Benarkah Surau Sudah Roboh?

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Benarkah Surau Sudah Roboh? View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by Jurnal Sejarah Lontar Benarkah Surau Sudah Roboh? Abstrak Tulisan ini terinspirasi novel A.A Navis di era 1980-an, Robohnya Surau Kami. Novel ini langsung membangkitkan memori orang-orang Minangkabau, khususnya yang berada di perantauan terhadap masa kecil mereka di surau, yang berfungsi sebagai tempat ibadah, menuntut pengetahuan agama Islam, dan menginap. Surau telah menjadi tempat untuk membentuk moral orang-orang Minangkabau, apa jadinya bila surau roboh? Sudah pasti orang-orang Minangkabau akan kehilangan salah satu pilar terpentingnya dalam melestarikan budaya kepada generasi mudanya. Oleh: Abdul Fadhil (Dosen Jurusan Ilmu Agama Islam UNJ) Istilah surau, sebenarnya dari berbagai masalah (baca: agama, sosial segi sejarah bukanlah berasal dari dan budaya) yang mereka hadapi. khazanah Islam. Istilah tersebut Secara kebetulan perkataan berasal dari India sebagaimana halnya surau hampir sebunyi dengan syura istilah-istilah lain seperti pesantren, (Arab) yang berarti musyawarah. Hal langgar, dan pondok di Jawa dan inilah yang dianggap oleh sebagian rangkang di Aceh.1 Menurut Azra, para pemuka adat dan agama bahwa mengutip R.A. Kern, surau berarti surau sebenarnya merupakan bagian “tempat” (place ) atau “tempat dari khazanah Islam sebagaimana beribadat” (place for worship).2 Kuat dilihat dari fungsinya sebagai tempat dugaan, menurut Navis, surau berasal bertukar pikiran dan dari bahasa Sansekerta swa atau su bermusyawarah.5 Atau juga surau dan rwa. Maka surau berasal dari swa berasal dari kata ‘asyura, karena rwa yang berarti ruangan sendiri atau fungsinya juga sebagai tempat su rwa yang artinya ruang baik. perayaan hari Asyura yang diperingati Dengan demikian, surau berarti ruang setiap tanggal 10 Muharram. Namun sendiri atau ruang yang artinya ruang hal ini dibantah oleh Sidi Gazalba baik bagi orang muda atau semacam dengan mengajukan argumentasi asrama dalam agama Hindu. 3 retoris: jikalau kedua istilah tersebut Dalam Ensiklopedi Islam merupakan asal istilah surau, disebutkan bahwa surau, dalam mengapa untuk merayakan perayaan sejarah Minangkabau, pertama kali Asyura dan melakukan musyawarah didirikan oleh Raja Adityawarman yang menurut fungsinya seharusnya pada tahun 1356 di kawasan Bukit ditampung di masjid, didirikan Gombak yang merupakan tempat bangunan yang khusus untuk beribadah sekaligus tempat melaksanakan dua kegiatan tersebut. pengajaran agama Hindu-Budha. Lebih lanjut Gazalba menambahkan Surau tersebut juga digunakan bahwa menurut adat, tempat lembaga sebagai tempat berkumpul pemuda- musyawarah adalah Balai Adat, pemuda dan sebagai sarana yang tepat sedangkan surau berfungsi (di untuk memecahkan masalah- antaranya) hanya sebatas rapat suku/ masalah sosial.4 kaum sebelum kedatangan Islam.6 Setelah kedatangan Islam, satu- 1Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta, satunya yang berubah dari surau LP3ES, 1986), h. 21 adalah pengaruh keagamaannya. 2 Azyumardi Azra, “The Rise And The Decline of The Minangkabau Sementara itu fungsinya tetap sama. Surau”, Tesis Master of Arts, (New York: Columbia University, 1988), h. 19 Bahkan ciri khas surau yang beratap 3A.A. Navis, “Surau, dan Kelangkaan Ulama”, Panji Masyarakat, gonjong (puncak) yang merefleksikan XXVI, 447, (Oktober, 1984), h.40 kepercayaan mistis dan simbol adat 4Kafrawi Ridwan, (ed.), “Surau”, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993), Jilid 4, h. 318 sama sekali tidak berubah. Surau 5 Dialog Jum’at, Republika, (Jakarta), 8 Nopember 1996, h. 8 tetap menjadi ajang bagi masyarakat 6 Sidi Gazalba, Gazalba, Sidi, 1983, Mesjid, Pusat Ibadat dan Minangkabau untuk membahas Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Antara., Jurnal Sejarah Lontar 9 Vol.5 No.2 Juli - Desember 2008 Dalam perkembangan