NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN

DEPARTEMEN DALAM NEGERI TAHUN 2006 DAFTAR lSI

Hal I. PENDAHULUAN...... 1 1.1. Latar Belakang...... 1 1.2. Konsep Otonomi...... 2 1.3. Ruang Lingkup RUU Pemerintahan Aceh...... 3

II. SEJARAH PEMERINTAHAN ACEH...... 5 2.1. Pra Kemerdekaan...... 5 2.2. Awal Kemerdekaan...... 6 2.3. Reformasi Pemerintahan...... 8

III. OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI ACEH...... 11 3.1. Penetapan Masalah...... 11 3.2. Perumusan Kebijakan...... 14 3.3. Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus NAD...... 26

IV. NOTA KESEPAHAMAN HELSiNKI...... 31 4.1. Dasar Kesepakatan...... 31 4.2. lsi Persetujuan.... 32

V. PRINSIP-PRINSIP PEMERINTAHAN ACEH...... 38 5.1. Prinsip-prinsip Pemberian Kewenangan Khusus...... 38 5.2. Prinsip Pokok Tata Kelola Pemerintahan...... 39 5.3. Susunan RUU Pemerintahan Aceh...... 46

DAFTAR PUSTAKA.... 50 BABI

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan

pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-Iuasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah

menetapkan urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi :

politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan

agama. Selain itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menetapkan pula, Negara mengakui dan menghonnati satuan-satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan sekaligus

bersifat istimewa telah mempunyai pengaturan pemerintahan daerah sendiri berbentuk

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan

Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam.

Dalam pada itu, sesuai dengan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik

Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka 15 Agustus 2005 di Helsinki, disepakati untuk

membentuk Undang-undang bam tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Provinsi Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berdasarkan

konstitusi Republik Indonesia. Karena itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 2

perlu disempumakan dan disesuaikan dengan isi persetujuan yang terdapat di dalam

Nota Kesepahaman tersebut.

Dalam melakukan perubahan undang-undang itu, diperhatikan berbagai dasar

kebijakan baik yang bersifat filosofis maupun normatif, utamanya yang terkait

dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, di antaranya Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999,

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 32 rabun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2002 tentang Partai Politik, serta undang-undang sektoral lainnya. Selain itu,

diakomodasi pula isi persetujuan yang tercantum dalam MoD Helsinki 15 Agustus

2005.

1.2. Konsep Otonomi

Otonomi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada satuan Pemerintahan Daerah

Aceh adalah otonomi yang seluas-luasnya dalam mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan kekhususan

atau keistimewaan yang dimiliki daerah Provinsi Aceh baik di bidang politik,

ekonomi, dan sosial budaya; kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan,

keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu di bidang agama.

Konsep otonomi tersebut didasarkan pada Pasal 18, Pasal 18 A dan Pasal 18 B DUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara teoritik, konsep otonomi seperti itu

lazim disebut sebagai model asymmetric decentralization ( Wignyosoebroto, 2005 :

562). 3

Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang politik berarti tanggung jawab

bagi pemerintahan Aceh untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah secara

demokratis dan mengelola pemerintahan daerah sesuai prinsip good governance

yaitu, transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif. Pemberian otonomi

seluas-Iuasnya di bidang ekonomi berarti tanggung jawab bagi Pemerintahan Daerah

Aceh dalam memanfaatkan dan mengelola kekayaan alam daerah Aceh untuk

sebesar-besamya kemakmuran rakyat Aceh. Pemberian otonomi seluas-luasnya di

bidang sosial budaya berarti tanggung jawab bagi Pemerintahan Daerah Aceh dalam

memajukan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluas-Iuasnya itu, masyarakat Aceh

memiliki peran serta baik dalam merumuskan kebijakan, menetapkan kebijakan,

melaksanakan kebijakan, dan tnengevaluasi kebijakan Pemerintahan Daerah Aceh.

Pemerintah Pusat sendiri berperan dalam melakukan pembinaan dan

pengawasan terhadap penyelenggaraan otonomi seluas-luasnya yang dilaksanakan

oleh Pemerintahan Daerah Aceh. Selain itu, sepanjang yang menyangkut urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah pusat dapat

melimpahkannya sebagian kepada kepala pemerintah Aceh selaku wakil pemerintah

dan menugaskan sebagian urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah provinsi,

pemerintah daerah kabupatenlkota danlatau pemerintahan desa.

1.3. Ruang Lingkup RUU Pemerintahan Aceh

RUD Pemerintahan Aceh ini pada dasarnya bersifat komprehensif yaitu

mencoba mengatur segala hal mengenai pemerintahan lokal di Aceh, mulai dari

pembagian dan batas daerah, kewenangan, bentuk dan susunan pemerintahan baik

lembaga legislatif maupun badan eksekutif serta lernbaga-lembaga adat, agama, dan 4

lembaga kemasyarakatan lainnya; pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, partai politik lokal, perangkat dan kepegawaian daerah, pe1aksanaan syariat Islam, perekonomian, keuangan daerah, qanun, sampai seluk beluk penyelenggaraan urusan pendidikan, kebudayaan, sosial, kesehatan, pertahanan, pertanahan, dan hak asasi manusia, sampai pembinaan dan pengawasan pemerintahan Aceh.

Selain itu, RUU ini juga bersifat tuntas, di mana berbagai pengaturan dilakukan secara detail dan diupayakan selengkap mungkin, sehingga tidak diperlukan aneka peraturan pelaksanaan yang berlebihan. Namun, apabila tidak terelakkan, mengingat luasnya aspek yang diatur, maka dibuka peluang pengaturan lanjutan melalui qanun atau peraturan gubemur dan peraturan pemerintah atau peraturan presiden.

Otonomi yang seluas-luasnya yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah Provinsi Aceh yang dimuat di dalam RUU Pemerintahan Aceh tidak datang tiba-tiba tetapi memiliki latar belakang yang panjang dan berdasarkan pokok-pokok pikiran yang cukup matang. Untuk mengetahuinya dengan lengkap dan rinci, naskah akademik ini mencoba memaparkannya secara obyektif dan runtut bagaimana perkembangan dan prinsip-prinsip pengaturan pemerintahan daerah di

Aceh. 5

BABII

SEJARAH PEMERINTAHAN ACEH

2.1. Pra-Kemerdekaan

Sejak sebelum masehi Aceh sudah menjadi perhatian para pedagang baik dari

India, Cina dan Timur Tengah. Tetapi setelah masehi banyak pelaut Cina, India, dan

Timur Tengah singgah di Aceh guna mencari rempah-rempah. Kehadiran bangsa

asing ini membuat masyarakat setempat berinteraksi dengan mereka, terutama di

bidang ekonomi dan kebudayaan sekaligus membawa peradaban baik Hindustan

maupun Islam (lihat Usman, 2003 : 21).

Pada abad ke 7, para pedagang India memperkenalkan agama Hindu dan

Budha. Narnun, peran Aceh menonjol sejalan dengan masuk dan berkembangnya

agama Islam yang dibawa oleh pedagang Gujarat menjelang abad ke 9 (BPS, 2002:

xiv). Aceh adalah tempat masuknya agama Islam pertama kali ke Indonesia, dan

tempat lahimya kerajaan Islam pertama pula di Nusantara, yaitu di Pereulak dan

Pasai. Kerajaan Islam yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayatsyah dengan

ibukotanya di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang) bertambah luas

hingga ke Semenanjung Malaka. Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya

permulaan abad ke 17 di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (lihat BPS,

2002 : xiv).

Pada sekitar abad ke 15, orang-orang Barat memulai petualangannya di Timur,

banyak wilayah Nusantara yang dapat dikuasainya, tetapi Aceh tetap bebas sebagai

kerajaan yang berdaulat. Sepeninggal Sultan Iskandar Muda para penggantinya tidak

mampu mempertahankan kebesaran kerajaan tersebut. Aceh kemudian menjadi

incaran bangsa Barat yang ditandai dengan penandatanganan Traktat London dan 6

Traktat Sumatera antara Inggris dan Belanda mengenai pengaturan kepentingan

mereka di Sumatera. Tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada

Aceh. Perang ini berlangsung selama 30 tahun dengan menelan korban cukup besar

di kedua belah pihak, dan memaksa Sultan Aceh terakhir, Muhamad Daud mengakui

kedaulatan Belanda (BPS, 2002 : xiv).

Dengan pengakuan kedaulatan tersebut, Aceh secara resmi dimasukkan ke

dalam Hindia Timur Be1anda (Nederlansch Oost-Indie) dalam bentuk provinsi.

Tetapi sejak tahun 1937 Provinsi Aceh berubah status menjadi keresidenan hingga

kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia berakhir tahun 1942 (BPS, 2002 : xv).

2.2. Awal Kemerdekaan

Pada saat bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945,

masyarakat Aceh sangat mendukung proklamasi itu karena mereka merasa senasib

dan sepenanggungan dengan saudara-saudaranya yang lain. Dukungan ini dinyatakan

dengan kerelaan menyerahkan harta dan nyawa untuk Republik Indonesia.

Perjuangan untuk mengusir penjajah Be1anda di Medan Area Sumatera Utara dan

membeli dua pesawat terbang untuk perjuangan menegakkan kedaulatan negara ini

merupakan bukti kesetiaan masyarakat Aceh kepada Republik Indonesia. Se1ama

revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki

Belanda sehingga Aceh disebut sebagai "Daerah Modal" bagi perjuangan bangsa

Indonesia. Sejak kemerdekaan itu pula Aceh dijadikan sebagai sebuah keresidenan

dalam wilayah Provinsi Sumatera dengan Teuku Nyak Arief sebagai Residennya

(BPS, 2002 : xvi). 7

Kedudukan daerah Aceh telah beberapa kali mengalami perubahan status. Di awal kemerdekaan, Aceh merupakan salah satu keresidenan dalam Provinsi

Sumatera. Gubemur Sumatera sendiri pada waktu itu dipegang oleh orang Aceh bemama Mr. Tengku Mohamad Hasan. Pada tanggal 5 April 1948 dengan UU

Nomor 10 Tahun 1948 Keresidenan Aceh berada di bawah Provinsi Sumatera

Utara, bersama-sama Keresidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Tapanuli

Selatan. Pada tanggal 17 Desember 1949 dengan Peraturan Perdana Menteri

Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM/49, Aceh dinyatakan sebagai provinsi yang berdiri sendiri lepas dari Provinsi Sumatera Utara. Namun, setelah

Republik Indonesia kembali ke negara kesatuan, melalui Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 Provinsi Aceh kembali ditetapkan menjadi salah satu keresidenan dalam Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan ini

menimbulkan gejolak politik yang menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan,

ketertiban dan ketentraman masyarakat. Guna memenuhi aspirasi dan tuntutan

rakyat Aceh, pemerintah mengubah kembali status Keresidenan Aceh menjadi daerah otonom Provinsi Aceh. Kebijakan tersebut tertuang dalam UU Nomor 24

Tahun 1956 tentang "Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Atjeh dan Perubahan

Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara" yang ditetapkan Presiden

Soekarno tanggal 29 Nopember 1956(BPS, 2002 : xvi-xvii).

