ABSTRAK

Deni wahyudin “Homonimi terjemahan kata kufr terhadap terjemhan versi H.B. Jassin dan Mahmud Yunus”. Di bawah bimbingan Dr. Sukron Kamil, MA.

Penerjemahan merupakan sebuah kegiatan pemindahan makna dari bahasa sumber (Bsa) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Terjemahan dapat dikatakan baik bila benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) tidak boleh menyimpang dari makna dan gaya/nada yang diungkapkan dalam bahasa sumber.

Penulis melihat bahwa dalam bahasa Arab terdapat homonimi. Homonimi menjelaskan bahwa banyak terdapat kata secara pelafalannya sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Dalam dunia penerjemahan seseorang harus mempunya wawasan yang luas untuk dapat menerjemahkan kat-kata yang mengandung Homonim.

Skripsi ini mencoba melihat penerjemahan mengenai terjemahan kata kufr. Dengan memakai analisis homonimi. Sebagaimana terjemahan kata kufr tidak semata- mata diterjemahkan dengan kata ingkar. Seringkali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada pembunuhan lantaran salah menempatkan makna kufr. Penulis melakukan analisis perbandingan/ komparatif antara terjemahan Al-Qur’an versi H.B. Jassin dan Mahmud Yunus.

Penulis menarik kesimpulan bahwa hasil terjemahan antara H.B. Jassin dan Mahmud yunus secara makna sama. Sehingga menimbulkan pemahan yang sama ketika membacanya. Hal yang membedakannya adalah hanya dalam gaya bahasa dan pemilihan diksi saja.

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah . 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 juni 2010

Deni Wahyudin NIM: 105024000865

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “Analisis Homonimi Terhadap Kata Kufr dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif : Terjemahan H.B. Jassin dan Mahmud Yunus), telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Jum’at, 18 juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.

Jakarta, 18 juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, MA. Dr. Ahmad Saekhuddin, M.Ag. NIP: 195708161994031001 NIP: 197005052000031001

Anggota

. Dr. Sukron Kamil, MA. NIP: 150 282 400

PRAKATA

Puji Syukur senantiasa Penulis panjatkan ke hadirat SWT yang senantiasa melimpahkan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada Penulis, sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke hadapan para pembaca. Salawat serta Salam Cinta senantiasa dilimpahkan kepada teladan alam semesta, Kanjeng Rasulullah SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita mendapatkan “curahan syafa’atnya” di hari akhir nanti. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas academica UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, terutama kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dr. Abdul Chaer, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad Saekhuddin, M.Ag. Terima Kasih yang tak terhingga pula kepada Dr. Sukron Kamil, MA yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi serta memotivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak. Kepada Jajaran Dosen Tarjamah: Ibu Karlina Helmanita, M.Ag, Bpk. Syarif Hidayatullah, M.Hum, Bpk.Syukron Kamil, MA, Bpk. Irfan Abubakar, MA, Bpk. Drs. A. Syatibi, M.Ag, dan lainnya. Terima kasih yang tak terhingga. Semoga ilmu yang Penulis dapatkan menjadi manfaat di kemudian hari. Penghormatan serta salam cinta Penulis haturkan kepada Kedua Orang Tua Penulis, Ayahanda Nazimuddin dan Ibunda Ida Rohani. Kepada sanak saudara Penulis yang ada di Lampung maupun di Jakarta yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis, sehingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan seperjuangan di Tarjamah Angkatan 2005, terimakasih juga kepada teman-teman yang berada di basecamp ’sri makmur’ yang telah memberikan hiburan dan berbagai candaan, telah mengingatkan kekurangan dan kekhilafan Penulis dalam meyelesaikan skripsi ini, telah berbagi informasi dan pengalaman mereka sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini Dan juga tak lupa kepada teman basecamp ’charlie angels’ yang juga telah memberikan dukungan kepada Penulis. serta teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh Kakak kelas dan adik kelas. Penulis menghaturkan beribu terima kasih kepada seluruh teman-teman atas pinjaman referensinya yang begitu berharga. yang telah mencerahkan dan memberikan paradigma baru kepada Penulis. Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat Penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.

Jakarta, 22 Juni 2010

Penulis

DALAM ( آﻔﺮ) ANALISIS HOMONIMI TERHADAP KATA KUFR

AL-QUR’AN

( Studi Komparatif: Terjemahan H.B. Jassin dan Mahmud Yunus)

Skripsi

Diajukan kepada fakultas adab dan humaniora

Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana (S.S)

Deni Wahyudin

105024000865

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010

i PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 juni 2010

Deni Wahyudin NIM: 105024000865

ii iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “Analisis Homonimi Terhadap Kata Kufr dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif : Terjemahan H.B. Jassin dan Mahmud Yunus), telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Jum’at, 18 juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.

Jakarta, 18 juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, MA. Dr. Ahmad Saekhuddin, M.Ag. NIP: 195708161994031001 NIP: 197005052000031001

Anggota

Dr. Sukron Kamil, MA. NIP: 150 282 400

iv PRAKATA

Puji Syukur senantiasa Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada Penulis, sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke hadapan para pembaca. Salawat serta Salam Cinta senantiasa dilimpahkan kepada teladan alam semesta, Kanjeng Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita mendapatkan “curahan syafa’atnya” di hari akhir nanti. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas academica UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, terutama kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dr. Abdul Chaer, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad Saekhuddin, M.Ag. Terima Kasih yang tak terhingga pula kepada Dr. Sukron Kamil, MA yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi serta memotivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak. Kepada Jajaran Dosen Tarjamah: Ibu Karlina Helmanita, M.Ag, Bpk. Syarif Hidayatullah, M.Hum, Bpk.Syukron Kamil, MA, Bpk. Irfan Abubakar, MA, Bpk. Drs. A. Syatibi, M.Ag, dan lainnya. Terima kasih yang tak terhingga. Semoga ilmu yang Penulis dapatkan menjadi manfaat di kemudian hari. Penghormatan serta salam cinta Penulis haturkan kepada Kedua Orang Tua Penulis, Ayahanda Nazimuddin dan Ibunda Ida Rohani. Kepada sanak saudara Penulis yang ada di Lampung maupun di Jakarta yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis, sehingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan seperjuangan di Tarjamah Angkatan 2005, terimakasih juga kepada teman-teman yang berada di basecamp ’sri makmur’ yang telah memberikan hiburan dan berbagai candaan, telah mengingatkan kekurangan dan kekhilafan Penulis dalam meyelesaikan skripsi ini, telah berbagi informasi dan pengalaman mereka sehingga Penulis

v dapat menyelesaikan skripsi ini Dan juga tak lupa kepada teman basecamp ’charlie angels’ yang juga telah memberikan dukungan kepada Penulis. serta teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh Kakak kelas dan adik kelas. Penulis menghaturkan beribu terima kasih kepada seluruh teman-teman atas pinjaman referensinya yang begitu berharga. yang telah mencerahkan dan memberikan paradigma baru kepada Penulis. Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat Penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.

Jakarta, 22 Juni 2010

Penulis

vi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i PERNYATAAN ...... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...... iv PRAKATA ...... v DAFTAR ISI ...... vii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ...... ix ABSTRAK ...... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ...... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 9 D. Metodologi Penelitian ...... 9 E. Sistematika Penulisan ...... 10

BAB II KERANGKA TEORI A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan ...... 11 1. Definisi penerjemahan ...... 11 2. Jenis penerjemahan ...... 15 3. Tahap-tahap penerjemahan ...... 19 4. Penerjemahan Al-Qur’an ...... 22 B. Homonimi ...... 31 1. Pengertian Homonimi ...... 31 2. Homonimi dalam bahasa Arab ...... 34 3. Homonimi dalam bahasa Indonesia ...... 36 C. Pengertian Kufur ...... 37

vii BAB III BIOGRAFI H.B. JASSIN A. Riwayat H.B. Jassin ...... 41 B. Karya-karya H.B. Jassin ...... 45 1. Karangan Asli H.B. Jassin ...... 45 2. Buku-Buku yang dieditori H.B. Jassin ...... 47 3. Terjemahan H.B. Jassin ...... 49 4. Kontroversi Penyusunan H.B. Jassin ...... 50 5. Latar belakang H.B. Jassin dalam menyusun Terjemah Al- Qur’an ...... 52 C. Biografi Mahmud Yunus ...... 55 1. Riwayat Hidup dan Aktivitas Keilmuan ...... 55 2. Karya-karya Mahmud Yunus ...... 59 3. Metode Penerjemahan Mahmud Yunus ...... 63

BAB IV ANALISIS HASIL TERJEMAHAN KATA KUFUR ...... 65

Bab V PENUTUP A. Kesimpulan dan ...... 81 B. Saran ...... 82

DAFTAR PUSTAKA ...... 83

viii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1. Padanan Aksara Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

T ط ا

Z ظ b ب ‘ ع t ت Gh غ ts ث F ف j ج

Q ق h ح K ك kh خ L ل d د M م dz ذ N ن r ر W و z ز H ة s س ` ء sy ش

Y ي s ص

d ض

2. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. A. Vokal tunggal Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan a Fathah َ---- i Kasrah ِ---- u Dammah ُ -----

ix B. Vokal rangkap Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ai a dan i َ---ي au a dan u َ---و

C. Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu : Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan â a dengan topi di atas َ----ا/ي î i dengan topi di atas ----ِي û u dengan topi di atas ---ُو

3. Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf , ال huruf, yaitu syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.

4. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda---ّ dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf tidak ditulis ad-darûrah melainkan اﻟﻀّﺮورة syamsiyyah. Misalnya, kata al- darûrah, demikian seterusnya.

5. Ta Marbûtah Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata

x No. Kata Arab Alih Aksara Tarîqah ﻃﺮﻳﻘﺔ 1 al-jâmi’ah al-islâmiyah اﻟﺠﺎﻣﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ 2 wihdat al-wujûd وﺣﺪة اﻟﻮﺟﻮد 3

6. Huruf kapital Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a tidak boleh kapital.

xi ABSTRAK

Deni wahyudin “Homonimi terjemahan kata kufr terhadap terjemhan versi H.B. Jassin dan Mahmud Yunus”. Di bawah bimbingan Dr. Sukron Kamil, MA.

Penerjemahan merupakan sebuah kegiatan pemindahan makna dari bahasa sumber (Bsa) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Terjemahan dapat dikatakan baik bila benar- benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) tidak boleh menyimpang dari makna dan gaya/nada yang diungkapkan dalam bahasa sumber.

Penulis melihat bahwa dalam bahasa Arab terdapat homonimi. Homonimi menjelaskan bahwa banyak terdapat kata secara pelafalannya sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Dalam dunia penerjemahan seseorang harus mempunya wawasan yang luas untuk dapat menerjemahkan kat-kata yang mengandung Homonim.

Skripsi ini mencoba melihat penerjemahan mengenai terjemahan kata kufr. Dengan memakai analisis homonimi. Sebagaimana terjemahan kata kufr tidak semata-mata diterjemahkan dengan kata ingkar. Seringkali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada pembunuhan lantaran salah menempatkan makna kufr. Penulis melakukan analisis perbandingan/ komparatif antara terjemahan Al- Qur’an versi H.B. Jassin dan Mahmud Yunus.

Penulis menarik kesimpulan bahwa hasil terjemahan antara H.B. Jassin dan Mahmud yunus secara makna sama. Sehingga menimbulkan pemahan yang sama ketika membacanya. Hal yang membedakannya adalah hanya dalam gaya bahasa dan pemilihan diksi saja.

xii BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ilmu makna (semantik) sebagai ilmu baru yang berkembang pada

tahun 1970-an di dunia linguistik dan semantik di Indonesia baru berkembang

pada tahun 1980-an. Kemampuan mengolah dan memahami pemerian

kebahasaan ada pada aspek makna dalam linguistik. Kemampuan suatu bahasa

menjadi bahasa ilmu dapat dipertimbangkan melalui kecendekiaan bahasa

antara lain yang dikemukakan oleh pemuka aliran praha (Prague school),

kecendekiaan bahasa ditandai oleh (1) kemampuannya dalam membentuk dan

menyampaikan pernyataan yang tepat, saksama dan kaya, (2) bentuk

kalimatnya mencerminkan penelitian penalaran yang objektif sehingga relasi

strukturnya sama dengan proposisi logika, dan (3) mampu menunjukkan

antarkalimat yang selaras, logis, dan memiliki keutuhan. Dari ketiga syarat

tersebut dapat mempertimbangkan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa

Indonesia nusantara dalam memenuhu syarat sebagai ilmu. Semantik

berhubungan erat dengan syarat ketiganya, bila dipahami melalui proposisi

logis tepat, selaras dan memiliki keutuhan (terutama dibidang acuan baik yang

objektif (kongkret) maupun abstrak).

Dalam kajian semantik terdapat pembahasan mengenai homonimi,

homonimi dapat diartikan sebagai nama sama untuk benda atau hal lain,

secara semantik, Verhaar (1978) member definisi homonimi sebagai ungkapan

1 2

(berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain

(juga brupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.1

Homonimi adalah relasi makna antar kata yang ditulis sama, tetapi maknanya berbeda. Di dalam kamus kata-kata yang termasuk homonim muncul sebagai lema (entri) yang terpisah. Misalnya saja, kata tahu dalam kamus besar bahasa Indonesia muncul sebagai dua lema:

Ta.hu v mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami)

Ta.hu n makanan dari kedelai putih yang digiling halus-halus, direbus dan dicetak.

Konsep kehomoniman sebagai pertalian makna antara dua atau lebih leksem yang sama bentuk merupakan gejala semesta bahasa (language universal). Konsekuensi logis munculnya gejala kehomoniman adalah ketaksaan ujaran atau kalimat yang disampaikan oleh pembicara kepada pendengar/lawan bicara. Akibat lebih jauh yang disebabkan oleh munculnya gejala kehomoniman adalah, di samping ketaksaan ujaran atau kalimat, terjadinya distorsi pesan yang ingin disampaikan.

Pemahaman yang baik terhadap kehomoniman suatu bahasa, khususnya bahasa Arab, dapat menghindari ketaksaan dan distorsi pesan yang terkandung dalam ujaran atau kalimat. Kajian kehomoniman dalam bahasa

Arab masuk pada pokok bahasan Al-mustarak Al-lafzi (relasi makna), di samping kajian kepoliseman.

1 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1994) h. 93 3

Dengan memakai pendekatan teori Lyons (1996) penelitian ini

memperoleh formulasi klasifikasi homonimi bahasa Arab yang terdiri atas: (i)

homonimi mutlak (absolute homonymy), dan (ii) homonimi sebagian (partial

homonymy). Dalam menganalisis data, penelitian ini memanfaatkan juga

pendekatan analisis komponen atau medan semantik.

Homonimi mutlak ditemukan pada semua kelas kata, baik nomina (al-

ism), verba (fi'il), maupun partikel (alharf).

Homonimi sebagian diperoleh berdasarkan perbedaan lingkungan

gramatikal dari leksem-leksem yang homonimis dan subklasifikasi homonimi

sebagian ini terdiri atas (I) perbedaan infleksi aspektual (perfektif -

imperfektif), (ii) perbedaan derivasi, (iii) perbedaan kategori gender (maskulin

- feminin), dan (iv) perbedaan kategori jumlah (tunggal - jamak).2

Objek utama dari homonimi adalah teks. Ketika berhadapan dengan

teks, maka kita akan menemukan dua unsur pembangun, yaitu penulis dan

pembaca. Ketika kita menerjemahkan suatu teks, maka pada tataran ini kita

juga melakukan kegiatan menfsirkan makna.

Homonim merupakan salah satu objek kajian dalam Al-Qur’an.3

Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak hanya berisi mengenai kumpulan ayat-ayat

yang tertulis dengan bahasa Arab, tetapi juga telah menjadi pedoman hidup

umat Islam. Agar menjadi pegangan hidup, umat perlu menafsirkan Al-Qur’an

2 http://google.com (selasa 15 juni 2010) 3 Beberapa tahun terakhir Al-Qur’an telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa atas bantuan rabithah al alam al Islami dan dar al ifta wa al irsyad yang bermarkas di Saudi Arabia. Mujamma’ khadim al haramain al syarifain al malik fahd untuk pencetakkan mushaf, telah mencetak terjemahan Al-Qur’an dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Perancis, Turki, Urdu, China, Hausa, dan Indonesia. Departemen agama, Al-Qur’an dan terjemahannya (semarang: PT. Karya Toha Putra, 1990) h. 30 4

agar senantiasa dapat mengaplikasikan dirinya di dalam kehidupan. Hal ini tanpa terkecuali dalam ayat teologis yang berkaitan dengan kata kufr.

Permasalahan mengenai kufr memang selalu menjadi salah satu titik poin yang sangat sensitif di kalangan umat muslim, khususnya masalah akidah.

Seringkali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada pembunuhan lantaran salah menempatkan makna kufr. Kata kufr atau yang identik dengan ‘’ seringkali diartikan sebagai keluar dari Islam (murtad). Memang benar kufr merupakan lawan dari iman. Hanya saja apakah setiap kata kufr selalu bermakna keluar dari Islam (murtad) itulah yang menjadi persoalan. Secara harfiah kufr berarti tertutup, terhalang, dan terhapus. Namun, kata ini menjadi istilah khusus dalam perbincangan masalah akidah, yang menjadi lawan dari iman.

Sebagai contoh dalam Q.S. Al-Maidah ayat 44:

⌦ ☺ ☺ ⌧ ⌧ ☺ ☺ 5

44. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya

(ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu

diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri

kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka,

disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka

menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia,

(tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku

dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa

yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Q.S.

Al-Maidah ayat 44)

Contoh lain dalam surat Ibrahim ayat 7

⌧⌧ ⌧ ⌧ 7. Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)

kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya

azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Al-maidah ayat 7)

Dari dua contoh ayat di atas terdapat perbedaan makna, mengenai surat

Al-Maidah ayat 44 kata ‘kafir’ apakah ditujukan kepada kaum muslimin atau

kepada orang-orang ‘kafir’. Dalam tafsir Adhwa’ul Bayan diriwayatkan dari

Asy-Sya’bi, ayat tersebut ditujukan kepada kaum muslimin, maksud

kekufuran didalamnya adalah kekufuran yang bukan berarti kekafiran, dan 6

bukan yang berarti keluar dari agama, diriwayatkan pula dari ibnu abbas, mengenai ayat ini, dia berkata: bukan kekufuran seperti yang kalian katakana/kira. Abi Hatim dan Al Hakim meriwayatkan dirinya. Al Hakim mengatakan, shahih sesuai dengan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak menukilnya. Demikian kutipan dari Ibnu Katsir.

