Riba Dan Bunga Bank Dalam Pandangan Ibnu Qayyim
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Riba Dan Bunga Bank Dalam Pandangan Ibnu Qayyim M. Khoirul Hadi al-Asy’ari Alumni Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta1 Abtraks Penelitian ini adalah penelitian berbasis library reseach yang fokus membahas dalam masalah yang sudah ada sejak zaman klasik, pem- bahasan ini adalah pembahasan tentang konsep Riba dan Bunga Bank dalam pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Ulama Kontem- porer ini merupakan Ulama yang sering berpendapat kontroversial, apalagi pada wacana-wacana berupa kajian yang kontroversial. Dalam masalah ini, paper ini berkutat pada bagimana pandangan Ibnu Qa- yyim tentang Riba pada masa Nabi Muhammad SAW sampai Riba pada masa Ibnu Qayyim hidup. Lalu bagaimana penafsiran Kata Riba dalam al-Qur’an yang sempai sekarang tetap dalam debateble diantara kalangan Ulama tafsir dan fiqh terutama oleh Ibnu Qayyim sendiri, kemudian, bagaimana apabila pendapat Riba dalam pandan- gan Ibnu Qayyim di sangkutkan dengan pandangan Bunga Bank yang berkembang pada dunia modern. Adapun hasil dari penelitian ini adalah pertama, bahwa yang dimaksud dengan Riba dan bunga Bank dalam pandangan Ibnu Qayyim mempunyai berbedaan yang mendasar. Kedua, bahwa bunga Bank yang sekarang berkembang bukan dikatakan murni sebgaia Riba dalam masa Nabi Muhammad SAW. Ketiga bahwa Ibnu Qayyim mempunyai pendapat satu dan dua itu berkaitan dengan pemahaman tafsir yang lebih kontekstual dalam kehidupan yang komplek pada saat ini. Kata Kunci : Ibnu Qayyim, Riba, dan Bunga Bank. A. Pendahuluan Pro dan kontra tentang sekitar hukum bunga Bank yang ter- kait dengan Riba bukan saja terjadi dikalangan sarjana muslim, akan tetapi juga pemikir non muslim, sebab itulah ada beberapa ilmuan ahli filsafat yang juga mengharamkan Riba. Plato misalnya, dalam bukunya The Law of Plato, menegaskan bahwa orang tidak boleh me- minjamkan uang dengan rente, dan aristoteles juga menyatakan den- gan hal tersebut. Di dalam bukunya al-Siyasah, bahwa uang adalah alat jual beli, sementara hutang adalah hasil dari jual beli, sedan- 1 [email protected] Jurnal Syari’ah 42 Vol. II, No. II, Oktober 2014 gakan bunga (rente) adalah uang yang lahir dari uang. Menurutnya seseorang yang meminjamkan uang dengan rente merupakan peker- jaan hina dan kita katanya wajib menolaknya.2 Syariat agama Yahudi juga mengharamkan praktek Riba, dalam Taurat juga di jelaskan “Janganlah Kalian meminjam uang kepada Saudaramu sesama Israel dengan cara Riba, berupa perak emas, makanan atau apa saja yang bisa di pinjamkan dengan Riba, agar Rabb Tuhanmu memberikan berkat kepada setiap usahamu.3 Munrtadha Munthari juga berpendapat bahwa dalam kajian filsafat, ia menyatakan Riba adalah bentuk pencurian, karena uang tidak bisa melahirkan uang. Uang tidak memiliki fungsi lain selain alat tukar, uang itu sendiri tidak dapat memberi keuntungan dan sebenarnya uang Itu mandul, dan ini sebenarnya adalah hakekat dalam kajian Riba.4 Memang dalam perjalanan agama Islam Ulama membangi Riba menjadi dua, pertama, Riba nasi’ah, sedangkan kedua, Riba Fadl, Tokoh sahabat dan Tabi’in memperbolehkan Riba Fadl, yang kelebihan harga transaksinya barang bukan karena penundaan atau penyegeraan pembayaran, para tokoh tersebut misalnya Ibnu Ab- bas, Zaid bin Arqam, Ikrimah, dan lain sebagainya. Sedangkan para pakar tafsir yang juga memperbolehkan Riba Fadl adalah kalangan Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Tabari, Muhammad Abduh5 yang menjadi unik adalah salah satu Ulama sekaliber Ibnu al-Qayy- im Jauziyyah, dia membagi Riba menjadi dua macam, pertama, Riba Jali, dan kedua, Riba Khafi, Riba Jali adalah Riba yang mengandung kemudharatan besar, sedangkan Riba Khafi adalah Riba yang men- gandung atau kalau di lakukan membawa praktek ke Riba Jali.6 Ibnu Qayyim menegaskan bahwasanya dasarnya Riba diharam- 2 Fauzi, Atawi, al-Iqtishad wa al-Mal fi al-Tasri al-Islami wa al-Nazm wa al-Wadi’iyyah, (Bairut: Dar alpfikr 1988). 