasi silang terhadap keakuratan data yang diperoleh melalui wawancara. Hal ini memungkinkan karena melalui pendekatan historis diasumsikan bahwa segala pristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan pristiwa itu terjadi, dimana, dan siapa yang terlibat dalam pristiwa tersebut. Jadi, melalui pendekatan ini seseorang diajak menukik dari alam idelis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia (Nata, 2008: l 39).

23

BAB II PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Paradigma Keilmuan 1. Pengertian Paradigma Paradigma dapat berarti model, pola atau contoh (Echols dan Shadily, 1996: 143). Paradigma menjadi istilah kunci dalam pembicaraan tentang filsafat ilmu. Sejak tahun 1960-an istilah ini popular di tangan Thomas S. Kuhn. Menurutnya, paradigma berarti mode of thought atau mode of inquiry. Kuhn menegaskan bahwa pada dasarnya relitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of though atau mode inquiry yang akan menghasilkan mode knowing. Sementara Immanuel Kant menyebutnya sebagai skema konseptual, sedangkan Marx menyebutnya dengan ideology (Kuntowijoyo, 2004: 11). Jadi, dapat dikatakan bahwasanya paradigma itu bisa dimaknai sebagai sekumpulan asumsi-asumsi, konsep-konsep yang secara logis dianut bersama dan dapat mengarahkan cara berpikir, mengkaji dan meneliti. Oleh sebab itu, paradima adalah a set of scientific and metaphysical beliefs that make up a theoretical frame work whithin which scientific theories can be tested, evaluated, and if necessary, revised (sekumpulan kepercayaan ilmiah dan metafisik yang membuat suatu kerangka teoritis dalam mana teori-teori ilmiah dapat diuji, dievaluasi dan kalau perlu direvisi) (Bidin, dkk., 2003: 34). Paradigma sebagaimana di atas adalah sebuah kerangka berpikir terhadap suatu hal, dalam memecahkan persoalan. Misalnnya, ketika melihat musuh, maka yang terpikirkan adalah perasaan yang tidak mengenakkan dalam hati, lalu terpikirkan bagaimana caranya untuk menjatuhkan musuh tersebut atau mengalahkannya?. Atau sebaliknya, ketika melihat teman suasana hati terasa senang, lalu yang terpikirkan adalah bagaimana caranya agar mendapatkan sisi baik dari pertemanan tersebut?. Jadi dapat dikatakan bahwa paradigma itu merupakan contoh, model atau sudut pandang manusia terhadap obyek yang dilihat atau di hadapinya. Paradigma dapat dipahami sebagai sekumpulan keyakinan dasar yang mengarahkan penelitian tindakan penelitian ilmiah. Sebagai kumpulan sistem keyakinan dasar atau asumsi-asumsi dasar, paradigma memuat permasalahan asumsi dasar yang berkaitan dengan asumsi ontologis, epistemologis dan aksiologis (Adian, 2002: 141). Asumsi atau sistem keyakinan dasar suatu paradigma menentukan bagaimana kita melihat semesta atau sifat dasar dari

23

24

keyakinan yang diketahui, bagaimana antara subyek dengan obyek yang diketahui serta metode apa yang digunakan untuk mengetahuinya. 2. Paradigma Integrasi Ilmu Integrasi berasal dari bahasa Inggris “integration” yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi ilmu dimaknai sebagai sebuah proses penyempurnaan atau menyatukan selama ini di anggap dikotomis sehingga menghasilkan satu pola pemahaman integrative tentang konsep ilmu pengetahuan (Rifa‟i, dkk., 2004: 14). Integrasi adalah menjadikan al-Qur‟an dan Sunnah sebagai grand theory pengetahuan, sehingga ayat-ayat qauliyah dan kauniyah dapat dipakai (Bagir, 2005: 49-50). Paradigma integrasi ilmu adalah cara pandang ilmu yang menyatukan semua pengetahuan ke dalam kotak tertentu dengan mengasumsikan sumber pengetahuan dalam satu sumber tunggal (Tuhan). Semesta sumber lain, seperti indra, pikir, dan intuisi dipandang sebagai sumber penunjang sumber inti. Dengan demikian sumber wahyu menjadi inspirasi estis, estetis, sekaligus logis dari ilmu. Bagaimana proses peleburan itu dilakukan, paradigma ini menempatkan wahyu sebagai hirarki tertinggi dari sumber-sumber ilmu lainnya, dan gerakan seperti Islamisasi ilmu sebenarnya dapat dikategorisasikan sebagai upaya mengintegrasikan ilmu ke dalam satu pohon ilmu, yaitu ilmu pengetahuan yang integrative. Dalam “Integrasi Ilmu dalam Persepektif Filsafat Islam”, Mulyadi Kartanegara, menjelaskan bahwa sumber basis ilmu-ilmu agama dan umum berasal dari sumber yang sama, yaitu dari Tuhan. Ilmu bertugas untuk mencari kebenaran sejati, sehingga dapat disimpulkan bahwa karena Tuhan adalah kebenaran sejati tentunya merupakan sumber bagi kebenaran-kebenaran yang lain, termasuk kebenaran yang dihasilkan dari analisa ilmu-ilmu umum. Menurut Mulyadi Kartanegara, mengartikan dikotomi bukan pemisahan tapi penjenisan, dan dikotomi ilmu ke dalam ilmu agama dan non agama dalam makna penjenisan sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam sejarah, Islam telah mempunyai tradisi dikotomi lebih dari seribu tahun. Menariknya dikotomi tersebut tidak berdampak banyak pada sistem pendidikan Islam. Situasi ini malah berlanjut sampai sitem pendidikan sekuler Barat masuk mempengaruhi sistem pendidikan Islam lewat jalur gerakan imperealisme. Misalnya, penjenisan yang dilakukan oleh al-Ghazali (w1111) dan Ibn Khaldun (w1105) tidak mengingkari validitas dan status ilmiah masing-masing jenis keilmuan tersebut. Al-Ghazali dalam kitab Ihya „Ulumu din menyebut dua jenis ilmu(„ilm Syariyyah dan Ghair Syariyyah). Sedangkan Ibn Khaldun membagi

25

ilmu ke dalam al-Ulum al Naqliyah dan al-Ulum al-Aqliyah. Meskipun al- Ghazali mengelompokkan ilmu-ilmu agama ke dalam kelompok Fardhu‟ „Ain dan Fardhu Kifayah, menurutnya, ia mengakui validitas ilmiah masing-masing. Bahkan sebaliknya, mempelajari ilmu logika dan matematika perlu dipelajari (Kartanegara, 2005: 25-26). Kekayaan khazanah Islam klasik yang merupakan kontitusi peradaban Islam itu dapat dilihat pada tradisi keilmuan yang diwariskan kepada umat Islam. Terdapat tujuh tradisi keilmuan yang patut di apresiasi dan di kembangkan dalam konteks kekinian, yaitu: (1) Ilmu-ilmu al-Qur‟an; (2) Ilmu- ilmu hadits; (3) Ilmu-ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih; (4) Ilmu Kalam (Teologi); (5) Filsafat (Hikmah); (6) Sains (astronomi, kimia, fisika, kedokteran, geometri); (7) Tasawuf (Heriyanto, 2011: 45). Ketujuh tradisi keilmuan Islam itu harus dibaca dalam helaan nafas dalam atmosfer wahyu yang menginspirasi para sarjana muslim membangunn tonggak-tonggak ilmiah peradaban Islam. Kesaling terkaitan ilmu-ilmu itu ibarat sebuah pohon. Wahyu al-Qur‟an dan Hadits seperti akar dan batang dari pohon tradisi keilmuan Islam. Sedangkan ilmu-ilmu budaya, sains, dan institusi-institusi sosial seperti cabang-cabang pohon, di antaranya ada yang lebih dekat kepada batang dan yang lainnya lebih jauh. Namun semuanya merupakan bagian dari sebuah oragnisme yang tumbuh dari akar. Terintegrasinya ilmu-ilmu dalam Islam merupakan manifestasi dari pandangan Tauhid yang melihat seluruh objek telaah berbagai ilmu itu sebagai ayat-ayat Tuhan. Tidak mungkin berbagai tradisi keilmuan itu, jika dilacak sampai ke akar-akar kebenarannya, saling bertolak belakang atau kontradiktif lantaran sesama ayat Tuhan, sudah pasti saling mendukung.

Konseptual: Metodologis: Metafisika, TAUHID Kesatuan, etika, estetika, rasionalisme, masyarakat toleransi

Tabel 2.1: Pandangan Integral-holistik

Menurut al-Faruqi, intisari peradaban Islam, Tauhid mempunyai dua dimensi: metodologis dan konseptual. Dalam dimensi konseptual yang menentukan isi peradaban Islam, Tauhid adalah metafisika, etika, estetika dan masyarakat. Sedangkan dimensi metodologis yang menentukan peradaban

26

Islam meliputi: kesatuan, rasionalisme dan toleransi. Prinsip kesatuan menegaskan bahwa tidak ada peradaban tanpa kesatuan. Seorang sarjana muslim dapat merengkuk dan menguasai berbagai cabang ilmu. Ibnu Sina misalnya, merupakan ahli kedokteran dan fisika, namun sekaligus seorang filsuf, hafidz al-Qur‟an dan sufi. Berdasarkan Tabel diatas adalah kata kunci konsepsi integrasi keilmuan berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah.

3. Paradigma Islamisasi Ilmu Pembahasan tentang epistemology Islam secara garis besar dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, berkaitan dengan epistemology Islam dalam versi filosof Muslim. Kedua, mencari epistemologi Islam yang secara spesifik berasal dari pandangan al-Qur‟an, dimana harus dibiarkan al-Qur‟an berbicara sendiri. Pada pembahasan pertama, yaitu epistemologi Islam dalam pandangan Islam kaum filosof Muslim, terlebh dahulu harus benar-benar dipahami bahwa pengetahuan adalah ilmu yang tidak hanya membahas tentang objek fisik, karena realitas memiliki objek fisik dan non-fisik sekaligus. Islam mengakui objek non-fisik seperti Tuhan, Malaikat, dan jiwa. Inilah yang paling membedakan dengan paradigma sekuler, karena mereka membatasi objek pengetahuan hanya pada objek-objek fisik sejauh bisa di indrai. Meskipun terdapat perbedaan mengenai asal-usul ilmu pengetahuan di kalangan filsof, tetapi mereka sepakat bahwa selain indra, akal memegang peranan penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Ibnu Bajjah misalnya, percaya bahwa pengetahuan yang benar dapat diperoleh melalui akal yang merupakan satu-satunya instrument, dengannya manusia akan mampu mencapai kemakmuran (Syarif (ed), 1992: 12). Sedangkan Ibnu Sina membedakan antar akal potensi yang ada dalam diri manusia dan akal aktif yang ada di luar manusia. Menurutnya, bahwa pengalaman yang diterima oleh indra langsung muncul dari akal aktif. Akan tetapi, tidaklah sempurna jikalau tidak membicarakan Ibn Khaldun, yang menempatkan pembahasan epistemologi pada bagian akhir dari Muqaddimah- nya. Menurutnya kekuatan manusia terletak pada kemampuannya dalam berpikir, yang merupakan penjamahan bayang-bayang di balik perasaan yang berhasil ditangkap oleh indra dan aplikasi akal di dalamnya untuk membuat analisa dan sintesa (Khaldun, t.t.: 236). Selanjutnya pada pembahasan kedua, epistemologi al-Qur‟an. Pada pendekatan analitik, al-Qur‟an lebih dahulu diperlakukan sebagain data tentang

27

pedoman kehidupan dari Tuhan yang harus dianalisa untuk diterjemahkan pada level objektif (bukan subyektif). Dalil-dalil yang melahirkan ide-ide keilmuan (Scientific ideas) al-Qur‟an dan sunah adalah rujukkan ilmu-ilmu Islam. Al- Qur‟an adalah himpunan wahyu yang merupakan dalil ilmu-ilmu. Dalil di sini mengandung arti petunjuk adanya ilmu-ilmu, bukan ilmu itu sendiri. Oleh karena itu , sejarah membuktikan adanya fakta al-Qur‟an mendorong umatnya untuk menciptakan ide-ide sains yang menjadi dasar perkembangan ilmu di kemudian hari. Adapun penjelasan ilmu dalam persepektif Islam (al-Qur‟an dan sunah) ada pembahsannya tersendiri.

B. Konsep Ilmu dalam Islam 1. Pengertian Ilmu Kata „ilm yang dalam bahasa Arab biasa diterjemahkan sebagai “pengetahuan atau ilmu”, merupakan derifasi dari kata kerja „alima yang berarti “mengetahui”. Jadi „ilm adalah sebuah kata benda abstrak sebagai lawan kata dari Jahl atau ketidaktahuan (Mandzur, t.t: 3083). Orang yang mengetahui („alima) disebut („aalim) yang jamaknya „ulama. Menurut Imam Sibaweih, kata „alim atau „ulama itu menunjukkan “seseorang yang tidak berkata kecuali dia tahu”. Dengan kata lain pengetahuannya didasarkan pada ilmu. Sedangkan menurut esiklopedia Islam, kata „alima digunakan dalam al-Qur‟an secara perfek, imperfek maupun dalam bentuk imperatif berarti “untuk mengetahui”. Tetapi dalam bentuk imperative dan perfek mempunyai arti “untuk belajar”. Dengan demikian, „ilm merupakan hasil dari upaya-upaya tersebut.( The Encyclopedia of Islam, 1979: 1133). Dari kata „ilm terkandung pula makna- makna sebagai berikut: al-Ma‟rifah (pengertian), al-syu‟ur (kesadaran), al- idrak (persepsi), at-tashawwur (daya tangkap), al-hifd (pemeliharaan, penjagaan, pengingat), al-tazakur (pengingat), al-fahm dan al-fiqh (pengertian dan pemahaman), al dirayah dan al-Riwayah (perkenalan, pengetahuan, narasi), al-hikmah (kearifan), al-badihah (intuisi), al farasah(kecerdasan), al- khibrah (pengalaman), al-ra‟yu (pemikiran dan opini), dan al-nazar (pengamatan). Juga muncul makna, al-„alamah (lambing) dan al-simah (tanda), pemisah antara dua tempat, sesuatu yang dirancang di jalan (rambu- rambu) untuk menuntun orang. Atas dasar pemahamn ini, al-khalaq (ciptaan) disebut dengan nama alam (alam semesta), karena hal tersebut adalah bagian dari sifat Allah atau sebuah tanda atau bukti dari eksistensi-Nya (al-Kurdi, t.t: 33, Mandzur, t.t: 3083-3086). Akan tetapi, dibandingkan istilah-istilah yang berkorelasi lainnya tidak ada yang sama dengan „ilm dari sisi kedalaman makna dan kekuasaan

28

penggunaanya. Tentu saja ide yang terkandung dalam istilah al-„ilm adalah yang paling dalam dan signifikan dalam pandangan dunia Islam. Seperti diungkapkan oleh Wan Daud,‟ilm dalam pandangan Islam adalah paling penting, karena ia merupakan salah satu dari atribut Tuhan. Dengan demikian, julukan-julukan yang sesuai bagi Tuhan adalah al‟Alim, al-Alim, al-Allam, semuanya berarti Mahatahu, tetapi Tuhan tidak pernah disebut al‟Arif (Wan, 1989: 63). Walaupun keduanya dapat digunakan dalam makna yang sinonim (mutarodif), akan tetapi juga memiliki perbedaan yang hampir tidak kentara. Pemahaman Islam tentang „ilm lebih komperhensif dan canggih dari istilah yang biasa diterjemahkan sebagai “pengetahuan”. Sebab istilah „ilm terkait erat dengan konsep-konsep, unsur-unsur dan nilai-nilai dalam Islam. Unsur-unsur tersebut misalnya: „ibadah, khalifah, „adl, (keadilan), din (agama), hikmah, adab, takwa, amanah, akhirat, yang semuanya itu terpadu menjadi satu kesatuan dalam tauhid (al-Atas, 1991: 27). Kenyatanya „ilm menentukan dan membentuk karakteristik khusus pada peradaban ketika Eropa berada dalam zaman kegelapan (the dark age). Dengan demikian, secara konseptual, menerjemahan kata „ilm sebagai pengetahuan adalah kurang tepat dan kurang cocok (Imron, 2007: 52). Di antara syarat membahas Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu menerima sifat bahwa ilmu itu tidak netral atau tidak bebas nilai (value free). Ilmu terkait dengan nilai-nilai tertentu yang berupa ideology, paradigma, atau pemahaman seseorang. Suatu kenyataan yang janggal seseorang membahas Islamisasi ilmu pengetahuan namun ia berpendapat bahwa ilmu itu bebas nilai (Hadiyanto, 2010: 41). Menurut Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya Ilmu Filsafat dan Agama mengatakan: Salah satu corak pengetahuan adalah pengetahuan yang ilmiah, yang lazim disebut ilmu pengetahuan, atau singkatnya ilmu, yang di ekuivalen artinya dengan science dalam bahasa Prancis, wissenschaft (Jerman) dan wetenschap (Belanda). Sebagaimana juga science berasal dari kata scio, scire (Bahasa latin) yang berarti “tahu”. Begitu juga ilmu berasal dari kata „alima (Bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi, baik ilmu maupun science secara etimologis berarti pengetahuan. Namun secara terminology ilmu dan science itu semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tanda-tanda dan syarat-syarat yang khas (Anshari, 1987: 47). Menurut Harsono, seorang guru besar antropologi dari Universitas Pajajaran sebagaimana dikutip oleh Endang Saifuddin menerangkan bahwa

29

ilmu itu memiliki 3 pengertian: Pertama, Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasi. Kedua, Suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indra manusia. Ketiga, Suatu cara menganalisa, yang mengijinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan sesuatu proporsisi dalam bentuk “jika…. Maka….” (Anshari, 1987: 49). Sementara dalam Ensiklopedia Indonesia didapati mengenai keterangan ilmu sebagai berikut: “Ilmu pengetahuan adalah sistem dari pelbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun demikian rupa menurut asas-asas tertentu, sehinga menjadi kesatuan yang didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi-deduksi)” (Hidding,. t.t: 647). Sedangkan Save M. Dagun dalam Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, mengatakan Ilmu (Science) yaitu pengetahuan yang bersifat pasti diperoleh dari pengalaman dan pemahaman diri. Ide-ide yang mengacu ke obyek atau alam obyek yang sama dan saling berkaitan secara logis. Dan ia menambahkan bahwa, ilmu bersifat koherensi sistemik dan obyektivitas, memiliki metodologi dengan langkah-langkah observasi, klasifikasi, analisis data menarik kesimpulan induktif dan deduktif dari data yang diproleh (Degun, 1997: 87). Sementara itu B.J. Habibie dalam pidatonya tatkala menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Hasanuddin, Makasar mendefinisikan tentang ilmu pengetahuan sebagai berikut: Ilmu pengetahuan adalah suatu proses pemikiran dan analisis yang rasional, sistemik, logika, dan konsistensi. Hasil dari ilmu pengetahuan dapat dibuktikan dengan percobaan yang transparan dan objektif. Ilmu pengetahuan memiliki spektrum analisis amat luas mencakup persoalan yang bersifat supermakro, makro dan mikro. Hal ini jelas terlihat, misalnya pada ilmu-ilmu; fisika, kimia, kedokteran, pertanian, rekayasa bioteknologi dan sebagainya. Berbeda dengan filsafat-yang seperti ilmu pengetahuan juga dapat secara rasional, sistemik, logika dan konsisten, namun hasil pemikiran dan analisis filsafat sementara sukar dibuktikan. Spectrum analisis filsafat bersifat supermakro dan makro saja. Sebagai contoh misalnya filsafat tentang; fisika, rekayasa, kehidupan dan sebagaimana. Sementara agama atau kepercayaan harus diyakini karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Keyakinan itu menjadi titik tolak

30

dan pemikiran dan analisis yang juga berlangsung secara rasional, sistemik, logis, dan konsisten. Spectrum analisis biasanya hanya bersifat supermakro saja. Sebagai contoh: moral, etika, prilaku dan pandangan hidup seseorang (Habibie, 2006: 2).

Dari semua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi ilmu yang mereka sampaikan sedikit banyak telah dipengaruhi oleh pandangan Barat. Ciri-ciri pengaruh pandangan Barat dalam definisi tersebut yaitu bahwa ilmu merupakan suatu hal yang empiris, rasional dan logis. Selain itu, para ahli mendefinisikan ilmu dengan objek yang bersifat fisik. Mereka tidak mengakui sesuatu yang sifatnya metafisik. Bahkan B.J. Habibie sekalipun, dalam pendefinisian di atas menyatakan bahwa agama tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Penjelasan yang lebih filosofis menurut penulis datang dari Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar. Menurut Jujun, penjelasan sebuah ilmu harus memenuhi tiga syarat yaitu objek ontologis (pengalaman manusia yakni segenap wujud yang dapat dijangkau lewat panca indra atau alat yang membantu kemampuan panca indra), landasan epistemologis (metode ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan hipotesis atau yang disebut dengan logicohyphotetico-verifikasi) dan landasan aksiologis (kemaslahatan manusia artinya segenap wujud pengetahuan ini secara moral ditunjukkan untuk kebaikan hidup manusia) (Suriasumantri, 1990: 294). Jujun mengartikan penggunaan kata ilmu pengetahuan untuk science dan kata pengetahuan untuk knowledge (Suriasumantri, 1990: 294). Definisi ilmu menurut ilmuan muslim tentu berbeda dengan yang pernah disebutkan di atas. Salah satunya pendapat yang berkembang adalah pendapat Ibn Taimiyah tentang ilmu. Dalam konteks ini Ibn Taimiyah mendefenisikan ilmu sebagai sebuah pengetahuan yang berdasar pada dalil atau bukti. Dalil yang dimaksudkannya bisa berupa penukilan wahyu dengan metode yang benar (al-nqal al-mushaddaq), bisa juga berupa penelitian ilmiah (al-baths al-muhaqqaq). Sedang yang dimaksud dengan “ilmu yang bermanfaat” adalah yang bersumber dari Rasulullah : إىّ العلن ها لا م عليه الدليل والٌا فع هٌه ها جاء به الر سىل فا لشأ ى فى أى ًمى ل علوا وهى الٌمل الوصد ق والحث الوحمك Sesunguhnya ilmu itu adalah yang bersandar pada dalil, dan yang bermanfaat darinya adalah apa yang dibawa oleh Rasul. Maka sesuatu yang bisa kita katakan yang akurat.

31

Selanjutnya Ibn Taimiyah menegaskan, apabila sesuatu yang dikatakan ilmu itu pada kenyataannya tidak berdasarkan pada dalil seperti disebutkan diatas, maka ilmu ibarat sebuah tembikar yang terlihat bagus dari luarnya saja. Maksudnya, kelihatan sebuah ilmu yang bagus tapi sebenarnya ia bukan ilmu. Atau kalau tidak, menurut Ibn Taimiyah, yang disangka ilmu tersebut adalah sesuatu yang jelas-jelas batal, yakni bukan ilmu sama sekali (Taimiyah, t.t: 388). Bahwa jelaslah dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu. Sedangkan dalam pandangan Barat, wahyu tidak termasuk ilmu karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris, rasionalis atau logis. Di sinilah salah satu letak perbedaan yang terlihat antara definisi ilmu dalam Islam dengan ilmu dalam pandangan Barat. Sedangkan menurut Mulyadhi Kartanegara, menjelaskan mengenai ilmu yakni sebagai berikut: Istilah ilmu dalam epistemologi Islam mempunyai kemiripan dengan istilah Science dalam epistemology Barat. Sebagaimana sains dalam epistemologi Barat dibedakan dengan knowledge, ilmu dalam epitemologi Islam dibedakan dengan opini (ra‟yu). Sementara sains dipandang sebagai any organized knowledge, ilmu didefinisikan sebagai “pengetahuan tentang sesuatu bagaimana adanya”. Dengan demikian, ilmu bukan sembarang pengetahuan atau sekedar opini, melainkan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengertian ilmu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sains, hanya sementara sains dibatasi pada bidang-bidang fisik atau indrawi, ilmu melampauinya pada bidang-bidang nonfisik, seperti metafisika. Penyetaraan ini dapat diperkuat oleh pernyatan Karier, pengarang buku The Scientists of the Mind, bahwa pada masa-masa awal abad ke-19, sains dipahami sebagai any organized knowledge, atau “sembarang pengetahuan yang terorganisasi”, termasuk teknologi. Dengan pengertian yang disebut terakhir ini, kata ilmu seharusnya dipahami (Kartanegara, 2003: 2).

Sedangkan menurut Budi Handayanto, “Ilmu dalam pandangan Islam berbeda dengan pandangan sains dalam pandangan Barat. Sains Barat hanya dibatasi pada bidang-bidang empiris-positivis sedangkan ilmu dalam pandangan Islam melampauinya dengan melakukan tidak hanya pada bidang- bidang empiris, tetapi juga non-empiris, seperti matematika dan metafisika” (Handayanto, 2010: 27).

32

Jadi kesimpulannya, bahwa ilmu dalam pandangan Islam mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sains dalam istilah peradaban Barat. Jika sains membatasi dirinya pada hal-hal yang bersifat fisik, maka ilmu dalam pandangan Islam masih tetap meliputi tidak hanya fisik, akan tetapi juga metafisik. Banyak cendikiawan muslim yang merasa perlu mendefinisikan ilmu. Namun, tidak semua dari mereka sepakat tentang kemungkinan pendefinisiannya, karena artinya sudah jelas dan nyata. Upaya untuk membuat definisi hasilnya hanya malah justru akan membingungkan dan memperumit dalam pemahamannya. Ibn al‟Arabi sangat menentang upaya-upaya seperti dalam paragraph berikut ini: “Ilmu adalah konsep yang sangat jelas, tidak perlu penjelasan, tetapi ahli Bid‟ah berhasrat untuk membuat pemahaman istilah “ilmu” serta konsep-konsep agama dan intelektual yang lainnya menjadi rumit. Tujuan mereka adalah menyesatkan dan memberi kesan yang salah bahwa tidak ada konsep atau makna yang dapat diketahui. Bagaimanapun juga klaim tersebut tidak beralasan dan merupakan cara berfikir yang menyesatkan” („Arabi,. t.t: 114). . Namun, berbagai upaya mendefinisikan ilmu terus dilakukan oleh banyak cendikiawan Muslim, aktifitas ilmiah seputar itu tidak pernah terhenti. Hasilnya, banyak definisi yang muncul dengan beberapa variasinya, karena latar belakang mereka yang berbeda-beda, sehingga penekanannya pun berbeda-beda pula. Misalnya, menurut Ikhwanu al-Safa, “Ilmu adalah repsentasi (Surah) sesuatu yang diketahui kedalam jiwa ilmuwan dan merupakan lawan dari ketidaktahuan (jahl), yang merupakan ketiadaan representasi (Chejen, 1982: 86). Sejak awal para pemikir muslim memberikan beberapa definisi tentang ilmu. Rosenthal menjelaskan delapan ratus definisi ilmu yang dihasilkan oleh pemikir-pemikir Muslim. Definisi terbaik menurut A.Madi dikemukakan oleh Fakhr al-Din al-Razi. Al-Attas mengungkapkan kembali dan mengelaborasi definisi ilmu datang atau berasal dari Allah dan diinterpretasikan oleh jiwa melalui fakultas-fakultas spiritual dan fisik. Al-Attas mengartikulasikan definisi ilmu melalui konteks. Pertama, mengacu kepada Allah sebagai sumber dari semua ilmu. Kedua, mengacu kepada jiwa sebagai penafsirnya. Dalam konteks tersebut, maka definisi epistemologis yang paling tepat ialah dengan mengacu pada konteks yang pertama, bahwa ilmu merupakan kehadiran (husul) makna sesuatu hal atau objek ilmu ke dalam jiwa. Apabila mengacu pada konteks kedua, maka ilmu adalah datangnya (wusul) jiwa kepada makna sesuatu hal atau objek ilmu (al-Attas, 1987: 154).

33

2. Ilmu dalam Perspektif Islam Secara umum, selama ini orang membedakan ilmu umum dengan ilmu agama, seperti “umum” untuk keduniawian dan”Agama” untuk keakhiratan. Seakan-akan muncul berbagai partikel istilah seperti sekolah umum dan sekolah agama. Kata “umum” untuk kehidupan dunia dan “Agama” untuk persiapan hidup sesudah mati Ilmu dalam persepektif Islam tidak berarti hanya mengkaji persoalan tentang syari‟at agama. Oleh karena itu, pemaknaan al-Ghazali terhadap ilmu semestinya tidak terbatas pada studi teologi dan hukum Islam, melainkan juga mencakup semua kekayaan intelektual, warisan ulama Islam sejak abad pertama Hijriyah. Para ahli sejarah mencatat, bahwa selama beberapa abad para ilmuwan Muslim telah menerangi dunia dengan ilmu pengetahuan dan karya- karya mereka merupakan referensi sangat berharga bagi kemajuan Eropa. Bagi para ilmuwan Muslim era itu, dikotomi tidak perlu terjadi karena memang mereka tidak melihat adanya suatu konflik antara tujuan ilmu dan agama, dan menyakini bahwa agama maupun ilmu sama-sama mengantarkan manusia pada pemahaman tentang kesatuan alam yang menjadi cermin keesaan dan keagungan penciptaan-Nya (Farrukh, 1989: 36). Sebagaimana dijelaskan diatas dalam Islam, sejak awal tidak pernah ada distingsi atau perbedaan atau bahkan pengkotak-kotakkan demikian, hal ini terjadi sejak daerah-daerah muslim dijajah, dan kaum penjajah mengarahkan agar umat Islam, mengurangi kegiatan duniawi dan memberi porsi lebih bagi persiapan hidup sesudah mati (Rohan, 2009: 317-318). Islam menempatkan dan memberikan penghargaan yang sangat istimewa terhadap ilmu, dengan tanpa melakukan diskriminasi dan membatasi jenis ilmu pengetahuan itu sendiri. Dari hal tersebut, jelaslah bahwa segala ilmu pengetahuan itu sendiri berasal dari zat Yang Maha Mengetahui Ilmu yakni Allah Swt. Karena pada hakikatnya sumber-sumber ilmu tersebut berupa wahyu, akal pikiran, intuisi adalah anugrah Allah yang indah dan tak ternilai harganya yang diberikan kepada manusia (Nata, 2003: 70). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai ilmu, Menurut M. Quraish Shihab, kata „ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan, selanjutnya bahwa kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali (Shihab, 1997: 434). Sementara itu menurut Abdus Salam, dalam kitab suci al-Qur‟an terdapat 750 ayat berbicara tentang ilmu atau setidaknya berbicara mencari ilmu (Fathudin, 2000: 51). Selanjutnya dalam “Ensiklopedi al-Qur‟an Kajian

34

Kosakata dan Tafsirannya” ditemukan pula bahwa di dalam al-Qur‟an kata ilmu dan turunannya (tidak termasuk al-a‟lam) (gunung-gunung), al‟alam (bendera), ala‟mat (alamat)yang disebut sebanyak 76 kali) disebut sebanyak 778 kali (Ensiklopedi Al-Qur‟an, 1997: 150). Mengingat bahwa segala ilmu atau pengetahuan yang dimiliki atau didapatkan manusia hakikatnya adalah ilmu yang diberikan oleh Allah Swt. Dan lebih dari itu ilmu yang diberikan adalah sebagai sarana untuk kemaslahatan dan penuntun hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat, maka penulis meyakini, bahwa tidak ada pembagian ilmu dunia dan ilmu akhirat yang terkesan membedakan secara diameterial antara dua kepentingan yang berbeda. Dengan demikian, yang ada hanyalah pembagian atau klasifikasi atau jenis-jenis ilmunya saja. Membicarakan tentang berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai cabangnya mengharuskan adanya pembicaraan tentang ontology, epistemologi, aksiologi. Ketiga macam yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sebagai berikut: a. Sumber dan Metode Memperoleh Ilmu (Ontologi) Dalam persepektif ontology, manusia tiada henti-hentinya terpesona menatap dunia. Dengan demikian, sesorang akan terpanggil untuk brefikir terhadap hal-hal yang bersifat metafisik, berasumsi, mencari peluang, menginterpretasi beberapa asumsi dalam ilmu dan melakukan batas-batas penjelajahan ilmu (Bidin, 2003: 66). Bahwasanya sumber dari berbagai ilmu adalah Allah, karena Dia yang membekali manusia dengan wahyu dan aqal, intusi dan pengalaman sebagai sumber pengetahuannya (Imron, 2007: 55). Nampaklah sudah bahwa yang dikatakan ilmu adalah segala sesuatu yang diketahui oleh manusia, yang hakikat berasal dari Allah Swt. Dan dari pertama yang Allah turunkan tersebut, diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan mengembangan ilmu, yaitu bahwasanya Allah mengajarkan manusia tanpa pena yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Dan cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa adanya usaha dari manusia. Walaupun berbeda, namun keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah Swt. (Shihab, 1997: 434). Allah yang memberi manusia akal budi (‟aql) sebagai sarana untuk memperoleh ilmu agar dapat mengenal dan mengetahui realitas. Manusia memperoleh ilmu dari berbagai macam sumber dan melaui jalan atau cara. Tetapi semua ilmu pada akhirnya berasal dari Allah Yang Maha Mengetahui. Al-Qur‟an dan Sunah merekomendasikan penggunaan berbagai sumber atau cara untuk mendapatkan ilmu seperti: observasi dan eksperimen,

35

intuisi, penalaran, serta wahyu (Imron, 2007: 55). Dalam buku, Arguments for Islamic Science, Ziauddin Sardar menyatakan bahwa konsep „ilm mencakup hampir semua bentuk pengetahuan yang dihasilkan dari observasi murni hingga pengetahuan metafisika yang paling tinggi. Dengan demikian, „ilm dapat diperoleh melalui wahyu maupun akal pikiran, observasi maupun intuisi, hingga melalui hadis maupun teori spekulasi (Sadar, 1984: 44). Rosnani Hasim dalam Education Dualism, menekankan pandangan dalam sumber ilmu sebagai berikut: “Secara singkat, Islam mengakui beberapa sumber ilmu. Pertama, wahyu, adalah sumber tertinggi dan ilmu yang diperoleh melalui sumber ini adalah pasti, tanpa sedikitpun keraguan-keraguan. Kedua, intuisi, merupakan keutamaan bagi mereka yang secara sungguh- sungguh mendalami suatu masalah atau isu-isu. Ketiga, akal pikiran atau penalaran rasional, dan yang terakhir adalah pengalaman inderawi atau observasi empiris” (Rosnani, 1996: 79). Sedangkan Abbudin Nata menekankan bahwa pada umumnya sumber ilmu ada lima, yaitu alam semesta (ayat kauniyah), perilaku manusia (ayat insaniyah), akal (al-ra‟yu), intuisi dan wahyu (ayat qauliyah) (Nata, 2011: 211). Adapun sumber kelima sebagaimana di atas adalah sebagai berikut: 1) Alam Semesta (ayat qauliyah) Di dalam al-Qur‟an Allah Swt menyatakan:

          

  Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Q.S. Ali „Imran: 190) Pada ayat di atas memberi petunjuk yang berkenaan dengan berbagai hal yang termasuk alam sebagai objek kajian ilmu pengetahuan, yaitu proses penciptaan langit dan bumi dan peredaran waktu siang dan malam. Dalam segi bahasa alam semesta (jagat raya) adalah segala sesuatu yang selain Allah. Kajian terhadap berbagai benda jagat raya ini mengahasilkan sains yang antara lain fisika, kimia, biologi astronomi, kedokteran, rafmakologi dan berbagai cabang sains lainnya. Menurut pandangan Abbudin Nata, alam jagat raya ini tak ubahnya sebagai buku raksasa yang harus dibaca, dan dengan dibaca dalam arti diamati, diidentifikasi, diverifikasi, disimpulkan dan dirumuskan menjadi teori ilmu pengetahuan (sains). Itulah sebabnya dalam

36

berbagai ayat al-Qur‟an, manusia diperintahkan untuk meneliti berbagai fenomena alam jagat raya seperti fenomena peredaran matahari dan bulan, siang dan malam, peredaran udara, cahaya, benda-benda ruang angkasa lainnya, fenomena turun hujan, aneka macam tumbuh-tumbuhan dan tanaman, aneka binatang ternak, buas, melata, fenomena laut dengan segala isinya, fenomena gunung yang menjulang tinggi (Nata, 2011: 211). Sedangkan menurut Murthada Muthahari, bahwa alam semesta merupakan salah satu sumber pengetahuan. Dimaksud dengan alam adalah alam materi, alam ruang dan waktu, alam gerakan, alam yang kini manusia hidup di dalamnya, dan manusia memiliki hubungan dengan alam ini dengan menggunakan berbagai indra manusia (Muthahhari, 2010: 72). Jika para ilmuwan menyepakati bahwa alam sebagai sumber ilmu pengetahuan, hal tersebut berbeda dengan Plato, yang tidak mengakui alam sebagai sumber ilmu pengetahuan, karena hubungan manusia dengan alam lewat perantara indra, dan sifat dan sifatnya particular, Karena ia mengakui bahwa particular termasuk hakikat. Pada dasarnya ia memiliki ratio sebagai sumber ilmu pengetahuan, dan dengan menggunakan metode argumentasi, Plato menanamkan metode tersebut dengan nama dialektika (Muthahhari, 2010: 72. Dalam pandangan Islam, berbagai fenomena alam adalam sebagai ciptaan Tuhan, dan bukti keagungan-Nya, mengandung jiwa dan ruh walaupun berbeda dengan jiwa dan ruh manusia, senantiasa berubah dan gerak secara terus-menerus sesuai dengan hukum Allah (sunatullah), terikat dengan hukum sebab dan akibat, sebagai teman dan sarana terbaik manusia atau dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia dan rahasia yang menggambarkan keagungan Allah Swt. (Langgulung, 1979: 55).

2) Fenomena Perilaku Manusia (ayat insaniyah) Dalam al-Qur‟an, manusia disebutkan sebagai makhluk yang memiliki kelengkapan fisik, panca indra, akal pikiran, intusi, dan dapat menerima ilham. Selain daripada itu, disebutkan pula tentang proses dan asal-usul kejadiannya, kedudukan fungsi dan tanggung jawabnya, akhir tujuan hidupnya, sifat dan karakternya secra utuh. Manusia juga makhluk termulia dibandingkan hewan, memiliki perbedaan dan persamaan antara satu dengan lainnya, memiliki keluwesan sifat dan selalu dapat berubah-ubah. Keadaan manusia yang demikian ini selanjutnya menjadi bahan kajian yang menghasilkan ilmu-ilmu sosial seperti: keadaan tempat tinggal, lingkungan, adat istiadat, kebudayaan, pola komunikasi, struktur sosial, pola

37

komunikasi dan interaksi, maju mundurnya, tingkat ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan masih banyak lagi. Dari hal tersebut maka munculah berbagai ilmu sosial seperti: ilmu politik yang mempelajari gagasan, pemikiran, dan praktik politik yang pernah dilakukan oleh manusia, ilmu antropologi, yakni ilmu yang mempelajari asal-usul manusia, ilmu sejarah, yakni ilmu yang mempelajari masa lalu manusia, ilmu pendidikan, yakni ilmu yang mempelajari berbagai usaha yang dilakukan manusia dalam bidang pendidikan, ilmu psikologi, yakni ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa manusia (Nata, 2011: 213).

3) Akal (Ratio) Para filosof pada umumnya banyak mengemukakan akal atau rasio sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato misalnya meyakini sebagai sumber pengetahuan, dan dengan menggunakan metode argumentasi, Plato menamakan metode dan cara tersebut dengan nama dialektika (Muthahari, 2007: 73). Akal dengan daya kemampuan yang dimilikinya dalam melakukan renungan, repleksi, berspekulasi tentang sesuatu, untuk menemukan gagsan, konsep, pemikiran, inti tentang sesuatu yang selanjutnya digunakan dasar untuk membangun berbagi konsep yang terdapat dalam ilmu pengetahuan. Misalnya, pemikiran atau gagsan tentang pemerintah dan bentuk negara misalnya dapat digunakan untuk membangun konsep ilmu politik. Lalu hasil dari kerja akal inilah yang nantinya kan melahirkan hikmah atau filsafat. Karena objek kajian filsafat adalah bukan sesuatu yang bersifat empiris, atau beradasarkan pada wahyu, maka filsafat berada dalam gray area (raung yang abu-abu) antara ilmu pengetahuan dan agama. Ia juga tidak dapat disebut ilmu, karena ia tidak memiliki syarat-syarat sebagai sebuah ilmu yang bersifat empiris, dan tidak dapat pula sebagai agama. Oleh sebab itulah dalam pengantar filsafat, Jujun S. Sumantri, memberikan analogi tentang filsafat seperti pasukan mariner yang tugasnya adalah hanya membuka wilayah untuk dimasuki pasukan lainnya, sedangkan marinir itu sendiri tidak ikut masuk di dalamnya. Pada kesimpulanya, filsafatlah yang melahirkan ilmu pengetahuan, tetapi filsafat bukanlah ilmu pengetahuan berbagai ilmu yang dilahirkan oleh filsafat itu sendiri selanjutnya bergerak dan berjalan terlepas dari filsafat dan dikendalikan berbagai kepentingan seperti: ekonomi, politik, ideology, dan lain sebagainya. Berbagai ilmu tersebut kemudian lupa dengan asal-usul dan tujuan kelahirannya sebagaimana yang ditetapkan oleh filsafat. Ilmu yang demikian tak ubahnya seperti kacang yang lupa pada kulitnya.

38

Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa keberadaan akal sebagai sumber pengetahuan masih dalam perdebatan antara yang menerima dan yang menolak. Sebagian ada yang menerima akal selain sebagai alat, juga sebagai sumber ilmu pengetahuan, bahkan akal inilah yang yang sesungguhnya dapat melahirkan ilmu pengetahuan, dan bukan alam jagat raya. Pendapat ini antara lain dipegang oleh Plato dan para pengikutnya. Namun ada juga yang didak sependapat bahwa akal adalah sumber ilmu pengetahuan, melainkan akal hanya sebatas alat saja.

4) Intuisi (Ilham) Para ulama mengakui intusi sebagai sumber ilmu pengetahuan. Akan tetapi keberadaan sumber ini ditolak oleh aliran Materialisme, karena berpendapat bahwa: jika manusia meyakini hati sebagai suatu sumber pengetahuan sedangkan manusia pada awalnya dilahirkan ia tidak memiliki suatu pengetahuan apa pun, dan di dalam hatinya tidak terdapat suatu apapun, manusia juga meyakini bahwa hati dapat menerima berbagai ilham dan merupakan peringkat ilham yang paling sempurna, maka sama saja mengakui adanya alam selain alam materi, karena materi tidak dapat memberikan berbagai ilham seperti kepada manusia. Unsur ilham adalah unsur metafisika (Muthahari, 2007: 78).

5) Wahyu (Ayat qauliyah) Sejak awal diturunkannya al-Qur‟an, wahyu menyatakan dirinya sebagai petunjuk (hudan), bukti kebenaran (burhan), obat penyakit jiwa (syifa). Ayat-ayat dalam al-Qur‟an digunakan sebagai sumber bagi lahirnya ilmu agama Islam, seperti tafsir, fikih, kalam, dalan lain sebagainya. Selain itu, dengan sifat yang universal dan integrated, al-Qur‟an tidak hanya mendorong bagi lahirnya ilmu agama Islam, melainkan juga ilmu-ilmu lainya, sperti sains, ilmu sosial, filsafat, dan tasawuf atau hikmah. Namun keterkaitan al-Qur‟an dengan berbagai macam ilmu nonkeagamaan isi sifatnya hanya memberikan isyarat, arah, pedoman, dan prinsip-prinsip umum tentang bagaimana ilmu-ilmu nonkeagamaan itu dikembangkan. Dengan kata lain, bahwa jika dalam ilmu-ilmu keagamaan berisi uraian tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan keagamaan, seperti akidah, ibadah dan akhlak, maka dalam ilmu umum muatan kajian ilmu agama Islam itu tidak didapati, akan tetapi dikembangkannya ilmu umum agar tidak bertentangan dengan ilmu agama. Oleh sebab itu antara ilmu umum maupun agama harus saling melengkapi satu sama lainnya. Tujuannya daripada itu, agar membawa manusia

39

semakin meningkatkan akidahnya, makin tekun ibadahnya, makin mulia akhlaknya, dan makin sejahtera hidupnya secara seimbang antara dunia dan akhirat (Muthahari, 2007: 80). b. Manfaat Ilmu (Aksiologi) Menurut al-Qur‟an dan Hadits untuk menggunakan ilmu secara benar dan memberi manfaat (aksiologi), maka ilmu itu harus disandingkan dengan iman serta digunakan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah dalam bentuk mengarahkan penggunaan ilmu tersebut, demi hal-hal yang bermanfaat bagi manusia dan untuk mendukung hal-hal yang berdampak positif bagi umat manusia. Pada dasarnya ilmu-ilmu sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, lahir dalam rangka mensejahterakan kehidupan umat manusia. Misalnya, ilmu alam bermanfaat bagi pemanfaatan sumber daya alam, sehingga alam tersebut dapat dimanfaatkan dengan efisien dan efektif. Sedangkan ilmu sosial berguna untuk menyusun berbagai rencana pengembangan sosial, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya untuk manusia (Nata, 2011: 219). Filsafat berguna untuk menghaluskan jiwa manusia, dan ilmu agama berguna untuk membina moral dan akhlak mulia. Lalu filsafat bermanfaat untuk memberikan landasan pemikiran yang kokoh guna membangun berbagai kehidupan. Dengan adanya implementasi semua ilmu ini, maka akan dihasilkan kesejahteraan yang seimbang yang demikian itu dijumpai dalam sejarah Islam di zaman klasik (Nata, 2011: 220). Untuk mengetahui kegunaan filfasat ilmu atau untuk apa filsafat itu digunakan, dapat dimulai dengan melihat filsafat sebagai tiga hal: Pertama, filsafat ilmu sebagai kumpulan teori digunakan untuk memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau ekonomi atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya (Bidin, 2003: 75-76). Kedua, filsafat sebagai pandangan hidup. Dalam posisi ini, filsafat menjadi jalan kehidupan. Filsafat dalam posisi yang kedua ini, semua teori ajarannya diterima kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Singkatnya filsafat ilmu sebagai pandangan hidupnya gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan. Ketiga, filsafat sebagai metodologi dalam pemecahan masalah. Karakter dan sifat filsafat, ia menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesain masalah secara mendalam artinya ia menyelesaikan masalah dengan cara

40

pertama-tama mencari penyebab yang paling awal munculnya masalah (Bidin, 2003: 78). Dalam Wawasan al-Qur‟an, disebutkan dari wahyu yang pertama diturunkan, sebenarnya sudah ditemukan petunjuk tentang pemanfaatan ilmu. Melalui kalimat Iqra Bismi Rabbika, bahwas titik tolak atau motivasi daripada pencarian ilmu dan tujuan akhir adalah haruslah karena Allah (Shihab, 1997: 439). Sebagaimana Quraish Shihab mengutip pendapat Syaikh Abdul Halim Mahmud, dalam memahami Bacalah demi Allah dengan arti untuk kemaslahatan makhluknya. Bukanlah Allah yang membutuhkan sesuatu, tetapi makhluklah yang membutuhkan Allah terhadap sesuatu (Shihab, 439-440). Kemudian, dapat dikatakan karena pada hakikatnya Allah tidak membutuhkan manusia, justru sebaliknya, manusia yang membutuhkan Allah, maka berarti motivasi karena ada untuk Allah adalah motivasi dan upaya yang dapat mendatangkan manfaat dan kemaslahatan untuk makhluk-Nya. Semboyan ilmu untuk ilmu tidak dikenal dan tidak dibenarkan dalam Islam. Apapun ilmunya, materi pembahasannya haruslah selalu bismi rabbika, atau dengan kata lain harus bernilai rabbani. Sehingga, ilmu yang dalam kenyataan dewasa ini terkesan rabbani. Dengan demikian ilmuwan Muslim hanya akan mengeksplorasi ilmu yang jelas-jelas memberikan manfaat dan kemaslahatan untuk umat manusia. Mereka akan menghindari cara berfikir tentang bidang-bidang yang tidak menghasilkan manfaat, apalagi hanya menghabiskan energy (Shihab, 1997: 439). Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW sering berdoa: اللهن اًي اعىذ بك هي علن ال يٌفع “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat”. Atas dasar inilah, berpikir atau menggunakan akal untuk mengungkapkan rahasia metafisika, tidak boleh dilakukan. Jika ditinjau dari sisi manfaat atas penerapan dan orientasinyanya, maka ilmu dibedakan menjadi dua, yaitu: pertama, Ilmu yang diterapkan dan bermanfaat langsung untuk kehidupan manusia di dunia. Ilmu dalam kelompok ini adalah yang jelas-jelas langsung dirasakan dan dibutuhkan oleh manusia di dunia atau dibutuhkan dalam masa hidupnya. Seluruh ilmu sains mencakup politik, ekonomi, sosial, budaya dan kejiwaan adalah termasuk dalam kategori kelompok ilmu ini. Kedua, Ilmu yang bermanfaat secara tidak langsung untuk kehidupan manusia di dunia, tetapi untuk akhirat dan dimensi spiritual.

41

Ilmu dalam kelompok ini dikategorikan dengan ilmu-ilmu yang bersifat non-materi dan hasil yang dirasakan tidak langsung untuk kehidupan manusia di dunia atau semasa hidupnya. Ilmu ini lebih banyak berkaitan dengan agama dan keimanan seseorang, seperti bagaimana dan mengapa manusia harus beragama, harus percaya kepada Tuhan, percaya bahwa sesudah kematian akan ada kehidupan dan pertanggung jawaban, percaya bahwa ruh itu ada dan akan kekal setelah kematian serta akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, dan lain-lain. Islam memandang wahyu sebagai sumber ilmu yang primer, karena ia berkaitan dengan kebenaran absolut. Hal tersebut bertolak belakang dengan pandangan Barat yang menganggap bahwa semua ilmu diperoleh melaui indera secara empiris. Ironinya, hal tersebut dianggap sebagai satu-satunya metode dan sumber yang absah untuk memperoleh ilmu. Para ilmuwan Barat menolak untuk menerima wahyu sebagai sumber ilmu dan menganggap sebagai “tidak ilmiah” bahkan merendahkannya ketingkat mitologi atau takhayul. Sebagaimana diungkapkan oleh Hossein Nasr, pandangan dunia Barat modern, menolak untuk menganggap setiap pendapat ilmiah yang menjadi pertimbangan serius, sepanjang menyangkut ilmu dan menolak untuk menerima kemungkinan dari cara lain dalam memperoleh ilmu, seperti yang diterima melalui wahyu (Nasr, 1993: 186). Sedangkan Osman Bakar berpendapat bahwa metode ilmiah modern harus menggugurkan klaimnya yang menjadikan satu-satunya jalan untuk mengetahui sesuatu. Kemungkinan cara- cara lain memperoleh ilmu tentang alam semesta patut diakui (Bakar, 1988: 75). Oleh sebab itu, tidak terlalu berlebihan untuk menyimpulkan bahwa sumber dan metode ilmu dalam Islam lebih konferhensif dari pendekatan Barat. c. Mengembangkan Ilmu (Epistemologi) Epistemologi membicarakan mengembangkan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan sangat beragam. Aristoteles mengemukakan pengertian epistemologi sebagai: suatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan rasional denga obyeknya diri sendiri yang tepat”. Sedangkan Milton D. Hunnez menyatkan bahwa epsitemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang sifat dasar, sumber dan validitas pengetahuan. Jadi epistemologi pada dasarnya merupakan wilayah evaluatif dan kritis tentang pengetahuan (knowledge) manusia, sedangkan filsafat ilmu adalah kritis atas ilmu pengetahuan (science). Pengetahuan manusia ada tiga macama, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik (Yusuf, diktat mata kuliah Filsafat Ilmu, 2000: 3).

42

1) Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Uraian sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, menyatakan bahwa dengan bersumber pada alam jagat raya akan dihasilkan sains (natural sciences); dengan bersumber pada prilaku manusia akan dihasilkan ilmu-ilmu sosial (social sciences); dengan bersumber pada akal, akan menghasilkan filsafat, dan dengan bersumber pada hati (indra batin) akan menghasilkan tasawuf, dan dengan bersumber pada wahyu akan dihasilkan ilmu agama. Berbagai macam ilmu ini lahir karena menggunakan metode penelitian sebagai berikut: a) Penelitian Empiris dan Eksperimen Penelitian empiris adalah penelitian yang bersifat induktif, yaitu dimulai dari mengupulkan data-data melalui pengamatan, pencatatan, dan percobaan terhadap berbagai fenomena alam raya, seperti: sistem tata surya, matahari, bulan, bintang, benda-benda padat, benda-benda cair, ruang waktu, tumbuh- tumbuhan, binatang, dan lain sebagainya, dapat diperoleh informasi tentang hukum-hukum yang serba tetap yang ada di dalamnya. Hukum-hukum tersebut kemudian diberi kode, identitas, symbol, dan logo, dituangkan dalam sebuah rumus, dan direkonstruksi menjadi sebuah teori yang siap dibuktikan kebenarannya. Teori-teori tersebut kemudian disusun secara sistemik, komperhensif dan konsisten, sehingga dilahirkan ilmu-ilmu murni. Ilmu-ilmu murni ini kemudian diaplikasikan ke dalam praktik atau kegiatan yang melibatkan penggunaan alam jagat raya, dan diujicobakan di laboratorium, dari peroses ini selanjtnya dihasilkan ilmu terapan, seperti ilmu kedokteran, ilmu kesehatan, ilmu farmasi, ilmu astronomi, dan berbagai macam ilmu terapan lainnya (applied sciences). Ilmu terapan ini kemudian dipadukan dengan teknik, maka lahirlah teknologi. Yaitu penerapan teori-teori ilmu dalam praktik. Penelitian empiris dan eksperimen ini dikenal dengan riset burhani dan riset ijbari. Riset burhani adalah riset yang di dasarkan pada bukti-bukti empiris yang dapat dilihat, diamati, dipegang, disentuh, diukur, ditakar, ditimbang, dan sebagainya. Hasil riset burhani ini adalah ilmu-ilmu murni. Sedangkan riset ijbari adalah riset yang bersifat uji coba, yakni menguji coba kebeneran sebuah teori yang dihasilkan melalui riset burhani. Hasil riset ijbari ini adalah ilmu terapan. Dalam riset ijbari terlebih dahulu harus didasarkan pada hipotesis yang ingin dibuktikan. b) Penelitian Sosial Penelitian sosial adalah penelitian yang bersifat induktif, yakni di mulai dengan mengumpulkan data-data fenomena kehidupan manusia dan

43

masyarakat, yakni fenomena kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, dan lain sebagainaya. Data-data tersebut dikumpulkan melalui observasi, wawancara, angket, diskusi, dan sebagainya. Dalam penelitian ini seorang peneliti tidak menetapkan hipotesis atau prakonsepsi lainnya. Data- data yang dikumpulkan melalui berbagai cara tersebut dikumpulkan sedemikian rupa, secara utuh dan komperhensif, kemudian didialogkan antara satu data dengan data lainnya, kemudian dianalis dengan menggunakan berbagai pendekatan ilmu-ilmu tersebut, atau berdasarkan kebijakkan, kecenderungan, dan berbagai kepentingan lainnya. Dalam penelitian ini terkadang dapat pula digunakan data-data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Dalam tradisi Islam, penelitian sosial yang menghasilkan ilmu-ilmu sosial ini dikenal dengan istilah riset istiqra‟ yaitu penelitian yang sifatnya menetapkan atau menentukan atau merumuskan sebuah temuan berdasarkan informasi yang dapat dikumpulkan dari lapangan (Nata, 2011: 218). c) Penelitian Falsafi Penelitian falsafi adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menggunakan akal (ratio) yang berkerja secara sistemik, radikal, universal, mendalam, komperhensif, dan spekulatif, dalam rangka menemukan hakikat atau inti tentang segala sesuatu. Untuk dapat berpikir secara sistemik ini, maka digunakan bantuan ilmu logika, yaitu ilmu yang mengatur cara berpikir agar terhindar dari kesimpulan yang keliru. Melalui penelitian ini dapat dihasilkan filsafat tentang berbagai hal sebagaimana tersebut di atas. Untuk mendapatkan ilmu filsafat harus menggunakan penelitian falsafi atau nama lainnya adalah metode penelitian jaddali yang dilakukan dengan cara berpikir sebagaiman di atas. Secara harfiyah jaddali artinya perdebatan atau bantahan. Di kalangan para ahli ada yang mengatakan bahwa filsafat berada pada gray area, yaitu antara ilmu dan filsafat. Ia tidak dapat disebut ilmu karena kurang memenuhi ciri-ciri ilmu. Yang sebenarnya adalah filsafat yang telah melahirkan ilmu. Seperti pasukan marinir yang membuka jalan atau wilayah agar pasukan yang lain dapat dimasuki. Akan tetapi setelah jalan terbuka dan pasukan lain pun memasuki wilayah yang telah terbuka, marinir tidak ikut ke wilayah tersebut. Filsafat adalah induk ilmu, namun setelah ilmu dilahirkan dan tumbuh besar, ilmu melupakan filsafat, sebagaimana kacang melupakan kulitnya.

44

d) Penelitian Intuitif Penelitian intiusi adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menggunakan indra batin, yakni an-nafs, ar-ruh, al-qalb, al-fuad, al-lub, as-sir, al-zauq dan sebagainya yang dilakukan dengan cara membersihkannya dari segala dosa dan maksiat, serta menyertainnya dengan akidah yang kokoh, ibadah yang intensif baik yang wajib maupun yang sunah, wirid, zikir, muhasab, muraqabah, mujahadah (tazkiyah al-nafs), sebagaimana yang dialami Zunun al-Misri dan al-Gahazali, almahabbah sebagaimana yang dialam Rabi‟ah al-Adawiyah. Penelitian ini disebut juga metode penelitian irfani untuk mendapatkan ilmu makrifat, yang dilakukan dengan melakukan riyadah dan mujahadah disertai dengan pembersiahan diri dari dosa serta maksiat. Adapun penelitian ini berupaya memproleh makrifat, isyrakiyah, muhubbah, ladunni, futuh, atau wangsit yang dilakuakn dengan riyadah atau melatih diri dan mengendalikannya dari perbuatan dosa. Untuk hanya mengingat, medekati, mencintai Allah . Penelitian ini dilakukan oleh para ahli tasawuf yang hasilnya ia sampaikan dalam ungkapan-ungkapan batin dalam bentuk syair yang mereka susun berdasarkan pengalaman batin mereka. e) Penelitian Penjelasan Penelitian penjelasan adalah penelitian yang dilakukan dengan cara memahami kandungan ayat al-Qur‟an dengan bantuan ilmu-ilmu al-Qur‟an, ilmu bahasa Arab dengan berbagai cabang, ilmu istimbat, hukum, ilmu-ilmu bantu yang relevan, ilmu sejarah dan sebagainya. Penelitian ini antara lain dapat dilihat pada cara yang dilakukan para puqaha dalam menetapkan sebuah hukum berdasrkan al-Qur‟an dan al-Sunah, para mufasir dengan metode penafsirannya. Paham determinisme, dikembangkan oleh William Hamilton dari doktrin Thomas Hobbes, yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal (Bidin, 2003: 68). Aliran flsafat ilmu ini merupakan lawan dari paham fatalism yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dulu (Suriasumantri, 1990: 75). Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi seseorang untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu didasarkan kepada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat realtif. Dengan demikian, maka kata akhir dari suatu keputusan terletak pada ilmuan yang didukung teori-teori keilmuan. Keputusan yang didasarkan pada penafsiran ini memerlukan asumsi terhadap

45

ilmu dan interpretasi yang mendalam. Untuk mengembangkan asumsi ini, maka harus diperhatikan beberapa hal, yaitu: Pertama, asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari keadaan sebagaimana adanya, bukan bagaimana keadaan seharusnya. Asumsi dalam kajian filsafat ilmu membantu batasan- batasan penjelajahan. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu diharapkan membantu manusia, dan persoalan mengenai hari kemudian tidak akan ditanyakan kepada ilmu, melainkan pada agama. Sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah seperti itu (Anshari, 1987: 57). Oleh sebab itu, ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta, sedangkan agama tanpa ilmu adalah pincang. Tujuan pencarian ilmu dalam Islam adalah untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat (fi al-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah). Oleh sebab itu, tujuan pencarian ilmu tidak sekedar untuk memperoleh manfaat materi atau memenuhi kebutuhan fisik saja, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan moral dan spiritual yang bersifat ruhani.Tujuan dari pencarian ilmu selaras dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk mengetahui, ibadah dan untuk mencapai ridhla dan kedekatan dengan-Nya (taqarrub). Seperti disimpulkan oleh Hazm, bahwa tujuan ilmu adalah untuk memperoleh ridhla untuk mendekatkan diri kepada-Nya, serta untuk memperoleh kesejahteraan di dunia yang meliputi manusia secara keseluurhan (Chenje, 1982: 80). Dengan demikian, tujuan dari pencarian ilmu adalah untuk membawa manusia kepada fitrahnya yang asal, yakni menjadi manusia yang baik. Seperti dinyatakan oleh Sayed M. Naquib al- Attas, bahwa tujuan dari pencarian ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan atau keadilan pada manusia sebagai manusia dan diri pribadi, dan bukan hanya pada manusia sebagi warga Negara atau bagian integral dari masyarakat (al-Attas: 1978: 141). Berbagai faktor di atas mendorong kemajuan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan antara satu dan lainnya saling melengkapi. Berbagai faktor ini, terutama yang berkaitan dengan tradisi ilmiah perlu ditumbuhkan kembali dalam dunia Islam. Berbagai pandangan yang menganggap bahwa mempelajari ilmu pengetahuan umum sebagai yang terlarang, haram dan mengikuti budaya Barat, sama sekali tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran Al-Qur‟an dan hadits serta peraktik kehidupan ulama shalih di zaman klasik. Pandangan bahwa mempelajari ilmu pengetahuan sebagai terlarang dan mengikuti budaya Barat sepintas dapat dimaklumi, karena yang menguasai ilmu pengetahuan dan

46

teknologi di masa sekarang adalah orang-orang Eropa dan Barat yang mendasarkan ilmunya pada pandangan sekularistik dan antroposentris, yakni hanya berdasarkan pada penalaran umat Islam semata, serta tidak melibatkan landasan nilai moral, spiritual dan akhalak mulia (Nata, 2011: 373). Lahirnya pandangan yang diharapkan, menganggap bahwa ilmu agama dan ilmu umum adalah berasal dari Allah Swt. Oleh sebab itu, antara satu objek dan kajiannya saja yang berbeda, sedangkan hakikatnya adalah ayat-ayat Allah yang harus disandingkan. Hanya dengan pandangan integralistiklah umat Islam akan mencapai kejayaan kembali sebagaimana yang terjadi di zaman klasik dan dapat merebut kembali supermasi sebagai pemandu perkembangan kebudayaan dan peradaban dunia. Inilah yang dijanjikan Allah Swt dalam Q.S al-Mujadalah ayat 11.1 d. Faktor-faktor yang Mendorong Pengembangan Ilmu Pengetahuan Terdapat sejumlah faktor yang mendorong umat Islam melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai berikut: Pertama, Faktor ajaran Islam. Ayat yang pertama kali turun, yakni surat al-„Alaq ayat 1- 5 berisi perintah membaca dalam arti yang seluas-luasnya yakni membaca yang tertulis dan yang tidak tertulis (al-Qur‟an), fenomena alam jagat raya dan Fenomena sosial, dengan cara mengobservasi, mengenali, mencari unsur-unsur persamaan dan perbedaan, menganalisis dan menyimpulkannya yang selanjutnya menjadi teori dan dari teori dapat dirumuskan menjadi ilmu pengetahuan. Selanjutnya di dalam hadis Rasulullah Saw. terdapat perintah untuk menuntut ilmu.

طلب العلم فريضة على كلى مسلم وإن طالب العلم يستغفر له كل شيء حتى الحيتا ن في البحر )رواه ابن عبدالبر عن أنس( Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap orang Islam, dan orang- orang yang menuntut ilmu akan diampuni dosanya oleh segala sesuatu, hingga binatang laut (Majah, 1995; 81, al-Albani, t.t; 7360). Dengan tradisi membaca dan menulis ini, masyarakat Arab mengambil alih pemandu kebudayaan dan peradaban dunia yang semula berpusat di

1 “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang- lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. al-Mujadillah:11).

47

Mesopotamia, Yunani, Cina, India, Persia, Romawi dan Arkadia. Dunia Arab khususnya dan dunia Islam dengan pusatnya Makkah, Madinah, Baghdad, Spanyol dan Mesir, mengambil alih pemandu peradaban dunia yang berdasarkan nilai-nilai al-Qur‟an dan Hadits (Nata, 2011: 370). Maka dari sinilah lingkungan dan budaya yang ada di berbagai daerah di mana Islam terus berkembang. Sebagaimana diketahui, bahwa Islam lahir di Makkah dan berkembang di luar Makkah dan Madinah, seperti di Baghdad, Mesir dan Persia, yang mana dimasa lalu pernah mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta peradaban. Adanya tradisi ilmiah yang sangat kuat, yaitu tradisi mencintai ilmu pengetahuan, membaca, dan menulis, meneliti, membangun lembaga pendidikan, mengoleksi buku, manuskrip dan membangun perpustakaan, menerjemahkan manuskrip, mewakafkan tanah, dan segala sesuatu untuk pendidikan, melakukan perjalanan ilmiah ke berbagai daerah yang jauh, memberikan bantuan dan penghargaan kepada para penulis buku dan ilmuan, menyebarkan ilmu keseluruh penjuru dunia, berdebat, berdiskusi, dan berpendapat. Dengan tradisi ilmiah inilah yang demikian kuat, maka umat Islam mencapai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban Islam (Nata, 2011: 210-214). Selanjutnya dalam ajaran Islam mewajibkan pada seluruh penganutnya agar melakukan berbagai kegiatan dalam bidang apa saja dengan berbasis pada ilmu pengetahuan yang dihasilkan melalui bacaan, riset, dsb. Islam melarang penganutnya bersikap taqlid, yakni mengikuti kebiasaan orang lain tanpa mengetahui dasar pengetahuan dan menganggap bahwa setiap amal perbuatan yang tidak disertai ilmu pengetahuan akan tertolak (Nata, 2010: 211-214). Maka secara historis timbulnya dorongan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan karena hal-hal yang besifat pragmatis, yakni bahwa dalam rangka membangun dan memakmurkan dunia Islam yang sudah demikian luas, diperlukan sejumlah tenaga ahli dalam berbagai bidang untuk keperluan membangun infrastruktur, sarana prasarana, sistem pemerintah, sistem ekonomi, dan lain sebaginya. Untuk itu diperlukan tenaga ahli untuk menterjemahkan karya-karya tulis dsb. Dengan kata lain, bahwa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang pernah dicapai dunia Islam di zaman klasik adalah karena sikap keterbukaan, akomodatif, dan responsive terhadap warisan dan ilmu pengetahuan dari luar dengan tetap berpegang dalam nilai- nilai al-Qur‟an dan hadis. Kedua, Adanya pandangan yang bersifat integrated, komperhensif, dan holistis dalam memandang ilmu pengetahuan dengan agama. Umat Islam pada

48

waktu itu memandang bahwa mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan perihal agama yang bersifat ibadah dan amal shaleh. Mengembangkan ilmu matematika, fisika, biologi, kedokteran, sosilogi, ekonomi dsb. Sebagaimana perintah Tuhan yang bernilai ibadah. Mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mempelajari berbagai fenomena alam dan sosial adalah sama halnya membaca ayat-ayat Allah yang bersifat kosmologis atau ayat-ayat yang bersifat kauniah. (Al Mujam al-Mfaras li Alfadz Al-Qur‟an , t.t: 421-248). Berbagai faktor di atas mendorong kemajuan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan antara satu dan lainnya saling melengkapi. Berbagai faktor ini, terutama yang berkaitan dengan tradisi ilmiah perlu ditumbuhkan kembali dalam dunia Islam. Berbagai pandangan yang menganggap bahwa mempelajari ilmu pengetahuan umum sebagai yang terlarang, haram dan mengikuti budaya Barat, sama sekali tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran Al-Qur‟an dan hadits serta peraktik kehidupan ulama shalih di zaman klasik. Pandangan bahwa mempelajari ilmu pengetahuan sebagai terlarang dan mengikuti budaya Barat sepintas dapat dimaklumi, karena yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi di masa sekarang adalah orang-orang Eropa dan Barat yang mendasarkan ilmunya pada pandangan sekularistik dan antroposentris, yakni hanya berdasarkan pada penalaran umat Islam semata, serta tidak melibatkan landasan nilai moral, spiritual dan akhalak mulia (Nata, 2011: 373). Yang diharapkan ialah lahirnya pandangan yang menganggap bahwa ilmu agama dan ilmu umum adalah berasal dari Allah Swt. Dan antara satu objek dan kajiannya saja yang berbeda, sedangkan hakikatnya adalah ayat-ayat Allah yang harus disandingkan. Hanya dengan pandangan integralistiklah umat Islam akan mencapai kejayaan kembali sebagaimana yang terjadi di zaman klasik dan dapat merebut kembali supermasi sebagai pemandu perkembangan kebudayaan dan peradaban dunia.