selanjut sekarang) jelas berkaitan erat dengan -nya, setelah surau mengalami proses perluasan fungsi surau dalam Islamisasi, fungsinya sebagai tempat masyarakat Minangkabau seperti telah penginapan anak-anak bujang tidak diungkapkan di atas. Cikal bakal surau berubah, meskipun kemudian fungai dalam konteks ini pertama sekali tersebut diperluas menjadi tempat dimunculkan oleh Syekh pengajaran dan pengembangan ajaran Burhanuddin (1066-1111 atau 1646- Islam, seperti menjadi tempat shalat 1691).10 Sekembalinya beliau dari (mushalla), tempat belajar membaca Aceh, setelah belajar dan mendalami Alquran dan sebagainya. Namun ilmu agama pada Syekh Abdurrauf bin demikian perkembangan ini Ali selama 10 tahun, Syekh menyebabkan terjadinya pemisahan Burhanuddin mendirikan surau di yang cukup jelas antara fungsi masjid kampung halamannya Ulakan, dan surau. Masjid lebih difungsikan Pariaman. Di surau inilah beliau untuk kepentingan ibadah dalam melakukan pengajaran Islam dan pengertian sempit, yakni hanya mendidik beberapa ulama yang terbatas pada shalat lima waktu menjadi kader dalam pengembangan berjamaah, shalat jum’at ataupun ajaran Islam selanjutnya di shalat idul fitri dan idul adha. Minangkabau. Sedangkan surau semakin luas Minangkabau adalah satu di fungsinya. Selain menjadi semacam antara kelompok etnis utama bangsa asrama anak-anak muda, juga menjadi Indonesia yang terletak di bagian tempat mengaji, belajar agama, tempat tengah pulau Sumatera. Dari segi suluk, tempat berkumpul dan berapat, topografi, daerah ini dilintasi oleh tempat penginapan musafir, tempat Bukit Barisan yang merupakan tulang berkasidah/bergambus dan punggung pulau Sumatera yang sebagainya.7 Fungsi masjid yang pada letaknya memanjang dari ujung utara dasarnya merupakan tempat ibadat sampai ke ujung selatan. Luas dan kebudayaan, menurut Sidi daerahnya kira-kira 42.297,30 km Gazalba, sejak adanya surau sebagian persegi, lebih kurang 1/48,2 luas fungsi kebudayaan masjid diambil alih kepulauan nusantara. Dataran ini oleh surau.8 terdiri dari tanah dataran tinggi dan Dari segi arsitektur, surau bisa dataran rendah pantai sempit yang saja sama dengan masjid terutama menghadap ke Samudera Indonesia.11 bentuk masjid-masjid yang pertama Secara tradisional daerah ini dibangun tidak berbeda dengan surau. terbagi dua ke dalam tiga luhak, yaitu Yang menjadi ciri pembedanya adalah Luhak Agam (sekeliling Bukittinggi), peralatan atau kelengkapannya. Luhak Tanah Datar (sekitar Batu Masjid mempunyai mimbar, surau Sangkar) dan Luhak Lima Puluh Kota tidak. Di samping itu masjid (sekitar Payakumbuh). Tiga luhak ini mempunyai mihrab, sedangkan surau sekarang berkembang menjadi umumnya tidak. Lembaga khatib beberapa kabupaten. 12 Dalam hanya ada pada masjid, sedang menata kehidupannya masyarakat lembaga imam dan muazzin kadang- Minangkabau berprinsip kepada kadang juga dipunyai oleh surau.9 ajaran Tungku Nan Tigo Sajarangan Kehadiran surau sebagai atau Tali Tigo Sapilin yang terdiri dari sebuah lembaga pendidikan Islam Ninik-Mamak (pemangku adat), Alim- (semacam pesantren pada masa Ulama (pimpinan agama) dan Cerdik- 7 Azyumardi Azra, “Surau di Tengah Krisis...”, op.cit., h. 10 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di 157 Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1995), h.18 8 Sidi Gazalba, op.cit., h. 293 11Mochtar Naim, Merantau, Pola Migrasi Suku 9 Ibid. Minangkabau, (Yogyakarta: UGM Press, 1979), h. 14 12 Ibid. Jurnal Sejarah Lontar 1 Vol.5 No.2 Juli - Desember 2008 0 Pandai (pimpinan Pemerintah mangato, adat mamakai, camin nan nagari).13 tidak kabua, palito nan tidak padam. Minangkabau dari segi sosio- (Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kultural dan agama mempunyai Kitabullah. Syara’ menyatakan, adat karakteristik yang unik dibandingkan mengejawantahkan. Cermin yang dari suku bangsa lainnya di Indonesia, tidak buram, pelita yang tidak sehingga fenomena ini