Musik Tradisional Minangkabau

Ediwar, S.Sn., M.Hum., Ph.D Dr. Rosta Minawati, S.Sn., M.Si Dr. Febri Yulika, M.Hum Drs. Hanefi, M.Pd

Musik Tradisional Minangkabau

Penulis : Ediwar, S.Sn., M.Hum., Ph.D, Dr. Rosta Minawati, S.Sn., M.Si Dr. Febri Yulika, M.Hum Drs. Hanefi, M.Pd

Design Cover dan Tata Letak : Elin & Gun

Penerbit GRE PUBLISHING Jln. Magelang Km. 3 Gang Margo Karangwaru Lor TR II/417C Yogyakarta – 55241 http://grepublishing.com

Cetakan 2017 ISBN 978-602-7677-36-4 Dilarang keras mereproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini, dalam bentuk apa pun atau dengan cara apa pun, serta memperjualbelikannya tanpa izin tertulis dari penerbit

© HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

ii

SAMBUTAN REKTOR ISI PADANGPANJANG

i bulan Agustus ini Kemenristek Dikti merilis peringkat 100 perguruan tinggi terbaik non vokasi D se-. ISI Padangpanjang berhasil menduduki posisi 85. Sebuah pencapaian yang patut disyukuri sekaligus tidak bisa dilepaskan dari peran dan kerja keras terutama para dosen yang terus melakukan kegiatan- kegiatan riset unggulan. 30% komponen penilaian pemeringkatan itu didasarkan kepada hasil penelitian dan kegiatan pengabdian masyarakat. Dalam konteks ini saya mengapresiasi penuh setiap publikasi buku dari dosen-dosen ISI Padangpanjang terutama sekali yang diangkat dari sebuah penelitian berkualitas. Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan karya beberapa dosen ISI Padangpanjang, yaitu: Ediwar, S.Sn., M.Hum., Ph.D, Dr. Rosta Minawati, S.Sn., M.Si, Dr. Febri Yulika, M.Hum, Drs. Hanefi, M.Pd. Mengambil judul “Musik Tradisional Minangkabau”, buku ini punya misi besar hendak melakukan pendataan sekaligus pemetaan yang lebih detail terkait keberadaan berbagai kesenian musik tradisional Minangkabau yang masih eksis dan dimainkan oleh masyarakat di berbagai daerah di Sumatera Barat. Menurut penulis buku ini, kategorisasi secara geo-budaya bisa dilihat dari klasifikasi musik tradisi pukul (perkusi), musik tradisi

iii

tiup; musik tradisi gesek, dan musik tradisi petik. Menariknya lagi, sisi pengaruh Islam sangat kuat pada perkembangan musik tradisional Minangkabau. Informasi ilmiah tentang musik tradisional Minangkabau sangat penting bagi pelaku musik tradisional itu sendiri dalam hal pewarisan seni budaya kepada generasi penerus dan juga sangat besar perannya bagi pemerintah dalam membuat event-event kesenian terutama sekali yang berorientasi pada promosi wisata Sumatera Barat. Di titik ini kemudian sebuah riset akademis bisa menampakkan unsur implementatifnya bagi masyarakat luas. Saya ucapkan selamat kepada tim dosen yang berhasil menghadirkan buku berkualitas ini ke tengah-tengah publik. Semoga usaha ini bisa memberikan manfaat kepada banyak pihak. Amiin.

Rektor ISI Padangpanjang

Prof. Dr. H. Novesar Jamarun, MS

iv

SAMBUTAN KETUA LPPMPP ISI PADANGPANJANG

erbahagia sekali kami tetap bisa terus mempersembahkan karya dan menyebarkan ilmu B kepada masyarakat luas sebagai komitmen dari LPPMPP ISI Padangpanjang untuk terus meningkatkan ketersediaan bacaan akademik bermutu di bidang seni khususnya yang berkaitan dengan seni Minangkabau. Buku “Musik Tradisional Minangkabau” ini merupakan publikasi kesekian kalinya dari LPPMPP ISI Padangpanjang untuk terus memperkaya khasanah literasi kesenian tradisional Nusantara.

Buku ini yang merupakan hasil riset yang didanai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) Kemenristek Dikti mencoba menelisik pemetaan musik- musik tradisional Minangkabau terutama sekali dari sisi penggunaannya. Tim penulis telah berhasil mengklasifikasikan 4 jenis musik yang hidup di tengah- tengah masyarakat Minangkabau, yaitu: (1) Musik Perkusi Tradisional Minangkabau; (2) Musik Tiup Tradisional Minangkabau; (3) Musik Gesek dan Petik Tradisional Minangkabau; dan (4) Musik/Tari Indang Minangkabau Pengaruh Islam.

Upaya ini adalah usaha rintisan awalan yang mesti diteruskan oleh peneliti-peneliti selanjutnya dalam kajian yang lebih luas dan mendalam. Sebagaimana disarankan oleh tim tim penulis bahwa masih ada 2 tahapan penelitian lagi

v

yang bisa dikerjakan ke depan terkait pendataan dan pemetaan musik tradisional Minangkabau, yakni kajian aspek organologis dari instrumen musikal (alat musik) musik tradisional Minangkabau dan kajian terhadap nilai-nilai musikal dimana kajian ini melalui analisis musik dari sudut pandang musikologinya.

Namun, apapun itu kami dari LPPMPP ISI Padangpanjang sangat menghargai upaya yang telah dilakukan oleh para penulis sekaligus akan terus mendorong dan membantu penelitian lanjutan terkait dengan pemetaan musik tradisional Nusantara khususnya Minangkabau.

Ketua LPPMPP ISI Padangpanjang

Dr. Febri Yulika, S.Ag., M.Hum

vi

KATA PENGANTAR

eragaman musik yang terdapat di Minangkabau, merupakan kekayaan budaya yang sangat berharga. K Warisan tersebut mencerminkan betapa kreatifnya para seniman masa lalu menciptakan entitas-entitas musik yang saling berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Perbedaan-perbedaan itu bisa terjadi pada bentuk fisik, sumber bahan, ukuran, cara memainkan, suara yang dihasilkan, lagu-lagu yang dimainkan, jumlah pemain, karakter musiknya, konsep musiknya, kategori musiknya, masyarakat pendukungnya, dan fungsinya di masyarakat.

Apabila kita merujuk perjalanan waktu, bahwa kesenian yang ada dewasa ini merupakan perkembangan dari warisan budaya masa lampau yang bergulir dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa kesenian (tradisional) mengalami dinamika yang hebat. Terutama dalam melewati berbagai ruang dan waktu. Ruang dan waktu itu sudah barang tentu akan ikut dipengaruhi oleh budaya dan masyarakat yang dilintasinya. Ketika masyarakat Minangkabau hidup dalam tatanan masyarakat tradisional yang agraris, kehadiran kesenian akan memberi makna tersendiri dalam hidup dan kehidupannya; ketika masyarakat Minangkabau dipengaruhi oleh budaya Islam, maka kesenian yang bernafaskan Islam juga ikut berkembang dan mempengaruhi budaya masyarakat; ketika masyarakat Minangkabau dipengaruhi oleh budaya Barat dan budaya lainya, maka kesenian modern gaya Barat dan budaya lain

vii

yang mengimbuhinya pun ikut mempengaruhi pola hidup masyarakat Minangkabau, dan begitu seterusnya.

Musik Minangkabau dalam perjalanannya melintasi berbagai generasi dan masyarakat, ada yang hidup dan berkembang dengan baik, menantang atau mengikuti perkembangan zaman, namun ada pula yang telah berakhir dan punah meninggalkan nama tanpa ada pewarisnya. Bahkan ada pula yang diibaratkan hidup segan mati tidak mau. Tentu saja kita tidak berharap agar warisan budaya itu hilang tanpa bekas, tanpa pewaris, tanpa catatan, dan sebagainya. Demikian panjang waktu yang dilewatinya dengan berbagai dinamika, namun belum banyak catatan- catatan yang berkaitan dengan kesejarahan yang bisa kita pedomani untuk bahan bacaan maupun referensi bagi generasi berikutnya. Permasalahan penting yang belum dilakukan dengan serius adalah pemetaan seni yang ditindaklanjuti dengan inventarisasi dan dokumentasi.

Pemetaan dan inventarisasi serta pendokumentasian seni sangat penting sebagai salah satu upaya untuk menyelamatkan warisan budaya, yang diperkirakan akan terjadi pendegradasian nilai, bahkan sebagian menuju kepunahan seiring dengan perkembangan zaman. Pemetaan musik Minangkabau sudah saatnya dilakukan. Oleh karena perhatian ke arah itu secara menyeluruh, tidak banyak dilakukan oleh pemerintahan, apalagi perorangan. Pemetaan atau inventarisasi musik dengan grupnya, lebih banyak dilakukan oleh Diparsenibud (Dinas Pariwisata Seni dan Budaya) daerah-daerah kabupaten dan kota di Sumatra Barat, untuk kepentingan mereka masing-masing. Pemetaan dan inventarisasi keberagaman dan kekayaan musik Minangkabau, masih spasial. Kita tidak mengharapkan seperti itu, justru yang diharapkan adalah pemetaan secara lebih luas, tentang musik Minangkabau.

viii

Kami sangat berharap, apa yang telah diuraikan dalam buku ini menjadi upaya yang bermanfaat bagi upaya pelestarian musik tradisional Minangkabau melalui langkah awalan melakukan inventarisir dan pemetaan musik-musik tradisional yang masih eksis saat ini di berbagai daerah di Sumatera Barat.

Semoga bermanfaat.

Tim Penulis

ix

x

DAFTAR ISI

Sambutan Rektor ISI Padangpanjang ~ iii Sambutan Ketua LPPMPP ISI Padangpanjang ~ v Kata Pengantar ~ vii Daftar Isi ~ xi

BAB 1. PENDAHULUAN ~ 1

BAB 2. MUSIK PERKUSI TRADISIONAL MINANGKABAU ~ 5 2.1. Musik Perkusi Melodis ~ 6 2.1.1. Musik Tradisional ~ 8 1. Musik Tradisional Talempong Pacik ~ 9 2. Talempong Duduak ~ 21 2.2. Musik Perkusi Ritmis ~ 35 2.2.1. Musik Tradisional Gandang Tambua Pariaman ~ 36 2.2.2. Musik Tradisional Gandang Sarunai Sungai Pagu ~ 40 2.2.3. Musik Tradisional Gandang Tansa Maninjau ~ 42 2.3 Alat Musik Perkusi Ritmis Pengiring Nyanyian ~ 44 2.3.1. Musik Tradisional Dikia Mundam Luhak Tanahdata ~ 45 2.3.2. Musik Tradisional Dikia Pano Kabupaten Pasaman ~ 47 2.3.3. Musik Tradisional Dikia Rabano Ampek Angkek ~ 48

BAB 3. MUSIK TIUP TRADISIONAL MINANGKABAU ~ 53 3.1. Musik Tradisional ~ 54 3.1.1. Saluang Darek (Saluang Dendang) ~ 54 3.1.2. Saluang Sirompak ~ 61

xi

3.1.3. Saluang Pauah/Dendang Pauah ~ 66 3.1.4. Saluang/Bansi Solok ~ 68 3.2. Musik Tradisional Sampelong Talang Maua ~ 69

BAB 4. MUSIK GESEK-PETIK TRADISIONAL MINANGKABAU ~ 73 4.1. Musik Tradisional Rabab Pasisia ~ 74 4.2. Rabab Piaman ~ 77 4.3 Rabab Darek ~ 78 4.4. Rabab Badoi ~ 82 4.5. Sijobang Kucapi Luhak Limo Puluah ~ 83

BAB 5. MUSIK/TARI INDANG MINANGKABAU: PENGARUH ISLAM ~ 87 5.1. Indang Pariaman ~ 87 5.2. Indang Solok ~ 93 5.3. Indang Tuo Maninjau ~ 95

BAB 6. PENUTUP ~ 99

Kepustakaan ~ 103 Indeks ~ 109

xii

xiii

xiv

BAB I PENDAHULUAN

usik tradisional Minangkabau dalam perjalanannya melintasi berbagai generasi dan masyarakat. Ada yang M hidup dan berkembang dengan baik, menantang atau mengikuti perkembangan zaman, namun ada pula yang telah berakhir dan punah meninggalkan nama tanpa ada pewarisnya. Bahkan ada pula yang diibaratkan hidup segan mati tak mau. Tentu saja kita tidak berharap agar warisan budaya itu hilang tanpa bekas, tanpa pewaris, tanpa catatan, dan sebagainya. Demikian panjang waktu yang dilewatinya dengan berbagai dinamika, namun belum banyak catatan-catatan yang berkaitan dengan kesejarahan yang bisa kita pedomani untuk bahan bacaan maupun referensi bagi generasi berikutnya. Permasalahan penting yang belum dilakukan dengan serius adalah pemetaan seni yang ditindaklanjuti dengan inventarisasi dan dokumentasi. Pemetaan, inventarisasi, dan pendokumentasian seni sangat penting sebagai salah satu upaya untuk menyelamatkan warisan budaya, yang diperkirakan akan terjadi pendegradasian nilai, bahkan sebagian menuju kepunahan seiring dengan perkembangan zaman. Pemetaan musik Minangkabau sudah saatnya dilakukan. Oleh karena perhatian ke arah itu secara menyeluruh tidak banyak dilakukan. Pemetaan atau inventarisasi musik dengan grupnya lebih banyak dilakukan oleh Diparsenibud (Dinas Pariwisata Seni dan Budaya) daerah- daerah kabupaten dan kota di Sumatera Barat, untuk kepentingan mereka masing-masing. Pemetaan dan inventarisasi keberagaman dan kekayaan musik Minangkabau masih spasial.

1

Kita tidak mengharapkan seperti itu. Justru yang diharapkan adalah pemetaan yang mengidentifikasi jenis-jenis musik tradisional Minangkabau. Untuk pemetaan musik tersebut, beberapa cara yang dilakukan, antara lain: berdasarkan wilayah administratif, penyebaran atau letak dan geografis; berdasarkan klasifikasi jenis alat musik dan cara memainkan (kajian organologis); berdasarkan fungsi dan guna; berdasarkan konsep musik dan masyarakatnya serta unsur budaya musikal lain yang mempengaruhi (musikologis); berdasarkan ruang dan waktu atau zaman. Pemetaan musik berdasarkan kepada letak secara geografis dapat dipandang dari dua kacamata, yaitu berdasarkan ‘sosio-budaya’ (tradisional) dan administrasi pemerintahan. Letak berdasarkan daerah budaya adalah konsep alam Minangkabau (geo-budaya), sedangkan letak berdasarkan daerah administratif adalah daerah-daerah yang dilingkupi oleh perbatasan menurut pembagian pemerintahan provinsi (geopolitik). Merujuk kepada konsep geo-budaya, maka berhubungan dengan dua istilah, yaitu dari segi filosofi geo- budaya masyarakatnya: luhak nan tigo, darek dan rantau, hingga ke nagari-nagari. Sedangkan dari segi geo-politik terkait langsung kepada pembagian wilayah pemerintahan; wilayah kecamatan, kabupaten dan kota, serta provinsi. Pekerjaan mengidentifikasi musik tradisional Minangkabau memang lebih ideal bila dilakukan dalam kaitannya dengan wilayah geo-budaya karena pada dasarnya musik tradisional itu tumbuh dan berkembang di lingkungan budaya masyarakat pemilik dan pendukungnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembagian wilayah secara geo-politik tidak serta-merta seiring dengan pembagian wilayah geo-budaya. Bisa saja terjadi kesatuan wilayah pemerintahan kecamatan atau kabupaten memiliki musik tradisional masing-masing, dan bisa juga di masing-masing wilayah itu memiliki musik tradisional yang sama.

2

Memang sulit mengidentifikasi musik tradisional Minangkabau secara ketat mengacu kepada satu pendekatan di atas, yaitu pendekatan geo-budaya karena ditemui kasus-kasus yang spesifik dimana masyarakat pemilik dan pendukung musik itu tetap mengakui bahwa musik mereka adalah musik kepunyaan suatu wilayah pemerintahan (geo-politik). Hal ini tidak bisa dikesampingkan dan peneliti tidak bisa pula menjelaskannya karena batas-batas etis penelitian. Sejauh ini, jenis-jenis musik tradisional Minangkabau yang sangat umum dikenal oleh masyarakat secara lebih luas berdasarkan cara memainkannya, misalnya: musik tradisi pukul (perkusi), musik tradisi tiup; musik tradisi gesek, dan musik tradisi petik. Pembagian ini telah ditulis oleh Margaret Kartomi dalam tulisannya Taxonomimal Model of The Instrumentarium and Regional Ensambles in Minangkabau.1 Walaupun taksonomi yang dituliskan oleh beliau berdasarkan jenis-jenis alat musik menyinggung aspek organologis, namun sifat-sifat alat musik yang dikemukakannya terkait juga dengan jenis-jenis musik yang menggunakan alat musik itu sebagai media pelahiran materi musikalnya. Misalnya menunjuk musik tradisional saluang dendang, bahwa musik ini menggunakan alat musik tiup saluang (flute); musik tradisional gandang tambua, musik ini menggunakan alat musik pukul (perkusi) gandang (drum); musik tradisional rabab piaman, musik kaba (bercerita) ini menggunakan alat musik rabab (lute). Secara umum, begitulah sebutan untuk musik-musik tradisional Minangkabau lainnya. Pemetaan musik tradisional Minangkabau pada buku ini mengacu pada jenis-jenis musik tradisional meminjam istilah dan pembagiannya secara taksonomis sebagaimana yang dijelaskan di atas. Khusus untuk penjelasan musik-musik tradisional bernuansa Islam ditempatkan pada bab khusus, dan tidak terkait dengan kategori taksonomi alat-alat musik

1 “Taxonomimal Model of The Instrumentarium and Regional Ensambles in Minangkbau.” In On Concepts and Classifications of Musical Instruments. Chicago University of Chicago Press. 1990.

3

Minangkabau. Walaupun ditemukan alat musik yang termasuk juga ke dalam prinsip penamaan jenis musiknya seperti salawat dulang, dikia rabano, dan lain-lain, digunakan sebagai media musikalnya maka hal itu tidak dikaitkan dengan konsep taksonomi dimaksud. Dengan demikian, pada bab-bab berikutnya disajikan gambaran peta keberadaan musik tradisional Minangkabau sebagai berikut: 1) musik tradisional perkusi Minangkabau; 2) musik tradisional tiup Minangkabau; 3) musik tradisional gesek dan petik Minangkabau; 4) musik pengaruh Islam Minangkabau (musik Indang Minangkabau). Untuk bagian ke-empat, yaitu musik pengaruh Islam Minangkabau dimasukkan ke kategori musik tradisional Minangkabau karena dianggap musik itu berupa gabungan antara musik dengan tari. Menyadari bahwa elemen musikal yang relatif dominan dalam komposisi lagunya maka kesenian Indang itu diidentifikasikan sebagai musik; kekuatan unsur ritmis hasil permainan pola-pola ritme alat musik indang mengandung permainan teknik-teknik tertentu yang dianggap unik, dan selain itu teknik call & respons dari nyanyian koor (choir) anak indang dan solo vokal leader-nya memiliki keunikan pula. Sedangkan aspek gerak atau unsur tari relatif tidak menonjol.

4

BAB 2 MUSIK PERKUSI TRADISIONAL MINANGKABAU

usik perkusi adalah jenis musik yang bunyinya dari hasil tabuhan dengan menggunakan alat pemukul M (stick), jari dan telapak tangan. Memahami musik perkusi ini harus terkait dengan teknik-teknik secara musikal, sehingga ditemukanlah “jenis musik perkusi apa” musik tradisi tersebut. Bila diperhatikan dari sudut pandang memproduksi bunyi musikal daripada musik perkusi di Minangkabau dapat dibagi atas dua jenis, yaitu ‘musik perkusi melodis’ dan ‘musik perkusi ritmis’. Musik perkusi melodis adalah musik perkusi yang mengutamakan unsur melodi yang membentuk lagu, sedangkan musik perkusi ritmis adalah musik perkusi yang mengutamakan aspek ritmis sebagai unsur yang membentuk lagu. Beberapa musik tradisional Minangkabau termasuk ke dalam kategori musikal sebagai “musik perkusi melodis” pada umumnya menggunakan alat musik secara organologis adalah keluarga berpencu, dari bahan perunggu yang disebut talempong dan canang. Selain itu ada pula alat musik talempong dari bahan bambu dan kayu berbentuk bilahan (xylophone), kalau alat musik itu dari bahan bambu disebut talempong batuang (talempong bambu) dan kalau dari bahan kayu disebut talempong kayu, dikategorikan sebagai musik perkusi melodis. Setiap genre musik tradisional talempong selalu menghasilkan

5

melodi, tetapi akan dapat dilihat bahwa ada beberapa teknik permainan untuk mencapai pola-pola melodi itu. Teknik permainan genre talempong pacik secara umum adalah teknik interlocking (kunci-mengunci atau berjalin), tetapi ada juga teknik hocketing pada talempong pacik dimana gerak melodi yang dibawakan dilakukan oleh seorang musisi untuk satu pergerakan nada; dan teknik melodis pada umumnya teknik dalam genre ensambel talempong duduak dengan alat musik disusun menurut tradisi masing-masing di atas rak atau rea, seorang musisi bertugas memainkan gerak melodi. Musik tradisional Minangkabau yang masuk kategori “musik perkusi ritmis” pada umumnya adalah musik perkusi gendang (drums). Dalam hal ini permainan unsur-unsur ritmis adalah faktor utama terciptanya lagu-lagu, berbagai pola-pola ritme yang diciptakan menggunakan teknik-teknik tertentu telah melahirkan sejumlah lagu yang berbeda-beda. Pada ensambel gandang tambua Pariaman yang termasuk ke dalam kategori musik tradisional perkusi ritmis memiliki sejumlah lagu seperti lagu Hoyak Tabuik, lagu Kureta Mandaki, lagu Siontong Tabang, dan lain-lain; setiap lagu tersebut mengandung pola- pola ritme, penggunaan teknik-teknik permainan ritmis, dan tempo yang berbeda-beda. Selain itu, kategori yang sama adalah ensambel gandang sarunai Sungai Pagu, memiliki sejumlah lagu seperti lagu Sikudidi, lagu Gandang Duo Piciak, dan lain-lain, juga mengandung pola-pola ritme serta teknik yang berbeda- beda juga.

