Strategi Komunikasi Hijabers…hal. 19-44

REDUKSI NILAI-NILAI NON-TAUHID DALAM KONTRUKSI KARAKTER BATARA

Ahmad Hidayatullah Mahasiswa Pascasarjana Prodi KPI UIN Walisongo Semarang Email: [email protected]

ABSTRACT

avanesse traditional shadow puppet (wayang) if we look through the story we can see that it is adapted from Hinduism. It was taken from great epic story. The ara J Ramayana and Mahabharata. It does not wonder if we find opposite values beetwen Hinduism and monotheism (tauhid). It was noted by Walisongo at that time. They tried to do some reduction to things that opposite monotheism. They adapted inti Tauhid values so that they can di their mission successfully. In many adaption, we can take a look into the construction of Batara Guru‟s character. By using description analysis, this article to dig to know how deep Walisongo constructed Batara Guru‟s character to reduct values that opposite tauhid. As a result, the construction idea of Batara Guru -as a representation of Siva- does not hurt anybody. It is all caused by the wisdom and creativity of Walisongo in constructing the character of Batara Guru greatly and smartly. Keyword: Javanesse traditional shadow puppet (wayang), Batara Guru, Walisongo, Islamic missionary.

ABSTRAK

esenian wayang dilihat dari segi cerita merupakan karya adoptif yang berasal dari ajaran Hindu, yakni dua epos besar Ramayana dan Mahabharata. Menjadi tidak K mengherankan jika kemudian nilai Hinduisme yang bertentangan dengan nilai tauhid menjadi sesuatu yang begitu diperhatikan oleh Walisongo saat itu. Upaya reduksi terhadap nilai-nilai non-tauhid pada akhirnya dilakukan oleh Walisongo sebagai sebuah penyesuaian terhadap dakwah Islamiah yang mereka lakukan. Satu dari sekian banyak upaya itu terdapat dalam kontruksi penokohan Batara Guru. Menggunakan deskriptif analisis artikel ini mencoba menggali sejauh mana kontruksi terhadap karakter Batara Guru yang dilakukan dalam rangka mereduksi nilai-nilai non-tauhid. Alhasil kontruksi karakter yang sejatinya merupakan representasi dari Dewa Siwa ini dilakukan dengan tanpa melukai siapa pun pada saat itu. Semua itu karena kebijaksanaan dan kreatifitas Walisongo dalam mengkontruksi karakter Batara Guru secara apik dan cerdas.

Kata kunci: wayang, Batara Guru, dakwah, Walisongo

Islamic Comunication Journal Volume 02, Nomor 01, Januari-Juni 2017 45

Reduksi Nilai-Nilai Non-Tauhid…hal.45-57

PENDAHULUAN Brahmanas, Upanishads, Mahabharata, Bhagavadgita, Ramayana, Purana, dan Wayang merupakan seni pertunjukan Lainnya (Klostermaier 2003, 36). yang sangat terkenal dalam berbagai Hanya saja fase awal kekuasaan bentuk di kawasan maritim dan daratan Demak Bintoro ini kemudian juga Asia Tenggara. Sementara di , menandai babak baru perkembangan wayang hadir dalam beberapa bentuk, wayang. Wayang sebagai sebuah media yakni wayang kulit, wayang golek dan hiburan yang sudah begitu digemari wayang orang (Arps 2007, 55). Di masyarakat –baik anggota kerajaan Indonesia, Jawa khususnya, wayang yang maupun awam– pada era ini harus dikenal sebagai sebuah masterpiece ( dihadapkan dengan kenyataan bahwa Sujarwo, dkk 2010) yang kali pertama wayang dinilai Hinduistik, animistik, dan diperhatikan secara serius pada era Prabu bahkan diharamkan karena tidak sesuai Jayabaya. Ia yang begitu gemar akan dengan ajaran Islam (Sudjarwo, dkk 2010, wayang, akhirya membuat gambar- 51). gambar dan cerita-cerita wayang pada Walisongo yang dalam sumber- daun tal dalam tahun 939 Masehi. sumber babad dianggap sebagai peletak Wayang tersebut dinamakan wayang pondasi terbentuknya pemerintahan Islam Rontal. Melihat ukurannya yang terlalu Kesultanan Bintoro Demak, tentu kecil untuk dipertunjukan, maka Raden memberi perhatian khusus terhadap Kudalaleyan –yang juga dikenal dengan kesenian adoptif ini. Mereka menjadikan Prabu Surya Hamiluhur– dari Pajajaran fakta tersebut sebagai tantangan sekaligus kemudian memperbesar ukuran gambar peluang dalam upaya untuk membumikan wayang tersebut di atas kertas pada tahun Islam di tanah Jawa agar masyarakat yang 1244 (Supriono, dkk 2008, 18). berada di bawah naungan Kesultanan baru Wayang sendiri dari segi cerita ini tidak melenceng dari petunjuk Al merupakan karya adoptif yang berasal dari Qur‘an (Purwadi, dkk 2006, xvi). ajaran Hindu, yakni Ramayana dan Akhirnya kontruksi karakter menjadi Mahabharata yang merupakan bagian dari sebuah perhatian sebagai jawaban atas kitab suci umat Hindu. Kitab suci umat tantangan tersebut. Tujuannya tidak lain Hindu terbagi dalam dua bagian, adalah untuk mereduksi nilai-nilai non- Pertama, Sruti, yakni kitab yang berisikan tauhid untuk kemudian menyesuaikannya ajaran yang langsung diwahyukan dengan nilai-nilai Islam yang sarat akan (Zat Tunggal Maha Pencipta) kepada tauhid. Rishi (orang suci), yaitu kitab suci Veda Satu di antara beberapa karakter (Sou‘yb 1996, 27). Kedua, Smriti, yakni pewayangan yang mengalami reduksi setiap tradisi (ucapan, perbuatan, tulisan) tersebut adalah Batara Guru atau yang yang mengandung ajaran seorang rishi dalam versi pra-Islam disebut di- (orang suci) atau ajaran seorang acharya identifikasikan sebagai Siwa. Siwa sendiri (guru) atau pun ajaran (ingkarnasi- merupakan satu diantara tiga Dewa ilahi) seumpama Krishna dan lainnya. Trimurti (Wisnu dan Brahma) yang dalam Himpunan kitab yang termasuk dalam ajaran Hindu merupakan manifest dari Smriti itu diantaranya termasuk Sang Brahman (Tuhan). Maka menjadi