3 Muhammad Ilamuddin, Insurance and Islamic Law (Delhi: Markaz Maktab Is- lami, 1995) 4 Murtadhi Munthari, al-Riba wa al Tamim, Terjemahn Irwan Kurniawan, edisi Indo- nesia Asuransi dan Riba, (bandung: Pustak Hidayat, 1995) h. 18. 5 Muhmaad Rasyid, Ridha, Tafsir Al-manar, (Mesir: Matba’ah Muhammad Ali Sahib wa Abduh, 1374) juz III. h. 102-104. 6 Ibnu Qayim al-Jauzuyah, I’lam al-Muwaqqi’in, (Beirut: Dar al-fikr, tt) II, h. 135. Riba Dan Bunga Bank Dalam Pandangan ... M. Khoirul Hadi al-Asy’ari 43 kan, dalam kondisi tertentu menurutnya bisa ditolerir, adanya tolerir jelan dalam kondisi pertama, untuk Riba Jali dalam kondisi Darurat, sedangkan kedua, Riba Khafi diperbolehkan dalam kondisi hajat.7 Jelas apa yang dikemukan oleh Ibnu Qayyim ini berbeda dengan Ula- ma-Ulama pendahulunya. Yang tidak membuka peluang sama sekali dengan konsep Riba. Maka dalam adagium Fiqh mereka sedikit atau banyak kalau itu Riba tetap Haram,melihat pemikiran Ibnu Qayyim yang unik ini, menjadi dasar dari penulisan ini, bagaimana nalar Ijti- had dan penafsiran terhadap ayat-ayat Riba dalam pandangan Ibnu Qayyim. Lebih lagi kalau pendapat ini kita lempar dalam suasana wacana Perbankan Islam yang berkembang pesat di hari ini, warna Pemikiriran Ibnu qayyim ini menjadi hal yang penting dalam mem- berikan khazanah keilmuan dan pandangan baru dalam memaknai Riba, dalam kontek skala global. B. Pembahasan a. Biografi Ibnu Qayyim Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Abu Bakr ibn Ayyub ibn Sa’ad ibn Hariz al-Zar’i8 al-Dimasyqi al-Hanbali. Laqabnya adalah Syams al-Din dan kunyahnya Abu ‘Abdillah.9 Namun beliau lebih terkenal dengan sebutan Ibn Qayyim al- Jauziyyah, sebab ayahnya adalah seorang pengurus sekolah al- Jauziyyah.10 Julukan Ibn al-Jauzy sebenarnya tidak tepat kalau disan- darkan kepada Ibn Qayyim. Sebutan ini muncul dan populer dikarenakan keteledoran para penulis atau orang-orang yang 7 Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, …… h. 138-9. 8 Zar’i adalah nama sebuah desa yang sekarang bernama Azra. 9 Ibn Qayyim al-Jauziyyah (selanjutnya ditulis al-Jauziyyah saja), Kunci Kebahagia- an, terj. ‘Abd al-Hayy al-Katani (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2004), h. 3. 10 Sekolah tersebut dibangun oleh salah seorang al-Hafiz ibn al-Jauzi yang ber- nama Muhyi al-Din Abu al-Mahasin Yusuf (w. 656 H.) di daerah Bazuriyah Damaskus. Lihat Kamil Muhammad Muh}ammad ‘Uwaidah, al-Imam al-Hafiz Syams al-Din Ibn Qayyim al-Jauziyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), h. 5. Lihat juga pada Biografi Ibn Qayyim dalam Zad al-Ma’ad, Petunjuk Nabi saw. Menjadi Hamba Teladan dalam Berbagai Aspek Kehidupan, terj. Ahmad Sunarto dan Aunurrafiq (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. xix. Jurnal Syari’ah 44 Vol. II, No. II, Oktober 2014 tidak suka kepada Ibn Qayyim, karena julukan Ibn al-Jauzy di- berikan kepada ‘Abd al-Rahman ibn ‘Ali al-Quraisy yang wafat pada tahun 596 H. Di samping itu ada juga beberapa orang yang mempunyai