KODAMA PADA AJARAN SEBAGAI KEARIFAN LOKAL

TERHADAP KELESTARIAN HUTAN DI JEPANG

NIHON NO MORI NO HOZEN NI TAISURU CHIHOU NO CHIE TO SHITE

SHINTO NO KODAMA

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

DEWINTA

140708095

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat, rahmat anugrah dan perlindungannya-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi yang berjudul “KODAMA PADA AJARAN SHINTO

SEBAGAI KEARIFAN LOKAL TERHADAP KELESTARIAN HUTAN DI

JEPANG” ini diajukan untuk memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Sarjana

Sastra pada Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara.

Selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan baik moril, materi dan ide dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih, penghargaan dan penghormatan kepada :

1. Bapak Dr.Budi Agustono, M.S., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, Ms.,Ph.D., selaku Ketua Program

Sudi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku Pembimbing , yang selalu

memberikan waktu dan pemikirannya dalam membimbing, mengarahkan

serta memberikan saran – saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi

ini hingga selesai.

4. Dosen Penguji Ujian Skripsi yang telah menyediakan waktu untuk

membaca dan menguji skripsi ini. Tak lupa pula penulis sampaikan kepada

seluruh dosen serta staf Universitas Sumatera Utara ii pegawai di Program

Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang dengan penuh kesabaran telah memberikan ilmu yang berguna bagi

penulis serta dukungan dalam menyelesaian skripsi ini.

5. Kak Putri selaku staf administrasi Program Studi Sastra Jepang yang selalu

mengingatkan penulis dan membantu menyelesaikan berbagai surat

menyurat dan berkas-berkas penulis.

6. Terima kasih yang tidak terhingga kepada ayahanda Supianto dan ibunda

Saniah serta kakanda Winda dan kedua adik yang selalu memberikan

semangat, motivasi serta dukungan baik moril maupun materil dan selalu

mendoakan sampai penulis dapat menyelesaikan studinya dan dapat

menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh teman-teman dekat Makde, Bilbod, Puto, Aren, Mamad, Wawan,

Ntan, Prol, Yudit, Aristo sebagai teman diskusi dan lainnya, serta teman

seperjuangan Yuki, Amrul, Acid, bang Jaya, Deli serta teman-teman

Sastra Jepang 2014 lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu,

seluruh teman-teman KKN Tematik Tanjung Balai kelompok 4 tahun

2017, begitu juga dengan kak Amy, kak Helga, kak Irma serta bang Ivan

yang selalu mendukung dan senantiasa memberikan dorongan dan

semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu –

persatu, yang telah memberikan bantuan sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan. Hanya Tuhan yang dapat membalas kebaikan anda semua.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari isi maupun uraiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga skripsi ini nantinya dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis, pembacakhususnya mahasiswa/ mahasiswi Jurusan Sastra Jepang Universitas

Sumatera lainnya.

Medan, 21 Agustus 2018 Penulis,

Dewinta

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... iii

DAFTAR ISI ...... iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ...... 1

1.2 Rumusan Masalah ...... 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ...... 7

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ...... 8

1.4.1 Tinjauan Pustaka ...... 8

1.4.2 Kerangka Teori ...... 10

1.5 Tujuan dan Manfaat ...... 12

1.5.1 Tujuan ...... 12

1.5.2 Manfaat ...... 12

1.6 Metode Penelitian ...... 13

BAB II SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT JEPANG DAN KODAMA

2.1 Sejarah Sistem Kepercayaan Masyarakat Jepang ...... 15

2.2 Prilaku Beragama Masyarakat Jepang ...... 21

2.3 Ajaran Shinto Sebagai Agama Asli Masyarakat Jepang ...... 25

2.3.1 pada Ajaran Shinto ...... 27

2.3.2 Ritual Ajaran Shinto ...... 31

2.4 Kodama Sebagai Youkai Penjaga Pohon ...... 33

2.4.1 Sejarah Kodama ...... 35

2.4.2 Pandangan Tentang Bentuk Kodama ...... 38

2.4.3 Hukuman Kodama Kepada Penebang Pohon Liar ...... 39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB III KODAMA SEBAGAI KEARIFAN LOKAL

3.1 Kearifan Lokal dalam Kodama yang Berhubungan dengan Manusia . 42

3.2 Kearifan Lokal dalam Kodama yang Berhubungan dengan Alam ..... 48

3.3 Kearifan Lokal dalam Kodama yang Berhubungan dengan Roh ...... 50

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ...... 53

4.2 Saran ...... 55

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN GAMBAR

ABSTRAK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem kepercayaan adalah suatu sistem yang membuat seseorang meyakini sesuatu hingga mempengaruhi pola pikir dan tingkah lakunya sehari- hari. Sistem kepercayaan tersebut, pada umumnya dipegang teguh dalam menjalani kehidupan dan dianggap sebagai pedoman hidup.

Jika berbicara mengenai sistem kepercayaan, maka kita membicarakan pula tentang keyakinan ataupun apa yang disebut sebagai agama (Religi). Ada berbagai macam sistem kepercayaan/keyakinan yang dianut di dunia. Mulai dari sistem kepercayaan terhadap roh (Animisme), terhadap benda-benda (Dinamisme) yang seyogianya sudah lahir sejak jaman purba, kepercayaan terhadap dewa, serta sistem kepercayaan terhadap Tuhan. Ketika religi berhubungan dengan pengabdinya/individu yang menganut religi tersebut, maka lahirlah apa yang disebut dengan religiusitas.

Menurut Prof. Driyarkara (1987:29) Religiusitas berasal kata dari bahasa latin religio, yang berakar dari kata religare yang berarti mengikat. Secara instansial religius menunjuk pada sesuatu yang dirasakan sangat dalam yang bersentuhan dengan keinginan seseorang, yang butuh ketaatan dan memberikan imbalan sehingga mengikat seseorang dalam suatu masyarakat (Ahmad, 1995:34).

Sehingga yang dimaksud dengan Religiusitas merupakan sifat religi yang melekat pada diri seseorang.

1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Lima aspek atau dimensi religiusitas Menurut Glock (Rahmat, 2003:43-46)

yaitu :

1. Dimensi Ideologi atau keyakinan, yaitu dimensi dari keberagamaan yang

berkaitan dengan apa yang harus dipercayai, misalnya kepercayaan adanya Tuhan,

malaikat, surga, dsb. Kepercayaan atau doktrin agama adalah dimensi yang paling

mendasar.

2. Dimensi Peribadatan, yaitu dimensi keberagaman yang berkaitan dengan sejumlah

perilaku, dimana perilaku tersebut sudah ditetapkan oleh agama, seperti tata cara

ibadah, pembaptisan, pengakuan dosa, berpuasa, shalat atau menjalankan ritual-

ritual khusus pada hari-hari suci.

3. Dimensi Penghayatan, yaitu dimensi yang berkaitan dengan perasaan keagamaan

yang dialami oleh penganut agama atau seberapa jauh seseorang dapat

menghayati pengalaman dalam ritual agama yang dilakukannya.

4. Dimensi Pengetahuan, yaitu berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan

seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya.

5. Dimensi Pengamalan, yaitu berkaitan dengan akibat dari ajaran-

ajaran agama/sistem kepercayaan yang dianutnya yang diaplikasikan melalui

sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan aspek/dimensi menurut Glock diatas, agama/sistem

kepercayaan sudah termasuk ke dalam bagian keseharian bagi setiap individu

yang menganutnya. Sistem kepercayaan itu juga ikut mempengaruhi sikap,

perilaku kesehariannya serta bagaimana kehidupan sosial penganut tersebut.

Sehingga sistem kepercayaan melahirkan adanya kearifan lokal.

2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sistem kepercayaan yang melahirkan kearifan lokal juga merupakan bagian dari pembentukan budaya. Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai, dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat (Haba, 2007:11).

Berdasarkan inventarisasi Haba, ada setidaknya enam fungsi di antaranya adalah bahwa kearifan lokal tidak bersifat memaksa, tetapi sebuah unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat. Sehingga, kearifan lokal dianggap bagian dari kesadaran masyarakat lokal itu sendiri. Dalam nilai-nilai yang terkandung dalam inventarisasi Haba , menegaskan pentingnya pendekatan yang berbasis pada nilai atau kearifan lokal (local wisdom), dimana sumber-sumber budaya menjadi penanda identitas bagi kelangsungan hidup sebuah kelompok maupun aliran kepercayaan.

Selain sistem kepercayaan/agama yang dijabarkan diatas, Menurut Kruyt manusia primitif atau manusia zaman kuno pada umumnya yakin akan adanya suatu zat halus (zielestof) yang memberi kekuatan hidup dan gerak kepada banyak hal di dalam alam semesta, Zielestof dianggap ada dalam diri manusia, hewan dan tumbuhan. Dengan demikian keyakinan terhadap perpindahan jiwa atau inkarnasi

(penjelmaan) merupakan bagian dari animisme. Sistem keyakinan akan adanya makhluk halus yang hidup berdampingan dengan manusia Kruyt menyebutnya sebagai Rohisme. Sebagian besar negara-negara didunia pernah menganut sistem kepercayaan seperti ini atau bahkan sampai sekarang masih menganutnya dan menyisakan beberapa kearifan lokal. Salah satunya Jepang.

3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Seperti kita ketahui, bahwa Jepang memiliki perkembangan ekonomi dan sosial yang sangat baik di kawasan Asia. Selain menjalani kehidupan sehari-hari yang modern, masyarakat Jepang juga tidak lupa untuk menjalankan tradisi budaya sebagai kearifan lokal yang berasal dari kepercayaan terhadap para dewa.

Jepang juga merupakan salah satu negara di dunia ini yang memiliki sistem kepercayaan primitif yang kuat. Jepang dikenal sebagai negara yang masih melestarikan sistem kepercayaan leluhur mereka. Menurut sejarahnya, Jepang memiliki agama/sistem kepercayaan asli yaitu agama/ajaran Shinto. Ajaran ini juga dikenal sebagai sistem kepercayaan tertua di Jepang sebelum masuk agama- agama lain seperti, Buddha, Konfusius dan Kristen muncul di Jepang.

Jepang memanglah negara yang masyarakatnya banyak yang menganut agama lebih dari satu. Seperti yang disebutkan dalam buku berjudul Minzoku

Gaku (Ethnologi) Jepang (2013:28) yang ditulis oleh Hamzon Situmorang. Dalam sikap beragama masyarakat Jepang, mereka disebut sebagai masyarakat politheis, juga mengikuti berbagai agama dalam kehidupan sehari-hari. Ketika mereka berada di dalam rumah, mereka menyembah dewa leluhur rumah tersebut yang berupa kamidana/神棚 (rak dewa Shinto) atau butsudana/仏棚 (rak dewa Buddha).

Tetapi ketika mereka berada di luar rumah, mereka menyembah dewa daerah

(ubusunagami/産土神) dan ketika mereka berada di kantor mereka menyembah objek sembahan kantor, kemudian ketika mereka bekerja demi kepentingan negara mereka menyembah leluhur kaisar (kokka Shinto / Shinto Negara). Sistem kepercayaan tersebut adalah sistem kepercayaan minkanshinkou/民間信仰.

4

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Namun begitu, agama apapun yang mereka anut, mereka masih tidak lepas dari agama/sistem kepercayaan nenek moyang mereka yaitu ajaran Shinto.

Masyarakat Jepang yang terus meyakini ajaran Shinto, melahirkan kearifan lokal yang terus dijalankan oleh sebagian besar masyarakatnya. Kearifan lokal ini sangat mempengaruhi kebiasaan dan tingkah laku mereka dalam melestarikan dan menjaga alam mereka.

Dalam ajaran Shinto, ada banyak Dewa/Kami serta roh-roh yang diyakini oleh masyarakat Jepang. Beberapa diantaranya yaitu, Kitsune yang diyakini sebagai rubah ekor Sembilan yang cerdas. Kitsune diyakini sebagai ruh penjaga dan ruh pengasih. Selain Kitsune, ada yang disebut yaitu Roh yang biasanya berada di sungai-sungai Jepang. Banyak versi cerita yang menyebutkan tentang bentuk dari Kappa, namun fungsi Kappa sendiri yaitu sebagai penjaga sungai. Sehingga tidak ada yang mencemari sungai-sungai di Jepang. Ada banyak lagi roh yang diyakini dalam ajaran Shinto, namun yang akan penulis bahas adalah roh penjaga pohon yang dikenal sebagai Kodama.

Kodama merupakan dewa penjaga pohon yang diyakini dalam ajaran

Shinto untuk menjaga pepohonan di hutan Jepang. Kodama juga diyakini sebagai roh dari pohon itu sendiri. Dalam ajaran Shinto, Kodama dikatakan sebagai Dewa yang cukup tenang. Dewa ini memiliki berbagai pandangan terhadap bentuknya.

Tidak banyak yang membahas Roh ini sebelumnya. Meskipun terhitung tidak terlalu terkenal dikalangan orang asing, Kodama memiliki berbagai pengaruh terhadap kelangsungan pepohonan dan hutan di Jepang. Inilah yang

5

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA melatarbelakangi penulis untuk membahas tentang “Kodama pada Ajaran Shinto sebagai Kearifan Lokal terhadap Kelestarian Hutan di Jepang”

1.2 Rumusan Masalah

Jepang adalah negara yang terkenal sebagai bangsa yang terus melestarikan peninggalan nenek moyang/ leluhur mereka. Baik itu berupa budaya, pola pikir, kebiasaan, sistem kepercayaan dan kearifan lokal. Masyarakat Jepang sebagaimana dikenal oleh masyarakat umum adalah bangsa yang masih memegang teguh sistem kepercayaannya dan menjaga kearifan lokalnya.