Islamic Comunication Journal 46 Volume 02, Nomor 01, Januari-Juni 2017

Ahmad Hidayatullah menarik jika kemudian menjadikan Siwa (Surakhmad, 1990: 139). Dalam sebagai objek kajian mengingat karakter menganalisis data, penulis menggunakan ini menjadi titik salah satu titik tumpu deskriptif analitik sebagai upaya untuk bagi Walisongo untuk melakukan reduksi menguraikan dan menganalisis kontruksi terhadap nilai-nilai non-tauhid. yang dilakukan dalam pembangunan karakter Batara Guru. Hal ini bisa METODE PENELITIAN diidentifikasi melalui analisis terhadap Penelitian ini menggunakan karakter Batara Guru baik itu dikenal penelitian kualitatif. Menurut Gunawan sebagai ‗siwa‘ (versi pra Islam) maupun (2013, 82), secara harfiah penelitian pasca digubah oleh Walisongo dalam kualitatif adalah jenis penelitian yang bentuk dan karakter baru. temuan-temuannya tidak diperoleh PEMBAHASAN melalui prosedur kuantifikasi, perhitungan statistik, atau bentuk cara-cara lainnya Bicara mengenai suatu karakter dalam yang menggunakan ukuran angka. wayang, maka harus melihat Penelitian kualitatif berarti sesuatu yang perkembangan serta transformasi dari berkaitan dengan aspek kualitas, nilai atau karakter itu sendiri. Batara Guru sebagai makna yang terdapat dibalik fakta. sebuah ‗karakter‘ dalam cerita wayang Sementara menurut Bogdan dan Taylor sejatinya sudah muncul dalam periode pra sebagaimana dikutip Soewadji (2012, 51- Islam sebagai salah satu Dewa Hindu, 52) menyatakan bahwa penelitian yakni Siwa. Maka dari itu guna kualitatif diartikan sebagai salah satu mengetahui secara lebih mendalam perihal prosedur penelitian yang menghasilkan terjadinya ‗transformasi makna‘ yang ada data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dalam kontruksi penokohan Batara Guru, dan perilaku orang-orang yang diamati. peneliti akan mencoba menyajikan data Secara metodologis, penelitian ini terkait karakter ini dalam dua sudut termasuk dalam lingkup Library research pandang, yakni pra Islam -yang (metode kepustakaan), yaitu penulisan didominasi Hindu- serta pasca masuknya dengan mengumpulkan data-data dari Islam. pustaka (Zed 2004, 3), utamanya yang Batara Guru Versi Hindu (Siwa) berhubungan dengan karakter Batara Guru dalam cerita pewayangan. Selain itu Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, literatur terkait dengan dakwah Walisongo bahwa Batara Guru tidak lain adalah juga tidak kalah penting menjadi rujukan gambaran peran wayang yang merupakan dalam penelitian ini. Perpaduan antara refleksi dari Dewa Siwa. Siwa sendiri berbagai literature tersebut diharapkan merupakan dewa ketiga dari Trinitas penelitian ini mampu mendapatkan hasil agama Hindu adalah Dewa Perusak. Ia yang komprehensif. digambarkan sebagai seorang pertapa Adapun analisis penelitian ini yang mengendarai lembu suci dan tempat menggunakan analisis deskriptif, yaitu tinggalnya di Kailasa. Ia mempunyai usaha untuk mengumpulkan dan tangan empat,dan selalu berpakaian kulit menyusun suatu data, kemudian dilakukan macan dan berambut loreng dan seekor analisis terhadap data tersebut naga melingkar di lehernya. Lambang-nya