49

Tuhan

Metafisik (No-material) Fisik (material) Al-Qur’an dan Hadits Metode Ijbari Hari akhir (Eksperie Akal Wahyu I men)

l Malaik Ilmu sains, alam,fisika Makhluk ghaib m Jin u Bulan Tumbuh-tumbuhan Syaitan Matarahari Hewan

Bintang

Manusia

Alam semsta yang terilmukan

Ilmu Pasti: Matematika Ilmu Alam: Ilmu Sosial: Sosiologi, Fisika,Biologi,Astronomi, Sejarah, Ilmu Kedokteran, Kimia geografi,Antropologi Terapan: Ekonomi

Bagan 2.2: Konseptual Islam tentang Ilmu dan Penelitian C. Pandangan Islam tentang Alam Islam melihat alam bertasbih, saling terkait satu sama lain dengan manusia. Alam juga berjiwa, ia akan merasa sedih jika ada manusia yang merusak alam, sebagai contoh: ketika manusia menginjak rumput atau pohon

50

apabila di tebang, ia akan mengeluarkan getah, hal tersebut sebagai respsentasi bahwa pohon memiliki jiwa dan merasa sedih (mengeluarkan air mata) jika di tebang rusak kelestariannya. Akan tetapi alam juga akan menjadi sahabat bagi manusia, apabila ia di lestarikan, di manfaatkan dan di rawat, maka pohon akan mengeluarkan bunga dan juga buah yang dapat dimakan oleh manusia, hal tersebut adalah sebagai tanda trimakasih alam kepada manusia sebagai kholifah di Bumi. Alam mengandung ayat-ayat Allah (kauniyah) sebagai tanda bahwasanya alam merupakan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa, Menurut Islam pandangan terhadap alam semesta bukan hanya berdasarkan akal semata. Alam semesta difungsikan untuk menggerakkan emosi dan prasaan manusia terhadap keagungan al-Khaliq, kekerdilan manusia di hadapan-Nya, dan pentingnya ketundukan kepada-Nya. artinya, alam semesta dipandang sebagai dalil qath‟i yang menunjukkan keesaan dan ketuhanan Allah. 1. Alam semesta adalah diciptakan untuk satu tujuan Alam semesta ini tidak diciptakan berdasarkan permainan atau senda gurau. Firman Allah:

           

      

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”(Q.S.ad-Dukhaan:38-39)

2. Tunduknya semesta adalah takdir Allah. Pandangan Islam terhadap alam semesta menimbulkan berbagai dampak dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah Firman Allah:

 .          

            

51

        .    

       

Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, Maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah- manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.S. Yaasiin: 37-40)

Peredaran matahari dan bulan pada garis edarnya tidak akan menyimpang dan tidak akan berbeda musimnya. Masing-masing berjalan menurut sunah kauniyah yang telah diciptakan Allah dan selaras dengan ketetapan Allah. Demikian pula dengan gerak kehidupan di bumi, Allah telah memberikan penghidupan yang sesuai dengan kadar dan ketentuan. Dia telah menurunkan sesuatu, hujan misalnya, kecuali menurut kadarnya. Kepada manusia, Allah telah mengajarkan ihwal perhitungan melalui pergantian siang dan malam, pergantian musim, dan bulan-bulan Komariyah.

           

        .   

 

Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui

52

bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. (Q.S. Al-Israa‟: 12)

Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, seluruh ilmu hitung bertumpu pada pengulangan satuan bilangan yang sama dan penambahan bilangan yang satu ke bilangan yang lainnya. Konsep tersebut berlaku pada sistem penjumlahan, yang menambahkan berbagai kelompok bilangan yang berbeda; sistem perkalian yang mengulang kelompok bilangan yang sama; sistem pengurangan yang membuang salah satu satuan bilangan; serta sistem pembagian yang membagian perkalian satuan bilangan sejenis dan sama. Konsep tersebut melahirkan manusia-manusia yang pakar dalam bidang aritmatika, aljabar, kalkulus, diferensial, atau kalkulus integral. Dengan demikian konsep dasar bidang-bidang ilmu hitung itu lahir dari perhitungan hari, bulan, dan tahun yang semuanya itu berkaitan erat dengan kekuasaan Allah untuk menentukan rotasi bumi, bulan dan musim. Dari gambaran di atas kita menemukan bahwa dalam mendidik manusia, al-Qur‟an memiliki dua prinsip ilmiah yang melengkapi aspek pasivisme, finalitas dan logika. Dua prinsip itu adalah: Pertama, Berulangnya berbagai kejadian semesta melalui sunnah yang ditetapkan Allah. Dia yang Mahaagung dan Mahatinggi berkuasa mengubah sunnah itu jika Dia kehendaki. Prinsip itu merupakan landasan dalam berfikir ilmiah, dengan landasan itu, manusia bereksploitasi dan berkreasi dalam segala fenomena peradaban. Sesungguhnya sunnah-sunnah semesta dengan segala kejadian, fenomena dan wujudnya, mulai dari yang berupa atom hingga yang terbesar, merupakan ciptaan Allah yang diturunkan sesuai dengan kadarnya, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada satupun perkara yang melampaui batasan-Nya dan merusak keseimbangan atau sistem lain yang berdekatan, baik dengan mempengaruhi maupun dipengaruhi. Prinsip tersebut telah diambil oleh ilmuwan Muslim dari al-Qur‟an dan dikembangkan dalam sains. Dalam perkembangannya, ilmu-ilmu itu dikuasai oleh ilmuwan Eropa, terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan metode berfikir ilmiah, kaidah ilmu modern, dan logika. Prinsip inilah yang menunjukkan logika yang ilmiah, yaitu melakukan observasi ilmiah berdasarkan analogi kuantitatif, bukan berdasarkan deskripsi kualitatif. Dengan demikian, kita dapat mengembangkan akal secara cermat dan mengambil segala sesuatu berdasarkan analogi.

53

3. Keteraturan semesta adalah kekuasaan Allah Allah adalah penata sunnah semesta yang dengan topangan kekuasaan- Nya, Dia menjalankan dan mengatur semesta sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

         

Dan Dia menahan [benda-benda] langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya…” (Q.S. al-Hajj: 65)

Manusia merupakan bagian dari alam semesta ini. Karenanya dalam segala persoalan hidup dan matinya, manusia harus tunduk pada ketentuan Allah, Penguasa tertinggi dan sunnah-sunnah ciptaan-Nya.

4. Alam semesta tunduk kepada Allah Dari bahasan terdahulu, kita dapat menyimpulkan bahwa seluruh semesta ini tunduk pada pengaturan, perintah, iradat dan kehendak Allah. Allah menjelaskan hal itu dalam berbagai ayat:

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada satupun melainkan bertasbih dengan memujinya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. sesungguhnya Dia adalah Mahapenyantun lagi Mahapengampun. (Q.S. al-Israa‟: 16-17)

Ketaatan dan ketundukan alam semesta membuktikan keagungan dan kesucian Allah. Maka manusia yang berfikir dan berakal, lebih layak lagi untuk mengakui nikmat dan karunia Allah, merasakan kebesaran-Nya, atau memuji dan menyucikan-Nya dengan bertasbih. Inilah pendidikan manusia yang paling mendasar.

5. Alam semesta ditaklukkan untuk manusia. Agama Islam adalah agama yang istimewa. Melalui pengarahan bahwa manusia telah diberi kekuasaan oleh Allah untuk memanfaatkan segala potensi alam semesta ini. Yang jelas, Allah telah menaklukkan alam semesta bagi

54

manusia, mulai dari yang pengaruhnya besar, seperti matahari, hingga yang pengaruhnya kecil, seperti atom dan lebah. Firman Allah:

             

             

       .    

             

    

Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (Q.S. Ibrahim: 32-34)

.     .        

       

55

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Baqarah: 29)

      .    

           

           

         

         

           

             

.            



Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya), Dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu

56

pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, dan (dia ciptakan) tanda- tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka mendapat petunjuk. Maka Apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa) ?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S an-Nahl: 12-18)

Sebagaimana ayat di atas dapat juga dikatakan bahwa alam dapat membawa manfaat bagi manusia, Allah telah menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan, bintang-bintang untuk manusia dengan perintah-Nya. Hal tersebut sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah). Dan Allah jugalah menundukkan lautan untuk umat manusia agar dapat memakan daripadanya ikan, dan mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang dapat dipakai manusia dalam berhias. Oleh karena itu sudah sepantasnya manusia supaya dapat bersyukur. Dan Allah menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak bergoncang, lalu Allah menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan agar manusia mendapat petunjuk, dan juga menciptakan tanda-tanda penunjuk jalan dengan bintang-bintang. Setiap ayat yang diturunkan sejak 14 abad silam, menuturkan pemanfaatan sinar matahari, cahaya bulan, tenaga angin, cahaya bintang, gunung-gunung, lautan, dan segala perkara yang telah ditundukkan Allah bagi manusia dan Allah pun telah memberikan kunci-kuncinya kepada manusia. Dan jika dilihat dari segi pendidikan, al-Qur‟an telah mendidik manusia dalam pemanfaatan alam semesta melalui cara yang tidak menyesatkan atau melampaui batas. Dengan demikian pemanfaatan tersebut mengotori air sungai, tidak berlebihan dalam memanfaatkan satwa lautan, serta tidak mendhalimi saudaranya lewat permusuhan atau dusta. Sebagaimana ayat-ayat Allah di atas terlihat jelas, bahwa alam di tundukkan kepada manusia agar mereka dapat berpikir dengan akal sehatnya, terdapat keagungan Allah. Oleh karena itu manusia harus dapat memanfaatkan alam sebaik mungkin dan tidak boleh di ekploitasi untuk kepentingan pribadi, agar alam senantiasa dapat terus membrikan manfaatnya untuk kelangsungan

57

hidup manusia. Jika tidak, maka alam jugalah yang akan memberikan dampak yang tidak baik untuk manusia, seperti pemanasan global yang sudah meresahkan masyarakat. Ayat-ayat di atas dan juga ayat lain yang sejenis mendorong manusia untuk melembutkan hati, memuji Allah, menyukuri nikmat Allah, bertasbih kepada Allah, dan bertauhid kepada Allah, serta mampu mendidik daya afeksi dan emosional manusia untuk tunduk kepada Allah. Selain itu melalui ayat tersebut, akal manusia terdidik untuk terbiasa dalam kondisi ilmiah. Artinya kita menggunakan prinsip praktis dan penggunaan kaidah-kaidah ilmiah dalam mengolah potensi alam untuk kesejahteraan manusia. Ketika manusia melihat alam begitu mengagumkan, maka alam pun disembah sebagaimana pada masyarakat Mesir kuno misalnya, dengan sifat keprimitifannya, jika sungai Nil menjadi kering maka mereka berupaya memberikan pengorbanan berupa wanita-wanita cantik untuk diberikan kepada alam untuk dikorbankan, agar alam kembali memberikan manfaat pada masyarakat Mesir kuno lewat sungai Nil tersebut. Akan tetapi jika melihat sisi Tauhid, sangat bertentangan sekali dengan Islam, bahwasanya Islam tidak mengajarkan sebagaimana pada masyarakat Mesir. Tetapi pada prinsipnya sama, bahwa alam dapat di manfaatkan guna kelangsungan hidup orang banyak. Ilmu adalah hasil usaha manusia dalam menentukan kebenaran, akan tetapi ilmu sifatnya tidak mutlak, karena ia adalah hasil pemikiran manusia, oleh sebabi itu ilmu dapat juga salah. Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu mengandung kebenaran dan juga kesalahan. Ilmu menggunakan bahan-bahan yang diciptakan oleh Tuhan, agar manusia dapat menggunakannya dengan bijak untuk memashlahatan umat manusia dimuka Bumi. Ilmu alat untuk bisa dekat dengan Tuhan, untuk bisa berbuat baik pada manusia. Oleh karenanya ilmu saling terkait antara, manusia, alam dan Tuhan. Ilmu alam adalam bersifat empiris dan juga rasional, sebagai contoh ilmu alam yang bersifat empiris: apabila ada tanaman yang ditanam, yang ditanam dengan perawatan menggunakan pupuk dan air yang cukup, maka tanaman tersebut akan tumbuh subur, dan akan menghasilkan buah yang banyak hal tersebut dapat diterima oleh akal, lalu ada tanaman yang diberi pupuk dengan yang tidak dapat diketahui perbedaannya sangat jelas. Oleh karenanya ilmu alam dapat memperkuat sendi-sendi keilmuan yang berdasarkan pada Tauhid.

58

D. Pandangan Islam tentang Dikotomi Ilmu Jika dilihat dalam pesepektif Islam, adakalanya persepektif tersebut ditinjau dari perspektif al-Qur‟an dan hadits, karena dua hal tersebut merupakan sumber hukum utama umat Islam. Oleh karenanya, jika melihat hal tersebut yakni dikotomi ilmu dari tinjauan perspektif Islam, berarti sama halnya menyoroti dari tinjauan al-Qur‟an dan hadits. Al-Qur‟an dan al-Hadits sesungguhnya tidak membedakan antar ilmu Agama dan Islam dan Ilmu-ilmu Umum.Yang ada dalam al-Qur‟an adalah ilmu. Pembagian adanya ilmu agama Islam dan Ilmu-ilmu Umum adalah merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan sumber objek kajiannya (Nata, 2003: 69). Dalam Islam, sejak dahulu tidak pernah ada perbedaan atau pengkotakan demikian, hal ini terjadi sejak daerah-daerah muslim di jajah oleh kaum penjajah Belanda dengan mengarahkan agar umat muslim mengurangi kegiatan duniawi dan memberi persiapan lebih bagi persiapan hidup sesudah mati (Rohan, 2009: 317-318). Sedangkan dalam ajaran Islam sendiri, sikap dikotomis terhadap ilmu dalam arti yang berlebihan, bahkan diskriminatif, bukan saja tidak didapati justru dalam al-Qur‟an dan Hadits, akan tetapi yang didapati justru sebaliknya, yakni bertentangan dengan pesan suci Tuhan yang memunculkan konsep ilmu yang integral dari al-Qur‟an dan Hadits itu sendiri. Bahkan al-Qur‟an dan Hadits sama sekali tidak melakukan diskriminasi dalam menyebut dan menganjurkan pendalaman ilmu pengetahuan ke dalam sebutan ilmu agama dan ilmu umum (ilmu non-agama). Sedangkan menurut Husni Rahim mengatakan tentang masalah dikotomi dalam pendidikan agama dan pendidikan umum sebagai berikut: Munculnya masalah ini berawal dari keyakinan bahwa agama adalah langsung dari Tuhan, sedangkan ilmu adalah hasil pemikiran manusia. Keyakinan ini berkesimpulan bahwa agama adalah bersifat mutlak nisbi. Agama bertitik tolak dari keyakinan atau keimanan, sedangkan ilmu justru dimulai dengan keraguan dan ketidak percayaan. Seluruh ayat al-Qur‟an merupakan sumber ajaran utama agama Islam. Secara harfiyah diyakini datangnya dari Tuhan Yang mempunyai kebenaran mutlak. Akan tetapi terjemahan atau penafsirannya oleh manusia bersifat nisbi, yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan, kondisi dan situasi kehidupan manusia, termasuk di dalamnya berbagai ilmu agama yang meliputi ilmu tafsir, ilmu hadits, fiqih, ilmu tauhid dan sebagainya (Rahim, 2005: 29).

59

Menurutnya pula, berdasarkan pengamatannya bahwa sebagian besar materi pendidikan agama Islam terdiri dari ilmu-ilmu ciptaan ulama Islam, maka dapat dinyatakan bahwa yang jelas–jelas merupakan ibadah mahdoh atau ibadah wajib, serta ayat-ayat al-Qur‟an (Qath‟i), berdasarkan ajaran agama terutama yang menyangkut kehidupan masyarakat (Mu‟amalah) dapat dikembangkan sesuai zaman (Rahim, 2005: 30). Segala ilmu pengetahuan seluruhnya pada hakikatnya berasal dari Allah, karena sumber-sumber ilmu tersebut berupa wahyu, atau pun alam jagat raya, manusia sebagai makhluk yang diberikan akal pikiran dengan segala intuisi batin yang diberikan oleh Allah. Dengan demikian para ilmuwan dalam berbagai bidang pun sebenarnya bukan pencipta, melainkan hanya penemu saja, sedangkan penciptanya tetap Allah. Atas dasar pandangan tauhid tersebut maka seluruh ilmu hanya dibedakan dalam nama dan istilahnya saja, sedangkan hakikatnya dan subtansi ilmu tersebut sebenarnya satu dan berasal dari zat Allah SWT. Atas pandangan ini, maka tidak ada pandangan dikotomis yang mengistimewakan antara satu ilmu atas pelbagai ilmu yang lainnya.2 Selanjutnya, bukti bahwa al-Qur‟an dan Hadis tidak mengenal adanya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal ini dapat dipahami dari uraian sebagai berikut: Pertama, di dalam ajaran Islam setiap penganutnya dianjurkan agar meraih kebahagiaan hidup yang seimbang antara akhirat dan dunia. Hal ini misalnya dapat di pahami dari ayat al-Qur‟an dan hadis sebagai berikut:

            

              

   “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan

2 Pandangan dikotomis ilmu pengetahuan sebenrnya tidak dikenal oleh Islam .sejak dahulu Islam tidak memberikan merek atau label nama terhadap ilmu yang dihasilkan dengan sebutan Islam. Islam hanya memberikan nama pada objek yang sesuai dengan subtansi, seperti Teologi, Fiqih, Tasawuf dsb. Sedangkan dikotomi yang ada di Indonesia adalah buah tangan dari colonial Belanda yang berpandangan skularistik, yaitu pandangan yang memisahkan antara urusan agama dengan urusan keduniaan.

60

bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Departemen Agama R.I, 2005: 385).

Islam adalah rahmatanlil‟alamin (rahmat untuk semua alam), tuntunan hidup bagi manusia secara universal. Dengan diturunkanya agama Islam kepada umat Islam, tidak lain adalah untuk kesejahteran hidup umat Islam itu sendiri, bukan saja di peruntukkan di dunia, akan tetapi diperuntukan di alam keabadian yakni akhirat kelak. Untuk mendaptkan ksejahteraan hidup, tentunya dengan sebuah ajaran agama Islam, dan dalam sebuah ajaran agama tentunya terdapat ilmu, dan ilmu merupakan esensi atau nilai yang berharga bagi kehidupan manusia. Dengan adanya konsep diatas, jelas sekali bahwa Islam mendasarkan ajaranya kepada semua ilmu yang dapat memberikan kebaikan dan kesejahteraan untuk dunia dan akhirat. Bahkan jika di runtutkan bahwasanya sikap dikotomis terhadap ilmu merupakan sikap kontradiktif dengan ajaran agama Islam itu sendiri. Tujuan diturunkan agama kepada manusia pun adalah untuk kesejahteraan hidup manusia sebagai khalifah (pemimpin), sekaligus hamba Allah di muka bumi ini dalam menumbuhkan diri manusia sesuai dengan fitrahnya. Hal tersebut memberi isyarat bahwa manusia berkewajiban menumbuhkan kesadaran akan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia dan yang terbaik. Dengan konsep ini pula sangat jelas bahwa Islam mendasarkan ajarannya pada integrasi ilmu yang dapat memberikan kebaikan dan kesejahteraan untuk dunia dan akhirat. Dalam Islam juga ada nilai-nilai dualisme ontologik ilmu pengetahuan yaitu qauliyah dan kauniyah bermuara pada kemaslahatan umat manusia dalam membangaun peradaban semangat tauhid. Akan tetapi, dualisme ontologik dalam doktrin Islam tersebut tidak sampai memunculkan dikotomi ilmu pengetahuan atau bahakan menempatkan dua varian ilmu pengetahuan pada suksesi supertioritas dan inferioritas yang akhirnya pada pelabelan hukum ilmu itu sendir (Soebahar, 2009: 36). Kemudian, jika ditelusuri didalam al-Qur‟an dan hadits tentang ilmu, justru akan didapati betapa Allah dan Rasul-Nya sangat menghargai ilmu dan orang yang mempelajari serta memiliki ilmu pengetahuan dengan tidak

61

membedakan dan membatasi jenis ilmunya. Bahkan, Allah memberikan kedudukan terhormat kepada mereka yang beriman dan berilmu.3 Rasulullah juga sangat menghargai ilmu pengetahuan melalui beberapa ungkapan penghargaan, juga dengan tidak membedakan dan membatasi jenis ilmu pengetahuannya. Rasulullah bersabda sebagai berikut: طلب العلن فر يضة على كل هسلن و هسلوة “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, laki-laki maupunperempuan (al-Hasyimy Bek, 1948: 206). هي سلك طر يما يلتوس فيه علوا سهل اهلل به طريما الى الجٌة Barangsiapa merintis suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allahakan memudahkan baginya jalan menuju surga. (al-Hasyimy Bek, 2005: 301).

Para ulama-ulama Islam tidak hanya membahas masalah-masalah keagamaan dengan berpegang pada wahyu saja, akan tetapi melalui akal. Menurut Azumardi Azra, fungsi akal yang besar dipergunakan dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan hanya dalam bidang filsafat, tauhid atau teologi dan fiqih. Bahkan dalam pengembangan peradaban Islam sendiri, akal sangat memainkan peran penting. Salah satu contohnya adalah kontak pemikiran Islam dengan pemikiran-pemikiran lainnya, seperti pemikiran Yunani, Persia, Cina, dan India, membawa pada pengembangan kebudayaan Islam menjadi lebih maju, Islam mengambil bagian-bagian tertentu dari pemikiran tersebut, kemudian disesuaikan dengan ajaran agama Islam, sehingga menyatu dengan kebudayaan Islam secara keseluruhan (Azra, 1998: 50-52). Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa al- Qur‟an dan hadits memiliki pandangan yang integrated, baik pada dataran ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Pandangan ini jauh lebih unggul dibandingkan dengan pandangan pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat yang bersifat pasial, tidak utuh dan tidak kokoh, sehingga mudah sekali ilmu-ilmu tersebut digunakan untuk tujuan-tujuan yang dapat menghancurkan harkat dan martabat manusia (Mujieb, 2009: 39-43). Jika diitinjau dari sisi materi obyeknya, maka ilmu dibagi menjadi dua, yaitu:

3Departemen Agama R.I, Al-Qur‟an Madinah Terjemah dan Tajwid Tafsir Ibnu Katsir, Surah al-Mujadilah : 11. Lihat juga, Q.S al-Fathir (35) ayat 28, Q.S, al-Zumar (39) ayat 9, Q.S. al-Ra‟du (13) ayat 16 dan Q.S. Hud (11) ayat 24.

62

1. Obyek ilmu yang bersifat materi Obyek ilmu materi adalah obyek ilmu yang dapat didengar, dilihat atau dirasakan. Contohnya adalah ilmu-ilmu dalam kategori alam nasut (alam materi). Artinya alam dunia, yakni alam yang dihuni oleh manusia yang disebut alam al-Mulk, “alam kekuasaan”. Alam nasut merupakan alam kasat mata atau alam syahadah. Dan alam malakut (alam kejiwaan) yaitualam kegaiban, merupakan alam jin, yang sebagian menjelma dari intelek. Oleh karena itu, jin berpotensi mencapai pengetahuan Allah Swt. Wahyu yang disampaikan ke alam manusia (alam Nasut), juga disampaikan ke alam Malakut, seperti sains yang ada sekarang, mencakup ilmu eksak (ilmu pasti) dan non eksak (seperti politik, ekonomi, sosial budaya dll).

2. Obyek Ilmu yang bersifat non-materi Obyek ilmu non-materi adalah obyek ilmu yang tidak dapat didengar, dilihat, ataupun dirasakan. Hasil akhir dari obyek ilmu non- materi biasanya lebih dirsakan sebagai kepuasan spiritual berupa ketenangan jiwa, perasaan nyaman, motivasi keyakinan, dan sejenisnya.Contoh obyek ilmu non-materi misalnya obyek yang membicarakan tentang ruh (alam jabarut) (Mujieb, 2009: 42)4, sifat-sifat ketuhanan (alam lauhut)5 dan wujud Tuhan (alam hahut). Adapun terjadinya dikotomi antara ilmu agama Islam dengan ilmu umum antara lain karena adanya perbedaan pada dataran ontology,

4 Alam Jabarut adalah alam kekuasaan Allah Swt. Alam ini juga merupakan realitas yang disebut “singgasana” (al-Arsy). Hal ini merupakan bagian supraformal atau manifestasi kemalaikatan, yang diliputi dan terdiri dari ciptaan formal, sedang ia sendiri di liputi oleh being, dan being di balik being. Alam Jabarut telah menjadi bagian dari ciptaan, namun masih belum menggambarkan alam nyata. Alam Jabarut merupakan kehidupan surgawi setelah kehidupan ini, namun bukan sebagai Jannah al-Zat, “surga tertinggi”, atau surga esensi. 5 Lahut berasal dari kata al-llah atau “Ketuhanan”. Lahut adalah being dan “pribadi Tuhan”. Alam ini terkadang disebut pula dengan alam „Izzah (alam keagungan). Sebagai bagian dari nama-nama sifat Allah Swt. Ia merupakan al-Khaliq (pencipta) dalam kaitannya dengan dunia, dan sebagai “Tuhan Pribadi” , yang mendengarkan permohonan, yang mematikan, yang menghidupkan, yang mencipta, yang menerima tobat. Ia mestilah memperkukuh apa yang diakui dalam Islam sebagai yang Absolut atau Hatut, dan bahkan memperkokoh keunikkan-Nya. Bahkan tanpa keberadaan Tuhan sebagai pencipta, mustahil wujud dunia, dan tanpa keberadaan Tuhan sebagai pemberi wahyu niscaya tidak ada pengetahuan. Sebagimana tersirat dalam Q.S.al_Qalam, “Allah berfirman kepada qalam. “Tulislah!” Pena lalu bertanya, “Apa yang mesti saya tulis?” Allah Swt. Menjawab, Tulislah pengetahuan Ku mengenai ciptaan-Ku, hingga datang hari kebangkitan.”.

63

epistemology, dan aksiologi kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa Ilmu agama Islam bertolak dari wahyu yang mutlak benar dan dibantu dengan penalaran yang dalam proses penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan wahyu. Sementara itu ilmu pengetahuan umum yang ada selama ini berasal dari Barat dan berdasarkan pada pandangan filsafat yang ateistik, materialistic, skularistik, empiristik, rasionalistik, bahkan hedonistic. Dua hal yang menjadi dasar kedua bidang ilmu ini jelas amat berbeda, dan sulit dipertemukan (Nata, 2003: 4).

E. Dualisme Keilmuan dalam Pendidikan Islam Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan teratur serta sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab, untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan. Agama Islam adalah agama yang bersumber pada wahyu Allah Swt. yang diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui Nabi Muhammmad SAW untuk mengatur tata hidup manusia, baik hubungan dengan. Ahmad Tafsir dalam bukunya lmu pendidikan dalam persepektif Islam, menyebutkan bahwa:“pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain agar ia berkembang maksimal sesuai dengan ajaran Islam” (Tafsir, 1994: 32). Muhammad Isa Ibrahim menyatakan bahwa: “pendidikan Islam pada hakekatnya merupakan sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang yang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam” (Arifin, 1993: 3). Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba: “pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam” (Uhbiyati, 1988: 9). Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniyah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi kepada Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan Islam itu berupaya unuk memahami hakikat pendidikan Islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam. Serta sifat-sifat atau hal-hal yang melekat pada pendidikan Islam yang digunakan sebagai dasar manusia untuk mencapai tujuan hidup manusia yang selalu mengabdi kepada Allah Swt. (Aziz, 2012: http : //www.pdf.finder.com.)

64

Bila disimpulkan pendidikan Islam akan mempunyai pengertian yaitu bahwa pendidikan Islam merupakan proses transformasi ilmu pengetahuan dan internalisasi nilai-nilai ajaran Islam pada peserta didik melalui pertumbuhan dan pengembangan potensi guna keselarasan hidup dalam semua aspek. Menurut Armai „Arif dalam Athiyah al Abrasyi, dalam lintas sejarah umat Islam, pada masa-masa awal kehadiran Islam di dataran Makkah, dengan tokoh utamanya adalah Nabi Muhammad Saw, persoalan di dunia kependidikan Islam masih amat bersahaja. Nabi Muhammad Saw., misalnya mengajarkan Islam kepada para sahabatnya tidak dalam forum khusus dan formal, seperti ketika dilangsungkannya pengajaran tentang Islam di rumah al- Aqra. Pengajaran yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw. pada masa itu lebih bersifat pendidikan individual atau personal yang menekankan pada aspek kognitif. Materi yang diajarkan terfokus pada persoalan-persoalan keagamaan murni sesuai dengan yang diterima dari Allah Swt. (al-Abrasy , 1975: 90). 1. Paradigma Signifikansi Integrasi Keilmuan Maraknya kajian dan pemikiran integraisi keilmuan (Islamisasi ilmu pengetahuan) sangat kental di bicaran oleh kalangan intelektual muslim, seperti Naquib al-Attas dan Ismail Raji‟ al-faruqi, tidak terlepas dari kesadaran berislam di tengah kemajuan ilmu teknologi. Mereka berpendapat bahwa umat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat, manakala mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu, atau sebaliknya, mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (Djakfar, 2002: 235-4). Integrasi keilmuan al-Farabi dimanifestasikan dalam hierarki keilmuan yang dibuatnya. Ia menyebut ada tiga kriteria dalam penyusunan hierarki ilmu: Pertama, berdasarkan kemuliaan subjek ilmu. Dari sini al-Farabi memandang bahwa astronomi memenuhi criteria materi subjek yang mulia karena dengan benda-benda yang paling sempurna, yaitu benda-benda langit atau benda-benda angkas. Kedua, kedalaman bukti-bukti yang didasarkan bukti-bukti yang didasarkan atas pandangan tentang sistematika pernyataan kebenaran dalam berbagai ilmu yang ditandai oleh perbedaan drajat kejelasan dan keyakinan. Menurut kriteria ini, metode penemuan dan pembuktian kebenaran beberapa ilmu lebih sempurna dan lebih hebat ketimbang ilmu-ilmu lainnya. Ketiga, berdasarkan besarnya manfaat suatu ilmu. Klasifikasi ilmu Al-Farabi, karena bukan didasarkan atas ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum tetapi berdasarkan ketiga faktor diatas, maka yang terjadi adalah upaya pengintegralkan (Islamisasi) ilmu pengetahuan. Berbeda dengan Al-Farabi, Al-

65

Ghazali, bisa dikatakan tidak mencetuskan ide-ide kesatuan ilmu pengetahuan. Ia justru sibuk dengan usahanya mengkasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan “asas-asas dikhotomi keilmuan”, dimana ia secara sadar memisahkan antara ilmu-ilmu agama (religious/ukhrawi/fardhlu„ain) dan ilmu- ilmu umum (intelek/duniawi/fardhu kifayah).6 Usaha Natsir untuk mengintegralkan sistem pendidikan Islam direalisasikan dengan mendirikan sistem pendidikan Islam, yang menyatukan dua kurikulum, antara kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah tradisional yang lebih banyak memuat pelajaran agama dengan sekolah Barat yang memuat pelajaran umum (Arief, 2002: ii). Begitu juga pembaharuan sistem pendidikan Islam yang dilakukan oleh Mukti Ali dalam usahanya memformulasasikan lembaga madrasah dan pesantren dengan cara memasukkan materi pelajaran umum ke dalam lembaga- lembaga yang pendiriannya diorientasikan untuk tafaqquh fi al-din. Begitu juga tidak jauh berbeda gagasan yang dikembangkan harun Nasution dalam upayanya menyatukan (menghilangkan) dikotomi antara ilmu- ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum di lembaga pendidikan tinggi Islam, khususnya IAIN Jakarta dengan cara pendekatan kelembagaan dan kurikulum. Pendekatan kelembagaan telah”memaksa” IAIN Jakarta merubah statusnya menjadi UIN Jakarta yang berimplikasi pada perubahan kurikulum. Menurut Armai Arief, berbagai dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum pada kenyataannya tidak mampu diselesaikan dengan pendekatan modernisasi sebagaimana yang pernah dilakuka Abduh, Ahmad Khan, Mukti Ali dan Harun Nasution, maka Ismail Raji al-Faruqi dan Naquib al-Attas melakkan pendekatan berbeda dalam rangka Islamisasi pengetahuan, yakni pendekatan purifikasi atau penyucian (Arief, 2002: 38). Al-Faruq menyatakan bahwa sistem pendidika Islam telah dicetak dalam karikatur Barat sehingga dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan yang dialami umat. Ia juga menambahkan sistem pendidikan yang kini berjalan di dunia Islam terbelah atas dua cabang “modern” yang sekuler dan sistem “tradisional”

6Ilmu religius meliputi ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul); ilmu tentang ke- esaan Tuhan (al-ilm al-tauhid); ilmu tentang kenabian, termasuk di dalamnya tentang para sahabt; ilmu tentang akherat atau eksatologi; ilmu tentang sumber pengetahuan religious. Sedangkan keriteria ilmu-ilmu intelektual didominasi oleh ilmu-ilmu umum seperti: matematika, aritmatika, geometri, astronomi, music, logika, fisika, atau ilmu alam, meteorology, kedokteran, dan lain sebagainya. ia terjebak pada proses dikhotomi, dengan maksud membahas perbedaan antara ilmu fadhlu kifayah dan ilmu fardlu „ain.

66

Pendikotomian ini menurutnya merupakan symbol kejatuhan peradaban umat Islam. Karena sesungguhnya setiap aspek harus dapat mengungkapkan relevansi Islam dalam ketiga sumbu tauhid. Pertama, kesatuan pengetahuan, Kedua, kesatuan hidup, Ketiga, kesatuan sejarah (al-Faruqi, 1984: ix-xii). Sementara itu, menurut al-Attas, tantangan terbesar yang tengah dihadapi umat Islam dewasa ini adalah berupa tantangan pengetahuan, bukan dalam bentuk sebagai kebodohan tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat. Dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum juga disebabkan karena adanya kolonialisme Barat atas dunia Islam sejak abad ke-18 hingga abad ke-19, dimana Negara-negara Islam tidak mampu menolak upaya-upaya yang dilakkan Barat, terutama injeksi budaya dan peradaban. Karena itu, budaya Barat mendominasi budaya tradisional setempat yang telah dibangun sejak lama. Dikotomi ini pada kelajutannya, berdampak negative terhadap kemajuan Islam. Setidaknya ada empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Pertama, munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam, dimana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang bercorak tafaqquh fi al-din yang menganggap persoalan mu‟amalah bukan garapan mereka; sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan memasukkan kurikulum pendidikan umum ke lembaga tersebut telah mengubah citra pesantren dan madrasah sebagai lembaga tafaqquh al-din tersebut. Akibatnya telah terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran hanya menjadi stempel yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan modern yang sekuler (Arief, 2002: 132). Kedua, munculnya kesenjangan antra sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan antara ilmu-ilmu angama dan ilmu-ilmu umum. Pandangan ini jelas bertentangan dengan konsep ajaran Islam sendiri yang bersifat integral, dimana Islam mengajarkan keharusan adanya keseimbangan antara urusan dunia (umum) dengan urusan akhirat (agama). Ketiga, terjadinya distintegrasi pendidikan Islam, diman masing-masing sistem (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh mempertahankan pendiriannya. Meski jalan kompromi semisal modernisasi telah diusahakan, tetapi Karena adanya hegemoni sistem umum atas sistem agama, maka tetap memunculkan dikotomi sistem keilmuan.

67

Keempat, munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Barat yang pada kenyataannya kurang menghargai nilai-nilai kultural dan moral telah dijanjikan tolak ukur kemajuan dan keberhasilan sistem pendidikan bangasa kita (Ikhrom, 2001: 87- 89). Dengan demikian, paradigma integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum muncul sebagai bentuk kekhawatiran sebagian pemikir muslim terhadap ancaman yang sangat dominan terhadap pandangan non-muslim, khususnya pandangan ilmuan Barat sehingga umat Islam harus menyelamatkan identitas dan otoritas ajaran agamanya. Integrasi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum berarti usaha mengislamkan atau melakukan purifikasi terhadap ilmu pengetahuan produk Barat yang selama ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan Islam, agar diperoleh ilmu pengetahuan yang bercorak “khas Islami”. Watak intelektual keislaman IAIN / UIN yang moderat, rasional dan terbuka seperti inilah yang sekali lagi, menjadi faktor penting terhadap tingginya akseptabilitas masyarakat dan bangsa terhadap alumni IAIN/ UIN Jakarta. Hampir tidak ada kesulitan yang sangat berarti untuk menentukan alumni IAIN / UIN di LSM / NGO, Ormas Islam, lembaga pendidikan, majelis ta‟lim, pengurus masjid, partai politik, birokrasi, dunia usaha, lembaga- lembaga advokasi/konsultan rasional maupun internasional. Berdasarkan kepada realitas seperti ini maka berpikir integrative menjadi penting untuk terus diperkuat dan dikembangkan. Itulah sebabnya, secara akademik UIN Jakarta mengembangkan apa yang disebut dengan prinsip “integrasi keilmuan;” UIN menolak adanya dikotomi Islam dan Ilmu Pengetahuan karena disamping memang tidak sesuai dengan prinsip yang diajarkan dalam al-Qur‟an juga preseden historisnya menunjukkan bahwa masa kejayaan Islam (The golden age of Islamic History ) era pertengahan dulu terwujud karena semangat integrative. Terlepas dari tema Ismail al-Faruqi tentang “Islamaztion of Knowledge”, UIN hingga sekarang terus berupaya memperkokoh bangunan ilmu pengetahuan yang integrative agar alamuninya memiliki bekal dan alat- alat keilmuan yang cukup untuk memahami, mengerti dan mengurusi kehidupan lebih tepat (Halim, 2012: 103-105). Melalui integrasi keilmuan ini akan membuka peluang semakin luas bagi alumni UIN untuk berkiprah. Teori-teori ilmu sosial dan ekonomi modern misalnya, melalui sekema integrasi ini akan mendapatkan atau diperkaya dengan persepektif baru yaitu “keindonesiaan dan keislaman” dan tentu saja ini

68

akan jauh lebih produktif karena UIN tidak menjadi konsumen intelektual teori-teori Barat. Riset-riset akan terus dikembangkan melalui persepektif atau sudut pandang baru ini dengan hasil yang bisa lebih memberikan manfaat kemaslahatan bagi umat Islam dan bangsa. Ini memang peluang besar UIN dan para almuninya pada saat teori-teori ilmu konvensional saat ini mulai mendapatkan kritikkan tajam karena dinilai telah gagal untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Memang harus diakui bahwa gagasan integrasi tentu bukanlah sulapan yang dalam waktu singkat berubah. Hal ini membutuhkan proses serius, panjang dan melibatkan banyak pihak. Tahun 2006, masa Azumardi Azra menjadi rector. Sudarnoto Abdul Halim terlibat mnjadi salah satu anggota tim integrasi keilmuan. Setelah melakukan serangkaian diskusi yang melibatkan banyak pihak, tim berhasil menyusun sebuah buku penting “ Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menuju Universitas riset”. Diantara pakar yang ikut memberikan catatan, komentar dan kritik terhadap konsep yang kemudian dibukukan ialah Mulyadi Kartanegara. Tentu saja buku ini sifatnya lebih kongkrit dan praktis agar integrasi ini benar-benar terwujud. Mulyadi Kartanegara tentu sudah mendahului menulis soal integrasi ini. banyak gagasan yang sangat bermanfaat dalam rangka integrasi ini. Sudanoto pun sangat sependapat misalnya dengan komentar Quraish Shihab bahwa “Intgerasi belum berjalan; yang ada adalah penyandingan Islam dan Ilmu.” Trendnya sudah benar, akan tetapi butuh kerja keras agar bangunan ilmu di UIN ini benar-benar tegak kokoh dan berdampak konstruktif bagi banyak orang. Konsep integrasi keilmuan yang dikembangkan di UIN se-Indonesia, secara subtansial sesungguhnya pada muara yang sama, yakni peniadaan dikotomi antara kebenaran wahyu dan kebenaran sains. Dengan kata lain, integrasi keilmuan sesngguhnya ingin memadukan kebenaran wahyu (agama) dengan kebenaran sains yang diimplementasikan dalam konsep pendidikan (Rifa‟i, 2014: 27).

BAB III SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

A. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Rasulullah SAW. Ketika Islam diturunkan, bangsa Arab dikenal dengan sebutan kaum Jahili. Ahmad Amin, Guru Besar Sastra Universitas Al Qahirah mengemukakan bahwa pada awal kemunculan Islam Kaum Quraisy penduduk Makkah sebagai bangsawan di kalangan bangsa Arab hanya memiliki 17 orang yang pandai baca dan tulis. Nabi Muhammad Saw. menganjurkan pengikut-pengikutnya belajar membaca dan menulis. Suku Aus dan Kharaz penduduk Yatsrib (Madinah) hanya memiliki 11 orang yang pandai membaca (Amin, 1965; 141, Arief, 2005: 56).1 Hal tersebut menyebabkan bangsa Arab masih sedikit sekali yang mengenal ilmu pengetahuan dan kepandaiaan lain. Kehidupan mereka mengikuti hawa nafsu, berpecah belah, saling berperang atau dengan yang lain karena sebab yang sepele, yang kuat menguasai yang lemah, wanita tidak ada harganya, berkelakuan hukum rimba, yakni siapa yang kuat maka ialah yang berkuasa. Keistimewaan orang Arab hanyalah ketinggian dalam bidang syair-syair jahili yang disebarkan secara hafalan. Agama warisan Nabi Ibrahim As. Dan Nabi Islamil as.hanya tinggal bekas-bekasnya yang telah diselewengkan. Di lain pihak bangsa-bangsa lain di dunia pada saat yang bersamaan. Bangsa Byzantium, Persia, dan India yang lebih maju menjelang Islam lahir, tak kurang-kurangnya kebejatan moral dan kerusakan aqidah mereka. Para raja-raja mereka berlaku aniaya dan agama mereka telah jatuh pada kemusyrikan. Menghadapi kenyataan itulah Nabi Muhammad diutus oleh Allah dengan tujuan untuk memperbaiki akhlak, baik akhlak untuk berhubungan dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Pada masa Nabi gerakan ilmu hanya tertuju pada telaah agama, maka kemudian berkembang menjadi luas (Poeradisastra, 2008: 12). Dalam masalah ilmu pengetahuan perhatian Rasul sangatlah besar. Rasulullah Saw. memberi contoh revolusioner bagaimana seharusnya mengembangkan ilmu. Rasulullah mendapatkan hal-hal yang akan menjadi

1 Umat Islam pada masa awal membutuhkan pemahaman al-Qur‟an sebagaimana adanya, begitu juga dalam keterampilan (membaca dan menulis). Dalam tulisannya, dikatakan bahwa Siti Aisyah (Istri Nabi), Zaid bin Tsabit disuruh belajar tulisan Ibrani dan Suryani. Budak-budak belian dibebaskan apabila mereka telah mengajar sepuluh orang Muslim membaca dan menulis. Sebagaimana Maksum dalam tulisan Armai Arief, mengemukakan bahwa Ibnu Khaldun mencatat bahwa pada awal kedatangan Islam orang-orang Quraisy yang pandai membaca dan menulis hanya berjumlah 17 orang dan kesemuanya adalah laki-laki.

69

70

landasan dasar dalam usahanya yaitu: Pertama, Wahyu pertama yang diterima Rasul berbunti Iqra (bacalah). Perintah ini sebetulnya adalah perancangan dan juga pemberantasan buta huruf, atau membebaskan manusia bebas dari ketidak tahuan. Kedua, Bangsa Arab adalah bangsa yang kuat hafalannya. Hal tersebut merupakan salah satu alat untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya umat Islam diperintahkan untuk menghafal Al Qur‟an dengan sungguh-sungguh. Ketiga. Adanya budaya menulis dan juga mencatat dari Nabi. Semua para sahabat yang dapat membaca dan menulis diangkat oleh beliau menjadi juru tulis, baik mecatat wahyu yang turun di berbagai lembaran, seperti pelepah kurma, kayu, kulit hewan, batu dsb. Ada dua sumber pokok ajaran Islam yaitu al-Qur‟an dan al-Hadits yang harus ditulis dan di hafal secara utuh untuk mendorong kaum Muslimin awal untuk bersungguh-sungguh mementingkan kepandaian tulis baca (Yunus, 1996: 42). Dengan semangat yang tinggi dari Nabi Muhammad dan juga dorongan yang kuat untuk belajar pada permulaan wahyu, maka saat itu munculah tempat atau lembaga untuk belajar menulis, membaca dan menghafal Al-Qur‟an. Keempat. Al Qur‟an merupakan sumber ilmu pengetahuan, yang memuat kisah-kisah terdahulu, segala macam hukum dasar dalam Islam, sifat-sifat Allah.2 Dengan landasan diatas Rasulullah mulai membangun jiwa umat Islam. Rasul membimbing sahabt-sahabat untuk beriman dan juga berilmu. Berawal dari rumah Rasulullah sendiri digunakan untuk berdakwah, kemudian Nabi membuat satu tempat pertemuan di rumah sahabat yang bernama Abu al-Arqam, di luar kota Makkah. Tempat itulah yang dikenal Dar al-Arqam. Lembaga Dar al Arqam merupakan pusat kegiatan ummat Islam awal. Mula-mula secara sembunyi-sembunyi karena khawatir terhadap tindakan suku Quraisy yang tidak menyukai Rasul. Dalam perkembangannya menjadi tempat yang terbuka untuk umum. Kegiatannya pun bertambah banyak. Bangsa Arab sebelum Islam, secara struktural kelihatannya tidak mementingkan lembaga pendidikan formal. Hal tersebut berkaitan dengan budaya mereka yang bertumpu pada tradisi lisan. Pendidikan mereka didasrakan pada ikutan atau taqlid. Anak-anak berkembang atas dasar mengikuti dan mencontoh perilaku orang dewasa. Sebagaimana kabilah dan suku memang telah mengajarkan prinsip-prinsip hidup yang dibanggakan, seperti sya’ir-sya’ir. Beberapa ilmu yang berkembang sebelum Islam adalah: Ilmu nasab, sejarah, dan agama. Abu Bakar ahli di bidang tersebut dan ia juga ahli dalam ilmu cuaca (Fanani, 2006: 41-42).

2 Q.S. Ali Imron:191. “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”

71

B. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Khulaur ar-Rasyidin. Setelah kelanjutan perkembangan ilmu dan juga pendidikan Islam di era Rasulullah, lalu dilanjutkan oleh para khalifah Khulafaur ar-Rasyidin yaitu: Abu Bakar al-Shidiq berkuasa selama kurang lebih dua tahun (632-634 M), dilanjutkan oleh Umar bin Khatab, berkuasa selama 10 tahun (634-644 M), Usman bin Affan, berkuasa selama 12 tahun (644-656 M), Ali bin Abi Thalib, berkuasa selama kurang lebih lima tahun (656-661 M). dengan demikian, masa kekhalifahan Khulaur ar-Rasyidin berlangsung 29 tahun (Yatim, 1994; 35-36, Nasution, 1977; 22-23, al-Usairy, 2003; 139-177). Kelanjutan dari meluasnya kekuasaan Islam ada dua gerakan perpindahan manusia, orang Arab Muslim keluar jazirah Arab, orang Arab datang ke jazirah Arab. Dua gerakan perpindahan ini membawa dampak tersendiri, baik positif maupun negatife.Orang Ajam yang berasal dari luar Arab adalah bangsa yang pernah mewarisi kebudayaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa Arab. Walaupun nyala api ilmu pengetahuan mereka hampir padam, namun bekasnya masih nyata. Hal ini terlihat pada adanya kota-kota tempat perkembangan kebudayaan Yunani seperti Iskandariyah, Antioka, Yonde, Harran dan Shapur. Kedatangan mereka ke jazirah Arab, dimana kemudian mereka masuk Islam dan berbahasa dengan bahasa Islam (Arab) serta berkeyakinan dengan keyakinan Islam. Mendorong penguasa waktu itu yakni Umar bin Kahatab, memerintahkan untuk membuat tata bahasa Arab agar mereka terhindar dalam membaca Al-Qur‟an dan Hadits Nabi. Menurut Musyrifah Sunanto, Ali bin Abi Thalib-lah pembuatan pertama dasar-dasar ilmu nahwu yang selanjutnya disempurnakan oleh Abu al-Aswad al Duwaly. Selain itu perlu menafsirkan ayat Al-Qur‟an sehingga mereka terhindar dari kesalahan dalam memahami. Maka bertindaklah beberapa sahabat dalam menafsirkan al-Qur‟an seperti yang didengan oleh Nabi dan dari pemahaman mereka sendiri sebagai ahli bahasa. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Ibn Abbas, Abdullah bin Mas‟ud, Ubay bin Kaab. Merekalah yang dianggap sebagai mufasir pertama dalam Islam. Untuk kepentingan pengajaran di luar jazirah Arab, dikirim guru-guru yang terdiri dari sahabat-sahabat ahli ilmu, yaitu, Abdullah bin Mas‟ud pergi ke Kuffah, Abu Musa Al-Asy‟ari dan Anas bin Malik pergi ke Bashrah, Muadz, Ubadah, Abu Darda dikirim ke negri Syam, Abudllah bin Amr bin Ash dikirim ke negri Mesir. Melalui tangan-tangan merekalah berkembang ilmu pengetahuan keIslaman dinegeri-negeri tersebut dan menghasilkan banyak ulama (ahli ilmu). Selanjutnya umat Islam mulai bergerak untuk mempelajari adat istiadat mereka, kaedah-kaedah orang Yahudi, Nasrani, ilmu-ilmu yang berkembang di kalangan mereka. Hanya saja usaha-usaha mulia khalifah Umar itu tidak berlangsung lama, karena Umar terbunuh oleh orang yang sakit hati padanya. Namun umar tetap diakui oleh sarjana muslim dan bukan muslim bahwa ia

72

adalah orang kedua sesudah Nabi yang paling menentukan jalannya kebudayaan Islam. Kedudukan khalifah selanjutnya diganti oleh Usman bin Affan, seorang yang lemah lembut. Walaupun ia mempunyai beberapa kelebihan, tetapi dalam hal pemikiran kreatif Usman tidak muncul. Justru kelemah-lembutannya dipergunakan oleh keluarga bani Ummayah yang pernah memegang kekuatan politik sebelum Islam untuk meningkatkan dan mengembalikan kedudukannya sebagai pemimpin kaum Quraisy pada masa Islam. Peluang yang dimanfaatkan oleh keluarga bani Ummayah untuk menduduki jabatan penting menyebabkan timbulnya berbagai protes dan sikap oposisi yang datang hampir dari seluruh daerah. Gerakan itu berakhir dengan pembunuhan terhadap kholifah ketiga, Usman bin Affan. Diduga terjadinya pembunuhan Usman merupakan malapetaka besar yang menimpa umat Islam. Dikalangan umat Islam terjadi benturan antara ajaran islam yang diturunkan melaui Nabi Muhammad yang berbangsa Arab dengan alam pemikiran yang dipengaruhi kebudayaan Helenesia dan Persia. Perbenturan itu membawa kegoncangan-kegoncangan dan kericuhan dalam beberapa bidang sebagai berikut: a. Bidang bahasa Arab Pada masa Jahiliyah, ketika bangsa Arab belum bergaul luas dengan bangsa lain, bahasa mereka msih murni sehingga bangsawan Quraisy yang ingin anak-anaknya fasih berbahasa Arab selalu mengirim anak-anak mereka ke dusun. Namun sesudah perluasan Islam keluar Jazirah Arab dan bangsa Arab bergaul luas dengan bangsa Persi, Mesir, Syam, maka beraburlah bahasa-bahasa ini sehingga menimbulkan kekacauan dalam tata bahasa.

b. Bidang Akidah Di luar Jazirah Arab terdapat agama-agama Yahudi, Nasrani, Zoroaster, Kafir Yunani dan Romawi, Manes, Hindu. Yang akidahnya jauh berbeda dengan akidah Islam.Ditambah lagi agama Nasrani sangat dipengaruhi oleh filsafat Helenesia. Bertemunya akidah Islam dengan akidah-akidah lain di luar Islam menimbulkan aliran-aliran, antar lain aliran, antara lain aliran Mujassimah yang meyakini bahwa Allah memiliki jisim seperti jisim (wujud fisik) manusia. Oleh karena itu sejarahnya mesti dipelajari untuk dapat menjalankan nasiti (policy) ketatanagaraan, hukum, serta penyebaran agama Islam secara jitu (Poeradisastra, 2008: 14).

c. Bidang Politik Politik Islam yang diajarkan Nabi adalah system musyawarah. Segala sesuatu berdasarkan musyawayah termasuk dalam pemilihan kepala negara. Di luar Jazirah Arab berlaku system monarki absolut, yaitu segala sesuatu dalam kekuasaan mutlak raja termasuk dalam penentuan calon pengganti

73

raja. Bergumullah dua system itu beberapa tahun sesudah pertemuannya. Pergumulan itu menyebabkan umat Islam pecah menjadi beberapa firqah (kelompok). Persoalan pertama kali timbul pada saat wafatnya Rasulullah adalah persoalan politik. Dalam perkembangan selanjutnya dari persoalan politik kemudian berkembangan menjadi persoalan teologi. Hal ini berarti bahwa masalah politik menjadi faktor pendorong perkembangan pemikiran dalam Islam, dan faktor tersebut sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam (Nasution, 1996: 1). Dalam suasana yang demikian timbul suatu kelompok yang netral yang bersikap moderat dan toleran karena mempunyai tujuan untuk tetap menggalang solidaritas dan kesatuan umat. Untuk keperluan tersebut mereka meninggalkan politik dan menyibukkan diri dalam pendalaman ilmu terutama untuk mengkaji sunah Nabi Muhammad Saw.dan menggunakannya untuk memahami dan mendalami agama secara lebih luas. Diantara mereka adalah Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas. Kelompok ini karena pengalamannya dalam mengahadapi berbagai golongan yang mempunyai pandangan yang berbeda akhirnya dianggap sebagai kelompok yang banyak dianut oleh mayoritas ummat (Sunanto, 2007: 34). Disamping itu ketekunan mereka terhadap kajian as-Sunah menyebabkan as-Sunah mendapat perhatian umat Islam dan pada akhirnya as-Sunah menjadi terpelihara. Tak diragukan lagi bahwa usaha bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan Islam pada khususnya dan agama Islam pada umumnya karena as-Sunah merupakan sumber agama Islam yang kedua sesudah al-Qur‟an. Hanya saja usaha ini masih bersifat hafalan dan belum dibukukan, as-Sunah baru dibukukan oleh al-Zuhri atas perintas khlaifah Umar bin Abdul Aziz pada masa Daulah Bani Umayyah I. Meskipun demikian usaha mereka ini merupakan rintisan bagi kajian baru dalam sejarah pemikiran secara rasional dalam as-Sunah.

C. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Bani Umayyah Setelah berakhirnya kekholifaan Ali bin Abi Thalib. Setelah Ali bin Abi Thalib meninggal dunia, pemerintahan Islam sempat di pegang oleh Hasan bin Ali, putra Ali bin Abi Thalib selama 6 bulan, lalu pemerintahn di serahkan oleh Mu‟awiyah dikarenakan Hasan menginginkan kedamaian dan agar tidak terjadi perselisihan dalam umat Islam (Hamka, 1978: 47). maka pemerintahan Islam dilanjutkan dengan berdirinya dinasti Umayyah adalah Mu‟awiyah ibn Abi Sufyan, berkuasa selama kurang lebih selama Sembilan belas tahun (661-680 M). Abdul al Malik Ibn Marwan, berkuasa berkuasa selama kurang lebih dua puluh tahun (685-705 M).al-Walid bin Abd. Al Malik, berkuasa selama sepuluh tahun (705-715 M). Umar ibn Abd.Aziz, berkuasa selama kurang lebih tiga tahun (717- 720 M).dan Hisyam bin Abd. Malik, berkuasa selama kurang lebih selama

74

Sembilan belas tahun (724-743 M) (Nasution, 1977; 78-91, Yatim, 1994; 41-42, Usairy, 2003; 179-211). Benturan kelompok-kelompok di kalangan umat Islam, khususnya dalam bidang politik, berakhir dengan kemenangan Muawiyah bin Abi Sufyan, yang memproklamirkan Bani Umayyah, sebagai pemimpin daulah Islamiyah. Muawiyyah menjadi kholifah dengan berbagai cara, dan telah mengubah sistem musyawarah, menjadi sistem monarki. Hal tersebut banyak di dukung oleh kondisi umat Islam pada waktu itu. Sistem musyawarah dapat berjalan hanya pada satu generasi saja, yakni pada generasi didikan Nabi sendiri. Mu‟awiyah termasuk orang yang berhasil memadukan sistem musyawarah dengan sistem monarki dan daulat Islamiyah dapat dikuasai karena dia banyak memperhatikan riwayat dan kisah-kisah raja besar sebelumnya, baik dari kalangan Arab ataupun bukan Arab, untuk meniru serta meneladani siasat dan politik mereka dalam menghadapi pergolakan yang terdapat didalamnya (Amin, 1965: 166). Menurut Musyrifah, Salah satu aspek dari kebudayaan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan. Jikalau pada masa Nabi dan masa Khulafaur ar-Rasyidin perhatian ilmu pengatahuan pendidikan terpusat pada usaha memperdalam pengajaran Aqidah, akhlak, ibadah, mua’amalah dan kisah-kisah al-Qur‟an, maka perhatian sesudah itu, sesuai dengan kebutuhan zaman, yakni tertuju ada ilmu-ilmu yang diwariskan oleh bangsa-bangsa sebelum munculnya Islam (Sunanto, 2007: 38). Dalam daerah kekuasan Bani Umayyah, Ibu kota Daulah Umayyah terletak di Dasmaskus, suatu kota tua dinegri Syam yang berpenilnggalan kebudayaan maju. selain meneruskan wilayah taklukan pada masa Nabi dan Khulafaur ar-Rasyidin, bani Umayyah memperluas wilayah kekuasaannya di Andalus, Afrika Utara, Syam, Irak, , Khurosan sampai benteng Tiongkok. terdapat kota-kota pusat kebudayaan seperti: Yunani, Iskandariyah, Antiokia, Marran, Yunde dan Sahpur, yang dikembangkan ilmuwan-ilmuwan beragama Yahudi, Nashrani dari Zoroaster. Setelah masuk Islam para Ilmuwan itu tetap memelihara ilmu-ilmu peninggalan Yunani, bahkan mendapatkan perlindungan. Sedikit banyaknya, perkembangan ilmu pengetahuan diluputi oleh para ilmuwan yang mendapatkan jabatan tinggi di istana khalifah. Seperti ada yang menjadi dokter pribadi, bendaharawan atau wajir (Sunanto, 2007: 38). Oleh karena itu, berbagai bahasa, sistem tata Negara, kebudayaan, dan sejarahnya mesti dipelajari untuk menjalankan ketatanegaraan, hukum, serta penyebaran agama Islam secara jitu. Dalam perjumpaan dan percakapan dengan agama dan kepercayaan lain untuk membela agama Islam terhadap sisa-sisa agama dan kepercayaan lain itu, kaum Muslimin mulai mempelajari dan mempergunakan filsafat Yunani, tetapi dengan membersihkannya dari kekafiran. Oleh karena itu, mereka menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani dan pengetahuan Yunani melalui bahasa Suryani karena aslinya telah musnah terbakar di perpustakaan-perpustakaan Iskandariyah ketika penyerbuan Julius

75

Kaisar pada tahun 48 pra-Masehi, kemudian dibakar oleh Kaisar Lucius Domitius Aurelianus pada tahun 272 M, dan terakhir oleh Jendral Theodosius pada tahun 371 M. ketika itu bahasa Suryani merupakan bahasa ilmu dan kesusastraan yang kaya dan banyak menerjemahkan karya filsafat dan pengetahuan dari bahasa Yunani. Dan keuntungan bagi para penerjemah adalah bahwa bahasa Suryani ini masih serumpun dengan bahasa Arab dan banyak kaum Muslimin yang pandai bahasa itu (Poeradisastra, 2008: 14-15). Sebagaimana dalam Dhuha al-Islam, Ahmad Amin mengatakan “ diantara para kholifah bani Umayyah, Kholid bin Yazid sangat tertaik pada ilmu kimia dan ilmu kedokteran. Ia menyediakan sejumlah harta dan memerintahkan para sarjana Yunani yang bermukim di Mesir untuk menerjemahkan buku-buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa Arab. Usaha ini menjadi terjemahan pertama dalam sejarah umat Islam” (Amin, 1972: 225). Al-Walid bin Abdul Malik, memberikan perhatian kepada Bismaristan. Ia mendirikan Bimaristan di Damaskus pada tahun 884. Selanjutnya, pada masa Kholifah Umar bin Abdul Aziz memerintah, ia memerintahkan kepada para ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi (secara tidak resmi sebenarnya sudah ada sejak zaman sahabat telah membukukan). Kholifah Umar bin Abdul Aziz memilih Ibn Abjar, seorang dokter yang berada di Iskandariyah yang kemudian menjadi dokter peribadinya. Sehingga mempengaruhi pandangan kholifah terhadap ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya yang berasal dari Yunani (Susanto, 2007: 45). Terlepas dari ilmuwan-ilmuwan yang kemudian memeluk Islam. Namun ada juga ilmuwan yang tetap pada keyakinan mereka, di antaranya Yahya al Dimasyqi. Ia adalah seorang pejabat di masa khlaifah Abdul Malik bin Marwan, seorang penganut Kristen fanatik yang berusaha mempertahankan akidahnya. Yahya al-Dimasyqi, menggunakan metode logika untuk. Dengan sikap dan cara sudut pandang Yahya al-Dimasyqi, mendorong umat Islam menyelidiki dan memepelajari logika mereka untuk mempertahankan Islam sekaligus untuk mematahkan hujjah mereka (Amin, t.t: 264). Pembicaraan mereka kemudian berkembang sampai menyinggung soal qadar dan sifat-sifat Tuhan. Kelompok yang banyak mempersoalkan masalah-masalah ini kemudian dikenal sebagai kelompok Mu‟tazilah. Kelompok ini dikenal sebagai golongan rasionalis Islam yang banyak mempergunakan akal dalam pembahasannya. Dalam Sejarah Islam Klasik, Musyrifah Sunanto berpendapat bahwa penyusunan ilmu pengetahuan secara sistematis sebagai berikut: Pengaruh lain dari ilmuwan-ilmuwan yang beragama Kristen adalah penyusunan ilmu pengetahuan secara lebih sistematis. Didikan ulama- ulama yang dikirim oleh khalifah Umar pada masa pemerintahannya menghasilkan ulama ahli ilmu dan sejumlah yang lebih besar dan lebih menjurus sesuai dengan lingkungan di mana mereka berada. Selain itu berubah pula dari sistem hafalan kepada sistem tulisan menurut aturan-

76

aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung ilmu tidak lagi berbangsa Arab asli tapi didukung pula oleh golongan non-Arab (Susanto, 2007: 41).

Dengan demikian, golongan diataslah yang mengubah sistem ilmu pengetahuan terjadi pada umat Islam. Sehingga hal tersebut meluas dan terjadi pembidangan ilmu pengetahuan sebagai berikut : Pertama, Ilmu pengetahuan bidang agama yaitu, segala ilmu yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits. Kedua, Ilmu pengetahuan bidang sejarah yaitu, segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah dan riwayat. Ketiga, Ilmu pengetahuan bidang bahasa yaitu, segala ilmu yang mempelajari bahasa nahwu, sharaf, dan lain-lain. Keempat, Ilmu pengetahuan bidang filsafat yaitu, segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing seperti ilmu mantiq, kedokteran, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Pada masa Umawiyah Masyarakat Muslim telah banyak memperhatikan al ilmu al- naqliyah, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur‟an al Karim yang meliputi Tafsir, Qiraat, al-Hadits dan Ushul Fiqhi, serta Lisaniyah seperti ilmu al-Lughah, ilmu Nahwu, ilmu al-Bayan dan al-Adab (Maksum, 1999: 53-54. Empat bidang diatas saling bahu-membahu. Ahli ilmu agama dalam ajarannya memerlukan filsafat dan sejarah, ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih memerlukan sya’ir-sya’ir dan adab dalam memahami ayat Al-Qur‟an dan Hadits, ahli sejarah dan tukang kisah memerlukan bahan yang terdapat dalam al-Qur‟an dan Hadits, demikian juga ahli filsafat memerlukan Al-Qur‟an, Hadits dan sejarah. Dengan demikian ilmu pengetahuan sudah merupakan suatu keahlian, masuk ke dalam bidang pemahaman dan pemikiran yang memerlukan sistematika dan penyusunan. Golongan yang sudah biasa dengan keahlian ini adalah golongan non-Arab yang disebut Mawali.3 Karena kefanatikan kepada bangsa Arab, khalifah Abdul Malik bin Marwan mewajibkan bahasa Arab menjadi bahasa resmi negara, sehingga semua perintah dan peraturan serta komunikasi secara resmi memakai bahasa Arab. Akibatnya bahasa Arab dipelajari orang. Maka tumbuhlah ilmu qowaid dan ilmu lain untuk mempelajari bahasa Arab.4 Kemajuan dalam bidang Administrasi dan bahasa, yakni dari bahasa Yunani dan Pahlawi ke bahasa Arab juga masih pada masa Abdul Malik. Orang-

3Mawali berasal dari kata “Maula” artinya budak tawanan perang yang sudah dimerdekakan. Mereka mula-mula berasal dari bangsa Pesia atau keturunananya. Dalam perkembangan selanjutnya kata Mawali diperuntukan pula untuk bangsa lain selain Arab. Istilah ini muncul Karena bani Umayyah berusaha untuk mempertahankan kemusnian bangsa Arab. 4 Dengan menjadi bahasa resmi Negara pada masa bani Umayyah, maka bahasa Arab banyak digunakan di berbagai Negara sampai saat ini, seperti: Irak, Syiria, Mesir, Lebanon, Libia, Tunisia, Aljazair, Maroko, di samping Saudi Arabia, Yaman, Emirat Arab, dsb.