tetap menarik padam).16 untuk diamati dan diteliti. Menurut Gazalba: Minangkabau unik, karena di daerah “...Hubungan adat dan agama ini berlaku sistem sosial yang bersifat digambarkan dalam lambang matrilineal, yaitu garis keturunan kelengkapan sebuah nagari di seseorang ditarik dari pihak ibunya. Minangkabau, yaitu di setiap nagari Begitu pula dalam sistem pembagian selalu terdapat balai adat dan masjid. harta pusaka, sawah ladang dan Tidaklah lengkap dan sempurna tempat kediaman, kaum wanita sebuah nagari bila salah satu dari menduduki tempat yang dominan. yang dua itu tidak ada. Balai adat Meskipun menganut sistem adalah lembaga kebudayaan, sosial matrilineal, namun dalam hal sedangkan masjid merupakan sistem kekuasaan Minangkabau lembaga keagamaan. Kedudukan bukanlah penganut matriarkhaat. masjid di samping balai adat Kekuasaan pada prakteknya dalam merupakan pernyataan kehidupan sehari-hari dipegang oleh keharmonisan ninik mamak dan alim mamak, saudara lelaki ibu. Dengan ulama dalam masyarakat demikian pemusatan kekuasaan tidak Minangkabau...”17 berada di tangan wanita, seperti terdapat dalam sistem kekuasaan Hamka mencatat, “...sulit matriarkhaat.14 Sedangkan wanita memisahkan antara adat dan agama sebagai pemegang kekuasaan dalam masyarakat Minangkabau. perekonomian.15 Keduanya bukan minyak dengan air, Sistem adat Minangkabau yang melainkan bersatu padu, sebagai unik itu semakin unik dan khas, bila perpaduan minyak dengan air dalam dilihat dalam hubungannya dengan susu. Islam bukan tempel-tempelan Islam. Menurut filsafat hidup dalam adat Minangkabau, tetapi suatu masyarakat Minangkabau, tidak ada susunan Islam yang dibuat menurut pertentangan antara adat dengan pandangan hidup orang agama. Keduanya berjalan seiring Minangkabau...”.18 tanpa harus terlibat konflik, karena adat sebagai institusi kebudayaan Hubungan yang erat antara berlaku dalam masyarakat setelah
Recommended publications
  • Studi Terhadap Peran Sentral Syekh Burhanuddin Ulakan
    Indonesian Journal of Islamic History and Culture Vol. 1, No. 2 (2020). 122-136 P-ISSN: 2722-8940; E-ISSN: 2722-8934 SEJARAH ISLAMISASI MINANGKABAU: STUDI TERHADAP PERAN SENTRAL SYEKH BURHANUDDIN ULAKAN Ridwan Arif Universitas Paramadina, Jakarta Email: [email protected] Abstract Sheikh Burhanuddin is known as a prominent Minangkabau scholar. The Islamization of Minangkabau is commonly associated with him. He is seen as a scholar succeeded in islamizing the Minang community. This study examines the role of Sheikh Burhanuddin in the process Islamization of Minangkabau. It examined the approaches and methods applied by Sheikh Burhanuddin in his efforts to Islamization. This study is a qualitative research, namely library research using the document analysis method. The results indicate that Syekh Burhanuddin was successful in his efforts to Islamize Minangkabau because he used the Sufism approach in his preaching, namely da'wah bi al-hikmah. This approach is implemented in the da'wah method, namely being tolerant of, and adopting local culture (Minangkabau customs and culture). Even further, Sheikh Burhanuddin succeeded in integrating Minangkabau customs with Islamic teachings. Keywords: Syekh Burhanuddin; da'wah; Islamization of the Minangkabau Abstrak Syekh Burhanuddin dikenal sebagai seorang ulama besar Minangkabau. Islamisasi Minangkabau sering dikaitkan dengan dirinya. Ini karena ia dipandang sebagai ulama yang sukses mengislamkan masyarakat Minang. Studi ini mengkaji peran Syekh Burhanuddin dalam islamisasi menangkabau. Ia meneliti pendekatan dan metode-metode yang digunakan Syekh Burhanuddin dalam upaya islamisasi. Kajian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian kepustakaan yang menggunakan metode dokumen analisis. Hasil kajian ini menunjukkan Syekh Burhanuddin berhasil dalam upaya islamisasi Minangkabau karena menggunakan pendekatan tasawuf dalam dakwahnya yaitu da’wah bi al-hikmah.