Sama halnya dengan tafsir Al-Misbah karangan Quraish Shihab, dalam ayat tersebut dapat dipahami dalam arti kecaman yang amat keras tarhadap mereka yang menetapkan hukum bertentangan dengan hukum-hukum Allah, tetapi ini oleh mayoritas ulama, seperti tulis Muhammad Sayyid Tanthawi –

Mufti Mesir dan pemimpin tertinggi al-Azhar Mesir, dalam tafsirnya adalah bagi yang melecehkan hukum allah dan yang mengingkarinya. Demikian juga pendapat sahabat nabi Ibn Abbas. Memang satu kekufuran dapat berbeda dengan kekufuran yang lain. Kufurnya seorang muslim, kezaliman, dan kefasikannya tidak sama dengan kekufuran, kezaliman dan kefasikan non muslim. Kekufuran seorang muslim bisa diartikan pengingkaran nikmat.

Demikian pendapat Atha’ salah seorang ulama yang hidup pada masa sahabat

Nabi Muhammad saw.

Syekh Hasanain Makhluf, yang juga pernah menjabat mufti mesir, menulis tentang penggalan ayat ayat ini dan menyatakan bahwa, pakar-pakar tafsir berbeda pendapat tentang ayat ini dan kedua ayat serupa sesudah ayat ini. Ayat pertama (ayat 44) ditujukan kepada orang-orang muslim, yang kedua

(ayat 45) ditujukan kepada orang-orang Yahudi, dan ayat ketiga (ayat 47) kepada prang-orang Nasrani. Selanjutnya ia menulis: sifat ‘kafir’ bila 7

disandangkan kepada orang yang beriman, maka ia dipahami dalam arti kecaman yang amat keras, bukan dalam arti kekufuran yang menjadikan seseorang keluar dari agama. Di sisi lain jika non muslim dinilai fasiq atau zalim, maka maksudnya adalah pelampauan batas dalam kekufuran.

Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang Yahudi, karena Allah SWT telah menyebutkan sebelumnya kepada mereka “merubah perkataan-perkataan dari tempat- tempatnya”, dan mereka mengatakan “jika kamu diberikan yang ini”, yakni hukum yang telah dirubah yang selain hukum Allah, “maka terimalah dan jika kamu tidak diberikan yang ini”, yakni yang telah dirubah, tapi kamu diberikan hukum Allah yang sebenarnya “maka hati-hatilah”. Mereka memerintahkan agar berhati-hati terhadap hukum Allah yang mereka tahu itu adalah kebenaran.

Maka ini menunjukkan bahwa perkataan tersebut ditujukan kepada mereka. Diantara mereka yang mengatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada ahli kitab, sebagaimana yang ditunjukkan ayat tersebut adalah Al

Barra’bin’Azib, Hudzaifah bin Al Yaman, Ibnu Abbas, Abu Mijlaz, Abu

Raja’Al Utharidi, Ikrimah Ubaidillah bin Abdullah, Al Hasan Al Basri dan yang lainnya.

Menarik sekali untuk dilihat bahwa masing-masing penerjemah mempunyai pemahaman tersendiri terhadap teks. Perbedaan itu bisa saja dapat terjadi, karena lingkungan, latar belakang, pendidikan, dan sebagainya. 8

Kesemuanya itu turut memberikan corak tersendiri dalam pemahaman akan

suatu entitas.

Di dalam Al-Qur’an kata kufr dengan berbagai bentuk perubahannya,

diungkapkan sebanyak 525 kali. Dari sekian banyak bentuk kata kufr, penulis

hanya mengelompokkan menjadi enam bentuk. Masing-masing bentuk kata

memiliki makna yang berbeda. Berikut adalah beberapa kelompok bentuk kufr

dalam Al-Qur’an:

(kaffara – yukaffiru – takfir) آﻔﺮ - ﻳﻜﻔﺮ - ﺗﻜﻔﻴﺮ

(kaffaarah) آﻔﺎ رة

(kaafuur) آﺎﻓﻮر

(kafara – yakfuru – kufr) آﻔﺮ - ﻳﻜﻔﺮ - آﻔﺮ

(al kafarah – kuffar – kaafiruun) اﻟﻜﻔﺮة - آﻔﺎر - آﺎﻓﺮون

(kaffaar – kafuur) آﻔﺎر - آﻔﻮر

Atas dasar tersebut, penulis menulis skripsi yang berjudul ANALISIS

HOMONIMI TERHADAP KATA KUFUR DALAM AL-QUR’AN

(STUDI KOMPARATIF TERJEMAHAN H.B. JASSIN DAN MAHMUD

YUNUS)

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

Penjelasan makna ini, maka penulis membatasi permaslahan ini hanya

berkisar pada homonimi. Sample dari objek penelitian ini adalah ayat-ayat

yang berisi tentang kufr. 9

Setelah memaparkan latar belakang, maka merasa perlu untuk

memberikan pembatasan dan perumusan masalah, yaitu terjemahan Al-

H.B. Jassin dan Mahmud Yunus.

Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut :

1. Apakah terjemahan kata kufur dalam Al-Qur’an terjemahan H.B. Jassin

dan Mahmud Yunus diterjemahkan secara berbeda?

2. Apa pengaruh terjemahan tersebut terhadap teologi umat Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Mengetahui apakah ada perbedaan makna antara dua versi terjemahan

terhadap dua ayat tersebut.

2. Mengetahui pengaruh terjemahan tersebut terhadap teologi umat Islam

Adapun manfaatnya adalah :

Memberikan pengetahuan baru bagi yang mempelajari Bahasa Arab terutama

penerjemahan, yaitu pengetahuan tentang perubahan makna terhadap

penerjemahan.

D. Metode Penilitian

Sumber data yang diperoleh adalah kajian pustaka melalui sumber

literer (library reaserch) yaitu dari kepustakaan, sedangkan metode penilitian

yang digunakan adalah metode deskriptif analitis yaitu dengan cara

mengumpulkan data-data dari Al Qur’an yang diterjemahkan oleh H.B. Jassin

dan Mahmud Yunus sebagai bahan primer. Sedangkan untuk bahan sekunder

adalah dengan mengumpulkan dari berbagai literatur yang relevan dengan 10

pokok permasalahan baik dari artikel, majalah, internet, maupun dari buku-

buku lain yang berkaitan.

Adapun pedoman penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman

penulisan skripsi, tesis, dan disertasi yang disusun oleh tim UIN Syarif

Hidayatullah dan diterbitkan oleh UIN Jakarta press 2002.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari IV bab, yaitu :

Bab I Penulis akan menulis pendahuluan yang terdiri dari : latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penulisan, metode penilitian dan sistematika penulisan.

Bab II Berupa kerangka teori yang terdiri dari : gambaran umum

tentang penerjemahan yang di dalamnya terdapat definisi penerjemahan, jenis

penerjemahan, tahap penerjemahan : tahap analisis, tahap pengalihan, tahap

penyerasian, penerjemahan Al-Qur’an. Pengertian hominimi, homonimi dalam

bahasa Arab, dan hominimi dalam bahasa Indonesia.

Bab III berisi biografi H.B. Jassin dan Mahmud yunus penerjemahan :

sekilas tentang biografi H.B. Jassin dan Mahmud yunus, dan karya-karyanya.

Bab IV merupakan hasil analisis dari “hasil terjemahan kata kufur”

dengan melakukan analisis komparatif antara hasil terjemahan H.B. Jassin dan

Mahmud Yunus.

Bab V Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran

11

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan

1. Definisi Terjemahan

Seperti halnya ilmu-ilmu lain, di dalam bidang penerjemahan

ditemukan banyak definisi. Berbagai macam definisi itu mencerminkan

pandangan ahli yang membuat definisi tentang hakikat terjemahan. Berikut

akan disajikan beberapa definisi yang sering dikutip dalam buku tentang

penerjemahan.

Penerjemahan atau translation selama ini didefinisikan melalui

berbagai cara dengan latar belakang teori serta pendekatan yang berbeda-

beda dari berbagai segi, baik segi semantik (kemaknaan) maupun

linguistik (kebahasaan) dan sebagainya. Meskipun tidak mewakili

keseluruhan definisi yang ada dalam dunia penerjemahan dewasa ini.

Definisi terjemahan dalam arti luas adalah “semua kegiatan manusia dalam

mengalihkan makna atau pesan, baik verbal maupun non verbal dari

informasi asal atau informasi sumber (source information) ke dalam

informasi sasaran (target information).” 1Sedangkan definisi terjemahan

dalam arti sempit adalah “suatu proses pengalihan pesan yang terdapat di

dalam teks bahasa sumber (source linguistik) dengan kesepadanan di

dalam bahasa ke dua atau bahasa sasaran (target language).2

1 Suhendra Yusuf, Teori Terjemah (Pengantar kearah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik). (Bandung. PT.Mandar Maju, 1994). Cet ke-1. h: 8 2 Ibid. h. 8

11 12

Eugene a. Nida3 dan Charles R. Taber, dalam buku mereka The

Theory and Practice of Translation, memberikan definisi terjemahan

sebagai berikut : “Translating consist in reproducing in the receptor

language the closest natural equivalent of the source language message,

first in the terms of meaning secondly in terms of style.”4

(menerjemahkan berarti menciptakan padanan yang dekat dalam bahasa

penerima terhadap pesan bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan

kedua pada gaya bahasa).

Secara lebih sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan

sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa

penerima (sasaran) dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan

kedua mengungkapkan gaya bahasanya.

3 Eugene A. Nida Lahir pada 11 November 1914, di Oklahoma City, Oklahoma, Eugene Nida dan keluarganya pindah ke Long Beach, California ketika ia berumur lima tahun. Ia mulai mempelajari bahasa Latin di bangku SMA dan tidak sabar untuk mampu menjadi misionaris yang tugasnya menerjemahkan Alkitab. Keinginannya itu semakin dekat untuk menjadi kenyataan saat ia meraih gelar kesarjanaan dalam bidang bahasa Yunani pada tahun 1963 dari University of California di Los Angeles dengan menyandang predikat “summa cum laude”. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Summer Institute of Linguistics (SIL) dan menemukan karya-karya ahli bahasa seperti Edward Sapir dan Leonard Bloomfield. Nida kemudian meraih gelar doktoral dalam bidang Perjanjian Baru berbahasa Yunani di University of Southern California. Pada tahun 1941, ia mulai mencoba merengkuh gelar Ph.D. dalam bidang ilmu bahasa di University of Michigan. Ia menyelesaikan studinya itu dua tahun kemudian. Disertasinya, “A Synopsis of English Syntax”, pada saat itu adalah sebuah analisa pertama yang menganalisa bahasa Inggris secara menyeluruh menurut teori “konstituen langsung” (immediate constituent).

Tahun 1943 adalah masa-masa sibuk bagi Eugene Nida. Ia ditasbihkan di Northern Baptist Convention untuk dapat benar-benar menyandang gelar Ph.D.. Ia menikahi Althea Sprague dan bekerja di American Bible Society (ABS) sebagai ahli bahasa. Meskipun pada awalnya, perekrutannya sebagai staf ABS hanyalah sebagai suatu percobaan, Nida akhirnya menjadi wakil sekretaris untuk divisi Versi Alkitab (Versions), dan kemudian menjadi sekretaris eksekutif untuk divisi Penerjemahan Alkitab (Translations) sampai ia pensiun pada awal tahun 1980-an. (http//www. Google. Com) 20 juni 2010.

4 Nida F.A. dan Charles R. Teber, The Theory and Patrice of Translation. (Leiden. E.J. Brill. 1996) h.24

13

Di sini Nida dan Teber tidak mempermasalahkan bahasa yang

terlibat dalam penerjemahan, tetapi lebih tertarik pada cara kerja

penerjemahan. Seperti yang dikutip oleh Maurust Simatupang yakni

mencari padanan alami yang semirip mungkin sehingga pesan dalam

bahasa sumber bisa disampaikan dalam bahasa sasaran.5 Sehingga orang

yang membaca atau yang mendengar pesan itu dalam bahasa sasaran

pesannya sama dengan pesan orang yang membaca atau mendengar pesan

itu dalam bahasa sumber.

Menurut resensi Willie Koen, nida dalam bukunya mengajarkan

bahwa cara baru mnerjemahkan haruslah fokus pada respon penerima

pesan. (cara lama berfokus pada bentuk pesan). Itu berarti terjemahan

dapat dikatakan baik bila benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh

penerimanya. Makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa

sasaran (bahasa penerima) tidak boleh menyimpang dari makna dan

gaya/nada yang diungkapkan dalam bahasa sumber, itulah sebabnya nida

mengatakan bahwa di dalam bahasa penerima harus terdapat “ The

closest natural equivalent of the source language message, first in the

terms of meaning secondly in terms of style.” Akan tetapi, ekuivalen itu

haruslah natural (wajar, sesuai dengan langgam atau idiom bahasa kita

sendiri).

Catford (1965) menggunakan pendekatan kebahasaan dalam

melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikannya sebagai “The

replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual

5 Maurust Simatupang. Enam Makalah Tentang Penerjemahan. (Jakarta: PT.UKI.1993). h. 3

14

material in another language (TL)”.6 (mengganti bahan teks dalam

bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran).

Newmark (1988) juga memberikan definisi serupa, namun lebih jelas lagi :

“Rendering the meaning of a text into another language in the way that

the author intended the text” (menerjemahkan makna suatu teks ke dalam

bahasa lain sesuai yang dimaksudkan pengarang).

Pada definisi di atas tidak ditemukan tentang makna. Sementara itu

secara garis besar terjemahan tidak bisa dipisahkan dari persoalan makna

atau informasi. Sebagai ganti dari konsep makna adalah materi tekstual

yang sepadan. Kesepadanan yang dimaksud materi tekstual oleh catford

tidak harus naskah tulis. Sedangkan Zuhrudin mengatakah bahwa.

“penerjemahan bisa berasal dari bahasa lisan atau tulisan.”7

Ungkapan lain tentang hakikat penerjemahan yang dikemukakan oleh

Juliana House dalam disertasinya mengatakan bahwa penerjemahan adalah

“penggantian kembali naskah bahasa sasaran yang secara semantik dan

pragmatik sepadan.”8

Pada hakikatnya “esensi terjemahan itu terletak pada makna dari

dua bahasa yang berbeda.”9 Oleh karena itu, house pun menjelaskan

bahwa makna ber-aspek semantik erat kaitannya dengan makna

denotative, yaitu makna yang terdapat dalam kamus (makna leksikal) dan

6 Rochayah Machali. Pedoman bagi Penerjemah. (Jakarta: PT. Grasindo. Anggota IKAPI. 2000).h. 5 7 Zuhrudin Suryawinata.et. al. Translation (Bahasa Teori dan Penentu Menerjemahkan). Yogyakarta: Knisius. 2003). Cet. Ke-1.h. 11 8 Nurrahman Hanafi. Teori dan Sastra Menerjemahkan.(NTT: Nusa Indah. 1986). Cet. Ke-1.h. 26 9 Ibid. h. 27

15

makna beraspek pragmatik bertautan dengan makna konotatif, yaitu makna

yang berarti kiasan.

Dengan melihat definisi di atas, baik definisi penerjemahan dalam

arti luas atau sempit, baik tinjauan semantik atau linguistik, sekilas

masing-masing definisi tersebut berbeda-beda, yang sebenarnya

mempunyai muatan yang sama, yaitu adanya persamaan dan penyusuaian

pesan yang disampaikan oleh penulis naskah dengan pesan yang diterima

pembaca.

2. Jenis Penerjemahan

Menerjemahkan pada dasarnya adalah mengubah suatu bentuk

menjadi bentuk lain. Bentuk lain yang dimaksud bisa berupa bentuk

bahasa sumber atau bahasa sasaran. Secara sederhana, menerjemahkan

dapat didefinisikan yaitu, “memindahkan amanat dari bahasa sumber

kebahasa sasaran, dengan pertama-tama memindahkan dan yang kedua

mengungkapkan gaya bahasanya.”10

Dalam praktek menerjemahkan, diterapkan beberapa jenis

penerjemahan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Adanya perbedaan bahasa sumber dan sistem bahasa sasaran

b. Adanya perbedaan jenis materi teks yang diterjemahkan

c. Adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi

d. Adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan suatu teks

Dalam kegiatan menerjemahkan sesungguhnya, keempat faktor

tersebut tidak selalu berdiri sendiri dalam arti bahwa “ada kemungkinan

10 Widya Martaya. Seni Terjemahan. (Yogyakarta: Knisius. 1991). Cet. Ke-1. h. 11

16

kita menerapkan dua atau tiga jenis penerjemahan sekaligus dalam

menerjemahkan sebuah teks”.11

Ada beberapa jenis terjemahan yang dapat kita terapkan dalam kegiatan

menerjemahkan. Diantaranya yaitu:

a. Penerjemahan Kata Demi Kata

Penerjemahan ini disebut juga dengan interlinear translation, yaitu

susunan kata bahasa sumber (Bsu) dipertahankan dan kata-kata

diterjemahkan satu per satu dengan makna yang paling umum. Metode

ini bertujuan untuk memahami mekanisme dalam bahasa sumber (Bsu)

maupun untuk menganalasis teks yang sulit sebagai proses

penerjemahan.

b. Penerjemahan Harfiah

Penerjemahan harfiah ini menggunakan metode konversi, yaitu

konstruksi gramatikal bahasa sumber (Bsu) dikonversikan ke padanan

bahasa sasaran (Bsa) yang paling dekat tetapi kata-kata leksikal masih

diterjemahkan kata per kata. Penerjemahan ini memang akan

membingungkan pembaca, oleh karena itu, penerjemah harus

memberikan keterangan tambahan berupa catata kaki (Foot note).

Biasanya metode penerjemahan ini di gunakan dalam menerjemahkan

Al Qur’an.

c. Penerjemahan Setia

Penerjemahan ini merupakan proses menghasilkan kembali makna

kontekstual bahasa sumber (Bsu) yang tepat, dengan mentransfer kata-

11 M. Rudolf Nababan. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1991). Cet. Ke-1

17

kata cultural dan tetap mempertahankan tingkat ketidakwajaran

gramatikal dan leksikal dalam proses penerjemahan. Dalam metode

penerjemahan ini, masih mempertahankan kata-kata yang bermuatan

budaya, dan diterjemahkan secara harfiah.

d. Penerjemahan Semantik

Penerjemahan ini sudah lebih luwes, artinya sudah tidak mempertahankan

lagi tingkat ketidakwajaran gramatikal dan leksikal dalam proses

penerjemahan. Penerjemahan ini masih mempertimbangkan unsur estetika

teks Bsu dengan memadukan makna selama masih dalam batas kewajaran.