Islamic Comunication Journal Volume 02, Nomor 01, Januari-Juni 2017 47

Reduksi Nilai-Nilai Non-Tauhid…hal.45-57 adalah Lingga atau Phallus. Istrinya Yuyut/Resi Rekatama, Raja Samodralaya Parawati; , dan dewi yang dahsyat (Sudjarwo 2010, 114). Dia mempunyai Kali yang keduanya penjelmaan Parwati. dua saudara kandung, masing-masing Ganesha dewa keberuntungan yang bernama Sang Tejamaya/Batara berkepala gajah adalah yang paling Antaga (Togog) dan Sang Hyang Ismaya terkenal dari antara anak-anak Siwa yang () (Aizid 2012, 80). Ia juga banyak itu (Samad 1990, 28). Dewa Siwa mempunyai tiga orang saudara seayah lain dalam berbagai kisah dilukiskan dalam ibu putra Dewi Darmani, putri Sang berbagai inkarnasi: Ghandara, Mahadewa, Hyang Rudra/Dewa Esa, Sang Hyang Ishvara, Nilakanta, Nataraja. Bahkan Siwa Dewanjali, dan Sang Hyang Darmastuti dan istrinya belakangan (Sudjarwo 2012, 114). dikembangkan dengan turunnya dua putra Kelahiran Batara Guru dan dua yaitu, Ganapati, penguasa bidang saudara kandungnya ini diceritakan dalam pertanian, dan Sabramanya/Skanda Purwacerita sebagai berikut (Kaelola sebagai penguasa seluruh ular kobra 2010, 318): (Sou‘yb 1996, 51). Dari perkawinan Sang Hyang Sementara dalam kepercayaan Hindu Tunggal dengan Dewi Rekatawati, lahir Bali Siwa diyakini sebagai titik pusat dari sebutir telur yang bercahaya. Sang Hyang delapan dewa penguasa mata angin, Tunggal dengan perasaan kesal meliputi: Wishnu (Utara), Ishvara (Timur membanting telur itu hingga pecah Laut), Shambu (Timur), Maheswara menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih (Tenggara), Brahma (Selatan), Rudra dan kuning telur. Ketiganya masing- (Barat Daya), Mahadewa (Barat), masing menjelma menjadi laki-laki. Yang Changkara (Barat Laur). Pemeluk Hindu berasal dari cangkang diberi nama Antaga, di Jawa dan Bali masa itu mengenalnya yang berasal dari putih telur diberi nama dengan Nawa Dewata (Sunyoto 2012, Ismaya, sedangkan yang berasal dari 112). kuning telur diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya Batara Guru Versi Wayang Purwa berselisih karena masing-masing ingin Pewayangan Jawa menggambarkan menjadi pewaris tahta kahyangan. Batara Guru sebagai Siwa, hal ini Keduanya pun mengadakan perlombaan ditandai dengan nama lain yang dimiliki menelan gunung. Antaga berusaha Batara Guru salah satunya adalah Batara melahap gunung tersebut dengan sekali Syiwa (Sudibyoprono 1991, 337). Ia telan namun justru mengalami kecelakaan. adalah dewa yang merajai kahyangan. Dia Mulutnya robek dan matanya melebar. yang mengatur wahyu kepada para Ismaya menggunakan cara lain, yaitu wayang, hadiah, dan ilmu-ilmu. Batara dengan memakan gunung sedikit demi Guru mempunyai Istri Dewi Uma sedikit. Setelah melewati beberapa hari, (Kapalaye 2010, 87). Pewayangan Jawa seluruh bagian pun berpindah ke dalam menyebutnya juga dengan nama ―Sang tubuh Ismaya, namun tidak berhasil Hyang Manikmaya‖ yang merupakan dikeluarkan. Akibatnya sejak saat itu putra ketiga Sang Hyang Tunggal dengan Ismaya bertubuh bulat. Sang Hyang Dewi Wirandi/Rekatawati, Putri Prabu Tunggal murka mengetahui ambisi dan

