KONFLIK SOSIAL DALAM NOVEL MANTRA PENJINAK ULAR KARYA KUNTOWIJOYO DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA/MA

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh: Indah Komalasari 1111013000063

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017

ABSTRAK

INDAH KOMALASARI, NIM: 1111013000063, “Konflik Sosial dalam Novel Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra Di SMA/MA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah kualitatif deskriptif. Objek dari penelitian ini yaitu naskah novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo dengan mengkaji konflik sosial. Berdasarkan hasil analisis, wujud konflik sosial dalam novel ini disebabkan karena adanya beberapa permasalahan, antara lain: keyakinan, ketidakberpihakan, penindasan, dan ketimpangan sosial. Pertentangan berwujud konflik pemikiran, gagasan, pandangan, dan konflik fisik. Wujud konflik sosial ini akan dibagi berdasarkan penyebab konflik sosial di antaranya: perbedaan antar-individu, benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik, dan perubahan sosial dan budaya. Novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo juga dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Dengan memahami konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular ini, siswa diharapkan dapat memahami konsep konflik dengan baik dan dapat mengatasi konflik sehingga siswa mampu memperkuat basis nilai dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Kata kunci: Mantra Penjinak Ular, Kuntowijoyo, konflik sosial, pembelajaran sastra

i

ABSTRACT

INDAH KOMALASARI, NIM: 1111013000063, “Social Conflict in the Novel Mantra Penjinak Ular by Kuntowijoyo and its Implications in the Literature Learning Process in High-School Levels”. Major of Indonesian literature and language education. The faculty of education and Tarbiyah sciences. Islamic State University, Syarif Hidayatullah Jakarta. Supervised by: Rosida Erowati, M. Hum. This research aimed to describe the social conflict in the novel of Mantra Penjinak Ular. The method used in this research was qualitative descriptive. The object of this research was the novel manuscript of Mantra Penjinak Ular by Kuntowijoyo, by examining the social conflict. Based on the analysis, the form of social conflicts in the novel is due to several problems, among the other things were: faith, impartiality, oppression, and social injustice. Conflicts in the form of conflict thoughts, ideas, views, and physical conflict. The realization of this social conflict will be divided based on the cause of social conflict, amongst them were: differences between individuals, the clash between the interests of either economically or politically, and social and cultural changes. The novel Mantra Penjinak Ular by Kuntowijoyo can also be implicated in the teaching of literature in school. By understanding the social conflict in the novel Mantra Penjinak Ular, students are expected to understand the concept of conflict well and can resolve conflict so that students are able to strengthen the basis of the value in their daily lives.

Keywords: Mantra Penjinak Ular, Kuntowijoyo, social conflict, instructional literature.

ii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb Segala puji dan syukur kepada Allah Swt Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan rahmat dan ridhonya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw, keluarganya, sahabat-sahabatnya, kita semua selaku pengikutnya yang diharapkan selalu mendapat safaatnya di dunia maupun di akhirat. Skripsi yang penulis buat sesungguhnya tidak luput dari kesalahan, masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki, namun berkat semangat, dorongan, dan motivasi dan bantuan dari orang-orang terdekat dan banyak pihak maka skripsi ini dapat terselesaikan. Selama pembuatan dan penyusunan skripsi ini banyak pihak yang membantu dan memberikan bantuan. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan; 2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia; 3. Rosida Erowati, M. Hum, selaku dosen pembimbing yang sudah meluangkan waktu untuk membimbing penulis, sabar dalam membimbing dan memberikan solusi atas kebingungan penulis selama mengerjakan skripsi ini, serta sabar memberikan saran kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas pengetahuan, arahan, dan motivasi Ibu selama ini; 4. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis; 5. Keluarga tercinta yaitu Alm. H. M. Koharuddin, SH. M. Si. dan Dra. Hj. Iceu Aisah, M. Pd, Idham Kholid Ramadhan, SH, dan M. Iqbal

iii

Komara yang telah memberikan doa tiada henti demi kebaikan penulis, kasih sayang, bimbingan, nasihat, motivasi, semangat, dan dukungan moril bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini; 6. Indra Dwi Prasetyo, teman-teman seperjuangan PBSI B angkatan 2011, dan sahabat seperjuangan QURSI (Mariya Qibtia, Ulfa Rahmatania, Rahma Rahayu Mustika, dan Shely Eplianty) yang sejak awal perkuliahan menjadi teman berbagi baik suka maupun duka, selalu menghadirkan keceriaan, memberikan bantuan, perhatian, motivasi, semangat, dan doa selama ini; 7. Teman-teman seperjuangan mahasiswa PPKT di SMA Negeri 5 Kota Tangerang Selatan yaitu; Wurry Aprianty, Siti Rodliyatun, Dewi Agustina, Gita Mayanti, Kintatia Widiya Sari, Ratna Endah Sugiarti, Ade Maulina, dan Rahmi Utami. Terimakasih atas semangat, kebersamaan, kerjasama, dan bantuan yang sama-sama kita berikan untuk satu sama lain dalam pelaksanaan Praktek Profesi Keguruan Terpadu.

Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah memberikan balasan atas doa dan kebaikan kalian semua. Kepada semua pihak, penulis mengharapkan kritik dan saran guna membangun perbaikan skripsi ini agar menjadi lebih baik lagi, perbaikan diri menjadi insan kamil yang mampu untuk mengemban amanah dalam menjalani kehidupan ini. Dengan adanya skripsi ini, penulis juga berharap dapat memberikan manfaat, baik untuk penulis pribadi maupun pembaca.

Jakarta, 13 Februari 2017

Penulis

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... v BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 4 C. Batasan Masalah...... 5 D. Rumusan Masalah ...... 5 E. Tujuan Penelitian ...... 5 F. Manfaat Penelitian ...... 5 G. Metodologi Penelitian ...... 6 1. Tempat dan Waktu Penelitian ...... 7 2. Objek Penelitian ...... 7 3. Data dan Sumber Data ...... 7 4. Teknik Pengumpulan Data ...... 8 5. Teknik Analisis Data ...... 9

BAB II KAJIAN TEORI ...... 11 A. Konflik dalam Karya Sastra ...... 11 B. Pandangan tentang Konflik Sosial ...... 13 C. Penyebab Konflik Sosial ...... 18 D. Hakikat Novel ...... 20 E. Unsur Intrinsik Novel ...... 21 F. Hakikat Sosiologi Sastra ...... 29 G. Pembelajaran Sastra ...... 30

v

H. Penelitian yang Relevan ...... 31

BAB III PROFIL KUNTOWIJOYO ...... 35 A. Biografi Kuntowijoyo ...... 35 B. Karya Kuntowijoyo ...... 36 C. Pemikiran Kuntowijoyo ...... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...... 43 A. Unsur Intrinsik Novel Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo ..... 43 1. Tema ...... 43 2. Tokoh dan Penokohan ...... 47 3. Alur ...... 69 4. Latar ...... 86 5. Sudut Pandang ...... 98 B. Wujud Konflik Sosial dan Faktor Penyebabnya ...... 99 C. Cara Mengatasi Konflik Sosial ...... 101 D. Pembahasan: Wujud Konflik Sosial dan Faktor Penyebabnya ...... 104 1. Konflik Pemikiran: Keyakinan (Perbedaan Antar-Individu) ...... 104 2. Konflik Gagasan dan Konflik Fisik: Ketidakberpihakan dan Penindasan (Benturan Antar-Kepentingan)...... 108 3. Konflik Pandangan dan Konflik Fisik: Ketimpangan Sosial dan Keyakinan (Perubahan Sosial dan Budaya) ...... 114 E. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ...... 120

BAB V PENUTUP ...... 123 A. Simpulan ...... 123 B. Saran ...... 125 DAFTAR PUSTAKA ...... 127 LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI DAFTAR RIWAYAT HIDUP

vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat Jawa dengan beberapa variasi dan heterogenitas masyarakat yang berkembang, baik di wilayah Jawa Tengah, , maupun di Jawa Timur.1 Kesenian hanyalah salah satu unsur kebudayaan bagi masyarakat Jawa. Wayang tidaklah hanya sekadar tontonan tetapi juga tuntunan. Bahkan wayang juga sebagai wahana pengabdian dalang bagi masyarakat, negara, bangsa serta umat manusia pada umumnya.2 Namun, Kuntowijoyo menanggapi pembodohan zaman Orba yang berupa simplifikasi (penyederhanaan) dan manipulasi (penyelewengan) budaya Jawa dicomot semau-maunya untuk membenarkan kekuasaan. Tradisi wayang yang memang tidak mengenal peran rakyat kecuali sebagai penurut. Rupanya mengilhami Orba untuk tidak mengenal demokrasi.3 Cara pihak penguasa pemerintahan Orde Baru untuk memperoleh dukungan massa dengan memandang perlunya menggunakan instrumen kesenian sebagai media untuk menarik massa. Dalang sebagai orang pintar (intelektual sekaligus aktor) di daerah dipandang amat potensial untuk menyampaikan pesan dan ajakan kepada masyarakat. Para dalang ditunjuk pihak penguasa sebagai juru kampanye. Hal ini dilakukan penguasa demi mengharapkan dukungan, simpati, dan ketaatan masyarakat luas untuk tunduk dan patuh terhadap kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah.4 Kuntowijoyo menanggapi lebih lanjut tentang pemerintahan Orde Baru. Para politis, birokrat, militer, dan pengusaha setuju dengan satu hal:

1 Moh. Roqib, Harmoni dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender), (Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2007), h. 35-36. 2 Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, (Semarang: Dahara Prize, 1992), h. 18-19. 3 Kuntowijoyo, “Politisasi, Komersialisasi, dan Otonomi Budaya”, Harian Kompas, Jakarta, 29 Oktober 1999, h. 4. 4 Sutiyono, Jurnal berjudul “Hegemoni Kekuasaan Terhadap Seni Pedalangan”, Jurnal Imaji. h. 1-2.

1

2

pembangunan berarti kemajuan yang konkret. Pada tahun 1966-1995 pembangunan materiil diutamakan. Ini yang mengundang monopoli dan pergusuran-pergusuran.5 Selama 32 tahun Indonesia berada di bawah pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Selama rentang waktu tersebut muncul berbagai konflik dalam kehidupan masyarakat. Fenomena Orde Baru dalam sejarah Indonesia direspon oleh beberapa sastrawan dalam bentuk karya sastra. Hal ini dapat dipahami mengingat karya sastra tidak bisa dipisahkan dengan kondisi sosial budaya yang melingkupinya. Kuntowijoyo adalah salah satu sastrawan yang mampu merespon kondisi Orde Baru dan memasukkan situasi zaman tersebut ke dalam karyanya. Respon tersebut muncul di antaranya dalam novel Mantra Penjinak Ular.6 Permasalahan-permasalahan aktual di atas, kini ternyata diangkat pula oleh Kuntowijoyo dalam novel Mantra Penjinak Ular. Dalam setting budaya Jawa berikut warna Islam yang selalu mewarnai karya Kuntowijoyo, tokoh Abu Kasan Sapari tumbuh dalam suatu proses dialektika dengan zaman yang terus bergerak, pada kurun waktu kira-kira menjelang akhir abad ke-20. Sebagai pegawai di sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu, Jawa Tengah, Abu berkesempatan tampil sebagai saksi sejarah menjelang tumbangnya kejayaan sebuah orde yang kemaruk: Orde Baru. Sampai akhirnya tanda-tanda zaman itu muncul, isyarat bahwa pemerintah yang tengah berkuasa akan segera ambruk.7 Beberapa alasan bagi peneliti memilih karya Kuntowijoyo sebagai bahan yang akan diteliti. Alasan peneliti menjadikan novel MPU sebagai bahan penelitian di antaranya: pertama, Kuntowijoyo merupakan figur yang menunjukkan realitas budaya Jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari

5 Kuntowijoyo, “Mencari Budaya Politik Alternatif”, Harian Kompas, Jakarta, 5 Desember 1995, h. 4. 6 Kusmarwanti, “Tokoh Orang Tua dan Refleksi Politik Orde Baru dalam Novel-Novel Karya Kuntowijoyo”, Litera, Vol. 14, 2015, h. 148-149. 7 Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), sampul halaman belakang.

3

latar belakang pendidikannya yaitu sejarahwan, cendikiawan, agamawan, dan budayawan. Ada beberapa novel lainnya yang berlatar budaya Jawa selain novel Mantra Penjinak Ular, yaitu Wasripin dan Satinah dan Pasar. Novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo mengangkat latar budaya Jawa yang kental dan latar situasi Orde Baru dengan kekuasaan yang otoritarian.8 Novel Pasar karya Kuntowijoyo memiliki latar belakang etnis Jawa dan banyak mengangkat permasalahan kejawaan.9 Kedua, Kuntowijoyo merefleksikan gagasan filosofisnya melalui karya-karyanya yang bercorak transendental dan profetik. Sastra yang bercorak transendental dapat dilihat dalam novelnya, yaitu Khotbah di Atas Bukit, Impian Amerika, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Anjing- Anjing Menyerbu Kuburan serta kumpulan puisinya yang berjudul Suluk Awang-Awung. Sementara itu, sastra yang bersifat profetik, yaitu Pasar, Mantra Penjinak Ular, dan Waspirin dan Satinah. Ketiga, Kuntowijoyo merupakan intelektual yang sangat kritis terhadap fakta sosial dan dalam karya cerpen dan novelnya banyak menggunakan tokoh orang desa dan rakyat jelata, serta karya-karyanya sarat dengan memperjuangkan pembebasan orang yang tertindas. Kempat, novel MPU ini menarik perhatian peneliti karena mengambil latar waktu historis peristiwa Orde Baru pada tahun 1997 masa pemilihan umum nasional, sebelum reformasi, saat situasi politik di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-pedesaan. Kelima, novel MPU ini sarat akan konflik sosial yang tidak berwujud kekerasan, yakni unjuk-rasa (demonstrasi), pemogokan (dengan segala bentuknya), dialog (musyawarah), polemik melalui surat kabar, dan protes. Selain itu, peneliti juga tertarik terhadap cara para tokoh dalam mengatasi konflik sosial.

8 Kusmarwanti, op. cit., h. 149. 9 Nurhadi dan Dian Swandayani, Kajian Filsafat Suryomentaram dalam Novel Pasar Karya Kuntowijoyo, http://staff.uny.ac.id/sites/default/files diunduh pada hari Senin, 7-3-2016. h. 2.

4

Pembelajaran sastra mengenai analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel dapat diterapkan oleh guru untuk membangun kreativitas peserta didik dalam mengapresiasikan karya sastra. Melalui novel MPU, peserta didik diharapkan dapat memahami konsep konflik dengan baik dan dapat mengatasi konflik sosial sehingga siswa mampu memperkuat basis nilai, baik nilai moral, budaya, agama, dan sosial dalam kehidupan mereka sehari-hari. Peserta didik juga dapat mengimplikasikan bahwa penyelesaian dari konflik sosial itu tidak harus berujung pada tindakan kekerasan dan memakan korban jiwa tetapi konflik sosial dapat diatasi dengan jalan musyawarah bersama yang dapat menguntungkan kedua belah pihak yang berkonflik. Konflik sosial juga dapat diselesaikan dengan melibatkan pihak-pihak tertentu maupun lembaga sosial-politik yang dapat melerai pihak yang berkonflik. Sehubungan dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo dengan mengambil judul “Konflik Sosial dalam Novel Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di SMA/MA.” Melalui penelitian ini peneliti akan mencari tahu bagaimana kehidupan masyarakat desa dengan berbagai permasalahan yang nantinya dapat memicu terjadinya konflik sosial dan perubahan sikap masyarakat desa.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah, sebagai berikut: 1. Kurangnya keterlibatan lembaga sosial-politik secara langsung dalam mengatasi berbagai potensi konflik di sejumlah daerah. 2. Kurangnya sikap dan nilai-nilai positif yang dapat diambil dari terjadinya konflik sosial. 3. Kurangnya pembahasan mengenai konflik sosial yang diimplikasikan pada pembelajaran sastra di SMA/MA.

5

C. Batasan Masalah Pembatasan masalah bertujuan agar ruang lingkup penelitian tidak kabur sehingga ruang lingkup penelitian menjadi jelas dan terarah. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah fokus kepada “Pengaruh konflik sosial terhadap sikap masyarakat desa dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo”.

D. Rumusan Masalah Agar penelitian lebih jelas dan terarah maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo? 2. Bagaimana implikasi pembahasan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo pada pembelajaran sastra Indonesia di SMA/MA?

E. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. 2. Mendeskripsikan implikasi pembahasan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo pada pembelajaran sastra Indonesia di SMA/MA.

F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat yang mencakup aspek teoretis maupun praktis. 1. Manfaat teoretis. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan meningkatkan pengetahuan serta wawasan yang berkaitan dengan sastra Indonesia, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah.

6

Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu dalam menambahkan pemikiran mengenai pendekatan yakni sosiologi sastra serta membantu dalam mengkaji novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. 2. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memudahkan dan membantu pembaca dalam memahami isi, mengapresiasikan serta mengaplikasikan sikap optimis dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo khususnya dalam menghadapi konflik sosial yang sering terjadi pada kehidupan sehari-hari. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjelaskan cara pandang pengarang yang terdapat dalam novel terkait konflik sosial dalam masyarakat dengan menggunakan lintas disiplin ilmu, yaitu sastra dan sosiologi.

G. Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya.10 Hanya saja penelitian sastra bersifat deskriptif, karena itu metodenya juga digolongkan ke dalam metode deskriptif. Dalam hal ini, Nawawi dalam Siswantoro menjelaskan metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (novel, drama, cerita pendek, puisi) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.11 Penulis menggunakan novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo sebagai data alamiah dengan metode kualitatif deskriptif. Penelitian ini menekankan pada analisis dan hasil analisisnya dalam bentuk deskripsi, tidak berupa angka-angka atau koefisian tentang

10 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 47. 11 Siswantoro, Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 56.

7

variabel. Metode analisis isi digunakan untuk menganalisis isi suatu dokumen ataupun teks dalam karya tersebut. 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlangsung dari 3 September 2015 sampai 13 Februari 2017. Penelitian ini tidak terkait dengan tempat tertentu karena objek yang dikaji berupa naskah (teks) karya sastra, yaitu novel.

2. Objek Penelitian Objek dari penelitian ini yaitu naskah novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo dengan mengkaji “Konflik Sosial dalam Novel Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di SMA/MA”.

3. Data dan Sumber Data a. Data Data ialah bahan mentah yang perlu diolah sehingga menghasilkan informasi atau keterangan.12 Data merupakan informasi yang telah dikumpulkan oleh peneliti agar mempermudah dalam proses analisis. Data penelitian ini berupa kutipan kata, kalimat serta dialog yang terdapat dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.

b. Sumber Data Sumber dalam pengumpulan data dapat menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder. 1) Sumber Data Primer Data primer adalah data utama, yaitu data yang diseleksi atau diperoleh langsung dari sumbernya tanpa perantara. Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses secara langsung dari sumbernya tanpa lewat

12 Riduwan. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 106.

8

perantara. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.

2) Sumber Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung atau lewat perantara, tetapi tetap bersandar kepada kategori atau parameter yang menjadi rujukan.13 Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar pada kategori konsep yang akan dibahas. Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan yang telah tersusun dalam bentuk data dokumenter baik yang dipublikasikan dan tidak dipublikasikan. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku yang berhubungan dengan sastra, novel, konflik sosial, dan faktor penyebab terjadinya konflik sosial. Adapula data yang didapatkan dari jurnal sebagai penunjang penelitian relevan berupa skripsi bersumber dari internet yang telah terpercaya melalui universitas dan lembaga tertentu.

4. Teknik Pengumpulan Data Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk pengumpulan data dari novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo yaitu: a. Membaca secara cermat, terarah, dan teliti naskah novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. Pembacaan dilakukan secara berulang-ulang sehingga data yang didapat lebih maksimal. b. Menandai dan mencatat kutipan-kutipan dari setiap rangkaian peristiwa yang termasuk ke dalam unsur instrinsik dan menggambarkan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.

13 Siswantoro, op. cit., h. 70-71.

9

c. Pengelompokkan data secara sistematis dan objektif dalam bentuk tabel dan skema sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh tokoh utama maupun tokoh pendukung. d. Hasil dari proses pencatatan dan pengelompokan data digunakan sebagai data untuk analisis konflik sosial novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. e. Hasil dari poin c digunakan sebagai data untuk mengimplementasikan sikap masyarakat desa dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo pada pembelajaran sastra.

5. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode pembacaan semiotik yang terdiri atas pembacaan model heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik yaitu pembacaan dengan jalan meniti tataran gramatikalnya dari sisi mimetisnya dan dilanjutkan dengan pembacaan retroaktif, yaitu pembacaan bolak-balik sebagaimana yang terjadi pada metode hermeneutik untuk menangkap maknanya.14 Pembacaan heuristik berfungsi untuk memperjelas arti. Pembacaan hermeneutik dilakukan dengan membaca secara berulang- ulang kemudian memahami makna dari bacaan tersebut. Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data antara lain: a. Menganalisis data yaitu novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo berdasarkan struktur naskah meliputi tema, tokoh dan penokohan, alur, latar cerita, dan sudut pandang. b. Analisis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Analisis ini dilakukan dengan membaca dan memahami kembali data yang diperoleh baik berupa buku maupun jurnal yang berkaitan dengan penelitian serta mengumpulkan dan

14 Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2002), h. 11.

10

mengelompokkan teks-teks yang mengandung bahasan tentang konflik sosial kemudian menganalisisnya sesuai rumusan yakni konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. c. Mengimplikasikan novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo pada pembelajaran sastra Indonesia di SMA/MA yang dilakukan dengan cara menghubungkan materi pembelajaran sastra di sekolah.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Konflik dalam Karya Sastra Karya sastra sering kali dikaitkan dengan realitas sosial yang melibatkan banyak konflik di dalamnya, tentu benar adanya mengingat keduanya tidak bisa dipisahkan. Wellek dan Warren, menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang, menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan.1 Konflik akan terjadi apabila tidak adanya lagi kesepakatan mengenai sebuah keinginan yang tidak tercapai dan tidak adanya kesepakatan antara individu satu dengan individu lainnya. Hal ini biasanya sering terjadi pada kehidupan nyata masyarakat yang selalu menghindari maupun harus menghadapi hal tersebut. Sebuah karya sastra yang menampilkan berbagai macam peristiwa sangat erat kaitannya dengan konflik. Peristiwa akan mampu menciptakan konflik dan konflik akan memicu adanya peristiwa lainnya. Nurgiantoro, menyatakan bahwa peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa juga. Ada peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan konflik. Sebaliknya, karena terjadi konflik, berbagai peristiwa lain pun dapat bermunculan, misalnya sebagai akibatnya. Konflik demi konflik yang disusul oleh peristiwa demi peristiwa akan menyebabkan konflik menjadi semakin meningkat.2 Namun, konflik yang digambarkan di dalam karya sastra bukan sepenuhnya konflik nyata. Pengarang bisa saja memasukkan imajinasi yang dimilikinya baik secara sengaja maupun tidak sengaja menyajikan konflik dengan cara demikian agar menimbulkan kesan menarik untuk

1 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 285. 2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Press, 2013), h. 180.

11

12

dibaca. Perlu diingat sastra bukanlah sebuah kejadian yang menggambarkan keadaan dengan apa adanya. Dengan demikian, sastra tidak sepenuhnya menggambarkan sebuah konflik yang terjadi pada kurun waktu tertentu. Bentuk konflik sebagai bentuk peristiwa dapat pula dibedakan ke dalam dua kategori: konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal (external conflict) dan konflik internal (internal conflict). Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam mungkin lingkungan manusia atau tokoh lain. Dengan demikian, konflik eksternal dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu konflik fisik (physical conflict) dan konflik sosial (social conflict). Konflik fisik adalah konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dan lingkungan alam. Sebaliknya, konflik sosial adalah konflik yang disebabkan kontak sosial antarmanusia. Antara lain berwujud masalah perburuhan, penindasan, percekcokkan, peperangan, atau kasus-kasus hubungan sosial lainnya. Konflik internal adalah konflik yang terjadi dalam hati dan pikiran, dalam jiwa seorang tokoh cerita. Jadi, ia merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri. Konflik itu lebih merupakan permasalahan intern seorang manusia. Misalnya, hal itu terjadi akibat adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-harapan, atau masalah-masalah lainnya. Konflik batin banyak disoroti dalam novel yang lebih banyak mengeksplorasi berbagai masalah kejiwaan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama.3 Pengertian konflik dalam karya sastra dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa konflik dalam karya sastra adalah pertentangan yang memicu terjadinya peristiwa penting lainnya yang sangat dibutuhkan bahkan sangat penting dan tidak dapat dipisahkan. Sastra bukan saja memunculkan terjadinya konflik tetapi juga menampilkan bagaimana cara untuk mengatasi konflik tersebut. Oleh

3 Ibid., h. 181-182. 13

karena itu, sastrawan dituntut untuk tidak hanya terfokus pada masalah gaya dan teknik penulisan saja, tetapi harus memperhatikan pula persoalan mengenai konflik dan cara mengatasinya. Hal tersebut juga dapat menjadikan sastra sebagai alat untuk mencapai perubahan sikap dalam masyarakat.

B. Pandangan tentang Konflik Sosial Kata konflik menurut Kamus Bahasa Indonesia berarti percekcokan, perselisihan, pertikaian, pertentangan, benturan, atau clash antar manusia. Konflik seperti itu bisa timbul bila ada perbedaan pendapat, pandangan, nilai, cita- cita, keinginan, kebutuhan, perasaan, kepentingan, kelakuan, atau kebiasaan.4 Menurut Nurdjana, konflik sebagai akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.5 Sedangkan dalam pengertian yang umum (longgar), konflik didefinisikan sebagai perbedaan sosio-kultural, ekonomi, politik, dan ideologis di antara berbagai kelompok masyarakat, pada dasarnya tak bisa dipisahkan dari hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan kolektif. Apalagi bangsa kita dianugerahi keanekaragaman sosio-kultural yang bahkan sering saling tumpang tindih. Karena itu wajar jika bangsa yang heterogen ini menyimpan potensi konflik tinggi. Sementara itu segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan sosial yang terikat ke dalam ikatan-ikatan primordial dengan subkebudayaan yang berbeda sangat mudah sekali melahirkan konflik-konflik sosial.6 Menurut M. Atho secara umum konflik sosial pada hakikatnya adalah suatu keadaan di mana sekelompok orang dengan identitas yang jelas, terlibat pertentangan secara sadar dengan satu kelompok lain atau lebih, karena mengejar tujuan-tujuan yang bertentangan, baik dalam nilai

4 M. Harun Alrasyid, “Manajemen Bencana Sosial dan Akar Konflik Sosial”, Jurnal Madani, 2005, h. 5. 5 Andri Wahyudi, “Konflik, Konsep Teori dan Permasalahan”, Jurnal Madani, 2005, h. 3. 6 M. Harun Alrasyid. loc. cit. 14

maupun dalam klaim terhadap status, kekuasaan, atau sumber-sumber daya yang terbatas dan dalam prosesnya ditandai oleh adanya upaya pihak- pihak yang terlibat untuk saling menetralisasi, mencederai, atau bahkan mengeliminasi posisi atau eksistensi lawan. Jadi konflik bukanlah kompetisi atau ketegangan, meskipun keduanya dapat menjadi cikal bakal konflik.7 Menurut Coser (dalam Zeitlin) bahwa konflik sosial adalah suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuannya terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan, atau dieliminasi saingan-saingannya. Dalam konflik sosial, jati diri dari orang perorang yang terlibat dalam konflik tersebut tidak lagi diakui keberadaannya. Jati diri orang perorang tersebut diganti oleh jati diri golongan atau kelompok. Dengan kata lain, dalam konflik sosial, yang terjadi bukanlah konflik antara orang perorang dengan jati diri masing- masing, melainkan antara orang perorang yang mewakili jati diri golongan atau kelompoknya.8 Konflik dibedakan menjadi dua, yaitu konflik yang berwujud kekerasan dan konflik yang tak berwujud kekerasan. Konflik yang mengandung kekerasan, pada umumnya terjadi dalam masyarakat-negara yang belum memiliki konsensus dasar mengenai dasar dan tujuan negara. Huru-hara (kerusuhan), kudeta (perebutan kekuasaan dengan paksa), pembunuhan, pemberontakan, dan revolusi merupakan sejumlah contoh konflik yang mengandung kekerasan. Konflik yang tak berwujud kekerasan, pada umumnya dapat ditemui dalam masyarakat-negara yang memiliki konsensus mengenai dasar dan tujuan negara. Adapun contoh konflik yang tak berwujud kekerasan, yakni unjuk-rasa (demonstrasi), pemogokan (dengan segala bentuknya), dialog (musyawarah), polemik melalui surat kabar, dan protes. Sementara itu, konflik tidak selalu bersifat

7 M. Atho Mudzhar, “Pluralisme, Pandangan Ideologis, dan Konflik Sosial Bernuansa Agama” dalam Moh. Soleh Isre (Editor), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 2. 8 Parsudi Suparlan, “Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya”, Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 30, 2006, h. 145-146. 15

negatif seperti diduga banyak orang. Apabila ditelaah secara saksama, konflik mempunyai fungsi positif, yakni sebagai pengintegrasi (pembauran hingga menjadi kesatuan) masyarakat dan sebagai sumber perubahan.9 Coser dan Steven (dalam Anton), mengemukakan konflik-konflik sosial, yang dianggap sebagai perjuangan atas nilai-nilai dan klaim-klaim atas status kekuasaan, dan sumber daya, dapat memenuhi fungsi-fungsi positif. Misalnya, konflik dapat mendamaikan kelompok-kelompok yang saling bersaing, mengarahkan pihak-pihak yang sedang berjuang untuk mengekspresikan identitas mereka sendiri, mengurangi ketidakpastian dengan menjaga batas-batas kelompok, dan merangsang kelompok untuk mencari asumsi-asumsi serta nilai-nilai dasar umum atau lembaga- lembaga pengamanan, dan sebagainya. Secara singkat konflik dapat meningkatkan bukannya mengurangi adaptasi atau penyesuaian hubungan- hubungan sosial atau kelompok-kelompok.10 Konflik sosial yang menyelimuti masyarakat kita dan masyarakat dunia sekarang berasal dari nilai-nilai suci yang berbeda (cara hidup, kebenaran transenden, dan moral). Konflik sosial jelas sekali muncul disebabkan cara mengatasinya yang lamban dari kasus-kasus individu yang berdasarkan keadilan hukum yang tidak bisa dilaksanakan oleh aparat keamanan.11 Terlepas dari apa bentuk (modus) konflik yang terjadi, faktor penyebab dan fungsinya bagi terbentuknya proses sosial, ternyata konflik berkepanjangan tidak hanya berakibat semakin sulitnya dicarikan strategi pemecahannya tapi juga berdampak semakin rusaknya tatanan kehidupan masyarakat itu sendiri. Dalam hal inilah, hal terpenting harus disikapi Pemerintah dan masyarakat adalah mencari solusi paling tepat

9 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 150. 10 Anton Van Harskamp, Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial, (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), h. 5. 11 Suaidi Asy’ari, Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini, (Jakarta: Indonesian- Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 2003), h. 31. 16

untuk mengatasi konflik yang terjadi serta membangun kerukunan hidup masyarakat sehingga terbentuk NKRI yang kuat.12 Hal itu menunjukkan bahwa sentimen dan kepercayaan yang berlebihan tentang keyakinan masyarakat terhadap salah satu kelompok, golongan dan atau agama akan menimbulkan konflik, baik yang bernuansa sosial-ekonomi, politik maupun agama. Bukti ini juga sekaligus menunjukkan bahwa potensi konflik itu ada diberbagai bidang. Oleh karena itu perlu upaya yang simultan dilakukan agar konflik yang potensial tersebut dikelola secara saksama, baik oleh pemerintah daerah, masyarakat maupun aparat penegak hukum. Yang tidak kalah pentingnya adalah peranan lembaga pendidikan dan proses pembelajaran yang terjadi di dalamnya.13 Dalam mengatasi konflik yang terjadi perlu dilakukan dialog dan komunikasi agar masyarakat memiliki pengertian tentang keragaman dan toleransi, melakukan negosiasi sesuai dengan berbagai kepentingan dan posisi yang ada serta membuat konsensus yang menguntungkan kedua atau berbagai pihak, mengidentifikasi kebutuhan dan mengupayakan bersama pencapaian kebutuhan tersebut, mengidentifikasi ancaman dan ketakutan yang terjadi untuk membangun rasa empati dan rekonsiliasi di antara mereka, memberikan informasi tentang budaya dan mengefektifkan komunikasi antar budaya, serta melakukan perbaikan struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidak setaraan dan ketidakadilan tersebut terjadi, meningkatkan pengertian dan kerja sama, dan mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, dan pengakuan. Konflik harus segera diatasi agar tidak menimbulkan konflik baru yang lebih besar dan rumit. Konflik bisa di manag untuk membangun solidaritas kelompok,

12 Choirul Fuad Yusuf, Konflik Bernuansa Agama: Peta Konflik Berbagai Daerah di Indonesia 1997-2005, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), h. 2-3. 13 Dadang Sudiadi, “Menuju Kehidupan Harmonis dalam Masyarakat yang Majemuk: Suatu Pandangan Tentang Pentingnya Pendekatan Multikultural dalam Pendidikan di Indonesia”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 5, 2009, h. 34-35. 17

peningkatan nasionalisme, kekompakan, dan komitmen organisasi, motivasi studi dan prestasi, persatuan, dan keharmonisan hidup sosial dan rumah tangga. Untuk itu diperlukan seni dan managemen konflik.14 Ada beberapa bentuk dan tingkatan intervensi konflik. Pertama, adalah peace making (menciptakan perdamaian) yang biasa muncul dalam bentuk intervensi militer. Dinamika konflik biasanya berada pada puncak eskalasi yang ditandai oleh reproduksi aksi kekerasan, mobilitasi massa, dan tidak adanya komitmen menghentikan konflik kekerasan. Kedua, adalah peace keeping (menjaga perdamaian) yang juga muncul dalam bentuk intervensi militer agar pihak yang sudah tidak bertikai tidak kembali melakukan aksi kekerasan. Pada tingkatan ini pihak bertikai tidak melakukan aksi kekerasan bukan dilandasi oleh pemecahan masalah, namun akibat melemahnya atau habisnya sumber daya bertempur. Ketiga, adalah conflict management (pengelolaan konflik) yang mulai menciptakan berbagai usaha untuk mencari pemecahan masalah. Beberapa tindakan pengelolaan konflik ini bisa dalam bentuk negosiasi, mediasi, penyelesaian jalur hukum, arbitrasi, dan workshop pemecahan masalah. Keempat, adalah peace building (pembangunan perdamaian) yang merupakan proses peningkatan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, dan rekonsiliasi seluruh pihak bertikai. Semua proses di atas merupakan bagian dari conflict transformation (transformasi konflik), yaitu suatu proses menanggulangi berbagai masalah dalam konflik, sumber-sumber dan konsekuensi negatif konflik. Transformasi konflik sendiri merupakan proses jangka panjang.15 Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian konflik sosial adalah pertentangan, percekcokan sosial yang dilakukan antarindividu, antarkelompok dengan tujuan untuk memperoleh status, kekuasaan, dan sumber daya serta keinginan untuk menghancurkan dan menguasai pihak lain. Pertentangan sosial itu dipicu adanya perbedaan

14 Moh. Roqib, op. cit., h. 5. 15 Novri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 97. 18

pendapat dari masing-masing pihak. Di sisi lain, konflik dapat mendamaikan pihak yang saling berseteru dan mengarahkan pihak-pihak yang sedang berjuang demi identitas mereka sendiri. Untuk meredakan konflik sosial yang seringkali berkecamuk karena lambannya dalam mengatasi kasus individu maupun kelompok, maka dibutuhkan kesigapan aparat keamanan serta lembaga tertentu untuk mengadilinya dan membangun kembali kerukunan hidup masyarakat.

C. Penyebab Konflik Sosial Banyak faktor telah menyebabkan terjadinya konflik-konflik. Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik-konflik antar-individu. Dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian, dan masing-masing pihak pun berusaha membinasakan lawannya (tidak selalu harus diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam bentuk pemusnahan simbolik alias melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tak disetujuinya). Kecuali perbedaan pendirian, perbedaan kebudayaan pun menimbulkan konflik-konflik. Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik antar-individu, akan tetapi malahan antar-kelompok. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola perilaku yang berbeda pula di kalangan khalayak kelompok yang luas, sehingga apabila terjadi konflik-konflik karena alasan ini, konflik-konflik akan bersifat luas dan karenanya akan bersifat konflik antar-kelompok. Kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda pun memudahkan terjadinya konflik. Mengejar tujuan kepentingan masing- masing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana.16 Faktor penyebab konflik pada prinsipnya mencakup, tentang: (1) Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan; (2)

16 J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 68-69. 19

Perbedaan latar belakang kebudayaan, sehingga membentuk pribadi- pribadi yang berbeda-beda; (3) Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok; dan (4) Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.17 Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial, dan kekuasaan (power) yang jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat. Mereka berpendapat bahwa beberapa hal yang lebih mempertegas akar dari timbulnya konflik di antaranya:18 1. Perbedaan antar-individu; di antaranya perbedaan pendapat, tujuan, keinginan, pendirian tentang objek yang dipertentangkan. Di dalam realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang sama sehingga perbedaan karakter tersebutlah yang memengaruhi timbulnya konflik sosial. 2. Benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik. Benturan kepentingan ekonomi dipicu oleh makin bebasnya berusaha, sehingga banyak di antara kelompok pengusaha saling memperebutkan wilayah pasar dan perluasan wilayah untuk mengembangkan usahanya. Adapun benturan kepentingan politik lihat lagi konflik kepentingan. 3. Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya menimbulkan kerawanan konflik. Konflik dipicu oleh keadaan perubahan yang terlalu mendadak biasanya diwarnai oleh gejala di mana tatanan perilaku lama sudah tidak digunakan lagi sebagai pedoman, sedangkan tatanan perilaku yang baru masih simpang siur sehingga banyak orang kehilangan arah dan pedoman perilaku.

17 Thomas, dkk, “Konflik Sosial Antara Perusahaan Perkebunan Sawit PT. Borneo Ketapang Permai Dengan Masyarakat Desa Semayang Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau”, Jurnal Tesis PMIS-UNTAN-PSS, 2015, h. 4. 18 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 361-362. 20

Keadaan demikian ini, memicu banyak orang bertingkah “semau gue” yang berakibat pada benturan antarkepentingan baik secara individual maupun kelompok. 4. Penyebab kebudayaan, yang mengakibatkan adanya perasaan in group dan out group yang biasanya diikuti oleh sikap etnosentrisme kelompok yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah paling baik, ideal, beradab di antara kelompok lain. Perasaan memegang peranan penting dalam mempertajam perbedaan. Ada perasaan yang menganggap kelompoknya lebih hebat, lebih pintar, lebih baik dan lebih berbudaya dari kelompok lain. Sementara itu, di pihak lain ada kelompok yang merasa tertekan, kurang diperhatikan. Kurang dihargai, bahkan diabaikan oleh kelompok lain. Perasaan semacan ini mempertajam sikap suatu kelompok untuk berusaha menghancurkan kelompok lain. Kelompok yang satu berusaha melawan kelompok lain dengan menggunakan kekerasan dan ancaman.19 Menurut Atran (dalam Dewi Fortuna, dkk) menyimpulkan bahwa pada akhirnya sebagian besar konflik disebabkan oleh pertarungan memperebutkan sumber daya: latar belakangnya adalah situasi ‘aspirasi yang sedang meningkat diikuti oleh harapan yang menipis’.20

D. Hakikat Novel Tarigan (dalam Antilan) mengemukakan bahwa kata novel berasal dari kata Latin, yaitu noveltus yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis sastra lainnya seperti puisi dan drama.21 Wahyudi Siswanto mengemukakan novel merupakan bentuk prosa rekaan yang lebih pendek

19 Ng. Philipus dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 33. 20 Dewi Fortuna, dkk, Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia-Pasifik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 4. 21 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 62. 21

daripada roman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996), novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu.22 Novel bersifat realistis dan berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi: surat, jurnal, memoar atau biografi, kronik atau sejarah. Dengan kata lain, novel berkembang dari dokumen- dokumen.23 Nurgiyantoro, mengemukakan bahwa novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu. Unsur-unsur pembangun sebuah novel, seperti plot, tema, penokohan, dan latar secara umum dapat dikatakan lebih rinci dan kompleks.24 Pengertian novel dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa novel adalah sebuah karya sastra yang menceritakan beragam peristiwa pada masa tertentu yang biasanya dialami oleh kehidupan seseorang dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Sebenarnya novel berkembang dari dokumen-dokumen yang telah diamati pengarang salah satunya peristiwa sejarah dapat dijadikan bahan pembuatan novel dan pengarang dapat memasukkan sesuatu hal penting secara lebih terperinci mengenai permasalahan kompleks yang terdapat di dalamnya. Hal itu mencakup pula unsur-unsur pembangun novel, seperti tema, latar, tokoh dan penokohan, alur, dan amanat sehingga dapat mengetahui lebih mendalam dan lengkap isi dari novel tersebut.