77 orang bukan arab pada waktu itu telah mulai pandai bahasa Arab. Untuk menyempurnakan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab, terutama pengetahuan pemeluk Islam baru dari bangsa-bangsa bukan Arab, perhatian kepada bahasa Arab, terutama tata bahasanya, mulai diperhatikan. Inilah yang mendorong Sibaweih untuk pertama kali menyususn ilmu nahwu yang selanjutnya menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab. Guna mendukung upaya ini, Abdul Malik juga membangun lembaga pendidikan yang dikenal dengan al-Badiah, yakni lembaga pengajaran bahasa Arab klasik, dengan tujuan selain untuk memasyarakatkan penggunaan bahasa Arab secara internasional, juga dalam rangka menjaga kemurnian bahasa Arab dari pengaruh bahasa non- Arab( Nasution,1985; 63, Syahlabi, 1968; 34). Penduduk daerah Islam terdiri dari dua unsur, Arab dan Ajam. Masa sahabat kebanyakan yang berilmu adalah unsur Arab. Setelah ulama kalangan sahabat menyebarkan ilmunya ke daerah yang dikuasai, maka di sana unsur Arab dan Ajam bersama mengambil ilmu sehingga pada generasi berikutnya pemegang peranan dalam bidang ilmu pengetahuan adalah unsur Ajam. Adapun sebabya, seperti yang disimpulkan oleh Ibn Khaldun, bahwa agama pada mulanya belum memerlukan ilmu dan kecerdasan sesuai dengan kesederhanaan dan kebaduian bangsa Arab, agama masih merupakan hukum syari‟ah yang berupa perintah dan larangan Allah. Kebanyakan orang Islam hafal akan hukum tersebut dan mereka pun mengetahui sumbernya dari Al-Qur‟an dan Hadits, yang dapat mereka proleh dari Rasul dan sahabat. Pada waktu itu kaum Muslimin masih terdiri dari bangsa Arab yang belum kenal kepada pengajaran, karang- mengarang dan pembukuan ilmu, serta belum ada keinginan untuk itu karena memamng belum diperlukan. Kemudian ilmu-ilmu itu menjadi suatu kecakapan yang perlu dipelajari. Mulailah ilmu masuk ke dalam lapangan kepandaian dan kerajinan. Yang memiliki kerajinan dan kepandaian adalah orang Arab dan Ajam atau Mawali karena mereka mewarisi dari ibunya (Amin, 1972: 191). Kemajuan dalam bidang ilmu agama Islam, dinasti bani Umayyah juga memiliki perhatian yang cukup besar terhadap pengembangan ilmu agama Islam, seperti tafsir, hadits, fiqih, dan ilmu kalam. Pada zaman inilah timbul beberapa nama seperti Hasan al-Bisri, Ibn Shihab al-Zuhri, dan Washil ibn „Ata yang merupakan para pakar dalam ilmu kalam. Yang menjadi pusat dari kegiatan ilmiah ini adalah Kufah dan Bashrah di Irak (Nasution, 1985: 34). Jadi, bisa dikatakan bahwa peradaban Islam pada masa itu sudah bersifat internasional, meliputi tiga benua; sebagian Eropa, sebagaian Afrika, sebagian Asia. Penduduknya meliputi puluhan bangsa menganut bermacam-macam agama, bermacam-macam kebudayaan, bermacam-macam bahasa.Semua itu disatukan dengan bahasa Arab sebagai bahasa pemersatu dan agama Islam menjadi agama resmi negara. Sedangkan berbagai kemajuan yang terjadi pada zaman dinasti Umayyah tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu. Pertama, Adanya daerah yang luas yang memiliki berbagai kekayaan sumber

78

alam, adat istiadat, budaya, tradisi ilmiah dan lain sebagainya, keadaan alam ini setelah dikelola dengan baik dapat membawa kemajuan. Kedua, Adanya kebutuhan terhadap berbagai ilmu agama dan ilmu umum, serta lainnya bagi pembangunan wilayah yang luas itu. Ketiga, Adanya semangat dan motivasi yang kuat untuk membangun kejayaan Islam dan memberi manfaat bagi kehidupan umat manusia.

D. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Abbasiyah Apa yang telah dirintis oleh Daulah Umayyah di Damaskus (660-750 M.) dilanjutkan oleh Daulah Abbasiyah (750-1258 M.) Selanjutnya para khalifah bani Abbas yang terkenal antara lain: Abu al-Abbas, berkuasa Selama empat tahun (750-754 M.), al-Mansur, berkuasa selama dua puluh satu tahun (754-775 M.), al-Mahdi, berkuasa selama sepuluh tahun (775-785 M), Harun al-Rasyid, berkuasa selama kurang lebih dua puluh empat tahun (785-809 M), al-Ma‟mun, berkuasa selama dua puluh tahun (813-833 M.), al-Mu‟tasim, berkuasa selama kurang lebih Sembilan tahun (833-842 M), al-Wathiq, berkuasa selama lima tahun (842-847 M.), al-Mutawakil, berkuasa selama enam belas tahun (847-861 M), dan Mu‟tasim, berkuasa selama enam belas tahun (1242-1258 M.) (Yatim, 1994;49-60, al-Usairy, 2003; 213-236, Mahmudunnasir, 1991: 246-282). Sejarah mencatat, bahwa di zaman khalifah Abbasiyah ini, Islam pernah mencapai puncak kedidak jayaan. Diantara kemajuan tersebut sebagai berikut: Pertama, kemajuan dalam bidang administrasi pemerintahan. Khalifah al- Mansur, mengadakan tradisi baru dengan mengangkat wazir yang membawahi kepala-kepala departemen. Untuk memegang jabatan wazir ini, al-Mansur pilih Khalid Ibn Barmak, seorang yang berasal dari Balkh di Persia. Khalifah Abu Ja‟far Abdullah al-Mansur, telah memperkerjakan para penerjemah yang menerjemahkan buku-buku kedokteran, ilmu pasti dan filsafat dari bahasa Yunani, Parsi dan Sanskrit (Poeradisastra, 2008: 15). Kedua, kemajuan dalam bidang ekonomi. Khalifah al-Mahdi, melakukan perbaikan dan peningkatan dalam bidang ekonomi. Pertanian ditingkatkan dengan mengadakan irigasi, penghasilan gandum, kurma dll., bertambah. Demikian pula hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi berkembang dengan pesat. Kegiatan dagang transit antara Timur dan Barat juga berkembang dengan pesat. Berkenaan dengan ini, Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Ketiga, kemajuan dalam bidang kesehatan. Di zaman Harun al-Rasyid kehidupan yang makmur, kecukupan, dan kemewahan sebagaimana yang dilukisan dalam cerita 1001 malam telah mewarnai kehidupan masyarakat. Kekayaan yang banyak, digunakan olehnya untuk keperluan sosial. Untuk itu ia mendirikan rumah sakit, menyelenggarakan pendidikan kedokteran, dan farmasi. Sejarah mencatat, bahwa pada masa itu, Baghdad terdapat 800 dokter.

79

Keempat, kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Di zaman khlaifah al-Ma‟mun perhatian terhadap pembangunan dan pengembangan di bidang ilmu pengetahuan mengalami peningkatan. Upaya ini antara lain dilakukan dengan melakukan penterjemahan buku-buku, kebudayaan Yunani dengan cara menggaji melakukan penterjemah dari penganut agama lain. Untuk kegiatan ilmiah ini, al- Ma‟mun juga mendirikan Bait al-Hikmah dan berbagai lembaga pendidikan, berupa sekolah atau lembaga atau madrasah. Selain itu, al-Ma‟mun juga mendatangkan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat dari Bizantium yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan ini berjalan kira-kira satu abad lamanya. Bait al-Hikmah didirikan oleh al-Makmun, bukan hanya merupakan pusat penerjemahan, tetapi juga berperan sebagai akademik yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan di Bait al-Hikmah adalah ilmu kedokteran, astronomi, matematika, optic, geografi, fisika, sejarah, filsafat dan agama (Yatim, 1994: 49-60, Al-Usairy, 2003: 139-177, Mahmudunnasir, 2003: 266- 272). Kelima, kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada zaman ini antara lain didirikan Bait al Hikmah di Baghdad dan al-Azhar di Kairo yang hingga kini masih harum namanya sebagai Universitas Islam yang tertua dan termuka usianya di seluruh dunia. Keenam, kemajuan dalam bidang peradaban dan kebudayaan. Di zaman Harun al-Rasyid, didirikan pemandian-pemandian umum, berbagai gedung- gedung, masjid, istana raja, jembatan, irigasi, pertambangan, industry logam, kerajina, perhiasan, lukisan yang indah dsb. Semenjak dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya makmur, sebaliknya dunia Barat masih dalam keadaan gelap, bodoh dan primitive. Dunia Islam sudah sibuk mengadakan penyelidikan di laboratorium dan observatorium. Dunia Barat masih asik dengan jampi-jampi dan dewa-dewa. Hal ini disebabkan agama yang dibawa Nabi Muhammad telah menimbulkan dorongan untuk menumbuhkan suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam. Dorongan itu mula-mula menggerakkan teciptanya ilmu-ilmu pengetahuan dalam lapangan agama (ilmu naqli), bermunculanlah ilmu-ilmu agama dalam berbagai bidang. Kemudian, ketika umat Islam keluar dari Jazirah Arab, mereka menemukkan perbendaharaan Yunani. Dorongan dari agama ditambah pengaruh dari perbendaharaan Yunani menimbulkan dorongan untuk munculnya berbagai ilmu pengetahuan untuk muncul berbagai ilmu pengetahuan di bidang akal (ilmu aqli) (Sunanto,2007: 54, Poeradisastra, 2008: 15).5

5 Al-Ma‟mun ibn Harun Al-Rasyid pada tahun 830 M .mendirikan Darul Hikmah atau akademi Ilmu pengetahuan pertama di dunia, terdiri dari perpustakaan pusat pemerintahan, observatorium bintang dan universitas (darul‟l ulum). Bahkan fakultas kedokteran telah didirikan pada tahun 765 M oleh Jurjis Ibn Naubakht. Al-Ma‟mun mengirimkan serombongan penerjemah ke Konstatinopel, Roma, dll.yang antara lain terdiri dari Abu Yahya Ibn al-Batriq (w.815 M),

80

Oemar Amin, menegaskan bahwa pebendaharaan Yunani karena pada waktu Islam datang, ilmu Yunani sudah mati yang ada tinggal hanyalah buku- bukunya saja. Ketika Islam sampai ke Binzatium, Persia, dan lain-lain, mereka tidak lagi menjumpai ilmu Yunani dipelajari orang, yang didapati hanyalah beberapa tabib Yunani, perkembangan baru tidak diperoleh lagi (Hoesen,1975: 24, Ali, 1967: 234, De Boer, 1970: 14, Hasyim, 1979: 35).6 Prestasi luar biasa umat Islam pada masa bani Umayyah yang dapat menaklukkan wilayah-wilayah kerajaan Romawi dan Persia, segera disusul dengan prestasi yang lebih hebat lagi dalam penaklukkan bidang ilmu pada abad berikutnya. Penelaahan ilmu yang dimulai sejakbani Umayyah menjadi usaha besar-besaran pada masa bani Abbasiyah. Gerakkan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja‟far al-Mansur (al-Gurabi, 1959: 137). Setelah ia mendirikan kota Baghdad (144 H/762 M) dan menjadikannya sebagai ibu kota Negara. Ia menarik banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqih, tafsir, tauhid, sejarah. Akan tetapi yang lebih mendapat perhatian adalah penerjemahan buku ilmu yang berasal dari luar (Amin,1965: 272).

Muhammad ibn Sallam (777-839 M.), pemimpin darul hikmah Hajjaj Ibn Hunayn ibn Ishak (809- 847 M). 6 Diceritakan asal muasal kedatangan kebudayaan Yunani adalah filosof-filosof Yunani yang lari dinegaranya Karena dikejar-kejar oleh rajanya, akibat perbedaan mazhab (pandangan). Sebenarnya merekalah penyusun ilmu secara sistematis, namuan ketika Yunani dijajah oleh bangsa Romawi, raja-rajanya yang beragama Kristen tidak mentolerir. Masa raja Konstantin Agung (wafat 366 M), pepustakaan, yang diidrikan oleh raja Perbeku yang bersifat Liberal, dibubarkan atau dimusnahkan, pengetahuan dianggap sebagai sihir yang dikutuk, filsafat dan ilmu dibasmi.Kaisar Yustinius pada tahun 529 M menutup sekolah filsafat yang masih ada pengajarnya dan mereka diusir.para sarjana itu kemudian lari ke Paris dan mendapatkan kedudukan terhormat di Islatana Kisra An usirwan (531-578 M) dan aliran filsafat Neo Plato yang mereka bawa diterima baik. Didirikanlah di Yunde Sahpur sebuah perguruan tinggi, di mana sarjana itu mengajar bermacam ilmu, antara lain kedokteran dan filsafat. Sekolah ini berurat akar di kota ini sampai berdirinya bani Abbasiyah, seperti di Harran menjadi pusat kegiatan Yunani di Irak, dimana penduduknya berbicara dengan bahasa Arab.

81

Hasyim Abdul Muthalib

Al Abbas Abdullah Abu Thalib Abdullah Nabi Muhammad SAW. Ali „Ali

Muhammad Abdullah Daud Sulayman

Ibrahim 1. Abul Abbas (749-754) 2. Al Manshur (754-775) Musa 3. Al-Mahdi (775-785)

4. Al-Hadi (785-786) 5. Harun Al Rasyid (786-809) Ibrahim

6. Al- Amin (809-813) 7. Al Ma’mun (813-833) 8. Al Mutaksim (833-842)

Tabel 3.1: Silsilah Kholifah Abbasiyah zaman Integrasi Ilmu

E. Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan dan Perkembangannya dalam Islam 1. Pertumbuhan Ilmu Naqli (Ilmu Agama Islam) Ilmu naqli adalah ilmu yang bersumber dari naqli (Al-Qur‟an dan Hadis), yaitu ilmu yang berhubungan dengan agama Islam. Ilmu ini mulai disusun dasar perumusannya pada sekitar 200 tahun setelah hijrah Nabi sehingga menjadi ilmu yangkita kenal sekarang.

82

Agama Islam di samping sebagi ajaran juga sebagi ilmu. Sebagai ajaran, agama mengandung unsur masalah yang gaib, adanya hubungan baik dengan kekuatan yang gaib tersebut. adapun agama sebagai ilmu disebut dengan ilmu agama. Ilmu agama dapat dimakanai sebagai prosedur, proses dan produk. Ilmu agama sebagai proses merupakan aktivitas penelitian tentang fenomena dan ajaran agama secara rasional, kognitif dan teologis. Ilmu agama sebagai prosedur adalah aktifitas kajian atau penelitian tentang fenomena dan ajaran agama dengan metode-metode ilmiah. Makna ilmu agama sebagai produk adalah berisi tentang kumpulan fenomena dan ajaran agama secara sistematis merupakan hasil aktivitas kajian atau penelitian dengan menggunakan metode ilmiah (Mulyadi, 2010:159). Ilmu-ilmu yang termasuk ilmu naqli adalah sebagai berikut: a. Ilmu Tafsir Untuk menggunakan al-Qur‟an sebagai sumber ajaran Islam secara langsung tidak semua orang memiliki kemampuan. Sejarah mencatat, bahwa pada priode pertama dari masa pertumbuhan Islam, ternyata yang memiliki kemampuan memahami Al-Qur‟an sangat terbatas. Dilihat dari segi pertumbuhan dan perkembangan, Ulum al-Qur’an atau Ulum at-Tafsir, sama dengan pertumbuhan ilmu-ilmu lainnya, yakni tumbuh dan berkembang dari keadaan yang sederhana dan bercampur dengan pembahasan ilmu lainnya hingga menjadi sebuah ilmu yang berdiri sendiri. Pada masa Rasulullah Saw. serta masa Khulafaur Rasyidin, Ulum at-Tafsir masih diriwayatkan melalui penuturan secara lisan. Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab menurut uslub-uslubnya yang diwahyukan kepada seorang yang ummy. Penafsiran al-Qur‟an telah tumbuh pada masa Nabi dan beliaulah sebagai al-Mufassir al-Awwal dari kitab Allah untuk menerangkan maksud- maksud wahyu yang diturunkan padanya. Tafsir yang diterima Nabi sedikit sekali dan sahabat-sahabat Rasul tidak ada yang berani menafsirkan al-Qur‟an ketika masih hidup.Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan al-Qur‟an (Al Munawar, 2002: 63-64). Ketika zaman kekhalifahan Utsman ra. Dimana orang Arab mulai bergaul dengan orang-orang non-Arab, pada saat itu Utsman memerintahkan supaya kaum Muslimin berpegang pada mushaf induk dan membuat reproduksi menjadi beberapa buah naskah untuk dikirim ke daerah-daerah. Bersamaan dengan itu ia memerintahkan supaya membakar semua mushaf-mushaf lainnya yang ditulis orang menurut caranya masing-masing. Dengan perintah reproduksi naskah al-Qur‟an ini berarti Ustman meletakkan dasar yang di kemudian hari dikenal dengan nama ilmu Rasmi al- Utsmani (ilmu tentang penulisan al-Qur‟an) yang merupakan bagian dari pembahasan Ilmu al-Qur‟an. Selain itu terdapat nama lain yang juga berpengaruh terhadap perkembangan ilmu ini, yakni Ali bin Abi Thalib r.a, dengan perintahnya kepada Abul Aswadi al-Duali, agar meletakkan kaidah

83 pramasastra bahasa Arab guna menjaga corak keasliannya. Dengan perintah ini berarti Ali bin Abi Thalib adalah orang yang meletakkan dasar ilmu I’rabAl- Qur’an yang juga merupakan bagian dari Ulum Al-Qur’an. selain itu ada nama lain seperti, Ibn Abbas, Aibn Mas‟ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka‟ab, Abu Musa al-Asy‟ari, Abdullah bin Zubair. Menurut Abuddin Nata, pada pengkodifikasi al-Qur‟an, ilmu tafsir berada di atas segala ilmu yang lain, karena ia dipandang sebagai induk ilmu Al- Qur‟an, atau ilmu yang utama dari Ulum al-Qur’an. Dalam pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Tafsir yang terjadi pada abad pertama hingga, abad ke lima belas, terdapat hal-hal yang menarik untuk di pahami sebagai berikut: Ilmu tafsir mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang luar biasa jika dibandingkan dengan ilmu Keislaman lainya. Hal ini antara lain dapat dilihat bahwa pada setiap abad selalu terdapat ulama yang menulis kitab- kitab yang sekaligus berkaitan dengan berbagai cabang ilmu tersebut. Ilmu tafsir memiliki cabang yang sangat luas itu, memperhatikan luasnya isyarat yang terkandung di dalam al-Qur‟an. Kitab-kitab yang membahas ilmu tafsir yang demikian banyak itu boleh jadi masih berserakan di berbagai perpustakaan baik di Barat dan di Timur, dan sebagaian mungkin sudah ada yang hilang mengingat kitab itu di tulis dalam kondisi industry kertas masih belum tumbuh seperti sekarang.

Keberadaan berbagai cabang ilmu tafsir tersebut tujuan utamanya adalah agar setiap orang yang membaca, memahami, menghayati, dan mengamalkan kandungan al-Qur‟an atau menafsirkannya tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang sesat dan menyesatkan. Munculnya berbagai cabang ilmu tafsir tersebut menggambarkan kesungguhan, ketekunan, motivasi, keikhlasan para ulama yang tinggi dalam mengembangkan khazanah studi Islam, khususnya dalam bidang ilmu tafsir yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu kehidupan masyarakat (Nata, 2011: 166-167). Pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an melalui penafsiran-penafsirannya mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat sekaligus dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka (Shihab,2003: 83). Dari segi tatacara kerjanya, penafsiran al-Qur‟an yang telah dilakukan para ulama di masa lalu dan juga masa sekarang menggunakan yang bermacam-macam. Quraish Shihab menyebutkan dalam “Membumikan Al- Qur‟an” bahwa metode penalaran; pendekatan dan corak-corak penafsiran Al- Qur‟an meliputi metode tahlily, maudhu’iy, muqaran (komparasi) dan analisis. Pada masa bani Abbasiyah, para penafsir yang termasyur dari golongan ini seperti: (1) Ibn Jarir al-Thabary, (2) Ibn Athiyah al-Andalusi, (3) As-Suda yang mendasarkan penafsirannya pada Ibn Abbas, Ibn Mas‟ud dll. Sedangkan tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur‟an dengan menggunakan akal dengan mempergunakan akal dengan memperluas pemahaman yang terkandung

84

didalamnya. Ulama yang termashur dari golongan ini seperti; (1) Abu Bakar Asma dari golongan Mu‟tazilah dan Abu Muslim Muhammad al-Isfahany dari golongan Mu‟tazilah (Shiddiwqy, 2000: 245).

b. Ilmu Hadis Hadis merupakan sumber kedua ajaran Islam, setelah al-Qur‟an al-Karim. Dalam Ushul al-Hadist, Allah Swt. mengakhiri risalah alsamawiyah-Nya melalui ajaran Islam, dan ia mengutus Nabi Muhammad Saw.sebagai rasul yang memberikan petunjuk, dan Allah menurunkan al-Qur‟an kepadanya sebagai mukjizat terbesar, bukti yang agung serta Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk menyampaikan dan menjelaskannya kepada manusia (al-Khatib, 1989: 34). Karena kedudukan itulah maka umat Islam berusaha menjaga dan melestarikannya di setiap kurun waktu. Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu hadits tersebut sangat terkait dengan permasalahn yang timbul dalam perjalanan hadis itu sendiri. Para ahli pada umumnya membagi hadis pada dua priode besar, yaitu masa mutaqaddimin dan masa muta’akhirin. Masa mutaqadimin terbagi melaui lima tahap priode: 1) Masa turunnya wahyu (13 SH/609M-11 H/632 M) Pada masa ini menerima hadis dari Nabi Muhammad Saw. secara lisan, kemudian disebarluaskan secara lisan juga. Selain khawatir jarang orang yang dapat menulis, juga Nabi Muhammad sesudah kekhawatiran itu hilang dan para sahabat sudah cukup memahami dan mendalami serta menghafal al-Qur‟an, maka diperbolehkanlah Abdullah ibn Amr bin Ash. Karakteristik priode ini ialah bahwa wahyu merupakan focus segala kegiatan ilmiah, baik hafalan maupun tulisan. Adapun hadis lebih banyak berupa hafalan dan ingatan para sahabat yang mendengar atau melihat Nabi Muhammad melakukan suatu perbutan (Abdurrahman, 2002: 64-65). . 2) Masa Khulafa al-Rasyidin (12 H/634 M – 40 H/661 M) Pada masa khulafaur al-Rasyidin, para sahabat tidak lagi berpusat di Madinah tetapi mulai menyebar ke berbagai penjuru wilayah Islam untuk menyampaikan ajara Islam, termasuk Hadits, sehingga penyebaran Hadits sudah mulai berkembang. Untuk menjaga segala kemungkinan, maka Abu Bakar dan Umar ibn Khathatab memerintahkan penjagaan ketat dalam periwayatan Hadits. Periwayatan hadits dilakukan hanya jika diperlu saja dan harus dengan kesaksian lain dan berhati-hati dalam penelitiannya (Ash Shiddieqy, 2000: 245). Pada masa itu dikenal dengan aqallu al-riwayah, yakni menyedikitkan (memperkuat) dalam periwayatan hadits. Adanya usaha dalam memperketat penyebaran hadits yang digunakan oleh para sahabat merupakan indicator terhadap seseorang bahwa tidak mudah menerima dan menyebarluaskan segala sesuatu yang dinisbahkan kepada nabi Muhammad Saw.

85

3) Masa sahabat kecil dan Tabi‟in (40 H/661 M – Akhir abad ke-1 H) Pada masa sahabat kecil dan Tabi‟in,7 kekuasaan Islam yang sudah dirintis masa khulafa al-Rasyidin sudah semakin meluas, sehingga menyebabkan terjadinya perlawatan para sahabat ke kota-kota lain. Di kota-kota yang baru banyak berkumpul orang-orang Arab dan „Ajam (non-Arab) untuk mendapatkan ilmu dari kalangan sahabat.Kegiatan itu menghasilkan banyak ilmuwan di kalangan Tabi‟in. Namun, pada masa itu mulai terjadi pertemuan atau pergumulan antara berbagai agama dan budaya, antara agama dan budaya Islam dengan agama dan budaya-budaya lainnya. Pertemuan itu menimbulkan perbedaan pendapat yang membawa kepada pertentangan antar golongan. Disamping itu, mulai juga terjadi pertentangan antar berbagai kepentingan politik. Masing-masing golongan berusaha untuk menguatkan dan memenangkan hujjah politik dan golongannya masing-masing. Jika mereka tidak mendapatkan hujjah yang didukung Al-Qur‟an da Hadis, sebagian mereka tidak segan-segan membuatnya sendiri. Disisi lain pertentanga politik Ali dan Mu‟awiyah, permusuhan Ali, Aisyah, dan Mu‟awiyyah, pertentangan antara Arab dan non-Arab, juga menjadi pemicu lahirnya hadits-hadits palsu. Keadaan pertentangan yang membawa terjadinya banyak pemalsuan hadits seperti itu, akhirnya mendorong para sarjana muslim untuk mempelajari hadits dengan telitii sehingga dapat membedakan hadis yang shahih atau yang palsu. Kegiatan terhadap rangkaian dan kesinambungan perawi hadis melahirkan ilmu Rijal al Hadits yang mempelajari masing-masing perawi hadits, sehingga dapat diketahui perawi yang jujur dan yang berbohong. Penelitian lain dari kesesuian hadits dengan prinsip-prinsip agama melahirkan ilmu Dirawah al-Hadits.

4) Masa Pembukuan Hadis secara resmi (Abad ke-2 H) Pada masa Rasulullah dan Tabi‟in periwayatan hadis masih lebih banyak mendasarkan pada kekuatan hafalan. Sedangkan sahabat kemudian banyak yang wafat. Hal ini akhirnya mendorong khalifah Umar ibn Abdul al-Aziz dari daulah Bani Umayyah untuk membukukan Hadis. Khalifah Umar meminta gubernur Madinah Muhammad ibn Amr ibn Hazm. Untuk menuliskan hadis-hadis Rasul. Ternyata, Ibn Hazm menuliskan hadis-hadis yang didapati dari Amrah binti Rahman al-Anshariyah dan Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar. Pada masa ini, seorang ulama besar di bidang Hadis pada masanya, juga membukukan

7Disebut sahabat kecil, karena mereka masih kanak-kana pada saat hidupnya Nabi Muhammad dan tidak jauh usiannya dengan mereka yang lahir sesudah priode sahabat ini.dan generasi berikutnya sesudah sahabat ini, yakni generasi yang tidak bertemu langsung dengan nabi Muhammad, hanya bertemu dengan sahabat yang masih hidup, mereka disebut dengan tabi‟in. generasi yang paling utama, terkadang sering disebut denga tabi;in besar.

86

Hadis yang ada di Madinah. Sesudah itu, para ulama berlomba-lomba untuk membukukan Hadis. Para ulama di abad ke-2 H. ini membukukan Hadis secara keseluruhan tanpa penyaringan, mana yang dari Nabi, Sahabat dan Tabi‟in, sehingga, kitab- kitab Hadis susunan ulama pada masa ini masih terdapat Hadis marfu yang mauquf dan maqthu’.8Di antara kitab-kitab hadis dihasilkan diabad ke-2 H. ini, yang termashur adalah kitab al-Muwaththa susunan Imam Malik, yang mengandung 1726 hadis. Selain itu juga kitab Musnad susunan as-Syafi‟i, Musnad Abu Hanifah dan al-Jami susunan Imam Abd al-Razzaq ibn Hammam.

5) Masa Pentashihah dan Penyaringan Hadis (Abad ke-3 H) Masa pembukuan hadis di abad ke-2 H. masih bercampur, baik yang datang dari Nabi Muhammad, sahabat maupun Tabi‟in. Begitu juga, masih bercampurnya antara Hadis-hadis yang shahih, hasan, dan dha‟if. Hal tersebut membuat ulama Hadis pada abad ke-3 H. tergugah untuk meneliti hadis secara lebih seksama, memisahkan hadis yang shahih dari hadis yang tidak shahih, serta hadis yang kuat dari hadis yang lemah. Untuk itu, mereka mempelajari sejarah rawi dan perjalanan hidupnya, mempelajari sifat-sifat rawi yang baik dan yang cacat, lalu memberitahukannya kepada umum dan membukukannya. Berkenaan dengan hal ini, para ulama membuat ketentuan untuk menetapkan mana rawi yang boleh diterima hadisnya dan mana yang tidak. Ketentuan hal ini disebut dalam ilmu Jarh wa Ta’dil yang membahas tentang cacat dan keadilan perawi hadis (Yunus, 1955: 11). Ulama yang mula-mula menulis hadis dengan menyaring hadis-hadis yang shahih adalah Imam al-Bukhary (w. 256 h) yang hadis terkenal dengan kitab al-Jami al-Shahih, kemudian diikuti oleh muridnya yaitu Imam Muslim (W. 261 H) dengan kitab hasil karyanya Shahih Muslim. Dengan usaha yang dilakukan oleh keduannya, maka terbentuklah sumber hadis yang bersih. Sesudah itu, muncul beberapa imam ahli hadis yang menyaring hadis-hadis yang belum disaring oleh kedua imam tersebut, Imam Abu Daud (w. 275 H) al- Turmudzi (w.279 H), al-Nasai (w 303 H), Ibn Majah (w 273 H), yang masing- masing menyusun kitab hadis denagn sebutan Sunan.Kitab-kitab tersebutlah yang disebut kitab induk yang enam (kutub al-Sittah). Sesudah itu muncul Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) yang kitabnya disebut Musnad Ash-Shiddieqy, 2000, 63). Usaha pelestarian Hadis di masa mutaakhirin (jika dibandingkan dengan masa mutaqaddimin), dibagi menjadi beberapa tahap dengan ciri tersendiri, baik sistemnya maupun pen-tadwin-an (pembukuan). Para mutaqaddimin mengumpulkan hadisnya dengan cara menemui sendiri para

8Istilah Marfu‟ dalam ilmu hadis adalah hadis riwayatnya sampai kepada nabi Muhammad.Istilah hadis Mauquf adalah perkataan sahabat Nabi, sehingga riwayatnya pun hanya sampai kepada sahabat dan hadis Maqthuf adalah hadis yang sanadnya hanya sampai kepada Tabi‟in atau generasi di bawahnya.

87

penghafalnya yang tersebar di seluruh pelosok tanah Arab, Persia, dan lain- lainnya, kemudian memilih dan menyaring, maka ulama muta’akhirin melalui cara mutaqaddimin. Masa ini ulama mempergunakan sistem istidrak dan istikhraj.9 Kitab- kitab istidrakini disebut Mussirak, misalnya tiga Mu‟jam yaitu Mu’jam Kabir, Mu’jam Ausath, Mu’jam Shaghir susunan Imam Sulaiman ibn Ahmad al-Tabani (w. 360 H) Mustadrak susunan al-Hakim Naisaburi (w. 405 H), shahih ibn Huzaimah (w. 311 H), Mustadrak al-Taqsim wa al-Anwa susunan Abi Hakim Muhammad ibn Hiban (w. 354 H) dan lain-lain. di antara kitab-kitab mustakhraj adalah Mustakhraj Shahih al-Bukhari karangan al-Hafidz Abu Bakar al-Barkoni (w. 425 H), dan lain-lain. dengan demikian pada akahir abad ke-4 dapat dikatakan pembinaan dan pelestarian Hadis yang diterima dari Nabi Muhammad Saw. telah selesai. Pada abad ke-5 sampai abad ke-7, para ulama hanya berusaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan Hadis al-Bukahari dan Muslim dalam kitab, mempermudah jalan pengambilannya, mengumpulkan Hadis hukum dalam satu kitab, mengumpulkan Hadis taghrib dan tarhib dalam satu kitab, memberikan syarat terhadap susunan Hadis yang ada, menyusun kitab atraf dan lain-lain, dalam abad ini timbulah istilah al-jami, al-jawami, al-takhrij (Ash-Shiddqiey, 2000: 93-94).10

c. Ilmu Kalam Ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak boleh ada pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya, serta membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesiti ada padanya, sifat-sifat yang tidak boleh ada padanya, dan sifat-sifat yang mungkin ada padanya (Hanafi, 1986: 3).

9Yang dimaksud dengan sistem Istidrak adalah mengumpulakn hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukaharai dan Muslaim atau tidak oleh salah satu dari keduannya tetapi memenuhi syarat- syarat yang dipergunakan oleh al-Bukahari dan Muslim atau salah satu dari keduannya. Sedangkan yang dimaksud dengan Istikhraj adalah mengambil hadits dari al-Bukhari dan Muslim, lalu meriwayatkandengan cara sendiri, bukan dari sanad al-Bukhari atau Muslim, lalu meriwayatkan dengan cara sendiri, bukan dari sanad al-Bukhari atau Muslim. 10Yang dimaksud dengan takhrij adalah menerangkan derajat, tempat pengambilan dan pemberian penilaian terhadap hadis-hadis yang terdapat pada kitab fiqih, kitab tafsir dan kitab- kitab ilmiah lainnya yang belum diterangkan perawi pentakhrijnya maupun penilaiannya.Taghrib dan tarhib adalah menerengkan keutamaan amal, menggemarkan agar orang suka beramal, dan keutamaan agar orang menjauhkan diri dari perbuatan yang terlarang.Kitab atraf ialah kitab yang hanya menyebut sebagian hadis, kemudian mengumpulkan seluruh sanad baik sanad suatu kitab maupun sanad dari beberapa kitab.Sedangkan yang dimaksud syarah ialah menerangkan arti dari hadits-hadis yang bersangkutan.

88

Sebagaimana Ibn Khaldun dikutip oleh Ahmad Hanafi berpendapat, bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunah (Hanafi, 1986: 3). Ilmu kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian tradisi kajian tentang agama Islam.Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan fiqih, tasawuf, dan falsafah. Ilmu kalam erat kaitannya dengan ilmu mantiq atau logika, dan pada kerangka ini, Nurcholish Madjid secara lugas mendeskripsikan bahwa ilmu kalam tumbuh dalam kerangka logika dan seiring dengan falsafah secara keseluruhan yang mulai dikenal bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar belakang peradaban Yunani (Hellenisme) (As-Shiddqiey, 2000: 93). Akan tetapi pada dasarnya ketika logika sebagai dasar menyusun argument dan menguji silogisme, masuk dalam Islam, para teolog tidak menggunakannya, sebab logika erat kaitannya denga filsafat. Dan banyak para kalangan yang berpendapat bahwa lahirnya ilmu kalam beberapa abad pasca wafatnya Nabi Muhammad dan dilatarbelakangi oleh sosial politik umat Islam pada masa awal pertumbuhannya. Akan tetapi, secara umum latar belakang lahirnnya ilmu kalam oleh dua faktor sebagai berikut: Pertama, teori politik. Teori ini antara lain digunakan oleh Harun Nasution. Misalnya ia mengatakan bahwa, peroalan politik yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Mu‟awiyyah tentang perebutan kekuasaan yang diselesaikan dengan jalan abitrase oleh kaum Khawarij dipandang bertentangan dengan ajaran Islam. Disamping itu mengutip pendapat Musyrifah Susanto yakni ”untuk membela Islam dengan bersenjatakan filsafat, seperti halnya musuh yang menyerang dan menjelek-jelekkan Islam dengan memakai senjata”. Kedua, karena semua masalah termasuk masalah agama telah bergeser dari pola rasa kepada pola akal dan ilmu. Kaum Mu‟tazilah berjasa dalam menciptakan ilmu kalam, karena mereka adalah pembela gigih berani terhadap Islam dari serangan Yahudi, Nashrani, dan Wasani. Menurut riwayat, mereka mengirim juru-juru dakwah ke segenap penjuru untuk menolak serangan musuh. Diantara pelopor dan ahli ilmu Kalam yang terbesar yaitu Washil bin Atha, Abu Huzail al-Allaf, Au Hasan al-Asya‟ari dan Imam Al-Ghazali (Amin, 1967: 364). Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam tidak lagi memonopoli kaum Mu‟tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al Hasan al-Asy‟ari (260-324 H./873-935 M. ) yang terdidik dalam alam Mu‟tazilah. Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu‟tazilah dan justru mempelopori suatu jenis ilmu kalam yang anti Mu‟tazilah. Ilmu kalam Asy‟ari itu, yang juga sering disebut Asy‟ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi ilmu kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sekarang, Karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum

89

Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa “jalan keselamatan” hanya didapat seseorang yang dalam masalah kalam menganut Asy‟ari (Madjid, 2000: 209).

d. Ilmu Tasawuf Secara bahasa kalimat tasawuf masuk dalam “babut-taful” dengan wazan, tasawwuffa,yatasawwuf, tasawwufan. Tasawwufal-rajulu yakni, seorang laki-laki telah berpindah halnya daripada kehidupan biasa pada kehidupan sufi. Sedangkan Asmaran AS. mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata “saf” yang artinya suci, bersih atau murni; atau kata “saf” yang artinya sah atau baris dari kata “suffah” yang berarti serambi masjid; dan juga “shuf” yaitu bulu domba. Asmaran 1996:42). Sedangkan Karen Amstrong diartikan dengan pakainan bersahaja yang terbuat dari wol kasar yang diduga merupakan pakaiaan kegemaran Nabi Muhammad Saw. (Zuhri, 1995: 45). Ilmu Tasawuf adalah salah satu ilmu yang tumbuh dan matang pada zaman Abbasiyah. Inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia, serta bersunyi diri beribadah. Dalam sejarah sebelum timbul aliran tasawuf terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud ini timbul pada akhir abad ke-1 dan permulaan abad ke-2 H. terdapat sejumlah terori yang berkaitan dengan pengertian tasawuf. Harun Nasution mislanya, mengatakan bahwa, teori yang diterima adalah istilah itu berasal dari kata “suf” yang berarti wol. Kemunculan Tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari kahlifah dan keluarga serta pembesar-pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia, Persia. Aliran zuhud ini mulai nyata kelihatan di Kufah dan Basrah di Irak. Para Zahid Khufahlah yang pertama sekali memakai wol kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutra yang dipakai golongan bani Umayyah seperti Sufyan al-Tsauri (w.235 H). Orang sufi ingin hidup sederhana dan menjauhi hidup keduniawian dan kesenangan jasmani, dan untuk itu mereka hidup sebagai orang miskin dengan wol kasar tersebut (Nasution, 1985: 72, Rachman, 1994: 42). Basrah sebagai kota tenggelam dalam kemewahan, aliran zuhud mengambil corak lebih ekstrim sehingga akhirnya meningkat kepada ajaran mistik. Zahid-zahid yang terkenal di sini adalah Hasan al-Bashri (w. 110 H), dan Rabi‟ah al-Adawiyah (w. 185 H.). (Nasution, 1978: 64). Dalam memperhatikan kemewahan hidup dan maksiat yang dilakukan khalifah dan pembesar-pembesar orang yang zahid ini teringat kepada ancaman yang terdapat dalam al-Qur‟an terhadap orang yang tidak patuh kepada Allah, tak perduli pada larangan dan tak menjalankan perintah-perintah-Nya. Karena itu mereka melarikan diri dari masyarakat mewah dan tak patuh. Mereka teringat kepada dosa mereka, maka mereka bertaubat (Nasution, 1978: 66).

90

e. Ilmu Bahasa Pada zaman daulah Abbasiyah, ilmu bahasa (lughah) tumbuh dan berkembang dengan pesat, karena bahsa Arab menjadi bahasa internasional. Adapun yang dimaksud dengan ilmu bahasa dalam hal ini adalah ilmu yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi menyeluruh meliputi ilmu Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Bad’, Arudh, Qamus, dan Insya. Kota Bashrah dan Kuffah merupakan pusat pertumbuhan dan kegiatan ilmu bahasa, keduanya berlomba- lomba dalam bidang tersebut, sehingga terkenal sebuah aliran Basrah dan aliran Kuffah yang para pendukungnya merasa bangga dengan alirannya masing- masing. Aliran Basrah lebih banyak terpengaruh dengan mantiq dibandingkandengan Kuffah. Dalam era ini banyak dihasilkan kitab-kitab yang bernilai tinggi dalam bidang bahasa. Yang menarik pada masa ini diantara empat tokoh tersebut adalah salah satu tokoh yaitu Sibawaih (761-793 M.) yang merupakan seorang ahli gramatikal yang paling terkenal dalam sejarah Arab, meskipun dia bangsa Persia yang kurang bagus bahasa Arab. Walaupun Sibawaih meninggal dunia dalam usia yang masih sangat muda, tiga puluh dua tahun, selama hayatnya dia telah menghasilkan buku karangan yang sangat besar dan sangat bermanfaat. Karangannya dikenal dengan nama Kitab al-Sibawayh, yang dikomentari bahwasanya buku ini mengalahkan buku yang telah ada sebelumnya dan memuaskan orang yang datang sesudah masanya (Amin, 1995: 55).

f. Ilmu Fiqih Mazhab hukum Islam telah ada sejak masa sahabat, seperti mazhab Aisyah, mazhab Abdullah bin Umar dan mazhab Abdullah bin Mas‟ud. Kemudian hari banyak para cendikiawan yang bermunculan dari masa kemasa atau dari tempat ke tempat lainnya. Bahkan pada abad ke-2 H. hingga pertengahan abad ke-4 H. yang merupakan priode emas perkembangan ijtihad yang melahirkan tiga belas mujtahid yang mengkodifikasi mazhabnya dan alur pemikirannya kemudian diikuti oleh banyak orang. Sedangkan ketika pada zaman Abbasiyah, merupakan zaman keemasan tamadun Islam telah banyak melahirkan ahli-ahli hukum (fuqaha) yang terkenal dalam sejarah Islam dengan kitab-kitab fiqihnya yang terkenal hingga sampai sekarang. Para fuqaha yang lahir di zaman ini terbagi dalam dua aliran: ahli Hadis dan ahli Ra’yi. Ahli Hadis adalah aliran yang mengarang fiqih berdasarkan Hadis. Pemuka aliran ini adalah imam Malik dengan pengikut- pengikutnya seperti Imam al-Syafi‟i, pengikut Syufyan dan pengikut Imam Hanbali. Karena polemik yang demikian, akhirnya para ulama‟ sibuk membuat apa yang mereka namakan ushul fiqih, yaitu kaidah-kaidah yang harus diikuti oleh mujtahid dalam mengambil hukum. Maka lahirlah dan bekembang istilah-istilah hukum seperti wajib, sunnah, mandub dan mustahil. Selanjutnya lahir pula para

91 fuqaha ternama yang memiliki banyak murid dan pengikut yang mengembangkan buah pikirannya. Bahkan, sampai sekarang pedoman bagi para qadhi dalam menetapkan perkara pengadilan. Imam-imam fuqaha yang akhirnya menukik menjadi salah satu mazhab itu antara lain sebagai berikut: Pertama. Imam Abu Hanifah, yaitu Nu‟man bin Tsabit ibn Zauthi, dilahirkan di Kufa pada tahun 80 H. ia banyak memiliki murid, diantaranya Abu Yusuf Ya‟qub al- Anshary, Ja‟far ibn Hudzail bin Qais al-Kaufy dan Muhammad ibn Hasan al- Aibany. Kedua. Imam Malik, yaitu Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. ia adalah seorang ahli hukum yang mempunyai banyak pengetahuan luas dalam Hadis. Murid-muridnya banyak berdatangan dari Mesir, Afrika utara, Andalusia yang kemudian mengembangkan madzhab Maliki di negrinya masing-masing. Diantara murid- muridnya dari Mesir adalah Abu Muhammad Abdullah ibn Muslim al-Quraisy, Abu Abdullah Abdurrahman ibn Kasirra al-Ataqy dan Asyhab ibn Abd. al- Aziz al-Qaisy al-Amiry. Sedangkan murid-muridnya yang datang dari Afrika Utara dan Andalusia adalah: Abu Abdullah Zaiyad ibn Abdurrahman al-Qurthuby, Isa ibn Dariar al-Andalusy dan Yahya ibn Yahya ibn Katsir al-Lisy. Adapun di antara pendukung-pendukungnya yang berasal dari belahan timur terdiri dari fuqaha yang tidak pernah bertemu dengan Imam Malik akan tetapi mempelajari dan menyetujui pemikirannya. Di antara mereka adalah; Ahmad Ibn Ma‟mal ibn Khailan al-Abdi, Abu Ishaq Ismail al-Qadhy dan Abu Marwan Abdul Malik al- Majisun. Ketiga. Imam Syafi‟i, yaitu Abu Abdullah Muhammad ibn Idris ibn Askalan, merupakan seorang yang sangat cerdas dan pernah berguru kepada Imam Malik. Pendukung-pendukungnya dari dan Hasan ibn Muhammad ibn Shahab al-Baghdady. Pendukung-pendukungnya dari Hasan Irak di antaranya Abu Thur al-Baghdady. Pendukung-pendukungnya dari Mesir di antaranya Yusuf ibn Yahya Mazny al-Mishry dan Rabbi Sulaiman ibn Abdul Jabar al- Murady. Keempat. Imam Ahmad, yaitu Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal az-Zahily sy-Syaibany yang lahir pada tahun 164 H. pahamnya hampir mirip dengan Imam Syafi‟i. ia adalah ahli hadis yang banyak meriwayatkan hadis semasa hidupnya.

1. Pertumbuhan Ilmu Aqli (Rasio) Ilmu aqli adalah ilmu yang berdasarkan pada pemikiran rasio. Ilmu yang tergolong ilmu aqli ini kebanyakan dikenal umat Islam berasala dari buku terjemahan asing seperti, Yunani, Persia atau India. Menurut Baharuddin, memang dalam Al-Qur‟an ada dasar-dasar ilmu ini, tetapi umat Islam mengenal ilmu ini setelah mempelajarinya dari luar. Dengan akalnya manusia mencapai kebenaran empiris dan rasional setelah melakukan telaah terhadap fenomena-fenomena yang ada disekitarnya. Dari sinilah ilmu pengetahuan terus berkembang sehingga ber-implikasi kepada munculnya perkembangan dalam kehidupan sosial. Hal terpenting yang perlu diketahui dalam perubahan sosial telah begitu signifikan mempengaruhi segenap

92

sektor kehidupan manusia, baik ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Demikianlahnya dengan pendidikan sebagai bagian terpenting dari peradaban manusia tentunya tidak terlepas dari pengaruh sosial (Ahmad, 2005: 57). Sumbangan-sumbangan kaum Muslimin kepada ilmu pengetahuan demikian besarnya. Yang termasuk kedalam ilmu ini antara lain ilmu kimia, fisika, tatanegara, music, astronomi dan ilmu hitung. Umat Islam mengenal ilmu ini ketika keluar dari jazirah Arab. Mereka mendapatkan tata caranya di kota- kota pusat pengembangannya, buku-bukunya, dan sarjana-sarjananya. Ketika umat Islam menguasainya, mereka tetap memelihara dan memanfaatkannya, terutama pada masa daulah Abbasiyah. Khalifah-khalifahnya mencintai ilmu. Mereka mengadakan asimilasi ilmu-ilmu itu dengan agama Islam. Usaha yang pertama adalah mengadakan penerjemahan secara besar-besaran. Ilmu yang pertama kali menjadi daya tarik umat Islam dan khalifahnya adalah ilmu kedokteran. Menurut hemat penulis, hubungan antara agama dan ilmu tidaklah berlawanan atau bertentangan satu sama lainnya. Sebagaimana penulis jelaskan pada bab sebelumnya terdapat dalil al-Qur‟an dan Hadits yang mendukung keduanya, dan mendorong umat Muslim untuk menuntut ilmu. Jadi dapat di katakan, bahwa Islam tidak pernah ada sarjana-sarjana muslim yang dibunuh seperti yang dialami Giordano Bruno yang dibunuh pada tahun 1600 M. dan Galileo Galilei yang mati di penjara pada tahun 1642 M. dibawah pengadilan iman (inkuisisi) gereja Roma, atau Miguel Sarvetto (penemu peredaran darah dengan menukil dari Abu al-Hasan „Ali ibn an-Nafs, dibakar pada tahun 1553 M. dibawah reformator Jean Calvin (Poeradisastra, 2008: 16). Sarjana-sarjana Muslim yang bertolak ukur dari tauhid menganggap hukum-hukum alam sebagai sunatullah yang obyektif, tertib, dan teratur. Mereka tidak merancukan kepercayaan dengan metode pembahasan ilmiah atau memutarbalikkan fakta, sedangkan kurafat memang dilarang oleh Islam. Mereka tidak dibelenggu oleh kedunguan-kedunguan gambaran alam semesta yang dipunyai Ptoleimaios dan dilindungi oleh gereja berdasarkan nash-nash Bible perjanjian lama. Segala kesimpulan objektif telaah mereka tidak pernah sekalipun berlawanan dengan Al-Qur‟an dan Hadits. Bahkan Al-Qur‟an dianggap selalu memperkuat hasil-hasil penelitian ilmiah mereka. Sebagaimana Sayyed Hossein Nasr, Ph.D. Guru Besar Sejarah Ilmu Pengetahuan Universitas Teheran, mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Ilmu pengetahuan Islam menjadi ada dari suatu perkawinan antara semangat yang memancar dari wahyu al-Qur‟an dan ilmu-ilmu yang ada dari berbagai peradaban yang diwarisi Islam dan yang telah diubah melalui daya tenaga rohaniyah menjadi sebuah zat baru yang sekaligus berbeda dari dan kesinambungan dengan apa yang ada sebelumnya. Sifat internasional dan cosmopolitan peradaban Islam berasal dari watak internasional peradaban Islam berasal dari watak internasional wahyu

93

Islam dan terpantul dalam peredaran keilmubumian dunia Islam (dar al Islam). Sehingga memungkinkan Islam menciptakan ilmu pengetahuan pertama yang benar-benar bersifat internasional dalam sejarah umat manusia.

Islam menjadi ahli waris pustaka kecendikiawan semua peradaban besar sebelumnya, kecuali peradaban besar Timur Jauh. Islam menjadi sebuah tempat berlindung di sebuah jagat rohani baru. Pasal ini haruslah diulangi, khususnya karena sekian banyak orang di Barat keliru mengira bahwa Islam hanya bertindak sebagai sebuah jembatan yang dilalui oleh gagasan-gagasan, teori atau ajaran memasuki benteng pikiran Islam kalau tidak lebih dahulu dimuslimkan dan dituh- padukan ke dalam pandangan dunia Islam yang menyeluruh. Apa pun yang tidak dapat mengikat perdamaian (salam) dengan Islam, lambat laun akan terusir dari kehidupan cendikia Islam atau sepenuhnya dibuang ke tepi pemandian warna- warni ilmu pengetahuan Islam.” (Nasr, 1976: 21)

a. Abad penerjemahan (750-900 M. ) Usaha penerjemahan dari bahsa Yunani ke bahasa Arab sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Umayah, tetapi usaha besar-besaran dimulai sejak khalifah al-Mansyur di masa daulah Abbasiyah. Pusat penting tempat penerjemahan adalah Yunde Sahpur. Kota Baghdad menjadi kota yang besar dan menjadi ibukota Daulah Abbasiyah, akan tetapi Yonde Sahpur tetap menjadi sebagai kota ilmu pengetahuan pertama dalam Islam. Pada zaman al-Ma‟mun kemauan usaha penerjemahan mencapai puncaknya dengan didirikannya sekolah tinggi terjemah di Baghdad, dilengkapi dengan,lembaga ilmu yang disebut Bait al-Hikmah, suatu lembaga yang dilengkapi observatorium, perpustakaan, dan badan penerjemah (al-Ghurabi,1959: 132). Akibat penerjemahan buku Yunani kedalam bahasa Arab dan masuknya kebudayaan Hellenesia ke dalam kebudayaan Islam telah menciptakan suasana subur di kalangan kaum Muslimin tertentu dengan pemikiran yang rasional. Pada tahun 856 M., khalifah al-Mutawakil mendirikan sekolah tinggi terjemah di Baghdad yang dilengkapi dengan museum buku-buku. Sekolah ini didirikan menurut model Hunain (Hoesen, 1975: 30).11 Pada sekolah ini semangat sosok Hunain tetap dihidupkan. Khalifah mengumpulkan sebanyak-banyaknya orang Kristen yang siap berjalan kelilng benua atas biaya pemerintah. Tugas

11 Hunain ibn Ishaq (809-877 M.) penerjemah buku kedokteran Yunani, termasuk buku dengan nama “ Materia Medika”. Hunain juga menerjemahkan buku Galen dalam lapangan ilmu pengobatan dan filsafat sebanyak 100 buah ke dalam bahsa Syria 39 buah kedalam bahasa Arab. Selain menerjemah ia juga mengarang bukunya sendiri. Buku karangannya dalam bahsa Arab dan juga Persia, banyak dijumpai, misalnya “ Soal Pengobat” disusun dalam bentuk soal jawab. Bukunya yang terkenal adalah “ Sepuluh Soal Tentang Mata”. Buku ini sampai dipelajari dan di susun oleh pelajar-pelajar ilmu mata (Opthalmologi).

94 mereka hanyalah mengumpulkan buku Yunani sebanyak-banyaknya kemudian dibawa ke Baghdad untuk diterjemahkan kedalam bahasa Arab.

1) Abad Penerjemahan Ilmu Aqli Muhammad Jamil Khayyat sebagaimana dikutip oleh Maksum berpendapat bahwa “ pendidikan Islam dalam perjalannya sangat dipengaruhi oleh arus pergumulan, yaitu politik dan pemikiran, salah satu pengaruh dari adanya pergumulan bidang politik dan pemikiran adalah ditemukan tempat- tempat pendidikan yang kshusus dan sekaligus merupakan aliran pemikiran tertentu. Seperti Darul Hikmah pada masa bani Abbasiyah lebih menunjukan kepada pola pendidikan filsafat dan pengikut Syi‟ah”. Dengan kegiatan penerjemahan, sebagian besar karangan Aristoteles, bagian tertentu dari kalangan Plato, karangan mengenai Neo Platonisme, sebagian besar karangan Glen, serta karangan dalam ilmu kedokteran lainnya dan juga karangan ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapat dibaca oleh alim ulama‟ Islam (Nasution, 1978: 11). Bertolak dari buku yang diterjemahkan itu, para ahli di kalangan kaum muslim mengembangkan penelitian dan pemikiran mereka, menguasai semua ilmu dan pemikiran filsafat yang pernah berkembang di masa itu serta melakukan penelitian secara empiris dengan mengadakan pemikiran spekulatif dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu. Semenjak itulah masa pembentukan ilmu-ilmu Islam dalam bidang aqli, yang sering dinamakan abad keemasan yang berlangsung antara 900-1100 M. (Baharuddin, 2011: 176). Dinamakan zaman keemasan, oleh karena itu adalah masa begitu memuncaknya kebudayaan Islam di segala bidang ilmu aqli. Memuncaknya kebudayaan Islam terlihat pada lahirnya ilmuan yang mampu menciptakan ilmu dengan kemampuan diri sendiri, bahkan sering membantah dan membatalkan teori menerjemahkan, mempelajari dan meneliti secara teliti kemudian berusaha untuk mempraktekkannya. Suatu keadaan, masa keemasan bidang ilmu ini terjadi justru tatkala politik Abbasiyah mulai merosot. Kemunduran kekuasaan Abbasiyah menyebabkan situasi politik tidak menentu karena kekuasan telah terbagi-bagi oleh timbulnya daula-daulah (Negara-negara) kecil di daerah pinggiran. Ditambah lagi timbulnya pertentangan idiologi antara paham sunnah dan paham Syiah, seperti daulah Ghaznawiyah di Afghanistan dan bani Saljuk mempergunakan paham sunnah sedangkan daulah Fathimiyah di Mesir pendiri kota Kairo dan Universitas al-Azhar penganut paham Syiah. Namun dunia Islam dalam keporak-poranda justru kegiatan intelektual dan ilmiah semakin berkembang.Adapun sebabnya adalah kehidupan politik sangat tergantung pada terlaksananya keadilan dan terjaminnya keamanan. Sedangkan kezhaliman

95 sering menyebbakan para sarjana dan ahli pengetahuan meninggalkan praktek politik dan lari kelapangan teori dan ilmu pengetahuan. Praktek politik menyeret mereka ke lembah kesukaran sedangkan ilmu hanya dapat dikembangkan dalam suasana tenang. Lagi pula jiwa para khalifah dan pembesar lainnya tetap menghormati ahli ilmu dengan syarat tidak mencampuri persoalan politik praktis. Hal tersebut membuka kemungkinan bagi mereka untuk melakukan penyelidikkan ilmiah dengan aman dan tentram (Baharuddin, 2011: 177). Disamping itu, seiring dengan perkembangan masyarakat dan sebagai hasil persentuhan asimilasi dan alkulturasi, dalam Islam berkembang pula hasil pemikiran di bidang fiqih, hadits, filsafat, serta tasawuf. Namun demikian, tampaknya persoalan politik tetap mempengaruhi dinamika dan pergumulan pemikiran tersebut. Sejarah Islam telah mencatat bahwa antar aliran pemikiran dan kekuasaan saling mengambil keuntungan (Nasution, 1985: 61-63). Jika dilihat perkembangan yang di akibatkan dari akulturasi dan asimilasi antar bangsa dan kebudayaan, telah mengambil keuntungan masing-masing di tiap disiplin ilmu yang bermunculan. Karena antar bangsa dan budaya di setiap daerah atau Negara mengungkinkan tidak persis sama, dengan menggabungkan perbedaan tersebut maka terlahirlah sebuah peradaban yang manju dari segala bidang, salah satunya ilmu pengetahuan. Oleh karenanya wajar jika Rasulullah pernah bersadba, “ikhtilafurrahmah” (perbedaan itu adalah rahmat). Sungguhpun Rasul sejak berabad-abad yang lalu sudah dapat menjelaskan dengan baik dari keuntungan atau manfaat “perbedaan”, namun agaknya sebagain umat muslim kurang memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dari setiap yang ada dalam al-Qur‟an dan Hadits.

96

BAB IV PARADIGMA PENGEMEBANGAN SAINS DAN PENDIDIKAN ISLAM PADA ZAMAN AL MA’MUN A. Biografi Al-Ma’mun (786-833 M./199-218 H.) 1. Masa Kecil Al-Ma’mun Nama lengkap khalifah ini adalah Abdullah Abbas al-Ma‟mun. Abdullah al-Ma‟mun dilahirkan di Baghdad pada tanggal 15 Rabi‟ul Awal 170 H/ 786 M. Bertepatan dengan wafat kakeknya Musa al-Hadi dan naik tahta ayahnya, Harun al-Rasyid. Al-Ma‟mun termasuk putra yang jenius, sebelum usia 5 tahun ia dididik agama dan membaca Al-Qur‟an oleh dua orang ahli yang terkenal bernama Kasai Nahvi dan Yazidi. Al-Ma‟mun beribukan seorang bekas hamba sahaya bernama Marajil dari Persia. Selain belajar al-Qur‟an, ia juga belajar Hadits dari Imam Malik di Madinah. Kitab yang digunakan adalah karya Imam Malik sendiri, yaitu kitab Al-muwatha. Disamping ilmu-ilmu itu, ia juga pandai Ilmu Sastra, belajar Ilmu Tata negara, hukum, filsafat, astronomi, dan lain sebagainya. Sehingga ia dikenal sebagai pemuda yang pandai. Setelah berhasil mengatasi berbagai konflik internal, terutama dengan saudaranya bernama al-Amin, akhirnya al-Ma‟mun menggapai cita-citanya menjadi khalifah pada tahun 198 H/ 813 H. Al-Ma‟mun adalah seorang khalifah termasyhur sepanjang sejarah dinasti Bani Abbasiyah. Selain seorang pejuang pemberani, juga seorang penguasa yang bijaksana. Pemerintahannya menandai kemajuan yang sangat hebat dalam sejarah Islam. Selama kurang lebih 20 tahun masa kepemimpinannya mampu meninggalkan warisan kemajuan intelektual Islam yang sangat berharga. Kemajuan itu meliputi berbagai aspek ilmu pengetahuan, seperti matematika, kedokteran, astronomi, dan filsafat. Kholifah Harun al-Rasyid mempercayakan anak-anaknya pada guru pribadi. Al-Ma‟mun dipercayakan dibawah bimbingan Ja‟far Ibn Yahya seorang yang bijaksana dalam berpikir dan juga pemaaf. Ja‟far juga yang mengusulkan kepada Harun al-Rasyid untuk menjadikannya seorang khalifah, yang kemudian disambut baik oleh Harun al-Rasyid (Saefuddin, 2002: 41). Al-Ma‟mun adalah pribadi yang jarang bermain. Selama dua puluh bulan tinggal di Baghdad beliau tidak sembarangan mendengarkan nyayian yang bisa menghibur di dalam istana, karena menurutnya nyayian itu dapat mengganggu konsentrasinya dalam mengkaji berbagai buku. Semua itu dilakukan untuk mengembalikan keutuhan kerajaan yang hampir runtuh dan juga karena kecintaan al-Ma‟mun terhadap ilmu pengetahuan (Syalabi, 1982: 121-122).

