Masjid Daar al-Falah Cikoneng, Anyer-: Sebuah Tinjauan Arkeologis

Doni Wibowo1 dan Isman Pratama Nasution2

1. Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia 2. Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Masjid Daar al-Falah Cikoneng memiliki latar belakang yang belum terungkap secara jelas. Masjid tersebut juga telah mengalami beberapa pemugaran yang menyebabkan adanya perubahan pada komponen-komponennya. Hal tersebut menjadi fokus peneliti untuk mengkaji bangunan masjid. Kajian tersebut ditinjau secara arsitektural dan ornamental. Tujuan kajian tersebut yaitu untuk menjelaskan bentuk masjid pada masa sekarang dan menguraikan perubahan-perubahan yang terjadi pada masjid tersebut. Metode yang dilakukan berupa analisis morfologi, perbandingan dan analogi sumber sejarah. Hasil yang didapat bahwa bentuk Masjid Daar al-Falah masih memiliki ciri-ciri masjid tradisional pulau Jawa yang dibuktikan dengan mendominasinya unsur-unsur lokal yang tercermin pada komponen-komponen masjid. Hasil dari analisis perbandingan yaitu masjid tersebut berdiri sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18 dengan melihat kesamaan bentuk komponen dengan data pembanding.

Kata kunci: masjid; Masjid Cikoneng; Cikoneng; Anyer; Banten

Daar al-Falah Cikoneng in Anyer-Banten: Archaeologist’s Review

Abstract

The Daar Al-Falah Cikoneng mosque has a sophisticated background that yet to understand. It has undergone a several restoration which changes all of its components. Those things is becoming a focus of study to the mosque’s researchers. The study itself is reviewed in architectural and ornamental ways. The purpose of the study is to explain the shape of the mosque in the present time and analyze all of its changes. The method used are morphological analysis, comparison and analogy historical resource. The results are the shape of the Daar Al-Falah mosque still has a traditional charasteristic of island which proved by the domination of local feature in the mosque’s components, and by judging the similarities of the comparative data, the result from the comparison analysis stated that the mosque was establish from 16th to 18th century.

Keywords: mosque; Cikoneng’s Mosque; Cikoneng; Anyer; Banten

Pendahuluan

Masjid merupakan bangunan suci tempat peribadatan orang yang menganut agama . Masjid juga dapat diartikan sebagai bangunan sakral yang sangat penting dalam segala aktifitas seorang muslim mengingat bangunan tersebut tidak hanya digunakan sebagai tempat peribadatan, tetapi juga digunakan sebagai tempat berkumpulnya para muslim dalam bersosialisasi dan juga sebagai tempat mencari ilmu (Wiryoprawiro, 1986:155).

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 Dalam pengertian umum, masjid adalah sebidang tanah yang digunakan oleh umat Islam untuk melakukan ibadah kepada Tuhannya (Aboebakar, 1955: 3). Pengertian tersebut tidak bertentangan dengan konsep hukum Islam sendiri yang mengajarkan bahwa Allah SWT tidak mengharuskan umat-Nya beribadah di masjid. Dalam perkembangannya, pengertian masjid menjadi lebih spesifik, yaitu sebuah bangunan atau gedung atau lingkungan yang ditembok dan dipergunakan sebagai tempat salat (Haris, 2010: 280). Pada awalnya, masjid sangatlah sederhana seperti yang dibuat oleh Nabi s.a.w. yang dinamakan Masjid Quba (622 M). Seiring berkembangnya ide dan gagasan manusia, bentuk masjid berkembang dari masa ke masa (Rochym, 1983). Walaupun bentuk bangunan masjid terus berkembang, tetapi tidak mengubah fungsi dari bangunan itu sendiri. Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, pembangunan masjid lebih ditekankan pada proses terbentuknya, bersendikan ritual, agama, atau kepercayaan daripada penekanan pada fisik bangunan seperti pada bangunan Eropa (Budiharjo, 1994: 15). Fungsi estetika bagi bangunan masjid adalah suatu seni bangunan yang secara antropologis termasuk ke dalam seni rupa sebagai kesenian yang dapat dinikmati oleh manusia dengan mata (Koentjaraningrat, 1986: 380). Dalam perkembangannya, bangunan masjid selalu mendapatkan tambahan-tambahan komponen diantaranya yaitu ragam hias. Ragam hias dapat mencerminkan perkembangan ide pendiri masjid. Ragam hias memiliki fungsi yaitu memberikan kesan khusus dan menentukan mutu dan nilai estetika dari bangunan tersebut (Rochym, 1983: 150). Ragam hias dapat berupa sulur daun, ikal-mursal, untaian bunga, medallion, motif meander, bunga teratai, dan sebagainya (Munandar, 1995: 2). Ornamen-ornamen yang menghiasi bagian dalam masjid tentu saja mendapatkan perhatian khusus, walaupun dalam ajaran agama Islam tidak terlalu diharuskan memakai hiasan-hiasan tersebut. Adanya hasil karya arsitektur karena kebutuhan untuk memenuhi hasrat manusia sebagai makhluk sosial (Maryono, 1982: 14). Masjid di Indonesia memiliki berbagai macam bentuk corak yang pada umumnya mendapatkan pengaruh unsur budaya lokal maupun asing. Banten menjadi salah satu daerah yang terkenal dengan ke-Islamannya pada masa Kesultanan Banten. Di Banten, terdapat masjid yang didirikan oleh masyarakat di wilayah Cikoneng. Masjid tersebut memiliki ciri khusus yaitu hiasan sieger yang menjadi ciri khas bagi masyarakat Lampung. Latar belakang Masjid Daar al-Falah yang belum terungkap sepenuhnya menjadikan bangunan tersebut perlu dikaji sejarah dan bentuk bangunannya.

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 Permasalahan dan Tujuan Penelitian

Fokus utama penelitian adalah pada bentuk Masjid Daar al-Falah Cikoneng yang ditinjau dari segi arkeologis. Hal tersebut ditujukan untuk mengetahui unsur budaya dominan pada masjid dan kronologi pembangunannya. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri unsur budaya yang dominan pada masjid dan latar belakang sejarah masjid yang hingga kini masih belum terungkap sepenuhnya.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran data (Deetz, 1967: 8). Pada tahap pertama yaitu pengumpulan data dilakukan studi kepustakaan dan studi lapangan. Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan referensi- referensi yang terkait dengan objek penelitian maupun sejarah lingkungan disekitar penelitian. Pada studi lapangan dilakukan pengamatan langsung Masjid Daar al-Falah Cikoneng di Banten. Pengamatan tersebut berupa perekaman data pada tiap komponen bangunan meliputi denah, pondasi, lantai, dinding, pintu, jendela, ventilasi, tiang, dan atap. Setelah itu dilakukan deskripsi singkat dan pengukuran pada tiap komponen tersebut. Pada studi lapangan dilakukan pula wawancara kepada tokoh masyarakat setempat. Tahap kedua yaitu pengolahan data dilakukan analisis arsitektur bangunan masjid dan ragam hiasnya meliputi bahan, konstruksi bangunan, tata ruang, identifikasi unsur budaya dan studi perbandingan pada tiap- tiap komponen yang memiliki informasi yang menunjang untuk dilakukannya penyimpulan tentang kronologi pembangunan masjid tersebut. Pada tahap terakhir yaitu penafsiran data dilakukan penarikan kesimpulan berdasarkan analisa yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Kesimpulan berupa uraian mengenai unsur-unsur budaya yang terdapat pada bangunan dan kronologi pembangunan masjid Daar al-Falah Cikoneng.