E. Unsur Intrinsik Novel Pada umumnya, para ahli membagi unsur intrinsik prosa rekaan atas tema, tokoh dan penokohan, alur (plot), latar cerita (setting), titik

22 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 141. 23 Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., h. 283. 24 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 13-14. 22

pandang (sudut pandang), dan amanat.25 Berikut ini akan diuraikan secara singkat, yakni: 1. Tema Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema berkaitan dengan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.26 Tema pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau secara singkat dikatakan sebagai makna cerita.27 Sama seperti makna pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak.28 Makna cerita dalam sebuah karya fiksi, mungkin saja lebih dari satu, atau lebih tepatnya lebih dari satu interpretasi. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya untuk menentukan tema pokok cerita atau tema mayor. Tema mayor merupakan makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum. Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas mengidentifikasi, memilih, mempertimbangkan, dan menilai di antara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya yang bersangkutan. Tema minor merupakan makna pokok cerita yang tersirat dalam sebagian besar untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita dapat diidentifikasikan sebagai makna bagian atau makna tambahan.29

25 Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 142. 26 Ibid., h. 161. 27 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 133. 28 Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 41. 29 Burhan Nurgiyantoro. loc. cit. 23

Pengertian tema dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa tema adalah suatu gagasan yang mendasari suatu cerita dalam karya sastra. Untuk mengetahui tema dibutuhkan ketelitian dalam mengamati setiap konflik yang ada di dalamnya dengan cara membaca keseluruhan isi cerita. Di dalam sebuah tema yang menjadi unsur gagasan yaitu ide pokok pemaparan yang disajikan oleh pengarang.

2. Tokoh dan Penokohan Istilah ‘tokoh’ biasa dipergunakan untuk menunjuk pada pelaku cerita. Tokoh merujuk pada individu-individu yang muncul di dalam cerita.30 Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.31 Tokoh merupakan komponen penting dalam sebuah cerita. Apabila tokoh tidak ada, maka sulit untuk menggolongkan karya tersebut ke dalam karya sastra. Setiap tokoh akan melakukan berbagai tindakan, baik secara sendiri maupun secara bersama-sama dengan tokoh lain. Perjuangan seorang tokoh akan berhasil manakala ia mampu melampaui, mengatasi, atau menaklukan segala rintangan yang diakibatkan persentuhannya dengan tokoh-tokoh lain.32 Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang memiliki perwujudan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin. Secara umum dapat dikatakan bahwa kehadiran tokoh antagonis penting dalam

30 Pujiharto, Pengantar Teori Fiksi, (Yogyakarta: Ombak, 2012), h. 43-44. 31 Melani Budianta, Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 86. 32 Atmazaki, Ilmu Sastra (Teori dan Terapan), (Padang: Angkasa Raya, 1990), h. 62. 24

cerita fiksi, khususnya fiksi yang mengangkat masalah pertentangan antara dua kepentingan, seperti baik-buruk, baik-jahat, benar-salah, dan lain-lain yang sejenis. Tokoh antagonislah yang menyebabkan timbulnya konflik dan ketegangan sehingga cerita menjadi menarik. Konflik yang dialami tokoh protagonis tidak harus hanya yang disebabkan tokoh antagonis seorang (beberapa orang) individu yang dapat ditunjuk secara jelas. Namun, dapat disebabkan oleh hal-hal lain yang di luar individu seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan alam dan sosial, aturan-aturan sosial, nilai-nilai moral, kekuasaan yang lebih tinggi, dan sebagainya.33 Pengertian tokoh dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita. Watak yang dimiliki oleh tokoh, dapat dibedakan atas tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

3. Alur (plot) Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan saksama dan menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian.34 Peristiwa-peristiwa yang menjalinnya ada yang penting untuk jalannya cerita dan ada yang tidak penting, namun saling melengkapi untuk dijadikan kisah itu menarik.35 Pengertian alur dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa alur adalah urutan kejadian yang dijalin dengan saksama menghubungkan sebab-akibat dari setiap peristiwa serta menggerakkan jalannya cerita.

33 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 261-262. 34 Sugihastuti, Teori dan Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 36. 35 Melani Budianta, op. cit., h. 87. 25

Tasrif dalam (Nurgiyantoro) mengklasifikasikan tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu antara lain:36 a. Tahap Situation: tahap penyituasian, yaitu pengarang mulai melukiskan suatu keadaan, berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pemberian informasi awal, dan lainnya terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita. b. Tahap Generation cicumstances: tahap pemunculan konflik. Masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. c. Rising action: tahap peningkatan konflik. Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, atau keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari. d. Climax: tahap klimaks. Konflik dan pertentangan yang terjadi, yang dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadi konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks. e. Tahap Denoument: tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri.

36 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210. 26

4. Latar Cerita Latar atau setting atau yang disebut juga dengan landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.37 Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa- peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor seperti cafe di Paris ataupun berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah.38 Latar sebagai tempat dan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa, sementara peristiwa- peristiwa terjadi oleh adanya aksi tokoh dan konflik yang ada di dalam dan antar tokoh.39 Bila dijabarkan secara detail, latar bisa mengacu pada 1) lokasi geografis yang sesungguhnya, termasuk topografi, pemandangan, bahkan detail interior ruang; 2) pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari; 3) waktu terjadinya tindakan atau peristiwa, termasuk periode historis, musim, tahun, dan sebagainya; 4) lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh-tokohnya.40 Unsur latar dalam Nurgiantoro dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan sosial.41 a. Latar tempat Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling

37 Ibid., h. 302. 38 Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 35. 39 Mursal Esten, Kritik Sastra Indonesia, (Padang: Angkasa Raya, 1984), h. 113. 40 Pujiharto, op. cit., h. 48. 41 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 314-322. 27

tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. b. Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. c. Latar sosial-budaya Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar memberikan pijakan secara jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.42 Pengertian latar dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa latar adalah keterangan mengenai tempat, waktu, dan suasana terjadinya deretan peristiwa nyata atau fiksi yang membangun sebagian alur di dalam karya sastra.

5. Sudut Pandang Sudut pandang dapat diartikan sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.43 Sudut pandang (point of view) menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.44 Ada banyak macam sudut pandang dalam karya sastra. Jenis sudut pandang yang peneliti lakukan yaitu berdasarkan pemaparan Burhan Nurgiyantoro. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang,

42 Ibid., h. 303. 43 Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 152. 44 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 338. 28

yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan persona pertama, dan ditambah persona kedua.45 Berikut ini adalah macam- macam sudut pandang: a) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia” Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti orang. Dalam sudut pandang persona ketiga “Dia” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Dia” mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu) dan “Dia” terbatas atau hanya sebagai pengamat (narator mengetahui segalanya, namun terbatas hanya pada seorang tokoh). b) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku” Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Aku” (tokoh utama) dan “Aku” (tokoh tambahan). c) Sudut Pandang Persona Kedua: “Kau” Cara pengisahan yang mempergunakan “kau” yang biasanya sebagai variasi cara memandang oleh tokoh aku dan dia. Penggunaan teknik “kau” biasanya dipakai “mengoranglainkan” diri sendiri, melihat diri sendiri sebagai orang lain. Keadaan ini dapat ditemukan pada cerita fiksi yang disudutpandangi “aku” maupun “dia” sebagai variasi penuturan atau penyebutan. d) Sudut Pandang Campuran Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. Semua itu tergantung pada kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karyanya. Pengertian sudut pandang dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya

45 Ibid., h. 347-359. 29

menitikberatkan bahwa sudut pandang adalah cara atau pandangan pengarang untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita meliputi; pertama, sudut pandang persona ketiga: “dia”, kedua, sudut pandang persona pertama: “aku”, ketiga, sudut pandang campuran.

F. Hakikat Sosiologi Sastra Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra.46 Sosiologi mempunyai dua akar kata: socius (dari bahasa Latin) yang berarti “teman” dan logos (dari bahasa Yunani) yang berarti “ilmu tentang”. Secara harfiah sosiologi berarti “ilmu tentang pertemanan”. Dalam sudut pandang ini, sosiologi bisa didefinisikan sebagai “studi tentang dasar-dasar keanggotaan sosial (masyarakat)”.47 Kalau bertolak pada pemikiran Damono secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah studi objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial.48 Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingewood selanjutnya mengatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.49 Kata “sastra” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta akar katanya “sas” yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau instruksi. Dengan akhiran “tra” yang berarti alat atau sarana. Oleh karena itu, sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, atau buku pengajaran. Seperti halnya sosiologi,

46 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 1. 47 Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 4. 48 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2011), h. 2. 49 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 1. 30

sastra berurusan dengan manusia dalam masyakarat serta usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu.50 Perbedaan antara keduanya adalah bahwa sosiologi lebih kepada analisis yang objektif ditujukan kepada manusia dalam masyarakat, sedangkan sastra lebih mendalami kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia dalam bermasyarakat. Untuk meneliti sebuah karya sastra dalam penelitian ini khususnya novel yang isinya berkaitan dengan masyarakat, sehingga untuk mendeskripsikan kehidupan sosial yang terjadi dalam masyarakat sangat dibutuhkan ilmu sosial. Lagi pula sastra “menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia.51 Dengan demikian, penelitian sosiologi sastra, baik dalam bentuk penelitian ilmiah maupun aplikasi praktis, dilakukan dengan beberapa cara mendeskripsikan, memahami, dan menjelaskan unsur-unsur karya sastra dalam kaitannya dengan perubahan-perubahan struktur sosial yang terjadi di sekitarnya.52 Pengertian sosiologi sastra dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa sosiologi sastra adalah ilmu yang mempelajari tentang keterkaitan sastra dengan masyarakat seperti kehidupan sosial dalam masyarakat karena pada dasarnya sastra tidak akan lepas dari masalah sosial.

G. Pembelajaran Sastra Pembelajaran sastra dapat diterapkan disemua jenjang pendidikan formal mulai dari SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi yang tentunya harus disesuaikan dengan kompetensi teori sastra yang hendak dicapai. Peserta didik yang sudah berada di jenjang sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dituntut harus menguasai dan menghafal teori sastra. Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba

50 Ibid., h. 3. 51 Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., h. 109. 52 Nyoman Kutha Ratna, op. cit., h. 25. 31

mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra.53 Proses belajar mengajar di dalam lingkungan formal, atau biasanya dikenal dengan istilah “pengajaran”, bertujuan mengembangkan potensi individual siswa sesuai dengan kemampuan siswa menyangkut kecerdasan, kejujuran, keterampilan, pengenalan kemampuan dan batas kemampuannya, dan karsa mengenali dan mempertahankan kehormatan dirinya. Dengan kata lain, tiap kegiatan menyiratkan upaya pendidikan, yang bertujuan membina watak siswa. Artinya, pengajaran sastra menghasilkan manusia-manusia yang dapat bertahan hidup tanpa menyusahkan ataupun merepotkan orang lain.54 Salah satu kelebihan novel sebagai bahan pengajaran sastra adalah cukup mudahnya karya tersebut dinikmati siswa sesuai dengan tingkat kemampuannya masing-masing perorangan.55 Hakikatnya, pembelajaran sastra Indonesia di sekolah ditujukan untuk menumbuhkan kepedulian siswa, guru, tata usaha, dan kepala sekolah terhadap keberadaan sastra Indonesia sebagai alat komunikasi dan sebagai alat pemersatu bangsa ini. Kepedulian itu pada gilirannya diharapkan akan meningkatkan sikap positif kita terhadap sastra Indonesia baik sebagai lambang identitas dan kebanggaan bangsa, persatuan dan kesatuan bangsa, pembangkit rasa solidaritas kemanusiaan maupun sebagai sarana memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.56

H. Penelitian yang Relevan Dengan adanya penelitian relevan, peneliti dapat melihat dan membandingkan penelitian sebelumnya agar terhindar dari plagiarisme. Penelitian mengenai pengarang dan novel MPU karya Kuntowijoyo sudah

53 Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 168. 54 Antilan Purba, Esai Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), h. 30. 55 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius,1988), h. 66. 56 Muslimin, “Perlunya Inovasi dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya, Vol. 1, 2011, h. 2. 32

banyak ditemukan dalam bentuk skripsi dan jurnal, namun dengan topik pembahasan yang berbeda-beda. Berikut beberapa penelitian relevan tersebut di antaranya: penelitian yang berbentuk skripsi dilakukan oleh Giyato (2010) mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Penjinak Ular, dan Waspirin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”. Penelitian ini memaparkan bahwa pertama, pandangan dunia Kuntowijoyo meliputi pandangan religius profetik yang meliputi misi profetik kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan moral; kedua, struktur sosial budaya masyarakat meliputi religiusitas, seni budaya, mitos, perilaku dan kesenangan, penggunaan bahasa, prinsip hidup, interaksi sosial, pewarisan kepemimpinan, dan penyampaian kritik masyarakat Jawa; ketiga, nilai pendidikan meliputi nilai pendidikan agama, moral, adat/budaya, sosial, dan kepahlawanan.57 Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Muharrina Harahap (2009) mahasiswa Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara Medan dengan judul “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo”. Penelitian ini, meneliti tentang mitologi Jawa dalam tiga novel karya Kuntowijoyo, yaitu Pasar, Mantra Penjinak Ular, dan Waspirin dan Satinah. Di dalam penelitian tersebut dipaparkan bahwa ketiga novel tersebut menunjukkan adanya unsur mitologi, filsafat, dan nilai budaya Jawa yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pada akhirnya bermuara pada satu kesatuan yaitu kebudayaan Jawa.58 Selain itu, ditemukan hasil penelitian terhadap karya sastra yang sama dalam bentuk jurnal yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sri Parini mahasiswa UMS dengan judul “Aspek Religiusitas Novel Mantra

57 Giyato, Skripsi berjudul “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Penjinak Ular, dan Waspirin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”, 2010, h. i. 58 Muharrina Harahap, Skripsi berjudul “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo”, 2009. 33

Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo: Kajian Semiotik dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMP”. Hasil pembahasan dari penelitian tersebut berupa: di dalam penelitian tersebut dipaparkan bahwa aspek religiusitas dalam novel tersebut, meliputi: sadar akan hakikat dirinya, mensyukuri nikmat Allah, ibadat harus diikuti pengolahan dunia, manusialah yang dapat mengubah dirinya, mengajak untuk peduli kepada kebenaran, membela kebenaran jauh lebih mulia, kesadaran untuk beramal, seni mengajak eling kepada Tuhan, kepercayaan masyarakat Jawa, dan adanya acara selamatan.59 Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Kusmarwanti mahasiswa FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian ini, meneliti tentang tokoh orang tua dan refleksi politik orde baru akan dicermati dalam dua novel karya Kuntowijoyo, yaitu Mantra Penjinak Ular dan Wasripin dan Satinah dengan judul “Tokoh Orang Tua dan Refleksi Politik Orde Baru dalam Novel-Novel Karya Kuntowijoyo”. Penelitian tersebut memaparkan bahwa pertama, tokoh orang tua dalam novel Mantra Penjinak Ular memiliki hubungan intertekstual dengan Ronggowarsito dan tokoh orang tua dalam novel Wasripin dan Satinah memiliki hubungan intertekstual dengan Nabi Hidzir. Kedua, tokoh orang tua merefleksikan isu-isu politik Orde Baru, meliputi: pencitraan partai penguasa untuk pemenangan pemilu, loyalitas pada partai penguasa, penangkapan dan pembunuhan lawan politik, dan monopoli ekonomi dan tanda-tanda keruntuhan penguasa.60 Penelitian yang terakhir dalam bentuk jurnal dilakukan oleh Anwar Efendi mahasiswa FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian ini, meneliti tentang kemandirian tokoh wanita akan dicermati dalam empat buah novel karya Kuntowijoyo, yaitu: (1) Khotbah di Atas Bukit, (2) Pasar, (3) Mantra Penjinak Ular, dan (4) Wasripin dan Satinah dengan

59 Sri Parini, Jurnal berjudul “Aspek Religiusitas Novel Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo: Kajian Semiotik dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMP”, Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 15, 2014, h. 55. 60 Kusmarwanti, op. cit., h. 148. 34

judul “Kemandirian Tokoh Wanita dalam Novel-Novel Karya Kuntowijoyo”. Hasil pembahasan dari penelitian tersebut berupa: di dalam penelitian tersebut dipaparkan bahwa pertama, tokoh wanita dihadirkan secara utuh melalui peran individu, keluarga, dan sosialnya. Kedua, tokoh wanita hadir dengan kemandirian, dapat bersikap dan menentukan pilihan sendiri, dan berada sejajar dengan laki-laki. Ketiga, salah satu cara penggambaran kemandirian yakni dengan melekatkan pekerjaan pada diri tokoh wanita yang memungkinkan menghidupi diri sendiri.61 Berdasarkan beberapa penelitian relevan tersebut dapat diketahui adanya perbedaan dan persamaan dari hasil analisis yang telah dilakukan dari masing-masing penulis. Perbedaan terletak pada masing-masing hasil analisis dan sumber data yang digunakan oleh para penulis, sedangkan persamaan terletak pada objek yang dituju dari pengarang dan novel yang sama yaitu novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, yaitu mengenai konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya kuntowijoyo. Peneliti ingin menjelaskan bahwa konflik dengan orang lain dan masyarakat itu tidak selamanya harus berujung pada tindakan kekerasan dan pihak yang berkonflik dapat mengatasi masalah tersebut dengan jalan musyarawah tanpa harus menimbulkan korban jiwa. Analisis ini ditujukan sebagai pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya.

61 Anwar Efendi, Jurnal berjudul “Kemandirian Tokoh Wanita dalam Novel-Novel Karya Kuntowijoyo”, Jurnal Pendidikan Karakter, 2013, h. 331. BAB III PROFIL KUNTOWIJOYO

A. Biografi Kuntowijoyo Kuntowijoyo lahir pada 18 September 1943 di Sorobayan, Bantul, Yogyakarta, sejak kecil Kunto lebih banyak tumbuh di antara alam pedesaan Klaten, bersama embahnya, seorang Demang di wilayah Ngawonggo.1 Kuntowijoyo merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara yang dibesarkan di lingkungan dan dalam lingkungan seni. Dua lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhannya semasa kecil dan remaja. Kunto berasal dari struktur priayi, karena kakeknya pernah menjabat sebagai lurah. Sebagai seorang sejarawan, Kunto sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa. Kecintaan Kunto terhadap ilmu pengetahuan terutama yang berhubungan dengan sejarah, telah banyak mengajarkan pentingnya sifat arif dan bijaksana. Kedua sifat ini diimplementasikan Kunto dalam kehidupan sehari-hari.2 Kuntowijoyo adalah sosok sejarahwan, budayawan, dan sastrawan yang langka. Ia sekolah di SD Negeri Klaten (1956), SMP Negeri Klaten (1959), dan SMA Negeri Solo (1962). Menyelesaikan sarjananya di Fakultas Sastra jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun 1969.3 Setamat kuliah pada tahun 1969, Kunto yang sudah dikenal sebagai penulis muda berbakat, menjadi dosen di almamaternya, UGM. Pada tahun yang sama, Kunto menikahi Susilaningsih, yang kemudian memberinya dua orang putra, Punang dan Alun. Di tahun 1973, kesempatan Kunto untuk memperdalam ilmu sejarah, akhirnya membawa Kunto ke Amerika. Selama 6 tahun berturut-turut, Kunto berhasil menyelesaikan masternya di University of Connecticut, kemudian melanjutkan ke

1 Waryani Fajar Riyanto, “Seni, Ilmu, dan Agama Memotret Tiga Dunia Kuntowijoyo (1943-2005) Dengan Kacamata Integral(Isme)”, Politik Profetik, Vol. 2, 2013, h. 2. 2 M. Sirajudin Fikri, “Konsep Demokrasi Islam Dalam Pandangan Kuntowijoyo (Studi Pada Sejarah Peradaban Islam)”, Wardah, 2015, h. 95. 3 Arief Fauzi Marzuki, op. cit., h. 18.

35

36

untuk meraih gelar doktornya di bidang Sejarah. Tesis masternya diselesaikan pada 11 Desember 1974 dengan judul American Diplomacy and Indonesia Revolution, 1945-1949: A Broken Image.4 Gelar MA-nya diperoleh dari Universitas Connecticut, USA. Gelar PhD dalam studi sejarah diperolehnya dari Universitas Columbia pada 1980, dengan disertasi berjudul Social Change in an Agrarian Societ: Madura 1850- 1940 yang edisi Indonesianya telah diterbitkan oleh penerbit Mata Bangsa, Yogyakarta: 2002.5 Kuntowijoyo merupakan ilmuwan sekaligus pakar di berbagai bidang yang telah mendapatkan pengakuan, baik secara nasional maupun internasional, karena ia berwawasan global-lokal yang luas, baik inter, antar, maupun multidisipliner. Jabatannya sebagai guru besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada mengukuhkan statusnya sebagai seorang ilmuwan dalam bidang sejarah. Ia pun eksis dengan tulisan-tulisan sosialnya yang meliputi masalah sejarah, politik, agama, budaya, dan telah menghasilkan lebih dari lima puluh judul tulisan.6 Sebelum maupun sesudah mengalami sakit yang cukup lama, ia tetap produktif dan begitu konsisten dalam melahirkan karya-karya berbobot. Kemahirannya dalam memanfaatkan dua medium ungkap sastra (puisi, cerpen, drama, novel) dan non-sastra (esai-esai dalam bidang sejarah, budaya, politik) senantiasa membuat decak kagum pembacanya. Waspirin dan Satinah adalah cerita bersambung yang baru saja dinikmati di harian Kompas beberapa bulan lalu.7

B. Karya Kuntowijoyo Kuntowijoyo disebut sebagai pengarang besar karena telah menulis berbagai ragam karya sastra. Karyanya yang berupa novel ialah Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (1966), Pasar (1972), Khotbah di Atas Bukit

4 Waryani Fajar Riyanto, op. cit., h. 2. 5 Arief Fauzi Marzuki, op. cit., h. 18. 6 Adib Sofia, Kritik Sastra Feminis “Perempuan dalam Karya-Karya Kuntowijoyo”, (Yogyakarta: Citra Pustaka, 2009), h. 2. 7 Arief Fauzi Marzuki. loc. cit. 37

(1976), Mantra Penjinak Ular (2000), dan Waspirin dan Satinah (2003), sedangkan Impian Amerika (1998) merupakan karyanya yang berlabel sebuah novel, tetapi berisi sejenis cerita berbingkai. Selain itu, karyanya yang berupa puisi telah terkumpul dalam kumpulan puisi Suluk Awang-uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun, Daun Makrifat (1995). Sementara itu, Rumput-rumput Danau Bento (1968), Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatma, Barda (1973), Carta (1973) dan Topeng Kayu (2001) adalah karyanya yang berupa drama, dan Mengusir Matahari; Fabel-fabel Politik (1999) adalah karyanya yang berupa fabel. Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1993) serta Hampir Sebuah Subversi (1999) adalah dua kumpulan cerita pendeknya. Selain karya-karya di atas, terdapat pula beberapa cerita pendek yang terbit bersama penulis lain dan cerita pendek yang tersebar di berbagai media massa. Kepakaran Kuntowijoyo di berbagai bidang tersebut dibuktikan dengan berbagai penghargaan yang telah diraihnya, antara lain: penghargaan pertama Majalah Horison untuk cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga (1968), dan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta untuk drama Rumput-rumput Danau Bento (1968) untuk drama Topeng Kayu (1973). Selain itu, ia juga mendapatkan Hadiah Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1986), Penghargaan Penulis Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1994), Penghargaan Kebudayaan ICMI (1995), ASEAN Award on Culture and Information (1997), Satya Lancana Kebudayaan Republik Indonesia (1997), Mizan Award (1998), Penghargaan Kalyanakretya Utama untuk Tekonologi Sastra dari Menristek (1999), Anugerah Penghargaan Sastra 1999 dari Pusat Bahasa di Rawamangun, SEA Write Award dari Pemerintah Thailand (1999), Penghargaan Majelis Sastera Asia Tenggara (2001), dan Anugerah 38

Kesetiaan Berkarya di Bidang Penulisan Cerpen dari harian Kompas (2002).8 Goresan pena Kuntowijoyo selalu dirindukan para pembaca, penerbit buku, dan berbagai media massa yang ada. Karya-karya nonfiksinya banyak diterbitkan penerbit Mizan Bandung, seperti Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991), Identitas Politik Umat Islam (1987), Muslim Tanpa Masjid (2001), dan Selamat Tinggal Mitos, Selamat Tinggal Realitas (2002). Juga penerbit Tiara Wacana Yogyakarta: Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Budaya dan Masyarakat (1987).9 Kendati sebagian hari-hari (puluhan tahun) dijalaninya dalam keadaan sakit, sampai menjelang akhir hayat, Kunto telah berhasil menulis lebih dari 50 judul buku. Belum terhitung kolom-kolomnya di berbagai media.10

C. Pemikiran Kuntowijoyo Kuntowijoyo merupakan salah satu sastrawan yang menggagas prinsip penulisan sastra profetik. Bukan hanya sastra profetik yang ia gagas, tetapi juga ilmu sosial profetik yang berpijak pada humanisasi, liberasi, dan transendensi. Dengan adanya gagasan tersebut manusia dan masyarakat Islam sudah seharusnya melakukan berbagai aksi kemanusiaan dan kemasyarakatan sehingga mampu memberikan usahanya untuk melakukan perubahan dan perkembangan bagi kemajuan manusia. Sebagaimana diungkapkan oleh M. Dawam Raharjo dan M. Syafii Anwar, benang merah pemikiran Kuntowijoyo amat jelas. Ia adalah ilmuwan sosial Muslim yang pertama kali mengetengahkan perlunya “ilmu sosial profetik” (ISP) berdasarkan pandangan dunia Islam. pokoknya ada dua hal. Pertama, transformasi sosial dan perubahan. Kedua, menjadikan Al- Quran sebagai paradigma.11

8 Adib Sofia, op. cit., h. 3. 9 Arief Fauzi Marzuki, op. cit., h. 18. 10 M. Sirajudin Fikri, op. cit., h. 96. 11 Arief Fauzi Marzuki. loc. cit. 39

Menurut Sartono Kartodirdjo, Kunto menulis dengan tidak partisan dan tidak mencampuradukkan perasaan serta pendapat pribadi. Kunto juga seorang intelektual yang tak memiliki ambisi untuk menjadi penguasa, apalagi menjadi kaya. Salah satu pemikiran Kunto yang terkenal adalah perlawanannya yang gigih terhadap mitos. Bagi Kunto, hanya dengan kesungguhan meninggalkan cara berpikir mitos menuju cara berfikir pada realitas yang mampu membuat umat manusia selamat dari ketertinggalan. Proyek itu disusun dalam terminologi demitologisasi, demistifikasi, dan konkretisasi dari Ilmu Sosial Profetik (ISP) yang sudah dirancang puluhan tahun. Secara sederhana, Kunto membagi tiga tahapan perkembangan umat Islam Indonesia berdasarkan sistem pengetahuan masyarakat. Ketiga tahap itu, meliputi (1) tahap mitos, (2) tahap ideologi, dan (3) tahap ilmu. Pertama, tahap mitos adalah suatu konsep tentang kenyataan yang mengandaikan bahwa dunia pengalaman sehari-hari akan terus-menerus disusupi kekuatan-kekuatan keramat. Kedua, tahap ideologi ditandai dengan kemunculan organisasi-organisasi modern seperti Sarekat Islam. Gerakan ini tidak lagi dipimpin oleh elit desa, ulama, tokoh kharismatik tetapi elit kota kalangan terdidik, orang biasa, dan pedagang. Ideologi ini bertujuan untuk membangun kembali masyarakat seperti yang dicita- citakan. Ketiga, tahap ilmu ditandai dengan memberikan batasan pada pengetahuan yang bersifat objektif. Jika ideologi melihat fakta dari sudut subjektif, ilmu melihat fakta secara objektif. Bagi Kunto, menggeser cara berpikir ideologi kearah berpikir dengan ilmu adalah kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditawar agar umat hidup lebih baik.12 Ilmu sosial profetik yang digagas Kunto tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena itu, ilmu sosial profetik tidak sekadar mengubah demi perubahan, tetapi

12 M. Khomsin, op. cit., h. 27. 40

mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat. Perubahan yang didasarkan pada cita-cita profetik humanisasi atau emansipasi, liberasi, dan transendensi. Suatu cita- cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam ayat 110, surat Ali Imran: Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemunkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah. Tiga muatan nilai inilah yang mengkarakterisasikan ilmu sosial profetik. Dengan kandungan nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi yang ada dalam ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etik di masa depan.13 Gaya sastra profetik atau transendental yang diperkenalkan Kunto pada dunia sastra akan mengilhami bagi generasi selanjutnya. Puisi, cerpen, novel, dan karya sastra yang ditulis oleh Kunto berisi tentang memperjuangkan pembebasan orang yang tertindas. Karya sastra profetik menjadi inspirasi dan daya dorong bagi lahirnya karya sastra yang membangkitkan, membebaskan, dan mencerahkan umat. Agama menjadi lebih agung dan luhur, ketika tidak dipolitisasi oleh orang yang menggunakan agama sebagai komoditas. Simbol-simbol agama dalam karya-karyanya hanya menjadi perantara belaka, bukan tujuan yang sesungguhnya.14 Selain itu, Umat Islam dituntut untuk berperilaku objektif secara aktif. Islam diturunkan sebagai rahmat kepada siapa pun tanpa memandang agama, warna kulit, budaya, dan sebagainya. Demikian pula diperintahkan kepada umat Islam untuk berbuat adil tanpa pandang kerabat, status, kelas, dan golongan sehingga Islam dapat benar-benar dirasakan sebagai rahmat yang adil kepada siapa pun.15

13 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), h. 288-289. 14 Halim Ambiya, op. cit., h. 12. 15 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 68-69. 41

Pikiran-pikirannya yang cerdas dan kritis, menunjukkan bahwa ia menjunjung tinggi integritas intelektual untuk selalu menyuarakan kebenaran. Hidup asketis yang dipilih makin menampakkan bahwa ia jenis sastrawan yang tidak mau mengekor atau mendukung kekuasaan. Sebab, dalam sejarah intelektual di Indonesia, tidak sedikit sejarawan yang menjadi “alat” kekuasaan, baik lewat pendapat maupun berbagai karyanya. Mereka menulis sejarah versi penguasa, dan tentu saja membenarkan langkah-langkah penguasa. Sejak masa kolonial sampai sekarang, ada saja sejarawan yang “menjual” kepakaran kepada penguasa.16 Kuntowijoyo dikenal juga sebagai pengarang Indonesia mutakhir yang memiliki latar belakang etnis Jawa dan banyak mengangkat permasalahan kejawaan, selain ada penulis lain semacam Umar Kayam, , Linus Suryadi AG, Ahmad Tohari, maupun Arswendo Atmowiloto. Kuntowijoyo seringkali mengangkat permasalahan kelompok masyarakat Jawa khususnya priyayi ke dalam karya-karyanya.17 Adapun dalam karya-karya cerpen dan novel Kunto banyak menggunakan tokoh orang desa dan rakyat jelata. Dalam berbagai cerita itu, Kunto tidak lupa menyelipkan filsafat eksistensialisme dan spiritualitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga- Bunga”, misalnya, Kunto menggambarkan kondisi dan pilihan yang ditempuh manusia yang menjalani kehidupan berdasarkan keyakinan bahwa hidup bisa dimaknai melalui laku spiritual, dunia kerja maupun tindakan ritual.18 Kuntowijoyo menulis novel berjudul Mantra Penjinak Ular yang pembuatannya berawal dari cerita bersambung dimuat di Kompas. Novel ini menokohkan Abu Kasan Sapari yang dipercaya oleh kalangan terdekatnya sebagai masih keturunan pujangga besar Ronggowarsito. Novel ini berlatar belakang kehidupan sosial serta dunia batin masyarakat desa di wilayah kebudayaan Jawa seperti Klaten, Surakarta serta daerah

16 M. Khomsin, op. cit., h. 27. 17 Nurhadi dan Dian Swandayani, op. cit., h. 2. 18 M. Khomsin. loc. cit. 42

lain yang berasosiasi pada desa-desa di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah. Dalam setting budaya Jawa berikut warna Islam yang selalu mewarnai karya Kuntowijoyo, tokoh Abu Kasan Sapari tumbuh dalam suatu proses dialektika dengan kurun waktu kira-kira menjelang akhir abad ke-20. Abu yang bermatapencaharian sebagai pegawai kecamatan dan dalang di desa di kaki Gunung Lawu, atau sebagai siapa saja manusia Indonesia yang hidup pada periode zaman ini, pasti mengalami sentuhan, tubrukan, atau sedikitnya menjadi saksi bagaimana mesin politik Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto beroperasi. Abu Kasan Sapari harus menghadapi situasi tersebut dengan segala pemahamannya yang khas atas dunia, menghadapi apa yang disebut Kunto sebagai "mesin politik". Si "mesin politik" yang menjadi antagonis mengingatkan bagaimana kekuasaan politik di akhir abad ke-20 Indonesia beroperasi sampai ke desa-desa. Sesuai dengan sifat cerita dan sikap yang dipilih Kunto di situ, perbenturan antara pribadi di desa dengan "mesin politik" dilukiskan dalam sentuhan rasa keadilan.19 Ada beberapa novel lainnya yang berlatar budaya Jawa selain novel Mantra Penjinak Ular, yaitu Wasripin dan Satinah dan Pasar. Novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo mengangkat latar budaya Jawa yang kental dan latar situasi Orde Baru dengan kekuasaan yang otoritarian.20 Novel Pasar karya Kuntowijoyo memiliki latar belakang etnis Jawa dan banyak mengangkat permasalahan kejawaan.21

19 Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Rural&Village/MantraPenjinakUlar-KTW diunduh Kamis, 10-3-2016. 20 Kusmarwanti, op. cit., h. 149. 21 Nurhadi dan Dian Swandayani, op. cit., h. 2. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Unsur Instrinsik Novel Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo Pada bab ini akan disajikan pembahasan tentang konflik sosial dalam novel MPU dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Hasil penelitian akan disajikan dalam 3 bagian, yaitu 1) unsur intrinsik novel MPU yang ditampilkan dalam bentuk deskriptif, 2) wujud konflik sosial dan faktor penyebabnya yang ditampilkan dalam bentuk tabel data dan skema, dan 3) cara mengatasi konflik sosial dalam novel MPU yang ditampilkan dalam bentuk tabel data. 1. Tema Setiap karya sastra selalu memiliki tema yang merupakan suatu gagasan atau inti dari keseluruhan isi cerita dalam karya sastra. Peneliti akan membahas jenis tema menurut cakupannya dibagi menjadi dua, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah tema yang mencakup keseluruhan cerita. Sedangkan tema minor adalah tema tambahan yang ada pada bagian-bagian tertentu saja.1 Tema mayor yang diangkat dalam novel MPU karya Kuntowijoyo yaitu kehidupan masyarakat desa yang mengalami perubahan sosial dan budaya. Seperti pada kutipan di bawah ini: Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu, teknologi, dan doa, bukan mantra.2 Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia bermaksud memutus mata-rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung.3 “Rencana sampeyan apa?” “Ke Solo! Saya akan membawa ular ke bonbin.”

1 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 133. 2 Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 257. 3 Ibid., h. 270.

43

44

Ia berketetapan menjadi dalang, menjadi penerus tradisi Eyang dan tradisi Ronggowarsito: menghibur dan mengajarkan kebijaksanaan hidup.4

Kutipan di atas menunjukkan salah satu bentuk gambaran kehidupan sosial masyarakat desa yang hidup pada masa itu mengalami perubahan sosial dan budaya. Budaya tradisional yang tampil dominan, mulai beralih kepada budaya modern yang secara perlahan masuk ke pedesaan sejalan dengan perubahan zaman. Hal tersebut tidaklah mudah bagi Abu Kasan Sapari untuk menghilangkan dan melepaskan diri dari tradisi Jawa-Islam yang berbau mistik. Namun, pada akhir cerita Abu Kasan Sapari dikisahkan merelakan ular peliharaannya dan membuang mantra serta memutuskan mata rantai perbuatan syirik itu. Abu pun mulai menjalani kehidupan kota yang penuh dengan budaya modern sesuai dengan zamannya tanpa terikat dengan hal-hal yang berbau mistik. Tema minor atau tema tambahan yang terdapat dalam novel MPU karya Kuntowijoyo di antaranya: permasalahan politisasi kesenian, monopoli ekonomi, dan ketimpangan sosial. Politisasi kesenian, dan ketimpangan sosial yang dilakukan pihak penguasa erat sekali hubungannya dengan perasaan atau emosi mengutamakan ideologi politik ingin menguasai segala sesuatu demi kekuasaan. Itulah yang menjadi penyebab utama Abu, Kismo Kengser, dan kerumunan rakyat atau warga desa mulai emosi dengan tindakan pihak penguasa yang semena-mena dan berani melakukan perlawanan terhadap pihak penguasa yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Abu memiliki pandangan tersendiri mengenai kesenian dan politik. Berikut jawaban Abu atas pertanyaan yang diajukan oleh wartawan: Kita mesti membedakan dua hal, yaitu dalang dengan seni pedalangan dan dalang sebagai pribadi. Dalam hal pertama, para dalang jangan mempergunakan seni untuk kepentingan politik, artinya mendalang dalam rangka kampanye suatu parpol tidak boleh secara mutlak. Tetapi dalam hal kedua, diam-diam seorang dalang boleh menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menjadi pendukung parpol. Hanya saja kalau

4 Ibid., h. 271. 45

sampai ketahuan orang lain itu berarti cacat budaya yang dapat mempunyai akibat-akibat buruk baginya, seperti tersingkir dari komunitas dalang. Karenanya saya sendiri tidak akan mengerjakan hal kedua itu”5 AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya kalau ada yang benjol-benjol dalam masyarakat seni akan menutupinya, menjadikannya datar. Kalau ada api seni akan menyiramnya. Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS berpendapat seni memberi air mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan. Sebaliknya, seni yang hanya menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni.6

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Abu memiliki sikap berpegang teguh pada prinsip kebenaran yang dimilikinya dengan tidak ingin terlibat dalam sistem politik kepentingan dan tidak akan menggunakan dalang untuk kepentingan politik. Hal inilah yang membuat Abu berkali-kali diawasi oleh partai Randu yang berkuasa di bawah perintah Mesin Politik saat itu, hingga kemudian Abu ditangkap dengan berbagai tuduhan yang sama sekali tidak dilakukannya. Akan tetapi, sesungguhnya yang menggunakan kesenian sebagai alat politik itu adalah pemerintah. Hal ini ditegaskan pula oleh Kuntowijoyo bahwa pemerintahlah yang justru menggunakan kesenian sebagai alat politik. Dalam esai “Politisasi, Komersialisasi, dan Otonomi Budaya”, Kuntowijoyo menegaskan bahwa politisasi dihadirkan dalam bentuk vulgarisasi kebudayaan. Di antara yang sangat jelas terlihat politisasi budaya itu adalah dunia pewayangan dan media massa. Pedalangan dijadikan alat untuk menggandakan kepentingan politik tertentu, pada zaman Orde Baru apalagi kalau bukan untuk Golongan Karya.7 Dengan demikian, Abu Kasan Sapari sebagai sosok seniman yang berpegang pada alam (seni seperti air) mampu membedakan antara bagian kesenian dengan bagian politik termasuk menempatkan dirinya sendiri ke dalam kedua hal tersebut.

5 Ibid., h. 153. 6 Ibid., h. 170. 7 Kuntowijoyo, op. cit., h. 4. 46

Di sisi lain, melalui pidatonya, tokoh Kismo Kengser tampil untuk mengutuk dan menggugat segala macam kebusukan politik dan kekuasaan yang berada di bawah pimpinan pemerintahan Soeharto pada zaman Orde Baru. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan di bawah ini: Ayam itu mati kena virus, namanya monopoli. Di bawah kekuasaan Soeharto, ekonomi kita memang dikuasai konglomerat. Kita dijajah lagi, tidak oleh bangsa lain, tapi oleh bangsa sendiri. [....] Ia mulai lagi dengan pidatonya: “Kismo Kengser meramal bahwa pemerintah sekarang akan segera ambruk, sebab ketakadilan sudah ada di mana-mana. Persengkokolan penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk memeras rakyat. Hutan kita dibabat habis, bukit dikapling, digusur semena-mena.”8

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Kismo Kengser meramalkan pemerintahan Orde Baru akan segera runtuh karena banyaknya permasalahan berupa monopoli ekonomi, keserakahan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak penguasa sudah merajalela, sehingga membuat rakyat atau warga desa menderita dan sengsara. Seluruh sumber daya alam yang menjadi matapencaharian rakyat atau warga desa telah diambil pihak penguasa dengan mengatasnamakan pembangunan, sehingga banyak yang mengalami kerugian dan keterpurukan dalam segi ekonomi serta jauh dari kehidupan yang layak. Berbagai kebijakan dan janji pihak penguasa belum sepenuhnya mengarah kepada kesejahteraan rakyat atau warga desa. Dari peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa berbagai usaha yang dilakukan tokoh utama sebagai bentuk perjuangan untuk mencapai suatu perubahan sosial dan budaya. Hal ini menjadi tema penting yang diangkat oleh Kuntowijoyo dalam novel MPU memasukkan kondisi dan situasi zaman Orde Baru dengan latar waktu historis yaitu pada tahun 1997, sebelum Reformasi, saat situasi politik di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-pedesaan.

