Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan (IPLBI) 1, A 133-138 https://doi.org/10.32315/sem.1.a133

Ekspresi Vernakular Minangkabau pada Masjid Raya Gantiang

Ganda Saputra Sinaga

Sejarah, Teori, dan Kritik Arsitektur; Arsitektur, SAPPK, Institut Teknologi Bandung. Korespondensi : [email protected]

Abstrak

Masjid Raya Gantiang merupakan salah satu bangunan heritage yang unik sebab memiliki akulturasi langgam dalam desain. Langgam Eropa neoklasik, Tiongkok, Arab, dan Minangkabau saling berpadu, tetapi tetap mempertahankan kekhasan masing-masing. Pada kenyataan penampakan fasad depan, Masjid Raya Gantiang cenderung terpengaruh kebudayaan Eropa. Sementara kebudayaan Minangkabau yang menjadi tempat tumbuh berkembangnya masjid hampir tidak ditemukan. Hal tersebut yang ingin penulis kemukakan pada tulisan ini. Sebagai pembuktian eksistensi vernakular pada bangunan masjid, penulis menyajikan dokumentasi detail arsitektur dan perbandingan secara kualitatif dengan arsitektur vernakular yang ada di daerah Minangkabau. Penulis sengaja mengangkat nama daerah Minangkabau, sebab wilayah tersebut secara administratif lebih luas dari Sumatera Barat (tidak termasuk Mentawai), bahkan sampai menjaungkau Negeri Sembilan, Malaysia. Dengan mempertegas eksitensi arsitektur vernakular Minangkabau pada masjid ini, penulis bermaksud untuk memperkenalkan wisata Minangkabau heritage sekaligus menyemarakkan kemenangan Sumatera Barat sebagai World Halal Tourism 2016 di Dubai.

Kata-kunci : akulturasi, Minangkabau, multilanggam, vernakular, wisata

Pendahuluan

Bangunan heritage yang tersebar di Indonesia sebagian besar merupakan warisan dari Belanda yang mayoritas menganut agama Nasrani. Meskipun begitu, beberapa artefak peninggalan Belanda berupa Masjid. Tidak tanggung-tanggung, arsitektur masjid pun beberapa merupakan rancangan orang Belanda. Misalnya saja Masjid Cipaganti di Bandung yang merupakan karya Profesor Kemal C.P. Wolff Schoemaker. Desain masjid pun turut menerapkan nilai-nilai lokalitas. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi Masjid Raya Gantiang yang berada di Kota Padang, Sumatera Barat. Masjid yang merupakan akulturasi budaya Eropa, Tiongkok, Arab, dan Minangkabau ini lebih terpengaruh gaya neoklasik Eropa. Sementara kebudayaan Minangkabau hampir tidak diterapkan pada masjid (Zakarian, 1995).

Sumatera Barat telah memenangkan World Halal Tourism 2016 di Dubai. Namun sayangnya, identitas Minangkabau pada Masjid Raya Gantiang kurang dikenal, lantaran hampir tidak ada. Padahal masjid ini memiliki potensi wisata. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat tulisan ini.

Akulturasi berarti perpaduan dua atau lebih kebudayaan yang berbeda membentuk satu kebudayaan baru tanpa menghilangkan ciri khas masing-masing kebudayaan. Adapun asimilasi yang memilik makna hampir serupa dengan akulturasi. Perbedaan keduanya terletak pada hasil perpaduan budaya. Asimilasi akan menghasilkan kebudayaan baru yang memudarkan atau bahkan menghilangkan masing-masing kebudayaan. Melalui pendefinisian kedua kosakata di atas, penulis menggolongkan bahwa kasus yang terjadi pada Masjid Raya Gantiang adalah akulturasi. Kemudahan dalam

Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas Trisakti Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 133 ISBN 978-602-17090-5-4 E-ISBN 978-602-17090-4-7 Ekspresi Vernakular Minangkabau pada Masjid Raya Gantiang mengidentifikasi tiap-tiap langgam masjid pun mendukung pernyataan tersebut, sebab tiap-tiap langgam masih memiliki ciri khas tersendiri. Lain halnya jika yang terjadi adalah asimilasi.

Sajian materi tulisan ini berupa perbandingan secara kualitatif arsitektur masjid terhadap arsitektur Minangkabau. Wilayah dan batas-batas persebaran kebudayaan Minangkabau akan mengawali objek dan persoalan. Kemudian penulis akan memperkenalkan tipologi arsitektur Minangkabau. Untuk memudahkan pengelompokan ekspresi arsitektur vernakular, penulis turut mengulas langgam- langgam yang berpadu pada masjid.