Sejarah Hubungan Banten dan Lampung

Hubungan antara Banten dan Lampung dirintis oleh Fatahillah sejak awal berdirinya Kesultanan Banten. Menurut risalah yang berjudul “Sejarah Perjuangan Pahlawan Raden Intan” dikemukakan bahwa Fatahillah pernah datang sendiri ke Lampung dan kawin dengan puteri dari Minak Raja Jalan, Ratu dari Keratuan Pugung (sekarang termasuk wilayah kecamatan Jabung, Lampung Tengah). Dari perkawinan tersebut lahirlah seorang putera yang bernama Hurairi yang kelak menjadi pendiri Keratuan Dara Putih di Kuripan (Tim Penulis, 1977:43).

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 Perkawinan tersebut merupakan perkawinan politis dalam rangka usaha memberikan pengaruh Banten terhadap Lampung untuk menentang Portugis. Lalu usaha penaklukan Lampung oleh Kesultanan Banten dilanjutkan oleh Sultan Hasanuddin. Bukti bahwa masuknya pengaruh Banten di Lampung terdapat pada isi Piagam Tembaga yang ditemukan dirumah kerabat Raden Intan di Kampung Kuripan. Piagam tersebut berisikan tentang perjanjian persahabatan antara Lampung dan Banten yang dibuat pada masa Sultan Hasanuddin dan Ratu Dara Putih yang kedua-duanya merupakan anak dari Fatahillah yang berlainan ibu. Selain dari piagam Kuripan yang berisi tentang perjanjian persahabatan, terdapat pula piagam yang menjelaskan mengenai kekuasan Banten terhadap Lampung. Piagam lainnya tersebut yaitu piagam Bojong (berangka tahun 1102 H/1691 M) yang ditulis dengan huruf Lampung dan memakai bahasa Jawa Banten dan Piagam Sukau (berangka tahun 1104 H/1695 M) yang ditulis dengan huruf Lampung dan memakai bahasa Jawa Banten. Kedua piagam tersebut berisikan tentang aturan-aturan dari Kesultanan Banten mengenai pengiriman lada. Ada pula piagam yang berisikan mengenai pengakuan Sultan Banten terhadap kedudukan para ketua adat Lampung sebagai pemimpin-pemimpin kerabat yaitu piagam dalung. Piagam ini ditulis dengan huruf Arab dan Lampung serta menggunakan bahasa Jawa Banten (Tim Penulis, 1977:50-54).

Dari piagam-piagam yang telah disebutkan terlihat jelas hubungan antara Banten dan Lampung bersifat ekonomis. Lampung yang merupakan daerah penghasil lada terbesar saat itu menjadi andalan komoditas di kesultanan Banten. Untuk mengantisipasi kekurangan bahan dagangan rempah ini, maka dikeluarkan berbagai peraturan-peraturan yang mengatur segala aktivitas perniagaan daerah-daerah kekuasaannya, terutama Lampung (Untoro, 2007: 128- 129). Bahkan orang Lampung biasa membawa Lada ke Banten namun mereka tidak diperkenankan menjual secara langsung kepada pedagang. Hanya Sultan Banten saja yang berhak menjual lada tersebut (Hardjasaputra, 2008).

Hubungan Banten dan Lampung yang bersifat keagamaan yaitu dalam hal penyebaran Agama Islam. Penyebaran tersebut dilakukan oleh para pendiri Kesultanan Banten maupun oleh para punggawa yang ditugaskan mengawasi penjualan lada di Lampung (Untoro, 2007: 127-128). Cara penyebaran Islam di Lampung yaitu dengan perkawinan. Para punggawa yang ditugaskan tersebut karena terlalu lama ditugaskan menyebabkan timbulnya keinginan untuk menetap di daerah tersebut dan melakukan perkawinan. Dalam hal tersebut pihak Lampung yang dinikahi oleh para punggawa memeluk Agama Islam (Gonggong, 1983/1984: 19-50).

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014

Masuknya Islam di Cikoneng, Anyer

Kedatangan orang Lampung ke Cikoneng diperkirakan pada abad ke-161. Orang-orang Lampung datang ke Cikoneng berupa bala tentara yang dikirim oleh Raja Tulang Bawang untuk menumpas para perompak di sekitar perairan Selat Sunda atas permintaan Sultan Maulana Hasanuddin. Permintaan dari Sultan Banten tersebut disambut baik oleh Raja Tulang Bawang, sebab dibalik dari tugas untuk menumpas para perompak, Raja Tulang Bawang bermaksud untuk meng-Islamkan daerah Banten Selatan yang pada saat itu belum memeluk Islam. Ada dua versi sumber yang menjelaskan mengenai kedatangan para orang-orang Lampung di Desa Cikoneng. Versi pertama yakni rombongan bala tentara tersebut didatangkan dari Lampung ke Desa Cikoneng terdiri atas tiga rombongan. Setelah menumpas para perompak di sekitar perairan Selat Sunda, rombongan bala tentara yang pertama dan kedua kembali ke Lampung. Sedangkan rombongan yang ketiga, diduga sebagai cikal bakal masyarakat Lampung di Desa Cikoneng2. Atas hasil kerja rombongan bala tentara tersebut, sebagai balas jasa, Sultan Maulana mengangkat cucu Darah Putih3 yaitu Menak Gede sebagai adipati di Banten. Namun, belum setahun menjabat sebagai adipati di Kesultanan Banten, Menak Gede meninggal dunia dan digantikan oleh adiknya yang bernama Menak Iladiraja. Beberapa lama kemudian, Menak Iladiraja meninggal dunia dan digantikan kembali oleh adiknya yaitu Menak Sangaji. Menak Sangaji inilah yang pada akhirnya sangat berpengaruh terhadap perkembangan desa-desa di wilayah Banten. Versi lain asal usul etnis Lampung yaitu berdasarkan tulisan yang berjudul Model Penyesuaian Hidup Orang Lampung Di Tengah Komunitas Banten4. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa Sultan Banten dengan nama Pangeran Syarif Hidayatulloh berteman dekat dengan Raden Saksi yang merupakan buyut orang Lampung. Segala hal mengenai penumpasan musuh dan peng-Islaman Banten dilakukan bersama-sama. Bukti atas kerjasama mereka tertulis dalam prasasti Dalung Kuripan yang terbuat dari logam dan dituliskan dengan bahasa Banten Kuna. Prasasti tersebut berisi mengenai perjanjian antara Pangeran Sabakingking, nama muda Pangeran Hasanuddin, dengan Ratu Darah Putih dalam segala

1 Informasi berdasarkan hasil wawancara dengan Tokoh Masyarakat Cikoneng, Bapak Haji Yakub pada tanggal 11 April 2014. 2 Informasi didapat berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Hasun Safari selaku tokoh masyarakat Cikoneng pada tanggal 11 April 2014. 3 Keratuan Lampung yang menjalin hubungan kerabat dengan Kesultanan Banten. 4 Putu Yudi Satriadi, 2005.