Ajaran/Agama Shinto adalah ajaran yang sudah ada sejak di Jepang, sehingga banyak yang mengatakan bahwa Shinto adalah agama asli masyarakat

Jepang. Dalam ajaran Shinto terdapat berbagai roh-roh yang dipercaya sebagai penjaga alam. Dari sekian banyak roh-roh yang disebutkan dalam ajaran Shinto, ada roh yang disebut Kodama yaitu roh penjaga pohon atau roh yang diyakini sebagai roh dari pohon itu sendiri. Ada banyak versi bagaimana bentuk dari

Kodama sendiri. Roh ini diyakini bertugas sebagai penjaga pepohonan hutan di

Jepang. Sehingga muncul pula bagaimana hukuman-hukuman Kodama bagi siapa saja yang merusak pohon, seperti menebang pohon sembarangan. Kepercayaan terhadap Kodama ini, menghasilkan kearifan lokalnya sendiri terhadap pepohonan hutan di Jepang.

Berdasarkan latar belakang “Kodama pada Ajaran Shinto sebagai Kearifan

Lokal terhadap Kelestarian Hutan di Jepang” , maka penulis mengangkat permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian skripsi ini, yaitu:

6

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1. Bagaimana kedudukan Kodama dalam ajaran Shinto?

2. Bagaimana kearifan lokal yang ada dalam Kodama?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan diatas, maka penulis merasa perlu akan adanya ruang lingkup pembahasan. Penulis membatasi ruang lingkup pembahasan dengan tujuan agar penelitian ini tidak menjadi luas dan tetap berfokus pada masalah yang ingin diteliti sehingga bisa memudahkan dalam menganalisa topik permasalahan yang sedang dibahas.

Dalam ruang lingkup ini, penulis mengkhususkan pembahasan terhadap kodama dalam sistem kepercayaan Jepang yaitu Shinto dan bagaimana kearifan lokal yang terkandung dalam kepercayaan terhadap kodama. Tidak begitu banyak yang mengetahui tentang Kodama dalam ajaran Shinto, sehingga memotivasi penulis untuk membahas tentang Kodama. Berupa; bagaimana sejarah, definisi, variasi pandangan terhadap bentuk Kodama, tugas Kodama, serta bagaimana kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Agar penjelasan di dalam pembahasan ini menjadi jelas dan memiliki akurasi data yang tepat dan objektif, maka penulis juga menjelaskan mengenai sistem kepercayaan masyrakat Jepang,

Ajaran Shinto, Kami dalam ajaran Shinto dan serta ritual-ritual dalam ajaran

Shinto. Dimana Kodama merupakan bagian kepercayaan dalam ajaran Shinto.

Serta penjelasan tentang Kodama.

7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1.4 Tinjauan Pustaka Dan Krangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Jepang merupakan negara yang memiliki beragam agama didalamnya.

Agama dan kepercayaan itu beberapa diantaranya adalah Shinto yang dikenal sebagai agama nenek moyang, agama budha yang merupakan agama yang berasal dari China dan masuk ke Jepang pada abad ke-6, konfusius, Kristen yang masuk dari jalur perdagangan Jepang pada abad ke-19.

Pertumbuhan dan perkembangan agama serta kebudayaan jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilasi. Asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara intensif dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga masing-masing kebudayaan tadi berubah sifatnya yang khas, menjadi kebudayaan campuran (Hariyono,2006: 67).

Berdasarkan sejarahnya, Jepang sudah mendapat pengaruh baik secara kultural maupun Rohual. Namun, semua itu tidaklah menghilangkan budaya asli mereka. Mereka cenderung memadukan hal yang sudah ada dengan hal yang baru mereka terima dengan tidak menghilangkan hal-hal yang asli yang sudah ada sejak dulu. Dalam perpaduan tersebut, tidak merupakan pertentangan atau hal yang ditolak namun merupakan suatu kelanjutan.

Dalam buku “Jepang Sebuah Pedoman Saku”(Kedutaan Besar Jepang,

1985:14) Shinto bertahan dalam bentuk kepercayaan, kekuasaan/ adat istiadat tradisional dan dalam praktek-praktek seperti sembayang perorangan dan berbagai

8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA upacara serta perayaan. Shinto mencakup agama dan falsafah pribumi. Dalam periode Meiji (1868-1912) pemerintah mempergunakan Shinto untuk menjadi sistem kekaisaran dan sempat pula disebut sebagai agama negara.

Kata Shinto berasal dari 2 huruf kanji, yaitu shin/神 dan to/徒. Shin berarti dewa dan to berarti jalan. Jadi secara harafiah Shinto diartikan sebagai “jalan para dewa”(Ono,1998:2). Shinto berbeda dengan agama lainnya karena Shinto tidak memiliki pendiri dan tidak memiliki kitab suci. Penganut agama Shinto percaya dengan keberadaaan roh leluhur dan banyak dewa. Dewa dalam Shinto dikenal dengan Kami (Ono, 1998:3).

Dewa-dewa dalam ajaran Shinto Berdasarkan kutipan tersebut, contohnya adalah dewa tanah, dewa padi, dewa gunung, bahkan dewa pohon yang disebut dengan Kodama.

Kodama were said to be possessed of supernatural power, that could either

be a blessing or a curse. Kodama that were properly worshipped and

honored would protect houses and villages. Kodama that were mistreated

or disrespected brought down powerful curses.

(https://hyakumonogatari.com/2012/08/05/kodama-the-tree-Roh/)

Terjemahan :

kodama dikatakan memiliki kekuatan supernatural, yang bisa menjadi

berkat atau kutukan. Kodama yang disembah dan dihormati akan

9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA melindungi rumah dan desa. Kodama yang dianiaya atau tidak dihormati

menjatuhkan kutukan yang kuat.

Jika bicara tentang hutan di Jepang, maka bayangan yang akan muncul pertama kali adalah hutan aokigahara atau yang dikenal sebagai hutan bunuh diri.

Namun, keadaan hutan di Jepang tidak semua terkesan menyeramkan seperti halnya hutan aokigahara. Keadaan hutan di Jepang masih sangat terjaga hingga saat ini.

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teori kearifan lokal yang didasari religi. Religi atau sistem kepercayaan menciptakan berbagai hal seperti kebudayaan dan kearifan lokal. Sehingga dalam hal ini, penulis menggunakan teori pendekatan kearifan lokal dan teori pendekatan religi/sistem kepercayaan.

Khususnya karena Kodama merupakan sistem kepercayaan yang lahir dalam ajaran Shinto / ajaran nenek moyang di Jepang sebagai dasar konsep dari penulisan proposal skripsi yang sedang dibahas oleh penulis. Sebab, dalam sistem religi, terdapat bermacam aturan yang menjadi pedoman bagi penganutnya dalam bertindak dan bertingkah laku sebagaimana semestinya. Sehinga tidak heran jika banyak kebudayaan dan kearifan lokal yang lahir dari sistem religi seperti Jepang di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Berdasarkan konsep religi tersebut, penulis melihat sistem kepercayaan terhadap kodama merupakan sistem religi yang mempengaruhi bagaimana prilaku dan pemikiran masyarakat Jepang terdahap pepohonan di Jepang. Karakteristik masyarakat Jepang yang terus berpegang teguh pada sistem religi nenek moyang, 10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA membuat masyarakat Jepang juga terus berpegang teguh pada kearifan lokal berupa ajaran/religi itu sendiri. Shinto yang sudah lahir sejak dulu di Jepang, masih tertanam kuat dalam pribadi setiap masyarakatnya.

Selain itu, Konsep religi menurut Koentjaraningrat (1974:13) dalam skripsi Aminullah gea (2012:13) adalah sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa atau makhluk halus lain yang mendiami alam gaib. Konsep tersebut cocok dengan apa yang akan penulis bahas tentang kodama sebagai roh dalam ajaran Shinto.

Dalam kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily secara derivasional, istilah karifan lokal (local wisdom) terdiri atas dua kata, yaitu kata kearifan (wisdom) yang berarti “kebijaksanaan” dan kata lokal (local) yang berarti “setempat”. Dengan begitu, kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan atau pemikiran setempat/lokal yang bersifat bijaksana, penuh kebijaksanaan, bernilai positif dan berbudi luhur yang dipedomani dan dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal sendiri diperoleh secara turun-temurun, diwarisi dari generasi ke generasi baik berupa tradisi lisan maupun tulisan dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya.

Selain itu, menurut Robert Sibarani dalam bukunya yang berjudul

Kearifan lokal (2014:115), kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. Menurutnya Terdapat berbagai nilai dan norma budaya sebagai warisan leluhur yang fungsinya dalam menata kehidupan sosial masyarakat sebagai 11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kearifan lokal. Jenis-jenis kearifan lokal itu antara lain adalah: (1) kesejahteraan;

(2) kerja keras; (3) disiplin; (4) pendidikan; (5) kesehatan; (6) gotong royong; (7) pengelolaan gender; (8) pelestarian dan kreativitas budaya; (9) peduli lingkungan;

(10) kedamaian; (11) kesopansantunan; (12) kejujuran; (13) kesetiakawanan sosial; (14) kerukunan dan penyelesaian konflik; (15) komitmen; (16) pikiran positif; dan (17) rasa syukur. Dalam nilai-nilai kearifan lokal diatas, terdapat beberapa nilai yang cocok dengan apa yang akan dibahas oleh penulis sehingga dapat menjawab permasalahan dalam penulisan ini.

Berdasarkan konsep kearifan lokal yang didasari religi pada uraian diatas, dapat lebih direfleksikan terhadap pengaruh roh yang disebut kodama tersebut terhadap sikap dan tingkah laku masyarakat Jepang dalam menjaga dan melestarikan pepohonan di Jepang sebagai salah satu kearifan lokal di Jepang.

1.5 Tujuan dan Manfaat

1.5.1 Tujuan

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penulis merangkum tujuan dari penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan kedudukan Kodama dalam ajaran Shinto.

3. Untuk mendeskripsikan Kearifan lokal yang ada dalam Kodama.

1.5.2 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1. Bagi penulis dan pembaca dapat menambah wawasan tentang tree’s spirit

yang disebut Kodama dalam ajaran Shinto di Jepang.

2. Bagi pembaca, dapat menambah bahan bacaan dan sumber/referensi

penelitian untuk Depatremen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

.

1.6 Metode Penelitian

Untuk menemukan hal yang baru atau memperbaharui hal yang sudah lama, perlu dilakukan penelitian agar adanya data terbaru. Penelitian seyogiyanya dilakukan secara sistematis sehingga menghasilkan ilmu dan pengetahuan yang bermanfaat untuk memecahkan suatu masalah. Dalam penelitian sangat dibutuhkan metode penelitian sebagai bahan penunjang dalam penulisan. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode kualitatif dan metode deskriptif.

Metode penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya dengan tujuan mengumpulkan data yang banyak (Nasution, 1996:5). Menurut Nazir (1988: 63) dalam Buku “Contoh Metode Penelitian”, metode deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tehnik yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan (library reseach), yaitu dengan mengumpulkan data-data melalui buku, skripsi, tesis, jurnal, artikel dan sumber-sumber lain yang terdapat di internet.

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB II

SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT JEPANG DAN KODAMA

2.1 Sejarah Sistem Kepercayaan Masyarakat Jepang

Jepang adalah negara yang memiliki sejarah yang panjang, baik dari sistem politik, ekonomi, budaya maupun sistem kepercayaan. Sejarah Jepang sendiri sudah diketahui berdasarkan dan nihonshoki. Meskipun sejarah

Jepang tercatat sejak ditulisnya kedua cerita tersebut, ternyata sejarah Jepang sudah ada jauh sebelum cerita itu ditulis.

Berdasarkan buku yang berjudul Minzoku Gaku Ethnologi Jepang yang ditulis oleh guru besar Universitas Sumatera Utara, Hamzon Situmorang, Sejarah kekaisaran Jepang bermula sejak tahun 712 M dimana pada saat itu cerita kojiki ditulis dan tahun 720 M dimana saat itu cerita nihon shoki ditulis. Namun, lebih dari itu sejarah bangsa Jepang dapat ditelusuri sampai ke zaman sebelumnya yaitu zaman Yayoi dan bahkan ke zaman primitif yaitu zaman zomon melalui penelitian kehidupan purbakala. Benda-benda purbakala banyak ditemukan di Jepang, sehingga melalui penelitian kepurbakalaan tersebut dapat diketahui kehidupan berbudaya masyarakatnya. (2013:23)

Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah Jepang tidak hanya bermula sejak ditulisnya Kojiki ataupun Nihon Shoki Namun sudah bermula jauh sebelum itu berdasarkan penelitian kepurbakalaan yang dilakukan oleh peneliti. Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa ditemukan benda-benda purbakala sehingga dapat diketahui bagaimana masyarakat Jepang berbudaya

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pada zaman dulu. Selain kehidupan berbudaya masyarakatnya, kehidupan beragama masyarakat Jepang juga dapat diketahui dalam zaman sejarah masyarakat Jepang tersebut.