Salah satu faktor yang menentukan dalam menuntaskan penyelesaian masalah

keamanan Aceh adalah setelah Pemerintah Pusat, melalui Perdana Menteri Hardi,

pada tahun 1959 mengirimkan satu misi khusus yang dikenal dengan nama Misi

Hardi, yang memberikan status "Daerah Istimewa" kepada Provinsi Aceh melalui

Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959. Dengan 8

predikat tersebut, Aceh memperoleh hak-hak otonomi yang luas di bidang agama,

adat, dan pendidikan. Status ini dikukuhkan dalam Pasal 88 DU Nomor 18 Tahun

1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (BPS, 2002 : xvii).

Sesunggulmya, pemberian status Daerah Istimewa bagi Provinsi Aceh ini

merupakan jalan terbaik menuju penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh.

Namun, karena adanya kecenderungan pemusatan kekuasaan oleh Pemerintah

Pusat pada era pemerintahan Orde Barn melalui UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang

Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah, maka penyelenggaraan keistimewaan Aceh

tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintah Pusat jangankan

memberi kesempatan kepada masyarakat Aceh untuk menjalankan syariat Islam

atau memelihara adat, malahan sumber daya alam mereka dieksploitasi besar­

besaran dan desa mereka diseragamkan seperti desa di Jawa, yang pada gilirannya

mengakibatkan kemarahan dan bahkan perlawanan rakyat Aceh secara fisik lewat

GAM sejak 4 Desember 1976 di bawah kepemimpinan Hassan Tiro (lihat Pane,

2001 : 30-31). Pemerintah pusat menghadapi aksi kekerasan ini dengan berbagai

operasi militer (Jaring Merah, Wibawa, Rencong, Sawah, Rajawali, dan Cinta

Meunasah) dan perundingan (Geneva, Tokyo, dan Helsinki).

2.3. Reformasi Pemerintahan

Pada masa reformasi Pemerintahan di bawah Presiden B.l. Habibie

Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/Missi/1959 tentang

Keistimewaan Provinsi Aceh diperkuat dengan dibuatnya UU Nomor 44 Tahun

1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Malahan Habibie menambah keistimewaan Aceh dengan memasukkan klausul

"peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah". Daerah membentuk sebuah 9

badan yang anggotanya terdiri atas para ulama. Badan ini bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang islami. Undang-Undang penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa tersebut ditetapkan oleh Presiden BJ Habibie tanggal 4 Oktober 1999.

Belum sempat Undang-Undang ini diterapkan, muncul pula gagasan otonomi khusus. Penggagasnya adalah lima orang Anggota MPR dari Utusan Daerah

Provinsi DI. Aceh, 12 orang Anggota DPRIMPR asal daerah pemilihan Provinsi

DI Aceh, dan seorang Anggota DPRIMPR asal daerah pemilihan Provinsi

Sumatera Utara. Mereka mensponsori pembentukan Simpul Bersama Anggota

DPRIMPR asal Aceh. Pada tanggal 11 Oktober 1999 mereka menulis surat kepada

Pimpinan MPR, seluruh Pimpinan Fraksi, dan semua Pimpinan Panitia Ad. Hoc, yang intinya mengusulkan agar DI. Aceh diberi kedudukan sebagai Daerah

Otonomi Khusus (DOK). Gagasan ini ibarat air mengalir deras, tidak tertahankan.

Pemerintah Pusat suka tidak suka terpaksa menggulirkannya supaya tuntutan referendum yang didesakkan GAM dan mendapat dukungan cukup luas dari berbagai lapisan masyarakat batal dan Aceh tidak lepas dari ikatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia seperti halnya Timor Timur (lihat Djohan, 2004 :

184).

Peluang Aceh untuk mendapatkan otonomi khusus, tidak sekedar hak penyelenggaraan keistimewaan seperti yang terdapat dalam UU Nomor 44 Tahun

1999, pertama sekali diberikan oleh MPR lewat TAP-nya No. IV / MPR / 1999 tentang GBHN yang mengamanatkan bahwa " ... integrasi bangsa dipertahankan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai 10

kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang".

Selanjutnya tuntutan otonomi khusus bagi Provinsi NAD ditegaskan lagi dalam

TAP MPR No. IV / MPR I 2000 yang merekomendasikan kepada pemerintah dan

DPR agar mengeluarkan UU tentang Otonomi Khusus bagi DI. Aceh selambat­ lambatnya 1 Mei tahun 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah.

Proses penggarapan RUU Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD secara formal dimulai setelah usai sidang tahunan MPR Agustus 2000. Dengan bantuan berbagai pihak, Pemerintah Provinsi DI Aceh bersama anggota legislatif provinsi, anggota

DPR asal Aceh, dan pemuka masyarakat berhasil menyusun draf RUU tersebut.

RUU itu lalu dikirim ke melalui surat Gubemur Daerah Istimewa Aceh

Prof.Dr. Syamsuddin Mahmud tanggal 20 Januari 2000 No. 118/782 dan selanjutnya diadopsi oleh DPR RI. Dengan menggunakan hak inisiatif yang mereka miliki RUD itu diajukan dan dibahas bersama pemerintah. Setelah melewati proses yang cukup panjang dan alot, akhimya menjelang HUT kemerdekaan RI ke 56, tepatnya tanggal 9 Agustus 2001, atau 2 (dua) bulan lebih lambat dari batas waktu yang diberikan MPR, UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD ditandatangani Presiden Megawati

Soekarnoputri dan dimuat dalam lembaran negara RI Tahun 2001 No. 114. 11

BAB III

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI NAD

3.1. Penetapan Masalah

Penetapan masalah dalam pembuatan kebijakan publik tidak mudah, tetapi

cukup rumit dan kompleks. Dalam konteks kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi

NAD, penetapan masalahnya diawali dari pengidentifikasian masalah yang akan

dipecahkan, dan kemudian dilakukan perumusan terhadap masalah tersebut. Dalam

proses penetapan masalah ini berbagai agenda builders yang berpengaruh seperti

pejabat pemerintah, partai politik, kelompok kepentingan, pers, tokoh masyarakat

dan mahasiswa memainkan peranan yang signifikan.

Masalah dalam kebijakan otonomi daerah bagi Provinsi Aceh berangkat dari

adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap DU Pemerintahan Daerah Nomor 22

rabun 1999, DU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Nomor 25 tahun 1999 dan UU PenyelenggaraanKeistimewaan Propinsi DI. Aceh

Nomor 44 Tahun 1999. Ketiga kebijakan otonomi daerah tersebut diberikan

Pemerintah Pusat kepada Provinsi Aceh yang sudah kronis dan menuntut pemisahan

diri dari NKRI. DU Nomor 22 Tahun 1999 dengan pemberian kewenangan yang

lumayan luas dinilai orang Aceh masih terlalu umum, UU Nomor 25 rabun 1999

masih kurang adil memberi sumber-sumber penerimaan, dan UU Nomor 44 rabun

1999 kurang jelas dan rinei dalam mengatur keistimewaan Aceh. Karena itu,

masyarakat yang dimotori oleh 81RA menuntut "Jakarta" menyelenggarakan

referendum dengan pilihan tetap bergabung atau memisahkan diri dari NKRI.

Berbagai demonstrasi, diskusi publik, dan seminar mereka gelar. Bahkan rapat

akbar yang menghadirkan sekitar sejuta orang dengan liputan media yang luas 12

diadakan 8 November 1999 bertempat di sekitar halaman Mesjid Baiturrahman,

Banda Aceh, Masyarakat juga menyampaikan tuntutan referendum itu secara

langsung kepada Presiden B.J Habibie 26 Maret 1999 ketika berkunjung ke Banda

Aceh. Tuntutan referendum dengan tegas ditolak Pemerintah Pusat. Sebagai

kompensasinya Jakarta bersedia mengeluarkan kebijakan otonomi khusus

(decentralization assymetric) bagi Provinsi Aceh, yang memberi kebebasan kepada

Aceh untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan

realitas sosial-kultural masyarakat Aceh (lihat Djohan, 2004 : 186).

Tawaran kebijakan otonomi khusus yang diberikan Jakarta terhadap tuntutan

tinggi kemerdekaan tentorial (high call) yang didesakkan Aceh dengan cepat

menggelinding ke dalam agenda wakil rakyat hasil Pemilu 1999. MPR dalam TAP­

nya No. IV Tahun 1999 tentang GBHN menyatakan bahwa : "Dalam rangka

mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah NKRI dengan tetap menghargai

kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh, melalui

penetapan Daerah Istimewa Aceh sebagai daerah otonomi khusus yang diatur

dengan Undang-Undang".

Dengan mulus tanpa perdebatan yang berarti otonomi khusus bagi Provinsi

Aceh menjadi agenda lembaga tertinggi negara. Meskipun otonomi khusus ini merupakan isyu barn, tetapi dengan cepat ia menembus arena agenda majelis. Hal

ini bisa dipahami, karena amat seriusnya krisis Aceh disertai kerasnya perlawanan bersenjata dari GAM, di samping besarnya perhatian pembuat kebijakan publik itu sendiri, khususnya para politisi di Senayan.

Tetapi perhatian MPR melalui amanahnya agar dibuat Undang-Undang

Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh rupanya belum cukup ampuh untuk membuat 13

pemerintah Presiden dan DPR bergegas menghasilkan

Undang-Undang tersebut. Pemerintah baru hasil Pemilu 1999 ini memiliki banyak agenda yang harus dikerjakan serentak. Dalam Sidang Tahunan MPR bulan Agustus

2000, kembali MPR mendesak pemerintah dan DPR melalui TAP-nya No. IV

Tahun 2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi

Daerah untuk mengeluarkan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Daerah

Istimewa Aceh. Kali ini MPR memberi batas waktu selambat-Iambatnya 1 Mei

Tahun 2001. Selain itu, MPR juga memberi arahan agar penyusunan Undang­

Undang Otonomi Khusus itu dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.

Dengan begitu, masalah otonomi khusus Provinsi Aceh ini sempat dua kali masuk ke dalam agenda MPR, yaitu lewat TAP MPR No. IV Tahun 1999 dan Tap

MPR No. IV Tahun 2000. Dalam TAP MPR yang terakhir arahannya lebih lengkap dan jelas, yaitu memberi deadline penyelesaian dan kewajiban pembuat kebijakan untuk memperhatikan aspirasi masyarakat lokal, tidak sekedar menyatakan Undang­

Undang Otonomi Khusus menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh seperti terdapat dalam TAP yang pertama.

Segera setelah Sidang Tahunan MPR usai, pemerintah dan DPR, termasuk

Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, ramai-ramai memasukkan otonomi khusus menjadi agenda prioritas mereka. Mengingat otonomi khusus merupakan hal bam, maka dalam menyusun rumusan kebijakan diperlukan kreativitas para pembuat kebijakan. 14

3.2. Perumusan Kebijakan

Masalah utama otonomi daerah bagi Provinsi DI Aceh terletak pada kebijakan

yang dibuat pemerintah pusat yang terIalu uniformistik, sentralistik, dan kurang

demokratik. Nilai-nilai, norma-norma, dan tradisi sosial budaya masyarakat Aceh

tidak pemah diakomodasi secara sungguh-sungguh.

