LAPORAN PENELITIAN

IDENTIFIKASI PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN SUCI PURA ULUWATU MENUJU PENGELOLAAN KAWASAN SUCI BERKELANJUTAN

Tim Peneliti

I Made Adhika (195912311986011003/0031125962) Made Sudiana Mahendra (195611021983031001/0002115602) I Wayan Sandi Adnyana (195910091986011001/0009105902)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2017

i

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ...... i

DAFTAR ISI ...... ii

DAFTAR GAMBAR ...... iv

DAFTAR TABEL ...... v

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

1.1 Latar Belakang ...... 1

1.2 Rumusan Masalah ...... 4

1.3 Tujuan Penelitian ...... 4

1.4 Manfaat Penelitian ...... 4

1.4.1 Manfaat Penelitian Akademis ...... 4

1.4.2 Manfaat Penelitian Praktis ...... 4

BAB II GAMBARAN UMUM KAWASAN SUCI PURA ULUWATU ...... 6

2.1 Lokasi dan Keadaan Geografis ...... 6

2.2 Penduduk Sekitar Kawasan Suci Pura Uluwatu ...... 7

2.3 Sejarah Kawasan Suci Pura Uluwatu ...... 10

2.4 Sosial Budaya Masyarakat di Kawasan Suci Uluwatu ...... 12

2.5 Pariwisata di Kawasan Suci Pura Uluwatu ...... 16

2.6 Daya Tarik Wisata di Kawasan Suci Uluwatu ...... 18

BAB III METODE PENELITIAN ...... 21

3.1 Pendekatan Penelitian ...... 21

3.2 Lokasi Penelitian ...... 22

3.3 Jenis dan Sumber Data ...... 23

ii

3.4 Instrumen Penelitian ...... 24

3.5 Teknik Pengumpulan Data ...... 25

BAB IV PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN SUCI PURA ULUWATU ... 26

4.1 Pemanfaatan Religiusitas di Kawasan Suci Pura Uluwatu ...... 26

4.2 Pemanfaatan Ruang pada Daya Tarik Wisata di Kawasan Suci Uluwatu ...... 29

4.2.1 Daya Tarik Wisata Pantai Luar Pura Uluwatu ...... 31

4.2.2 Daya Tarik Wisata Pantai Pantai Suluban ...... 33

4.2.3 Daya Tarik Wisata Pantai Pantai Padang-Padang ...... 33

4.2.4 Daya Tarik Wisata Pantai Pantai Labuan Sait ...... 34

4.2.5 Daya Tarik Wisata Pantai Pantai Bingin ...... 35

4.3 Sebaran Sarana Akomodasi Wisata di Kawasan Suci Uluwatu...... 36

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...... 41

5.1 Simpulan ...... 41

5.2 Saran ...... 42

DAFTAR PUSTAKA ...... 44

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Pesona Pantai dan Tebing di Kawasan Suci Uluwatu...... 19

Gambar 2. 2 Candi Masuk Pura Uluwatu ...... 20

Gambar 3. 1 Lokasi Penelitian……………………………………………………….23

Gambar 4. 1 Radius Kawasan Suci Pura Uluwatu Lima Kilometer…………………28

Gambar 4. 2 Wisatawan Sedang Menikmati Suasana Pantai Labuan Sait ...... 31

Gambar 4. 3 Panorama Sunset dan Kera di Pura Uluwatu ...... 32

Gambar 4. 4 Pemetaan Sebaran Daya Tarik Wisata di Kawasan Suci Uluwatu ...... 36

Gambar 4. 5 Sebaran Sarana Akomodasi Wisata di Kawasan Suci Pura Uluwatu .... 39

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Jumlah Penduduk Desa Pecatu dari Tahun 2007-2010 ...... 8

Tabel 2. 2 Penduduk Desa Pecatu Berdasarkan Agama yang Dianut ...... 8

Tabel 2. 3 Penduduk Desa Pecatu Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...... 9

Tabel 2. 4 Penduduk Desa Pecatu Berdasarkan Kelompok Umur ...... 9

Tabel 2. 5 Mata Pencaharian Penduduk Desa Pecatu ...... 13

v

1 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

BAB I PENDAHULUAN

Bab pendahuluan memaparkan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Latar belakang merupakan bentuk penjelasan singkat mengenai permasalahan yang terjadi didukung dengan fakta-fakta, sehingga hal ini layak untuk diteliti. Rumusan masalah menjelaskan mengenai permasalahan penelitian yang akan distudi. Tujuan penelitian adalah memaparkan tujuan akhir yang dicapai dalam penelitian. Manfaat penelitian berisi uraian manfaat-manfaat penelitian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan (manfaat akademik), dan pemecahan masalah- masalah yang terjadi di masyarakat (manfaat praktis).

1.1 Latar Belakang

Perkembangan pariwisata di menunjukkan pembangunan yang sangat pesat pada era 1980 sampai di awal tahun 2000. Kesuksesan pembangunan pariwisata di Bali dapat diukur dari jumlah wisatawan yang tiap harinya mengunjungi pulau Bali. Jika dirunut kearah ekonomi, devisa yang disumbangkan dari sektor pariwisata di Bali sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi negara. Selain berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi negara, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan juga dinikmati masyarakat Bali sebagai subjek dari perkembangan pariwisata yang pesat tersebut. Kemajuan pariwisata tersebut tidak dipungkiri membuat perubahan mendasar pada kondisi sosial dan budaya masyarakat. Dominasi pekerjaan sebagai petani yang pada masa lalu ditekuni masyarakat Bali sebagai mata pencaharian utama berangsur-angsur berubah. Masyarakat Bali kini telah tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat industri yang kehidupannya bertumpu pada kunjungan wisatawan. Pariwisata dianggap telah membawa kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup manusia Bali. Tumbuhnya pariwisata sebagai roda perekonomian utama memicu kebutuhan akan akomodasi, fasilitas

2 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

pendukung dan penunjang kegiatan kepariwisataan. Tentunya hal ini membutuhkan ruang sebagai prasayarat berdirinya fasilitas tersebut, dalam hal ini lahan. Kondisi tersebut mendorong masyarakat Bali sendiri untuk memanfaatkan lahan yang awalnya sebagai lahan agraris dipergunakan untuk industri penunjang pariwisata. Terjadinya pemanfaatan ruang sebagai fasilitas penunjang akomodasi wisata merupakan fenomena yang terjadi seiring dengan peningkatan kunjungan wisata. Berdasarkan fakta-fakta di atas tersebut, ruang yang dimaksud dalam pemahaman tulisan ini adalah sebagai wadah tempat berlangsungnya berbagai aktivitas manusia. Giddens memahami ruang sebagai wadah tempat mendistribusikan aktivitas manusia yang mengadung berbagai makna sosial (Barker, 2009). Foucult melengkapi dengan memandang ruang sebagai wadah tertulisnya sejarah dan kekuasaan- kekuasaaan yang menyangkut strategi-strategi besar geopolitik sampai taktik sederhana suatu habitat. Pada penelitian ini ruang dimaknai sebagai alam semesta dengan segala aktivitas yang terdapat di dalamnya. Sementara itu Habermas memandang ruang publik sebagai ranah yang muncul dalam suatu fase spesifik pada masyarakat borjuis yang menengahi antara masyarakat dan negara dimana opini terbentuk. Secara mengkhusus pemahaman ruang dalam penelitian ini memandang ruang daratan yang dijadikan tempat aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi oleh masyarakat, wisatawan, pemodal, dan pemerintah di kawasan suci Uluwatu. Sementara itu menurut Undang-Undang Republik Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud ruang adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Selanjutnya kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sementara itu kawasan budidaya yang dimaksudkan adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Pada penelitian ini akan dilihat pemanfaatan potensi

3 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

sumber daya alam, manusia, dan buatan pada kawasan suci Uluwatu sebagai destinasi wisata. Mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali, kawasan suci adalah kawasan di sekitar pura yang perlu dijaga kesuciannya dalam radius tertentu sesuai status pura. Tidak hanya itu, berdasarkan Perda tersebut kawasan tempat suci termasuk kawasan lindung (perlindungan setempat) yang mengacu pada norma dan ketentuan tentang radius kesucian tempat suci. Norma yang mengatur radius kesucian ini dikenal dengan bhisama, radius kesucian pura dinilai dari status pura, antara lain Pura Sad Kahyangan, Pura Dang Kahyangan, Pura Kahyangan Jagat, dan Pura Kahyangan Desa. Pura Uluwatu sebagai salah satu pura peninggalan yang didirikan oleh Mpu Kuturan digolongkan sebagai Pura Dang Kahyangan. Pada bhisama tersebut diatur bahwa Pura Dang Kahyangan radius kawasan suci pura ditetapkan adalah apeneleng agung, jika dikonversi dalam skala metrik disetarakan dengan lima kilometer. Sementara itu jika dilihat kondisi dan fakta lapangan bhisama yang menyatakan radius kesucian pura tersebut sepertinya tidak nampak dalam penerapan di lapangan. Berdasarkan pengamatan lapangan, jika diukur dalam jarak lima kilometer terdapat berbagai macam fasilitas akomodasi penunjang pariwisata yang sudah eksis maupun yang baru saja terbangun. Persoalan ini akibat dari komodifikasi yang cukup pesat dari kawasan suci Uluwatu. Pura Uluwatu yang menyimpan keindahan alam dan budaya masyarakat tidak hanya dipandang sebagai aset yang harus disakralkan, namun justru yang terjadi aset tersebut haruslah memberikan nilai dan manfaat ekonomi bagi masyarakatnya. Pada penelitian ini akan dibahas identifikasi pemanfaatan ruang-ruang di kawasan suci Uluwatu, sebagai ruang suci, ruang sebagai kawasan lindung, maupun ruang-ruang ekonomi masyarakat dan pengelolaan kawasan ini agar dapat berkembang dan memberikan implikasi yang berkelanjutan baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya.

4 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan berbagai isu yang telah dipaparkan pada latar belakang terdapat beberapa hal yang akan dijadikan rumusan masalah penelitian adalah bagaimana pemanfaatan ruang dan dalam bentuk apa pemanfaatan ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian pada penelitian ini antara lain adalah untuk menjawab masalah yang telah dipaparkan antara lain untuk mengetahui pemanfaatan ruang dan bentuk pemanfaatan ruang di Kawasan Suci Uluwatu dan dalam bentuk apa pemanfaatan ruang tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Pada penelitian ini manfaat penelitian dapat dibagi menjadi dua yakni manfaat akademis dan manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat membedah permasalahan yang dialami dalam pembangunan Kawasan Suci Pura Uluwatu.