8 Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 212-213. 47

2. Tokoh dan Penokohan Tokoh dan penokohan merupakan dua bagian yang penting dan saling berkaitan, sebab melalui dua bagian tersebut dapat diketahui bagaimana peranan masing-masing tokoh dalam setiap cerita. Tokoh biasanya ditandai dengan nama sedangkan penokohan biasanya ditandai dengan sikap dan watak.9 Penokohan dalam novel MPU dapat dilihat berdasarkan ciri fisik, psikologis, sosiologis, dan kultural dari masing- masing tokoh. Oleh karena itu, pembaca dapat mengenali tokoh dan penokohan dalam cerita tersebut. Berdasarkan fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. a) Tokoh Protagonis Tokoh protagonis adalah tokoh yang memiliki perwujudan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca.10 Berikut beberapa tokoh yang termasuk ke dalam tokoh protagonis pada novel MPU. 1) Abu Kasan Sapari Tokoh Abu Kasan Sapari merupakan tokoh utama yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan cerita sekaligus paling banyak mengalami peristiwa atau paling banyak diceritakan pengarang dalam novel MPU. Meskipun seluruh tokoh memiliki perannya masing-masing yang cukup besar dalam berlangsungnya setiap peristiwa, akan tetapi Abu Kasan Sapari menjadi fokus cerita. Abu digambarkan secara analitik oleh narator sebagai seorang anak laki-laki yang dilahirkan oleh dukun di pedesaan. Ia memiliki seorang ayah yang hanya penduduk desa biasa dengan minimnya pendidikan dan seorang ibu yang masih keturunan priayi di pedesaan. Seperti pada kutipan di bawah ini:

9 Atmazaki, op. cit., h. 62. 10 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 261-262. 48

“Bayi itu lahir laki-laki. Di rumah, ditolong oleh dukun berijazah setempat yang paling favorit [....] Setelah dibersihkan, ibunya bangun dan mengucapkan azan dan qamat, karena ayah bayi itu tak pandai mengucapkan azan sepatah pun. Ibu bayi itu pernah menyuruh suaminya untuk belajar sembahyang, tetapi selalu dikatakannya,”Nantilah, orang Jawa itu kalau saya sudah sembahyang, sembahyang sungguhan. Luar dalam.”11 “Ayah Abu hanyalah penduduk desa biasa.”12

Ciri kultural Abu digambarkan secara analitik oleh narator sebagai seorang anak laki-laki yang diperlakukan dan dibesarkan dalam lingkungan yang masih berpegang teguh pada tradisi Jawa- Islam. Hal ini terbukti ketika nama Abu Kasan Sapari itu sendiri tidak lepas dari pertimbangan mitos dalam tradisi Jawa-Islam dan sejak bayi Abu Kasan Sapari diperlakukan dengan tradisi Jawa- Islam. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu.”13 “Kakek-nenek tahu bahwa kelahiran Abu belum disambut dengan akikah. Maka dipotonglah dua ekor kambing Jawa.”14 “Dengan bangga kakek itu mengumumkan bahwa cucunya diberi nama Abu Kasan Sapari. Abu diambil dari nama sahabat Nabi Abu Bakar, Kasan adalah nama cucu Nabi, dan Sapar adalah bulan perkawinan kedua orangtuanya.”15

Kutipan di atas menggambarkan bahwa kakek dari pihak ayah Abu masih memercayai tradisi Jawa dengan membawa bayi Abu ke kuburan Ronggowarsito untuk meminta keberkahan atas kelahiran Abu. Sedangkan kakek dan nenek Abu dari pihak ibu Abu memercayai tradisi Islam yang dianutnya dengan mengadakan akikah untuk menyambut kelahiran Abu. Abu digambarkan secara analitik oleh narator sebagai seorang anak laki-laki yang diperlakukan dan diasuh oleh kakek dan nenek Abu dari pihak ibu dengan tata krama seorang priayi.

11 Kuntowijoyo, op. cit., h. 1-2. 12 Ibid., h. 5. 13 Ibid., h. 2. 14 Ibid., h. 7. 15 Ibid., h. 3. 49

Kakek dan nenek Abu yang tergolong kaya sangat berharap suatu hari nanti cucunya akan menjadi seorang priayi yang dapat mengetahui dan melestarikan kesenian Jawa khususnya dunia wayang dan dalang. Seperti pada kutipan di bawah ini: Pada hari Minggu pagi, waktu anak-anak lain main bola, Abu akan diantar kakeknya ke dalang Notocarito (nama sebenarnya adalah Bakuh), kawannya di sekolah Jawa (Sekolah Angka Loro) dan mengaji di masjid dahulu yang mempunyai seperangkat gamelan dan satu set wayang. Selain menjadi dalang, dia juga bekerja sebagai pegawai kesenian-sungguh seorang priayi tulen menurut gambaran kakek itu. Di sana Abu kecil belajar apa saja (istilahnya nyantrik): membersihkan gamelan, menggotong gamelan, melihat orang belajar dalang, melihat orang menatah wayang, mendengarkan gamelan ditabuh.16

Secara analitik, ciri psikologis Abu digambarkan oleh narator sebagai seorang anak yang tekun dalam melakukan hal-hal yang disukainya termasuk mendalang. Hal ini terbukti dengan prestasi mendalang yang diraihnya semasa duduk di bangku SD-SMA. Seperti pada kutipan di bawah ini: Ketekunannya nyantrik di rumah Notocarito sudah menghasilkan bukti. Di SD kelas V ia jadi dalang cilik yang punya nilai tertinggi di Festival Dalang Cilik se-Kabupaten Klaten. Di SMP ia menjadi juara dalang cilik se-eks Karesidenan Surakarta. Di SMP ia mewakili sekolahnya menjuarai Festival Dalang Pelajar se-Jawa Tengah. Dan di SMA ia mewakili sekolahnya menjuarai Festival Dalang Pelajar se-Jawa Tengah.17

Kutipan di atas terlihat bahwa pengarang membuat tokoh utama Abu sejak kecil sudah diperkenalkan kesenian Jawa oleh kakek Abu. Pada usianya yang sudah beranjak dewasa, Abu tetap tekun dalam mempelajari serta mendalami pewayangan. Bahkan, ketekunan Abu dalam mendalang telah memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupannya.

16 Ibid., h. 12. 17 Ibid., h. 12-13. 50

Selain itu, ciri sosiologis Abu juga dikenal sebagai mahasiswa, pegawai kecamatan dan dalang. Abu digambarkan secara analitik oleh narator sebagai seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta jurusan pedalangan. Ia juga dikenal sebagai pegawai negeri di sebuah kecamatan sekaligus memiliki kepiawaian dalam mendalang. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan berikut ini: Tidak ada kesulitan dia masuk Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta jurusan pedalangan.18 Dia melamar pekerjaan jadi pegawai lokal, dan ditempatkan di kecamatan Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu. Dia ditempatkan di Bangdes (Pembangunan Desa).19 Selain dikenal sebagai pegawai kecamatan, Abu juga dikenal sebagai dalang.20

Ciri psikologis Abu digambarkan secara analitik oleh narator sebagai seorang yang memiliki sifat lugu, mengatakan sesuai dengan apa yang terjadi. Hal ini terbukti ketika ia ditanya oleh wartawan mengenai kiatnya dalam memenangkan lomba desa. Seperti pada kutipan berikut ini: Dengan lugu Abu Kasan Sapari mengatakan, pertama, menurut Pak Camat memang itu sudah jatah Kemuning. Kedua, segalanya harus ditebus dengan kerja keras.21

Di samping itu, ciri psikologis Abu digambarkan secara analitik oleh narator sebagai warga yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Hal ini terbukti ketika Abu berpidato secara langsung kepada warga tentang pemeliharaan lingkungan. Seperti pada kutipan berikut ini: Kemudian Abu melanjutkan [...] Kita harus memelihara lingkungan kita, jangan malah merusak [....] Prinsip melestarikan lingkungan ialah membiarkan sesuatu di tempatnya.22

18 Ibid., h. 14. 19 Ibid., h. 16. 20 Ibid., h. 32. 21 Ibid., h. 30. 22 Ibid., h. 58. 51

Narator menggambarkan ciri psikologis penokohan Abu secara dramatik sebagai seorang yang memiliki jiwa sosial tinggi. Hal ini terbukti ketika Abu menolong masyarakat desa di sekitar tempat tinggalnya. Seperti pada kutipan di bawah ini: Tapi satu hal yang menyulitkannya, betul sewa rumah di tempat itu murah, tapi untuk mandi orang harus ke sendang di atas yang jauhnya dua kilometer. Ada sumur, tetapi sangat dalam, dan tak ada air bila musim kering. Air itu masih harus dibagi- bagi dengan tetangga, kadang-kadang habis, dan bisanya hanya untuk mengisi gentong [....] Aku tahu”! Ya, ia tahu: orang- orang desa harus diajak membangun saluran air dari sumber dekat sendang sampai desa.23

Kutipan di atas menggambarkan bahwa Abu menggunakan kecerdasan yang dimiliki untuk membantu meringankan beban masyarakat desa. Ia juga melakukan interaksi serta sosialisasi kepada masyarakat desa dengan baik untuk memudahkannya dalam menyampaikan ide dan gagasan. Tokoh Abu Kasan Sapari diciptakan oleh pengarang sebagai seorang seniman yang mampu memberikan solusi dan pencerahan kepada orang-orang desa. Abu berupaya melakukan perlawanan terhadap kekuasaan sosial dan politik rezim Orde Baru yang selama ini masuk dalam kehidupan masyarakat desanya. Seperti pada kutipan di bawah ini: “....orang-orang tua terutama yang peduli politik yang menganggapnya sebagai pelawan Mesin Politik.”24 Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” “Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”25

Kutipan di atas menunjukkan ciri psikologis Abu secara dramatik oleh narator dalam dialog antara Abu dengan Mesin

23 Ibid., h. 17-18. 24 Ibid., h. 150. 25 Ibid., h. 162-163. 52

Politik sebagai sosok yang memiliki sikap berani dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan hidup dirinya sendiri. Ia melakukan perlawanan kepada Mesin Politik tanpa kekerasan, tanpa demonstrasi turun ke jalan, dan tanpa tindakan provokatif yaitu melalui kesenian wayang. Hal tersebut membuat Abu harus berhadapan dengan tindakan penindasan dan penyingkiran yang dilakukan oleh Mesin Politik. Dengan demikian, Abu sebagai seniman tetap berjuang dan berpegang teguh pada prinsip kebenaran yang dimilikinya dengan tidak ingin terlibat dalam sistem politik kepentingan dan tidak ingin mengkhianati perjuangannya. Abu juga sangat berpegang teguh pada pendirian bahwa kesenian adalah dunianya sehingga tidak boleh diganggu oleh siapapun termasuk penguasa dan Abu pun tetap mempertahankan bidang kesenian yang ditekuninya itu. Secara dramatik, Abu juga digambarkan oleh narator dalam dialog antara Abu dengan Haji Syamsuddin sebagai kekasih Lastri. Hal ini terbukti ketika Abu berniat ingin mempersunting Lastri. Seperti pada kutipan berikut ini: Abu Kasan sedang menatah wayang ketika Haji Syamsuddin muncul: Haji Syamsuddin melihat wayang-wayang itu,”Kau sedang wuyung dengan Srikandi, ya?” tanyanya. Wuyung artinya mabuk cinta. “Kok tahu?” “Bagaimana dengan usulan saya mengenai Ma’ul Hayat?” Maksudnya mengawini Lastri. “Ya, itulah yang sedang saya pikirkan.”26

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengarang menghadirkan tokoh utama Abu Kasan Sapari yang belum berumah tangga. Abu Kasan Sapari memiliki sikap berani melakukan perlawanan terhadap tindakan penindasan yang dilakukan oleh Mesin Politik. Meskipun, Abu selalu mengalami penindasan, ia

26 Ibid., h. 242. 53

masih tetap bisa bertahan dan bangkit kembali berkat dukungan dari keluarga maupun masyarakat di sekitarnya.

2) Sulastri atau Lastri Porsi penceritaan Lastri dalam novel ini tidak banyak dibandingkan dengan kemunculan Abu Kasan Sapari. Ciri fisik dan psikologis tokoh Sulastri atau Lastri digambarkan secara analitik oleh narator sebagai sosok perempuan yang cantik, ramah, dan ciri sosiologis Seperti pada kutipan berikut ini: “Penjemput mengatakan bahwa orang memilih Lastri karena pengantin selalu tampak lebih cantik, barangkali saja kena imbas Lastri. Abu tahu bahwa Lastri ramah, tetapi bahwa dia cantik ia baru mendengarnya, namun ia sangat setuju.”27

Ciri sosiologis Lastri digambarkan secara analitik oleh narator sebagai seorang perempuan yang telah menikah tetapi tidak lama kemudian suaminya meninggal dan belum mempunyai anak. Seperti pada kutipan berikut ini: Ia menikah, suaminya meninggal, belum punya anak. Jadi, janda kembanglah.28

Perjalanan karir Lastri digambarkan secara analitik oleh narator sebagai seorang perempuan yang berpendidikan dan mandiri secara ekonomi sehingga ia dapat bertahan hidup seorang diri. Seperti pada kutipan di bawah ini: Membuka jahitan di pasar Tegalpandan, setelah tamat SKK (Sekolah Kesejahteraan Keluarga). Ia adalah penyanyi kroncong di sebuah klub amatir, yang pasti muncul di pesta- pesta di kecamatan itu. [...] orang memintanya jadi juru rias pengantin.”29

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Lastri merupakan tokoh serba bisa karena memiliki beberapa profesi. Ia memiliki banyak

27 Ibid., h. 125. 28 Ibid., h. 121. 29 Ibid., h. 120-121. 54

keahlian sehingga dijadikan profesi untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ciri psikologis Lastri juga memiliki interaksi sosial yang baik dilihat dari hubungan Lastri dengan keluarga maupun masyarakat dan memiliki kemauan yang keras. Hal itu terbukti ketika Lastri sedang ditanyakan oleh mertua dan pakdenya tentang statusnya yang masih ingin sendiri. Seperti pada kutipan berikut ini: Mertuanya berusaha mencarikan suami, tapi ditolaknya. Dikatakannya bahwa ia ingin hidup sendiri tanpa kesibukan rumah tangga. Meskipun mertuanya, Pakdenya, dan orang tuanya menyuruhnya tinggal di tempat mereka, ia berkeras untuk kembali ke pasar. Maka Pakdenya memberikan tempat itu. Akhir-akhir ini, setelah menikah, kesibukannya bertambah: banyak orang memintanya jadi juru rias temanten.30

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Lastri digambarkan secara dramatik oleh narator sebagai seorang perempuan yang ingin menentukan pilihan, menjalani hidup seorang diri, dan menentukan nasib sendiri termasuk memilih jodoh yang sesuai dengan keinginannya tanpa ada keterlibatan dari keluarga maupun orang lain. Di samping itu, ciri psikologis Lastri digambarkan secara dramatik oleh narator dalam dialog antara Lastri dengan lurah sebagai seorang perempuan yang memiliki sifat pemarah. Seperti pada kutipan berikut ini: Saya kira duda seperti dia pasangannya ya harus janda. Lastri tersinggung dikatakan ‘janda’, lalu menyela, “Tapi, Pak. Maaf, saya masih ingin sendiri.” “Ya, jangan begitu. Pikirlah yang panjang.” Setelah Lurah pergi, dia membawa kaleng-kaleng biskuit ke tempat sebelah. Matanya berkaca-kaca. Abu Kasan Sapari terkejut melihat dia membik-membik mau menangis. Lastri melempar kaleng-kaleng ke dipan.31

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Lastri merupakan seorang perempuan yang mudah tersinggung dengan perkataan

30 Ibid., h. 121. 31 Ibid., h. 223. 55

maupun sikap orang lain yang secara langsung mencoba menyindir statusnya sebagai janda. Secara dramatik, ciri sosiologis Lastri juga merupakan kekasih Abu yang selalu ada dalam suka maupun duka yang dialami oleh Abu. Hal ini terbukti ketika Lastri selalu teringat duka yang dialami oleh Abu yang harus menghadapi protes masyarakat atas kegemaran memelihara ular dan berada dalam tahanan. Seperti pada kutipan berikut ini: Soal ular itu Lastri mengatakan bisa mengerti Abu, tapi juga bisa memahami orang-orang. Katanya masalahnya ialah bagaimana menjelaskan soal ular pada orang banyak.32 Jelas yang hilang itu ialah Abu. Sekalipun ia sudah menduga peristiwa itu akan terjadi. Ia gelisah semalam suntuk. Dipikirnya dunia ini tidak adil. Ia tahu persis bahwa Abu tidak bersalah. Polisi!33 Abu akan mengucapkan terima kasih bahwa Lastri ikut merasakan kesulitannya.34

Kutipan di atas menunjukkan bahwa ciri psikologis Lastri digambarkan secara dramatik oleh narator sebagai seorang perempuan yang memiliki sikap peduli dan penolong kepada orang lain termasuk Abu. Lastri ikut merasakan duka yang dialami Abu dalam melewati masa-masa kritis dan menolong Abu di dalam masyarakat, baik dalam hal pertentangannya melawan Mesin Politik dan protes kerumunan warga desa. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengarang menghadirkan tokoh Lastri sebagai seorang janda hidup seorang diri. Namun, Lastri dapat hidup mandiri secara ekonomi. Melalui, berbagai profesi yang ditekuni dapat memberikan kemudahan dalam menjalani kehidupan dan tetap bisa bertahan hidup tanpa harus bergantung serta menyusahkan orang lain. Selain itu, ia juga memiliki sikap peduli dan penolong dalam kesulitan yang dialami

32 Ibid., h. 137. 33 Ibid., h. 167. 34 Ibid., h. 268. 56

oleh orang lain dengan berbuat sesuatu tanpa mengharapkan imbalan.

3) Orang tua Abu Tokoh orang tua Abu merupakan tokoh yang tidak memiliki peran penting di setiap peristiwa, sebab dihadirkan sekilas. Ciri psikologis orang tua Abu digambarkan secara dramatik oleh narator dan dialog antara orang tua Abu dengan Abu sebagai seorang yang penyayang dan peduli. Hal ini terbukti ketika orang tua Abu menjenguk Abu anak semata wayangnya yang berada di penjara. Seperti pada kutipan berikut ini: “Diapakan saja kau,” tanya ayah. “Ya disuruh makan kenyang, tidur cukup, olahraga.” “Tidak disiksa, to?” “Mana ada orang berani menyiksa saya?” “Jangan kemaki. Saya dengar ditahan itu artinya disiksa. Disetrum, disulut rokok, disuruh merangkak di atas kedelai?” “Tapi, alhamdulillah anak Bapak-Ibu tidak.”35

Kutipan di atas menjelaskan bahwa orang tua menunjukkan bentuk kasih sayang terhadap anaknya yang sedang terkena masalah dengan menanyakan kondisinya karena takut hal buruk terjadi terhadap anaknya. Ciri psikologis orang tua Abu juga digambarkan secara dramatik oleh narator dalam dialog antara orang tua Abu dengan Abu sebagai seorang yang cenderung terlihat khawatir terhadap Abu. Hal ini terbukti ketika orang tua Abu merasa takut sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi pada anaknya. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Bagaimana dengan ular itu?” tanya Ibu pelan. “Itu hanya klangenan, Bu. “Klangenan ya boleh. Tapi jangan ular, jangan harimau, jangan buaya. Kakek-kakek kita paling-paling pelihara kucing, lutung, perkutut, dan kuda. Soalnya ibu takut kalau kau syirik.” “Syirik? Ya boleh jadi, meskipun sedikit,”

35 Ibid., h. 172. 57

“Kalau syirik jangan, lho.”36

Kutipan di atas menunjukkan orang tua yang merasa khawatir dalam menanggapi permasalahan yang dialami oleh anaknya. Orang tua cenderung berkeinginan untuk memperingatkan dan melindungi anaknya dari segala perbuatan yang tidak baik seperti syirik. Hal yang pada umumnya dirasakan semua orang tua karena takut kebiasaan yang dilakukan anaknya akan memberikan pengaruh negatif bagi kehidupan anaknya. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa orang tua Abu merupakan seorang yang penyayang, peduli dan khawatir dalam menghadapi setiap permasalahan yang sedang dialami oleh anaknya.

4) Kakek dan nenek Abu Ciri psikologis tokoh kakek dan nenek Abu digambarkan secara dramatik oleh narator sebagai seorang yang perhatian dan penyayang terlihat dari bagaimana cara kakek dan nenek Abu memperlakukan Abu sewaktu kecil dengan istimewa. Seperti pada kutipan di bawah ini: Demikianlah meskipun kakek dan nenek hanya makan sambal dan kerupuk, untuk Abu selalu ada daging. Abu sungguh disayang oleh kedua kakek-neneknya.37

Selain itu, ciri psikologis kakek dan nenek Abu juga digambarkan secara dramatik oleh narator melalui tokoh kakek Abu sebagai seorang yang mengajarkan kedisiplinan kepada Abu. Seperti pada kutipan berikut ini: Mereka punya lonceng yang nyaring bunyinya untuk mengingatkan Abu yang sedang bermain-main jauh dari rumah bahwa waktu makan sudah tiba. Kata kakeknya, “Selain makan daging, disiplin juga perlu.”38

36 Ibid., h. 173. 37 Ibid., h. 11. 38 Ibid., h. 11. 58

Melalui kutipan di atas, pengarang menggambarkan bahwa kakek dan nenek Abu sangat mementingkan kedisiplinan dalam melakukan berbagai macam kegiatan dengan tepat pada waktunya. Hal yang pada umumnya dilakukan oleh orang tua kepada anak maupun kakek dan nenek kepada cucu. Sekecil apapun arahan dan larangan yang telah diberikan oleh kakek dan nenek telah menjadikan pelajaran berharga bagi kehidupan cucunya. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kakek dan nenek Abu mempunyai sifat penyayang dan disiplin.

5) Wartawan Ciri fisik tokoh wartawan digambarkan secara analitik oleh narator sebagai seorang yang masih muda. Ciri psikologis tokoh wartawan juga dikatakan memiliki semangat yang tinggi. Seperti dapat terlihat dalam kutipan di bawah ini: Wartawan itu anggota AJI (Asosiasi Jurnalistik Indonesia). Masih muda bersemangat. Ia mengatakan pada Abu bahwa jurnalisme dipilihnya sebagai profesi, dan sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan dan demokrasi. Ia hanya mengandalkan hati nurani, tidak segan-segan melakukan kritik kepada siapa pun.39 Sumber yang tak mau disebut namanya mengatakan bahwa ada konspirasi politik di balik penahanan AKS. Akhir-akhir ini sebuah kekuatan politik ingin merekrutnya untuk keperluan kampanye tapi ditolaknya.40

Kutipan di atas menunjukkan bahwa ciri psikologis wartawan digambarkan secara dramatik sebagai orang yang dalam berkata dan bertindak harus sesuai dengan profesi sebagai jurnalis. Wartawan sering kali menulis dan selalu menyampaikan informasi melalui media massa yang dilengkapi dengan keterangan tambahan sesuai dengan pendapatnya. Melihat peristiwa ini menunjukkan bahwa wartawan memiliki semangat yang tinggi dan tetap menjadi

39 Ibid., h. 104. 40 Ibid., h. 170. 59

tokoh yang sudah melakukan sesuatu sesuai dengan fakta-fakta yang didapatkannya.

6) Haji Syamsuddin Ciri psikologis tokoh Haji Syamsuddin secara dramatik oleh narator digambarkan sebagai seorang yang memiliki sifat baik. Hal ini terbukti ketika ia diberikan kepercayaan oleh Abu untuk menjaga rumahnya dengan baik. Seperti dapat terlihat dalam kutipan di bawah ini: Sore hari Haji Syamsuddin datang juga untuk menyalakan lampu dan menutup jendela. Kunci pintu diserahkan Haji Syamsuddin, dan bukan pada Lastri.41

Selain itu, ciri psikologis Haji Syamsuddin juga digambarkan secara dramatik oleh narator sebagai seorang yang pengertian dan bijaksana. Hal ini terbukti ketika Haji Syamsuddin dihadapkan pada permasalahan Lastri yang merasa khawatir dengan keadaan Abu di penjara. Seperti pada kutipan di bawah ini: Ketika melihat Lastri, Haji Syamsuddin yang tahu perasaan Lastri berkata ringan, “Itulah politik, Jeng. Nanti juga selesai. Tenang saja.” Ia berkata demikian karena pamannya pernah ditahan Polisi pada tahun 1960 selama sebulan karena menjadi pengurus Masyumi.42

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Haji Syamsuddin merupakan seorang yang sangat memahami perasaan orang lain dan seorang yang dapat mengambil pelajaran serta pengalaman hidup yang pernah dialaminya. Dari kutipan di atas, terlihat bahwa Haji Syamsuddin memiliki sifat yang baik, pengertian, dan bijaksana apabila menghadapi kesulitan yang dialami oleh orang lain.

41 Ibid., h. 167. 42 Ibid., h. 167. 60

7) Camat Ciri fisik tokoh camat secara analitik, digambarkan oleh narator melalui tokoh Abu sebagai sosok camat baru yang usianya masih muda. Ciri sosiologis camat secara analitik digambarkan oleh narator sebagai seorang yang berpendidikan lulusan di IIP (Institut Ilmu Pemerintahan). Seperti pada kutipan di bawah ini: Camat baru itu lulusan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan), Jakarta. Abu menilai camat baru adalah seorang profesional tulen [....] Umurnya masih sangat muda dibanding camat lama, namun jauh lebih bersemangat.43

Kutipan di atas menunjukkan bahwa camat merupakan sosok yang profesional dan semangat dalam mengerjakan setiap pekerjaan untuk mencapai tujuan yang diharapkannya. Ciri psikologis camat digambarkan secara analitik oleh narator dalam pidato camat di depan warganya sebagai sosok yang memiliki pengetahuan tinggi dapat dilihat dari cara berbicara dan istilah kata yang digunakannya. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Sikap serba menerima itu harus diubah menjadi hidup yang lebih dinamis kalau kita ingin survive dalam era globalisasi.” Ia berhenti untuk melihat reaksi yang hadir apakah kata-katanya dipahami.44

Secara analitik, ciri psikologis camat digambarkan oleh narator sebagai seorang yang jujur dalam menyampaikan suatu hal dengan berkata apa adanya tanpa mengada-ada. Hal ini terbukti ketika ia ditanyakan oleh wartawan tentang kinerja sebagai camat. Seperti pada kutipan di bawah ini: Benar, Pak Camat benar. Desanya memenangkan Lomba Desa. Beberapa wartawan datang dan Pak Camat dengan jujur mengatakan bahwa semuanya berkat kerja keras Abu.45

Melalui kutipan di atas, pengarang menunjukkan bahwa camat merupakan orang yang tidak suka berbohong selalu berkata

43 Ibid., h. 83. 44 Ibid., h. 85. 45 Ibid., h. 30. 61

dengan apa adanya. Pekerjaan yang dilakukan dengan bantuan orang lain pun diceritakannya tanpa ada yang ditutup-tutupi dan dibuat-buat. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa camat memiliki sifat jujur mengatakan sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada saat itu dan memiliki pengetahuan tinggi.

8) Ki Lebdocarito Ciri sosiologis tokoh Ki Lebdocarito merupakan ayah angkat Abu Kasan Sapari yang secara analitik digambarkan oleh narator dalam dialog antara Ki Lebdo dengan orang tua Abu. Hal ini terbukti ketika ia mendatangi keluarga Abu untuk meminta izin untuk mengangkatnya sebagai anak. Seperti pada kutipan di bawah ini: Kalau Dimas mengizinkan biarlah saya membalas budi almarhum dengan mengangkat nak Abu Kasan Sapari sebagai anak.46

Ciri psikologis Ki Lebdo digambarkan secara dramatik oleh narator sebagai sosok yang memiliki sifat baik khususnya kepada Abu. Hal ini terbukti ketika ia memberikan warisan kepada Abu berupa gamelan dan wayang. Seperti pada kutipan di bawah ini: Ki Lebdo mengutarakan maksud untuk mewariskan gamelan dan wayang pada Abu.47

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Ki Lebdo merupakan sosok orang tua yang memperlakukan dan mendidik anak kandung maupun anak angkatnya dengan sangat baik. Meskipun tidak mempunyai hubungan sedarah dengan anak angkatnya, ia tidak pernah membeda-bedakan antara keduanya. Ciri sosiologis Ki Lebdo juga digambarkan secara analitik oleh narator sebagai sesepuh yang dikenal para dalang di wilayahnya. Hal ini terbukti ketika ia meninggal banyak para

46 Ibid., h. 14. 47 Ibid., h. 16. 62

dalang yang menghadiri pemakamannya. Seperti pada kutipan di bawah ini: Para dalang dari seluruh Surakarta hadir pada upacara pemakaman Ki Lebdo, sebab ia terhitung sesepuh para dalang.48

Narator mencoba mengggambarkan ciri psikologis Ki Lebdo sebagai sosok yang memiliki pemikiran yang luas dan perhatian. Hal ini terbukti ketika ia memikirkan masa depan dan pendidikan anak-anaknya. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Jadilah yang punya uang, jangan jadi dalang”, nasihatnya pada anak-anak. Maka anak-anak semua “jadi orang”, kecuali dalang.49

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Ki Lebdo selalu memberikan nasihat dan memperhatikan pendidikan anak-anaknya sampai kepada pendidikan tingkat tinggi. Ki Lebdo juga mengharapkan masa depan anak-anaknya lebih sukses daripada dirinya. Hal yang pada umumnya dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Ki Lebdo memiliki watak yang baik, mempunyai sifat perhatian, serta memiliki pemikiran yang luas.

9) Ki Manut Sumarsono Ciri sosiologis Ki Manut Sumarsono digambarkan secara analitik oleh narator sebagai dalang senior yang disegani oleh dalang-dalang lain yang berada di wilayahnya. Ia selalu kedatangan dalang dari luar yang ingin mendalang di wilayahnya hanya untuk meminta restu padanya. Seperti pada kutipan di bawah ini: Ki Manut Sumarsono tahu belaka rencana itu. Kedudukannya sebagai dalang senior membuat dalang dari luar Karangmojo terpaksa kulanuwun minta restu padanya sebelum mendalang di wilayahnya.50

48 Ibid., h. 235. 49 Ibid., h. 15. 50 Ibid., h. 233. 63

Secara analitik, narator mencoba mengggambarkan ciri psikologis Ki Manut Sumarsono sebagai sosok yang memiliki karakter baik dan cerdas dalam menanggapi permasalahan yang dihadapi oleh tokoh lain. Hal ini terbukti ketika Ki Manut Sumarsono membantu Abu untuk dapat diterima dengan positif oleh masyarakat di lingkungan sekitarnya. Seperti pada kutipan di bawah ini: Taktik Ki Manut Sumarsono cespleng. Ibarat panas setahun terhapus hujan sehari, julukan sebagai ‘dalang politik anti- Randu’, julukan sebagai ‘dalang politik non-Randu’, bahkan julukan ‘dalang politik’ lenyap. Buktinya para bakul di pasar tidak lagi menambahkan kata ‘dalang politik’ ketika Abu mendalang untuk juragan bis di Tegalpandan.51

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Ki Manut Sumarsono memiliki sosok yang memiliki karakter baik dan cerdas dalam menanggapi permasalahan yang dihadapi oleh tokoh lain.

10) Polisi Peranan polisi dalam novel ini hanya dalam lingkup menegakkan hukum dan keadilan. Itu pula yang polisi terapkan dalam menangani masyarakat yang terbukti melakukan tindakan kriminal. Ciri psikologis polisi digambarkan secara dramatik oleh narator dalam dialog kepala polisi dengan kepala bagian penyelidikan sebagai seorang yang jujur dan bersikap netral tidak memihak kepada Mesin Politik maupun Abu bertindak secara objektif. Hal ini terbukti ketika polisi menangani kasus Abu yang tidak terbukti bersalah. Seperti dalam kutipan di bawah ini: Kepala Polisi merundingkan soal Abu Kasan Sapari dengan Kepala Bagian Penyelidikan, “Sudah kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral, kita tidak ke kanan tidak ke kiri.” Mereka bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.52

51 Ibid., h. 229. 52 Ibid., h. 175. 64

“Adik-adik! ABRI dan Polisi netral dalam pemilu. Polisi itu seperti seniman, tidak berpolitik. Besok pagi AKS akan kami bebaskan.”53

Kutipan di atas menunjukkan bahwa polisi sebagai penegak hukum terkadang selalu dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang hanya mengutamakan kepentingannya sendiri. Polisi harus mengutamakan kejujuran dalam menjalankan proses hukum dan bersikap netral tidak berpihak kepada siapapun termasuk pihak- pihak yang ingin memperalat serta menindaklanjuti orang-orang yang berbuat kesalahan dan melanggar hukum. Dari uraian di atas, dapat terlihat bahwa tokoh polisi memiliki sifat jujur dalam menjalankan tugasnya demi menegakkan hukum dan keadilan.

11) Laki-laki Tua atau Kismo Kengser Ciri fisik tokoh laki-laki tua atau Kismo Kengser digambarkan secaran analitik oleh narator sebagai laki-laki yang sudah berumur, memiliki rambut putih panjang, dan jari-jari tangannya terdapat cincin akik. Seperti pada kutipan berikut ini: Orang tua itu tiba-tiba saja muncul di Pasar Tegalpandan. Laki- laki itu berambut putih panjang yang dibiarkan terurai, cincin akik besar-besar di jari tangan kanan dan kirinya.54

Narator secara dramatik menggambarkan ciri psikologis laki- laki tua atau Kismo Kengser sebagai sosok yang pemberani dan pandai meramal. Hal ini terbukti ketika ia sedang berpidato mengkritik kebijakan pemerintahan pada saat itu. Seperti dapat terlihat dalam kutipan di bawah ini: Di bawah kekuasaan Soeharto, ekonomi kita memang dikuasai konglomerat [...] Laki-laki tua berdiri. Ia mulai lagi dengan pidatonya: “Kismo Kengser meramal bahwa pemerintahan sekarang akan segera ambruk, sebab ketakadilan sudah ada dimana-mana. Para penguasa bukan lagi pamong [...] Persengkokolah penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk

53 Ibid., h. 176. 54 Ibid., h. 211. 65

memeras rakyat [...] Hutan kita dibabat habis, digusur semena- mena.”55

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa laki-laki tua atau Kismo Kengser adalah seorang laki-laki tua yang mengungkapkan ramalannya tentang keruntuhan pemerintahan Orde Baru. Kismo Kengser memiliki sifat pemberani dalam mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan harapan rakyat sekaligus menyampaikan permasalahan yang benar-benar terjadi tanpa takut dengan tindakan yang dapat merugikan dirinya.

12) Laki-laki Tua Misterius Ciri fisik tokoh laki-laki tua misterius digambarkan secara analitik oleh narator dalam dialog antara laki-laki tua misterius dan Abu sebagai laki-laki yang sudah berumur, memiliki cambang, kumis, dan jenggotnya yang berwarna putih serta jari-jari tangannya yang berotot. Seperti pada kutipan berikut ini: Ketika Abu menoleh, dilihatnya seseorang dengan iket lepasan, baju surjan lurik, dan sarung kotak-kotak. Dari cambang, kumis, dan janggutnya yang putih serta jari-jarinya yang berotot. “Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini pada orang yang tepat.” “Apa itu?” “Mantra penjinak ular.”56 Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba muncul dan tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa namanya, dari mana asalnya.57

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa laki-laki tua misterius merupakan seorang yang sangat misterius dan tidak diketahui keberadaannya karena datang dan pergi secara tiba-tiba. Pengarang hanya menggambarkan ciri fisik laki-laki tua misterius seperti cara berpakaian dan tingkah laku yang terlihat aneh tidak seperti orang pada umumnya serta pemberian mantra penjinak ular

55 Ibid., h. 212-213. 56 Ibid., h. 20. 57 Ibid., h. 22. 66

kepada Abu. Melihat peristiwa ini menunjukkan bahwa laki-laki tua misterius tidak memiliki watak tertentu karena pengarang sendiri tidak menggambarkan secara jelas tokoh tersebut di dalam novel MPU.

b) Tokoh Antagonis Tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin.58 Berikut beberapa tokoh yang termasuk ke dalam tokoh antagonis pada novel MPU karya Kuntowijoyo. 1) Mesin Politik Pengarang menggolongkan tokoh Mesin Politik ke dalam tokoh yang unik karena tidak berupa sosok seseorang. Pengarang menggambarkan Mesin Politik sebagai perwujudan dari sikap, perilaku, dan pemikiran sebuah sistem kelompok serta memiliki peran yang dapat mewakili individu maupun kelompok tertentu dengan membawa tindakan dan pemikiran dari sistem komunitas tersebut. Secara analitik, pengarang memunculkan ciri sosiologis penokohan Mesin Politik yang dapat digambarkan berupa Randu, fungsionaris Mesin Politik ataupun sistem komunitas itu sendiri. Seperti pada kutipan di bawah ini: Pasalnya, lurah-lurah yang dijagoi Randu banyak yang kalah di kecamatannya.59 Seorang fungsionaris Mesin Politik bagian kesenian Dati II Karangmojo diantar fungsionaris dari Tegalpandan mengunjunginya.60 Orang yang dikenalnya sebagai Ketua Umum Mesin Politik itu lalu mengatakan, “Saya hanya mengantarkan, Bapak ini adalah Ketua Badan Seleksi Caleg Dati II Karangmojo.”61

58 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 261-262. 59 Kuntowijoyo, op. cit., h. 99. 60 Ibid., h. 156. 61 Ibid., h. 162. 67

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Mesin Politik merupakan sistem komunitas yang berpengaruh dan memiliki kekuatan besar di tingkat negara, kelurahan, kecamatan, dan desa. Ciri psikologis Mesin Politik digambarkan secara dramatik oleh narator dalam dialog antara Mesin Politik dengan Abu sebagai sosok yang memiliki sifat angkuh. Hal ini terbukti ketika Mesin Politik dan Abu Kasan Sapari memiliki perbedaan pemikiran dan pandangan yang sangat bertolak belakang. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan di bawah ini: Fungsionaris Mesin Politik datang lagi. “Nah, apa kata saya?” “Apa boleh buat.” “Berpolitik itu jangan tanggung-tanggung.” “Saya tidak berpolitik.” “Tidak berpolitik itu politik mau tidak mau, suka tidak suka, kita semua berpolitik. Dalam politik ada ungkapan ‘kalau kau kalah, bergabunglah dengan yang menang’. Kedatangan saya kemari untuk mengajak Pak Abu bergabung. Bagaimana?” “Tidak saja, Pak.” “Mbok ya yang agak praktis!”62

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Mesin Politik sering menggunakan kedudukan yang dimilikinya untuk berbuat semena- mena terhadap orang lain yang tidak sejalan termasuk menekan kaum lemah. Ciri psikologis Mesin Politik digambarkan secara dramatik oleh narator sebagai seseorang yang suka memaksakan kehendaknya sendiri dengan melakukan tindakan yang otoriter dan manipulatif. Hal tersebut dapat terlihat dalam kutipan berikut ini: Mesin politik menghendaki agar jarak waktu antara pengumuman dan pelaksanaan itu singkat saja, umpamanya tiga hari, sehingga hanya orang-orang pilihan Mesin Politik akan menang [...] Mesin Politik itu tahu sebelum kejadian karena ada rekayasa. Biasanya calon yang dijagoi Randu pasti menang. Menang sebelum pemilihan.63

62 Ibid., h. 152. 63 Ibid., h. 101. 68

Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” “Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.” “Kalau itu maumu, kami tidak memaksa. Kami hanya ingin berbuat baik. Tapi, ya, sudah. Kami beri waktu untuk berpikir satu kali dua puluh empat jam. Sesudahnya tanggung sendiri akibatnya. Ingat, kami juga bisa main kasar,lho!”64 “Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari. Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo supaya Abu diproses sesuai rencana.65

Melalui kutipan di atas, pengarang menunjukkan bahwa Mesin Politik menghalalkan segala cara untuk dapat mempertahankan kekuasaannya. Bahkan, Mesin Politik berani menyimpang dari aturan yang dapat merugikannya. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Mesin Politik memiliki sifat yang angkuh, suka memaksakan kehendaknya sendiri dengan melakukan tindakan yang otoriter dan manipulatif, dan memamerkan kekuasaan yang dimilikinya serta menginginkan dirinya dipandang oleh orang lain.