Dibandingkan dengan penerjemahan lain.12 Penerjemahan semantik lebih

fleksibel.

e. Penerjemahan Saduran

Penerjemahan ini merupakan bentuk terjemahan bebas yang biasa

dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi. Biasanya antara tema,

karakter, dan plot masih dipertahankan, dan peralihan budaya bahasa

sumber (Bsu) ke dalam budaya bahasa sasaran (Bsa) ditulis kembali

serta diadaptasi ke dalam bahasa sasaran (Bsa).

f. Penerjemahan Bebas

Penerjemahan ini merupakan metode yang mengutamakan isi dan

bahkan mengorbankan bentuk teks bahasa sumber (Bsu). Umumnya

penerjemahan ini berbentuk parafrase yang dapat lebih pendek atau

12 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 52.

18

lebih panjang dari teks aslinya dan biasa dipakai di kalangan media

masa.

g. Penerjemahan Idiomatik

Penerjemahan ini dipakai dalam menerjemahkan teks idom atau istilah-

istilah idiomatis. Penerjemahan ini brtujuan memproduksi pesan dalam

teks bahasa sumber (Bsu) dengan menggunakan kesan keakraban dan

ungkapan idiomatic yang tidak didapati pada naskah aslinya, sehingga

terjadi distorasi nuansa makna.

h. Penerjemahan Komunikasi

Penerjemahan ini merupakan upaya memberikan makna kontekstual

bahasa sumber (Bsu) yang tepat, sehingga isi dan bahasanya dapat

diterima dan dimengerti oleh pembaca. Metode ini tetap

memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi seperti khalayak pembaca

dan tujuan penerjemahan, sehingga teks sumber dapat diterjemahkan

menjadi beberapa versi.

Menurut Manna Al-Qaththan,13 terjemahan dapat digunakan pada dua

arti:

1) Terjemahan Harfiah, yaitu mengalihkan lafal-lafal yang serupa dari

suatu bahasa ke dalam lafal-lafal yang serupa dari bahasa lain

sedimikian rupa. Sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai

dengan susunan dan tertib bahasa pertama.

2) Terjemahan Tafsiriyah atau terjemahan maknawiyah, yaitu

menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat

13 Manna Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu al Qur’an (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993), h. 443.

19

dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan

kalimatnya.

3. Tahap-Tahap Penerjemahan

a. Tahap Analisis

Ketika seseornag ingin menuliskan sesuatu hendaknya ia ingin

menyampaikan sesuatu kepada pembacanya. Hal ini juga berlaku bagi

teks ekspresif (perwujudan persamaan) seperti puisi. Mustahil

seseorang penulis puisi menulis sesuatu tanpa ingin perasaannya

diwujudkan dalam puisi tersebut juga dirasakan orang lain. Dengan

demikian, setiap teks tentunya bukanlah hal yang sacral. Justru karena

tidak sacral itulah maka suatu teks bahasa sumber perlu dianalisis

terlebih dahulu sebelum diterjemahkan.

Analisis itu bisa berupa pertanayaan seputar teks seperti: apa

maksud pengarang menuliskan teks itu? Apakah untuk menjelaskan

sesuatu (eksposisi), ataukah untuk bercerita (narasi), atau untuk

mempengaruhi pendapat umum (persuasi), ataukah suatu ajakan

sendiri? Bagaimana pengarang atau penulis menyampaikan maksud

tersebut? Bagaimana pengarang mewujudkan gaya tersebut dalam

pemilihan kata, frase, dan kalimat? Sesudah mempunyai gambaran

yang jelas, barulah ia dapat memulai proses selanjutnya.

b. Tahap Pengalihan

Seorang penerjemah dalam tahap ini berupaya untuk

menggantikan unsur teks bahasa sumber dengan unsur teks bahasa

sasaran yang sepadan. “sepadan pada segala unsur dalam teks, baik

20

yang bentuk maupun isinya disepadankan tapi kesepadanan bukanlah

kesamaan.”14

Pada tahapan pengalihan, seorang penerjemah mengajukan

beberapa pertanyaan sebagai upaya pertimbangan dalam melakukan

kegiatan pengalihan. Dianatara pertanyaan tersebut adalah: apakah

maksud yang ingin disampaikan pengarang tersebut harus

dipertahankan dalam teks terjemahan? Dapatkah penerjemah

mengubah maksud dalam teks? Jawaban dasar terhadap pertanyaan ini

adalah: penerjemahan harus memeprtahankan maksud yang ingin

disampaikan pengarang.

Pertanyaan selanjutnya yang mungkin timbul dalam tahap

pengalihan ini adalah: bagaimana penerjemah menyampaikan maksud

yang sepadan tersebut ke dalam bahasa sasaran? Apakah masih dapat

digunakan kalimat-kalimat yang serupa? Misalnya, bagaimana

kalimat-kalimat informasi dalalm bahasa sumber dapat tetap terasa

membrikan informasi dalam bahasa sasaran? Alat bahasa apakah yang

dipergunakan dalam hal ini?

Namun, apabila teks sumber yang diterjemahkan sangat sukar

dan melibatkan kata-kata yang bermakna ganda. Kata-kata yang

mengandung emosi dan sebagainya. Penerjemah dapat saja bolak-balik

dari tahap analisis ke pengalihan dan sebaliknya sampai ia yakin yang

harus dijalani adalah tahap penyerasian.

14 Rochayah Machali. Pedoman bagi penerjemahan. (Jakarta: PT. Grasindo. 2000).h. 50

21

c. Tahap Penyerasian

Pada saat ini penerjemah dapat menyelesaikan bahasanya yang

masih terasa kaku untuk disesuaikan dengan kaidah bahasa sasaran.

Disamping itu, mungkin juga terjadi penyerasian dalam hal

peristilahan, misalnya apakah menggunakan istilah yang umum

digunakan ataukah yang baku.

Pada tahap penyerasian ini, penerjemah dapat melakukannya

sendiri, atau membiarkan orng lain melakukannya. Akan lebih baik

apabila penyerasian itu dilakukan oleh orang lain. Ada dua alasan

untuk hal ini, pertama, penerjemah biasanya sulit mengoreksi

pekerjaannya sendiri, karena secara psikologis ia akan beranggapan

bahwa terjemahannya sudah bagus, peristilahannya sudah tepat,

bahasanya sudah cukup alamiyah dan wajar, dan sebagainya. Kedua,

penerjemahan sebaiknya merupakan pekerjaan suatu team.15 Dalam

hal ini, penerjemah terus menerjemahkan, sedangkan kegiatan

penyerasian dilakukan oleh orang lain. Namun tidak ada salahnya

apabila penerjemah sendiri yang melakukan penyerasian mereka

masing-masing. Kebanyakan masyarakat barat mengerti mengenai

ajaran agama islam dan Al-Qur’an berdasarkan apa yang telah

diterjemahkan oleh kelompok orientalis ke dalam bahasa mereka. Baik

mereka pada akhirnya mencaci Al-Qur’an atau justru masuk kedalam

islam karena terjemahan Al-Qur’an tersebut. Dengan adanya

penerjemahan yang dilakukan itu, seseorang dapat mempelajari

15 Rochayah Machali. Pedoman bagi penerjemahan. (Jakarta: PT. Grasindo. 2000).h. 50

22

kandungan Al-Qur’an terutama bagi mereka yang tidak menguasai

bahasa Arab (Al-Qur’an) dengan baik.

Dengan begitu, penerjemahan Al-Qur’an sangatlah penting dan

berperan sekali dalam mengkaji lebih dalam segala sesuatu yang

terkandung dalam Al-Qur’an.

4. Penerjemahan Al-Qur’an

a. Sejarah Penerjemahan Al-Qur’an

Al-Qur’anul karim telah diterjemahkan ke dalam berbagai

bahasa, misalnya latin, Inggris, Perancis, Belanda dan sebagainya.

Untuk pertama kalinya Al-Qur’an diterjemahkan pada tahun 1143 M,

ke dalam bahasa latin, sebagai bahasa ilmu di eropa waktu itu. Al-

Qur’an masuk ke eropa melalui andalus. Dari terjemahan bahasa latin

inilah kemudian Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Itali,

Jerman dan Belanda oleh para orientalis barat. Pada umumnya

penterjemahan Al-Qur’an oleh para orientalis itu mempunyai

kecenderungan atau tendensi negatif, yaitu menjelek-jelekkan islam,

karena motif mereka bukan untuk menggali dan memahami petunjuk-

petunjuk Al-Qur’an, melainkan demi kepentingan misi mereka

menyudutkan islam.

Maracci misalnya, ditahun 1689 mengeluarkan terjemahan Al-

Qur’an ke dalam bahasa latin, dengan teks Arab dan berbagai nukilan

dari berbagai tafsir dalam bahasa Arab yang dipilih demikian rupa,

ditujukan untuk memberi kesan buruk tentang islam di eropa. Maracci

sendiri adalah orang yang pandai, dan dalam menterjemahkan Al-

23

Qur’an itu jelas bertujuan menjelek-jelekkan islam dikalangan orang-

orang Eropa dengan mengambil pendapat ulama-ulama islam sendiri,

yang menurutnya menujukkan kerendahan islam. Maracci adalah

seorang roma Katolik dan terjemahannya itu ia persembahkan kepada

emperor Romawi.

Terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa inggris, yang itu pun

sesungguhnya sebagai hasil terjemahan dari bahasa perancis, yang

dilakukan oleh Du Ryer tahun 1647, untuk pertama kalinya dilakukan

oleh A. Ross dan baru diterbitkan beberapa tahun setelah karya Du

Ryer itu.

Mengingat luasnya tujuan-tujuan terselubung dari para

orientalis yang non islam dan anti islam, dalam penterjemahan Al-

Qur’an, menyebabkan penulis-penulis muslim berusaha

menterjemhkan Al-Qur’an ke dalam bahasa inggris. sarjana muslim

pertama-pertama melakukan penterjemahan Al-Qur’an ke dalam

bahasa inggris ialah Dr. Muhammad Abdul Hakim Khan, dari Patiala,

pada tahun 1905 M. Mirza Hairat dari Delhi juga menterjemahkan Al-

Qur’an dan diterbitkan di Delhi tahun 1919. Nawab Imadul Mulk

Sayid Husein Bilgrami dari Hyderabad Dacca juga menterjemahkan

sebagian Al-Qur’an. Ia meniggal sebelum menyelesaikannya.

Ahmadiyah Qadiani juga menterjemahkan bagian pertama Al-Qur’an,

pada tahun 1915, Ahmadiyah Lahore juga menerbitkan terjemahan

Maulvi Muhammad Ali yang pertama terbit tahun 1917. Terjemahan

24

itu merupakan terjemahan ilmiah yang diberi catatan-catatan yang luas

dan pendahuluan serta indek yang cukup.

Terjemahan Al-Qur’an lain yang perlu disebutkan ialah

terjemahan oleh Hafidz Ghulam Sarwar yang diterbitkan tahun 1930.

Dalam terjemahannya ia memberikan ringkasan, surat demi surat,

bagian demi bagian, tetapi tidak diberinya footnote pada terjemahan

itu. Catatan-catatan yang dimaksud kiranya sangat perlu untuk

memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an dengan ungkapan-

ungkapan yang kaya akan arti memerlukan catatan-catatan yang

memadai. Marmaduke Pichthall juga menterjemahkan Al-Qur’an, di

terbitkan pada tahun 1930. Ia adalah seorang muslim berkebangsaan

inggris yang pandai dan ahli dalam bahasa Arab.

Terjemahan ke dalam bahasa non eropa dilakukan ke dalam

bahasa-bahasa : Persia, Turki, Urdu, Benggali, Indonesia dan berbagai

bahasa timur serta beberapa bahasa Afrika. Terjemahan Al-Qur’an

pertama dalam bahasa urdu dilakukan ole Syah Abdul Qadir dari Delhi

(wafat 1826). Setelah itu banyak juga yang lain menterjemahkan Al-

Qur’an ke dalam bahasa urdu tersebut, yang pada umumnya

terjemahan-terjemahan itu tidak sampai selesai. Di antara terjemahan

yang lengkap yang dipergunakan sampai sekarang ialah terjemahan

Syah Rafiuddin dari Delhi, Syah Asyraf Ali Thanawi dan Maulvi

Nazir Ahmad (wafat 1912).

Al-Qur’anul karim diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

telah dilakukan oleh Abdul Ra’uf Al-Fansuri, seorang ulama dari

25

Singkel, pada pertengahan abad ke-17 M, jelasnya kedalam bahasa

melayu. Terjemahan tersebut bila dilihat dari segi ilmu bahasa/tata

bahasa Indonesia modern belum sempurna, namun pekerjaan itu

sungguh besar artinya, terutama sebagai parintis jalan.

Di antara terjemahan yang lain ialah terjemahan yang dilakukan

oleh kemajuan islam Yogyakarta, Qur’an kejawen dan Qur’an

sundawiyah, terbitan percetakan A.B. Siti Syamsiah Solo, tafsir

Hidayaturrahman oleh K.H. Munawir Khalil, tafsir Al-Qur’an

Indonesia oleh Prof. Mahmud Yunus (1935), Al Furqan dan tafsir

Qur’an oleh A. Hasan dari Bandung (1928), tafsir Al-Qur’an oleh H.

Zainuddin Hamidi Cs (1959), Al Ibris disusun oleh K.H. Bisyri

Musthafa dari Rembang (1960), tafsir Qur’anul Hakim oleh H.M.

Kasyim Bakry Cs (1960) dan lain-lain. Dari terjemahan-terjemahan

Al-Qur’an tersebut ada yang lengkap dan ada yang tidak selesai.

Terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia yang

kemunculannya menimbulkan pro dan kontra ialah bacaan mulia oleh

kritikus sastra H.B. Jassin, yang dalam penterjemahan itu

menggunakan pendekatan puitis.

Pemerintah RI menaruh perhatian besar terhadap upaya

terjemahan Al-Qur’an ini. Hal tersebut terlihat semenjak pola I

pembangunan semesta berencana, sampai pada masa pemerintahan

sekarang ini. Al-Qur’an dan terjemahannya yang telah beredar di

masyarakat dan yang telah berulang kali dicetak ulang dengan

26

penyempurnaan-penyempurnaan, adalah bukti nyata dari besarnya

perhatian pemerintah terhadap penerjemahan Al-Qur’an itu.16

Dalam penerjemahan Al-Qur’an terdapat 2 jenis terjemahan, yaitu :

1) Terjemahan Al-Quran Harfiah

Terjemahan Al-Quran secara harfiah adalah terjemahan yang

dilakukan dengan apa adanya, sesuai dengan susunan dan struktur

dari bahasa sumber. Terjemahan harfiah dilakukan dengan cara

memahami arti kata demi kata yang terdapat dalam teks terlebih

dahulu, setelah benar-benar dipahami kemudian dicari padanannya

yang tepat ke dalam Bsa.

Muhammad Husain Al-Dzahabi membagi terjemahan harfiah ini

dalam dua bagian, yaitu :

a) Terjemah harfiah bi Al-Mitsl, yaitu terjemahan yang dilakukan

apa adanya, terikat dengan susunan dan struktur bahasa sumber

yang diterjemahkan.

b) Terjemah Al-Qur’an Bighairi Al-Mitsl, pada dasarnya sama

dengan terjemahan sebelumnya, hanya saja sedikit lebih

longgar keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa

sumber yang akan diterjemahkan.

2) Terjemahan Al-Qur’an Tafsiriah

Terjemahan Al-Qur’an secara tafsiriah atau yang lebih dikenal

dengan penerjemahan maknawiyah yaitu menjelaskan makna atau

arti kata dengan bahasa lain, tanpa terikat dengan tertib kata-kata

16 M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi. Pengantar Ilmu Tafsir. (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988).h. 177-180

27

bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya. Terjemahan

ini lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan yang terdapat

dalam bahasa sumber yang diterjemahkan. Terjemahan ini tidak

terikat dengan susunan dan struktur gaya bahasa yang

diterjemahkan. Dengan kata lain dapat pula disebut dengan

terjemahan bebas.

b. Pebedaan Penerjemahan dengan Tafsir

Sebelum penulis menjelaskan perbedaan penerjemahan dengan

penafsiran, penulis ingin memaparkan tentang penafsiran terlebih

dahulu.

Tafsir atau at-tafsir menurut bahasa mengandung arti antara lain :

yakni ada sesuatu ,( اﻹﻳﻀﺎح واﻟﺘﺒﻴﻴﻦ ) ,Menjelaskan, menerangkan (1

yang semula belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih

lanjut, sehingga jelas dan terang.

yakni perluasan dan pengembangan ,(اﻟﺸﺮح ) Keterangan sesuatu (2

dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat umum dan global,

sehingga menjadi lebih terperinci mudah dipahami serta dihayati.

yakni (alat-alat kedokteran yang khusus dipergunakan,( اﻟﺘﻔﺴﻴﺮة ) (3

untuk dapat mendeteksi/mengetahui segala penyakit yang diderita

seorang pasien). Kalau tafsirah adalah alat kedokteran yang

mengungkapkan penyakit dari seorang pasien, makna tafsir dapat

mengeluarkan makna yang tersimpan dalam kandungan ayat-ayat

Al-Quran.

28

Tafsir menurut istilah (terminoligis), para ulama memberikan rumusan

yang berbeda-beda, karena perbedaan dalam titik pusat perhatiannya,

nama dalam segi arah dan tujuannya sama. Adapun definisi tafsir

adalah sebagai berikut :

1) Menurut Syaikh Thahir Al-Jazairy, dalam At-Taujih :

اﻟﺘﻔﺴﻴﺮﻓﻰ اﻟﺤﻘﻴﻘﺔ إﻧﻤﺎهﻮ ﺷﺮح اﻟﻠﻔﻆ اﻟﻤﺴﺘﻐﻠﻖ ﻋﻨﺪ اﻟﺴﺎﻣﻊ ﺑﻤﺎ هﻮ اﻓﺼﺢ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﻤﺎ

ﻳﺮادﻓﻪ او ﻳﻘﺎ رﺑﻪ اوﻟﻪ دﻻﻟﺔ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺈﺣﺪى ﻃﺮق اﻟﺪﻻﻻت

“Tafsir pada hakikatnya ialah menerangkan (maksud) lafazh yang

sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih

memperjelas pada maksud baginya, baik dengan mengemukakan

sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan

mengemukakan uraian yang mempunyai petunjuk kepadanya

melalui suatu jalan dalalah.”