Menyadari kondisi ini pembuat kebijakan otonomi daerah di Jakarta, baik

pihak DPR maupun pemerintah (Departemen Dalam Negeri), bersepakat

menyerahkan penyusunan perumusan kebijakan otonomi khusus Provinsi Aceh atau

pembuatan draf RUU kepada Pemerintah Provinsi dan masyarakat Aceh. Hal ini

sesuai dengan amanah TAP MPR No. IV Tahun 2000 yang meminta agar aspirasi

masyarakat Aceh diperhatikan. Selain itu, pihak Jakarta beranggapan pula bahwa

yang paling tahu tentang Aceh adalah orang Aceh sendiri. Ini berarti "bola" untuk

menyusun kebijakan otonomi khusus Provinsi NAD ada di kaki rakyat Aceh.

Pada awal September 2000 Gubernur Daerah Istimewa Aceh

Prof.Dr.Syamsuddin Mahmud segera menanggapi peluang emas ini dengan

meminta DPRD Provinsi membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU NAD dengan

tugas menyusun Draf RUD tentang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Pansus ini

diketuai oleh If. Abdoeh Hamid, dengan Wakil Ketua Said Muchsin, Sekretaris

Zaini Djalil, SH, dan terdiri atas sembilan orang anggota. Pansus tersebut diperkuat

dengan tim ahli dari Unsyiah, lAIN Arraniry, birokrat senior dan tokoh masyarakat.

Mereka antara lain adalah Prof. Dr. Hakim Nyak Pha, SH, DEA, Daud Yusuf, SH,

MH, Mawardi Ismail, SH, Prof. Dr. Mas'ud D. Hiliry, MA, Prof. Dr. Djamaluddin

Ahmad, MS, Dr. AI. Yasak Abubakar, MA, Drs. Hasbullah Tjoetgam, dan Tgk.

H.M. Daud Zamzami (lihat Djohan, 2004 : 189). 15

Tim ini bekerja dengan cepat, sehingga dalam tempo 2 (dua) bulan telah dapat dihasilkan sebuah draf. Draf tersebut tanggal 26-27 Oktober 2000 diseminarkan di

Jakarta dengan fasilitator pihak Departemen Dalam Negeri dan melibatkan departemen/instansi terkait mulai dari Departemen Pertahanan, Departemen Luar

Negeri, Departemen Kehakiman dan HAM, Kejaksaan Agung, Polri, Departemen

Keuangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Agama sampai Departemen Pendidikan Nasional. Setelah itu Pansus DPRD DI Aceh menyempumakan draf tersebut. Sebulan kemudian, tanpa konsultasi publik yang memadai draf tersebut dikirimkan kepada pemerintah dan DPR dengan surat

Gubernur tanggal 21 Desember 2000 No. 118/29785. Di dalam surat itu Gubemur mengharapkan agar draf tersebut dapat dijadikan RUU usul inisiatif DPR. Dengan tidak banyak menyoal mengingat terbatasnya waktu yang diberikan oleh MPR untuk membuat DU Otonomi Khusus, DPR bersedia mengadopsi draf RUU yang disusun Pemerintah Provinsi DI Aceh menjadi RUU usul inisiatif (lihat Djohan,

2004 : 190).

Setelah menyerahkan draf RUU NAD kepada DPR, tim penyusun draf RUU masih terns mendapat masukan dari berbagai pihak. Tim terus bekerja untuk memperjelas dan menajamkan perumusan beberapa materi penting yang terdapat dalam draf RUU tadi. Hasil penyempumaannya kemudian dikirimkan kembali oleh gubemur kepada pemerintah dan DPR sebulan kemudian, tepatnya tanggal 20

Januari 2001 lewat surat No. 118/782. Draf tersebut merupakan naskah akhir dari

Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Berbagai rumusan baru di bidang otonomi daerah yang selama ini tidak pemah dikenal dalam UU muncul dalam draf RUU NAD tersebut. Rumusan barn 16

tersebut adalah untuk menjawab masalah otonomi daerah yang kurang berjalan dengan lancar di Aceh. Di samping itu, rumusan baru itu dianggap perancang merupakan altematif yang paling aspiratif, memuaskan orang Aceh dan cocok dilaksanakan di bumi serambi Mekah. Rumusan baru itu tersebar di dalam ke 15

Bab dan 67 Pasal RUU, yang secara ringkas dapat disarikan substansinya sebagai berikut (Djohan, 2004 : 191-194) :

1) Judul

RUU tersebut diberi judul Nanggroe Aceh Darussalam, tidak lagi sekedar

dinamai penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh seperti

dalam DU Nomor 44 Tahun 1999. Rumusan baru ini tidak saja sesuai dengan

realitas sosial kultural orang Aceh yang menyapa provinsinya dengan istilah

"nanggroe", tetapi juga melekatkan nilai keagamaan (Islam) lewat penambahan

kata Darussalam sesudah kata Aceh. Selain itu, judul RUU tersebut juga membuka

peluang bagi dilakukannya berbagai pengaturan tentang pemerintahan daerah,

tidak hanya hal-hal yang menyangkut keistimewaan Aceh semata sebagaimana UU

sebelumnya.

2) Pembagian Wilayah

NAD dibagi dalam wilayah Nanggroe, wilayah Sagoe/wilayah Banda, wilayah Sagoe Cut,wilayah Mukim, dan wilayah Gampong. Otonomi yang seluas­ luasnya diletakkan pada Nanggroe, sedangkan otonomi Sagoe/Banda merupakan otonomi yang terbatas. Pemerintah Sagoe/Banda berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada pemerintah Nanggroe. Rumusan ini bertolak belakang dengan aturan yang terdapat dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 yang meletakkan 17

titik berat otonomi pada kabupaten/kota dan tidak ada hubungan hierarkhis antara wilayah kabupaten/kota dengan wilayah provinsi.

3) Kewenangan

Kewenangan Nanggroe mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, termasuk kepolisian, kecuali bidang hubungan politik Iuar negeri, pertahanan ekstemal dan moneter. Nanggroe juga berwenang mengeioia sumber daya alam yang ada di darat, udara dan Iaut dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Selain itu, kekuasaan peradilan dipegang oleh nanggroe melalui Mahkamah Rendah dan Mahkamah Tinggi yang bebas. Kewenangan Nanggroe jauh melampaui kewenangan yang diberikan oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 kepada provinsi­ provinsi di Indonesia; di mana kewenangan kepolisian, peradiIan, Iaut dalam ZEE, dan agama berada pada Pemerintah Pusat.

4) Badan Legislatif

Badan legislatifNanggroe terdiri atas Majelis Rakyat Aceh (MRA) dan DRA

(Dewan rakyat Aceh). MRA terdiri atas anggota DRA ditambah utusan- utusan wilayah Sagoe dan Wilayah Banda serta utusan golongan, komposisinya mirip dengan poia MPR. Adapun tugas MRA menetapkan Haluan Nanggroe Aceh (HNA) seperti GBHN di tingkat nasional, mengangkat dan memberhentikan WaH

Nanggroe dan Wakil Wali Nanggroe, dan menerima pertanggung jawaban WaH

Nanggroe. DRA Nanggroe dibentuk meialui Pemilu yang dapat berlangsung terpisah dari Pemilu nasional. Badan legislatif menurut UU Nomor 22 Tahun 1999 hanyaDPRD. 18

5) Badan Eksekutif

Gubemur di NAD disebut Wali Nanggroe yang dibantu oleh sekurang­ kurangnya seorang Wakil Wali Nanggroe. Mereka dipilih secara langsung oleh rakyat melaJui Pemilu, termasuk WaH Sagoe dan WaH Banda. Wali Nanggroe bertanggung jawab kepada MRA, dan WaH Sagoe/Wali Banda bertanggung jawab kepada DRA setempat. Bedanya dengan DU Nomor 22 Tahun 1999, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, dan Wakil Kepala Daerah tidak boleh lebih dari satu orang.

6) Keuangan

Nanggroe mendapat 90 % dari pajak-pajak dan retribusi yang dipungut pemerintah; 90 % dari hasil sumber daya alam sektor kehutanan, perekonomian dan sektor pertambangan umum, serta sektor kelautan; 90 % dari hasil sumber daya alam pertambangan minyak dan gas alam serta pertambangan lainnya. Nanggroe memungut langsung semua pendapatan di atas, sementara jatah Pemerintah Pusat sebesar 10 % dari semua sumber tersebut disetorkan melalui Kas Negara. Jumlah persentase bagi hasil antara pemerintah pusat dengan daerah yang ditetapkan dalam

UU Nomor 25 Tahun 1999 jauh dibawah rumusan yang diusulkan di atas, seperti untuk pertambangan minyak bumi daerah hanya kebagian 15 %, dan pertimbangan gas alam daerah memperoleh 30 0/0. Semua pemungutan dilakukan oleh pemerintah pusat, bukan oleh daerah.

Selain itu, untuk menambah sumber pendapatannya, BUMN yang beroperasi dan berdomisili di Nanggroe dialihkan menjadi Badan Usaha Milik Nanggroe Aceh

(BUl\1NA). Saham/modal milik pemerintah dialihkan menjadi sahamlmodal 19

pemerintah Nanggroe. Ketentuan daerahnisasi perusahaan milik pemerintah nasional ini tidak terdapat dalam UU Nomor 25 Tahun 1999.

Persoalannya adalah, apakah rumusan baru berupa usulan kebijakan (policy proposal) dalam RUU NAD di atas dapat diterima sepenuhnya menjadi keputusan kebijakan (policy decision) atau mengalami berbagai perubahan? Hal ini tergantung pada proses yang terjadi dalam pengesahan kebijakan yang secara formal melibatkan pihak pemerintah dan DPR.

Proses pengesahan kebijakan otonomi khusus Provinsi Daerah Istimewa

Aceh dimulai dari masuknya RUU usul inisiatif Anggota DPR tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi DI. Aceh dalam Bentuk Nanggroe Aceh Darussalam ke

Pimpinan DPR. Sebanyak 86 orang inisiator berasaI dari 8 fraksi mengajukan usuI inisiatif yang diambil dari draf RUU versi Gubernur Aceh pada tanggal 2 Januari

2001. Hanya 2 fraksi yang tidak ikut mengusulkan, yaitu Fraksi TNVPoiri dan

Fraksi KKl (~johan, 2004 : 194).

Pada tanggal 16 Maret DPR kemudian membentuk Panitia Khusus (Pansus)

RUU Otonomi Khusus Aceh, yang diketuai oleh Ferry Mursyidan Baldan, seorang politisi muda dari Partai . Wakil-wakiI ketua Pansus adalah Prof. Dr. Tgk. H.

Baihaqi, Ak (PPP), H.M Mujib Mustain SE, Msi (FKB) dan RK. Sembiring Meliala

(PDI-P). Pansus beranggotakan 50 orang yang berasal dari seluruh fraksi yang ada di DPR, dan para anggota DPR daerah pemilihan Provinsi Aceh. Mereka antara lain adalah : Tengku H. Baihaki, Ahmad Farhan Hamid, H. Karimun Usman, T.M.