2.1. MUSIK PERKUSI MELODIS Musik perkusi melodis adalah jenis musik yang hasil bunyinya disebabkan oleh permainan nada-nada dari seperangkat alat musik secara teratur dengan teknik-teknik permainan tertentu. Sejumlah nada-nada yang menghasilkan melodi itu biasanya lebih dari dua nada, misalnya sebuah alat tiup saluang otomatis harus memiliki sejumlah lobang nada sehingga mampu memproduksi sejumlah nada pula sebagai materi progresi atau langkah dan lompat nada-nada yang berbeda, menghasilkan kantur (contour) melodi menuju capaian

6

satu kesatuan melodi dalam komposisi musiknya. Begitu juga sejumlah nada-nada pada suatu ensambel musik perkusi melodis haruslah memiliki tiga atau lebih nada-nada dalam satu perangkat alat musik yang dimainkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ensambel musik perkusi melodis dapat dipastikan materi nada yang diproduksi alat musik utama pada ensambel tersebut memiliki sejumlah nada-nada yang menentukan ensambel perkusi tersebut adalah jenis musik perkusi melodis. Namun demikian, sejauh yang diketahui jika alat musik utama ensambel tersebut tidak memiliki tiga atau lebih nada-nada maka jenis musik tersebut tidak termasuk musik perkusi melodis karena tidak ada musik perkusi ritmis Minangkabau yang hanya menggunakan dua nada membangun gerak melodi tradisional secara utuh. Sebagai alat musik perkusi tentu jenis alat musik itu membutuhkan gerakan penabuhan (pemukulan) terhadap bahan alat musik itu sendiri. Pada umumnya alat yang digunakan sebagai penabuh adalah panokok/stick berupa tongkat berukuran kecil. Adakalanya bagian yang membentur ke alat musik dililit dengan karet atau tali (bisa juga benang) dan ada alat penabuh itu yang dililit dengan karet. Cukup jelas alasan secara tradisional kenapa alat musik itu dililit dengan benda- benda tertentu, maka hal ini ditujukan agar bunyi alat musik yang ditabuh menjadi “lembut” sesuai dengan kehendak para musisinya. Biasanya bunyi yang dihasilkan akan mengeluarkan resonansi yang agak panjang dibandingkan jika alat penabuhnya tidak dililit dengan benda dimaksud. Sebaliknya, jika penabuh tidak dililiit dengan benda tersebut di atas tentu bunyi yang dihasilkan eleh tabuhan yang langsung membentur adalah alat tabuhan itu sendiri, bunyinya akan lebih “nyaring” dan getaran resonansinya lebih pendek. Sesuai dengan pernyataan sejumlah musisi talempong pacik di beberapa tempat di wilayah kebudayaan Minangkabau bahwa mereka selalu menggunakan penabuh dari ranting kayu tertentu dan tidak melilit bagian yang membentur dengan alat musik. Hal itu merupakan konsep tradisi musikal agar bunyi yang dilahirkan tidak beresonansi panjang karena akan

7

mengganggu sistem interlocking yang membutuhkan resonansi nada-nada alat musik talempong terbatas, yaitu jalinan bunyi tidak terganggu oleh resonansi bunyi yang tidak dibutuhkan.

2.1.1 Musik Tradisional Talempong Talempong sebenarnya sudah lama dikenal dan bahkan sudah menunjukkan identitas “kedaerahan”. Sebagaimana telah disinggung di atas, umumnya orang tahu bahwa yang dimaksud dengan talempong adalah sejenis alat musik pukul keluarga gong berpencu dengan ukuran kecil, terbuat dari campuran bahan tembaga, kuningan dan timah. Talempong biasanya dimainkan oleh sekelompok orang dalam posisi berdiri atau berjalan (arak- arakan) untuk memeriahkan berbagai upacara adat di kampung- kampung. Selain itu alat musik talempong dimainkan sekelompok orang dalam posisi duduk yang disebut talempong duduak untuk menghibur atau memeriahkan suatu kegiatan terkait dengan adat.2 Istilah talempong dapat diartikan sebagai salah satu jenis musik tradisional di Minangkabau. Istilah talempong itu sendiri dapat pula diartikan sebagai alat musik perkusi dengan bahan perunggu dan yang uniknya masyarakat Minangkabau juga mengartikan sebagai ‘resonansi bunyi’ yang dihasilkan dari tabuhan (memukul) suatu benda. Kata ‘talempong’ yang diartikan sebagai resonansi bunyi dapat ditunjuk sebuah fakta yang ada dan telah menjadi objek wisata yaitu sebutan batu talempong di Talang Anau Kabupaten Limapuluh Kota. Benda pipih berukuran relatif besar tersebut bukanlah alat musik secara fungsional, tetapi alat yang berfungsi ritual tersebut menghasilkan bunyi hampir sama kedengarannya dengan bunyi talempong dari bahan perunggu, sehingga benda batu pipih itu disebut oleh masyarakat setempat sebagai ‘batu talempong’ (batu yang berbunyi seperti bunyi talempong).

2 Hanefi Dkk. Talempong Minangkabau: Bahan Ajar Musik dan Tari. (Bandung: P4ST. 2004), p.11

8

Pengertian yang unik dari kata talempong telah terpakai secara fungsional pada sejumlah ensambel talempong di Minangkabau. Benda-benda dari bahan kayu, bambu, dan besi berbentuk pipih (dalam istilah musik xylophone) telah menjadi musik tradisional di Minangkabau seperti talempong kayu, talempong botuang, dan talempong jao.3 Khusus talempong sambilu dari bahan bambu tidak berbentuk bilahan tetapi berupa sejumlah congkelan sembilu (kulit bambu) dengan resonator bahan itu sendiri (idio-chordophone atau idio-kordo). Talempong yang akan diuraikan dalam bab ini mencakup berbagai jenis talempong, baik dilihat dari ensambel maupun cara dan teknik memainkannya. Dalam hal ini ada dua kelompok ensambel talempong, yang dibagi berdasarkan dari teknik dan cara memainkannya, yaitu; disebut dengan talempong pacik dan talempong duduak. Sementara itu, musik talempong yang berkembang dalam masyarakat akademis, sanggar-sanggar kesenian, dan lembaga lainnya yang lebih mengarah pada penggunaan nada-nada diatonis dalam tangga nada yang digunakan akan dibahas pada bab tersendiri.

1. Musik Tradisional Talempong Pacik Talempong pacik merupakan genre musik perkusi tradisional yang terkenal dalam kehidupan masyarakat di wilayah budaya Minangkabau. Nama talempong pacik, seperti dikenal sekarang ini, merupakan sebutan yang digunakan khusus untuk keperluan ilmiah oleh para peneliti terhadap pengkajian salah satu genre musik talempong tradisional Minangkabau. Mereka ingin membedakan teknik permainan interlocking (saling tingkah-meningkah/kunci-mengunci) yang dimainkan secara dipacik atau dipegang.4 Hasil permainan talempong secara ritmis itu menghasilkan formula melodi- melodi pendek, dan hasil yang demikian sesungguhnya yang

3 Boestanoel Arifin Adam, “Talempong Musik Tradisi Minangkabau”, Laporan Penelitian (Padangpanjang: ASKI, 1986/1987), p.9. 4 Tulus Handra Kadir. “Teknik Interlocking dalam Gaya Permainan Talempong Minangkabau di Desa Kubang Pipik Kec. Baso Kabupaten Agam, Prop. Sumatera Barat.” Skripsi. (Medan: USU. 1993), Pp. 12-13.

9

harus dicapai dalam teknik permainan interlocking dimaksud. Jadi jelaslah bahwa tujuan dan capaian teknik permainan talempong di atas adalah pergerakan melodi. Kemudian bentuk permainan talempong yang diletakkan di atas rak secara horizontal dan dimainkan dalam posisi duduk adalah bentuk permainan melodi, walaupun ada beberapa repertoar lagu dimainkan dengan memberi latar belakang jalinan bunyi sekaligus mengatur permainan melodi. Bentuk komposisi musik talempong seperti ini untuk membangun kesan talempong pacik tetap terasa. Istilah talempong pacik memberi pemahaman yang lebih jelas terhadap pengkajian dan penelitian aneka ragam musik talempong yang ada di Minangkabau. Akibatnya dapat melahirkan informasi ilmiah yang berangkat dari klasifikasinya yang khas, sesuai dengan konsep musikal dan genre musik talempong itu, termasuk cara permainannya. Istilah talempong pacik juga lebih mempertegas pengertian konsep musikal terhadap dua teknik permainan genre musik talempong yang hidup di Minangkabau, yaitu genre musik talempong yang menggunakan teknik interlocking (talempong pacik), dan genre musik talempong yang dimainkan secara melodis (talempong duduak). Kedua genre musik talempong ini sama-sama hadir sebagai ensambel musik tradisional di berbagai pelosok Minangkabau. a. Talempong Pacik Teknik Interlocking Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa teknik interlocking merupakan ciri kekuatan musikal dalam permainan talempong pacik. Dalam sejarahnya, setiap rumah gadang yang ratusan jumlahnya sudah lama menjadikan musik talempong pacik sebagai permainan tradisi. Bahkan setiap kampung (desa) memiliki beberapa kelompok talempong pacik di luar rumah gadang. Artinya, ada perangkat talempong yang dimiliki secara adat oleh kaum, dan ada pula yang dimiliki oleh kelompok masyarakat yang terlepas dari ikatan kaum.

10

Pertunjukan talempong pacik berbentuk ensambel, karena pada umumnya dimainkan oleh musisi secara berkelompok. Artinya, konsep kelompok sangat penting dalam kehidupan jenis talempong tradisional tersebut. Kekompakan kelompok, baik dalam memainkan komposisi musik dan menghayatinya maupun dalam berkomunikasi pergaulan mereka sehari-hari, memang penting sekali.5 Paling tidak ada dua bentuk pertunjukan talempong pacik, yaitu dimainkan dalam posisi duduk dan dalam posisi berdiri atau sambil berjalan (arakan) sesuai dengan konteks penyajiannya. Musik ini dimainkan oleh antara 3-6 orang pemain, masing-masing tiga orang sebagai pemain talempong dan tiga orang lainnya sebagai pemain gendang, tambur dan rapa’i. Walaupun demikian ada juga suatu daerah yang memainkan talempong pacik empat atau lima orang, sesuai menurut daerah atau kelompok suatu daerah. Misalnya, di Aia Tabik komposisi pemain terdiri atas: talempong empat orang, gandang satu orang, sedangkan di Kubang Pipik (Kab. Agam) pemain talempong tiga orang dan pemain gendang satu orang. Lagu-lagu yang dimainkan dalam ensambel talempong pacik sangat banyak. Biasanya masing-masing grup talempong pada nagari yang berbeda akan memiliki lagu sendiri pula tetapi di antaranya ada yang berjudul sama tetapi sedikit berbeda karena pengaruh tempat di mana ia berada. Bisa dibayangkan berapa jumlah nagari di Minangkabau yang memiliki grup talempong. Jika satu grup memiliki tiga lagu saja, maka akan terdapat ratusan lagu talempong pacik di Minangkabau. Lagu- lagu tersebut merupakan lagu khas masing-masingnya, dan dikembangkan sendiri oleh senimannya. Beberapa contoh lagu yang dapat dituliskan antara lain: Indang Kinari, Rumah Gadang, Maantaan Kanji, Kubu Rajo, Sikusuik, Tupai Bagaluik, Tigo Duo, Tagajai”, “Gua Tari Piriang”, “Gua Indang”, “Gua Tujuah”, “Gua Pariangan”, “Gua Cak Dindin”, “Gua Sambalado Tatunggang”, “Lumbo-lumbo”, “Ganto

5 Jennifer A. Fraser. & Pop Song: Sounding Minangkabau in Indonesia. (Athens: Ohio University Press. 2015), pp. 39-40

11

Padati”, “Sarasah Badarun”, “Talipuak Kampai”, “Tanah Sirah”, dan lain sebagainya. Sebagai penjelasan yang dianggap penting terkait musik tradisional yang menggunakan alat musik talempong (small gongs), hal ini sekaligus memasukkan jenis alat musik yang sama yaitu canang ke dalam keluarga alat musik talempong. Dengan demikian musik yang menggunakan alat musik canang juga dibicarakan dalam ‘ruang’ penjelasan yang sama dengan talempong.

1) Musik Tradisional Talempong Aia Tabik Talempong aia tabik eksis hingga kini di wilayah kebudayaannya yaitu Kanagarian Aia Tabik Luhak Limo Puluah. Genre talempong pacik ini dimainkan oleh lima orang musisi wanita. Empat orang memainkan alat musik talempong dan satu orang pemain gandang. Secara instrumentatif, alat musik talempong (small gong) berpencu dan satu buah gendang dua muka dengan resonator berbentuk silinder/konis berukuran kecil. Keempat orang pemain talempong, masing-masing berperan sebagai pemain unsur ritmis polong, paningkah, aguang, dan anak. Unsur ritmis polong dan paningkah masing- masing memainkan dua buah alat musik talempong. Sedangkan pemain yang memainkan unsur ritmis aguang dan anak masing- masing memainkan satu buah alat musik talempong. Unsur anak sebagai pembuka yang menentukan tempo serta memberi jalan untuk polong, unsur ritmis polong membuka “pintu” permainan untuk unit ritmis paningkah. Unsur ritmis aguang memberi aksentuasi pada formula melodis hasil jalinan unsur ritmis polong dan paningkah.6 Alat musik aguang bukanlah aguang (gong berpencu berukuran besar) yang biasa dikenal pada instrumentasi gendre talempong duduak maupun yang lainnya, tetapi alat musik talempong yang sama dengan yang lain (small gong). Hanya yang membedakan adalah bunyi (nada)

6 Philip Yampolsky. Liner Notes for Gong and Vokal Music From Sumatera: Talempong, Didong, , Salawat Dulang. Music of Indonesia, vol. 12. Smithsonian Folkways SF CD 40428. 1996.

12

yaitu nada rendah di antara enam buah alat musik talempong yang digunakan. Khusus dalam komposisi repertoar lagu “Talipuak Kampai”, satu bagian dalam komposisi musiknya menggunakan teknik di luar teknik mainstream interlocking Minangkabau, justru yang ditemui adalah teknik hocketing yang mereka sebut teknik tengkong. Teknik ini berada dalam komposisi lagu Talipuak Kampai yang sangat disukai oleh baik musisi maupun masyarakat pendukungnya. Musik talempong aia tabik eksis hingga kini, selalu digunakan pada pararakan upacara perkawinan terutama dalam maarak marapulai (pengantin). Regenerasi tercipta ditandai hadirnya musisi-musisi muda sebagai pengganti musisi-musisi telah lanjut usia yang tidak mampu lagi bermain talempong atau tidak bisa mengikuti arak-arakan.7 Talempong pacik difungsikan untuk berbagai kegiatan sosial yang bersifat hiburan, kegiatan upacara adat, sebagai musik tari piring, dan musik dalam randai. Kegiatan yang bersifat hiburan seperti pada acara alek nagari, gotong royong di sawah (panen/sabik-iriak) atau di ladang, gotong royong memperbaiki jalan kampung, memperbaiki tali bandar atau bandar sawah, mengarak penganten, memeriahkan hari besar nasional, dan lain sebagainya. Pada tahun 1980-an, talempong aia tabik dikembangkan dengan melibatkan permainan alat musik kategori perkusi ritmis ke dalam komposisinya, yaitu seperangkat alat musik sikatuntuang. Alat musik ini berupa sebuah lesung yang menjadi alat musik (instrument musical) dengan menggunakan alat penumbuk padi yang disebut alu dengan cara membenturkannya ke dalam lobang lesung dan sebagian lagi dibenturkan ke badan lesung. Ensambel talempong aia tabik yang melibatkan sikatuntuang seperti ini tidak ada pada tradisinya, kecuali permainan sikatuntuang saja pernah ada di

7 Asma (pemain gendang Talempong Aia Tabik). Wawancara di Padang Alai, September 2017

13

nagari tersebut.8 Sikatuntuang biasanya dimainkan setelah panen padi. Setelah digabung dengan permainan talempong pacik maka nama talempong sikatuntuang mulai menyebar di tengah masyarakat kota Payakumbuh.

Maarak Pengantin di nagari Aia Tabik Foto: Dok. Hanefi

8 Ganti, wawancara di Jorong Padang Alai Kanagarian Aia Tabik, tanggal 22 Mei 2017.

14

Para Musisi Talempong Aia Tabik Foto: Dok. Hanefi

Talempong Pacik Nagari Sumpu Foto: Dok. Ediwar

15

Sajian dalam konteks adat ini masih bisa ditambahkan, tergantung dari peristiwa adat yang terjadi pada suatu nagari tertentu. Adat salingka nagari (masing-masing nagari memiliki kebiasaan atau adatnya sendiri). Ada nagari yang dipimpin oleh rajo (raja), yang memiliki tata cara tersendiri dalam sistem pengangkatannya.

Arak-arakan menggunakan talempong pacik dalam ensambel gandang katipik Foto: Dok. Ediwar

2) Musik Tradisional Oguang Jana Parambahan Musik perkusi ritmis oguang jana sering dijumpai jika anak nagari Parambahan mengadakan alek Pacu Jawi. Musik tradisional ini terdiri dari permainan empat buah alat musik canang (alat musik perunggu jenis keluarga gong berpencu) yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai oguang, ukurannya lebih besar dari alat musik talempong dan kecil dari ukuran tawak-tawak. Dimainkan oleh empat orang musisi, masing- masingnya memainkan satu buah alat musik canang, yaitu alat

16

musik yang disebut sebagai canang anak, canang jana, canang induak, dan canang tondik. Menggunakan teknik interlocking, peran secara instrumentasi, masing-masing alat musik adalah: canang anak sebagai bunyi yang bernada tertinggi (nada G4) mengawali komposisi musik dengan pola-pola ostinato ritmis, lalu dijalin dengan permainan canang jana mengunci pola yang dibangun sebelumnya, kemudian dijalin oleh permainan canang induak membangun pola-pola yang telah dibangun oleh permainan sebelumnya (canang anak dan canang jana). Hasil permainan ketiga canang tersebut dijalin (ditingkah) pula oleh canang tondik denga pola-pola ritme lebih rapat sehingga lahir melodi pendek yang selalu berkembang akibat variasi dan improvisasi musisinya. Permainan seperti ini dikenal dengan teknik interlocking gaya oguang jana.9 Repertoar yang selalu disajikan dalam peristiwa yang telah mentradisi di nagari Parambahan ada dua lagu, yaitu Lagu Tinggi, dan Lagu Randah. Biasanya, lagu ini dimainkan cukup lama karena prinsipnya membangun suasana tradisional Alek Pacu Jawi.10

9 Antoni Guswandi. “Oguang Jana Dalam Tradisi Pacu Jawi di Nagari Parambahan, Kecamatan Lima kaum Kabupaten Tanah Datar.” Skripsi. (Padangpanjang: ISI. 2014), p. 56 10 Antoni G. Op. Cit. p.49

17

Oguang Jana dalam konteks Alek Pacu Jawi Foto: Dok. Antoni G.