    [Show full text]
  • AS{HA<B AL-JAWIYYIN DI HARAMAIN: Aktivisme Sosiso-Religius Islam Nusantara Pada Abad 17 Dan 18
    Asha{ b< al-Jawiyyin di Haramain M. Fazlurrahman H. – UMS Surabaya ASHA{ B< AL-JAWIYYIN DI HARAMAIN: Aktivisme Sosiso-Religius Islam Nusantara pada Abad 17 dan 18 M. Fazlurrahman H. University of Muhammadiyah Surabaya, East Java, Indonesia [email protected] Abstraks: Berangkat dari pernyataan, penyebaran Islam merupakan proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, tetapi juga yang paling tidak jelas. Maka merasa perlu untuk mengkaji kembali diskursus yang selalu meresahkan para sejarawan, yaitu dibawa oleh para wirausahawan atau para guru-guru tasawuf; wilayah mana di antara nusantara yang luas, sebagai daerah pertama yang menerima ajaran Islam; jaringan ulama’ dengan pusat Islam di Makkah dan Madinah; lalu korelasi seperti apa yang terjadi antara religi-intelektualisme Islam dengan pembaharuan Islam Nusantara di abad ke- 17 dan 18. Sehingga dari makalah ini diharapkan dapat menekankan sejarah-sosial serta intelektual yang kemudian dapat mereformulasi tradisi, sehingga tak lagi terabaikan seperti studi- studi terdahulu tentang peran para ulama’ di Nusantara untuk menjaga NKRI. Kajian ini merupakan pengkajian pustaka (library research), menggunakan jenis kualitatif dengan model historis faktual. Dari diskursus ini ditemukan, bahwa ulama’ atau kaum cendekiawan Muslim dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab, karena meletakkan dasar agama bagi sentimen anti-kolonial yang kemudian ditransformasi menjadi sebuah ideologi jihad yang berada dibalik pemberontakan melawan kolonial. Akhirnya dapat ditarik sebuah konklusi, yaitu para pelajar yang kembali dari Haramain tampaknya ada dua jenis, yakni mereka yang menentang ide-ide para reformis-Muslim dan mereka yang mendukung. Kata Kunci: al-Jawi, Haramain, Sosio-Religius dan Aktivisme. PENDAHULUAN Suatu paradigma yang memandang pengetahuan manusia (human sciences) sebagai gerak berkemajuan tak lepas dari ajaran subyek yang otonom, yaitu Renaissance.
