OLIGARKI DAN DEMOKRASI

Kajian Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara di

i

UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Ketentuan Pidana Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). ii

AHMAD MUNJIN

OLIGARKI DAN DEMOKRASI

Kajian Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara di Banten

NUSA LITERA INSPIRASI 2018 iii

OLIGARKI DAN DEMOKRASI Kajian Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara di Banten

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Nusa Litera Inspirasi

Cetakan pertama Oktober 2018 All Right Reserved Hak cipta dilindungi undang-undang

Penulis: Ahmad Munjin Gambar sampul: Agus Sukoyo Penata letak: NLi Team

OLIGARKI DAN DEMOKRASI Kajian Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara di Banten xxvi + 431: 14,5 cm x 20,5 cm ISBN: 978-602-5668-55-5 Anggota Ikatan Penerbit (IKAPI)

Penerbit Nusa Litera Inspirasi Jl. KH. Zainal Arifin Kabupaten Cirebon, Jawa Barat [email protected] www.nusaliterainspirasi.com HP: 0821-1976-9742/0857-1644-6889

Isi di luar tanggungjawab percetakan. iv

KATA PENGANTAR

Segala puji milik Allah SWT. Dengan rasa penuh syukur, penulis mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan Program Magister (S2), di Sekolah Pascasarjana (SPs), Univer- sitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah yang mene- rapkan metodologi interdisciplinary. Saat dinyatakan lolos sebagai mahasiswa SPs, muncul perasaan campur aduk, senang sekaligus khawatir atas kewajiban yang dibebankan sebagai konsekuensi menjadi mahasiswa pascasarjana. Namun demikian, peneliti sadar bahwa menerima amanat ini merupakan salah satu wujud syukur terhadap Yang Maha Kuasa. Salah satu pembuktiannya adalah de- ngan menjalankan amanat menuntut ilmu sebaik-baiknya. Sebab, secara spiritual, tugas penelitian ini bukan hanya berasal dari UIN Jakarta melalui SPs, tapi juga dari Allah SWT melalui kitab suci Alquran dalam ayat pertamanya diwahyukan yang berbunyi, iqra’. Peneliti dan semua umat Islam tentu sangat bangga memi- liki kitab suci yang ayat pertamanya diturunkan berisi perintah riset tersebut. Peneliti berharap penelitian ini, Oligarki dan Demokrasi: Kajian Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara di Banten menjadi sebagian kecil dari pelaksanaan perintah iqra. Sebagai salah satu noktah dari umat Islam, peneliti merasa terpanggil demikian dan bercita-cita Islam benar-benar menjadi agama yang rahmatan li al-'a>lami>n melalui pencapaian ilmu dan sains tertinggi para penganutnya. Hasil penelitian ini diharapkan membawa manfaat besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan, kemanusian, dan perkembangan demokrasi di Indonesia pada umumnya dan di Banten pada khususnya. Dalam proses penelitian, betapapun sederhananya tentu merupakan hasil dari proses-proses yang justru tidak sederhana dan melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, peneliti mengu- capkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., Rektor UIN Jakarta dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah, M.A., v

Direktur Sekolah Pascasarjana yang telah memberikan suasana dan sarana yang kondusif untuk pembelajaran di level pascasarjana baik secara fisik maupun sistem. Terima kasih tak terhingga untuk semua dosen SPs yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Prof. Dr. , CBE, M.A. yang telah mewanti-wanti pene- liti untuk menghindari tema penelitian yang terlalu luas. Selain untuk mempermudah juga untuk menghemat waktu, tenaga, dan biaya penelitian. Ali Munhanif, Ph.D, sebagai promotor penelitian ini yang telah memberikan pencerahan bahwa pembatasan penelitian bukan hanya pada ruang, waktu, dan lingkup penelitian, tapi juga teori penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini hanya fokus pada empat sumber daya kekuasaan, yakni: koersif, jabatan resmi, hak politik formal, mobilisasi, dan material. Yang disebut terakhir merupakan sumber daya kekuasaan oligarkis sedangkan empat lainnya meru- pakan basis kekuasaan elite dalam sistem demokrasi. Doktor Ali juga, di tengah jadwalnya yang padat dan sibuk, tak henti-henti mengkritisi isi penelitian ini. Dalam banyak diskusi bimbingan dengan peneliti, Doktor Ali lebih banyak bersikap skeptis terha- dap posisi penelitian ini terutama perihal oligarki yang sumber daya kekuasaannya bukan material yang dinegasikan oleh pene- litian ini. Prof. Dr. Murodi, M.A. sebagai penguji Ujian Proposal penelitian ini yang dengan tanpa kompromi menekankan penting- nya untuk menghilangkan sikap tendensius dalam penulisan ilmiah. Jika dibiarkan sikap tersebut akan menggerus kadar keil- miahan sebuah karya. Apalagi jika penulisan yang tendensius itu tidak dilengkapi dengan data-data. Kemudian, Prof. Dr. Salman Harun, M.A. yang telah menyarankan kepada peneliti untuk mengungkapkan teori oligarki secara jernih dan utuh sehingga tuntas dan lengkap. Atas saran tersebut, peneliti mengungkapkan teori oligarki mulai dari definisi, proses pembentukkannya yang berbasis stratifikasi material, siapa oligark dan bagaimana oligar- ki, rezim pertahanan harta, hingga efek oligarki, yakni ketidak-

vi setaraan materi yang ekstrem menyebabkan ketidaksetaraan poli- tik yang ekstrem pula. Prof. Andi Faisal Bakti, M.A. Ph.D yang telah membe- rikan terobosan metodologis dalam proses penelitian ini. Tero- bosan dimaksud adalah proses menurunkan teori ke dalam konsep- konsep yang ditemukan di lapangan penelitian. Metodologi yang disodorkan Prof. Andi sangat berdaya guna dan aplikatif dalam proses penelitian ini. J.M. Muslimin, M.A. Ph.D perihal teknik penulisan terutama footnote. Lalu, Yusuf Rahman, Ph.D. yang menekankan tentang aspek Islam dari penelitian ini sebagai pro- gram studi pengkajian Islam dengan konsentrasi agama dan politik yang disinpenelitiankan menjadi politik Islam. Prof. Dr. Zulkifli, M.A., penguji Ujian Work in Progress (WIP) I yang menyarankan pengemasan kembali oligarki dalam perspektif Islam. Begitu juga Prof. Dr. Ahmad Rodoni, M.M., penguji II Ujian WIP I yang menyarankan pentingnya konsistensi penulisan nama orang dalam teknik penulisan penelitian ini. Dr. Kusmana, M.A. penguji I Ujian Work in Progress (WIP) II yang telah menyarankan untuk melakukan abstraksi atas temuan pene- litian ini. Temuan tersebut harus dibandingkan dengan temu-an- temuan dalam tema-tema yang serupa dari para peneliti dan akademisi lain. Begitu juga dengan Dr. M. Arief Mufraini, Lc., M.Si penguji II Ujian Work in Progress (WIP) II yang telah memberikan saran tentang pentingnya melakukan abduction dalam ilmu sosial di mana peneliti disarankan untuk keluar dari kungkungan teori oligarki Jeffrey A. Winters. Doktor Arief me- nyarankan untuk melakukan teorizing dari temuan-temuan di lapangan—from nothing to teorizing. Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Ketua Sidang yang merang- kap Penguji Ujian Pendahuluan atas sarannya untuk menambah- kan teori demokrasi yang tampak kurang terlihat di bab II. Sebab, peneliti terlalu fokus pada teori oligarki. Begitu juga dengan pembatasan masalah yang sejatinya meliputi: konsep, tempat dan waktu. Peneliti juga diminta untuk memberikan uraian yang jelas mengenai term "pemberdayaan" dan "money politics" sehingga

vii terlihat perbedaan dari keduanya. Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, M.A., sebagai Penguji I atas sarannya untuk berani "menabrak" teks sehingga tidak terkooptasi olehnya. Peneliti juga dii-ngatkan untuk menambah wawancara dengan informan. Begitu juga dengan pengecekan kembali penggunaan bahasa Inggris dalam penelitian ini. Peneliti juga diminta untuk memperkuat kembali literature review. Peneliti diingatkan tentang banyaknya kata yang berulang-ulang. Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si.yang mempertanyakan riset ini apakah mencakup isu-isu aktual, misalnya tentang posisi penguasaan akses dengan masuknya Andika Hazrumy sebagai Wakil Gubernur Banten saat ini. Peneliti disarankan untuk melihat komparasi oligarki di zaman Tubagus Chasan Sochib dengan oligarki yang diteruskan oleh keturunannya, seperti . Peneliti juga diminta untuk memiliki data tentang bisnis keluarga Tubagus Chasan Sochib dan korelasinya dengan kekuasaan di Banten. Intinya, Dr. Gun Gun menyarantkan untuk update data, bangun logika dengan lebih koheren, dan perkuat analisis terutama tentang asumsi yang berkembang di masyarakat bahwa oligarki di Banten tidak dapat dipatahkan. Untuk itu, alangkah baiknya jika uraian mengenai kekuatan ekonomi keluar- ga Tubagus Chasan Sochib dibuat bagan. Kepada Asep Muhammad Saepul Islam, sahabat setia peneliti yang telah memberikan inspirasi tentang pencapaian pengetahuan terdalam secara efektif, produktif dan tanpa lelah. Aceng Abdul Qodir yang telah memberikan rujukan kitab-kitab hadis dalam bentuk PDF. Kepada Abdul Aziz Nurizun yang telah membantu kelancaran penelitian di Banten. Alimani yang telah membawa peneliti lebih dekat dengan aspek budaya, politik, dan ekonomi Banten. Peneliti telah ditemani mengunjungi kawasan industri baja PT Krakatau Steel Tbk, industri kimia PT Chandra Asri Tbk, dan energi listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menyuplai setrum untuk Jawa-, Pelabuhan Merak yang super sibuk di Cilegon yang menjadi salah satu basis sumber daya kekuasaan material Provinsi Banten. Peneliti juga

viii dibawa ke Masjid Agung dan berziarah ke Makam Sultan Maulana Hasanuddin dengan jutaan nilai historis di dalamnya. Keesokan harinya, peneliti ditemani untuk wawancara dengan pihak Badan Pusat Satitik (BPS) Provinsi Banten di Kota Serang. Di atas semua itu, terima kasih atas sambutan, keramahtamahan dan telah menjadi guide yang baik. Ali juga telah menjadi penutur ulang sejarah jawara dan kiai yang baik. Peneliti juga berutang budi kepada Prof. Jeffrey A. Winters, Prof. M.A. Tihami, Syarif Hidayat, Leo Agustino, Abdul Hamid dan Okomato Masaaki. Dengan segala kerendahan hati, peneliti berani mengatakan, tanpa karya-karya mereka yang luar biasa, karya ini mungkin tidak akan pernah ada. Secara khusus, Profesor Jeffrey A. Winters, ilmuwan politik Northwestern Uni- versity, Amerika Serikat yang dengan baik hati memberikan ma- sukkan kepada peneliti untuk coba menulis pembukaan penelitian dengan serangkaian kalimat deklaratif yang jernih, tegas, dan berani. Kata dia, sering mahasiswa mondar mandir dengan hala- man pembuka yang seperti air di panci yang hangat terlebih dahulu dan baru kemudian mendidih. Prof. Winters menyarankan kepada peneliti untuk membuat pembaca kaget dengan kalimat pertama. Secara kelembagaan, peneliti juga berterima kasih kepada BPS Provinsi Banten, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Indonesian Corruption Watch (ICW). Lembaga-lembaga tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam penyediaan data-data sekunder yang kredibel dan eligible dalam penelitian ini. Begitu juga dengan Perpustakaan nasional atas akses jurnal internasional secara daring dan gratis. Kepada kedua orang tua peneliti, H. Ojidin, S.Pd.I. dan Popon Fatimah yang telah mendorong anak-anaknya untuk cinta pengetahuan. Kepada istriku tercinta, Eva Syaripatunnisa, S.E.Sy. atas pengertian dan bantuannya dalam proses-proses penelitian ini. Begitu juga adik-adik tercinta, Lala Nurlatipah, S.Psi., Eni

ix

Nuraeni, S.Sos., dan Mahbub Hamdani yang selalu menjadi semangat dan inspirasi bagi peneliti. K.H. Irfan Hielmy (almarhum), pengasuh Pondok Pesan- tren Darussalam Ciamis, Jawa Barat yang terus menginspirasi untuk cinta ilmu di mana saja dan kapan saja sehingga mendorong semangat peneliti untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Salah satu moto Kiai Irfan adalah ‘bukalah satu pintu, niscaya terbuka pintu-pintu lainnya.’ Penelitian ini pun diharap- kan menjadi pembuka pintu-pintu lain tersebut. Oleh karena itu, karya ini diharapkan menjadi sebab dipertemukannya peneliti dengan ilmuwan-ilmuwan lain dari berabagai bidang keilmuan baik secara fisik ataupun gagasan setelah melalui proses membaca dunia dan dibaca dunia. Dr. Herdi Sahrasad dan Kakak Emi yang telah menjadi ‘orang tua’ peneliti di Jakarta. Terima kasih banyak atas akomo- dasi, diskusi, dan dorongannya kepada peneliti untuk terus menulis. Tema penelitian ini pun pada dasarnya lahir dari diskusi panjang di rumah Dr. Herdi. Di lapangan, Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten dan Fitron Nur Ikhsan, juru bicara keluarga besar Ratu Atut Chosiyah. Terima kasih banyak telah menjadi informan yang ramah dan baik. Terima kasih kepada Muchlis Hasyim Jahya dan Fahmi Alamsyah yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mencari nafkah di PT Indonesia News Center (INC) dengan bendera Inilahcom. Terima kasih kepada PT INC yang telah memberikan keleluasan waktu sehingga peneliti bisa bekerja kapan saja dan di mana saja menyesuaikan dengan proses penger- jaan penelitian ini. Meskipun demikian, pekerjaan tersebut tetap saja menguras banyak waktu sehingga memaksa peneliti melaku- kan penelitian dalam waktu yang sangat kikir. Akan tetapi, beker- ja di mana saja dan kapan saja telah menjadi win-win solution dan menjadi jembatan bagi pekerja sekaligus menjadi peneliti. Dindien Ridhotulloh, Pemimpin Redaksi, Wahid Ma’ruf, dan Iwan Purwantono, Redaktur Pelaksana yang telah menang-

x gung beban pekerjaan peneliti saat absen dari tugas sehari-hari karena kuliah. Mereka semua pasti sangat direpotkan di saat-saat peneliti mengikuti jam-jam perkuliahan dan melakukan penelitian lapangan. Terima kasih dan mohon maaf atas semua itu. Moh. Nabil, Luthfi Syarkawi, Irham Yuanamu, Nengsih, Moh. Shofan dan Dr. Abdul Karim yang telah dengan setia mendengarkan ‘ocehan’ dan ‘curhatan’ peneliti perihal oligarki yang menjadi tema penelitian ini dan memberikan feedback yang cerdas dan mencerahkan. Tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih, tentu masih banyak nama dan lembaga yang belum disebutkan di sini. Akan tetapi, itu bukan berarti peran mereka sedikit dan tidak penting dalam proses penelitian ini. Semoga peran masing-masing menjadi amal ibadah yang tidak ternilai demi kemajuan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan dan mendapat pahala tak terhingga di sisi Allah SWT. Di atas semua itu, meski peran mereka semua sangat besar dan penting dalam proses-proses penelitian ini, semua kekeliruan dalam penulisan karya ilmiah ini sepenuhnya tetap merupakan tanggungjawab peneliti pribadi. Selebihnya, peneliti mengharap- kan kritik dan saran konstruktif dari para pembaca yang budiman untuk perbaikan penulisan penelitian ini dan penelitian-penelitian selanjutnya di masa yang akan datang.

Jakarta, Agustus 2018

Ahmad Munjin

xi

xii

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi profil sum- ber daya kekuasaan kiai dan jawara di Banten. Metodologi penelitian ini adalah kualitatif yang mengombinasikan studi litera- tur yang luas dan penelitian lapangan. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah wawancara dengan beberapa kiai di Banten, juru bicara keluarga besar Ratu Atut Chosiyah dan Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. Sedang- kan sumber sekunder adalah data-data ekonomi Provinsi Banten tahun 2000-2017, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan literatur lainnya, seperti buku, jurnal, penelitian, disertasi, majalah, koran, makalah seminar dan media berbasis daring. Data- data yang dihasilkan dibaca dengan teori oligarki Jeffrey A. Winters, Oligarchy. New York: Cambridge University Press, 2011. Penelitian ini membuktikan, kekayaan yang menjadi basis sumber daya kekuasaan oligarkis sangat dominan dalam sistem demokrasi di Banten. Temuan penelitian ini memperkuat peneliti- an-penelitan sebelumnya yang juga menunjukkan dominasi kekua- saan oligarkis dalam sistem demokrasi di Indonesia. Jeffrey A. Winters (2011) menyimpulkan, kekayaan secara inheren tidak bisa dilepaskan dari sumber daya kekuasaan yang potensial. Richard Robison dan Vedi R Hadiz (2004) mengatakan, politik Indonesia kontemporer merupakan kelanjutan dari politik oligarkis yang dibangun dan dibesarkan Orde Baru. Dalam konteks Banten, Okamoto Masaaki dan Abdul Hamid (2008) menyatakan, jawara mungkin selalu eksis sebagai kekuatan sosial tapi tidak sebagai aktor politik tanpa dukungan kuat secara politik dan ekonomi dari pemerintah pusat. Leo Agustino (2010) menyatakan, rezim Soeharto menunjuk jawara yang dianggap kuat (local strongman) sebagai kaki tangan yang xiii saling menguntungkan di Banten untuk menjaga ketenteraman politik dan mengeksploitasi ekonomi. Penelitian ini berbeda dengan kesimpulan akademisi lain yang tidak melihat dominasi kekuasaan oligarkis. M.A. Tihami (1992) menyatakan, kelestarian kepemimpinan di Banten merupa- kan hasil dari perilaku kiai dan jawara dalam sistem sosial yang mempunyai hubungan sibernetik dengan agama dan magi dalam sistem budaya. Michael Buehler (2014) mengatakan, politik lokal di Indonesia tidak dihasilkan oleh oligarki melainkan oleh elite- elite negara yang telah menyesuaikan diri dengan watak peruba- han politik pasca-Orde Baru. R. William Liddle (2013) menyebut- kan basis kewenangan kekuasaan personal di Indonesia sudah bertransformasi secara fundamental menjadi kekuasan legal- konstitusional yang otonom. Thomas B. Pepinsky (2014) menilai teori oligarki terlalu kaku karena hanya fokus pada sumber daya kekuasaan material dibandingkan non-material. Marcus Mietzner (2014) menyatakan, politik Indonesia dicirikan dengan level fragmentasi yang tinggi di mana terdapat baik elemen-elemen oligarki maupun non-oligarki. Edward Aspinall (2014) menyatakan, Indonesia tetap merupakan tempat kontestasi politik yang setara. Teri L. Caraway dan Michele Ford (2014) menilai para teoretikus oligarki gagal menga- kui kemunculan gerakan kelas pekerja yang dinamis sebagai pengembangan empiris dalam politik Indonesia kontemporer.

Kata kunci: hak politik formal, kekuasaan koersif, mobilisasi, jabatan resmi, kekuasaan material, elite, oligarki, dan demokrasi

xiv

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin dalam buku ini mengacu pada pedoman ALA-LC Romanization Tables, sebagaimana berikut:

ف = f ز = z ب = b

ق = q س = s ت = t

ك = k ش = sh ث = th

ل = l ص = }s ج = j

م = m ض = }d ح = }h

ن = n ط = }t خ = kh

ه = h ظ = }z د = d

و = w ع = ‘ ذ = dh

ي = y غ = gh ر = r

ِ = Short : a = ´ ; i = ِ ; u

و = ū ; ي = Long : a

وا = aw ; يا = Diphthong : ay

xv

xvi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR_v ABSTRAK_xiii PEDOMAN TRANSLITERASI_xv DAFTAR ISI_xvii DAFTAR TABEL, GRAFIK, BAGAN, DAN GAMBAR_xxi DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM_xxiii

BAB I PENDAHULUAN_1 A. Latar Belakang Masalah_1 B. Permasalahan_20 1. Identifikasi Masalah_20 2. Perumusan Masalah_21 3. Pembatasan Masalah_21 C. Penelitian Terdahulu yang Relevan_22 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian_25 1. Tujuan Penelitian _25 2. Manfaat Penelitian_26 E. Metodologi Penelitian_26 1. Jenis Penelitian_26 2. Jenis dan Sumber Data_27 3. Teknik Pengumpulan Data_29 4. Pendekatan_29 5. Teknik Penulisan _30 F. Sistematika Penulisan_30

BAB II OLIGARKI, DEMOKRASI DAN ISLAM_35 A. Teori Oligarki dan Demokrasi_35 1. Oligarki antara Definisi Material dan Nonmaterial_36 2. Pembentukan Oligarki: Penaklukan atau Akumulasi Kekayaan_41 xvii

3. Distingsi antara Elite dan Oligarki_50 4. Dari Oligarki Panglima hingga Oligarki Sipil_59 5. Oligarki dan Demokrasi: Kekuasaan Material versus Partisipasi_64 B. Kritik terhadap Teori Oligarki: Individu sebagai Fokus_72 C. Kompatibilitas versus Inkompatibilitas Oligarki dengan Demokrasi_79 1. Kompatibilitas Oligarki dengan Demokrasi_79 2. Inkompatibilitas Oligarki dengan Demokrasi_85 D. Oligarki dalam Perspektif Islam_88 1. Oligarki dalam Perspektif Alquran_89 2. Oligarki dalam Perspektif Hadis_97 3. Oligarki dalam Pandangan para Ulama_100

BAB III DINAMIKA SUMBER DAYA KEKUASAAN KIAI DAN JAWARA DI BANTEN _109 A. Peran Kiai dan Jawara pada Era Kolonial_110 1. Kiai dan Jawara sebagai Elite bagi Masyarakat Banten_110 2. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara sebagai Elite_115 3. Kekuasaan Material: Benih-benih Kekuasaan Oligarkis Jawara_124 B. Era Soekarno (Orde Lama): Dari Mobilisasi ke Jabatan Resmi_129 C. Rezim Orde Baru dan Pasang Surut Kekuasaan Kiai- Jawara_138 1. Dominasi Kekuasaan Oligarkis Rezim terhadap Mobilisasi Kiai_138 2. Mobilisasi Kiai versus Kekuasaan Koersif Orde Baru_147 3. Chasan Sochib: Oligark Sultanistik Produk Orde Baru_157 D. Era Reformasi: Kiai Tenggelam dan Jawara Dominan_176 1. Kekuasaan Mobilisasi Kiai yang Terfragmentasi_176 2. Kekuasaan Mobilisasi Kiai sebagai Makelar Politik_181 3. Penguatan Jawara dengan Kekuasaan Oligarkis_189

xviii

BAB IV JAWARA DAN SUMBER DAYA KEKUASAAN MATERIAL DI BANTEN_217 A. Pembentukan Provinsi Banten: Antara Motif Material dan Nonmaterial _217 B. Ketimpangan Ekonomi sebagai Prasyarat Oligarki_232 1. Tren Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten 2000- 2016_233 2. Stratifikasi Material di Provinsi Banten_238 3. Sumber Daya Material Kiai dan Jawara dalam Struktur Ekonomi di Banten_253 C. Keluarga Jawara Chasan Sochib sebagai Oligark di Banten_259 1. Para Ahli Waris Tubagus Chasan Sochib_260 2. Kadar Oligarki para Anggota Keluarga Besar Chasan Sochib_263 D. Transformasi Kekayaan Menjadi Tampuk Kekuasaan Oligarkis_283 1. Peran Tb. Chasan Sochib sebagai Oligark di Balik Layar_284 2. Pilkada Langsung 2006 dan Dominasi Kelompok Rau_302 3. Ratu Atut Chosiyah dan Pemilih Pragmatis_309 4. Relawan Banten Bersatu (RBB): Kekuasaan Material, Mobilisasi, dan Koersif_314 5. Ratu Atut Chosiyah dan Gaya Kepemimpinan Akomodatif_318 E. Politico-Business Oligarchy dan Politik Pertahanan Harta_328 1. Dari Kekayaan ke Jaringan Bisnis dan Politik_329 2. Regenerasi Politik dan Strategi Berkuasa Tiga Periode_332 3. Empat Pilar Kendali dan Dominasi Keluarga Ratu Atut Chosiyah_338 4. Faktor Penentu Kemenangan Airin Rachmi Diany dan Andika Hazrumy_357

xix

BAB V PENUTUP_381 A. Kesimpulan_381 B. Refleksi, Implikasi, dan Rekomendasi_382

DAFTAR PUSTAKA_385 GLOSARIUM_409 INDEKS_417 BIOGRAFI PENULIS_429

xx

DAFTAR TABEL, GRAFIK, BAGAN, DAN GAMBAR

Tabel 2.1. Perbedaan Teori Elite dengan Teori Oligarki_55 Tabel 2.2. Perbedaan-Persamaan Oligarki dan Demokrasi Aristoteles _65 Tabel 2.3. Konsep Islam tentang Oligarki_106 Tabel 3.1. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara pada Era Kolonial di Banten_127 Tabel 3.2. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara pada Era Soekarno (Orde Lama) di Banten_135 Tabel 3.3. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara pada Era Soeharto (Orde Baru) di Banten_151 Tabel 3.4. Sumber Daya Kekuasaan Tubagus Chasan Sochib pada Era Orde Baru_173 Tabel 3.5. Biaya Proyek Berdasarkan Kategori Aktivitas dan Sumber Pendanaan_196 Tabel 3.6. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara pada Era Reformasi di Banten_206 Tabel 3.7. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara_213 Tabel 4.1. Motif Material dan Nonmaterial Pembentukan Provinsi Banten_229 Tabel 4.2. Material Power Index (MPI) Ratu Atut Chosiyah_267 Tabel 4.3. Material Power Index (MPI) Anggota Keluarga Besar Tubagus Chasan Sochib_277 Grafik 4.1. Tren Pertumbuhan Ekonomi Banten 2000-2016_234 Grafik 4.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Banten (Triliun Rupiah) atas Dasar Harga Kontan 2010 dan Harga Berlaku Tahun 2012-2016_236 Grafik 4.3. Rasio Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Banten_239

xxi

Grafik 4.4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas Dasar Harga Berlaku Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten (Triliun Rupiah) Tahun 2012-2016_240 Grafik 4.5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tanpa Komponen Industri atas Dasar Harga Berlaku Menu- rut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten (Triliun Rupiah) Tahun 2012-2016_243 Grafik 4.6. Pengeluaran per Kapita yang Disesuaikan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten (Juta Rupiah/ Tahun), 2013-2016_244 Grafik 4.7. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita (Juta Rupiah) di Provinsi Banten Tahun 2016_245 Grafik 4.8. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten (ribu orang), 2013-2016 _246 Grafik 4.9. Perkembangan IDI Provinsi Banten, 2009-2016_251 Bagan 2.1. Teori Oligarki_49 Bagan 4.1 Silsilah Ahli Waris Tubagus Chasan Sochib _261 Bagan 4.2 Jaringan Perusahaan Keluarga Besar Tb. Chasan Sochib_336 Bagan 4.3. Peran Tb. Chaeri Wardana sebagai Oligark di Balik Layar_349 Bagan 4.4. Alur Politico-Business Oligarchy dan Politik Perta- hanan Harta Keluarga Tb. Chasan Sochib_356 Gambar 4.1 Peta Wilayah Provinsi Banten_220

xxii

DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM

ABK Amanat Bintang Keadilan ADB Asian Development Bank Alipp Aliansi Independen Peduli Publik AMPB Aliansi Martabat Perempuan Banten APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Bakor PPB Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten Banten FSPP Banten Communication Forum for BKPM Badan Koordinasi Penanaman Modal BPK Badan Pemeriksa Keuangan BPPKB Badan Pembina Potensi Keluarga Besar Banten BPS Badan Pusat Satitik BUMN Badan Usaha Milik Negara BURT Badan Urusan Rumah Tangga CAPAS Center for Asia-Pacific Area Studies CSEAS Center for Southeast Asian Studies Dapil Daerah Pemilihan DASK Dokumen Anggaran Satuan Kerja DI/TII /Tentara Islam Indonesia DPD Dewan Pimpinan Daerah DPP Dewan Pengurus Pusat DPR Dewan Perwakilan Rakyat DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah FISIP Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FKKTM Forum Komunikasi Kiai dan Tokoh Masyarakat FSPPS Forum Komunikasi Pesantren Salafi Gapensi Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia xxiii

Golkar Golongan Karya HAM Hak-hak Asasi Manusia HMI Himpunan Mahasiswa Islam IAIN Institut Agama Islam Negeri Ical Aburizal Bakrie ICW Indonesia Corruption Watch IDI Indeks Demokrasi Indonesia INC Indonesia News Center Kadin Kamar Dagang dan Industri KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia KH Kiai Haji KKN Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KNI Komite Nasional Indonesia KNPI Komite Nasional Pemuda Indonesia KPK Komisi Pemberantasan Korupsi KPPB Komite Pembentukan Provinsi Banten KPU Komisi Pemilihan Umum KTP Kartu Tanda Penduduk Lakpesdam NU Lembaga dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul LBB Lembaga Banten Bersatu LHKPN Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara LNPRT Lembaga Non-Profit LSI Lembaga Survei Indonesia LSM Lembaga Swadaya Masyarakat M3B Majelis Musyawarah Masyarakat Banten MK Mahkamah Konstitusi MPI Material Power Index MUI Majelis Ulama Indonesia NU PAN Partai Amanat Nasional PAP Panitia Akuntabilitas Publik Parkindo Partai Kristen Indonesia Parmusi Partai Muslimin Indonesia

xxiv

Partai IPKI Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia Partai Islam Perti Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah Partai Murba Partai Musyawarah Rakyat Banyak PBB Partai Bulan Bintang PCC Presidium for a Clean Community PDB Produk Domestik Bruto PDI Partai Demokrasi Indonesia PDI-P Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan PDRB Produk Domestik Regional Bruto Perda Peraturan Daerah Peta Pembela Tanah Air PHK Pemutusan Hubungan Kerja PK Partai Keadilan PKS Partai Keadilan Sejahtera PKB Partai Kebangkitan Bangsa PKI Partai Komunis Indonesia PKK Panitia Pengisian Keanggotaan PKRI Partai Katolik Republik Indonesia Plt. Pelaksana Tugas PLTU Pembangkit Listrik Tenaga Uap PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri PMII Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia PMTB Pembentukan Modal Tetap Bruto PNI Partai Nasional Indonesia PNU Partai Nahdlatul Ulama Pokja PPB Kelompok Kerja Pembentukan Provinsi Banten PPP Partai Persatuan Pembangunan PPPSBBI Persatuan Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten Indonesia PSII Partai Syarikat Islam Indonesia RBB Relawan Banten Bersatu SBY Sekda Sekretaris Daerah SPD Sozialdemokratische Partei Deutschlands

xxv

Tb. Tubagus TKR Tentara Keamanan Rakyat TNI Tentara Nasional Indonesia UMKM Usaha Mikro Kecil dan Menengah Untirta Universitas Tirtayasa

xxvi

Ahmad Munjin 1

Bab I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kasus Banten memperlihatkan dengan jelas bahwa demo- krasi di Indonesia sudah dibajak oleh para oligark. Seperti di nega- ra-negara lain, kenyataan demokrasi di Indonesia kontemporer masih “jauh panggang dari api” untuk ideal. Padahal, sudah ba- nyak orang yang berjuang mati-matian untuk mencapainya. Setiap orang dewasa memang mendapatkan satu suara yang menjadi hak politik formalnya1 melalui prinsip one person one vote. Banyak juga calon dan partai berkompetisi untuk memenangkan pemilihan dalam interval pemilu. Akan tetapi, para oligarklah yang menjadi pemenangnya. Dengan kekuatan kekayaan mereka, para oligark justru memainkan peranan utama. Hasilnya adalah kesetaraan radikal dari kekuatan politik formal di satu sisi, beriringan dengan pengaruh politik yang timpang secara ekstrem melalui kekayaan di sisi yang lain. Jadi, demokrasi dan oligarki merupakan hubungan yang kontradiktif tapi menyatu. Buku ini menguji hubungan yang mengejutkan tersebut pada level provinsi melalui contoh kasus Banten. Karena Banten hanya merupakan contoh kasus, yang ingin dipotret sebenarnya tidak terbatas pada satu wilayah ini saja. Cara yang sama juga digunakan untuk melihat seluruh daerah di Tanah Air dan dalam konteks politik nasional.Teori dan fakta-fakta yang dihadirkan dalam buku ini bukan hanya membantu dalam memahami bagai- mana sistem demokrasi dan oligarki menyatu di Indonesia tapi juga membuka diskusi tentang reformasi semacam apa yang memungkinkan (atau tidak memungkinkan) menjadi efektif dalam menggeser keseimbangan demi kepentingan warga biasa bukan

1Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge Univer- sity Press, 2011), 13.

2 Oligarki dan Demokrasi... orang kaya. Sebab, semua negara demokrasi modern merupakan demokrasi yang terstratifikasi. Artinya, negara-negara tersebut mengombinasikan secara sekaligus kesetaraan partisipasi yang luar biasa dengan ketidaksetaraan material yang luar biasa pula.2 Oligarki semacam itu menjadi kecenderungan pemerinta- han di beberapa daerah pascareformasi 1998. Kondisi itu juga ter- jadi seiring bergulirnya otonomi daerah di Indonesia sejak 1999. Padahal, Indonesia sejatinya menjadi negara demokratis yang sangat menjanjikan setelah terbebas dari sistem kekuasaan yang otoriter. Sebab, kejatuhan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998 merupakan optimisme bagi masyarakat di Tanah Air setelah pesi- misme bersemayam selama satu dasawarsa terakhir kekuasaan rezim tersebut. Kejatuhan penguasa Orde Baru itu dinilai sebagai peluang bagi terjadinya dinamisasi kehidupan politik Indonesia yang muncul secara sangat dramatis.3 Optimisme tersebut cukup beralasan jika semata melihat transisi dari rezim otoriter ke sistem demokratis. Akan tetapi, jika melihat transisi oligarki yang terjadi dalam peralihan kepemim- pinan tersebut, dinamika politik Indonesia belum menggembira- kan. Oligarki yang relatif jinak di bawah dominasi oligarki sulta- nistik justru mengalami transisi ke oligarki liar di bawah pemerin- tahan demokratis yang tak punya kemampuan untuk mengendali- kan para oligark.4 Oleh karena itu, transisi oligarki menjadi sangat penting dan relevan dalam diskursus akademik karena menyang- kuat masalah kualitas demokrasi. Secara legal-formal, suksesi kepemimpinan di pusat ataupun di daerah tertentu bisa terjadi secara demokratis tetapi yang berkuasa adalah oligarki liar.

2All modern democracies are "stratified democracies"—mea- ningthat they combine tremendous equality with tremendous inequality. Jeffrey A. Winters, pesan e-mail kepada peneliti, 21 Juli 2018. 3Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan: Agenda-agenda Besar Demokratisasi Pasca-Orde Baru(Bandung: Penerbit Mizan, 2000), endorsement di cover belakang. 4Winters, Oligarchy,37. Ahmad Munjin 3

Jeffrey A. Winters mendefinisikan oligarki sebagai terkon- sentrasinya kekuasaan atas materi yang didasarkan pada penega- kan klaim-klaim atau hak-hak atas kepemilikan dan kekayaan.5 Sedangkan Robison dan Hadiz mengidentifikasi rezim Orde Baru sebagai oligarki kompleks (complex oligarchy). Oligarki ini dide- finisikan sebagai sebuah sistem pemerintahan di mana hampir semua kekuasaan politik dipegang oleh segelintir orang kaya yang membuat kebijakan masyarakat umum. Kebijakan tersebut hanya menguntungkan mereka sendiri secara finansial dan kurang atau sama sekali tidak memperhatikan kepentingan sebagian besar warga negaranya.6 Secara singkat, menurut Winters, oligarki muncul karena terkonsentrasinya kekayaan (stratifikasi materi).Stratifikasi mate- ri sebenarnya bukanlah hal baru. Ketimpangan tersebut merupakan sesuatu yang sangat kuno sejak bentuk masyarakat berubah men- jadi kompleks.Stratifikasi materi sudah terjadi sejak ribuan tahun lalu. Kira-kira5.000 tahun yang lalu sudah muncul stratifikasi kekayaan yang cukup besar.Anehnya, menurut Winters, sejak kemunculannya, stratifikasi materi tidak pernah terhapus atau menghilang. Sratifikasi kekayaan adalah sifat masyarakat manusia yang paling bertahan dalam sejarah baik dalam sistem pemerinta- han monarki, otoritarian, maupun dalam sistem demokrasi. Stra-

5“Oligarchy is defined by concentrated material power based on enforced claims or rights to property and wealth.” Lihat Winters, Oligarchy, 11. 6Aslinya: “A system of government in which virtually all poli- tical power is held by a very small number of wealthy... people who shape public policy primarily to benefit themseles financially... while displaying little or no concern for the broader interest of the rest of the citizenry.” Lihat Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge Curzon, 2004), 16-17, note 6.

4 Oligarki dan Demokrasi... tifikasi juga bertahan dalam sistem ekonomi negara agraris, industri, digital, ataupun jasa.7 Lebih jauh Winters menegaskan, sejak demokrasi muncul, kira-kira 250 atau 300 tahun yang lalu, stratifikasi kekayaan justru meningkat. Dalam sistem politik yang ekslusif di mana banyak orang tidak boleh berpartisipasi, terjadinya stratifikasi kekayaan tidaklah mengherankan. Akan tetapi, jika semua orang bisa ber- partisipasi dalam sistem politik yang demokratis, salah satu hal yang diharapkan adalah mengecilnya gap (ketimpangan) atau stratifikasi antara orang yang paling kaya dengan orang biasa atau miskin.Kenyataannya, gap tersebut meningkat sejak demokrasi lahir. Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa demokrasi tidak bisa menjadi alat untuk membuat sistem ekonomi menjadi lebih adil.Tujuannya, bukanlah fairness (keadilan) yang sempurna di mana setiap orang punya kekayaan sama dengan setiap orang lainnya. Sebab, tujuan semacam itu merupakan dreamland yang tidak akan pernah tercapai.8 Menurut Winters, harapan terha- dap demokrasi sebenarnya lebih realistis. Dia mencontohkan, gap di antara grup yang paling kaya dan orang biasa, mungkin hanya 100 kali lipat atau bahkan 1.000 kali lipat. Kalau bisa, angka tersebut, dinilai dia, sudah luar biasa. Sebab, gap tersebut terhi- tung kecil.9 Sejarah kuno mencatat stratifikasi materi dari 500 senator terkaya di Roma pada jaman Imperial Rome dibandingkan dengan kekayaan orang biasa atau awam yang kebetulan menjadi petani kecil atau budak. Kekayaan orang terkaya saat itu mencapai 10.000 kali. Kemudian, maju ke jaman sekarang di abad 20. Di Amerika Serikat, stratifikasi materi pada 500 orang terkaya diban- dingkan orang biasa, mencapai 20.000 kali. Data ini jelas menun- jukkan stratifikasi material di AS dua kali lipat lebih tinggi dari

7Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and the Jokowi Administra- tion,” Kuliah Umum Jurusan Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta, Senin, 8 Juni 2015. 8Winters, “Oligarchy and Jokowi.” 9Winters, “Oligarchy and Jokowi.” Ahmad Munjin 5

Roma. Padahal, pada masa kuno Roma justru masih menganut sistem perbudakan (slavery society). “Di Indonesia, 50 orang ter- kaya dibandingkan orang biasa berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, mencapai 630.000 kali gap-nya. Itu meru- pakan data awal, fact of beta.”10 Yang menarik, lanjut Winters, dengan terjadinya konsen- trasi kekayaan, stratifikasi material juga memiliki efek konsentrasi kekuasaan.Sebab, kekayaan merupakan salah satu sumber daya kekuasaan (material power resources) sehingga istilah money is powermenjadi benar adanya. Tidak hanya itu, kekayaan juga merupakan bentuk kekuasaan yang sangat fleksibel karena bisa digunakan dalam situasi dan kondisi yang berbeda-beda. “Itu adalah fenomena dunia dan sejarah. Jadi, stratifikasi seperti itu tidaklah baru tapi sulit sekali diatasi.”11 Dengan demikian, konsolidasi demokrasi di Indonesiapun menghadapi tantangan besar yaitu kenyataan bahwa negara masih jauh dari demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi baru berjalan secara prosedural dan masih jauh dari tujuan subtansial. Demo- krasi dalam alam pikiran Indonesia saat ini baru sekadar alat- teknis dan belum mencerminkan alam kejiwaan, kepribadian dan cita-cita nasional.12 Sebatas alat teknis, karena demokrasi dijalan- kan oleh kedangkalan, tanpa memberikan ruang bagi kedalaman etika dan penalaran.13 “Perekrutan kepemimpinan politik lebih menekankan sumber daya alokatif (logistik) ketimbang sumber daya otoritatif (kemampuan). Demokrasi tidak menjadi ajang penguatan ”meritokrasi” (pemerintahan oleh orang-orang yang

10Winters, “Oligarchy and Jokowi.” 11Winters, “Oligarchy and Jokowi.” 12Yudi Latif, “Keluar dari Krisis Demokrasi” Orasi Poltik dalam acara Syukuran dan Peluncuran Buku Satu Dasawarsa Perhimpunan Bakumsu (Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara) dengan Tema ‘Kratos Minus Demos, Demokrasi Indonesia: Catatan dari Bawah,’ , 4 Mei 2012. 13Yudi Latif, “Demokrasi tanpa Kedalaman,” Kompas, 16 April 2013.

6 Oligarki dan Demokrasi... mampu); sebaliknya, menjadi katalis bagi ”mediokrasi” (pemerin- tahan oleh orang-orang medioker).”14 Indeks Demokrasi Global 2011, yang dikeluarkan oleh Economist Inteligence Unit, melaporkan peringkat (rangking) demokrasi Indonesia berada di urutan 60 dari 167 negara yang diteliti. Peringkat ini jauh di bawah Timor Leste (42), Nugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57). Pada 2012, rangking tersebut membaik ke 53. Indonesia masuk dalam kate- gori flawed democracy (cacat demokrasi) yang ditandai, antara lain, oleh pemilu yang tidak bersih, pemerintahan yang korup dan ingkar janji-janji pemilu, serta keterancaman pluralisme. Menurut Latif, cacat demokrasi ini mengarahkan Indonesia mendekati ambang negara gagal.15 Berdasarkan Failed State Index, yang dikeluarkan oleh The Fund for Peace dan Foreign Policy Magazine, selama periode 2005-2010, Indonesia selalu berada dalam ketegori negara ‘dalam peringatan’ (warning).Posisi ini lebih dekat jaraknya dengan posisi ‘waspada’ negara gagal dibandingkan dengan posisi ‘bertahan.’ Indonesia bahkan belum masuk di zona negara moderat. Yang lebih merisaukan, keberhasilan Indonesia untuk menurunkan peringkat kegagalannya selama periode 2007-2009—dari urutan ke 55 (2007), menjadi 60 (2008) dan 62 (2009)—mengalami kenaikan lagi pada tahun pertama periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 2010, peringkat negara gagal Indonesia memburuk satu tingkat menjadi urutan ke 61 dari 62 (2009). Namun demikian, pada 2013, indeks kegagalan Indonesia membaik, menempati rangking 76 sejajar dengan Azer- baijan. Sayangnya, perbaikan rangking ini tidak megeluarkan Indonesia dari kategori ‘peringatan’ dan masih jauh untuk menca- pai posisi stabil, 109 yang ditempati oleh Kazakhstan.16

14Latif, “Demokrasi tanpa Kedalaman” 15Latif, “Keluar dari Krisis Demokrasi” 16“The Failed States Index 2013,” data diakses tanggal 7 Juli 2013 dari http://ffp.states index.org/rankings-2013-sortable. Ahmad Munjin 7

Semua itu disinyalir akibat demokrasi yang baru berjalan pada level kulit luar dan belum sampai pada hakikatnya yakni terwujudnya keadilan dan kemakmuran. Yudi Latif menggambar- kan situasi demokrasi Indonesia yang lebih mengkhawatirkan. Menurut dia, perkembangan demokrasi dalam krisis otoritas kepe- mimpinan dapat mengarah pada kehidupan yang lebih buruk. Yudi mengutip Humphrey Hawksley dalam Democracy Kills yang memperlihatkan potret yang mengerikan. “Penduduk di bawah sistem demokrasi yang salah urus lebih berisiko tetap miskin atau terbunuh ketimbang di bawah sistem kediktatoran. Sebagai contoh, pendapatan rata-rata di negara oto- ritarian China adalah dua kali lipat dari negara demokrasi India. Harapan hidup dari warga negara demokratis Haiti hanya menca- pai 57 tahun dibandingkan dengan mereka yang hidup di bawah kediktatoran Kuba yang mencapai 77 tahun.”17 Di Indonesia, seiring dengan otonomi daerah, demokrasi prosedural pada beberapa pemerintahan provinsi dan kabupaten justru menghasilkan akumulasi kekuasaan oleh orang-orang ter- kaya dari kelompok atau keluarga tertentu. Akibatnya, meminjam teori ‘democracy trap’, demokrasi mengalami pembajakan oleh para penguasa oligarki lokal yang justru sah secara legal formal. Sebab, akumulasi kekuasaan tersebut didapat melalui pemilu lang- sung yang didasarkan pada prinsip one person one vote. Jika berkaca pada beberapa negara, memang terjadi juga oligarki yang ‘bertopeng’ demokrasi. Bahkan, di Amerika Serikat pun yang menjadi kampiun demokrasi ditengarai punya kecende- rungan pada oligarki.18 Penguasa yang terpilih berasal dari seke- lompok orang terkaya yang pada akhirnya, memperkaya diri sendiri dan membajak cita-cita demokrasi. Meski begitu, terdapat pula pengejawantahan oligarki yang berisi mayoritas penguasa feodal.

17Latif, “Keluar dari Krisis Demokrasi,” 3. 18Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, “Oligarchy in the United States?” Perspectives on Politics 7 (2009): 731-751.

8 Oligarki dan Demokrasi...

Salah satu contoh suksesi kepemimpinan oligarki yang dihasilkan melalui prosedur demokrasi adalah Kamboja. Di per- mukaan (superfisial), pemimpin terpilih menggambarkan tentang fungsi demokrasi parlementer secara penuh. Parlemen dan perdana menteri dipilih melalui prosedur demokrasi untuk periode lima tahun. Faktanya, gambaran tersebut sama sekali keliru. Di balik semua itu, penguasa Kamboja, tidak lain kecuali oligarki—sebuah pemerintahan yang dijalankan oleh sekelompok kecil kleptokratik atau plutokratik19 di mana Perdana Menteri Hun Sen menjadi kepalanya.20 Faktor oligarkilah yang dituding sebagai penyebab rakyat Kamboja tetap miskin dan terbelakang untuk beberapa generasi. Realitas yang menyedihkan, segelintir individu mengua- sai Kamboja saat ini dengan salah urus. Kamboja memiliki tanda- tanda yang nyata tentang tampilnya seorang individu yang zalim (despotic) dengan elite-elite kleptokratik dan plutokratik. Mereka diizinkan untuk menjarah sumber daya alam Kamboja dan meram- pas tanah-tanah orang desa sesuka hati. Dengan satu tanda tangan dari penguasa oligarki, segala keinginan tercapai.21 India mengalami nasib serupa. India merupakan negara ketiga terbesar di dunia yang pertumbuhan oligarkinya tercepat. Rasionya mencapai 17,2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang menumpuk pada 55 miliarder India. Sistem pemerin- tahan India mengambarkan tentang buruknya gambaran demokrasi dan oligarki. Para politikus yang terpilih secara demokratis disuap oleh orang-orang terkaya India. Dua kelompok tersebut (politikus dan orang-orang terkaya) kemudian memperkaya diri mereka sendiri dengan mengorbankan mayoritas penduduk biasa. Para

19Kamus Besar Bahasa Indonesiaoffline mendefinisikan plutok- rasi sebagai sistem politik yang dikuasai oleh kaum kaya atau kaum pemilik modal (kapitalis). 20“Hun Sen: The Oligarkic Ruler of Cambodia?” artikel diakses tanggal 28 September 2013, dari http://khmerization.blogspot.com/2008/ 06/hun-sen-oligarkic-ruler-of-cambodia.html. 21“Hun Sen: The Oligarkic Ruler” Ahmad Munjin 9 oligark India yang terbesar berasal dari kalangan industrialis seperti Ambanis, Adanis, Birlas, Mittals, Premjis dan Tatas.22 Seperti India, Pakistan juga merupakan oligarki. Hanya saja, elite-elite feodal mendominasi oligarki Pakistan dibanding- kan kalangan industri. Para oligark itu mendominasi badan legis- lasi Pakistan. Mayoritas dari mereka berasal dari pemilik tanah di berbagai pelosok dan berlatar belakang suku. Nama-nama terke- nal, antara lain the Bhuttos and Khuhros of Larkana, the Chau- dhrys of Gujarat, Tiwanas of Sargodha, Daulatanas of Vehari, the Jatois and Qazi Fazlullah family of Sindh, the Gilanis, Qureshis and Gardezis of Multan, the Nawabs of Qasur, the Mamdots of Ferozpur/Lahore, Ghaffar Khan-Wali Khan family of Charsadda dan dari berbagai kepala suku Baloch seperti Bugtis, Jamalis, Legharis, dan Mengals. Kekuasaan keluarga politik tersebut dida- sarkan pada keturunan, luasnya kepemilikan tanah, dan monopoli kekerasan—kemampuan untuk mengontrol, melawan, dan membe- bankan kekerasan.23 Di lain sisi, Pakistan juga memang memiliki elite-elite industri. Yang terbesar antara lain, Manshas (Nishat Group), Syed Maratib Ali dan Babar Ali (Packages) Saigols, Hashwanis, Adam- jees, Dawoods, Dadabhoys, Habibs, Monnoos, Lakhanis dan yang lainnya. Hanya saja, kekuasan kolektif mereka redup jika diban- dingkan dengan kekuasaan dari kelompok keluarga feodal. Satu- satunya pegecualian adalah elite industri Sharif Brothers yang memiliki industri Ittefaq Group dan juga memimpin Liga Muslim Pakistan (Pakistan Muslim League (Nawaz Group). Liga Muslim Pakistan merupakan salah satu partai politik terbesar di Pakistan. Meski begitu, Sharif Brathers juga terlalu mengandalkan duku- ngan dari beberapa keluarga feodal yang secara cepat bisa mengu- bah loyalitasnya.24

22Riaz Haq, “Comparing Oligarchies of India and Pakistan,” artikel diakses tanggal 28 September 2013, dari http://www.riazhaq.com/ 2011/08/comparing-oligarkies-of-india-and.html. 23Haq, “Comparing Oligarkies,” 24Haq, “Comparing Oligarkies,”

10 Oligarki dan Demokrasi...

Pada beberapa negara, menurut Winters dan Page, para oligark memang menyandarkan kekuasaan mereka pada identitas ras atau kesukuan, keterpandangan (noble birth) atau agama. Akan tetapi, kekuasaan oligarkis selalu mencakup isu-isu yang meme- ngaruhi kepentingan material yang inti dari orang-orang kaya dalam menjaga klaim terhadap apa yang mereka miliki dan me- mungkinkan pencaplokan yang lebih banyak.25 Di Indonesia, banyak kekuasaan oligarkis yang disandarkan pada identitas keturunan. Paling tidak, terdapat 26 kekuasaan politis daerah yang kental dengan nuansa oligarki ini.26 Dua di antaranya terdapat di

25Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 733. 26Oligarki-oligarki dinasti di daerah lain di antaranya: 1. Sjachroedin ZP, Gubernur . Dia juga merupakan: (a) Ayah dari Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza; dan (b) Ayah dari Wakil Bupati Pringsewu Handiytya Narapati; 2. Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Selatan. Dia juga merupa- kan kakak kandung Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo; 3. Andi Idris Syukur, Bupati Barru, Sulawesi Selatan. Dia juga merupa- kan anak mantan Bupati Barru; 4. Adelheid So, Wakil Bupati Tana Toraja, Sulawesi Selatan, merupa- kan istri dari mantan Bupati Tana Toraja Juhanis Amping Situru; 5. M Natsir Ibrahim, Wakil Bupati Takalar, merupakan anak mantan Bupati Takalar Ibrahim Rewa; 6. Sinyo Harry Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara, merupakan ayah dari Wakil Bupati Minahasa Ivan SJ Sarundajang; 7. Harley Alfredo Benfica Mangindaan, Wakil Wali Kota , Sula- wesi Utara. Dia merupakan anak dari Menteri Perhubungan yang juga Gubernur Sulawesi Utara periode 1995-2000 E.E. Mangindaan; 8. Bachrum Harapan, Bupati Lawas Utara, Utara. Dia merupakan orang tua kandung dari Wali Kota Padang Sidempuan Andar Amin Harahap; 9. Zumi Zola Zulkifli, Bupati Tanjung Jabung Timur, . Dia meru- pakan anak mantan Gubernur Jambi periode 1999-2004 Zulkifli Nurdin; 10. Zulkifli Nurdin, Gubernur Jambi. Dia merupakan mertua Wakil Bupati Muaro Jambi Kemas Muhammad; Ahmad Munjin 11 provinsi Banten. Pertama, Atut Chosiyah, Gubernur Banten. Dia juga merupakan: (a) Kakak kandung Wakil Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah; (b) Kakak tiri Wali Kota Serang Tubagus Haerul Jaman; (c) Kakak ipar wali kota Selatan Airin Rachmi Diany; (d) Anak tiri Wakil Bupati Pandeglang Heryani; dan (e)

11. Neneng Hasanah Yasin, Bupati Bekasi. Dia merupakan menantu mantan Bupati Bekasi Saleh Manaf; 12. Anna Sophanah, Bupati Indramayu. Dia merupakan istri mantan Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin alias Yance; 13. Ati Suhari, Wali Kota Cimahi. Dia merupakan istri mantan Wali Kota Cimahi Itoc Tochija; 14. Dadang Naser, Bupati Bandung, merupakan menantu bupati periode sebelumnya, Obar Sobarna; 15. Widya Kandi Susanti, Bupati Kendal, Jawa Tengah. Dia merupakan mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro; 16. Sri Hartini, Wakil Bupati Klaten, Jawa Tengah. Dia merupakan istri mantan Bupati Klaten (alm) Haryanto; 17. Sri Suryawidati, Bupati Bantul, DI . Dia merupakan istri mantan Bupati Bantul Idham Samawi; 18. Puput Tantriana, Bupati Probolinggo, Jawa Timur. Dia merupakan istri mantan Bupati Probolinggo Hasan Aminudin; 19. Haryanti Sutrisno, Bupati Kediri, Jawa Timur. Dia merupakan man- tan Bupati Kediri Sutrisno; 20. Mohammad Makmun Ibnu Fuad, Bupati Bangkalan, Jawa Timur. Dia merupakan anak mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin; 21. Ferry Zulkarnain, Bupati Bima, NTB, merupakan kakak dari Wakil Bupati Bima Syafrudin M Nur; 22. Supian Hadi, Bupati Kota Warringin Timur, Tengah. Dia merupakan menantu Bupati Seruyan, Darwan Ali; 23. Rita Widyasari, Bupati Kutai Kertanegara. Dia merupakan anak mantan Bupati Kutai Kertanegara Syaukani Hasan Rais; dan 24. Tuasikal Abua, Bupati Tengah. Dia juga merupakan kakak mantan Bupati Maluku Tengah Abdullah Tuasika. A.Syalaby Ichsan, “SelainAtut, Puluhan Daerah Jalankan Politik Dinasti,” Republika, 18 Oktober 2013, diakses 19 Oktober 2013, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/10/19/muvdp8- selain-atut-puluhan-daerah-jalankan-politik-dinasti.

12 Oligarki dan Demokrasi... ibu kandung dari Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy. Kedua, Ahmed Zaki Iskandar, Bupati Tangerang. Dia juga meru- pakan anak mantan Bupati Tangerang Ismet Iskandar.27 Oleh karena itu, tampak jelas bahwa Banten merupakan salah satu provinsi yang mengalami pengakumulasian kekuasan oleh orang-orang terkaya dari salah satu keluarga yang memben- tuk oligarki dinasti.28 Oligarki tersebut terbentuk setelah Banten menjadi provinsi yang tergolong muda dengan menempati urutan ke-30 dari jumlah provinsi yang ada di Indonesia.29 Menurut Robison dan Hadiz, oligarki terdiri atas tiga kelompok: pertama, pejabat negara; kedua, keluarga-keluarga yang mengandung unsur- unsur bisnis dan politik (politico-business families); dan ketiga, para konglomerat bisnis.30 Dalam konteks Banten, oligarki masuk dalam kelompok yang kedua. Keluarga jawara menguasai unsur- unsur bisnis dan politik di Provinsi Banten sehingga mendapatkan kekuasaan eksekutif mulai tingkat provinsi hingga kabupatan dan kota. Unsur-unsur bisnis tersebut menjadi modal kapital bagi keluarga jawara untuk memenangkan kontestasi politik dalam

27Ichsan, “SelainAtut, Puluhan Daerah Jalankan Politik Dinasti” 28Dinasti adalah kata benda (noun) yang didefinisikan sebagai serangkaian penguasa atau pemimpin yang semuanya berasal dari keluar- ga yang sama atau suatu periode di mana negara dipimpin oleh mereka. Lihat “Dynasty,” dalam Cambridge Advanced Learner’s Dictionary (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 383, “a series of rulers or leaders who are all from the same family, or a period when a country is ruled by them”. 29Provinsi Banten lahir dari pemekaran wilayah provinsi Jawa Barat tepat pada Rabu, 4 Oktober 2000 dengan payung hukum Undang- undang Nomor 23 Tahun 2000. Provinsi Banten diresmikan pada 18 November 2000. Libat Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy Bicara, (Jakarta: PT Bumi Aksara dan Untirta, 2010), 41. 30R. William Liddle, “Marx atau Machiavelli? Menuju Demo- krasi Bermutu di Indonesia dan Amerika,” Orasi Ilmiah dalam rangka Memorial Lecture V, Kamis, 8 Desember 2011, di aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta. Ahmad Munjin 13 pemilu yang menjadi salah satu elemen utama dalam demokrasi prosedural. Pada saat yang sama, pemiludalam demokrasi elektoral memang berbiaya mahal. Akibatnya, hanya orang-orang yang kuat secara ekonomi yang lebih berpeluang memenangkan kontestasi dalam pemilu. Proposisi ini menguatkan diktum Barringrton Moore yang menyatakan, “tanpa kelas borjuis, tak ada demo- krasi.”31 Salah satu bukti mahalnya biaya pemilu bisa ditunjukkan oleh besarnya biaya kampanye (campaign expenditure). Praktik politik uang (money politics) atau vote buying pun punya celah untuk masuk menjadi salah satu variable dalam belanja kampanye. Politik uang diyakini cukup ampuh untuk menarik dukungan dari pemilih pragmatis.32 Politik uang didefinisikan sebagai tindakan secara sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilih dengan cara tertentu.33 Dalam beberapa studi, banyak faktor dipercaya meme- ngaruhi sikap dan perilaku massa terhadap politik uang. Salah satunya adalah temuan bahwa faktor pendidikan diyakini bisa mengurangi kecenderungan transaksi politik uang atau mengura- ngi jumlah pemilih yang bisa disuap.34 Banyak studi juga yang

31Edward Aspinal, “The Power of Property: Oligarchy and Democracy in World History,” Taiwan Journal of Democracy 8 (2012): 169-173. 32Indikator Politik Indonesia, “Sikap dan Perilaku Pemilih terhadap Politik Uang,” Survei Dapil September-Oktober 2013 dan Survei Nasional Maret 2013. 33Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pasal 139 ayat 2. 34Pedro C. Vicente, “A Model of Vote-buying with an Incum- bency Advantage,” Makalah dan Hasil-hasil Eksperimen Januari 2013. Artikel diakses 3 Juni 2014 dari http://www.pedrovicente.org/vb.pdf.

14 Oligarki dan Demokrasi... menunjukkan warga miskin rentan terhadap praktik politik uang.35 Dari sisi ini, tampak bahwa uang dan kekuasan punya hubungan timbal balik dan menguntungkan orang-orang terkaya akibat sum- ber daya kekuasaan material yang dimilikinya. Uang diperlukan untuk mendapatkan kekuasan dan kekuasaan diperlukan untuk mendapatkan dan melindungi kekayaan. Dari perspektif Islam, secara normatif, Alquran mengecam sifat akumulatif atas kekayaan dari para oligark seperti tercermin pada Surat al-Taka>thur, al-Humazah, dan T>{a>ha>. Surat al-Taka>thur menggambarkan tentang kecenderungan manusia yang suka me- ngakumulasi harta hingga melupakan hari akhir. Al-Humazah menjelaskan persangkaan orang kafir bahwa harta bisa membu- atnya kekal. Sementara itu, surat T>{a>ha mengambarkan persekong- kolan antara Fir‘aun (penguasa), Korun (pengusaha) dan Tentara sehingga dalam kategori ilmu politik modern bisa disebut oligarki. Enam abad lalu, sosiolog muslim Ibn Khaldu>n (732-808 H/1332-1406 M), dalam konteks sistem pemerintahan yang masih primitif, sudah mengangkat masalah solidaritas berbasis kesukuan dan ikatan darah dengan apa yang disebutnya as}abi>yah. Ibn Khaldu>n membagi istilah as}abiyah menjadi dua model. Pertama, as}abi>yah dalam pengertian positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan (brotherhood). Konsep ini membentuk solidaritas sosial masyarakat untuk bekerjasama, mengesampingkan kepenti- ngan pribadi (self-interest), dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya keselara- san sosial dan menjadi kekuatan dalam menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban. Kedua, as}abi>yah dalam pengertian negatif yang menimbulkan kesetiaan dan fanatisme buta dan tidak dida- sarkan pada aspek kebenaran. Konteks pengertian yang kedua inilah yang tidak dikehendaki karena akan mengaburkan nilai-nilai kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip agama.36

35Indikator Politik Indonesia, “Sikap dan Perilaku Pemilih” 36‘Abd al-Rah{ma>n ibn Khaldu>n, Muqaddimah ibn Khaldu>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>>yyah, 1993), 122. Ahmad Munjin 15

Sementara itu, Ibn Taymi>yah menyebutkan, sebagian besar kezaliman yang dilakukan penguasa dan rakyat adalah me- ngambil barang yang tidak halal, menahan barang yang wajib dikeluarkan, dan menimbun harta yang tidak boleh disimpan.37 Dalam konteks penguasa, penimbunan harta merupakan salah salah satu faktor pendukung oligarki di mana harta dan kekuasan saling memperkuat. Harta bisa mempertahankan kekuasaan dan kekuasan bisa mengakumulasi kekayaan. Dalam konteks Banten, uniknya, oligarki yang terbentuk mendapatkan legitimasi modern (rasional-legal) sekaligus legiti- masi tradisional tak seperti pemerintahan oligarkis di provinsi lain pada umumnya. Legitimasi tradisional adalah penerimaan masya- rakat atas kewenangan, keputusan atau kebijaksanaan yang diam- bil pemimpin dalam lingkup tradisional. Kewenangan tradisional didasarkan pada kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama dan kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihormati.38 Di satu sisi, penguasa men- dapat legitimasi modern sejak pemilu gubernur Banten pertama kali digulirkan pada tahun 2001. Artinya, secara prosedural guber- nur mendapatkan legitimasi modern karena melewati proses pemilihan umum yang demokratis. Di sisi yang lain, gubernur juga mendapatkan legitimasi kekuasaan berbasis tradisi. Sebab, Guber- nur Banten Ratu Atut Chosyiah39 merupakan keturunan Jawara

37Ibn Taymi>yah, Al-Siya>sahal-Shar‘iyyah fi> Is}la>hi al-Ra>‘i> wa al- Ra‘i>yyah, (Tanpa Tempat Terbit: Da>r al-Ka>tib al-‘Arabi>, Tanpa Tahun Terbit), 47-48. 38Budiardjo, Aneka Pemikiran, 15. 39Pada mulanya, Ratu Atut Chosyiah adalah wakil gubernur yang berpasangan dengan Gubernur Banten Djoko Munandar untuk periode 2001-2006. Namun, di tengah jalan, gubernur pertama Banten ini dicopot gara-gara tersangkut kasus korupsi. Sebagai wakil gubernur, Atut pun ditunjuk sebagai pelaksana tugas (Plt) gubernur Banten tahun 2005. Baru pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Banten tahun 2006, Atut terpilih menjadi gubernur Banten dengan wakilnya Mohammad Masduki. Lihat M. Rizal, “Klan Atut dari Jawara Beralih ke Uang,”

16 Oligarki dan Demokrasi...

Banten dari ayahnya, Tubagus Chasan Sochib yang menjadi sim- bol legitimasi tradisional di Banten. Akibatnya, legitimasi dan kewenangan gubernur terpilih pun tidak semata-mata rasional- legal tapi juga tradisional dan kharismatik sebagaimana tiga pembagian yang dikemukakan sosiolog Max Weber (1864-1922).40 “Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasa- an yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihorma- ti. Wewenang kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota ma- syarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Wewenang rasional-legal berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin.”41 Atas dasar kewenangan tradisional dan kharismatik itu, dua entitas informal leader di Banten yang direpresentasikan oleh Jawara dan dan kental dengan unsur keislamannya berperan penting dalam proses percaturan politik dan pengaruh di Banten. Bahkan, menurut Fahmi Irfani, persaingan di tingkat informal turut menjalar ke tingkat formal. “...tidak heran jika ada calon yang ingin maju dalam persaingan pemilihan kepala daerah dan calon legislatif dalam putaran pemilu, jika tidak mau tertinggal, mau tidak mau harus merangkul kedua entitas tersebut.”42 Dengan kewenangan tradisional yang disandangnya seba- gai jawara, setelah memajukan anaknya, Ratu Atut sebagai seba- gai calon gubernur dan sukses memenangkannya, Chasan Sochib merancang anggota keluarga besarnya untuk aktif terlibat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Hasilnya, keluarga artikel diakses tanggal 3 Juli 2013, dari http://news.detik.com/read/ 2011/09/12/145200/1723198/159/klan-atut-dari-jawara-beralih-ke-uang. 40Miriam Budiardjo, dkk., Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), 14-15. 41Budiardjo, dkk., Aneka Pemikiran, 15. 42Fahmi Irfani, Jawara Banten: Sebuah Kajian Sosial, Politik, dan Budaya (Jakarta: Young Progressive Muslim (YPM) Press, 2011), 142. Ahmad Munjin 17 besar Chasan Sochib sukses mengakumulasi kekuasan dalam asosiasi bisnis, partai politik, jabatan eksekutif, jabatan legislatif, organisasi bela diri, organisasi pemuda, organisasi olah raga, dan organisasi sosial budaya.43 Chasan Sochib sendiri memang tidak memegang jabatan politik, tetapi sebagaimana pengakuan dirinya bahwa dia adalah ‘gubernur jenderal’ yang menunjukkan bahwa dia adalah penguasa sesungguhnya di Banten.44 Dalam perspektif demokrasi, seiring mengguritanya ke- kuasaan Hasan Sochib yang direpresentasikan oleh Gubernur Banten, kontrol atas kekuasaan menjadi semakin lemah. Betapa tidak, anggota legislatif yang sejatinya menjalankan fungsi check and ballance tidak bisa berkutik karena mengalami conflict of interest. Sebab, beberapa anggota legislatif tersebut merupakan bagian dari keluarga besar Hasan Sochib. Akibatnya, sangat tepat di sini, penulis mengutip Lord Acton, bahwa kekuasaan cenderung untuk menjadi korup dan kekuasaan mutlak menjadi korup secara mutlak pula.45 Tak mengherankan, pada Kamis, 27 Oktober 2011, pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menilai Pilkada Banten sebagai yang terburuk se-Indonesia. Menurut dia, pesta demokrasi untuk memilih gubernur dan wakil gubernur itu diwarnai kecura- ngan dan praktek politik uang secara terstruktur. Burhanuddin

43Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan Sochib: Gubernur Jenderal dari Banten,” Konstelasi, Edisi ke-31 April 2011. Artikel diakses 6 Juli 2013, dari http://www.p2d.org/index.php/ kon/52-31-april-2011/273-dinasti-h-tb-chasan-sochib--gubernur-jenderal- dari-banten.html. 44Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan Sochib” 45Soelaeman Soemardi, “Cara-cara Pendekatan terhadap Kekua- saan Sebagai Suatu Gejala Sosial,” dalam Miriam Budiarjo, Aneka Pemi- kiran tentang Kuasa dan Wibawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), 31. Lihat juga, Lord Acton, Essay on Freedom and Power, 1907. Aslinya:“Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolu- tely,”

18 Oligarki dan Demokrasi... mengatakan, Pilkada Banten sebagai potret paling buruk penye- lenggaraan pilkada se-Indonesia, sarat money politics, baik terang- terangan maupun sembunyi-sembunyi.46 Dari pembahasan di atas, ada beberapa masalah yang teridentifikasi. Pertama, transisi demokrasi selalu diselubungi dengan transisi oligarki yang justru mengurangi kualitas demo- krasi. Transisi inilah yang sering kali luput dari perhatian para peneliti, karena terlalu fokus pada transisi demokrasi. Padahal, jika fokus pada aktor-aktor dalam transisi demokrasi, akan sangat jelas besarnya peranan para oligark dalam transisi atau suksesi kepemimpinan baik di daerah maupun di pusat. Kedua, secara historis, kemunculan demokrasi tidak ber- hasil mempersempit stratifikasi material yang mendefinisikan dan membentuk oligarki. Setelah demokrasi muncul, stratifikasi mate- rial tetap ada. Padahal, demokrasi telah berhasil memberikan kekuasaan politik formal yang tersebar secara merata melalui hak pilih dengan prinsip one person, one vote. Dalam sejarah manusia, demokrasi merupakan sistem yang sangat rata (equal) secara radikal dan jarang terjadi pada sistem lain. Sebab, demokrasi dida- sarkan pada konsep bahwa setiap orang mendapat jumlah suara yang sama yakni satu suara;47 Ketiga, mahalnya biaya demokrasi yang direpresentasikan dalam belanja kampanye pemilu (campaign expenditures) mem- beri ruang yang lebih besar pada oligark untuk berkuasa. Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengeluarkan aturan yang membatasi baik pemasukan dan pengeluaran dana kampanye,48 itu

46Ayu Cipta, “Pilkada Banten Dinilai Terburuk se-Indonesia,” artikel diakses pada 6 Juli 2013 dari http://www.tempo.co/read/news/ 2011/10/27/179363638/ Pilkada-Banten-Dinilai Terburuk-Se-Indonesia. 47Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and the Jokowi Administra- tion,” Kuliah Umum Jurusan Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta, Senin, 8 Juni 2015. 48Komisi Pemilihan Umum (KPU), “Peraturan Komisi Pemili- han Umum Nomor 8 Tahun 2015 tentang Dana Kampanye Peserta Pemi- Ahmad Munjin 19 hanya efektif untuk tim kampanye yang secara resmi dilaporkan ke KPU. Padahal, dikeluarkannya aturan ini agar tercipta pemilu yang adil sesuai azas demokrasi. Dana pemasukan dan pengelua- ran yang dikelola secara ‘diam-diam’ dan tidak dilaporkan ke KPU oleh para relawan tetap tidak dapat dikontrol sehingga para oli- garki masih tetap leluasa menggunakan sumber daya materialnya dalam pemilu. Bahkan, kalaupun ada kasus money politic pada level relawan, kandidat pasangan calon tidak bisa dituntut secara hukum karena dalih relawan tidak terkait dengan pasangan calon. Yang menjadi tanggung jawab pasangan calon adalah tim kam- panye, bukan relawan. Keempat, melalui kekuasaan material yang dimiliki, para oligark juga memanfaatkan sumber daya kekuasaan lain seperti otoritas tradisional untuk memperkuat posisi politiknya. Dalam konteks ini, para oligark juga bisa mengendalikan atau paling tidak mengajak elite-elite lain yang sumber daya kekuasaannya non-material seperti orang-orang yang memiliki sumber daya politik mobilisasi di sektor media atau tokoh organisasi kemasya- rakatan. Kelima, dalam sistem demokrasi elektoral, dengan me- manfaatkan lembaga survei dan modal capital yang dimilikinya, para oligark bisa mencalonkan kepala daerah yang disukai rakyat sehingga hasil akhir tetap menjadi kemenangan para oligark. Calon terpilih pun, akan kesulitan menghilangkan conflict of in- terest dari para oligark yang notabene jadi kendaraan bagi calon terpilih. Jadi, kalaupun pemimpin terpilih bukanlah seorang oli- gark, para oligark tetap berkuasa besar di belakangnya dengan satu set kepentingan mereka yaitu pertahanan kekayaan. Satu pertanyaan yang telah menarik perhatian cukup besar peneliti adalah elemen tertentu apakah yang membantu tebentuk- nya oligarki di Banten. Elemen terbentuknya oligarki, di satu sisi adalah kewenangan tradisional direpresentasikan oleh Kyai dan

lihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Waklil Walikota.”

20 Oligarki dan Demokrasi...

Jawara di Banten dan legtimasi tradisonal yang diberikan oleh masyarakat Banten kepada jawara dan kiai. Tapi di sisi lain, sum- ber daya kekuasaan materialjuga sangat menentukan terpilihnya kepala daerah yang punya kewenangan tradisional dan sekaligus mendapatkan legitimasi legal-rasional. Di atas semua itu, perpaduan antara sumber daya material (modal kapital) dan nonmaterial (modal sosial) mendukung ter- bentuknya akumulasi kekuasaan oligarkis di Banten. Sumber daya kekuasaan non-material yang direpresentasikan oleh masih kuat- nya otoritas dan legitimasi tradisional yang dimiliki oleh keluarga tertentu juga turut memperkuat sumber daya material dalam me- raih kekuasaan oligarkis.Gejala-gejala sosial dan politik tersebut menarik untuk diteliti sehingga menjadi fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu, berdasar- kan masalah di atas, penulis mengangkat judul tesis:Oligarki dan Demokrasi: Kajian Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara di Banten.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah Dari pembahasan di atas, kemunculan oligarki melalui proses atau prosedur demokrasi yang sah sehingga membajak kualitas dan subtansi demokrasi itu, teridentifikasi beberapa masa- lah sebagai berikut: 1. Sistem demokrasi tidak bisa meminimalisasi terkonsentra- sinya kekayaan sehingga stratifikasi material tetap me- langgengkan oligark dan oligarki; 2. Transisi demokrasi selalu diselubungi dengan transisi oligarki yang justru mengurangi kualitas demokrasi; 3. Biaya demokrasi yang mahal yang direpresentasikan da- lam belanja kampanye pemilu (campaign expenditures) memberi ruang yang lebih besar pada oligark untuk berkuasa; Ahmad Munjin 21

4. Melalui kekuasaan material yang dimiliki, para oligark juga memanfaatkan sumber daya kekuasaan lain seperti otoritas tradisional; dan 5. Dalam sistem demokrasi elektoral, dengan memanfaatkan lembaga survei dan modal capital yang dimilikinya, para oligark bisa mencalonkan kepala daerah yang disukai rak- yat sehingga hasil akhir tetap menjadi kemenangan para oligark.

2. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis meru- muskan penelitian ini dengan dua pertanyaan berikut ini: 1. Bagaimana profil sumber daya kekuasaan kiai dan jawara di provinsi Banten? 2. Bagaimana peran kekuasaan material keluarga jawara dalam menciptakan sistem pemerintahan oligarkis di pro- vinsi Banten?

3. Pembatasan Masalah Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini diba- tasi pada empat hal, yakni definisi, ruang dan waktu, subjek pene- litian, serta teori yang digunakan.Tujuannya, untuk menghindari peninjauan yang terlalu luas dan memudahkan penjelasan terhadap masalah yang diteliti. Pertama, dari sisi definisi, oligarki adalah kekuasaan yang dijalankan oleh para warga negara terkaya yang selalu tumbuh menjadi golongan kecil; Demokrasi adalah sebuah metode untuk mencapai keputusan bersama tanpa kekerasan dengan mengaman- kan partisipasi menyeluruh dari pihak-pihak berkepentingan; Sum- ber daya kekuasaan adalah segala sesuatu yang bisa digunakan atau dimanfaatkan untuk memengaruhi hasil; Kiai adalah pemim- pin agama (Islam) yang sakral dan memiliki otoritas serta legiti- masi kharismatis yang luas; dan Jawara adalah pemimpin informal darigama bersifat profane yang dilengkapi dengan kecakapan ilmu bela diri dan sumber daya kekuasaan material yang ekspansif.

22 Oligarki dan Demokrasi...

Kedua, dari sisi ruang dan waktu, penelitian ini mengambil tempat di Provinsi Banten yang mencakup empat kabupaten dan kota. Adapun dari sisi waktu, penelitian ini dimulai pada awal 2014 dan berakhir pada pertengahan 2018. Jika ada perbedaan dinamika dengan hasil penelitian ini setelah pertengahan 2018, perkemba- ngan tersebut tidak tercakup dalam penelitian ini. Ketiga, subjek penelitian ini adalah beberapa kiai di Pro- vinsi Banten dan para anggota keluarga jawara Tb. Chasan Sochib (1930-2011) mulai dari anak, cucu, hingga menantu yang mendu- duki jabatan publik baik eksekutif maupun legislatif. Oleh karena itu, tidak semua oligark di Provinsi Banten menjadi subjek dalam penelitian ini. Keempat, secara teori penelitian ini dibatasi pada lima sumber daya kekuasaan baik materialataupun non-material yang direpresentasikan oleh otoritas dan legitimasi tradisionalkiai dan jawara di Banten. Kelima sumber daya kekuasaan tersebut adalah hak politik formal, kekuasaan koersif, kekuasaan mobili- sasi, jabatan resmi, dan kekuasaan material. Dari kelima sumber daya tersebut, hanya kekuasaan material yang menjadi basis kekuasaan dalam sistem oligarkis. Empat lainnya merupakan sum- ber daya kekuasaan elite yang menjadi basis kekuasaan dalam demokrasi.

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian tentang dinamika kekuasaan di Banten sudah dilakukan oleh beberapa sarjana. M.A.Tihami yang mendukung teori aksi (theory of action) Talcott Parsons, menyimpulkan, sis- tem sosial (perilaku kepemimpinan) ternyata ditentukan oleh sistem budaya; namun juga sistem sosial memengaruhi sistem budaya. Hubungan antara sistem budaya dan sistem sosial ini dise- but hubungan sibernetik.49 Menurut Tihami, kelestarian kepemim- pinan kiai dan jawaradi Banten disebabkan oleh perilaku keduanya dalam kepemimpinan. Masing-masing merupakan elemen dalam

49M.A. Tihami, “Kiai dan Jawara di Banten: Studi tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di Desa Pasangrahan Serang, Banten,” Tesis Magister, UniversitasIndonesia, 1992), i. Ahmad Munjin 23 sistem sosial yang mempunyai hubungan sibernetik dengan agama dan magi dalam sistem budaya. Itulah alasan mengapa, sebutan kyai dan jawara sebagai pemimpin bagi orang Banten masih sangat lekat. Kedua pemimpin tersebut telah berpengaruh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan dalam cerita rakyat dikatakan, kedua pemimpin tersebut ada sejak zaman kesultanan Banten yang pertama (kira-kira pada abad ke-16). Keberadaannya yang sudah lama dan tetap sampai sekarang, menunjukkan betapa lestarinya kedua pemimpin tersebut.50 Okamoto Masaaki and Abdul Hamid membuat proposisi, bahwa, mungkin jawara selalu eksis sebagai kekuatan sosial tapi tidak sebagai aktor politik tanpa dukungan kuat dari pemerintah pusat.51 Fahmi Irfani menyimpulkan pada masa Orde Baru jawara menjadi rekanan pemerintah pusat dan lokal dengan pola hubu- ngan yang saling menguntungkan baik secara politik maupun ekonomi. Kelompok jawara mendapatkan proyek-proyek pemerin- tah. Pada masa reformasi, kelompok jawara menguasai sektor politik di Banten.52 Kemudian, Leo Agustino menarik benang merah, dinasti politik di Banten merupakan hasil dari sosialisasi rezim sebelum- nya yaitu Soeharto yang menunjuk beberapa kerabat dan kolega- nya menjadi ‘kaki tangan’ baik di pusat maupun di daerah untuk menjaga ketenteraman politik dan menageksploitasi ekonomi. Khusus di daerah Banten, kaki tangan (patron-client) tersebut adalah jawara yang dianggap kuat (local strongmen). Jawara men- daulat anggota keluarganya untuk terlibat aktif menjaga ‘harta’ Soeharto di daera Orang lokal kuat tersebut membangun dinasti politik mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, hingga kota.

50Tihami, “Kiai dan Jawara,” iii. 51Okamoto Masaaki and Abdul Hamid, “Jawara in Power, 1999- 2007,” Indonesia 86 (2008): 138. 52Fahmi Irfani, Jawara Banten: Sebuah Kajian Sosial, Politik, dan Budaya. (Jakarta: Young Progressive Muslim (YPM) Press, 2011), 177.

24 Oligarki dan Demokrasi...

Tujuannya, agar semua perkara dapat terkoordinasi di bawah kendalinya. Inilah yang terjadi di Banten.53 Dalam konteks dinasti politik, Leo menjelaskan, jawara memiliki status ganda, yakni sekaligus sebagai pengusaha. Seba- gai pengusaha, mereka memaksimalkan sumber daya keuangan yang dimiliki. Sementara itu, dalam kapasitasnya sebagai jawara, mereka menggunakan sumber daya ‘keilmuan’ yang mereka kua- sai.54 Sementara itu, menurut Lili Romli, jawara Banten sekarang ini tidak identik dengan jawara55 tulen seperti zaman dahulu yang memiliki kemampuan bela diri pencak silat dan ilmu kedigdaya- an.56 Najmu L. Sopian menganalisis hubungan antara oligarki- oligarki lokal dan kemunculan dinasti-dinasti politik di Indonesia dan Philipina. Di antara kesimpulan Najmu adalah dominasi Jawara di Banten dan Sulawesi Selatan sejak era otonomi daerah mengonfirmasi tesis dari Hadiz bahwa proses demokratisasi di Indonesia sudah dibajak oleh ‘the predatory patronage’ dari elite- elite lokal.57 Dari sisi pendekatan, buku ini memang mirip dengan apa yang sudah dilakukan Najmu, karena sama-sama memotret dina- mika kekuasaan dengan menggunakan teori oligarki. Akan tetapi, meski mengakui konsentrasi kekuasaan sebagai faktor terbentuk-

53Agustino, “Dinasti Politik Pascaotonomi Orde Baru,” 110. 54Agustino, “Dinasti Politik Pascaotonomi Orde Baru” 55Fahmi Irfani secara gamblang memberikan berbagai definisi jawara yang dikemukakan para akademisi. Lihat Irfani, Jawara Banten, 10-17. 56Lili Romli, “Jawara Banten: Konteks Historis, Kedudukan dan Peranannya,” dalam Leo Agustino, Politik dan Perubahan: Antara Refor- masi Politik di Indonesia dan Politik Baru di Malaysia(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), 133. 57Najmu L. Sopian, “Political Dynasties and the Emergence of Local Oligarchs in Post-Suharto Indonesia and the Philippines,” paper diajukan untuk memenuhi persyaratan kuliah tentang Politics of Sout- heast Asia pada the Department of Political Science, Northwestern Uni- versity, 2014. Ahmad Munjin 25 nya oligarki, Najmu tidak fokus pada sumber daya kekuasaan material (material power resources) yang direpresentasikan oleh Indeks Kekuasaan Material (Material Power Index). Inilah yang membedakan buku ini dengan penelitian Najmu. Dari sisi objek, buku ini memang sama dengan penelitian M.A.Tihami, Leo Agustino, dan Okamoto Masaakibeserta Abdul Hamid, karena sama-sama mengkaji kekuasaan jawara. Akan tetapi, mereka lebih menggunakan sudut pandang elite sedangkan penelitian ini menggunakan teori oligarki di mana sumber daya kekuasaannya adalah material. Sebab, setiap oligark adalah elite, tapi tidak setiap elite adalah oligark. Tihami, misalnya, menemu- kan hubungan sibernetik antara jawara (elite) dalam sistem budaya dengan kepemimpinan dalam sistem sosial di Banten yang melestarikan kekuasaan Jawara dalam konteks antropologis. Pene- liti, dalam buku ini, justru fokus pada kekuasaan Jawara dari aspek sumber daya kekuasaan materialnya dalam sistem demokrasi elektoral yang jelas tidak menjadi perhatian utama dalam peneliti- an Tihami.

D. Tujuan dan ManfaatPenelitian

1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini: Pertama, untuk melakukan kajian kritis terhadap aspek-aspek yang mendukung terbentuknya sistem pemerintahan oligarkis di Banten; Kedua, untuk menunjukan berbagai informasi dan data mengenai tipologi sumber daya ke- kuasaan dan legitimasi politik yang mendukung terbentuknya sistem oligarkis yang akan dikonfirmasi baik dari sisi kelas pengu- asa maupun data-data sekunder lain; Ketiga, untuk mengelaborasi sumber daya kekuasaan material (material power resources) yang mengekploitasi legitimasi tradisional dan sumber daya kekuasaan lain non-material dalam mendapatkan dan mempertahankan ke- kuasaan tersebut; dan Keempat, untuk menunjukkan masyarakat Banten memberikan legitimasi mereka pada penguasa oligarkis sekaligus konsekuensi politiknya.

26 Oligarki dan Demokrasi...

2. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memiliki kontribusi yang signifikan bagi disiplin ilmu lain yang relevan, seperti antropologi, sosiologi, dan ekonomi. Dari sisi kegunaan, hasil studi ini akan memberikan pelajaran berharaga bagi transisi demokratisasi Indonesia pada umumnya dan Banten pada khususnya. Secara spesifik kajian ini mendukung proses transisi dari pemerintahan tradisional dengan sumber daya kekuasaan materialke pemerintahan yang modern. Studi ini juga menunjukan cara pendistribusian politik dan ekono- mi yang sejatinya terjadi secara setara. Selain itu, hakikat demo- krasi menegaskan bahwa otonomi daerah bukan untuk memberi- kan kekuasaan politik pada suatu keluarga terkaya melainkan kepada semua warga negara. Walhasil, fakta bahwa kegagalan untuk merealisasikan yang esensi bertentangan dengan demokrasi itu sendiri. Di sinilah, pentingnya penelitian yang fokus pada oto- ritas dan legitimasi lokal tradisional dan kekuasaan materialbagi Indonesia.

E. Metodologi Penelitian Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang digu- nakan untuk mendekati permasalahan dan mencari jawaban. Artinya, metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk meng- kaji penelitian.58

1. Jenis Penelitian Jenis penelitan ini adalah kualitatif yaitu menggambarkan ranah-ranah kehidupan ‘dari dalam ke luar’ dari sudut pandang orang-orang yang terlibat. Dengan cara itu, jenis penelitian ini diharapkan berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik atas realitas sosial dan menggambarkan perhatian pada proses-proses,

58Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 145. Ahmad Munjin 27 pola-pola makna, dan corak struktural.59 Metode penelitian kuali- tatif dibedakan dengan metode penelitian kuantitatif dalam arti metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasar- kan logika matematis, prinsip angka, atau metode statistik.60 Namun demikian, meski penelitian kualitatif dalam ba- nyak bentuknya sering menggunakan jumlah penghitungan, pene- litian tidak menggunakan nilai jumlah seperti yang digunakan dalam pengumpulan dan analisis data dalam eksperimen dan survei.61 Contohnya seperti yang dilakukan kaum interaksionisme simbolik yang ada kalanya menggunakan metode kuantitatif sederhana, dilengkapi data statistik bersifat deskriptif (noninferen- sial), terutama ketika mereka ingin menemukan suatu pola menye- luruh dalam data mereka.62 Begitu juga dalam konteks penelitian ini. Untuk deskripsi dan menemukan pola menyeluruh dalam data tentang oligarki, studi ini juga banyak mengambil manfaat dari data Produk Domestik Bruto (PDB) dan Gini Coefficient dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari Komisi Pembe- rantasan Korupsi (KPK).

2. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data Terdapat dua jenis data dalam penelitian ini, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang mengandung pemahaman-pemahaman tentang kompleksitas, rin- cian, dan konteks dari subjek penelitian. Data jenis ini seringkali berisi berbagai teks seperti salinan (transkrip) wawancara dan

59Uwe Flick, Ernst von Kardorff, dan Ines Steinke, eds., A Com- panion to Qualitative Research (London: Sage Publications, 2004), 3. 60Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 150. 61Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 150. 62Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 146.

28 Oligarki dan Demokrasi... catatan lapangan atau materi-materi audiovisual.63 Sementara itu, data kuantitatif adalah data yang bisa digambarkan secara nume- rik (sistem angka) tentang pengertian dari objek-objek, variabel- variabel, dan nilai-nilainya.64

b. Sumber Data Terdapat dua jenis sumber data dalam penelitian ini yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data pri- mer adalah adalah data asli yang dikumpulkan untuk tujuan pene- litian yang spesifik.65 Oleh karena itu, data primer belum ada sebelum penelitian ini dilakukan. Sedangkan sumber data sekun- der adalah bahan analisis yang didapat dengan cara kembali meng- gunakan data yang sudah ada sebelumnya untuk mendapatkan pemahaman ilmiah dan metodologis baru.66 Dengan kata lain, data sekunder adalah data yang pada awalnya sudah dikumpulkan untuk tujuan yang berbeda dan digunakan kembali untuk menja- wab pertanyaan penelitian yang lain.67 Oleh karena itu, data-data tersebut sudah ada sebelum penelitian ini dilakukan. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah wawan- cara dengan beberapa kiai di Banten, juru bicara keluarga besar Ratu Atut Chosiyah dan Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. Sedangkan sumber sekunder ada- lah data-data ekonomi Provinsi Banten tahun 2000-2017, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dirilis oleh

63Joop J. Hox dan Hennie R. Boeije, “Data Collection, Primary vs. Secondary,” dalam Encyclopedia of Social Measurement, Volume I, ed. Kimberly Kemp-Leonard (Tanpa Tempat Terbit: Elsevier Inc., 2005), 593. 64Hox dan Boeije, “Data Collection,” 593. 65Hox dan Boeije, “Data Collection,” 593. 66Sarah Irwin dan Mandy Winterston, “Debates in Qualitative Secondary Analysis: Critical Reflections,” Timescapes Working Paper Series: an Economic and Social Research Council (ESRC) Qualitative Longitudinal Study, no. 4 (2011): 2. 67Hox dan Boeije, “Data Collection,” 593. Ahmad Munjin 29

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan literatur lainnya, seperti buku, jurnal, majalah, koran, dan media berbasis daring.

3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang menjadi sumber utama buku ini adalah kombinasi studi literatur yang luas dan penelitian lapangan. Antara lain, wawancara mendalam (semi-kualitatif) dengan para tokoh yang menjadi subjek atau orang terkait peneli- tian ini dan tokoh-tokoh dari lembaga-lembaga lain yang relevan. Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibat- kan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.”68 Wawancara mendalam disebut juga wawancara tak terstruktur yang bersifat luwes di mana susunan pertanyaan- nya dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara. Perubahan tersebut disesuaikan dengan ke- butuhan dan kondisi saat wawancara termasuk karakteristik sosial budaya--agama, suku, gender, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan dan sebagainya—responden yang dihadapi.69

4. Pendekatan Metodologi dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teo- retis yang digunakan untuk melakukan penelitian. Perspektif teoretis adalah suatu kerangka penjelasan atau interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami data dan menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain.70 Dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan teori oligarkidari Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge University Press, 2011). Winters merevisi teori oligarki yang campur aduk dengan teori elite yang memasukkan unsur-unsur oligarki selain material. Untuk memudahkan cara berpikir, peneliti mengikuti alur teori oligarki Winters tersebut dan menurunkannya ke dalam konsep-

68Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 180. 69Mulyana,Metodologi Penelitian Kualitatif, 181. 70Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 145.

30 Oligarki dan Demokrasi... konsep baik dalam Alquran dan Hadis maupun konsep yang pene- liti temukan dalam kasus penelitian ini yaitu oligarki di Provinsi Banten. Peneliti menggunakan teori tersebut untuk membaca semua data yang peneliti berhasil himpun.

5. Teknik Penulisan Penelitian ini menggunakan kaidah penulisan akademik Turabian Style yang menjadi rujukan penulisan akademik di Amerika Utara dan Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia, Trans- literasi, dan Pembuatan Notes dalam Karya Ilmiah yang diter- bitkan oleh Sekokah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

F. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam menjawab permasalahan penelitian buku ini, peneliti menggambarkan secara sistematis urutan logika pembahasan menjadi beberapa bagian berikut ini: Bab I yang merupakan pendahuluan dari buku ini berisi tentang latar belakang masalah. Bagian ini memuat tentang kondi- si demokrasi di Indonesia yang seharusnya (das sollen) dan kenya- taan demokrasi (das sein) yang diganduli oleh suksesi kepemim- pinan oligarkis sehingga menggerus kualitas demokrasi. Kondisi itu menjadi fenomonal global, nasional, dan lokal. Dalam konteks ini, peneliti fokus pada kasus lokal, yakni provinsi Banten. Latar belakang masalah tersebut dirumuskan ke dalam permasalahan yang meliputi identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan perumusan masalah. Studi terdahulu yang relevan juga memberi- kan konteks pada penelitian ini. Pada bab ini, peneliti juga menetapkan tujuan penelitin, manfaat atau signifikasi penelitian, dan metodologi penelitian. Metodologi penelitian mencakup jenis penelitian, jenis dan sumber data, dan pendekatan atau teori. Pendekatan dan teori berguna untuk membaca data-data yang berhasil peneliti himpun. Pada bagian akhir bab pertama ini, peneliti mendeskripsikan siste- Ahmad Munjin 31 matika penulisan yang merupakan alasan atau alur logis pembaban pada penulisan buku ini. Bab II berisi kerangka teori yang mencakup teori oligarki dan perdebatan akademik sesuai dengan tema penelitian ini, yaitu oligarki, demokrasi, dan Islam. Dalam konteks teori, pertama- tama, perdebatan muncul mulai dari definisi oligarki antara ke- lompok pendukung definisi material dan nonmaterial. Perdebatan juga mencuat pada teori pembentukan oligarki mulai dari penak- lukan hingga akumulasi kekayaan. Yang tak kalah menarik adalah terjadinya penyimpangan teori oligarki ke teori elite pada abad 20. Peneliti pun menampilkan distingsi antara kedua teori tersebut pada bab ini. Lalu, peneliti memaparkan jenis-jenis oligarki mulai dari oligarki panglima hingga oligarki sipil. Secara dialektis, peneliti mempertentangkan oligarki dengan demokrasi di mana terjadi ‘pertarugan sengit’ antara kekuasaan material pada oligarki versus partisipasi pada demokrasi. Sebelum itu, peneliti mendes- kripsikan perbedaan, persamaan, dan sintesis oligarki dengan demokrasi. Namun demikian, teori oligarki pun sebenarnya tak lepas dari kritik. Pada bagian ini, peneliti menghadirkan penantang teori oligarki yang di antaranya adalah teori aksi di mana individu seba- gai fokus bukan pertentangan kelas seperti dalam tesis oligarki. Setelah itu, peneliti menganalisis perdebatan perihal kompatibi- litas versus inkompatibilitas oligarki dengan demokrasi. Pada bagian akhir bab ini, peneliti melihat oligarki dalam perspektif Islam. Dalam konteks ini, peneliti memaparkan oligarki dalam perspektif Islam baik secara normatif ataupun empiris. Yang dimksud secara normatif adalah oligarki sebagaimana sudah diteo- rikan pada bagian awal bab II ini, dibaca ulang dalam perspektif Alquran dan Hadis serta para ulama klasik. Kemudian, peneliti juga menghadirkan pandangan para ulama klasik terhadap oligarki sebagai fakta empiris. Bab III mengelaborasi dinamika sumber daya kekuasaan kiai dan jawara di banten. Pasca-Reformasi 1998, jawara tidak lagi berperan sebagai dan pelayan bagi kiai. Dengan sumber

32 Oligarki dan Demokrasi... daya kekuasaan material yang mendefinisikannya sebagai oligark dan oligarki, jawara menjadi lebih dominan dibandingkan kekua- saan elite yang melekat pada para kiai. Tubagus Chasan Sochib (1930-2011), seorang tokoh jawara di Banten sukses mentransfor- masikan dirinya dari material elite menjadi oligark sultanistik. Terdapat beberapa faktor yang telah mengantarkan jawara pada perubahan sosialnya yang signifikan itu. Pertama, alasan antropo- logis yang mengharuskan jawara menjadi kaya dan ekspansi bisnisnya yang tidak terbatasi oleh teritori desanya; Kedua, hubungan jawara dengan rezim Orde Baru terjadi secara saling menguntungkan baik secara politik maupun ekonomi; dan Ketiga, intervensi rezim Orde Baru pada kiai justru menggerus kekuatan sumber daya kekuasaan elite yang disandang oleh para kiai. Pada bab III ini, peneliti membandingkan sumber daya kekuasaan antara kiai dan jawara. Perubahan sosial dalam dinami- ka kekuasaan keduanya sama-sama dipengaruhi oleh faktor ekster- nal (eksogen) yakni rezim penguasa mulai dari era kolonial hingga era reformasi. Peneliti memotretnya dengan lima teori sumber daya kekuasaan, yaitu: hak politik formal, kekuasaan mobilisasi, kekuasaan koersif, jabatan resmi, dan kekuasaan material. Sumber daya kekuasaan yang terakhir inilah yang mendefinisikan sese- orang menjadi oligark dan menciptakan sistem oligarki sekaligus membedakannya dengan kekuasaan elite dalam demokrasi. Pada bab IV, peneliti menganalisis jawara dan sumber daya kekuasaan materialnya di banten.Banyak anggota keluarga besar Tubagus Chasan Sochib berada di tampuk kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif. Pada bab IV ini, peneliti mengelabo- rasi bagaimana sumber daya material yang menjadi basis kekuasa- an oligarkis beroperasi pada keluarga besar jawara tersebut. Tidak seperti bab III yang membandingkan kekuasaan elite kiai dengan kekuasaan oligarkis jawara, pada bab ini peneliti lebih fokus pada kekuasaan material dari para warga negara terkaya di Banten itu. Mereka tumbuh menjadi golongan kecil di dalam masyarakat sebagaimana diwakili oleh para anggota keluarga jawara. Untuk itu, peneliti menguji empat hal, yakni: pertama, prasyarat terben- Ahmad Munjin 33 tuknya oligark dan oligarki di Banten dan secara spesifik pada keluarga jawara Tubagus Chasan Sochib, yakni ketidaksetaraan materi yang ekstrem (stratifikasi material); kedua, oligark dan oligarki; ketiga, pertahanan kekayaan yang mencakup harta dan pendapatan; dan keempat merupakan implikasi dari kekuasaaan oligarkis, yakni ketidaksetaraan materi dan politik yang ekstrem. Dengan demikian, perwujudan kekuasaan oligarkis pada keluarga jawara bisa tergambarkan dengan jelas. Bab V merupakan bagian akhir dari keseluruhan buku ini. Bab ini, pertama berisi kesimpulan yang mencakup kesimpulan besar dan kesimpulan kecil (kasus). Kesimpulan besar diandaikan menjadi teori yang bisa berlaku di seluruh dunia sehingga diharap- kan buku ini memiliki implikasi teoretis secara global dan layak dibaca dunia. Sementara itu, kesimpulan kasus, merupakan contoh kasus dari kesimpulan besar tersebut secara lebih spesifik yakni oligarki di Banten. Kedua, bab ini bersisi diskusi yang meliputi refleksi, implikasi, dan saran (rekomendasi). Refleksi merupakan renungan peneliti atas kesimpulan buku ini. Sementara itu, implikasi menca- kup dua hal: Pertama, implikasi teoretis yakni implikasi teori oligarki terhadap teori lain dan disiplin ilmu lain. Kedua, implikasi kasus yaitu nasib demokrasi di Banten jika suksesi kepemimpinan selalu dimenangkan oleh para oligark. Bagian akhir dari bab ini adalah saran atau rekomendasi: Pertama, saran untuk perkemba- ngan demokrasi di Banten; dan Kedua saran untuk penelitian selanjutnya tentang oligarki.[]

34 Oligarki dan Demokrasi...

Ahmad Munjin 35

Bab II OLIGARKI, DEMOKRASI DAN ISLAM

Dalam konteks politik kontemporer, sistem politik oligar- kis yang justru lahir dari rahim demokrasi telah memancing banyak perdebatan. Perbedaan pendapat muncul mulai dari defini- si, perbedaannya dengan teori elite hingga masalah kompatibilitas oligarki dengan demokrasi. Sebagian kalangan menolak definisi generik oligarki yakni ‘segelintir orang’ yang campur aduk dengan teori elite. Begitu juga soal apakah oligarki sejalan dengan demo- krasi atau tidak. Pada bab ini, peneliti akan menyajikan perdeba- tan tersebut dalam konteks pembahasan teori oligarki menurut para ahli. Kemudian, pada bagian akhir dari bab ini, peneliti akan mengomparasikan sistem politik oligarkis dengan sistem politik Islam baik secara normatif maupun empiris sehingga bisa menja- wab bagaimana oligarki dalam perspektif Islam.

A. Teori Oligarki dan Demokrasi Pada subbab ini, peneliti menjelaskan teori oligarki dan demokrasi. Pertama, penjelasan mengenai definisi demokrasi dan oligarki baik dalam pengertian elite (non-material) yang menjadi basis sumber daya kekuasaan demokratis ataupun dalam pengerti- an oligarkis (material). Kedua, pembentukan oligarki yang menca- kup penaklukan dan akumulasi kekayaan; Ketiga, perbedaan anta- ra elite dan oligarki; Keempat, penjelasan mengenai jenis-jenis oligarki mulai dari oligarki panglima hingga oligarki sipil; dan Kelima, hubungan antara oligarki dan demokrasi yang memper- tentangkan kekuasaan material versus kekuasaan partisipasi.

36 Oligarki dan Demokrasi...

1. Oligarki antara Definisi Material dan Nonmaterial Secara etimologi, oligarki berasal dari bahasa Yunani oligarkhia yang berarti pemerintahan sedikit orang.1 Kata tersebut tersusun dari oligoiyang berarti sedikit dan arkhein yang berarti memerintah.2 Kemudian, bahasa Arab menyerap kata oligarki 3 -Menurut istilah, oligarki ada .(األوليغارشية) menjadi al-u>li>gharshi>yyah lah kekuasan yang dijalankan oleh para warga negara terkaya yang selalu tumbuh menjadi golongan kecil.4 Adapun definisi demo- krasi secara generik adalah kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat yang secara bahasa berasal dari frase Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan).5 Sedangkan se- cara terminologis, demokrasi didefinisikan sebagai sebuah metode untuk mencapai keputusan bersama tanpa kekerasan dengan meli- batkan partisipasi menyeluruh dari pihak-pihak atau kelompok- kelompok berkepentingan.6

1Secara generik, definisi demokrasi adalah kekuasaan banyak orang (the rule of many); oligarki adalah kekuasaan sedikit orang (the rule of a few); dan tirani adalah kekuasaan satu orang (the rule of one man). Sara Ahbel-Rappe dan Rachana Kamtekar, eds., A Companion to Socrates (Malden, MA, Oxford, dan Victoria: Blackwell Publishing Ltd., 2006), 216. 2Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge Univer- sity Press, 2011), 1. 3‘Abd al-Waha>b al-Kaya>li>, Mawsu>‘ah al-Siya>sah (Beirut: al- Muassasah al-‘Arabi>yah li al-Dira>sa>t wa al-Nashr, 1985), 415. 4Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, “Oligarchy in the United States?” Perspective on Politics no. 4 (Desember 2009): 732. 5Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Res- pons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966- 1993 (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2004), 71. 6John Keane, “Noberto Bobbio 1909-n/a,”dalam The Routledge Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers, eds. oleh Robert Benewick dan Philip Green (London dan New York: Routledge, 1998), 27. Untuk sejarah demokrasi dan definisi terminologisnya yang lebih luas, lihat Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, 71-3. Ahmad Munjin 37

Dalam konteks definisi, para ilmuwan berbeda pendapat tentang unsur-unsur oligarki. Perbedaan tersebut membawa konse- kuensi teoretis masing-masing yang sangat fundamental. Di satu sisi, sebagian ilmuwan memasukkan unsur material sebagai dasar kekuasaan yang direpresentasikan oleh kekayaan dan hak milik. Di lain sisi, ilmuwan lainnya tidak memasukkan unsur material seba- gai dasar kekuasaan dan fokus pada definisi etimologis dari oligarki yakni kekuasaan segelintir orang. Hanya saja, yang sepakat definisi kekuasaan segelintir orang pun, dalam konteks asal kelompok tersebut, para ahli juga ternyata berbeda pendapat. Perbedaan tersebut tergantung pada tempat dan periode sejarahnya. Perbedaan tersebut juga akibat munculnya teori elite pada abad 20 yang memasukkan unsur oli- garki selain kekayaan.7 Konsekuensi teoretisnya, beberapa kekua- saan segelintir orang (oligarkis) bisa berasal dari kelompok ras atau etnik, keturunanatau agama.8 Ada juga yang mengaitkan oli- garki dengan organisasi,9 kelompok feodal, kelompok orang kaya, kelompok intelektual, kelompok ulama10dan kelompok militer.11 Di antara definisi-definisi terminologis dari para ilmuwan yang tidak memasukkan unsur material dalam oligarki terutama diwakili oleh teori elite. Robert Michels (1876-1936) mendefinisi- kan oligarki sebagai kekuasaan sedikit orang dari kelompok

7Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 8Winters dan Page, “Oligarchy in the United States?” 733. 9Joel D. Wolfe, “Robert Michels 1876-1936,” dalam The Rout- ledge Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers, eds. Robert Benewick dan Philip Green (London dan New York: Routledge, 1998), 175. 10Saeed Rahnema dan Haideh Moghissi, “Clerical Oligarchy and the Question of “Democracy” in Iran,” Monthly Review 52 no. 10 (Maret 2001): 28-40. 11Amany Lubis, Sistem Pemerintahan Oligarki dalam Sejarah Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cover belakang. Lihat juga Edward Shils, “Angkatan Bersenjata dalam Pembangunan Politik Nega- ra-negara Baru,” dalam Elite dalam Perspektif Sejarah, ed. Sartono Kartodirdjo (Jakarta: LP3ES, 1983), 207.

38 Oligarki dan Demokrasi... organisasi. Oleh karena itu, siapa yang bicara organisasi, secara otomatis bicara oligarki. Sebab, organisasi pada dirinya menum- buhkan oligarki.12 Carl Joachim Friedrich (1937) juga menafsirkan oligarki dalam pengertian bahasa Yunani yang literal sebagai kekuasaan segelintir orang yang bisa diterapkan baik pada sistem pemerintahan ataupun pada kelompok-kelompok di luar pemerin- tahan seperti partai-partai politik, kelompok gereja, dan korporasi bisnis.13Sementara itu, ‘Abd al-Waha>b al-Kaya>li> mendefinisikan oligarki sebagai pemerintahan dan negara di mana kewenangan de facto berada di tangan segelintir orang yang terbentuk di dalam masyarakat.14 Sementara itu, para pemikir yang memasukkan unsur material sebagai titik tekan dalam teori oligarki mereka, di anta- ranya, adalah: Sokrates (c. 469–399 B.C.E)15yang mendefinisikan oligarki sebagai pemerintahan orang-orang kaya yang di dalamnya harta benda sangat diagung-agungkan.16Begitu juga dengan Plato (427-347 B.C.)17 yang mendefinisikasn oligarki sebagai konstitusi yang didasarkan pada penilaian kekayaan di mana orang kaya berkuasa dan orang miskin tidak punya peran dalam pemerinta- han.18 Vedi R. Hadiz dan Richard Robison (2013) mendefinisikan oligarki sebagai hubungan-hubungan sistem kekuasaan yang memungkinkan terjadinya konsentrasi kekayaan dan kewenangan

12Wolfe, “Robert Michels,” 175. 13Carl Joachim Friedrich, “Oligarchy,” dalam Encylopaedia of the Social Sciences, volume XI-XII, ed. Edwin R.A. Seligman (New York: The Macmillan Company, 1937), 462. 14Kaya>li>, Mawsu>‘ah al-Siya>sah, 415. 15Ahbel-Rappe dan Kamtekar, eds., Companion to Socrates, 414. 16Leo Strauss dan Joseph Cropsey, eds., History of Political Phi- losophy (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1987), 61. 17Strauss dan Cropsey, eds., History of Political Philosophy , 33. 18John M. Cooper dan D. S. Hutchinson, eds. Plato: Complete Works (Indianapolis dan Cambridge: Hackett Publishing Company, 1997), 1162. Ahmad Munjin 39 sekaligus pertahanan kolektifnya.19 Sebelum itu, Richard Robison dan Vedi R Hadiz (2004) mengidentifikasi rezim Orde Baru seba- gai oligarki kompleks (complex oligarchy). Oligarki ini didefini- sikan sebagai sebuah sistem pemerintahan di mana hampir semua kekuasaan politik dipegang oleh segelintir orang kaya yang membuat kebijakan masyarakat banyak. Kebijakan tersebut hanya menguntungkan mereka sendiri secara finansial dan kurang atau sama sekali tidak memperhatikan kepentingan sebagian besar warga negaranya.20 Definisi ‘kekuasaan segelintir orang’ mendapat kritik tajam terutama dari Jeffrey A. Winters. Proposisi tersebut telah menjebak para ilmuwan pada definisi generik yang terpaku pada pengertian etimologis semata. Mereka mengabaikan prinsip utama oligarki yaitu kekayaan yang menjadi dasar material pembentu- kannya. Alih-alih meneguhkan teori oligarki, mereka justru terje- bak pada teori elite. Artinya, tanpa mempertimbangkan dasar material itu, menurut Winters, oligarki sebenarnya tak pernah ada meskipun yang berkuasa adalah segelintir orang. Oleh karena itu, tidak setiap pemerintahan segelintir orang adalah oligarkis. Sebab, kata Winters, jumlah orang yang berkuasa, sebagaimana digagas oleh Aristoteles (384-322 B.C.)21 bukanlah dasar utama teori oligarki.22

19Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, “The Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power,” Indonesia, no. 96 (Oktober 2013): 37. 20“A system of government in which virtually all political power is held by a very small number of wealthy... people who shape public policy primarily to benefit themselves financially... while displaying little or no concern for the broader interest of the rest of the citizenry.” Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London dan New Yor, NY: RoutledgeCurzon, 2004), 16-17, note 6. 21Strauss dan Cropsey, eds., Political Philosophy, 118. 22Winters, Oligarchy, 2.

40 Oligarki dan Demokrasi...

Winters dan Benjamin I. Page memang mengakui kekaya- an sebenarnya bukanlah satu-satunya sumber daya kekuasaan.23 Atas dasar itu, ‘kekuasaan segelintir orang’ bisa juga terbentuk atas dasar sumber daya kekuasaan yang lain di luar kekayaan. Me- nurut Winters, sumber daya kekuasaan di luar kekayaan bukanlah sumber daya pemerintahan oligarkis melainkan demokratis. Winters dan Page menegaskan, konsep oligarki yang dimaknai ‘segelintir orang’ kemudian kehilangan kejelasan dan elaborasinya karena campur aduk dengan pengertian tentang kekuasaan elite.24 Sebagai revisi atas definisi ‘segelintir orang,’ Winters dan Benjamin I. Page (2009) meluruskan konsep oligarki dengan me- ngadopsi definisi yang berasal dari Aristoteles. Oligarki merupa- kan kekuasan yang dijalankan oleh para warga negara terkaya yang selalu tumbuh menjadi golongan kecil.25 Pada bagian lain, Winters (2011) menghilangkan frasa ‘golongan kecil’ dengan mendefinisikan oligarki sebagai terkonsentrasinya kekuasaan atas materi yang didasarkan pada penegakan klaim-klaim atau hak-hak atas kepemilikan dan kekayaan.26 Hilangnya frasa ‘golongan kecil’ bagi Winters, pada hemat peneliti, bisa dipahami. Sebab, dia berpendapat, jumlah penguasa bukanlah teori utama oligarki. Definisi Winters itu, jelas lebih menekankan pada prinsip oligarki, yakni ‘kekayaan’ dibandingkan definisi etimologisnya, ‘segelintir orang.’ Dari sisi ini, definisi terminologis tak selama- nya sejalan dengan pengertian etimologisnya. Jadi, dalam kerang- ka Winters, kekuasaan segelintir orang yang berasal dari kelom- pok ras, etnik, keturunan, agama, organisasi, feodal, intelektual, ulama,27 dan militer28 bukanlah oligarki selama sumber daya ke-

23Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 24Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 25Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 26Oligarchy is defined by concentrated material power based on enforced claims or rights to property and wealth.Lihat Winters, Oligarchy, 11. 27Bedakan dengan Saeed Rahnema dan Haideh Moghissi yang menyebut rezim penguasa di Iran yang didominasi oleh para ulama Ahmad Munjin 41 kuasaannya tidak dibangun di atas basis material,29yaitu hak milik dan kekayaan.