julukan Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Mereka ti- dak lain adalah orang yang memiliki nasab yang sama dengan ayahnya yang bernama Abu Bakr Ayyub, yakni saudara kan- dung Ibn Qayyim (Muhammad ibn Abu Bakr).11 Sedangkan beberapa orang yang menyamai julukan Ibn Qayyim adalah dua orang yang sama alimnya, yaitu: 1. Ibn Qayyim al-Hanbali, adalah Abu Bakr Muhammad ibn ‘Ali ibn Husain ibn Qayyim al-Hanbali. Beliau termasuk golongan ulama ahli hadis dan wafat tahun 480 H. 2. Ibn Qayyim al-Misri, adalah ‘Ali ibn Isa ibn Sulaiman al- Salabi al-Syafi’i ibn Qayyim. Beliau dikenal sebagai muhaddis dan juga perawi. Wafat tahun 710 H. Ibn Qayyim al-Jauziyyah lahir pada 7 Safar 691 H/1292 M. Mayoritas ulama mengatakan bahwa beliau dilahirkan di kota Damaskus, Siria. Namun ada pula yang mengatakan bah- wa beliau dilahirkan di desa Zar’i, Hauran, yang terletak di se- belah Timur kota Damaskus. Beliau wafat pada usia 60 tahun, tepatnya malam Kamis 13 Rajab 751 H./1350 M, waktu azan Isya di kota Damaskus. Jenazahnya dimakamkan di pemaka- man al-Bab al-Saghir di samping makam orang tuanya.12 Beliau berasal dari kalangan terhormat dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang taat dan berilmu. Ayahnya, selain sebagai seorang pendidik juga dikenal sebagai seorang ulama Fiqh Hanbali yang ahli dalam bidang fara’id. Dari sini- lah beliau memulai perjalanan intelektualnya. Selain ahli dalam berbagai masalah agama, beliau pun 11 Muhammad Anwar Yasin al-Sanhuti (selanjutnya ditulis al-Sanhuti saja), Ibn Qayyim Berbicara tentang Tuhan, terj. Romli dan Heri (Jakarta: Mustaqim, 2001), h. 20. 12 Abu al-Falah ‘Abd al-Hayy ibn Azmad ibn Muhammad ibn al-’Imad al-Hanbali (selanjutnya ditulis al-‘Imad saja), Syazarat al-Zahab Fi Akhyar Man Zahab (Bei- rut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.), juz VI, hlm. 180; Abu al-Fida ibn Kasir al-Dimasyqi (selanjutnya ditulis Ibn Kasir saja), Al-Bidayah wa al-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987), juz XIV, h. 246. Riba Dan Bunga Bank Dalam Pandangan ... M. Khoirul Hadi al-Asy’ari 45 sangat ahli dalam masalah akhlak dan sastra. Beliau memiliki wawasan tentang metodologi pembentukan dan terapi jiwa. Beliau menjadikan Rasulullah saw. sebagai panutan dan selalu menerapkan etika dan adab kenabian dalam dirinya. Etika kenabian ini beliau terapkan dalam sikap yang baik dan jiwa yang bersih. Hal ini dapat dilihat ketika beliau mengatakan dalam kitabnya Madarij al-Salikin, bahwa jika ada orang lain berbuat buruk kepadamu kemudian orang tersebut memin- ta maaf kepadamu, maka kamu wajib memaafkannya tanpa melihat apakah dia salah atau benar, kemudian serahkanlah maksud hatinya kepada Allah swt.13 Kehidupan Ibn Qayyim dalam mengisi aktivitas sehari- harinya tidak jauh dari kreatifitas ilmiahnya. Sepanjang hidupnya beliau curahkan untuk menulis kitab dan mengajar di berbagai madrasah di Damaskus. Seperti yang telah diketa- hui, Damaskus ketika itu menjadi pusat kajian keilmuan yang sangat terkenal dan penuh dengan forum-forum ilmiah yang diselenggarakan oleh para ulama. Beliau juga menggantikan kedudukan ayahnya menjadi pimpinan Madrasah al-Jauziyyah yang didirikan oleh ayahnya sendiri dalam waktu yang cukup lama. Berdasarkan periodisasi sejarah Islam, Ibn Qayyim hid- up pada abad pertengahan (1250-1800 M.), tepatnya ketika dinasti Mamluk (1250-1517 M.) berkuasa di Mesir dan Siria, yaitu pada masa pemerintahan Salah al-Din Khalil (1290-1294 M.) hingga masa Nasir al-Din al-Hasan (1347-1351 M).