    [Show full text]
  • Transformation of Pesantren in Maintaining Good Character
    View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by INZAH Online Journal Humanistika, Volume 6, Nomor 1, Januari 2020 35 TRANSFORMATION OF PESANTREN IN MAINTAINING GOOD CHARACTER Muhammad Hifdil Islam* & Abd. Aziz** Abstract: Education is the main pillar of nation building. The success of a nation’s education is closely related to the progress achieved. Because it is a necessity, so the government and society should prioritize the overall development of the field of education. Especially education that shapes the national character of the nation. Pesantren as one of the indigenous Indonesian National Education sub-systems, has special advantages and characteristics in applying character education for their students (santri). The writing method this article is writer takes some of schoolars argument that related with the topic of this articel.“this article try to highlight the pesantren as the root of history of islamic education in Indonesia, the transformation of pesantren education system and the role of pesantren in Indonesia in maintaining the good character of student. And the result of this article show that pesantren has many types of system and it has a big role in maintaining the good character of student. Keywords: Transformation, Pesantren and Good Character * Dosen Institut Ilmu Keislaman Zainul Hasan Genggong ** Dosen Institut Ilmu Keislaman Zainul Hasan Genggong 36 Muhammad Hifdil Islam & Abd. Aziz, Transformation of Pesantren... (35-48) PRELIMINARY Islamic boarding school is an institution that is widely praised by people. This is because the pesantren has a characteristic compared to other educational institutions, especially Muslim societies in general, as well as the existence of Madrasah (Schools that is based on islamic education) in Indonesia1.
    [Show full text]
  • Peran Pemimpin Dalam Pengembangan Pondok Pesantren Wali Songo Kecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah
    PERAN PEMIMPIN DALAM PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN WALI SONGO KECAMATAN BUMIRATU NUBAN KABUPATEN LAMPUNG TENGAH Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana (S1) dalam Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Oleh DIAH RISTY KHOIRUNISA NPM : 1641030042 Jurusan : Manajemen Dakwah FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 1441 H/2020 M PERAN PEMIMPIN DALAM PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN WALI SONGO KECAMATAN BUMIRATU NUBAN KABUPATEN LAMPUNG TENGAH Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana (S1) dalam Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Oleh DIAH RISTY KHOIRUNISA NPM : 1641030042 Jurusan : Manajemen Dakwah Pembimbing I : Hj. Rodiyah, S.Ag, MM Pembimbing II : M. Husaini, MT FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 1441 H/2020 M ii ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan peran pemimpin dalam pengembangan pondok pesantren Wali Songo Kaecamatan Bumiratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah. Peran pemimpin saat ini sangatlah berpengaruh dalam pengembangan pondok pesantren sebab pemimpin atau kyai adalah sebutan pengasuh pondok pesantren adalah salah satu elemen yang paling utama dalam sebuah pondok pesantren. Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam tradisonal yang dimana santrinya diwajibkan untuk tinggal dan belajar bersama dibawah bimbingan kyai yang sebagai pengasuh pondok pesantren tersebut. Pondok Pesantren Wali Songo sejak dipimpin oleh Kyai Ulum mengalami penurunan dalam jumlah santri, dan tidak adanya peningkatan dalam pembangunan gedung, karena Kyai Ulum adalah pemimpin kedua setelah Almaghfurlah KH. Imam Syuhadak. Seiiring dengan berjalannya waktu kemudian Pondok Pesantren Wali Songo mengalami sedikit demi sedikit perubahan, pemimpin dan pengurus pondok bekerjasama dengan para anggotanya agar mampu meningkatkan dalam jumlah santri dan penambahan gedung setiap tahunnya.
    [Show full text]
  • Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif Hamka Shobahussurur Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Email: [email protected]
    Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif Hamka Shobahussurur Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Email: [email protected] Abstract Modernization in every aspect of life is definitely needed. Modernization is a process to construct soul to be independent. Modernization from feudalism to democracy. Modernization from the traditional agrarian to advance state and industrialized. Modernization from ignorance to scientific discoveries. Scientific modernization to challenge the advanced countries, and so on. Based on this fact, Hamka has a view that modernization of education is definitely needed. That is because of serious problem in the world of education in Indonesia. Furthermore, the Western education results a sense of antipathy toward Islam and at the same time, Islamic boarding school education mostly against the western world. According to Hamka modernization of education can be actualized through the role of mosque. Mosque has effective educational role and enlightenment, but at some mosques rise educational institutions, for the level of schools as well as university. Keywords: al-madrasah, modernisasi, masjid, halaqah Pendahuluan slam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada peran akal. Penghargaan itu begitu tinggi sehingga seorang tidak dibebani Iuntuk menjalankan ajaran-ajaran agama ketika akal itu rusak, dan tidak lagi berfungsi, gila umpamanya. Sebagaimana seorang mendapatkan dosa yang sangat berat ketika berusaha merusak fungsi akal atau bahkan meniadakannya, seperti bermabuk-mabukan. Islam memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya bagi siapa saja yang menumbuhkembangkan fungsi akal dengan melalui Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430 80 Shobahussurur berbagai proses belajar mengajar, mendidik dan mencerahkan.1 Dari generasi ke generasi semangat mengembangkan ilmu pengetahuan itu terjadi. Penelitian, eksperimentasi, penemuan, dan metodologi keilmuan terus menerus dilakukan dan diperbarui oleh kaum intelektual muslim.