Sejak zaman dahulu ternyata masyarakat sudah mempunyai kegiatan- kegiatan spriritual seperti melakukan kebiasaan penyebahan dan peribadatan.

Menurut buku yang penulis baca, masyarakat Jepang kuno sudah mempunyai kebiasaan penyembahan alam dan penyembahan roh leluhur sepanjang sejarah bangsa tersebut. Penyembahan-penyembahan seperti ini disebut dengan

Shizenshukyo/ 自 然 宗 教 (agama alam), Shomin Shinkou / 庶民信仰

(kepercayaan rakyat), dan Minkan Shinkou/ 民間信仰(kepercayaan penduduk)

(Situmorang et al., 2013:23).

Berdasarkan kutipan di atas, masyarakat Jepang sudah memiliki sistem kepercayaan sendiri sejak zaman kuno di Jepang. sistem kepercayaan tersebut sudah ada bahkan sebelum munculnya agama-agama baru dari luar Jepang.

Namun, sistem kepercayaan asli Jepang yang sudah ada sejak zaman kuno tersebut, adalah sistem kepercayaan yang tidak melembaga sedangkan kepercayaan baru yang masuk dari luar Jepang adalah sistem kepercayaan yang melembaga seperti, Buddha dan konfusius. Maka sejak saat itulah masyarakat

Jepang menjadikan sistem kepercayaan asli mereka menjadi sistem kepercayaan yang melembaga yang disebut Shinto.

Masyarakat Jepang yang dikenal sebagai masyarakat yang terus berpegang teguh terhadap sistem kepercayaan serta budaya yang ditinggalkan oleh leluhur

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kepada mereka, membuat agama-agama baru yang masuk ke Jepang harus menyesuaikan dengan kepercayaan yang sudah ada sejak zaman kuno di Jepang tersebut. Penyesuaian ini disebut Honchisuijakuron/本地垂迹論. Berdasarkan buku yang berjudul seikatsu kaizen (2017:35-36) yang ditulis oleh Susy Ong yang menyebutkan bahwa, setelah agama Buddha masuk ke Jepang pada abad ke-6, kepercayaan local, yang disebut Shinto (secara harafiah berarti „jalan dewa‟), berasimilasi dengan ajaran dan ritual Buddha.

Kemudian berdasarkan pembagian zaman-zaman di Jepang, system kepercayaan masyarakat Jepang juga semakin berkembang. Berikut perkembangan system kepercayaan di Jepang berdasarkan zaman yang ditullis dalam buku Minzoku Gaku Jepang (2013:24-27)

1. Pada zaman Nara, sudah ada masyarakat Ritsuryo. Ritsuryo adalah system

hukum bersejarah berdasarkan filosofi konfusianisme dan legalisme

Tiongkok di Jepang. Pada zaman yang sama, pemerintah Jepang

mengajarkan Kokka Bukyo (Buddha Negara). Lalu sudah dikenalnya

Hokai/ 法会(Kelompok beragama).

2. Pada zaman Heian (794-1185), dikenal politik seikan seiji, dalam agama

dikenal sebagai Izoku Bukkyo/ 遺族仏教 (Buddha bangsawan). Dalam

sistem kepercayaan ini, yang disembah adalah Hotoke/Buddha dan

penguasa pemerintahan. Pada zaman ini sudah dikenal kelompok

beragama yang disebut dengan gakurou.

3. Pada zaman Kamakura hingga Azuchimomoyama (1185-1600), dikenal

buke shakai (masyarkat bushi) dimana pemerintahan dikuasai oleh 17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA masyarakat bushi , pada masa ini sudah dikenal struktur aliran-aliran

agama Buddha di Jepang. Selain itu pada zaman Azucimomoyama sudah

masuk orang eropa dan agama Kristen ke Jepang.

4. Pada zaman Edo (1600-1867), dikenal sistem pemerintahan

Bakuhantaisei/ 幕藩体制, yaitu sistem pemerintah pusat (bakufu) dan

pemerintahan wilayah daerah (han) atau kedaimyouan. Selain itu, sudah

dibentuk jidan shoshiki (terauke) yaitu semua orang harus terdaftar di kuil

otera (kuil Buddha). Kemudian dikenal dengan penyembahan leluhur,

dikenal juga miyaza (kuil Shinto).

5. Pada zaman meiji, akhir zaman Edo hingga perang dunia ke II, Jepang

disebut sebagai negara dengan sistem Kekaisaran (Tennosei kokka), pada

masa inilah lahir agama yang disebut kokkaShinto atau Shinto Negara atau

disebut juga dengan Shinto yang melembaga. Pemerintah meiji (Maret,

1868) mengeluarkan peraturan Shinbutsu bunri rei/ 神仏分離令 yaitu,

peraturan pemisahan Kami dan Hotoke/ Pemisahan Buddha dan Shinto,

Sorou (pendeta Buddha) dilarang bekerja di Jinja (Kuil Shinto).

Kemudian pada tahun 1869 dibuat sistem pengajaran penyembahan Shinto oleh pemerintah kekaisaran. Kemudian pada tahun 1871, ditentukan jinja (Jinja pemerintah), (Jinja han), Jinja provinsi, dan jinja daerah. Kemudian pada tahun

1872 , pemerintah menutup departemen agama dan membuka departemen pendidikan, kemudian menetapkan peraturan pendidikan 3 ayat yaitu mencintai negara dengan pengajaran Shinto, ajaran kemanusiaan dari langit, menghormati istana dan meninggikan kaisar.kemudian dibuat peraturan bahwa di Tokyo ada lembaga pendidikan besar dan di daerah provinsi ada lembaga pendidikan 18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menengah dan kemudian di seluruh daerah ada pendidikan kecil semuanya pengajaran dipimpin oleh Kokka Shinto / Shinto negara yang berpusat di sejingu atau kuil ise. Jadi pada masa meiji kelihatan hubungan pemerintahan dengan sistem kepercayaan Jepang.

Pada tahun 1889 dikeluarkan undang-undang dainipponteikokukenpou, yang berisikan bahwa negara Jepang adalah negara kekaisaran. (isejinggu yang menyembah nenek moyang kaisar menjadi dasar dan tertinggi). Kemudian yasukuni jinja sebagai penyembahan keluarga bangsawan. Kemudian pada tahun

1913, diadakan penyusunan Jinja Ichoushonisshajutsu ( setiap daerah dan kota ada satu jinja) sehingga sifat pengajaran Shinto negara menjadi semakin jelas dan menjangkau seluruh daerah.

Kemudian dibuat dasar struktur dalam Kokka Shinto yaitu di daerah ada kosha yang menyembah Chiikinosousen (nenek moyang yang ada di daerah tersebut), kemudian ada fukensha tempat penyembahan chihou zentainoshugogami (dewa daerah secara keseluruhan), kemudian ada ise jinggu yang menjadi pusat penyembahan yang didasarkan pada penyembahan leluhur kaisar. Kemudian semua jinja disatukan pada pemikiran kojiki dan nihonshoki sebagai dasar sejarah kekaisaran Jepang.

Kemudian Kokka Shinto yang mendukung sistem kekaisaran ini, didukung dalam penyembahan leluhur dalam keluarga sistem ie. Hal ini mendukung kazokukokkaron (teori negara keluarga). Di dalam keluarga kepala keluarga melakukan penyembahan leluhur, dan pekerjaan di dalam keluarga dilakukan oleh seluruh anggota keluarga. Demikian juga di dalam negara keluarga, kaisar sebagai kepala keluarga menyembah dewa kaisar, dan seluruh anggota keluarga

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mengerjakan pekerjaan keluarga. Pemikiran seperti ini diajarkan dalam pendidikan sekolah dan dalam pendidikan militer. Oleh karena itu, seluruh rakyat harus mengikuti perintah kaisar, dan yang meninggal dalam perang disembah di

Yasukuni jinja. Pemikiran kokka Shinto seperti ini sudah mengantarkan Jepang menjadi negara modern. Kemudian pada tanggal 15 agustus 1945, Jepang kalah dalam perang dunia II, hal ini merubah sistem beragama masyarakat Jepang. pada tanggal 15 desember tahun yang sama (1945), dikeluarkan peraturan larangan kokkaShinto. Agama yang diizinkan harus berbentuk yayasan. Kemudian pada tanggal 1 januari 1946, Tenno mengadakan Ningensengen, menjelaskan bahwa kaisar adalah manusia yang tidak punya sifat kedewaan. Kemudian dibuat

Nihonkokukempo (undang-undang dasar Jepang) yang mengatakan bahwa kaisar hanya sebagai lambang negara. Kemudian dalam keadaan seperti ini siapapun dapat mendirikan lembaga agama, sehingga pada tanggal 1951 sudah ada 720 buah lembaga agama di Jepang (Watanabe 2006).

Pada tahun 1950, perkembangan industri di Jepang semakin maju dengan pesat, oleh karena itu banyak orang dari desa pindah ke kota. Hal ini mengakibatkan banyak aliran-aliran agama baru tumbuh di kota, misalnya

Shokagakkai, Reiyukai, PL kyoudan dan sebagainya. Kemudian sistem beragama setelah perang dunia II, hingga sekarang, yaitu adanya kebebasan beragama bagi masyarakat Jepang.

Dalam perkembangan ekonomi Jepang yang pesat pada tahun 1970-an, mengakibatkan banyak orang yang pindah ke kota. Kehidupan masyarakat berubah menjadi masyarakat modern. Masyarakat semakin sibuk dan semakin individualis. Hal ini menurut miyake juga mempengaruhi sikap beragama

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA masyarakat Jepang. Orang Jepang masih tetap melakukan Gyoji (acara-acara tradisional) dan juga masih melakukan Hantsumode dan Obon, tetapi maknanya sudah berubah bagi mereka banyak mereka beranggapan hanya sebagai tempat rekreasi, atau fungsi kuil, jinja dan gereja adalah sebagai tempat rekreasi (Miyake

2009:83)

Berdasarkan penjelasan secara rinci bagaimana yang ditulis dalam buku

Minzokugaku (2013:25-27) di atas, diketahui bahwa untuk menjadi Jepang yang sekarang ini, karakteristik berdasarkan sistem kepercayaan, yang dibangun ke dalam diri masyarakat Jepang sendiri memiliki sejarah yang panjang.

2.2 Prilaku Beragama Masyarakat Jepang

Sistem kepercayaan ataupun agama yang dianut oleh seorang individu pastilah mempengaruhi bagaimana individu tersebut beprilaku. Masyarakat

Jepang dikenal sebagai masyarakat politheis. Karena sebagian besar masyarakat

Jepang menganut agama atau sistem kepercayaan lebih dari satu. Hal tersebut terbukti dengan bagaimana masyarakat Jepang menempatkan sistem kepercayaan mereka sesuai tempat dimana mereka berada dan dimana mereka melakukan aktifitas. Namun, meskipun Jepang menganut kepercayaan lebih dari satu, Jepang masih menjunjung tinggi sistem kepercayaan nenek moyang yaitu Shinto. Oleh karena itu, Jepang menganut sistem kepercayaan Minkashinkou ( Kepercayaan rakyat Jepang)

Menurut Hori dalam Myake (2009:3) yang dikutip dalam buku minzokugaku Jepang (2013:28) (yang dimaksud dengan minkanshinkou

(Kepercayaan rakyat) adalah agama alami, yaitu tidak memiliki doktrin, tidak ada 21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sistematika pengajaran, tidak memiliki struktur lengkap dari pengikut. Bersifat magis dan tidak melembaga, dan menunjukkan kelompok kepercayaan yang terus menerus). Hori Ichiro membedakan antara minkanshinkou / folk believe dengan minkanshukyou / folk religion. Kalau folk believe adalah kepercayaan rakyat terhadap benda-benda yang mempunyai kekuatan supranatural, maka folk religion adalah cara rayat secara khusus dalam beragama tertentu.

Selain itu, dalam buku minzokugaku juga di jelaskan tentang pandangan tentang alam menurut minzoku shinkou (Kepercayaan etnik) yaitu; di dunia ini ada benda-benda alam seperti batu, sungai, laut dan ada juga benda-benda hidup seperti tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Namun, pada benda-benda alam tersebut tinggal sesuatu yang mempunyai kekuatan sehingga benda-benda tersebut dapat memberi bahaya atau dapat menjauhkan bahaya sehingga harus disembah.

Sedangkan di dalam mahluk hidup tersebut sudah ada kekuatan yang membahayakan dan dapat menyelamatkan sehingga harus disembah. Demikian juga benda-benda yang sangat besar seperti matahari, bulan dan bintang dianggap mempunyai kekuatan besar sehingga harus disembah. Penyembahan benda-benda seperti di atas, melahirkan adanya dewa matahari, dewa bulan, dewa binatang seperti Inari, dewa ular yang disebut totemisme, kemudian ada dewa yang tinggal di dalam manuaisa mengakibatkan manusia tersebut mempunyai kharisma.

