PENGARUH EKLEKTISISME PADA BANGUNAN MESJID

(STUDI KASUS: MESJID RAYA BAITURRAHMAN KOTA BANDA )

TESIS

OLEH

RENA MAULIDA 137020011/AR

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

PENGARUH EKLEKTISISME PADA BANGUNAN MESJID (STUDI KASUS: MESJID RAYA BAITURRAHMAN KOTA BANDA ACEH)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Teknik Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

OLEH

RENA MAULIDA 137020011/AR

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

PERNYATAAN

PENGARUH EKLEKTISISME PADA BANGUNAN MESJID

(STUDI KASUS: MESJID RAYA BAITURRAHMAN KOTA BANDA ACEH)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 2019

( Rena Maulida )

Telah di uji pada Tanggal: 15 Agustus 2019

Panitia Penguji Tesis Ketua Komisi Penguji : Dr. Ir. Nelson M. Siahaan, Dipl,TP,M.Arch Anggota Komisi Penguji : 1. Dr. Faisal Pane, ST, MT,IPM 2. Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc,IPM 3. Amy Marisa, ST, M.Sc, PhD

ABSTRAK

Pada masa kolonial Belanda, Aceh mengalami pergeseran kejayaanya, di mana Belanda membumihanguskan kerajaan Aceh dan kemudian membangun kembali Aceh yang baru. Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh saat ini merupakan hasil karya arsitektur di masa kolonial Belanda. Dari hasil penelitian sebelumnya, para ahli menyebutkan bahwa bangunan Masjid Raya Baiturrahman bergaya arsitektur eklektik, yaitu percampuran unsur-unsur terbaik dari berbagai gaya arsitektur. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pengaruh eklektisisme pada bangunan Masjid Raya Baiturrahman. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif-komparatif yaitu dengan mendeskripsikan elemen-elemen visual bangunan kemudian membandingkan dengan pendekatan teori arsitektur kolonial, teori arsitektur tradisional Aceh dan teori arsitektur Islam. Dari hasil analisis elemen visual pada bangunan tersebut ditemukan gaya arsitektur Islam dominan mempengaruhi masjid, pengaruh gaya arsitektur tradisional Aceh tampak pada ornamen dinding, dan pengaruh gaya arsitektur kolonial terlihat pada bentuk denah yang simetris. Maka dapat disimpulkan bahwa perpaduan unsur-unsur gaya arsitektur tersebut merupakan eklektisisme yang mempengaruhi bangunan Masjid Raya Baiturrahman.

Kata Kunci : eklektik, eklektisisme, bangunan masjid

i ABSTRACT

In the Dutch colonial era, Aceh experienced cultural shift in which Aceh was subject to scorching-earth policy and was redeveloped. Masjid Raya (the Chief ) Baturrahman, Banda Aceh, was the architectural performance of Dutch Colonialist. The result of the previous study revealed that its building is an eclectic style mixed with the best elements of various architectural styles. The objective of the research was to find out the influence of” eclecticism in the construction of the Mosque. The research used descriptive qualitative –comparative method by describing building visual elements and comparing them with colonial architectural theory, Acehnese traditional architectural theory, and Islamic architectural theory. The result of visual element analysis in the building showed that the Islamic architectural style was dominantly influenced the mosque, the influence of Acehnese traditional architectural style was on its wall ornaments, the influence colonial architectural style was seen in the form of symmetrical floor plan. The conclusion was that the combination of the architectural styles was the eclecticism which influenced the building of Masjid Raya Baiturrahman.

Keywords: Eclectic, Eclecticism, Mosque Building

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah menjadi sumber kekuatan, inspirasi dan ridhaNya selama berlangsungnya pengerjaan Tesis ini. Tesis ini mengambil judul Pengaruh Eklektisisme Pada Bangunan Mesjid

Raya Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Tesis ini merupakan syarat yang di wajibkan bagi mahasiswa untuk memperoleh gelar Magister Teknik.

Tesis ini tersusun dari kumpulan data-data serta yang dicari berbagai sumber yang penulis dapatkan dari hasil studi literatur, studi banding, studi kasus dan observasi ke lapangan

Pada kesempatan ini, dengan tulus dan kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih penulis tujukan kepada komisi pembimbing bapak Dr. Ir. Nelson M. Siahaan, Dipl.TP,M.Arch dan bapak Dr. Imam

Faisal Pane,ST.MT.IPM Sebagai pembimbing tesis, atas kesediaannnya membimbing, memotivasi, pengarahan dan waktu beliau kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih dari hati terdalam saya haturkan kepada suami, Zulfhazli,

ST.MT dan anak Muhammad El-Faeyza Nafil atas upaya dan dukungan yang selalu diberikan sepanjang masa studi saya. Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan kesehatan, rahmat dan rezeki-Nya kepada Ayah dan Mama, serta adik-adik serta

iii teman-teman di lingkungan kerja yang kehadirannya mengurangi kerisauan dan kejenuhan selama masa studi dan selama menyelesaikan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman di kampus yang membuat masa studi lebih berwarna, kepada Kak Novi atas informasi dan bantuan yang diberikan selama perkuliahan, serta teman-teman di luar lingkungan kampus yang memberi kontribusi penting dalam pengerjaan tesis ini.

Pada akhirnya, penulis berharap agar Tesis ini dapat berguna bagi pembaca dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu arsitektur nantinya.

Medan, 2019

Penulis, Rena Maulida-NIM 137020011

iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Rena Maulida

Tempat/Tanggal Lahir : Lhokseumawe, 02 Desember 1984

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Kenari No. 125A Komplek Panggoi Indah

Kec. Muara Dua Kota Lhokseumawe - Aceh

DAFTAR PENDIDIKAN

1991 – 1997 : Taman Muda 3, Lhokseumawe

1997 – 2000 : Taman Dewasa 2, Lhokseumawe

2000 – 2003 : SMA S YAPENA Lhokseumawe

2003 – 2009 : Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik

Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

v

DAFTAR ISI

HALAMAN

ABSTRAK ...... i

ABSTRACT ...... ii

KATA PENGANTAR ...... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...... v

DAFTAR ISI ...... vi

DAFTAR GAMBAR ...... x

DAFTAR TABEL ...... xv

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

1.1 Latar Belakang ...... 1

1.2 Perumusan Masalah ...... 3

1.3 Tujuan Penelitian ...... 4

1.4 Manfaat Penelitian ...... 4

1.5 Kerangka Berpikir ...... 5

BAB II KAJIAN LITERATUR ...... 6

2.1 Arsitektur Eklektik ...... 6

2.1.1 Perkembangan arsitektur eklektik ...... 6 2.1.2 Fenomena perkembangan arsitektur eklektik ...... 8

2.2 Perkembangan Arsitektur Islam ...... 10

2.2.1 Denah ...... 11 2.2.2 Kubah ...... 12

vi

2.2.2.1 Kubah Persiani ...... 15 2.2.2.2 Kubah Utsmani ...... 16 2.2.2.3 Kubah Indo-Persiani ...... 17 2.2.3 Mihrab ...... 19 2.2.4 Prinsip tampilan Arsitektur Islam ...... 20 2.2.4.1 Arabesque ...... 20 2.2.4.2 Kaligrafi ...... 21 2.2.4.3 Mashrabiya ...... 22 2.2.4.4 Kubah ...... 22 2.2.4.5 Lengkung tapal kuda ...... 23 2.2.4.6 Muqarnas ...... 24

2.3 Perkembangan Arsitektur Tradisional Aceh 27

2.3.1 Bangunan rumah tinggal ...... 27 2.3.2 Bangunan tempat ibadah ...... 35 2.3.2.1 Konstruksi/struktur mesjid tradisional 39 Aceh ...... 2.3.2.2 Ragam hias (ornamen mesjid tradisional 41 Aceh) ......

2.4 Perkembangan Arsitektur Kolonial ...... 44

2.4.1 Indische Empire Style (Abad 18- 19) ...... 44 2.4.2 Arsitektur Transisi ...... 45 2.4.3 Arsitektur Kolonial Modern ...... 45

2.5 Penelitian Sejenis 47

2.5.1 Architecture and the Politics of Identity in ; a Study of the Cultural History of Aceh (Izziah, 2009) ...... 47 2.5.2 The Great Mosque of Banda Aceh : Its History Architecture and Relationship of The Development of Islam un Nothern (Wilhelmina Remke Raap, 1994) ...... 48 2.5.3 Karakteristik Masjid Berbasis Budaya Lokal di Selatan (Naimatul Ulfa) ...... 48 2.5.4 Konsep Semiotik Charles Jencks Dalam Arsitektur Post-Modern (Dwi Murdiati) ...... 48

vii

2.6 Kerangka Teori ...... 49

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...... 50

3.1 Jenis Penelitian ...... 50

3.2 Variabel Penelitian ...... 52

3.3 Metode Pengumpulan Data ...... 53

3.3.1 Data sekunder ...... 54 3.3.2 Data sekunder ...... 55

3.4 Metode Analisa Data ...... 55

BAB IV GAMBARAN UMUM ...... 57

4.1 Sejarah Kota Banda Aceh ...... 69

4.1.1 Masa Pra-Islam (sebelum 1205) ...... 59 4.1.2 Masa Tamaddun Islam (1205-1873) ...... 60 4.1.3 Masa Kolonial (1873-1945) ...... 61 4.1.4 Pasca Kolonial (1945 – sekarang) ...... 61

4.2 Jenis Penelitian ...... 62

BAB V PEMBAHASAN DAN HASIL ...... 67

5.1 Pengaruh Eklektisisme pada Kubah Mesjid Raya Baiturahman ...... 67 5.2 Pengaruh Eklektisisme pada Dinding Mesjid Raya Baiturahman 72 5.3 Pengaruh Eklektisisme pada Kaki/Tiang Bangunan Mesjid Raya Baiturahman ………………………………………… 79 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ...... 85

6.1 Kesimpulan ...... 85

viii

6.2 Saran ...... 86

DAFTAR PUSTAKA ...... 87

ix

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1. 1 Kerangka Berpikir …………………………………………..... 5

2. 1 Pola eklektisisme dalam arsitektur menurut Emerson ……...... 9

2. 2 Tema-tema dan konsep eklektisisme dalam arsitektur ……..... 10

2. 3 Perkembangan denah masjid …………..…………………….. 12

2. 4 Masjid Quba, Jerussalem. Atapnya berbentuk rangkaian atap

pelana. Kubah diposisikan pada pengimaman ……….….…… 13

2. 5 Dome of the Rock, Jerussalem. Kubahnya tersusun dua lapis... 14

2. 6 Kubah Tuluni, Mesir. Dasar kubahnya didukung podium

berjenjang membentuk transisi ritmik dari persegi ke

lingkaran dengan bentukan segi delapan …………………….. 16

2. 7 Masjid Salimiyah Utsmani. Berat dan besarnya gaya yang

ditimbulkan kubah utama ditanggulangi oleh pilar-pilar

ganda, penyangga utama kubah dan kubah-kubah turutan di

sekelilingnya …………………………………………………. 17

2. 8 Taj Mahal, India. Memiliki bentuk kubah seperti bawang …... 19

x

No Judul Halaman

2. 9 Mihrab pertama. Mihrab generasi awal ini masih berujud dinding datar saja dengan corak ragam hias sederhana ……… 20

2. 10 Arabesque …………………………………………………….. 21

2. 11 Kaligrafi ………………………….…………………..………. 21

2. 12 Mashrabiya ……………………………..……….……………. 22

2. 13 Kubah …………………………….………..…………………. 23

2. 14 Lengkung tapal kuda ……………………………….……..….. 23

2. 15 Muqarnas ………………………….……………..…………… 24

2. 16 Tampilan baku masjid ………………………….…………..… 25

2. 17 Denah rumah tradisional dengan 24 tiang ……………….…… 28

2. 18 Denah rumah tradisional dengan 16 tiang ……………….…… 29

2. 19 Pintu rumah tradisional Aceh …………..…………………….. 31

2. 20 Jendela rumah tradisional Aceh ……………………………… 31

2. 21 Motif ornamen keagamaan …………………………………... 33

2. 22 Motif ornament flora ……………………………..….……….. 34

2. 23 Motif ornament fauna ………………………...………………. 34

2. 24 Masjid Indrapuri ……………………………...………………. 37

xi

No Judul Halaman

2. 25 Bentuk tiang pada Masjid Kuno Indrapuri, Aceh Besar …...… 37

2. 26 Denah Mesjid Tradisional Aceh ………..……………………. 38

2. 27 Tampak Mesjid Tradisional Aceh ……….…………………... 39

2. 28 Konstruksi Mesjid Tradisional Aceh ……..…….……………. 40

2. 29 Ornament pintalan tali di Mesjid Tradisional Aceh ……..….... 41

2. 30 Pola geometris pada Mesjid Tradisional Aceh …..…………... 42

2. 31 Kerangka berpikir teori ….………………..………………….. 49

4. 1 Lokasi Kota Banda Aceh …….…………………..…………... 57

4. 2 (a) Lokasi bangunan Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh; (b) Masjid Raya Baiturrahman saat ini; (c) Masjid Raya Baiturrahman tempo dulu ……………..……………..……….. 58

4. 3 Sketsa Peter Mundy (1637) menunujukkan bentuk bangunan masjid …...... 63

4. 4 Bentuk denah dan bangunan Masjid Raya Baiturrahman berdasarkan sketsa Peter Mundy …………….……………..… 63

4. 5 Masjid Tuha Indrapuri, Aceh Besar …………….……..……... 64

4. 6 Masjid yang dibangun kembali pada masa Sultanah Nurul ‘Alam Naqiatuddin Syah (1675 – 1678 M) ……..….………... 65

5. 1 Busur lengkung bentuk tapal kuda ……………...……………. 68

xii

No Judul Halaman

5. 2 Kubah Masjid Baiturrahman yang menyerupai Taj Mahal di India ………………………………………………………….. 69

5. 3 Struktur kubah/lengkung pada Kuil Pantheon ………….…..... 70

5. 4 Struktur kubah/lengkung pada bangunan Masjid Raya Baiturrahman tidak membentuk ruang ….……………...…….. 71

5. 5 Jam bundar yang diapit relief dua mawar dan bila ditarik garis lurus …...... 73

5. 6 Pola dari Mesir, terdapat dalam buku Prisse d’Avennes yang

dipublikasikan oleh the Libraries de Firmin Didot et Cie Paris tahun 1879 (kiri), Jendela Masjid Raya Baiturrahman (kanan) ……………………………………………………….. 74

5. 7 Pola geometris pada bangunan tradisional Aceh…..……..…... 74

5. 8 Pilaster masjid Cordoba di Spanyol dengan lengkung tapal kuda yang digunakan sebagai struktur ………….……………. 76

5. 9 Pilaster Masjid Raya Baiturrahman dengan lengkung bawang yang hanya berfungsi sebagai ornament ………..……………. 76

5. 10 Kaligrafi kuningan …………………………………...………. 77

5. 11 Kolom pada bangunan masjid …………………...…………… 77

5. 12 Bentuk bangunan Mesjid Raya Baiturrahman ……..……….... 78

5. 13 Denah Mesjid Baiturrahman karya De Bruins yang selesai di bangun tanggal 27 Desember 1881……….…………………... 80

5. 14 Perbandingan bentuk denah masjid tradisional Aceh dan denah Masjid Raya Baiturrahman …...……………………….. 81

xiii

No Judul Halaman

5. 15 Bentuk simetri pada denah bangunan Mesjid Raya Baiturrahman ………………………………………………..... 82

5. 16 Perubahan denah pada bangunan Mesjid Raya Baiturrahman... 83

xiv

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2. 1 Kronologi Arsitektur Klasik di Eropa menurut Sumalyo …..…. 6

2. 2 Karakteristik Arsitektur Islam ………….…………………….... 25

2. 3 Kesan Warna pada Bangunan Tradisional Aceh (Hadjad, 1984)………………………………………………………….... 32

2. 4 Karakteristik Arsitektur Tradisional Aceh ……….………..…... 42

2. 5 Karakteristik Arsitektur Kolonial …..………………………….. 46

3. 1 Langkah Penelitian ………...…………………………………... 51

3. 2 Variabel Penelitian ………………………...…………………... 52

3. 3 Data yang harus tersedia ……………………………...……….. 54

3. 4 Metode Pengumpulan Data …………………………...……….. 55

5. 1 Kesimpulan Eklektisisme pada bangunan Masjid Raya Baiturrahman ………………………………………………….. 71

5. 2 Kesimpulan Eklektisisme pada bangunan Masjid Raya Baiturrahman ………………………………………………….. 79

5. 3 Kesimpulan Eklektisisme pada bangunan Masjid Raya Baiturrahman ………………………………………………….. 83

xv

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebelum tahun 1205, dimana masa pra Islam memulai peradaban di Aceh.