2) Polisi Ciri psikologis polisi digambarkan secara dramatik oleh narator dalam dialog antara polisi dengan Abu dan polisi dengan Kismo Kengser sebagai sosok yang memiliki sikap semena-mena dalam menangkap orang yang belum terbukti melakukan kesalahan. Hal ini terbukti ketika ia menyeret Abu dan Kismo Kengser ke penjara. Seperti pada kutipan berikut ini: Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. “Kami dari Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan, kata Abu.”66

64 Ibid., h. 162-163. 65 Ibid., h. 174. 66 Ibid., h. 165. 69

“Tiga orang berseragam polisi masuk ke lingkaran. “Minggir, minggir!” Polisi itu mendatangi laki-laki tua.” “Bapak kami tahan!” “Lho! Apa salah saya?” “Menyebar kebencian.” “Kok polisi, bukan tentara? Mana surat tugas?” “Jangan banyak omong, ikut saja.” Laki-laki tua menggulung kain putih, mengikuti polisi, dan segera kabur.67

Melalui kutipan di atas, narator menggambarkan bahwa polisi memiliki sifat lain yaitu terkadang melakukan tindakan sewenang- wenang dengan menangkap orang tanpa adanya proses hukum yang benar, seperti perlakuan polisi terhadap Kismo Kengser serta Abu yang jelas-jelas tidak bersalah karena tidak ada bukti kejahatan.

3. Alur Alur dalam novel MPU karya Kuntowijoyo menggunakan alur yang disusun secara episodik tidak linier dan sesuai dengan kronologi termasuk ke dalam alur campuran yang waktu terjadinya peristiwa tidak selalu maju, tetapi juga terdapat peristiwa kilas balik yang bersifat flashback (mundur). Jika dilihat dari segi kriteria kepadatan cerita, novel MPU dapat dikategorikan sebagai novel dengan plot longgar, yakni peristiwa bawahan, peristiwa kenangan, dan peristiwa pelambatan. Dilihat dari segi kriteria jumlah, novel MPU dapat dikategorikan sebagai novel dengan plot tunggal, yakni perjalanan hidup tokoh utama lengkap dengan permasalahan dan konflik yang dialaminya dalam kurun waktu 26 tahun yang dikisahkan dalam 17 bab. Latar waktu historis yang terdapat dalam novel MPU karya Kuntowijoyo yaitu pada tahun 1997, sebelum Reformasi, saat situasi politik di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan- pedesaan. Alur dalam novel MPU berbasis pada peristiwa-peristiwa batin Abu ketika dihadapkan pada berbagai konflik yaitu konflik dengan diri sendiri, orang lain, dan masyarakat. Tahapan alur tersebut akan

67 Ibid., h. 214. 70

dipaparkan sesuai pendapat Tasrif dalam Nurgiyantoro yang terbagi menjadi lima tahapan. Kelima tahapan alur tersebut adalah sebagai berikut:

Tahap Penyituasian: Bab 1 Tahap Pemunculan Konflik:

Bab 2-8

Skema Tahap Peningkatan Konflik:

Tahapan Alur Bab 9 dan 10

Tahapdch Klimaks: Bab 11 s n Tahap Penyelesaian:

d Bab 12-17

a) Tahap Penyituasian

Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita dan pemberian informasi awal yang berfungsi melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.68 Pada tahap situasi ini, dibuka dengan memperkenalkan tokoh utama yang bernama Abu Kasan Sapari dan tokoh-tokoh pendukung yaitu tokoh orangtua Abu, kakek- nenek Abu, Ki Lebdocarito, Lelaki Tua Misterius, Camat, Mesin Politik, wartawan, Lastri, Laki-laki Tua atau Kismo Kengser, Ki Manut Sumarsono, polisi, dan Haji Syamsuddin. Tahap situasi dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini dimulai dari pembukaan yang ada di bab 1 yang berjudul “Sebuah Desa, Sebuah Mitos” dibuka dengan narator memperkenalkan tradisi Jawa-Islam, latar tempat desa, kondisi fisik desa, latar sosial-budaya, latar rumah, ciri psikologis tokoh-tokoh cerita, ciri sosiologis tokoh- tokoh cerita, dan ciri fisik tokoh-tokoh cerita. Keseluruhan peristiwa

68 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210. 71

yang terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang latar belakang Abu Kasan Sapari sejak kecil-bekerja. Pada bagian pertama, Abu Kasan Sapari diperkenalkan secara sosiologis sebagai sosok yang lahir di tengah masyarakat Jawa menganut Islam kejawen yang seluruh sikap dan tingkah lakunya masih kental dengan berbagai mitos dalam tradisi Jawa-Islam. Seperti pada kutipan di bawah ini: Ketika sang kakek-ayah dari ayah-mengetahui bahwa bayi yang dalam kandungan akan diberi nama Sapari kalau laki-laki dan Sapariah kalau perempuan, kakek keberatan dengan kata ‘sapar’ katanya, “Sudah pasti anak itu lahir tidak di bulan Sapar!" Dengan malu-malu sang calon ayah menjawab, "Memang tidak diambil dari bulan lahirnya. Tapi bulan jadinya. Ayah itu lalu menghitung dengan jarinya dan mengucapkan dengan mulutnya, "Sapar, Mulud, Bakda-Mulud, Jimawal, ... "kemudian tersenyum sedikit-sedikit dan semakin lebar, mengetahui bahwa anaknya thok-cer, sebab di bulan Sapar juga ia mengawinkan anaknya.69 Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu.70 Kakek itu adalah juru kunci makam Ronggowarsito di Desa Palar, Klaten.71 Pada hari ke lima, diadakan sepasaran dengan mengundang macapatan dan gamelan sederhana. Dengan bangga kakek itu mengumumkan bahwa cucunya diberi nama Abu Kasan Sapari. Abu diambil dari nama sahabat Nabi Abu Bakar, Kasan adalah nama cucu Nabi, dan Sapar adalah bulan perkawinan kedua orangtuanya. Diharapkannya bahwa nama itu ada pengaruhnya pada jabang bayi yang baru lahir.72

Kutipan di atas diungkapkan melalui dialog antara kakek Abu dari pihak ayah dengan ayah Abu yang terletak di bab 1 subbab 1 menggambarkan peristiwa pemilihan nama Abu Kasan Sapari. Kakek Abu dari pihak ayah dan ayah Abu yang tergolong dalam masyarakat Jawa memiliki kepercayaan bahwa penamaan anak itu selalu memperhitungkan hari-hari baik karena pemilihan nama anak menentukan nasib si anak kelak. Dalam hal ini, kakek Abu dari pihak

69 Kuntowijoyo, op. cit., h. 1. 70 Ibid., h. 2. 71 Ibid., h. 4. 72 Ibid., h. 3. 72

ayah dan ayah Abu memilih nama Abu Kasan Sapari yang mengacu pada Abu (sahabat Nabi, yakni Abu Bakar), Kasan (cucu Nabi alias Hasan), dan Sapari diambil dari bulan Jawa-Islam yaitu ‘sapar’ yang tidak lepas dari pertimbangan mitos dalam tradisi Jawa-Islam. Kutipan di atas memperkenalkan tradisi Jawa-Islam, tokoh kakek Abu dari pihak ayah dan ayah Abu. Namun, cerita beralih ke masa lalu desa Palar. Seperti pada kutipan di bawah ini: Dulu Palar adalah desa perdikan, desa yang dibebaskan dari pajak dengan maksud supaya seluruh penghasilan desa diperuntukkan guna keperluan makam. Praktis, lurahnya sama dengan juru kunci makam.73

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator pada bab 1 subbab 1 yang menggambarkan peristiwa masa lalu desa Palar yang termasuk dalam desa perdikan. Dalam hal ini, dulu desa Palar termasuk ke dalam desa perdikan yaitu desa yang berhak untuk tidak membayar pajak dan penghasilan desa disalurkan untuk keperluan makam. Juru kunci makam pun memiliki profesi lain. Pada bagian kedua, masa dewasa Abu Kasan Sapari berkembang secara psikologis diperkenalkan sebagai sosok yang dapat memanfaatkan suatu peluang untuk dapat melanjutkan kehidupannya. Seperti pada kutipan di bawah ini: Abu Kasan Sapari merasa bahwa ia tak cocok untuk meneruskan sekolah. Dengan ijazah SMA sebenarnya ia sudah lulus BA, jadi sarjana kurang skripsi, tapi posisi itulah yang diperlukan dia melamar pekerjaan jadi pegawai lokal, dan ditempatkan di kecamatan Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu. Dia ditempatkan di Bangdes (Pembangunan Desa). Dipikirnya tidak enak terus-menerus tinggal di rumah Ki Lebdocarito. Dengan alasan biarlah Abu mencari pengalaman, maka Ki Lebdo pun melepaskannya. [....] Tugas pertamanya ialah mengikuti kursus di sebuah lembaga teknologi pedesaan. Yang selalu ditanyakannya pada diri sendiri: Apakah tugasnya yang baru menjauhkan atau mendekatkannya pada

73 Ibid., h. 4. 73

Ronggowarsito, mengajarkan kebijaksanaan hidup? Tidak lupa dia membawa alat-alat tatah pembuat wayang.*74

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator pada bab 1 subbab 4 yang menggambarkan peristiwa Abu yang ingin hidup secara mandiri. Dalam hal ini, Abu memilih untuk memanfaatkan ilmu yang telah dimilikinya untuk dapat bertahan hidup tanpa harus melibatkan orang lain. Namun Abu mengalami keraguan terhadap pilihan hidupnya. Abu selalu mempertanyakan apakah pekerjaan barunya itu akan menjauhkan atau mendekatkannya pada tradisi Ronggowarsito yang selalu menghibur rakyat dan mengajarkan kebijaksanaan hidup. Kutipan di atas memperkenalkan latar tempat desa yang kedua yaitu desa Kemuning.

b) Tahap Pemunculan Konflik Tahap ini berisi tahap awal munculnya konflik kemudian konflik itu sendiri akan berkembang dan dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap selanjutnya.75 Tahap pemunculan konflik dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo ini, ada di bab 2-8. Bab 2 yang berjudul “Mantra”, bab 3 yang berjudul “Abu Kasan Sapari Tentang Alam”, bab 4 yang berjudul “Cinta Ular, Cinta Lingkungan”, bab 5 yang berjudul “Demokrasi Menurut Abu Kasan Sapari”, bab 6 yang berjudul “Wahyu Pohonan”, bab 7 yang berjudul “Abu Versus Mesin Politik, Botoh, dan Dukun”, dan bab 8 yang berjudul “Abu Kasan Sapari dan Lingkungannya”. Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang Abu Kasan Sapari mulai dekat dengan mantra, mulai dikenal sebagai dalang, dan mulai terlibat dengan politik.

74 Ibid., h. 16. 75 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210. 74

Pada bagian ketiga, Abu mengalami peristiwa yang tidak masuk akal ketika bertemu dengan Lelaki Tua Misterius di sebuah pesta pasar malam. Seperti pada kutipan di bawah ini: Cembeng itu tak ubahnya seperti pasar malam. [....] Ketika Abu menoleh, dilihatnya seseorang dengan iket lepasan, baju surjan lurik, dan sarung kotak-kotak. Dari cambang, kumis, dan janggutnya yang putih serta jari-jarinya yang berotot. Laki-laki tua itu memintanya berdiri dan mengajaknya ke tempat sepi. “Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini pada orang yang tepat.” “Apa itu?” “Mantra penjinak ular” Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan membisikkan sebuah kalimat. “Paham?” “Sudah, ya?” Abu mengangguk. “Mantra itu tidak boleh salah ucap. Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular. “Mantranya kok bahasa Arab, ya?” “Ya, ini semua dari Al-Qur’an [....] Ada laku yang harus dijalankan, pantangan yang tak boleh dilanggar. Laku-nya adalah kau harus ngebleng tidak makan-minum selama tiga hari. Wewaler-nya mudah, tapi sulit dijalankan. Kau tidak boleh melangkahi ular.”76 “O, ya. Kau tidak akan mati, kalau tidak mewariskan ilmu ini.” [....] Abu masih tertegun, merenungkan kejadian yang dialaminya. Disekanya mata. Tidak, itu bukan mimpi bukan sulapan. Buktinya, ia ingat jelas dengan mantra yang harus diucapkan. [...] Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba muncul dan tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa namanya, dari mana asalnya. Jadi, orang terpilih itu memang sudah dalam jangkauan tangan, membuatnya gembira. [...] Ia bertekad untuk melaksanakan semua petunjuk orang tua itu.77 Orang menunjukkan kakinya yang digigit ular. Abu mengucapkan bismillah dan membaca mantra. Di sedotnya luka itu dengan kuat. Diulanginya sampai tiga kali. Pelan-pelan laki- laki itu membuka matanya, warna biru menghilang dari kulitnya. Abu sendiri keheranan, ternyata ia bisa menyembuhkan orang yang digigit ular.78

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator pada bab 2-4 yang menggambarkan peristiwa Abu yang mulai terikat dengan mantra penjinak ular yang harus dipegang seumur hidupnya dan memiliki kelebihan dalam menjinakkan ular. Dalam hal ini, Abu Kasan Sapari diajarkan sebuah mantra penjinak ular dengan laku yang

76 Kuntowijoyo, op. cit., h. 20-21. 77 Ibid., h. 22. 78 Ibid., h. 56. 75

harus dijalankan dan wewaler (pantangan) yang tidak boleh dilakukannya. Kutipan di atas juga memperkenalkan latar tempat pasar yang berlokasi di desa Kemuning, tokoh Lelaki Tua Misterius, dan ciri fisik Lelaki Tua Misterius. Pada bagian keempat, Abu Kasan Sapari diperkenalkan sebagai seorang dalang yang nekat memberikan dukungan kepada cakades yang diminta mundur untuk memuluskan jalan bagi calon yang dijagoi Mesin Politik. Seperti pada kutipan di bawah ini: Bahwa Abu Kasan Sapari suka mendalang untuk calon kepala desa (cakades) yang bermusuhan dengan calon Mesin Politik sudah diketahui pegawai kecamatan dan Camat tegalpandan sejak duluan lewat jalur birokrasi dan Mesin Politik.79 Namun, petang harinya ada tamu yang sudah dikenalnya, seorang fungsionaris Mesin Politik Tegalpandan. “Pak Abu ingin kaya tidak?” “Tidak ingin kaya, cuma butuh duit seperti orang lain.” “Lha, bicara soal duit. Bagaimana kalau permintaan untuk mendalang di rumah cakades itu ditolak?” “Maksudnya...eh, tidak mendalang dengan kompensasi sejumlah uang. Abu menolak dengan cara sebaik-baiknya. Tidak berhasil membujuk Abu Kasan Sapari fungsionaris itu pulang. Katanya, “Kalau ada apa-apa jangan salahkan saya, lho.”80

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog antara camat dengan Mesin Politik yang terletak di bab 5-8 menggambarkan peristiwa Abu yang melakukan kegiatan mendalang pada acara cakades yang tidak pro partai penguasa dianggap sebagai sikap politik. Melihat hal tersebut, Mesin Politik menghalalkan segala cara untuk dapat mempertahankan kekuasaannya termasuk dengan bertindak otoriter kepada pihak lain yang dapat merugikannya. Kutipan di atas juga memperkenalkan latar tempat desa Tegalpandan, dan ciri mental Mesin Politik. Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa pada tahap pemunculan konflik menggambarkan Abu Kasan Sapari mengalami

79 Ibid., h. 149. 80 Ibid., h. 151-152. 76

kebingungan terhadap kejadian yang baru saja dialaminya dan menganggap bahwa ilmu penjinak ular itu diturunkan secara turun temurun kepada orang-orang terpilih termasuk kepada dirinya. Bahkan, ia pun memercayai dan berniat untuk melaksanakan semua ajaran yang diberikan oleh Lelaki Tua Misterius itu. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa Abu berada dalam lingkungan masyarakat Islam kejawen yang masih memercayai mantra yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik. Di sisi lain, Abu Kasan Sapari diperkenalkan sebagai pegawai negeri dan dalang yang terlibat konflik dengan tokoh lain. Abu yang berada di luar sistem Mesin Politik (Partai Randu) telah berani mendalang memberikan dukungan kepada calon yang bermusuhan dengan pilihan Mesin politik. Abu yang berkali-kali melakukan kegiatan mendalang dianggap tidak mendukung Randu. Beberapa lakon yang dimainkan oleh Abu dianggap sebagai tindakan yang menjatuhkan Randu. Situasi di atas menggambarkan karakter Abu bersikeras dengan teguh pada pendiriannya: tidak mau kesenian terlibat dalam politik. Hal inilah yang menjadi penyebab Abu selalu mengalami penindasan dari tokoh lain yaitu Mesin Politik.

c) Tahap Peningkatan Konflik Tahap ini berisi tahap peningkatan konflik di mana peristiwa yang dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang tingkatannya. Cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik- konflik yang terjadi bisa dari segi internal, eksternal atau keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan masalah dan mengarah ke klimaks.81 Tahap peningkatan konflik dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini, ada di bab 9 yang berjudul “Ular” dan bab 10 yang berjudul “Di Luar Struktur, di Dalam Sistem”. Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan

81 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210. 77

tentang latar belakang Abu Kasan Sapari diprotes oleh kerumunan warga desa dan Abu yang selalu dibujuk dan ditawari jabatan serta kompensasi berupa uang. Pada bagian ketiga, ilmu penjinak ular yang semula banyak membantu Abu dalam menolong nyawa orang lain. Pada bagian kelima, kini ilmu itu telah membuat Abu banyak mengalami rintangan dalam kehidupannya. Seperti pada kutipan di bawah ini: Berita bahwa Abu memelihara seekor ular itu segera menyebar. [....] “Saya akan memeliharanya sebagai klangenan,” kata Abu.82 Tentang apakah ular termasuk klangenan orang berbeda pendapat. RT sengaja mengundang Abu untuk bermusyawarah. Para wanita mengemukakan keberatan. “Bagaimana nanti kalau ular itu jadi besar? Itu berbahaya, kalau lepas, “kata mereka. Rumah-rumah di sekitar pasar itu sangat padat. Kebanyakan kaum laki-laki yang hadir bersikap netral. Rapat RT itu berakhir dengan jaminan Abu bahwa ia tak akan membiarkan ularnya lepas. Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri. “Bagaimana, Yu Las?” Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya. Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan tetapi, Abu nekad. Laki-laki tidak boleh mundur hanya karena rintangan. “Yu, yang penting bukan ularnya, tapi apa yang di balik ular itu,” katanya “Ular hanya lambang.” Abu pernah bercerita soal cita-citanya, keinginannya, dan angan-angannya. Jadi, kata Lastri: “Saya sudah tahu lambang apa.” “Tahu? Apa, coba!” “Lingkungan.”83

Kutipan di atas diungkapkan melalui dialog Abu dan narator yang terletak di bab 9 menggambarkan peristiwa Abu yang mulai memelihara ular karena keterikatan dengan mantra penjinak ular yang telah dimilikinya. Dalam hal ini, tindakan Abu itu mendapat penolakan dari kerumunan warga karena dianggap telah mengancam keselamatan warga. Abu pun melibatkan Lastri ke dalam konflik yang

82 Kuntowijoyo, op. cit., h. 134. 83 Ibid., h. 136. 78

dihadapinya sekaligus menjadi seorang yang menolak terhadap ular yang dipeliharaannya. Kutipan di atas juga memperkenalkan ciri

mental Abu. Pada bagian keenam, Abu melakukan penolakan terhadap permintaan Mesin Politik yang ingin merekrutnya sebagai caleg. Seperti pada kutipan di bawah ini: Orang yang dikenalnya sebagai Ketua Umum Mesin Politik Tegalpandan itu lalu mengatakan, "Saya hanya mengantarkan, Bapak ini adalah Ketua Badan Seleksi Caleg Dati II Karangmojo." "Terimalah ucapan selamat kami. Kami dari DPD telah memilih Pak Abu sebagai caleg jadi," kata Ketua Badan Seleksi. "Pak Abu lolos ketimbang sembilan calon lain." Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” “Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.” Abu Kasan Sapari heran. Besar benar harga dirinya? Mungkin karena Bapilu Mesin Politik sudah memutuskan menggunakan media pedalangan untuk kampanye? Kedudukannya sebagai Ketua Paguyuban Pedalangan jadi penting?84

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog antara Abu dengan Mesin Politik yang terletak di bab 10 menggambarkan peristiwa perlawanan Abu terhadap mesin birokrasi bernama negara dengan Mesin Politik berupa partai pemerintah. Dalam hal ini, Abu telah berkali-kali dihadapkan dengan Mesin Politik dan melakukan penolakan untuk dijadikan pengikut partai pemerintah yang berkuasa pada saat itu karena sudah memahami maksud dan tujuan dari Mesin Politik. Untuk memperoleh dukungan massa pihak penguasa pemerintah rezim Orde Baru memandang perlu untuk menggunakan instrumen kesenian sebagai media untuk menarik massa. Salah satu kesenian yang digunakan untuk memperoleh simpati masyarakat

84 Ibid., h. 162-163. 79

adalah seni pedalangan. Dalang sebagai orang pintar (intelektual sekaligus aktor) di daerah dipandang amat potensial untuk menyampaikan pesan dan ajakan kepada masyarakat. Oleh karenanya, para dalang ditunjuk pihak penguasa sebagai juru kampanye.85 Dalam hal ini, pihak penguasa (Mesin Politik) menghalalkan segala cara agar keinginannya dapat terpenuhi termasuk menuntut Abu agar tidak menghalang-halangi usahanya dalam melakukan politik uang dan pemaksaan. Kutipan di atas juga memperkenalkan tokoh Mesin Politik, ciri mental Abu dan Mesin Politik. Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa pada tahap peningkatan konflik menggambarkan Abu Kasan Sapari yang mulai memelihara ular karena keterikatan dengan mantra penjinak ular yang telah dimilikinya. Meskipun, kerumunan warga dan Lastri tidak memberikan respon yang baik terhadap kehadiran ular tersebut dan tidak menyukai tindakannya. Abu tidak peduli dan tetap mempertahankan ular peliharaannya. Dalam hal ini, Abu belum bisa sepenuhnya terlepas dari mantra yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik dalam tradisi Jawa-Islam. Di sisi lain, Abu Kasan Sapari yang diperkenalkan sebagai sosok seniman yang berjuang dan tetap berpegang teguh pada prinsip kebenaran yang dimilikinya dengan tidak ingin terlibat dalam sistem politik kepentingan dan tidak ingin mengkhianati perjuangannya. Hal ini dibuktikan melalui tindakan Abu yang melakukan penolakan terhadap tawaran dari Mesin Politik (partai penguasa) untuk menjadi ‘caleg jadi’ pada pemilu 1997 karena kalau ia menerima tawaran itu, maka ia masuk ke dalam sebuah jebakan yang justru akan mematikan perjuangannya. Oleh karena itu, Abu berpegang teguh pada pendirian bahwa kesenian adalah dunianya sehingga tidak boleh diganggu oleh siapapun termasuk penguasa dan Abu pun tetap mempertahankan bidang kesenian yang ditekuninya itu.

85 Sutiyono, op. cit., h. 1-2. 80

d) Tahap Klimaks Tahap ini berisi konflik yang terjadi pada tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks dalam cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadi konflik utama.86 Tahap klimaks dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini, ada di bab 11 yang berjudul “Seni itu Air”. Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang Abu yang dituding melakukan tindakan subversif. Pada bagian keenam, Abu yang semula terus-menerus melakukan penolakan terhadap permintaan Mesin Politik. Pada bagian ketujuh, kini Abu harus menghadapi tindakan semena-mena yang dilakukan oleh Mesin Politik. Seperti pada kutipan di bawah ini: Beberapa hari kemudian sebuah pers release dari bagian reserse Kepolisian Karangmojo mengabarkan bahwa ada gerakan anti- Pancasila di Tegalpandan dengan ketuanya AKS.87 Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. “Kami dari Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,” kata Abu seperti sudah mengharapkan.88 “Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari. Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo supaya Abu diproses sesuai rencana.89 Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian, tidak ada laporan tertulis. [....] Kepala Polisi merundingkan soal Abu Kasan Sapari dengan kepala bagian penyelidikan, “Sudah kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral.” Mereka bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.90 Rombongan mahasiswa STSI Surakarta datang di depan Kantor Kepolisian Karangmojo. Mereka berjajar di muka kantor. Mereka membentangkan spanduk-spanduk. “Bebaskan AKS.” [....] Pengurus HAM cabang Surakarta dan Ikadin datang untuk keperluan yang sama. Mereka juga mendesak supaya Abu Kasan Sapari dikeluarkan.91

86 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210. 87 Kuntowijoyo, op. cit., h. 164. 88 Ibid., h. 165. 89 Ibid., h. 174. 90 Ibid., h. 175. 91 Ibid., h. 176. 81

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog polisi serta dialog Mesin Politik yang terletak di bab 11 menggambarkan peristiwa Abu yang sempat ditahan. Dalam hal ini, Abu dilepaskan karena tidak terbukti melakukan tindakan subversif dan polisi yang menangani kasus Abu mengalami kebingungan terhadap tindakan yang dilakukan pihak penguasa (Mesin Politik/partai randu) kepada Abu. Pihak penguasa memanfaatkan pekerjaan polisi untuk melancarkan rencananya. Pada tahap klimaks ini, pengarang memunculkan tokoh polisi, kerumuman mahasiswa, dan pengurus HAM cabang Surakarta serta Ikadin untuk memberikan dukungan kepada Abu dan membantu proses pembebasan tokoh utama yang tidak terbukti bersalah. Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa tahap klimaks ini menggambarkan peristiwa penangkapan Abu dengan tuduhan tindakan menjatuhkan kekuasaan pemerintah dan anti- Pancasila yang diajukan oleh Mesin Politik. Meski kemudian dilepaskan karena tidak terbukti melakukan tindakan subversif. Dalam hal ini, sikap Abu yang bertentangan dengan Mesin Politik banyak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Abu yang diperkenalkan sebagai pegawai negeri sekaligus dalang telah melewati perjalanan hidupnya baik suka maupun duka termasuk lolos dari jeratan Mesin Politik di zaman Orde Baru.

e) Tahap Penyelesaian Tahap ini berisi konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar dan cerita diakhiri. Pada tahap ini, semua peristiwa yang terjadi dalam cerita mengarah kepada proses pemecahan masalah sebagai sebagai bentuk penyelesaiannya.92 Tahap penyelesaian dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini, mulai terjadi penurunan klimaks dan konflik-konflik dalam cerita yang ada di bab 12-17. Bab 12 yang

92 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210. 82

berjudul “Sajak-Sajak Cinta”, bab 13 yang berjudul “Mencari Akar”, bab 14 yang berjudul “Bumi Gonjang-Ganjing Langit Megap-Megap”, bab 15 yang berjudul “Warisan”, bab 16 yang berjudul “Cangik Bertanya Pada Limbuk”, dan bab 17 yang berjudul “Tuhan, Beri Kami Ilmu yang Bermanfaat Tuhan, Hindarkan Kami Dari Malapetaka”. Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang perubahan sosial dan budaya. Namun, pada bab 12 dan 13 tentang peristiwa penceritaan sorot balik, cerita beralih ke masa lalu. Bab 12 yang berjudul “Sajak- Sajak Cinta” menggambarkan peristiwa Abu yang membuat puisi dalam bahasa Jawa untuk Lastri saat berada dalam tahanan. Seperti pada kutipan di bawah ini: Abu Kasan Sapari menulis geguritan-puisi bebas bahasa Jawa dalam tahanan Mapolres. Sebagai tampak dalam puisi ini ia tambah-tambah jatuh cintanya pada Lastri, dapat dikatakan mabuk kepayang. Kumpulan sajak itu akan dijilidnya dengan sampul merah jambu dan diberinya nama Geguritan Asmaradana. Akan diserahkan pada Lastri ketika tiba waktunya.93

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator menggambarkan peristiwa Abu yang membuat kumpulan puisi dengan nama Geguritan Asmarandana. Dalam hal ini, puisi tersebut merupakan bentuk rasa cinta Abu kepada Lastri yang tertuang dalam puisi yang dituliskannya. Sedangkan, bab 13 yang berjudul “Mencari Akar” menggambarkan peristiwa kakek Abu yang bercerita tentang kisah hidup nenek moyangnya kepada Abu. Seperti pada kutipan di bawah ini: (Abu Kasan Sapari pulang ke desa tempat ia dibesarkan. Kakek bercerita). Mula-mula desa kita adalah sebuah perdikan. Eyang pendiri desa kita waktu masih muda menjadi prajurit keratin [....]94

93 Ibid., h. 181. 94 Ibid., h. 195. 83

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator menggambarkan peristiwa desa yang dahulu ditempati oleh nenek moyang kakek Abu menjadi desa perdikan yaitu desa yang memiliki hak untuk tidak membayar pajak. Pada bagian keempat, Abu Kasan Sapari yang semula mendalang untuk mendukung calon yang bermusuhan dengan Mesin Politik. Pada bagian kedelapan, kini Abu tidak lagi mendalang untuk calon yang berhadapan dengan Mesin Politik. Seperti pada kutipan di bawah ini: Betul, ia pergi pada Pak Camat dan menyatakan niatnya untuk mendalang menggantikan Ki Manut. Pak Camat keheranan, dia adalah Pembina Randu di kecamatannya, dan Abu ‘dalang politik anti- Randu’. [....] Taktik Ki Manut Sumarsono cespleng. Ibarat panas setahun terhapus hujan sehari, julukan sebagai ‘dalang politik anti-Randu’, julukan ‘dalang politik non-Randu’, bahkan julukan ‘dalang politik’ lenyap. Buktinya, para bakul di pasar tidak lagi menambahkan kata ‘dalang politik’ ketika Abu mendalang untuk juragan bis di Tegalpandan. Kenyataan itu dikabarkan Lastri pada Abu Kasan Sapari, “Soal ‘dalang politik’ sudah beres. Sampeyan bebas sekarang.”95

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator yang terletak di bab 14 dan 15 menggambarkan peristiwa kehidupan Abu yang sudah berjalan normal kembali jauh dari hal-hal yang berbau politik. Pada bagian kedelapan tahap penyelesaian ini, pengarang memunculkan tokoh Ki Manut Sumarsono untuk membantu tokoh utama dalam memperoleh persepsi positif dari warga desa sekitar. Pada bagian ketiga, Abu yang semula diceritakan terikat dengan mantra dan berada dalam lingkungan masyarakat Islam kejawen masih memercayai mantra yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik. Pada bagian kesembilan, kini Abu tidak lagi mengalami keterikatan dengan mantra dan mulai sadar terhadap realitas kehidupan yang harus dijalaninya. Seperti pada kutipan di bawah ini:

95 Ibid., h. 229. 84

Ketika bertemu Haji Syamsuddin dikatakannya bahwa seusai salat dia ingin bicara. [....] “Apa susahnya? Bawa saja ular itu ke kebun binatang.” “Ular mudah, Pak. Tetapi saya terikat dengan mantranya.” “Mantra?” “Ya, Pak. Saya harus mencari orang yang mau ditulari mantra. Mantra harus diturunkan, berkelanjutan sampai kiamat tiba. Kalau tidak saya kena bebendu (malapetaka), tidak akan mati- mati meski tua-renta.” “Jangan percaya! Itu gombal, itu sampah. Kau orang beriman. Karenanya malah kau wajib memutuskan mata rantai sirik itu. Sekarang zaman modern, bukan zamannya mantra lagi.”96 Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia bermaksud memutus mata-rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung.97 “Rencana sampeyan apa?” “Ke Solo! Saya akan membawa ular ke bonbin.” Ia berketetapan menjadi dalang, menjadi penerus tradisi Eyang dan tradisi Ronggowarsito: menghibur dan mengajarkan kebijaksanaan hidup.98

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog antara Abu dengan Haji Syamsuddin dan Abu dengan Lastri yang terletak di bab 16 dan 17 menggambarkan peristiwa perlawanan Abu terhadap mitos. Dalam hal ini, Abu berencana untuk membuang mantra dan melepaskan ular dengan membawa ke kebun binatang. Abu berketetapan hati untuk mengubah kehidupannya dengan melepaskan diri dari hal-hal yang berbau mistik. Abu yang semula selalu mempertanyakan apakah pekerjaan barunya itu akan menjauhkan atau mendekatkannya pada tradisi Ronggowarsito yang selalu menghibur rakyat dan mengajarkan kebijaksanaan hidup. Kini, Abu selalu menjadikan ruh semangat Ronggowarsito dalam bertindak dan mengambil keputusan. Bahkan, Abu selalu bertekad untuk

96 Ibid., h. 259. 97 Ibid., h. 270. 98 Ibid., h. 271. 85

meneruskan tradisi Ronggowarsito untuk menghibur rakyat dan mengajarkan kebijaksanaan hidup. Peristiwa tersebut digunakan pengarang untuk mengajak masyarakat meninggalkan mantra-mantra yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik serta menjauhkan diri dari perbuatan syirik yang menjamakkan Tuhan. Kemudian, beralih kepada ilmu yang berpijak pada realitas dan kekuatan doa untuk membersihkan diri serta berserah diri kepada Tuhan. Hal ini ditegaskan pula dalam esai dan artikel mengenai pemikiran Kuntowijoyo. Kuntowijoyo mengatakan bahwa hanya dengan kesungguhan meninggalkan cara berpikir mitos menuju cara berfikir pada realitas yang mampu membuat umat manusia selamat dari ketertinggalan.99 Pada bagian kesembilan tahap penyelesaian ini, pengarang memunculkan tokoh Haji Syamsuddin untuk memberikan kesadaran kepada tokoh utama mengenai mitos kesyirikan yang bertentangan dengan keyakinan agama Islam. Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa tahap penyelesaian ini memperlihatkan bagaimana tema kehidupan masyarakat desa yang berpegang pada mistik beralih kepada kehidupan kota yang berpegang pada ilmu sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sosial dan budaya. Dimulai dari keterikatan tokoh utama terhadap hal-hal yang bau mistik dan perjuangan tokoh utama yang tidak mau menjadi alat politik kekuasaan dengan berbagai konflik-konflik lain yang harus dihadapi hingga pada akhirnya mampu mencapai perubahan sosial dan budaya. Pada tahap penyelesaian ini, tokoh Abu mengalami perubahan dan perkembangan sikap yang diakibatkan adanya keterlibatan tokoh lain dalam peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Sikap tokoh Abu yang tidak mudah goyah dengan teguh pada pendiriannya pada masa awal berubah menjadi sikap yang penuh dengan pertimbangan dalam

99 M. Khomsin, op, cit., h. 27. 86

memutuskan segala sesuatu serta perencanaan yang matang dalam menyikapi masalah yang dialaminya.

4. Latar Latar merupakan tempat dan waktu terjadinya peristiwa- peristiwa, sementara peristiwa-peristiwa terjadi oleh adanya aksi tokoh dan konflik yang ada di dalam dan antar tokoh.100 Latar atau setting atau yang disebut juga dengan landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.101 a) Latar Tempat Dalam novel MPU terdapat latar netral dan fungsional yang memengaruhi perkembangan tokoh secara sosiologis maupun psikologis. Latar tempat tersebut antara lain sebagai berikut: Latar tempat pertama yang muncul dalam novel MPU yaitu desa Palar. Pemilihan latar desa Palar sekaligus tempat makam Ronggowarsito yang berlokasi di kecamatan Trucuk, kabupaten Klaten secara fungsional dan tipikal koheren dengan realita, mengingat keberadaan makam Ronggowarsito menjadi tempat yang sangat dikeramatkan dan sosok Ronggowarsito selalu menjadi panutan bagi masyarakat. Jika dilihat dari hubungannya dengan alur, maka desa Palar dapat digolongkan ke dalam latar fungsional. Hal ini tampak pada latar desa Palar yang menjadi tahap penyituasian. Seperti pada kutipan di bawah ini: Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu.102 Kakek itu adalah juru kunci makam Ronggowarsito di Desa Palar, Klaten. [....] Dulu Palar adalah desa perdikan, desa yang dibebaskan dari pajak dengan maksud supaya seluruh

100 Mursal Esten, Kritik Sastra Indonesia, (Padang: Angkasa Raya, 1984), h. 113. 101 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 302. 102 Kuntowijoyo, op. cit., h. 2. 87

penghasilan desa diperuntukkan guna keperluan makam. Praktis, lurahnya sama dengan juru kunci makam.103 Baru sejak SMA-lah ia sadar apa arti Ronggowarsito, dia masih sedarah. Mula-mula sosok pujangga itu kabur, tapi makin lama makin jelas. Ia makin mengerti arti Palar baginya, dan nama pujangga itu pun masuk dalam doanya.104

Dilihat dari segi cerita, keberadaan desa Palar dan Kemuning ini berfungsi untuk memunculkan peristiwa kenangan desa Palar dan suasana dominan dari tradisi Jawa-Islam berbau mistik (mitos) yang membentuk kepribadian dan pikiran tokoh Abu. Latar tempat kedua yang muncul dalam novel MPU yaitu cembeng (pasar malam) berlokasi di desa Kemuning. Jika dilihat dari hubungannya dengan alur, maka latar ini dapat digolongkan ke dalam latar fungsional. Hal ini tampak pada latar desa Kemuning yang menjadi tahap pemunculan konflik. Jika dikaitkan dengan latar suasana, latar ini berfungsi memunculkan kebingungan dalam diri Abu. Seperti pada kutipan di bawah ini: Di cembeng, ketika Abu sedang menghadapi segelas wedang jahe di warung tiban dekat tiang listrik yang khusus dibuka waktu itu, seseorang menyentuh pundaknya. [....] Abu masih tertegun, merenungkan kejadian yang dialaminya. Disekanya mata. Tidak, itu bukan mimpi bukan sulapan. Kenyataan itu dialaminya dengan badan wadhag, pasti sungguh-sungguh terjadi. Buktinya, ia ingat jelas dengan mantra yang harus diucapkan. [...] Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba muncul dan tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa namanya, dari mana asalnya. Jadi, orang terpilih itu memang sudah dalam jangkauan tangan, membuatnya gembira. [...] Ia bertekad untuk melaksanakan semua petunjuk orang tua itu.105

Dilihat dari segi cerita, keberadaan desa Kemuning ini berfungsi untuk memunculkan suasana dominan dari tradisi Jawa- Islam berbau mistik (mitos) yang memengaruhi pikiran Abu yang tidak lagi menggunakan cara berpikir logis. Bahkan, Abu meyakini

103 Ibid., h. 4. 104 Ibid., h. 13. 105 Ibid., h. 22. 88

bahwa mantra yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik sebagai sesuatu yang benar. Latar tempat ketiga yang muncul dalam novel MPU yaitu desa Tegalpandan. Di tempat ini akan muncul berbagai tokoh lain dan konflik yang harus dihadapi oleh tokoh utama. Latar tempat ketiga ini, akan dibagi lagi menjadi beberapa tempat sesuai peristiwa yang dialami oleh tokoh utama, yakni: pelukisan rumah sewa Abu dan pasar. Jika dilihat dari hubungannya dengan alur, maka latar ini dapat digolongkan ke dalam latar fungsional. Hal ini tampak pada latar rumah sewa Abu yang menjadi tahap peningkatan konflik baik konflik batin Abu maupun konflik sosial antara Abu dengan kerumunan warga desa dan Abu dengan Mesin Politik. Seperti pada kutipan di bawah ini: Tentang apakah ular termasuk klangenan orang berbeda pendapat. RT sengaja mengundang Abu untuk bermusyawarah. Para wanita mengemukakan keberatan. “Bagaimana nanti kalau ular itu jadi besar? Itu berbahaya, kalau lepas, “kata mereka. Rapat RT itu berakhir dengan jaminan Abu bahwa ia tak akan membiarkan ularnya lepas. Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri. “Bagaimana, Yu Las?” Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya. Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan tetapi, Abu nekad. Laki-laki tidak boleh mundur hanya karena rintangan. “Yu, yang penting bukan ularnya, tapi apa yang di balik ular itu,” katanya “Ular hanya lambang.” Abu pernah bercerita soal cita-citanya, keinginannya, dan angan-angannya. Jadi, kata Lastri: “Saya sudah tahu lambang apa.” “Tahu? Apa, coba!” “Lingkungan.”106 Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. "Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?"