1.4.1 Manfaat Penelitian Akademis

Manfaat penelitian bagi lingkungan akademis dapat memberikan sumbangsih pemahaman terbaru dalam manajemen pengelolaan ruang khususnya di kawasan suci. Tentunya manajemen pengelolaan ruang tersebut diharapkan dapat menyelesaikan polemik tarik ulur radius kawasan suci yang selama ini terus menjadi perdebatan untuk dapat segera diselesaikan.

1.4.2 Manfaat Penelitian Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah agar dapat digunakan sebagai pedoman bagi pemegang kebijakan dalam memberikan arahan dalam pengelolaan kawasan suci. Dalam hal ini pemegang kebijakan dapat memberikan solusi atas silang

5 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

pendapat mengenai pemanfaatan suci yang terus terjadi, apakah harus mendahulukan kepentingan kesucian kawasan atau mendahulukan kepentingan ekonomi masyarakat.

6 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

BAB II GAMBARAN UMUM KAWASAN SUCI PURA ULUWATU

Bab II berisi tentang lokasi dan keadaan geografis, penduduk sekitar Pura Uluwatu, sejarah Pura Uluwatu, sosial budaya masyarakat di kawasan suci Uluwatu, pariwisata di kawasan suci Pura Uluwatu, dan daya tarik wisata di kawasan suci Uluwatu. Keseluruhan hal yang berkaitan dengan sekilas Kawasan Suci Pura Uluwatu dirangkum pada bab II dalam gambaran umum kawasan.

2.1 Lokasi dan Keadaan Geografis

Kawasan suci Pura Uluwatu jika dilihat dari aspek geografis terletak pada 8° 47’ 30” dan 8° 51’ 30” Lintang Selatan, 115° 04’ 30” dan 115° 10’ 30” Bujur Timur. Kondisi wilayah sebagian besar dikelilingi laut dengan pantai yang terjal dengan ketinggian antara 29-160 meter di atas permukaan laut. Pada arah selatan bagian timur kawasan merupakan kondisi paling terjal yakni 160 meter di atas permukaan laut. Kondisi tersebut berada di Banjar Tambyak dan Banjar Kangin. Kemudian di Banjar Karang Boma ketinggian kawasan mencapai 132 meter di atas permukaan laut dan di bagian timur ketinggian mencapai 72 meter di atas permukaan laut yang juga merupakan lokasi Pura Uluwatu. Daerah yang paling tinggi terletak di pusat Desa Pecatu dengan ketinggian mencapai 175 meter di atas permukaan laut. Pemandangan di sekitar wilayah Desa Pecatu rata-rata memiliki panorama yang menarik. Kondisi iklim di sekitar kawasan rata-rata dipengaruhi oleh iklim pantai dengan suhu rata-rata 32° Celcius dan curah hujan berkisar 1000-1500 cm/ tahun. Curah hujan yang relatif rendah tersebut berpengaruh pada suhu di sekitar kawasan yang cukup panas. Berdasarkan bhisama PHDI yang menyatakan Pura Uluwatu adalah Pura Dang Kahyangan, maka radius kesucian pura ditetapkan 5 kilometer dari Pura Uluwatu. Jika dilihat secara kewilayahan maka banjar yang terdampak radius kesucian pura antara lain adalah Banjar Dinas Kangin, Banjar Dinas Kauh, Banjar Dinas Tengah, Banjar

7 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Dinas Giri Sari, Banjar Dinas Karang Boma, Banjar Dinas Suluban, Banjar Dinas Labuan Sait, Banjar Dinas Buana Sari dengan luas 26.41 km2. Batas-batas kawasan Desa Pecatu dalam monografi desa adalah sebagai berikut:  Sebelah Utara : Tukad Sangklung/ Kelurahan Jimabaran  Sebelah Selatan : Samudra Indonesia  Sebelah Barat : Samudra Indonesia  Sebelah Timur : Tukad Pang-pang/ Desa Ungasan Sementara itu berdasarkan pembagian wilayah desa pakraman, kawasan suci Pura Uluwatu yang berada di wilayah Desa Pecatu terdiri atas Banjar Adat Kangin, Banjar Adat Tengah, Banjar Adat Kauh. Keberadaan banjar adat di kawasan suci Uluwatu berkaitan dengan organisasi adat yang berfungsi dalam menjalankan upacara keagamaan dan tata masyarakat adat. Kesamaan wilayah antara Desa Adat Pecatu sebagai pelaksana adat dan Desa Pecatu sebagai pelaksana administrasi pemerintahan memudahkan koordinasi dalam kegiatan pembangunan desa. Sementara itu desa adat berfungsi pada koordinasi dan komunikasi dengan warga sementara desa dinas yang memiliki kewenangan dalam menentukan keputusan dan akses dengan pemegang kebijakan yang lebih tinggi.

2.2 Penduduk Sekitar Kawasan Suci Pura Uluwatu

Penduduk di sekitar kawasan suci Pura Uluwatu adalah penduduk yang bermukim dan bertempat tinggal di wilayah Desa Pecatu dengan jumlah berdasarkan sensus 2010 sebanyak 6.834 jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari 3.452 jiwa penduduk laki-laki dan 3.382 jiwa penduduk perempuan. Berdasarkan Tabel di bawah ini akan dijabarkan secara rinci perkembangan jumlah penduduk Desa Pecatu dari tahun 2007- 2010.

8 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Tabel 2.1. Jumlah Penduduk Desa Pecatu dari Tahun 2007-2010 Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah Jiwa Jumlah KK 2007 3.466 3.397 6.863 1.975 2008 3.466 3.397 6.863 1.975 2010 3.452 3.382 6.834 1.935 Sumber: Monografi Desa dan Badung dalam angka 2016 Sementara itu jika dilihat berdasarkan jenis agama yang dianut pada tahun 2008 diketahui sebanyak 6.761 orang di Desa Pecatu beragama Hindu, beragama Islam sebanyak 65 orang, disusul beragama Kristen sebanyak 23 orang, dan bergama Katolik sebanyak 12 orang, jumlah masyarakat yang memeluk aliran kepercayaan sebanyak 2 orang. Selanjutnya pada Tabel 2.2 akan dijabarkan agama yang dianut di Desa Pecatu.

Tabel 2.2. Penduduk Desa Pecatu Berdasarkan Agama yang Dianut No. Agama 2007 2008 1 Islam 65 65 2 Kristen 23 23 3 Katolik 12 12 4 Hindu 6736 6761 5 Penganut Kepercayaan 2 2 Sumber: Komodifikasi Kawasan Suci Pura Uluwatu 2012

Berdasarkan aspek pendidikan penduduk Desa Pecatu pada tahun 2007 dan tahun 2008 jumlahnya sebanyak 2.988 orang sesuai dengan data yang tercantum dalam monografi desa. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Pecatu didominasi oleh tamatan SMU/SLTA sebanyak 1730 orang, disusul oleh masyarakat yang tamat SMP/SLA sebanyak 978 orang, selanjutnya masyarakat yang tamat sarjana sebanyak 200 orang, yang tamat akademi/D1 - D3 sebanyak 82 orang, dan yang paling sedikit adalah masyarakat yang berpendidikan khusus (bidang agama) sebanyak 45 orang. Berikut pada Tabel 2.3 akan disajikan tingkat pendidikan masyarakat Desa Pecatu.

9 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Tabel 2. 3. Penduduk Desa Pecatu Berdasarkan Tingkat Pendidikan No Pendidikan Tahun 2007 2008 1 Sekolah Dasar 2988 2988 2 SMP/SLTP 978 978 3 SMU/SLTA 1730 1730 Aka4 Akademi/D1 -D3 82 82 5 Sarjan (S1 - S3) 200 200 6 Pendidikan khusus 45 45 Sumber: Monografi Desa Pecatu 2007, 2008 Berikutnya jika dilihat berdasarkan kelompok umur komposisi masing-masing kelompok umur hampir merata, kecuali pada kelompok umur 7 - 12 tahun yang menunjukkan jumlah paling banyak dibandingkan dengan kelompok umur lain. Kelompok usia 19 tahun ke atas menunjukkan jumlah yang setara dengan kelompok umur di bawahnya. Berikutnya pada Tabel 2.4 akan dipaparkan penduduk Desa Pecatu dilihat dari kelompok umur.

Tabel 2. 4 Penduduk Desa Pecatu Berdasarkan Kelompok Umur Tahun No Umur 2007 2008 1 00 - 03 tahun 295 241 2 04 - 06 tahun 284 256 3 07 - 12 tahun 706 705 4 13 - 15 tahun 270 282 5 16 - 18 tahun 237 264 6 19 - ke atas 1748 Sumber: Monografi Desa Pecatu 2007, 2008 Perkembangan pariwisata yang cukup signifikan pada kawasan menimbulkan konsentrasi penduduk pada kawasan-kawasan pengembangan daya tarik wisata. Tercatat konsentrasi penduduk pada masing-masing daya tarik wisata tersebar di seputaran Pantai Bingin, Pantai Suluban, Pantai Padang-padang dan lainnya. Selain itu

10 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

berkat dibangunnya jalan lingkar wilayah Desa Pecatu, pembangunan dan pengembangan kawasan cenderung mengikuti alur jalan tersebut yang menyerupai pita/ribbon development.