97

98

2. Masa Remaja dan Dewasa Al-Ma’mun Al-Ma‟mun merupakan salah satu kholifah Abbasiyah yang paling terkemuka. Banyak para ahli sejarah berpendapat tanpa ketokohan dan kemampuan al-Ma‟mun niscaya pristiwa-pristiwa yang terjadi pada zamanya itu pasti dapat meruntuhkan kerajaan dan kebudayaan Islam. Al-Mamun dinilai sebagai salah satu kholifah terbesar sepanjang sejarah Abbasiyah karena ia mampu mempromosikan berbagai bidang studi seni, filsafat dan ilmu pengetahuan. Ia mendorong dan menyukai diadakannya berbagai diskusi dan untuk mempromosikan ilmu pengetahuan ia mendirikan perpustakaan dan observatorium serta lembaga lainnya. Banyak sarjana yang berprestasi yang dibawah perlindungannya (Hasan, 1992: 219). Pemaaf adalah salah satu sifat al-Ma‟mun yang paling nyata. Ia pernah memaafkan al-Fahdl ar-Rabi‟ yang telah menghasut berbagai pihak untuk menentang beliau. Beliau memaafkan Ibrahmi al-Mahdi yang telah melantik dirinya di Baghdad pada saat al-Ma‟mun berada di Merw, meskipun al-Mu‟tashim dan al-Abbas ibn al-Ma‟mun menyarankan untuk membunuhnya. Pemerintahan al-Ma‟mun menandai pemisahan antara priode awal dan priode kedua Dinasti Abbasiyah. Kelompok yang semula membantu kekholifahan pada tahun-tahun pertama, turun dari panggung kekuasaan. Diantara yang paling penting dari kelompok ini adalah para abna‟ (keturunan veteran revolusi Abbasiyah yang berasal dari Khurasan. Klan Abbasiyah sendiri yang telah memainkan peranan penting selama ini, setelah periode ini, peran mereka tidak begitu menentukan lagi. Sama halnya juga pad keluarga-keluarga Arab seperti al-Muhalabi dan Syaibani, mereka menghilang dari istana. Selama pemerintahan al-Ma‟mun, kelompok-kelompok tersebut digantikan dengan oleh orang-orang baru yang memiliki idiologi baru, yang ingin menerapkan metode pemerintahan baru pula. Klompok yang paling penting dan berpengaruh adalah yang dipimpin oleh saudara al-Ma‟mun sendiri yang bernama Abu Ishaq (Perpustakaan Nasional RI, 1997: 96). Tak salah kiranya jika sejarah menyatakan masa kegemilangan Daulah Abbasiyah salah satu masa adalah masa pemerintahan al-Ma‟mun. Sejak belia, ia sudah menunjukan sikap dan sifat yang baik, guna sebagai bekal untuk menjadi seorang pemimpin. Dari bekal yang didapatnya itulah, yang menjadi landasan beliau dapat menjalankan pemerintahannya dan perduli terhadap ilmu pengetahuan dan perkembangannya. Perhatian yang sangat besar beliau tunjukan pada pengembangan ilmu pengetahuan karena cintanya yang demikian besar terhadap ilmu pengetahuan. Tidak heran banyak upaya yang al-Ma‟mun lakukan untuk

99 mewujudkan kecintaan dan perhatian terhadap ilmu pengetahaun yang bukan saja bermanfaat bagi dirinya, tetapi berguna untuk sumber terbesar dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dikemudian hari karena mampu menguasai berbagai aspek ilmu pengetahuan yang dapat menyeimbangkan segala aspek penting dalam kehidupan. Selanjutnya al- Ma‟mun wafat pada tahun 218 H/833 M di Tarsus, pada usia 48 tahun (Syalabi, 1973: 144). Al-Ma‟mun selain merupakan seorang kholifah, ia juga merupakan seorang ilmuwan Muslim, penyair, khatib, muhaddits, serta mahir dalam bidang filsafat dan perbintangan. Ia juga dapat menguasai empat bahasa selain bahasa Arab, yaitu bahasa Yunani, Ibrani, Persia, India. Berkat perhatiaannya terhadap ilmu perbintangan, akhirnya ia membangun dua tempat pemantauan peredaran bintang, salah satunya terdapat di Syamsiah Baghdad dan yang satunya lagi dikenal dengan Mirshad al-Makmuni terdapat di puncak gunung Qasyiun Damaskus. Pada tahun 215 H (830 M), al-Ma‟mun mendirikan Baitul Hikmah di kota Baghdad, yang ia jadikan sebagai pusat ilmu dan ilmuan serta sekretariat tim terjemah. Dalam upayanya penterjemahan tersebut, buku- buku karya ilmuwan Barat dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan berhasil diterjemahkan. Begitu juga dengan buku-buku yang berbahasa Persia dan India. Buku-buku yang telah diterjemahkan sebelum masa al- Ma‟mun pun kembali di tinjau kembali sehingga lebih mengarah kepada kesempurnaan ( Gaudah, 2007: 330). Namun sebelum di dirikan Baitul- Hikmah, pada zaman Harun al- Rasyid telah berdiri Dar al-Hikmah di Baghdad. Perpustakaan dihampiri dengan hamparan karpet yang bagus, di hiasi dengan prabot yang mahal- mahal. Di himpun dalam buku dari berbagai sumber. Dilengkapi dengan alat tulis, pegawai-pegawai dan pesuruh-pesuruh untuk berkhidmat pada perpustakaan ini. Dan juga dilengkapi berbagai guru-guru dari berbagai bidang, seperti: ahli baca al-Qur‟an, fuqaha, astrolog, tata bahasa, filogi dan dokter (Syalabi, 1973: 149). Semenjak awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809 M) problem sukesi sangatlah sengit. Harun telah mewasiatkan tahata kekhalifahan kepada putra tertuanya al-Amin dan kepada putra keduanya yang bernama al-Ma‟mun, seorang gubernur Khurasan dan orang yang berhak menaiki tahta kekholifaan setelah kakaknya. Setelah kematian Harun al-Rasyid, al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya yang akan menjadi penggantinya kelak. Akibatnya pecalah perang sipil. Al-Amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Ma‟mun harus berjuang untuk memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-Ma‟mun berhasil mengalahkan saudara

100 tuannya, dan memploklamirkan kekhalifahaan pada tahun 813 M, namun peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah, akan tetapi melemahkan warga Irak dan sejumlah provinsi lainnya (Lapidus, 2000: 193-194). Kecakapan dan kepemimpinannya yang kuat membuatnya berhasil mengatasi banyak tantangan yang timbul, mulai dari tantangan untuk merebut kursi khalifah yang hendak diserahkan oleh khalifah al-Amin kepada putranya, sampai kepada tantangan pemberontakan- pemberontakan yang timbul di masa pemerintahannya dan permusushan dari kerajaan Romawi timur. Ia berhasil mengalahkan al-Amin, memadamkan pemberontakan Abu as-Saraya dan Muhammad Ibnu Ibrahim al Alawi (815), pemberontakan Babek al-Khirmiy (816 M), dan lain-lain dan Romawi timur untuk berdamai dengannya. Keberhasilan menjaga stabilitas kerajaan memungkinkannya untuk melaksanakan ambisinya yang besar untuk memajukan ilmu pengetahuan. Ia mendirikan lembaga ilmiah, Bait al-Hikmah, lembaga terjemah yang dilengkapi oleh perpustakaan yang besar dan observatorium. Ia menyediakan dana besar, baik untuk menggaji ilmuwan-ilmuwan yang berkerja menterjemahkan buku-buku asing atau berkerja bagi pengembangannya, maupun untuk biaya pengiriman orang-orang ke Konstaninopel dan lain-lain dalam rangka mencari dan membeli manuskrip-manuskrip ilmu dan filsafat agar dapat dibawa ke Baghdad dan diterjemahkan. Aktivitas pengembangan ilmiah sangat memuncak dimasanya. Karena teologi Mu‟tazilah sangat mendorong bagi kemajuan ilmu dan falsafat, maka al-Ma‟mun menjadikan Mu‟tazilah sebagai mazhab resmi Kerajaan Abbasiyah (Nasution,1992: 612). Al-Ma‟mun kholifah yang pertama kali membuat sistem putra mahkota, ia mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa sejarah. Dia melihat bahwa pemerintahan (khalifah) bukanlah miliknya secara khusus yang kemudian diwariskan kepada anak-anaknya. Pemerintahan dalam pandangannya bertujuan untuk kemaslahatan umum. Karenanya harus diperhatikan kebaikan dan juga kemaslahatan manusia. Al-Ma‟mun tidak menjadikan anaknya, al-Abbas untuk menggantikan dirinya. Padahal, anaknya ini meski dikenal sebagai salah seorang panglima perang yang sangat terkenal. Al-Ma‟mun mengangkat saudaranya al-Mu‟tashim. Karena ia melihat bahwa al-Mu‟tashim lebih memiliki kelebihan dari anaknnya sendiri baik dari sisi keberanian maupun kapabiltas (Al-Usairy, 2010: 233). . Perkembangan intelektual dimulai dengan diterjemahkan khazanah intelektual Yunani klasik seperti filsafat Aristitoles. Khalifah sendiri yang mengalokasikan anggaran khusus untuk menggaji para penterjemah dari golongan Kristen, kaum salabi, dan bahkan juga para

101 penyembah bintang. Untuk melengkapi kehausan terhadap berbagai cabang ilmu (Saefudin, : 2002: 7-8). Harun al Rasyid ayah dari al-Ma‟mun, oleh para sejarahwan dianggap sebagai khalifah paling besar dan cemerlang yang membawa Dinasti Abbasiyah ke zaman keemasannya. Jika al-Ma‟mun berkuasa selama 20 tahun, maka Harun al-Rasyid memerintah selama 23 tahun dan membuat dinasti ini mencapai kemajuan dan kejayaan di bidang politik, ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan dan peradaban Islam (Clot, 1989: 46). Kekuasaan Harun al-Rasyid amat luas, yang terbentang dari daerah-daerah Laut Tengah di sebelah Barat sampai India di sebelah Timur. Puncak kejayaan pemerintahan Bani Abbas berada pada masa Khalifah Harun al Rasyid dan putranya, al-Ma‟mun, yang disebut “ Masa Keemasan Islam” (The Golden Age of Islam). Pada tahun 800 M/184 H Baghdad telah menjadi kota metropolitan dan kota bagi dunia Islam, yakni sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, pemikiran, peradaban Islam, serta pusat perdagangan, ekonomi dan polotik (al Masudi, t.t: 396). Al-Ma‟mun sendiri menjabat sebagai khalifah pada tahun 813 M dan berusia 28 tahun. Masa pemerintahannya dipandang sebagai masa keemasan yang melanjutkan kebesaran yang dicapai ayahnya, Harun al- Rasyid. Ia jauh berbeda dengan saudaranya Kholifah al Amin. Al Ma‟mun memiliki sifat pemaaf, tidak suka terhadap hiburan dan perminan. Suyuthi menyatakan: “Al-Ma‟mun adalah tokoh Bani Abbas yang paling utama keilmuannnya, keberaniannya, kehebatannya, kesabarannya, dan kecerdasannya”. Ia berkonsentrasi penuh pada pengembalian keutuhan kerajaan yang hampir runtuh, yang diakibatkan masalah politis kekuasaan sebelumnya antara al-Ma‟mun dengan al-Amin. Dan ia juga berkonsentrasi ada ilmu pengetahuan dan buku-buku yang ia baca (Saefuddin, 2002: 44). Ia dikenal karena keintelektualannya dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, serta jasa-jasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Ia banyak mengumpulkan buku-buku untuk disimpan di perpustakaan Bait Al-Hikmah. Ia juga banyak mengundang banyak penterjemah untuk menterjemahkan buku-buku sains dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab dengan imbalan gaji yang besar dan memuaskan. Kehausan akan ilmu pengetahuan mendorongnya untuk menyibukkan diri dalam mempelajari berbagai pemikiran sains dan filsafat (al-Mas‟udi, t.t: 5, Atsir, t.t: 383). Al-Ma‟mun pernah meninggalkan istana selama delapan tahun guna untuk mempelajari Filsafat dari orang-orang Yunani, yang kemudian mengembangkannya dengan menterjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahsa Arab. Pada masa al-Ma‟mun, paham Mutazilah dijadikan paham Negara. Ia mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti paham

102 ini, bagi yang tidak mau mentaati maka ia akan dihukum. Untuk menguji paham seseorang apakah Mutazilah atau bukan ia memberlakukan Mihnah (inquisition), semacam lembaga penyelidikan untuk meneliti paham seseorang (Atsir, t.t: 383). Salah satu pertanyaan yang diajukan dalam Mihnah adalah tentang kemakhlukkan al-Qur‟an. Bagi yang menentang paham bahwa al-Qur‟an bukan makhluk maka ia akan diberi hukuman. Salah satu ulama yang terkenal yang menjadi korban Mihnah adalah Ahmad Ibn Hanbal. Ia disiksa dan dipenjara selama bertahun-tahun karena bertahan dengan pendapatnya bahwa al-Qur‟an bukan makhluk (Khalikan, t.t: 24). Keberpihakan al-Ma‟mun terhadap paham Mutazilah tempaknnya tidak dapat dipisahkan dari kehausannya akan pengetahuan yang rasional. Kecintaan terhadap filsafat mendorongnnya untuk menyetujui paham Mutazilah yang rasional dan filosofis daripada paham yang lain. Mutazilah menganut paham Qodariyah, kebebasan manusia dalam berbuat kehendak, dan paham sunatullah, yakni paham yang memandang bahwa alam ini diatur oleh Tuhan melalui hukum penciptaan-Nya, sedangkan Asy‟ariyah menganut paham Fatalisme dan menolak adanya sunatullah yang mengatur alam semesta (Nasution, 1995:115).

B. Paradigma Pengembangan Sains dalam Islam Paradigma dalam bangunan ilmu pengetahuan dapat diibaratkan sebagai landasan dalam kerangka berpikir hingga terbentuk sebuah model dalam sebuah teori ilmu pengetahuan. Berangkat dari paradigma ini pula kemudian dibangun teori-teori berikutnya. Selanjutnya, jika ilmuwan telah menerima suatu paradigma tertentu, maka riset-risetnya akan ditunjukkan untuk menjawab masalah-masalah yang muncul dari paradigma tersebut. Sampai suatu saat paradigma tadi berhenti mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau muncul semakin banyak keganjilan yang tak dapat masuk dalam kerangka paradigma dimaksud. Ilmuwan akan mempertanyakan paradigma baru yang lain. Sebuah paradigma baru akan menghasilkan teori baru yang lain (Jalaluddin, 2013: 148). Umumnya paradigma pengembangan ilmu tak lepas dari nilai-nilai filsafat yang melandasinya. Manusia berhubungan dengan realitas bukan sesuatu yang telah ada (given) tanpa interpretasi, melainkan dirantai dan dibangun oleh skema konseptual. Haidar Baqir mengatakan, “bahwa paradigma-paradigma itu bisa saja dipilih berdasarkan keyakinan dan selera intelektual masing-masing kelompok ilmuwan.” Dengan demikian paradigma pengembangan ilmu sepenuhnya tergantung kepada para ilmuwan itu sendiri (Jalaluddin, 2013: 250).

103

Dalam pandangan Jhon Ziman, pembentukan paradigma ini sangat mendasar sifatnya bagi ilmu pengetahuan. Tanpa komitmen dari masing- masing individu ilmuwan pada “gambar dunia” (world picture) yang sama, tak akan tercipta komunikasi. Dalam keilmuan Barat paradigma bersumber dari hasil pemikiran manusia berupa komitmen para ilmuwan yang kemudian terbentuk sebagai world picture dari latar belakang filsafat masing-masing (Jalaluddin, 2013: 250). Dalam pandangan Islam, world picture yang terbetuk berdasarkan komitmen para ilmuwan tersebut, semuanya berpangkal dari sumber tunggal, yakni pesan-pesan kitab suci al-Qur‟an. Setidaknya Harun Nasution mengatakan bahwa al-Qur‟an adalah kitab yang komplet, sempurna, dan mencakup segala-galanya termasuk sistem kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan teknologi modern (Nasution, 1983: 25). Pendapat ini didasarkan pada pernyataan-pernyatan ayat al- Qur‟an itu sendiri, antara lain Firman Allah Swt.:

            Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (Q.S. Al-Maidah:3) Ayat tersebut diatas dapat diartikan bahwa al-Qur‟an adalah kitab yang sempurna isinya dalam arti suatu pun tidak dilupakan di dalamnya. Segala-galanya dijelaskan di dalamnya (Nasution, 1983: 30). Ayat-ayat al-Qur‟an yang termasuk ayat-ayat kauniyah memang tidak memberi penjelasan rinci mengenai proses fenomena alam berupa teori-teori tertentu. Proses tersebut harus dipikirkan manusia. Pada dasarnya ayat-ayat kauniyah mengandung dorongan kepada manusia untuk memperhatikan dan memikirkan alam sekitar. Kandungan- kandungan ayat-ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa al-Qur‟an juga mengungkapkan fenomena alam yang menjadi pembahasan ilmu pengetahuan modern. Dalam ilmu pengetahuan kealaman (natural science), orang mengumpulkan pengetahuan dengan mengadakan pengamatan atau observasi, pengukuran atau pengumpulan data pada alam sekitar. Baik yang hidup seperti manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, maupun yang tak tak bernyawa seperti binatang, matahari, gunung, lautan, dan benda-benda yang mengelilingi manusia (Baiquni, 1983: 1). Dengan memperhatikan gejala dan peristiwa alam ini manusia sampai pada kesimpulan, bahwa kejadian-kejadian seperti itu tidaklah timbul begitu saja. Semuanya itu mesti diciptakan dan digerakkan oleh

104

Allah Swt. Maha Pencipta dan Penggerak alam semseta (Nasution, 1983: 68). Dalam hubungan dengan paradigma pengembangan ilmu ini, Syed Hossein Nasr menjelaskan, bahwa ilmuwan (ulama) Islam di masa klasik, mempelajari alam, buka semata-mata karena jiwa ilmiah yang terdapat dalam diri mereka. Lebih dari itu adalah “untuk menyatakan hikmat Pencipta dalam ciptaan-Nya,” dan “untuk memperhatikan ayat-ayat Tuhan dalam alam sesuai dengan ajaran al-Qur‟an (Nasution, 1983: 68). Secara paradigmatis, dalam Islam terlihat adanya hubungan antara ilmu, ilmuwan, kajian keilmuan dan niali-nilai ajaran agama. Ilmu bersumber dari Tuhan.1 Ilmuwan (ulama) mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam yang memiliki sifat khasyah (takut, kagum kepada Allah). Berangkat dari landasan prinsip-prinsip al-Qur‟an ini pula paradigma pengembangan ilmu dalam Islam disusun. Tak mengherankan bila tujuh abad sebelum Charles Darwin mengemukakan teori evolusi, ilmuwan Muslim telah mengemukakan hal itu. Mereka mengemukakan bahwa penciptaan berlaku melalui evolusi. Selain itu berdasarkan al- Qur‟an pula mereka berpendapat bahwa airlah yang menimbulkan kehidupan (Nasution, 1983: 66). Sedangkan dalam pandangan Kuntowijoyo, pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan paradigma al-Qur‟an jelas akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan manusia (Kuntowijoyo, 1991: 335). Harun Yahya dalam Menyingkap Rahasia Alam, menunjukkan bahwa bukti tentang tanda-tanda kekuasaan Allah dalam kehidupan di alam raya ini. Ia ingin menunjukkan bukti kebenaran mutlak ayat-ayat al-Qur‟an dalam telah ilmiah dan cakupan yang luas. Pernyataan ayat-ayat al-Qur‟an tidak hanya harus dipahami secara normative. Di balik semuanya itu, ayat-ayat al- Qur‟an juga mengandung pesan-pesan yang berhubungan dengan prinsip- prinsip ilmu pengetahuan (Yahya, 2004: 164-165). Selanjutnya dikemukakan oleh al-Qardlawi, aspek material adalah ilmu yang berhubungan dengan pembahasan mengenai alam jagat raya, baik yang di atas maupun yang di bawah. Ilmu ini mencakup anta lain ilmu alam, kimia, astronomi, kedokteran, teknik, ilmu biologi, botani, fisika dan lain

1 (30) Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (31) Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

105 sebagainya. Jelasnya, ilmu dibangun atas dasar observasi dan eksperimen (al-Qardlawi, 2001: 35). Berangkat dari paradigma seperti ini pula, maka dalam perjalanannya, Islam mampu mengemban “hegemoni” peradaban dunia, yang oleh Eward Mortimer disebut-sebut sebagai “peradaban sepuluh abad” (Mortimer, 1986: 32).

C. Langkah-langkah Kholifah al-Ma’mun dalam Mengembangkan Ilmu Pengetahuan 1. Gerakan Penerjemahan Ilmu zaman al-Ma’mun a. Faktor Penyebab Gerakan Penerjemah Jika di telaah secara historisitas sosial pendidikan pada umat Islam baru menemukan pemekarannnya ketika komunitas Islam telah tersebar ke berbagai penjuru dan belahan bumi di luar Jazirah Arab. (Arief, 2005: 104). Tersebarnya “ilmu-ilmu non agama” ke dalam tubuh Islam pada masa Abbasiyah memegang tampuk kekuasannya tepanya di masa Khalifah al-Mansur sampai masa al-Ma‟mun hingga masa-masa sesudahnya sampai abad X M. dengan penerjemahan buku-buku asing secara besar-besaran telah tampil begitu mengesankan sehingga dunia ilmu pengetahuan semakin berkembanglah dan meluas di tangan kaum muslimin. Ilmu-ilmu “non-agama” atau disebut dengan ilmu „aqliyah. Ilmu „aqliyah dikenal dengan ilmu-ilmu klasik („ulum al-Qudama atau awail). Yang dimaksud dengan ilmu jenis ini adalah filsafat, kedokteran, olahraga, arsitekstur, aljabar, mantiq, ilmu falaq, ilmu alam, kimia, music, sejarah, geografi dsb. (al-Mursyi, 1986: 193) diadopsi oleh komunitas Muslim dengan antusias dengan sikap apresiatif. Menurut Nakosten, tersebarnya ilmu-ilmu asing yang masuk pada kubu umat Islam, ada beberapa faktor penting yang patut diketahui yaitu: Pertama, Penganiayaan dan pengusiran yang dilakukan oleh orang-orang Kristen Ortodoks yang mewakili penguasa Byzantium, atas sekte-sekte Kristen. Sekte-sekte ini mencari tempat yang lebih kondusif dan aman ke daerah-daerah yang berada di bawah penguasaan kerajaan Sasania dan mereka yang juga menyebar ke semenanjung Arabia. Mereka yang menyebar ini membawa tradisi ilmiah Yunani dan Helenisme, terutama di bidang kedokteran, matematika, astronomi, filsafat, dan teknologi, lalu mengembangkannya di suatu tempat baru yang mereka huni. Ketika umat Islam menaklukkan kerajaan Romawi dan Sasania, penganiayaan Kristen Ortodoks mendorong kelompok-kelompok minoritas untuk menyambut gembira kedatangan pasukan Muslim yang dikenal toleran terhadap orang yang berbeda agama, budaya, dan kehidupan sosial. Kelompok-kelompok ini menjalin persahabatan yang baik dengan komunitas Muslim dan membuka jalur transmisi pengetahuan yang mereka bawa.

106

Selain itu penaklukan Alexander Agung terhadap Mesir, Persia dan India yang secara otomatis disertai dengan transmisi ilmu pengetahuan Yunani ke daerah-daerah tersebut. Pada babakan sejarah berikutnya ilmu pengetahuan ini dikembangkan dan diperkaya dengan polesan tradisi lokal sebelum pada akhirnya ditransmisi ke dalam peradaban Islam. Kedua, Nakosten menambahkan bahwa peranan Akademi Jundi Syapur yang berhasil memadukan tradisi ilmiah dari berbagai kawasan budaya India, Yunani, Helenisme, Syiria, Hebrew, dan Persia. Di tempat ini pula penterjemahan ilmu pengetahuan kuno menyebarkannya kepada kaum muslim sampai tugas ini diambil alih oleh Baghdad di Timur dan Sisilia serta Cordova di Barat. Kegiatan ilmiah bangsa Yahudi yang menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Ibrani dan Arab pada masa pra-Islam (Nakosteen, 1968: 18-20). Masuk dan berkembangnya ilmu-ilmu asing ini memaksa umat Islam untuk merekonstruksi sistem pendidikan yang masih berlangsung dengan dominasi “Ilmu-ilmu agama” dalam kurikulum pengajarannya. Terjadi proses tarik menarik dalam merespon keadaan ini. Institusi- institusi pendidikan Islam hingga masa ini berada dalam otoritas ulama yang menguasai al-„ulum al dinniyah. Menurut data sejarah, ternyata ilmu-ilmu non agama, berhasil bukan hanya diadopsi, akan tetapi berhasil dikembangkan sedemikian rupa hingga masa-masa itu Islam disebut-sebut oleh sejarahwan sedang menguasai panggung peradaban dunia di saat Eropa dan belahan dunia lain berada dalam kegelapan (the dark age). Hal tersebut pada akhirnya dimaksudkan untuk dapat mengungkap pengalaman historis sosiologis umat Islam dalam memperkenalkan dan memposisikan ilmu di masa klasik (Arief, 2005:106-107). Para ilmuwan diutus untuk mencari naskah-naskah Yunani ke Bizantium dalam berbagai bidang ilmu seperti “filsafat dan kedokteran”. Perburuan dalam menemukan manuskrip-manuskrip di dunia Timur (Persia) seperti dalam bidang Tata Negara dan sastra, juga dilakukan. Bahkan al-Ma‟mun sendiri mewajibkan kepada seluruh pejabat pemerintahan untuk menguasai dua bahasa, agar menambah tenaga penerjemah buku tersebut. Haran sebuah kota yang berada di Mesopotamia adalah salah satu jalur yang sering dilalui dan banyak penduduknya yang berbahsa Yunani. b. Munculnya Gerakan Penerjemah Pengembangan ilmu pengetahuan telah dimulai pada zaman klasik, hal ini terjadi dikarenakan faktor yang dominan dari al-Qur‟an dan Sunah yang mendorong mengembangkan ilmu pengetahuan dan memanfaatkan serta mempelajari warisan berbagai budaya dan ilmu pengetahuan di

107 sekitar daerah tersebut, dengan cara menerjemahkannya. Upaya ini sebetulnya sudah di mulai pada zaman Kholifah Umar bin Abdul Aziz (Dinasti Umayah), akan tetapi berkembang pesat pada zaman Kholifah al- Ma‟mun (Dinasti Abbasiyah). Melalui Baitul Hikmah, yang didirikannya, al-Ma‟mun berusaha mencari dan mengumpulkan berbagai manuskrip peninggalan ilmu pengetahuan tersebut dan menterjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Melalui tradisi penterjemahan inilah, maka lahirlah para ilmuwan dari umat Islam yang mencapai prestasi yang melewati para ilmuawn sebelumnya. Mereka itu seperti: al-Khawarizmi dalam bidang fisika, Abd. al-Jabar dalam bidang matimatika, al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Razi dan al-Zahrawi dalam bidang fisika, matematika, seni, pemerintahan, farmakologi dan kedokteran, al-Farabi dalam bidang tasawuf. Pada zaman pemerintahan al-Ma‟mun (Dinasti Abbasiyah), bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Terjadinya asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Misalnya, al-Ma‟mun yang juga memiliki darah Persia dari Ibu (Istri ke dua Harun al-Rasyd), yang sangat kuat di bidang pemerintahan dan banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra (Amin, t.t: 207) Zaman al-Ma‟mun merupakan fase kedua dari zaman al-Mansur sampai Harun al-Rasyd. Pada saat pemerintahan berkuasa itu sangat memberikan dukungan baik politik, ekonomi, fasilitas dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, terlebih lagi adanya gerakan penterjemahan yang berlangsung sampai zaman al-Ma‟mun. hingga tahun 300 H. buku-buku yang diterjemahkan pada masa al-Ma‟mun adalah tentang filsafat dan kedokteran. Pada zaman al-Ma‟mun juga telah ada pembuatan kertas, yang sangat membantu dalam pengembangan ilmu. Melalui gerakan penerjemahan inilah, maka para ulama Islam yang bukan hanya menguasai ilmu agama saja, melainkan lebih dari itu, para ulama dapat menguasai ilmu-ilmu umum, seperti: astronomi, fisika, matematika, pemerintahan, filsafat, kedokteran, geografi, biologi, sastra, dan lain sebagainya. Kentalnya dengan adanya tradisi ilmiah membuat umat Islam pada zaman al-Ma‟mun bak seperti waktu yang bernilaikan emas permata, selanjutnya menimbulkan kebanggaan dan rasa motivasi untuk menggerakkan intelektual Islam. Tradisi yang dimaksud antara lain seperti: 1) Tradisi meneliti secara bayani selanjutnya mengasilkan ilmu agama (tafsir, fiqih, ilmu al-Qur‟an, ilmu Hadits dsb), burhani yang mengasilkan ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, dsb.), ijbari yang mengasilkan sains dan terapan (kimia, fisika, matematika, astronomi,

108 biologi dsb), jadali yang menghasilkan filsafat dan irfani yang menghasilkan tasawuf. 2) Tradisi rihlah ilmiah atau perajalanan jauh selama berpuluh-puluh tahun guna memperoleh ilmu pengetahuan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Imam Syafi‟i, Imam Bukhori, Imam al-Ghazali, Ibn Khaldun, dsb. 3) tradisi menulis, yang dilakukan kebiasaan para ulama klasik saat menumpahkan ilmunya untuk di pelajari oleh para muridnya. 4) tradisi berdebat, dengan tujuan untuk mendapatkan pendapat baru (Nata, 2011: 38). Dapat dipahami dengan jelas bahwa pada zaman al-Ma‟mun betapa kecintaanya terhadap ilmu pengetahuan membuat ia melanjutkan dan juga mengembangkan kegiatan yang telah dilakukan oleh pendahulunya bahkan al-Ma‟mun dalam hal ras atau pun suku, ia tidak membeda-bedakan mana yang bangsa Arab dan mana yang bukan, mana yang Muslim dan non-Muslim sebagai penghalang dalam meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan melalui geraka penerjemahan. Al-Ma‟mun memahami bahwa ilmu pengetahuan bukanlah dimiliki oleh kaum Muslimin saja, akan tetapi ia mencari cara bagaimana agar ilmu yang dimiliki oleh Barat yang mayoritas non-Muslim juga bisa dikuasai oleh umat Muslim. Melalui gerakan penerjemahan inilah yang ia galakkan agar menimbah kecintaan kaum Muslimin terhadap ilmu pengetahuan yang menghantarkan mereka kebahagian di dunia dan akhirat sebagaimana diajarkan dalam Islam.

2. Optimalisasi Institusi Pendidikan pada zaman al- Ma’mun Khalifah al-Ma‟mun adalah seorang kholifah Islam yang arif dan bijaksana, cerdas, baik akhlaknya, mengedepankan kemerdekaan berpikir dan berdiskusi. Menurut tinjauan dan pendapatnya sesungguhnya pertikaian dalam beberapa masalah agama menyebabkan umat Islam terpecah belah, terbagi beberapa golongan. Untuk menghindari hal tersebut diadakan majelis Munazarah tempat diskusi persoalan agama yang pelik, majelis ini berlangsung di hadapan al-Ma‟mun sendiri serta dihadiri para ulama ternama. Hasil pembahasan diumumkan kepada rakyat agar mereka dapat beramal menurut hukum yang sama berdasarkan pendapat-pendapat yang telah disatukan supaya tidak terjadi perselisihan. Selain majelis, awal sejarah pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan peranannya dari masjid akan fungsinya. Disamping masjid digunakan untuk ibadah seperti shalat, masjid dapat digunakan untuk menyebarkan ilmu pengetahuan. Di setiap masjid para ulama mengajarkan berbagai ilmu, dan disana pula telah disiapkan pula ruangan baca atau perpustakaan untuk membaca buku. Institusi pendidikan Islam zaman al-Ma‟mun, termasuk kategori lembaga pendidikan Islam di era klasik. Dalam Typology of Institution of

109

Learning, George Makdisi membagi institusi pendidikan Islam klasik berdasarkan kriteria mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah Islam, menjadi dua jenis, yaitu: institusi pendidikan inklusif atau terbuka terhadap pengetahuan umum dan institusi pendidikan eksklusif atau tertutup terhadap pengetahuan umum. Sedangkan menurut Charles Michael Stanton, berdasarkan kriteria hubungan institusi pendidikan dengan Negara yang berbentuk teokrasi, setidaknya ada dua macam, yaitu: institusi pendidikan Islam formal dan institusi pendidikan informal (Stanton, 1994:122). Jadi dapat dikatakan bahwa institusi pendidikan diatas mengandung pengertian bahwa pada zaman al-Ma‟mun sudah terbentuk dalam sistem pendidikan Islam yang bersifat umum dan khusus. a. Institusi Pendidikan Islam Multikultural zaman al-Ma’mun. Berdasarkan penggolongannya George Makdisi, institusi pendidikan Islam zaman al-Ma‟mun dapat dikelompokkan sebagai berikut: Pertama, Maktab atau Kuttab, yaitu institusi pendidikan dasar. Mata pelajaran yang diajarkan di kuttab adalah khat atau kaligrafi, al- Qur‟an, akidah dan syair. Dan menurut jenisnya, kuttab dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kuttab yang tertutup terhadap ilmu pengatahuan umum dan yang terbuka terhadap pengetahuan umum. Kuttab atau maktab berasal dari kata kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi katab adalah tempat belajar untuk menulis. Sebelum datang Islam Kuttab telah adadi negri Arab, walaupun waktu itu belum dikenal banyak ( Zuhairini, dkk. 1997: 89). Sewaktu agama Islam diturunkan Allah sudah ada di antara para sahabat yang pandai baca dan tulis. Kemudian adanya tempat dan dorongan yang kuat dalam Islam, sehingga berkembanglah di kalangan umat Islam. Ayat al-Qur‟an yang pertama diturunkan, telah memerintahkan untuk membaca dan memberikan gambaran bahwa kepandaian dan menulis merupakan saran utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam. (Zuhairini, dkk. 1997: 89). Pada mulanya, awal perkembangan Islam, Kuttab dilaksanakan di rumah- rumah guru-guru yang bersangkutan dan diajarkan adalah semata-mata menulis dan membaca. Sedangkan dalam hal ini, Ahmad Syalabi dalam Sejarah Pendidikan Islam, mengungkapkan penjelasan sebagai berikut: ….bahwa mengajarkan menulis dan membaca dewasa ini adalah salah satu dari pekerjaan kaum zimmi dan tawanan-tawanan perang Badar. Orang-orang tersebut tentu saja tidak ada hubungannnya dalam al-Qur‟an al-Karim, juga dengan agama Islam. Zaman ini disambung lagi dengan zaman yang datang

110

kemudian yang juga di masa itu pekerjaan mengajarkan menulis dan membaca itu adalah dikenal sebagai pekerjaan kaum Zimmi. Adapun kaum Muslimin yang telah belajar menulis dan membaca, banyak pekerjaan-pekerjaan yang lebih penting memerlukan tenaga mereka (Syalabi, 1973: 37). Kemudian pada akhir abad pertama Hijriyah, mulai timbul jenis kuttab, yang disamping memberikan pelajaran menulis dan membaca, juga mengajarkan membaca al-Qur‟an dan pokok-pokok ajaran agama. Namun pada mulanya, kuttab jenis ini merupakan pindahan dari pengajaran al-Qur‟an yang berlangsung di Masjid, yang sifatnya umum (anak-anak dan dewasa). Anak-anak ikut pengajian di dalamnya tetapi karena mereka tidak dapat menjaga kesucian dan kebersihan masjid, lalu diadakan tempat khusus disamping masjid untuk anak-anak belajar al- Qur‟an dan pokok-pokok ajaran agama. Selanjutnya berkembanglah tempat-tempat khusus untuk pengajaran anak-anak dan berkembanglah kuttab-kuttab yang bukan hanya mengajarkan al-Qur‟an tetapi juga pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Dengan demikian kuttab menjadi lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal (Zuhairini, dkk. 1997: 91). . Kedua, Halaqah. artinya lingkaran. Proses belajar mengajar yang berkembang dalam halaqah sangat sederhana, yaitu seorang syekh sambil duduk di sebuah kursi memimpin sebuah pertemuan dan menerima murid- murid yang duduk di lantai setengah lingkaran di sekitarnya. Murid-murid tersebut mendengarkan dengan baik, terhadap apa yang di baca dari tulisannya maupun komentar-komentar terhadap catatan-catatan orang lain. Sebagai ilustrasi dapat dilihat bahwa Ibn Sina menyelenggarakan halaqah mulai saat fajar di pagi hari, ia membacakan materi yang diajarkan dan berdiskusi sampai pertengahan waktu pagi (Stanton, 1994: 156). Ahmad Syalabi juga menjelaskan bahwa al-Ghazali sebagai seorang yang telah mengasingkan dari kehidupan masyarakat umum, mendirikan sebuah lingkaran para ilmuan-ilmuan di rumahnya yang memperoleh perhatian secara pribadi ditentukan oleh kemampuannya yang menarik para murid dan popularitas intelektual di halaqahnya sendiri (Syalabi, 1945: 31). Masa keterkaitan seorang murid terhadap halaqah tergantung ketekunan dan target yang ingin dicapainya. Apabila ia telah sampai pada titik maksimal dalam belajar pada seorang syeikh, maka ia dapat beralih ke syeikh yang lain. Kurikulum yang dipergunakan dalam institusi halaqah tergantung pada minat dan pengetahuan seorang syekh, berdasarkan dari pengalaman dan keahliannya.(Arief, 2002:110). Ketiga, Majelis adalah institusi pendidikan yang digunakan untuk kegiatan transmisi dari berbagai disiplin ilmu, sehingga majlis banyak

111 jenisnya. Setidaknya ada tujuh macam majelis, yaitu: 1) majlis al-Hadis, 2) majelis at-Tadris, 3) majelis al-Munazarah, 4) majelis al-Muzakarah, 5) majelis as-Syu‟ara, 6) majelis al-Adab, 7) majelis al-Fatwa. Al- Ma‟mun sering mengadakan majelis pertemuan para ulama di istana, ia sering mengundang berbagai ulama diseluruh negeri dalam berbagai keahlian, yang dibahas adalah seputar permasalah agama. Ia sendiri yang memadu jalannya acara, disamping ada tata tertib majelis yang di adakannya, antar lain tidak boleh saling menjatuhkan, menjunjung tinggi profesionalitas kebenaran. Keempat, Masjid yang berfungsi sebagai sarana pengajaran telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sebagai otoritas penafsir wahyu Allah (al-Qur‟an). Seringkali kepada beliau, baik di dalam maupun di luar masjid, masyarakat menanyakan tentang berbagai hal menyangkut aqidah dan akhlak. Maka Nabi pun memberikan penjelasan-penjelasan, sementara pendengarnya membentuk lingkaran (halaqah) di depan beliau. Sepeninggalan Nabi, tradisi ini diteruskan oleh para sahabat. Pada masa ini materi pengajaran bertambah dengan pembicaraan tentang hadits- hadist Nabi. Dengan demikian, nisbat sebutan ahlu al „ilmi yang berkembang ketika itu adalah mereka yang menguasai dan menghafal banyak hadits. Pada masa selanjutnya, materi-materi pengajaran di dalam masjid semakin bervariasi, dari fiqih, bahasa sampai syair-syair Arab (Lewis, et.al (eds). tt1123-1124). Disamping itu, bahwa penyelenggara pendidikan tidak hanya terbatas pada masjid utama, tetapi juga di masjid- masjid biasa. Di Mesir, selain di masjid „Amr bin Ash (sebagai masjid utama), pengajaran juga dilakukan di masjid Ibn Tulun dan masjid al- Azhar (yang dibangun belakangan. Bahkan lebih dari itu, khalifah al- „Aziz dari dinasti Fathimiyah dan wazirnya, Ya‟qub ibn Kilis, pada tahun 988 M. telah menyelenggarakan 35 perkuliahan di masjid al-Azhar, dan masing-masing pengajar diberi rumah pada seperempat dari seluruh areal kompleks masjid. (Arief, 2002: 109-110). Kelima, Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan berkonsentrasi sepenuhnya untuk ibadah. Ribath pada asalnya adalah kamp, yaitu tempat tentara yang dibangunkan di perbatasan negri untuk mempertahankan Negara dari serangan musuh. Ribath banyak ditemukan pada masa Bani Umayah dan Abbasiyah, didirikan di antar Negara Islam dan Negara musuh (Yunus, 1992: 95). Seiring dengan berjalannya waktu, kemudian ribath tidak lagi menjadi tempat tentara yang berjuang untuk mempertahankan Negara, melainkan tempat orang-orang yang berjuang melawan hawa nafsunya, yaitu orang-orang Sufi. Mereka tinggal di ribath beribadah siang dan malam hari. Dengan demikian maka arti ribath ialah tempat tinggal

112 oaring-orang sufi. Selain daripada beribadat dan membaca zikir mereka juga belajar agama di sana dari syekh kepala ribath. Dengan demikian ribath itu salah satu tempat belajar juga di samping masjid dll (Yunus, 1992: 96). Keenam, Al-Manazil al-Ulama (rumah-rumah ulama) adalah tempat tinggal seorang guru yang digunakan untuk mentransmisi ilmu agama dan ilmu umum dan kemungkinan lain perdebatan ilmiah. Ulama yang tidak diberi kesempatan mengajar di institusi pendidikan formal akan mengajar di rumah-rumah mereka. Mengutip pendapat Abuddin Nata, menjelaskan bahwa sebaik- baiknya tempat untuk belajar adalah di masjid, karena duduk di masjid untuk keperluan pendidikan dan pengajaran membutuhkan faedah guna menumbuhkan tradisi yang baik dan menghilangkan kebiasaan yang buruk (Nata,2010: 155). Hal tersebut kiranya berbeda dengan rumah yang privasinya selalu terjaga, tidak sembarangan orang dapat memasukinya, kecuali atas izin dari empunya. Oleh karenanya rumah hanya dapat dijadikan tempat belajar manakala ketika darurat saja. Ketujuh, Toko buku, berperan sebagai tempat transmisi ilmu dan Islam. Dalam sejarah tercatat, bahwa selama kejayaan khlaifah Abbasiyah, toko buku berkembang pesat di wilayah Timur Tengah, dan peran pentingnya menyebar di seluruh wilayah Islam, khususnya melalui Afrika Utara dan semenanjung Siberia. Sebelum perpustakaan oleh bangsa Mongol, Baghdad memiliki lebih dari 100 penjual buku. Para pembeli dan penjual manuskrip besar bagi kehidupan intelektual dalam sebuah masyarakat melalui karya-karya pilihan mereka yang diterjemahkan dari bahasa Yunani, Persia, atau bahasa-bahasa bangsa Timur, dan karya-karya bahasa Arab yang disalin dan di sediakan untuk umum (Stanton, 1994: 160). Disamping sebagai tempat menjual buku-buku dan manuskrip, toko buku juga sering dijadikan sebagai tempat halaqah untuk membahas dan mengkaji berbagai macam disiplin ilmu. Pemilik toko buku biasa berfungsi sebagai tuan rumah dan pemimpin halaqah tersebut. Ia mengundang para ilmuan yang ada di sekitarnya untuk melakukan diskusi tentang masalah-masalah intelektual dan keagamaan. Bahkan tidak jarang ulama yang diundang untuk menyampaikan materi keagamaan dan berdiskusi dengan ilmuan setempat. Proses pendidikan yang dilakukan oleh ulama dalam institusi informal toko buku memiliki tujuan yang amat berguna dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan menyediakan karya tulis, khususnya karya-karya filsafat dan sains Yunani klasik bagi masyarakat umum (Arief, 2002: 111). Kedelapan, Observatorium adalah tempat kajian ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Guna mengembangkan ilmu pengetahuan yang terjadi

113 di masa Abbasiyah berkuasa, dibangun tempat untuk penelitian dan kajian ilmiah lainnya. Di zaman al-Ma‟mun tempat ini digunakan sebagai tempat belajar mengajar, dimana siswa akan selalu aktif, seperti belajar memecahkan masalah, eksperimen, learning by doing, serta belajar menemukan sesuatu yang sifatnya ilmiah. Oleh sebab itu, kegiatan ini bukan hanya ada di kelas-kelas saja melainkan di lembaga pusat kajian ilmiah. Kesembilan, Perpustakaan yaitu tempat koleksi buku dan tempat riset. Pada awalnya perpustakaan cenderung didirikan di rumah orang- orang kaya, bangsawan dan istana-istana para penguasa. Karena ajaran- ajaran al-Qur‟an memerintahkan individu-individu untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan menyediakan kekayaan yang dimilikinya bagi orang lain yang kurang beruntung, maka para hartawan Muslim membiayai perpustakaan dan seringkali membukanya untuk para ilmuwan, juga untuk umum. Diantara peran ulama yang sangat berjasa dalam kajian keperpustakaan adalah Ibn Ishaq al-Naqdim, pengarang kitab al-Fihrist. Kitab al-Fihrist merupakan karya bibliografi yang paling komperhenshif tentang manuskrip-manuskrip yang ditulis atau diterjemahkan oleh sarjana-sarjana Muslim sampai abad kesepuluh. Disamping mendaftar buku-buku, Ibn Ishaq al-Naqdim juga mencatat identitas kebangsaan, tanggal kelahiran dan kematian dan mengomentari sifat, perhatian, studi dan pristiwa-pristiwa yang terjadi pada diri si pengarang (Azra, 1994: 13). Dari uraian di atas dapat menjelaskan bahwa posisi ulama di dalam lembaga pendidikan informal sangat besar kontribusinya dalam mengembangkan kehidupan intelektual Islam. Ulama tidak hanya menyampaikan materi pelajarannya pada halaqah yang ada di rumahnya, tetapi mereka juga ikut berpartisipasi aktif dalam mengunjungi toko-toko buku, perpustakaan sanggar sastra dan bahkan institusi-institusi formal dan informal lainnya, guna menumbuh kembangkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat, juga menanamkan rasa kepedulian ilmu pengetahuan kepada para penguasa dan hartawan, pada realitasnya tidak sedikit perpustakaan yang dibangun oleh para penguasa dan hartawan (Arief, 2002: 11-12). Di sisi lain, para ulama juga memberikan kontribusi intelektual yang sangat berharga dalam melacak bibilografi dan indeks terhadap tokoh-tokoh sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Ibn Ishaq al-Nadim. Kesepuluh. Zawiyah, yaitu tempat yang hampir menyerupai ribath, yaitu tempat untuk belajar, tetapi lebih kecil bangunannya dari ribath. Biasanya didirikan di padang sahara di tempat-tempat yang sunyi senyap, terjauh dari pada penduduk yang ramai (Yunus, 1992: 96). Berbeda pandangan dengan Mahmud Yunus, sebagaimana Abuddin Nata

114 mengatakan “ zawiyah adalah tempat yang berada di pinggiran masjid yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan bimbingan spiritual, wirid, dzikir, mujahadah, muhasabah, dan istighasah untuk menyucikan diri dan memperoleh penghayatan dan pengalaman batin, serta merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya, yang selanjutnya memancar dalam sikap dan perbuatan terpuji berupa akhlak mulia” (Nata, 2010: 206). Jadi zawiyah merupakan tempat yang kecil di pinggiran masjid dan digunakan untuk bertahanus atau menyendiri agar dapat menemukan pengalaman spiritual batin. Jika ditelaah lebih jauh lagi pada institusi pendidikan Islam, ternyata ditemukan konsep dasar pendidikan multikultural pada masa kejayaan Islam yaitu ketika al-Ma‟mun menjadi kholifah (813-833 M) dari bani Abbas di Baitul Hikmah, yaitu institusi pendidikan tinggi Islam pertama yang dibangun pada tahun 830 M oleh khalifah al-Ma‟mun (Asar, 1992: 109). Bahwasanya institusi tersebut telah mengukir sejarah baru dalam peradaban umat manusia, di mana bangsa Barat belum mengenal konsep pendidikan multicultural. Dimana subyek toleransi, perbedaan etnik kutural, dan agama sudah dikenal dan merupakan hal yang biasa. Konsep demokrasi dan pluralitas sudah begitu kental dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam kegiatan pendidikan di intitusi ini. Pendidikan multikultural masih diartikan sangat ragam, dan belum ada kesepakatan, apakah pendidikan multicultural tersebut beragam budaya atau pendidikan untuk membentuk sikap agar menghargai keragaman budaya (Rosyada, 2008: 3). Pendidikan multikultural bisa diartikan sebagai pendidikan keragaman budaya dalam masyarakat dan terkadang juga menawarkan ragam model untuk keragaman budaya dalam masyarakat dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan untuk membina siswa agar menghargai keragaman budaya masyaakat. Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas, seluruh lembaga pendidikan Islam pada masa Abbasiyah, dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu: Pertama, Pendidikan dasar (rendah) yang terdiri dari kuttab, rumah, toko buku, dan istana. Kurikulum pendidikan dasar meliputi materi pelajaran : 1) Membaca dan menghafal al-Qur‟an, 2) Pokok-pokok agama Islam: wudhu, shalat, puasa, 3) Menulis, 4) Tarikh, 5) Membaca dan menghafal syair, 6) Berhitung, 7) Dasar-dasar nahwu dan sharaf. Kurikulum diatas ini tidak seragam di seluruh daerah, mengingat situasi kondisi setempat yang berbeda-beda. Kedua, Pendidikan menengah yang mencakup masjid dan sanggar seni. Adapun kurikulum yang diajarkan sebagai berikut: 1) Al-Qur‟an, 2) Bahasa dan sastra Arab, 3) Fiqih, 4)Tafsir, 5) Hadits, 6) Nahwu/sharaf, 7) Ilmu-ilmu eksakta, 8) Mantiq, 9) Falaq. 10) Tarikh, 11) Ilmu-ilmu kealaman, 12) Kedokteran, 13)Musik. Ketiga, Pendidikan tinggi yang meliputi masjid,

115 madrasah, dan perpustakaan seperti Bait al Hikamh dan Dar Hikmah di Kairo. Kurikulum pendidikan tinggi lebih menunjukkan adanya keberagaman, akan tetapi pendidikan tinggi meliputi dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu agama dan sastra. Fakultas ini mempelajari: 1) Tafsir, 2) Hadits, 3) Fiqih/Ushul fiqih, 4) Nahwu/sharaf, 5) Balaghah, 6) Bahasa dan sastra arab, Kedua, fakultas ilmu filsafat (hikmah). Fakultas ini mempelajari : 1) Mantiq, 2) Ilmu alam dan kimia, 3) Music, 4) Ilmu- ilmu eksakta, 5) Ilmu ukur, 6) Ilmu falaq, 7) Ilmu teologi, 8)Ilmu hewan, 9) Ilmu nabati, 10) Ilmu kedokteran (Arief, 2005: 139-140). Menurut beberapa para ahli menilai bahwasanya pembagian tingkatan diatas masih terbuka untuk diperdebatkan, hal ini terlihat dalam fungsi lembaga masjid yang kadang-kadang dianggap lembaga pendidikan yang memberikan materi pelajaran tingkat menengah dan kadang-kadang pendidikan yang memberikan materi pelajaran di tingkat menengah, kadang-kadang di tingkat tinggi. Hafalan adalah ciri utama pendidikan Islam pada masa klasik dan pertengahan. Hal ini bisa dimaklumi karena kekuatan hafalan sangat dibutuhkan untuk menjaga al-Qur‟an dan keotentikan hadits layak untuk dipercaya kalau pembawa hadits itu orang yang kuat hafalannya. Madrasah yang mengkonstruksikan kajian pada ilmu-ilmu keagamaan juga menggunakan kekuatan hafalan menjadi sebuah keharusan (Anwar, 2006: 23). Cara menghafal adalah selalu mengulang-ulang pelajaran. Al- Shirazi, syeikh pertama Nizhamiyah Baghdad, biasa mengulangi pelajarannya sampai 100 kali agar memperoleh kepastian bahwa hafalannya itu betul-betul tertancap di memori hafalannya (Al-Jauzi, t.t: 7). Mengandalkan kekuatan hafalan saja, menurut ahli pendidikan Islam klasik adalah tidak banyak manfaatnya. Oleh karena itu, pemahaman menjadi keharusan (Anwar, 2006: 10-11).‟Abdul al-Latif al- Bagdadi memberi nasehat kepada murid-muridnya untuk berusaha keras mengahafal dan memahami buku yang dibacanya. Seandainya buku itu hilang, maka tidak terpengaruh sedikitpun buat murid-muridnya (Makdisi, 1981: 103). Hafalan, mengulang-ulang, memahami dan mudhakarah saja belumlah cukup, karena secara fitrah manusia bisa lupa. Oleh karena itu, mencatat hasil belajar diatas tidak dapat di sepeleka. Al-Zarnuji memberikan nasehat bagi setiap siswa untuk selalau membawa secarik kertas dan alat tulis untuk merekam sesuatu yang berguna bagi perkembangan ilmiahnya (Burhan, t.t: 8). Sehubung dengan ini, sistem pendidikan Islam, mestinya memberikan materi pendidikan sosial yang Islami, pendidikan ekonomi yang Islami, pendidikan politik yang lslami, yang selanjutnya dijabarkan dalam berbagai mata pelajaran (bidang studi) seperti sekarang ini yang semuannya sudah bersifat Islami atau dengan

116 kata lain,semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah sudah bernuansa Islami (Tamsir., 2006: .45).

3. Tokoh-tokoh Pengembang Ilmu dan Pendidikan Islam Multikultural Zaman Al-Ma’mun a. Kholifah Al-Ma’mun (813-833 M) Sebagaimana mengenai biografi al-Ma‟mun sudah dibahas di atas, ia adalah kholifah Daulah Abbasiyah, putra dari mendiang Kholifah Harun al-Rasyid. Ia memprakarsai kegiatan keilmuan-keilmuan dan penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani ke dalam bahasa Arab. Ia mendirikan sebuah akademi di Baghdad yang bernama Baitul Hikmah (gedung kebijaksanaan) yang didalamnya terdapat observatorium yang diperintahkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Naskah-naskah Yunani diburu dari Konstantinopel untuk memperkaya perpustakaan akademi ini dan untuk diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Selain itu sebuah akademi kedokteran di dirikan pada masa pemerintahannya. Al-Ma‟mun dikenal sebagai tokoh pengembang ilmu pengatahuan sekaligus pendidik multicultural. Ia sangat toleran sekali terhadap rakyatnya atau orang-orang yang berbeda agama, seperti agama Kristen, serta ia lebih familiar terhadap peradaban-peradaban yang berbeda dengan bangsa Arab, misalnya peradaban Rusia, Pagan dan lain-lain. Ia dikenal juga karena kejeniusannya dalam memajukan intelektual Islam dan memperbanyak membangun intitusi pendidikan Islam yang membuatnya satu di antara kholifah sekaligus intelektual besar sepanjang sejarah Sebagaimana uraian di atas, menjelaskan bahwa al-Ma‟mun selain ia adalah kholifah besar, ia juga seorang intelektual yang jenius sepanjang sejarah. Ia adalah tokoh yang memiliki visi dan misi pengembangan ilmu dan pendidikan multicultural, baik dalam mengelola peradaban Islam maju dibandingkan dengan peradaban sebelumnya, selain itu kepribadian yang dimiliki al-Ma‟mun sepertinya sangat diperlukan dalam melaksanakan pengembangan ilmu dan pendidikan sebagai pemimpin yang semestinya diteladani. Jadi dapat disimpulkan bahwa al-Ma‟mun adalah tokoh yang memiliki visi dan misi multicultural dalam mengelola institusi pendidikan Islam, dimana sosok intelek dan berkepribadian yang amat sangat luhur itulah yang sangat di perlukan dalam melaksanakan pendidikan multicultural sebagai kholifah yang patut diteladani akan sifat baiknya. b. Abu Ja’far Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi (780-850 M)

117

Beliau ahli di bidang al-Jabar dan astronomi, direktur perpustakaan Baitul Hikmah atau pusat studi dan riset astronomi dan matematika. Ia adalah seorang nasionalis dan ahli Pahlevi, dan sebagai tokoh pengembangan ilmu zaman al-Ma‟mun sekaligus pendidik multikultural, selain al-Ma‟mun ia juga menciptakan suasana bebas, terbuka, toleran dan sederajat dalam mengelola Baitul Hikmah dan ikut andil dalam menerjemahkan buku-buku warisan Hellenisme dari Yunani ke dalam bahsa Arab (Siwito, Fauzan, 2003: 33). Al-Khawarizmi berkerja dalam obsevatorium tempat dia menekuni telaah matematika dan astronomi. Berikut disebutkan beberapa sumbangan orisinal al-Khwarizmi pada zaman al-Ma‟mun dalam al-jabar dan matematika pada umumnya. Pertama, ia memperkenalkan perhitungan sistem decimal (persepuluhan) yang menggantikan sistem seksagesimal (perenam puluhan), suatu sistem perhitungan kuno dari Babilonia. Sistem seksagesimal itu sampai sekarang masih tersisa dalam perhitungan waktu: jam (60 menit), (60 detik), dan perhitungan busur drajat. Kedua, ia meletakkan dasar-dasar ilmu hitung dan aljabar. Untuk pertama kalinya al-Khawarizmi menggunakan simbol-simbol dan variable-variable, mendahului sarjana- sarjana Eropa, dan menggunakan simbol-simbol itulah yang mendorong kemajuan pesat matematika. Ketiga, ia menerapkan bilangan “nol” untuk pertama kalinya dalam perhitungan sistem decimal (aritmatika) dan (al jabar). Keempat, ia menemukan nilai  (phi) yang menyatakan perbandingan keliling sebuah lingkaran terhadap garis tengahnya, yaitu sebesar 22/7 = 3,1428571 (bandingkan dengan  modern yang bernilai = 3,1415926). Al-Khawarizmi menemukan bahwa perbandingan keliling terhadap garis tengah lingkaran bernilai tetap (konstanta) tanpa tergantung kepada ukuran lingkarannya. Penemuan konstanta  (phi) tersebut sangat berguna untuk perhitungan-perhitungan yang berkaitan dengan lingkaran dan bola seperti luas dan volume. Kelima, Ia berjasa menyusun daftar logaritma. Istilah logaritma (algoritma) berasal dari nama al-Khawarizmi sendiri. Istilah algoritma sendiri sekarang digunakan dalam pengertian sebagai suatu tata cara sistematis untuk menemukan jawaban dari sebuah soal di mana tiap langkah harus jelas letaknya. Keenam, ia juga menemukan metode aljabarik untuk menghitung tinggi segitiga. Dengan metode tersebut, tinggi sembarang segitiga dapat dihitung dengan metode penjabaran sisi-sisi segitiga yang diketahui. Ketujuh, ia merumuskan penyelesain persamaan kuadrat dengan memperkenalkan konsep variable, parameter, akar kuadrat, dan bersama ilmuan muslim lainnya memecahkan persamaan kuadrat ax2 + bx + c = 0 2 dengan rumus yang sekarang dikenal ABC: X1,2 = [-b   (b – 4 ac) ] / 2a. x disebut sebagai akar-akar persamaan kuadrat (variable yang dicari) ;

118 sedangkan a, b, dan c disebut sebagai parameter. Selain rumus tersebut al- Khawarizmi juga memperkenalkan metode “pelengkap kuadrat” untuk menyelsaikan persamaan kuadrat dan kubik, suatu metode yang sampai sekarang dipelajari oleh siswa SMU (Heriyanto, 2011: 13-14). c. Al Kindi (806-866 M). Di kalangan kaum Muslimin, orang yang pertama memberikan pengertian filsafat dan lapanganya adalah al-Kindi. Ia adalah Abu Yusuf ibn Ishaq bin Ash-Shabah bin Imran bin Al-Asy‟ats bin Qais dan terkenal dengan sebutan “Filosuf Arab” keturunan Arab asli. Berasal dari Kindah di Yaman, tetapi lahir di Kufah (Irak) di tahun 804 M. Orang tuanya adalah gubernur Di Basrah (Jaudah, 2010: 113-116). Setelah dewasa, ia pergi ke Baghdad dan mendapat perlindungan dari Khalifah al-Ma‟mun (813-833 M) dan Khalifah al-Mu‟tashim (833-842 M). Al-Kindi menganut aliran Mu‟tazilah dan kemudian belajar filsafat. Zaman itu adalah zaman penerjemahan buku-buku Yunani dan Suryani dan al-Kindi turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini, akan tetapi usahanya lebih banyak dalam memberi kesimpulan daripada menerjemahkan, karena ia termasuk orang yang berada sehingga ia dapat membayar orang lain untuk menerjemahkan buku-buku yang ia perlukan (Nasution, 1978: 14, Jaudah, 2010: 115). Al-Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari al-Ma‟mun, al- Mu‟tashim, dan anaknya yaitu Ahmad, bahkan menjadi gurunya. Dalam risalahnya yang ditunjukan kepada al-Mu‟tashim, ia menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang terkemuka serta terbaik. Ia membagi filsafat menjadi tiga bagian: ilmu Fisika (ilmu thibbiyat) sebagai tingkatan yang paling bawah, ilmu matematika (al-ilmu al-riyadhi) sebagai tingkatan menengah, dan ilmu ketuhanan (ilmu al-rububiyah) sebagai tingkatan paling tinggi. Alasan pembagian tersebut ialah karena ilmu ada kalanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindera, yaitu benda atau fisika, adakalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai wujud sendiri yaitu ilmu matematika yang terdiri dari ilmu hitung, teknik, astronomi, dan musik atau tidak berhubungan dengan benda sama sekali yaitu ilmu ketuhanan (Hanafi, 1986: 17). Al-Kindi banyak mengarang buku tetapi berapa banyak jumlahnya tidak ada kesepakatan para penulis biografi. Al- Nadim dan Al-Qafthi menyebut 238 buah (karangan pendek) dan sebagian dari karangannya itu telah musnah.2 Isi karangannya meliputi filsafat,

2Yakub Al-Kindi memiliki lebih dari 200 buku yang di rangnya. Bahkan Dr. Abdul Halim Muntashir mengatakan alam bukunya “ Tarikh Al-Ilm wa Daur Al Arab fi Taqaddumihi” bahwa buku karangan Al-Kindi lebih dari 230 buku. Akan tetapi yang sangat disayangkan, kebanyakan dari buku-buku ini hilang dan tidak sampai ke tangan kita kecuali judul-judulnya saja yang diberitahukan oleh penerjemahnya kepada kita.

119 logika, ilmu hitung, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optik, musik, fisika dan ilmu alam, tekhnik mesin, matematika dan sebagainya (Nasution, 1987: 15). Bukunya tentang optik diterjemahkan ke dalam bahasa latin yang banyak mempengaruhi Roger Bacon.3Apa yang dilakukan Bacon tidaklah seperti yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan menterjemahkan karya-karya Phytagoras ( 530-495 pra-Masehi), Plato (425-347 pra-Masehi), Aristoteles (388-322 pra-masehi), Aristarchos (310-230 pra-masehi) Euclides (330-260 pra-masehi), Claudius Ptolemaios (87-168 M.) (Poeradisastra, 2008: 18-19). Menurut sejarah, al-Kindi adalah filsuf Muslim pertama. Ia amat sangat mahir dan sangat terkenal namanya sebagai ilmuwan. Ia dikelompokkan sebagai tokoh-tokoh pengembang ilmu pengetahuan sekaligus pendidik multicultural, karena ia dikenal sebagai tokoh yang humanis dan al-Kindi adalah orang yang pertama kali mengajak kaum muslimin untuk hidup saling memahami dan menyelaraskan pemikiran- pemikiran yang berbeda-beda. d. Al- Farghani Ahli astronomi yang terkemuka lainnya pada zaman al-Ma‟mun dalam periode ini adalah Abu al-Abbas Ahmad al-Farghani (al-Farganus), ia lahir dan besar di Faghanah, Asia Tengah yang hidup pada abad ketiga Hijriyah atau kesembilan masehi. Ia termasuk seorang tokoh astronom yang terkemuka pada zaman kholifah al-Ma‟mun. Al-Faraghani aktif memulai observasi astronominya ketika al-Ma‟mun membangun sebuah observatorium astronomi di Baghdad pada tahun 830 M (Heriyanto, 2011: 128-129). Melalui Observasi yang terus menerus dilakukannya, ia berhasil menentukan jarak dan ukuran planet atau benda langit (Bulan Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus). Dalam menentukan jarak planet, ia mengikuti teori, bahwa “tak ada ruang yang terbuang”, sesuai dengan falsafah “tak ada ruang kosong” di alam raya,

3Bermodalkan bahasa Arab, Bacon kemudian mempelajari bahasa Ilmu Pengetahuan pasti dan ilmu pengetahuan alam seperti juga beberapa orang sarjana Kristen lainya pada masa itu. Antara tahun 1250-1257 ia pulang dan melanjutkan pelajaran bahasa Arabnya di Universitas Oxford dengan membawa sejumlah besar buku- buku Ilmiah Islam dari Paris. Beberapa karya sarjana-sarjana Muslim, diantaranya al- Munazhier karya Ali al-Hasan ibn Haitsam (965-1038 M), di terjemahkan oleh Bacon kedalam bahasa Latin, bahasa Ilmiah Eropa pada masa itu.Dalam naskah-naskah tersebut terdapat keterangan-keterangan tentang mesiu dan mikroskop.Bacon secara tidak jujur telah mencantumkan namanya sendiri pada terjmahan-terjemahan itu dan melakukan palgiat secara terang-terangan.

120 sehingga dia menetapkan apogium suatu pelanet bersinggungan dengan perigium planet berikutnya.4 Al-Farghani, pada tahun 861 M diangkat oleh al-Mutawakkil menjadi pengawas dalam pembangunan kilometer di Fusthath. Karyanya yang utama adalah “Al-Mudkhi Ila ilmi Hayai al-Aflal” yang pada tahun 1135 M diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh John dari Sevilla dan Gerard dari Cremona. Di samping obsevatorium al-Ma‟mun, ada juga obsevatorium swasta yang dikelola oleh tiga bersaudara anak-anak Musa ibn Syakir (850-870 M). Tiga bersaudara ini meninggalkan banyak karangan berharga, di antaranya ilmu untuk mengukur permukaan datar dan bulat. Buku ini disalin oleh Gerard cremona ke dalam bahasa Latin dengan nama “LiberTrium Fratrum” Hoesen,1975:99-104). Al-Faraghani, pada tahun 247 H. atau 861 M. diutus oleh khalifah Al-Mutawakil ke Mesir untuk mengawasi pembangunan alat ukur sungai Nil. Pada tahun 246 H./860 M., dia menulis sebuah buku yang berjudul “Jawani‟ Ilmi An-Nujum Wa Al-Harakat As-Samawiyyah.” Buku ini telah di terjemahkan kedalam bahasa Latin, dan sangat besar pengaruhnya dalam perjalanan ilmu perbintangan di Eropa pada abad kelima belas dan keenam belas Masehi (Jaudah, 2002: 527-528). e. Al-Fazari Namanya adalah Abu Ishak Ibrahim bin Habib Al-Fazari. Dalam lapangan ilmu astronomi, penulisannya dimulai sejak diterjemahkannya buku “Maha Sidhanta” dari bahasa India kebahasa Arab oleh al-Fazari di Baghdad tahun 771 M. selanjutnya dilakukan penerjemahan dari daftar- daftar Pahlevi yang disusun sejak periode Sasania. Sesudah itu barulah diterjemahkan buku Yunani Almagest karangan Ptolomeus. Dua buku karangan Ptolomeus yang lain masing-masing diterjemahkan oleh al- Hajjaj ibn Mathar pada tahun 212 H/887 M dan oleh Hunain ibn Ishaq yang kemudian direvisi oleh Tsabit ibn Qurra. Pada awal abad IX M. tempat observatorium dengan alat-alat yang lebih akurat dibangun di Yunde Shapur. Oleh al-Ma‟mun, sehubungan dengan kepentingan lembaga ilmu pengetahuan Bait al-Hikmah, dibangun sebuah observatorium astronomi dekat gerbang Syamsiyah di bawah pimpinan Sindi bin Ali dan Yahya ibn Abi Mansur (830 M). Para ahli astronomi dan lembaga ini tidak hanya membuat observatorium sistematis terhadap gerakan benda-bendalangit di jagat raya, tetapi juga membuktikan secara tepat elemen-elemen yang fundametal yang terdapat dalam almagest, yaitu

4Apegium dan pergium adalah masing-masing titik terjauh dan titik terdekkat lintasan orbit pelanet dengan bumi. Semakin lonjong suatu lintasan maka semakin besar perbedaan antar apogium dan pergium

121 garis gerak yang tidak beraturan dan garis edar matahari, panjang tahun syamsiyah dan sebagainya. Al-Ma‟mun segera membangun sebuah cabang dan observatorium ini yang didirikan di gunung Qosayun di luarkota Damaskus. Alat perlengkapan obsevatori pada waktu itu antara lain terdiri atas quadrant, astrolobe (alat pengukur letak tinggi tempat yang dipergunakan pada masa pertengahan), dial (alat pengukur waktu, kecepatan, suhu) dan bola dunia (Jaudah, 2002: 527-529). Al-Fazari adalah orang pertama yang mengajarkan astrolobe (nama Arab-nya Asthurtab). Model astrolobe ini mungkin diambildari Yunani. Buku-buku terbitan yang ditulis mengenai astrolobe di masa itu ialah yang ditulis oleh Ali ibn Isa al-Asthurlabi, hidup di Baghdad dan Damaskus sebelum tahun 830 M. Para ahli astronomi al-Ma‟mun memperlihatkan ketelitian yang tinggi dalam hal operasi giodotik (pengukuran panjang dari busur derajat letak tinggi tempat dari permukaan air laut). Tujuan dari operasi ini adalah untuk menentukan ukuran bumi dan jarak lingkar bumi dengan satu asumsi bahwa bumi ini adalah bundar.5 Dalam kalendernya yang bernama “As-Sindhind Al- Kabir” ia memadukan antara pengetahuan Iran, India dan Barat. Pada tahun 174 H (790 M), ia menulis sebuah buku yang berjudul “ Zaij Ala Sunni Al-Arab.” Buku ini merupakan kumpulan jadwal bintang pertama yang mempergunakan kalender Hijriyah. Artinya, ia telah merubah kalender India yang berdasarkan peredaran bintang menjadi kalender berdasarkan Hijriyah. Ia juga menulis buku yang berjudul “Al‟Amal Fi Al- Astharlab Al-Musthuh.” Pengukuran-pengukuran ini dilakukan di dataran Sinjar di antara sungai Furat dan juga dekat Palmira yang menghasilkan 56 2/3 mil Arab sebagai panjang busur dari satu derajat meridian yang merupakan hasil yang akurat yang secara ekstrim dapat menentukan panjang sesungguhnya dari busur derajat tempat itu yaitu ±2877 kaki. Berdasarkan hasil hitungan ini diperhitungkan bahwa jarak lingkaran bumi adalah 20.400 mil dan garis tengahnya adalah 6.500 mil. Di antara orang-orang yang mengambil bagian dalam operasi ini adalah putra dari Musaibn Syakir dan barangkali juga al-Khawarizmi, yang daftarnya satu setengah abad kemudian direvisi oleh Maslamah al- Majrithi dari Andalusia (w.1007 M) dan ditejemahkan kedalam bahasa Latin pada tahun 1126 M. oleh Adelard dari Bath yang menjadi dasar penulisan ilmu bumi pada masa selanjutnya baik di Timur

5Dalam kalendernya yang bernama “As-Sindhind Al-Kabir” ia memadukan antara pengetahuan Iran, India dan Barat. Pada tahun 174 H (790 M), ia menulis sebuah buku yang berjudul “ Zaij Ala Sunni Al-Arab.” Buku ini merupakan kumpulan jadwal bintang pertama yang mempergunakan kalender Hijriyah. Artinya, ia telah merubah kalender India yang berdasarkan peredaran bintang menjadi kalender berdasarkan Hijriyah. Ia juga menulis buku yang berjudul “Al‟Amal Fi Al-Astharlab Al-Musthuh.”

122 maupun di Barat. Daftar astronomi dari Arab ini dapat menggeser dan menggantikan daftar-daftar yang pernah dibuat oleh India dan Yunani, dan bahkandaftar Arab ini dipakai oleh orang Cina (Hoesen, 1975: 98). Al-Biruni, selain seorang yang ahli dalam astronomi, ia juga ahli di bidang Geografi, matematika dan fisika. Ia ahli dalam Mineralogi yang menulis Kitab Al Jamahir, ia adalah orang yang mempersoalkan perputaran bumi mengelilingi sumbunya, dan menyatakan universitas hukum alam dengan mengatakan gravitasi di bumi sama dengan gravitasi di langit. Kecuali itu ia juga menulis Kitab As Saidana yang berisi segala informasi yang ada tentang pengobatan pada zaman itu (Baiquni, 1996: 70). Berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban yang menjadi tonggak puncak peradaban Islam di zaman keemasan dalam Islam di sebabkan, karena institusi pendidikan Islam yang telah menerapkan konsep pendidikan berbasis multicultural. Nilai-nilai multicultural yang actual dikembangkan saat itu adalah toleransi, keterbukaan, kesedrajatan, kebebasan, kedailan, keragaman dan demokrasi. Majunya peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan juga didukung oleh tokoh-tokoh pendidik yang memiliki visi dan misi berbasis kultural.