Kepercayaan rakyat seperti ini didapati juga pada bangsa-bangsa lain (Miyake

2009:29-34)

Dikatakan bahwa Agama di Jepang ada untuk mengingkatkan dan melestarikan alam, alam adalah peninggalan leluhur dan pemberi kehidupan bagi

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA anak cucu, dan merupakan tempat tinggal roh-roh. Pohon di gunung dijaga oleh dewa gunung sehingga air dapat mengalir ke desa untuk kehidupan anak cucu di desa. Binatang buruan juga dijaga oleh dewa gunung, juga untuk kehidupan manusia. Oleh karena itu keliatan alam adalah sesuatu yang sangat penting dilestarikan oleh manusia dan dewa. Jadi kelihatan keselamatan alam dan harmoni untuk kehidupan adalah sesuatu yang paling penting dalam pandangangan beragama Jepang. (Situmorang et al., 2013:30)

Berdasarkan kutipan diatas, menguatkan penulis bahwa kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Jepang diyakini ada untuk melestarikan alam.

Kepercayaan Jepang yang berhubungan dengan alam sejak zaman dahulu dan ditanamkan dalam pribadi masyarakat Jepang secara turun temurun.

Menurut miyake dalam buku Minzokugaku, agama rakyat Jepang selalu berhubungan dengan kegunaan seperti, penyembuhan penyakit, pemeliharaan anak, kebutuhan pangan, tempat tinggal dan pakaian, keberhasilan, keuntungan, produksi dan hubungan manusia. dasar pemikirannya yaitu bahwa pada dasarnya manusia harus hidup, kemudian untuk mengatasi permasalahan diatas, manusia selalu terbatas, misalnya dokter terbatas dalam menyembuhkan penyakit, sehingga dibutuhkan kekuatan yang supernatural untuk melengkapi kebutuhan natural tersebut. Itulah yang dimaksud dengan genzeriaku. (Situmorang et al., 2013:31)

Meskipun Jepang dikatakan sudah menjadi negara yang maju namun masyarakatnya masih mempercayai hal-hal supranatural seperti yang dikatakan dalam kutipan diatas bahwa masyarakat Jepang masih mengharapkan keberuntungan, penyembuhan, hubungan ataupun keberhasilan dari agama yang 23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mereka anut. Dengan begitu masyarakat Jepang meyakini bahwa ada kekuatan lain yang dapat diharapkan selain manusia sehingga mempengaruhi prilaku masyarakat Jepang sehari-hari. Harapan-harapan dan doa-doa tersebut ditujukan pada Dewa atau Kami. Khususnya kepada Kami yang ada pada sistem kepercayaan yang sudah ada sejak dahulu yaitu Shinto.

Jika berbicara tentang hubungan antara yang disembah dan individu yang menyembah dalam sistem kepercayaan masyarakat Jepang, maka tidak lain adalah bagaimana hubungan tersebut dianggap saling menguntungkan atau disebut sebagai hubungan yang fungsional. Seperti, membuat ritual-ritual serta festival dengan harapan bahwa masyarakat mendapatkan kedamaian hidup sedangkan bagi hotoke/roh, agar hotoke tersebut jadi mempunyai kekuatan dan semakin suci hingga menjadi Kami (Dewa), setelah menjadi Kami akan menolong orang yang menyembah dan kemudian akan lahir kembali sebagai manusia. Oleh karena itu dalam pandanagan reinkarnasi, dewa dan manusia ada dalam hubungan saling tolong menolong (genzeriaku). (Situmorang et al., 2013:32)

Dalam ciri beragama masyarakat Jepang, maka terdapat objek yang disembah seperti Shinbutsu/ 神仏. Shin berarti Kami atau sesuatu yang memiliki kekuatan supranatural. Shin atau Kami adalah objek sembahan dalam ajaran

Shinto. Sedangkan Butsu adalah objek sembahan yang ada dalam agama Buddha.

Kemudian terdapat komunitas beragama di Jepang (Shinja/信者) serta doktrin agama (教理).

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2.3 Ajaran Shinto sebagai Agama Asli Masyarakat Jepang

Jika ditanya tentang agama asli masyarakat Jepang, maka pada umumnya, orang akan menjawab bahwa agama asli masyarakat Jepang adalah agama Shinto.

Dalam bahasa Jepang, biasanya kata yang menunjukkan bahwa suatu ajaran adalah dikatakan agama yaitu terdapat kata kyo yang mengikuti ajaran tersebut.

Seperti Isuramu-kyo (agama Islam), Kirisuto-kyo (agama Kristen), Bukkyo (agama

Buddha), Hinzu-kyo (agama Hindu) dan sebagainya. Namun, tidak begitu dengan

Shinto.

Dalam kamus Jepang-inggris, Shinto diartikan dengan sangat sederhana, yaitu “Shintoism; the traditional polytheistic religion of Japan (Shinto adalah

Shintoism; agama politeistik tradisional Jepang)”. Dalam kamus Jepang-indonesia,

Shinto adalah “agama Shinto”. Dari kedua kamus ini terdapat satu kesamaan dalam mendefinisikan Shinto yaitu sama-sama menggunakan istilah “agama”.

Dalam buku karya W.G. Aston berjudul “Shinto”, Shinto didefinisikan sebagai

“the way of the Gods (jalan para Dewa)”. (Alimansyar, 2017:1)

Menurut Ono Sokyo dalam buku Shinto Agama Asli Orang Jepang, Shinto bukan sekedar keyakinan beragama, tetapi gabungan dari sikap, pola pikir, dan metode melakukan sesuatu yang sudah ada sejak 2000 tahun lalu dan sudah menjadi bagian dari cara hidup orang Jepang. Oleh karena itu, Shinto adalah kepercayaan pribadi terhadap Kami, dan cara hidup bermasyarakat yang sesuai dengan kehendak Kami. Hal tersebut muncul dalam perjalanan berabad-abad karena berbagai pengaroh etnis dan budaya, baik dari dalam maupun dari luar,

25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menyatu, dan negara mencapai satu kesatuan di bawah keluarga kekaisaran

(1962:3)

Banyak orang asing yang memberikan penilaian bahwa orang Jepang jujur, bersih, teratur, tekun dan kooperatif. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa karakter bangsa ini didasarkan pada kesadaran dan hubungan interpersonal yang dibentuk oleh Shinto. Terutama, kejujuran, kesucian dan ketulusan yang dianggap sebagai nilai moral dasar dalam Shinto.

Dalam dua paragraf diatas, menjelaskan bahwa agama di Jepang bukan hanya sekedar ajaran yang diajarkan pada waktu tertentu saja namun dalam penjelasan tersebut menjelaskan bahwa agama dalam masyarakat Jepang membawa pengaruh besar dalam pembentukan kepribadian masyarakat Jepang itu sendiri sebagaimana karakteristik masyarakat Jepang pada saat sekarang ini.

Sehingga tidak jarang dikatakan bahwa karakteristik masyarakat Jepang adalah karakteristik yang dibangun berdasarkan sistem kepercayaan nenek moyang masyarakat Jepang yang tidak lain adalah agama Shinto.

Dalam buku Shinto Agama Asli Orang Jepang, dikatakan bahwa Orang

Jepang menyukai ungkapan, “mizu ni nagasu” (buanglah hal-hal buruk ke dalam air) yang berarti “yang lalu biarlah berlalu.” Orang Jepang pada umumnya adalah orang yang murah hati cenderung tidak terobsesi dengan hal-hal yang tidak menyenangkan atau kenangan buruk dan cenderung memaafkan orang lain yang menyakiti mereka. Karakter orang Jepang seperti ini dapat dikatakan terkait dengan tradisi dan cara berfikir dalam Shinto. Dalam Shinto penyucian jiwa dan raga disebut dengan misogi atau harae sangat penting dalam kaitannya dengan

Kami. (2017:7)

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat yang mencintai alam sebagaimana mereka mencintai hidup mereka sendiri. Dalam ajaran Shinto sendiri diajarkan bagaimana Kami dapat menyerupai apapun yang ada di alam. Seperti batu, pohon, sungai dan lain sebagainya. Dikarenakan masyarakat Jepang yang terus memegang teguh kepercayaan nenek moyang ini, maka membuat karakteristik masyarakat Jepang menjadi lebih mencintai dan menghargai alam.

Meskipun ada pula tempat-tempat yang sedikit tercemar akibat kegiatan perekonomian serta urbanisasi namun pada umumnya keindahan dan kelestariaan alam di Jepang terjaga dengan baik. Selain menghargai dan menjaga alam sebagaimana terdapat Kami dimana-mana, sejak zaman dulu mereka percaya bahwa selain alam, Kami juga menciptakan manusia. Oleh sebab itu mereka meiliki sifat solidaritas, harmoni, hidup bersama dan kerja sama dengan alam.

Sehingga sebagian besar tempat-tempat sembahyang seperti Jinja memiliki pepohonan, hutan kecil maupun besar sebagai ruang hijau yang berharga di daerah pinggiran kota.

2.3.1 Kami pada Ajaran Shinto

Kami dalam Shinto berbeda dengan tuhan dalam agama Islam dan Kristen atau Dewa-dewa dalam mitos Yunani dan Romawi kuno. Kami yang menjadi obyek keyakinan orang Jepang jumlahnya sangat banyak, dalam bahasa Jepang sering disebut “yaoyorozu no Kami” (delapan juta Kami). Sedangkan Tuhan dalam agama Islam dan Kristen hanya satu. Apalagi, tidak ada satupun dari semua

Kami tersebut bersifat mutlak yang bertindak sebagai pencipta dan penguasa.

Penciptaan dan pengembangan dunia diwujudkan melalui kerja sama harmonis dari beberapa Kami yang melaksanakan tugasnya masing-masing. Bahkan 27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Amaterasu-Omi Kami yang notabenenya adalah Kami nenek moyang dari kaisar,

Kami tertinggi atau sentral dalam Shinto sekalipun bukan maha tahu dan maha kuasa. Selain itu, beberapa Kami dalam kepercayaan orang Jepang sama dengan dewa-dewa dalam kepercayaan Yunani kuno dan Romawi kuno yakni menyerupai manusia, tetapi dalam Shinto terdapat juga tipe Kami lain seperti: benda-benda alam dan kekuatan alam. Oleh karena itu, istilah Kami dianggap tepat untuk mengekspresikan obyek dari kepercayaan masyarakat Jepang tersebut.

(Alimansyar, 2017:4)

Meskipun ajaran Shinto memiliki sebagian besar syarat sebuah agama, namun karena Shinto tidak memiliki doktrin, maka beberapa para ahli ada yang berpendapat bahwa Shinto bukanlah sebuah agama. Dimana doktrin merupakan hal sebagai syarat sebuah agama. Dalam kojiki sekalipun tidak tercantum doktrin- doktrin keagamaan dan hanya mengisahkan berbagai mitos-mitos sejarah.

Dalam ajaran Shinto, yang dianggap Kami sangatlah beragam. Ada Kami seperti Amaterasu-Omi Kami, ada gunung, laut, dan sungai, ada batu dan pohon besar, ada hewan dan benda-benda lainnya. Tokoh-tokoh yang dahulu terkenal seperti Sugawara Michizane atau Tokugawa Ieyasu juga dijadikan Kami. Bahkan nenek moyang setiap keluarga juga dijadika sebagai Kami.

Dalam ajaran Shinto tidak terdapat standar yang menjadi acuan mengenai

Kami. Secara ekstrem bisa dikatakan, jika seseorang menganggap sesuatu adalah

Kami, maka sesuatu tersebut akan menjadi Kami. Shinto juga tidak mengenal kehidupan setelah mati. Dalam Kojiki memang tercantum yomi-no-Kami (dunia kematian), tetapi mereka tidak mengenal adanya surga dan neraka seperti dalam ajaran Islam, Kristen dan Buddha. (Alimansyar, 2017:5-6)

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Berdasarkan penjelasan diatas, Kami dalam ajaran Shinto semakin

beragam sesuai dengan cara pandang penganutnya. Dalam ajaran Shinto apa saja

yang menumbukan rasa takut ataupun segan dapat dianggap sebagai Kami baik itu

benda hidup ataupun benda mati. Baik itu bersifat baik maupun bersifat buruk.

Dalam Shinto, terdapat pula dewa perang. Dimana Kami ini menjadi pemberi

kekuatan prajurit yang sedang berperang. Kami ini dianggap memimpin jalannya

perang.

“Pada mulanya istilah Kami diterapkan terhadap dewa-dewa langit dan

bumi yang disebutkan dalam dokumen-dokumen kuno tertulis, dan

terhadap spirit-spirit (mitama) yang mendiami tempat-tempat suci,

tempat mereka dipuja. Disamping itu, bukan hanya manusia, tetapi juga

burung-burung, binatang-binatang, tetumbuhan dan pohon-pohon, laut

dan gunung-gunung, dan semua benda lain, apapun bentuknya yang

patut ditakuti dan dipuja karena memiliki kekuasaan yang tinggi dan

luarbiasa, semuanya disebut Kami. Kami juga tidak memerlukan sifat-

sifat istimewa karena memiliki kemuliaan, kebaikan, atau kegunaan

yang khusus. Segala kewujudan yang jahat dan mengerikan juga

disebut Kami apabila merupakan objek-objek yang pada umumnya

ditakuti.” (Norinaga,1779:33)

Dari kutipan diatas dapat diketahui adanya 4 hal yang mendasari konsepsi

kedewaan dalam agama Shinto (Mukti, 1988: 254-255) yaitu :

1. Dewa-dewa tersebut pada umumnya merupakan personifikasi gejala-gejala alam.

2. Dewa-dewa tersebut dapat pula berarti manusia

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3. Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit yang mendiami tempat-tempat di

bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.