2. Pembentukan Oligarki: Penaklukan atau Akumulasi Kekayaan Secara historis, menurut Carl Joachim Friedrich, kemun- culan jenis pemerintahan oligarkis dipicu oleh salah satu dari dua rangkaian keadaan yang utama. Pengaruh dari masing-masing kondisi itu, bisa dilacak berkali-kali dalam periode sejarah yang sebagai clerical oligarchy (oligarki para ulama). Padahal, basis kekuasa- annya adalah jabatan resmi dan mobilisasi, bukan material. Lihat Rahne- ma dan Moghissi, “Clerical Oligarchy,” 28-40. 28Bandingkan dengan Amany Lubis yang menyebutkan salah satu kesultanan Islam yang berkuasa panjang, yakni Dinasti Mamluk (648-792 H/1250-1517) sebagai oligarki militer. Menurut Amani Lubis, Dinasti Mamluk tidak menerapkan sistem turun temurun dalam suksesi kekuasaan melainkan membentuk sistem oligarki militer yang memberi- kan peluang bagi elite Mamluk yang paling perkasa untuk berkuasa. Meski bercorak oligarki militer, Dinasti Mamluk banyak menerapkan nilai-nilai demokratis, yang sekarang disebut sebagai pluralisme dan multikulturalisme. Dalam konteks oligarki militer, Amani Lubis berpato- kan pada oligarki secara generik, yaitu kekuasaan sedikit orang tanpa mengukur basis kekuasaanya, yaitu kekayaan. Basis kekuasaan oligarki militer lebih cocok dibaca sebagai kekuasaan keorsif yang justru menjadi salah satu basis kekuasaan elite dalam sistem demokrasi bukan oligarki. Lubis, Sistem Pemerintahan Oligarki, cover belakang. Begitu juga dengan Edward Shils yang menyebutkan kaum mili- ter di sepuluh negara baru telah mengambil kedudukan yang menentukan dalam gelanggang politik sebagai oligarki militer yang modern. Kesepu- luh negara tersebut adalah Indonesia, Birma, Laos, Pakistan, Irak, Uni Emirat Arab, Sudan, Yordania, Libanon, dan Republik Korea. Shils, “Angkatan Bersenjata,” 208. 29Bedakan dengan J. Danang Widoyoko yang menulis oligarki dalam pengertian segelintir elite dengan pendekatan modal sosial yang dihubungkan dengan korupsi politik tanpa mengukur kadar oligarkinya dari sisi wealth power. Lihat J. Danang Widoyoko, Oligarki dan Korupsi Politik Indonesia: Strategi Memutus Oligarki dan Reproduksi Korupsi Politik (Malang: Setara Press, 2013).

42 Oligarki dan Demokrasi... berbeda-beda. Pertama, ketika terjadi penaklukan bersenjata terha- dap wilayah berpenduduk banyak oleh kelompok ras yang berbeda seperti Yunani pada periode awal, suku Jermanik pada periode migrasi, the Golden Horde dan Incas; Kedua, saat terjadinya akumulasi kekayaan secara besar-besaran di tangan kelompok ma- syarakat yang relatif kecil (sedikit) yang tidak bisa mempertahan- kan kekuasaannya tanpa dukungan militer dan pemerintah.30 Oligarki ini memiliki hubungan dengan plutokrasi, meskipun yang utama bisa ditemukan dalam rajutan masyarakat yang erat seperti negara-kota Yunani, Italia, dan Jerman, dan bisa juga muncul pada pemerintahan serupa pada abad delapan belas di Inggris; kecende- rungan serupa, menurut Friedrich, mungkin juga bisa terdeteksi di negara fasis Italia dan Sosialis Nasional Jerman.31 Sementara itu, dengan mengadopsi pendekatan sumber daya kekuasaan (power resources) yang dibangun oleh Korpi (1985),32 Winters dan Page mengakui akumulasi kekayaan sebagai sumber utama kemunculan oligarki. Menurut keduanya, para oligark dan oligarki bisa didefinisikan dan dipahami secara baik dengan memfokuskan perhatian pada level individu perihal sum- ber daya kekuasaan, khususnya sumber daya kekuasaan material sebagaimana mengejawantah dalam harta benda (kekayaan) dan hak milik.33 Blomley (2003, 121), sebagaimana dikutip Winters, menyatakan bahwa hak milik (property) bersifat relasional inhe- ren, sehingga “ditegakkan terhadap yang lain (held against

30Friedrich, “Oligarchy,” 463. 31Friedrich, “Oligarchy,” 463. 32Lihat juga Walter Korpi dan Joakim Palme, “New Politics and Class Politics in the Context of Austerity and Globalization: Welfare State Regress in 18 Countries, 1975-95,” American Political Science Review 97, no. 3 (Agustus 2003): 425-446. 33Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. Lihat juga Nicholas Blomley, “Law, Property, and the Geography of Violence: The Frontier, the Survey, and the Grid,” Annals of the Association of Ameri- can Geographers 93, no. 1 (Maret 2003): 121-141. Ahmad Munjin 43 others).”34 Konsep hak milik ini lebih dekat dengan proposisi yang dibangun oleh prinsip libertarian tentang self-ownership (kepemi- likan diri). Menurut prinsip ini, setiap orang memiliki dirinya sendiri dan karena itu tidak berutang baik atas jasa maupun atas produk terhadap orang lain. Prinsip ini biasa digunakan untuk membela ketidaksetaraan kapitalis yang justru diklaim untuk merefleksikan kebebasan setiap orang dalam melakukan apa saja yang dia kehendaki atas dirinya sendiri.35 Hanya saja, dalam konteks hak milik, Winters tidak mempermasalahkan apakah hak milik itu didapat dengan cara-cara yang legitimate atau tidak. Winters lebih fokus pada implikasi dari hak milik itu. Menurut Winters, para ahli ekonomi meman- dang, hak milik bersifat ekslusif dalam arti bisa dipegang oleh satu individu atau lembaga dengan menyangkal klaim pihak lain. Akan tetapi, sifat ekslusif juga membuat hak milik rawan terkena tanta- ngan, yang disebut para ahli ekonomi sebagai biaya penegakan hak (enforcement costs)36. Klaim “semuanya milikku” akan selalu dibalas tanggapan “kata siapa?” atau “kata apa?” Ancaman-anca- man dari tantangan seperti itu makin meningkat selagi kelangkaan harga meningkat; selagi makin banyak orang membuat klaim dan klaim tandingan; dan selagi besar harta yang diklaim oleh sedikit orang menjadi makin tak merata. Menurut Winters, klaim, klaim tandingan, ekslusi, dan ketidaksetaraan menjelaskan mengapa harta tidak bisa dipertahankan tanpa sarana penegasan hak. Kebu- tuhan akan kapasitas pemaksaan yang ampuh meningkat selagi ketidakseimbangan-ketidakseimbangan harga yang diklaim me- ningkat. Terciptalah tantangan politik besar bagi orang kaya seba- gai individu maupun kelompok. Karena alasan itulah pertahanan

34Winters, Oligarchy, 20. 35G. A. Cohen, Self-Ownership, Freedom, and Equality (Cam- bridge: Cambridge University Press, 1995), i. 36A. Mitchell Polinsky dan Steven Shavell, “Enforcement Costs and the Optimal Magnitude and Probability of Fines,” the Journal of Law and Economics 35, no. 1 (April, 1992): 133.

44 Oligarki dan Demokrasi... kekayaan menjadi dinamika politik utama dan tujuan semua oligark.37 Dalam konteks ini, Aristoteles sebagaimana dikutip Joac- him Friedrich, telah membedakan prinsip oligarki yakni kekayaan (wealth) dengan kebajikan (virtue) yang menjadi prinsip aristo- krasi.38 Pada umumnya, menurut Friedrich,39 Winters dan Benja- min I. Page,40 karakteristik oligarki mengacu pada ketidaksetaraan politik ekstrem yang secara niscaya menyebabkan ketidaksetaraan materi yang ekstrem pula. Ketimpangan tersebut sangat kontras terjadi, terutama menurut Friedrich, saat kesejahteraan masyara- kat secara keseluruhan sedang mengalami penurunnan.41 Akan tetapi, Winters sendiri justru membalik karakteristik umum terse- but. Dia menyatakan, ketidaksetaraan materi yang ekstrem secara niscaya menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula. Kondisi ini bisa terjadi baik dalam sistem demokrasi maupun otoritarian.42 Para oligark adalah aktor-aktor yang secara personal menguasai atau mengontrol akumulasi kekayaan yang massif— sebuah bentukkekuasaan materi yang berbeda dengan semua sumber-sumber kekuasaan yang lain. Kekayaan jenis ini, menurut Winters dan Page, siap dikerahkan untuk tujuan-tujuan politik.43 Tingkatan dan karakter kekuasaan oligarkis berbeda-beda tergantung pada tempat dan periode sejarah, mulai dari yang liar dan tidak terbatas hingga yang jinak dan terbatas.44 Di beberapa negara, para oligark menyandarkan kekuasaan mereka pada identi- tas ras atau kesukuan, keterpandangan (noble birth), atau agama. Akan tetapi, kekuasaan oligarkis selalu mencakup isu-isu yang

37Winters, Oligarchy, 20. 38Friedrich, “Oligarchy,” 463. 39Friedrich, “Oligarchy,” 463-64. 40Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 744. 41Friedrich, “Oligarchy,” 464. 42Jeffreys A. Winters, “Oligarchy and Democracy in Indonesia,” Indonesia 96 (Oktober 2013): 12. 43Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 733. 44Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 733. Ahmad Munjin 45 memengaruhi kepentingan material yang inti dari orang-orang kaya dalam menjaga klaim terhadap apa yang mereka miliki dan memungkinkan pencaplokan yang lebih banyak.45 Secara jelas, kepentingan-kepentingan oligarki terfokus pada mempertahankan kekayaan (menolak penyitaan dengan paksa) dan mempertahankan pendapatan (menolak redistribusi hukum kepemilikan sehingga kepemilikan pribadi dinyatakan aman). Sejak peradaban awal hingga tumbuhnnya negara modern, para oligark mencurahkan sebagian besar perhatian mereka untuk mempertahankan kepemili- kan. Para oligark juga memaksakan diri untuk membuat investasi utama dalam kapasitas-kapasitas untuk kekerasan dan pemak- saan.46 Pertahanan kekayaan, lanjut Winters, memiliki dua dimen- si yaitu pertahanan harta dan pertahanan pendapatan. Keduanya dinilai penting bagi keberadaan dan keberlangsungan oligarki. Akan tetapi, kadar relatif keduanya dan kadar keterlibatan langsung oligark dalam politik pertahanan harta dan pendapatan sangat beragam.47 Winters dan Page menyatakan, terdapat tiga aspek kekayaan material yang menyebabkan harta benda bisa melayani kebutuhan sumber daya kekuasan politis secara unik dan tetap dalam banyak peradaban manusia. Pertama, kekayaan secara umum terkonsentrasi di antara sangat sedikit warga negara. Kedua, kekayaan material dalam bentuk apapun (uang di bank, kepemilikan saham perusahaan-perusahaan, kepemilikan tanah)— hampir di semua tempat dan waktu—secara mudah bisa diterje- mahkan ke dalam pengaruh politik yang subtansial. Ketiga, kepe- milikan kekayaan material disertai dengan satu set kepentingan- kepentingan politik. Kepentingan-kepentingan untuk melanggeng- kan dan melindungi kekayaan tersebut; kepentingan-kepentingan untuk menentukan penggunaannya secara bebas dalam berbagai

45Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 733. 46Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 733. 47Winters, Oligarchy, 23.

46 Oligarki dan Demokrasi... tujuan; dan kepentingan-kepentingan untuk memperoleh kekayaan yang lebih banyak lagi.48 Oligarki, Winters dan Page menegaskan, terbentuk oleh kekayaan material49 yang sangat terkonsentrasi secara umum. Kondisi itu disertai dengan kekuasaan politik yang besar dan doro- ngan untuk menggunakan kekuasaan tersebut agar memenangkan bentuk tertentu dari keuntungan ekonomi-politik. Oleh karena itu, kepemilikan kekayaan yang besar mendefinisikan keanggotaan dalam sebuah oligarki, menyediakan sarana untuk mengerahkan kekuasaan oligarkis, dan memberikan insentif untuk menggunakan kekuasaan tersebut demi tujuan-tujuan politik inti dalam membela kekayaan. Pertahanan atas kekayaan tergantung pada konteks nasional dan sejarah yang bisa berarti mempertahankan kekayaan, mempertahankan keuntungan, atau kedua-duanya.50 Argumen Wi- nters dan Page adalah hanya kekayaan semacam itu yang secara konsisten merupakan sumber daya kekuasaan politik yang utama. Kekayaan semacam itu pula yang seringkali merupakan sumber daya paling penting yang berhubungan dengan kebijakan-kebija- kan tertentu. Jelas, Winters dan Page mengakui, kekayaan bukanlah satu-satunya sumber daya kekuasaan politik. Kekuasaan bisa juga berasal dari memegang jabatan politik formal, berasal dari menik- mati hak-hak politik (seperti “one person one vote/satu orang satusuara”51 di bawah sebuah sistem pemilihan yang demokratis),

48Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 49Kekayaan material (material wealth) adalah hal-hal yang me- nimbun kekayaan seperti tanah, sumber-sumber makanan, kepemilikan harta rumah tangga, dan barang-barang perhiasan yang bisa diwariskan. Anna Marie Prentiss, et al., “The Cultural Evolution of Material Wealth- Based Inequality at Bridge River, British Columbia,” American Anti- quity 77, no. 3, (2012): 543. 50Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 51Hans A. von Spakovsky dan Elizabeth H. Slattery, “One Per- son, One Vote: Advancing Electoral Equality, Not Equality of Represen- tation,” Legal Memorandum no. 161 (10 September 2015): 2. Ahmad Munjin 47 berasal dari kapasitas personal dan organisasional untuk memo- bilisasi orang lain, dan bisa juga berasal dari kapasitas koersif atau kekuatan bersenjata. Dalam kebanyakan pemerintahan modern, bagaimanapun, fungsi koersif dimonopoli secara luas oleh negara.52 Dalam sejumlah atau kebanyakan sistem politik, terkon- sentrasinya kekayaan di tangan sekelompok kecil anggota masya- rakat merupakan sumberdaya kekuasan politik yang serbaguna dan ampuh. Saat masyarakat umum berpolitik, dengan kekayaan, oligark bisa merekrut atau mengajak sumber daya-sumber daya politik lain yang sangat berpengaruh. Dalam keadaan yang luar biasa, memutuskan ancaman terhadap kepemilikan dan kekayaan bisa memprovokasi para warga negara terkaya untuk terlibat dalam membuat kerusuhan dan kadang-kadang terlibat reaksi kekerasan politik dan ekonomi.53 Keistimewaan kualitas kekuasaan politik yang didasarkan pada kekayaan adalah kekuasaan ini tidak tergantung pada lama- nya waktu atau aksi yang luas oleh individu-individu dari orang- orang kaya sendiri atau tidak juga mengandalkan potensinya atas mobilisasi dan koordinasi di antara para oligark. Orang-orang kaya seringkali mengontrol organisasi besar seperti perusahaan-perusa- haan bisnis, yang bisa bertindak demi mereka. Mereka bisa merek- rut tentara professional, aktor-aktor yang cakap dari kelas mene- ngah dan kelas atas yang bekerja sebagai advokat-advokat bergaji dan pembela kepentingan utama dari oligark.54 Dalam masyarakat modern, aktor-aktor tersebut seringkali merupakan penghuni yayasan-yayasan, berbagai think tanks, firma hukum yang terko- neksi politik, konsultan-konsultan, dan organisasi-organisasi lobi. Pada waktu tertentu, mereka merupakan politikus-politikus atau pejabat-pejabat yang direkrut dan didanai oleh orang-orang kaya. Mereka berbaur secara halus ke dalam politik pluralis kompleks yang saling memberi dan menerima. Meski begitu, karakter, fokus

52Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 53Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 54Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.

48 Oligarki dan Demokrasi... dan pengaruh mereka benar-benar berbeda: tujuannya untuk memajukan kepentingan-kepentingan material dasar dari orang- orang kaya.55 Winters menjelaskan, sebagaimana dikutip Fajar Kuala Nugraha, pada dasarnya tidak semua oligark terjun langsung dalam perebutan kekuasaan. Tingkatannya, dapat diukur melalui seberapa besar ancaman terhadap kekayaan para oligark. Artinya, semakin besar kadar ancaman dari kekuasaan, semakin aktif para oligark dalam perebutan kekuasaan baik melalui Pemilu maupun Pemilukada. Kondisi ini, berbeda halnya ketika ancaman terhadap kekayaan oligark relatif kurang, bahkan cenderung mendapatkan perlindungan dari negara sehingga dapat dipastikan keterlibatan oligark dalam politik praktis sangat pasif. Sebagai gantinya, para oligark akan berusaha membangun hubungan patron-client56 dengan aktor-aktor negara.57 Level keterlibatan oligark dalam politik praktis melalui Pemilu atau Pemilukada juga, menurut Nugraha, menjadi jawaban atas pertanyaan kritis yang dilontarkan oleh beberapa kalangan yang mempertanyakan bagaimana mungkin oligarki dan demo-

55Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 56Hubungan patron-client(sebuah hubungan pertukaran antar peran) adalah sebuah kasus khusus dalam ikatan dyadic (dua-orang) yang melibatkan pertemanan instrumental secara luas di mana seorang indivi- du dari status sosioekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pe- ngaruh dan sumber dayanya untuk memberikan perlindungan atau berba- gai manfaat atau keduanya, terhadap seorang individu yang status sosio- ekonominya lebih rendah (client). Pada gilirannya, client memberikan imbalan dengan menawarkan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk pelayanan personal kepada patron. Dalam literatur antropologi, patron-client berhubungan dengan beberapa istilah seperti clientelism, dyadic contract, personal network, dan action-set. James C. Scott, “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia,” The American Political Science Review 66 no. 1 (Maret 1972):92. 57Fajar Kuala Nugraha, “Pemilukada: Menguatnya Politik Oli- garki Lombok Timur Tahun 2013,” Jurnal Mahasiswa Ilmu Pemerintahan 1, no. 2 (2014): 4. Ahmad Munjin 49 krasi dapat berjalan dalam satu sistem politik. Meskipun, pada dasarnya oligarki dan demokrasi memiliki dasar kekuasaan berbe- da, di mana oligark meletakkan konsentrasi kekuasaan pada kekayaan (klaim terhadap kepemilikan dan kekayaan), sedangkan demokrasi meletakkan konsentrasi pada persebaran kekuasaan nonmaterial seperti hak, prosedur, dan tingkat partisipasi.58 Impli- kasinya, menurut Nugraha, adalah demokrasi telah dimanfaatkan oleh para oligark hingga akhirnya menciptakan demokrasi di bawah bayang-bayang oligarki. Nugraha pun pesimistis. Alih-alih demokrasi berhasil menghentikan para oligark untuk memperta- hankan kekuasaan dan kekayaan, para oligark justru melakukan berbagai cara demi menyesuaikan diri pada demokrasi.59

Bagan 2.1. Teori Oligarki

Ketidaksetaraan materi yang ekstrem (stratifikasi material)

Oligark dan Oligarki

Pertahanan Kekayaan(Harta dan Pendapatan)

Ketidaksetaraan materi dan politik yang ekstrem

Sumber: Diolah dari Winters, Jeffrey A.Oligarchy. New York: Cambridge University Press, 2011.

Dari Bagan 2.1. terlihat bahwa oligarki terbentuk dan terdefinisikan saat terjadi stratifikasi kekayaan yang ekstrem. Ke- kayaan jenis inilah yang mendorong oligark untuk mempertahan-

58Nugraha, “Politik Oligarki,” 4. 59Nugraha, “Politik Oligarki,” 5.

50 Oligarki dan Demokrasi... kannya. Dalam hal ini, terdapat dua jenis pertahanan yaitu perta- hanan harta dan pertahanan pendapatan yang dilakukan melalui jalur politik. Munculah istilah, politik pertahanan kekayaan. Jika oligark berkuasa langsung, motif pertahanan kekayaan pun jadi melebar ke motif-motif sumberdaya kekuasaan lain yang non- mterial. Jika berkuasa tak langsung (di balik layar), motif kekuasa- an pun semata pertahanan kekayaan. Akibatnya, jika oligarki tidak dijinakkan oleh hukum dalam sistem demokrasi, kekuasaan oligarkis akan menimbulkan ketidaksetaraan materi yang ekstrem dan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula.

3. Distingsi antara Elite dan Oligarki Penafsiran materialis60 tentang oligarkisangat dominan sejak jaman dahulu sampai kemunculan teori elite pada penghu- jung abad 19. Teori elite dibangun oleh para sarjana seperti Gaetano Mosca (1858-1941), Vilfredo Pareto (1848-1923), dan Robert Michels (1876-1936). Mereka merentangkan analisis ten- tang oligarki dengan memasukkan sumber-sumber kekuasaan lain selain kekayaan.61 Akibatnya, konsep oligarki campur aduk dengan teori elite. Menurut Winters, memang para penggagas teori elite pertama—Mosca, Pareto, dan Michels—mengakui ada- nya tempat bagi kekuasaan material. Akan tetapi, dalam tulisan mereka, ketiganya coba menggeser perhatian analitis ke aspek kekuasaan minoritas lain di antara para pelaku yang berpengaruh di puncak pemerintahan dan kerajaan. Akibatnya, walau ketiganya membahas oligark dan oligarki, istilah-istilah tersebut mereka

60Konsep materialis bermuara pada teori materialisme historis Karl Marx yang diturunkan dari dialektika historis Hegel. Materialisme historis tersebut didasarkan pada sumber daya alokatif tertinggi dalam organisasi sosial melalui penerapan hubungan-hubungan atau kekuatan- kekuatan dialektika produksi secara universal. Lihat Anthony Giddens, A Contemporary Critique of Historical Materialism: Power, Property, and the State (Berkeley dan Los Angeles: University of California Press, 1981), 109. 61Winters dan Page, “Oligarchy in the US?”733. Ahmad Munjin 51 gunakan bergantian dengan elite, bangsawan, elite pemerintah, dan kelas penguasa. Pembauran makna dan pencampuran istilah itu, menurut Winters, mengawali hilangnya kejernihan dan presisi seputar konseptualisasi materialis atas oligark dan sumber daya kekuasaannya.62 Mosca menyatakan, semua masyarakat mengandung seke- lompok kelas yang relatif kecil (oligarkis) yang berkuasa dan seke- lompok kelas sangat besar yang terdiri dari mayoritas penduduk yang dikuasai.Dalam kerangka Mosca, kelas yang relatif kecil tidak mesti terbentuk atas dasar material yang dalam kerangka Winters, itu bukanlah oligarki melainkan elite. Oleh karena itu, menurut Mosca, demokrasi tidak pernah memperkenalkan kekua- saan mayoritas.63 Begitu juga dengan Paretoyang mengelaborasi segelintir orang dari kelas borjuis Italia. Pareto mengkritik kelas borjuis itu yang dinilainya telah memanfaatkan negara untuk mempromosikan apa yang disebutnya bourgeois socialism (sosia- lisme borjuis) melalui pajak, berbagai monopoli dan belanja mili- ter. Akan tetapi, semua itu justru dirancang untuk memperkuat pengusaha-pengusaha industri dan tuan-tuan tanah tertentu.64 Sementara itu, Michels mempopulerkan jargon, “orang yang bicara organisasi, bicara oligarki.”65 Jargon tersebut merupa- kan “hukum besi oligarki.” Pada 1911, Michels mengokohkan dirinya sebagai teoretikus utama tentang elite melampaui Mosca dan Pareto untuk mengjelaskan mengapa dominasi elite tak dapat dihindari.66 Dengan mengambarkan pengetahuannya yang detil tentang the Social Democratic Party of Germany (dalam Bahasa Jerman: Sozialdemokratische Partei Deutschlands atau SPD),

62Winters, Oligarchy, 31. 63Bellamy, “Gaetano Mosca,” 182. 64Richard Bellamy, “Vilfredo Pareto 1848-1923,” dalam The Routledge Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers, eds. Robert Benewick dan Philip Green (London dan New York: Routledge, 1998), 197. 65Wolfe, “Robert Michels,” 175. 66Wolfe, “Robert Michels,” 175.

52 Oligarki dan Demokrasi...

Michels berargumen, para elite lebih cakap, sedangkan orang kebanyakan secara psikologis tunduk. Organisasi pada dirinya menumbuhkan oligarki. Jika Karl Marx berpendapat bahwa domi- nasi kapitalis tergantung pada pemisahan buruh dari kontrol alat- alat produksi, Michels berargumen bahwa oligarki berasal dari cara di mana organisasi memisahkan anggotannya dari alat-alat kekuasaan kolektif. Pembagian buruh menyebabkan para pemim- pin secara fungsional sangat diperlukan, mendongkrak posisi sosial mereka atas rakyat jelata (proletariat).67 Dengan demikian, menurut Michels, para elite mengeje- wantahkan berbagai kepentingan kelas mereka. Akbatnya, mereka mengabaikan tujuan dasar untuk mendukung kelestarian organi- sasi. Pada saat yang sama, organisasi mengingkari kesempatan para anggotanya untuk ikut serta. Organisasi mendidik anggota- nya agar tetap patuh dan mencegah mereka agar tidak mengontrol pengambilan keputusan. Persaingan antar elite memang muncul, tapi konsesi dan kerja sama menjamin kelangsungan mereka. Pemberontakan dari bawah mengancam kecakapan pemimpin- pemimpin dalam mengatur agenda isu, meskipun kontrol mereka atas administrasi tetap menjamin dominasi elite.68 Winters menilai “hukum besi oligarki” Michels yang terkenal itu,banyak mengandung kebingunan. Kalau diteliti lebih cermat, ternyata bukan teori oligarki, melainkan analisis mengenai bagaimana kaum elite akhirnya mendominasi semua organisasi yang kompleks.69 Dalam kerangka Winters, itu bukanlah oligarki melainkan “hukum besi elitisme.” Penilaian Winters ini bisa dipa- hami karena prinsip oligarki adalah kekyaan sedangkan Michels lebih fokus pada kekuasaan ‘segilintir orang’ dari aktor-aktor organisasi. Padahal, menurut Winters, jumlah orang yang berkuasa bukanlah dasar utama teori oligarki atau demokrasi yang digagas Aristoteles.70

67Wolfe, “Robert Michels,” 175. 68Wolfe, “Robert Michels,” 175. 69Winters, Oligarchy, 2. 70Winters, Oligarchy, 2. Ahmad Munjin 53

Akibatnya, menurut Winters, makna oligarki yang me- ngacu ke Michels, begitu tidak jelas. Sebab, hampir semua sistem politik atau komunitas yang belum melibatkan keikutsertaan para anggotanya secara penuh dan terus-menerus disebut oligarkis.71 Winters dan Page menegaskan, konsep oligarki kemudian kehila- ngan kejelasan dan elaborasinya karena campur aduk dengan pengertian tentang kekuasaan elite.72Lalu, Winters dan Page mencontohkan Pareto yang melihat demokrasi liberal sebagai kepalsuan “demagogic plutocracies”73 di mana para politikus, bos- bos partai, pemimpin-pemimpin perserikatan, para kapitalis, dan elite-elite lain terlibat dalam hubungan patron-client (kaki tangan) yang disiram aliran uang.74 Pemahaman utama oligarki, mengacu ke Winters, adalah aktor memimpin dan mengontrol sebagian besar material yang terpusat dan bekerja untuk mempertahankan kekayaan dalam status sosial ekslusif.75 Sedangkan elite adalah minoritas pelaku di puncak masyarakat yang berpengaruh karena mereka memegang jabatan di pemerintahan, organisasi-organisasi besar (baik sekuler maupun religius), atau korporasi (baik pribadi maupun publik).76 Winters menegaskan, dinamika poltik dan tujuan utama oligark adalah pertahanan kekayaan. Pertahanan ini merupakan satu pola konsisten dalam sejarah manusia di mana pengumpulan kekayaan dan kekuasaan yang besar terjadi di tangan minoritas yang sangat kecil.77 Dalam sistem negara modern, pertahanan kekayaan tak lagi membuat oligark mempersenjatai diri dan bertarung membela klaim harta, atau menggunakan sumber daya material untuk

71Winters, Oligarchy, 2. 72Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 73Joseph V. Femia, Pareto and Political Theory (London dan New York: Routledge, 2006), 100-23. 74Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 75Winters, Oligarchy, 6. 76Winters, Oligarchy, 13. 77Winters, Oligarchy, 21.

54 Oligarki dan Demokrasi... membeli jasa kemampuan pemaksaan pihak lain. Menurut Winters, pergulatan oligark bergeser, menjadi pengerahan sumber daya material bagi professional spesialis (pengacara, akuntan, konsultan penghindaran pajak, dan pelobi) untuk tetap menjaga sebanyak-banyaknya harta dan pendapatan mereka agar tidak jatuh ke tangan negara. “Jadi, sifat oligark tak terpisahkan dari hakikat rezim pertahanan harta.”78 Inilah yang membedakan oli- garki dengan elite79 yang tujuan politik utamnaya adalah perebu- tan kekuasaan. Oleh karena itu, pelaku yang berasal dari minoritas kecil yang menggunakan sumberdaya kekuasaan dari jabatan resmi merupakan elite dan bukan oligarki.80 Dasar kemunculan oligarki adalah konsentrasi kekayaan yang sangat ekstrem di masyarakat. Sedangkan dasar kemunculan elite adalah struktur kelas81 yang terdapat di masyarakat.82 Semen- tara itu, jumlah penguasa dalam oligarki bukanlah teori utama baik banyak maupun sedikit. Yang terpenting adalah kekuasaan tersebut didasarkan pada kekayaan. Oleh karena itu, oligarki selalu merujuk pada hubungan erat antara kekayaan dan kekua-

78Winters, Oligarchy, 24. 79Elite adalah mereka yang memiliki kontrol atau akses yang sangat tak sepadan atau ekstrem terhadap sumber daya ekonomi, sosial, budaya, politik, atau pengetahuan (knowledge capital). Shamus Rahman Khan, “The Sociology of Elites,” The Annual Review of Sociology no. 38(Mei 2012): 361. 80Winters, Oligarchy, 14. 81Kata “kelas” biasa digunakan baik sebagai kata benda maupun sebagai kata sifat. Sebagai kata benda, orang mungkin mengajukan per- tanyaan, “Menurut Anda, Anda termasuk kelas apa?” dan jawabannya mungkin “Kelas pekerja.” Sebagai kata sifat, kata kelas membatasi serangkaian konsep-konsep: hubungan kelas, struktur kelas, lokasi kelas, formasi kelas, kepentingan kelas, konflik kelas, dan kesadaran kelas. Istilah kelas menjadi lebih produktif saat digunakan sebagai kata sifat (adjective). Erik Olin Wright, ed. Approaches to Class Analysis (Cam- bridge: Cambridge University Press, 2005), 8. 82Winters, Oligarchy, 275. Ahmad Munjin 55 saan.83 Di sisi lain, jumlah penguasa dalam elite adalah minoritas yang dominan dan kekuasaannya didasarkan pada pendidikan dan informasi, kerumitan organisasi, etnis, dan jejaring ekslusif seperti yang terbentuk dalam kekuasaan komite eksekutif dan pemerinta- han perwakilan.84

Tabel 2.1. Perbedaan Teori Elite dengan Teori Oligarki

No Indikator Teori Elite Teori Oligarki

(1) (2) (3) (4) Aktor memimpin dan Minoritas pelaku di puncak mengontrol sebagian besar masyarakat yang material yang terpusat dan 1 Pemahaman utama berpengaruh karena mereka bekerja untuk memegang jabatan di mempertahankan kekayaan organisasi-organisasi besar. dalam status sosial ekslusif. 2 Masalah inti Perebutan kekuasaan. Pertahanan kekayaan. Konsentrasi kekayaan Struktur kelas yang terdapat 3 Dasar Kemunculan yang cukup ekstrem di di masyarakat. masyarakat. Sumber daya kekuasaan berasal dari non material Sumber daya kekuasaan seperti jabatan baik formal utama adalah material maupun informal. (dengan bentuk yang Akibatnya, ketika masa beragam), sehingga 4 Sumber daya kekuasaan jabatan telah usai berbagai menjabat atau tidak kekuasaan yang dimiliki menjabat, kekuasaan besar secara otomatis menghilang tetap dimiliki oligark di bahkan kecil peluang untuk tengah masyarakat. menjadi elite kembali.

Minoritas elite (berdasarkan Tidak tergantung pada pendidikan dan informasi, minoritas maupun 5 Jumlah penguasa kerumitan organisasi, etnis, mayoritas jika berkuasa dan jejaring eksklusif). berdasarkan kekayaan.

83Winters, Oligarchy, 27. 84Winters, Oligarchy, 31.

56 Oligarki dan Demokrasi...

Sumber: Fajar Kuala Nugraha, “Pemilukada: Menguatnya Politik Oligarki Lombok Timur Tahun 2013,” Jurnal Mahasiswa Ilmu Pemerintahan 1, no. 2 (2014): 4.

Kemudian, Winters membagi sumber daya kekuasaan85 individu ke dalam lima jenis. Empat di antaranya merupakan sum- ber daya kekuasaan elite dan sisanya merupakan sumber daya kekuasaan oligark dan oligarki. Kelima jenis sumber daya kekua- saan tersebut adalah kekuasaan berdasarkan hak politik formal, jabatan resmi dalam pemerintahan atau organisasi, kekuasaan pemaksaan (koersif), kekuasaan mobilisasi, dan kekuasaan material.86 Hak politik formal adalah hak pilih bagi semua orang dan berpartisipasi dalam politik yang merupakan sumber daya kekua- saan yang paling banyak dan paling tersebar pada level individu. Hak ini mencakup satu suara untuk setiap orang, kebebasan ber- pendapat tanpa ditindas, dan kesempatan mendapat akses terha- dap informasi yang dimiliki semua orang dalam masyarakat.87 Sedangkan jabatan resmi yang tinggi di pemerintahan, organisasi besar (sekuler dan agama), atau perusahaan (pribadi dan publik), menurut Winters, adalah suatu sumber daya kekuasaan yang pu- nya pengaruh dramatis pada profil kekuasaan segelintir individu. Pada zaman modern, organisasi-organisasi tersebut adalah badan berdasarkan aturan yang mengonsentrasikan kekuasaan dengan menghimpun sumber daya keuangan, jejaring operasi, dan penge-

85Bandingkan dengan Bo Rothstein, Marcus Samanni, dan Jan Teorell, “Explaining the Welfare State: Power Resources vs. The Quality of Government,” European Political Science Review: European Consor- tium for Political Research (Tanpa Bulan dan Tahun Terbit), 1-28. 86Winters, Oligarchy, 11-20.Lihat juga Abdul Aziz Ahmad, “Catatan Pembubaran HTI: Kanan, Kiri, dan Oligarki,” Gatra, 17 Mei 2017, 22-23. 87Winters, Oligarchy, 13. Ahmad Munjin 57 lompokan anggota atau bawahan yang bisa dipimpin, dilibatkan, atau diperintah melalui kelembagaan.88 Sementara itu, kekuasaan pemaksaan (koersif)89 adalah komponen profil kekuasaan yang bersifat individu dan telah berubah secara radikal seiring berjalannya peradaban. Gagasan terpenting Weber, menurut Winters, adalah fokus kepada peran dan lokasi sosial pemaksaan dan kekerasan sebagai ciri khas negara modern dibandingkan segala bentuk politik sebelumnya. Sebelum kemunculan negara modern, kapasitas pemaksaan terse- bar di antara banyak pelaku di masyarakat. Ketidakseimbangan ekstrem dalam kapasitas individu melakukan kekerasan berarti bahwa kekuasaan pemaksaan itu penting dalam profil kekuasaan individu. Pencapaian utama negara modern adalah perlucutan senjata yang efektif atas semua individu, atau mengikuti kata-kata Weber,90 kemampuan negara memonopoli sarana pemaksaan yang sah.91 Kekuasaan mobilisasi adalah kapasitas individu untuk me- nggerakkan atau memengaruhi yang lain—kemampuan memimpin orang, meyakinkan pengikut, menciptakan jejaring, menghidupkan gerakan, memancing tanggapan, dan menginspirasi orang untuk bertindak (termasuk membuat mereka mengambil risiko dan berkorban). Kekuasaan mobilisasi juga merujuk pada perubahan

88Winters, Oligarchy, 13-14. 89Kekuasaan pemaksaan (coercive power) adalah kemampuan agen dalam mejalankan konsekuensi negatif kepada pihak lain seperti penurunan pangkat atau mutasi ke tugas atau jabatan yang kurang dii- nginkan. Margaret Ann Faeth, “Power, Authority and Influence: A Com- parative Study of the Behavioral Influence Tactics Used by Lay and Ordained Leaders in the Episcopal Church,” (Disertasi PhD Virginia Polytechnic Institute and State University, 2004), 11. 90“Today, however, we have to say that a state is a human com- munity that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory.” Max Weber, “Politics as a Voca- tion,” dalam From Max Weber: Essays in Sociology, eds. H. H. Gerth dan C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1946), 78. 91Winters, Oligarchy, 15.

58 Oligarki dan Demokrasi... yang kadang tajam pada profil kekuasaan individual pelaku yang berada dalam keadaan mobilisasi pada periode tertentu. “Pelaku dengan konsentrasi tinggi kekuasaan mobilisasinya termasuk kategori elite, bukan oligark.”92 Terakhir adalah sumber daya kekuasaan material. Keka- yaan, menurut Winters, adalah sumber daya kekuasaan yang men- definisikan oligark dan menggerakkan politik serta proses oligarki. Sumber daya kekuasaan material menyediakan dasar untuk tegaknya oligark sebagai pelaku politik yang tangguh. Sumber daya material dalam berbagai bentuk (yang paling luwes adalah uang tunai) sudah lama dikenali sebagai sumber kekuasaan ekono- mi, sosial, dan politik. Orang bisa menjadi sama sekali tak berkua- sa kalau tidak punya kekayaan. Akan tetapi, orang masih bisa mendapat kuasa melalui sumber-sumber daya kekuasaan lainnya. Meski begitu, kumpulan kekayaan yang besar dan terkonsentrasi di tangan sebagian kecil anggota masyarakat mewakili sumber daya kekuasaan yang bukan hanya tak tersedia bagi yang tidak memiliki harta, tapi juga jauh lebih luwes dan kuat daripada sumber daya kekuasaan formal atau prosedural seperti hak pilih yang setara bagi semua orang—terutama bila diukur di tingkat individu. “Keluwesan luar biasa kekuasaan material itulah yang menjadikannya sangat penting dalam politik. Kekuasaan material yang bisa membeli pertahanan kekayaan, baik dalam bentuk kemampuan pemaksaan atau menyewa jasa pertahanan dari pro- fessional yang ahli.”93 Dengan demikian, tidak setiap kekuasaan yang dipegang oleh segelintir orang adalah oligarkis. Kekuasaan yang didasarkan pada sumber daya kekuasaan94 material semata yang memenuhi kategori tersebut. Sumber daya material itu mengejawantah dalam

92Winters, Oligarchy, 15-16. 93Winters, Oligarchy, 18. 94Lihat juga Michael Kellermann, “Power Resources Theory and Inequality in the Canadian Provinces,” (makalah dipresentasikan pada the Harvard Comparative Political Economy Workshop, Cambridge, MA., 7-8 Oktober 2005). Ahmad Munjin 59 kekayaan dan hak milik. Sumber daya inilah yang mendorong terbentuknya oligarki saat terjadi ketimpangan ekonomi yang tajam. Jika sumber daya ekonomi menyebar secara merata sehing- ga mencapai keseimbangan tertentu, oligarki pun tak pernah ada. Jadi, setiap oligark memang dapat dipastikan sebagai elite. Akan tetapi, tidak setiap elite adalah oligark. Hanya elite dengan sum- ber daya kekuasaan yang didasarkan pada kekayaanlah yang dise- but oligark. Konsekuensinya, para sarjana yang mendefinisikan oligarki secara generik yaitu ‘kekuasaan segelintir orang’ dan melupakan prinsipnya yaitu ‘kekayaan’ menjadi terbantahkan.

4. Dari Oligarki Panglima hingga Oligarki Sipil Selama berabad-abad, menurut Winters, oligarki dianggap diperkuat oleh kekayaan. Anggapan tersebut dikacaukan oleh teori elite pada awal abad keduapuluh. Kesamaan berbagai oligarki sepanjang sejarah adalah bahwa kekayaan mendefinisikan dan memperkuat oligarki dan secara inheren membuat oligarki teran- cam. Motif keberadaan semua oligarki adalah mempertahankan kekayaan. Upaya mempertahankan kekayaan itu bermacam-ma- cam, tergantung apa yang dihadapi, termasuk seberapa jauh oligar- ki terlibat dalam menghadirkan koersi/pemaksaan yang mendasari klaim hak milik, dan juga apakah upaya itu dilakukan secara sendiri-sendiri atau kolektif.95 Dengan demikian, menurut Winters, semua oligarki bisa digolongkan menurut empat ciri utama: Pertama, kadar keterliba- tan langsung oligark dalam melakukan pemaksaan yang menyo- kong klaim atau hak milik atas harta dan kekayaan; Kedua, keterlibatan oligark dalam kekuasaan atau pemerintahan; Ketiga, sifat keterlibatan dalam pemaksaan dalam kekuasaan itu— terpecah atau kolektif; dan Keempat, apakah oligark bersifat liar atau jinak (penjinakan oleh pihak luar lebih umum serta lebih stabil daripada penjinakan oleh diri sendiri).96 Garis perbatasan

95Winters, Oligarchy, i. 96Winters, Oligarchy, 32.

60 Oligarki dan Demokrasi... historis paling penting di antara oligarki memisahkan oligarki sebelum dan sesudah munculnya negara-bangsa modern. Bentuk dominan oligarki sebelum kemunculan negara adalah oligark seba- gai pelaku pemaksa yang berkuasa. Terpecah atau kolektifnya kekuasaan mereka mengalami perubahan bersama-sama bangkit dan runtuhnya imperium. Keragaman tersebut menghasilkan empat tipe oligarki: oligarki panglima (warring), oligarki penguasa kolektif (ruling), oligarki sultanistik (sultanistic) dan oligarki sipil (civil).97 Oligarki panglima (warring) adalah oligarki yang perpeca- hannya antar-oligark berada pada tingkat tertinggi. Kalaupun ada persekutuan bersifat tak stabil dalam konteks persaingan keras yang selalu berubah. Tiap sosok otoritas unggul yang muncul di antara para oligark hanya bisa mendominasi untuk sementara. Konflik dan ancaman umumnya bersifat lateral antar-oligark panglima. Klaim atas wilayah sumber kekayaan, sumber daya, dan populasi bawahan tumpang tindih dan menjadi bahan seteru. Pengumpulan kekayaan dengan cepat paling banyak terjadi mela- lui penaklukan, walau para oligark panglima juga mengambil surplus98 dari produsen primer. Sumber daya pemaksaan dan mate- rial terjalin amat erat bagi oligark panglima sehingga nyaris tak terpisahkan. Kapasitas pemaksa ada untuk pertahanan kekayaan, dan kekayaan digunakan untuk memelihara kapasitas pemaksa.99 Sementara itu, oligarki penguasa kolektif (ruling) adalah para oligark yang masih berperan besar secara pribadi dalam pelaksanaan kekerasan, namun berkuasa secara kolektif dan mela- lui lembaga yang memiliki norma atau aturan main.100 Sedangkan oligarki sultanistik (sultanistic) terbentuk ketika terjadi monopoli sarana pemaksaan berada di tangan satu oligark, bukan negara

97Winters, Oligarchy, i. 98Surplus adalah jumlah yang melebihi hasil biasanya; berkele- bihan; sisa. Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring), entri “surplus.” 99Winters, Oligarchy, 35. 100Winters, Oligarchy, 35. Ahmad Munjin 61 terlembaga yang dibatasi hukum. Di dalamnya, marak hubungan patron-klien dengan norma perilaku dan kewajiban tertentu yang terkait dengannya. Akan tetapi, penegakan hukum tidak ada atau beroperasi sebagai sistem kekuasaan hukum yang bersifat priba- di.101Terakhir, seperti oligarki sultanistik, oligarki sipil (civil) adalah oligark yang sepenuhnya tak bersenjata dan tidak berkuasa langsung. Kekuasaan bersifat sporadis selaku tokoh politik indivi- dual, bukan dalam kapasitas oligarkis. Bedanya dengan sultanis- tik, pada oligarki sipil, yang menggantikan individu tunggal seba- gai pelaksana pemaksaan yang mempertahankan harta oligarki, adalah adanya lembaga pelaku yang dikendalikan oleh hukum.102 Dalam oligarki penguasa kolektif, para oligark menyerah- kan sebagian besar kekuasaan kepada kelompok oligark. Para oligark sebagai kelompok lebih kuat daripada sembarang anggota- nya. Dalam oligarki sultanistik, mereka menyerahkan sebagian besar kekuasaan kepada satu individu. Satu oligark lebih kuat daripada yang lain. Sedangkan dalam bentuk murni oligarki sipil, para oligark menyerahkan sebagian besar kekuasaan kepada peme- rintah tak-pribadi dan terlembaga di mana hukum lebih kuat daripada semua individu. Dengan tersedianya pertahanan harta oleh negara, pertahanan kekayaan dalam oligarki sipil terpusat pada pertahanan pendapatan—upaya mengelak dari jangkauan tangan negara yang hendak melakukan redistribusi kekayaan.103 Dari sisi jinak-liarnya, oligarki panglima tak pernah jinak. Sebab, oligark panglima, per definisi, menurut Winters, hampir selalu terlibat konflik kekerasan dengan sesamanya, dan mereka merupakan pemilik wilayahnya sendiri sampai dijatuhkan. Semen- tara itu, dalam oligarki penguasa kolektif, para oligark bisa sete- ngah bersenjata sampai sepenuhnya tak bersenjata. Kemampuan oligark menjinakkan diri sendiri secara kolektif bergantung kepada apakah alat pemaksa dan pengendali kolektif bisa digunakan untuk membatasi perilaku individu atau kelompok kecil oligark.

101Winters, Oligarchy, 35. 102Winters, Oligarchy, 36. 103Winters, Oligarchy, 36.

62 Oligarki dan Demokrasi...

Oligarki penguasa kolektif bisa gagal membatasi perilaku meru- gikan para oligark, tanpa ada individu atau kelompok kecil yang mampu menantang atau menggulingkan kelompok penguasa. Akibatnya, pihak-pihak itu boleh jadi melakukan gangguan terha- dap kedamaian di pusat imperium (menghasut kelompok-kelom- pok berdasar kelas atau status kewarganegaraan atau bentuk indentitas lain), intrik politik yang merusak kestabilan di dalam oligarki penguasa kolektif, aksi militer untuk memperkaya diri di provinsi dan di luar (“menyalahgunakan” alat pemaksa kolektif), atau korupsi besar-besaran. Selama oligarki penguasa kolektif yang cacat bertahan, semua prilaku barusan adalah bukti adanya oligarki liar.104 Di sisi lain, ketika keadaan dibalik dan satu individu atau kelompok kecil oligark bukan hanya berhasil menguasai alat pemaksa oligarki penguasa kolektif dan mengerahkannya untuk melawan kelompok penguasa, melainkan juga menstabilkan dan mungkin melembagakan bentuk dominasi lebih sempit itu, maka itu merupakan contoh transisi dari oligarki penguatan kolektif yang liar ke oligarki sultanistik yang jinak. Peristiwa seperti itu terjadi di bawah Julius Caesar di Roma dan di bawah Marcos di Filipina, walau pada kasus Marcos, kapasitas menjinakkan oligar- ki-nya terbatas. Akhir kekuasaan otoriter di Filipina pada 1980-an di Indonesia pada 1990-an banyak dielu-elukan sebagai transisi menuju demokrasi. Akan tetapi, studi Winters mengungkap dengan jelas tentang adanya satu lagi transisi penting yang terja- di—dari oligarki relatif jinak di bawah dominasi sultanistik ke oligarki liar di bawah pemerintah demokratis yang tak punya kemampuan untuk mengendalikan para oligark.105 Demokrasi tidak melenyapkan oligarki melainkan bersatu dengan oligarki. Selain itu, inti masalah kekuasaan hukum (rule of law) di banyak masyarakat adalah menjinakkan oligarki.106

104Winters, Oligarchy, 37. 105Winters, Oligarchy, 37. 106Winters, Oligarchy, i. Ahmad Munjin 63

Matthijs Bogaards menilai tidak begitu jelas atas empat taksonomi atau pembagian jenis oligarki yang mewarnai sebagian besar buku Winters tentang Oligarchy yang berisi studi-studi kasus yang ilustratif itu.107 Sebab, dalam konteks oligarki sipil, menurut Bogaards para oligark sama sekali tidak memerintah baik secara individu maupun secara kolektif. Oleh karena itu, mereka tidak membutuhkan perhatian orang lain atas kepentingan-kepen- tingan mereka.108 Padahal, menurut Winters, oligarki sipil itulah yang sepenuhnya kompatibel dengan demokrasi dengan mengacu pada pengertian sebagaimana Winters lacak ke Aristoteles. Oligarki sipil bisa menjadi demokratis kecuali oligarki sebagaima- na didemontrasikan oleh kasus Singapura.109 Sementara itu, Robison dan Hadiz membagi oligarki ke dalam tiga kelompok yang disebutnya merupkan perwujudan oli- garki kompleks: pertama, pejabat negara (birokrat) alias politico- bureaucrates;110kedua, keluarga-keluarga yang mengandung unsur- unsur bisnis dan politik (politico-business families);111 dan ketiga, para konglomerat bisnis.112 Menurut Robison dan Hadiz, sebagai- mana dikutip J. Danang Widoyoko, oligarki yang dibangun dan dibesarkan sejak masa Orde Baru mampu bertahan dan beradaptasi dengan sistem politik dan ekonomi baru. Oligarki tersebut meru- pakan aliansi sosial yang cair dan luas dari kekuasaan birokrasi, korporasi yang diuntungkan oleh berbagai kebijakan protektif dan

107Matthijs Bogaards, ulasan tentang Oligarchy, Jeffrey A. Winters, Acta Politica 47 no. 3 (2012): 324. 108Bogaards, ulasan tentang Oligarchy, 324. 109Bogaards, ulasan tentang Oligarchy, 325. 110Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 14. 111Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 53-54. 112Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 12. Perihal taksono- mi oligarki menurut Robison dan Hadiz, lihat juga R. William Liddle, “Marx atau Machiavelli? Menuju Demokrasi Bermutu di Indonesia dan Amerika” Orasi Ilmiah dalam rangka Nurcholish Madjid Memorial Lec- ture V, Kamis, 8 Desember 2011, di aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta.

64 Oligarki dan Demokrasi... fasilitas pemerintah serta organisasi korporatif yang menopang kekuasaan Orde Baru. Krisis ekonomi dan politik serta berbagai program reformasi meskipun membuat oligarki melemah dan ter- fragmentasi, tetapi tidak menghancurkan basis sosial para oligark.113 Jika mengacu pada sumber daya kekuasaan material oligarki yang dibangun oleh Winters yakni akumulasi kekayaan ekstrem, ketiga jenis oligarki Robison dan Hadiz, belum tentu semuanya masuk kategori oligarkis. Hanya para konglomerat bis- nislah yang berpeluang besar memenuhi syarat dan mendefinisikan dirinya sebagai oligark. Sementara itu, politico-bureaucratesdan politico-business families bisa masuk kategori oligarkis jika akumulasi kekayaan yang mereka lakukan mencapai kategori ekstrem. Jika tidak mencapai level yang ekstrem, dua jenis oligar- ki tersebut masih berada dalam ranah teori elite bukan oligarki. Sebab, birokrat-politik dan keluarga-keluarga bisnis-politik hanya terdefinisikan sebagai oligark secara generik yakni ‘segelintir orang’ tapi belum terdefinisikan secara prinsip dan sumber daya kekuasaannya.

5. Oligarki dan Demokrasi: Kekuasaan Material versus Partisipasi Sejak kelahirannya, kira-kira 250 tahun silam, demokrasi tidak pernah berhasil mengatasi persoalan stratifikasi material. Dalam demokrasi elektoral, yang terjadi adalah kontestasi dan kompetisi timpang dalam pemilu. Hak pilih hanya membangun arena pertarungan yang tak seimbang secara ekstrem antara kekuasaan material dengan kekuasaan partisipasi. Pertaruangan tersebut terjadi dalam bentuk hak pilih dalam demokrasi elektoral yang menjalankan prinsip one person one vote. Satu suara orang biasa memang sama dengan satu suara orang super kaya di bilik suara. Akan tetapi, di luar bilik suara, orang super kaya dengan wealth power-nya bisa memengaruhi jutaan suara. Apalagi, jika

113J. Danang Widoyoko, Oligarki dan Korupsi Politik Indonesia: Strategi Memutus Oligarki dan Reproduksi Korupsi Politik (Malang: Setara Press, 2013), 6. Ahmad Munjin 65 wealth power tersebut menggunakan media massa baik cetak maupun elektronik untuk memengaruhi opini jutaan pemirsa. Sebelum membahas persaingan dua jenis kekuasaan tersebut (material dan partisipasi) lebih jauh, peneliti akan menghadirkan terlebih dahulu, persamaan, perbedaan, dan sintesis antara oligarki dan demokrasi. a. Perbedaan, Persamaan, dan Sintesis Oligarki dan Demokrasi Pada subbab ini, peneliti menjelaskan perbedaan, persama- an, dan sintesis antara oligarki dan demokrasi. Indikator-indika- tornya adalah fakta, penguasa, perbedaan sejati, jumlah penguasa, motif berkuasa, kesetaraan/ketidaksetaraan, masalah inti, dan sintesis. Lihat Tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2. Perbedaan-Persamaan Oligarki dan Demokrasi Aristoteles

No. Indikator Oligarki Demokrasi

(1) (2) (3) (4) Di mana-mana orang kaya hanya sedikit dan 1 Fakta orang miskin banyak Orang-orang yang Orang miskin, bukan memiliki harta 2 Penguasa orang kaya menjadi memegang penguasa. pemerintahan. 3 Perbedaan sejati Kekayaan Kemiskinan Bilamana manusia berkuasa berdasarkan kekayaan, baik mereka sedikit atau banyak, Bila kaum miskin 4 Jumlah penguasa maka itu oligarki. berkuasa, itulah Oligarki selalu merujuk demokrasi. kepada hubungan erat antara kekayaan dan kekuasaan.

66 Oligarki dan Demokrasi...

Lanjutan Tabel 2.2 (1) (2) (3) (4) Aristoteles tak pernah mengganggap serius perbedaan antara motif mulia pemerintahan demi kepentingan bersama versus kepentingan pribadi. Siapapun yang berkuasa (baik oligarki maupun demokrasi) bakal mementingkan dirinya sendiri. Ketidaksetaraan material ekstrem menghasilkan 5 Motif berkuasa situasi di mana “yang miskin dan yang kaya saling berkelahi. Pihak mana pun yang unggul, bukannya mendirikan pemerintahan yang adil dan mengutamakan rakyat, malah menganggap supremasi politik sebagai hadiah kemenangan, dari satu pihak mendirikan demokrasi sementara pihak lain mendirikan oligarki” Kesetaraan/ 6 Ketidaksetaraan materi Kesetaraan politik ketidaksetaraan Supremasi politik 7 Masalah inti Pertahanan kekayaan sebagai hadiah Perpaduan oligarki dan demokrasi dengan harapan segelintir orang kaya tidak akan menjadi Sintesis oligarki 8. terlalu menindas dan mayoritas orang miskin versus demokrasi tidak akan mengancam atau menantang orang kaya. Sumber: Diolah dari Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge University Press, 2011), 27-28.

Aristoteles menawarkan skema beberapa bentuk rezim yang sederhana. Prinsip yang pertama adalah rezim-rezim tersebut dipastikan baik atau buruk. Di satu sisi, rezim yang fokus pada kebaikan bersama, disebut Aristoteles sebagai rezim yang baik. Di sisi lain, rezim yang hanya mementingkan diri sendiri disebut pemerintahan yang buruk. Prinsip kedua, rezim penguasa bisa ter- bentuk dengan kekuasaan satu orang, sedikit orang, atau banyak orang. Penguasa tunggal disebut monarki, apabila baik, dan apa- bila kekuasaan tersebut buruk, maka disebut tirani. Kekuasaan sedikit orang disebut aristokrasi apabila baik, dan oligarki apabila buruk; Kekuasaan banyak orang, apabila baik disebut polity (sebu- Ahmad Munjin 67 ah masyarakat politik),114 dan apabila buruk disebut demokrasi. Bentuk rezim terbaik menurut Aristoteles adalah pangkat raja dan yang terburuk adalah tirani.115 Menurut Kurt A. Raaflaub, dasar dan tujuan demokrasi adalah menjaga kebebasan, kekuasaan, dan kepentingan-kepenti- ngan materi masyarakat banyak (demos) sedangkan oligarki hanya melayani kepentingan-kepentingan elite dan menghasilkan “per- budakan” terhadap masyarakat dari kelas bawah.116 Berdasarkan interpretasi Raaflaub itu, Thucydides (c. 460-c. 400 B.C.) meng- ekspresikan kredo politik yaitu sebuah konstitusi campuran, per- paduan antara elemen-elemen demokrasi dengan oligarki dengan menolak elemen-elemen yang ekstrem dari keduanya. Dengan demikian, Thucydides mengakui konstitusi campuran antara de- mokrasi dan oligarki sebagaimana digagas oleh Plato, Aristoteles, dan Polybius. Akan tetapi, Thucydides tidak menyatakan secara tegas bahwa konstitusi campuran itu merupakan pilihan terbaik- nya.117 Sedangkan menurut Winters, pemahaman atas oligark dan oligarki bermula dengan pengamatan, ketidaksetaraan material ekstrem menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula. Padahal, sebagian besar penafsiran demokrasi memandang keseta- raan politik merupakan perkara akses dan keterlibatan dalam pro- ses politik. Suatu bangsa menjadi demokratis dan ketidaksetaraan politik teratasi ketika semua anggota masyarakat berhak berpar- tisipasi bebas dan penuh, untuk memberi suara, berbicara, berkum-

114Peter F. Drucker, A Functioning Society: Selections from Sixty-Five Years of Writing on Community, Society, and Polity (New Brunswick dan London: Transaction Publishers, 2003), 57. 115Daniel Adam Doneson, “The Contest of Regimes and the Problem of Justice: Political Lessons from Aristotle's Politics” (Disertasi PhD the University of Chicago, 2006), 26. 116Kurt A. Raaflaub, “Thucydides on Democracy and Oligar- chy,” dalam Brill’s Companion to Thucydides, eds. Antonios Rengakos dan Antonis Tsakmakis (Leiden dan Boston: Brill, 2006), 210. 117Raaflaub, “Thucydides,” 189.

68 Oligarki dan Demokrasi... pul, mendapat akses informasi, mengajukan keberatan tanpa diintimidasi, dan memegang jabatan sampai tingkat politik ter- tinggi. Ketidaksetaraan material di antara warga negara diakui secara luas sebagai isu politik, tapi bukan sebagai sumber utama kekuasaan politik yang tak seimbang.118 Winters menegaskan, oligarki bertumpu pada terkonsen- trasinya kekuasaan material sedangkan demokrasi bertumpu pada penyebaran kekuasaan non-material.119 Atas dasar itu, Winters mendefinisikan oligarki dan demokrasi sebagai distribusi jenis- jenis kekuasaan yang sangat berbeda secara radikal. Demokrasi mengacu pada tersebarnya kekuasaan politik formal yang dida- sarkan atas hak-hak, prosedur-prosedur, dan level-level partisipasi umum. Sebaliknya, oligarki mengacu pada terkonsentrasinya ke- kuasaan material yang didasarkan pada penegakan klaim-klaim atau hak-hak kepemilikan atau kekayaan. Itulah sifat dasar kekua- saan politik yang bisa diperluas atau dipersempit sebagaimana sistem-sistem menjadi lebih atau kurang demokratis adalah berbe- da dengan kekuasaan politik yang bisa disebarkan atau dikonsen- trasikan secara material. Inilah alasan mengapa demokrasi dan oligarki sungguh-sungguh kompatibel yang menyebabkan dua ranah kekuasaan tidak bertentangan.120 Pada hemat peneliti, di satu sisi, konsentrasi kekayaan para oligark memang memicu konsentrasi kekuasaan politik. Akan tetapi, di lain sisi, secara formal-prosedural demokrasi, kekuasaan non-material seperti kekuasaan politis tetap tersebar secara merata melalui konsep one person one votesehingga wajar jika Winters menganggap oligarki kompatibel dengan demokrasi. Hanya saja, secara subtansial, konsentrasi kekuasaan politik pada segelintir orang terkaya patut diakui sebagai hal yang bertentangan dengan substansi demokrasi. Dalam konteks ini, peneliti berargumen, oligarki lebih merupakan keniscayaan dibandingkan kompatibili-

118Winters, Oligarchy, 4-5. 119Winters, “Oligarchy and Democracy,” 20. 120Winters, Oligarchy, 39. Ahmad Munjin 69 tas selama demokrasi gagal mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi. Apalagi, menurut Winters, para oligark menyadari bahwa demokrasi merupakan ancaman-ancaman baru yang potensial. Secara historis yang terekam hingga ke era Aristoteles pun, demokrasi selalu diisi dengan komentar-komentar yang gugup dari orang-orang terkaya tentang bagaimana kekuasaan demokratis di tangan mayoritas bisa mengancam stratifikasi materi dengan cara mengambil dan meredistribusi kekayaan dari kelompok yang sedi- kit.121 Bangkitnya lembaga dan politik kontemprer, termasuk kemunculan demokrasi, menurut Winters, tidak menghilangkan oligark dan juga tidak membuat oligarki usang secara politis. Sebab, dalam demokrasi elektoral nyaris tidak ada pembatas yang bisa efektif membatasi bentuk-bentuk kekuasaan material yang dipegang oleh para oligark. Bahkan, dalam demokrasi industri maju, sebagian konsentrasi terbesar sumber daya material dikuasai secara pribadi dan digunakan dalam politik oleh minoritas amat kecil demi tujuan-tujuan oligarkis. Dengan demikian, sistem yang demokratis di segala aspek lain masih mengandung ketidakseimbangan kekuasaan besar bila banyak sumber daya material terkonsentrasi di sedikit tangan. Jadi, walau bentuk dan cirinya telah banyak berubah sejak bang- kitnya masyarakat pertama dengan stratifikasi material, oligarki telah bertahan melalui periode-periode sejarah dan berbagai ben- tuk pemerintahan selama kekayaan tetap terkonsentrasi di segelin- tir orang.122 Sementara itu, perihal transisi menuju demokrasi, Winters menjelaskan, jatuhnya material diktator di suatu negara seperti Soeharto yang pernah berhasil menjinakkan oligarki sering menghasilkan transisi menuju demokrasi sekaligus transisi menuju oligarki liar. Lembaga formal hukum yang segaja dilemahkan sela-

121Winters, “Oligarchy and Democracy in Indonesia,” 15. 122Winters, Oligarchy, 10.

70 Oligarki dan Demokrasi... ma periode otoriter ternyata terlalu lemah untuk mengendalikan oligark ketika demokrasi elektoral menggantikan kediktatoran.123 b. Kekuasaan Material versus Kekuasaan Partisipasi Menurut Gertrude Himmelfarb, dalam kerangka Lord Acton, demokrasi lebih tepat didefinisikan sebagai partisipasi masyarakat dalam urusan pemerintahan dibandingkan kekuasaan rakyat yang tidak terbatas dalam urusan kemasyarakatan.124 Dalam konteks demokrasi elektoral, Winters memberikan peneka- nan pada kekuasaan partisipasi masyarakat dalam pemungutan suara dibandingkan kekuasaan material yang melekat dari orang- orang terkaya. Menurut dia, kekuatan partisipasi dan kekuatan material dalam demokrasi elektoral menjadi tidak setara. Sebab, segelintir orang dengan kekuatan uang, jauh lebih kuat diban- dingkan kekuatan mayoritas yang hanya mengandalkan kekuatan partisipasi.125 Kemunculan demokrasi memicu kompetisi di antara wealth power dengan participation power. Salah satu definisi demokrasi adalah semua orang bisa berpartisipasi, bebas bicara, bebas berpikir, bebas berkumpul, bebas mengeluh, bebas bersuara dan bebas memilih. Dengan demikian, salah satu definisi demo- krasi adalah hak atau kapasitas setiap orang untuk berpartisipasi terutama dalam pemilu.126 Dalam sejarah manusia, demokrasi

123Winters, Oligarchy, 38. 124Gertrude Himmelfarb, pendahuluan untuk Essays on Freedom and Power, oleh Lord Acton (Boston, Mass.: The Beacon Press, 1949), lxi. 125Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and Democracy,” The Ameri- can Interest 7, no. 2 (Desember 2011): 20. 126Menurut Saiful Mujani, tidak ada ukuran pasti tentang dimen- si partisipasi politik. Akan tetapi, ada beberapa ukuran yang bisa dijadi- kan patokan yaitu aktivitas politik yang mencakup pencoblosan (membe- rikan hak suara), kampanye, menghubungi pejabat publik, kerja kemasya- rakatan, dan melakukan protes politik. Saiful Mujani, “Religious Democ- rats: Democratic Culture and Muslim Political Participation in Post- Ahmad Munjin 71 merupakan sistem yang sangat rata (equal) secara radikal dan jarang terjadi pada sistem lain. Sebab, demokrasi didasarkan pada konsep bahwa setiap orang mendapat jumlah suara yang sama yakni satu suara (one person one vote).127 Akan tetapi, Winters menggarisbawahi, transisi dari sis- tem non-partisipasi ke sistem partisipasi, tidak berarti semua kesenjangan kekuasaan hilang. Yang berubah hanya satu dari transisi tersebut yaitu semua orang bisa berpartisipasi. Semua kesenjangan kekuasaan yang lain tetap terjadi terutama kekuasaan kekayaan. Sebelum transisi ke demokrasi, ada orang kaya (oligark) yang sangat berkuasa (powerful) dan setelah transisi ke demokrasi pun, tetap ada orang kaya yang sangat berkuasa. Padahal, semua orang mendapatkan satu suara. Kesenjangan tersebut mendefinisi- kan para oligark sebagai orang yang berkuasa karena kekayaan.128 Oligark memang mendapat satu suara juga secara ritual demokrasi dalam pemilu. Akan tetapi, jika oligark itu kebetulan memiliki media, suara oligark melalui jalur keuangan dan media- nya itu, berbeda dengan suara orang biasa. Oligark memiliki kekuatan untuk mendanai partai, mendanai kampanye, dan menda- nai kelompok tertentu yang mau naik dan menggeser kelompok lain yang tidak dikehendakinya. Padahal, secara prosedural, demo- krasi berjalan sempurna. Akibatnya, jika semua calon merupakan pilihan oligarki, pemimpin terpilih pun merupakan pilihan oligar- kis. Keterpilihan seorang pemimpin semacam itu merupakan kom- binasi kekuasaan kekayaan dengan kekuasaan partisipasi dalam demokrasi. Di Indonesia, kata Winters, yang dominanadalah wealth power dibandingkan participation power.129

Suharto Indonesia” (Disertasi Ph.D, the Ohio State University, 2003), 43. 127Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and the Jokowi Administra- tion,” Kuliah Umum Jurusan Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta, Senin, 8 Juni 2015. 128Winters, “Oligarchy and Jokowi.” 129Winters, “Oligarchy and Jokowi.”

72 Oligarki dan Demokrasi...

B. Kritik terhadap Teori Oligarki: Individu sebagai Fokus Kritik tajam terhadap oligarki datang dari R. William Liddle,130 Thomas B. Pepinsky,131 dan Marcus Mietzner.132 Ketiga- nya menilai keliru teori oligarki, terutama yang digunakan oleh Richard Robison bersama Vedi R. Hadiz dan Jeffrey A. Winters untuk menjelaskan kekuasaan Orde Baru dan setelah kejatuhan Soeharto. Liddle bahkan menyatakan, teori oligarki merupakan sebuah nasihat tentang pesimisme.133 Ketiganya menyodorkan teori baru sebagai revisi atas teori oligarki. Liddle menyuguhkan teori aksi, Pepinsky mengajukan teori pluralisme, dan Mietzner menyuguhkan level-level pragmentasi politik di Indonesia. Sementara itu, Edward Aspinall, Teri L. Caraway dan Michele Ford lebih fokus pada gerakan penting kelas bawah yang juga bertentangan dengan tesis oligarki.134 Menurut Liddle, Robison dan Hadiz telah membangun teori kritis paling lengkap dan persuasif. Hanya saja, buku mere- ka,tidaklah menggambarkan pertentangan klasik Marxis antara borjuis dan proletariat melainkan merupakan cara di mana elite pemerintahan dan elite bisnis Indonesia telah merespons a la Harvey terhadap kesempatan dan tatanan kapitalis global. Menu- rut Robison dan Hadiz, sebuah “oligarki kompleks” sudah terben- tuk semasa Orde Baru Soeharto.135 Saat terbentuk, oligarki Indo-

130R. William Liddle, “Quality of Democracy in Indonesia: Toward a Theory of Action,” Indonesia 96 (Oktober 2013): 63. 131Michele Ford dan Thomas B. Pepinsky, eds., Beyond Oligar- chy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics (Ithaca, New York: Cornell University Press, 2014), 83. 132Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 114. 133Disampaikan Liddle secara lisan dalam orasi ilmiahnya dalam rangka Nurcholish Madjid Memorial Lecture V dengan tema “Marx atau Machiavelli? Menuju Demokrasi Bermutu di Indonesia dan Amerika,” pada Kamis, 8 Desember 2011, di aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta Selatan. 134Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 135. 135Liddle, “Quality of Democracy,” 63. Ahmad Munjin 73 nesia ini terdiri dari tiga elemen: pejabat negara, keluarga politico- business, dan konglomerat bisnis. Menurut Robison dan Hadiz, lanjut Liddle, oligarki kompleks masih berkuasa hingga sekarang meskipun rezim Orde Baru yang otoriter jatuh pada 1998 dan diganti oleh institusi- institusi demokratis secara formal. Robison dan Hadiz juga mem- bantah bahwa desentralisasi berimbas positif pada kualitas demo- krasi Indonesia. Yang berkuasa sekarang baik di pusat maupun di daerah, lebih dari satu dekade setelah reformasi 1998 masih merupakan individu-individu atau representasi mereka dari tiga grup elite di atas.136 Prediksi Robison dan Hadiz dinilai Liddle pesimistis, seraya mengutip: “Kemungkinan bahwa partai-partai reformis yang solid mungkin muncul dari sisa-sisa yang didorong oleh sebuah agenda yang koheren dari liberalisme pasar daripada dicap- lok dalam sebuah sistem dari berbagai hubungan kekuasaan yang tertanam dalam perburuan rente yang muncul bahkan lebih jauh dari biasanya… [Artinya] sebuah sistem pemerintahan demokra- tis, di mana aparatur negara akan menyediakan beberapa bentuk tatanan yang di dalam tatanan tersebut para oligark akan lebih berkuasa dibandingkan pasar.”137 Sejak lama, lanjut Liddle, para peneliti politik Indonesia bisa memahami kemunculan argumen Robison dan Hadiz baik sebagai observasi empiris maupun sebagai keluhan moral. Selama Orde baru, argumen itu dianggap masuk akal untuk dipercaya bahwa pejabat tinggi melanggar sumpah jabatan untuk mendapat imbalan materi. Hal ini juga tampak jelas, bahwa para anggota

136Liddle, “Quality of Democracy,” 64. 137Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 265, “[T]he possi- bility that cohesive reformist parties might emerge from the wreckage, driven by a coherent agenda of market liberalism rather than being swallowed in a system of power relations embedded in the pursuit of rents appears even more remote than ever … [This means] a system of democratic rule where the state apparatus will provide some form of order in which oligarchies rather than markets will prevail,”

74 Oligarki dan Demokrasi... keluarga pejabat dan konglomerat swasta merupakan bagian dari sebuah sistem patron-clientyang menguntungkan mereka dengan mengorbankan bangsa dan negara. Namun demikian, argumen teori kritis tersebut dinilai keliru oleh Liddle baik sebagai keluhan moral maupun sebagai analisis empiris.138 Sebagai keluhan moral, argumen oligarki Robison dan Hadiz tak lengkap. Memang tak bisa disangkal bahwa banyak pejabat, para anggota keluarga pejabat, dan konglomerat dengan koneksi pemerintah yang mendapatkan keuntungan ‘busuk’ semasa Orde Baru.139 Meski begitu, menurut Liddle, tetap saja, tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang mendekati 8% terjaga selama lebih dari seperempat abad dan menguntungkan mayoritas penduduk. Sejarah ini, menurut Liddle tercatat secara baik oleh beberapa ekonom termasuk Anne Booth,140 Hal Hill,141 dan Peter Timmer.142 Secara empiris, Liddle menegaskan, penguasa Orde Baru bukanlah sebuah oligarki melainkan diktator tunggal, Soeharto. Semua keputusan penting diambil oleh Soeharto sendiri untuk mewujudkan berbagai tujuan yang berbeda-beda dan yang utama adalah mewujudkan kelestarian kekuasaannya. Elemen-elemen oligarki dari Orde Baru itu, bertindak sekaligus sebagai basis dukungan bagi Soeharto dan sebagai instrumen atau sumber daya politik yang digunakan Soeharto. Tanpa apresiasi terhadap peran Soeharto sebagai penguasa yang sadar diri, menurut Liddle, mus- tahil bisa memahami pasang surut nasib dari kelompok-kelompok

138Liddle, “Quality of Democracy,” 64. 139Liddle, “Quality of Democracy,” 64. 140Anne Booth, ed., The Oil Boom and After: Indonesian Econo- mic Policy and Performance in the Soeharto Era (Singapura: Oxford University Press, 1992). 141Hal Hill, The Indonesian Economy since 1966 (Cambridge: Cambridge University Press, 1996). 142Peter Timmer, “The Road to Pro-Poor Growth: The Indone- sian Experience in Regional Perspective,” Bulletin of Indonesian Econo- mic Studies 40, no. 2 (2004): 177-207. Ahmad Munjin 75 ekonomi tertentu semasa Orde Baru dan cara-cara pergeserannya yang memengaruhi ekonomi dan pemerintahan (polity) secara luas.143 Selain itu, lanjut dia, satu hal yang penting, sejumlah sumber daya politik yang lain tidak ditekankan oleh Robison dan Hadiz secara lebih kritis. Dalam konteks ini adalah kekuatan tentara yang merupakan sumber daya koersif yang memungkinkan Soeharto mencengkram kekuasaannya selama 33 tahun.144 Setidaknya, ini merupakan inkamben bagi para sarjana yang menggunakan bangunan abstrak—seperti oligarki kompleks, tapi juga variabel-variabel ilmu politik lain seperti kelompok- kelompok kepentingan, gerakan-gerakan sosial, dan kepercayaan keagamaan—dibandingkan aksi-aksi konkrit dari individu-indivi- du sebagai variabel-variabel independen dan dependen mereka untuk menentukan watak dari fakta yang meyakinkan mereka dan meyakinkan yang lainnya tentang keabsahan klaim-klaim mereka. Dalam kasus Orde Baru Soeharto, misalnya, teori aksi secara epistemologis jauh lebih mudah, paling tidak dalam tiga penger- tian untuk menyuguhkan fakta yang diterima secara luas untuk proposisi bahwa Soeharto atau menteri yang relevan dalam setiap kasus yang mengumumkan kebijakan ekonomi tertentu dibanding- kan memperlihatkan bahwa itu telah dilakukan oleh oligarki. Apabila seseorang fokus pada kebijakan-kebijakan Soeharto dan para birokratnya, kemudian, pertama-tama, aksi tersebut sudah direportase secara publik. Kedua, akibatnya kepada yang lain dari aksi tersebut sudah siap dilacak. Ketiga, pertanyaan-pertanyaan tentang kolusi, pembagian tanggung jawab, dan seterusnya jangan timbul apabila klaim-klaim tersebut dibuat oleh hanya beberapa orang aktor individu. Perhatian itu tidak tampak dalam literatur kritis tentang Indonesia.

143Lihat, sebagai contoh, analisis dari Thomas Pepinsky tentang ekonomi politik yang menyebabkan kejatuhan Orde Baru. Thomas Pepinsky, Economic Crises and the Breakdown of Authoritarian Regi- mes: Indonesia and Malaysia in Comparative Perspective (Cambridge: Cambridge University Press, 2009. 144Liddle, “Quality of Democracy,” 65.

76 Oligarki dan Demokrasi...

Tentu saja, sebagai individu-individu, para pejabat negara (termasuk tentara), keluarga para pejabat, dan konglomerat swasta punya tujuan masing-masing, termasuk tujuan-tujuan yang bisa direalisasikan melalui tindakan pemerintah yang menguntungkan. Selama Orde Baru, tampanya kebanyakan dari individu-individu itu sudah terpuaskan dengan terpenuhinya kebutuhan atau tuntutan mereka. Buktinya, kata Liddle, hanya sedikit individu, untuk tidak menyebut kelompok-kelompok kepentingan secara signfikan, yang memberontak atau memutuskan hubungan mereka dengan Soeharto.145 Fakta itu, bagamanapun, tidak mengindikasikan bahwa kelompok-kelompok tersebut menguasai negara. Mereka mendu- kung Orde Baru karena Soeharto melayani kepentingan mereka. Sumber daya politik mereka—seperti kekayaan, status, gengsi, informasi, organisasi, pengetahuan, dan jabatan, semuanya dimo- bilisasi atau dikerahkan oleh Soeharto untuk membangun dan mempertahankan kekuasaannya. “Tak lebih dari itu.”146 Sistem pemerintahan telah berubah secara dramatis sete- lah Mei 1998. Sejak reformasi, telah ada ribuan penguasa, yakni, para presiden, para gubernur, para kepala daerah, dan para wali- kota pada level eksekutif, plus legislator baik di pusat maupun di daerah. Dalam istilah Weberian, basis otoritas Orde Baru adalah kekuasaan pribadi (personal rule)147 yang dalam hal ini tidak berbeda dengan Demokrasi Terpimpin ala Soekarno. Sekarang, basis kewenangan tersebut berubah menjadi kekuasan legal-

145Liddle, “Quality of Democracy,” 65. 146Liddle, “Quality of Democracy,” 65. 147Personal rule adalah tipe sistem politik yang khusus di mana persaingan dan perjuangan lebih ditentukan oleh seorang individu yang berkuasa secara penuh dan segaja dibandingkan ditentukan oleh lemba- ga-lembaga, ideologi-ideologi, kebijakan-kebijakan publik, dan kelom- pok-kelompok kepentingan pada umumnya. Orang yang berkuasa penuh secara sengaja itu sangat fundamental dalam membentuk kehidupan poli- tik. Petros B. Ogbazghi, “Personal Rule in Africa: The Case of Eritrea,” African Studies Quarterly 12, no. 2 (2011): 2. Ahmad Munjin 77 konstitusional. Pejabat pemerintahan terpilih telah menjadi sum- ber daya politik yang otonom dan kuat. “Sulit dibayangkan ada- nya transformasi politik yang lebih fundamental dari itu.”148 Sementara itu, Pepinsky melihat perpolitikan Indonesia lebih dinamis dan menilai teori oligarki terlalu kaku karena hanya fokus pada sumber daya kekuasaan material dibandingkan sumber daya kekuasaan non-material. Dengan menggunakan pluralisme sebagai alat analisis, Pepinsky mengkrtik oligarki. Argumennya adalah “aktor-aktor berpolitik untuk menghasilkan kebijakan- kebijakan yang mereka sukai.” Keterlibatan politik tersebut men- dorong terbentuknya saluran politik individu, saluran politik mayoritas atau preferensi kolektif.149 Seperti Liddle, Pepinsky menunjukkan kelemahan tesis oligarki untuk mengakui pengaruh antara sumber daya kekuasaan material dan non-material. Menurut Pepinsky, sebagaimana dikutip Jayadi Hanan, oligarki gagal menghadirkan penjelasan yang sistematik tentang hubungan antara kekayaan material dengan hasil-hasil politik.150 Selanjutnya, Mietzner mengatakan, politik Indonesia dici- rikan dengan level fragmentasi yang tinggi yang di dalam frag- mentasi tersebut terdapat baik elemen-elemen oligarki maupun non-oligarki.151 Oleh karena itu, menurut Mietzner, motivasi para oligark untuk terlibat dalam politik juga berbeda-beda—mulai dari kepentingan ekonomi-politik dan keangkuhan personal hingga akumulasi modal pribadi yang lebih luas atau sekadar mencari penghasilan untuk mendanai operasi-operasi politik mereka. Atas dasar itu, teori oligarki dinilainya tidak mampu menangkap pen- tingnya operasi-operasi untuk melawan kelompok-kelompok

148Liddle, “Quality of Democracy,” 65. 149Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 83. 150Djayadi Hanan, ulasan tentang Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics, eds. Michele Ford and Thomas B. Pepinsky, Contemporary Southeast Asia 36, no. 3 (2014): 490. 151Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 114.

78 Oligarki dan Demokrasi... oligarki di dalam partai-partai dan parlemen.152 Mietzner mencon- tohkan gerakan-gerakan aktivis hak-hak perempuan, aktivis buruh dan aktivis hak-hak asasi manusia (HAM). Edwad Aspinall menilai terlalu berlebihan dalam melihat Indonesia sebagai tempat dominasi politk. Sebab, Indonesia sebe- narnya masih tetap merupakan tempat kontestasi politik yang setara.153 Protes-protes jalanan dan gerakan-gerakan sosial meru- pakan persoalan utama dalam kehidupan politik di Indonesia termasuk aktor-aktor politik dan friksi-friksi di antara mereka baik itu kepentingan oligarki, popular, maupun kepentingan lainnya. Semua itu terjadi di berbagai ranah seperti parlemen, partai, dan politik electoral. Caraway dan Ford juga mengungkapkan hal sena- da dengan mengatakan, para teoretikus oligarki gagal mengakui kemunculan gerakan kelas pekerja yang dinamis sebagai pengem- bangan empiris dalam politik Indonesia kontemporer.154 Kemam- puan gerakan-gerakan buruh untuk menaikkan level upah mini- mum, antara lain, merupakan bukti bahwa gerakan kelas bawah adalah kekuatan politik yang penting yang memiliki pengaruh jelas terhadap politik Indonesia. Di atas semua itu, kompetisi model elite dinilai menjadi penting. Penilaian tersebut datang dari Michael Buehler dalam studinya tentang pembuat kebijakan syariah di 25 daerah di Tanah Air. Buehler menemukan, politik lokal di Indonesia tidak dihasil- kan oleh oligarki melainkan oleh elite-elite negara yang telah menyesuaikan diri dengan watak perubahan politik di Indonesia pasca-Orde Baru. Para elite secara selektif menjangkau kelompok- kelompok masyarakat yang bisa memberikan mereka sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk memenangkan pemilu.155 Menurut Hanan, meski argumen antara pendukung oligar- ki dan non-oligarki jelas bertentangan, mereka tetap punya kesa- maan. Mereka sama-sama mengakui bahwa proses-proses politik

152Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 115. 153Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 135. 154Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 155. 155Ford dan Pepinsky, eds., Beyond Oligarchy, 174. Ahmad Munjin 79 dalam demokrasi Indonesia lebih dinamis dengan aktor-aktor, kepentingan dan lembaga-lembaga politik yang sangat beraneka ragam. Perbedaan utamanya terletak pada level pengaruh dan pentingnya mereka menautkan diri dengan aktor-aktor dan lem- baga-lembaga politik yang beraneka ragam. Bagi pendukung tesis oligarki, para oligark berpengaruh hingga pada tingkat tertentu di mana orang lain bisa terabaikan. Sementara itu, para pendukung non-oligarki menyatakan, kekuasaan dan hasil-hasil politik sangat- lah variatif tergantung pada konteks, kendala dan kesempatan yang membentuk aktor-aktor tersebut.156

C. Kompatibilitas versus Inkompatibilitas Oligarki dengan De- mokrasi Pada sub-bab ini, peneliti membandingkan pandangan bahwa oligarki sesuai atau kompatibel dengan demokrasi dengan pendapat sebaliknya. Perbandingan tersebut dielaborasi baik dari sudut pandang oligarki dalam pengertian material mauapun non- material (elite). Dalam pengertian material, sumber daya kekuasa- an oligarkis berasal dari akumulasi kekayaan yang ekstrem se- dangkan dalam pengertian elite, sumber daya kekuasaan oligarki berasal dari non-material seperti jabatan resmi, kekuasaan mobi- lisasi, atau hak politik formal.

1. Kompatibilitas Oligarki dengan Demokrasi Dukungan terhadap oligarki, pertama-tama datang dari Barrington Moore dengan diktum terkenalnya, “no bourgeoisie, no democracy”157--tak ada demokrasi tanpa kelas borjuis.Borjuis ada- lah kelas masyarakat dari golongan menengah ke atas yang biasa- nya dipertentangkan dengan rakyat jelata. Kelas menengah secara ekonomi tentunya memenuhi prinsip utama oligarki menurut Aris- totels yakni kekayaan. Moore berargumen, demokrasi merupakan

156Hanan, ulasan tentang Beyond Oligarchy, 491-92. 157Edward Aspinall, “The Power of Property: Oligarchy and Democracy in World History,” ulasan tentang Oligarchy, Jeffrey A. Win- ters, Taiwan Journal of Democracy 8, no. 1 (Juli 2012): 172.

80 Oligarki dan Demokrasi... produk dari sebuah serangan kaum borjuis pemberontak terhadap tuan tanah aristokrasi yang terbelakang.158 Dukungan selanjutnya muncul dari Gaetano Mosca (1858- 1941)159 yang menyatakan, semua masyarakat mengandung seke- lompok kelas yang relatif kecil yang berkuasa dan sekelompok kelas sangat besar yang terdiri dari mayoritas penduduk yang dikuasai.160 Demokrasi tidak pernah memperkenalkan kekuasaan mayoritas.161 Oleh karena itu, demokrasi semata-mata mencipta- kan manipulasi terhadap yang dikuasai oleh yang menguasai secara lebih halus. Dalam kritiknya yang sangat brilian, Mosca memperlihatkan bagaimana para wakil rakyat di Italia menguna- kan segala cara mulai dari janji-janji palsu hingga suap langsung agar mereka terpilih. Bahwa mereka terpilih secara bebas oleh para pemilih adalah mitos.162 Pada 1896, Mosca memperhalus

158Jeffery M. Paige, “The Social Origins of Dictatorship Democ- racy and Socialist Revolution in Central America,” Makalah disampai- kan pada Pertemuan Tahunan the American Sociological Association, San Franscisco, California, 8 Agustus, 1989, 3. 159Mosca mengombinasikan wawasan politisi profesional de- ngan wawasan filsuf konstitusi. Konsepsi Mosca tentang kelas penguasa sangat berbeda. Tidak seperti teori Pareto, tujuan elitisme Mosca lebih menentukan dibandingkan sekadar deskriptif karena menjadi sebuah usa- ha untuk menjustifikasi dan mengamankan kekuaaan kelas borjuis yang liberal di mana Mosca sendiri merupakan bagian dari kelas tersebut. Lihat Richard Bellamy, “Gaetano Mosca 1858-1941” dalam The Rout- ledge Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers, eds. Robert Benewick dan Philip Green (London dan New York: Routledge, 1998), 182. 160Mosca mempertahankan pendapat, kelas penguasa berutang jabatan dari manfaat organisasi sekelompok kecil atas kelompok yang besar. Kekuasaan juga berutang kepada bakat-bakat unggul dari anggota kelompok kecil. Akan tetapi, tiadanya perubahan bentuk pemerintahan, bisa menggantikan sifat dasar semua sistem politik yang elitis. Lihat Bellamy, “Gaetano Mosca,” 182. 161Bellamy, “Gaetano Mosca,” 182. 162Bellamy, “Gaetano Mosca,” 182. Ahmad Munjin 81 teorinya. Dia membedakan antara pemegang kekuasaan pemerin- tahan yang sebenarnya atau kelas politik (political class) dengan elemenelemen lain dari elite seperti para industrialis, anggota- anggota profesi, dan lain-lain. Dia sekarang mengakui, bahwa kelas penguasa terdiri dari kelompok-kelompok tersebut serta para politikus.163 Robert Michels (1876-1936) memberikan pernyataan senada perihal dominasi elite yang tidak dapat dihindari. “Orang yang bicara organisasi, bicara oligarki. Dominasi elite tak dapat dihindari.”164 Pada 1911, Michels mengokohkan dirinya sebagai teoretikus utama tentang elite melampaui Mosca dan Pareto untuk menjelaskan mengapa dominasi elite tak dapat dihindari.165

163Versi pertama dari karya Mosca, Teorica Dei Governi e Governo Parliamentare pada 1884 meletakkan doktrinnya secara terang benderang. Versi kedua, Elementi di Scienza Politica pada 1896 memper- halus teorinya ke dalam dua macam. Pertama, dia membedakan antara pemegang kekuasaan pemerintahan yang sebenarnya atau kelas politik (political class) dengan elemen-elemen lain dari elite seperti para indus- trialis, anggota-anggota profesi, dan lain-lain. Dia sekarang mengakui, bahwa kelas penguasa terdiri dari kelompok-kelompok tersebut serta para politikus. Kedua, dia berpendapat bahwa suatu masyarakat yang semakin kompleks menciptakan mekanisme-mekanisme pengekangan moral dan hukum serta pengendalian bersama untuk mengatur interaksi sosial dan untuk membatasi perilaku egois. Fenomena tersebut membentuk apa yang Mosca sebut sebagai a society’s juridical defence (pertahanan yuri- dis masyarakat). Versi terakhir dari teori Mosca, edisi kedua Elementi pada 1923, di mana dia menambahkan seluruh volumenya, menghasilkan perubahan pandangan dia yang dramatis. Sampai saat itu Mosca telah menganggap demokrasi sebagai berkah yang sangat beragam dan menen- tang semua upaya untuk memperluas demokrasi. Sebagai orang yang konservatif secara sosial, Mosca membenci peluang-peluang yang dita- warkan untuk kebangkitan elite populis. Lihat Bellamy, “Gaetano Mosca,” 182. 164Wolfe, “Robert Michels,” 175. 165Wolfe, “Robert Michels,” 175.

82 Oligarki dan Demokrasi...

Michels berargumen, para elite lebih cakap, orang kebanyakan secara psikologis tunduk dan bahwa organisasi pada dirinya menumbuhkan oligarki.166 Dukungan selanjutnya, datang dari Jeffrey A. Winters. Dia mengatakan, demokrasi dan oligarki tidak bertentangan sebagai- mana dipersepsikan banyak orang. Beberapa bentuk demokrasi bahkan bisa mendorong oligarki.167 Usaha terbaru untuk mendefi- nisikan para oligark dan oligarki, khususnya dalam konteks Amerika, dinilai Winters dan Page, sudah kandas karena beberapa alasan—penyebab utamanya adalah karena oligarki sudah ditafsir- kan secara keliru sebagai tidak kompatibel dengan demokrasi baik secara konseptual maupun fungsional. Winters dan Page berpen- dapat, oligarki membatasi demokrasi tapi tidak meletakkan demokrasi sebagai kepalsuan.168 Lembaga-lembaga demokratis pada dirinya tidak mampu untuk menjauhkan segelintir orang kaya dari terkonsentrasinya kekuasaan politik.169 Menurut dia, golongan masyarakat kaya bisa dikeluarkan dari kategori oligark jika entah bagaimana kekayaan dilucuti dari potensi politiknya yang melekat.170 Dengan demiki- an, oligarki dan demokrasi beroperasi dalam satu sistem.171 Winters menilai merupakan pembacaan keliru atas Aristoteles, jika teori oligarki melihat oligarki dan demokrasi sebagai sesuatu yang tertutup satu sama lain atau berpandangan bahwa demokrasi adalah palsu jika oligarki muncul di dalamnya.172 Aristoteles justru menyerukan sebuah sistem politik yang ideal, yakni peme- rintahan (the polity) yang menggabungkan oligarki dan demokrasi secara lincah.173

166Wolfe, “Robert Michels,” 175. 167Winters, “Oligarchy and Democracy,” 18. 168Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 733. 169Winters, “Oligarchy and Democracy,” 18. 170Winters, “Oligarchy and Democracy,” 27. 171Winters, “Oligarchy and Democracy,” 27. 172Winters, “Oligarchy and Democracy,” 27. 173Winters, “Oligarchy and Democracy,” 27. Ahmad Munjin 83

Hak pilih universal dan kebebasan liberal, lanjut Winters, memberdayakan persamaan semua warga negara secara radikal. Akan tetapi, prinsip one-person/one-vote tidak terlalu kuat untuk mencegah para oligark menggunakan kekuatan uang dengan ketimpangan yang tajam. Oleh karena itu, kesetaraan yuridis formal menempati posisi yang sangat penting demi terciptanya manusia yang bebas. Namun demikian, kesetaraan politik penuh, bahkan pada demokrasi yang paling liberal sekalipun, merupakan hal mustahil selama terkonsentrasinya kekayaan menempatkan pengaruh politik yang sangat timpang di tangan segelintir warga negara. Winters menilai Demokrasi yang menyatu dengan oligarki jauh lebih baik dibandingkan tidak ada demokrasi sama sekali. Semua itu, merupakan langkah parsial menuju kesetaraan dan representasi politik secara penuh.174 Literatur-literatur tentang oligarki dan demokrasi biasa melihatnya sebagai dua aturan politik yang saling tertutup. Winters dan Page justu melihat oligarki dan demokrasi sebagai kompatibel dan bahkan seringkali melebur. Dengan demikian, keduanya tidak sependapat dengan pandangan bahwa orang-orang kaya mendominasi seluruh aspek politik.175 Dalam sistem politik formal yang demokratis, perjuangan-perjuangan Dahlian pluralis- tic176—dan bahkan tersegmentasi (bukan umum dan revolusioner) berbagai mobilisasi massa—mungkin membawa hari pada banyak isu termasuk masalah-masalah ras, kewanitaan, gay, etnisitas, agama, moralitas, senjata, atau lingkungan. Semua itu merupakan isu-isu yang sangat penting bagi kebanyakan warga biasa sedang- kan bagi orang-orang kaya, isu-isu tersebut sangat terbatas dan merupakan keprihatinan lintas sektoral. Di sini, Winters dan Page membuktikan bahwa kritik-kritik sebelumnya tentang “bias-bias pluralisme” masuk ke dalam sesuatu, bahwa distribusi kekayaan yang tidak merata di AS merupakan sumber terbentuknya oligarki,

174Winters, “Oligarchy and Democracy,” 27. 175Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 176Robert A. Dahl, Dilemas of Pluralist Democracy: Autonomy vs. Control (New Haven and London: Yale University Press, 1982), 114.

84 Oligarki dan Demokrasi... dan bahwa ilmuwan-ilmuwan politik Amerika, harus lebih banyak memperhatikan isu-isu tersebut dibandingkan apa yang mereka kerjakan. Tingkat kegagalan mereka melakukan hal itu, lapangan, meskipun kerumitan teknisnya bertambah, hanya mencapai sedikit kemajuan dibandingkan besarnya harapan.177 R. William Lidlle mendukung kompatibilitas oligarki dengan demokrasi tapi justru dengan menolak teori oligarki yang dibangun Richard Robison dan Vedi R Hadiz tentang oligarki kompleks dan teori oligarki Jeffrey A. Winters. Liddle menilai keliru teori keduanya tetang oligarki yang digunakan untuk mem- baca kekuasaan Orde Baru. Dengan mengacu pada teori aksi,178 Orde Baru diidentifikasi oleh Liddle justru sebagai diktator tung- gal, Soeharto, bukan oligark. Oleh karena itu, jika Robison pesi- mistis dengan perkembangan demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru karena merupakan kelanjutan oligarki Soeharto, Liddle justru sebaliknya.179 Di atas semua itu, dukungan terhadap kompatibilitas oligarki dengan demokrasi, lebih mempertimbangkan pada aspek penyebab kemunculan oligarki dan demokrasi. Di antara penyebab itu adalah: Pertama, demokrasi merupakan produk dari sebuah serangan kaum borjuis pemberontak terhadap tuan tanah aristo- krasi yang terbelakang; Kedua, semua masyarakat mengandung sekelompok kelas yang relatif kecil yang berkuasa dan sekelom- pok kelas sangat besar yang terdiri dari mayoritas penduduk yang dikuasai. Demokrasi tidak pernah memperkenalkan kekuasaan mayoritas; Ketiga, para elite lebih cakap sedangkan orang keba- nyakan secara psikologis tunduk dan bahwa organisasi pada diri- nya menumbuhkan oligarki; Keempat, lembaga-lembaga demokra-

177Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732-33. 178Lihat juga Walter Korpi yang membandingkan pendekatan sumber daya kekuasaan versus teori aksi dan teori konflik. Walter Korpi, “Power Resources Approach vs. Action and Conflict: On Causal and Intentional Explanations in the Study of Power,” Sociological Theory 3, no. 2 (Musim Gugur, 1985): 31-45. 179Liddle, “Quality of Democracy,” 65. Ahmad Munjin 85 tis tidak mampu menjauhkan segelintir orang kaya dari terkon- sentrasinya kekuasaan politik. Golongan masyarakat kaya bisa dikeluarkan dari kategori oligark jika kekayaan dilucuti dari potensi politiknya yang melekat; dan Kelima, oligark yang terus mewarnai perkembangan demokrasi, tidak selamanya berarti negatif.

2. Inkompatibilitas Oligarki dengan Demokrasi Pandangan yang menolak kompatibilitas oligarki dengan demokrasi, pertama, datang dari Lord Acton. Penolakan tersebut muncul secara implisit dari proposisinya yang menyatakan, “ke- kuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut, korup secara absolut pula.”180 Dari sisi ini, kekuasaan oligarkis cende- rung absolut sehingga bertentangan dengan demokrasi. Acton berkaca ke masa di saat kekuasaan mutlak bertahan hampir sepe- rempat abad di Athena yang menyebabkan peran negara hilang. Masyarakat Athena yang merasa lelah dan putus asa, mengakui bahwa kekuasaan absolut merupakan penyebab kehancuran mere- ka. “Mereka memahami bahwa untuk kebebasan, keadilan, dan penegakan hukum yang setara, secara niscaya demokrasi harus membatasi dirinya sendiri untuk mengendalikan oligarki.”181 Dengan demikian, Acton jelas menolak oligarki yang tak terken- dali sehingga kekuasaan menjadi absolut. Begitu juga dengan Richard Robison dan Vedi R. Hadiz yang pesimistis terhadap obligarki. Mereka memperkenalkan kon- sep oligarki kompleks yang didefinisikan sebagai sistem pemerin- tahan di mana hampir semua kekuasaan politik dipegang oleh segelintir orang kaya yang membuat kebijakan masyarakat banyak, hanya menguntungkan mereka sendiri secara finansial dan kurang atau sama sekali tidak memperhatikan kepentingan sebagi- an besar warga negaranya.182

180John Emerich Edward Dalberg-Acton (Lord Acton), Essays on Freedom and Power (Boston, Mass.: The Beacon Press, 1949), 364. 181Acton, Freedom and Power, 41. 182Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 16-17.

86 Oligarki dan Demokrasi...

Vilfredo Pareto (1848-1923) juga menolak kompatibilitas oligarki dengan demokrasi karena telah membajak demokrasi itu sendiri. Oligarki direpresentasikan oleh segelintir orang dari kelas borjuis Italia. Pareto mengkritik kelas borjuis itu yang dinilainya telah memanfaatkan negara untuk mempromosikan apa yang disebutnya bourgeois socialism(sosialisme borjuis) melalui pajak, berbagai monopoli dan belanja militer. Akan tetapi, semua itu justru dirancang untuk memperkuat pengusaha-pengusaha industri dan tuan-tuan tanah tertentu.183 Pareto juga menilai, popular socialism bahkan lebih buruk. Sebab, sosialisme populer menggu- nakan negara untuk meredistribusi kekayaan kepada para pekerja tapi pada saat yang sama justru menumbuhkan lebih banyak perampas daripada jumlah pencipta kekayaan.184 Padahal, pada mulanya, dia berharap sistem yang lebih demokratis akan membu- at sebuah situasi di mana tidak ada kelas dominan memegang kendali negara untuk keuntungan kelasnya sendiri.185 Penolakan kesesuaian oligarki dengan demokrasi juga datang dari Edward Shils. Sebab, menurut Shils, oligarki lebih akomodatif terhadap kesenjangan antara elite modern dengan massa rakyat. Padahal, demokrasi menghendaki tertutupnya ju- rang pemisah tersebut demi terbentuknya masyarakat politik yang modern bukan hanya dalam ekonomi dan pemerintahan tapi juga dalam tata moralitas. Kalaupun, jurang pemisah tersebut tertutupi, sifat koersif dari rezim oligarki juga menyebabkan semunya penutupan jurang pemisah tersebut. Oleh karena itu, oligarki lebih dapat berdampingan dengan sistem daripada demokrasi. Se- bab, demokrasi dalam banyak hal juga menyimpang dari tradisi.186

183Richard Bellamy, “Vilfredo Pareto 1848-1923,” dalam The Routledge Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers, eds. Robert Benewick dan Philip Green (London dan New York: Routledge, 1998), 197. 184Bellamy, “Vilfredo Pareto,” 197. 185Bellamy, “Vilfredo Pareto,” 197. 186Shils, “Angkatan Bersenjata,” 216-17. Ahmad Munjin 87

Edmund Burke (1729–1797) juga menolak kesesuaian oligarki dengan demokrasi. Meskipun, Burke tak mempertim- bangkan demokrasi sebagai rezim pilihan. Dia lebih mendukung aristokrasi sehingga mengokohkan pemerintahan monarki. Sebab, menurut dia, masayarakat tidak bisa berkuasa; masyarakat adalah elemen yang pasif sebagai lawan dari penguasa aktif di dalam negara. Karena itu, oligarki lebih cenderung kepada sistem pemerintahan aristokrasi. “Kalaupun suatu masyarakat dipimpin oleh salah satu jenis oligarki yang ganas, mereka harus dipimpin oleh true natural aristocracy melalui menteri-menteri yang bukan hanya sebagai penguasa alamiah tapi juga panduan alami.”187 Pendapat senada dilontarkan Lili Romli, Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang melihat oligar- ki dan demokrasi sebagai hubungan yang bertentangan. Hanya saja, untuk kasus Indonesia, lebih cocok disebut oligarki demokra- si. Ini berbeda dengan istilah Robert Michels yang mengukuhkan demokrasi oligarki.188 Adalah Yuki Fukuoka189 yang telah mengu- kuhkan istilah oligarki demokrasi. Fukuoka melihat oligarki dan demokrasi sebagai hubungan kontradiktif tapi menyatu. Michels mengatakan, meskipun di dalam negara demokrasi, oligarki tetap ada. Di Indonesia tumbuh oligarki demokrasi di mana para oligark memanfaatkan prosedur-prosedur demokrasi untuk berkuasa. Mereka memanfaatkan mekanisme demokrasi untuk berkuasa atas pemerintahan dan uang. Ini bertentangan dengan substansi demo- krasi. Para oligark menurut Richard Robison dan Vedi R. Hadiz merupakan predator yang menghisap rakyat untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.190 Itulah politik oligarki dinasti yang terjadi di Banten. Menguasai resources untuk diri sendiri,

187Strauss dan Cropsey, eds., Political Philosophy, 696. 188Wolfe, “Robert Michels,” 175. 189Yuki Fukuoka, “Oligarchy and Democracy in Post-Suharto Indonesia,” Political Studies Review 11 ( 2013): 52-64. 190Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 16-17, note 6.

88 Oligarki dan Demokrasi... keluarga dan kelompoknya sehingga semakin uangnya semakin melimpah.191 Jika para pendukung kompatibilitas oligarki dengan demokrasi lebih melihat kepada penyebab kemunculannya, para penentangnya lebih mempertimbangkan pada akibat yang ditim- bulkan dari sistem pemerintahan oligarkis. Di antara akibat-akibat tersebut adalah: Pertama, kekuasaan oligarkis cenderung absolut dan kekuasaan absolut mengakibatkan kekuasaan korup secara absolut pula; Kedua, kekuasaan oligarkis dalam membuat kebija- kan masyarakat banyak, cenderung hanya menguntungkan mereka sendiri secara finansial dan kurang atau sama sekali tidak memper- hatikan kepentingan sebagian besar warga negara; Ketiga, kekua- saan oligarkis ditengarai telah membajak substansi demokrasi; Keempat, oligarki melestarikan kesenjangan antara elite modern dengan massa rakyat. Padahal, demokrasi menghendaki tertutup- nya jurang pemisah tersebut; dan Kelima, oligarki lebih cenderung kepada sistem pemerintahan aristokrasi dibandingkan demokrasi.

D. Oligarki dalam Perspektif Islam Pada sub-bab ini, peneliti mendeskripsikan pandangan Alquran dan Hadis secara normatif192 terhadap oligarki baik dalam kategori material maupun dalam kategori elite. Di satu sisi, pada kategori material, oligarki dimengerti sebagai kekuasaan yang bersumberdaya dari kekayaan. Di lain sisi, pada kategori elite oligarki dipahami dalam definisi generiknya yaitu kekuasaan sege- lintir orang. Secara umum, Aquran dan Hadis memandang negatif oligarki dalam pengertian material dan memandang positif oligar-

191Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 192Normatif adalah berpegang teguh pada norma; menurut nor- ma atau kaidah yang berlaku. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online/daring (dalam jaringan) entri ‘normatif.’ Ahmad Munjin 89 ki dalam pengertian elite. Setelah itu, peneliti melihat bagaimana pandangan para ulama terhadap oligarki secara empiris.193

1. Oligarki dalam Perspektif Alquran Dalam pengertian material, mengacu pada pendapat Aristoteles,194 Sokrates,195 dan Plato,196 prinsip oligarki adalah kekayaan. Pada abad 21, prinsip tersebut ditegaskan kembali oleh Richard Robison beserta Vedi R. Hadiz,197 Benjamin I. Page,198 dan Jeffrey A. Winters199 setelah mengalami penyimpangan ke teori elite yang dibangun oleh Gaetano Mosca,200 Vilfredo Pare- to,201 dan Robert Michels.202Para oligark berlomba-lomba meraih kekayaan tersebut sehingga terkonsentrasilah kekayaan pada sege- lintir orang. Secara normatif, sejak empat belas abad yang lalu, sudah melansir kecenderungan tersebut dalam surat al- Taka>thur ayat pertama dan kedua:

َألْهَام مُك التَّ ََكثم مر }1{ َح ََّّت مزْر م مُت الْ َم َقاِب َر }2{

“Saling memperbanyak telah melengahkan kamu, sampai kamu telah menziarahi kubur-kubur.”203

193Empiris adalah bagian dari pengetahuan yang didasarkan pada observasi dan eksperimen bukan didasarkan pada teori. Lihat entri ‘empirical’ dalam Martin H. Manser, Oxford Learner’s Pocket Dictio- nary, New Edition (Oxford: Oxford University Press, 1991), 137. 194Friedrich, “Oligarchy,” 463. 195Strauss danCropsey, eds.,Political Philosophy, 61. 196Cooper dan Hutchinson, eds. Plato: Complete Works, 1162. 197Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 16-17, note 6. 198Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 199Winters, Oligarchy, 11. 200Bellamy, “Gaetano Mosca,” 182. 201Bellamy, “Vilfredo Pareto,” 197. 202Wolfe, “Robert Michels,” 175. 203M. Quraish Shihab, al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 486.

90 Oligarki dan Demokrasi...

-bera (التكاثر) Menurut M. Quraish Shihab, kata al-taka>thur -Patron dari al-taka>thur menun .(كثرة) sal dari kata kathrah/banyak jukkan adanya dua pihak atau lebih yang bersaing, semua berusaha memperbayak dan sama-sama mengklaim memiliki lebih banyak dari pihak lain hingga mengunjungi kubur-kubur leluhur untuk membuktikan keunggulan atau kelengahan berlanjut hingga ajal menjemput. Tujuannya adalah berbangga dengan kepemilikannya. Shihab mendefinisikan al-taka>thur sebagai persaingan antara dua pihak atau lebih dalam hal memperbanyak hiasan dan gemerlapan duniawi, serta usaha untuk memiliki sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan norma dan nilai-nilai agama.204 Yang dikecam oleh ayat tersebut adalah persaingan yang membuat seseorang lengah sehingga mengabaikan hal-hal yang lebih penting. Menurut (اللهو) Shihab, ada tiga ayat yang menggambarkan faktor-faktor yang dapat melengahkan manusia: Pertama, angan-angan kosong (Q.S. al-H}ijr [15]: 3); Kedua, perniagaan dan jual beli (Q.S. al-Nu>r [24]: 37); dan Ketiga, harta dan anak-anak (Q.S. al-Muna>fiqu>n [63]: 9).205 Jika Winters menunjukkan kekayaan ekstrem secara kuan- titatif dengan membuat Material Power Index (Indeks Kekuasaan Material),206 Quran menunjukkannya secara kualitatif dengan kalimat ‘sampai kamu telah menziarahi kubur-kubur.’ Winters membuat rasio kekayaan orang biasa terhadap orang terkaya, Quran membuat ajal sebagai batasnya. Baik Winters maupun Quran sama-sama menunjukkan kekayaan ekstrem yang memben- tuk dan mendefinisikan oligarki. Pengertian kualitatif juga sudah ditunjukkan oleh Aristoteles yang menyebutkan kekayaan sebagai prinsip utama oligarki;207 Sokrates yang menyebutkan oligarki

204Shihab, Tafsir al-Mishbah, 486. 205Shihab, Tafsir al-Mishbah, 487. 206Winters, Oligarchy, 78. 207Friedrich, “Oligarchy,” 463. Ahmad Munjin 91 mengagung-agungkan harta benda,208 dan Plato yang menyebutkan kekayaan menjadi penilaian utama oligarki.209 Pada abad 21, Richard Robison dan Vedi R. Hadiz me- nambahkan ‘kekuasaan segelintir orang kaya’ dengan ‘kebijakan yang hanya menguntungkan mereka sendiri secara finansial dan kurang atau sama sekali tidak memperhatikan kepentingan sebagi- an besar warga negara.210 Frasa ‘menguntungkan mereka sendiri’ dan ‘kurang atau sama sekali tidak memperhatikan’ dalam bahasa sebagaiman termaktub dalam surah ’(اللهو) Quran disebut ‘lengah al-Taka>thur itu. Menurut Alquran harta adalah ujian (al-Anfa>l [8]: 28, al- Fajr [89]: 15-16 dan 17-20), perhiasan kehidupan dunia yang kontras dengan kebajikan yang terus menerus (al-Kahfi [18]: 46), harta belum tentu kebaikan (al-Mu’minu>n [23]: 55-56), orang kafir beranggapan harta akan membuat mereka selamat dan kekal (al- Humazah [104]: 1-3), akumulasi harta sebagai sikap melampaui batas (al-‘Alaq [96]: 6-7), orang kaya itu bisa lebih jahat dari penguasa yang tersirat dalam penyebutan Qa>ru>n mendahului Firaun, dan Haman (al-‘Ankabu>t [29]: 39), orang kaya zaman nabi Shua>yb susah diatur (Hu>d [11]: 87), menolak berinfaq (Ya>si>n [36]: 47), tidak akan berpegang teguh pada agama (al-Fath [48]: 11), harta sebagai musuh (al-Tagha>bu>n [64]: 14), harta tidak berguna yang dikontraskan dengan hati bersih (al-Shu>ra> [42]: 88-89), harta itu milik Allah (al-Nu>r [24]: 33). Islam tidak pernah melarang manusia untuk menjadi orang kaya. Banyak riwayat dan hadis, bahkan sering mendorong manu- sia untuk berusaha mencari harta. Mati dalam keadaan mencari nafkah untuk keluarga tergolong orang yang sha>hid. Akan tetapi, Islam menegaskan, jangan sampai harta menjadi tujuan hidup yang melampaui batas. Cukuplah ia menjadi kendaraan menuju Allah.

208Strauss dan Cropsey, eds., Political Philosophy, 61. 209Cooper dan Hutchinson, eds. Plato: Complete Works, 1162. 210Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 16-17, note 6.

92 Oligarki dan Demokrasi...

Sementara itu, dalam pengertian elite (oligarki yang dipa- hami sebagai kekuasaan segelintir orang), dalam nada yang positif, Allah berfirman dalam surat al-An‘a>m: 165:

و مهو ا َّ َِّلي َج َعلَ م ُْك َخ َالِئ َف ْا َألر ِض ورفَ َع بَ ْع َض م ُْك فَو َق بَ ْع ٍض َدر َجا ٍت ِل يبلموم ُْك ِِف َمآ ءاََتم ُْك ا َّن رب َّ َك َ َِسي مع َ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ َ َ َ الْ ِع َقا ِب َوانَّ مه لَ َغ مفو ٌر َر ِح ٌمي }161{

“Dan Dia (Allah) yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian dari kalian atas sebagian (yang lain) beberapa tingkat.”