2) Menurut Syaikh Al-Jurjani dalam At-Ta’rifat :

اﻟﺘﻔﺴﻴﺮﻓﻰ اﻷﺻﻞ اﻟﻜﺴﻒ واﻹﻇﻬﺎ ر وﻓﻰ اﻟﺸﺮع ﺗﻮﺿﻴﺢ ﻣﻌﻨﻰ اﻻﻳﺔ : ﺷﺄ ﻧﻬﺎ وﻗﺼﺘﻬﺎ

واﻟﺴﺒﺐ اﻟﺬى ﻧﺬ ﻟﺖ ﻓﻴﻪ ﺑﻠﻔﻆ ﻳﺪ ل ﻋﻠﻴﻪ دﻻﻟﺔ ﻇﺎهﺮة

“Pada asalnya tafsir berartu membuka atau melahirkan, dalam

pengertian syara’, (tafsir) ialah menjelaskan makna ayat : dari segi

segala persoalannya, kisahnya, asbabun nuzulnya, dengan

menggunakan lafazh yang menunjukkan kepadanya secara

terang.”17

Terjemah, baik harfiyah maupun tafsiriyah bukanlah tafsir,

terjemah tidak identik dengan tafsir. Banyak orang mengira bahwa

17 M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi. Pengantar Ilmu Tafsir. (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988).h. 139-141

29

terjemah tafsiriyah itu pada hakikatnya adalah tafsir yang memakai

bahasa non-Arab, atau terjemah tafsiriyah itu adalah terjemahan dari

tafsir yang berbahasa Arab. Persoalan ini memang sejak dulu

diperdebatkan dan dipersilisihkan. Antara keduanya jelas ada unsur

kesamaan, yaitu bahwa baik tafsir maupun terjemah bertujuan untuk

menjelaskan, tafsir menjelaskan

Sesuatu maksud yang semula sulit dipahami, sedangkan terjemah

juga menjelaskan makna dari suatu bahasa yang tidak dikuasai melalui

bahasa lain yang dikuasai. Ada unsur persamaan antara keduanya

buakn berarti keduanya sama secara mutlak. Perbedaan-perbedaan

keduanya antara lain :

1) Pada terjemah terjadi peralihan bahasa, dari bahasa sumber

kebahasa sasaran, tidak ada lagi lafazh atau kosa kata pada bahasa

sumber itu melekat pada bahasa sasaran. Bentuk terjemah telah

lepas sama sekali dari bahasa yang diterjemahkan. Tidak demikian

halnya dengan tafsir. Tafsir selalu ada keterikatan dengan bahasa

sumbernya, dan dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa,

sebagaimana lazimnya dalam terjemah. Yang terpenting dan

menonjol dalam tafsir ialah ada penjelasan, baik penjelasan kata-

kata mufrad (kosa kata) maupun penjelasan susunan kalimat.

“إﺳﺘﻄﺮاد “ Pada terjemahan sekali-kali tidak boleh melakukan (2

yakni penguraian luas melebihi dari sekedar mencari padanan kata,

sedangkan dalam tafsir, pada kondisi tertentu, tidak hanya boleh

melakukan penguraian meluas itu, tetapi justru penguraian luas itu

30

3) Terjemah pada lazimnya mengandung tuntutan dipenuhi semua

makna yang dikehendaki oleh bahasa sumber, tidak demiian halnya

dengan tafsir. Yang menjadi pokok perhatiannya ialah tercapai

penjelasan yang sebaik-baiknya, baik secara global maupun secara

terperinci, baik mencakup keseluruhan makna saja, tergantung

pada apa yang diperhatikan mufassir dan orang yang menerima

tafsir itu.

4) Terjemah lazimnya mengandung tuntutan ada pengakuan, bahwa

semua makna yang dimaksud, yang telah dialihbahasakan oleh

31

penterjemah adalah makna yang ditunjuk oleh pembicaraan bahasa

sumber dan memang itulah yang dikehendaki oleh penutur bahasa.

Tidak demikian halnya dengan tafsir. Dalam dunia tafsir soal

pengakuan sangat relative, tergantung pada factor kredibilitas

mufassirnya. Mufassir akan mendapatkan pengakuan jika dalam

menafsir itu ia didukung oleh banyak dalil yang dikemukakannya,

sebaliknya ia tidak akan mendapatkan pengakuan ketika hasil

tafsirnya itu tidak didukung oleh dalil-dalil.

Demikian pula jika yang melakukan penafsira itu orang yang

sehaluan dengan yang membaca atau mendengar hasil tafsiran,

maka akan mendapat pengakuan, akan tetapi jika tidak sehaluan,

mungkin pengakuan itu tidak ada, atau jika ilmunya lebih rendah

dari yang membaca atau yang mendengar hasil tafsiran itu, maka

pengakuanpun tidak ada, demikian pula sebaliknya.18

B. Homonimi

1. Pengertian Hominimi

Homonimi berasal dari bahasa yunani kuno onoma yang artinya

‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat

diartikan sebagai “nama sama untuk benda atau hal lain’. Secara seamntik,

verhaar (1978) member definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata,

frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga

berupa kata frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.

18 Ibid,. h. 175-177

32

Umpamanya kata pacar yang berarti ‘inai’ dengan pacar yang berarti

‘kekasih’, antara kata bisa yang bererti racun ular dan kata bisa yang

berarti sanggup, dapat. Contoh lain, antara kata baku yang berari standar

dengan baku yang berarti saling, atau antara kata Bandar yang berarti

pelabuhan dengan Bandar yang berarti parit dan Bandar yang berarti

pemegang uang dalam perjudian.

Hubungan antara kata pacar dengan arti ini dan kata pacar dengan arti

kekasih inilah yang disebut Homonim. Jadi kata pacar yang pertama

berhomonim dengan kata pacar yang kedua. Begitu juga sebaliknya karena

hubungan homonimi ini bersifat dua arah. Dalam kasus Bandar yang

menjadi contoh di atas, homonimi ini terjadi pada tiga buah kata. Dalam

bahasa Indonesia banyaj juga homonimi yang terdiri dari tiga buah kata.

Hubungan antara dua buah kata yang homonym bersifat dua arah.

Artinya, kalau kata bisa yang berarti racun ular homonym dengan kata bisa

yang berarti sanggup, maka kata bisa yang berarti sanggup juga homonim

dengan kata bisa yang berarti racun ular. Kalau ditanyakan, bagaimana

bisa terjadi bentuk-bentuk yang homonimi ini? Ada dua kemungkinan

sebab terjadinya homonimi.

Pertama, bentuk-bentuk homonimi itu berasal dari bahasa atau dialek

yang berlainan. Misalnya kata bisa yang berarti racun ular berasal dari

bahasa melayu, sedangkan bisa yang berarti sanggup berasal dari bahasa

jawa. Contoh lain kata bang yang berarti adzan berasal dari bahasa jawaq,

sedangkan kata bang (kependekan dari abang) yang berarti kakak laki-laki

berasal dari bahasa melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti pangkal

33

permulaan berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti

kalau berasal dari dialek Jakarta.

Kedua, bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses

morfologis. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat ibu sedang

mengukur kelapa di dapur adalah berhomonimi dengan kata mengukur

dalam kalimat petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas,

kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan

awalan me- pada kata kukur (me + kukur = mengukur), sedangkan kata

mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan

me- pada kata ukur (me + ukur = mengukur).

Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi ini pun dapat

terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.

Homonimi antar morfem, tentunya antara sebuah morfem terikat

dengan morfem terikat lainnya. Misalnya, antara morfem- nya pada

kalimat: ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya’

berhomonimi dengan –nya pada kalimat “mau belajar tetapi bukunya

belum ada.” Morfem –nya adalah kata ganti orang ketiga, sedangkan

morfem –nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.

Homonimi antar kata, misalnya antara kata bisa yang berarti racun ular

dan kata bisa yang berarti snaggup atau dapat sperti sudah disebutkan di

muka.

Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti

perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya dan frase cinta anak yang

berarti cinta kepada anak dari seornag ibu. Contoh lain, ornag tua yang

34

berarti ayah ibu dan frase orang tua yang berarti orang yang sudah tua.

Juga antara frase lukisan yusuf yang berarti lukisan milik yusuf dan

lukisan yusuf yang berarti lukisan hasil karya yusuf, serta lukisan yusuf

yang berarti lukisan wajah yusuf.

Homonimi antar kalimat, misalnya antara istri lurah yang baru itu

cantik yang berarti lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang

cantik, dan kalimat istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah itu

baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik.19

2. Homonim dalam Bahasa Arab

Homonim (Al-Musytarak Al-Lafdzi) Homonimi adalah beberapa kata yang sama, baik pelapalannya

maupun bentuk tulisannya, tetapi maknanya berlainan. Menurut

Moeliono, homo sedikitnya mempunyai dua makna. Pertama, homo yang

berasal dari bahasa latin yang bermakna ‘manusia’. Kedua, homo yang

berasal dari bahasa Yunani yang bermakna ‘sama’. Dalam kasus ini, homo

yang terdapat dalam homonim berasal dari bahasa Yunani. Setidaknya

inilah yang dikemukakan oleh Matthews. Nim (-nym) sendiri merupakan

combining form yang mempunyai makna ‘nama’ atau ‘kata’. Jadi,

homonim adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan

pelafalan tetapi maknanya berbeda. Oleh Fromkin dan Rodman

(1998:163), homonim diperkenalkan dengan nama lain homofon. Untuk

19 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,1994) h. 93-96

35

lebih sederhananya, Verhaar (1999:394) memperlambangkan homonim

dengan X dan Y yang bermakna lain tetapi berbentuk sama.20

Pengaruh bahsa (kata) asing ked lam bahasa Indonesia ternyata

mengakibatkan munculnya banyak homonimi. Homonin dalam bahasa

Arab banyak sekali dapat ditemukan. Berikut contoh homonim dalam

bahasa Arab:

;mempunyai artî (1) berdenyut; (2) mengepung ( ﺿﺮب) a. Kata dharaba

(3) memikat; (4) menembak; (5) memukul; (6) menyengat; (7)

cenderung; (8) menentukan; (9) mengetuk. Semua kata dharaba yang

mempunyai sedikitnya 9 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk

sama.

;mempunyai artî (1) berkuasa; (2) menaruh perhatian ﺗﻮﻟﻰ b. Kata tawallâ

(3) mengendalikan diri; (4) mengerjakan; (5) mengemudikan; (6)

memimpin. Semua kata tawallâ yang mempunyai sedikitnya 6 arti ini

semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.

(mempunyai artî (1) dewasa; (2) sadar; (3) petunjuk; (4 رﺷﺪ c. Kata rusyd

rasio. Semua kata rusyd yang mempunyai sedikitnya 4 arti ini

semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.

;mempunyai artî (1) menekan; (2) mengembalikan ﻗﺒﺾ d. Kata qabadha

(3) mengerutkan: (4) menyempitkan; (5) melepaskan; (6)

meninggalkan; (7) bersegera. Semua kata qabadha yang mempunyai

sedikitnya 7 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.

20 http//google.com diakses selasa15 juni 2010

36

e. Tahlil n Puji-pujian kepada tuhan dengan menyebut la ila ha illallah.

Tahlil n Pengesahan perkawinan antara suami istri yang telah bercerai

tiga kali dengan perantaraan muhalil.

f. Sirat n Mata jala (jarring, rajut), Sirat n Celah, sela (antara gigi dan

gigi), Sirat n Jembatan.

3. Homonimi dalam Bahasa Indonesia

Saeed (2000:63) menyebutkan bahwa homonimi adalah relasi

antara kata fonologis yang sama namun maknanya tidak berhubungan.

Definisi ini agak berbeda dengan definisi dari Matthews (1997:164) yang

menyebut homonimi sebagai relasi antara kata-kata yang bentuknya sama

namun maknanya berbeda dan tidak bisa dihubungkan. Menurut pendapat

saya, definisi homonimi menurut Saeed rancu dengan definisi homofon,

sedangkan definisi hominimi menurut Matthews rancu dengan definisi

homograf. Homonimi seharusnya mencakup relasi antara kata yang

pengucapannya dan bentuknya sama, namun maknanya tidak

berhubungan.21

Berikut contoh homonim dalam bahasa Indonesia

• Rapat (berdempet-dempetan) dengan kata Rapat (meeting)

• Beruang (hewan) dengan kata Beruang (punya uang)

• Bisa (dapat) dengan kata Bisa (racun ular)

• Pacar (inai) dengan kata Pacar (kekasih)

• Bandar (pelabuhan), Bandar (parit), Bandar (pemegang uang dalam

perjudian)

21 http//google.com diakses selasa15 juni 2010

37

C. Pengertian kufr

Pada dasarnya, kufr merupakan sebuah perbuatan yang bertolak

belakang dengan ketaatan sehingga sering kali diartikan sebagai sebuah

pengingkaran. Kufr adalah bentuk ketidaktaatan yang dilakukan oleh

seseorang terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh tuhan.

Berkenaan dengan itu, lafadz kufr memilki arti yang kompleks dalam

pemaknan lafaznya. Cawidu dalam penelitiannya telah menemukan sejumlah

padanan kata yang berhubungan dengannya seperti term yang memilki

hubungan secara eksplisit ataupun implicit. Term-term yang memilki sinonim

dengan kufr itu sendiri secara eksplisit (mengandung makna kufr dalam

dirinya) ialah juhud, ilhad, inkar, dan syirik. Sedangkan term-term lain yang

hanya mengandung makna secara implisit (mengandung makna kekafiran)

ialah fisq (keluar dari pkok agama), zulm (menempatkan sesuatu bukan pada

tempatnya), fujur (menyingkap penutup agama, berbuat dosa besar), jurm

(berbuat hal yang tidak disenangi [perbuatan makruh]), dalal (menyimpang

dari jalan yang lurus dengan mengingat tujuan), ghayy (menyimpang dari jalan

yang lurus dengan melupakan tujuan), fasad (melakukan perbuatan yang

merusak baik itu terhadap tatanan alam maupun manusia), I’tida (melampui

batas atau menyimpang dalam kejahatan terhadap hak-hak orang lain), israf

(melampui batas atau menyimpang dalam kejahatan), ‘isyan (berbuat dosa

besar dan kecil), kibr (menunjukkan sikap angkuh dan membangkang dari

rasul dan ajarannya serta ayat-ayat tuhan), kidzb (mendustakan hal-hal

38

mengenai kebenaran) dan ghaflat (kealpaan memparhatikan ayat-ayat

tuhan).22

Kufr ditinjau dari segi etimologi ialah berarti satira (menutupi), ‘asa

(durhaka atau tidak taat), imtina (menghindar), jahada (mendustakan), ghata

(menutupi).23 Adapun penggunaan secara bahasa yang sering digunakan oleh

ulama ialah satira yang memilki arti menutupi. Pemilihan tersebut didasarkan

pada sikap orang-orang kafir yang selalu enggan menerima kebenaran

sehingga mereka selalu menutup-nutupinya. Sedangkan lawan dari kufr itu

sendirir adalah iman atau keimanan yang berpihak pada kebenaran.24 Maka

orang-orang ‘kafir’ enggan menyatakan keimanannya dan selalu melawan

kebenaran.

Dalam ensiklopedi Indonesia, orang-orang yang mengingkari

keimanan yakni orang yang menyangkal keesaan Allah dan kerasulan nabi

Muhammad SAW, disebut sebagai orang yang ‘kafir’.25 Oleh karena itu,

orang ‘kafir’ cenderung menyangkal kebenaran wahyu Allah yang telah

dibawa oleh nabi Muhammad saw, kemudian dijelaskan melalui kitab Al-

Qur’an dan ajaran-ajarannya (hadits). Pengingkaran atau kekufuran terhadap

akidah yang tertera pada kedua sumber tersebut walaupun dalam bentuk

masalah-masalah yang kecil seperti mengingkari salah satu rasul atau malaikat

22 Harifuddin Cawidu. Konsep Kufr dalam Al-Quran, h. 54-87 23 Ibnu Mandzur, Lisan al’arab, jilid V (Beirut: dar el fikr, 1994),h.144-145 24 Ibnu mandzur, lisan al’arab, h.144. kafara: al-kafru: naqid al-iman (‘lawan dari iman’) 25 Hassan Shadiliy, Ensiklopedi Indonesia, Penyunting Susilastuti Suyoko (Jakarta: Ichtiar baru-Van Hoeve bekerjasam dengan Elsevier Publishing Project,tt), h.1394

39

tetap saja dinyatakan sebagai kelompok orang-orang yang tidak beriman atau

‘kafir’.26

Harifuddin cawidu menganggap bahwa orang-orang ‘kafir’ itu adalah

mereka yang menutup-nutupi kebenaran (kebenaran tuhan secara mutlak dan

segala sumber kebenaran yang mengarah kepada-Nya). Kemudian ia juga

membagi pengertian kufr menjadi dua bagian yakni kekafiran yang

menyebabkan pelakunya tidak lagi behak disebut muslim (termasuk di

dalamnya kufr syirik, kufr ingkar, kufr nifaq, dan kufr riddah) dan kekafiran

yang mencakup semua perbuatan maksiat, dalam arti menyalahi perintah

Allah dan melakukan larangan-larangannya, yang secara umum bisa disebut

kufr nikmat. Pelaku dari jenis kufr kedua menurutnya tidaklah keluar dari

islam meskipun dia akan menjalani hukuman tuhan.27

Pengingkaran terhadap masalah-masalh kecil atau pelanggaran

terhadap perintah dan larangan tuhan yang berskala kecil, barang tentu akan

mengantarkan pada pengingkaran hal-hal yang besar, begitupun juga dengan

kekufuran, yang semula hanya bermakna tidak mensyukuri nikmat tiba-tiba

bergeser secara alami menjadi makna tidak beriman.28 Dalam ensiklopedi

islam karya Cyrill Glasse, orang ‘kafir’ diartikan sebagai orang yang

mengingkari bukti kebenaran wahyu tuhan yang terdapat dalam ajaran nabi

Muhammad, atau yang diajarkan pada nabi-nabi sebelumnya, termasuk

mereka yang tidak bersyukur atas nikmat Allah dan juga kalangan atheis.29

26 Umar Sulaiman Al-Asyqar, Belajar Tentang Allah SWT, Penerjemah Yusuf Syahrudin (Jakarta: Sahara Pulisher. 2008). h. 36 27 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Quran (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 160-161 28 Faruq Sheriff, Al-Quran menurut Al-Quran, Penerjemah M.h. Assegaf dan Nur Hidayah (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001), cet. I, h. 169 29 Cyrill Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas), Penerjemah Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), cet,kedua, h. 201

40

Kata Al-kufr atau yang identik dengan ‘kafir’ sering diartikan sebagai

keluar dari islam (murtad). Memang benar kufr merupakan lawan dari iman.

