Refleksi Budaya Komunitas Islam Aboge Cikakak Pada Masjid Saka Tunggal Banyumas
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 1,C 145-150 https://doi.org/10.32315/sem.1.c145 Refleksi Budaya Komunitas Islam Aboge Cikakak pada Masjid Saka Tunggal Banyumas Awaliyah Mudhaffarah Mahasiswa Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung Korespondensi: [email protected] Abstrak Masjid masjid kuno di Indonesia mempunyai konteks pembangunan yang beragam, dari konteks pendirian sebuah daerah administrasi seperti kebanyakan masjid yang didirikan Belanda hingga yang terkait dengan penyebaran islam. Masjid Saka Tunggal “Baitussalam” Cikakak, Banyumas adalah salah satu contoh masjid yang terkait dengan penyebaran islam. Keberadaanya berkaitan erat dengan perkembangan komunitas Islam Aboge di desa cikakak, dan eksistensinya menjadi sebuah bagian dari budaya komunitas itu sendiri. Terlepas dari statusnya sebagai satu dari empat masjid saka tunggal di Indonesia, masjid ini mempunyai keunikan dari segi konteks sosio kultural masyarakat di sekitarnya. Makalah ini akan membahas tentang keterkaitan antara elemen sosio kultural dari komunitas Iislam Aboge Cikakak dengan masjid saka tunggal Baitussalam. Kata-kunci : masjid, saka tunggal, Islam Aboge, Desa Cikakak Pendahuluan Saka Guru (soko guru dalah dialek lokal) adalah salah satu karakteristik utama dari masjid Jawa. Sistem struktur ini menggunakan tiang utama dari kayu yang menyangga atap dan biasanya terdiri dari empat buah tiang. Saka tunggal adalah bentuk variasi dari saka guru, dimana alih-alih empat hanya terdapat satu kolom penyangga yang menopang struktur atapnya. Di Indonesia sendiri terdapat empat buah masjid yang dikenal dengan struktur saka tunggalnya. Keempat masjid ini dibangun sekitar abad ke-15 hingga 19. Masjid-masjid tersebut terletak di Kota Banyumas, Kebumen, Cirebon, dan Yogyakarta.1 Keempat masjid tersebut memiliki konteks, bentukan saka tunggal serta periode pembangunan yang berbeda-beda. Keberadaan Masjid Saka Tunggal Banyumas ini menjadi unik karena keterkaitannya dengan budaya dari masyarakat Islam Aboge Desa Cikakak yang tinggal di sekitarnya. Islam Aboge adalah salah satu komunitas Islam kejawen. Seperti aliran Islam kejawen lainnya, komunitas Islam Aboge Desa Cikakak juga masih megamalkan tradisi-tradisi Jawa seperti Rajaban, Muludan, dan Suraan. Ciri khas dari komunitas ini adalah penggunaan kalender Jawa dalam menetapkan hari besar Islam. Kata Aboge sendiri berasal dari akronim kata Alip Rebo Wage yang merupakan metode perhitungan kalender Jawa yang digunakan untuk menentukan hari, tanggal, bulan, dan tahun Jawa. Masjid Saka Tunggal Cikakak, Banyumas sendiri telah menjadi bagian dari Komunitas Islam Aboge Cikakak sejak awal penyebaran Islam di sana. Pendirian Masjid Saka Tunggal berkaitan erat dengan penyebaran Islam oleh seorang tokoh bernama Mbah Mustolih yang diperkirakan hidup pada masa Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas Trisakti Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 145 ISBN 978-602-17090-6-1 E-ISBN 978-602-17090-4-7 Refleksi Budaya Komunitas Islam Aboge Cikakak pada Masjid Saka Tunggal Banyumas Kerajaan Pajang, sekitar abad ke-16. Mbah Mustolih ini disebut-sebut sebagai pendiri Desa Cikakak sekaligus Komunitas Islam Aboge dan Masjid Saka Tunggal. Tidak ada yang tahu kapan pastinya masjid ini didirikan. Inskripsi pada kolom utama masjid menyebutkan angka 1288. Atas dasar tersebut, oleh beberapa pihak masjid ini dianggap sebagai masjid tertua di Indonesia jika didasarkan pada penanggalan Masehi. Terdapat argumentasi lain bahwa penanggalan tersebut didasarkan pada kalender Hijriyah sehingga tahun 1288 H ekuivalen dengan tahun 1871 M. Meksipun demikian, terdapat bukti bahwa masjid ini dibangun jauh sebelum itu. Salah satunya adalah cerita bahwa Raden Joko Kahiman, yang ditunjuk sebagai bupati Banyumas pertama tahun 1524 M, pernah menuntut ilmu di masjid ini.2 Besar kemungkinan bahwa tahun 1871 adalah tahun restorasi dimana sebagian atau seluruh bagian dari kolom tunggal penyangga struktur atap harus diganti karena kayunya telah mengalami kerusakan. Walaupun terdapat perbedaan pendapat tentang pendirian masjid ini, tak bisa dipungkiri bahwa masjid ini adalah salah satu dari masjid tertua di Jawa.3 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, masjid ini mempunyai keterkaitan erat dengan komunitas Islam Aboge yang tinggal disekelilingnya. Kedudukan masjid ini tidak hanya sekadar sebagai ruang ibadah, tetapi juga sebagai bagian penting dari ritual-ritual budaya yang dimiliki oleh komunitas Islam Aboge Cikakak. Makalah ini akan membahas pengaruh nilai nilai islam aboge terhadap bentukan elemen fisik maupun fungsi dan keterkaitan masjid dengan komunitas Islam Aboge Cikakak. Bangunan Masjid Gambar 1. Eksterior masjid Gambar 