4. Pendekatan manusia terhadap dewa-dewa tersebut bertitik-tolak dari perasaan

segan dan takut.

Dewa-dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas, bahkan

senantiasa bertambah, hal ini diungkapkan dalam istilah “Yao-Yarozuno

Kami” yang berarti “delapan miliun dewa”. Menurut agama Shinto kepercayaan

terhadap berbilangnya tersebut justru dianggap mempunyai pengertian yang

positif. Sebuah angka yang besar berarti menunjukkan bahwa para dewa itu

memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci dan maha murah. Oleh

sebab itu angka-angka seperti 8, 80, 180, 5, 100, 10, 50, 100, 500 dan seterusnya

dianggap sebagai angka-angka suci karena menunjukkan bahwa jumlah para dewa

itu tidak terbatas jumlahnya. Dan seperti halnya jumlah angka dengan bilangannya

yang besar maka bilangan itu juga menunjukkan sifat kebesaran dan keagungan

“Kami”. Adapun beberapa dewa-dewi, mahkluk gaib, roh-roh, yang dipuja dalam

Shinto antara lain: Naga (mahkluk berupa ular); Dosojin; Ebisu (salah satu dewa

keberuntungan Jepang); Dewa Hachiman; Henge; Kappa; Kitsune (Roh

Srigala); Oinari (Roh Srigala); Shishi (Singa); Su-ling (Empat Binatang

Pelindung); Tanuki; Inari (dewa makanan); Aragami (Roh ganas dan jahat);

Dewa-dewa Tanah dan Dewa-dewa Gunung dan Dewa-dewa Pohon; Dewa-dewa

Air dan Dewa-dewa Laut; Dewa-dewa Api; Dewa-dewa manusia.

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2.3.2 Ritual Ajaran Shinto

Terdapat dua jenis ritus keagamaan dalam ajaran Shinto yaitu Ritual dan

Festival. Kedua ritus ini biasanya dilaksanakan di kuil Shinto yaitu Jinja.

Kegiatan ritus ini dilakukan sebagai cara agar Kami dapat berkomunikasi dengan umatnya. Fungsi dari ritual dan festival yaitu untuk meningkatkan kekuatan Kami agar dapat memberi kedamaian dan anugrah bagi umatnya.

Ritual-ritual yang terdapat dalam ajaran Shinto yaitu doa (norito) dan penyucian diri (harae). Doa (Norito) merupakan perangkat yang tidak dapat dipisahkan dari upacara, dibaca oleh pemimpin upacara atau kepala pendeta (guji).

Norito ditulis dan dibaca berdasarkan aturan bahasa klasik, dengan alasan bahwa

Kami diyakini lebih mudah memahami bahasa klasik daripada bahasa modern.

Selain itu, menurut kepercayaan kuno,bahasa yang indah dan benar akan membawa kebaikan, sedangkan bahasa yang jelek dan tidak benar akan membawa keburukan. Artinya di dalam bahasa diyakini terdapat kekuatan spiritual. Oleh karena itu, norito ditulis dan dibaca dengan bahasa klasik yang elegan.

(Alimansyar, 2017:71)

Pada umumnya, setiap agama atau kepercayaan memiliki ritus-ritus doa keagamaannya masing-masing. Apabila dalam Buddha ataupun agama lainnya biasanya membaca doa sesuai dengan kitab keagamaan, Shinto tidaklah demikian.

Dalam ritus-ritus doa keagamaan Shinto, pendeta bebas menulis doa yang merka inginkan dan jika diperlukan merka dapat menggunakan model doa yang disusun oleh Jinja-Honcho.

Pada prinsipnya, doa diawali dengan kata-kata dalam pujian kepada Kami, menceritakan asal-usul atau sejarah ritual atau festival tertentu, menyajikan 31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA persembahan (makanan untuk Kami), mengungkapkan rasa syukur kepada Kami, laporan atau permohonan kepada Kami, dan diakhiri dengan kata-kata hormat

(Ono, 1962:56)

Selanjutnya penyucian diri (Harae) adalah kegiatan penyucian jasmani dan rohani di hadapan Kami. Dalam ajaran Shinto penyucian diri dianggap sesuatu yang sangat penting karena dengan menghilangkan semua kotoran

(kegare) dan dosa (tsumi), maka kesucian jasmani dan rohani dapat dipulihkan kembali. Kegiatan penyucian diri dari yang paling representatif adalah Shubatsu yang dilakukan oleh pendeta sebelum memulai ritual. Tata tertib pelaksanaan

Shubatsu adalah pertama-tama seorang pendeta membacakan doa (harae-kotoba); pendeta lain mengibaskan kertas suci yang disebut o-nusa sebanyak tiga kali diatas kepala para peserta ritual; seorang pendeta lain mendekati para peserta dengan membawa ranting pohon sasaki dan air garam, lalu memercikkannya.

Tetapi, dalam ritual untuk kepentingan pribadi percikan air garam sering dihilangkan. (Alimansyar, 2017:71-72)

Secara historis, pendeta Shinto harus melakukan penyucian diri sebelum melakukan ritual dengan membatasi diri dalam mengkonsumsi makanan dan berprilaku, menghindari kekotoran dalam jangka waktu tertentu. Aturan penyucian diri yang ketat telah ditetapkan dalam Jingiryo pada tahun 718. Sebagai contoh, Jingiryo menetapkan enam tabu berikut (disebut rokujiki-no-kinki) untuk menaati selama masa tertentu sebelum ritual untuk menghindari kotoran. Enam tabu tersebut adalah tidak mengunjungi orang yang sedang berkabung, tidak mengunjungi orang sakit, tidak makan daging, tidak menjatuhkan hukuman mati, tidak menghukum penjahat dan tidak bermain musik.

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Saat ini, pendeta Shinto harus menyucikan diri sebelum hari pelaksanaan festival skala besar dan menengah, atau pada hari yang sama dengan pelaksanaan festival skala kecil. Selama waktu penyucian diri, mereka harus membersihkan tubuh mereka dengan air, memakai pakaian bersih, tinggal di ruangan khusus, menahan diri dari makan dan minum, berfikir, berbicara dan berprilaku dengan benar dan tidak bersentuhan dengan kotoran. (Alimansyar, 2017:72)

2.4 Kodama Sebagai Youkai Penjaga Pohon

Kodama (bahasa Jepang: 木霊 atau 木魂) adalah sejenis roh yang berhubungan dengan pepohonan dalam mitologi Jepang. Kodama secara harfiah adalah roh pohon, dan merupakan nyawa dari pohon itu sendiri. Namun, tidak semua pohon dihuni oleh Kodama. Kodama terlahir ketika sebuah pohon mencapai usia tertentu. Biasanya mereka hanya mendiami pohon tua dan besar di dalam hutan, dan mereka bekerja demi melindungi hutan dari segala ancaman bahaya. Konsep roh pohon ini mirip dengan dengan dryads dalam mitologi

Yunani, tetapi dewa tersebut senang melakukan hal yang senonoh pada manusia, sedangkan Kodama sangat tenang. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kodama

19/05/2018)

Kodama are revered as gods of the trees, and protectors of the forests.

They bless the lands around their forest with vitality, and villagers who

find a Kodama-inhabited tree honor it by marking it with a sacred rope

known as a shimenawa. Occasionally, very old trees will bleed when cut,

and this is regarded as a sign that a Kodama is living inside. Cutting

down such an ancient tree is a grave sin, and can bring down a powerful

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA curse on any villagers who do so, causing a prosperous community to fall

into ruin. (http://yokai.com/Kodama 19/05/2018)

Artinya:

Kodama merupakan perlambangan kelestarian pohon dan

hutan. Penduduk yang merasa pohonnya dihuni oleh Kodama biasanya

menandai pohon tersebut dengan shimenawa, sejenis tali simpul keramat

untuk menghormati Kodama. Biasanya, jika ada pohon yang berdarah

ketika ditebang, hal itu merupakan pertanda bahwa Kodama menghuni

pohon tersebut. Oleh karena itu, memotong pohon antik dengan sengaja

merupakan dosa besar, dan penduduk yang melakukan hal itu akan

terkena kutukan.

Dalam legendanya, Di kedalaman hutan gunung di Jepang, bersemayam roh-roh para pohon yang disebut dengan Kodama. Roh-roh ini pada waktu-waktu tertentu berpatroli membentuk kerumunan untuk melindungi habitat hutan. Kodama sangat jarang terlihat, tapi mereka dapat didingar. Biasanya suara itu berupa sekelibat echo. Ketika mereka tampak, mereka biasanya menyerupai bola cahaya redup dari kejauhan, atau terkadang seperti manusia kerdil berbentuk unik. Nyawa Kodama terhubung langsung dengan pohon yang Ia huni, dan antara

Kodama dan pohon saling menghidupi satu sama lain. Jadi, ketika Kodama mati, maka pohon itu mati, begitu juga sebaliknya.

Kodama banyak muncul dalam anime dan game Jepang. Salah satunya yang paling populer adalah Kodama berkepala bulat berwarna putih dalam anime buatan Studio Ghibli yang berjdul "Princess ." Dalam film itu Kodama digambarkan seperti kecil dan bersuara unik. Mereka juga datang secara 34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bergerombol, dan muncul dan menghilang semau mereka apabila terlihat oleh manusia. Sifatnya juga sangat tenang, meskipun terkadang sangat mengganggu. Kemudian, Kodama merupakan tokoh utama di dalam game buatan Dan Tsukasa berjudu Kodama : The Game yang menceritakan sebuah

Kodama yang berpetualang mencari kawan-kawannya di belahan penjuru Jepang, dan mengajak mereka pulang ke hutan asal mereka untuk menolong para Kodama lainnya melindungi hutan dari monster jahat.

Di Jepang juga masih terdapat adat tradisi penghoramatan kepada Kodama.

Salah satu contohnya adalah di Aogashima, pulau Izu di mana orang-orang membangun kuil kecil dibawah pohon besar untuk kemudian disembah. Lalu di desa Mitsune, daerah Hachijo-jima, para penduduknya menggelar festival tiap tahun sebagai tanda penghormatan pada Kodama, dan meminta restu dan maaf jika suatu saat mereka harus menebang pepohonan demi kepentingan industrial.

2.4.1 Sejarah Kodama

Penyebutan roh pohon (Kodama) yang pertama kali diketahui adalah di buku tertua di Jepang, Kojiki (Catatan Masa Lalu) yang berbicara tentang dewa pohon Wakunochi-no-Kami, anak kedua dari Izanagi dan Izanami.

Penggunaan kata Kodama yang tertua dan spesifik berasal dari periode

Heian, dalam buku Wamuryorui Jyusho (和 名 類 聚 抄; Nama Jepang yang ditulis pada 931 - 938 M). Wamuryorui Jyusho adalah kamus yang menunjukkan kanji yang sesuai untuk kata-kata Jepang, dan mencantumkan 古 多 万 sebagai kata Jepang untuk roh-roh pohon.

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kodama adalah kepercayaan yang sangat tua, dan kata yang sangat tua. Itu diucapkan jauh sebelum Jepang memiliki bahasa tertulis, dan selama berabad- abad telah ada tiga kanji yang berbeda yang digunakan untuk menulis Kodama.

Kata tertua, 古 多 万 namun agak sedikit ambigu. Kata terurai menjadi 古 - (ko; old) - 多 - (da; banyak) - 万 (ma; 10.000). Karena Jepang kuno tidak memiliki sistem penulisan, ketika sistem penulisan Cina mengadopsi karakter kanji sering dipilih untuk suara daripada makna. Simbol-simbol yang tidak terkait disatukan untuk memperkirakan pelafalan kata-kata Jepang yang ada. Ini adalah penjelasan yang paling mungkin untuk penggunaan 古 多 万.

Tapi kombinasi ini tidak memuaskan, dan di tahun-tahun kemudian 木 魂

(木; ko; pohon - 魂; dama; jiwa) serta diadopsi menjadi 木 魅 (木; ko; pohon - 魅; dama; jiwa), dan sekarang diperbaharui menjadi 木 霊 (木; ko; pohon - 霊; dama; semangat) cenderung digunakan.

Kanji lain yang digunakan untuk Kodama yaitu kanji 谺 yang juga berarti gema. Kemudian pada buku era Heian lainnya, Genji (源氏物語; The

Tale of Genji), menggunakan 木 魂 untuk menggambarkan Kodama sebagai semacam yang hidup di pohon. Genji Monogatari juga menggunakan frasa

“baik atau Kami atau kitsune atau Kodama,” yang menunjukkan bahwa keempat roh ini dianggap sebagai entitas yang terpisah.

Dari sumber lain mengatakan bahwa dari zaman kuno di Jepang, jenis pohon tertentu dianggap sebagai tempat tinggal bagi Kami, dewa spiritual dari

36

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA agama animisme asli Jepang. Pohon-pohon tertentu seperti pohon bunyan Cina atau salam India dikatakan disukai oleh Kami ini. Pentingnya Kami yang tinggal di pohon ini dituliskan dalam Kojiki (Catatan Masalah Kuno), di mana legenda ini menceritakan tentang dewa kelahiran Jepang dari Izanagi dan Izanami. Keduanya melahirkan ratusan ribu anak-anak dewa, tetapi anak kedua mereka adalah Kami dari pohon-pohon.