2.3 Sejarah Kawasan Suci Pura Uluwatu

Pura Uluwatu adalah salah satu di antara enam pura yang digolongkan sebagai Pura Sad Kahyangan Jagat di Bali. Pura ini merupakan tempat memuliakan dan memuja Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam prabhawa atau perwujudan Rudra. Berdasarkan letaknya di barat daya Pulau Bali (Nairiti), pada tempat tersebut yang dimuliakan adalah Dewa Rudra (Soebandi, 1983; Adnyana, 1998, Bali Post, 2006). Lima pura lainnya yang termasuk Sad Kahyangan, adalah: Pura Besakih dan Pura Lempuyang Luhur yang terletak di wilayah Kabupaten Karangasem, terletak di wilayah Kabupaten Klungkung, Pura Batukaru terletak di wilayah Kabupaten Tabanan, serta Pura Puser Tasik (Pura Pusering Jagat) di Desa Pejeng, yang termasuk wilayah Kabupaten Gianyar (Adnyana,1998). Berdasarkan lontar Padma Bhuwana disebutkan bahwa Pura Luhur Uluwatu sebagai Pura Padma Bhuwana. Digolongkan sebagai Padma Bhuwana, hal ini berkaitan erat dengan konsep yang digunakan dalam mendirikan pura ini yakni konsep Sad Winayaka dan Padma Bhuwana. Menurut konsep Sad Winayaka maka Pura Uluwatu menjadi salah satu pura sad kahyangan di Bali, sedangkan menurut konsep Padma Bhuwana pura ini didirikan sebagai manifestasi Tuhan yang menguasai arah barat daya (Bali Post, 2006). Menurut hasil seminar tentang kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek Agama Hindu, dikatakan ada sembilan kahyangan jagat di Bali, secara filosofis Padma Bhuwana merupakan stana (tempat) Hyang Widhi dalam fungsinya menjaga dan melindungi alam Bali. Kesembilan kahyangan tersebut adalah (1) Pura Besakih terletak di wialyah Kabupaten Karangasem, (2) Pura Batur terletak di wilayah Kabupaten Bangli, (3) Pura Lempuyang Luhur terletak di wilayah Kabupaten Karangasem, (4) Pura Andakasa terletak di wilayah Kabupaten Karangasem, (5) Pura Goa Lawah terletak di wilayah Kabupaten Klungkung, (6) Pura Uluwatu terletak di

11 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

wilayah Kabupaten Badung, (7) Pura Batukaru terletak di wilayah Kabupaten Tabanan, (8) Pura Pucak Mangu di wilayah Kabupaten Badung, dan (9) Pura Puser Tasik atau Pura Pusering Jagat terletak di Desa Pejeng, dalam wilayah Kabupaten Gianyar (Adnyana, 1998). Melihat pada filosofi pembangunan Pura Uluwatu tersebut, berikutnya sejarah penetapan kawasan suci Pura Uluwatu hingga ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2005 yang diperbaharui dengan Perda 16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali. Peraturan tersebut mengamanatkan radius kesucian pura sad kahyangan adalah lima kilometer sesuai bhisama tentang kesucian pura yang ditetapkan PHDI Pusat. Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ketua Adat Desa Pecatu I Wayan Rebong (2012) memang sudah ada batas kawasan suci yang disebut kekeran atau karang kekeran dengan jarak lebih kurang 600 meter dari Pura Uluwatu. Luasan karang kekeran lebih kurang lima kilometer persegi dengan batas-batas yang telah diwarisi secara turun temurun. Batas karang kekeran berupa pagar, kondisi alam yang berupa saluran air hujan atau sungai kecil, atau tanaman punyan gede (kayu santen) yang telah diwarisi dan disepakati oleh masyarakat panyanding-nya. Seringkali batas karang kekeran itu tidak jelas hal tersebut akibat jaraknya relatif jauh tanpa pagar penghubung di antaranya. Akan tetapi selama ini belum ada permasalahan batas karang dengan masyarakat panyanding-nya. Karang kekeran sebagai pelindungan areal pura dijelaskan hanya diperuntukkan kepentingan penghijauan yang berupa tanaman langka, pembangunan pasraman, dan pembangunan panggung pertunjukan untuk pementasan tarian cak. Pembangunan pesraman dan pembangunan panggung pertunjukan pada dasarnya untuk meningkatkan sumber daya manusia dan pelayanan kepada umat Hindu, serta sumber pemasukan untuk pemeliharaan pura sehingga dijadikan sebagai daya tarik pariwisata.

12 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Pernyataan Ketua Adat Desa Pecatu tentang karang kekeran diperkuat oleh pernyataan I Made Dadi yang merupakan anggota masyarakat yang tinggal di sekitar Pura Uluwatu, dan I Wayan Kanten yang menjabat sebagai Sekretaris Desa Pecatu. Disebutkan bahwa masyarakat di sekitar Pura Uluwatu dan warga Desa Adat Pecatu pada umumnya sangat mensakralkan keberadaan karang kekeran tersebut. Masyarakat tetap taat terhadap larangan pada karang kekeran, dan sangat meyakini kawasan suci tersebut, sehingga diyakini oleh tokoh-tokoh masyarakat tersebut, masyarakat tidak akan melanggarnya. Adanya pengembangan fasilitas penunjang pariwisata di kawasan suci Pura Uluwatu telah menimbulkan konflik norma hukum yang melandasinya. Masyarakat berpegang teguh pada ketentuan tradisi yang memandang kawasan suci adalah sebatas karang/alas kekeran, Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Badung berpegang pada Keputusan Bupati Badung yang terkait dengan pola pemanfaatan ruang yang dituangkan dalam rencana detail pemanfaatan ruang, sedangkan Pemerintah Provinsi Bali berlandaskan pada Perda 3 tahun 2005 ataupun penyempurnaanya dengan Perda 16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Provinsi Bali yang memandang kawasan suci Pura Uluwatu adalah lima kilometer sesuai dengan PHDI Pusat. Pihak-pihak yang berbeda pandangan tetap bertahan dengan alasan dan dasar hukumnya masing-masing. Konflik norma hukum ini berkepanjangan sampai tulisan ini dibuat masih dalam proses pencarian solusi yang tepat untuk dapat diterima semua pihak dan pemangku kepentingan.

2.4. Sosial Budaya Masyarakat di Kawasan Suci Uluwatu

Kondisi sosial budaya masyarakat Desa Pecatu dilihat dari aspek mata pencaharian sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani dengan jumlah sebanyak 1.832 orang. Berikutnya oleh masyarakat dengan mata pencaharian sebagai karyawan swasta dan pedagang/wiraswasta masing-masing sebanyak 1.143 dan 1.098 orang. Selanjutnya masyarakat yang bermata pencaharian sebagai tukang relatif sedikit sebanyak 185 orang, dan pegawai negeri sipil sebanyak 101 orang. Kelompok sosial

13 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

yang sangat sedikit jumlahnya adalah nelayan sebanyak 20 orang, yang pensiun sebanyak 5 orang, dan ABRI/TNI/Polri sebanyak 6 orang. Sementara itu penduduk yang berprofesi sebagai nelayan tercatat relatif sedikit, hal tersebut dikarenakan kondisi pantai di sekitaran Desa Pecatu relatif curam dan sulit untuk dijangkau. Berikutnya pada Tabel 2.5 akan dijelaskan kondisi mata pencaharian penduduk Desa Pecatu.

Tabel 2. 5. Mata Pencaharian Penduduk Desa Pecatu No Pekerjaan Tahun 2007 2008 1 Pegawai Negeri Sipil 101 101 2 ABRI/TNI/Polri 6 6 3 Karyawan Swasta 1143 1143 4 Pedagang/Wiraswasta 1098 1098 5 Tani 1832 1832 6 Pertukangan 185 185 7 Pensiun 5 5 8 Nelayan 20 20 Sumber: Monografi Desa Pecatu 2007, 2008 Kondisi lahan kawasan yang berkapur dengan iklim dengan tingkat hujan rendah, maka hasil pertanian dan perkebunan masyarakat berupa ketela pohon, jagung, kacang tanah, dan kedelai. Hasil pertanian masyarakat sangat tergantung pada musim di wilayah Desa Pecatu dan alam lingkungannya. Masyarakat akan memanfaatkan musim hujan untuk bertani, selanjutnya pada musim kering tanaman perkebunan sulit tumbuh karena kekurangan air. Hanya beberapa tanaman yang tahan terhadap iklim kering. Selain pendapatan dari hasil pertanian/perkebunan, masyarakat Desa Pecatu juga melakukan kegiatan peternakan seperti yang tercantum dalam Monografi Desa Pecatu tahun 2008. Jenis peternakan yang diusahakan masyarakat adalah ayam

14 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

kampung yang paling dominan (30.000 ekor), kemudian berikutnya adalah sapi (4.300 ekor), babi (1.300 ekor), dan itik yang paling sedikit (100 ekor). Pengusahaan ternak ayam kampung tidak mengalami permasalahan dalam penyediaan pakannya, namun sebaliknya peternakan sapi akan memerlukan pasokan pakan yang berupa rumput dari tempat lain seperti Denpasar dan sekitarnya, utamanya pada musim kemarau. Terkait dengan kondisi agam dan kepercayaan masyarakat Desa Pecatu sebagian besar masyarakat mengaut agama Hindu sebagai mayoritas dan profesi yang digeluti sebagian besar adalah petani. Dominasi budaya pertanian yang dilandasi agama Hindu nampak kental dalam penyelenggaraan-penyelenggaraan upacara keagamaan di Desa Pecatu. Upacara-upacara yang sangat terkait dengan keberadaan pura-pura di kawasan desa yang dapat digolongkan Pura Sad Kahyangan beserta prasanak-nya, Pura Kahyangan Desa, dan tugu-tugu pengayengan seperti yang tertuang dalam awig-awig desa. Pura Sad Kahyangan adalah Pura Uluwatu dengan prasanaknya yang melingkupi Pura Bajurit, Pura Parerepan, Pura Kulat, Pura Dalem Selonding, dan Pura Dalam Pangeleburan. Pura Kahyangan Desa melingkupi Pura Puseh, Pura Desa, Pura Dalem, Pura Kahyangan, Pura Prajapati, Pura Bangbang, dan Pura Sari/Melanting. Tugu-tugu pengayengan melingkupi tugu di Kantor Desa, tugu di Bank Desa (LPD), tugu di Pempatan Desa, Tugu Tegal Penangsaran, dan Tugu Pempatan Sakapa. Selain pura-pura tersebut, dalam lingkup wilayah kawasan suci Pura Uluwatu juga terdapat pura lainnya seperti Pura Batu Belah, Pura Batu Jaran, Pura Beji, dan Pura Batu Dihi yang terletak di sebelah utara Pura Uluwatu. Pura Batu Jaran dan Pura Beji letaknya paling dekat dengan Pura Uluwatu. Selanjutnya adalah Pura Batu Dihi yang lokasinya kini dipindahkan dalam rangka memudahkan akses ke pura tersebut. Pura Belah terletak di dekat muara Suluban yang juga bersebelahan dengan Tanjung Suluban. Semua pura-pura ini terletak di tepi tebing yang curam yang berbatasan secara langsung dengan laut.