Sebelum mengenal Islam (820 M), para pedagang dari Cina dan Hindia telah membawa pengaruh agama Hindu dan Budha pada masyarakat Aceh. Masa keemasan

Aceh dimulai pada masa Tamaddun Islam. Masa ini juga menjadikan Aceh daerah dengan julukan ‘Seuramoe Mekkah’ (Serambi Mekkah) yang masih melekat sampai saat ini. Pada masa perang Kolonial Belanda (1873-1904) Aceh juga mengalami penurunan masa keemasan. Pasukan Belanda melakukan politik bumi hangus untuk menghilangkan tatanan sosial budaya yang ada di Aceh saat itu. Berbagai artefak budaya bernilai sejarah di hancurkan termasuk salah satunya Masjid Raya

Baiturrahman.

Mesjid Raya Baiturrahman berada di kawasan pusat kota dan merupakan bangunan bersejarah yang penting. Masjid ini dikenal dengan bentuk bangunan yang berbeda pada masa itu yang dikenal dengan gaya arsitektur Mughal. Bangunan ini dirancang memiliki bentuk kubah berbingkai kayu dan dilapisi dengan atap sirap kayu berwarna hitam kontras dengan dinding masjid yang bercat putih, kemudian elemen-elemen Mughal ini kemudian dihiasi dengan sentuhan Moor, seperti

1

2

lengkungan berbentuk air mata dengan intrap parabola dan cetakan pilaster arabesque yang belum pernah ada sebelumnya, hingga menjadi landmark Kota Banda Aceh.

Tanudjaya (1998) menjelaskan bahwa percampuran langgam Eropa dan langgam tradisional setempat menimbulkan kebangkitan langgam Eropa hamper di seluruh daerah jajahan Belanda di Indonesia. Bangunan bergaya Eropa pun banyak berkembang di periode ini (1970-1980an) yang tersebar di kota besar di Indonesia.

Dalam perkembangan gaya-gaya arsitektur tersebut menjadi saling mempengaruhi dan menimbulkan unsur-unsur gaya yang baru.

Handinoto (1996), menjelaskan perkembangan elemen ornamen yang digunakan bangunan kolonial dapat menjelaskan karakteristik perkembangan arsitektur Kolonial Belanda berdasarkan periodesasinya.pada tahun 1800-1900 karakteristik arsitektur Belanda yang berkembang memiliki ciri-ciri: bentuk denah yang sama dikedua belah bahagiannya/simetris, memiliki satu jumlah lantai dan menggunakan atap berbentuk perisai. Pilar atau kolom pada serambi yang bergaya

Yunani, memiliki bentuk menjulang ke atas dan pada mahkotanya terdapat gevel yang berada di atas serambi depan dan belakang yang merupakan karakteristik lainnya dari gaya arsitektur Kolonial Belanda.

Eklektisisme merupakan sebagai sikap memilik gagasan (konsep, keyakinan, doktrin) dari berbagai macam pikiran dalam proses menyusun sistem kita sendiri (B

Loren, 1996). Arsitektur vernakular yang masih menggunakan prinsip-prinsip di masa yang akan datang dihubungkan dengan menggunakan prinsip eklektisisme pada

3

bangunan. Perkembangan arsitektur eklektik sendiri memberikan pengaruh terhadap perkembangan kota yang tersebar di Indonesia.

Bangunan-bangunan ibadah yang masuk dan berkembang melalui ajaran agama termasuk bangunan eklektik, dimana terdapat percampuran gaya baik itu pengaruh keagamaan, budaya lokal bangunan tersebut berasal dan berkembang, serta bagaimana menyesuaikan dengan unsur lokalnya.

Melalui tesis ini, akan diteliti mengenai “Pengaruh Eklektisisme pada

Bangunan Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh”. Objek ini dipilih berdasarkan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan. Dimana menurut para ahli telah melakukan penelitian mengenai Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh, menyebutkan bahwa masjid ini bergaya eklektik, percampuran unsur-unsur terbaik dari berbagai negara.

1.2. Perumusan Masalah

Eklektisisme merupakan proses yang untuk memilih unsur-unsur yang baik atau memanfaatkan berbagai macam sumber ide, eklektisisme juga berarti mengulang elemen-elemen terbaik di masa lampau dan ada gaya yang dominan. Dari beberapa penelitian tentang Masjid Baiturrahman dinyatakan bahwa masjid ini bergaya eklektik, merupakan percampuran arsitektur dari berbagai negara. Adapun permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana wujud arsitektur eklektik “Masjid

Raya Baiturrahman di Kota Banda Aceh”.

4

1.3. Tujuan Penelitian

Pada penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai adalah menemukan wujud arsitektur eklektiksisme “Masjid Raya Baiturrahman di Kota Banda Aceh”.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang ingin dicapai pada penelitaian ini adalah:

a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang dapat menjadi

sumber ilmu pengetahuan dalam usaha untuk membantu terciptanya ciri

khas , yang bersumber dari budaya-budaya yang ada di

Indonesia. Arsitektur nusantara ini juga dapat diperkaya dengan

eklektisisme dalam arsitektur regional dan arsitektur kolonial Hindia

Belanda. Maka diharapkan hasilnya dapat menjadi pedoman bagi

akademisi, peneliti dan perancang dalam merencanakan sebuah karya

arsitektur pada bangunan di Kota Banda Aceh khususnya, dan di

Nanggroe Aceh Darussalam umumnya.

b. Diharapkan juga manfaat yang dapat diambil adalah eklektisisme di

dalam arsitektur dapat berubah cara pandang terhadap karya arsitektur,

sehingga masyarakat dapat mengetahui eklektisisme dalam arsitektur

dapat mempengaruhi perkembangan arsitektur secara menyeluruh.

5

1.5. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir penelitian Pengaruh Eklektisisme pada Bangunan Mesjid

Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Kerangka Berpikir

6

BAB II

KAJIAN LITERATUR

2.1 Arsitektur Eklektik

2.1.1 Perkembangan arsitektur eklektik

Pandangan mengenai latar belakang munculnya pemikiran-pemikiran eklektisisme tersebut pada abad ke-14 sampai abad ke-15 SM. Sumalyo (2003), menjelaskan perkembangan arsitektur eklektik di negara bagian Eropa terjadi pada abad ke-18 M bersamaan Neo-Klasikisme yang melanda seluruh Eropa, bahkan kadang-kadang eklektisisme ini dijadikan satu aliran dengan Neo-Klasikisme.

Perkembangan arsitektur klasik termasuk eklektik dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2. 1 Kronologi Arsitektur Klasik di Eropa

Sumber: Sumalyo, 2003

6

7

Selanjutnya Sumalyo (2003) juga memaparkan lebih lanjut pada dasarnya terdapat perbedaan antara Eklektisisme dengan Neo-Klasikisme. Pada sebuah bangunan atau kompleks bangunan, terdapat penggabungan pada beberapa elemen- elemen yang terbaik dari masa lampau yang merupakan karakteristik dari eklektisisme. Dalam eklektisisme juga terjadi pengulangan elemen masa lampau yang merupakan karateristik dari Neo-klasisisme. Neo-Klasikisme selalu diikuti oleh istilah alirannya seperti Neo-Klasikisme-Yunani, Neo-Klasikisme-Romawi, dan seterusnya tergantung aliran yang diulang. Pengulangan ini termasuk bahan, sistem konstruksi, dan dimensinya. Ini berarti pengulangan elemen-elemen yang terjadi pada

Neo-Klasik dan Eklektik dilakukan melalui berbagai carabukan sekedar bentuk elemen-elemennya digabungkan.

Menurut Tanudjaya (1993), sebenarnya muncul arsitektur eklektik ini dilatarbelakangi oleh usaha untuk mencari arsitektur baru yang sumbernya digali dari wujud-wujud kedaerahan sehingga memunculkan arsitektur baru, tanpa nama.

Wujud-wujud tersebut tersebut dipergunakan kembali dalam wujud yang baru, baik secara utuh maupun perujuk-silangan antar unsur-unsurnya.

Di Indonesia, keinginan untuk melestarikan arsitektur tradisional biasanya dengan memasukkan unsur tradisional ke dalam bangunan modern. Salah satu contoh yang sering diterapkan pada bangunan-bangunan pemerintahan adalah dengan menggunakan atap rumah tradisional pada bangunannya. Maka dapat dilihat hampir semua Kantor Gubernur misalnya menggunakan langgam-langgam daerahnya masing-masing melalui atap. Di sisi lain, terdapat pula kecenderungan penggunaan

8

elemen-elemen dari luar. Kolom-kolom Yunani, Romawi atau gaya-gaya tertentu seperti mediteranian semarak menghiasi rumah-rumah di Indonesia.

2.1.2 Fenomena Perkembangan Arsitektur Eklektik

Eklektik menurut “Webster’s New World Dictionary and Thesaurus” (1998) merupakan proses seleksi dari berbagai sistem dan ide. Berdasarkan Illustrated

Dictionary of Architecture, gaya eklektik dalam bidang arsitektur desain-desain ornamen yang arsitektural yang didapat dari elemen-elemen gaya yang berbeda

(Burden, 1998). Definisi berdasarkan Encyclopedia of American Architecture, eklektisisme pada merupakan pergerakan gaya arsitektur yang menggunakan proses pemilihan detail-detail gaya arsitektur yang mengambil dari beberapa bentuk-bentuk bangunan di masa lalu. Namun ada juga yang mengambil bentuk dan detail yang dipilih lebih dari satu gaya atau bangunan yang ada di masa lalu kemudian dikombinasikan menjadi sebuah desain bangunan (Dudley, 1980). Meskipun diikuti dengan kata arsitektur, tetap memiliki pengertian yang sama dengan Ensiklopedia

Amerika, yitu memilih atau menyeleksi bentuk dan detail dari berbagai gaya sehingga menjadi kombinasi di dalam satu gaya bangunan.

Harisah (2007) menjelaskan perbandingan istilah eklektik dan arsitektur eklektik. Eklektik merupakan berbagai sistem, doktrin-doktrin, sumber-sumber yang berbeda dari beragam orang, perlengkapan perseorangan, menolak sesuatu yang bersifat acak maupun diskriminatif, menyeleksi unsur-unsur yang terbaik pada satu gaya arsitektur di periode yang sama. Prosesnya melakukan penyelesaian, selektif meengombinasi dan mengulang. Arsitektur eklektik menginterpretasikan sebuah

9

sistem, doktrin, opini dari sebuah gaya. Arsitektur eklektik bersumber dari bentuk- bentuk dan unsur-unsur ornamen dari lebih dari satu gaya-gaya bangunan.

Kebutuhan dan kebiasaan, mempertimbangkan iklim, tanah, waktu dan keinginan-keinginan orang yang memerlukannya merupakan cara Harisah (2007) dalam menginterpretasi keindahan yang diciptakan melalui karya arsitektur. Emerson jga menjelaskan bahwa karya seni yang diciptakan tetap mengutamakan pentingnya studi sejarah dan tradisi dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Faktor iklim, tanah, waktu, keinginan, kebiasaan, sejarah, tradisi & kebutuhan. STUDI Karya baru yang memiliki jiwa Bentuk-bentuk organik

Gambar 2. 1 Pola Eklektisisme dalam Arsitektur menurut Emerson Sumber: Harisah, Sastrosasmito & Hatmoko, 2007

Arsitektur eklektisisme merupakan sebuah metode yang dimaknai hasil dari penyeleksian dari pola pikir, prinsip dan unsur-unsur masa lalu dari sebuah arsitektur yang dimodifikasi sehingga menjadi bagian pemikiran, kemudian prinsip dan unsur- unsur tersebut menjadi sebuah komposisi yang menciptakan pemikiran baru meskipun gaya dan prinsip tersebut belum memiliki nama dapat dilihat pada Gambar

2.2.

10

Gambar 2. 2 Tema-tema dan Konsep Eklektisisme dalam Arsitektur Sumber: Harisah, Sastrosasmito & Hatmoko, 2007

2.2 Perkembangan Arsitektur Islam

Dalam membentuk budayanya, Arsitektur Islam dilandasi oleh dua ciri utama, yaitu asimilasi dan toleransi. (Lewis, 1988). Sedangkan dalam budaya arsitektur,

Lewis John D. Hoag, mencontohkan Islam bagaimana berlangsungnya proses pembentukan arsitektur. Seperti yang dipaparkan didalam buku , menjelaskan proses para arsitektur Muslim melakukan perpaduan unsur-unsur menjadi sebuah perpaduan corak yang baru, yang memiliki perbedaan dengan corak- corak darimana elemen-elemen lama tersebut meminjam dari corak-corak yang berasal dari Eropa (Byzantium), Afrika (Mesir), Mesopotamia (Persia), maupun India dan bentuk baru yang muncul meiliki perbedaan dibandingkan bentuk asalnya, yaitu menekankan karakter ruang luas pada bagian dalam bangunan (Hoag, 1987).

Bangunan masjid, istana dan makam merupakan bagian terbesar dari perkembangan arsitektur Islam. Perkembangan bangunan masjid di awal mula menghadirkan tampilan bangunan Islami, seperti mesjid dengan tampilan sangat

11

sederhana, seiring dengan tumbuhnya peradaban Islam penampilan arsitektur masjid berkembang sangat mencolok. Setelah melewati masa dua abad dan melalui berbagai pengalaman dalam memperluas wilayahnya dan membangun pada setiap wilayah yang disinggahi dengan menggunakan dan mempelajari kelebihan dari berbagai bangsa, baik itu dari para seniman, tukang, maupun ahli bangunan. Wilayah yang disinggahi antara lain Mesir, Syiria, Romawi Timur, Persia, Armenia maupun India.

2.2.1 Denah

Di awal kondisinya, denah Mesjid Nabawi memiliki bentuk bujur sangkar dan menjadi prototype bangi pembangunan masjid-mesjid sejenisnya. Bentuk ini kemudian mendapat pengaruh dari budaya setempat, sehingga denah tersebut menjadi pola baku yang berbentuk bujur sangkar dengan kedua sisinya melebar dan memanjang mengikuti arah kiblat.