Sistem musik oguang jana dapat dikategorikan sama dengan genre musik tradisional mong-mongan di Koto Anau Solok. Persamaan itu adalah pada cara dan teknik memainkan alat musiknya. Secara musikal terdapat sedikit perbedaan, terutama dalam penggunaan salah satu dari kesatuan alat musiknya, yaitu penggunaan anak pakak pada mongmongan harus ditutup getaran resonansinya, sedangkan canang anak pada oguang jana justru dibuka getaran itu. Jenis alat musik yang digunakan relatif sama (canang atau tawak-tawak) yang termasuk keluarga gong berpencu ukuran menengah/sedang. Sistem musikalnya sama yaitu menggunakan teknik interlocking (kunci-mengunci). Musik yang menggunakan teknik yang sama tumbuh dan berkembang pula di Kabupaten Solok Selatan. Musik tradisional itu disebut gontong-gontong yang sering digunakan dalam upacara perkawinan dan alek nagari setempat. Pemainnya terdiri dari kaum wanita (ibu-ibu), dimainkan dalam posisi berjalan (arak-arakan) dalam konteks upacara adat.11

11 Yossi (Staf. Bidang Kebudayaan Kabupaten Solok Selatan), Wawancara di Sangir, bulan Juni 2017.

18

Gontong-gontong dalam suatu upacara adat Solok Selatan Foto: Dok. Hanefi

3) Musik Tradisional Gandang Tigo Baso Musik tradisional gandang tigo kadangkala disebut juga canang tigo oleh masyarakat pendukungnya. Permainan musik tradisi ini tergolong unik karena sistem musiknya yang hampir tidak ditemui di tempat-tempat lain di daerah kebudayaan Minangkabau, kecuali tradisi musikal yang sama yang terdapat di Nagari Kinali Pasaman Barat. Musik perkusi melodis ini dimainkan dengan teknik hocketing dimana masing-masing musisi memainkan satu alat musik, jadi ada tiga musisi yang masing-masing memainkan satu alat canang, yaitu alat musik jenis gong berpencu berukuran sedikit besar dari alat musik talempong. Teknik permainan seperti ini mengharuskan masing-masing memiliki pengalaman yang sama terhadap musikalitas lagu yang akan dimainkan, karena masing-masing pemain harus mengacu pada lagu yang ada di dalam memori ingatan masing-masing.12

12 Novandra Prayuda (Mhs. Putra Daerah). Wawancara di Padangpanjang, September 2017.

19

Hal yang sama pada prinsipnya juga terjadi dalam teknik memainkan yang melodis. Dimana masing-masing pemain berperan membunyikan satu nada ketika gerakan melodi sampai ke nada yang dipegangnya. Hanya saja, angklung dituntun oleh notasi lagu yang telah ada. Sedangkan gandang tigo tidak dituntun oleh notasi melainkan melodi yang telah ada secara tradisional pada memori (ingatan) setiap pemain. Musik tradisional gandang tigo digunakan untuk beberapa kegiatan terkait dengan kegiatan sosial masyarakat dan kegiatan adat. Untuk kegiatan bersifat sosial seperti untuk pemberitahuan akan adanya kegiatan gotong royong anak nagari; kegiatan terkait adat seperti mengiringi pengantin, dan lain-lain. Jadi, musik tradisional ini merupakan musik pararakan (arak-arakan) mempelai dan sebagai alat pemberitahuan yang juga dilakukan sambil berjalan keliling kampung.

Gandang Tigo Baso, Kab. Agam (Dok. Hanefi) b. Musik Tradisional Talempong Pacik (Teknik Hocketing) Bagian ini secara teknik permainan memang berbeda dengan teknik talempong pacik (teknik interlocking) dimana aspek ritmis dari pola-pola yang dimainkan kunci-mengunci

20

hingga melahirkan formula melodi pendek yang sangat dinamis; sedangkan teknik permainan hocketing mengacu kepada melodi lagu yang telah ada. Dalam hal ini masing-masing musisi tetap memegang dua alat musik talempong sebagaimana mereka memainkan teknik interlocking, namun setiap musisi berperan menabuh alat musik yang ia pegang jika gerak melodi sampai ke bagiannya sesuai dengan lagu yang sudah baku. Memang ada hal yang menarik karena musisi yang memainkan unit anak selalu menabuh nada yang tertinggi sekaligus berfungsi untuk mengatur tempo. Sedangkan nada yang lain terlibat ke dalam melodi lagu. Walaupun nada yang tertinggi itu selalu hadir, pada lagu-lagu tertentu ia terlibat juga ke dalam melodi lagu apabila memang nada tertinggi itu masuk ke dalam melodi pokoknya. Kehadiran unit anak seperti itu justru mengesankan kehadiran aspek anak pada teknik interlocking, artinya kesan sifat talempong pacik tetap muncul pada permainan teknik hocketing tersebut. Dalam kasus seperti ini ditemui juga beberapa kelompok musik tradisional talempong pacik di Kabupaten Lima Puluh Kota yang menggunakan dua teknik permainan dalam repertoar permainan talempong pacik. Repertoar yang dimainkan biasanya lagu-lagu yang pernah populer di masyarakat Minangkabau seperti lagu Kelok Sambilan, lagu Andam Oi, lagu Taktontong, lagu Mudiak Arau, dan lain-lain.

2. Talempong Duduak Talempong duduak adalah salah satu jenis musik talempong yang bersifat melodis dan dimainkan dalam posisi duduk bersila atau bersimpuh. Alat musik talempong diletakkan pada sebuah rak berbentuk kotak persegi panjang yang disebut rea (Melayu: rehal). Oleh sebab itu, muncul pula nama talempong rea sebutan lain dari talempong duduak. Talempong duduak hanya dijumpai di beberapa nagari di wilayah budaya Minangkabau. Misalnya, talempong unggan dari Unggan, talempong paninjauan dari Paninjauan Maninjau, talempong sikapak (talempong gandang lasuang) dari Sikapak, dan

21

beberapa desa atau kampung di Pariaman, dan talempong gandang oguang di Sialang (kabupaten Lima Puluh Kota). Para musisi tradisi talempong duduak di Minangkabau didominasi oleh para ibu-ibu atau para wanita. Hanya di beberapa wilayah budaya Minangkabau yang para musisinya laki-laki seperti di beberapa nagari di Luhak Limo Puluah (Kabupaten Lima Puluh Kota) di nagari Sialang, di nagari Talang Maua, dan beberapa di nagari lainnya.

Talempong Uwaik-uwaik Nagari Paninjauan Foto: Dok. Ediwar, 2017

22

a. Musik Tradisional Gandang Oguang Pangkalan Talempong gandang oguang adalah salah satu musik tradisional yang terdapat di Nagari Sialang kecamatan Kapur IX, kabupaten Lima Puluh Kota. Masyarakat setempat lebih umum menyebut ensambel ini dengan gandang oguang, bagandang oguang, atau baoguang, tanpa menyertakan kata talempong di depannya. Oleh karena nama ensambel musik ini terdiri dari dua kata, yaitu gandang (gendang) dan oguang (gong). Penamaan itu berdasarkan pada nama dua jenis alat musik yang digunakan dalam ensambel, yaitu gandang dan oguang.13 Ensambel ini merupakan milik ninik mamak masyarakat Sialang. Untuk menyajikan musik ini pada acara apa saja, baik di dalam maupun di luar daerah Sialang, harus mendapat izin dari ninik mamak. Keberlangsungan kehidupan ensambel gandang oguang tidak saja terletak pada para pemainnya, tetapi juga peran ninik mamak sangat menentukan. Ensambel gandang oguang terdiri dari enam talempong yang diletakkan di atas rak atau rea, dua buah gendang, dan dua buah oguang. Talempong dimainkan oleh dua orang pemain, bahkan ada yang tiga orang pemain. Jika dimainkan oleh dua orang, maka satu orang berfungsi sebagai pemain melodi, biasanya duduk di sebelah kiri, dan satu orang lagi sebagai pemain pambao (dasar) yang memainkan pola ritme ostinato. Jika talempong dimainkan oleh tiga orang pemain, maka satu orang memainkan pambao, satu orang lagi sebagai paningkah, dan yang ketiga sebagai pembawa melodi, tetapi melodi pendek- pendek saja (ostinato). Gendang dimainkan oleh dua orang pemain. Gendang pertama dimainkan dengan pola ritme yang disebut palalu atau panggolong atau disebut juga dengan gandang panggolong, sedangkan gendang kedua sebagai paningkah, atau gandang paningkah. Jenis gendang yang dipakai adalah gendang bermuka dua berbentuk silinder (double-headed sylindrical drum) dengan

13 Mahdi Bahar, “Fungsi Gandang Oguang dalam Masyarakat Sialang, Minangkabau”, Tesis S2, (Pascasarjana UGM Gajah Mada, 1994), pp. 51- 52.

23

diamater kedua mukanya sama besar. Uniknya, kulit gendang yang digunakan dalam ensambel ini sengaja dikendorkan, dan bukan ditegangkan sebagaimana lazimnya gendang yang digunakan dalam berbagai ensambel musik talempong di Minangkabau. Cara memainkannya pun agak berbeda, yaitu diletakkan di bawah betis atau lutut para pemain gendang. Fungsi oguang sebagai pengatur irama dengan pola ostinato ritmik.

Talempong Sialang Foto: Dok. Hanefi

Oguang yang digunakan dalam ensambel ini berjumlah dua buah, dengan nada yang berbeda. Peran alat musik oguang, selain pengatur ritmik juga memperkuat aksen ritmik, baik yang diciptakan dari perjalanan melodi maupun yang dilahirkan oleh

24

gendang. Kedua oguang hanya dimainkan satu orang pemain, dengan posisi digantungkan.14 Struktur penyajian gandang oguang secara tradisi sudah ditetapkan sebagai sebuah kesepakatan yang bersifat konvensi, dan selalu dilakukan oleh senimannya. Penyajian diawali oleh gandang yang berfungsi sebagai pembingkai ritme, dengan pola- pola ritme ostinato. Kemudian diikuti oleh oguang, lalu talempong pambao (dasar) membawakan pola ritme ontinato dan prinsip pengulangan pola ritme-nya sama dengan pola ritme gandang palalu, dan talempong malagu berperan sebagai pembawa melodi. Antara talempong palalu dengan talempong malagu dalam permainan akan terjadi kesan tumpang- menumpang. Repertoar yang dimiliki oleh grup ensambel gandang oguang sekitar 13 (tiga belas) judul lagu. Akan tetapi dalam setiap pertunjukan hampir tidak pernah lagi dimainkan ketiga belas lagu tersebut. Hal ini disebabkan kecenderungan para penikmat dan musisi sendiri dalam memainkan lagu, memilih yang menarik dan yang disukai saja. Lagu-lagu yang jarang dimainkan bertambah jauh dari ‘kepopuleran’, bahkan para pemainnya tidak mahir lagi mempraktekkannya. Kecenderungan mereka memainkan lagu hanya antara judul lagu saja. Di samping itu, ada lagu yang hanya dimainkan pada waktu-waktu tertentu saja. Adapun latar belakang yang mengilhami terciptanya lagu-lagu di atas adalah refleksi terhadap lingkungan dan pengalaman hidup keseharian masyarakat Sialang sendiri. Lingkungan alam dengan topografi yang berbukit, berlembah, dan rawa-rawa serta masih memiliki hutan-hutan yang masih lebat memberikan ilham terhadap penciptaan lagu, baik yang bersifat manis atau indah maupun yang sedih. Adapun pertunjukan yang diikuti oleh gandang oguang seperti keramaian anak nagari (alek nagari). Lagu-lagu yang

14 Herawati, dkk., “Studi Deskriptif Musik Talempong Gandang Aguang di desa Sialang Kecamatan Kapur IX Kabupaten 50 Kota”, Laporan Penelitian (Padangpanjang: ASKI, 1993), pp. 23-26.

25

dimainkan biasanya lagu-lagu bersifat gembira yang dapat menghangatkan suasana keramaian. Kondisi ini sangat dipahami oleh seniman gandang oguang, agar tidak sepi dari penonton.

b. Musik Tradisional Talempong Unggan Talempong unggan merupakan ensambel talempong melodis yang terdapat di Nagari Unggan Kecamatan Sumpur Kudus Kabupaten Sijunjung. Talempong unggan termasuk ke dalam genre talempong duduak (musik perkusi melodis), ensambel talempong ini hanya dimainkan oleh musisi wanita. Alat musik ensambel talempong unggan terdiri dari sejumlah alat musik talempong, dua buah gandang dua muka (double headed sylindrical drum), aguang (gong). Secara instrumentatif, masing-masing berperan: talempong sebagai pembawa melodi, aguang sebagai memperkuat interloking ritme gandang, sedangkan dua buah gendang memperkuat aspek ritmik permainan melodi talempong. Ada beberapa keunikan ensambel talempong unggan, dimana tempo permainan cenderung cepat, berbeda dengan permainan ensambel genre talempong duduak yang lain di Minangkabau. Sebut saja ensambel talempong paninjauan atau talempong uwaik-uwaik di Kecamatan Tanjung Raya, talempong gandang aguang yang disebut juga gandang aguang di Kecamatan Kapur Sembilan, talempong gandang lasuang yang disebut juga gandang lasuang di Pariaman, dan lain-lain. Dalam kecepatan permainan talempong unggan itu, permainan secara keseluruhan dianggap “serasi”, karena permainan ritme interlocking dua buah gendang yang diperkuat oleh permainan oguang memperoleh posisi yang sangat mendukung melodi talempong. Dasar keserasian talempong unggan yang tidak dimiliki oleh genre talempong duduak yang lain adalah pada orientasi ritmik yang dimainkan oleh alat-alat musik pendukung melodi talempong. Pada setiap lagu dalam repertoar talempong unggan, aspek ritmis yang terkandung dalam gerak melodi talempong menjadi orientasi ritmis permainan dua buah gendang, sedangkan jalinan (interlocking) permainan gendang

26

dibubuhi pula oleh dangkuang (dentum) oguang dimana orientasi ritmisnya kepada permainan gendang. Komposisi musik seperti inilah yang spesifik pada talempong unggan. Selain itu, diyakini oleh pendukung budaya musik ini bahwa keadaan saat ini merupakan waris yang diterima mereka dari pewaris-pewaris yang telah mendahuluinya. Setelah dilakukan penelitian ternyata dari repertoar lagunya terkandung aspek sejarah kedatangan nenek moyang mereka dari daerah Riau. Lagu “Pararakan Kuntu” menggambarkan tradisi penggunaan talempong ketika ada kegiatan-kegiatan bersifat adat di negeri asal mereka yaitu daerah Kuntu-Riau, begitu juga lagu “Singingi”, jelas sekali itu adalah nama suatu kampung di Riau. Tanjuang Bolik juga nama suatu daerah atau kampung di Riau, dan salah satu lagu dari repertoar talempong unggan juga ada yang berjudul “Tanjuang Bolik.”15 Berdasarkan wawancara dengan tokoh masyarakat setempat bahwa mereka menganggap masyarakat Nagari Unggan berasal dari tanah Riau. Rombongan nenek moyang mereka bermigrasi menelusuri sungai ke arah hulu mencari lahan tanah yang subur dan menguntungkan untuk membuka ladang dan atau sawah, lalu rombongan tersebut memilih daerah yang bernama Unggan itulah tempat mereka tinggal (berdomisili). Sebagian besar anggota masyarakat setempat masih mengenal cerita dari orang tua-tua dan atau nenek/kakek mereka bahwa repertoar talempong unggan adalah cerminan perjalanan mereka dari “tanah asal” (Riau) ke perantauan Desa Unggan (Minangkabau). Hingga kini, masih hidup sejumlah reperoar lama dari ensambel talempong unggan, lagu-lagunya masih berproses terus-menerus sebagai warisan yang “harus” dipelajari anak-anak gadis remaja di kampung itu. Tradisi pewarisan ini menjadi ketentuan adat setempat sejak lama dan bertahan hingga kini. Lagu-lagu dari repertoar dimaksud adalah: Pararakan Kuntu,

15 Erianto. “Talempong Unggan Musik Tradisi di Desa Unggan Minangkabau: Tinjauan tentang Kehidupan dan Sistem Pewarisannya.“ Skripsi. (Bandung: STSI. 1998), pp. 31-32.

27

Singingi, Tanjuang Bolik, Ramo-ramo Tabang Tinggi, Tupai Bagoluk, Kancang Badayuang, Sikadudu, dan Siriah Langkok. Selain lagu-lagu itu masih ada beberapa lagu-lagu lain sebagai kreasi para musisinya. Tradisi talempong duduak yang tumbuh dan berkembang di Unggan relatif sama dengan talempong silantai di nagari Silantai yang tidak begitu jauh dari Nagari Unggan. Yang diketahui bahwa talempong silantai memiliki tradisi tempo musik yang sedikit lebih cepat dari pada talempong unggan, sedangkan sistem dan teknik permainan sama. Dalam praktiknya, nada-nada talempong tidak disusun secara permanen (tidak berurutan) dari urutan nada rendah ke tinggi, tetapi tergantung dari lagu yang dimainkan. Perubahan susunan nada ini akibat dari teknik permainan yang dilakukan oleh pemain melodi. Dari sejumlah ensambel talempong duduak yang terdapat di Minangkabau, talempong unggan termasuk ensambel dengan memiliki teknik permainan yang cukup unik, dinamis, dan cepat. Dua buah gendang yang dimainkan dengan cara ditabuh pada kedua sisi (muka) kiri dan kanannya. Pada sisi kiri ditabuh dengan telapak tangan, sedangkan sisi kanan ditabuh dengan menggunakan alat penabuh (stick) dari bahan kayu. Perpaduan motif ritme tangan kiri dan kanan yang berbeda akan menghasilkan jalinan ritme yang menarik. Sementara aguang dimainkan dengan cara dipukul sedikit ditekan agar resonansinya bergetar tidak panjang, diletakkan di atas paha atau lantai. Aguang tersebut dapat dipegang oleh orang lain atau dipegang oleh pemukulnya sendiri dengan cara meletakkan di atas paha. Sebagai tanda syukur dan agar tetap ingat sejarah nenek moyangnya, mereka tetap mempertahankan dan mengembangkan musik tradisi talempong unggan. Keberadaan musik ini yang selalu hadir dalam berbagai peristiwa adat di Nagari Unggan dengan sendirinya dapat mempererat

28

silaturrahmi dan kebersamaan yang kuat dalam menghadapi suka dan duka kehidupan.16

Talempong Unggan Foto: Dok. Hanefi

Talempong unggan pada umumnya dimainkan oleh para wanita. Proses pewarisannya pun berlangsung sangat baik dan bersifat terbuka. Pada waktu-waktu senggang (kecuali masa menuai padi) para remaja putri latihan bermain talempong di rumah gadang dengan media talempong kayu yang sudah dilaras

16 Ibid. pp. 67-68

29

sama dengan talempong logam. Mereka latihan kadangkala didampingi oleh pemusik senior sebagai guru dalam bermain musik. Meskipun tidak semua remaja tersebut dapat bermain talempong dengan baik, tetapi usaha untuk selalu mempertahankan tradisi dan mengapresiasinya sebagai warisan budaya setempat merupakan sikap yang baik dari para generasi muda Unggan.

c. Musik Tradisional Gandang Lasuang Pariaman Ensambel talempong gandang lasuang atau disebut gandang lasuang saja merupakan musik tradisi melodis yang terdapat di beberapa tempat di Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman. Daerah-daerah yang memiliki tradisi ini dan cukup dikenal pada masa lalu adalah Padang Kunik, Sikapak, Kampani, Barangan, Koto Marapak, dan Ampalu. Ensambel gandang lasuang terdiri dari lima buah talempong, satu buah gandang/tambua (double headed silindrical drum) yang berukuran besar, dan satu buah lasuang (lesung). Talempong difungsikan sebagai pembawa melodi yang dimainkan oleh satu atau dua orang, yang disusun di atas rak atau rea. Susunan nada- nada yang dimainkan diurut berjejer dari kiri ke kanan dari nada rendah ke nada tinggi. Gendang dimainkan oleh satu orang pemain menggunakan pemukul dari kayu, difungsikan sebagai pembawa ritme dengan pola ritme ostinato. Sementara lasuang (lesung) yaitu sepotong kayu yang difungsikan sebagai alat musik perkusi ritmik, bisa dimainkan oleh satu atau dua orang. Pola ritme lesung mengikuti pola ritme gendang, dengan pola ostinato ritmik.17 Gandang lasuang pada umumnya dimainkan oleh para pemusik perempuan, terutama sebagai pemain melodi dan lasuang. Sedangkan untuk pemain gendang bisa dimainkan oleh laki-laki atau perempuan. Musik ini biasanya ditampilkan pada acara pesta perkawinan, keramaian kampung, dan hajatan serta

17 Susandra Jaya (musisi Gandang Lasuang). Wawancara di Padangpanjang, tgl 26 September 2017.

30

sebagai musik pengiring tari piring. Ensambel ini disajikan di atas pentas kecil atau hanya di teras dan halaman rumah saja. Lagu-lagu yang dimainkan adalah: “Sisiti”, “Kureta Mandaki”, “Lagu Joget”, “Lagu Manjo”, “Gadabah Mudiak Aia”, “Oyak Ambacang”, “Tarakolakkolak”, “Piak Dumah”, “Kudo Balari”, dan “Tak Tontong.” Dalam penyajiannya, biasanya para ibu-ibu yang tidak memainkan alat musik tetapi terlibat ke dalam peristiwa itu biasanya pada lagu-lagu tertentu mereka berjoget (menari) sesama ibu-ibu itu. Lagu yang sering menjadi daya tarik bagi ibu- ibu setempat melakukan tarian atau joget di antaranya adalah lagu Joget dan lagu Tarkolakkolak, serta biasanya yang berjoget itu adalah ibu-ibu yang berusia relatif tua.