D. Hasil Pencapaian Al-Ma’mun dalam Mengembangkan Sains 1. Berdirinya Baitul Hikmah Zaman al-Ma’mun Lembaga pengetahuan ini menjelma menjadi tempat ilmuan muslim guna melakukan penelitian dan menimba ilmu pengetahuan. Pada zaman al-Ma‟mun Baitul Hikmah dilengkapi dengan observatorium. Sejarah mencatat, pada saat itu belum ada dibelahan bagian dunia lainnya yang mampu menandingi dan menyaingi Baitul Hikmah (Syuyuti, t.t: 34). Lembaga ini adalah kelanjutan dari Dar Hikmah, perpustakaan yang pernah di bangun oleh Kholifah Harun al-Rasyid. Seperti pepatah mengatakan “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, kiranya tepat jika al- Ma‟mun mengikuti jejak ayahnya sebagai Ilmuwan, ulama, sekaligus kholifah. Sebagaimana Syuyuti mengatakan, “Keberadaan Baitul Hikmah yang semakin berkembang menunjukkan betapa besar kecintaan al- Ma‟mun terhadap ilmu pengetahuan. Bukan saja sebagai salah satu bentuk jasa beliau dalam mengembangkan ilmu pengetahaun, Baitul Hikamah telah menjadi surga bagi para ilmuan dan para penuntut ilmu pada zaman tersebut.” Para ilmuwan dan penuntut ilmu merasakan begitu besar manfaatnya yang di dapat sejak berdirinya Baitul Hikmah dibangun hingga mengalami perkembangan yang begitu pesat, baik di bidang keilmuwan, maupun semakin banyak karya-karya yang dihasilkan dari

123 proses penerjemahan dan perburuan manuskrip lainnya. Al-Ma‟mun juga mengisi Baitul Hikmah dengan berbagai manuskrip berharga yang didapat dari berbagai daerah di antaranya adalah daerah pemerintah Byzantium (Amin, 2001: 72). Di Baitul Hikmah, segala ilmu pengetahuan dikaji, diteliti, dan dikembangkan oleh para ilmuan. Studi yang berkembang pesat di lembaga tersebut antara lain: matematika, astronomi, kedokteran, zoology serta geografi. Sebagai kholifah yang punya intelektual tinggi, juga inovatif, al- Ma‟mun meminta para ilmuan tidak hanya menguasai pengetahuan hasil transfer dari peradaban lain saja. Ia juga mendorong para ilmuwan Muslim untuk melahirkan inovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dikuasainya. (Syuyuti, t.t: 56). Upaya tersebut akhirnya tercapai, hingga Baghdad menjelma menjadi kota yang kaya raya di dunia dan menjadi pusat intelekual pada saat itu. Penduduk Baghdad mencapai satu juta jiwa populasi terbesar saat itu dan selama kepemimpinannya, telah melahirkan sederet ilmuwan yang terkemuka di dunia yang pernah dimiliki oleh umat Muslim. Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, di Baghdad telah didirikan peneropong bintang-bintang oleh al-Ma‟mun, yang langsung berhubungan dengan Baitul Hikmah. Lalu al-Ma‟mun menyuruh para ulama untuk mempelajari kitab al-Majisthi yang berisi ilmu falaq. Kemudian al-Ma‟mun menyuruh para ulama untuk membuat alat peneropong, untuk mempelajari hal ihwal tentang perbintangan sebagaimana yang dibuat oleh Bathlimus pengarang kitab al-Majisthi. Alat peneropong tersebut kemudian mereka namai sebagai “Peneropong al-Ma‟muni” (Yunus, 1992:62-65). Jika melihat keharmonisan al-Ma‟mun terhadap para ulama, tidak mungkin al-Ma‟mun atau para ulama saling memusuhi satu sama lain sebagaimana pendapat para penulis lainnya yang mengatakan bahwa al- Ma‟mun adalah orang yang kejam dengan sering menghukum para ulama sebagaima pada peristiwa Mihnah. Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Tamim Ansary sebagai berikut: ia dibawa ke istana dan diminta berdebat dengan teolog terkemuka tentang pertanyaan apakah al-Qur‟an itu makhluk ciptaan atau bukan. Filsuf menyerang Ibn Hanbal dengan logika, ulama itu memukul balik dengan kitab suci. Filsuf mengikatnya dalam buhul-bukul argument, Ibn Hanbal berkelit lepas dengan doa kepada Allah. Jelas, tidak ada seorang pun yang bisa benar-benar “menang” dalam debat semacam ini karena para pendebat tidak sepakat pada hal-hal yang mendasar. Ketika Ibn Hanbal menolak untuk mengingkari pandangannya, ia dipukul secara fisik, tapi tidak mengubah pikirannya. Ia dikurung dalam penjara. Ia tetap

124

saja berpegangan pada prinsip-prinsipnya: tidak akan pernah membiarkan nalar menginjak-injak wahyu, tidak pernah! (Ansary, 2010: 184-185).

Oleh karena itu, bukti fisk yang berkembang adalah al-Ma‟mun dengan para ulama saling bersinergi dalam mengembangkan ilmu. Dimana al-Ma‟mun memiliki sikap pemaaf, berjiwa besar sebagai pemimpin, dan bijaksana. Tidak mungkin jikalau ia melakukan resistensi terhadap para ulama, akan tetapi justru sebaliknya. Jika tidak ada kiprah al-Ma‟mun dengan upaya-upaya yang menyelamatkan kerajaan dan peradaban yang diwariskan oleh pendahulunya (Kholifah al-Mansur dan Harun al-Rasyid), maka bisa dipastikan umat Islam belum mencapai titik puncak kejayaan (the golden age). Karya ilmuan yang di terjemahkan antara lain seperti: karya Aristoteles, Plato, Galen, Hippocrates, Dioscorides, Ptolemy dan Alexander dari Aphrodisias (Nakosten, 1995: 15). Dan buku-buku Yunani yang dibawa dari Ankara dan Amuriyah, terdapat buku-buku lain yang dibawa dari pulau Cyprus, Ibnu Nubatah al-Masari telah menyebutkan masalah ini. Al-Ma‟mun telah melantik Sahal bin Harun sebagai penulis harta simpanan Darul Hikmah yang berupa buku-buku karangan para ahli filsafat yang dibawa dari pulau Cyprus, yaitu sesudah kholifah berdamai dengan pemerintahan pulau Cyprus dan meminta pemerintahan tersebut untuk mengirim buku-buku Yunani. Perintah tersebut berunding dengan orang-orangnya dan meminta pendapat mereka tentang rancangannya untuk mengirim buku-buku tersebut kepada al-Ma‟mun. Akan tetapi semua yang berunding telah menolak rancangannya, kecuali seorang padre yang mendukung dengan alasan-alasan buku yang mengandung ilmu-ilmu aqli akan merusak pemerintahan Abbasiyah dan menjerumuskan para ulama ke jurang kesalahan. Dengan itu ia mencadangkan supaya buku-buku tersebut diserahkan kepada kholifah al- Ma‟mun secepatnya. Pendapat tersebut akhirnya diterima, dan buku-buku itu pun segera dikirim kepada al-Ma‟mun yang merasa amat gembira dan disana terdapat buku yang dibawa dari Konstantinopel (Syalabi, 1997:201). Buku-buku Yunani merupakan buku yang paling banyak diterjemahkan oleh pemerintahan al-Ma‟mun akan tetapi buku-buku yang diterjemahkan, merupakan buku-buku yang terlebih dahulu disingkirkan dari hal-hal yang berbau musyrik, seperti adanya kepercayaan pada mitologi para dewa, artinya al-Ma‟mun maupun umat Muslim tetap berhati-hati terhadap kemusyrikan, meski hanya sebatas penerjemahan karya non-Muslim. Tidak hanya memanfaatkan dan menerjemahkan buku-buku yang memberi manfaat langsung dari perkembangan umat

125

Islam pada masa itu, tetapi memang juga buku-buku yang penting untuk diterjemahkan dan sudah tidak terdapat lagi di daerah lain, meskipun muncul rencana untuk meyesatkan umat Islam melalui buku yang dipinjam. Namun al-Ma‟mun, tetap dengan senang hati dan menerjemahkan karya tersebut, karena pasti akan ada manfaat lain selain daripada kemudharatannya saja. Mengenai hal ini, Ibnu as Nadim telah menyebut bahwa kholifah al-Ma‟mun mempunyai perutusan dengan raja Roma, dan pada suatu hari al-Ma‟mun mengirim surat kepada raja Roma untuk meminta izin menyelamatkan ilmu-ilmu purba yang tersimpan di negeri Roma. Permintaan al-Ma‟mun akhirnya disetujui oleh raja Roma. Dengan hal itu al-Ma‟mun melantik serombongan tokoh-tokoh, di antarnya seperti al- Hajajj bin Matar, Ibnu al-Batriq, Salam. Mereka pun telah kembali dengan membawa buku-buku yang telah mereka pilih. Kholifah al-Ma‟mun pun mengarahkan mereka supaya menerjemahkannya. Dikatakan juga bahwa Yuhana bin Masuwaih adalah termasuk kedalam rombongan yang dikirim ke negeri Roma tersebut. Kholifah al-Ma‟mun pun mendapat tenaga Hunain bin Ishaq yang masih berusia muda dan memintanya menyalin buku-buku tersebut kedalam bahasa Arab, dan ia pun diberikan upah oleh al-Ma‟mun dengan emas seberat buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Syalabi, 1997: 202-203). Karya terbesar yang terpenting dalam zaman al-Ma‟mun adalah karena ia telah membangun Baitul Hikmah yang membuat Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat pada saat itu dan secara tidak langsung telah melahirkan berbagai ilmuwan penting yang telah berkontribusi lewat karyanya yang sangat bermanfaat bagi perkembangan umat Islam. a. Munculnya Konsep Dasar Mutikultural pada Baitul Hikmah dan Pengaruhnya. Intitusi di zaman al-Ma‟mun telah mengukir sejarah baru dalam peradaban manusia di mana bangsa Barat sekalipun belum mengenalnya, apa yang disebut dengan konsep multicultural dalam pendidikan. Konsep demokrasi dan pluralitas sudah begitu kental dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam ke (Syalabi, 1995giatan ilmiah ini. Berikut dapat digambarkan dengan jelas adanya konsep dasar multicultural pada institusi Baitul Hikmah adalah sebagai berikut: Pertama, nilai-nilai kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi dan kesetaraan dapat dijumpai pada proses pengumpulan manuskrip dan penerjemahan buku-buku sains dari Yunani guna melengkapi intitusi- intisuti pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun. Ia memberikan

126 kebebasan berekspresi, keterbukaan dan kesetaraan sarjana Muslim dan non-Muslim. Al-Ma‟mun telah memberikan penghargaan dengan memberikan emas kepada para sarjana baik yang Muslim dan non-Muslim yang telah menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Suasana kebebasan intelektual di institusi ini merupakan peletakan dasar-dasar konsep multicultural dalam pendidikan Islam. Nilai-nilai toleransi merupakan nilai strategis dalam membangun dasar yang kuat dalam perdamaian (Ta‟cub, 2002:200). Sebagaimana pendapat Nurcholish Majid, menyatakan bahwa interaksi positif antara masyarakat Arab Muslim dengan kalangan non- Muslim haya dapat terjadi pada suasan kebebasan, keterbukaan dan adanya toleransi (Majid, 2000: 222). Sependapat dengan Ya‟qub, bahwa nilai-nilai toleransi merupakan nilai strategis dalam membangun dasar yang kuat dalam perdamaian. Oleh sebab itulah berdampak pada meningkatnya semangat para penerjemah dalam melaksanakan tugas. Hal semacam inilah yang di inginkan oleh al-Ma‟mun yang terpenting dalam bentuk nyata. Kedua, perbedaan entik kultural dan agama bukan hambatan atau rintangan dalam melakukan suatu kemajuan, terutama dalam hal kemajuan penerjemahan. Para penerjemah yang memiliki perbedaan kultur, suku, ras, bangsa dan agama seperti : 1) Abu Sahl Fazhl bin Nawbakht yang berkebangsaan Persia. 2) Yuhanah bin Masuya yang berkebangsaan Syria. 3) Hunayn bin Ishaq yang beragamakan Kristen Neestorian dari Hiriah. 4). Alan al-Syu‟bi yang berkebangsaan Persia. 5) Qutha bin Luqa yang beragamakan Kristen dari Yacobite. 6) Abu Bisr Matta ibn Yunus yang beragamakan Kristen Nestorian. 7). Ishaq bin Hunayin beragamakan Kristen Nestorian. 8) Hubaish beragamakan Kristen yang sama. Konsep dasar pendidikan multicultural di Baitul Hikmah lebih bersifat internal dan khusus yang lebih menekankan pada aspek keragaman dan kesedrajatan peserta didik dala proses pendidikan. Oleh karena itu, subyek-subyek multicultural yang dapat dilihat pada halaqah, kuttab, masjid, ribath, dan majelis mengenai keadilan, kemiskinan, dan latar belakang kelompok-kelompok minoritas dalam bidang sosial dan budaya, ekonomi dan pendidikan yang bertujuan untuk mencapai pemberdayaan kelompok-kelompok minoritas tersebut. Kebudayaan bangsa, kondisi-kondisi sosial-politik, ekonomi dan pendidikan yang berbasis multicultural pada zaman al-Ma‟mun membawa pengaruh yang luar biasa terhadap kemajuan peradaban bangsa seperti: Pertama, Terjalinnya asimilasi antara bangsa Arab dengan mawali (non Arab) atau bangsa-bangsa lain yang lebih dulu mengalami perkembangan di bidang ilmu pengatahuan dan teknologi. Kedua, Gerakkan

127 penerjemahan yang dikelola dalam suasan keberagaman, kesedrajatan, perbedaan-perbedaan kebudayaan toleransi terhadap semua kelompok dan agama khususnya agama Kristen membawa pengaruh pada kemajuan ilmu pengetahuan dan juga ilmu pengetahuan agama. Ketiga, Kebebasan dalam memilih materi dan guru dalam belajar mengajar dan hubungan yang harmonis antar guru dan murid dan nilai-nilai toleransi antara keduanya keduanya berkembangnya ilmu pengatahuan dan lahirnya imam-imam mazhab seperti, Imam Syafi‟i yang merupakan mazhab ketiga dan Imam Hanbali yang merupakan mazhab keempat.

Nilai-nilai kebebasan

Beda etnik, Keterbukaan agama, ras

Kesetaraan Toleransi

Gambar: 4.1 Konsep dasar pendidikan Multikultural pada Institusi Baitul Hikmah 2. Berkembangnya Cabang-cabang Ilmu Pengetahuan Ilmu-ilmu yang tumbuh dan juga berkembang pada zaman al- Ma‟mun tersebut adalah sebagai berikut: a. Ilmu-ilmu Agama Ilmu Agama yang dimaksud penulis disini adalah ilmu-ilmu yang muncul di tengah-tengah suasan Keislaman, berkaitan dengan agama dan bahasa al-Qur‟an. Syalabi menyebutkannya “ilmu-ilmu Islam” dan sebagian cendikiawan yang lain menyebutkannya “lmu-ilmu naqli”. Memang ilmu pengetahuan telah berkembang sejak Dinasti Umayyah. Akan tetapi pada zaman Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Adapun cabang ilmu pengetahuan agama antara lain sebgai berikut: 1) Ilmu Tafsir Pada masa Abbassiyah ilmu tafsir mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan melakukan penafsiran secara sistematis, menyeluruh serta terpisah dari hadits. Menurut Ibn Nadim, orang yang pertama

128 melakukan penafsiran secara sistematis berdasarkan tertib mushab adalah al-Fara (Fa‟al, 2008: 69). Dan pada zaman Abbasiyah, muncul berbagai aliran seperti Sunni, Syi‟ah, dan Muktazilah yang mempengaruhi penafsiran al-Qur‟an (S.J, 2008:61). Dari berbagai tafsir yang ada, terdapat dua kategori tafsir, yaitu: Pertama. Tafsir bil al-Matsur, yaitu penafsiran al-Qur‟an berdasarkan pada sanad dan periwayatannya, meliputi tafsir al-Qur‟an dengan al- Qur‟an, al-Qur‟an dengan Hadits dan al-Qur‟an dengan perkataan para sahabat. Kedua, Tafsir bil al-Ra‟yi, yaitu penafsiran al-Qur‟an dengan ijtihad (Fa‟al, .2008: 69). Tafsir al-Qur‟an ini belum dikodifikasikan sebelum masa Abbasiyah, pertama. Ketika terjadi kebangkitan ilmu pengetahuan pada zaman itu, tafsir secara sistematis sesuai susunan al-Qur‟an dibukukan. Orang yang pertama membukukan tafsirnya ialah al-Farra atau Umar ibn Bukhair, karena ia sering sekali di tanya oleh gubernur Irak di zaman Kholifah al-Ma‟mun mengenai tafsiran ayat-ayat tertentu, maka Umar ibn Bukhair meminta kepada al-Farra untuk menulis tafsir al-Qur‟an (Mammur, t.t: 229).

2) Ilmu Hadits Pada zaman Daulah Abbasiyah, kegiatan pengkodifikasian Hadits dilakukan dengan giat, sebagai kelanjutan dari usaha para „ulama sebelumnya. Perlu diketahui, pengkodifikasian Hadits pada masa Umayyah dilakukan, akan tetapi tidak melakukan penyeleksian atau penyaringan terlebih dahulu, dan dampaknya adalah hadis Rasulullah dengan Hadits palsu bercampur. Hadis dan Ilmu Hadits berbeda pengertian, Jika Hadis adalah segala sesuatu perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad SAW terhadap sesuatu yang ia lihat atau yang diceritakan kepadanya. Sedangkan Ilmu Hadits adalah ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui tentang keshahihan atau kelemahan Hadits, cara mendapatkannya dan menyampaikannya pada orang lain. (Atthabari, 1968: 39). Oleh karena itu berkenaan dengan keutamaan Hadits sebagai hukum Islam yang kedua setelah al-Qur‟an maka para ulama Islam di zaman Abbasiyah, berusaha semaksimal mungkin menyaring Hadits Rasulullah agar dapat diteima sebagai sumber hukum yang sah dalam Islam. Penyeleksian Hadits dilakukan dengan cara mengkritik terhadap sanad, maupun matan Hadits (Atthabari, 1968: 42).

3) Ilmu Kalam Ilmu ini lahir karena dorongan untuk membela agama Islam dari pemikiran orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menggunakan filsafat

129 sebagai senjata, dan juga untuk memecahkan pelbagai permasalahan agama dengan menggunakan akal pikiran dan ilmu pengetahauan. Pada zaman Abbasiyah kaum Mutazilah berjasa dalam mengembangkan ilmu kalam, karena kegigihan mereka membela umat Islam dari serangan- serangan pikiran dari Yahudi dan Nasrani. Menurut riwayat mereka mengirim para juru dakwah kesegala penjuru, untuk menolak serangan- serangan musuh Islam.

4) Ilmu Fikih Salah satu kebanggaan umat Islam pada zaman Abbasiyah pada pemerintahan pertama adalah memiliki empat imam mazhab yang ulung dengan segala kapasitasnya sebagai seorang ulama besar. Mereka adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad bin Hanbali. Kempat ulama fiqih tersebut adalah harta yang berharga umat Islam. Metode pengambilan (istimbath) hukum yang dipergunakan oleh para fuqoha pada masa itu dibedakan menjadi ahl ra‟yi dan ahl hadits. Aliran pertama mengistimbatkan hukum Islam berdasarkan pada sejumlah nash-nash yang jelas (matsur) jika tidak terdapat nash yang jelas, serta banyak mendasarkan pada pemikiran hukumnya pada kemampuan akal pikiran dan pengalaman. Aliran ini terdapat di Kuffah dan tokohnya yang paling terkenal adalah Imam Abu Hanifah. Selanjutnya, aliran kedua adalah yang mengistimbathkan hukum berdasarkan Hadis-hadis Rasul. Aliran ini banyak terdapat di Madinah dan tokoh yang paling terkenal adalah Imam Malik. Di antara ahl ra‟yi dan ahl hadis, terdapat ulama yang cenderung menggabungkan kedua metode tersebut yang liberal dan konservatif adalah Imam Syafi‟i dan Imam Hanbali. Keempat imam tersebut dalam penetapan hukum memiliki metode tersendiri dari masing-masing ulama tersebut diatas. Akan tetapi menariknya ulama tersebut (Imam Maliki, Hanafi, Syafi‟i dan Hanbali) sama-sama menggunakan hukum logika yang diadopsi dari Arsitoteles (Saefudin2002: 62). Pertentangan antara ulama hukum Islam (fiqih) memberikan gamabaran baru bahwa betaapa luasnya hukum Islam. Oleh karena itu, agar dapat menghindari pelbagai pertentangan yang lebih luas lagi dan membawa akibat negatif, maka ulama fiqih berusaha menyusun ilmu ushul fiqih yang dapat menjadikan sebagai pegangan umum bagi semua para ahli hukum Islam (S.J, 2008: 173). Keempat pemikir hukum Islam tersebut dalam wacana pemikiran Islam kemudian dikenal dengan istilah empat imam mazhab fiqih. Akan tetapi keempat imam mazhab tersebut dalam menentukan hukum Islam, hanya dianut oleh masyarakat Sunni,

130 sedangkan untuk Syi‟ah, yang dianut adalah Imam Ja‟fari (Saefudin2002: 62).

5) Ilmu Tasawuf Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang tumbuh dan berkembang pada zaman Abbasiyah, ilmu tasawuf adalah ilmu syari‟at yang baru diciptakannya. Inti ajarannya adalah tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia dan bersunyi diri dalam ibadah.

6) Nahwu Ilmu Nahwu adalah ilmu yang berkembang pada masa Abbasiyah (132 H) di Baghdad, Kuffah, dan Basrah, kemudian dua aliran Nahwu yaitu mazhab Basrah dengan tokohnya Ibn Ahmad dan Sibaweh dan Mazhab Kufah dengan tokohnya al-Kisaaiy dan al-Farra (Hammur, t.t:267). Pada masa Kholifah Umar bin Khotob, wilayah Islam berkembang ke berbagai penjuru dunia, maka banyak orang-orang yang bukan Arab masuk Islam. Mereka membaca al-Qur‟an dan meriwayatkan Hadits dengan bahasa Arab, namun diantar mereka tidak bisa menguasai bahasa Arab dengan baik, akibatnya terjadilah kesalahan dalam membaca dan mengartikannya. Lalu pada masa Ali bin Abi Thalib, menginstruksikan kepada Aswad ad-Duali untuk menyusun kaidah Ilmu Nahwu (Syuyuti, 1968: .121). b. Ilmu-ilmu Umum 1) Humaniora Kemajuan peradaban Islam pada masa kejayaan Islam juga mencakup bidang Humaniora. Dalam bidang ini peradaban Islam tercermin dalam bidang ilmu Bahasa dan Sastra. Ilmu Bahasa dan Sastra tumbuh dan berkembang, karena Bahasa Arab semakin berkembang dewasa, memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh dan yang dimaksud ilmu bahasa (al-lughah) yaitu: Nahwu, Sharaf, Ma‟ani, Bayan, Badi‟, Arudh, Qamus dan Insya. Kota Basrah dan Kuffah merupakan pusat pertumbuhan ilmu bahasa (ulum al-lughah), kedua kota tersebut saling berlomba dalam bidang tersebut, sehingga muncul “Aliran Bashrah” dan “Aliran Kuffah” yang masing-masing pendukung bangga terhadap alirannya. Akan tetapi aliran Bashrah lebih banyak terpengaruh dengan “Mantiq” (logika) dibandingkan dengan aliran Kuffah, sehingga mereka dikenal sebagai aliran ahli Mantiq (S.J, 2008:64-67).

2) Filsafat

131

Filsafat muncul sebagai hasil integrasi antara ajaran Islam dan kebudayaan klasik Yunani yang terdapat di Suri‟ah, Mesir, Mesopotamia, Persia dan India. dan mulai berkembang pada masa Kholifah Harun al- Rasyid serta Kolifah al-Ma‟mun. Para filsuf Muslim yang menjadi tokoh dunia adalah Ya‟qubbin Ishaq al-Kindi. Ia adalah seorang filsub Arab yang pernah menulis 50 buku, yang sebagiannya adalah di bidang filsafat. Gelombang penerjemahan sangat berpengaruh terhadap meluasnya tradisi helenistik ke dunia Islam. Umat muslim banyak menekuni tradisi intelektual Yunani, termasuk filsafat, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan Azra sebagai “helenisasi pemikiran Islam dan Islamisasi pemikiran helenistik”. Wajar kiranya tradisi helenistik kemudian membanjiri khazanah keilmuan kaum Muslim karena pada awalnya filsafat berkaitan erat dengan ilmu-ilmu eksanta yang dipelajari kaum Muslimin dengan tekun. Kenyataannya banyak sekali, orang yang menjadi ahli dalam berbagai bidang, seperti ahli kedokteran, fisika, kimia,dan filsafat (Saefuddin, 2002: 186).

3) Kedokteran Pada masa Dinasti Abbasiyah kedokteran telah mencapai puncaknya dan telah melahirkan dokter yang terkenal Yuhanah bin Musawih (w.242 H) dengan karyanya al „ashr almaqolat fi al‟ain (tentang pengobatan penyakit mata). Perkembangan ilmu kedokteran sejalan dengan perkembangan ilmu filsafat. Pada awalnya Kholifah al-Mansur mengundang dokter dari Jundishapur kemudian mengundang dokter ternama dari Syiria, India, Mesir, dan Bizantium untuk berkumpul di Baghdad. Buku-buku Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Buku- buku Yunani yang menjadi standar ialah karya Hipocrates, Galen, Pail, Alexander, Thales, Dicerides dan lain sebagainnya (S.J., 2002: 180).

4) Astronomi Astronomi membantu umat Islam dalam menentukan letak Ka‟bah. Di sisi lainnya astronomi juga memiliki kelebihan untuk meramal, seperti garis politik para kholifah dan amir berdasarkan perhitungan kerjanya kepada peredaran bintang. Pada awal abad kesembilan sudah ada dilakukan observasi-observasi pertama dan teratur di sebelah Barat Daya Parsi dengan mengunakan alat-alat yang sudah sempurna; dan sebelum pertengahan abad tersebut berlalu maka Kholiafh al-Ma‟mun telah mendirikan pos-pos observasi astronomi di Baghdad dan di luar kota Damaskus. Alat-alat yang digunakan pada saat itu berupa kwadrat, astrolabium, jarum matahari dan bulatan dunia. Dengan cara demikian para ahli astronomi kholifah menyelenggarakan salah satu pekerjaan pengukuran tanah yang paling

132 sulit, yaitu pengukuran derajat busur. Maksud pekerjaan itu adalah untuk mengetahui dan menetapkan ukuran kebesarn lingkaran bumi, berdasarkan pada teori bahwa bumi itu bulat bentuknya. Hasil pengukuran yang dilangsungkan di daratan sebelah Utara sungai Eufrot dan disekitar Palmyra menyatakan, bahwa panjang derajat sebuah busur ialah 56 2/3 mil Arab. Ketelitian ukuran tersebut sangatlah mengagumkan karena ukuran drajat busur yang sebenarnya pada saat itu sepanjang 28877 kaki lebih pendek (Hitti, t.t: 145).

5) Matematika Ilmu ini pada awalnya di bawa oleh Kholifah al-Mansur dari India melalui bukunya Sind qwa Hind. Dari terjemahan buku ini oleh al-Fazari, dikenal sistem angka Arab dan angka “nol” yang mempermudah perhitungan. Selanjutnya, ilmu ini dikembangkan lagi oleh Khwarizmi dan Habash al-Hasib dengan membuat table angka (Fa‟al, 2008: 78). Ilmu matematika (hitung) adalah ilmu yang berkembang pesat di kalangan umat Islam, karena hukum-hukum syari‟at tentang zakat dan waris menuntut perhitungan aritmatika.

6) Geografi Pada masa Dinasti Abbasiyah, daerah perdagangan semakin luas. Sebagai ibukota Negara, hubungan Baghdad dengan kota-kota yang lain, baik melalui darat maupun laut, berkembang pesat dan lalu lintasnya ramai sekali. Hal itu menimbulkan usaha untuk memudahkan perjalanan, diantaranya dengan membuka jalan-jalan baru. Ilmuwan-ilmuwan Muslim juga sangat perduli dengan Bumi dan segala isinya. Ilmu tentang bumi pada zaman modern dibagi menjadi beberapa disiplin ilmu, Geografi, Geologi, Geofisika, dan Meteorologi. Perkembangan berbagai macam cabang ilmu pengetahuan diatas menunjukan begitu pesatnya transformasi ilmu pengetahuan pada masa itu. Kholifah al-Ma‟mun yang memang menjunjung tinggi akal dan memberi kebebasan dalam berpikir memuat berbagai cabang ilmu pengetahuan dapat berkembang pesat pada masa itu. Jika disandingkan pada Indonesia di era kepemimpinan Sueharto, dimana kebebasan dalam berpikir dan pendapat sangat dibatasi sekali oleh pemerintah. Tak ada satupun yang berani dalam mengeskporasi pikirannya untuk kepentingan umum atau perkembangan Indonesia. Bagi yang mencoba untuk melawan pemerintah, maka tidak segan-segan untuk di masukkan ke dalam penjara dan ada juga yang sampai di asingkan atau di bunuh. Oleh karenanya al-Ma‟mun cukup jenius dengan memberikan

133 kebebasan berpikir dan pendapat, agar semua ilmu pengatahuan dapat berkembangan dan menjadi maslahat umat manusia. Ilmu Fiqih dan Filsafat misalnya mencapai puncaknya pada masa ini dikarenakan ada keterkaitan satu sama lainnya atau lebih tepatnya metode yang digunakan oleh imam mazhab dalam menetapkan hukum Islam sama-sama menggunakan logika yang diadopsi dari Aristoteles. Pada masa itu pula masyarakat memiliki kebebasan untuk mengikuti mazhab yang diyakininya, sehingga setiap mazhab memiliki pengikut yang menyakini ajaran yang telah diajarkan oleh imam mazhab. Kebebasan berpikir dan berpendapat para mujahid semakin giat berijtihad sehingga memperluas hukum Islam, karena itu untuk menghindari pertentangan maka dari itu diperluakn pedoman umum berupa ushul fiqih yang menjadi pedoman umum bagi para ahli hukum. Sedangkan dalam bidang filsafat dapa masa itu benar-benar pada puncaknya. Kaum Muslimin banyak mengadopsi pemikiran Aristoteles, Plato dan Plotinus. Kaum Muslimin sangat asik mendalami pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Ilmuwan Muslim berpendapat, bahwa filsafat Yunani telah banyak membantu mereka dengan alat-alat yang sangat bermanfaat, sperti dialektika, silogisme, dan logika deduktif untuk memecahkan masalah teoritis pengetahuan dan ilmu-ilmu agama yang merupakan poros kehidupan di dunia Islam. Selanjutnya kegiatan penerjemahan yang begitu banyak dan memakan waktu yang cukup lama dari karya-karya Yunani juga turut andil dalam berkembangnya filsafat di kalangan kaum Muslimin pada saat itu.

3. Munculnya Tokoh-tokoh Penting dalam Berbagai Ilmu Pengetahuan Hadirnya berbagai cabang ilmu pengatahuan tidak terlepas dari kemunculan tokoh-tokoh penting dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan tersebut tidak hanya sebagai tokoh utama lahirnya ilmu-ilmu tersebut, tetapi juga sebagai penggerak terhadap kemajuan-kemajuan daripada ilmu-ilmu tersebut sehingga terdengar begitu hebatnya sampai saat ini. Dikarenakan jasa kerja keras mereka dan buah pikirannyalah umat Islam dapat maju daripada kemajuan yang pernah ada sebelumnya, khususnya pada penulisan ini adalah Kholifah al-Ma‟mun dari Dinasti Abbasiyah yang cenderung amat perduli terhadap ilmu pengetahuan. Berikut ini adalah dampak yang terjadi akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan yang mengakibatkan bermunculan para tokoh-tokoh penting dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yaitu: Pertama, Tokoh- tokoh dalam bidang ilmu agama: a. Dalam Bidang Ilmu Tafsir

134

1) As-Suda (w.127 H/ 810 M.) tafsirannya mendasarkan pada Ibnu Abbas dan Ibn Mas‟ud dan para sahabat lainnya. b. Dalam Bidang Hadits 1) Imam Bukhari yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Abi Hasan al Bukhari, lahir di Bukhara 194 H dan wafat di Baghdad 256 H. Kitabnya: al Jami‟al-Musnad al-Mukhtashar min al-Hadits Rasulullah Saw wa Sunanih wa Ayyamin, dan terkenal dengan sebutan Shahih Bukhari. 2) Imam Muslim yaitu Abu Husain Muslim bin al-Hajajj Ibn Muslim Ward Ibn Qusyairi, wafat di Naishabur tahun 261 H. Kitabnya a-Jami‟al-Shahih, atau sering disebut dengan Shahih Muslim. 3) Muhammad Ibn Umar al-Waqidi (748-823 M) lahir di Madinah dan wafat di Baghdad (Amin, 1965: 68). c. Dalam Bidang Ilmu Kalam 1) Abu al-Huzail Al‟Allaf (135-235 H). termasuk kedalam golongan Mu‟tazilah yang banyak menggunakan akal pikiran. d. Dalam Bidang Ilmu Fiqih 1) Malik bin Malik lahir di Madinah (713-795 H) dengan karyanya al-Mu‟watha (Razak, 1977: 110). 2) Muhammad Ibn Idris as-Syafi‟i lahir di Ghazza (767- 820 H) dengan karyanya al-Umm, al-Risalah, dan al-Mabsut. 3) Muhammad Ibn Umar al-Waqidi (748-823 M) lahir di Madinah dan wafat di Baghdad. 4) Ahmad bin Hambal lahir di Baghdad (780-855 H) dengan karyanya al-Kharraj (Nasution, 1985: 18).

e. Dalam Bidang Ilmu Tasawuf 1) Zunnun al-Misri lahir di Mesir (w.859 M) ia adalah orang yang membawa paham al-Ma‟rifah (Nasution, 1978:76-77)

Kedua. Tokoh-Tokoh Dalam Bidang Ilmu Umum; a. Dalam Bidang Ilmu Humaniora 1) Al-Farra, yaitu Abu Zakariya Yahya bin Zaiyad al Farra (w.208 H), Kitab Nawhu karangannya terdiri dari 6000 halaman. b. Dalam Bidang Ilmu Filsafat 1) Al-Kindi (804 M. – 874 M.) Di kalangan kaum Muslimin, orang yang pertama memberikan pengertian filsafat dan lapanganya adalah al-Kindi. Ia adalah Abu Yusuf ibn Ishaq bin Ash-Shabah bin Imran bin Al-Asy‟ats bin Qais dan terkenal dengan sebutan “Filosuf Arab” keturunan Arab asli.

135

Berasal dari Kindah di Yaman, tetapi lahir di Kufah (Irak) di tahun 804 M. Orang tuanya adalah gubernur di Basrah (Jaudah, 2002:113- 116). Setelah dewasa, ia pergi ke Baghdad dan mendapat perlindungan dari Khalifah al-Ma‟mun (813-833 M) dan Khalifah al- Mu‟tashim (833-842 M). Al-Kindi menganut aliran mu‟tazilah dan kemudian belajar filsafat. Zaman itu adalah zaman penerjemahan buku-buku Yunani dan Suryani dan al-Kindi turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini, akan tetapi usahanya lebih banyak dalam memberi kesimpulan daripada menerjemahkan, karena ia termasuk orang yang berada sehingga ia dapat membayar orang lain untuk menerjemahkan buku- buku yang ia perlukan (Nasution, 1978: 14, Jaudah, 2002: 115). Al- Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari al-Ma‟mun, al- Mu‟tashim, dan anaknya yaitu Ahmad, bahkan menjadi gurunya. Dalam risalahnya yang ditunjukan kepada al-Mu‟tashim, ia menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang terkemuka serta terbaik. Ia membagi filsafat menjadi tiga bagian: ilmu Fisika (ilmu thibbiyat) sebagai tingkatan yang paling bawah, ilmu matematika (al-ilmu al- riyadhi) sebagai tingkatan menengah, dan ilmu ketuhanan (ilmu al- rububiyah)sebagai tingkatan paling tinggi. Alasan pembagian tersebut ialah karena ilmu ada kalanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindera, yaitu benda atau fisika, adakalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai wujud sendiri yaitu ilmu matematika yang terdiri dari ilmu hitung, teknik, astronomi, dan musik atau tidak berhubungan dengan benda sama sekali yaitu ilmu ketuhanan (Hanafi, 1986: 17). Al-Kindi banyak mengarang buku tetapi berapa banyak jumlahnya tidak ada kesepakatan para penulis biografi. Al-Nadim dan al-Qafthi menyebut 238 buah (karangan pendek) dan sebagian dari karangannya itu telah musnah.6 Isi karangannya meliputi filsafat, logika, ilmu hitung, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optik, musik, fisika dan ilmu alam, tekhnik mesin, matematika dan sebagainya (Nasution, 1978:15). Bukunya tentang optik diterjemahkan ke dalam bahasa Latin yang banyak mempengaruhi Roger Bacon.7Apa yang dilakukan Bacon tidaklah seperti yang

6Yakub Al-Kindi memiliki lebih dari 200 buku yang di rangnya. Bahkan Dr. Abdul Halim Muntashir mengatakan alam bukunya “ Tarikh Al-Ilm wa Daur Al Arab fi Taqaddumihi” bahwa buku karangan Al-Kindi lebih dari 230 buku. Akan tetapi yang sangat disayangkan, kebanyakan dari buku-buku ini hilang dan tidak sampai ke tangan kita kecuali judul-judulnya saja yang diberitahukan oleh penerjemahnya kepada kita. 7Bermodalkan bahasa Arab, Bacon kemudian mempelajari bahasa Ilmu Pengetahuan pasti dan ilmu pengetahuan alam seperti juga beberapa orang sarjana Kristen lainya pada masa itu. Antara tahun 1250-1257 ia pulang dan melanjutkan

136

dilakukan oleh kaum Muslimin dengan menterjemahkan karya-karya Phytagoras (530-495 pra-Masehi), Plato (425-347 pra-Masehi), Aristoteles (388-322 pra-masehi), Aristarchos (310-230 pra-masehi) Euclides (330-260 pra-masehi), Claudius Ptolemaios (87-168 M.) (Poeradisastra, 2008:18-19).

2) Al-Farabi (872 M- 950 M) Ia adalah Abu Nasr ibn Muhammad ibn Muhammad Thankhan al- Farabi. Sebutan al-Farabi diambil dari nama kota Farab tempat lahirnya tahun 259 H/872 M dan wafat di Damaskus 339H/950 M. Ayahnya berasal dari Iran, ibunya seorang wanita Turkistan. Ia pernah menjadi perwira Turkistan. Sejak kecil al-Farabi suka belajar dan mempunyai kecakapan luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasai adalah Iran, Turkistan, dan Kurdistan, tetapi tampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Syria yang menjadi bahasa ilmu kedokteran dan filsafat waktu itu. Di Barat al-Farobi dikenal sebagai Alpharabius (Baiquni, 1996: 68). Setelah ia besar, ia menuju Baghdad untuk belajar antara lain kepada Abu Bisri ibn Mathius. Selama di Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada logika. Baghdad adalah pusat pemerintahan dan ilmu, tetapi karena waktu pertama kali ia datang belum menguasai bahasa Arab, maka ia belajar bahasa Arab dan ilmu Nahwu kepada Abu Bakar al-Sarraj. Sesudah itu pindah ke Harran untuk berguru kepada Yuhana ibn Jilan, kemudian kembali lagi ke Baghdad untuk mendalami filsafat. Di Baghdad, ia tinggal selama 30 tahun. Selama waktu itu ia mempergunakan waktunya untuk mengarang, mengajar, dan mengulas buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa itu antara lain Yahya ibn „Ady. Pada tahun 330 H/941 M, ia pindah ke Damsyik. Di sini ia mendapat kedudukan yang baik dari Saifullah Amir dari Dinasti Hamdan di Habab (Alepo) sehingga ia diajak turut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut Damsyik, lalu menetap di kota itu sampai wafat tahun 337 H/950 M pada usia 80 tahun (Jaudah, 2002: 526-527). Ketika menetap di Baghdad, Al-Farabi berkenalan dengan para filsuf dan ilmuan senior, diantarnya Al-Kindi dan Ar-Razi.Ia seorang yang gigih dalam mengajak orang untuk pelajaran bahasa Arabnya di Universitas Oxford dengan membawa sejumlah besar buku- buku Ilmiah Islam dari Paris. Beberapa karya sarjana-sarjana Muslim, diantaranya al- Munazhier karya Ali al-Hasan ibn Haitsam (965-1038 M), di terjemahkan oleh Bacon kedalam bahasa Latin, bahasa Ilmiah Eropa pada masa itu.Dalam naskah-naskah tersebut terdapat keterangan-keterangan tentang mesiu dan mikroskop.Bacon secara tidak jujur telah mencantumkan namanya sendiri pada terjmahan-terjemahan itu dan melakukan palgiat secara terang-terangan.

137 menuntut ilmu dan mengadakan eksperimen. Ia juga menghimbau agar kurafat dan sebagainya di musnahkan. Al-Farabi luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang ada pada zamannya, serta mengarang buku-buku dalam ilmu tersebut. Buku-bukunya menunjukan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fisika, dan mantik. Menurut Massignon, ahli ketimuran Perancis, al-Farabi adalah seorang filosof Islam yang pertama dengan sepenuharti kata. Sebelumnya memang ada al-Kindi yang membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam, tetapi al-Kindi tidak menciptakan sistem (mahdzab) filsafat tertentu dan persoalan persoalan yang dibicarakannya masih belumdipecahkan secara memuaskan. Sebaliknya al- Farabi telah dapat memecahkan satu sistem filsafat yang lengkap dan telah memainkan peranan penting dalam dunia Islam seperti peranan yang dimiliki Platinus bagi dunia Barat. Al-Farabi juga menjadi guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan filosof-filosof Islam yang datang sesudahnya. Oleh karena itu, ia mendapat gelar “Guru Kedua” (al-mu ‟allimu al-tsani) sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang mendapat gelar “Guru Pertama” (al- mu „allimu Al-awwal). Banyak karyanya yang dikarang olehnya, namun telah hilang dan tidak bisa ditemukan sampai sekarang. Meskipun Al-Farabi seorang ilmuan terkenal, tapi ia adalah orang yang zuhud dan sangan moderat. Karanganya antara lain: “Al Musiqi Al-Kabir”, Ihsha‟u Al-Iqa”, Kalam Fi Al-Musiqi”, Ihsha‟u Al-Ulum Wa At Ta‟arif Bi Aghradhiha”, “Ara‟Ahlu Al-Madinah Al-Fadhilah”, Jawami‟ As-Syahsah”, Nuhus Al-Hukmi” (Baharuddin, 2011: 181) Banyak karangan al-Farabi tetapi banyak yang tak dikenal sebagaimana karangan Ibnu Sina. Hal ini mungkin karena karangan al-Farabi hanya berupa risalah (karangan pendek), sedikit sekali yang merupakan buku besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karangannya telah hilang dan yang masih ada kurang lebih 30 buah saja yang ditulis dalam bahasa Arab. Pada abad pertengahan, al-Farabi menjadi sangat terkenal sehingga orang Yahudi banyak yang mempelajari karangannya dan disalin kedalam bahasa Ibrani (sampai sekarang salinan tersebut masih tersimpan di perpustakaan Eropa) di samping salinan dalam bahasa Latin, baik yangdisalin langsung dari bahasa Arab atau dari bahasa Ibrani. Sebagian besar karangan al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galinus dalam bidang logika, fisika, etika, dan matematika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas fikirannya, tetapi ia lebih banyak terkenal sebagai pengulas Aristoteles. Ibnu Sina pernah mempelajari buku ilmu

138

Metafisika karangan Aristoteles lebih dari 40 kali tetapi belum juga mengerti maksudnya. Setelah ia membaca buku karangan al-Farabi yang berjudul “Intisari Buku Metafisika” (aghradh kitab maba‟da al- thabi‟ah) barulah ia mengerti. Dalam buku terakhirnya, al-Farabi membicarakan macam- macam ilmu dan bagian-bagiannya, yaitu ilmu bahasa, ilmu mantik, ilmu kekotaan (al-ilmu al-madani), ilmu fiqh dan ilmu kalam. Filsafat al-Farabi merupakan campuran antara filsafat Atistoteles dan Neo Platonis dengan fikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syi‟ah Imamiyah. Misalnya, dalam soalmantik dan filsafat fisika ia mengikuti aristoteles, dalam soal etika dan politik ia mengikuti Plato, dan dalam matefisika ia mengikuti plotinus. Selain itu al-Farabi adalah seorang filosof sinkretisme (paduan) yang percaya akan kesatuan (ketunggalan) filsafat (Hanafi, 1996: 118-121).

3) Ibnu Sina (980-1037 M) Nama lengkapnya adalah Abu Ali bin Sina, lahir di Afsyana daerah dekat Bukhara tahun 980 M. dan meninggal pada tahun 1037 M dengan usia 57 tahun. Ia dari keluarga Persia yang gemar belajar (Nata, 2011: 99). Ia dikenal selain sebagai dokter yang mendapat julukan “Bapak Dokter” oleh penulis Barat karena pengaruhnya terhadap ilmu kedokteran Barat berkat bukunya al-Qanun fial-Thib yang sampai penghujung tahun 1500 M masih tetap menjadi buku standar untuk universitas universitas Eropa, juga dikenal dalam bidang filsafat dengan julukannya al-Syaikh al-Rais (kyai utama) (Majid, 2000: 33). Sebenarnya, hidup Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan dan usianya pun tidak panjang. Meskipun banyak kesibukan-kesibukan dalam urusan politik sehingga ia tidak banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia telah berhasil meninggalkan berpuluh-puluh karangannya. Diantara pemikiran-pemikiran Ibnu Sina yang dalam bentuk buku banyak yang dimunculkan. Akan tetapi, karangan Ibnu Sina yang terkenal adalah: Pertama, Asy-Syifa. Buku ini buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, terdiri dari empat bagian, yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar di berbagai perpustakaan Barat dan Timur. Bagian ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956 M lembaga keilmuan Cekoslowakia di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian fisika yang khusus mengenai ilmu jiwa dengan terjemahannya ke dalam bahasa Perancis di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika

139 diterbitkan di Kairo pada tahun 1954 M dengan nama Al-Burhan di bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi. Kedua, An-Najat. Buku ini merupakan ringkasan buku asy- Syifa dan pernah diterbitkan bersama buku Al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1331 M diMesir. Ketiga,Al-Isyarat wa Tanbihat. Buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik. Pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M, sebagian diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis,kemudian diterbitkan di Kairo lagi pada tahun 1947 M di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia. Keempat, Al-Hikmat al-Masyriqiyyah. Buku ini banyak dibicarakan orang karena ketidakjelasan maksud judul buku dan naskah.Naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf, tetapi menurut Charles Nailino berisi filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat. Kelima, Al- Qanun, atau canon of medicine menurut penyebutan orang-orang Barat buku ini pernah diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas di Eropa sampai akhir abad XVII M. buku ini pernah diterbitkan di Roma tahun 1593 M dan di India tahun 1323 M. Risalah-risalah lain yang banyak jumlahnya dalam lapangan filsafat etika, logika, dan psikologi (Baharuddin, 2011: 184).

4) Ibnu Rusyd Nama lengkap Ibn Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Muhammad ibn Rusyd. Ia lahir di Cordova tahun 1126 M, berasal dari keluarga hakim-hakim Andalusia. Ia sendiri pernah menjadi hakim di Sevilla dan beberapa kota lain di Spanyol. Pernah pula ia menjadi dokter istana dan sebagai filosof serta ahli dalam hukum. Ia mempunyai pengaruh besar di kalangan istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya‟kub al-Mansyur (Bani Muwahidari). Sebagai seorang filosof ia tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha (ulama ortodok). Ia dituduh membawa filsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam dan dengan demikian ditangkap dan diasingkan. Buku-bukunya dibakar kecuali yang murni bersifat ilmu pengetahuan (science) seperti kedokteran, matematika dan astronomi. Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana dalam usia 72 tahun pada tahun 1198 M (Majid, 2000: 37, Jaudah, 2002: 484).

140

Pada masa Daulah Muwahidari inilah Andalusia kembali mencapai masa gemilang dalam lapangan ilmu pengetahuan.8Pada waktu itu pula masa lahirnya Ibnu Rusyd (Averroes). Ibnu Rusyd dikatakan sebagai orang besar dalam ilmu Filsafat. Ia telah membangun Eropa dengan fikiran-fikiran Islam dan mengantarkan dunia Barat ke pintu gerbang renaisance. Dalam bidang kedokteran, terdapat 16 jilid karangannya, buku itu bernama “Kulliyat fi al-Thib” (aturan umum kedokteran). Buku ini disalin kedalam bahasa Latin oleh Bonacosa tahun 1255 M. kemudian buku Ibnu Rusyd ini disalin kedalam bahasa Inggris dan dicetak berulang-ulang di Eropa (Hoesen, 1975:484-485). Ibnu Rusyd juga meninggalkan karangan-karangnnya dalam ilmu hukum misalnya Bidayat al-ujtahid. Karangannya tentang Aristoteles banyak diterjemahkan ke dalam bahasa latin sehingga ia terkenal dengan nama “Commentator”. Perbedaan Ibnu Rusyd dengan filosof-filosof Islam lain seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina, bahwa Ibnu Rusyd selain seorang filosof juga ahli fiqh. Kalau ibnu Rusyd di Eropa dikenal dengan komentator dari Aristoteles, di Timur atau dunia Islam ia dikenal sebagai orang yang membela kaum filosof dari serangan-serangan Al-Ghazali dengan buku karangannya yang berjudul Tahaful al-Tahafut (Nasution, 1978: .48). Averoes adalah nama lain Ibnu Rusyd selain memiliki karya ilmiah di dalam bidang kedokteran, astronomi, fisika, ia juga membela para ahli filsafat yang dikeritik dari kitab Tahafut al Falasifa, karangan Imam Al Ghazali. Ia menulis Tahafut At-Tahafut. Di Eropa aliran rasionalisme Ibn Rusyd di ajarkan di Uneversitas dan ia memiliki banyak pengikut (Baiquni, 1996: 72). Dari segi lain Ibnu Rusyd ianggap sebagai filosof yang berusaha untuk menggabungkan agama dan filsafat dengan argumentasinya yang menyatakan bahwa kebenaran agama dan kebenaran filsafat itu satu meskipun dinyatakan dalam lambang yang berbeda Di dalam beberapa bukunya, Ibnu Rusyd telah menjelaskan susunan mata. Dia juga menyebutkan suatu realita ilmiah yang

8 Tak dapat di ragukan lagi, bahwa peradaban Islma maju pada waktu daulah Abbasiyah, juga dipengaruhi cara pendidikan dan pengajaran filsafat Hellenisme. Dari perkembangan filsafat Hellenisme ini yang memiliki makna yang bersejarah dalam masa renainsance. Hasil pemikiran Hellenisme yang sudah mendapat corak dari Islam, seperti teknologi, filsafat, pendidikan, dan sebagainya lalu dipelajari oleh orang Eropa, lalu karya ilmiah ini diterjemahkan dalam bahasa Latin dan Eropa Selatan. Dan kemudian peradaban Islam yang keemasan berubah, dan mulailah bangsa-bangsa Barat membuat kebudayaan dan teknologi. Setelah karya ilmiah ilmuwan Muslim klasik dapat di transfer dalam bahasa asing lainnya, ilmu orang Islam banyak mempengaruhi ilmuwan-ilmuwan Barat, seperti karanga buku al-Kindi tentang optic sangat mempengaruhi Bacon.

141

berisikan bahwa manusia hanya akan terkena penyakit cacar sekali dalam seumur hidup. Dia pernah berkomentar tentang anatomi, “Siapa yang mempelajari tentang anatomi, keimanannya kepada Allah akan bertambah” (Jaudah, 2002: 485). Sesungguhnya Ibnu Rusyd juga membela pandangan bahwa kebenaran tertinggi selalu bersifat filosofis, dan bagi yang mampu, agama haruslah di interpretasikan secara demikian. Konsekuensinya Ibnu Rusyd dengan kuat sekali berpegang kepada pendiriannya bahwa ada pemahaman agama menurut kaum al-khawas, terutama para filosof dan ada yang menurut kaum al-awwam. Pemahaman khawas sama sekali tidak boleh diberikan kepada seseorangyang kemampuannya hanyalah menangkap pengertian awwam sebab akan membawa kepada kekafiran; sebaliknya orang yang mampu berfikiran filosofis tetapi tidak menafsirkan kebenaran agama secara demikian adalah juga kafir (Majid, 2000: 48). c. Dalam Bidang Kedokteran 1) Muhammad Al-Razi (854-975 M) Dia bernama Abu Bakar Muhammad bin Zakariya Al-Razi terkenal di dunia Barat dengan sebutan Rozes. Ia dilahirkan di propinsi Rayy, Iran pada tahun 240 H. (854 M.) dan Ibnu Katsir dalam Bidayah mengatakan bahwa dia wafat pada tahun 311 H. (923 M.) sebagian berpendapat ia wafat pada tahun 364 H / 975 M. (Jaudah, 2007: 139). Ia adalah murid Hunain ibn Ishaq. Sewaktu masih muda, Al- Razi hidup sebagai dokter kimia selanjutnya sebagai guru dokter medicine. Ia dianggap sebagai dokter paling besar dalam Islam dan telah memperkenalkan usus-usus binatang sebagai benang penjahit operasi dan penggunaan air raksa sebagai obat salap dalam pengobatan penyakit kulit (Arief, 2005: 104-105). Penemuan ilmiah terbesar dalam bidang kedokteran dan kimia. Dia memiliki hasil studi penting dan bernilai dalam bidang filsafat. Kebanyakan dari buku- buku ini ditulis dalam bidang kedokteran, farmasi, kimia, dan filsafat, astronomi, fisika, matematika, music, dan ilmu-ilmu keagamaan (Jaudah, 2002: 139-140. Ia unggul dalam bidang kedokteran dan oprasi mata. Kitab-kitab karangannya tidak kurang dari 200 buku yang kebanyakan berisi ilmu kedokteran. Salah satu karangan al-Razi yang termasyhur adalah “Campak dan Cacar”. Buku ini disalin ke dalam bahasa Inggris sudah 40 kali cetak. Sebuah bukunya yang masyhur ialah “al-Hawi”. Buku ini merupakan sari ilmu pengetahuan kedokteran Yunani, Syria, India, dan Arab. Dia menulis buku ini dengan sangat istimewa sehingga menjadi buku rujukkan terpenting

142

bagi dunia kedokteran sampai abad ke-18. Buku ini sangat menarik perhatian Kristen Eropa. Raja Charles I dari Anjau memerintahkan agar buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin yang menjadi bahasa resmi ilmu pengetahuan Eropa. Penerjemahan ini dilakukan tahun 1279 M oleh seorang dokter Sisilia bernama Faraj Ibn Salim dan Girgenti. Di samping ilmu kedokteran, al-Razi juga mengarang ilmu agama Islam, filsafat, matematika, astronomi dan ilmu alam. Muhammad al-Razi dianggap sebagai orang kedua setelah Ibn Sina dalam hal pengetahuan dan tulisannya mengenai masalah-masalah medis.

2) Yuhanah Yuhanah bin Musawih (w.242 H) ia adalah dokter yang ada pada puncak kejayaan Abbasiyah. Yuhanah menulis karya berjudul al-„ashr almaqolat fi al-„ain (tentang pengobatan penyakit mata).

3) Ibnu Sina (890 M-1037 M.) Nama aslinya adalah Abu Ali Husein ibn Abdullah ibn Sina, lahir di Afsyana, suatu tempat yang terletak di dekat Bukhara. Daerah tersebut sekarang Uzbekistan, Persia dan ia wafat di Hamdzan (sekarang Iran) (Jaudah, 2002:276-277). Orang tuanya berkedudukan sebagai pegawai tinggi di pemerintahan dinasti Samani. Menurut sejarah hidup yang disusun oleh muridnya, Jurjani, dan semenjak kecil Ibnu Sina telah banyak mempelajari ilmu pengetahuan yang ada di zamannya seperti fisika, matematika, kedokteran, hukum, dan lain- lain. Sewaktu masih berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan istana pernah mengobati Pangeran Nuh Ibn Mansyur sehingga pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tuanya meninggal, ia pindah ke Jurjan, suatu kota di dekat laut Kaspia. Di sanalah ia mulai menulis ensiklopedianya tentang ilmu kedokteran yang kemudian terkenal dengan nama al-Qanun fi al-Thib. Kemudian ia pindah ke Rayy, suatu kota di sebelah selatan Teheran dan bekerja untuk Ratu Sayyidah dan anaknya Majid al-Daulah. Kemudian Sultan Syams al-Daulah yang berkuasa di Hamdan mengangkat Ibnu Sina menjadi menterinya. Kemudian ia pindah ke Isfahan dan meninggal tahun 1037 M. Pengaruh ilmunya pada peradaban dan kebudayaan Eropa tidaklah terbatas. Bukunya “al-Qanun fi al-Thib” dianggap orang sebagai himpunan perbendaharaan ilmu kedokteran. Ilmu ketabiban modern mendapat pelajaran dari Ibnu Sina. Dalam abad XII M Gerard Cremona menyalin buku Ibnu Sina ke dalam bahasa Latin. Permintaan atas buku itu sangat besar, selama 100 tahun tidak putus-

143

putusnya. Sampai ke penghujung tahun 1500 M pengaruh Ibnu Sina terhadap ilmu kedokteran sangat terasa (Baiquni, 1997: 70). d. Dalam Bidang Ilmu Astronomi 1) Al-Fazari. Namanya adalah Abu Ishak Ibrahim bin Habib al-Fazari. Dalam lapangan ilmu astronomi, penulisannya dimulai sejak diterjemahkannya buku “Maha Sidhanta” dari bahasa India kebahasa Arab oleh al-Fazari di Baghdad tahun 771 M. selanjutnya dilakukan penerjemahan dari daftar-daftar Pahlevi yang disusun sejak periode Sasania. Sesudah itu barulah diterjemahkan buku Yunani Almagest karangan Ptolomeus. Dua buku karangan Ptolomeus yang lain masing-masing diterjemahkan oleh al-Hajjaj ibn Mathar pada tahun 212 H/887 M dan oleh Hunain ibn Ishaq yang kemudian direvisi oleh Tsabit ibn Qurra. Pada awal abad IX M. tempat observatorium dengan alat-alat yang lebih akurat dibangun di Yunde Shapur. Oleh al-Ma‟mun, sehubungan dengan kepentingan lembaga ilmu pengetahuan Bait al-Hikmah, dibangun sebuah observatorium astronomi dekat gerbang Syamsiyah di bawah pimpinan Sind ibn Ali dan Yahya ibn Abi Mansur (830 M). Para ahli astronomi dan lembaga ini tidak hanya membuat observatorium sistematis terhadap gerakan benda-benda langit di jagat raya, tetapi juga membuktikan secara tepat elemen-elemen yang fundametal yang terdapat dalam Almagest, yaitu garis gerak yang tidak beraturan dan garis edar matahari, panjang tahun Syamsiyah dan sebagainya. Al-Ma‟mun segera membangun sebuah cabang dan observatorium ini yang didirikan di gunung Qosayun di luarkota Damaskus. Alat perlengkapan obsevatori pada waktu itu antara lain terdiri atas quadrant, astrolobe (alat pengukur letak tinggi tempat yang dipergunakan pada masa pertengahan), dial (alat pengukur waktu, kecepatan, suhu) dan bola dunia (Jaudah, 2002: 528-529). Al-Fazari adalah orang pertama yang mengajarkan astrolobe (nama Arab-nya Asthurtab). Model astrolobe ini mungkin diambil dari Yunani. Buku-buku terbitan yang ditulis mengenai astrolobe di masa itu ialah yang ditulis oleh Ali ibn Isa al-Asthurlabi, hidup di Baghdad dan Damaskus sebelum tahun 830 M. Para ahli astronomi al-Ma‟mun memperlihatkan ketelitian yang tinggi dalam hal operasi giodotik (pengukuran panjang dari busur derajat letak tinggi tempat dari permukaan air laut). Tujuan dari operasi ini adalah untuk menentukan ukuran bumi dan jarak lingkar bumi dengan satu asumsi bahwa bumi ini adalah bundar. Dalam kalendernya yang bernama “As- Sindhind Al-Kabir” ia memadukan antara pengetahuan Iran, India dan Barat.

144

Pada tahun 174 H (790 M), ia menulis sebuah buku yang berjudul “ Zaij „ala Sunni al-Arab.” Buku ini merupakan kumpulan jadwal bintang pertama yang mempergunakan kalender Hijriyah. Artinya, ia telah merubah kalender India yang berdasarkan peredaran bintang menjadi kalender berdasarkan Hijriyah. Ia juga menulis buku yang berjudul “Al‟Amal Fi al-Astharlab al- Musthuh. Dalam kalendernya yang bernama “As-Sindhind al-Kabir” ia memadukan antara pengetahuan Iran, India dan Barat. Pada tahun 174 H (790 M), ia menulis sebuah buku yang berjudul “Zaij Ala Sunni Al- Arab.” Buku ini merupakan kumpulan jadwal bintang pertama yang mempergunakan kalender Hijriyah. Artinya, ia telah merubah kalender India yang berdasarkan peredaran bintang menjadi kalender berdasarkan Hijriyah. Ia jiga menulis buku yang berjudul “Al‟Amal Fi al-Astharlab al-Musthuh.” Pengukuran-pengukuran ini dilakukan di dataran Sinjar di antara sungai Furat dan juga dekat Palmira yang menghasilkan 56 2/3 mil Arab sebagai panjang busur dari satu derajat meridian yang merupakan hasil yang akurat yang secara ekstrim dapat menentukan panjang sesungguhnya dari busur derajat tempat itu yaitu ±2877 kaki. Berdasarkan hasil hitungan ini diperhitungkan bahwa jarak lingkaran bumi adalah 20.400 mil dan garis tengahnya adalah 6.500 mil. Di antara orang-orang yang mengambil bagian dalam operasi ini adalah putra dari Musaibn Syakir dan barangkali juga al-Khawarizmi, yang daftarnya satu setengah abad kemudian direvisi oleh Maslamah al- Majrithi dari Andalusia (w.1007 M) dan ditejemahkan kedalam bahasa Latin pada tahun 1126 M. oleh Adelard dari Bath yang menjadi dasar penulisan ilmu bumi pada masa selanjutnya baik di Timur maupun di Barat. Daftar astronomi dari Arab ini dapat menggeser dan menggantikan daftar-daftar yang pernah dibuat oleh India dan Yunani, dan bahkan daftar Arab ini dipakai oleh orang Cina (Hoesen, 1978: 98, Baiquni, 1994:70).

2) Al-Farghani. Ahli astronomi yang terkemuka lainnya dalam periode ini adalah Abu al-Abbas Ahmad al-Farghani (Al-Farganus), ia lahir dan besar di Faghanah, Asia Tengah yang hidup pada abad ketiga Hijriyah atau kesembilan Masehi. Al-Faraghani, pada tahun 861 M diangkat oleh al-Mutawakkil menjadi pengawas dalam pembangunan kilometer di Fusthath. Karyanya yang utama adalah “Al-Mudkhi Ila ilmi Hayai al-Aflal” yang pada tahun 1135 M diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh John dari Sevilla dan Gerard dari Cremona. Di samping obsevatorium al-Ma‟mun, ada juga obsevatorium swasta yang dikelola oleh tiga bersaudara anak-anak Musaibn Syakir (850-

145

870 M). Tiga bersaudara ini meninggalkan banyak karangan berharga, di antaranya ilmu untuk mengukur permukaan datar dan bulat. Buku ini disalin oleh Gerard Cremona ke dalam bahasa Latin dengan nama “LiberTrium Fratrum” (Hoesen, 1978: 99-104). Al- Faraghani, pada tahun 247 H./861 M). diutus oleh khalifah al- Mutawakil ke Mesir untuk mengawasi pembangunan alat ukur sungai Nil. Pada tahun 246 H./860 M., dia menulis sebuah buku yang berjudul “Jawani‟Ilmi An-Nujum Wa Al-Harakat As-Samawiyyah.” Buku ini telah di terjemahkan kedalam bahasa Latin, dan sangat besar pengaruhnya dalam perjalanan ilmu perbintangan di Eropa pada abad kelima belas dan keenam belas Masehi.

3) Al-Battani (Albategnius) (854 M-929 M) Nama aslinya adalah Abu Abdullah Al-Battani dilahirkan sekitar tahun 240 H (854 M) di daerah Battan, Harran dan ia wafat pada tahun 317 H./929 M. Ia adalah seorang ilmuwan Muslim terkemuka dalam bidang astronomi dan matematika. Bahkan para ilmuwan Barat menganggapnya sebagai salah satu dari orang yang paling jenius dalam ilmu astronomi dan ia ahli perbandingan terbesar dan penyelidikan yang tekun (Jaudah, 2002: 158-159). Antara tahun 887-918 M ia mengadakan observasi di Rakkah. Ia mengoreksi beberapa pendapat Ptoleomaeus, termasuk melakukan perhitungan yang benar terhadap orbit bulan dan planet-planet tertentu. Ia membuktikan tentang kemungkinan gerhana matahari yang berbentuk cincin, serta berhasil menentukan dengan tepat sekali garis edar matahari (Hoesen, 1978: 104). Copernicus sangat terpengaruh pada teori yang dikemukakan oleh al-Battani. Bukunya yang bernama “De Revolusionibus Orbium Coelistium” dikarang atas dasar pendapat al- Battani (Hoesen, 1978: 106). Al-Battani telah menciptakan berbagai penemuan ilmiah dalam ilmu astronomi, dismping juga penemuannya dalam bidang matematika (trigonometri bebentuk pola, aljabar, geometri), dan geografi (Jaudah, 2002: 160). Ia banyak mengarang buku yang berisi tentang hasil pengamatan bintang-bintang, perbandingan antara berbagai kalender yang digunakan di berbagai suku bangsa (Hijriyah, Persia, Masehi, dan Qibti), dan peralatan yang digunakan dalam mengamati bintang-bintang serta cara membuatnya. Kitab yang paling terkenal adalah “Az-Zaij Ash-Shabi.” Buku ini di tulis pada tahun 287 H (900 M) berdasarkan pengalamannya dalam mengamati bintang-bintang di Ar-Raqqah (daerah timur Syiria). Battani berasal dari kelompok Ash-Shabi di Harran yang di anggap Rasulullah Saw.sebagai dari ahlul kitab. Dan buku ini telah di terjemahkan

146

kedalam bahasa Latin dan dipelajari oleh para ilmuwan di bidang astronomi di Eropa. Dalam pengantar bukunya tersebut, Al-Battani menjelaskan tentang mengapa ia dan semua pakar astronomi Arab memperhatikan ilmu perbintangan (ilmu astronomi). Lebih lanjut ia mengatakan, “Ilmu yang paling mulia kedudukannya adalah ilmu perbintangan. Sebab, dengan ilmu itu dapat diketahui lama bulan dan tahun, waktu, musim, pertambahan dan pengurangan siang dan malam, letak matahari dan bulan serta gerhananya, serta jalannya pelanet ketika berangkat dan kembali” (Jaudah, 2002:165). Al-Battani di mata ilmuwan Barat mendapat tempat yang sangat di kagumi, sebagaimana di tegaskan oleh pakar sejarah George Sarton bahwa dia merasa sangat kagum kepada Al-Battani yang di anggap sebagai salah satu astronomi Arab yang terkemuka. Para ilmuwan Barat sampai meletakkan nama Albategnius atau Al-Battani sebagai salah satu nama lembah di bulan.

4) Al-Biruni Nama lengkapnya adalah Abu Ar-Raihan al-Biruni (973-1050 M) asli Persia, tinggal di Ghaznah Afghanistan. Ia adalah seorang sarjana yang terkemuka dibidang ilmu pasti. Ia menguasai selain bahasa Arab, Sanadkrit, Persia, juga bahasa Hibrew, Syria dan Turki. Pada tahun 1030 M beliau menulis sebuah buku yang berjudul“Al- Qamun al-Mas‟udi fi al-Nujum” yang dipersembahkan kepada Mas‟ud putra Mahmud al-Ghaznah. Mas‟ud adalah penunjangnya dalam melakukan penyelidikan-penyelidikan. Tahun itu juga ia menyusun buku soal-jawab singkat tentang geometri, aritmatika, astronomi dan astrologi yang berjudul“Al-Tafhim li Awail Shina‟at al- Tanjum” (Hoesen, 1978: 112). e. Dalam Bidang Matematika 1) Al-Khawarizmi (780 M.-850 M.) Sumbangan Islam yang terbesar kepada ilmu pengetahuan di seluruh dunia adalah di bidang ilmu hitung berupa angka-angka yang hingga kini di Barat masih disebut angka-angka Arab. Dengan angka- ngka Romawi, pemangkatan demikian tidak mungkin dinyatakan. Ini adalah sumbangan Islam kepada Ilmu pasti, sedangkan ilmu pengetahuan (pasti) adalah landasan ilmu pengetahuan alam dan teknologi, bahkan dipergunakan pula oleh ilmu-ilmu sosial, seperti ekonomi, ekonometri, sosiometri (Poeradisastra, 2008: 32). Dalam perjalanan ilmu Aljabar, muncul seorang yang bernama al- Khawarizmi. Namanya dikenal di Eropa sebagai Algorism. Nama

147 aslinya adalah Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi dilahirkan di Khawarizmi, Uzbekistan pada tahun 194 H/780 M.-266 H./850 M. bukunya al-Jabar wal-Muqabala (pengutuhan kembali dan perbandingan) dalam terjemahan latinnya merupakan rangsangan kepada ilmu pasti Eropa abad pertengahan (Baiquni, 1994: 23). Aljabar ciptaannya lebih tinggi lagi dan kemudian bernama aritmatika. Nama ini muncul ketika penyalin-penyalin Barat menamakannya aritmatika, bahasa Yunani, yang berarti ilmu hitung. Dari kata arithmos inilah muncul kata aritmatika. Aljabar yang kemudian bernama arimatika karangan al-Khawarizmi itu sangat terang dan disusun rapi. Setelah ia menerangkan persamaan tingkat dua, diterangkannya pula cara memperbanyak dan membagi. Kemudian diterangkannya pula soal-soal yang bersangkutan dengan ukuran luas muka. Ia mengarang buku “Hisab Al-Jabr wa al- muqabalah” (perhitungan tentang integrasi dan persamaan) yang diterjemahkan kedalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona pada abad XII M dan digunakan sebagai buku pegangan universitas-universitas di Barat sampai abad XVI M. Buku inilah yang memperkenalkan ilmu Aljabar kedunia yang diberi nama al-Qarism, dari nama al- Khawarizmi. Dalam perjalannya kembali ke istana al-Makmun. ia mensitesiskan matimatika yang diketahuinya dan menyajikannya dalam satu seri berjudul “al-Jabr wa al-Muqabalah”. Teks latin al- Jabr digunakan sebagai teks dasar pelajaran matematika di Eropa sampai abad ke-16 (Hoesen, 1978: 104). Al-Khawarizmi penemu lqarisme (logaritme) dalam ilmu matematika. Dia pula yang menjembatani antara ilmu matematika klasik (Yunani, India) menjadi metematika modern. Dia mampu menggunakan sistem matematika yang tinggi yaitu integrasi dan persamaan, yang dalam matematika disebut integral dan differensial, yang dalam matematika modern kedua macam teori itu bisa digabungkan dan dinamakan “kalkulus”. Selain itu ia juga ahli geografi dan ia membuat table astronomi. Sehingga kini “Algorithm” diartikan sebagai urutan langkah yang harus diambil dalam proses menghitung (Baiquni, 1994: 68).

2) Umar al-Khayyam Di antara ilmuwan aljabar yang dipengaruhi oleh al- Khawarizmi adalah Umar al-Khayyam yang mengembangkan ilmu aljabar lebih lanjut sehingga ilmu ini dinamai al-Khayyam. Kalau al- Khawarizmi lebih banyak menumpahkan perhatiannya pada quadratic (lipat empat), maka Umar al-Khayyam mengutamakan persamaan kubik dan persamaanderajat misalnya:

148

a. x3+bx2 = cx+d b. x2+cx = bx+ d c. x3+d = bx2 +cx Cara demikian ini dinamakan analisis ilmu ukur. Dalam dunia Islam, sarjana yang sejalan dengan Umar al-Khayyam di antaranya Sijmi dan Ibn Laith. Selain itu Ibn al-Haitham dapat menyelesaikan soal yang belum digarap al-Khayyam. Kemajuan yang diperoleh Ibn al-Haitham dilanjutkan oleh al-Kuhi. Demikianlah segala ilmu hitung telah diselesaikan oleh kalangan Islam. f. Dalam Bidang Kimia 1) Jabir Ibn Hayyan (731-815 M.) Bapak ilmu Kimia adalah Jabir Ibn Hayyan yang berkembang di Kufah pada tahun 776 M. setelah al-Razi (925 M), nama Jabir Ibn Hayyan adalah nama yang terbesar dalam bidang kimia pada abad pertengahan ini. Seperti para pendahulunya orang Mesir dan Yunani, Jabir bertolak dari satu asumsi bahwa metal dasar seperti timah, timah hitam, besi dan tembaga dapat ditransfusikan menjadi emas atau perak karena adanya satu substansi yang misterius. Dia mencurahkan segenap tenaganya untuk membuktikan dugaannya itu. Dalam segi praktek, Jabir dapat memberi petunjuk lanjutan pengetahuan modern tentang evaporation penguapan), filtration (penyaringan), sublimation (penghalusan), melting (pencairan), distilation (penya-ringan) dan crystalisation (pengkristalan). Praktek Jabir ini telah diuji kebenarannya, Di Eropa Ibn Hayyan di kenal sebagai Gaber. Selain ahli dalam kimiya, ia seorang filosof dan ilmu logika yang berkerja di bidang kedokteran dan fisika. Namun karya utamanya tetap pada bidang kimiya. Ia juga mahir dalam kristalisasi, sublimasi, distilasi, kalsinasi dan sebagainnya, ia juga pernah berhasil membuat berbagai jenis asam. Ia adalah seorang sufi pengikut Ja‟far Ash Shodiq (Hoesen, 1978: 38, Baiquni, 1994: 68).

2) Muhammad Ar-Razi (865-925 M.) Sarjana lain yang mashyur namanya dalam ilmu kimia adalah Ar-Razi, nama latinya adalah Rhazes, hanya saja dia lebih banyak dikenal dalam lapanganilmu kedokteran, ditambah lagi dengan bukunya yang berjudul “Al-Kimia” baru saja didapati orang di istana seorang Pangeran India, maka pekerjaannya yang telah dilakukan Ar- Razi dalam ilmu kimia baru saja diketahui orang. Kalau dibanding dengan ahli kimia Islam lainnya, Al-Razi mempunyai jalan penyelidikan sendiri. Jabir misalnya, membagi benda-benda atas tubuh, nyawa dan akal. Yang termasuk bagian tubuh adalah emas, perak.Yang termasuk bagian nyawa ialah sulphur, arsenik. Yang

149

termasuk bagian akal ialah mercury, dan sal-amoniak (batu bara dan sari minyak). Sedangkan Al-Razi membagi benda-benda menjadi sayur-sayuran, hewan, dan logam. Bahasa kimia modern sekarang ternyata banyak diambil dari konsep Al-Razi ini (Baiquni, 1994: 69).

g. Dalam bidang Sejarah 1) Ibn Hisyam (w.834 M) adalah seorang murid Ibn Ishaq yang berjasa meneruskan karya gurunya tersebut dalam penulisan sejarah Nabi (sirah nabawiyah) (Amin, 1995: 64). 2) Muhammad Ibn Sa‟ad (w. 830 M) Karyanya yaitu kitab at- Thabaqat al-Kubra dan at-Thabaqat as-Sughra. 3) Ibn Sa‟id (w.845 M) karyanya Thabaqat al-Kubra. h. Sastra 1) Abu Nawas (747-815 M) lahir di kota al-Hawaz Persia, dan tumbuh besar di Bashrah karyanya adalah al-Qashidah 2) Al-Jahiz (776-869 M) i. Musik 1) Ishaq al-Mawshil (767-850 M) seorang penyanyi terkenal zaman al-Ma‟mun.

4. Berkembangnya Tradisi Intelektual Zaman al-Ma’mun Lahirnya gerakan intelektual, berarti lahirnya para ulama dan ilmua yang kemudian membangun kebudayaan dan peradaban terjadi karena didukung oleh tradisi intelektual pada saat itu. Yakni nilai-nilai Keislaman dan spirit keilmuan yang diterapkan dalam kehidupan mereka yang telah berubah menjadi atmosfer berkembangnya intelektual yang mengalami puncaknya pada zaman Abbasiyah di Baghdad (Hamur, 1997: 35). . Berbagai kebiasaan yang melekat dan mendarah daging di kalangan umat Islam yang selanjutnya menimbulkan kebagaan serta mendorong gerakan intelektual Islam. Hal semacam inilah yang penulis yakini dari optimalisasi pengembangan institusi-intitusi pendidikan Islam pada zaman Abbasiyah, terutama zaman al-Ma‟mun dapat berkembang tradisi-tradisi intelektual pada umat muslim. Dimana seorang menuntut ilmu baik di instansi pendidikan (kuttab, majlis, halaqah, perpustakaan, masjid, dst), atau dimanapun tempatnya akan melahirkan budaya ilmiah yang intelektual. Adapun tradisi intelektual tersebut dapat dikemukakan dibawah ini adalah sebagai berikut: a. Tardisi Belajar Langsung dengan Guru Pada zaman al-Ma‟mun, pengajaran diberikan secara langsung kepada murid-murid, seorang demi seorang. Pelajaran diberikan dengan

150 cara dibacakan oleh guru dan diulang-ulang membacanya oleh murid, atau di ditekan oleh guru lalu ditulis oleh murid atau murid disuruh menyalin dari buku yang ditulis oleh guru dengan tangan (Watt, 1997: 97). Pada akhir pelajaran, guru mengulang membaca pelajaran dan disuruhnya seorang murid membacakannya untuk membetulkan jika ada murid yang salah menuliskannya. Kegiatan semacam ini memungkin diktat-diktat yang di tulis, maka lahirlah kitab-kitab tulisan tangan yang pada akhirnya dicetak menjadi naskah, dan dari naskah tersebut menjadi kitab yang termasyhur pada zamannya (Yunus, 1992: 60). Seorang pelajar di zaman klasik tidak memilih sekolah yang baik melainkan memilih guru atau syekh yang termashur kealimannya dan keshalehannya. Murid bebas memilih guru, jikalau pengajaran guur tidak dapat memuaskan baginya, boleh pindah ke halaqah dengan guru yang berbeda dari sebelumnya. Kalau guru mengajarkan ilmu dan kitab yang telah dituliskan dengan tangan, maka tiap-tiap pelajar harus memiliki satu naskah kitab itu. Mula-mula guru membaca satu pasal dari kitab itu sebelum mengajarkannya kepada pelajar sebagai persiapan. Kemudian guru mulai membacakan kitab dan pelajar mendengarkan dengan penuh perhatian serta melihat ke naskah kitab yang di tangan mereka masing-masing. Keterangan guru itu amatlah penting terutama keterangan dari ulama besar (Yunus, 1992: 61). Hal semacaman ini masih ditemukan diberbagai pondok pesantern salafi, dimana metode belajarnya sama persis, yakni guru membacakan satu pasal kemudian menjelaskan dan murid mendengarkan. Banyak ulama-ulama yang berkontribusi mengembangkan ilmu, terutama pada zaman al-Ma‟mun, antara lain sebagai berikut: Pertama, Muhammad Ibn Sa‟ad (168-230 H/784-845 M) yang lahir di Bashrah dan wafat di kota Baghdad adalah seorang ulama ahli Hadits dan Sejarah. Ia belajar berbagail ilmu pengetahuan keagamaan kepada belajar khusus pada al-Waqidi (Yatim, 1997: 88). Ia seorang yang kuat hafalan, menguasai banyak ilmu Hadis dan Sejarah. Kedua, Imam Syafi‟i, ia memiliki nama asli Muhammad Abu Abdillah ibn Idris ibn Usman ibn Syafi‟i. Ia masih satu keturunan dengan Nabi Muhammad Saw. dari nenek moyang Abdi Manaf, sementara ibunya bernama Fatimah dari keturunan Ali ibn Abi Thalib. Syafi‟i lahir dalam keadaan yatim, karena ayahnya meninggal dunia pada saat ia masih kandungan ibunya (Marwan, 1999: 33). Meskipun dalam keadaan yang sangat sedarhana, penuh dengan kesulitan hidup, akan tetapi semnagat belajarnya dan kecerdasannya sungguh amat luar biasa, karena pada usia sembilan tahun ia sudah hafal al-Qur‟an 30 juz di luar kepala dan lancar. Ia belajar sastra Arab sampai mahir dan banyak menghafal syair-syair dari

151

Imru‟u al-Qais, Zuhair dan Jarir selama kurang lebih sepuluh tahun. Sampai akhirnya ia terdorong untuk memahami kandungan al-Qur‟an. Selanjutnya Syafi‟i belajar fiqih kepada Muslim ibn Khalid al Zanjy seorang Mufti Makkah dan belajar Hadits pada Sufyan ibn “Uyainah di Makkah. Kemudian ia pergi ke Madinah dan menjadi murid imam Malik serta mempelajarai al-Muwathatha‟ yang telah dihafalnya. Syafi‟i berguru pada imam Malik sampai Imam Malik meninggal dunia, hingga akhirnya ia pindah ke Yaman. Di Yamani pernah mendapatkan tuduhan dari khalifah Abbasiyah, bahwa al-Syafi‟i telah membai‟at Alawy atau dituduh sebagai Syi‟i. Karena tuduhan itulah ia pernah dihadapkan kepada Harun al Rasyid, kholifah Abbasiyah. Akan tetapi Harun al Rasyid membebaskannya dari tuduhan tersebut. Imam Syafi‟i wafat pada tanggal 28 Rajab tahun 204 H, dalam usia 54 tahun akibat penyakit yang dideritanya (Abdullah, 2001: 39).9 Syafi‟i dilahirkan pada tahun 150 H. (akhir masa pemerintahan al Mansur) dan meninggal dunia pada masa pemerintahan Al-Ma‟mum. Masa hidupnya relative singkat. Namun demikian masa itu sedang maju- majunya ilmu fiqih dan Syari‟at Islam, bahkan kemajuan di hampi segala bidang, seperti politik, sosial budaya, sastra ekonomi dan berbagai ilmu pengetahuan. Pada waktu itu muncul tiga mazhab fiqih yang besar dan memiliki peranan yang penting yang menonjol di dunia Islam dan kehidupan kaum Muslimin sampai saat ini, yaitu Mazhab imam Maliki, Hanafi, dan Syafi‟i (Zahra, 1948: 134).10 Ketika gemilangnnya pemerintahan Abbasiyah dalam segala bidang adalah faktor yang mendominasi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pemikiran Syafi‟i. Dimasa inilah timbul prakarsa dan usaha pengembangan beragam ilmu, yang mendapat dukungan dan usaha dari pemerintah. Syafi‟i seperti yang dideskripsikan oleh Suwito dan Fauzan, Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i membagi ilmu menjadi dua macam:

9 Guru-guru Imam Syafi‟I terdiri dari ulama Mekkah, Madinah, Irak dan Yaman. Guru dari Mekkah antara lain: Sufyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid al-Zinji, Sa‟ad bin Salim al-Kadda, Daud bin Abdul al-Rahman, Abd. Hamid al-„Aziz bin Abi Zuwad. Guru dari Madinah: Malik ibn Anas, Ibrahim bin Sa‟ad al-Anshari, Abd. „Aziz ibn Mhammad ibn Sa‟id ibn Abi Fudaik, Abdullah ibn Nafi‟. Guru Ulama Irak: Waki ibn Jarrah, Abu Usamah, Hammad ibn Usamah, Isma‟il Ulaiyah, dan Abd al Wahab ibn al- Majid, Guru dari Yaman: Muttaraf ibn Hazim, Hisyam ibn Yusuf, Umar ibn Salamah dan Yahya ibn Hasan. 10Ketika kepopuleran fiqih di Madinah tertuju pada Imam Malik, Syafi‟I pergi ke Madinah untuk belajar padanya, dan ketika kepopuleran fiqih di Irak tertuju pada imam Abu Hanifah, Syafi‟ pun belajar pada muridnya yang bernama Muhammad Ibn al- Hasan al-Syaibany. Oleh Karena itu, Syafi‟i memiliki pengetahuan fiqih Ashhab al- Hadits (Imam Malik) dan fiqih Asshab ar-Ra‟yi (Abu Hanifah).

152 pertama, ilmu fiqh untuk agama. Dan kedua ilmu Thib untuk keperluan tubuh, selain dua macam itu laksana perhiasan di dalam persidangan (Nata, 2003: 53, Suwito dan Fauzan (eds.), 2003: 42). Al-Syafi‟i dikenal sebagai penyusun pertama ilmu ushul fiqh dengan kitabnya yang berjudul al-Risalah untuk memahami hukum Islam. Bagi Syafi‟i peranan akal dibatasi pada wilayah analogi (qiyas) untuk menggali hukum istinbath atau hanya mencari dan menetukan hukum-hukum yang benar-benar terdapat secara implisit dan tersembunyi. Maka Syafi‟i pun menolak dengan adanya menggunakan akal secara bebas dalam menetukan hukum. Maka dari itu, Syafi‟i juga membedakan antara Istihsan dengan qiyas dalam menentukan hukum (Kamal, 2013: 2, Zaid, 2003: 45). 11 Ketiga, Ahmad bin Hanbal (780-855 M). Ia berguru pada Imam Syafi‟i secara langsung. Ahmad ibn Hanbal merupakan murid dari imam Syafi‟i yang paling termasyhur dikalangan murid-murid yang lain. Namun guru utamanya adalah Sufyan bin Uyainah, seorang tokoh ahli Mazhab Hejaz (Ahmad, 2003: 110). Para guru Ahmad ibn Hanbal selengkapnya yaitu: Imam Ismail ibn Aliyah, Hasyim bin Basyir, Muhammad bin Khalid, Mansur bin Salamah, Mudlafar bin Mudrik, Utsman bin Umar, Masyim bin Qasim, Abu Said Maulana Banu Hasyim, Muhammad ibn Yazid, Muhammad bin Ady, Yazid bin Harun, Muhammad bin Jafar, Ghundur, Yahya bin Said al- Qathathan, Abdurrahman bin Mahdy, Basyar bin Fadl, Muhammad bin Bakar, Abu Daud ath-Thayalisi, Ruh bin Ubaidah, Waki bin al-Jahrah, Mu‟awiyah al-Aziz, Abdullah bin Nuwaimir, Abu Usamah, Sufyan bin Uyainah, Yaya bin Salim, Muhammad ibn Idris al-Syafi‟I, Ibraahim bin Said, Abdurrazak bin Human, Musa bin Thariq, Walid bin Muslim, Abi

11Karena tidak ada pengembangan akal di luar teks, maka al-Syafi‟i menolak prinsip-prinsip istihsan yang diakuai oleh Imam Abu Hanifah (W.150 H). Istihasan itu sendri berarti : sesuatu yang baik menurut Ijtihad akal. Baik secara Indrawi atau bahkan secara maknawi. Kita boleh meninggalkan hasil hukum analogi tertentu dan mengambil hukum lain sesuai bagi manusia berdasarkan kemaslahatan atau ke adilan atau darurat, misalnya boleh minum khamar dengan tujuan untuk obat, atau kebutuhan. Sesuatu yang pada dasarnya tidak diperbolehkan oleh hukum qiyas diperbolehkan oleh hukum istihsan. Tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan dan keluasan serta keringanan kepada manusia dalam bidang hukum. Plihan-pilihan terbaik menurut akal adalah perintah Allah dan nabiNya kepada kita: “Orang-orang yang mendengarkan pendapat-pendapat, kemudian mereka pilih dan ikuti yang terbaik” (Q.S. Al-Zumar: 39). Dan Hadis dari Abdullah ibn Mas‟ud dari Rasulullah bersabda : “Apa yang baik dalam pandangan kaum Muslimin adalah baik di sisi Allah”. Sebagaimana al-Syafi‟i telah membatasi kebebasan akal dan mereduksinya dalam bid. Hukum fiqih, kemudian datang Abul Hasan al- Asy‟ariy melawan kaum rasionalis Mu‟tazilah dalam bid. Akidah dan Ushul al-din dan menggantinya dengan otoritas naql. Baik Syafi‟i maupun al-Asy‟ari membangun otoritas teks dalam mengahadapi atau melawan akal.

153

Mahsar al-Dimasyiqy, Ibnu Yaman, Mutamar bin Sulaiaman, Yahya bin Zaidah dan Abu Yusuf al-Qadhaly (Chalil, 2000: 254). b. Tradisi Berdebat (Munazarah) sebagai Latihan Intelektual Tradisi ini dilakukan dalam upaya saling menguji tingkat kedalaman, keluasan, ketajaman dan daya analisis serta kecerdasan seorang ulama, serta dalam rangka saling tukar-menukar informasi dan memecahkan berbagai macam persoalan. Adanya terdaisi ini akibat dari saling ingin tahu, ingin memperluas pemahaman atau wawasan dengan menjunjung tinggi saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada, serta perasaan ilmu pengetahuan yang dimiliki masih sangat kurang. Pada zaman al-Ma‟mun tradisi ini sengaja dipersiapkan oleh pemerintahanya, baik di pusat (Baghdad) atau di daerah dan dilaksanakan di suatu forum yang sering disebut al-Salon, al-Adabiyah (sanggar sastra). Dalam tekhnik pelaksanaannya, setiap peserta diundang dalam forum tersebut dan harus mematuhi etika serta tata tertib yang ditentukan, mulai dari susunan acara, tempat duduk, tatacara mengemukakan pendapat atau saran, pakaian yang harus digunakan, pengaturan suara, adab dan lain sebagainya (Syalabi, 1983: 88-89, Zaid, 1999: 45). Tokoh-tokoh yang muncul dalam sejarah adalah mereka yang berani dan tegas dalam ilmu yang diyakininya benar. Meraka yang menjalani pendidikan tinggi di institusi-intitusi formal melakukan hal tersebut karena kecintaan terhadap kehidupan intelektual. Kehidupan inteletual yang benar-benar tekun dan telah berhasil menguasai ilmunya, terbuka peluang untuk maju menjadi mufti. c. Tradisi Rihlah Ilmiah Perjalanan untuk menuntut ilmu, telah menjadi tradisi yang amat snagat kuat pada zaman al-Ma‟mun bagi para ulama, ilmuwan. Berkaitan dengan hal tersebut, Abdurahman Mas‟ud pernah mengatakan sebagai berikut: Nabi Menjamin bahwa berjuang dalam angka menuntut ilmu akan diberikan banyak kemudahan oleh Tuhan menuju surga. Para pengikut atau murid Muhammad Saw. telah berhasil meneruskan dan menerapkan ajaran tentang semnagat mencari ilmu. Motivasi religious ini juga bisa ditemukan dalam tradisi rihlah ilmiah (mengembara). Tradisi utama yang disebut dengan ar-rihlah fi thalab al‟ilmu (pengembaraan dalam rangka mencari ilmu) atau dalam istilah modern disebut the spirit of inquiry merupakan bukti sedemikian besarnya rasa keingintahuan di dalam para ulama (Mas‟ud, 2004: 34). Islamlah yang secara sungguh-sungguh

154

mendorong pengikutnya untuk menuntut ilmu sejauh mungkin hingga ke negeri Cina.

Tradisi rihlah ilmiah tampaknya sudah berjalan cukup lama. Menurut Hasan, tradisi rihlah ini sudah berjalan sejak, khalifah Harun al- Rasyid, misalnya pelajar Muslim mengadakan perjalanan ke India, Srilanka, Malaysia, dan Cina, bahkan sejauh Korea melalu laut (Hasan, 1992: 135). Pelajar banyak yang melakukan rihlah sampai keluar negeri untuk menuntut ilmu pengatahuan. Imam Bukhari (w. 870) adalah sorang perawi Hadis termasyhur untuk mengumpulkan Hadits-Hadits yang shahih, mula-mula ia akan mengumpulkan terlebih dahulu yang berada di negerinya, setelah itu ia pergi Balkh, Marw, Naisapur, al-Rai, Baghdad, Basrah, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Damaskus, Qisariyah, „Asqalan dan Hims. Pada setiap negeri yang dikunjunginya ia kumpulkan Hadis-hadis yang didapat kemudian ia kembali lagi ke negerinya setelah memakan waktu selama 16 tahun di Turkistan (Khalifah, t.t: 541). Meskipun ia menolak ribuan Hadits yang ia dengar, namun pada akhirnya ia menyususn 7.397 Hadits sebagaimana yang tertuang dalam karyanya Shahih Bukhori (Bukhsh, 1927: l.449-450, Al-Bukhari, 1960: 1296-1297). Pada tahun 198 H/813 M, Imam Syafi‟i pindah ke Mesir karena pemerintahan dipegang oleh kholifah al-Ma‟mun, yang cenderung berpihak kepada Mu‟tazillah, yang justru di jauhi oleh Imam Syafi‟i yang kurang menyukai Mu‟tazillah karena menganut paham bahwa al-Qur‟an itu makhluk. Hal ini tampaknya jelas terjadi pada peristiwa mihnah yang menimpa Ahmad ibn Hanbal sebagai ahli fiqih. Selain Imam Syafi‟i yang cenderung melakukan rihlah ilmiah, Ahamd ibn Hanbal juga demikian. Ketika masih kecil ia belajar kepada guru-guru yang ada di Baghdad. Setelah berusia 16 tahun, ia baru berangkat menuntut ilmu keluar kota maupun negeri seperti Kuffah, Bashrah, Syam, Yaman, Mekkah, dan Madinah (Bukhari, Abdullah Superwarior). Pada setiap kota ataupun negeri yang disinggahinya ia tak segan-segan berguru kepada syekh, terutama dalam bidang Hadits. Setiap mendengar pada suatu kota tempat ada ulama yang ahli dalam ilmu Hadits, beliau langsung berangkat ke kota tersebut. Imam Syafi‟i (150-204 H) dinilai sebagai tokoh yang mampu memiliki aliran pemikiran hukum Islam. Pertama, aliran ahl-al-ra‟y yang berkmbang di lembah Mesopotamia, yang menjadi pusat pemerintahan dan peradaban Islam di Baghdad dengan pemimpin imam Abu Hanifah, Kedua. aliran ahl al-hadits di Hijaz dengan tampilannya seorang sarjana Madinah. Ia pernah belajar dan berguru dengan Imam Malik dan al-

155

Syaybani pengikut mazhab Hanafi (Bukhsh, 1927: 449-450, Robson, 1960: 296-1297). Ia berpendapat bahwa mencari ilmu lebih utama dari menjalankan shalat sunah. Bahkan orang yang memuntut ilmu pun lebih uatama dari orang yang berjihad di jalan Allah. Dalam pandangannya, bahwa sorang mujahid yang berjuang dijalan Allah. Selama seorang pelajar memiliki niat yang bersih dan betul-betul mencari ilmu untuk kemashlahatan diri dan masyarakat, maka ia akan senantiasa mendapatkan bimbingan dari Tuhan. Orang yang tidak mencintai ilmu, menurut Syafi‟i tidak memiliki kebaikan sama sekali. Sehingga tidak ada antara pembatas pengetahuan dan kebenaran. Sudah tentu demikian, sebab pengetahuan diperoleh dengan ilmu. Kebenaran pun akan sulit diperoleh tanpa bekal ilmu. Ilmu menjadi pelita bagi pemiliknya yang meneranginya di kala kesulitan. Ilmu bisa menjadi salju yang bisa menyejukkan di kala kepayahan; ilmu juga mampu menjadi petunjuk dalam mencapai tangga kebenaran (Musfah, 206: 313-314). Ishaq al-Mawshili (767-850 M) seorang penyanyi yang paling terkenal pada masa al-Ma‟mun, suatu ketika menghadiri majelis Yahya ibn Aktsam dan mendebatnya. Sedangkan dalam pertemuan di istana, ia sering duduk bersama para ulama dan sastra. Al-Ma‟mun pernah berkata padanya, “Jika Ishaq al-Mawshili belum terlanjur terkenal sebagai penyanyi yang ulung di kalangan manusia, maka aku akan mengangkatnya menjadi seorang qadhi” (Amin, 1995: 80). Kiranya pantas al-Ma‟mun mengatakan demikian, karena kehidupannya adalah dengan cara membeli budak yang sangat murah, lalu di ajari bernyanyi, sastra, musik, bahasa, kemudian dijual dengan harga yang sangat mahal. Hal tersebut membuktikan bahwa al-Ma‟mun tidak sembarangan mengangkat seseorang menjadi pejabat pemerintahan. Oleh karena itu wajar ia menganut paham Muta‟zilah yang mengandalkan akal. Selain itu adanya kejadian Mihnah adalah sebab ia seorang yang begitu teliti dalam memilih seseorang yang akan memegang jabatan pemerintahan. Yahya bin Yahya al-Laithy seorang ahli Hadits, pergi ke Timur dalam berusia 28 tahun. Ia pergi ke Madinah untuk mendengarkan al- Muwaththa dari Imam Malik. Kemudian berangkat ke Mekkah untuk mendengarkan ilmu Sufyan bin „Uyainnah. Kemudian pergi ke Mesir untuk mendengarkan ilmu dari al-Laith bin Sa‟ad dan Abdullah bin Wahab. Setelah itu ia pun kembali ke Andalus, tempat dimana ia tinggal (Amin, 1995: 1003). Aktivitas keilmuan pada zaman al-Ma‟mun mencapai puncak keemasan dalam sejarah kemajuan Islam, karena al-Ma‟mun sendiri adalah seorang ulama besar. Majelis al-Ma‟mun penuh dengan para ahli

156 ilmu, seperti ahli sastra, ahli kedokteran, dan ahli filsafat. Mereka diundang oleh al-Ma‟mun dari segala penjuru negeri yang telah maju. Terkadang ia sendiri yang berperan aktif dalam berdiskusi dan juga berdebat dengan para ahli tersebut (Yunus, 1992: 172). Baitul Hikmah, tempat berkumpulnya buku-buku berbagai ilmu pengetahuan dalam bermacam-macam bahasa. Demikian pula di sana tempat berkumpulnya ulama-ulama besar. Para pelajar melakukan rihlah ilmiah bukan semata-mata mendengarkan ilmu pengetahuan saja dari guru-guru, melainkan juga ada yang hendak mengadakan penyelidikannya sendiri. Mereka mengumpulkan bahan-bahan ilmu dari hasil penyelidikan. Mereka mencatat apa yang di alami dan dilihat sendiri kemudian dibuktikan apa yang telah diselidikinya. Kemudian, buku itu menjadi sumber yang asli yang dapat dipertanggung jawabkan ke otentikannya. d. Tradisi Menerjemahkan Buku dan Manuskrip Pengembangan ilmu lainya pada zaman al-Ma‟mun adalah menerjemahkan karya orang lain. Misalnya, Hunayn ibn Ishaq (194-259 H/809-873 M) adalah seorang beragamakan Kristen keturunan Nestoria, yang akrab dengan ilmu kedokteran dan ia pernah menajdi dokter istana khalifah sekaligus guru kedokteran di Baghdad. Ia keliling wilayah Imperium Byzantium untuk mengumpulkan manuskrip-manuskrip dari karya ilmuwan dan filsafat. Setelah memproleh manuskrip tersebut kemudian ia menerjemahkan hasil karya ilmuan orang lain dengan melibatkan tim termasuk anaknya Ishaq, kemenakannya Hubaish. Demikian dengan Jabir ibn Hayyan (721-815 M), dari Tarsus memusatkan diri dalam ilmu kimia dengan cara menerjemahkan buku-buku Persia dan Yunani. Aktivitas menerjemahkan ilmu pengetahuan berlangsung di antar penuntut ilmu jyang berbeda agama. Mereka sepenuhnya melibatkan diri dalam pengembangan ilmu, baik dalam pengambangan filsafat dan ilmu umum (Watt, t.t: 97). Adanya asimilasi antara orang yang beragama Islam dan Kristen, terjadi di pusat belajar Kolose Kristen Nestorian di Gondeshapur yang mengembangkan bidang kedokteran. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan penerjemahan. Gerakan penerjemahan yang dimulai berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah dan puncaknya pada zaman al-Ma‟mun. Faktor-faktor yang menyebabkan gerakan penerjemahan di antaranya adalah: Pertama, Tersebarnya ilmu pengetahuan Yunani, hellenistik dan hellenisme ke penjuru dunia Islam yang disebabkan faktor-faktor historis yang luar biasa. Menurut Mehdi Nakosten, faktor-faktor yang terpenting adalah sebagai berikut: Pertama, peran orang-orang Kristen ortodok sebagai

157

Nestorian. Meraka adalah sekte-sekte yang dikucilkan oleh gereja induk mereka. Pada saat penaklukan kaum Muslimin di Persia dan Romawi, mereka menyambut baik, karena umat Muslim telah bertindak toleran dan bagi mereka, kaum Muslimin sebagai kaum pembebas. Kedua, Penaklukkan yang dilakukan oleh Alexander yang agung dan para penggantinya telah menyebarkan ilmu pengetahun dan filsafat ke Persia dan India, tempat ilmu pengatahuan dan filsafat Yunani diperkaya dengan pemikiran-pemikiran yang asli. Ketiga, Peran akademi Jundishapur di Persia yang mengembangkan kurikulum studi yang disusun setelah universitas Alexanderia, dan selama abad keenam disamakan dengan ilmu pengetahuan India, Grecian, Syiria, Hellenestik, Hebrew dan Zoroastrian (Saefuddin, 2002: 151). Para ilmuwan di utus ke daerah Bizantium untuk mencari naskah-naskah Yunani dalam berbagai ilmu terutama filsafat dan kedokteran. Perburuan manuskrip-manuskrip di daerah Timur, seperti di Persia terutama di bidang tata Negara dan sastra (Abdurrahman, 2003: 124). e. Tradisi Menulis, Mensyarah dan Mentahqiq Gerakan intelektual, kebudayaan dan peradaban sesungguhnya dimulai dari gerakan membaca dan menulis yang sudah di ajarkan oleh Allah Swt dalam peristiwa turunya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad Saw. dalam surah al-„Alaq ayat 1-5: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang paling pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Dampaknya yang terjadi muncullah tradisi untuk meneliti dan lebih lanjut munculnya tradisi membaca dan menulis. Oleh sebab itu tradisi meneliti, membaca dan menulis saling erat kaitannya. Melalui tradisi membaca dan menulis inilah maka lahir berbagai karya tulis, mulai dari manuskrip kemudian dicetak menjadi buku yang membahas berbagai ilmu agama dan ilmu umum, bahasa, sastra dan lain sebagainya. Aktivitas para pelajar yang tidak kalah menariknya adalah menulis buku sebagai karya yang menjadi penguasaan ilmu yang diperoleh dari guru (syekh). Mereka bukan hanya belajar saja, namun mereka juga sambil menulis. Walaupun pada awalnya tulisan berupa manuskrip-manuskrip, namun berikutnya menjadi buku yang dicetak dan memiliki kualitas yang dapat di pahami oleh banyak orang.. Al-Jahiz (776-869 M) adalah seorang sastrawan yang terkenal pada zaman al-Ma‟mun, ketika sedang menulis berani melepaskan diri dari ikatan tradisi. Sejak kecil ia gemar membaca dan belajar tanpa ada batasnya. Ia pernah menginap di sebuah toko buku untuk membaca. Ia

158 juga pernah belajar bahsa dan kemudian belajar fiqih dari al-Nazhzham, dan belajar filsafat. Meskipun demikian ia banyak belajar kepada tokoh- tokoh Mu‟tazilah, akan tetapi keluasan ilmu dan kecerdasan akalnya menghasilkan banyak perbedaan dengan gurunya. Ketika al-Jahijz mulai mengarang, mula-mula mengesampingkan gaya lama yang dipakai oleh para ahli bahasa. Dia memakai gaya bahasa yang mampu mengungkapkan kenyataan dan hal-hal yang bersifat ilmiah dena teliti. Karya yang paling penting adalah Kitab al-Hayawan terdiri dari tujuh jilid, dan pembahasannya seputar hewan-hewan. Begitupun juga Imam al-Bukhari oleh gurunya, Ishaq bin Rahawaih, di dorong dan disarankan agar menulis kitab yang singkat yang hanya memuat Hadits-hadits shahih. Saran tersebut telah mendorong ia untuk menulis kitab al-Jami‟ al-Shahih (Al-Asqalani, t.t.: 6). Ibn Sa‟id (w. 845 M) mengarang sebuah buku tentang kemenangan umat Islam dalam peperangan yang berjudul “Thabaqat al- Kubra”, sebanyak 8 jilid (Hasan, t.t: 135) Banyak para murid mengadakan perjalanan dan menulis buku yang menerangkan apa yang mereka saksikan dan alami. Abu Nawas (747-815 M) lahir di kota al-Hawaz, Persia, akan tetapi dibesarkan di kota Bashrah. Setelah berbaur dengan orang Arab asli, ia dapat berbicara dengan bahsa Arab dengan sangat fasih. Ia menulis qasidah yang amat sangat elok tentang al-Mahdi ketika ia sudah bertaubat dari kebiasaan buruknya. Qasidah itu ia susun bertahun- tahun lamanya. Karya Abu Nawas dipengaruhi oleh unsur budaya Arab dan budaya Iran (Amin, 1995: 64). Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi (780-848 M) adalah ahli al Jabar, astronomi, dan geografi yang handal. Bahkan orang Eropa mengenal al-Khawarizmi dengan sebutan algorismus. Al-Khawarizmi menulis buku al-Muktashar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah. Dalam ilmu hitung ia yang pertama menggunakan bilangan puluhan yang sampai sekarang dipakai seluruh dunia yang orang Barat menyebutnya “angka Arab”. Muhammad ibn Sa‟ad, seperti gurunya, al-Waqidi dikenal sebagai sejarahwan produktif. Di antara karyanya, yaitu Kitab at-Thabaqat al- Kabir dan at-Thabaqat al-Shaghir. Dalam menulis ia mengumpulkan sanad-sanad dilengkapi dengan riwayat-riwayat. Ia juga mengikuti gurunya al-Waqidi dalam memperhatikan geografis kota-kota (Yatim, 1994: 88). Muhammad Ibn „Umar Al-Waqidi (130-207 H/748-823 M) lahir di Madinah dan wafat di Baghdad. Ia adalah seorang ahli hadits, fiqih, dan sejarahwan Arab yang terkenal. Semasa hidupnya ia senang mengembara keberbagai negeri. Pengembaraanya berkisar di kota Hijaz (Makkah, Madinah, Ta‟if, dan Jeddah), termasuk kota Syiria dan Baghdad.

159

Kepustakaan pribadinya penuh dengan berbagai buku. Ia juga seorang murid yang produktif. Karyanya yang masih dapat di baca adalah Kitab Maghazi. Sejak masa muda ia telah berhasil mengumpulkan berbagai informasi tentang al-Maghazi dan al-Sirah. Selama hidupnya ia terus bertanya pada orang yang ia angap tentang sejarah yang diperlukan. Dalam Husayn Ahmad Amin, Ia pernah berkata: “Aku belum pernah tahu anak sahabat atau anak yang mati syahid, atau budak belian kecuali aku bertanya kepadanya, “Apakah anda pernah mendengar salah satu orang anggota keluargamu yang memberi tahu kepadamu tentang kesyahidan si fulan, dan di mana dia terbunuh? jika dia memberi informasi kepadaku, aku akan menuju tempat itu untuk menyelidikinya” (Amin, 1995: 68). Keunggulan karyanya yang ditulisnya terletak pada penulisan metodologi sejarah secara ilmiah dengan meberikan urutan dan rincian berbagai peristiwa secara logis. Ia memiliki dua orang anak laki-laki yang membantu siang dan malam menuliskan buku-bukunya. Ia meninggalkan 30 judul buku dalam berbagai ilmu. Akan tetapi sebagian bukunya membahas peristiwa sejarah. Muridnya yaitu Ibn Sa‟ad dan Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, ketika berbicara dan menulis pasti merujuk pada apa yang didengaar dari gurunya. Karya yang pernah ditulis, antara lain seperti: 1)Kabilah-kabilah Arab pra Islam, 2) Sejarah Dakwah Nabi, 3) Wafatnya Nabi, 4) Peristiwa Tsaqifah dan Bay‟at Abu Bakar as-Shidiq sebagai khalifah, 5)Perang Riddah, 6) Ekspansi Islam ke Suriah dan Iraq (Yatim, 1995: 85).Ahmad bin Hanbal menulis kitab al- Musnad, yang berisi Hadits-hadits Nabi sebanyak 40.000 Hadits. Di antara sekian banyak, terdapat 10.000 Hadits yang berulang-ulang, sedangkan sisanya 30.000 yang tidak berulang-ulang. Jumlah tersebut merupakan Hadits Shahih dan Hasan yang sudah dihimpun dan dipilih dari apa yang ia terima sebanyak lebih dari 750.000 Hadits. Ahmad ibn Hanbal memiliki murid yang sangat banyak sekali, antara lain seperti: Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Abu Zur‟ah, Imam Hanbal bin Ishaq al-Syaibany. Kerena banyaknya murid beliau, maka al-Musnad diriwyatkan oleh mereka, sehinga harumlah nama dari penyusun tersebut. Membaca, menulis, mensyarah dan mentahqiq merupakan budaya intelektual yang mesti ditularkan kepada generasi muda, misalnya membaca atau “Kitab Kuning” sebagai khazanah klasik disamping banyak memuat ilmu agama tetapi juga dapat di gali ilmu umum seperti kedokteran, filsafat, ekonomi, astronomi yang menjadi karya kebanggaan umat Islam seperti yang dilakukan oleh Ibnu Sina, Ibn Rusyd dan lain sebagainya (Aripin, 2014: 177).

160 f. Tradisi Kehidupan Ilmiah Kehidpupan ilmiah pada masa al-Ma‟mun mengalami kemajuan pesat. Seperti dalam deskripsi pada pembahsan sebelumnya, kehidupan ilmiah telah melahirkan sosok intelektual Muslim yang cerdas dan sukses dalam mengembangkan ilmu, sehingga menjadi ilmuwan besar pada zamannya, termasuk sekarang pun orang mengenalnya. Ada beberapa hal yang secara de facto mendorong tumbuh dan berkembang kehidupan ilmiah tresebut, yaitu : pertama, khalifah al-Ma;mun secara aktif terlibat penuh dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Khalifah al-Ma‟mun adalah Pemimpin yang mencintai dan mengutamakan ilmu dengan kekuasaannya secara efektif dapat mendorong orang-orang yang hidup pada masa tersebut untuk mengikuti sesuai dengan kehendak pemimpin. Secara politik, struktur pemerintahan al-Ma‟mun digerakkan oleh orang-orang Persia yang telah menguasai filsafat dan ilmu pengetahuan. Kehendak politik (political will) membuka pintu lebar untuk masuknya berbagai macam ilmu pengetahuan dengan menembus batas agama dan Negara. Khalifah menjadikan kota Baghdad sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat ilmu pengetahuan, sehingga orang-orang yang ahli dalam ilmu masing-masing diundang datang ke Baghdad, bahkan ke istana untuk berdiskusi. Secara sosial kemasyarakatan, al-Ma‟mun telah mengubah kondisi percampuran bangsa keturunan Arab dan non-Arab (Mawali) sehingga terjadi asimilasi peradaban. Para penduduk datang dari berbagai Negara dengan membawa watak dan karakter masing-masing, sehingga terjadi proses kompetitif yang memberikan inspirasi pada semua pihak akan kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa-bangsa lain. Hal ini juga telah memudahkan terjalinnya kontak sosial untuk mendapatkan informasi penting yang ada di daerah masing-masing. Dukungan khalifah terhadap ilmu pengetahuan ini didukung oleh keseriusan para pengkaji ilmu. Mereka tidak hanya puas dengan membaca karya seorang ulama besar, namun juga secara langsung mendatang ulamanya untuk belajar. Walaupun jarak memisahkan Negara, para pelajar tetap berusaha untuk bertemu dengan ulama besar tersebut. Kedua, penghargaan terhadap orang berilmu (ulama) tinggi. Fakta yang mendukung pelajar dan ulama pergi melakukan rihlah ilmiah yaitu karena pada tiap-tiap negri Islam ada wakaf yang tidak sedikit untuk ulama dan pelajar terutama yang datang dari negeri lain. Sebab itu mereka senang merantau menuntut ilmu yang telah tersedia wakaf untuk makan, minum, kediaman, pakaian dan obat-obatan. Menurut riwayat Ibn Jabir, pelajar-pelajar yang miskin mendapat bantuan untuk segala kebutuhannya seperti, makanan, pakaian, kediaman serta obat-obatan (Yunus, 1992: 126). Oleh karena itu, tidak

161 mengherankan jikalau banyak para pelajar dari berbagai penjuru dunia untuk menuntut ilmu dan mencari guru yang termasyhur, „alim dan sholeh. Misalnya, Imam Syafi‟i. Walaupun ia sudah menguasai dan menghafal al-Muwaththa, ia pergi langsung ke Madinah untuk mepelajari kitab itu secara langsung dari mulut imam Malik. Selanjutnya tatkala Imam Syafi‟i datang ke Mesir disambut oleh Ibnu Abdul Hakam dengan sambutan kehormatan yang luar biasa serta dimuliakannya dan dihormatinya sebagai ulama yang besar. Kemudian dianugrakannya Imam Syafi‟i 1.000 dinar dari harta bendanya sendiri, 1000 dinar dari Ibnu „Isamah dan 1000 dinar dari saudagar (Yunus, 1992: 132). Lain halnya dengan Imam Syafi‟i, al-Jahiz pada mulanya adalah seorang penjual roti dan ikan di sahan dan kehidupannya amat sangat sederhana. Tetapi kehidupannya berubah cepat ketika ia dikenal sebagai orang yang memiliki ilmu yang luas dan dalam, sehingga dari buah pikiran dan kerjakerasnya melimpah kekayaan. Ia pernah menghadiahkan buku karangannya sendiri Kitab al-Hayawan, kepada Muhammad bin Abdul Malik, lalu dianugrahinya uang sebesar 5000 dinar, dan ia menghadiahkan Kitab al-Bayan wa al-Tabyin kepada Ibnu Abu Dawud, lalu dianugrahinya 5000 dinar dan ia hadiahkan Kitab al-Zar‟uwan Nahl kepada Ibrahim bin Abbas al-Suhly, lalu diberikannya uang 5000 dinar. Kemudian ia keluar dari Bashrah dan seolah-olah ia memiliki kebun yang amat sangat luas (Yunus, 1992: 132). Wajar kiranya jika sejak zaman dahulu sampai sekarang tradisi menulis membuahkan hasil yang tak terkira, dari hasil pikiran dan kerja keras dalam mengembangkan ilmu, sehingga dapat merubah konsisi sosial menjadi lebih maju, baik dalam hal finansial sampai kepada kehormatan. Ketiga, Komitmen murid untuk mewariskan hasil-hasil pemikiran para guru. Jika ditelusuri dalam proses kesejarahan seorang tokoh, ia menjadi besar setelah ilmunya secara khusus dikembangkan oleh para muridnya. Para murid tidak mengembangkan ilmu orang lain, kecuali ilmu yang diperoleh dari gurunya secara langsung. Karena memang setiap pelajar yang sudah menguasai satu disiplin ilmu dari guru (syekh) lalu di berikan ijazah oleh syekh tersebut sebagai tanda boleh mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain, bukan oleh lembaga tempat ia belajar. Ibn Hisyam (w.834 M) adalah seorang murid dari Ibn Ishaq (w. 768 M) yang berjasa meneruskan karya gurunya tersebut dalam penulisan sejarah nabi (sirat Rasul Allah) pada zaman al-Ma‟mun (Hasan, .t.t. 135). Sejatinya, komitmen dari seorang murid terhadap gurunya yaitu yang dianggap cocok dengan pemahaman murid tersebut. Sebab, adakalanya murid melakukan modifikasi ilmu yang berbeda dari gurunya. Hal ini wajar, karena murid tidaklah belajar pada satu guru saja, akan tetapi kepada banyak guru yang di temuinya

162

g. Tradisi Mengoleksi Buku dan Membangun Perpustakaan Dinasti Abbasiyah terutama pada fase pertama yang di pimpin oleh Khalifah Abu Ja‟far al-Mansur, Khaolifah Harun al-Rasyid dan Abdullah al-Ma‟mun, merupakan kholifah-kholifah yang sangat cinta sekali pada ilmu pengetahuan, yang dengan kecintaan itulah kholifah sangat menjaga dan memelihara buku-buku, baik yang bernuansakan agama atau umum, baik hasil karya ilmuwan Muslim atau sebaliknya dan baik karya-karya ilmuwan yang semasanya atau sebelumnya. Hal semacam ini kiranya menjadi wajar, jika Kholifah Harun al-Rasyid pernah berpesan kepada para tentaranya untuk tidak merusak kitab apa pun yang ditemukan dalam medan perang (Umma, dkk. 1995: 67). Begitupun juga dengan Kholifah al-Ma‟mun, dengan cara menggaji para penerjemah-penerjemah dari golongan agama apa saja, baik Muslim maupun non Muslim untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, sampai akhirnya masih pada pemerintahan atau zaman al-Ma‟mun berkuasa, kota Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan (Yatim, 1994: 53). Jika melihat fenomena diatas, bahwasanya seiring dengan lahirnya tradisi meneliti, membaca, menulis mensyarah atau mentahqiq, timbul tradisi mengoleksi buku dan membangun perpustakaan sebagaimana pada zaman al-Ma‟mun yang membangun Baitul Hikmah. Saking kecintaanya, tidak sedikit para kholifah Abbasiyah diatas, tidak segan-segan memburu, mendapatkan buku, memberikan upah yang tinggi pada penulis buku, melakukan pengembaraan, memfasilitasi ilmuwan dan ulama agar mau menulis buku. Budaya semacam ini yang jarang sekali ada di belahan dunia, termasuk Indonesia pada saat ini. Buku-buku yang telah ditulis mereka simpan di perpustakaan, mulai dari perpustakaan pemerintahan pusat, pemerintah daearh, hingga perpustakaan pribadi. Banyaknya buku yang mereka simpan dan miliki pada perpustakaan, sebetulnya akan menjadi symbol kejayaan, keunggulan, dan perkembangan pusat pemerintahan. Mayoritas akan mengatakan bahwasanya perpustakaan adalah jantung yang menggerakan urat nadi dan pergerakan kebudayaan dan peradaban Islam. Sungguh elok kiranya mengapa zaman al-Ma‟mun disebut-sebut sebagai zaman puncak kejayaan Umat Islam, adalah ia sangat perduli sekali dengan keberadaan perpustakaan pada pemerintahannya. h. Tradisi Meneliti Menurut al-Qur‟an dan Hadis, bahwa cara mendapatkan pengembangan ilmu (epistemologis) sangat beragam. Untuk mendapatkan ilmu agama yang berdasar pada wahyu harus menggunakan metode

163 penelitian bayani12 dengan menggunakan langkah-langkah sebagaimana yang dilakukan para mujtahid dengan berbagai syarat yang harus dimilikinya. Selanjtnya, untuk mendapatkan ilmu alam yang berdasar pada alam jagat raya harus menggunakan metode ijbari,13 yakni observasi dan eksperimen yang dilakukan di laboratorium. Untuk mendapatkan ilmu sosial yang berdasar pada perilku manusia harus menggunakan metode penelitian burhani,14yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan fakta di lapangan. Untuk mendapatkan ilmu filsafat harus menggunakan metode penelitian ijbali15 yang dilakukan dengan menggunakan cara berfikir sistematik, radikal, universal, mendalam, dan spekulatif. Untuk mendapatkan ilmu makrifat harus menggunakan metode penelitian irfani16

12Penelitian bayani adalah penelitian yang berupaya menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dan as-Sunah, menjelaskan berbagai aspek ajaran yang terdapat di dalamnya, baik yang berkenaan dengan akidah (ilmu Aqaid), ibadah dan hukum Islam (fikih), akhlak (tentang etika dan sopan santun). Untuk dapat memahami dan menarik hukum yang terdapat di dalam al-Qur‟an tersebut para ahli misalnya berusaha berijtijad dengan menggunakan berbagai kaidah ushul fiqih, ilmu bahasa, ilmu al-Qur‟an, ilmu Hadis dsb. Melalui penelitian bayyani dengan menggunakan metode ijtihad dan ini lahirlah para ulama mujtahid dalam bidang fiqih, tafsir dan sebagainya. 13Secara harfiyah, ijbari artinya memaksa atau mencoba. Adapun dalam penelitian, ijbari maksudnya mengadakan percobaan atau eksperimen di laboratorium berkenaan dengan benda-benda alam, baik yang padat, cair atau gas, binatang atau manusia secara fisik. Caranya antara lain membandingkan antara satu benda dengan benda lain, memasukkannya ke dalam tabung, mencampurkannya dengan unsur benda lainnya, mengamati, dan mencari reaksi yang ditimbulkannya yang dilakukan secara berulang-ulang dan selanjtnya menarik kesimpulan sebagai teori. Selanjutnya teori yang sudah ada dipadukan dengan cara teknik pembuktiannya, maka melalui penelitian dan percobaan serta penerapan teori ini, maka lahirlah teknologi. 14Secara harfiyah, burhani artinya fakta atau bukti-bukti. Adapun dalam penelitian, burhani artinya mengumpulkan data-data melalui penyebaran angket, observasi, wawancara, keterlibatan secara langsung dsb. maka dapat di ketahui tentang sifat dan karakter tentang fenomena sosial yang kemudin disimpulkan dalam sebuah pernyataan atau pendapat yang diperkuat dengan data-data. Penelitian burhani bisa digunakan untuk ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama. 15Secara harfiyah ijbali adalah perdebatan atau bantahan. Namun dalam penelitian, jadali artinya mengerahkan segenap kemampuan akal untuk memikirkan segala sesuatu secara mendalam, sietemik, radikal, universal, spekulatif, dialektif dan komperhensif lalu dihasilkan sebuah pemikiran yang matang dan mendalam sehingga secara logs dapat diterima oleh akal orang laindan sulit terbantahkan, kemudian digunakan untuk menjelaskan tentang sesuatu. Misalnya, filsafat tentang kejadian alam dsb. Filsafat tidak bisa di katakan ilmu karena kurang memenuhi ciri-ciri ilmu. Akan tetapi filsafat adalah induk ilmu dan yang melahirkan ilmu . 16Secara harfiyah irfani adrtinya tentang pengetahuan Tuhan secara mendalam. Adapun dalam penelitian irfani adalah berupaya memperoleh makrifat, laduni, futu, mauhubah yang dilakukan dengan cara melatih diri (riyadhah) dan mengendalikan diri dari dosa (mujahadah) untuk hanya mengingat, mendekati dan mencintai Allah Swt. Penelitian irfani menggunakan berbagai potensi rohani yang dimiliki manusia, yaitu

164 yang dilakukan dengan melakukan riyadah dan mujahadah disertai upaya pembersihan diri dari dosa dan maksiat (Nata, 2011: 382). i. Tradisi Berijtihad Tradisi ini merupakan penopang risalah Islam yang abadi. Hal tersebut menjadi bukti bagi manusia, bahwa Islam selalu memberikan pintu terbuka bagi akal pikiran manusia yang selalu mencar-cari, Ijtihad ini bukan saja diperkenankan, melainkan diperintahkan. Hal ini antara lain didasarkan para Hadis yang berisi dialog Rasulullah Saw. dengan Mu‟adz bin Jabal ketika Nabi mengangkat ia menajadi gubernur Yaman. Nabi bertanya, bagaimana kalau dalam memutuskan perkara yang terjadi di Yaman tidak dijumpai dasar hukummya di dalam al-Qur‟an dan Sunah, maka Mu‟adz pun menjawab bahwa ia akan memutuskannya dengan berijtihad menggunakan akal pikiran. Di zaman pemerintahan khalifah al-Ma‟mun (Dinasti Abbasiyah), Islam dalam kejayaannya di masa khalifah al-Ma‟mun, pada masa itu pemerintahan banyak didominasi oleh kaum yang berpaham Mu‟tazilah, bahkan khalifah al-Ma‟mun sendiri pun berpaham Mu‟tazilah. Ia menerapkan madzhab Mu‟tazilah resmi sebagai madzhab yang dianut negara pada tahun 827 M. (Ia dikenal karena intelektualitasnya dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, serta jasa-jasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Ia banyak mengumpulkan buku-buku untuk disimpan di perpustakaan Baitul Al-Hikmah yang merupakan sebuah pusat pengkajian dan kejayaan ilmu yang tak tertandingi, sebagai “Centre for Excellence” (Muthahari, 2011: 207). Ia juga banyak mengundang banyak penterjemah untuk menterjemahkan buku-buku sains dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab dengan imbalan gaji yang besar dan memuaskan. Kehausan akan ilmu pengetahuan mendorongnya untuk menyibukkan diri dalam mempelajari berbagai pemikiran sains dan filsafat. Hajar Al-Asqalani, Hady al-Sari, Riasah Idarat al-Buhuts al- „Ilmiyah wa al-Ifta wa al-Da‟wah wa al-Irsyad (Ritadh,t.t, 6-7). Di masa pemerintahannya, al-Ma‟mun menerapkan sistem politik Mihnah. Mihna yang berarti ujian, semacam lembaga penyelidikan paham seseorang, (al-Atsir, t.t:3). Bagi seluruh orang yang akan dan sudah terlibat dalam pemerintahan, termasuk para ulama yang banyak memberikan informasi atau fatwa kepada masyarakat. Bagi al-Ma‟mun, orang-orang yang berpaham syirik tidak boleh menduduki jabatan dalam pemerintahan. Kaum Mu‟tazilah, termasuk juga al-Ma‟mun, dalam qalbu (hati) dll. Semua potensi rohani ini dibersihkan dengan cara riyadhah atau mujahadah lalu ia memperoleh pengetahuan. Penelitian ini antara lain dilakukan oleh para ahli tasawuf yang haasilnya ia sampaikan dalam bentuk ungkapan-ungkapan batin dalam bentuk syair yang mereka susun berdasarkan pada pengalaman batinnya.

165 menyebarkan pahamnya cenderung menggunakan kekerasan. Orang-orang yang sewaktu diuji ternyata didapati berbeda atau menentang terhadap keyakinan Mu‟tazilah, maka mereka akan dihukum, bahkan tidak sedikit yang kemudian dibunuh. Kaum Mu‟tazilah adalah golongan yang membawa persoalan teologi secara mendalam dan bersifat filosofis. Dalam pembahasannya mereka lebih banyak menggunakan akal, sehingga sering dijuluki kaum rasionalis Islam. Paham ini diawali dan dikembangkan oleh Washil ibn Atha. Al-Ma‟mun memanfaatkan kekuasaan pemerintahan Islam untuk mengajak rakyatnya menganut paham bahwa al-Qur‟an itu adalah makhluk (Zahra,1996:178). Pada saat itu yang dijadikan bahan perdebatan dan bahan ujian dalam pemerintahan al-Ma‟mun adalah tentang al-Qur‟an itu adalah makhluk Allah dan dia tidak bersifat qadim. Bagi yang berpaham al-Qur‟an itu qadim dan bukan makhluk, berarti dianggap telah menduakan Allah atau syirik yang berdosa besar, bahkan dosanya tidak akan diampuni (Masood, 2009: 46). Setelah wafatnya al-Ma‟mun, paham Mutazillah diteruskan oleh adiknya yakni al-Muta‟sim, ulama yang tidak sejalan dengan dasar resmi Negara banyak di jebloskan kepenjara dan disiksa bertahun-tahun, diantaranya ulama yang terkenal “Ahamad Ibn Hambal”. Karena pertentangan bahwa al-Qur‟an bukan makhluk. Pada masa al Ma‟mun, sempat dibebaskan. Namun dipenjarakan kembali pada masa Muta‟sim (Khalikan, t.t: 217). Akan tetapi tradisi ini meskipun pada masa al-Ma‟mun di dominasi Muta‟zilah, tetap saja tradisi berijtihad menyebabkan lahirnya para fuqoha bidang hukum, para teolog dalam bidang kalam, para muhaddits dalam bidang hadits, para mufasirin dala bidang tafsir, dan seterusnya. Sikap Ijtihad demikian pada zaman al-Mansur, hingga zaman al-Ma‟mun misalnya ditunjukkan oleh Abu Hanifah (699-767 M), Imam Malik (714-798 M), Imam Syafi‟i (767-854 M) dan Ahmad ibn Hanbal (780-855 M). Abu Hanifah misalnya, pernah berkata: “Tidak halal bagi seseorang berpendapat dengan pendapat kami sehingga ia mengetahui dari mana sumber pendapat itu. Selanjutnya Imam Malik berkata: “Aku ini hanya seorang manusia yang salah dan mungkin benar, maka koreksilah pendapatku. Segala yang sesuai dengan al-Qur‟an dan Sunah ambilah ia, dan segala yang tidak sesuai dengan al-Qur‟an dan Sunah tinggalkanlah ia. Imam Syafi‟i juga pernah berkata: “Apa yang telah kukatakan padahal bertentangan dengan perkataan Nabi, maka apa yang shahih dari Nabi itulah yang lebih patut kamu ikuti. Janganlah kamu taklid kepadaku. Selanjutnya Imam Ahmad bin Hanbal, pernah berkata: “Janganlah kamu bertaklid kepadaku! Ambilah dari sumber mana mereka itu mengambil”(Razak, 1997:111, Daftari, (terj.) Jabali dan Thalib, 2001:63).

166

Kualiatas intelektual sesorang tidak semestinya sama antar satu dengan yang lainnya, meski dalam jenis dan jenjang pendidikan yang sama. Tergantung pada sejauh mana masing-masing orang menyerap beragam ilmu pengetahuan yang diterimanya dan berupaya menerapkannya di tengah kehidupan bermasyarakat (Lisa‟diyah, 2006: 101). Dengan tradisi inilah, para ulama dan ilmuwan Muslim di zaman dahulu dapat memiliki keleluasaan dalam mengeksplorasi gagasan dan pemikirannya dan dengan demikian mereka dapat menghasilkan karya- karya originalitas yang diperlukan bagi masyarakat Muslim di dunia.

Tabel 4.1: Kronologi Riwayat Hidup Ulama dan Ilmuwan serta Keahlianya dalam segi Ilmu Pengetahuan Zaman al- Ma‟mun.

N0 Nama Ulama / Ilmuwan Riwayat Keahlian ilmu hidup 1 Jabir ibn Hayyan (721-815 M) Kimia 2 Abu Nawas (747-815 M) Syair 3 Imam Syafi‟i (767-820 M) Fikih 4 Muhammad ibn „Umar (748-823 M) Sejarah, Fikih al-Waqidi dan Hadis 5 Ibn Hisya (w.834 M) Sejarah 6 Al-Nazaam (801-835 M) Teologi 7 Ahmad Ibn Hanbal (780-855 M) Fikih 8 Ibn Sa‟id (w.834 M) Sejarah 9 Muhammad ibn Sa‟id (784-845 M) Sejarah, Hadis 10 Al-Khawarizmi (780-874 M) Astronomi 11 Abu Huzail al-„Allaf (752-849 M) Teologi MUta‟zilah 12 Ishaq al-Mawshili 767-850 M) Sya‟ir dan penyanyi 13 Al-Jahizh (776-869 M) Sastrawan 14 Imam al Bukhari (810-870 M) Hadis 15 Hunayn ibn Ishaq (809-873 M) Fisikan dan kedokteran

E. Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Sains) dan Pengaruhnya terhadap Sistem Kemajuan Masyarakat Islam Secara prinsip dan konseptual bahwa pemahaman dan konsep Islam sebagai konsep universal, segala ilmu pengetahuan hakikatnya adalah bersumber dari satu, yakni Allah SWT sebagai sumber segala ilmu.

167

Perhatian orang-orang Muslim terhadap menuntut ilmu, dikarenakan adanya dukungan oleh ajaran yang menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu. Ketika dipuncak kejayaan dalam dunia Islam bersikap terbuka dalam bidang keilmuan, sehingga jika ada satu buah kitab ilmu pengetahuan di ujung negeri Cina sekalipun, niscaya akan diburu untuk diterjemahkan (Muthahari, 2011: 226). Hal demikian itu tidak lain sebagai implementasi dari al-Qur‟an dan Hadist Nabi Muhammad Saw. Allah mengungkapkan penghargaan yang begitu tinggi kepada orang-orang beriman yang berilmu dengan tanpa membatasi jenis ilmu tersebut. Penghargaan Allah tersebut telah diabadikan dalam firman- Nya:

           

   “.... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ....”.(QS. Al-Mujadilah [58]: 11) (Departemen Agama R.I, 2005:543). Ditambah lagi Rasulullah Saw. juga sangat mencintai ilmu pengetahuan melalui beberapa sabdanya dengan tanpa memisahkan jenis- jenis ilmunya. طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, laki-laki maupun perempuan”. (Hadits Shahih Riwayat Ibn „Adiy, Baihaqi, Thobroni, dan Khatib, Bek, 1948:107). من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل اهلل به طريقا الى الجّنة “Barangsiapa merintis jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (H.R. Muslim) (Al-Ghazali,1983:33).

Dengan dasar konsep dan pemahaman inilah akhirnya umat Islam mencapai puncak kejayaannya. Dikarenakan para pemimpin umat Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan. Sehingga, meskipun mereka tahu bahwa Yunani adalah bukan Islam, dan juga bukan pemerintahan Islam dan ilmu pengetahuannya pun cenderung hellenis, tetapi pemerintahan Islam di kala itu menerjemahkan secara besar-besaran hasil karya ilmu pengetahuan yang sudah dikembangkan Yunani, tentu dengan terlebih dahulu melakukan seleksi terhadap ilmu-ilmu tersebut dan melakukan penyesuaian dengan semangat agama Islam (Burns Ralp, 1963: 246-247).

168

Karya-karya ilmu filososfis dan rasional mendapat perhatian khusus dalam penerjemahan. Dengan paradigma seperti itu, umat Islam benar-benar mencapai puncak kejayaan gemilang yang belum pernah dicapai oleh bangsa-bangsa yang ada di dunia ini sebelumnya, karena memang ilmu-ilmu filosofis sangat menekankan tentang eksplorasi berpikir, sedangkan kajian ilmu rasional menekankan pada konsep dasar pola pikirnya. Ilmu filosofis dan rasional itu juga yang kemudian lebih banyak menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan yang sangat dibutuhkan manusia. Hampir sebagian besar disiplin ilmu pengetahuan, baik yang berbasis politik, ekonomi, sosial, budaya, eksak dan agama itu sendiri adalah muncul dan dihasilkan oleh para pemikir umat Islam. Sehingga, banyak ilmuwan Muslim yang cukup dikenal, di dunia Barat sekalipun. Al-Khawarizmi (Algorismus) dan Ibn al-Haitam (Al-Hazen) dikenal sebagai ahli matematika dan astronomi; Ibn Rusyd (Averroes) dan Ibn Sina (Avicena) sangat dikenal sebagai ahli kedokteran; al-Khazini, al- Khurasani, al-Razi dan Ibn Sina adalah penyumbang terbesar terhadap ilmu fisika dan teknologi; dan lain-lain. Akan tetapi, sejarah membuktikan, setelah efek samping pengembangan ilmu pengetahuan yang berkembang tanpa kontrol, ditambah dengan kekisruhan politik pemerintahan Islam di masa itu, maka justru umat Islam kemudian menutup diri dari eksplorasi ilmu pengetahuan umum (Nasution, 1985: 54). Padahal selama 500 tahun (the dark ages), rentang antara Aristoteles (367-322 S.M) sampai St.Thomas Aquinas (1225-1274 M) (ilmuwan Barat), suatu masa panjang, Priode inilah sebenarnya masa kejayaan Islam terjadi, dan para Mahasiswa Eropa berbondong-bondong belajar ke negeri Muslim. Mereka menjadi inspirator dan pelopor pencerahan Eropa setelah mencuri ide-ode dari negeri Muslim. Adapun pencurian terjadi dalam berbagai bentuk. Pada abad ke-11 dan ke-12 sejumlah pemikir Barat seperti Constantine The African, Adelard of Barth melakukan perjalanan ke Timur Tengah dan mereka belajar Bahasa Arab dan melakukan studi serta membawa ilmu baru ke Eropa. Leonardo of Pisa belajar di Bougie, Aljazair pada abad ke-12, ia juga belajar matematika dan aritmatika al-Khawarizmi (Setiawan dan Hendriarjo, 2005: 21-22). Sementara itu, ilmu-ilmu Keislaman juga berkembang pesat. Dalam bidang hadits tercatat nama-nama seperti Bukhari dan Muslim, dalam Hukum Islam terkenal seperti Malik ibn Anas, Idris al-Syafi‟i, Abu Hanifah, Ahmad Ibn Hambal. Dalam ilmu tafsir seperti al-Tabari, dalam ilmu kalam seperti Wasail ibn Atha, Abu Al-Huzail, Abu Hasan Al- Asy‟ari dan Al-Maturidi, dalam bidang tasawuf seperti Abu Yazid Al-

169

Bustami dan Husain Ibn Mnasur Al-Hallaj. Nama-nama tokoh pentingdalam sejarah Islam baik dalam bidang politik, keilmuan, seniman, dll. Dapat dilihat dalam kitab Tabaqat Al-Kubra karya Ibn Sa‟ad dan Wafiyat Al-A‟yan wa Anba Al-Zaman karya Ibn Khalikan. Kekisruhan politik pemerintahan Islam di saat Islam masih di posisi puncak kejayaannya, adalah karena banyaknya terjadi perebutan kekuasaan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa sebagaian besar pergantian kepemimpinan umat Islam adalah selalu terjadi pertumpahan darah. Belum lagi, pertentangan yang sangat sengit pada setiap pergantian pemerintahan hanya karena perbedaan paham fikih keagamaan dan haluan politiknya. Sebagaimana diungkap sebelumnya, di masa Islam dalam kejayaannya di masa khalifah al-Ma‟mun zaman dinasti Abbasiyah, ada suatu peristiwa tragis yang pernah terjadi, yakni peristiwa Mihnah (ujian) (Nasution, 1985: 60). Akibat peristiwa Minah bagi orang-orang yang akan menduduki posisi penting di pemerintahan, yang berkonsekuensi penyiksaan terhadap ulama-ulama Islam yang tidak sejalan dengan akidah pemerintahan yang berpaham Mu‟tazilah yang beraliran dan berpola pikir filosofis dan rasional di kala itu, maka membuat apriori yang dalam pada umat Islam, yang pada akhirnya melakukan resistensi dan perlawanan. Sesudah masa itu, untuk tujuan politis, khalifah al-Mutawakkil kemudian membatalkan madzhab Mu‟tazilah sebagai madzhab negara dan mendukung madzhab Ahlussunnah wa al-jama‟ah. Lebih dari itu, kemudian akademi-akademi yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis dan ilmu-ilmu rasional ditutup. Bahkan, banyak tokoh-tokoh Mu‟tazilah yang diusir dari Baghdad (Nasution, 1985: 61-62). Sejak kejadian perubahan inilah kemudian secara tidak sadar umat Islam kemudian seolah membuat batas terhadap ilmu-ilmu filosofis dan rasional, pada dasarnya adalah ilmu-ilmu umum yang menjadi dasar pengembangan iptek di masa-masa berikutnya. Hal itu terjadi terus menerus selama berabad-abad mewarnai paradigma berpikir sebagian besar umat Islam, hina akhirnya dipahami seolah sebagai doktrin agama yang sudah mutlak dan dianggap sebagai suatu kebenaran. Terhambatnya perkembangan ilmu filosofis dan rasional pada kalangan umat Islam di satu sisi, tetapi di sisi lain umat non Islam, yakni masyarakat Barat, justru mendapat imbas dari perkembangan kemajuan iptek umat Islam yang pernah ditempuh. Perkembangan eksplorasi ilmu- ilmu filosofis dan rasional yang dilakukan bangsa Barat akhirnya mengantar mereka menguasai perkembangan iptek dunia, di saat umat Islam sudah mulai tenggelam dijerat paradigma dikotomisnya terhadap ilmu pengetahuan.

170

Tak dapat di pungkiri lagi, akhirnya umat Islam terpuruk dan terkurung dengan sikap statis atau diam ditempat yang membawa mereka kepada kemunduran yang berkepanjangan. Sedangkan bangsa Barat akhirnya menjadi pengawal perkembangan iptek, bahkan sampai bisa menjelajah dan menjajah negara-negara di wilayah dunia Islam. Mulnculnya kesadaran bahwa paradigma ilmu pengetahuan yang telah terpengaruh oleh skulerisme dan materialisme telah menjadikan pengetahuan modern menjadi kering dan kehilangan kesakralannya (terpisah dari nilai-nilai tauhid dan teologis) (Sholeh,t.t: 5). Menurut Murtadha Muthahari tidak sependat dengan klasifikasi ilmu model al-Ghazali, bahkan menolak adanya dikotomi ilmu agama dan ilmu non-agama. Menurutnya, pembedaan ilmu semacam itu dapat melahirkan kesalahan konsepsi, bahwa ilmu non-agama terpisah dari Islam dan tidak sesuai keuniversalan Islam. Penolakkan Murthadi atas dikotomi ini berdasarkan pada pandangan bahwa ilmu dalam al-Qur‟an dan Hadits hadir dalam maknanya yang umum. Demi menjaga identitas Keislaman dalam persainagan budaya global, para ilmuwan Muslim bersikap defensive dengan mengambil posisi konservatif-statis, yakni dengan melarang segala mebentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan fanatic terhadap syari‟ah, salah satunya adalan fiqih produk pertengahan yang dianggap telah final. Mereka melupakan sumber kreatifitas, yakni ijtihad, bahkan mencanangkan ketertutupannya. Pada ranah inilah tanpa sadar umat Islam telah menumbuhkan embrio dikotomi ilmu (Enginer, 2003: 20-21). Menurut Ziauddin Sardar mengatakan bahwa salah satu faktor penyebab dikotomi sistem pendidikan Islam adalah diterimanya budaya Barat secara total bersamaan denagan adopsi ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab mereka yang menganut pandangan tersebut berkeyakinan, bahwa kemajuanlah yang terpenting bukan agama. Oleh, sebab itu, kajian agama dibatasi bidangnya. Agama hanya membicarakan hubungan individu dengan Tuhannya, lainnya bukan urusan agama (Hadi & Imron, 2000: 73). Hilangnya aspek kesakralan dari konsep ilmu Barat serta sikap keilmuwan Muslim yang menyebabkan terjadinya stagnasi setelah memisahkan wahyu dari akal, dan memisahkan pemikiran aksi dan kultur dipandang sama bahayanya bagi perkembangan keilmuan Islam. Karena itu muncul sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan di antara keduanya, sehingga lahirlah keilmuan baru yang modern tetapi tetap bersifat religious dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian di kenal dengan Islamisasi Ilmu pengetahuan atau Integrasi ilmu (Tabroni, 2000: 93).

171

Dalam menghilangkan dikotomi ilmu dengan proyek Islamisasi ilmu pengetahuan atau Integrasi ilmu pengetahuan, Ziauddin Sardar memberikan solusi yaitu dengan cara peletakkan epistemology dan teori sistem pendidikan yang bersifat mendasar, lebih lanjut Ziauddin Sardar mengatakan untuk menghilangkan perlu dilakukan usaha-usaha yaitu: pertama, dari segi epistemology, umat Islam harus berani mengembangkan kerangka masa kini yang terartikulasi sepenuhnya. Kerangka pengetahuan di maksud setidaknya dapat menggambarkan metode-metode dan pendekatan yang tepat yang nantinya dapat membantu pakar Muslim dalam mengatasi masalah-masalah moral dan etika yang sangat dominan di masa sekarang. Kedua, perlu adanya teoritis ilmu dan teknologi yang menggambarkan gaya-gaya dan metode-metode aktifitas ilmiah dan teknologi yang sesuai tinjauan dunia dan mencermeinkan nilai dan norma budaya muslim. Ketiga, perlu diciptakan teori-teori sistem pendidikan yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem tradisional dan sistem modern. Sistem pendidikan integralistik itu secara sentral harus mengacu kepada konsep ajaran Islam, mislanya konsep tazkiyah al-nafs, tauhid dsb. Disamping itu sistem tersebut juga harus mampu memenuhi kebutuhan- kebutuhan masyarakat Muslim secara multidimensional masa depan. Dan yang terpenting, pemaknaan pendidikan, mencari ilmu, sebagai pengalaman belajar sepanjang masa (Sardar, 1984: 280-281). Dalam Islam sebetulnya tidak dikenal pemisahan esensial ilmu agama dan ilmu umum. Berbagai disiplin ilmu dan pespektif intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mengandung hierarki tertentu yang bertujuan kepada pengetahuan tentang hakikat Tauhid, yang merupakn subtansial dari segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan kenapa para ulama dan ilmuwan Muslim berusaha mengintegrasikan ilmu- ilmu yang dikembangkan peradaban-peradaban non-Muslim ke dalam hirarki ilmu pengetahuan menurut Islam. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam tidak menganal dikotomi dalam pengertian yang berlebihan, akan tetapi hanya membedakan jenis-jenis atau klasifikasi, seesuai dengan bidang (manfaat, metode dan cara memperolehnya, obyek), seperti yang tampak pada table dibawah ini: No Bidang Pembagian 1. Sisi Manfaat Ilmu a. Ilmu yang langsung bermanfaat untuk kehidupan (Aksiologi) Dunia Ilmu yang langsung bermanfaat untuk kehidupan Akhirat 2. Sisi Perolehan Ilmu a. Ilmu Kasbi atau Ilmu Mubasyarah (Epistemologi) b. Ilmu Laduni atau Ilmu Mukhasayafah 3. Sisi Objek Ilmu a. Ilmu yang bersifat Material (Ontologi) b. Ilmu yang bersifat Non-Material

172

Tabel 4.2: Paradigma Pembagian Ilmu dalam Persepektif Islam

Jika melihat daripada table diatas, kiranya sering orang berpandangan bahwa adanya dikotomi itu teletak pada sisi manfaat ilmu atau aksiologi, yang secara pembagian diameteral membagi ilmu kepada ilmu untuk kepentingan dunia dan ilmu untuk kepentingan akhirat. Sebagaimana al-Ghazali membagi ilmu kepada ilmu syari‟ah dan ghoiru syari‟ah atau Al-Syafi‟i seperti yang dideskripsikan oleh Suwito dan Fauzan, membagi ilmu menjadi dua macam: pertama, ilmu fiqh untuk agama. Dan kedua ilmu Thib untuk keperluan tubuh, hal tersebut adalah merupakan hanya hirarki atau tingkatan saja ilmu saja, bukan pemisahan dua jenis yang berlainan. Oleh karenanya, apa yang yang dimulai sejak Rasulullah, lalu berkembang pada masa sahabat dan diteruskan pada genarasi selanjutnya (Dinasti Umayah dan Abbasiyah), termasuk pada zaman al-Ma‟mun adalah upaya Islam dalam mensinregikan atau dengan kata lain mengintegrasikan ilmu, baik ilmu agama atau ilmu umum, baik yang dikembangkan oleh ulama atau ilmuwan Muslim yang bertujuan pada sumbu “Tauhid” atau pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha Tunggal”. Paradigma pengembangan ilmu pengetahuan pada era klasik, adalah obor kehidupan yang akan terus mengiringi umat Islam dalam peradaban dunia, bahwa konsep Islam yang di bawa oleh Rasulullah adalah ramatan lil‟alamin (rahmat untuk seluruh alam), itu artinya meskipun panggung dunia telah berubah pada masa kini, dimana ilmu pengtahaun dan juga teknologi didominasi oleh Barat, akan tetapi tetap saja Islam yang menjadi porosnya.

F. Pola Gerakan Intelektual yang Integrated Zaman Al-Ma’mun Kemajuan umat Islam pada zaman klasik (abad ke-7-13 M) dalam bidang kebudayaan dan peradaban yang didukung bukan saja dalam bidang ilmu agama Islam: tafsir, fiqih, hadis, teologi dan tafsir, akan tetapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan di bidang sosial, politik, astronomi, fisika, kimia, kedokteran, farmasi, arsitektur, seni, filsafat, teknik, biologi, pemerintahan, geografi, seni, dan lain sebagainya. Berbagai kemajuan dalam bidang ilmu inilah yang selanjutnya digunakan untuk membangun kebudayaan dan peradaban Islam. Sejarah mencatat, bahwa selain para ulama yang menguasai ilmu agama Islam, seperti tafsir, hadis, fiqih, tasawuf, juga terdapat para ulama yang menguasai ilmu-ilmu filsafat, seni dan sains dengan berbagai cabangnya sebagaimana yang dikemukana diatas. Al-Ma‟mun adalah salah satu dari yang penulis maksudkan, ia selain sebagai seorang

173 penguasa di zamannya, akan tetapi ia juga merupakan seorang ilmuwan Muslim, penyair, khatib, muhaddits, serta mahir dalam bidang filsafat dan perbintangan (astronomi). Ia juga dapat menguasai empat bahasa Arab, yaitu bahasa Yunani, Ibrani, Persia, India (Jaudah, 2007: 330). Hal senada pun terjadi pada ulama dan ilmuwan Muslim lainya seperti: Al-Farabi (872-890 M), misalnya selain dikenal sebagai ahli filsafat, ia juga dikenal sebagai ahli politik, kedokteran, ilmu kalam, akidah, fiqih dan sejarah. Begitupun juga dengan Ibn Sina selain dikenal sebagai ahli filsafat, sebagaimana terdapat pada bukunya Asy-Syifa, ia juga dikenal sebagai ahli ilmu jiwa lalu dalam bukunya an-Najah, lalu ahli kedokteran sebagaimana dalam bukunya al-Qonun fi at-Thibb, ahli astronomi, kimia, fisika bahkan juga ahli tasawuf sebagaiman dalam kitab al-Qanun fi at-Thibb (Nata, 2011: 31, As-SIrjani, 2011: 375, Majid, 2000: 225). Nurcholis Majid menambahkan dalam Khazanah Intelektual Islam bahwa, pada zaman klasik memiliki ilmuan yang ensiklopedik, seperti Ibn Rusyd (w.595 H/1198 M), selain dikenal sebagai filosof Islam, sebagaimana terdapat dalam kitab Fadhlu al-Maqal fima Baina al-Hikmah wa Syari‟ah Min al-Ittihsal, juga dikenal sebagai ahli kedokteran sebagaimana dalam kitab al-Kulliat, dan ahli fiqih sebagaimana dalam kitab Bidayah al-Mujtahid. Mereka itulah sebagain ulama, sekaligus ilmuwan yang pernah dimiliki oleh Islam yang memperhatikan masalah agama, akhirat, spiritual dan juga masalah dunia (Majid, 1987: 5). Meskipun zaman kontemporer saat ini tidak selengkap zaman klasik, akan tetapi saat ini masih ada yang ulama yang karakternya seperti intelektual pada zaman klasik, meskipun jarang ditemui dan tidak begitu banyak jumlanya. Melihat adanya fenomena ilmuwan yang demikian, maka muncullah pemikiran dari beberapa ilmuwan untuk mencari sebab- sebabnya. Ada yang berpendapat, bahwa hal tersebut diatas karena perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman al-Ma‟mun masih sederhana, berada dalam taraf pertumbuhan, belum khusus seperti saat ini, sehingga setiap orang dapat mengembangkan hasrat intelektualnya sesuai dengan kehendaknya. Selanjutnya ada juga yang berpendapat, bahwa hal demikian itu pernah terjadi, karena belum adanya pemahaman yang dikotomik antara ilmu agama dengan ilmu umum. Dan mungkin saja pada zaman al-Ma‟mun adalah masih zaman yang terbaik (tabi‟in), sebagaimana Rasul pernah bersabda “Sebaik-baiknya zaman adalah zamanku, lalu zaman para sahabat, dan zaman setelahnya (tabi‟in).” Akan tetapi, yang menyebabkan lahirnya ilmuwan Muslim yang multilatented atau ensiklopedik tersebut adalah karena adanya pola dan model pendidikan dan model yang integrated. Pola atau model pendidikan

174

Islam di zaman al-Ma‟mun, selain masih dipengaruhi oleh semangat Hellenis yang berbasis pada penelitian dan pemikiran, juga masih kental dipengaruhi oleh semangat keagamaan yang berbasis pada wahyu. Hal ini tentu berbeda dengan pola pendidikan yang berkembang di Barat. Sebagaimana A. Malik Fadjar mengatakan: di Barat saat ini yang bersifat dikotomis, yakni di satu pihak ada yang mengambil model Universitas Studisorum berbasis Hellenis yang menekankan aspek kebutuhan pasar dan memenuhi kebutuhan lapangan kerja, sebagaimana yang digunakan di Inggris dan Amerika Serikat, yang selanjutnya dikenal sebagai Anglo System, sedangkan di sisi yang lain ada yang mengambil model universite Magistorum berbasis Semitis yang menekankan kepentingan kaum gereja yang berorientasi doktriner keagamaan” (Nata, 2011:132, Kamaluddin, 2010: 172). Jadi, jika di sandingkan pada zaman al-Ma‟mun atau klasik dengan saat ini yang ada di Barat tentu saja tidak dapat disamakan dan amat sangat jelas sekali perbedaanya. Pola gerakan intelektual dan pengembangan ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam di zaman al-Ma‟mun atau klasik adalah pola gerakan yang bersifat integrated. Yaitu pola yang didasarkan pada integrasi antara dimensi fisik dan metafisik, dimensi lahir dan batin, dimensi fisik dan tasawuf, dimensi fisik, panca indra, intuisi, akal, dan wahyu, dunia dan akhirat, jasamni dan rohani, dan material spiritual. Hal tersebut berpandangan pada dasar sifat dan krakteristik ajaran al-Qur‟an dan Sunah yang tidak mengenal pemisahan antara berbagai urusan tersebut dan tidak di temukan dikotomik dalam segala hal. Keimanan kepada Tuhan yang bersifat batin dan menggunakan indra batiniah, berupa an-nafs, ar-ruh, as-sir, al-qalb, al-fuad, al-lub, al- zauq dan berbagai potensi batiniayh lainnya dalah sebuah realitas objektif dan menjadi bagian integral dari kebutuhan manusia. Indra batin itulah yang digunakan untuk memahami dan menghayati nilai-nilai spiritual dan ajaran tentang keimanan. Indra batin inilah yang diberikan Tuhan untuk membantu indra, fisik, dan akal manusia dalam memahami berbagai hal yang berada di luar jangkauannya. Keimanan itulah yang selajutnya menjadi energi positif yang menggerakkan orang untuk semakin meyakini adanya hal-hal yang metafisis dengan cara memahami hukum-hukum Tuhan yang bersifat metafisik yang terdapat berbagai fenomena sosial, fenomena alam, dan berbagai hal lainnya. Ketika kajian empiris, observasi, dan eksperimen yang dilakukan fisik, panca indra dan akal di laboratorium misalnya menemukan teori tentang segala sesuatu yang terdapat pada benda tersebut, dan teori tentang segala sesuatu yang terdapat dalam benda tersebut, dan teori tersebut disusun dalam bentuk ilmu pengetahuan (sains), maka sesungguhnya ilmuwan hanyalah

175 penemu, bukan pencipta. Yang menciptakan semua itu adalah Yang Maha Pencipta (Tuhan). Para ilmuwan Muslim di zaman al-Ma‟mun atau klasik menggunakan pola gerakan intelektualnya itu bertolak dari pemahaman yang utuh tentang manusia dengan segenap potensi yang dimilikinya, pemahaman yang utuh menjadi objek penelitian baik bersifat fisik maupun nonfisik. Mereka memadukan antara empiris, spekulatif, metafisis, dan bathiniah secara bersamaan. Itulah mengapa ketika dengan meyakini adanya Tuhan, dalam waktu yang bersamaan para ilmuan atau ulama di zaman al-Ma‟mun (klasik) dapat menjadi seorang sufi, seorang ilmuwan yang menguasai anatomi manusia, karakteristik, benda-benda fisik, sebagaimana terlihat dalam ilmu astronomi, fisika, biologi, kimia, kedokteran, sosiologi, geografi, matematika, optic, farmasi, pemerintahan dan lain sebagainya secara bersamaan (Nata, 2011: 33). Secara historis dan sosiologis gerakan intelektual di zaman al- Ma‟mun belum ada pola atau model yang khusus. Hal tersebut terjadi, karena pada zaman tersbut belum ada gangguan atau bahkan pemaksaan dari luar maupun dalam atau kekuatan secara politis yang mengharuskan menggunkan model atau pola tertentu. Pada zaman al-Ma‟mun setiap ulama dapat saling menghormati dan menghargai gagasan dan pemikirannya masing-masing. Oleh karena itu, sejarah mencatat bahwa di zaman tersebut yang ada memiliki persamaan dan model gerakan intelektualnya dan ada juga memiliki perbedaan antar satu sama lain. Di kalangan para ilmuwan bidang sosial dan ilmu alam (sains) pada ilmuwan yang lebih banyak berkonsentrasi pada bidang teoritis, seperti al-Biruni dalam bidang fisika dan ada juga yng berkonestrasi pada praktik, seperti al-Razi dalam bidang fisika, ada juga yang berkonetrasi pada teoritis dan praktis secara bersamaan, seperti Ibn Sina dalam bidang kedokteran, dan Ibn Rusyd dalam bidang kedikteran dan hukum Islam (Nata, 2011: 134). Jadi dapat dikatakan, pola gerakan integrasi keilmuan yang terjadi pada zaman klasik sangat variatif, dinamis, proresif, inovatif dan holistic. Hal ini sejalan dengan adanya kebebasan dan kemerdekaan yang tumbuh dan berkembang di kalang ulama, belum ada tekanan politik dan berbagai kepentingan dan pesanan yang diletakkan pada ilmuan. Dan model intelktual yang di kembangkan di Yunani, India, dan Cina yang berbasi pada budaya, tradisi tidak sepenuhnya digunakan oleh ulama. Dengan demikian model gerakan intelktual pada zaman klasik memiliki ciri, bahwa para ulama langsung mengakses al-Qur‟an dan Sunah, tanpa mengikuti petunjuk ulama sebelumnya dan para ulama dapat menjadi ulama ilmu agama serta juga dapat menjadi ilmuwan di berbagai bidang seperti: ilmu alam, ilmu sosial, ilmu kedokteran, filsafat dan lain sebagaianya.

176

Hal yang terjadi di atas berbeda pada zaman setelah zaman klasik, dimana pemahaman keagamaan pada zaman pertengahan (abad ke-14 s/d 18 M), malah cenderung lebih mengutamakan ilmu agama, dan kurang menghargai ilmu-ilmu umum, seperti ilmu sosial, alam, filsafat dan ilmu lainya sudah mulai ditinggalkan dan tidak lagi ada pengembangan ilmu umum oleh umat Islam, akan tetapi pengembangan ilmu umum justru diambil alih oleh Barat. Secara politis umat Islam malah terpecah menjadi dua kubu, Syi‟ah dan Sunni, hal tersebut hingga saat ini masih terus berlangsung. Pada akhirnya di zaman pertengahan inilah telah terjadi pandangan dikotomis antara ilmu agama dengan ilmu umum, yang mana sudah tidak telihat jelas ingtergatif dari keduanya. Sampai munculnya paradigma bahwa ilmu umum adalah sesuatu yang tidak wajib harus dipelaari oleh umat Islam, karena kedudukannya hanya fardhu kifayah. Pada abad pertengahanlah, dimana perhatian umat Islam lebih banyak tertuju pada ilmu-ilmu agama yang membicarakan tentang moral, tasawuf, atau tarekat dibandingkan ilmu umum, hal semacam ini menjadi tumpang tindih. Karena meninggalkan ilmu-ilmu umum, maka terjadilah apa yang saat ini dinamakan “dikhotomis” yaitu memisahkan antara ilmu- ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, serta meyakini bahwa mempelajari ilmu umum sebagai bukan dari bagian perintah ajaran Islam. Keadaan umat Islam yang terpinggirkan dan ketidakmampuan untuk mengakses berbagai peluang atau informasi dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Jika di telusuri terjadinya sikap dikotomis ilmu antara agama dengan umum, tidak ditemukan pada zaman al-Ma‟mun akan tetapi pada saat kholifah al-Mutawakil pada tahun 847-861 M. yang membatalkan madzhab Mu‟tazilah sebagai madzhab negara dan mendukung madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah. Lebih dari itu, kemudian akademi-akademi yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis dan ilmu-ilmu rasional ditutup. Bahkan, banyak tokoh-tokoh Mu‟tazilah yang diusir dari Bagdad. Agaknya wajar jika kemudian Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah menutup akademi-akademi yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis dan rasional, karena golongan ini sebagian besar lebih berpaham Jabariyyah, yang menganut Fatalisme, yakni segala hal yang ada dan terjadi pada manusia lebih ditentukan oleh Tuhan. Dalam paham ini, manusia tidak punya daya dan upaya untuk dirinya sendiri sekalipun (Nasution, Rasional: 1995: 115). Sejak saat itu, perkembangan dan eksplorasi keilmuan di bidang filosofis dan rasional menjadi terhenti. Semua lembaga-lembaga yang mengajarkan filsafat ditutup. Secara perlahan dan tanpa disadari oleh umat Islam, mereka akhirnya seperti konservatif terhadap dirinya dengan ilmu- ilmu filosofis dan rasional yang justru sebagai dasar perkembangan iptek. Perkembangan iptek yang sebelumnya pernah mencapai puncak

177 kemajuannya pun akhirnya nyaris terhenti secara total. Sebagian umat Islam seolah mengklaim, bahkan menganggap menghianati dan memusuhi agama kepada orang-orang yang mempelajari ilmu umum, dan akan dipandang mulia orang-orang yang mempelajari ilmu agama atau ilmu- ilmu yang bernuansa akhirat. Dengan demikan, pola gerakan yang terjadi di zaman al-Ma‟mun (klasik) sangat variatif, dinamis, progresif, inovatif dan integrated serta holistik. Hal ini sejalan dengan adanya kebebasan dan kemerdekaan yang tumbuh dan berkembang di kalangan para ulama, belum ada tekanan politik dan berbagai kepentingan dan pesan yang diletakkan kepada para ilmuwan, dan sebagai pemula, atau printis. Tidak semuanya model atau pola gerakan yang dikembangkan di India, Yunani di pakai oleh para ulama Islam. Jadi dapat dikatakan bahwa, pola gerakan integrated yang digunakan dalam zaman al-Ma‟mun atau klasik memiliki ciri-ciri yaitu setiap ulama dapat menjadi seorang ulama ilmu agama, juga dapat menjadi ilmuwan dibidang misalnya, ilmu sosial, ilmu alam, filsafat, seni dan lain sebagainya.

G. Model Pengembangan Ilmu Zaman Al-Ma’mun Terpusatkan pada Ilmu-ilmu Alam (Sains) Sebagaimana pada pembahahasan sebelumnya bahwasanya ilmu pengetahuan oleh para ahli dibedakan menjadi dua, ada ilmu yang berbasis pada fenomena alam atau dikenal dengan istilah natural science dan ada juga yang berbasis pada fenomena sosial atau dikenal dengan istilah social science. Oleh karenanya pada bab ini hanya terfokus pada ilmu-ilmu alam (sains) yang dapat dikembangkan pada zaman al-Ma‟mun atau priode kasik. Di dalam al-Qur‟an Allah Swt menyatakan:

          

              

          

          

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah

178

turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda- tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Q.S. Al-Baqarah: 164). Pada ayat di atas memberi petunjuk tentang hal-hal sebagai berikut: Pertama, petunjuk yang berkenaan dengan berbagai hal yang termasuk alam sebagai objek kajian ilmu pengetahuan, yakni proses penciptaan langit dan bumi, peredaran waktu siang dan malam, bahtera atau kapal yang berlayar di lautan dan diambil manfaatnya untuk manusia, tentang air hujan, tumbuh-tumbuhan, peredaran angin dan awan. Kedua, petunjuk yang berkenaan dengan perintah kepada manusia untuk memikirkan dan memahami hukum-hukum yang terdapat di dalamnya. Ketiga, petunjuk yang berkenaan dengan keyakinan, bahwa alam jagat raya ini tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan tercipta dengan kehendak Allah. Dengan memahami dan mengkaji alam jagat raya ini, maka para ahli akan menemukan berbagai teori yang disusun menjadi ilmu pengetahuan alam atau yang lebih dikenal sekarang ini dengan sebutan sains, seperti ilmu tumbuh-tumbuhan (flora), ilmu tentang makhluk hidup (biologi) baik yang berkenaan dengan binatang (fauna) maupun manusia, berkenaan dengan planet dan perbintangan ruang angkasa (astronomi), benda-benda keras dan cair (fisika), yang dengan menggunakan ilmu-ilmu murni ini para ahli di zaman klasik dapat melahirlkan ilmu farmologi, botani, kedokteran, kimia. Kajian tentang ayat-ayat kauniyah dengan menggunakan isyarat ayat al-Qur‟an yang didukung dengan riset empiris berupa observasi (burhani) dan eksperimen (Ijbari) telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan Muslim pada zaman klasik, seperti al-Khawarizmi tentang astronomi, Ibn Hayyan tentang fisika, Ibnu Sina tentang kedokteran (Nata, 2011: 376-377). Di zaman sekarang ada orang yang bernama Zaghloul, yang telah menulis 45 buku tentang ayat-ayat kosmologi. Ia mengatakan, bahwa kehebatan kekuasaan Tuhan dan bukti nyata atas keesaan Allah Swt. tanpa sekutu, kemiripan, dan tandingan adalah bertemunya alam semesta yang sangat besar kesatuannya dengan alam yang sangat akurat sekali, lalu bertemunya ilmu kosmologi modern dengan ilmu fisika partikel. Hasil penelitian fisika partikel dasar pada neklus atom mulai memberikan dimensi-dimensi konkret untuk memahami proses penciptaan alam semesta dan fase-fasenya (El-Nagger, 2010: 18) Dengan memperhatikan ayat-ayat tersebut serta penjelasannya,

179 dapat diketahui bahwa alam jagat raya adalah sumber ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan alam (sains) ternyata tanda-tanda kekuasaan Allah. Alam jagat raya tidak terjadi dengan sendirinya, karena akal tidak mungkin dapat menerima adanya alam tanpa penciptanya. Namun akal juga tidak bisa menerima jikalau pendapat, bahwa adanya Tuhan karena adanya yang menciptakan, oleh karena itu, jika Tuhan diciptakan, maka dirinya bukan lagi disebut Tuhan, melainkan sebagai makhluk. Dan dengan menyadari alam sebagai ciptaan dan ayat Allah Swt, maka manusia semakin memahami alam dengan segala hukum, hikmah dan rahasia yang terkandung di dalamnya, maka manusia akan semakin mengagungkan kebesaran Allah. Sebagaiman Allah berfirman :

         

         

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Faathir: 28). Pada ayat tersebut terdapat kata ulama, yaitu orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasan Allah Swt. yang dihasilkan dari studi dan penelitiannya terhadap berbagai ciptaan-Nya, seperti binatang yang melata dan binatang ternak yang beraneka macam jenisnya, air hujan yang turun dari langit, tanah subur yang terkena air hujan selanjutnya menghasilkan ragam tumbuh-tumbuhan berupa sayur-mayur, buah- buahan, dan bahan makanan lainya, gunung-gunung yang memiliki garis putih, hitam pekat dan merah dan lain sebagainaya. Dengan cara demikian, seorang ilmuwan dengan ilmunya yang luas dapat digunakan untuk mengenal, mendekati, dan mencintai Allah, lebih dari apapun di dunia ini. Sebagaimana Ian Barbour pernah mengungkapkan dengan ungkapan menemukan Tuhan melalui sains (Babour. 2000: 87). Al-Qur‟an sangat mendorong dikembangkannya ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qur‟an yang menyuruh manusia agar menggunakan akal pikiran dan segenap potensi yang dimilikinya untuk memperhatikan segala ciptaan Allah Swt. Dorongan al-Qur‟an terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tersebut terlihat pula dari banyaknnya ayat al-Qur‟an (lebih dari 700 ayat) yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pujian dan dukungan yang tinggi bagi

180 orang-orang yang berilmu serta pahala bagi yang menuntut ilmu. Sungguhpun banyak temuan di bidang ilmu pengetahuan yang sejalan dengan ilmu pengetahuan (Nata, 2010:167). Berdasarkan ayat-ayat tersebut diatas, jelaslah sudah bahwa al- Qur‟an al-Karim amat banyak berbicara tentang berbagai ilmu pengetahuan, karena berbagai isyarat ayat al-Qur‟an tersebut belum disusun berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan serta yang dikemukakan dalam al-Qur‟an lebih pada prinsip-prinsip, spirit serta kaidah dalam mengembangkan berbagai macam ilmu pengetahuan tersebut. Dengan pengertian tersebut, maka Mulyadi Kartanegara, dapat memberi kesimpulan bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya (Karanegara, 2003: 3). Pengertian tersebut mengambarkan begitu luasnya ruang lingkup ilmu, baik dari segi sumber, obyek, epistemology, bahkan aksiologinya (Suriasumantri, 1990: 294). Ilmu tidak bisa dipandang secara parsial ataupun juga marjinal, tetapi justru sebagai satu kesatuan sumber dan kesatuan eksistensi. Sumber segala ilmu adalah Allah Swt. sedangkan segala eksistensi pada hakikatnya juga berasal dari Allah. Pengistilahan ini mungkin lebih tepat jika dipandang sebagai tauhid atau integritas dalam keilmuan. Sehingga, obyek ilmu pun akhirnya harus diyakini tidak hanya yang indrawi (fisik), tetapi juga non-indrawi atau non-fisik( metafisik) (Nata, dkk, 2003: 170). Begitu juga sarana akal, dalam ayat tersebut hanya disebutkan secara implisit saja, akan tetapi jika dicermati dalam ayat tersebut Allah menyebutkan “agar kamu bersyukur” , hal ini manusia tidak mungkin bisa bersyukur atas apa yang telah dianugrahkan Allah kepadanya, kecuali mereka yang menggunakan akalnya dengan baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam mendapatkan pengetahuan, manusia dapat memperolehnya dengan cara mendengar, melihat maupun merasakan sesuatu yang baru, sehingga menjadi pengetahuan yang baru bagi dirinya. Begitu juga dengan akal, seseorang mungkin hanya dengan kemampuan akalnya, melalui trial and error ( coba-coba), pengamatan, percobaan, uji kemungkinan (probabilitas), ia mampu mendapatkan pengetahuan baru yang belum didapatkan sebelumnya (Shihab, 1997: 437). Tuhanlah yang menciptakan jagat raya ini sebagaimana dalam al- Qur‟an dan Hadits. Tuhan menciptakan bumi, bulan, matahari dan bintang yang masing-msing berputar pada porosnya. Matahari mengelilingi bumi, bulan dan bintang mengelilingi matahari. Semua berputar pada orbitnya. Disamping itu, al-Qur‟an juga berbicara tentang air yang dinyatakan sebagai sumber kehidupan, berbicara tentang tanah, gunung, lautan, langit, api, binatang, tumbuh-tumbuhan dengan berbagai prilaku dan sifat- sifatnya. Meskipun sudah banyak yang berhasil dikaji dan diketahui oleh

181 manusia lewat penelitian-penelitian ilmiah, akan tetapi rahasia yang dibuka oleh Tuhan masih sedikit. Al-Qur‟an menyebut bahwa langit berlapis tujuh, gunung diciptakan untuk memperkokoh kehidupan manusia. Hal tersebut dijelaskan dalam al-Qur‟an karena mengandung pelajaran dan makna yang mendalam bagi kehidupan manusia. 1. Prinsip-Prinsip Pengembangan Sains dalam Islam zaman Al- Ma’mun Agar ilmu pengetahuan tidak tersesat baik dalam pengembangannya maupun dalam memanfaatkannya, maka Islam menetapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama. Prinsip Tauhid. Menurut Islam bahwa sumber ilmu pengetahuan dapat berupaya wahyu (ayat Qauliyah) alam jagat raya (ayat kauniyah), fenomena sosial (ayat insaniyah) akal pikiran dan intuisi atau ilham yang semuanya berasal dari Allah Swt. Sumber-sumber ilmu pengatahuan ini antara lain satu dan lainnya berasal dari Tuhan, dan harus saling melengkapi antara satu dan lainnya. Ilmu yang dibangun, di samping mengakui keabsahan pengamalan indrawi (yang mendapat tekanan dari kaum empiris dan positivis), juga pengalaman-pengalaman mental, mistik, religious, intelektual, dan spiritual, yang di samping subjektivitasnya ternyata juga memiliki basis-basis objektivitasnya di dunia non empirs (Kartanegara, 2005:43). Kedua. Prinsip Integrated. Bahwa seluruh sumber ilmu pengetahuan serta pengetahuan yang dihasilkan melalui sumber tersebut saling membutuhkan antara satu dan lainnya. Ilmu agama membutuhkan ilmu pengetahuan alam atau sains, dalam rangka melaksanakan dan memperaktikkan ilmu agama agar ilmu pengetahuan alam tersebut tidak disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang merugikan manusia dan melanggar Allah Swt. Lebih dari itu, bahwa integrasi ilmu ini meliputi integrasi bidang ilmu, sumber ilmu, pengalaman manusia, metode ilmiah, penjelasan ilmiah, teoritis dan praktis (Nata, 2003, 58-177). Ketiga. Prinsip pengamalan dan berpegang pada kebenaran. Menurut Abuddin Nata, ilmu pengetahuan dalam Islam bukan hanya kepuasan ilmu itu sendiri, melainkan ilmu tersebut harus diamalkan dan dimanfaatkan baik untuk kepentingan sendiri, maupun kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan bahwa: “Ilmu yang tidak diamalkan tak ubahnya seperti pohon yang tidak berbuah”. Islam mengajarkan bahwa yang dituju oleh ilmu bukanlah mencari pembenaran, melainkan mencari kebenaran. Orang yang mencari pembenaran bisa saja mengatakan sesuatu yang tidak benar, namun dicar- cari berbagaai alsana agar yang tidak benar itu dibenarkan. Prinsip ilmu

182 pengetahuan berbeda dengan prinsip politik yang bertumpu pada mencari pembenaran” (Nata, 2011: 383-384). Keempat. Prinsip kesesuaian dengan agama. Sebagaimana dikemukakan dalam prinsp tauhid tersebut, bahwa semua sumber ilmu dalam Islam pada hakikatnya berasal dari Allah, maka dari itu ilmu pengetahuan yang bersumber pada kajian alam jagat raya pasti akan sejalan dengan pengetahuan yang berasal dari wahyu. Dengan demikian, antara ilmu agama dan ilmu umum tidak boleh bertentangan. Jika ada pertentangan antara ilmu agama dan ilmu umum, maka harus diperbaiaki adalah pendapat ilmu. Kelima. Prinsip terbuka dan manfaat. Dalam Islam bahwa ilmu yang dihasilkan oleh seseorang ilmuwan bersifat terbuka dan menjadi milik bersama. Dengan sifatnya yang demikian, maka tidak oleh seorang pun melarang membaca hasil temuan seorang ulama. Dengan sifat yang terbuka, maka ilmu tersebut juga boleh dikritik atau dibatalkan oleh ilmuwan lain. Dengan prinsipnya yang demikian itu, maka ilmu pengetahuan akan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam Islam bahwa ilmu yang dihasilkan oleh seorang ilmuwan harus bermanfaat atau berguna bagi peningkatan kesejahteran umat manusia, baik secara jasmani maupun rohani. Dalam Islam, ilmu bukanlah tujuan, melainkan hanya sebagai alat dan ilmu bukan hanya untuk ilmu, melainkan ilmu untuk kemaslahatan umat manusia. Dengan cara demikian, setiap orang yang mengembangkan ilmu pengetahuan akan memiliki kontribusi bagi kesejahteraan umat manusia (Nata, 2011: 38-385). Didalam ajaran agama Islam, bahwasanya segala ilmu itu hakikatnya adalah bersumber dari satu zat, yakni Allah Swt. Sebagai sumber daripada segala ilmu. Hal tersebut dilansir dan ditegaskan oleh Allah dalam firmannya Q.S. al-An‟am ayat 73 sebagai berikut:

          

            

       

“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah” lalu terjadilah, dan di tangan Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia Mengetahui yang ghaib dan yang

183

nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Dep. Agama R.I, t.t: 136).

Dari interpretasi ayat diatas, menegaskan bahwasanya Allah yang Maha Mengatahui yang ghaib dan yang nampak sebagai dimensi dari seluruh benda di alam raya ini, ghaib yang non fisik atau immaterial dan fisik atau material, karena memang aspek ontologis dan epistemologis ilmu dalam Islam meliputi keduanya, yakni yang material (fisik) dan immaterial (non-fisik). Dalam hal ini, Ibn „Abbas menyebut yang ghaib sebagai apa yang tersembunyi pada manusia dan yang nampak sebagai aktivitas manusia (al-Fairuzabadi, t.t: 90). Disamping itu juga Allah menegaskan dalam dialognya dengan para malaikat di awal penciptaan Nabi Adam yang akan didaulat menjadi kholifah di bumi. Disaat para malaikat menolak dan mempertanyakan alasan Allah memilih Nabi Adam, maka Allah kemudian mengungkapkan kelebihan Adam yang telah diberikan semua nama, yakni ilmu. Dalam ayat ini bahwasanya manusia diberikan potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda. Ia juga dianugrahi potensi untuk berbahasa (Shihab, 2002: 143). Bahkan juga sering dikaitkan dengan pandangan Islam secara umum mengenai ilmu ini adanya perintah Tuhan, langsung maupun tidak langsung, kepada manusia untuk berfikir, merenung, menalar, dan lain sebagainaya. Banyak sekali seruan dalam kitab suci kepada manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran dikaitkan dengan peringatan, gugatan, atau perintah supaya berfikir, merenung dan menalar.17 Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa al- Qur‟an dan Hadits memiliki pandangan yang integrated, baik pada dataran ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Pandangan ini jauh lebih unggul dibandingkan dengan pandangan pengembangan ilmu-ilmu

17 Nurcholis Majid dalam kerangka ini memetakan bahwa perkataan „aql (akal), dalam kitab suci tersebutkan sebanyak 49 kali, sekali dalam bentuk kata kerja lampau, dan 48 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah dalam surah al-Anfal ayat 22, “Sesungguhnya seburuk-buruknya makhluk melata di sisi Allah ialah mereka (manusia) yang tuli dan bisu, yang tidak menggunakan akalnya(la ya‟qilun). Perkataan fikr (pikir) tersebut sebanyak 18 kali, dalam bentuk kata kerja lampau , dan 17 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah Q.S Ali Imran (3) ayat 191; “… Mereka yang selalu mengingat Allah pada saat berdiri, duduk maupun diatas lambung (berbaring), serta memikirkan kejadian langit dan bumi”. Yang sama maknanya dengan aqal dan fikir ialah tadabbur (merenungkan), yang dua kali tersebutkan dalam kitab suci, kedua-duanya tentang sikap yang diharapkan dari manusia terhadap Al-Qur‟an. salah satunya ialah Q.S. Muhammad (47) ayat 24, “Apakah mereka tidak merenungkan Al- Qur‟an, ataukan pada hati dan jiwa mereka ada yang menyumbatnya ?”, Juga perkataan Ibrah (bahkan renungkan atau pelajaran), yang tersebutkan dalam kitab suci sebanyak 6 kali, antara lain dalam Q.S. Yusuf (12) ayat 111; "Dalam kisah-kisah mereka itu sungguh terdapat bahan pelajaran bagi orang yang berpengertian mendalam…”.

184 pengetahuan yang dikembangkan di Barat yang bersifat pasial, tidak utuh dan tidak kokoh, sehingga mudah sekali ilmu-ilmu tersebut digunakan untuk tujuan-tujuan yang dapat menghancurkan harkat dan martabat manusia.

H. Paradigma Pengembangan Sains Integrated yang Berbasis pada Tauhid di Zaman Al-Ma’mun Berikut ini adalah pengembangan ilmu pada aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis yang digunakan oleh para ulama atau ilmuwa pada zaman klasik sebagai berikut: 1. Pengembangan Sains Berdasarkan Ontologis Menurut Al-Qur‟an dan hadis bahwa sumber ilmu (ontology) pengetahuan bukan hanya alam jagat raya (fenomena alam), perilaku sosial (fenomena sosial) dan kekuatan daya pikir (ratio) sebagaimana yang dianut dalam masyarakat Barat, melainkan juga ayat-ayat al-Qur‟an dan matan Hadis Rasulullah, serta intuisi atau ilham. Dengan demikian, sumber ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam jauh lebih lengkap dan lengkap jika dibandingkan dengan sumber ilmu pengetahuan menurut pandangan Barat. Jika Objeknya ontologis yang dibahas wahyu (al- Qur‟an) termasuk penjelasan atas wahyu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw., berupa Hadits, dengan menggunakan metode ijtihad, maka yang dihasilkannya adalah ilmu-ilmu agama seperti: Teologi, Fiqih, Tafsir, Hadits, Tasawuf, dsb. Al-Qur‟an sebagai sumber ilmu pengetahuan, bisa dijelaskan oleh Q.S. Yusuf ayat 1-2 dan Q.S. An-Nahl ayat 44.18 Kemudian jika objeknya ontologis yang dibahasnya alam jagat raya, maka para ahli akan menemukan berbagai teori yang disusun menjadi ilmu pengetahuan alam atau yang lebih dikenal dengan sains, seperti langit, bumi, serta segala isi yang ada di antara keduannya, yakni matahari, bulan bintang, tumbuhan-tumbuhan, bintang, api, udara dsb dengan menggunakan metode penelitian eksperimen di laboratorium pengukuran, pertimbangan dsb., maka ilmu yang dihasilkan adalah Ilmu alam (Natural Sciencis) seperti biologi, fisika, kimia, astronomi, dsb. (Nata, 2011: 337). Dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur‟an dan penjelasannya, dapat diketahui bahwa alam jagat merupakan sumber ilmu

18 (1). Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Quran) yang nyata (dari Allah). (2). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Q.S. Yusuf : 1-2). 44. Dengan Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (q.S. An-Nahl ayat 44).

185 pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan alam (sains) ternyata merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. Ilmu pengetahuan alam seluruhnya pada hakikatnya berasal dari Allah, karena sumber ilmu tersebut berupa wahyu, alam jagat raya, manusia dengan prilakunya, akal pikiran dan intuisi batin seluruhnya ciptaan dan anugrah Allah yang diberikan kepada manusia. Dengan demikian para ilmuwan di zaman al-Ma‟mun atau klasik dalam berbagai bidang ilmu: fisika, astronomi, kimia, kedokteran, biologi, botani, perkebunan, dan lain sebagainya), sebenarnya bukan pencipta ilmu tapi penemu ilmu, penciptanya adalah Tuhan. Atas dasar pandangan integrated yang berbasis pada Tauhid tersebut maka seluruh ilmu hanya dapat dibedakan dalam nama dan istilahnya saja, sedangkan hakikat dan subtansi ilmu tersebut sebenarnya satu dan berasal dari Tuhan.

2. Pengembangan Sains Berdasarkan Epitemologis Menurut Al-Qur‟an dan Hadis, bahwa cara mendapatkan pengembangan ilmu (epistemologis) sangat beragam. Untuk mendapatkan ilmu alam yang berdasar pada alam jagat raya harus menggunakan metode ijbari,19 yakni observasi dan eksperimen yang dilakukan di laboratorium. Dalam pandangan epistemologis, al-Qur‟an tentang bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut berbeda dengan yang dikemngkan di Barat. Jika di Barat pengembangan ilmu hanya menggunakan pancaindra berdasarkan empiris, rasionalis, akal, dan intuisi, maka dalam Islam semua alat untuk mencapai ilmu tersebut harus disertai dengan penyucian batin (Shihab, 1997: 438).20 Petunjuk al-Qur‟an yang menginformasikan tentang pentingnya mengintegrasikan kesucian batin dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan ini sudah dipraktekkan oleh para ulama di masa lalu. Imam Syafi‟i yang dikenal fuqoha yang besar pengaruhnya selalu memelihara kesucian batin. Dalam kesempatan ia pernah mengadu kepada gurunya,

19 Secara harfiyah, ijbari artinya memaksa atau mencoba. Adapun dalam penelitian, ijbari masdunya mengadakan percobaan atau eksperimen di laboratorium berkenaan dengan benda-benda alam, baik yang padat, cair atau gas, binatang atau manusia secara fisik. Caranya antara lain membandingkan antara satu benda dengan benda lain, memasukkannya ke dalam tabung, mencampurkannya dengan unsur benda lainnya, mengamati, dan mencari reaksi yang ditimbulkannya yang dilakukan secara berulang-ulang dan selanjtnya menarik kesimpulan sebagai teori. Selanjutnya teori yang sudah ada dipadukan dengan cara teknik pembuktiannya, maka melalui penelitian dan percobaan serta penerapan teori ini, maka lahirlah teknologi. 20 M. Quraish Shihab,Wawasan Al-Qur‟an Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat, … hal. 438.

186

Waqi‟, karena sulitnya mendapatkan ilmu pengetahuan. Gurunya itu mengingatkan agar mensucikan batin.21

3. Pengembangan Sains Berdasarkan Aksiologis Selanjutnya dalam bidang aksiologi ilmu pengetahuan, bahwasanya al-Qur‟an mengingatkan selain ilmu pengetahuan agama dan umum sebagai milik Allah Swt. Dan harus diabadikan dalam rangka beribadah kepada Allah, juga harus disertai dengan memiliki sifat dan ciri- ciri tertentu pula. Antara lain yang paling menonjol adalah sifat khasyah (tekun dan kagum kepada Allah) sebagaimana ditegaskan dalam Firman Allah Swt:

          

 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang- orang yang berakal. (Q.S. Ali „Imran: 190) Dalam konteks ayat tersebut diatas, ulama adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam yaitu proses penciptaan langit dan bumi, serta peredaran waktu siang dan malam. Timbulnya akan sikap takut dan penuh kagum kepada Allah tersebut diatas disebabkan karena setelah para ulama atau ilmuwan mendalami ilmu pengetahuan tersebut di atas, mereka merasa bahwa kekuasaan Allah itu demikian luas, dan manusia merasa kecil dihadapannya, serta tidak mungkin untuk

21 Dalam teks Arabnya berbunyi: Syakautu ila waqi‟in suahifdzi fa arsyadani ila tarki al-ma‟ashi wa „allamani bi anna al-ilm nurun wa nur Allah la yuda lil ashi. Artinya : Aku mengadu kepada guruku waqi, karena sulitnya mengahafal, guru mengajarkan agar aku meninggalkan perbuatan maksiat. Guru memberitahukan bahwa ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya itu tidak akan ddiberikan kepada orang-orang yang berdosa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Imam Bukhori yang dikenal sebagai ulama besar dalam bidang hadits.menurut riwayat bahwa Imam Bukhori mennetukan metode dan kriteria dalam penetapan hadits yang shahih dalam kitabnya Shahih Bukhari. Menurutnya hadis shahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh prawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak bertentangan dengan nas yang lebih tinggi. Ia mencoba pergi berkelana mencari hadis dari satu negri-ke negri lain, kemudian menyeleksinya dengan kreteria tersebut. Dari 300.000 hadis yang ia dapat kemudian ia teliti dengan cermat dan sampai pada kesimpulan bahwa hadis yang shahih itu hanya setengah persennya saja,yakni 1500 hadis. Namuan yang sisanya itu terlebih dahulu ia mintakan petunjuk kepada Allah dengan terlebih dahulu shalat Istiqharah.

187

menandingi-Nya (Ibrahim, 2000: 88-90). Renungan manusia terhadap Allah adalah perenungan yang kontinyu dalam segala segi kegiatanya sehari-hari. Perenungan ini merupakan landasan yang tetap bagi kebijaksanaan yang akan lahir dari berpikir dan berbuat. Kegiatan berpikir manusia adalah suatu kerja universal dan integral. Liputan berpikirnya tidak saja mengenai keadaan langit dan bumi , akan tetapi termasuk di dalamnya peristiwa-peristiwa dan sejarahnya. Kajian yang paling radikal dari pengunungan misteri alam semesta ini ialah usaha membuka tabir sejarah penciptaanya. Formulasi pengetahuan manusia tentang alam semesta disajikan lewat rumusan yang sistemik dan rasional, untuk kemudian disebut sains. Tafakur melahirkan sains. Makin dalam tafakur manusia, makin banyak kesan yang terlintas dari pengamatannya. Penghargaan yang tinggi diberikan oleh Allah kepada manusia yang berhasil mensintesis kegiatan berpikir dan berzikirnya menjadi suatu rumusan yang mencermikan keterkaitan hubungan antara keduanya. Allah Swt menggambarkan hubungan itu dengan ungkapan: “…Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka lindungilah kami dari azab neraka” (Saefuddin, 2010: 280-281). Perasaan yang demikian, membawa manusia untuk mensyukuri ilmu pengetahuan yang diberikan oleh Allah Swt itu dengan cara menggunakannya untuk tujuan-tujuan yang mulia. Dengan kerangka berfikir aksiologi keilmuan yang demikian itu, maka Islam menganjurkan dan mendorong agar ummat manusia mengembangkan ilmu pengetahuan apa saja, sehingga ia menjadi ahli agama, ahli ekonomi, ahli politik, ahli pendidikan, ahli, biologi, ahli, fisika, ahli kedokteran dan sebagainya, dengan ketentuan ilmu-ilmu tersebut diabadikan dalam rangka beribadah kepada Allah melalui pemanfaatannya untuk tujuan-tujuan kemanusiaan, peningkatan harkat dan martabat manusia, menciptakan kesejahteraan sosial, pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam sains serta pembinaan akhlak yang mulia (Nata, 2003: 78-79). Karena penting ilmu pengetahuan itu harus diimbangi dengan akhlak yang mulia, sebagaima Albert Enstein pernah berkata “Ilmu tanpa agama (akhlak) adalah buta”. Hal demikian di atas perlu ditegaskan, karena dalam rangka membangun peradaban manusia dan kesejahteraannya tidak hanya cukup dilakukan oleh ahli ilmu agama saja, atau ahli umum saja. Melainkan harus dilakukan bersama-sama. Untuk menciptakan masyarakat yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Menurut Abuddin Nata dalam Studi Islam Komperhensif, pengembangan ilmu pengetahuan secara aksiologi adalah sebagai berikut: “Menurut al-Qur‟an dan Sunah untuk menggunakan ilmu secara benar dan memberikan manfaat (aksiologi), maka ilmu itu harus disandarkan dengan iman dan digunakan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah dalam bentuk mengarahkan penggunaan ilmu tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat

188 bagi manusia dan untuk mendukung hal-hal yang berdampak positif bagi umat manusia dan lingkungan hidup” (Nata, 2011: 383). Dalam Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, pandangan integralistik tentang ilmu pengetahuan sebagaimana tercermin dalam konsep ontology, epistemology, dan aksiologi sebagaimana tersebut tidak berarti bahwa bahwa setiap manusia dapat menguasai seluruh pengetahuan. Ilmu pengetahuan demikian luas, dan setiap jenis ilmu pengetahuan memiliki cabang yang amat banyak, dan untuk mengetahui satu cabang ilmu saja, tidak mungkin dilakukan oleh manusia, dikarenakan memiliki keterbatasn waktu, usia manusia. Baik waktu, usia manusia dan segenap kemampuan yang dimiliki manusia tidak mungkin cukup untuk mendalami satu cabang saja dari ilmu pengetahuan (Shalah, 1978: 76). Sikap demikian itu perlu dimiliki selain agar tidak menimbulkan sikap sombong, juga agar ilmu yang dimilikinya tidak mandeg yang disebabkan karena berhenti belajar. Orang yang merasa sudah cukup ilmunya, lalui ia berhenti belajar, maka sesungguhnya ia telah menjadi orang yang bodoh. Bangunan ilmu yang bersifat integrative dengan memposisikan al- Qur‟an dan hadits sebagai sumber utama selain sumber lainya sebagaimana digambarkan berikut:

189

Gambar. 4.3 : Pola Bangunan Sains (Natural Sciences) Integratif

Teknologi

TAUHID Kedokteran Arsitektur

Pertanian Geologi Teknik Kelautan Matematika Geografi Ayat-ayat Pengairan Farmasi Kauniyah Astronomi Perikanan Peternakan

Biologi Kimia Fisika ALAM JAGAT RAYA

PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU INTEGRATED ILMU ALAM

Al-Qur’an Ayat-ayat HASIL ESKPERIMEN (IJBARI) qauliyah Hadits Gambaran tentang pengembangan ilmu dan berbagai cabang serta sumbernya dalam ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat qauliyah, kiranya dapat dijadikan sebagai salah satu alternative untuk membangun keilmuan yang integrated. Ilmu diatas terdiri atas rumpun ilmu alam atau fenomena alam (natural sciences). Pada umumnya ilmuwan pada zaman klasik dalam menggali rumpun ilmu tersebut di atas bersumberkan pada ayat- ayat qauliyah dan juga kauniyah. Oleh sebab itu cara yang ampuh ditempuh oleh para ilmuwan klasik sebagaimana di zaman al-Ma‟mun dengan menggalinya menggunakan metode eksperimen atau ijbari. Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa

190 paradigma pengembangan ilmu pada zaman al-Ma‟mun merupakan pengembangan integrated yang berbasis pada Tauhid yang melihat, baik pada dataran ontology, epistemology, maupun aksiologi yang merupakan kesatuan dari Allah. Paradigma atau Pandangan ini jauh lebih unggul dibandingkan dengan pandangan pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang dikembangkannya di Barat yang bercorak parsial, tidak utuh dan tidak kokoh sehingga mudah sekali ilmu-ilmu tersebut digunakan untuk tujuan-tujuan yang menghancurkan martabat manusia, termasuk manusia yang menciptakan ilmu pengtahuan itu sendiri. Berpijak pada konsep Tauhid, tergambar bahwa paradigma pengembangan ilmu dalam Islam telah memadukan unsur duniawiyah dan ukhrowiyah. Pengembangan ilmu merupakan suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa, berpikir, dan berkarya untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya untuk merealisasikan fungsi kehambaan kepada Allah dan misi kekhalifahaan di muka bumi sebagai makhluk yang memakmurkan kehidupan bersama dengan aman, damai dan sejahtera. Melalui landasan filosofis seperti itulah, dalam sejarah Islam telah membuktikan sebagai umat yang memiliki peradaban gemilang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan mengungguli kejayaan Barat pada zamannya. Dengan paradigma pengembangan yang integrated, Islam telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar dari berbagai disiplin ilmu, seperti Jabir, al-Razi, al-Khawarizmi, al-Biruni, Ibnu Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi, al-Kindi, dan puluhan ilmuwan Muslim lainnya yang diakui oleh dunia. Selanjutnya sebagaimana diatas, berbagai teori dalam ilmu alam ini dapat dipadukan dengan teknik, maka lahirlah teknologi, yang secara harfiyah ilmu tentang teknologi, atau hasil sintesis dan perkawinan antara ilmu alam dan teknik. Teknologi pada hakikatnya merupakan penerapan teori-teori ilmu alam dengan teknik tertentu. Contoh, penerapan teori tentang air yang dipanaskan mendidih, dan didinginkan membeku. Teori ini melahirkan lemari kulkas yang dapat mendinginkan air, atau dispenser yang dapat memanaskan dan mendinginkan air. Kemudian ketika teknologi inilah yang akan menjadi sebuah peradaban yang maju dalam hal intelektual dan lain sebagainya, sehinga tak salah kalau pada abad klasik dan awal pertenghan Islam berada pada puncak kejayaan (the golden age) dalam hal ilmu aqli. Islam mampu memegang kendali peradaban dunia dimana Barat masih terkungkung dengan dogma-dogma gereja yang mementingkan kepentingan politik sehingga Barat berada dalam masa kegelapan (the dark age). Teknologi merupakan totalitas cara-cara yang diciptakan manusia untuk menyuguhkan benda-benda, mateil, peralatan dan kendaraan demi

191 kenyamanan, kelestarian, dan peningkatan kualitas kehidupannya. Teknologi lahir sebagai penerapan yang cerdas dan bijaksana dari sains dasar, yaitu fisika, kimia, geologi, biologi dan farmasi dengan dukungan tak ternilai dari matematika dan dikelola dengan bantuan sains terapan dan ilmu teknik (rekayasa) serta berpotensi melibatkan diri sebagai penjaga gawang terjaganya misi manusia sebagai rahmatan lil „alamin (Bagir, 2005: 169). Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan Sains pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman. Upaya yang lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam. Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori sains yang didasarkan kepada al-Qur‟an, menjadikan al- Qur‟an sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur‟an dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil „alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi non-Muslim juga bisa merasakan hasil dari objektivikasi ajaran Islam. Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu sains sebaiknya mengacu kepada perspektif ontologis, epistemologis dan aksiologis. Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu pengetahuan (sains) itu pada hakekatnya, adalah merupakan pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang ayat-ayat Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam al- Quran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat tersebut, maka hasil kajian atau pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah Swt. Dari perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran dan hati yang diciptakan Allah swt. terhadap hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah). Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari ayat-ayat Allah

192 dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya. Ilmu pengetahuan alam (sains) adalah anugerah yang Tuhan berikan kepada hamba-Nya untuk dapat mengenali-Nya. Jika ada sesuatu yang disebut “ilmu”, namun tidak membawa seseorang mengenali-Nya pastinya adalah kesia-siaan. Mengacu kepada Hadits, “buahnya ilmu adalah ibadah”. Spektrum ilmu seperti yang dimaksud diatas sejatinya amatlah luas. Bukan sekedar ilmu agama saja, namun juga melingkupi semua pengetahuan (sains) yang dapat mendekatkan seseorang kepada Tuhan- Nya. Kalaupun ada yang disebut ilmu agama, dan sains itu semata hanyalah persoalan pembagian ilmu. Sebagaimana sebuah mata uang, dimana satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Keduanya berusaha menangkap tanda ilahi yang dalam istilah Syed Hossein Nasr sebagai jejak ilahi (Vestigia Dei). Cara pandang seperti inilah yang membuat muslim pada beberapa abad yang lalu menjadi mercusuar kemajuan sains. 1. Paradigma Islam terhadap Alam (Sains) Islam melihat alam bertasbih, saling terkait satu sama lain dengan manusia. Alam juga berjiwa, ia akan merasa sedih jika ada manusia yang merusak alam, sebagai contoh: ketika manusia menginjak rumput atau pohon apabila di tebang, ia akan mengeluarkan getah, hal tersebut sebagai respsentasi bahwa pohon memiliki jiwa dan merasa sedih (mengeluarkan air mata) jika di tebang rusak kelestariaanya. Akan tetapi alam juga akan menjadi sahabat bagi manusia, apabila ia di lestarikan, di manfaatkan dan di rawat, maka pohon akan mengeluarkan bunga dan juga buah yang dapat dimakan oleh manusia, hal tersebut adalah sebagai tanda trimakasih alam kepada manusia sebagai kholifah di Bumi. Alam mengandung ayat-ayat Allah (kauniyah) sebagai tanda bahwasanya alam merupakan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa, Menurut Islam pandangan terhadap alam semesta bukan hanya berdasarkan akal semata. Alam semesta difungsikan untuk menggerakkan emosi dan prasaan manusia terhadap keagungan al-Khaliq, kekerdilan manusia di hadapan-Nya, dan pentingnya ketundukan kepada-Nya. artinya, alam semesta dipandang sebagai dalil qath‟i yang menunjukkan keesaan dan ketuhanan Allah. a. Keteraturan Semesta adalah kekuasaan Allah Allah adalah penata sunnah semesta yang dengan topangan kekuasaan-Nya, Dia menjalankan dan mengatur semesta sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

193

         

Dan Dia menahan [benda-benda] langit jatuh ke bumi, melainkan denganizin-Nya…” (Q.S. al-Hajj: 65)

Manusia merupakan bagian dari alam semesta ini. Karenanya dalam segala persoalan hidup dan matinya, manusia harus tunduk pada ketentuan Allah, Penguasa tertinggi dan sunnah-sunnah ciptaan-Nya. b. Alam Semesta Tunduk kepada Allah Dari bahasan terdahulu, kita dapat menyimpulkan bahwa seluruh semesta ini tunduk pada pengaturan, perintah, iradat dan kehendak Allah. Allah menjelaskan hal itu dalam berbagai ayat:

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada satupun melainkan bertasbih dengan memujinya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. sesungguhnya Dia adalah Mahapenyantun lagi Mahapengampun. (Q.S. al-Israa‟: 16-17)

Ketaatan dan ketundukan alam semesta membuktikan keagungan dan kesucian Allah. Maka manusia yang berfikir dan berakal, lebih layak lagi untuk mengakui nikmat dan karunia Allah, merasakan kebesaran- Nya, atau memuji dan menyucikan-Nya dengan bertasbih. Inilah pendidikan manusia yang paling mendasar. c. Alam Semesta ditaklukkan untuk manusia. Agama Islam adalah agama yang istimewa. Melalui pengarahan bahwa manusia telah diberi kekuasaan oleh Allah untuk memanfaatkan segala potensi alam semesta ini. Yang jelas, Allah telah menaklukkan alam semesta bagi manusia, mulai dari yang pengaruhnya besar, seperti matahari, hingga yang pengaruhnya kecil, seperti atom dan lebah. Firman Allah:

            

            

194

    .      

           

         

Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (Q.S. Ibrahim: 32-34)

    .        

        .

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan- Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Baqarah: 29)

     .    

           

          

195

         

        

         

           

             

 .     

Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya), Dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, dan (dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka mendapat petunjuk. Maka Apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa- apa) ?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S an-Nahl: 12-18)

196

Sebagaimana ayat di atas dapat juga dikatakan bahwa alam dapat membawa manfaat bagi manusia, Allah telah menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan, bintang-bintang untuk manusia dengan perintah-Nya. Hal tersebut sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah). Dan Allah jugalah menundukkan lautan untuk umat manusia agar dapat memakan daripadanya ikan, dan mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang dapat dipakai manusia dalam berhias. Oleh karena itu sudah sepantasnya manusia supaya dapat bersyukur. Dan Allah menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak bergoncang, lalu Allah menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan agar manusia mendapat petunjuk, dan juga menciptakan tanda-tanda penunjuk jalan dengan bintang-bintang. Setiap ayat yang diturunkan sejak 14 abad silam, menuturkan pemanfaatan sinar matahari, cahaya bulan, tenaga angin, cahaya bintang, gunung-gunung, lautan, dan segala perkara yang telah ditundukkan Allah bagi manusia dan Allah pun telah memberikan kunci-kuncinya kepada manusia. Dan jika dilihat dari segi pendidikan, al-Qur‟an telah mendidik manusia dalam pemanfaatan alam semesta melalui cara yang tidak menyesatkan atau melampaui batas. Dengan demikian pemanfaatan tersebut mengotori air sungai, tidak berlebihan dalam memanfaatkan satwa lautan, serta tidak mendhalimi saudaranya lewat permusuhan atau dusta. Sebagaimana ayat-ayat Allah di atas terlihat jelas, bahwa alam di tundukkan kepda manusia agar mereka dapat berpikir dengan akal sehatnya, terdapat keagungan Allah. Oleh karena itu manusia harus dapat memanfaatkan alam sebaik mungkin dan tidak boleh di ekploitasi untuk kepentingan pribadi, agar alam senantiasa dapat terus membrikan manfaatnya untuk kelangsungan hidup manusia. Jika tidak, maka alam jugalah yang akan memberikan dampak yang tidak baik untuk manusia, seperti pemanasan global yang sudah meresahkan masyarakat. Ayat-ayat di atas dan juga ayat lain yang sejenis mendorong manusia untuk melembutkan hati, memuji Allah, menyukuri nikmat Allah, bertasbih kepada Allah, dan bertauhid kepada Allah, serta mampu mendidik daya afeksi dan emosional manusia untuk tunduk kepada Allah. Selain itu melalui ayat tersebut, akal manusia terdidik untuk terbiasa dalam kondisi ilmiah. Artinya kita menggunakan prinsip praktis dan penggunaan kaidah-kaidah ilmiah dalam mengolah potensi alam untuk kesejahteraan manusia. Ketika manusia melihat alam begitu mengagumkan, maka alam pun disembah sebagaimana pada masyarakat Mesir kuno misalnya, dengan sifat keprimitifannya, jika sungai Nil menjadi kering maka mereka berupaya memberikan pengorbanan berupa wanita-wanita cantik untuk

197 diberikan kepada alam untuk dikorbankan, agar alam kembali memberikan manfaat pada masyarakat Mesir kuno lewat sungai Nil tersebut. Jika melihat sisi Tauhid, sangat bertentangan sekali dengan Islam, bahwasanya Islam tidak mengajarkan sebagaimana pada masyarakat Mesir. Tetapi pada prinsipnya sama, bahwa alam dapat di manfaatkan guna kelangsungan hidup orang banyak. Ilmu adalah hasil usaha manusia dalam menentukan kebenaran, akan tetapi ilmu sifatnya tidak mutlak, karena ia adalah hasil pemikiran manusia, oleh sebab itu ilmu dapat juga salah. Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu mengandung kebenaran dan juga kesalahan. Ilmu menggunakan bahan-bahan yang diciptakan oleh Tuhan, agar manusia dapat menggunakannya dengan bijak untuk memashlahatan umat manusia dimuka Bumi. Ilmu alat untuk bisa dekat dengan Tuhan, untuk bisa berbuat baik pada manusia. Oleh karenanya ilmu saling terkait antara, manusia, alam dan Tuhan. Ilmu alam dalam bersifat empiris dan juga rasional, sebagai contoh ilmu alam yang bersifat empiri: apabila ada tanaman yang ditanam, yang ditanam dengan perawatan menggunakan pupuk dan air yang cukup, maka tanaman tersebut akan tumbuh subur, dan akan menghasilkan buah yang banyak hal tersebut dapat diterima oleh akal, lalu ada tanaman yang diberi pupuk dengan yang tidak dapat diketahui perbedaannya sangat jelas. Oleh karena itu paradigma keilmuan merupakan kacamata yang mempersepsi alam berlandaskan Tauhid.

2. Al-Qur’an sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan (Sains) Semua yang berasal dari Tuhan, termasuk pengetahuan (Sains) karena Dia-lah Tuhan yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu. Semua persoalan ilmu pengetahuan yang telah mantap dan meyakinkan, merupakan perwujudan atau manifestasi dari pemikiran yang sungguh- sungguh dan mendalam yang dianjurkan oleh al-Qur‟an, tidak ada sedikit pun yang bertentangan dengannya. Ilmu pengetahuan yang telah maju dan telah banyak pula masalah-masalahnya yang muncul, meskipun demikian, apa yang telah tetap dan mantap daripadanya tidaklah bertentangan sedikit pun dengan salah satu dari ayat-ayat al-Qur‟an. Ini saja menurut al-Qattan sudah merupakan kemukjizatan dari al-Qur‟an (al-Qatatan, t.t: 383). Memang pada prinsipnya al-Qur‟an merupakan informasi ilmiah yang banyak memperhatikan ilustrasi-ilustrasi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, yang sedikit demi sedikit dan setahap demi setahap dapat terungkap rahasianya melalui penelitian yang mendalam dan penyelidikan yang serius, baik di laboratorium-laboratorium, di daratan, di lautan maupun di angkasa raya. Padahal untul mengetahui bahwa al-Qur‟an diturunkan di tengah-tengah masyarakat yang masih primitif yang

198 kebanyakan dari mereka buta huruf. Sehingga keberadaan ilmu pengetahun pada waktu itu masih belum dapat menjamin terbongkarnya informasi-informasi ilmiah yang dapat dijadikan sebagai fakta-fakta di dalam mengungkapkan ilustrasi-ilustrasi ilmu pengetahuan yang terkandung di dalam al-Qur‟an al-Karim (Charisma, 1991: 213). Dimana al-Qur‟an hanya menyajikan garis besarnya saja, dan akal diperintah untuk mencari perinciannya dengan memperhatikan rumus, isyarat atau contoh-contoh yang ada, khususnya dalam hal ini mengenai sains (Azhim, 1989: 76). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-„Ankabût ayat 43. Al-Qur‟an sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, adalah merupakan peletak dasar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Dalam kaitan ini, Syamsul Arifin menyatakan bahwa al-Qur‟an merupakan sumber ilmu pengetahuan yang utama, dan ia telah banyak memberikan informasi, di samping sebagai petunjuk kepada manusia cara memperoleh ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dipahami secara lafzhi dari beberapa ayat yang mengisyaratkan agar al-Qur‟an dijadikan sebagai sumber ilmu. Ayat-ayat tersebut selalu memakai kata-kata seperti ya‟qilûn, yudabbirûn, yatafakkarûn, dan lain sebagainya. Begitu pula ketika al-Qur‟an mengisyaratkan untuk menjadikan alam semesta, diri manusia maupun sejarah, dipakai kata-kata seperti yanzhuru, yafqahu, yatadzakkaru, dan sebagainya. Di samping itu, cara memperoleh pengetahuan al-Qur‟an juga dapat dipahami melalui konteks ayatnya. Dalam kaitan ini Sayid Sabiq menjelaskan bahwa manusia pada awal mula kelahirannya tidak tahu apa-apa, walaupun ia dibekali dengan alat-alat persiapan yang memungkinkan dia tahu (QS. al-Nahl: 78). Alat- alat tersebut adalah pendengaran, penglihatan dan akal; dimana dengana alat-alat ini manusia dapat memperoleh pengetahuan, dapat mengamati seluk beluk alam semesta, sehingga pada akhirnya ia mengetahui rahasia- rahasia alam dan memanfaatkannya sesuai dengan perintah Allah, sebagai rasa syukur atas pemberian-Nya yang begitu banyak. Oleh karena itu, siapa saja yang tidak mendayagunakan alat-alat pemberian Allah Swt. itu, berarti ia telah melepaskan diri dari sifat-sifat kemanusiaannya. Mereka tidak berbeda dengan binatang, karena mereka tidak memiliki pengetahuan sebagai benteng kepribadiannya, dan bahkan mereka lebih sesat lagi (Sabiq, 1981: 71). Sebagaimana dalam surat al-A‟râf ayat 179. Pengetahuan indera ini masih ada pengetahuan yang lebih tinggi yaitu pengetahuan akal. Pengetahuan ini dapat dipahami dari term-term yang ada dalam al-Qur‟an, yaitu: tafakkur (merenungkan), ta‟aqqul (memikirkan), tafaqquh (memahami), dan tadzakkur (mengambil pelajaran); dimana term-term ini diungkapkan dala bentuk kata kerja (fi‟il). Hal ini menunjukkan bahwa term-term ini merupakan dasar

199 metodologi yang perlu dan bisa dikembangkan. Selain itu, pengetahuan wahyu/ilham juga merupakan cara memperoleh pengetahuan atau kebenaran. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang langsung diberikan oleh Allah Swt. kepada hamba-Nya yang dikehendaki, tanpa adanya proses berpikir dan pengamatan empiris. Term-term yang digunakan dalam pengetahuan ini adalah seperti „allamahu (Dia mengajarinya) atau „allamanahu (Kami telah mengajarinya). Demikian penjelasan Syamsul Arifin mengenai pengetahuan indera, akal dan wahyu (Rakhmat, 1991: 207-210). Al-Qur‟an (dalam kaitannya dengan akal manusia) mengarahkan manusia untuk mempergunakan akal pikirannya dalam seluruh sikap, gerak dan tindak. Ia menyuruh manusia untuk mempergunakan akal pikirannya dalam mengamati dan meneliti alam semesta ini. Dimana alam semesta ini merupakan laboratorium yang Allah ciptakan untuk manusia. Al-Qur‟an juga mengajak untuk mengadakan perjalanan di dunia, memikirkan peninggalan-peninggalan orang-orag atau umat terdahulu serta meneliti keadaan bangsa-bangsa, kelompok-kelompok manusia, kisah-kisah, sejarah dan pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dari mereka. Secara khusus, al-Qur‟an mengajak manusia untuk mempelajari ilmu-ilmu kealaman, matematika, filsafat, sastra dan semua ilmu pengetahuan yang dapat dicapai oleh pemikiran manusia. Al-Qur‟an menganjurkan manusia untuk mempelajari ilmu-ilmu itu adalah semata- mata untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia itu sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Dari sini, al-Qur‟an sebagai kitab yang mendorong manusia untuk mempelajari berbagai ilmu, mengajarkan suatu konsep yang utuh tentang ilmu ke-Tuhanan, prinsip-prinsip umum akhlak dan hukum Islam. Dalam hal ini, perlu dicatat dan diingat bahwa ilmu pengetahuan (sains) dalam perspektif al-Qur‟an atau hakikat-hakikat ilmiah yang disinggung al-Qur‟an sebagaimana yang dikemukakan oleh Quraish Shihab, dikemukakan dalam redaksi yang singkat dan sarat makna, sekaligus tidak terlepas dari ciri umum redaksinya yakni memuaskan orang umum dan para pemikir. Orang umum (awam) memahami redaksi tersebut ala kadarnya (sesuai kemampuannya), sedangkan para pemikir melalui pemikiran, renungan dan analisis mendapatkan makna-makna yang tidak terjangkau oleh orang umum itu ( Shihab, 1998: 166; al- Ghazali, 1997: 174-193). Lebih lanjut Achmad Baiquni menjelaskan bahwa untuk dapat memahami ayat-ayat al-Qur‟an yang menyangkut alam semesta ini serta proses alamiah yang terjadi di dalamnya, tidak lain harus dengan cara meneliti alam, al-kaun itu sendiri dengan melakukan serangkaian kegiatan. Dengan kegiatan dan penelitian itu, kita telah membaca ayat-

200 ayat Allah dan pada akhirnya akan dapat mengetahui dan memahami rahasia-rahasia ayat-ayat Allah tersebut (Baiquni, 1996: 233-234). Al-Qur‟an menuntut supaya manusia berpikir, merenung, melihat dan bertanya diri, menarik dan menyimpulkan. Al-Qur‟an tidak hanya membuka kesempatan untuk mengadakan penelitian saja, tetapi memuaskan dan menarik naluri akal manusia, bahkan mendorong dan mengharuskannya menjalankan fungsi serta tugas-tugasnya dengan memperhatikan berbagai contoh yang telah dikemukakan dalam ayat-ayat al-Qur‟an. Posisi al-Qur‟an terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi itu juga dapat dijelaskan dengan jalan mencari sumber ilmu dan sumber cara mengembangkan ilmu menjadi teknologi. Al-Qur‟an sebagai sumber ilmu memberikan benih-benih dasar yang paling esensi untuk dapat dikembangkan oleh manusia menjadi ilmu dan teknologi yang tidak terhingga ragamnya dan tidak terhingga arah pencapaiannya. Selain itu, al-Qur‟an akan menjamin kebenaran ilmu yang bersumber darinya, kebenaran arah pengembangannya, karena semuanya bersumber pada sunnah Allah, dan jiwa ketaqwaan dan keimanan dari manusia sebagai subyek yang melakukannya. Kisi-kisi batas kewenangan manusia untuk menggapai ilmu juga telah ditetapkan di daam al-Qur‟an (al-Aqqad, 1986: 16). Jelaslah bahwa al-Qur‟an demikian menghormati kedudukan ilmu dengan penghormatan yang tidak ditemukan batasannya atau bandingannya dengan kitab-kitab suci yang lain. Sebagai bukti, al-Qur‟an mensifati masa Arab sebelum datangnya Islam dengan jahiliyah (kebodohan). Al-Qur‟an memberikan kepada manusia kunci ilmu pengetahuan (sains) tentang dunia dan akhirat serta menyediakan peralatan untuk mencari dan meneliti segala sesuatu agar dapat mengungkap dan mengetahui keajaiban dari kedua dunia itu. Al-Qur‟an juga mendorong manusia mendapatkan sesuatu yang mungkin ia dapat di dunia ini, kemudian memanfaatkannya untuk kesejahteraannya, baik kesejahteraan dunia maupun akhirat. Dorongan-dorongan yang ada dalam al-qur‟an bagi manusia untuk menggunakan akalnya, berpikir dan berpikir tentang segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, sekaligus merupakan kemukjizatan al-Qur‟an ditinjau dari segi isyarat ilmiah.

Teknologi mengandung arti cara dan masukan yang dipergunakan dalam usaha produksi. Kegiatan tafakur yang menghasilkan rumusan- rumusan sains dimanfaatkan sepenuhnya oleh manusia untuk memenuhi beberapa hajat kebutuhannya. Dengan berbekal pengetahuan tentang watak tanaman, para petani berikhtiar mencari metode bercocok tanam untuk mempertinggi produksi tanamannya.

201

Tabel. 4.4 : Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban Ilmiah zaman Keemasan (The Golden Age) pada Masa Al-Mansur, Harun Al-Rasyid, Al-Ma‟mun Dinasti Abbasiyah.

Bidang ilmu Perkembangan pengetahuan Al-Mansur Harun al- Al-Ma‟mun Tokoh Utama Rasyid Matematika Pertama Dimanfaatkan Digunakan Al-Khawarizmi kali untuk hukum untuk (780-850 M) dibawa syari‟at Islam perhitungan dari India (zakat dan waktu, busur melalui waris) derajat, buku yang bilangan Nol berjudul (hitungan), “Sind qwa mengukur Hind ruang dsb. Kedokteran Kholifah - - Hunain bin sering Mengembangk mengembangk Ishaq (809-873 mengunda an ilmu an ilmu M) ng dokter kesehatan, dan kesehatan dari India, pengobatan, untuk Mesir, membangun menyembuhka Syiria, pendidikan n penyakit, untuk kedokteran menerjema hkan buku kedokteran Yunani Filsafat Sudah ada Penterjemahan Berkembang Al-Kindi(804- pada karya-karya kajian Filsafat, 874 M) zaman Yunani yang berpikir mu‟awiyah rasional, , tapi sebagai induk belum ilmu dikembang pengetahua, kan. mazhab Sebagai mu‟tazilah integrasi dasar Negara

202

antara Islam dan Kebudayaa n klasik Astronomi Sebagai Digunakan Observatorium Al-Khawarizmi, penentu untuk sistem gerakan (780-850 M) letak kiblat meramal, benda-benda atau seperti garis angkasa dan ka‟bah politik para pengukuran kholifah lingkaran bumi Kimia -Penemuan Sebagai ilmu -sebagai Jabir bin istilah buat tentang benda pembeda Hayyan (731- benda- cair, padat dan benda padat. 815 M) benda cair gas logam, asam dan padat sulfur, dll Sejarah -sebagai -sebagai Sebagai Ibn Sa‟id pencatat pencatat penulisan (w.845), Ibn sebuah sebuah metodologi Hisyam (w.380 pristiwa di pristiwa secara ilmiah M) istana penting di berdasarkan istana urutan dan rincian pristiwa secata logis Sastra Keindahan Seni dalam Seni dalam Al-Jahiz (776- dalam berbicara berbicara 869 M) berbicara Musik Menghibur Menghibur Menghibur Ishaq al-Washili kholifah kholifah, kholifah dan (767-850 M) perayaan tamu kerajaan kerajaan Tafsir - - Pengkodifikasi As-Suda an tafsir secara (w.810 M) sistematis Kalam Penyelama Sebagai -Aliran Abu Huzail al- /Teologi t dari perkuat atau Mu‟tazilah „Alaf (w. 820 budaya lawan teologi sebagai M) Helenestik orang-orang mazhab resmi Kristen Negara Berpikir dengan akal/rasio

203

Nahwu Penguasan Penguasaan Penguasaan Al-Fara (w. 845 bahasa Bahasa Arab Bahasa Arab M) Arab dalam membaca dan mengaratikan al-Qur‟an Fikih Menjawab Menjawab Menjawab Syafi‟i, (w.320 pelbagai pelbagai pelbagai M) Ahmad Ibn permaslala permaslalahan, permaslalahan, Hanbali (w.885 han, mengatasi mengatasi M) mengatasi perbedaan perbedaan perbedaan kondisi sosial, kondisi sosial, kondisi politik, adat politik, adat sosial, istiadat, tradisi istiadat, tradisi politik, adat istiadat, tradisi Tasawuf Penyucian Penyucian diri Penyucian diri Zunnun al-Misri diri (w.869 M)

ULAMA

TRADISI INTELEKTUAL RIHLAH ILMIAH IJTIHAD KUTTAB RIBATH MAJELIS MENULIS MEMBACA ILMU HALAQOH PENGETAHUAN HANQAH PEMERINTAH ILMUAN PENTERJEMAHAN AR

RUMAH ULAMA MASJID MENELITI BAITUL HIKMAH

MUNAZARAH

INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM

PEND. MULTIKULTURAL PERPUSTAKAAN MEWAKAFKAN BUKU BELAJAR DENGAN GURU (SYEKH)

INTEGRASI ILMU AGAMA DAN UMUM Gambar 4.5 :Pola Gerakan Intelektual Integratif zaman al-Ma’mun

BAB V PENUTUP Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana terdapat pada bab sebelumnya diatas dapat ditarik kesimpulan dan beberapa saran yang perlu dikemukakan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Abbdullah Abbas al-Ma‟mun Ibn Harun al-Rasyid adalah seorang khalifah termasyhur sepanjang sejarah Dinasti Abbasiyah. Selama 20 tahun masa kepemimpinannya mampu meninggalkan warisan kemajuan intelektual Islam yang sangat berharga. Perhatian yang besar, beliau tunjukkan pada pengembangan ilmu, karena cintanya yang demikian besar terhadap ilmu pengetahuan. Tak heran jika langkah-langkah al-Ma‟mun untuk mewujudkan kecintaan dan perhatian terhadap ilmu pengetahuan dapat berguna dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dikemudian hari karena mampu menguasai berbagai aspek ilmu pengetahuan yang dapat menyeimbangkan segala aspek kehidupan. Keberhasilannya menjaga stabilitas kerajaan memungkinnya untuk melaksanakan ambisi besarnya untuk memajukan ilmu pengetahuan. Ia mendirikan Baitul Hikmah, lembaga terjemah yang dilengkapi oleh perpustakaan yang besar dan observatorium. 2. Paradigma pengembangan ilmu pengetahuan (sains) dalam Islam merupakan pola bangunan ilmu pengetahuan yang diibaratkan sebagai landasan kerangka berpikir sehingga terbentuk sebuah model dakam suatu teori ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Islam, world picture yang terbentuk berdasarkan komitment para ilmuwan, semuanya berpangkal dari sumber tungal, yakni pesan-pesan kitab suci al-Qur‟an. Pada dasarnya ayat-ayat kauniyah mengandung dorongan kepada manusia untuk memperhatikan dan memikirkan alam sekitar. Dengan memperhatikan gejala dan pristiwa alam ini manusia sampai pada kesimpulan, bahwa kejadian-kejadian seperti itu tidaklah timbul begitu saja. Semuanya itu mesti diciptakan dan digerakan oleh Allah Swt. Maha Pencipta dan penggerak alam semesta. Berangkat pada prinsip-prinsip al-Qur‟an inilah pula paradigma pengembangan ilmu pengetahuan (sains) dalam Islam disusun. 3. Langkah-langkah al-Ma‟mun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada masa pemerintahanya a. Merupakan gerakan penerjemahan b. Mengoptimalisasikan Institusi pendidikan Islam, serta Mengembangkan institusi pendidikan. c. Kehidupan tradisi intelektual pada masa al-Ma‟mun ditandai dengan integrasi dimensi ilmiah dan rohaniah. Kemajuan intelektual didorong oleh kehidupan yang tekun, kritis, kreatif, dan imajinatif. Tradisi ilmiah yang terjadi pada masa al- Ma‟mun sampai sekarang masih ada yang berjalan terus. Walaupun dalam beberapa hal sudah ada yang terputus. Model pembelajaran halaqah misalnya, masih dapat ditemukan di pedesaan-pedesaan. Namun yang hilang adalah seorang guru tidak lagi membuat diktat sendiri, lagi-lagi buku atau kitab yang diajarkan sebagai ilmu khasnya. Semangat mencari ilmu sampai keluar negeri juga masih berjalan, namun sekarang masih sangat terbatas bagi mereka beruntung lulus seleksi. Dengan demikian, penelusuran hukum kemajuan yang diperoleh dari sejarah ini untuk membangun kembali tradisi keilmuan perlu dilakukan secara sinergi antra ulama dan ilmuan dan juga lingkungan hidup. Mengingat semakin luasnya bidang disiplin

203167 204

keilmuan di masa sekarang ini, maka masih relevan model pembelajaran penguasaan ilmu yang satu sebelum ilmu lainnya. 4. Hasil yang dicapai dalam mengembangkan ilmu pengetahuan: a. Berdirinya Baitul Hikmah dan munculnya konsep dasar pendidikan multicultural di instansi pendidikan Islam, (kuttab, halaqah, majelis dst). Konsep dasar pendidikan multicultural telah dikenal sejak zaman al-Ma‟mun melalui institusi pendidikan Islam, Kuttab, Halaqah, Ribath, Majelis, Rumah Ulama, Masjid, Zawiyah dan Baitul Hikmah. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban yang menjadi tonggak puncak peradaban Islam pada zaman keemasan dalam Islam disebabkan karena institusi pendidikan Islam yang telah menerapkan konsep pendidikan berbasis multicultural. Adapun nilai-nilai kultural yang actual dikembangkan zaman al- Ma‟mun adalah antara lain seperti: toleransi, keterbukaan, kesedrajatan, kebebasa, keadilan, kemiskinan, keragaman, dan demikrasi. Selanjutnya dibalik pesatnya peradaban ada sederet tokoh-tokoh pendidik yang memiliki world view berbasis kultural, antara lain: al-Ma‟mun, al-Kindi, al-Khawarizmi, Imam Syafi‟i, Hunayin bin Ishaq, Imam Ahmad bin Hanbal, Jabir bin Hayyan, al-Jahiz dll. b. Seiringnya berdirinya Baitul Hikmah mulai banyak bermunculan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang penting untuk dikembangkan dan juga dipelajari seperti pertumbuhan ilmu-ilmu agama (IlmuTafsir, Ilmu Hadis, Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Akhlak) dan ilmu-ilmu umum (Ilmu Filsafat, Ilmu Kedokteran, Ilmu Astronomi, Ilmu Matematika, Humaniora, dan Geografi). c. Munculnya tokoh-tokoh penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan memajukan peradaban dunia Islam yang sezaman dengan al-Ma‟mun. Seperti dalam bidang Agama; Imam Syafi‟i, Imam Hanbali, Muhammad ibn Sa‟ad, Abu Huzail al- „Alaf, Imam Bukhori) dan bidang umum; Jabir bin Hayyan, Muhammad ibn „Umar al-Waqidi, Ibn Sa‟ad, al-Khawarizmi, al-Jahiz, Hunayn bin Ishaq). d. Munculnya tradisi intelektual zaman al-Ma‟mun, secara historis umat Islam adalah pelopor kebangkitan ilmu pengatahuan, kebudayaan, dan juga peradaban. Umat Islamlah yang merintis dan bertindak sebagai pioner yang mengembangkan ilmu pengetahuan agama dan juga umum secara komperhensif sebagaimana pada zaman Kholifah al-Ma‟mun, yang telah mengembalikan situasi politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya sehingga menjadi stabil, hal tersebut sampai saat ini tidak bisa terpisahkan oleh sejarah dan masih banyak ditemui diberbagai perpustakaan di belahan dunia. Terjadinya kondisi semacam ini, antar lain disebabkan karena pada zaman al-Ma‟mun telah mengembangkan, menghidupkan lahirnya tradisi intelektual yang amat beragam, yaitu: rihlah ilmiah, meneliti, membaca, menulis, munazarah, membangun perpustakaan, membangun institusi pendidikan Islam, mewakafkan buku dan belajar langsung dengan syekh atau guru. e. Pengembangan Ilmu dan Pengaruhnya terhadap Sistem Kemajuan Masyarakat Islam, secara sosio kultural, munculnya tradisi intelektual tersebut terkait dengan tradisi menghargai dan menghormati para ulama dan ilmuwan. Sebagaimana al-Ma‟mun menghargai dan menghormati kebebasan berpikir dan mengeksplorasi ilmu pengetahuan yang di kembangkan oleh ulama dan ilmuwan secara beriringan satu sama lain (integrated), serta adanya kebijakan pemerintah terhadap pengembangan ilmu, baik dari sektor ekonomi, keamanan, kenyamanan, sosial, politik dan lain sebagainya. Pada zaman al-Ma‟mun tidak ada disintegrasi atau paham dikotomis

205

terhadap pemisahan ilmu agama dan ilmu umum, semuanaya terkendali dengan baik. Akan tetapi munculnya paham dikotomis terjadi pada pemerintahan Kholifah al- Mutawakil yang cenderung kepada Asy‟ariyah dan meninggalkan paham Mutazilah serta ilmu-ilmu umum. Ilmu pengatahuan berkembang begitu pesat berikut kebudayaan Islam juga. Para ulama dan ilmuwan seolah-olah berlomba untuk menimba ilmu pengatahuan dan melakukan penelitian untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru, misalnya Ibn Sina adalah seorang Filsuf, ia juga ahli Tasawuf dan juga ahli kedokteran. 5. Paradigma pengembangan sains pada zaman al-Ma‟mun adalah pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang melihat ilmu dari : a. Aspek ontologis yang dibahasnya alam jagat raya, maka para ahli akan menemukan berbagai teori yang disusun menjadi ilmu pengetahuan alam atau yang lebih dikenal dengan sains, seperti langit, bumi, serta segala isi yang ada di antara keduannya, yakni matahari, bulan bintang, tumbuhan-tumbuhan, bintang, api, udara dsb dengan menggunakan metode penelitian eksperimen di laboratorium pengukuran, pertimbangan dsb., maka ilmu yang dihasilkan adalah Ilmu alam (Natural Sciencis) seperti biologi, fisika, kimia, astronomi. Dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur‟an dan penjelasannya, dapat diketahui bahwa alam jagat merupakan sumber ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan alam (sains) ternyata merupakan tanda- tanda kekuasaan Allah Swt. b. Aspek epistemologis yaitu untuk mendapatkan ilmu alam yang berdasakanr pada alam jagat raya harus menggunakan metode ijbari, yakni observasi dan eksperimen yang dilakukan di laboratorium, maksudnya mengadakan percobaan atau eksperimen di laboratorium berkenaan dengan benda-benda alam, baik yang padat, cair atau gas, binatang atau manusia secara fisik. Teori yang sudah ada dipadukan dengan cara teknik pembuktiannya, maka melalui penelitian dan percobaan serta penerapan teori ini, maka lahirlah teknologi. c. Aspek aksiologis yaitu untuk mensyukuri ilmu pengetahuan yang diberikan oleh Allah Swt itu dengan cara menggunakannya untuk tujuan-tujuan yang mulia. Dengan kerangka berfikir aksiologi keilmuan yang demikian itu, maka Islam menganjurkan dan mendorong agar ummat manusia mengembangkan ilmu pengetahuan apa saja, sehingga ia menjadi ahli agama, ahli ekonomi, ahli politik, ahli pendidikan, ahli, biologi, ahli, fisika, ahli kedokteran dan sebagainya, dengan ketentuan ilmu-ilmu tersebut diabadikan dalam rangka beribadah kepada Allah melalui pemanfaatannya untuk tujuan-tujuan kemanusiaan, peningkatan harkat dan martabat manusia, menciptakan kesejahteraan sosial, pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam sains serta pembinaan akhlak yang mulia yang merupakan satu kesatuan dari Allah. dan dengan Model pengembangan ilmu di zaman al-Ma‟mun terpusatkan pada ilmu- ilmu alam (sains). d. Integrasi ilmu pada zaman al-Ma‟mun adalam masa keemasan dalam hal ilmu pengetahuan (ilmu-ilmu aqli) yang masih menyatukan ilmu agama dengan ilmu umum yang berlandaskan pada aspek tauhid. Hal tersebut menandakan tidak ada dikotomis terhadap ilmu, dengan pola gerakan yang Integrated pada pada zaman al- Ma‟mun menciptakan suasan ilmiah, dimana para ilmuwan esiklopedik yaitu (ilmuan yang dapat menguasai lebih dari satu disiplin ilmu) atau dapat menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan.

206

B. Saran 1. Konteksualisasi pengembangan pada zaman al Ma‟mun merupakan Pengembangan Ilmu pengetahuan yang maju pada zaman klasik dan pertengahan. Dimana peradaban saat ini terlihat belum mengimbangi daripada kemajuan ilmu pengetahuan dan pengembangan. Ilmu di zaman al Ma‟mun lebih maju dibandingkan dengan masa sekarang adalah di masa al-Ma‟mun pengembangan ilmu masih berbasis pada Tauhid dan atau integrasi keilmuan masih kental dengan nilai-nilai Keislaman, dibandingkan dengan masa sekarang dimana ilmu masih belum tercerahkan dari sekularisasi ilmu pengetahuan. 2. Kemajuan peradaban ilmu pengetahuan di zaman al-Ma‟mun, adalah zaman keemasan (The Golden Age) akan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan (ilmu aqli) oleh karenanya budaya ilmiah saat ini harus bisa lebih maju dibandingkan pengembangan ilmu pada zaman al-Ma‟mun, dengan semangat menuntut ilmu dan terus mengembangkannya, lalu meregenerasikannya adalah hal yang mesti lakukan bagi setiap umat Muslim di dunia. 3. Bagi setiap Muslim diajnurkan untuk bisa memahami dan mensosialisasikan secara intensif dan simultan tentang hal mendasar dan utama dalam konsep keilmuan yang dapat membawa kemajuan umat Islam, yaitu pandangan bahwa ilmu itu sumbernya dari ayat- ayat qauliyah dan kauniyah Allah, yang baik dan manfaatnya untuk kepentingan umat manusia. 4. Bagi IlmuWan dan ulama atau tokoh-tokoh Islam hendaknya mengkampanyekan secara sistemik, simultan dan kontinyu tentang pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan (sains) di kalangan umat Islam. Agar dapat memberikan sentuhan warna kehidupan yang lebih baik dari masa sebelumnya. 5. Ilmuwan dan ulama atau tokoh-tokoh Islam harus memelopori penyusunan dan penjelasan “integrasi ilmu”. Agar sama-sama dapat memecahkan pebagai permasalahan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 6. Zaman yang maju adalah zaman dimana ada dukungan dan perhatian penuh dari pemerintahan (ulil amri), baik dari segi politik, ekonomi atau bahkan sosial. Setiap muslim harus belajar akan sejarah kepemimpinan dan pemerintahan al-Ma‟mun dalam membangun peradaban intelektual yang tinggi, agar tatanan eksplorasi ilmu pengetahuan dan teknologi dapat terus dikembangkan oleh umat Islam. 7. Bagi pemerintah dan penyelengara institusi pendidikan, terutama pemerintah di Indonesia, dengan jumlah penduduk Muslim terbesar, sebaiknya membuat sebuah sistem pendidikan Islam yang integrated dan professional, dengan meibatkan seluruh komponen yang terlibat, sehingga tercipta geberasi Muslim yang berkualitas tinggi dalam iman dan takwa (imtak) dan professional dalam iptek.

211

Daftar Pustaka

Abid Al Jabiri, Muhammed. (2003.). Kritik Pemikiran Islam : Wacana Baru Filsafat Islam. Cet. I.Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Abdullah, Sulaiman. (2001). Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. Abdurrahman,Dudung. (2003).Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern. Cet. II .Yogyakarta: LESFI. Abdurrahman,Dudung. (1999). Metode Penelitian Sejarah. Cet. II. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Abdurrahman,M. (2002). Ilmu Hadits Sebagai Sumber Pemikiran, dalam Taufik Abdullah.dkk (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban. Jilid IV. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Abu Zahrah,Muhammad. (1948). As-Syafi‟I Hayatuh wa‟ Ashuru Arnuh wa Fiqih, edisi II. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi. ______.(1996). Aliran Politik dan „Aqidah dalam Islam.Cet. I. Jakarta: Logos. „Ady Baihaqi Thabrani, Ibn. dan Khatib . Al Sayyid Ahmad al- Hasyimy Bek, (1948). Mukhtar al-Hadis an-Nabawiyah wal Hikam al Muhammadiyah, Cet. III. Surabaya: al Hidayah. Adian,Donny Gahral. (2002). Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Teraju. Ahmad,Jamil. (2003). Seratus Muslim Terkemuka. Bandung: Pustaka Firdaus. Ahmed,Munirrudin. (1968). Islam Education and Scholar‟s Social Status upto te 5thCentury Muslim Era 11th Century Christian Era) in the Light of Tarikh Bagdad, Verlag: Der Islam Zurich. Ahmed,Shaber, dkk., (1997). Islam dan Ilmu pengetahuan, penterj,: Zetira Nadia Rahma, Bangil, Islamic Cultural Workshop. Al-Abrasy, Muhammad Athiyah. (1975). Al-Tarbiyah al- Islamiyah.Kairo: Maktabah Isa al-Babi al-Halabi. Al-Asqalani,Ibn Hajar. Hady al-Sari. Riasah Idarat al-Buhuts al- „Ilmiyah wa al-Ifta wa al-Da‟wah wa al-Irsyad. Ritadh,t.t. Al-Atas, Sayed Muhammad Naquib. (1991). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: International Islamic Thought and Civilization.

212

______. (1978). Islam and Scularism. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia. ______. (1995). .Islam dan Filsafat Sains. Terj. Saiful Muzzani. Bandung: Mizan. Ali,R.Moh. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Cet. I .Yogyakarta: LKIS. Ali,Abd. Hasa.(t.t.).al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi‟ al- Hijryi.TT: Dar al-Fikr, al-Arabiy. Ali, Syed Amir. (1967). Api Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Al-Albani,Syaikh. dalam kitab “Shahih wa Da‟if al-Jami‟ al- Shaghir.”No. 7360.Maktabah al-Syamilah. Al-Faruqi,Ismail Raji. (1984). Islamisasi Pengetahuan.terj. Oleh Anas Mahyuddin dari Islamization of Knowledge. Bandung: Pustaka.

Al-Fairuzabadi, Abi Thahir Muhammad ibn Ya‟qub. (t.t.). Tanwir al- Maqbas Min Tafsir Ibn „Abbas. Indonesia: Dar Ihya‟ al-Kutub al-„Arabiyyah. Al-Kurdi,Abdul Hamid Rajih. (t.t.). Nazariah al-Marifah bain al- Qur‟an wa al-Falsafah. Riyadh: Maktab Muayyad wa al- Ma‟had al-„Ali li al-Islami, al-Mamlakah al-„Arabiyyah al- Su‟udiyyah. Al-Khatib,Muhammad Ajjaj.(1989. Ushul al-Hadits. Beirut: Dar al- Fikr.. Al-Ghazali.Ihya‟ „Ulum al-Din. Jilid I. Semarang: Maktabah wa Mathba‟ah Toha Putera, tt. al-Qardlawi, Yusuf. (2001). Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21, terj.Yogi Prana Izza dan Ahsan Taqwim. Solo: Era Intermedia, ______. (1995). Jawahirul Qur‟an: Permata Ayat-ayat Suci.terj. Muhammad Luqman Hakim. Cet.III. Surabaya: Risalah Gusti. Al-Gurabi,Ali Mustafa. (1959). Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. Kairo: Mathba‟ah Ali Shahih. Al-Ahwani,Ahmad Fuad. (1985). Al-Kindi Failusuf al-Arab. Mesir:al-Matbaah al Hai‟at al-Misriyah. Al-Mursyi,Ahmad Munir. (1986). .al-Tarbiyah al-Islamiyah, ushulu wa Tathawwuruhu. Kairo: Maktabah Dar al-A‟lam. Al Mas‟udi, Muruj, Jilid IV. 213

Al Munawar,Said Aqil Husin. (2002). Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (ed). Abdul Halim. Cet.I.Jakarta: Ciputat Press. Al-Suyuti.(1968). Tarikh Al-Khulafa. Kairo: Al-Halaby. Al-Usairy.(2003). Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX.Cet. II. Jakarta: Akbar. Al-Zarnuji, Burhan ad-Din, Ta‟lim al-Muta‟alim Tariq al-Ta‟allum. Indonesia: Dar Ihya al Kutub al-„Arabiyah,t.t. Amin,Ahmad. (1965). Fajar al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdah. ______.(1972).Dhuhah al-Islam. Jilid I. Kairo: Maktabah al- Nahdah.. Amin,Husayn Ahmad. (1995).Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam.Cet.II. Peterj.: Bahruddin Fannani. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Amstrong,Karen. (2009). Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen dan Islam selama 4000 tahun. Cet.III. Bandung: Mizan Pustaka. Ansary, Tamim. (2010). Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam. Jakarta: Zaman. Anshari, Endang Saifuddin. (1987). Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu. „Arabi, Ibnu. „Aridat al-Ahwadhi. JuzX. ______. (2005). Reformulasi Pendidikan Islam. Cet.I.Jakarta: CRSD. Arifin,M. (1993). Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum,. Jakarta: Bumi Aksara. Asari, Hasan.(1994.). Menyingkap Zaman Keemasan Islam.Bandung: Mizan. Asar. (1994). Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang. As-Sirjani,Raghib. (2011). Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Cet.I Jakarta: Pustaka Al-Kautsarm. Asnawi,Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Studi Komparasi Pola Pembelajaran antara Pesantren Tradisional Plus dan Pesantren Modern), Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta: 2010, tidak dipublikasikan. Asrorah,Harun. (1999). Sejarah Pendidikan Islam.Cet. I . Jakarta: Logos.

214

Ash Shiddieqy,Tengku Muhammad Hasbi. (2000). Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.Semarang: Pustaka Rizki Putra. AS,Asmaran. (1996), Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press. Atsir,Ibn. Al-Kamilfii Tarikh. Juz VI. Beirut: Darul Ma‟arif. At-Thabari.(1968). Tafsir At-Thabari.Kairo: El Habaly. Azra,Azumardi. (1998).Esei-esei, Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. ______. (1999). dalam “ Hijaz Antara Sejarah Politik dan Sejarah Sosial” Kata Pengantar dalam Badri Yatim. Sejarah Sosial Tanah Suci 1800-1925. Jakarta: Logos. ______. (1994). Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains. dalam Charles Michael Stanton. Pendidikan Tinggi dalam Islam. Jakarta: Logos. ______. (2002). Paradigma Baru Pendidikan Nasional: rekonstruksi dan Demokratisasi. Cet. I. Jakarta: Buku Kompas, Audi,Robert (Ed), Berent Enc, (1995) “Paradigm”, dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: University Press. Aziz,Abdul. (2012). Nilai-Nilai Pendidikan Islam. http : //www.pdf.finder.com. Bacharudin Jusuf Habibie. (2006). “Beberapa catatan Mengenai Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Budaya, dan Peradaban”, Makalah disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa dalam Rangka Penganugrahan Doktor Honoris Causa dalam Teknologi dan Peradaban di Universitas Hasanuddin, Makasar pada tanggal 9 September. Baboar,Ian. (1997). Menemukan Tuhan Melalui sains.Cet. I. Jakarta: Gramedia. Baharuddin, dkk. (2011). Dikotomi Pendidikan Islam.Cet.I. Bandung: Rosda Karya. Baiquni,Achmad. (1996).Al-Qur‟an dan Ilmu Pengetahuan Kealamaman. Yogyakarta: PT. Dana Bakhti Prima Yasa. ______. (1983). Islam dan Ilmu Pengetahuan Modrn. Jakarta: Pustaka. Bakar,Osman. (1988). Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan. 215

Bastaman,Hanah Djumhana (2003). Intergrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bidin, Masri Elmashar, dkk. (2003). Integrasi Ilmu Agama dan Umum. Jakarta: UIN Jakarta Press. Bek, Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimiy. (1948).Mukhtar al-Ahadits al- Nabawiyah wa al-Hikam al-Muhammadiya. Cet. III . Surabaya: al-Hidayah. Bryman,A. (1988). Quantity and Quality in Social Recearch. London: UnwinHyman. Brannen,Junia. (1997). Memandu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bukhsh,Khuda. ((1927). The Education System of the Muslim in the Moddle Age”, Islamic Culture,I Burn,Edwar McNall.(1964).World Civilization, Their History and Culture.New York: WWNorton. Burns,Edward Mc Nall dan Philip Lee Ralp. (1963). Civilization from Ancient to Contemporary. Vol. I. Newyork: W.W Norton and Company, Inc. Charisma,M. Chariq. (1991). Tiga Aspek Kemukjizatan Al- Qur‟an.Surabaya: PT. Bina Ilmu. Chejen,A.G. (1982).Ibn Hazm. Chicago: Kazi Publication INC. Cholil,Moenawar. (1969). Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw. Jakarta: Bulan Bintang. ______. (2000) Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta: Bulan Bintang Clot,Andre (1989). Harun Al-Rasyid and The World of The Thousand and One Nights, London: Saqi Books. Echols,John M. dan Hassan Shadily. (2000).Kamus Inggris- Indonesia: An English- Indonesian Dictionary. , Cet. Ke-24. Jakarta: Gramedia. Daftari, Farhad. (2001).Tradisi-tradisi Intelektual Islam. (terj.) Fuad Jabali dan Ujang Thalib, dari judul asli, Intellectual Tradition in Islam.Cet.I. Jakarta: Erlanga. Dawson, Christhoper. (1962).The Making of Europe.Vol. II. Meridian books, Jhon Mc Neill.The Rise of the West.tt.p, Mentor Books. Degun,Save M. (1997). Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Cet.I. Jakarta: LPKN.

216

Departemen Agama Republik Indonesia.(2005) Al-Qur‟an dan Terjamahnya. Bandung: Syaamil Cipta Media. Djakfar, Muhammad. (2002)..Islamisasi Pengembangan dari Tataran Ide ke Praktis, dalam buku Quo Vadis Pendidikan Islam. (ed.). Mudjia Rahardjo. Malang: Cendikia Paramulya. El-Nagger, Zaghloul.( 2010). Selekta dari Tafsir-Tafsir Ayat-ayat Kosmos dalam Al-Qur‟an. Cet.I. Jakarta: Shorouk International Bookshop. Engineer,Ashghar Ali. (2003). Pembebasan Perempuan, Penterj.: Agus Nuryanto. Yogyakarta: LkiS. Ensiklopedi Al-Qur‟an. (1997). Jilid I.Jakarta: Yayasan Bimantara. Fadjar,A. Malik. (1999). Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia. ______. (2010). Telaah tentang Model Perguruan Tinggi Ilsam, dalam Laode M.Kamaluddin (ed), On Islamic Civilization. Cet.I. Jakarta: Unissula dan Republikata. Farrukh,Umar.(1989). ‟Abqariyat al-„Arab fi al „Ilmi wa al-Falsafah. Beirut :al Maktabah al-„Ashriyah. Fathudin,Usep. (2000).Perlukah Islamisasi Ilmu?. dalam Moeflich Hasbullah, Gagasan dan perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Cet. I. Jakarta: Cidesindo, LSAF, Iris. Gaudah,Muhammad Gharib. (2007). 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, terj. Muhyiddin Mas Rida (ed). Cet.I .Jakarta: Al- Kautsar. Hakim,Taufiqul. (2004). Kamus At-Taqwa: Arab, Jawa, Indonesia: Kamus santri. Bangsar:Amsilati. Halim ibn Taimiyah, Taqiy al-Din Ahmad ibn „Abd al-. (t.t.). Majmu‟Fatwa Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyah.Beirut: Dar Fikr. Halim,Sudarnoto Abdul. “Renaisains Universitas Islam Negri”, Jurnal Alumni UIN Bijak: Tanggung Jawab Kaum Terpelajar, edisi I, Juli 2012. Hanafi,Ahmad. (1996). Pengantar Filsafat Islam. Cet.III. Jakarta: Bulan Bintang. Hanafi, Ahmad. (1986). Theology Islam, (Ilmu Kalam). Cet.VI,. Jakarta: Bulan Bintang. Handrianto,Budi. (2010). Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengiislamkan Sains Barat Modern. Cet.I. Jakarta: Al-Kautsar. 217

Hart,Michael. (1982). Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Terj. Mahbub Djunaidi. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. Hasan,Masuduh. (1992). History of Islam: Clasical Priod 571-1258 C.E. Cet.I. Delhi: Adam Publisher. Hamka, Tafsir al-Azhar. (1988). Jilid XXX. Cet. I. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hamka, (1978). Sejarah Umat Islam.Jakarta: Bumi Bintang. Hamur,Ahmad Ibrahim. (1997). al-Daulat Abbasiyah al-Ashr al- Abbas al-Awwal,Ashr al-Quwwah, wa al-nufudz wa al-amal. Mesir: Dar al-Thaba‟ah aal-Muhammadiyah. Hitti,Philip K. (1974). History of the Arab. London: Macmillan Press Ltd. ______. t.t. Dunia Arab Sejarah Ringkas. Cet.VII. Bandung: Sumur Bandung. Heriyanto,Husain. (2011). Menggali Nalar Saintifik Peradaba Islam. Cet.I. Jakarta: Mizan. Hoesen,Oemar Amin. (1975.). Kultur Islam. Jakarta: Bulan Bintang. http://www-groups.dcs.st nd.ac.uk/~history/Mathematicians/Galileo. html. 2013. Ikhrom. (2001). Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam; Upaya Mengkap Sebab- sebab dan Penyelesaiannya, dalam buku Pradigma Pendidikan Islam (ed.) Ismail SM., et.al. Yogyakarta: Pustaka Pelehar. Izzuddin,Didin. (2001). Mihnah dan Politisasi Teologi: Studi Sejarah dan Politik. Tesis program Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jalaluddin. (2013). Filsafat Ilmu Pengetahuan: Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban, Cet.II . Jakarta: RajaGrafindo Persada. J. Robson, Al-Bukhari. (1960). Muhammad bin Islamil, dalam Encyclopedia of Islam, I, Leiden. Jalaludin, Abdulah Idi, (1997), Filsafat Penddikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Cet.II. Jakarta: Gaya Media Pratama. Kamal,Zainul. “Krisis Pemikiran dan Epistemologi Islam”.Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Prog. Magister Fak. Ushuluddin, UIN Jakarta, Jakarta, 1 November 2013. Kartanegara,Mulyadi. (2003). Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan.

218

______. (2005). Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik.Cet. I. Jakarta: UIN Jakarta Pres. ______. (2003), Integrasi Ilmu dalam Persepektif Islam. Cet.I. Jakata: UIN Jakarta Press. Khaldun,Ibn. (2001). Mukaddimah Ibnu Khaldun, Beirut: Dar al- Kitab Al-„Arabi. Khalifah,Haji. Kasyf al-Dhunun „an Asami al-Kutub wa al- Mutun.Beirut: Dar al-„Uluum al-Hadits, t.t. Khalikan,Ibn. Wafiyat Al-A‟yan wa Anba Al-Zaman.Juz 1. Kairo: Darl Fikr Kartodirjo,Sartono. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.Jakarta: Gramedia. Kuntowijiyo, (1994) .Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. ______. (2004). Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika, Jakarta: Teraju. ______. (1991). Paradigma Islam: Interaksi untuk Aksi. Bandung: Mizan, Langgulung,Hasan. (1979). Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyah. Cet.I, Jakarta: Bulan Bintang. Lapidus, Ira.M. (2000.) Sejarah Sosial Ummat Islam. Cet.II. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Latifudin, (2008) “Paradigma Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam,” Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.tidak dipublikasikan Lewis,Bernard, et.al (eds). The Encyclopedia of Islam.Vol. 5. Leiden: E.J.Brill,tt, New Edition. Mochtar, Affandi. dkk., (2008). Paradigma Baru Pendidikan Islam. Jakarta: PIC UIN Jakarta. M.Fa‟al,Fahsin. (2008). Sejarah Kekuasaan Islam. Cet.I. Jakarta: CV.Artha Rivera. Makdisi,George. (1981).The Rise of Colleges. Edinburgh: Edinburgh University press. Madjid,Nurcholish. (2000).Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina. ______. (1997).Asbabun Nuzul: Sejarah Turunnya Ayat-Ayat Al- Qur‟an. Surabaya: Pustaka Anda. 219

______. (ed).(1984). Nurcholis Majid (ed), Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang. Mahmudunnasir. (1991). Islam: Konsepsinya dan Sejarahnya. Cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya. Majah,Sunan Ibn, (1995). dari kitab “Al-Muqaddimah bab fadhl al „ulama‟ wa al-hatsts„ala talab al-„ilmi, no.224 (Abu „Abdullah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah.,Jilid I. Beirut: Dar al-Fikr. Mandzur,Ibnu. (t.t ). Lisan al „Arab.Cairo: Daarul Ma‟arif. Marwan,Fuad. (1999). Perjalanan Spiritual Empat Imam Mazhab. Jakarta: Kalam Mulia. Masood,Esan. (2009). Ilmuan-Ilmuan Muslim Pelopor di Bidang Sains Modern: Dari Musa al-Khawarizmi di Bidang Matematika, Sampai Ibnu Sina di Bidang Ilmu Kedokteran Kisah-Kisah yang perlu Diingat Kembali, Peterj.: Fani Yamani, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Mas‟ud,Abdurrahman. (2004). Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi, Cet.I. Yogyakarta: LKiS. Mastuhu. (1999). Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Masruri, Hadi M. dan Rossidy Imron. (2007). Filsafat Sains dalam Al-Qur‟an: Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama. Cet.I. Malang: UIN Malang Press. Maksum.(1999). Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. Ciputat, Logos Wacana Dunia. Moleong, Lexy J. (1995).Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Mochtar,Affandi, dkk. (ed). (2008).Paradigma Baru Pendidikan Islam: Rekam Implemntasi IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP) 2002-2007. Cet.I. Jakarta: IAIN Indonesia Social Equity Project. Moh.Sofwan. (2004). Pendidikan Berparadigma Profetik, Yogyakarta: IRCiSoD. Mulia,T.G.S. dan K.A.H. Hidding. Ensiklopedia Indonesia. Jilid F- M, Artikel: Ilmu Pengetahuan. Muliawan,Jasa Ungguh. (2005).Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

220

Mujieb,M. Abdul dkk. (2009). Ensiklopedia Tasawuf Imam Al- Ghazali: Mudah memahami dan Menjalankan Kehidupan Spiritual.Cet.I. Jakarta: PT. Mizan Publika. Muthahhari,Ayyatullah Murtadha.(2011). Dasar-Dasar Epistemologi Pendidikan Islam.terj. Tarbiyatul Islam. Cet.I. Jakarta: Sadra Internasional Institute. ______. (2010). Pengantar Epistemologi Islam. Cet.I. Jakarta: Shadra Perss. Nakosteen,Mehdi.(1968).Kontribusi Islam and Civilization in Islam.Cambridge: Harvard University Press. ______. (1964). History of Islamic Origins of Wstern Education, A.D.800-1350 with an Intruduction to Medieval Muslim Education, Colorado: University of Colorado Press. ______. (1995). “Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam”.Cet.I. Surabaya: Rislah Gusti. Nasr, Sayyeed Hossein. (1986).Science And Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University press. ______. (1993). A Young Muslim‟s Guide the Modern World. Petaling Jaya: Mekar Publisher. ______. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford: Oxford University Press. ______. (1976). Islamic Science: An Illustrated Study. London: t.t.p. Nasution, Harun. (1985). Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press. ______. (1978). Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. ______. (1995). Islam Rasional:Gagasan dan Pemikiran Prof. DR.Harun Nasution, editor: Syaiful Muzani. Bandung: Mizan.. ______. (1985). Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. Jakarta: UI Press. ______. (1992). Ensiklopedi Islam Indonesia.Cet.I. Jakarta: Djambatan. ______. (1985). Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta: UI Press. Nata,Abuddin. (2001).Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf.Cet. V. Jakarta: Raja Grafindo Persada. ______. (2010). Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta: UIN Jakarta Press. ______. (2011). Studi Islam Komperhensif. Jakarta: Kencana, Cet.I. 221

______. (2010). Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al- Tarbawi). Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. IV. ______. dkk. (2003). Integritas Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: UIN Jakata Press. ______. (2011). Studi Islam Komperhensif.Cet.I. Jakarta: Kencana. ______.(2001) Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam,Jakarta: Raja Grafindo Persada. ______. (2012). Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya. Cet. I. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. ______. (2011). Metodologi Studi Islam. Cet.18. Jakarta: PT. Raja Grafindo. ______. (2010). Sejarah Pendidikan Islam pada Priode Klasik dan Pertengahan. Cet. II. Jakarta: Raja Grafindo Persada. ______.(2000). Akhlak Tasawuf. Cet.III. Jakarta: RajaGrafindo ______. (2005), Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Nizar,Samsul. (2008). Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia Jakarta: Kencana. P.,Akhmad Jenggis. (2011). Kebangkitan Islam. Cet.I. Yogyakarta: NFP Publishing. Poerwadarminta,W.J.S. (1991).Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Poeradisastra, S.I.( 2008). Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern. Cet.III. Jakarta: Komunitas Bambu. SJ,Fadil. (2008). Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Cet.I. Malang: UIN Malang. Sadra,Mulla. (1996). His Teaching, dalam Syyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed), History of Islam Philoshophy, London: Routledge. Saefudin,Didin. (2002). Zaman Keemasan Islam: Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah. Cet.I,Jakarta: PT. Grasindo, Salim, Peter dan Yenny Salim. (2002). Kamus Bahsa Indonesia Kontemporer. Cet .II.Jakarta: Modern English Press. Sardar,Ziauddin. (1986). Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Terj. Rahma Astuti. Bandung: Mizan.

222

Sofwan, Moh. (2004). Pendidikan Berparadigma Profetik. Yogyakarta: IRCiSoD. Syarif,MM (ed). 1992). History Of Muslim Philoshophy, edisi Indonesia, Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan. Rahman,Fazlur. (2000). Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual, Penterj.: Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka. Rachman, Budhy Munawar (ed), (1994). Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah.Jakarta: Paramadina. Rahim,Husni. (2005). Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia.Cet. I.Jakarta: Logos. Razak,Nasruddin. (1997). Dienul Islam.Cet.II. Bandung: al-Ma‟arif. Rohan,Abujamin.( 2009). Ensiklopedi Lintas Agama. Cet.I. Jakarta: Emerald. Rosnani, Hasyim. (1996).Educational Dualism inMalaysia: Implication Fof Theory and Practice. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Rosyid, Ahmad Dimyati. (2004). Reaktualisasi Pemikiran Ibnu Taimiyah: Kunci Sukses Pendidikan Masa Kini. Surabaya: Roddas Media. Sadar,Ziauddin. (1984). Argument for Islamic Science in Quest for New Science. Aligarh: Center For Studies On Science. Saefudin, Didin. (2002).Zaman Keemasan Islam : Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah. Cet.I.Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Shihab, M.Quraish. (1997). Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet.V.Bandung: Mizan. ______. (2003). Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. ______. (2002).Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an. vol.1dan 14. Jakarta: Lentera Hati. Santoso,Slamet Iman. (1977).Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan.Jakarta: Sastra Budaya. Sarton,Goerge.(1927). Introduction to the History of Science. Vol.1. Baltimore: Wilkins and Wilkins. Soebahar,Abd. Halim.(2009).Matriks Pendidikan Islam.Yogyakarta: Pustaka Marwa. Sopyan,Yayan. (2010). Tarikh Tasyri‟: Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Depok: Gramata Publishing. 223

Shaber Ahmed, dkk.. (1997). Islam dan Ilmu pengetahuan. penterj,: Zetira Nadia Rahma. Bangil: Islamic Cultural Workshop. Supyarogo,Imam. (2005). “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN Malang”. dalam Zainal Abidin Bagir (ed),. Integrasi ilmu dan Agama: Interprtasi dan Akal. Bandung: Mizan. Suriasumantri,Jujun S. (1990). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar.Jakarta: Sinar Harapan. Suwito dan Fauzan (Edit.).(2003). Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Cet. VI.Bandung: Angkasa. ______. (2005). Sejarah Sosial Pendidikan Islam.Cet. I. Jakarta: Kencana. Susanto,Musyrifah.(2007). Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Cet.III. Jakarta: Prenada Media Group. Stanton,Michael Charles.Pendidikan Tinggi dalam Islam.Jakarta: Logos,1994. Syalabi,Ahmad. (1982).Al-Tarbiyah al-Islamiyah, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah

______.( 1954).Histori of Muslim Education. Beirut: Dar al- Kashshaf. ______. (1954).Taraikhul al-Tarbiyah al-Islamiyah, Mesir: Darul al-Kasysyaf lil al-Nasyiri wa al-Thiba‟ah wa Tauzi.

______. (1973). Sejarah Pendidikan Islam, Terj. Muhtar Yahya. Jakarta: Bulan Bintang.

______. (2002). At-Tarbiyatul wa Azmatu at-Tanmiyah al- Basyariyyah. Riyadh: Maktabul Tarbiyatul al-Arabiy lil Daulah lil Khalij.

Tafsir,Ahmad. (1994). Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tambaruka,Rustam E.(1999).Pengantar Ilmu Sejarah. Cet. I. Yogyakarta: Rineka Cipta. T.J., De Boer, (1970). The History of Philosophy in Islam. London: t.t.p. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

224

Titus,Harold H. (1985). Living Issues in Philosophy. terj. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang. The Encyclopedia of Islam. (1979). “ilm”. New Edition, Vol.III. London: Luzac & CO. Umiarso dan Haris Fathoni Makmur. (2010).Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern:Membangun Pendidikan Islam Monotomik-Holistik. Yogyakarta: IRCiSoD. Uhbiyati, Nur. (1988).Ilmu Pendidikan Islam (IPI). Cet. II.Bandung: CV. Pustaka Setia. Wan,Daud dan Mohd Nor Wan. (1989).The Concept of Knowledge in Islam: Its Implications for Education in A Deveploping Country. London:mMansell Publishing. Watt, W. Montogomery. (1990), The Majesty That was Islam, terj. Hartono Hadikumuro. Yogyakarta: Tiara Wacana. ______. (1997). Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam dan Eropa Abad Pertengahan. Jakarta: Gramedia. Wojowasito,S. dan W.J.S. Poerwadarminta. (1980). Kamus Lengkap Inggeris–Indonesia, Indonesia–Inggeris.Cet. Ke-15. Bandung: Hasta. Yahya, Harun. (2004). Menyingkap Rahasia ALam Semesta,. Bandung: Dzikra. Yatim,Badri. (1994). Sejarah Peradaba Islam Dirasah Islamiyah II.Cet. II. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Yunus,Mahmaud. ( 1992). Sejarah Pendidikan Islam. Cet.VII. Jakarta: Hidakarya Agung. ______.(1955). Ilmu Musthalah al-Hadits. Padang: Padang Panjang ______.(1997). Historiografi Islam. Jakarta: Logos. Zaid,Abu.(2003). Al Imam al-Syafi‟i wa Ta‟sis al-Idiologiyah al- Wasathiyah. Kairo: Dar al-Fikr al-Islamy. Zaini,Syahminan. (1989). Intergritas Ilmu dan Aplikasinya Menurut Al-Qur‟an, Jakarta: Kalam Mulia. Saefudin, Didin. (2002). Zaman Keemasan Islam : Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah. Cet. I. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Zahra,Imam Mumammad Abu. (1996.). Aliran Politik dan „Aqidah dalam Islam.Cet. I. Jakarta: Logos. Zainuddin, M. (2008),.Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam: Menyiapkan Generasi Ulul Albab,. Cet.I. Malang: UIN- Malang Press. 225

Zuhri,Mustafa. (1995). Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. Bina Ilmu. Zuhairini, dkk, (2006).Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta: Bumi Aksara.

Sumber dari Jurnal, Artikel.

Abu Hasan,Muhadi,dkk. “Pengislaman Sains dan Pengaruhnya dalam Peradaban Adebayo,RI. “The influence of The World Converences on Muslim Education on Islamic Education in Nigeria, Artikel. Diakses dari http://www.unilorin.edu.ng/ Ahmad, (2005).Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial: Upaya Mengoptimalkan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Agama Islam, Kordinat, Jurnal Komunikasi Antara Perguruan Tinggi Agama Islam dan Swasta, Vol.VI, No.1. Anwar,Ali. (2006). “Peranan Madrasah Nizamiyah dalam Proses Transmisi Ilmu Keagamaan”, NIZAMIYA, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.9.No.1. Aripin,Samsul. (2014) “Strategi Pendidkan Islam dalam Upaya Menjawab Tantangan Global, TARBIYA, of in Journal Education Muslim Society, Vol.1,No.2. Arief,Armai. (2006). Melacak Akar Timbulnya Dikhotomi dalam Pendidikan B Islam, dalam ”Jauhar” Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual, Volume 3, Nomor 2, Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Az. Fanani. (2006). Profesi Guru dalam Lintasan S ejarah Islam (Refleksi Adanya UU Guru dan Dosen), NIZAMIYA, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.9, No.1. Bagheri, Khosrow dan Zohreh Khosrovi, (2006). “TheIslamic Concept of Education Reconsidered.” The American Journal of Islamic Social Sciences.23:4. Fadaie,Gholamreza. “Philoshopher‟s Worldview and Classification of Knowledge.”Artikel diakses 13 Juni 2013. Habiebie,B.J. (2006). “Beberapa catatan Mengenai Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Budaya, dan Peradaban”, Makalah disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa dalam Rangka Penganugrahan Doktor Honoris Causa dalam

226

Teknologi dan Peradaban di Universitas Hasanuddin, Makasar pada tanggal 9 September . Halim,Sudarnoto Abdul. (2012). “Renaisains Universitas Islam Negri”, Jurnal Alumni UIN Bijak: Tanggung Jawab Kaum Terpelajar, edisi I. Hasanudin. (2008). “Dominasi Peradaban Barat dalam Pendidikan Islam.” : Jurnal Lentera Pendidikan. Vol.11,No.2. Heck, Paul L. “The Hierarky of Knowledge in Islamic Civilization.” Arabic T 49 2002. Jejen,Musfah. (2006).“Pendidikan dalam Persepektif Imam Syafi‟i, Mimbar, Jurnal Agama dan Budaya, Vo.23,No.3. Jurnal. (2006). Pemikiran Islam kontekstual „Jauhar‟ volume 3 nomor 2 bulan Desember, terbitan program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lisa‟diyah, (2006). “Drop Out Siswa Madrasah: Kecendrungan Penyebab dan Solusi”,Edukasi, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan,Vol.4, No.4. Mulyadi. (2010). “Kotribusi Filsafat Ilmu dalam studi Ilmu agama Islam: Telah Pendekatan Fenomenologi”, Ulumuna, Jurnal Studi Keislaman,Vol.IXV,No.1. Rahman,Fazlur. (1988). “Islamization of Knowledge: A Response.” AJISS 5-1. Rofiq,Ahmad Choirul.(2010). “Signifikansi Teori-teori Popper, Khun, Lakatos terhadap Pengembanagn Ilmu-Ilmu Keislaman”, Ulumuna, Jurnal Studi Keislaman,Vol.IXV,No.1. Rifa‟I,Nurlena. dkk., (2014). Integrasi keilmuan dalam Pengambangan Kurikulum di UIN se-Indonesia, TARBIYA, of in Journal Education Muslim Society, Vol.1,No.1. Rosyada,Dede.(2008).“Pendidikan Mulikultural Melalaui Pendidikan Agama Sebuah Gagasan Konsepsional”, TA‟DIB, Jurnal Ilmu Pendidikan,Vo.11,No.1. Sukari.(2006). “Pendidikan Islam Sebagai Subsistem Pendidikan Universal”, At-Tarbawi, Jurnal, Kajian Kependidikan Islam, Vol.4, No.1. Setiawan,Abdul Aziz dan Anton Hindardjo.(2005). “Menggali Khazanah Ekonomi islam: Kontribusi Genuine Ekonomi islam Fase Awal, Kordinat, Jurnal Komunikasi Antara Perguruan Tinggi Agama Islam dan Swasta, Vol.VI, No.1. 227

Yusuf,Akhyat . Pengertian Epistemologi, Logika, Metodologi, diktat mata kuliah Filsafat Ilmu Pascasarjana UI. Tamsir,Sukari. (2006). “Pendidikan Islam Sebagai Subsistem Pendidikan Universal”, At-Tarbawi, Jurnal, Kajian Kependidikan Islam, vol.4, No.1. Wan Bakar,Wan Bakar. “The First World Conference on Moslem Education 1977.”Pttx diakses dari http://www.academia.edu/‟Islamia.Vol.III. Zarkasy, Hamid Fahmy. (2005). “Worldview sebagai Epistemologi Islam.”Jurnal Islamia.Vol.II.No.5.