Fanani (2009), mengatakan ada beberapa pola denah pada bangunan masjid, yaitu: pola denah baku yang berbentuk bujur sangkar, pola denah memanjang dan melebar di kedua sisi ke arah kiblat, dan pola denah khusus yang berbentuk segi delapan. Dari Gambar 2. 3 dapat dilihat perkembangan awal denah yang berbentuk bujur sangkar (1) yang mengambil denah pada Mesjid Nabawi sebagai sumber utamanya dan seringnya denah ini disebut “tipologi Madinah”. Kemudian ada “denah

Damaskus” (2) dimana terdapat perkembangan tipe/bentuk dengan pola persegi panjang yang tegak lurus dengan arah kiblat, disebut dengan tipologi Arab. Yang terakhir adalah denah Mesjid Agung Samana (3) tipologi denahnya memanjang

12

mengikuti poros arah kiblat, denah ini sering disebut dengan tipologi Persia dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2. 3 Perkembangan denah masjid. Sumber: Fanani, 2009

2.2.2 Kubah

Bentuk atap pada bangunan masjid di awal pembangunannya tidak berbentuk kubah, melainkan berbentuk atap pelana. Penambanhan kubah dilakukan oleh kaum

Muslimin karena dirasa perlu untuk menempatkan sesuatu yang penting pada bangunan masjid. Diawali dengan pemasangan mihrab pada dinding sebagai tanda tempat imam berdiri menjadi ruang maksura. Maka dipilihkan kubah sebagai tempat penanda mihrab tersebut. Bentuk kubah merupakan peninggalan arsitektur Romawi.

Penempatan kubah pertama sekali dibubuhkan pada bagian atap di posisi imam yang bertujuan untuk membedakan bagian atap bangunan lainnya. Bentuk kubah ini terus dipertahankan dari waktu ke waktu sehingga resmi terpasang di masjid Nabawi pada

Gambar 2.4.

13

Gambar 2. 4 Masjid Quba, Jerussalem. Pada atap berbentuk rangkaian atap pelana. Kubah berada pada posisi imam. Sumber: Fanani 2009

Salah satu ciri khas pada sebuah masjid saat ini adalah kubah. Dalam perjalanan waktunya, bentuk kubah ikut mengalami perubahan. Ada bentuk kubah yang mengalami perluasan sesuai dengan tempat ibadah dibawahnya. Namun di daerah India dan Pakistan kebanyakan menggunakan kubah dengan bentuk setengah bulat dan biasanya disebut kubah bawang. Dalam sebuah penjelasan “A Review of

Mosque Architecture, Foundation for Science Technology Civilisation (FSTC)” menjelaskan tentang fungsi kubah pada bangunan arsitektur Islam memiliki pengertian secara simbolik, yaitu sebagai symbol kekuasaan dan kebesaran Tuhan dan mempresentasikan keberadaan surga.

Dalam sejarahnya, dimasa Rasulullah SAW, bentuk menara dan kubah belum dikenal. Seorang ahli arsitektur terkemuka, Prof. K Creswell dalam “Early Muslim

Architecture” menjelaskan ketika pertama sekali dibangun bangunan mesjid di

14

Madinah tidak mengenal bentuk kubah. Creswell menjelaskan bahwa masjid yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW memiliki konstruksi yang sangat sederhana.

Pada konstruksi bangunan awal masjid yang dibangun olekh Nabi

Muhammad SAW memiliki bentuk persegi dengan dinding sebagai pembatas sekelilingnya. Terdapat serambi disepanjang bagian dinding tersebut, yang langsung menuju lapangan terbuka ditengahnya. Dengan perkembangan teknologi arsitektur, maka terjadi banyak perubahan pada konstruksi bangunan masjid dan salah satunya adalah konstruksi kubah muncul sebagai penutup bangunan masjid.

Dalam arsitektur Islam tidak mengenal bentuk kubah, dikarenakan dalam ajaran Islam sendiri tidak membawa tradisi budaya fisik atau tidak mengajarkan secara konkrit pola bentuk arsitektur. Secara sejarah dan arkeologis, bentuk kubah dalam arsitektur Islam ditemukan pada bangunan masjid Dome of The Rock di

Yerusalem, yang dibangun pada tahun 685 M sampai 691 M dapat dilihat pada

Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Dome of the Rock, Jerussalem. Kubahnya tersusun dua lapis. Sumber: Fanani 2009

15

Arabesk, hiasan berbentuk geometris, menghiasi interior Dome of the Rock dengan bentuk tanaman rambatan dan ornament kaligrafi. Di abad ke-7 M, kaligrafi menjadi ornamen yang menghias ornamen masjid dan hiasan ini merupakan unsur hiasan yang menjadi ciri khas arsitektur Islam.

Ada 3 gaya yang mempengaruhi bentuk kubah dalam arsitektur Islam, yaitu:

2.2.2.1 Kubah Persiani

Kubah model Persiani memiliki model seperti kepala gasing dengan bentuk runcing di puncaknya. Pada bagian leher kubah terdapat bidang tegak pendukung kubah. Secara bentukan, kubah Persiani memiliki bentuk yang unik, yaitu terdapat konstruksi menyerupai sarang tawon yang berada pada ruang dalam kubah, konstruksi seperti ini dinamai muqarnas. Pada bagian eksterior diberikan hiasan kepingan mozaik keramik yang berpola floral dengan berwarna kebiruan. Sedangkan konstruksi bangunannya menggunakan berbahan batu bakar yang disusun, konstruksi ini sudah diwarisi sejak jaman Babylonia.

Kubah pada wilayah Mesir memiliki gayanya tersendiri. Gaya pada kubah

Persiani dipengaruhi oleh kubah Mesopotamia. Bangunan yang menggunakan kubah

Persiani antara lain adalah: “Masjid Al-Azhar Kairo, kompleks makam Barba’i, kompleks Masjid Sultan Hasan, dan juga Masjid ibn Tulun”. Bentuknya mirip kepala gasing dengan leher kubah lebih jenjang. Pada tampilan kubah, terdapat proses perpindahan detail dari dinding bujur sangkar ke dasar lingkar kubah yang ditransformasikan melewati bentuk persegi delapan secara berjenjang dapat dilihat pada Gambar 2.6.

16

Gambar 2.6 Kubah Tuluni, Mesir. Dasar kubahnya didukung podium berjenjang membentuk transisi ritmik dari persegi ke lingkaran dengan bentukan segi delapan. Sumber: Fanani, 2009

2.2.2.2 Kubah Utsmani

Ketika masa kekuasaan Turki Utsmani di wilayah Anatolia berhasil menaklukkan Konstantinopel sebagai pusat pemerintahan Byzantium, salah satu hasil penaklukkan ini adalah mengadopsi bentuk kubah yang berada di kota

Konstantinopel. Bentuk kubah pada Gereja Hagia Sofia memberikan ide kepada

Sinan, arsitek Kerajaan Utsmani Turki, menjadikannya model dan mengembangkan gubahan bentuknya menjadi bentuk baku dari sebuah atap masjid.

Kubah Utsmani memiliki ciri-ciri komposisinya yang majemuk dan berbentuk cendawan. Penyusunan kubah disusun secara herarkis. Pada atap masjid memiliki satu kubah induk yang terbesar berada di tengah, kemudian diikuti dengan dua kubah yang berurutan pada salah satu porosnya di masing-masing sisi bangunan. Bentuk kubah yang lebih kecil ini biasanya berada pada posisi lebih rendah dari kubah utama dan berbentuk setengah lingkaran. Kemudian pada posisi lebih rendah lagi, di apit

17

lagi dengan dua kubah pada masing-masing anak kubahnya. Terdapat empat pilar yang mendukung kubah utama. Dan diantar pilar-pilar tersebut berjejer tiang-tiang.

Bentuk ini yang menjadi model awal susunan Kubah Utsmani dapat dilihat pada

Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Masjid Salimiyah Utsmani. Pilar-pilar ganda mendukung besarya gaya yang ditimbulkan oleh kubah utama, berfunsi penyangga utama kubah dan kubah-kubah turutan di sekelilingnya. Sumber: Fanani, 2009

2.2.2.3 Kubah Indo - Persiani

Bentuk bawang, yang sering disebut model Indo-Persiani, berkembang di wilayah kekuasaan bangsa Mughal di India. Bangunan yang terkenal menggunakan bentuk kubah ini adalah bangunan Taj Mahal. Pengalaman panjang diawali sejak abad ke-8 yang memepertemukan dua komunitas Hindu dan Islam, hingga masa keemasan dinasti Mughal sepanjang abad ke-17, sekaligus mempertemukan dua kontras dasar kebudayaannya. Abad ke-8 perkembangan budaya arsitektur Islam berpusat di Damaskus, Iskandariyah, Baghdad dan Cordoba. Selama hampir dua abad

18

masa pemerintahannya, awal abad ke-16 sampai abad ke-18, arsitektur Islam telah menemukan pola bakunya.

Peninggalan budaya Arsitektur Islam Indo-Persiani berpusat di Delhi, Agra dan Jaipur. Slah satu hasil peninggalan budayanya adalah tembikar, dikarenakan wilayah tersebut kaya akan material tanah dan bebatuan. Dalam perjalanan budayanya, kawasan tersebut mencapai puncak kejayaannya. Pertemuan dengan arsitektur Hindu menampilkan bangunan dengan rongga besar yang dibungkus dan dilapisi oleh dinding massif yang kaya akan ornamen indah.

Ciri budaya pada kawasan Asia Tengah, ditinggali oleh Bangsa Mughal yang memiliki asal-usul Timur Lenk, memiliki ciri budaya arsitektur yang kuat akan pengaruh Persiani. Corak khas elemen Arsitektur Mughal (Gambar 2.8) ditandai dengan elemen kubah. Elemen kubah tersebut bisa dilihat pada bangunan masjid, istana dan astana (makam). Tiga kubah sejajar menjadi ciri khas pada arsitektur masjid. Sedangkan untuk bangunan astana ditandai dengan penempatan beberapa kubah yang mengelilingi satu kubah utama. Pada yang memiliki anjungan terbuka dan berdiri sendiri, bentuk kubah dikombinasikan dengan teras yang mengelilingi pada keempat sisinya. Bentuk seperti ini juga diperlakukan di bagian anak-anak kubah yang ditempatkan berkeliling sepanjang langkan atap, di sekitar kubah utama.

19

Gambar 2.8 Taj Mahal, India. Memiliki bentuk kubah seperti bawang. Sumber: Fanani, 2009

2.2.3 Mihrab

Pada dinding tempat pengimaman yang mengalami perubahan ada penambahan ceruk kecil di dalamnya. Bagian ceruk kecil inilah yang kemudian menjadi Mihrab. Mihrab ini sendiri terlihat pertama sekali di Masjid Nabawi saat

Khalifah Al-Walid merekonstruksi ulang masjid ini di antara tahun 707-709 Masehi dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Pada waktu ke waktu, mihrab mengalami perubahan bentuk, akan tetapi perkembangan fungsinya tidak berubah. Awalnya mihrab pada bangunan masjid hanya berfungsi sebagai dekorasi pada dinding kiblat, kemudian berkembang menjadi ruang tempat imam berdiri yang dikenal sebagai maqsura.

20

Gambar 2.9 Mihrab Pertama, bentuknya menempel pada dinding datar dan memiliki corak sederhana. Sumber: Fanani, 2009

2.2.4 Prinsip tampilan arsitektur Islam

Berikut ini terdapat elemen-elemen desain yang menjadi ciri Arsitektur Islam yang diterapkan pada desain tampilan Arsitektur Islam, yaitu:

2.2.4.1 Arabesque

Dalam ajaran Islam, motif hewan dan manusia dilarang untuk digunakan.

Sehingga Penggunaan motif geometris dan motif flora (tumbuhan) sering digunakan oleh seniman Muslim dalam setipa karyanya, termasuk interior bangunan, yang sering disebut arabesque pada Gambar 2.10.

21

Gambar 2.10 Arabesque Sumber : Burckhart, 2009

2.2.4.2 Kaligrafi

Kaligrafi atau kesenian melukis huruf Arab sangat sering dipakai oleh seniman serta arsitek Muslim. Penggunaan kaligrafi, kaligrafi juga memiliki tujuan sebagai penambah keindahan pada suatu bangunan, dan juga berfungsi untuk pengingat ayat-ayat Al-Quran dapat dilihat pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11 Kaligrafi Sumber : Burckhart, 2009

22

2.2.4.3 Mashrabiya

Setengah dari sebagian besar negara Muslim berlokasi di daerah gurun, sehingga sering memakai kisi-kisi pada jendelalnya, yang sering disebut mashrabiya.

Penggunaan kisi-kisi berfungsi untuk membuat penghuni nyaman serta terjaga privasinya, selain itu kisi-kisi juga berfungsi untuk menghalau panasnya sina matahari untuk masuk ke dalam ruangan. Untuk motifnya mashrabiya ini memiliki bentuk geometris untuk membuat bentuk bangunan menjadi lebih indah dapat dilihat pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12 Mashrabiya Sumber: Burckhart, 2009

2.2.4.4 Kubah

Dalam Arsitektur Islam, salah satu yang dominan terlihat dan menonjol adalah kubah. Kubah yang sering dipakai umumnya mempunyai bentuk seperti umbi bawang khas Timur Tengah. Pada sisi luar kubah biasanya dihiasi dengan motif-motif geometris, namun selain itu bagian dalam kubah biasanya juga dihiasi dengan motif- motif geometris dapat dilihat pada Gambar 2.13.

23

Gambar 2.13 Kubah Sumber : Burckhart, 2009

2.2.4.5 Lengkung Tapal Kuda

Bentuk pertemuan antar dua pilar memiliki gayanya sendiri pada masing- masing arsitekturnya. Sedangkan dalam Arsitektur Islam sering dikenal dengan bentuk lancip (pointed arch) dan lengkung bentuk tapal kuda dapat dilihat pada

Gambar 2.14.

Gambar 2.14 Lengkung Tapal Kuda Sumber : Burckhart, 2009

24

2.2.4.6 Muqarnas

Dalam Arsitektur Islam juga dikenal dengan ornamen tiga dimensi seperti sarang lebah dan tempatkan dilangit-langit bangunan, disebut juga muqarnas.

Arsitektur sering menyebutnya dengan stalaktit. Muqarnas biasanya digunakan pada portal (pintu masuk), mihrab, interior kubah, hingga minaret, yang membuat bentuk tersebut jadi lebih indah dapat dilihat pada Gambar 2.15.

Gambar 2.15 Muqarnas Sumber: Burckhart, 2009

Arah kiblat, posisi imam serta makmum merupakan hal penting yang ada, selain hal lainnya seperti: tempat wudhu, minaret, mimbar, adalah pelengkap sekunder yang tidak harus disediakan (Gambar 2.16).

25

Gambar 2.16 Tampilan Baku Masjid. Sumber: Fanani, 2009

Mihrab pada arsitektur masjid diambil dari tradisi Koptik. Sedangkan menara, kubah, bentuk-bentuk tiang, portal, dan kelengkungannya diwarisi dari tradisi Latin

(Yunani dan Romawi), Byzantium dan Persia. Bentuk basilica diwarisi dari arsitektur

Romawi melalui pengalaman tradisi Nasrani.

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan karakteristik arsitektur Islam melalui tabel 2.2.