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 bidang tak terkecuali pada saat penaklukan kerajaan-kerajaan Pajajaran, Kandangwesi, Kuningan, Kedawung, Kubaharan dan Parung Kujang (Satriadi, 2005:63).

Sejarah Masjid Daar al-Falah Cikoneng

Masjid Daar al-Falah Cikoneng didirikan oleh orang Lampung yang menetap di Cikoneng, Anyer. Masjid ini didirikan diatas tanah wakaf Buyut Selon yaitu generasi pertama orang Lampung di Cikoneng. Masjid ini didirikan sebelum letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883. Letusan gunung tersebut merusak bangunan masjid ini, akan tetapi tidak terlalu parah. Pasca letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883, masjid ini dijadikan titik awal pembangunan perkampungan orang Lampung di Cikoneng. Berawal dari pembangunan kembali mercusuar yang memiliki fungsi penting bagi Belanda pada masa Raja Willem III, lalu pembangunan perkampungan masyarakat Lampung di Cikoneng yang diawali dengan perbaikan masjid yang tidak memiliki kerusakan yang fatal. Pada awalnya, para jama’ah masjid ini diwajibkan memakai kain sarung pada saat menunaikan shalat. Hal tersebut merupakan tradisi yang dianut oleh masyarakat Cikoneng yang berasal dari Lampung (Latifundia, 2010: 178). Maka dari itu mudah untuk mengenali orang luar yang singgah atau ikut beribadah di Masjid Daar al-Falah Cikoneng. Masjid ini telah direnovasi oleh masyarakat Cikoneng pada tahun 60-an5. Renovasi tersebut hanya memperbaiki komponen-komponen yang sudah mengalami kerusakan seperti pada ruang wudhu yang dijadikan satu bangunan dengan bangunan inti masjid. Selain itu, masjid ini juga telah dipugar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang pada tahun 2005. Pemugaran yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang berupa pemulihan komponen-komponen masjid yang telah berubah berdasarkan data wawancara dan observasi.

Pemugaran Masjid Daar al-Falah Cikoneng

Masjid Daar al-Falah Cikoneng telah mengalami pemugaran oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang pada tahun 2005, tepatnya dilakukan pada tanggal 9 November 2005. Pemugaran tersebut dimaksudkan untuk mengembalikan bentuk asli komponen- komponen mesjid yang telah berubah dan perbaikan struktural yang disesuaikan dengan kondisi yang ada. Tujuannya melestarikan bangunan peninggalan sejarah dan purbakala guna menunjukkan kebudayaan masyarakat pada masa lalu.

5 Ibid, tanggal 11 April 2014.

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 Pada pemugaran tersebut, ada beberapa bagian dari masjid yang diubah bentuk maupun keletakannya. Hal tersebut dilakukan atas dasar penelitian sebelum pemugaran yang menghasilkan kesimpulan bahwa beberapa bagian dari masjid sudah berubah tetapi masih terdapat bentuk asli yang ditinggalkan dari bagian-bagian tersebut. Bagian-bagian bangunan antara lain jendela, pintu, lisplang, dan soko guru pada ruang serambi. Jendela pada masjid Daar al-Falah sebelum dipugar berbentuk persegi dengan 2 daun jendela. Jumlah jendela 3 buah pada setiap dinding Utara dan Selatan ruang utama dan ruang serambi yang tersusun sejajar. Jendela berbentuk persegi tersebut bukan jendela asli masjid Daar al-Falah. Jendela yang masih berbentuk asli pada tembok sisi Timur ruang utama yang berbentuk lengkung pada bagian atasnya. Jendela tersebut dihiasi dengan jeruji besi menyerupai anak panah yang berjumlah 16 buah, 9 buah sejajar mengarah ke atas dan 7 buah membentuk seperti setengah lingkaran. Ditemukan pula indikasi pemasangan bata baru pada saat pengupasan di sekitar kusen jendela. Berdasarkan hal tersebut, pada pemugaran tahun 2005 jendela masjid yang berbentuk persegi diubah menyerupai bentuk jendela yang ditemukan pada dinding pemisah antara ruang utama dan ruang serambi. Pintu masjid sebelum pemugaran berbentuk persegi dengan 2 daun pintu. Diduga bentuk asli pintu masjid menyerupai bentuk jendela dengan lengkungan pada bagian atasnya (Achmadi, 2004). Hal tersebut dibuktikan pada saat pengupasan di sekitar kusen pintu dan terdapat indikasi pemasangan bata baru. Perubahan bentuk dilakukan pada pintu utama masjid sebelah Utara yang menghubungkan bagian luar masjid dengan serambi, 2 pintu sebelah Timur ruang utama yang menghubungkan ruang utama dengan ruang serambi, dan 2 pintu sebelah Timur ruang serambi yang menghubungkan ruang serambi dengan ruang wudhu. Sementara itu pada ruang wudhu sisi Utara dan Selatan tidak diubah. Lisplang adalah bilah papan yang terdapat pada pinggiran tembok maupun atap. Lisplang pada masjid Daar al-Falah telah terjadi perubahan sebelum dilakukannya pemugaran. Perubahan tersebut dilakukan oleh masyarakat setempat. Sebelum pemugaran, lisplang hanya berbentuk papan tanpa hiasan apapun. Namun, pada langit-langit masjid, terdapat bentuk lain yaitu bentuk tumpal (bergerigi) dengan variasi lubang-lubang pada bagian ujungnya. Perubahan terakhir yang dilakukan pada pemugaran tahun 2005 yaitu pada tiang soko guru di ruang serambi masjid Daar al-Falah Cikoneng. Sebelum pemugaran, tiang soko guru berbentuk persegi yang menyerupai tiang pada ruang wudhu dan berjumlah 2 buah. Tiang soko guru pada ruang serambi diubah berdasarkan adanya konstruksi yang baru pada tiang tersebut. Maka dari itu pada pemugaran 2005 tiang pada ruang serambi diubah menjadi

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 seperti tiang soko guru yang ada pada ruang utama. Hanya saja bagian umpak yang menyerupai buah labu dibuat lebih kecil. Penambahan bagian bangunan lain pada pemugaran tahun 2005 oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang berupa pagar keliling yang mengelilingi sisi Utara, Barat dan Selatan masjid Daar al-Falah Cikoneng. Pagar keliling ikut menutupi bagian luar sisi Utara ruang serambi. Pada sisi Timur bangunan masjid tidak dipagar karena bangunan masjid sisi Timur menempel dengan rumah warga. Selain pemugaran 2005, Masjid Daar al-Falah pernah direnovasi sekitar tahun 60-an. Pada renovasi tersebut bangunan wudhu yang awalnya merupakan bangunan terpisah (dari bangunan masjid) digabungkan dengan bangunan inti Masjid Daar al-Falah. Pada renovasi tersebut tempat wudhu yang pada awalnya berbentuk kolam persegi diubah menjadi pancuran air6. Selain itu, perubahan terjadi pada sumur yang kini ditutup dengan keramik ubin.