NurIif, Nurdani Ibrahim, dan Teuku Syaiful Ahmad (Djohan, 2004 : 194-195). 20

Dalarn rapat pertarnanya tanggal 23 Maret 2001, Pansus mengundang

Gubemur DI. Aceh beserta Tim Perancang Draf RUU untuk menjelaskan mengenai latar belakang, filosofi, dan isi draf RUU. Sesudah rapat tersebut, Pansus meminta

Tim Perancang hadir dalarn setiap rapat Pansus sebagai narasumber. Pansus kemudian mengadakan rapat dengar pendapat dengan berbagai pakar Aceh untuk memperkaya pengetahuan.

Pada tanggal 2 Juli 2001, Pansus menyelesaikan pembahasannya terhadap draf RUD Otonomi Khusus Provinsi DI. Aceh. Berbagai perubahan dibuat Pansus setelah sebelumnya mendapat persetujuan dari fraksi-fraksi anggota Pansus masing­ masing. Dengan begitu, secara resmi RUD tersebut menjadi RUU versi DPR RI.

Aneka perubahan yang cukup signifikan dilakukan Pansus, mulai dari judul, sistematika, hingga substansi. RDU Otonomi Khusus Aceh ini sekarang menjadi terdiri atas 14 Bab dan 25 Pasal. RUU ini berbeda jauh dengan draf RUU yang diusulkan Gubemur DI. Aceh. Judul RUU diubah menjadi Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Daerah Istimewa Aceh dalam bentuk NAD. Kewenangan mengelola laut dalam Zona Ekonomi Eksklusif hilang, Lembaga Majelis Rakyat Aceh (MRA) hapus. Wakil gubemur dieksplisitkan hanya satu. Persentase bagi hasil sektor pertambangan minyak dan gas alam untuk Aceh diturunkan menjadi 80 0/0.

Pengarnbilalihan BUMN menjadi BUMNA dicoret. Walaupun pihak pemerintah daerah Provinsi DI. Aceh bersama tokoh masyarakatnya telah mencoba melobi fraksi-fraksi besar, tetapi tampak hasilnya tidak optimal (Djohan, 2004 : 196).

Proses berikutnya, dari tanggal 2 hingga 18 Juli 2001 dilakukan pembahasan

RUlJ versi DPR tersebut dengan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam

Negeri Soerjadi Soedirdja dan departemenJinstansi pemerintah terkait. DPR harus 21

mempertahankan RUD itu dari keberatan-keberatan pihak pemerintah. Pasal-pasal krusial yang disoal pemerintah dalam pembahasan itu adalah menyangkut kewenangan Provinsi NAD, alam dan lambang, Wali Nanggroe, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, keuangan, kepolisian daerah dan lembaga Mahkamah Syariyah.

Dalam rapat-rapat Pansus RUU ini pihak pemerintah daerah provinsi bersama pemuka masyarakat Aceh seperti Ismail Hasan Meutereum, Abdul Gafur, Hasballah

M. Saad, dan Said Zainal Abidin melakukan berbagai lobi baik kepada pihak pemerintah pusat maupun kepada anggota pansus, pimpinan fraksi, pimpinan DPR, maupun pimpinan pusat partai besar. Presiden Abdurrahman Wahid, Ketua DPR

Akbar Tanjung, Menko Polkam Soesilo Bambang Yudhoyono, dan Mendagri

Soerjadi beberapa kali mereka kunjungi. Selain itu, mereka juga mendekati pihak media massa seperti Surya Paloh orang Aceh Pemilik Koran Media Indonesia untuk turut menyuarakan aspirasi mereka terhadap materi RUU. Di daerah sendiri berbagai demonstrasi untuk menekan Jakarta berlangsung. Dalam demonstrasi itu ancaman untuk menuntut referendum terns diteriakkan masyarakat Aceh. Sidang­ sidang Pansus yang melelahkan ditunggui terus oleh Tim Perancang RUU dan

Provinsi Dr. Aceh. Tidak kalah pentingnya adalah ikhtiar yang dilakukan oleh anggota DPR asal Aceh yang menjadi anggota Pansus seperti Tgk. H. Baihaqi dan

Ahmad Farhan Hamid. Mereka berusaha sekeras mungkin memperjuangkan ketentuan-ketentuan yang menguntungkan daerah dan masyarakat Aceh.

Akhimya, tanggal 19 Juli 2001 RUD ini disetujui DPR bersama pemerintah menjadi UU. Karena Presiden Abdurrahman Wahid tanggal 23 Juli 2001 diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden oleh MPR, maka pengesahan UU

Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa 22

Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan oleh Presiden baru

Megawati Soekarnoputri tanggal 9 Agustus 2001 dan diundangkan dalam lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, atau terlambat sekitar 3 (tiga) bulan dari jadwal yang ditetapkan MPR.

Akan tetapi bila ditilik dari segi isi, dalam banyak hal UU ini telah mengakomodasi usulan-usulan yang terkandung dalam draf RUU usulan Gubemur

DI. Aceh. Malahan dalam beberapa hal UU ini lebih mempertajam, memperjelas, memperinci, dan mempertegas materi yang terdapat dalam draf RUU usulan

Gubemur DI. Aceh, seperti mengenai keuangan, peradilan, kepolisian, pemilihan langsung Kepala Daerah, jumlah anggota DPRD Provinsi, hak-hak pemilih, dan lembaga adat. Lebih daripada itu, UU ini menampung muatan budaya lokal dan cukup memperhatikan aspirasi masyatakat Aceh.

Untuk jelasnya apa isi pokok UU yang terdiri atas 14 Bab dan 34 Pasal itu dapat dilihat uraian di bawah ini.

1) Judul

Judul yang ditetapkan bagi UU Nomor 18 Tahun 2001 adalah Otonomi Khusus

Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam. Dalam penjelasan UU ini dijelaskan bahwa arti otonomi khusus

NAD adalah pemberian kesempatan yang lebih luas kepada daerah ini untuk

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk sumber-sumber

ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya

manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi,

meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata

bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, 23

memfungsikan secara optimal DPRD Provinsi NAD, dan menerapkan Syariat

Islam dalam kehidupan bermasyarakat.

2) Susunan dan Kedudukan Provinsi NAD (Pasal 2)

Wilayah Provinsi NAD dibagi dalam Kabupaten/Sagoe dan KotaIBanda sebagai

daerah otonom. Sagoe dan Banda terdiri atas Sagoe Cut, Sagoe Cut terdiri atas

Mukim, dan Mukim terdiri atas Gampong. Dalam penjelasan UU ini ditegaskan

bahwa titik berat otonomi khusus berada pada provinsi yang pelaksanaannya

diletakkan pada Sagoe dan Banda secara proporsional.

3) Kewenangan (Pasa13)

Selain kewenangan Provinsi NAD dalam rangka otonomi khusus, kewenangan

lainnya sesuai peraturan perundang-undangan tetap berlaku, seperti kewenangan

dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, kewenangan

yang tidak atau belum dapat dilaksanakan kabupaten dan kota, kewenangan

dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubemur selaku wakil

pemerintah, dan kewenangan di wilayah laut.

4) Keuangan (Pasal 4)

Zakat menjadi salah satu sumber pendapatan asli Provinsi NAD. Selain itu, pajak

penghasilan orang pribumi sebesar 20 % dibagi kepada Provinsi NAD. Untuk

hasil pertambangan minyak bumi jatah Aceh dinaikkan dari 15 % menjadi 70%,

dan pertambangan gas alam dari 30 % menjadi 70 0/0, yang berlaku selama 8

(delapan) tahun. Tetapi mulai tahun kesembilan porsi Provinsi NAD diturunkan

menjadi 50 % baik untuk pertambangan minyak bumi maupun pertambangan gas

alam, atau sarna besar dengan porsi Pemerintah Pusat. Sedangkan pembagian

antara provinsi dengan Sagoe/Banda diatur secara adil dalam Qanun Provinsi 24

NAD. Penggunaan dana tersebut sekurang-kurangnya 30 % dialokasikan untuk

biaya pendidikan. Selanjutnya, sebagian keuntungan BUMN yang hanya

beroperasi di Provinsi NAD digunakan untuk peningkatan kesejahteraan

masyarakat di daerah beroperasinya BUMN yang bersangkutan. Jumlahnya

ditetapkan bersama antara pemerintah dengan pemerintah Provinsi NAD.

Terakhir, kepada pemerintah provinsi diberikan peluang untuk menyertakan

modal pada BUMN yang hanya berdomisili dan beroperasi di Provinsi NAD

yang besamya ditetapkan bersama dengan pemerintah.

5) Lembaga Legislatif (Pasal 9)

DPRD Provinsi NAD adalah pemegang kekuasaan legislatif yang jumlah

anggotanya paling banyak 125 % dari yang ditetapkan Undang-Undang.

Lembaga ini tidak berwenang memilih Gubemur/Wakil Gubemur.

6) Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe (PasallO)

Dalam rangka pelestarian dan penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan

pemersatu masyarakat di Provinsi NAD dibentuk lembaga Wali Nanggroe dan

Tuha Nanggroe. Lembaga ini bukan merupakan lembaga politik dan

pemerintahan, atau dengan kata lain ia merupakan lembaga adat an sich.

7) Badan Eksekutif(Pasalll sampai dengan Pasal16)

Gubemur/Wakil Gubemur, termasuk Bupati/Wakil Bupati dan WalikotaIWakil

Walikota, dipilih secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali

melalui Pemilu yang dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP)

dan diawasi oleh Komisi Pengawasan Pemilihan (KPP). Kedua komisi ini

dibentuk oleh DPRD. Di samping itu, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

bertanggung jawab kepada DPRD. Salah satu syarat utama untuk dicalonkan 25

menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah adalah menjalankan syariat

agama.

8) Hak Pemilih (Pasal 18 dan Pasal 10)

Pemilih di Provinsi NAD mempunyai 7 (tujuh) macam hak, yaitu: memilih

KDH dan Wakil KDH, mengawasi proses pemilihan KDH dan Wakil KDH,

mengajukan penarikan kembali recall anggota DPRD, mengajukan

pemberhentian sebelum habis masa jabatan KDH dan Wakil KDH, mengajukan

usulan kebijakan pelaksanaan pemerintahan daerah, mengajukan usulan

penyempumaan dan perubahan qanun, dan mengawasi penggunaan anggaran.

9) Kepolisian Daerah (Pasa121 sampai dengan Pasa123)

Polda di Provinsi NAD dalam melaksanakan kebijakan mengenai keamanan

berkoordinasi dengan gubemur yang mencakup empat aspek yaitu ketertiban

dan ketentraman masyarakat, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

masyarakat. Sementara itu, tugas fungsional kepolisian di bidang ketertiban dan

ketentraman masyarakat diatur dengan qanun, dan dipertanggungjawabkan oleh

Kapolda kepada Gubemur. Begitu pula pengangkatan Kapolda dilakukan

dengan persetujuan Gubemur. Di samping itu, seleksi, pendidikan dasar dan

pelatihan umum, serta penempatan polisi wajib memperhatikan sistem hukum,

budaya, dan adat istiadat yang berlaku di Provinsi NAD.