    [Show full text]
  • Hadharah: Jurnal Keislaman Dan Peradaban ISSN: 0216-5945 DOI
    Available online: at https://ejournal.uinib.ac.id/jurnal/index.php/hadharah Hadharah: Jurnal Keislaman dan Peradaban ISSN: 0216-5945 DOI: https://doi.org/10.15548/hadharah DINAMIKA PERKEMBANGAN TAREKAT SYATTARIYAH DAN TAREKAT NAQSYABANDIYAH DI MINANGKABAU Chairullah Ahmad Suluah Community1 [email protected] Abstrak Artikel ini mendiskusikan problematika perkembangan dua tarekat yang populer di Minangakabu, Tarekat Syattariyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Sumber data dari penelitian ini menggunakan sejumlah naskah yang berisi ajaran kedua tarekat, dan naskah-naskah ijazah dari kedua tarekat. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan sejarah sosial intelektual. Sedangkan untuk mengungkap kandungan naskah menggunakan metode Filologi dan Kodikologi. Berdasarkan penelaahan mendalam dari sumber-sumber dimaksud diperoleh temuan bahwa dari aspek kajian dan ajaran-ajarn, kedua tarekat ini pada dasarnya tidak memiliki banyak perbedaan. Perubahan pada ajaran tarekat Naqsyabandiyah terutama sedikit terlihat pada akhir abad IX. Kata kunci: Tarekat, Naqsyabandiyah, Syattariyah, Minangkabau. Abstract This article discusses the problematic of dynamic of two popular orders in Minangakabu, the Syattariyah and the Naqsyabandiyah. The data source of this research is a number of texts containing the teachings material of both tarekat, and degree documents from both tarekat. The research method uses qualitative methods with intellectual social history approach. Meanwhile, to explore the contents of the text, this research use the philology and kodikologi. Based on an in-depth study of the sources referred to, it was found that from the aspect of study and teachings, both of tarekat, basically did not have much differences. Changes to the teachings of the Naqshbandiyah order were particularly slight in the late IX century.
    [Show full text]
  • THE ULAMA in INDONESIA: Between Religious Authority and Symbolic Power
    MIQOT Vol. XXXVII No. 1 Januari-Juni 2013 THE ULAMA IN INDONESIA: Between Religious Authority and Symbolic Power Zulkifli Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jl. Ir. H. Juanda No. 95, Ciputat, Jakarta, 15419 e-mail: [email protected] Abstrak: Ulama di Indonesia: Antara Otoritas Keagamaan dan Kekuatan Simbolik. Artikel ini berupaya menguji hubungan antara peranan ulama, otoritas keagamaan, dan kekuatan simbolik dalam masyarakat Muslim Indonesia dengan meneliti sejumlah literatur penting. Dalam studi ini penulis menggunakan kerangka teoretis ahli sosiologi Prancis Pierre Bourdieu, yakni teori praksis yang hampir tidak pernah digunakan dalam kajian agama di Indonesia. Studi ini mengungkapkan bahwa ulama memegang peranan yang strategis dalam masyarakat Indonesia dan peranannya tetap penting dalam konteks perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang cepat. Tetapi otoritas keagamaan ulama telah terfragmentasi sejak lama dan media global dan teknologi informasi telah membuat otoritas tersebut semakin plural. Dalam konteks ini otoritas keagamaan merupakan arena yang kompetitif di mana kelompok tradisionalis, reformis, radikalis, dan pendatang baru berkompetisi untuk mencapai pengakuan. Studi ini juga menegaskan bahwa otoritas keagamaan dan pengakuan berjalan hanya dengan adanya kekuatan simbolik. Abstract: This article attempts to examine the relationship between the role of ulama, religious authority, and symbolic power in Indonesian Muslim society by scrutinizing famous literature of ulama in Indonesia. In the study I utilize French sociologist Pierre Bourdieu’s theoretical framework known as theory of practice, hardly ever used in the study of religion (Islam) in Indonesia. The study reveals that the ulama have played a strategic role in the Indonesian society and their role continues to be important in the context of rapid social, political, and economic changes.