Tabel 2. 2 Karakteristik Arsitektur Islam Parameter Elemen Arsitektur Islam Gambar Arsitektur Atap a. Kubah Persiani

26

Tabel 2.2 (Lanjutan)

Parameter Elemen Gambar Arsitektur Islam Arsitektur

b. Kubah Utsmani

c. Kubah Indo- Persiani

Ornamen a. Arabesque

b. Kaligrafi

c. Mashrabiya

d. Muqarnas

Kolom Lengkung tapal kuda

27

Tabel 2.2 (Lanjutan)

Parameter Elemen Arsitektur Islam Gambar Arsitektur Denah a. Tipologi Arab b. Tipologi Madinah c. Tipologi Persia

2.3 Perkembangan Arsitektur Tradisional Aceh

2.3.1 Bangunan rumah tinggal

Perkembangan agama Hindu dan Budha menjadi puncak kejayaan arsitektur tradisional di Indonesia. Pengaruh dari pedagang Cina, India, Arab dan Eropa yang singgah ke Indonesia banyak mempengaruhi perkembangan arsitektur tradisional, menurut Hasbi (2012), “Arsitektur Indonesia banyak dipengaruhi oleh arsitektur dari luar wilayah Indonesia seperti arsitektur Hindu, Budha, Islam dan Kolonial”.

Pengaruh-pengaruh ini memberikan nilai positif dan negatif pada arsitektur kuno di

Indonesia.

Menurut Sahriyadi (2012), mayoritas kepercayaan masyarakat Aceh yang beragama Islam turut mempengaruhi arsitektur tradisional Aceh. Keberagaman kehidupan beragama di masyarakat yang ada Aceh juga di dukung dengan adanya tempat-tempat ibadah, seperti meunasah (surau/langgar) dan meuseujid

28

(masjid). Bangunan-bangunan ibadah tersebut merupakan bangunan tradisional. Dan hampir sebagian besar masyarakat Aceh saat ini masih terdapat bangunan tradisonal.

Menurut Hadjad (1984), jenis bangunan tradisional Aceh dibagi menurut memiliki fungsi seperti bangunan rumah tinggal, tempat ibadah dan beberapa bangunan lainnya.

Ching (1987) menjelaskan bahwa gabungan dari teknik dan keindahan menjadikannya sebauah bentuk. Titik, garis, bidang dan ruang merupakan unsur utama pembentuk sebuah bangunan. Sedangkan struktur landasan awal dari perujudan bentuk dasar seperti, persegi, segitiga dan lengkungan. Bentuk-bentuk tersebut kemudian divariasikan menjadi bentuk tampak yang indah dapat dilihat pada

Gambar 2.17 dan Gambar 2.18.

Gambar 2.17 Denah Rumah Tradisional dengan 24 tiang Sumber: Sabila dkk, 2014

29

Gambar 2.18 Denah Rumah Tradisional dengan 16 tiang Sumber: Sabila dkk, 2014

Hadjad dkk (1984) menjelaskan denah pada bangunan tradisional Aceh biasanya berbentuk persegi maupun persegi panjang dan pada lantainya terbagi atas tiga jalur memanjajng yang sejajar atap.untuk bangian jalur tengah pada lantai, biasanya ditinggikan 25-40 cm dibandingkan kedua jalur lainnya. Uuntuk ruang an, terdapat tiga atau lima ruang pada denah Rumoh Aceh. Untuk denah yang memiliki tiga ruang ditopang oleh 16 kolom (Gambar 2.17), sedangkan pada denah yang memiliki lima ruang ditopang oleh 24 kolom/tiang bangunan (Gambar 2.18). Pada denah Rumoh Aceh juga terdapat pembagian ruang, biasanya pada jalur lantai yang terdepan digunakan sebagai serambi oleh suami dan biasanya juga untuk menerima tamu laki-laki, sedangkan pada jalur belakang biasanya digunakan oleh ibu atau anak perempuan. Untuk memisahkan serambi depan (bersifat umum) dan serambi belakang (bersifat privasi) terdapat dinding pemisah atau yang disebut seketeng.

Rumah Tradisional Aceh berbentuk panggung yang didirikan di atas tinag kayu atau

30

bamboo dengan ketinggian 2,5-3 meter. Hal ini juga berfungsi untuk menghindarkan diri dari banjir maupun serangan binatang buas.

Tampak pada bangunan biasanya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:

1. Atap pada bangunan Rumoh Aceh berbentuk atap pelana yang sekedar

memakai satu bubung dan menggunakan bahan penutup atap dari rumbia.

Penutup atap berbahan rumbia ini memiliki bobot yayng ringan sehingga

dapat mengurangi beban bangunan dan tidak mudah roboh pada saat

terjadi gempa.

2. Dinding bangunan Rumoh Aceh terbuat dari material kayu dan bilah

bambu tua. Bahan yang digunakan ini bermanfaat terhadap penghawaan

dan mengalirkan udara dari dan keluar bangunan dengan baik.

3. Pintu dan jendela. Dinding bangunan di sebelah depan langsung

berhadapan menuju halaman rumah. Pada dinding tersebut memiliki pintu

masuk dengan ukuran 0,8 meter dan tinggi 1,8 meter. Pintu ini biasanya

juga terpat pada sebelah kanan serambi depan (Hadjad dkk, 1984) dapat

dilihat pada Gambar 2.19. Untuk dinding di sebelah kiri dan kanan

terdapat jendela dengan ukuran 0,6 x 1 meter, jendela ini juga disebut

tingkap dan jendela ini juga terdapat di dinding dekat pintu depan

bangunan (Hadjad, 1984) dapat dilihat pada Gambar 2.20.

31

Gambar 2.19 Pintu Rumah Tradisional Aceh Sumber: Hadjad dkk, 1984

Gambar 2.20 Jendela Rumah Tradisional Aceh Sumber: Hadjad dkk, 1984

4. Warna pada bangunan tradisional Aceh yang sering digunakan adalah

kuning, krem, merah, oranye dan hitam. Biasanya warna tersebut juga

dikombinasikan dengan warna putih. Akibat dari pengeruh masa kini, saat

ini banyak warna-warna lain yang terdapat pada bangunan tradisional

Aceh (Hadjad, 1984) dapat dilihat pada Tabel 2.3.

32

Tabel 2.3 Kesan Warna pada Bangunan Tradisional Aceh (Hadjad, 1984) Warna Kesan Merah Emosi yang berubah-ubah, naik turun, hidup, menggairahkan dan menyenangkan, menumbuhkan semangat. Kuning Memiliki karakter kuat, hangat, dan memberi nuansa cerah. Menciptakan suasana nyaman dan menyenangkan. Putih Bersifat netral, tanpa perasaan dan memiliki kesan suci. Oranye Menunjukkan kehangatan, kesehatan pikiran dan kegembiraan. Hitam Melambangkan perlindungan.

5. Ragam hias (ornamen) bangunan tradisional Aceh. Masyarakat Aceh

merupakan suku bangsa yang menyukai seni dan bangunan tradisional

Aceh sendiri pada umumnya memiliki banyak ukiran-ukiran. Contohnya

bangunan tempat ibadah seperti meuseujid (mesjid) dan meunasah (surau)

juga banyak dijumpai corak ornamen dengan berbagai macam motif dan

ragam hias. Corak yang digunakan biasanya adalah motif yang

berhubungan dengan alam, seperti: tumbuh-tumbuhan, binatang, benda-

benda langit (awan, bintang dan bulan). Corak ragam hias tersebut hanya

berfungsi sebagai hiasan dan tidak memiliki arti maupun maksud tertentu.

Namun ada juga beberapa motif yang menunjukkan simbol keislaman,

seperti motif bulan dan bintang, motif awan berarak (awan meucanek)

yang melambang kesuburan, dan motif tali berpintal (taloe meuputa) yang

33

menunjukkan ikatan persaudaraan yang kuat bagi masyarakat Aceh

(Hadjad dkk, 1984).

Ada beberapa motif hiasan ornamen yang biasa dipakai pada bangunan tradisional Aceh menurut Hadjad dkk (1984) adalah: a. Motif keagamaan. Motif kaligrafi dari ayat-ayat Al-Quran merupakan

ragam hias yang bercorak keagamaan pada bangunan tradisional

Aceh dapat dilihat pada Gambar 2.21.

Gambar 2.21 Motif Ornamen Keagamaan Sumber : Hadjad dkk, 1984

b. Motif flora. Bentuk daun, akar, batang maupun bunga-bungaan

merupakan sterilisasi dari motif flora. Biasanya motif flora ini tidah

diberi warna, dan bila ada menggunakan warna biasanya ynag

digunakan adalah warna merah dan hitam. Corak ini biasanya

menggunakan motif flora/tumbuh-tumbuhan yang dapat ditemukan

pada tangga (rinyeuen), dinding, tulak angen, kindang, balok pada

bagian penutup, dan jendela rumah dapat dilihat pada Gambar 2.22.

34

Gambar 2.22 Motif Ornamen Flora Sumber : Hadjad dkk, 1984

c. Motif fauna. Unggas, seperti merpati, balam dan perkutut merupakan

motif fauna yang sering digunakan pada bangunan tradisional Aceh.

Motif fauna yang biasa sering dipakai adalah jenis binatang yang

sering dijumpai dan disukai. Dapat dilihat pada Gambar 2.23

Gambar 2. 23 Motif Ornamen Fauna Sumber : Hadjad dkk, 1984 d. Motif alam, yang sering dipakai pada bangunan tradisional antara

lain: bentuk awan pada langit, bulan dan bintang, dan panorama laut. e. Motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.

35

2.3.2 Bangunan tempat ibadah

Masjid Indrapuri yang berlokasi di Kabupaten Aceh Besar diyakini bangunan masjid tertua di Aceh. Diyakini bentuk Masjid Raya Baiturrahman yang pertama sekali dibangun pada masa Kerajaan Aceh, sebelum dibakar dan dibangun kembali oleh Belanda, memiliki bentuk yang sama dengan Masjid Indrapuri.

Pada masa sebelum masyarakat Aceh mengenal Islam, Masjid Indrapuri ini dulunya berfungsi sebagai candi Hindu milik kerajaan Lamuri dan oleh Marcopolo disebut Lambri. Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda, bangunan candi ini difungsikan sebagai masjid. Masa kesultanan Sultan Iskandar Muda (1607-1637) merupakan puncak kejayaan Kerajaan. Politik maupun ekonomi juga berkembang pada masa kejayaan Aceh pada saat itu. Selain itu tempat ibadah umat Islam juga berkembang, hal itu terlihat dari banyaknya masjid-mesjid yang dibangun pada masa itu. Perluasan wilayah juga dilakukan sampai ke negara-negara tetangga. Di sepanjang pantai sekutar Selat Malaka dan di pantai bagian utara Pulau Sumatera telah berhasil ditaklukkan oleh Sulta Iskandar Muda tahun 1612-1621. Sepulangnya dari menaklukkan Kerajaan Malaka, Sultan Iskandar Muda membangun masjid

Indrapuri diatas reruntuhan candi yang telah ada sebelumnya. Pondasi Candi yang bertingkat dirobohkan hingga tingkatan ke empat. Di tingkat ke empat inilah tiang- tiang masjid didirikan.

Untuk mengetahui bentuk Masjid Raya Baiturrahman, Muhammad Said dalam Adhi Surjana mengatakan dengan menggunakan data dari gambar pelukis

Belanda tentang Kota Banda Aceh pada abad ke-17, di mana di dalamnya terlihat

36

suatu bangunan berdenah persegi empat dengan bentuk atap tumpang tiga yang dipuncaknya terdapat semacam kemuncak atau mustaka berujung runcing (Anonim,

2006).

Tim monitoring Situs atau Benda Cagar Budaya di Wilayah Aceh Besar (Mei,

2019) telah mendeskripsikan bentuk arsitektur dari masjid kuno yang ada di Aceh

Besar adalah sebagai berikut:

1) Bangunan induk bujur sangkar, dibangun lebih tinggi dari sekitarnya.

Bangunan Masjid Indrapuri berdiri di atas tanah dengan luas 4.447 m2,

sedangkan bangunan masjidnya berukuran 18,8 m x 18,8 m dengan

ketinggian 11,65 m dan denahnya berbetuk bujur sangkar (Anonim,

2011). Dapat dilihat pada Gambar 2.24. Pada areal bangunan ini

diletakkanlah 36 umpak (kaki-kaki tiang) yang terbuat dari batu kali, dan

diatasnya tiang-tiang kayu sebagai penyangga atap. Jumlah tiang sebagai

penyangga atap terdiri dari 36 tiang yang masing-masing berdiameter 0,28

meter dan bersegi delapan, 4 buah tiang utama (soko guru) yang berada di

bagian sentral (tengah) masjid dan 32 buah tiang penampil (pendamping/

keliling) yang berfungsi sebagai penyangga kerangka atap. Dapat dilihat

pada Gambar 2.25. Posisi bangunan masjid berada di atas bangunan yang

berundak empat, pada undak/ tingkat keempat itulah bangunan masjid

didirikan. Bangunan berundak inilah diyakini masyarakat dulunya

merupakan candi warisan dari kerajaan Poli/ Puri yang kemudian sering

37

dikatakan Lamuri oleh orang Arab dan Lamri oleh Marcopolo (Jalil,

2011).

Gambar 2. 24 Masjid Indrapuri

Gambar 2. 25 Bentuk tiang pada Masjid Kuno Indrapuri, Aceh Besar

38

2) Serambi (bila ada) dibangun di sisi timur ruang utama. Masjid Indrapuri

tidak memiliki serambi, hai ini meungkin disebabkan oleh karena masjid

ini tergolong masjid tua di Indonesia yang umumnya tidak memiliki

serambi.

3) Mihrab pada Masjid Indrapuri seperti pada masjid lainnya terletak pada

dinding sebelah barat, disamping berfungsi sebagai tempat imam berdiri

untuk memimpin shalat berjamaah, selain itu berfungsi untuk menunjuk

kiblat. Pada masjid ini, mihrab dibuat menjorok ke dalam pada sisi

dinding sebelah barat.

Hadjad,dkk mengatakan bahwa bentuk mesjid tradisional Aceh umumnya hampir sama yang memiliki sebuah ruangan saja, yaitu ruang tempat salat. Ruangan tersebut merupakan sebuah ruangan berbentuk bujur sangkar. Dapat dilihat pada

Gambar 2.26.

Gambar 2.26 Denah Mesjid Tradisional Aceh Sumber : portalsatu.com

39

2.3.2.1 Konstruksi/struktur mesjid tradisional Aceh

Susunan bangunan pada masjid tradisional Aceh ditumpu oleh empat buah tiang utama yang bersegi delapan yang di sebut tameh teungoh. Keempat buah tiang utama itu tepat di tengah-tengah bangunan mesjid tradisional Aceh dan menjadi tumpuan pokok atap lapisan atas yang berbentuk limas. Selain empat buah tiang pokok yang terdapat di tengah-tengah bangunan mesjid tradisional Aceh, pada bagian keempat sisi bangunan juga terdapat tiang-tiang pendek yang juga bersegi delapan yang disebut tameuh ungka yang jumlahnya dua belas buah. Fungsi dari tiang-tiang ini adalah sebagai penunjang atap lapisan bawah mesjid tradisional Aceh (Hadjad dkk, 1984). Dapat dilihat pada Gambar 2.27.