10) Mahkamah Syariyah (Pasal 25 dan Pasal 26)

Dibentuknya lembaga Mahkamah Syariyah yang merupakan peradilan Syariat

Islam baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Mahkamah Syariyah

kabupaten/kota merupakan pengadilan tingkat pertama, sedangkan Mahkamah

Syariyah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding. Adapun Mahkamah 26

Syariyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung.

Lembaga peradilan syariat ini hanya diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.

3.3 Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus NAD

Dalam implementasinya, terdapat aneka kendala yang menghambat jalannya

pelaksanaan otonomi khusus NAD. Kendala yang dihadapi UU Otonomi Khusus

Nomor 18 Tabun 200 I ini, bila ditelisik antara lain berasal dari pibak GAM, pibak

Pemerintah Provinsi NAD, dan pihak Pemerintah Pusat sendiri.

1) Pihak GAM

Ketika uu Otonomi Khusus Provinsi NAD dibuat, GAM boleh dikatakan

tidak terlibat. Karena itu, GAM merasa tidak terikat dengan segala aturan yang

ditetapkan dalam UU otonomi khusus tersebut. Walaupun begitu, dalam

perundingan GAM dengan pemerintah RI tanggal 10 Mei 2002 di Geneva, Swiss,

ada sedikit kemajuan di mana GAM seeara resmi menerima UU Otonomi Khusus

Provinsi NAD sebagai langkah awal atau starting point bagi penyelesaian

selanjutnya.

Pacla tanggal 9 Desember 2002 di Geneva, Swiss, telah dilakukan

penandatanganan kesepakatan penghentian permusuhan antara GAM dengan

Pemerintah RI. Guna menindaklanjutinya, pemerintah telah menetapkan lima

agenda, yaitu: pemeliharaan dan penguatan perdamaian, bantuan kemanusiaan,

dan rehabilitasi sosial, pelaksanaan proses politik yang demokratis, rekonstruksi

ekonomi, serta rekonsiliasi dan society building.

Tetapi karena kondisi lapangan yang cenderung memanas, dan gagalnya

pertemuan Tokyo, Presiden Megawati 19 Mei 2003 lewat Keppres Nomor 28

Tahun 2003 menyatakan Provinsi NAD dalam kondisi Darurat Militer. Status 27

DaruratMiliter ini kemudian diubah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono

menjadi Darurat Sipil dan Tertib Sipil hingga lahimya MoU Helsinki antara

Pemerintah RI dan GAM 15 Agustus 2005. Dalam MoU Helsinki itu disepakati

untuk membentuk UU barn tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh

yang selambat-lambatnya diundangkan 31 Maret 2006.

Jadi, jelas bahwa DU Otonomi Khusus tidak diterima dengan penuh oleh

GAM. Bahkan, hasil perundingan Helsinki menghendaki perubahan UU

Otonomi Khusus NAD Nomor 18 Tahun 2001 menjadi DU Penyelenggaraan

Pemerintahan di Aceh. Maka, tidak pelak lagi riwayat UU Otonomi Khusus

NAD ini tinggal menghitung hari. Kalau ditinjau isi MoU Helsinki, kewenangan

yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Aceh di bidang politik, ekonomi, dan

sosial budaya bertambah besar. Dengan begitu, UU Pemerintahan Aceh nanti

bakal memberi otonomi yang seluas-luasnya kepada Provinsi Aceh dalam

menjalankan urusan rumah tangganya.

2) Pihak Pemerintah Provinsi NAD

Kendala pertama dari pihak pemerintah Provinsi NAD bersumber dari

perbedaan materi draf RUD Otonomi Khusus yang mereka ajukan dengan UU

yang telah ditetapkan. Dalam draf RUU jumlah bab lima belas dan pasal 67.

Sedangkan dalam UU. No. 18 Tahun 2001 jumlah bab hanya tinggal empat

belas dan pasal 34. Pemangkasan cukup banyak, termasuk berbagai materi yang

dinilai Jakarta tidak "elok". Misalnya tentang lembaga Iegislatif yang terdiri dari

Majelis Rakyat Aceh (MRA) dan Dewan Rakyat Aceh (DRA), kewenangan

mencakup pertahanan internal dan laut dalam Zona Ekonomi Eksklusif serta

memiliki Iambang dan bendera, hubungan antara Pusat dan Provinsi NAD yang 28

hanya bersifat konsultatif, pemerintah kabupaten/kota yang berada di bawah dan

bertanggung jawab langsung kepada Pemerintah Provinsi NAD, dan hasil

pertambangan minyak dan gas bumi 90 % untuk Provinsi NAD sementara pusat

hanya kebagian 10 % saja, BUMN yang beroperasi di Aceh dialihkan menjadi

BUMNA milik Provinsi NAD, dan sebagainya. Selain itu, ada pula penambahan pasal misalnya tentang Wali Nanggroe dan Tuah Nanggroe. Pemangkasan terhadap materi-materi di atas sedikit banyak telah menimbulkan kekecewaan pada pihak Pemerintah Provinsi NAD dan masyarakat Aceh. Tuntutan Aceh dipandang Jakarta terlalu berlebihan. Komprominya adalah sebagaimana yang telah diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2001.

Kendala kedua berasal dari terlalu banyaknya qanun-qanun yang hams disiapkan oleh pemerintah Provinsi NAD sebagai tindak lanjut kehadiran UU

Otonomi Khusus, seperti tentang : kepolisian, peradatan, pemilihan langsung

Kepala Daerah, peradilan Syariat Islam, pelaksanaan Syariat Islam Bidang

Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, Pemerintahan Sagoe Cut, Pemerintahan

Mukim, Pemerintahan Gampong, Susduk Sagoe/Banda, dan perimbangan keuangan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, dan lain­ lain. Selain itu, masih perlu pula disusun puluhan Keputusan Gubemur untuk menindaklanjuti qanun-qanun di atas. Dalam pada itu, Aceh belum pula memiliki organisasi yang secara khusus menangani pembuatan qanun-qanun.

Semua itu memerlukan komitmen pemimpin, organisasi, daya, tenaga, pengetahuan, dana, dan waktu yang memadai. Tanpa itu, implementasi otonomi khusus bisa terganggu. Kendala ketiga, datang dari kurangnya konsultasi yang seyogianya

dilakukan oleh pihak pernerintah Provinsi NAD dengan pernerintah pusat,

sehingga banyak qanun-qanun yang telah dihasilkan tetapi belurn dapat

diberlakukan. Qanun-qanun tersebut dinilai masih berbau kontroversi alias

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

3) Pihak Pemerintah Pusat

Pemerintah pusat merupakan institusi yang bertanggung jawab dalam

menjalankan undang-undang. Khusus dalam rangka pemberian otonomi khusus

kepada Provinsi NAD, sesuai penjelasan umum UU Nomor 18 Tahun 2001

ditegaskan bahwa : .....pemerintah berkewajiban memfasilitasikan dan

mengoptimalkan perannya dalam rangka percepatan pelaksanaan otonomi yang

diberikan kepada Provinsi NAD".

Dalam praktek, peran pemerintah tersebut belum berjalan secara optimal.

Pembimbingan kepada pemerintah provinsi dalam menyusun qanun-qanun

misalnya kurang intensif, sehingga tidak saja penyusunan qanun berlangsung

lamban, malahan beberapa qanun yang telah disahkan DPRD belum dapat

dilaksanakan, karena adanya pertentangan dengan peraturan perundang­

undangan yang lebih tinggi. Bahkan, menyangkut pembagian dana otonomi

khusus yang menjadi hak Provinsi NAD sesuai ketentuan UU Nomor 18 Tahun

200 I, pemerintah pusat masih kurang transparan dan dicurigai mengurangi apa

yang menjadi hak Provinsi NAD. Sehingga tidak jarang Gubernur NAD beserta

tokoh-tokoh masyarakat terpaksa datang melakukan protes ke Jakarta.

Khusus dalam menindaklanjuti MoU Helsinki, Pemerintah Pusat

memiliki peran kunci, yaitu berperan mengajukan RUU tentang Pemerintahan 30

Aceh sebagai pengganti UU Otonomi Khusus NAO Nomor 18 Tahun 2001 ke

OPR, berdasarkan naskah RUU yang disusun oleh rakyat Aceh lewat gubernur

dan OPRD dengan melibatkan selurnh stakeholders termasuk pihak GAM. UU

.barn itu merupakan penggantiUU Nomor 18 Tahun 2001. Muatan UU barn itu

pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan UU Keistimewaan dan UU Otonomi

Khusus NAD. karena kepada Aceh diberikan urnsan-urusan pemerintahan yang

banyak baik di bidang politik, ekonorni. dan sosial budaya. sesuai statusnya

sebagai daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang dijamin oleh Pasal 18 B

Ayat (1) UUD 1945. Oalam UU baru itu berbagai kesepakatan antara

Pemerintah RI dan GAM yang terdapat di dalam MoU Helsinki dituangkan

menjadi hukum positif. 31

BABIV

NOTA KESEPAHAMAN HELSINKI

4.1. Dasar Kesepakatan

Berbagaikebijakan dalampengaturan pemerintahan daerah di Provinsi Aceh

pada masa lalu telah menyebabkan terjadinya ketidakadilan diberbagai

perikehidupan rakyat Aceh, keresahan, pergolakan, dan bahkan menimbulkan

perlawanan secara fisik bersenjata melalui GAM terhadap pemerintah pusat. MoU

(Memorandum of Understanding) atau Nota Kesepahaman antara Pemerintah

Republik Indonesia dan GAM yang ditandatangani di Helsinki 15 Agustus 2005

lalu oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin dan pimpinan GAM Malik

Mahmud menandakan suatu babak barn dalam sejarah Provinsi Aceh dan kehidupan

rakyatnya menuju Aceh yang damai, adil, dan sejahtera.

Dalam nota kesepahaman itu telah disetujui beberapa hal sebagai berikut

(lihat Tim Sosialisasi Pemerintah, 2005). Pertama, Pemerintah Republik Indonesia

dan GAM menegaskan komitmen untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai,

menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Kedua, Pemerintah

Republik Indonesia dan GAM bertekad untuk menciptakan kondisi, sehingga

pemerintahan di Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan

adil dalam Negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Ketiga, kedua belah

pihak yang terlibat dalam konflik sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian

damai atas konflik terse but yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh

pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan

keberhasilan. Keempat, kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik bertekad

untuk membangun rasa saling percaya. 4.2. lsi Persetujuan

Di dalam nota kesepahaman tersehut dirinci isi persetujuan yang dicapai dan

prinsip-prinsip yang akan digunakan untuk memandu proses transforrnasi. Khusus

menyangkut pengaturan pemerintahan di Aceh, telah disepakati untuk memberikan

kewenangan khusus kepada Provinsi Aceh melalui suatu Undang-Undang baru

tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh yang mulai diberlakukan selambat-

lambatnya tanggal 31 Maret 2006.