15 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Terdapat ritual sakral keagamaan yang dilaksanakan masyarakat di Desa Adat Pecatu yang hingga kini masih dilestarikan yakni Sanghyang Jaran. Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Desa Pecatu I Wayan Kanten bahwa tarian tersebut dilakukan oleh penari dalam keadaan kesurupan/trans (tidak sadar) yang meniru gerak- gerik jaran (kuda). Tarian dilakukan pada hari tertentu dengan upacara tertentu, dan oleh penari tertentu pula. Penari sanghyang jaran didasarkan pada garis keturunan, karena tanpa hal tersebut panari tidak kunjung kesurupan walau upacara dan nyanyian telah dilantunkan. Sebelum pementasan sanghyang jaran diadakan upacara terlebih dahulu, diiringi dengan lagu-lagu keagamaan yang nadanya mengundang roh agar masuk ke panari hingga kesurupan. Setelah penari kesurupan secara otomatis penari akan melakukan tari-tari sesuai dengan roh yang memasukinya. Ritual Sanghyang Jaran akan dilakukan apabila ada hal-hal yang kurang baik di lingkungan masyarakat desa, seperti adanya wabah penyakit, terjadi gagal panen, serta keadaan lainnya yang kurang baik bagi lingkungan. Berikutnya terdapat ritual untuk mengundang hujan yang terkait dengan kegiatan pertanian dan kondisi iklim di Desa Pecatu. Ritual ini disebut mendak/magpag ujan (upacara mengundang hujan). Upacara ini dilakukan bertujuan untuk memohon hujan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa agar hujan dapat segera turun dan kegiatan pertanian dapat berjalan dengan baik. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kelian Banjar Karang Boma I Wayan Mosin Arjana, bahwa kegiatan ini dilakukan menjelang akhir musim kemarau berakhir dan datangnya musim hujan. Dalam hubungannya dengan upacara piodalan di Pura Uluwatu yang terkait pula dengan pemanfaatan ruang terdapat upacara melasti pada saat piodalan di Pura Uluwatu. Jalur melasti dimulai dari Pura Uluwatu, selanjutnya ke Pura Karang Boma, terus menyusuri jalan yang melewati Desa Pecatu dan singgah di Pura Parerepan. Dari Pura Pererepan selanjutnya rute melasti melewati jalan desa yang menuju ke Pura Pangleburan yang terletak di pantai Labuan Sait. Di pantai ini kegiatan upacara yang terkait dengan kegiatan melasti dilakukan. Setelah selesai upacara, maka kembali

16 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

dengan rute yang sama dengan arah sebaliknya, sampai kembali ke Pura Uluwatu. Dengan demikian, fungsi jalan desa tersebut merupakan jalur spiritual yang dilalui saat upacara melasti. Walaupun secara geografis alurnya memutar, dan lebih jauh dibandingkan dengan jalur Uluwatu langsung ke Labuahan Sait, namun karena tradisi maka jalur ini tetap dilalui.

2.5. Pariwisata di Kawasan Suci Pura Uluwatu

Perkembangan pariwisata di kawasan suci Pura Uluwatu tidak terlepas dari perkembangan dan derasnya wisatawan yang masuk ke Pulau Bali. Perkembangan pariwisata Bali yang tersistematik diawali oleh pemerintahan Orde Baru awal tahun 1968 (Michel Picard, 2006). Wisatawan yang tercatat berkunjung ke Indonesia sejak tahun 1965 hingga sekarang, sedangkan wisatawan yang datang ke Bali mulai tercatat pada tahun 1968. Pada tahun 1965 jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia sebanyak 30.000 orang dan kedatangannya pada tahun-tahun berikutnya berfluktuasi. Wisatawan yang datang ke Bali tahun 1968 tercatat 6.000 dan terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya sampai tahun 1978. Pada tahun selanjutnya kedatangan wisatawan ke Bali mengalami pasang surut, sesuai dengan perkembangan situasi di dalam negeri dan di Bali. Sesuai arahan dan kebijakan pengembangan pariwisata nasional, pembangunan pariwisata di Bali diarahkan pada pembangunan pariwisata dengan pengembangan budaya sebagai konsep dasarnya. Oleh karenanya pura dijadikan sebagai tujuan kunjungan wisatawan, seperti Pura Besakih, Pura Batukaru, Pura Ulundanu Batur dan Beratan, dan Pura Uluwatu. Sebagai salah satu pura dengan peninggaan budaya yang sangat luhur, warisan budaya menjadi daya tarik wisatawan karena keunikannya. Dibukanya kran pariwisata daerah khususnya pada kawasan suci Uluwatu menimbulkan penyediaan jasa, kios, toko, warung yang menjajakan makanan, minuman, cinderamata dan pendukung wisata lainnya. Perkembangan pembangunan di kawasan suci Pura Uluwatu lebih luas dipicu oleh kegiatan berselancar yang diminati oleh wisatawan di Pantai Suluban. Pada

17 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

awalnya untuk mencapai pantai Suluban adalah dengan berjalan kaki, turun dari arah selatan. Kemudian berkembang ojek dan jalan setapak untuk mencapai pantai tersebut, dan selanjutnya dibuat akses sampai ke Labuan Sait dan berlanjut ke Desa Pecatu. Dengan adanya akses yang baik, maka berkembanglah kegiatan di sepanjang jalan dan di pinggiran pantai tersebut yang sejalan dengan pengembangan pita (ribbon development). Perkembangan dipicu oleh tuntutan penyediaan kebutuhan wisatawan dalam rangkaian kegiatan berselancar, seperti makanan dan minuman, oleh-oleh, dan jasa-jasa lainnya. Perkembangan kawasan juga dipicu oleh adanya rencana pembangunan hotel berbintang oleh investor Bali Indo Wisata pada tahun 1990. Berikutnya dilakukan proses pembebasan lahan dengan melakukan kegiatan jual-beli antara pemilik dengan pihak investor. Berdasarkan rencana kegiatan yang dilakukan oleh Bali Indo Wisata tersebut, maka sebagian masyarakat menjual lahanya kepada pihak investor untuk mendapatkan uang, ataupun untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun, sebagian masyarakat lainnya menolak menjual lahannya kepada investor. Sejalan dengan perkembangan pembangunan Bali Indo Wisata, pada tahun 1996 rencana yang dilakukan oleh Bali Pecatu Graha untuk mengembangkan kawasan yang cukup luas. Sama seperti pembebasan lahan yang dilakukan pada periode Bali Indo Wisata, pembebasan lahan yang dilakukan oleh investor juga memicu penjualan lahan oleh masyarakat di Desa Pecatu, terutama pada lahan yang berada pada kawasan pengembangan ataupun berbatasan langsung dengan kegiatan tersebut. Kondisi ini menambah pesatnya perkembangan kawasan suci Pura Uluwatu. Perkembangan selanjutnya adalah pembangunan hotel dan vila-vila yang berkembang di kawasan suci Pura Uluwatu. Pada tahun 1997 dibangun Hotel Blue Point di Pantai Suluban, yang terletak di pantai utara dari kawasan. Di pantai sebelah selatan atau ke arah timur dari Pura Uluwatu dibangun Puri Bali Nyang-Nyang merupakan vila yang dibangun di pantai Nyang-Nyang, kemudian ada Tirta Bali yang merupakan tempat atau jasa untuk melangsungkan upacara pernikahan dibangun pada

18 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

tahun 2006, dan pembangunan Hotel Bvlgari dan Bali-Bali Villa pada tahun 2007. Selanjutnya bermunculan vila-vila dan jasa-jasa lainnya. Berikutnya pada lima tahun terakhir tercatat perkembangan yang lebih pesat di kawasan. Munculnya vila dan jasa penginapan lainnya membuka peluang adanya jasa transportasi dan akomodasi yang menjanjikan bagi masyarakat. Muncullah kegiatan jasa penyewaan kendaraan sepeda motor, jasa cuci pakaian/binatu yang melayani vila dengan kapasitas kecil. Perkembangan selanjutnya muncul akomodasi wisata alternatif yang memberikan pilihan yang lebih beragam pada wisata di kawasan wisata Uluwatu yakni munculnya agro wisata kopi luwak. Kemunculan akomodasi baru ini tidak terlepas dari tren perkembangan wisata minum kopi yang cukup populer di kalangan wisatawan dalam maupun luar negeri.

2.6. Daya Tarik Wisata di Kawasan Suci Uluwatu

Daya tarik utama yang dimiliki oleh kawasan suci Pura Uluwatu adalah Pura Uluwatu dengan keunikan tempat, bangunan pura, panorama, serta alam dan lingkungannya. Perpaduan antara alam, budaya, dan keramahan masyarakat menjadi ciri khas tersendiri pariwisata di kawasan Uluwatu. Keunikan tempat dari pura-pura lainnya adalah keberadaannya Pura Uluwatu di atas tebing dengan ketinggian lebih kurang 72 meter di atas permukaan laut. Suara deburan ombak dan desisan angin akan membawa suasana yang tersendiri di kawasan Pura Uluwatu. Kombinasi dinding tebing yang curam buatan alam dengan bangunan pura di atasnya yang merupakan buatan manusia menambah keindahan panorama kawasan.

19 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Gambar 2. 1. Pesona Pantai dan Tebing di Kawasan Suci Uluwatu Sumber: Dokumen I Made Adhika 2009

Terlebih pada saat matahari terbenam (sunset) bila cuaca cerah merupakan panorama terindah di kawasan. Wisatawan dapat melihat matahari terbenam ke dalam lautan lepas tanpa halangan, merupakan sebuah pemandangan yang eksotis alam ciptaan Tuhan tersebut. Panorama yang indah pada saat matahari terbenam telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dengan membuat daya tarik tambahan. Pada tahun 1992 masyarakat setempat membentuk sekeha cak dengan merekrut masyarakat sekitar sebagai pelaku pariwisata untuk dipentaskan pada saat matahari terbenam sehingga panoramanya sangat menarik. Pentas dilakukan selama 2 jam setiap hari mulai jam 17.00 – 19.00. Kini telah terbentuk sekeha cak berikutnya yang secara bergiliran pentas di panggung di sekitar halaman Pura Uluwatu.