T}a>riq al-Suwayda>n menemukan padanan oligarki dalam 211 yang merupakan kata benda (المأل) ’Alquran, dalam kata al-mala dan berarti kepala, ketua, atau para pemuka. Kata yang seakar dengan mala’ muncul 40 kali dalam Alquran. Akan tetapi, kata yang berarti ketua (mala’) muncul sebanyak 30 kali. Kata tersebut muncul dalam surat 2 ayat 246; surat 7 ayat 60, 66, 75, 88, 90, 103, 109, 127; surat 10 ayat 75, 83, dan 88; surat 11 ayat 27, 38, dan 97; surat 12 ayat 43; surat 23 ayat 24, 33, dan 46; surat 26 ayat 34; surat 27 ayat 29; 32, dan 38; surat 28 ayat 20, 32, dan 38; surat 37 ayat 8; surat 38 ayat 6 dan 69; dan surat 43 ayat 46.212 Dari tiga puluh ayat tersebut, belum bisa dipastikan apakah semua pemuka tersebut termasuk ke dalam kategori oligarki atau bukan. Sebab, ayat-ayat tersebut lebih menunjukkan penolakan para pemuka terhadap ajaran tauhid yang dibawa oleh para Nabi: Nu>h,213 Hu>d,214 S{a>lih,215 Shu‘ayb,216 dan Mu>sa>.217 Jika

211T}a>riq al-Suwayda>n, Silsilat Qashash al-’Anbiya>’: Qishat Nu>h } 212Entri mala’dalam The Quranic Corpus, http://corpus. quran.com/qurandicti onary.jsp?q=mlA (diakses Minggu, 7 November 2015). 213Hafidzh Dasuki, et al., Alquran dan Tafsirnya, Jilid III (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1995), 457. 214Dasuki, et al., Alquran dan Tafsirnya, 463. 215Dasuki, et al., Alquran dan Tafsirnya, 472. Ahmad Munjin 93 penolakan tersebut didasarkan pada kesombongan mereka akibat kekayaan yang menjadi sumber daya kekuasaan yang dimilikinya untuk menentang para Nabi, baru bisa dikategorikan oligarki. Jika tidak, kata mala’tersebut semata merupakan kategori elite. Ini merupakan konsekuensi penelaahan yang berpatokan pada sumber daya kekuasaan material oligark dan oligarki yakni kekayaan.218 Dengan demikian, secara normatif sistem pemerintahan oligarkis bertentangan dengan Alquran. Sebab, tujuan negara menurut Alquran adalah untuk beriman dan bertakwa:

َولَ ْو َأ َّن َأ ْه َل الْ مق َرى َءا َمنموا َواتَّ َق ْوا لَ َفتَ ْحنَا عَلَْ ِْيم بََرََك ٍت ِ م َن ال َّس َمآ ِء َوْا َألْر ِض َولَ ِكن َك َّذبموا فَآَ َخ ْذََن م ُْه ِب َما ََكنموا يَ ْك ِس مبو َن }66{ Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai atas apa yang telah mreka kerjakan (al-A’ra>f [7]: 96).

Keimanan dan ketakwaan tersebut dimanifestasikan dalam tujuan pendirian negara yaitu usaha memakmurkan bumi, menye- jahterakan umat manusia, membebaskan rakyat dari kelaparan, mewujudkan keamanan dan ketertiban umum, dan mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera lahir dan batin.219 Tujuan negara ialah untuk memelihara keamanan dan integritas negara, menjaga hukum dan ketertiban, dan untuk memajukan negeri hingga setiap individu dalam negeri itu dapat merealisasikan seluruh potensinya

216Dasuki, et al., Alquran dan Tafsirnya, 494. 217Dasuki, et al., Alquran dan Tafsirnya, 522. 218Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 219Muchlis M. Hanafi, et al., eds., Tafsir Alquran Tematik: Alquran dan Kenegaraan, Seri 5 (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran, 2011), 10.

94 Oligarki dan Demokrasi... dan bisa memberikan sumbangan bagi kesejahteraan semua warga negara.220 Tujuan berdirinya negara menurut Alquran, pertama, mengembangkan kehidupan beragama yang mencakup tiga bagian: (a) mengembangkan kehidupan beragama masyarakat dari poli- teisme (kemusyrikan) menuju monoteisme (tauhid);221 (b) melin- dungi kebebasan beragama;222 dan (c) membimbing umat agar mengamalkan agama dengan baik dan benar.223Kedua, melindungi segenap bangsa (warga negara).224 Ketiga, memajukan kesejahte- raan umum.225 Keempat, mencerdaskan kehidupan bangsa.226

220Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 10. 221Lihat Q.S. Hu>d [11]: 50-51, al-Naml [27]: 29-31, 23-24, 24- 26, 27-28, dan 31, al-Baqarah [2]: 251, al-Nisa>’ [4]: 54, dan S}a>d [38]: 34- 35. Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 50-58. 222Lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 256. Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 58-60. 223Lihat Q.S. al-Hajj [22]: 40 dan al-An‘a>m [6]: 108. Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 60-63. 224Al-Sha>tibi> merumuskan prinsip melindungi segenap bangsa dan warga negara sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan terha- dap manusia dan nilai kemanusiaan dengan lima pilar h}ima>yat (perlindu- ngan). Kelima pilar perlindungan tersebut merupakan tujuan syariat Islam yang juga merupakan salah satu tujuan negara. Kelima pilar terse- but disebut al-kulliya>t al-khamsyaitu h}ima>yat al-di>n(memelihara agama), h}ima>yat al-nafs(melindungi jiwa), h}ima>yat al-‘aql(memelihara akal/ke- cerdasan/intelek), h}ima>yat al-nasl(memelihara keturunan) dan h}ima>yat al-amwa>l(melindungi hak milik atau harta). Penghormatan terhadap ma- nusia termaktub dalam Q.S. al-Ti>n [95]: 4, al-Isra>’ [17]: 70. Lalu, lara- ngan membunuh dalam Q.S. al-Ma>’idah [5]: 32; Allah memuliakan manusia dan larangan menjualnya (Q.S. al-An‘a>m [6]: 151), hukuman bagi yang merampok harta, anak atau perempuan untuk dieksploitasi (Q.S. al-Ma>’idah [5]: 33-34), pencegahan aborsi (Q.S. al-Isra>’ [17]: 32), perintah menutup aurat (Q.S. al-Ah}za>b [33]: 59), dan larangan mem- bantu tindakan aborsi (Q.S. al-Ma>’idah [5]: 2). Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 63-79. 225Lihat Q.S. Hu>d [11]: 61, al-Baqarah [2]: 30, al-Hijr [15]: 82, Quraish [106]: 4, Saba’ [34]: 15, al-Naml [27]: 33-34, al-A‘ra>f [7]: 96, al- Ahmad Munjin 95

Kelima, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.227 Oligarki juga bertentangan dengan prinsip-prinsip berne- gara menurut Alquran, yakni amanah,228 keadilan,229 musyawa-

An‘a>m [6]: 44, al-Nahl [16]: 112, al-Balad [90]: 1-2, al-Ti>n [95]: 3. Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 79-88. 226Lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 151. Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 88-91. 227Lihat Q.S. al-H{ajj [22]: 39-40 yang membolehkan kamu mus- lim untuk memerangi siapa saja yang tidak memiliki niat baik untuk berdamai dan al-Anbiya>’ [21]: 107 yang menegaskan misi kerasulan Muhammad adalah menebar pesona perdamaian dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 91-92. 228Dalam Alquran terdapat enam ayat yang secara eksplisit me- nyebut ama>nah dengan mufrad (tunggal) dan jamaknya. Keenam ayat tersebut adalah surah al-Baqarah [2]: 283, al-Nisa>’ [4]: 58, al-Anfa>l [8]: 27, al-Mu’minu>n [23]: 8, al-Ma‘a>rij [70]: 32, dan al-Ah}za>b [33]: 72. Sedangkan sifat amanah para rasul, Alquran mengungkapkan kalimat rasu>l ami>n. Ungkapan tersebut tercantum dalam Alquran sebanyak enam ayat, yaitu a-Shu‘ara>’ [26]: 107, 125, 143, 162, dan 178 dan al-Dukha>n [44]: 18; na>s}ih} ami>n pada al-A‘ra>f [7]: 68; al-ru>h} al-ami>n pada al-Shu‘ara> [26]: 193; qawiyy ami>n pada al-Naml [27]: 39; Nabi Musa sebagai al- qawiyy al-ami>n pada al-Qas}as} [28]: 26; yang menunjukkan tempat de- ngan sebutan maqa>m ami>n pada al-Dukha>n [44]: 51; dan dengan sebutan al-balad al-ami>n pada al-Ti>n [95]: 3. Sebutan al-ami>n menunjukkan suatu derajat tertinggi terhadap pihak yang memiliki sebutan tersebut, mulai dari gelar rasul hingga gelar untuk suatu kota. Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 101. 229Keadilan merupakan bagian pokok dalam kepemimpinan (ima>mah). Alquran menyebutkan kata adil sebanyak 54 kali dan juga yang semakna dengan itu seperti qist} dengan berbagai mushtaqq (deri- vasinya) sebanyak 25 kata. Kosakata adil sudah menjadi bahasa Indone- sia yang diartikan seimbang. Banyak ayat yang memerintahkan keadilan, di antaranya surah al-Nahl [16]: 90, al-An‘a>m [6]: 152, al-Ma>’idah [5]: 8, dan S}a>d [38]: 26. Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 113-15.

96 Oligarki dan Demokrasi... rah,230 persamaan,231 dan kerjasama atau tolong-menolong.232 Ama>>nah dalam Alquran dapat dikategorikan sebagai amanah dalam urusan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara;233 Kea- dilan meliputi berbagai tingkatan antara lain keadilan terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat (mujtama‘) dan negara;234 Mu- syawarah merupakan prinsip penting dalam menegakkan kemas- lahatan, baik yang bersifat individual, sosial maupun pemerinta- han;235 Prinsip persamaan (musa>wah) harus ditegakkan dalam konteks ekonomi, politik, dan sosial;236 dan Kebersamaan merupa- kan suatu hal yang niscaya dalam kehidupan, bahkan dengan makhluk-makhluk lain. Sebab, secara sosiologis, manusia tidak bisa hidup sendirian.237 Sistem oligarki juga bertentangan dengan nilai-nilai dasar tentang kemasyarakatan. Masykuri Abdillah mencatat tujuh nilai dasar tetang kemasyarakatan dalam Alquran.238 Ketujuh nilai

230Perintah musyawarah dalam Alquran terdapat dalam surah A

  • n [3]: 159 dan al-Shu>ra> [42]: 38 berikut ini: ًّ َف ِب َما َر ْح َم ٍة ِّم َن ِهللا ِلن َت َل ُه ْم َو َل ْو ُكن َت َف ظا َغلِي َظ ا ْل َق ْل ِب َالن َف ُّضوا ِم ْن َح ْولِ َك َفا ْع ُف َع ْن ُه ْم َو ا ْس َت ْغ ِف ْر َ َل ُه ْم َو َشا ِو ْر ُه ْم ِفي ْاأل ْم ِر َفإِ َذا َع َز ْم َت َف َت َو َّك ْل َع َلى ِهللا إِ َّن هللاَ ُي ِح ُّب ا ْل ُم َت َو ِّكلِي َن }951{

    َوالَّ ِذي َن ا ْس َت َجا ُبوا لِ َر ِّب ِه ْم َوأَ َقا ُموا ال َّص َال َة َوأَ ْم ُر ُه ْم ُشو َرى َب ْي َن ُه ْم َو ِم َّما َر َز ْق َنا ُه ْم ُين ِف ُقو َن }83{ Lihat Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 122-24. 231Ayat-ayat Alquran yang mengindikasikan persamaan adalah Surah al-H{ujura>t [49]: 13, al-Zalzalah [99]: 6, al-Nisa>’ [4]: 105, dan al- Kahf [18]: 28. Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 128. 232Aquran sudah menyatakan secara eksplisit adanya kehidupan berjamaah yaitu tolong menolong (ta‘a>wun) seperti yang termaktub pada surah al-Ma>’idah [5]: 2. Lihat Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 132. 233Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 102. 234Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 115. 235Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 120. 236Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 131. 237Hanafi, et al., eds., Alquran dan Kenegaraan, 132. 238Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), xv-xviii. Ahmad Munjin 97 dasar tersebut adalah pertama, keadilan (al-‘ada>lah) yang tertuang dalam QS. Al-Ma>’idah: 8; Kedua, kepercayaan dan akuntabilitas (al-ama>nah) yang tertuang dalam QS. Al-Nisa>’: 57; Ketiga, persaudaraan (al-ukhuwwah) dan kemajemukan (al-ta‘addudiyyah) yang tercermin dalam QS. Al-Hujura>t: 10 dan 13; Keempat, persamaan (al-musa>wah) yang tertuang dalam QS. Al-Hujura>t: 13; Kelima, kebebasan (al-hurriyyah) yang termaktub dalam QS. Al- Baqarah: 256; Keenam, permusyawaratan (al-shu>ra)> yang tercer- min dalam QS. Al-Shu‘ara>: 38 dan QS. A

  • n: 159; dan Ketu- juh, perdamaian (al-silm) yang tertuang dalam QS. Al-Anfa>l: 61.

    2. Oligarki dalam Perspektif Hadis Dalam kategori material, selain dalam Alquran, karakte- ristik akumulatif terhadap kekayaan yang menjadi prinsip utama oligarki, juga tertuang dalam beberapa hadis Nabi. Dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan: “Seandainya material manusia (yang lengah) memilikidua lembah yang penuh emas, niscaya ia mengi- nginkan lembah ketiga. Tidak ada yang memenuhi rongga (ambisi) putra-putri Adam kecuali tanah.” Sambil membaca alha>kum al- taka>thur, Rasul SAW bersabda, “Putra-putri Adam berkata, ‘Hartaku, hartaku.” Hai Manusia! Engkau tidak memiliki dari (apa yang engkau anggap) hartamu kecuali apa yang telah engkau makan dan engkau habiskan, atau apa yang engkau pakai dan lapukkan, atau apa yang engkau sedekahkan sampai habis. Selain dari itu, semuanya akan engkau tinggalkan untuk orang orang lain.” (Hadis Riwayat [HR] Muslim melalui Mutharrif).239 Dalam riwayat al-Bukha>ri>,240 hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:

    239Shihab, Tafsir al-Mishbah, 487. 240Hadis riwayat al-Bukha ri , Kita>b al-Riqaq, halaman (h.) 1971 dengan nomor (no.) Hadis 6439; Muslim, Kitab al-Zaka>t, h. 658 no. 1744 dan h. 658 no. Hadis 1744; al-Sunan al-Tirmi>dzi> h. 528 no. 2337; dan Ahmad ibn Hanbal h. 2951 no. 11.819, h. 3067 no. 12.306, h. 3089 no. 12.392, h. 3130 no. 12584, h. 3243 no. 13.064, h. 3243 no. 13086, h. 3260 no. 13140, h. 3270 no. 13174, h. 3336 no. 13461, dan h. 919 no. 3491.

    98 Oligarki dan Demokrasi...

    لَو َأ َّن ِِلب ِن أ َد َم وا ِداًي ِم ْن َذ َه ٍب َأ َح َّب َأ ْن ي مكو َن َ مَل وا ِدًَي ِن ولَ ْن يَم َ ََل فَا مه ا َِّل ال رَُّتا مب ويَ متو مب ا َّمَّلل عَ ََل َم ْن ََت َ ب ْ ْ َ َ َ َ ْ َ Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda: َع ْن ثَ ْوََب َن قَا َل قَا َل َر مسو مل ا َّ َِّلل -صَل هللا عليه وسمل- » يمو ِش مك ا ُأل َم مم َأ ْن تَ َدا َعى عَلَْي م ُْك َ َمَك تَ َدا َعى ا َأل َ ََك مة ا ََل قَ ْص َعِِتَا «. فَ َقا َل قَائِ ٌل وِم ْن ِق َّ ٍَّل َ َْن من يَوَم ِئ ٍذ قَا َل » بَ ْل َأنْ مُت يَوَم ِئ ٍذ َك ِث ٌري ولَ ِكنَّ م ُْك مغثَاء َك مغثَا ِء الس ي ِل َ ْ ْ ْ َ ٌ َّ ْ َولَ َي ْ ِْن َع َّن ا َّمَّلل ِم ْن مص مدو ِر عَ مد ِومُكم الْ َمهَابَ َة ِمنْ م ُْك َولَ َي ْق ِذفَ َّن ا َّمَّلل ِِف مقلموِب م مُك الْ َو َه َن «. فَ َقا َل قَائِ ٌل ًَي َر مسو َل ا َّ َِّلل َوَما الْ َو َه من قَا َل مح رب ا ردلنْ َيا َو َك َرا ِه َي مة الْ َم ْو ِت Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat, pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring”. Kemu- dian seseorang bertanya, “Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’. Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasu- lullah berkata, “cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Daud no. 4297 dan Ahmad 5: 278, shahih kata Syaikh Al Albani. Lihat penjelasan hadits ini dalam ‘Aunul Ma’bud). Dalam kategori elite (oligarki yang dipahami sebagai kekuasaan segelintir orang), Quraish merupakan salah satu bentuk oligarki kesukuan sebagaimana sabda Rasullullah SAW, al- Para imam itu (hendaknya“ .(ا ْألَئِ َّم ُة ِم ْن قُ َر ْي ٍش ) aimmah min Quraish’ diangkat) dari suku Quraish.”241 Menurut Quraish Shihab,

    241Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dalam Al- Musnad (11859) dari Anas bin Malik dan Abu Barzah al-Aslami> (18941); An-Nasa`i dalam al-Sunan Al-Kubra> (5942); Ibn Abi Shaibah dalam Al- Mushannaf dari Anas (54/8) dan ‘Ali bin Abi> Tha>lib (54/17); Abd al- Rrazzaq dalam Al-Mushannaf dari ‘Ali (19903); Al-Haki>m dalam al- Mustadrak (7061) dari ‘Ali; Al-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Kabi>r dari Anas (724) dan dalam Al-Shaghir dari ‘Ali (426); Al-Baihaqi dalam Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar dari Anas (1595); Al-Thayalisi dalam Al- Musnad (957) dari Abu Barzah dan Anas (2325); Al-Khallal dalam Al- Ahmad Munjin 99

    Quraish yang diabadikan Alquran dalam surat Quraish [106] merupakan suku paling berpengaruh di Mekah.242Suku ini sangat dikenal dengan sikap persatuan, kekokohan, dan gotong-royong mereka terutama dalam perdagangan sehingga layak diangkat menjadi pemimpin.243 Sementara itu, Ibn Khaldu>n menegaskan, saat Nabi me- nyatakan hendaknya kepemimpinan umatnya dipercayakan kepada suku Quraish dan agar syarat keturunan Quraish didahulukan daripada syarat kemampuan, jangan diartikan bahwa kepemim- pinan umat Muhammad itu merupakan monopoli suku Quraish. Petunjuk Nabi tersebut diberikan berdasarkan kenyataan bahwa suku Quraish (paling tidak pada waktu itu) merupakan suku Arab yang paling terkemuka, punya solidaritas kelompok yang terkuat dan dominan. Atas dasar itu, Quraish menjadi suku paling berwi- bawa. Menurut Ibn Khaldu>n, pemimpin negara dari suku yang demikianlah yang akan mampu secara efektif menjamin ketertiban negara dan keserasian hubungan antara komponen-komponen negara itu. Dengan mengikuti alur argumentasi tersebut, Munawir Sjadzali menarik benang merah: jika suku Quraish tak lagi berada dalam keadaan sebagai suku yang paling berwibawa dan solida- ritas kelompoknya tidak lagi dominan, yang berarti pula bahwa pemimpin yang berasal dari suku Quraish tidak lagi dapat diharap- kan mampu secara efektif mewujudkan ketertiban negara dan kerukunan antar warga negara, maka kepemimpinan dapat berpin-

    Sunnah (34) dari Salman al-Farisi dan ‘Ali (64); Ibn Abi Ashim dalam al- Sunnah (929) dari Anas dan Abu Barzah (934); Ar-Ruyani dalam Al- Musnad (746, 750) dari Abu Barzah; Abu Ya’la al-Maushili dalam al- Mu’jam (155); Ibn ‘Arabi dalam al-Mu’jam (2259) dari Ali; IbnAsakir dalam Tarikh Dimasyq (4635) dari Anas; dan Ibnu Adi dalam Al-Kamil (biografi Ibrahim bin Athiyah Al-Wasithi) dari Anas. 242Shihab, Tafsir al-Mishbah, 535. 243Shihab, Tafsir al-Mishbah, 537-538.

    100 Oligarki dan Demokrasi... dah ke suku atau kelompok lain yang memiliki wibawa yang lebih besar dan solidaritas kelompok yang lebih kuat.244

    3. Oligarki dalam Pandangan para Ulama Menurut Munawir Sjadzali, terdapat dua ciri umum pada gagasan politik Ibn Abi Rabi’ (w. 272 H/885 M), Farabi> (w. 339 H/950 M), Mawardi> (972-1058 M) Ghazali> (1058-1111 M), Ibn Taymi>yah (1263-1328 M), dan Ibn Khaldu>n (1332-1406 M). Pertama, pada pendapat mereka, tampak jelas adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato, meskipun kadar pengaruh tersebut tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain. Kedua, kecuali Farabi, mereka mendasarkan pikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing. Bahkan, ada di antara mereka, dalam penyajian gagasannya bertitik tolak pada pemberian legitimasi atau keabsahan kepada sistem pemerintahan yang ada atau mem- pertahankan status quobagi kepentingan penguasa dan baru kemu- dian menawarkan saran-saran perbaikan dan reformasi.245 Dari sekian banyak bentuk pemerintahan, Ibn Abi Rabi’ secara tegas menolak sistem pemerintahan oligarki yaitu pemerin- tahan yang dipegang oleh sekelompok kecil orang kaya. Abi Rabi’ lebih memilih monarki atau kerajaan di bawah pimpinan material raja serta penguasa tunggal sebagai bentuk yang terbaik. Otoma- tis, dia juga menolak bentuk pemerintahan lain seperti aristokrasi yaitu pemerintahan yang berada di tangan sekelompok kecil orang-orang pilihan atas dasar keturunan atau kedudukan; demo- krasi yaitu negara yang diperintah langsung oleh seluruh warga negara; dan lebih-lebih demagogi, apabila para warganya meman- faatkan hak-hak politiknya yang diberikan oleh sistem demokrasi secara tidak bertanggungjawab, yang kemudian menimbulkan

    244Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1993), 107. 245Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 42. Ahmad Munjin 101 kekacauan atau anarki.246 Menurut Sjadzali, alasan utama me- ngapa Ibn Abi Rabi’ memilih monarki sebagai bentuk pemerinta- han yang terbaik adalah keyakinannya bahwa dengan banyak kepala, politik negara akan terus kacau dan sukar membina persatuan.247 Sementara itu, menurut Farabi, negara mempunyai warga- warga dengan bakat dan kemampuan yang tidak sama satu dengan yang lain. Di antara mereka, terdapat material kepala dan sejum- lah warga yang martabatnya mendekati martabat kepala. Masing- masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas- tugas yang mendukung kebijaksanaan kepala. Mereka ini, bersa- ma-sama dengan kepala termasuk peringkat pertama. Di bawah mereka, terdapat sekelompok warga yang tugasnya mengerjakan hal-hal yang membantu warga-warga peringkat pertama tersebut. Kelompok ini, berada pada peringkat (kelas) dua. Di bawah kelas dua, terdapat kelompok lain, yang bertugas membantu kelas di atasnya dan seterusnya sampai kepada kelas terakhir dan terendah yang terdiri dari warga-warga yang tugas mereka dalam negara itu hanya melayani kelas-kelas yang lain, dan mereka sendiri tidak dilayani oleh siapa pun.248 Stratifikasi bakat atau kualitas yang digagas oleh Farabi tersebut baru memenuhi kriteria oligarki secara generik (segelintir orang) tapi belum masuk pada kriteria oligarki spesifik, yaitu stratifikasi material di mana kekayaan menjadi sumber daya kekuasaan. Akan tetapi, jika menilik syarat-syarat pemimpin yang diajukan, Farabi secara tegas menolak pemerintahan oligarkis. Syarat yang bertentangan dengan kategori pemimpin oligarkis adalah larangan bersikap loba dan rakus dan larangan memandang penting kekayaan dan kesenangan-kesenangan duniawi lain.249

    246Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 46. 247Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 46. 248Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 54. 249Menurut Farabi, kepala bagi negara utama haruslah seorang pemimpin yang arif dan bijaksana yang memiliki dua belas kualitas luhur. Sebagian di antaranya telah ada pada pemimpin itu sewaktu lahir

    102 Oligarki dan Demokrasi...

    Padahal, dalam oligarki, kekayaan sangat diagung-agungkan, men- jadi penilaian utama, dan diakumulasi secara besar-besaran (loba dan rakus) sehingga terkonsentrasi pada orang-orang tertentu dan terus dipertahankan. Al-Ghazali> tidak secara tegas menolak sistem pemerinta- han oligarkis. Akan tetapi, dia membuat salah satu syarat pemim- pin yang bertentangan dengan karakteristik oligarkis, yaitu aku- mulasi kekayaan dan pendapatan. Syarat tersebut adalah keharu- san seorang pemimpin memiliki sikap wara>’. Wara>’ adalah kehidu- pan yang bersih dengan kemampuan mengendalikan diri, tidak membuat hal-hal yang terlarang dan tercela.250

    sebagai watak yang alami atau tabiat yang fitri. Akan tetapi, sebagian yang lain masih perlu ditumbuhkan melalui pengajaran yang terarah, pendidikan serta latihan yang menyeluruh dengan disiplin yang ketat. Adapun, dua belas kualitas luhur itu adalah: (1) lengkap anggota badan- nya; (2) baik daya pemahamannya; (3) tinggi intelektualitasnya; (4) pan- dai mengemukakan pendapatnya dan mudah dimengerti uraiannya; (5) pencinta pendidikan dan gemar mengajar; (6) tidak loba atau rakus dalam hal makanan, minuman dan wanita; pencinta kejujuran dan pembenci kebohongan; (8) berjiwa besar dan berbudi luhur; (9) tidak memandang penting kekayaan dan kesenangan-kesenangan duniawi yang lain; (10) pencinta keadilan dan pembenci perbuatan zalim; (11) tanggap dan tidak sukar diajak menegakkan keadilan dan sebaliknya sulit melakukan atau menyetujui tindakan keji dan kotor; dan (12) kuat pendirian terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasme, bukan penakut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil. Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 56. 250Ghazali> menyodorkan sepuluh syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat diangkat menjadi kepala negara, sultan, atau raja. Kesepuluh syarat tersebut adalah (1) dewasa atau aqil baligh; (2) otak yang sehat; (3) merdeka dan bukan budak; (4) laki-laki; (5) keturu- nan Quraish; (6) pendengaran dan penglihatan yang sehat; (7) kekuasaan yang nyata; (8) hidayah; (9) ilmu pengetahuan; dan (10) wara>’. Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 78. Ahmad Munjin 103

    Sedangkan Ibn Taimi>yah, sedikit sekali berbicara tentang kepala negara251 bahkan sama sekali tidak menyinggung tentang cara dan mekanisme pengangkatan kepala negara.252 Intinya, menurut Taimi>yah, para penguasa harus memiliki sifat amanah yang mempunyai dua macam manifestasi: pertama amanah dalam penunjukkan dan pengangkatan pejabat-pejabat negara; dan kedua, dalam pengelolaan kekayaan negara serta perlindungan atas harta benda dan hak milik rakyat.253 Ibn Taimi>yah berpendapat, dalam penunjukkan atau pengangkatan pembantu-pembantu, baik mereka yang bertugas pada pemerintah pusat seperti wazir, para panitera yang mengepalai berbagai bidang, para pejabat tinggi lainnya, para hakim, para panglima angkatan dan komandan kesa- tuan, para pejabat di daerah, material kepala negara harus berusa- ha mencari orang-orang yang secara objektif betul-betul memiliki kecakapan dan kemampuan untuk jabatan-jabatan tersebut. Kepa- la negara, jangan sampai terpengaruh oleh faktor-faktor subjektif seperti hubungan keluarga dan sebagainya.254

    251Ibn Taimi>yah, al-Siya>sah al-Shar‘i>yah fi> Is}la>h} al-Ra>‘i> wa al- Ra‘i>yah (Tanpa Tempat Terbit: Da>r al-Ka>tib al-‘Arabi>, Tanpa Tahun Terbit), 169-76. 252Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 83. 253Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 84. 254Keharusan mengadakan seleksi secara objektif itu, menurut Taimi>yah, tidak terbatas pada para pejabat tingkat atas, tetapi sampai pada jabatan-jabatan seperti imam masjid, muazin, guru, kepala pasar dan kepala desa. Taimiyah menegaskan, tidak dibenarkan material kepala negara menyimpang dari ketentuan aspek kecakapan dan kemampuan. Di antaranya, mengangkat seseorang untuk satu jabatan sedangkan terdapat orang lain yang lebih memenuhi syarat kecakapan, hanya karena kepala negara dengan orang-orang yang diangkat itu masih ada hubungan kelu- arga, atau karena ada hubungan sahabat, atau berasal dari satu daerah yang sama, atau sama-sama pengikut satu mazhab atau tarikat, atau sama-sama satu bangsa—sama-sama Arab, Persia, atau Turki. Taimiyah juga melarang jabatan itu diberikan atas imbalan pembayaran uang atau jasa, atau disebabkan oleh kebencian atau rasa permusuhan terhadap orang-orang yang sebenarnya secara objektif lebih memiliki kecakapan

    104 Oligarki dan Demokrasi...

    Pengangkatan pejabat negara yang amanah dilakukan secara objektif perlu mendapat penekanan di sini--apakah bisa pemimpin oligark mengangkat pejabat dengan melepaskan faktor sujektivitasnya. Karena tujuan kekuasaannya adalah rezim perta- hanan kekayaan, tentu oligark akan sulit memilih pejabat negara yang didasarkan pada aspek kecakapan dan kemampuannya sema- ta. Kalaupun yang dipilih adalah orang cakap dan mampu, tentu pemilihan itu mendapat embel-embel yaitu membantu pertahanan kekayaan oligark yang menjadi tujuan utama kekuasaannya. Jadi, sulit bagi oligark untuk melakukannya secara objektif selama tuju- an kekuasaannya untuk kekayaannya sendiri dan kurang perhatian pada kesejahteraan masyarakat banyak sebagaimana dikehendaki demokrasi. Dari sisi karakteristik pemimpin ini, Taimi>yah jelas menolak pemerintahan oligarkis. Amanat kedua, menurut Taimi>yah, mengenai pengelolaan kekayaan negara dan perlindungan harta benda milik para warga negara. Di satu sisi, dalam pengelolaan kekayaan negara, rakyat tidak dibenarkan menolak membayar segala kewajiban yang telah ditentukan oleh kepala negara. Di lain sisi, kepala negara harus membelanjakan dana yang diterima dari rakyat dan dari sumber- sumber lain secara baik sesuai dengan petunjuk Alquran dan Sunah, dan tidak mempergunakannya sekehendak hawa nafsunya. Kepala negara harus sadar sepenuhnya bahwa dana tersebut bukanlah miliknya melainkan merupakan amanat atau titipan. Pada saat yang sama, kepala negara harus menjamin bahwa segala kewajiban keuangan dari negara untuk rakyat harus selalu dipe- nuhi. Kepala negara juga harus melindungi hak milik, harta benda dan kekayaan warga negara terhadap ancaman atau gangguan, baik dari aparat negara maupun dari sesama rakyat.255 Dari penjelasan itu, terdapat dua jenis amanah, yakni pertama yang menjadi kewajiban rakyat dan kedua yang menjadi kewajiban pemimpin. Dengan demikian, amanah itu ditujukan dan kemampuan untuk mengisi jabatan tersebut. Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 85. 255Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 87. Ahmad Munjin 105 kepada oligarkbaik sebagai warga negara maupun sebagai pemim- pin. Secara jelas, menurut Winters, kepentingan-kepentingan oli- garki terfokus pada mempertahankan kekayaan (menolak penyita- an dengan paksa) dan mempertahankan pendapatan (menolak redistribusi hukum kepemilikan sehingga kepemilikan pribadi dinyatakan aman).256Padahal, menurut Ibn Taimi>yah, rakyat tidak dibenarkan menolak segala kewajiban. Pada saat yang sama, pemimpin harus memenuhi kewajiban keuangan negara dan melin- dungi hak milik warga negara dan tidak diselewengkan untuk memperkaya diri yang menjadi kecenderungan oligarki. Dari sisi ini, Taimi>yah jelas menolak sistem pemerintahan oligarkis. Menurut Sjadzali, Ibn Khaldu>n termasuk kelompok pemi- kir Islam yang berpendirian bahwa salah satu syarat agar dapat menjadi khalifah atau imam, yang merupakan pemimpin tertinggi dunia Islam adalah seseorangyang harus berasal dari keturunan Quraish. Dalam konteks ini, suku Quraish termasuk oligarki dalam kategori elite, yaitu segelintir orang yang sumber daya kekuasa- annya bukan material.257Hanya saja, Khaldu>n tidak semata menda- sarkan syarat tersebut kepada sabada Nabi SAW sebagaimana pemikir Islam yang lain bahwa kepemimpinan umat Islam berada pada suku Quraish. Ibn Khaldu>n coba melakukan rasionalisasi atas ketentuan tersebut. Berdasarkan teori ‘as}a>bi>yah-nya, Khaldu>n mengemukakan bahwa orang-orang Quraish adalah pemimpin- pemimpin terkemuka, original dan tampil dari Bani Mudhar. Dengan jumlahnya yang banyak, solidaritas kelompoknya yang kuat, dan keanggunannya, suku Quraish memiliki wibawa yang kuat atas cabang-cabang dan ranting-ranting lain dari Bani Mudhar. Seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan itu dan hormat kepada keunggulan suku Quraish. Oleh karena itu, jika kepemim- pinan diserahkan kepada suku lain, dikhawatirkan akan timbul tantangan dan pembangkangan yang berakibat pada kehancuran.258

    256Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 733. 257Winters, Oligarchy, 18-20. 258Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 106-07.

    106 Oligarki dan Demokrasi...

    Jika melihat syarat-syarat pemimpin yang diajukan oleh para ulama klasik tersebut, tak satu pun yang mendukung peme- rintahan oligarkis. Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan oleh Sjadzali, dalam praktiknya, beberapa ulama memberikan legitima- si atau keabsahan kepada sistem pemerintahan yang ada atau mempertahankan status quobagi kepentingan penguasa dan baru kemudian menawarkan saran-saran perbaikan dan reformasi.259 Mafhum muwafaqah dari proposisi Sjadzali tersebut adalah jika pemerintahan yang berkuasa adalah oligarkis, tentu para ulama memberikan legitimasinya untuk kemudian memberikan koreksi pada sistem tersebut. Dari sini tampak, para ulama mengamalkan prinsip tada>ruj (reformasi bertahap). Apalagi, Ibn Taymiyah se- cara tegas menyatakan, “lebih baik dipimpin oleh pemimpin yang kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin muslim yang zalim.”260 Jadi, dalam kerangka Taimi>yah, pemimpin oligarkis lebih baik daripada tanpa pemimpin demokratis sebagaimana Winters mengatakan, demokrasi yang menyatu dengan oligarki lebih baik daripada tak ada demokrasi sama sekali.261

    Tabel 2.3. Konsep Islam tentang Oligarki No. Indikator Teori Oligarki Konsep Islam 1. Aktor/Subjek Oligark Al-Mutaka>thir Al-U

  • gharshi>yah 2. Sistem Oligarki (Bahasa Arab) Dasar Stratifikasi 3. Daraja>t Kemunculan Material Sumber Daya 4. Kekayaan Al-Amwa>l Kekuasaan

    259Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 42. 260Abu Tholib Khalik, “Pemimpin non-Muslim dalam Perspektif IbnTaimiyah,” Analisis: Jurnal Studi Keislaman, 14, no. 1 (Juni 2014): 73. 261Winters, “Oligarchy and Democracy,” 27. Ahmad Munjin 107

    Lanjutan Tabel 2.3

    No. Indikator Teori Oligarki Konsep Islam Pertahanan Al-Taka>thur, Hub 5. Motif Berkuasa kekayaan al-Dunya>’ Ketidaksetaraan 6. Efek/Akibat politik dan materi Melampaui batas yang ekstrem

    Dari paparan Tabel 2.3. di atas, peneliti melihat benang merah adanya perubahan teori oligarki sejak jaman Yunani kuno hingga abad 19 dan setelahnya hingga saat ini. Perubahan tersebut terletak pada unsur-unsur oligarki yang semula semata kekayaan menjadi bertambah dengan masuknya unsur selain kekayaan seba- gaimana dibangun teori elite. Setelah itu, para ilmuan kembali ke unsur awal oligarki yaitu kekayaan sebagaimana diwakili Jeffrey A. Winters. Belakangan, teori-teori tersebut pun coba mendapat tantangan dari teori aksi yang digagas R. William Liddle. Perdebatan yang paling mencuat seputar oligarki adalah perihal kompatibilitas oligarki dengan demokrasi. Bagi yang men- dukung, mereka berpandangan bahwa dominasi elite tak dapat dihindarkan dalam sistem demokrasi. Sementara itu, yang meno- lak lebih melihat pada akibat di mana karakteristik oligarki memi- cu ketidaksetaraan politik yang berujung pada ketidaksetaraan materi. Dari sisi ini, oligarki jelas memicu ketimpangan ekonomi dalam sebuah masyarakat. Oleh karena itu, semakin oligarkis suatu pemerintahan, semakin timpang ekonomi masyarakat suatu daerah atau suatu negara. Meski begitu, sebagian pendukung kom- patibiltas oligarki dengan demokrasi, juga melihatnya dari sudut pandang yang negatif, bernada sinis dan pesimistis baik terhadap oligarki maupun demokrasi. Sementara itu, oligarki dalam perspektif Islam, secara tegas Alquran dan Hadis mengecam sikap lengah akibat aksi aku- mulatif terhadap kekayaan yang menjadi karakteristik oligark dan

    108 Oligarki dan Demokrasi... oligarki. Secara teori, kekayaan secara intrinsik menjadi salah satu sumber daya kekuasaan yang mendefinisikan oligark dan oligarki. Sementara itu, para ulama klasik lebih bersikap akomodatif terha- dap sistem kekuasaan pada zaman mereka sambil melakukan reformasi bertahap pada sistem tersebut. Mafhu>m muwafaqah- nyaadalah jika yang berkuasa saat itu adalah sistem oligarkis, para ulama tersebut dipastikan melegitimasinya untuk kemudian mem- perbaikinya. Secara normatif, sistem pemerintahan Islam lebih kompatibel dengan demokrasi dibandingkan oligarki. Kesimpulan ini didasarkan pada tujuan negara menurut Alquran, yakni ama- nah, keadilan, musyawarah, persamaan, dan kerjasama atau tolong-menolong. [] Ahmad Munjin 109

    Bab III DINAMIKA SUMBER DAYA KEKUASAAN KIAI DAN JAWARA DI BANTEN

    Pasca-Reformasi 1998, jawara tidak lagi berperan sebagai santri dan pelayan bagi kiai. Dengan sumber daya kekuasaan material yang mendefinisikannya sebagai oligark dan oligarki, jawara menjadi lebih dominan dibandingkan kekuasaan elite yang melekat pada para kiai. Tubagus Chasan Sochib (1930-2011), seorang tokoh jawara di Banten sukses mentransformasikan diri- nya dari seorang elite menjadi oligark sultanistik. Terdapat bebe- rapa faktor yang telah mengantarkan jawara pada perubahan sosialnya yang signifikan itu. Pertama, alasan antropologis yang mengharuskan jawara menjadi kaya dan ekspansi bisnisnya yang tidak terbatasi oleh teritori desanya; Kedua, hubungan jawara dengan rezim Orde Baru terjadi secara saling menguntungkan baik secara politik maupun ekonomi; dan Ketiga, intervensi rezim Orde Baru pada kiai justru menggerus kekuatan sumber daya kekuasaan elite yang disandang oleh para kiai. Pada bab III ini, peneliti membandingkan sumber daya kekuasaan antara kiai dan jawara. Perubahan sosial dalam dinami- ka kekuasaan keduanya sama-sama dipengaruhi oleh faktor ekster- nal (eksogen) yakni rezim penguasa mulai dari era kolonial hingga era reformasi. Peneliti memotretnya dengan lima teori sumber daya kekuasaan, yaitu: hak politik formal, kekuasaan mobilisasi, kekuasaan koersif, jabatan resmi, dan kekuasaan material. Sumber daya kekuasaan yang terakhir inilah yang mendefinisikan sese- orang menjadi oligark dan menciptakan sistem oligarki sekaligus membedakannya dengan kekuasaan elite dalam demokrasi.

    110 Oligarki dan Demokrasi...

    A. Peran Kiai dan Jawara pada Era Kolonial Pada sub bab ini, peneliti menjelaskan peran kiai dan jawara yang sama-sama merupakan elite bagi masyarakat Banten. Peneliti melacak sumber daya kekuasaan elite apa saja yang dimi- liki dan melekat pada kiai dan jawara. Kemudian, dijelaskan ten- tang bagaimana dialektika sumber daya kekuasaan elite tersebut dengan rezim penguasa di era kolonial. Terakhir, peneliti mengela- borasi benih-benih sumber daya kekuasaan material pada kekuasa- an kiai dan jawara yang memungkinkan tumbuh menjadi kekuasa- an oligarkis.

    1. Kiai dan Jawara sebagai Elite bagi Masyarakat Banten Meski benih-benih sumber daya kekuasaan material yang mentransformasikan jawara dari elite ke oligarki sudah muncul pada masa-masa kolonial, jawara belum terdefinisikan sebagai oligark. Jawara dan kiai sama-sama berperan sebagai elite bagi masyarakat Banten. Kedua entitas informal leader ini teridentifi- kasi memiliki kekuasaan mobilisasi yang menonjol selain hak politik formal, jabatan resmi, dan kekuasaan koersif. Kekuasaan material memang lebih didominasi oleh jawara tetapi belum mencapai kategori oligark karena sifatnya masih dalam skala kecil dan tradisional. M.A. Tihami1 Okamoto Masaaki2 dan Dadi Darmadi3 me- nyatakan, kiai dan jawara merupakan elite bagi masyarakat

    1M.A. Tihami, “Kiai dan Jawara di Banten: Studi tentang Aga- ma, Magi, dan Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan Serang, Banten,” Tesis Magister, Universitas Indonesia, 1992, 2. 2Okamoto Masaaki, “The Rise of the “Realistic” Islamist Party: PKS in Indonesia,” dalam Islam in Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia, eds. Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, dan Ahmad Suaedy (Jakarta: Wahid Institute, Kyoto: Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Taiwan: Center for Asia-Pacific Area Studies (CAPAS), 2010), 235-36. 3Dadi Darmadi, “The Geger Banten of 1888: An Anthropo- logical Perspective of 19th Century Millenarianism in Indonesia,” Heri- Ahmad Munjin 111

    Banten. Akan tetapi, Darmadi melihat potensi kekuasaan material yang menjadi sumber daya kekuasaan oligarkis pada dua entitas informal leader4 tersebut sedangkan Tihami hanya melihat potensi tersebut pada jawara. Menurut Darmadi, masyarakat Banten memiliki sistem differensiasi sosial yang khusus. Tiga kelompok elite secara khusus mendominasi kehidupan perdesaan: ulama atau kiai, jawara, dan .5 Dalam budaya Sunda, istilah priyayi disebut kaum ménak.6Ketiga kelompok tersebut terlibat penuh dalam pemberontakan di Banten. Dalam kelompok ulama, bebe- rapa perbedaan bisa saja terjadi. Pada level bawah, adalah kelom- pok priyayi yang direpresentasikan oleh para haji, orang-orang yang sudah melaksankan ziarah ke Makah. Secara umum, menurut Darmadi, ketiga kelompok terse- but lebih kaya dari anggota-anggota masyarakat. Kelebihan ketiga

    tage of Nusantara: International Journal of Religious Literature and Heritage, 4 no. 1 (Juni 2015): 74. 4Pemimpin informal (informal leader) adalah seseorang yang karena latar belakang pribadi yang kuat mewarnai dirinya, memiliki kualitas subyektif atau obyektif yang memungkinkannya tampil dalam kedudukan di luar struktur organisasi resmi. Akan tetapi, ia dapat memengaruhi kelakuan dan tindakan suatu kelompok masyarakat, baik dalam arti positif maupun negatif. Dalam masyarakat muslim pemimpin informal dimaksud bisa ulama, kiai, ustaz, atau tokoh masyarakat. Lihat Nicholas Argyres dan Vai-Lam Mui, “Rules of Engagement, Informal Leaders, and the Political Economy of Organizational Dissent,” makalah disampaikan pada pertemuan tahunan the Strategic Management Society, the Society for the Advancement of Behavioral Economics, the Western Economic Association, the International Society for New Insti- tutional Economics, and the Informs College on Organization Science, Juli 2000, 22. 5Darmadi, “Geger Banten of 1888,” 74. 6Istilah ménak digunakan dalam budaya Sunda untuk merujuk pada seseorang yang dijunjung tinggi, termasuk aristokrasi dan para peja- bat tinggi; lihat Nina Herlina Lubis, “Religious Thoughts and Practices of the Kaum Ménak: Strengthening Traditional Power,” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies 10 no. 2 (2003): 7.

    112 Oligarki dan Demokrasi... kelompok elite tersebut dari sisi kekayaannya bisa dikategorikan sebagai “benih-benih” tapi belum masuk kategori sebagai oligark. Dalam konteks kekayaan itu, baik kiai, jawara, maupun priyayi sama-sama memiliki potensi kekuasaan material.7 Di level atas, kiai sebagai elite memiliki basis pengaruh yang luas menjangkau wilayah luar perdesaan dan dalam beberapa kasus kekuasaan kiai melampaui wilayah Banten. Sejak pertanian menjadi aspek terpenting dalam kehidupan ekonomi di Banten, ketiga grup tersebut berbagi eksploitasi ekonomi mereka dengan para petani kaya atau tuan tanah.8 Dalam kehidupan masyarakat Banten, menurut M.A. Tihami, terdapat aturan-aturan yang disebut agama dan darigama. Agama adalah aturan-aturan yang dianggap sakral, sedangkan darigama adalah aturan-aturan yang biasa (profan), meskipun yang biasa ini juga berasal dari agama atau “diselimuti” oleh agama (sakral).9 Kepemimpinan agama direpresentasikan oleh kiai dan kepemiminan darigama diwakili oleh jawara.10 Kedua kepemimpi- nan ini dinilai Tihami sama kuat.

    7Kekuasaan material adalah sumber daya kekuasaan yang bera- sal dari kekayaan. Kekayaan mendefinisikan oligark, menggerakkan poli- tik dan proses oligarki. Sumber daya kekuasaan material menyediakan dasar untuk tegaknya oligark sebagai pelaku politik yang tangguh. Sum- ber daya material mengejawantah dalam berbagai bentuk. Yang paling luwes adalah uang tunai. Kekayaan sudah lama dikenali sebagai sumber kekuasaan ekonomi, sosial, dan politik. Orang bisa menjadi sama sekali tak berkuasa kalau tidak punya kekayaan. “Keluwesan luar biasa kekua- saan material itulah yang menjadikannya sangat penting dalam politik. Kekuasaan material bisa membeli pertahanan kekayaan, baik dalam ben- tuk kemampuan pemaksaan atau menyewa jasa pertahanan dari profesio- nal yang ahli.” Lihat Winters, Oligarchy, (New York: Cambridge University Press, 2011), 18. 8Darmadi, “Geger Banten of 1888,” 74-75. 9Tihami, “Kiai dan Jawara,” 97. 10Jawara adalah suatu golongan sosial yang mengandalkan kebe- ranian dan kekuatan fisik, agresif, terbuka (blak-blakan) dan sompral (tutur kata yang keras). “Untuk menunjang keandalan fisiknya itu, Ahmad Munjin 113

    Kewenangan terhadap agama dan darigama melahirkan dua kepemimpinan yakni kepemimpinan agama dan kepemimpi- nan bukan agama (dunia). Orang Banten, lebih tepatnya masya- rakat Pasanggrahan, Serang, menyebut pemimpin agama ini dengan kiai, dan pemimpin dunia dengan pamaréntah, walaupun tidak selamanya pemimpin ini menjadi pejabat pemerintahan. Misalnya, orang kaya (pengusaha) yang dianggap sebagai pemim- pin, disebut juga dengan pamingpin pamarentah karena dianggap menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Kiai dan pamarentah ini menjadi pemimpin karena mempunyai kelebihan-kelebihan diban- dingkan dengan orang kebanyakan. Kelebihan kiai sebagaimana disebutkan di atas, adalah dalam kemampuannya memiliki magi dan menyebarkannya kepada masyarakat yang memerlukannya.11 Ada beberapa macam magis yang dibutuhkan oleh masya- rakat. Sebagian di antaranya adalah magi tentang kadigjayaan (kesaktian) yang meliputi jenis-jenis kesereman dalam penampilan sehingga ditakuti orang, kekebalan tubuh dari senjata tajam, dan kekuatan fisik dalam bersilat. Magi semacam inilah yang dibutuh- kan dan dimiliki oleh sebagian orang yang disebut jawara. Magi seperti ini diperoleh dari kiai dengan bentuk atau melalui pembe- rian formula-formulanya.12 Lebih jauh Tihami menjelaskan, kiai dan jawara diakui sebagai pemimpin. Hanya saja, kepemimpinan jawara punya per- syaratan khusus. Syarat tersebut adalah harus menduduki jabatan pemerintahan (desa) atau menjadi orang kaya (pengusaha). Karena ada perbedaan jabatan, pihak yang dipimpin pun berbeda pula. Kepemimpinan kiai ternyata tidak terbatasi oleh batas-batas teri- torial tertentu. Sebab, selain jabatannya sebagai pemimpin upaca- ra-upacara agama, kiai juga ahli magi. Oleh karena itu, seorang kiai dianggap sebagai pemimpin bukan saja dalam lingkungan jawara membutuhkan magi walaupun dalam bentuk yang paling mudah, misalnya jimat, rajah dan sebagainya yang kesemuanya itu paling banyak diperoleh dari kiai.” Lihat Tihami, “Kiai dan Jawara,” 13. 11Tihami,“Kiai dan Jawara,” 99. 12Tihami,“Kiai dan Jawara,” 99.

    114 Oligarki dan Demokrasi... desanya, tetapi juga pada desa-desa lainnya bahkan jauh ke tempat-tempat lain. Di sisi lain, kepemimpinan jawara yang berkedudukan sebagai orang kaya (pengusaha) juga tidak terbatas pada territorial tertentu, tetapi tidak seluas kiai. Sebab, bagi orang orang kaya berlaku relasi dagang. Jadi, kepemimpinan jawara yang berkedudukan sebagai pejabat pemerintahan desa terbatas pada lingkungan desanya. Artinya, orang-orang di luar desa yang dipe- rintahnya, tidak mengakuinya sebagai pemimpin. Hanya saja, dari sisi relasi dagangnya, jawara tidak terbatas hanya di desanya.13 Okamoto Masaaki menyebut kiai dan jawara sebagai informal leaders yang sangat penting. Banten memiliki banyak pesantren. Kiai merupakan pemilik dan pengelola pesantren- pesantren tersebut yang mengajarkan ajaran Ahl al-Sunnah wa al- Jama>‘ah, terutama di wilayah selatan. Begitu juga dengan jawara14 yang merupakan kategori lain dari informal leaders. Secara historis, di Banten Utara merupakan tempat di mana jawara lebih terkonsentrasi dan merupakan tempat di mana komunis pada 1926 mempertahankan basisnya. Kecamatan Ciomas dan Pabuaran berlokasi di antara Banten Utara dan Banten Selatan yang juga dikenal sebagai wilayah kiai dan jawara dan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu mereka.15 Di atas semua itu, kiai dan jawara sebagai elite bagi masyarakat Banten merupakan kenyataan yang tidak terbantahkan.

    13Tihami,“Kiai dan Jawara,” 105. 14Menurut Masaaki, jawara adalah semacam orang kuat perdesa- an atau orang yang secara semi-sosial melekat kecekatan di dan sekitar desa dan mereka memiliki kecapakan dalam seni bela diri yang disebut pencak silat. Beberapa jawara yang sangat berpengaruh dipercaya memi- liki kekuatan magis yang disebut ilmu. Ilmu berasal dari bahasa Arab dan memiliki dua makna. Makna ilmu pertama sebagai sains atau pengetahu- an dan kedua sebagai pengetahuan supranatural. Dalam konteks Banten, pengertian tentang ilmu adalah definisi yang kedua. Lihat Masaaki, “Rise of Realistic Islamist Party,” 235. 15Masaaki, “Rise of Realistic Islamist Party,” 236; lihat juga Tihami,“Kiai dan Jawara,” 30-32, 50. Ahmad Munjin 115

    Dengan demikian, jelas terlihat bahwa jawara dan kiai sama-sama merupakan elite bagi masyarakat Banten. Kedua enti- tas informal leaderini dari sisi kepemilikan harta juga lebih kaya dibandingkan masyarakat kebanyakan. Akan tetapi, kekayaan tersebut tentu saja belum bisa dimasukkan ke dalam kategori oligark. Sebab, kekayaan oligark harus mencapai ribuan kali lipat dibandingkan kekayaan rakyat biasa yang direpresentasikan mela- lui incomepercapita. Namun demikian, benih-benih oligarki itu justru tumbuh pada kepemimpinan jawara. Sebab, di satu sisi, kepemimpinan jawara bagi masyarakat Banten meski secara kekuasaan terbatas pada desanya, tapi tidak terbatas dari sisi ekspansi bisnisnya. Di lain sisi, meski kekuasaan kharismatik kiai tidak terbatasi oleh teritori desa, kiai tidak punya kekuasaan ekspansi bisnis seperti jawara yang kepemimpinannya mensyarat- kan kekayaan.

    2. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara sebagai Elite Menurut Jeffrey A. Winters, kekuasaan elite dicirikan oleh empat sumber daya kekuasaan, yakni hak politik formal, mobili- sasi, jabatan resmi, dan kekuasaan koersif. Sementara itu, kekua- saan material menjadi sumber daya kekuasaan oligarkis sekaligus menegasikannya dari kekuasaan elite.16 Pada bagian ini, peneliti akan mengelaborasi kekuasaan elite kiai dan jawara dari sudut pandang empat sumber daya kekuasaan tersebut. Jika dilihat dari empat sumber daya kekuaan elite, kiai dan jawara pada era penjajahan lebih mendominasi kekuasaan mobilisasi. Sedangkan sumber daya kekuasaan dari sisi hak politik formal17 yang melekat pada kiai dan jawara belum muncul. Sebab,

    16Winters, Oligarchy, 11-20. 17Menurut Winters, hak politik formal adalah sumber daya ke- kuasaan yang paling tak langka dan paling tersebar di tingkat individu dalam keadaan adanya hak pilih bagi semua orang dan sedikitnya rinta- ngan untuk berpartisipasi dalam politik. Hak politik ini dianggap sebagai kebebasan liberal karena mencakup satu suara untuk setiap orang, kebe- basan berpendapat tanpa ditindas, dan kesempatan mendapatkan akses

    116 Oligarki dan Demokrasi...

    Indonesia baru mengadakan pemilu untuk pertama kalinya pada 195518 atau sepuluh tahun pascakemerdekaan. Pemilu yang sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia paling domokratis itu bertu- juan memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante. Perihal kekuasaan mobilisasi,19 kiai memiliki kedudukan dan peran strategis di masyarakat. Pada masa kesultanan, sebagian pemuka agama ini masuk sistem birokrasi pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun lokal. Ketika kesultanan dihapuskan dan Banten menerapkan sistem birokrasi Barat, hanya sebagian kecil ulama yang menjadi pangreh praja (penguasa lokal pada era kolonial). Sebagian besar lainnya, justru memandang hina kekua- saan kolonial, dan menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah. Eksploitasi kolonial di Banten telah mendorong rakyat melancar- kan pemberontakan. Para kiai, bersama kaum jawara merupakan motor utama berbagai gerakan sosial yang marak dan menegaskan betapa besarnya kekuasaan mobilisasi20 kiai di Banten abad ke-19. Pemberontakan-pemberontakan itu terus berlangsung sampai permulaan abad ke-20, dan kiai tetap menjadi pelopor utama.21

    terhadap informasi yang dimiliki semua orang dalam masyarakat. Hak politik, lanjut Winters, baru menjadi benar-benar penting di antara indi- vidu kalau bersifat makin ekslusif, baik secara formal maupun praktik. Lihat Winters, Oligarchy, 13. 18Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia(Jakarta dan Kuala Lumpur: Equinox Publishing, 2007), 414- 450. 19Kekuasaan mobilisasi adalah kapasitas individu untuk meng- gerakkan atau memengaruhi yang lain—kemampuan memimpin orang, meyakinkan pengikut, menciptakan jejaring, menghidupkan gerakan, me- mancing tanggapan, dan menginspirasi orang untuk bertindak (termasuk membuat mereka mengambil risiko dan berkorban). Lihat Winters, Oligarchy, 15. 20Winters, Oligarchy, 15. 21Tb. Iman Ariyadi, “Kiai dan Jawara dalam Politik Banten,” Gatra, 6 November 2013, 24. Ahmad Munjin 117

    M.A. Tihami mencatat, pada abad 19, kiai berhasil memo- bilisasi masyarakat untuk memberontak seperti puncak pemberon- takan petani di Cilegon pada 1888 yang dipimpin oleh Kiai Haji Wasid.22 Besarnya kekuasaan mobilisasi kiai saat itu didukung oleh beberapa faktor: Pertama, berdirinya lembaga-lembaga pengajaran agama Islam yang disebut dengan pesantren pada abad ke-18 yang ditandai dengan berdirinya pesantren tertua di Caringin, Banten. Upaya ini bukan hanya didorong oleh keinginan orang-orang Islam untuk memperdalam ajaran agamanya, tetapi juga karena mulai masuknya pengaruh orang Belanda di lingku- ngan keraton-keraton (Cirebon dan Banten). Menurut Tihami, apapun yang mendorong munculnya lembaga pesantren dalam konteks Islamisasi memunculkan adanya figur kepemimpinan yang menjadi elite dalam masyarakat, yaitu kiai. Kiai adalah pihak yang memberikan pengajaran agama Islam (sebagai guru) dalam pesantren itu.23 Kedua, kedudukan kiai sebagai “perpanjangan tangan” sultan dalam proses Islamisasi di daerah-daerah perdesaan. Sebab, kesultanan berdiri atas dasar upaya Islamisasi, baik untuk me- ngembangkan pengaruh maupun untuk memperkuat kekuasaan dan kedudukan sultan. Kondisi ini sangat menguntungkan kiai yang kedudukannya sebagai pemimpin masyarakat. Kedudukan kiai semacam itu terus berlangsung walaupun kesultanan Banten telah berakhir pada tahun 1820, yaitu Sultan Rafiuddin (1813- 1830) sebagai sultan Banten yang terakhir. Berakhirnya kesulta- nan seiring dimulainya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.24 Ketiga, kiai mendapatkan dukungan dari masyarakat yang mem- benci Belanda karena telah memporak-porandakan sistem kesulta- nan. Itulah yang menjadi kunci keberhasilan mobilisasi kiai.25

    22Tihami, “Kiai dan Jawara,” 2. 23Zamarkhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES. 1985), 19. 24Tihami, “Kiai dan Jawara,” 1-2. 25Tihami, “Kiai dan Jawara,” 2.

    118 Oligarki dan Demokrasi...

    Abdul Hamid juga mencatat besarnya kekuasaan mobili- sasi26 dari kepemimpinan kiai pada masa penjajahan Banten. Mobilisasi yang berperan besar itu dijalankan dalam dua pembe- rontakan anti-Belanda. Pada 1888, beberapa kiai yang sangat berpengaruh mengendalikan sentimen anti-Barat melalui kajian mereka di Mekah. Mereka memimpin sebuah pemberontakan dalam skala besar. Para kiai menyiapkan dan mengorganisasi pemberontakan melalui jaringan dengan murid-murid mereka.27 Salah satu bukti besarnya kekuasaan mobilisasi kiai saat itu diperlihatkan oleh Imam Nawawi Al-Bantani yang menggelorakan semangat perjuangan dari Tanah Suci. Imam Nawawi Al-Bantani yang melekat padanya otoritas dan legitimasi kharismatik yang besar melalui pengajarannya kepada para santri asal Tanah Air selalu mengobarkan api perjuangan melawan penjajahan di Banten dan Indonesia secara umum.28 Para santrinya merespons dengan mendirikan berbagai organisasi masyarakat dan lembaga pendidikan di Tanah Air sebagai bagian penting dari perjuangan melawan penjajah dan mengembangkan Islam di Tanah Air. Di antara murid-muridnya adalah K.H. Kholil Bangkalan, K.H. , K.H. Hasyim Asyari Tebuireng, K.H. Asnawi Kudus Jawa Tengah, K.H. Arsyad Thowil Banten, K.H. Najihun Tangerang, K.H. Tubagus Muham- mad Asnawi Caringin, K.H. Ilyas Serang, K.H. Abd Gaffar Tirtayasa, K.H. Tubagus Bakri Purwakarta, dan K.H. Jahari Ceger Bekasi. Ketokohan Imam Nawawi Al-Bantani semakin kuat seiring penyebaran karya-karyanya di Indonesia melalui murid-

    26Winters, Oligarchy, 15. 27Sartono Kartodirdjo, The Peasants Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia (Dordrecht: Springer Science+Business Media Dordrecht, 1966). 28Tim Raksa Ajar Indonesia, kata pengantar pada terjemahan Sala>lim al-Fud}ala>’: Menapaki Tangga-tangga Keutamaan Hidup, oleh Imam Nawawi Al-Bantani (Serang: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Banten, 2017), 21-22. Ahmad Munjin 119 muridnya yang berkiprah di Tanah Air. Hingga kini, buku-buku Imam Nawawi masih diajarkan di sejumlah pesantren di Nusan- tara bahkan lembaga-lembaga studi keislaman di dunia.29 Kiai juga memainkan kekuasaan penting dalam memobili- sasi pemberontakan komunis di Banten pada 1926. Ketidakpuasan dengan kebijakan moderat dan usaha-usaha purifikasi Islam dari para pemimpin , organisasi Islam terbesar saat itu, sebagian kiai saat itu memilih untuk bergabung dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) untuk berjuang melawan Belanda sebagai musuh bersama.30 Kekuatan politik kiai mencapai puncak- nya pada masa perlawanan lokal tersebut. Sementara itu, perihal kekuasaan mobilisasi31 jawara di masa kolonial, Masaaki dan Hamid menjelaskan perjumpaan seja- rah antara negara dengan gerakan bawah tanah di Jawa ( underground). Pada awal abad 19, jawara Banten telah dikenal oleh birokrat kolonial Belanda dan wilayah Banten saat itu terke- nal tidak aman. Selama abad 19, Banten merupakan salah satu area perdesaan di Jawa yang paling rusuh. Masaaki dan Hamid mencatat, pada periode 1810-1870, tidak kurang dari sembilan belas pemberontakan yang dimobilisasi jawara di Banten.32 Di Jawa, lebih jauh Masaaki dan Hamid menjelaskan, bis- nis dari material pencuri adalah pekerjaan yang merupakan bagian dari pelayanan pemerintahan kota. Pekerjaan tersebut disediakan

    29Tim Raksa Ajar Indonesia, kata pengantar, 21-22. 30Abdul Hamid, “The Kiai in Banten: Shifting Roles in Cha- nging Times,” dalam Islam in Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia, eds. Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, dan Ahmad Suaedy (Jakarta: Wahid Institute, Kyoto: Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Taiwan: Center for Asia-Pacific Area Studies (CAPAS), 2010), 424. Lihat juga Michael C. Williams, Communism, Religion, and Revolt in Banten (Athens: Ohio University Center for International Studies, 1990). 31Winters, Oligarchy, 15. 32Okamoto Masaaki dan Abdul Hamid, “Jawara in Power 1999- 2007,” Indonesia 86 (Oktober 2008): 114.

    120 Oligarki dan Demokrasi... kepada banyak masyarakat, beberapa di antaranya dengan inves- tasi. Pemerintah kota juga otomatis menyediakan banyak keuntu- ngan bagi penjaganya. “Tidak ada kepala desa yang menganggap desanya sempurna dan berada dalam tatanan yang baik kecuali apabila desa tersebut tidak memiliki paling tidak satu pencuri— seringkali desa punya beberapa pencuri yang berada di bawah komando pencuri paling pintar atau paling tua yang disebut Djago.”33 Laporan tersebut, menurut Masaaki dan Hamid, sangat menarik karena ditulis pada 1872 oleh pengusaha perkebunan tembakau swasta di Kediri. Pengusaha pertanian itu membuat sketsa tentang sebuah situasi perdesaan Jawa di mana pencurian ternak, intimidasi, pembakaran rumah dengan sengaja, penipuan pajak tanah, dan kekerasan fisik muncul setiap hari. Pada saat yang sama, pemerintahan kolonial benar-benar kehilangan daya cengkramnya.34 Pada masa kolonial, lanjut Masaaki dan Hamid, aktor utama di Banten adalah jawara.35 Jawara memiliki semacam kekuatan sosial yang memungkinkan mereka sewaktu-waktu me- langgar aturan masyarakat dan (menggertak) dengan mengguna- kan kesaktiannya saat diperlukan. Kekuatan sosial jawara tersebut disebut oleh Jeffrey A. Winters sebagai kekuasaan koersif.36 Menurut Winters, sebelum kemunculan negara modern, kapasitas

    33Henk Schulte Nordholt, “The Jago in the Shadow: Crime and ‘Order’ in the Colonial State in Java,” terj. Ernst van Lennep, RIMA (Review of Indonesian and Malaysian Affairs): a Semi-Annual Survey of Political, Economic, Social and Cultural Aspects of Indonesia and Malaysia 25, no. 1 (Juni-Agustus, 1991): 74-91. Lihat juga Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 114. 34Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 114-15. 35Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 115. 36Kekuasaan koersif adalah pengaruh atau kapasitas individu atau kelompok terhadap yang lain atas dasar atau dengan cara pemaksaan dan kekerasaan. Lihat Winters, Oligarchy, 15. Ahmad Munjin 121 pemaksaan tersebar di antara banyak pelaku di masyarakat.37 Dalam konteks Banten di era kolonial, kapasitas pemaksaan dan kekerasaan itu menyebar di antara para jawara. Ketidakseimba- ngan ekstrem dalam kapasitas individu melakukan kekerasaan berarti bahwa kekuasaan pemaksaan itu penting dalam profil kekuasan individu. Artinya, ketidakseimbangan itu bisa menentu- kan apakah kekuasaan individu tersebut sebagai elite atau oligark. Kapasitas pemaksaan itu juga bisa menentukan jenis oligarki yang melekat pada individu tersebut nantinya. Pencapaian utama negara modern, lanjut Winters, adalah perlucutan senjata yang efektif dari semua individu, atau mengi- kuti kata-kata Weber,38 kemampuan negara memonopoli sarana pemaksaan yang sah. Artinya, jika seorang anggota masyarakat melukai orang lain dan layak dihukum, yang menghukum pelaku adalah negara dan bukan orang yang dilukai.39 Akan tetapi, dalam konteks Banten dalam konteks negara modern pun, kapasitas pemaksaan dan kekerasaan dalam hal tertentu masih belum pupus sepenuhnya, karena masih melekat pada kapasitas kekuasaan jawara. Pada era kolonial, sebagian di antara para jawara memeras atas nama biaya “keamanan” atau biaya tanah dari sarang perju- dian dan pelacuran. Mereka juga terlibat dalam aktivitas kri-minal atau aktivitas yang nyaris merupakan kejahatan seperti mencuri dan pemerasan. Jawara merupakan pihak yang bertanggung jawab atas pencurian ternak sapi dan penjualannya kembali melalui mobilisasi40 atas jaringan luas wilayah yang dikuasainya. Jawara lainnya menjadi penyedia layanan keamanan (security provider)

    37Winters, Oligarchy, 15. 38“Today, however, we have to say that a state is a human com- munity that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory.” Max Weber, “Politics as a Voca- tion,” dalam From Max Weber: Essays in Sociology, eds. H. H. Gerth dan C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1946), 78. 39Winters, Oligarchy, 15. 40Winters, Oligarchy, 15.

    122 Oligarki dan Demokrasi... untuk desa-desa sebagai kacung bagi kepala desa masing-masing atau mereka sendiri sebagai kepala-kepala desa.41 Mulai awal abad sembilan belas, negara kolonial Belanda mulai memperluas kekuatannya hingga level perdesaan di Jawa. Sistem pendapatan pertanian opium yang dijalankan oleh pengu- saha China menjalin kerjasama dengan pejabat birokrasi dan mengawali kerjasama yang luas antara para kepala desa dan jago atau jagabaya (istilah bahasa Jawa lokal untuk bandit).42 Para kepala desa menjadi lebih berposisi sebagai birokrat dibandingkan pemimpin masyarakat yang berpengaruh. Para kepa- la desa ini mendapatkan otoritas mereka dari negara kolonial Belanda. Mereka diakui secara resmi sebagai pemimpin formal desanya dan mereka mengeksploitasi orang-orang desa dengan meminta pajak dan kerja rodi sesuai permintaan negara kolonial Belanda. Oleh karena itu, para kepala desa memperkuat dan memusatkan kekuasaan mereka dan kekuasaan Belanda di desa- desa. Beberapa jago atau jagabaya datang untuk melayani para kepala desa ‘formal’ dan membantu mereka dalam mengumpulkan banyak kekayaan yang menjadi motif kekuasaan oligarkis43

    41Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 115. 42Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 115. 43Motif kekuasaan oligarkis adalah pertahanan dan akumulasi kekayaan. Menurut Winters, secara jelas, kepentingan-kepentingan oli- garki terfokus pada mempertahankan kekayaan (menolak penyitaan de- ngan paksa) dan mempertahankan pendapatan (menolak redistribusi hu- kum kepemilikan sehingga kepemilikan pribadi dinyatakan aman). Sejak peradaban awal hingga tumbuhnnya negara modern, para oligark mencu- rahkan sebagian besar perhatian mereka untuk mempertahankan kepemi- likan. Pada saat yang sama, para oligark juga memaksakan diri untuk membuat investasi utama dalam kapasitas-kapasitas untuk kekerasan dan pemaksaan. Pertahanan kekayaan, lanjut Winters, memiliki dua dimensi yaitu pertahanan harta dan pertahanan pendapatan. Keduanya dinilai penting bagi keberadaan dan keberlangsungan oligarki. Akan tetapi, kadar relatif keduanya dan kadar keterlibatan langsung oligark dalam politik pertahanan harta dan pendapatan sangat beragam. Lihat Winters, Oligarchy, 23. Ahmad Munjin 123 dengan intimidasi dan kekerasan yang oleh Winters disebut kekuasaan pemaksaan dan pemerasan (koersif) itu. Sementara itu, jago yang lain mendapatkan kekuasaan dengan membantu petani opium China di jajahan Jawa. Jaringan hubungan toleransi dan kerja sama di antara para kepala desa, jago, dan pemerintahan pusat secara umum dipahami untuk menghubungkan antara negara kolonial Belanda dengan desa-desa di Jawa.44 Namun demikian, kata Masaaki dan Hamid, sejarah di Banten cukup berbeda. Mobilisasi,45 konsolidasi dan sentralisasi kekuasaan di bawah para kepala desa hanya sebagian yang sukses di wilayah Banten. Sebab, sistem penanaman opium kolonial- secara khusus yang menjadi elemen kunci dalam konsolidasi dan sentralisasi kekuasaan di level lokal tidak pernah berakar di wila- yah Banten. Banten merupakan area tertutup bagi penjualan opium dan tidak menerima perkebunan opium secara resmi. Aki- batnya, pembagian kekuasaan yang mencolok antara pemimpin- pemimpin formal dan informal bertahan di Banten dan penetrasi negara kolonial ke dalam masyarakat menjadi lemah. Untuk itu, tidak ada motif untuk melakukan kontrol atas kekerasan pribadi di wilayah itu. Karena alasan inilah, lanjut Masaaki dan Hamid, jawara di Banten tetap eksis sebagai kekuatan sosial yang independen dan berpengaruh bersama-sama dengan ulama bahkan hingga mema- suki abad ke-21. Pada akhir abad 19, sebuah perjuangan anti- kolonial yang disebut pemberontakan Cilegon pecah di Banten. Jawara dan ulama melakukan mobilisasi46 untuk berjuang bersa- ma-sama melawan kekuatan kolonial belanda.47 Di atas semua itu, tampak jelas bahwa kiai dan jawara di Banten pada era kolonial, sama-sama memiliki sumber daya ke- kuasaan elite, yakni kekuasaan mobilisasi. Meskipun, dalam kon- teks tertentu, kekuasaan mobilisasi jawara bisa saja digunakan

    44Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 115. 45Winters, Oligarchy, 15. 46Winters, Oligarchy, 15. 47Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 115-116.

    124 Oligarki dan Demokrasi... dalam pengertian yang negatif karena kekuasaan koersifnya. Sedangkan dalam pengertian yang positif, kekuasaan mobilisasi kiai dan jawara yang paling menonjol digunakan untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial Belanda.

    3. Kekuasaan Material: Benih-benih Kekuasaan Oligarkis Jawara Untuk memberikan konteks pada benih-benih oligarki jawara, adanya oligarki di Banten pada era kolonial, menurut Edmund Scott, sebagaimana dikutip Claude Guillot terlacak ke tahun 1604. Pada tahun tersebut Pangeran Mandalika, saudara laki-laki dari almarhum raja Maulana Muhamad, membakar atap- atap rumah jerami pada September dengan menggunakan panah- panah berapi. Tujuannya, untuk menimbulkan kerugian pada para oligark yang subjeknya adalah pedagang-pedagang dan mengobar- kan pemberontakan dengan membuat ibu kota kelaparan.48 Sebelum itu, pada 1580, Claude Guillot menyebutkan, para penguasa oligarkis yang terdiri dari para pedagang dan kaum yang mendukung kegiatan niaga memilih raja yang masih bocah di antara para pengeran yang berhak atas takhta. Padahal, calon penantang lain dalam suksesi kepemimpinan tersebut memiliki kemampuan sesungguhnya untuk memerintah. Para oligark yang merupakan anggota kelas menengah borjuis membentuk suatu dewan perwalian yang berpihak penuh untuk kepentingan mereka. Dengan lemahnya kekuasaan raja, kelompok ini mengatur Banten selama, paling tidak, tiga dasawarsa,49 sebuah durasi kekuasaan yang sama lamanya dengan rezim Orde Baru di Indonesia abad 20. Banten pun telah berubah dari sistem kerajaan menjadi republik oligarkis hingga munculnya material pangeran yang bersemangat

    48Lihat Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X- XVII, diterjemahkan oleh Hendra Setiawan dkk. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, École Française d’Extrême-Orient, Forum Jakarta- Paris, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, 2008), 117. 49Guillot, Banten, 227. Ahmad Munjin 125 tinggi dan melawan para oligark dengan pasukan tentara. Perang tersebut menjadi perang saudara dan para oligark pun menyerah.50 Guillot tidak menyebutkan siapa nama pangeran dimak- sud. Yang jelas, pangeran tersebut mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin dari sebuah dewan perwalian yang baru dan membuang pejabat sebelumnya yang terdiri dari gologan rakyat jelata dan pendukung oligark ke wilayah dekat negeri itu pada 1609. Menurut sebuah dokumen Belanda, lanjut Guillot, tujuh ribu orang terpaksa meninggalkan Banten. Setelah itu, raja menjalan- kan kekuasaan mutlak di Banten.51 Semua itu mencerminkan per- tarungan monopoli ekonomi dan politik antara kerajaan (monarki) melawan oligarki saat itu.52 Jika Guillot menemukan aktor-aktor oligarkis yang terdiri dari para pedagang dan kaum yang mendukung kegiatan niaga, peneliti melihat asal-mula terbentuknya kekuasaan oligarkis jawara secara antropologis.53 Oligarki yang terbentuk berdasarkan sumber daya kekuasaan material54 itu, salah satunya berasal dari persyaratan jawara sebagai pemimpin. Syarat tersebut adalah keharusan jawara menduduki jabatan pemerintahan (desa) atau orang kaya (pengusaha).55 Syarat kekayaan inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya kekuasaan material yang menjadi sumber daya kekuaaan oligarkis yang pada gilirannya menyebar ke seluruh Banten. Dengan kekayaan, keluarga jawara, bahkan mendapatkan kekuasaan tersebut melalui legitimasi legal-formal dalam pemilu langsung yang melampaui legitimasi kharismatik dan otoritas tradisionalnya--yang juga dimiliki kiai--sebagai jawara. Berbeda dengan kiai, kepemimpinan jawara hanya diakui jika syarat jaba-

    50Guillot, Banten, 227. 51Guillot, Banten, 227. 52Guillot, Banten, 229. 53Tihami, “Kiai dan Jawara,” 105. 54Winters, Oligarchy, 18-20. 55Tihami, “Kiai dan Jawara,” 105.

    126 Oligarki dan Demokrasi... tan kepala desa (kekuasaan dari jabatan resmi) dan kekayaan (kekuasaan material) terpenuhi.56 Karena perbedaan jabatan, menurut M.A. Tihami, pihak yang dipimpin pun berbeda pula. Kepemimpinan kiai ternyata tidak terbatas oleh batas-batas teritorial tertentu. Sebab, selain sebagai pemimpin dalam peribadahan, kiai juga sebagai ahli magi. Akibatnya, seorang kiai Banten dianggap sebagai pemimpin bukan saja dalam lingkungan desanya tetapi juga pada desa-desa lainnya bahkan ke tempat-tempat lain yang jauh. Begitu juga dengan kepemimpinan jawara yang berkedudukan sebagai orang kaya (pengusaha) juga tidak terbatas pada teritorial tertentu dalam konteks relasi dagangnya. Sedangkan kepemimpinan jawara seba- gai pejabat pemerintahan desa terbatas pada lingkungan desanya; orang-orang di luar desa yang diperintahnya tidak mengakui jawa- ra sebagai pemimpin.57 Menurut Tihami, untuk menjadi pemimpin, jawara tidak cukup mempunyai keberanian (kawani-bahasa Sunda) secara fisik yang didukung oleh kemampuan magis. Sebab, kemampuan seperti itu juga banyak dimiliki oleh orang-orang biasa. Untuk menjadi pemimpin, selain berani jawara tersebut harus berasal dari jabatan-jabatan tertentu yang dalam stratifikasi sosial berada pada strata atas.58 Pada mulanya, keharusan memiliki kekayaan bagi kepe- mimpinan jawara bermotif mulia yakni untuk tujuan tolong meno- long yang menjadi prinsip jawara. Sebab, dalam prinsip jawara, tidak mungkin bisa menolong orang lain jika diri sendiri masih harus ditolong karena miskin.59 Sifat tolong menolong ini harus diwujudkan oleh jawara selain melalui kesaktiannya juga sekaligus dengan kekayaannya. Sebab, dalam alam pikiran jawara, tidak

    56Tihami, “Kiai dan Jawara,” 105. 57Tihami, “Kiai dan Jawara,” 105. 58Tihami, “Kiai dan Jawara,” 97. 59Fahmi Irfani, Jawara Banten: Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya (Jakarta: Young Progressive Moslem Press, 2011), 14. Ahmad Munjin 127 mungkin mereka bisa menolong orang miskin jika jawaranya sendiri seorang miskin.

    Tabel 3.1. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara pada Era Kolonial di Banten Sumber Daya No Indikator-indikator Kekuasan (1) (2) (3) Sumber daya kekuasaan dari sisi hak politik formal yang melekat pada kiai Hak Politik Formal dan jawara belum muncul. Sebab, 1 (Elite/Demokrasi) Indonesia baru mengadakan pemilu untuk pertama kalinya pada 1955 atau sepuluh tahun pascakemerdekaan. a. Jawara memiliki semacam kekuatan sosial yang memungkinkan mereka sewaktu-waktu melanggar aturan masyarakat dan menggertak dengan menggunakan kesaktiannya saat diperlukan; Kekuasaan b. Sebagian di antara jawara memeras 2 Pemaksaan/Koersif atas nama biaya “keamanan” atau (Elite/Demokrasi) biaya tanah dari sarang perjudian dan pelacuran; dan c. Jawara juga terlibat dalam aktivitas kriminal atau aktivitas yang nyaris merupakan kejahatan seperti mencuri dan pemerasan. a. Kiai memiliki basis pengaruh yang luas menjangkau wilayah luar perdesaan dan dalam beberapa kasus melampaui wilayah Banten; Kekuasaan b. Pada 1888, beberapa kiai yang 3 Mobilisasi sangat berpengaruh mengendalikan (Elite/Demokrasi) sentimen anti-Barat melalui kajian mereka di Mekah. Mereka memimpin sebuah pemberontakan dalam skala besar;

    128 Oligarki dan Demokrasi...

    Lanjutan Tabel 3.1 (1) (2) (3) c. Pada abad 19, kiai berhasil memobilisasi masyarakat untuk memberontak seperti puncak pemberontakan petani di Cilegon pada 1888 yang dipimpin oleh Kiai Haji Wasid; d. Kiai memainkan kekuasaan penting dalam memobilisasi pemberontakan komunis di Banten pada 1926; e. Pada akhir abad 19, jawara dan ulama memobilisasi masa melawan kekuatan kolonial Belanda yang disebut pemberontakan Cilegon; dan f. Pada periode 1810-1870, jawara Banten memobilisasi tidak kurang dari sembilan belas pemberontakan. a. Kiai merepresentasikan kepemimpinan agama dan jawara merepresntasikan kepemimpinan Jabatan Resmi darigama (profan); 4 (Elite/Demokrasi) b. Kedudukan kiai sebagai “perpanjangan tangan” sultan dalam proses Islamisasi di daerah- daerah perdesaan. a. Pada 1580, para penguasa oligarkis yang terdiri dari para pedagang dan kaum yang mendukung kegiatan niaga memilih raja yang masih bocah di antara para pengeran yang Kekuasaan Material 5 berhak atas takhta; (Oligarki) b. Dengan lemahnya kekuasaan raja, kelompok orang kaya mengatur Banten selama, paling tidak, tiga dasawarsa, sebuah durasi kekuasaan yang sama lamanya dengan rezim Ahmad Munjin 129

    Lanjutan Tabel 3.1 (1) (2) (3) Orde Baru di Indonesia abad 21; c. Pada September 1604, Pangeran Mandalika membakar atap-atap rumah jerami dengan menggunakan panah-panah berapi untuk menimbulkan kerugian pada para oligark yang subjeknya adalah pedagang-pedagang; d. Secara antropologis, kiai dan

    jawara cenderung lebih kaya dibandingkan masyarakat kebanyakan; e. Kepemimpinan jawara mensyaratkan kekayaann; dan Ekspansi bisnis jawara tidak terbatasi pada teritori desanya sehingga menjadi benih-benih kekuasaan oligarkis.

    Dari Tabel 3.1. di atas, peneliti menarik benang merah bahwa pada era kolonial kiai dan jawara sama-sama memiliki sumber daya kekuasaan yang seimbang baik sebagai elite maupun potensi keduanya sebagai oligark. Kiai dan jawara sama-sama merupakan kelompok terkaya dibandingkan masyarakat kebanya- kan. Akan tetapi, meski seimbang bukan berarti sama. Kiai lebih menonjol dari sisi sumber daya kekuasaan elite dan jawara lebih menonjol dari sisi sumber daya kekuasaan oligarkis.

    B. Era Soekarno (Orde Lama): Dari Mobilisasi ke Jabatan Resmi Pada 1920-an, partai komunis memperluas pengaruhnya secara cepat. Sebagian jawara Banten melakukan mobilisasi60 untuk bersekutu (kembali) dengan ulama dan bergabung dengan

    60Winters, Oligarchy, 15.

    130 Oligarki dan Demokrasi... partai komunis untuk melawan Belanda. PKI Cabang Banten bah- kan mendirikan seksi jawara dan seksi ulama.61 Pada permulaan abad ke-20 itu, seiring dengan diperkenalkannya politik etis (ethische politiek), muncul berbagai pergerakan di Hindia-Belan- da. Salah satunya adalah Sarekat Islam (SI), yang memperoleh sambutan luas dari para kiai di Banten. Pada 1921, terjadi perpe- cahan sehingga terdapat SI Merah yang berhaluan kiri. Kelompok SI Merah ini kemudian bergabung dengan PKI. Para ulama Banten menganggap SI kurang berani dan kurang radikal. Oleh karena itu, ketika PKI berdiri dan membuka cabang di Banten, banyak ulama tertarik dan menjadi anggota. Ketika terjadi pemberontakan komunis di Banten 1926, banyak pula kiai terlibat. Salah satunya Kiai Achmad Chatib, Residen Banten, yang dibuang ke Boven Digul.62 Pada zaman Jepang, sejumlah kiai di Banten, seperti Kiai Achmad Chatib dan KH Sjam‘un, bergabung dengan Peta (Pembela Tanah Air).63 Setelah pendudukan Jepang berakhir pada 1945, muncullah kevakuman kekuasaan. Meski Soekarno dan Hatta secara langsung mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia, republik yang terbentuk tidaklah sepenuhnya. Sebab, di mana-mana terjadi perpecahan. Pada kasus wilayah Banten, keka- cauan tatanan diikuti oleh sebuah revolusi sosial yang menyalakan konflik kelas dan etnis. Rezim kolonial Belanda dan rezim militer Jepang mendorong elite-elite luar untuk menjadi birokrat puncak di Banten. Sebagian besar mereka merupakan orang-orang Sunda dari wilayah Priangan. Elite-elite luar tersebut juga sering kali menemukan kesulitan untuk menyesuaikan dengan posisi baru mereka karena alasan suasana keislamannya yang mendalam dan kurangnya rasa hormat formal dari masyarakat Banten yang diperlihatkan kepada mereka.64

    61Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 115-116. 62Ariyadi, “Kiai dan Jawara,” 24. 63Ariyadi, “Kiai dan Jawara,” 24. 64Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 116. Ahmad Munjin 131

    Kesulitan tersebut membayangi kekuasaan elite mereka yang kemudian melahirkan ‘Bantenbantahan’ (Banten keras kepa- la atau bandel). Pada saat yang sama, masyarakat Banten tidak suka diperintah oleh orang-orang luar dan memendam perasaan xenophobia.65 Oleh karena itu, berakhirnya pendudukan Jepang menjadi kesempatan bagi jawara dan ulama untuk memimpin mobilisasi66 pemberontakan terhadap kekuatan birokrat Sunda dari kekuasaan dan mengambil kekuasaan formal untuk mereka sendiri. Pergola- kan sosial dan politik telah membawa jawara dan ulama ke atas panggung politik. Dalam konteks ini, pada masa kemerdekaan, peranan kiai bertambah besar karena mereka aktif dalam peme- rintahan daerah, mulai tingkat keresidenan sampai kelurahan. Selain memegang jabatan tinggi seperti residen dan bupati, para ulama juga menjadi pejabat dan pegawai pemerintahan. Mereka juga menjadi bagian penting dalam revolusi fisik untuk memperta- hankan kemerdekaan.67 Namun demikian, pengambilalihan negara lokal oleh pemimpin informal itu tidaklah bertahan lama. Ketika negara Indonesia mengambil alih kedaulatan dari Belanda pada 1949 dan mulai mengonstruksi bangsa baru, jawara digulingkan dari posisi birokrasi puncak mereka. Kebanyakan dari jawara pun pada akhir- nya bergabung dengan dunia kriminal.68 Sementara itu, kekuasaan mobilisasi jawara dan kiai per- nah mengantarkan para kiai kepada jabatan resmi yang dominan di Keresiden Banten setelah Jepang menyerah dan menyisakan sebu-

    65Xenopobia adalah sensasi rasa takut atau fobia terhadap sese- orang atau kelompok orang tertentu yang dianggap aneh atau asing. Lihat AKM Ahsan Ullah dan Ahmed Shafiqul Huque, Asian Immigrans in North America with HIV/AIDS: Stigma, Vulnerabilities, and Human Rights (London: Springer, 2014), 6. 66Winters, Oligarchy, 15. 67Ariyadi, “Kiai dan Jawara,” 24. 68Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 116.

    132 Oligarki dan Demokrasi... ah kevakuman kekuasaan.69 Saat itu para tokoh masyarakat Ban- ten termasuk perwakilan pemuda, jawara, dan perempuan melaku- kan mobilisasi masa untuk memilih Kiai Haji (KH) Tubagus Achmad Chatib70 untuk menjalankan pemerintahan sipil sebagai Residen Banten pada akhir Agustus 1945.71 Residen Banten men- jadi sumber daya kekuasaan bagi Achmad Chatib dari sisi jabatan resmi.72 Dari sini tampak jelas kekuasaan mobilisasi jawara dan kiai menghasilkan jenis kekuasaan elite yang lain, yakni jabatan resmi. Kondisi ini juga mendorong kiai-kiai lain untuk mendapat- kan sumber daya kekuasaan yang sama. Sebab, di beberapa tem- pat, rakyat secara spontan mengganti pejabat pemerintahan secara khusus dengan kiai.73 Kemudian, di sisi lain, kekuasaan dari jabatan resmi para kiai tersebut mendapat respons dari Dewan Rakyat yang dipimpin

    69Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945. Lihat Dwi Mulyatari, “Buku Putih Masa Pendudukan Jepang,” ulasan tentang War, Nationa- lism and Peasants: Java under the Japanese Occupation 1942-1945, ditu- lis oleh Shigeru Sato, Wacana 2, no. 1 (April, 2000): 140-44. 70Asep Muslim, et al., “Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara di Pandeglang Banten,” Mimbar 31, no. 2 (Desember, 2015): 461-474. 71Suharto, “Banten Masa Revolusi 1945-1949: Proses Integrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” (Disertasi Doktor, Univer- sitas Indonesia, 2001). 72Jabatan resmi adalah sumber daya kekuasaan yang berasal dari jabatan resmi yang tinggi di pemerintahan, organisasi besar baik sekuler maupun agama, atau jabatan di perusahaan baik swasta maupun perusa- haan negara. Sumber daya kekuasaan tersebut punya pengaruh dramatis pada profil kekuasaan segelintir individu. Pada zaman modern, organisa- si-organisasi tersebut adalah badan berdasarkan aturan yang mengonsen- trasikan kekuasaan dengan menghimpun sumber daya keuangan, jejaring operasi, dan pengelompokan anggota atau bawahan yang bisa dipimpin, dilibatkan, atau diperintah melalui kelembagaan. Lihat Winters, Oligar- chy, 13-14. 73Hamid, “Kiai in Banten,” 424. Ahmad Munjin 133 oleh Ce Mamat, kepala Komite Nasional Indonesia (KNI) cabang Serang. Untuk sementara, Ce Mamat mengambil alih pemerinta- han dari Achmad Chatib melalui pemberontakan mereka. Namun demikian, akhirnya, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang di- pimpin oleh Kiai Sjam’un mengalahkan Ce Mamat dan para pengikutnya. Melalui serangkaian peristiwa tersebut, hampir semua jabatan resmi pemerintahan, militer, polisi dan aparat hu- kum ditempati oleh kiai dari level provinsi hingga kabupaten. Kiai Achmad Chatib juga membentuk Majelis Ulama yang terdiri dari empat puluh kiai berpengaruh sebagai lembaga penasihat.74 Namun demikian, berbagai persoalan muncul ketika sebu- ah stasiun radio mengungkap sebuah rencana bagi Banten untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Rencana pemisahan diri tersebut di bawah Residen KH Achmad Chatib, yang akan menjadi Sultan. Pemerintah pusat dengan kekuasaan koersifnya, mengintervensi dan mulai membatasi kekuasaan Residen Banten dan kiai. Setelah Desember 1946, pemerintah pusat mengutus delegasi-delegasi pemerintah sebagai wakil gubernur Jawa Barat yang berlokasi di Serang dan wakil residen Banten.75 Pemerintah pusat juga secara bertahap mengganti kiai dari posisi-posisi jaba- tan dengan pejabat-pejabat professional. Akhirnya, KH Achmad Chatib ditempatkan ke pemerintahan provinsi Jawa Barat (Ban- dung), di mana wilayah Banten menjadi bagian dari Jawa Barat pada saat itu, Desember 1949, setelah TKR mengalahkan KNI. Pada saat inilah kekuasaan jabatan resmi kiai dalam struktur pemerintahan formal berakhir.76 Sejak saat itu juga hingga pertengahan 1960, menurut Abdul Hamid, kiai bukan lagi merupakan kelompok yang benar- benar dominan dalam politik lokal di Banten. Mereka terfragmen- tasi dalam banyak partai politik, meskipun mereka masih memiliki

    74Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten (Serang: Saudara, 1993). 75Williams, Communism, Religion, and Revolt, 306-07. 76Hamid, “Kiai in Banten,” 424-25.

    134 Oligarki dan Demokrasi... kekuasaan tertentu, memegang beberapa jabatan di parlemen lokal dan pusat.77 Sementara itu, sumber daya kekuasaan dari sisi hak politik formal78 pada era Soekarno, para kiai dan jawara baru benar-benar mendapatkannya pada pemilu 195579 untuk pertama kalinya di Indonesia. Memberikan suara dengan cara mencoblos di balik bilik pemungutan suara, menurut Winters, menyebabkan hak politik formal menjadi sumber daya kekuasaan yang paling tak langka dan paling tersebar di tingkat individu. Sebab, pemilu tersebut memungkinkan adanya hak pilih bagi semua orang meskipun tidak sedikit rintangan untuk berparti- sipasi dalam pemilu tersebut.80 Hak politik formal ini dianggap sebagai kebebasan liberal karena mencakup satu suara untuk setiap orang (one person, one vote), kebebasan berpendapat tanpa ditindas, dan kesempatan mendapatkan akses terhadap informasi yang dimiliki semua orang dalam masyarakat. Hak politik, lanjut Winters, baru menjadi benar-benar penting di antara individu

    77Hamid, “Kiai in Banten,” 425. 78Lihat Winters, Oligarchy, 13. 79Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia(Jakarta dan Kuala Lumpur: Equinox Publishing, 2007), 414- 450. 80Pemilu tahun 1955 dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif. Beberapa daerah dirundung kekacauan oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) khususnya pimpinan Kartosu- wirjo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan, digilir datang ke tempat pemilihan. Tingkat partisipasi rakyat sangat besar, sekitar 90% dari semua warga yang punya hak pilih ikut berpartisipasi. Lebih dari 39 juta orang memberikan hak suaranya dan mewakili 91,5% dari para pemilih terdaftar. Prosentase suara sah yang besar, sebesar 80% dari sua- ra yang masuk. Padahal banyak anggota panitia yang buta huruf dan lebih dari 70% penduduk Indonesia masih buta huruf. Lihat Hermawan Sulistyo, “Electoral Politic in Indonesia: A Hard Way to Democracy,” dalam Electoral politics in Southeast & East Asia, ed. Aurel Croissant (Singapora: Friedrich-Ebert-Stiftung, 2002), 75-99. Ahmad Munjin 135 kalau bersifat makin ekslusif, baik secara formal maupun prak- tik.81 Inilah yang disebut oleh Winters disebuat sebagai kekuasaan partisipasi (participation power) yang selalu berhadapan dengan kekuasaan oligarkis (material power) atau disebut juga wealth power.82

    Tabel 3.2. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara pada Era Soekarno (Orde Lama) di Banten Sumber Daya No Indikator-indikator Kekuasaan (1) (2) (3) Sumber daya kekuasaan dari sisi hak politik formal pada era Soekarno, para Hak Politik Formal 1 kiai dan jawara baru benar-benar (Elite/Demokrasi) mendapatkannya pada pemilu 1955 untuk pertama kalinya di Indonesia. a. Ketika negara Indonesia mengambil alih kedaulatan dari Belanda pada 1949 dan mulai mengonstruksi bangsa baru, jawara digulingkan dari posisi birokrasi puncak mereka. Kebanyakan dari jawara pun pada akhirnya bergabung dengan dunia Kekuasaan kriminal; dan 2 Koersif b. Seiring rencana pemisahan diri di (Elite/Demokrasi) bawah Residen KH Achmad Chatib, yang akan menjadi Sultan Banten, pemerintah pusat dengan kekuasaan koersifnya, mengintervensi dan mulai membatasi kekuasaan Residen Banten dan kiai.

    81Lihat Winters, Oligarchy, 13. 82Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and the Jokowi Administra- tion,” Kuliah Umum Jurusan Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta, Senin, 8 Juni 2015.

    136 Oligarki dan Demokrasi...

    Lanjutan Tabel 3.2

    (1) (2) (3) a. Pada 1920-an, sebagian jawara Banten melakukan mobilisasi untuk bersekutu (kembali) dengan ulama dan bergabung dengan PKI untuk melawan Belanda; b. Berakhirnya pendudukan Jepang menjadi kesempatan bagi jawara dan ulama untuk memimpin mobilisasi pemberontakan terhadap kekuatan birokrat Sunda dari kekuasaan dan mengambil kekuasaan formal untuk mereka sendiri; Kekuasaan c. Pada akhir Agustus 1945, setelah 3 Mobilisasi Jepang menyerah dan menyisakan (Elite/Demokrasi) sebuah kevakuman kekuasaan, para tokoh masyarakat Banten termasuk perwakilan pemuda, jawara, dan perempuan melakukan mobilisasi masa untuk memilih Kiai Haji (KH) Tubagus Achmad Chatib untuk menjalankan pemerintahan sipil sebagai Residen Banten; dan d. Kiai Achmad Chatib juga membentuk Majelis Ulama yang terdiri dari empat puluh kiai berpengaruh sebagai lembaga penasihat. a. Residen Banten menjadi sumber daya kekuasaan bagi Achmad Chatib dari sisi jabatan resmi; Jabatan Resmi 4 b. Jabatan resmi Achmad Chatib (Elite/Demokrasi) sebagai residen Banten mendorong kiai-kiai lain untuk mendapatkan sumber daya kekuasaan yang sama. Ahmad Munjin 137

    Lanjutan Tabel 3.2

    (1) (2) (3) c. (jabatan resmi) karena di beberapa tempat, rakyat secara spontan mengganti pejabat pemerintahan secara khusus dengan kiai; d. Hampir semua jabatan resmi pemerintahan, militer, polisi dan aparat hukum ditempati oleh kiai dari level provinsi hingga kabupaten; dan Setelah Desember 1946 hingga pertengahan 1960, kiai bukan lagi merupakan kelompok yang benar- benar dominan dalam politik lokal di Banten. Mereka terfragmentasi dalam banyak partai politik, meskipun mereka masih memiliki kekuasaan tertentu, memegang beberapa jabatan di parlemen lokal dan pusat. a. Seperti era kolonial, pada era Soekarno secara antropologis, kiai dan jawara cenderung lebih kaya dibandingkan masyarakat kebanyakan; Kekuasaan Material b. Begitu juga dengan kepemimpinan 5 (Oligarki) jawara mensyaratkan kekayaann; dan c. Ekspansi bisnis jawara tidak terbatasi pada teritori desanya sehingga menjadi benih-benih kekuasaan oligarkis.

    Dari Tabel 3.2. peneliti menarik benang merah bahwa dinamika sumber daya kekuasaan kiai dan jawara pada era Soekarno (Orde Lama) tidak jauh berbeda dengan kondisi pada era

    138 Oligarki dan Demokrasi... kolonial. Artinya, dua entitas informal leader sama-sama memiliki sumber daya kekuasaan elite dan benih-benih kekuasaan oligarkis. Yang berbeda adalah aktor yang berhadapan dengan kiai dan jawara. Jika pada era kolonial, kiai dan jawara berhadapan dengan penjajah, pada era Soekarno mereka berhadapan dengan pemerin- tah pusat. Walhasil, kiai, jawara, dan pemerintah pusat lebih merupakan representasi dialektis kekuasaan elite dibandingkan oligarki.

    C. Rezim Orde Baru dan Pasang Surut Kekuasaan Kiai-Jawara Pada sub bab ini, peneliti menjelaskan dominasi kekua- saan oligarkis rezim Orde Baru di satu sisi dan kalahnya kekua- saan mobilisasi kiai di sisi yang lain. Pada saat yang sama, kiai yang mempertahankan kekuasaan mobilisasinya dan tidak mau tunduk pada kekuasaan rezim oligarkis, Orde Baru menggunakan kekuasaan koersifnya dengan melakukan tindakan represif. Kon- disi ini kontras dengan hubungan antara rezim Orde Baru dengan jawara yang justru saling menguntungkan. Akibatnya, berbeda dengan kekuasaan kiai yang tenggelam, jawara berhasil mentrans- formasikan dirinya dari penguasa elitis menjadi oligarkis.

    1. Dominasi Kekuasaan Oligarkis Rezim terhadap Mobilisasi Kiai Negara menjadi lebih kuat dengan naiknya Soeharto seba- gai presiden pada 1960-an setelah periode yang panjang negara relatif lemah. Gerakan 30 September pada 1965 mengawali era baru seiring militer yang dipimpin oleh Soeharto mulai menggasak musuh negara yang sah. Dengan kekuasaan koersifnya,83 militer dan para aktivis Islam membunuh sekitar 500.000 komunis dan memenjarakan sejuta lebih. Sejak saat itu, rezim otoritarian Soe- harto mulai mengontrol masyarakat Indonesia baik dengan meng- gunakan ‘pemikat’ yang menyangkut materi maupun dengan tong- kat komando. Negara saat itu terasa hadir di mana-mana. Jawara

    83Lihat Winters, Oligarchy, 15. Ahmad Munjin 139 dan ulama di Banten pun segera menjadi target dari usaha-usaha tersebut untuk kembali mendapatkan kontrol.84 Rezim Orde Baru Banten menyatukan etnis yang terbagi antara pengusa dan yang dikuasai. Pembagian ini memiliki akar- nya kepada periode kolonial Belanda. Terutama, orang-orang Sunda yang berasal dari wilayah Priangan menguasai jabatan pen- ting dan posisi militer dari Bupati, sekretaris daerah, dan komando militer distrik. Contohnya, dua belas dari tujuh belas bupati di Serang, Lebak, dan Pandeglang sejak 1970 hingga 1998 merupa- kan orang non-Banten (dengan satu identitas etnis dari tujuh belas bupati tidak diketahui). Hanya sedikit jumlah orang Banten yang mendapatkan posisi birokrasi yang tinggi; hanya 10% dari posisi level menengah di kabupaten Serang pada akhir 1990-an yang dipegang oleh orang asli Banten.85 M.A. Tihami,86 Leo Agustino,87 Okamoto Masaaki,88 dan Abdul Hamid89 melihat besarnya pengaruh rezim Soeharto terha- dap kekuasaan kiai dan jawara di Banten. Pengaruh tersebut sangat menentukan pasang surut sumber daya kekuasaan kiai dan jawara. Sumber daya kekuasaan kiai dan jawara pada era Orde Baru dari sisi hak politik formal termanifestasi dalam Pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 kontestan partai politik, yaitu: Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Golongan Karya (), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Islam Perti(Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

    84Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 116-17. 85Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 117. 86Tihami, “Kiai dan Jawara,” 104. 87Leo Agustino, “Dinasti Politik Pascaotonomi Orde Baru: Pe- ngalaman Banten.” Prisma: Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi, Volume 29, No. 3 (Juli 2010), 109. 88Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power, 112. 89Hamid, “Kiai in Banten,” 421.

    140 Oligarki dan Demokrasi...

    (IPKI). Kemudian, Pemilu 1977-1997, yakni: Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang diikuti oleh 3 kontestan yang sama, yaitu: Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia.90 Di luar kekuasaan hak politik formal, Tihami lebih meli- hat kiai dan rezim Orde Baru sebagai sebuah hubungan yang posi- tif dan saling menguntungkan. Sementara itu, Agustino, Masaaki, dan Abdul Hamid lebih melihat hubungan yang saling mengun- tungkan itu hanya terjadi pada jawara-rezim Orde Baru. Hubungan rezim dengan para kiai lebih dilihat sebagai hubungan di mana kekuasaan oligarkis di bawah kepemimpinan seorang oligark sul- tanistik,91 Soeharto,92 sebagai kooptasi dan penjinakan kekua-saan mobilisasi93 yang melekat pada kiai. Tihami mengatakan, hubungan kiai dengan jawara yang notabene merupakan orang kaya dengan kekuasaan materialnya atau pejabat terjadi dalam bentuk dukungan politik. Jawara seba-

    90Artis, “Eksistensi Partai Politik dan Pemilu Langsung dalam Konteks Demokrasi di Indonesia,” Jurnal Sosial Budaya 9, no. 1 (Janu- ari-Juli 2012): 63. 91Sultanistik adalah oligarki yang terbentuk ketika terjadi mono- poli sarana pemaksaan berada di tangan satu oligark, bukan negara ter- lembaga yang dibatasi hukum. Di dalamnya, marak hubungan patron- klien dengan norma perilaku dan kewajiban tertentu yang terkait dengan- nya. Akan tetapi, penegakan hukum tidak ada atau beroperasi sebagai sistem kekuasaan hukum yang bersifat pribadi. Lihat Winters, Oligarchy, 35. 92Winters memasukkan Soeharto ke dalam kategori oligark sul- tanistik. Sebab, Presiden RI ke-2 itu sukses menjinakkan banyak oligark lain di Indonesia untuk beberapa dekade. Akan tetapi, sistem hukum di Indonesia tidak mampu mengendaliakn secara hukum oligark-oligark bangsa selama periode demokrasi elektoral pascakejatuhan Soeharto pada 1998. Menurut Winters, transisi Indonesia dari sistem otoritarian ke demokrasi hanya mengubah oligarki jinak di bawah sultanistik ke oligar- ki liar yang tidak bisa dikendalikan oleh penegakan hukum. Lihat Winters, Oligarchy, 37. 93Winters, Oligarchy, 15. Ahmad Munjin 141 gai pejabat tentu saja (harus) menjadi pendukung Golongan Karya (Golkar). Dukungan politk itu diperkuat oleh kiai yang memiliki kekuasaan mobilisasi dalam bentuk yang nyata, yaitu bahwa kiai juga dalam pandangan politiknya adalah pendukung Golkar. Di sinilah Tihami melihat positifnya dukungan ini karena menambah kuat posisi (kedudukan) kiai sebagai pemimpin di masyarakat karena mendapat kekuatan dari dukungan pejabat. Demikian pula jawara yang termasuk orang kaya, memilih Golkar sebagai wadah politiknya. Sebab, bagi jawara, wadah Golkar bisa mempermudah mereka dalam memperoleh kesempatan untuk memperlancar usaha (memperoleh tender) atau bahkan mendapatkan usaha baru.94 Itulah yang ditunjukkan oleh Haji Tubagus Hasan Sochib. Selain menjabat direktur di PT Sinar Ciomas dan pemimpin pendekar silat, Sochib juga merupakan salah satu pimpinan Golkar tingkat kabupaten. Dengan demikian, kiai-jawara dengan rezim Orde Baru melalui Golkar menjadi hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).95 Berbeda dengan Tihami, menurut Masaaki, kejatuhan Soeharto dan permulaan demokratisasi merupakan era pergolakan yang lain. Politik lokal di Banten pasca-Soeharto sudah mengala- mi transformasi politik yang utama dan mengubah peran kiai dan jawara.96 Tokoh utama dalam periode transisi, Masaaki menegas- kan, bukanlah seorang kiai melainkan jawara tertentu, yakni Tuba- gus Chasan Sochib yang menggunakan dominasinya yang luar biasa dalam kehidupan ekonomi politik masyarakat Banten.97 Senada dengan Masaaki, Hamid melihat hubungan kiai- rezim Orde Baru sebagai penjinakan dan kooptasi politik oleh rezim terhadap kekuasaan elite para kiai. Hamid menyebutnya sebagai korporatisasi kiai oleh Orde Baru yang terjadi dalam pemilihan umum. Menurut Hamid, menyadari besarnya kekuasaan

    94Tihami, “Kiai dan Jawara,” 104. 95Tihami, “Kiai dan Jawara,” 104. 96Masaaki, “Rise of Realistic Islamist Party,” 236. 97Masaaki, “Rise of Realistic Islamist Party,” 236.

    142 Oligarki dan Demokrasi... mobilisasi98 kiai sebagai pemimpin di Banten, rezim Orde Baru mulai pada 1967 berusaha untuk mendekati mereka. Usaha-usaha tersebut lebih fokus pada Kabupaten Serang yang merupakan pusat aktivitas politik di Banten sejak era kolonial.99 Pemerintahan provinsi di Bandung dipimpin oleh Guber- nur Solichin G.P. dan aparat militer menggagas sebuah ide meng- kooptasi kiai untuk mendukung Golkar pada akhir 1960-an. Solichin mendiskusikan ide ini dengan para pimpinan militer dan para pejabat pemerintah senior. A.T. Witono, komandan militer regional Siliwangi dengan antusias menyambut gagasan ini. Alha- sil, dua pejabat ini bertemu dengan K.H. Mahmud, seorang kiai yang sangat dihormati oleh masyarakat Banten untuk mendapat- kan persetujuannya dalam membujuk para kiai untuk mendukung Golkar. Letjen Surono, komandan pertahanan Divisi II (Jawa- Madura) juga mengunjungi Banten untuk berbicara dengan KH Mahmud dan kiai Banten yang lain. Namun demikian, pertemuan pertama ini gagal membuahkan hasil.100 Presiden Soeharto, dengan kekuasaan material dan koer- sifnya, kemudian membuat terobosan dalam situasi tersebut. Dia memanggil KH Mahmud dan kiai lain dalam sebuah pertemuan di Batukuwung dekat Anyer. Tidak ada catatan soal motif kesepaka- tan, pada akhir pertemuan, para kiai tersebut mendeklarasikan bahwa mereka akan menjadi para pendukung Golkar. Pada 3 Mei 1970, organisasi ulama Satkar Ulama didirikan di Banten dengan KH Mahmud sebagai ketua umum.101 Satkar Ulama kemudian menjadi anggota Hasta Karya, sebuah sayap Golkar. Keterlibatan

    98Winters, Oligarchy, 15. 99Hamid, “Kiai in Banten,” 425. 100Hamid, “Kiai in Banten,” 425. 101Sudiarti Artati, “Perubahan Peran Ulama dalam Masyarakat Serang: Studi Kasus Dua Pesantren di Kabupaten Serang, Banten, Jawa Barat,” Tesis Magister Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988, 45. Ahmad Munjin 143 langsung Soeharto merupakan awal mula pemerintah berusaha untuk “menjinakkan” kiai Banten.102 Menuju pemilihan umum 1971, kiai dalam Satkar Ulama bukan hanya melakukan kampanye di pesantren-pesantren mereka, tapi juga meminta dalam khutbah-khutbah mereka bahwa Muslim di Banten harus memilih Golkar. Akibatnya, Golkar menang dengan persentase pemilih yang besar di level 49,83 persen, mengalahkan pesaingnya seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) sebelumnya Masyumi, dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) di Serang. Pemerintah sangat mengerti bahwa merangkul kiai bisa memastikan pemerin- tah untuk menancapkan kekuasaannya pada masyarakat Banten dengan jauh lebih mudah.103 Mengikuti pembentukan Satkar Ulama, pemerintah berha- sil “menjinakkan” jawara pada 1971. Satkar Jawara pun dibentuk yang belakangan berubah nama menjadi Persatuan Pendekar Persi- latan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI) pada 1973. Satkar ini juga menjadi pilar Orde Baru di Banten.104 Meski pemerintahan Soeharto sangat keras menekan partai-partai politik Islam, para petinggi Partai Persatuan Pemba- ngunan (PPP) mengambil strategi untuk membangkitkan sentimen agama di antara kaum Muslimin untuk persiapan pemilu 1977. Seiring bertambahnya jumlah khutbah dan pertemuan-pertemuan Jumat, kiai PPP menekankan keislaman partai mereka. Mereka mengunakan kakbah sebagai symbol partai. Hasilnya, pada pemilu 1977 di Serang, PPP menang dengan total suara 54,97 persen. Sementara itu, Golkar mengamankan 42,52 persen, sedangkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempati posisi terakhir dengan perolehan tipis 2,52 persen. Reaksi Golkar cepat dan kejam. Mereka menggelandang banyak pendukung PPP termasuk

    102Hamid, “Kiai in Banten,” 425-26. 103Hamid, “Kiai in Banten,” 426. 104Hamid, “Kiai in Banten,” 426.