Kewenangan khusus apa saja yang diberikan kepada Provinsi Aceh dalam

UU desentralisasi baru itu? Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua

sektor publik termas uk administrasi sipil dan peradilan. kecuali hubungan luar

negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, moneter dan fiskal, kekuasaan

kehakirnan, dan kebebasan beragama (1.1.2.a). Prinsip ini sudah sesuai dengan

ketentuan Pasal 10 UU No. 32/2004, di mana daerah menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang diserahkan kepadanya, yaitu semua sektor publik berikut

aktivitas administrasi dan peradilannya, kecuali ke enam urusan pemerintahan tadi

yang merupakan kewenangan mutlak pemerintah pusat.

Persetujuan-persetujuan internasional terkait Aceh berlaku dengan

konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh (1.1.2.b). Prinsip ini sejalan dengan

ketentuan Pasal 42 Ayat (1) huruf f dan g UU No. 32/2004, dimana OPRO

mempunyai tugas dan wewenang memberikan pendapat, pertirnbangan, dan

persetujuan terhadap perjanjian dan kerja sarna internasional.

Keputusan OPR terkait Aceh dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan

legislatif Aceh (1.1.2.c). Prinsip ini mirip dengan yang pernah diberikan kepada

Papua seperti diatur dalam Pasal 20 Ayat (1) huruf d UU Otsus Papua No. 21 /200 I. di mana perjanjian kerja sarna menyangkut perlindungan hak-hak orang asli

Papua yang dibuat oleh pernerintah pusat dilakukan dengan saran, pertimbangan dan persetujuan MRP.

Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil pemerintah terkait Aceh dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh (I.I.2.d).

Prinsip ini persis sarna dengan ketentuan Pasal 61 Ayat (3) UU Otonomi Khusus

Papua No. 21/2001. dimana penernpatan penduduk dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan pernerintah dilakukan dengan persetujuan Gubemur

Papua.

Nama Aceh dan gelar pejabat senior ditentukan oleh legislatif Aceh (I.I.2.d).

Sebagai daerah yang bersifat khusus atau istimewa, penyebutan nama daerah dan gelar pejabat, dijamin oleh Pasal 18 B Ayat (l) UUD 1945. Negara wajib mengakui dan menghormatinya. Dengan begitu, jika nama NAD dikembalikan jadi

Aceh atau Gubemur diganti jadi Kepala Pemerintah atau nama lainnya, itu memang hak rakyat Aceh. Lagi pula, dalam Pasall UU Otonomi Khusus NAD No.

18/2001 kepada Aceh telah diberi keleluasaan menyebut nama daerah maupun sebutan pejabatnya sesuai tradisi masyarakat setempat, seperti Kabupaten = Sagoe dan Kepala Desa = Keuchik.

Aceh merniliki hak menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne (1.1.5). Ketentuan ini sarna dengan yang pemah diberikan kepada Papua sesuai Pasal 2 UU Otsus Papua No. 21/2001, dimana

Papua dapat memiliki lambang daerah, bendera daerah dan lagu daerah. Tetapi, dalam Pasal 2 Ayat (2) nya dinyatakan bahwa lambang, bendera, dan lagu daerah tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. 34

Pembentukan lembaga Wali Nanggroe dengan segala perangkat upacara dan gelamya (1.1.7): Lembaga Wali Nanggroe yang merupakan simbol pelestarian adat ini sebenamya telah diatur dalam Pasal 10 UU Otsus NAD No. 18 /200 I.

Hanya saja sampai saat ini lembaga itu belum terbentuk.

Pendirian partai politik lokal di Aceh (1.2.1.). Ketentuan partai politik lokal mirip dengan yang pemah diberikan kepada Papua sesuai Pasal 28 UU Otsus

Papua No. 21/2001, dimana penduduk Papua dapat membentuk partai politik.

Pemilihan lokal yang bebas dan adil untuk memilih kepala pemerintah Aceh dan pejabat terpilih lainnya, serta anggota legislatif Aceh (1.2.3). Ketentuan ini sudah dilaksanakan di daerah-daerah sesuai UU Pemda No. 32/2004 dan UU

Pemilu Legislatif No. 12/2003, di mana kepala daerah dan wakil kepala daerah serta anggota DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam pemilihan tersebut para pemantau dapat melakukan pemantauan. Selain itu, dana kampanye dilaporkan secara transparan kepada publik.

Pembatasan kewenangan DPRD Aceh mengesahkan peraturan tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh sampai tahun 2009 (1.2.4). Prinsip ini sebetulnya bukan barang barn, malahan dalam UU Pemda No.1 Tahun 1957 pada era demokrasi liberal dulu kepala daerah dapat membatalkan keputusan DPRD.

Sekarang,Pasal 144 ayat (I) UU Pemda No. 32/2004 pun menggariskan bahwa peraturan yang telah disetujui DPRD disampaikan lagi kepada kepala daerah untuk disahkan.

Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri (1.3.1). Klausul ini sejalan dengan ketentuan Pasal 170 Ayat (l) UU No. 32/2004, di mana daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan utang luar negeri. Di dalam 35

Pasal 5 Ayat (2) UU Otsus NAD No. 18/2001 telah dicantumkan pula bahwa

Provinsi NAD dapat melakukan pinjaman dari luar negen untuk membiayai sebagian anggarannya.

Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah (1.3.2). Ketentuan ini dijarnin di dalam UU Pemda No. 32/2004 dan UU Perimbangan Keuangan No.

33/2004. Malahan, bukan saja pajak daerah tetapi retribusi daerah juga diberikan kepada daerah otonom oleh pemerintah pusat.

Aceh memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh (1.3.3). Prinsip ini paralel dengan ketentuan Pasal 18 ayat

(l) UU Pemda No. 32/2004, dimana daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan mengelola sumber daya di wilayah laut.

Aceh berhak menguasai 70 % hasil dari cadangan hidrokarbon dan sumber daya alarn lainnya (1.3.4.). Klausul ini tidak berbeda dengan ketentuan yang telah digariskan pada Pasal 4 Ayat (3) dan (4) UU Otonomi Khusus NAD No. 18/2001, di mana Aceh untuk minyak bumi dan pertarnbangan gas alarn memperoleh bagian

70 %. Malahan, untuk sumber daya alarn sektor kehutanan, peri kanan, dan pertarnbangan umum Aceh menerima 80 0/0.

Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pe1abuhan udara di wilayah Aceh (1.3.5.). Daerah otonom dapat saja membangun dan mengelola pelabuhan laut dan udara sepanjang memiliki kemampuan. Bahkan, Bandar Udara Hang Nadim di Kota Batam Provinsi

Kepulauan Riau dibangun dan dikelola oleh Badan Otorita Batam. Namun, standar dalarn pembangunan dan pengelolaannya hams tunduk pada regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. 36

Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh (1.4.4). Prinsip ini sarna benar dengan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 21 ayat (6) dan Pasal 24 ayat (2)

UU Otsus NAD No. 18/2001, dimana pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh oleh

Kapolri dan penangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh oleh Jaksa Agung dilakukan dengan persetujuan Gubemur Provinsi Aceh.

Guna menegakkan, mernajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi

Manusia (HAM) akan dibentuk sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh (2.2. dan 2.3.). Pembentukan kedua lembaga ini persis seperti yang terdapat di dalam Pasal 45 ayat (2) UU Otsus Papua No.

21/2001. Bahkan, di Papua masih ada tambahan satu lagi yaitu, dibentuknya perwakilan Komnas HAM.

Jadi, ditinjau dari segi desentralisasi, kewenangan yang akan diberikan

Republik Indonesia kepada Aceh dalam penyelenggaraan pemerintahan daerahnya sebagaimana tercantum dalam MoD, boleh dibilang masih wajar demi mewujudkan damai di tanah rencong. Bahkan, seIama ini sebagian besar kewenangan itu sesungguhnya telah diberikan pemerintah pusat kepada NAD lewat UU Otonomi

Khusus NAD No. 18/2001 dan diatur dalam UU No. 32/2004. Kalau sekiranya, kewenangan yang diserahkan sekarang bertambah banyak, itu pun masih pantas demi terbangunnya Aceh pasca Tsunami, dan sejajamya pembangunan Aceh dengan daerah-daerah lain di Nusantara.

Pemberian kewenangan kepada Aceh itu tidak akan membahayakan NKRI.

Negara kita tetap berbentuk Negara Kesatuan. Hanya kepada Aceh karena statusnya sebagai daerah khusus, pemerintah pusat menyerahkan kewenangan yang lebih 37

banyak scsuai konsep desentralisasi asimetris sebagaimana dijumpai pula di

Negara-negara lain di dunia mi. seperti Quebeec di Kanada atau Basque di

Spanyol.

Pemberian kewenangan kepada Aceh tidaklah bertentangan dengan UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. malahan justru lebih melaksanakannya secara konsekuen melalui pemberian otonomi seluas-luasnya sesuai amanah Pasal

18 dan Pasal 18 A serta pengakuan dan penghormatan terhadap kekhususan atau keistimewaannya sesuai ketentuan Pasal 18 B. 38

BABV

PRINSIP-PRINSIP PEMERINTAHAN ACEH

5.1. Prtnsip-prinsip Pemberian Kewenangan Khusus

Prinsip-prinsip pemberian kewenangan khusus atau otonomi yang seluas­

luasnya kepada pemerintahan Aceh yang dijadikan pedoman dalam RUU

Pemerintahan Aceh ini adalah sebagai berikut.

Pertama, penyelenggaraan kewenangan khusus atas otonomi yang seluas­

luasnya dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, pengelolaan

pemerintahan daerah yang baik (good local governance). keadilan, pemerataan.

kesejahteraan, serta potensi dan keanekaragaman Aceh.

Kedua, pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-Iuasnya didasarkan pada

kewenangan khusus yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintahan Aceh

dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakatnya.

Ketiga, pelaksanaan kewenangan khusus pemerintahan Aceh diletakkan

pada satuan pemerintahan daerah provinsi. Pemerintahan kabupatenlkota dapat

menenma penyerahan sebagian kewenangan khusus dari pemerintahan daerah

provmsi.

Keempat, pelaksanaan kewenangan khusus pemerintahan Aceh harus sesuai

dengan konstitusi Negara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah

serta antar daerah.

Kelima, pelaksanaan kewenangan khusus pemerintahan Aceh di bidang

politik hams lebih meningkatkan kemampuan pemerintahan Aceh untuk 39

menyelenggarakan pemerintahan daerah secara demokratis. transparan. akuntabel.

professional. efisien, dan efektif.

Keenam. pelaksanaan kewenangan khusus pemerintahan Aceh di bidang

ekonomi hams lebih meningkatkan kemampuan pemerintahan Aceh dalam

memanfaatkan dan mengelola kekayaan alam daerah Aceh untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat Aceh.

Ketujuh. pelaksanaan kewenangan khusus pemerintahan Aceh di bidang

sosial budaya harus lebih meningkatkan kemampuan pemerintahan Aceh dalam

memajukan pelaksanaan syariat Islam dan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Kedelapan, pelaksanaan kewenangan khusus pemerintahan Aceh harus

lebih meningkatkan peranan dan fungsi lembaga legislatif, badan eksekutif, partai­

partai politik, dan lembaga-Iembaga sosial kemasyarakatan lainnya di Aceh.