Islamic Comunication Journal 48 Volume 02, Nomor 01, Januari-Juni 2017

Ahmad Hidayatullah keserakahan kedua putranya itu. Mereka diharapkan dapat membantu menangkap pun dihukum menjadi pengasuh wanita cantik itu. Sesudah tangan Batara Manikmaya, yang kemudian bergelar Guru menjadi empat, barulah Dewi Uma sebagai raja Kahyangan, bergelar Batara berhasil ditangkap, dan sesuai perjanjian Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke ia harus menjadi istri Batara Guru. Karena dunia dan masing-masing memakai nama bertangan empat itulah ia juga dikenal Togog dan Semar. dengan Caturbuja. Cerita lain menyebut Batara Guru Pernikahannya dengan Dewi Uma, diberi kedudukan oleh ayahnya menjadi menghasilkan banyak putra, diantarnya raja para dewa di kahyangan, sebab (sesuai urutan dari paling sulung menurut diantara kedua saudaranya ialah paling pewayangan Jawa) (Kapalaye 2010, 87): berwujud sempurna. Akan tetapi setelah - Batara Sambo mendapat kedudukan itu, ia justru menjadi - Batara Brahma sombong dan mengejek kedua kakaknya - Batara yang buruk rupa. Ini lantas membuat - Batara Bayu ayahnya menghukumnya hingga menjadi - Batara Wisnu cacat (Aizid 2012, 80). Meski begitu, - Batara Ganesha Batara Guru merupakan tokoh yang - mempunyai kekuasan tertinggi, karena - Hanoman menguasai tiga buana: Mayapada (dunia kedewataan), Madyapada (dunia Meski memiliki kedigdayaan serta kehalusan/ alam jin syaitan) dan, kemuliaan posisi, namun dalam Arcapada (dunia fana/ dunia manusia di pewayangan, Batara Guru juga bumi). Oleh karena itu, ia kemudian juga digambarkan dengan sisi negatif. Ia bergelar raja Tribuana (Sudibyoprono begitu mudah tergoda oleh nafsu (Aizid 1991, 332). 2012, 83). Hal ini juga dibenarkan Adapun mengenai kisah Batara Guru Sudjarwo dkk (2010, 117) yang me- dalam mendapatkan Dewi Uma dalam nuturkan tentang sisi negatif dari karakter pewayangan diceritakan seperti berikut tokoh Batara Guru sebagaimana berikut: (Sudjarwo, dkk 2010, 114): Pada suatu senja hari, Batara Guru Sebelum mendapatkan Dewi Uma, ingin bercumbu dengan Dewi Uma di semula Dewi Uma yang berparas cantik punggung Lembu Andini, namun istrinya lagi sakti itu menolak untuk diperistri oleh menolak. Pada peristiwa itu jatuhlah kama Batara Guru, kecuali jika pemuka para (sperma/mani) Batara Guru ke dasar dewa itu berhasil menangkapnya. Mereka samudra. Penolakan istrinya itu membuat pun berkejaran. Berkali-kali Batara Guru Batara Guru marah. Ketika mereka telah hampir mendapatkan wanita cantik itu, kembali ke kahyangan, dan mereka pun tetapi ia selalu saja dapat meloloskan diri. bertengkar. Saat pertengkaran semakin Tubuh Dewi Uma licin bagaikan belut, memuncak, dengan kesal Dewi Uma lagi pula gerakannya amat lincah dan berkata: ―Kelakukan Kakanda hanya gesit. Akhirnya Batara Guru memohon pantas dilakukan oleh mahluk pada Sang Hyang Wenang, kakeknya, bertaring…‖ agar ia diberi sepasang tangan lagi yang

Islamic Comunication Journal Volume 02, Nomor 01, Januari-Juni 2017 49

Reduksi Nilai-Nilai Non-Tauhid…hal.45-57

Karena Dewi Uma sebenarnya juga Batara Kaa diperintahkan menghuni Setra tinggi kesaktian, sumpahnya segera Gandamayi (Gandamayit). Mereka diberi menjadi kenyataan. Saat itu juga taring kekuasaan memerintah mahluk golongan gigi Batara Guru tumbuh memanjang. jin, hantu, gandarwa, dan sejenisnya. Batara Guru makin marah dan membalas mengutuk Dewi Uma sehingga istrinya itu berubah wujud menjadi raksasa. Setelah saling mengutuk keduanya merasa menyesal, namun ‗nasi telah menjadi bubur‘. Batara Guru kemudian memberi nama baru kepada Dewi Uma dengan Batari Durga. Sementara itu, kama benih Batara Guru yang jatuh di dasar samudra menjelma menjadi mahluk ganas yang mengerikan. Mahluk itu membuat keonaran di dunia. Para dewa yang Gambar 1. Batara Siwa versi Wayang mencoba menghadapi mahluk ganas itu Jawa (Batara Guru),Sumber: Apa dan tidak berhasil mengatasinya. Mereka Siapa Semar melarikan diri kembali ke kahyangan. Mahluk-mahluk itu pun menyusul para Dari penuturan di atas tentu dewa yang melarikan diri itu, dan tergambar jelas tentang sisi negatif dari akhirnya berhadapan langsung dengan karakter Batara Guru. Kadang ia juga Batara Guru. diceritakan bertindak kurang bijaksana Kepada Batara Guru mahluk itu dalam mengatur kehidupan manusia mengajukan tuntutan, minta diakui (Aizid 2012, 83). Ia juga begitu mudah sebagai anak Batara Guru, minta nama tergiur wanita cantik. Terhitung ia dan diberi seorang istri. Batara Guru memiliki kepedak/ bidadari pengiring mengabulkan semua permintaan itu, ia berjumlah tujuh, masing-masing bernama: diakui sebagai anak, diberi nama Batara Dewi Supraba, Dewi Wilutama, Dewi Kala, dan Batari Durga ditunjuk sebagai Lenglengdanu, Dewi Irimirim, Dewi istri untuk mendampingi mahluk itu. Gagarmayang, Dewi Tunjungbiru dan Tetapi yang menjadi istri Batara Kala Dewi Warsiki. Belum lagi ia juga hanyalah jasmani Batari Durga, sebab mempunyai dayang-dayang berwujud jiwanya telah berganti dengan jiwa Batari Bidadari dan Hapsari (Sudibyoprono Permoni, seorang perempuan yang amat 1991, 336-337). Kekurangan lain dari cantik, tetapi berhati dengki. Badan sosok Batara Guru adalah ia mudah jasmani Batari Permoni yang cantik jelita marah, mudah terbujuk dan mudah iri hati. dimasukan roh Dewi Uma. Dengan Padahal ia memiliki kesaktian yang tinggi. demikian, Batara Guru tetap beristri Oleh karenanya dalam berbagai wanita cantik. tindakannya yang salah, Batara Guru Batari Durga yang telah diganti sering mendapat teguran dari Semar jiwanya dengan jiwa Batari Permoni dan (Sudjarwo, dkk 2010, 94). Bahkan dalam