    144 Oligarki dan Demokrasi... kiai ke komando militer daerah untuk interogasi atau hukuman penjara.105 Mengevaluasi hasil pemilu tersebut, Ketua Golkar Serang, Suwandi, menyimpulkan bahwa Golkar gagal karena partai ini tidak memiliki akar yang kuat dalam masyarakat Islam di Banten. Golkar memutuskan untuk mengambil strategi merekrut kiai ke dalam jajarannya dan membentuk sayap Islam di dalam Golkar. Partai tersebut membuat sebuah kebijakan untuk memastikan bah- wa paling tidak 30 persen anggota dewan penasihat pada level kabupaten adalah kiai. Pada level kabupaten dan desa, kiai lokal dan ustaz ditunjuk sebagai manajer pada organisasi lokal Golkar.106 Golkar juga menemukan bahwa kiai akan menjadi pendu- lang suara yang efektif. “Pendulang suara” adalah istilah Golkar untuk tokoh masyarakat yang maju sebagai kandidat pimpinan legislative tapi dipersiapkan untuk mengundurkan diri ketika Golkar menominasikan orang di bawah pengaruhnya sebagai ang- gota legislaatifnya setelah pemilu. Hasil dan maneuver yang mirip yang pertama kali diimplementasikan di Serang dan kemudian di wilayah lain terutama di Banten, Golkar mengalahkan PPP pada 1982 dengan 48,57 persen suara, dibandingkan dengan perolehan PPP 47,98 persen, dan suara PDI sebesar 3,45 persen.107 Namun demikian, kemenangan tipis tersebut tidak memu- askan Golkar. Menyadari pentingnya dukungan Muslim untuk kemenangan mereka, Golkar kemudian mempercepat strategi untuk mengakomodasi tokoh-tokoh Islam dan kiai. Golkar merek- rut mereka ke dalam Satkar Ulama dalam skala besar setelah Dewan Permusyawarahan Nasional pada 1985. Pemerintah lokal juga memberikan Golkar kandidat-kandidat kiai demi berbagai dukungan yang dibutuhkan untuk memenangkan pemilu. {Pada jajak pendapat 1987, Golkar hanya memilih Muslim, termasuk

    105Artati, “Perubahan Peran Ulama,” 47. 106Hamid, “Kiai in Banten,” 427. 107Hamid, “Kiai in Banten,” 427. Ahmad Munjin 145 mereka yang berasal dari militer, untuk calon legislative Serang dari Golkar.108 Golkar juga berusaha untuk menempatkan sekolah-seko- lah Islam yang berkaitan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di bawah pengaruh partai tersebut. Hamid mencontohkan, intervensi Golkar yang sangat kuat dalam konflik internal Al-Khaeriyah, sebuah pesantren berpengaruh di Serang. Setelah meninggal pendirinya, KH Sjam’un, KH Sadeli Hasan dan KH Rahmatullah Syam’un bersaing dengan keras sebagai posisi penerus. Ketika saudara laki-laki dari KH Rahmatullah Syam’un yakni Fathullah Syam’un coba untuk memisahkan diri dari konflik, Golkar me- ngambil kesempatan. Anggota-anggota Golkar mendekati Fathul- lah Syam’un dan menunjuknya sebagai pimpinan Golkar di Serang. Fathullah Syam’un maju dalam pemilu 1987 dan setelah menang, dia dinominasikan sebagai ketua DPRD Serang 1987- 1992 yang didukung oleh bupati Serang dan komandan militer daerah. Kemudian, Golkar juga menggunakan pengaruh terhadap Al-Khaeriyah dan sekolah-sekolah Islam lain, melalui anggota Golkar KH Wahab Afif yang juga merupakan anggota Al-Khae- riyah dan dekan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati di Serang (sekarang IAIN Maulana Hasanuddin Serang). Dia menggunakan posisinya untuk memobilisasi dosen- dosen IAIN lain untuk mengikuti kampanye Golkar. Mahasiswa pun memprotesnya dengan serangkaian demonstrasi, menuduh Wahab Afif bertindak tidak adil dan tidak loyal terhadap PPP.109 Pada saat yang sama, PPP mengalami penurunan jumlah anggotanya. Mulai pada 1978, internal PPP terpecah ke dalam dua kubu: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muslimin Indonesia. Konflik tersebut mencapai klimaks ketika NU keluar dari PPP dan dari arena politik formal pada 1984 melalui deklarasinya untuk kem- bali ke khittah 1926 yang menetapkan NU sebagai organisasi

    108Artati “Perubahan Peran Ulama,” 52. 109M.A. Tihami, ed., Refleksi Pemikiran : Mensyukuri 70 Tahun Prof. K.H. Abdul Wahab Affif, M.A. (Serang: Sengpho Founda- tion, 2006), 25 dan 158.

    146 Oligarki dan Demokrasi... independen.110 Kejadian tersebut memperlemah PPP, bukan hanya pada level pemerintahan pusat tapi juga pada level lokal di Serang.111 Pukulan telak dari rezim Orde Baru melalui jabatan ekse- kutif dan legislatif yang sangat mematikan bagi PPP adalah kehi- langan identitas Islamnya. Undang-undang No. 3/1985 tentang partai-partai politik dan Golkar serta Undang-undang No. 8/1985 tentang organisasi-organisasi sosial menuntut agar men- jadi satu-satunya ideologi bagi semua organisasi. Semua partai politik diharuskan memakai salah satu motif dari Pancasila dan perisai Garuda sebagai simbol mereka. Akibatnya, pada pemilu tahun 1987, PPP dilarang menggunakan Kakbah, sebuah simbol yang sangat familiar bagi seluruh kaum Muslim. Sebagai gantinya, PPP harus menggunakan symbol bintang. Hal ini berarti bahwa PPP kehilangan identitasnya sebagai sebuah partai Islam. Pada praktiknya, juru kampanye PPP mendapatkan kesulitan dalam membedakan diri mereka dari Golkar atau PDI. Banyak kiai bah- kan berbelot menjadi pendukung Golkar.112 Alhasil dari manuver pemerintah dan masalah-masalah lain, pada pemilu 1987, PPP hanya mendapatkan 29,19 persen suara di Serang, sementara Golkar mendominasi dengan perolehan suara 60,35 persen. Dari sinilah, Golkar maju mendominasi politik di Banten.113 Itulah penjelasan tentang bagaimana kiai di Banten diako- modasi oleh Golkar dan pada gilirannya, para kiai dan pesantren mereka mendapatkan keamanan politik dan keuntungan ekonomi. Kondisi ini membuktikan dominasi kekuasaan material Orde Baru yang direpresentasikan oleh Golkar terhadap kekuasaan mobilisa- si114 kiai. Apalagi, yang terpenting, dukungan ekonomi (kekuasaan

    110M. Dien Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), 52. 111Hamid, “Kiai in Banten,” 428-29. 112Hamid, “Kiai in Banten,” 429. 113Hamid, “Kiai in Banten,” 429. 114Winters, Oligarchy, 15. Ahmad Munjin 147 material) Golkar memastikan keberlangsungan dan pembangunan pesantren mereka. Kiai Mahmudi mengakui bahwa dukungan keuangan dan material dari Golkar pada era Orde Baru jauh lebih besar dibandingkan dukungan dari partai-partai politik lain terma- suk PPP dan partai-partai Islam lain di era reformasi. Kiai Mahmudi telah mengabdi sebagai coordinator tim pemenangan di level kecamatan untuk Golkar di Banten selama 10 tahun.115

    2. Mobilisasi Kiai versus Kekuasaan Koersif Orde Baru Di sisi yang lain, rezim Orde Baru dan militernya mene- kan kiai yang dianggap kurang mendukung Golkar. Akhirnya, kebanyakan dari kiai-kiai tersebut menghindari realitas politik dan fokus pada pengajaran mereka. Sebagian juga memilih untuk ber- hijrah sebagaimana Nabi melakukannya dari Mekah ke Madinah. Sebagai contoh, kiai Damanhuri asal Cihideung, Pandeglang yang pergi ke Mekah.116 Saudara ipar Kiai Damanhuri, Kiai Dimyati, salah satu kiai terkemuka di Banten menderita penganiayaan oleh rezim Orde Baru. Kiai Dimyati sangat dihormati, santri dan tokoh ma- syarakat menggunakan gelar Abuya (Kiai Senior) bagi Dimyati. Pesantren Abuya Dimyati di Cidahu, Pandeglang merupakan rumah bagi santri dari Banten, Jakarta, Bogor, dan Sumatera. Saat dia dianggap sebagai kiai paling senior, dia juga memberikan pelajaran mingguan bagi kiai dari pesantren seluruh Banten. Dia juga merupakan pemimpin tarekat Syadziliyah (aliran sufi) di Indonesia, dan dia secara luas dipercaya memiliki kebijaksanaan dan kekebalan.117 Menjelang pemilu 1977, Abuya Dimyati dikenal sebagai anti-pemerintah dan anti-Golkar. Pada 11 Maret 1977, sebelum khutbah Jumat, dia menyatakan bahwa masyarakat ja- ngan merasa takut atau terintimidasi oleh kepentingan-kepenti- ngan salah satu kontestan dalam pemilu, apapun ancamannya.

    115Hamid, “Kiai in Banten,” 429-30. 116Hamid, “Kiai in Banten,” 430. 117Mohamad Hudaeri, et al., “Studi tentang Kharisma Kiai dan Jawara di Banten,” Laporan Penelitian Departemen Agama, 2007, 71.

    148 Oligarki dan Demokrasi...

    Menolak slogan “Golkar adalah pemerintah,” dia menjawab, “Pemerintah adalah Republik Indonesia dan bukan Golkar.”118 Situasi jadi memanas ketika polisi memenjarakan Abuya Dimyati tiga hari kemudian. Kondisi ini nyaris membawa seisi kota Pandeglang ke jurang anarki. Santri dan jawara sepakat untuk mengeluarkan Abuya dari penjara. Namun demikian, anarki bisa dihindari ketika Abuya Dimyati mengirimkan pesan melalui sipir penjara kepada para pemimpin jawara yang ingin membebaskan- nya dari jeruji: “Saya baik-baik saja di penjara; jangan lakukan apapun.” Abuya dihukum enam bulan dalam penjara.119 Kejadian-kejadian mitis dan mistis mewarnai isu ini. Dikatakan, bahwa Abuya Dimyati, meski berada di penjara, pada saat yang sama sering terlihat di pesantren Cidahu. Banyak orang juga telah melihat di rumahnya, di pasar Pandeglang, atau salat di masjid Agung Pandeglang. Kemudian, pejabat penegak hukum yang terlibat dalam penahanan Abuya Dimyati dilaporkan menga- lami pengalaman buruk. Hakim yang menghukum Abuya menjadi bisu dan seorang pejabat polisi yang memenjarakannya menjadi gila.120 Menurut Hamid, bukan hanya individu kiai, tapi juga organisasi-organisasi Islam beserta kiai-kiainya sebagai anggota seperti Mathla’ul Anwar (MA), mendapatkan perilaku represif. Di bawah kepemimpinan Nafsirin Hadi, Mathla’ul Anwar terbentuk lebih cenderung memiliki hubungan yang dekat dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Lalu, Mathla’ul Anwar juga mengartikulasikan ketidaksetujuannya dengan pelak- sanaan Pancasila sebagai satu-satunya bagi organisasi. Hal ini menyebabkan tegangnya hubungan Mathla’ul Anwar dengan pemerintah.121

    118Murtadho Dimyati, Manakib Abuya Cidahu dalam Pesona Langkah di Dua Alam (Pandeglang: Tanpa Nama Penerbit, 2008), 192- 198. 119Hamid, “Kiai in Banten,” 430-31. 120Hamid, “Kiai in Banten,” 431. 121Hamid, “Kiai in Banten,” 431. Ahmad Munjin 149

    Nafsirin Hadi menjadi ketua Mathla’ul Anwar sejak kongres XII di Jakarta pada 1975, menggantikan KH M. Muslim yang meninggal pada 1974. Selama sepuluh tahun kepemimpinan Nafsirin Hadi, Matla’ul Anwar terjebak pada kekacauan. Pertama, perselisihan antara Nafsirin Hadi dengan sekretars jenderal, Irsjad Djuwaeli, yang kemudian berakhir dengan pemecatan dari jaba- tannya.122 Hubungan yang buruk dengan pemerintah juga beraki- bat pada pembatalan kongres Mathla’ul Anwar yang direncanakan di provinsi Lampung. Kondisi ini juga menyebabkan perpecahan internal dalam kepemimpinan Mathla’ul Anwar dan memberikan kesempatan emas bagi pemerintah untuk mengintervensi. Pada kongres Mathla’ul Anwar 1985 di Menes, kelompok yang prope- merintah behasil bukan hanya mendongkel Nafsirin Hadi dari posisinya di kantor pusat Mathla’ul Anwar tapi juga mengeluar- kannya dari organisasi tersebut dengan dukungan penuh dari Letjen Alamsjah Ratuperwiranegara. Yang propemerintah, Kiai Burhani mengambil alih posisi direktur, dan Irsjad Djuwaeli menjadi sekretaris jenderal.123 Pada kongres Mathla’ul Anwar 1991 yang dibuka oleh Wakil Presiden Soedharmono, Irsjad Djuwaeli terpilih menjadi direktur Matla’ul Anwar Pusat. Di bawah kepemimpinannya, Mathla’ul Anwar mendeklarasikan dukungannya untuk Golkar. Pada 1992, Irsjad Djuwaeli menjadi anggota DPR dari Golkar. Irsjad Djuwaeli percaya bahwa keputusan untuk mendukung Golkar akan memberikan pengaruh signifikan terhadap perkemba- ngan organisasi tersebut baik di level lokal maupun pusat. Dengan kongres ke-14 di Jakarta pada 1991, Mathla’ul Anwar memiliki cabang-cabang di tujuh belas provinsi.124 Dalam sistem korpora-

    122Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla‘ul Anwar ke Abad XXI (Jakarta: Pengurus Besar Mathla‘ul Anwar, 1997), 30. 123Dindin Nurul Rosidin, “Quo Vadis Mathla‘ul Anwar,” Maka- lah disampaikan pada Rapat Kerja Nasional Mathla‘ul Anwar di Batam, 2007. 124Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar, 31.

    150 Oligarki dan Demokrasi... tisasi Golkar, Mathla’ul Anwar mencapai perkembangan yang luar biasa di seluruh Indonesia.125 Di atas semua itu, Hamid menarik benang merah, setelah mencapai puncaknya sebagai pemimpin informal dalam pemerin- tahan sipil dan militer selama era revolusi, kekuasaan kiai dalam dunia politik Orde Baru sudah menurun karena beberapa faktor eksternal dan internal.126 Faktor eksternal yang dominan adalah intervensi Orde Baru. Di bawah tekanan dan represi yang kuat dari rezim tersebut, kiai menghadapi sebuah dilemma dari tiga pilihan: Pertama, ber- gabung dengan partai penguasa (baca: Golkar); Kedua, beroposisi dengan pemerintah; dan Ketiga, menarik diri dari realitas politik dan fokus pada pendidikan. Menurut Hamid, tak satupun dari ketiga pilihan tersebut benar-benar menguntungkan. Bergabung dengan Golkar dan menjadi broker politik bagi organisasi ini berarti mereka menjadi sangat tergantung pada Golkar, mulai dari kurikulum pesantren mereka hingga pendanaan. Ketergantungan ini di lain sisi juga menyebabkan turunnya kharisma mereka. Salah satu kiai seperti itu disebut kolega-koleganya sebagai “kiai yang ditinggalkan oleh masyarakat.” Inilah sebenarnya, menurut Hamid yang diinginkan oleh strategi korporatis Orde Baru. Rezim Orde Baru paham bahwa kekuasaan kiai terletak pada kharisma mereka. Oleh karena itu, Golkar menjinakkan mereka dalam organisasi korporatis seperti Satkar Ulama untuk mencabut kharisma dari kiai. Beroposisi dengan pemerintah juga benar-benar tidak me- nguntungkan. Sebagaimana terlihat pada penahanan Abuya Dim- yati dan para kiai PPP, rezim Orde Baru sangat kejam terhadap kiai yang menolak untuk bekerjasama dengan pemerintah.127 Pada pilihan ketiga, menarik dari realitas politik, kiai harus berhadapan dengan faktor internal yakni melemahnya ke- kuasaan mereka. Pendidikan pesantren tersisihkan oleh pendidikan modern dan kiai semakin terpinggirkan dalam dunia pengetahuan

    125Hamid, “Kiai in Banten,” 432. 126Hamid, “Kiai in Banten,” 439. 127Hamid, “Kiai in Banten,” 439-40 Ahmad Munjin 151 dan pembelajaran modern. Berkurangnya jumlah santri berarti kesulitan ekonomi bagi kiai. Para kiai juga menjadi gagal mela- kukan regenerasi. Sejak setiap pesantren tidak lagi berada di ba- wah pengaruh satu kiai, pemilihan kiai penerus pesantren sering- kali menimbulkan konflik-konflik.128

    Tabel 3.3. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara pada Era Soeharto (Orde Baru) di Banten No Sumber Daya Kekuasan Indikator-indikator (1) (2) (3) Sumber daya kekuasaan kiai dan jawara pada era Orde Baru dari sisi hak politik formal, termanifestasi dalam Pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 kontestan partai politik. Hak Politik Formal 1 Kemudian, Pemilu 1977-1997, (Elite/Demokrasi) yaitu: 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang diikuti oleh 3 kontestan yang sama, yaitu: Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia. a. Rezim Orde Baru dan militernya menekan kiai yang dianggap kurang mendukung Golkar; b. Sudara ipar Kiai Damanhuri, Kiai Dimyati, salah satu kiai Kekuasaan Koersif terkemuka di Banten menderita 2 (Elite/Demokrasi) penganiayaan oleh rezim Orde Baru; c. Polisi memenjarakan Abuya Dimyati selama enam bulan, tiga hari setelah penolakan kiai terkemuka tesebut atas slogan “Golkar adalah pemerintah,”

    128Hamid, “Kiai in Banten,” 440

    152 Oligarki dan Demokrasi...

    Lanjutan Tabel 3.3

    (1) (2) (3) dengan jawaban, “Pemerintah adalah Republik Indonesia dan bukan Golkar”; dan d. Organisasi-organisasi Islam beserta kiai-kiainya sebagai anggota seperti Mathla’ul Anwar (MA), mendapatkan perilaku represif dari rezim Orde Baru. Hubungan yang buruk dengan pemerintah berakibat pada pembatalan kongres Mathla’ul Anwar yang

    direncanakan di provinsi Lampung. Pada kongres Mathla’ul Anwar 1985 di Menes, kelompok yang propemerintah behasil bukan hanya mendongkel Nafsirin Hadi dari posisinya di kantor pusat Mathla’ul Anwar tapi juga mengeluarkannya dari organisasi tersebut dengan dukungan penuh dari Letjen Alamsjah Ratuperwiranegara. a. Rezim Orde Baru dan para kiai merupakan hubungan di mana kekuasaan oligarkis di bawah kepemimpinan seorang oligark Kekuasaan Mobilisasi sultanistik, Soeharto, sebagai 3 (Elite/Demokrasi) kooptasi dan penjinakan kekuasaan mobilisasi kiai; b. Dukungan politk jawara dengan kekuasaan materialnya terhadap Golkar diperkuat oleh kiai yang Ahmad Munjin 153

    Lanjutan Tabel 3.3

    (1) (2) (3) memiliki kekuasaan mobilisasi dalam bentuk yang nyata, yaitu bahwa kiai juga dalam pandangan politiknya adalah pendukung Golkar; c. Menyadari besarnya kekuasaan mobilisasi kiai sebagai pemimpin di Banten, rezim Orde Baru mulai pada 1967 berusaha untuk mendekati mereka; d. Menuju pemilihan umum 1971, kiai dalam Satkar Ulama bukan hanya melakukan kampanye di pesantren-pesantren mereka, tapi juga meminta dalam khutbah-khutbah mereka bahwa Muslim di Banten harus memilih Golkar; e. Mengikuti pembentukan Satkar Ulama, Orde Baru berhasil “menjinakkan” jawara pada 1971. Satkar Jawara pun dibentuk yang belakangan berubah nama menjadi Persatuan Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI) pada 1973; f. Meski pemerintahan Soeharto sangat keras menekan partai- partai politik Islam, para petinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengambil strategi untuk membangkitkan sentimen agama di antara kaum

    154 Oligarki dan Demokrasi...

    Lanjutan Tabel 3.3

    (1) (2) (3) Muslimin untuk persiapan pemilu 1977 melalui khutbah- khutbah; g. Menyadari pentingnya dukungan Muslim untuk kemenangan mereka, Golkar kemudian mempercepat strategi untuk mengakomodasi tokoh- tokoh Islam dan kiai. Golkar merekrut mereka ke dalam Satkar Ulama dalam skala besar pada 1985; dan Golkar juga berusaha untuk menempatkan sekolah-sekolah Islam yang berkaitan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di bawah pengaruh partai tersebut. a. Pada 3 Mei 1970, organisasi ulama Satkar Ulama didirikan di Banten dengan KH Mahmud sebagai ketua umum; b. Merespons kebangkitan sentimen Islam PPP pada pemilu 1977, Golkar merekrut Jabatan Resmi kiai ke dalam jajarannya dan 4 (Elite/Demokrasi) membentuk sayap Islam di dalam Golkar. Paling tidak, 30 persen anggota dewan penasihat pada level kabupaten adalah kiai. Pada level kabupaten dan desa, kiai lokal dan ustaz ditunjuk sebagai manajer pada organisasi lokal Golkar;

    Ahmad Munjin 155

    Lanjutan Tabel 3.3

    (1) (2) (3) c. Pukulan telak dari rezim Orde Baru melalui jabatan eksekutif dan legislatif yang sangat mematikan bagi PPP adalah kehilangan identitas Islamnya. Undang-undang No. 3/1985 tentang partai-partai politik dan Golkar serta Undang-undang No. 8/1985 tentang organisasi- organisasi sosial menuntuk agar Pancasila menjdai satu-satunya ideologi bagi semua organisasi;

    dan d. Kiai Dimyati merupakan pemimpin tarekat Syadziliyah (madzhab sufi) di Indonesia, dan dia secara luas dipercaya memiliki kebijaksanaan dan kekebalan; Yang propemerintah, Kiai Burhani mengambil alih posisi direktur, dan Irsjad Djuwaeli menjadi menjadi sekretaris jenderal. a. Rezim Orde Baru dan para kiai merupakan hubungan di mana kekuasaan oligarkis di bawah kepemimpinan seorang oligark Kekuasaan Material sultanistik, Soeharto, sebagai 5 (Oligarki) kooptasi dan penjianakan kekuasaan mobilisasi kiai; b. Hubungan kiai dengan jawara di mana notabene jawara merupakan orang kaya dengan

    156 Oligarki dan Demokrasi...

    Lanjutan Tabel 3.3

    (1) (2) (3) kekuasaan materialnya atau pejabat terjadi dalam bentuk dukungan politik terhadap Golongan Karya (Golkar); c. Bagi jawara, wadah Golkar bisa mempermudah mereka dalam memperoleh kesempatan untuk memperlancar usaha (memperoleh tender) atau bahkan mendapatkan usaha baru; d. Orde Baru melakukan “korporatisasi” terhadap kiai yang terjadi dalam pemilihan umum; dan e. Presiden Soeharto, dengan kekuasaan material dan koersifnya memanggil KH Mahmud dan kiai lain dalam sebuah pertemuan di Batukuwung dekat Anyer. Para kiai pun mendeklarasikan dukungannya terhadap Golkar.

    Dari Tabel 3.3. peneliti menyimpulkan bahwa besarnya kekuasaan elite dari kiai dan jawara justru dikooptasi dan diman- faatkan oleh rezim Orde Baru dengan kekuasaan material dan koersifnya yang menonjol. Akan tetapi, hubungan rezim dengan jawara saling menguntungkan tapi tidak untuk kiai. Orde Baru ha- nya memanfaatkan kekuasaan elite kiai melalui mobilisasi sedang- kan hubungannya dengan jawara lebih menguntungkan secara ekonomi. Hal tersebut terjadi karena sifat dasar dari kiai sebagai elite sedangkan jawara berperan sebagai oligark. Jadi, jika hubu- ngan Orde Baru dengan kiai terbatas pada konteks kepentingan elite sedangkan hubungannya dengan jawara mencakup konteks Ahmad Munjin 157 bisnis. Akibatnya, benih-benih oligarki tumbuh subur pada jawara sedangkan pada kiai tidak.

    3. Chasan Sochib: Oligark Sultanistik Produk Orde Baru Ulama dan jawara merupakan pemimpin informal di Banten. Kedua kepemimpinan ini terkooptasi ke dalam mesin politik partai pemerintah, yakni Golongan Karya (Golkar) pada awal 1970-an. Ironisnya, pemerintahan Orde Baru menjiplak apa yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) seksi Banten pada 1920-an dalam mengorganisasi dua kekuatan sosial tersebut. Pada 1971, Golkar mengorganisasikan ulama ke dalam Satkar Ulama dan mengorganisasikan jawara lokal ke dalam Satkar Pendekar pada 1972.129 Satkar ini kemudian berubah nama menjadi Persatu- an Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI). Sebanyak 122 padepokan silat terafiliasi ke PPPSBBI di Banten dan dimobilisasi untuk mendukung Golkar selama Pemilu selain untuk menopang kekuatan tentara dan polisi. Tubagus Chasan Sochib merupakan jawara yang menjadi ketua umum Satkar Pendekar sekaligus salah satu dari anggota panitia eksekutif Satkar Ulama. Dia bertindak sebagai jembatan antara militer, birokrat, dan Golkar dengan masyarakat Banten termasuk aktor kriminal bawah tanah. Chasan mengklaim kekua- saan mobilisasinya130 yang besar itu dengan mengatakan, tiga ribu jawara melayaninya dan mereka siap siaga sepanjang waktu.131 Klaim Chasan tersebut, salah satunya bisa dibuktikan dengan pengamanan lahan pabrik PT Krakatau Steel saat itu. Haji Embay Mulia Syarief, seorang tokoh silat dari Kota Serang, Banten meru- pakan mantan tangan kanan (orang kepercayaan) dari Chasan Sochib. Sochib memberikan Embay proyek pengamanan lahan di Cilegon yang saat itu rencananya dibangun pabrik PT Krakatau Steel Tbk. Sebab, saat itu masih ada sebagian penduduk yang

    129Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 117. 130Winters, Oligarchy, 15-18. 131Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 117.

    158 Oligarki dan Demokrasi... tidak senang pada pembangunan pabrik itu meski lahan sudah dibebaskan sesuai peraturan yang berlaku. Setiap pekerja selesai memasangi patok, pada malam harinya patok-patok tersebut pun dicabuti. Saat rombongan dari PT Sinar Ciomas datang, kata Embay, hal itu pun tidak lagi terjadi. Embay menjelaskan ia bisa sukses menyelesaikan pekerjaannya karena dekat dengan jawara- jawara lokal. Ia bahkan mengaku merangkul jawara lokal untuk bekerja di proyek tersebut. Alhasil, konflik pun berakhir dan pabrik peleburan baja milik BUMN tersebut bisa berdiri dan beroperasi hingga kini. Embay bertahan di perusahaan tersebut hingga tahun 1974.132 Chasan Sochib menjadi berpengaruh di banyak aspek kehidupan masyarakat Banten dan memainkan sebuah kekuasaan sebagai “penyambung lidah” untuk Jakarta dan Bandung; orang luar yang ditunjuk sebagai birokrat puncak bersandar padanya dan jaringannya sebagai jembatan ke dua kebantenan. Pejabat kepoli- sian setempat dan tentara memiliki hubungan erat dengan Sochib. Ideologi Sochib dan PPPSBBI terhitung nasionalistis dan dia membanggakan bahwa PPPSBBI merupakan satu-satunya LSM yang “melindungi [masyarakat], mempertahankan negara dan bangsa” dan juga “mempertahankan kepolisian” dan “membela militer.” Sochib lebih jauh bahkan mengatakan bahwa PPPSBBI mencintai kepolisian dan militer karena organisasi tersebut telah mendukung mandat proklamasi kemerdekaan 1945. Faktanya, menurut Masaaki dan Hamid, Sochib melalui PPPSBBI membantu polisi dan tentara dengan memberikan pelati- han silat bagi anggota polisi dan militer dan memberikan bantuan keuangan dari keuntungan bisnisnya. Dengan kekuatan jaringan lokal dan ideologi nasionalisnya, Sochib mampu membangun

    132Nurmulia Rekso Purnomo, “Kisah Tokoh Silat yang Jadi Tangan Kanan Chasan Sochib,” Tribunnews.com dirilis pada Jumat, 18 Oktober 2013, diakses pada Senin, 22 Agustus 2016, http://www.tribun news.com/nasional/2013/10/18/kisah-tokoh-silat-yang-jadi-tangan- kanan-chasan-sochib. Ahmad Munjin 159 hubungan erat dengan anggota dewan pusat Golkar, seperti Akbar Tanjung dan para pemimpin TNI pada masa Orde Baru.133 Dengan demikian, menurut Syarif Hidayat134 dan Leo Agustino,135 Tubagus Chasan Sochib menjadi salah satu orang kuat yang membangun dinasti politik di Banten pada era Orde Baru yang berlanjut ke era Reformasi. Seiring melemahnya penga- ruh kiai, jawara menjadi sosok yang paling berpengaruh baik seca- ra politik maupun ekonomi selama Orde Baru di Banten. Fakta- nya, tokoh paling kaya dan paling berkuasa di Banten adalah Tubagus Chasan Sochib yang notabene merupakan pemimpin jaringan jawara yang paling besar dan berkuasa di era Banten kontemporer, yakni PPPSBBI.136 Secara informal, Sochib secara luas disebut sebagai “Gubernur Jenderal” atau disingkat menjadi “Gubjen.” Sebutan ini dulunya merupakan gelar resmi yang digunakan selama periode kolonial terutama untuk menyebut pejabat Belanda di East Indies (Hindia Belanda). Gelar ini biasanya dipanggil dengan kedipan dan senyuman sebagai sebuah isyarat status yang lebih besar dari peran kehidupan Sochib yang seharusnya. Sochib merupakan tokoh legendaris di Banten kontemporer dengan sejumlah istri dan belasan anak.137

    133Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 118-19. 134Syarif Hidayat, “Shadow State? Business and Politics in the Province of Banten,” dalam Renegotiating Boundaries: Local Politic in post-Suharto Indonesia, ed. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klin- ken (Leiden: KITLV Press, 2007), 203-24. 135Agustino, “Dinasti Politik,” 109. 136Daromir Antonovych Rudnyckyj, “Islamic Ethics and Spiri- tual Economy in Contemporary Indonesia” (Disertasi Ph.D., Universitas California, Berkeley, 2006), 70. 137Masaaki memberikan gambaran singkat tentang kehidupan Chasan Sohib. Lihat Okamoto Masaaki, “Local Politics in Decentralized Indonesia: The Governor General of Banten Province,” IIAS Newsletter 34 (2004): 23.

    160 Oligarki dan Demokrasi...

    Pada hemat peneliti, dinasti politik yang dibangunnya itu adalah oligarki. Sebab, gurita bisnisnya telah mendefinisikannya sebagai seorang oligark dan membentuk sistem politik oligarkis. Kekuasaan yang diraihnya didasarkan pada sumber daya kekuasa- an elite dan material sekaligus yang mengejawantah dalam keka- yaan yang dimilikinya. Sochib dilahirkan di kabupaten Serang pada 1930 dan merupakan keponakan dari Haji Tubagus Kaking, pemilik PT Kalimaya.138 Dia masuk pesantren sebelum bergabung dengan unit kekuasaan gerilya selama periode revolusi. Sebelum kekuasaan politik dan ekonominya membesar, Chasan mula-mula bekerja mengatur para buruh kasar di Jakarta dan bongkar muat di pelabu- han Tanjung Priok. Kemudian, dia kembali ke Bantenuntuk men- coba peruntungan dengan mendapatkan berbagai kontrak peme- rintah untuk proyek-proyek pekerjaan umum. Bisnis-bisnis me- nguntungkan lainnya adalah bertindak sebagai seorang perantara dalam spekulasi tanah di Banten. Hal itu terjadi setelah pemerin- tah Indonesia membangkitkan produksi baja di Cilegon dan mendesain kota tersebut menjadi sebuah kawasan pembangunan industri. Sochib meyakinkan para petani skala kecil untuk menjual ladang kecil mereka dan kemudian dengan cepat berbalik dan menjual kembali tanah tersebut ke perusahaan industri yang terta- rik dengan wilayah Cilegon seiring berkembangnya infrastruktur industri. Anak perempuan Sochib, Ratu Atut Chosiyah, seorang politikus Golkar, terpilih menjadi wakil gubernur Banten untuk masa jabatan yang bermula pada Desember 2001.139 Pengalaman kerjanya dimulai dengan melakukan penga- walan bisnis beras dan jagung antarpulau Jawa-Sumatera. Peker- jaan inilah yang menjadi cikal bakal pengakumulasian kekayaan Chasan Sochib yang belakangan mendefinisikannya sebagai seo-

    138Nurmulia Rekso Purnomo, “Kondisi Kantor Perusahaan Milik Chasan Sochib Kini,” Tribunnews.com, dirilis Jumat, 18 Oktober 2013, diakses 22 Agustus 2016, http://www. tribunnews.com/nasional/2013/ 10/18/kondisi-kantor-perusahaan-milik-chasan-sochib-kini. 139Rudnyckyj, “Islamic Ethics,” 70-71. Ahmad Munjin 161 rang oligark sultanistik. Tak hanya sampai di situ, Sochib mulai merintis bisnisnya sendiri dengan menjadi penyedia kebutuhan logistik untuk divisi militer Kodam VI Siliwangi sejak 1967.140 Pada saat yang sama, Kodam Siliwangi berkepentingan atas kesta- bilan politik di Banten. Mereka membutuhkan orang lokal untuk menjadi perpanjangan tangan di daerah. Di mata para komandan Kodam VI Siliwangi, Banten adalah daerah yang rawan dipenga- ruhi oleh kekuatan komunis baik sebelum ataupun sesudah tragedi 1965. Atas dalih kepentingan politik keamanan dan ekonomi di Banten, Chasan Sochib mendapatkan banyak keistimewaan dari Kodam VI Siliwangi dan pemerintah Jawa Barat. Sebagian besar proyek pemerintah khususnya di bidang konstruksi banyak diberi- kan kepada Chasan Sochib. Dalam konteks yang lebih luas, Leo Agustino melihat bukan hanya hubungan Hasan Sochib dengan Kodam VI Siliwangi dan pemerintah Jawa Barat pada level lokal melainkan dengan rezim Orde Baru pada level nasional. Menurut Agustino, kokoh- nya Chasan Sochib sebagai oligark sultanistik, dapat dipastikan merupakan hasil dari sosialisasi rezim sebelumnya,141 Soeharto yang oleh Winters juga dikategorikan sebagai oligark sultanistik. Rezim Orde Baru menjadi faktor eksogen (eksternal) yang mendu- kung transformasi kejawaraan Chasan Sochib menjadi oligark sultanistik. Bedanya, Sochib merupakan oligark sultanisntik pada level lokal sedangkan Soeharto pada level nasional yang terjadi dalam sistem politik Indonesia yang menganut sistem demokratis. Menurut Agustino, saat rezim Orde Baru berkuasa, kekuasaan

    140Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan Sochib: Gubernur Jenderal dari Banten,” Konstelasi, Edisi ke-31 April 2011. Artikel diakses 6 Juli 2013, dari http://www.p2d.org/index.php/ kon/52-31-april-2011/273-dinasti-h-tb-chasan-sochib--gubernur-jenderal- dari-banten.html. 141Agustino, “Dinasti Politik,” 109.

    162 Oligarki dan Demokrasi... berpusat di tangan satu orang, yaitu Soeharto yang disebut oleh Olson sebagai stationarybandits.142 Pemusatan tersebut bertujuan untuk memperlancar proses rent-seeking activities143 melalui jejaring patron-client.144 Untuk mengawal kekuasaan di Tanah Air yang sangat luas, Soeharto menunjuk dan mengangkat beberapa kerabat dan koleganya men- jadi kaki tangan baik di pusat maupun di daerah. Tujuannya untuk menjaga ketenteraman politik dan mengeksploitasi ekonomi. Khu- sus di daerah, kaki tangan patron-client Jakarta bisa berupa orang pusat yang ditransfer ke daerah atau warga setempat yang diang- gap kuat di daerah (local strongman). Mengikuti logika itu, dinasti politik Soeharto, bukan hanya berlangsung di Jakarta, tapi juga merasuk hingga pelosok negeri.145 Dengan menggunakan logika stationary bandits, orang kuat di daerah mendaulat anggota keluarga untuk terlibat aktif dan bahu-membahu menjaga kepentingan ekonomi Soeharto, di daerah. Supaya pekerjaan mereka mudah dikerjakan, local strong-

    142Mancur Olson, “Dictatorship, Democracy, and Development,” The American Political Science Review 87, no. 3 (September 1993): 568. 143Anne O. Krueger, “The Political Economy of the Rent- Seeking Society,” The American Economic Review 64, no. 3(Juni 1974): 291-303. 144Hubungan patron-client (sebuah hubungan pertukaran antar peran) adalah sebuah kasus khusus dalam ikatan dyadic (dua-orang) yang melibatkan pertemanan instrumental secara luas di mana seorang indivi- du dari status sosioekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk memberikan perlindungan atau ber- bagai manfaat atau keduanya, terhadap seorang individu yang status sosioekonominya lebih rendah (client). Pada gilirannya, client membe- rikan imbalan dengan menawarkan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk pelayanan personal kepada patron. Dalam literatur antropologi, patron-client berhubungan dengan beberapa istilah seperti clientelism, dyadic contract, personal network, dan action-set. James C. Scott, “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia,” The American Political Science Review 66, no. 1 (Maret 1972): 92. 145Agustino, “Dinasti Politik,” 109. Ahmad Munjin 163 man membangun dinasti politik mulai dari tingkat provinsi, kabu- paten hingga kota. Tujuannya, agar semua perkara yang ada di semua tingkatan dapat terkoordinasi di bawah kendalinya. Resis- tensi masyarakat tidak jarang dihadapi dengan tindakan refresif. Dalam teori sumber daya kekuasaaan oleh Winters, ini disebut sebagai kekuasaan koersif.146 Ini pula yang berlaku di Banten. Dalam kapasitasnya sebagai pengusaha, jawara sangat berkepentingan dalam mendapatkan akses sumber daya yang dikendalikan pemerintah daerah. Menurut Agustino, jawara tentu akan memfungsikan status gandanya secara maksimal. Sebagai pengusaha, mereka memaksimalkan sumber daya keuangan yang dimiliki, sementara dalam kapasitas sebagai jawara mereka dapat menggunakan sumber daya ‘keilmuan’ yang mereka kuasai. Untuk hal yang pertama, ketenaran Sochib sebagai pengusaha kelas atas, terutama dalam bidang konstruksi, bukan hal baru. Sebab, status itu telah melekat pada dirinya sejak 1980-an.147 Ketika Banten belum ditetapkan sebagai provinsi, Sochib banyak menjalin hubungan dengan pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sochib juga sering dipercaya untuk mengerjakan proyek- proyek fisik kontstruksi skala besar baik di Jawa Barat secara umum maupun Banten. Sedangkan status Sochib sebagai tokoh jawara merupakan sisi lain dari identitas yang sulit dipisahkan darinya. Sebab, status sebagai tokoh jawara bukan hanya dipe- roleh berdasarkan garis keturunan, tapi juga karena peranannya sebagai pendiri salah satu organisasi jawara terbesar dan terkemu- ka di Indonesia saat ini, PPPSBBI.148 Sementara itu, yang mendukung kekuasaan materialnya, Chasan Sochib mendirikan PT Sinar Ciomas Raya pada 1967. Sampai saat ini, Sinar Ciomas merupakan perusahaan terbesar di Banten, khususnya di bidang konstruksi jalan dan bangunan fisik lainnya. Perusahaan ini sering memenangkan kontrak pemerintah yang dibiayai oleh lembaga-lembaga donor, seperti Asian Deve-

    146Winters, Oligarchy, 15. 147Agustino, “Dinasti Politik,” 110. 148Agustino, “Dinasti Politik,” 110.

    164 Oligarki dan Demokrasi... lopment Bank (ADB) dan Bank Dunia149 untuk jalan dan proyek- proyek pembangunan pasar, seperti proyek konstruksi Pasar Rau dan proyek-proyek pembangunan jalan di kabupaten Bekasi dan kabupaten Karawang.150 Yang menarik, kesuksesan bisnisnya itu ditransformasikan menjadi kekuasaan mobilisasi.Berdasarkan penuturan juru bicara keluarga Ratu Atut Chosiyah, Tb. Chasan Sochib selalu mengada- kan acara pertunjukan hiburan setelah memenangkan tender suatu proyek konstruksi atau infrastruktur.151 Di antaranya adalah jaipongan dan debus. Lalu, dia menyawer atau memberikan uang kepada penari. Bukan hanya itu, dia bahkan membagikan uang kepada semua orang yang terlibat dalam acara pertunjukan tradi- sional tersebut. Kebanyakan orang mengira hal itu merupakan persoalan jaipongan atau debus semata, padahal juga merupakan urusan pemberdayaan. Pemberian uang kepada penari merupakan pemberdayaan kearifan lokal. Begitu juga dengan pertunjukan debus. Semua personelnya mendapatkan dana pemberdayaan untuk seni lokal. Dana pemberdayaan mengalir ke semua orang yang terlibat dalam acara tersebut—penari, pemasang banner, umbul-umbul dan bendera, juru masak, para jawara pengatur parkir, supir, dan pemasang panggung. Begitu juga dengan pihak TNI sebagai pemilik tenda. Kalau ada 100 proyek yang dime- nangkan tendernya, tenda tersebut otomatis akan terpakai 100 hari untuk pesta—diantaranya pertunjukan debus dan jaipongan. Apalagi, acara yang diadakan juga selalu dalam sekala besar. Dengan demikian, jika Tb. Chasan Sochib memenangkan tender,

    149Max Lane, Decentralization and Its Discontents: An Essay on Class, Political Agency and National Perspective in Indonesian Politics [Iseas Monograph Series] (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies (Iseas), 2014), 64-65. 150Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 119. 151Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. Ahmad Munjin 165 lalu pencairan dana, semua orang akan terlibat dalam hidupnya. Ratusan orang pun akan mendapatkan dana pemberdayaan sehing- ga semua orang merasa hidup bersama dia. Itulah apa yang dia dapatkan dan itu juga yang kemudian dia bagi kepada banyak orang. Walhasil, Tb. Chasan Sochib pun punya jaringan yang sa- ngat luas152 dan berbuah menjadi sumber daya kekuasaan mobi- lisasi.153 Pada hemat peneliti, bagi-bagi uang yang dimaknai seba- gai pemberdayaan itu merupakan reduksi makna menjadi lebih halus atau eufemisme dari politik uang (money politics) dalam pengertian tidak langsung. Sebab, hal itu tidak dilakukan dalam konteks jual beli suara dalam Pilkada. Secara sederhana, politik uang (money politics) didefinisikan sebagai jual beli suara.154 Sedangkan pemberdayaan adalah proses inklusif untuk memberi- kan semangat, memberi peluang, mengembangkan kapasitas untuk swasembada, kepercayaan diri, penegaskan diri, dan otonomi yang melekat pada kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan tak berdaya (seperti perempuan) dan masyarakat (kaum) melalui pembangkitan kesadaran, partisipasi pro-aktif dalam kehidupan publik dan mobilisasi hak yang tepat.155 Jadi, bagi-bagi uang

    152Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 153Winters, Oligarchy, 15-18. 154Burhanuddin Muhtadi, “Politik Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi antara Indentitas Kepartaian dan Patron-Klien,” Jurnal Penelitian Politik 10, no. 1 (Juni 2013): 42. 155Empowerment is an inclusive process of encouraging, enab- ling and developing the capability for self-sufficiency, self-dependence, self-assertion and autonomy of the marginalised and disempowered gro- ups (like women) or community (dalits/tribes) through consciousness- raising, pro-active participation in public life and mobilisation for right entitlements. Lihat Subhash Sharma, “The Dynamics of Women’s Empowerment: A Critical Appraisal,” Social Change 47, no. 3 (Agustus 2017): 400.

    166 Oligarki dan Demokrasi... merupakan money politics. Akan tetapi, Tb. Chasan Sochib seba- gai informal rule156 akan mendapatkan imbal hasil dari investasi politiknya itu pada masa-masa mendatang. Meski pada saat Orde Baru masih berkuasa, Sochib tidak terlibat dalam kekuasaan formal, dia sangat menyadari pentingnya investasi politik itu. Menurut Guillermo O’Donnell, sebagaimana dikutip Burhanuddin Muhtadi, sistem politik informal harus dipahami karena fokus eksklusif hanya pada sistem atau aturan formal akan mengabaikan perhatian peneliti kepada informal politics yang justru lebih berpengaruh dalam menentukan institusi politik. Mengabaikan informal politics seperti patrimonialisme dan patron-klien akan membuat peneliti kehilangan “rules of the game” yang seringkali bersifat tak tertulis, tapi berurat akar sejak lama.157 Untuk memantapkan bisnisnya, Chasan Sochib menguasai sejumlah organisasi bisnis seperti Kamar Dagang dan Industri Daerah Banten, Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional Indo- nesia Banten, dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional Indonesia Banten.158 Keterlibatannya meluas hingga ke Perusahaan Negara Krakatau Steel, perusahaan baja terbesar di Asia Tenggara. Begitu juga dengan perusahaan di sektor pariwi- sata dan perumahan.159 Kekuasaan material tersebut yang memba- wa dan mendefinisikannya sebagai seorang oligark. Jika melihat jenis-jenis oligarki, Sochib terdefinisikan sebagai oligark sultanistik160 karena kepiawaiannya mengoordina-

    156Guillermo O’Donnell, “Another Institutionalization: Latin America and Elsewhere,” Working Paper #222 The Helen Kellogg Insti- tute for International Studies (Maret 1996). 157 O’Donnell, “Another Institutionalization.” Lihat juga, Bur- hanuddin Muhtadi, “Politik Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi antara Indentitas Kepartaian dan Patron- Klien,” Jurnal Penelitian Politik 10, no. 1 (Juni 2013): 45. 158Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan Sochib.” 159Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 117-18. 160Winters, Oligarchy, 35. Ahmad Munjin 167 sikan oligark-oligark lain dalam jejaring bisnisnya meniru apa yang sudah dilakukan rezim Soeharto.161 Ia juga menempati posisi puncak pada organisasi-organisasi atau asosiasi-asosiasi bisnis yang secara hirarki keorganisasian otomatis menempatkannya di posisi oligark sultanistik. Sebab, dia membawahi oligark-oligark lain. Sebagai buktinya, dia memegang posisi kunci dalam asosiasi- asosiasi bisnis seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi). Sochib menempatkan ‘orang-orangnya’ yang juga masuk kategori oligark pada panitia eksekutif asosiasi-asosiasi tersebut pada level lokal.162 Oleh karena itu, jabatan pada organisasi bisnis menye- matkan dua sumber daya kekuasaan bagi Sochib, yaitu kekuasaan jabatan resmi dan kekuasaan material yang mengantarnya sebagai seorang oligark sultanistik. Secara teori, Jeffrey A. Winters menyatakan, sultanistik adalah oligarki yang terbentuk ketika terjadi monopoli sarana pemaksaan di tangan satu oligark, bukan negara terlembaga yang dibatasi hukum. Di dalamnya, marak hubungan patron-klien de- ngan norma perilaku dan kewajiban tertentu yang terkait dengan- nya. Akan tetapi, penegakan hukum tidak ada atau beroperasi sebagai sistem kekuasaan hukum yang bersifat pribadi.163 Jika Winters menyebutnya monopoli sarana pemaksaan yang penuh patron-client, dalam konteks Chasan Sochib, patron-client terse- but adalah kepiawaiannya dalam koordinasi. Chasan Sochib menjadikan Kadin dan Gapensi sebagai salah satu sarana monopoli yang disebut Winters sebagai “pemak- saan”. Salah satu buktinya adalah sertifikasi dari Kadin dan Gapensi yang sangat dibutuhkan untuk pengadaan proyek peme- rintah. Sochib menggunakan persyaratan ini untuk mengoordina-

    161Bandingkan dengan Yuki Fukuoka yang menyebut Soeharto sebagai rezim sultanistik (sultanistic regimes). Lihat Yuki Fukuoka, “Oligarchy and Democracy in Post-Suharto Indonesia,” Political Studies Review 11 ( 2013): 52-64. 162Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 117-18. 163Winters, Oligarchy, 35.

    168 Oligarki dan Demokrasi... sikan proyek-proyek di daerah Banten. Koordinasi tersebut telah membuatnya berlimpah uang dan kekuatan ekonomi. Kartika Supriatna, seorang penduduk dan wakil gubernur provinsi Jawa Barat yang bertugas di wilayah Banten pada 1976-1983, membuk- tikan kemampuan koordinasi proyek Sochib pada saat itu dan kemampuannya untuk mengakumulasi prestise sosial dan keka- yaan.164 Dengan kekuatan koordinasi dan penegakkan sumber daya material yang sudah di tangan, baik jawara yang berada di bawah kontrol Sochib maupun para oligark lain yang menjadi pengikut- nya yang menjadi (sub)kontraktornya menerima bagian keuntu- ngan atau menjadi birokrat. Masaaki dan Hamid mencontohkan Embay Mulya Syarif, meski belakangan menjadi cenderung kritis terhadap Sochib, dibantu oleh Sochib dan menjadi kader Gapensi dan kepala Kadin di Kabupaten Serang. Sekretaris Jenderal Kantor Pusat PPPSBBI tahun 2000, Kasmiri Assabudu, memiliki perusa- haan konstruksi, Bunda. Uci Sanusi, kontraktor lain yang terafi- liasi dengan Sochib, belakangan menjadi anggota DPRD kabupa- ten. Sekretaris Jenderal PPPSBBI untuk kabupaten Serang, Mas Santoso masuk birokrasi lokal dan kemudian menjadi Kepala Departemen Sanitasi Kabupaten Serang.165 Pada mulanya, keharusan memiliki kekayaan bagi kepe- mimpinan jawara bermotif mulia yakni untuk tujuan tolong meno- long yang menjadi prinsip jawara. Sebab, dalam prinsip jawara, tidak mungkin bisa menolong orang lain jika diri sendiri masih harus ditolong karena miskin.166 Sifat tolong menolong ini harus diwujudkan oleh jawara selain melalui kesaktiannya juga sekaligus dengan kekayaannya. Sebab, dalam alam pikiran jawara, tidak mungkin mereka bisa menolong orang miskin jika jawaranya sen- diri seorang miskin. Namun demikian, dalam perkembangannya, motif mulia itu berubah dari tolong menolong menjadi sifat akumulatif tanpa

    164Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 118. 165Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 118. 166Irfani, Jawara Banten, 14. Ahmad Munjin 169 batas sehingga kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang jawara. Kepemimpinan jawara sebagai pengusaha yang tidak terbatas pada teritorial tertentu dalam konteks relasi dagangnya, memungkinkan jawara untuk mengakumulasi kekayaan sebanyak- banyaknya. Peluang tersebutlah yang mendefinisikan jawara seba- gai oligark pada akhirnya. Karena tidak terbatasnya hubungan dagang tersebut, masuklah jawara pada fase status baru sebagai patron-klien kekuasaan. Jawara sebagai local strongman menjadi patron bagi pemerintah pusat, dalam hal ini adalah rezim Orde Baru.167 Mengguritanya akumulasi kekayaan Chasan Sochib harus diakui belum terdapat data valid yang menunjukkan total kekaya- annya secara kuantitatif dan presisi. Padahal, perhitungan angka kuantitatif tersebut sangat diperlukan untuk mengonfirmasi kate- gori Sochib sebagai seorang oligark. Data-data yang peneliti dapatkan dari berbagai media, baru sebatas perkiraan, yakni sebe- sar seperempat triliun rupiah.168 Itupun bukan harta milik Sochib sendiri melainkan keluarga besarnya. Tiadanya data resmi yang valid bisa dipahami karena Sochib seringkali bertindak di balik layar dan berfungsi sebagai koordinator. Selain itu, perusahaan- perusahaan dan proyek-proyek yang dijalankannya seringkali tidak mengatasnamakan dirinya sendiri melainkan atas nama orang lain di bawah koordinasinya.169 Beruntung, di tengah krisis ekonomi yang melanda Indo- nesia pada pertengahan 1997, gelombang demonstrasi mahasiswa datang bertubi-tubi menuntut perubahan dan berakhir dengan lengsernya Soeharto. Kekuasaan pusat di daerah pun mulai mere- dup. Namun demikian, pemusatan kekuasaan di daerah tidak serta- merta lenyap. Local strongman yang menjelma menjadi oligarki

    167Agustino, “Dinasti Politik,” 109 168Antons, et al., “Klan Chasan Diduga Punya Harta Seperempat Triliun,” Tempo.co, dirilis pada Senin, 4 November 2013, diakses pada Rabu, 24 Agustus 2016, http://haji.tempo .co/konten_berita/politik/2013/ 11/04/526970/Klan-Chasan-Diduga-Punya-Harta-Ratusan-Miliar. 169Hidayat, “Shadow State,” 219-20.

    170 Oligarki dan Demokrasi... baru menggantikan kekuasaan rezim Orde Baru pada lokal dengan tetap menggunakan cara-cara lama. Dalam konteks ini, local strongman tersebut adalah Tubagus Chasan Sochib. Sochib bukan hanya dikenal sebagai petinggi partai Golongan Karya dan orang tua Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, Sohib juga adalah Ketua Kamar dan Industri Indonesia (Kadin) Provinsi Banten, Ketua Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI), dan pimpinan beberapa asosiasi dan lemba- ga besar di Banten. Dinasti politik Sochib, awalnya dikenal dengan istilah jawara yang kemudian berdiaspora menjadi jawara-pengusaha.Di era kolonial, kategorisasi jawara dan kiai masih sangat ken- tal. Jawara adalah orang yang punya kematangan ilmu silat sekaligus kematangan ilmu agama. Oleh karena itu, hubu- ngan jawara kiai saat itu sangat erat. Sekarang, dalam panda- ngan keluarga jawara, kategori untuk jawara sendiri diakui hampir tinggal simbol. Apalagi, masyarakat di Banten seba- gian sudah masuk kategori urban (pendatang) sehingga terja- di asimilasi budaya. Jawara sudah mengalami transformasi dari jawara tulen menjadi pekerja sebagai force (kekuatan). Jika seseorang memiliki sebuah proyek dan diganggu oleh LSM, jawara yang akan menghadapinya. Begitu juga jika diganggu secara hukum. Saat seseorang berada dalam proses tender dan mendapat gangguan, jawara juga yang maju. Jawara pun berubah menjadi semacam centeng.170 Sementara itu, kiai dulu adalah guru bagi orang-orang belajar silat di padepokan yang muridnya disebuat jawara. Keba- nyakan pesantren memiliki padepokan. Oleh karena itu, ada keeratan hubungan antara jawara dan kiai pada awalnya. Zaman

    170Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. Ahmad Munjin 171 pun berubah. Proses regenerasi jawara tidak seketat regenerasi kiai. Lulusan pesantren dan punya ilmu agama tidak bisa semba- rangan mendirikan pesantren. Setelah santri pandai ilmu agama baru dia bisa menjadi kiai. Di antara buktinya adalah kecakapan berceramah dan membaca . Begitu sulit bagi seorang ulama untuk mewariskan ilmu kepada santrinya sehingga bisa menjadi ulama berikutnya. Kiai mengajarkan ilmu agama tapi tidak benar-benar ahli sehingga dirasa tidak enak oleh masyarakat, kiai tersebut tidak akan menjadi panutan. Sebab, menjadi kiai itu bukan hanya soal keilmuan, tapi juga soal trust orang untuk mengikutinya. Proses untuk menjadi ulama pun menjadi sangat terseleksi dari sekian banyak orang. Kondisi itu, berbeda dengan orang yang masuk padepokan milik pesantren untuk belajar menjadi jawara. Tanpa harus punya kapabilitas jawara, bahkan hanya bermodal gertak pun, dia sudah dilegitimasi sebagai jawara. Sekarang, preman saja bisa mengkla- im sebagai jawara. Tanpa bisa silat pun, karena orang pernah sesaat belajar silat, akan menjadi jawara secara simbolik. Padahal sebenarnya, apakah seseorang bisa silat atau tidak yang menjadi otoritas kejawaraannya hanya bisa diketahui saat digunakan.171 Tidak seperti dulu, proses seleksi untuk menjadi jawara saat ini jauh lebih mudah dibandingkan menjadi kiai yang jauh lebih susah. Karena perbedaan spektrum proses seleksi tersebut, secara otomatis dan perlahan terjadi pemisahan antara jawara dan kiai. Orang tidak akan punya loyalitas dan tidak percaya terhadap kiai jika tidak bisa ceramah dan cakap membaca kitab kuning. Orang tidak akan memasukkan anaknya ke pesantren yang kapabi- litas kiainya seperti itu. Intinya, untuk mendapatkan legitimasi kiai jauh lebih sulit. Bandingkan dengan seseorang yang belajar ilmu agama dan silat di pesantren. Setelah itu, hasil belajar aga- manya kurang bagus. Tanpa harus belajar ilmu agama lebih dalam,

    171Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.

    172 Oligarki dan Demokrasi... dia bisa memilih menempuh untuk menjadi jawara. Silatnya pun sebenarnya tidak terlalu cakap. Akan tetapi, kalau orang jadi jawara, ‘ngejago’ saja sudah menjadi jawara. Itulah yang kemudi- an memisahkan antara ulama dan jawara.172 Dulu ada keeratan antara kiai dan jawara. Lalu, lambat laun terpisah karena persoalan sosiologis tadi. Padahal tempat lahirnya sama, yakni pesantren. Jawara dan kiai sama-sama lahir dari pesantren tapi kemudian berbeda secara perlahan. Sekarang kategori jawara yang kental seperti dulu, sudah terkikis. Sedang- kan kategori ulama masih utuh karena faktor sosiologis juga. Orang tanpa harus pintar silat, bisa menjadi jawara. Padahal, orang dulu yang disebut jawara itu adalah orang memiliki kapa- sitas ilmu agama yang baik dan ilmu kesaktian atau kanuragan dan kebatinan yang baik pula. Sebab, santri dan jawara sama-sama merupakan murid kiai yang belajar di pesantren. Oleh karena itu, jawara dulu banyak dipercaya memiliki ilmu kekebalan dan ilmu agama.173 Tb. Chasan Sochib termasuk orang berhasil mengkapita- lisasi sifat koersifnya sebagai jawara. Dia pun menjelma menjadi jawara-pengusaha. Penjelmaan ini merupakan campuran sumber daya kekuasaan elite dan oligarki. Oleh karena itu, jawara Banten sekarang ini tidak identik dengan jawara tulen seperti zaman dahulu yang memiliki kemampuan bela diri pencak silat dan ilmu kedigdayaan. Memang masih ada yang memiliki kemampuan semacam itu, tetapi dalam konteks dinasti politik, jawara kini memiliki status rangkap, yakni sebagai pengusaha.174Aktivitas

    172Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 173Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 174Agustino, “Dinasti Politik,” 110. Ahmad Munjin 173

    Sochib tidak terbatas pada jawara dan dunia bisnis. Modal sosial dengan kekuasaan elitenya semakin kuat karena Sochib merupa- kan pendiri sebuah universitas swasta dan museum Banten. Sochib juga merupakan kepala Generasi ’45 cabang Serang, sebuah ko- mite yang mewadahi para mantan anggota angkatan kemerdekaan Indonesia.175 Keluarga besar Chasan Sochib, sebagaimana diduga Tempo, memiliki harta kekayaan seperempat triliun176 yang men- definisikan mereka sebagai satu keluarga oligark. Definisi tersebut merupakan hasil dari Indeks Kekuasaan Material (Material Power Index) yang perhitungannya adalah total kekayaan keluarga Chasan Sochib dibagi rata-rata income per kapita yang dalam konteks masyarakat Banten direpresentasikan oleh data PDRB per kapita. Dengan demikian, indeks kekuasaan material keluarga Chasan Sochib adalah 6.355 kali. Di atas semua itu, di bawah ini, peneliti memberikan table yang mengambarkan profil kekuasaan Chasan Sochib baik sebagai elite maupun oligark.

    Tabel 3.4. Sumber Daya Kekuasaan Tubagus Chasan Sochib pada Era Orde Baru Sumber Daya Kekuasaan No. Elite Material (Oligarkis) (1) (2) (3) Ketua Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya 1 Asosiasi Bisnis Banten (PPPSBB) (jabatan resmi) Ketua Kamar Dagang dan Ketua Wushu Indonesia 2 Industri (Kadin) (jabatan resmi, Banten (jabatan resmi) kekuasaan material) Ketua Gabungan Pengusaha Ketua Satkar Ulama Banten Konstruksi Nasional Indonesia 3 (jabatan resmi) (Gapensindo) Banten (jabatan resmi, kekuasaan material)

    175Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 118. 176Antons, et al., “Klan Chasan.”

    174 Oligarki dan Demokrasi...

    Lanjutan Tabel 3.4. (1) (2) (3) Ketua Lembaga Pengembangan Pendiri sebuah universitas Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional 4 swasta dan museum Banten Indonesia Banten (jabatan resmi, (jabatan resmi). kekuasaan material) Ketua Generasi ’45 cabang 5 Perusahan-perusahaan Serang (jabatan resmi) Sebanyak 122 padepokan silat terafiliasi ke PPPSBBI yang dipimpin Chasan Sochib di Banten dan 6 PT Sinar Ciomas Raya dimobilisasi untuk mendukung Golkar selama Pemilu selain tentara dan polisi (mobilisasi). Mengguritanya akumulasi kekayaan Chasan Sochib harus diakui belum terdapat data valid yang menunjukkan total kekayaannya secara kuantitatif Chasan Sochib bertindak dan presisi kecuali sebatas sebagai jembatan antara perkiraan, yakni sebesar militer, birokrat, dan seperempat triliun rupiah 7 Golkar dengan masyarakat (kekuasaan material). Sebab, Banten termasuk kriminal Sochib seringkali bertindak di bawah tanah (mobilisasi). balik layar dan berfungsi sebagai koordinator sehingga perusahaan- perusahaan dan proyek-proyek yang dijalankannya seringkali tidak mengatasnamakan dirinya sendiri. Kartika Supriatna, seorang Chasan mengklaim tiga ribu penduduk dan wakil gubernur jawara melayaninya dan provinsi Jawa Barat yang 8 mereka siap siaga sepanjang bertugas di wilayah Banten pada waktu (mobilisasi). 1976-1983, membuktikan kemampuan koordinasi proyek. Ahmad Munjin 175

    Lanjutan Tabel 3.4. (1) (2) (3) Sochib pada saat itu dan kemampuannya untuk mengakumulasi prestise sosial dan kekayaan (mobilisasi dan material) Sochib memberikan Embay proyek pengamanan lahan di Cilegon, yang saat itu rencananya dibangun pabrik Krakatau Steel (material). Sochib melalui PPPSBBI membantu polisi dan tentara dengan memberikan pelatihan silat bagi anggota polisi dan

    militer dan memberikan bantuan keuangan dari keuntungan bisnisnya (mobilisasi dan material). Chasan bekerja mengatur para buruh kasar di Jakarta dan bongkar muat di pelabuhan Tanjung Priok (mobilisasi dan material). Sochib mendapatkan berbagai kontrak pemerintah untuk

    proyek-proyek pekerjaan umum (material). Bisnis-bisnis menguntungkan lainnya untuk terlibat adalah bertindak sebagai seorang perantara dalam spekulasi tanah di Banten (material). Sumber: Data diolah dan disarikan dari pembahasan di atas dari subbab ini.

    176 Oligarki dan Demokrasi...

    Dari Table 3.4. di atas, terlihat jelas, bahwa Chasan Sochib pada era Orde Baru memiliki sumber daya kekuasaan baik elite maupun oligarki. Dia terdefinisikan sebagai oligarki sultanis- tik karena menguasai posisi puncak pada asosiasi-asosiasi bisnis dan kepiawaiannya dalam mengoordinasikan oligark-oligark lain baik sebagai kontraktor maupun sebagai sub kontraktor. Sochib merupakan oligark produk Orde Baru karena bisnisnya berkem- bang melalui proyek-proyek yang didapatkannya dari pemerintah.

    D. Era Reformasi: Kiai Tenggelam dan Jawara Dominan Pada subbab ini, peneliti menjelaskan fragmentasi politik kiai ke dalam banyak partai politik yang memperlemah kekuasaan mobilisasinya.177 Partai politik hanya memanfaatkan kekuasaan mobilisasi kiai untuk menguntungkan partai dan tidak terlalu menguntungkan bagi kiai. Kondisi ini memaksa para kiai untuk bersikap pragmatis sehingga pada kiai tertentu bahkan terlibat makelar politik dengan menggunakan kekuasaan mobilisasi yang dimilikinya. Di sisi yang lain, jawara tampil dominan dengan kekuasan materialnya yang menjadi basis kekuasaan oligarkis.

    1. Kekuasaan Mobilisasi Kiai yang Terfragmentasi Setelah kejatuhan Orde Baru, Indonesia menjalani sebuah periode liberalisasi politik. Kebebasan politik menyebabkan perkembangbiakan partai-partai politik secara cepat seperti jamur setelah hujan. Pada era Reformasi ini, sumber daya kekuasaan dari sisi hak politik formal178 baik kiai maupun jawara, seperti halnya hak politik formal masyarakat pada umumnya, mengejawantah dalam pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014. Pemilu 1999 merupa- kan pemilu yang dipercepat dan pemilu tidak langsung di mana konstituen memilih partai bukan calon. Sejak pemilu 2004, baru pemilihan langsung diselenggarakan.179 Namun demikian, penga-

    177Winters, Oligarchy, 15. 178Winters, Oligarchy, 13. 179Pada tahun 2004 pemilihan umum telah dilaksanakan secara langsung di Indonesia yang diikuti oleh berbagai partai politik dalam Ahmad Munjin 177 ruh kiai dan jawara terhadap pilihan masyarakat sangat ditentukan oleh sumber daya kekuasaan lain dari kiai dan jawara, yaitu: kekuasaan mobilisasi, koersif, jabatan resmi, dan material daripa- da hak politik formalnya. Bagi para kiai, era Reformasi merupakan masa di mana kekuasaan mobilisasinya semakin lemah. Pada masa Orde Baru, lemahnya mobilisasi tersebut karena kooptasi atau dalam bahasa Abdul Hamid ‘korporatisasi’ oleh rezim180 yang juga memiliki sumber daya kekuasaan oligarkis. Sedangkan pada era reformasi, lesunya kekuasaan mobilisasi kiai karena faktor fragmentasi poli- tiknya ke dalam banyak partai politik. Pada saat yang sama, jawa- ra dengan kekuasaan elite plus oligarkisnya mengalami surplus kekuasaan. Menurut Abdul Hamid, pada era Reformasi kiai kembali memiliki berbagai kewajiban untuk mendukung pemerintah. Mereka terpragmentasi di sejumlah partai-partai politik, sedang- kan sisanya setia dengan Golkar, seperti Kiai Wahab Afif, Kiai Salman Al Faris, dan KH Irsyad Djuwaeli. Berdirinya Partai pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR dan DPD serta pemilihan kepala daerah di Indonesia. Dalam pemilihan presiden dan wakil presi- den, telah dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 6A ayat 1, “Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Tersosialisasinya pasal 6A ayat 1 UUD 1945 ini baru pada waktu pemilihan presiden tahun 2004 sekagus pemilihan legislatif untuk tingkat pusat. Di samping pemilihan presiden secara langsung, juga berlaku dalam pemilihan kepala daerah. Ini didukung oleh undang-undang otono- mi daerah nomor 32 tahun 2004 pasal 24 ayat 5 yang berbunyi, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara lang- sung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Sebelum timbulnya pasal 24 ayat 5 ini, proses pemilihan kepala daerah diatur berdasarkan undang- undang nomor 22 tahun 1999 jo No. 151 tahun 2000 tentang cara pemili- han, pengesahan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah secara prosedural kewenangan masih berada di tangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Lihat Artis, “Eksistensi Partai Politik,” 74-75. 180Hamid,“Kiai in Banten,” 425-429.

    178 Oligarki dan Demokrasi...

    Kebangkitan Bangsa (PKB) oleh Kiai (Gus Dur) membuat banyak kiai kembali ke dunia politik. Beberapa kiai memulai karir politiknya pada level lokal seperti Kiai Aminuddin Ibrahim dan Kiai Muhtadi Dimyati di PKB.181 Secara umum, menurut Abdul Hamid, berbicara mengenai kiai di Banten pada era reformasi adalah kekuasaannya minor dalam politik. Mereka menjadi asisten bagi politikus non-kiai. Pada pemilihan bupati Pandeglang 2005, kiai memimpin posisi penting dalam tim kampanye bagi petahana Dimyati Natakusu- mah. Ketua MUI Pandeglang, KH Datep, bahkan mengeluarkan sebuah fatwa untuk memilih Dimyati dalam pemilu. Saat menge- luarkan fatwa sebagai ketua MUI, KH Datep jelas menggunakan kekuasaan elitenya dari sisi jabatan resmi.182 Fatwa ini secara luas dirumorkan bahwa semua ketua cabang MUI di seluruh kabupaten menerima sejumlah uang dari Dimyati. Sejumlah uang tersebut merupakan kekuasaan material183 yang menjadi basis sumber daya kekuasan oligarkis. Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Lembaga dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpes- dam NU) cabang Pandeglang, dan Gerakan Pemuda Ansor mela- kukan demostrasi menuntut agar MUI bertindak netral dan bahwa KH Datep dimutasi dari jabatannya sebagai ketua MUI Pandeg- lang. Pada akhirnya, MUI Banten menghentikan sementara KH Datep sebagai ketua MUI Pandeglang.184 Namun demikian, kiai tetap meneruskan dukungannya untuk Dimyati. Dia memiliki pengaruh kuat di kalangan kiai teru- tama karena Dimyati memiliki kekuasaan dari sisi jabatan resmi185, yakni sebagai ketua PPP provinsi Banten. Selain itu, alasan utama dukungan kiai tersebut adalah fakta bahwa selama periode pemerintahannya, Dimyati banyak memberikan sejumlah

    181Hamid, “Kiai in Banten,” 432-433. 182Winters, Oligarchy, 13-14. 183Winters, Oligarchy, 18. 184Hamid, “Kiai in Banten,” 433. 185Winters, Oligarchy, 13-14. Ahmad Munjin 179 bantuan material bagi pesantren dan para pengurusnya. KH Datep menggambarkan situasinya: Pada saat itu, banyak program pemerintah untuk memban- tu madrasah tidak terpenuhi. Yang ditakutkan adalah apabila Bupati atau pejabatnya diganti. Program-program untuk madrasah akan terlupakan atau kembali memulai dari awal. Kami semua bekerja keras, paling tidak 75 persen dari program keagamaan bisa terealisasi. Pada saat itu, tidak ada infrastruktur untuk praktik- praktik keagamaan, atau dukungan finansial untuk guru-guru agama, madrasah, dan lain-lain. Sekarang, satu sekolah menerima kontribusi dan insentif bagi staf pengajar. Sekarang, dana insentif senilai Rp2,7 juta per sekolah dan beberapa mendapatkan Rp3 juta.186 Kiai juga menjadi kekuatan yang diperhitungkan pada pemilihan gubernur Provinsi Banten 2006. Empat pasangan calon untuk gubernur dan wakil gubernur bersaing dalam pemilu. Keem- pat pasangan tersebut adalah -Marissa Haque yang didukung oleh PKS dan PSI; Tryana Sjam’un-Benjamin Davnie yang didukung oleh PPP dan PAN; H Ratu Atut Chosiyah- HM Masduki yang didukung oleh Golkar, PDIP, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR), dan Partai Damai Sejahtera (PDS); dan Irsyad Djuwaeli-Mas Ahmad Daniri didukung oleh Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Demokrat. Semua calon berusaha keras untuk memanfaatkan kiai yang ujungnya memenangkan dukungan dari masyarakat. Atut Chosi- yah sebagai contoh mendirikan Satkar Ulama untuk memobili- sasi187 kiai yang belakangan dipimpin oleh ayahnya Chasan Sochib, sebagai elemen pendukung penting bagi tim kampanye- nya. Zulkieflimansyah mendapatkan dukungan dari Forum Komu- nikasi Kiai dan Tokoh Masyarakat (FKKTM) yang dipimpin oleh KH Ubing. Tryana Sjam’un mendapat dukungan dari beberapa

    186Rahmatullah, “Peran Kiai dalam Pilkada Kabupaten Pandeg- lang,” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Mahasiswa Pasca- sarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM), 2008), 15. 187Winters, Oligarchy, 15.

    180 Oligarki dan Demokrasi... pengurus Banten Communication Forum for Pesantren (Banten FSPP), sedangkan Irsjad Djuwaeli mengandalkan dukungan dari Mathla’ul Anwar dan Kiai Khozinul Asror dari NU.188 Persaingan pun cukup sengit untuk mendapatkan duku- ngan kiai. Atut Chosiyah gagal mengamankan kesepakatan duku- ngan dari kiai karena anggota-anggota dari Banten FSPP menolak untuk mendukung Atut dan lebih memilih untuk tetap netral. Faktanya, bagaimanapun, beberapa anggota senior dari organisasi tersebut mendukung Zulkieflimansyah dan Tryana Sjam’un. Me- respons penolakan dukungan dari FSPP, tim kampanye Atut Chosiyah mendirikan Forum Komunikasi Pesantren Salafi (FSPPS) dan akhirnya memenangkan pemilu. Pada 2007, gubernur baru mengalokasikan anggaran senilai Rp750 juta per tahun untuk pesantren, yang sebelumnya sudah disalurkan melalui FSPP.189 Menurut Hamid, dukungan dari kiai menjadi faktor pen- ting bagi para politikus dalam memenangkan pemilu dan Pilkada. Para politikus memanfaatkan kekuasaan mobiliasi190 kiai untuk mendapatkan dukungan masyarakat lokal, sementara kiai menggu- nakan kompetisi politik untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang dalam kategori oligarki disebut sebagai kekuasaan mate- rial.191 Keuntungan ekonomi bagi kiai bermakna semakin kuatnya cengkraman kekuasaan material192 para politikus atas kiai. Per- mintaan yang sesuai dengan suplai, politikus dan kiai sama-sama aktif dalam melakukan pendekatan satu sama lain. La Ode Asrarudin dari Golkar menyatakan bahwa politikus yang piawai dalam kalkulasi secara tepat, kiai akan melakukan pendekatan kepada mereka. Politikus memilih kiai dari Majelis Taklim karena jamaah mereka tinggal di Banten. Sementara itu, kiai pesantren tidak selalu menjadi target karena banyak santri mereka yang

    188Hamid, “Kiai in Banten,” 434. 189Hamid, “Kiai in Banten,” 434. 190Winters, Oligarchy, 15. 191Winters, Oligarchy, 18. 192Winters, Oligarchy, 18. Ahmad Munjin 181 berasal dari luar Banten sehingga tidak memiliki hak suara dalam suksesi kepemimpinan di Banten.193 Itulah kenyataan bagaimana kiai pascaera Orde Baru yang berhenti menjadi broker budaya atau pembangkit perubahan sosial, dan berubah haluan menjadi broker politik. Kondisi ini terutama karena pesantren dan kiai lemah secara ekonomi. Jumlah santri yang belajar di pesantren, khususnya pesantren Salafi me- ngalami penurunan. Mereka tidak bisa bersaing dengan pendidikan modern yang memberikan pengetahuan dan kecakapan yang dibutuhkan dalam kehidupan modern. Akibatnya, pesantren men- jadi punya ketergantungan sebagai institusi pendidikan, baik dalam pengertian kurikulum maupun pendanaan mereka.194

    2. Kekuasaan Mobilisasi Kiai sebagai Makelar Politik Karena merelakan diri berada dalam bayang-bayang kekuasaan material para politikus demi keuntungan ekonomi, kiai menjadi lebih pragmatis secara terbuka, terutama dalam urusan politik. Menurut Tb. Iman Ariyadi, pemilihan kepala daerah secara langsung memberikan legitimasi yang kuat sebagai pialang politik (political broker), bahkan memanfaatkan status tersebut bagi kepentingan yang bersifat sosial-keagamaan ataupun pribadi. Dengan aktifnya kiai dalam politik, seperti pemberian dukungan terhadap kandidat atau partai, memberikan keuntungan secara finansial terhadap diri kiai dan pesantren atau organisasi sosial yang dipimpinnya.195Pada pemilu 2004, Kiai KA, seorang pim- pinan NU di Pandeglang, menyarankan kepada seorang kandidat bagi DPRD bahwa dia mendapatkan persetujuan dari 40 kiai terkemuka di Pandeglang dan memobilisasi dukungan politik me- reka yang disimbolkan dengan sebuah doa bersama. Kandidat tersebut melakukan saran tersebut, menyiapkan keperluan yang dibutuhkan, dan mengundang banyak orang. Sebelum doa bersama

    193Hamid, “Kiai in Banten,” 434-35. 194Hamid, “Kiai in Banten,” 435. 195Tb. Iman Ariyadi, “Kiai dan Jawara dalam Politik Banten,” Gatra, 6 November 2013,25.

    182 Oligarki dan Demokrasi... dimulai, Kiai KA memohon kepada calon legislatif bahwa dia dan empat puluh kiai dibayar kembali atas jasanya. Hal ini membi- ngungkan calon karena mereka tidak membicarakan soal uang sebelumnya. Bagaimanapun, karena mereka terlanjur mengirimkan undangan dan media sudah memberitakan agenda tersebut, kandi- dat memenuhi permintaan Kiai KA setelah negosiasi tertentu. Doa bersama dilakukan terlebih dahulu.196 Dua pekan kemudian, kandidat tersebut tertegun melihat kandidat DPRD lain mengadakan kegiatan serupa, doa bersama dengan jumlah masa yang lebih besar tapi dengan kiai yang sama. Kandidat tersebut pun berkesimpulan bahwa Kiai KA tidak lebih dari event organizer yang mengadakan doa bersama demi uang, tanpa benar-benar menawarkan dukungan politik. Muchtar Man- dala, seorang kandidat yang didukung oleh PKB, memiliki penga- laman dengan kejadian yang hampir mirip dengan kiai yang sama ketika dia maju sebagai calon gubernur Banten. Kiai KA, seorang yang sering berkunjung, menunjukkan dukungannya kepada Muchtar Mandala. Akan tetapi, Muchtar menyadari bahwa kiai tersebut sudah melakukan pendekatan kepada Kiai Muhtadi Dim- yati, seorang anggota PKB yang lain, dan kandidat lain, sementara masih merencanakan untuk memeras uang Muchtar Mandala. Kiai KA dan kandidat lain tidak menyadari bahwa Kiai Muhtadi Dimyati merupakan pendukung utama Muchtar Mandala.197 Kemakelaran kiai, menurut Hamid, tidak jauh berbeda dengan pengalaman pada pemilihan presiden 2004, sejak arahan dari ketua umum Golkar, Akbar Tanjung, tentang Koalisi Nasio- nal bagi para Pimpinan dan Kader Golkar Banten di Pandeglang pada 21 Agustus 2004. KH Ujang Rapiudin, seorang tokoh agamalokal, berbicara blak-blakan tentang uang sebelum menutup acara dengan doa. “Masyarakat tidak membutuhkan kaos atau foto kandidat; yang terpenting adalah amplop berisi uang.”198 Pernya- taan KH. Ujang Rapiudin tersebut jelas menunjukkan betapa

    196Hamid, “Kiai in Banten,” 435. 197Hamid, “Kiai in Banten,” 435-36. 198Hamid, “Kiai in Banten,” 436. Ahmad Munjin 183 lemahnya sumber daya kekuasaan elite yang dimiliki kiai di hada- pan sumber daya kekuasaan material yang melekat pada partai Golkar. Meskipun, sumber daya kekuasan material199 Golkar dalam konteks kampanye merupakan bagian kecil dari kekuasaan oligarkis yang menguasai partai berlambang beringin tersebut. Lebih jauh Hamid menjelaskan, para pejabat pemerintah daerah juga paham bahwa mereka harus memberikan pendanaan kepada kiai dan harus menjalin hubungan yang baik dengan me- reka agar pekerjaan mereka berjalan mulus. Hamid mencontohkan, direktur sebuah lembaga Pemda Banten, setiap saat dan seterus- nya memberikan pendanaan proyek (di bawah Rp50 juta) kepada seroang kiai terkemuka tanpa melalui prosedur penawaran terbuka.200 Menurut Hamid, masyarakat melihat kecenderungan ini dengan sangat sinis. “Di masa lalu, pemerintah mendekati kiai, tapi sekarang kiai mendekati pemerintah”201 “Di masa lampau, Banten merupakan tempat bagi ribuan kiai dan jutaan santri, tapi sekarang, kiai mendapatkan jutaan [rupiah dari politikus dan pemerintah] dan santri mendapatkan ribuan [rupiah dari kiai].”202 Pada saat yang sama, kiai juga melihat kekuasaan mereka juga secara sinis. Menyadari lemahnya posisi mereka, para kiai menganalogikan diri mereka, menurut Abdul Hamid, sebagai “janur kuning”—semata dekorasi untuk menandakan meriahnya sebuah pesta tapi dilupakan dan bahkan dibuang sesaat setelah pesta usai. Kiai dengan kekuasaan mobilisasi203 melalui kharisma- nya telah dimanfaatkan oleh para aktor politik untuk memberikan legitimasi bagi kelompok tertentu, tapi segera dilupakan sesaat pemilu selesai.204

    199Winters, Oligarchy, 18. 200Hamid, “Kiai in Banten,” 436. 201Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LKIS, 2003). 202Hamid, “Kiai in Banten,” 436. 203Winters, Oligarchy, 15. 204Hamid, “Kiai in Banten,” 436-437.

    184 Oligarki dan Demokrasi...

    Apakah dukungan dari kiai menjamin dukungan dari masyarakat? Pada praktiknya, para politikus mengakui bahwa dukungan dari kiai tidak sesignifikan seperti yang diharapkan. Zulkieflimansyah mengadakan kegiatan di mana ribuan ulama yang merepresentasikan kekuasaan mobilisasi205mendeklarasikan dukungan mereka bagi pencalonannya untuk gubernur Banten di Lebak. Kenyataannya, dia hanya mendapatkan persentase suara yang tidak signifikan di Lebak.206 Satkar Ulama dan FSPPS menawarkan dukungan meraka bagi Atut Chosiyah. Akan tetapi, ini juga dianggap tidak signifi- kan dibandingkan dengan dukungan kekuasaan mobilisasi,207 kekuasaan material,208 dan dalam konteks tertentu kekuasaan koersif209 dari keluarga dan jawara di bawah kekuasaan ayahnya Chasan Sochib. Kiai yang mengikuti kegiatan para politikus mungkin percaya bahwa partisipasi mereka tidak berarti dukungan sepenuhnya. Pada kenyataannya pun kondisi ini tidak jarang bah- wa kiai membingungkan anggota masyarakat mereka dengan menunjukkan loyalitas melalui kekuasaan mobilisasinya210 itu kepada lebih dari satu kandidat demi mendapatkan dukungan materi.211 Menurut juru bicara keluarga Ratu Atut Chosiyah, Fitron Nur Ikhsan, dukungan dari kiai jauh lebih penting dalam membangun citra sebagai seorang Muslim yang baik dibandingkan dukungan suara riil. Fitron berasumsi, bahwa di Banten, hubungan dekat dengan kiai memiliki konotasi yang positif.212 Meski begitu, tetap faktornya utamanya adalah mengguri- tanya sumber daya ekonomi yang dimiliki klan Ratu Atut Chosi- yah. Termasuk para kiai yang dimobilisasi oleh kekuatan logistik

    205Winters, Oligarchy, 15. 206Hamid, “Kiai in Banten,” 437. 207Winters, Oligarchy, 15. 208Winters, Oligarchy, 18. 209Winters, Oligarchy, 15. 210Winters, Oligarchy, 18. 211Hamid, “Kiai in Banten,” 437. 212Hamid, “Kiai in Banten,” 437. Ahmad Munjin 185 mereka. Ada gula, ada semut. Terutama, yang dekat dengan kelompok jawara, yaknikiai-kiai pragmatis, bukan kiai khos yang kharismatik.Di Banten, kiai-kiai khos seperti di Jawa Timur sudah berkurang. Jawa Timur punya kiai yang menjadi panutan. Dulu Banten juga punya kiai khos, seperti Abuya Dimyati. Sepeninggal Abuya Dimyati tidak ada lagi kiai yang menjadi center. Tidak ada kiai yang menjadi pusat rujukanyang dituruti oleh semua kiai. Sekarang, masing-masing kiai punya pandangan politik yang berbeda-beda karena terfragmentasi. Kiai punya otoritas kekuasa- annya sendiri. Sebagian, bahkan menjadi korban politicalbuying. Disertasi Iman Ariyadi di Universitas Indonesia menunjukkan beberapa kiai yang juga pragmatis mendukung Ratu Atut Chosi- yah pada Pilgub 2011.213 Saat Ratu Atut Chosiyah masih menjadi gubernur, kiai- kiai yang dulu membantu dalam pemenangan pemilihan gubernur, mendapat fasilitas umrah. Dengan cara ini, Ratu Atut Chosiyah dan klannya merajai semua lapisan masyarakat. Kiai, jawara, dan LSM dikooptasi. Dinasti ini dinilai sangat sempurna dibandingkan dinasti di provinsi lain. Sebab, melibatkan berbagai macam pihak dan logistik. Pihak LSM menilai sangat tidak beretika ketika kemudian para kiai diseret-seret ke dalam ranah politik praktis untuk kepentingan mereka. Mereka mendatangi para kiai dan tentu para kiai menerima dengan tangan terbuka. Akan tetapi, bukan berarti kiai yang datang kepada mereka. Kiai yang loyal sering muncul mendampingi Andika Hazrumy saat pencalonan wakil gubernur di 2017. Dalam konteks ini, terdapat kiai yang loyal kepada dinasti tapi ada juga yang tidak loyal.214 Haji Embay Mulya Syarieftermasuk kiai yang tidak loyal dan keras kepada dinasti. Dia tokoh agama karena berpredikat sebagai ulama tapi anti terhadap dinasti Atut Chosiyah. Padahal, dia masih memiliki hubungan keluarga dengan Tb. Chasan Sochib.

    213Tb. Iman Ariyadi, “Peran Kiai dalam Pemilihan Gubernur Provinsi Banten 2011” (Disertasi doktor Unitversitas Indonesia, 2014). 214Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.

    186 Oligarki dan Demokrasi...

    Jadi, tidak semua kiai terkooptasi oleh Tb. Chasan Sochib dan klannya.Di awal-awal, Embay juga memang merupakan kaki tangan Tb. Chasan Sochib dan terlibat banyak proyeknya. Akan tetapi, setelah melihat gejalanya tidak sehat seperti terjadi korupsi luar biasa di era Sochib, Embay mundur dan jelas terang-terangan melawan dinasti. Perlawanan ini dibuktikan ketikda dia menjadi calon wakil gubenur berpasangan dengan pada Pilgub 2017 untuk melawan dinasti, meski pada akhirnya kalah. Perlawa- nan itu sudah lama dilakukan.215 Selain perlawanan dari Embay, ada juga kiai lain yang justru militan dan bahkan mengharamkan perempuan menjadi imam (gubernur).216 Dengan demikian, tidak semua kiai masuk pada dunia politik di mana kiai melakukan barter kekuasaan mobilisasinya dengan kekuasaan material217 para politikus dari klan Ratu Atut Chosiyah. Menurut Hamid, Kiai Munfasir di Ciomas adalah salah satu kiai di Banten yang tetap tidak tertarik dengan politik. Dia tinggal di sebuah kehidupan yang terisolasi dari pengaruh hiruk-pikuk kepentingan politik dengan berbagai sumber daya kekuasaannya baik sebagai elite maupun oligarki. Kiai ini terisolasi di pesantrennya, Cipulus, Ciomas, Banten. Pesantrennya merupakan rumah bagi sedikit santri saja. Mereka yang berminat belajar di situ tidak diizinkan memakan apapun dari luar pesantren. Mereka cukup makan nasi, ikan, dan buah- buahan seperti pisang dan papaya yang tumbuh di pesantren tersebut.218

    215Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 216Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 217Winters, Oligarchy, 18. 218Hamid, “Kiai in Banten,” 437. Ahmad Munjin 187

    Beberapa kiai dengan kekuasaan mobilisasinya219 justru mendirikan kelompok radikal, menolak partisipasi politik dalam gaya demokratis. Di antara mereka adalah Front Hizbullah yang didirikan oleh KH Cecep Bustomi dari Pandeglang. Tujuan dari kelompok tersebut adalah mengimplementasikan syariat Islam dan melawan semua bentuk perbuatan jahat. Front Hizbullah menerap- kan metode radikal dalam mencapai tujuan-tujuannya. Kelompok ini mendorong anggota-anggotanya untuk menggunakan kekuasa- an koersif220 dan mobilisasinya221 untuk menghancurkan atau mengganggu apapun yang mereka pikir terkontaminasi elemen- elemen kejahatan. Kategori elemen kejahatan termasuk beberapa bentuk hiburan yang ditampilkan pada acara pernikahan ataupun khitanan. Para anggota secara aktif terlibat dalam aksi-aksi des- truktif pada 1999 dan 2000. Akan tetapi, aktivitas mereka menjadi lemah setelah meninggalnya Kiai Cecep Bustomi karena temba- kan dari penyerang tak dikenal pada 24 Juli 2000, sebagai akibat dari konflik kelompoknya dengan Kopassus.222 Kasus lain bahwa kiai terlibat kekerasan sebagai represen- tasi kekuasaan koersif223 adalah pengepungan masa terhadap gedung Koran Banten Daily yang dipimpin oleh Kiai Aminuddin, pimpinan cabang PKB Provinsi Banten. Mereka memprotes atas sebuah foto yang tercetak dalam koran tersebut menunjukkan de- monstran membawa sebuah karikatur Abdurrahman Wahid (presi- den saat itu). Isu tersebut kemudian teratasi dengan intervensi melalui kekuasaan jabatan resmi224 dari Hakamuddin Jamal, penjabat gubernur Banten saat itu.225 Menurut Hamid, dua kasus tersebut tampaknya, bagaima- napun, bukan mainstream melainkan pengecualian. Jarang terjadi

    219Winters, Oligarchy, 15. 220Winters, Oligarchy, 15. 221Winters, Oligarchy, 15. 222Hamid, “Kiai in Banten,” 437-38. 223Winters, Oligarchy, 15. 224Winters, Oligarchy, 13-14. 225Hamid, “Kiai in Banten,” 438.

    188 Oligarki dan Demokrasi... konflik kekerasan yang berhubungan dengan Islam di Banten, meskipun muncul radikalisme agama di Indonesia pada era pasca- Soeharto secara umum.226 Yang jelas, kiai semakin pragmatis se- cara politik sehingga kekuasaan mobilisasi227 mereka terkooptasi oleh kekuasaan material228 para politikus. Akibatnya, kekuasaan kiai yang dengan kekuasaan mobilisasi mereka menggunakan pengaruh politiknya terhadap masyarakat, mengalami perubahan. Kekuasaan mereka sebagai broker kultural pada periode penjaja- han berubah menjadi broker politik pada era Suharto, dan akhirnya meminjam istilah Abdul Hamid, berperan sebagai ‘janur kuning’ pada era reformasi. Kiai coba memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan “menjual” masyarakat yang mereka klaim punya pengaruh kepada mereka melalui kekuasaan mobilisasinya. Namun demiki- an, lanjut Hamid, mereka sebenarnya memegang daya tawar (bargaining position) yang lemah baik bagi para politikus maupun partai-partai politik.229 Abdul Hamid menegaskan kiai di Banten tidak mampu memengaruhi hasil pemilihan secara signifikan. Mereka hanya “janur kuning” tanpa kharisma yang diabaikan pascapemilihan. Di mata masyarakat, kiai yang terlibat politik tidak lagi menjadi pa- nutan (role model) yang harus diikuti sehingga menggerus kekua- saan mobilisasinya.230 Di mata para politikus pun, memanfaatkan kiai untuk dukungan tidak lagi menjadi jaminan dengan hasil yang memuaskan. Di mata kiai, menerima bantuan materi (kekuasaan material)231 dalam politik praktis mencerminkan tidak lebih dari- pada sebuah kesadaran dari kekuasaan mereka sebagai “janur kuning.” Itulah kekuasaan politik kiai di Banten sekarang ini, tidak kurang dan tidak lebih.232

    226Hamid, “Kiai in Banten,” 438. 227Winters, Oligarchy, 15. 228Winters, Oligarchy, 18. 229Hamid, “Kiai in Banten,” 440 230Winters, Oligarchy, 15. 231Winters, Oligarchy, 18. 232Hamid, “Kiai in Banten,” 440 Ahmad Munjin 189

    Di atas semua itu, jelas terlihat bahwa pada mulanya kiai merupakan agen kultural dengan kekuasaan mobilisasinya yang dominan sebagai individu kharismatik pada era revolusi. Kekua- saan tersebut mulai pudar pada era Orde Baru karena rongrongan kekuasaan material dan represif dari rezim yang justru mengikis kekuasaan mobilisasi kiai. Kondisi itu berlanjut hingga era reformasi sehingga para kiai terjebak pada politik praktis dengan ‘menjual’ klaim atas sisa-sisa kharisma yang menjadi modal kekuasaan mobilisasi mereka.

    3. Penguatan Jawara dengan Kekuasaan Oligarkis Pada era reformasi, khususnya setelah Banten menjadi sebuah provinsi pada tahun 2000, menurut Hamid, kekuatan poli- tik yang riil telah berpindah dari kiai ke jawara.233 Kekuasaan oligarkis234 mengejawantah dalam kekuatan politik jawara terse- but. Sebab, kekuatan politik jawara pada era Reformasi tidaklah muncul sebagai jawara tulen melainkan jawara yang baru, yakni jawara-pengusaha yang benih-benihnya tumbuh sejak era Orde Baru. Kepengusahaan jawara inilah yang melandasi kategorinya sebagai oligarki karena basis kekuasaanya ditopang oleh kekayaan di mana kekuatan materialnya itu sudah bertambah besar di bawah rezim Orde Baru. Pemerintah Orde Baru mendirikan Satkar Jawara pada 1972 (yang akhir 1973 berubah menjadi PPPSBBI) di Batuku- wung, Serang sebagai sebuah organisasi yang otonom di dalam Golkar untuk mendukung potensi Jawara di Banten. Pemerintah berharap jawara bertindak sebagai pemimpin informal bagi masya- rakat lokal. H. Tubagus Chasan Sochib memimpin Satkar Jawara sejak pendiriannya.235 Dalam waktu singkat, Chasan Sochib men- jadi tokoh jawara yang dominan baik dalam pengertian elite mau- pun sebagai oligark.

    233Hamid, “Kiai in Banten,” 438. 234Winters, Oligarchy, 18. 235Hamid, “Kiai in Banten,” 438.

    190 Oligarki dan Demokrasi...

    Seiring bergulirnya reformasi, Chasan Sochib mampu mentransformasikan dirinya ke dalam struktur politik dan ekono- mi yang baru. Padahal, kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, bagai- mana pun, mengubah sistem pemerintahan informal ini. Sochib yang merupakan produk Orde Baru pun sejatinya terancam.236 Akan tetapi, meminjam kerangka teoretis Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Chasan Sochib adalah the old predator237 yang mampu mengorganisasi kekuasaannya sehingga dia bertahan dari gerusan arus perubahan reformasi. Chasan Sochib mampu menjel- ma menjadi the new predator yang menguasai arena politik, ekonomi, sosial-budaya di Banten. Dalam kasus Banten, Chasan Sochib pada era Reformasi bahkan jauh lebih berkuasa diban- dingkan era Orde Baru.238 Padahal, pada awal perubahan provinsi Banten, Chasan Sochib sinis melihat gerakan dari sejumlah pihak yang menuntut Banten menjadi provinsi baru. Sochib khawatir perubahan terse- but akan mengancam keberlangsungan relasi bisnis yang menjadi basis kekuasaan material239 dan politiknya dengan pejabat di pro- vinsi Jawa Barat. Teguh Iman Prasetya, dosen FISIP Universitas Tirtayasa, Boyke (tokoh Banten), Nina Lubis, sejarawan dari Bandung, dalam diskusi di Hotel Mahadria, Serang, pernah diancam golok yang merepresentasikan kekuasaan koersif240 oleh Chasan agar tidak mendukung pembentukan provinsi Banten.241 Akan tetapi, seiring membesarnya arus gerakan pembentukan provinsi Banten, sikap Sochib segera berbalik dan berperan aktif

    236Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 118-19. 237Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market (London dan New York: Routledge Curzon, 2004), 223. 238Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan Sochib.” 239Winters, Oligarchy, 18. 240Winters, Oligarchy, 15. 241Asrori S. Karni dan Gandi Achmad, “Ujung Tanduk Dinasti Atut,” Gatra, 16 Oktober 2013, 26. Ahmad Munjin 191 dalam pembentukan Banten sebagai provinsi baru yang terpisah dari Jawa Barat. Belakangan, perubahan sikap Sochib tersebut jus- tru menyelamatkan masa depan bisnis dan politiknya di Banten. Bisnis itulah yang sebenarnya telah mengantar Sochib masuk ke dalam kelompok orang terkaya di Banten dan mende- finisikan dia sebagai seorang oligark sultanistik.242 Namun demi- kian, tidak ada data resmi yang menunjukkan berapa total keka- yaan Sochib secara pribadi yang menggurita tersebut. Data tersebut baru bisa terlacak pada total kekayaan beberapa anggota keluarga besarnya yang menempati jabatan publik, yakni melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar harta kekayaan diklaim anggota keluarga besarnya sebagai warisan dari Sochib.243 Dengan sumber daya kekuasaan materialnya, Sochib membantu gerakan pemekaran dan mendapatkan pengakuan seba- gai salah satu tokoh pembentukan provinsi Banten.244 Pengakuan tersebut merupakan hasil dari pengorbanan kekuasaan material245 yang bebuah kekuasaan jabatan resmi246 yang disematkan oleh masyarakat secara tidak langsung, yakni sebagai tokoh pemben- tukan provinsi baru. Setelah Banten menjadi provinsi, Sochib lebih agresif menyusun kekuatan politiknya. Pada masa Orde Baru, Sochib hanya bertindak sebagai mitra kapitalis yang sangat bergantung pada koneksi dengan pejabat sipil dan militer tetapi tidak aktif dalam merancang siapa yang berkuasa atas politik Jawa Barat. Dengan adanya struktur politik baru pascapembentukan

    242Winters, Oligarchy, 35. 243Rakhmatulloh, “Harta Berlimpah, Keluarga Atut Klaim Wari- san Ayahnya,” Sindonews.com, Sabtu, 12 Oktober 2013, diakses pada Kamis, 3 November 2016, http://nasional.sindonews.com/read/793800/ 13/harta-berlimpah-keluarga-atut-klaim-warisan-ayahnya-1381564726. 244Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan Sochib.” 245Winters, Oligarchy, 18. 246Winters, Oligarchy, 13-14.

    192 Oligarki dan Demokrasi... provinsi Banten, Sochib pun bertindak secara aktif menentukan siapa yang menjadi penguasa di Banten.247 Tindakannya ini juga mencirikan dia sebagai oligark sultanistik248 karena Sochib me- ngendalikan oligark-oligark lain. Bermula dari upaya memajukan anaknya Ratu Atut Chosi- yah sebagai calon wakil gubernur pada 2001 dan sukes meme- nangkannya, Chasan Sochib sukses merancang anggota keluarga besarnya untuk terlibat aktif di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sochib memang tidak memegang jabatan publik, teta- pi sebagaimana pengakuan dirinya, dia adalah “gubernur jenderal” yang menunjukkan bahwa dia adalah penguasa sesungguhnya di Banten.249 Dengan kekuasaan mobilisasinya250 sebagai tokoh jawara, dia kemudian berusaha mengontrol Satkar Ulama. Meski Chasan Sochib bukanlah seorang kiai, Sochib memenangkan pemilihan ketua Satkar Ulama dalam kongres nasional pada tahun 2000, mengalahkan Kiai Salman Al Faris pada pemungutan suara puta- ran kedua. Kiai Salman menduga bahwa jawara melakukan inter- vensi dengan mengganti suara pada kongres tersebut. Kondisi ini, menurut Hamid, merupakan paradoks yang ironis. Sebab, dalam fakta yang terang, secara historis jawara merupakan murid atau bahkan pelayan bagi kiai.251 Nasib serupa terjadi dengan Satkar Ulama Cabang Banten. Kiai Syahrir Abror, seorang mantan Satpam salah satu perusahaan di Cilegon, mengambil alih jabatan ketua cabang dari Kiai Subroni Mansyur pada 2002. Kiai Syahrir bukan berasal dari lingkaran pesantren, dan dilaporkan dia tidak bisa menulis bahasa Arab

    247Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan Sochib.” 248Winters, Oligarchy, 35. 249Okamoto Masaaki, “Local Politics in Decentralized Indone- sia: The Governor General of Banten Province,” IIAS Newsletter 34 (Juli 2004): 23. 250Winters, Oligarchy, 15. 251Hamid, “Kiai in Banten,” 438-39. Ahmad Munjin 193 dengan benar. Namun demikian, dia memainkan kekuasaan pen- ting sebagai broker politik dan berkontribusi pada kemenangan Atut Chosiyah pada pemilihan gubernur 2006 dengan kekuasaan mobilisasinya. Salah satu bukti konkretnya adalah Satkar Ulama Cabang Banten yang mengadakan doa bersama dengan ribuan ulama (kekuasaan mobilisasi) untuk mendoakan kemenangan Atut Chosiyah dalam pemilihan.252 Dari sisi kekayaannya, Sochib jelas memiliki sumber daya kekuasaan material253 yang mumpuni. Dari sisi koordinasinya terhadap para jawara, Sohib juga memiliki kekuasaan mobili- sasi.254 Dua sumber daya kekuasaan tersebut (material dan mobili- sasi) digunakan Sochib secara berkelindan dan seringkali diwarnai dengan sumber daya kekuasaan lain, yakni kekuasaan koersif255 sebagai karakteristik kejawaraannya. Salah satu bukti bahwa Sochib menggunakan kekuasaan koersifnya adalah kasus ‘pemera- san proyek’. Menurut Syarif Hidayat, kasus tersebut berakar pada praktik-praktik monopolistik dalam eksekusi proyek-proyek infrastruktur fisik milik pemerintah provinsi Banten selama tahun fiskal 2003.256

    252Hamid, “Kiai in Banten,” 439. 253Winters, Oligarchy, 18. 254Winters, Oligarchy, 15. 255Winters, Oligarchy, 15. 256Mengacu pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Instansi Pemerintah khususnya pada pasal 12 ayat 2, pengadaan ba- rang/jasa pemborongan dan jasa lainnya dilaksanakan melalui: (a) Pelela- ngan, yaitu serangkaian kegiatan untuk menyediakan kebutuhan barang/ jasa dengan cara menciptakan persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat, berdasarkan metode dan tata cara tertentu yang telah ditetapkan dan diikuti oleh pihak-pihak yang terkait secara taat azas sehingga terpilih penyedia jasa terbaik; (b) Pemilihan langsung, yaitu jika cara pelelangan sulit dilaksanakan atau tidak menjamin pencapaian sasaran, dilaksanakan dengan cara memban- dingkan penawaran dari beberapa penyedia barang/jasa yang memenuhi syarat melalui permintaan harga ulang (price quotation) atau permintaan

    194 Oligarki dan Demokrasi...

    Berdasarkan Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Banten, dike- tahui bahwa nilai total dari anggaran konstruksi Banten tahun fiskal 2003 baik yang berasal dari APBD maupun dari APBN, sekitar Rp35 miliar. Dari anggaran tersebut, pemerintah provinsi Banten mendanai beberapa proyek pembangunan fisik dan non- fisik. Menurut Syarif Hidayat, dalam pengertian formal, hampir semua proyek pembangunan pemerintah provinsi Banten selama tahun fiskal 2003 dilaksanakan melalui tender. Akan tetapi, keba- nyakan dari tender-tender tersebut semata formalitas untuk memenuhi prosedur administratif. Pada kenyataannya, lanjut dia, pemenang tender sudah ditentukan sebelumnya. Chasan Sochib dengan kekuasaan mobilisasi257 dan materialnya258 memainkan peran penting dalam memengaruhi panitia tender dan tokoh penting lain. Modus operandinya bermacam-macam mulai dari lobi-lobi informal yang merepresentasikan kekuasaan mobilisasi- nya259 dengan pejabat-pejabat lokal dan distribusi amplop (suap) yang merepresentasikan kekuasaan materialnya260 hingga intimi- dasi fisik yang merepresentasikan kekuasaan koersifnya.261 Namun demikian, Syarif Hidayat mengaku kesulitan untuk mengetahui nilai persis dari proyek-proyek yang dikelola langsung oleh Chasan Sochib262 yang mengambarkan seberapa besar kekuasaan materialnya.263 Sebab, Sochib memiliki perusahaan-perusaan yang

    teknis dan harga serta dilakukan negosiasi secara bersaing, baik dila- kukan untuk teknis maupun harga, sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Lihat juga Hidayat, “Shadow State,” 218. 257Winters, Oligarchy, 15. 258Winters, Oligarchy, 18. 259Winters, Oligarchy, 15. 260Winters, Oligarchy, 18. 261Winters, Oligarchy, 15. 262Hidayat, “Shadow State,” 219. 263Winters, Oligarchy, 18. Ahmad Munjin 195 terdaftar tidak atas nama dirinya, bahkan seringkali menggunakan perusahaan-perusahaan lain yang bukan miliknya sebagai strategi untuk memenangkan tender. Meski tidak terdaftar atas nama dirinya, Chasan Sochib tetap yang paling berkepentingan dalam proyek-proyek konstruksi fisik.264 Strategi itu telah mengantarkan Chasan Sochib menjadi salah satu di antara pengusaha kelas atas dalam sektor konstruksi. Inilah yang sangat mengutungkannya sehingga mendefinisikan dirinya sebagai oligark. Pada 2003, Syarif Hidayat mencatat, nilai total dari pem- bangunan fisik dan/atau proyek-proyek konstruksi mencapai kisa- ran Rp18 miliar. Angka ini merupakan 51,4% dari anggaran pembangunan total provinsi Banten pada tahun tersebut. Sebagian besar dari proyek-proyek tersebut terkonsentrasi pada enam lembaga yang melaksanakan proyek-proyek pemda. Keenam lem- baga tersebut adalah Dinas Bina Marga (konstruksi dan pemeliha- raan jalan dan jalan raya sekitar Rp3 miliar; Dinas Cipta Karya (perumahan, gedung, dan pembangunan perkotaan, sekitar Rp4 miliar); Perbaikan irigasi (sekitar Rp2,5 miliar); pelayanan keseha- tan (sekitar Rp4,6 miliar); dan biro peralatan (sekitar Rp2 miliar).265 Lebih jauh Syarif Hidayat menengarai, Chasan Sochib menggunakan kekuasaan koersifnya dengan membebankan biaya tambahan kepada para pesaingnya dalam tender. Untuk proyek yang tidak dilakukan oleh Sochib sendiri atau tidak dialokasikan untuk pelaku usaha di kelompoknya, biaya proyek dikenakan 10% sampai 11% dari nilai proyek. Persentase biaya proyek itu, berda- sarkan kategori kegiatan dan sumber pendanaan, dapat dilihat pada Tabel 3.5. berikut ini:

    264Hidayat, “Shadow State,” 219. 265Hidayat, “Shadow State,” 219-20.

    196 Oligarki dan Demokrasi...

    Tabel 3.5. Biaya Proyek Berdasarkan Kategori Aktivitas dan Sumber Pendanaan Biaya Proyek Berdasarkan No Klasifikasi Proyek Sumber Pendanaan (%) APDB APBN Proyek Jalan dan Jalan 1 10 11 Tol 2 Proyek Irigasi 11 11 Proyek Konstruksi 3 10 10 Gedung Proyek Pengadaan 4 10 10 Barang Sumber: Dikutip dari surat edaran yang dikirim pada 12 April 2002 kepada seorang operator bisnis yang pernah menjalankan pro- yek dengan klasifikasi K-1.266

    Fitron Nur Ikhsan, Juru bicara keluarga Ratu Atut Chosiah menjelaskan konteks biaya tambahan tersebut. Menurut Fitron, biaya tersebut merupakan bagi hasil. Sebab, selain strategi pem- berdayaan untuk banyak orang, Tb. Chasan Sochib juga mengka- der banyak orang. Oleh karena itu, tidak ada pembedaan antara pengusaha kelompok Sochib dan di luar kelompok. Semua pengu- saha yang ikut tender dipastikan merupakan kader dari Tb. Chasan Sochib. Sebagai tokoh pengusaha dan ketua Kadin, Tb. Chasan Sochib banyak membantu orang yang mau belajar berusaha dan mendirikan perusahaan bahkan dari awal atau nol. Dia juga membantu proses pengadaan langsung (PL)267 kadernya. Yang

    266Proyek dengan klasifikasi K-1 adalah kualifikasi dari usaha kecil milik pelaksana konstruksi yang mensyaratkan kekayaan bersih le- bih dari Rp50 juta sampai dengan Rp200 juta. Lihat juga Hidayat, “Sha- dow State,” 219-20. 267Menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 pasal 1Angka 32, Pengadaan Langsung (PL) adalah pengadaanbarang/ jasa langsung kepada penyedia barang/jasa, tanpa melalui pelelangan/se- leksi/ penunjukan langsung. Bedakan dengan angka 31, bahwa Penunju- Ahmad Munjin 197 tidak memiliki modal, diberikan modal; yang tidak bisa mencari proyek, tidak perlu khawatir, dicarikan proyek; dan yang tidak bisa mengerjakan proyek, diajarkan sampai bisa mengerjakan proyek. Setelah jadi dan bisa menjalankan perusahaannya, kader tersebut mendapatkan pekerjaan untuk melaksanakan proyek milik Tb. Chasan Sochib. Akan tetapi, nanti keuntungannya akan diba- gi. Oleh karena itu, tak perlu punya perusahaan pun, dia punya banyak uang. Sebab, keuntungan dari orang-orang yang dibantu dan dikader itu kemudian disetor sebagian kepada Tb. Chasan Sochib sebagai bagi hasil. Itulah yang kemudian diasosiasikan dalam banyak riset sebagai setoran. Padahal itu sebenarnya meru- pakan bagi hasil. Meskipun, konsekuensinya Chasan Sochib pada akhirnya memonopoli dunia usaha.268 Setoran tersebut juga dinilai oleh pihak BPS Provinsi Banten sebagai biaya ekonomi tinggi.269 Memang, secara perusahaan bisa saja bukanlah milik Tb. Chasan Sochib dan semua orang Banten bisa mengikuti tender. Akan tetapi, jika seorang pengusaha mendapatkan proyek dan keuntungan, harus dibagi dengan Tb. Chasan Sochib. Sebab, Sochib juga ikut memodalinya dan mengajarinya dari pemula. kan Langsung adalah metode pemilihan Penyedia Barang/Jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa; dan angka 26 yang menyebutkan bahwa Pemilihan Langsung adalah metode pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi untuk pekerjaan yang bernilai paling tinggi Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Salah satu upaya perce- patan penyerapan anggaran dalam pengadaan barang dan jasa melalui Pengadaan Langsung (PL) adalah terbitnya Perpres Nomor 70 tahun 2012 yang antara lain poin pentingnya adalah peningkatan batas nilai pengadaan langsung non konsultansi dari sampai dengan Rp100 juta menjadi Rp200 juta. 268Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 269Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera- ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017.

    198 Oligarki dan Demokrasi...

    Itulah yang terlembagakan oleh khalayak dan para pengamat seo- lah-olah menjadi setoran kepada jawara Tb. Chasan Sochib. Mungkin pada awalnya, karena Tb. Chasan Sochib merupakan seorang jawara, dalam proses tender terjadi sedikit pemaksaan dan unsur kekerasan. Akan tetapi, pada tender-tender berikutnya, prosesnya sudah mulai stabil. Akibatnya, kalau ada proses hukum pun yang menjeratnya, Tb. Chasan Sochib bahkan menjadi kehila- ngan lawan. Sebab, lawan tersebut sudah menjadi bagian dari Tb. Chasan Sochib. Jika ada 10 perusahaan yang ikut tender, bisa jadi itu merupakan perusahaannya dan milik orang-orang yang dia kader. Semua perusahaan dibina dan diajari oleh Tb. Chasan Sochib sehingga memiliki banyak kader. Kalau dia sudah domi- nan, siapa lagi yang bisa mengalahkan tendernya karena dia paling bonafid.270 Kekuasaan koersif271 dari Sochib juga mengejawantah dalam bentuk isu 'premanisme proyek'. Beberapa anggota DPRD Banten mencurigai adanya 43malpraktek dalam pengelolaan proyek-proyek pemerintah provinsi Banten. Kecurigaan pertama kali muncul dengan adanya laporan resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada Ketua DPR-RI pada tanggal 19 Februari 2003.272 Kecurigaan awal praktik premanisme proyek kemudian muncul pada tanggal 26 Agustus 2003, ketika Fraksi Amanat

    270Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 271Winters, Oligarchy, 15. 272Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, “Hasil audit mengungkapkan 14 temuan dengan nilai Rp24,207.67 juta untuk tahun anggaran 2002 (sampai Oktober), yang dikategorikan menjadi indikasi kerugian daerah atau negara sebesar Rp5,497.46 juta, tergerusnya penda- patan daerah atau negara sebesar Rp 333.330.000, pemborosan Rp10,191.02 juta, inefektivitas Rp8,09.81 juta, dan lain-lain sebesar Rp94.050.000.” Lihat audit dokumen untuk semester kedua Tahun Ang- garan 2002, halaman 1-2, BPK. Ahmad Munjin 199

    Bintang Keadilan (ABK) DPRD Provinsi Banten mengajukan Catatan Akhir Fraksi dalam menanggapi Nota Keuangan gubernur pada revisi dari APBD untuk tahun 2003.273 Meskipun naskah catatan akhir dari Fraksi ABK tidak secara eksplisit menyatakan bahwa praktik-praktik premanisme proyek telah terjadi di provinsi Banten, dan tidak secara langsung menuduh lembaga-lembaga tertentu atau aktor-aktor yang terlibat dalam konstelasi ini, pernyataan lisan dan tertulis dari Fraksi ABK ini berfungsi sebagai faktor pemantik untuk perdebatan lebih jauh mengenai isu pemerasan proyek di dalam gedung DPRD yang pada akhirnya berkembang menjadi topik yang dikonsumsi masya- rakat. Selang sehari setelah Fraksi ABK menyampaikan catatan akhirnya dalam sidang pleno DPRD Provinsi Banten, perbinca- ngan mengenai praktik-praktik pemerasan proyek meluas ke luar gedung DPRD. Polemik di media massa pun antara Chasan Sochib dan Fraksi ABK tak terelakkan lagi.274 Pada 27 Agustus 2003, Fajar Banten, harian terkemuka di Banten melansir sebuah laporan dengan headline Chasan Sochib menolak keberadaan pemerasan proyek. Chasan Sochib, dilapor- kan, mengatakan bahwa tuduhan pemerasan proyek yang dikemu-

    273Dalam menyajikan Catatan Akhir Fraksi ABK, pemimpin fraksi menyatakan, “Kami juga ingin menyampaikan terima kasih kepada semua anggota masyarakat Banten, seperti yang kita semua berbagi per- sepsi yang sama tentang premanisme proyek. Hanya dengan merobek keluar praktik menjijikkan ini dengan akar-akarnya dapat perjalanan pro- vinsi tercinta terhadap pengembangan lanjutkan seperti yang diingin- kan. Selama perilaku premanisme proyek ini terus berlanjut, tidak peduli seberapa besar anggaran yang dialokasikan untuk mengembangkan pro- vinsi kita tercinta, hasil tidak akan pernah mencapai target. Orang-orang dari Banten tidak akan pernah bisa menikmati kemajuan dan kemakmu- ran sejati. Praktik premanisme proyek ini adalah bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan memberantas mereka harus menjadi prioritas pertama dalam era reformasi ini. Hanya dengan ketulusan dan keberanian dari semua pihak akan kita dapat benar-benar menghilangkan praktek- praktek kotor.” Lihat juga Hidayat, “Shadow State,” 221. 274Hidayat, “Shadow State,” 221.