Di seluruh Jepang dapat terlihat pohon-pohon yang menyerupai manusia dalam beberapa cara luar biasa. Legenda mengatakan ini berasal dari roh-roh

Kami yang tinggal di dalamnya. Disebut Jiyushin , shinboku (神木), atau Kodama

(古 多 万), pohon-pohon suci ini sering ditemukan di tanah kuil Shinto atau kuil

Buddha. Roh-roh yang berdiam di pepohonan dikatakan menawarkan perlindungan kepada para penyembah dan mengawasi rumah-rumah di sekitarnya.

Pada saat yang sama, pohon-pohon ini memberikan perlindungan kepada

Kami sendiri, memberi mereka ruang fisik untuk dihuni. Kadang-kadang dikatakan bahwa Kami turun ke bumi dari surga, tetapi mereka tidak bisa tetap berada dalam keadaan alami mereka. Pohon-pohon suci bertindak sebagai media, memberikan esensi spiritual dari Kami di suatu tempat untuk ada saat mereka berada di alam manusia. Mereka beresonansi dengan pepohonan dengan bentuk tertentu. Konon energi spiritual dapat dirasakan paling kuat di pohon yang memiliki batang ganda, atau bahkan tripel.

Masih ada tempat suci di seluruh Jepang yang memuliakan Kami yang tinggal di pohon. Banyak dari ini ditemukan di pegunungan, di mana pohon-

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pohon dikatakan dihuni oleh berbagai gunung Kami atau bahkan roh leluhur.

Tetapi tidak peduli asalnya, ketika Kami tinggal di sebuah pohon, mereka disebut ki no Kami, dewa pohon.

Sekitar periode Edo, Kodama kehilangan pangkat mereka sebagai dewa hutan dan dimasukkan sebagai salah satu yokai Jepang. Kodama menjadi manusia juga ada cerita-cerita tentang Kodama jatuh cinta pada manusia dan berubah bentuk menjadi manusia untuk menikahi kekasih mereka.

2.4.2 Pandangan Tentang Bentuk Kodama

Tidak ada yang benar-benar setuju seperti apa Kodama itu. Dalam legenda kuno mereka tidak terlihat atau tidak dapat dibedakan dari pohon biasa. Toriyama sekian, yang telah menetapkan standar untuk munculnya banyak makhluk dari cerita rakyat Jepang, menarik Kodama sebagai manusia purba atau wanita berdiri di dekat pohon dalam bukunya yang terkenal Gazu Hyakki Yagyō (画 図 百 鬼 夜

行; The Illustrated The Night Parade from Hundred Demons ).

Miyazaki Hayao menggunakan Kodama secara ekstensif dalam filmnya

Mononoke Hime (Princess Mononoke) dan menggambarkan Kodama sebagai kepala berbandul ganda. Interpretasi modern sangat beragam, menunjukkan

Kodama sebagai manusia muda dan tua, atau roh yang diadaptasi dari tradisi pagan Eropa atau hanya karakter animasi lucu. Jelas, mereka dibuka untuk interpretasi. Pada site resmi milik Studio Ghibli menyatakan bahwa Kodama memiliki kulit putih dengan mata yang bercahaya.

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Ketika mereka muncul, mereka biasanya terlihat seperti bola cahaya samar di kejauhan; atau kadang-kadang sebagai sosok mungil, berbentuk lucu yang samar-samar seperti manusia. Kekuatan hidup Kodama secara langsung terikat pada pohon yang ditinggali dan jika pohon atau Kodama mati, yang lain tidak dapat hidup. Selain itu, berdasarkan ilustrasi tentang seorang

Kodama yaitu Kodama muncul sebagai seorang lelaki tua yang menjaga serta merawat pohon. Dikarenakan ilustrasi tersebut, Kodama dianggap sebagai Kami yang harus disembah dan dipuja.

Biasanya, Kodama dipuja oleh pendeta dan penjaga hutan untuk penyelarasan mereka dengan hutan belantara. Kodama juga dikenal juga sebagai

Kami pohon yang melindungi/menjaga pepohonan belantara di hutan. (Pohon- pohon itu dilindungi oleh berbagai Kami, jika keadaan memungkinkan) Suatu

Kodama mengambil satu pohon di bawah perlindungannya; Biasanya, semua pohon di hutan dilindungi oleh Kodama. Seorang Kodama dalam bentuk fisiknya menyerupai makhluk yang nyaris tidak manusiawi dengan hanya kepalanya yang setengah bulat. Sebuah Kami pohon memiliki tinggi 3 kaki dan berat 60 pon.

Sementara orang mungkin mengharapkan Kami lebih besar dari besar pohon, fakta bahwa hutan terdiri dari begitu banyak pohon cenderung mengurangi

"kehadiran" tunggal yang mungkin dimiliki satu pohon.

2.4.3 Hukuman Kodama Kepada Penebang Pohon Liar

Kodama lebih ingin tahu tentang pengunjung daripada kebanyakan Kami, dan sering memanifestasikan tubuh fisik mereka hanya untuk menonton dan mengamati pendatang baru di daerah mereka. Sebuah Kodama biasanya 39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bermanifestasi di sisi jauh dari pohonnya, atau dalam bayang-bayang dari semak- semak, sehingga perlahan-lahan dapat melangkah keluar dengan visibilitas untuk diam-diam mengamati dengan mengganggu, dengan mata tatapan kosong nya.

Tatapan ini bisa sangat mengerikan. Mereka yang telah jatuh di bawah pengaroh tatapan supranatural ini sering memiliki deskripsi yang berbeda tentang bagaimana tatapan membuat mereka merasa malu, takut, penasaran, geli, dan saraf menjadi reaksi yang paling umum. Sementara di bawah pengamatan oleh

Kodama yang penasaran, hanya sedikit yang dapat melanjutkan tindakan mereka tanpa setidaknya terganggu oleh perhatian Kami ini. Ketika Kodama harus berjuang (biasanya untuk mempertahankan pohon atau Kami lainnya), bergerak cepat, Kodama bekerja paling baik dalam kelompok dan ketika dihadapkan sendiri, biasanya di pohon, untuk melakukan perjalanan ke bagian lain dari hutan untuk membangkitkan sekutu kecil atau sekutu dalam mempertahankan rumahnya.

Kodama merupakan perlambangan kelestarian pohon dan hutan. Penduduk yang merasa pohonnya dihuni oleh Kodama biasanya menandai pohon tersebut dengan shimenawa, sejenis tali simpul keramat untuk menghormati Kodama.

Biasanya, jika ada pohon yang berdarah ketika ditebang, hal itu merupakan pertanda bahwa Kodama menghuni pohon tersebut. Oleh karena itu, memotong pohon antik dengan sengaja merupakan dosa besar, dan penduduk yang melakukan hal itu akan terkena kutukan. Apapun bentuk yang mereka ambil,

Kodama dikatakan memiliki kekuatan supranatural, yang bisa menjadi berkat atau kutukan. Kodama yang disembah dan dihormati dengan baik akan melindungi rumah dan desa. Kodama yang dianiaya atau diremehkan menjatuhkan kutukan kuat. Penganiayaan terhadap kodama yang dimaksud yaitu seperti menebang 40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pohon sembarangan apalagi pohon yang sudah jelas ditandai dengan tali keramat/shimenawa. Dengan menebang pohon sembarangan ataupun memotong ranting pohon sembarangan, maka secara tidak langsung hal tersebut dianggap bahwa orang yang menebang pohon meremehkan keberadaan kodama.

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB III

KODAMA SEBAGAI KEARIFAN LOKAL

3.1 Kearifan Lokal dalam Kodama yang Berhubungan dengan Manusia

Kodama dikenal sebagai roh penjaga pohon atau dikenal sebagai Youkai pohon. Youkai ini setara dengan Youkai lain dalam agama Shinto seperti Kitsune atau Kappa. Meski begitu, roh penjaga pohon ini masih dihormati oleh masyarakat

Jepang karena pada awalnya Kodama dianggap sebagai Kami pohon. kepercayaan terhadap roh ini, dapat dilihat dari berbagai karya sastra yang dibuat oleh masyarakat Jepang sendiri. Seperti dalam film animasi berjudul “Mononoke hime

(Princess Mononoke)” yang ditayangkan pada tahun 1997. Dalam film tersebut menggambarkan bagaimana bentuk Kodama sebagai Youkai dan bagaimana

Kodama membentuk sebuah koloni dalam pohon-pohon dalam hutan di Jepang.

Meskipun dalam film itu tidak sepenuhnya menceritakan bagaimana kehidupan

Kodama, namun keberadaan Kodama dalam film animasi tersebut tergambar dengan jelas.

Pada menit ke-58, Kodama muncul pertama kali dalam film animasi ini.

Youkai ini berbentuk seperti boneka manusia tetapi dengan kepala yang mirip seperti batu dengan bentuk sedikit tidak beraturan. Seperti layaknya anak-anak,

Kodama memiliki bentuk tubuh yang sedikit beragam yaitu ada Kodama yang tubuhnya kurus dan ada yang gemuk. Kodama juga bisa berjalan dan melompat, namun tidak jauh dari sekitar pohon tempat mereka tinggal. Youkai ini tidak muncul langsung dalam jumlah banyak, youkai ini muncul secara bergilir. Dalam

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

film animasi tersebut, Kodama memperhatikan Momoke Hime sebagai peran utama yang sedang menelusuri hutan. Kodama tidak melakukan apapun, mereka hanya memperhatikan apa yang dilakukan oleh Momoke Hime. Hal tersebut semakin menguatkan penulis bahwa Kodama tidak akan mengutuk dan memberi hukuman pada manusia yang tidak melakukan kejahatan pada pohon dimana

Kodama tinggal. Mereka hanya mengawasi tingkah laku manusia. Suatu ketika, disaat Momoke Hime memotong pohon kecil yang tumbuh di akar pohon besar,

Kodama mengerumuni pohon kecil yang habis dipotong tersebut. Kodama tidak memberi kutukannya karena pohon kecil yang dipotong oleh Momoke Hime adalah obat-obatan. Momoke Hime memotong pohon obat tersebut untuk menyelamatkan temannya yang sedang terluka parah.

Selain film animasi tersebut, ada sebuah lukisan yang dibuat oleh

Toriyama Sekien yang berjudul “Kodama”. Dalam lukisan itu tergambar dua orang dengan perawakan kakek dan nenek yang sedang membersihkan pohon.

Dalam arti lain, Toriyama Sakien menggambarkan bentuk lain dari Kodama yang digambarkan dalam film animasi Momoke Hime. Kodama yang menjaga pohon menjaganya agar tetap suci.

Selain film animasi dan lukisan, keyakinan masyarakat terhadap Kodama ini juga dituangkan dalam bentuk karya lain yaitu Game. Game yang bernama

“Kodama : The Tree’s Spirit” oleh Scott Hartman, Kwanchai Moriya dan Mirko

Suzuki serta didisain oleh Daniel Solis. Cara kerja game ini adalah, pemain menjadi orang yang menjaga Kodama dengan merawat, menanam, dan menumbuhkan pohon sehingga Kodama hidup nyaman di dalam pohon yang

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dirawat oleh pemain. Dalam deskripsi game ini, tertulis bahwa siapapun yang perduli dengan Kodama mereka akan diingat selama beberapa generasi. Dengan kata lain, game ini mengajarkan untuk terus melestarikan pepohonan di hutan sehingga Kodama dapat hidup dengan tenang dalam pohon. Game ini dapat dimainkan seluroh keluarga. Karena game ini merupakan game yang bagus, pada tahun 2016, game ini mendapatkan dua penghargaan yaitu 2016 Golden Best Card

Game Nominee dan 2016 Golden Geek Best Board Game Artwork & Presentation

Nominee.

Karya-karya tersebut adalah bukti nyata bahwa masyarakat Jepang sangat menghormati kearifan lokal tersebut. Berdasarkan teori kearifan lokal oleh Robert

Sibarani, Jenis-jenis kearifan lokal itu antara lain adalah: (1) kesejahteraan; (2) kerja keras; (3) disiplin; (4) pendidikan; (5) kesehatan; (6) gotong royong; (7) pengelolaan gender; (8) pelestarian dan kreativitas budaya; (9) peduli lingkungan;

(10) kedamaian; (11) kesopansantunan; (12) kejujuran; (13) kesetiakawanan sosial; (14) kerukunan dan penyelesaian konflik; (15) komitmen; (16) pikiran positif; dan (17) rasa syukur. Dalam 17 poin yang disebutkan oleh Robert, kearifan lokal yang ada dalam Kodama sebagai hubungan dengan manusia yaitu kesejahteraan, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotong royong, pelestarian dan kreatifitas budaya, perduli lingkungan, dan rasa syukur. Terdapat banyak poin kearifan lokal yang terdapat dalam Kodama bagi masyarakat Jepang.

Kesejahteraan bagi masyarakat karena telah melanjutkan kearifan lokal yang ditinggalkan oleh pendahulu masyarakatnya. Dengan meyakini adanya

Kodama, secara otomatis masyarakat juga memahami untuk melestarikan pohon

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

karena di dalam pohon itu terdapat Kodama. Karena itulah selain menjaga kelestarian hutan, masyarakat juga secara tidak langsung turut menjaga kesejahteraan masyarakat ataupun kesejahteraan generasi penerus mereka.