Gambar 2.27 Tampak Mesjid Tradisional Aceh Sumber : portalsatu.com

Dinding pada mesjid tradisional Aceh menggunakan dinding setengah terbuka/ setengah permanen karena dikelilingi oleh dinding tembok yang tingginya satu setengah meter. Lantai ruangan terbuat dari semen. Pada sisi sebelah timur (sisi

40

depan) terdapat tangga dari beton setinggi dinding beton yang berfungsi sebagai jalan untuk masuk ke dalam ruangan mesjid tradisional Aceh (Hadjad dkk, 1984). Dapat dilihat pada Gambar 2.28.

Gambar 2.28 Konstruksi Mesjid Tradisional Aceh Sumber : Hadjad dkk, 1984

Pada masjid tradisional Aceh tidak ditemui bentuk kubah seperti yang sering didapati pada masjid jaman sekarang. Atap pada masjid tradisional Aceh berbentuk atap tumpang yang terbagi atas dua lapisan, yaitu lapisan atas dan lapisan bawah dan pada atap bagian lapisan atas limas. Namun saat ini ada beberapa masjid tradisional yang telah mengalami perubahan pada atapnya, yaitu pada atap lapisan atas sudah diubah dengan menggunakan bentuk kubah. Bangunan meuseujid posisinya menyesuaikan dengan arah kiblat, yaitu bangunannya selalu menghadap ke timur dan sisi belakangnya berada di sebelah Barat (Hadjad, 1984).

41

2.3.2.2 Ragam hias (ornamen mesjid tradisional Aceh)

Biasanya ornamen pada bangunan masjid tradisional Aceh memiliki jenis ornamen yang sama dengan rumah tradisional Aceh, yaitu: ragam hias/ornamen bermotif flora, fauna, alam dan keagamaan. Selain itu pada bangunan masjid tradisional Aceh terdapat juga ragam hias/ornamen yang lain seperti:

a. Ragam hias/ornamen berbentuk pintalan tali disebut juga taloe meuputa,

karena ragam ini menyerupai pintalan tali. Dapat dilihat pada Gambar

2.29.

Gambar 2.29 Ornamen pintalan tali di Mesjid Tradisional Aceh Sumber: Hadjad dkk, 1984

b. Ragam hias/ ornamen geometris. Termasuk ke dalam ornamen keagamaan

sebagai pendukung ornamen kaligrafi. Pada bangunan mesjid tradisional

Aceh biasanya diaplikasikan di bagian dinding saja. Pola-pola geometris

yang digunakan pada mesjid tradisional Aceh umumnya berbentuk

lingkaran, segitiga, persegi, dan segi enam. Dapat dilihat pada Gambar

2.30.

42

Gambar 2.30 Pola Geometris pada Mesjid Tradisional Aceh Sumber: Hadjad dkk, 1984

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat diambil karakteristik arsitektur

Tradisional Aceh dapat disimpulkan pada tabel 2.4 berikut ini.

Tabel 2.4 Karakteristik Arsitektur Tradisional Aceh Parameter Elemen Arsitektur Tradisional Gambar Arsitektur Aceh Atap Limas/ tumpang dua lapis

Dinding Dinding pada mesjid tradisional Aceh  Jendela menggunakan dinding semi  Mihrab permanen.  Ornamen

Ornament yang digunakan bermotif keagamaan, motif flora dan tidak menggunakan motif manusia maupun fauna.

43

Tabel 2.4 (Lanjutan)

Parameter Elemen Arsitektur Tradisional Gambar Arsitektur Aceh

Kaki  Kolom Tiang berdiameter 0,28 meter bersegi delapan

Denah Bangunan berbentuk bujur sangkar dan terdiri atas 36 tiang

2.4 Perkembangan Arsitektur Kolonial

Gaya kolonial (Dutch Colonial) menurut Wardani (2009) adalah gaya desain yang cukup populer di Belanda pada tahun 1924-1820. Orang Eropa ingin menciptakan daerah jajahan seperti negara mereka bersal sehingga muncullah gaya desain kolonial ini. Namun, perbedaan iklim di negara jajahan membuat desain bangunan tidak dapat direalisasikan dengan bentuk aslinya, selain itu ketersediaan bahan material dan perbedaan teknik di negara jajahan menjadi faktor perbedaan gaya desain. Perbedaan itu akhirnya menghasilkan bentuk modifikasi gaya desain baru yang juga memiliki bentuk yang serupa yang di negara mereka.

44

Handinoto (2012), membagi gaya Arsitektur Kolonial menjadi tiga berdasarkan perkembangannya, yaitu: Indische Empire Style (abad 18-19), Arsitektur

Transisi (1890-1915) dan Arsitektur Kolonial Modern (1915-1940), dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.4.1 Indische Empire Style (Abad 18 – 19)

Handinoto (2008) menjelaskan gaya arsitektur Indische Empire Style diperkenalkan oleh Herman Willen Daendels saat dia bertugas sebagai Gubernur

Jenderal Hindia Belanda (1808-1811). Indische Empire Style (gaya Imperial) adalah suatu gaya arsitektur yang berkembang pada pertengahan abad ke-18. Gaya arsitektur ini pada mulanya muncul dii pinggiran kota Batavia (), munculnya gaya ini akibat dari suatu kebudayaan Indische Culture yang berkembang di Hindia Belanda.

Milano dalam Handinoto (2012), menjelaskan bahwa kebudayaan Indische merupakan percampuran kebudayaan Eropa, Indonesia dan sedikit kebudayaan

China. Dijelaskan ciri-ciri arsitektur Indische Empire Style antara lain: denahnya berbentuk simetris penuh, ditengah terdapat “central room” yang terdiri dari kamar tidur utama dan kamar tidur lainnya. Ruangan tersebut berhubungan langsung dengan teras depan maupun teras belakang (voor galerij dan achter galerij). Teras tersebut biasanya sangat luas dan diujungnya terdapat barisan kolom yang bergaya Yunani

(doric, ionic, corinthian).

Arsitektur Indische Empire Style (abad 18-19) menurut Handinoto (2006), memiliki karakter konstruksi atap perisai dengan penutup atap genting, bahan bangunan konstruksi utamanya adalah batu bata (baik kolom maupun tembok),

45

pemakaian kayu terutama pada kuda-kudanya, kosen maupun pintunya dan pemakaian bahan kaca belum banyak dipakai.

2.4.2 Arsitektur Transisi (1890 – 1915)

Menurut Handinoto (2012), arsitektur transisi di Indonesia berlangsung sangat singkat yang berlangsung pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 antara 1890

– 1915. Peralihan gaya arsitektur ini disebabkan perubahan pada masyarakat Eropa pada masa itu. Modernisasi dengan penemuan baru dalam bidang teknologi dan perubahan sosial akibat perubahan kebijakan politik pada saat itu mengakibatkan perubahan bentuk dan gaya dalam bidang arsitektur.

Ciri-ciri arsitektur ini menurut Handinoto (2012), antara lain: denah masih mengikuti gaya “Indische Empire”, simetri penuh, pemakaian teras keliling pada denahnya masih dipakai dan ada usaha untuk menghilangkan kolom gaya Yunani pada tampaknya. Gevel-gevel pada arsitektur Belanda yang terletak ditepi sungai muncul kembali, ada usaha untuk memberikan kesan romantis pada tampak dan ada usaha untuk membuat menara (tower) pada pintu masuk utama, seperti yang terdapat pada banyak gereja Calvinist di Belanda. Bentuk atap pelana dan perisai dengan penutup genting masih banyak dipakai dan ada usaha untuk memakai konstruksi tambahan sebagai ventilasi pada atap (dormer).

2.4.3 Arsitektur Kolonial Modern (1915 – 1940)

Menurut Handinoto (1993), arsitektur modern merupakan sebuah protes yang dilontarkan arsitek-arsitek Belanda sesudah tahun 1900 atas gaya Indische Empire.

46

Arsitek Belanda yang berpendidikan akademis mulai berdatangan ke Hindia Belanda, mereka mendapatkan suatu gaya arsitektur yang cukup asing.

Arsitektur modern memiliki ciri-ciri denah lebih bervariasi, sesuai dengan anjuran kreativitas dalam arsitektur modern. Bentuk simetri banyak dihindari, pemakaian teras keliling bangunan sudah tidak dipakai lagi, sebagai gantinya sering dipakai elemen penahan sinar. Berusaha untuk menghilangkan kesan tampak arsitektur gaya “Indische Empire” (tampak tidak simetri lagi), tampak bangunan lebih mencerminkan “Form Follow Function” atau “Clean Design”. Bentuk atap masih didominasi oleh atap pelana atau perisai, dengan penutup atap genting atau sirap.

Sebagaian bangunan dengan konstruksi beton, memakai atap datar dari bahan beton yang belum pernah ada pada jaman sebelumnya.

Menurut Fajarwati (2011), karakter dari sebuah objek arsitektur merupakan keberagaman atau kekhasan yang tersusun menjadi ciri-ciri objek arsitektural atau susunan elemen dasar yang terangkai sehingga membuat objek tersebut mempunyai kualitas atau kekhasan dengan objek lainnya.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat diambil karakteristik arsitektur kolonial dapat disimpulkan pada tabel 2.5.

Tabel 2.5 Karakteristik Arsitektur Kolonial Parameter Elemen Arsitektur Kolonial Gambar Arsitektur (Indische Empire Style) Atap Konstruksi atap perisai dengan penutup atap genteng.

47

Table 2. 5 (Lanjutan)

Arsitektur Kolonial Parameter Elemen Gambar Arsitektur (Indische Empire Style) Dinding Dimensi kolom gaya Yunani Ada teras depan (voor galerij) Ada teras belakang Tampak simetri

Gedung Museum Seni Rupa (1870). Teras depan dengan deretan kolom gaya Doric Denah Berbentuk simetri penuh, ditengah terdapat central room dan berhubungan langsung dengan teras depan/belakang.

2.5 Penelitian Sejenis

Beberapa penelitian dengan tema “Eklektisisme” dan “Bangunan Mesjid” telah pernah dilakukan. Di dalam rentang waktu kurang dari 10 tahun terakhir, beberapa penelitian yang telah pernah dilakukan antara lain adalah:

2.5.1 Architecture and the politics of identity in Indonesia; a study of the cultural history of Aceh (Izziah, 2009)

Masjid Raya Baiturrahman bergaya Mughal, merupakan genre yang berkembang di India. Bangunan ini juga dipengaruhi oleh gaya Eropa yang muncul dalam bentuk corak, ukiran dan penggunaan material batu bata dan juga konstruksi beton.

48

2.5.2 The great mosque of Banda Aceh : its history architecture and relationship of The development of Islam un nothern Sumatra (Wilhelmina Remke Raap, 1994)

Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh memiliki akar international.

Adanya unsur delapan lubang cahaya berbentuk bulat yang sering digunakan pada gereja Gothic yang berkembang di Perancis pada abd ke- 13 hingga abad ke-16.

Masjid Raya Baiturrahman juga mewarisi gaya Moorish yang muncul di Alhambra dan Masjid Cordoba. Istilah Moorish merujuk pada bangsa Moor dari Afrika yang kemudian menguasai Spanyol sebelum runtuh kejayaan Islam di sana.

2.5.3 Karakteristik masjid berbasis budaya lokal di Kalimantan Selatan (Naimatul Ulfa)

Penggalian karakteristik masjid berdasarkan nilai budaya suku Banjar.

Rasionalistik kualitatif deskriptif. Masjid tradisional Kalimantan memiliki karakteristik yang dipengaruhi oleh budaya suku Banjar, dimana yang paling mempengaruhi pembentukan karakteristik masjid tradisional Kalimantan Selatan meliputi sistem pohon simbol hayat dan burung enggang, serta organisasi suku Banjar yang menempatkan Ulama/Kyai pada strata tertinggi dalam masyarakat yang bermpak pada bangunan masjid.

2.5.4 Konsep semiotik Charles Jencks dalam arsitektur Post-Modern (Dwi Murdiati)

Pemikiran Jencks tentang arsitektur post-modern tidak bisa dilepaskan dari kritikan atas arsitektur modern atau modern akhir, baik menyangkut teknologi, penataan, bentuk murni, pemaknaan dan kesadaran estetis. Bagi Jencks arsitektur modern mewakili sebuah semiotika single coding, seragam, simetris, universal.

49

Sementara arsitektur post-modern mewakili sebuah semiotika double-coding, plural lokal. Semiotika arsitektur yang dikembangkan oleh Jencks sangat dipengaruhi oleh dikotomi semiotika aussuran dan trikotomi semiotika Piercean, dikotomi penanda- petanda, konotasi-denotasi, langue-parole, sintagmatik-paradigmatik ikut membentuk pemikiran semiotika Jencks. Pengaruh paling jelas berada dalam kerangka indeks, ikon, dan symbol, di samping semantic, sintaktik, dan pragmatik.

2.6 Kerangka Teori

Kerangka teori yang digunakan pada penelitian Pengaruh Eklektisisme pada

Bangunan Mesjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh dapat dilihat pada Gambar

2.31.

EKLEKTISISME PADA BANGUNAN MASJID (STUDI KASUS: MASJID RAYA BAITURRAHMAN KOTA BANDA ACEH)

Eklektisisme menggabungkan elemen-elemen yang terbaik dari masa lampau dalam satu bangunan  Arsitektur Tradisional Aceh atau dalam satu kompleks bangunan  Arsitektur Kolonial (Handinoto, 2003)  Arsitektur Islam

Parameter Elemen Arsitektur

 Atap  Dinding  Kaki / Tiang

Gambar 2. 31 Kerangka berpikir teori

50

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analis dan metode komparatif.

Berdasarkan penjelasan Sugiono (2009), metode analitis deskriptif merupakan metode yang menggambarkan suatu objek yang diteliti dengan mengumpulkan data- data maupun sampel-sampel tanpa melakukan analisa, yaitu menggambarkan obyek seperti apaadanya. Sedangkan metode komparatif dilakukan dengan rekaman obyek penelitian di lapangan, dengan mengaitkan kemungkinan pengaruh gaya arsitektur yang ada di sekitar obyek penelitian. Metode deskriptif analitis dipakai sebagai alat untuk melihat bangunan Mesjid Raya Baiturrahman di Kota Banda Aceh dari aspek elemen tampilan, dengan parameter analisanya adalah atap, badan dan kaki bangunan, dengan mensejajarkan/ mengomparasinya dengan bantuan di lingkungan sebagai sumber tampilan bentukan. Baik atap, badan dan kaki bangunan ditinjau dari teori eklektisisme menurut Harisah, Sastrosasmito & Hatmoko (2007). Metode deskriptif analitis ini pada prinsipnya sama dengan metode komparatif, hanya pendekatannya bukan ke obyek lapangan tetapi berdasarkan pendekatan teori arsitektur Islam, teori arsitektur tradisional Aceh dan teori arsitektur kolonial.