    200 Oligarki dan Demokrasi... kakan oleh Fraksi ABK merupakan fitnah. Sochib menilai pernya- taan Fraksi ABK sebagai sikap destruktif terhadap Banten dan merupakan penyimpangan dari budaya religus Banten. Menurut Sochib, dugaan tersebut sama dengan tuduhan bahwa semua pelaku bisnis di Banten adalah bersalah.275 Saat Chasan Sochib dan grupnya berusaha untuk men- ciptakan gerakan counter-opinion perihal pemerasan proyek, dukungan untuk Fraksi ABK sebagai kekuasaan mobilisasi276 terus mengalir. Di sini tampak jelas dua kekuatan beradu, yakni kekua- saan mobilisasi277 para oligark berhadapan dengan kekuasaan mobilisasi para elite. Pada 28 Agustus 2003, lima anggota dari Presidium for a Clean Community (PCC) bertandang ke DPRD Provinsi Banten untuk mendeklarasikan dukungan mereka untuk Fraksi ABK. PCC menyatakan kesiapan mereka untuk bekerja sama dengan Fraksi ABK untuk memecahkan kasus pemerasan proyek melalui jalur hukum. PCC menyarankan Fraksi ABK untuk melaporkan fakta premanisme proyek ke kantor kejaksaan dan kepolisian.278 Polemik tentang premanisme proyek memanas ketika Chasan Sochib mengatakan bahwa anggota DPRD Provinsi Ban-

    275Menurut Sochib, pernyataan Fraksi ABK tentang premanisme proyek bukan hanya akan memecah belah masyarakat tapi juga akan me- rusak budaya relijius masyarakat Banten. Tuduhan mendasar semacam ini hanya akan menimbulkan fitnah, ketidakadilan, dan pembunuhan cha- risma dan tujuan-tujuan masyarakat Banten. Para anggota dewan terse- but (yang mengeluarkan pernyataan itu) tidak layak menjabat sebagai wakil rakyat. Sebenarnya, jika terdapat kekurangan dalam pelaksanaan pembangunan di Banten, (ini bisa) bisa ditingkatkan secara kolektif, dan apabila terdapat beberapa penyimpangan, bisa diluruskan melalui konsul- tasi. Lihat Hidayat, “Shadow State,” 221-22. 276Winters, Oligarchy, 15. 277Winters, Oligarchy, 15. 278Fajar Banten, 28-8-2003. Lihat juga Hidayat, “Shadow State,” 222. Ahmad Munjin 201 ten seperti ‘maling teriak maling.’279 Polemik mencapai puncak- nya pada 3 September 2003. Chasan Sochib bersama-sama dengan sekitar seratus pengusaha Banten lain mendatangi gedung DPRD Provinsi Banten. Jumlah seratus menunjukkan kekuasaan mobili- sasi280 dan pengusaha jelas merepresentasikan kekuasaan material yang menjadi basis kekuatan para oligark. Kedatangan mereka untuk mengadakan dialog dengan anggota DPRD terutama dengan anggota dewan dari Fraksi ABK (Fajar Banten 4-9-2003). Para pengusaha itu meminta Fraksi ABK untuk menunjukkan bukti konkret tentang keberadaan praktik-praktif pemerasan proyek, dan menyatakan secara langsung pelaku bisnis mana yang terlibat. Para pengusaha menuntut Fraksi ABK untuk mencabut pernya- taannya. Sebab, menurut para pengusaha, pernyataan tersebut sudah menciptakan ketidaknyamanan di kalangan pengusaha dan masyarakat. Fraksi ABK juga diminta untuk membuat permintaan maaf kepada publik yang dimuat pada semua media masa lokal. Jika Fraksi ABK tidak memenuhi tuntutan, para pelaku usaha akan menempuh jalur hukum yang berlaku.281 Namun demikian, dialog tersebut, yang hanya berjalan sekitar dua setengah jam, tidak menghasilan seperti yang diharap- kan. Sebab, Fraksi ABK berhasil menghindari sikap konfrontatif. Dikatakan bahwa, ‘sebagai kepanjangan tangan partai-partai poli- tik, kami tidak bisa memenuhi tuntutan para pelaku usaha bahwa Fraksi ABK harus mencabut pernyataannya. Kami akan membe- rikan jawaban secepat kami sudah melakukan pertemuan dengan

    279“Kami ingin meminta kepada para anggota dewan, khususnya anggota dewan dari Fraksi ABK, untuk menunjuk langsung siapa mereka yang dimaksud sebagai pemeras (proyek). Saya melihat sesuatu yang sangat klasik di sini: maling teriak maling. […] Kami punya bukti bahwa orang tertentu di badan legislatif (anggota-anggota DPRD Provinsi Ban- ten) telah meminta proyek-proyek dari pimpinan proyek atau dari aso- siasi-asosiasi dan organisasi-organisasi professional.” (Fajar Banten, 3-9- 2003). Lihat Hidayat, “Shadow State,” 222. 280Winters, Oligarchy, 15. 281Hidayat, “Shadow State,” 222-23.

    202 Oligarki dan Demokrasi... partai-partai politik’. Ini merupakan tanggapan masuk akal yang diberikan di tengah memanasnya dialog baik di dalam gedung DPRD maupun akibat hadirnya kekuasaan koersif282 dari sejumlah besar pendekar di dalam dan di luar gedung. Sebuah laporan dalam Fajar Banten pada 4 September 2003, disebutkan bahwa terdapat sekitar 50 pendekar Banten berseragam serba hitam yang ber- kumpul di luar gedung DPRD Provinsi Banten pada saat itu.283 Kemudian, Bueti Nasir, dengan kekuasaan jabatan resmi- nya284 sebagai anggota Fraksi ABK dari PBB, menyebutkan bah- wa Fraksi ABK tidak akan menarik pernyataan yang sudah dibuat- nya tentang pemerasan proyek. Premanisme politik, menurut Syarif Hidayat merupakan ekspresi yang relatif sopan diban- dingkan kata-kata lain yang memiliki makna umum yang sama. Pernyataan serupa keluar dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Banten yang menyatakan, ‘tidak ada jalan bahwa partai-partai akan menyetujui penarikan pernyataan dan permintaan maaf dari Fraksi ABK tentang premanisme proyek. Sebab, pernyataan tersebut tidak menunjuk kepada perorangan (individu-individu atau lembaga-lembaga yang spesifik).’285 Jawaban secara tidak langsung tersebut dari Fraksi ABK memicu rekasi keras dari Chasan Sochib khususnya dari para pengusaha Banten yang merepresentasikan kekuasaan material286 para oligark secara umum. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Banten mengeluarkan somasi untuk Fraksi ABK melalui surat no. 149/Kadin-Banten/IX/2013 tertanggal 7 September 2003. Dasar dikeluarkannya somasi tersebut adalah bahwa istilah ‘premanisme proyek’ menyiratkan bahwa praktik-praktik tidak etis dilakukan oleh para pelaku bisnis di Banten untuk memenangkan proyek- proyek.287

    282Winters, Oligarchy, 15. 283Hidayat, “Shadow State,” 223. 284Winters, Oligarchy, 13-14. 285Fajar Banten5-9-2003. Hidayat, “Shadow State,” 223. 286Winters, Oligarchy, 18. 287Fajar Banten, 8-9-2003. Hidayat, “Shadow State,” 223. Ahmad Munjin 203

    Atas dasar itu, somasi secara tegas menuntut agar Fraksi ABK mencabut pernyataannya tentang premanisme proyek dan meminta maaf kepada Kadin dan kepada masyarakat Banten. Apabila Fraksi ABK mengabaikan tuntutan tersebut, Kadin Ban- ten mengancam (kekuasaan koersif)288 untuk melaporkan masalah tersebut ke kepolisian. Merespons ancaman tersebut, Ketua Fraksi ABK, Mudjahid Chudori menyatakan bahwa pihaknya tidak takut dengan ancaman dari Kadin Banten untuk melaporkan masalah tersebut ke kepolisian. Fraksi ABK mengaku punya bukti kuat dan nyaman dengan dukungan luas dari berbagai partai.289 Namun demikian, polemik tersebut kemudian memudar. Syarif Hidayat mengakui sangatlah sulit bagi masyarakat Banten untuk berharap investigasi tuntas bisa direalisasikan melalui Fraksi ABK. Berbagai hambatan teknis dan politis menggagalkan berbagai resolusi dari kasus tersebut melalui jalur hukum. Meski Fraksi ABK memiliki bukti yang cukup untuk menindaklanjuti kasus premanisme proyek melalui jalur hukum, fraksi membutuh- kan dukungan dari Pemda dan khsususnya dukungan dari guber- nur. Kenyataannya, Fraksi ABK tidak mendapatkan dukungan tersebut meskipun sudah coba membujuk gubernur.290 Di atas semua itu, sebagian akademisi sudah memberikan respons kepada situasi-situasi sebagaimana digambarkannya dengan mendorong re-sentralisasi kekuasaan di tangan pemerintah pusat. Saran semacam itu, menurut Syarif Hidayat mengabaikan fakta bahwa tidak semua persoalan di daerah merupakan hasil dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Akan lebih akurat, kata dia, jika melihat semua itu sebagai konsekuensi dari perge- seran pola-pola interaksi antara negara dan masyarakat pascaera Soeharto. Masyarakat tidak lagi sepenuhnya tersisihkan, baik dalam proses pembuatan kebijakan maupun dalam pelaksanaan. Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa sekarang hidup dalam ma- syarakat sipil sepenuhnya, dalam masyarakat yang sebagian besar

    288Winters, Oligarchy, 15. 289Fajar Banten, 8-9-2003. 290Hidayat, “Shadow State,” 223-24.

    204 Oligarki dan Demokrasi... direpresentasikan oleh elite. Pengambilan kebijakan baik pada level nasional maupun lokal diwarnai oleh persekutuan dan tawar menawar kepentingan antara aktor-aktor masyarakat dengan aktor-aktor negara.291 Dalam konteks Banten, aktor-aktor masya- rakat ditunjukkan oleh Chasan Sochib dan kelompok oligarknya yang melakukan persekutuan dan tawar menawar dengan segenap sumber daya kekuasaanya—mobilisasi,292 material,293 dan koer- sif294 terhadap aktor-aktor negara. Kasus premanisme proyek di provinsi Banten, menurut Syarif Hidayat, menunjukkan bahwa perilaku pemerintah daerah lebih kompleks daripada yang sudah digambarkan dalam literature sejauh ini. Pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan di daerah diwarnai oleh kolusi dan tawar menawar kepentingan di antara elite eksekutif Pemda dengan para oligark yang direpresen- tasikan oleh kelompok jawara-pengusaha. Apabila realitas empirik ini berhubungan dengan pergeseran pola-pola interaksi masya- rakat-negara, kasus Banten menunjukkan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah sudah menciptakan ruang yang lebih besar bagi elite-elite masyarakat yang menjelma menjadi oligark untuk mem- bangun dan mengembangkan jaringan informal dengan aktor-aktor negara di tingkat lokal.295 Premanisme proyek, lanjut Syarif Hidayat, muncul bersa- maan dengan lemahnya lembaga formal dari pemerintah lokal di Banten. Ini serupa dengan apa yang William Reno296 (1995) me- nyebutnya sebagai ‘Shadow State’. Gubernur dan Wakil Gubernur

    291Hidayat, “Shadow State,” 224. 292Winters, Oligarchy, 15. 293Winters, Oligarchy, 18. 294Winters, Oligarchy, 15. 295Hidayat, “Shadow State,” 224. 296William Reno, Corruption and State Politics in Sierra Leone (Cambridge/New York: Cambridge University Press, 1995), 1. Banding- kan dengan Sahr John Kpundeh, Politics and Corruption in Africa: A Case Study of Sierra Leone (Lanham, Md.: University Press of America, 1995). Lihat juga Daniel A. Smith, ulasan tentang Corruption and State Ahmad Munjin 205 menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan fungsi sebagai- mana mestinya sebagai lembaga formal dari pemerintahan lokal. Salah satunya, karena Chasan Sochib sebagai oligark dan tokoh utama dalam shadow state memainkan peran sebagai sponsor politik melalui kekuasaan mobilisasi297 dan koersifnya298 dan keuangan melalui kekuasaan materialnya299 dalam mendapatkan keterpilihan dua pemimpin tersebut (gubernur dan wakil guber- nur). Pengaruh dominan Chasan Sochib atas pelaksanaan pemerin- tahan daerah menjadi imbalan atas biaya investasi ekonomi (kekuasaan material) dan politik (kekuasaan mobilisasi dan koer- sif) yang sudah ia lakukan pada saat pemilihan.300 Dengan demikian, Chasan Sochib jelas memiliki sumber daya kekuasaan baik sebagai elite maupun oligark pada era Refor- masi. Kekuasaan elitenya mencakup hak politik formal, mobile- sasi, dan koersif. Sedangkan kekuasaan oligarkisnya direpresen- tasikan oleh kekuasaan material dalam bentuk hak milik dan kekayaan. Hak politik formalnya mengejawantah dalam hak pilih- nya dalam pemilu langsung pada era Reformasi yang membeda- kannya dengan pemilihan perwakilan pada era Orde Baru. Semen- tara itu, kekuasaan mobilisasinya muncul dari Chasan Sochib yang tidak bertindak sendiri melainkan menggunakan jejaring penga- ruhnya terhadap jawara (mobilisasi elite) dan kelompok pengusaha melalui Kadin, kontraktor dan subkontraktornya (mobilisasi oligark) yang mendefinisikan Sochib sebagai oligark sultanistik. Kekuasaan koersifnya terwujud dalam sebagian tindakannya yang bersifat memaksa baik dalam bentuk intimidasi fisik melalui kekuatan jawara maupun pemaksaan struktural, seperti biaya pro- yek untuk para pemenang tender di luar kelompok yang menjadi

    Politics in Sierra Leone, William Reno dan ulasan tentang Politics and Corruption in Africa: A Case Study of Sieara Leone, Sahr John Kpundeh, Africa Today 44, no. 3 (Juli-September 1997): 362-65. 297Winters, Oligarchy, 15. 298Winters, Oligarchy, 15. 299Winters, Oligarchy, 18. 300Hidayat, “Shadow State,” 224.

    206 Oligarki dan Demokrasi... pesaingnya. Sederet sumber daya kekuasaan elite tersebut telah mengantar Sochib pada kekuasaan material yang melimpah yang mendefinisikan dirinya sebagai seorang oligark. Pada akhirnya, dengan sumber daya kekuasan elite yang menjadi modal sosial dan sumber daya kekuasaan oligarkis yang menjadi modal kapital, Chasan Sochib berhasil mengakumulasi kekuasaan politik meski tidak memegang kekuasaan secara langsung yang oleh William Reno disebut sebagai shadow state.301 Dalam bahasa Okamoto Masaaki, Sochib berperan sebagai ‘guber- nur jenderal’302 yang menyebabkan kekuasaan oligarkis di provinsi Banten terkonsentrasi pada keluarga jawara tersebut. Gurita ke- kuasaan keluarga Sochib merentang mulai spektrum kekuasaan elite hingga oligarkis. Keluarga jawara ini menguasai jabatan- jabatan eksekutif, jabatan legislatif, partai politik (Golkar), aso- siasi-asosiasi bisnis, organisasi bela diri, organisasi pemuda, organisasi olah raga, hingga organisasi sosial budaya. Semua profil kekuasaan tersebut akan dibahas secara rinci pada bab IV buku ini dari sudut pandang sumber daya kekuasaan oligarkis.

    Tabel 3.6. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara pada Era Reformasi di Banten No Sumber Daya Kekuasan Indikator-indikator (1) (2) (3) Pada era Reformasi, hak politik formal kiai dan jawara mengejawantah dalam Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014. Namun Hak Politik Formal 1 demikian, pengaruh hak politik (Elite/Demokrasi) formal kiai dan jawara terhadap pilihan masyarakat sangat ditentukan oleh sumber daya kekuasaan lain dari kiai dan jawara.

    301Reno, Corruption and State Politics, 1. 302Masaaki, “Local Politics,” 23. Ahmad Munjin 207

    Lanjutan Tabel 3.6.

    (1) (2) (3) a. Kiai terlibat kekerasan pada pengepungan masa terhadap gedung Koran Banten Daily yang dipimpin oleh Kiai Aminuddin, pimpinan cabang PKB Provinsi Banten; b. Kekuasaan koersif dari Sochib mengejawantah dalam bentuk isu 'premanisme proyek'. Beberapa anggota DPRD Banten mencurigai adanya 43 malpraktek dalam pengelolaan proyek-proyek pemerintah provinsi Banten; c. Modus operandi Sochib dalam memengaruhi panitia tender bermacam-macam mulai dari lobi-lobi informal yang Kekuasaan Koersif 2 merepresentasikan kekuasaan (Elite/Demokrasi) mobilisasinya dengan pejabat- pejabat lokal dan distribusi amplop (suap) yang merepresentasikan kekuasaan materialnya hingga intimidasi fisik yang merepresentasikan kekuasaan koersifnya. Teguh Iman Prasetya, dosen FISIP Universitas Tirtayasa, Boyke (tokoh Banten), Nina Lubis, sejarawan dari Bandung, dalam diskusi di Hotel Mahadria, Serang, pernah diancam golok yang merepresentasikan kekuasaan koersif oleh Chasan agar tidak mendukung pembentukan provinsi Banten.

    208 Oligarki dan Demokrasi...

    Lanjutan Tabel 3.6.

    (1) (2) (3) a. Pada era Reformasi, lesunya kekuasaan mobilisasi kiai karena faktor fragmentasi politiknya ke dalam banyak partai politik; b. Semua pasangan calon pada Pilgub 2006, berusaha keras untuk memanfaatkan kiai yang ujungnya memenangkan dukungan dari masyarakat; Para politikus memanfaatkan kiai (mobilisasi) untuk mendapatkan dukungan masyarakat lokal, Kekuasaan Mobilisasi sementara kiai menggunakan 3 (Elite/Demokrasi) kompetisi politik untuk

    mendapatkan keuntungan

    ekonomi (kekusaan material);

    Atut Chosiyah mendirikan Satkar

    Ulama untuk memobilisasi kiai

    yang belakangan dipimpin oleh ayahnya Chasan Sochib, sebuah elemen pendukung penting bagi tim kampanyenya;Zulkieflimansyah mendapatkan dukungan dari Forum Komunikasi Kiai dan Tokoh Masyarakat (FKKTM) yang dipimpin oleh KH Ubing; Tryana Sjam’un mendapat dukungan dari beberapa pengurus Banten Communication Forum for Pesantren (Banten FSPP); dan

    Ahmad Munjin 209

    Lanjutan Tabel 3.6. (1) (2) (3) Irsjad Djuwaeli mengandalkan dukungan dari Mathla’ul Anwar dan Kiai Khozinul Asror dari NU; c. Merespons penolakan dukungan dari FSPP, tim kampanye Atut Chosiyah mendirikan Forum Komunikasi Pesantren Salafi (FSPPS) dan akhirnya memenangkan pemilu; d. Politikus memilih kiai dari Majelis Taklim karena jamaah mereka tinggal di Banten. Sementara itu, kiai pesantren tidak selalau menjadi target karena banyak santri mereka yang berasal dari luar Banten sehingga tidak memiliki hak

    suara dalam suksesi kepemimpinan di Banten; e. Pada pemilu 2004, Kiai KA, seorang pimpinan NU di Pandeglang, menyarankan kepada seorang kandidat bagi DPRD bahwa dia mendapatkan persetujuan dari 40 kiai terkemuka di Pandeglang dan memobilisasi dukungan politik mereka yang disimbolkan dengan sebuah doa bersama; f. Beberapa kiai mendirikan kelompok radikal, menolak partisipasi politik dalam gaya demokratis. Di antara mereka adalah Front Hizbullah yang didirikan oleh KH Cecep;

    210 Oligarki dan Demokrasi...

    Lanjutan Tabel 3.6. (1) (2) (3) g. Bustomi dari Pandeglang; h. Dalam kasus lain, kiai terlibat kekerasan pada pengepungan masa terhadap gedung Koran BantenDaily yang dipimpin oleh Kiai Aminuddin, pimpinan cabang PKB Provinsi Banten; Dengan kekuasaan mobilisasinya sebagai tokoh jawara, Chasan Sochib berusaha mengontrol Satkar Ulama; a. Ketua MUI Pandeglang, KH Datep mengeluarkan sebuah fatwa untuk memilih Dimyati dalam pemilu 2005; b. Dimyati Natakusumah memiliki Jabatan Resmi 4 pengaruh kuat di kalangan kiai (Elite/Demokrasi) terutama karena dia merupakan ketua PPP provinsi Banten; c. H. Tubagus Chasan Sochib memimpin Satkar Jawara sejak pendiriannya 1971; a. Pada acara arahan dari ketua umum Golkar, Akbar Tanjung, tentang Koalisi Nasional bagi para Pimpinan dan Kader Golkar Banten di Pandeglang pada 21 Agustus 2004, KH Ujang Kekuasaan Material 5 Rapiudin, seorang tokoh agama (Oligarki) lokal, berbicara blak-blakan tentang uang sebelum menutup acara dengan doa dengan mengatakan, masyarakat tidak membutuhkan kaos atau foto kandidat, yang

    Ahmad Munjin 211

    Lanjutan Tabel 3.6. (1) (2) (3) terpenting adalah amplop berisi uang; b. Direktur sebuah lembaga Pemda Banten, setiap saat dan seterusnya memberikan pendanaan proyek (di bawah Rp50 juta) kepada seroang kiai terkemuka tanpa melalui prosedur penawaran terbuka; c. Slogan sinis yang tumbuh di masyarakat, di masa lampau, Banten merupakan tempat bagi ribuan kiai dan jutaan santri, tapi sekarang, kiai mendapatkanjutaan [rupiah dari politikus dan pemerintah] dan santri mendapatkan ribuan [rupiah dari kiai];

    d. Kekuatan politik jawara pada era Reformasi tidaklah muncul sebagai jawara tulen melainkan jawara yang baru, yakni jawara- pengusaha; e. Sochib pernah khawatir perubahan Banten menjadi provinsi baru akan mengancam keberlangsungan relasi bisnis yang menjadi basis kekuasaan material dan politiknya dengan pejabat di provinsi Jawa Barat; f. Tidak ada data resmi yang menunjukkan berapa total kekayaan Sochib secara pribadi yang menggurita. Data tersebut baru bisa terlacak pada total kekayaan beberapa anggota ;

    212 Oligarki dan Demokrasi...

    Lanjutan Tabel 3.6. (1) (2) (3) g. keluarga besarnya yang menempati jabatan publik, yakni melalui Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); Sochib memiliki perusahaan- perusaan yang terdaftar tidak atas nama dirinya, bahkan seringkali menggunakan perusahaan-perusahaan lain yang bukan miliknya sebagai strategi untuk memenangkan tender. Dari Tabel 3.6. di atas, peneliti menyimpulkan bahwa baik kiai dan jawara pada era Reformasi, sama-sama memiliki kekua- saan mobilisasi yang besar. Akan tetapi, besarnya kekuasaan mobilisasi kiai justru masih menjadi ‘bancakan’ para politisi sehingga kekuatan tersebut terpragmentasi ke dalam beberapa partai politik. Akibatnya, kekuasaan mobilisasi kiai yang sejatinya besar itu menjadi lemah. Sementara itu, kekuasaan mobilisasi jawara justru mendapat tambahan ‘amunisi’ dari tiga sumber daya kekuasaan lain, yaitu: kekuasaan jabatan resmi, koersif, dan material. Dua kekuasaan terakhir dari jawara inilah yang justru berbalik mengooptasi kekuasaan mobilisasi kiai. Salah satu bukti konkretnya adalah kooptasi jawara terhadap Satkar Ulama. Pada akhirnya, peneliti menarik kesimpulan dari keseluru- han pembahasan bab III mengenai sumber daya kekuasaan kiai dan jawara di Banten sejak era kolonial hingga era Reformasi sebagai- mana terangkum pada tabel 3.7. berikut ini:

    Ahmad Munjin 213

    Tabel 3.7. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara Lima Sumber Daya Kekuasaan N Hak Periode Kekuasaan Jabatan Kekuasaan Kekuasaan o Politik Mobilisasi Resmi Koersif Material Formal Kiai Kiai 1 Era Kolonial x Jawara x Jawara Jawara Era Kiai Kiai Kiai 2 Soekarno Jawara x Jawara Jawara Jawara (Orde Lama) Era Soeharto Kiai Kiai Kiai 3 Jawara Jawara (Orde Baru) Jawara Jawara Jawara Era Kiai Kiai Kiai 4 Jawara Jawara Reformasi Jawara Jawara Jawara Sumber: Dirangkum dari keseluruhan pembahasan bab III mengenai sumber daya kekuasaan kiai dan jawara di Banten sejak era kolonial hingga reformasi.

    Dari Tabel 3.7. peneliti menarik beberapa kesimpulan, yaitu: Pertama, pada era kolonial baik kiai maupun jawara sama- sama merupakan elite bagi masyarakat Banten. Yang mencirikan kekuasaan elite mereka yang paling menonjol adalah mobilisasi. Di antara indikator-indikatornya adalah mobilisasi masa oleh kiai dan jawara untuk melakukan beberapa pemberontakan, yakni (a) pemberontakan melawawan penjajah pada pada abad 19 di mana kiai berhasil memobilisasi masyarakat untuk memberontak seperti puncak pemberontakan petani di Cilegon pada 1888 yang dipim- pin oleh Kiai Haji Wasid; (b) Pada 1888, beberapa kiai yang sangat berpengaruh mengendalikan sentimen anti-Barat melalui kajian mereka di Mekah. Mereka memimpin sebuah pemberonta- kan dalam skala besar. Para kiai menyiapkan dan mengorganisasi pemberontakan melalui jaringan dengan murid-murid mereka; dan (c) Kiai juga memainkan kekuasaan penting dalam memobilisasi pemberontakan komunis di Banten pada 1926. Sedangkan kekuasaan jabatan resmi pada era kolonial sama-sama dimiliki baik oleh kiai maupun jawara. Di antara buk- tinya adalah kiai sebagai pemimpin agama (religious) dan jawara

    214 Oligarki dan Demokrasi... sebagai pemimpin darigama (profan), yakni pemerintahan desa. Sementara itu, kekuasaan koersif lebih banyak dimiliki oleh para jawara. Salah satu alasannya adalah jawara memiliki semacam kekuatan sosial yang memungkinkan mereka sewaktu-waktu me- langgar aturan masyarakat dan menggertak dengan menggunakan kesaktiannya saat diperlukan. Semua itu, merupakan sumber daya kekuaaan elite bagi kiai dan jawara. Oleh karena itu, pada era kolonial, untuk sumber daya kekuasaan oligarkis, baik kiai mau- pun jawara belum memilikinya. Benih-benih oligarki--terutama pada jawara—memang sudah muncul sejak era kolonial karena secara antropologis keduanya merupakan kelompok terkaya di masyarakat. Akan tetapi, kekayaan tersebut belum masuk kategori oligark. Kedua, dinamika sumber daya kekuasaan kiai dan jawara pada era Soekarno (Orde Lama) tidak jauh berbeda dengan kondisi pada era kolonial. Artinya, dua entitas informal leader itu sama- sama memiliki sumber daya kekuasaan elite dan benih-benih kekuasaan oligarkis. Yang berbeda adalah aktor yang berhadapan dengan kiai dan jawara. Jika pada era kolonial, kiai dan jawara berhadapan dengan penjajah yang menjadi musuh bersama (com- mon enemy), pada era Soekarno mereka berhadapan dengan peme- rintah pusat. Walhasil, kiai, jawara, dan pemerintah pusat lebih merupakan representasi dialektis kekuasaan elite dibandingkan oligarki. Ketiga, pada era Soeharto (Orde Baru), kekuasaan elite dari kiai dan jawara justru dikooptasi dan dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru dengan kekuasaan material dan koersifnya yang menonjol. Akan tetapi, hubungan rezim dengan jawara justru saling menguntungkan sementara tidak untuk kiai. Orde Baru hanya memanfaatkan kekuasaan elite kiai melalui mobilisasi meraka sedangkan hubungannya dengan jawara lebih mengun- tungkan secara ekonomi. Hal tersebut terjadi karena sifat dasar dari kiai sebagai elite sedangkan jawara berperan sebagai oligark. Jadi, jika hubungan Orde Baru dengan kiai terbatas pada konteks kepentingan elite sedangkan hubungannya dengan jawara juga Ahmad Munjin 215 mencakup konteks bisnis. Akibatnya, benih-benih oligarki tumbuh subur pada jawara sedangkan pada kiai tidak. Keempat, pada era Reformasi, baik kiai dan jawara sama- sama memiliki kekuasaan mobilisasi yang besar. Akan tetapi, besarnya kekuasaan mobilisasi kiai justru masih menjadi ‘banca- kan’ para politisi sebagaimana terjadi pada era Orde Baru. Oleh karena itu, kekuatan kiai tersebut terpragmentasi ke dalam bebe- rapa partai politik. Kekuasaan mobilisasi kiai yang sejatinya besar itu pun menjadi lemah. Sementara itu, kekuasaan mobilisasi jawara justru mendapat tambahan ‘amunisi’ dari tiga sumber daya kekuasaan lain, yaitu: kekuasaan jabatan resmi, koersif, dan mate- rial. Dua kekuasaan terakhir dari jawara inilah yang justru berbalik mengooptasi kekuasaan mobilisasi kiai. Salah satu bukti konkret- nya adalah kooptasi jawara terhadap Satkar Ulama. Di atas semua itu, kiai yang semula merupakan guru para jawara terdegradasi seiring besarnya kekuasaan oligarkis jawara dan rongrongan kepentingan para politikus dan partainya. []

    216 Oligarki dan Demokrasi...

    Ahmad Munjin 217

    Bab IV JAWARA DAN SUMBER DAYA KEKUASAAN MATERIAL DI BANTEN

    Banyak anggota keluarga besar Tubagus Chasan Sochib berada di tampuk kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif. Pada bab IV ini, peneliti mengelaborasi bagaimana sumber daya material yang menjadi basis kekuasaan oligarkis beroperasi pada keluarga besar jawara tersebut. Tidak seperti bab III yang mem- bandingkan kekuasaan elite kiai dengan kekuasaan oligarkis jawa- ra, pada bab ini peneliti lebih fokus pada kekuasaan material dari para warga negara terkaya di Banten itu. Mereka tumbuh menjadi golongan kecil di dalam masyarakat sebagaimana diwakili oleh para anggota keluarga jawara. Untuk itu, peneliti menguji empat hal, yakni: pertama, prasyarat terbentuknya oligark dan oligarki di Banten dan secara spesifik pada keluarga jawara Tubagus Chasan Sochib, yakni ketidaksetaraan materi yang ekstrem (stratifikasi material); kedua, oligark dan oligarki; ketiga, pertahanan kekaya- an yang mencakup harta dan pendapatan; dan keempat merupakan implikasi dari kekuasaaan oligarkis, yakni ketidaksetaraan materi dan politik yang ekstrem. Dengan demikian, perwujudan kekua- saan oligarkis pada keluarga jawara bisa tergambarkan dengan jelas.

    A. Pembentukan Provinsi Banten: Antara Motif Material dan Nonmaterial Dengan diwarnai pawai seadanya, provinsi Banten secara resmi terbentuk pada 4 Oktober 2000.1 Banten merupakan provin-

    1Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten.

    218 Oligarki dan Demokrasi... si pertama di Indonesia pasca-Orde Baru dan pertama terbentuk di pulau Jawa sejak 1950 ketika empat provinsi lain, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Jawa Barat sudah dikukuhkan.2Banten juga merupakan satu dari lima provinsi baru yang berdiri sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah3 dan Undang- undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.4 Banten menjadi ‘kotak pandora’ bagi terciptanya provinsi-provinsi baru lain melalui pemekaran provinsi induknya. Provinsi-provinsi baru tersebut adalah Bangka Belitung, , Maluku Utara, dan Kepulauan .5 Dari segi etnis, Okamoto Masaaki dan Abdul Hamid mencatat komposisi wilayah Banten terbagi dua.Wilayah utara ditempati oleh etnis Jawa dan di selatan ditempati oleh etnis Sunda. Wilayah utara merupakan tempat di mana jawara terkon- sentrasi, dan mereka dulu mendukung pemberontakan komunis pada 1926. Garis pemisah dua wilayah tersebut adalah di sekitar dua kecamatan Ciomas dan Pabuaran. Dua kecamatan tersebut merupakan penutur bahasa Sunda yang terkenal dengan keulama- an dan kejawaraannya. Chasan Sochib berasal dari daerah ini. Pusat ekonomi, politik, sosial, dan budaya Banten selalu berada di

    2George Quinn, “Coming Apart and Staying Together at the Centre: Debates Over Provincial Status in Java and Madura,” dalam Local Power and Politics in Indonesia: Decentralication and Democrati- sation, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Pasir Panjang, Singapura: Institute of Southeast Asian Studies (Iseas), 2003), 164-5. 3Syarif Hidayat, “Pilkada, Money Politics and the Dangers of “Informal Governance” Practices,” dalam Deepening Democracy in Indo- nesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), eds. Maribeth Erb dan Priyambudi Sulistiyanto (Singapura: Institute of Southeast Asian Sudies, 2009), 135. 4Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 5Khatib Mansur, Perjuangan Rakyat Banten menuju Provinsi (Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2001), 531. Ahmad Munjin 219 utara. Wilayah utara mendominasi wilayah selatan. Akan tetapi, di sana tidak ada catatan sejarah dan jejak rekam tentang gesekan antara dua kelompok bahasa (Jawa-Sunda). Identitas kedaerahan mereka sebagai orang Banten menjadi faktor yang lebih kuat.6 Perihal bahasa, George Quinn (2003), juga mengakui hal ini menjadi isu dalam pembentukan provinsi Banten meskipun bukan menjadi salah satu yang utama. Selain bahasa Indonesia dan Sunda, bahasa Jawa juga dituturkan di Banten terutama di kabu- paten Serang dan sekitarnya. Para penutur bahasa Jawa banga dengan dialek lokal mereka yang unik. Hanya saja, Quinn menga- kui di masa lampau, para penutur bahasa Jawa tersinggung dengan apa yang mereka lihat sebagai anti-bias bahasa Jawa di antara pejabat-pejabat dalam pemerintah provinsi Jawa Barat yang didominasi oleh orang-orang Sunda.7 Oleh karena itu, saat ini meski semua perbedaan baik hidup di utara maupun di bagian selatan dari Banten, mereka sepakat menyebut diri mereka sendiri orang Banten dan memiliki provinsi sendiri yaitu Banten, sebuah usaha yang akhirnya terealisasi pada tahun 2000.8 Dengan ibu kota Serang, sekitar 70 kilometer sebelah ba- rat Jakarta, Banten hanya memiliki sedikit populasi, hanya sekitar 8 juta penduduk.9 Pada 2010, penduduk Banten berjumlah 10,6 juta, 11,7 juta di 2014, dan meningkat menjadi 11,9 juta jiwa pada 2015. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk per tahun dalam kurun 2010-2015 sebesar 2,27% dan 2,14% selama 2014-2015.10

    6Okamoto Masaaki dan Abdul Hamid. “Jawara in Power, 1999- 2007.” Indonesia 86 (2008): 113. 7Quinn, “Coming Apart,” 166. 8Masaaki dan Hamid. “Jawara in Power,” 113. 9George Quinn, “Coming Apart and Staying Together at the Centre: Debates Over Provincial Status in Java and Madura,” dalam Local Power and Politics in Indonesia: Decentralication and Democrati- sation, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Pasir Panjang, Singapura: Institute of Southeast Asian Studies (Iseas), 2003), 164-5. 10Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Provinsi Banten dalam Angka 2016 (Serang: BPS Provinsi Banten, 2016), 57.

    220 Oligarki dan Demokrasi...

    Pada 2016, penduduk Banten berjumlah 12,2 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 2010-2016 sebesar 1,88% dan 2015-2016 di level 2,07%.11 Provinsi ini, pada mulanya, terdiri dari empat kabupaten, yakni Tangerang, Serang, Lebak, dan Pandeglang serta dua peme- rintahan kota yang otonom, yaitu Tangerang dan Cilegon.12Pada tanggal 2 November 2007, Serang kemudian ditetapkan sebagai kota yang otonom13 yang semula merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Serang. Pada tanggal 29 Oktober 2008, Kota Tange- rang Selatanjugadiresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Mardi- yanto14 (lihat Gambar 4.1.).

    Gambar 4.1. Peta Wilayah Provinsi Banten

    11Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Provinsi Banten dalam Angka 2017 (Serang: BPS Provinsi Banten, 2017), 61. 12Quinn, “Coming Apart,” 164-5. 13Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang di Provinsi Banten. 14Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten. Ahmad Munjin 221

    Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, Provinsi Banten dalam Angka 2016, (Serang: BPS Provinsi Banten, 2016), iii.

    Para elite Banten, menurut Quinn, sudah lama memendam rasa sakit hati terhadap apa yang mereka persepsikan sebagai pengabaian daerah tersebut oleh pemerintahan provinsi Jawa Barat di Bandung. Meski aset-aset ekonomi Banten berlimpah ruah, empat kabupaten masih tetap merupakan yang termiskin di Jawa Barat.15 Perihal wilayah termiskin, Masaaki dan Hamid menggambarkan, bagian utara dan timur provinsi Banten, yaitu kota Cilegon, kota Serang, bagian utara kabupaten Serang, Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang merupakan wilayah indus- tri.16 Sementara itu, wilayah selatan provinsi yang mencakup Lebak, Pandeglang, dan bagian selatan Serang adalah area pertain- an dan miskin. Kebanyakan pesantren, lanjut Masaaki dan Hamid, hidup di wilayah Selatan.17 Masyarakat merasa bahwa mereka disisihkan atau diberi status yang lebih rendah dan diperlakukan seperti anak tiri (dianaktirikan) jika dibandingkan dengan wila- yah-wilayah lain di provinsi tersebut.18 Inilah yang menjadi alasan material (ekonomi)19 pembentukan provinsi Banten. Wilayah provinsi Banten menguasai ujung pulau Jawa yang sebelumnya merupakan seperlima area tanah dan populasi provinsi Jawa Barat.20Sekilas saja bisa diketahui, menurut Quinn, Banten memiliki sumber daya ekonomi yang besar dan potensial.21 Dalam persepktif oligarkis,22 sumber daya ekonomi inilah menjadi daya tarik bagi para elite Banten untuk mendapatkan akses

    15Quinn, “Coming Apart,” 166. 16Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 113-14. 17Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 113-14. 18Quinn, “Coming Apart,” 166. 19Winters, Oligarchy, 18. 20Quinn, “Coming Apart,” 165. 21Quinn, “Coming Apart,” 165. 22Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge Univer- sity Press, 2011), 18.

    222 Oligarki dan Demokrasi... meraupnya. Bagi yang berhasil, sumber daya kekuasaan material23 itu mentransformasikan mereka menjadi elite oligark dan bagi yang kurang berhasil, tetap mempertahankan mereka sebagai elite. Dialektika elite dan oligark di Banten cukup menarik perhartian para sarjana. Setengah provinsi sebelah utara, Quinn (2003) mendes- kripsikan, terbentang sepanjang pantai mulai dari pinggiran kota Jakarta sebelah barat hingga selat Sunda. Begitu juga dengan bandara internasional Soekarno-Hatta, area manufaktur ringan Tangerang dan kompleks pabrik baja dan kimia di Cilegon. Jalan raya utama menjulur yang menghubungkan Jakarta dengan Merak merupakan titik penyeberangan super sibuk ke pulau Sumatera. Sepanjang selat Sunda ke arah selatan terletak sebuah area sangat terkenal dengan beberapa objek wisata bagi wisatawan. Pantai Carita dan daerah-daerah tetangganya berkembang pesat sebagai resort pantai yang sangat menarik bagi wisatawan kaya asal Jakarta. Di selat Sunda terdapat pulau kecil Krakatau yang membara dan pintu gerbang pulau Sabesi dan Sangian. Di pojok barat daya, Taman Nasional Ujung Kulon jadi magnet tersendiri bagi pengunjung yang tertarik dengan sisa-sisa terakhir dari fauna dan flora Jawa yang liar. Di pedalaman, masyarakat Baduy yang murni dari pengaruh modernitas menwarkan sebuah lintasan budaya yang memiliki hubungan dengan masa pra-Islam di Jawa masa lampau.24 Hasrat untuk memisahkan Banten dari provinsi Jawa Barat bukanlah hal baru. Sebagai daerah otonom, menurut Syarif Hidayat (2007), Banten sebenarnya sudah punya sejarah panjang selama masa kesultanan (1552-1809).25 Akan tetapi, selama penjajahan Belanda, dengan penghapusan Kesultanan Banten, area

    23Winters, Oligarchy, 18. 24Quinn, “Coming Apart,” 165. 25Syarif Hidayat, “Shadow State? Business and Politics in the Province of Banten,” dalam Renegotiating Boundaries: Local Politicss in post-Suharto Indonesia, eds. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (Leiden: KITLV Press, 2007), 206. Ahmad Munjin 223

    Banten kehilangan otonominya pada 1817. Banten pun berubah dari kesultanan menjadi keresidenan.26 Beberapa sarjana melihat dua alasan utama pendirian provinsi tersebut, yakni motif material dan nonmaterial. Oleh karena itu, motif-motif pendirian provinsi Banten menunjukkan motif material yang menjadi sumber daya kekuasaan oligarkis tidak absen dalam percaturan pemekaran suatu wilayah. Di antara sarjana yang melihat motif material sekaligus nonmaterial adalah Syarif Hidayat (2009). Menurut dia, dengan berlakunya Undang- undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah,27 rezim Soeharto memecah Banten menjadi beberapa kabupaten di bawah Provinsi Jawa Barat. Pemecahan ini membawa implikasi tersendiri bagi Banten dengan berbagai kerugiannya. Salah satu buktinya adalah level pendidikan (motif nonmaterial) dan kesejah- teraan masyarakat Banten (motif material) menjadi yang terendah di Jawa Barat hingga berakhirnya masa Orde Baru.28 “Semua itu, dapat membantu menjelaskan gerakan untuk mendirikan provinsi Banten yang terpisah dari Jawa Barat, yang sebenarnya sudah dimulai pada akhir 1950-an.”29 Selain alasan material, Quinn (2003) juga memberikan sederet alasan nonmaterial perihal pendirian Banten sebagai provinsi baru, yaitu: persepsi masyarakat luas di kawasan ini menunjukkan bahwa Banten merupakan sebuah entitas budaya dan pemerintahan yang berbeda. Persepsi ini sudah diwariskan dari masa penjajahan Belanda yang saat itu Banten merupakan keresidenan terpisah. Oleh karena itu, menurut Quinn, Banten

    26Khatib Mansur, Perjuangan Rakyat Banten menuju Provinsi (Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2001), 531. 27Lihat Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. 28Mansur, Perjuangan Rakyat Banten, 166-7. 29Hidayat, “Shadow State,” 206.

    224 Oligarki dan Demokrasi... memiliki atribut karakter, sejarah, dan organisasi sosial yang unik.30 Pada akhir 1960-an, selama pergolakan tahun-tahun awal Orde Baru, kampanye sudah dibingkai untuk mendirikan sebuah provinsi Banten hingga pada akhirnya menelan kegagalan.31 Seiring lengsernya Soeharto pada Mei 1998 dan berlangsungnya pembuatan Rancangan Undang-undang Otonomi Daerah di bawah pemerintahan Habibie, isu status provinsi untuk Banten pun kembali menjadi agenda.32Setelah terkubur selama rezim Orde Baru, keinginan untuk mendirikan sebuah provinsi muncul kem- bali pada awal 1999. Oleh karena itu, sejumlah organisasi dibentuk. Paling tidak, ada tiga organisasi penting, yaitu Komite Pembentukan Provinsi Banten pimpinan Uwes Qorny; Kelompok Kerja Pemben- tukan Provinsi Banten (Pokja PBB) yang dipimpin oleh H. Irsyad Djuwaeli; dan Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten yang diketuai oleh H. Tb. Triyana Sjam‘un. Para tokoh masyara- kat dan elemen-elemen lain dari masyarakat termasuk jawara dan pengusaha turut bergabung, dan mengatur strategi baik formal maupun informal. Semuanya bekerja bersama-sama dalam satu irama.33 Chasan Sochib merupakan representasi jawara yang tergabung dalam pembentukan provinsi Banten yang merupakan semangat dari momentum pascareformasi 1998. Padahal, pada awalnya, Sochib sendiri kurang memberikan dukungan terhadap reformasi yang berakhir pada lengsernya Soeharto sebagai presi- den. Dengan alasannya sendiri, Sohib juga, pada awalnya, kurang mendukung pemisahan Banten dari provinsi Jawa Barat. Akibat-

    30E. Gobee, Sumitro dan Ranneft, “The Bantam Report,” dalam Harry J. Benda dan Ruth T. McVey (Eds.), The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia: Key Documents (Ithaca: Cornell University, 1960), 22 seperti dikutip Quinn, “Coming Apart,” 165. 31Quinn, “Coming Apart,” 165. 32Quinn, “Coming Apart,” 165. 33Hidayat, “Shadow State,” 206. Ahmad Munjin 225 nya, para mahasiswa mengkritik Sochib terutama karena kedeka- tannya dengan Soeharto. Dia merespons, “Anda tahu, Pak Harto [Soeharto] masih presiden kita. Kita harus menghormatinya!”34 Namun demikian, era reformasi berdampak luas di Banten. Para mahasiswa di seluruh negeri melakukan gerakan protes mela- wan Soeharto dan rezimnya, menuntut pengunduran dirinya dan reformasi pemerintahan. Sikap Sochib pun berubah saat Soeharto mengundurkan diri.Ketika mahasiswa melawannya mengikuti momentum reformasi, akhirnya, Sochib terjun ke gelombang re- formasi seraya mengatakan, “Pak Harto benar-benar mengundur- kan diri. Setelah pengunduran dirinya, saya akhirnya memutuskan sikap saya. Pak Harto mengundurkan diri setelah kontemplasi yang panjang. Sekarang, saya juga pasti akanmendukung refor- masi.”35 Dengan kata lain, menurut Masaaki dan Hamid, sesaat setelah Soeharto mengundurkan diri menunjukkan bahwa Sochib sudah berubah pikiran setelah melakukan banyak pertimbangan yang bijaksana. Akhirnya, Sochib pun bisa mengubah pikirannya untuk mendukung reformasi.36 Angin pun terus bertiup untuk Chasan Sochib. Gerakan untuk memisahkan Banten dari provinsi Jawa Barat bermula pada Februari 1999. Alasan Sochib pada mulanya kurang mendukung rencana tersebut, Masaaki dan Hamid menengarai karena perusa- haannya masih terlibat dalam sebuah proyek konstruksi jalan skala besar di kabupaten Tasikmalaya. Perusahaan Sochib masih dikon- trak oleh pemerintah provinsi Jawa Barat. Akan tetapi, ketika dia menyadari bahwa gerakan pemisahan sudah berakar dalam dan dukungan meluas di Banten, Sochib menjadi pendukung yang antusias. Dia menjadi penasihat umum Badan Koordinasi Pem- bentukan Provinsi Banten (Bakor PPB) pada Februari 2000. Bakor merupakan organisasi untuk mempromosikan pendirian provinsi baru tersebut. Mobilisasi masa, dana, dan kampanye lobi diarah-

    34Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 119. 35Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 119. 36Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 119.

    226 Oligarki dan Demokrasi... kan kepada pemerintahan pusat yang pada akhinya menghasilkan buah. Pada Oktober 2000, undang-undang pendirian provinsi Banten sudah disahkan di DPR. Ribuan masyarakat Banten menyambut perubahan tersebut dan Sochib, dengan cerdas, sudah memastikan bahwa dia sudah berada dalam posisi berjasa dalam pengesahan undang-undang tersebut.37 Setelah pemilihan umum 7 Juni 1999 dan berikutnya diselenggarakan pemilu baru, secara demokratis terpilihlah parle- men. Panitia Khusus (Pansus) pun tebentuk diDPR untuk menyu- sun rancangan pembentukan provinsi Banten. Dengan dukungan yang tegas dari empat DPRD Banten dan persetujuan dari Surjadi Sudirja, Menteri Dalam Negeri era Presiden Abdurrahman Wahid yang notabene orang Banten, pembentukan provinsi Banten disetujui oleh DPR pada Mei 2000.Provinsi tersebut secara formal diresmikan empat bulan kemudian, September.38 Jalan panjang masyarakat Banten untuk mencapai ambisi mereka sampailah pada klimaknya pada 4 Oktober 2000, ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meloloskan Undang-undang Pembentukan Provinsi Banten, yakni Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000.39 Quinn menegaskan, masyarkat Bantenmemiliki hasrat untuk punya akses langsung terhadap sumber daya ekonomi daerah (alasan material). Keinginan tersebut merupakan salah satu mesin yang menggerakkan kampanye untuk provinsi baru. Akan tetapi, hal ini bukanlah berarti satu-satunya pemantikatau bahkan bukanlah pertimbangan yang utama. Pelimpahan anggaran dan kekuasaan kebijakan ke pemerintah daerah, lanjut Quinn, justru memperlemah gagasan pembentukan provinsi tersebut sebagai lokus utama kekuasaan ekonomi. Dorongan pemisahan Banten dari Jawa Barattersebut, kata dia, lebih karena faktor-faktor historical-cultural yang tampak sudah ada paling tidak sebagai-

    37Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 119. 38Quinn, “Coming Apart,” 165. 39Hidayat, “Shadow State,” 206. Ahmad Munjin 227 mana sebanyak dukungan untuk mengampanyekan keinginan anggaran dan otonomi politik yang lebih besar.40 Selain alasan material, terdapat kepercayaan diri yang luas bahwa status barunya sebagai provinsi akan mengembalikan ke- banggaan pada identitas dan pusaka Banten. Ini juga akan mem- berikan momentum yang lebih besar atas usaha-usaha untuk memberantas kemiskinan di wilayah tersebut. Identitas Banten yang unik tampak melekat dalam empat ranah utama: sejarah, agama, bahasa, dan persepsinya tentang karakter khusus masyara- kat Banten.41 Provinsi Banten juga dipromosikan sebagai pewaris perda- gangan besar42 dari Banten lama. Banten lama yang merupakan benteng mengesankan sebagian masih bisa tetap bisa disaksikan di pantai Banten Lama sekitar 20 kilometer dari Serang. Pada tahun 1500-an, Banten memperluas pengaruhnya hingga sebagian besar Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Banten mencapai puncak ke- kuasaan komersialnya pada pertengahan 1600-an ketika populasi mencapai kisaran 150.000. Lebih jauh, Banten Lama merupakan kota terbesar dan pelabuhan terpenting di kepulauan Asia Tengga- ra saat itu.43 Kebanyakan masyarakat Bantenjuga percaya bahwa kota Banten memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa.44 Setelah penaklukannya oleh negara Islam Demak pada 1527, Banten menjadi pusat religiusitas dan kesarja- naan. Masyarakat Banten juga secara khusus bangga dengan

    40Quinn, “Coming Apart,” 166. 41Quinn, “Coming Apart,” 166. 42Lihat juga Claude Guillot, “Urban Patterns and Polities in Malay Trading Cities, Fifteenth through Seventeenth Centuries,” Indo- nesia 80 (Oktober 2005): 39-51. 43Quinn, “Coming Apart,” 166. Lihat juga, Guillot, 1990. 44Lihat juga Andi M. Faisal Bakti, “Islam and Nation Formation in Indonesia” (Tesis Master of Arts (M.A.), the Faculty of Graduate Studies and Research, Institute of Islamic Studies, McGill University, 1993), 11.

    228 Oligarki dan Demokrasi... masjid kuno yang terletak di pusat Banten Lama yang dibangun seperti sedia kala pada1560-an. Bersama dengan makam suci di dekatnya, masjid kuno tetap merupakan salah satu pusat ziarah Islam yang sangat penting di Indonesia. Hari ini, sebagian kala- ngan memandang bahwa status Banten sebagai provinsi baru merupakan platform bagi peningkatan aspirasi-aspirasi keagama- an, termasuk implementasi perda syariat.45 Imajinasi umum masyarakat Banten melihat diri mereka sebagai orang yang berpikiran merdeka. Sebagian akan bangga menuturkan cerita tentang beberapa pemberontakan leluhur mere- ka terhadap kerajaan Belanda. Karakter masyarakat Banten dike- nal menyatu dalam stereotip tentang jawara. Dua ratus tahun lalu, istilah ini menunjukkan sebuah kategori sosial tentang anak muda yang bekerja serabutan.46 Selama banyak sekali pemberontakan pada abad 19, jawara menjadi tentara bayaran dengan kualitas kepemimpinan dan keberanian melawan hukum. Mereka dianggap menguasai magic yang mewarnai seni bela diri pencak silat. Akan tetapi, pihak Belanda menganggap mereka sebagai penyamun dan penjahat. Masyarakat Bantensecara jelas melihat jawara dengan cahaya yang lebih simpatik bahkan seringkali romantis.47 Sekarang, menurut Quinn, istilah jawara sering diterapkan secara lebih longgar pada pemimpin tingkat desa dan orang kuat lokal yang menyatu dengan lembaga Islam.48 Meski nada proble- matik berlebihan melekat pada istilah jawara, provinsi baru Banten sudah dijuluki sebagai Bumi Jawara baik oleh masyarakat Banten sendiri maupun oleh orang luar.49 Ironisnya, bahkan mung- kin tak terelakkan, sejak pembentukan provinsi tersebut, beberapa komponen wilayah Banten sudah dituduh menelantarkan pemerin-

    45Quinn, “Coming Apart,” 166. 46Sartono Kartodirjo, Modern Indonesia, Tradition and Trans- formation: A Socio-Historical Perspective (Yogyakarta: Press, 1984), 204. 47Quinn, “Coming Apart,” 166-7. 48Quinn, “Coming Apart,” 167. 49Quinn, “Coming Apart,” 167. Ahmad Munjin 229 tahan baru di Serang. Sebagai contoh, pada September 2002, pemerintah kota Tangerang mengeluhkan pemerintahan provinsi dengan penuh kepahitan. Pemerintahan provinsi dinilai tidak me- nyalurkan secara patut miliaran rupiah dalam dana pembangunan dan rehabilitasi banjir. Dalam pemerintahan kota, bahkan ada pembicaraan gelap tentang pemisahan diri dari Banten.50 Sebagai rangkuman, lihat Tabel 4.1.

    Tabel 4.1. Motif Material dan Nonmaterial Pembentukan Provinsi Banten No. Motif Material Motif Nonmaterial (1) (2) (3) Bahasa (Indonesia, Sunda, dan Undang-undang Nomor 25 Jawa Banten) menjadi salah satu tahun 1999 tentang isu. Di masa lampau, para 1 Perimbangan Keuangan penutur bahasa Jawa tersinggung antara Pemerintah Pusat dan dengan sikap anti-bias bahasa Daerah; Jawa di antara para pejabat provinsi Jawa Barat; Di pedalaman, masyarakat Baduy Banten menguasai area dan yang murni dari pengaruh populasi provinsi Jawa modernitas menawarkan sebuah 2 Barat yang menjadi sumber lintasan budaya yang memiliki daya ekonomi yang besar hubungan dengan masa pra-Islam dan potensial; di Jawa masa lampau; Di bawah pemerintahan Jawa Barat level pendidikan menjadi Bandara Internasional 3 yang terendah di Jawa Barat Soekarno-Hatta; hingga berakhirnya masa Orde Baru; Persepsi masyarakat luas Area manufaktur ringan menunjukan bahwa Banten 4 Tangerang; merupakan sebuah entitas budaya dan pemerintahan yang

    50Quinn, “Coming Apart,” 167.

    230 Oligarki dan Demokrasi...

    Lanjutan Tabel 4.1. (1) (2) (3) berbeda dari Jawa Barat; Faktor-faktor historikal-kultural yang menjadi dorongan Kompleks pabrik baja dan pemisahan provinsi paling tidak 5 kimia di Cilegon; sama kuatnya dengan kampanye otonomi anggaran dan politik yang lebih besar; Status baru sebagai provinsi diyakini akan mengembalikan Jalan raya utama yang kebanggaan pada identitas dan menghubungkan Jakarta pusaka Banten; Identitas Banten 6 dengan Merak merupakan yang unik melekat melekat dalam titik penyeberangan super empat ranah utama, yaitu sejarah, sibuk ke pulau Sumatera; agama, bahasa, dan persepsinya tentang karakter khusus masyarakat Banten; Kebanyakan masyarakat Banten percaya bahwa Banten memainkan peranan penting Sepanjang selat Sunda ke dalam penyebaran agama Islam di arah Selatan terletak sebuah pulau Jawa sebagai pusat 7 area sangat terkenal dengan religiusitas dan kesarjanaan beberapa objek wisata bagi sehingga provinsi baru bagi wisatawan; sebagian kalangan menjadi wadah aspirasi-aspirasi keagamaan termasuk implementasi perda syariat; Pantai Carita dan daerah- daerah tetangganya Imajinasi umum masyarakat berkembang pesat sebagai Banten melihat diri mereka 8 resort pantai yang sangat sebagai orang yang berpikiran menarik bagi wisatawan merdeka; kaya asal Jakarta; Taman Nasional Ujung Sebagian masyarakat Banten 9 Kulon menjadi magnet bagi bangga menuturkan cerita pengunjung yang tertarik beberapa pemberontakan Ahmad Munjin 231

    Lanjutan Tabel 4.1. (1) (2) (3) dengan sisa-sisa terakhir leluhur mereka terhadap dari fauna dan flora Jawa penjajahan Belanda; yang liar; Di bawah pemerintahan Jawa Barat level kesejahteraan masyarakat Karakter masyarakat Banten 10 Banten menjadi yang dikenal menyatu dengan stereotip terendah di Jawa Barat tentang jawara; dan hingga berakhirnya masa Orde Baru; Masyarakat Banten memiliki hasrat untuk punya Undang-undang Nomor 22 tahun 11 akses langsung terhadap 1999 tentang Otonomi Daerah. sumber daya ekonomi daerah; Pemerintahan Jawa Barat dipersepsikan telah melakukan pengabaian terhadap Banten. Meski 12 aset-aset ekonomi Banten berlimpah ruah, empat kabupaten masih merupakan yang termiskin di Jawa Barat; Banten sebagai provinsi diyakini akan memberikan momentum yang lebih besar 13 atas usaha-usaha untuk memberantas kemiskinan di wilayah tersebut; dan Provinsi Banten dipromosikan sebagai 14 pewaris perdagangan besar dari Banten Lama.

    232 Oligarki dan Demokrasi...

    Dari pemaparan Tabel 4.1. di atas, alasan material (ekonomi) menjadi salah satu motif penting pembentukan provinsi Banten. Motif tersebut memang bukanlah yang utama, karena terdapat alasan sosial budaya yang sudah berakar jauh ke tahun 1950-an. Akan tetapi, alasan material bisa dibuktikan dengan terbitnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perim- bangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang mendasari otonomi daerah dari sisi keuangan.51 Alasan material inilah yang juga menjadi salah satu landasan pembentukan provin- si Banten.

    B. Ketimpangan Ekonomi sebagai Prasyarat Oligarki Ketidaksetaraan material menjadi prasyarat mutlak ter- bentuknya sistem pemerintahan oligarkis. Carl Joachim Friedrich (1937),52 Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page (2009)53 menya- takan kekuasaan oligarkis terbentuk dan terdefinisikan oleh terja- dinya akumulasi kekayaan secara besar-besaran di tangan seke- lompok masyarakat yang relatif kecil (sedikit). Menurut Winters dan Page, kekayaan tersebut menjadi sumber daya kekuasaan (politis) yang mengejawantah dalam harta benda dan hak milik.54 Friedrich,55Winters56 dan Page57 percaya bahwa ketidaksetaraan materi yang ekstrem itulah, terutama saat kesejahteraan masyara-

    51Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 52Carl Joachim Friedrich, “Oligarchy,” dalam Encylopaedia of the Social Sciences, volume XI-XII, ed. Edwin R.A. Seligman (New York: The Macmillan Company, 1937),463. 53Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, “Oligarchy in the United States?” Perspectives on Politics 7 (2009): 732. 54Winters dan Page, “Oligarchy in the United States?” 732. 55Friedrich, “Oligarchy,” 464. 56Jeffreys A. Winters, “Oligarchy and Democracy in Indonesia,” Indonesia 96 (Oktober 2013): 12. 57Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 744. Ahmad Munjin 233 kat secara keseluruhan sedang mengalami penurunan, secara nis- caya menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula. Oleh karena itu, untuk melacak ketimpangan ekonomi tersebut, pada subbab ini, peneliti menjelaskan beberapa topik, yaitu: pertama, stratifikasi material58 atau ketimpangan ekonomi di provinsi Banten terutama lebarnya gap pertumbuhan ekonomi antara Banten sebelah utara dan selatan dan kedua, rasio yang me- ngukur ketimpangan, yaitu the Gini Coefficient dan data-data makroekonomi lainnya. Data-data tersebut diharapkan bisa menje- laskan pembentukan sistem oligarkisdi provinsi Banten dari sisi makroekonomi dan belum menunjuk pada oligark tertentu sebagai individu. Tujuannya, untuk mencari jawaban apakah sistem peme- rintah oligarkis tercipta atau tidak yang ditandai oleh stratifikasi material. Namun demikian, untuk memberikan konteks pada topik tersebut peneliti terlebih dahulu menghadirkan data tren partum- buhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Banten dari Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2000 hingga 2016.

    1. Tren Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten 2000-2016 Secara ekonomi makro, PDRB merupakan pendekatan untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan regional. Data tersebut dihasilkan oleh institusi tertentu pada wilayah tertentu. Sebagai contoh, di Banten terdapat industri baja terbesar di Asia Teng- gara, yakni PT Krakatau Steel Tbk, produsen getah polipropilena, yakni PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, dan industri sepatu terbesar di Asia Tenggara, yakni PT Nikomas Gemilang. Chandra Asri merupakan industri kimia terbesar nomor tiga di Asia. Akan tetapi, surplus usahanya lari ke luar negeri karena holdingcom- pany-nya tidak bertempat di Banten. Akibatnya, efek kesejahte- raan perusahaan tersebut bagi masyarakat Banten tidak signifikan. Apalagi, jika penduduk sekitar tidak dapat mengakses untuk men- jadi faktor produksi pada industri tersebut. Paling bagus, pendu-

    58Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge Univer- sity Press, 2011), 7.

    234 Oligarki dan Demokrasi... duk sekitar hanya menjadi karyawan dan itu pun tergantung pada level posisi dari karyawan tersebut. Industri memang memilik multiflier effect ke Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) atau akomodasi bagi masyarakat setempat tapi tidak signifikan jika dibandingkan dengan surplus yang didapat oleh perusahaan induknya di luar negeri.59 Grafik 4.1 menunjukkan tren pertum- buhan ekonomi Banten sejak berdiri sebagai provinsi pada tahun 2000 hingga tahun 2016. Lalu, pertumbuhan daerah tersebut dibandingkan dengan tren pertumbuhan ekonomi nasional dalam rentang tahun yang sama.

    Grafik 4.1. Tren Pertumbuhan Ekonomi Banten 2000-2016

    Tren Pertumbuhan Ekonomi Banten 2000- 2016

    Pertumbuhan PDRB Banten (%) Pertumbuhan PDB Indonesia (%)

    6.3 6.56 7.036.5 6.83 6.67 5.63 5.65.88 5.55.57 6.04 5.776.1 6.1 6.23 5.58 5.51 5.4 4.864.53 5.07 5.13 4.714.5 5.02 4.885.265.02 3.323.95 3.664.11 4.1

    Sumber: Data diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten dan Berita Resmi Statistik BPS Pusat. Dari Grafik 4.1. terlihat bahwa sejak berdiri sebagai pro- vinsi pada tahun 2000 hingga 2016, pertumbuhan ekonomi Banten mengalami tren kenaikan seiring dengan pertumbuhan ekonomi

    59Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. Ahmad Munjin 235 nasional. Bahkan, meski secara tren selaras dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, secara posisi persenta- senya berada di atas nasional. Hanya pada tahun 2000, 2007, dan 2008, pertumbuhan ekonomi Banten berada di bawah angka nasional. Dalam konteks ini, pertumbuhan ekonomi Banten lebih baik dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasio- nal. Namun demikian, dalam lima tahun terakhir, seiring dengan melandainya ekonomi nasional, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Banten juga tumbuh melambat yang dipicu oleh ketidak- pastian ekonomi global. Pada tahun 2016, PDRB Provinsi Banten atas dasar harga berlaku sebesar Rp516,33 triliun60 dari Rp477,94 triliun pada 2015.61 Tiga sektor utama penyumbang PDRB Provinsi Banten terbesar, yaitu: pertama, sektor industri pengolahan sebesar Rp168,39 triliun (32,61%) dari Rp134,33 triliun rupiah (33,48%) pada 2015;62kedua, sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar Rp61,64 triliun (11,94%) dari Rp49,15 triliun (12,08%) pada 2015; dan ketiga, sektor transpor- tasi dan pergudangan sebesar Rp55,34 triliun (10,72%) dari Rp23,56 triliun (10,22%) pada 2015.63 Pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten pada tahun 2016 mencapai 5,26 persen.64 Angka tersebut lebih lambat dibanding- kan pertumbuhan ekonomi di tahun 2015 (5,40%), tahun 2014 (5,51%), dan tahun 2013 (6,67%). Pada tahun 2016, wilayah di provinsi Banten dengan PDRB tertinggi, yaitu Kota Tangerang sebesar Rp136,08 triliun dari Rp126,12 triliun pada 2015. Sedangkan kabupaten Pandeglang merupakan wilayah dengan

    60Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Provinsi Banten dalam Angka 2017 (Serang: BPS Provinsi Banten, 2017), 448. 61Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Provinsi Banten dalam Angka 2016 (Serang: BPS Provinsi Banten, 2016), 440. 62BPS, Banten dalam Angka 2016, 440. 63BPS, Banten dalam Angka 2016, 440. 64BPS, Banten dalam Angka 2017, 448.

    236 Oligarki dan Demokrasi...

    PDRB terendah, yaitu sebesar Rp22,17 triliun dari Rp20,28 triliun pada 2015.65

    Grafik 4.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Banten (Triliun Rupiah) atas Dasar Harga Kontan 2010 dan Harga Berlaku Tahun 2012-201666

    600

    500

    400

    300 Harga Konstan 2010 Harga Berlaku 200

    100

    0 2012 2013 2014 2015* 2016**

    *Angka BPS sementara **Angka BPS sangat sementara Sumber: Data diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten. Grafik 4.2. menunjukkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Banten (Triliun Rupiah) atas Dasar Harga Kontan 2010 dan Harga Berlaku Tahun 2012-2016. Angkanya terus mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir dari Rp310,38 triliun pada 201267 menjadi Rp387,59 triliun pada 201668 berdasarkan harga konstan 2010. Bahkan jika diukur berdasarkan harga berlaku, tren kenaikannya sangat pesat dari

    65BPS, Banten dalam Angka 2016, 440. 66BPS Provinsi Banten, Banten dalam Angka 2017, 448-453 dan BPS Provinsi Banten, Banten dalam Angka 2016, 440-445. 67BPS, Banten dalam Angka 2016, 443 dan 445. 68BPS, Banten dalam Angka 2017, 451 dan 453. Ahmad Munjin 237

    Rp338,22 triliun pada 201269 menjadi Rp516,32 triliun pada 2016.70 Namun demikian, data tersebut baru menjelaskan sumber daya kekuasaan material71 yang menjadi basis kekuasaan oligarkis dari sisi makroekonomi dan belum menjelaskan apakah oligarki di Provinsi Banten terbentuk atau tidak. Sebab, yang menjelaskan pembentukan sistem pemerintahan oligarkis adalah stratifikasi material72 atau ketimpangan ekonomi yang ekstrem. Oleh karena itu, pada subbab berikutnya, peneliti menjelaskan ketimpangan ekonomi di Provinsi Banten. Sekali lagi, data PDRB di atas hanya memberikan konteks pada ketimpangan ekonomi tersebut yang menjadi prasyarat pembentukan sistem pemerintahan oligarkis. Perkembangan ekonomi Banten berdasarkan harga kons- tan sebelum Banten menjadi provinsi terpisah dari Jawa Barat hingga berdiri sendiri mengalami rentetan yang panjang. Di dalam rentetan tersebut terdapat perubahan metodologi hingga tiga kali. Karena perubahan metodologi itu, data-data yang dihasilkan bisa digunakan untuk analisis tapi harus teliti. Sebab, untuk tahun 2000 ke belakang, PDRB menggunakan harga konstan tahun dasar 1993. Sedangkan untuk 2000-2010 menggunakan tahun dasar 2000. Untuk 2010 ke atas, menggunakan tahun dasar 2010. Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi, BPS masih menggunakan tahun dasar. Sekarang, BPS sedang merancang dan dibantu pihak dari Australia untuk menyusun pertumbuhan ekonomi yang dasar- nya adalah tahun sebelumnya. “Jadi, nanti pertumbuhan ekonomi akan didasarkan pada dasar tahun sebelumnya. Saat ini, dasar tahunnya masih 10 tahun sekali.”73 Banten memisahkan diri dari Jawa Barat pada tahun 2000 dan PDRB-nya menggunakan tahun dasar 1993. Oleh karena itu,

    69BPS, Banten dalam Angka 2016, 442 dan 444 . 70BPS, Banten dalam Angka 2017, 450 dan 452. 71Winters, Oligarchy, 18-20. 72Winters, Oligarchy, 7. 73Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017.

    238 Oligarki dan Demokrasi... ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi pada tahun tersebut (2000) sudah mencapai 7%. Begitu masuk ke 2010-2011 bisa jatuh ke 4%. Akan tetapi, karena perbedaan tahun dasar tadi, angka 4% tidak menggambarkan kondisi riil sehingga jika dianalisis menjadi bias. Kenapa menggunakan perbedaan tahun dasar, karena harga komoditas dan ekonomi juga terus berkembang. Sesuai usul Perse- rikatan Bangsa-bangsa (PBB), PDRB saat ini diukur menggunakan tahun dasar 2010. “Bahkan ada rencana, untuk 2019 menggunakan tahun dasar 2016. Menjadi lebih pendek, 5 tahun sekali, hingga nantinya per tahun sekali yang menjadi tahun dasar penyusunan PDRB.”74

    2. Stratifikasi Material di Provinsi Banten Dari sisi demokratisasi ekonomi yang merefleksikan tipis- nya ketimpangan, secara statistik yang bisa dibaca dan diukur adalah ketimpangan berdasarkan Gini Coefisien Ratio yang biasa disebut indeks gini. Indeks gini menunjukkan kadar ketimpangan atau stratifikasi material tersebut. Jika angkanya mendekati 0 menunjukkan tingak ketimpangan yang tipis dan jika mendekati angka 0,45 menunjukkan ketimpangan yang berada pada level bahaya.75 Indeks gini pada level bahaya mendindikasikan adanya stratifikasi material76 yang esktrem dan memenuhi syarat pem- bentukan sistem pemerintahan oligarkis. Grafik 4.3. menunjukkan tren kenaikan ketimpangan tersebut di provinsi Banten.

    74 Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera- ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. 75Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. 76Winters, Oligarchy, 7. Ahmad Munjin 239

    Grafik 4.3. Rasio Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Banten Rasio Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Banten

    Indeks Gini

    0.42 0.42 0.37 0.37 0.4 0.38 0.39 0.39 0.39 0.33 0.36 0.36 0.34

    2002 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

    Sumber: Diolah dari data Gini Coefisien Ratio Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten.

    Dari Grafik 4.3. terlihat ketimpangan pendapatan yang menggambarkan bahwa kalangan atas merupakan penikmat terbe- sar pertumbuhan ekonomi di provinsi Banten. Ketimpangan pen- dapatan antar penduduk yang diukur dengan indeks Gini cende- rung mengalamai kenaikan yang berarti semakin timpang. Padahal sejatinya pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati secara merata oleh semua kelompok penduduk bukan sebaliknya di mana per- tumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati kalangan atas. Indeks Gini mencapai 0,39, yakni mendekati titik bahaya 0,45.77 Dengan demikian, berdasarkan indeks Gini, sistem oligarkis terus tercipta di provinsi Banten karena rasio ketimpangannya mendekati ekstrem. Selain pada Indeks Gini, ketimpangan juga bisa dilihat dari nilai absolut PDRB per kabupaten/kota yang jaraknya sangat terlihat jauh78 (lihat Grafik 4.4.).

    77BPS Provinsi Banten. 78Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017.

    240 Oligarki dan Demokrasi...

    Grafik 4.4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas Dasar Harga Berlaku Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten (Triliun Rupiah) Tahun 2012-2016

    160 Kota Tangerang 140 Kab. Tangerang 120

    100 Kota Cilegon

    80 Kab. Serang 60 Kota Tangerang 40 Selatan

    20 Kota Serang

    0 Kab. Lebak 2012 2013 2014 2015* 2016*

    *Angka BPS sementara **Angka BPS sangat sementara Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten.

    Grafik 4.4. menggambarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten dalam triliun rupiah sejak tahun 2012 hingga 2016. Grafik tersebut menunjukkan bahwa Kota Serang, Kabupa- ten Lebak, dan Kabupaten Pandeglang berada di posisi tiga teren- dah secara konsisten sejak 2012. Di lain sisi, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon selalu menempati posisi tiga teratas nilai nominal PDRB. Sementara itu, Kabupaten Serang dan Kota Tangerang Selatan selalu berada di posisi tengah secara konsisten. Dari sisi tren pertumbuhan pun, Kota Tangerang jauh lebih pesat dibandingkan tiga wilayah, yakni Kota Serang, Kabupaten Lebak, dan Pandeglang yang meski mengalami per- tumbuhan tapi lambat. Dengan demikian, ketimpangan terlihat Ahmad Munjin 241 ekstrem antara Kabupaten/Kota yang berada di wilayah utara Banten dan wilayah selatan. Ketimpangan ekonomi ditandai oleh dua komponen utama di Banten, yakni wilayah industri di wilayah utara yang relatif kaya dan wilayah pertanian di selatan yang relatif miskin. Banten sebelah utara yang merupakan wilayah industri, yaitu: Kabupaten Serang, Kota Serang. Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Cilegon. Sementara itu, Banten sebelah selatan: Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Meski masuk kategori wilayah industri, Kota Serang di- sebut sebagai ‘bak beton’, yang hanya berfungsi sebagai penyang- ga di mana ekonomi lebih banyak digerakkan oleh sektor jasa. Saat Serang melepaskan diri dari Kabupaten, Kota Serang sebe- narnya bisa dikatakan tidak memiliki apa-apa. Secara teritori, kota ini dipisahkan oleh Walangkaka dan Kabupaten Serang. “Ada industri di Walangkaka, tapi sedikit. Kalau tidak ada Walangkaka, Kota Serang payah karena hanya mengandalkan royalti. Itu akibat dari pemekaran yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politis.”79 Selain faktor industri, menurut BPS Provinsi Banten, stratifikasi material80 juga salah satunya dipicu oleh adanya sense yang timpang antara pekerja migran dan non-migran. Perusahaan- perusahaan di Banten tidak mengutamakan penduduk setempat dalam pengangkatan karyawan. Jika pihak industri membuka lowongan pekerjaan, mereka enggan untuk memprosesnya karena semua pelamar berasal dari daerah setempat. Faktanya pun, BPS Provinsi Banten mempunyai pengalaman menguji para pelamar pekerjaan dari Universitas Tirtayasa (Untirta) yang hasilnya mem- perlihatkan adanya ketimpangan pengetahunan dan kecakapan (lack of knowledge and skills) antara migran dan nonmigran.

    79Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. 80Winters, Oligarchy, 7.

    242 Oligarki dan Demokrasi...

    Kondisi ini diperparah oleh faktor budaya di mana nonmigran punya ketergantungan terhadap keluarga sehingga tidak ada upaya untuk kerja keras dalam meraih pekerjaan yang layak. Di lain sisi, migran lebih terdorong oleh situasi di perantauan untuk kerja ke- ras dalam mempertahankan diri. Pada kenyataannya, pada level industri juga terdapat diskriminasi.81 Pada akhirnya, pemerintah provinsi Banten mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang mengharuskan industri mengang- kat penduduk setempat minimal 5% dari total karyawan. Akan tetapi, berdasarkan survei BPS, implementasi Perda tersebut tidak berjalan. Tetap saja calon karyawan asal Jawa dan Lampung ber- bondong-bondong membuat KTP sebagai warga lokal dengan membayar lebih mahal dan menjadi karyawan. Kesempatan 5% untuk warga lokal pun terhapus. Akibatnya, terjadilah persaingan yang tidak sehat karena migran berani untuk membayar mahal dalam proses pembuatan KTP lokal. Karena terjadi perbedaan faktor produksi dan akses ke sumber-sumber ekonomi, ketimpa- ngan ekonomi tidak bisa dihindari. Jadi, gini coefisien dan PDRB merupakan indikasi yang paling gampang untuk menunjukkan ketimpangan di Provinsi Banten.82 Meski begitu, untuk melihat industri sebagai faktor utama ketimpangan, PDRB bisa dipisahkan antara industri dan tanpa industri. Jika PDRB dihitung tanpa industri untuk semua kabupa- ten/kota, angkanya relatif homogen mulai dari Pandeglang hingga Tangerang. “Begitu industri dimasukkan ke dalam komponen

    81Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. 82Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. Ahmad Munjin 243

    PDRB, terlihat sangat jomplang sehingga coefisien gini-nya lang- sung melebar.”83 Lihat Grafik 4.5.

    Grafik 4.5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tanpa Komponen Industri atas Dasar Harga Berlaku Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten (Triliun Rupiah) Tahun 2012-2016 100 90 Kab. Pandeglang 80 Kab. Lebak 70

    60 Kab. Tangerang 50 40 Kab. Serang 30 Kota Tangerang 20

    10 Kota Cilegon 0 2012 2013 2014 2015 2016

    Sumber: Data diolah dari Provinsi Banten dalam Angka, Kabupaten/Kota di Provinsi Banten dalam Angka, PDRB Kabupaten/Kota, dan Data Statistik Kabupaten/Kota Tahun 2015, 2016, dan 2017. Setelah industri manufaktur dikeluarkan dari komponen PDRB, Grafik 4.5. tetap memperlihatkan tren ketimpangan penda- patan antara Banten di wilayah utara dan wilayah selatan. Kota Tangerang memimpin PDRB tertinggi tanpa komponen industri jauh di atas Kabupaten Tangerang yang menempati rangking kedua. Sementara itu, Kota Tangerang Selatan menempati rang-

    83Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017.

    244 Oligarki dan Demokrasi... king ketiga. Di lain sisi, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeg- lang menempati PDRB tanpa industri terendah disusul Kota Serang, Kabupaten Serang, dan Kota Cilegon. Dari grafik ini, kabupaten/kota yang relatif homogen dari sisi PDRB tanpa indus- tri adalah lima kabupatan/kota yang disebutkan terakhir. Dari sisi ini, secara makroekonomi, Kota Tangerang, Kabupaten Tange- rang, dan Kota Tangerang Selatan memiliki sumber daya kekua- saan material84 terbesar yang menjadi basis kekuasaan oligarkis dibandingkan lima kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten. Semua itu menggambarkan ketimpangan atau stratifikasi materi- al85 di tanah para jawara itu dari sudut pandang makroekonomi. Akan tetapi, data-data tersebut belum mengerucut pada siapa saja yang menjadi aktor oligarki. Data berikutnya adalah pengeluaran per kapita (lihat Grafik 4.6.).

    Grafik 4.6. Pengeluaran per Kapita yang Disesuaikan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten (Juta Rupiah/Tahun), 2013-2016 16 Kota Tangerang 14 Selatan 12 Kota Serang 10 Kota Cilegon 8

    6 Kota Tangerang 4 2 Kab. Serang 0 Kab. Tangerang 2013 2014 2015 2016

    Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Provinsi Banten dalam Angka 2017 (Serang: BPS Provinsi Banten, 2017), 166.

    84Winters, Oligarchy, 18-20. 85Winters, Oligarchy, 7. Ahmad Munjin 245

    Grafik 4.6. menggambarkan pengeluaran per kapita yang disesuaikan menurut kabupaten/kota di provinsi Banten dalam juta rupiah per tahun sejak 2013 hingga 2016. Pengeluaran diteo- rikan sama dengan pendapatan. Sebab, orang tidak mungkin mela- kukan pengeluaran konsumsi jika tidak memiliki pendapatan.86 Angkanya menunjukkan, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pan- deglang menempati pengeluaran per kapita terendah. Di lain sisi, Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang menempati penge- luaran per kapita tertinggi, hampir dua kali lipat pengeluaran terendah. Data pengeluaran ini juga jelas memperlihatkan adanya ketimpangan. Selanjutnya, data PDRB per kapita (lihat Grafik 4.7.).

    Grafik 4.7. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita (Juta Rupiah) di Provinsi Banten Tahun 2016 PDRB per Kapita

    250 200 150 100 50 PDRB per Kapita 0

    Sumber: Nur Rodiana dan Ulfah Sofiah, Statistik Daerah Kabupaten Pandeglang 2017, ed. Tri Tjahjo Purnomo (Pandeglang: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pandeglang, 2017), 21.

    86Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017.

    246 Oligarki dan Demokrasi...

    Dengan melihat pada Grafik 4.7., dalam konteks Banten secara keseluruhan, penduduk Kota Cilegon mengalami konsen- transi sumber daya kekuasaan material87 yang ekstrem berdasar- kan PDRB per kapita tahun 20116 dibandingkan tujuh kabupa- ten/kota lainnya. Dari sisi ini, secara makro ekonomi, Kota Cilegon potensial lebih banyak memiliki oligark dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten. Sebab, akumulasi kekayaan terkonsentrasi pada kota tersebut jika dibaca dalam konteks Banten secara keseluruhan bukan Cilegon saja. Jika hanya fokus pada kota Cilegon, harus dilihat seberapa banyak penduduk miskin di wilayah tersebut. Jika banyak, menandakan terjadinya ketimpangan ekstrem yang mendefinisikan terjadinya sistem oligarkis di kota Cilegon saja. Untuk itu, lihat Grafik 4.8. berikut ini:

    Grafik 4.8. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten (ribu orang), 2013-2016 250

    200

    150

    100 2014 50 2015 0 2016

    Sumber: Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Provinsi Banten dalam Angka 2017 (Serang: BPS Provinsi Banten, 2017), 152.

    87Winters, Oligarchy, 18-20. Ahmad Munjin 247

    Grafik 4.8. menggambarkan jumlah penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Provinsi Banten dalam ribu orang sejak tahun 2013 hingga 2016. Yang patut ‘dicurigai’ dari grafik tersebut adalah tingginya angka kemiskinan di Kabupaten Tange- rang. Sebab, kabupaten ini dari sisi PDRB menempati urutan tertinggi dibandingkan wilayah-wilayah lain. Jika pertumbuhan ekonomi tinggi tapi angka kemiskinan juga tinggi, menandakan bahwa pertumbuhan hanya dinikmati oleh segelintir orang dari kelas menengah atas. Ini juga jadi pertanda adanya stratifikasi material yang menjadi syarat terbentuknya sistem oligarkis di Kabupaten Tangerang secara makroekonomi. Yang perlu dicermati berikutnya adalah Kota Tangerang yang angka kemiskinannya hampir menyamai Kabupaten Pandeg- lang dan Kabupaten Lebak yang merupakan wilayah dengan PDRB terendah. Padahal, seperti halnya Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang menempati urutan PDRB tertinggi. Dari sisi ini, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang potensial oligarkis karena terciptanya ketimpangan. Sedangkan Kota Cilegon me- nempati jumlah penduduk miskin terendah. Padahal, PDRB per kapita Kota Cilegon merupakan yang tertinggi. Kondisi ini me- nandakan sumber daya kekuasaan material di Cilegon relatif terdistribusi secara merata sehingga prasyarat sistem oligarkis tidak terpenuhi jika semata melihat wilayah tersebut. Jika Cilegon dilihat dalam konteks Banten secara keseluruhan, ceritanya justru berbeda. Cilegon menempati akumulasi sumber daya kekuasaan terbesar dibandingkan wilayah lain di Banten sehingga para penduduknya potensial menjadi para oligark. Seiring data-data di atas yang dilihat sebagai struktur eko- nomi di provinsi Banten, BPS menentukan elite ekonomi tidak pada klan tertentu sebagaimana diberitakan media massa. BPS lebih melihat kepada siapa pemegang produksi terbesar. Dalam konteks ini adalah kalangan industri. Dari sisi ini, kalangan indus- trilah yang menguasai sumber daya kekuasaan material88 terbesar.

    88Winters, Oligarchy, 18-20.

    248 Oligarki dan Demokrasi...

    Sebab, dari struktur PDRB terlihat 56% ekonomi Banten digerak- kan oleh industri. Ekspor dan impor terbesar Banten juga merupa- kan komoditas industri. Para pelaku industribanyak mengimpor, lalu diolah di Banten, setelah nilai tambahnya naik lalu dijual kembali. Keadaan tersebut sebenarnya dinilai baikdi awal tapi, jika dibiarkan terus, ekonomi akan sangat tergantung pada kondisi luar negeri. Jika Banten tidak bisa menciptakan produk sebagai substitusi impor, lambat laun tapi pasti ekonomi Banten akan mengalami stagnasi. Sejatinya, industri yang ada di Banten dia- rahkan ke industri yang bahan bakunya terdapat di Banten, bukan impor. Bisa saja UMKMdomestik yang pelakunya merupakan penduduk lokal mendukung industri yang ada. “Jika tidak ada substitusi impor, saat di luar guncang, akan berpengaruh ke Banten yang terbukti pada krisis 1997-1998, di mana beberapa perusahaan gulung tikar di Tangerang, Cilegon, dan Cikande. Para karyawan yang di-PHK kembali bertani, membuat bisnis bunga dan macam-macam.”89 Kemudian, untuk menunjuk para pelaku industri itu seba- gai aktor oligark di Banten dengan pertimbangan kekuasaan mereka atas sumber daya material,90 mayoritas mereka merupakan investor luar, bukan penduduk Banten. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sebanyak 80% Penana- man Modal Dalam Negeri (PMDN) merupakan investor non- Banten. Banten merupakan tempat tujuan investasi favorit nomor 5 di mana Banten masuk ke dalam koridor Jawa-Bali sebagai tujuan investasi. Dari sisi lokasi, Banten sebenarnya diutungkan. Bahkan sejak zaman Banten prakemerdekaan sudah diuntungkan karena wilayah ini strategis.91

    89Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. 90Winters, Oligarchy, 18-20. 91Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. Ahmad Munjin 249

    Dengan melihat data Gini Coefisien Ratio, PDRB atas dasar harga berlaku menurut kabupaten/kota di provinsi Banten (triliun rupiah) tahun 2012-2016, PDRB tanpa komponen industri atas dasar harga berlaku menurut kabupaten/kota di provinsi banten (triliun rupiah) tahun 2012-2016, pengeluaran per kapita yang disesuaikan menurut kabupaten/kota di provinsi Banten (juta rupiah/tahun), 2013-2016, PDRB per kapita (juta rupiah) di provinsi Banten tahun 2016, dan jumlah penduduk miskin menurut kabupaten/kota di provinsi Banten (ribu orang) sejak 2013 hingga 2016 ketimpangan sumber daya kekuasaan material92 jelas tercipta di provinsi Banten. Stratifikasi material yang paling ekstrem ter- jadi antara Banten wilayah utara terutama kabupaten Tangerang dan kota Tangerang dan wilayah selatan, terutama kabupaten Lebak dan kabupaten Pandeglang. Jika dilihat per wilayah, Kota Cilegon memiliki sumber daya material yang relatif merata dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Oleh karena itu, potensi terciptanya sistem pemerintahan oligarkis di Cilegon relatif kecil. Sebab, Cilegon memiliki PDRB per kapita tertinggi dengan tingkat kemiskinan terendah. Di lain sisi, kota Tangerang dan kabupaten Tangerang menempati rang- king PDRB tertinggitapi tingkat kemiskinan juga tinggi Kabupa- ten Tangerang bahkan menempati angka kemiskinan tertinggi. Oleh karena itu, bisa ditafsirkan, tingginya pendapatan wilayah tersebut tidak dinikmati oleh sebagian besar warganya. Yang perlu dicermati adalah Kota Tangerang dengan PDRB tertinggi tapi tingkat kemiskinannya hampir menyamai kabupaten Lebak dan Pandeglang yang notabene memiliki PDRB terendah. Itu juga me- nunjukkan ketimpangan sumber daya material di Kota Tangerang. Sementara itu, tingginya tingkat kemiskinan di Lebak dan Pan- deglang sejalan dengan tingkat PDRB-nya yang menempati posisi terendah di provinsi Banten. Jika Cilegon memiliki sumber daya material yang relatif merata, Lebak dan Pandeglang memiliki kurangnya sumber daya material yang relatif merata. Namun

    92Winters, Oligarchy, 7.

    250 Oligarki dan Demokrasi... demikian, alih-alih Lebak dan Pandeglang tidak memiliki potensi oligarkis, kedua kabupaten ini sangat rentan terbentuknya sistem oligarkis jika terdapat segelintir orang yang memiliki kekayaan yang sangat ekstrem. Di atas semua itu, berdasarkan data-data yang menunjuk- kan ketimpangan di atas, dari sudut pandang makroekonomi, stra- tifikasi material di provinsi Bantencenderung memenuhi syarat terbentuknya pemerintahan oligarkis. Apakah provinsi Banten otomatis tidak demokratis, jawabannya benar secara ekonomi tapi belum tentu secara politik karena harus dilihat profil sumber daya kekuasaannya yang melekat pada para pemangku kekuasaan politik. Jika profil kekuasaannya berbasis material yang ekstrem, bisa dinyatakan oligarkis. Jika basis kekuasaanya elite, yakni mobilisasi, jabatan resmi, hak politik formal, dan koersif, maka dinyatakan demokratis. Sebab, demokrasi menghendaki partisipasi hak politik secara luas sedangkan oligarki menghendaki konsen- trasi kekayaan. Oleh karena itu, meski Banten memenuhi syarat sebagai pemerintahan oligarkis dari sisi sumber daya material, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Banten mengalami perbaikan dalam setahun terakhir (lihat Grafik 4.9.) meskipun masih dalam kategori ‘sedang’.

    Ahmad Munjin 251

    Grafik 4.9. Perkembangan IDI Provinsi Banten, 2009-2016

    Perkembangan IDI Provinsi Banten, 2009-2016

    80 60 40 20 IDI Banten 0 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

    Sumber: BPS Provinsi Banten, “Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Banten 2016,” Berita Resmi Statistik Provinsi Banten, no. 54/09/36/Th.XI, 14 September 2017, 2.

    Grafik 4.9. mengambarkan IDI Banten 2016 mencapai angka 71,36 dalam skala 0 sampai 100. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan angka IDI Banten 2015 yang sebesar 68,46. Meskipun sedikit mengalami perubahan, tingkat demokrasi di Banten masih termasuk dalam kategori ‘sedang.’93 Perubahan angka IDI dari 2015-2016 dipengaruhi oleh tiga aspek demokrasi, yakni pertama, Kebebasan Sipil yang naik 9,19 poin (dari 74,28 menjadi 83,47); kedua, Hak-hak Politik yang naik 4,58

    93Klasifikasi tingkat demokrasi dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni “baik” (indeks › 80), “sedang” (indeks 60-80), dan “buruk” (indeks ‹ 60). Lihat BPS Provinsi Banten, “Indeks Demokrasi Indonesia (Idi) Banten 2016,” Berita Resmi Statistik Provinsi Banten, No. 54/09/36/Th.XI, 14 September 2017, 1.

    252 Oligarki dan Demokrasi... poin (dari 63,72 menjadi 68,30), dan ketiga, Lembaga-lembaga Demokrasi yang turun 7,67 poin (dari 68,66 menjadi 60,99).94 Pencapaian angka IDI Banten dari tahun 2009 hingga 2016 mengalami fluktuasi. Pada awal mula dihitung tahun 2009, capaian IDI Banten hanya sebesar 67,98. Angka ini terus menga- lami perubahan hingga mencapai momen tertingginya pada tahun 2014 sebesar 75,50; walaupun pada akhirnya kembali turun menjadi 68,46 di tahun 2015 dan meningkat kembali pada tahun 2016 sebesar 71,36. Fluktuasi angka IDI adalah cerminan situasi dinamika demokrasi di Banten. IDI sebagai sebuah alat ukur perkembangan demokrasi yang khas Indonesia memang dirancang untuk sensitif terhadap naik-turunnya kondisi demokrasi. IDI disu- sun secara cermat berdasarkan kejadian (evidence-based) sehingga potret yang dihasilkan merupakan refleksi realitas yang terjadi.95 Demokrasi politik mengacu pada tersebarnya kekuasaan politik formal yang didasarkan atas hak-hak, prosedur-prosedur, dan level-level partisipasi umum.96 Jika ekonomi tersebar merata, berarti tercipta demokratisasi ekonomi. Jika sebaliknya, yang ter- cipta adalah oligarki. Sistem ini mengacu pada terkonsentrasinya kekuasaan material yang didasarkan pada penegakan klaim-klaim atau hak-hak atas kepemilikan atau kekayaan.97 Jika kekuasaan material tersebar secara merata yang berarti demokratisasi ekono- mi berjalan, oligarki pun tidak ada. Bahkan, kalaupun terjadi kon- sentrasi kekayaan yang ekstrem pada suatu wilayah, secara formal demokrasi tetap berjalan. Dari sisi ini, oligarki bertentangan dengan demokrasi ekonomi tapi sejalan dengan demokrasi politik formal, bukan subtansial.

    94BPS Provinsi Banten, “Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Ban- ten 2016,” Berita Resmi Statistik Provinsi Banten, No. 54/09/36/Th.XI, 14 September 2017, 1. 95BPS Provinsi Banten, “Indeks Demokrasi Indonesia (Idi) Banten 2016,” Berita Resmi Statistik Provinsi Banten, No. 54/09/36/ Th.XI, 14 September 2017, 1. 96Winters, Oligarchy, 39. 97Winters, Oligarchy, 39. Ahmad Munjin 253

    3. Sumber Daya Material Kiai dan Jawara dalam Struktur Ekonomi di Provinsi Banten Lantas, di manakah posisi kelompok jawara dan kiai yang menjadi fokus utama penelitian ini dalam struktur ekonomi di Provinsi Banten? Jika melihat data BPS Provinsi Banten tahun 2016, secara statistik kedua informal leader98 itu masuk ke dalam kategori pengeluaran konsumsi lembaga non-profit (LNPRT)99 dalam PDRB menurut pengeluaran. Dari sudut pandang sumber daya kekuasaan material,100 kontribusi LNPRT tidak signifikan terhadap PDRB. Meski angkanya mencapai Rp2,38 triliun, kontri- businya hanya 0,46% dari nilai total PDRB Provinsi Banten tahun 2016 sebesar Rp516,32 triliun.101Pada lembaga non-profit terdapat pengeluaran konsumsi lembaga keagamaan, lembaga sosial, dan organisasi kemasyarakatan di mana kiai dan jawara termasuk di dalamnya. Sebab, di dalam lembaga keagamaan di antaranya ter- dapat pondok pesantren.102

    98Abdul Hamid, “The Kiai in Banten: Shifting Roles in Cha- nging Times,” dalam Islam in Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia, eds. Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, dan Ahmad Suaedy (Jakarta: Wahid Institute, Kyoto: Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Taiwan: Center for Asia-Pacific Area Studies (CAPAS), 2010), 438. 99PDB menurut pengeluaran mengalami perubahan klasifikasi di mana pengeluaran konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) yang sebelumnya termasuk bagian dari pengeluaran konsumsi rumah tangga menjadi komponen terpisah. Oleh karena itu, klasifikasi PDB menurut pengeluaran dirinci menjadi 7 komponen, yaitu komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi LNPRT, pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan inventori, ekspor barang dan jasa, dan impor barang dan jasa. Lihat BPS Provinsi Banten, Banten dalam Angka 2017, 443. 100Winters, Oligarchy, 18-20. 101BPS Provinsi Banten, Banten dalam Angka 2017, 450. 102Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera- ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017.

    254 Oligarki dan Demokrasi...

    Namun demikian, meski kontribusi LNPRT terhadap PDRB tidak signifikan, profil sumber daya kekuasaan seorang kiai secara kelembagaan melalui pondok pesantren, jauh lebih besar dibandingkan jawara. Sebab, 80% pengeluaran lembaga non-profit diisi oleh pondok pesantren. Sementara itu, jawara masuk ke da- lam kelompok seni budaya dan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang kontribusninya tidak mencapai 0,1%.103 Jadi, jika mengacu pada LNPRT, secara makroekonomi, sumber daya kekuasaan material104 kiai dengan pondok pesantrennya lebih dominan diban- dingkan jawara. Bahkan, pertumbuhan LNPRT bisa lebih tinggi daripada konsumsi pemerintah atau mengalahkan ekspor yang hanya tumbuh 2%. “LNPRT bisa tumbuh 12% terutama pada saat musim-musim acara keagamaan meskipun dari sisi kontribusinya terhadap PDRB kecil karena penggalangan dana untuk acara keagamaan lebih bersifat seiklasnya dan semampunya.”105 Kesulitan BPS dalam melakukan survei ke pesantren adalah jawaban dari pimpinan pondok yang tidak eksplisit dalam menyebutkan nilai nominal rupiah atau angka. Jika surveyor berta- nya kepada kiai, “Pak Kiai, mohon maaf, ini survei rutin. Mohon maaf, pondok ini, triwulan ini, pengeluaran untuk bahan bakar berapa?” Jawab kiai, “Wah Masha Alla>h.. Saaya-aya bae (seada- nya saja), kumaha (bagaimana) Allah. Aya dipake (kalau ada digunakan), teu aya wayahna (kalau tidak ada, harus diterima), pake (pakai) lilin.” “Pak kiai kemarin muludan (melaksanakan acara maulid Nabi)?” Jawab kiai, “Muludan.” Ada acara? “Ada.” “Berapa Pak Kiai menghabiskan biaya?” Jawab kiai, “Enggak tahu, walla>hu ’A‘lam, datang sorangan (sendiri).” Akan tetapi, untuk pondok modern, pesantren memiliki catatan akuntasi keua-

    103Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera- ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. 104Winters, Oligarchy, 18-20. 105Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera- ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. Ahmad Munjin 255 ngan (accounting) yang rapi sehingga BPS bisa langsung menda- patkan datanya. Masalahnya, pesantren tradisional (salafiyah) justru lebih banyak, yakni 80% dibandingkan pondok modern. Padahal, perputaran uang di pondok pesantren sangat besar.106 Pesantren dihitung sebagai institusi ekonomi karena lem- baga tersebut membuthkan suplai, seperti beras, padi, kerbau, dan energi sehingga pesantren bisa menggerakan sektor lapangan usaha, termasuk industri. Sebab, pesantren juga membutuhkan mixer, tenda, tenaga kerja, dan lain-lain yang semuanya harus dihitung secara ekonomi. “Jika di Banten hanya ada dua sektor yakni industri dan para kiai, dan pesantren tidak memiliki akti- vitas ekonomi, permintaan industri pun akan mati karena tidak bisa menjual barang. Untuk apa industri melakukan produksi jika tidak ada permintaan.”107 Oleh karena itu, jika para kiai itu bersatu, pertama, secara nilai ekonomi mengalahkan para jawara. Kedua, dari sisi fungsi ekonomi, jawara selalu hanya berada di posisi pejabat teras, seperti satpam atau koordinator satpam. Kondisi ini kontras dengan para kiai, yang terkadang berada di belakang dewan direksi, seperti jabatan di dewan syariah. Bahkan, ketiga, kiai berperan penting dalam jaringan (network) produksi dan distri- busi. Sebagai contoh, industri makanan gula yang akan mendistri- busikan produknya ke industri kue. Di sini, peran kiai sangat besar, yakni memastikan bahwa gula yang didistribusikan tersebut masuk ke dalam jaringan industri yang halal dan layak konsumsi. Begitu juga saat mengeluarkan produk, industri harus memiliki sertifikat halal dari para kiai melalui Majelis Ulama Indonesia

    106Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera- ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. 107Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera- ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017.

    256 Oligarki dan Demokrasi...

    (MUI). Dari sisi fatwa dan sertifikat halal, peran dan fungsi kiai dalam industri penting dan dominan 100%.108 Biaya sertifikat-sertifikat termasuk sertifikat halal dari MUI merupakan fixed investasi yang difaktorkan ke dalam Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dalam PDRB. Sebab, untuk menerbitkan suatu sertifikat yang berpengaruh dalam faktor produksi dan distribusi sebuah industri otomatis membutuhkan biaya riset. Sebagai contoh, industri kayu di Banten tidak bisa melakukan ekspor ke Amerika Serikat jika tidak memiliki sertifi- kat bahwa kayu tersebut merupakan hasil tanaman industri. Sertifikat halal merupakan salah satu di antaranya. Begitu juga dengan makanan yang tidak bisa dijual bebas tanpa sertifikat halal dari MUI.109 Jadi, secara makroekonomi, nilai seorang kiai lebih besar dibandingkan jawara. Dengan jumlah ribuan pondok pesan- tren, secara ekonomi peran kiai sangat sentral. Akan tetapi, karena bersifat makro nilai ekonomi pondok pesantren secara kelemba- gaan tidak bisa diklaim sebagai nilai ekonomi kiai sebagai pribadi dalam perhitungan mikro.110 Jika dihitung secara mikro sumber daya seorang jawara terntu lebih besar dibandingkan kiai. Dalam konteks ini jawara diperhitungkan sebagai individu, seperti yang direpresentasikan oleh keluarga jawara Chasan Sochib yang menyandang status ganda sebagai jawara-pengusaha, bukan jawara pada umumnya. Jawara-pengusaha memiliki sumber daya materal yang kuat karena menguasai sektor konstruksi, sebagai pemilik. Meskipun, fungsi jawara di konstruksi itu tetap berawal dari jawara sebagai

    108Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera- ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. 109Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera- ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. 110Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera- ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. Ahmad Munjin 257

    ‘pejabat teras’, di mana jawara berperan sebagai centeng, satpam, dan jawara yang mengamankan wilayah. Akan tetapi, secara ekonomi posisi ini sebenarnya tidak bisa bertahan lama. Sebab, ekonomi nantinya berkembang dan terus berubah seperti sekarang yang mengarah ke transaksi online. “Jawara tidak bisa memainkan peran pada transaksi online. Di lain sisi, banyak kiai sekarang yang sudah mengerti transaksi online. Abuya Cidahu saja sudah menyarankan santrinya untuk membuka www (world wide web).”111 Selain gambaran sumber daya kekuasaan material112 di atas, kiai melalui pondok pesantrennya juga memiliki sumber daya kekuasaan mobilisasi113 baik dari sisi jumlah pondok maupun jumlah santri yang berusia pemilih. Data pondok pesantren, kiai dan santri sering dijadikan alat politik oleh para politikus dalam Pilkada. “Mereka meminta bantuan ke Pemda Rp100 juta per pondok pesantren. Lalu, politikus meminta bantuan kepada kiai dan para santri untuk didoakan dan para santri juga disuruh kiai untuk mencoblos politikus tersebut dalam Pilkada.”114Dengan jumlah 1.682 pondok pesantren di Banten,115 secara politik, profil kekuasaan para kiai sebenarnya sangat besar jika mereka bersatu. Bahkan, jika mengacu pada data Departemen Agama, pondok pesantren di provinsi Banten pada 2008/2009 berjumlah sebanyak 2.514.116 Sebab, jumlah pesantren tersebut bisa menjadi sumber

    111Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. 112Winters, Oligarchy, 18-20. 113Winters, Oligarchy, 15-18. 114Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera- ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. 115Hamid, “Kiai in Banten,” 421. 116Bagian Perencanaan dan DataSetditjen Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, “Daftar Jumlah Santri dan Nama Kyai Tahun 2008/2009.”

    258 Oligarki dan Demokrasi... daya kekuasaan mobilisasi politik117 bagi para kiai yang juga besar. Apalagi, rata-rata santri adalah berusia pemilih. Dari sisi profil kekuasaan seperti itu, yang seharusnya berkuasa secara politik di Banten adalah para kiai dengan basis kekuasaan mobilisasinya118 yang signifikan jika mereka bersatu. Masalahnya, alih-alih mereka bersatu membangun satu kekuatan mobilisasi119 politik melalui pondok pesantrennya, para kiai justru menjadi objek dari entitas politik lain, seperti jawara-pengusaha120 yang memiliki profil sumber daya kekuasaan material121 yang besar. Salah satu kelanggengan Ratu Atut Chosiyah dalam kekua- saan hingga terus menjabat pada periode berikutnya dari wakil hingga menjadi gubernur dua kali adalah karena kedekatannya juga dengan para kiai. “Kelebihan warga lokal di sini adalah ketika dia sudah mengaku sebagai saudara, dia akan berkorban melebihi pengorbanan kepada saudara kandungnya. Begitu juga dengan politik. Jika politikus mendapat dukungan dari ‘barisan sorban,’ pemilih cenderung panatik terhadap apa yang menjadi pilihan kiai.”122 Dari pembahasan subbab ini peneliti menarik benang merah bahwa secara kelembagaan dan makroekonomi baik dari sisi sumber daya kekuasaan mobilisasi123 maupun sumber daya kekuasaan material,124 peran kiai jauh lebih besar dibandingkan jawara pada umumnya. Bahkan, secara individu pun, kiai bisa

    117Winters, Oligarchy, 15-18. 118Winters, Oligarchy, 15-18. 119Winters, Oligarchy, 15-18. 120Leo Agustino, “Dinasti Politik Pascaotonomi Orde Baru: Pengalaman Banten,” Prisma: Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi29, No. 3 (Juli 2010): 110. 121Winters, Oligarchy, 18-20. 122Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera- ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, di Serang, Senin, 30 Oktober 2017. 123Winters, Oligarchy, 15-18. 124Winters, Oligarchy, 18-20. Ahmad Munjin 259 lebih unggul dibandingkan jawara. Sebab, dari sisi pekerjaan, rata- rata jawara hanya bekerja sebagai pejabat teras, seperti satpam atau centeng sedangkan kiai bisa berada di belakang dewan direksi dalam susunan komisaris dan direksi suatu perusahaan di Provinsi Banten. Akan tetapi, jika kiai dibandingkan dengan jawara terten- tu (bukan secara kelembagaan) sebagaimana terefleksi dalam LNPRT, yakni keluarga jawara yang punya status ganda (jawara- pengusaha), Tubagus Chasan Sochib misalnya, profil kekuasaan materialnya tentu jauh lebih rendah. Apalagi, kekayaan yang diref- leksikan oleh pengeluaran konsumsi pesantren tidak bisa diklaim sebagai milik kiai. Dari sisi jumlah pondok pesantern, profil kekuasaan kiai secara kelembagaan jauh lebih unggul dari sisi mobilisasinya sedangkan jawara-pengusaha lebih unggul dari sisi sumber daya kekuasaan materialnya. Itulah alasan profil kekuasaan kiai dan jawara harus dilihat secara kelembagaan dan secara pribadi atau individu. Secara individu pun harus dilihat apakah jawara-kiai pada umumnya atau jawara-kiai tertentu. Perihal profil kekuasaan seorang jawara-pengusaha, akan dibahas pada subbab berikutya.

    C. Keluarga Jawara Chasan Sochib sebagai Oligark di Banten Aristoteles membedakan prinsip oligarki, yakni kekayaan (wealth) dengan kebajikan (virtue) yang menjadi prinsip aristo- krasi.125Pada subbab ini, peneliti menjelaskan prinsip oligarki tersebut pada para anggota keluarga besar Tubagus Chasan Sochib. Penjelasan terutama mengenai hak milik dan kekayaan sebagai sumber daya kekuasaan yang mengukur kadar oligarki mereka yang direpresentasikan oleh Indeks Kekuasaan Material (Material Power Index/MPI).

    125Friedrich, “Oligarchy,” 463.

    260 Oligarki dan Demokrasi...

    1. Para Ahli Waris Tubagus Chasan Sochib Jika mengacu pada teori sumber daya kekuasaan,126 keluarga Chasan Sochib tidak hanya menggunakan sumber daya materialnya yang menjadi basis kekuasaan oligarkis dalam meraih tampuk kekuasaan. Akan tetapi, keluarga tersebut juga menggu- nakan sumber daya kekuasaan koersif127 yang menjadi salah satu basis kekuasaan elite. Sementara itu, jika meminjam bahasa Richard Robison dan Vedi R Hadiz, jenis Oligarki keluarga Sochib adalah politico-business families, yakni keluarga-keluarga yang mengandung unsur-unsur bisnis dan politik.128 Meskipun demikian, menurut Winters, politico business families itu belum tentu masuk ke dalam kategori oligark jika tidak mencapai stratifikasi material yang ekstrem129 hingga ribuan kali. Oleh karena itu, perlu ditegaskan di sini, semua oligark dipastikan merupakan orang kaya, tapi tidak semua orang kaya merupakan oligark sebagaimana semua oligark merupakan elite tapi tidak semua elite adalah oligark. Jika kekuasaan dipegang oleh para elite yang tidak kaya ekstrem, sistemnya disebut demo- krasi dan jika kekuasaan dipegang oleh sedikit orang terkaya, sistemnya disebut oligarki. Sebelum menjelaskan seberapa besar kadar oligarki dari para anggota keluarga besar Tubagus Chasan Sochib, peneliti melihat terlebih dahulu siapa saja yang menjadi ahli waris Chasan Sochib yang kelak menjelma menjadi para oligark. Secara umum, kekayaan yang menjadi sumber daya kekuasaan oligarkis para anggota keluarga Tubagus Chasan Sochib diklaim sebagai warisan dari ayahnya130 (lihat Bagan 4.1).

    126Winters, Oligarchy, 11-20. 127Winters, Oligarchy, 15. 128Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politic of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge Curzon, 2004), xii. 129Winters, Oligarchy, 281. 130Rakhmatullah, “Harta Berlimpah, Keluarga Atut Klaim Warisan Ayahnya,” Sindonews.com, Sabtu, 12 Oktober 2013, diakses 24 Ahmad Munjin 261

    Bagan 4.1. Silsilah Ahli Waris Tubagus Chasan Sochib

    Tubagus Chasan Sochib

    Wasi‘ah Binti Samsudin Ratu Atut Chosiyah* (Istri Pertama, Menikah 2-11-1960) Ratu Tatu Chasanah*

    Tubagus Chaeri Wardana

    Chaeriyah (Istri Kedua, Ratu Heni Chendrayani Menikah 21 Mei 1968)

    Ratu Wawat Cherawati

    Tubagus Hafid Habibullah

    Tubagus Ari Chaerudin

    Ratu Hera Herawati

    Januari 2017, http://nasional.sindo news.com/read/793800/13/harta- berlimpah-keluarga-atut-klaim-warisan-ayahnya-1381564726.