Bobot diskursus ini cenderung pada kualitas fisik, namun kualitas nonfisik juga termuat dalam tulisan ini. Seperti judul tulisan, ekspresi vernakular Minangkabau merupakan poin tangible utama. Sementara poin intangible adalah pertemuan kebudayaan yang berbeda-beda membentuk wujud masjid yang sekarang.

Wilayah Persebaran Minangkabau

Ibrahim Datuak Sanggoeno Diradjo dalam bukunya menyatakan bahwa masyarakat Minangkabau berasal dari lereng Gunung Marapi. Penduduk tersebut sebagian besar bekerja menggarap lahan pertanian. Seiring berjalan waktu, area pertanian semakin sulit ditemukan. Hal itu mengakibatkan sebagian orang berpindah menetap terpisah menjadi tiga rombongan ke luar lereng Gunung Merapi. Ketiga rombongan tersebut menamakan wilayah mereka wilayah darek (darat) atau lebih dikenal dengan sebutan “Luhak nan Tigo” (Luhak yang Tiga).

Wilayah darek yang terdiri atas tiga luhak, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluh Koto. Luhak Tanah Datar meliputi Kabupaten Tanah Datar saat ini, sebagian Sawahlunto Sijunjuang, dan Solok. Luhak Agam meliputi

Ampek Angkek, Lawang nan Tigo Balai, dan Nagari sakaliliang Gambar 1. Wilayah persebaran Danau Maninjau. Sementara Luhak Limo Puluh Koto meliputi Minangkabau. Sumber: Dokumentasi sepanjang Batang Sinamar, daerah sekitar Gunung Sago Penulis. bagian utara dan barat, Batang Lampasi dan Batang Agam, bahkan hingga ke Sipisak Pisau Anyuik (Pekanbaru sekarang).

Naim Mochtar menyatakan bahwa orang Minangkabau memiliki semangat merantau yang tinggi, bahkan tertinggi di Indonesia. Hasil penelitian yang beliau lakukan, pada tahun 1961 ada sekitar 32% orang Minangkabau yang menetap di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah tersebut meningkat menjadi 44%. Oleh sebab itu, peradaban Minangkabau meluas hingga muncul jenis wilayah yang disebut rantau dan pasisie. Keduanya secara umum merupakan wilayah perantauan suku Minangkabau, hanya saja daerah pasisie meliputi pesisir pantai. Wilayah rantau sendiri meliputi Rantau Kampar, Kuantan, XII Koto, Cati Nan Batigo, Negeri Sembilan, Tiku Pariaman, dan Pasaman. Sementara wilayah pasisie membentang dari Muko-muko hingga Tapanuli Selatan.

Tipologi Arsitektur Vernakular Minangkabau

Rumah masyarakat Minangkabau dikenal dengan “Rumah Gadang” (Rumah Besar). Bentuk Rumah Gadang di wilayah darek tidak sama dengan di daerah rantau dan pasisie. Rumah Gadang di wilayah darek merupakan Rumah Gadang dengan atap bagonjong (bergonjong) yang lazim dikenal. Sementara Rumah Gadang di daerah rantau lebih mirip Rumah Melayu dan di daerah pasisie lebih mirip Rumah . A 134 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Ganda Saputra Sinaga

Gambar 2. Rumah Gadang di wilayah darek. (Dari kiri ke kanan) Gajah Maharam, Surambi Papek, dan Rajo Babandiang.. Sumber: Dokumentasi Noor Hayati Ismail.

Rumah Gadang di wilayah darek pun dibedakan berdasarkan luhak. Rumah Gadang di Luhak Tanah Datar bernama Gajah Maharam (gajah tidur). Rumah tersebut mengikuti sistem adat Koto Piliang yang memiliki lantai beranjung (perbedaan ketinggian lantai) dan memiliki banyak ragam hias. Rumah Gadang di Luhak Agam disebut Surambi Papek. Rumah tersebut mengikuti sistem adat Bodi Caniago, tidak beranjung, dan paling sederhana di antara ketiga luhak. Luhak Limo Puluh Koto memiliki Rumah Gadang Rajo Babandiang. Rumah tersebut juga mengikuti sistem adat Bodi Caniago, tidak beranjung, dan tidak terlalu sederhana.