20 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Gambar 2. 2 Candi Masuk Pura Uluwatu Sumber: Dokumen I Made Adhika 2009

Selain panorama, potensi daya tarik wisata, keunikan Pura Uluwatu tidak terlepas dari bangunannya yang merupakan peninggalan leluhur. Bangunan (pintu masuk) yang ada di Pura Uluwatu memiliki bentuk yang sangat unik. Selain itu bentuk candi kurung juga memiliki langgam yang tersendiri yang memiliki kesamaan dengan Candi Sendang Duwur yang telah berumur ratusan tahun (Bali Post, 1998; Kempers, 1959). Demikan pula halnya bangunan lainnya, seperti meru mempunyai bentuk yang menarik bagi wisatawan. Dengan demikian Pura Uluwatu sudah memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Potensi wisata alam lain yang menjadi daya tarik di kawasan suci Pura Uluwatu adalah potensi ombak yang dapat mendukung olahraga selancar/surfing yang sangat digemari wisatawan. Ombaknya yang bagus dipadukan dengan tebing terjal di kawasan menjadikan panorama sangat menarik sebagai pengalaman yang tak terlupakan bagi wisatawan. Potensi ombak yang sering dimanfaatkan terletak di Pantai Suluban ke arah utara. Pantai ini tidak banyak bersentuhan dengan masyarakat setempat, sehingga berselancar dikawasan ini sangat nyaman bagi wisatawan.

21 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

BAB III METODE PENELITIAN

Bab III membahas mengenai pendekatan penelitian yang akan digunakan, dan terkait mengenai pengumpulan data awal penelitian hingga diperoleh hasil analisis. Selain itu Bab III memaparkan beberapa bagian antara lain lokasi penelitian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data dan yang terakhir metode dan teknik penyajian hasil analisis data.

3.1. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah diungkap pada Bab I dan melihat tujuan dan sasaran dari penelitian yakni untuk melihat pemanfaatan ruang dan bentuk pemanfaatan ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu. Maka pada penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Pendekatan penelitian kualitatif pada penelitian ini digunakan menganalisis sejauh mana pemanfaatan ruang yang terjadi di Kawasan Suci Pura Uluwatu. Metode kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang memiliki karakteristik desain penelitian yang jelas, langkah-langkah penelitian dan hasil yang diharapkan telah diketahui sebelumnya. Metode penelitian kualitatif eksploratif deskriptif akan digunakan pada penelitian ini. Penelitian kualitatif digunakan dengan cara mengeksplorasi dan mendokumentasi objek lapangan secara menyeluruh, bersama-sama namun tidak terlalu mendalam dan detail dalam pelaksanaannya. Pendekatan penelitian kualitatif yakni memberikan penekanan pada data yang dihasilkan berupa data deskriptif, yakni kata-kata tertulis ataupun lisan dari objek atau orang yang diamati (Moleong, 2012: 11). Terdapat beberapa ciri-ciri dari penelitian kualitatif yakni subyek sampel, sumber data tidak mantap dan rinci, masih fleksibel, timbul dan berkembangnya sambil jalan. Langkah penelitian baru diketahui dengan jelas setelah penelitian selesai. Tidak mengemukakan hipotesis sebelumnya, tetapi lahir selama penelitian berlangsung. Desain penelitian yang fleksibel dengan langkah

22 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

dan hasil yang tidak dapat dipastikan sebelumnya. Kegiatan pengumpulan data harus dilakukan sendiri oleh peneliti. Analisis data dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Pada penelitian ini yang dijadikan objek penelitian adalah pemanfaatan ruang di Kawasan Suci Uluwatu. Sumber data berdasarkan survey lapangan dengan melihat objek langsung dan sumber data sekunder bersumber dari literatur terkait berupa buku, tulisan, artikel, maupun peraturan. Untuk memudahkan proses penelitian keseluruhan unit pemanfaatan ruang di kawasan dicatat kemudian dilaksanakan pemilahan data. Pemilahan data didasarkan pada fungsi dan jenis pemanfaatan lahan, antara lain kawasan suci, daya tarik wisata, akomodasi wisata, perdagangan, permukiman, dan lainnya yang ada di kawasan.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian didasarkan pada zonasi radius kesucian pura yang telah ditetapkan oleh PHDI. Berdasarkan bhisama PHDI Pura Uluwatu dinyatakan sebagai Pura Dang Kahyangan, sehingga radius kesucian pura ditetapkan 5 kilometer dari Pura Uluwatu. Berdasarkan wilayah administratif banjar yang terdampak radius kesucian pura antara lain adalah Banjar Dinas Kangin, Banjar Dinas Kauh, Banjar Dinas Tengah, Banjar Dinas Giri Sari, Banjar Dinas Karang Boma, Banjar Dinas Suluban, Banjar Dinas Labuan Sait, Banjar Dinas Buana Sari dengan luas 26.41 km2.

23 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Gambar 3. 1. Lokasi Penelitian Sumber: Diolah dari Berbagai Sumber

Batas-batas kawasan Desa Pecatu dalam monografi desa adalah sebagai berikut:  Sebelah Utara : Tukad Sangklung/ Kelurahan Jimbaran  Sebelah Selatan : Samudra Indonesia  Sebelah Barat : Samudra Indonesia  Sebelah Timur : Tukad Pang-pang/Desa Ungasan

3.3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data dalam bentuk kualitatif didapatkan dari hasil narasi yang berupa data-data tertulis,

24 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

lisan, gambar-gambar, foto, maupun skema yang diperoleh dalam hasil observasi di lapangan. Pada penelitian ini data kualitatif dijadikan sumber untuk melihat sejauh mana perkembangan perubahan pemanfaatan ruang di Kawasan Suci Uluwatu. Data yang bersifat data tertulis berupa kondisi wilayah, karakteristik wilayah, dan peraturan dan legal yang terkait dengan keberadaan Kawasan Suci Pura Uluwatu. Sementara data tidak tertulis berupa informasi yang didapat melalui observasi lapangan terhadap masyarakat sekitar dan informasi-informasi terkait perubahan fungsi ruang. Perubahan fungsi ruang ini dapat terlihat dengan pembangunan berbagai fasilitas yang pada saat ini dapat dilihat di kawasan. Selanjutnya dilihat perbandingan perubahan ruang yang terjadi lima tahun terakhir. Perubahan ini dilihat berdasarkan melihat pada perbandingan pada penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Sehingga komparasi yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan perubahan apa saja yang terjadi pada pemanfaatan ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu. Melalui gambaran perubahan ini dapat diidentifikasi pada saat ini apa yang telah terjadi di kawasan beberapa tahun terakhir, baik dilihat dari kajian spasial maupun dari aspek sosial masyarakat. Sumber data dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui pengamatan lapangan secara sekilas. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dengan cara melihat secara langsung fenomena dan fakta yang ada di lapangan. Sementara data sekunder didapat melalui penelusuran berbagai sumber buku, jurnal, artikel ilmiah, dan media yang turut melihat perkembangan kawasan Uluwatu. Berikutnya sumber data sekunder dapat berupa peta wilayah yang diambil dari penelitian yang sudah dilakukan sebelumya.

3.4. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah perlengkapan penunjang dan pendukung pelaksanaan suksesnya sebuah penelitian. Selain membutuhkan peralatan sebagai instrumen penelitian, pada penelitian kualitatif peneliti sendiri merupakan instrumen dalam meneliti (Moleong, 2012: 163). Berikut beberapa instrumen penelitian yang

25 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

akan dipergunakan di dalam penelitian identifikasi pemanfaatan ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu:  Alat bantu berupa perekam berupa kamera dengan resolusi yang cukup besar untuk dapat memberikan kualitas gambar yang mumpuni bagi pendataan foto kawasan. Selain alat perekam juga dilengkapi dengan alat-alat tulis untuk mencatat hasil observasi lapangan. Selain itu diperlukan seperangkat komputer yang dipergunakan untuk pembuatan laporan, editing gambar/peta dan analisis data.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan suatu proses yang penting dalam sebuah penelitian. Berbagai macam metode telah dikembangkan dalam proses pengumpulan data. Beberapa diantaranya adalah observasi, survei instansional, penelusuran data melalui sumber media elektronik, jurnal, artikel, dan tulisan elektronik. Sedangkan observasi dilakukan dengan mengamati, melihat, merekam, mengukur dan mencatat objek yang diobservasi. Begitu pula dengan survei instansional, survei instansional bertujuan menemukan arsip-arsip terkait yang dapat menunjang fakta-fakta yang ditemukan dalam observasi. Pada saat survei instansional data yang didapat berupa peta kawasan, peraturan dan regulasi terkait kawasan suci Uluwatu. Kekeliruan dalam pengumpulan data seringkali terjadi, misalnya pada observasi lapangan, akibatnya terjadi kekeliruan dalam menginterpretasi data (Arikunto, 2002: 196). Hal ini disebabkan peneliti tidak langsung melakukan observasi langsung, observasi dilakukan oleh pihak kedua sebagai observer sehingga terjadi kekeliruan.

26 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

BAB IV PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN SUCI PURA ULUWATU

Bab empat memuat tiga subbab tentang pemanfaatan ruang di wilayah penelitian yakni pemanfaatan religiusitas di Kawasan Suci Pura Uluwatu, pemanfaatan ruang pada daya tarik wisatadi Kawasan Uluwatu, dan sebaran akomodasi wisata di Kawasan Uluwatu.

4.1. Pemanfaatan Religiusitas di Kawasan Suci Pura Uluwatu

Sebagai sebuah kawasan dengan daya tarik dan magnet yang luar biasa dari aspek panorama alam maupun dari aspek budaya masyarakat. Tidak dapat dipungkiri aspek religiusitas Kawasan Suci Pura Uluwatu dipandang sebagai sesuatu yang memiliki nilai khusus. Dilihat dari aspek sejarah tentunya Pura Uluwatu memiliki cerita panjang sejak perjalanan suci Rsi Markandya dilanjutkan dengan dharmayatra dari Dang Hyang Nirartha hingga pada keberadaan Pura Uluwatu di masa kini. Jika dilihat berdasarkan pendekatan fisik relief dan candi yang ada di Pura Uluwatu, Candi di Pura Uluwatu dapat digolongkan sebagai candi bersayap yang merupakan peninggalan purbakala. Apabila diperhatikan dengan seksama bentuk candi kurung di Pura Uluwatu memiliki kemiripan gaya dan bentuk dengan Candi Sendangduwur yang ada di Pacitan, Lamongan, Bajanegara, Jawa Timur. Pada candi tersebut termuat angka candrasangkala yang menunjukkan angka 1561 masehi (Kempers, 1959:106). Berdasarkan kesamaan bentuk dan kemiripan gaya bangunan diperkirakan pembangunan Pura Uluwatu pada masa yang bersamaan dengan Candi Sendangduwur tersebut. Selain itu kemiripan bentuk dan gaya arsitektur pada candi kurung di Pura Uluwatu dapat juga ditemukan pada Candi di Pura Sakenan. Yang mana angka tahun candrasangkala yang tertera di candi tersebut disebutkan 927 saka (Supartha, 2006:52). Sehingga terdapat dua versi kesamaan bentuk dan gaya arsitektur dari candi di Pura Uluwatu.