    262 Oligarki dan Demokrasi...

    Lanjutan Bagan 4.1

    Tubagus Haerul Jaman* Ratu Rapi‘ah Binti Tubagus Suhaemi (Istri

    Ratu Lilis Karyawati Ketiga, Menikah 2 Mei 1969)

    Ratu Iloh Rohayati

    Tubagus Hendru Zaman

    Ratu Ria Mariana

    Imas Masnawiyah Binti Ratu Ipah Chudaefah Ahmad Saca (Istri Keempat, Menikah 6 Juni Ratu Yayat Nurhayati 1969)

    Tubagus Aan Andriawan Heryani Binti H.A. Yuhana* (Istri Kelima, Tubagus Erhan Hazrumi Menikah 30 Mei 1988) Ratu Irianti

    Bambang Saepullah

    Tubagus Febi Feriana Fahmi

    Tubagus Bambang Ratna Komalasari** (Istri Chaeruman Keenam, Menikah 8 April 1991) Ratu Aeliya Nurchayati

    Tubagus Taufik Hidayat Ahmad Munjin 263

    * Pewaris resmi Tubagus Chasan Sochib yang menduduki jabatan politik dan sudah memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada KPK. ** Pewaris resmi Tubagus Chasan Sochib yang menduduki jabatan politik tapi belum memberikan LHKPN kepada KPK.Sumber: Diolah dari Direktori Pu- tusan Mahkamah Agung Republik IndonesiatentangPenetapan Ahli Waris Tubagus Chasan Sochib.

    Bagan 4.1 menunjukkan sebanyak 29 pewaris resmi Tuba- gus Chasan Sochib, yang terdiri dari enam istri dan 23 anak. Dari jumlah tersebut, empat di antaranya menempati jabatan politik sehingga berkewajiban melaporkan LHKPN kepada KPK. Mereka adalah Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Haerul Jaman, Ratu Tatu Chasanah, dan Ratna Komalasari. Hanya saja, Ratna Koma-lasari belum melaporkan total kekayaannya melalui LHKPN kepada KPK sehingga sumber daya kekuasaan materialnya tidak masuk dalam analisis pada subbab ini. Selebihnya, para anggota keluarga besar Chasan Sochib bukan pewaris langsung, melainkan dalam hubungannya sebagai menantu dan cucu.

    2. Kadar Oligarki para Anggota Keluarga Besar Chasan Sochib Prasyarat utama terbentuknya oligarki adalah stratifikasi material yang ekstrem.131 Stratifikasi tersebut terbentuk akibat terjadinya konsentrasi kekayaan dan hak milik pada orang atau kelompok tertentu yang secara niscaya selalu tumbuh menjadi golongan kecil132 dalam suatu masyarakat. Winters dan Page me- nyatakan terdapat tiga aspek kekayaan material yang menyebab- kan harta benda bisa melayani kebutuhan sumber daya kekuasan politis secara unik dan tetap dalam banyak peradaban manusia.133 Pertama, kekayaan secara umum terkonsentrasi di antara sangat sedikit warga negara yang dalam konteks penelitian ini adalah keluarga besar jawara Tubagus Chasan Sochib; Kedua,

    131Winters, Oligarchy, 7. 132Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, “Oligarchy in the United States?” Perspective on Politics no. 4 (Desember 2009): 732. 133Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732.

    264 Oligarki dan Demokrasi... kekayaan material dalam bentuk apapun (uang di bank, kepemili- kan saham perusahaan-perusahaan, kepemilikan tanah). Kekayaan material keluarga besar jawara dapat ditelusuri pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Winters dan Page, kekayaan material tersebut hampir di semua tempat dan waktusecara mudah bisa diterjemahkan ke dalam pengaruh politik yang subtansial. Ketiga, kepemilikan kekayaan material disertai dengan satu set kepentingan-kepentingan politik. Kepentingan- kepentingan untuk melanggengkan dan melindungi kekayaan ter- sebut; kepentingan-kepentingan untuk menentukan penggunaan- nya secara bebas dalam berbagai tujuan; dan kepentingan-kepen- tingan untuk memperoleh kekayaan yang lebih banyak lagi.134 Sejalan dengan stratifikasi material yang mengukur ketim- pangan sebagai prasyarat oligarki, kadar oligarki seseorang diru- muskan, yakni total kekayaan orang atau sekelompok orang yang menjadi basis sumber daya kekuasaan materialnya dibagi dengan pendapatan per kapita (income per capita) sehingga menghasilkan indeks kekuasaan material/Material Power Index (MPI).135 Namun demikian, pada level regional (provinsi atau kabupaten/kota), tidak ada data yang benar-benar menggambarkan pendapatan per kapita. Angka income per capita, hanya tersedia di level nasional. Pada level regional, ada pendekatan, yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dibagi jumlah penduduk pada pertenga- han tahun, yang disebut sebagai PDRB per kapita. “PDRB per kapita merupakan the best from the worst. Pendekatan yang ada saat ini hanya itu. Oleh karena itu, rumus MPI oligarki, menjadi total kekayaan dibagi pendapatan per kapita bisa diganti dengan PDRB per capita.”136

    134Winters dan Page, “Oligarchy in the US?” 732. 135Winters, Oligarchy, 78. 136Dengan demikian, pendekatan untuk mengukur pendapatan per kapita di tingkat regional adalah PDRB per kapita. Sebab, untuk mengukur pendapatan per kapita pada level regional Banten adalah tidak adanya ketersedian data secara terus-menerus terutama perihal transfer Ahmad Munjin 265

    Oleh karena itu, untuk mengukur kadar oligarki para anggota keluarga besar Tubagus Chasan Sochib, pertama-tama peneliti melihat total kekayaannya melalui LHKPN yang dilapor- kan ke KPK. Setelah itu, nilai totalnya dibagi dengan angka PDRB per kapita dengan tahun yang sama pada saat LHKPN tersebut dilaporkan. Hasil bagi tersebut menunjukkan kadar indeks oligarki mereka. Secara teori, di atas 2000 kali masuk kategori oligark. Ratu Atut Chosiyah adalah anak pertama Chasan Sochib dari istri pertama Wasiah Binti Samsudin. Sochib menikahi Wasiah pada 2 November 1960 di Serang dan bercerai pada tahun 1991.137 Pada mulanya, Atut menjabat sebagai wakil gubernur pada 2001. Pada 1 Oktober 2002, dia melaporkan harta kekayaan- nya ke KPK sebesar Rp17.870.707.822.138 Jika angka ini dibagi dengan PDRB per kapita masyarakat Banten pada tahun berikut- nya, 2003139 yakni Rp5.123.720, indeks kekuasaan material (mate- rial power index) Ratu Atut sebesar3.487kali. Kariernya naik income dan transfer out. Pihak yang memiliki data tersebut adalah Oto- ritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia. Untuk level regional, transaksi perbankan sulit diagregasi.Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Pro- vinsi Banten, Senin, 30 Oktober 2017. 137Berdasarkan Surat Mahkamah Agung, Chasan Sochib memili- ki 25 ahli waris dari enam istri. 138Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Ratu Atut Chosiyah,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 7/2-2003 no. 11, 24. 139Income per kapita didekati dengan PDRB per kapita. Sebab, data income per capita hanya tersedia pada level nasional. Yang tersedia di level regional adalah PDRB per kapita. Itupun, untuk BPS Kabupaten Serang hanya mencatat PDRB per kapita hingga tahun 2003. Sehingga, PDRB tahun sebelumnya, termasuk 2002 untuk pembanding kekayaan Ratu Atut Chosiyah tidak tersedia. Lihat Seksi Statistik Neraca Wilayah BPS Kabupaten Serang, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Serang Menurut Lapangan Usaha 2005 (Serang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang, 2006), 43.

    266 Oligarki dan Demokrasi... menjadi Pelaksana Tugas (Plt.) Gubernur Banten pada Oktober 2005. Pada 2006, LHKPN yang dilaporkan Ratu Atut Chosiyah ke KPK mencapai Rp41.937.757.809140 yang merepresentasikan MPI sebesar 5.943 kali dari hasil pembagian dengan PDRB per kapita berdasarkan harga berlaku kabupaten Serangpada tahun yang sama sebesar Rp7.056.030.141 Puncaknya, ia berhasil menduduki jabatan Gubernur Provinsi Banten periode 2007-2012 dan 2012-2017. Pada 2011, total kekayaan Atut menyusut sebesar Rp1.058.718. 750 menjadi Rp40.879.039.059.142Oleh karena itu, indeks kekuasaan materialnya berkurang menjadi 4.146kali setelah dibagi dengan PDRB per kapita 2011 atas dasar harga berlakukabupaaten Serang sebesar Rp9.857.589,25.143

    140Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Ratu Atut Chosiyah: Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 20 September 2011 no 75, 20. 141Seksi Statistik Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Serang 2007 (Serang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang, 2008), 72. 142Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Ratu Atut Chosiyah: Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 8 Agustus 2014, no. 63, 13. 143Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Produk Do- mestik Regional Bruto Kabupaten Serang Menurut Lapangan Usaha 2012 (Serang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang, 2013), 85. Ahmad Munjin 267

    Tabel 4.2. Material Power Index (MPI) Ratu Atut Chosiyah

    N Total Kekayaan PDRB per Tahun Jabatan MPI (x) o (Rupiah) Kapita (Rupiah)

    Wakil 1 2002 Gubernur 17.870.707.822 5.123.720 3.487 2002-2007 Gubernur 2 2006 Periode 41.937.757.809 7.056.030 5.943 2007-2012 Gubernur 3 2011 40.879.039.059 9.857.589,25 4.146 2012-2017 Sumber: Data diolah dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PDRB per kapita Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten.

    Tabel 4.2. memperlihatkan terjadinya konsentransi keka- yaan pada Ratu Atut Chosiyah mulai 2002 hingga 2011. Akibat- nya, terjadi stratifikasi material yang terefleksi pada Material Power Index (MPI) sebesar 3.487 pada 2002, 5.943 pada 2006, dan 4.146 pada 2011 yang merupakan hasil pembagian antara total kekayaan dengan PDRB per kapita masyarakat Banten pada tahun-tahun tersebut. Stratifikasi material inilah yang mendefi- nisikan Ratu Atut sebagai oligark. Anak Chasan Sochib berikutnya adalah Tubagus Haerul Jaman yang lahir di Serang, Banten, 17 Maret 1968 dari buah pernikahannya dengan Ratu Rapi’ah binti Tb. Suhaemi, pada 2 Mei 1969.144 Oleh karena itu, Jaman merupakan adik tiri mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Dia adalah Wali Kota Serang yang menjabat sejak 25 Maret 2011 dan terpilih kembali untuk periode 2013-2018. Sebelum menjabat wali kota, dia adalah Wakil Walikota Serang periode 2008-2013. Pada 2008, dia

    144Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ten- tang ahli waris Tubagus Chasan Sochib halaman 6.

    268 Oligarki dan Demokrasi... melaporkan harta kekayaan sebesar Rp2.492.245.676.145 Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan kakak tirinya, Atut Chosiyah. Jika dibandingkan dengan PDRB per kapita kota Serang pada 2008 senilai Rp8.827.770,146 indeks kekuasaan material Haerul Jaman sebesar 282,31 kali. Pada saat mencalonkan diri sebagai Walikota Serang periode 2013-2018, dia melaporkan harta kekayaan pada 2013 sebesar Rp2.222.754.271.147 Jika dibagi dengan PDRB per kapita kota Serang 2013 sebesar Rp28,310.000,148 indeks kekuasa- an materialnya sebesar 78,51 kali. Kemudian, pada 24 Mei 2016, Haerul Jaman kembali melaporkan LHKPN sebesar Rp14.874.940.086.149 Jika dibagi dengan PDRB per kapita kota Serang tahun 2016, sebesar Rp36.530.000,150 indeks kekuasaan material Haerul Jaman sebesar 407,19 kali. Saat pencalonannya sebagai Wakil Gubernur Provinsi Banten periode 2017-2022, Haerul Jaman melaporkan LHKPN

    145Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Tubagus Haerul Jaman,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 2 Juni 2009, no. 44, 2. 146Seksi Statistik Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Produk Domestik Regional Bruto Kota Serang 2009 (Serang: Badan Pusat Sta- tistik Kota Serang, 2010), 65. 147Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Tubagus Haerul Jaman: Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 15 April 2014, no. 30, 3. 148Sari Rahayu,Produk Domestik Regional Bruto Kota Serang Menurut Lapangan Usaha 2010-2014, ed.R. Achmad Widijanto (Serang: Badan Pusat Statistik Kota Serang, 2015), 76. 149Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Tubagus Haerul Jaman: Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 7 Oktober 2016, no. 80, 3. 150Aprias Eko Wulandari, Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Kota Serang 2012-2016, ed. Dadang Ahdiat (Serang:Badan Pusat Statistik Kota Serang, 2017), 74. Ahmad Munjin 269 pada 22 September 2016 sebesar Rp14.868.439.318.151 Setelah dibagi dengan PDRB per kapita kota Serang tahun 2016, sebesar Rp36.530.000,152 indeks kekuasaan material Haerul Jaman beri- kutnya sebesar 407,01 kali. Ratu Tatu Chasanah, adik Ratu Atut Chosiyah, merupa- kan anak Chasan Sochib dari pernikahannya dengan Wasiah binti Samsudin.153 Ratu Tatu, lahir di Serang, Banten, 23 Juli 1967. Dia menjabat Bupati Serang periode 2016-2021 sejak 17 Februari 2016. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Wakil Bupati Serang periode 2010-2015, mendampingi Bupati Taufik Nuriman. Pada 8 Februari 2010, Ratu Tatu Chasanah melaporkan harta kekayaan dalam LHKPN sebesar Rp9.083.632.000.154 Jika dibagi dengan PDRB per kapita Kabupaten Serang pada 2010 sebesar Rp24.020.000,155 indeks kekuasaan material Ratu Tatu Chasanah sebesar 378,16 kali. Lalu, pada saat mencalonkan diri sebagai bupati Serang, Ratu Tatu melaporkan harta kekayaan sebesar Rp7.725.318.471156 pada 27 Juli 2015. Angka ini mengalami

    151Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Tubagus Haerul Jaman: Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 4 November 2016, no. 88, 3. 152Aprias Eko Wulandari, Produk Domestik Regional Bruto Me- nurut Lapangan Usaha Kota Serang 2012-2016, ed. Dadang Ahdiat (Serang:Badan Pusat Statistik Kota Serang, 2017), 74. 153Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang ahli waris Tubagus Chasan Sochib halaman 5. 154Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Ratu Tatu Chasanah: Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 15 April 2016, no. 30, 9. 155Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten SerangMenurut Lapangan Usaha 2010-2014 (Serang: BPS Kabupaten Serang, 2015), 46. 156Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Ratu Tatu Chasanah: Peru-

    270 Oligarki dan Demokrasi... penurunan sebesar Rp1.358.313.529 atau 14,9%. Setelah dibagi dengan PDRB per kapita kabupaten Serang pada tahun 2015 senilai Rp38.450.000,157 ditemukan indeks kekuasaan material Ratu Tatu Chasanah di level 200,91 kali. Anggota keluarga Chasan Sochib berikutnya adalah Heryani binti H.A. Yuhana. Heryani merupakan istri kelima Sochib yang dinikahinya pada 30 Mei 1988 di Pandeglang.158 Istri kelima ini menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Pandeg- lang periode 2009-2014. Kemudian, dia terpilih menjadi wakil bupati Pandeglang periode 2011-2016. Pada 15 Juli 2010, Heryani melaporkan LHKPN sebesar Rp26.512.375.402.159 Jika dibagi dengan angka PDRB per kapita kabupaten Pandeglang 2010 sebesar Rp7.563.000,34,160 ditemukan indeks kekuasaan material Heryani sebesar 3.505 kali. Pada 1 April 2015, Heryani kembali melaporkan LHKPN sebesar Rp26.384.540.145.161 Angka tersebut dibagi dengan PDRB per kapita Kabupaten Pandeglang di tahun

    bahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 15 April 2016, no. 30, 9. 157Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Produk Domes- tik Regional Bruto Kabupaten Serang Menurut Lapangan Usaha 2012- 2016 (Serang: BPS Kabupaten Serang, 2017), 46. 158Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ten- tang ahli waris Tubagus Chasan Sochib halaman 7. 159Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama Heryani,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 12 Februari 2013, no 13, 3. 160Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Produk Domes- tik Regional Bruto Pandeglang Menurut Lapangan Usaha 2010-2011 (Pandeglang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang, 2012), 77. 161Komisi Pemberantasan Korupsi, “Pengumuman Harta Keka- yaan Penyelenggara Negara atas Nama: Heryani: Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal16 Agustus 2016, no. 65, 5. Ahmad Munjin 271 yang sama sebesar Rp17.020.000,162 maka indeks kekuasaan material Heryani sebesar 1550 kali. Airin Rachmi Diany adalah menantu Chasan Sochib. Dia adalah walikota Tangerang Selatan periode 2011-2016 dan terpilih kembali untuk periode 2016-2021. Pada 24 Agustus 2010, Airin melaporkan LHKPN sebesar Rp103.944.292.628.163 Jika dibagi dengan PDRB per kapita kota Tangerang Selatan tahun 2010 sebesar Rp23.510.000,164 indeks kekuasaan material Airin Rachmi Diany sebesar 4.421 kali pada tahun tersebut. Pada saat mencalon- kan kembali sebagai wali kota Tangerang Selatan untuk periode 2016-2021, pada 23 Juli 2015, Airin melaporkan LHKPN sebesar Rp84.005.292.628.165 Angka ini turun sebesar Rp19.939.000.000 atau 19,18% dibandingkan LHKPN sebelumnya. Jika dibagi dengan angka PDRB per kapita kota Tangerang Selatan pada 2015 sebesar Rp36,300.000,166 ditemukan indeks kekuasaan material Airin Rachmi Diany sebesar 2.314 kali. Anggota keluarga besar Chasan Sochib berikutnya adalah Hikmat Tomet yang memiliki hubungan keluarga dengan Sochib sebagai menantu. Tomet merupakan suami dari mantan gubernur

    162Nur Rodiana, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Pandeglang 2012-2016, ed. Tri Tjahjo Purnomo (Pandeglang: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pandeglang, 2017), 76. 163Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Airin Rachmi Diany,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 24 April 2012, no. 33, 7. 164Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik,Produk Domes- tik Regional Bruto Kota Tangerang Selatan Menurut Lapangan Usaha 2010-2014 (Setu: Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan, 2015), 77. 165Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Airin Rachmi Diany: Peru- bahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 15 April 2016, no. 30, 13. 166Kusumapuri, Produk Domestik Regional Bruto Kota Tange- rang Selatan Menurut Lapangan Usaha 2012-2016, ed. Heru Susanto (Setu: Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan, 2017), 77.

    272 Oligarki dan Demokrasi...

    Banten, Ratu Atut Chosiyah. Tomet lahir di Bandung, 5 Juni 1955 dan meninggal di Jakarta, 9 November 2013 pada umur 58 tahun. Pada pemilu 2009 ia mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan berhasil mendapatkan 96.446 suara. Ia kemudian resmi menjadi anggota DPR periode 2009-2014 mewakili daerah pemilihan (dapil) Banten II dan bertugas di Komisi V DPR RI.Hikmat juga adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Provinsi Banten untuk masa bakti 2009–2014. Ia terpilih sebagai Ketua DPD Partai secara aklamasi menggantikan ketua sebelum- nya Mamat Rahayu Abdullah pada Musyawarah Daerah tahun 2009. Sebelumnya Hikmat Tomet tercatat pernah menjabat seba- gai Komisaris Utama PT. Andiara Abad pada 2000. Adapun Dekranasda yang dipimpinnya menjadi salah satu penerima hibah dari pemerintah Banten sebesar Rp 750 juta pada 2011 lalu. Badan Pemeriksa Keuangan mencium ketidakberesan pada penebaran hibah tersebut. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Aliansi Independen Peduli Publik (Alipp) menduga melimpahnya hibah dan bantuan sosial itu berkaitan dengan rencana Atut mencalon- kan diri lagi sebagai gubernur pada 2011. Di antara total kekayaan yang dilaporkannya pada 2010, Hikmat Tomet menyimpan tanah dan bangunan yang berjumlah 49 unit, senilai Rp 19,6 miliar. Kendaraan yang berjumlah 9 unit senilai Rp4,3 miliar. Kemudian juga terdapat saham di empat perusahaan senilai Rp3,8 miliar. Serta uang tabungan senilai Rp1 miliar. Selain menjabat sebagai anggota DPR, Hikmat juga adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Provinsi Banten untuk masa bakti 2009– 2014.167

    167“Ini Profil Hikmat Tomet, Suami Atut,” Tempo.co, Sabtu, 9 November 2013. Artikel diakses Jumat, 17 Maret 2017 dari https://m. tempo.co/read/news/2013/11/09/058528374/ini-profil-hikmat-tomet- suami-atut Ahmad Munjin 273

    Pada 30 Oktober 2009, Tomet melaporkan LHKPN sebesar Rp33.857.421.285.168 Angka dibagi dengan PDRB per kapita provinsi Banten 2009 senilai Rp13.600.230,169 maka ditemukan indeks kekuasaan material Hikmat Tomet sebesar 2.489 kali. Andika Hazrumy yang lahir di Bandung, 16 Desember 1985 juga merupakan anggota keluarga besar Sochib. Andika merupakan anak pertama mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sehingga otomatis memiliki hubungan sebagai cucu dengan Sochib. Dia adalah direktur utama PT Andika Pradana Utama periode 2000-2005; Sejak 2004 hingga sekarang dia menjabat komisaris utama PT Pelayaran Sinar Ciomas Pratama; Mulai 2007 hingga sekarang ia menjabat komisaris utama PT Ratu Bidakara Hotel; Dia juga merupakan anggota DPD/MPR RI untuk periode 2009-2014; Ia juga menjabat Wakil Ketua Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) DPD-RI untuk periode 2011-2012; Anggota Komisi III DPR-RI Fraksi Partai Golkar untuk periode 2014-2019; dan anggota BURT DPR-RI untuk periode 2014-2019. Terakhir, Andika terpilih menjadi wakil gubernur provinsi Banten periode 2017-2022. Pada 1 Desember 2009, Andika melaporkan LHKPN kepada KPK sebesar Rp19.698.171.940.170 Angka tersebut dibagi dengan PDRB per kapita kabupaten Serang pada 2009 sebesar

    168Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Hikmat Tomet,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 2 Juli 2010, no 53, 6. 169Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Buku Saku PDRB Provinsi Banten, Kabupatan/Kota se-Banten, Provinsi se-Jawa dan PDB Indonesia 2008-2009 (Serang: BPS Provinsi Banten, 2010), 118. 170Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Andika Hazrumy ,” Tam- bahan Berita Negara R.I. Tanggal 26 Maret 2010, no. 25, 4.

    274 Oligarki dan Demokrasi...

    Rp8.301.490,171 maka ditemukan indeks kekuasaan materialnya sebesar 2.372 kali. Pada 31 Desember 2015, Andika melaporkan LHKPN ke KPK yang merupakan perubahan atas laporan sebe- lumnya, sebesar Rp20.744.339.190.172 Jumlah LKPN ini sesuai dengan angka yang tertera dalam Daftar Pengumuman LHKPN Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah periode 2017-2022 Pemerintah Provinsi Banten yang disampaikan oleh KPK pada 16 November 2016 kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten sebagai penyelenggara Pilkada serentak tahun 2017. Jika dibandingkan dengan LHKPN sebelumnya, angka tersebut lebih besar Rp1.046.167.250 atau sebesar 5,31%. Jika dibagi dengan PDRB per kapita kabupaten Serang pada 2015 sebesar Rp38,450.000,173 ditemukan indeks kekuasaan material Andika Hazrumy sebesar 539,51 kali pada tahun tersebut. Anggota keluarga besar Chasan Sochib berikutnya adalah Aden Abdul Khaliq. Dia merupakan menantu Sochib karena merupakan suami dari Ratu Lilis Karyarwati. Aden merupakan anggota DPRD Provinsi Banten periode 2009-2014. Dia juga merupakan calon Bupati Tangerang periode 2013-2018. Seiring pencalonan bupati tersebut, pada 27 September 2012, Aden

    171Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik,Produk Domes- tik Regional Bruto Kabupaten Serang 2010MenurutLapangan Usaha (Serang: BPS Kabupaten Serang, 2011), 49. 172Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Andika Hazrumy: Peruba- han atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya,” Tam- bahan Berita Negara R.I. Tanggal 1 November 2016, no. 87, 11. Lihat juga, surat Komisi Pembertasan Korupsi (KPK) kepada Komisi Pemili- han Umum (KPU) Provinsi Banten sebagai penyelenggara Pilkada Serentak Tahun 2017, Nomor B-9476/10-12/11/2016, perihal Pengumu- man Laporan Harta Kekayaan Calon Kepala Daerah, tanggal 16 November 2016. 173Seksi Neraca Wilayah, PDRB Kabupaten Serang 2012-2016, 46. Ahmad Munjin 275 melaporkan LHKPN sebesar Rp14.510.904.419.174 Angka ini dibagi dengan PDRB per kapitakabupaten Tangerang tahun 2012 sebesar Rp23.660.000,175 maka ditemukan indeks kekuasaan material Aden Abdul Khaliq sebesar 613,3 kali. Ratna Komalasari juga merupakan anggota keluarga besar Chasan Sochib. Ratna merupakan istri Sochib yang dinikahinya pada 8 April 1991 dan otomatis menjadi ibu tiri Atut Chosiyah. Ratna merupakan anggota DPRD Kota Serang untuk periode 2009-2014. Dia juga merupakan ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Perfi) Banten. Seberapa besar kekuasaan materialnya, hingga 19 Maret 2017, nama Ratna Komalasari belum tercantum dalam aplikasi LHKPN KPK sehingga tidak terdeteksi seberapa besar total kekayaan yang dimilikinya untuk menghitung indeks kekuasaan materialnya yang mengukur seberapa besar kekuasaan oligarkisnya. Begitu juga dengan Ade Rossi Chaerunnisa yang meru- pakan cucu menantu Chasan Sochib. Ade Rossi merupakan istri Andika Hazrumy dan menjabat sebagai anggota DPRD Kota Serang untuk periode 2014-2019. Ade juga menjabat sebagai ketua KONI Serang, ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Banten dan Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Banten. Nama Ade Rossi belum tercatat dalam aplikasi LHKPN KPK sehingga tidak diketahui seberapa besar total kekayaan yang dimilikinya. Ratu Lilis Karyawati, anak Chasan Sochib dan merupakan adik Tiri Atut Chosiyah. Lilis adalah ketua DPD II Golkar Kota Serang 2009-2014 dan dia tidak melaporkan LHKPN ke KPK.

    174Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Aden Abdul Khaliq,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 6 Maret 2015, no. 19, 2. 175Rohmad Chamdani, Produk Domestik Regional Bruto Kabu- paten Tangerang Menurut Lapangan Usaha 2012-2016 (Tangerang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang, 2017), 86.

    276 Oligarki dan Demokrasi...

    Anggota keluarga besar Chasan Sochib lainnya adalah Tanto Warsono Arban. Pria kelahiran Bandung pada 12 Januari 1983 itu merupakan cucu menantu Sochib dan menantu mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Tanto merupakan anggota DPRD Provinsi Banten periode 2014-2016. Dia juga mencalonkan diri sebagai calon Wakil Bupati Pandeglang dan terpilih menjadi Wakil Bupati Pandeglang periode 2016-2021 yang menduduki jabatan tersebut sejak 23 Maret 2016. Dia juga merupakan Ketua Komisi DPRD Provinsi Banten Tahun 2014-2016. Dari sisi riwayat pekerjaan, Tanto juga menjabat sebagai Komisaris Utama PT Arban Global Nusantara, Komisaris Utama PT Arban Media, Direktur Hotel Ratu. Di bidang organisasi, Tanto juga menjabat Ketua KNPI Banten dan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Banten. Ketua DPD KNPI Banten Tahun 2014-2017. Sementara itu, dari sisi pengalaman organisasi, Tanto menjabat Ketua HIPMI Banten Tahun 2011- 2014, Wakil Bendahara Partai Golkar, dan Dewan Pembina KADIN Banten. Pada 31 Desember 2014, Tanto melaporkan harta kekayaan pada LHKPN KPK sebesar Rp6.370.141.250.176 Angka ini dibagi dengan pendapatan per kapita kabupaten Pandeglang sebesar Rp15.320.000,177 indeks kekuasaan material Tanto Warsono Arban sebesar 415,8 kali. Indeks kekuasaan seorang anggota keluarga besar Sochib berikutnya yang terlacak melalui LHKPN adalah Andiara Aprilia Hikmat. Andiara yang lahir di Bandung, 22 April 1987 merupakan cucu Sochib, anak Ratu Atut Chosiyah, dan istri Tanto Warsono Arban. Andiara pernah menduduki jabatan wakil ketua Palang Merah Indonesia (PMI) tahun 2012. Putri dari Ratu Atut Chosiyah ini juga pernah aktif di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) sebagai Kepala Pemberdayaan dan Pendidikan di Tahun 2011. Dia juga pernah menjadi Direktur

    176Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Tanto Warsono Arban,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 12 April 2016, no. 29, 4. 177Rodiana, PDRB Pandeglang 2012-2016, 76. Ahmad Munjin 277

    Utama Ratu Hotel tahun 2009. Dia merupakan anggota DPD RI asal daerah pemilihan (Dapil) Banten periode 2014-2019. Aprilia Hikmat terpilih menjadi senator dari provinsi Banten dengan mengantongi 904.421 suara. Pada 1 Desember 2014, dia melapor- kan harta kekayaan melalui LHKPN sebesar Rp19.574.952.636.178 Angka ini dibagi dengan PDRB per kapita provinsi Banten senilai Rp39.980.000,179 maka material power index Andiara Aprilia Hikmat sebesar 489,61 kali. Sebagai rangkuman, lihat Tabel 4.3. Tabel 4.3. Material Power Index (MPI) Anggota Keluarga Besar Tubagus Chasan Sochib

    PDRB per No Total Kekayaan (Rupiah) MPI Nama Jabatan kapita (x) Tahun Nilai Nominal (Rupiah)

    (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Wakil Gubernur Banten Periode 2002 17.870.707.822 5.123.720 3.487 2002-2007 Ratu Gubernur 1 Atut Banten Periode 2006 41.937.757.809 7.056.030 5.943 Chosiyah 2007-2012 (Anak) Gubernur Banten Periode 2011 40.879.039.059 9.857.589,25 4.146 2012-2017

    Tubagus Wakil Walikota Haerul 2 Serang Periode 2008 2.492.245.676 8.827.770 282,31 Jaman 2008-2013 (anak)

    178Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Andiara Aprilia Hikmat,” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 5 April 2016, no. 27, 3. 179Hendro Prayitno et al., Buku Saku PDRB Provinsi Banten, PDRB Kabupaten/Kota se-Banten, PDRB Provinsi se-Jawa dan PDB Indonesia 2014-2015, ed. Budi Prawoto (Serang: BPS Provinsi Banten, 2016), 102.

    278 Oligarki dan Demokrasi...

    Lanjutan Tabel 4.3 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Walikota dalam Sisa Masa Jabatan Periode 2008-2013 2013 2.222.754.271 28,310.000 78,51 (Calon Walikota Serang Periode 2013-2018) Walikota Serang Periode 2016 14.874.940.086. 36.530.000 407,19 2013-2018 Calon Wakil Gubernur 2016 14.868.439.318 36.530.000 407,01 Banten Periode 2017-2022 Anggota DPRDProvinsi Banten periode 2009-2014 2010 9.083.632.000 24.020.000 378,16 (Calon Wakil Bupati Serang Periode 2010 - 2015) Wakil Bupati Ratu Serang (Calon 2015 7.725.318.471 38.450.000 200,9 Tatu Bupati Serang) 3 Chasanah Bupati Serang (anak) Periode 2016- 2016 2021 Ketua Masyarakat Agribisnis dan

    Agroindustri Indonesia Banten Ketua PMI

    Provinsi Banten Anggota DPRD Kabupaten Pandeglang 4 Heryani periode 2009- 2010 26.512.375.402 7.563.000,34 3.505 (Istri) 2014.

    Ahmad Munjin 279

    Lanjutan Tabel 4.3 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Wakil Bupati Pandeglang 2015 26.384.540.145 17.020.000 1550 Periode 2011- 2016 Walikota Tangerang 2010 103.944.292.628 23.510.000 4.421 Selatan Perode 2011-2016 Airin Walikota, Rachmi Calon Walikota 5 Diany Tangerang 2015 84.005.292.628. 36,300.000 2.314 (Menantu Selatan Periode ) 2016-2021 Walikota Tangerang

    Selatan Periode 2016-2021 Hikmat Tomet Anggota DPR (Menantu 6 RI Periode 2009 33.857.421.285 13.600.230 2.489 /Suami Ratu Atut 2009-2014 Chosiyah) Anggota DPD RI Periode 2009 19.698.171.940 8.301.490 2.372 2009-2014 Anggota DPR RI Periode 2014- 2019/Calon 2015 20.744.339.190 38,450.000 539,51 Wakil Gubernur Banten Periode Andika 2017-2022 7 Hazrumy Wakil Gubernur (Cucu) Banten Periode 2017-2022 Wakil Ketua

    GP Ansor Ketua Taruna Tanggap Bencana Bendahara Karang Taruna Banten

    280 Oligarki dan Demokrasi...

    Lanjutan Tabel 4.3 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Anggota DPRD Provinsi Banten Periode 2009- 2014/Calon Aden 2012 14.510.904.419 23.660.000 613,3 Bupati Abdul Tangerang Khaliq Periode 2013- (Menantu 2018 8 , suami Ketua DPD Ratu KNPI Banten Lilis Ketua Karyarw Persatuan ati) Basket Seluruh

    Indonesia (Perbasi) Kota Serang Anggota DPRD Ratna Kota Data belum Komalas Serang2009- tersedia ari 2014. 9 (Istri/Ibu Ketua Tiri Atut Persatuan Artis Chosiyah Film Indonesia ) (Perfi) Banten Anggota DPRD Data belum Kota Serang tersedia 2009-2014. Ketua KONI

    Serang Ketua Ade Himpunan Rossi Pendidik dan Chairunn Tenaga

    isa (Cucu Kependidikan 10 Menantu, Anak Usia Dini istri (Himpaudi) Andika Banten Hazrumi) Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Banten Ahmad Munjin 281

    Lanjutan Tabel 4.3 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Anggota DPRD Provinsi Banten 2014-2016, 2014 6.370.141.250 15.320.000 415,8 Calon Wakil Tanto Bupati Warsono Pandeglang Arban Wakil Bupati (Cucu Pandeglang 11 Menantu, 2016-2021 Menantu Ketua KNPI

    Atut Banten Chosiyah Ketua ) Himpunan Pengusaha

    Muda Banten (Hipmi) Banten. Andiara Aprilia Hikmat (Cucu, Anggota DPD Anak RI asal Banten 12 Atut 2014 19.574.952.636 39.980.000 489,61 Periode 2014- Chosiyah 2019 , Istri Tanto Warsono Arban)

    Total Kekayaan Keluarga Besar 13. 268.920.388.401* 42.310.000 6.356 Tubagus Chasan Sochib

    * Angka merupakan hasil jumlah dari nilai nominal LHKPN terakhir dari masing-masing anggota keluarga Tubagus Chasan Sochib, belum termasuk Ratna Komalasari dan Ade Rossi Chairunnisa. Sumber: Data diolah dari data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Komisi Pembertasan Korupsi (KPK) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten.

    282 Oligarki dan Demokrasi...

    Secara individu di keluarga besar Tubagus Chasan Sochib, Tabel 4.3. menunjukkan, Ratu Atut Chosiyah merupakan peme- gang sumber daya kekuasaan material180 terbesar dengan indeks kekuasaan material (MPI)181 di level 5.943 kali (2006), 4.146 kali (2011), dan 3.487 kali (2002). Rangking kedua ditempati oleh Airin Rachmi Diany dengan MPI 4.421 kali (2010), 2.489 kali (2009), dan 2.314 (2015). Rangking ketiga disandang oleh Heryani dengan MPI 3.505 kali (2010) dan 1.550 kali (2015). Hikmat Tomet menempati posisi keempat 2.489 kali (2009). Di posisi kelima, Andika Hazrumy 2.372 kali (2009) dan 539,51 (2015). Nama-nama tersebut masuk kategori oligark karena indeks kekua- saan materialnya berada di atas 2000 kali rata-rata masyarakat di wilayahnya masing-masing. Selebihnya, berada di bawah 1000 kali sehingga tidak terdefinisikan sebagai para oligark, seperti Aden Abdul Khaliq di angka 613,3 kali (2012); Andiara Aprilia Hikmat di posisi 489,61 kali (2014); Tanto Warsono Arban di posisi 415,8 kali (2014); Tubagus Haerul Jaman di level 282,31 kali (2008), 78,51 kali (2013), 407,19 kali (2016) dan 407,01 kali (2016); dan Ratu Tatu Chasanah di angka 378,16 kali (2010) dan 200,9 kali (2015). Jadi, dari 12 anggota keluarga Chasan Sochib, dua di anta- ranya tidak memenuhi kewajibannya untuk melaporkan LHKPN kepada KPK sehingga hanya 10 yang bisa terlacak besaran sumber daya materialnya. Dari 10 tersebut, lima di antaranya terkonfir- masi dan terdefinisikan sebagai oligark. Sedangkan sisanya, tidak memenuhi syarat untuk didefinisikan sebagai oligark. Namun demikian, jika ditotal yang merupakan hasil jum- lah dari nilai nominal LHKPN terakhir dari masing-masing ang- gota keluarga Tubagus Chasan Sochib, tidak termasuk Ratna Komalasari dan Ade Rossi Chairunnisa, kekayaan keluarga besar Tubagus Chasan Sochib yang dilaporkan ke KPK mencapai Rp268.920.388.401. Setelah dibagi dengan PDRB per kapita

    180Winters, Oligarchy, 18-20. 181Winters, Oligarchy, 78. Ahmad Munjin 283 provinsi Banten tahun 2016 senilai Rp42.310.000,182 indeks ke- kuasaan material keluarga jawara tersebut di posisi 6.356 kali. Dalam konteks ini, keluarga Chasan Sochib masuk kategori oligark karena stratifikasi materialnya dibandingkan masyarakat biasa jauh di atas 2000 kali. Dengan demikian, jika dilihat per individu, hampir separoh masuk kategori oligark. Tapi, jika dige- neralisir, yakni satu keluarga besar, mereka semau terdefinisikan sebagai para oligark.

    D. Transformasi Kekayaan Menjadi Tampuk Kekuasaan Oligarkis Paling tidak, terdapat dua kata kunci penting yang men- jadi faktor kemenangan keluarga besar Chasan Sochib dalam memenangkan pertarungan politik. Kedua kata kunci tersebut adalah uang dan jaringan.183 Uang menandai kekuasaan material184 yang menjadi basis kekuasaan oligarkis dan jaringan menandai kekuasaan mobilisasi185 yang menjadi basis kekuasaan elite. Dari sisi ini, tak terbantahkan keluarga besar Sochib mengerahkan dua sumber kekuasaannya yang utama sekaligus. Namun demikian, seiring kejawaraan Chasan Sochib, dua sumber daya kekuasaan tersebut (material dan mobilisasi) kemudian dilengkapi dengan sumber daya kekuasaan yang lain, yakni koersif186 baik secara langsung maupun tidak langsung atau simbolik. Pada subbab ini peneliti menjelaskan tiga sumber daya kekuasaan tersebut—mate- rial, mobilisasi, dan koersif yang saling menopang para anggota

    182Hendro Prayitno, Adam Sofian, C.M. Rosidah, Buku Saku PDRB Provinsi Banten, PDRB Kabupaten/Kota se-Banten, PDRB Pro- vinsi se-Jawa dan PDB Indonesia 2015-2016, ed. Budi Prawoto (Serang: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2017), 102. 183Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 184Winters, Oligarchy, 18-20. 185Winters, Oligarchy, 15-18. 186Winters, Oligarchy, 15.

    284 Oligarki dan Demokrasi... keluarga besar Chasan Sochib dalam memenangkan kancah kekua- saan dan mendefinisikan mereka sebagai para oligark.

    1. Peran Tb. Chasan Sochib sebagai Oligark di Balik Layar Kesuksesan dalam bisnis yang menjadi profil kekuasaan material dan mendefinisikan Chasan Sochib sebagai oligark men- jadikannya sangat kuat (powerful) secara politik. Menurut Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014, kemenangan Ratu Atut Chosiyah dalam tiga kali Pilkada tidak terlepas dari pengaruh jaringan yang dimiliki ayah- nya, Tb. Chasan Sochib. Kader ayahnya bukan hanya lahir menjadi orang penting tapi juga menjadi pejabat dan pengusaha. Hampir semua pengusaha atau orang kaya di Banten berhulu pada hasil didikan Tb. Chasan Sochib. Oleh karena itu, anggota keluarga Tb. Chasan Sochib yang mencalonkan diri dalam Pilkada memiliki daya topang yang lebih kuat pada level akar rumput (grassroot). Sebab, Tb. Chasan Sochib selain sebagai tokoh berpengaruh, juga sebagai kontraktor yang memiliki dana sangat mumpuni. “Dia dan kadernya merupakan kontraktor. Saat dia dapat jalan, ada beberapa karyawan yang ikut sama dia. Itulah jaringan, itulah network. Itulah jaringan yang riil dari semua lapisan mulai dari jaringan bisnis hingga lembaga keagamaan dengan menyumbang pondok pesantren sehingga semua orang merasa hidup bersama dia.”187 Tiga bulan setelah Banten diresmikan menjadi provinsi pada 18 November 2000188 dan setelah terbentuk pada 4 Oktober

    187Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 188Daerah Provinsi Banten adalah pecahan dari Provinsi Jawa Barat. Terbentuk pada tanggal 4 Oktober 2000 sebagai hasil dari Dekla- rasi Rakyat Banten pada tanggal 18 Juli 1999 berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2000. Pada tanggal 18 November 2000 dilakukan peresmian Pro- vinsi Banten dan dikepalai olah Gubernur pertama H. Hakamudin Djamal Ahmad Munjin 285

    2000, beberapa langkah diambil untuk melengkapi aparat pemerin- tahan formal. Pada awal Maret 2001, Panitia Pengisian Keanggo- taan (PKK) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banten terbentuk di bawah kepemimpinan Hassan Alaydrus untuk menen- tukan jumlah kursi dan komposisinya.189 Pada bulan berikutnya, April 2001, Tb. Chasan Sochibdiangkat menjadi salah satu dari lima anggota komisi pengawas yang merepresentasikan masya- rakat sipil. Komite ini mengawasi komisi lain yang memiliki hak untuk menentukan keputusan final parlemen berdasarkan hasil pemilu 1999.Dalam konteks ini, menurut Masaaki dan Hamid, tidak begitu jelas sejauh mana Sochib menggunakan pengaruhnya dalam proses-proses pemilihan. Akan tetapi, disebutkan bahwa materialbersuku Jawa, Dharmono K. Lawidari Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), terpilih menjadi Ketua DPRD Banten190 karena pengaruh Tb. Chasan Sochib.191 Setelah DPRD provinsi Banten periode 2001-2004 terben- tuk, langkah selanjutnya dan tugas pertamanya adalah memilih gubernur dan wakil gubernur periode 2001-2006.192 Proses pemi- lihan dimulai pada 16 September 2001 dan berakhir pada 3

    untuk menjalankan roda pemerintahan sampai terpilihnya gubernur definitif. 189Untuk bagaimana cara kerja Panitia Pengisian Keanggotaan (PKK) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan formasi DPRD provinsi Banten yang terbentuk periode 2001-2004, lihat Hidayat, “Sha- dow State,” 208-9. 190Unutuk tabel distribusi kursi DPRDProvinsi Banten, lihat Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 121. 191Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 121-22. 192Secara teknis, pemilihan gubernur dan wakil gubernur Banten, terdiri darilimatahapan: pendaftaran awal dari kandidat yang prospektif; penyaringan bakal calon tahap I; penyaringan tahap II; pemilihan tiket definitif bagi calon-calon gubernur dan wakil gubernur; dan terakhir, pemilihan paket gubenur dan wakil gubernur (hari-H). Lihat Hidayat, “Shadow State,” 212.

    286 Oligarki dan Demokrasi...

    Desember 2001.193 Menurut Syarif Hidayat, proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur telah memunculkan kekuatan sosial yang menjadi basis sumber daya kekuasaan elite,194 kekuatan ekonomi (kekuasan material) yang menjadi basis sumber daya kekuasaan oligarkis,195 dan kekuatan politik yang bermacam-ma- cam. Akan tetapi, kekuatan yang utama muncul dan terus bekerja saat itu adalah jawara-pengusaha. Pada kepengusahaan jawara inilah melekat karakteristik oligarkis196 selain sumber daya kekua- saan elite197 yang sudah mereka miliki secara bersamaan. Pemili- han gubernur tersebut menjadi momentum penting bagi mereka198 dan semua sumber daya kekuasaannya. Yang menarik, beberapa tokoh masyarakat Banten yang sudah lebih awal berperan utama dalam perjuangan pendirian Banten sebagai provinsi justru menghilang selama proses pemili- han. Di antara mereka adalah Triyana Sjam’un, Ketua Umum Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten (Bakor PPB); Uwes Qorni, seorang pelopor dalam gerakan pendirian provinsi Banten dan Ketua Umum Komite Pembentukan Provinsi Banten (KPPB); dan Moch. Ali Yahya, perumus dan pengusul rancangan Undang-undang DPR tentang pendirian Provinsi Banten. Sebalik- nya, Tb. Chasan Sochib dengan sumber daya kekuasaan elite199 dan oligarkis200 sekaligus yang merupakan tokoh jawara-pengu- saha yang selama periode perjuangan pendirian provinsi Banten lebih sering berperan di balik layar,201 justru muncul sebagai kekuatan dominan.202

    193Hidayat, “Shadow State,” 209. 194Winters, Oligarchy, 13 195Winters, Oligarchy, 18-20 196Winters, Oligarchy, 13 197Winters, Oligarchy, 13 198Hidayat, “Shadow State,” 212. 199Winters, Oligarchy, 13 200Winters, Oligarchy, 18-20. 201“In all ages, whatever the form and name of government, be it monarchy, republic, or democracy, an oligarchy lurks behind the facade.” Ahmad Munjin 287

    Pendaftaran awal bagi bakal calon untuk gubernur dan wakil gubernur dimulai pada 16 September 2001. Syarif Hidayat mengakui dinamika politik lokal sejak pembukaan hingga hari-H, yakni pemilihan paket gubernur dan wakil gubernur, sulit dipre- diksi. PDI-P menominasikan Mamas Chaeruddin, Ketua DPD PDI-P Provinsi Banten, sebagai kandidat gubernur. Golkar menga- jukan Moch. Aly Yahya, anggota fraksi Golkar di DPR RI, sebagai calon untuk gubernur dan Hj. Atut Chosiyah (pengusaha perem- puan) untuk wakil gubernur. Sementara itu, PPP menominasikan Djoko Munandar, Ketua Dewan Pimpinan Daerah PPP Provinsi Banten, sebagai kandidatnya untuk gubernur. Kemudian, koalisi tiga partai lain, yakni Partai Keadilan (PK), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB) menominasikan Triyana Sjam’un, pengusaha dan tokoh dalam perjuangan pendi- rian provinsi Banten, sebagai kandidatnya untuk gubernur.203 Tb. Chasan Sochib tidak berada di antara bakal calon. Menurut Syarif Hidayat, ini merupakan bagian dari stra- tegi untuk pemenangan. Rumor-rumor sudah meluas bahwa Chasan Sochib punya ambisi untuk mengendalikan momentum pasca-Banten Nomor Satu (gubernur). Untuk menyangkal rumor ini, Tb. Chasan Sochib secara formal tidaklah terdaftar sebagai kandidat gubernur. Namun demikian, di balik layar, Sochib, sebagai tokoh jawara sudah mengerahkan berbagai sumber daya kekuasaannya.204 Salah satunya, dia melakukan mobilisasi masa (kekuasan moblisasi)205 mengiringi tiket kandidat tertentu. Seba- gai tokoh Partai Golkar, Sochib jelas memiliki kewajiban untuk

    Lihat Ronald Syme, The Roman Revolution (Oxford: Oxford University Press, 1939), 7. Bedakan dengan Winters, Oligarchy, 72. 202Hidayat, “Shadow State,” 212. 203Iwan Kusuma Hamdan et al., Mengawal Aspirasi Masyarakat Banten menuju Banten Iman dan Taqwa: Memori Pengabdian DPRD Banten Masa Bakti 2001-2004 (Banten: Sekretariat DPRD Banten, 2004), 119-20. 204Winters, Oligarchy, 11-20. 205Winters, Oligarchy, 15-18.

    288 Oligarki dan Demokrasi... mendukung kandidatnya untuk gubernur (Moch. Aly Yahya) dan wakil gubernur (Atut Chosiyah). Akan tetapi, Sochib, bahkan punya kepentingan yang lebih besar dalam memastikan pencalo- nan Atut Chosiyah saat Chasan Sochib dan Atut Chosiyah berbagi hubungan keluarga yang sangat dekat.206 Lebih jauh Syarif Hidayat menjelaskan, dengan sedikit politik uang yang menjadi sumber daya kekuasaan material207 Chasan Sochib, tahapan awal ini sudah berlangsung. Berbagai elemen masyarakat pun bermunculan untuk mendukung kandidat tersebut. Salah satu bentuk penggunaan kekuasaan mobilisasi208 dari Tb. Chasan Shohib adalah pernyataan dukungan bagi Ratu Atut Chosiyah yang datang dari asosiasi pencak silat Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI) pada 18 September 2001. Dukungan tersebut datang dua hari setelah pembukaan pendaftaran bakal calon gubernur dan wakil gubernur. Surat dukungan tersebut ditandatangani oleh ketua umum PPPSBBI, H. Tb. Chasan Sochib dan wakil sekretaris jenderal, M. Suminta Idris.209 Dalam konteks ini, Sochib jelas sudah mentransformasikan kekuasaan jabatan resmi210 sebagai

    206Hidayat, “Shadow State,” 213. 207Winters, Oligarchy, 18-20. 208Winters, Oligarchy, 15-18. 209Sebagian isi surat tersebut berbunyi, “Kami panitia eksekutif Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI) dalam kaitannya dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur provinsi Banten untuk periode 2001-2006, merasa terpanggil [untuk menyatakan bahwa] pentingnya memilih pemimpin yang tepat, yang mengerti karakter dan budaya masyarakat Banten serta memiliki kesadaran persatuan dan integritas masyarakat Banten. Oleh karena itu, dengan ini kami dari PPPSBBI mendeklarasikan dukungan penuh kami untuk Ibu Hj. Ratu Atut Chosiyah sebagai calon wakil gubernur provinsi Banten periode 2001-2006 dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang akan datang.” Lihat Hidayat, “Shadow State,” 213. 210Winters, Oligarchy, 13-15. Ahmad Munjin 289 ketua umum menjadi kekuasaan mobilisasi211 melalui para jawara yang menjadi anggota PPPSBBI. Surat dukungan tersebut, menurut Syarif Hidayat, telah menjadi sinyal bahwa jawara berpihak kepada Atut Chosiyah sebagai calon wakil gubernur dan karena itu juga dukungan bagi siapapun yang akan menjadi calon gubernur yang punya paket yang sama dengan Atut Chosiyah. Kondisi ini merefleksikan sebuah bentuk awal dari keterlibatan jawara dalam proses pemi- lihan. Berikutnya, keterlibatan mereka cenderung mengarah pada mobilisasi212 massa dengan dalih ‘melindungi dan menjaga’ pemi- lihan tersebut. Keterlibatan itu juga mengarah pada intimidasi yang merefleksikan kekuasaan koersif213 dari para jawara terhadap para pendukung kandidat lain. Terdapat banyak indikasi, kata Syarif Hidayat, yang sangat berhubungan dengan strategi-strategi pemenangan dari Tb. Chasan Sochib.214 Pada tahapan penyaringan215 ketiga, fraksi-fraksi di DPRD Provinsi Banten menominasikan 5 pasangan calon untuk gubernur dan wakil gubernur. Kelima pasangan tersebut adalah Pertama, Djoko Munandar dan Ratu Atut Chosiyah yang dicalonkan oleh Fraksi Golkar dan PPP; Kedua, Herman Haeruman dan Tb. Mamas Chaerudin yang dicalonkan oleh fraksi PDI-P; Ketiga, Ace

    211Winters, Oligarchy, 15-18. 212Winters, Oligarchy, 15-18. 213Winters, Oligarchy, 15. 214Hidayat, “Shadow State,” 213-14. 215Saat penyaringan para calon, tahapan pertama menghasilkan 22 bakal calon untuk gubernur dan 7 untuk wakil gubernur. Jumlah ter- sebut disaring kembali (tahapan kedua) menjadi 12 calon untuk gubernur dan wakil gubernur Banten. Hingga tahapan ini, para kandidat belum ditetapkan berpasangan. Pada putaran ketiga, pada penyaringan tahap kedua itu, 12 kandidat dipasangkan menjadi berpasangan. Setiap pasa- ngan dinominasikan oleh satu dari enam fraksi di DPRD provinsi Banten. Pada sidang pleno 25 September 2001, melalui voting tertutup, DPRD menetapkan 12 calon untuk gubernur dan wakil gubernur. Hidayat, “Shadow State,” 214. Lihat juga Hamdan et al., Mengawal Aspirasi, 122.

    290 Oligarki dan Demokrasi...

    Suhaedi Madsupi dan Tb. Mamas Chaerudin yang dicalonkan oleh fraksi ABK (Fraksi Amanat Bintang Keadilan); Keempat, Herman Haeruman dan Hilman Indra yang dicalonkan oleh fraksi ABK; dan Kelima, Herman Haeruman dan Ade Sudirman yang dicalonkan oleh fraksi Al Bantani.216 Menurut Syarif Hidayat, hal yang paling mencolok adalah hilangnya Moch. Aly Yahya sebagai calon gubernur selama penya- ringan tahap kedua. Tokoh terkenal dalam perjuangan pendirian provinsi Banten ini hanya mendapatkan 28 suara dalam penyari- ngan tahap pertama. Bahkan, menurut Syarif Hidayat, ada indikasi kuat bahwa hilangnya nama Moch. Aly Yahya dari bursa penca- lonan berkaitan erat dengan skenario yang dibuat oleh Tb. Chasan Sochib dan tim suksesnya. Sejak awal, Chasan Sochib memiliki kepentingan besar dengan posisi Banten II (wakil gubernur), sebagaimana posisi ini relevan dengan Atut Chosiyah yang sedang diperjuangkannya.217 Paling tidak, terdapat empat alasan Tb. Chasan Sochib untuk posisi Atut Chosiyah sebagai calon wakil gubernur. Pertama, posisi calon gubernur dianggap terlalu berat bagi Atut Chosiyah.218 Terlalu berat dalam pengertian pengalaman dan kapa- bilitas personalnya. Kedua, sebagai calon gubernur, Atut Chosiyah akan memberatkan Partai Golkar di mana pencalonannya akan berpengaruh pada faktor kemenangan nantinya. Ketiga, Golkar sudah terlanjur mencalonkan Moch. Aly Yahya sebagai gubernur dan Atut Chosiyah sebagai wakil gubernur. Untuk mengatasi masalah ini, hal-hal ‘diatur’ sehingga Golkar memutuskan hanya mengejar posisi wakil gubernur. Dengan demikian, sekarang jelas alasan penarikan Moch. Aly Yahya dari arena. Apalagi, sejak awal Moch. Aly Yahya hanya tertarik untuk dicalonkan sebagai gubenur bukan wakil gubernur.219

    216Hidayat, “Shadow State,” 214. 217Hidayat, “Shadow State,” 214-15. 218Hidayat, “Shadow State,” 214-15. 219Hidayat, “Shadow State,” 215. Ahmad Munjin 291

    Keempat, alasan pencalonan Atut Chosiyah sebagai wakil gubernur juga sebagai strategi dari Tb. Chasan Sochib untuk mengantarkan anak sulungnya itu berkuasa tiga periode. Jika langsung berkuasa jadi gubernur, Atut Chosiyah hanya berpeluang berkuasa dua periode. Inilah sikap politik Tb. Chasan Sochib yang sangat visioner, jauh melihat ke depan untuk masa depan kekuasaan politik dinastinya. Strategi ini juga diikuti oleh anak Atut Chosiyah, Andika Hazrumy pada Pilkada 2017. Pada dasar- nya, menurut Masaaki dan Hamid, selama proses pembentukan Banten sebagai provinsi yang independen, Sochib sudah memper- lihatkan hasrat yang kuat bahwa Atut Chosiyah menjadi wakil gubernur pertama dan dikatakan bahwa Sochib tidak peduli siapa yang akan menjadi gubernurnya.220 Tantangan bagi Golkar dan Tb. Chasan Sochib adalah memilih calon gubernur lain untuk dipasangkan dengan Atut Chosiyah. Ini, menurut Syarif Hidayat, merupakan tugas rumit dan membutuhkan amunisi politik dan ekonomi (sumber daya kekuasaan material221) yang berat. Sebab, hampir semua calon gubernur yang sudah lolos pada penyaringan tahap pertama sudah punya pasangan untuk maju sebagai wakil gubernur. Dalam situasi ini, Golkar dan Tb. Chasan Sochib menunjukkan kemampuannya. Setelah perhitungan yang hati-hati, diputuskan bahwa Golkar harus membentuk sebuah koalisi dengan satu partai lain atau lebih. Pilihannya antara PPP dan PDI-P. Pada saat yang sama, PPP belum menentukan nama calon wakil gubernur untuk dipasangkan dengan Djoko Munandar (kandidat gubernur dari PPP). Setelah berbagai pendekatan dan kompromi, koalisi Golkar-PPP terbentuk sehingga calon PPP untuk gubernur, Djoko Munandar dipasangkan dengan Ratu Atut Chosiyah sebagai calon wakil gubernur. Menurut Syarif Hidayat, koalisi ini menunjukkan bahwa Chasan Sochib merupakan kontributor utama untuk men-

    220Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 122-23. 221Winters, Oligarchy, 18-20.

    292 Oligarki dan Demokrasi... danai pemilihan pasangan tersebut.222 Dalam konteks pendanaan pemilihan inilah sumber daya kekuasaan material223 yang menjadi basis kekuasaan oligarkis dari Tb. Chasan Sochib sedang bekerja. Partai Golkar merelakan Moch. Aly Yahya untuk keluar dari kon- testasi calon gubernur dan hanya memajukan Ratu Atut Chosiyah sebagai calon wakil gubernur dengan kompensasi pendanaan yang dibebankan kepada Tb. Chasan Sochib. Menentukan tiga pasangan calon yang akan maju dalam putaran akhir, yakni pemilihan itu sendiri menjadi tahapan selanjutnya. Pada 3 Oktober 2001, tiga pasangan telah terpilih. Ketiga pasangan tersebut adalah: Pertama, Djoko Munandar dan Ratu Atut Chosiyah yang dicalonkan oleh PPP dan Golkar; Kedua, Ace Suhaedi Madsupi dan Tb. Mamas Chaerudin yang dicalonkan oleh PDI-P; dan Ketiga, Herman Haeruman dan Ade Sudirman yang dicalonkan oleh fraksi Al Bantani.224 Terpilihnya ketiga pasangan tersebut menimbulkan reaksi baik positif maupun negatif dari masyarakat. Sebagai contoh, pada hari setelah tiga pasangan sudah dipilih, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Aliansi Martabat Perempuan Banten (AMPB) mengajukan surat penolakan atas pencalonan Ratu Atut Chosiyah sebagai wakil gubernur Banten. Surat tersebut ditandatangani oleh Ratu Syarifa Usmah Wahid (Ketua Umum) dan dialamatkan kepada para anggota DPRD Provinsi Banten.225 Di lain sisi, surat serupa justru sebagai dukungan untuk pencalonan Ratu Atut Chosiyah datang dari padepokan pencak silat Perguruan Paku Jung Kulon Banten Selatan pada hari berikutnya, 5 Oktober 2001.226 Penolakan dan dukungan terhadap Ratu Atut Chosiyah tersebut merepresentasikan dua sumber daya kekuasaan sekaligus. Perta-

    222Hidayat, “Shadow State,” 215. 223Winters, Oligarchy, 18-20. 224Hidayat, “Shadow State,” 215. Lihat juga,Hamdan et al., Mengawal Aspirasi,122. 225Hidayat, “Shadow State,” 215-216. 226Hidayat, “Shadow State,” 216. Ahmad Munjin 293 ma, jabatan resmi227 karena ditandatangani oleh ketua umum; dan Kedua, mobilisasi228 karena membawahi banyak anggota dari organisasi tersebut. Gelombang dukungan dan penolakan membesar dan sulit dikendalikan. DPRD pun coba menangkis berbagai tuntutan, protes, dan pernyataan-pernyataan penolakan yang diajukan oleh berbagai elemen masyarakat Banten. Akan tetapi, menurut Syarif Hidayat, sangatlah sulit menutupi penyimpangan yang muncul dalam proses pencalonan tersebut. Mengacu pada Undang-undang no. 22/1999 dan Peraturan Pemerintah no. 151/2000, pasangan calon untuk gubernur dan wakil gubernur harus sudah dilakukan oleh masing-masing kandidat dan bukan oleh fraksi-fraksi di DPRD seperti yang terjadi di Banten. Pelanggaran lain sudah terjadi pada persyaratan administratif Tb. Mamas Chaerudin, calon wakil gubernur yang dipasangkan dengan Ace Suhaedi Mad- supi. Mamas Chaerudin sebenarnya tidak memiliki ijazah sekolah tinggi atau sederajat sebagaimana diwajibkan dalam Undang- undang no. 22/1999 dan Peraturan Pemerintah no. 151/2000.229 Untuk memecahkan masalah tersebut, DPRD Provinsi Banten berkonsultasi dengan Departemen Dalam Negeri yang merasa bahwa aturan yang digunakan di Banten membutuhkan koreksi. Kemudaian, pada 12 November 2001, DPRD mengadakan sidang pleno untuk mendiskusikan revisi atas tata tertib pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Hasil dari revisi tersebut kemudian diajukan ke Departemen Dalam Negeri untuk ditinjau ulang. Pada saat yang sama, pendekatan-pendekatan informal juga dilakukan untuk memperkuat pengajuan revisi tata tertib itu. Menurut Syarif Hidayat, hal ini dilaporkan oleh salah satu anggota DPRD Pro- vinsi Banten di mana Tb. Chasan Sochib berperan dalam proses- proses politik informal. Tb. Chasan Sochib menggunakan sebagian besar hubungan personalnya, yakni jaringan yang merepresen-

    227Winters, Oligarchy, 13-15. 228Winters, Oligarchy, 15-18. 229Hidayat, “Shadow State,” 217.

    294 Oligarki dan Demokrasi... tasikan kekuasaan mobilisasi230 dengan menteri dalam negeri. Pada saat yang sama, Menteri Dalam Negeri menggunakan kekua- saan jabatan resminya231 dalam merevisi tata tertib dimaksud. Pada 24 November 2001, Menteri Dalam Negeri, Hari Sabarno, mengirimkan surat persetujuan. Konsekuensinya, rapat Panitia Musyawarah (Panmus) DPRD Banten ditentukan pada 26 November 2001 yang merupakan tahapan akhir. Sementara itu, pemilihan gubernur dan wakil gubernur Banten dilaksanakan pada 3 Desember 2001.232 Chasan Sochib menggunakan semua sumber daya kekua- saan yang dimilikinya untuk memenangkan pasangan calon Djoko Munandar dan Atut Chosiyah. Dirumorkan, sebelum hari H pemungutan suara, tentu dengan sumber daya materialnya,233 Tb. Chasan Sochib melakukan suap terhadap para anggota dewan provinsi Banten.234Pada Desember 2001,pemilihangubernur dan wakil Gubernur Bantendiselenggarakan melaluiDPRD.Suasana pada hari-H tersebut semakin tegang. Meski DPDR sudah menja- min otoritas penuh pada polisi dan militer untuk menangani keamanan dan meminta mereka untuk membersihkan jawara pada area dalam rentang radius empat kilometer dari gedung DPRD, elemen masyarakat ini terus memobilisasi235 masanya. Para jawara sudah bersiap siaga sejak pukul 06.00 WIB pagi dengan alasan untuk mengamankan proses pemilihan. Mereka bahkan berkeliaran di dalam gedung dengan pakaian sipil (pakaian preman).236Para jawara berseragam hitam dan bersenjata golok yang merepresen- tasikan kekuasaan koersif237 dari PPPSBBI “mengamankan”

    230Winters, Oligarchy, 15-18. 231Winters, Oligarchy, 13-15. 232Hidayat, “Shadow State,” 217. 233Winters, Oligarchy, 18-20. 234Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 122-23. 235Winters, Oligarchy, 15-18. 236Hidayat, “Shadow State,” 217-18. Lihat juga Hamdan et al, Mengawal Aspirasi, 126. 237Winters, Oligarchy, 15. Ahmad Munjin 295 gedung DPRD. Dua hingga tiga jawara “mengawal” tiap-tiap mobil milik anggota dewan.238 Dalam konteks peran jawara dalam proses pemilihan tersebut, sangat jelas baik secara langsung ataupun simbolik jawara menggunakan kekuasaan koersifnya.239 Padahal, menurut Max Weber, pada era modern kekuasaan koersif sejatinya diambil alih oleh negara240, yakni polisi dan militer dalam konteks Banten. Kekuasaan koersif241 itu justru dipertontonkan oleh otoritas tradisional242Jawara. Kekuasaan koersif243 tersebut pada akhirnya bertransformasi menjadi kekuasaan mobilisasi244 sehingga berbuah pada kemenangan pasangan calon yang memiliki dua sumber daya kekuasaan tersebut. Dengan demikian, uang yang menandakan kekusaan material245 dan ancaman dan intimidasi dari para jawara yang manandakan kekuasaan koersif246 ditegaskan Masaaki dan Hamid, sangat efektif dalam memengaruhi hasil pemungutan suara bagi dukungan Sochib ini.247 Strategi politik Tb. Chasan Sochib dengan sumber daya kekuasaan materialnya mengonfirmasi teori oligark berkuasa di balik layar.248

    238Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 122-23. 239Winters, Oligarchy, 15. 240“Today, however, we have to say that a state is a human com- munity that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory.” Max Weber, “Politics as a Voca- tion,” dalam From Max Weber: Essays in Sociology, eds. H. H. Gerth dan C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1946), 78. 241Winters, Oligarchy, 15. 242Miriam Budiardjo, dkk., Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), 14-15. 243Winters, Oligarchy, 15. 244Winters, Oligarchy, 15-18. 245Winters, Oligarchy, 18-20. 246Winters, Oligarchy, 15. 247Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 122-23. 248Perihal apakah oligark berkuasa di balik layar atau tidak bukanlah merupakan perhatian utama bagi Winters. Akan tetapi kasus Chasan Sohib membuktikan kekuasaan di balik layar tersebut. Winters

    296 Oligarki dan Demokrasi...

    Walhasil, seorang politisi bersuku Jawa, Djoko Munandar dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan anak perempuan Tb. Chasan Sochib, Ratu Atut Chosiyah249 dari Golkar meme- nangkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur tersebut. Meski Atut Chosiyah tidak berpengalaman dalam politik, Tb. Chasan Sochib meyakini dan memilihnya karena dia memiliki kekuatan berpikir dan kepercayaan diri seperti jawara. Pada pemilihan tersebut, dari enam puluh sembilan suara, pasangan Djoko-Atut Chosiyah memenangkan tiga puluh tujuh suara—dua belas suara Golkar, sebelas suara PPP, delapan suara berasal dari fraksi militer dan polisi, dan sisanya berasal dari fraksi ABK (Amanat, Bintang, dan Keadilan) dan fraksi Al-Bantani.250 Tampaknya, menurut Syarif Hidayat, kalahnya pasangan calon dari PDI-P merupakan kompensasi, yakni untuk mengalokasikan posisi jabatan di legis- lasi daerah dan eksekutif. Yang perlu diingat adalah Ketua DPRD Provinsi Banten adalah, Dharmono K. Lawi yang merupakan politikus PDI-P.251 Kemenangan elektoral tersebut, menurut Masaaki dan Hamid, tidaklah mungkin terjadi tanpa dukungan finansial yang

    berargumen, pemahaman oligark yang selalu berada di balik layar mun- cul karena pandangan bahwa oligarki tidak bisa menyatu dengan sistem pemerintahan demokratis sedangkan Winters berpendapat sebaliknya. Lihat Winters, Oligarchy, 72-73.Bedakan dengan Syme, Roman Revolu- tion, 7. 249Atut merupakan anak pertama Sochib dari istri pertamanya, Hj. Wasiah. Atut dilahirkan di Ciomas, Kabupaten Serang pada 1962. Dia merupakan lulusan sekolah perbankan di Bandung dan mengopera- sikan sebuah perusahaan konstruksi ketika ayahnya meminta untuk maju sebagai wakil gubernur. Lihat Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 121-22. 250Tabel hasil pemilu Gububernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten tahun 2001, lihat Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 121- 22; Hidayat, “Shadow State,” 217-18; dan Hamdan et al, Mengawal Aspirasi , 126. 251Hidayat, “Shadow State,” 218. Ahmad Munjin 297 menjadi sumber daya kekuasaan material252dari Tb. Chasan Sochib dan ancaman-ancaman kekerasan dari para jawara yang menjadi sumber daya kekuasaan koersif253yang dialamatkan kepada para anggota dewan.254Menurut Syarif Hidayat, di antara mereka yang paling gembira dan bisa bernafas lega pascapemilihan tahap akhir tersebut adalah Tb. Chasan Sochib dan tim suksesnya. Setelah menjadi navigator dalam sebuah proses pemilihan sangat rumit yang menguras sumber daya ekonomi dan politik yang besar, akhirnya kandidat mereka meraih kemenangan. Pertanyaan beri- kutnya adalah bagaimana Chasan Sochib mendapatkan kompen- sasi atas ‘keringat’ politik dan ekonomi yang telah ia keluarkan dalam proses pemilihan.255 Ironisnya, Sochib berjuang mendirikan provinsi baru untuk masyarakat Banten, tapi dia memilih dua etnis luar, Djoko Munandar dan Darmono K. Lawi (Kader PDIP Provinsi asal suku Jawa) untuk pos gubernur Banten dan ketua DPRD Provinsi Banten. Dengan memasang etnis luar pada puncak jabatan, menurut Masaaki dan Hamid, kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah bayang-bayangnya yang merupakan kompensasi atas ‘keringat’ politik dan ekonomi dari Tb. Chasan Sochib sehingga menjadi oligark di balik layar256 dan nyaman mengontrol Banten pasca-Soeharto.257 Tak tanggung-tanggung, Tb. Chasan Sochib pun bisa mengintervensi kebijakan-kebijakan pemerintah provinsi baik dalam hal personel maupun anggaran yang pada muaranya me- ngejawantah menjadi sumber daya kekuasaan material.258 Dalam situasi itu, DPRD provinsi menjadi tidak efektif dalam mem-

    252Winters, Oligarchy, 18-20. 253Winters, Oligarchy, 15. 254Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 122-23. 255Hidayat, “Shadow State,” 218. 256Syme, Roman Revolution, 7. Bedakan dengan Winters, Oligarchy, 72. 257Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 123-24. 258Winters, Oligarchy, 18-20.

    298 Oligarki dan Demokrasi... bendung intervensi dari Sochib. Wakil Ketua Komisi A yang membidangi tata kelola pemerintahan dari Partai Keadilan (PK) bahkan mengatakan dengan penuh penyesalan, “...pemerintahan provinsi tampaknya takut dalam membuat keputusan kebijakan meskipun sidang pleno DPRD Provinsi sudah setuju dengan kepu- tusan tersebut. Kami hanya menunggu persetujuan Rau259 yang sering terdengar klise di antara pejabat eksekutif provinsi.”260 Rauadalah nama sebuah pasar tradisional di Serang yang menjadi tempat di mana hampir semua grup bisnis Tb. Chasan Sochib dan asosiasi-asosiasi bisnisnya bersemayam. Rau merepre- sentasikan jaringan persekongkolan sosial yang menjelma menjadi kekuasaan mobilisasi261 Tb. Chasan Sochib, beserta kekuatan fisiknya, secara efektif memaksakan kehendaknya (kekuasaan koersif262) terhadap pemerintah daerah. Menghadapi kritisisme semacam ini perihal kekuasaan sosialnya yang dominan (sebuah istilah yang digunakan oleh kepala Badan Perencanaan Daerah Provinsi Banten), Sochib mengatakan, “Tidak masalah dalam sebuah negara demokratis, apabila muncul kekuatan sosial. Kita bukanlah negara komunis. Rakyat harus punya kekuasaan di bawah paradigma baru saat ini.”263 Selain intervensi kebijakan, perusahaan-perusahaan milik Sochib memenangkan proyek-proyek konstruksi. Di antaranya, pembangunan gedung Markas Besar Kepolisian Provinsi Banten, komplek pemerintahan provinsi, dan beberapa jalan raya. Tb. Chasan Sochib juga memiliki tanah yang dijualnya ke Pemda dalam jumlah luas yang tidak biasa. Masaaki dan Hamid

    259Pasar Rau adalah pasar induk yang terletak di daerah Serang, salah satu pasar yang paling ramai, yang setiap hari dikunjungi orang dari berbagai penjuru Serang bahkan sampai Pandeglang dan Anyer. Dalam konteks penelitian ini, Rau merujuk pada semua grup bisnis Tb. Chasan Sochib dan asosiasi-asosiasinya. 260Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 124. 261Winters, Oligarchy, 15-18. 262Winters, Oligarchy, 15. 263Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 124. Ahmad Munjin 299 mencontohkan, Pemda provinsi mendapatkan tanah untuk kantor pusat kepolisian dari Tb. Chasan Sochib dan yang lain. Harga pengadaan tanah tersebut senilai Rp231.500 per meter persegi. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan harga tanah rata-rata senilai Rp200.000 per meter persegi. Menurut Tb. Chasan Sochib, untuk mengontrol lebih dari 60% anggaran, pembangunan dari proyek-proyek tersebut senilai lebih dari Rp5 miliar. Dalam banyak kasus, pesaing Sochib tidak diberikan kesempatan sama sekali untuk mengajukan penawaran untuk berbagai kontrak. Tb. Chasan Sochib sendiri mengakui bahwa Sinar Ciomas Raya Co. Ltd. menangani semua proyek senilai lebih dari Rp10 miliar, dan dia memberikan proyek tersebut kepada para pengikutnya yang menjadi basis kekuasaan mobilisasinya264 senilai kurang dari jumlah tersebut.265 Semua proyek tersebut tentu menjadi pundi- pundi kekayaan Tb. Chasan Sochib yang pada gilirannya bertrans- formasi menjadi kekuasaan material266 yang menjadi basis kekua- saan oligarkis. Sebagai pihak yang terdefinisikan sebagai oligark di belakang layar, Tb. Chasan Sochib justru dengan bangga menya- takan, “Saya adalah gubernur jenderal yang sebenarnya. Apabila dia [Djoko Munandar] melakukan kesalahan dalam memimpin Banten, saya akan mengoreksinya. Saya yang paling bertanggung- jawab atas dirinya. Dia naik karena dukungan saya.”267 Kekuasaan Sochib memang tidak terbatas, tapi bagaimana pun, dia paham bahwa dia mungkin tidak bisa bertindak secara bebas dari pemerintah pusat di Jakarta. Karena alasan inilah mengapa dia mengooptasi tokoh pejabat negara penting nasional yang menjadi basis kekuasaan mobilisasinya268di Jakarta dengan menunjuk mereka sebagai anggota kehormatan PPPSBBI atau

    264Winters, Oligarchy, 15-18. 265Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 124. 266Winters, Oligarchy, 18-20. 267Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 124. 268Winters, Oligarchy, 15-18.

    300 Oligarki dan Demokrasi... dewan penasihat setiap kali mereka bertandang ke Banten. Di antara mereka yang sudah ditunjuk adalah Da'i Bachtiar (Kapolri), Taufik Kiemas (suami mantan Presiden Megawati), Guruh Soekarnoputra (anak laki-laki Soekarno), dan M.A. Rahman (man- tan Jaksa Agung). Sochib mengelola jaringan yang kuat dengan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Golkar. Pada saat yang sama, Atut Chosiyah sukses berjibaku membangun hubungan dekat dengan , wakil ketua umum Golkar, dan dengan dukungan Kalla pula, Ratu Atut Chosiyah menjadi wakil bendahara DPP Golkar (2004-2009). Jaringan politik yang kuat dan multilateral ini, menurut Masaaki dan Hamid, tampaknya mengamankan Tb. Chasan Sochib dan Atut Chosiyah dari tuduhan korupsi.269 Kedua- nya sama-sama memanfaatkan sumber daya kekuasaan jabatan resmi270 mereka yang menduduki posisi politik penting di Jakarta. Masaaki dan Hamid menyontohkan, bantenlink.com, por- tal berita online provinsi Banten, menyebutkan dua kasus korupsi yang melibatkan Tb. Chasan Sochib dan Atut Chosiyah. Satu kasus terkait korupsi yang berhubungan dengan pengadaan tanah di Karangsari. Yang lainnya terkait penyalahgunaan dana darurat yang diperuntukkan untuk mendukung pembelian rumah anggota dewan. Dalam kasus yang terakhir, gubernur Djoko Munandar, dan tiga anggota legislatif yakni Dharmono (ketua), Mufrodi (wakil ketua), dan Muslim Djamaluddin (wakil ketua) terbukti bersalah. Chosiyah, Chaeron Muchsin (sekretaris daerah), dan pejabat pemerintah provinsi lain mengikuti pertemuan-pertemuan selama penentuan bagaimana menggunakan dana darurat, tapi mereka bebas dari tuntutan. Tergantung pada bagaimana pergan- tian pasangan politik, bagaimana pun, Sochib dan Atut Chosiyah bisa dipanggil kapan saja oleh kepolisian ataupun pengadilan. Apa yang mungkin terjadi apabila petinggi pemerintah pusat menemu- kan lebih banyak alternatif menarik terhadap pengaruh dan sumber daya kelompok Rau, atau menekan bahwa jaringan grup Rau

    269Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 125. 270Winters, Oligarchy, 13-15. Ahmad Munjin 301 sudah melemah dan menjadi relatif tidak efektif. Sochib dan Chosiyah akan terlihat tidak diperlukan dan hilang apapun protek- si politiknya dari kecurigaan dan tuntutan pengadilan yang saat itu mereka nikmati.271 Secara alamiah, menurut Masaaki dan Hamid, mencuat perlawanan terhadap dominasi grup Rau di Banten. Sebagian man- tan anggota Bakor membentuk sebuah organisasi anti-Rau yang bernama M3B (Majelis Musyawarah Masyarakat Banten), akan tetapi, organisasi ini kemudian tidak efektif. Kemudian, media masa secara umum menjadi takut untuk terlalu kritis terhadap Sochib, di mana golok yang merepresentasikan kekuasaan koersif- nya272akan menjadi ganjaran bagi mereka atas setiap kritik yang dilontarkan.273 Di atas semua itu, Djoko Munandar dan Ratu Atut Chosiyah tetap terpilih sebagai pemenang di Pilkada 2001.274 Aparat kelembagaan pun sudah lengkap. Harapan untuk segera terciptanya Banten yang lebih sejahtera, demokratis, dan religious terpusat pada dua lembaga penting provinsi tersebut dan terutama pada gubernur dan wakil gubernur yang baru terpilih275 yang

    271Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 125. 272Winters, Oligarchy, 15. 273Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 125. 274Djoko Munandar merupakan putra asli Solo, Jawa Tengah. Posisi terakhirnya sebelum menjadi gubernur adalah wakil bupati Cile- gon. Saat dia terdaftar sebagai kandidat gubernur Banten yang prospek- tif, Djoko bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara itu, Ratu Atut Chosiyah adalah seorang pengusaha perempuan asal Serang dan anak dari Tubagus Chasan Sochib. Atut Chosiyah yang kelak terdefinisikan sebagai oligark dengan segudang sumber daya mate- rialnya dinominasikan sebagai wakil gubernur Banten oleh Golkar. Lihat Hidayat, “Shadow State,” 209. 275Hidayat, “Shadow State,” 209.

    302 Oligarki dan Demokrasi... berada dalam bayang-bayang kekuasaan seorang oligark di balik layar.276 Dari pemaparan di atas, meski hanya berperan di balik layar pada Pilkada 2001, Tb. Chasan Sochib sukses mengerahkan semua sumber daya kekuasaannya, seperti mobilisasi, koersif, jabatan resmi, dan tentu hak politik formalnya. Semua kekuasaan tersebut menjadi basis kekuasaan elite dalam demokrasi. Selain sumber daya-sumber daya kekuasaan tersebut, Tb. Chasan Sochib juga mengerahkan kekuasaan material yang menjadi basis kekua- saan oligarkis. Di antara indikatornya adalah Pertama, mengerah- kan para jawara anggota PPPSBBI yang merepresentasikan kekua- saan mobilisasi; Kedua, intimidasi para jawara yang memengaruhi suara di parlemen yang merepresentasikan kekuasaan koersif; Ketiga, surat dukungan untuk Ratu Atut Chosiah dari Chasan Sochib sebagai ketua PPPSBBI yang menandakan kekuasaan jabatan resmi; Keempat, Chasan Sochib juga menggunakan hak pilihnya di kotak suara yang mewakili kekuasaan hak politik formalnya; dan Kelima, indikasi politik uang dan penentuan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur di mana Tb. Chasan Sochib bertanggungjawab secara pendanaan yang menunjukkan kekuasaan materialnya yang menjadi basis sumber daya kekuasaan oligarkis. Namun demikian, di antara sumber daya kekuasaan tersebut, terdapat tiga sumber daya kekuasaan yang menonjol, yakni mobilisasi, koersif, dan material.

    2. Pilkada Langsung 2006 dan Dominasi Kelompok Rau Pilkada langsung pertama untuk gubernur provinsi dilak- sanakan di Banten pada November 2006. Menurut Masaaki dan Hamid, pemilu ini memunculkan pendatang yang potensial dari dominasi kelompok Rau.277 Kelompok Rau merujuk kepada Tb. Chasan Sochib dan asosiasi-asosiasi bisnisnya yang bermarkas di pasar Rau, Serang. Kelompok Rau merepresentasikan jenis oligar-

    276Syme, Roman Revolution, 7. Bedakan dengan Winters, Oligarchy, 72. 277Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 126. Ahmad Munjin 303 ki yang disematkan kepada Tb. Chasan Sochib, yakni oligarki sultanistik278 di mana satu oligark (Tb. Chasan Sochib) memba- wahi dan mengendalikan oligark-oligark lain (asosiasi-asosiasi bisnisnya). Belum lagi jabatan Tb. Chasan Sochib sebagai Ketua Kadin Provinsi Banten yang juga secara otomatis membawahi pengusaha-pengusaha lainnya. Dari sudut pandang sumber daya kekuasaan,279 kelompok Rau memiliki profil kekuasaan material280 karena merupakan grup dan asosiasi bisnis dan mobilisasi281 sekaligus karena kelompok tersebut juga merupakan jaringan politik. Pada Pilkada Langsung 2006, kelompok Rau dengan profil kekuasaan material dan mobilisasinya itu sudah memiliki persiapan yang sangat baik. Beberapa tahun sebelum pemilihan, gubernur Djoko Munandar sudah dipenjara karena kasus korupsi dan pada saat yang sama Ratu Atut Chosiyah menjadi penjabat Gubernur. Limpahan jabatan tersebut membuat Ratu Atut Chosiyah leluasa dalam memobilisasi birokrasi provinsi untuk memastikan kemenangan- nya dalam pemilihan langsung 2006.282 Empat pasangan calon maju dalam pemilihan. Kelompok Rau tentu mendukung penjabat gubernur yakni anak perempuan Tb. Chasan Sochib, Ratu Atut Chosiyah.Undang-undang Otonomi Daerah yang baru, No. 33/2003, menetapkan bahwa setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur harus didukung oleh partai politik. Kelompok Rau mencari dukungan terutama dari pertai terbesar di provinsi Banten, Golkar pimpinan Jusuf Kalla, dan partai ketiga terbesar di provinsi Banten, yakni PDI-P, pimpinan mantan Presiden Megawati.283 Menurut Masaaki dan Hamid, beberapa kader Golkar provinsi secara jelas menentang Atut Chosiyah karena minimnya

    278Winters, Oligarchy, 135-207. 279Winters, Oligarchy, 11-20. 280Winters, Oligarchy, 18-20. 281Winters, Oligarchy, 15-18. 282Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 126. 283Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 126.

    304 Oligarki dan Demokrasi... dia dalam hal kepemimpinan. Namun demikian, keputusan akhir tidak ditentukan oleh Golkar tingkat provinsi melainkan oleh Dewan Pimpinan Pusat. Golkar memprioritaskan akurasi hasil survei dan menggunakan dua agen survei, yakni Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Saiful Mujani dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA, pecahan LSI Saiful Mujani. Hasil survei pada 2005 memperlihatkan dukungan tertinggi untuk Atut Chosiyah sekitar 20 persen. Di posisi kedua, ditempati Marissa Haque, aktris terkenal dan di tempat ketiga, Triyana Sjam’un, seorang pengusaha kaya.284 Sebagian anggota DPP Golkar coba untuk mendukung Triyana Sjam’un menggantikan Atut Chosiyah untuk merobohkan dominasi kelompok Rau. Triyana merupakan ‘cengceman’ faksi Ical (Aburizal Bakrie) dalam Golkar. Lalu, anggota DPP Golkar pusat untuk provinsi Banten diganti dari Tajuddin Nursaid menjadi Agus Gumiwang Kartasasmita, anak Ginandjar Kartasas- mita, seorang sekutu Ical. Ical merupakan pengusaha paling sukses yang didukung oleh Ginandjar, seorang teknokrat berpengaruh selama Orde Baru. Pada 2001, Ginandjar Kartasasmita adalah Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang bertanggungjawab masalah kebijakan-kebijakan otonomi daerah. Anak Ginanjar adalah milik kubu Ical. Oleh karena itu, mungkin perubahan tersebut didorong oleh kelompok Ical untuk memastikan duku- ngan potensial Golkar bagi Tryana.285 Para pendukung Tryana bergerak untuk menambah popu- laritasnya di level provinsi. Akan tetapi, survei kedua pada Januari 2006 memperlihatkan, Ratu Atut Chosiyah masih menempati rangking dukungan tertinggi sebesar 20% dibandingkan peringkat dukungan untuk Tryana yang hanya 8%. Berdasarkan pada ren- dahnya tingkat keterpilihan, para pendukung Tryana menyarankan agar Tryana memilih Marissa Haque yang populer sebagai calon wakil gubernur atas dasar asumsi bahwa kombinasi pemilih mere-

    284Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 127. 285Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 127. Ahmad Munjin 305 ka bisa menandingi pemilih Atut Chosiyah. Tryana menolak strategi ini dan dukungan untuk pencalonannya di Golkar pun menyusut.286 Pada 2 Juli 2006, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar mengadakan konvensi untuk memastikan calon-calon gubernur. Akan tetapi, komite konvensi hanya mengizinkan Ratu Atut Chosiyah untuk maju. Calon-calon potensial lainnya, seperti dua anggota Golkar dari DPR RI, yakni Moch. Aly Yahya dan Irsjad Djuwaeli, ditarik dari pertarungan. Moch. Aly Yahya sudah me- ngambil formulir pendaftaran, tapi tidak menyerahkannya kem- bali. Dua anggota DPP Golkar, Agung Laksono dan Ginandjar Kartasasmita, melakukan intervensi dalam proses-proses seleksi pada level provinsi.287 Negasi yang tidak demokratis ini menimbulkan reaksi keras dari beberapa kader provinsi. Sam Rachmat, salah satu ang- gota tim seleksi, mengadakan konferensi pers untuk mengkritik proses-proses tersebut dan pada akhirnya dipaksa mundur dari DPD Golkar. Oleh karena itu, tidak mengejutkan, konvensi Golkar memilih Ratu Atut Chosiyah sebagai calon tunggal Golkar dalam pertarungan gubernur Banten secara aklamasi. Sam Rachmat tidak dipecat melainkan dipasang sebagai kepala tim provinsi untuk memastikan kemenangan Ratu Atut Chosiyah. Menurut Masaaki dan Hamid, kelompok Rauyang memiliki profil kekuasaan mate- rial288 dan mobilisasi289 ini sangat trampil dalam negosiasi-nego- siasinya dengan anggota partai yang dianggap bandel. Sam Rachmat pun, pada akhirnya, tidak punya pilihan lain kecuali mendukung Ratu Atut Chosiyah dengan risiko kehilangan muka jika Chosiyah kalah dalam pemilihan.290

    286Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 127. 287Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 127-128. 288Winters, Oligarchy, 18-20. 289Winters, Oligarchy, 15-18. 290Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 127-128.

    306 Oligarki dan Demokrasi...

    Kelompok Rau juga, lanjut Masaaki dan Hamid, dengan lihai mengintervensi proses-proses pembuatan keputusan PDI-P. Anggota DPR asal PDI-P, Marissa Haque menghendaki untuk maju untuk Pilgub dan punya dukungan kuat dari DPD Provinsi. Marissa merupakan aktris terkenal dan suaminya Ikang Fauzi merupakan penyanyi rok masyhur asal Kabupaten Lebak. Popula- ritas mereka yang bisa dibaca sebagai sumber daya kekuasaan mobilisasi291dianggap menjanjikan untuk menjadi sumber daya penting dalam pemilihan. Rapat Kerja Daerah Khusus (Rakerda- sus) DPD PDI-P Provinsi diadakan pada 5 April 2006 untuk menentukan calon gubernur dan wakil gubernur dari PDI-P. Atut Chosiyah memenangkan 714 suara sedangkan Marissa hanya men- dapatkan 543 suara yang artinya anggota parlemen PDI-P kalah dari kader Golkar.292 Menurut Marissa, kekecewaan ini sangat mungkin karena beberapa kader PDI-P Provinsi dikuasai oleh kelompok Rau yang memiliki profil kekuasaan mobilisasi293 dan material294 dan jual beli suara yang merepresentasikan kekuasaan material295 cukup efektif dalam meyakinkan pihak lain non-anggota kelompok Rau untuk mendukung Ratu Atut Chosiyah.296 Dalam konteks ini, tampak jelas oligark yang direpresentasikan oleh kelompok Rau berhasil memengaruhi sumber daya kekuasaan lain, yakni mobili- sasi melalui Rakerdasus. Secara teori, menurut Winters, jika berkuasa di balik layar, motif kekuasaan oligark menyebar ke sumber daya-sumber daya kekuasaan yang lain. Sedangkan jika oligark berkuasa langsung, motif kekuasaanya lebih fokus pada

    291Winters, Oligarchy, 15-18. 292Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 128. 293Winters, Oligarchy, 15-18. 294Winters, Oligarchy, 18-20. 295Winters, Oligarchy, 18-20. 296Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 128. Ahmad Munjin 307 akumulasi kekayaan yang menjadi sumber daya kekuasaan mate- rialnya.297 Marissa pun menolak hasil konvensi dengan mengatakan, “alasan utama menolak hasil konvensi adalah bahwa proses-proses Rakerdasus sarat dengan politik uang dan hasilnya sepenuhnya berbeda denga aspirasi anggota DPD PDIP Provinsi yang aktif.” Pada akhirnya, DPP PDI-P memilih Ratu Atut Chosiyah sebagai calon gubernur tunggal dari PDI-P.298 Dua partai lain juga mendukung Atut Chosiyah: dua partai Islam, yakni Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Bintang Reformasi (PBR); satu partai Kristen, yakni Partai Damai Sejah- tera (PDS); dan dua partai nasionalis, yakni Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dan Partai Patriot. Konflik di internal PBR pun tak terelakan. DPD Provinsi PBR sudah menyeleksi enam calon gubernur. Akan tetapi, Ketua Umum PBR K.H. Zainuddin M.Z. yang juga merupakan penceramah berpengaruh yang tentu saja bisa ditafsirkan sebagai kekuasaan mobilisasi299, mengadakan rapat pleno di rumah Ratu Atut Chosiyah dan menolak enam kandidat. Zainuddin menominasikan Atut Chosiyah menggantikan calon gubernur PBR, meskipun Atut Chosiyah bukanlah salah satu dari enam kandidat PBR yang sudah dipilih oleh DPD Provinsi.300 Pekerjaan selanjutnya adalah menemukan pasangan Ratu Atut Chosiyah. Kelompok Rau dengan sukses mendapatkan dukungan dari tujuh partai. Ketujuh partai tersebut menguasai 37 dari 75 kursi kursi DPRD Provinsi Banten. Tantangan berikutnya dari kelompok Rau adalah menentukan siapa yang akan menjadi pasangan Atut Chosiyah untuk maju. Seseorang yang berasal dari Tangerang dinilai merupakan pilihan ideal. Sebab, lebih dari setengah pemilih berada di wilayah ini. Padahal, bagaimanapun,

    297Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, “Oligarchy in the United States?” Perspectives on Politics 7 (2009):732. 298Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 128. 299Winters, Oligarchy, 15-18. 300Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 128.

    308 Oligarki dan Demokrasi... pengaruh kelompok Rau di wilayah Tangerang cukup lemah. Apa- lagi, wilayah Tangerang sangat heterogen secara etnis dan urban. Oleh karena itu, jaringan birokrat provinsi dan jaringan jawara yang merepresentasikan kekuasaan mobilisasi301 dan bisa dimobi- lisasi oleh kelompok Rau tidak akan selalu efektif di wilayah Tangerang. Belum lagi dengan jumlah pemilih mengambang di daerah ini merupakan mayoritas.302 Masalah lainnya bagi kelompok Rau adalah bahwa Bupati Kabupaten Tangerang, Ismet Iskandar dan Walikota Tangerang kompak dalam kekecewaan mereka terhadap kepemimpinan dan kebijakan dari pelaksana tugas gubernur Atut Chosiyah. Oleh karena itu, mereka coba bersama-sama menemu- kan seseorang yang lebih baik sebagai representasi dari kepenti- ngan ekonomi politik masyarakat Tangerang sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pertama-tama, Wahidin bermaksud mencalonkan dirinya dan beberapa kandidat lain, termasuk Atut Chosiyah, bahkan diminta untuk menjadi calon pasangan wakil gubernurnya. Intinya, Wahidin menginginkan dirinya sebagai gubernur. Akan tetapi, pada akhirnya, dia mengundurkan diri dari semua pencalo- nan terutama karena dia memperkirakan dirinya tidak akan meme- nangkan pemilihan. Lalu, Wahidin dengan berkoordinasi dengan Ismet, mengizinkan Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Tangerang, Benyamin Davnie untuk maju dalam pemilu sebagai pasangan Triyana. Triyana yang lahir di Kabupaten Pandeglang membutuhkan dukungan dari wilayah Tangerang. Tim Triyana- Benyamin mewakili semangat yang cukup mengancam bagi kelompok Rau.303 Kelompok Rau pada mulanya cenderung memilih mantan bupati Tangerang yang terkenal, Zakaria Machmud, sebagai pasangan Atut Chosiyah tapi pada akhirnya memilih H.M. Masduki, mantan kepala departemen sosial provinsi Jawa Barat. Masduki terpilih karena dia telah menjadi camat beberapa kali di

    301Winters, Oligarchy, 15-18. 302Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 128. 303Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 128-29. Ahmad Munjin 309 wilayah Tangerang. Masduki juga merupakan anak dari ulama terkenal lokal dan merupakan saudara dari Benyamin yang juga bisa dibaca sebagai kekuasaan mobilisasi304sehingga diharapkan bisa memenangkan beberapa bagian dari konstituennya. Pada 1 September 2006, DPD Golkar Provinsi Banten secara formal menetapkan Masduki sebagai pasangan wakil gubernur untuk Atut Chosiyah. Partai-partai lain pun mengikuti. Pada 6 September 2006, pasangan Atut-Masduki dideklarasikan secara resmi bersa- maan dengan pendaftaran pasangan tersebut ke panitia pemilihan provinsi.305

    3. Ratu Atut Chosiyah dan Pemilih Pragmatis Besarnya sumber daya kekuasaan material Ratu Atut Chosiyah yang terefleksi pada Material Power Index (MPI) sebesar 3.487 kali (2002), 5.943 kali (2006), dan 4.146 (2011) mendapat momentum yang pas dari profil pemilih pragmatis di Banten. Oleh karena itu, sangat logis, kekuasaan material306 seba- gai basis sumber daya kekuasaan oligarkis pun menjelma menjadi senjata utama dalam memenangkan Pilkada. Menurut Ketua Tim Sukses Ratu Atut Chosiyah, berdasarkan riset internal, untuk tingkat provinsi, 65 persen masyarakat Banten adalah tipe pemilih pragmatis. Mereka siap menukar hak suara dengan uang. Hanya 35 persen yang bisa dikatakan sebagai pemilih rasional sehingga mereka benar-benar mempertimbangkan dan memutuskan kualitas dari para calon saat pemilihan gubernur. Karena pemilih rasional lebih sedikit dibandingkan pemilih pragmatis, bisa dipahami mengapa jumlah uang yang menjadi salah satu basis kekuasaan material307sangat menentukan dalam pemenangan Pilgub.308

    304Winters, Oligarchy, 15-18. 305Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 129. 306Winters, Oligarchy, 18-20. 307Winters, Oligarchy, 18-20. 308Masaaki dan Hamid, “Jawarain Power,” 130.

    310 Oligarki dan Demokrasi...

    Menurut Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014, selain uang yang menjadi basis kekuasaan materialnya,309 Atut Chosiyah memiliki kekuatan jari- ngan yang diwariskan ayahnya, Tb. Chasan Sochib. Pada mulanya, Atut Chosiyah menjadi calon Wakil Gubernur, kemudian Geber- nurnya meninggal dan Atut Chosiyah diangkat menjadi gubernur. Setelah itu, sistem pemilihannya diubah menjadi Pilkada lang- sung. Atut Chosiyah memiliki uang dan jaringan yang kuat. “Di lain sisi, lawannya tidak punya uang dan tidak punya jaringan yang kuat. Akhirnya, yang menang siapa? Jadi, yang menang ada- lah yang punya uang dan yang punya jaringan.”310 Lebih jauh Fitron menjelaskan, Tb. Chasan Sochib pada awalnya adalah keluarga pengusaha dan bukan keluarga politikus. Tidak ada satu pun dari keluarga Tb. Chasan Sochib yang merupakan pejabat. Apalagi, pejabat dulu dipilih oleh partai. Tb. Chasan Sochib baru terjun ke dunia politik sejak Banten menjadi provinsi tahun 2000. Setelah calon gubernur dan wakil gubernur, DPRD, dan DPR dipilih langsung oleh masyarakat, baru mereka terjun langsung ke kancah politik. Masyarakat mengenal keluarga tersebut sebagai keluarga yang dermawan, sehingga suara tumpah ke keluarga Tb. Chasan Sochib311 yang terjun ke dunia politik. Kedermawanan tersebut memperlihatkan kekuasaan material312 keluarga besar tersebut sedang bekerja. Pada saat yang sama, pemilih bersikap pragmatis sehingga suara mengalir ke keluarga Tb. Chasan Sochib.

    309Winters, Oligarchy, 18-20. 310Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 311Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 312Winters, Oligarchy, 18-20. Ahmad Munjin 311

    Salah satu bukti sumber daya kekuasaan material313 yang mengejawantah dalam pemenangan Pilkada, sebagaimana dinyata- kan Masaaki dan Hamid, adalah kapitalisasi terhadap materialis- me pemilih tersebut. Hal ini merupakan salah satu dari karakte- ristik kampanye yang paling signifikan dari pasangan Atut Chosiyah-Masduki pada pemilihan calon gubernur dan wakil gubernur 2006. Oleh karena itu, hukum oligarki berlaku, yaitu hanya orang kaya yang mampu untuk memutuskan apa yang baik dan apa yang buruk untuk orang-orang yang tidak punya akses terhadap sumber daya material.314 Sebab, sebagian besar masalah yang urgen untuk orang-orang miskin di pelosok adalah memberi makan diri sendiri dan keluarganya. Masaki dan Hamid menegas- kan penilaian moral merupakan hal nomor berikutnya demi beras untuk bertahan hidup.315 Tim Pemenangan Atut Chosiyah-Masduki sangat menger- ti konsep non-ideologis yang merepresentasikan kekuasaan material316 ini. ‘Penaklukan beras’ cukup ampuh untuk menarik pemilih. Orang-orang hutan yang paling membutuhkan ‘beras’ di wilayah-wilayah pelosok menjadi target dari tim pemenangan. Tim pun membagikan uang kepada mereka tanpa menimbulkan tuduhan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Apalagi, Bawas- lu tercipta dari kelompok masyarakat kelas menengah yang tidak berani memeriksa wilayah-wilayah pedalaman yang jauh. Bawaslu juga tidak punya kekuasaan untuk menginvestigasi legalitas atau ilegalitas dari taktik kampanye masing-masing kandidat.317 Kemudian, menurut Masaaki dan Hamid, tim Atut Chosiyah-Masduki mengadopsi sistem jual beli suara.Tim memilih lima orang sebagai peminta suara untuk setiap tempat pemungu- tan suara (TPS) dan memberikan setiap orang dengan uang pelican

    313Winters, Oligarchy, 18-20. 314Winters, Oligarchy, 18-20. 315Masaaki dan Hamid, “Jawarain Power,” 130. 316Winters, Oligarchy, 18-20. 317Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 130.

    312 Oligarki dan Demokrasi... kampanye yang didasarkan pada nomor pemilih yang mereka harapkan dibeli. Apabila jumlah suara untuk Atut yang diberikan di TPS melampaui jumlah yang diharapkan, sejumlah uang sisa tidak perlu dikembalikan ke dana kampanye. Begitu juga dengan serangan fajar di mana pembeli suara saat dini hari pada hari pemilihan merupakan hal lumrah terjadi.318 Pasangan Atut-Masduki menurut dugaan Masaaki dan Hamid menghabiskan dana kampanye sebesar Rp300 miliar atau sekitar US$33 juta secara total pada Pilkada 2006. Sebanyak 70 persen di antaranya dalam bentuk proyek-proyek pemerintah pro- vinsi yang diklaim sebagai hasil kerja Atut Chosiyah dan diarah- kan untuk mendukung pasangan tersebut.319 Demikianlah sumber daya kekuasaan material320 Atut Chosiyah beroperasi pada Pilgub tersebut. Di lain sisi, PKS menjadi lawan yang tangguh pada Pilgub tersebut. Menurut Masaaki dan Hamid, lawan terkuat kelompok Rau adalah kandidat dari partai kedua terbesar di Provinsi Banten, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).321 Betapai tidak, proporsi pemilih yang didapat oleh PKS di Banten naik pesat dari 2,6 persen pada 1999 menjadi 11,9 persen pada 2004. PKS menarik pemilih bukan hanya bagi masyarakat perkotaan kelas menengah tapi juga masyarakat urban kelas pekerja, dengan daya cengkram di wilayah Tangerang dan Cilegon. Para anggota utama PKS dicirikan dengan usia mereka yang tigapuluhan dan secara politik tidak berpengalaman dalam hal memegang jabatan publik. Oleh

    318Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 130. 319Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 131. 320Winters, Oligarchy, 18-20. 321Partai Keadilan Sejahtera (PKS) didirikan oleh kelompok dakwah Islam yang terutama bisa ditemukan di universitas-universitas besar seperti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung. PKS yang memiliki sistem pengembangan kepemimpinan memperluas konsti- tuennya terutama di wilayah-wilayah perkotaan dengan intensi untuk memengaruhi moral politik. Lihat Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 129. Ahmad Munjin 313 karena itu, PKS mencari calon gubernur yang kapabel dari luar jajarannya, untuk dipasangkan dengan anggota PKS sebagai kan- didat wakil gubernur. PKS membutuhkan pemimpin yang berpe- ngalaman untuk membantu ekspansi politik partai dan memberi- kan keredibitasnya. Pemilihan gubernur Banten menjadi kesem- patan baik pertama untuk bangun setelah kesuksesan PKS dalam kampanye walikota di Depok.322 PKS pun melakukan pendekatan kepada Wahidin Halim. Wahidin Halim, seorang birokrat karir dan alumni Universitas Indonesia, memiliki segudang pengalaman yang terkait dengan organisasi-organisasi Islam yang merepresentasikan profil kekua- saan mobilisasinya.323 Wahidin sangat terkenal di kalangan warga kota Tangerang karena pendekatannya yang populis terhadap warga dan kesalehannya. Ketika pemerintah kota Tangerang mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 8/2005, melawan prostitusi, yang bercita rasa syariat Islam, dirumorkan sebagai bagian dari atur strategi Wahidin Halim yang menggunakan kekuasaan jabatan resminya324 itu untuk mendapatkan dukungan dari PKS dalam pencalonannya sebagai gubernur. Akhirnya, ba- gaimanapun, Wahidin Halim ditolak untuk maju karena lemahnya dukungan finansial atau kekuasaan material325dan kemungkinan kekalahannya oleh petahana.326 PKS akhirnya mendekati Marissa setelah PDI-P memilih Atut Chosiyah. Pilihan PKS tersebut didasarkan pada kalkulasi bahwa Marissa sudah mendapatkan dukungan subtansial di antara pemilih perkotaan dan popularitas Marissa sebagai aktris terkenal yang menjadi profil kekuasaan mobilisasinya327bisa menarik pemilih dari daerah terpencil. Marissa pun menerima tawaran tersebut dengan ketentuan dia akan maju dalam Pilgub sebagai

    322Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 129. 323Winters, Oligarchy, 15-18. 324Winters, Oligarchy, 13-15. 325Winters, Oligarchy, 18-20. 326Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 129-30. 327Winters, Oligarchy, 15-18.

    314 Oligarki dan Demokrasi... wakil gubernur dan Zulkieflimansyah,328 seorang kader PKS, akan menjadi pasangannya sebagai calon gubernur. PKS berharap pasa- ngan Zulkiefli-Marissa menjadi penantang berat melawan pasa- ngan Ratu Atut Chosiyah-H.M. Masduki.329

    4. Relawan Banten Bersatu (RBB): Kekuasaan Material, Mobilisasi, dan Koersif Seiring besarnya sumber daya kekuasaan material yang dimilikinya, Tb. Chasan Sochib mengonsolidasikan simpul-simpul kekuatan lain yang memiliki sumber daya kekuasaan mobilisasi dan koersif sekaligus. Hal ini membuktikan teori Winters tentang sumber daya kekuasaan material yang memengaruhi sumber daya- sumber daya kekuasaan lain.330 Dalam konteks Tb. Chasan Sochib ini adalah kekuasaan mobilisasi dan koersif. Masaaki dan Hamid memperlihatkan itu, bahwa pada Oktober 2005, sebuah organisasi sosial yang disebut Relawan Banten Bersatu (RBB) diinisiasi oleh Tb. Chasan Sochib. Inisiatif ini didukung oleh tujuh belas organi- sasi lainnya, termasuk di antaranya Lulu Kaking, Ketua Pemuda Pancasila Provinsi Banten dan Partai Patriot serta Aep Saefudin, sekretaris jenderal Persatuan Pendekar Pesilatan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI).331 RBB yang diinisiasi Tb. Chasan Sochib jelas memiliki profil sumber daya kekusaan mobilisasi.332 Apalagi, organisasi tersebut didukung oleh tujuh belas organisasi lainnya dengan pro- fil kekuasaan yang sama. Belum lagi dengan PPPSBBI yang

    328Zulkieflimansyah lahir di Nusa Tenggara Barat pada 1972 dan merupakan dosen ilmu manajemen di Universitas Indonesia. Zulkiefli- mansyah menyandang dua gelar masters dan meraih gelar doktor di Inggris. Dia terpilih sebagai anggota DPR pada 2004 dari PKS. Lihat Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 130. 329Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 130. 330Winters dan Page, “Oligarchy in the USA?” 732. 331Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 131. 332Winters, Oligarchy, 15-18. Ahmad Munjin 315 merepresentasikan kekuasaan koersif333 dan mobilisasi334 sekali- gus. Alasan formal pendirian organisasi ini disebutkan Masaaki dan Hamid, menjadi fakta bahwa reformasi sudah menyimpang dari tujuan awalnya. Menurut para pendirinya, RBB dibentuk untuk melawan ancaman disintegrasi nasional dan berbagai bias penafsiran terhadap motto nasional, Bhineka Tunggal Ika. RBB dilaporkan ingin menjadi dasar bagi perjuangan jiwa, semangat, dan nilai-nilai 1945 (Jiwa Semangat Nilai ’45) yang sudah ditempa selama revolusi Indonesia untuk kemerdekaan 1945-1949. Platform formal RBB ini cukup mirip dengan platform PPPSBBI dan memperlihatkan pengaruh-pengaruh dari Orde Baru.335 Enam bulan kemudian, tujuan RBB sebenarnya terkuak. Komandan sebenarnya dari organisasi ini bukanlah Tb. Chasan Sochib maupun pendukung yang tujuh belas, melainkan putranya, yakni Tb. Chaeri Wardana. Dia sudah menyelesaikan studi mana- jemen di sebuah universitas di Australia. Wardana coba mengon- solidasikan jawara dan memadukan mereka ke organisasi baru ini yang pada muaranya adalah sumber daya kekuasaan mobilisasi336 dari RBB. Betapa tidak, RBB mengoordinasikan organisasi- organisasi jawara paling berpengaruh, yakni PPPSBBI dan Badan Pembina Potensi Keluarga Besar Banten (BPPKB) agar memilih calon gubernur Ratu Atut Chosiyah.337 BPPKB sudah berdiri sejak 8 Juli 1998. Pendiri dan Ketua Umum BPPKB adalah Noer Indradjaja, S.H., yang pada 2006 merupakan ketua divisi hukum Sunter Agung Co. Ltd dan kemudian mendirikan perusahaan baru, Melawai Jaya Realty Co, Ltd. Sunter Agung merupakan perusahaan induk grup bisnis Agung Podomoro. Sementara itu, Melaway Jaya Realty adalah sebuah perusahaan grup Agung Podomoro. Grup ini jelas mengu-

    333Winters, Oligarchy, 15. 334Winters, Oligarchy, 15-18. 335Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 131. 336Winters, Oligarchy, 15-18. 337Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 131-32.

    316 Oligarki dan Demokrasi... asai sumber daya kekuasaan material338 yang menjadi basis kekuasaan oligarki. Grup ini mengelola 27 proyek properti dalam skala besar di Jakarta dan sekitarnya dengan total modal Rp15 triliun. Ketika Noer Indradjaja mendirikan BPPKB yakni sebuah entitas Banten berbasis organisasi, delapan keluarga dari kabupa- ten Pandeglang juga bergabung. Menurut pimpinannya, BPPKB berkembang cepat dengan keanggotaan mencapai 8,7 juta hingga Februari 2006 dan cabang-cabang hampir di semua provinsi di seluruh Indonesia. Klaim ini menurut Masaaki dan Hamid mungkin berlebihan. Sumber BPPKB mengklaim bahwa pihaknya memiliki jutaan anggota yang merepresentasikan kekuasaan mobilisasi339 yang berdomisili di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Area pengaruh organisasi ini di Jakarta meliputi Jakarta Barat dan Jakarta Utara termasuk Pelabuhan Tanjung Priok. Wilayah-wilayah tersebut masih merupakan batas-batas untuk pengembang perumahan (real estate). BPPKB juga membangun Pos Komando (Posko) untuk menunjukkan kehadiran dan kekua- saan mereka di seluruh kota. Apabila tokoh mereka benar, kemudi- an dalam konteks keanggotaan, BPPKB sudah melampaui organi- sasi-organisasi Banten lain yang sudah beroperasi di Jakarta seperti Warga Banten dan PPPSBBI.340 RBB mulai berjalan pada Maret 2006 dan pendiriannya secara resmi dideklarasikan pada Mei 2006. Struktur keorganisa- sian RBB cukup unik, yang terdiri dari dua pilar: kader (dewan eksekutif) dan keluarga. Dengan demikian, organisasi ini mengan- dalkan baik struktur organisasi modern maupun maupun jaringan keluarga yang tradisional. Tampaknya, menurut Masaaki dan Hamid, jaringan keluarga berfungsi untuk mengontrol kader. RBB memiliki koordinator-koordinator bahkan hingga tingkat desa. Upacara perayaan pendirian RBB pada Mei 2006 secara esensial merupakan pertunjukkan kekuatan mobilisasi,341dengan kata lain,

    338Winters, Oligarchy, 18-20. 339Winters, Oligarchy, 15-18. 340Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 131-32. 341Winters, Oligarchy, 15-18. Ahmad Munjin 317 untuk menunjukkan dukungan bagi pencalonan pasangan Atut Chosiyah-Masduki. Upacara ini diikuti oleh para oligarkdan orang-orang kuat lokal (local strongman) sebagai representasi kekuasaan koersif342 yang berpakaian berwarna hitam. Mereka mencerminkan dukungan bagi Ratu Atut Chosiyah di mana penga- ruh koneksi keluarga sangat jelas tak bisa dimungkiri. Aep Saefuddin dari PPPSBBI menantang keberanian mereka dengan mempertanyakan taktik ini: “Apakah Anda yakin bahwa kita bisa menjaga kondisi pascapemilu tetap terkontrol apabila kita gagal memenangkan Atut Chosiyah dalam pemilihan gubernur?”343 Pada Februari 2007, pascapemilu, seorang kader RBB menjelaskan situasinya yang secara jelas memperlihatkan karakter RBB dan jawara secara umum. “... Inti semangat dari RBB adalah BPPKB dan PPPSBBI. Apabila PPPSBBI dan BPPKB bertindak terpisah, hal ini tidaklah baik. Citra mereka akan rusak. Di masa depan, pemikiran yang matang dan pendekatan emosional tanpa kekerasan rupanya bisa menjadi pilihan lebih cerdas. Kami benar-benar berharap bisa memperlihat- kan bahwa karakteristik orang Banten adalah keras tapi tidak kasar. Apabila seseorang berlaku sopan kepada kita, kita juga akan memperlakukannya dengan sopan.Akan tetapi, bila seseorang menipu kami, kita akan mengambil tindak kekerasan dalam beru- rusan dengan dia. Itulah alasan mengapa kami bersiap sedia menghadapi seseorang atau kelompok [yang kritis terhadap kesuk- sesan Atut Chosiyah] ketika panitia pemilihan provinsi mengu- mumkan bahwa Atut Chosiyah memenangkan pemilihan kemarin. Kelompok manapun yang mengusik konstitusi akan berhadapan dengan rakyat Banten, dalam kasus ini, RBB. RBB mendapat dukungan dari PPPSBBI dan BPPKB serta yang lainnya termasuk 118 perguruan pencak silat.”344

    342Winters, Oligarchy, 15 343Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 132. 344Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 132.