106 Ibid., h. 136-137. 89

"Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian."107

Dilihat dari segi cerita, keberadaan latar rumah sewa Abu berfungsi untuk memunculkan pandangan Abu mengenai ular yang dijadikan sebagai simbol alam dan lingkungan serta protes warga desa maupun Lastri terhadap keputusan Abu tersebut. Di satu sisi, orang yang berada di sekitar Abu menolak tindakannya. Di sisi lain, Abu berniat ingin memberikan kesadaran mengenai pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan. Keberadaan kedua latar ini juga berfungsi untuk memunculkan sikap tokoh Abu yang tidak mudah goyah hanya karena orang-orang di sekitarnya tidak memahami tujuan dari tindakannya tersebut. Selain itu, kedua latar ini berfungsi untuk memunculkan sikap Abu yang tidak ingin terlibat dalam sistem politik kepentingan dan perjuangan Abu dalam melakukan perlawanan terhadap politisasi kesenian. Latar tempat keempat yang muncul dalam novel MPU yaitu rumah tahanan yang berlokasi di Karangmojo. Jika dilihat dari hubungannya dengan alur, maka latar ini dapat digolongkan ke dalam latar fungsional. Hal ini tampak pada latar Karangmojo yang menjadi tahap klimaks. Seperti pada kutipan di bawah ini: Beberapa hari kemudian sebuah pers release dari bagian reserse Kepolisian Karangmojo mengabarkan bahwa ada gerakan anti- Pancasila di Tegalpandan dengan ketuanya AKS. [....] Sesampai di Kepolisian Karangmojo, Abu dimasukkan kamar tahanan.108 Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian, tidak ada laporan tertulis. [....] Kepala Polisi merundingkan soal Abu Kasan Sapari dengan kepala bagian penyelidikan, “Sudah kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral.” Mereka bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.109

Dilihat dari segi cerita, keberadaan rumah tahanan ini berfungsi sebagai tempat Abu ketika dituduh sebagai “pembangkang”

107 Ibid., h. 162-163. 108 Kuntowijoyo, op. cit., h. 164-165. 109 Ibid., h. 175. 90

dan menerima “hukuman” tanpa jelas apa kesalahan yang telah diperbuatnya. Pemilihan cerita tertangkapnya Abu karena tuduhan tindakan subversif/menuduh warga negaranya secara seenaknya saja merupakan gambaran perilaku dan tindakan dari para politikus dan pejabat pemerintah yang semata-mata untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Latar desa Tegalpandan akan dibagi lagi menjadi beberapa tempat sesuai peristiwa yang dialami oleh tokoh utama, yakni: pasar dan pelukisan rumah sewa Abu. Jika dilihat dari hubungannya dengan alur, maka latar ini dapat digolongkan ke dalam latar fungsional. Hal ini tampak pada latar pasar dan rumah sewa Abu yang menjadi tahap penyelesaian. Jika dikaitkan dengan latar suasana, pasar ini berfungsi membangun kegelisahan Abu terhadap julukan yang sudah terlanjur melekat dalam dirinya. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Di pasar sampeyan dikenal sebagai dalang politik anti-Randu, lho.” “Itulah, Yu. Yang mengganggu pikiran saya.”110 [....] Taktik Ki Manut Sumarsono cespleng. Ibarat panas setahun terhapus hujan sehari, julukan sebagai ‘dalang politik anti-Randu’, julukan ‘dalang politik non-Randu’, bahkan julukan ‘dalang politik’ lenyap. Buktinya, para bakul di pasar tidak lagi menambahkan kata ‘dalang politik’ ketika Abu mendalang untuk juragan bis di Tegalpandan. Kenyataan itu dikabarkan Lastri pada Abu Kasan Sapari, “Soal ‘dalang politik’ sudah beres. Sampeyan bebas sekarang.”111

Dilihat dari segi cerita, keberadaan pasar ini berfungsi untuk memunculkan persepsi positif dari warga desa terhadap tindakan Abu yang tidak lagi melibatkan kesenian dengan politik. Latar tempat selanjutnya, yakni rumah sewa Abu. Jika dikaitkan dengan latar suasana, rumah sewa Abu ini berfungsi membangun kesadaran dalam diri Abu terhadap kehidupan real yang dijalaninya. Seperti pada kutipan di bawah ini:

110 Ibid., h. 228. 111 Ibid., h. 229. 91

Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia bermaksud memutus mata-rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung.112 “Rencana sampeyan apa?” “Ke Solo! Saya akan membawa ular ke bonbin.” Ia berketetapan menjadi dalang, menjadi penerus tradisi Eyang dan tradisi Ronggowarsito: menghibur dan mengajarkan kebijaksanaan hidup.113

Dilihat dari segi cerita, keberadaan rumah sewa ini berfungsi untuk memunculkan suasana dominan dari perlawanan Abu terhadap mitos yang bersifat syirik berupa kepercayaan terhadap binatang, pemujaan terhadap benda keramat, dan mantra. Pada akhirnya, latar desa Tegalpandan ini menjadi proses pencapaian Abu menuju perubahan sosial dan budaya. Latar desa Tegalpandan ini juga menjadi latar suasana dominan dari konflik atau ketegangan yang diakibatkan oleh hubungan antar anggota masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa latar tempat dalam novel MPU yang telah diuraikan di atas menggambarkan tempat-tempat penting bagi Abu Kasan Sapari untuk mencapai suatu perubahan sosial dan budaya. Latar tempat ini memiliki keterkaitan dengan tema yang telah diuraikan sebelumnya. Meskipun, peristiwa yang dilalui Abu begitu rumit mengenai keterikatan dengan mantra yang menjuruskannya pada perbuatan syirik dan kegiatan mendalang yang membuat Abu harus menghadapi berbagai kendala terlibat dalam politik. Namun, dengan keyakinan, pendirian yang kuat, dan penuh perjuangan akhirnya Abu dapat melalui berbagai cobaan hidup yang menimpanya. Dengan demikian, latar tempat ini pun terkait dengan alur yang menjadi jalan cerita tokoh utama.

112 Ibid., h. 270. 113 Ibid., h. 271. 92

b) Latar Waktu Latar waktu penceritaan yang terdapat dalam novel MPU disusun secara episodik berdasarkan tahapan-tahapan kehidupan Abu, yaitu kilas balik pertemuan ibu-bapak Abu – kelahiran Abu – sekolah - lulus sekolah – kerja - Abu menikah dan harus memilih istri/ilmunya. Latar waktu penceritaan dalam novel MPU tidak digambarkan secara jelas. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kejadian yang ada dalam novel dapat terjadi kapan pun dan dimana pun dari waktu ke waktu. Namun, berdasarkan latar waktu historis yang terdapat dalam novel MPU dapat digambarkan secara jelas yaitu pada tahun 1997 masa pemilihan umum nasional, sebelum Reformasi, saat situasi politik di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-pedesaan. Peristiwa tersebut dapat terlihat pada bab bab 14 dengan judul “Bumi Gonjang-Ganjing Langit Megap-megap”. Seperti pada kutipan di bawah ini: Pemilu, 1997. Abu Kasan Sapari memilih di Rutan (Rumah Tahanan) Karangmojo. Mesin Politik menang di Karangmojo, tetapi hanya dengan enam puluh persen suara. Bahkan, di kompleks perumahan kepolisian dan tentara Mesin Politik kalah. [....] Mereka menyimpulkan bahwa kegagalan itu disebabkan karena mereka tidak bisa memakai sarana tradisional, tidak menyelenggarakan wayangan, wayang orang, dan ketoprak karena para seniman tidak mau terlibat dalam politik praktis. “Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD Randu. Dikepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari. Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo supaya Abu diproses sesuai rencana.114 Dala kampanye Pemilu memang ada obral janji untuk rakyat, membangun ini itu. Tapi pelaksananya, wo, tahi kucing, jangan tanya. Nol besar. [....] Laki-laki tua itu memejam mata sambil memegang telapak tangan laki-laki bersarong, kerumunan diam tidak berisik ingin mendengar jawabnya. Laki-laki tua berbisik di telinga, tapi bisikan itu cukup keras sehingga kerumunan itu mendengar. Katanya, "Ayam itu mati kena virus, namanya monopoli. Di bawah kekuasaan Soeharto, ekonomi kita

114 Ibid., h. 174. 93

memang dikuasai konglomerat. Kita dijajah lagi, tidak oleh bangsa lain, tapi oleh bangsa sendiri.115

Kutipan di atas dapat diketahui bahwa Abu yang bermatapencaharian sebagai pegawai kecamatan dan dalang di desa di kaki Gunung Lawu mengalami sentuhan, tubrukan atau sedikitnya menjadi saksi sejarah bagaimana mesin politik Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto beroperasi sampai ke desa-desa. “Mesin Politik” yang menjadi antagonis mengingatkan bagaimana kekuasaan politik di akhir abad ke-20 Indonesia beroperasi sampai ke desa-desa. Untuk memperoleh dukungan massa pihak penguasa pemerintah rezim Orde Baru memandang perlu untuk menggunakan instrumen kesenian sebagai media untuk menarik massa. Salah satu kesenian yang digunakan untuk memperoleh simpati masyarakat adalah seni pedalangan. Dalang sebagai orang pintar (intelektual sekaligus aktor) di daerah dipandang amat potensial untuk menyampaikan pesan dan ajakan kepada masyarakat. Oleh karenanya, para dalang ditunjuk pihak penguasa sebagai juru kampanye.116 Abu yang berpendirian kuat untuk tidak melibatkan kesenian dengan politik praktis menyebabkan terjadinya konflik sosial dengan "Mesin Politik" di desa yang dilukiskan dalam sentuhan yang jauh dari rasa keadilan. Seiring dengan keadaan yang sedang mengalami masa peralihan itu, rakyat dan wong cilik yang memihak kepada hati nurani dan kebenaran melakukan sebuah aksi demonstrasi untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak penguasa. Dalam novel MPU ini, Kuntowijoyo juga menampilkan peristiwa menjelang tumbangnya kejayaan sebuah orde yang kemaruk: Orde Baru. Sampai akhirnya tanda-tanda zaman itu

115 Ibid., h. 211-213. 116 Sutiyono, op. cit., h. 1-2. 94

muncul, isyarat bahwa pemerintah yang tengah berkuasa akan segera ambruk.117 Dari peristiwa di atas, dapat disimpulkan bahwa pengarang menggunakan latar waktu secara eksplisit yang tertera dalam novel MPU yaitu pada tahun 1997. Peristiwa pada tahun 1997 dalam novel MPU merupakan realitas sejarah sosial-politik yang terjadi pada masa menjelang ambruknya kekuasaan Orde Baru di bawah rezim Soeharto yang sentralistik dan militeristik.118 Realitas sejarah yang digambarkan di atas membuktikan bahwa Orde Baru adalah sebuah orde yang memang harus segera berakhir. Potret buram Orde Baru tidak hanya menjadi serangkaian pengalaman bagi Kuntowijoyo, tetapi menjadi pengalaman seluruh rakyat Indonesia. Pemilihan latar waktu ini digunakan pengarang sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah yang belum sepenuhnya memperhatikan dan mengutamakan kesejahteraan rakyat maupun warga desa.

c) Latar Sosial Latar sosial dalam novel MPU dapat dilihat sebagai potret suasana sebelum Reformasi, saat hampir seluruh tempat di Indonesia bahkan sampai ke pedesaan-pedesaan sedang berlangsung modernisasi terutama setelah Orde Baru tampil berkuasa dan situasi politik di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaaan- pedesaan. Secara fisik, penggambaran sebuah desa diwarnai dengan kehijauan alamnya, dikelilingi bukit-bukit dan gunung-gunung, dan umumnya belum sepenuhnya dikembangkan secara maksimal oleh manusia. Kutipan di bawah ini memperlihatkan latar sosial masyarakat dalam deskripsi novel MPU: Di Kemuning, ada sumur tetapi sangat dalam, dan tak ada air bila musim kering. Air itu masih harus dibagi dengan tetangga,

117 Kuntowijoyo, op. cit., sampul halaman belakang. 118 Tirto Suwondo, “Mantra Penjinak Ular”: Rekonstruksi Sejarah Sosial-Politik Orde Baru”, Pangsura: Jurnal Pengkajian dan Penelitian Sastera Asia Tenggara, 2005, h. 86-87. 95

kadang-kadang habis, dan bisanya hanya mengisi gentong. Jadi, diputuskannya hanya mandi sekali sehari di sendang sepuas- puasnya seperti semua orang.”119 Kemuning dapat jadi tempat agrowisata. Dari Kemuning orang dapat menikmati matahari kemerahan waktu terbit dan tenggelam. Ditambah dengan adanya jalan-jalan yang mulus sampai puncak-puncak bukit untuk itu Pemerintah Orde Baru patut mendapat acungan jempol- Kemuning bisa berkembang.120

Kutipan di atas menunjukkan suasana sosial yang diperlihatkan melalui gambaran warga desa yang susah payah mencari air ke sendang dan aktivitas mandi yang hanya dilakukan sekali dalam sehari. Selain itu, kemajuan sosial-budaya pun sudah terlihat dari fakta desa Kemuning dijadikan sebagai tempat agrowisata dan adanya pembangunan jalur transportasi yang sudah bagus. Semakin terjangkaunya sarana fisik yang sudah merata ke berbagai wilayah pedesaan mendorong timbulnya perilaku budaya dan gaya hidup baru bagi masyarakat Jawa. Abu Kasan Sapari sendiri mengenyam pendidikan SMA, menjadi pegawai negeri, mengikuti kursus cara-cara membangun desa (agar modern tentunya), yang artinya bersentuhan erat dengan kebudayaan modern. Dalam hal ini, Abu Kasan Sapari diperkenalkan sebagai simbol orang Jawa modern yang telah berinteraksi dengan kemajuan zaman pada masa hidupnya yang dapat terlihat dari pikiran dan tindakannya, yaitu menempuh pendidikan yang tinggi hingga menjadi pegawai negeri. Seperti pada kutipan di bawah ini: di SMA ia mewakili sekolahnya menjuarai Festival Dalang Pelajar se-Jawa Tengah.121 Abu Kasan Sapari merasa bahwa ia tak cocok untuk meneruskan sekolah. Dia melamar pekerjaan jadi pegawai lokal, dan ditempatkan di kecamatan Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu. [....] Tugas pertamanya ialah mengikuti kursus di sebuah lembaga teknologi pedesaan.122

119 Ibid., h. 17. 120 Ibid., h. 95. 121 Ibid., h. 13. 122 Ibid., h. 16. 96

Seluruh usaha kecamatan diarahkan ke desanya. Penataran P-4, perpustakaan desa, kursus baca-tulis (Abu sangsi apakah orang- orang desa masih bisa membaca), papan tulis untuk data desa, dan usaha-usaha rumah (peternakan kambing, peternakan bebek, dan pembuatan emping melinjo).123 Singkatnya, Abu kemudian juga dikenal sebagai dalang.124

Secara sosial kehidupan di desa sering dinilai sebagai kehidupan yang tenteram, damai dan jauh dari perubahan yang dapat menimbulkan konflik. Namun, kehidupan yang semula tenteram dan damai berubah menjadi kacau. Desa Tegalpandan digunakan pengarang sebagai salah satu pemicu terjadinya konflik sosial. Dalam hal ini, tokoh Abu Kasan Sapari memang mengenyam pendidikan yang maju, sarana mobilitas, dan kemajuan teknologi di era demokrasi dan modernisasi. Namun, Abu memiliki prinsip bahwa tidak semua tindakan yang mengatasnamakan modernisasi bisa diterima begitu saja. Demokrasi yang otoriter dan mengesampingkan rakyat kecil harus dilawan karena tidak sesuai dengan etika kemanusiaan. Seperti pada kutipan di bawah ini: "Terimalah ucapan selamat kami. Kami dari DPD telah memilih Pak Abu sebagai caleg jadi," kata Ketua Badan Seleksi. "Pak Abu lolos ketimbang sembilan calon lain." Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” “Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.” “Kalau itu maumu, kami tidak memaksa. Kami hanya ingin berbuat baik. Tapi, ya, sudah. Kami beri waktu untuk berpikir satu kali dua puluh empat jam. Sesudahnya tanggung sendiri akibatnya. Ingat, kami juga bisa main kasar,lho!” [....] Beberapa hari kemudian sebuah pers release dari bagian Kepolisian Karangmojo mengabarkan bahwa ada gerakan anti- Pancasila di Tegalpandan dengan ketuanya AKS.125 Sebuah mobil pengangkut tahanan dari Polres Karangmojo berhenti di depan kantor Kecamatan Tegalpandan. [....] Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. “Kami dari

123 Ibid., h. 24. 124 Ibid., h. 32. 125 Ibid., h. 162-164. 97

Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,” kata Abu seperti sudah mengharapkan. [....] Sesampai di Kepolisian Karangmojo, Abu dimasukkan kamar tahanan.126

Kutipan di atas menunjukkan bentuk perlawanan tokoh utama yang dapat terlihat dari tindakannya yang menolak dijadikan sebagai alat politik praktis karena tidak mengedepankan kebersamaan dan kejujuran. Bukti menunjukkan bahwa di dalam sistem kekuasaan yang otoriter, tindakan menolak sebuah tawaran yang berkaitan dengan politik sangat besar resikonya. Sebab, dalam bahasa politik kata menolak dapat berarti “pembangkang”. Apabila seseorang telah dituduh sebagai “pembangkang”, pasti akan menerima “hukuman” tanpa harus jelas apa kesalahannya. Dalam hal ini, Abu Kasan Sapari melakukan penolakan terhadap tawaran Mesin Politik untuk menjadi caleg jadi, ia kemudian ditangkap dan ditahan di kantor polisi. Bahkan, tuduhan yang dialamatkan padanya sangat tidak masuk akal yaitu sebagai pemimpin gerakan Anti-Pancasila, subversif, dan makar. Di sisi lain, Mesin Politik, Militer, dan Penguasa adalah simbol arogansi yang menggunakan kekuasaan, wewenang, dan kekayaan untuk melakukan penekanan terhadap rakyat kecil. Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa latar dan penokohan dalam novel ini memiliki hubungan yang sangat erat. Pemilihan latar waktu sesuai dengan waktu historis tercermin dari peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1997, sebelum Reformasi, saat situasi politik di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-pedesaan dan latar waktu penceritaan yaitu tahapan- tahapan kehidupan tokoh utama. Dengan tema besar yang berlatar tempat, waktu, dan sosial tersebut, Kuntowijoyo memberikan suguhan lika-liku problematika kehidupan tokoh utama dari sejak kecil sampai dewasa dengan berbagai konflik yang disebabkan karena adanya

126 Ibid., h. 165. 98

ketidakadilan, penindasan bahkan penyingkiran. Namun, dengan penuh perjuangan akhirnya tokoh utama dalam novel MPU berhasil mencapai suatu perubahan sosial dan budaya melalui konsistensi dan ketegasan sikapnya terhadap berbagai konflik sosial yang ia hadapi.

5. Sudut Pandang Sudut pandang merupakan cara pengarang untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.127 Setiap pengarang memiliki ciri khas masing-masing dalam menyajikan sudut pandang. Pada novel MPU, pengarang menggunakan sudut pandang persona ketiga: “dia” mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu). Si “dia” narator mampu menceritakan sesuatu baik yang bersifat fisik, dapat diindera, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati dan pikiran tokoh, bahkan lebih dari seorang tokoh. Fungsi sudut pandang orang ketiga ini adalah untuk mengajak pembaca mengetahui hati dan tindakan yang dialami oleh tokoh-tokoh melalui narasi maupun dialog yang tertera. Hal ini dapat terlihat melalui kutipan di bawah ini: “Keluguanmu ternyata membawa berkah. Duduklah,” kata Pak Camat begitu dia muncul di pintu. Pak Camat mengatakan bahwa ia mendapat pujian dari Bupati. ‘Sudah jatah Kemuning’ itu artinya ada pemerataan pembangunan. Jangan sampai pembangunan hanya membangun desa yang sudah makmur. Yang tidak diketahui oleh Pak Camat dan Abu ialah kebijaksanaan Bupati menggilirkan pemenang lomba itu mendapat pujian dari Gubernur.”128

Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga maha tahu, Kuntowijoyo memposisikan diri dengan tidak secara langsung memerankan salah satu tokoh pelaku cerita. Namun, pengarang seolah- olah mengetahui dan dapat menjelaskan secara rinci tindakan dan perasaan yang dialami oleh setiap tokoh. Pemilihan sudut pandang ini membuat pengarang lebih leluasa mengeksplorasi sisi batin Abu untuk

127 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 248. 128 Kuntowijoyo, op. cit., h. 30. 99

kemudian menciptakan konflik. Hal tersebut menjadi penguat terhadap cara pandang mengenai suatu permasalahan yang terjadi dalam cerita.

B. Wujud Konflik Sosial dan Faktor Penyebabnya Novel MPU karya Kuntowijoyo menampilkan situasi sosial dalam catatan sejarah Indonesia yaitu peristiwa mengenai rezim pemerintahan Orde Baru pada tahun 1966-1998 yang sarat dengan konflik sosial yang memberikan pengaruh negatif pada kehidupan sosial dan sikap masyarakat. Menurut M. Atho secara umum konflik sosial pada hakikatnya adalah suatu keadaan di mana sekelompok orang terlibat pertentangan secara sadar dengan satu kelompok lain atau lebih, karena mengejar tujuan-tujuan yang bertentangan, baik dalam nilai maupun dalam klaim terhadap status, kekuasaan, atau sumber-sumber daya yang terbatas dan dalam prosesnya ditandai oleh adanya upaya pihak-pihak yang terlibat untuk saling menetralisasi, mencederai, atau bahkan mengeliminasi posisi atau eksistensi lawan.129 Seperti yang sudah diungkapkan di atas, bahwa penelitian ini membahas tentang konflik sosial dalam novel MPU karya Kuntowijoyo dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Wujud dan penyebab konflik dalam novel ini akan disampaikan dalam bentuk tabel dan skema agar pembaca dapat mencermati dan memahami isi dari hasil pembahasan dengan lebih mudah. Dalam penelitian ini wujud konflik sosial yang terjadi disebabkan beberapa permasalahan, antara lain: keyakinan, ketidakberpihakan, penindasan, dan ketimpangan sosial. Di dalam tabel hasil penelitian dapat dilihat penyebab konflik dalam novel MPU terdiri dari berbagai macam permasalahan serta bagaimana cara para tokoh dalam mengatasi permasalahan tersebut.

129 M. Atho Mudzhar, op. cit., h. 2. 100

Tabel 1: Wujud dan Faktor Penyebab Konflik Sosial

No. Tokoh Wujud Konflik Sosial Faktor Penyebab 1. Abu Kasan Sapari - Konflik pemikiran - Perbedaan antar- dengan kerumunan antar individu dengan individu (Perbedaan warga desa dan individu. pendapat). Lastri. - Masalah: keyakinan. - Abu yang memiliki - Bab 9 Subbab 2 keterikatan dengan mantra penjinak ular mulai memelihara ular. Tetapi, kerumunan warga desa tidak menyukai tindakan Abu tersebut. 2. Abu Kasan Sapari - Konflik gagasan antar - Benturan antar- dengan Mesin individu dengan kepentingan. Politik. kelompok. - Abu nekat - Masalah: memberikan ketidakberpihakan. dukungan kepada - Bab 10 Subbab 1. cakades yang diminta mundur untuk memuluskan jalan bagi calon yang dijagoi Mesin Politik. - Bab 10 Subbab 4. - Abu berkeinginan mendirikan paguyuban pedalangan tetapi dilarang oleh Mesin Politik. - Bab 10 Subbab 7. - Abu menolak tawaran dari Mesin Politik untuk menjadi caleg jadi. - Masalah: penindasan. - Abu dituduh oleh - Bab 11 Subbab 1 dan Mesin Politik sebagai 4. pemimpin gerakan anti-pancasila, subversi, dan makar. 3. - Kismo Kengser - Konflik pandangan - Perubahan sosial dan dengan penguasa dan konflik fisik antar budaya. (Mesin Politik). individu dengan - Dalam pidatonya kelompok. Kismo Kengser - Masalah: banyak mengkritik 101

ketimpangan sosial. pemerintah, mulai - Bab 14 Subbab 1. dari penggusuran tanah, monopoli ekonomi, korupsi, sampai makar. - Abu Kasan Sapari - Konflik pandangan - Haji Syamsuddin dengan Haji antar individu dengan yang tidak Syamsuddin. individu. memercayai hal-hal - Masalah: keyakinan. syirik mencoba - Bab 16 Subbab 4. memberikan kesadaran kepada Abu yang masih memercayai mantra penjinak ular.

Pada tabel di atas menunjukkan bahwa konflik telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Konflik itu tidak dapat dihindarkan dan sudah menjadi kenyataan hidup yang harus dihadapi oleh manusia. Konflik dapat terjadi ketika berbagai pendapat, benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik, dan perubahan sosial dan budaya masyarakat yang tidak sejalan. Konflik biasanya dapat diselesaikan tanpa kekerasaan, tetapi bisa juga menimbulkan kekerasan. Dalam setiap kelompok sosial sering ada pertentangan antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Pada tabel di atas, konflik berwujud pemikiran, gagasan, pandangan, dan konflik fisik mengenai permasalahan, yaitu: keyakinan, ketidakberpihakan, penindasan, dan ketimpangan sosial. Pada penelitian ini, konflik pemikiran, gagasan, pandangan, dan konflik fisik yang berhubungan dengan konflik sosial akan dibahas semua.

C. Cara Mengatasi Konflik Sosial Berdasarkan hasil penelitian, setiap tokoh memiliki cara masing- masing dalam mengatasi konflik sosial. Ada para tokoh yang dapat mengatasi permasalahannya sendiri. Namun, ada juga sebagian dari para tokoh meminta bantuan dan mendapat dukungan dari pihak lain, seperti kepada teman, tetangga, orang yang disegani di wilayahnya, atau kerumunan warga desa. Para tokoh yang tidak dapat mengatasi permasalahannya sendiri dan tidak 102

meminta bantuan dari pihak lain, maka permasalahan yang dialami tidak akan pernah dapat diselesaikan. Berikut ini adalah bentuk data tentang penyelesaian dari masing-masing tokoh yang ada di dalam novel MPU.

Tabel 2: Cara Para Tokoh Mengatasi Konflik Sosial

No. Tokoh Konflik Sosial Mengatasi Konflik 1. - Abu Kasan - Keyakinan. - Melalui musyawarah Sapari dengan Bab 9 Subbab 2. bersama, dapat ditemukan kerumunan solusi untuk kedua belah warga desa dan pihak. Pada akhirnya, Lastri. permasalahan tersebut dapat terselesaikan dengan jaminan Abu terhadap keselamatan warga desa dengan cara tidak akan membiarkan ular peliharaannya itu terlepas. - Abu menjadikan ular peliharaannya sebagai simbol alam dan lingkungan. Dalam hal ini, Abu dibantu oleh Lastri. 2. Abu Kasan Sapari - Ketidakberpihakan - Abu pasrah terhadap dengan Mesin dan penindasan. penangkapan dan Politik. - Bab 10 Subbab 7. penahanan yang menimpa - Bab 11 Subbab 1 dirinya. dan 4. - Abu dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Dalam hal ini, Abu mendapat dukungan dan bantuan dari polisi, kerumuman mahasiswa, dan pengurus HAM cabang Surakarta serta Ikadin. 3. - Kismo Kengser - Ketimpangan - Seiring dengan keadaan dengan sosial. yang sedang mengalami penguasa - Bab 14 Subbab 1. masa peralihan itu, Kismo (Mesin Politik). Kengser dan rakyat yang memihak kepada hati nurani dan kebenaran melakukan sebuah aksi demonstrasi untuk 103

melakukan perlawanan terhadap ketimpangan sosial yang dilakukan oleh pihak penguasa (Mesin Politik). - Abu Kasan - Keyakinan. - Abu membuang mantra Sapari dengan - Bab 16 Subbab 4. penjinak ular sekaligus Haji - Bab 17 Subbab 2. memutuskan mata rantai Syamsuddin. perbuatan syirik. Abu pun melepaskan ular peliharaannya ke kebun binatang. Dalam hal ini, Abu dibantu oleh Haji Syamsuddin.

Pada dasarnya, konflik dapat terjadi dalam bentuk konflik pemikiran, gagasan, pandangan, dan konflik fisik. Pada penelitian ini, konflik pemikiran, gagasan, pandangan, dan konflik fisik yang berhubungan dengan konflik sosial akan dibahas semua. Pada tabel di atas, para tokoh sebagian besar mampu menyelesaikan permasalahannya dan ada juga yang mengalami permasalahan lain akibat dari perkembangan konflik itu sendiri. Hal tersebut dapat terlihat dari tokoh Abu Kasan Sapari yang menolak tawaran dari Mesin Politik untuk menjadi caleg jadi, kemudian Abu dituduh oleh Mesin Politik sebagai pemimpin gerakan anti-pancasila, subversif, dan makar sehingga Abu harus berurusan dengan polisi sampai ditangkap dan ditahan di kantor polisi. Meski demikian ada juga tokoh yang mampu menyelesaikan permasalahannya dengan baik, seperti pertentangan yang terjadi antara Abu dengan kerumunan warga desa dan Lastri. Ketika banyak yang memprotes kehadiran ular peliharaan Abu, ternyata Abu mempunyai tujuan dengan menjadikan ular peliharaannya itu sebagai simbol alam dan lingkungan. Dalam hal ini, Abu dibantu oleh Lastri. Pada akhirnya, Abu berhasil mengajak camat, lurah, dan masyarakat agar bersikap ramah pada alam dan lingkungan juga terhadap ular.

104

D. Pembahasan: Wujud Konflik Sosial dan Faktor Penyebabnya Wujud konflik sosial ini akan dibagi berdasarkan penyebab konflik sosial di antaranya: perbedaan antar-individu, benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik, dan perubahan sosial dan budaya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa konflik sosial adalah permasalahan yang muncul akibat adanya pertentangan antaranggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan, seperti halnya di dalam novel ini. Konflik dalam novel ini terjadi karena adanya hubungan antara satu pihak dan pihak lain atau antara para tokoh di dalam novel.

1. Konflik Pemikiran: Keyakinan (Perbedaan Antar-Individu)

SKEMA TINDAKAN TOKOH ABU KASAN SAPARI

MOTIF TUJUAN Motif Abu Kasan Sapari Menjadikan ular sebagai memelihara ular karena memiliki simbol alam dan lingkungan. keyakinan terhadap mitos Cinta ular berarti cinta kesyirikan berupa mantra dan lingkungan, begitu pandangan kepercayaan terhadap binatang. Abu.

SUBJEK

Abu Kasan Sapari

PENENTANG OBJEK PENDUKUNG Kerumunan Warga Keyakinan Lastri Desa dan Lastri

Dalam novel ini, perbedaan antar-individu disebabkan oleh perbedaan pendapat. Dalam konflik ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian, dan masing-masing pihak pun berusaha membinasakan lawannya (tidak selalu harus diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam bentuk pemusnahan simbolik alias 105

melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tak disetujuinya).130 Pada dasarnya, perbedaan pendapat dalam kehidupan manusia akan selalu ada dan sering kali terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam novel MPU, konflik ini terjadi antara tokoh Abu Kasan Sapari sebagai tokoh utama dengan Lastri sebagai tokoh pendukung dan kerumunan warga desa. Penyebab konflik ini dipicu oleh permasalahan mengenai keyakinan. Setiap individu di dalam masyarakat pasti memiliki pendapat atau gagasan yang berbeda-beda misalnya mengenai keyakinan terhadap sesuatu hal sehingga sering terjadi selisih pendapat. Konflik di dalam novel ini disebabkan karena permasalahan keyakinan terhadap mitos. Keyakinan berkaitan dengan kepercayaan terhadap sesuatu atau seseorang yang dianut dan dijalankan dalam kehidupan.131 Dalam novel ini, Abu memercayai mantra penjinak ular dengan berbagai pantangan atas ilmunya sehingga ia memiliki kelebihan menjinakkan ular. Sebuah mantra pada dasarnya menghubungkan manusia dengan dunia yang penuh misteri.132 Dapat dikatakan bahwa Abu meyakini bahwa mantra yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik sebagai sesuatu yang benar, dimana agama sering bercampur dengan tradisi budaya turun- temurun, seperti yang telah dibahas pada analisis latar tempat dapat dilihat pada kutipan di bawah ini: “Ya, ini semua dari Al-Qur’an [....] Ada laku yang harus dijalankan, pantangan yang tak boleh dilanggar. Laku-nya adalah kau harus ngebleng tidak makan-minum selama tiga hari. Wewaler-nya mudah, tapi sulit dijalankan. Kau tidak boleh melangkahi ular.”133 [...] Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba muncul dan tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa namanya, dari mana asalnya. Jadi, orang terpilih itu memang sudah dalam jangkauan

130 J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, op. cit., h. 68-69. 131 Sri Rahayu Wilujeng, “Alam Semesta (Lingkungan) dan Kehidupan dalam Perspektif Budhisme Nichiren Daishonin”, Izumi, Vo. 3, 2014, h. 1. 132 Nurhayati, “Mantra Masyarakat Melayu Bangka: Tinjauan Dari Aspek Makro dan Mikro”, http://www.eprints.unsri.ac.id diunduh pada hari Minggu, 15 Januari 2017. 133 Kuntowijoyo, op. cit., h. 20-21. 106

tangan, membuatnya gembira. [...] Ia bertekad untuk melaksanakan semua petunjuk orang tua itu.134 Orang menunjukkan kakinya yang digigit ular. Abu mengucapkan bismillah dan membaca mantra. Di sedotnya luka itu dengan kuat. Diulanginya sampai tiga kali. Pelan-pelan laki- laki itu membuka matanya, warna biru menghilang dari kulitnya. Abu sendiri keheranan, ternyata ia bisa menyembuhkan orang yang digigit ular.135

Dalam novel ini, keterikatan Abu dengan mantra penjinak ular telah membuat dirinya memutuskan untuk menjadikan ular besar yang ditemukan di sawah dekat rumah sewanya sebagai klangenan.136 Motif Abu Kasan Sapari memelihara ular karena memiliki keyakinan terhadap mitos yang bersifat syirik berupa kepercayaan terhadap binatang. Banyak ahli berpendapat bahwa manusia, baik sebagai individual maupun kelompok tidak dapat hidup tanpa mitos atau mitologi karena penting bagi eksistensi hidup manusia, terutama dalam hal yang berkaitan dengan mitologi yang bersifat keyakinan dan keagamaan. Mitos yang sering kita dengar dari masyarakat salah satunya adalah binatang. Binatang merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak terpisahkan dalam setiap aktivitasnya, seperti pemakaian simbol, bahkan saat ini banyak binatang yang dimanfaatkan sebagai peliharaan. Kepercayaan masyarakat mengenai ular sebagian besar hampir sama bahwa ular merupakan jadi-jadian dari makhluk halus yang menyeramkan. Oleh sebab itu, masyarakat cenderung takut pada ular dibandingkan dengan binatang yang lainnya.137 Dalam novel ini, keyakinan Abu terhadap mitos berupa mantra dan kepercayaan terhadap ular telah membuat dirinya harus menghadapi konflik dengan kerumunan warga desa dan Lastri yang merasa ketakutan dengan kehadiran klangenannya itu. Pembahasan bagian ini telah dilakukan pada analisis

134 Ibid., h. 22. 135 Ibid., h. 56. 136 Klangenan berarti sesuatu yang menjadi kesenangan (kegemaran, kesukaan). 137 Erwan Baharudin, “Konstruksi Pengetahuan Tentang Reptil Di Komunitas Deric (Depok Reptile Amphibi Community)”, Forum Ilmiah, Vol. 11, No. 3, 2014, h. 427. 107

bagian alur tahap peningkatan konflik dapat terlihat pada kutipan di bawah ini: Para wanita mengemukakan keberatan. “Bagaimana nanti kalau ular itu jadi besar? Itu berbahaya, kalau lepas, “kata mereka. Rumah-rumah di sekitar pasar itu sangat padat. Kebanyakan kaum laki-laki yang hadir bersikap netral. Rapat RT itu berakhir dengan jaminan Abu bahwa ia tak akan membiarkan ularnya lepas.138

Pada dasarnya, tujuan Abu memelihara ular sebagai simbol alam dan lingkungan. Alam dan lingkungan yang menjadi basis perasaan dan pemikiran Abu. Bagi Abu, ular itu seperti alam dan lingkungan yang harus dijaga dan dilestarikan, bukan dibunuh. Cinta ular berarti cinta lingkungan, begitu pandangan Abu. Lastri yang mengetahui tujuan Abu tersebut tidak lagi mempermasalahkan ular tersebut, seperti yang telah dibahas pada analisis latar tempat. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan di bawah ini: Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan tetapi, Abu nekad. Laki-laki tidak boleh mundur hanya karena rintangan. “Yu, yang penting bukan ularnya, tapi apa yang di balik ular itu,” katanya “Ular hanya lambang.” Abu pernah bercerita soal cita-citanya, keinginannya, dan angan-angannya. Jadi, kata Lastri: “Saya sudah tahu lambang apa.” “Tahu? Apa, coba!” “Lingkungan.”139

Dalam hal ini, Abu yang merasa tersudutkan dan menganggap kejadian itu hanyalah sebuah kesalahpahaman saja memilih untuk tidak berhadapan langsung dan berkontak fisik dengan warga desa. Abu juga lebih memilih menghindari konflik daripada harus melakukan perlawanan secara langsung. Sikap Abu yang tenang dan tidak mudah terbawa emosi dalam menghadapi protes dari kerumunan warga desa memang sikap yang tepat. Pada akhirnya, permasalahan tersebut dapat

138 Kuntowijoyo, op. cit., h. 136. 139 Ibid., h. 136-137. 108

terselesaikan dengan jaminan Abu terhadap keselamatan warga desa dengan cara tidak akan membiarkan ular peliharaannya itu terlepas, seperti yang telah dibahas pada analisis latar tempat dapat terlihat dari kutipan di bawah ini: Kebanyakan kaum laki-laki yang hadir bersikap netral. Rapat RT itu berakhir dengan jaminan Abu bahwa ia tak akan membiarkan ularnya lepas.140 Jika menemui masalah demikian, seharusnya meminta bantuan orang ketiga sebagai mediator untuk mencari jalan keluar. Melalui musyawarah bersama, dapat ditemukan solusi untuk kedua belah pihak.

2. Konflik Gagasan dan Konflik Fisik: Ketidakberpihakan dan Penindasan (Benturan Antar-Kepentingan)

SKEMA TINDAKAN TOKOH ABU KASAN SAPARI

MOTIF TUJUAN 1. Unjuk diri tokoh Abu kepada Menjadikan profesi dalang yang Mesin Politik bahwa profesi dalang ditekuninya itu dapat memberikan di dalam dunia pewayangan penyadaran dan pencerahan serta

mempunyai otoritas tunggal yang pendidikan politik kepada warga dapat membeberkan apapun sesuai desa melalui gerakan moral yang dengan keinginannya. disampaikan lewat media kesenian

2. Moral Abu sebagai dalang yang yaitu wayang kulit. tidak ingin dilibatkan dalam sistem politik kepentingan dan tidak ingin

mengkhianati perjuangannya.

SUBJEK Abu Kasan Sapari

PENENTANG OBJEK PENDUKUNG Mesin Politik Ketidakberpihakan profesi Lastri dan Ki dalang dalam politik praktis Manut Sumarsono

140 Ibid., h. 136. 109

SKEMA TINDAKAN TOKOH MESIN POLITIK

MOTIF TUJUAN Mesin Politik yang sering kali Ingin mempertahankan kekuasaan melakukan penindasan terhadap dan berusaha keras membungkam

Abu hanya semata-mata karena kebebasan Abu dalam alasan politik dan loyalitas pada memperjuangkan pendirian dengan cara menggunakan politik uang partai penguasa. dan jabatan.