Deskripsi Masjid Daar al-Falah Cikoneng

Bangunan Masjid Daar al-Falah Cikoneng dibagi menjadi empat ruang, yakni ruang utama, ruang serambi, ruang wudhu dan ruang tambahan. Ruang utama berukuran 10,7 m x 8,7 m. Pada ruang utama terdapat mimbar, mihrab, tiang semu, tiang soko guru, jendela, pintu, ventilasi, kaligrafi Arab, hiasan-hiasan yang berupa keramik tempel dengan motif flora, alam dan hiasan sieger. Ruang serambi berukuran 9,6 m x 8,7 m. Pada ruang serambi terdapat kaligrafi Arab di dinding sebelah Barat, jendela, pintu, keramik tempel dengan motif buah dan flora, dan tiang serambi. Ruang wudhu berukuran 7,4 m x 8,7 m. Pada ruang wudhu terdapat ventilasi, pintu, jendela, tiang, gudang, sumur, dan toilet. Sumur Masjid Daar al-Falah Cikoneng ditutupi oleh keramik ubin dan berbentuk persegi. Pada ruang tambahan terdapat bedug. Ruang tambahan ini merupakan ruangan yang dibangun pada tahun 60-an dan merupakan ruangan terbuka yang terletak di sebelah Selatan ruang wudhu. Ruang tambahan berukuran 8 m x 2,5 m. Masjid Daar al-Falah berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 27,7 m x 8,8 m. Pada sisi Barat bangunan masjid, terdapat bagian yang menjorok keluar sejauh 2 m yang disebut sebagai mihrab. Di sisi Tenggara masjid terdapat bedug yang dikelilingi oleh tembok setinggi 1 m. Pada sisi luar bangunan masjid terdapat tembok pagar setinggi 1,35 m dan jarak

6 Informasi didapatkan melalui wawancara dengan Bapak H. Yakub pada tanggal 11 April 2014. Informan mengatakan bahwa sebelum berbentuk pancuran air, tempat wudhu berupa kolam persegi yang terletak tepat dibawah pancuran air tersebut.

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 antara bangunan masjid dengan tembok pagar 1 m yang mengelilingi bangunan masjid dari pintu utama masjid di sisi utara hingga tembok batas tempat bedug berada. Masjid Daar al-Falah berdiri diatas pondasi masif dengan ketinggian 1,1 m dari permukaan tanah. Pondasi berbentuk pejal dengan penguat yang berbentuk sisi miring yang terbuat dari campuran bata, pasir dan kapur (Achmadi, 2004: 14). Di sisi Utara masjid terdapat pintu utama untuk masuk ke ruang serambi dengan tangga yang tersusun dari empat anak tangga. Selain pintu masuk utama, terdapat pula pintu masuk di sisi Timur Laut dan di sisi Tenggara bangunan masjid. Lantai masjid pada ruang utama berbeda dengan ruang serambi dan ruang wudhu. Pada ruang utama masjid, lantai berupa tegel teraso berwarna merah dengan corak titik-titik warna putih berukuran 30 cm x 30 cm, sedangkan pada ruang serambi dan ruang wudhu berwarna krem dengan corak modern yang berukuran 40 cm x 40 cm. Masjid Daar al-Falah dibentuk oleh 4 dinding di sisi Barat, Utara, Timur, dan Selatan. Dinding Barat dan Timur pada ruang serambi menjadi dinding pemisah antara ruang utama dengan serambi, dan ruang serambi dengan ruang wudhu. Konstruksi dinding terbuat dari campuran pasir, kapur, dan bata merah (Achmadi, 2005: 10). Pada ruang utama, tiap sisi dindingnya dihiasi oleh kaligrafi pada bagian atasnya. Dinding Barat ruang utama terdapat 2 relung yang berupa mihrab dan mimbar. Pada dinding Barat ini banyak terdapat hiasan-hiasan diantaranya hiasan keramik tempel, tiang semu bergaya Doria, hiasan sieger, dan tiang semu kecil bergaya Tuskan. Di sisi utara dan selatan, masing-masing terdapat 3 buah jendela yang berbentuk lengkung pada bagian atasnya, dengan 2 daun jendela. Pada dinding tersebut juga terdapat tiang semu bergaya Tuskan sebagai pemisah antar jendela. Pada jendela tersebut dihiasi oleh jeruji yang berbentuk seperti anak panah yang berjumlah 9 buah yang berdiri tegak, sedangkan 7 buah yang melingkar setengah lingkaran di atasnya. Bahan yang digunakan pada jendela yaitu kayu jati untuk rangkanya, dan es kaca setebal 5 mm. Ukuran masing-masing jendela sama, yaitu 1,5 m x 1,2 m. Pada dinding Timur ruang utama terdapat 2 buah pintu dan sebuah jendela. Pintu berbentuk lengkung pada bagian atasnya dengan 2 daun pintu. Pintu yang terdapat pada dinding sebelah Timur ruang utama berukuran sama yaitu 1,2 m x 2,3 m. Pintu pada dinding ini diapit oleh tiang semu bergaya Doria (Yunani)7. Jendela pada sisi ini berukuran sama