    318 Oligarki dan Demokrasi...

    Pernyataan tersebut jelas memperlihatkan kekuasaan mobilisasi345 dan koersif346 sekaligus. Semua itu, menurut Masaa- ki dan Hamid, menunjukkan empat hal: Pertama, PPPSBBI dan BPPKB berkolaborasi (kekuasaan mobilisasi) untuk mendukung Atut Chosiyah; Kedua, masyarakat Banten terutama jawara dianggap keras (kekuasaan koersif); Ketiga, jawara tidak akan segan untuk menggunakan kekerasan (kekuasaan koersif) ketika mereka merasa dilecehkan; dan Keempat, jawara mungkin meng- gunakan langkah-langkah yang lebih damai dalam memecahkan permasalahan di masa depan jika memungkinkan. Pesan jelasnya adalah jawara yang berasal dari PPPSBBI maupun dari BPPKB dipersiapkan untuk dimobilisasi apabila Ratu Atut Chosiyah menghadapi kesulitan.347

    5. Ratu Atut Chosiyah dan Gaya Kepemimpinan Akomodatif Uang sebagai kekuasaan material memiliki keluwesan luar biasa sehingga menjadi sangat penting dalam politik.348Saking luwesnya, uang menjadi modal kapital bagi Ratu Atut Chosiyah untuk menerapkan gaya kepemimpinan akomodatifdan bertrans- formasi menjadi kekuasaan mobilisasi yang besar. Salah satu buah dari gaya akomodatif tersebut adalah dukungan politik dari kiai kepada jawara. Ini menjadi salah satu kunci kesuksesan Ratu Atut Chosiyah meraih tampuk kekuasaan. Sebab, secara demografi, mayoritas masyarakat Banten adalah santri. Ada tali temali yang masih tinggi antara referensi masyarakat dan kiai sebagai patron- client.349 Orang yang digugu, didengar, dan dijadikan rujukan sehingga dalam ilmu politik disebut vote getter adalah tokoh masyarakat. Salah satunya adalah kiai. Tb. Chasan Sochib meng-

    345Winters, Oligarchy, 15-18. 346Winters, Oligarchy, 15 347Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 132. 348Winters, Oligarchy,18. 349James C. Scott, “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia,” The American Political Science Review 66 no. 1 (Maret 1972): 92. Ahmad Munjin 319 organisir kiai dan dia sendiri pernah menjadi Ketua Satkar Ulama di Golkar.350 Di masa kepemimpinannya, Ratu Atut Chosiyah sangat akrab dan cukup bergaul dengan Forum Pondok Pesantren. Pro- gram-programnya pun banyak memihak kepada pondok pesantren. Bantuan dalam bentuk hibah sangat mudah didapat pada masa Atut Chosiyah. Akibatnya, Atut disukai oleh para kiai. Entah motifnya apa, yang jelas di zaman Atut Chosiyah, pondok pesan- tren merasa terfasilitasi. Para kiai mendapatkan dana miliaran rupiah untuk program Forum Silaturahim Pondok Pesantren. Penggunaan dana tersebut diatur dan diprogramkan oleh pondok pesantren. Oleh karena itu, para kiai merasa menikmati proses- proses politik yang dilakukan oleh keluarga jawara Tb. Chasan Sochib. Itulah yang kemudian, para kiai tetap memberikan duku- ngannya untuk Ratu Atut Chosiyah. Hal itu menunjukkan bahwa keluarga jawara Tb. Chasan Sochib sangat mengerti organisasi.351 Secara kelembagaan, dukungan kepada Ratu Atut Chosi- yah di antaranya datang dari Pondok Pesantren Annizhomiyyah, Labuan, Banten. Akan tetapi, menurut K.H. Tb. A. Khatibul Umam, Pengasuh Pondok Pesantren Annizhomiyyah, dukungan tersebut bukan karena dana hibah melainkan karena hubungan kedekatan di organisasi politik, Partai Golkar dengan keluarga Chasan Sochib yang juga membesarkan Partai Golkar.352

    350Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 351Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 352Wawancara pribadi dengan K.H. Tb. A. Khatibul Umam, Pengasuh Pondok Pesantren Annizhomiyyah di Kampung Jaha Desa Sukamaju, Kec. Labuan, Kab. Pandeglang Banten, Senin, 30 Juli 2018.

    320 Oligarki dan Demokrasi...

    Banyak pondok pesantren dirangkul oleh keluarga itu karena alasan kedekatan seiring dukungan saat Pemilu Legislatif dan Pemilihan Gubernur. Di antaranya adalah Pesantren Bismillah di Ciomas, Serang. Pesantren tersebut selalu mendapatkan dana hibah setiap kali digulirkan. Bantuan itu otomatis berbuah duku- ngan suara secara penuh dari semua santri saat pemilu. Saat Ratu Atut berkuasa, dana hibah digulirkan antara Rp1 miliar hingga Rp2 miliar untuk pondok pesantren dan madrasah. Dari dana tersebut, yang diambil oleh madrasah atau pesantren dalam kisaran Rp200 juta hingga Rp300 juta. Akan tetapi, pada akhirnya Ratu Atut Chosiyah terjerat hukum--dipenjara setelah proses KPK dan Kejaksaan Tinggi Provinsi Banten. “Annizhomyah tidak terima itu karena memang mungkin akhirnya akan terjerat hukum. Ini menjadi pembelajaran. Bersyukur pesantren Annizhomyah tidak mengambil dana hibah tersebut.”353 Pesantren Annizhomiyyah tidak dirangkul dalam penger- tian dana hibah. Sebab, pesantren ini sudah memberikan dukungan karena alasan kepartaian. Sebab, ayah dari pengasuh pesantren (K.H. Tb. Rafe’i Ali) sudah merupakan bagian dari Golkar, sehingga tidak lagi dirangkul oleh keluarga Tb. Chasan Sochib. Begitu juga hubungan kakak pengasuh (Tb. Ace Hasan Sadzily, anggota DPR Fraksi Golkar) dengan keluarga Rau sebatas kepar- taian di Golkar. Pengasuh memang berfoto dengan Ade Rossi Chairunnisa, karena menghadiri undangan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Banten. Orang mengira pengasuh dekat secara pribadi, padahal sebatas kepartaian. Setiap pemilihan, di satu sisi, calon yang berasal dari Golkar selalu didukung. Secara khusus Annizhomiyah banyak membantu keluarga Tb. Chasan Sochib dalam hal pemilihan. Secara kelembagaan, pondok pesan- tren ini sudah puluhan tahun menjadi pendukung Partai Golkar termasuk mendukung Ratu Atut Chosiyah dan Andika Hazrumy. Di lain sisi, timbal balik dari mereka tidak diminta dan ternyata

    353Wawancara pribadi dengan K.H. Tb. A. Khatibul Umam, Pengasuh Pondok Pesantren Annizhomiyyah di Kampung Jaha Desa Sukamaju, Kec. Labuan, Kab. Pandeglang Banten, Senin, 30 Juli 2018. Ahmad Munjin 321 mereka tidak peduli. Sampai sekarang, belum ada kontribusi kepada pesantren Annizhomiyah dalam bentuk materi. Keluarga Rau belum pernah memberikan bantuan, bangunan, tidak pernah memberikan apapun ke pesantren Annizomiyah.354 Sementara itu, K.H. Ma'ruf Amin, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi, Tanara, Banten dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) enggan memberikan komentar saat dimintai pandangannya tentang hubungan kiai dan jawara di Banten. Dia mengaku dirinya sangat kurang dalam berinteraksi dengan para jawara, karena lebih sering tinggal di Jakarta. “Massak, mau wawancara hubungan kiai dan jawara Banten dengan saya.”355 Selain pondok pesantren, keorganisasian jawara dan kependekaran diorganisir oleh mereka. Organisasi-organisasi tersebut mendapatkan dana pembinaan. Juru bicara Ratu Atut Chosiyah membantah anggapan dana pembinaan tersebut sebagai money politics. Masuk kategori money politics jika diberikan sesaat dalam jangka pendek dengan tujuan jual beli suara jelang Pilkada. Berbeda dengan pembinaan yang memang prosesnya terjadi sejak lama. Dana pembinaan lebih merupakan strategi akomodatifdari kepemimpinan Ratu Atut Chosiyah.356 Kepemimpinannya mengakomodasi dan menjalin stabili- tas hubungan dengan para stakeholders dan lembaga-lembaga. Melalui dana pembinaan, dia menjadi dekat dengan organisasi-

    354Wawancara pribadi dengan K.H. Tb. A. Khatibul Umam, Pengasuh Pondok Pesantren Annizhomiyyah di Kampung Jaha Desa Sukamaju, Kec. Labuan, Kab. Pandeglang Banten, Senin, 30 Juli 2018. 355Wawancara pribadi dengan K.H. Ma'ruf Amin, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi, Tanara, Banten dan Ketua Umum Maje- lis Ulama Indonesia (MUI) melalui sambungan telepon di Jakarta, 31 Juli 2018. 356Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.

    322 Oligarki dan Demokrasi... organisasi keislaman. Dana pembinaan bukanlah gratifikasi instan seperti dalam pengertian money politics. Ratu Atut Chosiyah te- lah melakukannya melalui proses pembinaan dan kedekatan secara organisatoris. Semua pihak dia akomodir. Kepada organisasi war- tawan, dia memberikan dukungan penuh. Dia lebih memberikan cashprograms kepada banyak pihak. Ratu Atut memberikan ang- garan kepada semua pihak yang mengajukan program. Ratu Atut Chosiyah sangat sadar, mengerti, dan mengetahui secara demogra- fi siapa yang harus dia rangkul. Dia mengandeng organisasi orang- orang Makassar di Banten dengan memberikan dukungan angga- ran sehingga berkembang. Begitu juga dengan organisasi Tiong- hoa. Dia berikan akomodasi secara anggaran untuk tumbuh dan bergerak. Hal serupa dilakukan kepada masyarakat Batak. Semua lini pun mendapatkan dana pembinaan. Asumsi yang dikhawatirkan adalah Ratu Atut memiliki gaya kepemimpinan bagi-bagi uang sesaat jelang Pilkada, padahal ada proses panjang. Buktinya, ketika ditahan sehingga down secara mental, Ratu Atut Chosiyah masih mendapat dukungan. Sebab, ada banyak akomodasi dia berikan dari sisi program.Sikap akomodatif (acomodative style) itu menjadi gaya kepemimpinan- nya. Sikap itu juga kemudian dominan menjadi faktor dalam pemenangan meraih kekuasaan di saat Pilkada. Namun demikian, dalam pandangan umum di lain sisi, Ratu Atut Chosiyah kurang visionerdalam pembangunan. Buktinya, Banten memang tidak banyak mengalami perubahan. Dia dianggap kurang fokus dalam pembangunan bersifat fisik.357 Ratu Atut Chosiyah juga akomodatif dan adaptif (bisa juga dibaca sebagai kooptasi) terhadap para intelektual muda. Sikap tersebut direpresentasikan oleh Tb. Chaeri Wardana, adik Ratu Atut Chosiyah sebagai penerus peran Tb. Chasan Sochib. Menurut Masaaki dan Hamid, Tb. Chaeri Wardana mengerti betul

    357Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. Ahmad Munjin 323 bahwa kekuatan sosial jawara dengan kekuasaan koersifnya358 tidak selalu efektif dalam memenangkan pemilihan langsung. Unjuk kekuatan bisa mengakibatkan sebuah reaksi yang justru negatif dan kontra produktif terhadap Atut Chosiyah. Oleh karena itu, pada 10 Maret 2005, Tb. Chaeri Wardana mendirikan organi- sasi baru, Lembaga Banten Bersatu (LBB). Organisasi ini meru- pakan think tank dan didisain untuk membantu Atut Chosiyah memenangkan pemilihan.359Dalam konteks ini, Wardana sedang memberdayakan kekuasaan materialnya360 untuk merangkul sumber daya-sumber daya kekuasaan lain, yakni orang-orang yang memiliki profil kekuasaan jabatan resmi dan organisasinya yang tentu melekat padanya profil kekuasaan mobilisasi. Tak tanggung-tanggung, Wardana merekrut enam puluh anggota yang sebagian besar dari mereka merupakan aktivis inte- lektual. Sebagai contoh, Ferry Muchlis Ariefmuzzaman, meru- pakan mantan ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, Tangerang. Yang lainnya termasuk Komarudin dan Hamied, aktivis HMI di Ciputat; Erdi Bachtiar, seorang aktivis dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Ahmad Jazuli, wakil direktur Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) cabang Provinsi Banten. Kader-kader muda dari Pondok Pesantren Modern Daar El Qolam di Gintung juga gabung LBB. Kebanyakan dari mahasiswa-mahasiswa muda itu berasal dari wilayah Tange- rang. Jelas, Wardana mengikuti strategi untuk mendapatkan pemi- lih rasional di Tangerang melalui para intelektual muda. Denny JA, seorang pollster, direktur eksekutif Lingkaran Survei Indone- sia juga diajak untuk bertindak sebagai konsultan tim pemenangan pemilihan Atut-Masduki.361 LBB pada awalnya memanfaatkan jaringan RBB untuk memobilisasi masa dan memasang poster-poster dan banners

    358Winters, Oligarchy, 15. 359Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 132-34. 360Winters, Oligarchy, 18-20. 361Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 132-34.

    324 Oligarki dan Demokrasi...

    Atut-Masduki. RBB memiliki koordinator-koordinator di level kecamatan dan desa. Belakangan, bagaimana pun, ketika Wardana menyadari buruknya kinerja koordinator RBB tingkat kecamatan dan desa, dia membangun koneksi sendiri pada level tersebut di sana. Wardana memasukkan anggota keluarga Tb. Chasan Sochib sebagai koordinator. Mereka diharapkan mengontrol dana kampa- nye di level masyarakat untuk memasang poster dan banner kam- panye serta memobilisasi362 masyarakat pada level akar rumput.363 Tugas LBB yang paling penting adalah memformulasikan strategi kampanye termasuk pendanaan, logistik (kekuasaan mate- rial364), kegiatan-kegiatan, dan program. Selain itu, LBB mem- promosikan karakter positif dari Atut Chosiyah-Masduki. Sebagai contoh, LBB mencetak 1,7 juta kopi kalender 2006 berfoto Atut sebagai penjabat gubernur dan mulai mendistribusikannya pada Oktober 2005.365 LBB menggunakan setiap kesempatan dan institusi untuk memublikasikan penjabat gubernur Atut Chosiyah. Agah M. Noor, kepala divisi program LBB dan koordinator proyek-proyek peme- rintah provinsi dijuluki oleh birokrat provinsi sebagai “sekretaris regional empat” karena keahlian koordinasinya (kekuasaan mobili- sasi366). Semua proyek provinsi dilabeli Atut Chosiyah, secara paksa sehingga menciptakan citra tentang Atut Chosiyah terhadap alam pikiran pemilih. Uang, materi, dan keuntungankeuntungan dari proyek-proyek pemerintah (kekuasaan material367) selalu dikaitkan dengan Atut Chosiyah. Agah juga memprakarsai apa yang disebut dengan kegiatan-kegiatan Santa Clause. Ketika departemen di provinsi memulai program pembangunan yang disebut “safari pembangunan”, Atut Chosiyah sendiri mengunju- ngi lokasi dan membagikan makanan dan barang-barang lain

    362Winters, Oligarchy, 15-18. 363Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 134. 364Winters, Oligarchy, 18-20. 365Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 134. 366Winters, Oligarchy, 15-18. 367Winters, Oligarchy, 18-20. Ahmad Munjin 325

    (kekuasaan material368) sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sementara itu, departemen lainnya wajib memberikan Rp10-25 juta (kekuasaan material369) untuk program tersebut. Semua itu, menurut Masaaki dan Hamid memberikan efek bola salju dan masyarakat penerima mendapatkan keuntungan yang besar dari setiap program tersebut. Kotak-kotak “Christmas” Atut Chosiyah sangat populer dan efektif dalam mendapatkan simpati anggota masyarakat perdesaan. Hampir semua masyarakat itu memilih Atut Chosiyah pada hari pemilihan menurut sumber yang tidak mau disebut namanya dan menempati jabatan tinggi di peme- rintahan provinsi.370 Kemudian, sebuah event organizer yang sudah direkrut oleh Susilo Bambang Yudhoyono selama kampanye pemilihan presiden (Pilpres) dan material fotografer Indonesia paling terkenal bekerja sama untuk menghasilkan setelan yang sangat baik untuk Atut Chosiyah. Oleh karena itu, Atut Chosiyah akan diterima dengan baik oleh masyarakat perdesaan. Istri Wardana, Airin Rachmi Diany, seorang aktris juga turut membantu. LBB secara intensif memproduksi dan membagikan propaganda positif untuk Atut Chosiyah. Ratu Atut Chosiyah dipublikasikan dengan kuat sebagai seorang wanita dan ibu ideal yang membaktikan dirinya untuk aktivitas-aktivitas sosial dan keagamaan. Untuk memajukan usaha ini, Agah mengintervensi aktivitas biro hubu- ngan masyarakat provinsi dengan memesan bahwa desain iklan LBB pemerintah provinsi dipublikasikan secara lokal. Tiga koran lokal yang memuat iklan tersebut menarik perhatian masyarakat terhadap penjabat gubernur Atut Chosiyah.371 Di atas semua itu, Masaaki dan Hamid menyimpulkan, sumber daya politik tim Atut Chosiyah merupakan materialisme sosial, penyuapan, birokrasi berorientasi Atut Chosiyah, dan

    368Winters, Oligarchy, 18-20. 369Winters, Oligarchy, 18-20. 370Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 134. 371Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 135.

    326 Oligarki dan Demokrasi... mempermak Atut Chosiyah sebaik-baiknya. Tim tersebut diper- kuat oleh pengaruh organisasi kembar RBB dan LBB yang menye- diakan kekuatan fisik dan kaum muda, dan kekuasaan intelektual secara terpisah.372 Singkat cerita, pasangan Atut Chosiyah-H.M. Masduki behasil menjadi pemenang dengan margin tipis pada pemilihan yang dilakukan pada 6 November 2007. Pasangan tersebut menga- lahkanZulkiefli-Marissa dengan margin yang tipis pada kisaran 7 persen. Atut-Masduki menyapu kemenangan di kabupaten Lebak dan Pandeglang dan menang tipis di kabupaten Serang dan Tangerang; Pasangan Atut-Masduki kalah dari Zulkiefli-Marissa di Cilegon dan Kota Tangerang. Hasil ini sebenarnya nyaris sama dengan prediksi polling oleh dua LSI.373 Terlepas dari prediksi polling tersebut, tim Atut-Masduki sudah berekspektasi untuk menang dengan mudah. Lalu, mengapa petahana hanya menang dengan margin tipis? Pertama-tama, menurut Masaaki dan Hamid, meluasnya ketidakpuasan terhadap hegemoni lokal dari kelompok Rau di provinsi Banten. Akan tetapi mengapa, apabila banyak elitelokal yang tidak puas dengan pemerintahan Atut Chosiyah, petahana sama sekali memenangkan pemilihan? Pertama, tentu sumber daya politik Atut Chosiyah yang merupakan paduan dari sumber daya kekuasaan material374, mobilisasi375 dan koersif376 tidak ada bandingannya. Kedua, popu- laritas Marissa tidak bisa mengalahkan beras dan bingkisan- bingkisan lain yang merefleksikan sumber daya kekuasaan mate- rial yang dibagikan secara cuma-cuma kepada orang hutan di daerah-daerah terpencil. Ketiga, pasangan Tryana-Benyamin tidak membagikan uang kampanye yang menjadi sumber daya kekuasaan material kepada tim sukses sebanyak yang diharapkan para pendukungnya. Tryana sendiri menekankan ‘politik bersih’

    372Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 135. 373Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 135. 374Winters, Oligarchy, 18-20. 375Winters, Oligarchy, 15-18. 376Winters, Oligarchy, 15. Ahmad Munjin 327 dalam kampanye pemilunya. Alhasil, menurut Masaaki dan Hamid, kurangnya dana (kekuasaan material) berakibat pada sedi- kitnya pemilih. Tanpa uang yang menjadi sumber daya kekuasaan material, Masaaki dan Hamid menegaskan, tim sukses tidak cukup termotivasi untuk mengumpulkan suara untuk pasangan Tryana- Benyamin.377 Di atas semua itu, jika mengacu pada teori sumber daya kekuasaan,378 keluraga Chasan Sochib tidak hanya menggunakan sumber daya materialnya yang menjadi basis kekuasaan oligarkis dalam meraih tampuk kekuasaan. Keluarga tersebut juga meng- gunakan sumber daya kekuasaan lain, seperti mobilisasi379 dan koersif380 yang menjadi basis kekuasaan elite dalam sistem demo- krasi. Sementara itu, jika meminjam bahasa Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, jenis Oligarki keluarga Sochib adalah politico- business families, yakni keluarga-keluarga yang mengandung unsur-unsur bisnis dan politik.381 Meskipun, menurut Winters, politico business families itu belum tentu masuk ke dalam kate- gori oligark jika tidak mencapai stratifikasi material yang eks- trem382 hingga ribuan kali. Oleh karena itu, perlu ditegaskan di sini, semua oligark dipastikan merupakan orang kaya, tapi tidak semua orang kaya merupakan oligark sebagaimana semua oligark merupakan elite tapi tidak semua elite adalah oligark.

    377Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 135. 378Winters, Oligarchy, 11-20. 379Winters, Oligarchy, 15-18. 380Winters, Oligarchy, 15. 381Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politic of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge Curzon, 2004), 3. Lihat juga R. William Liddle, “Marx atau Machiavelli? Menuju Demokrasi Bermutu di Indonesia dan Amerika,” Orasi Ilmiah dalam rangka Nurcholish Madjid Memorial Lecture V, Kamis, 8 Desember 2011, di aula Nurcholish Madjid, Universitas Para- madina, Jakarta. 382Winters, Oligarchy, 281.

    328 Oligarki dan Demokrasi...

    Jika kekuasaan dipegang oleh para elite yang tidak kaya ekstrem, sistemnya disebut demokrasi dan jika kekuasaan dipegang oleh sedikit orang terkaya, sistemnya disebut oligarki. Walhasil, keluarga besar Tb. Chasan Sochib memiliki tiga sumber daya kekuasaan yang utama: Pertama, kekayaan sebagai sumber daya kekuasaan material383 yang mendefinisikannya seb- agai oligark; Kedua, jaringan baik bisnis maupun politik sebagai sumber daya kekuasaan mobilisasi; dan Ketiga, kejawaraannya sebagai kekuatan kultural yang secara simbolik mengejawantah menjadi sumber daya kekuasaan koersif.384 Ketiga sumber daya kekuasaan tersebut saling menopang dan saling mengokohkan satu sama lain secara dinamis dan menjadi alat politik yang ampuh dalam memenangkan kontestasi untuk memperebutkan tampuk kekuasaan.

    E. Politico-Business Oligarchy dan Politik Pertahanan Harta Uang menjadi pangkal utama sumber daya kekuasaan keluarga besar Tb. Chasan Sochib. Sumber daya tersebut kemudi- an bertransformasi menjadi besarnya kekuasaan mobilisasi dan menjadi alat ampuh dalam mendominasi kekuasaan di Provinsi Banten. Pada subbab ini, peneliti akan fokus pada faktor uang yang menjadi sumber daya kekuasaan material385 (wealth power) mereka. Pertama, bagaimana mereka mendapatkan uang; Kedua, perusahaan apa saja yang menjadi mesin uang mereka; Ketiga, bagaimana mereka menggunakan uang tersebut sehingga memiliki jaringan politik dan bisnis yang kuat dan berbuah menjadi kekua- saan; dan Keempat, bagaimana hubungan antara perusahaan- perusahaan tersebut dengan jabatan politik mereka sehingga ber- muara pada konsentrasi kekayaan sekaligus kekuasaan. Semua itu akan dipotret dalam kerangka Richard Robison dan Vedi R. Hadiz dengan apa yang mereka sebut sebagai

    383Winters, Oligarchy, 18-20. 384Winters, Oligarchy, 15. 385Winters, Oligarchy, 18-20. Ahmad Munjin 329 politico-business oligarchy,386 yakni oligark yang memiliki unsur- unsur politik sekaligus bisnis. Kerangka semacam itu disebut Jeffrey A. Winters sebagai politik pertahanan harta (wealth defense) yang menjadi motif utama kekuasaan oligarkis dan bermuara pada rezim pertahanan harta.387 Dalam konteks Banten, politico-business oligarchy dan rezim pertahanan harta itu adalah jawara-pengusaha yang mengejawantah dalam keluarga besar Tb. Chasan Sochib.

    1. Dari Kekayaan ke Jaringan Bisnis dan Politik Jauh sebelum terdefinisikan sebagai politico-business oligarch dan menjalankan politik pertahanan harta, Tb. Chasan Sochib bekerja sebagaimana orangbekerja pada umumnya (busi- ness as usual). Pada awalnya, dia bekerja mengatur para buruh kasar di Jakarta dan bongkar muat di pelabuhan Tanjung Priok. Kemudian, dia kembali ke Banten. Saat itu, produksi baja di Cilegon bangkit dan tumbuh menjadi kawasan industri. Tb. Chasan Sochib mencoba peruntungan menjadi perantara spekulasi tanah di Banten.388 Selain itu, dia juga memberikan jasa pengawa- lan bisnis beras dan jagung antarpulau Jawa-Sumatera. Lalu, Sochib mulai merintis bisnisnya sendiri menjadi penyedia kebu- tuhan logistik untuk divisi militer Kodam VI Siliwangi sejak 1967.389 Pada saat yang sama, Kodam Siliwangi butuh orang lokal

    386Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 53. 387Menurut Jeffrey A. Winters, pada era modern, politik pertaha- nan harta mengalami pergeseran dari pertahanan hak milik menjadi pertahanan pendapatan. Sebab, sebagaimana warga negara miskin, pada era modern hak milik orang-orang terkaya sudah dijamin oleh negara. Lihat Winters, Oligarchy, 20-26. 388Rudnyckyj, “Islamic Ethics,” 70-71. 389Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, “Dinasti Tb. Chasan Sochib: Gubernur Jenderal dari Banten,” Konstelasi, Edisi ke-31 April 2011. Artikel diakses 6 Juli 2013, dari http://www.p2d.org/ index.php/ kon/52-31-april-2011/273-dinasti-h-tb-chasan-sochib--gubernur-jenderal- dari-banten.html.

    330 Oligarki dan Demokrasi... untuk menjadi perpanjangan tangan di daerah. Sebab, Banten baik sebelum ataupun sesudah tragedi 1965 sangat rawan dipengaruhi oleh kekuatan komunis. Atas dalih kepentingan politik, keamanan, dan ekonomi di Banten, Sochib mendapatkan banyak keistime- waan dari Kodam VI Siliwangi dan pemerintah Jawa Barat. Sebagian besar proyek pemerintah khususnya di bidang konstruksi banyak diberikan kepada Sochib. Di sinilah bisnisnya mulai berje- jaring dengan kekuasaan (politico-business). Dia pun mendirikan perusahaan konstruksi PT Sinar Ciomas Raya pada 1967.390 Proyek-proyek yang berjejaring dengan kekuasaan terse- but menjadi mesin uang Tb. Chasan Sochib. Langkah selanjutnya, Sochib mentransformasikan uang tersebut menjadi jaringan sehingga menjadi kekuasaan mobilisasi yang besar. Salah satu caranya, dia selalu mengadakan pertunjukan seni tradisional seper- ti jaipongan dan debus setiap kali pencairan dana proyek. Dia juga membagi-bagikan uang kepada semua pihak yang terlibat dalam pertunjukan tersebut. Pada akhirnya, masyarakat mengenal keluar- ga Sochib sebagai orang dermawan.391 Selain jaringan yang bersifat taktis (jangka pendek) dan pragmatis, Sochib juga memperkokoh jaringan bisnis. Dia menja- lankan strategi (jangka panjang) berkelanjutan dengan mengkader dari nol banyak pengusaha di Banten. Dari kader-kader tersebut, Sochib mendapatkan dua keuntungan. Pertama, keuntungan jari- ngan bisnis (kekuasaan mobilisasi dan material)392 dan Kedua, keuntungan uang (kekuasaan material). Sebab, Sochib mendapat-

    390Max Lane, Decentralization and Its Discontents: An Essay on Class, Political Agency and National Perspective in Indonesian Politics [Iseas Monograph Series] (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies (Iseas), 2014), 64-65. Lihat juga Masaaki dan Hamid, “Jawara in Power,” 119. 391Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 392Winters, Oligarchy, 11-20. Ahmad Munjin 331 kan bagi hasil dari keuntungan proyek-proyek yang dikerjakan oleh kader-kadernya. Oleh para peneliti dan pengamat, bagi hasil inilah kemudian disebut pemerasan proyek393 dalam bentuk fee atau setoran394 kepada jawara sehingga menjadi ekonomi berbiaya tinggi (high cost economy)395 bagi siapapun yang ingin menja- lankan usaha sektor konstruksidi Banten. Angkanya variatif, mulai dari 10% untuk proyek APBD dan 11% untuk proyek APBN. Bahkan belakangan, setelah keluarga tersebut berada di puncak kekuasaan legislatif dan eksekutif, setoran tersebut diminta di muka. Besarannya pun melonjak—ada yang menyebut 20% bahkan 30%. Lalu, 10% kepada pimpinan proyek dari nilai proyek untuk kontraktor di luar jaringan bisnisnya. Pada akhirnya, tanpa memiliki perusahaan pun, Sochib dan keluarga besarnya sudah mendapatkan keuntungan besar.396 Pascareformasi 1998, tuntutan otonomi daerah menguat dan berujung pada ‘perceraian’ wilayah Banten dari provinsi Jawa Barat. Banten sebagai provinsi pun terbentuk di penghujung 2000. Pada 2001, Ratu Atut Chosiyah, anak pertama Tb. Chasan Sochib dari istri pertama, terpilih menjadi wakil gubernur Banten mendampingi Djoko Munandar dalam Pilkada yang dipilih lewat DPRD. Sochib ditengarai telah melakukan money politics dan mengerahkan kekuasaan koersifnya melalui kekuatan jawara

    393Syarif Hidayat, “Shadow State? Business and Politics in the Province of Banten,” dalam Renegotiating Boundaries: Local Politicss in post-Suharto Indonesia, eds. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (Leiden: KITLV Press, 2007), 218. 394Asrori S. Karni dan Gandi Achmad, “Keluarga Pemain Ang- garan Banten,” Gatra, 23 Oktober 2013, 26-30. 395Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Nera- ca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Senin, 30 Oktober 2017. 396Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.

    332 Oligarki dan Demokrasi... dalam memenangkan Pilkada untuk pertama kalinya di provinsi baru tersebut.

    2. Regenerasi Politik dan Strategi Berkuasa Tiga Periode Salah satu strategi politik pertahanan harta keluarga besar Tb. Chasan Sochib adalah mempertahankan kekuasaan. Salah satunya adalah melakukan regenerasi politik. Tubagus Chaeiri Wardana, adik Ratu Atut Chosiyah, memiliki peran besar sebagai oligark di balik layar. Salah satu anggota keluarga Atut Chosiyah yang sudah dirancang menjelang pemilu 2014 adalah Andika Hazrumy, putra sulung Atut Chosiyah. Akan tetapi, Andika Haz- rumy tidak lagi dipasang untuk merebut kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seperti pada Pemilu 2009. Medan tempur calon ‘senator’ itu diwariskan kepada adiknya, yang memulai politik praktisnya sebagai calon tetap anggota DPD 2014-2019 asal daerah pemilihan (Dapil) Banten. Suami Andiara, Tanto Warsono Arban, juga didorong terjun sebagai caleg Golkar untuk DPRD Provinsi Banten dari Dapil Tangerang Selatan, daerah yang dipimpin bibinya, Airin Rachmi Diany. Kenyataanya, meski masih berstatus sebagai anggota DPR periode 2014-2019, Andika mengikuti pola yang telah dilakukan ibunya. Dia dipasang menjadi calon wakil gubernur Banten mendampingi Wahidin Halim yang secara umur sudah relatif tua pada Pilkada 2017. Pasangan calon ini pun memenangkan Pilkada. Apakah akan mengikuti pola ibunya, Ratu Atut Chosiyah di mana posisi wakil gubernur merupakan strategi untuk dapat berkuasa lebih lama, lebih dari dua periode. Hanya waktu yang akan membuktikannya. Jauh sebelum 2017, pada Pemilu 2009, Andika mempe- roleh suara tertinggi DPD sebanyak 760.654 asal Banten. Pada Pemilu 2014, Andika diplot sebagai caleg DPRdaerah pemilihan (Dapil) Banten I, yakni mencakup Pandeglang dan Lebak. Pada pemilu empat tahun sebelumnya, suara Partai Golkar di dapil tersebut kurang menggembirakan. Dari enam kursi yang dipere- butkan, Golkar hanya mendapatkan satu, yakni Mamat Rahayu Ahmad Munjin 333

    Abdullah dengan suara terendah kedua. Partai Demokrat dan PPP sama-sama merebut dua kursi. Mamat Rahayu kemudian pindah ke Partai Nasdem, dan masuklah Andika sebagai pengganti.397 Modal suara besar Andika pada 2009 diharapkan dapat mendong- krak suara Golkar di dapil ini. Apalagi, posisi Demokrat dominan. Sebab, Bupati Lebak berasal dari Demokrat. Pilkada Lebak pada Agustus 2013 dimenangkan oleh kader Demokrat, Iti Octavia, anak bupati sebelumnya, Mulyadi Jayabaya.Jagoan Golkar, Amir Hamzah, yang berada di peringkat kedua, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan Pilkada ulang. Golkar pada awalnya merupakan kendaraan politik utama keluarga besar Atut Chosiyah. Panel hakim MK pimpinan Akil Mochtar, mantan politisi Golkar, pada 1 Oktober 2013, memutus- kan Pilkada ulang di Lebak. Selain itu, Lebak juga bersama dengan Pandeglang merupakan dapil Banten I yang digarap oleh Andika Hazrumy masih dalam kendali klan Haji Kasan—sapaan mendiang Tb. Chasan Sochib. Sementara itu, istri kelima Haji Kasan, Heryani Yuhana menjabat sebagai Wakil Bupati Pandeg- lang. Pada 2013, Istri Andika, Ade Rossi Chairunnisa naik pang- kat dari Wakil Ketua DPRD Kota Serang menjadi caleg DPR RI dapil Kota Serang, daerah yang dipimpin paman iparnya, Tubagus Haerul Jaman, adik Atut Chosiyah beda ibu. Saat itu, Suami Atut, Hikmat Tomet, masih diplot sebagai caleg Golkar nomor 1 Banten II, yakni Serang dan Cilegon. Padahal, Tomet baru terserang stroke dan jarang hadir dalam rapat Komisi V DPR.398 Dalam strategi penempatan saudara dan kroni Atut Chosiyah, pada jabatan-jabatan politis tersebut, Wawan, panggi- lan akrab Tb. Chaeri Wardana berperan aktif. Salah satu stra- teginya adalah dimulai dari jabatan wakil baik bupati, wali kota, ataupun gubernur. Atut pada awalnya merupakan wakil gubernur; Haerul Jaman sebelumnya merupakan wakil wali kota Serang;

    397Asrori S. Karni dan Gandi Achmad, “Ujung Tanduk Dinasti Atut,” Gatra, 16 Oktober 2013, 25. 398Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 25.

    334 Oligarki dan Demokrasi...

    Airin Rachmi Diany memulai dengan mencalonkan diri sebagai wakil bupati di Tangerang; Adik Atut Chosiyah, Tatu Chasanah merupakan wakil bupati Serang; dan ibu tiri Atut Chosiyah, Heryani menjadi wakil bupati Pandeglang. Pada Pilgub 2017 pun, Andika Hazrumy dipasang sebagai wakil. Dengan menjabat posisi wakil, mereka sudah mulai berkuasa dan kekuasaannya berlang- sung lebih lama. Jika langsung menjadi bupati, wali kota, atau gubernur, kekuasaan tersebut hanya sampai dua periode. Dengan cara menjadi wakil terlebih dahulu, mereka bisa berkuasa tiga periode.399 Selain regenerasi politik keluarga, Tb. Chaeri Wardana juga turut mengatur penempatan pejabat di pemerintahan provinsi Banten. Itulah gambaran politik pertahanan harta keluarga besar Tubagus Chasan Sochib melalui regenerasi politik dan pengaturan penempatan pejabat. Akumulasi kekuasaan tersebut merupakan hilir dari dua variabel uang dan jaringan yang dimiliki oleh Tb. Chasan Sochib sebelumnya. Secara perlahan tapi pasti oligark dan oligarki pun terbentuk dari dinasti tersebut. Tidak ada orang yang bisa menggantikan mereka. Sebab, keluarga Tb. Chasan Sochib sudah terlanjur established. Mereka terbukti sukses menancapkan kukunya di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Banten.400 Tak tanggung-tanggung, keluarga tersebut menguasai semua lini kekuasaan baik eksekutif ataupun legislatif. Mulai dari jabatan gubenur hingga bupati dan wali kota di Provinsi Banten. Mereka juga berkuasa di DPR dan DPD hingga DPRD. Semuanya meng- gunakan Partai Golkar sebagai kendaraan untuk mendapatkan kekuasaan. Mereka juga berkuasa pada organisasi-organisasi bentukan pemerintah, seperti Kadin, Karang Taruna, dan KNPI. Kekuasaan uang dan bisnis keluarga Tb. Chasan Sochip pun semakin menggurita. Jika pada mulanya bisnis berjejaring

    399Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 26. 400Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. Ahmad Munjin 335 dengan pemerintah pusat melalui Kodam VI Siliwangi dan Pemprov Jabar, sekarang berjejaring dengan Pemda Banten yang notabene berada dalam kekuasaan para anggota keluarga besar tersebut. Di sinilah terjadi polico-business oligarchy401dan politik pertahanan harta. Pada awalnya, keluarga tersebut ditopang oleh perusahaan milik Tb. Chasan SochibPT Sinar Ciomas Raya dan perusahaan lain yang menjadi jaringan bisnisnya. Setelah mereka berkuasa, bisnis keluarga pun semakin ekspansif (lihat Bagan 4.2.).

    401Robison dan Hadiz, Reorganising Power, 53.

    336 Oligarki dan Demokrasi...

    Bagan 4.2. Jaringan Perusahaan Keluarga Besar Tb. Chasan Sochib

    Oligark di Balik Layar

    Tb. Chasan Sochib PT Sinar Ciomas Raya

    Ratu Atut Chosiyah PT Sinar Ciomas Wahana Putra

    Tubagus Haerul Jaman PT Ginding Mas Wahana Nusa

    Ratu Tatu Chasanah PT Unifikasi Profesional Media Consultant Heryani

    PT Profesional Indonesia Lantera Airin Rachmi Diany Raga

    Andika Hazrumy PT Andika Pradana Utama

    Hikmat Tomet PT Pelayaran Sinar Ciomas Pratama Aden Abdul Khaliq PT Hotel Ratu Bidakara

    Ratna Komalasari PT Putra Perdana Jaya

    Ade Rossi Chairunnisa PT Bali Pacific Pragama

    Tanto Warsono Arban PT Buana Wardana Utama

    Andiara Aprilia Hikmat PT Arban Global Nusantara

    Tb. Chaeri Wardana PT Arban Media

    Tb. Chasan Sochib Tb. Chaeri Wardana

    Sumber: Diolah dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan sumber lain Ahmad Munjin 337

     Garis penghubung menjelaskan jabatan atau peran masing- masing anggota keluarga Tb. Chasan Sochib pada perusa- haan-perusahaan tersebut sejauh dapat dilacak baik sebagai pendiri, direktur utama, komisaris utama, direktur, komisa- ris, atau pemegang saham. Garis putus-putus menunjukkan peran pada perusahaan-perusahan tersebut secara tidak langsung tapi sangat menentukan.

    Paling tidak, terdapat sepuluh perusahaan yang berada dalam kendali langsung keluarga Ratu Atut Chosiyah.402 Peru- sahan-perusahaan tersebut adalah (1) PT Sinar Ciomas Wahana Putra; (2) PT Ginding Mas Wahana Nusa; (3) PT Unifikasi Profe- sional Media Consultant; (4) PT Profesional Indonesia Lantera Raga; (5) PT Andika Pradana Utama; (6) PT Pelayaran Sinar Ciomas Pratama; (7) PT Hotel Ratu Bidakara; (8) PT Putra Perdana Jaya; (9) PT Bali Pacific Pragama; dan (10) PTBuana Wardana Utama. Kesepuluh perusahaan tersebut ditambah dua perusahaan milik Tanto Warsono Arban, menantu Ratu Atut Chosiyah, yaitu PT Arban Global Nusantra dan PT Arban Media. Oleh karena itu, Tanto dan Andiara Aprilia Hikmat bukan semata disatukan oleh pernikahan biologis tapi juga oleh penyatuan dua politico business oligarchy. Antara entitas kekuasaan dan esntitas bisnis tersebut memiliki hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Uang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan, kekuasaan digu- nakan untuk mendapatkan uang. Sebagai contoh, PT Hotel Ratu Bidakara di Jl K.H. Abdul Hadi, Serang. Berdasarkan akta notaris tercatat nama Andiara Aprilia Hikmat, putri bungsu Ratu Atut, sebagai direktur utama. Sementara direkturnya adalah Tanto War- sono Arban (suami Andiara). Lalu ada juga nama Andika Hazrumy (anak pertama Atut) sebagai komisaris, serta Ade Rossi Chaerun- nisa (istri Andika) sebagai komisaris. Hotel Ratu Bidakara

    402Asrori S. Karni dan Gandi Achmad, “Keluarga Pemain Ang- garan Banten,” Gatra, 23 Oktober 2013, 26-30.

    338 Oligarki dan Demokrasi... bernaung sebagai anak perusahaan PT Sinar Ciomas Raya Utama. Perusahaan yang bergerak di bidang konstruksidan didirikan oleh Ayah Atut, Tb. Chasan Sochib. Sejak berdiri pada 16 Mei 2011, Hotel Ratu laris dipakai oleh pemerintah provinsi untuk menye- lenggarakan berbagai macam agenda, mulai dari rapat, pemberian penghargaan, dan acara seremonial lainnya. Tak heran, dalam satu tahun, hotel itu berubah kelas dari bintang tiga menjadi bintang empat. "Sejak hotel didirikan, setiap kegiatan SKPD di lingku- ngan Pemprov Banten hampir pasti dilakukan di hotel itu.403

    3. Empat Pilar Kendali dan Dominasi Keluarga Ratu Atut Chosiyah Selama Ratu Atut Chosiyah berkuasa, terdapat empat pilar kendali dan menjadi pijakan bagi keluarga untuk berkuasa dominan. Keempat pilar tersebut adalah Pemda, Kadin, Golkar, dan Ormas. Proyek APBD dan APBN di Banten berada dalam monopoli perusahaan keluarga gubernur sekaligus jaringan kartel- nya. Pendapatan Provinsi Banten memang membaik, tapi alokasi- nya berantakan.404Beberapa modus keluarga Ratu Atut Chosiyah mendapatkan proyek pengadaan barang dan jasa di Banten. Pertama, melalui perusahaan yang dikuasai keluarga Atut secara langsung. Kedua, melalui perusahaan lain yang menjadi bagian kartel Atut. Untuk modus pertama, perusahaan langsung keluarga Atut mendapatkan 52 proyek di Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Pemprov Banten dengan total nilai kontrak Rp723,333 miliar. Dari Proyek Kementerian PU selama 2008-2013, dime- nangi 33 proyek dengan total nilai Rp478,728 miliar. Dari proyek

    403Anonim, “Cerita tentang Hotel Bintang Empat Milik Keluar- ga Atut di Banten,” Detik.com, Senin 14 Oktober 2013, diakses tanggal 31 Juli 2018 dari https://news.detik.com /berita/ 2385794/cerita-tentang- hotel-bintang-empat-milik-keluarga-atut-di-banten. 404Asrori S. Karni dan Gandi Achmad, “Keluarga Pemain Ang- garan Banten,” Gatra, 23 Oktober 2013, 26-30. Ahmad Munjin 339

    Pemprov Banten selama 2011-2013, setidaknya dimenangi 19 proyek dengan total nilai kontrak Rp244,604 miliar.405 Untuk modus kedua, pada 2012, setidaknya 24 perusahaan yang diduga merupakan bagian kartel Atut mendapatkan 110 proyek Pemprov Banten dengan total nilai kontrak Rp346,287 miliar. Sedangkan proyek di Kementerian PU, selama 2011-2013, perusahaan kartel tersebut mendapatkan 13 proyek dengan nilai total Rp78,794 miliar. Secara keseluruhan, pada Kementerian PU dan Pemprov Banten diguga perusahaan yang dikendalikan langsung Atut Chosiyah sekeluarga dan kartelnya mendapat 175 proyek dengan total nilai kontrak Rp1,148 triliun. Itu baru dari kementerian PU dan Pemprov Banten, belum kementerian atau lembaga lain dan kabupaten/kota di Banten. Semua itu, menun- jukkan gurita bisnis keluarga Atut yang menjadi basis sumber daya kekuasaan material (oligarkis)406 menguasai proyek penga- daan barang dan jasa di Banten. Rezim politik selalu identik dengan kekuasaan dan uang.407 Tb. Chaeri Wardana memiliki banyak kasus hukum yang harus diusut. Di antaranya adalah dana pengadaan alat kesehatan tahun 2004-2005 dan mark up pembangunan gedung Provinsi Banten Rp62 miliar. Data tersebut mengacu kepada BPK, tapi anehnya BPK tidak melaporkannya ke KPK. Seorang birokrat di Banten bertutur, siapa pun yang ingin menggarap proyek di Banten, harus setor 30% kepada jawara sebelum proses tender. Setelah Chasan Sochib wafat, perannya sebagai oligark di balik layar diteruskan kepada Wawan. Baru penjajakan saja harus setor 30% dan setelah deal tambah lagi 10% ke pimpinan proyek. Hasilnya adalah sepanjang jalan Cilegon-Anyer belum lama diper- baiki sudah kembali rusak.408 Inilah yang menurut Winters, bahwa

    405Karni dan Achmad, “Keluarga Pemain Anggaran,” 28. 406Winters, Oligarchy, 18-20. 407Karni dan Achmad, “Keluarga Pemain Anggaran,” 28. 408Karni dan Achmad, “Keluarga Pemain Anggaran,” 28-29.

    340 Oligarki dan Demokrasi... karakteristik dari oligark adalah ekstraktif dan eksploitatif— Banjir dari atas tapi hanya tetesan yang sampai ke bawah.409 Bila penguasaan atas pilar Pemda, Golkar, dan Kadin rentan penyalahgunaan dalam pengadaan barang dan jasa, sedang- kan kendali atas ormas membuat mereka rawan menyimpangkan bantuan sosial (Bansos). Laporan Uday Suhada, warga Banten kepada KPK tahun 2011 menyebutkan dari Rp340 miliar dana hibah, sebesar Rp51 miliar mengucur tidak jelas. Ada beberapa modus. Pertama, pemotongan dana hibah dan Bansos sehingga tidak utuh hingga tangan penerima; Kedua, ada indikasi sejumlah lembaga atau organisasi fiktif yang menerima hibah; Dari 221 pihak penerima hibah dan bansos tahun 2011, 62 lembaga diduga fiktif. Ketiga, sebagian besar lembaga atau organisasi penerima dana hibah dan bansos dipimpin keluarga Atut Chosiyah (modus KKN). Secara politik penyaluran anggaran hibah dan bansos digunakan untuk kepentingan Atut jelang pemilihan gubernur 2011.410 Dari sisi fiskal, pendapatan provinsi Banten terus naik. Pada 2013, APBD Banten hampir Rp5,7 triliun. Tahun 2013, Rp4,8 triliun, dan tahun 2011 Rp3,8 triliun. Dana perimbangan untuk Banten lebih kecil dari pendapatan asli daerah (PAD) yang rata-rata 77% dari total APBD. Tahun 2013, dari APBD Rp5,7 triliun, PAD-nya bisa mencapai Rp3,7 triliun. Data-data tersebut menunjukkan Banten secara fiskal dari sisi pendapatan sudah masuk kategori mandiri. Akan tetapi, masalahnya adalah faktor sosial411—kesenjangan sosial dan ekonomi di Banten. Inilah pra- syarat oligarki yang terpenuhi sebagaimana dinyatakan Carl

    409Jeffrey A. Winters, “Oligarchy and the Jokowi Administra- tion,” Kuliah Umum Jurusan Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta, Senin, 8 Juni 2015. 410Karni dan Achmad, “Keluarga Pemain Anggaran,” 29. 411Karni dan Achmad, “Keluarga Pemain Anggaran,” 29. Ahmad Munjin 341

    Joachim Friedrich (1937),412 Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page (2009).413 Buktinya, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Banten paling tinggi di Indonesia, yakni 10,10%. Angka kemis- kinan masih 5,7%. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Banten paling rendah se-Jawa dan Sumatera. Ini menunjukkan karakte- ristik dari oligark, yakni input besar tapi output kecil. Ada perse- lingkuhan dalam politik anggaran Banten. Modusnya, pertama, perusahaan-perusahaan Wawan dan keluarga besarnya mengambil banyak proyek APBD dan APBN di wilayah kekuasaan mereka. Mereka memonopoli semua proyek di Provinsi Banten. Kedua, menggunakan pihak ketiga atau mitra. Mitra tersebut wajib memberikan 20% total nilai proyek kepada keluarga Atut. Bahkan kadang wajib dibayar di muka. Potongan proyek tersebut masuk ke kantong keluarga. Pada 2011, hasil LHP BPK memperlihatkan, belanja modal Banten sebesar Rp800 miliar untuk infrastruktur. Potongan 20% dari dana proyek tersebut sudah mencapai Rp160 miliar.414 Perusahaan utama yang dijadikan “mesin cuci uang” klan Atut Chosiyah adahal PT Bali Pacific Pragama yang dikelola langsung Wawan yang berkantor di lantai XII nomor 5 Gedung The East, Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Kejanggalan alokasi APBD dan APBN Banten sudah tercium setiap tahun oleh BPK. Beberapa kasus masuk proses hukum. Di antaranya, proyek pem- bangunan RSUD Balaraja yang juga menyenggol nama Airin Rachmi Diany, istri Tb. Chaeri Wardana (Wawan). Begitu juga dengan kasus normalisasi sungai Cilemer senilai Rp24 miliar yang dinyatakan fiktif. Sepeninggal Chasan Sochib, Wawan jadi pene- rus dan pemain sentral. Semua bisnis dikoordinasikan Wawan. Ketika Wawan ditangkap, disebut-sebut sebagai awal keruntuhan

    412Carl Joachim Friedrich, “Oligarchy,” dalam Encylopaedia of the Social Sciences, volume XI-XII, ed. Edwin R.A. Seligman (New York: The Macmillan Company, 1937),463. 413Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, “Oligarchy in the United States?” Perspectives on Politics 7 (2009): 732. 414Karni dan Achmad, “Keluarga Pemain Anggaran,” 29-30.

    342 Oligarki dan Demokrasi... dinasti Atut Chosiyah. Sebagian besar sumur dinasti Atut Chosi- yah adalah proyek APBD dan ABPN di Banten. Hasilnya adalah pengelolaan alokasi anggaran Banten kacau. Yang prioritas diabai- kan tapi yang tersier dikerjakan. Contohnya, Banten ngotot membangun Bandara Banten Selatan. Dicurigai di situ banyak tanah mereka. Mereka juga ngotot membangun Bank Banten yang menyedot dana Rp1 triliun.415 Selain berperan di balik layar dalam regenerasi politik keluarga dan penempatan pejabat daerah, Wawan berperan dalam proyek-proyek pemerintah. Semua itu merupakan politik untuk pertahanan harta melalui keterlibatan Tubagus Chaeri Wardana dalam penyusunan dan pelaksanaan skema pembangungan daerah Banten. Dari sisi ini, tampak jelas sumber daya kekuasan mate- rial416 digunakan untuk mendapatkan kekuasaan dan kekuasaan digunakan untuk mendapatkan harta dengan keterlibatan dalam proyek-proyek pemerintah daerah. Pada saat yang sama, harta juga digunakan untuk pertahanan kekuasaan politik, yang salah satunya bentuknya adalah penyuapan terhadap hakim MK. Semua kondisi tersebut, di mana peran Chaeri Wardana sangat besar mengingatkan publik pada peran mendiang Chasan Sochib saat anaknya Atut Chosiyah mulai berkuasa sebagai wakil gubernur. Menurut Syarif Hidayat, sudah dikhawatirkan banyak pihak beberapa bulan setelah lembaga legislatif dan eksekutif terbentuk di Provinsi Banten. “Sikap mayoritas informan cende- rung pesimistik ketika mengevaluasi kinerja pemerintahan pro- vinsi dan tampak tak antusias dengan masa depan Banten.”417 Betapa tidak, pemerintahan provinsi nyaris pincang total dalam menjalankan fungsi formalnya karena kekuatan informal mampu mengontrol gubernur. Saat itu, Banten memiliki semacam pemerintahan swasta yang dipimpin oleh Tubagus Chasan Sochib. Pemerintahan swasta ini sangat berpengaruh terhadap masalah ekonomi pemerintahan

    415Karni dan Achmad, “Keluarga Pemain Anggaran,” 30. 416Winters, Oligarchy, 18-20. 417Hidayat, “Shadow State,” 209-210. Ahmad Munjin 343 provinsi. “Pemerintahan swasta” ini diduga memonopoli hampir semua proyek-proyek pemerintah daerah dan menekan pemerintah provinsi untuk mengakomodasi kepentingannya saat perancangan anggaran pembangunan proyek tahunan. Bahkan informasi yang lebih penting, menurut Syarif Hidayat, adanya praktik-praktik informal di dalam birokrasi lokal di mana kekuasaan Chasan Sochib bisa menentukan mutasi birokrat sebagaimana dilakukan oleh Chaeri Wardana sebagai penerus ayahnya. Ayip Muchfi merupakan sekretaris daerah (Sekda) pertama Provinsi Banten. Dia ditunjuk langsung setelah Hakamudin Jamal ditunjuk sebagai penjabat Gubernur Banten. Akan tetapi, begitu Djoko Munandar dan Atut Chosiyah menjadi gubernur dan wakil gubernur, Ayip dipecat tanpa prosedur yang sah.418 Tampaknya, lanjut Syarif Hidayat, penggantian Sekda berhubungan dengan konflik pribadi yang panjang antara Ayip dengan Chasan Sochib. Indikasi awal itu menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi dan politik informal419 mendominasi Pemda Banten.420

    418Hidayat, “Shadow State,” 210. 419Menurut Harriss-White, paling tidak, terdapat dua definisi untuk istilah ‘informal economy\’. Pertama, aktivitas-aktivitas bisnis atau individu dan/atau sebuah perusahaan yang tidak terdaftar di pemerinta- han sehingga pajak tidak dibayarkan. Kedua, sikap dari lembaga-lembaga formal baik negara maupun swasta untuk menghindari control dari regu- lator. Bentuk informal ekonomi yang kedua ini termasuk di dalamnya penghindaran pajak, penyalahgunaan kebijakan publik, korupsi, kolusi, dan pemaksaan privatisasisi aset-aset negara. Harriss-White telah meng- aplikasikan pendekatan dengan apa yang disebutnya sebagai ‘social structure of accumulation’ di mana struktur sosial menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam akumulasi ekonomi. Akumulasi jenis ini menjadi motif atau karakteristik utama dari kekuasaan oligarkis. Dia mengidentifikasi empat dimensi struktur sosial, yakni kelas, kasta, jender, dan ruang. Mayoritas transaksi ekonomi diambil alih melalui eko- nomi informal yang berlangsung dalam suasana kekeluargaan yang lebih didasarkan pada reputasi dibandingkan hukum formal dan juga sering kali diiringi dengan elemen-elemen atau ancaman kekerasan. Lihat Barbara Harriss-White, India Working: Essays on Society and Economy

    344 Oligarki dan Demokrasi...

    Syarif Hidayat mencatat empat karakteristik umum dari praktik informal market dan shadow state. Pertama, mereka ber- kembang sebagai konsekuensi dari kerusakan lembaga-lembaga formal (negara), khususnya saat disertai dengan krisis ekonomi; Kedua, akumulasi keuntungan politik dan ekonomi jangka pendek di luar kerangka aturan formal merupakan tujuan utama dari transaksi informal market. Setiap partai memaksimalkan sumber- sumber dayanya untuk kemudian memperdagangkannya di pasar informal; Ketiga, modus operandi atau mekanisme kerja dari informal market dan shadow state bisa diklasifikasikan menjadi dua kategori: manipulasi kebijakan publik dan menggunakan jari- ngan persekutuan individu ataupun kelembagaan. Keempat, aktor- aktornya berasal baik dari negara maupun masyarakat.421 Perihal aktor-aktor tersebut, Henk Schulte Nordholt (2003) menyebutkan para pelaku bisnis, politikus partai, dan bahkan geng kriminal.422 Syarif Hidayat menggunakan keempat pendekatan tersebut untuk membaca praktik-praktik pemerintahan lokal di Banten.423 Menurut Uday Suhada, juru bicara Aliansi Banten Meng- gugat yang pernah melaporkan penyimpangan dinasti politik Atut Chosiyah ke KPK pada 2011, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan merupakan orang yang terlibat aktif dalam penyusunan dan pelaksanaan skema pembangunan daerah di provinsi Banten. Wawan mengatur semua pelaksanaan tender proyek di pemerin- tahan provinsi Banten. Untuk mendapatkan proyek pemerintah provinsi Banten pelaksana harus setor di muka ke Wawan sebesar 20% hingga 30% dari anggaran proyek tersebut.424

    [Series of Contemporary South Asia 8] (Cambridge: Cambridge Univer- sity Press, 2003), 4-6; lihat juga Hidayat, “Shadow State,” 210. 420Hidayat, “Shadow State,” 210. 421Hidayat, “Shadow State,” 212. 422Henk Schulte Nordholt, “Renegotiating Boundaries: Access, Agency and Identity in post-Soeharto Indonesia,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 159 (2003): 550-89. 423Hidayat, “Shadow State,” 212. 424Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 26. Ahmad Munjin 345

    Pada 2011, Aliansi Banten Menggugat melaporkan ke KPK, dari Rp340 miliar dana hibah, sebesar Rp51 miliar di anta- ranya mengucur tidak jelas. Aliansi melihat beberapa modus, pertama, pemotongan dana hibah dan bansos sehingga tidak utuh di tangan penerima. Kedua, terdapat indikasi penerima hibah adalah sejumlah lembaga atau organisasi fiktif. Dari 221 pihak penerima hibah dan bansos 2011, menurut penelusuran tim dari Aliansi Banten Menggugat terdapat 62 yang diduga fiktif. Ketiga, sebagian besar lembaga atau organisasi penerima dana hibah dan bansos dipimpin oleh keluarga dan kerabat Atut Chosiyah yang menunjukkan adanya modus KKN. Secara politik, menurut Uday, sebagian dana tersebut digunakan untuk kepentingan Atut men- jelang pemilihan gubernur 2011.425 Teguh Imam Prasetya, dosen FISIP Universtitas Tirtaya- sa, Banten menilai naiknya keluarga Atut dalam banyak posisi politik di Banten merupakan hasil dari sandiwara demokrasi, yang menggunakan kombinasi politik uang yang merupakan sumber daya kekuasaan material,426 intervensi, dan intimidasi birokrasi427 yang merepresentasikan kekuasaan koersif.428 Wawan menjadi pintu masuk bagi siapa saja yang ingin berbisnis di Banten. Dia juga mengatur berbagai skenario mengamankan posisi jabatan keluarga. “Wawan mewarisi kecerdikan Chasan,” kata Teguh.429 Sepak terjang Tb. Chaeri Wardanadalam menguasai berba- gai proyek APBD Banten dan proyek APBN yang digelontorkan ke Provinsi Banten sangat dominan. Bukan hanya itu, keberadaan Tb. Chaeri Wardana sangat ditakuti dan disegani oleh semua pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten. Dia bisa mengintervensi kebijakan di internal birokrasi Pemprov

    425Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 26. 426Winters, Oligarchy, 18-20. 427Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 26. 428Winters, Oligarchy, 15. 429Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 26.

    346 Oligarki dan Demokrasi...

    Banten,430 lantaran para pejabat tersebut punya utang budi kepada Tb. Chaeri Wardana. Di antaranya adalah jasa Tb. Chaeri Warda- na yang membuat mereka punya jabatan di awal-awal pendirian provinsi Banten. Ketika Tb. Chaeri Wardana meminta jatah proyek yang nilainya miliaran rupiah, mereka pun otomatis tidak kuasa untuk menolak. Kondisi ini sudah menjadi lingkaran setan. Pejabat-pejabat daerah di Provinsi Banten seakan-akan menjadi sapi perahbagi kepentingan Tb. Chaeri Wardana dan klan Ratu Atut Chosiyah.431 Di antara intervensi dari Tb. Chaeri Wardana adalah penempatan pejabat eselon II, III dan IV di hampir semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemprov Banten. Tidak ada yang luput dari intervensi dari adik kandung Gubernur Banten saat itu, Ratu Atut Chosiyah.Untuk menempatkan pejabat eselon II pada SKPD yang dianggap besar dan “basah” mutlak harus atas perse- tujuan Tb. Chaeri Wardana. Di antara SKPD tersebut adalah Dinas Bina Marga dan Tata Ruang (DBMTR) Banten, Dinas Kesehatan (Dinkes) Banten, Dinas Pendidikan Banten, dan Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman (DSDAP). Akibat intervensi tersebut, Tb. Chaeri Wardana pun dikenal dengan julukan kepala Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat (Baperjakat) swasta. Dalam konteks ini, Tb. Chaeri Wardana jelas mendapatkan wewe- nang melalui jalur tidak resmi (informal) dari kakaknya Gubernur Ratu Atut Chosiyah untuk menentukan pejabat yang dianggap pantas menjadi kepala dinas di masing-masing SKPD besar dan basah.432

    430Laurens Dami, “Inilah Sepak Terjang Adik Atut Dalam Memonopoli Proyek di Banten,” Suara Pembaruan, Sabtu, 19 Oktober 2013, diakses Senin, 13 Agustus 2018, http://sp.beritasatu.com/home/ inilah-sepak-terjang-adik-atut-dalam-memonopoli-proyek-di- banten/43653. 431Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 432Dami, “Inilah Sepak Terjang Adik Atut.” Ahmad Munjin 347

    Oleh karena itu, hanya pejabat yang loyal, bisa diatur dan bisa diajak kerja sama yang dianggap layak untuk menduduki posisi kepala dinas di berbagai SKPD tersebut. Tujuannya adalah agar semua proyek yang dikerjakan Tb. Chaeri Wardana bersama kroninya berjalan lancar. Hampir semua proyek yang didanai APBD di terutama empat dinas besar dikuasainya. Bukan hanya proyek APBD, tetapi juga proyek APBN. Dinas lain yang proyek- nya juga dikuasai Tb. Chaeri Wardana antara lain Dinas Pertam- bangan dan Energi (Distamben) Banten, Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Banten, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Dinas Kehutanan, dan Perkebunan (Dishutbun) Ban- ten. Tb. Chaeri Wardana tidak bekerja sendirian. Dia memiliki sejumlah anak buahyang dipercayakan untuk mengelola perusaha- an dan ditunjuk sebagai direktur utama (Dirut) di sejumlah peru- sahaan miliknya. Sebagian perusahaan milik Tb. Chaeri Wardana dibuat atas namanya sendiri, istrinya, bahkan anaknya. Namun ada beberapa perusahaan miliknya yang sengaja dibuat atas nama orang lain atau anak buahnya. Tb. Chaeri Wardana alias Wawan itu dilibatkan dalam menyusun skema pembangunan di Pemprov Banten. Bahkan Wawan juga dilibatkan dalam rapat Baperjakat. Lebih jauh, Tb. Chaeri Wardana juga bekerja sama dengan pihak anggota DPRD Banten untuk mengamankan seluruh proyek yang dikuasainya.433 Praktik seperti ini sudah berlangsung lama sejak kakaknya Ratut Atut Chosiyah masih menjabat sebagai wakil gubernur Banten. Perannya semakin besar, ketika kakaknya Ratu Atut Chosiyah menjabat sebagai Plt Gubernur Banten pada tahun 2006. Ratu Atut Chosiyah kemudian terpilih kembali menjadi gubernur untuk periode 2007-2012 dan terpilih kembali untuk periode kedua, 2012-2017. Sebelum masa jabatannya berakhir, Atut pun ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada 2013. Sebelum terjerat hukum, sebagian besar proyek yang dikerjakan adik Atut itu

    433Dami, “Inilah Sepak Terjang Adik Atut.”

    348 Oligarki dan Demokrasi... bersama kroninya selalu menjadi langganan temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK.434

    434Dami, “Inilah Sepak Terjang Adik Atut.” Ahmad Munjin 349

    Bagan 4.3. Peran Tb. Chaeri Wardana sebagai Oligark di Balik Layar

    Pilar Jaringan Dominasi Gubernur Atut Chosiyah

    Pemda Kadin Golkar Ormas

    Ratu Atut Chosiyah mendelegasikan wewenang kepada Tb. Chaeri Wardana sehingga mendapat julukan “kepala Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat (Baperjakat) swasta.” Ini menunjukkan perannya sebagai “oligark di Balik Layar”. Dia menjalankan politik pertahanan harta.

    Tb. Chaeri Wardana menentukan penempatan pejabat eselon II, III dan IV di hampir semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemprov Banten.

    Dinas Bina Marga dan Tata Ruang (DBMTR)

    Tb. Chaeri Wardana menempatkan pejabat eselon II Dinas Kesehatan (Dinkes) pada SKPD yang dianggap besar dan “basah”.Hanya Dinas Pendidikan Banten pejabat yang loyal, bisa diatur dan bisa diajak kerja sama yang dianggap layak untuk Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman (DSDAP) menduduki posisi kepala dinas SKPD tersebut.Tujuannya

    adalah agar semua proyek yang Dinas Pertambangan dan dikerjakan Wawan bersama Energi (Distamben) kroninya di SKPD tersebut berjalan lancar. Proyek dikerjakan oleh perusahaan Dinas Pertanian dan milik keluarga, milik keluarga Peternakan (Distanak) atas nama orang lain atau perusahaan bukan milik Dinas Kelautan dan Perikanan keluarga (pihak ketiga, mitra, (DKP) atau kartel. Sumber dana: APBN dan APBD Dinas Kehutanan, dan Perkebunan (Dishutbun)

    Rezim Pertahanan Harta

    Sumber: Diolah dari Laurens Dami, “Inilah Sepak Terjang Adik Atut dalam Memonopoli Proyek di Banten,” Suara Pembaruan, Sabtu, 19 Oktober 2013

    350 Oligarki dan Demokrasi...

    Proyek yang dikerjakan Tb. Chaeri Wardana dan kroninya selalu bermasalah. Sebab, dia diduga menarik fee sebesar 20-30 persen dari setiap proyek tersebut jika dikerjakan oleh pengusaha lain. “Ironisnya, dari berbagai kasus dugaan korupsi yang berkai- tan dengan proyek Wawan selalu mengendap di kepolisian atau kejaksaan,” tegas seorang aktivis anti korupsi, Uday Suhada, Direktur Eksekutif Aliansi Lembaga Independen Peduli Publik (Alipp).435 Selain intervensi jabatan dan proyek pada level SKPD, dalam konteks politik pertahanan harta yang menjadi sumber daya material untuk pertahanan kekuasaan adalah aksi suap terhadap hakim. Tb. Chaeri Wardana berusaha mempertahankan kekuasaan politik dari partai tempat mereka bernaung, Golkar. Salah satu kasusnya adalah Tb. Chaeri Wardana, bendahara Partai Golkar Banten dan kakaknya Gubernur Bantensaat itu, Ratu Atut Chosi- yah bertemu Hakim Konstitusi Akil Mochtar di Singapura. Chaeri Wardana dituduh menyuap Akil Rp1 miliar untuk mengabulkan gugatan calon bupati Lebak Amir Hamzah. Calon dari Partai Golkar ini mempersoalkan kemenangan Iti Octavia dan menuntut pemilihan ulang. Pada pertemuan tersebut, Akil, Atut, dan Chaeri Wardana diduga mengatur putusan Mahkamah Konstitusi.436 Pada 24 September 2013, Akil memimpin sidang gugatan hasil pemilihan Bupati Lebak dengan agenda mendengarkan saksi- saksi. Sepekan kemudaian, panel hakim yang dipimpin Akil me- mutuskan pemilihan Bupati Lebak diulang—cocok dengan tun- tutan kubu Atut yang menyokong Amir Hamzah. Hakim konsti- tusi menilai banyak kecurangan dalam perhitungan kertas suara. Menurut Tempo, pertemuan Singapura sesungguhnya tak hanya mengatur putusan sengketa hasil pemilihan bupati Lebak. Mereka

    435Laurens Dami, “Inilah Sepak Terjang Adik Atut Dalam Me- monopoli Proyek di Banten,” Suara Pembaruan, Sabtu, 19 Oktober 2013, diakses Senin, 13 Agustus 2018, http://sp.beritasatu.com/home/inilah- sepak-terjang-adik-atut-dalam-memonopoli-proyek-di-banten/43653. 436Bagja Hidayat, Maria Hasugian, dan Reza Aditya, “Antara Boston, Singapura, dan Kuningan,” Tempo, 27 Oktober 2013, 44-46. Ahmad Munjin 351 juga membicarakan putusan gugatan pemilihan Wali Kota Tangerang dan Serang—dua wilayah di Banten. Di Tangerang, pada pemilihan 31 Agustus, calon Golkar kalah oleh rivalnya dari Demokrat. Adapun hasil pemilihan Bupati Serang, 5 September 2013, perlu diamankan karena pemenangnya adalah adik Gubernur Atut, Tubagus Haerul Jaman.437 Dalam oligarki, menurut Winters, orang ‘di balik layar’ bukanlah faktor penting.438 Sebab, faktor penting dalam oligarki adalah akumulasi kekayaan hingga mencapai ribuan kali kekayaan orang-orang biasa (stratifikasi material).439Akan tetapi, peran Tubagus Chaeri Wardana yang merupakan orang di balik layar di- nasti politik Atut Chosiyah sepeninggal Tubagus Chasan Sochib, sangat menentukan. Chaeri Wardana sangat berperan penting dalam proses akumulasi kekuasaan politik dan ekonomi dari dinas- ti keluarga jawara tersebut. Wawan tidak suka muncul ke permu- kaan. Akan tetapi, urusan transaksi proyek di provinsi Banten merupakan urusannya. Dia yang mengatur semuanya dan merupa- kan tokoh di balik layar yang luar biasa. Hingga saat pencalonan istrinya, Airin Rachmi Diany, Wawan tidak mau dikenal. Akan tetapi, intervensi Wawan sangat besar baik di sektor ekonomi maupun birokrasi Banten. Kadin Banten berada di bawah koordi- nasi Wawan. Proyek-proyek APBD provinsi harus di-acc Wawan. Dari Wawan baru ke Atut. Tidak bisa masuk Banten sebelum masuk pintu Wawan.440 Dalam penentuan pejabat, bahkan Atut Chosiyah tidak bisa menentukannya sendiri melainkan harus men-

    437Hidayat, Hasugian, dan Aditya, “Antara Boston,” 44. 438Pendapat Winters tersebut berbeda dengan MatthiasGelzer 1969 [1912] dan terutama Ronald Syme (1939). Lihat Winters, Oligar- chy, 72. Bedakan dengan Matthias Gelzer, The Roman Nobility, terj. Robin Seager (Oxford: Basil Blackwell, 1969). Lihat juga Ronald Syme, The Roman Revolution (Oxford: Oxford University Press, 1939), 7. “In all ages, whatever the form and name of government, be it monarchy, republic, or democracy, an oligarchy lurks behind the facade.” 439Winters, Oligarchy, 83-85 440Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 26-27.

    352 Oligarki dan Demokrasi... dapat persetujuan dari Wawan. Padahal, Atut sudah mempunya nama tertentu untuk ditempatkan pada jabatan tertentu yang dini- lainya layak dan kredibel.441 Politik ancaman dan intervensi sudah menjadi rahasia umum di Banten. “Yang menjadi pemenang dalam tender proyek-proyek di Pemda Banten adalah siapa yang paling tajam goloknya.”442Seorang birokrat bertutur, siapa pun yang ingin menggarap proyek di Banten harus setor 30% kepada jawara sebelum proses tender. Setelah deal, tambah lagi 10% ke pimpinan proyek. Setelah Chasan Sochib wafat pada 2011, bos jawara dite- ruskan kepada Wawan.443 Banyak kasus hukum Tb. Chaeri Wardana belum tuntas ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu- nya adalah praktik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang melibatkan banyak pihak. Banyak orang disinyalir terlibat patgu- lipat dengan Tb. Chaeri Wardana. Contoh kasat mata adalah Airin Rachmi Diany, istri Tb. Chaeri Wardana dan Wali Kota Tange- rang Selatan. Airin diyakini terlibat dalam praktik pencucian uang tersebut. Paling tidak, dia turut membantu memberikan akses kepada Tb. Chaeri Wardana sehingga banyak proyek digarap oleh Wardana. Airin juga diduga ikut menikmati hasil korupsi. Bukti- nya, Airin banyak mengoleksi mobil-mobil mewah. Ini menunjuk- kan belum semua aset dia dan suaminya Tb. Chaeri Wardanayang terkait dengan kasus korupsi disita oleh KPK. Termasuk juga aset- aset tanah dan aset-aset lain baik bergerak ataupun tidak bergerak di tangan pihak ketiga. Aset-asetnya masih banyak dan tersebar. Yang dimaksud pihak ketiga adalah anggota DPRD Provinsi dan

    441Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Senin, 30 Oktober 2017. 442Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Senin, 30 Oktober 2017. 443Karni dan Achmad, “Ujung Tanduk,” 27-28. Ahmad Munjin 353 pejabat-pejabat di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pro- vinsi Banten.444 Kasus Tb. Chaeri Wardana selanjutnya adalah akses dana hibah. Kasus ini tidak langsung melalui Tb. Chaeri Wardana me- lainkan melalui kerabat-kerabatnya yang sudah memiliki jaringan luas di Banten. Contohnya adalah dana hibah untuk PMI yang dikuasai oleh istrinya Andika, Ade Rossi Chairunnisa. Pencairan dananya diketahui dalam jumlah sangat besar. Begitu juga dengan organisasi semipemerintah, seperti Karang Taruna, Himpaudi, dan Kadin. Kadin masih dipegang betul oleh Tb. Chaeri Wardana walaupun tidak secara langsung.KPK didesak untuk menuntaskan semua kasus Tb. Chaeri Wardana dan Ratu Atut Chosiyah. Penun- tasan kasus mereka dinilai sebagai pintu masuk untuk menahan kekuasaan dinasti yang hegemonik dan monopolis. Yang ditangani KPK saat ini baru kasus-kasus biasa, seperti korupsi alat-alat kesehatan (Alkes), Rumah Sakit, penyuapan Akil Muchtar, Ketua MK, dan pemerasan. Sedangkan untuk kasus TPPU masih belum tuntas.445Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan Tb. Chaeri Wardana sebagai tersangka.446 Setelah Tb. Chaeri Wardana dipenjara, praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)-nya masih berlanjuthingga seka- rang. Akan tetapi, praktik tersebut tidak secara langsung dan terang-terangan mengatasnamakan Tb. Chaeri Wardana melainkan pihak ketiga sehingga membutuhkan penghubung. Meski tidak secara langsung, praktik tersebut tetap berada dalam kontrol dan pengawasan Tb, Chaeri Wardana dari balik penjara. Gubernur Banten Wahidin Halim sudah mengakui bahwa Tb. Chaeri

    444Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 445Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 446Reza Jurnaliston, "Kasus TPPU Wawan, KPK Periksa Kepala DPKAD Banten," Kompas.com, Senin, 23 Juli 2018, diakses Minggu, 12 Agustus 2018, https://nasional.kompas.com/read/2018/07/23/10255771/ kasus-tppu-wawan-kpk-periksa-kepala-dpkad-banten.

    354 Oligarki dan Demokrasi...

    Wardana masih bermain proyek di SKPD-SKPD atau OPD-OPD (Organisasi Perangkat Daerah) di Banten dengan menggunakan perusahaan kontraktor lain. Dia tidak bisa lagi menggunakan peru- sahaan keluarga klan Ratu Atut Chosiyah karena akan otomatis diketahui oleh KPK.447 “Saya dengar dia menggunakan bendera dari luar daerah Banten untuk bisa mengambil proyek-proyek melalui cara kongkalikong dengan oknum dinas. Terungkapnya jual beli fasilitas di Suka- miskin membuktikan bahwa Tb. Chaeri Wardana masih sering keluar-masuk lapas, dan banyak pejabat-pejabat di Banten yang sering berkunjung ke sana. Bukan hanya sekadar silaturrahmi, tapi juga merka membicarakan soal proyek—dari awal perencanaan dan seterusnya. Dari kamar Lapas Tb. Chaeri Wardana juga diam- bil berkas-berkasnya oleh KPK. Saya yakin ada nama-nama peru- sahaan yang ikut bermain di Banten.”448 Soal penjengukan Tb. Chaeri Wardana oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi Banten yang diduga melan- jutkan bisnis patgulipatnya, merupakan wewenang pihak Kemen- kumham melalui Lapas. Soal terdakwa Tb. Chaeri Wardana yang diduga melakukan itu, kalau di KPK sejauh ada pengaduan dari masyarakat. Progress-nya pun hanya bisa di-update kepada penga- duan tidak bisa diinformasikan kepada publik karena belum berkekuatan hukum tetap (inkracht).449 Peran Tb. Chaeri Wardana sebagai oligark di balik layar dari klan Ratu Atut Chosiyah masih berjalan. Kalaupun kasus jual beli fasilitas mewah di penjara Sukamiskin, Bandung sudah lewat, seiring waktu Tb. Chaeri Wardana diyakini akan kembali berulah. Banten Bersih dan kalangan LSM lainnya meminta Tb. Chaeri Wardana dipindahkan ke Nusakambangan untuk memutus mata

    447Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 448Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 449Wawancara pribadi dengan Febri Diansyah, Juru Bicara Ko- misi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018. Ahmad Munjin 355 rantai praktik-praktik koruptif yang selama ini terjadi di Banten. Dengan cara itu, mereka akan sulit berhubungan dan berkomuni- kasi. Tb. Chaeri Wardana juga akan mengalami kesulitan untuk keluar-masuk Nusakambangan. Menurut pihak KPK, desakan kepada otoritas antikorupsi itu perihal pemindahan Tb. Chaeri Wardana dari Lapas Sukamiskin, di Bandung ke Pulau Nusakam- bangan merupakan kewenangan pihak Lapas, bukan KPK.450 Jika tidak dipindahkan, masalahnya adalah SKPD yang belakangan disebut OPD masih berisi orang-orang yang loyal kepada Ratu Atut Chosiyah dan Tb. Chaeri Wardana.Namun demikian, para kepala dinas di SKPD itu juga tidak akan gegabah berhubungan dengan Tb. Chaeri Wardana. Hanya saja, kalau kasus jual beli fasilitas mewah di Lapas Sukamiskin Bandung sudah mulai terlupakan, mereka diprediksi akan memulai kembali aksi patgulipatnya.451 Di atas semua itu, dengan regenerasi politik yang diikuti dengan intervensi atas putusan hukum terkait pemenang Pilkada dan penguasaan atas proyek-proyek pemerintah daerah, keluarga besar Tubagus Chasan Sochib yang terdefinisikan sebagai oligark mengonfirmasi efek oligarki, yaitu ketimpangan ekonomi dan politik yang ekstrem. Hal ini terbukti dari empat kabupaten dan empat kota di provinsi Banten, hanya Lebak dan kota Tangerang yang belum jatuh ke tangan dinasti Ratu Atut Chosiyah melalui jaringan Golkar yang telah membuat Chaeri Wardana bersikeras dan menyuap Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk memudahkan pemahaman, lihat Bagan 4.4.

    450Wawancara pribadi dengan Febri Diansyah, Juru Bicara Ko- misi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018. 451Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.

    356 Oligarki dan Demokrasi...

    Bagan 4.4. Alur Politico-Business Oligarchy dan Politik Pertahanan Harta Keluarga Tb. Chasan Sochib

    Business as Usual

    Bisnis Berjejaring Tb. Chasan Sochib mendirikan Kekuasaan PT Sinar Ciomas Raya pada 1967

    Ratu Atut Chosiyah

    Uang (Kekuasaan Tubagus Haerul Jaman Material/Wealth Power) Ratu Tatu Chasanah

    Bisnis Jaringan Heryani (Kekuasaan Mobilisasi) Politik Airin Rachmi Diany

    Andika Hazrumy Kekuasaan Eksekutif (Oligark dan Oligarki) Legislatif Hikmat Tomet

    Aden Abdul Khaliq Politico-Business Oligarchy dan Ratna Komalasari Politik Pertahanan PT Sinar Ciomas Wahana Putra; PT Ginding Mas Wahana Nusa; Harta PT Unifikasi Profesional Media Consultant; PT Profesional Ade Rossi Chairunnisa Indonesia Lantera Raga; PT Andika Pradana Utama; PT Pelayaran Sinar Ciomas Pratama; PT Ratu Hotel; PT Putra Perdana Tanto Warsono Arban Konsentrasi Jaya; PT Bali Pacific Pragama; dan PT Buana Wardana Utama. Kekayaan dan Kekuasaan Andiara Aprilia Hikmat

    Sumber: Diolah dari pembahasan subbab E di atas, Politico-Business Oligarchy dan Politik Pertahanan Harta Ahmad Munjin 357

    Bagan 4.4. memberikan benang merah bahwa konsentrasi kekayaan dan kekuasaan yang ekstrem pada keluarga Tb. Chasan Sochib tidak diraih dengan proses yang instan melainkan berakar jauh ke masa-masa awal pemerintahan Orde Baru. Dari pekerjaan biasa (business as usual) bertransformasi menjadi bisnis berjeja- ring kekuasaan melalui Kodam VI Siliwangi, Pemerintah Jawa Barat, dan jaringan Golkar. Dari sinilah, Tb. Chasan Sochib mulai mengakumulasi uang yang menjadi sumber daya kekuasaan mate- rial (wealth power). Uang kemudian ditransformasikan menjadi jaringan bisnis dan politik sehingga menjadi sumber daya kekua- saan mobilisasi. Dengan modal uang dan jaringan, banyak anggota keluarga Sochib yang mendapatkan kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif dengan basis kekuasaan oligarkis. Mereka pun terdefinisikan sebagai politico-business oligarchy, yakni politik dari para oligark yang memiliki unsur-unsur bisnis. Politik perta- hanan harta pun terjadi—politik dimanfaatkan untuk mendapat- kan uang dan uang digunakan untuk menopang kelanggengan politik. Konsentrasi kekayaan dan kekuasaan pun tak terelakkan pada keluarga mereka sehingga terjadi monopoli baik ekonomi ataupun politik.

    4. Faktor Penentu Kemenangan Airin Rachmi Diany dan Andika Hazrumy Pascapenetapan Ratu Atut Chosiyah452 dan Tb. Chaeri Wardana453 sebagai tersangka, kalangan media menganggap hal

    452KPK menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait penanganan sengketa pilkada Lebak. Hal itu disampaikan Ketua KPK Abra- ham Samad dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 17 Desember 2013. Icha Rastika, "KPK Resmi Tetapkan Ratu Atut sebagai Tersangka Kasus Pilkada Lebak," Kompas.com, Selasa, 17 Desember 2013, diakses Senin, 13 Agus- tus 2018, https://nasional. kompas.com/read/2013/12/17/1419516/

    358 Oligarki dan Demokrasi... itu sebagai ujung tanduk kekuasaan klan Ratu Atut Chosiyah.454 Akan tetapi, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Kekuasaan mereka masih langgeng, ditandai dengan terpilihnya Airin Rachmi Diany sebagai wali kota Tangerang Selatan 2016-2021 untuk periode kedua dan Andika Hazrumy, anak Ratu Atut Chosiyah sebagai wakil gubernur Banten periode 2017-2022. Secara umum, faktor utama kemenangan keluarga Tb. Chasan Sochib dalam pemilihan sehingga melanggengkan kekuasaan klan adalah masih besarnya sumber daya logistik dan alokatif yang mereka miliki. Meski sudah dipenjara, sumber daya material455yang dimiliki masih sangat luar biasa besar. Sumber daya kekuasaan berbasis kekayaan dan hak milik tersebut masih menjadi alat ampuh untuk memenangkan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Logistik merupakan salah satu modal utama baik dalam Pilkada ataupun Pileg. Terbukti beberapa kabupaten/ kota masih mereka kuasai, termasuk kota Tangerang Selatan hingga kabupaten Pandeglang.456

    KPK.Resmi.Tetapkan.Ratu.Atut.sebagai.Tersangka.Kasus.Pilkada .Lebak. 453KPK secara resmi menetapkan Ratu Atut Chosiyah dan adiknya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan alat kese- hatan (alkes) di Provinsi Banten tahun 2011-2013 setelah dikelu- arkannya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) pada Senin, 6 Januari 2014. Adinda Ade Mustami, “KPK Tetapkan Atut dan Wawan sebagai Tersangka,” Kontan.co.id, Selasa, 7 Januari 2014, diakses Senin, 13 Agustus 2018, https://nasional.kontan.co.id/ news/kpk-tetapkan-atut-dan-wawan-sebagai-tersangka. 454Asrori S. Karni dan Gandi Achmad, “Ujung Tanduk Dinasti Atut,” Gatra, 16 Oktober 2013, 25-27. Lihat juga Ratna Nuraini, “Pra- hara Mendera Dinasti Abah Chasan,” Inilah Review, 20 Oktober 2013, 36-37. 455Winters, Oligarchy, 18-20. 456Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. Ahmad Munjin 359

    Persoalan langgengnya kekuasaan oligarki dinasti di Banten sudah terlanjur mengakar dan menggurita. Kekuatan mereka sebe- narnya sudah terbangun terlebih dahulu sejak era mendiang Tb. Chasan Sochib. “Sekarang, meraka sedang menikmati hasilnya.”457 Tb. Chasan Sochib memiliki uang yang mumpuni. Pada saat yang sama, dia juga memiliki banyak kader yang menjadi jaringannya, yaitu orang-orang yang hidup atas jasanya. Para pengusaha yang dulu dia kader, sekarang sudah menjadi bos dan memiliki banyak karyawan. Pada saat yang sama, sistem Pilkada berubah dari sis- tem perwakilan menjadi dipilih langsung. Untuk memenangkan Pilkada langsung itu jelas membutuhkan biaya operasional dan jaringan. Keluarga Tb. Chasan Shohib menguasai dua variabel penting itu --uang dan networking.458 Sementara itu, money politics459 dalam pengertian vulgar, mungkin saja ada dalam proses-proses pemilihan. Akan tetapi, hal itu bukan variabel utama dan penting bagi kesuksesan mereka. Dalam konteks uang dan jaringan, klan tersebut belum punya lawan setimpal. Triana Sjam’un datang dengan gagasan dan uang tetapi tidak punya jaringan terbukti dia kalah. Marissa Haque datang membawa gagasan dan jaringan tapi tidak punya uang, juga kalah. Padahal, Marissa, punya jaringan sebagai sosok popu- ler. Dua variabel uang dan jaringan inilah yang dimiliki oleh para anggota keluarga Tb. Chasan Sochib. Akibatnya, secara perlahan oligarki dinasti terbentuk. Tidak ada orang yang bisa mengganti- kan mereka. Sebab, keluarga Chasan Sochib sudah terlanjur established. Lambat laun, mereka juga menancapkan kukunya di

    457Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 458Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 459Christian Chua, “Chinese Big Business in Indonesia: The State of Capital” (Disertasi Doktor, National University of Singapore, 2006), 170-171.

    360 Oligarki dan Demokrasi... beberapa kabupaten/kota di Provinsi Banten. Pola kepemilikan uang dan jaringan sebagai strategi pemenangan pemilu berlaku bagi semua anggota keluarga Tb. Chasan Sochib yang berkecim- pung di arena politik. Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyahmerupakan bagian dari mereka dan menjadi konsultan politik. Fitron melihat bagaimana cara mereka bekerja untuk memenangkan pertarungan.460 Selain dua variabel tersebut, mereka juga bekerja keras untuk memenangkan Pilkada, seperti rapat sampai subuh dan berkeliling menemui konstituen hingga berbagai pelosok. Uang, jaringan, dan kerja keras diperkuat dengan sikap mereka yang juga terlebih dahulu adaptif terhadap ilmu pengetahuan. Mereka menyadari pentingnya aspek ilmu sehingga memiliki survei inter- nal. Pertarungan Pilkada mereka benar-benar didampingi dengan survei. Semua ahli dalam bidang vote getter direkrut.461Keluarga tersebut merekrut semua orang yang memiliki gagasan dan kapasitas. Itulah faktor-faktor yang menjelaskan mengapa Airin Rachmi Diany kembali terpilih menjadi Wali Kota Tangerang Selatan. Padahal, suaminya terjerat hukum dan nama baiknya ter- gerus oleh pemberitaan negatif di media massa. Begitu juga dengan Andika Hazrumy yang terpilih menjadi wakil Gubernur Banten. Padahal, nama baik ibunya Ratu Atut Chosiyah sedang berada di titik nadir karena berada di penjara. Faktor uang, jaringan, kerja keras, dan adaptif terhadap pengetahuan menjadi jawaban kemenangan mereka.462

    460Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 461Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 462Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Ahmad Munjin 361

    Sikap adaptif tersebut juga ditandai dengan keluarga ter- sebut yang terdidik. Di antaranya, Airin Rachmi Diany, seorang ahli ilmu hukum dan kenotariatan. Begitu juga dengan Andika Hazrumy yang sedang dalam penyelesaian program doktor ilmu sosial.463 Pada Sabtu 7 April 2018, bahkan Andika Hazrumy dilan- tik sebagai Ketua Ikatan Alumni Pascasarjana Universitas Pasun- dan (Unpas). Andika yang kini berusia 33 tahun adalah lulusan Program Magister Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik Uni- versitas Pasundan dan sekarang sedang menempuh program doktor Ilmu Sosial di universitas yang sama.464

    a. Faktor Kunci Kemenangan Airin Rachmi Diany di Pilwalkot 2015 Selain alasan umum yang disebutkan di atas, terdapat beberapa faktor spesifik menjadi penopang kemenangan Airin Rachmi Diany dalam pemilihan umum Wali Kota (Pilwalkot) Tangerang Selatan 2015. Pilwalkot dilaksanakan pada 9 Desember 2015 untuk memilih Wali kota dan Wakil Wali kotaTangerang Selatan periode 2016-2021. Pertama yang menjadi salah satu kuncinya adalah keberhasilan dia melepaskan diri dari bayang- bayang suaminya, Tb. Chaeri Wardana dan kakak iparnya, Ratu Atut Chosiyah yang terjerat kasus korupsi. Personal branding Airin berhasil meyakinkan masyarakat pemilih bahwa dia bukan faktor statusnya sebagai istri Tb. Chaeri Wardana (Wawan) dan adik ipar Ratu Atut Chosiyah. Dia didesain sebagai wanita dari

    Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 463Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 464Nimda, “Wakil Gubernur Banten Jadi Ketua Ikatan Alumni Pascasarjana Unpas,” Unpas.ac.id, Selasa, 10 April 2018, diakses Senin, 13 Agustus 2018, http://www.unpas.ac.id/wakil-gubernur-banten-jadi- ketua-ikatan-alumni-pascasarjana-unpas/.

    362 Oligarki dan Demokrasi... keturunan baik-baik. Dalam konteks kasus korupsi yang dilakukan suaminya, Airin justru dikesankan sebagai korban. Airin pun menjelma menjadi sosok ibu yang perlu mendapat simpati dan iba. Sebab, dia tabah di tengah terpaan sentimen negatif yang begitu hebat. Semakin diserang dengan kata kunci oligarki, dinasti, dan korupsi465 oleh lawan politiknya saat itu, semakin menumbuhkan harapan rasa simpatik terhadap Airin. Kedua, pada saat yang sama, Airin bisa menunjukkan kualitas dan kapasitas dirinya. Airin dinilai berhasil dalam me- mimpin kota Tangerang Selatan di periode pertama(2011-2016) karena banyak terobosan-terobosan yang dilakukannya. Oleh kare- na itu, masyarakat Tangerang Selatan sebenarnya rasional. Airin pun pada akhirnya, tidak bisa dikaitkan dengan politik oligarki dinasti secara langsung meskipun suami dan kakak iparnya terjerat kasus korupsi. Jadi, Airin dan Wawan-Atut dikesankan sebagai dua hal yang berbeda.466 Kondisi tersebut kontras dengan Vera Nurlaela dalam Pemilihan Wali Kota Seranguntuk periode 2018-2023. Vera adalah istri Tb. Haerul Jaman, wali kota Serang dua periodeyang merupakan adik Ratu Atut Chosiyah beda ibu. Vera yang berduet dengan Nurhasan dinilai tidak memiliki pengalaman dan tidak punya kapasitas. Masyarakatpun enggan memilihnya sehingga kalah dalam Pilwalkot Serang 2018. Kekalahan Vera memberikan pelajaran, yaitu situasi atau momentum yang bisa menghentikan dinasti atau klan Ratu Atut Chosiyahadalah ketika masyarakat

    465Penantang Airin-Davnie saat itu, salah satunya adalah pasa- ngan calon wali kota TangerangSelatan, IkhsanModjo dan Arsid. Pasa- ngan ini dalam baliho kampanye mereka menuliskan serangan kepada Airin dengan jargon, “Merdeka itu bebas dari korupsi dan oligarki.” Saat itu, suami Airin, Tb. Chaeri Wardana sedang dalam proses hukum di Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK). 466Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. Ahmad Munjin 363 bersikap rasional dan sadar. Kekalahan itu memperlihatkan sikap masyarakat yang mulai kritis terhadap dinasti. Jadi, saat kepe- mimpinan tidak memberikan kontribusi kesejahteraan kepada masyarakat, dinasti atau klan akan mendapatkan sanksi untuk tidak dipilih di pemilihan periode berikutnya.Padahal, berdasarkan hasil survei,tingkat elektabilitas Vera-Nurhasan sangat tinggi. Oleh karena itu, ada peluang untuk menghentikan dominasi ke- kuasaan klan tersebut.467Kekalahan tersebut juga diduga karena kurang harmonisnya hubungan Tb. Haerul Jaman dengan Ratu Atut Chosiyah dan Tb. Chaeri Wardana sehingga tidak banyak mendapatkan akses logistik.468 Ketiga, alasan lain kemenangan Airin adalah faktor pemi- lih bapak-bapak. Airin Rachmi Diany merupakan sosok perem- puan cantik. Alasan ini tampak seperti guyonan. Akan tetapi, faktanya banyak pertimbangan dari bapak-bapak yang melihat faktor geulistersebut. Kecantikan turut menentukan kemenangan. Jadi, secara personality, Airin sangat menarik masyarakat pemilih. Dia cantik, bertutur lemah lembut, dan lebih tenang ketika meng- hadapi berbagai serangan kontestan lain. Hal ini bisa jadi meru- pakan buah dari Airin yang merupakan finalis Puteri Indonesia. Faktor pribadi yang cantik seperti itu terjadi juga di Pilbup Pan- deglang tahun 2015. Irna Nuralita, istri Achmad Dimyati Nataku- sumah, terpilih karena faktor cantik. Pasangan calon (paslon) nomor urut 2 Irna Nuralita-Tanto Warsono Arban yang diusung 9 partai politik (parpol) itu keluar sebagai pemenang Pilkada Kabupaten Pandeglang.469 Faktor perempuan yang cantik menjadi

    467Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 468Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 469Laurens Dami, “Pasangan Irna-Tanto Menangi Pilkada Pan- deglang,” BeritaSatu, Jumat, 18 Desember 2015, diakses Sabtu, 11 Agus-

    364 Oligarki dan Demokrasi... salah satu daya tarik bagi masyarakat pemilih. Bukan hanya di Tangerang Selatan dan Pandeglang, di Luwu Utara juga terpilih karena faktor cantik.470 Indah Putri Indriani, terpilih sebagai bupa- ti Luwu Utara periode 2016-2021.

    b. Faktor Keterpilihan Andika Hazrumy di Pilgub Banten 2017 Pasangan Wahidin Halim-Andika Hazrumy yang diusung oleh tujuh Parpol terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Banten periode 2017-2021. Pasangan tersebut unggul 50,95 per- senatas pasangan Rano Karno-Embay Mulya Syarief.Keunggulan yang hanya terpaut tipis kurang dari satu persen tersebut lebih ditopang oleh faktor pasangannya, Wahidin Halim (gubernur). Hal ini terbukti dengan kemenangan mayoritas dari pasangan tersebut di Kota Tangerang. Penduduk kota Tangerang merupakan yang terbanyak sehingga bisa mengalahkan daerah-daerah lain di Banten. Kekalahan Wahidin Halim di tempat-tempat lain, terkom- pensasioleh kemenangan mutlak di kota Tangerang. Itulah yang kemudian meyelematkan Wahidin Halim-Andika Hazrumy untuk menjadi pemenang. Dari sisi ini, faktor Andika jelas tidak signifi- kan. Jika dibagi kantong-kantong suara, Wahidin di wilayah timur Banten dan Andika di wilayah barat, ternyata hampir semua wilayah di Banten bagian barat mengalami kekalahan. Ini mem- buktikan Andika tidak menang di wilayah barat Banten. Satu- satunya yang menang mutlak ternyata di kantong suara Wahidin, yakni Kota Tangerang.471

    tus 2018, http://www.beritasatu.com/ aktual/333070-pasangan-irnatanto- menangi-pilkada-pandeglang.html. 470Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 471Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Ahmad Munjin 365

    Meski kalah di kantong-kantong suara Andika, taktik dan strategi Tim Pemenangan secara keseluruhan termasuk Parpol, dinilai berhasil. Tim dianggap sukses dalam mendulang suara pe- milih, terutama suara early voters. Pilihan baru biasanya diten- tukan pada detik-detik terakhir. Selain itu, keberhasilan ini juga didukung oleh kepiawaian tim media sosial Wahidin-Andika dalam mensosialisasikan Paslon. Kemenangan dipengaruhi oleh kemampuan tim lapangan dalam menjaga daerah-daerah tradisi partai-partai pendukung Wahidin-Andika di Banten. Kemenangan ini menunjukkan masih kuatnya dukungan politik pada dinasti Ratu Atut Chosiyah. Dia notabene merupakan orang tua dari Andika Hazrumy, sekaligus mantan Gubernur Banten. Suara dapat diraih terutama di daerah-daerah yang dipimpin oleh keluarga dari klan Ratu Atut Chosiyah.472 Semua itu, digenapi oleh kemenangan mutlak di kota Tangerang yang berpenduduk paling banyak di Banten. Di atas semua itu, kemenangan Airin dan Andika menun- jukkan penguasaan atas berbagai sektor logistik (sumber daya kekuasaan material) oleh klan Ratu Atut Chosiyah. Yang bisa direbut, mereka rebut. Klan ini tidak memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk pengelolaan dana-dana Pemda Provinsi Banten. Akibatnya, perkembangan korupsi di Provinsi Banten masih jauh dari menggembirakan. Klan Ratu Atut bahkan dipre- diksibisa berkuasa hingga 80 tahun ke depan. Meski Ratu Atut dan Tb. Chaeri Wardana sudah dipenjara, agenda-agenda dari klan tersebut tetap berjalan. Mereka berkuasa di berbagai macam sektor, baik eksekutif maupun legislatif. Begitu juga dengan penguasaan terhadap organisasi-organisasi bentukan pemerintah

    Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 472Dendy Fachreinsyah, “Pengamat: Ada 3 Faktor yang Buat Wahidin-Andika Unggul,” RRI.co.id, Rabu, 15 Februari 2017, diakses Minggu, 13 Agustus 2018, http://www.rri.co.id/post/berita/361686/ pilkada_serentak/pengamat_ada_3_faktor_yang_buat_wahidinandika_un ggul.html.

    366 Oligarki dan Demokrasi... baik bersifat bisnis ataupun sosial. “Intinya, semua akses mereka kuasai.”473 Jika tidak ada yang coba melakukan perlawanan atau pengungkapan kasus korupsi lain oleh KPK, klan Ratu Atut Chosiyah diprediksi akan mulus hingga 80 tahun ke depan dari generasi ke generasi--mulai dari anak, cucu, kemudian cicit dan seterusnya. Jika anak-anak mereka sudah berumur 17 tahun, bisa jadi mereka bukan hanya memiliki hak untuk memilihtapi juga hak untuk dipilih.474Sekarang, Andika Hazrumy menjadi wakil gubernur; Ade Rossi Chairunnisa menjabat ketua DPRD Provinsi Banten; Andiara Aprilia Hikmat nantinya bisa menjadi Bupati; dan begitu seterusnya termasuk anak-anak, cucu-cucu, hingga cicit-cicit mereka. Kekuasaan dan bisnis mereka yang sudah me- nggurita menjadi daya dukungnya. Tidak ada niat sedikitpun dari mereka untuk melepaskan kekuasaan. Tidak ada niat untuk mem- berikan kesempatan kepada mereka yang baik, memiliki integritas, kapabilitas dan kapasitas untuk memimpin Banten.475Publik ting- gal melihat, apakah Andika Hazrumy akan terpilih kembali di pemilihan mendatang. Begitu juga dengan klan Atut lainnya pada level legislatif (dewan), seperti DPR, DPRD, dan DPD.476 Menghentikan dominasi dinasti ini juga merupakan keinginan kelas menengah perkotaan. Di kalangan kelas mene- ngah, masyarakat kritis dan LSM berkeinginan untuk menghen- tikan dominasi mereka. Hanya saja, keinginan kelas menengah tersebut tidak mendapat dukungan dari kalangan masyarakat

    473Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 474Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 475Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 476Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lemba- ga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. Ahmad Munjin 367 awamyang tidak tahu persoalan dan isu kekuasaan dinasti. Masyarakat awam cenderung pragmatis sehingga faktor oligarki dinasti tidak menjadi perhatian utama mereka—ada perhatian tapi di posisi nomor 2 atau 3 atau bahkan nomor kesekian.Saat Pilgub Provinsi Banten 2017, masyarakat dihadapkan pada dua pilihan: dinasti atau PKI. Masyarakat awam cenderung memilih dinasti. Isu yang merebak saat itu, Rano Karno didukung oleh PKI. “Itu isu yang dikembangkan.”477 Sekarang, dikabarkan hubungan Gubernur-Wagub sedang tidak harmonis. Di satu sisi, hal ini dibaca sebagai akibat dari perlawanan Wahidin Halim terhadap klan Ratu Atut sehingga masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Di lain sisi, Wagub mulai ‘menggoyang’ supremasi gubernur. Pola yang dilakukan oleh Wakil Gubernur Andika Hazrumi ini hampir mirip dengan yang dilakukan ibunya Ratu Atut Chosiyah. Saat menjadi Wagub, Atut menunggu gubernur jatuh sebelum dia kemudian menggantikan- nya sebagai penjabat. Wahidin-Andika pun tinggal menunggu siapa yang jatuh terlebih dahulu. Sebelumnya, KPK pernah berjan- ji akan mengumumkan Cagub-Cawagub yang akan ditetapkan sebagai tersangka. Dalam konteks ini, Andika Hazrumy, Wakil Gubernur Banten juga diduga terlibat dalam praktik korupsi pada zaman ibunya.478Menurut KPK, cagub-cawagub yang terlibat ko- rupsi memang akan diumumkan. Akan tetapi, mereka yang sudah ditetapkan sebagai tersangka sesuai dengan peraturan yang berla- ku.479 Kuncinya sekarang berada di tangan KPK sebagaimana terbongkarnya kasus korupsi Ratu Atut Chosiyah dan Tb. Chaeri

    477Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 478Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 479Wawancara pribadi dengan Febri Diansyah, Juru Bicara Ko- misi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018.

    368 Oligarki dan Demokrasi...

    Wardana. Meski LSM sering membuat laporan kepada KPK, bukti permulaan kadang belum cukup.480Menurut pihak KPK, tim dari otoritas antirasuah itu sudah masuk ke Provinsi Banten untuk melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan tindakan korupsi. Tim serupa memiliki tugas untuk melakukan pembenahan dan perbaikan proses goodgavernancedi sejumlah daerah termasuk di Banten—mulai dari pembenahan sistemhingga lain-lainnya. “Progress-nya sejauh ini, ada beberapa hal yang belum dilakukan dan ada beberapa hal yang sudah dilakukan. Untuk hasilnya, belum bisa kami rilis. Nanti akan kami rinci lebih lanjut di waktu yang terpisah.”481 Masyarakat tetap menunggu momentum saat klan Ratu Atut Chosiyah bisa berakhir. Saat itulah, yang menjadi kepala daerah adalah orang-orang hebat, punya integritas, pendidikan yang memadai, dan kemampuan untuk mengurusi rakyatnya. Bukan berkuasa untuk kepentingan keluarga dan klannya.482 Sementara itu, masyarakat sipil (civil society) menunjukkan kon- disi agak miris. Sebelum pencalonan gubernur dan wakil gubernur 2017, masyarakat sipil bersatu dan bersuara lantang anti-dinasti. Sekarang, suara lantang tersebut mengalami fragmentasi. Wahidin Halimyang dulu anti-dinasti malah bersanding dengan dinasti dan tentu saja membawa gerbong LSM-nya.Masyarakat sipil terkoop- tasi oleh dinasti dan menjadi pihak yang berkuasa. Di lain sisi, masyarakat sipil lainnya terus melakukan perlawanan, seperti Banten Bersih dan Golagong melalui Rumah Dunia. Golagong adalah tokoh sentral di Banten yang paling keras melawan dinasti. Berbagai elemen masyarakat sipil terus menyampaikan perkem-

    480Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 481Wawancara pribadi dengan Febri Diansyah, Juru Bicara Ko- misi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018. 482Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. Ahmad Munjin 369 bangan pengawasan tindakan koruptif ke KPK baik dalam kegia- tan formal ataupun informal.483 Merespons perlawanan dari masyarakat sipil, klan Ratu Atut Chosiyah sekarang dalam posisi bertahan. Mereka tidak melakukan counter attack terhadap masyarakat sipil. Soal jual beli fasilitas mewah di Sukamiskin, mereka tidak melakukan counter- issue. Mereka hanya memantau dan tidak melakukan serangan balik ke elemen masyarakat sipil, seperti LSM. Kondisi ini ber- beda dengan keadaan saat Ratu Atut Chosiyah berkuasa. “Jika saat itu berbicara seperti ini, saya diteror, didatangi jawara bergo- lok. Teman-teman LSM yang kritis dikejar-kejar, seperti Gola- gong diancam mau diserang oleh pendekar-pendekar. Termasuk juga aktivis lainnya, seperti Uday Suhada dari Alipp. Dia punya pengalaman dan banyak data. Mereka menggunakan pola-pola ke- kerasan, termasuk juga isu-isu santet.”484 Di mana-mana, politik oligarki dinasti bisa bertahan manakala mereka bisa meningkatkan kualitas kepemimpinannya. Dia punya kapasitas pribadi dan mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya. Di Amerika Serikat, John Fitzgerald Kenne- dy, presiden ke 35 menjadi contoh. Dia seorang oligark tapi memiliki kualitas yang bagus. Ketika memimpin berhasil mense- jahterakan, masyarakat pun tidak akan protes. Problem oligarki dinasti di Indonesia adalah kekuasaan yang tidak dibarengi dengan kapasitas dan kualitas pribadi serta kemampuan memimpin untuk mensejahterakan masyarakat.485 Pada dinasti atau klan Ratu Atut Chosiyah, baru Airin Rachmi Diany yang dinilai paling mendekati kapasitas dan kuali-

    483Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 484Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 485Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.

    370 Oligarki dan Demokrasi... tas pemimpin. Keberhasilan Airin tersebut juga didukung oleh kecakapan wakilnya, Benjamin Davnie. Dia seorang teknokrat dan mantan kepala Bappeda Kota Tangerang dan merupakan anak didik Wahidin Halim. Davnie mengetahui bagaimana memproses pembangunan. Bisa jadi, di balik kehebatan wali kota terdapat wakil walikota yang hebat. Benjamin Davnie yang lowprofileitu jadi contoh nyata. Keberhasilan pun disematkan kepada Airin. Secara kasat mata, kepemimpinan Airin di Tangerang Selatan diapresiasi. Seorang wali kota perempuan yang kemudian berhasil. Airin dinilai bisa memberikan warna terhadap dinasti politik di Banten sehingga pengaruh klan tidak lagi terlalu negatif untuk dirinya.486 Meski begitu, lokus kekuasaan klan Ratu Atut Chosiyah masih berada di tangan Tb. Chaeri Wardana atas restu Ratu Atut Chosiyah. Pejabat-pejabat Banten tetap akan datang ke Lapas Ratu Atut di Tangerang dan Tb. Chaeri Wardana di Lapas Sukamiskin, Bandung. Ratu Atut-Tb. Chaeri Wardana alias Wawan adalah 11-12.487 Menurut Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah, setelah berhasil mempertahankan dan memenang- kan estafet kekuasaan, satu hal yang penting bagi klan Atut Chosiyah sekarang adalah melakukan reformasi internal (internal- reform). Itulah deklarasi mereka setelah klan ini mendapatkan ‘musibah’, yakni Ratu Atut dan Tb. Chaeri Wardana yang terjerat hukum. Mereka diklaim belajar dari kesalahan yang sudah mereka lakukan. Bahwa mereka mendominasi kekuasaan, itu semacam hukum alam yang berjalan dengan sendirinya. Kepemilikan uang, networking, kerja keras, sikap adaptif terhadap ilmu pengetahuan dan survei mengantarkan mereka pada kekuasaan.

    486Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 487Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. Ahmad Munjin 371

    “...salahnya apa mereka dominan, wong mereka juga kerja keras dan sama-sama melakukan kampanye secara fair. Tapi, kemudian hanya moralitas kepatutan yang seharusnya menghentikan mereka. Tidak patut, kekuasaan di suatu daerah hanya dikuasai oleh satu keluarga. Dan, manusia semua sama. Punya ambisi. Sedangkan ambisi itu jauh lebih panjang umurnya daripada umur manusia itu sendiri, yang tidak hanya dimiliki mereka sebenarnya.488 Fitron menegaskan, demokrasi di Indonesia masih ramah terhadap dominasi kekuasaan oligarkis berbasis sumber daya kekuasaan material atau wealth power. Dengan alasan Hak Asasi Manusia (HAM) sistem politik di Tanah Air hanya membatasi seseorang untuk menjabat dua periode kekuasaan. Akan tetapi, boleh dilanjutkan oleh anggota keluarganya yang lain sehingga memungkinkan terciptanya politik oligarki dinasti, yakni kekua- saan yang dipegang oleh segelintir orang terkaya dan didasarkan pada garis keturunan. Itu tidak ada larangan di Indonesia. Oligarki tumbuh dan berkembang di alam demokrasi yang kondusif. Jika sebelumnya aturan dirancang melarang politik dinasti, sekarang larangan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Akibatnya, demokrasi yang dianut ini sangat ramah terhadap oligarki. Tren ini bukan hanya terjadi di Provinsi Banten. Cara menghentikannya adalah melalui kemampuan politisi lain untuk bisa melakukan pendidikan politik kepada masyarakat dan me- nyadarkannya. Akan tetapi, jika kemudian ternyata para oligark yang justru lebih adaptif dan belajar menjadi pemimpin baik, mereka punya uang, jaringan, kemampuan, jangan heran jika mere- ka dominan. Sebab, pada awalnya, para oligark juga tidak sehebat sekarang. Lama-kelamaan mereka belajar. Adaptif terhadap ilmu pengetahuan, mereka kuliah hingga jenjang S3 (Doktor) seperti yang sebentar lagi bakal diraih oleh Andika Hazrumy. Pemerin-

    488Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017.