SUBJEK Mesin Politik

PENENTANG OBJEK PENDUKUNG Abu Kasan Sapari Penindasan Lastri dan Ki Manut Sumarsono

Kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda pun memudahkan terjadinya konflik. Demi mengejar tujuan kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana.141 Dalam novel ini, konflik terjadi antara Abu dengan Mesin Politik. Konflik ini disebabkan karena adanya perbedaan tujuan kepentingan. Penyebab konflik ini dipicu oleh permasalahan mengenai ketidakberpihakan profesi dalang dalam politik praktis dan penindasan. Konflik sosial yang digambarkan dalam novel ini, tentu tidak lepas dari situasi politik di Indonesia yang sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-pedesaan. Dalam hal ini, permasalahan yang diangkat oleh Kuntowijoyo sesuai dengan realitas sosial-politik pada masa Orde Baru. Pertama, ketidakberpihakan profesi dalang dalam politik praktis. Motif Abu Kasan Sapari yang tidak memberikan dukungan penuh kepada calon yang dipilih Mesin Politik dalam berbagai pemilihan di desa bukan semata-mata karena alasan politik. Motif yang paling penting adalah

141 J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, op. cit., h. 68-69. 110

unjuk diri kepada Mesin Politik bahwa profesi dalang yang ditekuni Abu di dalam dunia pewayangan mempunyai otoritas tunggal yang dapat membeberkan apapun sesuai dengan keinginannya. Otoritas dalang itulah yang secara kreatif dimanfaatkan Kuntowijoyo sebagai wahana membeberkan kecarut-marutan para penguasa Orba yang menyelewengkan prinsip-prinsip, etika keadilan, dan demokrasi.142 Moral Abu sebagai dalang yang tidak ingin dilibatkan dalam sistem politik kepentingan dan tidak ingin mengkhianati perjuangannya tidak serta-merta menuruti perintah Mesin Politik. Sikap politik Abu pun sebenarnya sudah jelas terlihat dengan tidak berpolitik praktis dan memisahkan antara kesenian dari politik, seperti kutipan di bawah ini: “....orang-orang tua terutama yang peduli politik yang menganggapnya sebagai pelawan Mesin Politik.”143 Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” “Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”144

Bahkan, Abu berani melakukan penolakan terhadap berbagai tawaran dari Mesin Politik. Abu juga sangat berpegang teguh pada pendirian bahwa kesenian adalah dunianya sehingga tidak boleh diganggu oleh siapapun termasuk penguasa dan Abu pun tetap mempertahankan bidang kesenian yang ditekuninya itu. Kutipan di atas telah dibahas pada analisis bagian penokohan. Hal tersebut dilakukan Abu bertujuan untuk menjadikan profesi dalang yang ditekuninya itu dapat memberikan penyadaran dan pencerahan serta pendidikan politik kepada warga desa melalui gerakan moral yang disampaikan lewat media kesenian yaitu wayang kulit. Abu tidak ingin warga desa menjadi objek dan korban dari kekuasaan tingkat

142 Tirto Suwondo, op. cit., h. 88. 143 Ibid., h. 150. 144 Ibid., h. 162-163. 111

atas. Namun, tujuan Abu itu mendapatkan tentangan dari Mesin Politik. Mesin Politik digambarkan oleh pengarang memiliki kedudukan sebagai pihak elit penguasa yang berarti para pengambil kebijakan di tingkat pusat atau aparatur negara (pemerintahan) yang memiliki otoritas tertinggi. Dalam novel, hal ini berkaitan dengan bagian penokohan yang diusung Kuntowijoyo ketika kedudukan Mesin Politik disalahgunakan untuk melakukan paksaan dan penyingkiran sehingga timbul korban di kalangan massa (rakyat). Seperti pada kutipan di bawah ini: “Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari. Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo supaya Abu diproses sesuai rencana.145

Kedua, penindasan. Motif Mesin Politik yang sering kali melakukan penindasan terhadap Abu hanya semata-mata karena alasan politik dan loyalitas pada partai penguasa. Para pengikut Partai Randu, sebuah partai yang menjadi mesin politik pemerintah. Pemilihan lurah dan camat penting bagi partai penguasa karena lurah dan camat dalam menentukan kemenangan pilkades dan pemilu ini. Kecamatan dan kelurahan menjadi basis kegiatan mesin politik. Berbagai upaya untuk memenangkan pemilihan lurah dilakukan oleh partai penguasa.146 Mesin Politik menggunakan kesenian wayang sebagai alat politik untuk berkampanye, seperti yang telah dibahas pada analisis tema (lihat h. 45). Untuk memperoleh dukungan massa pihak penguasa pemerintah rezim Orde Baru memandang perlu untuk menggunakan instrumen kesenian sebagai media untuk menarik massa. Salah satu kesenian yang digunakan untuk memperoleh simpati masyarakat adalah seni pedalangan. Dalang sebagai orang pintar (intelektual sekaligus aktor) di daerah dipandang amat potensial untuk menyampaikan pesan dan ajakan kepada masyarakat. Oleh karenanya, para dalang ditunjuk pihak

145 Ibid., h. 174. 146 Kusmarwanti, op. cit., h. 153-154. 112

penguasa sebagai juru kampanye.147 Dalam hal ini, pihak penguasa (Mesin Politik) menghalalkan segala cara agar keinginannya dapat terpenuhi termasuk menuntut Abu agar tidak menghalang-halangi usahanya dalam melakukan politik uang dan pemaksaan. Peristiwa di atas, dapat dilihat dari perkembangan alur dari mulai tahap pemunculan konflik sampai peningkatan konflik (lihat h. 75 dan 78), terjadi ketika Abu yang nekat memberikan dukungan kepada cakades dan ditawarkan jabatan sebagai caleg oleh Mesin Politik. Sifat Mesin Politik yang terkenal angkuh dan maunya menang sendiri, secara perlahan telah menimbulkan terjadinya konflik sosial antara Mesin Politik dengan Abu. Hal ini disebabkan karena aturan yang dipaksakan Mesin Politik setiap saat membayang-bayangi Abu agar memberikan dukungan penuh kepada calon yang dipilih Mesin Politik dalam berbagai pemilihan di desa. Selain itu, perbedaan tujuan kepentingan antara Abu dengan Mesin Politik telah menimbulkan penindasan yang terus saja muncul ke permukaan terutama pada tokoh Abu. Hal ini tidak lain karena adanya pihak-pihak tertentu yang berusaha keras ingin menguasai daerah melalui berbagai pemilihan di desa. Pada masa Orde Baru, kekritisan pendapat rakyat dibendung. Negara melakukan hegemoni terhadap berbagai organisasi di masyarakat dan melarang terbentuknya organisasi independen. Para penguasa adalah orang-orang yang kebal hukum.148 Dalam novel ini, hal yang sama dirasakan oleh Abu sebagai dalang yang mengumpulkan teman-teman satu profesinya untuk mendirikan sebuah organisasi dalang, demi menandingi organisasi dalang lainnya yang berasaskan seni untuk berpolitik yang diprakarsai oleh Mesin Politik. Dalam hal ini, Abu melawan dengan seni untuk seni. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan di bawah ini:

147 Sutiyono, op. cit., h. 1-2. 148 Kusmarwanti, op. cit., h. 149-150. 113

Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” “Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.” “Kalau itu maumu, kami tidak memaksa. Kami hanya ingin berbuat baik. Tapi, ya, sudah. Kami beri waktu untuk berpikir satu kali dua puluh empat jam. Sesudahnya tanggung sendiri akibatnya. Ingat, kami juga bisa main kasar,lho!” Abu Kasan Sapari heran. Besar benar harga dirinya? Mungkin karena Bapilu Mesin Politik sudah memutuskan menggunakan media pedalangan untuk kampanye? Kedudukannya sebagai Ketua Paguyuban Pedalangan jadi penting?149

Namun, hal tersebut mendapat tentangan dari Mesin Politik yang tidak memperbolehkan Abu mendirikan organisasi dalam bentuk apapun. Hal tersebut dilakukan oleh Mesin Politik dengan tujuan ingin mempertahankan kekuasaan dengan cara berusaha keras membungkam kebebasan Abu dalam memperjuangkan pendirian dengan cara menggunakan politik uang dan jabatan. Orang-orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah selalu mendapat sorotan. Oleh karena itu, banyak kasus penangkapan terhadap para aktivis politik untuk membungkam suara mereka. Pada masa Orde Baru tidak ada ruang berpendapat sebagai bentuk kontrol pada pemerintah, bahkan pemerintah tidak segan-segan melakukan tindakan represif, seperti penangkapan150 Dalam novel ini, Abu selalu mengalami penindasan dan menjadi korban kekuasaan. Gambaran tentang serentetan paksaan dan tuduhan selalu membayangi kesehariannya. Penangkapan terhadap Abu selalu menjadi tontonan sehari-hari bagi kerumunan warga desa yang mengalami kebingungan akibat terkena imbas krisis politik nasional. Banyak terjadi pertentangan dalam masyarakat yang lebih mengarah pada kepentingan politik saja. Dalam hal ini, Abu dan Mesin Politik paling banyak mendapat sorotan oleh pengarang. Hal ini dapat terlihat dari pemunculan konflik di

149 Kuntowijoyo, op. cit., h. 162-163. 150 Kusmarwanti, op. cit., h. 149-150. 114

antara keduanya sangat terlihat dengan jelas. Keduanya, sama-sama ingin memanfaatkan seni pewayangan, tetapi tujuan yang mereka tempuh saling bertentangan. Unsur-unsur penindasan pun selalu diperlihatkan Mesin Politik kepada Abu. Pada akhirnya, permasalahan tersebut berakhir setelah Abu ditangkap dan kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Seperti pada kutipan di bawah ini: Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian, tidak ada laporan tertulis. [....] Kepala Polisi merundingkan soal Abu Kasan Sapari dengan kepala bagian penyelidikan, “Sudah kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral.” Mereka bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.151

Dalam novel ini, Abu lebih banyak menghindari konflik fisik daripada harus melakukan perlawanan secara langsung. Ia lebih memilih untuk melakukan perlawanan tanpa kekerasan, tanpa demonstrasi turun ke jalan, dan tanpa tindakan provokatif yaitu melalui kesenian wayang.

3. Konflik Pandangan dan Konflik Fisik: Ketimpangan Sosial dan Keyakinan (Perubahan Sosial dan Budaya)

SKEMA TINDAKAN TOKOH KISMO KENGSER

MOTIF TUJUAN Motif Kismo Kengser mengkritik Memperoleh pengakuan status penguasa (Mesin Politik) melalui sosial yaitu bebas dari tekanan- pidatonya, karena sudah tekanan rezim Orde Baru dengan banyaknya permasalahan berupa hidup dalam kedamaian serta monopoli ekonomi, keserakahan terlepas dari belenggu kesulitan dan ketidakadilan. ekonomi dan politik.

SUBJEK Kismo Kengser

PENENTANG OBJEK PENDUKUNG Penguasa (Mesin Ketimpangan Sosial Abu Kasan Sapari dan Politik) Kerumunan Warga Desa atau Rakyat

151 Ibid, h. 175. 115

SKEMA TINDAKAN TOKOH HAJI SYAMSUDDIN

MOTIF TUJUAN Haji Syamsuddin tidak Memberikan kesadaran kepada memercayai mitos yang Abu Kasan Sapari mengenai

mengarah kepada hal-hal syirik mitos kesyirikan yang seperti mantra dan kepercayaan bertentangan dengan keyakinan agama Islam. terhadap binatang.

SUBJEK Haji Syamsuddin

PENENTANG OBJEK PENDUKUNG Abu Kasan Sapari Keyakinan Haji Syamsuddin

Perubahan sosial adalah perubahan struktur dan fungsi sosialnya. Oleh karena itu, perubahan berkaitan erat dengan perubahan kebudayaan dan seringkali perubahan sosial berkaitan dengan perubahan budaya. Perubahan sosial dan budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.152 Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya menimbulkan kerawanan konflik. Konflik dipicu oleh keadaan perubahan yang terlalu mendadak biasanya diwarnai oleh gejala di mana tatanan perilaku lama sudah tidak digunakan lagi sebagai pedoman, sedangkan tatanan perilaku yang baru masih simpang siur sehingga banyak orang kehilangan arah dan pedoman perilaku.153 Dalam novel ini, konflik terjadi antara Kismo Kengser dengan penguasa (Mesin Politik) dan Abu Kasan Sapari dengan Haji Syamsuddin. Penyebab konflik ini dipicu oleh permasalahan mengenai ketimpangan sosial dan keyakinan.

152 Baharuddin, “Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan”, Jurnal Al-Hikmah, 2015, h. 181. 153 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, op. cit., h. 361-362. 116

Pertama, ketimpangan sosial. Konflik terjadi antara Kismo Kengser dengan penguasa (Mesin Politik). Motif Kismo Kengser yang mengkritik penguasa (Mesin Politik) melalui pidatonya, karena sudah banyaknya permasalahan berupa monopoli ekonomi, keserakahan dan ketidakadilan. Nama Kismo Kengser berarti tanah tergusur. Nama ini mengisyaratkan adanya penggusuran, baik dalam arti penggusuran fisik (misalnya penggusuran tanah) maupun dalam penggusuran batin (misalnya harga diri, hak hidup, dan sebagainya). Ia pun duduk di atas kain putih yang lebar, kemudian berpidato. Dalam pidatonya Kismo Kengser banyak mengritik pemerintah, mulai dari penggusuran tanah, monopoli ekonomi, korupsi, sampai Pancasila.154 Pembahasan bagian ini telah dilakukan pada analisis tema, seperti pada kutipan di bawah ini: Ayam itu mati kena virus, namanya monopoli. Di bawah kekuasaan Soeharto, ekonomi kita memang dikuasai konglomerat. Kita dijajah lagi, tidak oleh bangsa lain, tapi oleh bangsa sendiri. [....] Ia mulai lagi dengan pidatonya: “Kismo Kengser meramal bahwa pemerintah sekarang akan segera ambruk, sebab ketakadilan sudah ada di mana-mana. Persengkokolan penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk memeras rakyat. Hutan kita dibabat habis, bukit dikapling, digusur semena-mena.”155

Ekonomi merupakan sumber utama yang diperlukan rakyat atau warga desa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, pihak penguasa (Mesin Politik) selalu membatasi segala akses masuk dalam perekonomian dan perpolitikan sehingga pihak tertindas (rakyat atau warga desa) harus menghadapi keadaan tertekan serta serba kekurangan. Tindakan penguasa ini lambat laun disadari rakyat atau warga desa karena telah membuat keresahan dan kesengsaraan bagi kehidupan mereka. Kehidupan ekonomi rakyat atau warga desa yang berada di bawah kendali dan tekanan pemerintah Orde Baru semakin mengalami keterpurukan. Kekecewaan pun dialami rakyat atau warga desa terhadap tindakan penguasa yang hanya mengumbar-umbar janji dalam pembangunan daerah

154 Kusmarwanti, op. cit., h. 154. 155 Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 212-213. 117

dan tidak memberikan kesempatan untuk mengelola dan mengolah sumber ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa adanya penguasaan dan pengendalian atas sumber ekonomi rakyat atau warga desa oleh pemerintah pada saat itu. Sebenarnya daerah yang digambarkan dalam novel tersebut memiliki kekayaan alam dan subur tetapi tingkat kemiskinan masih cukup tinggi. Tingkat pendidikan rendah dan kemiskinan yang mendera rakyat atau warga desa setempat sangat menyulitkan dalam menghadapi persaingan yang semakin sengit dalam menjalani hidup keseharian karena tidak memiliki akses ke sumber-sumber daya sosial, ekonomi, politik yang dapat menopang kehidupan yang layak.156 Kendati demikian, seperti diyakini oleh Kuntowijoyo di dalam diri tokoh Abu masih ada keyakinan bahwa bagaimanapun kebenaran akan tetap menang. Hal itu berarti bahwa kebenaran dan keadilan akan selalu unggul dan abadi. Oleh karena itu, Abu tetap yakin bahwa “kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat” pasti akan segera lenyap. Melalui tokoh sentral Abu Kasan Sapari perjuangan dan harapan Kuntowijoyo dalam novel tampaknya memperoleh tanda- tanda akan menuai titik terang. Sebab, bukan suatu kebetulan, tidak lama setelah Abu ditangkap dan kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah, gerakan reformasi di Indonesia (1997/1998) mulai mengerucut ke permukaan.157 Seiring dengan keadaan yang sedang mengalami masa peralihan itu, rakyat dan wong cilik yang memihak kepada hati nurani dan kebenaran melakukan sebuah aksi demonstrasi untuk melakukan perlawanan terhadap ketimpangan sosial yang dilakukan oleh pihak penguasa. Dalam novel MPU ini, Kuntowijoyo juga menampilkan peristiwa menjelang tumbangnya kejayaan sebuah orde yang kemaruk:

156 Martiyan Ramdani, “Determinan Kemiskinan Di Indonesia Tahun 1982-2012”, Jurnal Economics Development Analysis Journal, 2015, h. 98. 157 Tirto Suwondo, op. cit., h. 86. 118

Orde Baru. Sampai akhirnya tanda-tanda zaman itu muncul, isyarat bahwa pemerintah yang tengah berkuasa akan segera ambruk.158 Dalam novel ini, Kismo Kengser, Abu, dan warga desa mempunyai tujuan kepentingan untuk memperoleh pengakuan status sosial yaitu bebas dari tekanan-tekanan rezim Orde Baru dengan hidup dalam kedamaian serta terlepas dari belenggu kesulitan ekonomi dan politik. Dengan hadirnya Kismo Kengser yang mengkritik pemerintah/penguasa/Mesin Politik telah menimbulkan konflik sosial di antara keduanya. Meskipun, konflik antar keduanya tidak berhadapan secara langsung tetapi berpengaruh pada perilaku warga desa maupun rakyat. Kedua, keyakinan. Konflik terjadi antara Haji Syamsuddin dengan Abu Kasan Sapari. Motif Haji Syamsuddin yang tidak memercayai mitos seperti mantra dan kepercayaan terhadap binatang karena mengarah kepada hal-hal syirik. Hal tersebut mengingat manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas dalam kehidupan, religi atau keyakinan, contohnya meyakini tentang adanya roh halus (roh leluhur) yang dapat dipercaya, namun sekarang manusia lebih berpikir logis dengan akal.159 Dalam hal ini, Haji Syamsudin memiliki tujuan untuk mencoba memberikan kesadaran dalam diri Abu atas kebimbangan terhadap mantra penjinak ular yang hanya bisa dibuang kalau Abu sudah menemukan pengganti yang tepat untuk dapat mewarisi ilmunya. Abu yang semula diceritakan terikat dengan mantra dan berada dalam lingkungan masyarakat Islam kejawen masih memercayai mantra yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik. Kini, Abu tidak lagi mengalami keterikatan dengan mantra dan mulai sadar terhadap realitas kehidupan yang harus dijalaninya. Melalui dialog antara Abu dengan Haji Syamsuddin telah membuat Abu tersadar bahwa mantra yang telah terikat padanya telah membuat susah hidupnya dan orang lain sehingga masalah

158 Kuntowijoyo, op.cit., sampul halaman belakang. 159 Baharuddin, op. cit., h. 181. 119

tersebut dapat terselesaikan. Abu pun memutuskan untuk meninggalkan ular itu, seperti yang telah dibahas pada alur bagian tahap penyelesaian. Pada waktu itu terdengar azan subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia bermaksud memutuskan mata rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun.160

Konflik sosial yang digambarkan dalam novel tersebut, tentu tidak terlepas dari situasi sosial dan politik yang digambarkan dalam ceritanya. Banyak permasalahan terjadi disebabkan karena adanya pertentangan- pertentangan mengenai kepentingan sosial dan politik. Dalam hal ini, Mesin Politik dan Abu menjadi tokoh yang paling banyak mendapatkan sorotan oleh pengarang. Selain itu, terdapat pula tokoh Kismo Kengser dan Haji Syamsuddin. Sebab di antara tokoh-tokoh tersebut banyak memunculkan konflik yang sangat jelas. Tokoh-tokoh tersebut memiliki keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang serba kecukupan dan layak serta rasa aman untuk ditempati, tetapi jalan yang Abu dan rakyat atau warga desa tempuh jauh dari harapan dan sangat bertentangan. Unsur-unsur konflik yang tak berwujud pada kekerasan telah menyadarkan dan mengubah sikap rakyat atau warga desa menjadi pemberani dan tegas terhadap tindakan penguasa yang tidak sesuai dengan amanah rakyat atau warga desa serta dapat berpikir secara logis meninggalkan hal-hal yang berbau mitos, mistik, dan klenik. Berdasarkan hasil analisis di atas, gambaran konflik sosial yang terdapat dalam novel sesuai dengan sejarah. Ada beberapa faktor terjadinya konflik, seperti perbedaan antar-individu, perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana, benturan antar kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik dan perubahan sosial budaya. Selain itu, ada faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya konflik, yaitu

160 Kuntowijoyo, op. cit., h. 270. 120

keyakinan, ketidakberpihakan, penindasan, ketimpangan sosial. Pada novel ini, bentuk konflik tidak berwujud kekerasan dan tidak memakan korban yakni unjuk-rasa (demonstrasi), dialog (musyawarah), dan protes dilakukan pihak tertindas karena telah diperlakukan dengan sewenang- wenang oleh pihak penguasa. Sementara itu, konflik tidak selalu bersifat negatif seperti diduga banyak orang. Apabila ditelaah secara saksama, konflik mempunyai fungsi positif, yakni sebagai pengintegrasi (pembauran hingga menjadi kesatuan) masyarakat dan sebagai sumber perubahan.161 Konflik yang mempunyai fungsi positif juga terjadi di dalam novel dilihat dari pengaruh konflik sosial terhadap sikap masyarakat desa yang semula tunduk menjadi berbalik melakukan perlawanan terhadap penindasan, menuntut keadilan atas hak-hak rakyat atau warga desa melalui demo untuk menyampaikan aspirasinya dan perlawanan terhadap mitos, mistik, dan klenik yang sudah seharusnya beralih kepada kehidupan modern sesuai dengan zamannya. Dengan demikian, konflik ini dapat termasuk dalam fungsi positif karena telah menimbulkan perubahan sikap masyarakat.

E. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Analisis konflik sosial dalam novel MPU karya Kuntowijoyo, dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran sastra di sekolah yaitu melalui materi unsur intrinsik dan ekstrinsik novel. Pembelajaran sastra bertujuan untuk mengembangkan kompetensi peserta didik dalam memahami setiap unsur dalam karya sastra caranya melalui apresiasi karya sastra. Peserta didik dapat mempelajari dan mendapatkan pelajaran serta mengetahui apa saja pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Peserta didik diharapkan dapat membaca dan menganalisis sehingga dapat mengembangkan kemampuan serta keterampilan peserta didik dalam berpikir. Kemampuan yang dimiliki peserta didik dapat diasah melalui berbagai aspek, seperti segi kognitif, afektif maupun psikomotorik dan didukung dengan rasa percaya diri. Guru

161 Ramlan Surbakti, op. cit., h. 150. 121

bahasa Indonesia juga dapat memposisikan dirinya untuk berbagi ilmu melalui pengalaman dan pendekatan yang menyenangkan serta menggali potensi yang dimiliki peserta didik. Penelitian ini difokuskan pada satuan pendidikan yakni sekolah menengah atas. Penelitian ini difokuskan dengan aspek membaca. Standar kompetensi yang dimuat di dalamnya adalah memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan. Kompetensi dasar yang dipilih dalam pembahasan mengenai novel MPU karya Kuntowijoyo yaitu menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. Indikator pencapaian kompetensi: pertama, peserta didik mampu menemukan unsur- unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut pandang) dalam novel MPU karya Kuntowijoyo. Kedua, peserta didik mampu menemukan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel MPU karya Kuntowijoyo. Ketiga, peserta didik mampu menemukan konflik sosial dalam novel MPU karya Kuntowijoyo. Keempat, peserta didik mampu mengaitkan nilai-nilai yang ditemukan dalam novel MPU karya Kuntowijoyo dengan kehidupan sehari-hari. Kelima, peserta didik mampu menceritakan kembali isi novel MPU karya Kuntowijoyo menggunakan bahasa sendiri. Pada standar kompetensi tersebut, peserta didik diajak untuk memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan. Peserta didik diajak untuk membaca dan memahami novel khususnya dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Setelah memahami unsur-unsur tersebut, maka peserta didik melakukan analisis agar mampu menjawab tujuan pembelajaran sastra. Salah satu novel yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah novel MPU karya Kuntowijoyo dengan fokus kajian mengenai konflik sosial dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Novel ini juga dapat dijadikan sebagai buku sumber untuk pembelajaran novel di SMA kelas XI. Sebelum memulai materi baru, peserta didik diingatkan kembali mengenai materi sebelumnya dan tugas yang dilaksanakan oleh peserta didik. Dalam hal ini, satu minggu sebelumnya guru menugaskan peserta didik untuk membaca 122

novel MPU. Ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung, peserta didik menyimak penjelasan dari guru terkait pengertian novel, unsur intrinsik, unsur ekstrinsik, dan konflik sosial dalam novel. Setelah peserta didik selesai menyimak, peserta didik ditugaskan oleh guru untuk membentuk kelompok untuk berdiskusi. Kemudian, secara berkelompok peserta didik diminta untuk menemukan dan menganalisis unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, dan latar, dan sudut pandang) dan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll), menemukan konflik sosial dalam novel MPU karya Kuntowijoyo, dan mengaitkan nilai-nilai yang ditemukan dalam novel MPU karya Kuntowijoyo dengan kehidupan sehari-hari. Tiap kelompok mengerjakan tugas di Lembar Kerja Siswa yang telah disiapkan oleh guru. Setelah tugas selesai, masing- masing kelompok mempresentasikan hasil diskusinya secara bergantian. Kelompok lain yang menyimak presentasi diwajibkan untuk memberikan tanggapan atas presentasi tersebut. Untuk menguji pemahaman peserta didik mengenai materi novel, maka guru memberikan soal-soal yang harus dijawab oleh peserta didik. Novel MPU karya Kuntowijoyo juga dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Guru diharapkan dapat mengajarkan kepada peserta didik mengenai pemahaman konsep konflik sosial yang berfungsi negatif dan positif agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam mengimplikasikannya. Dengan memahami konflik sosial dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini, peserta didik diharapkan dapat memahami konsep konflik dengan baik dan dapat mengatasi konflik sehingga peserta didik mampu memperkuat basis nilai dalam kehidupan mereka sehari-hari. Melalui tokoh utama yang bernama Abu Kasan Sapari dalam novel MPU ini diharapkan peserta didik dapat mengaplikasikan sikap tanggung jawab terhadap perbuatan yang termasuk ke dalam sikap moral yang wajib dilakukan dengan menolak dijadikan caleg karena ada maksud lain yang tersembunyi dan sebagai umat beragama Islam dilarang berlaku syirik.

BAB V PENUTUP

A. Simpulan Setelah melakukan analisis terhadap novel MPU maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Analisis unsur intrinsik dalam novel MPU memperlihatkan tema, tokoh dan penokohan, alur, latar dan sudut pandang. Tema mayor yaitu kehidupan masyarakat desa yang berpegang pada mistik beralih kepada kehidupan kota yang berpegang pada ilmu sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sosial dan budaya. Tema minor atau tema tambahan di antaranya: permasalahan politisasi kesenian, monopoli ekonomi, keserakahan dan ketidakadilan dalam praktik politik. Tokoh dan penokohan dibagi menjadi dua, yaitu tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis yaitu Abu Kasan Sapari (tokoh utama), Sulastri atau Lastri, orang tua Abu, kakek nenek Abu, wartawan, Haji Syamsuddin, camat, Ki Lebdocarito, Ki Manut Sumarsono, polisi, Laki-laki Tua atau Kismo Kengser, laki-laki tua misterius dan tokoh antagonis yaitu Mesin Politik dan polisi (tokoh pendukung). Alur disusun secara kronologi berupa alur campuran. Latar dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial. Pertama, latar tempat dibagi menjadi empat, yaitu desa Palar, desa Kemuning, Karangmojo, dan desa Tegalpandan. Kedua, latar waktu penceritaan disusun secara episodik berdasarkan tahapan-tahapan kehidupan Abu, yaitu kilas balik pertemuan ibu- bapak Abu – kelahiran Abu – sekolah - lulus sekolah – kerja - Abu menikah dan harus memilih istri/ilmunya. Ketiga, latar waktu historis yaitu pada tahun 1997 masa pemilihan umum nasional, sebelum Reformasi, saat situasi politik di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-pedesaan. Pada novel MPU, pengarang menggunakan sudut pandang persona ketiga: “dia” mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu). Dalam penelitian ini wujud konflik sosial yang terjadi disebabkan beberapa permasalahan, antara lain: keyakinan, ketidakberpihakan,

123

124

ketimpangan sosial. Pertentangan berwujud konflik pemikiran, gagasan, pandangan, dan konflik fisik. Wujud konflik sosial ini akan dibagi berdasarkan penyebab konflik sosial di antaranya: perbedaan antar-individu, benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik, dan perubahan sosial dan budaya. Konflik sosial yang digambarkan dalam novel tersebut, tentu tidak terlepas dari situasi sosial dan politik yang digambarkan dalam ceritanya. Banyak permasalahan terjadi disebabkan karena adanya pertentangan-pertentangan mengenai kepentingan sosial dan politik. Dalam hal ini, Mesin Politik dan Abu menjadi tokoh yang paling banyak mendapatkan sorotan oleh pengarang. Selain itu, terdapat pula tokoh Kismo Kengser dan Haji Syamsuddin. Unsur-unsur konflik yang tak berwujud pada kekerasan telah menyadarkan dan mengubah sikap rakyat atau warga desa menjadi pemberani dan tegas terhadap tindakan penguasa yang tidak sesuai dengan amanah rakyat atau warga desa serta dapat berpikir secara logis meninggalkan hal-hal yang berbau mitos mistik, dan klenik. Pada novel ini, bentuk konflik tidak berwujud kekerasan dan tidak memakan korban yakni unjuk-rasa (demonstrasi), dialog (musyawarah), dan protes dilakukan pihak tertindas karena telah diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh pihak penguasa. Konflik di dalam novel ini mempunyai fungsi positif dapat dilihat dari pengaruh konflik sosial terhadap sikap masyarakat desa yang semula tunduk menjadi berbalik melakukan perlawanan terhadap penindasan, menuntut keadilan atas hak-hak rakyat atau warga desa melalui demo untuk menyampaikan aspirasinya dan perlawanan terhadap mitos, mistik, dan klenik yang sudah seharusnya beralih kepada kehidupan modern sesuai dengan zamannya. Dengan demikian, konflik ini dapat termasuk dalam fungsi positif karena telah menimbulkan perubahan sikap masyarakat. Implikasi pembelajaran sastra di sekolah melalui novel MPU karya Kuntowijoyo berkaitan dengan standar kompetensi yang dimuat di dalamnya adalah memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan. Kompetensi dasar yang dipilih dalam pembahasan mengenai novel MPU 125

karya Kuntowijoyo yaitu untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. Indikator pencapaian kompetensi: pertama, peserta didik mampu menemukan unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut pandang) dalam novel MPU karya Kuntowijoyo. Kedua, peserta didik mampu menemukan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel MPU karya Kuntowijoyo. Ketiga, peserta didik mampu menemukan konflik sosial dalam novel MPU karya Kuntowijoyo. Keempat, peserta didik mampu mengaitkan nilai-nilai yang ditemukan dalam novel MPU karya Kuntowijoyo dengan kehidupan sehari-hari. Kelima, peserta didik mampu menceritakan kembali isi novel MPU karya Kuntowijoyo menggunakan bahasa sendiri. Novel MPU karya Kuntowijoyo juga dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Guru diharapkan dapat mengajarkan kepada peserta didik mengenai pemahaman konsep konflik sosial yang berfungsi negatif dan positif agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam mengimplikasikannya. Dengan memahami konflik sosial dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini, peserta didik diharapkan dapat memahami konsep konflik dengan baik dan dapat mengatasi konflik sehingga peserta didik mampu memperkuat basis nilai dalam kehidupan mereka sehari-hari. Melalui tokoh utama yang bernama Abu Kasan Sapari dalam novel MPU ini diharapkan peserta didik dapat mengaplikasikan sikap tanggung jawab terhadap perbuatan yang termasuk ke dalam sikap moral yang wajib dilakukan dengan menolak dijadikan caleg karena ada maksud lain yang tersembunyi dan sebagai umat beragama Islam dilarang berlaku syirik.

B. Saran Berdasarkan hasil penelitian serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra, maka penulis menyarankan: 1. Novel MPU dapat digunakan sebagai bahan untuk pembelajaran sastra di sekolah oleh guru dapat mengajarkan kepada peserta didik mengenai 126

pemahaman konsep konflik sosial yang berfungsi negatif dan positif agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam mengimplikasikannya sehingga terhindar dari berbagai konflik. 2. Melalui tokoh utama yang bernama Abu Kasan Sapari dalam novel MPU ini diharapkan peserta didik dapat mengaplikasikan sikap tanggung jawab terhadap perbuatan yang termasuk ke dalam sikap moral yang wajib dilakukan dengan menolak dijadikan caleg karena ada maksud lain yang tersembunyi dan sebagai umat beragama Islam dilarang berlaku syirik.

DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid, M. Harun. “Manajemen Bencana Sosial dan Akar Konflik”. Jurnal Madani, 2005. Ambiya, Halim. “Kepada Eyang Kunto”. Harian Sinar Harapan. Jakarta, 5 Maret 2005. Asy’ari, Suaidi. Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Jakarta: Indonesian- Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 2003. Atmazaki. Ilmu Sastra: (Teori dan Terapan). Padang: Angkasa Raya, 1990. Baharuddin, “Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan”. http://www.jurnaliainpontianak.or.id/index.php/alhikmah/article/download/ 323/273 diunduh pada hari Senin, 23 Januari 2017. Baharuddin, Erwan. “Konstruksi Pengetahuan Tentang Reptil Di Komunitas Deric (Depok Reptile Amphibi Community)”. Forum Ilmiah. 11, 2014. Budianta, Melani. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesia Tera, 2003. Efendi, Anwar. “Kemandirian Tokoh Wanita dalam Novel-Novel Karya Kuntowijoyo”. Jurnal Pendidikan Karakter. 3, 2013. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: CAPS, 2011. Esten, Mursal. Kritik Sastra Indonesia. Padang: Angkasa Raya, 1984. Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Fikri, M. Sirajudin. “Konsep Demokrasi Islam Dalam Pandangan Kuntowijoyo (Studi Pada Sejarah Peradaban Islam)”. Wardah, 2015. Fortuna, Dewi, dkk. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi- Politik, dan Kebijakan di Asia-Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Giyato, Skripsi berjudul “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Penjinak Ular, dan Waspirin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010.

127

128

Harahap, Muharrina. Skripsi berjudul “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo”. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009. Harskamp, Anton Van. Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial. Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI). Jabrohim. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2010. Juniarsih, Nuning. “Perubahan Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Lokal Suku Sasak Di Kawasan Wisata Senggigi Pulau Lombok”. Agroteksos. 17, 2007. Khomsin, M. “Meruntuhkan Mitologi Ala Kuntowijoyo”. Harian Suara Merdeka. Semarang, 2 April 2006. Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997. ------. Mantra Penjinak Ular. Jakarta: Buku Kompas, 2000. ------. “Mencari Budaya Politik Alternatif”. Harian Kompas. Jakarta, 5 Desember 1995. ------. Mantra Penjinak Ular, http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Rural&Village/MantraPenjinakUla r-KTW diunduh Kamis, 10-3-2016. ------. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991. ------. “Politisasi, Komersialisasi, dan Otonomi Budaya”. Harian Kompas. Jakarta, 29 Oktober 1999. Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012. Kusmarwanti. “Tokoh Orang Tua dan Refleksi Politik Orde Baru dalam Novel- Novel Karya Kuntowijoyo”. Litera. 14, 2015. Marzuki, Arief Fauzi. “Membangun Semesta Budaya Profetik”. Harian Kompas. Jakarta, 21 September 2003. Mudzhar, M. Atho. “Pluralisme, Pandangan Ideologis, dan Konflik Sosial Bernuansa Agama” dalam Moh. Soleh Isre (Editor). Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer. Jakarta: Departemen Agama RI, 2003.

129

Muslimin. “Perlunya Inovasi dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya. 1, 2011. Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press, 2005. Nurhadi dan Dian Swandayani. “Kajian Filsafat Suryomentaram dalam Novel Pasar Karya Kuntowijoyo”. Fenolingua, 2006. Nurhayati. Mantra Masyarakat Melayu Bangka: Tinjauan Dari Aspek Makro Dan Mikro. http://www.eprints.unsri.ac.id diunduh pada hari Minggu, 15 Januari 2017. Nurrachim, Lintang Arzia. Nilai Sosial. http://www.repo.isi- dps.ac.id/1168/1/Nilai_Sosial diunduh pada hari Minggu, 15 Januari 2017. Parini, Sri. “Aspek Religiusitas Novel Mantra Pejinak Ular Karya Kuntowijoyo: Kajian Semiotik dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMP”. Jurnal Penelitian Humaniora. 15, 2014. Philipus, Ng dan Nurul Aini. Sosiologi dan Politik. Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Pujiharto. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta: Ombak, 2012. Purba, Antilan. Esai Sastra Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008. ------. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012. Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1988. Rahayu, Friska. “Analisis Nilai-Nilai Moral dalam Cerita Rakyat Hangtuah Kstaria Melayu Diceritakan Kembali Oleh Nunik Utami”. Artikel E- Journal, 2013. Ramdani, Martiyan. “Determinan Kemiskinan Di Indonesia Tahun 1982-2012”. Economics Development Analysis Journal. 4 (1), 2015. Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. ------. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Riduwan. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta, 2010.

130

Riyanto, Waryani Fajar. “Seni, Ilmu, dan Agama Memotret Tiga Dunia Kuntowijoyo (1943-2005) Dengan Kacamata Integral(Isme)”. Politik Profetik. Vol. 2, 2013. Roqib, Mohammad. Harmoni dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press & Pustaka Pelajar, 2007. Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008. Siswantoro. Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Sofia, Adib. Kritik Sastra Feminis: Perempuan dalam Karya-karya Kuntowijoyo. Yogyakarta: Citra Pustaka, 2009. Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Sudiadi, Dadang. “Menuju Kehidupan Harmonis dalam Masyarakat yang Majemuk: Suatu Pandangan Tentang Pentingnya Pendekatan Multikultural dalam Pendidikan di Indonesia”. Jurnal Kriminologi Indonesia. 5, 2009. Sugihastuti. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Sujamto. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize, 1992. Suparlan, Parsudi. “Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya”. Antropologi Indonesia. 2, 2006. Surbakti, Ramlan. Memahami Politik. Jakarta: Gramedia, 1992. Susan, Novri. Sosiologi Konflik & Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2009. Sutiyono. “Hegemoni Kekuasaan Terhadap Seni Pedalangan”. Imaji. Suwondo, Tirto. “Mantra Penjinak Ular”: Rekonstruksi Sejarah Sosial-Politik Orde Baru”. Pangsura, 2005. Syamsuddin, Amir. “Pengembangan Nilai-Nilai Agama dan Moral pada Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak, 2012.

131

Thomas, dkk. “Konflik Sosial Antara Perusahaan Perkebunan Sawit PT. Borneo Ketapang Permai Dengan Masyarakat Desa Semayang Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau”. Jurnal Tesis PMIS-UNTAN-PSS, 2015. Wahyudi, Andri. Konflik, Konsep Teori, dan Permasalahan. http://www.jurnal unita.org./index.php/publiciana/article/view/45/41 diunduh pada hari Minggu, 15 Januari 2017. Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Wilujeng, Sri Rahayu. “Alam Semesta (Lingkungan) dan Kehidupan dalam Perspektif Budhisme Nichiren Daishonin”. Izumi. 3, 2014. Yusuf, Choirul Fuad. Konflik Bernuansa Agama: Peta Konflik Berbagai Daerah di Indonesia 1997-2005. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013.