7 Lihat “Masjid Cikoneng Anyer dan Pemugarannya”, Achmadi, 2005.

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 dengan jendela pada sisi lainnya. Yang membedakan jendela ini dengan sisi lain yaitu pada jendela dinding sisi Timur tidak terdapat daun jendela. Berbeda dengan ruang utama, pada dinding di ruang serambi hanya sisi Barat yang dihiasi oleh kaligrafi di bagian atasnya. Sisi Utara dan Selatan serupa dengan ruang utama, terdapat jendela yang berbentuk sama dan berjumlah sama yaitu 6 buah jendela, 3 buah di dinding sisi Utara dan 3 buah di dinding sisi Selatan. Pada dinding sisi Utara ruang serambi terdapat pintu masuk utama yang berbentuk sama dengan pintu yang menghubungkan ruang serambi dengan ruang utama yaitu berbentuk lengkung yang terdapat di sisi Barat Laut ruang serambi. Sedangkan pada dinding sebelah Timur yang menghubungkan antara ruang serambi dengan ruang wudhu terdapat jendela yang serupa dengan jendela yang terdapat pada dinding pembatas antara ruang utama dengan ruang serambi. Pada dinding ruang wudhu, terdapat 1 buah ventilasi di dinding sebelah Utara yang merupakan ventilasi yang masih asli8. Pintu yang terdapat pada ruang wudhu ini berbeda dari pintu yang sebelumnya telah dideskripsikan. Pintu terletak di sisi Utara dan Selatan. Pintu pada dinding sebelah Selatan menghubungkan ruang wudhu dengan bangunan tempat bedug berada. Pintu tersebut berbentuk persegi panjang dengan 2 daun pintu. Pintu berukuran 1,87 m x 1,07 m. Pintu ini terbuat dari bahan kayu jati. Pada bangunan masjid Daar al-Falah terdapat beberapa tiang penopang atap. Di ruang utama masjid, terdapat 4 buah tiang (soko guru). Soko guru pada ruang utama digunakan sebagai penyangga langsung atap tumpang. Tiang tersebut berbentuk persegi delapan dengan ukuran tinggi 5,65 m dan diameter 30 cm. Pada bagian bawah soko guru terdapat umpak yang menyerupai buah labu dengan ukuran diameter 65 cm dan tinggi 44 cm. Soko guru juga diperkuat oleh balok kayu yang membentuk sudut 90 derajat yang menempel pada dinding yang berdekatan dengan tiap tiangnya. Selain di ruang utama, ada pula 4 tiang yang berbentuk sama di ruang serambi masjid. Tiang tersebut terbuat dari campuran semen dan pasir9. Pada bagian bawah tiang juga terdapat umpak yang menyerupai buah labu akan tetapi ukurannya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan ukuran umpak yang terdapat di ruang utama. Umpak buah labu di ruang serambi berdiameter 55 cm dan tinggi 40 cm. Pada ruang wudhu, terdapat tiang yang berbeda yaitu tiang yang berbentuk persegi empat dengan tinggi 2,2 m dan diameter 65 cm. Tiang ini merupakan satu-satunya tiang yang menopang ruang wudhu. Tiang ini terbuat dari campuran semen dan pasir. Pada tiang ini

8 Informasi berdasarkan hasil wawancara oleh Bapak Haji Yakub pada tanggal 11 April 2014. 9 Lihat “Masjid Cikoneng Anyer dan Pemugarannya”, Achmadi, 2005.

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 bagian bawahnya tidak dihiasi dengan umpak buah labu seperti pada ruang utama dan ruang serambi. Masjid Daar al-Falah Cikoneng memiliki 2 buah relung pada dinding sisi Barat ruang utama. Relung tersebut digunakan sebagai mihrab dan mimbar. Relung Selatan pada dinding Barat ruang utama berfungsi sebagai mihrab dan Relung Utara sebagai mimbar. Bentuk relung mihrab menyerupai bentuk pintu dan jendela masjid yaitu lengkung pada bagian atasnya. Lantai mimbar lebih tinggi 10 cm dari lantai ruang utama. Mimbar memiliki ukuran 1,5 m x 1 m, dan dari lantai hingga langit-langit mihrab memiliki ketinggian 2,3 m. Pada dinding sebelah Barat mihrab dan mimbar terdapat sebuah lubang yang ventilasi yang berbentuk bulat. Serupa dengan mihrab, mimbar masjid Daar al-Falah berbentuk lengkung pada bagian atasnya. Pada mimbar, terdapat 2 buah anak tangga dan pada bagian ujung tempat duduk untuk khotib berkhutbah. Anak tangga memiliki tinggi 23 cm dan tempat duduk memiliki tinggi 50 cm dari anak tangga yang kedua. Tempat duduk pada mimbar dilapisi oleh ubin keramik. Pada mimbar ini, terdapat pula ventilasi seperti ventilasi mihrab di sisi Barat bagian atasnya. Pada sisi Utara bagian dalam mimbar terdapat relung kecil berbentuk persegi yang dipergunakan sebagai tempat menaruh bacaan khutbah. Mihrab dan mimbar masjid ini dihiasi dengan hiasan-hiasan antara lain hiasan keramik tempel dan hiasan kaca dengan motif flora di Utara dan Selatannya. Selain itu, tiang semu juga menghiasi mimbar dan mihrab di sisi Selatan dan Utara serta di antara mimbar dan mihrab. Di bagian atas mimbar dan mihrab, terdapat tulisan Arab timbul yang berbunyi “Allah”, “Muhammad” dan kalimat tauhid. Pada bagian atas tiang semu yang di apit oleh relung mihrab dan mimbar terdapat tiang semu bergaya Tuskan berjumlah 1 buah. Atap masjid Daar al-Falah Cikoneng berbentuk atap tumpang dengan 4 tingkat. Atap tumpang merupakan ciri khas dari masjid kuno di Pulau Jawa. Pada puncak atap dihiasi oleh mustoko yang berbentuk mahkota. Konstruksi atap menggunakan pola saka tunggal. Atap tumpang ini hanya terdapat di atas ruang utama dan ruang serambi. Pada bagian sisi-sisi atap dari masing-masing tumpang terdapat lisplang yang berbentuk segitiga sama kaki yang berderet dengan variasi lubang-lubang pada bagian ujungnya. Konstruksi atap pada ruang utama tidak menggunakan plafon secara keseluruhan pada bagian tengah atap ruang utama di tutupi oleh papan. Begitu pula konstruksi atap pada ruang serambi saat ini. Atap tumpang yang terletak di atas ruang serambi langsung ditopang oleh 4

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 buah tiang soko guru yang terbuat dari semen dan pasir dan dibatasi oleh papan pada atasnya. Berbeda dengan ruang wudhu, pada ruang wudhu bagian atapnya menggunakan plafon. Bedug masjid Daar al-Falah terletak pada ruang tambahan di sebelah Selatan ruang wudhu. Bedug tersebut terbuat dari kayu jati. Penyangga bedug terbuat dari balok kayu yang disusun bersilang pada bagian depan dan belakangnya. Bedug memiliki diameter 68 cm dan panjang 173 cm. Badan Bedug bercorak polos, tidak terdapat hiasan. Bedug diletakkan di ruang tambahan sebelah Selatan ruang wudhu yang dihubungkan dengan pintu masuk ke arah ruang wudhu. Ragam Hias pada Masjid Daar al-Falah terdiri dari ragam hias geometris berbentuk tumpal, hiasan sieger, tiang semu, pelipit, kaligrafi, ragam hias bulan bintang, dan keramik tempel. Hiasan pada masjid ini lebih banyak ditemukan pada ruang utama daripada ruang serambi dan ruang wudhu. Pada ruang serambi hanya terdapat hiasan kaligrafi pada dinding sebelah Barat, sedangkan pada ruang wudhu tidak terdapat hiasan.