Hanya saja, apakah setiap kata kufr selalu bermakna demikian, itulah yang

menjadi persoalan. Kesalahan dalam menangkap makna kufr dapat berakibat

fatal. Banyak orang yang salah memahami kufr, khususnya yang terdapat

dalam ayat Al-Qur’an.

Secara harfiah, kufr berarti tertutup, terhalang, dan terhapus. Namun,

kata ini menjadi istilah khusus dalam perbincangan masalah akidah, yang

menjadi lawan dari iman. Karenanya, ketika seseorang tidak lagi beriman,

maka secara otomatis menjadi ‘kafir’.

Pada dasarnya, kata ini memiliki banyak arti yang di antaranya adalah

ingkar, yaitu inkar terhadap wujud Allah. Masuk dalam kategori ini adalah

orang-orang ateis. Makna kedua yaitu mengakui tetapi menolak karena gengsi

atau dengki pada pembawa kebanaran (juhud), atau sebaliknya yaitu mengakui

secara lisan namun hatinya menolak (nifaq). Orang seperti ini akan selalu

menolak kebenaran meskipun pada dasarnya ia tahu bahwa hal itu adalah

benar. Makna berikutnya adalah kufr nikmat,30 yaitu tidak mensyukuri nikmat

Allah. Selain itu, kufr juga dapat berarti enggan melaksanakan perintah agama,

tidak merestui atau berlepas diri, dan yang terakhir adalah syirik atau murtad.

Pemaknaan sebuah kata atau bahasa sangat erat kaitannya dengan budaya

yang melatarbelakanginya. Karena suatu bahasa merupakan alat konunikasi,

30 Ada beberapa faktor yang menjadikan seseorang terjerumus dalam kekufuran. Faktor- faktor tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu: 1. Faktor internal : kepicikan, kebodohan, kesombongan dan keangkuhan, keputusasaan, kesuksesan dan kesenangan dunia. 2. Faktor eksternal : lingkungan, yaitu terlalu kuat dalam berpegang teguh pada tradisi nenek moyang, sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah : 170, yang memberikan isyarat bahwa lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai kekufuran kemudian ditambah dengan watak taklid dapat menyebabkan kekufuran dan penolakan terhadap kebenaran. Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Quran (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h 91-102

41

maka manusia sebagai pemakai bahasa selalui berusaha untuk memaknai

bahasa itu sesuai dengan perkembangan manusia tersebut agar komunikasi

yang dibangun selalu relevan dengan kondisi masayarakat tersebut. Demikian

juga halnya dengan apa yang penulis bahas pada skripsi ini, yaitu kufr.

BAB III

BIOGRAFI H.B. JASSIN

A. Riwayat Hidup H. B. Jassin

Hans Bague Jassin atau sering disebut H.B. Jassin dilahirkan tanggal

31 juli 1917 di Gorontalo, Sulawesi Utara, dari keluarga Islam.1 Ayahnya

bernama Bague mantu Jassin seorang kerani Bataafsche Petroleum

Maatsschappij (BPM), dan ibunya bernama Habiba jau. Setelah menamatkan

Gouverments HIS Gorontalo pada tahun 1932, Jassin melanjutkan pelajaran

ke HBS-B 5 tahundi Medan, dan tamat akhir 1938.

Bulan Januari 1939, Jassin kembali ke Gorontalo. Antara bulan

Agustus dan Desember 1939, Jassin bekerja sebagai volontair di kantor

Asisten Residen Gorontalo. Akhir Januari 1940, Jassin menuju Jakarta dan

mulai Februari 1940 hinnga 21 Juli 1947 bekerja di Balai Pustaka. Mula-mula

dalam sidang pengarang redaksi buku (1940-1942), kemudian menjadi

redaktur Panji Pustaka (1942-1945), dan wakil pemimpin redaksi Panca Raya

(1945-21 juli 1947).

Setelah Panca Raya tidak terbit lagi, secara berturut-turut Jassin

menjadi redaktur majalah Mimbar Indonesia (1947-1966), Zenith (1951-

1954), Bahasa dan Budaya (1952-1963), Kisah (1953-1956), Seni (1955),

Sastra (1961-1964 dan 1967-1969), Horrison (1966 sampai sekarang), dan

Bahasa dan Sastra (1975).

1 Pamusuk eneste, H.B. Jassin; Paus Sastra Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1987), h. 76

41 42

Mulai Agustus 1953, Jassin menjadi dosen luar biasa untuk mata

kuliah Kesusastraan Indonesia Modern pada Fakultas Sastra Universitas

Indonesia. Disamping mengajar, Jassin juga mengikuti kuliah di fakultas yang

sama. Tanggal 15 Agustus 1957, Jassin meraih gelar kesarjanaannya di

Fakultas Sastra UI, dan kemudian memperdalam pengetahuan mengenai ilmu

perbandingan sastra di Universitas Yale, Amerika Serikat (1958-1959).

Sebelum berangkat ke Amerika Serikat, Jassin pernah berencana

untuk menulis disertasi mengenai Pujangga Baru, timbulnya,

pertumbuhannya, bubarnya, lengkap dan latar belakangnya. Promotornya pun

sudah ada yakni. Prof. Dr. Priyono.2 Akan tetapi, sepulang dari amerika

serikat, Jassin tidak pernah lagi berbicara mengenai rencana itu. Bukan hanya

itu, bahkan Jassin tidak mau lagi mengajar karena ia lebih tertarik dalam dunia

penulisan daripada berdiri di depan kelas.3

Sejak Januari 1961, Jassin kembali menjadi dosen luar biasa pada

Fakultas Sastra UI. Akan tetapi, tidak lagi berdiri di depan kelas, melainkan

hanya membimbing para mahasiswa yang membuat skripsi. Antara lain, Jassin

membimbing penulisan skripsi boen s. oemarjati, m. saleh saad, m. s.

hutagalung, j.u. nasution, bahrum rangkuti, dan lain-lain.

Jassin adalah salah seorang tokoh manifes kebudayaan, sebuah

manifest yang dibuat 17 Agustus 1963 guna menentang pihak lembaga

kebudayaan rakyat (lekra). Akibatnya sejak dilarang manifest kebudayaan

oleh Bung Karno (3 Mei 1964), Jassin pun dipecat dari Fakultas Sastra UI.

2 H.B. Jassin, surat-surat 1943-1983, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 136-138 dan 140 3 Ibid, h. 155 43

Dan pemecatan ini berlangsung hingga G-30-S/PKI meletus setelah itu, Jassin

kembali lagi ke Fakultas Sastra UI. Dan sejak april 1973 menjadi lector tetap

di Fakultas tersebut untuk mata kuliah sejarah kesusastraan Indonesia modern

dan ilmu perbandingan kesusastraan.

Di samping mengajar dan mengikuti kuliah, sejak Juli 1954 hingga

Maret 1973, Jassin adalah pegawai lembaga bahasa dan budaya, yang

sekarang kita kenal dengan nama pusat pembinaan dan pengembangan bahasa

departemen pendidikan dan kebudayaan.

Untuk jasa-jasanya di bidang kebudayaan pada umumnya, Jassin menerima

satyalencana kebudayaan dari pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 20

Mei 1969. Tanggal 24 Agustus 1970, Gubernur DKI (saat itu Ali Sadikin)

mengangkat Jassin sebagai anggota Akademi Jakarta (yang diketuai S. Takdir

Ali Sjahbana). Keanggotaan ini berlaku untuk seumur hidup.

Karena pemuatan cerpen kipanjikusmin “Langit Makin Mendung” di majalah

sastra (Agustus 1968) yang dipimpinnya, Jassin diajukan ke pengadilan.

Tanggal 28 Oktober 1970, ia dijatuhi hukuman bersyarat satu tahun penjara

dengan masa percobaan dua tahun. Dan hingga sekarang, hanya Jassin lah

yang tahu, siapa yang bersembunyi di belakang nama kipanjikusmin itu.

Bulan April-Juni 1972, Jassin mendapat cultural visit award dari

pemerintah Australia. Selama delapan minggu, Jassin mengunjungi pusat-

pusat pengajaran bahasa dan sastra Indonesia/Malaysia di Australia. Tanggal

26 Januari 1973, Jassin menerima hadiah martinus nijhoff dari prin berhard 44

fonds di Den Haag, Belanda. Hadiah ini diberikan untuk jasa Jassin

menerjemahkan karya multatuli, Max Havelaar (Jakarta: djambatan, 1972).

Untuk menghormati jasanya dibidang sastra Indonesia, tanggal 14 Juni

1975 Universitas Indonesia memberikan gelar doctor honoris causa kepada

Jassin. “dalam kenyataan”, kata Prof.Dr. Harsja W. Bachtiar, dekan Fakultas

Sastra UI pada tahun 1975, “Pengetahuan orang tentang sastra indonesia

didasrkan pada pengetahuan yang dikembangkan oleh H.B. Jassin.4

Sejak 28 Juni 1976, Jassin menjadi ketua yayasan dokumentasi sastra

H.B. Jassin. Yayasan ini mengelola pusat dokumentasi sastra H.B. Jassin yang

terletak di Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.

Dokumen sastra itu adalah yang paling lengkap terdapat di Indonesia maupun

di luar negeri. Kemudian ia juga pernah menjadi anggota pengurus himpunan

penerjemah Indonesia pada bulan November 1973 dan kemudian menjadi

penasehat yayasan Idayu pada tahun 1974. Kemudian menjadi penasehat

yayasan Mas Agung pada tahun 1988 sampai akhir hayatnya, dan masih

banyak lagi pengabdiannya pada masyarakat dan negara yang belum

disebutkan.5

Untuk jasa-jasanya dibidang kesenian dan kesusastraan, Jassin

menerima hadiah seni dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1983.

Pada bulan Agustus-September 1984, Jassin menunaikan ibadah haji.

Selain kegiatan yang disebutkan di atas, masih ada kegiatan Jassin

yang lain. Sejak tahun 1949 hingga sekarang, Jassin adalah penasihat berbagai

4 Alfons Taryadi, seandainya tak ada H.B. Jassin (kompas, 10 juni 1975), h.4 5 H.B. Jassin, Majalah Harmoni, (Jakarta, 1994) 45

penerbit di Indonesia, diantaranya adalah Balai Pustaka (1949-1952), Gapura

(1949-1951), Gunung Agung (1953-1970), Nusantara (1963-1967),

Pembangunan (1964-1967), Pustaka Jaya (1971-1972), dan lain-lain.

Jassin juga pernah diangkat menjadi pemeriksa luar beberapa

universitas di luar negeri, diantaranya, Universitas Malaya (Malaysia),

Universitas Monash (Australia), Universitas Sydney (Australia), dan lain

sebagainya.

B. Karya-karya H.B. Jassin

Berikut ini disajikan daftar karya H.B. Jassin hingga saat ini. Akan tetapi,

hanya terbatas pada karya yang sudah berbentuk buku, yang terbagi atas tiga

kelompok : (1) karangan asli H.B. Jassin, (2) buku-buku yang dieditori H.B.

Jassin, (3) terjemahan H.B. Jassin.

1. Karangan Asli H.B. Jassin

a. Angkatan 45, Jakarta : yayasan dharma, 1951. Seperti tercermin pada

judulnya, buku ini berisi pembicaraan mengenai “angkatan 45” dalam

sastra Indonesia. Buku ini hanya dicetak satu kali karena selanjutnya

isi buku dimasukkan ke dalam kesusastraan Indonesia dalam kritik dan

esei (Jakarta: Gunung agung, 1954, hal. 189-202) dan kesusastraan

Indonesia modern dalam kritik dan esei II (Jakarta: gunung agung,

1967, hal. 9-23).

b. Tifa penyair dan daerahnya, (Jakarta: gunung agung, 1952), berisi teori

kesusastraan. Tahun 1985 buku ini mengalami cetakan ke-7. 46

c. Kesusastraan Indonesia modern dalam kritik dan esei. (Jakarta: gunung

agung, 1954). Mula-mula terbit satu jilid (1954), kemudian terpecah

menjadi dua jilid (1962), dan terakhir membengkak menjadi empat

jilid (1967). Sejak tahun 1985, keempat jilid buku ini diterbitkan olen

penerbit PT. Gramedia, Jakarta. Serial buku ini berisi esei dan kritik

mengenai karya sastrawan Indonesia tahun 20-an hingga tahun 60-an,

serta sejumlah karangan berkenaan dengan sastra.

d. Kesusastraan dunia dalam terjemahan Indonesia, (Jakarta: yayasan

kerjasama kebudayaan, 1966). Seperti Nampak pada judulnya, buku ini

berisi paparan mengenai terjemahan sastra dunia dalam bahasa

Indonesia. Buku ini hanya dicetak satu kali karena selanjutnya isi buku

dimasukkan ke dalam kesusastraan Indonesia modern dalam kritik dan

esei IV (Jakarta: Gunung Agung, 1967, hal. 162-170).

e. Heboh sastra, suatu pertanggungan jawab, (Jakarta: Gunung Agung,

1970).

Seperti terlihat pada judulnya, buku ini berisi pertanggungjawaban

pengarang atas cerpen kipanjikusmin “Langit Makin Mendung”, yang

menimbulkan heboh tahun 1968 dan menyebabkan Jassin diajukan ke

pengadilan.dengan kata lain, buku ini adalah pembelaan terhadap

cerpen tadi di pengadilan. Secara lengkap, pembelaan Jassin ini

kemudian dimuat dalam sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia.

f. Sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia, (Jakarta: Yayasan Idayu,

1981). Buku ini berisi pidato Jassin pada gelar penerimaan doctor 47

honoris causa dari universitas Indonesia, 14 juni 1975. Karangan ini

juga dimuat dalam buku nomor 7 di bawah.

g. Sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia, (Jakarta: Gramedia,

1983). Berisi karangan Jassin antara tahun 1966 dan 1977, termasuk di

dalamnya isi buku nomor 5 dan 6 di atas.

h. Pengarang Indonesia dan dunianya, (Jakarta: Gramedia, 1983) berisi

tulisan-tulisan Jassin mengenai karya sejumlah pengarang Indonesia

yang belum dibicarakan dalam buku nomor tiga di atas. Oleh Jassin,

mulanya tulisan-tulisan ini direncanakan untuk menjadi “kesusastraan

Indonesia modern dalam kritik dan esei V dan VI”.

i. Surat-surat 1943-1983, (Jakarta: Gramedia, 1984). Seperti bunyi

judulnya, buku ini berisi surat-surat yang ditulis Jassin pada tahun

1943-1983, yang ditujukan kepada berbagai pihak, baik di dalam

atapun di luar negeri.

2. Buku-buku yang Disunting Jassin

a. Pancaran citra; kumpulan cerita pendek dan lukisan, (Jakarta: Balai

Pustaka 1946). Berisi cerpen Asmara Bangun, Usmar Ismail, Rosihan

Anwar, Karim Halim, H.B. Jassin, dan lain-lain.

b. Kesusastraan di Indonesia di masa Jepang, (Jakarta: Balai Pustaka,

1948). Bunga Rampai ini memuat hasil karya para pengarang

Indonesia pada zaman pendudukan Jepang. Tahun 1985, buku ini

mengalami cetakan ke-5. 48

c. Gema tanah air; prosa dan puisi, (Jakarta: Balai Pustaka, 1948). Mula-

mula terbit satu jilid (1948), tetapi sejak cetakan ke-5 (1969) pecah

menjadi dua jilid. Tahun 1982, buku ini mengalami cetakan ke-7.

Bunga rampai ini memuat hasil karya para pengarang Indonesia antara

tahun 1942 dan 1948.

d. Kisah 13 cerita pendek, (Jakarta Kolff, 1955). Seperti terlihat pada

judulnya, bunga rampai ini berisi tiga belas buah cerita pendek yang

pernah dimuat dimajalah kisah.

e. Chairil Anwar pelopor Angkatan 45, (Jakarta: Gunung Agung, 1956).

Berisi sejumlah prosa dan puisi Chiril Anwar yang belum masuk

dalam kumpulan sajak Chairil Anwar deru campur debu dan kerikil

tajam dan yang terampas dan yang putus, didahului dengan sebuah

studi Jassin berkenaan dengan jiplakan Chairil Anwar. Tahun 1985,

buku ini mengalami cetakan ke-7.

f. Analisa; sorotan atas cerita pendek, (Jakarta: Gunung Agung, 1961).

Berisi sejumlah cerpen pengarang Indonesia, disertai sorotan Jassin

terhadap setiap cerpen.

g. Amir Hamzah raja penyair pujangga baru, (Jakarta: Gunung Agung,

1962). Berisi prosa dan puisi amir hamzah yang belum masuk ke

dalam buah rinah dan nyanyi sunyi.

h. Pujangga Baru; prosa dan puisi, (Jakarta: Gunung Agung, 1963).

Memuat hasil karya para pengarang Indonesia yang tergolong pada

angkatan pujangga baru. 49

i. Tenggelamnya kapal van der wijck dalam polemic (editor bersama

junus amir hamzah), (Jakarta: mega bookstore, 1963). Menurut

sejumlah karangan seputar novel , tenggelamnya kapal van der

wijck, yang pernah di hebohkan sebagai jiplakan.

j. Angkatan 66; prosa dan puisi, (Jakarta: Gunung Agung, 1968). Mula-

mula terbit satu jilid, kemudian pecah menjadi dua jilid. Tahun 1985,

buku ini mengalami cetakan ke-6. Bunga rampai ini ini memuat hasil

karya para pengarang Indonesia yang tergolong pada angkatan 66.

3. Terjemahan H.B. Jassin

a. Sepoeloeh Tahoen Koperasi, oleh R.M. Margono Djojohadikoesoemo,

Bp 1941, judul asli: Tien Jaren Cooperatie.

b. Chushingura, oleh Sakae Shioya, Bp 1945, diterjemahkan bersama

karim halim dari bahasa inggris.

c. Renungan Indonesia, oleh Sjahrazad, pustaka rakyat, 1947, judul asli:

indonesische over peinzingen.

d. Terbang Malam, oleh A. De St. exupery, Bp 1949, judul asli: vol de

nuit.

e. Kisah-kisah dari Rumania, bersama tslim ali dan Carla rampen, Bp

1964, judul asli: nouvelles roumanics.

f. Api Islam, oleh Syed Amir Ali, pembangunan, 1966, 2 jilid, judul asli:

The Spirit Of Islam.

g. Tjerita Pandji dalam perbandingan, oleh Prof.Dr.R.M.Ng.

Poerbatjaraka, diterjemahkan bersama Zuber Usman, judul asli: Panjdi

Verhalen Onderling Vergelakan. 50

h. Max Havelaar, oleh Miltatuli, Djambatan, 1972.

i. Kian Kemari Indonesia dan Belanda dalam Sastra, Djambatan 1973.

j. The Complete Poems Of Chairil Anwar, University Education Press

Singapore 1974, terjemahan bersama Liaw Yock Fang.

k. Al-Quranul karim bacaan mulia, mulai diterjemahkan 7 oktober 1972,

selesai 18 desember 1974.

l. Saijah dan Adinda Max Havelaar, cerita Multatuli Scenario film PT.

Mondial Motion Pictures & Fons Rademakers Productie, ditulis oleh

G. soetaman dan hiswara Darmaputra, 1975.

Demikianlah karya-karya H.B. Jassin yang dapat penulis ketahui,

mungkin masih banyak karya-karyanya yang belum tertulis seperti

tulisan H.B. Jassin dalam artikel-artikel, dan bahan makalah-makalah

seminar atau diskusi yang dihadirinya, dan lain sebagainya yang belum

penulis ketahui.

4. Kontroversi Penyusunan Terjemah Al-Qur’an H.B. Jassin

Ketika H.B. Jassin mengumumkan penerbitan Al-Qur’an karim

bacaan mulia, umat Islam Indonesia geger. Konon pada tahun 1987, ada

yang membakar karya puitisasi dari terjemahan Al-Qur’an H.B. Jassin ini.

Pasalnya bagaimana orang yang tidak bisa bahasa Arab menerjemahkan

Al-Qur’an.

H.B. Jassin sendiri memang mengakui tak pernah mendapatkan

pelajaran khusus membaca Al-Qur’an. Baru sesaat menjadi mahasiswa di 51

Fakultas Sastra Universitas Indonesia, ia sempat mempelajari bahasa Arab.

Di sana Jassin juga mempelajari terjemahan-terjemahan Al-Qur’an,

naskah-naskah lama dari ar-raniri dan hamzah fansuri, yang beripa tulisan

arab melayu beserta kutipan-kutipan bahasa arabnya dan mempelajari cara

menerjemahkan lewat kamus.

Persoalan yang dihadapi jassin, harus diakui bahwa umat islam

sepenuhnya belum mempercayai kredibilitas dan komitmen keislamannya.

Umat masih sangsi, bagaimana orang tidak bisa bahasa arab, tidak kenal

dengan dunia pesantren, dan mengaku pernah merasa sebal mendengar

khotbah-khotbah (istilah jassin waktu ia “teriak-teriak”) di masjid bisa

menerjemahkan Al-Qur’an, sedangkan tradisi islam (hadits) mengajarkan

“jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, kehancuranlah

akibatnya”.

H. Oemar Bakry yang dikenal sebagai sahabat dekat H.B. Jassin

dengan gencar menyampaikan kritiknya dengan mengemukakan apa yang

disebutnya sebagai “syarat-syarat mutlak” dalam menerjemahkan Al-

Qur’an, seperti penerjemhan harus menguasai bahasa arab sedalam-

dalamnya nahwu. Sharaf, ma’ani, balaghah dan sebagainya. Ia harus

berpengatahuan luas dalam soal-soal keislaman, bahkan disebutnya pula

seolah-olah seseorang yang ingin menerjemahkan Al-Qur’an harus

berprestasi dalam buku-buku keagamaan. Artinya seseorang harus

memilki latar belakang kedudukan sebagai ulama bila ia mau memasuki

dunia penerjemahan Al-Qur’an. Islam tidak pernah melimpahkan hak 52

monopoli kepada golongan ulama sebagai satu-satunya kata dalam

mengupas isi kitab suci Al-Qur’an atau sumber-sumber ilmu keislaman

lainmnya. Tradisi pelimpahan hak-hak istimewa (privilege) kepada

golongan ulama itu bila ditelusuri tidak akan tersua jejaknya pada sumber-

sumber tradisi Islam. Maka dari itu tidak mesti harus seorang ulama untuk

sekedar menerjemahkan Al-Qur’an.

Lemparan kritikan yang lebih berat lagi disampaikan oleh dewan

da’wah islamiyah indonesia (DDII) dan ikatan masjin Indonesia (IKMI)

mengusulkan penyetopan terjemah Al-Qur’an ini, dengan alas an seorang

penerjemah harus menguasai bahasa arab (Tabahhur) yang menjadi bahasa

Al-Qur’an dan haruslah mendalami ilmu-ilmu agama (Ta’ammuq) supaya

dalam penerjemahan itu terhindar dari hal-hal yang bertentangan dengan

salah satu hukum islam.

5. Latar Belakang H.B. Jassin dalam Menyusun Terjemah Al-Quran

Seorang H.B. Jassin dikenal sebagai ahli sastra, walupun

kapasitasnya sebgai orang sastrawan, namun ia berusaha ingin membuat

sebuah terjemah Al-Qur’an. Penulisan terjemah Al-Qur’an ini

dilatarbelakangi oleh semangat istrinya yang ingin mempelajari Al-Qur’an

dan ia mengalami kesulitan ketika mempelajari Al-Qur’an yang berbahasa

arab sehingga sang istri mendorong suaminya (H.B. Jassin) untuk

menerjemahkan Al-Qur’an. Pada saat istrinya meninggal dunia, H.B.

Jassin menemukan tradisi di sekitar rumahnya melakukan tahlilan, berdo’a 53

membaca Al-Qur’an untuk yang meninggal, hal ini menambah motivasi

H.B. Jassin untuk meneruskan penerjemahan Al-Qur’an yang pernah

dilakukannya pada sebagian ayat Al-Qur’an (Juz ‘amma) semasa istrinya

masih hidup.

Setelah itu, ia tidak pernah melewatkan membaca Al-Qur’an.

Walau tak sehalaman paling tidak sebaris dua baris ayat ia baca Al-

Qur’an. “itu ada kenikmatannya, sebab saya membaca dengan pikiran,

saya berkomunikasi dengan tuhan”.6

Ia merasakan akan pentingnya sebuah terjemah ketika ia

memanjatkan do’a kepada Allah SWT untuk almarhumah istrinya dan

H.B. Jassin tidak merasa puas dengan membaca saja, akhirnya ia pun

mulai mempelajari secara mendalam dan meresapi akan isi kandungan

Al-Qur’an. Ia juga menyadari akan keagungan Allah SWT yang telah

memberikan mukjizat kepada nabi Muhammad SAW yang berupa

Al-Qur’an.7

Dengan demikian ia dapat merasakan nikmatnya isi kandungan

firman-firman Allah. Selain sisi sakralitas Al-Qur’an, H.B. Jassin juga

mengakui bahwa Al-Qu’ran adalah maha sastra. Pengakuannya ini

terangkum dalam pernyataannya, “alangkah luas, alangkah tinggi,

alangkah luhur dan murninya Al-Qur’an”.

Obsesi untuk menerjemahkan Al-Qur’an juga dilatarbelakangi

ketika ia membaca terjemahan Abdullah jusuf ali yang berjudul “The Holy

6 H.B. Jassin, kontroversi Al-Quran berwajah puisi, (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1995),h.58 7 H.B. Jassin, Al-Quran Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Yayasan 23 Januari 1982), h. XVIII 54

Qur’an”, yang ia peroleh dari H. Kasim Mansur pada tahun 1969 yang

dianggapnya bahwa, terjemah itu sangat indah Karena disertai dengan

keterangan-keterangan yang luas dan universal sehingga dapat

memudahkan mereka untuk mengetahui dan memahami ayat-ayat Al-

Qur’an.8

Selain itu juga merasakan akan kadar kemampuan umat Islam

Indonesia yang masih terbatas sekali pengetahuannya tentang bahasa Arab.

Dengan demikian timbullah dalam benak H.B. Jassin untuk membuat

terjemah, terjemah Al-Qur’an yang ia tulis dalam bentuk puisi karena ia

anggap dapat memudahkan bagi mereka yang akan mengkaji dan

memahami makna kandungan Al-Qur’an.

H.B. Jassin adalah seorang kritikus sastra dengan reputasi nasional

dalam beberapa dekade, yang pertama kali menulis Al-Qur’an pada akhir

1970-an. Sebelumnya H.B. Jassin pernah menulis buku yang berjudul “juz

‘amma”.9 Kemudian Jassin sebagai seorang sastrawan yang mempunyai

minat melebihi batas teritorialnya, member kejutan dengan tujuan

membuat terjemah Al-Qur’an yang ditulis dengan susunan puisi. Namun

ketika baru menyatakan judul dan maksud buku tersebut, terjadilah

polemic dikalangan para ulama yang telah menganggap bahwa, terjemah

yang dilakukan H.B. Jassin tersebut tidak sesuai dengan Al-Qur’an yang

sebenarnya sehingga dapat menyesatkan orang yang membaca dan yang

mempelajarinya. Namun berbagai rintangan, ia tidak pernah patah

8 H.B. Jassin, Majalah Tempo, (Jakarta: 1975), cet.73, h.50 9 Howard M. Federspiel, Kajian Al-Quran di Indonesia; dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab, (Bandung, Mizan, 1996),h.24 55

semangat, akan tetapi ia terus bersemangat dan akhirnya ia dapat

menyelesaikan terjemah Al-Qur’an dengan bentuk puisi.

C. Biografi Prof. Dr. Mahmud Yunus.

1. Riwayat Hidup dan Aktivitas Keilmuan

Mahmud Yunus lahir pada tanggal 30 Ramadhan 1316 H atau

bertepatan dengan 10 Februari 1899 di Batu Sangkar Barat. Belum genap

berumur tujuh tahun beliau sudah memulai mengaji pada kakeknya, M .

Tahir bin M. Ali. Mahmud Yunus masuk ke sekolah dasar namun hanya

sampai kelas tiga. Selepas itu, beliau memasuki madrasah yang dipimpin

oleh Syekh H. M. Thalib Umar sampai tahun 1916. Pada tahun 1917

Mahmud Yunus sudah dipercaya untuk mengajar menggantikan gurunya

yang berhalangan karena sakit.

Ketika berusia 25 tahun beliau melanjutkan studinya ke Universitas

Kairo dan berhasil memperoleh Syahadah Alamiyah. Kemudian pada

tahun 1926-1930 belajar di Madrasah Darul Ulum Ulya. Sebagai orang

Indonesia yang pertama kali memasuki Madrasah ini beliau harus bersusah

payah untuk dapat bersekolah di Madrasah ini. Beliau mengambil

takhashsush (spesialis) tadris sampai memperoleh Ijasah Tadris.10

Profesinya sebagai guru sudah dimulai sejak masih belajar di Batu

Sangkar, yaitu sebagai guru bantu di pesantren. Selanjutnya pada tahun

1931 sebagai direktur/guru al-Jamiah di Batu Sangkar dilanjutkan dengan

sebagai guru Normal Islam (Madrasah Mu’alimin Islamiyah), kemudian

10 Diploma guru atau pada masa sekarang dikenal dengan istilah akta 4 56

menjadi dosen agama pada Akademi Pamong Praja di Bukit Tinggi,

menjadi dekan pada Akademi Dinas Ilmu Agama (AIDA) di Jakarta, pada

tahun 1960-1963 beliau dipercaya sebagai dekan sekaligus guru besar pada

Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pada tahun 1966-

1971 beliau menjabat sebagai rektor IAIN Imam Bonjol Padang.

Beliau juga dikenal sebagai pendiri perkumpulan Sumatra

Thawalib dan penerbit Islam al-Basyir. Pada tahun 1920 turut mendirikan

persatuan anggota Cu Sang Kai. Pada tahun 1945-1946 dimana beliau

berhasil memasukkan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah

pemerintah. Beliau turut serta dalam mendirikan Majlis Tinggi

Minangkabau yang kemudian menjadi MIT Sumatra.

Beliau mulai terlibat gerakan pembaruan setelah mewakili gurunya

untuk hadir dalam rapat besar ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang

Panjang, Sumatra Barat. Abad ke-20 ditandai dengan kemajuan di

berbagai bidang, terutama ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara-negara

yang bisa menguasai kedua hal tersebut akan bisa mewujudkan

kesejahteraan bagi masyarakatnya. Tentu bangsa Indonesia yang mayoritas

muslim mau tak mau harus mengikuti perkembangan itu.

Selama ini ada anggapan bahwa pendidikan Islam hanya terpusat

untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Tapi beberapa kalangan telah

melakukan penyesuaian dengan memasukkan ilmu umum dalam

kurikulum pendidikan Islam. Salah satu tokoh pembaru itu adalah Prof.

Mahmud Yunus. Disebutkan dalam buku Tokoh dan Pemimpin Agama: 57

Biografi Sosial-Intelektual, Mahmud Yunus lahir lahir di desa Sungayang,

Batusangkar, Sumatra Barat, hari Sabtu 10 Februari 1899. Keluarganya

adalah tokoh agama yang cukup terkemuka. Ayahnya yang bernama

Yunus bin Incek menjadi pengajar surau yang dikelolanya sendiri.

Ibundanya yang bernama Hafsah binti Imam Samiun merupakan anak

Engku Gadang M. Tahur bin Ali, pendiri serta pengasuh surau di wilayah

itu.

Sejak kecil, Mahmud Yunus dididik dalam lingkungan agama. Dia

tidak pernah masuk sekolah umum. Ketika menginjak usia tujuh tahun,

Mahmud mulai belajar al-Qur’an serta ibadah lainnya. Gurunya adalah

kakeknya sendiri. Mahmud sempat menimba ilmu di sekolah desa, tahun

1908. Namun, saat duduk di kelas empat, dia merasa tidak betah lantaran

seringnya pelajaran kelas sebelumnya diulangi. Mahmud kecilpun

memutuskan pindah ke madrasah yang berada di surau Tanjung Pauh

bernama Madras School, asuhan H. M. Umar Thaib, seorang tokoh

pembaru Islam di Minangkabau.

Sejarah mencatat, H.M. Umar Thaib amat berpengaruh terhadap

pembentukan keilmuan Mahmud Yunus. Melalui karya-karya gurunya itu,

Mahmud dapat menyerap semangat pembaruan yang dibawanya. Misalnya

dalam karya al-Munir ditekankan penguasaan pengetahuan umum serta

bahasa Eropa. Karenanya para santri di surau/pesantren H. M. Umar Thaib

diwajibkan mempelajari ilmu agama, bahasa Eropa, maupun ilmu

pengetahuan umum. Maksudnya agar para santri dapat juga memanfaatkan 58

ilmu-ilmu tersebut bagi peningkatan kesejahteraan umat dan

perkembangan Islam.

Saat Mahmud belajar di Madras School antara tahun 1917-1923, di

Minangkabau tengah tumbuh gerakan pembaruan Islam yang dibawa oleh

para alumni Timur Tengah. Umumnya pembaruan Islam terwujud dalam

dua bentuk: purfikasi11 dan modernisasi. Yang dilakukan oleh para alumni

itu adalah gerakan purifikasi untuk mengembalikan Islam ke zaman awal

Islam dan menyingkirkan segala tambahan yang datang dari zaman

setelahnya.

Mahmud Yunus mulai terlibat digerakan pembaruan saat

berlangsung rapat besar ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang

Panjang. Dia diminta untuk mewakili gurunya. Pertemuan itu secara

langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pola pemikiran

pembaruan Mahmud Yunus, terutama berkat pandangan-pandangan yang

dikemukakan sejumlah tokoh pembaruan seperti Abdullah Ahmad serta

Abdul Karim Amrullah.

Bersama staf pengajar lainnya yang bergiat digerakan pembaruan,

tahun 1920 Mahmud membentuk perkumpulan pelajar Islam di Sungayang

bernama Sumatera Thawalib. Salah satu kegiatan kelompok ini adalah

menerbitkan majalah al-Basyir dengan Mahmud Yunus sebagai pemimpin

redaksinya. Interaksi yang kian intens dengan gerakan pembaru

mendorongnya untuk menimba ilmu pengetahuan lebih jauh di Mesir.

11 Gerakan Pembersihan atau Penyucian Kembali atas apa yang dianggap bid’ah. 59

Tidak mudah untuk mewujudkan hasratnya itu. Berbagai kendala dihadapi.

Namun pada akhirnya kegigihan Mahmud Yunus dapat mengantarkannya

ke al-Azhar, Kairo, tahun 1924.

Di sana ia mempelajari ilmu ushul fiqh, tafsir, fikih Hanafi dan

sebagainya. Mahmud Yunus seorang murid yang cerdas. Hanya dalam

tempo setahun dia berhasil mendapatkan Syahadah Alimiyah dari al-Azhar

dan menjadi orang Indonesia kedua yang memperoleh predikat tersebut.

Tetapi dia merasa belum cukup dengan apa yang telah diperoleh lantaran

peningkatan pengetahuan umumnya belum terpenuhi. Dia pun

berkeinginan melanjutkan studinya ke Madrasah Dar al-Ulum yang

memang mengajarkan pengetahuan umum. Mahmud Yunus kemudian

meneguhkan diri untuk mengikuti seluruh persyaratan yang diminta dan

terbukti mampu memenuhi. Dia dimasukkan sebagai mahasiswa di kelas

bagian malam (qiyam lail). Semua mahasiswanya berkebangsaan Mesir,

kecuali Mahmud Yunus. Tercatat dia menjadi orang Indonesia pertama

yang masuk Dar al-Ulum.

Kuliah Mahmud Yunus berakhir dengan lancar. Tahun 1929, dia

mendapat ijazah diploma guru dengan spesialisasi bidang ilmu

kependidikan. Setelah itu, dia kembali ke kampung halamannya di

Sungayang, Batu Sangkar. Gerakan pembaruan di Minangkabau saat itu

makin berkembang. Ini amat mengembirakan Mahmud Yunus yang lantas

mendirikan dua lembaga pendidikan Islam, yakni pada tahun 1931 al-

Jamiah di Sungayang dan Normal Islam di Padang. Di kedua lembaga 60

inilah dia menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang didapatkannya

di Dar al-Ulum, Kairo.

Karena kekurangan tenaga pengajar, al-Jamiah Islamiyah terpaksa

ditutup tahun 1933. Sedangkan Normal Islam hanya menerima tamatan

madrasah 7 tahun dan dimaksudkan untuk mendidik calon guru. Ilmu yang

diajarkan berupa ilmu agama, bahasa Arab, pengetahuan umum, ilmu

mengajar, ilmu jiwa dan ilmu kesehatan.