Islamic Comunication Journal 50 Volume 02, Nomor 01, Januari-Juni 2017

Ahmad Hidayatullah Serat Kanda ia justru digambarkan raksasa mati, tetapi muncul Dewa Indra sebagai sosok antagonis, sebab ia menjumpainya dan mengucapkan merupakan penyebar Sang Iblis, Ijajil dan terimakasih karena telah meruwatnya. mengaku ‗Tuhan‘ (Mulyono 1989, 33). Tahap ketiga, Sementara dalam lakon Dewaruci, Bima mendapat punakawan ia mohon Batara Guru yang memiliki kedigdayaan diri kepada ibu dan saudara-saudaranya. sebagai penguasa Tribuana justru harus Karena ia dianjurkan ke dasar samudra diruwat oleh Bima dalam wujud Sang tempat keberadaan air suci mahapawitra. Angkusprana. Adapun secara rinci, lakon Bima tenggelam ke dasar laut (akhirnya ia Dewaruci terbagi dalam delapan tahapan terdampar di sebuah pulau). Ia kagum (episode), sebagaimana berikut melihat keindahan pulau tersebut. (Endraswara 2015, 171-173): Berbagai macam tumbuhan dan binatang Tahap pertama, menghuni pulau tersebut. Sang Hyang Memuat kisah di gajah Oya. Acintiya (nama lain Nawaruci) Duryudana sedang berdialog dengan menciptakan berbagai macam makanan Durna, tentang rencana pembunuhan untuk menjamu Bima. terhadap Bima. Tiba-tiba BIma datang Tahap keempat, disambut dengan baik oleh keduanya. Ia Bima memndapat wejangan filosofis diperintahkan untuk mencapai air suci yang bertenden siwaistis, tentang arti mahapawitra dari sumur dorangga. Bima hidup manusia. tujuannya, serta fungsi menjalankannya dengan sepenuh hati. berbagai macam anggota badan dan Tanpa pikir panjang ia masuk ke sumur hubungannya dengan kehidupan, tentang tersebut. jenis kematian, sangkan-paran, dsb. Atas perintah sang guru yang sangat Dalam memberikan wejang, Nawaruci dihormati, Bima ke sumur tersebut. Ia minta agar Bima masuk ke dalam tidak menemukan air, melainkan sepasang perutnya melalui telinga, setelah ular naga membelitnya. Bima berhasil menerima wejangan secara tuntas, Bima membunuhnya dengan kuku Pancanaka. mendapat nama baru, yaitu Awirota. Keduanya diruat menjadi bidadara dan Tahap kelima, bidadari yang tampan dan cantik bernama Sarambada dan Hamadi. Keduanya Dengan nama Awirota, Bima mengucapkan terimakasih kepada Bima. meninggalkan Nusakambangan menuju Bima kembali ke Hastinapura dan Barunapada, tempat tinggal Sang Hyang melaporkan kepada Drona. Ia dianjurkan Baruna, dan tertinggal dewa-dewa lain, ke hutan Amdadawa tempat keberadaan seperti Brahmapada, Wisnupa Indrapada, air suci. dll. Selanjutnya ia menuju Amertajiwani di pertapaaan Siwamurti. Agar bisa masuk Tahap kedua, Berisi kisah bima menuju hutan kesitu Bima harus mengalahkan penjaga Amdadawa. Bima tertipu lagi. Di hutan itu pintu gerbang bernama Raja Panolah. ia tidak menemukan air suci, melainkan Bima mendapatkan tirtakamandalu atau berjumpa dengan raksasa Indrabahu yang mahapawitra. ingin memangsanya. Terjadi perkelahian Tahap keenam, keduanya, dan raksasa berhasil dibunuh,