    [Show full text]
  • Confirming the Existence of the Kingdom: the Efforts of Territorial Consolidation and Formation of Cultural Identity During
    Indonesian Historical Studies, Vol. 1, No. 2, 103-116 © 2017 Confirming the Existence of the Kingdom: The Efforts of Territorial Consolidation and Formation of Cultural Identity During the Reign of Hamengku Buwana I, 1755 – 1792 Sutarwinarmo,1* Agustinus Supriyono,2 Dhanang Respati Puguh2 1Arsip Nasional Republik Indonesia 2Master Program of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University *Corresponding Author: [email protected] Abstract This article discusses the efforts of territorial Consolidation and formation of cultural identity during the reign of Hamengku Buwana I. This article is written using historical method and utilizing primary sources in the form of VOC archives stored in the National Archives of the Republic of Indonesia and Java manuscripts stored in Yogyakarta Sultanate, as well as secondary sources in the form of articles and books. After Giyanti Agreement in 1755, Sultan Hamengku Buwana I attempted to consolidate his territory through negotiation, dispute Received: settlement and law enforcement in order to preserve the sovereignity 30 November 2017 and territorial integrity of his kingdom. He also developed Ringgit Swargen, Yogyakarta style leather puppets that have different shape Accepted: 18 December 2017 from Surakarta style leather puppets developed by Surakarta Sunanate as one of the cultural identity of Yogyakarta Sultanate. Leather puppet show was used to control the areas that were in the territory of the Sultanate of Yogyakarta, as the leather puppet show performed outside the palace must obtain permission from the palace puppet master. The efforts of Sultan Hamengku Buwana I failed, due to the conflict that caused the war destroyed the boundaries and the peace agreement that had been made.
    [Show full text]
  • Indonesian Schools: Shaping the Future of Islam and Democracy in a Democratic Muslim Country
    Journal of International Education and Leadership Volume 5 Issue 1 Spring 2015 http://www.jielusa.org/ ISSN: 2161-7252 Indonesian Schools: Shaping the Future of Islam and Democracy in a Democratic Muslim Country Kathleen E. Woodward University of North Georgia This paper examines the role of schools in slowly Islamizing Indonesian society and politics. Why is this Islamization happening and what does it portend for the future of democracy in Indonesia? The research is mostly qualitative and done through field experience, interviews, and data collection. It is concluded that radical madrasahs are not the main generators of Islamization, but instead the widespread prevalence of moderate Islamic schools are Islamizing Indonesian society and politics. The government began the “mainstreaming” of Islamic elementary and secondary schools, most of which are private, in 1975. This has continued and grown, making them popular options for education today. The government has more recently been increasing the role of state run Islamic universities by expanding their degree offerings to include many non- Islamic disciplines. The use of Islamic schools to educate Indonesians is due to the lack of development of secular public schools and high informal fees charged for the public schools. By making Islamic schools an attractive option that prepares students for success, society has been Islamized slowly as the number of alumni increases and as these alumni play leadership roles in society, business, and government. This Islamization is not of a radical nature, but it is resulting in more Islamic focused public discourse and governing policy, and low levels of tolerance for other faiths and variant Muslim practices.
    [Show full text]
  • The Genealogy of Muslim Radicalism in Indonesia A
    The Genealogy of Muslim Radicalism in Indonesia THE GENEALOGY OF MUSLIM RADICALISM IN INDONESIA A Study of the Roots and Characteristics of the Padri Movement Abd A’la IAIN Sunan Ampel Surabaya, Indonesia Abstract: This paper will trace the roots of religious radicalism in Indonesia with the Padri movement as the case in point. It argues that the history of the Padri movement is complex and multifaceted. Nevertheless, it seems to be clear that the Padri movement was in many ways a reincarnation of its counterpart in the Arabian Peninsula, the Wahhabi> > movement, even though it was not a perfect replica of the latter. While the two shared some similarities, they were also quite different in other respects. The historical passage of the Padris was therefore not the same as that of the Wahhabi> s.> Each movement had its own dimensions and peculiarities according to its particular context and setting. Despite these differences, both were united by the same objective; they were radical in their determination to establish what they considered the purest version of Islam, and both manipulated religious symbols in pursuit of their political agendas. Keywords: Padri movement, fundamentalism, radicalism, Minangkabau, Wahhabism.> Introduction Almost all historians agree that Islam in the Malay Archipelago – a large part of which subsequently became known as Indonesia – was disseminated in a peaceful process. The people of the archipelago accepted the religion of Islam wholeheartedly without any pressure or compulsion. To a certain extent, these people even treated Islam as belonging to their own culture, seeing striking similarities between the new religion and existing local traditions.