Gambar 3. Rumah Gadang di wilayah pasisie dan rantau. (Dari kiri ke kanan) Kajang Padati, Rumah Lontiak di Kampar, dan Rumah Negeri Sembilan.. Sumber: Dokumentasi Desy Aryanti dan Noor Hayati Ismail. Rumah Gadang di daerah pasisie termasuk jenis Kajang Padati, sementara rumah gadang di daerah rantau termasuk jenis Lontiak. Keduanya memiliki perbedaan bentuk atap yang mencolok dengan Rumah Gadang di wilayah darek. Rumah Gadang di wilayah darek memiliki bubungan atap yang melengkung curam sementara Rumah Gadang Kajang Padati dan Lontiak memiliki lengkung landai, bahkan ada yang tidak melengkung.

Gambar 4. Tipologi Masjid. (Dari kiri ke kanan) Koto Piliang dan Bodi Caniago. Sumber: Palanta Minang.

Bambang S. Budi mengungkapkan bahwa atap kubah baru memasuki Indonesia pada akhir abad ke- 19. Maka wajar saja belum ada masjid yang beratap kubah pada masa itu. Di awal-awal masuknya Islam, penyelesaian atap limas sering diterapkan sebagai pengganti kubah. Begitu juga masjid di Minagkabau. Gambar 4 menampilkan pengelompokan tipologi masjid di Minangkabau berdasarkan aliran. Perbedaan keduanya juga terletak pada jenis atap. Masjid aliran Koto Piliang memiliki bentuk Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 135

Ekspresi Vernakular Minangkabau pada Masjid Raya Gantiang lebih eksploratif (bentuk atap menyerupai atap Jam Gadang saat ini), sementara masjid aliran Bodi Caniago lebih sederhana. Meskipun begitu, keduanya juga memiliki kesamaan, yaitu atap bertumpuk, bubungan melengkung, tidak memiliki minaret dan berdenah persegi.

Langgam Masjid Raya Gantiang

Masjid Raya Gantiang memiliki gaya arsitektur Eropa neoklasik, Arab, Tiongkok, dan Minangkabau. Masing-masing langgam diekspresikan dalam wujud yang berbeda-beda. Fasad depan dan kolom masjid memiliki langgam neoklasik. Terlihat dari dimensi bukaan yang “raksasa” dan berbentuk arch. Langgam Arab diekspresikan pada masjid berupa kaligrafi. Gambar 5. Gubahan atap Masjid Raya Gantiang terdiri Sementara rancangan atap menggunakan dari lima tumpuk. Sumber: Dokumentasi penulis. langgam Tiongkok dan Minangkabau (Sugiharta Sri, 2005).

Pembahasan

Arsitek perancang Masjid Raya Gantiang tidak diketahui hingga saat ini. Oleh sebab itu, penulis menggunakan pengamatan kualitatif untuk mengidentifikasi langgam dan juga ekspresi vernakular Minangkabau pada masjid. Selain itu, penulis juga mencantumkan beberapa rujukan data kuantitatif berupa tahun kronologi pembangunan masjid.

Gambar 6. Masjid Raya Gantiang 1910 yang belum memiliki minaret. Sumber: kitlv.nl

Abdul Baqir Zein menyatakan dalam bukunya bahwa pendirian masjid ini diprakarsai oleh tiga orang pemuka adat setempat pada abad ke-18. Mereka adalah Angku Gapuak (saudagar), Angku Syekh Haji Uma (kepala Gantiang), dan Angku Syekh Kapalo Koto (Ulama). Pada awalnya masjid ini berdiri, masjid ini berada di kaki Gunung Padang. Namun karena pihak Belanda hendak membangun jalan menuju Teluk Bayur, masjid dipindahkan ke posisi sekarang. Sebagai ganti rugi, Belanda memberikan sebagian bantuan pembangunan untuk masjid tersebut. Setelah perampungan massa bangunan, Belanda mulai memasang tegel keramik yang didatangkan dari Belanda pada tahun 1900. Adapun atap masjid yang bertumpuk-tumpuk merupakan bantuan dari Kapten Lo Chian Ko (etnis Tionghoa). Penambahan minaret rampung pada tahun 1970.

A 136 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Ganda Saputra Sinaga Seperti yang dinyatakan pada bab Langgam Masjid Raya Gantiang, ekspresi vernakular pada masjid ini terletak pada massa atap. Atap masjid berbentuk limas dengan lima tumpukan. Dua tumpuk paling bawah berbentuk limas segiempat, sementara tigas tumpuk paling atas berbentuk limas segidelapan. Jika kita membandingkan tiga tumpuk atap teratas dengan pagoda, maka akan jelas terlihat bahwa bentuk tersebut diadaptasi dari arsitektur Tiongkok. Tetapi jika massa atap dipandang sebagai satu massa yang utuh, atap masjid bisa dikategorikan sebagai masjid aliran Bodi Caniago.