Islamic Comunication Journal Volume 02, Nomor 01, Januari-Juni 2017 51

Reduksi Nilai-Nilai Non-Tauhid…hal.45-57

Bima kembali ke Hastinapura untuk Batara Guru. Penamaan Siwa menjadi menyerahkan mahapawitra kepada Drona. Manikmaya dan Batara Guru tersebut Drona tidak percaya bahwa Bima berhasil tidak terlepas dari nilai-nilai Islam-Jawa mendapatkannya. Karena tujuan utama yang ditanam oleh para Walisongo. Drona bukan untuk mendapatkan air suci, Manikmaya berasal dari bahasa Arab; Ma melainkan ingin membunuhnya secara + Nikma + Ya, yang berarti; Apa saja + halus. Drona menghina Bima, Bima Kenikmatan + Ku. Manikmaya= Apa saja marah dan mendorongnya dalam laut, Kenikmatan-Ku (Allah). Penamaan Bima tidak sampai hati melihat gurunya tersebut ditujukan untuk menyadarkan tenggelam lalu menolongnya. manusia bahwa segala kenikmatan adalah Tahap ketujuh, mutlak berasal dari kebesaran Allah Swt Bima meninggalkan Hastinapura (Padmosoekotjo 1979, 42). Pemilihan menuju pertiwijati untuk bertapa, bahasa Arab dalam besutan nama baru mengehningkan cipta dengan jalan Manikmaya adalah sebuah kewajaran menjauhi sesuatu yang bersifat duniawi sebab Islam sendiri berasal dari daratan dengan nama Angkuaprana. Bima Arab -utamanya ajaran inti Islam yang mendapat restu dari para dewa, bahkan termaktub dalam Al-Qur‘an juga Sang Hyang Pramesthi Guru datang berbahasa Arab-. Meski demikian bersama Uma untuk merestuinya. Setelah Islamisasi di Jawa bukanlah proyek memberikan berbagai macam godaan dan Arabisasi, sebab terbukti dialeg yang cobaan, Bima tetap tegar. Bima berdialog muncul masih menggunakan bunyi (O) dengan paradewa tentang kebajikan dan bukan (A) sebagai indentitas cara kejahatan berdasar pada slokagama. ucap/baca masyarakat Jawa. Setidaknya Setelah itu Bima mendapat wejangan dari hal itu dimunculkan pada kultur oral para dewa. masyarakat Jawa yang berada di Jawa Tahap kedelapan Tengah-Jawa Timur sebagai area utama Bima berhasil mengalahkan godaan dakwah para Wali. Lain cerita ketika di yang menimpanya. Ia juga meruwat area Jawa bagian Barat (utamanya Tanah Batara Guru dandewa-dewa lainnya. Para Pasundan), menjadi sebuah keniscayan dewa menaruh hormat pada Angkusprana, cara ucap/baca akan berbeda -cenderung lalu kembali ke kahyangan masing- menggunakan (A) daripada (O). masing. Bima kembali ke Indraprasta Sementara Batara Guru diambil dari disambut oleh ibu dan saudara- Batara Paramesti Guru = Parama + Esti + saudaranya. Mereka mengadakan pesta Gu + Ru= Luhur + Tujuan + Gubahan + pora untuk menyambut kedatangan Sang Baru = gubahan baru yang memiliki Angkusprana dengan kesaktian yang luar tujuan luhur (Padmosoekotjo 1979, 43). biasa. Makna yang dimunculkan tentu adanya sebuah upaya untuk merubah citra Hindu TEMUAN PENELITIAN yang melekat erat pada Siwa, bergeser Dewa Siwa terpapar di pembahasan pada rasa baru Jawa-Islam. Urgensi dari sebalumnya telah digubah karakternya penamaan tersebut adalah pola persuasif menjadi sosok Manikmaya yang untuk menghilangkan ajaran Dewa yang kemudian juga dikenal dengan nama sangat lekat dengan kesyirikan (dalam

Islamic Comunication Journal 52 Volume 02, Nomor 01, Januari-Juni 2017

Ahmad Hidayatullah versi Islam) sebab jumlah Tuhan yang mendalam terdapat proses desakralisasi tidak lagi tunggal. dalam upaya mereduksi mitos-mitos yang Ditinjau secara fisik, Siwa dalam sebelumnya tertanam dalam masyarakat mitologi Hindu digambarkan mempunyai Jawa pemeluk Hindu. Tangan empat yang tangan empat, dan selalu berpakaian kulit diperolehnya seolah-olah menampakkan macan dan berambut loreng dan seekor sebuah pesan tentang ketidak mampuan naga melingkar di lehernya. Lambang-nya Sang Dewa, bahkan hanya untuk adalah Lingga atau Phallus. Melihat menangkap seorang Dewi (yang tentu penggambaran karakter tersebut, derajatnya tidak lebih tinggi darinya). sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Dewa yang sarat akan ke-Maha Kuasa-an yang digubah dalam dunia pewayangan pada akhirrnya tereduksi dengan Jawa. Siwa dalam gubahan baru berwujud sendirinya saat sisi manusiawi dilekatkan Manikmaya/Batara Guru juga oleh Walisongo pada karakter Batara digambarkan hampir sama, utamanya Guru. pada sisi ikonik tangan empat (Catur Boja Proses reduksi ini semakin bertambah yang melekat pada karakter ini). Namun lagi saat tokoh baru Sang Hyang Wenang perbedaan yang terdapat pada keduanya diposisikan sebagai sebuah solusi atas bisa dilihat dari latar belakang perihal munculnya intrik konflik yang wujud karakter yang didapat. dimunculkan dalam gubahan alur baru. Semisal tentang bagaimana Siwa yang dalam Hindu merupakan satu Manikmaya/Batara Guru memiliki tangan dari tiga simbol tertinggi agama budaya empat. Sisi kekosongan alur penceritaan ini (disebut juga Trimurti), dipaksa harus yang terdapat dalam Hindu, sebab Siwa tunduk memohon peran tokoh Dewa lain bertangan empat tidak memiliki latar guna memenuhi keinginannya untuk belakang perihal bagaimana sampai meminang Dewi Uma. Secara lugas tentu karakter berjuluk Dewa Perusak ini ber- tidak berlebihan jika makna yang sedang Catur Boja, membuat para Wali dibangun adalah Batara Guru sudah pasti memainkan perannya. Kemudian lahir tidak sehebat leluhurnya Sang Hyang sebuah alur di mana Batara Guru ingin Wenang yang mampu memberinya mendapatkan Dewi Uma, yang pada sepasang tangan lagi. akhirnya memohon Sang Kakek, Sang Selain itu secara silsilah (nasab) Hyang Wenang untuk menambahkan dalam pewayangan, meletakkan Sang sepasang tangan lagi agar bisa menangkap Hyang Wenang sebagai keturunan Nabi Dewi pujaannya yang sedemikian pada garis keturunan Nabi Adam, yakni gesitnya, sebagai sebuah syarat yang melalui jalur Nabi Sis. Berikut adalah memang harus dipenuhi jika ingin silsilah pewayangan tersebut (Soedjarwo, mempersuntingnya. ddkk 2010, 218-219): Melihat penggubahan alur cerita di atas, tentu jika diamati secara lebih