LAMPIRAN 1

Sinopsis Novel Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo

Cerita ini mengisahkan tentang seorang laki-laki sekaligus tokoh utama yang bernama Abu Kasan Sapari. Ia lahir dari masyarakat agraris yang seluruh sikap dan tindak tanduknya masih kental dengan berbagai mitos dalam tradisi Jawa-Islam seperti dibawa ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, sepasaran dengan mengundang macapatan dengan gamelan sederhana, dan kenduri. Ia tinggal di kaki Gunung Lawu. Sejak SD-SMA ia telah diperkenalkan kesenian Jawa salah satunya menjadi “dalang”. Di sana, ia dikenal sebagai pegawai kecamatan dan dalang. Kegiatan Abu Kasan Sapari dan masyarakat Jawa pedesaan di pusat kaki gunung tersebut, yakni saat membangun desa dengan cara membuat saluran air, membangun MCK, mengajak masyarakat memelihara kebersihan lingkungan, membuat pagar rumah, termasuk pada akhirnya menyadarkan masyarakat akan hak-hak politik sebagai warga negara. Saat ia tinggal di desa Kemuning, untuk pertama kalinya ia bertemu dengan lelaki tua dan diperkenalkan mantra pejinak ular. Abu Kasan Sapari terlibat dalam gerakan penataran P-4, perpustakaan masuk desa, kursus baca tulis, dan gerakan perekonomian desa (penyuluhan cara beternak, bertani, membuat emping melinjo, dan sebagainya. Ia bekerjasama dengan mahasiswa UNS yang sedang melakukan KKN. Di Tegalpandan, untuk pertama kalinya Abu Kasan Sapari bertemu dengan seorang perempuan yang bernama Lastri. Ia adalah seorang janda yang berprofesi sebagai penjahit pakaian sekaligus penyanyi dan perias pengantin. Kedekatan Abu Kasan Sapari dengan Lastri berlanjut sampai mereka dikenal sebagai rumah seniman karena keduanya sama-sama berprofesi di bidang kesenian. Rupanya benih-benih cinta tumbuh dihati Lastri kepada Abu Kasan Sapari. Ia telah menunjukkan perhatiannya, selalu ada ketika Abu membutuhkannya, dan banyak menolong kesulitan Abu Kasan Sapari dalam menghadapi berbagai permasalahan dengan masyarakat di sekitarnya. Permasalahan yang dihadapinya baik dalam hal protes masyarakat kepada Abu Kasan Sapari karena memelihara ular maupun dalam hal pertentangannya dengan mesin politik yang tidak menyukainya. Keterlibatan Abu yang suka mendalang untuk calon kepala desa yang bermusuhan dengan mesin politik sudah diketahui oleh pegawai Kecamatan dan camat Tegalpandan serta para warga. Abu dianggap sebagai pelawan mesin politik. Hal ini membuat camat Kemuning dipindahkan dan ia merasa bersalah terhadap perbuatannya itu. Ketidaksepahaman pun terjadi antara Abu dengan seorang fungsionaris mesin politik Tegalpandan karena ia dihasut agar tidak mendalang untuk cakades. Padahal, Abu mempergunakan dirinya sebagai dalang tidak untuk kepentingan kampanye suatu parpol tetapi boleh menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menjadi pendukung parpol. Akhirnya, Abu memutuskan untuk membuat paguyuban dalang yang hanya disepakati oleh 3 orang saja yang datang karena warga lainnya takut akan mendapat ancaman dari mesin politik. Mereka bersepakat menamai paguyuban dengan “Paguyuban Pedalangan Indonesia” dan Abu ditunjuk sebagai ketua paguyuban. Melihat hal tersebut membuat mesin politik menjadi geram dan langsung menyuruh Polres Karangmojo datang ke kecamatan untuk menahan Abu. Ternyata, penahanan itu disebabkan oleh sebuah kekuatan politik yang ingin merekrutnya untuk keperluan kampanye tetapi ia menolaknya. Pemilu tahun 1997 sudah diselenggarakan dan hasil keputusannya mesin politik menang di Karangmojo tetapi hanya 60% suara. Bahkan, di kompleks perumahan kepolisian dan tentara mesin politik kalah. Hal tersebut disebabkan karena mereka tidak bisa memakai saran tradisional, tidak menyelenggarakan wayangan, wayang orang, dan ketoprak. Para seniman pun tidak mau terlibat dalam politik. Mereka menyalahkan Abu sebagai biang keroknya dan langsung memutuskan supaya Abu diproses sesuai rencana. Setelah ditelusuri kejahatan- kejahatan yang dilakukan oleh Abu, ternyata ia tidak terbukti bersalah. Kepala polisi baru menyadari bahwa mereka telah dijadikan sebagai tukang pukul dan diperalat oleh mesin politik. Orang-orang yang pro terhadap Abu datang untuk berdemo agar Abu segera dibebaskan, seperti rombongan mahasiswa STSI Surakarta. Akhirnya, polisi dan ABRI membebaskan Abu karena terbukti tidak bersalah. Kesulitan ekonomi masyarakat pun mulai terjadi di mana-mana diantaranya; pertama, Kismo Kengser (tanah tergusur) yang mengutuk dan menggugat segala macam kebusukan politik dan kekuasaan Soeharto di zaman Orde Baru. Oleh karena itu, Kismo Kengser meramalkan Orde Baru akan segera jatuh karena ketidakadilan sudah merajalela di mana-mana. Sebagai petani kaya ia diminta oleh lurah dan pemerintah agar melepaskan tanah miliknya. Katanya untuk pembangunan terminal bus, tetapi kenyataannya dibangun perumahan mewah dan dia hanya diberikan 2 gelas kopi semeternya. Kedua, ada seorang laki- laki yang mengenakan sarunga bekerja sebagai peternak ayam dan pemerintah menaikkan harga makanan ayam sehingga para pedagang tidak ada yang membeli karena ayam ternaknya banyak yang mati. Ketiga, ada seorang laki-laki yang mengatakan bahwa harga itu disebut sebagai monopoli yang dikuasai oleh Soeharto dan konglomerat. Ia merasa masih dijajah oleh bangsanya sendiri. Kismo Kengser menggambarkan kerugian yang didapatkan oleh masyarakat adanya ketidakadilan para penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu telah memeras rakyat. Kekayaan alam kita dijual dan dibabat habis diperuntukkan oleh konglomerat. Menurut Kismo, para pengusaha bukan lagi pamong, tetapi maling betulan, maling berdasi, maling berbintang, dan maling berpendidikan. Persekongkolan penguasa, tentara, dan partai Randu dalam rangka memeras rakyat. Dan pada akhirnya ada pertanda bahwa sebuah pohon beringin yang besar tumbang. Pohon beringin itu merupakan petanda bahwa Orde Baru runtuh. Di Palur, Abu mendapatkan kabar bahwa Ki Lebdocarito (ayah angkat) sedang sakit keras. Ia merasa nyawanya tidak bisa diselamatkan dan akhirnya Ki Lebdo meninggal dunia. Abu diwariskan beberapa peninggalan Ki Lebdo diantaranya; wayang dan gamelan. Lalu berpesan kepada Abu agar dapat melestarikan seni pedalangan dan kelompok penabuh gamelan. Kabar Abu akan berhenti dari pekerjaan PNS nya dan menekuni pedalangan telah hangat dibicarakan oleh rakyat yang ada di kantor Kecamatan, di pasar, dan para tetangga. Mereka menginginkan Abu tetap berada di Tegalpandan, tetapi ia harus menepati wasiat yang telah diberikan almarhum Ki Lebdo untuk mengurusi pedalangan dan menetap di Palur. Di akhir cerita, Abu Kasan Sapari bertekad untuk menyelesaikan skripsi dan berkeinginan untuk menulis tentang wayang sebagai sarana pendidikan moral. Topik penelitian yang digunakannya yaitu “wayang fabel”. Abu meminta bantuan Lastri dalam menyelesaikan skripsinya, dengan penuh senang hati Lastri membantunya. Malam harinya, Abu bermimpi bertemu dengan Eyang dan laki- laki tua. Eyang berpesan kepada Abu agar segera melepaskan mantra itu karena menurut ia yang diperlukan itu ilmu, teknologi dan doa. Lastri pun tidak menyukai Abu memelihara ular dan Eyang meminta agar ia secepatnya menikahi Lastri. Sedangkan laki-laki tua itu berpesan kalau mantra yang dulu diberikannya kepada Abu memiliki keterikatan dengan perjanjian. Mantra pejinak ular itu harus langgeng, diturunkan dari generasi ke generasi. Abu harus mencari orang yang cocok dengan ilmu itu sampai tua. Setelah itu, rumah Abu selalu kedatangan laki-laki yang berniat ingin membunuh ular kesayangannya karena dianggap telah mengganggu kenyamanan dan mereka menuduh bahwa ularnya telah keluar dari kandang. Mereka datang dengan penuh kemarahan berdesakan di pintu rumah Abu tidak lama kemudian beberapa ular datang dan mereka langsung lari ketakutan. Akhirnya, Abu kasan Sapari memutuskan untuk pergi ke Solo dan membawa ular ke Bonbin, kemudian sepenuhnya memasuki kehidupan selanjutnya bersama Lastri (nikah dengan Lastri, mendalang, sambil tetapi menjadi pegawai negeri).

LAMPIRAN 2

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Nama Sekolah SMA/MA Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas /Semester XI (sebelas) / 1 (satu) Alokasi Waktu 4 x 45 menit Pertemuan ke- 1 dan 2 Aspek Pembelajaran Membaca Standar Kompetensi 7. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan Kompetensi Dasar 7.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan

Indikator Pencapaian Kompetensi :

Nilai Budaya Dan Kewirausahaan/ No Indikator Pencapaian Kompetensi Karakter Bangsa Ekonomi Kreatif 1 Peserta didik mampu menemukan unsur-  Aktif  Kepemimpinan unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan,  Bersahabat/ alur, latar, dan sudut pandang) dalam novel komunikatif Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.  Kreatif 2 Peserta didik mampu menemukan unsur-  Mandiri unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. 3 Peserta didik mampu menemukan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.

4 Peserta didik mampu mengaitkan nilai-nilai yang ditemukan dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo dengan kehidupan sehari-hari. 5 Peserta didik mampu menceritakan kembali isi novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo menggunakan bahasa sendiri.

A. TUJUAN PEMBELAJARAN : Peserta didik dapat: 1. Menemukan unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut pandang) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. 2. Menemukan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. 3. Menemukan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. 4. Mengaitkan nilai-nilai yang ditemukan dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo dengan kehidupan sehari-hari. 5. Menceritakan kembali isi novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo menggunakan bahasa sendiri.

B. Materi Pembelajaran : 1. Pengertian novel. 2. Unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, dan latar, dan sudut pandang). 3. Unsur-unsur ekstrinsik nilai-nilai (budaya, moral, agama, sosial dll).

C. Pendekatan Dan Metode Pembelajaran : Pendekatan : Saintifik

Melalui pendekatan saintifik, guru dapat membangkitkan kreativitas siswa terhadap sebuah karya sastra. Dengan demikian, pembelajaran akan menjadi lebih menarik dan mampu memotivasi siswa untuk terus menggali informasi yang ada dalam suatu karya sastra. Model Pembelajaran : Inquiry Discovery Model inquiry discovery bertujuan melatih kemampuan peserta didik dalam menjelaskan fenomena dan memecahkan masalah Metode : Ceramah, tanya jawab, diskusi, penugasan

D. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran :

Pertemuan 1

Alokasi No. Pra Kegiatan Pembelajaran Waktu 1. Berdoa 5 menit 2. Mempersiapkan perlengkapan kegiatan pembelajaran 3. Mendata nama peserta didik yang tidak hadir 4. Mengondisikan peserta didik

Alokasi No. Kegiatan Pembelajaran Waktu 1. Kegiatan Awal : 10 menit Apersepsi a. Guru menyampaikan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran kepada peserta didik. b. Guru menggali pengetahuan peserta didik tentang materi pembelajaran yang sudah dipelajari.

c. Menggali pengetahuan peserta didik tentang materi pembelajaran yang akan dipelajari. d. Guru memberikan informasi tentang kompetensi, materi, dan tujuan pembelajaran. 2. Kegiatan Inti : 60 menit Eksplorasi e. Guru dan peserta didik bertanya jawab mengenai konsep novel. 1. “Masih ingatkah kalian dengan materi novel?” 2. “Apa yang kalian ketahui tentang novel, unsur- unsur intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, dan latar), dan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel?” f. Guru meminta peserta didik menyebutkan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam karya sastra. Elaborasi g. Peserta didik dibagi kelompok menjadi 4-5 orang per kelompok. h. Peserta didik membaca sinopsis novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. i. Peserta didik berdiskusi untuk menemukan dan menganalisis unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, dan latar, dan sudut pandang) dan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) yang terdapat dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. j. Secara bergantian, setiap kelompok ke depan kelas mempresentasikan hasil diskusinya. Kelompok lain

diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan. Konfirmasi k. Guru memberikan ulasan dan tanggapan atas setiap hasil presentasi kelompok. l. Guru menyimpulkan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel yang telah dibahas. m. Peserta didik bersama guru memberikan kesimpulan dari hasil diskusi. 3. Kegiatan Akhir : 15 menit n. Guru memberikan penilaian terhadap presentasi peserta didik. o. Peserta didik menjawab soal-soal untuk mereview konsep-konsep penting tentang unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. p. Peserta didik merefleksikan nilai-nilai serta kecakapan hidup (live skill) yang bisa dipetik dari pembelajaran. q. Guru menyimpulkan materi pembelajaran. r. Guru memberikan tugas kepada peserta didik yang terdapat di dalam buku paket. s. Guru meminta salah seorang peserta didik untuk memimpin doa.

Pertemuan 2

Alokasi No. Pra Kegiatan Pembelajaran Waktu 1. Berdoa 5 menit 2. Mempersiapkan perlengkapan kegiatan pembelajaran 3. Mendata nama peserta didik yang tidak hadir 4. Mengondisikan peserta didik

Alokasi No. Kegiatan Pembelajaran Waktu 1. Kegiatan Awal : 10 menit Apersepsi a. Guru menyampaikan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran kepada peserta didik. b. Guru menggali pengetahuan peserta didik tentang materi pembelajaran yang sudah dipelajari. c. Menggali pengetahuan peserta didik tentang materi pembelajaran yang akan dipelajari. d. Guru mengingatkan peserta didik tentang tugas sebelumnya yaitu membaca novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. e. Guru memberikan informasi tentang kompetensi, materi, dan tujuan pembelajaran. 2. Kegiatan Inti : 60 menit Eksplorasi f. Guru dan peserta didik bertanya jawab mengenai unsur intrinsik, unsur ekstrinsik, dan konflik sosial dalam novel. 1. “Masih ingatkah kalian tentang unsur-unsur intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, dan latar) dan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel?” 2. “Apa yang kalian ketahui tentang konflik sosial dalam novel?” 3. “Apa saja nilai-nilai yang terdapat dalam novel?” Elaborasi g. Peserta didik dibagi kelompok menjadi 4-5 orang per kelompok.

h. Peserta didik berdiskusi untuk menganalisis nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial, dll yang terdapat dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. i. Peserta didik menganalisis konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. j. Secara bergantian, setiap kelompok ke depan kelas mempresentasikan hasil diskusinya. Kelompok lain diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan. Konfirmasi k. Guru memberikan ulasan dan tanggapan atas setiap hasil presentasi kelompok. l. Guru menyimpulkan nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial, dll dan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. m. Peserta didik bersama guru memberikan kesimpulan dari hasil diskusi. 3. Kegiatan Akhir : 15 menit n. Guru memberikan penilaian terhadap presentasi peserta didik. o. Peserta didik menjawab soal-soal untuk mereview konsep-konsep penting tentang nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial, dll dan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. p. Peserta didik merefleksikan nilai-nilai serta kecakapan hidup (live skill) yang bisa dipetik dari pembelajaran. q. Guru menyimpulkan materi pembelajaran. r. Guru memberikan tugas kepada peserta didik yang terdapat di dalam buku paket. s. Guru meminta salah seorang peserta didik untuk memimpin doa.

E. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran : 1. Media : Powerpoint, rekaman informasi/teks yang dibacakan 2. Alat : LCD, laptop 3. Sumber Belajar : a. Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012. b. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008. c. Sugihastuti. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. d. Seni Handiyani, dkk. Bahasa Indonesia untuk Kelas XI. Grafindo Media Pratama, 2014. e. Novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. f. Artikel atau jurnal tentang novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.

F. Penilaian : 1. Penilaian Proses  Penilaian terhadap proses identifikasi unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, dan latar, dan sudut pandang) dan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial, dll) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.  Penilaian terhadap nilai-nilai yang dapat kita ambil dari novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.  Penilaian terhadap konflik sosial yang dialami tokoh utama maupun tokoh pendukung dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.

2. Penilaian Hasil a. Teknik : Tes dan nontes b. Bentuk penilaian : Pengamatan kinerja, sikap, tes, dan tugas c. Aspek yang dinilai : Pengetahuan dan sikap d. Jenis penilaian : Penilaian proses dan penilaian hasil e. Instrumen penilaian : Lembar pengamatan dan tes tertulis f. Indikator soal tes tertulis : 1. Peserta didik menemukan unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut pandang) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. 2. Peserta didik menemukan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. 3. Peserta didik menemukan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. 4. Peserta didik mengaitkan nilai-nilai yang ditemukan dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo dengan kehidupan sehari-hari. g. Instrumen penilaian tes tertulis : 1. Bacalah novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo dengan teliti! 2. Tentukan unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, dan latar, dan sudut pandang) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo! 3. Tentukan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo! 4. Tentukan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo!

Penilaian Hasil a. Penilaian Pengetahuan

No Indikator Pencapaian Teknik Bentuk Instrumen Kompetensi Penilaian Penilaian 1. Menemukan unsur- Tes tertulis Pilihan A. Pilihlah satu jawaban yang unsur intrinsik (tema, ganda paling tepat! tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut “Keluguanmu ternyata pandang) dalam novel membawa berkah. Mantra Penjinak Ular Duduklah,” kata Pak Camat karya Kuntowijoyo. begitu dia muncul di pintu. Pak Camat mengatakan bahwa ia mendapat pujian dari Bupati. ‘Sudah jatah Kemuning’ itu artinya ada pemerataan pembangunan. Jangan sampai pembangunan hanya membangun desa yang sudah makmur. Yang tidak diketahui oleh Pak Camat dan Abu ialah kebijaksanaan Bupati menggilirkan pemenang lomba itu mendapat pujian dari Gubernur.” (novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo) 1. Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam kutipan novel tersebut adalah... a. Orang pertama tokoh utama b. Orang pertama sebagai pengamat c. Orang pertama dan orang ketiga d. Orang ketiga serba tahu

e. Orang ketiga terarah 2. Hal yang tidak termasuk ke dalam unsur intrinsik sebuah novel adalah... a. Sudut pandang b. Watak tokoh c. Latar d. Alur e. Tema Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata bermaksud memutus mata- rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung. (novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo) 3. Tema yang ditampilkan pada kutipan novel di atas ialah... a. Perjuangan b. Keyakinan c. Perubahan sosial budaya d. Ketimpangan sosial e. Politisasi kesenian 2. Menemukan unsur- Tes tertulis Pilihan Ia menolak. Tentu saja itu di unsur ekstrinsik (nilai- Ganda luar harapan para tamunya. nilai budaya, moral, Sebab, orang lain berebut agama, sosial dll) menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau

bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” “Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. (novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo) 4. Nilai-nilai apa yang terdapat dalam kutipan novel tersebut adalah... a. Nilai politik. b. Nilai budaya. c. Nilai agama. d. Nilai moral. e. Nilai sosial. 3. Menemukan konflik Tes tertulis Pilihan [....] Beberapa hari kemudian sosial dalam novel Ganda sebuah pers release dari Mantra Penjinak Ular bagian Kepolisian karya Kuntowijoyo. Karangmojo mengabarkan bahwa ada gerakan anti- Pancasila di Tegalpandan dengan ketuanya AKS. Sebuah mobil pengangkut tahanan dari Polres Karangmojo berhenti di depan kantor Kecamatan Tegalpandan. [....] Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. “Kami dari Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,” kata Abu seperti sudah mengharapkan. [....] Sesampai di Kepolisian Karangmojo, Abu dimasukkan kamar tahanan. (novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo) 5. Jenis konflik yang terdapat pada penggalan novel tersebut adalah...

a. Batin b. Fisik c. Ide d. Sosial e. Budaya 4. Mengaitkan nilai-nilai Tes tertulis Uraian B. Kerjakan pertanyaan- yang ditemukan dalam pertanyaan berikut novel Mantra dengan singkat dan tepat! Penjinak Ular karya 1. Bacalah penggalan novel Kuntowijoyo dengan Mantra Penjinak Ular kehidupan sehari-hari. karya Kuntowijoyo! 2. Tentukan unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut pandang) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo! 3. Tentukan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo! 4. Tentukan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo!

Kunci jawaban a. Pilihan Ganda 1. D 2. B 3. C 4. D 5. B

b. Uraian 1. Masing-masing peserta didik membaca novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.

2. Unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut pandang). a. Tema: kehidupan masyarakat desa yang berpegang pada mistik beralih kepada kehidupan kota yang berpegang pada ilmu sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sosial dan budaya. Tema mayor yang diangkat dalam novel MPU karya Kuntowijoyo yaitu kehidupan masyarakat desa yang berpegang pada mistik beralih kepada kehidupan kota yang berpegang pada ilmu sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sosial dan budaya. Hampir seluruh bab pada novel MPU membahas tentang kehidupan masyarakat desa yang mengalami perubahan sosial dan budaya. Seperti pada kutipan di bawah ini: Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu, teknologi, dan doa, bukan mantra.1 Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata ia bermaksud memutus mata-rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung.2 “Rencana sampeyan apa?” “Ke Solo! Saya akan membawa ular ke bonbin.” Ia berketetapan menjadi dalang, menjadi penerus tradisi Eyang dan tradisi Ronggowarsito: menghibur dan mengajarkan kebijaksanaan hidup.3

Kutipan di atas menunjukkan salah satu bentuk gambaran kehidupan sosial masyarakat desa yang hidup pada masa itu mengalami perubahan sosial dan budaya. Budaya tradisional yang tampil dominan, mulai beralih kepada budaya modern yang secara

1 Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 257. 2 Ibid., h. 270. 3 Ibid., h. 271.

perlahan masuk ke pedesaan sejalan dengan perubahan zaman. Hal tersebut tidaklah mudah bagi Abu Kasan Sapari untuk menghilangkan dan melepaskan diri dari tradisi Jawa-Islam yang berbau mistik. Namun, pada akhir cerita Abu Kasan Sapari dikisahkan merelakan ular peliharaannya dan membuang mantra serta memutuskan mata rantai perbuatan syirik itu. Abu pun mulai menjalani kehidupan kota yang penuh dengan budaya modern sesuai dengan zamannya tanpa terikat dengan hal-hal yang berbau mistik. Tema minor atau tema tambahan yang terdapat dalam novel MPU karya Kuntowijoyo di antaranya: permasalahan politisasi kesenian, monopoli ekonomi, dan ketimpangan sosial. Politisasi kesenian, dan ketimpangan sosial yang dilakukan pihak penguasa erat sekali hubungannya dengan perasaan atau emosi mengutamakan ideologi politik ingin menguasai segala sesuatu demi kekuasaan. Itulah yang menjadi penyebab utama Abu, Kismo Kengser, dan kerumunan rakyat atau warga desa mulai emosi dengan tindakan pihak penguasa yang semena-mena dan berani melakukan perlawanan terhadap pihak penguasa yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Abu memiliki pandangan tersendiri mengenai kesenian dan politik. Berikut jawaban Abu atas pertanyaan yang diajukan oleh wartawan: Kita mesti membedakan dua hal, yaitu dalang dengan seni pedalangan dan dalang sebagai pribadi. Dalam hal pertama, para dalang jangan mempergunakan seni untuk kepentingan politik, artinya mendalang dalam rangka kampanye suatu parpol tidak boleh secara mutlak. Tetapi dalam hal kedua, diam-diam seorang dalang boleh menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menjadi pendukung parpol. Hanya saja kalau sampai ketahuan orang lain itu berarti cacat budaya yang dapat mempunyai akibat-akibat buruk baginya, seperti tersingkir dari komunitas dalang. Karenanya saya sendiri tidak akan mengerjakan hal kedua itu”4

4 Ibid., h. 153.

AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya kalau ada yang benjol-benjol dalam masyarakat seni akan menutupinya, menjadikannya datar. Kalau ada api seni akan menyiramnya. Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS berpendapat seni memberi air mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan. Sebaliknya, seni yang hanya menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni.5

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Abu memiliki sikap berpegang teguh pada prinsip kebenaran yang dimilikinya dengan tidak ingin terlibat dalam sistem politik kepentingan dan tidak akan menggunakan dalang untuk kepentingan politik. Hal inilah yang membuat Abu berkali-kali diawasi oleh partai Randu yang berkuasa di bawah perintah Mesin Politik saat itu, hingga kemudian Abu ditangkap dengan berbagai tuduhan yang sama sekali tidak dilakukannya. Akan tetapi, sesungguhnya yang menggunakan kesenian sebagai alat politik itu adalah pemerintah. Hal ini ditegaskan pula oleh Kuntowijoyo bahwa pemerintahlah yang justru menggunakan kesenian sebagai alat politik. Dalam esai “Politisasi, Komersialisasi, dan Otonomi Budaya”, Kuntowijoyo menegaskan bahwa politisasi dihadirkan dalam bentuk vulgarisasi kebudayaan. Di antara yang sangat jelas terlihat politisasi budaya itu adalah dunia pewayangan dan media massa. Pedalangan dijadikan alat untuk menggandakan kepentingan politik tertentu, pada zaman Orde Baru apalagi kalau bukan untuk Golongan Karya.6 Dengan demikian, Abu Kasan Sapari sebagai sosok seniman yang berpegang pada alam (seni seperti air) mampu membedakan antara bagian kesenian dengan bagian politik termasuk menempatkan dirinya sendiri ke dalam kedua hal tersebut.

5 Ibid., h. 170. 6 Kuntowijoyo, op. cit., h. 4.

Di sisi lain, melalui pidatonya, tokoh Kismo Kengser tampil untuk mengutuk dan menggugat segala macam kebusukan politik dan kekuasaan yang berada di bawah pimpinan pemerintahan Soeharto pada zaman Orde Baru. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan di bawah ini: Ayam itu mati kena virus, namanya monopoli. Di bawah kekuasaan Soeharto, ekonomi kita memang dikuasai konglomerat. Kita dijajah lagi, tidak oleh bangsa lain, tapi oleh bangsa sendiri. [....] Ia mulai lagi dengan pidatonya: “Kismo Kengser meramal bahwa pemerintah sekarang akan segera ambruk, sebab ketakadilan sudah ada di mana-mana. Persengkokolan penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk memeras rakyat. Hutan kita dibabat habis, bukit dikapling, digusur semena-mena.”7

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Kismo Kengser meramalkan pemerintahan Orde Baru akan segera runtuh karena banyaknya permasalahan berupa monopoli ekonomi, keserakahan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak penguasa sudah merajalela, sehingga membuat rakyat atau warga desa menderita dan sengsara. Seluruh sumber daya alam yang menjadi matapencaharian rakyat atau warga desa telah diambil pihak penguasa dengan mengatasnamakan pembangunan, sehingga banyak yang mengalami kerugian dan keterpurukan dalam segi ekonomi serta jauh dari kehidupan yang layak. Berbagai kebijakan dan janji pihak penguasa belum sepenuhnya mengarah kepada kesejahteraan rakyat atau warga desa. b. Tokoh yang termasuk ke dalam tokoh protagonis; Abu Kasan Sapari, Sulastri atau Lastri, Orang tua Abu, kakek nenek Abu, wartawan, Haji Syamsuddin, camat, Ki Lebdocarito, Ki Manut Sumarsono, polisi, Laki-laki Tua atau Kismo Kengser, dan Laki-laki Tua Misterius. Tokoh yang termasuk ke dalam tokoh antagonis; Mesin politik dan polisi. Penokohan tiap tokoh dikerjakan berdasarkan kemampuan masing-masing peserta didik.

7 Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 212-213.

c. Alur dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo menggunakan alur yang disusun secara episodik tidak linier dan sesuai dengan kronologi termasuk ke dalam alur campuran yang waktu terjadinya peristiwa tidak selalu maju, tetapi juga terdapat peristiwa kilas balik yang bersifat flashback (mundur). Tahapan alur tersebut akan dipaparkan sesuai pendapat Tasrif dalam Nurgiyantoro yang terbagi menjadi lima tahapan. Kelima tahapan alur tersebut adalah sebagai berikut: 1) Tahap Penyituasian Pada tahap situasi ini, dibuka dengan memperkenalkan tokoh utama yang bernama Abu Kasan Sapari dan tokoh-tokoh pendukung yaitu tokoh orangtua Abu, kakek-nenek Abu, Ki Lebdocarito, Lelaki Tua Misterius, Camat, Mesin Politik, wartawan, Lastri, Laki-laki Tua atau Kismo Kengser, Ki Manut Sumarsono, polisi, dan Haji Syamsuddin. Tahap situasi dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini dimulai dari pembukaan yang ada di bab 1 yang berjudul “Sebuah Desa, Sebuah Mitos” dibuka dengan narator memperkenalkan tradisi Jawa-Islam, latar tempat desa, kondisi fisik desa, latar sosial-budaya, latar rumah, ciri psikologis tokoh-tokoh cerita, ciri sosiologis tokoh-tokoh cerita, dan ciri fisik tokoh-tokoh cerita. Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang latar belakang Abu Kasan Sapari sejak kecil-bekerja. Pada bagian pertama, Abu Kasan Sapari diperkenalkan secara sosiologis sebagai sosok yang lahir di tengah masyarakat Jawa menganut Islam kejawen yang seluruh sikap dan tingkah lakunya masih kental dengan berbagai mitos dalam tradisi Jawa-Islam. Seperti pada kutipan di bawah ini: Ketika sang kakek-ayah dari ayah-mengetahui bahwa bayi yang dalam kandungan akan diberi nama Sapari kalau laki-laki dan Sapariah kalau perempuan, kakek keberatan dengan kata ‘sapar’ katanya, “Sudah pasti anak itu lahir tidak di bulan Sapar!" Dengan malu-malu sang calon ayah menjawab, "Memang tidak diambil dari bulan lahirnya. Tapi bulan jadinya. Ayah itu lalu

menghitung dengan jarinya dan mengucapkan dengan mulutnya, "Sapar, Mulud, Bakda-Mulud, Jimawal, ... "kemudian tersenyum sedikit-sedikit dan semakin lebar, mengetahui bahwa anaknya thok-cer, sebab di bulan Sapar juga ia mengawinkan anaknya.8 Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu.9 Kakek itu adalah juru kunci makam Ronggowarsito di Desa Palar, Klaten.10 Pada hari ke lima, diadakan sepasaran dengan mengundang macapatan dan gamelan sederhana. Dengan bangga kakek itu mengumumkan bahwa cucunya diberi nama Abu Kasan Sapari. Abu diambil dari nama sahabat Nabi Abu Bakar, Kasan adalah nama cucu Nabi, dan Sapar adalah bulan perkawinan kedua orangtuanya. Diharapkannya bahwa nama itu ada pengaruhnya pada jabang bayi yang baru lahir.11

Kutipan di atas diungkapkan melalui dialog antara kakek Abu dari pihak ayah dengan ayah Abu yang terletak di bab 1 subbab 1 menggambarkan peristiwa pemilihan nama Abu Kasan Sapari. Kakek Abu dari pihak ayah dan ayah Abu yang tergolong dalam masyarakat Jawa memiliki kepercayaan bahwa penamaan anak itu selalu memperhitungkan hari-hari baik karena pemilihan nama anak menentukan nasib si anak kelak. Dalam hal ini, kakek Abu dari pihak ayah dan ayah Abu memilih nama Abu Kasan Sapari yang mengacu pada Abu (sahabat Nabi, yakni Abu Bakar), Kasan (cucu Nabi alias Hasan), dan Sapari diambil dari bulan Jawa-Islam yaitu ‘sapar’ yang tidak lepas dari pertimbangan mitos dalam tradisi Jawa-Islam. Kutipan di atas memperkenalkan tradisi Jawa-Islam, tokoh kakek Abu dari pihak ayah dan ayah Abu. Namun, cerita beralih ke masa lalu desa Palar. Seperti pada kutipan di bawah ini: Dulu Palar adalah desa perdikan, desa yang dibebaskan dari pajak dengan maksud supaya seluruh penghasilan desa

8 Kuntowijoyo, op. cit., h. 1. 9 Ibid., h. 2. 10 Ibid., h. 4. 11 Ibid., h. 3.

diperuntukkan guna keperluan makam. Praktis, lurahnya sama dengan juru kunci makam.12

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator pada bab 1 subbab 1 yang menggambarkan peristiwa masa lalu desa Palar yang termasuk dalam desa perdikan. Dalam hal ini, dulu desa Palar termasuk ke dalam desa perdikan yaitu desa yang berhak untuk tidak membayar pajak dan penghasilan desa disalurkan untuk keperluan makam. Juru kunci makam pun memiliki profesi lain. Pada bagian kedua, masa dewasa Abu Kasan Sapari berkembang secara psikologis diperkenalkan sebagai sosok yang dapat memanfaatkan suatu peluang untuk dapat melanjutkan kehidupannya. Seperti pada kutipan di bawah ini: Abu Kasan Sapari merasa bahwa ia tak cocok untuk meneruskan sekolah. Dengan ijazah SMA sebenarnya ia sudah lulus BA, jadi sarjana kurang skripsi, tapi posisi itulah yang diperlukan dia melamar pekerjaan jadi pegawai lokal, dan ditempatkan di kecamatan Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu. Dia ditempatkan di Bangdes (Pembangunan Desa). Dipikirnya tidak enak terus-menerus tinggal di rumah Ki Lebdocarito. Dengan alasan biarlah Abu mencari pengalaman, maka Ki Lebdo pun melepaskannya. [....] Tugas pertamanya ialah mengikuti kursus di sebuah lembaga teknologi pedesaan. Yang selalu ditanyakannya pada diri sendiri: Apakah tugasnya yang baru menjauhkan atau mendekatkannya pada Ronggowarsito, mengajarkan kebijaksanaan hidup? Tidak lupa dia membawa alat-alat tatah pembuat wayang.*13

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator pada bab 1 subbab 4 yang menggambarkan peristiwa Abu yang ingin hidup secara mandiri. Dalam hal ini, Abu memilih untuk memanfaatkan ilmu yang telah dimilikinya untuk dapat bertahan hidup tanpa harus melibatkan orang lain. Namun Abu mengalami keraguan terhadap pilihan hidupnya. Abu selalu mempertanyakan apakah pekerjaan barunya itu akan menjauhkan atau mendekatkannya pada tradisi Ronggowarsito yang selalu menghibur rakyat dan mengajarkan

12 Ibid., h. 4. 13 Ibid., h. 16.

kebijaksanaan hidup. Kutipan di atas memperkenalkan latar tempat desa yang kedua yaitu desa Kemuning. 2) Tahap Pemunculan Konflik Tahap pemunculan konflik dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo ini, ada di bab 2-8. Bab 2 yang berjudul “Mantra”, bab 3 yang berjudul “Abu Kasan Sapari Tentang Alam”, bab 4 yang berjudul “Cinta Ular, Cinta Lingkungan”, bab 5 yang berjudul “Demokrasi Menurut Abu Kasan Sapari”, bab 6 yang berjudul “Wahyu Pohonan”, bab 7 yang berjudul “Abu Versus Mesin Politik, Botoh, dan Dukun”, dan bab 8 yang berjudul “Abu Kasan Sapari dan Lingkungannya”. Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang Abu Kasan Sapari mulai dekat dengan mantra, mulai dikenal sebagai dalang, dan mulai terlibat dengan politik. Pada bagian ketiga, Abu mengalami peristiwa yang tidak masuk akal ketika bertemu dengan Lelaki Tua Misterius di sebuah pesta pasar malam. Seperti pada kutipan di bawah ini: Cembeng itu tak ubahnya seperti pasar malam. [....] Ketika Abu menoleh, dilihatnya seseorang dengan iket lepasan, baju surjan lurik, dan sarung kotak-kotak. Dari cambang, kumis, dan janggutnya yang putih serta jari-jarinya yang berotot. Laki-laki tua itu memintanya berdiri dan mengajaknya ke tempat sepi. “Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini pada orang yang tepat.” “Apa itu?” “Mantra penjinak ular” Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan membisikkan sebuah kalimat. “Paham?” “Sudah, ya?” Abu mengangguk. “Mantra itu tidak boleh salah ucap. Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular. “Mantranya kok bahasa Arab, ya?” “Ya, ini semua dari Al-Qur’an [....] Ada laku yang harus dijalankan, pantangan yang tak boleh dilanggar. Laku-nya adalah kau harus ngebleng tidak makan-minum selama tiga hari. Wewaler-nya mudah, tapi sulit dijalankan. Kau tidak boleh melangkahi ular.”14 “O, ya. Kau tidak akan mati, kalau tidak mewariskan ilmu ini.” [....] Abu masih tertegun, merenungkan kejadian yang dialaminya. Disekanya mata. Tidak, itu bukan mimpi bukan

14 Ibid., h. 20-21.

sulapan. Buktinya, ia ingat jelas dengan mantra yang harus diucapkan. [...] Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba muncul dan tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa namanya, dari mana asalnya. Jadi, orang terpilih itu memang sudah dalam jangkauan tangan, membuatnya gembira. [...] Ia bertekad untuk melaksanakan semua petunjuk orang tua itu.15 Orang menunjukkan kakinya yang digigit ular. Abu mengucapkan bismillah dan membaca mantra. Di sedotnya luka itu dengan kuat. Diulanginya sampai tiga kali. Pelan-pelan laki- laki itu membuka matanya, warna biru menghilang dari kulitnya. Abu sendiri keheranan, ternyata ia bisa menyembuhkan orang yang digigit ular.16

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator pada bab 2-4 yang menggambarkan peristiwa Abu yang mulai terikat dengan mantra penjinak ular yang harus dipegang seumur hidupnya dan memiliki kelebihan dalam menjinakkan ular. Dalam hal ini, Abu Kasan Sapari diajarkan sebuah mantra penjinak ular dengan laku yang harus dijalankan dan wewaler (pantangan) yang tidak boleh dilakukannya. Kutipan di atas juga memperkenalkan latar tempat pasar yang berlokasi di desa Kemuning, tokoh Lelaki Tua Misterius, dan ciri fisik Lelaki Tua Misterius. Pada bagian keempat, Abu Kasan Sapari diperkenalkan sebagai seorang dalang yang nekat memberikan dukungan kepada cakades yang diminta mundur untuk memuluskan jalan bagi calon yang dijagoi Mesin Politik. Seperti pada kutipan di bawah ini: Bahwa Abu Kasan Sapari suka mendalang untuk calon kepala desa (cakades) yang bermusuhan dengan calon Mesin Politik sudah diketahui pegawai kecamatan dan Camat tegalpandan sejak duluan lewat jalur birokrasi dan Mesin Politik.17 Namun, petang harinya ada tamu yang sudah dikenalnya, seorang fungsionaris Mesin Politik Tegalpandan. “Pak Abu ingin kaya tidak?” “Tidak ingin kaya, cuma butuh duit seperti orang lain.” “Lha, bicara soal duit. Bagaimana kalau permintaan untuk mendalang di rumah cakades itu ditolak?” “Maksudnya...eh, tidak mendalang dengan kompensasi sejumlah uang.

15 Ibid., h. 22. 16 Ibid., h. 56. 17 Ibid., h. 149.

Abu menolak dengan cara sebaik-baiknya. Tidak berhasil membujuk Abu Kasan Sapari fungsionaris itu pulang. Katanya, “Kalau ada apa-apa jangan salahkan saya, lho.”18

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog antara camat dengan Mesin Politik yang terletak di bab 5-8 menggambarkan peristiwa Abu yang melakukan kegiatan mendalang pada acara cakades yang tidak pro partai penguasa dianggap sebagai sikap politik. Melihat hal tersebut, Mesin Politik menghalalkan segala cara untuk dapat mempertahankan kekuasaannya termasuk dengan bertindak otoriter kepada pihak lain yang dapat merugikannya. Kutipan di atas juga memperkenalkan latar tempat desa Tegalpandan, dan ciri mental Mesin Politik. 3) Tahap Peningkatan Konflik Tahap peningkatan konflik dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini, ada di bab 9 yang berjudul “Ular” dan bab 10 yang berjudul “Di Luar Struktur, di Dalam Sistem”. Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang latar belakang Abu Kasan Sapari diprotes oleh kerumunan warga desa dan Abu yang selalu dibujuk dan ditawari jabatan serta kompensasi berupa uang. Pada bagian ketiga, ilmu penjinak ular yang semula banyak membantu Abu dalam menolong nyawa orang lain. Pada bagian kelima, kini ilmu itu telah membuat Abu banyak mengalami rintangan dalam kehidupannya. Seperti pada kutipan di bawah ini: Berita bahwa Abu memelihara seekor ular itu segera menyebar. [....] “Saya akan memeliharanya sebagai klangenan,” kata Abu.19 Tentang apakah ular termasuk klangenan orang berbeda pendapat. RT sengaja mengundang Abu untuk bermusyawarah. Para wanita mengemukakan keberatan. “Bagaimana nanti kalau

18 Ibid., h. 151-152. 19 Kuntowijoyo, op. cit., h. 134.

ular itu jadi besar? Itu berbahaya, kalau lepas, “kata mereka. Rumah-rumah di sekitar pasar itu sangat padat. Kebanyakan kaum laki-laki yang hadir bersikap netral. Rapat RT itu berakhir dengan jaminan Abu bahwa ia tak akan membiarkan ularnya lepas. Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri. “Bagaimana, Yu Las?” Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya. Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan tetapi, Abu nekad. Laki-laki tidak boleh mundur hanya karena rintangan. “Yu, yang penting bukan ularnya, tapi apa yang di balik ular itu,” katanya “Ular hanya lambang.” Abu pernah bercerita soal cita-citanya, keinginannya, dan angan-angannya. Jadi, kata Lastri: “Saya sudah tahu lambang apa.” “Tahu? Apa, coba!” “Lingkungan.”20

Kutipan di atas diungkapkan melalui dialog Abu dan narator yang terletak di bab 9 menggambarkan peristiwa Abu yang mulai memelihara ular karena keterikatan dengan mantra penjinak ular yang telah dimilikinya. Dalam hal ini, tindakan Abu itu mendapat penolakan dari kerumunan warga karena dianggap telah mengancam keselamatan warga. Abu pun melibatkan Lastri ke dalam konflik yang dihadapinya sekaligus menjadi seorang yang menolak terhadap ular yang dipeliharaannya. Kutipan di atas juga memperkenalkan ciri mental Abu. Pada bagian keenam, Abu melakukan penolakan terhadap permintaan Mesin Politik yang ingin merekrutnya sebagai caleg. Seperti pada kutipan di bawah ini: Orang yang dikenalnya sebagai Ketua Umum Mesin Politik Tegalpandan itu lalu mengatakan, "Saya hanya mengantarkan, Bapak ini adalah Ketua Badan Seleksi Caleg Dati II Karangmojo." "Terimalah ucapan selamat kami. Kami dari DPD telah memilih Pak Abu sebagai caleg jadi," kata Ketua Badan Seleksi. "Pak Abu lolos ketimbang sembilan calon lain."