Semakin banyak pohon yang mereka lindungi dan mereka jaga, maka semakin baik pula kelestarian hutan dan menjaga mereka dari polusi dunia sekarang ini.

Sehingga kepercayaan terhadap Kodama ini menghasilkan adanya kesejahteraan.

Kesejahteraan itu sendiri dihasilkan oleh kepercayaan masyarakat Jepang terhadap

Kodama.

Selain kesejahteraan, masyarakat juga mempunyai disiplin untuk terus menghormati pohon dengan tidak menebang pohon sembarangan dan terus merawat kelangsungan pohon. Mereka juga mempunyai disiplin untuk tidak membuat keributan di hutan, tidak berkata kasar serta tidak melakukan tindakan yang tidak sepantasnya di Hutan seperti tidak buang air kecil sembaranngan.

Bahkan untuk mencegah terjadinya hal itu, di Jepang ada beberapa hutan yang memiliki toilet sendiri. Oleh karena itu, masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat yang sangat menghargai alam. Dengan adanya Kodama, masyarakat maka lahirlah suasana hening di dalam hutan di Jepang.

Kemudian masyarakat Jepang juga dikenal sebagai masyarakat yang disiplin waktu, maupun disiplin terhadap peraturan. Meskipun ajaran Shinto dikenal sebagai sistem kepercayaan dan agama asli masyarakat Jepang, namun aturan-aturan pada ajaran Shinto memanglah sudah menjadi jati diri masyarakat

Jepang sendiri. Sehingga agama apapun yang dianut oleh masyarakat Jepang, ajaran-ajaran Shinto masih tertanam kuat pada pribadi masyarakatnya. Jadi,

45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kepercayaan terhadap Kodama yang ada pada ajaran Shinto pun masih menjadi disiplin bagi masyarakat Jepang itu sendiri. Hasilnya, Dengan mempercayai akan adanya Kodama pada ajaran Shinto, maka masyarakat Jepang juga menjadi disiplin terhadap kelestarian alam di Jepang. Terutama pepohonan di Hutan

Jepang karena berhubungan langsung dengan kepercayaan terhadap Kodama yang ada pada ajaran Shinto. Masyarakat juga ditanamkan kedisplinan agar terus mengingat hukuman yang akan diterima apabila semena-mena dengan keberadaan pohon terutama pepohonan di hutan Jepang.

Nilai kearifan lokal selanjutnya adalah pendidikan. Yaitu dimana kepercayaan masyarakat terhadap Kodama ini, merupakan bentuk dari didikan yang diajarkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dengan mempercayai adanya Kodama, masyarakat menjadi terdidik dan berprilaku baik terhadap alam khususnya terhadap pohon di Jepang. Sehingga bukanlah lagi hal yang baru jika masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat yang terdidik sejak dari zaman nenek moyang mereka.

Pendidikan yang diterima oleh generasi penerus pada masyarakat Jepang tersebut, menghasilkan pula nilai-nilai kearifan lokal lain yaitu nilai kesehatan.

Dengan melestarikan dan terus menjaga alam terutama pohon, masyarakat Jepang mendapatkan ikut menjaga udara agar tetap bersih. Hal tersebut berdampak pada kesehatan masyarakat Jepang sendiri. Semakin banyak pohon yang terjaga, maka semakin baik pula oksigen yang dapat dihirup oleh semua kalangan dalam masyarakat Jepang.

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kemudian gotong royong. Dengan mempercayai adanya Kodama, masyarakat tanpa sadar telah menanamkan sifat gotong royong yaitu dengan saling mengingatkan untuk terus menjaga kelestarian pepohonan di Hutan Jepang bersama-sama. Bersama-sama menjaga, melestarikan dan merawat pepohonan yang tidak hanya dikenal sebagai nyawa dari Kodama itu sendiri, masyarakat juga paham benar bahwa pohon adalah paru-paru dunia. Sehingga, dengan mempercayai akan adanya Kodama, memberikan hasil bahwa masyarakat Jepang memiliki nilai-nilai kearifan lokal gotong royong, bersama-sama melestarikan pepohonan hutan di Jepang.

Selanjutnya yaitu pelestarian dan kreativitas budaya. Kepercayaan terhadap Kodama jelas menggambarkan bagaimana masyarakat melestarikan alam dan menanamkan kreativitas budaya seperti bagaimana masyarakat menuangkan kepercayaannya terhadap karya-karya yang kreatif. Karya tersebut yaitu jalan cerita dalam film animasi, lukisan hingga game. Selain itu, sebagai hasil dari kepercayaan terhadap Kodama ini, masyarakat Jepang juga lebih menghargai kehidupan pohon-pohon hutan di Jepang dengan melakukan tradisi dengan membangun kuil-kuil kecil di bawah pohon besar dan kemudian di sembah serta mengadakan festival sebagai bentuk ucapan terimakasih kepada Kodama karena telah menjaga penduduk desa.

Dengan terus menjaga kelestarian hutan, dan terus meyakini kepercayaan terhadap Kodama, masyarakat Jepang telah menunjukkan bahwa mereka sampai saat inipun masih perduli akan lingkungan. Meskipun perduli lingkungan memiliki artian yang luas, namun dengan terus menjaga kelestarian pepohonan di

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

hutan, maka dengan mempercayai akan adanya Kodama ini, menghasilkan masyarakat yang perduli lingkungan yaitu dengan tidak menebang pohon sembarangan, serta terus melestarikan pepohonan sebagai nyawa dan rumah bagi

Kodama yang mereka percayai dalam ajaran Shinto atau agama asli masyarakat

Jepang yang sudah ada sebelum masuknya agama luar. Dengan kepercayaan itu, masyarakat juga ikut andil dalam menghasilkan udara yang bersih.

Yang terakhir adalah rasa syukur. Masyarakat Jepang meneruskan budaya dalam menghormati pepohonan yaitu dengan melakukan upacara yang dilakukan untuk pepohonan di Jepang. Sebagai rasa syukur karena Kodama terus menjaga mereka, terutama penduduk yang hidup dekat dengan hutan di Jepang. Tidak hanya itu, di Jepang masih ada desa-desa dan tempat tertentu yang memberi penghormatan kepada Kodama sebagai rasa syukur dan permintaan maaf karena telah menebang pohon untuk kepentingan industrial. Dengan begitu, hasil dari kepercayaan terhadap Kodama yang diyakini oleh masyarakat Jepang ini yaitu dengan adanya festival sebagai rasa syukur kepada Kodama.

3.2 Kearifan Lokal dalam Kodama yang Berhubungan dengan Alam

Kodama dipercaya merupakan nyawa dari pohon itu sendiri. Kodama tentu saja merupakan poin penting dalam pelestarian pohon di Jepang. Dari poin-poin kearifan lokal, poin ke-8 merupakan poin yang menggambarkan hubungan

Kodama dengan alam. Meskipun alam Jepang tidak hanya ditumbuhi oleh pepohonan, namun pepohonan yang paling banyak menghasilkan oksigen di dalam alam itu sendiri. Sehingga pohon dianggap sebagai paru-paru dunia dan

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

banyak negara di seluruh dunia mencanangkan gerakan go green yaitu dengan mengadakan aksi penanaman pohon.

Kami dan roh-roh yang ada pada ajaran Shinto memiliki tempat sendiri disetiap objek di alam baik itu pohon, batu, air dan lainnya. Sehingga Kodama merupakan jenis roh yang sangat berpengaruh di alam karena Kodama bekerja untuk menjaga pepohonan. Kodama menjaga pepohonan Jepang sebagaimana nyawa Kodama itu sendiri. Namun, berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh penulis, bahwa tidak semua pohon di Jepang terdapat Kodama. Kodama mendiami pohon dalam usia tertentu, biasanya pohon tua dan besar. Kodama bertugas menjaga pohon tersebut dari berbagai macam ancaman.

Bila dipikirkan secara logika, maka memang benar adanya bahwa pohon- pohon besarlah yang butuh perlindungan. Karena banyaknya kasus penebangan pohon secara ilegal yang tidak lain adalah menebang jenis-jenis pohon besar.

Selain itu, untuk menumbuhkan pohon menjadi besar, memerlukan waktu yang tidak sedikit. Setidaknya mebutuhkan waktu puluhan tahun untuk bisa menumbuhkan pohon hingga menjadi besar dan menghasilkan oksigen yang lebih banyak. Oleh karena itu, Kodama bertugas untuk menjaga pepohonan itu agar tidak disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sehingga tidak jarang dapat ditemui pohon-pohon besar masih sangat terjaga di Jepang.

Apabila sebuah pohon yang di huni oleh Kodama mati, maka Kodama juga akan mati. Oleh karena itu, dalam ajaran Shinto ditanamkan untuk menjaga kelestarian alam, menjaga pepohonan dan tidak melakukan hal yang semena-mena pada alam terutama pada pohon di Jepang. Apabila dalam pohon itu ada Kodama 49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dan orang dengan sengaja menebangnya, maka akan mendapat dosa besar serta kutukan. Karena Kodama dipercayai sebagai roh dalam pohon-pohon di Hutan

Jepang, maka dimana ada pepohonan Hutan di seluruh Jepang, maka disitulah

Kodama tinggal.

Hutan di Jepang merupakan salah satu hutan di dunia yang masih terjaga kelestariannya. Hal itu dikarenakan masyarakat yang terus melestarikan alam dan pepohonan Jepang karena meyakini apa yang diajarkan dalam ajaran Shinto yaitu kepercayaan terhadap Kodama. Sehingga kepercayaan ini menghasilkan kearifan lokal terhadap alam Jepang. Meskipun masih banyak Youkai dan Kami yang dipercaya dalam ajaran Shinto yang bersemayam dalam hutan, namun keberadaan

Youkai ini, Kodama merupakan keberadaan yang seharusnya menjadi hal terpenting yang harus terus diingat dan diyakini agar kelestarian pepohonan di

Hutan Jepang terus terjaga.

3.3 Kearifan Lokal dalam Kodama yang Berhubungan dengan Roh

Dalam ajaran Shinto, terdapat banyak Kami dan terdapat bermacam jenis

Youkai. Meskipun pada awalnya Kodama merupakan salah satu Kami, setelah zaman Edo, Kodama tidak lagi menjadi Kami dan menjadi bagian dari jenis

Youkai yang ada pada ajaran Shinto. Youkai sendiri merupakan kelas yang memiliki kekuatan dewa atau kekuatan spiritual dan supranatural. Namun, Youkai berada di bawah Kami. Meskipun begitu, masih banyak masyarakat yang mempercayainya sebagai Kami no Ki/ dewa pohon dan melakukan penyembahan terhadap pohon tersebut. Tentu saja hal ini sangat mempengaruhi kearifan lokal yang terlahir dari kepercayaan terhadap Kodama ini. Jika masyarakat Jepang tidak 50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

lagi mempercayai hal tersebut, tentu saja kearifan lokal yang ada dalam Kodama ini akan musnah. Walaupun Kodama tidak lagi dianggap sebagai Kami, namun keberadaan Kodama masih dipercayai oleh masyarakat Jepang sehingga melahirkan kearifan lokal yang masih terjaga hingga saat ini.

Pada umumnya, Youkai tidak lagi disembah. Youkai hanya dipercayai dan dihormati. Namun, berbeda dengan Kodama yang pada awalnya merupakan Kami dan berubah menjadi kelas Youkai. Kodama masih dipercaya dapat melindungi warga desa sebagaimana yang Kami lakukan.

Kearifan lokal yang ada dalam Kodama yang berhubungan dengan roh yaitu dengan mempercayai akan adanya Kodama, masyarakat Jepang takut akan kutukan-kutukan Kodama sehingga masyarakat Jepang lebih berhati-hati dalam bertindak terhadap alam, terutama terhadap pepohonan Jepang. Selain itu, dengan mempercayai adanya Kodama, maka wujud pohon merupakan wujud dari Kami dalam ajaran Shinto. Masyarakat Jepang mempercayai akan Kodama yang merupakan utusan Kami yang sama halnya apabila mereka menyembah Kami, maka mereka mendapat kedamaian hidup. Karena, dikatakan bahwa pohon juga merupakan sarana bagi Kami untuk turun ke bumi.

Dalam film animasi Monoke Hime, Kodama bersama roh yang ada di hutan bersama menjaga kelangsungan hidup ekosistem hutan. Dalam fillm animasi tersebut, perawakan Kodama yang mungil dan membentuk koloni, bersama mendukung Kami hutan yang di dalam film tersebut adalah seekor rusa.

Kodama bersama koloni mereka mengeluarkan suara seperti gertakan tulang

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dengan memutar kepalanya. Youkai Kodama yang pendiam hanya mengawasi pengunjung hutan.

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN

Berdasarkan dari apa yang penulis teliti, bahwa kearifan lokal di Jepang didasarkan pada sistem kepercayaan Jepang sendiri. Baik sistem kepercayaan yang sudah ada sejak dahulu yaitu kepercayaan Shinto maupun kepercayaan yang muncul dari luar seperti buddha dan Konfusius. Meskipun di Jepang sudah banyak terdapat sistem kepercayaan, namun masyarakat Jepang masih berpegang teguh pada kepercayaan asli yaitu sistem kepercayaan Shinto. Bahkan agama dan sistem kepercayaan yang masuk dari negara lain pun harus beradaptasi dengan kepercayaan lokal tersebut.