Di dalam proses pelaksanaan suatu penelitian, hendaknya penelitian dilakukan secara sistematis atau mengikuti langkah yang teratur. Penelitian yang dilakukan dengan mengikuti langkah yang teratur, diharapkan mampu menjawab permasalahan

50 51

penelitian dan tercapainya tujuan dari penelitian ini (Tabel 3.1). Langkah-langkah yang harus dilakukan peneliti dalam melakukan penelitian mengenai pengaruh eklektisisme pada bangunan Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh, yaitu dengan cara melihat dan mengobservasi penampakan bangunan secara langsung pada lokasi bangunan yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini. Pengamatan pada bangunan mencakup denah, tampak, bahan bangunan yang digunakan dan sistem konstruksi yang dipakai. Pengamatan karakter visual meliputi bentuk atap, dinding eksterior, pintu dan jendela. Dokumentasi dilakukan dengan cara memotret kondisi bangunan dan melakukan pencatatan informasi ataupun data yang didapat pada saat berada di lapangan. Studi literatur dapat dilakukan dengan cara mengkaji tulisan- tulisan dan berbagai konsep serta berbagai teori-teori yang berkaitan dengan perkembangan teori-teori yang berkaitan dengan pengarujh eklektisisme serta sejarah bangunan Mesjid Raya Baiturrahman di Kota Banda Aceh, sehingga diperoleh data- data untuk menganalisa bangunan.

Tabel 3. 1 Langkah Penelitian

Instrumen yang Kegiatan yang dilakukan digunakan Mengamati kondisi pada objek penelitian dan Kamera melakukakn perekaman pada fisik bangunan. Mengumpulkan informasi mengenai karakteristik Cek List Langkah- eklektisme dalam arsitektur, khususnya arsitektur langkah bangunan masjid; penelitian Melakukan perbandingan langkah satu dan langkah Data Sekunder kedua, kemudian dari hasil perbandingan tersebut didapatkan deskripsi karakter bangunan yang diteliti dan akan didapatkan pengaruh-pengaruh yang terjadi pada bangunan.

52

Tabel 3. 1 (Lanjutan)

Instrumen yang Kegiatan yang dilakukan Langkah- digunakan langkah Diambil kesimpulan dari kondisi bangunan dan juga Data Sekunder penelitian menentukan pengaruh eklektisisme pada bangunan masjid.

3.2 Variabel Penelitian

Peneliti menetapkan variabel penelitian yang akan dikaji dan dipelajari, maka dari itu didapat suatu informasi yang berkaitan dengan data yang dibuthkan supaya bisa di analisisa dan disimpulkan. Variabel itu harus diartikan dengan jelas supaya dapat memudahkan dalam perealisasiannya. Jika variabel objek penelitian sudah dicari serta dikumpulkan maka dapat dilakukan pengolahan data.

Dari pendapat para ahli maupun teori-teori yang telah di jelaskan pada Bab II

Kajian Pustaka, maka peneliti telah menyeleksi variabel-variabel penelitian yang digunakan. Pengelompokkan data dilakukan berdasarkan variabel yang digunakan sehingga menjadi lebih mudah pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Variabel Penelitian

Variabel Parameter Arsitektur Arsitektur Elemen Arsitektur Islam Tradisional Aceh Kolonial Arsitektur (Gaya Mughal) (Mesjid (Indische Empire Tradisional) Style) Atap Dome (Kubah) Limas/ tumpang Konstruksi atap dua lapis perisai dengan penutup atap genteng.

53

Table 3. 2 (Lanjutan)

Variabel

Parameter Arsitektur Arsitektur Elemen Arsitektur Islam Tradisional Aceh Kolonial Arsitektur (Gaya Mughal) (Mesjid (Indische Empire Tradisional) Style)

Dinding Bentuk lancip Pada bangunan Menggunakan  Kolom (pointed arch) masjid tradisional kolom bergaya  Jendela/ dan lengkung Aceh Yunani Pintu bentuk tapal kuda menggunakan Memiliki teras  Ornament dinding setengah depan (voor terbuka karena galerij) pada bangunan Ada teras masjid sudah belakang dengan dkelilingi oleh bentuk tampak dinding tembok yang simetri yang tinggi. Kaki/ Tiang Kolom diletakkanlah 36 mengelilingi umpak (kaki-kaki bangunan tiang) yang terbuat dari batu kali

3.3 Metode Pengumpulan Data

Dalam memudahkan pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu menentukan teknik pengumpulan data yang digunakan. Data yang diperoleh digunakan untuk membantu peneliti dalam melakukan penelitiannya. Tahap pengumpulan data terdiri dari pengumpulan data primer dan data sekunder.

54

3.3.1 Data primer

Menggunakan data primer atau data pokok yang didapat langsung dari bangunan yang diteliti, yaitu data kualitatif. Data kualitatif merupakan data yang tidak terukur secara angka namun bisa dilihat dari data fisik bangunan serta kondisi fisik bangunan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Data yang harus tersedia

Jenis Data Primer Sumber Data Kegunaan Data Literatur terkait Kondisi fisik Hasil survei Mengetahui wujud Jenis Survei bangunan Data obyek bangunan dan bagaina Primer Literatur terkait pengaruhnya terhadap Perkembangan fisik Hasil survei eklektisisme. bangunan Data obyek

Proses pengumpulan data primer dilakukan dengan metode observasi lapangan. Observasi dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung ke lokasi objek penelitian, yakni Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh.

Pengamatan ini untuk mendapatkan gambaran secara langsung pada lokasi objek yang akan diteliti. Penelitian yang dilakukan dilapangan mengambil dokumentasi dengan menggunakan kamera digital. Adapun dokumentasi yang diambil terdiri dari bentuk fasade dan interior bangunan. Dokumentasi pada objek penelitian ini berfungsi untuk melihat bagaimana eklektisisme mempengaruhi objek bangunan secara keseluruhan.

55

3.3.2 Data sekunder

Data sekunder atau juga yang disebut data pelengkap berisi tentang data-data yang mendukung data primer. Data pelengkap ini juga digunakan sebagai daras untuk membuat pembanding pada objek yang diteliti. Data sekunder tersebut antara lain:

Arsitektur Tradisional Aceh, Arsitektur Islam dan Arsitektur Kolonial (Tabel 3.4).

Tabel 3. 4 Metode Pengumpulan Data

Sumber Jenis Data Kegunaan Data Mengetahui karakter Arsitektur Arsitektur Tradisional Aceh : bentuk Tradisional panggung, orientasi, material Aceh kayu, ornamen dan teknologi Jenis Survei tradisional Sekunder Data Mengetahui ciri arsitektur Arsitektur Islam Literatur Islam Mengetahui ciri arsitektur Arsitektur kolonial serta Kolonial perkembangannya di Indonesia pada masa itu

3.4 Metoda Analisa Data

Metoda analisa data adalah suatu cara yang digunakan pada pembahasan dan penyelesaian rumusan masalah yang bertujuan untuk mendapatkan kesimpulan.

Analisis data yang dilakukan dalam pengaruh eklektisisme pada bangunan Masjid

Raya Baiturrahman ini menggunakan analisa kualitatif. Menggunakan metode pendekatan deskriptif analitis, yaitu dengan pemaparan kondisi objek yang diteliti, dengan melakukan pengamatan terhadap objek yang diteliti dan memaparkan kondisi

56

objek berdasarkan pengamatan di lapangan. Hasil survey berdasarkan objek yang ditinjau, yaitu bentuk bangunan, ornament, material bangunan, dan nilai-nilai yang mempengaruhi tata bangunan, maka akan ditemukan ada tidaknya pengaruh eklektisisme pada Bangunan Mesjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh. Aspek- aspek yang akan dilakukan analisis menggunakan metode deskripsi analisis ini yaitu:

a. Identifikasi karakter Eklektisisme dan Arsitektur Eklektik. Tujuan pada

tahap ini adalah untuk mengetahui karakter arsitektur eklektik yang di

dapat melalui data literatur. Pada tahap ini dibuthkan analisis yang

membahas: Bentuk bangunan, menjelaskan dan menggambarkan bentuk

bangunan Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh. Ornamen dan

material bangunan, menjelaskan jenis dari ornamen dan material yang

digunakan pada bangunan Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh.

b. Wujud Arsitektur Bangunan Masjid Baiturrahman Kota Banda Aceh.

Analisis bangunan dilakukan pada seluruh bagian bangunan yang

diperoleh dari survei lapangan. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui

kriteria bangunan, yaitu meliputi elemen arsitektur, yaitu atap, dinding

dan kaki/ tiang. Hasil analisa berupa gambaran umum kondisi bangunan

masjid dibandingkan dengan pengaruh eklektisisme yang ada pada

bangunan berdasarkan teori yang digunakan.

57

BAB IV

GAMBARAN UMUM

Kota Banda Aceh merupakan ibukota Provinsi dari Nanggroe Aceh

Darussalam (NAD). Kota Banda Aceh menjadi pusat pemerintahan, pusat kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kota Banda Aceh juga daerah yang berlandaskan agama Islam yang tertua di Asia Tenggara, dimana Kota Banda Aceh adalah ibukota dari Kesultanan Aceh.

Kota Banda Aceh terletak di 05°16′15”- 05°36′16” Lintang Utara dan

95°16′15”- 95°22′35” Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 0,8 MDPL (meter diatas permukaan laut) (Gambar 4.1). Kota Banda Aceh berbatasan dengan Selat

Malaka di sebelah utara, Kabupaten Aceh Besar di sebelah timur dan selatan, dan

Samudera Hindia di sebelah barat. Luas wilayah Kota Banda Aceh adalah 61,36 Km².

Secara administratif Kota Banda Aceh terdiri dari 10 kecamatan, 17 permukim, 70 desa dan 20 kelurahan. Dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4. 1 Lokasi Kota Banda Aceh Sumber: Google.map

57

58

Masjid Raya Baiturrahman adalah masjid yang telah ada sejak jaman

Kesultanan Aceh yang didirikan oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1022 H/1612

M. Bangunan ini berada tepat di pusat Kota Banda Aceh dan menjadi titik pusat dari segala kegiatan yang ada di Aceh Darussalam. Bangunan ini merupakan tempat bersejarah religi yang bernilai arsitektur tinggi.

(a)

(b) (c)

Gambar 4. 2 (a) Lokasi bangunan Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh; (b) Masjid Raya Baiturrahman saat ini; (c) Masjid Raya Baiturrahman tempo dulu

59

4.1 Sejarah Kota Banda Aceh

Banda Aceh merupakan salah satu kota tua di Indonesia yang menyimpan sekelumit cerita dan sejarah. Di usianya yang telah mencapai 813 tahun, dimana ditetapkan hari terbentuknya Kota Banda Aceh pada tanggal 22 April 1205 bertepatan dengan 1 Ramadhan 601 H atau yang bersamaan dengan dibangunnnya istana kerajaan Aceh Darussalam oleh Sultan Iskandar Johansyah di Gampong Pande (Arief,

2008).

Menurut Denys Lombard (1967), Aceh mencapai puncak kejayaan hingga berakhir pada tahun 1607 – 1636. Masa tersebut adalah masa kepemimpinan Sultan

Iskandar Muda hingga beliau turun takhta. Setelah melewati masa kejayaannya Aceh pun terus menerus mengalami regenerasi yang pada akhirnya melahirkan Aceh yang baru seperti saat ini. Sebagai sebuah daerah yang dahulunya merupakan kerajaan maka secara struktural Aceh memiliki struktur pemerintahan dan juga struktur masyarakat yang tak kalah beragam layaknya zaman kerajaan hingga berangsur mengikuti struktur pemerintahan seperti sekarang.

Berikut ini merupakan periodisasi besar yang terjadi pada Kota banda Aceh dahulu hingga terbentuk seperti Kota Banda Aceh saat ini:

4.1.1 Masa Pra – Islam (sebelum 1205)

Menurut H.M. Zainuddin (1961), masa mulainya pengaruh Hindu belum bisa dijelaskan dengan akurat, namun diduga terjadi sebelum tahun Masehi atau sejak ekspansi Raja Iskandar Zulkarnain ke Asia, masyarakat di daerah lembah sungai

Indus dan Gangga melarikan diri ke Aceh (334 – 326 SM). Dikatakan pula bahwa

60

ekspansi yang dilakukan oleh Raja Iskandar Zulkarnain ini merupakan ekspansi besar-besaran. Pada masa ekspansi ini Raja Iskandar Zulkarnain datang ke Aceh dengan membawa rakyatnya yang beragama Hindu.

Pengaruh Hindu di purbakala dapat juga disebut sebagai Hindu imigrasi atau

Hindu yang melakukan perjalanan untuk mengungsi karena mereka melakukan perjalanan jauh dengan kapasitas orang yang banyak. Menurut cerita masyarakat, diketahui bahwa masyarakat Hindia pernah membuat perkampungan di daerah

Indrapuri, yang sekarang lebih dikenal dengan Tanoh Abeë.

4.1.2 Masa Tamaddun Islam (1205 -1873)

Sultan Johansyah merupakan penguasa Aceh yang pertama yang beragama

Islam. Sultan Johansyah memerintah kerajaan Islam dengan mulai menerapkan beberapa kebijakan menurut aturan hokum Islam yang berlaku. Kerajaan Aceh di bawah pengaruh agama Islam didirikan untuk pertama kalinya pada tahun 1205 M. pada tahun tersebut juga merupakan tahun masuknya Islam ke Aceh, namun masuknya agama Islam pada masa itu tidak merubah tradisi masyarakat yang pada umumnya masih berada di bawah penguh kebudayaan Hindu. Sultan Johansyah berlaku bijak dengan tidak serta merta menghapus tradisi Hindu yang telah membaur menjadi tradisi masyarakat setempat selama tradisi tersebut tidak melanggar norma- norma keIslaman. Beberapa tradisi itu kini telah membaur dan menjadi tradisi masyarakat sampai saat ini.

Pada masa Tamaddun Islam, Aceh mencapai masa kesuksessannya. Masa ini berlangsung cukup lama, sehingga melahirkan beberapa Raja Aceh yang tersohor

61

hingga ke penjuru negeri. Masa kejayaaan ini ditandai pula dengan kejayaan Islam di

Aceh, sehingga citra Seuramoe Mekkah melekat dengan Aceh.

4.1.3 Masa Kolonial (1873 – 1945)

Pada tahun 1873 M, Belanda berhasil menduduki istana, pada masa ini terjadi perubahan yang sangat signifikan terhadap perkembangan dan pola tatanan kota. Pada masa itu Belanda mengubur semua aspek yang berkaitan dengan kejayaan Aceh pada masa lampua. Daerah selatan Krueng (sungai) Aceh dijadikan pusat militer Belanda dengan menghilangkan istana untuk menghapus kekuasaan kesultanan di Aceh, lalu stasiun di bangun di alun-alun antara masjid dan istana disekitarnya menjadi perumahan militer. Sedangkan pasar dipindahkan pda bagian belakan Masjid Raya

Baiturrahma. Kuburan Raja disembunyikan dalam tangsi dan dibenam ke bawah kantor. Satu-satunya tatanan kerajaan kesultanan yang masih di pertahankan pada masa ini adalah letak Pendopo Gubernur Jenderal yang berada tepat di lokasi Istana

Sultan, sedangkan untuk bangunan sendiri sudah dihancurkan dan dig anti dengan bangunan gaya Kolonial Belanda (Arif, 2008)

4.1.4 Pasca Kolonial (1945 – sekarang)

Jika masa Tamaddun Islam dan masa kolonial adalah bagian dari masa lalu, maka masa pasca kolonial ada wajah Aceh masa kini. Tatanan wajah Aceh masa kini merupakan buah hasil dari perjalanan panjangnya dengan segala kejadian demi kejadian yang terus terjadi. Seperti yang terlihat saat ini semua bangunan lama yang berada di Kota Banda Aceh menganut gaya Kolonial Belanda, sedangkan bangunan kejayaan Aceh pada masa lampau telah dibumihanguskan oleh Belanda. Baik pada

62

masa Kolonial maupun Pasca Kolonial yang mencoba beberapa kali membakar

Masjid Raya Baiturrahman. Hal ini memicu kemarahan warga Aceh, karena rumah ibadah dan simbol kebanggaan dibakar. Terlebih dari itu Masjid Raya Baiturrahman adalah kebanggaan rakyat Aceh. Lalu berdasarkan kesepakatan bersama antara pemerintah Belanda dan beberapa bangsawan Aceh yang berpengaruh pada saat itu membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman, namun tidaklah sama seperti bangunan pada awal masjid tersebut didirikan.

4.2 Sejarah Masjid Raya Baiturrahman

Masjid Raya Baiturrrahman adalah salah satu masjid peninggalan bersejarah yang telah ada sejak jaman Sultan Iskandar Muda. Namun, masjid yang ada saat ini bukanlah masjid yang dibangun pada masa kesultanan dahulu, namun masjid yang dibangun kembali oleh Belanda karena bangunan yang lama telah dibakar.

Menurut buku Mesjid Bersejarah di Namggroe Aceh jilid I, 2009 (Kanwil

Depag Agama), bangunan mula Masjid Baiturrahman pada era Sultan Iskandar Muda bisa dilihat di desain sketsa Peter Mundy, yang merupakan pengelana berkebangsaan

Eropa yang singgah di Aceh tahun 1937. Dia menggambar masjid ini berbentuk bangunan persegi yang terbuat dari kayu dan beratap meru, atapnya terdiri dari empat bentuk piramida yang semakin mengecil ke atas. Pada bangunan ini tidak memiliki menera yang ada hanya pagar yang mengelilingi bangunan (Gambar 4.2). Para sejarahwan menjadikan karya sketsa Peter Mundy sebagai referensi untuk mengetahui riwayat Masjid Raya Baiturrahman. Dapat dilihat dari sketsa bahwa bentuk Mesjid

63

Raya Baiturrahman pada sketsa Peter menyerupai Masjid Tuha di Indrapuri, Aceh

Besar pada Gambar 4. 3 – 4. 5.

Gambar 4.3 Sketsa Peter Mundy (1637) menunujukkan bentuk bangunan masjid Sumber : https://gpswisataindonesia.wordpress.com/2014/12/01/masjid-raya- baiturrahman-banda-aceh-nanggore-aceh-darussalam/

Gambar 4.4 Bentuk denah dan bangunan Masjid Raya Baiturrahman berdasarkan sketsa Peter Mundy

64

Gambar 4.5 Masjid Tuha Indrapuri, Aceh Besar

Zein (1999) mengatakan bangunan masjid yang dibangun pada era Sultan

Iskandar Muda ini telah terbakar dan dibangun kembali pada era Sultanah Nurul

‘Alam Naqiatuddin Syah (1675 – 1678 M). Masjid yang dibangun kembali di masa ini sering digunakan sebagai tempat untuk musyawarah dalam menyusun strategi melawan Belanda pada Gambar 4.6.

Sebagai pusat perlawanan, masjid ini menjadi salah satu sasaran Belanda.

Pada tanggal 10 April 1873 M, tempat ibadah masyarakat Aceh ini berhasil dikuasai oleh Penjajah Belanda dan sebagian besar bangunannya dibakar. Kemudian pada tanggal 14 April 1873, masyarakat Aceh berhasil merebut kembali masjid ini. Dalam pertempuran tersebut Mayor Jenderal J.H.R Kohler ikut terbunuh bersama 400 pasukannya. Akibat dari kekalahan tersebut, pada 6 Januari 1874, Belanda kembali melakukan penyerangan dan berhasil merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman.

65

Bukan hanya merebut, namun Belanda juga membakar masjid tersebut hingga rata dengan tanah. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat Aceh.

Gambar 4.6 Masjid yang dibangun kembali pada masa Sultanah Nurul ‘Alam Naqiatuddin Syah (1675 – 1678 M) Sumber : https://gpswisataindonesia.blogspot.co.id/2014/12/masjid-raya- baiturrahman-banda-aceh.html

Untuk meredamkan amarah rakyat Aceh kepada koloni Belanda, Gubernur

Jenderal Belanda, J.W. Van Lansberge kemudian datang ke Aceh dan berjanji untuk membangun kembali masjid yang baru untuk mengganti masjid yang telah dibakar.

Pada 9 Oktober 1879, peletakan batu pertama pembangunan masjid dilakukan oleh

Tengku Malikul Adil dan dihadiri oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G.J. Van der Heijden. Pembangunan masjid ini selesai dan resmi yang dibuka pada 27 Desember 1881 untuk diserahkan kepada rakyat Aceh.

Kreemer (1920) menuliskan tentang pembangunan Masjid Raya

Baiturrahman, Belanda berusaha membangun kembali masjid ini untuk memberikan

66

kesan baik bagi orang Aceh, dan itu tidaklah mudah. Pembangunan masjid ini memiliki beberapa kendala antara lain minimnya tenaga kerja, karena masyarakat

Aceh tidak mau bekerja dibawah perintah Belanda, mereka lebih memilih jalan lain yaitu perang. Sehingga akhirnya Belanda harus menggunkan tenaga kerja dari China.

Kendala berikutnya muncul ketika para kontraktor (pemborong) dari Jawa tidak bersedia ikut didalam proyek itu dikarena perang di Aceh masih berlangsung sengit. Hanya satu kontraktor yang berani melakukan penawaran, yaitu Lie A Sie, seorang Letnan Cina di Aceh. Ia menerima anggran sebesar f 200.000 untuk membangun Masjid Raya Baiturrahman. Dengan uang sebesar itu bahan-bahan pada bangunan ini diimpor dari luar negeri. Bahan bangunan yang dipakai didatangkan dari beberapa negara. Batu bata dari Belanda, kayu jati dibawa dari Burma (British-

India), marmer dari China, besi untuk jeruji jendela dan pagar teras kubah didatangkan dari Belgia dan . Genteng keramik dibawa dari Palembang.

67

BAB V

PEMBAHASAN DAN HASIL

5.1 Pengaruh Eklektisisme pada Kubah Mesjid Raya Baiturahman

Bangunan masjid berkubah di Aceh pertama kali diperkenalkan oleh Belanda pada Bangunan Masjid Raya Baiturrahman. Sebelum itu, hampir semua bangunan masjid di Aceh berbentuk atap bertingkat dan pola ini masih dapat dilihat pada sejumlah peninggalan masjid-masjid lama di Aceh. Pertama sekali masjid ini selesai dibangun (1881) dengan konstruksi satu kubah. Kemudian tahun 1935, masjid ini diperluas sebelah kanan dan kirinya dengan tambahan dua kubah. Di tahun 1956 kembali mengalami perluasan dengan tambahan dua kubah dan dua menara sebelah utara dan selatan. Dan terakhir terjadi penambahan kubah kembali di tahun 1982, sehingga Masjid Raya Baiturrahman memiliki tujuh kubah dan delapan menara.

Dalam penelitian Wihelmina (1994) berpendapat bahwa bentuk kubah yang digunakan pada Bangunan Mesjid Raya Baiturrahman mengingatkannya akan bangunan yang ada di Alhambra dan Mesjid Cordoba dimana bangunan-bangunan tersebut mewarisi Gaya Moorish/Mughal pada bangunannya. Gaya Moorish merupakan gaya yang dipengaruhi arsitektur Islam, gaya ini berkembang pada abad 8

– 15 M. pada abad ke-7 M, Islam menguasai daerah Kashmir, Persia, Semenanjung

Arab, pantai utara Afrika, sebagian besar Spanyol dan Portugal. Pada masa ini banyak peninggalan arsitektur yang berupa bangunan agama dan benteng.

67

68

Karakter utama dari bangunan bergaya Moorish adalah busur lengkung bentuk tapal kuda. Penggunaan busur yang saling tertimpa dan dekoratif. Kadang dibuat dari bahan yang berbeda, seperti pemakaian bahan bata merah dan batu putih bergantian dapat dilihat pada Gambar 5.1. Sedangkan pada bangunan agama umumnya masjid dibangun relatif rendah dengan bentuk denah segiempat. Bangunan utama dibagi menjadi beberapa baris kolom.

Gambar 5. 1 Busur lengkung bentuk tapal kuda Sumber: https://atpic.wordpress.com/2010/07/26/pengaruh-islam-moor-abad- 8-15-m/

Arif (2008) juga mengatakan bahwa arketipe kubah bawang Masjid

Baiturrahman tidak hanya mengikuti Taj Mahal di India, tapi juga mengikuti kubah gereja Katolik di Sussex, Inggris dan tempat-tempat lainnya. Pada setiap jenjang, dihias dengan miniatur sebuah gardu atau cungkup yang dihiasi kubah bawang pada

69

puncaknya. Corak ini menunjukkan adanya pengaruh Arsitektur Mughal yang banyak berkembang di India. Dapat dilihat pada Gambar 5.2.

Gambar 5. 2 Kubah Masjid Baiturrahman yang menyerupai Taj Mahal di India Sumber: https://www.eiseverywhere.com/ehome/exchangeindia/393606/

Bentuk kubah dasar bangunan Masjid Raya Baiturrahman tampak seperti tambur yang berbentuk segi delapan. Kubah tersebut dibuat menggunakan struktur kayu dengan satu kolom besar ditengahnya sebagai kolom utama yang berfungsi untuk mendukung membentuk kubah bawangnya. Bagian ini ditutupi oleh papan

70

kayu yang dipanaskan untuk mendapatkan bentuk yang melengkung. Akhirnya, kubah ditutupi oleh atap sirap kayu yang cukup keras.

Kubah bawang pada bangunan Masjid Baiturrahman dan Taj Mahal hanya berfungsi sebagai arsitektural, tidak berfungsi sebagai elemen struktur. Lain halnya dengan kubah pada Kuil Pantheon Romawi yang berfungsi sebagai ruangan, sehingga dapat menciptakan ruang yang luas dan bebas kolom pada bangunan pada Gambar

5.3. Pada bangunan Masjid Raya Baiturrahman ruang yang terbentuk di dalam kubah tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal, dan ruang luas yang tercipta bukan disebabkan oleh struktur lengkung atau kubah pada Gambar 5.4.

Gambar 5. 3 Struktur kubah/lengkung pada Kuil Pantheon Sumber: http://motosuki.blogspot.co.id/2009/04/pantheon-pencapaian-arsitektur- romawi.html

71

Gambar 5. 4 Struktur kubah/lengkung pada bangunan Masjid Raya Baiturrahman tidak membentuk ruang

Dari hasil analisa elemen arsitektur kubah pada bangunan Masjid Raya

Baiturrahman Kota Banda Aceh, didapati hasil seperti pada Tabel 5.1 berikut:

Tabel 5. 1 Kesimpulan Eklektisisme pada bangunan Masjid Raya Baiturrahman

Uraian Kubah Variabel (Masjid Raya Arsitektur Baiturrahman) Arsitektur Islam Arsitektur Kolonial Tradisional Aceh

 Berbentuk Berbentuk kubah - Mengadopsi dari kubah bawang Indo-Persiani, bentuk kubah di masa yang banyak Byzantium. terdapat di daerah Timur Tengah.

 Tidak Keberadaan - Pada kubah Kuil berfungsi kubah sebagai Pantheon berfungsi sebagai penanda tempat sebagai struktur dan struktur pengimaman. membentuk ruang di dalam struktur kubah.

72

5.2 Pengaruh Eklektisisme pada Dinding Mesjid Raya Baiturahman

Gerbang adalah bagian pertama pada masjid ini yang posisinya menempel dengan unit utama. Setelah melewati gerbang, terlihat serambi yang berbentuk persegi panjang. Pada bagian depan, kiri dan kanan serambi dikelilingi oleh tangga yang berbentuk “U”. Pada ujung tangga depan terdapat tiga bukaan (jendela tanpa pintu) yang terbentuk oleh empat tiang silindris. Pada bagian atas dan sisi pintu gerbang, terdapat hiasan relief lengkung-lengkung menggunakan corak arabesque (motif daun, cabang dan pohon). Di atas ketiga pintu gerbang ini, terdapat semacam tympanum yang berbentuk jenjang seperti penampang sebuah tangga.

Terdapat sebuah jam bundar pada bagian atas gerbang tepat di pintu masuk masjid. Jam ini diapit oleh dua buah mawar yang berkelopak delapan. Posisi bunga mawar dan jam jika ditarik garis lurus akan membentuk segitiga sama sisi. Jam ini berfungsi sebagai pengingat waktu shalat (Gambar 5.5). Untuk masuk ke dalam masjid melewati lima gerbang lengkungan yang tinggi, dengan penempatan tiga di bagian teras depan dan dua lainnya di bagian pintu masuk. Gerbang ini di topang oleh kolom yang dihiasi ornament pada bagian atasnya dan terdapat kaligrafi di atas lengkungan pada kolom tersebut. Di bagian atap masjid pada kubah terdapat delapan lubang angin yang berbentuk lingkaran.

73

Gambar 5. 5 Jam bundar yang diapit relief dua mawar dan bila ditarik garis lurus membentuk segitiga sama sisi

Ornamen yang terdapat pada dinding gerbang adalah berbentuk flora, yaitu bentuk yang berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan dan bunga-bungaan. Pada ukiran yang terdapat pada dinding gerbang tidak diberi warna. Pada bangunan ini dinding bangunan berwarna putih dan ukirannya juga mengikuti warna pada dinding yaitu warna putih. Pemakaian warna putih pada bangunan bersifat netral dan memberikan kesan suci.

Dinding jendelanya terdiri atas dua bagian. Bagian bawah memiliki pola geometrik gabungan bentuk ortogonal. De Bruins lebih memilih pola yang berasal dari Mesir ini tidak menggunakan ornamen arsitektural setempat. Bagian atas jendela dihiasi ornamen berbentuk flora yang simetris. Ada bentuk jambangan pada bagian dasarnya dapat dilihat pada Gambar 5.6.

74

Gambar 5.6 Pola dari Mesir, terdapat dalam buku Prisse d’Avennes yang dipublikasikan oleh the Libraries de Firmin Didot et Cie Paris tahun 1879 (kiri), Jendela Masjid Raya Baiturrahman (kanan)

Walaupun dikatakan De Bruins tidak menggunakan pola maupun motif lokal pada bangunan masjid ini, namun pola ragam hias yang ada pada bangunan masjid juga menyerupai ornamen Aceh yang memiliki pola geometris. Pola geometris ini umum dijumpai pada bangunan tradisional Aceh, seperti bentuk lingkaran, segi empat, dan segi enam dapat dilihat pada Gambar 5.7.

Gambar 5.7 Pola geometris pada bangunan tradisional Aceh Sumber: Hadjad dkk, 1984

75

Bagian dalam atau dinding masjid berwarna putih. Namun pada beberapa ukiran dan hiasan pada ornamen hias memiliki warna yang berbeda, yaitu warna hijau tua, kuning emas, coklat, dan merah tua. Relief arabesk mendominasi dinding- dinding bagian dalam mesjid.

Pada bangunan ini bisa dilihat dalam penerapan imitasi elemen-elemen alam, yaitu pada detail ornamen hias bangunan yang menggunakan hiasan bunga. Terdapat hiasan bunga yang berada dikedua sisi kolom pada lungkungan gerbang pintu masuk.

Menurut Rapp (1964), De Bruins mengadopsi dari corak serupa yang terdapat di

Masjid Tala’I Ibn Razik yang didirikan pada abad ke-12. Pola itu juga yang terdapat dalam buku Prisse d’Avennes.

Elemen fasade berundak dibuat berulang. Pada fasade bagian tengah terdapat jam dinding dengan kaligrafi Arab yang mengitarinya. Kaligrafi ini adalah dua kalimat syahadat, yang berarti: “Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah

Rasul Allah”. Ukiran pada bagian tengah langit-langit di atas tempat lilin adalah Surat

Al-Ikhlas. Arif (2008) menjelaskan bahwa dekorasi pada masjid ini diambil De

Bruins dari Alhambra di Granada. Kesamaan dengan Alhambra dalam pola, namun berbeda dengan desain interiornya. Lengkung interiornya diberi ornamentasi flora. Di atas setiap tiang terdapat pilaster persegi panjang yang merupakan tambahan di setiap kepala tiang. Pilaster ini menjadi ukiran motif flora. Ornamen ini pada masa itu belum lazim terdapat pada bangunan masjid di Indonesia. Ornamen ini berasal dari dari Masjid Raya Cordoba di Spanyol. Namun, pilaster Masjid Raya Baiturrahman hanya berupa dekorasi, bukan menjadi elemen struktur seperti pada masjid di

76

Cordoba. Pada lengkungannya juga memiliki perbedaan, yaitu pada Masjid Raya

Baiturrahman lengkungannya berbentuk bawang pada Gambar 5.8 - 5.9.

Gambar 5. 8 Pilaster masjid Cordoba di Spanyol dengan lengkung tapal kuda yang digunakan sebagai struktur. Sumber : https://www.learner.org/courses/globalart/work/224/index.html

Gambar 5. 9 Pilaster Masjid Raya Baiturrahman dengan lengkung bawang yang hanya berfungsi sebagai ornamen.

Busur lengkung yang terdapat pada jendela dan pintu masuk pada bangunan masjid mengadopsi dari bentuk Gereja Romanesque. Namun dalam pengaplikasiannya, bentuk lengkung pada kolom, pintu dan jendela bukan sebagai elemen struktural yang menopang beban bangunan. Selain itu pada arsitektur

77

Romanesque terdapat tympanum yang berfungsi sebagai pahatan yang berisi penggalan cerita injil (Gambar 5.11). Demikian halnya pada bangunan Masjid Raya

Baiturrahman juga terdapat pahatan kaligrafi pada kuningan yang ditempelkan pada dinding bangunan pada Gambar 5.10.

Gambar 5. 10 Kaligrafi kuningan

Gambar 5. 11 Kolom pada bangunan mesjid

Mesjid Raya Baiturrahman merupakan sebuah bangunan tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan bagi umat Muslim. Menurut penelitian yang

78

telah dilakukan pada bangunan Mesjid Raya Baiturrahman, dikatakan bahwa bangunan ini mendapat pengaruh eklektik, dimana suatu rancangan yang dihasilkan dari berberapa unsur dan desain terbaik dari berbagai negeri, sehingga bangunan mesjid menjadi begitu megah dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahannya, mesjid ini diposisikan di tengah lapangan yang luas terbuka, sehingga semua bagian bisa terlihat dari kejauhan.

Porch; serambi muka

Gerbang

Gambar 5. 12 Bentuk bangunan Mesjid Raya Baiturrahman Sumber: https://dolanyok.com/keindahan-masjid-raya-baiturrahman-aceh-peta-lokasi- foto/

Bagian pertama masjid adalah gerbang, posisinya menempel dengan unit utama. Setelah gerbang terdapat porch yang berbentuk segiempat panjang. Bagian depan, kiri dan kanan porch dikelilingi dengan tangga yang membentuk huruf “U”.

Pada ujung tangga depan, terdapat tiga bukaan (jendela tanpa pintu) yang dibentuk oleh empat kolom (tiang).

79

Dari hasil analisa elemen arsitektur dinding pada bangunan Masjid Raya

Baiturrahman Kota Banda Aceh, didapati hasil seperti pada tabel 5.2:

Tabel 5.2 Kesimpulan Eklektisisme pada bangunan Masjid Raya Baiturrahman

Variabel Uraian Dinding (Masjid Raya Arsitektur Arsitektur Arsitektur Baiturrahman) Tradisional Islam Kolonial Aceh Kolom Terinspirasi - Porch/serambi dari bentuk muka pilaster di Cordoba, Berfungsi sebagai struktur

Kaligrafi pada dinding Bentuk dari Mendapat - arabesque pengaruh dari arsitektur Islam

Warna - Menggunakan - warna putih, yang berarti suci dan bersih

5.3 Pengaruh Eklektisisme pada Kaki/Tiang Bangunan Mesjid Raya Baiturahman

Bangunan Mesjid Raya Baiturrahman di Kota Banda Aceh mulai di bangun pada tahun 1879 dan selesai di bangun pada tahun 1881. Pada saat selesai dibangun,

80

terjadi penolakan oleh masyarakat Aceh yang disebabkan denahnya berbentuk cross

(Gambar 5.13). Pada bentuk tradisional arsitektur masjid sendiri pada umumnya diperlihatkan dengan bentuk-bentuk denah persegi/bujursangkar, dengan serambi mukanya. Bagian utama adalah bentuk bujursangkar dalam, yang biasanya memiliki empat kolom (sakaguru) untuk mendukung atap. Meski kolom ini sekarang mungkin digantikan dengan elemen lain karena perkembangan teknologi, namun bentuk tradisional masih digunakan pada denah masjid. Esensi dari perulangan tipologi merupakan pengaruh dari eklektisisme.

.

Gambar 5. 13 Denah Mesjid Baiturrahman karya De Bruins yang selesai di bangun tanggal 27 Desember 1881. Sumber: Arif, 2008

81

Masih menggunakan empat kolom utama sebagai pendukung atap

Denah utama masih berbentuk bujursangkar dan memiliki serambi di depannya Gambar 5. 14 Perbandingan bentuk denah masjid tradisional Aceh dan denah Masjid Raya Baiturrahman.

Denah awal pada bangunan mesjid memiliki satu ruangan yang luas, yang dimanfaatkan sebagai tempat shalat. Denah itu menyerupai bentuk denah bangunan mesjid tradisional Aceh. Pada bangunan tradisional mesjid Aceh yang pada umumnya memiliki sebuah ruangan saja, yang berfungsi sebagai tempat shalat. Selain itu terdapat mihrab yang berfungsi sebagai tempat imam memimpin shalat berjamaah pada Gambar 5.15.

Kreemer dalam Arif (2008), menjelaskan pola denah yang dirancang oleh arsitek Belanda, De Bruins, berbentuk cross dengan empat tangan yang sama besar.

Pusatnya berukuran 12 x 12 m, sementara panjang tangannya 10 m. Bentuk yang simetri pada bangunan Mesjid Raya Baiturrahman mengadopsi arsitektur kolonial dengan gaya Indische Empire Style yang memang sedang berkembang pada saat itu.

82

Bentuk denah yang simetri

Terdapat central room

Terdapat teras, pada bagian depan banguanan

Gambar 5. 15 Bentuk simetri pada denah bangunan Mesjid Raya Baiturrahman

Setelah bangunan mesjid ini selesai dibangun, masyarakat Aceh menolak keberadaan mesjid ini dikarenakan bentuk denahnya. Dalam upaya menghilangkan denah yang berbentuk cross tersebut, maka ditambahkan dua kubah pada sisi kiri dan kanan bangunan. Sehingga tidak terlihat lagi denah yang berbentuk cross pada bangunan pada Gambar 5.16.

Gambar 5. 16 Perubahan denah pada bangunan Mesjid Raya Baiturrahman

83

Penambahan kubah pada Mesjid Raya Baiturrrahman kembali dilakukan pada tahun 1936 oleh Gubernur Van Aken. Perluasan ini dilakukan dengan penambahan dua kubah, yang awalnya tiga kubah menjadi lima kubah serta menambah dua menara di arah utara dan selatan. Perubahan pada bangunan masjid ini hanya melakukan pengulangan dari bentuk bangunan yang sudah sebelumnya.

Di tahun 2014, Masjid Raya Baiturrahman mengalami bencana alam tsunami yang menyebabkan kerusakan di beberapa bagian masjid. Masjid Raya Baiturrahman terus mengalami perbaikan dan renovasi. Dan di tahun 2016, dilakukan renovasi kembali pada lansekap masjid. Renovasi tersebut meliputi penambahan parkiran basement, tempat wudhuk dan paying elektrik di taman masjid.

Dari hasil analisa elemen arsitektur kaki/tiang (denah/kolom) pada bangunan

Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh, didapati hasil seperti pada Tabel 5.3

Tabel 5.3 Kesimpulan Eklektisisme pada bangunan Masjid Raya Baiturrahman

Uraian Kaki/Tiang Variabel (Masjid Raya Arsitektur Arsitektur Arsitektur Baiturrahman) Islam Tradisional Aceh Kolonial Terdapat satu Denah berbentuk - ruangan yang bujursangkar, luas sebagai Terdapat empat tempat sholat. kolom utama yang berfungsi sebagai pendukung atap.

Denah Awal

84

Tabel 5.3 (Lanjutan)

Uraian Kaki/Tiang Variabel (Masjid Raya Arsitektur Arsitektur Arsitektur Baiturrahman) Islam Tradisional Aceh Kolonial

Berfungsi Berfungsi sebagai Tidak sebagai penyangga atap berfungsi struktur dan sebagai membentuk struktur ruang Mengadopsi bentuk Yunani

Kolom tidak berfungsi sebagai struktur

85

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari pembahasan penelitian yang berjudul Pengaruh Eklektisime pada Bangunan Masjid Baiturrahman Kota Banda Aceh, bentukan yang terjadi pada bangunan Masjid Raya Baiturrahman ini merupakan ekspresi dari eklektisisme. Dari penelitian ini ditemukan adanya unsur-unsur dari berbagai arsitektur yang mempengaruhinya. Pengaruh eklektisisme pada bangunan dapat dilihat pada: bentuk bangunan dan penggunaan ornamen bangunan.

Bentuk-bentuk masa lalu tersebut bisa dilihat dari bentuk kubah yang mengadopsi kubah Mughal bangunan masjid Taj Mahal, Agra. Dimana kubah tersebut merupakan transformasi bentuk kubah dari arsitektur Romawi Kuno.

Selain menggunakan bentuk kubah, bangunan masjid Masjid Raya

Baiturrahman memiliki denah yang simetri. Denah simetri lazim terdapat pada bangunan-bangunan sejak dari masa Arsitektur Yunani. Selain denah penggunaan kolom ini merupakan salah satu bentuk eklektik padda bangunan masjid ini.

Walaupun penggunaan kolom pada bangunan ini hanya berfungsi sebagai ornamentasi bukan sebagai struktur.

85

86

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka akan diberikan beberapa saran dan masukan antara lain:

1. Bangunan Masjid Raya Baiturrahman merupakan bangunan bersejarah di

Kota Banda Aceh, yang juga berfungsi sebagai ikon Kota Banda Aceh.

Maka diperlukannya keterlibatan setiap masyarakat dalam menjaga dan

melestarikan bangunan masjid.

2. Keberadaan bangunan masjid yang sarat akan sejarah, dan juga

merupakan salah satu contoh bangunan eklektik dapat berguna dalam

bidang ilmu pengetahuan dan menjadi referensi bagi bidang arsitektur

khususnya dan bidang keilmuan lain pada umumnya.

87

DAFTAR PUSTAKA

Arif, K, 2008. Ragam Citra Kota Banda Aceh, Pustaka Bustanullatin : Banda Aceh.

Bagus, Lorenz, 2002. Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta.

Burckhardt, Titus, 2017, Art of Islam: Language and Meaning, World Wisdom, Inc.

Ching, Francis DK, 1987, Architecture : Form, Space and Order, Van Nostrand Reinhald.

Cousin, Victor, 1872, Course of the History of Modern Philosophy. Translated by Gerge Ripley Edinburg: Thomas Clark, dalam Hatcher(1999:123, 125) Eclecticism and Modern Hindu Discourse, Oxford University Press, New York.

Elleh N, 1997, African Architecture, Evolution & Transformation, McGraw-Hill, New York.

Fletcher, SB, 1961, A History of Architecture, on the Comparative Method, 7th Edition, Charles Scribner’s Sons, New York.

Fraic, Adrian Sheppard. Some Thughts Canadian and American Eclecticism in Public Architecture, Montreal, Canada.

Gosden, Chris. 2004. Archaelogy and Colonialism. Cambridge University Press.

Gyetvai-Balogh, Agnes. 2007. Architecture of the 19th century and the Turn of the century (handout)

Harisah, Afifah dkk,2007. Eklektisisme dan Arsitektur Eklektik Prinsip dan Konsep Desain, Gadjah Mada University Press.

Hatta M, 1986. Alam Pikiran Yunani, UI - Press, Jakarta.

88

Hurgronje, Snouck, 1985, Aceh di Mata Kolonialis Jilid I, Yayasan Soko Guru, Jakarta. ------. 1985. Aceh di Mata Kolonialis Jilid II, Yayasan Soko Guru, Jakarta. Iskandar, M. Syaom Barliana, 2004, Tradisionalitas dan Modernitas Tipologi Arsitektur Masjid, Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 32.

Jencks, Charles, & Kropt K, 1997, Theori And Manifestoes, Academy Editions, New87 York.

Kanwil Depag Prov. Aceh, 2009, Masjid Bersejarah di Nanggroe Aceh Jilid I, Bidang Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat Pemberdayaan Masjid (Panamas).

Kruft HW, 1994, A History of Architectural Theory from Vitruvius to the Present, Princeton Architectural Press, New York.

Lesnikowski, Wojcieh G, 1982. Rationalism and Romanticism in Architecture, Mc Graw-Hill Company, New York.

Pearson, Paul David, 1978, Alvar Aalto and The International Style, Whitney Library of Design, New York.

Raap, Wilhelmina Remke, 1994, The Great Mosque of Banda Aceh : Its History Architecture and Relationship to the Development of Islam un Nothern Sumatra, BA thesis, University of Victoria.

Roth LM, 1980, A Cancise History of American Architecture, Harper & Row Publishers, New York. ------ed. 1983. American Build, Source Document in American Architecture and Planning, Harper & Row Publisher, New York.

Sukayasa, I Komang Wahyu, 2007, Gaya Eklektik pada Arsitektur Gereja Protestan Blimbingsari di , Imaji Vol. 2.

Sumalyo, Yulianto. 1995. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, , Gajahmada University Press, Jogyakarta.

89

------. 1997. Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press ------. 2003. Arsitektur Klasik Eropa, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Webster’s New Word Dictionary & Thesaurus, 1998, Version 2.0, Acccent Software International, Macmillan Publishers. Wilson, Richard Guy, 1983, The IAI Gold Medal, McGraw-Hill Book Company, New York.

Youssef, Wagih Fawzi, Architecture and Eclecticisme.

Tanudjaya, F.Christian J, 1998, Arsitektur Modern, Tradisi-Tradisi dan Aliran- Aliran dan Aliran-Aliran serta Peranan Politik-Politik, Andi Offset, Yogyakarta.

Zein, A, 1999, Mesjid-Mesjid Bersejarah di Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press