    [Show full text]
  • KH Ahmad Dahlan
    107 tahun K.H. Ahmad Dahlan [1] [2] K.H. Ahmad Dahlan K.H. Ahmad Dahlan ( 1868 - 1923 ) Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan K.H. Ahmad Dahlan ( 1868 - 1923 ) Pengantar : R. Tjahjopurnomo Kepala Museum Kebangkitan Nasional Penulis: Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Prof. Dr. Djoko Marihandono, Tim Museum Kebangkitan Nasional Editor: Prof. Dr. Djoko Marihandono, Desain dan Tata Letak: Sukasno ISBN 978-602-14482-8-1 Diterbitkan: Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan [2] K.H. Ahmad Dahlan KATA SAMBUTAN KEPALA MUSEUM KEBANGKITAN NASIONAL Assalamualaikum Wr. Wb. Dengan mengucap Syukur ke hadirat Allah swt, berkat Rahmat dan Karunia-Nya, buku yang berjudul K.H. Ahmad Dahlan Perintis Modernisasi di Indonesia dapat diterbitkan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan dan selesai tepat pada waktunya. Hal ini merupakan suatu prestasi yang luar biasa mengingat persiapan yang dilakukan tidak begitu lama. Oleh karena itu, terima kasih saya ucapkan atas prestasi, jerih payah, dan usaha yang dilakukan oleh mereka yang menangani persiapan penerbitan ini. Selain itu, terima kasih juga saya ucapkan kepada para kontributor, yakni Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Djoko Marihandono, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dan Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed, sekretaris umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015-2020 yang juga dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta yang telah bersusah payah menyiapkan tulisan ini. Dengan terbitnya buku ini, satu tulisan tentang jasa pahlawan sudah diterbitkan lagi oleh Museum Kebangkitan Nasional di samping pahlawan- pahlawan lain yang sudah berhasil ditulis jasanya dan diterbitkan.
    [Show full text]
  • Ave At: SEJARAH KONFLIK KEBANGKITAN ISLAM DI MINANGKABAU
    CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk Provided by Rumah jurnal Fakultas Adab dan Humaniora UIN IB Ave at: Available online at: https://ejournal.fah.uinib.ac.id/index.php/khazanah Khazanah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam ISSN: 2339-207X (print) ISSN: 2614-3798 (online) DOI: https://doi.org/10.15548/khazanah.v0i0. 13 SEJARAH KONFLIK KEBANGKITAN ISLAM DI MINANGKABAU: Sebuah Tinjauan Awal Terhadap Proses Kemunculannya Ihsan Sanusi Peradaban Islam Melayu Pascasarjana Universitan Islam Negeri Raden Fatah Palembang email: [email protected] Abstract This article in principle wants to examine the history of the emergence of the conflict of Islamic revival in Minangkabau starting from the Paderi Movement to the Youth in Minangkabau. Especially in the initial period, namely the Padri movement, there was a tragedy of violence (radicalism) that accompanied it. This study becomes important, because after all the reformation of Islam began to be realized by reforming human life in the world. Both in terms of thought with the effort to restore the correct understanding of religion as it should, from the side of the practice of religion, namely by reforming deviant practices and adapted to the instructions of the religious texts (al- Qur'an and sunnah), and also from the side of strengthening power religion. In this case the research will be directed to the efforts of renewal by the Padri to the Youth towards the Islamic community in Minangkabau. To discuss this problem used historical research methods. Through this method, it is tested and analyzed critically the records and relics of the past.
    [Show full text]