2. Interior masjid sumber: www.thearoengbinangproject.com sumber: www.thearoengbinangproject.com Selama ratusan tahun berdiri, bentuk bangunan utama masjid secara umum tidak banyak berubah. Perubahan signifikan terjadi pada material atap dan selubung bangunan. Pada awalnya masjid ini diyakini menggunakan atap sirap kayu. Saat dilakukan renovasi tahun 1996 atap masjid diganti dengan seng yang dilapisi dengan ijuk. Selain itu, material dinding masjid awalnya adalah kayu dan gedhek bambu, namun dilakukan penambahan dinding bata untuk eksterior masjid dengan tujuan preservasi.4 Pada interior masjid, gedhek bambu digunakan sebagai partisi antar ruangan dan sebagai material plafon. Kolom utama masjid terbuat dari kayu solid tanpa sambungan sama sekali yang berukuran 24x24cm pada pangkalnya.5 Kolom utama tersebut dipenuhi dengan ukiran dan dicat dengan warna warna cerah (merah, kuning, hijau dan putih). Untuk mencegah kerusakan akibat terlalu sering disentuh, sebagian bawah kolom utama masjid dilindungi dengan kotak kaca. Bentuk saka tunggal pada masjid sendiri dimaksudkan sebagai simbolisasi dari ajaran tauhid (monotheisme). C 146 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Awaliyah Mudhaffarah Gambar 3. Perbandingan antara saka tunggal dari masjid di Cikakak, Banyumas (kiri) dan saka tunggal di Masjid Agung Kebumen (kanan) Sumber: https://www.thearoengbinangproject.com Bentuk strutur saka tunggal pada Masjid Saka Tunggal Banyumas ini sedikit berbeda dibandingkan dengan tiga Masjid Saka Tunggal lain di Indonesia. Pada masjid ini beban dari tumpangsari dan atap langsung disalurkan oleh kolom utama ke pondasi, sedangkan pada kasus saka tunggal yang lain terdapat struktur tambahan berupa console yang menjaga stabilitas struktur. Jika dibandingkan, maka pada Masjid Saka Tunggal Banyumas beban hanya bertumpu langsung pada kolom utama di satu titik, sedangkan pada masjid-Masjid Saka Tunggal yang lain beban disalurkan melalui lima titik sebelum akhirnya penyaluran beban terkonsentrasi pada satu tiang utama sehingga dicapai kestabilan yang lebih baik.6 Jika dibandingkan dengan ketiga saka tunggal yang lain, saka tunggal Banyumas terkesan lebih tidak stabil dan sederhana. Namun, terlepas dari hal tersebut, struktur saka tunggal pada masjid ini telah hampir mencapai bentuk saka tunggal yang lebih stabil seperti pada masjid-masjid saka tunggal lainnya. Bentuk saka tunggal ini dapat dikatakan sebagai tahap evolusi menuju bentuk saka tunggal yang lebih stabil pada masjid lainnya. Berkaca pada hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa masjid saka tunggal banyumas dibangun pada periode sebelum masjid-masjid saka tunggal yang lain.7 Ornamen Meskipun telah mengalami perubahan selama bertahun tahun, elemen ornamen yang terdapat pada kolom utama masjid dan mimbarnya tetap dijaga kelestariannya.8 Kolom masjid dihiasi dengan empat buah sayap dan dipenuhi dengan ukiran bercorak flora dan dicat warna warni. Hal ini termasuk unik karena meskipun penggunaan ukiran bercorak flora juga ditemui pada masjid masjd tua Jawa lainnya, ukiran yang meliputi seluruh bagian kolom dan pengguaan bentuk sayap tidak lazim digunakan. Ornamen-ornamen tersebut membuat kolom saka tunggal sekilas terlihat seperti totem.Hal ini juga bertolak belakang dengan masjid masjid kuno indonesia lainnya yang tidak menggunakan ornamentasi bertema makhluk hidup. Empat buah sayap tersebut melambangkan “papat kiblat lima pancer” atau atau empat mata angin dan satu pusat.8 Empat mata angin ini berarti manusia harus hidup seimbang. Tiap mata angin Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 147 Refleksi Budaya Komunitas Islam Aboge Cikakak pada Masjid Saka Tunggal Banyumas melambangkan empat nafsu yang membentuk kepribadian manusia; lawwamah, muthmainnah, sopiah dan amarah. Ukiran mim dal pada tiang utama masjid merupakan akronim dari nama Muhammad SAW. Hal tersebut adalah simbolisme dari kedudukan Nabi MuhammadSAW. sebagai penghubung antara manusia dan pengetahuan akan Tuhannya.9 Selain itu, juga terdapat inskripsi yang dianggap sebagai tahun pembangunan masjid. Inskripsi tersebut ditulis dengan angka arab. Gambar 4. Detail ornamen sayap pada kolom Gambar 5. Inskripsi tahun pada kolom utama utama masjid masjid sumber: http://jelajahbuminusantara.blogspot.co.id sumber: http://mesjidsakatunggal.blogspot.co.id Pada mimbar terdapat ukiran berupa dua buah surya mandala. Simbol tersebut melambangkan terdapat dua pedoman yang harus diikuti oleh seluruh umat muslim, yakni Al-Qur’an dan Hadits. Ragam hias surya mandala sendiri lazim ditemui pada peninggalan-peninggalan kerajaan Singasari dan Majapahit. Dari ornamen-ornamen yang ada dapat dilihat bahwa Masjid Saka Tunggal ini sangat kental dengan simbolisme nilai-nilai Islami yang bercampur dengan adat istiadat Jawa. Hal tersebut