27 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Keunikan bentuk dan arsitektur dari candi dan bangunan di Pura Uluwatu merupakan potensi dan daya tarik religiiusitas sekaligus sebagai objek budaya konservasi. Tidak hanya konservasi bentang budaya dan peninggalan sejarah, bentang konservasi alam juga ditunjukkan dengan keberadaan tebing-tebing dan perlindungan kawasan pantai yang berada mengelilingi arah selatan dan barat laut dari Pura Uluwatu. Kondisi tersebut tetap dipelihara oleh masyarakat hingga kini sebagai potensi dan pemanfaatan ruang religiusitas di Kawasan Suci Uluwatu. Secara struktur ruang, kawasan suci Uluwatu terbagi atas empat areal yakni Tri Mandala dan satu karang kekeran yang dibedakan secara fungsi dan tingkat kesuciannya. Ruang yang paling dianggap suci dan dengan fungsi spiritual tertinggi disebut Jeroan, dianggap sebagai ruang dengan nilai utama pada kawasan suci Uluwatu. Pada Jeroan terdapat beberapa pelinggih/bangunan suci yang sebagiannya merupakan peninggalan bersejarah. Selanjutnya terdapat areal Jaba Tengah, areal ini merupakan ruang peralihan sebelum memasuki areal jeroan. Secara filosofis keberadaan ruang jaba tengah adalah simbolisasi dari penyatuan pikiran sebelum memasuki alam yang lebih tinggi untuk mencapai kesatuan pikiran yang disimbolkan dengan jeroan. Berikutnya bagian terluar pada areal pura disebut sebagai jaba sisi. Pada areal jaba sisi ini terdapat beberapa bangunan yang ditunjukkan dengan wantilan yang biasanya dipergunakan oleh pemedek untuk beristirahat. Selain jaba sisi terdapat areal di luar areal Pura Uluwatu yang juga dapat digolongkan sebagai kawasan suci, namun nilai kesucian pada areal ini dianggap lebih rendah yang disebut karang kekeran. Masyarakat menghormati dan menjaga kesucian areal karang kekeran ini dengan tidak memanfaatkan areal ini untuk aktivitas pertanian, permukiman, jasa, perdagangan, maupun pariwisata terkecuali hal yang terkait dengan kepentingan pura. Areal karang kekeran diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat Desa Pecatu sehingga menjadikannya areal yang pantang untuk dimanfaatkan untuk kegiatan apapun terkecuali bagi kepentingan pura. Hal tersebut sesuai dengan wawancara dengan tokoh masyarakat Desa Pecatu yang dikutip dari buku

28 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Komodifikasi Kawasan Suci Pura Uluwatu (Adhika, 2012: 59). Pada wawancara tersebut disebutkan bahwa masyarakat telah menjaga dari tempat yang paling suci hingga batas kesucian terluar yang masyarakat lokal menyebutkan sebagai karang kekeran. Luasnya kurang lebih sekitar satu setengah kilometer persegi. Dapat disimpulkan bahwa struktur ruang yang diwariskan secara turun temurun tersebut merupakan sebuah kearifan lokal yang sudah ada dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Struktur ruang pada kawasan suci Pura Uluwatu menurut PHDI sebagian besar adalah ruang-ruang spiritual yang imajiner yang mana batasannya tidak dapat dijelaskan secara konkret. Berbicara tentang kawasan suci Pura Uluwatu tidak hanya melihat satu pura saja terdapat beberapa pura yang tersebar di sekelilingnya dan memiliki keterkaitan proses secara spiritual maupun secara ritual. Beberapa pura antara lain adalah Pura Goa Batu Metandal, Pura Pengeleburan, Pura Karang Boma, Beji Pura Uluwatu, Batu Jaran, keseluruhan pura tersebut dilihat sebagai pengider Pura Uluwatu (Adhika, 2012: 60).

Gambar 4. 1 Radius Kawasan Suci Pura Uluwatu Lima Kilometer Sumber: Peta RTRW Kabupaten Badung dengan Modifikasi

29 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Kearifan lokal lain yang tampak dalam pemanfaatan ruang spiritual di kawasan suci Uluwatu adalah nampaknya pola dan pengamanan konsep-konsep tempat suci. Hal tersebut dapat tercermin dari berdirinya pura-pura yang dianggap sebagai ’benteng’ pembatas spiritual pada kawasan suci. Kearifan lokal ini merupakan pertimbangan mendasar dalam pemanfaatan dan pengelolaan ruang di kawasan suci Uluwatu. Kondisi religiusitas dan kesakralan potensi ruang yang terkandung di dalamnya dicoba untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Jika dilihat pada areal radius lima kilometer yang ditetapkan PHDI telah berdiri berbagai macam akomodasi dan fasilitas pariwisata. Memang pada saat observasi di areal karang kekeran tidak ditemukan satupun akomodasi wisata terkecuali fasilitas pendukung untuk menuju Pura Uluwatu. Tetapi pada areal radius lima kilometer tersebut sudah ditemukan berbagai macam fasilitas wisata. Kondisi ini menjadi pertanda bahwatelah terjadi pemanfaatan ruang- ruang spiritual pada kawasan suci Uluwatu.

4.2. Pemanfaatan Ruang pada Daya Tarik Wisata di Kawasan Suci Uluwatu

Pengembangan dan pembangunan kepariwisataan di Bali memiliki konsep pada pariwisata alam dan budaya. Kawasan suci Uluwatu sebagai bagian dari pengembangan kawasan pariwisata unggulan Bali menonjolkan wisata potensi daya tarik wisata alam dan wisata budaya sebagai akar dalam pengembangannya. Kedua potensi ini dengan mudah dapat ditemui tidak hanya di sekitar Pura Uluwatu tetapi juga di seluruh kawasan suci Uluwatu dan daerah-daerah penyangga sekitarnya. Panorama bentang alam lanskap di sepanjang pantai yang ternasuk kawasan suci Uluwatu. Bentang alam tersebut berupa pantai yang dibatasi oleh tebing yang curam dengan ketinggian antara 20-165 meter. Pada arah tenggara yang merupakan puncak tebing tertinggi yang kemudian menurun ke arah barat hingga pada antai di sebelah utara yang agak rendah. Dinding tebing curam vertikal yang disertai dengan hamparan laut yang dibatasi oleh pantai berpasir putih merupakan daya tarik tersendiri yang tidak terdapat pada objek wisata lain di Bali. Selain keindahan panorama alam, kondisi flora

30 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

dan fauna yang cukup beragam di kawasan Pura yang didominasi oleh tanaman sirsak dan kera yang merupakan satwa endemik di areal Pura Uluwatu. Potensi daya tarik wisata lainnya di kawasan suci Pura Uluwatu adalah ombak di sepanjang pantai potensial sebagai wisata olahraga selancar/surfing. Arah datangnya ombak serta intensitas kedatangan ombak yang tidak bersamaan adalah ciri khas yang disukai peselancar baik pemula maupun profesional. Kegiatan berselancar ini biasanya dilakukan pada pagi hari menjelang siang hingga pada sore hari. Beberapa pantai di sekitar kawasan yang merupakan favorit peselancar antara lain adalah Pantai Suluban, Pantai Labuan Sait, Pantai Bingin, dan Pantai Dreamland. Daya tarik ombak di sekitar Pura Uluwatu dan Pantai Labuan Sait yang merupakan bagian dari Kawasan Suci Uluwatu adalah produksi alam yang dimanfaatkan untuk ’dijual’ kepada wisatawan. Pendistribusian daya tarik tersebut melalui penyebaran secara luas informasi kepada wisatawan baik melalui media massa, langsung pada wisatawan, promosi wisata di luar negeri. Potensi ini selanjutnya dikonsumsi wisatawan sesuai dengan kebutuhan dan perilaku wisatwan tersebut yang diperlihatkan oleh Gambar 4.2.

31 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Gambar 4. 2 Wisatawan Sedang Menikmati Suasana Pantai Labuan Sait Sumber: Dokumentasi I Ketut Yudaswara

Terdapat beberapa pantai yang menjadi daya tarik wisata di Kawasan Suci Pura Uluwatu, berikut akan dijelaskan pada bagian di bawah ini:

4.2.1. Daya Tarik Wisata Pantai Luar Pura Uluwatu

Daya tarik wisata pantai luar Pura Uluwatu termasuk pantai yang berada pada bagian bawah Pura Uluwatu yang merupakan bagian dari kawasan suci. Sepanjang pantai tersebut terdapat berbagai macam flora dan fauna. Salah satu fauna endemik yang terdapat di areal pura hingga di bawah pantai adalah kera ekor abu-abu. Seringkali kera ini menjadi atraksi tersendiri bagi wisatawan, terlebih lagi dengan kenakalan tingkah kera tersebut.

32 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Gambar 4. 3 Panorama Sunset dan Kera di Pura Uluwatu Sumber: Dokumentasi I Ketut Yudaswara Pengelolaan daya tarik wisata Pura Uluwatu selama ini dikelola oleh Desa Pakraman Pecatu. Dalam pengelolaannya dikerjasamakan antara Pemerintah Desa Pecatu dengan Desa Pakraman Pecatu dengan memberdayakan masyarakat Desa Pakraman Pecatu (Yudaswara, 2015:136). Tanggung jawab pengelolaan mencakup pemeliharaan, pelestarian, penataan, dan pemungutan retribusi pada wisatawan yang berkunjung menuju objek wisata menuju Pura Uluwatu. Sementara itu ruang-ruang yang dipergunakan sebagai potensi wisata di kawasan suci Pura Uluwatu antara lain pantai sebagai potensi wisata bahari dengan aktivitas berjemur/sunbathing wisatawan, potensi pemandangan pantai yang cukup indah yang berada diantara ruang daratan dan samudra luas. Ruang samudra dimanfaatkan sebagai olahraga wisata selancar/surfing, hal ini nampak dari minat wisatawan yang cukup tinggi dari potensi olahraga selancar ini. Selain itu muncul

33 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

akomodasi-akomodasi wisata yang menyediakan penyediaan sarana dan peralatan selancar di sekitar kawasan wisata Uluwatu.