Talempong Gandang Lasuang Foto: Dok. Hanefi

d. Musik Tradisional Talempong Uwaik-uwaik Maninjau Talempong uwaik-uwaik paninjauan merupakan ensambel talempong melodis yang terdapat di nagari Paninjauan Maninjau. Grup talempong ini dimainkan oleh para wanita khususnya ibu-ibu. Ensambel ini terdiri dari lima dan enam

31

buah talempong, satu buah gandang/tambua, satu buah aguang, giriang-giriang (), rabano (gadabiak), dan botol. Talempong difungsikan sebagai pembawa melodi yang disusun di atas rak atau rea. Dalam penyajiannya, talempong ada yang berfungsi sebagai talempong pambao lagu dan sebagai talempong paningkah. Talempong pambao lagu adalah talempong yang berfungsi sebagai pembawa melodi utama, sedangkan talempong paningkah berfungsi sebagai pengisi melodi yang dibawakan oleh talempong pambao lagu. Gendang yang digunakan berfungsi sebagai pengatur tempo permainan. Gendang dimainkan dalam posisi duduk. Aguang berfungsi sebagai pemberi aksentuasi ritmik dalam permainan melodi talempong. Aguang dimainkan dalam posisi digantung. Pemukulnya terdiri dari: satu buah nangka muda berukur kecil dan satu buah alat logam seperti sendok, garpu, kunci, dan sebagainya. Selanjutnya giriang-giriang, sejenis rattle yang dibunyikan dengan cara digoyangkan dan dipukulkan ke telapak tangan. Rabano (gadabiak), yaitu jenis kecil, yang berperan sebagai pemberi variasi dalam permainan talempong. Alat ini dipukul dengan jari dan telapak tangan. Kemudian botol kosong dipukul dengan sendok atau potongan besi, berfungsi sebagai pengatur birama.

Talempong Uwaik-uwaik Paninjauan Foto: Dok. Ediwar, 2017

32

e. Musik Tradisional Talempong Batuang Luhak Limopuluah Talempong batuang merupakan ensambel kecil musik tradisi yang terdapat di beberapa nagari di kabupaten Lima Puluh Kota. Ensambel ini tidak begitu berkembang, baik di daerah asalnya sendiri maupun ke beberapa tempat di luar daerahnya Minangkabau. Sebagaimana dinyatakan oleh Boestanoel Arifin Adam, dalam penelitiannya mengenai talempong, bahwa dahulu talempong batuang banyak terdapat di berbagai nagari di Kabupaten 50 Kota. Namun sekarang hanya tinggal satu nagari saja yang memiliki talempong batuang tersebut, yakni di Nagari Saut Kecamatan Gunung Emas Kabupaten 50 Kota, dan itupun jumlahnya dua atau tiga kelompok saja, atau boleh dikatakan mendekati kepunahan. Merosotnya minat masyarakat daerah setempat terhadap talempong batuang diduga karena desakan perkembangan teknologi yang semakin maju, seperti adanya alat-alat musik elektronik yang sampai mesuk ke kampung-kampung di Kabupaten 50 Kota, lagi pula fungsi dari talempong batuang itu kebanyakan adalah untuk kepentingan mencapai keinginan dengan jalan yang tidak baik, misalnya, untuk memikat seorang gadis dengan cara memantrai talempong tersebut dengan berbagai macam jampi-jampi (mantra). Cara yang seperti ini pada zaman sekarang agaknya sudah tidak terpakai lagi karena dianggap sangat merugikan.18 Pada tahun 2003, Ambiya seorang seniman tradisi talempong yang berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota mencoba membuat dan menghidupkan kembali talempong batuang. Ia melaras beberapa bambu yang sudah kering dengan lebar sekitar 5-6 cm dan panjang antara 30-35 cm. Bilahan- bilahan bambu itu diletakkan di atas rakr atau rea kecil dari kayu setinggi sekitar 20 cm. Untuk memainkan talempong batuang diperlukan sebuah pelapah pisang. Pelapah pisang ini dilipat menjadi

18 Boestanoel Arifin Adam, “Talempong Musik Tradisi Minangkabau”, Laporan Penelitian (Padangpanjang: ASKI. 1986/1987), p.., 11.

33

sebentuk segi empat dan kemudian disematkan agar tidak lepas, sesudah itu barulah disusun batuang (bambu) yang sudah dilaras di atasnya secara berjejer. Untuk melaras batuang ini sesuai dengan nada yang diinginkan ialah dengan cara memotong ujungnya dan dibuat runcing, kemudian bagian perutnya atau yang sebelah dalam diraut. Dalam memainkan seperangkat instrumen talempong batuang diperlukan alat lain sebagai pelengkapnya, yakni gandang katindik (double headed barrel drum) dan giring-giring (rettle) yang terbuat dari kaleng dan kawat, lagu yang dimainkan untuk memikat anak gadis adalah lagu “Barueh Andiang”. Sekarang dari talempong batuang yang ada, nadanya sudah dilaras diatonis karena kebanyakan dipakai untuk kepentingan mengiringi dendang, serta untuk mengiringi tari piring, tari payung dan tari bergembira. Jadi talempong batuang sekarang ini berfungsi untuk memeriahkan pesta.

f. Musik Tradisional Talempong Kayu Luhak Limopuluah Talempong kayu dengan talempong batuang prinsipnya adalah sama, cuma sedikit perbedaan terdapat pada bahan pembuatannya; kalau talempong batuang terbuat dari bahan bambu, talempong kayu terbuat dari bahan kayu dalam kondisi kering dan ringan, jadi bukan jenis kayu yang keras dan berat semacam kayu jati dan lain sebagainya. Kotak resonator terbuat dari papan persegi-empat, pada bagian atas resonator direntangkan tali sebagai tempat kedudukan talempong kayu tersebut. Musik tradisi talempong kayu kebanyakan terdapat di daerah Kabupaten 50 Kota. Namun sekarang alat musik ini dikhawatirkan keberadaannya atau diprediksi hampir punah, diperkirakan gejala kelangkaannya ini sejak tahun 1930-an.

34

Talempong Kayu (Dok. Ediwar, 2010)

2.2. MUSIK PERKUSI RITMIS Musik perkusi ritmis di Minangkabau hanya tertuju pada musik tradisional gandang, seperti musik gandang tambua, gandang tambua tansa, gandang katipik, gandang sarunai. Secara musikal bahwa lagu-lagu musik tersebut dibangun melalui proses tabuhan gendang. Hanya ensambel gandang katipik dan gandang sarunai yang memasukkan unsur melodis sebagai hiasan ke dalam komposisi lagunya. Ensambel Gandang katipik nagari Paninjauan melibatkan beberapa alat musik ke dalam ensambel arak- arakannya, alat musik itu seperti talempong, gadabiak (frame drum), tamburin (car) dan pupuik gadang. Namun demikian yang utama adalah aspek ritmis gandang, lalu permainan ostinato talempong, gadabiak, tamburin dan pupuik gadang hanya sebagai hiasan dan membangun suasana. Repertoar yang dimiliki ensambel ini hanya satu lagu saja yaitu lagu Pararakan. Musik perkusi ritmis lain yang menggunakan alat musik melodis ke dalam ensambelnya adalah gandang sarunai yang tumbuh dan berkembang di Alam Surambi Sungai Pagu, alat

35

musik dimaksud adalah sarunai. Kehadirannya dalam komposisi juga sebagai hiasan dan membangun suasana, sedangkan pola- pola melodinya dianggap sama untuk setiap lagu. Sejumlah lagu dalam repertoar gandang sarunai di antaranya adalah Gandang Duo Piciak, Gandang Solok, Gandang Sikudidi, Gandang Padopado, dan lain-lain, kehadiran sarunai tetap memainkan pola melodi yang sama untuk setiap lagu, bahkan tidak ada unsur melodis dari sarunai-pun dianggap tidak megurangi kehadiran lagu.

2.2.1. Musik Tradisional Gandang Tambua Pariaman Gandang tambua merupakan ensambel musik perkusi ritmis yang tergolong paling besar di Minangkabau. Ukuran besarnya tampak dari guna dan fungsinya, suaranya, jumlah instrumen yang digunakan, dan besarnya ukuran gendang yang dipakai. “Kebesaran” guna dan fungsinya serta suaranya yang keras atau “besar”, tampak dari penggunaan gandang tambua pada berbagai upacara adat yang bersifat prosesi dan di alam terbuka, seperti di daerah Pariaman dan Maninjau. Salah satu yang terpenting di antaranya adalah dalam Upacara Ritual Tabuik di Pariaman.19 Selain itu, gandang tambua memiliki karakter musikal yang enerjik dengan suara menghentak dan mendentum. Ini diperkuat dengan jumlah gendang yang dipakai dalam setiap penyajiannya, yakni berkisar antara empat sampai lima belas buah gendang, bahkan bisa lebih (seperti yang digunakan di daerah Maninjau), dan ditambah dengan satu atau dua buah tasa. Kemudian gendang yang digunakan juga memiliki ukuran yang relatif cukup besar. Sejauh ini nyaris belum ditemukan ensambel musik perkusi di Minangkabau yang mendekati atau sama dengan karakter musik gandang tambua. Kecuali gandang katipik di Maninjau yang menggunakan sejumlah gendang dengan ukuran

19 Asril Muchtar. “Upacara Tabuik: Dari Ritual Heroik ke Pertunjukan Heroik.” Dalam Seni Tradisi Menantang Perubahan (Bunga Rampai). Ed. Mahdi Bahar. (Padangpanjang: STSI Padangpanjang-Press. 2004), p.213

36

lebih kecil dari gandang tambua, ditambah dengan beberapa buah talempong, rebana kecil, dan pupuik gadang. Akan tetapi pada dasarnya gandang katipik merupakan adaptasi dari gandang tambua, dilihat dari pola ritme pukulan gendangnya. Dalam masyarakat Pariaman dan Maninjau serta daerah lain yang memakai gandang tambua, musik ini termasuk musik tradisi yang mampu menarik perhatian orang banyak. Dilihat pula pada penggunaannya khusus di lapangan terbuka, baik itu dimainkan dalam posisi diam di tempat maupun untuk arak- arakan, mampu mengangkat suasana kemeriahan dan kedalaman sebuah upacara. Ensambel gandang tambua secara musikal termasuk ke dalam ensambel perkusi ritmik tanpa melodi. Artinya, tidak ada instrumen musik yang difungsikan sebagai instrumen melodi, oleh karena instrumen yang dipakai hanya antara 4–10 buah lebih gendang bermuka dua (double-headed cylindrical drum) dan satu buah tasa (single-headed vessel drum). Juga tidak ada gendang yang dilaras dengan nada-nada tertentu yang difungsikan sebagai melodi, seperti instrumen taganing pada etnik Batak Toba di Sumatra Utara. Gandang tambua memiliki karakter musik yang dinamis, enerjik, dan kadang-kadang mendatangkan keasyikan tersendiri bagi yang mendengarkannya. Musik ini termasuk musik rakyat yang bisa dimainkan oleh masyarakat tanpa harus melalui ‘birokrasi’ adat atau tetua adat yang sulit dan rumit. Gandang tambua dipertunjukkan dalam berbagai upacara dan kegiatan sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Misalnya dalam upacara pesta perkawinan, mengarak penganten, sebagai musik pengiring tari Galombang dalam upacara pengangkatan raja dan pada upacara alek paulah tinggi (ulu ambek), upacara pengangkatan pengulu, Maulid Nabi Muhammad, alek nagari (pesta desa/nagari), dan lain sebagainya. Gandang tambua dijumpai di beberapa daerah di Minangkabau, seperti Pariaman, Maninjau, Lubuk Basung, dan beberapa daerah kabupaten Agam lainnya yang berbatasan

37

dengan kabupaten Padang Pariaman. Gandang tambua Pariaman memiliki karakter musik cepat, dinamis, enerjik, dan keras, terutama di kawasan kota Pariaman, sehingga lagu-lagu yang dimainkan hanya berdurasi antara empat sampai delapan menit saja oleh karena penyajian gandang tambua lebih banyak menguras tenaga. Karakter musik seperti itu banyak dipengaruhi pula oleh alam lingkungannya yang berada di tepi pantai yang cenderung keras dan mudah menerima pengaruh dari luar. Selain itu karena adanya Upacara Tabuik yang berdimensi keras. Berbeda dengan daerah Maninjau jumlah instrumen yang digunakan dalam satu grup bisa lebih banyak dari Pariaman, yaitu antara tujuh sampai lima belas buah, dan bahkan bisa lebih dari itu. Karakter musiknya cenderung bertempo lambat dan tidak terlalu keras, tetapi bisa disajikan dalam durasi antara setengah dan bahkan sampai satu jam. Penyajian gandang tambua di daerah Maninjau, tidak terlalu menguras tenaga, sehingga bisa disajikan dalam waktu yang relatif lama, bahkan ada pemain gendang yang menjadi trance karena terlalu asyik memukul gendang. Karakter musiknya banyak pula dipengaruhi oleh alam lingkungannya yang tenang. Maninjau yang terletak agak ke pedalaman kurang lebih sekitar 50 km dari pantai jauh dari hiruk pikuk suasana pantai, sehingga karakter musik gandang tambua juga cenderung tenang. Selain itu Maninjau tidak memiliki tradisi Upacara Tabuik. Berbeda pula dengan daerah Lubuk Basung yang berada di antara Pariaman dan Maninjau, jumlah instrumen gandang tambua yang dipakai lebih cenderung mengikuti jumlah yang ada di Pariaman, khususnya daerah Lubuk Basung yang berbatasan dengan Pariaman. Akan tetapi karakter musiknya lebih cenderung mengikuti karakter Maninjau, walaupun karakter Pariaman juga ditemui, tetapi tidak terlalu menonjol. Seperti juga Maninjau, Lubuk Basung tidak memiliki tradisi Upacara Tabuik. Saat ini gandang tambua tidak hanya ditemui pada daerah itu saja, melainkan sudah ditemui di berbagai kota Sumatera Barat, seperti: Padang, Bukittinggi, Payakumbuh,

38

Padangpanjang, dan bahkan di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, dan lain sebagainya. Hadirnya gandang tambua di berbagai kota tersebut pada umumnya dibawa oleh para perantau yang berasal dari Pariaman dan Maninjau. Para perantau itu sering melakukan upacara-upacara di daerah perantauannya yang melibatkan gandang tambua, sebagaimana yang lazim dilakukan di daerah asalnya. Misalnya, para perantau Pariaman yang berada di Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Pekan Baru, dan kota-kota lainnya, mereka melakukan Upacara Tabuik dalam bentuk sekuler. Biasanya dalam rangka memeriahkan perayaan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus.

Gandang Tambua Pariaman Foto: Dok. Hanefi

Selain oleh para komunitas perantau, gandang tambua juga dimiliki oleh berbagai sanggar-sanggar kesenian yang ada di berbagai kota di Sumatra Barat, dan sanggar-sanggar kesenian Minang yang ada di berbagai kota luar Sumatera Barat. Paket- paket pertunjukan yang disajikan oleh sanggar-sanggar kesenian itu tak jarang juga menghadirkan paket khusus gandang tambua, seperti pertunjukan awal sebagai pembukaan pertunjukan.

39

2.2.2. Musik Tradisional Gandang Sarunai Sungai Pagu Gandang sarunai Sungai Pagu di Muaro Labuah dalam konteks sosialnya sangat berkaitan dengan adat. Ensambel ini ditampilkan dalam berbagai upacara, yaitu upacara pengangkatan raja yang disebut dengan upacara Uak Lambai, dan upacara adat perkawinan. Dalam upacara pengangkatan raja-raja, gandang sarunai diikut-sertakan sebagai tanda kebesaran raja. Dalam ungkapan adat Alam Surambi Sungai Pagu seperti yang ditulis oleh Mahdi Bahar, dinyatakan: ”diliek rupo, didanga bunyi, diguguah gandang, dipatiak sarunai (dilihat rupa, didengar bunyi, dipukul gendang, dipetik [ditiup] sarunai).20 Masyarakat Muaro Labuh (Rafiloza, Juli 2017) menyatakan bahwa pertunjukan gandang sarunai dalam upacara-upacara di atas, amat bergantung pada bentuk upacara. Pada upacara pengangkatan raja, gandang sarunai tidak hanya sekedar memeriahkan upacara, tetapi dapat dianggap sebagai representasi kebesaran raja. Begitu juga pada upacara Uak Lambai, gandang sarunai menjadi salah satu simbol kebesaran upacara tersebut. Berbeda dengan pada upacara pesta perkawinan, gandang sarunai hanya dijadikan sebagai media untuk memeriahkan upacara. Ensambel gandang sarunai terdiri dari dua buah gendang bermuka dua (double-headed drum) dan sebuah sarunai. Kedua gendang itu masing-masing dimainkan oleh satu orang, dan disebut dengan gandang batino dan gandang jantan. Dalam komposisinya gandang batino berfungsi sebagai malalu (memainkan pola ritme dasar lagu), sedangkan gandang jantan berfungsi sebagai peningkah. Pola-pola ritme yang dimainkan oleh kedua gendang itu, menghasilkan jalinan-jalinan atau kaitan dan tingkahan ritme, yang bisa digolongkan ke dalam teknik interlocking. Sementara sarunai dimainkan oleh satu

20 Mahdi Bahar, “Bermain Musik Talempong Gandang Sarunai”, Buku Ajar, (Padangpanjang: STSI, 2004), p. 8.

40

orang, berfungsi memainkan melodi-melodi yang tidak begitu terikat dengan pola-pola ritme gendang. Dari aspek organologis dan suara yang dilahirkan oleh gendang serta teknik menghasilkan bunyi gendang, termasuk spesifik. Masing-masing permukaan gendang menghasilkan suara yang berbeda. Permukaan gendang yang berdiameter kecil (sekitar 27-30 cm) akan menghasilkan sekitar tiga macam warna bunyi, yaitu: bunyi nyaring [teng] yang dipukul dengan jari di bagian pinggir atas gendang; bunyi sedang [tung] dipukul dengan telapak tangan dan jari di bagian pinggir sisi tengah gendang; bunyi piciak (ditekan seperti meredam bunyi) dengan ujung jari di bagian tengan gendang. Bagian gendang permukaan kecil ini, dimainkan dengan tangan kiri tanpa menggunakan penokok (stick). Sementara permukaan gendang yang berdiameter besar (sekitar 33-35 cm), menghasilkan sekitar tiga macam warna suara yang berbeda. Masing-masing yaitu: bunyi tum yang dipukul dengan penokok sambil dilepas; bunyi tak yang dipukul dengan penokok sambil ditekan; bunyi seperti meredam suara yang ditekan dengan telapak tangan sambil memegang penokok. Perbedaan masing-masing warna bunyi pada kedua permukaan gendang, berlaku sama pada gandang jantan dan gandang batino. Untuk membedakan gandang jantan dan gandang batino, dilihat dari perbedaan bunyi nyaring masing-masing gendang. Bunyi yang lebih nyaring, dijadikan sebagai gandang jantan, karena dengan suaranya yang lebih nyaring itu, akan dapat menghasilkan tingkahan-tingkahan yang ‘enak’ didengar. Bagi masyarakat Muaro Labuah sendiri belajar gandang sarunai, juga tidak mudah. Mereka membutuhkan waktu yang relatif cukup lama juga untuk menghasilkan warna bunyi. Biasanya para guru gandang sarunai memberikan sugesti kepada para anak-anak muda yang belajar gandang sarunai dengan menetapkan berbagai persyaratan, agar belajar dengan sungguh dan dapat pula bermain mencapai tingkat kemampuan seperti gurunya. Persyaratan itu adalah, proses pertama, mando’a, bagi orang yang akan belajar. Selanjutnya dilengkapi dengan: 1) menyembelih ayam jantan; 2) menyediakan cikumpai, cikarau,

41

sitawa, dan sidingin; 3) menyediakan bareh batiah dan bareh randang; 4)menyediakan pisang manih; 5) uang; 6) beras. Proses kedua melengkapi syarat yaitu: 1) singgang ayam; 2) kain putih; 3) pisau; 4) nasi kunik; 5) pisang manih; 6) sirih pinang; 7) uang; 8) beras. Dilihat dari aspek musikal, dengan adanya perbedaan warna bunyi itu, dan dipadukan dengan kekayaan interlocking dari pola ritme lagu-lagunya, maka gandang sarunai termasuk salah satu musik tradisi yang memiliki tingkat kerumitan dan musikal yang cukup tinggi. Biasanya bagi orang-orang yang telah menguasai bermain gandang sarunai, jika belajar atau memainkan gendang ensambel lain di Minangkabau, yang menggunakan teknik menghasilkan warna bunyi dengan tangan, tidak mengalami kesulitan yang berarti.

2.2.3. Musik Tradisional Gandang Tansa Maninjau Musik perkusi ritmis gandang tansa adalah musik tradisional anak nagari yang terletak di selingkar danau Maninjau, musik gandang tansa ini cenderung digunakan untuk hiburan di kala ada keramaian-keramaian nagari misalnya memeriahkan penyambutan tamu-tamu khusus, acara festival gandang tansa antar nagari, dan lain-lain. Para musisi musik perkusi ritmis ini laki-laki dari yang berusia muda hingga dewasa, namun dewasa ini sudah berkembang dengan terbentuknya kelompok gandang tansa wanita di Nagari Bayua, Kecamatan Tanjung Raya. Instrumentasinya terdiri dari dua jenis gendang yaitu gandang tambua jenis double headed cylindrical/barel drum dan gandang tansa jenis single headed vessel drum. Gandang tansa berperan sebagai leader atau pemimpin perjalanan komposisi musiknya, sedangkan gandang tambua adalah bagian dalam komposisi yang pola-pola ritmenya menghasilkan berbagai bentuk metrik ritmis (heterometer) yang bentuk (form) komposisinya diarahkan oleh gandang tansa. Para musisi yang memainkan alat musik gandang tambua terdiri dari sejumlah musisi, biasanya berjumlah lima sampai dua puluh orang

42

pemain. Selain itu, gandang tansa juga berperan dalam komposisi lagu sebagai penentu lagu apa yang akan dimainkan dari repertoar yang ada. Peristiwa-peristiwa penyajian gandang tansa cenderung pada penyajian-penyajian aktraktif dalam pertandingan/lomba gandang tansa, pertunjukan keterampilan bermain musik ini pada keramaian-keramaian anak nagari, dan pada penyambutan- penyambutan tamu tertentu. Biasanya berbagai aksi permainan melalui repertoar yang sesuai dengan konteks kegiatan atau event, misalnya menampilkan formasi disain lantai yang selalu bergerak (berubah-ubah), melakukan gerak-gerak gaya tari- tarian yang rampak sambil bermusik, dan membuat konfigurasi dengan level-level tubuh sama yang disesuaikan dengan ekspresi dinamika komposisi-komposisi musik yang tersaji.

Gandang Tansa Maninjau (Dok. Hanefi)

43

Perbedaan gandang tansa dengan gandang katipik terutama adalah gaya permainan dari repertoar yang disajikan; gandang katipik memainkan hanya satu lagu tradisional yang dilengkapi dengan alat-alat pendukung lain, penyajiannya digunakan untuk arak-arakan — walaupun ada jeda arak-arakan dimana mereka bermaian atraktif di tempat atau dalam posisi tetap. Sedangkan gandang tansa dengan permainan alat musik tansa dan permainan kelompok alat musik gandang tambua sangat dinamis. Sebagaimana yang disinggung di atas bahwa gendre musik ini memiliki beberapa repertoar lagu, dan gaya penyajiannya sangat aktraktif.

2.3 Alat Musik Perkusi Ritmis Pengiring Nyanyian Jenis alat musik perkusi perunggu pengiring nyanyian perlu dikemukakan karena keunikan apresiasi orang Minangkabau dalam memandang alat yang berfungsi non musikal menjadi alat musik. Mundam adalah alat keperluan dapur berbentuk periuk dari bahan logam (perunggu). Pada ensambelnya yang disebut dikia mundam digunakanlah oleh masyarakat sebagai alat musik ritmik pengring nyanyian bernuansa Islam, perannya dalam komposisi musik sebagai pengiring ritmis melodi vokal (nyanyian) dengan teknik call & respons dan pada bagian tertentu nyanyian berupa koor (chorus). Selain dari itu, ada pula musik tradisional Minangkabau yang disebut salawat dulang, yang digunakan adalah alat yang berfungsi sebagai alat dapur berupa piring logam besar yang disebut dulang. Perannya dalam permainan musik salawat ini adalah pengiring melodi vokal (nyanyian) dengan teknik antiphonal (penyanyi satu selalu mendahului penyanyi kedua), dan bagian lain dengan tekstur homophony. Kemudian penggunaan gendang sebagai pengiring melodi vokal (nyanyian) seperti alat musik rebana berukuran besar, dan ada pula yang berukuran kecil. Alat musik rebana yang berukuran besar disebut rabano dan yang berukuran kecil disebut rapa’i atau indang. Alat musik rabano pada umumnya

44

digunakan masyarakat Minangkabau untuk mengiringi nyanyian dzikir, sehingga musik tersebut dinamakan dikia rabano. Alat musik semacam rabano berukuran kecil digunakan untuk mengiringi nyanyian indang piaman, dan nama kesenian itu menjadi indang piaman yang didominasi oleh gerakan- gerakan (tari) dan nyanyian.

2.3.1. Musik Tradisional Dikia Mundam Luhak Tanahdata Dikia mundam termasuk kategori 45musik bernuansa Islam. Musik ini mengutamakan melodi 45musik yang diiringi oleh alat mundam yaitu alat berupa rantang dari bahan perunggu, biasanya digunakan untuk kebutuhan tempat makanan bagi masyarakat setempat. Namun alat itu difungsikan sebagai alat 45musik perkusi ritmis dalam 45musik dikia mundam, lalu keberadaannya juga mengalami perubahan disebabkan fungsi musikal 45 itu. Secara organologis, mundam tergolong pada klasifikasi , jenisnya dari keluarga gong tanpa pencu yang disebut ‘gong ceper’.21 Secara musikal, dikia mundam terdiri dari melodi 45vokal diiringan permainan ritmik alat musik mundam. Melodi 45vokal dibawakan oleh masing-masing musisi secara bergantian dengan teknik call and respons, dan pada tahap memulai melodi vokal (nyanyian) sebagai ‘pembuka’ atau introduksi digunakan teknik antiphonal yaitu melodi yang dimulai oleh salah seorang dari musisinya lalu disambut dan diteruskan oleh musisi kedua. Setelah itu disambut lagi oleh musisi ketiga dan diteruskan sampai kembali kepada siklusnya semula yang dibawakan oleh musisi pertama, dan begitu selanjutnya. Begitulah struktur permainan dikia mundam dalam satu bagian ke bagian berikutnya sepanjang perjalanan komposisi hingga selesai.

21 Dwita Norfalinda. “Studi Musikologis Musik Dikia Mundam di Desa Sungai Omeh Kecamatan Tanjuang Omeh Kabupaten Tanah Datar.” Skripsi. Padangpanjang: Sekolah Tinggi Seni Indonesia. 2000. p.26

45

Alat Musik dan Penajian Dikia Mudam Foto: Dok. Almuhanis

Selain itu, pada bagian-bagian tertentu, mereka (para musisi) bernyanyi secara chorus (koor) dengan menggunakan teknik call and respons. Nyanyian chorus ini membawakan teks yang berbeda-beda. Teks yang utuh (call) dibawakan oleh musisi 1, teks berupa silabel bunyi saja (respons) dibawakan oleh musisi 2 dan 3, dengan teknik isi mengisi. Kelihatan bahwa melodi dengan teks utuh didukung oleh tekanan ritmis silabel-silabel

46

yang mengesankan permainan pola ritme dalam bentuk pengucapan silabel-silabel yang tidak mengandung arti berperan memperkuat melodi pokok.22

2.3.2. Musik Tradisional Dikia Pano Kabupaten Pasaman Kesenian dikia pano termasuk kategori 47musik bernuansa Islam. Musik ini merupakan melodi vokal (nyanyian) diiringi oleh alat musik pano atau rabano yaitu gendang muka satu berbingkai (single-headed frame drum). Perbedaan rabano ini dengan rabano-rabano yang dipakai oleh kelompok- kelompok dikia rabano atau genre yang sama di daerah lain dalam wilayah kebudayaan Minangkabau dapat dikatakan spesifik, karena alat musik pano atau rabano Lubuak Sikapiang ini memiliki resonator berupa bingkai seperti kuali berlobang dan ada pula yang berbingkai (ftame) lebih tinggi dari head ke bagian bawah resonator dan sebagian resonator pada bagian belakang ditutup sebagian, sedangkan di bagian tengah resonator itu berlobang dengan diameter 10 – 13 cm. Jenis alat musik pano dengan resonator seperti itu memproduksi bunyi dengan karakter yang khusus pula, dimana resonansi pukulan membrannya pantul-memantul ke dinding resonator dan kemudian keluar dengan bunyi bass lebih menonjol. Jadi, bunyinya bergetar lebih dahulu dalam resonator lalu didorong ke luar. Sementara pada alat musik yang digunakan oleh kelompok-kelompok dikia rabano genre yang sama mempunyai rabano dengan resonator berbentuk bingkai juga tetapi tidak ditutup di belakangnya, tentu resonansi yang dihasilkan oleh getaran kulit langsung keluar dari resonator. Tendangan bunyi yang dihasilkan lebih jauh dari alat musik pano karena resonansi pukulan membrane lebih cepat keluar ruang resonator, tidak terjadi pantul-memantul. Dengan demikian bunyi yang diproduksi oleh pano lebih “berat” dan mengeluarkan warna bunyi bass dan dominasi

22 Almuhanis. “Dikia Mundam Dlam Upacara Manyaratuih Hari di Jorong Kampung Tangah Nagari Pagaruyung. Skripsi. (Padangpanjang: Institut Seni Indonesia. 2011), p. 42

47

karakter warna bunyi itu bila didengar dari dekat dibandingkan dengan bunyi alat musik rabano-rabano lain yang resonansinya dapat tertangkap pendengaran dalam jarak yang relatif jauh. Begitulah ciri khas bunyi musik dikia pano Lubuak Sikapiang. Jika diamati efek akustis dari bunyi ritme alat musik pano yang berperan mengiringi melodi vokal, maka volume suara musisi memang memiliki kekuatan yang harus mampu “menembus” ruang akustis yang dikuasai oleh volume suara/bunyi pano. Efek bunyi low (bass) dari alat musik itu akan lebih kuat jika dimainkan di dalam ruangan (in-door), otomatis para musisi akan berusaha memproduksi suara lebih kuat (keras). Dengan demikian, sesuai dengan karakteristik dikia pano lebih baik ditampilkan di dalam ruangan yang agak besar dengan pertimbangan akustik yang mendukung karakter bunyi seperti itu. Misalnya penampilan di dalam Mesjid, Aula yang efek akustiknya mendukung karakter bunyi yang demikian, dan lain sebagainya.

Dikia Pano Pasaman Foto: Dok. Hanefi

2.3.3. Musik Tradisional Dikia Rabano Ampek Angkek Masyarakat Nagari Lasi khususnya dan Kecamatan Ampek Angkek umumnya memandang dikia rabano sebagai kesenian yang penting dalam kehidupan beragama. Biasanya,

48

setiap menyelenggarakan khatam al-Quran selalu menggunakan kesenian nuansa Islam dikia rabano. Nagari Lasi adalah salah satu nagari dimana masyarakatnya masih sadar untuk mewariskan kesenian ini kepada generasi muda, ternyata dikia rabano yang eksis hingga hari ini lebih banyak generasi muda sebagai musisinya. Kesenian dikia rabano adalah musik nuansa Islam dengan komposisi musik terdiri dari melodi vokal diiringi oleh alat musik sejumlah rabano (single headed frame drum). Syair yang dimelodikan dengan vokal berasal dari kitab al-Barzanji yang dikenal dengan kitab Syaraful Anam. Isinya adalah puji- pujian kepada Rasul Allah Muhammad SAW. Kelompok musik dikia rabano Nagari Lasi cukup dikenal bagi masyarakat di lingkungan Kecamatan Ampek Angkek. Lihat saja penyelenggaraan khatam al-Quran di nagari lain dalam wilayah Kecamatan Ampek Angkek. Yang ditemui pada acara arak-arakan anak-anak khatam Qur’an adalah dikia rabano Nagari Lasi. Biasanya, sehabis penyajian dikia rabano di acara arak-arakan, pada malam harinya akan ada saja pihak yang anaknya terlibat khatam al-Qur’an pada hari itu mengundang penyajian dikia rabano di rumahnya. Alek atau kenduri khatam al-Qur’an selalu diselenggarakan oleh anggota masyarakat secara adat keagamaan bagi yang anaknya khatam al-Qur’an di Kecamatan Ampek Angkek. Tradisi seperti ini dipakai hingga saat ini oleh masyarakat setempat.

49

Dikia Rabano (Dok. Hanefi)

50

BAB 3 MUSIK TIUP TRADISIONAL MINANGKABAU

usik tiup Minangkabau adalah musik tradisional Minangkabau yang menggunakan alat musik M klasifikasi (udara sebagai sumber getaran utama) dengan berbagai jenis dan bentuk, yaitu jenis end-blown without block flutes, end-blown block flutes, dan jenis reed flutes. Alat musik tiup jenis end-blown without-block flutes seperti saluang darek dan saluang sirompak; jenis end-blown block flutes seperti bansi, sampelong, saluang pauah, dan saluang sungai pagu; jenis reed flutes seperti pupuik gadang, pupuik sarunai, pupuik baranak, dan sarunai tanduak. Jenis alat musik end-blown without-block flutes digunakan untuk mengiringi nyanyian atau dendang Minangkabau. Dendang yang diiringi terdiri dari dua jenis dendang masing-masing jenis dendang hiburan dan jenis dendang magis. Saluang darek digunakan untuk mengiringi dendang hiburan, saluang sirompak secara historis pernah digunakan untuk mengiringi melodi dengan syair mantra ‘mengguna-gunai’ perempuan atas kehendak laki-laki, kemudian berubah menjadi hiburan dengan syair pantun- pantun bersifat hiburan. Perbedaan yang menyolok adalah repertoar lagu pada masing-masing jenis alat musik. Saluang darek mengiringi dendang yang berjumlah relatif ratusan lagu,

51

sedangkan saluang sirompak hanya memiliki satu lagu saja, yaitu lagu (melodi) sebagaimana yang digunakan dalam fungsi magis. Jenis alat musik seperti bansi secara tradisional digunakan untuk bermain solo dan tidak mengiringi dendang, biasanya permainan bansi berbentuk instrumental. Alat musik jenis sampelong secara historis sama dengan fungsi saluang sirompak, kemudian berubah menjadi hiburan dengan pantun- pantun bersifat hiburan dan memiliki perkembangan di segi repertoar lagu. Terakhir diketahui repertoarnya mengandung sejumlah 9 lagu. Jenis alat musik end-blown block flute seperti saluang sungai pagu disebut juga dengan saluang panjang, block pada lubang saluang digunakan bibir peniup sebelah atas, digunakan untuk mengiringi dendang, biasanya dinyanyikan oleh beberapa orang yang bertujuan berbalas-balas pantun. Keunikan jenis alat musik yang disebut jenis saluang tetapi menggunakan block seperti jenis alat musik bansi, alat musik itu disebut saluang pauah, digunakan untuk mengiringi dendang yang disebut dengan dendang pauah di daerah Kota Padang. Syair dendang yang diiringi saluang pauah berupa kaba atau cerita rakyat mengandung beberapa repertoar dalam satu komposisi musik berdurasi panjang seperti lagu “Pado-Pado”, “Pakok Anam”, “Pakok Limo”, dan ”Lereang”. Alat-alat tiup yang disajikan dengan dendang (nyanyian), dalam konsep penyajiannya, pada umumnya lebih cenderung disebut alat musiknya saja untuk mewakili ensambelnya. Misalnya: sampelong, saluang pauah, saluang dendang atau bagurau (saluang darek) dan lain sebagainya, walaupun ada beberapa kasus lain di tempat yang berbeda dengan versi yang berbeda pula. Alat-alat tiup yang mengiringi dendang itu tersebar di berbagai tempat di Minangkabau. Ada yang tersebar secara lebih luas meliputi wilayah Luhak Nan Tigo ditambah dengan beberapa daerah di luar itu. Ada pula yang hanya berkembang pada wilayah tertentu saja, dengan radius popularitasnya sangat berbeda pula. Jenis alat musik berlidah (reed) di Minangkabau ditemui beberapa macam bentuk sesuai dengan hasil bunyi yang dituju, untuk itu ada beberapa teknik yang digunakan seperti teknik

52

multiple reeds (banyak lidah) yang bergetar sehingga menghasilkan warna bunyi tertentu. Alat musik tiup pupuik gadang yang memiliki multiple reeds dari bahan batang padi tanpa lobang nada, lalu diberi corong dari daun kelapa dan hasil bunyi mengandung karakter tertentu. Teknik melahirkan gerak melodi menjadi sebuah lagu digunakan teknik sentuhan lidah pemain pada reed alat musik sehingga dapat melahirkan tingkat bunyi yang berbeda. Selanjutnya, alat musik jenis yang sama adalah pupuik sarunai, hanya memiliki satu lidah (single reed), biasanya alat musik tiup ini berukuran kecil dan memiliki 4 lubang nada untuk permainan kantur (contour) melodi. Alat musik pupuik baranak hampir sama dengan pupuik sarunai, perbedaannya dari sisi resonator dimana resonator pupuik sarunai hanya satu ruas panjang kurang lebih 10 s/d 15 cm. Sedangkan resonator pupuik baranak terdiri dari beberapa ruas bambu ukuran pendek yang disisip pada alat yang berdiameter lebih kecil, bunyi yang dihasilkan berkarakter tertentu pula. Kemudian sarunai tanduak, alat musik tiup ini relatif sama dengan. Pupuik sarunai hanya panjang resonator yang berbeda yaitu lebih panjang dari pupuik sarunai dan di ujung resonator diberi corong, biasanya dari bahan tanduk kerbau (tanduak kabau). Khusus pupuik gadang sering juga digunakan dalam ensambel talempong pacik, selain itu digunakan pula untuk bermain sendiri tanpa bergabung dengan satu ensambel. Artinya, pupuik gadang dimainkan secara solo berupa musik instrumetalia. Sebagai alat musik melodis dalam ensambel talempong pacik, biasanya melodi-melodi yang dimainkan pupuik gadang telah terorganisir, namun kehadirannya tertuju untuk menghiasi formula melodi dan pengembangannya yang dihasilkan dari proses teknik interlocking permainan sejumlah pola ritme talempong. Di Maninjau pupuik gadang disajikan dalam ensambel gandang katipik yang sudah melibatkan beberapa alat musik lain yang lebih dominan selain talempong pacik. Dalam perkembangan sekarang, sarunai dan bansi sering pula disajikan bersama dengan talempong kreasi dan talempong goyang serta

53

dalam berbagai komposisi musik baru atau musik eksperimental. Tak jarang pula bansi disajikan secara tunggal.

3.1 Musik Tradisional Saluang Saluang merupakan musik tradisi yang dipertunjukkan bersama dengan dendang. Dendang dinyanyikan oleh “tukang dendang” (pendendang), dengan bermacam-macam judul dendang, dan saluang dimainkan oleh “tukang saluang” (peniup saluang) sebagai pengiring dendang dengan memainkan melodi dendang secara bersamaan dengan pandendang. Dewasa ini terdapat beberapa genre saluang, seperti saluang darek, saluang sirompak, saluang pauah, dan saluang sungai pagu (saluang panjang). Saluang darek mengiringi dendang yang berciri khas dari lingkungan alam darek (darat) Minangkabau, sehingga sering pula disebut dengan dendang darek. Saluang Pauah berfungsi mengiringi dendang dan kaba yang disampaikan oleh “tukang kaba”. Saluang sirompak mengiringi dendang yang disajikan oleh tukang dendang berupa aktivitas ritual magis. Selanjutnya saluang sungai pagu mengiring dendang-dendang yang berkembang di daerah Muaro Labuah dan sekitarnya.23 Musik tradisional saluang ini memiliki keunikan, terutama dalam penyebutan alat musiknya. Dalam sebutan yang sama justru jenis organologis alat musiknya berbeda, dan ada pula jenis yang sama tetapi memiliki sistem musikal yang berbeda. Dengan demikian, uraian selanjutnya tidak menampilkan contoh kelompok musik sebagai mewakili satu kategori musik tradisi di wilayah budayanya tetapi berbicara secara umum saja terkait lokal setempat.

3.1.1 Saluang Darek (Saluang Dendang) Saluang darek atau disebut juga dengan saluang dendang, lebih dikenal di Luhak Minangkabau, yang meliputi daerah kabupaten Tanah Datar, Padangpanjang, Bukittinggi,

23 Ediwar, “Seni Pertunjukan Indonesia (Genre Seni Pertunjukan Melayu Minangkabau)”, Buku Ajar, (Padangpanjang: STSI, 2002), 94-95.

54

sebagian besar kabupaten Agam, kabupaten Lima Puluh Kota, dan Payakumbuh. Bahkan di luar daerah tersebut, saluang dendang juga dikenal di beberapa daerah, seperti di kabupaten Solok, kota Solok, Padang, Lubuk Basung, Maninjau, Pasaman, dan Pariaman. Khususnya di Pariaman, dewasa ini saluang dendang, telah berasimilasi dengan musik lainnya (unsur musikal dangdut), dengan mengimbuhkan beberapa alat musik lain, terutama gendang yang membawakan pola ritme “dangdut”, sehingga lebih dikenal pula dengan sebutan saluang dangdut. Pertunjukan saluang dendang sering pula disebut dengan bagurau. Di kalangan seniman dan pencandu pertunjukan saluang dendang, bagurau sudah dipahami secara bersama yang mengandung maksud adalah pertunjukan saluang dendang. Pertunjukan saluang dendang yang dimaksud di sini tentu saja, pertunjukan yang dilakukan secara penuh, biasanya semalam suntuk tanpa diselingi dengan pertunjukan yang lain. Hal ini akan berbeda maksudnya dengan pertunjukan saluang dendang yang disajikan antara setengah hingga satu jam dalam satu paket pertunjukan yang disajikan dengan materi musik dan seni yang lainnya. Pertunjukan jenis ini tidak lazim disebut dengan bagurau. Ketika penulis mendatangi seniman saluang dendang (peniup saluang dan pandendang) bermaksud mengundang mereka untuk suatu pertunjukan saluang dendang semalam suntuk, mereka menyebut kegiatan ini dengan bagurau. Misalnya, mereka akan bertanya, “dalam rangka apa bagurau ini dilakukan”? Begitu juga pertanyaan-pertanyaan yang mengalir antara sesama seniman saluang dendang dan para pencandu saluang dendang di suatu sore di bofet (restoran) Sianok Payakumbuh, “dima bagurau” (di mana bagurau), “jo sia bagurau” (dengan siapa bagurau), dan lain sebaginya. Bagurau memberikan pengertian tersendiri dalam konteks pertunjukan saluang dendang, yang berarti pertunjukan saluang dendang. Pengertian di atas sudah lebih luas dan berbeda dari pengertian umum bagurau, yang bisa disamakan dengan bersenda gurau. Namun demikian, masih ada pendapat

55

dan kebiasaan di suatu tempat bahwa tidak semua pertunjukan saluang dendang semalam suntuk itu disebut bagurau. Ada yang menyebut dengan basaluang saja (Pitalah), atau pada konteks acara untuk memeriahkan pesta perkawinan tidak disebut dengan bagurau, tetapi basaluang, karena tidak begitu aktif interaksi antara penonton dan pendendang.

Saluang jo Dendang (Dok. Hanefi)

56

Musik saluang dendang sangat populer di Minangkabau. Hampir semua masyarakat etnis Minangkabau mengenal musik ini. Secara historis, musik saluang dendang sangat dikenal di Luhak Agam dan masyarakatnya menganggap musik itu adalah milik mereka yang kemudian berkembang dan hampir dianggap milik masyarakat Luhak Nan Tigo (Luhak Agam, Luhak Limopuluah, dan Luhak Tanah Data).24 Setelah dilakukan pengamatan oleh beberapa orang di lembaga kesenian ASKI/STSI Padangpanjang, diperoleh kesimpulan bahwa saluang dendang berasal dari Nagari Singgalang yang terletak di kaki gunung Singgalang. Hal ini di perkuat oleh fakta tradisional dimana lagu-lagu atau dendang-dendang asal atau dendang- dendang yang dianggap tertua adalah dendang-dendang Singgalang. Repertoar musiknya berjumlah lebih dari 20 judul lagu dan mengandung ciri-ciri khusus, berbeda dengan ciri lagu- lagu yang lain pada repertoar saluang dendang. Biasanya, jika tukang saluang memulai menyajikan sebuah lagu yang bukan repertoar dendang Singgalang maka tukang saluang (peniup alat tiup saluang) akan memulai dengan imbauan singgalang. Penyajian seperti itu merupakan tradisi dalam penyajian saluang dendang, dan sudah dimengerti oleh seluruh masyarakat Minangkabau pendukung musik ini. Secara organologis, alat musik saluang adalah alat musik tiup (aerophone) dari bahan bambu tertentu,25 memiliki empat lobang nada dan ditiup dengan cara yang spesifik, cara meniup demikian juga ditemui pada cara meniup alat musik sordam kepunyaan masyarakat Batak Toba, yaitu meniup salah satu ujung bambu pipa tesebut. Namun demikian, pada alat musik saluang Minangkabau mempunyai teknik cicular breathing (meniup terus-menerus). Jadi, secara umum alat musik ini termasuk jenis cyrcular breathing end-blown flute.

24 Siti Chairani Proehoeman. “Dendang Darek Alternatif Pengembangan Cara Menyanyi Tradisional ke Cara yang Sesuai dengan Kaidah Fisiologi.” Disertasi. (Yogyakarta: UGM. 2006), pp. 22-23. 25 Zainuddin. “Pembuatan Saluang di Singgalang Kecamatan Sepuluh Koto Kabupaten Tanah Datar.” Skripsi. Surakarta: STSI Surakarta. p.20

57

Festival Saluang jo Dendang se Sumatera Barat Foto: Dok. Ediwar

Repertoar saluang dendang cukup banyak, diperkirakan ratusan lagu (sumber: tukang dendang Mak Sawir), terdiri dari tiga jenis dendang (lagu atau nyanyian), yaitu dendang bersifat ‘ratok’, dendang bersifat ‘satangah tiang’, dan dendang bersifat gembira yang disebut juga ‘dendang pantun mudo’. Dendang yang bersifat ratok adalah nyanyian atau dendang parasaian, pantun-pantunnya penuh makna dan “multi” tafsir, berisi pengalaman-pengalaman hidup yang penuh penderitaan, cenderung dikategorikan pantun nasihat, namun tujuannya untuk bangkit atas hikmah pengalaman lama. Sifat dan karakter melodinya ‘melisma’, dan bebas menyajikan pola ritme (free rhythm), sehingga melodi yang demikian memperoleh “ruang” ornamentasi melodis dengan tujuan ekspresi lebih ‘dalam’.26 Dendang yang bersifat satangah tiang dapat diartikan ‘setengah gembira’. Secara musikal, komposisi lagu terdiri dari melodi-melodi ritmis dan non ritmis (free rhythm), dan ada juga

26 Hanefi & Eko Wahyuni. Sang Pewaris: Tokoh-tokoh Kesenian Tradisi Madura dan Minangkabau. (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya- Kemendikbud, 2013), p.278

58

komposisi lagu dendang satangah tiang yang bersifat ritmis dengan pantun bersifat nasehat. Dendang yang bersifat gembira pada umumnya bersifat ritmik, dan pantun sebagai teks lagu disebut dengan pantun mudo, artinya isi pantun ditujukan untuk orang-orang muda termasuk para remaja. Isi pantun berkisar tentang kehidupan muda-mudi seperti pantun-pantun cinta atau kasih sayang para remaja, ditinggal kekasih, mencintai seseorang, dan lain sebagainya. Khusus dendang singgalang, komposisi lagunya cenderung ritmis kecuali imbauan (introduksi) lagu tersebut memang free rhythm dan ketika masuk melodi vokal kembali ke bentuk ritmis. Kategori dendang singgalang ada dua, bisa dikategorikan dendang ratok, dan bisa pula dikategorikan satangah tiang, tergantung dendang atau lagu dari repertoarnya yang ditunjuk karena masing-masing judul dendang dalam repertoar itu berbeda-beda melodi dan ritme yang terkandung dalam melodi tersebut. Di samping itu ditentukan juga oleh jenis dan isi pantun yang disajikan. Jika pantunnya jenis ratok, maka dendang singgalang itu termasuk kategori ratok, begitu juga sebaliknya.27 Pertunjukan saluang dendang diadakan dalam berbagai kegiatan antara lain: batagak kudo-kudo (upacara mendirikan rumah), batagak pangulu (pengangkatan pengulu baru), pesta perkawinan, alek nagari, hajatan pemuda atau keluarga dan para perantau di perantauan. Bahkan ada juga pertunjukan saluang dendang dilaksanakan oleh beberapa orang pencandu gurau dengan mengundang beberapa orang pendendang dan peniup saluang, sekedar menyalurkan rasa kangen musikalnya terhadap saluang dendang. Pertunjukan saluang dendang bisa dilakukan di berbagai tempat. Misalnya, di ruangan terbuka (halaman kantor, halaman rumah, halaman kedai minuman, dan lain sebagainya); dan di

27 M. Halim (Seniman Saluang). Wawancara di Padangpanjang, tanggal 5 Oktober 2017.

59

rungan tertutup yang agak luas. Tempat duduk atau pentas bagi pendendang dan peniup saluang, juga tidak ada suatu keharusan agar ditinggikan atau dibuatkan pentas khusus. Bagi mereka di atas tikar saja juga bisa menyajikan saluang dendang. Saluang dendang memiliki repertoar dendang yang sangat banyak. Menurut perkiraan para pendendang, jumlahnya bisa ratusan. Dendang-dendang tersebut dari waktu ke waktu bisa bertambah jumlahnya. Pertambahan dendang baru terjadi karena adanya adaptasi dari berbagai lagu pop dangdut, lagu daerah, dan dendang dari daerah lain. Dendang dari daerah lain yang dimaksud adalah antara lain: dendang “Sabatang Tubuah” dari dendang “Ginyang” rabab pasisia, dendang “Balam-balam”, dari dendang saluang sungai pagu, “Sirompak Taeh” dari dendang sirompak, dan lain sebagainya. Dendang-dendang tersebut ada yang berbentuk ratok (ratap dengan melodi yang melankolis) dan bersifat gembira. Dendang-dendang yang bersifat ratok sering pula dikelompokkan pada dendang klasik, sedangkan yang bersifat gembira, terutama yang disajikan untuk “hoyak” (gurau untuk mencari dana) tidak termasuk dendang klasik.28 Menurut seniman saluang dendang (Mak Lenggang), dalam setiap pertunjukan saluang dendang, sudah menjadi tradisi, bahwa dendang yang pertama disajikan berasal dari repertoar dendang Singgalang. Dendang Singgalang tersebut terdiri dari puluhan judul. Bagi pendendang boleh memilih salah satu di antara dendang tersebut untuk disajikan sebagai dendang pembuka pertunjukan, misalnya dendang “Singgalang Alai”. Setelah itu, barulah disajikan dendang yang lain. Tim pertunjukan saluang dendang pada umumnya beranggotakan sekitar 3-5 orang yang terdiri dari satu orang peniup saluang dan selebihnya para pendendang. Jika lebih dari itu, biasanya peniup saluang dihadirkan dua orang. Kondisi yang ada dewasa ini para pendendang umumnya para wanita, dan sangat sedikit sekali pendendang pria, bahkan dikhawatirkan

28 Desi Syari’ah. “Estetika Akulturasi Pertunjukan Gurau Oyak Saluang Orgen.” Skripsi. (Padangpanjag: Institut Seni Idonesia. 2016). p.22

60

menuju kepunahan, karena mereka umumnya sudah tua dan tidak ada generasi penerusnya. Sebagimana disebutkan oleh Sawir Sutan Mudo (75 tahun), salah seorang pendendang senior saat ini, bahwa tidak ada pemuda yang berminat belajar dendang secara sungguh-sungguh. Akhirnya setiap ada bagurau pendendang yang hadir umumnya perempuan saja. Laki-laki agaknya lebih suka menjadi peniup saluang. Menjadi pendendang memang termasuk pekerjaan yang cukup sulit. Selain harus menghafal puluhan bahkan ratusan melodi dendang yang kadang-kadang ada yang agak mirip, juga diharuskan terampil membuat pantun secara spontan dan bervariasi. Pantun-pantun spontan itu sangat diperlukan, terutama saat bagurau dengan mencari inspirasi dari para penonton. Alangkah lebih baik sekali kalau sampiran-sampiran setiap pantun itu tidak sama, sehingga suasana menjadi hidup dan penonton tidak bosan. Dewasa ini pusat perkumpulan para pendendang dan frekuensi pertunjukan saluang dendang yang banyak dilakukan terdapat di Payakumbuh dan sekitarnya. Meskipun di daerah lain seperti di Bukittinggi, Batu Sangkar dan sekitarnya tetap ada aktivitas saluang dendang, tetapi di kota Payakumbuh dan sekitarnya terbilang banyak. Selain bagurau memenuhi undangan, bagi pendendang yang tidak mendapat undangan bagurau, maka mereka mengadakan pertunjukan saluang dendang di los-los pertokoan pasar Payakumbuh yang dikelola dengan baik yang disebut pula dengan bagurau lapiak. Meskipun jumlah penonton tidak begitu banyak, tetapi mereka tetap melakukan pertunjukan, tentu honorariumnya juga sedikit.

3.1.2 Saluang Sirompak Sirompak adalah kesenian yang tumbuh di daerah Taeh Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota. Pada awalnya ia merupakan aktivitas ritual-magis yang dilakukan berdasarkan permintaan seorang pemuda yang ditolak cintanya secara kasar oleh seorang gadis, dan dimaksudkan untuk mendapatkan gadis

61

tersebut dengan cara ‘paksa’ pula. Sirompak (rompak) artinya mendobrak, rampok, mengambil dengan paksa batin seseorang sesuai dengan keinginan orang yang melakukannya, dengan bantuan kekuatan gaib.29 Proses ritualnya dilakukan secara diam-diam agar tidak diketahui oleh orang lain. Salah satu media upacaranya adalah saluang sirompak yang difungsikan untuk mengiringi mantra-mantra yang didendangkan. Lebih jauh Marzam menyebutkan bahwa:

“Sirompak adalah suatu bentuk upacara ritual magis yang dilakukan oleh pawang sirompak dengan tujuan menaklukkan hati seorang perempuan yang telah menghina seorang laki-laki. Kegiatan ini diselenggarakan di tujuh tanjung yang terdapat di nagari Taeh Baruah. Sebelum melakukan upacara, pihak yang meminta penyelenggaraan upacara terlebih dahulu harus menyiapkan pambaokan (sesaji) berupa: nasi kuning, bareh rondang (beras yang telah direndang), bungo panggia-panggia, kemenyan, serta salah satu unsur yang ada pada diri perempuan yang dimaksud (seperti rambut, kuku, bagian dari pakaian, foto, dan lain sebagainya). Dengan semua kelengkapan tersebut, pawang sirompak melaksanakan tugasnya. Pada masing-masing tanjung yang didatangi, tukang sirompak menyiapkan sesaji, membakar kemenyan, dan mendendangkan mantra-mantranya.30

Mantra yang didendangkan dalam aktivitas ritual magis, dianggap dapat mendatangkan kekuatan gaib. Kandungan teksnya merupakan gambaran hasrat kepada sasaran dan keyakinan yang tinggi terhadap kekuatan gaib. Kekuatan gaib diminta melalui makhluk halus yang disebut rajo jin, rajo angin, mambang hitam, dan mambang putiah. Mantra-mantra di atas didendangkan dengan dendang yang lazim disebut dengan dendang sirompak, dan merupakan

29 Marzam, Basirompak: Sebuah Transformasi Aktivitas Ritual Magis Menuju Seni Pertunjukan, (Yogyakarta: Kepel Press, 2002), pp. 4-5. 30 Ibid., p. 5.

62

satu-satunya dendang untuk mantra itu. Dendang sirompak diiringi dengan saluang yang khas pula, dan disebut dengan saluang sirompak. Dendang sirompak tidak bisa diiringi dengan saluang darek, karena perbedaan tangga nada yang dimiliki saluang sirompak dengan saluang darek. Saluang sirompak dibuat dari bambu (talang) yang tipis berukuran diameter kecil (2-2,5 cm), sehingga suara melodinya tinggi dan melengking. Saluang sirompak memiliki lima lobang nada (empat di atas satu di bawah) yang disesuaikan dengan tangga nada yang dipakai pada dendangnya. Menurut kepercayaan tukang sirompak, bambu yang dipilih untuk membuat saluang sirompak adalah bambu hasil curian. Misalnya, bambu pagar rumah atau bambu tempat menjemur pakaian. Untuk membuat lobang-lobang nada saluang, dilakukan setelah adanya peristiwa kematian yang tidak wajar di masyarakat. Misalnya, meninggal karena perkelahian yang berdarah-darah, atau pembunuhan, mati tenggelam di sungai. Pembuatan lobang nada saluang menunggu adanya lima kali peristiwa kematian yang tidak wajar itu, atau sekurang-kurang empat kali, barulah selesai pembuatan saluang sirompak.31 Sebagaimana tradisi awalnya, sesungguhnya sirompak tidaklah bisa berkembang dengan baik, bahkan menuju kepunahan. Tujuan dari ritual-magisnya dianggap merugikan masyarakat. Dipandang dari sisi seni pertunjukan (musik), sirompak sulit bahkan mungkin tidak layak dimasukkan ke dalam seni pertunjukan, karena dalam proses pelaksanaannya tidak boleh diketahui oleh orang lain, sedangkan seni pertunjukan mensyaratkan harus bisa dinikmati oleh masyarakat, baik sebagai sarana hiburan maupun sebagai sarana upacara. Munculnya sirompak dilatar-belakangi oleh kisah cinta tak terbalas, dari Sibabau pemuda miskin yang jatuh cinta pada seorang gadis cantik bernama Puti Losuang Batu. Pada suatu hari ketika Sibabau hendak pergi ke sawah menggembalakan kerbau, ia bertemu dengan Puti Losuang Batu yang hendak pergi

31 Ibid., 137.

63

ke sumur menjemput air. Pada saat itu Sibabau menyampaikan maksud hatinya hendak melamar Puti Losuang Batu. Namun Puti Losuang Batu menolak dengan kata-kata yang tak wajar, sehingga membuat Sibabau merasa sakit hati. Perasaan sakit hati Sibabau itu menimbulkan hasrat untuk memperdaya Puti Losuang Batu melalui guna-guna, dengan cara mendatangi seorang dukun atau pawang sirompak, dengan tujuan “merompak” jiwa Puti Losuang Batu, agar tergila-gila padanya (Rizaldi, Juni 2017). Pawang atau dukun melaksanakan permintaan Sibabau itu dengan melantunkan mantera-mantera yang diiringi dengan saluang sirompak, dan benda-benda pendukung lainnya, yaitu: gasiang (gasing) yang terbuat dari tengkorak manusia, kemenyan, dan benang tujuh ragam (banang pincono). Permintaan Sibabau itu akhirnya terkabul, yang membuat Puti Losuang Batu tergila-gila padanya, dan menyesali perbuatannya yang telah menghina Sibabau. Dari kisah cinta di atas, akhirnya aktivitas (ritual-magis) sirompak dipandang masyarakat sebagai kesenian sakti dan menakutkan. Pemuda-pemuda yang merasa terhina oleh gadis- gadis dan cintanya ditolak selalu datang kepada pawang sirompak untuk membalaskan sakit hatinya dan juga untuk meujudkan keinginanya. Cara-cara seperti yang dilakukan melalui sirompak itu, lama-kelamaan ditentang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang merusak jiwa manusia dan merusak ketenangan masyarakat. Pemain sirompak disisihkan oleh masyarakat.32

32 Ediwar, “Seni Pertunjukan Indonesia (Genre Seni Pertunjukan Melayu Minangkabau).” Buku Ajar. (Padangpanjang: STSI 2002), 130-131; Periksa Marzam, dalam versinya, “Sibabau terhina secara menyakitkan ketika ia meminta makan di rumah Puti Lasuang Batu. Sakit hati tersebut dibalaskan oleh Sibabau yang mengakibatkan Puti Lasuang Batu jatuh sakit dan tergila- gila pada Sibabau, tetapi Sibabau tidak menerima cinta Puti Lasuang Batu, bahkan membiarkan ia merana sampai akhir hayatnya. Sakit seperti Puti Lasuang Batu sering pula disebut oleh masyarakat kanai cimbabau.” Marzam, Basirompak: Sebuah Transformasi Aktivitas Ritual Magis Menuju Seni Pertunjukan, (Yogyakarta: Kepel Press, 2002), 6-7.

64

Diperkiraan sejak tahun 1950-an aktivitas ritual magis basirompak tidak lagi digunakan. Pada tahun 1970-an aktivitas sirompak kembali muncul dalam versi atau bentuknya yang baru, yaitu sebagai sebuah seni pertunjukan yang berorientasi hiburan. Dari segi bentuk dan isi penyajiannya disesuaikan dengan kebutuhan sebuah pertunjukan yang bersifat hiburan. Aktivitas ritual magisnya yang biasa diselenggarakan di tempat- tempat sepi dan tidak boleh dilihat, sekarang justru dilakukan di tempat ramai. Bahkan bisa disajikan pada pesta perkawinan, batagak rumah gadang, dan alek nagari.33

Saluang Sirompak Foto: Dok. Hanefi

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam dunia kreativitas musik, baik untuk komposisi musik maupun untuk musik pengiring tari, dendang sirompak sudah banyak menjadi ilham dan sumber penciptaan karya-karya musik. Di STSI Padangpanjang misalnya, sejak masih ASKI hingga sekarang, dendang sirompak (bersama dengan saluang-nya) sudah dijadikan bermacam-macam bentuk komposisi musik dengan format yang berbeda-beda. Bahkan untuk musik iringan

33 Marzam, op. cit., pp. 195-196

65

tari, dendang sirompak sering digunakan untuk mendukung suasana yang menegangkan atau konflik batin penari. Jadi, perkembangan sirompak tidak hanya sebagai hiburan di nagari Taeh Baruah dan sekitarnya, tetapi juga telah berkembang dalam bentuk yang lain di luar daerah asalnya.

3.1.3 Saluang Pauah/Dendang Pauah Saluang pauah adalah salah satu jenis alat musik tradisional Minangkabau yang terdapat di daerah Pauh Kota Padang. Alat musik ini biasanya digunakan untuk mengiringi dendang kaba yang dikenal dengan dendang pauah. Secara tradisional antara saluang dan dendang tersebut selalu dimainkan bersamaan, walaupun di dalam penyajiannya terdapat saluang dan dendang, tetapi kesenian ini disebut dengan dendang pauah. Dalam hal ini peran saluang hanya sebagai pengiring dendang pauah tersebut. Dendang pauah adalah musik kaba (cerita rakyat) tradisi orang Pauah Sambilan. Nagari Duku, Kabupaten Padang Pariaman, adalah tempat dimana musisi kesenian ini berdomisili, dan pernah dianggap lingkungan kanagarian ini sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya musik dendang pauah. Kaba yang dibawakan biasanya bertemakan kehidupan “baru” di wilayah baru Kota Padang. Jadi tema cerita pada dasarnya kehidupan baru di wilayah tersebut, judulnya bisa saja berbeda-beda. Hal ini terungkap pada penelitian Philip Yamolsky (1993)34 bahwa Harus tidak bisa menyebut judul cerita, tetapi pernah ada rekaman dendang pauah tahun 1980- an yang berjudul Lubuak Sikapiang dengan nama-nama dalam cerita: Malin (suami), Dalima (istri pertama Malin), Siti Rohani—orang kaya (isteri kedua Malin), Lela (anak Malin dari istri Dalima)”. Ceritanya adalah seorang suami bernama Malin, lupa kepada anak dan istri pertamanya karena terpengaruh dengan istri keduanya yang kaya. Ketika diberitahu seniman itu

34 Yampolsky, Philip, and Hanefi. Liner Nots For Night Music of West Sumatrra: Saluang, Rabab Pariaman, Dendang Pauah. Music of Indonesia, vol. 6, Smithsonian Folks-ways SF CD 40422. 1994.

66

bahwa judul itu pernah direkam maka ia membenarkan dan mengulangi cerita itu dengan versi lain ketika direkam oleh Philip Yampolsky dari The Ford Foundation. Musik dendang pauah berupa musik vokal diiringi melodi alat musik saluang pauah. Alat musik saluang pauah adalah alat musik jenis block flute dari bahan bambu, lobang nada berjumlah enam lobang. Secara musikal, lobang nada berpengaruh terhadap bagian-bagian struktur komposisi lagu, misalnya Pakok Limo berbeda kesatuan melodinya dengan bagian Pakok Anam. Struktur komposisi musik dendang pauah dalam membawakan sebuah cerita selalu melalui bagian-bagian komposisi yang mengiringi bagian cerita tertentu; misalnya bagian Pado-pado hanya sebagai intro (pembukaan) saja, belum masuk melodi vokal, bagian Pakok Anam sebagai iringan untuk imbauan dengan melodi vokal saja, dan Pakok Limo dan Lereang masuk cerita, sedangkan Lambok Malam sebagai isi yang penting dan sekaligus menyelesaikan suatu cerita. Jadi, struktur musikal penyajian dendang pauah terdiri dari lima bagian. Khusus bagian Lambok Malam, si padendang menyanyi sendiri tanpa iringan alat musik saluang pauah, dan biasanya bagian ini sangat impresif dan kedalamannya tergantung kepada seberapa jauh seniman itu dapat membangun suasana yang mau dicapai sesuai tuntutan cerita. Sejumlah kaba yang pernah disajikan dalam berbagai bentuk pertunjukan adalah: kaba (cerita) Urang Bonjo, kaba Urang Batawi, kaba Urang Bukittinggi, kaba Urang Lubuak Sikapiang, kaba Urang Mangilang, kaba Urang Pariaman, kaba Urang Silaiang, kaba Urang Tanjuang Karang, kaba Urang Tanjuang Cino. Kaba apa saja yang dibawakan oleh penyaji dendang pauah secara musikal mereka akan membawakan struktur lagu yang sama, yaitu melalui sejumlah bagian-bagian

67

yang berbeda seperti Pado-pado, Pakok Anam, Pakok Limo, Lereang, dan Lambok Malam.35

Dendang Pauah Foto: Dok. Hanefi

3.1.4 Saluang/Bansi Solok Saluang/bansi solok adalah musik tradisional daerah Solok termasuk kategori saluang dendang. Secara musikal relatif sama dengan saluang dendang darek yaitu melodi vokal (dendang) dengan syair berupa pantun-pantun yang diiringi melodi saluang. Tetapi yang berbeda sangat prinsip yaitu alat musik yang digunakan, memang di daerah Solok alat musik itu disebut alat musik saluang, sedangkan jenisnya secara organologis sangat berbeda. Saluang/bansi solok jenis end-blown block flute, sedangkan saluang darek jenis end-blown without block flute yang disebut juga dengan end-blown flute. Saluang solok dimaksud, kadangkala ada anggota masyarakat yang menyebutnya bansi, karena alat musik yang sama dengan ukuran

35 Ismar Maadis. “Dendang Pauah di Kodya Padang: Tinjauan Musikologis Lagu Lambok Malam.” Skripsi. (Padangpanjang: STSI. 1999), p. 42

68

lebih kecil dari itu juga disebut bansi oleh orang Minangkabau pada umumnya. Walaupun kedua alat musik itu jenisnya sama (bansi), namun secara musikal fungsi instrumentasinya berbeda. Saluang solok digunakan mengiringi melodi vokal atau dendang, sedangkan bansi secara umum digunakan sebagai musik solo melodis, pada pertunjukan-pertunjukan formal sering disebut sebagai permainan ‘bansi tunggal.’ Saluang/bansi solok dalam tulisan ini disebut saluang solok saja. Dendang-dendang yang diiringi oleh saluang solok relatif sama dengan dendang- dendang darek, dan lagu-lagu yang dibawakan pandendang-nya bisa juga diringi dengan saluang darek. Jika dalam acara bagurau saluang dendang di daerah darek, biasanya repertoar dendang yang tersedia termasuk dendang-dendang solok. Artinya, siapa saja bisa meminta disajikan dendang solok kepada pemain saluang dendang darek. Ciri yang menonjol sebagai dendang solok adalah sistem modus (modes) yang terkandung di dalam dendang-dendang solok sehingga alat musik (saluang/bansi) yang digunakan juga dimainkan dengan teknik tertentu. Teknik yang terkenal pada saluang darek yaitu teknik tiupan terus-menerus (circular- breathing) tidak ditemukan pada saluang solok, walaupun tiupan terus-menerus juga ditemui pada saluang solok tetapi tekniknya sangat berbeda. Perbedaan modus antara dendang solok dengan dendang- dendang darek pada umumnya telah menempatkan kekhususan repertoar dendang-dendang saluang solok. Ciri-ciri khusus perbedaan itu disebabkan oleh pemakaian modus dan warna bunyi saluang solok. Setiap orang Minangkabau mendengarkannya maka segera akan tahu perbedaan dimaksud.

3.2 Musik Tradisional Sampelong Talang Maua Sampelong adalah nama kesenian ini, lebih tepat dikatakan musik tradisional di nagari Talang Maua karena kesenian ini terdiri dari melodi alat musik yang disebut

69

sampelong juga mengiringi melodi vokal yang disebut dendang sampelong. Alat musik sampelong termasuk klasifikasi aerophone, jenis end-blown ring block-flute (block flute bercincin ditiup di ujung) dari bahan bambu, memiliki empat lobang nada. Sebelum kemerdekaan, musik sampelong masih digunakan sebagai media aktivitas magis, yaitu digunakan untuk “mengguna-gunai” (di Minangkabau disebut sijundai, pamanih, pitunang, dsb.) kaum perempuan oleh para lelaki yang berniat memiliki seorang wanita sebagai kekasih atau isteri dengan cara paksa. Biasanya seseorang perempuan yang bisa kena “guna- guna” itu adalah perempuan yang pernah menyakiti perasaan laki-laki. Setelah kemerdekaan, perubahan terjadi akibat adanya perasaan “kebebasan” dalam menentukan kehidupan masyarakat, sehingga pengaruh agama Islam sangat cepat berkembang di Nagari Talang Maua. Keadaan yang demikian cukup signifikan dampaknya terhadap praktek musik sampelong. Hampir tidak kedengaran terjadinya praktek- praktek “rahasia” permainan musik sampelong. Jika itu masih terjadi masyarakatnya menganggap bahwa ada satu atau dua oknum dukun saja yang masih berani melakukan praktek musik sampelong dalam konteks magis mengguna-gunai perempuan. Dewasa ini, kegunaan sampelong seperti diuraikan di atas hanya tinggal cerita masa lalu saja sebab musik ini beberapa dasawarsa belakangan telah berubah fungsinya sebagai musik hiburan, baik hiburan di pondok-pondok ladang gambir atau pondok-pondok sawah, maupun hiburan dalam kegiatan adat anak nagari Talang Maua. Pantun-pantun yang disajikan merupakan pantun-pantun hiburan seperti pantun-pantun gembira, pantun-pantun lucu, dan pantun-pantun kenangan masa lalu. Musik sampelong memiliki ciri-ciri keunikan tersendiri, misalnya tangga-nada atau modus lagunya, tradisi melodi dan syair-syairnya. Keunikan itu dimanfaatkan oleh sejumlah seniman musik untuk dikembangkan menjadi komposisi musik

70

baru yang disebut dengan komposisi musik kontemporer, ada pula yang mengembangkannya menjadi musik populer (lagu pop daerah). Sedangkan para seniman tradisional sebagai pewaris musikal musik sampelong cenderung mengembangkannya menjadi musik entertainment.36 Repertoar lagu sampelong yang masih dibawakan senimannya hingga hari ini adalah: lagu Kubang Balambak, Antak Tobuang, Labuah Lengkok, Umbuik Mudo, Rumah Godang Bagonjong Puntuang, Padagangan, Mudiak Likih, Anta Den Mudiak, dan Alau Kobau.

Musik Tradisional Sampelong Foto: Dok. Ediwar

36 Hanefi. Dalam “Temu Karya Taman Budaya Se-Indonesia: Kekuatan Mantera dalam Perspektif Kebudayaan Manusia. Buku Festival.” (Jambi: Taman Budaya Prop. Jambi. 4 s/d 8 Januari 2013), p.46

71

72

BAB 4 MUSIK GESEK DAN PETIK TRADISIONAL MINANGKABAU

usik tradisional gesek dan musik petik merupakan dua musik tradisional yang menggunakan dua jenis alat M musik yang berbeda tetapi dalam klasifikasi yang sama yaitu klasifikasi achordophone, adalah alat musik dengan sumber bunyi utamanya berasal dari getaran dawai (termasuk benang/tali kecil). Musik gesek Minangkabau dikatakan juga musik tradisional rabab, sedangkan musik petik Minangkabau justru alat musik kecapi (alat musik berasal dari luar Minangkabau) sebagai alat musik pengiring kaba (cerita rakyat) yang terkenal di Minangkabau yaitu kaba Anggun Nan Tungga Magek Jobang yang disebut sijobang kucapi. Kedua jenis musik tradisional ini memiliki fungsi yang sama yaitu musik menyampaikan kaba, dalam hal ini alat musik digunakan hanya sebagai pengiring melodi vokal (nyanyian) yang bercerita. Musik tradisional rabab di Minangkabau yang masih hidup hingga hari ini ada di beberapa tempat. Di daerah Kabupaten Pesisir Selatan tumbuh dan berkembang rabab pasisia, disebut juga biola bagi masyarakat pendukungnya; di daerah Kabupaten Padang Pariaman tumbuh dan berkembang rabab piaman, Sedangkan Rabab Darek yang pernah hidup di Kota Payakumbuh hingga tahun 2008, seiring dengan meninggalnya (meninggal dunia) seniman satu-satunya bernama Alm. Fahmi maka punahlah sebuah tradisi musik di

73

Minangkabau. Selain itu, pernah pula hidup Rabab Bado’i di Kabupaten Sijunjung hingga sekitar akhir tahun 1990-an, namun seiring dengan meninggalnya seniman musik itu maka punah pula kehidupan musik tradisional tersebut. Menghargai nilai historis kesenian tradisional Minangkabau, kedua dokumentasi lagu-lagu musik tradisional tersebut masih dapat dipelihara. Sebagaimana uraian pada Bab II, dimana alat musik rabab di Minangkabau jelas berbeda secara organologis dan sistem musik yang dimilikinya berbeda pula maka sub bab tidak menyajikan kelompok musiknya. Alasan lain adalah keberadaan senimannya sangat langka, kecuali seniman rabab pasisia yang berjumlah ratusan.

4.1. Musik Tradisional Rabab Pasisia Musik rabab pasisia termasuk salah satu di antara musik tradisional yang menggejala mengisi pasar industri rekaman musik baik di Sumatera Barat maupun di kota-kota “besar” yang berdomisili banyak perantau Minangkabau. Indikator atas gejala tersebut disinyalir karena cara atau “kiat” garapan unsur-unsur musiknya mengandung nilai-nilai tradisional yang relatif sangat komunikatif. Baik syair, unsur cerita yang merakyat dan teknik- teknik komedi bersumber dari budaya Minangkabau, dan lain- lain. Pada prinsipnya, musik tradisional Rabab Pasisia adalah musik menyampaikan cerita-cerita rakyat yang dikemas sesuai dengan kebutuhan tingkat apresiasi masyarakatnya. Oleh karena itu industri rekaman komersial melirik dan memproduksinya. Fakta menunjukkan bahwa rekaman kaset itu berkembang yang ditandai oleh lahirnya gaya-gaya permainan dan ekspresi musikal yang baru. Alat musik rabab pasisia yang disebut rabab/biola relatif sama dengan alat musik Barat yang disebut dengan violin, secara organologis termasuk ke dalam jenis alat musik lute (alat musik berleher). Uniknya, rabab dibuat sendiri oleh para senimannya

74

dari bahan pohon nangka dan jelas tidak sebaik pembuatan biola, tetapi seniman tradisi musik ini tidak mau menggunakan biola dan mereka menganggap jauh lebih akrab dan efektif bila mereka menggunakan alat musik rabab yang menyerupai violin dibuatnya sendiri atau produksi masyarakat setempat. Alat musik rabab pasisia ini memiliki empat dawai, persis sama dengan biola dan secara tradisional tali atau dawai yang berfungsi untuk melodi lagu secara dominan hanya 2 dawai saja yaitu dawai 1 dan dawai 2, sesekali untuk variasi dan ornamentasi digunakan juga tali 3. Penggeseknya (bowed) berupa sepotong kayu diberi snare berupa tali nilon. Dalam penyajiannya secara tradisional, satu tema cerita rakyat atau satu episode selalu ada bagian-bagiannya dimana jeda waktu itu diisi dengan repertoar-repertoar yang cenderung memuat unsur komedi. Biasanya, penonton sering menunggu penampilan-penampilan seperti ini karena memancing gelak- tawa sebagai suatu reaksi menghilangkan kantuk. Hal ini cukup realistis karena secara tradisional penyajian rabab pasisia selalu dimulai sekitar pukul 21.00 malam (sehabis sholat Isya) sampai dini hari sekitar pukul 02.30. Secara tradisional kaba atau cerita yang dianggap tertua oleh masyarakat pemilik dan pendukung musik tradisional bercerita ini adalah kaba Gadih Rang Basanai. Namun cerita ini berkembang cukup signifikan karena ada pengembangan cerita seperti hadirnya peristiwa-peristiwa dan tempat-tempat kejadiannya yang sebelumnya tidak ada. Fenomena seperti itu tidak ditampik oleh masyarakat pendukungnya, tetapi diterima sebagai tradisi yang apa adanya bagi mereka.

75

Rabab Pasisia Foto: Dok. Hanefi

Penyajian Rabab Pasisia Foto: Hanefi

76

4.2. Rabab Piaman Musik tradisional rabab pariaman dianggap musik yang sudah hidup cukup lama, bahkan dianggap pula lebih dahulu lahir dari rabab pasisia di Minangkabau. Hal itu ditandai dari jenis alat musik dan kaba yang dibawakan dalam penyajiannya. Alat musik rabab piaman terdiri dari resonator dari batok (tempurung) kelapa, dan leher (necked) berupa seruas bambu. Jadi, teknologi pembuatannya cukup sederhana. Alat musik ini menggunakan tiga snare (tali) dari bahan serat tumbuh- tumbuhan yang dijalin, lalu penggesek (bowed) berbentuk melengkung yang dihubungkan oleh sekumpulan tali halus dari bahan ekor kuda.37 Sebagai musik menuturkan kaba secara melodis, dalam pertunjukannya sering menyajikan repertoar-repertoar pendek sebagai mengisi waktu pergantian bagian-bagian cerita dalam satu episode. Kehadiran repertoar pendek dalam pengisi waktu ini tidak memuat unsur-unsur komedi tetapi cenderung memuat pandangan-pandangan kehidupan beradat, pengalaman- pengalaman dari penderitaan yang menggaris-bawahi hikmah yang ditimbulkannya, dan lain-lain. Bagi seorang etnomusikolog musik ini disebut musik malam.38

37 Hajizar, Tradisi Pertunjukan Rabab Minangkabau, (Bandung: Sastrataya- MSPI, 1998), p. 40. 38 Philip Yampolsky & Hanefi. Liner Notes for Night Music of West Sumatra: Saluang, Rabab Pariaman, Dendang Pauah. Music of Indonesia, vol 6. Smithsonian Folk ways SF CD 40422

77

Rabab Piaman Foto. Dok. Hanefi

4.3 Rabab Darek Rabab darek adalah salah satu musik tradisi gesek yang terdapat di daerah Darek, yang meliputi daerah Luhak Minangkabau saja, yaitu: Luhak Tanah Data, Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluah Koto. Musik ini terdiri dari satu buah rabab, dengan resonatornya terbuat dari kayu yang ditutup dengan kulit kambing, memiliki dua helai senar dari benang. Dalam penyajiannya, rabab berfungsi sebagai pengiring berbagai dendang-dendang Darek. Dalam tradisi pertunjukannya, rabab darek tidak biasa membawakan kaba, seperti pertunjukan pada

78

rabab pariaman dan rabab pasisia, kecuali hanya ada satu kaba yaitu”Anggun Nan Tungga Magek Jabang.”39 Rabab darek dipertunjukan untuk memeriahkan berbagai kegiatan upacara, seperti: pesta perkawinan, batagak pangulu, halal bi halal, mencari dana untuk pembangunan di kampung atau nagari, dan lain sebagainya. Pertunjukan rabab darek biasanya pada malam hari, sejak pukul 20.00 malam sampai pukul 05.00 pagi. Tempat pertunjukannya tidak memerlukan tempat khusus, cukup duduk saja di lantai beralas tikar bersama-sama dengan penikmatnya. Pertunjukan rabab darek sering pula digabungkan dengan saluang darek. Penggabungan ini didasari oleh kesamaan konsep musikalnya (melodi alat musik dan melodi dendang) dari rabab darek dan saluang darek. Dengan demikian, lokasi daerah pertunjukan, dan penikmat kesenian rabab darek pun sama dengan lokasi pertunjukan dan penikmat saluang darek. Lagu-lagu atau dendang yang dimainkan dengan rabab darek dapat dilihat dari dua bentuk penyajian, yaitu: penyajian dengan teks kaba, dan penyajian yang digabung dengan saluang darek menggunakan teks pantun. Penyajian rabab darek dengan materi teks kaba hanya pernah dilakukan oleh Nijon (alm) yang berasal dari Payakumbuh. Kaba yang pernah dibawakan oleh Nijon adalah kaba “Anggun Nan Tungga Magek Jabang”. Kemampuan Nijon membawakan teks kaba itu didasari oleh kemahirannya menyajikan sijobang yang berasal dari Payakumbuh, dengan teks utamanya kaba “Anggun Nan Tungga Magek Jabang”. Dalam menyajikan kaba “Anggun Nan Tungga Magek Jabang”, Nijon membawakannya dalam beberapa dendang, yaitu: “Pariaman”, “Palayaran”, “Sungai Talang”, “Sungai Rimbang”, “Cancang Lumek”, “Canang Siana Payobasuang”, “Cancang Rasyid”, dan “Lubuak Tingkok”. Penyajian rabab darek yang digabung dengan saluang darek, dapat membawakan puluhan dan bahkan lebih dari seratus dendang, asalkan dapat menguasai dendang-dendang

39 Hajizar, op.cit. p. 56

79

tersebut. Dendang-dendang disajikan berdasarkan permintaan penonton. Biasanya dendang yang bersifat gembira disajikan pada pukul 20.00-24.00 malam. Repertoar tersebut antara lain: “Mudiak Arau”, “Indang Sarilamak”, “Situjuah Taram Manuai”, “Padang Magek”, “Indang Piaman”, “Indang Kayu Tanam”, “Indang Kurinci”, “Tanti Batanti”, dan sebagainya. Sementara pertunjukan lewat tengah malam, setelah pukul 24.00 hingga pukul 05.00 pagi, dibawakan dendang-dendang ratok yang berkarakter sedih. Misalnya: “Ratok Lawang”, “Ratok Koto Tuo”, “Ratok Kurai”, “Ratok Koto Gadang”, “Ratok Baso”, “Ratok Suaiyan”, “Suaiyan Anguih”, “Tigo Balai”, “Pariaman Lamo”, “Palayaran”, “Ratok Bonjo”, “Suntiang Patah Batikam”, dan lain sebagainya. Keberadaan rabab darek di masyarakat, jika dibandingkan dengan kepopuleran yang dicapai oleh rabab pariaman pada masa lalu dan rabab pasisia pada masa sekarang, maka rabab darek belum pernah bisa menyamainya. Oleh karena dalam pertunjukannya, rabab darek masih kalah popular dibandingkan dengan saluang darek. Bahkan jika pertunjukan rabab dan saluang digabungkan, maka rabab darek dianggap bagian dari pertunjukan saluang darek. Ada pula yang beranggapan bahwa kehadiran rabab dalam pertunjukan saluang darek dapat memperkuat kualitas penyajian saluang darek. Padahal ada segelintir orang yang menyukai pertunjukan rabab darek saja tanpa saluang, tetapi itu sangat jarang sekali. Justru yang sering dilakukan oleh para pencandu gurau (pertunjukan saluang dan rabab darek) adalah mengundang saluang darek saja dengan pendendangnya. Jadi, frekuensi pertunjukan untuk rabab darek itu sangat kurang dari pertunjukan saluang darek, sehingga rabab darek tidak bisa sepopuler rabab pariaman dan rabab pasisia.