Gambar 6. Masjid Raya Gantiang 2017. Sumber: Backpacker Erniwati dalam buku Asap Hio di Ranah Minang menyebutkan bahwa pedagang Tionghoa mulai menetap di Pariaman sejak 1672. Jumlah mereka semakin banyak ketika Pariaman dijadikan pelabuhan terbuka. Sejak saat itu, penduduk Tionghoa di Pariaman mulai menyebar dan membentuk komunitas di Padang. Eksistensi mereka bahkan masih bertahan di daerah Taplau (tepi laut), Padang. Menanggapi kutipan ini, penulis berasumsi bahwa bantuan pembangunan atap Masjid Raya Gantiang tidak semata hanya berupa bantuan, namun juga bukti bahwa keberadaan etnis Tionghoa telah diakui oleh masyarakat Minangkabau. Mungkin hal itu yang mendasari Kapten Lo Chian Ko menggagas bentuk pagoda Tiongkok yang dielaborasikan dengan arsitektur vernakular setempat.

Masyarakat Minangkabau berlandaskan falsafah adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK). Falsafah tersebut diterapkan dalam massa Rumah Gadang dan masjid atau surau dalam bentuk detail penangkal petir yang arsitektural. Selain sebagai penangkal petir, detail pada gambar 5 juga membuktikan filsafah orang Minangkabau dalam mengambil keputusan. Keputusan tertinggi berlandaskan ABS-SBK, kemudian keputusan wali nagari, musyawarah, suara rakyat, dan yang terendah adalah nagari.

Lantas apa yang menyebabkan ekspresi vernakular Minangkabau pada masjid kurang dikenal? Jika gambar 6 diamati, tampak bahwa atap masjid seolah-olah hanya bertumpuk empat. Hal tersebut menyebabkan atap masjid cenderung terlihat seperti pagoda. Ditambah lagi ketiadaan teritisan atap. Hal tersebut membuat kesan masjid lebih cenderung neoklasik. Oleh sebab itu, penulis beranggapan Gambar 7. Detail arsitektural atap. bahwa permasalahan ini terkait dengan komposisi atap. Untuk Sumber: Kuliah Lapangan Sumatera menguatkan kesan vernakular Minangkabau, sebaiknya massa Barat oleh Departemen Arsitektur ITB atap lebih diperbesar dan dibuat overstek. 1978/1979. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 137

Ekspresi Vernakular Minangkabau pada Masjid Raya Gantiang Kesimpulan

Masjid Raya Gantiang termasuk dalam masjid aliran Bodi Caniago. Ekspresi vernakular Minangkabau terletak pada detail penangkal petir dan gubahan atap yang memadukan aritektur Minangkabau dan pagoda Tiongkok. Kesan Minangkabau yang kurang tercermin pada fisik masjid disebabkan oleh komposisi atap. Oleh sebab itu, pembesaran massa atap dan pembuatan overstek sebaiknya dilakukan guna menguatkan kesan vernakular Minangkabau.

Acknowledgement

Terima kasih dan puji syukur penulis sampaikan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya tulisan ini dapat dirampungkan. Selanjutnya penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada bapak atau ibu dari IPLBI yang telah memperbaiki tulisan saya sebelumnya dan membaca tulisan terbaru saya ini. Kemudian penulis hendak menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua dan keluarga tercinta yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis setiap saat. Terakhir, penulis ingin menyampaikan terima kasih juga kepada temen-teman Arsitektur ITB 2014 yang senantiasa memberi dukungan dalam berbagai kesempatan.

Daftar Pustaka

Aryanti, D. (2009). Tipologi Rumah Tradisional Padang (Studi Kasus: Kecamatan Kuranji/Nagari Pauh IX). Jurnal Univeritas Bung Hatta. Departemen Arsitektur FTSP-ITB. (1979). Laporan Kuliah Kerja Lapangan Sumatera Barat AR-232 Semester II 1978/1979. Erniwati. (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. : Ombak dan Yayasan Nabil Gender and society. (n.d.). Retrieved from kitlv.nl Ibrahim. (2009). Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggil Kristal Media. Ismail, N.H. dkk. (2014). Identiti Rumah Tradisional Negeri Sembilan melalui Evolusi Reka Bentuk. Jurnal Universiti Teknologi Malaysia. Naim, M. (1984). Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press。 Sugiharta, S. (2005). Masjid-Masjid Kuno di Sumatera Barat, , dan Kepulauan Riau. Batusangkar: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Zakarian, N. (1995). Masjid Raya Gantiang Padang (Sebuah Kajian Perbandingan dan Akulturasi). Skripsi Universitas Indonesia. Zein, A.B. (1999). Masjid-masjid bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press.

A 138 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017