4.2.2. Daya Tarik Wisata Pantai Pantai Suluban

Pantai Suluban terletak 1.5 km dari Pura Uluwatu, pantai ini memiliki ombak yang cukup tinggi dan panorama matahari terbenam dari ketinggian tebing dan perpaduan pantai dan laut. Selain itu ombak yang cukup tinggi tersebut memiliki potensi wisata olahraga selancar. Kegiatan ini sangat disukai wisatawan terutama wisatawan mancanegara. Pada awal berkembangnya pariwisata, di Pantai Suluban tidak ada akses jalan langsung menuju pantai. Akses jalan harus melalui jalan setapak melewati lahan-lahan milik penduduk. Wisatawan harus menyewa jasa pengangkut barang dan penunjuk arah untuk sampai pada tujuan. Maka masyarakat yang lahannya memiliki akses menuju pantai merelakan sebagian tanahnya untuk difungsikan sebagai jalan. Hal ini berarti telah terjadi pemanfaatan ruang-ruang domestik di masyarakat untuk dijadikan akses publik menuju pantai. Adanya akses langsung menuju pantai tidak hanya memperlancar aktivitas wisatawan tetapi juga turut memberi imbas pada peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar pantai.

4.2.3. Daya Tarik Wisata Pantai Pantai Padang-Padang

Pantai Padang-padang terletak di sebelah utara dari Pantai Suluban. Seperti pantai lainnya yang terletak di Kawasan Suci Uluwatu, Pantai Padang-padang memiliki potensi panorama pasir pantai dan panorama suasana matahari terbenam. Pantai Padang-padang juga kerapkali diadakan even internasional berselancar tingkat dunia. Kegiatan ini menjadi agenda rutin tahunan salah satu merek penyedia jasa selancar. Ruang di sekitaran pantai dan laut di Pantai Padang-padang yang dulunya hanya digunakan kegiatan budidaya. Pada saat ini dengan masuknya pariwisata dapat kita lihat kegiatan pariwisata telah menghiasi sudut-sudut sepanjang pantai. Tidak hanya kegiatan pariwisata, Pantai Padang-padang seringkali dijadikan sebagai areal

34 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

pemotretan untuk model media cetak maupun elektronik. Sehingga kegiatan ini tidak hanya memberikan nilai tambah secara ekonomi, tetapi juga merupakan promosi cuma- cuma bagi Pantai Padang-padang. Potensi pariwisata dan panorama pantai memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat sekitar. Nilai tambah tersebut berupa masuknya pendapatan dari sektor pariwisata, yang mana sebelumnya pendapatan masyarakat sebagian besar berasal dari kegiatan pertanian rumput laut dan peternakan. Pemilik-pemilik lahan yang berada dekat dengan pantai Padang-padang mulai memanfaatkan lahan mereka untuk dijadikan usaha penunjang kegiatan pariwisata.

4.2.4. Daya Tarik Wisata Pantai Pantai Labuan Sait

Daya tarik wisata lainnya yang dimiliki oleh Kawasan Suci Uluwatu adalah Pantai Labuan Sait. Pantai Labuan Sait menawarkan panorama yang hampir sama dengan Pantai Suluban, terletak kurang lebih 20 meter dari permukaan jalan. Untuk mecapai Pantai Labuan Sait, harus menuruni anak tangga dan menyusuri celah sempit diantara karang. Keunikan ini menjadi ciri khas tersendiri bagi Pantai Labuan Sait. Daya tarik Pantai Labuan Sait berupa hamparan pasir putih dan air laut yang jernih dan tenang. Kondisi ini merupakan kondisi yang ideal bagi wisatawan untuk berjemur, bermalas-malasan, dan berenang. Nampak pada pantai Labuan Sait disediakan fasilitas berupa sarana pijat, menjalin rambut, dan mengasah kuku yang disediakan oleh masyarakat sekitar. Penyediaan jasa wisata ini dapat memberikan tambahan pendapatan bagi warga sekitar, sehingga banyak warga yang berprofesi sebagai penyedia jasa-jasa tersebut. Selain itu pada ruang di sekitar Pantai Labuan Sait juga digunakan sebagai ruang spiritual, hal ini nampak dengan adanya Pura Pengeleburan yang terletak berdampingan dengan Pantai Labuan Sait. Pura Pengeleburan ini memiliki kaitan spiritual dengan Pura Uluwatu. Masyarakat meyakini di pantai Labuan Sait khususnya di Pura Pengeleburan merupakan tempat pesiraman Ida Bhatara di Pura Uluwatu.

35 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Selain itu juga terdapat pohon kayu Sentigi yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Kondisi ini menunjukkan kesakralan pantai beserta Pura Pengeleburan yang terdapat di dalamnya tetap dipelihara dan dihormati oleh masyarakat. Walaupun akibat perkembangan pariwisata, pantai telah dijadikan sebagai kegiatan pariwisata. Masyarakat tetap menerima keberadaan wisatawan, sekaligus menjaga kearifan lokal dan kesucian Pantai Labuan Sait. Bila tidak dimanfaatkan untuk kegiatan dan kepentingan keagamaan, pantai akan digunakan sebagai kegiatan pariwisata.

4.2.5. Daya Tarik Wisata Pantai Pantai Bingin

Perkembangan Pantai Bingin sampai dikenal oleh wisatawan adalah berkat rintisan dari masyarakat yang ada di sekitarnya yang berjumlah 25 orang. Sempadan pantai dimanfaatkan sebagai sarana akomodasi wisata, namun sempadan tersebut masih dalam kategori tanah negara. Hingga kini belum terbentuk badan pengelola oleh pihak Desa Pakraman. Pantai Bingin dikelola oleh warga masyarakat sekitar terutama yang merintis pengembangan awal. Panorama pantai ditawarkan pantai Bingin sebagai salah satu daya tarik wisata, hamparan pasir putih tersebar di sepanjang pantai Bingin. Ombak di pantai Bingin dikategorikan sebagai ombak yang cukup tenang. Sehingga kurang cocok digunakan sebagai sarana olahraga selancar. Kondisi tersebut dimanfaatkan sebagai sarana untuk bersantai dan berjemur di pantai Bingin

36 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Gambar 4. 4. Pemetaan Sebaran Daya Tarik Wisata di Kawasan Suci Uluwatu Sumber: Modifikasi dari Berbagai Sumber

4.3. Sebaran Sarana Akomodasi Wisata di Kawasan Suci Uluwatu

Didasarkan pada bhisama PHDI Pusat tentang radius kawasan suci Pura, Pura Uluwatu memiliki bentang alam yang relatif luas. Jika didasarkan pada radius kawasan suci untuk Pura Dang Kahyangan, areal lima kilometer yang menjadi kawasan suci Pura Uluwatu sebagian besar merupakan area daratan yang terdiri dari beberapa desa dan kelurahan. Desa Pecatu menjadi wilayah yang paling besar berada pada radius kawasan suci tersebut. Beberapa wilayah lainnya yang terdampak antara lain Kelurahan Jimbaran dan Desa Ungasan. Ketiga sisi wilayah yakni bagian selatan, barat dan utara berbatasan dengan laut. Sementara itu di sisi timur berbatasan dengan

37 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Kelurahan Jimbaran dan Desa Ungasan, sehingga sedikit dari areal kedua wilayah tersebut mungkin saja masuk ke dalam zona kawasan suci. Adanya potensi daya tarik wisata alam dari beberapa pantai yang sudah dijelaskan di atas. Kondisi kultur dan sosial budaya masyarakat yang masih kental menganut agama dan adat istiadat yang berlaku di desa, menjadikan kawasan suci Pura Uluwatu sebagai destinasi yang menarik dan atraktif untuk dikunjungi wisatawan. Selain itu objek Pura Uluwatu dengan potensi sejarah, arsitektur yang unik, serta letaknya eksotisme panorama pada saat matahari tenggelam menjadi pariwisata di Kawasan Suci Pura Uluwatu berkembang dengan pesat. Perkembangan pariwisata tersebut membutuhkan sarana dan prasarana penunjang kebutuhan aktivitas wisata dari wisatawan. Beberapa tahun yang lalu fasilitas penunjang akomodasi wisata sebagian besar berada di luar kawasan terutama di kawasan Kuta, Nusa Dua dan Sanur. Berikutnya satu dasawarsa belakangan ini dengan dibukanya akses jalan aspal yang cukup baik mengundang investasi untuk pembangunan fasilitas dan sarana penunjang pariwisata di Kawasan Suci Pura Uluwatu. Terlebih lagi potensi panorama seperti yang dijelaskan sebelumnya menarik perhatian wisatawan dan investor untuk mendirikan usaha jasa dan akomodasi wisata seperti hotel, vila, penginapan, bungalo, maupun restoran. Masyarakat setempat yang menjadi pemilik lahan menjadi incaran bagi para investor untuk agar tanah miliknya dapat dijual dan dialihfungsikan menjadi akomodasi wisata. Tentunya lahan yang dipilih yang memiliki panorama, akses kedekatan dengan objek daya tarik wisata serta harga lahan yang sesuai dengan kebutuhan investasi. Pembangunan vila di Kawasan Suci Pura Uluwatu merupakan investasi yang cukup marak terjadi di kawasan tersebut satu dasawarsa terakhir. Kebutuhan akan penyediaan tempat tinggal/settlement bagi wisatawan yang berlibur menjadi peluang untuk mendirikan vila di sekitar kawasan. Potensi kegiatan wisata dengan menikmati suasana kawasan dengan berbagai macam aktivitas ditawarkan antara lain untuk tempat