5.2. Prinsip-Prinsip Pokok Tata Kelola Pemerintahan

Prinsip-prinsip pokok tata kelola pemerintahan Aceh tertuang dalam

Rancangan Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh yaitu sebagai berikut:

1) Judul Rancangan Undang-Undang (RUU)

a. Judul RUU mengakomodasi judul yang diusulkan dalam RUU Draft DPRD

Provinsi NAD, yaitu RUU Tentang Pemerintahan Aceh; dengan catatan dalam

ketentuan umum diberikan pengertian tentang Aceh sebagai daerah Provinsi,

dan pengertian Pemerintahan Aceh yang merujuk pada Pasal 18, 18A dan 18B

UUD 1945.

b. Istilah/terminologi yang dipergunakan dalam RUU, dimungkinkan oleh

konstitusi, yang dimuat dalam Pasal 18B UUD Tahun 1945, yang berbunyi: 40

"Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah

yang bersifat Khusus atau bersifat Istimewa".

2) Ketentuan Umum

Dalam ketentuan umum dimuat beberapa pengertian yaitu sebagai berikut:

a. Aceh adalah daerah Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum

yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945.

b. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat

Kabupaten/Kota CDPRK) adalah unsur penyelenggara Pemerintahan

Aceh/Kabupaten/Kota yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilu

secara langsung.

c. Pemerintahan Aceh adalah penyelenggaraan urusau. pemerintahan yang

diselenggarakan oleh Pemerintahan Aceh dan DPRA di Daerah Provinsi

sebagaimana dimaksud pada butir (a) dan (b).

d. Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang diberi wewenang untuk

menyelenggarakan pernilihan Gubemur/\Vakil Gubemur, Bupati/ \Vakil

Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota,

e. Partai Politik Lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh kelompok

WNI yang berdomisili di Aceh untuk memperjuangkan kepentingan agama,

masyarakat, bangsa dan negara. .+1

3) Kewenangan Aceh/Kabupaten/Kota dan Pembagian Urusan Pemerintahan

a. Kewenangan Aceh/Kabupaten/Kota

- Aeeh dan Kabupaten/Kota berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam semua sektor publik, kecuali urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan pernerintah, yang meliputi: politik luar negeri.

pertahanan, keamanan. yustisi, moneter dan fiskal nasional. serta urusan

tertentu dalam bidang agama. dan urusan pemerintahan lain yang oleh

peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai kewenangan Pemerintah.

- Pengaturan tentang rencana persetujuan internasional yang terkait

kepentingan khusus Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan

konsultasi dan persetujuan DPRA, serta pengaturan tentang kebijakan

administratif yang terkait kepentingan khusus Aceh yang akan dibuat oleh

Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan Gubemur, akan

diatur dengan Peraturan Presiden. Sedangkan Keputusan DPR-RI yang

dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan DPRA, masih dalam bentuk

reneana keputusan dan hanya terkait dengan kepentingan khusus Aceh saja.

- Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga atau badan

di luar negeri, kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah adalah

lembaga atau badan negara asing yang mempunyai hubungan diplomatik

dengan Rupublik Indonesia, akan diatur dengan Peraturan Presiden.

b. Pembagian Urusan Pemerintahan

- Aceh menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya akan diatur dan diurus sendiri oleh Aceh, sedangkan yang

belum diatur dalam Undang-Undang ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pembagian urusan pemerintahan dilakukan

berdasarkan kriteria ekstemalitas. akuntabilitas. dan efisiensi, dengan

memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.

- Pengaturan tentang urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah

Aceh/Kabupaten/Kota, serta urusan wajib lainnya yang menjadi

kewenangan khusus, serta urusan pemerintahan yang bersifat pilihan yang

menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh/Kabupaten/Kota, akan diatur

dalam Qanun Aceh dengan berpedoman pada peraturan perundang­

undangan.

4) Penyelenggaraan PILKADA

a. Penyelenggara PILKADA sarna dengan yang telah diatur dalarn UU No. 18

Tahun 2001 dan UU No. 32 Tahun 2004 yaitu Komisi Independen Pemilihan

(KIP).

b. Penyelenggaraan PILKADA untuk pertarna kalinya akan dilaksanakan oleh

KIP yang telah terbentuk, dan dengan tata cara yang berpedoman kepada

Qanun Aceh No.2 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Qanun

Aceh No.3 Tahun 2005, sepanjang tidak bertentangan dengan Rancangan

Undang-Undang tentang Pemerintahan Acehdan peraturan perundang­

undangan lainnya.

c. Parpol/Gabungan Parpol wajib memberi kesempatan kepada Calon

Perseorangan yang memenuhi syarat meJalui mekanisrne yang dernokratis

dan transparan sarna dengan yang telah diatur dalarn UU No. 32 Tahun 2004.

d. Dalarn RUU ini, dirnuat pengaturan tentang pernantauan pelaksanaan

PILKADA yang dapat dilakukan oleh Pemantau Lokal, Pernantau Nasional 43

dan Pemantau Asing, dengan catatan bahwa pemantau asing harus memenuhi

prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, serta

terdaftar di KIP setempat.

5),PaFtai,Politik Lokal

a. Penduduk Aceh dapat membentuk Parpol lokal yang didirikan dan dibentuk,

oleh sekurang-kurangnya 50 orang WNI yang telah berusia 21 tahun, dengan

sekurang-kurangnya 30% perempuan dan sudah berdomisili tetap di Aceh.

b. Pengaturan tentang Parpol lokal bam diberlakukan setelah terwujudnya

kondisi politik dan hukum yang kondusif di Aceh, dan setelah Pemerintah

melakukan konsultasi khusus dengan OPR-RI.

c. Pendirian/pembentukan Parpol lokal bam dapat dimulai setelah

diterbitkannya Peraturan Pemerintah paling lambat pada bulan Pebruari 2007.

6) Bendera, Lambang dan Hymne

Pengaturan tentang Bendera, Lambang dan Hymne Aceh dalam RUU ini diatur

sebagai berikut:

a. Bendera Merah Putih merupakan lambang Bendera Nasional yang berlaku

bagi Aceh dalam NKRI dan UUD 1945.

b. Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan Bendera dan Lambang

yang mencerminkan simbol keistimewaan dan kekhususan Aceh, dan bukan

merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera

kedaulatan di Aceh.

c. Lagu Indonesia Raya merupakan lagu kebangsaan yang bersifat Nasional bagi

Aceh dalam NKRI, dan Pemerintah Aceh dapat menetapkan Hymne Aceh

sebagai pencerminan keistimewaan dan kekhususan Aceh. 44

Pengaturan tentang bendera dan lambang daerah sebagai panji kemegahan pemah

dimuat dalam UU No. 18 Tahun 2001.

7) Bidang Perekonomian

Dalam bidang perekonomian, antara lain dibuat pengaturan tentang hak dan

kewenangan Pemerintah Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) di

Aceh sebagai berikut:

a. Pengelolaan SDA;

Pemerintah Aceh/Kabupaten/Kota mengelola SDA di Aceh, baik di darat

maupun di laut sesuai dengan kewenangannya, yang meliputi perencanaan,

pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa

eksplorasi, eksploitasi dan budi daya, dengan menerapkan prinsip

transparansi dan pembangunan berkelanjutan, yang pelaksanaannya dengan

memberdayakan masyarakat secara _maksimal dengan mengikutsertakan SDM

setempatdan sumberdayalainnyayangada di Aceh.

b. Sektor perikanan dan kelautan;

Pemerintah Aceh/Kabupaten/Kota berwenang mengelola SDA yang hidup di

laut teritorial Aceh, serta berwenang menerbitkan izin penangkapan ikan dan

pengusahaan SDA laut lainnya di laut sekitar Aceh sesuai kewenangannya.

c. Sektor perdagangan dan investasi;

Penduduk di Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi secara

internal dan internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

- Pemerintah Aceh/Kabupaten/Kota, sesuai kewenangannya dapat menarik

wisatawan asing dan memberikan izin yang terkait dengan investasi dengan

memperhatikan norma, standar, prosedur dan kriteria yang berlaku secara 45

nasional, dan mengacu pada prinsip-prinsip pelayanan publik yang cepat,

tepat, murah, dan prosedur yang sederhana, yang akan diatur dalam Qanun

Aceh dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

8) Sumber Penerimaan Aceh

Sumber penerimaan Aceh, selain terdiri atas pendapatan asli daerah, pinjaman

daerah, lain-lain penerimaan daerah yang sah, juga memperoleh dana

perimbangan dari bagi hasil dari hidrokarbon sebagai dana khusus, serta akan

mendapat dana tambahan, dengan pengaturan sebagai berikut:

a Dana Khusus penyelenggaraan pemerintahan di Aceh dari dana perimbangan bagi

basil Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersumber dari hidrokarbon sebesar

70%, yaitu dari sektor pertambangan minyak bumi memperoleh tambahan

penerimaan sebesar 55% (secara nasional 15%) dan sektor pertambangan gas alam

rnemperoleh tambahan penerimaan sebesar 40% (secara nasional 30%).

Pengaturan serupa dalam UU No. 18 Taboo 2001 dan UU No. 21 Taboo 2001

bersifat limitatif, sedangkan dalam RUU ini bersifat permanen.

b. Dana Tambahan yang ditujukan untuk pembiayaan pembangunan dan

pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendanaan pendidikan,

sosial dan kesehatan sebesar 1% dariplafon DAD Nasional selama 5 (lima) taboo.

9) Perubahan nama Aceh dan gelar Pejabat Pemerintahan yang dipilih.

a. Nama Aceh sebagai daerah provinsi dan-gelar pejabat pemerintahan yang'

dipilih akan ditentukan setelah Pemilu tahun 2009.

b. Nama dan gelar tersebut, akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP)

berdasarkan usul dari DPRA dan Gubemur Aceh, namun harus tetap mengacu

pada sistem dan prinsip NKRL serta UUD 1945. 46

Pengaturan serupa sebenamya telah dimuat dalam UU No. 18 Tahun 2001,

seperti sebutan nama: "Sagoe" untuk Kabupatan, "Banda" untuk Kota, dan

"Sagoe Cut" untuk Kecamatan.