Tinjauan Arsitektur Masjid Daar al-Falah Cikoneng

Pondasi masjid Daar al-Falah Cikoneng berbahan dasar karang laut dengan spesi campuran pasir dan kapur (Achmadi, 2004:20). Bentuk pondasi tidak tegak lurus melainkan agak miring menyerupai sisi trapesium dengan sudut kurang lebih 30 derajat. Pondasi memiliki ketinggian 1,1m. Pondasi pada ruang wudhu berbeda dengan pondasi ruang utama dan ruang serambi. Pondasi ruang wudhu memiliki ketinggian 50 cm dan sisi pondasi rata dengan dinding luar. Lantai Masjid Daar al-Falah Cikoneng dilapisi oleh tegel (ubin) teraso warna merah. Lantai ruang utama berbeda dengan ruang serambi dan ruang wudhu. Pada ruang serambi dan ruang wudhu, lantai dilapisi oleh keramik. Pada tiap ruangan Masjid Daar al-Falah Cikoneng memiliki ketinggian lantai yang berbeda. Lantai yang paling tinggi terdapat pada ruang utama. Ruang utama yang difungsikan sebagai tempat shalat dianggap ruang yang paling suci. Ketinggian lantai ruang utama 15 cm lebih tinggi dari ruang serambi. Begitu pula dengan ruang serambi yang lebih tinggi 15 cm dari ruang wudhu. Pada ruang wudhu terdapat 2 buah anak tangga ditengah ruangan yang melintang dari sisi pintu di sisi Utara hingga Selatan. Masing-masing anak tangga tersebut memiliki ketinggian 25 cm dan dilapisi oleh keramik dengan corak berwarna krem. Berbeda dengan pondasi, bahan dasar dinding terbuat dari campuran bata merah, pasir dan kapur (Achmadi, 2005:20). Seluruh dinding pada masjid Daar al-Falah Cikoneng memiliki ketebalan 30 cm dan ketinggian 3,15 m. Pada ruang wudhu, posisi dinding lebih

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 rendah daripada ruang serambi dan ruang utama. Selain berfungsi sebagai pembatas antar ruangan, dinding juga berfungsi sebagai penyangga susunan atap. Pada dinding-dinding Masjid Daar al-Falah Cikoneng terdapat pintu, jendela, dan ventilasi. Jumlah keseluruhan pintu yaitu 7 pintu, 12 jendela dan 3 ventilasi. Pintu, jendela, dan ventilasi merupakan komponen penting dari sebuah bangunan karena berfungsi sebagai pencahayaan maupun sirkulasi udara dalam ruangan. Penempatan dan besar ukuran pintu, jendela dan lubang angin ditentukan oleh nilai estetika dan pertimbangan konstruktif (Frick, 1980:353). Seluruh pintu Masjid Daar al-Falah Cikoneng terbuat dari kayu jati kecuali pintu pada sisi Utara dan Selatan ruang wudhu yang dilengkapi dengan kaca pada daun pintunya. Pintu Masjid Daar al-Falah Cikoneng dikelompokkan menjadi 2 tipe. Pintu Tipe I berbentuk empat persegi dengan lengkungan pada bagian atasnya, memiliki 2 daun pintu. Pintu Tipe I terdapat pada dinding pemisah antara ruang utama dengan ruang serambi, dinding pemisah antara ruang serambi dengan ruang utama, dan pada dinding Utara ruang serambi Masjid Daar al- Falah Cikoneng. Pintu tipe I memiliki ukuran lebar 1,18 m dan tinggi 2,27 m. Pintu Tipe II berbentuk empat persegi, memiliki 2 daun pintu dan 1 buah kaca pada masing-masing daun pintunya yang berbentuk empat persegi panjang tanpa motif. Pintu tipe II memiliki ukuran lebar 1,07 m dan tinggi 1,87 m. Seluruh kusen jendela Masjid Daar al-Falah terbuat dari kayu jati dan berbentuk empat persegi dengan lengkungan pada bagian atasnya. Jendela Masjid Daar al-Falah dikelompokkan menjadi 2 tipe. Jendela Tipe I berbentuk empat persegi dengan lengkungan pada bagian atasnya tanpa daun jendela. Jendela tersebut dihiasi oleh jeruji yang berbentuk anak panah dan terbuat dari besi. Jeruji memiliki 2 pola yaitu berdiri tegak pada bagian bawah hingga bagian tengahnya yang berjumlah 9 buah dan pola setengah lingkaran dari bagian tengah hingga bagian atas menyerupai bentuk matahari yang berjumlah 7 jeruji. Masing- masing jeruji anak panah yang berbentuk pola setengah lingkaran dipisahkan oleh jeruji polos tanpa motif. Jendela Tipe I terdapat pada dinding pemisah antara ruang utama dengan ruang serambi dan dinding pemisah antara ruang serambi dengan ruang wudhu dengan jumlah masing-masing 1. Jendela Tipe II berbentuk empat persegi dengan lengkungan pada bagian atasnya dan memiliki 2 daun jendela dengan kaca pada masing-masing daun jendelanya. Jendela Tipe II juga memiliki hiasan yang sama dengan jendela tipe I. Jendela Tipe II terdapat pada dinding Utara dan Selatan pada ruang utama dan ruang serambi masing-masing 3 buah pada tiap dindingnya. Kedua tipe jendela memiliki ukuran yang sama yaitu lebar 1,18 m dan tinggi 1,18 m.

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 Berdasarkan bentuknya, ventilasi pada Masjid Daar al-Falah Cikoneng dikelompokkan menjadi 2 tipe. Ventilasi tipe I memiliki bentuk lingkaran tanpa hiasan. Ventilasi tipe I berjumlah 2 buah masing-masing terdapat pada dinding Barat relung mihrab dan mimbar. Ventilasi tipe I memiliki ukuran diameter 14 cm. Ventilasi Tipe II berbentuk empat persegi panjang yang disejajarkan secara vertikal dan berjumlah 5 buah lubang. Ventilasi tipe II terdapat pada dinding Utara ruang wudhu berdekatan dengan pintu Utara pada dinding pemisah antara ruang serambi dan ruang wudhu. Ventilasi tipe II memiliki ukuran dengan tinggi 27 cm , lebar 6 cm, dan ukuran keseluruhan yaitu panjang 60 cm dan tinggi 27 cm. Atap Masjid Daar al-Falah Cikoneng berbentuk tumpang dengan 4 tingkat pada atap ruang utama. Atap ruang utama yang memiliki 4 tingkat yang semakin ke atas semakin mengecil memiliki hiasan berbentuk mahkota pada ujungnya. Tinggi dari pondasi hingga puncak atap yaitu 11 m. Konstruksi yang mendukung atap tersebut menggunakan pola saka tunggal (Achmadi, 2005: 12). Di ruang utama, tidak memakai plafon melainkan hanya dilapisi papan yang berbentuk persegi, sedangkan pada atap ruang serambi dan ruang wudhu memakai plafon. Atap Masjid Daar al-Falah ditopang oleh tiang yang jumlah keseluruhan 9 buah dengan komposisi 4 buah tiang pada ruang utama, 4 buah tiang pada ruang serambi, dan 1 buah tiang pada ruang wudhu. Bentuk tiang dikelompokkan menjadi 3 Tipe. Tiang tipe I berbentuk persegi delapan dengan diameter 30 cm, tinggi 5,56 m dan pada bagian bawahnya terdapat umpak berbentuk buah labu. Tiang tipe I terbuat dari kayu jati. Umpak yang berbentuk buah labu banyak dipakai pada masjid-masjid di daerah Banten yaitu pada Masjid Agung Banten, Masjid Kenari dan Masjid Kasunyatan. Tiang tipe II serupa dengan tiang tipe I tetapi terbuat dari campuran pasir dan semen (Achmadi, 2004: 12). Tiang tipe III berbentuk empat persegi dan terbuat dari campuran pasir dan kapur (Achmadi, 2004: 12). Pada tiang tipe III tidak terdapat umpak pada bagian kakinya. Tiang tipe III terletak di tengah ruang wudhu. Konstruksi pada atap tingkat kedua ruang utama terdapat balok kayu yang membentuk empat persegi. Pada tingkat ketiga dan keempat dibuat dengan balok yang disusun menyilang yang simetris untuk menopang kerangka untuk landasan genteng. Titik pertemuan balok yang menyilang terdapat soko tunggal berdiri tegak hingga puncak atap yang berlandaskan papan kayu pada atap tingkat pertama. Pada atap ruang serambi tidak memiliki soko tunggal pada tingkat keduanya melainkan atap hanya ditopang dengan 4 buah soko guru. Bagian luar atap Masjid Daar al-Falah Cikoneng ditutupi menggunakan genteng yang terbuat dari tanah liat

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 dibakar. Pada seluruh bagian pinggiran luarnya terdapat lisplang yang berbentuk tumpal dengan lubang pada bagian ujung lisplangnya. Bedug Masjid Daar al-Falah terletak diruangan tambahan yang berada disebelah Selatan ruang wudhu. Bedug berbentuk silinder yang pada satu ujungnya tutup dengan menggunakan kulit sapi. Bagian tersebut digunakan sebagai bidang pukul. Bedug memiliki ukuran panjang 173 cm dan diameter 68 cm. Bedug tersebut diletakkan di atas susunan balok kayu yang menyilang di kedua ujungnya. Susunan balok kayu yang menyilang tersebut diperkuat dengan konstruksi balok berbentuk empat persegi pada bagian bawahnya. Di atas balok yang tersusun membentuk empat persegi tersebut terdapat susunan balok yang menyilang memanjang searah dengan bedug untuk memperkuat konstruksi tempat bedug tersebut. Secara keseluruhan, tata ruang Masjid Daar al-Falah berbentuk persegi panjang yang tersusun dari ruangan-ruangan yang berbentuk persegi empat. Setiap ruangan dipisahkan oleh 2 buah pintu dan 1 buah jendela, kecuali pada ruang wudhu dan ruang tambahan hanya dipisahkan oleh 1 buah pintu. Ketinggian lantai tiap ruangan berbeda-beda. Ruangan dengan lantai tertinggi terdapat pada ruang utama dan yang terendah pada ruang tambahan. Hiasan arsitektural maupun ornamental pada tiap ruang semakin ke arah Timur semakin sedikit. Pada ruang utama memiliki hiasan di setiap dindingnya, sedangkan pada ruang serambi hiasan hanya terdapat pada dinding Barat. Pada ruang wudhu dan ruang tambahan tidak terdapat hiasan. Hal tersebut berarti bahwa tingkat kenyamanan difokuskan pada ruang utama mengingat fungsi ruang utama yaitu untuk tempat shalat.

Identifikasi Unsur Budaya

Tabel 1. Komponen Arsitektur Masjid Cikoneng

Komponen Letak Unsur Budaya Pondasi Dasar Bangunan Induk Pra Islam* Denah Bangunan Induk Jawa Dinding Pemisah Ruang Utama dan Serambi Moor Pintu Dinding Pemisah Ruang Serambi dan Wudhu Moor Dinding Utara dan Selatan Ruang Wudhu Jawa Dinding Utara dan Selatan Ruang Utama Moor Dinding Utara dan Selatan Ruang Serambi Moor Jendela Dinding Pemisah Ruang Utama dan Serambi, Serambi dan Moor dan Pra Sejarah Wudhu Mihrab Dinding Barat Ruang Utama Moor dan Pra Islam* Mimbar Dinding Barat Ruang Utama Moor dan Pra Islam* Tiang Tipe I Ruang Utama Jawa Tiang Tipe II Ruang Serambi Jawa Tiang Tipe III** Ruang Wudhu Belanda Atap Bangunan Induk Jawa Bedug Ruang Tambahan Pra Sejarah

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014

Keterangan: * : Unsur budaya yang berkembang di Indonesia pada masa Pra Islam umumnya terlihat pada bangunan candi ** : Tiang baru yang dibuat pada saat pemugaran pada tahun 60an

Tabel II. Ragam Hias Masjid Cikoneng

Ragam Hias Letak Unsur Budaya Pelipit Mimbar, Mihrab, dan KonstruksiTiang Semu Pra Islam* Tiang Semu Ruang Utama dan Ruang Serambi Yunani Umpak Buah Labu Ruang Utama dan Ruang Serambi Banten Mustaka Atap Lampung Tumpal Pinggiran Atap (Lisplang) Pra Sejarah Sieger Dinding Barat Ruang Utama Lampung Anak Panah Teralis Jendela Pra Sejarah Ruang Utama Annam Keramik Tempel Ruang Serambi** Pra Islam* Kaligrafi Ruang Utama dan Ruang Serambi Arab Bulan dan Bintang Ruang Utama Pra Islam*

Keterangan: * : Unsur budaya yang berkembang di Indonesia pada masa Pra Islam umumnya terlihat pada bangunan candi ** : Keramik tempel baru

Kronologi

Berdasarkan bentuk bangunan, Masjid Daar al-Falah Cikoneng mendapatkan pengaruh kolonial pada komponen-komponennya seperti pada pintu, jendela, pilar, dan konstruksi dinding. Lengkungan pada bagian atas pintu dan jendela terdapat pada bangunan kolonial di Cikoneng salah satunya yaitu pada pintu masuk mercusuar Anyer yang dibangun kembali pasca letusan Gunung Krakatau pada tahun 1885 oleh Belanda pada masa pemerintahan Raja Willem III10. Lengkungan tersebut juga terdapat pada jendela rumah pejabat PJKA di Desa Cikoneng. Masjid Daar al-Falah memiliki kemiripan dengan Masjid Agung Banten yang terlihat pada komponen-komponen bangunannya yaitu Umpak buah labu pada soko guru, lengkungan pada bagian atas pintu dan jendela, bentuk atap tumpang, dan lain-lain. Komponen yang tidak terdapat pada Masjid Agung Banten yaitu hiasan keramik tempel. Hal tersebut dikarenakan persebaran ornamentasi pada masjid-masjid kuno di Banten terjadi melebar dengan titik pusat Masjid Agung Banten11. Hal yang paling terlihat jelas yaitu kesamaan bentuk atap Masjid Daar al-Falah dengan Masjid Agung Banten.

10 Lihat Bab II 11 Lihat “Ornamentasi Masjid-Masjid Kuno di Provinsi Banten Abad 16-20 M: Tinjauan Motif Hias dan Persebaran”, Skripsi FIBUI, Rizky Dalimunthe, 2013.

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 Keramik tempel pada Masjid Daar al-Falah Cikoneng juga memiliki kemiripan motif dengan keramik tempel yang terdapat pada Masjid Keramat Koto Tuo Kerinci dan Masjid Tanjung Pauh Ilir Kerinci. Masjid Keramat Koto Tuo Kerinci merupakan masjid tertua di daerah tersebut yang didirikan sekitar abad ke-18. Apabila dilihat dari asal usul Masjid Daar al-Falah yang dibangun oleh masyarakat Lampung, maka ada kemungkinan bahwa budaya keramik tempel Masjid Daar al-Falah Cikoneng berasal dari Lampung yang masih satu pulau dengan Kerinci, . Namun tidak menutup kemungkinan bahwa budaya keramik tempel tersebut dibawa dari Cirebon yang didasarkan pada keberadaan makam ulama Cirebon di daerah Cikoneng. Ulama tersebut merupakan salah satu tokoh yang ikut berperan dalam meng-Islamkan daerah Cikoneng dan sekitarnya. Dari perbandingan diatas, maka dapat diperkirakan bahwa Masjid Daar al-Falah didirikan pada masa setelah didirikannya Masjid Agung Banten (1566) hingga letusan Gunung Krakatau terjadi pada tahun 1883 yaitu sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18. Hal tersebut diperkuat dengan adanya makam tokoh Menak Sengaji yang terletak di Desa Cikoneng tersebut. Menak Sengaji merupakan tokoh penting yang berhubungan dengan proses Islamisasi di Desa Cikoneng. Makam Menak Sengaji tidak terdapat angka tahunnya akan tetapi apabila ditinjau dari data wawancara bahwa Menak Sengaji diperintahkan untuk mengislamkan daerah Cikoneng yang diutus oleh Sultan Maulana Hasanuddin. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Menak Sengaji hidup pada masa yang sama dengan masa pemerintahan Kesultanan Banten yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, kesimpulan mengenai bentuk arsitektur Masjid Daar al-Falah beserta hiasannya menunjukkan bahwa masjid tersebut masih melanjutkan bentuk arsitektur masjid tradisional. Seiring berkembangnya suatu jaman, masjid tersebut mendapatkan pengaruh-pengaruh lokal dan asing pada beberapa komponennya. Namun hal tersebut tidak membuat Masjid Daar al-Falah terlihat seperti bangunan asing karena berdasarkan pengelompokkan unsur-unsur yang terdapat pada Masjid Daar al-Falah Cikoneng, unsur dominan pada masjid tersebut yaitu unsur lokal. Unsur-unsur lokal yang terlihat pada masjid tersebut yaitu denah yang berbentuk persegi empat (panjang), pondasi pejal/kuat yang ditinggikan, relung mihrab dan mimbar, tiang soko guru, atap tumpang, bedug dan ragam hiasnya yang sebagian besar merupakan pengaruh lokal seperti hiasan sieger, hiasan alam berupa bulan dan bintang, ragam hias geometris berbentuk tumpal, motif umpak buah labu, motif anak panah, motif keramik tempel, dan mustaka.

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 Kesimpulan mengenai kronologi pembangunan Masjid Daar al-Falah diperkirakan sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18. Kemiripian bentuk yang dimiliki oleh Masjid Daar al-Falah Cikoneng dengan Masjid Agung Banten terlihat hampir pada setiap komponen masjid. Hal tersebut diperkuat dengan adanya makam tokoh Menak Sengaji yang terletak di Desa Cikoneng tersebut. Menak Sengaji merupakan tokoh penting yang berhubungan dengan proses Islamisasi di Desa Cikoneng. Makam Menak Sengaji tidak terdapat angka tahunnya akan tetapi apabila ditinjau dari data wawancara bahwa Menak Sengaji diperintahkan untuk mengislamkan daerah Cikoneng yang diutus oleh Sultan Maulana Hasanuddin. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Menak Sengaji hidup pada masa yang sama dengan masa pemerintahan Kesultanan Banten yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin. Selain itu, latar belakang masyarakat Lampung di Cikoneng merupakan bukti lain bahwa pada masa kesultanan Banten, Lampung merupakan salah satu daerah kekuasaan Banten yang memegang peranan penting dalam kestabilan ekonomi kesultanan Banten pada masanya. Hal itu dibuktikan dengan adanya beberapa lempeng tembaga yang menjelaskan tentang kekuasaan Banten terhadap Lampung.

Daftar Pustaka

Aboebakar, M. 1955. Sejarah Masjid dan Amal Ibadah di dalamnya. : Visser & Co. Achmadi, Syarif (penyusun). 2004. Laporan Studi Teknis Situs Mesjid Darul Falah Cikoneng. Serang: Tim Proyek Pemanfaatan Peninggalan Sejarah Dan Purbakala. ______. 2005. Mesjid Cikoneng Anyar dan Pemugarannya. Serang: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Budiharjo, Eko.1994. Arsitektur Perumahan Perkotaan. : Gadjah Mada University Press.

Dalimunthe, Rizky.2013. Ornamentasi Masjid-Masjid Kuno di Provinsi Banten Abad 16-20 M: Tinjauan Motif Hias dan Persebaran. Skripsi Sarjana. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya.

Frick, Heinz.1980. Ilmu Konstruksi Kayu. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Gonggong, Anhar (peny.).1983/1984. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme Di Daerah Lampung. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014 Haris, Tawalinuddin.2010. “Masjid-masjid di Dunia Melayu Nusantara” dalam Suhuf vol. 3. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Koentjaraningrat.1986. Pengantar Antropologi. Jakarta: Dian Rakyat. Latifundia, Effie.2010. Kawasan Anyer-Banten: Potensi Kepurbakalaannya, dalam Ali Akbar (ed.), Arkeologi Masa Kini. Jatinangor: Alqaprint. Maryono, Irawan, et al.1982. Pencerminan Nilai Budaya dalam Arsitektur Indonesia. Jakarta: Djambatan. Munandar, Agus Arif dan Rita Fitriani Nurlambang.1995. Ragam Hias Pra-Islam pada bangunan Islam Di Jawa. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Rochym, Abdul.1983. Sejarah Arsitektur Islam. Bandung: Angkasa. Satriadi, Putu Yudi. 2005. Model Penyesuaian Hidup Orang Lampung Di Tengah Komunitas Banten. Dalam Sindu Galba (ed.), Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Sunda, Banten, dan Lampung, hlm 43-112. Bandung: Alqaprint. Tim.1977. Sejarah Daerah Lampung. Jakarta: Departemen P dan K.

Tje’lian, Hazimi.1998/1999. Koleksi dan Tata Pameran Lantai II Museum Negeri Provisi Lampung, Ruwa Jurai. Lampung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Untoro, Heriyanti Ongkodharma.2007. Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522- 1684: Kajian Arkeologi Ekonomi. Depok: FIB UI.

Wiryoprawiro, Zein. M.1986. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya: Bina Ilmu.

Masjid Daar Al-Falah Cikoneng..., Doni Wibowo, FIB UI, 2014