20 Ibid., h. 136.

Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” “Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.” Abu Kasan Sapari heran. Besar benar harga dirinya? Mungkin karena Bapilu Mesin Politik sudah memutuskan menggunakan media pedalangan untuk kampanye? Kedudukannya sebagai Ketua Paguyuban Pedalangan jadi penting?21

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog antara Abu dengan Mesin Politik yang terletak di bab 10 menggambarkan peristiwa perlawanan Abu terhadap mesin birokrasi bernama negara dengan Mesin Politik berupa partai pemerintah. Dalam hal ini, Abu telah berkali-kali dihadapkan dengan Mesin Politik dan melakukan penolakan untuk dijadikan pengikut partai pemerintah yang berkuasa pada saat itu karena sudah memahami maksud dan tujuan dari Mesin Politik. Untuk memperoleh dukungan massa pihak penguasa pemerintah rezim Orde Baru memandang perlu untuk menggunakan instrumen kesenian sebagai media untuk menarik massa. Salah satu kesenian yang digunakan untuk memperoleh simpati masyarakat adalah seni pedalangan. Dalang sebagai orang pintar (intelektual sekaligus aktor) di daerah dipandang amat potensial untuk menyampaikan pesan dan ajakan kepada masyarakat. Oleh karenanya, para dalang ditunjuk pihak penguasa sebagai juru kampanye.22 Dalam hal ini, pihak penguasa (Mesin Politik) menghalalkan segala cara agar keinginannya dapat terpenuhi termasuk menuntut Abu agar tidak menghalang-halangi usahanya dalam melakukan politik uang dan pemaksaan. Kutipan

21 Ibid., h. 162-163. 22 Sutiyono, Jurnal berjudul “Hegemoni Kekuasaan Terhadap Seni Pedalangan”, Jurnal Imaji, h. 1-2.

di atas juga memperkenalkan tokoh Mesin Politik, ciri mental Abu dan Mesin Politik. 4) Tahap Klimaks Tahap klimaks dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini, ada di bab 11 yang berjudul “Seni itu Air”. Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang Abu yang dituding melakukan tindakan subversif. Pada bagian keenam, Abu yang semula terus-menerus melakukan penolakan terhadap permintaan Mesin Politik. Pada bagian ketujuh, kini Abu harus menghadapi tindakan semena-mena yang dilakukan oleh Mesin Politik. Seperti pada kutipan di bawah ini: Beberapa hari kemudian sebuah pers release dari bagian reserse Kepolisian Karangmojo mengabarkan bahwa ada gerakan anti- Pancasila di Tegalpandan dengan ketuanya AKS.23 Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. “Kami dari Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,” kata Abu seperti sudah mengharapkan.24 “Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari. Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo supaya Abu diproses sesuai rencana.25 Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian, tidak ada laporan tertulis. [....] Kepala Polisi merundingkan soal Abu Kasan Sapari dengan kepala bagian penyelidikan, “Sudah kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral.” Mereka bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.26 Rombongan mahasiswa STSI Surakarta datang di depan Kantor Kepolisian Karangmojo. Mereka berjajar di muka kantor. Mereka membentangkan spanduk-spanduk. “Bebaskan AKS.” [....] Pengurus HAM cabang Surakarta dan Ikadin datang untuk keperluan yang sama. Mereka juga mendesak supaya Abu Kasan Sapari dikeluarkan.27

23 Kuntowijoyo, op. cit., h. 164. 24 Ibid., h. 165. 25 Ibid., h. 174. 26 Ibid., h. 175. 27 Ibid., h. 176.

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog polisi serta dialog Mesin Politik yang terletak di bab 11 menggambarkan peristiwa Abu yang sempat ditahan. Dalam hal ini, Abu dilepaskan karena tidak terbukti melakukan tindakan subversif dan polisi yang menangani kasus Abu mengalami kebingungan terhadap tindakan yang dilakukan pihak penguasa (Mesin Politik/partai randu) kepada Abu. Pihak penguasa memanfaatkan pekerjaan polisi untuk melancarkan rencananya. Pada tahap klimaks ini, pengarang memunculkan tokoh polisi, kerumuman mahasiswa, dan pengurus HAM cabang Surakarta serta Ikadin untuk memberikan dukungan kepada Abu dan membantu proses pembebasan tokoh utama yang tidak terbukti bersalah.

5) Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini, mulai terjadi penurunan klimaks dan konflik-konflik dalam cerita yang ada di bab 12-17. Bab 12 yang berjudul “Sajak-Sajak Cinta”, bab 13 yang berjudul “Mencari Akar”, bab 14 yang berjudul “Bumi Gonjang-Ganjing Langit Megap-Megap”, bab 15 yang berjudul “Warisan”, bab 16 yang berjudul “Cangik Bertanya Pada Limbuk”, dan bab 17 yang berjudul “Tuhan, Beri Kami Ilmu yang Bermanfaat Tuhan, Hindarkan Kami Dari Malapetaka”. Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang perubahan sosial dan budaya. Namun, pada bab 12 dan 13 tentang peristiwa penceritaan sorot balik, cerita beralih ke masa lalu. Bab 12 yang berjudul “Sajak-Sajak Cinta” menggambarkan peristiwa Abu yang membuat puisi dalam bahasa Jawa untuk Lastri saat berada dalam tahanan. Seperti pada kutipan di bawah ini: Abu Kasan Sapari menulis geguritan-puisi bebas bahasa Jawa dalam tahanan Mapolres. Sebagai tampak dalam puisi ini ia tambah-tambah jatuh cintanya pada Lastri, dapat dikatakan

mabuk kepayang. Kumpulan sajak itu akan dijilidnya dengan sampul merah jambu dan diberinya nama Geguritan Asmaradana. Akan diserahkan pada Lastri ketika tiba waktunya.28

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator menggambarkan peristiwa Abu yang membuat kumpulan puisi dengan nama Geguritan Asmarandana. Dalam hal ini, puisi tersebut merupakan bentuk rasa cinta Abu kepada Lastri yang tertuang dalam puisi yang dituliskannya. Sedangkan, bab 13 yang berjudul “Mencari Akar” menggambarkan peristiwa kakek Abu yang bercerita tentang kisah hidup nenek moyangnya kepada Abu. Seperti pada kutipan di bawah ini: (Abu Kasan Sapari pulang ke desa tempat ia dibesarkan. Kakek bercerita). Mula-mula desa kita adalah sebuah perdikan. Eyang pendiri desa kita waktu masih muda menjadi prajurit keratin [....]29

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator menggambarkan peristiwa desa yang dahulu ditempati oleh nenek moyang kakek Abu menjadi desa perdikan yaitu desa yang memiliki hak untuk tidak membayar pajak. Pada bagian keempat, Abu Kasan Sapari yang semula mendalang untuk mendukung calon yang bermusuhan dengan Mesin Politik. Pada bagian kedelapan, kini Abu tidak lagi mendalang untuk calon yang berhadapan dengan Mesin Politik. Seperti pada kutipan di bawah ini: Betul, ia pergi pada Pak Camat dan menyatakan niatnya untuk mendalang menggantikan Ki Manut. Pak Camat keheranan, dia adalah Pembina Randu di kecamatannya, dan Abu ‘dalang politik anti- Randu’. [....] Taktik Ki Manut Sumarsono cespleng. Ibarat panas setahun terhapus hujan sehari, julukan sebagai ‘dalang politik anti-Randu’, julukan ‘dalang politik non-Randu’, bahkan julukan ‘dalang politik’ lenyap. Buktinya, para bakul di pasar tidak lagi menambahkan

28 Ibid., h. 181. 29 Ibid., h. 195.

kata ‘dalang politik’ ketika Abu mendalang untuk juragan bis di Tegalpandan. Kenyataan itu dikabarkan Lastri pada Abu Kasan Sapari, “Soal ‘dalang politik’ sudah beres. Sampeyan bebas sekarang.”30

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator yang terletak di bab 14 dan 15 menggambarkan peristiwa kehidupan Abu yang sudah berjalan normal kembali jauh dari hal-hal yang berbau politik. Pada bagian kedelapan tahap penyelesaian ini, pengarang memunculkan tokoh Ki Manut Sumarsono untuk membantu tokoh utama dalam memperoleh persepsi positif dari warga desa sekitar. Pada bagian ketiga, Abu yang semula diceritakan terikat dengan mantra dan berada dalam lingkungan masyarakat Islam kejawen masih memercayai mantra yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik. Pada bagian kesembilan, kini Abu tidak lagi mengalami keterikatan dengan mantra dan mulai sadar terhadap realitas kehidupan yang harus dijalaninya. Seperti pada kutipan di bawah ini: Ketika bertemu Haji Syamsuddin dikatakannya bahwa seusai salat dia ingin bicara. [....] “Apa susahnya? Bawa saja ular itu ke kebun binatang.” “Ular mudah, Pak. Tetapi saya terikat dengan mantranya.” “Mantra?” “Ya, Pak. Saya harus mencari orang yang mau ditulari mantra. Mantra harus diturunkan, berkelanjutan sampai kiamat tiba. Kalau tidak saya kena bebendu (malapetaka), tidak akan mati- mati meski tua-renta.” “Jangan percaya! Itu gombal, itu sampah. Kau orang beriman. Karenanya malah kau wajib memutuskan mata rantai sirik itu. Sekarang zaman modern, bukan zamannya mantra lagi.”31 Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia bermaksud memutus mata-rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung.32 “Rencana sampeyan apa?”

30 Ibid., h. 229. 31 Ibid., h. 259. 32 Ibid., h. 270.

“Ke Solo! Saya akan membawa ular ke bonbin.” Ia berketetapan menjadi dalang, menjadi penerus tradisi Eyang dan tradisi Ronggowarsito: menghibur dan mengajarkan kebijaksanaan hidup.33

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog antara Abu dengan Haji Syamsuddin dan Abu dengan Lastri yang terletak di bab 16 dan 17 menggambarkan peristiwa perlawanan Abu terhadap mitos. Dalam hal ini, Abu berencana untuk membuang mantra dan melepaskan ular dengan membawa ke kebun binatang. Abu berketetapan hati untuk mengubah kehidupannya dengan melepaskan diri dari hal-hal yang berbau mistik. Abu yang semula selalu mempertanyakan apakah pekerjaan barunya itu akan menjauhkan atau mendekatkannya pada tradisi Ronggowarsito yang selalu menghibur rakyat dan mengajarkan kebijaksanaan hidup. Kini, Abu selalu menjadikan ruh semangat Ronggowarsito dalam bertindak dan mengambil keputusan. Bahkan, Abu selalu bertekad untuk meneruskan tradisi Ronggowarsito untuk menghibur rakyat dan mengajarkan kebijaksanaan hidup. d. Latar dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo di antaranya: - Latar tempat: desa Palar, desa Kemuning, desa Tegalpandan (rumah sewa Abu dan pasar), dan karangmojo. - Latar waktu: latar waktu penceritaan yang terdapat dalam novel MPU disusun secara episodik berdasarkan tahapan-tahapan kehidupan Abu, yaitu kilas balik pertemuan ibu-bapak Abu – kelahiran Abu – sekolah - lulus sekolah – kerja - Abu menikah dan harus memilih istri/ilmunya. Latar waktu penceritaan dalam novel MPU tidak digambarkan secara jelas. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kejadian yang ada dalam novel dapat terjadi kapan pun dan dimana pun dari waktu ke waktu. Namun, berdasarkan

33 Ibid., h. 271.

latar waktu historis yang terdapat dalam novel MPU dapat digambarkan secara jelas yaitu pada tahun 1997 masa pemilihan umum nasional, sebelum Reformasi, saat situasi politik di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan- pedesaan. - Latar sosial: secara sosial kehidupan di desa sering dinilai sebagai kehidupan yang tenteram, damai dan jauh dari perubahan yang dapat menimbulkan konflik. Namun, kehidupan yang semula tenteram dan damai berubah menjadi kacau. Desa Tegalpandan digunakan pengarang sebagai salah satu pemicu terjadinya konflik sosial. Dalam hal ini, tokoh Abu Kasan Sapari memang mengenyam pendidikan yang maju, sarana mobilitas, dan kemajuan teknologi di era demokrasi dan modernisasi. Namun, Abu memiliki prinsip bahwa tidak semua tindakan yang mengatasnamakan modernisasi bisa diterima begitu saja. Demokrasi yang otoriter dan mengesampingkan rakyat kecil harus dilawan karena tidak sesuai dengan etika kemanusiaan. e. Pada novel Mantra Penjinak Ular, pengarang menggunakan sudut pandang persona ketiga: “dia” mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu). Hal ini dapat terlihat melalui kutipan di bawah ini: “Keluguanmu ternyata membawa berkah. Duduklah,” kata Pak Camat begitu dia muncul di pintu. Pak Camat mengatakan bahwa ia mendapat pujian dari Bupati. ‘Sudah jatah Kemuning’ itu artinya ada pemerataan pembangunan. Jangan sampai pembangunan hanya membangun desa yang sudah makmur. Yang tidak diketahui oleh Pak Camat dan Abu ialah kebijaksanaan Bupati menggilirkan pemenang lomba itu mendapat pujian dari Gubernur.”34

Dengan menggunakan sudut pandang “dia” Kuntowijoyo memposisikan diri dengan tidak secara langsung memerankan salah satu tokoh pelaku cerita. Namun, pengarang seolah-olah mengetahui

34 Ibid., h. 30.

dan dapat menjelaskan secara rinci tindakan dan perasaan yang dialami oleh setiap tokoh. Pemilihan sudut pandang ini membuat pengarang lebih leluasa mengeksplorasi sisi batin Abu untuk kemudian menciptakan konflik. Hal tersebut menunjukkan penguatan terhadap cara pandang mengenai suatu permasalahan yang terjadi dalam cerita.

3. Unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. a. Nilai budaya: nilai-nilai budaya yang berakar pada adat lokal atau adat daerah dalam novel ini yaitu adat daerah yang bernuansa kejawaan. Dalam novel MPU, ada nilai pendidikan adat yang dapat diambil yaitu berupa kritik terhadap budaya Jawa. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut ini: “Bicara baik-baik dengan dia. Yakinkanlah bahwa mangan ora mangan waton ngumpul itu sudah kuno,” pinta orang itu35

b. Nilai moral: Sikap tanggung jawab terhadap perbuatan adalah sikap moral yang wajib dilakukan. Sikap Abu Kasan Sapari dalam novel MPU juga merupakan pendidikan moral. Dia menolak dijadikan caleg karena ada maksud lain yang tersembunyi. Yaitu agar Abu tidak menghalang-halangi usaha kotor (politik uang dan pemaksaan) Mesin Politik mendapat suara terbanyak. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut ini: Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” “Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak.36

c. Nilai agama: dalam novel MPU, Kuntowijoyo juga memberi amanat agar manusia tidak berlaku syirik. Abu Kasan Sapari berjalan hilir

35 Ibid., h. 28. 36 Ibid., h. 162-163.

mudik di rumah. Ia pusing, secara resmi Lurah memintanya untuk mendalang dalam selamatan desa. Ia ingat, Eyangnya saja telah menebang pohon-pohon keramat tanpa upacara. Sekian ratus tahun kemudian cucunya akan mendalang untuk selamatan karena pohon tumbang. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut ini: “Ini benar-benar kemunduran,” pikirnya. Kepada Lurah dikatanya bahwa dia minta waktu, soalnya rapat LKMD menolak selamatan. Akan dicobanya minta pendapat Lastri.37

d. Nilai pendidikan sosial mencakup kebutuhan hidup bersama, seperti kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan. Kutipan novel MPU berikut ini merupakan penggalan nilai pendidikan sosial. Dalam novel MPU, Abu sering ikut ronda atau siskamling. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut ini: Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng, ahli filsafat kecil-kecilan, dan cagak lek (membuat terbangun) hidup.38

4. Konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo Dalam novel ini, wujud konflik sosial yang terjadi disebabkan beberapa permasalahan, antara lain: keyakinan, ketidakberpihakan, penindasan, dan ketimpangan sosial. Wujud konflik sosial ini akan dibagi berdasarkan penyebab konflik sosial di antaranya: perbedaan antar-individu, benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik, dan perubahan sosial dan budaya. a. Konflik Pemikiran: Keyakinan (Perbedaan Antar-Individu) Dalam novel MPU, konflik ini terjadi antara tokoh Abu Kasan Sapari sebagai tokoh utama dengan Lastri sebagai tokoh pendukung dan kerumunan warga desa. Penyebab konflik ini dipicu oleh permasalahan mengenai keyakinan. Dalam novel ini, Abu memercayai mantra penjinak ular dengan berbagai pantangan atas ilmunya sehingga ia memiliki

37 Ibid., h. 218. 38 Ibid., h. 127.

kelebihan menjinakkan ular. Dapat dikatakan bahwa Abu meyakini bahwa mantra yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik sebagai sesuatu yang benar, dimana agama sering bercampur dengan tradisi budaya turun-temurun, seperti yang telah dibahas pada analisis latar tempat dapat dilihat pada kutipan di bawah ini: “Ya, ini semua dari Al-Qur’an [....] Ada laku yang harus dijalankan, pantangan yang tak boleh dilanggar. Laku-nya adalah kau harus ngebleng tidak makan-minum selama tiga hari. Wewaler-nya mudah, tapi sulit dijalankan. Kau tidak boleh melangkahi ular.”39 [...] Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba muncul dan tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa namanya, dari mana asalnya. Jadi, orang terpilih itu memang sudah dalam jangkauan tangan, membuatnya gembira. [...] Ia bertekad untuk melaksanakan semua petunjuk orang tua itu.40 Orang menunjukkan kakinya yang digigit ular. Abu mengucapkan bismillah dan membaca mantra. Di sedotnya luka itu dengan kuat. Diulanginya sampai tiga kali. Pelan-pelan laki- laki itu membuka matanya, warna biru menghilang dari kulitnya. Abu sendiri keheranan, ternyata ia bisa menyembuhkan orang yang digigit ular.41

Motif Abu Kasan Sapari memelihara ular karena memiliki keyakinan terhadap mitos yang bersifat syirik berupa kepercayaan terhadap binatang. Pada dasarnya, tujuan Abu memelihara ular sebagai simbol alam dan lingkungan. Alam dan lingkungan yang menjadi basis perasaan dan pemikiran Abu. Bagi Abu, ular itu seperti alam dan lingkungan yang harus dijaga dan dilestarikan, bukan dibunuh. Cinta ular berarti cinta lingkungan, begitu pandangan Abu. Lastri yang mengetahui tujuan Abu tersebut tidak lagi mempermasalahkan ular tersebut, seperti yang telah dibahas pada analisis latar tempat. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan di bawah ini: Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan tetapi, Abu nekad. Laki-laki tidak boleh mundur hanya karena rintangan.

39 Kuntowijoyo, op. cit., h. 20-21. 40 Ibid., h. 22. 41 Ibid., h. 56.

“Yu, yang penting bukan ularnya, tapi apa yang di balik ular itu,” katanya “Ular hanya lambang.” Abu pernah bercerita soal cita-citanya, keinginannya, dan angan-angannya. Jadi, kata Lastri: “Saya sudah tahu lambang apa.” “Tahu? Apa, coba!” “Lingkungan.”42

Dalam hal ini, Abu yang merasa tersudutkan dan menganggap kejadian itu hanyalah sebuah kesalahpahaman saja memilih untuk tidak berhadapan langsung dan berkontak fisik dengan warga desa. Dalam novel ini, Abu lebih memilih menghindari konflik daripada harus melakukan perlawanan secara langsung. Pada akhirnya, permasalahan tersebut dapat terselesaikan dengan jaminan Abu terhadap keselamatan warga desa dengan cara tidak akan membiarkan ular peliharaannya itu terlepas, seperti yang telah dibahas pada analisis latar tempat dapat terlihat dari kutipan di bawah ini: Kebanyakan kaum laki-laki yang hadir bersikap netral. Rapat RT itu berakhir dengan jaminan Abu bahwa ia tak akan membiarkan ularnya lepas.43

Jika menemui masalah demikian, seharusnya meminta bantuan orang ketiga sebagai mediator untuk mencari jalan keluar. Melalui musyawarah bersama, dapat ditemukan solusi untuk kedua belah pihak. b. Konflik Gagasan dan Konflik Fisik: Ketidakberpihakan dan Penindasan (Benturan Antar-Kepentingan) Dalam novel ini, konflik terjadi antara Abu dengan Mesin Politik. Konflik ini disebabkan karena adanya perbedaan tujuan kepentingan. Penyebab konflik ini dipicu oleh permasalahan mengenai ketidakberpihakan profesi dalang dalam politik praktis dan penindasan. Pertama, ketidakberpihakan profesi dalang dalam politik praktis. Sikap politik Abu pun sebenarnya sudah jelas terlihat dengan tidak berpolitik praktis dan memisahkan antara kesenian dari politik, seperti kutipan di bawah ini:

42 Kuntowijoyo, op. cit., h. 136-137. 43 Ibid., h. 136.

“....orang-orang tua terutama yang peduli politik yang menganggapnya sebagai pelawan Mesin Politik.”44 Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” “Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”45

Bahkan, Abu berani melakukan penolakan terhadap berbagai tawaran dari Mesin Politik. Abu juga sangat berpegang teguh pada pendirian bahwa kesenian adalah dunianya sehingga tidak boleh diganggu oleh siapapun termasuk penguasa dan Abu pun tetap mempertahankan bidang kesenian yang ditekuninya itu. Kutipan di atas telah dibahas pada analisis bagian penokohan. Hal tersebut dilakukan Abu bertujuan untuk menjadikan profesi dalang yang ditekuninya itu dapat memberikan penyadaran dan pencerahan serta pendidikan politik kepada warga desa melalui gerakan moral yang disampaikan lewat media kesenian yaitu wayang kulit. Abu tidak ingin warga desa menjadi objek dan korban dari kekuasaan tingkat atas. Namun, tujuan Abu itu mendapatkan tentangan dari Mesin Politik. Mesin Politik digambarkan oleh pengarang memiliki kedudukan sebagai pihak elit penguasa yang berarti para pengambil kebijakan di tingkat pusat atau aparatur negara (pemerintahan) yang memiliki otoritas tertinggi. Dalam novel, hal ini berkaitan dengan bagian penokohan yang diusung Kuntowijoyo ketika kedudukan Mesin Politik disalahgunakan untuk melakukan paksaan dan penyingkiran sehingga timbul korban di kalangan massa (rakyat). Seperti pada kutipan di bawah ini: “Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari. Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo supaya Abu diproses sesuai rencana.46

44 Ibid., h. 150. 45 Ibid., h. 162-163. 46 Ibid., h. 174.

Kedua, penindasan. Motif Mesin Politik yang sering kali melakukan penindasan terhadap Abu hanya semata-mata karena alasan politik dan loyalitas pada partai penguasa. Mesin Politik menggunakan kesenian sebagai alat politik untuk berkampanye, seperti yang telah dibahas pada analisis tema (lihat h. 45). Dalam hal ini, pihak penguasa (Mesin Politik) menghalalkan segala cara agar keinginannya dapat terpenuhi termasuk menuntut Abu agar tidak menghalang-halangi usahanya dalam melakukan politik uang dan pemaksaan. Peristiwa di atas, dapat dilihat dari perkembangan alur dari mulai tahap pemunculan konflik sampai peningkatan konflik (lihat h. 75 dan 78), terjadi ketika Abu yang nekat memberikan dukungan kepada cakades dan ditawarkan jabatan sebagai caleg oleh Mesin Politik. Sifat Mesin Politik yang terkenal angkuh dan maunya menang sendiri, secara perlahan telah menimbulkan terjadinya konflik sosial antara Mesin Politik dengan Abu. Hal ini disebabkan karena aturan yang dipaksakan Mesin Politik yang setiap saat membayang-bayangi Abu agar memberikan dukungan penuh kepada calon yang dipilih Mesin Politik dalam berbagai pemilihan di desa. Selain itu, perbedaan tujuan kepentingan antara Abu dengan Mesin Politik telah menimbulkan penindasan yang terus saja muncul ke permukaan terutama pada tokoh Abu. Hal ini tidak lain karena adanya pihak-pihak tertentu yang berusaha keras ingin menguasai daerah melalui berbagai pemilihan di desa. Unsur-unsur penindasan pun selalu diperlihatkan Mesin Politik kepada Abu. Pada akhirnya, permasalahan tersebut berakhir setelah Abu ditangkap dan kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Seperti pada kutipan di bawah ini: Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian, tidak ada laporan tertulis. [....] Kepala Polisi merundingkan soal Abu Kasan Sapari dengan kepala bagian penyelidikan, “Sudah kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita

diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral.” Mereka bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.47

Dalam novel ini, Abu lebih banyak menghindari konflik fisik ketimbang harus melakukan perlawanan secara langsung. Ia lebih memilih untuk melakukan perlawanan tanpa kekerasan, tanpa demonstrasi turun ke jalan, dan tanpa tindakan provokatif yaitu melalui kesenian wayang. c. Konflik Pandangan dan Konflik Fisik: Ketimpangan Sosial dan Keyakinan (Perubahan Sosial dan Budaya) Dalam novel ini, konflik terjadi antara Kismo Kengser dengan penguasa (Mesin Politik) dan Abu Kasan Sapari dengan Haji Syamsuddin. Penyebab konflik ini dipicu oleh permasalahan mengenai ketimpangan sosial dan keyakinan. Pertama, ketimpangan sosial. Konflik terjadi antara Kismo Kengser dengan penguasa (Mesin Politik). Motif Kismo Kengser yang mengkritik penguasa (Mesin Politik) melalui pidatonya, karena sudah banyaknya permasalahan berupa monopoli ekonomi, keserakahan dan ketidakadilan. Pembahasan bagian ini telah dilakukan pada analisis tema, seperti pada kutipan di bawah ini: Ayam itu mati kena virus, namanya monopoli. Di bawah kekuasaan Soeharto, ekonomi kita memang dikuasai konglomerat. Kita dijajah lagi, tidak oleh bangsa lain, tapi oleh bangsa sendiri. [....] Ia mulai lagi dengan pidatonya: “Kismo Kengser meramal bahwa pemerintah sekarang akan segera ambruk, sebab ketakadilan sudah ada di mana-mana. Persengkokolan penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk memeras rakyat. Hutan kita dibabat habis, bukit dikapling, digusur semena-mena.”48

Dalam novel ini, Kismo Kengser, Abu, dan warga desa mempunyai tujuan kepentingan untuk memperoleh pengakuan status sosial yaitu bebas dari tekanan-tekanan rezim Orde Baru dengan hidup dalam kedamaian serta terlepas dari belenggu kesulitan ekonomi dan politik. Dengan hadirnya Kismo Kengser yang mengkritik pemerintah/penguasa/Mesin Politik telah menimbulkan konflik sosial di

47 Ibid, h. 175. 48 Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 212-213.

antara keduanya. Meskipun, konflik antar keduanya tidak berhadapan secara langsung tetapi berpengaruh pada perilaku warga desa maupun rakyat. Kedua, keyakinan. Konflik terjadi antara Haji Syamsuddin dengan Abu Kasan Sapari. Motif Haji Syamsuddin yang tidak memercayai mitos seperti mantra dan kepercayaan terhadap binatang karena mengarah kepada hal-hal syirik. Abu yang semula diceritakan terikat dengan mantra dan berada dalam lingkungan masyarakat Islam kejawen masih memercayai mantra yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik. Kini, Abu tidak lagi mengalami keterikatan dengan mantra dan mulai sadar terhadap realitas kehidupan yang harus dijalaninya. Melalui dialog antara Abu dengan Haji Syamsuddin telah membuat Abu tersadar bahwa mantra yang telah terikat padanya telah membuat susah hidupnya dan orang lain sehingga masalah tersebut dapat terselesaikan. Abu pun memutuskan untuk meninggalkan ular itu, seperti yang telah dibahas pada alur bagian tahap penyelesaian. Pada waktu itu terdengar azan subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia bermaksud memutuskan mata rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun.49

Konflik yang mempunyai fungsi positif juga terjadi di dalam novel dilihat dari pengaruh konflik sosial terhadap sikap masyarakat desa yang semula tunduk menjadi berbalik melakukan perlawanan terhadap penindasan, menuntut keadilan atas hak-hak rakyat atau warga desa melalui demo untuk menyampaikan aspirasinya dan perlawanan terhadap mitos, mistik, dan klenik yang sudah seharusnya beralih kepada kehidupan modern sesuai dengan zamannya. Dengan demikian, konflik ini dapat termasuk dalam fungsi positif karena telah menimbulkan perubahan sikap masyarakat.

49 Kuntowijoyo, op. cit., h. 270.

Rubrik Penilaian Tes Tertulis dan Tugas Terstruktur No. Aspek yang dinilai Rentang Nilai Keterangan

1. Ejaan yang sesuai dengan kaidah 0-30 bahasa Indonesia

2. Kesesuaian penulisan jawaban 0-30 dengan topik yang dipilih

3. Bobot isi 0-40

Jumlah 100

Rubrik Penilaian Sikap No. Nama Religius Tanggungjawab Disiplin Proaktif Jujur 1. 2. 3. 4. 5. Dst.

Keterangan: 1 = Kurang 2 = Cukup 3 = Baik 4 = Sangat baik

Penilaian Kelompok

Kelas : Nama Kelompok : Kelompok ke- : Anggota kelompok : Tanggal Penilaian :

No. Aspek yang menjadi Nilai Penilaian A B C D 1. Keaktifan tiap anggota kelompok dalam menyusun tugas. 2. Keaktifan tiap anggota kelompok dalam mempresentasikan hasil diskusi kelompok. 3. Kerja sama antar anggota kelompok. 4. Ketuntasan kelompok dalam mengerjakan tugas. 5. Keberanian tiap anggota kelompok dalam menyampaikan pendapat. 6. Tingkat perhatian peserta didik pada kelompok lain yang sedang presentasi.

Petunjuk: Lembar penilaian kelompok ini diisi oleh guru untuk menilai masing-masing kelompok dalam menyelesaikan tugas. Berilah tanda ceklis (√) pada kolom nilai sesuai dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing peserta didik dalam kelompok dengan kriteria sebagai berikut: Baik sekali (A) : skor 85-90 Baik (B) : skor 75-80 Cukup (C) : skor 65-70 Kurang (D) : skor 55-60

Mengetahui, Jakarta, 13 Februari 2017 Kepala Sekolah, Guru Mata Pelajaran,

NIP. NIP.

URAIAN MATERI

1. Menurut Tarigan (dalam Antilan) mengemukakan bahwa kata novel berasal dari kata Latin, yaitu noveltus yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis sastra lainnya seperti puisi dan drama.50 Nurgiyantoro, mengemukakan bahwa novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu. Unsur-unsur pembangun sebuah novel, seperti plot, tema, penokohan, dan latar secara umum dapat dikatakan lebih rinci dan kompleks.51 Novel bersifat realistis dan berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi: surat, jurnal, memoar atau biografi, kronik atau sejarah. Dengan kata lain, novel berkembang dari dokumen-dokumen.52 2. Unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut pandang). a. Menurut Wahyudi Siswanto, tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema berkaitan dengan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.53 Menurut Robert Stanton, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak.54 b. Menurut Pujiharto, istilah ‘tokoh’ biasa dipergunakan untuk menunjuk pada pelaku cerita. Tokoh merujuk pada individu-individu yang muncul di

50 Antilan Purba, op. cit., h. 62. 51 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 13-14. 52 Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., h. 283. 53 Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 161. 54 Robert Stanton, op. cit., h. 41.

dalam cerita.55 Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.56 Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang memiliki perwujudan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin.57 c. Menurut Sugihastuti, alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan saksama dan menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian.58 Menurut Melani Budianta, peristiwa- peristiwa yang menjalinnya ada yang penting untuk jalannya cerita dan ada yang tidak penting, namun saling melengkapi untuk dijadikan kisah itu menarik.59 Tasrif dalam (Nurgiyantoro) mengklasifikasikan tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu antara lain:60 1. Tahap Situation: tahap penyituasian, yaitu pengarang mulai melukiskan suatu keadaan, berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pemberian informasi awal, dan lainnya terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita. 2. Tahap Generation cicumstances: tahap pemunculan konflik. Masalah- masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

55 Pujiharto, op. cit., h. 43-44. 56 Melani Budianta, op. cit., h. 86. 57 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 261-262. 58 Sugihastuti, op. cit., h. 36. 59 Melani Budianta, op. cit., h. 87. 60 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.

3. Rising action: tahap peningkatan konflik. Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik- konflik yang terjadi, internal, eksternal, atau keduanya, pertentangan- pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari. 4. Climax: tahap klimaks. Konflik dan pertentangan yang terjadi, yang dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadi konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks. 5. Tahap Denoument: tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri. d. Menurut Burhan Nurgiantoro, latar atau setting atau yang disebut juga dengan landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.61 Menurut Mursal Esten, latar sebagai tempat dan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa, sementara peristiwa-peristiwa terjadi oleh adanya aksi tokoh dan konflik yang ada di dalam dan antar tokoh.62 Pujiharto menjabarkan secara detail, latar bisa mengacu pada 1) lokasi geografis yang sesungguhnya, termasuk topografi, pemandangan, bahkan detail interior ruang; 2) pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari; 3) waktu terjadinya tindakan atau peristiwa, termasuk periode historis, musim, tahun, dan sebagainya; 4) lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh-tokohnya.63 Unsur latar dalam Burhan

61 Ibid., h. 302. 62 Mursal Esten, op. cit., h. 113. 63 Pujiharto, op. cit., h. 48.

Nurgiantoro dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan sosial.64 1. Latar tempat Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. 2. Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. 3. Latar sosial-budaya Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan social masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. e. Menurut Wahyudi Siswanto, sudut pandang dapat diartikan sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.65 Ada banyak macam sudut pandang dalam karya sastra. Jenis sudut pandang yang peneliti lakukan yaitu berdasarkan pemaparan Burhan Nurgiyantoro. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan persona pertama, dan ditambah persona kedua.66 Berikut ini adalah macam-macam sudut pandang: a) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia” Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh- tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti orang. Dalam sudut pandang persona ketiga “Dia” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

64 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 314-322. 65 Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 152. 66 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 347-359.

“Dia” mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu) dan “Dia” terbatas atau hanya sebagai pengamat (narator mengetahui segalanya, namun terbatas hanya pada seorang tokoh). b) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku” Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Aku” (tokoh utama) dan “Aku” (tokoh tambahan). c) Sudut Pandang Persona Kedua: “Kau” Cara pengisahan yang mempergunakan “kau” yang biasanya sebagai variasi cara memandang oleh tokoh aku dan dia. Penggunaan teknik “kau” biasanya dipakai “mengoranglainkan” diri sendiri, melihat diri sendiri sebagai orang lain. Keadaan ini dapat ditemukan pada cerita fiksi yang disudutpandangi “aku” maupun “dia” sebagai variasi penuturan atau penyebutan. d) Sudut Pandang Campuran Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. Semua itu tergantung pada kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karyanya. Pengertian sudut pandang dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa sudut pandang adalah cara atau pandangan pengarang untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita meliputi; pertama, sudut pandang persona ketiga: “dia”, kedua, sudut pandang persona pertama: “aku”, ketiga, sudut pandang campuran. 3. Unsur-unsur ekstrinsik nilai-nilai (budaya, moral, agama, sosial dll).dari pembacaan penggalan novel. a. Menurut Friska Rahayu dalam artikel e-journal yang berjudul “Analisis Nilai-Nilai Moral dalam Cerita Rakyat Hangtuah Ksatria Melayu Diceritakan Kembali Oleh Nunik Utami” mengemukakan bahwa nilai moral adalah suatu pengukur apa yang baik dan apa yang

buruk dalam kehidupan masyarakat, juga dapat diartikan sebagai sikap atau perilaku, tindakan, kelakuan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu hal dan memiliki nilai positif di mata manusia lainnya.67 b. Menurut Nuning Juniarsih, nilai budaya adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia.68 c. Menurut Amir Syamsuddin, nilai-nilai agama berasal dari Tuhan. Fungsi dari nilai-nilai agama ialah petunjuk cara hidup yang benar dan sehat bagi manusia semenjak lahir sampai meninggal dunia.69 d. Nilai sosial adalah sebuah konsep abstrak dalam diri manusia pada sebuah masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.70 4. Karya sastra sering kali dikaitkan dengan realitas sosial yang melibatkan banyak konflik di dalamnya, tentu benar adanya mengingat keduanya tidak bisa dipisahkan. Wellek dan Warren, menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang, menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan.71 Konflik akan terjadi apabila tidak adanya lagi kesepakatan mengenai sebuah keinginan yang tidak tercapai dan tidak adanya kesepakatan antara individu satu dengan individu lainnya. Hal ini biasanya sering terjadi pada kehidupan nyata masyarakat yang selalu menghindari maupun harus menghadapi hal tersebut. Sebuah karya sastra yang menampilkan berbagai macam peristiwa sangat erat kaitannya dengan konflik. Peristiwa akan mampu menciptakan konflik dan konflik akan memicu adanya peristiwa lainnya.

67 Friska Rahayu, Jurnal berjudul “Analisis Nilai-Nilai Moral dalam Cerita Rakyat Hangtuah Kstaria Melayu Diceritakan Kembali Oleh Nunik Utami”, Artikel E-Journal, 2013. 68 Nuning Juniarsih, Jurnal berjudul “Perubahan Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Lokal Suku Sasak Di Kawasan Wisata Senggigi Pulau Lombok”, Agroteksos, Vol. 17, 2007. 69 Amir Syamsuddin, Jurnal berjudul “Pengembangan Nilai-Nilai Agama dan Moral pada Anak Usia Dini., Jurnal Pendidikan Anak, 2012, h. 112. 70 Lintang Arzia Nurrachim, Nilai Sosial, http://www.repo.isi- dps.ac.id/1168/1/Nilai_Sosial diunduh pada hari Minggu, 15-1-2017. 71 Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., h. 285.

Nurgiyantoro, menyatakan bahwa peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa juga. Ada peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan konflik. Sebaliknya, karena terjadi konflik, berbagai peristiwa lain pun dapat bermunculan, misalnya sebagai akibatnya. Konflik demi konflik yang disusul oleh peristiwa demi peristiwa akan menyebabkan konflik menjadi semakin meningkat.72 Menurut M. Atho secara umum konflik sosial pada hakikatnya adalah suatu keadaan di mana sekelompok orang dengan identitas yang jelas, terlibat pertentangan secara sadar dengan satu kelompok lain atau lebih, karena mengejar tujuan-tujuan yang bertentangan, baik dalam nilai maupun dalam klaim terhadap status, kekuasaan, atau sumber-sumber daya yang terbatas dan dalam prosesnya ditandai oleh adanya upaya pihak- pihak yang terlibat untuk saling menetralisasi, mencederai, atau bahkan mengeliminasi posisi atau eksistensi lawan.73 Bentuk konflik sebagai bentuk peristiwa dapat pula dibedakan ke dalam dua kategori: konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal (external conflict) dan konflik internal (internal conflict). Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam mungkin lingkungan manusia atau tokoh lain. Dengan demikian, konflik eksternal dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu konflik fisik (physical conflict) dan konflik sosial (social conflict). Konflik fisik adalah konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dan lingkungan alam. Sebaliknya, konflik sosial adalah konflik yang disebabkan kontak sosial antarmanusia. Antara lain berwujud masalah perburuhan, penindasan, percekcokkan, peperangan, atau kasus-kasus hubungan sosial lainnya. Konflik internal adalah konflik yang terjadi dalam hati dan pikiran, dalam

72 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 180. 73 M. Atho Mudzhar, “Pluralisme, Pandangan Ideologis, dan Konflik Sosial Bernuansa Agama” dalam Moh. Soleh Isre (Editor), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 2.

jiwa seorang tokoh cerita. Jadi, ia merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri. Konflik itu lebih merupakan permasalahan intern seorang manusia. Misalnya, hal itu terjadi akibat adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-harapan, atau masalah-masalah lainnya. Konflik batin banyak disoroti dalam novel yang lebih banyak mengeksplorasi berbagai masalah kejiwaan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama.74 Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial, dan kekuasaan (power) yang jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat. Mereka berpendapat bahwa beberapa hal yang lebih mempertegas akar dari timbulnya konflik di antaranya:75 1. Perbedaan antar-individu; di antaranya perbedaan pendapat, tujuan, keinginan, pendirian tentang objek yang dipertentangkan. Di dalam realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang sama sehingga perbedaan karakter tersebutlah yang memengaruhi timbulnya konflik sosial. 2. Benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik. Benturan kepentingan ekonomi dipicu oleh makin bebasnya berusaha, sehingga banyak di antara kelompok pengusaha saling memperebutkan wilayah pasar dan perluasan wilayah untuk mengembangkan usahanya. Adapun benturan kepentingan politik lihat lagi konflik kepentingan. 3. Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya menimbulkan kerawanan konflik. Konflik dipicu oleh keadaan perubahan yang terlalu mendadak biasanya diwarnai oleh gejala di mana tatanan perilaku lama sudah tidak digunakan lagi sebagai pedoman, sedangkan tatanan perilaku yang baru masih simpang siur

74 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 181-182. 75 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, op. cit., h. 361-362.

sehingga banyak orang kehilangan arah dan pedoman perilaku. Keadaan demikian ini, memicu banyak orang bertingkah “semau gue” yang berakibat pada benturan antarkepentingan baik secara individual maupun kelompok.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Indah Komalasari lahir di Blitar, 26 Juni 1993. Anak kedua dari Alm. H. M. Koharuddin, SH. M.Si. dengan Dra. Hj. Iceu Aisah, M. Pd. ini tinggal bersama orang tua di Jalan Semanan Raya Kp. Lamporan Rt. 08 Rw. 08 No. 173 Kel. Semanan Kec. Kalideres Jakarta Barat. Memulai pendidikan dasar pada tahun 1999-2005 di SDN 08 Pagi Semanan Jakarta Barat, lalu melanjutkan pendidikan tingkat SMP pada tahun 2005-2008 di MTSN 8 Jakarta Barat, kemudian melanjutkan pendidikan tingkat SMA pada tahun 2008-2011 di MAN 12 Jakarta Barat, dan melanjutkan pendidikan tingkat perguruan tinggi negeri pada tahun 2011-sekarang di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dari kecil penulis memiliki cita-cita menjadi guru dan dipercaya untuk meneruskan cita-cita serta perjuangan sang ibu yang juga seorang guru bahasa Indonesia. Hal itu pula yang membuat penulis memilih Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.