    372 Oligarki dan Demokrasi... tahan Airin Rachmi Diany juga dinilai bagus dan dia sendiri merupakan orang yang sangat terdidik.489 Semua itu bersandar pada pilar utama yang menopang langgengnya kekuasaan klan Ratu Atut Chosiyah, yaitu faktor mengguritanya sumber daya kekuasaan material490 yang mereka miliki. Di satu sisi, keluarga mereka bergerak di bidang bisnis sehingga menguasai ekonomi secara monopoli melalui proyek- proyek di Provinsi Banten. Itulah yang membuat mereka mengua- sai sumber daya material. Di lain sisi, kecenderungan masyarakat Banten adalah pragmatis. Terjadilah apa yang disebut simbiosis mutualisme. Para pemilih di Provinsi Banten cenderung tidak melihat siapa calon atau partai pengusungnya tetapi sejauh mana calon tersebut memberikan keuntungan material kepada mereka. Sikap pragmatis tersebut terkonfirmasi saat klan Ratu Atut Chosiyah bukan hanya memenangkan pemilihan melalui satu partai, yakni Golkar tetapi juga terpilih melalui partai lain. Kondi- si ini menunjukkan bahwa keterpilihan calon dari klan Ratu Atut Chosiyah tidak terkait dengan ideologi ataupun partai melainkan karena mereka mampu membeli suara (political buying). Itulah mengapa perilaku political buying491 sangat tinggi di Banten.492

    489Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 490Winters, Oligarchy, 18-20. 491Pedro C. Vicente menyebut political buying dengan istilah vote-buying yang didefinisikan sebagai pemberian atau hadiah yang diberikan kepada para pemilih sebelum pemilihan berlangsung untuk ditukar atau dengan imbalan suara mereka (gifts given to voters before the elections in exchange for their votes). Lihat Pedro C. Vicente, “A Model of Vote-Buying with an Incumbency Advantage,” Makalah dan Hasil-hasil Eksperimen Januari 2013, diakses 3 Juni 2014, http://www. pedrovicente .org/vb.pdf. 492Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Ahmad Munjin 373

    Akan tetapi, jika klan tersebut dinilai kurang berhasil dalam memimpin pemerintahan, terutama masyarakat perkotaan menjadi sadar, rasional, dan cerdas. Masyarakat bisa melakukan resistensi atau penolakan. Hasil pemilihan wali kota Serang yang diumumkan secara resmi pada 5 Juli 2018 menjadi contoh konkrit. Istri Walikota Serang Tubagus Hairul Jaman, Vera Nurlaela, yang juga merupakan adik ipar dari Ratu Atut Chosiyah berduet dengan Nurhasan ternyata tidak terpilih.493 Padahal, partai pengusung lebih banyak dibandingkan pemenangnya. Kekalahan tersebut memberikan pelajaran bahwa kalaupun dengan besarnya sumber daya material,494 mengooptasi semua lini, jika klan gagal me- mimpin daerahnya, masyarakat rasional akan melakukan perlawa- nan. Kalaupun menang, meraka tidak akan unggul mutlak.495 Ada beberapa kasus di tempat lain, di mana besarnya sumber daya kekuasaan material mengalami kekalahan. Makassar sebagai salah satu contoh. Pasangan calon Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi mengalami kekalahan.496 Ironisnya, keka- lahan tersebut melawan kotak kosong. Padahal, Munafri merupa- kan keponakan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sudah memborong mayoritas partai. Kekalahan ini juga menunjukkan perlawanan

    Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 493Rasyid Ridho, “Adik Ipar Ratu Atut Keok di Pilkada Kota Serang 2018,” Okezone News,Kamis 5 Juli 2018, diakses pada Jumat, 10 Agustus 2018, https://news.okezone.com/read/2018/07/05/340/1918355/ adik-ipar-ratu-atut-keok-di-pilkada-kota-serang-2018. 494Winters, Oligarchy, 18-20. 495Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 496Teuku Muhammad Valdy, “Ketika Kotak Kosong Jadi Juara di Makassar,” KumparanNews, Kamis, 28 Juni 2018, diakses Jumat, 10 Agustus 2018, https://kumparan.com/@kumparannews/ketika-kotak- kosong-menang-jadi-juara-di-makassar-27431110790534150.

    374 Oligarki dan Demokrasi... masyarakat terhadap politik hegomoni berbasis kekuasaan mate- rial dari klan Jusuf Kallla dan Aksa Mahmud. Di Banten pun, di wilayah perkotaan, politik dinasti mengalami perlawanan, seperti di kota Serang dan kota Cilegon. Kecuali di wilayah-wilayah kabupaten karena masyarakatnya cenderung permisif terhadap politcal buying. Sebab, penduduk kabupaten masih cenderung miskin. Oleh karena itu, jika politik dinasti tidak diimbangi dengan prestasi, dia akan gagal. “Itu jadi tesis saya. Saya sebenarnya tidak menentang politik di- nasti, selama mereka bersih dan berhasil memimpin. Saya menen- tang politik dinasti ketika dia gagal melakukan tugasnya. Gagal melakukan kepemimpinan yang mensejahterakan. Saya apresiasi Airin, tapi saya tidak mengapresiasi untuk Haerul Jaman. Sebab, dia tidak melakukan pekerjaan atau tugas-tugas wali kota sebagai- mana mestinya. Dia gagal.”497 Dari sisi sumber daya logistiknya, klan Ratu Atut Chosiyah masih sangat kuat. Guyonannya, bahkan tak terbatas (unlimited) sehingga mereka bisa melakukan perluasan kekuasaan (proliferasi) bukan hanya di satu partai (Golkar) melainkan me- nyebar di partai-partai lain, seperti Gerindra, PAN, dan lain-lain. Mereka juga, bukan hanya menguasai jabatan di level DPRD, tapi juga DPR dan DPD. Begitu juga pada level eksekutif, mulai bupati dan walikota hingga wakil gubernur dan gubernur. Mereka luar biasa ekspansif menempatkan orang-orangnya. Dalam pemilihan langsung, tidak bisa dipungkiri siapa yang punya uang dia yang terpilih. Klan Ratu Atut Chosiyah memiliki banyak powerre- sources.498 Terbukti, mereka paling banyak memasang iklan dalam bentuk pamflet, banner, baliho dan spanduk.499

    497Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 498Winters, Oligarchy, 11-20. 499Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Ahmad Munjin 375

    Lili Romli, intelektual asal Serang, Banten termasuk pihak yang kurang optimistis dengan kualitas demokrasi di Banten. Akan tetapi, ada geliat dari kelompok-kelompok kritis di Banten, seperti LSM-LSM dan anak-anak muda yang punya kepedulian tinggi terhadap demokrasi. Begitu juga dengan media masa lokal yang terus melakukan kritik. Atas dasar itu, perkembangan de- mokrasi di Banten diyakini akan tumbuh dan berkembang. Hanya saja, tumbuh-kembangnya memang tidak secepat kilat. Problem- nya sekarang adalah belum ada lawan yang setimpal untuk melawan hegemoni klan Ratu Atut Chosiyah di Banten. Sebelum Pilgub 2017, Wahidin Halim diharapkan melakukan perlawanan terhadap hegemoni. Akan tetapi, dia kemudian justru berkompro- mi dengan dinasti. Meski begitu, bisa juga Wahidin bergabung dalam rangka mencegah hegemoni dinasti politik di Banten meskipun dilakukan secara diam-diam. Dikabarkan, Wahidin Halim-Andika Hazrumi mengalami pecah kongsi di pemerintahan. Hal itu bisa saja menjadi sinyal perlawanan terhadap hegemoni oligarki dinasti. Tidak mau tunduk dan patuh meski dia berpasa- ngan dengan dinasti politik. Jika itu yang terjadi, diharapkan Wahidin konsisten melakukan perlawanannya.500 Secara prosedural, oligarki dinasti tidak bertentangan dengan demokrasi. Hanya kepatutan moralitas dan sikap menahan diri seseorang yang bisa menghentikan kekuasaan mereka. Apala- gi, tren ini bukan hanya terjadi pada keluarga Ratu Atut Chosiyah. Di mana-mana juga sama. Gubernur Sumsel Alex Noerdinjuga dulu menginginkan anaknya untuk melanjutkan kekuasaan.501

    Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 500Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 501Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan

    376 Oligarki dan Demokrasi...

    Posisi wakil gubernur Banten dipegang oleh Andika Hazrumy, anak Ratu Atut Chosiyah. Adik Andika, Andiara Aprilia Hikmat sedang mempersiapkan diri untuk maju pencalonan menjadi ang- gota DPD. Begitu juga dengan menantu dan para anggota keluarga lainnya. Mencalonkan diri sebagai kepala daerah, anggota DPD, DPRD, dan DPR tidak ada yang melarang karena merupakan hak setiap warga negara. Hak setiap orang untuk memilih dan dipilih. Yang menjadi pertanyaan lumrah setiap orang adalah mereka terpilih dengan cara-cara yang kotor, seperti money politics. Mereka juga menggunakan akses di pemerintahan untuk menda- patkan kekuasaan dan kekayaan. Dana-dana hibah masih diguna- kan untuk modal logistik politik, seperti Pileg tahun 2019.502 Secara substansial, kekuatan material yang melakukan political buying jelas mencederai kualitas demokrasi baik dari sisi partisipasi ataupun kontestasi atau kompetisi. Kalau mengguna- kan teori partisipasi503Samuel P.Huntington dan Joan M. Nelson, terdapat dua partisipasi, yaitu pemilih otonom dan pemilih dimobilisasi. Pertama, partisipasi politik otonom, yaitu partisipasi politik yang dilaksanakan tanpa paksaandan berdasarkan kemauan partisipan secara mandiri.Partisipan berpartisipasi secara sukarela tanpa adayang menggerakan atau memaksa. Kedua, partisipasi politik mobilisasi, yaitu partisipasi politik yang digerakan oleh pihak-pihak diluar partisipan. Partisipan melaksanakan partisipa-

    Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. 502Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 503Political participation is activities designed by private citi- zens to influence government decision making (Partisipasi politik adalah kegiatan yang dilakukan oleh pribadi warga negara untuk memengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah). Lihat Amir H. Ahanchian, ulasan tentang No Easy Choice, Political Participation In Developing Countries, oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Western Political Quarterly 31, no. 1 (Maret 1978): 136-7. Ahmad Munjin 377 sinya tidak berdasarkan kemauan danaspirasinya sendiri.504 Dari sisi ini, masyarakat Banten sebagai pemilih jelas tidak otonom melainkan dimobilisasi atau digerakkan melalui uang. Walhasil, partisipasi mereka tidak murni.505 Dari sisi kontestasi dan kompetisi, demokrasi menghen- daki keadilan dan keseimbangan. Di Provinsi Banten, kontestasi tersebut berlangsung tidak seimbang. Dalam banyak kasus, di satu sisi, klan Ratu Atut Chosiyah mencipkan blok dengan dukungan dari banyak partai. Di lain sisi, calon lain diusung oleh sangat sedikit partai. Oleh karena itu, kontestasi itu menjadi tidak berimbang. Tidak imbangnya kontestasi termasuk juga dipicu oleh timpangnya sumber daya kekuasaan material--yang satu mengua- sai sumber daya ekonomi sebesar-besarnya sedangkan yang lain tidak. Itulah yang kemudian membuat demokrasi cacat secara substantif.506 Secara prosedural memang terjadi pemilihan. Akan tetapi, mereka kemudian menghalalkan segala cara. Salah satunya dengan political buying. Apalagi, masyarakat Banten memang permisif dengan money politics. Tidak malu-malu lagi mengafirmasi de- ngan mengatakan ya saat menjawab pertanyaan apakah Anda akan memilih kandidat yang memberi uang. Di Banten, berdasarkan survei-survei, jumlah masyarakat pemilih yang sangat permisif dengan politik uang mencapai 65%. Hal ini ditunjukkan juga oleh disertasi Burhanuddin Muhtadi. Sikap permisif itu memang wajar

    504Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 7-10. 505Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. 506Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018.

    378 Oligarki dan Demokrasi... karena mayoritas masyarakat Banten masih miskin.507 Tingginya tingkat kemiskinan menguntungkan klan Ratu Atut Chosiyah dengan menguritanya profil sumber daya kekuasaan material yang dimilikinya. Bisa jadi, kemiskinan di provinsi ujung barat pulau Jawa itu dibiarkan tinggi demi kelanggengan kekuasaan dinasti atau klan tersebut. Pembahasan bab IV di atas menunjukkan secara hampir sempurna beroperasinya teori oligarki Jeffrey A. Winters seperti yang sudah dibahas pada bab II. Pertama, oligarki terbentuk saat adanya ketidaksetaraan materi yang ekstrem (stratifikasi mate- rial). Semua data menunjukkan ketimpangan tersebut, seperti Gini Coefisien Ratio; PDRB atas dasar harga berlaku menurut kabupaten/kota di provinsi Banten (triliun rupiah) tahun 2012- 2016; PDRB tanpa komponen industri atas dasar harga berlaku menurut kabupaten/kota di provinsi banten (triliun rupiah) tahun 2012-2016; Pengeluaran per kapita yang disesuaikan menurut kabupaten/kota di provinsi Banten (juta rupiah/tahun), 2013-2016; PDRB per kapita (juta rupiah) di provinsi Banten tahun 2016; dan jumlah penduduk miskin menurut kabupaten/kota di provinsi Banten (ribu orang) sejak 2013 hingga 2016.Stratifikasi material yang paling ekstrem terjadi antara Banten wilayah utara terutama kabupaten Tangerang dan kota Tangerang dan wilayah selatan, kabupaten Lebak dan kabupaten Pandeglang. Kedua, ketidaksetaraan material menciptakan para oligark dan sistem oligarkis. Para anggota keluarga Tb. Chasan Sochib terkonfirmasi sebagai para oligark di Banten. Keluarga ini menca- pai kadar oligarki yang dibuktikan dengan indeks kekuasaan mate- rial sebesar 6.355 kali. Para oligark tentu bukan hanya pada keluarga tersebut di Banten. Dalam penelitian ini, klan Ratu Atut Chosiyah hanya merupakan salah satu sampel. Mereka terbukti menciptkan sistem pemerintahan oligarkis karena sumber daya

    507Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lem- baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. Ahmad Munjin 379 kekuasaan mereka ditopang oleh wealth power yang sudah terba- ngun sejak awal-awal pemerintahan rezim Orde Baru. Ketiga, mereka juga terkonfirmasi sebagai politico busi- ness oligarchy dan menjalankan politik pertahanan harta. Setelah perusahaan Tb. Chasan Sochib memiliki jaringan dengan kekuasa- an pada era Orde Baru, proyek pun melimpah sehingga menjadi mesin uang. Uang tersebut digunakan untuk membangun jaringan baik bisnis ataupun politik. Tibanya era reformasi, dengan modal uang dan jaringan, memberikan ruang bagi para anggota keluarga Tb. Chasan Sochib untuk berkuasa melalui jalur demokratis. Di sinilah terjadi politik pertahanan harta. Melalui kekuasaan mereka mendapatkan proyek-proyek perusahaan mereka, dan uang yang dihasilkan digunakan untuk mobilisasi politik. Begitu juga seba- liknya. Tak tanggung-tanggung, mereka juga mengintervensi hu- kum. Terjadilah apa yang disebut rezim pertahanan harta. Sebab, motif kekuasaan oligarkis adalah kekayaan yang didasarkan pada penegakan klaim terhadap hak milik. Keempat, kasus Banten membuktikan efek oligarki, yaitu ketidaksetaraan materi yang ekstrem menciptakan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula. Indeks kekuasaan material sebesar 6.355 kali yang menunjukkan ketimpangan tajam dibandingkan masyarkat biasa telah memicu dominasi kekuasaan politik mereka. Dari empat kabupaten dan empat kota di provinsi Banten, hanya Kabupaten Lebak dan kota Tangerang yang belum jatuh ke tangan dinasti Ratu Atut Chosiyah. []

    380 Oligarki dan Demokrasi...

    Ahmad Munjin 381

    Bab V PENUTUP

    Berdasarkan uraian dan analisis pada bab-bab sebelumnya, peneliti mengemukakan kesimpulan, refleksi, implikasi, dan reko- mendasi dari hasil penelitian ini sebagai berikut:

    A. Kesimpulan Hasil temuan dalam penelitian ini menyimpulkan tentang besarnya dominasi kekuasaan material yang menjadi basis sumber daya kekuasaan oligarkisdalam sistem demokrasi di Banten. Kesimpulan tersebut ditarik dari temuan-temuan berikut ini: Pertama, dengan melihat profil sumber daya kekuasaan, di satu sisi, kiai mendominasi sumber daya kekuasaan elite yang menjadi basis kekuasaan demokratis, seperti kekuasaan mobilisasi, hak politik formal, dan jabatan resmi. Akan tetapi, profil kiai lemah dari sisi kekuasaan material sejak era kolonial hingga era reformasi. Meski kiai secara kelembagaan (pondok pesantren) mendominasi kekuasaan material hingga 86%, tidak bisa diklaim sebagai kekuasaan seorang kiai pada level individu.Di lain sisi, profil kekuasaan jawara mendominasi kekuasaan material, koersif, dan mobilisasi. Kekuasaan seorang jawara direpresentasikan oleh kepengusahaan jawara dan jaringan bisnisnya. Kondisi itu membu- at kekayaan terkonsentrasi pada mereka hingga mencapai indeks kekuasaan material 6.355 kali dibandingkan masyarakat biasa. Adapun kekuasaan koersif dimiliki oleh sifat kejawaraannya yang melekat unsur kekerasan ataupun pemaksaan baik secara langsung ataupun tidak langsung (simbolik). Dari sisi kekuasaan mobilisasi baik kiai ataupun jawara, keduanya sama-sama besar. Kekuasaan mobilisasi kiai direpresentasikan oleh wewenang kharismatiknya sebagai pemimpin agama yang sakral dan jaringan ribuan pesan- tren di Banten. Sedangkan kekuasaan mobilisasi jawara direpre- sentasikan oleh otoritas tradisionalnya sebagai pemimpin dariga-

    382 Oligarki dan Demokrasi... ma yang profan dan jaringan bisnisnya yang ekspansif. Sementara itu, dari sisi hak politik formal yang menganut prinisp one person one vote, baik kiai maupun jawara sama-sama memilikinya. Se- bab, sumber daya kekuasaan ini adalah paling merata bagi setiap orang. Kedua, dominasi sumber daya material oleh keluarga besar Tb. Chasan Sochib menjadi senjata ampuh dalam menciptakan sistem kekuasaan oligarkis di Banten. Kekuasaan material mereka dibuktikan denganIndeks Kekuasaan Material/Material Power Index (MPI) yang secara individu ditunjukkan sebagai berikut: Ratu Atut Chosiyah merupakan pemegang sumber daya kekuasaan material terbesar di keluarga tersebut dengan MPI di level 5.943 kali (2006), 4.146 kali (2011), dan 3.487 kali (2002). Rangking kedua ditempati oleh Airin Rachmi Diany dengan MPI 4.421 kali (2010), 2.489 kali (2009), dan 2.314 (2015). Rangking ketiga disandang oleh Heryani dengan MPI 3.505 kali (2010) dan 1.550 kali (2015). Hikmat Tomet menempati posisi keempat 2.489 kali (2009). Di posisi kelima, Andika Hazrumy 2.372 kali (2009) dan 539,51 (2015). Ampuhnya kekuasaan material dalam memenang- kan kekuasaan karena sumber daya tersebut berhasil mengooptasi sumber daya-sumber daya kekuasaan lain seperti besarnya kekua- saan mobilisasi yang dimiliki para kiai. Kondisi ini diperkuat oleh profil pemilih yang bersikap pragmatis.Kekuasaan material yang disandang para jawara berbuah tingginya akumulasi suara dalam pemilihan. Semua itu terjadi dalam konteks Provinsi Banten yang memenuhi syarat terciptanya sistem pemerintahan oligarkis, yaitu tajamnya ketimpangan ekonomi. Walhasil, dari empat kabupaten dan empat kota di provinsi Banten, hanya Lebak dan kota Tange- rang yang belum jatuh ke tangan dinasti Ratu Atut Chosiyah. Ketidaksetaraan materi yang ekstrem memicu ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula.

    B. Refleksi, Implikasi, dan Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian ini, refleksi, implikasi, dan rekomendasi yang dapat diberikan sebagai berikut: Ahmad Munjin 383

    Penemuan dari penelitian ini mendukung pandangan bahwa money is power sehingga semakin kaya semakin berkuasa. Implikasinya, para oligark yang mendominasi sumber daya kekua- saan material berpeluang lebih besar memenangkan kontestasi politik dalam demokrasi yang menggunakan prinsipone person one vote. Akibatnya, dalam konteks Banten, para kiai yang memiliki sumber daya kekuasaan mobilisasi yang besar dimanfaatkan oleh para jawara yang menguasai besarnya sumber daya kekuasaan material untuk memenangkan suara dalam pemilu.Padahal, jawara pada mulanya merupakan pelayan kiai. “Pelayan” bukan hanya dalam pengertian tekstual atau leterlek (letterlijk), tapi juga dalam pengertian menjalankan dan memperjuangkan nilai-nilai kebena- ran, kebaikan, dan kebajikan yang diajarkan oleh kiai, seperti tolong menolong, amanah, akuntabel, kapabel, kredibel, dan trans- paran. Kekuasaan jenis inilah yang mengurangi kualitas partisi- pasi sehingga memicu apa yang disebut sebagai defisit demokrasi. Sebab, demokrasi menghendaki adanya kompetisi dan kontestasi yang seimbang, selain terlibatnya partisipasi seluruh masyarakat. Demokrasi juga membutuhkan partisipasi yang otonom (autono- mous participation) bukan partisipasi yang dimobilisasi (mobilised participation) oleh uang seperti political buying, vote-buying, atau money politics dari pihak yang memilik profil sumber daya kekua- saan wealth power. Partisipasi politik yang dimobilisasi oleh uang merupakan cacat demokrasi yang nyata. Masalahnya, kebanyakan masyarakat Banten masih dalam kategori miskin sehingga permisif terhadap jual beli suara. Hanya wilayah-wilayah perkotaan yang relatif kaya sehingga lebih rasio- nal dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di wilayah kabupaten. Kemiskinan yang melahirkan sikap permisif tersebut otomatis sangat menguntungkan bagi para oligark dengan sumber daya kekuasaan materialnya (wealth power) yang besar dalam memenangkan tampuk kekuasaan. Celakanya, jika para oligark dengan segaja dan sadar membiarkan atau bahkan mengelola kemiskinan tersebut demi kelanggengan kekuasaan mereka. Alih-

    384 Oligarki dan Demokrasi... alih demokrasi bisa mendekatkan jurang pemisah antara “si miskin” dan “si kaya”, justru ketimpangan semakin menjadi-jadi akibat berkuasanya para oligark melalui jalur dan prosedur demo- kratis. Dalam kasus Banten, klan Ratu Atut Chosiyah bahkan diprediksi banyak pihak bisa berkuasa hingga 80 tahun ke depan. Itu bukanlah suatu hal yang mustahil jika anak, cucu, dan cicit terus merebut kekuasaan dengan dalih hak untuk memilih dan hak untuk dipilih. Namun demikian, harapan muncul dari kelas mene- ngah perkotaan yang kritis terhadap dominasi kekuasaan oligarkis. Jika para oligark dari dinasti Banten gagal memimpin, mereka akan mendapat hukuman dari para pemilih kritis di perkotaan untuk tidak dipilih pada periode berikutnya sehingga kelangge- ngan kekuasaan dinasti oligarkis bisa tersendat. Kondisi itu menunjukkan oligarki dan demokrasi memiliki hubungan yang kontradiktif tapi menyatu. Oleh karena itu, jika provinsi Banten ingin benar-benar demokratis baik secara politik maupun ekonomi, peneliti merekomendasikan peran sentral para kiai sebagai representasi masyarakat sipil (civil society). Para kiai harus menolak semua sikap kooptasi dari kelompok lain yang me- miliki dominasi atas sumber daya kekuasaan material. Apalagi, kiai hanya dijadikan ‘penghias atau janur kuning’ saat pesta demo- krasi tapi ditinggalkan setelah penguasa terpilih. Para kiai dengan sumber daya kekuasaan mobilisasinya yang besar harus bersatu dalam memilih pemimpin yang jujur dan akuntabel bukan pemim- pin yang semata berorientasi material sebagaimana terjadi pada para oligark. Untuk penelitian selanjutnya, penulis merekomendasikan penelitian kuantitatif yang mengonfirmasi hubungan antara sum- ber daya kekuasaan baik oligarki maupun elite dengan tingkat keterpilihan calon dalam Pilkada di Banten. Penilitian tersebut akan memberikan kontribusi penting bagi perkembangan demo- krasi di Banten pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. []

    Ahmad Munjin 385

    DAFTAR PUSTAKA

    Al-Qur’a>n al-Kari>m Abdillah, Masykuri. Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011. ------. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2004. Acton, Lord (John Emerich Edward Dalberg-Acton). Essays on Freedom and Power. Boston, Mass.: The Beacon Press, 1949. Agustino, Leo. “Dinasti Politik Pascaotonomi Orde Baru: Penga- laman Banten.” Prisma: Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi29, no. 3 (Juli 2010): 102-16. Ahbel-Rappe, Sara dan Rachana Kamtekar, eds. A Companion to Socrates. Malden, MA, Oxford, dan Victoria: Blackwell Publishing Ltd., 2006. Ahmad, Abdul Aziz. “Catatan Pembubaran HTI: Kanan, Kiri, dan Oligarki.” Gatra, 17 Mei 2017. Ahanchian, Amir H. Ulasan tentang No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries.Ditulis oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson.Western Political Quarterly 31, no. 1 (Maret 1978): 136-7. Anonim. “Cerita tentang Hotel Bintang Empat Milik Keluarga Atut di Banten.” Detik.com, Senin 14 Oktober 2013, diakses tanggal 31 Juli 2018 dari https://news.detik.com/ berita/2385794/cerita-tentang-hotel-bintang-empat-milik- keluarga-atut-di-banten. Antons, Anton Aprianto, Handriani P, Maya Nawangwulan, dan Subkhan. “Klan Chasan Diduga Punya Harta Seperempat Triliun.” Tempo.co. Dirilis pada Senin, 4 November 2013. Diakses pada Rabu, 24 Agustus 2016. http://haji.tempo.co

    386 Oligarki dan Demokrasi...

    /konten_berita/politik/2013/11/04/52 6970/Klan-Chasan- Diduga-Punya-Harta-Ratusan-Miliar. “Airin, Adik Ipar Gubernur Banten Kalah di Pilkada Tangerang.” Radar Banten, Senin, 21 Januari 2008. Argyres, Nicholas dan Vai-Lam Mui, “Rules of Engagement, Informal Leaders, and the Political Economy of Organi- zational Dissent,” makalah disampaikan pada pertemuan tahunan the Strategic Management Society, the Society for the Advancement of Behavioral Economics, the Western Economic Association, the International Society for New Institutional Economics, and the Informs College on Organization Science, Juli 2000, 22. Ariyadi, Tb. Iman. “Kiai dan Jawara dalam Politik Banten.” Gatra, 6 November 2013. ------. “Peran Kiai dalam Pemilihan Gubernur Provinsi Banten 2011.” Disertasi doktor Unitversitas Indonesia, 2014. Artis. “Eksistensi Partai Politik dan Pemilu Langsung dalam Konteks Demokrasi di Indonesia.” Jurnal Sosial Budaya 9, no. 1 (Januari-Juli 2012): 59-80. Artati, Sudiarti. “Perubahan Peran Ulama dalam Masyarakat Serang: Studi Kasus Dua Pesantren di Kabupaten Serang, Banten, Jawa Barat.” Tesis Magister Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988. Aspinal, Edward. “The Power of Property: Oligarchy and Democracy in World History,” ulasan tentang Oligarchy, Jeffrey A. Winters, Taiwan Journal of Democracy 8, no. 1 (Juli 2012): 169-173. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten. “Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Banten 2016.” Berita Resmi Statistik Provinsi Banten, no. 54/09/36/Th.XI, 14 September 2017. Bagian Perencanaan dan Data Setditjen Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia. “Daftar Jumlah Santri dan Nama Kyai Tahun 2008/2009 Provinsi Banten.” Ahmad Munjin 387

    Bakti, Andi M. Faisal. “Islam and Nation Formation in Indone- sia.” Tesis Master of Arts (M.A.), the Faculty of Graduate Studies and Research, Institute of Islamic Studies, McGill University, 1993. Bellamy, Richard. “Vilfredo Pareto 1848-1923.” Dalam The Routledge Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers, diedit oleh Robert Benewick dan Philip Green, 197-8. London dan New York: Routledge, 1998. ------. “Gaetano Mosca 1858-1941.” Dalam The Routledge Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers, diedit oleh Robert Benewick dan Philip Green, 182-3. London dan New York: Routledge, 1998. Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten. Provinsi Banten dalam Angka 2017. Serang: BPS Provinsi Banten, 2017. Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten. Provinsi Banten dalam Angka 2016. Serang: BPS Provinsi Banten, 2016. Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Serang Menurut Lapangan Usaha 2012. Serang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang, 2013. Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Serang Menurut Lapangan Usaha 2010-2014. Serang: BPS Kabupaten Serang, 2015. Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Buku Saku PDRB Provinsi Banten, Kabupatan/Kota se-Banten, Provinsi se- Jawa dan PDB Indonesia 2008-2009. Serang: BPS Provinsi Banten, 2010. Blomley, Nicholas. “Law, Property, and the Geography of Violence: The Frontier, the Survey, and the Grid.” Annals of the Association of American Geographers 93, no. 1 (Maret 2003): 121-141. Bogaards, Matthijs. Ulasantentang Oligarchy, JeffreyA. Winters, Acta Politica 47, no. 3 (2012): 324–26.

    388 Oligarki dan Demokrasi...

    Budiardjo, Miriam, Soelaeman Soemardi, Benedict R.O.G. Ander- son, Koentjaraningrat, Soemarsaid Moertono, dan A. Rahman Zainuddin.Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991. Bukha>ri>, Al-Ima>m Abi> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>‘i>l ibn Ibra>hi>m ibn al-Mughi>rah al-Ju‘fi> al-. S}ah}i>h} al-Ima>m al- Bukha>ri> (Al-Ja>mi‘ al-S}ah}i>h}), Jilid VIII. Beirut: Da>r T{awq al-Naja>h, 1422 H. Cohen, G. A. Self-Ownership, Freedom, and Equality. Cambridge: Cambridge University Press, 1995. Chamdani, Rohmad. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tangerang Menurut Lapangan Usaha 2012-2016. Tangerang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang, 2017. Chua, Christian. “Chinese Big Business in Indonesia: The State of Capital.” Disertasi Doktor, National University of Singapore, 2006. Cooper, John M. dan D. S. Hutchinson, eds. Plato: Complete Works. Indianapolis dan Cambridge: Hackett Publishing Company, 1997. “Dynasty.” Entri dalam Cambridge Advanced Learner’s Dictio- nary. Cambridge: Cambridge University Press, 2003. Dami, Laurens. “Inilah Sepak Terjang Adik Atut dalam Memono- poli Proyek di Banten.” Suara Pembaruan, Sabtu, 19 Oktober 2013. Diakses Senin, 13 Agustus 2018. http://sp.beritasatu.com/home/inilah-sepak-terjang-adik- atut-dalam-memonopoli-proyek-di-banten/43653. ------. “Pasangan Irna-Tanto Menangi Pilkada Pandeglang.” BeritaSatu, Jumat, 18 Desember 2015. Diakses Sabtu, 11 Agustus 2018, http://www.beritasatu.com/ aktual/333070- pasangan-irnatanto-menangi-pilkada-pandeglang.html. Dahl, RobertA. Dilemas of Pluralist Democracy: Autonomy vs. Control. New Haven and London: Yale University Press, 1982. Ahmad Munjin 389

    Darmadi, Dadi. “The Geger Banten of 1888: An Anthropological Perspective of 19th Century Millenarianism in Indonesia.” Heritage of Nusantara: International Journal of Religious Literature and Heritage 4, no. 1 (Juni 2015): 65-84. Dasuki, Hafidzh, et al., Alquran dan Tafsirnya, Jilid III. Yogya- karta: Universitas Islam Indonesia, 1995. Dhofier, Zamarkhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Panda- ngan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES, 1985. Dimyati, Murtadho. Manakib Abuya Cidahu dalam Pesona Lang- kah di Dua Alam. Pandeglang: Tanpa Nama Penerbit, 2008. Djuwaeli, Irsjad. Membawa Mathla‘ul Anwar ke Abad XXI . Jakarta: Pengurus Besar Mathla‘ul Anwar, 1997. Doneson, Daniel Adam. “The Contest of Regimes and the Problem of Justice: Political Lessons from Aristotle's Politics.” Disertasi Ph.D the University of Chicago, 2006. Drucker, Peter F. A Functioning Society: Selections from Sixty- Five Years of Writing on Community, Society, and Polity. New Brunswick dan London: Transaction Publishers, 2003. Fachreinsyah, Dendy. “Pengamat: Ada 3 Faktor yang Buat Wahidin-Andika Unggul.” RRI.co.id, Rabu, 15 Februari 2017. Diakses Minggu, 13 Agustus 2018.http://www.rri. co.id/post/berita/361686/pilkada_serentak/pengamat ada_3 faktor_yang_buat_wahidinandika_unggul.html. Faeth, Margaret Ann. “Power, Authority and Influence: A Com- parative Study of the Behavioral Influence Tactics Used by Lay and Ordained Leaders in the Episcopal Church.” Disertasi PhD Virginia Polytechnic Institute and State University, 2004. Fatah, Eep Saefulloh. Zaman Kesempatan: Agenda-agenda Besar Demokratisasi Pasca-Orde Baru. Bandung: Penerbit Mizan, 2000. Femia, Joseph V. Pareto and Political Theory. London dan New York: Routledge, 2006.

    390 Oligarki dan Demokrasi...

    Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Jakarta dan Kuala Lumpur: Equinox Publis- hing, 2007. Flick, Uwe, Ernst von Kardorff, dan Ines Steinke, eds. A Compa- nion to Qualitative Research. London: Sage Publications, 2004. Ford, Michele dan Thomas B. Pepinsky, eds. Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics. Ithaca, New York: Cornell University Press, 2014. Friedrich, Carl Joachim. “Oligarchy.” Dalam Encylopaedia of the Social Sciences, volume XI-XII, ed. Edwin R.A. Seligman, 462-64. New York: The Macmillan Company, 1937. Fukuoka, Yuki. “Oligarchy and Democracy in Post-Suharto Indonesia.” Political Studies Review 11 ( 2013): 52-64. Gelzer, Matthias. The Roman Nobility. Diterjemahkan oleh Robin Seager. Oxford: Basil Blackwell, 1969. Giddens, Anthony. A Contemporary Critique of Historical Materialism: Power, Property, and the State. Berkeley dan Los Angeles: University of California Press, 1981. Giglioli, M.F.N. Ulasan tentang Oligarchy, Jeffrey A. Winters, Constellations 19, no. 4 (Desember 2012): 624-26. Gobee, E., Sumitro dan Ranneft. “The Bantam Report.” Dalam The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia: Key Documents, diedit oleh Harry J. Benda dan Ruth T. McVey. Ithaca: Cornell University, 1960. Guillot, Claude. Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, diterjemahkan oleh Hendra Setiawan dkk. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, École Française d’Extrê- me-Orient, Forum Jakarta-Paris, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, 2008. ------, “Urban Patterns and Polities in Malay Trading Cities, Fifteenth through Seventeenth Centuries.” Indonesia 80 (Oktober 2005): 39-51. Ahmad Munjin 391

    Hadiz, Vedi R. dan Richard Robison. “The Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power.” Indonesia, no. 96 (Oktober 2013): 35-57. Hamid, Abdul. “The Kiai in Banten: Shifting Roles in Changing Times.” Dalam Islam in Contention: Rethingking Islam and State in Indonesia, diedit oleh Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, dan Ahmad Suaedy, 421-43. Jakarta: Wahid Institute, Kyoto: Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Taiwan: Center for Asia-Pacific Area Studies (CAPAS), 2010. Hanan, Djayadi. Ulasan tentang Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics. Diedit oleh Michele Ford dan Thomas B. Pepinsky.Contemporary Southeast Asia 36, no. 3 (2014): 489–92. H{anbal, Al-Ima>m al-H{a>fiz} Abi> ‘Abdilla>h Ah{mad ibn. Musnad al- Ima>m al-H{a>fiz} Abi> ‘Abdilla>h Ah}mad ibn H{anbal. Riyad: Bait al-Afka>r al-Dawli>yah li al-Nashr wa al-Tawzi>‘, 1998. Harriss-White, Barbara. India Working: Essays on Society and Economy [Series of Contemporary South Asia 8]. Cambridge: Cambridge University Press, 2003. Hidayat, Syarif. “Pilkada, Money Politics and the Dangers of “Informal Governance” Practices.” Dalam Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), diedit oleh Maribeth Erb dan Priyam- budi Sulistiyanto, 125-46. Singapura: Institute of Sout- heast Asian Studies, 2009. Hidayat, Bagja, Maria Hasugian, dan Reza Aditya. “Antara Boston, Singapura, dan Kuningan.” Tempo, 27 Oktober 2013. ------, “Shadow State? Business and Politics in the Province of Banten.” Dalam Renegotiating Boundaries: Local Politics in post-Suharto Indonesia, diedit oleh Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, 203-24. Leiden: KITLV Press, 2007.

    392 Oligarki dan Demokrasi...

    Hox, Joop J. dan Hennie R. Boeije, “Data Collection, Primary vs. Secondary.” Dalam Encyclopedia of Social Measurement, Volume I, ed. Kimberly Kemp-Leonard. Tanpa Tempat Terbit: Elsevier Inc., 2005. Hudaeri, Mohamad. “Tasbih dan Golok: Studi tentang Kharisma Kiai dan Jawara di Banten.” Laporan Penelitian Departe- men Agama, 2007. Huntington, Samuel P. dan Joan M. Nelson. No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Cambrid- ge: Harvard University Press, 1976. Ichsan, A. Syalaby. “Selain Atut, Puluhan Daerah Jalankan Politik Dinasti,” Republika, 18 Oktober 2013, diakses 19 Oktober 2013, http://www.republika.co.id/ berita/nasional/hukum/ 13/10/19/muvdp8-selain-atut-puluhan-daerah-jalankan- politik-dinasti. Indikator Politik Indonesia, “Sikap dan Perilaku Pemilih terhadap Politik Uang.” Survei Dapil September-Oktober 2013 dan Survei Nasional Maret 2013. Irfani, Fahmi. Jawara Banten: Sebuah Kajian Sosial, Politik, dan Budaya. Jakarta: Young Progressive Muslim (YPM) Press, 2011. Irwin, Sarah dan Mandy Winterston. “Debates in Qualitative Secondary Analysis: Critical Reflections.” Timescapes Working Paper Series: an Economic and Social Research Council (ESRC) Qualitative Longitudinal Study, no. 4 (2011): 1-23. Ja>ru>d, Sulayma>n ibn Da>wud ibn al-. Musnad ’Abi> Da>wud al- T{aya>lisi>. Da>r Hijr: Hijr li al-T{aba>‘ah wa al-Nashr wa al- Tawzi>‘ wa al-I‘la>n, 1999. “Jazuli-Airin Resmi Gugat Pilkada Tangerang,” Okezone, Selasa, 29 Januari 2008, artikel diakses tanggal 31 Mei 2014 dari http://news.okezone.com/read/2008/ 01/29/1/79230/jazuli- airin-resmi-gugat-pilkada-tangerang. Jurnaliston, Reza. "Kasus TPPU Wawan, KPK Periksa Kepala DPKAD Banten." Kompas.com, Senin, 23 Juli 2018. Ahmad Munjin 393

    Diakses Minggu, 12 Agustus 2018. https://nasional. kompas.com/read/2018/07/23/10255771/kasus-tppu- wawan-kpk-periksa-kepala-dpkad-banten. Karni, Asrori S. dan Gandi Achmad. “Ujung Tanduk Dinasti Atut.” Gatra, 16 Oktober 2013. ------. “Keluarga Pemain Anggaran Banten.” Gatra, 23 Oktober 2013. Kartodirdjo, Sartono. The Peasants Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia. Dordrecht: Springer Science+ Business Media Dordrecht, 1966. ------. Modern Indonesia, Tradition & Transformation: A Socio- Historical Perspective. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984. Kaya>li, ‘Abd al-Waha>b al-. Mawsu>‘ah al-Siya>sah (Beirut: al- Muassasah al-‘Arabi>yah li al-Dira>sa>t wa al-Nashr, 1985. Keane, John. “Noberto Bobbio 1909-n/a.” Dalam The Routledge Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers, diedit oleh Robert Benewick dan Philip Green 27-9. London dan New York: Routledge, 1998. Kellermann, Michael. “Power Resources Theory and Inequality in the Canadian Provinces.” Makalah dipresentasikan pada the Harvard Comparative Political Economy Workshop, Cambridge, MA., 7-8 Oktober 2005. Keputusan Presiden Republik IndonesiaNomor 18 Tahun 2000 tentangPedoman Pelaksanaan PengadaanBarang/Jasa Instansi Pemerintah Khaldu>n, ‘Abd al-Rah{ma>n ibn. Muqaddimah ibn Khaldu>n. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>>yyah, 1993. Khalik, Abu Tholib. “Pemimpin non-Muslim dalam Perspektif Ibn Taimiyah.” Analisis: Jurnal Studi Keislaman, 14, no. 1 (Juni 2014): 59-89. Khan, Shamus Rahman. “The Sociology of Elites.” The Annual Review of Sociology no. 38 (Mei 2012):361–77.

    394 Oligarki dan Demokrasi...

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Ratu Atut Chosiyah.” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 7/2-2003 no. 11. ------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Ratu Atut Chosiyah: Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 20 September 2011 no. 75. ------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Ratu Atut Chosiyah: Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 8 Agustus 2014, no. 63. ------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Tubagus Haerul Jaman: Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 15 April 2014, no. 30. ------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Ratu Tatu Chasanah: Perubahan atas Laporan Harta Keka- yaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 15 April 2016, no. 30. ------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Heryani.” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 12 Februari 2013, no 13. ------. Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Airin Rachmi Diany.” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 24 April 2012, no. 33. ------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Airin Rachmi Diany: Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tamba- han Berita Negara R.I. Tanggal 15 April 2016, no. 30. ------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Hikmat Tomet.” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 2 Juli 2010, no 53. ------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Andika Hazrumy.” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 26 Maret 2010, no. 25. Ahmad Munjin 395

    ------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Andika Hazrumy: Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tamba- han Berita Negara R.I. Tanggal 1 November 2016, no. 87. ------. “Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Calon Kepala Daerah.” Surat yang ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten sebagai penyelenggara Pilkada Serentak Tahun 2017, Nomor B-9476/10-12/11/ 2016, tanggal 16 November 2016. ------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Aden Abdul Khaliq.” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 6 Maret 2015, no. 19. ------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Tanto Warsono Arban.” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 12 April 2016, no. 29. ------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Andiara Aprilia Hikmat.” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 5 April 2016, no. 27. ------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Heryani: Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 16 Agustus 2016, no. 65. ------. “Pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atas Nama: Tubagus Haerul Jaman: Perubahan atas Laporan Harta Kekayaan yang Dilaporkan Sebelumnya.” Tambahan Berita Negara R.I. Tanggal 7 Oktober 2016, no. 80. Korpi, Walter. “Power Resources Approach vs. Action and Conflict: On Causal and Intentional Explanations inthe Study of Power.” Sociological Theory3, no. 2 (Musim Gugur, 1985): 31-45. ------dan Joakim Palme. “New Politics and Class Politics in the Context of Austerity and Globalization: Welfare State Regress in 18 Countries,1975-95.” American Political Science Review 97, no. 3 (Agustus 2003): 425-446.

    396 Oligarki dan Demokrasi...

    Kpundeh, Sahr John. Politics and Corruption in Africa: A Case Study of Sieara Leone. Lanham, Md.: University Press of America, 1995. Krueger, Anne O. “The Political Economy of the Rent-Seeking Society.” The American Economic Review 64, no. 3 (Juni 1974): 291-303. Kurnia, Asep dan Ahmad Sihabudin. Saatnya Baduy Bicara. Jakarta: PT Bumi Aksara dan Untirta, 2010. Kusumapuri. Produk Domestik Regional Bruto Kota Tangerang Selatan Menurut Lapangan Usaha 2012-2016. Diedit oleh Heru Susanto (Setu: Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan, 2017. Lane, Max. Decentralization and Its Discontents: An Essay on Class, Political Agency and National Perspective in Indonesian Politics (Iseas Monograph Series). Singapura: Institute of Southeast Asian Studies (Iseas), 2014. Latif, Yudi. “Keluar dari Krisis Demokrasi” Orasi Poltik dalam acara Syukuran dan Peluncuran Buku Satu Dasawarsa Perhimpunan BAKUMSU (Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara) dengan Tema ‘Kratos Minus Demos, Demokrasi Indonesia: Catatan dari Bawah’, Medan, 4 Mei 2012. Liddle, R. William. “Marx atau Machiavelli? Menuju Demokrasi Bermutu di Indonesia dan Amerika” Orasi Ilmiah dalam rangka Nurcholish Madjid Memorial Lecture V, Kamis, 8 Desember 2011, di aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta. ------. “Improving the Quality of Democracy in Indonesia: Toward a Theory of Action,” Indonesia 96 (Oktober 2013): 59-80. Lubis, Amany. Sistem Pemerintahan Oligarki dalam Sejarah Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Lubis, Nina Herlina. “Religious Thoughts and Practices of the Kaum Ménak: Strengthening Traditional Power.” Studia Ahmad Munjin 397

    Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies 10, no. 2 (2003): 1-30. Mahkamah Konstitusi. “Putusan Akhir Nomor 209-210/PHPU.D- VIII/2010 dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Tangerang Selatan Tahun 2010” Manser, Martin H. Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New Edition. Oxford: Oxford University Press, 1991. Mansur, Khatib. Perjuangan Rakyat Banten menuju Propinsi. Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2001. Muhtadi, Burhanuddin. “Politik Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi antara Indentitas Kepartaian dan Patron-Klien.” Jurnal Penelitian Politik 10, no. 1 (Juni 2013): 41-58. Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. Maranoes, Ariel.“Kemenangan Atut-Rano Terancam Gagal”, artikel diakses pada 6 Juli 2013 dari http://news.liputan6. com/read/359656/kemenan gan-atut-rano-terancam-gagal Masaaki, Okamoto and Abdul Hamid. “Jawara in Power, 1999- 2007.” Indonesia 86 (2008): 109-192. ------. “The Rise of the “Realistic” Islamist Party: PKS in Indonesia,” Dalam Islam in Contention: Rethingking Islam and State in Indonesia, diedit oleh Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, dan Ahmad Suaedy, 219-53. Jakarta: Wahid Institute, Kyoto: Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Taiwan: Center for Asia-Pacific Area Studies (CAPAS), 2010. ------. “Local Politics in Decentralized Indonesia: The Governor General of Banten Province.” IIAS Newsletter 34 (Juli 2004): 23. Maulana, Delly. “Fenomena Dekokratisasi Lokal di Provinsi Banten.” Jurnal Administrasi Negara 2, no. 2 (Mei- Agustus 2013): 19-23.

    398 Oligarki dan Demokrasi...

    Michrob, Halwany dan A. Mudjahid Chudari. Catatan Masa Lalu Banten. Serang: Saudara, 1993. Mujani, Saiful. “Religious Democrats: Democratic Culture and Muslim Political Participation in Post-Suharto Indonesia.” Disertasi Ph.D, the Ohio State University, 2003. Mulyana. “Panwaslu Banten Awasi Ketat Kecurangan Politik Uang”, artikel diakses pada 6 Juli 2013 dari http://banten. antaranews.com/berita/16746/ panwaslu-banten-awasi- ketat-kecurangan-politik-uang Mulyatari, Dwi. “Buku Putih Masa Pendudukan Jepang.” Ulasan tentang War, Nationalism and Peasants: Java under the Japanese Occupation 1942-1945, ditulis oleh Shigeru Sato, Wacana 2, no. 1 (April, 2000): 140-44. Muslim, Asep, Lala M. Kolopaking, Arya H. Dharmawan dan Endriatmo Soetarto. “Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara di Pandeglang Banten.” Mimbar 31, no. 2 (Desember, 2015): 461-474. Nasa>’i>, al-Ima>m ’Abi> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah}mad ibn Shu‘ayb al-. Kita>b al-Sunan al-Kubra>. Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 2001. Naysa>bu>ri>, al-Ima>m Abi> al-Husai>n Muslim ibn al-Hajja>j ibn Muslim al-Qushai>ri> al-. S{ah}i>h} Muslim (Alja>mi‘ al-S}ah}i>h)}: Kita>b al-Zaka>h. Naysa>bu>ri>, al-Ima>m al-H{a>fiz} ’Abi> ‘Abdilla>h al-H{a>kim al-. Al- Mustadrak ‘ala> al-S}ahi>h}ayn. Kairo: Da>r al-H{aramayn li al- T{aba‘ah wa al-Nashr wa al-Tawji>‘, 1997. Nasution, S. Metode Penelitian Ilmiah: Usul Tesis, Desain Peneli- tian, Hipotesis, Validitas, Sampling, Populasi, Observasi, Wawancara dan Angket. Jakarta: Bumi Aksara, 2012. Nimda. “Wakil Gubernur Banten Jadi Ketua Ikatan Alumni Pascasarjana Unpas.” Unpas.ac.id, Selasa, 10 April 2018. Diakses Senin, 13 Agustus 2018. http://www.unpas.ac.id/ wakil-gubernur-banten-jadi-ketua-ikatan-alumni- pascasarjana-unpas/. Ahmad Munjin 399

    Nordholt, Henk Schulte. “Renegotiating Boundaries: Access, Agency and Identity in post-Soeharto Indonesia.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 159 (2003): 550-89. ------, “The Jago in the Shadow: Crime and ‘Order’ in the Colonial State in Java.” Diterjemahkan oleh Ernst van Lennep. RIMA (Review of Indonesian and Malaysian Affairs): a Semi-Annual Survey of Political, Economic, Social and Cultural Aspects of Indonesia and Malaysia25, no. 1(Juni-Agustus, 1991): 74-91. Nuraini, Ratna. “Prahara Mendera Dinasti Abah Chasan.” Inilah Review, 20 Oktober 2013. Nugraha, Fajar Kuala. “Pemilukada: Menguatnya Politik Oligarki Lombok Timur Tahun 2013.” Jurnal Mahasiswa Ilmu Pemerintahan 1, no. 2 (2014): 1-15. O’Donnell, Guillermo. “Another Institutionalization: Latin America and Elsewhere,” Working Paper #222 The Helen Kellogg Institute for International Studies (Maret 1996). Ogbazghi, Petros B. “Personal Rule in Africa: The Case of Eritrea.” African Studies Quarterly 12, no. 2 (2011): 1-25. Olson, Mancur. “Dictatorship, Democracy, and Development.” The American Political Science Review 87, no. 3 (September 1993): 567-576. Paige, Jeffery M. “The Social Origins of Dictatorship Democracy and Socialist Revolution in Central America,” Makalah disampaikan pada Pertemuan Tahunan the American Sociological Association, San Franscisco, California, 8 Agustus, 1989, 3. Polinsky, A. Mitchell dan Steven Shavell. “Enforcement Costs and the Optimal Magnitude and Probability of Fines.” The Journal of Law and Economics 35, no. 1 (April, 1992): 133-148. Perhimpunan Pendidikan Demokrasi. “Dinasti Tb. Chasan Sochib: Sang Gubernur Jenderal dari Banten”, Konstelasi, Edisi ke-31 April 2011. Artikel diakses 6 Juli 2013, dari

    400 Oligarki dan Demokrasi...

    http://www.p2d.org/index.php/kon/52-31-april-2011/273- dinasti-h-tb-chasan-sochib-sang-gubernur-jenderal-dari- banten.html. “Pilkada Banten Dinilai Terburuk se-Indonesia”, artikel diakses pada 6 Juli 2013 dari http://www.tempo.co/read/news/ 2011/10/27/179363638/ Pilkada-Banten-Dinilai-Terburuk- Se-Indonesia Prattico, Ludovico. “Governance of Open Source Software Foundations: Who Holds the Power?” Technology Inno- vation Management Review (Desember 2012): 37-42. Prayitno, Hendro, Adam Sofian, Teuku M. Madinah, dan C.M. Rosidah. Buku Saku PDRB Provinsi Banten, PDRB Kabupaten/Kota se-Banten, PDRB Provinsi se-Jawa dan PDB Indonesia 2014-2015. Diedit oleh Budi Prawoto. Serang: BPS Provinsi Banten, 2016. ------, Adam Sofian, dan C.M. Rosidah. Buku Saku PDRB Provinsi Banten, PDRB Kabupaten/Kota se-Banten, PDRB Provinsi se-Jawa dan PDB Indonesia 2015-2016. Diedit oleh Budi Prawoto. Serang: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2017. Prentiss, Anna Marie, Thomas A. Foor, Guy Cross, Lucille E. Harris, dan Michael Wanzenried. “The Cultural Evolution of Material Wealth-Based Inequality at Bridge River, British Columbia.” American Antiquity 77, no. 3, (2012): 542–564. Purnomo, Nurmulia Rekso. “Kisah Tokoh Silat yang Jadi Tangan Kanan Chasan Sochib.” Tribunnews.com. Dirilis pada Jumat, 18 Oktober 2013. Diakses pada Senin, 22 Agustus 2016, http://www.tribunnews.com/nasional/20 13/10/18/ kisah-tokoh-silat-yang-jadi-tangan-kanan-chasan-sochib. ------. “Kondisi Kantor Perusahaan Milik Chasan Sochib Kini.” Tribunnews.com. Dirilis pada Jumat, 18 Oktober 2013. Diakses pada Senin, 22 Agustus 2016. http://www.tribun news.com/nasional/2013/10/18/kondisi-kantor-perusaha an-milik-chasan-sochib-kini. Ahmad Munjin 401

    Quinn, George. “Coming Apart and Staying Together at the Centre: Debates Over Provincial Status in Java and Madura.” Dalam Local Power and Politics in Indonesia: Decentralication and Democratisation, diedit oleh Edward Aspinall and Greg Fealy, 164-78. Pasir Panjang, Singa- pura: Institute of Southeast Asian Studies (Iseas), 2003. Raaflaub, Kurt A. “Thucydides on Democracy and Oligarchy,” dalam Brill’s Companion to Thucydides, eds. Antonios Rengakos dan Antonis Tsakmakis, 189-222. Leiden dan Boston: Brill, 2006. Rahayu, Sari. Produk Domestik Regional Bruto Kota Serang Menurut Lapangan Usaha 2010-2014. Diedit oleh R. Achmad Widijanto. Serang: Badan Pusat Statistik Kota Serang, 2015. Rahmatullah. “Peran Kiai dalam Pilkada Kabupaten Pandeglang.” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Mahasiswa Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM), 2008. Rakhmatullah. “Harta Berlimpah, Keluarga Atut Klaim Warisan Ayahnya.” Sindonews.com, Sabtu, 12 Oktober 2013. Diakses 24 Januari 2017. http://nasional.sindonews.com/ read/793800/13/harta-berlimpah-keluarga-atut-klaim- warisan-ayahnya-1381564726. Rahnema, Saeed dan Haideh Moghissi. “Clerical Oligarchy and the Question of “Democracy” in Iran,” Monthly Review 52, no. 10 (Maret 2001): 28-40. Rastika, Icha. "KPK Resmi Tetapkan Ratu Atut sebagai Tersangka Kasus Pilkada Lebak." Kompas.com, Selasa, 17 Desember 2013. Diakses Senin, 13 Agustus 2018.https:// nasional.kompas.com/read/2013/12/17/1419516/KPK.Res mi.Tetapkan.Ratu.Atut.sebagai.Tersangka.Kasus.Pilkada. Lebak. Reno, William. Corruption and State Politics in Sierra Leone. Cambridge/New York: Cambridge University Press, 1995. Ridho, Rasyid. “Adik Ipar Ratu Atut Keok di Pilkada Kota Serang 2018,” Okezone News,Kamis 5 Juli 2018. Diakses pada

    402 Oligarki dan Demokrasi...

    Jumat, 10 Agustus 2018. https://news.okezone.com/read/ 2018/07/05/340/1918355/adik-ipar-ratu-atut-keok-di- pilkada-kota-serang-2018. Robison, Richard and Vedi R. Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: RoutledgeCurzon, 2004. Rodiana, Nur dan Ulfah Sofiah. Statistik Daerah Kabupaten Pan- deglang 2017. Diedit oleh Tri Tjahjo Purnomo. Pandeg- lang: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pandeglang, 2017. ------. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Pandeglang 2012-2016. Diedit oleh Tri Tjahjo Purnomo. Pandeglang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang, 2017. Romli, Lili. “Jawara Banten: Konteks Historis, Kedudukan dan Peranannya.” Dalam Politik dan Perubahan: Antara Refor- masi Politik di Indonesia dan Politik Baru di Malaysia, diedit oleh Leo Agustino. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009. Rosidin, Dindin Nurul. “Quo Vadis Mathla‘ul Anwar.” Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Nasional Mathla‘ul Anwar di Batam, 2007. Rothstein, Bo, Marcus Samanni, dan Jan Teorell. “Explaining the Welfare State: Power Resources vs. The Qualtity of Government,” European Political Science Review: Euro- pean Consortium for Political Research (Tanpa Bulan dan Tahun Terbit), 1-28. Rizal, M. “Klan Atut dari Jawara Beralih ke Uang,” artikel diakses tanggal 3 Juli 2013, dari http://news.detik.com/read/2011/ 09/12/145200/1723198/159/ klan-atut-dari-jawara-beralih- ke-uang. Rudnyckyj, Daromir Antonovych. “Islamic Ethics and Spiritual Economy in Contemporary Indonesia.” Disertasi Ph.D., Universitas California, Berkeley, 2006. S{an‘a>ni>, al-Ha>fiz} al-Kabi>r ’Abi> Bakr ‘Abd al-Razza>q ibn Ham- ma>m al-. Al-Mus}annaf. Beirut: Al-Majlis al-‘Ilmi>, 1970. Ahmad Munjin 403

    Scott, James C. “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia.” The American Political Science Review 66, no. 1 (Maret 1972): 91-113. Seksi Statistik Neraca Wilayah, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Serang. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Serang Menurut Lapangan Usaha 2005. Serang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang, 2006. Seksi Statistik Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Serang 2007. Serang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang, 2008. Seksi Statistik Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk Domestik Regional Bruto Kota Serang 2009. Serang: Badan Pusat Statistik Kota Serang, 2010. Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Serang Menurut Lapangan Usaha 2012-2016. Serang: BPS Kabupaten Serang, 2017. Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk Domestik Regional Bruto Pandeglang Menurut Lapangan Usaha 2010-2011. Pandeglang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang, 2012. Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk Domestik Regional Bruto Kota Tangerang Selatan Menurut Lapa- ngan Usaha 2010-2014 (Setu: Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan, 2015. Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Serang 2010 Menurut Lapangan Usaha. Serang: BPS Kabupaten Serang, 2011. Sharma, Subhash. “The Dynamics of Women’s Empowerment: A Critical Appraisal.” Social Change 47, no. 3 (Agustus 2017): 387-405. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Kese- rasian al-Qur’an volume 15. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Shils, Edward. “Angkatan Bersenjata dalam Pembangunan Politik Negara-negara Baru.” Dalam Elite dalam Perspektif

    404 Oligarki dan Demokrasi...

    Sejarah, disunting oleh Sartono Kartodirdjo, 177-220. Jakarta: LP3ES, 1983. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI- Press), 1993. Smith, Daniel A. Ulasan tentang Corruption and State Politics in Sierra Leone, ditulis oleh William Reno dan ulasan tentang Politics and Corruption in Africa: A Case Study of Sieara Leone, ditulis Sahr John Kpundeh. Africa Today 44, no. 3 (Juli-September 1997): 362-65. Sopian, Najmu L. “Political Dynasties and the Emergence of Local Oligarchs in Post-Suharto Indonesia and the Philippines.” Paper diajukan untuk memenuhi persyaratan kuliah tentang Politics of Southeast Asia pada the Department of Political Science, Northwestern University, 2014. Spakovsky, Hans A. von dan Elizabeth H. Slattery. “One Person, One Vote: Advancing Electoral Equality, Not Equality of Representation.” Legal Memorandum no. 161 (10 September 2015): 1-5. Strauss, Leo dan Joseph Cropsey, eds. History of Political Philo- sophy. Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1987. Suharto. “Banten Masa Revolusi 1945-1949: Proses Integrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, 2001. Sulistyo, Hermawan. “Electoral Politic in Indonesia: A Hard Way to Democracy.” Dalam Electoral politics in Southeast & East Asia, diedit oleh Aurel Croissant, 75-99. Singapora: Friedrich-Ebert-Stiftung, 2002. Suwayda>n, T}a>riq al-. Silsilat Qashash al-’Anbiya>’: Qishat Nu>h} Syamsuddin, M. Dien. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Syme, Ronald. The Roman Revolution. Oxford: Oxford Univer- sity Press, 1939. Ahmad Munjin 405

    “The Failed States Index 2013,” data diakses tanggal 7 Juli 2013 dari http://ffp.states index.org/rankings-2013-sortable T{abra>ni>, al-H{a>fiz} ’Abi> al-Qa>sim Sulayma>n ibn ’Ah}mad al-. Al- Mu‘jam al-Kabi>r. Kairo: Maktabah ibn Taymi>yah, 1983. Taymi>yah, Ibn. Al-Siya>sah al-Shar‘iyyah fi> Is}la>hi al-Ra>‘i> wa al- Ra‘i>yah, Tanpa Tempat Terbit: Da>r al-Ka>tib al-‘Arabi>, Tanpa Tahun Terbit. Tihami, M.A. “Kiai dan Jawara di Banten: Studi tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan Serang, Banten,” Tesis Magister, Universitas Indonesia, 1992. ------, ed. Refleksi Pemikiran Fiqh: Mensyukuri 70 Tahun Prof. K.H. Abdul Wahab Affif, M.A. Serang: Sengpho Founda- tion, 2006. Tim Raksa Ajar Indonesia. Kata pengantar pada terjemahan Sala>lim al-Fud}ala>’: Menapaki Tangga-tangga Keutamaan Hidup, oleh Imam Nawawi Al-Bantani, 21-22.Serang: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Banten, 2017. Tirmidhi>, al-Ima>m al-Ha>fiz} Muh}ammad ibn ‘I ibn Sawrah al- .Sunan al-Tirmidhi>. Riyad: Maktabah al-Ma‘a>rif li al- Nashr wa al-Tawji>‘, 1417 H. Turmudi, Endang. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogya- karta: LKIS, 2003. Ullah, AKM Ahsan dan Ahmed Shafiqul Huque. Asian Immigrans in North America with HIV/AIDS: Stigma, Vulnerabili- ties, and Human Rights. London: Springer, 2014. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentangPokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Banten. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang di Provinsi Banten.

    406 Oligarki dan Demokrasi...

    Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Valdy, Teuku Muhammad. “Ketika Kotak Kosong Jadi Juara di Makassar.” KumparanNews, Kamis, 28 Juni 2018. Diakses Jumat, 10 Agustus 2018. https://kumparan.com/@kumparan news/ketika-kotak-kosong-menang-jadi-juara-di- makassar-27431110790534150. Vicente, Pedro C. “A Model of Vote-Buying with an Incumbency Advantage.” Makalah dan Hasil-hasil Eksperimen Januari 2013. Artikel diakses 3 Juni 2014 dari http://www. pedrovicente .org/vb.pdf. Wawancara pribadi dengan Adam Sofian, Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Senin, 30 Oktober 2017. Wawancara pribadi dengan Fitron Nur Ikhsan, Juru Bicara Keluarga Ratu Atut Chosiyah Tahun 2013-2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten Periode 2014-2019, di Serang-Banten, Kamis, 14 Desember 2017. Wawancara pribadi dengan K.H. Tb. A. Khatibul Umam, Pengasuh Pondok Pesantren Annizhomiyyah di Kampung Jaha Desa Sukamaju, Kec. Labuan, Kab. Pandeglang Banten, Senin, 30 Juli 2018. Wawancara pribadi dengan K.H. Ma'ruf Amin, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi, Tanara, Banten dan Ketua Umum Ahmad Munjin 407

    Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui sambungan telepon di Jakarta, Selasa, 31 Juli 2018. Wawancara pribadi dengan Febri Diansyah, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018. Wawancara Pribadi dengan Gufroni, Koordinator Banten Bersih melalui sambungan telepon dari Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. Wawancara pribadi dengan Lili Romli, Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) asal Serang, Banten bidang Kepartaian, Agama, dan Otonomi Daerah, di Jakarta, Senin, 6 Agustus, 2018. Weber, Max. “Politics as a Vocation.” Dalam From Max Weber: Essays in Sociology, diedit dan diterjemahkan oleh H. H. Gerth dan C. Wright Mills, 77-128. New York: Oxford University Press, 1946. Widoyoko, J. Danang. Oligarki dan Korupsi Politik Indonesia: Strategi Memutus Oligarki dan Reproduksi Korupsi Politik. Malang: Setara Press, 2013. Williams, Michael C. Communism, Religion, and Revolt in Banten. Athens: Ohio University Center for International Studies, 1990. Winters, Jeffrey A. Oligarchy. New York: Cambridge University Press, 2011. ------, dan Benjamin I. Page. “Oligarchy in the United States?” Perspectives on Politics 7 (2009): 731-751. ------, “Oligarchy and Democracy.” The American Interest 7, no. 2 (Desember 2011): 18-27. ------, “Oligarchy and Democracy in Indonesia.” Indonesia 96 (Oktober 2013): 11-33. ------, pesan e-mail kepada peneliti, 22 Juli 2018. Wolfe, Joel D. “Robert Michels 1876-1936.” Dalam The Routledge Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers, diedit oleh Robert Benewick dan Philip Green, 174-5. London dan New York: Routledge, 1998.

    408 Oligarki dan Demokrasi...

    Wright, Erik Olin, ed. Approaches to Class Analysis. Cambridge: Cambridge University Press, 2005. Wulandari, Aprias Eko. Produk Domestik Regional Bruto Menu- rut Lapangan Usaha Kota Serang 2012-2016. Diedit oleh Dadang Ahdiat. Serang: Badan Pusat Statistik Kota Serang, 2017.

    Ahmad Munjin 409

    GLOSARIUM

    Demokrasi Bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan kepu- tusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwa- kilan—dalam perumusan, pengem- bangan, dan pembuatan hukum. Definisi lain dari demokrasi adalah sebuah metode untuk mencapai keputusan bersama tanpa kekerasan dengan melibatkan partisipasi me- nyeluruh dari pihak-pihak atau ke- lompok-kelompok berkepentingan. Elite Mereka yang memiliki kontrol atau akses yang sangat tak sepadan atau ekstrem terhadap sumber daya eko- nomi, sosial, budaya, politik, atau pengetahuan (knowledge capital). Hak Politik Formal Sumber daya kekuasaan yang paling tak langka dan paling tersebar di tingkat individu dalam keadaan ada- nya hak pilih bagi semua orang dan sedikitnya rintangan untuk berparti- sipasi dalam politik. Hak politik ini dianggap sebagai kebebasan liberal karena mencakup satu suara untuk setiap orang, kebebasan berpenda-

    410 Oligarki dan Demokrasi...

    pat tanpa ditindas, dan kesempatan mendapatkan akses terhadap infor- masi yang dimiliki semua orang dalam masyarakat. Hak politik baru menjadi benar-benar penting di antara individu kalau bersifat makin ekslusif, baik secara formal maupun praktik. Hubungan Patron-Client Sebuah hubungan pertukaran antar peran, yakni sebuah kasus khusus dalam ikatan dyadic (dua-orang) yang melibatkan pertemanan instru- mental secara luas di mana seorang individu dari status sosioekonomi yang lebih tinggi (patron) menggu- nakan pengaruh dan sumber daya- nya untuk memberikan perlindu- ngan atau berbagai manfaat atau keduanya, terhadap seorang indivi- du yang status sosioekonominya lebih rendah (client). Pada giliran- nya, client memberikan imbalan dengan menawarkan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk pelayanan personal kepada patron. Dalam literatur antropologi, patron- client berhubungan dengan beberapa istilah seperti clientelism, dyadic contract, personal network, dan action-set. Jawara Suatu golongan sosial yang me- ngandalkan keberanian dan kekua- tan fisik, agresif, terbuka (blak- blakan) dan sompral (tutur kata Ahmad Munjin 411

    yang keras). Untuk menunjang keandalan fisiknya itu, jawara mem- butuhkan magi walaupun dalam bentuk yang paling mudah, misal- nya jimat, rajah dan sebagainya yang kesemuanya itu paling banyak diperoleh dari kiai.Dalam konteks kekinian, jawara didefinisikan seba- gai pemimpin informal darigama yang bersifat profandan dilengkapi dengan kecakapan ilmu bela diri serta memiliki sumber daya kekua- saan material yang ekspansif. Kekuasaan Jabatan Resmi Sumber daya kekuasaan yang bera- sal dari jabatan resmi yang tinggi di pemerintahan, organisasi besar baik sekuler maupun agama, atau jabatan di perusahaan baik swasta maupun perusahaan negara. Sumber daya kekuasaan tersebut punya pengaruh dramatis pada profil kekuasaan segelintir individu. Pada zaman modern, organisasi-organisasi terse- but adalah badan berdasarkan aturan yang mengonsentrasikan kekuasaan dengan menghimpun sumber daya keuangan, jejaring operasi, dan pe- ngelompokan anggota atau bawahan yang bisa dipimpin, dilibatkan, atau diperintah melalui kelembagaan. Kekuasaan Koersif Pengaruh atau kapasitas individu atau kelompok terhadap yang lain atas dasar atau dengan cara pemak- saan dan kekerasaan.

    412 Oligarki dan Demokrasi...

    Kekuasaan Material Sumber daya kekuasaan yang bera- sal dari kekayaan. Kekayaan mende- finisikan oligark, menggerakkan politik dan proses oligarki. Sumber daya kekuasaan material menyedia- kan dasar untuk tegaknya oligark sebagai pelaku politik yang tang- guh. Sumber daya material menge- jawantah dalam berbagai bentuk. Yang paling luwes adalah uang tunai. Kekayaan sudah lama dikena- li sebagai sumber kekuasaan ekono- mi, sosial, dan politik. Orang bisa menjadi sama sekali tak berkuasa kalau tidak punya kekayaan. Kelu- wesan luar biasa kekuasaan material itulah yang menjadikannya sangat penting dalam politik. Kekuasaan material yang bisa membeli pertaha- nan kekayaan, baik dalam bentuk kemampuan pemaksaan atau me- nyewa jasa pertahanan dari profe- sional yang ahli. Kekuasaan Mobilisasi Kapasitas individu untuk mengge- rakkan atau memengaruhi yang lain—kemampuan memimpin orang, meyakinkan pengikut, menciptakan jejaring, menghidupkan gerakan, memancing tanggapan, dan meng- inspirasi orang untuk bertindak (ter- masuk membuat mereka mengambil risiko dan berkorban). Ahmad Munjin 413

    Kiai Pemimpin agama (Islam) yang sak- ral dan memiliki otoritas serta legitimasi kharismatis yang luas. Ménak Istilah yang digunakan dalam buda- ya Sunda untuk merujuk pada sese- orang yang dijunjung tinggi, terma- suk aristokrasi dan para pejabat tinggi. Oligarki Kompleks Sebuah sistem pemerintahan di mana hampir semua kekuasaan poli- tik dipegang oleh segelintir orang kaya yang membuat kebijakan ma- syarakat umum. Kebijakan tersebut hanya menguntungkan mereka sen- diri secara finansial dan kurang atau sama sekali tidak memperhatikan kepentingan sebagian besar warga negaranya. Oligarki Panglima Oligarki yang perpecahannya antar- oligark berada pada tingkat terting- gi. Kalaupun ada persekutuan bersi- fat tak stabil dalam konteks persai- ngan keras yang selalu berubah. Tiap sosok otoritas unggul yang muncul di antara para oligark hanya bisa mendominasi untuk sementara. Konflik dan ancaman umumnya ber- sifat lateral antar-oligark panglima. Klaim atas wilayah sumber kekaya- an, sumber daya, dan populasi ba- wahan tumpang tindih dan menjadi bahan seteru. Pengumpulan kekaya- an dengan cepat paling banyak terjadi melalui penaklukan, walau

    414 Oligarki dan Demokrasi...

    para oligark panglima juga me- ngambil surplus dari produsen pri- mer. Sumber daya pemaksaan dan material terjalin amat erat bagi oligark panglima sehingga nyaris tak terpisahkan. Kapasitas pemaksa ada untuk pertahanan kekayaan, dan kekayaan digunakan untuk meme- lihara kapasitas pemaksa. Oligarki Penguasa Kolektif Para oligark yang masih berperan besar secara pribadi dalam pelaksa- naan kekerasan, namun berkuasa secara kolektif dan melalui lembaga yang memiliki norma atau aturan main. Oligarki Sipil Oligark yang sepenuhnya tak ber- senjata dan tidak berkuasa langsung. Kekuasaan bersifat sporadis selaku tokoh politik individual, bukan dalam kapasitas oligarkis. Bedanya dengan sultanistik, pada oligarki sipil, yang menggantikan individu tunggal sebagai pelaksana pemaksa- an yang mempertahankan harta oli- garki, adalah adanya lembaga pela- ku yang dikendalikan oleh hukum. Oligarki Sultanistik Oligarki yang terbentuk ketika ter- jadi monopoli sarana pemaksaan berada di tangan satu oligark, bukan negara terlembaga yang dibatasi hukum. Di dalamnya, marak hubu- ngan patron-klien dengan norma perilaku dan kewajiban tertentu yang terkait dengannya. Akan Ahmad Munjin 415

    tetapi, penegakan hukum tidak ada atau beroperasi sebagai sistem ke- kuasaan hukum yang bersifat pribadi. Oligarki Kekuasan yang dijalankan oleh para warga negara terkaya yang selalu tumbuh menjadi golongan kecil. Partisipasi politik Kegiatan yang dilakukan oleh pri- badi warga negara untuk memenga- ruhi pengambilan kebijakan peme- rintah. Partisipasi politik mobilisasi Partisipasi politik yang digerakan oleh pihak-pihak di luar partisipan. Partisipan melaksanakan partisipa- sinya tidak berdasarkan kemauan dan aspirasinya sendiri. Partisipasi politik otonom Partisipasi politik yang dilaksana- kan tanpa paksaan dan berdasarkan kemauan partisipan secara mandiri. Partisipan berpartisipasi secara su- karela tanpa ada yang menggerakan atau memaksa. Pemimpin informal Seseorang yang karena latar bela- kang pribadi yang kuat mewarnai dirinya, memiliki kualitas subyektif atau obyektif yang memungkin- kannya tampil dalam kedudukan di luar struktur organisasi resmi. Akan tetapi, ia dapat memengaruhi kela- kuan dan tindakan suatu kelompok masyarakat, baik dalam arti positif maupun negatif. Dalam masyarakat muslim pemimpin informal dimak-

    416 Oligarki dan Demokrasi...

    sud bisa ulama, kiai, ustaz, atau tokoh masyarakat. Personal Rule Tipe sistem politik yang khusus di mana persaingan dan perjuangan lebih ditentukan oleh seorang indi- vidu yang berkuasa secara penuh dan segaja dibandingkan ditentu- kan oleh lembaga-lembaga, ideo- logi-ideologi, kebijakan-kebijakan publik, dan kelompok-kelompok kepentingan pada umumnya. Orang yang berkuasa penuh secara sengaja itu sangat fundamental dalam mem- bentuk kehidupan politik. Proyek Klasifikasi K-1 Kualifikasi dari usaha kecil milik pelaksana konstruksi yang mensya- ratkan kekayaan bersih lebih dari Rp50 juta sampai dengan Rp200 juta. Sumber Daya Kekuasaan Segala sesuatu yang bisa digunakan atau dimanfaatkan untuk memenga- ruhi hasil. Vote-buying Pemberian atau hadiah yang dibe- rikan kepada para pemilih sebelum pemilihan berlangsung untuk ditu- kar atau dengan imbalan suara mereka. Xenopobia Sensasi rasa takut atau fobia terha- dap seseorang atau kelompok orang tertentu yang dianggap aneh atau asing.

    Ahmad Munjin 417

    INDEKS

    Abdul Aziz Ahmad, 56 Alquran, 14, 30, 31, 88, 89, 91, 92, Abdurrahman Wahid, 178, 187, 226 93, 94, 95, 96, 97, 99, 104, 107, ABK, 199, 200, 201, 202, 203, 290, 389 296 al-shu>ra, 97 Ace Suhaedi Madsupi, 290, 292, al-silm, 97 293 al-ta‘addudiyyah, 97 Achmad Chatib, 130, 132, 133, al-ukhuwwah, 97 135, 136 amanah, 95, 103, 104, 108 action-set, 48, 162, 410 Amany Lubis, 41 Acton, 85 AMPB, 292 Adam Sofian, 197, 234, 237, 238, Annizhomiyyah, 319, 320, 321, 406 239, 241, 242, 243, 245, 248, anti-Barat, 118, 127, 213 253, 254, 255, 256, 257, 258, anti-Belanda, 118 265, 283, 352, 400, 406 antropologi, 26, 48, 162, 410 ADB, 164 APBD, 194, 199, 351 Ade Sudirman, 290, 292 Aprilia Hikmat, 276, 277, 281, 282, Afrika Selatan, 6 395 Agah M. Noor, 324 aqil baligh, 102 agama, 10, 14, 23, 29, 37, 40, 44, Arban, 276, 281, 282, 332, 395 56, 83, 90, 91, 94, 112, 113, 116, aristokrasi, 44, 66, 80, 84, 87, 88, 117, 128, 132, 143, 153, 179, 100 182, 188, 210, 213, 227, 230, Aristoteles, 39, 40, 44, 52, 63, 66, 381, 411 67, 69, 82, 89, 90 Agung Podomoro, 315 arkhein, 36 Agustino, 23, 24, 25 as}a>bi>yah, 105 Ahbel-Rappe, 36, 38 Aspinall, 72, 78, 79 Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, 114 Baduy, 12, 222, 229, 396 Ahmad Jazuli, 323 Bakor PPB, 286 Akil Mochtar, 333, 350 bandit, 122 akuntan, 54 Bangka Belitung, 218 al-‘ada>lah, 97 Bangkalan, 11 al-ama>nah, 97 Banten, 1, 11, 12, 15, 16, 17, 18, al-hurriyyah, 97 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, Alipp, 272 28, 30, 32, 33, 109, 110, 111, al-kulliya>t al-khams, 94 112, 113, 114, 115, 116, 117, al-musa>wah, 97 118, 119, 120, 121, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136,

    418 Oligarki dan Demokrasi...

    137, 139, 141, 142, 143, 144, BPS, 27, 219, 220, 221, 233, 234, 146, 147, 148, 150, 151, 153, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 154, 157, 158, 159, 160, 161, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 163, 168, 170, 172, 173, 174, 247, 248, 251, 252, 253, 254, 175, 177, 178, 179, 180, 181, 255, 256, 257, 258, 265, 267, 182, 183, 184, 186, 187, 188, 269, 270, 271, 273, 274, 277, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 281, 352, 386, 387, 400, 402, 195, 198, 199, 200, 201, 202, 403, 406 203, 204, 206, 207, 208, 209, broker budaya, 181 210, 211, 212, 213, 217, 218, broker politik, 150, 181, 188, 193 219, 220, 221, 222, 223, 224, Buehler, 78 225, 226, 227, 228, 229, 230, Bukha>ri, 97 231, 232, 233, 234, 235, 236, BUMN, 158 237, 238, 239, 240, 241, 242, Burhanuddin Muhtadi, 17, 165, 166 243, 244, 245, 246, 247, 248, Burke, 87 249, 250, 251, 252, 253, 254, BURT, 273 255, 256, 257, 258, 259, 264, cacat demokrasi, 6 265, 267, 268, 269, 272, 273, campaign expenditure, 13 274, 275, 276, 277, 278, 279, CAPAS, 110, 119, 253, 391, 397 280, 281, 283, 284, 285, 286, Caraway, 72, 78 287, 288, 289, 290, 291, 292, Caringin, 117, 118 293, 294, 295, 296, 297, 298, Ce Mamat, 133 299, 300, 301, 302, 303, 304, Ceger Bekasi, 118 305, 307, 309, 310, 312, 314, Chairunnisa, 280, 281, 282 315, 316, 317, 318, 323, 326, Chasanah, 11, 263, 269, 278, 282, 329, 331, 332, 333, 334, 342, 334, 394 344, 345, 350, 351, 352, 381, China, 7 382, 383, 384, 385, 386, 387, Chosiyah, 11, 28, 160, 170, 179, 389, 390, 391, 392, 393, 395, 180, 184, 192, 193, 208, 209, 397, 398, 399, 400, 402, 404, 258, 263, 265, 266, 267, 269, 405, 406, 407, 430 272, 273, 275, 276, 277, 279, Banten bantahan, 131 280, 281, 282, 283, 284, 287, Banten FSPP, 180, 208 288, 289, 290, 291, 292, 294, Bellamy, 51, 80, 81, 86, 89, 387 296, 300, 301, 303, 304, 305, Benjamin Davnie, 179 306, 307, 308, 309, 310, 311, bias-bias pluralisme, 83 312, 313, 315, 317, 318, 322, Birma, 41 324, 325, 326, 332, 333, 342, BKPM, 248 343, 344, 345, 350, 351, 382, Blomley, 42 394, 406 Boeije, 28 Christian Chua, 359 bourgeois socialism, 51, 86 Ciomas, 114, 163, 174, 186, 218, BPK, 198 273, 296, 299 BPPKB, 315, 317, 318 clerical oligarchy, 41 Ahmad Munjin 419 clientelism, 48, 162, 410 Djoko Munandar, 15, 287, 289, coercive power, 57 291, 292, 294, 296, 297, 299, Cohen, 43 300, 301, 303, 343 complex oligarchy. See oligarki DPD, 13, 177, 272, 273, 275, 276, kompleks 277, 279, 280, 281, 287, 304, Cooper, 38, 89, 91 305, 306, 307, 309, 332, 406 Cropsey, 38, 39, 87, 89, 91 DPP, 300, 304, 305, 307 CSEAS, 110, 119, 253, 391, 397 DPR, 13, 116, 149, 177, 198, 226, Daerah Istimewa Yogyakarta, 218 272, 273, 279, 286, 287, 305, Dahlian pluralistic, 83 306, 310, 314, 332, 333, 406 Dapil, 13, 277, 332, 392 DPRD, 13, 145, 168, 177, 181, 182, darigama, 112, 113, 128, 214, 381 198, 199, 200, 201, 202, 207, Darmadi, 110, 111, 112, 389 209, 226, 270, 274, 275, 276, das sein, 30 278, 280, 281, 283, 284, 285, das sollen, 30 287, 289, 292, 293, 294, 296, DASK, 194 297, 307, 310, 332, 333, 406 data kuantitatif, 27 dyadic contract, 48, 162, 410 data primer, 28 Economist Inteligence Unit, 6 data sekunder, 25, 28 Edmund Scott, 124 de facto, 38 eksogen, 32, 109, 161 definisi etimologis, 37 elite, 8, 9, 19, 24, 25, 29, 31, 35, definisi terminologis, 37, 40 37, 39, 40, 50, 51, 52, 53, 54, 55, demagogi, 100 56, 58, 59, 64, 67, 72, 73, 78, 79, demagogic plutocracies, 53 81, 84, 86, 88, 89, 92, 93, 98, Democracy Kills, 7 107 demokrasi, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 13, 17, empiris, 31, 35, 73, 74, 78, 89 18, 19, 20, 21, 25, 26, 30, 31, 33, enforcement costs, 43 35, 36, 44, 49, 50, 51, 52, 53, 62, Erdi Bachtiar, 323 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, etnisitas, 83 73, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, eufemisme, 165 87, 88, 100, 104, 106, 107, 108 Failed State Index, 6 demokrasi dan oligarki, 67, 68 Farabi, 100, 101 demokrasi elektoral, 64, 69, 70 Fatah, 2 demokrasi prosedural, 7, 13 fatwa, 178, 210, 256 despotic, 8 Femia, 53 DI/TII, 134, 148 feodal, 7, 9, 37, 40 dialektika historis, 50 Ferry Muchlis Ariefmuzzaman, 323 Diany, 11, 271, 279, 282, 325, 332, FISIP, 190, 207, 345, 429 334, 351, 382, 394 Fitron Nur Ikhsan, 164, 165, 170, Dimyati Natakusumah, 178, 210 171, 172, 196, 197, 198, 283, Dinasti Mamluk, 41 284, 310, 406 Djago, 120 FKKTM, 179, 208 Flick, 27

    420 Oligarki dan Demokrasi...

    Ford, 72, 77, 78 hak-hak asasi manusia (HAM), 78 fragmentasi, 77 HAM, 78 Friedrich, 38, 41, 42, 44, 89, 90, Hamid, 23, 25 232, 341 Hamied, 323 FSPPS, 180, 184, 209 Hamzah, 333, 350 furifikasi Islam, 119 Hanan, 77, 78, 79 Gapensi, 167, 168 Hawksley, 7 gay, 83 Hazrumy, 273, 274, 275, 279, 280, gerakan kelas bawah, 78 282, 291, 332, 333, 382, 394, gerakan-gerakan sosial, 75, 78 395 Gerth, 57, 295 Hegel, 50 Ghazali >, 100 held against others, 43 Ghazali>,, 100 Herman Haeruman, 289, 292 Giddens, 50 Heryani, 12, 270, 278, 282, 333, Golkar, 139, 141, 142, 143, 144, 334, 382, 394, 395 145, 146, 147, 149, 150, 151, Hidayat, 159, 169, 193, 194, 195, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 196, 199, 200, 201, 202, 203, 159, 160, 174, 177, 179, 180, 204, 205, 218, 222, 223, 224, 182, 189, 206, 210, 272, 273, 226, 285, 286, 287, 288, 289, 275, 276, 287, 289, 290, 291, 290, 291, 292, 293, 294, 296, 292, 296, 300, 301, 303, 304, 297, 301, 331, 342, 343, 344, 305, 306, 309, 332, 333, 350, 350, 351, 391 351, 355 HM Masduki, 179 golongan kecil, 36, 40 HMI, 323, 429 Gorontalo, 218 Hotel Ratu, 276 gubernur jenderal, 17, 192, 206, Hox, 28 299 HTI, 56, 385 Guillermo O’Donnell, 166 Hu>d, 91, 92, 94 Guillot, 124, 125, 227, 390 hubungan sibernetik., 22 h}ima>yat al-‘aql, 94 hukum besi elistisme, 52 h}ima>yat al-amwa>l, 94 hukum besi oligarki, 51, 52 h}ima>yat al-di>n, 94 Hutchinson, 38, 89, 91 h}ima>yat al-nafs, 94 IAIN, 145 h}ima>yat al-nasl, 94 Ibn Abi Rabi’, 100, 101 Hadis, 30, 88, 97, 98, 107 Ibn Khaldu>n, 14, 99, 100, 105 hadis qudsi, 97 Ibn Taymi>yah, 15, 100 Hadiz, 3, 12, 24, 39, 63, 64, 72, 73, Ical, 304 74, 75, 84, 85, 87, 89, 91 ICW, 272 haji, 111, 169, 385 identitas ras, 10, 44 Haji Tubagus Kaking, 160 IDI, 250, 251, 252, 386 hak milik, 37, 41, 42, 43, 59, 94, Imam Nawawi Al-Bantani, 118, 103, 104, 105, 232 405 hak politik, 46, 56, 79 Imperial Rome, 4 Ahmad Munjin 421

    INC, 430 jago, 122 Incas, 42 Jaman, 11, 263, 267, 268, 269, 277, IndeksDemokrasi Global, 6 282, 333, 351, 394, 395 Indonesia, 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 10, 12, janur kuning, 183, 188, 384 13, 14, 17, 18, 22, 23, 24, 26, 30, Java underground, 119 39, 41, 44, 60, 62, 63, 64, 69, 71, Jawa Barat, 12, 133, 142, 161, 163, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 84, 88, 168, 174, 190, 191, 211, 218, 92, 95, 96, 100, 110, 116, 118, 219, 221, 222, 223, 224, 225, 119, 120, 124, 127, 129, 130, 226, 227, 229, 230, 231, 237, 131, 132, 133, 134, 135, 138, 308, 330, 386, 429, 431 139, 140, 142, 143, 145, 147, Jawa Tengah, 11, 218, 301 148, 150, 151, 152, 153, 155, Jawa Timur, 11, 218 157, 159, 160, 161, 163, 166, jawara, 12, 16, 20, 22, 23, 24, 25 167, 169, 173, 174, 176, 188, jawara tulen, 170, 172, 189, 211 190, 192, 193, 217, 218, 219, jawara-pengusaha, 170, 189, 204, 220, 222, 223, 224, 227, 228, 211, 256, 258, 259, 286 229, 232, 250, 251, 252, 253, Jerman, 42, 51 255, 257, 260, 263, 265, 267, K.H. Abd Gaffar Tirtayasa, 118 269, 270, 272, 273, 275, 276, K.H. Ahmad Dahlan, 118 277, 278, 280, 283, 285, 288, K.H. Arsyad Thowil, 118 304, 312, 313, 314, 315, 316, K.H. Asnawi, 118 323, 325, 327, 331, 344, 384, K.H. Hasyim Asyari, 118 385, 386, 387, 389, 390, 391, K.H. Ilyas, 118 392, 393, 396, 397, 398, 399, K.H. Jahari, 118 400, 401, 402, 404, 405, 406, K.H. Kholil Bangkalan, 118 407, 430, 431 K.H. Ma'ruf Amin, 321, 407 informal leader, 16, 110, 111, 115, K.H. Najihun, 118 138, 214, 253 K.H. Tb. A. Khatibul Umam, 319, informal politics, 166 320, 321, 406 interaksionisme simbolik, 27 K.H. Tubagus Bakri, 118 intimidasi, 120, 123, 194, 205, 207, K.H. Tubagus Muhammad Asnawi, 289, 295, 302, 345 118 Irak, 41 Kabupaten Lebak, 240, 241, 244, Irfani, 16, 23, 24 245, 247, 306 Irsjad Djuwaeli, 149, 155, 180, 209, Kabupaten Pandeglang, 245, 270, 305 271, 402, 403 Irsyad Djuwaeli, 179, 224 Kabupaten Serang, 142, 168, 220, Irwin, 28 240, 241, 244, 265, 266, 269, islamisasi, 117, 128 270, 274, 296, 386, 387, 403 Italia, 42, 51, 80, 86 Kabupaten Tangerang, 221, 240, J. Danang Widoyoko, 41, 63, 64 241, 243, 247, 249, 275, 308, jabatan resmi, 56, 79, 132, 411 388 jagabaya, 122 kadigjayaan, 113

    422 Oligarki dan Demokrasi...

    Kadin, 167, 168, 170, 173, 202, kesukuan, 10, 14, 44, 98 203, 205, 303, 351 keterpandangan (noble birth), 10, kafir, 14, 91, 98, 106 44 Kamboja, 8 ketidaksetaraan kapitalis, 43 Kamtekar, 36, 38 kewanitaan, 83 Kardorff, 27 KH, 130, 132, 133, 135, 136, 142, kaum ménak, 111 145, 149, 154, 156, 177, 178, Kaya>li, 36, 38 179, 182, 187, 208, 209, 210 Kazakhstan, 6 KH Datep, 178 KBBI, 88 KH Irsyad Djuwaeli, 177 keadilan, 4, 7, 85, 95, 97, 102, 108 KH Ujang Rapiudin, 182, 210 keadilan sosial, 95 Khaldu>n, 14, 99, 100, 105 kebajikan (virtue), 44 Khaliq, 274, 275, 280, 282, 395 kebebasan, 43, 56, 67, 83, 85, 94, Kiai Aminuddin Ibrahim, 178 97, 115, 134, 409, 430 Kiai Haji Wasid, 117, 128, 213 kebijakan syariah, 78 Kiai Khozinul Asror, 180, 209 kekayaan (wealth), 44 Kiai Muhtadi Dimyati, 178, 182 kekerasan fisik, 120 Kiai Salman, 177, 192 kekuasaan komite eksekutif, 55 Kiai Salman Al Faris, 177, 192 kekuasaan material, 19, 21, 26, 31, Kiai Subroni Mansyur, 192 50, 56, 58, 64, 68, 69, 70, 77 Kiai Syahrir Abror, 192 kekuasaan mobilisasi, 56, 79 Kiai Wahab Afif, 177 kekuasaan pemaksaan (koersif), 56, kiyai, 20, 22 57 KKN, 199, 345 kelas, 13, 25, 31, 47, 51, 52, 54, 55, kleptokratik, 8 62, 67, 72, 78, 79, 80, 81, 84, 86, KNI, 133 101 KNPI, 276, 280, 281, 323 kelompok Rau, 300, 302, 303, 304, Kodam VI Siliwangi, 161, 329 305, 306, 307, 308, 312, 326 Komalasari, 263, 275, 280, 281, kemajemukan, 97 282 kemerdekaan, 95 Komarudin, 323 Kemp-Leonard, 28 konsolidasi, 5, 123 kemusyrikan, 94 Konstituante, 116 kepala desa, 103, 120, 122, 123, konsultan, 47, 54 126 Korea, 41 kepala negara, 102, 103, 104 Korpi, 42 kepemilikan saham, 45, 264 Kota Cilegon, 240, 244, 246, 247, kepemilikan tanah, 9, 45, 264 249 kepercayaan dan akuntabilitas, 97 Kota Serang, 11, 157, 220, 240, keprihatinan lintas sektoral, 83 241, 244, 267, 268, 269, 275, Kepulauan Riau, 218 280, 333, 401, 403, 406, 408 kesejahteraan umum, 94 Kota Tangerang, 220, 221, 235, kesetaraan yuridis formal, 83 240, 241, 243, 245, 247, 249, Ahmad Munjin 423

    271, 326, 351, 396, 397, 403, magi, 23, 113, 126 406 Majelis Taklim, 180, 209 Kota Tangerang Selatan, 240, 241, mala’, 92, 93 243, 271, 396, 403 maling teriak maling, 201 KPK, 27, 29, 191, 212, 263, 264, Maluku Utara, 218 265, 266, 267, 268, 269, 270, Mardiyanto, 220 271, 273, 274, 275, 276, 277, Marissa Haque, 179, 304, 306 281, 282, 344, 345, 394 Marx, 12, 50, 52, 63, 72, 327 KPPB, 286 Marxis, 72 KPU, 18, 274, 395 Mas Ahmad Daniri, 179 KTP, 242 Mas Santoso, 168 kualitas luhur, 101 masa pra-Islam, 222, 229 kualitatif, 26, 27, 90 Masaaki, 23, 25 Kudus, 118 Masykuri Abdillah, 96 La Ode Asrarudin, 180 Material Power Index, 25, 90 Labuan, 319, 320, 321, 406 material power resources, 5, 25 Lakpesdam NU, 178 materialisme historis, 50 Laos, 41 Mathla’ul Anwar, 148, 149, 152, Latif, 5, 6, 7 180, 209 LBB, 323, 324, 325, 326 Maulana Muhamad, 124 legitimasi tradisional, 15, 20, 25 Mawardi, 100 lembaga-lembaga demokratis, 82 Melaway Jaya Realty, 315 level-level pragmentasi politik, 72 metode kuantitatif sederhana, 27 LHKPN, 27, 28, 191, 212, 263, Michels, 37, 38, 50, 51, 52, 53, 81, 264, 265, 266, 267, 268, 269, 82, 87, 89, 407 270, 271, 273, 275, 276, 281, Mietzner, 72, 77 282 Mills, 57, 295 Libanon, 41, 430 MK, 333, 342, 355 liberal, 53, 80, 83 modal sosial, 20, 41, 206 Liddle, 12, 63, 72, 73, 74, 75, 76, Modus operandi, 207 77, 84, 107, 327 Moghissi, 37, 40, 401 Lingkaran Survei Indonesia, 304, money is power, 5 323 money politics, 13, 18 lingkungan, 83 monoteisme, 94 LNPRT, 253, 254, 259 Moore, 13, 79 loba, 101, 102 moralitas, 83, 86 local strongmen, 23 Mosca, 50, 51, 80, 81, 89 LSI, 304, 326 MPI, 259, 264, 266, 267, 277, 282, LSM, 158, 292 309, 382 Lubis, 37, 41 Mu>sa, 92 M3B, 301 Muchtar Mandala, 182 Machiavelli, 12, 63, 72, 327, 396 Mudhar, 105 madrasah, 179 MUI, 178, 210, 256

    424 Oligarki dan Demokrasi... multiflier effect, 234 Pabuaran, 114, 218 Mulyana, 26, 27, 29 Page, 7, 10, 36, 37, 40, 42, 44, 45, mushtaq, 95 46, 47, 48, 50, 53, 82, 83, 84, 89, musyawarah, 96, 108 93, 105, 232, 263, 264, 307, 341 Nafsirin Hadi, 148, 149, 152 Pakistan, 9, 41 Nahdlatul Ulama, 145, 178 PAN, 179, 287 no bourgeoisie, no democracy, 79 Pandeglang, 11, 132, 139, 147, 148, noninferensial, 27 178, 179, 181, 182, 187, 209, normatif, 14, 31, 35, 88, 89, 93, 108 210, 220, 221, 235, 240, 241, NU, 139, 145, 180, 181, 209 242, 244, 245, 247, 249, 270, Nu>h, 92 271, 276, 278, 279, 281, 298, Nugraha, 48, 49, 56 308, 316, 326, 332, 333, 334, oligark, 2, 9, 10, 14, 18, 19, 20, 21, 389, 398, 401, 402, 403 25, 33, 42, 44, 45, 47, 48, 49, 50, Pangeran Mandalika, 124, 129 53, 55, 56, 58, 59, 60, 61, 62, 63, PAP, 273 64, 67, 68, 69, 70, 71, 73, 77, 79, Papua Nugini, 6 82, 83, 84, 85, 89, 93, 104, 105, Pareto, 50, 51, 53, 80, 81, 86, 89, 107 387 oligarkhia, 36 Parkindo, 139 Oligarki, 2, 3, 10, 12, 20, 35, 36, Parmusi, 139, 143 37, 39, 40, 41, 42, 46, 48, 49, 50, Partai Islam Perti, 139 55, 56, 59, 60, 62, 63, 64, 65, 72, Partai Nahdlatul Ulama, 139 79, 85, 86, 88, 89, 95, 97, 100, participation power, 70, 71, 135 106, 107, 125, 128, 137, 155, patrimonialisme, 166 210, 232, 260, 263, 327, 396, patron-client, 23, 48, 53, 74, 162, 399, 407, 413, 414, 415 167, 410 oligarki dan demokrasi, 49, 65, 68, PBB, 179, 202, 224, 238, 287, 307 82, 83, 84 PCC, 200 oligarki kompleks, 3, 39, 63, 72, 73, PDB, 5, 8, 27, 74, 235, 253, 273, 75, 84, 85 277, 283, 387, 400 oligarki militer, 41 PDI, 143, 144, 146, 285, 287, 289, oligarki panglima (waring), 60 291, 292, 296, 303, 306, 307, oligarki penguasa kolektif (ruling), 313 60 PDI-P, 287, 296, 306, 307 oligarki sipil (civil), 60, 61 PDRB, 233, 235, 236, 237, 239, oligarki sultanistik (sultanistic), 60 240, 242, 243, 245, 246, 247, oligoi, 36 248, 249, 253, 254, 256, 264, Olson, 162, 399 265, 267, 268, 269, 270, 271, one person one vote, 7, 64, 68, 71 273, 274, 275, 276, 277, 281, opium, 122, 123 282, 283, 387, 400 Orde Baru, 2, 3, 23, 24, 39, 63, 72, pelobi, 54 73, 74, 75, 76, 78, 84 pemahaman ilmiah dan otonomi daerah, 2, 7, 24, 26 metodologis, 28 Ahmad Munjin 425 pemberontakan, 111, 116, 117, 118, PKB, 178, 182, 187, 207, 210 119, 123, 124, 127, 128, 130, PKI, 119, 130, 136, 157 131, 133, 136, 213, 218, 228, PKK, 285 230 PKRI, 139 pemberontakan komunis, 119, 213 PKS, 110, 179, 202, 312, 313, 314, pemerasan proyek, 193, 199, 200, 397 201, 202 Plato, 38, 67, 89, 91, 100 pemerintahan perwakilan, 55 plutokratik, 8 Pemilihan Langsung, 197 PMDN, 248 Pemilu, 48 PMII, 323 Pemilukada, 48, 56 PMTB, 256 penanaman opium kolonial, 123 PNI, 139, 143 pencurian ternak, 120, 121 Polinsky, 43 pendekar, 141, 202 politeisme, 94 pengacara, 54 Pondok Pesantren Modern Daar El Pengadaan Langsung, 196 Qolam, 323 penipuan pajak tanah, 120 popular socialism, 86 Penunjukan Langsung, 197 PPP, 143, 144, 145, 146, 147, 150, penyitaan dengan paksa, 45, 105 153, 154, 155, 178, 179, 210, Pepinsky, 72, 75, 77, 78 287, 289, 291, 292, 296, 301, Perda, 242, 313 333 perdamaian, 95, 97 PPPSBBI, 143, 153, 157, 158, 159, perdamaian abadi, 95 163, 168, 170, 174, 175, 189, Perdana Menteri Hun Sen, 8 288, 294, 299, 302, 314, 315, permusyawaratan, 97 316, 317, 318 persamaan, 31, 65, 83, 96, 97, 108 praktik monopolistik, 193 persaudaraan, 14, 97 premanisme proyek, 198, 199, 200, personal network, 48, 162, 410 202, 203, 204, 207 personal rule, 76 Prentiss, 46 perspektif teoretis, 29 prinsip persamaan, 96 pertahanan harta, 45, 50, 61 priyayi, 111, 112 pertahanan kekayaan, 19, 44, 50, Produk Domestik Bruto (PDB), 5, 53, 58, 60, 61, 104 8, 74, 233 pertahanan pendapatan, 45, 50, 61 program keagamaan, 179 pesantren, 114, 117, 143, 145, 146, proletariat, 52, 72 147, 148, 150, 153, 160, 179, prosedur administratif, 194 180, 181, 186, 192, 209, 221, Protes-protes jalanan, 78 253, 254, 255, 256, 257, 259, proyek infrastruktur, 193 284, 381 PSII, 139, 143 Pesantren An-Nawawi, 321, 407 PT Arban Global Nusantara, 276 Peta, 130, 220 PT Arban Media, 276 PHK, 248 PT Kalimaya, 160 PK, 287, 298 PT Krakatau Steel Tbk, 157, 233

    426 Oligarki dan Demokrasi...

    PT Nikomas Gemilang, 233 segelintir orang, 3, 35, 37, 38, 39, PT Pelayaran Sinar Ciomas 40, 51, 58, 64, 66, 68, 69, 70, 82, Pratama, 273 85, 86, 88, 89, 91, 92, 98, 101 PT Ratu Bidakara Hotel, 273 Sekda, 343 PT Sinar Ciomas, 141, 158, 163, selat Sunda, 222, 230 330, 356 self-ownership, 43 Purwakarta, 118 senjata, 57, 83 Quinn, 218, 219, 220, 221, 222, sentralisasi kekuasaan, 123, 203 223, 224, 226, 227, 228, 229, Serang, 11, 22, 110, 113, 118, 133, 401 139, 142, 143, 144, 145, 146, Quraish, 89, 90, 94, 98, 99, 102, 160, 168, 173, 174, 189, 190, 105 207, 219, 220, 221, 227, 229, Rabi’, 100 234, 235, 237, 238, 239, 240, Rahnema, 37, 40, 41 241, 242, 243, 244, 245, 246, rakus, 101, 102 248, 253, 254, 255, 256, 257, rakyat jelata, 52, 79 258, 265, 266, 267, 268, 269, ras, 37, 40, 42, 83 270, 273, 274, 275, 277, 278, rasional-legal, 15, 16 280, 283, 284, 298, 301, 302, RBB, 314, 315, 316, 317, 323, 326 310, 326, 333, 351, 386, 387, redistribusi hukum kepemilikan, 398, 400, 401, 403, 405, 406, 45, 105 408 rent-seeking activities, 162 Shavell, 43 rezim pertahanan harta, 54 Shihab, 89, 90, 97, 98, 99 Robert A. Dahl, 83 Shu‘ayb, 92 Robison, 3, 12, 39, 63, 64, 72, 73, sikap konfrontatif, 201 74, 75, 84, 85, 87, 89, 91 sistem budaya, 22, 25 Roma, 4, 62 sistem sosial, 22, 25 Romli, 24 Sjadzali, 99, 100, 101, 102, 103, rules of the game, 166 104, 105, 106 S{a>lih, 92 Slattery, 46 santri, 31, 109, 147, 151, 180, 181, slavery society, 5 183, 186, 209, 211, 257 Sochib, 16, 17 Sarekat Islam, 119, 130 Soeharto, 2, 23, 69, 72, 74, 75, 76, Satkar Jawara, 143, 153, 189, 210 84 Satkar Ulama, 142, 143, 144, 150, Sokrates, 38, 89, 90 153, 154, 157, 173, 179, 184, Sopian, 24 192, 208, 210, 212, 215 Spakovsky, 46 Satpam, 192 SPD, 51 SBY, 6 stationarybandits, 162 Scott, 48, 162, 318 status quo, 100, 106 security provider, 121 Steinke, 27 Strauss, 38, 39, 87, 89, 91 Sudan, 41 Ahmad Munjin 427

    Sultan Rafiuddin, 117 the predatory patronage’, 24 sumber data primer, 28 the Social Democratic Party of sumber data sekunder, 28 Germany, 51 sumber daya alokatif, 5, 50 theory of action, 22 Sumber daya kekuasaan berasal Thucydides, 67, 401 dari non material, 55 Tihami, 22, 23, 25 sumber daya kekuasaan material, Timor Leste, 6 14, 20, 22, 25, 26, 42, 58, 64, 77, TKR, 133 93 TNI, 159 sumber daya koersif, 75 tolong-menolong, 96, 108 sumberdaya kekuasaan dari jabatan Tomet, 271, 272, 273, 279, 282, resmi, 54 333, 382, 394 syarat-syarat pemimpin, 101, 106 true natural aristocracy, 87 tada>ruj, 106 Tryana Sjam’un, 179, 180, 208 Taman Nasional Ujung Kulon, 222, u>li>gharshi>yyah, 36 230 uang di bank, 45, 264 Tanara, Banten, 321, 407 Uci Sanusi, 168 Tangerang, 11, 118, 220, 222, 229, ulama, 31, 37, 40, 89, 106, 108, 240, 241, 242, 243, 245, 247, 111, 116, 123, 128, 129, 131, 248, 249, 271, 274, 275, 279, 136, 139, 142, 154, 157, 184, 280, 307, 308, 312, 313, 316, 193, 309 323, 326, 332, 334, 351, 355, UMKM, 234, 248 382, 386, 388, 392, 396, 403, Uni Emirat Arab, 41 431 Untirta, 12, 241, 396 Tangerang Selatan, 11 upah minimum, 78 Tanjung Priok, 160, 175, 316, 329 vote buying, 13 Taymi>yah, 15, 100 wara>’, 102 Tebuireng, 118 Wardana, 315, 322, 323, 324, 325, Tempo, 169, 173, 272, 350, 385, 332, 334, 342, 343, 344, 350, 391, 430 351, 355 tender, 141, 156, 164, 170, 194, wealth power, 70, 71, 135 195, 196, 197, 205, 207, 212, Weber, 16, 57, 295 344, 352 Weberian, 76 teori ‘democracytrap’, 7 wewenang kharismatik, 16 teori aksi, 22, 31, 72, 75, 84, 107 wewenang tradisional, 16 teori pluralisme, 72 Winter, 42, 44, 46, 47, 82 tesis oligarki, 31, 72, 77, 79 Winters, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 10, 18, 29, Thailand, 6 36, 37, 39, 40, 42, 43, 44, 45, 46, The Fund for Peace dan Foreign 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, Policy Magazine, 6 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, the Golden Horde, 42 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 79, 82, the new predator, 190 83, 84, 89, 90, 93, 105, 106, 107, the old predator, 190 116, 119, 123, 129, 131, 132,

    428 Oligarki dan Demokrasi...

    140, 142, 146, 176, 179, 183, Yordania, 41 184, 187, 188, 221, 222, 232, Yunani, 36, 38, 42, 100, 107 233, 237, 249, 252, 263, 264, zalim, 8, 102, 106 307, 329, 340, 341, 411 zaman penjajahan Belanda, 23 Winterston, 28 Zulkieflimansyah, 179, 180, 184, Wolfe, 37, 38, 51, 52, 81, 82, 87, 208, 314 89, 407

    Ahmad Munjin 429

    BIOGRAFI PENULIS

    Ahmad Munjin lahir di Sukabumi Jawa Barat, 2 Januari 1981. Ia adalah alumni Sekolah Dasar Negeri 3 Bantarpanjang, Kec. Jampangtengah, Kab. Sukabumi Jawa Barat (1988-1995). Ia melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs.) Pondok Modern Assalam Sukabumi (1995- 1998) dan Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) Pondok Pesantren Darussalam Ciamis (1998-2001). Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (2001-2007). Program studi tersebut merupakan cikal bakal berdi- rinya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. FISIP resmi berdiri pada Juli 2009. Ia menulis skripsi, Constitutional Monar- chy and the Formation of Modern Nation State: A Study of Jordan Government System. Ia juga Koordinator Bidang Keilmuan Himpunan Mahasis- wa Islam (HMI) Cabang Ciputat, Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (2003-2004). Aktif diskusi sosiologi pada Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) dan diskusi filsafat pada Indonesian Studies and Advocacy Center (ISAC) dalam kurun 2001-2005. Tercatat sebagai mahasiswa ekstensi untuk studi episte- mologi pada Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta (2004). Pada saat yang sama, ia kursus bahasa Perancis di Centre Culturel Français (CCF)de Jakarta yang sekarang berubah nama menjadi Institut Français d'Indonésie (IFI). Sejak Februari 2006 hingga Agustus 2007, ia menjadi kontributor untuk penulisan opini di media massa atas nama Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina. Tugas utamanya adalah menulis opini atas nama PSIK untuk

    430 Oligarki dan Demokrasi... sejumlah media massa. Selain itu, ia turut juga memprakarsai diskusi-diskusi ilmiah di PSIK mengenai kebebasan beragama, politik, filsafat, keislaman dan keindonesiaan. Sejak September 2007, ia bergabung dengan perusahaan media onlineInilah.com (www.inilah.com) di bawah naungan PT Indonesia News Center (INC). Ia menjadi wartawan dengan jabatan terakhir Asisten Redaktur untuk desk pasar modal dan ekonomi. Desk yang diembannya saat ini sama sekali tidak linier dengan program studi yang ia tekuni sebelumnya meskipun pada awalnya bertugas pada desk politik. Seiring berjalannya waktu, Inilah.com berekspansi dengan mendirikan Inilah Koran di Bandung. Koran tersebut terbit per- dana pada 10 November 2011. Tiga bulan sebelumnya, perusahaan mendirikan majalah ekonomi dan bisnis mingguan Inilah REVIEW. Kelahirannya terbit untuk edisi perdana, 15-21 Agustus 2011. Ia menjadi penulis tetap untuk rubrik pasar modal pada majalah tersebut. Sejak Agustus 2013, ia meneruskan studi ke jenjang ma- gister, pada Program Studi Pengkajian Islam konsentrasi bidang Agama dan Politik, Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Ia menulis tesis Oligarki dan Demokrasi: Kajian Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara di Banten.

    Tulisan-tulisan opini yang dipublikasikan: 1. Fundamentalisme dan Konflik Israel-Libanon (Bisnis Indonesia, 7 September 2006); 2. Relasi Islam-Vatikan (Koran Tempo, 22 September 2006); 3. Puasa dan Pembebasan (Suara Karya, 3 Oktober 2006); 4. Puasa dan Transformasi Sosial di Indonesia (Suara Karya, 20 Oktober 2006); 5. Arus Balik dan Urbanisasi (Jurnal Nasional, 30 Oktober 2006); 6. Menyoal Kedatangan Bush (Suara Pembaruan, 16 November 2006); Ahmad Munjin 431

    7. Ledakan Sosial dalam Lumpur Lapindo (Duta Masyarakat, 27 November 2006); 8. Pluralisme Peradaban Modern (Tangerang Tribun, 15 Februari 2007); 9. Kejujuran dan Rapuhnya Integritas Elite (Suara Karya, 23 Mei 2007); 10. Neo-Liberalism atau Old-Liberalism? (Satelit News, 24 Mei 2007); dan 11. Tuhan dalam Ruang Publik (Media Indonesia, 5 Juni 2007).

    Pendidikan Formal 1. Sekolah Dasar Negeri 3 Bantarpanjang, Kec. Jampang- tengah, Kab. Sukabumi Jawa Barat (1988-1995) dengan STTB No. 02 OA oa 0234945; 2. Madrasah Tsanawiyah Pondok Modern Assalam Suka- bumi Jawa Barat (1995-1998) dengan STTB No.EIV/MTs 754/043809/98; 3. Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) Darussa- lam Ciamis Jawa Barat (1998-2001) dengan STTB No.EIV/i/MA17101/0079/2001; dan 4. Program Studi Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushulu- ddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (2001-2007) dengan gelar akademik Sarjana Sosial (S.Sos). Nomor Ijazah ER 010477 dengan yudisium Kumlaude.[]