Islamic Comunication Journal Volume 02, Nomor 01, Januari-Juni 2017 53

Reduksi Nilai-Nilai Non-Tauhid…hal.45-57

Peletakkan Siwa sebagai keturunan kepada manifestasi dari wujudnya Sang Hyang Wenang dan kemudian (sejajar), maka dalam wayang Dewa berada di bawah silsilah Nabi Adam diletakkan pada posisi atas-bawah, tinggi- sejatinya merupakan proses yang rendah, dahulu-belakangan, lama-baru, di dikontruksi oleh Walisongo sedang ingin bawah manusia pertama bernama Adam. melakukan tindakan memanusiakan Dengan kata lain Siwa dalam wujudnya ‗Siwa‘ yang notabene merupakan Dewa yang baru (Batara Guru) sedang yang disembah oleh masyarakat Jawa saat mengalami reduksi karena otomatis itu. Artinya jika dalam ajaran Hindu, mahluk yang lahir dari manusia, tentu dia Brahman sebagai Tuhan alam semesta, adalah manusia juga apa pun itu namanya. bukan meletakkan Siwa sebagai sebuah Berikut ilustrasinya: tatanan hirarki (atas-bawah) tetapi lebih

Gambar. 2. Ilustrasi Bagan Perbandingan antara manifestasi dan jalur nasab para Dewa versi ajaran Hindu dan Wayang Jawa

Islamic Comunication Journal 54 Volume 02, Nomor 01, Januari-Juni 2017

Ahmad Hidayatullah Aspek lain yang muncul sebagai Semar. Saudara kandung yang menjadi sebuah upaya reduksi nilai non-tauhid abdi Pandawa di kemudian hari inilah adalah kisah lahirnya mahluk raksasa yang dalam alur pewayangan baru jahat Batara Kala -dari Rahim Dewi Uma- dihadirkan sebagai ‗warning‟ atas akibat dari karakter Batara Guru yang saat berbagai kekeliruan dan kekhilafannya. itu haus seksual, dan berbuntut pada Selain itu reduksi nilai non-tauhid pengutukan istrinya sendiri menjadi juga terjadi pada saat Batara Guru raksasa perempuan yang buruk rupa dihadirkan dalam lakon Dewaruci. Bima bernama Batari Durga. Karakter Don Juan dalam adegan di atas digambarkan kian dipertegas lagi dengan munculnya meruwat para Dewa, utamanya Dewa tokoh-tokoh baru berwujud bidadari yang memiliki kasta tinggi dalam berjumlah tujuh sebagai selirnya, masing- pewayangan -apalagi Hindu- yakni Batara masing bernama: Dewi Supraba, Dewi Guru (Siwa). Perlu diketahui bahwa ruwat Wilutama, Dewi Lenglengdanu, Dewi dalam dalam kamus Bahasa Jawa Kuna Irimirim, Dewi Gagarmayang, Dewi memiliki arti dibuat tidak berdaya, hancur, Tunjungbiru dan Dewi Warsiki. Belum binasa (kejahatan, kutuk, pengaruh jahat), lagi ia juga mempunyai dayang-dayang Sedangkan anruwat, rumuwat, rinuwat, berwujud Bidadari dan Hapsari yakni menyebabkan tidak berdaya, menghancurkan; membebaskan (dari kejahatan dll), membebaskan dari roh jahat (Zoetmulder dan Robson 2011, 967). Setidaknya kata meruwat memiliki makna mendekati dengan kata anruwat, yakni membebaskan dari hal-hal yang buruk yang membuat tidak berdaya seseorang. Jika dibenturkan pada konteks kebahasaan, logikanya orang yang melakukan ruwat harus memiliki Gambar 3. Dewi Uma dikutuk kemampuan lebih atas objek (orang) yang menjadi Batari Durga oleh Batara Guru. diruwat. Jika logika tersebut diterapkan, Sumber: Pedhalangan Jilid I. maka lagi-lagi tidak salah jika mengatakan ini sebagai proses reduksi Sebagai seorang Dewa yang idealnya terhadap Batara Guru (Siwa) sebab ia suci dari sisi buruk kemanusiawian, dalam digambarkan -setidaknya dalam kasus ini- wayang hal itu justru menjadi sebuah berada satu trap di bawah Bima yang keniscayaan. Ke-Maha Benar-an seorang hanya seorang manusia. Batara Guru sebagai salah satu wujud PENUTUP yang dipuja/disembah pada akhirnya dipertanyakan. Menjadi tidak me- Kontruksi karakter Batara Guru yang ngherankan kemudian jika tokoh baru sejatinya merupakan representasi dari yang lain dimunculkan sebagai antitesis Dewa Siwa dilakukan dengan ke-Maha Benar-an Manikmaya, yakni kebijaksanaan dan kreatifitas Walisongo Ismaya yang kemudian menitis menjadi secara cerdas dan tanpa melukai siapapun.