Dua penekanan dalam pembaruan Mahmud Yunus di lembaga

pendidikannya yakni pengenalan pengetahuan umum dan pengajaran

bahasa Arab. Pengajaran pengetahuan umum di sekolahnya sebenarnya

tidaklah baru. Tahun 1909, Abdullah Ahmad sudah mengajarkan berhitung

dan bahasa Eropa di Adabiyah School. Sementara Mahmud Yunus

menambahkan beberapa pelajaran umum semisal, ilmu alam, hitung

dagang dan tata buku.

Awal tahun 1970 kesehatan Mahmud Yunus menurun dan bolak-

balik masuk rumah sakit. Tahun 1982, memperoleh gelar doctor honoris

causa di bidang ilmu tarbiyah dari IAIN Jakarta atas karya-karyanya dan

jasanya dalam pengembangan ilmu pendidikan Islam di Indonesia.

Sepanjang hidupnya, Mahmud menulis tak kurang dari 43 buku. Pada

tahun 1982, Mahmud Yunus meninggal dunia.12

12 Siti Kurrotulaini, Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al-Qur’an Juz 30 (Surat al- Qadr, al-Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud Yunus, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2008), h. 41 61

2. Karya-karya Prof. Dr. Mahmud Yunus

Selain sebagai mufasir, Mahmud Yunus juga banyak menulis buku,

terutama buku pelajaran agama Islam untuk anak-anak, temasuk pula tafsir

dan terjemahan al-Qur’an, di antaranya:

a. Tafsir al-Qur’an tamat 30 Juz, tahun 1938.

b. Terjemahan al-Qur’an tanpa tafsir, untuk memudahkan membaca al-

Qur’an.

c. Marilah Sembahyang, pelajaran shalat, untuk anak-anak SD, 4 jilid

d. Puasa dan Zakat, untuk anak-anak SD.

e. Haji ke Mekkah ,cara mengerjakan haji, untuk anak SD.

f. Keimanan dan Akhlak, untuk anak-anak SD, 4 jilid.

g. Beberapa Kisah Pendek, untuk anak-anak SD.

h. Riwayat Rasul Dua Puluh Lima, bersama Rasyidin dan Zubair

Utsman.

i. Lagu/lagu baru/not angka-angka, bersama Kasim St. M. Syah.

j. Bermain dan Berbudi Pekerti, untuk anak SD.

k. Hukum Warisan dalam Islam, untuk tingkat Aliyah.

l. Pemimpin Pelajaran Agama, 3 jilid, untuk murid–murid SMP.

m. Perbandingan Agama, untuk tingkat Aliyah.

n. Kumpulan Do’a, untuk tingkat Aliyah.

o. Do’a-do’a Rasulullah, untuk tingkat Aliyah.

p. Marilah ke Al-Qur’an, untuk tingkat Tsanawiyah/PGA, bersama H.

Ilyas M. Ali. 62

q. Moral Pembaruan dalam Islam, untuk tingkat Aliyah.

r. Akhlak (bahasa Indonesia), untuk tingkat Aliyah.

s. Pelajaran Sembahyang (shalat), untuk Aliyah,

t. Hukum Perkawinan dalam Islam, 4 Mazhab.

u. Soal Jawab dalam Hukum Islam, 4 Mazhab.

v. Ilmu Musthalah Hadits, bersama H. Mahmud Aziz.

w. Sejarah Islam di Minangkabau.

x. Kesimpulan Isi Al-Qur’an, untuk mubaligh dan umum

y. Allah dan MakhlukNya, Ilmu tauhid, menurut al-Qur’an.

z. Pengetahuan Umum Ilmu Medidik, bersama St. M. Said.

aa. Pokok-pokok Pendidikan/Pengajaran, Fakultas Tarbiyah/PGAA.

bb. Metodik Khusus Pendidikan Agama, Fakultas Tarbiyah/PGAA.

cc. Metodik Khusus Bahasa Arab (bahasa al-Qur’an), Fakultas

Tarbiyah/PGAA.

dd. Sejarah Pendidikan Islam Indonesia.

ee. Sejarah Pendidikan Islam (umum).

ff. Pendidikan Modern di Negara-negara Islam/Pendidikan Barat.

gg. Ilmu Jiwa Kanak-kanak , kuliah untuk kursus-kursus.

hh. Pedoman Dakwah Islamiyah, kuliah untuk dakwah.

ii. Dasar-dasar Negara Islam.

jj. Juz ‘Amma dan Terjemahannya.

kk. Pokok-pokok Pemikiran dan Pengajaran.

ll. Pelajaran Bahasa Arab (Durus al-Lughatil ‘Arabiyah) 63

mm. Tafsir ayati al-Akhlaq.

nn. Metodik Khusus Pendidikan Metode Pengajaran Pendidikan Agama

SD.

oo. Kitab Pemimpin.

pp. Perbandingan Pendidikan Modern di Negara Islam dan Intisari

Pendidikan Barat.

Dan 27 judul buku lainnya dalam bahasa Arab di antaranya;

a. Kitabu al-Tarbiyah wa Ta’lim.

b. Fiqhu al-Wadih dan lain sebagainya.13

3. Metode Penerjemahan Prof. Dr. Mahmud Yunus

Tafsir al-Qur’an Karim karya Mahmud Yunus adalah buku yang

dapat memudahkan orang untuk menangkap makna dari teks bahasa Arab

dalam al-Qur’an. Problem transmisi makna dari teks al-Qur’an ke dalam

bahasa lainnya menjadi starting point buku ini. Teks Arab al-Qur’an

diyakini mempunyai karakteristik unik, susunan kata, akar kata, sinonim,

kelamin kata, kosa kata dan sinonimnya. Seseorang yang melakukan

transmisi makna dihadapkan pada pilihan yang beragam.

Menurut pandangan para ahli, Mahmud Yunus dalam

terjemahannya tidak mengulas tentang seni-seni bahasa dan nahwu kecuali

sedikit sekali. Beliau menjelaskan ayat-ayat dengan gaya bahasanya yang

apa adanya, menyingkap beberapa makna dengan ungkapan yang mudah

13 Mahmud Yunus, Tafsir al-Qur’an Karim, (Jakarta: Hidakarya Agung, Cet. Ke 72), h. 1-8 64

dan dapat diterima oleh kalangan awam, disertai penjelasan mengenai

ayat-ayat al-Qur’an yang dirasa rumit.

Mahmud Yunus berpendapat bahwa al-Qur’an dengan keagungan

serta kemuliaan bentuknya begitu padat, sehingga tidak ada terjemahan

dalam satu bahasa apapun yang bisa menggantikannya. Metode penafsiran

Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus dibuat sebagaimana umumnya

kitab-kitab tafsir: menyebutkan nama surat, mengaitkan dengan konteks

turunnya ayat tersebut (asbabun nuzul), baru menafsirkan ayat demi ayat.

Penafsiran yang dilakukan Mahmud Yunus dalam hal gramatika

bahasa, ma’ani dan bayan merujuk pada kitab-kitab tafsir lainnya,

terutama dari karya para penafsir Timur Tengah. Selain itu juga merujuk

pada kitab at-Tafsir al- Kabir karya ar-Razi dalam kaitannya dengan

hikmah dan kalam, serta Jami’ at-Tafsir karya ar-Raghib al-Ashfahani

dalam kaitannya dengan pembentukan kata dan makna intristik.14

14 Siti Kurrotulaini, Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al-Qur’an Juz 30 (Surat al- Qadr, al-Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud Yunus, h. 45. BAB IV

ANALISIS HASIL TERJEMAHAN KATA KUFUR

A. Analisis Homonimi Terhadap Kata Kufur

Konsentrasi pada pembahasan ini adalah “kata kunci” kufr yang

tercantum di dalam Al-Qur’an. Kata kufr termasuk ke dalam homonimi, yang

memiliki bentuk yang sama dengan ungkapan lain tetapi maknanya berbeda-

beda. Di bawah ini merupakan mekna homonimi dari kata kufr:

1. Kufr inkar

Kufr al-inkar merupakan hominimi dari kufr. Kufr di sini

mempunyai makna adalah kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap

eksistensi Tuhan, rasul-rasulnya, dan seluruh ajaran yang mereka bawa.

Jadi ditinjau dari sudut akidah, orang ‘kafir’ jenis ini tidak percaya sama

sekali akan adanya Tuhan sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur

Alam ini. Ia juga mendustakan rasul-rasul, mendustakan ayat-ayat Tuhan,

menolak hal yang bersifat ghaib, sperti malaikat, kiamat, kebangkitan,

surga, neraka, dan sebagainya. Karena mengingkari pokok-pokok akidah

di atas, khususnya Tuhan dan hal-hal ghaib, maka orang ‘kafir’ jenis ini

dapat dikategorikan sebagai penganut ateisme, materialisme, dan

naturalisme. 1

1 Ateisme adalah suatu kepercayaan atau paham yang mengingkari sama sekali keberadaan tuhan. Dalam literatur arab, ateisme disebut ilhad (penganutnya disebut mulhid) dan zandaqat (penganutnya disebut zindiq). Kata ilhad terjemahan dari ateisme, tampaknya kurang tepat. Ketika menjelaskan makna ilhad, terlihat bahwa ilhad, secara ikhlas ditujukan pada mereka yang mempercayai tuhan yang esa tetapi menolak paham kenabian dan ajaran-ajaran yang mereka bawa. Sedangkan term ilhad yang muncul dalam al-qur’an, tampaknya secara umum meliputi semua bentuk distorsi dalam bidang akidah, inklusif ateisme. Materialism adalah suatu teori atau kepercayaan bahwa segala kenyataan hanya dapat dimengerti dan dijelaskan berdasarkan materi. Tidak ada sesuatu yang eksis di dunia ini kecuali yang bersifat materi. Naturalisme adalah paham yang mengatakan bahwa ala mini tidak memerlukan sesuatu yang berwujud supernatural sebagai penyebab keberadaan (pencipta)-Nya, pemelihara, dan pengaturnya. Akan tetapi alam ini berwujud dengan sendirinya, jelas dengan sendirinya, mengatur dan menjalankan dirinya sendiri. Kehidupan manusia yang bersifat fisik, kejiwaan, mental, moral, dan spiritual adalah peristiwa alam biasa dan tidak perlu dikaitkan dengan sesuatu yang berwujud supernatural. Oleh karena itu, metode ilmiah adalah satu-satunya cara untuk mengetahui dan menentukan kebenaran. Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al‐Quran (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) h. 106

65 66

⌧⌧ ☺

Terjemahan versi H.B. Jassin

“Kehidupan di dunia dijadikan indah dalam bayangan orang yang kafir.

Mereka mengejek orang beriman, tapi orang yang takwa (kepada tuhan),

berada di atas mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki tiada

berhingga kepada siapa yang ia berkenan”.

Terjemahan versi Mahmud Yunus

“Dihiasi kehidupan dunia bagi orang-orang yang kafir dan mereka

menghinakan orang-orang yang beriman dan orang-orang bertaqwa di atas

mereka itu (derajatnya) pada hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki

kepada siapa yang dikehendakiNya tanpa terhisab”.

Di sini penulis melihat bahwa tidak ada perbedaan makna antara dua

versi terjemahan tersbut. Ayat tersebut bermakna bahwa orang-orang kafir

diberikan kesenangan dan keindahan di dunia saja. Kedua penerjemah

tersebut mempunyai pemahaman yang sama dalam menerjemahkan ayat

tersebut. Tetapi yang berbeda hanya dalam pemilihan diksi saja.

⌧⌧ Terjemahan versi H.B. Jassin 67

“Adapun orang yang ingkar, dan mendustakan ayat-ayat kami, merekelah

penghuni nereka jahim”.

Terjemahan versi Mahmud Yunus

“Orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka itulah

penghuni neraka”.

(jika orang yang ingkar dan mendustakan ayat-ayat kami, maka tempatnya

adalah neraka).

Penulis melihat tidak ada perbedaan makna antara dua versi

terjemahan ini. Secara umum, terjemahan ini bermakna bahwa “jika orang

yang ingkar dan mendustakan ayat-ayat Allah, maka tempat yang tepat

baginya adalah neraka”. Ayat di atas menunjukkan ganjaran bagi orang

yang mendustakan ayat-ayat Allah.

2. Kufr bermakna non Islam

Dalam surat Al-Maidah ayat 44

☺ ……

Terjemahan versi H.B. Jassin

“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang

diturunkan Allah, merekalah orang yang kafir”.

Terjemahan Mahmud Yunus

“Barang siapa yang tiada menghukum menurut yang diturunkan Allah,

maka mereka itu orang-orang kafir”. 68

Penulis melihat tidak ada perbedaan makna antara dua versi

terjemahan ini. Terjemahan ini bermakna “jika tidak ada yang

memutuskan perkara menurut ketentuan Allah, maka termasuk orang yang

kafir”.

Dalam ayat ini terjadi perdebatan antara para ulama dalm menfsirkan

kata kufr di sini. Ulama berbeda pendapat mengenai ayat ini, apakah ayat

ini ditujukan kepada kaum muslimin atau kepada orang-orang kafir.

Dalam tafsir Al-Misbah mengenai ayat ini karya Quraish Shihab,

dipahami dalam arti kecaman yang amat keras terhadap mereka yang

menetapkan hukum bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Tetapi ini

oleh mayoritas ulama seperti tulis Muhammad Sayyid Tanthawi-Mufti

Mesir dan pemimpin tertinggi Al-Azhar Mesir, dalm tafsirnya adalah bagi

yang melecehkan hukum Allah dan yang mengingkarinya. Demikian juga

pendapat sahabat Nabi Ibn Abbas. Memang satu kekufuran dapat berbeda

dengan kekufuran yang lain. Kufurnya seorang muslim, kezaliman, dan

kefasikan non muslim. Kekufuran seorang muslim bisa diartikan

pengingkaran nikamat. Demikian pendapat Atha’ salah seorang ulama

yang hidup pada masa sahabat Nabi Muhammad saw.

Syekh Hasanain Makhluf, yang juga pernah menjabat Mufti Mesir,

menulis tentang penggalan ayat ini dan menyatakan bahwa, pakar-pakar

tafsir berbeda pendapat menyangkut ayat ini dan kedua ayat serupa

sesudah ayat ini. Ayat pertama (ayat 44) ditujukan kepada orang-orang 69

muslim, yang kedua (ayat 45) ditujukan kepada orang –orang Yahudi, dan

ayat ketiga (ayat 47) ditujukan kepada orang-orang Nasrani.2

Demikian juga halnya dalam tafsir Adhwa’ul Bayan, diriwayatkan

dari asy-sya’bi, ayat tersebut ditujukan kepada kaum muslimin, maksud

kekufuran di dalamnya adalah kekufuran yang bukan berarti kekafiran,

dan bukan berarti keluar dari agama. Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas,

mengenai ayat ini ia berkata: bukan kekufuran seperti kalian katakana/kira.

Abi Hatim dan Al Hakim meriwayatkan darinya. Al Hakim mengatakan,

shahih sesuai dengan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, tapi keduanya

tidak menukilnya.

Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut ditujukan

kepada orang-orang Yahudi, karena Allah SWT telah menyebutkan

sebelumnya bahwa mereka “merubah perkataan-perkataan dari tempat-

tempatnya”, dan mereka mengatakan “jika kamu diberikan yang ini”,

yakni hukum yang telah dirubah yang selain hukum Allah, “maka

terimalah dan jika kamu tidak diberikan yang ini”, yakni yang telah

dirubah, tapi kamu diberikan hukum Allah yang sebenarnya “maka hati-

hatilah”. Mereka memerintahkan agar berhati-hati terhadap hukum Allah

yang mereka tahu itu adalah kebenaran. Maka ini menunjukkan bahwa

perkataan tersebut ditujukan kepada mereka. Di antara mereka yang

mengatakn bahwa ayat tersebut ditujukan kepada ahli kitab, sebagaimana

yang ditujukan ayat tersebut adalah Al Barra’ bin ‘azib, Hudzaifah bin Al

2 M. Quraish Shihab, Tafsir Al‐Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2001) h. 99 70

Yaman, Ibnu Abbas, Abu Mijlaz, Abu Raja’ Al Utaharidi, Ikrimah

Ubaidillah bin Abdullah, Al Hasan Al Basri dan yang lainnya.

Maka berdasarkan pendapat ini, ayat tersebut menjadi berisifat

umum. Ibnu mas’ud dan Al Hasan mengatakan, ayat ini bersifat umum,

yaitu bagi setiap orang yang tidak memutuskan menurut apa yang

diturunkan Allah dari kalangan kaun muslimin, Yahudi dan orang-orang

kafir, yakni barang siapa meyakini dan yang menghalalkannya.

Adapun yang melakukan hal itu, tapi ia ber’itikad telah berbuat

haram, maka ia termasuk golongan orang-orang fasik dari kelompok kaum

muslimin, dan urusannya diserahkan kepada Allah, jika berkehendak dia

akan mengadzabnya, dan jika berkehendak dia akan mengampuninya.3

Betapapun, pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa ayat ini

menegaskan, bahwa siapapun tanpa kecuali, jika melecehkan hukum-

hukum Allah atau enggan menerapkannya, maka dia adalah kafir. Yakni

telah keluar dari agama Islam.

3. Kufr juhd

Kufr juhd ini juga merupakan homonimi dari kata kufr yang

mempunyai makna tidak berbeda jauh dengan kufr inkar, istilah juhud

diambil dari term juhud yang terdapat dalam Al-Qur’an. Kufr juhud

menurut Al-Ansari adalah mengakui dengan hati (kebenaran rasul dan

ajaran-ajaran yang dibawanya) tetapi mengingkari dengan lidah.

Sedangkan menurut At-Tabataba’i, kufr Al-Juhud berarti pengingkaran

terhadap ajaran-ajaran tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang

3 Syaikh Asy‐Syanqithi, tafsir adhwa’ul bayan (Jakarta: Pustaka azzam, 2007),h. 143‐145 71

diingkari itu adalah kebenaran. Jadi dapat disimpulkan makna dari kufr

juhd yaitu meyakini dengan hati tetapi ingkar dengan lidah.

Terdapat dalam surat An Naml ayat 13-14

⌦ ⌧ ☺ ⌧ ⌧ ☺

Terjemahan versi H.B. Jassin

“Tapi tatkala datang kepada mereka mukjizat-mukjizat kami yang terang,

mereka berkata, “ini adalah sihir yang nyata.”(13) Mereka mengingkarinya

karena kezaliman dan kesombongannya, padahla ahtinya meyakininya.