Dalam ajaran Shinto, terdapat banyak Kami dan Youkai. Kodama merupakan Youkai pohon yang sebelum zaman Edo merupakan Kami dalam ajaran Shinto. Namun, setelah zaman Edo, Kami pohon tersebut tidak lagi dianggap sebagai Kami dan disejajarkan dengan kelas Youkai. Sistem kepercayaan yang sudah ada sejak dahulu di Jepang ini, menciptakan nilai-nilai kearifan lokal.

Sesuai dengan teori kearifan lokal yang penulis gunakan dalam penelitian ini, terdapat nilai-nilai yang terkandung dalam Kodama yaitu kesejahteraan, disiplin, gotong royong, pelestarian dan kreatifitas budaya, perduli lingkungan, dan rasa syukur. Dalam uraian tersebut, penulis menyimpulkan:

1. Kodama merupakan nyawa dari pohon itu sendiri.

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2. Tidak semua pohon di Jepang ditinggali oleh Kodama, pohon harus

mencapai usia tertentu barulah bisa ditinggali oleh Kodama. Biasanya

pohon besar.

3. Masyarakat menandai pohon yang dianggap ditinggali oleh kodama

dengan shimenawa yaitu berupa tali simpul keramat untuk menghormati

kodama.

4. Pada awalnya Kodama merupakan Kami. namun setelah zaman Edo,

Kodama menjadi sejajar dengan kelas Youkai

5. Meskipun kodama sudah dianggap sebagai Youkai, namun masih ada

beberapa wilayah di Jepang yang menyembah kuil kecil di bawah pohon

serta melakukan festival untuk menghormati Kodama seperti yang

dilakukan oleh masyarakat di Aogashima, pulau izu.

6. Pribadi masyarakat Jepang yang seyogianya didasari oleh kepercayaan

Shinto dimana disebutkan bahwa Kodama merupakan Kami no ki,

menghasilkan nilai-nilai kearifan lokal. Seperti kesejahteraan, disiplin,

pendidikan, kesehatan, gotong royong, pelestarian dan kreatifitas budaya,

perduli lingkungan, serta rasa syukur.

7. Dengan mempercayai adanya Kodama dan mempercayai kutukan-kutukan

yang diturunkan oleh Kodama, maka lahirlah nilai-nilai kearifan lokal

yang membawa masyarakat Jepang untuk tetap senantiasa menjaga dan

melestarikan hutan.

8. Dalam ajaran Shinto dipercayai bahwa Kami dari langit turun ke bumi

melalui pohon, sehingga dalam menjaga dan melestarikan pohon,

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

masyarakat tidak hanya dianggap menyembah Kami dari pohon itu sendiri

melainkan juga menyembah Kami yang turun melalui pohon tersebut.

9. Dengan adanya Kodama, Pohon sebagai presentasi dari wujud Kami.

dimana dalam ajaran Shinto Kami terdapat dalam berbagai tempat dan

wujud.

4.1 SARAN

Setelah kita melihat bagaimana masyarakat Jepang menjaga dengan baik pepohonan di Jepang hingga melestarikan dan merawat pohon tersebut, ada baiknya agar kita senantiasa menjaga kelestarian pepohonan di Indonesia.

Meskipun kita sebagai pembelajar, tidak mempercayai adanya Kodama seperti halnya masyarakat Jepang yang mempercayai hal tersebut, terlepas dari itu, kelestarian hutan terutama pepohonannya adalah hal yang paling utama dalam penelitian yang penulis teliti.

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan dkk. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global.

Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM

Hutahaean, Ulfa Maya Sari. 2015. Analisis Makna Simbolik Torii (Pintu

Gerbang) Pada Kuil Shinto Itsukushima. Departemen Sastra Jepang.

Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Sumatera Utara.

Kedutaan Besar Jepang. 1985. Jepang Sebuah Pedoman Saku. Jakarta: Kedutaan

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi : Edisi Revisi. Jakarta :

PT.Rineka Cipta.

Mahakam, Alida Renita.2007. Analisis Simbol Dan Pemikiran Shinto Dalam

Anime Sen To Chihiro No Kamikakushi Karya Miyazaki

Hayao.Departemen Sastra Jepang.Fakultas Sastra.Universitas Bina

Nusantara

Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Ono, Dr. Sokyo. 2003. Shinto The Kami Way. Tokyo : Charles E. Tuttle.

Putri, Erlinda. 2017. Kearifan Lokal dalam Perayaan Shogatsu di Jepang.

Departemen Sastra Jepang. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas

Sumatera Utara.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Rahmat. Jalaluddin. 2003. Psikologi Agama : Sebuah Pengantar. Bandung :

PT.Mizan.

Ross, Floyd Hiatt. 1995. Shinto the Way of Japan. London : Greenwood press.

Sibarani, Robert. 2014. KEARIFAN LOKAL: Hakikat, Peran dan Metode Tradisi

Lisan. Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan (ATL)

Situmorang, Hamzon dan Rospita Uli. 2013. Minzoku Gaku (Ethnologi) Jepang.

Medan: USU Press.

Afidah.2014. Sistem Religi dan Kepercayaan dalam Masyarakat. https://www.kompasiana.com/mukhodatulafidah/sistem-religi-dan-kepercayaan- dalam-masyarakat_54f754cda333117c358b4604

Ariefkendy.2016. Hubungan Religiusitas dengan Prilaku Sosial. http://ariefkendyblog.wordpress.com/2016/06

Davidson, Jack.2012. Kodama – The Tree Spirit. https://hyakumonogatari.com/2012/08/05/kodama-the-tree-spirit/

------Ki no Kami – The God in the Tree. https://hyakumonogatari.com/2012/07/18/ki-no-kami-the-god-in-the-tree/ 28.05.2018

Rismayanti.2013.Agama Shinto (Makalah). http://agamaminor2013.blogspot.co.id/2013/06/agama-shinto-makalah.html

Tanto. 2011. Pengertian Religiusitas. http://jalurilmu.blogspot.com/2011/10/ religiusitas.html.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Paizo.2011.Kami (Kodama). http://www.worldsofimagination.co.uk/monster%20Kami%20Kodama.htm

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

LAMPIRAN GAMBAR

1.1 Kodama pada film Prince Mononoke

1.2 Lukisan tentang kodama yang berjudul "Kodama" karya Toriyama Sekien.

1.3 Game Kodama The Tree’s Spirit

v

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.4 Pohon yang ditandai dengan Shimenawa

1.5 Patung Kodama yang dibuat oleh masyarakat pulau Izu, Aogashima

1.6 Pohon yang ditandai dengan tali Shimenawa yang ada didekat rumah penduduk

v

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Masyarakat Jepang dikenal oleh masyarakat dunia sebagai bangsa yang masih memegang teguh sistem kepercayaannya dan menjaga kearifan lokalnya.

Pada umumnya, kearifan lokal lahir dari sistem kepercayaan suatu masyarakat.

Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem kepercayaan dan kearifan lokal memiliki hubungan yang sangat erat.

Kepercayaan Sistem kepercayaan pada masyarakat Jepang yang dimaksud adalah Ajaran Shinto yang sudah ada sejak zaman dulu di Jepang. Ajaran Shinto sudah tertanam dalam pribadi masyarakat Jepang dan diajarkan secara turun- temurun. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-haripun masyarakat Jepang berprilaku sesuai dengan yang diajarkan dalam ajaran Shinto. Pada Ajaran Shinto dipercayai bahwasannya terdapat banyak dewa/Kami. Salah satunya adalah dewa pohon yaitu Kodama.

Sebelum zaman Edo, Kodama masih dipercaya sebagai Kami dalam ajaran

Shinto, namun setelah zaman Edo, Kodama tidak lagi dipercaya sebagai Kami dan dipercaya sebagai Youkai. Namun, meskipun Kodama tidak lagi dianggap sebagai

Kami, namun masyarakat Jepang masih menghormati keberadaan roh pohon ini dan mempercayai bahwa Kodama adalah bagian dari Kami dalam ajaran Shinto.

Karena itu, kepercayaan terhadap Kodama masih mempengaruhi bagaimana masyarakat Jepang berprilaku terhadap alam terutama terhadap pepohonan di hutan Jepang. Sehingga lahirlah kearifan lokal dari kepercayaan terhadap Kodama ini.

Kearifan lokal dalam Kodama ini, memiliki tiga poin penting yaitu kearifan lokal yang berhubungan dengan manusia, dengan alam, serta dengan roh.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kearifan lokal dalam Kodama yang berhubungan dengan manusia dalam masyarakat Jepang yaitu dengan ada banyaknya karya-karya yang lahir.

Contohnya yaitu film animasi yang berjudul Mononoke hime. Tidak hanya film animasi saja, tetapi game serta lukisan. Berdasarkan nilai-nilai dalam teori kearifan lokal yang penulis gunakan, terdapat beberapa nilai yang cocok dengan kearifan dalam kodama ini. Nilai tersebut adalah kesejahteraan, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotong royong, pelestarian dan kreatifitas budaya, perduli lingkungan, serta rasa syukur.

Kearifan lokal dalam Kodama yang berhubungan dengan alam yaitu pelestarian alam dan kreatifitas. Sebagaimana masih ada festival yang dilakukan oleh masyarakat di Aogashima, pulau Izu. Serta dengan mempercayai adanya

Kodama ini, maka masyarakat saling membantu dalam melestarikan hutan dan menolak akan adanya penebang pohon liar. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai sikap gotong royong dalam melestarikan pohon di hutan Jepang.

Kearifan lokal dalam kodama yang berhubungan dengan roh yaitu adanya komitmen dalam masyarakat. Dengan mempercayai dan meyakini adanya

Kodama, maka masyarakat Jepang terus percaya bahwa dalam ajaran Shinto terdapat banyak roh bahkan Kami yang bersemayam dalam benda-benda di sekitar lingkungan mereka.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA に ほ ん し ゃ か い せかいじゅう しゃかい ちほう ちえ しんねんたいけい まも 日本社会は世界中の社会に地方の知恵や信念体系をよく守っている

こくみん し ふつう ちほう ちえ しゃかい しんねんたいけい う 国民に知られた。普通には、地方の知恵は社会の信念体系から生まれた。

しんねんたいけい ちほう ちえ かんけい ほんとう ちか そういうことで、信念体系は地方の知恵に関係が本当に近い。

に ほ ん し ゃ か い しんねんたいけい むかし にほん しんとう しんとう その日本社会の信念体系は 昔 から日本にある神道である。神道は

に ほ ん し ゃ か い じか ねぶか だいだい おし ひび 日本社会の自家に根深くなって、代々に教えてあげた。だから、日々にも

に ほ ん し ゃ か い しんとう おし ふるま しんとう かみ おお 日本社会は神道に教えたことのとおりに振舞っている。神道に「神が多い」

しん ひと こだま かみ き と信じられた。その一つは木霊という神の木である。

えどじだい まえ しんとう かみ しん えどじだい あと かみ 江戸時代の前に神道の神と信じられたが、江戸時代の後はもう神と

しん ようかい しん かみ 信じられなくて、溶解と信じられてしまった。でも、もう神と信じられな

に ほ ん し ゃ か い き れい いぜん そんけい こだま しんとう かみ くても、日本社会はその木の霊を依然に尊敬されて、「木霊は神道の神の

ぶぶん しんじ こだま しん に ほ ん し ゃ か い 部分」というのを神事っている。だから、木霊に信じるのは日本社会が

しぜん たい ふるま いぜん しんどう とく にほん もり き 自然に対してどんな振舞うか依然に震動して、特に日本の森にある木であ

こだま しん ちほう ちえ う る。そこからは、木霊に信じるってことから地方の知恵が生まれた。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA こだま ちほう ちえ たいせつ てん みっ ひと め にんげん かんけい この木霊の地方の知恵は大切な点が三つあり、一つ目は人間に関係

ちほう ちえ ふた め しぜん ひと め れい かんけい ちほう がある地方の知恵で、二つ目は自然、もう一つ目は霊に関係がある地方の

ちえ に ほ ん し ゃ か い にんげん かんけい ちほう ちえ しょうめい さくひん 知恵である。日本社会に人間に関係がある地方の知恵の 証明は作品がた

せいさん たと もの けひめ くさん生産することである。例えば、「物の怪姫」というアニメーション

えいが げ む え の映画である。アニメーションだけでなく、ゲームや絵もある。

しぜん かんけい ちほう ちえ しょうめい しぜんほご そうぞうりょく 自然に関係がある地方の知恵の証明は自然保護と想像力である。

そ いずしま あお が しま しゃかい まつ こだま しん 其れなり、伊豆島の青ヶ島の社会がした祭りである。それに、木霊に信じ

しゃかい もりほごてつだ あ い ほ う ば っ さ い はば ることは社会は森保護手伝い合って、違法伐採を阻む。そんなことは

にほんもり きほご きょうさん い 日本森の木保護に協賛に言えれる。

れい かんけい ちほう ちえ しょうめい しゃかい げんち 霊に関係がある地方の知恵の 証明は社会の言質があることである。

こだま しん に ほ ん し ゃ か い しんとう しゃかい しろもの す れい かみ 木霊に信じることのは日本社会は「神道に社会の代物に住んでいる霊や神

しん つづ がたくさんある」と信じ続ける。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA