HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Selatan)

SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: DIAN RANA AFRILIA NIM. 1111043100001

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015M/ 1436 H LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

santumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, September 2015 28 Dzulhijjah 1436

Dian Rana Afrilia

ABSTRAK

DIAN RANA AFRILIA : 1111043100001. HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan), skripsi. Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih, Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.

Masalah roti buaya yang sudah muncul sejak lama ini merupakan adat kebiasaan yang terjadi di masyarakat Betawi menjelang seserahan pernikahan, beberapa masyarakat Betawi memang menyertakan roti buaya dalam seserahan pernikahannya. Roti buaya ini diklasifikasikan sebagai adat kebiasaan yang tidak ada dalam hukum Islam. Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui status hukum adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya dalam seserahan pernikahan menurut hukum Islam.

Penelitian ini merupakan pendekatan deskriptif kulitatif yaitu mendeskripsikan dengan menggunakan pendekatan “penelaahan”. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan normatif dengan tujuan untuk menemukan kebenaran dari berbagai data yang didasarkan pada norma-norma atau aturan-aturan yang digariskan oleh hukum Islam dan juga pendapat-pendapat para Ulama yang berkaitan dengan masalah roti buaya.

Dalam hukum Islam pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah.

Berdasarkan pendekatan yang dilakukan di atas, hasil penelitian menunjukan bahwa dalam hal roti buaya yang dilakukan dalam seserahan pernikahan adat Betawi menurut hukum Islam bila hanya tradisi tidak ada pelarangan adapun kalau ada yang menganggapnya sebagai sesajen atau sebagai dewa maka tidak diperbolehkan dalam Islam.

Kata Kunci : „Urf, Pandangan Ulama

Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo. M.A Daftar Pustaka : 1976-2015

i بسم اهلل الرحمن الرحيم

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, tak ada kata yang pantas penulis ucapkan selain ungkapan puja dan puji serta rasa syukur atas karunia yang tak terhingga yang diberikan Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA

DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar

Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)” ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW juga kepada keluarga, sahabat, dan umatnya yang senantiasa mengikuti jejak dan langkah beliau sampai hari akhir nanti, amiin.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian Sarjana Syariah. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki.

Setelah perjuangan yang begitu berat dan melelahkan, akhirnya skripsi ini selesai juga ditulis. Penulis sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak dan semoga amal baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis ingin meyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang turut membantu, khususnya:

ii 1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., selaku ketua Progam Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., M.A.,

selaku sekretaris Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A., selaku dosen

pembimbing yang telah banyak memberikan masukan ilmu, waktu, dan

semangat serta memberikan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan

skripsi ini.

4. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.A., selaku dosen penasehat akademik

yang telah membimbing semasa kuliah.

5. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga

dan pikirannya untuk medidik penulis kelak menjadi manusia yang

berilmu dan berguna.

6. Kepada para tokoh-tokoh yang telah memberikan bantuan yang berharga

berupa wawancara dan juga kepada para warga Kampung pisangan yang

sudah memberikan waktunya untuk proses wawancara dalam penelitian ini.

7. Segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang dijadikan

referensi dalam penulisan skripsi ini.

iii 8. Sang motivator yaitu kedua orang tua penulis, Ayahanda Noor Moechtar dan

Ibunda Sri Wahyuni yang sangat penulis hormati dan cintai dengan

mengerahkan seluruh kasih sayang, bimbingan serta nasehat dan doanya,

sehingga penulis mampu berdiri kokoh seperti sekarang. Untuk mas-masku,

Alfin Marilif, Bay Haqi, dan Cira Adlin yang telah memberi dorongan agar

penulis tidak berputus asa dan terus berjuang sampai berhasil.

9. Teman seperjuangan menuntut ilmu Mila, Ratna, Resti, Sasa, Ratu, Uje,

Iwan, Hamdi, Rifa’i dan seluruh teman di PMH angkatan 2011, serta para

senior. Terima kasih atas semua persahabatan yang telah kita rajut selama

ini. Terima kasih atas canda tawa dan dorongan semangatnya, semoga

persahabatan kita tidak akan pernah putus oleh jarak dan waktu.

10. Sahabat terbaikku, Anis, Amel, Meta, Yovi, yang setia mendengarkan

curahan hati penulis selama mengerjakan skripsi ini.

Akhirnya atas jasa dan bantuan dari semua pihak, baik berupa moril maupun materi, penulis haturkan terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah SWT membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai amal jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak.

Jakarta,03 September 2015

(Penulis)

iv DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... i KATA PENGANTAR ...... ii DAFTAR ISI ...... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...... 10 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...... 10 D. Review Studi Terdahulu ...... 12 E. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan ...... 14 F. Sistematika Penulisan ...... 18

BAB II : TINJAUAN UMUM ‘URF A. Definisi ‘Urf ...... 21 B. Pembagian ‘Urf ...... 27 C. Kedudukan ‘Urf dalam Penetapan Hukum ...... 32 D. Syarat-syarat ‘Urf ...... 37 E. Pandangan Ulama tentang ‘Urf ...... 45 F. Contoh-contoh ‘Urf yang sudah teradopsi di ...... 49

BAB III : PRAKTEK DAN KECENDERUNGAN ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN DI KALANGAN MASYARAKAT A. Kondisi Umum pada Masyarakat Kampung Pisangan ...... 53 B. Sejarah Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan ...... 55 C. Opini masyarakat terhadap roti buaya dalam Seserahan pernikahan ...... 58

v BAB IV : ANALISIS HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Pandangan Ulama Tentang Hukum Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan ...... 60 B. Analisis Penulis mengenai Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan ...... 68

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ...... 75 B. Saran ...... 76

DAFTAR PUSTAKA ...... 77 LAMPIRAN ...... 81

vi BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Syariat dipahami sebagai segala ketentuan yang dikeluarkan dari

Al-Qur‟an dan Sunnah. Al-Qur‟an dan Sunnah diakui sebagai sumber kewahyuan yang valid. Pemahaman dan penafsiran kedua sumber kewahyuan ini disebut dengan hukum fikih. Hukum fiqh inilah yang disebut dengan Hukum Islam.1

Bila kata hukum ini dihubungkan dengan kata Islam atau Syara‟, maka hukum Islam akan berarti “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan

Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua manusia yang beragama Islam.”2

Syariat dapat dikatakan adalah hukum yang ditetapkan Allah. Ketika ketetapan Allah tersebut identik dengan firman-Nya maka dapat dipahami syariat itu ialah wahyu, dan ketika wahyu itu dikaitkan dengan peranan Rasul yang membawanya maka syariat itu dipahami sebagai ketentuan Al-Qur‟an dan

Sunnah.3

Semua ketentuan wahyu ini telah selesai dijelaskan oleh Nabi baik tujuan maupun tekhnis pelaksanaannya. Itulah ajaran pokok agama Islam untuk kepentingan manusia. Segala penjelasan beliau terhadap hukum-hukum itu disebut

1Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 25.

2 Ahmad Mukri Aji, Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), cet. 1, h. 117.

3 Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 27.

1 2

dengan Sunnah, yang juga berlaku mengikat sebagai aturan meskipun tidak tertutup kemungkinan kecerdasan beliau ikut berperan dalam membentuk aturan, tetapi hal ini dilegalisir oleh Al-Qur‟an sebagai kebenaran. Segala persoalan hukum yang dikeluarkan dengan sistematis dari Al-Qur‟an dan Sunnah ini disebut dengan hukum fikih, yang mencakup segenap aspek dari perbuatan manusia.4

Hukum yang diturunkan oleh Allah kepada manusia tidak lain kecuali untuk kemaslahatan dan keselamatan manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Keselamatan ini akan dapat kita peroleh jika kita mau menaati hukum- hukum Allah secara konsekuen. Jika kita perhatikan secara cermat, maka hukum- hukum Allah yang harus kita taati ada yang bersifat perintah tegas, yaitu tuntutan untuk dikerjakan oleh kita secara tegas dan pasti yang disebut dengan wajib seperti shalat dan puasa. Adakalanya perintah ini bersifat tidak tegas, yaitu tuntutan untuk dikerjakan tetapi sifatnya tidak harus dan tidak mesti seperti shalat sunnah. Adakalanya perintah itu berupa tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan secara pasti yang disebut dengan haram seperti berzina. Dan adakalanya berupa tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan itu secara tidak pasti artinya tidak harus kita tinggalkan tetapi meninggalkannya dipandang lebih baik seperti makan jengkol dan petai. Dan adakalanya hukum Allah itu bersifat pilihan artinya seseorang diberikan keleluasan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan seperti makan dan minum.5

4 Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 29.

5 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. 1, h. 126. 3

Secara teoritik hukum-hukum syari‟at didasarkan pada serangkaian manfaat dan mudharat nyata, dan bahwa akal atau nalar manusia memiliki kemampuan untuk secara mandiri menemukan manfaat-manfaat dan mudarat- mudarat yang melekat pada sesuatu. Karena itu, maka dengan sendirinya akal mampu menemukan maksud-maksud dan kriteria-kriteria hukum agama melalui ijtihad dan ra‟yu.6

Dalam menjelaskan hukum, Al-Qur‟an menggunakan beberapa cara dan ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.7

Untuk memahami semua itu diperlukan penalaran dan kemampuan intelektual yang tinggi, yang dalam studi Islam merupakan bagian dari telaah Ushul Fikih.

Dalam ilmu inilah dapat diketahui ketetapan-ketetapan Allah, mana yang berupa perintah, mana yang larangan dan mana pula yang berupa pilihan dan yang lainnya. Bahkan dengan ilmu ini pula akan dapat diketahui dengan jelas tujuan

(maqashid) dari Syari‟at Islam itu.8

Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur‟an sebagai sumber utama atau pokok Hukum Islam, berarti Al-Qur‟an itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur‟an, maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur‟an. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber

6Afifi Fauzi Abbas, Baik Dan Buruk Dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 64.

7Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 77.

8 Afifi Fauzi Abbas, Baik Dan Buruk Dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 107. 4

hukum selain Al-Qur‟an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-

Qur‟an.9

Dengan demikian, bila Al-Qur‟an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fikih, maka Sunnah disebut sebagai bayani.10 Kedudukan Sunnah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Qur‟an, tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah. Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua sesudah Al-Qur‟an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.11

Dengan demikian di dalam Hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu; pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrijal-ahkam) dari sumbernya, Al-Qur‟an dan/atau Hadis. Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah- kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.

Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fikih maupun kaidah-kaidah fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrij al-ahkam, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (al-Qur‟an dan sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering

9 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 86.

10 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 99.

11Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 111. 5

digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.12

Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum yang lengkap dan universal perlu dipahami secara menyeluruh oleh segenap umat manusia, karena kesalahan dalam memahami hukum Islam akan berdampak pada semakin menjauhnya hukum dari manusia, atau terlepasnya fungsi pranata hukum dalam masyarakat.13

Semua hukum-hukum ini didasarkan kepada dalil (al-dalil), terdiri dari firman (khitab) Allah dan Sunnah Rasulullah, ijma, qiyas, dan apa saja yang menjadi sarana untuk sampai kepada dalil. Sebagaimana yang diatur dalam ilmu

Ushul Fikih, sebagai prosedur ilmiah mengeluarkan kandungan hukum dari unit- unit dalil. Ilmu fikih ialah mengetahui hukum-hukum syari‟ah yang jalan penetapannya melalui ijtihad.

Usaha-usaha untuk memahami hukum dari dalilnya, maupun melahirkan hukum yang baru disebut dengan ijtihad (al-ijtihad). Perkembangan dan perubahan masyarakat adalah faktor penting lahirnya ijtihad, sebab pada saat itu terjadi pula kasus baru yang berbeda dengan tentunya memerlukan aturan pula.Segala aturan yang dikeluarkan mujtahid maka hukum tersebut adalah

Hukum Islam.14

12A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. 2, h. 4.

13Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialetika Pemikiran Hukum Islam, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012), cet. 2, h. 14.

14Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 31. 6

Hukum-hukum ijtihadiyah yang ditentukan berdasarkan „urf akan mengalami perubahan jika ‟urf yang menjadi dasar mengalami perubahan.

Perubahan-perubahan atas hukum-hukum yang dibina atas „urf berubah menurut masa dan tempat, asal tetap dalam bidang-bidang perbuatan-perbuatan yang dibolehkan. Dalam fikih terdapat hukum yang didasarkan kepada ‟urf yang terdapat pada masa imam mazhab. Terdapat sebagian kalangan muta‟khirin ahli fikih bertentangan dengan sebagian imam atau ulama mutaqaddimin, yang berpokok pangkal pada perbedaan „urf yang berlaku ketika itu. Hukum berbeda dikarenakan perbedaan „urf dalam suatu negara dan perubahan „urf karena perubahan masa, dan perbedaan pendapat di antara mereka terjadi karena perbedaan tempat dan masa bukan perbedaan hujah dan alasan. Dengan demikian, berfatwa dengan hukum tersebut hukum-hukum yang dibina para fuqoha berdasarkan „urf pada masa kini yang urf‟nya sudah berubah merupakan suatu kesalahan dalam agama.15

Kehidupan manusia disebut berubah karena adanya perubahan pada saat adanya perbedaan waktu. Perubahan pada manusia terjadi pada satu persatu individu dan menyebabkan pula pada kumpulan individu. Individu memiliki sifat bawaan yang menjadi energi dirinya melakukan kegiatan. Sifat bawaannya yang terutama adalah perkembangan. Sebagai makhluk hidup manusia bersifat berkembang.

Perubahan sosial ialah perubahan pola-pola budaya (tata nilai), struktur- struktur sosial, dan perilaku sosial pada rentang waktu. Dalam definisi ini

15 Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1, h. 49. 7

Robertson meletakan perubahan pada tiga aspek, kultur, struktur, dan nilai yang dikaitkan dengan waktu.

Persoalan waktu menjadi bagian penting dari sebuah perubahan.Dalam

Perspektif Evoluionis perubahan masyarakat dipandang sebagai suatu yang alamiah, terjadi dimana saja, niscaya, dan merupakan ciri tak terhindarkan dari realitas sosial.16Perubahan itu sendiri bisa terjadi karena perubahan yang disebabkan oleh kejadian-kejadian alam dan bisa terjadi karena usaha-usaha manusia itu sendiri. Adapun bentuk-bentuk perubahan itu sendiri, berbagai macam bentuknya yang disimpulkan oleh Ibnu Qayyim dengan ungkapannya:

تَغّْيِرُ الْفَتْوَى بِحَسْبِ تَغّْيِرِ الْاَزْمِنَةِ وَ الْاَمْكِنَةِ وَالْاَحْوَالِوَالنِّيَاتِ وَالعَوْائِدِ

Artinya: “fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan waktu, tempat, keadaan, niat, dan adat kebiasaan.”17

Dalam kajian hukum Islam terutama dalam masalah-masalah kontemporer masalah perubahan sosial sangat menjadi perhatian dalam menetapkan hukum yang mencerminkan kebutuhan masa kini. Dalam kaitan ini beberapa kaidah tentang baik dan buruk yang berkaitan dengan perubahan sosial telah diinduksi oleh para ahli hukum Islam dari nash‟syara, seperti contoh kaidah berikut:

ا لعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ

Artinya: “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat menjadi hukum.”18

16Junaidi Lubis, Islam Dinamis ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 37.

17 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. 2, h. 108.

18 Taj al-Din Abd al-Wahab al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadzair JIlid 1, (Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, 1991), h. 50.

8

Hal ini bermakna bahwa, status adat kebiasaan yang baik yang telah berlaku ditengah-tengah masyarakat, berfungsi sebagai salah satu syarat dalam suatu transaksi yang berlaku dalam masyarakat. Kaidah lain yang erat juga hubungannya dengan masalah perubahan sosial adalah

الَتَنْكِر تَغَّيَرُ االَ حْكَامُ بِتَغَّيَرُ االَ زْمَانِ

Artinya: “tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum-hukum itu disebabkan oleh perubahan sosial (zaman).”19

Yang dimaksud dengan “al-ahkam” di sini adalah al-ahkam al-ijtihadiyah al-mabniyah ala al-urf wa al-mashlahah (hukum-hukum berdasarkan hasil pemikiran dengan mempertimbangkan tradisi yang baik dan kemashlahatan masyrakat).20

Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai akibat dari dinamika dan interaksi yang berkembang di suatu komunitas lingkungan masyarakat. Oleh karenanya, bisa dikatakan, adat dan tradisi merupakan identitas dan ciri khas suatu komunitas.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat atau tradisi bermakna kebiasaan perilaku yang dijumpai secara turun-temurun. Karena bermula dari kebiasaan dan itu merupakan warisan dari pendahulu, maka akan terasa sangat ganjil ketika hal itu tidak boleh dilakukan atau dilakukan tapi tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.

19 Ahmad al-Hajj al-Kurdy, Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah, (Damaskus: Dar al-Ma‟rif li al-TIba‟ah, 1979), h. 62.

20 Afifi Fauzi Abbas, Baik dan Buruk dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 208. 9

Masyarakat Indonesia memiliki beragam adat dan tradisi yang berbeda dengan negara-negara lain, bahkan dari satu daerah ke daerah yang lain.

Beragamnya agama, bahasa dan budaya adalah keniscayaan dalam konteks keindonesiaan.21

Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat itu berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta kebiasaan setempat.

Seperti dalam perkawinan adat Betawi seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan diharuskan membawa seserahan ketika akad nikah dimana dalam seserahan tersebut berisi roti buaya yang merupakan ciri atau tradisi dari perkawinan adat betawi. Sebuah perkampungan Betawi yaitu Kampung Pisangan yang terletak di Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta

Selatan dimana masyarakatnya sangat memegang teguh adat kebudayaannya dan menjalankan kebudayaan tersebut, terutama pada bidang pernikahan mereka yang menggunakan roti buaya yang menjadi salah satu bagian seserahan yang diberikan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan. Adapun hal yang penulis sebutkan di atas nampaknya telah terjadi sejak lama dan telah mengakar dan membudidaya. Hal ini harus diklarifikasi tentang kebenarannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkatnya menjadi sebuah karya ilmiah (skripsi) yang berjudul sebagai berikut : “Hukum Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan

21 Iqbal1, “Ilmu Fiqh”, artikel diakses pada 27 Febuari 2015 dari https://iqbal1.wordpress.com/2010/04/19/ilmu-fiqh-adat-atau-tradisi-dalam-beribadah-1/ 10

Pernikahan Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Kampung Pisangan

Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)”.

B. Pembatasan dan PerumusanMasalah

1. Pembatasan Masalah

Agar dalam pembahasan skripsi ini tidak melebar dan tetap fokus, maka

dalam penulisan ini penulis ingin membatasi masalah yang akan dibahas oleh

penulis, yakni seputar pengertian „urf, pandangan Ulama dan status hukum adat

Betawi dalam konteks pernikahan yang menggunakan roti buaya dalam

seserahannya.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka penulis merumuskan

masalahnya sebagai berikut :

a. Bagaimana perkembangan „urf atau adat dari zaman nabi sampai

sekarang?

b. Bagaimana pandangan Ulama tentang „urf atau adat ?

c. Bagaimana status hukum adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya

dalam seserahan pernikahan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka

dapat diakui bahwa :

1. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan

manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan 11

penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui perkembangan „urf atau adat dari zaman nabi sampai

sekarang.

b. Untuk mengetahui pandangan Ulama yang berkaitan dengan „urf atau adat.

c. Untuk mengetahui status hukum adat Betawi yang menggunakan Roti

Buaya dalam seserahan pernikahan.

2. Manfaat Penelitian

Selain tujuan penulisan di atas penelitian diharapkan juga dengan memberi manfaat antara lain:

a. Manfaat Akademis

1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam

perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek di lapangan.

2) Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi

peneliti.

3) Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat

digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.

b. Manfaat Praktis

1) Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum fikih.

2) Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas

tentang status hukum adat Betawi yang menggunakan roti buaya

dalam seserahan pernikahan. 12

3) Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan

bagi penulis, khususnya bidang hukum fikih.

D. Review Studi Terdahulu

Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka diperlukan kajian terdahulu. Berdasarkan pengamatan dan pengkajian yang telah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini, maka penulis lebih memfokuskan masalah hukum adat Betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan.

Sedangkan skripsi yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu:

NO. NAMA/ NIM JUDUL PEMBAHASAN

1. Muhasim/ Tradisi Kudangan Penulis membahas tentang

204044103048 Perkawinan Betawi tradisi perkawinan adat

Dalam Perspektif Betawi yang dimana ada

Hukum Islam (Studi tradisi kudangan yaitu

Kasus Kelurahan permintaan pihak

Benda Baru perempuan yang

Kecamatan bersumber dari orang tua

Pamulang) dimana ketika masih kecil

meminta sesuatu kepada

orang tuanya tetapi tidak

dapat memenuhinya maka

permintaan tersebut

dijadikan salah satu syarat 13

yang harus dipenuhi oleh

pihak laki-laki yang akan

menikahi perempuan

tersebut.

2. M. Irfan Tata Cara Khitbah Penulis ini lebih

Juliansah/ dan Walimah pada memfokuskan

104043101283 Masyarakat Betawi pembahasannya kepada

Kembangan Utara masalah khitbah, walimah,

Jakarta Barat dan biaya pernikahan

Menurut Hukum dalam pandangan Imam

Islam mazhab dengan

menemukan deskripsi

yang shahih dan valid

mengenai konsep Islam

dalam mengatur tentang

proses dan tata cara

pelaksanaan pernikahan

yang sesuai dengan

tuntunan yang telah

diberikan oleh Allah dan

Rasul-Nya, serta terhindar

dari campur tangan dan

budaya manusia. 14

3. Andy Pathoni Tinjauan Hukum Penulis ini

Islam Terhadap mengetengahkan sebuah

Tradisi Khutbah tradisi dari perkawinan

Penyerahan dan adat Betawi khususnya

Khutbah Penerimaan daerah kelurahan

dalam Perkawinan Srengseng Sawah dalam

Adat Betawi (Studi hal melaksanakan

Kasus di Setu sambutan khutbah

Babakan Kelurahan membawa uang belanja

Srengseng Sawah) dan khutbah menerima

uang belanja.

Masih ada beberapa skripsi yang menjelaskan tentang pernikahan adat betawi. Salah satunya yang sudah disebutkan di atas. Namun skripsi tersebut tidak ada hubungannya dengan skripsi penulis, dan tidak menjelaskan pandangan

Hukum Islam mengenai adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya dalam seserahan pernikahan, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul Hukum Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan Perspektif Hukum Islam.

E. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan

1. Metode Pendekatan

Penelitian dengan pendekatan kualitatif menekankan analisis proses dari proses berpikir secara induktif yang berkaitan dengan dinamika hubungan 15

antarfenomena yang diamati, dan senantiasa menggunakan logika ilmiah.

Penelitian kualitatif bertujuan megembangkan konsep sensitivitas pada masalah yang dihadapi, menerangkan realitas yang berkaitan dengan penelusuran teori dari bawah (grounded theory) dan mengembangkan pemahaman akan satu atau lebih dari fenomena yang dihadapi. Penelitian kualitaif merupakan sebuah metode penelitian yang digunakan dalam mengungkapkan permasalahan dalam kehidupan kerja organisasi pemerintah, swasta, kemasyarakatan, kepemudaan, perempuan, olah raga, seni dan budaya, sehingga dapat dijadikan suatu kebijakan untuk dilaksanakan demi kesejahteraan bersama.22

Penelitian kualitatif adalah deskriptif. Data yang dikumpulkan lebih mengambil bentuk kata-kata atau gambar daripada angaka-angka. Hasil penelitan tertulis berisi kutipan-kutipan dari data untuk mengilustrasikan dan menyediakan bukti presentasi.23

2. Metode Penelitian

Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max

Weber yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut.

Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran

22 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), cet. 1, h. 80.

23 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), cet. 2, h. 3. 16

mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang objektif.24

3. Objek Penelitian

Yang menjadi objek penelitian ini adalah masyarakat Kampung Pisangan

Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan, serta buku-buku, litaratur-liteartur, dan kitab-kitab lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

4. Jenis Data

a. Data Primer

Data primer yang digunakan sebagai acuan dalam menyusun skripsi ini adalah wawancara secara langsung dengan masyarakat yang menggunakanroti buaya yang menjadikan salah satu bagian seserahan dalam perkawinannya yang diberikan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan.

b. Data Sekunder

Al-Qur‟an dan al-Hadits, serta buku-buku lainnya yang dapat mendukung terselesaikannya skripsi ini.

5. Tekhnik Pengumpulan Data

Tekhnik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui tekhnik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan

24 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), cet. 1, h. 33. 17

data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.25 Dalam hal ini peneliti menggunakan tekhnik pengumpulan data diantaranya yaitu:

a. Studi Wawancara

Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpulan data) kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat perekam.26 Dari berbagai sumber data yang penulis catat, penulis menghubungkan satu data dengan data yang lainnya untuk dikontruksikan, sehingga menghasilkan pola makna tertentu. Data yang masih diragukan penulis tanyakan kembali kepada sumber data lama atau yang baru agar memperoleh ketuntasan dan kepastian.

b. Studi Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.27 Dalam studi ini peneliti mengumpulkan buku harian, surat pribadi, laporan dan dokumen lainnya dari kemudian peneliti menelaah dan meneliti kembali data-data tersebut sehingga dapat dituangkan ke dalam skripsi ini.

6. Metode Analisis Data

Jika data telah terkumpul, dilakukan analisa data secara kualitatif dengan menggunakan instrument analisis induktif yaitu berangkat dari pengetahuan atau

25 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007), h. 224.

26 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial “Suatu Tehnik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya”. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet: 8, h. 67-68.

27 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007), h. 240. 18

fakta yang bersifat khusus untuk mencapai kesimpulan umum. Metode ini digunakan dalam menjelaskan pendapat-pendapat hukum Islam (al-Qur‟an dan al-

Hadits) dan juga para pendapat Ulama kemudian pendapat tersebut dikomperasikan dengan motifasi serta alasan masyarakat setempat, kemudian menarik kesimpulan umum dari pendapat-pendapat itu. Sedangkan komperatif yaitu menganalisis data yang berbeda ataupun yang sama dengan jalan membandingkan untuk mengetahui permasalahan perbedaan dan persamaan serta faktor yang melatar belakanginya.

7. Tekhnik Penulisan

Adapun Teknik penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada

Prinsip-prinsip yang telah diatur dan di bukukan dalam buku pedoman penulisan skiripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun

2012.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penyusunan skripsi ini, penulisan membaginya kepada lima bab, yang garis besarnya penulis gambarkan sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penilitian,

metode penelitian dan sistematika penulisan. Dengan berangkat

dari pendahuluan kita sudah mengetahui garis besar penelitian bab

pertama ini adalah sebagai pengantar. Adapun isi penelitian 19

seluruhnya tertuang dalam bab II, III, IV. Inti dari penelitian

seluruhnya tertuang dalam bab V, berisi kesimpulan dan saran.

BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG ‘URF

Bab ini merupakan kajian teori tentang „urf, dengan menelusuri

berbagai kepustakaan mengenai „urf. Kajian teori ini dimaksudkan

untuk menjadi pisau bedah dan analisis terhadap data-data hasil

penelitian. Kajian ini meliputi pengertian „urf dalam Islam,

pembagian „urf dalam Islam, dalil-dalil mengenai „urf, syarat-

syarat „urf dalam Islam, pandangan ulama mengenai „urf, serta

contoh-contoh „urf yang bersifat kontemporer.

BAB III: PRAKTEK DAN KECENDERUNGAN ADAT BETAWI

YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM

SESERAHAN PERNIKAHAN DI KALANGAN

MASYARAKAT

Bab ini merupakan pembahasan tentang sejarah munculnya adat

Betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan,

dengan menjelaskan beberapa argumentasi dan dasar pemikiran

masyarakat yang mempraktekan adat tersebut di lingkungannya,

serta mekanisme adat Betawi yang menggunakan roti buaya dalam

seserahan pernikahan.

BAB IV: ANALISIS HUKUM ADAT BETAWI DALAM SESERAHAN

PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM 20

Bab ini merupakan bagian analisis yang penulis lakukan terhadap

topik inti skripsi dengan menggunakan kajian bab II sebagai

deskripsi teoritik tentang „urf dan bab III sebagai variabel lain yang

menjadi setting di mana analisis ini dilakukan. Dari analisis tersebut

kemudian akan diambil beberapa kesimpulan. Atas dasar itu, bab ini

mencoba menguraikan bagaimana pendapat dan kritikan ulama

mengenai adat Betawi dalam menggunakan roti buaya dalam

seserahan pernikahannya yang terjadi di kalangan masyarakat dan

status hukumnya.

BAB V: PENUTUP

Bab ini sebagai akhir dari karya ilmiah ini, yang memuat hasil

akhir atas kajian-kajian yang telah dilakukan dalam bentuk:

kesimpulan dan saran-saran. BAB II

TINJAUAN UMUM ‘URF

A. Pengertian al-‘urf

Dari segi kebahasan (etimologi) al-„urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf „ain, ra‟, dan fa‟ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma‟rifah

(yang dikenal), ta‟rif (definsi), kata ma‟ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata „urf (kebiasaan yang baik).

Adapun dari segi terminologi, kata „urf mengandung makna:

ٍَااعخَا دَٓ اىَْاسُ َٗسَازُٗاعَيَِٞٔ ٍِِْ مُوِ فِعْوٍ شَاعَ بٌََُْْْٖٞ, اَْٗىَفْعٍ حَعَازَفُ٘اِطْيَا قُُٔ عَوَ ٍَعَْْئ خَاصٍ

الُحًاىِفِِٔ ٍَااَىْيُغَتَ َٗىَاَٝخَبَادَزُ غَْٞسُُٓ عِْْدَ سَََاع1ِِٔ

Artinya : Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang popular di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.

Kata „urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al-„adah

(kebiasaan), yaitu:

ٍَااسْخَقَسَّفِٜ اىُْفُْ٘سِ ٍِِْ جَِٖتٍ اىعُقُْ٘هِ َٗحَيَقَخُْٔ اَطْبَاعَ اىسَيََِْٞتِ بِاىقَبْ٘ه2ِ

Artinya : Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.

Kata al-„adah itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan secara berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat.

1Abdul Wahab Kholaf, Ushul Fiqh, (t.t: Daar Arosyid, t.th), h.77.

2 Muhammad Shidq bin Ahmad bin Muhammad Ali Burnu, Al Wajiz fii idhohi qawaid al fiqh al Kulliyah, (Beirut: Muassisah ar Risalah, 1996 M), h. 276.

21 22

Dari penjelasan di atas dapat dipahami, al-„urf atau al-„adah terdiri atas dua bentuk yaitu, al-„urf al-qauli (kebiasaan dalam bentuk perkataan) dan al-„urf al-fi‟li (kebiasaan dalam bentuk perbuatan). „Urf dalam bentuk perbuatan, misalnya, transaksi jual beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafal ijab dan qabul. Demikian juga membagi mahar menjadi

“hantaran” dan “mas kawin”. Sedangkan contoh „urf dalam bentuk perkataan, misalnya, kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam masyarakat Islam Indonesia, mengandung arti talak.3

Secara etimologi, „urf berarti “yang baik”. Para Ulama ushul fiqh membedakan antara adat dengan „urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara‟. Adat didefinisikan dengan:

االٍَْسُاىَُخَنَسَّزٍُِِْ غَْٞسِعَيَاقَتٍعَقْيَِٞت4ٍ

Artinya : Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan nasional.5

Kata „urf yang dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan adat kebiasaan, namun para Ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar yang kesimpulannya adalah sebagai berikut:

Al-„urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.

Demikianlah yang dikatakan oleh Imam Al Jurjani dalam At Ta‟rifat hal: 154, kemudian beliau berkata: “Begitu jugalah makna al-„adah.”

3 Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), cet. 2, h. 209.

4Ibnu Amir Hajj, at-Taqrir wa at-Tahbir, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1983 M), cet. 3, h. 282.

5 Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 209. 23

Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli maka sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung maka artinya berbeda namun apabila berpisah maka artinya sama, mirip dengan kata

Islam dengan iman.6

Definisi ini menunjukan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab alami, seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis atau cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis, dan untuk daerah dingin terjadi kelambatan seseotang menjadi baligh dan kelambatan tanaman berbuah. Di samping itu, adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti korupsi, sebagaimana adat juga bisa muncul dari kasus-kasus tertentu, seperti perubahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya asing.

Adapun menurut Ulama Ushul Fikih, „urf adalah:

عُادَةُ جَُُْْٖ٘زِقًٍَْ٘ فِٜ قَْ٘هٍ اَْٗفِعْو7ٍ

Artinya : Kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan maupun perbuatan.

6 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih Islami, (Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 104.

7 Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, al-Qawa‟id al-Fiqhiyah wa tathbiqatuha fii al- Mazahib al-arba‟ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), juz 1, h. 314. 24

Berdasarkan definisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa, mengatakan bahwa

„urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari „urf. Suatu „urf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan „urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat.8

Tentang berapa kali suatu perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut adat, tidak ada ukurannya dan banyak bergantung pada bentuk perbuatan yang dilakukan tersebut. Hal ini secara panjang lebar dijelaskan al-Asyab wa al-

Nazhair.

Kata „urf pengertiannya tidak melihat arti segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berbeda ini

(dari sudut berulang kali, dan dari sudut dikenal) yang menyebabkan timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak; sebaliknya karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulang kali. Dengan demikian meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan tetapi perbedaannya tidak berarti.

Perbedaan antara kedua kata ini, juga dapat dilihat dari segi kandugan artinya, yaitu: adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu pebuatan dilakukan dan tidak meliputi penilaian mengenaisegi baik dan buruknya perbuatan

8 Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 210.

25

tersebut. Jadi kata adat ini berkonotasi netral, sehingga ada adat yang baik dan ada adat yang buruk. Definisi tentang adat yang dirumuskan Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul al-Fiqh cenderung ke arah pengertian ini, yaitu:

ٍَااعْ دَخَ آُ اسُاىَّْ ٍِ ِْ عٍََ اٍَ يَ اثٍ َٗاسْ قَخَ اٍَ جْ يَعَ ْٞ ِٔ ٍُاُ ْ٘ زَ ُٕ 9ٌْ

Artinya : Apa-apa yang dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan telah mantap dalam urusan-urusannya.

Kalau kata adat mengandung konotasi netral, maka „urf tidak demikian halya. Kata „urf digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan, yaitu diakui, diketahui, dan diterima oleh orang banyak. Dengan demikian, kata „urf itu mengandung konotasi baik.10

Dari adanya ketentuan bahwa „urf atau adat itu adalah sesuatu yang harus telah dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak, melihat ada kemiripannya dengan ijma‟. Namun antara keduanya mendapat beberapa perbedaan yang di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma‟harus diakui dan diterima smua pihak. Bila

ada sejumlah kecil saja pihak yang tidak setuju, maka ijma‟ tidak tercapai.

(Hanya sebagian kecil ulama yang mengatakan bahwa ijma‟ yang tidak

diterima oleh beberapa orang saja, tidak mempengaruhi kesahihan suatu

ijma‟). Sedangkan „urf atau adat sudah dapat tercapai bila ia telah dilakukan

dan dikenal oleh sebagian besar orang dan tidak mesti dilakukan oleh semua

orang.

9 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut; Dar al Fikr al „araby, 1958).

10 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 387. 26

2. Ijma‟ adalah kesepakatan (penerimaan) di antara orang-orang tertentu, yaitu

para mujtahid, dan yang bukan mujtahid tidak diperhitungkan kesepakatan

atau penolakannya. Sedangkan „urf atau adat terbentuk bila yang

melakukannya secara berulang-ulang atau yang mengakui dan menerimanya

adalah seluruh lapisan manusia, baik mujatahid atau bukan.

3. Adat atau „urf itu meskipun telah terbiasa diamalkan oleh seluruh umat

Islam, namun ia dapat mengalami perubahan karena berubahnya orang-

orang yang menjadi bagian dari umat itu. Sedangkan ijma‟ (menurut

pendapat kebanyakan ulama) tidak mengalami perubahan sesekali

ditetapkan, ia tetap berlaku sampai ke generasi berikutnya yang datang

kemudian.11

Adapun tentang pemakaiannya, „urf adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan ahli ijtihad atau bukan ahli ijtihad, baik yang berbentuk kata-kata atau perbuatan. Dan sesuatu hukum yang ditetapkan atas dasar „urf dapat berubah karena kemungkinan adanya perubahan „urf itu sendiri atau perubahan tempat, zaman, dan sebagainya. Sebagian mendasarkan asal itu pada kenyataan bahwa, Imam Syafi‟i ketika di Irak mempunyai pendapat-pendapat yang berlainan dengan pendapat beliau sendiri setelah pindah ke Mesir. Di kalangan ulama, pendapat Imam Syafi‟i ketika di Irak disebut qaul Qadim, sedang pendapat di Mesir adalah qaul Jadid.

Adapun alasan para ulama yang memakai „urf dalam menentukan hukum antara lain:

11 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 389. 27

1. Banyak hukum syariat, yang ternyata sebelumnya telah merupakan

kebiasaan orang Arab, seperti adanya wali dalam pernikahan dan susunan

keluarga dalam pembagian waris.

2. Banyak kebiasaan orang Arab, baik berbentuk lafaz maupun perbuatan,

ternyata dijadikan pedoman sampai sekarang.12

B. Pembagian al-‘urf

Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan, „urf dapat dibagi dua macam, yaitu:

1. „Urf qauli

Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan.

Kata waladun secara etimologi artinya “anak” yang digunakan untuk anak laki- laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan

(mu‟annats). Penggunaan kata walad itu untuk laki-laki dan perempuan,

(mengenai waris/ harta pustaka) berlaku juga dalam Al-Qur‟an, seperti dalam surat an-Nisa‟ (4): 11-12, seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan anak perempuan.

Dalam kebiasaan sehari-hari („urf) orang Arab, kata walad itu digunakan hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan, sehingga dalam

12 A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 6, h. 162. 28

memahami kata walad kadang digunakan „urf qauli tersebut. Umpamanya dalam memahami kata walad pada surat an-Nisa‟ (4): 176:

ََسْتَفْتُىوَكَقُلِ اهللُ َُفْتُِكُمْ فٍِ الْكَالَلَتِ إِنِ امْرُإٌا هَلَكَ لَُْسَ لَهُ وَلَدُُ وَلَهُ أُخْتُُ فَلَهَا وِصْفُ مَاََرَََ

وَهُىَ ََرِثُهَآإِن لَمْ ََكُه لَهَا وَلَدُُفَإِن كَاوَتَااثْىَتَُْهِ فَلَهُمَا الّثُلُّثَانِ مِمَا ََرَََ وَإِنكَاوُىا إِخْىَةً ّرِجَاالً

وَوِسَآءً فَلِلّذَكَرِمِّثْلُ حَّظِاْألُوّثََُُْهِ َُبَُِهُ اهللُ لَكُمْ أَن ََضِلُىا وَاهللُ بِكُلِ شًَْءٍ عَلُِمُُ

Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan. Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal …

Melalui penggunaan bukan „urf qauli, kata kalalah dalam ayat tersebut diartikan sebagai “orang yang tidak meninggalkan anak laki-laki”. Dalam hal ini

(dengan pemahaman „urf qaula), anak laki-laki dapat meng-hijab saudara-saudara sedangkan anak perempuan tidak dapat.

Kata lahm artinya adalah “daging”, baik daging sapi, ikan, atau hewan lainnya. Pengertian umum lahmun yang juga mencakup daging ikan ini terdapat dalam Al-Qur‟an, surat an-Nahl (16); 14:

وَهُىَ الَّذٌِ سَّخَرَ الْبَحْرَلِتَؤْكُلُىا مِىْهُلَحْمًا طَرًَِا وَََسْتَّخْرِجُىا مِىْهُ حِلَُْتً ََلْبَسُىوَهَا وَََرَي الْفُلْكَ

مَىَاخِرَ فُِهِ وَلِتَبْتَغُىا مِه فَضْلِهِ وَلَعَلَكُمْ ََشْكُرُونَ

Artinya : Allah yang memudahkan laut untukmu supaya kamu dapat memakan ikannya yang segar…

Namun dalam adat kebiasaan berbahasa sehari-hari di kalangan orang

Arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk “ikan”. Karena itu, jika seseorang bersumpah, “Demi Allah saya tidak akan memakan daging”, tetapi ternyata 29

kemudian ia memakan daging ikan, maka menurut adat masyarakat Arab, orang tersebut tidak melanggat sumpah.

2. „Urf fi‟li

Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya, kebiasaan jual beli barang-barang yang enteng (murah dan kurang begitu bernilai) transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya menujukan barang serta serah terima dan uang tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli, kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.13

Ditinjau dari segi jangkauannya, „urf dapat dibagi dua macam, yaitu:

1. Al-„Urf al-Amm

Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi, sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. Demikian juga, membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket masuk tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.

2. Al-„Urf al-Khash

Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan masyarakat Jambi

13 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 390. 30

menyebut kalimat “satu tumbuk tanah”, untuk menunjuk pengertian luas tanah 10 x 10 meter.

Demikian juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuintansi sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi.

Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, „urf dapat pula dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Al-„Urf ash-Shahihah („Urf yang Absah)

Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum Islam. Dengan kata lain, „urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya, mengubah ketentuan halal menjadi haram. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat, hadiah (hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki- laki. Sebaliknya, jika yang membatalkan peminangan adalah pihak wanita, maka

“hantaran” yang diberikan kepada wanita yang dipinang dikembalikan dua kali lipat jumlahya kepada pihak laki-laki yang meminang.

Demikian juga, dalam jual beli dengan cara pemesanan (inden), pihak pemesan memberi uang muka atau panjar atas barang yang dipesannya.14

2. Al-„Urf al-Fasidah („Urf yang Rusak/ Salah)

Yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun.

14 Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), cet. 2, h. 210. 31

Umpamanya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir, kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah).15

Adapun yang berkaitan dengan mu‟amalah perdata adalah kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang diraih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi, praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong-menolong dalam pandangan syara‟, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara‟ tidak boleh saling melebihkan (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad Ibn Hanbal), dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan riba al-nasi‟ah (riba yang muncul dari hutang-piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut

Ulama Ushul Fikih, termasuk dalam kategori al-„urf al-fasid.

Contoh lain adalah dalam “penyuapan”. Untuk memenangkan perkaranya, seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk kelancaran urusan yang dilakukan seseorang, ia memberikan sejumlah uang kepada orang yang menangani urusannya. Hal ini juga termasuk al-„urf al-fasid.16

15 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 392.

16 Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 213. 32

C. Kedudukan ‘Urf dalam Menetapkan Hukum

Di dalam fikih Islam banyak terdapat hukum yang dibina atas dasar „urf yang terjadi dimasa para Imam. Perbedaan „urf antara beberapa negeri menjadi sebab terjadinya perbedaan fuqaha terdahulu, sebagaimana halnya perubahan „urf menurut perjalanan waktu menjadi sebab pula terjadinya perbedaan pendapat ulama yang datang kemudian dengan pendapat ulama pendahulunya.

Dalam hubungan ini, mereka mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan itu adalah perubahan masa dan tempat, bukan perubahan hujjah dan dalil.17

Seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam al-

Qarafi (w. 684 H/ 1285 M), harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Seluruh Ulama mazhab, menurut Imam al-Syathibi (w. 790 H), dan

Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/ 1292-1350 M), menerima dan menjadikan „urf sebagai dalil syara‟ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, seseorang yang menggunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu, padahal lamanya ia dalam kamar itu dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas.

Sesuai dengan ketentuan umum syari‟at Islam dalam suatu akad, kedua hal ini harus jelas. Akan tetapi, perbuatan seperti ini telah berlaku luas di tengah-tengah masyarakat, sehingga seluruh Ulama mazhab menanggapi sah akad ini. Alasan mereka adalah „urf „amali yang berlaku.

17 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika: 2007), cet. 3, h. 80. 33

Para Ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-Qur‟an diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat ditengah-tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual beli yang sudah ada sebelum Islam. Hadits-hadits Rasulullah saw. Juga banyak sekali yang mengakui eksistensi „urf yang berlaku di tengah masyarakat, seperti hadits yang berkaitan dengan jual beli pesanan (salm). Dalam sebuah riwayat dari Ibn „Abbas dikatakan bahwa ketika Rasulullah saw. Hjrah ke Madinah, beliau melihat penduduk setempat melakukan jual beli (salm) tersebut. Lalu Rasulullah saw. Bersabda:

ٍَِْ اَ سْيَفَ فِٜ حََْسٍفَيَْٞسْيُفُ فِٜ مَْٞوٍ ٍَعْيًٍُْ٘ ََٗٗشٍُْ ٍَعْيًٍُْ٘ اِىَٚ اَجَوٍ ٍَعْيًٍُْ٘

Artinya : Siapa yang melakukan jual beli salam pada kurma, maka hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya, dan tenggang waktunya. (HR. al- Bukhari)18

Tidak diperselisihkan di kalangan fuqaha bahwa „urf yang shahih dapat dijadikan dasar pertimbangan. Fuqaha dari mazhab yang berbeda memperhatikannya dalam istinbath, saat menerapkan hukum, dan ketika menafsiri teks-teks akad.

Dasar dipertimbangkannya „urf ini kembali kepada prinsip menjaga kemaslahatan manusia dan menghilangkan kesulitan. Melalui hukum-hukumnya, syari‟at memperhatikan hal ini. Islam mengakui adat yang benar yang ada di kalangan bangsa Arab Jahiliyah, seperti kewajiban diyat, dan sebagian mu‟amalah lain seperti mudharabah dan syirkah. Sebagian ulama memberikan dalil atas kehujjahan „urf dengan sebuah riwayat dari Nabi shallallahu „alaihi wasallam, bahwa apa yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik pula di sisi Allah.

18 Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 215. 34

Bagaimana pun juga,‟urf adalah hujjah syari‟at dan sumber fikih yang darinya hukum-hukum digali. Para mujtahid, mufti, dan qadhi harus memperhatikannya.19

Kita dapat menemukan kemaslahatn yang telah ditetapkan oleh syari‟ah agama, bahwa kemaslahatan tidak berada pada satu peringkat. Tetapi ia bertingkat-tingkat, sebagaimana peringkat utama yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fikih. Mereka membagai kemaslahatan itu menjadi tiga tingkatan dengan urutan sebagai berikut: dharuriyyat, hajjiyat, dan tahsinat.20

Adapun beberapa argumentasi yang menjadi alasan para ulama berhujjah dengan „urf dan menjadikannya sebagai sumber hukum fiqh, yaitu:

1. Firman Allah pada surah al-A‟raf (7): 199

خُّذِ الْعَفْىَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَهِ الْجَاهِلُِهَ

Artinya : “Jadilah engkau pemaaf dan perintahkanlah orang mengerjakan yang ma‟ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”

Kata al-„urf dalam ayat tersebut, di mana umat umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh para Ulama Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.21

2. Firman Allah pada surah al-Baqarah (2): 233

19 Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari‟ah Mengenal Syari‟ah Islam Lebih Dalam, (Jakarta: Robbani Press, 2008), cet. 1, h. 260.

20 Yusuf Al Qardhawy, Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Penerjamah Bahruddin F, (Jakarta: Robbani Press, 1996), h. 27.

21 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 155. 35

وَعَلًَ الْمَىْلُىدِ لَهُ ّرِزْقُهُهَ وَكِسْىََُهُهَ بِالْمَعْرُوفِ الَ َُكَلَفُ وَفْسٌ إِالَ وُسْعَهَا ….

Artinya : “…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma‟ruf…”

Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kadar nafkah yang harus diberikan seorang ayah kepada para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu merujuk kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam satu masyarakat di mana ia berada. Dalam hal ini adat istiadat membantu seorang mufti untu menjelaskan pengertian ayat-ayat yang senada dengan itu.22

3. Firman Allah pada surah al-Baqarah (2): 180

       .           

   

Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika meninggalkan harta yang banyak untuk ibu bapak dan karib kerabatnya serta ma‟ruf.”

4. Sabda Nabi saw kepada Umar bin Khotob ketika ia mengadukan tentang

sebidang tanah yang didapatinya:

Dari Abdullah bin Umar berkata: Umar bin Khothob mendapatkan sebidang tanah di daerah Khoibar, maka beliau mendatangi Rasulullah seraya berkata: “Saya telah mendapatkan sebidang tanah yang selama ini saya belum pernah memiliki harta seberharga semacam ini, maka bagaimanakah perintahmu kepadaku? Maka Rasulullah bersabda: “Jika engkau mau, maka engkau tahan pokoknya lalu engkau shodaqohkan hasilnya.” Maka Umar pun menshodaqohkannya, namun tanah tersebut tidak boleh dijual, dihibahkan juga

22 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 158. 36

tidak boleh diwarisi, hasilnya dishodaqohkan untuk orang-orang faqir, kerabat dekat, budak, mujtahid, tamu dan musafir, tidak mengapa bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sedikit hasilnya atau memberi makan pada orang lain secara ma‟ruf serta bukan untuk memperkaya diri.” (HR. Bukhori 2772 Muslim 1632)23

5. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abdullah bin Mas‟ud:

أخبسّا أحَد بِ جعفس اىقطٞعٜ، ثْا عبد اهلل بِ أحَد بِ حْبو، حدثْٜ أبٜ ٗأحَد بِ ٍْٞع،

قاال: ثْا أب٘ بنس بِ عٞاش، ثْا عاطٌ، عِ شز، عِ عبد اهلل قاه : »ٍَا زَأَٙ اىَُْسْيََُُِ٘ حَسًَْا

فََُٖ٘ عِْْدَ اىئَِ حَسٌَِ(

Yang menunjukan bahwa hal-hal yang sudah berlaku menurut adat kaum muslimin dan dipandangnya baik adalah pula baik di sisi Allah.

6. Sabda Nabi saw kepada Hindun isteri Abi Sufyan ketika ia mengadukan

suaminya kepada Nabi bahwa suaminya bakhil member nafkah:

عَِْ عَائِشَتَ قَاىَجْ: جَاءَثْ ِْْٕدُ اٍْسَأَةُ أَبِٜ سُفَْٞاَُ إِىَٚ اىَْبِِٜ طَيَٚ اىئَُ عَيَِْٞٔ َٗسَيٌََ فَقَاىَجْ: إَُِ أَبَا

سُفَْٞاَُ زَجُوٌ شَحِٞحٌ، فََٖوْ عَيََٜ جَُْاحٌ أَُْ أُطِٞبَ ٍِِْ ٍَاىِِٔ، فَأُّْفِقَ عَيََٜ َٗعَيَٚ َٗىَدِٛ؟ فقَاهَ ىََٖا

َّبُِٜ اىئَِ طَيَٚ اىئَُ عَيَِْٞٔ َٗسَيٌََ: "ىَا حَسَجَ عَيَْٞلِ أَُْ حَأْخُرِٛ ٍِِْ ٍَاهِ أَبِٜ سُفَْٞاَُ فَخُْْفِقِِٞٔ عيٞل

ٗعيٚ ٗىدك باىَعسٗف"24

Artinya : Dari Aisyah sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit, dia tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku kecuali apa yang ambil saya sendiri tanpa sepengetahuannya, maka Rasulullah bersabda: “Ambillah yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma‟ruf.”

(Ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu menurut

„urf).

23 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih Islami, (t.t: Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 106.

24 Ibnu Hibban, al-Ihsanu fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban (Beirut: Muassasatu al- Risalah,1408 H/1988 M). Juz 10. h. 72. 37

Al Qurtuby mengomentari bahwa dalam hadis ini terdapat pengakuan terhadap

„urf dalam penetapan hukum.

7. Dilakukannya kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukan bahwa

dengan melakukannya, mereka akan memperoleh mashlahat atau terhindar

dari mafsadah.25

Dari berbagai kasus „urf yang dijumpai, para Ulama Ushul Fikih merumuskan kaidah-kaidah fikih yang berkaitan dengan „urf di antaranya adalah yang paling mendasar:

1. Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.

2. Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.

3. Yang lebih baik itu menjadi „urf sebagimana yang disyaratkan itu menjadi

syarat.

4. Yang ditetapkan melalui „urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat

dan atau hadits).26

D. Syarat-syarat ‘Urf

Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan.

Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung

25 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika: 2007), cet. 3, h. 78.

26 Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 216 38

(al-mudharabah). Praktik seperti ini sudah berkembang di kalangan bangsa Arab sebelum Islam, dan kemudian diakui oleh Islam sehingga menjadi hukum Islam.

Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan:27

1. Adat atau „urf itu dinilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini

telah merupakan kelaziman bagi adat atau „urf yang sahih, sebagai persyaratan

untuk diterima secara umum. Umpamanya tentang kebiasaan istri yang

ditinggal mati suaminya dibakar hidup bersama-sama pembakaran jenazah

suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu

kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal yang sehat. Demikian pula

tentang kebiasaan memakan ular.

2. Adat atau „urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang

berada dalam lingkungan adat itu, atau di kalangan sebagian besar warganya.

Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan:

اِ َّ ََاحَ عْ بِخَ سُ ادَاىعَ ةُ ذَاِ ااطَ دَسَ ثْ اِفَ ُْ ىَ ٌْ طََٝ سدُ يًفَ ا

Artinya : Sesungguhnya adat yang diperhatikan itu adalah yang berlaku secara umum. Seandainya kacau, maka tidak kan diperhitungkan.

Umpamanya kalau adat pembayaran resmi yang berlaku di suatu tempat

hanya satu jenis mata uang, umpamanya dollar Amerika, maka dalam satu

transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis

mata uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan tidak ada

27 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 156. 39

kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku. Tetapi bila di

tempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama berlaku (ini yang

dimaksud dengan kacau), maka dalam transaksi harus disebutkan jenis mata

uangnya.

3. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku)

pada saat itu bukan „urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti „urf itu harus

telah ada sebelum penetapan hukum. Kalau „urf itu datang kemudian, maka

tidak diperhitungkan. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan:

اىعُ سْ فُ اىَ رِئ حُ حْ ََ وُ يَعَ ْٞ ِٔ االَ ىْ فَ اظُ اِ َّ ََإُ َ٘اىَُ قَازِ ُُ ابِاىسَ قِ دُ ْٗ َُ اىَُ سِخَاَخَ

Artinya : „Urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan hukum) hanyalah yang datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang kemudian.

Dalam hal ini, Badran memberikan contoh: orang yang melakukan akad

nikah dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar

lunas atau dicicil, sedangkan adat yang berlaku waktu itu adalah melunasi

seluruh mahar. Kemudian adat di tempat itu mengalami perubahan, dan orang-

orang telah terbiasa mencicil mahar. Lalu muncul suatu kasus yang

menyebabkan terjadiya perselisihan antara suami istri tentang pembayaran

mahar tersebut.

4. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara‟ yang ada atau

bertentangan dengan prinsip yang pasti. Sebenarnya persyaratan ini hanya

menguatkan persyaratan penerimaan adat sahih, karena kalau adat itu

bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara‟ 40

yang pasti, maka ia termasuk adat yang fasid yang telah disepakati ulama

untuk menolaknya.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa „urf atau adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan Ulama atas adat itu bukanlah karena semata-mata ia bernama adat atau „urf atau adat itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri. Adat atau „urf itu menjadi dalil karena ada yang mendukung, atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijma‟ atau maslahat.

Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima sekian lama secara baik oleh umat. Bila semua ulama sudah mengamalkannya, berarti secara tidak langsung telah terjadi ijma‟ walaupun dalam keadaan sukuti.28

„Urf yang berlaku yang di tengah-tengah masyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat dan atau hadits) dan adakalanya bertentangan dengan dalil syara‟ lainnya. Dalam persoalan bertentangan „urf dengan nash, para ahli ushul fiqh memerincinya sebagai berikut:

1. Pertentangan „urf dengan nash yang bersifat khusus/ rinci.

Apabila pertentangan ‟urf dengan nash khusus menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka „urf tidak dapat diterima.

Misalnya, kebiasaan dizaman Jahilliyah dalam mengadopsi anak, di mana anak yang diadopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. „Urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima.

28 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 401.

41

2. Pertentangan „urf dengan nash yang bersifat umum.

Menurut Musthafa Ahmad al-Zarqa, apabila „urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara „urf al-lafdhi dengan „urf al-„amali. Apabila „urf tersebut adalah „urf al-lafdhi maka „urf bisa diterima, sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas „urf al-lafdhi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak ada indikator yang menunjukan bahwa nash umum itu tidak dapat dikhususkan oleh „urf. Misalnya, kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‟urf kecuali ada indikator yang menunjukan bahwa kata-kata yang itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.

Apabila „urf yang ada ketika datangnya nash yang bersifat umum itu adalah„urf al-„amali, maka terdapat perbedaan pendapat Ulama tentang kehujjahannya. Menurut Ulama Hanafiyyah, apabila „urf al-„amali itu bersifat umum, maka „urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang umum, karena pengkhususan nash tersebut tidak membuat nash itu tidak dapat diamalkan.

Pengkhususan itu, menurut Ulama Hanafi, hanya sebatas „urf al-„amali yang berlaku, di luar itu nash yang betsifat umum tersebut tetap berlaku. Misalnya, dalam sebuah riwayat Rasulullah, saw:

42

ََّٖٚ عَِْ بَْٞعَ ٍَاىَْٞسَ ىِيْاِ ّْسَاُِ َٗزَخِضَ فِْٜ اىسَيٌِِ

Artinya : Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki manusia dan memberi keringanan dalam jual beli pesanan. (HR. al-Bukhari dan Abu Daud)

Hadits Rasulullah ini, menurut Abu Yusuf, bersifat umum dan berlaku untuk seluruh bentuk jual beli yang barangnya belum ada; kecuali dalam jual beii pesanan. Termasuk dalam larangan ini adalah akad istitsna‟ (akad yang berkaitan dengan produk suatu industri). Akan tetapi, karena akad istitsna‟ ini telah menjadi

„urf dalam masyarakat diberbagai daerah, maka ijtihad para ahli fiqh termasuk

Jumhur Ulama membolehkannya sesuai dengan „urf yang berlaku. Akan tetapi

Imam al-Qarafi berpendapat bahwa „urf seperti ini tidak dapat mengkhususkan hukum umum yang dikandung nash tersebut.

1. „Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan

dengan „urf tersebut.

Apabila suatu „urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa „urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat‟amali (praktik), sekalipun ‟urf itu bersifat umum, tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara‟, karena keberadaan „urf ini muncul ketika nash syara‟ telah menentukan hukum secara umum.

Apabila ada „urf yang datang setelah ada nash umum dan „urf itu bertentangan dengan nash tersebut, seakan-akan „urf itu men-naskh-kan

(membatalkan) nash; sedangkan „urf tidak bisa men-naskh-kan nash. Dalam 43

masalah ini para ulama fikih mengatakan. “‟urf yang datang kemudian dari nash tidak bisa dijadikan patokan.”

Akan tetapi, apabila „illat suatu nash syara‟ adalah „urf itu sendiri, dalam arti turunnya nash didasarkan atas „urf al-„amali sekalipun „urf itu baru tercipta maka ketika „illatnash itu hilang, hukumnya pun berubah. Dengan demikian, apabila „urf yang menjadi „illat hukum yang dikandung nash itu berubah, maka hukumnya pun berubah. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf. Misalnya, dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika diminta izinnya untuk dikawinkan oleh wali adalah diamnya. Artinya, apabila ayah anak perawan itu mengatakan, “Saya akan menikahkan engkau dengan Fulan,” lalu anak itu diam saja, maka diamnya ini menunjukan kerelaannya, karena sudah menjadi tabiat wanita yang suka merasa malu untuk menyatakan kehendak mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman, para wanita tidak malu lagi untuk menyatakan kehendaknya untuk kawin dengan seseorang kepada ayahnya.29

Diterimanya „urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas lagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, di samping banyak masalah- masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh mujtahid berdasarkan „urf, akan berubah bilamana „urf itu berubah. Inilah yang dimaksud oleh para Ulama, antara lain Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H)

29 Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 217. 44

bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktudan tempat.30

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaedah ini menurut istilah para Ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan „urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar‟i apabila tidak terdapat nash syar‟i atau lafadz shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.

Berkata Syaikh As Sa‟di dalam al Qawa‟id Al Jami‟ah hal: 35: “‟urf dan adat kebiasaan dijadikan rujukan dalam semua hukum syar‟i yang belum ada ketentuannya.”31 Oleh sebab itu, seluruh Ulama mazhab menjadikan „urf sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ketika nash yang menentukan hukum tersebut tidak ada. Bahkan dalam pertentangan „urf dengan metode ijtihad lainnya, para

Ulama mazhab juga menerima „urf sekalipun kuantitas penerimaan tersebut berbeda. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah menetapkan konsep „urf secara jelas, tetapi Ulama Syafi‟iyyah dan Hanabillah tidak demikian.

Ungkapan para Ulama bahwa:

حَغِْٞسٌاالَحْنَاًِ بِخَغِْٞسِاالَشٍَِْْتِ َٗاىْاٍَْنَِْت32ِ

Artinya : Perubahan hukum bisa terjadi berdasarkan perubahan zaman dan tempat.

Ungkapan tersebut hanya berlaku dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan adat kebiasaan manusia dan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan

30 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 157.

31 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih Islami, (t.tp, Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 105.

32Ahmad al-Hajj al-Kurdy, Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah, (Damaskus: Dar al-Ma‟rif li al-TIba‟ah, 1979), h. 62. 45

ijtihad, sperti qiyas, istihsan, dan mashlahah mursalah. Adapun hukum-hukum yang bersifat mendasar dan ditetapkan dengan dalil qath‟i, tidak berubah karena perubahan tempat dan zaman, seperti hukum shalat, zakat, jihad, dan haramnya riba.33

E. Pandangan Ulama tentang ‘Urf

Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut berbagai macam agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup. Ketika agama Islam datang, agama baru ini pun membawa pembaruan di bidang akhlak, hukum, dan peraturan-peraturan tentang hidup. Faktor alam merupakan satu hal yang dapat mempengaruhi kehidupan beragama pada suatu bangsa. Kebudayaan mereka yang paling menonjol adalah bidang sastra bahasa Arab, khususnya syair Arab.

Negeri Yaman adalah tempat tumbuh kebudayaan yang amat penting yang pernah berkembang di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Bangsa Arab termasuk bangsa yang memiliki rasa seni yang tinggi. Salah satu buktinya ialah bahwa seni bahasa Arab (ayair) merupakan suatu seni yang paling indah yang amat dihargai dan dimuliakan oleh bangsa tersebut.34

Pada masa Rasululah SAW, persoalan pada kapasitas masa itu direspon berdasar wahyu sebagai rujukan umat dan kondisi masyarakat relatif stabil. Pada masa Kibar sahabat, Shigar sahabat kemudian tabi‟in dan seterusnya persoalan yang muncul semakin bervariasi seiring dengan perjalanan waktu dari generasi ke generasi. Dan sungguhpun persoalan-persoalan tersebut bermunculan dengan

33 Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 223.

34 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Al Husna Zikra, 1997), cet. 9, h. 29. 46

berbagai formatnya, akan tetapi syari‟ah dalam hal ini fikih tetap eksis dan mampu menghadapi sebagai “sparing partnernya”.35

Lahirnya sejumlah mazhab hukum dengan berbagai corak dan perbedaan cara dalam melakukan istinbath hukum, merupakan hal yang tidak bisa diingkari.

Karena, terjadinya perbedaan dalam berbagai produk hukum adalah berakar dari perbedaan cara atau metode yang ditempuh oleh para tokoh mazhab dalam melakukan istinbath.36

Kuatnya intervesi kultur dan kebiasaan masyarakat terhadap seorang mujtahid ketika melakukan penggalian hukum, menyebabkan Imam Malik harus banyak membangun basis hukumya berdasarkan kebiasaan-kebiasaan penduduk

Madinah. Abu Hanifah terpaksa harus banyak berbeda pendapat dengan murid- muridnya, karena mereka dipisahkan oleh tempat dan tradisi yang berbeda. Imam al-Syafi‟I ketika menuju ke Mesir melihat realitas masyarakat, yang kebiasaan serta tradisinya berdeda dengan yang ia temui sebelumnya, maka ia harus segera merubah sebagian besar hukum-hukum yang ia cetuskan di Baghdad, Irak.37

Para Ulama sepakat menolak „urf fasid (adat kebiasaan yang salah) untuk dijadikan landasan hukum.38 Pada dasarnya, semua ulama menyepakati kedudukan al-„urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara‟. Akan tetapi, di antara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya

35 Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu Kencana, 2003), h. 1.

36 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.10.

37 Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), h. 168.

38 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 155. 47

sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah yang paling banyak menggunakan al-„urf sebagai dalil, dibandingkan dengan ulama

Syafi‟iyyah dan Hanabilah.

Ulama Hanafiyyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsan itu adalah itihsan al-„urf (istihsan yang menyandarkan pada „urf).

Oleh ulama Hanafiyyah, „urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti „urf itu men-takhsis umum nash.

Contoh dalam hal ini adalah tentang jual beli lebah dan ulat sutra. Imam

Abu Hanafi pada awalnya menetapkan haramnya menjual lebah dan alat sutra dengan menggunakan dalil qiyas, yaitu meng-qiyas-kannya kepada kodok dengan alasan sama-sama “hama tanah”. Namun kemudian terlihat bahwa kedua serangga itu ada manfaatnya dan telah terbiasa orang untuk memeliharanya (sehingga telah menjadi „urf). Atas dasar ini muridnya, yaitu Muhammad ibn Hasan al-Syaibani membolehkan jual beli ulat sutra dan lebah tersebut, berdasarkan „urf.

Ulama Malikiyyah menjadikan „urf atau tradisi yang hidup di kalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ahad.

Ulama Syafi‟iyyah banyak menggunakan „urf dalam hal-hal tidak menemukan ketentuan batasannya dalam syara‟ maupun dalam penggunaan bahasa. Mereka mengemukakan kaidah sebagai berikut:

وُمُ ٍَاَٗ ِٔبِدَزَ اىشَسْعُ ٍُطَيَقًاَٗىَاضَابِطَ ىَُٔ فِِْٞٔ َٗىَافِئ اىيُغَتِ َٝسْجِعُ فِِْٞٔ اِىَئ اىعُسْفِ

Artinya : Setiap yang datang dengannya syara‟ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara‟ maupun dalam bahasa, maka dikembalikan kepada „urf.

48

Contoh dalam hal ini, umpamanya menentukan arti dan batasan tentang tempat simpanan dalam hal pencurian, arti berpisah dalam khiyar majelis, waktu dan kadar haid, dan lain-lain. Adanya qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi‟i di Irak, dan qaul jadid (pendapat baru)-nya di Mesir, menunjukan diperhatikannya

„urf dalam istinbath hukum di kalangan Syafi‟iyyah

Dalam menanggapi adanya penggunaan „urf dalam fiqh, al-Suyuthi mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah:

اَىْعَاَدَةُ ٍُحَنَََت39

Artinya : Adat („urf) itu menjadi pertimbangan hukum.

Alasan para ulama mengenai penggunaan (penerimaan) mereka terhadap

„urf tersebut adalah hadis yang berasal dari Abdullah ibn Mas‟ud yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya yaitu:

ٍَازَآُ اىَُْسْيََُُِْ٘ حَسًَْافََُٖ٘عِْْدَاهللِ حَسٌَِ

Artinya : Apa-apa yang dilihat oleh umat Islam sebagai suatu yang baik, maka yang demikian di sisi Allah adalah baik. (HR. Ahmad)

Di samping itu adalah pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang banyak), dalam arti orang banyak akan mengalami kesulitan bila tidak menggunakan „urf tersebut. Bahkan ulama menempatkannya sebagai “syarat yang disyaratkan”.

اىََعْسُْٗفٌ عُسْفٌ مَا ىشُسُْٗطِ شَسْطًا40

Artinya : Sesuatu yang berlaku secara „urf adalah seperti suatu yang telah disyaratkan.

39 Taj al-Din Abd al-Wahab al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadzair JIlid 1, (Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, 1991), h. 50.

40 Abdul Karim Zidan, al-wajiz fil usulil fiqh, (Baghdad: Maktabh batsair, 1976), h. 255 49

Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan kepada „urf, maka kekuatannya menyamai hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.41

F. Contoh-contoh ‘Urf yang sudah teradopsi di Indonesia

Keberadaan suatu kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat dan dengan demikian kehadiran syari‟at dalam hal ini hukum Islam (fikih) tidak serta merta menggantikan posisi kebudayaan yang telah melekat pada masyarakat. Di dalam masyarakat yang sangat kental dengan nilai-nilai budayanya sangat sulit untuk diterapkan nilai-nilai agama terutama sudut fikihnya.

Beberapa contoh kebiasaan yang tidak baik timbul dalam masyarakat antara lain:

a. Masalah pembagian harta warisan pada daerah tertentu

b. Upacara sesajen untuk keselamatan dan berkah

c. Budaya dangdutan yang dipaksakan demi kehormatan sampai-sampai

menghutang untuk resepsi pernikahan

d. Budaya tukar cincin sebelum sebelum khitbah (lamaran) yang dianggap

telah sah bergaul bebas, dan lain-lain42

Selain itu juga, pembidangan hukum Islam itu sejalan dengan perkembangan pranata sosial, sebagai norma yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan individual dan kolektif. Oleh karena itu, semakin beragam kebutuhan hidup manusia dan semakin beragam pranata sosial, maka semakin berkembang pula pemikiran fuqaha dan pembidangan hukum Islam

41 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 399.

42 Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu Kencana, 2003), h. 27. 50

pun mengalami perkembangan. Hal itu menunjukan, terdapat korelasi positif antara perkembangan pranata social dengan pemikiran ulama secara sistematis.43

Adapun contoh adat kebiasaan yang berlaku secara umum dan dijalankan oleh masyarakat, selama tidak bertentangan dengan syar‟i maka bisa dijadikan hujjah, misalnya:

1. Apabila seseorang diberikan hadiah berupa makanan yang diletakkan di

atas piring (misalnya), maka ia wajib mengembalikan piring tersebut

(apabila menurut kebiasaan yang berlaku secara umum, piring tersebut

harus dikembalikan).

2. Apabila seseorang disewa tenaganya untuk bekerja harian di kebun atau di

sawah, maka ketentuan lamanya kerja sehari itu, dikembalikan keapada

kebiasaan yang berlaku dimasyarakat.44

Fikih telah dipandang sebagai identik dengan hukum Islam dan wahyu, ketimbang sebagai produk pikiran manusia dan produk sejarah. Fikih telah dipandang sebagai ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal ketimbang sebagai ekspresi keragaman yang particular. Fikih telah mewakili hukum dalam bentuk cita-cita ketimbang sebagai respon atau refleksi kenyataan yang ada secara realis.45

43 Taufiq dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Logos, 1998), h. 115.

44 Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), h. 178.

45 M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998), h. 101. 51

Untuk melihat bagaimana aplikasi teori penalaran fikih yang ditempuh oleh ulama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul, salah satu caranya adalah dengan menelisik berbagai produk pemikiran hukum yang dikeluarkan oleh para ulama, khususnya fatwa hukum mereka.46

Untuk melihat pengaruh factor social budaya terhadap ulama, baiklah kita lihat kasus Indonesia modern dalam hal ini fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia

(MUI). Sejak berdirinya pada tahun 1975 hingga tahun 1988, MUI telah mengeluarkan lebih dari 38 buah fatwa yang isinya mencakup banyak bidang kehidupan: Ibadah, perkawinan dan keluarga, makanan, kebudayaan, soal hubungan antar agama, soal-soal kedokteran, keluarga berencana, soal gerakan sempalan, dll. Beberapa diantara fatwa itu akan kita sebut di bawah ini.

Fatwa MUI tentang keluarga berencana khususnya tentang kebolehan menggunakan IUD (spiral) dalam ber-KB, juga memperlihatkan bagaimana faktor social budaya telah berpengaruh terhadap produk pemikiran hukum Islam. Bahkan untuk ini MUI berani membatalkan fatwa ulama sebelumnya yang mengharamkan penggunaan IUD. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1971 sejumlah ulama terkemuka Indonesia mengeluarkan fatwa tentang haramnya penggunaan IUD dalam KB karena pemasangannya menyangkut penglihatan aurat wanita.

Kemudian pada tahun 1983 MUI membatalkan fatwa ulama tahun 1971 itu dan menyatakan bahwa IUD boleh dipakai dalam KB asalkan pemasangannya dilakukan oleh dokter wanita atau dokter laki-laki dengan disaksikan oleh si suami. Meskipun untuk fatwanya itu MUI mempunyai alasan-alasan metodologis

46 M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Cipayung Ciputat: Gaung Persada Press Jakarta, 2007), h. 147. 52

tersendiri misalnya dengan mengatakan bahwa pengharaman melihat aurat wanita itu bukan karena zatnya tetapi karena lisaddiz zara‟i.47

Selanjutnya, contoh lain adalah banyaknya jenis makanan yang menggunakan bahan pengawet agar, selalu tahan lama sehingga dapat diekspor keluar negeri. Dari segi kebersihan dan kesehatan, makanan tersebut sudah tentu dapat dipertanggung jawabkan. Namun yang perlu dipersoalkan adalah dari bahan apa ia dibuat. Melihat realitas ini, maka Majelis Ulama mengadakan kajian yang berkaitan dengan status hukum memakan makanan yang menggunakan bahan pengawet (corned beaf) tersebut. Dari hasil kajian itu, Majelis Ulama mengeluarkan sebuah fatwa yang menyatakan bahwa: apabila makanan yang menggunakan bahan pengawet itu jenis buah-buahan atau sayur-sayuran ataupun terbuat dari ikan maka ia halal dimakan, karena ia bersumber dari bahan yang halal, kecuali bahan pengawetnya itu dicampuri dengan benda najis maka ia haram dimakan.

Untuk mengetahui hal tersebut dapat diteliti berdasarkan keterangan atau lebel (mark) yang ada pada tempat atau kemasannya, misalnya corned beaf

(daging sapi yang diawetkan). Seiring denga fatwa ini, Majelis Ulama memutuskan agar semua produk makanan kemasan, harus memeri label “halal” bagi orang Islam.48

47 M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998), h. 124.

48 M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Cipayung Ciputat: Gaung Persada Press Jakarta, 2007), h. 169. BAB III

PRAKTEK DAN KECENDERUNGAN ADAT BETAWI YANG

MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN

DI KALANGAN MASYARAKAT

A. Kondisi Umum pada Masyarakat Kampung Pisangan

Penelitian ini berlokasi di Kampung Pisangan yang merupakan berada dalam wilayah Kelurahan Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, kotamadya Jakarta

Selatan. Untuk lebih mengetahui keadaan dan potensi kampung yang dijadikan objek penelitian, maka peneliti akan menggambarkan secara garis besar keadaan kampung berdasarkan data-data yang diperoleh.

Secara Administrasi letak Kampung Pisangan berada dalam wilayah

Kelurahan Ragunan. Kemudian teritorial Kelurahan Ragunan dibatasi dengan batas-batas sebagai berikut:

1. Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Cilandak KKO di Kelurahan

Cilandak KKO

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Sagu di Kelurahan Jagakarsa

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Jalan Kebagusan Raya di Kelurahan

Jagakarsa

4. Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Pejaten Barat di Kelurahan Pejaten

Barat

Dilihat dari iklim yang ada di Kampung Pisangan mempunyai iklim tropis yang terbagi menjadi dua bagian yaitu musim penghujan dan musim kemarau.

Dalam kondisi normal musim kemarau terjadi pada bulan Maret sampai dengan

53 54

bulan Agustus sedangkan untuk musim penghujan terjadi pada bulan September sampai dengan Febuari.

Adapun Kampung Pisangan hanya terdapat pada 1 rukun warga yang kemudian disebut sebagai (RW) dan 11 rukun tetangga yang kemudian disebut sebagai (RT). Dlihat dari jumlah warga per-RT tahun ini.

No. RW/ RT JUMLAH

1. Rw. 4 / Rt. 1 1.050 Penduduk

2. Rw. 4 / Rt. 2 463 Penduduk

3. Rw. 4 / Rt. 3 802 Penduduk

4. Rw. 4 / Rt. 4 280 Penduduk

5. Rw. 4 / Rt. 5 547 Penduduk

6. Rw. 4 / Rt. 6 489 Penduduk

7. Rw. 4 / Rt. 7 388 Penduduk

8. Rw. 4 / Rt. 8 726 Penduduk

9. Rw. 4 / Rt. 9 219 Penduduk

10. Rw. 4 / Rt. 10 298 penduduk

11. Rw. 4 / Rt. 11 531 penduduk

Sumber data: Kelurahan Ragunan tahun 2015

Sistem administrasi Kelurahan Ragunan cukup baik dan teratur. Ini dapat dilihat dari lengkapnya para staf kelurahan yang ada, hal ini terbukti dari ketertiban pelayanan kepada masyarakat di Kelurahan Ragunan. Seperti dalam pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Surat 55

Keterangan Tidak Mampu (SKTM), dan macam-macam surat lainnya yang dibutuhkan masyarakat.

B. Sejarah Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan

Keberadaan tradisi di Indonesia ini merupakan sudah hal biasa. Selain menjadi kebiasaan, juga menjadi ciri khas di beberapa wilayah yang ada di

Indonesia dengan maksud membedakan tradisi yang satu dengan tradisi yang lain atau sebagai karya seni. Adapun contohnya seperti Roti Buaya yang menjadi tradisi Betawi dalam seserahan pernikahan.

Yahya Andi Saputra adalah salah satu tokoh budayawan yang memulai kecintaannya pada kesenian Betawi sejak masih anak-anak. Meski masih berusia

Sembilan tahun dan bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Al-Hurriyah, ini sudah ikut pementasan lenong. Beliau menamatkan studi pada Jurusan Sejarah, Fakultas

Sastra (kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya), Universitas Indonesia, tahun

1988. Jiwa seninya kian menggelegak saat remaja. Mulai menulis puisi, cerpen, resensi maupun opini sejak SMA.

Tulisannya pernah dipublikasikan Media Indonesia, Bisnis Indonesia,

Republika, Pelita, Majalah Panji Masyarakat, Jurnal Puisi, dan lain-lain.

Sebelumnya pernah menjadi redaksi Majalah Kita Sama Kita dan Tabloid Bens, majalah FUHAB, dan majalah Jembatan. Ia pun aktivis Lembaga Kebudayaan

Betawi (LKB), Ketua Umum Badan Pemberdayaan Budaya Betawi (BPBB), dan

Ketua Bidang Pariwisata dan Kebudayaan DPD Forkabi Jakarta Selatan.1

1http://kampungbetawi.com/gerobog/dedengkot-2/yahya-andi-saputra/ diakses pada 29 Juni 2015 56

Spirit kebetawian yang dimilikinya dari waktu ke waktu kian membesar dan hal itu dipelihara serta dipupuknya dengan baik. Baginya tradisi roti buaya merupakan sebuah kewajiban yang dijadikan sebagai salah satu syarat bagi calon pengantin pria yang harus menghidangkan di dalam seserahan pernikahan adat

Betawi yang hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat Betawi dan sudah berlangsung sejak lama karena tidak tahu jelas kapan datangnya tradisi roti buaya ini. Bahkan, terasa kurang lengkap apabila dalam seserahan pernikahan adat

Betawi tidak ada roti buaya. Pembahasan tentang siapa yang menciptakan tradisi roti buaya ini tidak ada yang tahu, yang jelas tradisi roti buaya ini milik masyrakat

Betawi.

Di masa lalu, tradisi ini pada mulanya buaya adalah sebuah simbol dimana dalam cerita rakyat Betawi dikenal dengan buaya siluman. Entah yang dimaksud buaya merah, buaya buntung, ataupun buaya putih.

Buaya-buaya siluman ini oleh masyrakat Betawi dianggap pemelihara atau penunggu sebuah entuk.2 Dalam Bahasa Betawi kuno entuk diartikan sebagai sumber mata air. Maka pada zaman dahulu kalau ada kegiatan masyarakat yang mengganggu seperti kebersihan, keasrian, keindahan entuk itu akan mendapat sanksi. Contohnya seperti “kalau lewat situ yang ada sumber mata airnya harus mengucapkan numpang-numpang karena di situ ada makhluk penjaganya”.

Adapun sumber mata air itu adalah sumber kehidupan manusia, kalau kamu membuang sampah maka akan mendapat ketulah. Di mana dalam Bahasa Betawi

2 Entuk adalah Bahasa Kuno yang ada di Betawi zaman dahulu yang diartikan sebagai sumber mata air. 57

kuno ketulah itu artinya karma atau akibat tindakan, sikap, perilaku yang ada dihari lampau.

Selanjutnya, karena si buaya itu sudah menunggu sumber kehidupan masyarakat yaitu sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu dimanfaatkan sebagai simbol kehidupan. Adapun pemanfaatannya digunakan dalam acara pernikahan tepatnya pada saat seserahan dari pihak calon pengantin pria terhadap pihak calon pengantin wanita.

Perkawinan itu sendiri adalah bagian salah satu siklus kehidupan yaitu suatu rangkaian aktivitas secara alami yang dialami oleh individu-individu dalam populasi berkaitan dengan perubahan tahap-tahap dalam kehidupan. Seperti manusia yang bertujuan menciptakan, melanjutkan kehidupan yang baru.

Perkawinan atau pernikahan juga bukan sekedar yang berarti ingin melampiaskan nafsu biologis atau menghalalkan bersenang-senangnya antara laki- laki dan perempuan, tetapi dengan memiliki tujuan yaitu melanjutkan generasi yang baru. Maka dari itu masyarakat Betawi mengwajibkan adanya dalam seserahan pernikahan sebagai simbol melanjutkan kehidupan yang baru.

Adapun zaman sekarang masyarakat sudah menggunakan roti sedangkan, dahulu istilah roti buaya ini bukan dikenal dari rotinya melainkan buayanya.

Karena dahulu, belum menggunakan roti tetapi dari kayu, daun kelapa atau semacamnya yang dapat dibentuk menjadi buaya. Dimana buayanya itu sendiri dipajang di depan rumah yang menandakan bahwa si wanita sudah dinikahi oleh pria lain. 58

Roti itu sendiri ada pada saat pemerintahan kolonel Belanda memiliki alat untuk membuat roti yang dapat dibentuk dengan berbagai macam sesuai keinginan. Sejak saat itulah yang kemudian masyarakat Betawi memanfaatkan tekhnologi tersebut menjadi roti berbentuk buaya yang digunakan dalam seserahan pernikahan. Semakin majunya tekhnologi sekarang ini roti buaya bisa dikemas dalam berbagai rasa, sebab dahulu hanya terasa tawar pada roti tersebut.

Bentuknya pun, dua sepasang buaya.

Karena, dahulunya roti buaya itu hanya untuk dipajang depan rumah sebagai simbol melanjutkan kehidupan yang baru. Oleh agama Islam, mendapat pertentangan karena dianggap mubazir yaitu sifat pemborosan atau hal-hal yang berlebihan dimana itu termasuk perbuatan tercela dalam agama. Makanya sekarang roti tersebut dipotong-potong dan dapat dibagi-bagi dengan sanak saudara.

Secara mekanisme ia tidak memiliki cara-cara tertentu dalam penyerahan roti buaya tersebut.Karena, itu hanya orang-orang tertentu saja yang ingin ada roti buaya dalam seserahan pernikahannya. 3

C. Opini masyarakat terhadap roti buaya dalam seserahan pernikahan

Terjadinya roti buaya dalam seserahan pernikahan merupakan adat kebiasaan masyarakat Betawi yang sudah ada sejak zaman dahulu. Roti buaya ini merupakan lambang setia yaitu yang menunjukan bahwa seumur hidup itu hanya menikah sekali.

3 Wawancara Pribadi dengan Bapak Yahya Andi Saputra. Jakarta, 29 Juni 2015. 59

Dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan maka ini merupakan bagian dari mempertahankan adat istiadat Betawi. Sehingga adat kebudayaan Betawi tetap terjaga dan terlestari.4

Sedangkan menurut warga lainnya memiliki pandangan juga bahwa roti buaya itu hanya beberapa yang menyertakan dalam pernikahannya atau dengan kata lain yang mampu karena adapun jumlah harga yang diperlukan untuk membeli roti buaya cukup mahal. Sehingga tak semua warga Betawi meyertakan ke dalam seserahan pernikahannya.5

Adapun, mitos yang mengatakan roti buaya itu lambang setia yaitu yang membuktikan bahwa dari pihak calon pengantin pria menunjukan hanya nikah sekali dalam seumur hidup. Itu tidak semuanya mempercayai ada yang percaya memang setia, ada yang percaya tidak percaya, dan ada juga yang tidak percaya dengan mitos tersebut.

4 Wawancara Pribadi dengan Ibu Hanisah. Jakarta, 12 April 2015.

5 Wawancara Pribadi dengan Ibu Tika. Jakarta, 12 April 2015. BAB IV

ANALISIS HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI

BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM

ISLAM

A. Pandangan Ulama Tentang Hukum Adat Betawi yang Menggunakan

Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan

Sesungguhnya agama Islam ini sudah sempurna dan sudah cukup sebagai pedoman hidup manusia di dunia. Sebab Allah, telah menerangkan kepada umat manusia kadah-kaidah agama dan kesempurnaannya yang meliputi segala aspek kehidupan. Firman Allah dalam Q.S Al-Maidah (5) 3:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُنْ دِينَكُنْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُنْ نِعْمَتِيوَرَضِيتُ لَكُنُ اْإلِسْالَمَ دِينًا

Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.

Ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa agama Islam itu telah sempurana dan tidak memerlukan tambahan secara pengurangan sedikitpun juga.

Apapun bentuk atau alasannya dari tambahan-tambahan tersebut meskipun disangka baik oleh sebagian manusia, atau dari siapa saja datangnya meskipun dianggap besar oleh sebagian manusia, adalah satu perkara yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, tetapi sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya.

Dan pelakunya secara tidak langsung telah menbantah firman Allah di atas dan telah menuduh Rasulullah berkhianat dalam menyampaikan risalah.1

1 M. Irfan Juliansah, “Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 1.

60 61

Kebudayaan yang merupakan hasil budi daya manusia adalah suatu adat kebiasaan yang sudah melekat pada satu masyarakat, sehingga masyarakat tidak dipengaruhi oleh adat kebiasaan lain. Dihubungkan dengan fikih, struktur dan pola budaya masyarakat saling terkait satu sama lainnya. Masyarakat yang pluralis akan berbenturan dalam penetapan aspek hukumnya, terutama dari sisi hukum

Islam (fikih).2

Rasanya tak perlu diperpanjang kalam tentang bagaimana para ulama fikih dipengaruhi factor lingkungan sosial budaya dalam menghasilkan karya fikih mereka. Bukti yang paling banyak dikenal masyarakat adalah riwayat tentang bagimana Imam Syafi‟i mempunyai qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid

(pendapat baru). Pendapat lama diberikan ketika beliau berada di Baghdad dan pendapat baru dikemukakan ketika beliau telah pindah ke Mesir. Puluhan bahkan mungkin juga ratusan pendapat lama Imam syafi‟i diubah dan diganti dengan pendapat baru yang lebih sesuai dengan lingkungan social budaya barunya itu.

Kalau kita membaca kitab Fiqh Mahalli, misalnya, kita akan berjumpa dengan sejumlah kenyataan tentang qaul qadim dan qaul jadid.

Kita juga mengenal dalam tarikh tasyri’ bagaimana ulama ahl ar-ra’yi dan ahl al-hadis berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama ahl ar-ra’yi dengan pelopornya Imam Abu Hanifah berkembang di Kota Kuffah dan

Baghdad yang metropolitan sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah persoalan baru yang muncul akibat kompleksitas kehidupan kota. Ditambah dengan kenyataan bahwa Baghdad terletak jauh dari pusat kota hadis yaitu

2 Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu Kencana, 2003), h. 27. 62

Madinah, maka Imam Abu Hanifah dan para muridnya menulis kitab-kitab fikih yang lebih mendasarkan kepada ra’yu (akal) daripada hadis yang tidak mansyhur dalam hal tidak ada nash al-Qur‟an. Sebaliknya Imam Malik bin Anas yang hidup di Madinah yang tingkat kompleksitas hidup masyarakatnya lebih sederhana dan ditambah kenyataan banyaknya hadis-hadis yang beredar di kota-kota itu, cenderung banyak menggunakan hadis ketimbang rasio atau akal.3

Islam merupakan agama yang amat mengedepankan kemaslahatan.

Sebagai al-din (way of life) yang datang dari Allah, pencipta manusia, tentunya syariah Islam yang diturunkan-Nya memperhatikan keperluan dan maslahat kehidupan manusia dan seluruh makhluknya. Dalam merealisasikan pelaksanaan syariah Islam ini, para ulama dan cendikiawan muslim memainkan peranan yang amat penting agar ajaran Islam itu benar-benar dapat dilaksanakan sebagaimana yang dikehendaki oleh pencipta syariah tersebut. Sebab semua tindakan manusia dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik di dunia ini, harus tunduk kepada

Allah dan Rasul-Nya, kehendak Allah dan Rasul itu sebagian tertulis dalam kitab-

Nya yang disebut syariah, sedangkan sebagian besar lainnya tersimpan dibalik apa yang tertulis itu. Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah laku manusia itu memerlukan pemahaman yang intens tentang syariah sehingga secara amaliah syariah tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan manusia.

Di zaman modern ini, yang dicirikan dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, tampak kemaslahatan manusia terus berkembang dan

3M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998), h. 107. 63

meningkat seiring dengan urgensitasnya, tidak terbatas jenis dan kuantitasnya, mengikuti situasi dan ekologi masyarakat. Hal itu dapat membawa dinamisasi dalam aplikasi syariah Islam. Sebab diferensiasi waktu, tempat, dan lingkungan dapat memberi pengaruh yang sangat besar terhadap syariah (hukum-hukum)

Islam. Suatu kaedah menegaskan bahwa “Fatwa hukum itu berubah karena perubahan waktu, tempat, keadaan tradisi dan niat.”4

Salah satu peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan manusia dalam berbagai suku adalah masalah pernikahan, karena pernikahan merupakan suatu sistem sosial yang tidak hanya menyangkut dua manusia yang berkepentingan saja tetapi juga menyangkut orang tua, kerabat, dan masyarakat.5

Roti buaya adalah model roti yang dibentuk menyerupai buaya yang memiliki ekor, badan, kepala, gigi, dan taring.6 Ia juga merupakan simbolik yang dijadikan adat istiadat oleh orang Betawi. Filosofinya dari binatang buaya ini ialah ia termasuk binatang yang tahan dan kuat, maka karena itu menurut orang Betawi dengan simbol tersebut diharapkan sang calon pengantin laki-laki memiliki sifat yang kuat dalam hal mencari nafkah kemudian juga kuat secara fisik dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Adapun dari sisi calon pengantin perempuan mengharapkan terhadap calon pengantin laki-laki yang akan menjadi suaminya memiliki sifat yang setia dan tidak berkhianat.7 Selanjutnya, binatang

4 M. Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), cet. 1, h. 1.

5 Suryowingjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), h. 122.

6 Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.

7 Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil. Jakarta, 7 Oktober 2015. 64

buaya juga termasuk binatang yang memiliki sifat yang liar, dengan adanya sang buaya betina maka sang buaya jantan lebih terarah hidupnya. 8

Adapun roti buaya tersebut diserahkan pada saat seserahan. Selain itu juga dilengkapi dengan pakaian, peralatan dapur, uang, permata, salah satu yang diserahkan adalah roti buaya. Semua peralatan itu dibawa oleh pihak calon mempelai laki-laki secara beriringan dan terbuka, sehingga orang-orang dapat melihatnya dan mengetahuinya barang-barang apasaja yang dibawanya, semakin banyak barang bawaannya, maka pihak calon mempelai laki-laki akan semakin meningkat pula derajatnya dimata masyarakat.9

Filosofi yang lain mengatakan buaya itu simbol dari kesetiaan, maka itu maksud dari si calon pengantin laki-laki siap mengorbankan untuk menjaga anak- anaknya, ketika calon pengantin dari pihak laki-laki menyerahkan roti yang dibentuk serupa dengan buaya itu sebenarnya tidak lain ingin mengatakan ketika nanti sudah menikahi, ia tidak hanya siap menjadi suami tetapi juga bertanggung jawab dalam hal melindungi, mengamankan, menjaga, merawat istri dan anak- anak seperti bagaimana buaya melindungi telurnya, anaknya, dan lain-lain.

Dari sisi lain yaitu ketika laki-laki yang memberikan roti buaya itu selain menggambarkan seserahan juga sebagai gambaran siap menjaga istrinya sampai menutup usia. Meskipun, faktanya orang-orang Betawi yang uangnya banyak istrinya tidak hanya satu, bahkan dua, tiga, empat. Memberikan roti buaya itu

8 Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhammad Ishak. Jakarta, 7 Oktober 2015.

9 Andy Pathoni, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan dan Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi (Studi Kasus di Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 49. 65

mengingatkan saja bahwa ia pernah janji hanya memiliki satu istri saja dengan kesetiaannya. Dengan maksud menahan diri saja.10

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Stacey Lance sebanyak selama 10 tahun hasil yang didapatkannya bahwa jumlah dari 70% binatang buaya yang berjenis kelamin betina akan terus kawin dengan binatang buaya yang berjenis kelamin jantan yang sama saat musim kawin tiba. Maka, hal ini yang dijadikan sebagai ikon oleh masyarakat Betawi dalam hal pernikahan tepatnya pada bawaan-bawaan seserahan. Jika ada seorang pria yang akan menikah diharuskan membawa roti buaya, dengan filosofinya adalah bahwa pengantin laki- laki akan selalu setia dengan pengantin perempuannya.11

Dalam hukum islam tidak ada ketentuan yang harusmenggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan. Di dalam kaidah ushul fikih yaitu yang berbunyi:

دَا لعَا ةُ مُ مَكَحَ ةٌ

Artinya : “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat menjadi hukum.”

Oleh karena itu, tradisi yang sudah menjadi kebiasaan orang Betawi.

Maka, bisa menjadi hukum terhadap orang Betawi. Secara hukum Islam roti buaya tidak menduduki hukum sebagai kewajiban ataupun, hukum sunnah.

Tetapi, karena hukum beredar sesuai zamannya. Apabila, adat istiadat tersebut

10 Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Jakarta, 7 Oktober 2015.

11 Kusnendar, “Hewan yang Setia dengan Pasangannya”, Artikel diakses pada 13 Oktober 2015 dari http://www.kusnendar.web.id/2013/09/hewan-yang-setia-dengan-pasangannya.html 66

tidak diberlakukan mengakibatkan ketidak harmonisan atau adanya pembicaraan di luar. Maka bisa menjadi kewajiban, tetapi bagi yang mampu.

Bagi masyarakat Betawi dalam mengaitkan simbol buaya yaitu adanya pelajaran-pelajaran berharga yang dapat diambil. Jadi dengan membawakan roti buaya ini sekaligus menunjukan sikap optimis terhadap doa dan harapan semoga si calon pengantin laki-laki yang akan menjadi suami dapat menerapkan sisi positif yang ada pada binatang buaya.

Bila ditinjau secara kulturalistik, masyarakat Betawi memiliki berbagai macam bentuk kebudayaan daerah. Budaya lokal ini dicerminkan dari kebiasaan yang berkembang di lingkungan warganya. Satu tuntunan pola hidup turun- temurun yang kuat. Keanekaragaman itu nampak jelas terlihat pada saat penyelenggaraannya. Sebuah khasanah daerah berkelanjutan dari akar budaya setempat.

Mengaitkan dengan cerita masyarakat atau legenda pada umumnya tidak hanya satu pandangan, tetapi banyak. Karena pandangannya tidak hanya ada satu cerita, maka tidak tunggal ceritanya. Jadi, bisa saja dipahami semacam keinginan laki-laki yang ingin bertanggung jawab seperti wataknya buaya, agar tidak keliru.12

Budaya pernikahan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat itu berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta kebiasaan setempat.

12 Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015. 67

Sebagaimana, telah disinggung di pembahasan yang terdahulu, bahwa efektifitas al-adat, hanyalah pada masalah-masalah yang tidak tercover olah Al-

Qur‟an dan al-Hadits. Dalam pengertian lain, sesuatu yang telah ditetapkan oleh syar‟i, tidak semunya selalu disertai oleh batasan-batasan dan ukuran-ukuran.

Demikian pula lughah atau bahasa. Seringkali bahasa tidak mampumen jawab hal ini. Solusi yang bisa ditawarkan adalah, menegembalikan permasalahan ini kepada adat atau kebiasaan masyarakat.13

Pada dasarnya agama Islam tidak memberatkan tetapi mempermudah bukan berarti sembarang memudahkan. Lebih menekankan dari segi agama yaitu hal-hal yang memang disyaratkan dalam sahnya pernikahan dan tidak menyalahi syariat.14 Jika terjadi perbedaan pendapat, maka dapat dimusyawarahkan antar keluarga untuk menemukan titik temu. Kalau memang tradisi itu sudah mengakar atau yang sifatnya hukum tidak tertulis.15 Dengan demikian, mengaitkan sebuah perilaku manusia dengan sebuah legenda itu bisa saja, karena legenda itu tidak absolut atau dengan kata lain tidak relatif maka tafsirannya banyak tidak tunggal.

Bila hanya tradisi tidak ada pelarangan adapun kalau ada yang menganggapnya sebagai sesajen atau sebagai dewa maka tidak diperbolehkan dalam Islam.16

13 Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), h. 180.

14 Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhammad Ishak. Jakarta, 7 Oktober 2015.

15 Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil. Jakarta, 7 Oktober 2015.

16 Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015. 68

B. Analisis Penulis mengenai Adat Betawi yang Menggunakan Roti

Buaya dalam Seserahan Pernikahan

Masyarakat hukum adat Indonesia dapat dibedakan atas dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan

(genealogi) dan yang berdasarkan lingkungan (territorial). Menurut sejarah dan sifatnya, masyarakat Betawi mempunyai dasar genealogis yang tegas, baru kemudian faktor territorial menampakan diri sebagai faktor yang penting juga.

Jadi bisa ketahui bahwa segala sesuatu yang menyangkut tentang adat itu sudah tertanam turun temurun di dalam masyarakat, karena secara struktur sosial;17

Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai akibat dari dinamika dan interaksi yang berkembang di suatu komunitas lingkungan masyarakat. Oleh karenanya, bisa dikatakan, adat dan tradisi merupakan identitas dan ciri khas suatu komunitas.

Dalam upacara perkawinan terdapat acara-acara pokok dan acara-acara pelengkap yang betalian dengan tradisi atau adat kebiasaan. Yang pertama seperti akad nikah dan walimah, sudah cukup dimaklumi, sedangkan yang kedua, kebanyakan bertalian dengan adat yang dapat dikaitkan dengan ‘urf.18

Bagi Masyarakat Betawi roti buaya merupakan istilah yang tidak asing lagi untuk didengar ditelinga mereka. Sekelompok kalangan masyarakat Betawi

17 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), cet. 6, h. 360.

18 Andy Pathoni, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan dan Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi (Studi Kasus di Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 36. 69

ini, baik dikalangan muda, tua, bahkan tokoh ulama sudah cukup memahami benda roti yang berbentuk buaya itu. Kedudukannya yang cukup merajai adat istiadat Betawi ini, bukan hanya membuat kalangan orang Betawi sendiri yang ingin mempertahankan kebiasaan budayanya. Tetapi juga membuat sejumlah masyarakat yang bukan asli keturunan Betawi, juga merasa tertarik untuk mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan umumnya yang calon pasangan pengantinnya berasal dari Betawi, baik dari pihak calon pengantin laki-laki ataupun, calon pengantin perempuan. Jadi, bukan benda yang aneh lagi untuk ditelinga masyarakat tentang keberadaan bentuk roti tersebut khususnya yang berasal dari adat Betawi.

Perbedaan kelompok atau perbedaan suku merupakan bagian dari ciri khas adanya tradisi-tradisi tertentu. Karena sebagian besar masyarakat Betawi mengikut sertakan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan, maka upacara- upacara pernikahan mereka umumnya bercorak adat istiadat Betawi. Itu menandakan bahwa masyarakat Betawi telah menjadi satu kesatuan dengan budaya mereka. Kenyataan ini dapat dilihat oleh sekelompok masyarakat Betawi yang masih mempertahankan adat kebiasaannya yang sudah ada sejak lama dengan menyertakan roti buaya dalam seserahan pernikahannya.

Maka dapatlah kita lihat sekarang ini bentuk-bentuk pernikahan yang beraneka ragam, masing-masing memiliki cara-caranya sendiri serta memiliki adat yang berbeda-beda dari daerah yang satu ke daerah yang lain.

Dalam pengertian roti buaya menurut masyarakat Betawi yaitu sebuah harapan para calon pengantin ini hanya nikah sekali dalam seumur hidupnya. 70

Dengan alasan bahwa binatang buaya termasuk binatang yang memiliki sifat setia pada pasangannya. Pernyataaan itu tidak hanya terbatas pada satu sifat setia saja, tetapi juga turut bertanggung jawab dalam menjaga istri dan anaknya.

Alasan masyarakat Betawi pada umumnya karena status keturunan mereka menjadi orang Betawi mengikuti adat kebiasaan orang tua mereka sejak dahulu meskipun tidak tahu apa tujuannya dari pribadinya sendiri. Karena, adat kebiasaan sudah lahir sejak lama, wajar saja calon-calon pengantin zaman sekarang mungkin tidak enak untuk meninggalkannya sekaligus melestarikan adat kebudayaannya.

Pada umumnya memang pihak calon pengantin perempuan tidak mengetahui bila si calon pengantin laki-laki mengikut sertakan roti buaya dalam seserahannya, katena itu sifatnya hanya bawaan-bawaan yang memang mampu dibawa olehnya bukan dari permintaan perempuan.

Dari segi bentuknya roti buaya ini ada jantan, betina, dan terakhir di atasnya ada anak dari buaya itu sendiri, selain itu juga ia memiliki variasi rasa yang berbeda-beda sesuai dengan pesanan si calon pengantin. Meskipun, dahulu roti buaya tersebut tidak memlliki rasa atau tawar.

Mengenai penyerahan roti buaya ini dilakukan di rumah kediaman calon pengantin perempuan. Pada umumnya diserahkan pada saat detik-detik menjelang kesiapaan akad pernikahan. Dimana, keluarga besan atau calon pengantin laki-laki sudah mulai berjalan dengan bentuk formasi barisan yang rapi menuju rumah kediaman calon pengentin perempuan.

Sesampainya di depan halaman rumah kediaman calon pengantin perempuan. Sang calon pengantin laki-laki beserta sanak keluarga, saudara dan 71

kerabatnya biasanya sudah disambut dengan permainan musik marawis dari beberapa kumpulan anak remaja laki-laki dan tidak lupa juga dengan dilengapi letusan petasan yang ikut meramaikan penyambutan calon pengantin laki-laki.

Calon pengantin laki-laki beserta pengiringnya dibentuk dalam formasi barisan yang memanjang dimulai dari barisan pertama yaitu calon pengantin laki-laki dengan didampingi kedua orang tua, selanjutnya barisan kedua saudara-saudara kandung dari calon pengantin laki-laki, barisan ketiga dan seterusnya diiringi oleh sanak saudara, kerabat, atau para tetangga yang turut serta hadir dalam pengiringan pengantin.

Tiap-tiap barisan tersebut biasanya sudah dilengkapi dengan bawaannya masing-masing. Dengan membawa barang-barang seserahan yang sudah disiapkan dari kediaman calon pengantin laki-laki. Adapun, barang-barang tersebut adalah tidak hanya roti buaya tetapi juga calon pengantin laki-laki menyerahkannya bersama dengan mahar, mas kawin, , sepatu, pakaian, seperangkat alat shalat, seperangkat alat mandi, seperangkat alat kamar tidur, dan lain-lain. Karena sebenarnya, kedudukan roti buaya itu sendiri dalam seserahan hanyalah pelengkap bagi yang ingin mengikut sertakan dalam seserahan pernikahannya.

Meskipun ada juga masyarakat Betawi yang tidak mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan pernikahannya, namun pelaksanaan pernikahannya tetap berjalan khitmat dan lancar tanpa mempersulit kedua calon pegantin yang ingin nikah. 72

Berkaitan dengan adat istiadat, roti buaya ini juga bisa dipandang dari segi kaidah fikih yaitu ‘urf yang memiliki arti secara etimologi kenal. Karena roti buaya ini merupakan istilah barang yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat khususnya Betawi. Dalam ushul fikih ‘urf itu memiliki beberapa segi pandang, maka dari itu roti buaya akan dibahas satu persatu dengan cara pandang yang berbeda.

Pertama dari segi materi ia masuk pada katagori ‘urf fi’li sebab ia berbentuk perbuatan bukan perkataan yang biasa diucapkan orang-orang.

Tergolongnya ia ke dalam „urf fi’li karena ia memang termasuk perbuatan adat kebiasaan yang bersifat berlaku di dalam masyarakat Betawi dan mayoritas masyarakat Betawi sudah mengenalnya dalam pengertian bentuk roti yang berbentuk buaya yang disertakan dalam seserahan pernikahan khususnya adat

Betawi. Dan memang roti buaya tersebut dikenal sebagai satu pengertian yaitu barang yang ikut dalam seserahan bukan dalam arti yang lain.

Selanjutnya dalam pandangan dari segi jangkauannya ia tergolong dalam bagian ‘urf al-Khash yaitu bersifat khusus yang memang berlakunya adat hanya di ruang lingkup Betawi meskipun, zaman sekarang banyak yang bukan asli keturunan Betawi juga ikut menyertakan seserahan roti buaya terebut. Karena jika roti buaya digunakan dalam seserahan pernikahan yang bukan adat Betawi maka orang-orang pun tidak akan mengerti, untuk itu adat kebiasaan roti buaya hanya ada di seserahan pernikahan Betawi dan tidak berlaku di tempat yang lain.

Sedangkan yang terakhir yaitu roti buaya dalam segi pandang keabsahannya ia tidak tergolong masuk ke dalam bagian manapun, karena ia tidak 73

berkedudukan sebagai membenarkan nash dalam Al-quran atau hadits begitu juga tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum yang ada dalam Al-quran. Ia juga bukan barang yang dijadikan hal-hal yang menyalahi syariat karena ia hanya dijadikan sebagai lambing atau symbol.

Adapun yang berkaitan dengan syarat-syarat ‘urf yang sesuai dengan syariat Islam. Dari penjelasan pada bab-bab terdahulu, bahwa syariat Islam pada dasarnya dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah. Masalah roti buaya ini yang ada pada seserahan pernikahan.

Menurut analisa penulis bahwa ia termasuk adat kebiasaan yang berlaku umum di kalangan masyarakat Betawi. Karena, hal ini juga sudah berlaku sejak lama dan karena ini tidak memiliki pertentangan dengan nash al-Qur‟an ataupun sunnah

Rasulullah maka adat istiadat boleh untuk diberlakukan.

Dibolehkannya suatu perbuatan yang mubah itu hanyalah yang bersifat temporer, dimana seseorang itu bebas untuk memilih macam dan waktu- waktunya. Seperti makan dihukumi mubah, hanyalah dalam macam dan waktu- waktu tertentu bukan untuk selamanya. Akan tetapi makan bisa menjadi wajib bagi orang yang menjaga kesehatannya dan hidupnya. Karena menjaga kesehatan adalah suatu perbuatan yang diwajibkan. Oleh karena itu untuk hukum mubah ini, hanya bersifat situasional atau kondisional, tidak bersifat umum, keseluruhan dan abadi.19

19 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet. 8, h. 58. 74

Jadi menurut pengamatan dan analisa penulis bahwa adat roti buaya dalam seserahan pernikahan adalah mubah (boleh) karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dan hukum ini hanya bersifat sementara tidak untuk selamanya, selama adat istiadat roti buaya tersebut tidak membebani dan tidak dijadikan sebagai hal-hal yang menyalahi syariat Islam.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penyusun dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. ‘Urf yaitu sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya

dalam bentuk setiap perbuatan yang popular di antara mereka, ataupun suatu

kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu. Dasar

dipertimbangkannya ‘urf ini kembali kepada prinsip menjaga kemaslahatan

manusia dan menghilangkan kesulitan. Pada dasarnya, syariat Islam dari masa

awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam

masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah

Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang

telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan

dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan.

2. Setelah penyusun meneliti kasus yang pernah terjadi di Kampung Pisangan

yaitu beberapa warga memang ada yang menyertai roti buaya dalam seserahan

pernikahan dan ada juga yang tidak menyertai. Bahwa yang melatar belakangi

adanya adat Roti Buaya dalam seserahan pernikahan yaitu para orang tua

mereka yang sebelumnya juga menyertakan Roti Buaya dalam seserahan

pernikahannya. Maka, secara turun-temurun anak-anaknya ikut menyertakan

Roti Buaya dalam seserahan pernikahan

75 76

3. Hukum menggunakan Roti Buaya dalam seserahan pernikahan boleh-boleh

saja, dengan maksud sebagai tambahan bawaan seserahan dari pihak laki-laki

dan tidak dijadikan sebagai pemujaan atau hal-hal yang dilarang dalam agama.

B. Saran

Dengan berakhirnya penyusunan skripsi ini, penulis menyarankan kepada diri penulis dan para pembaca:

1. Hendaknya bagi warga Kampung Pisangan dalam melaksanakan upacar adat

pernikahan harus disesuaikan dengan ajaran agama Islam.

2. Hendaknya dalam pelaksanaan seserahan pernikahan dilakukan dengan

semampunya tidak mengharuskan hal-hal yang memang tidak wajibkan. DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemah

Abbas, Afifi Fauzi. Baik dan Buruk dalam Perspektif Ushul Fiqh, cet. 1, Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2010.

Abbas, Ahmad Sudirman. Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, Jakarta: CV Banyu Kencana, 2003.

Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004.

Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika: 2007.

Abu Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif. Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih Islami, cet. 1, t.tp, Pustaka Al Furqon, 2009.

Aji, Ahmad Mukri. Kontekstualisasi Ijtihad dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia, cet. 1, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.

Aji, Ahmad Mukri. Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialetika Pemikiran Hukum Islam, cet. 2, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012.

Al-Kurdy, Ahmad al-Hajj. Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah, Damaskus: Dar al-Ma’rif li al-TIba’ah, 1979.

Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Penerjamah Bahruddin F, Jakarta: Robbani Press, 1996.

Al-Zuhaili, Muhammad Mushthafa. al-Qawa’id al-Fiqhiyah wa tathbiqatuha fii al-Mazahib al-arba’ah, juz. 1, Damaskus: Dar al-Fikr, 2006.

Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, cet. 1, Jakarta: Elsas, 2008.

Burnu, Muhammad Shidq bin Ahmad bin Muhammad Ali. Al Wajiz fii idhohi qawaid al fiqh al-Kulliyah, Beirut: Muassisah ar Risalah, 1996 M.

Dahlan, Abd Rahman. Ushul Fiqh, cet. 2, Jakarta: Amzah, 2011.

Djalil, A. Basiq. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, cet. 6, Jakarta: Kencana, 2010.

Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, cet. 2, Jakarta: Kencana, 2007.

77 78

Effendi, Satria dan M. Zein. Ushul Fiqh, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2005.

Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, cet. 2, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, cet. 1, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013.

Hadi, Sutrisno. Metodelogi Penelitian Resreach, Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2007.

Hajj, Ibnu Amir. at-Taqrir wa at-Tahbir, cet. 3, Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1983 M.

Hibban, Ibnu. al-Ihsanu fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban (Beirut: Muassasatu al- Risalah, 1408 H/1988 M). Juz 10. h. 72.

Kholaf, Abdul Wahab. Ushul Fiqh, t.t: Daar Arosyid, t.th.

Juliansah, M. Irfan. “Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi

Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam,” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Lubis, Junaidi. Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, cet. 1, Jakarta: Dian Rakyat, 2010.

Mudzhar, M. Atho. Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998.

Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial,Cet.12, Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press 2007.

Pathoni, Andy. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan dan Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi (Studi Kasus di Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

SA, Romli. Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqh, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2011.

Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2010.

79

Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial “Suatu Tehnik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya”. Cet. 8, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia, cet. 6, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003.

Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam I, cet. 9, Jakarta: Al Husna Zikra, 1997.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, cet. 4, Jakarta: Kencana, 2009.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2, cet. 5, Jakarta: Kencana, 2009.

Sudjana, Nana. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah,Cet ke 7, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2003.

Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, Bandung: CV. Alfabeta, 2007.

Suryowingjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1982.

Taufiq, dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos, 1998.

Umar, M. Hasbi. Nalar Fiqh Kontemporer, cet. 1, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.

Zaidan, Abdul Karim. Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam, cet. 1, Jakarta: Robbani Press, 2008.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, cet. 8, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.

Zidan, Abdul Karim. al-wajiz fil usulil fiqh, Baghdad: Maktabh batsair, 1976.

Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil. Jakarta, 7 Oktober 2015.

Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.

Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhammad Ishak. Jakarta, 7 Oktober 2015.

Wawancara Pribadi dengan Bapak Yahya Andi Saputra. Jakarta, 29 Juni 2015.

Wawancara Pribadi dengan Ibu Hanisah. Jakarta, 12 April 2015.

80

Wawancara Pribadi dengan Ibu Tika. Jakarta, 12 April 2015. http://kampungbetawi.com/gerobog/dedengkot-2/yahya-andi-saputra/ diakses pada 29 Juni 2015

Kusnendar. “Hewan yang Setia dengan Pasangannya”. Artikel diakses pada 13 Oktober 2015 http://www.kusnendar.web.id/2013/09/hewan-yang-setia-dengan- pasangannya.html

Iqbal1, “Ilmu Fiqh”, artikel dari https://iqbal1.wordpress.com/2010/04/19/ilmu- fiqh-adat-atau-tradisi-dalam-beribadah-1/ diakses pada 27 Febuari 2015.

LAMPIRAN

81 82

Pedoman wawancara kepada warga tokoh budayawan

1. Apa latar belakang atau atas dasar pemikiran apa menggunakan Roti

Buaya sebagai bagian seserahan ?

2. Dari manakah budaya Roti Buaya berasal ?

3. Kapan budaya Roti Buaya masuk ke daerah ini ?

4. Mengapa harus dengan menggunakan Roti Buaya ?

5. Apa maksud atau tujuan dengan menggunakan Roti Buaya ?

6. Bagaimana mekanisme proses penyerahan seserahan Roti Buaya, apakah

ada syarat-syarat sebelumnya ?

83

Pedoman Wawancara Tokoh Ulama

1. Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti

buaya dalam seserahan pernikahan ?

2. Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang

menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

3. Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan roti

buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?

84

Pedoman wawancara kepada warga Kampung Pisangan

1. Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan

pernikahan ?

2. Apa alasan bapak atau ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam

seserahan pernikahan ?

3. Apa maksud atau tujuan bapak atau ibu menggunakan roti buaya dalam

seserahan pernikahan ?

4. Apa bapak atau ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut

menunjukan simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?

5. Apa bapak atau ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan

pernikahan ?

85

Hasil Wawancara

Nama: Bapak drs. Yahya Andi Saputra

Jabatan: Tokoh Budayawan

Tanya: Apa latar belakang atau atas dasar pemikiran apa menggunakan Roti

Buaya sebagai bagian seserahan ?

Jawab: tradisi ini pada mulanya buaya adalah sebuah simbol dimana dalam cerita

rakyat Betawi dikenal dengan buaya siluman. Entah yang dimaksud buaya

merah, buaya buntung, ataupun buaya putih. Buaya-buaya siluman ini oleh

masyrakat Betawi dianggap pemelihara atau penunggu sebuah entuk.

Dalam Bahasa Betawi kuno entuk diartikan sebagai sumber mata air.

Maka pada zaman dahulu kalau ada kegiatan masyarakat yang

mengganggu seperti kebersihan, keasrian, keindahan entuk itu akan

mendapat sanksi. Contohnya seperti “kalau lewat situ yang ada sumber

mata airnya harus mengucapkan numpang-numpang karena di situ ada

makhluk penjaganya”. Adapun sumber mata air itu adalah sumber

kehidupan manusia, kalau kamu membuang sampah maka akan mendapat

ketulah. Di mana dalam Bahasa Betawi kuno ketulah itu artinya karma

atau akibat tindakan, sikap, perilaku yang ada dihari lampau.Selanjutnya,

karena si buaya itu sudah menunggu sumber kehidupan masyarakat yaitu

sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu dimanfaatkan

sebagai simbol kehidupan. Adapun pemanfaatannya digunakan dalam

acara pernikahan tepatnya pada saat seserahan dari pihak calon pengantin

pria terhadap pihak calon pengantin wanita.Perkawinan itu sendiri adalah

86

bagian salah satu siklus kehidupan yaitu suatu rangkaian aktivitas secara

alami yang dialami oleh individu-individu dalam populasi berkaitan

dengan perubahan tahap-tahap dalam kehidupan. Seperti manusia yang

bertujuan menciptakan, melanjutkan kehidupan yang baru.

Tanya: Dari manakah budaya Roti Buaya berasal ?

Jawab: tentang siapa yang menciptakan tradisi roti buaya ini tidak ada yang tahu,

yang jelas tradisi roti buaya ini milik masyrakat Betawi.

Tanya: Kapan budaya Roti Buaya masuk ke daerah ini ?

Jawab: sudah berlangsung sejak lama karena tidak tahu jelas kapan datangnya

tradisi roti buaya ini.

Tanya: Mengapa harus dengan menggunakan Roti Buaya ?

Jawab: karena si buaya itu sudah menunggu sumber kehidupan masyarakat yaitu

sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu dimanfaatkan

sebagai simbol kehidupan.

Tanya: Apa maksud atau tujuan dengan menggunakan Roti Buaya ?

Jawab: Perkawinan bukan sekedar yang berarti melampiaskan nafsu biologis atau

menghalalkan bersenang-senangnya antara laki-laki dan perempuan, tetapi

dengan memiliki tujuan yaitu melanjutkan generasi yang baru. Maka dari

itu masyarakat Betawi mengwajibkan adanya dalam seserahan pernikahan

sebagai simbol melanjutkan kehidupan yang baru.

Tanya: Bagaimana mekanisme proses penyerahan seserahan Roti Buaya, apakah

ada syarat-syarat sebelumnya ?

87

Jawab: Secara mekanisme ia tidak memiliki cara-cara tertentu dalam penyerahan

roti buaya tersebut.

Hasil Wawancara

Nama: Ibu Hanisah

Jabatan: Warga Kampung Pisangan

Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: adat kebiasaan masyarakat Betawi yang sudah ada sejak zaman dahulu.

Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: karena nikah dengan orang Betawi

Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam seserahanpernikahan ?

Jawab: mempertahankan kebudayaan

Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan

simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?

Jawab: percaya tidak percaya

Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: setuju

88

Hasil Wawancara

Nama: Ibu Tika Nurjanah

Jabatan: Warga Kampung Pisangan

Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: adat Betawi

Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: karena orang Betawi

Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: karena kebiasaan

Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan

simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?

Jawab: percaya

Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: setuju

89

Hasil Wawancara

Nama: Ibu Camah (Ketua RT)

Jabatan: Warga Kampung Pisangan

Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: untuk seserahan perkawinan adat Betawi

Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: untuk pelengkap sebagai seserahan

Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: untuk pengantin wanita

Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan

simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?

Jawab: nggak

Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: setuju

90

Hasil Wawancara

Nama: Bapak Dr. H. Fuad Thohari, MA

Jabatan: Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (Tokoh Ulama)

Tanya: Apa yang bapak ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti

buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: Roti buaya adalah model roti yang dibentuk menyerupai buaya yang

memiliki ekor, badan, kepala, gigi, dan taring. Adapun roti buaya tersebut

diserahkan pada saat seserahan. Selain itu juga dilengkapi dengan pakaian,

peralatan dapur, uang, permata, salah satu yang diserahkan adalah roti

buaya. Buaya itu simbol dari kesetiaan, siap mengorbankan untuk menjaga

anak-anaknya, ketika calon pengantin dari pihak laki-laki menyerahkan

roti yang dibentuk serupa dengan buaya itu sebenarnya tidak lain ingin

mengatakan ketika nanti sudah menikahi, ia tidak hanya siap menjadi

suami tetapi bertanggung jawab dalam hal melindungi, mengamankan,

menjaga, merawat istri dan anak-anak seperti bagaimana buaya

melindungi telurnya, anaknya, dan lain-lain.

Tanya: Bagaimana pendapat bapak mengenai hukum adat betawi yang

menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: Adapun kebiasaan laki-laki memberikan roti buaya itu selain

menggambarkan seserahan juga sebagai gambaran siap menjaga istrinya

sampai menutup usia. Meskipun, faktanya orang-orang Betawi yang

uangnya banyak istrinya tidak hanya satu, bahkan dua, tiga, empat.

Memberikan roti buaya itu mengingatkan saja bahwa ia pernah janji hanya

91

memiliki satu istri saja dengan kesetiaannya. Dengan maksud menahan

diri saja. Adanya cerita masyarakat atau legenda pada umumnya tidak

hanya satu pandangan, tetapi banyak. Karena pandangannya tidak hanya

ada satu cerita, maka tidak tunggal ceritanya. Jadi, bisa saja dipahami

semacam keinginan laki-laki yang ingin brtanggung jawab seperti

wataknya buaya, jadi tidak keliru.

Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan

roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?

Jawab: Mengaitkan sebuah perilaku manusia dengan sebuah legenda itu bisa saja,

karena legenda itu tidak absolut atau dengan kata lain tidak relatif maka

tafsirannya banyak tidak tunggal. Bila hanya tradisi tidak ada pelarangan

adapun kalau ada yang menganggapnya sebagai sesajen atau sebagai dewa

maka tidak diperbolehkan dalam Islam.

92

Hasil Wawancara

Nama: Bapak Bapak Abdul Jalil

Jabatan: penghulu (tokoh ulama)

Tanya: Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan

roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab : roti buaya itu merupakan simbolik yang dijadikan adat istiadat oleh orang

Betawi. Folisofinya bahwa buaya itu binatang yang tahan dan kuat. Maka

karena itu, menurut orang Betawi denagn simbol tersebut diharapakan kuat

mencari nafkah yang nanti akan menjadi suami. Setelah kuat mencari

nafkah, kemudian memiliki sikap yang tanggung jawab terhadap keluarga,

serta rejekinya mudah. Karena, buaya itu dikenal tidak jauh rejekinya,

kalau mencari makan cukup membuka mulutnya saja, mangsa akan

datang. Filosofi selanjutnya yaitu buaya dikenal sebagai binatang yang

setia pada pasangannya. Dalam penelitian otang Betawi itu kawin hanya

sekali. Jadi diharapkan dari suaminya nanti ia akan menjadi suami yang

setia dan tidak berkhianat. Menampakan symbol bagi masyarakat Betawi,

ada pelajaran-pelajaran berharga yang dapat diambil. Jadi, dengan

membawakan roti buaya ini sekaligus menunjukan siakp yang optimis

terhadap doa itu moga sisi positif yang ada pada diri buaya bisa diterapkan

kepada diri suami.

Tanya: Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang

menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

93

Jawab : dalam hukum Islam tidak ada ketentuan harus menggunakan roti buaya

dalam seserahan pernikahan. Tetapi pada kaidah ushul fikih “bahwa tradisi

bisa menjadi hukum” oleh karena itu tradisi yang sudah menjadi kebiasaan

orang Betawi itu bisa menjadi hukum terhadap orang Betawi. Secara

hukum Islam roti buaya bukan kewajiban bukan juga sebagai sunnah.

Tetapi, karena hukum itu beredar sesuai zamannya. Apabila terjadi ketidak

harmonisan, adanya pembicaraan di luar. Maka biasa terjadi kewajiban

yetapi bagi yang mampu melaksanakannya. Karena fikih itu bagian dari

produkpemikiran manusia yang bersifat dinamis. “sesuatu yang dapat

menyempurnakan yang wajib, maka hukumnya bisa jadi wajib”. Sama

seperti roti buaya . bila ada pandangan pelit atau tidak mengerti tradisi

maka dikembalikan saja pada hukum Islam yaitu keadaan yang berlaku.

Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan

roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?

Jawab : dikompromikan atau dimusyawarahkan dengan keluarg dan bisa

dipahami oleh keluarga. Karena itu termasuk hukum adat yang tak tertulis

apabila memang hukum ini sudah mengakar di masyarakat.

94

Hasil Wawancara

Nama: Bapak H. Muhammad Ishak

Jabatan: tokoh ulama Betawi

Tanya: Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan

roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab : buaya adalah binatang yang termasuk liar. Dengan adanya pasangan

jantan dan betina. Maka akan menjadi binatang yang jinak. Kemudian

buaya itu ternasuk binatang yang setia, dengan maksud menunjukan

lambang calon mempelai pengantin laki-laki supaya bisa setia dengan

istilah lain buaya itu akan jinak. Selanjutnya, kalau sudah berumah tangga,

kehidupannya lebih terang yang berarti lebih terarah lagi dalam jalur

agama begitu yang diharapkan oleh sang pengantin.

Tanya: Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang

menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab : boleh-boleh saja, apabila hal itu tidak memberatkan. Adapun dalam segi

ekonomi apabila membebani, maka tidak perlu di adakan.

Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan

roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?

Jawab :memberikan pengertian karena, agama sifatnya tidak membebani. Tetapi,

mempermudah bukan berarti memudahkan. Betawi itu luwes, tidak ada

takut ini atau takut itu. Karena, lebih menekankan pada hal-hal yang

diwajibkan dalam agama yaitu, jika dalam pernikahan adanya calon

95

sepasang pengantin, ijab qabul, saksi, dan terakhir wali. Tidak ada hal-hal yang membebani.