10) Pengaturan Lain-Lain:

a. Substansi tentang Wali Nanggroe, Mahkamah Syariah, pelaksanaan Syariat Islam,

Majelis Pennusyawaratan Ulama (MPU), dan Lembaga Adat, serta

pengangkatan KAPOLDA dan KAJATI Aceh, dimuat kembali sesuai dengan

UUNo. 18 Tahun2001 dan UUNo. 44 Tahun 1999.

b. Substansi tentang: Pembagian Aceh; Azas; Bentuk dan Susunan Penyelenggara

Pemerintahan; DPRA/DPRK, Pemerintah Aceh/ Kabupaten/Kota; Tugas,

Wewenang, Kewajiban, Larangan dan Pemberhentian Gubernur/Bupati/Walikota;

Kepegawaian; Qanun; dan Pembinaan dan Pengawasan, disesuaikan dengan

pengaturan dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan

lainnya, dan dirumuskan dengan bahasa hukum, serta mengikuti tata cara

pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No.

lOTahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

c. Dengan berlakunya UU barn tentang Pemerintahan Aceh, maka UU No. 18

. . Tahun 2001 tentang Otonorni Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai

Provinsi NAD'dinyatakan'dicabut dan tidakberlaku:

5.3. Susunan Rancangan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh

Rancangan Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh disusun dengan

sistimatika sebagai berikut : 47

I KETENTUAN UMUM . II PEMBAGIAN ACEH DAN KA WASAN KHUSUS. III KAWASAN PERKOTAAN. IV KEWENANGAN ACEH DAN KEWENANGAN KABUPATEN/KOTA. V PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN. VI ASAS, BENTUK DAN SUSUNAN PENYELENGGARA PEMERINTAHAN. VII DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN/KOTA: a. Bagian Kesatu , Umum. b. Bagian Kedua, Tugas dan Wewenang. c. Bagian Ketiga, Hak, Kewajiban dan Kode Etik. d. Bagian Keempat, Penyidikan dan Penuntutan.

e. Bagian Kelima, Alat Kelengkapan DPRAlDPRK. 1. Paragraf 1, Umum. 2. Paragraf2, Komisi. 3. Paragraf 3, Badan Kehormatan DPRAlDPRK. f. Bagian Keenam, Fraksi. g. Bagian Ketujuh, Larangan dan Pemberhentian Anggota DPRA/DPRK. 1. Paragraf 1, Larangan. 2. Paragraf Z, Pemberhentian Anggota DPRAlDPRK. VIII PEMERINTAH ACEH DAN KABUPATEN/ KOTA: a. Bagian Kesatu .Umum. b. Bagian Kedua, Tugas dan Wewenang. c. Bagian Ketiga, Kewajiban dan Larangan. d. Bagian Keempat, Pemberhentian. e. Bagian Kelima, Penyelidikan dan Penyidikan. IX PENYELENGGARA PEMILIHAN : a. Bagian Kesatu , KIP . b. Bagian Kedua. Tugas dan Wewenang. c. Bagian Ketiga, Panitia Pengawas Pemilihan. d. Bagian Keempat, Tugas dan Wewenang Panwas. X PEMILIHAN GUBERNUR /WAKIL GUBERNUR. BUPATIIWAKIL BUPATI DAN WALIKOTAIWAKIL WALIKOTA: a. Bagian Kesatu . Umum. b. Bagian Kedua. Tahap Pernilihan. 48

c. Bagian Ketiga, Pencalonan. d. Bagian Keempat, Pemilih dan Hak Pemilih. XI PARTAI POLITIK LOKAL. XII LEMBAGA WALl NANGGROE. XIII LEMBAGA ADAT. XIV PERANGKAT ACEH DAN KABUPATEN/KOTA. a. Bagian Kesatu , Umum. b. Bagian Kedua, Sekretariat Aceh. c. Bagian Ketiga, Sekretariat kabupaten/kota. d. Bagian Keempat, Sekretariat DPRA. e. Bagian Kelima, Sekretariat DPRK. f. Bagian Keenam , Dinas, Badan dan Lembaga Teknis Aceh dan kabupaten/ kota.

g. Bagian Ketujuh, Kecamatan. h. Bagian Kedelapan, Kelurahan. XV MUKIM DAN GAMPONG: a. Bagian Kesatu, Mukim. b. Bagian Kedua, Gampong. XVI KEPEGAWAIAN. XVII MAHKAMAH SYAR'IYAH. XVIII PELAKSANAAN SYARI'AT ISLAM. XIX MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA. XX PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAN TATA RUANG. XXI KOMUNIKASI DAN INFORMASI. XXII PEREKONOMIAN: a. Bagian Kesatu , Prinsip Dasar. b. Bagian Kedua, Arah Perekonomian. c. Bagian Ketiga, Pengelolaan Sumber Daya Alam. d. Bagian Keempat, Perikanan dan Kelautan. e. Bagian Kelima, Perdagangan dan Investasi. f. Bagian Keenam, Kawasan Perdagangan Bebas Sabang. g. Bagian Ketujuh, Peruntukan Lahan dan Pemanfaatan Ruang. h. Bagian Ketujuh, Infrastruktur Ekonomi. XXIII TENAGA KERJA: a. Bagian Kesatu, Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri. b. Bagian Kedua, Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja. XXIV KEUANGAN: 49

a. Bagian Kesatu, Umum. b. Bagian Kedua, Sumber Penerimaan dan Pengelolaan. 1. Paragraf 1, Sumber Penerimaan. 2. Paragraf 2, Pengelolaan XXV TENTARA NASIONAL INDONESIA. XXVI KEPOLISIAN. XXVII KEJAKSAAN. XXVIII KEPENDUDUKAN. XXIX PERTANAHAN. XXX PENDIDIKAN. XXXI KEBUDAYAAN. XXXII SOSIAL. XXXIII KESEHATAN. XXXIV HAK ASASI MANUSIA. XXXV QANUN, PERATURAN GUBERNUR DAN PERATURAN BUPATI/WALIKOTA. XXXVI BENDERA, LAMBANG DAN HYMNE. XXXVII PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN. XXXVIII KETENTUAN LAIN-LAIN. XXXIX KETENTUAN PERALIHAN. XL KETENTUAN PENUTUP. 50

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU DAN ARTIKEL

Abdullah, H. Rozali. 2000. Pe1aksanaan Otonomi Luas & Federalisme Sebagai Suatu Alternatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Alfian (ed). 1977. Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Jakarta: LP3ES.

Amal, Ichlasul. 1992. Regional and Central Government in Indonesian Politics. Jogyakarta: Gajahmada University Press.

Bratakusumah, Deddy Supriadi dan Dadang Solihin. 2001. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Cheema, Shabbir G, & Dennis A Rondinelli. 1983. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills: Sage Publication.

Djohan, Djohennansyah. 2000. Kebijakan Otonomi Daerah 1999. Jakarta: Yarsif Watampoe

Eda, Fikar W & S. Satya Dharma, 1999. Aceh Menggugat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Evans. Kevin. 2002. Pemilu Lokal : Mengembalikan Hak Masyarakat Me1alui Representasi Keterwakilan Optimal. Jumal PSPK Edisi 3: ]-11.

Geertz. Clifford. 1983. Local Knowledge. London: Fontana Press.

Haris. Syamsuddin, 2002. Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: AlP!.

Hendytio. Medelina. 2003. Regional Autonomy: Its Social and Cultural Impact. Dalam T.A. Legowo dan Muneo Takahashi (eds.). Regional Autonomy and Socio Economic Development in Indonesia hlm. ] 74-208. Chiba: IDE-JETRO.

Hildreed. Gertz. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Terjemahan A. Rahman Zainuddin. Jakarta: YIS & FIS UI.

Koswara. E. 2001. Otonomi Daerah Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat. Jakarta: Yayasan PARIBA.

O·Neil. Tip & Gary Hymel, 1994. All Politics Is Local and Other Rules Of The Game. Massachusetts: Bob Adams. Inc. 51

Pane, Neta. S. 2001. Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka. Jakarta: Grasindo.

Smith, B.C. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State. Winchester: Allen & Unwin.

Stewart, John. 1996. Democracy and Local Government. Dalam Paul Hirst & Sunil Khilnani (eds.). The Political Quartely, hlrn: 39-56. Cambridge: Blackwell Publishers.

Sulaiman, Isa & H.T. Syamsuddin. 2001. Pedoman Adat Aceh : Peradilan dan Hukum Adat. Banda Aceh: LAKA Provinsi NAD.

Wahab, Solichin Abdul. 2002. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Wignjosoebroto, Soetandyo, dkk. 2005. Pasang Surut Otonomi Daerah Sketsa Perjalanan 100 Tahun. Jakarta: Yayasan Tifa dan ILD.

B. DOKUMEN

Badan Kesbang dan Linmas. 2002 (a). Hasil Pembahasan Masalah Strategis Provinsi NAD Tahun 2002.

__ 2002 (b). Hasil Pelaksanaan Sosialisasi dalam rangka Penegakan Hukum dan HAM Dikaitkan dengan Syariat Islam.

Bappenas. 2002. Rencana Tindak Pemulihan Pembangunan NAD Tahun 2003.

BPS dan Bappeda Provinsi NAD. 2002. Aceh dalam Angka 2001.

Sekretariat DPR RI 2001. Draf Akhir Pansus RUU tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Departemen Dalam Negeri. 1985. Departemen Dalam Negeri : Tugas, Fungsi, dan Peranannya Dalarn Pemerintah di Daerah.

__ 2002. Otonomi Khusus Provinsi Papua dan NAD : Agenda Konsolidasi.

Pemerintah Provinsi DI Aceh. 2001. Naskah Akhir RUU Tentang Naggroe Aceh Darussalam.

Sekretariat Daerah Propinsi NAD. 2002. Qanun Nomor 4 Tahun 2002 tentang Dana Perimbangan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah KabupateniKota.

2001 (a). Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penye1enggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. 52

__ 2001 (b). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Sekretariat Jenderal MPR RI. 2000. Putusan MPR SidangTahunan Agustus 2000.

__ 2001. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

__ 1999. Ketetapan MPR RI Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999. c. MAKALAH DAN LAIN-LAIN

Abubakar, AI-Yasak. 2000. Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Makalah dipresentasikan dalam seminar memperdalam Substansi Otonomi Khusus bagi DI Aceh di Jakarta 26-27 Oktober 2000.

Ahmad, Jamaluddin. 2000. Desentralisasi Kewenangan dalam Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Pembiayaan Untuk Mempercepat Pembangunan Daerah. Makalah dipresentasikan dalam seminar memperdalam Substansi Otonomi Khusus bagi DI Aceh di Jakarta 26-27 Oktober 2000.

Hamid, Ahmad Farhan. 2002. Data Tertulis Pembentukan Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam.

Hiliry, Mas'ud D. 2000. Desentralisasi Kewenangan dalam Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Pembiayaan untuk meningkatkan pembangunan. Makalah dipresentasikan dalam seminar memperdalam Substansi Otonomi Khusus bagi DI Aceh di Jakarta 26-27 Oktober 2000.

Nyak Pha, Hakim. 2000. Pelimpahan Sebagian Kewenangan Hubungan Luar Negeri, Peradilan, Keamanan dan Pertahanan. Makalah dipresentasikan dalam seminar memperdalam Substansi Otonomi Khusus bagi DI Aceh di Jakarta, 26-27 Oktober 2000.

Tim Sosialisasi Pemerintah, 2005. Buku Panduan Sosialisasi Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka.

Tjoetgam, Hasbullah, 2000. RUD NAD dan Konflik di Aceh. Makalah dipresentasikan dalam seminar memperdalam Substansi Otonomi Khusus bagi DI Aceh di" ,.. ,., . Jakarta, 26-27 Oktober 2000.

Zamzami, TGK.H.M. Daud. 2000. Desentralisasi Kewenangan di Bidang Pendidikan dan Urusan Agama. Makalah dipresentasikan dalam seminar memperdalam Substansi Otonomi Khusus bagi DI Aceh di Jakarta, 26-27 Oktober 2000.