Islamic Comunication Journal Volume 02, Nomor 01, Januari-Juni 2017 55

Reduksi Nilai-Nilai Non-Tauhid…hal.45-57

Meskipun Siwa merupakan salah satu nilai tauhid secara persuasif dan infiltratif simpul ajaran Hindu yang notabene melalui kesnian menjadi stategi jitu merupakan ajaran non-tauhid tidak serta berbasis kultural yang terbukti merta membuat Walisongo membabi-buta memunculkan hasil luar biasa. Adapun dalam memberangus ajaran dan keyakinan proses reduksi nilai-nilai non tauhid dalam yang dimiliki oleh masyarakat Jawa saat kontruksi karakter Batara Guru secara itu. Akhirnya menginternalisasikan nilai- garis besar terdapat dalam tabel berikut:

Siwa Versi Ajaran Siwa Versi Proses Reduksi Nilai-Nilai Hindu Pewayangan (Batara Non-Tauhid dalam Guru) Kontruksi Karakter Batara Guru Manifestasi Bernama Sang Hyang - Menjadi putra Sang Brahman, salah Manikmaya (Batara Hyang Tunggal, satu dari Trimurti. Guru) putra Sang sehingga otomatis Hyang Tunggal. menjadi keturunan Nabi Adam (menjadi manusia) - Meminta pertolongan pada Sang Hyang Wenang (kakeknya), saat ingin mengejar Dewi Uma. - Kalah hebat dengan ayahnya, Sang Hyang Tunggal. - Memiliki karakter gila wanita. - Terkadang lalai dalam bertindak, sehingga selalu diperingatkan oleh Semar (yang hanya manusia). - Diruwat oleh Bima dalam wujudnya Angkusprana pada lakon Dewaruci

Islamic Comunication Journal 56 Volume 02, Nomor 01, Januari-Juni 2017

Ahmad Hidayatullah DAFTAR PUSTAKA Soewadji, Jusuf. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Aizid, Rizem, 2012. Atlas Tokoh-Tokoh Penerbit Mitra Wacana Media. Wayang, Yogyakarta: Diva Press. Sou‘yb, Joesoef, 1996. Agama-Agama Arps, Bernard. 2007. Writings on Besar di Dunia. Jakarta: PT. Al Wayang: Approrches to Puppet Husna Zikra. Theatre in And Bali in Fifteen Sudibyoprono, R. Rio, 1991. Ensiklopedi Recent Books Indonesia Circle. Wayang Purwa, Jakarta: Balai London : School of Oriental & Pustaka. African Studies. Newsletter. Sudjarwo, Heru S., dkk, 2010. Rupa dan Gunawan, Imam. 2013. Metode Penelitian Karakter Wayang Purwa, Jakarta: Kualitatif: Teori dan Praktik. Kaki Langit Kencana Prenada Jakarta: Bumi Aksara. Media Group. Kaelola, Akbar, 2010. Mengenal Tokoh Sunyoto, Agus, 2012. Atlas Walisongo. Wayang Mahabharata, Yogyakarta: Depok: Pustaka IIMaN. Penerbit Cakrawala. Supriono, dkk, 2008. Pedhalangan Jilid Kapalaye, Ki Ageng, 2010. Kamus Pintar 1. Jakarta: Departemen Pendidikan Wayang (Dari Versi Hingga Nasional. Pewayangan Jawa), Yogyakarta: Surakhmad, Winarno, 1990. Pengantar Laksana. Penelitian Ilmiah: Dasar,Metode, Kasdi, Aminuddin, 2005. Memahami dan Teknik. Bandung: Tarsito. Sejarah. Surabaya : Unesa Press. Zed, Mestika, 2004. Metode Penelitian Klostermaier, Klaus K., 2003. A Concise Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Encyclopedia of Hinduism. Oxford: Obor Indonesia. Oneworld Publication. Zoetmulder, P.J. dan Robson, S.O., 2011. Mulyono, Sri, 1989. Apa dan Siapa Kamus Jawa Kuna - Indonesia. Semar. Jakarta: CV. Haji Mas Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Agung. Pada 7 November 2003, UNESCO Padmosoekotjo, S., 1979. Silsilah menetapkan seni wayang sebagai Wayang Purwa Mawa Carita Masterpiece of the Oral and Jilid. Surabaya: CV. Citra Intageble Heritage of Humanity, Jaya. karena wayang dianggap bernilai Purwadi, dkk, 2006. Jejak Para Wali dan tinggi bagi peradaban manusia. Ziarah Spiritual, Jakarta: Kompas. Baca: Sujarwo, dkk (2010), xxxiv. Samad, Uflat Aziz-us, 1990. Agama- Agama Besar di Dunia terj. Great Religions of the World, Bombay: Mr. Abdur Razaak. Ebook- ww.aaiil.com.

Islamic Comunication Journal Volume 02, Nomor 01, Januari-Juni 2017 57