Maka lihatlah bagaimana kesudahannya orang yang melakukan kesusahan

(14).

Terjemahan versi Mahmud Yunus

“Tatkala sampai kepada mereka mu’jizat-mu’jizat kami yang terang,

mereka berkata: ini sihir yang terang (13). Mereka mengingkarinya

padahal hati mereka meyakininya, karena aniaya dan sombong. Maka

perhatikanlah bagaimana akibatnya orang-orang yang berbuat bencana

(14).

Surat Al-Baqarah ayat 89

☺ 72

Terjemahan versi H.B. Jassin

“Dan ketika datang kepada mereka sebuah kitab dari Allah, menguatkan

apa yang ada pada mereka padahal sebelum itu mereka mendo’akan

kemenangan terhadap orang kafir-setelah datang kepada mereka apa yang

seharusnya mereka ketahui. Mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah

atas orang yang ingkar”.

Terjemahan versi Mahmud Yunus

“Tatkala datang kitab (Al-Qur’an) kepada mereka dari sisi Allah, yang

membenarkan kitab yang ada pada mereka (taurat) dan adalah pada

mereka pada masa dahulu meminta pertolongan dengan dia buat melawan

orang-orang ‘kafir’, tetapi tatkala datang kepada mereka ketahui

(Muhammad), mereka mengingkarinya, maka kutuk Allah atas orang-

orang ‘kafir’ itu.

Dari ayat ini penulis melihat tidak ada perbedaan makna antara dua versi

terjemahan ini. Terjemahan ini bermakna “orang yang mengingkari

sesuatu dengan lidah padahal hatinya meyakininya terhadap kebenaran”.

Dalam ayat ini tidak terjadi perdebatan oleh para ulama atau Ahli Kitab

dalam memaknai kata kufr ini.

4. Kufr Nifaq 73

Kufr Al-Nifaq4 dapat dianggap sebagai kebalikan dari Kufr Al-Juhud.

Kalau Kufr Al-Juhud berarti mengetahui atau meyakini dengan hati tetapi

ingkar dengan lidah, maka Kufr Al-Nifaq mengandung arti pengakuan

dengan lidah tetapi pengingkaran dengan hati.

……

Terjemahan versi H.B. Jassin

“Hai rasul! Janganlah kau disedihkan oleh orang yang berlomba-lomba

dalam keingkaran, (yaitu) mereka yang berkata, “kami beriman” dengan

mulutnya, tapi hatinya tiad beriman”.

Terjemahan versi Mahmud Yunus

“Hai Rasul, janganlah engkau berduka cita, Karena orang-orang yang

bersegera masuk kekafiran diantara orang-ornag yang berkata: kami telah

beriman dengan mulut mereka, sedang hati mereka tiada beriman.

Dalam ayat tersebut penulis melihat tidak ada perbedaan makna

antara dua versi terjemahan tersebut. Terjemahan ini bermakna bahwa

“orang yang mengaku beriman tetapi hatinya tidak beriman”.

4 Term lain yang berasal dari kata dasar n-f-q tetapi tidak mengandung makna kemunafikan, antara lain, adalah yang berarti “nafkah” atau “memberi nafkah”. Sehubungan dengan pengertian terakhir ini ada pendapat yang mengatakan bahwa nifaq dalam arti kemunafikan terambil dari kata al-nafiqa yang berarti lobang tikus. Antara lobang tikus dengan kemunafikan memnag ada kesejajaran sifat. Bagian atas luar dari liang tikus tertutup denagn tanah, sedangkan bagian bawahnya berlobang. Demikian pula dengan kemunafikan yang bagian luarnya adalah Islam tetapi bagian dalamnya merupakan keingkaran serta penipuan. Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al‐Quran (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) h. 124 74

Terkait dalam ayat di atas dan banyak ayat lain, dalam memanggil

Nabi Muhammad saw. Bukan nama beliau, “hai Muhammad”, tetapi

dengan jabatan beliau yakni hai Rasul! Ini merupakan penghormatan

tersenidiri kepada Nabi termulia dan terakhir itu. Semua nabi yang datang

sebelum beliau diseur oleh Allah dengan menyebut namanya. Ya Ibrahim,

ya Musa, ya ‘Isa. Pada terjemahan ayat di atas terdapat kata bersegera

masuk kekafiran yaitu mempunyai makna terjerumus dalam melakukan

hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai iman, dan bahwa mereka

melakukannya dengan penuh antusias.

Pada kata Kufr Nifaq penulis juga melihat adanya homonimi, pada

kata kufr ini diterjemahkan orang yang mengakui kekuasaan allah dengan

lidah tetapi pengingkaran di hati.

5. Kufr Syirik

Penulis melihat Syirik di sini juga merupakan homonim dari kata

kufr, terjemahan pada kata kufr di sini ialah mempersekutukan tuhan

dengan menjadikan sesuatu, selain diri-Nya, sebagai sembahan, obyek

pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan,

termasuk dalam kategori kufr, digolongkan sebagai kekafiran sebab

perbuatan itu mengingkari kekuasaan dan kesempurnaan-Nya. Penulis

melihat Dalam Al-Qur’an, orang-orang musyrik (pelaku syirik) memang

terkadnag ditunjuk dengan term ‘kafir’ (al ladzina kafaru, al kafiruun, al

kuffar) disamping term musyrik sendiri.

Surat Al-Anbiya ayat 25 75

Terjemahan versi H.B. Jassin

“Dan tiada kami utus sebelummu seornag pun rasul, yang tiad kami

wahyukan kepadanya, bahwa tiada tuhan selain aku, Karena itu sembahlah

aku”.

Terjemahan versi Mahmud Yunus

“Tiada kami utus seorang rasul sebelum engkau, melainkan kami

wahyukan kepadanya, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan, kecuali aku,

sebab itu, sembahlah aku”.

Surat An Nahl ayat 36

….. Terjemahan versi H.B. Jassin

“ Sungguh telah kami utus di antara setiap umat seorang rasul (dengan

perintah), “sembahlah Allah dan jauhilah thagut”.

Terjemahan versi Mahmud Yunus

“Sesungguhnya telah kami utus seorang rasul kepad tiap-tiap umat:

Hendaklah kamu sembah Allah dan jauhilah thagut (berhala)”.

Di sini penulis melihat bahwa tidak ada perbedaan makna antara dua

versi terjemahan tersebut. Ayat tersebut bermakna bahwa “jika seseorang

menyembah selain Allah atau mempersekutukan Allah maka ia merupakan

ornag yang syirik”.

6. Kufr Nikmat 76

Segala yang maujud di dunia ini, pada hakikatnya adalah suatu

nikmat yang diberikan tuhan, sebab semuanya mempunyai kegunaan dan

dapt mendatangkan kebaikan bagi manusia, baik langsung maupun tidak

langsung.

Surat Ibrahim ayat 7

⌧⌧ ⌧ ⌧

Terjemahan versi H.B. Jassin

“Dan ingatlah ketika tuhanmu memaklumkan, “jika kamu bersyukur, pasti

akan kuberi kamu (karunia) lebih banyak lagi. Tapi jika kamu tiada

bersyukur, sungguh, azab-Ku amatlah dahsyat”.

Terjemahan versi Mahmud Yunus

“Ketika Tuhanmu memberi tahukan: demi, jika kamu berterima kasih,

niscaya kutambah nikmat yang ada padamu, tetapi jika kamu kafir (tiada

berterima kasih), sesungguhnya siksaan Ku amat keras”.

Surat Al-Baqarah ayat 152

Terjemahan versi H.B. Jassin

“Maka ingatlah akan daku, aku ‘kan ingat kepadamu. Bersyukurlah

kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada Ku”.

Terjemahan versi Mahmud Yunus 77

“Maka ingatlah kamu kepadaKu, niscaya aku ingat kepadamu dan

berterima kasihlah kepadaKu dan janagnlah kamu menyangkal

(nikmatKu)”.

Penulis melihat bahwa dalam contoh ayat di atas tidak ada perbedaan

makna antara dua versi terjemahan tersebut. Ayat tersebut bermakna

bahwa “apabila seseorang bersyukur atas nikmat Allah maka ia akan

ditambah nikmatnya, sebaliknya jika seseorang tidak bersyukur maka azab

Allah sangat pedih”.

Dari ke dua contoh ayat Al-Qur’an di atas penulis melihat kufr di

sini di artikan orang yang tidak bersyukur kepada nikmat allah. Karena

syukur adalah lawan dari kufr (dalam salah satu pengertiannya), maka

pengertian kufr nikmat dapat di formulasikan sebagai penyalahgunaan

nikmat yang diperoleh, penempatannya bukan pada tempatnya, dari

penggunaannya bukan pada hal-hal yang dikehendaki dan di ridhai oleh

pemberi nikmat.

7. Kufr Irtidad

Istilah irtidad atau riddat yang berakar dari kata radd, secara

etimologi berarti berbalik kembali, atau menurut Al-Raghib, kembali ke

jalan dari mana kita datang. Dari segi etimologi agama, irtidad atau riddat

berarti kembali kepada kekafiran lain (sebelumnya) atau pun tidak.

Surat Al-Baqarah ayat 217

…. ☺ ⌦ ☺ 78

Terjemahan versi H.B. Jassin

“Dan barangsiapa diantara kamu murtad dari agamanya, lalu mati dalam

kekafiran, merekalah orang yang amalnya sia-sia di dunia dan akhirat.

Mereka penghuni-penghuni api (neraka), mereka tinggal di dalamnya

selama-lamanya.

Terjemahan versi Mahmud Yunus

“Barangsiapa yang murtad (kembali) diantara mu dari agamanya, lalu ia

mati, sednagkan ia kafir, maka amalan mereka itumenjadi hapus di dunia

dan di akhirat, dan mereka itu penghuni neraka, sedang mereka kekal di

dalamnya”.

Surat An Nisa ayat 137 ⌧⌧ ⌧⌧ ⌧ Terjemahan versi H.B. Jassin

“Sungguh orang yang beriman, kemudian menjdi ingkar, kemudian

beriman dan kemudian menjadi ingkar (lagi), kemudian bertambah-tambah

ingkarnya, tiadalah Allah mengampuninya, dan tiada ia menunjukinya

jalan (yang benar)”.

79

Terjemahan versi Mahmud Yunus

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian menjadi kafir,

kemudian beriman lagi, kemudian kafir pula, kemudian makin tambah

kekafirannya, tiadalah Allah mengampuni mereka itu dan tiada pula

menunjuki mereka ke jalan (kebenaran)”.

Penulis melihat bahwa tidak ada perbedaan makna antara dua versi

terjemahan tersebut. Di sini penulis juga melihat terdapat homonim pada

contoh ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 217 dan An-Nisa. kufr

irtidad merupakan homonim dari kata kufr, kufr irtidad di sini mempunyai

makna kembali kepada kekafiran.menjelaskan bahwa orang yang sudah

beriman kembali menjadi ‘kafir’. Dari dua ayat di atas mempunyai makna

penegasan bahwa orang yang Islam yang murtad dari agamanya lalu mati

dalam keadaan ‘kafir’.

Dari segi historis, setidaknya pernah terjadi tiga kali peristiwa riddat

dai masa rasulullah saw. Yang pertama, murtadnya Banu Mudlaj pimpinan

Al-Aswad, yang ke dua murtadnya Banu Hanifah pimpinan Musailamah

Al-Kadzab, yang ketiga, adalah murtadnya Banu Asad pimpinan Tulayhat

bin Khuwailid. Al-Aswad dibunuh di Yaman oleh Fayruz Al-Daylami,

Musailamah dibunuh pada zaman Abu Bakar As-Siddiq oleh Washi,

sedangkan Tulayhat bersama kaumnya masuk Islam kembali setelah di

taklukan oleh pasukan abu bakar di bawah panglima Khalid bin Al-Walid.

Dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara jelas faktor-faktor apa

yang menyebabkan seorang muslim keluar dari agamanya dan menjadi

‘kafir’ (murtad). Al-Qur’an hanya member peringatan bahwa orang-orang 80

‘kafir’, khususnya di masa rasulullah, senantiasa berupaya keras agar

orang-orang mukmin kembali menjadi ‘kafir’. Ini berarti orang-orang yang

mengaku mukmin harus siap menghadapi berbagai godaan dan tantangan

yang dapat menjerumuskan kepada kekafiran.

Terlihat jelas sekali penulis melihat bahwa homonimi dalam kata

kufr memang banyak dan masing-masing mempunyai makna yang

berbeda-beda dan juga mempunyai pemahaman yang berbeda.

Melihat dari terjemahan versi H.B. Jassin dan terjemahan versi

Mahmud Yunus tidak ada perbedaan dari segi makna, tetepi berbeda

dalam pemilihan diksi, dalam penerjemahan Mahmud yunus lebih

menekankan pada bahasa sumber. Terjemahannya tidak mengulas tentang

seni-seni bahasa dan nahwu kecuali sedikit sekali, beliau menjelaskan

ayat-ayat dengan gaya bahasanya yang apa adanya, menyingkap beberapa

makna dengan ungkapan yang mudah dan dapat diterima oleh kalangan

awam, disertai penjelasan mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang dirasa

rumit. Berbeda dengan H.B. Jassin pada terjemahnnya ia mengandung

nilai-nilai seni, beliau menjelaskan ayat-ayat dengan gaya bahasa yang

berisfat puitis. Menurut penulis terjemahan versi H.B. Jassin cukup akurat

dalam pemilihan diksinya masih bisa dipahami, sedangkan terjemahan

versi Mahmud Yunus masih kurang akurat terkadang masih ada yang sulit

dipahami oleh pembaca, karena pada terjemahan beliau terkadang masih

menekankan pada bahasa sumber. Menurut penulis, pemilihan diksi yang

digunakan oleh Mahmud Yunus sudah baik. Karena mungkin latar

belakang penerjemahnya seorang yang terjun pada bidang pendidikan. BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, diantara dua versi

terjemahan (H.B. Jassin dan Mahmud Yunus) tidak ada perbedaan secara

makna, tetapi berbeda dalam pemilihan diksi. Di sini Mahmud yunus masih

menekankan pada bahasa sumber sedangkan terjemahan versi H.B. Jassin

terjemhannya mengandung nilai-nilai seni. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh

latar belakang penerjemah.

Perbincangan mengenai hakikat kufr memang menjadi salah satu titik

poin yang sangat sensitif dikalangan muslim, khususnya masalah teologi umat

muslim. Sering kali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada pembunuhan

lantaran salah menempatkan kata kufr. Kesalahan dalam menangkap kata kufr

dapat berakibat fatal. Banyak orang yang salah memahami kufr, khususnya

yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an. Iman merupakan gambaran akidah

manusia yang sebenarnya. Kita bisa mengatakan yang sebaliknya, yaitu kufr

merupakan potret kebalikan dari iman. Ucapan atau amalan dapat menjadi

sarana merefleksikan segi akidah dalm potret yang batil, yaitu potret kufr.

Masalah keyakinan bersangkutan dengan hati, sedangkan kemampuan kita

untuk mengetahuinya sangat terbatas, yaitu hanya melalui ucapan atau perilaku.

Dengan demikian, kita harus menjadikan ucapan dan perilaku sebagai bukti

keyakinan yang tersimpan di dalam hati seseorang.

81 82

B. Saran

Melihat dari hasil kesimpulan di atas, agaknya akan menjadi tantangan

besar bagi penerjemah Indonesia untuk dapat menciptakan sebuah terjemahan

al-Qur’an dengan menyelaraskan budaya bangsa kita yang majemuk dan

problematika kekinian. Hal ini diperlukan karena konteks budaya kita yang

berbeda jauh dengan konteks budaya Timur Tengah di mana al-Qur’an

diturunkan dan dimensi waktu pada saat al-Qur’an diwahyukan. Sedangkan

ayat-ayat al-Qur’an berlaku secara universal, di semua tempat di seluruh dunia

dan sepanjang zaman. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat teknis dapat

dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi zaman, selama tak

menyimpang dari garis norma dan kaidah ketatabahasaan yang berlaku.

83

DAFTAR PUSTAKA

Cawidu, harifuddin. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang. 1991.

Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Cet ke dua. Jakarta: Rineka Cipta.2003.

______. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Edisi revisi. Cet ke dua. Jakarta: Rineka Cipta.1994.

Djajasudarma, Fatimah. Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Refika. 1999.

Eneste, Pamusuk. H.B. Jassin: Paus Sastra Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1987.

Federspiel, Howard M. Kajian Al-Qur’an di Indonesia; dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab. Bandung: Mizan. 1996.

Glasse, Cyrill. Ensiklopedi Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1999.

Habanakah, Abdurrahman. Pokok-Pokok Aqidah Islam. Jakarta: Gema Insane. 1998.

Jassin, H.B. Al-Qur’an Karim Bacaan Mulia. Jakarta: Yayasan 23 Januari 1982.

______. Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti. 1995.

______. Surat-Surat 1943-1983. Jakarta: Gramedia. 1984.

______. Majalah Tempo. Jakarta. 1975.

______. Majalah Harmoni. Jakarta. 1994.

Keraf, Gorys. Komposisi. Jakarta: Penerbit Nusa Indah. 1979.

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka. Utama. 1993.

______. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1996.

Kurrotulaini, siti. Analisis Semantik Terhadap Terjemahan Al-Qur’an Juz 30 (Surat al-Qadr, al-Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara 84

Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud Yunus, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2008).

Kushartanti. Pesona Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2005.

M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi. Pengantar ilmu tafsir. Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1988.

Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemahan. Jakarta: PT. Grasindo. 2000.

Mandzur, ibnu. Lisan al’Arab. jilid V. Beirut: dar el fikr. 1994.

Parera, J.D. Teori Semantik: Penerbit Erlangga.2004.

Rahman, abdur. Garis Pemisah Antara Muslim dan Kafir. Jakarta: Penerbit Firdaus. 1992.

Setiawan, M. Nur Kholis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: El SAQ Press. 2005

Sheriff, Faruq. Al-Qur’an menurut Al-Qur’an. Penerjemah M.h. Assegaf dan Nur Hidayah. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. 2001.

Sulaiman, umar Al-Asyqar. Belajar Tentang Allah SWT. Penerjemah Yusuf Syahrudin. Jakarta: Sahara Pulisher. 2008.

Taryadi, Alfons. Seandainya Tak Ada H.B. Jassin. Kompas, 10 Juni 1975

Yunus, Mahmud. Tafsir Al-Qur’an Karim. Jakarta: Hidakarya Agung, Cet. Ke 73. 2004.