38 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

tinggal sementara, hari spesial seperti perkawinan, acara ulang tahun, maupun untuk kegiatan pertemuan kepentingan usaha. Peluang tersebut coba digarap oleh investor maupun oleh masyarakat sekitar dengan mendirikan penginapan, vila, maupun jasa akomodasi lainnya. Salah satu pembangunan vila yang tercatat adalah pembangunan vila De Gong. Pembangunan ini diawali oleh peluang dari tuntutan wisatawan untuk mencapai lokasi surfing tidak jauh dari penginapan. Sehingga peluang ini ditangkap untuk menyediakan lokasi penginapan yang lebih dekat yakni kira-kira 0.9 kilometer dari Pura Uluwatu. Potensi kawasan yang dijadikan komoditas adalah kedekatan jarak capai dari tempat surfing ke lokasi penginapan. Pembangunan lainnya adalah pembangunan hotel Blue Point yang berada di Tanjung Suluban, Pantai Suluban. Hampir mirip dengan pembangunan vila-vila yang telah ada potensi kedekatan dengan lokasi surfing serta panorama yang menarik menjadikan hotel ini cukup layak untuk ’dijual’ kepada wisatawan. Kontur lahan yang miring ke arah laut serta hampir di setiap titik lahan dapat memandang ke laut. Terlebih lagi ketika hari menjelang malam panorama gemerlapnya lampu-lampu Bandara Ngurah Rai dan Kota Denpasar menjadi panorama yang sangat indah. Selain menyediakan fasilitas penginapan dan panorama alam, akomodasi wisata lainnya yang marak berkembang adalah penyediaan paket wisata pernikahan/wedding tour. Peluang ini ditangkap oleh jasa pelaksana upacara pernikahan seperti Tirta Bali dan Bali Indo Wedding. Lokasi wisata pernikahan ini terletak di tepi tebing dengan memanfaatkan laut lepas sebagai daya tarik utamanya. Lokasi Tirta Bali terletak kurang lebih 2.5 kilometer, sementara itu Bali Indo Wedding terletak kurang lebih 0.8 kilometer dari Pura Uluwatu. Munculnya akomodasi wisata tersebut juga menumbuhkan usaha-usaha kecil lainnya yang tumbuh berkembang di sekitar lokasi berdirinya hotel, vila, dan lainnya. Usaha-usaha tersebut dapat berupa kios pedagang makanan, jasa foto, penyedia oleh- oleh, penyewaan papan selancar, jasa pijat/spa, maupun penyewaan sepeda motor.

39 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

Munculnya usaha-usaha kecil seperti ini semestinya menjadi perhatian agar pembangunannya tidak justru menimbulkan suasana padat dan pada akhirnya memberikan kesan yang kumuh di kemudian hari.

Gambar 4. 5 Sebaran Sarana Akomodasi Wisata di Kawasan Suci Pura Uluwatu Sumber: Dokumentasi Survey 2017 Perkembangan terakhir menunjukkan pembangunan sarana akomodasi terkini seperti wisata agrowisata kopi luwak sangat marak berkembang di kawasan suci Pura

Uluwatu. Menjamurnya usaha agrowisata kopi luwak ini disebabkan oleh tren wisata yang mengajak wisatawan untuk melihat pengolahan kopi luwak yang disertai dengan kegiatan memetik buah kopi tersebut. Nampaknya kegiatan ini juga dipandang sebagai

40 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

potensi untuk dikembangkan di kawasan, walaupun sebenarnya kondisi wilayah, iklim, dan cuaca kawasan Desa Pecatu khususnya dan Bali Selatan umumnya tidak dapat mendukung hidup dan berkembangnya tanaman kopi.

Pada dasarnya pembangunan sarana akomodasi dan penunjang wisata di kawasan memanfaatkan kedekatan dengan potensi daya tarik wisata serta mengandalkan panorama alam yang ada di sekitarnya. Akan tetapi jika merujuk pada bhisama PHDI tentang radius kawasan suci pura yang ditetapkan di kawasan Pura

Uluwatu adalah lima kilometer. Maka pembangunan-pembangunan fasilitas akomodasi penunjang wisata di dalam kawasan suci tersebut tentunya tidak sesuai dengan peruntukan fungsi wilayah.

41 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Melihat data dan analisis yang telah dilakukan pada bagian hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai identifikasi pemanfaatan ruang di kawasan suci Pura Uluwatu, antara lain: 1) Pemanfaatan ruang spiritual di kawasan suci Pura Uluwatu memiliki pola tersendiri yang telah menjadi kearifan lokal masyarakat sekitar. Hal ini tercermin dari adanya karang kekeran yang menjadi barrier di sekeliling kawasan suci Pura Uluwatu. Akan tetapi seluruh struktur ruang dengan konsep karang kekeran tersebut berbeda dengan bhisama PHDI tentang radius kesucian pura. Luas karang kekeran berkisar satu setengah kilometer persegi sementara itu bhisama PHDI menyatakan pura dengan status Dang kahyangan memiliki radius kesucian pura lima kilometer dari pura tersebut. Pada areal radius kesucian pura tersebut telah berdiri berbagai macam fasilitas akomodasi penunjang wisata kondisi ini mencerminkan bahwa telah terjadi pemanfaatan ruang-ruang spiritual pada kawasan suci Pura Uluwatu 2) Potensi daya tarik wisata di kawasan suci Pura Uluwatu sebagian besar berupa panorama alam dengan bentang alam lanskap berupa pantai yang dibatasi tebing curam, disertai dengan keindahan flora dan fauna endemik yang menjadi ciri khas wilayah kawasan. Selain itu terdapat potensi ombak yang dimanfaatkan sebagai wisata olahraga selancar/surfing terutama oleh wisatawan asing. Tercatat beberapa daya tarik wisata di kawasan suci Pura Uluwatu antara lain Pantai Luar Pura Uluwatu, Pantai Suluban, Pantai Padang-Padang, Pantai Labuan Sait, dan Pantai Bingin. 3) Tumbuh dan berkembangnya kegiatan dan aktivitas di kawasan suci Pura Uluwatu membawa dampak ikutan berupa perkembangan dan pembangunan sarana dan prasarana penunjang akomodasi pariwisata. Usaha dan akomodasi pariwisata yang

42 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

muncul satu dasawarsa belakangan ini berupa penginapan, hotel, vila, bungalo, dan restoran. Selain pembangunan sarana dan prasarana pariwisata tersebut muncul paket-paket wisata yang menawarkan wisata yang berbeda dengan wisata pada umumnya. Wisata tersebut antara lain paket wisata pernikahan/wedding package, kegiatan pertemuan bisnis, acara ulang tahun, dan lainnya. Perkembangan terakhir menunjukkan lebih beragamnya akomodasi wisata di kawasan dengan menjamurnya agrowisata kopi luwak yang sedang menjamur muncul.

5.2. Saran

Sejumlah hal yang terungkap dalam penelitian ini memberikan pelajaran terkait pemanfaatan ruang di kawasan suci Pura Uluwatu. Sumbang pemikiran dan saran kepada pihak terkait semoga dapat dijadikan pertimbangan dan masukan bagi para pengambil keputusan dan masyarakat terkait pembangunan dan perkembangan pemanfaatan ruang di kawasan suci Pura Uluwatu: 1) Diperlukan pemikiran bersama yang terbuka dari seluruh pemangku kepentingan, masyarakat, dan investor di kawasan suci Pura Uluwatu untuk menyikapi isu-isu terkait radius kesucian pura. Sehingga tidak muncul polemik yang berkepanjangan yang justru berefek kurang baik bagi perkembangan kawasan di masa yang akan datang. Kearifan lokal masyarakat yang telah tumbuh dan berkembang dari masa lalu agar dapat dijadikan sebuah dasar pijakan dalam pengambilan keputusan bersama, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan sepihak tetapi juga bagi semua elemen yang terlibat. 2) Pelibatan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan di kawasan suci Pura Uluwatu wajib dilakukan. Masyarakat sebagai pemilik sah atas ruang dan kawasan tentunya mengharapkan kegiatan ekonomi yang ditopang oleh kepariwisataan berjalan dengan lancar. Sementara itu di sisi lain juga kelestarian lingkungan dan keberadaan ruang-ruang relijius yang menjadi daya tarik wisata tetap terjaga keberadaannya. Untuk itulah

43 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

identifikasi pemanfaatan ruang di kawasan ini berguna dalam membedah berbagai persoalan yang muncul terkait keruangan. 3) Perkembangan dan pembangunan pariwisata di kawasan suci Pura Uluwatu hendaknya tidak berlangsung hari ini dan di masa kini saja. Pertumbuhan ekonomi dari kegiatan pariwisata hendaknya dapat juga dinikmati oleh generasi- generasi berikutnya. Salah satu kunci pertumbuhan di masa depan adalah keberlanjutan/sustainable kegiatan pariwisata tersebut. Bagi penelitian berikutnya diharapkan dapat mengambil topik keberlanjutan pariwisata di kawasan suci Pura Uluwatu untuk membedah bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk menjamin keberlanjutan pariwisata di kawasan suci Pura Uluwatu.

44 Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Suci Pura Uluwatu Menuju Pengelolaan Kawasan Suci Berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA

Adhika, I Made. 2012. Komodifikasi Kawasan Suci Pura Uluwatu. Denpasar: Penerbit Udayana University Press. Adhika, I Made. 2011. “Komodifikasi Kawasan Suci Pura Uluwatu, dalam Era Globalisasi”(disertasi). Denpasar: Universitas Udayana. Adnyana, IGA Alit. I Ketut Sudjana, IGLB Utawa, AA Dharmayadnya, I Made Adhika. 1998. “Penyusunan Informasi Dasar untuk Mengarahkan Perkembangan Pembangunan Fisik Berwawasan Budaya Bali”. Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana. Anonim. 2016. Badung Dalam Angka 2016. Mangupura: BPS Kabupaten Badung. Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Kempers, A.J. Bernet. 1959. Bali, Ancient Indonesian Art. Amsterdam: Boekhandel Antiquariaat en Uitgeverij C.P.J van der Peet. Moleong, L J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Monografi Desa Pecatu Tahun 2007 Monografi Desa Pecatu Tahun 2008 Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Pichard, Michael. 2006. Bali, Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Yudasuara, I Ketut. 2015. Pengelolaan Daya Tarik Wisata Berbasis Masyarakat di Desa Pecatu, Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Jurnal Jumpa , 132-149.