80

Rabab Darek Foto: Dok. Hanefi

81

4.4. Rabab Badoi Rabab badoi berkembang di daerah Sijunjung dan sekitarnya. Musik ini terdiri dari satu buah rabab, dengan resonatornya terbuat dari tempurung kelapa, memiliki tiga utas senar dari benang. Dalam penyajiannya, rabab berfungsi sebagai pengiring vokal yang didendangkan oleh pemain rabab dalam bentuk pantun. Rabab ini pada awalnya berasal dari perkembangan rabab pariaman yang pernah hidup di daerah Muaro Labuh dan Solok.40 Badoi dalam dialek Sijunjung artinya berdendang atau bernyanyi. Berhibur bersama-sama dengan dendang-dendang yang berkembang di daerah Sijunjung dan sekitarnya. Dendang- dendang itu diiringi dengan rabab yang disebut dengan rabab badoi dan jika diiringi dengan saluang, disebut pula dengan saluang badoi.41 Dalam pertunjukan rabab badoi, biasanya yang diundang adalah pemain rabab-nya saja, sedangkan pandendang (penyanyi) berasal dari para penonton yang bisa badendang (bernyanyi). Uniknya cara mereka badendang saling sambung- menyambung antara satu pandendang dengan pandendang yang lain, tanpa harus menyelesaikan satu pantun atau sampirannya, tetapi mereka bisa menyambung dari baris ke baris atau dari sampiran tiap pantun. Ini mereka lakukan secara spontan saja, sehingga jika diperhatian teknik penyajian seperti call and respont atau responsorial. Cara penyajian rabab badoi mirip dengan cara penyajian saluang panjang yang terdapat di Muaro Labuh, tetapi konsep melodi rabab badoi tidak mengikuti lagu-lagu yang ada di Muaro Labuh. Rabab badoi memiliki lagu-lagu sendiri yang berasal dari daerah Sijunjung dan sekitarnya. Walaupun rabab badoi berasal dari Muaro Labuah, tetapi tidak ada dendang- dendang dari Muaro Labuah atau dendang saluang panjang yang didendangkan dengan rabab badoi.

40 Adha. Wawancara di Muaro, 2017 41 Hajizar. Op. cit. p. 92.

82

Lagu-lagu yang dimainkan dalam penyajian rabab badoi sangat tergantung dari lokasi kelompok yang menyajikan, karena masing-masing kelompok memiliki lagu yang saling berbeda. Rabab badoi dari kelompok Sungai Baringin, memiliki lagu yaitu: Ratok Pematang Panjang I, Ratok Pamatang Panjang II, Timbulun, Risau, Tangah Malam, Si Bakua Payi Bakayu, Si Bakua Malalokan Anak, dan Ratok Dagang. Lagu-lagu dari kelompok rabab badoi Jorong I, Muaro Sijunjung adalah: Ek Dundun (khusus untuk mengiringi tari ilau), Oyak-oyai, Mudiak Songik (ratok Pamatang Panjang), Ratok Pintolong, Timbulun, Si Baku (Si Bakua), Tuak, Kaik-bakaik Tandang, Sipayang, dan Dodok.42 Rabab badoi tidak berkembang ke daerah-daerah lain di kabupaten Sawah Lunto Sijunjung atau kabupaten Darmasraya. Rabab ini hanya ada di daerah Sijunjung saja, bahkan diperkirakan rabab ini mengalami penyusutan, karena makin berkurangnya orang-orang yang pandai memainkan rabab. Selain itu, tidak ada minat generasi muda belajar mengesek rabab badoi, hingga mampu mengiring dendang.

4.5 Sijobang Kucapi Luhak Limo Puluah Sijobang kucapi adalah nama kesenian (musik) menyampaikan kaba (sung narrative) yang pada mulanya tidak diiringi alat musik melodis seperti kecapi, tetapi hanya berupa nyanyian (melodi vokal) yang diiringi dengan jentikan kotak “korek api-api” (kotak api-api) yang berisi sekitar setengah kotak anak korek api.43 Hanya pola-pola ritme saja hasil permainan jentikan korek api tersebut dan penyajian melodi vokal disesuaikan dengan tuntutan pola ritme yang dimainkan. Sekitar akhir tahun 1960-an terjadi perubahan dengan hadirnya alat musik petik kecapi sebagai pengiring melodi vokal

42 Hajizar. Op. cit. p. 92, 100. 43 Hanefi, dkk. “Tradisi Lisan Berlatar Pesisiran di Daerah Darek Sumatera Barat: Studi Kasus Tradisi Sijobang di Luhak Limo Puluah Koto.” Laporan Penelitian. (Jakarta: Direktorat Jenderal Dikti-Depdiknas. 2009), p.9

83

(nyanyian) sijobang oleh seorang seniman bernama Nurman dari Kecamatan Luhak, Kabupaten 50 Kota. Gejala yang terjadi kemudian menunjukkan popularitas sijobang kucapi lebih menonjol dibanding sijobang api-api (istilah ini bagi masyarakat muncul setelah hadirnya sijobang kucapi). Diasumsikan popularitas sijobang kucapi disebabkan hadirnya bunyi alat musik kecapi dalam penyajian Sijobang, dan diperkuat pula dengan hadirnya repertoar-repertoar pendek yang bersumber dari dendang darek dimana alat musik kecapi berhasil melahirkan ornamen-ornamen melodi sesuai dengan tradisi melodi vokal (dendang). Selain itu, popularitas sijobang kucapi disebabkan musik kaba (bercerita) ini masuk industri rekaman dan beredar secara komersial di pasar. Sijobang kucapi masuk dapur rekaman komersial di awal tahun 1980-an, ternyata pada mulanya cukup banyak peminat yang terdiri dari orang-orang Minangkabau yang berdomisili di Sumatera Barat dan yang ada di perantauan. Beberapa kali hari raya Idul Fitri di tahun 1980-an banyak dari perantau yang membeli rekaman sijobang kucapi berupa kaset-kaset analog untuk dibawa mereka kembali ke rantau. Pada periode itu, musik tradisional ini sering diundang masyarakat mengisi upacara perkawinan (alek kawin) terutama mengisi malam bainai di rumah mempelai wanita.

84

Sijobang Kucapi Foto: Dok. Hanefi

85

86

BAB 5 MUSIK/TARI INDANG MINANGKABAU: PENGARUH ISLAM

5.1 Indang Pariaman esenian indang adalah salah satu kesenian yang bernafaskan Islam di Minangkabau. Kehadirannya K merupakan realisasi dari sistem pendidikan tradisional di surau dalam rangka mengembangkan ajaran agama Islam oleh ulama-ulama atau guru-guru agama. Kesenian ini awalnya dibawa oleh ulama-ulama Islam dari Aceh ke Pariaman, kemudian mengalami akulturasi dengan kebudayaan Minangkabau. Tujuan utama dari kesenian ini adalah sebagai sarana pengembangan ajaran agama Islam kepada masyarakat. Pada umumnya masyarakat pewaris kesenian indang berpendapat bahwa kehadiran kesenian indang merupakan realisasi dari sistem pendidikan surau secara tradisional, khususnya cara-cara berzikir, mengaji sifat Tuhan, riwayat Nabi dan syekh. Pengajian ini dilagukan sambil duduk bersila yang sangat rapat sambil mengoyangkan badan ke kiri, ke kanan, ke depan, dan ke belakang. Tumbuh dan berkembangnya kesenian indang, merupakan musik yang sangat kuat pengaruh musik- musik Islam, dan memberikan petunjuk kepada kita bahwa kesenian ini merupakan produk budaya Islam dan Minangkabau. Pertunjukan indang lebih dikenal dengan baindang, yang berasal dari kata bendang yang artinya terang. Istilah ini

87

berawal dari istilah yang digunakan oleh ulama-ulama Islam dalam menerangkan ajaran agama Islam. Hal ini terungkap dalam pepatah adat;

alim ulama cadiak pandai suluah bendang dalam nagari, palito nan indak namuah padam, camin nan indak namuah kabua, baindang batampih tareh, dipiliah atah ciek-ciek

(Alim ulama cerdik pandai, suluh penerang dalam nagari, pelita yang tidak padam, cermin yang tidak pernah kabur, menampis sampai bersih memisahkan padi dengan beras).

Pepatah ini memberi gambaran tugas dari ulama sebagai orang yang dipandang cerdik dan pandai dalam menerangkan agama Islam kepada masyarakat yang akan menjadi pelita hidup di dunia menuju akhirat. Dalam hal ini, ajaran Islam akan berisikan antara kebaikan dan keburukan. Jadi, kehadiran indang pada awalnya adalah sebagai syiar agama Islam yang bertempat di surau-surau. Ajaran Islam yang digunakan pada kesenian indang adalah dengan cara dinyanyikan. Nyanyian-nyanyian itu diiringi dengan instrumen rapa’i atau rebana. Penggunaan rapa’i (rebana ukuran kecil) merupakan alat musik yang cukup berkembang di penjuru dunia yang mayoritas memeluk agama Islam. Pada awalnya rapa’i yang digunakan sebagai pengiring lagu indang adalah rapa’i ukuran besar (rebana ukuran menengah). Akan tetapi karena kesenian indang terus berkembang dengan melahirkan gerak-gerak tari yang makin rumit dan cepat, sehingga seniman indang dan guru-guru surau telah ada menggunakan rapa’i ukuran kecil agar dapat

88

digunakan lebih lincah dan cepat dalam menari, seperti di daerah Pariaman. Menariknya cara penyajian indang di surau Tanjung Medan tersebut memberikan inspirasi bagi surau-surau lainnya untuk meniru, seperti surau Kurai Taji dan surau Rambai. Masing-masing surau itu mempunyai seorang tukang zikir. Untuk mempererat hubungan antara ketiga kelompok tersebut, mereka saling berkunjung dalam rangka silaturahmi untuk memperdalam ilmu keagamaan, terutama dalam mengaji sifat Tuhan, riwayat Nabi atau pujian kepada Allah. Kelompok- kelompok itu menyajikan kemampuan masing-masing secara bergantian di hadapan guru (syekh). Penyajian indang pada zaman surau ini selalu mengumandangkan syair-syair yang berorientasi pada keagamaan. Setiap penyajian selalu dimulai dengan basmalah dan do’a. Mereka seakan tafakur menyatukan diri menghadap Tuhan, karena di dalam Islam kebudayaan itu harus berlandaskan tauhid yang murni dalam masyarakat. Taufik Ismail menyebutkan bahwa dalam misi dakwah harus berdasarkan tauhid, dengan niat lillahi ta ‘ala, dan harus memenuhi syarat-syarat kesenian, seperti puitisasi, sehingga orang yang membaca atau mendengar merasa tertarik, cara demikian adalah salah satu dakwah (1984:70). Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kesenian indang punya misi untuk mengembangkan ajaran agama Islam dengan ketulusan hati. Pemain indang harus mampu memaparkan ajaran Islam itu sesuai menurut etika dan estetika Islam. Ini mengandung arti bahwa segala daya upaya manusia di dalam mencipta “keindahan’ selalu berlandaskan kepada moral Islam, yaitu nilai-nilai baik dan buruk menurut etika dan estetika Islam (Sidi Gazalba,1975:17). Oleh karena itu, peranan guru-guru surau dan muridnya dalam menyajikan indang bukanlah sebagai satu kebutuhan hiburan saja, lebih dari itu mengajak umat kepada kebaikan, dan menghindarkan diri dari kemudharatan. Selain vokal (teks), indang pada masa surau ini juga mengandung unsur gerak. Gerak yang dimaksud adalah gerak

89

yang sangat sederhana dan belum mempertimbangkan aspek- aspek pertunjukan yang komunikatif. Mereka hanya sekedar bergoyang ke kiri, ke kanan, ke depan dan ke belakang dalam posisi duduk bersila. Busana yang digunakan pun tidaklah ditentukan, melainkan lebih mengutamakan bersih dari hadas kecil dan hadas besar. Lazimnya pemain indang memakai kemeja, celana panjang, dan kain sarung serta memakai peci hitam penutup kepala karena pertunjukkan indang ini dipandang sebagai ibadah maka sebelum pertunjukkan dimulai para pemainnya akan berwudhuk terlebih dahulu. Lagu-lagu indang masa lampau tidaklah banyak. Hanya satu jenis lagu saja yang diulang-ulang dari awal sebuah cerita atau riwayat sampai akhir penyajian. Di sini belum mengutamakan nilai estetis, akan tetapi lebih pada nilai keagamaan, yaitu pesan-pesan atau ajaran-ajaran yang disampaikan. Jadi, penyajian indang pada masa surau lebih bersifat dakwah melalui seni. Satu buah lagu yang dilantunkan dengan teks cukup panjang tidaklah membosankan penikmat kesenian indang. Penonton atau murid-murid surau sangat memperhatikan pesan-pesan yang terkandung dalam teks nyanyian. Perkembangan sosial budaya masyarakat Minangkabau pada umumnya dari waktu ke waktu semakin mengalami perubahan, baik sistem politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya secara tidak langsung akan ikut mempengaruhi keberadaan kesenian indang yang hidup di surau-surau itu. Salah satu pengaruh besar terhadap keberadaan kesenian indang di surau adalah berkembangnya sistem pendidikan baru di Sumatera Barat, yaitu hadirnya sekolah-sekolah Madrasah, setingkat lebih maju dari sistem surau. Cara dakwah Islam berubah menjadi bentuk ceramah, atau pidato yang didukung oleh buku-buku, dan murid-murid duduk di atas bangku dengan sistem kelas, seperti Madrasah Adabiyah (1909) di Padang, Madrasah School di Batu Sangkar, dan beberapa madrasah lainnya (Mahmud Yunus, 1979:66). Sementara di surau, pelajaran diberikan secara lisan yang dinyanyikan dengan manghafalkan tutur guru.

90

Pertunjukan Indang Tigo Sandiang di Gedung Teater ISI Padangpanjang Tahun 2007 Foto: Ediwar

Tradisi baindang dalam konteks pertunjukan rakyat di Pariaman selalu disajikan tiga kelompok indang yang bertanding. Posisi tempat duduk ketiga kelompok adalah membentuk segitiga. Sajian ketiga kelompok ini disebut sapanaiak indang (satu kali sajian indang). Ketiga kelompok indang tersebut melaksanakan pentas selama dua malam berturut-turut. Masing-masing kelompok duduk bersila dan

91

berderet dengan jalan menghimpitkan paha kanan pada paha kiri temannya. Ketiga kelompok indang melakukan tanya jawab atau sindir-menyindir berbagai persoalan yang terjadi saat pertunjukan berlangsung. Jumlah pemain indang setiap kelompok sekitar 8 hingga 22 orang, dengan ketentuan; satu orang bertindak sebagai tukang dikie (tukang zikir), dan selebihnya berjumlah ganjil duduk berderet di depan tukang zikir itu, yaitu tukang aliah, tukang apik, tukang pangga, dan tukang palang. Tukang aliah, biasa juga disebut tukang karang, karena dia adalah pembantu utama tukang zikir dalam mengarang syair dan pantun untuk menyindir, menanya, dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh tukang aliah pihak lawan. Pantun dan syair oleh tukang aliah ini diikuti oleh anggotanya secara bersama-sama. Selain itu juga bertugas mengawali dan mengakhiri pertunjukan, menentukan pola ritme rapa’i, menentukan arah gerak tari, serta peralihan lagu. Posisi duduk dari tukang aliah ini adalah paling tengah dari susunan anak indang. Tukang apik, terdiri dari dua orang yang mengapit kedudukan tukang aliah. Satu orang di antaranya bertugas meningkah atau memberi variasi darap rapa’i, sedangkan satu orang lagi bertugas memainkan pola ritme panuruikan rapa’i . Tukang pangga terdiri dari dua orang atau tiga orang yang duduk di sebelah kiri dari tukang apik bagian paling kiri, dan di sebelah kanan tukang apik sebelah kanan. Tukang pangga biasanya terdiri dari remaja-remaja berumur sekitar 12 (dua belas) sampai 17 (tujuh belas) tahun. Mereka adalah pemanis (memperindah) susunan anak indang lainnya, dan biasanya juga disebut dengan predikat bungo nan salapan (bunga yang kedelapan). Pola ritme rapa’i sama dengan tukang apik kedua. Tukang palang terdiri dari beberapa orang anak-anak berumur antara 7-12 tahun. Mereka sebagai generasi penerus indang. Mula-mula sebagai pengikut dan lama kelamaan meningkat pada tingkat lebih tinggi. Mereka duduk paling

92

ujung di bagian kiri dan kanan dalam bermain indang. Pola ritme rapa’i sama dengan tukang apik kedua. Selain anggota-anggota pemain di atas, juga terdapat tugas lain yang dijabat oleh orang tertentu, dan dia adalah termasuk bagian penting dalam anggota indang yang disebut dengan tuo indang. Tuo indang, adalah orang yang bertugas menjaga keselamatan anggota pemain secara keseluruhan baik lahir maupun batin. Oleh karena baindang merupakan pertandingan, maka sering terjadi juga saling menguji kemampuan ilmu-ilmu kebathinan yang tidak dapat dilihat dengan mata. Dalam bahasa daerah Minangkabau diungkapkan manjago angin nan kabasiuik, manjago ombak nan kabadabue, (Menjaga anak indang dari berbagai kemungkinan yang mengganggu kelancaran pertunjukan, baik lahir maupun batin). Berubahnya kesenian indang menjadi seni pertunjukan rakyat, maka unsur-unsur budaya lingkungan ikut mempengaruhinya, seperti mamasukkan teks berbentuk pantun, memperindah gerak tari agar lebih agresif, menggunakan instrumen rapa’i yang lebih kecil, dan memperbanyak irama lagu. Kemudian indang difungsikan untuk memeriahkan berbagai kegiatan adat istiadat, bahkan kehadiran kesenian indang menjadi bagian penting dalam adat yang disebut sebagai bunga adat atau pemanis adat. Istilah bunga adat menunjukkan kepada cerminan nilai-nilai adat, sedangkan yang dimaksud dengan pemanis adat adalah penyemarak, pemeriah upacara- upacara adat seperti batagak rumah gadang, batagak laga-laga, dan alek nagari.

5.2 Indang Solok Kabupaten Solok terutama daerah-daerah yang berada di Kubung, Koto Baru, Talang, Cupak, Muaro Paneh, dan sekitarnya tercacat sebagai daerah perkembangan seni pertunjukan indang yang cukup penting setelah Pariaman. Indang yang berkembang di daerah ini. Bila dilihat dari segi musikal (instrumen dan vokal), bentuk pertunjukan, gerak-

93

gerak yang disajikan serta teks-teks yang disampaikan memiliki perbedaan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan indang yang berkembang di daerah Pariaman. Pada periode tertentu sekitar tahun 1980-1990-an indang di daerah Solok pernah mengalami masa kejayaan. Indang dijadikan sebagai media penyampaian berbagai program pemerintah. Sebagai sebuah musik tradisi, pada masa tertentu akan mengalami pasang surut kejayaan fungsionalnya dalam masyarakat. Mulai dari masa kejayaan hingga mengalami masa surut, bahkan cenderung mengarah kepada kepunahan. Peristiwa seperti ini sangat dramatis. Pada suatu masa sangat disanjung dan diandalkan menjadi salah satu identitas mengangkat dan mengharumkan nagari, tetapi pada suatu masa ditinggalkan dan tidak dipedulikan sama sekali, hingga mundur bahkan bisa punah. Bentuk-bentuk kemunduran itu antara lain, tidak adanya aktivitas oleh seniman terhadap kesenian itu. Tidak adanya pertunjukan, dan tidak ada peristiwa upacara atau acara alek nagari dalam masyarakat sebagai wadah pertunjukannya, kurangnya minat generasi muda belajar musik tradisi, terputusnya regenerasi antara seniman dengan pewarisnya, dan tidak ada pembaharuan materi sajian serta perubahan yang mengikuti selera masyarakat pendukungnya. Struktur pemain indang solok terdiri dari tukang radek/tukang dikia dan anak indang. Tukang radek berada dan duduk di belakang anak indang. Ia bisa duduk persis di bagian tengah belakang anak indang, kadang-kadang di bagian samping belakang anak indang. Ia berperan menyanyikan berbagai lagu dengan teks-teks yang telah dihafal sebelumnya. Sementara anak indang duduk bershaf di depan dengan posisi bersila -- berhimpitan paha. Struktur pemain anak indang terdiri pula dari: tukang aliah duduk paling tengah, berperan mengalihkan atau mengubah lagu, daran, dan gerak daran serta meningkah rebana (peningkah); tukang imbau duduk di samping sebelah kanan tukang aliah, ia bertugas memainkan imbauan/intro daran (pola ritme rebana) ; tukang lapak, duduk di samping sebelah kiri tukang aliah, ia berperan memainkan rebana dengan pukulan lebih keras dan menonjol dari teman-temannya yang disebut dengan lapak (seperti bunyi rebana yang dipukul),

94

dengan ciri pukulan berada pada offbeat; Tukang dasia, duduk di samping tukang imbau dan tukang lapak. Jumlah tukang dasia berkisar antara delapan sampai sepuluh orang. Masing- masing mereka separoh duduk di sebelah tukang imbau dan separoh lagi di sebelah tukang lapak. Peran mereka memainkan rebana dengan bunyi dasia (giring-giring).

5.3 Indang Tuo Maninjau Indang tuo berkembang pada sebuah kampung kecil yaitu Jorong Balai Belo, dalam Kanagarian Koto Kaciak, Kecamatan Tanjung Raya, Maninjau. Secara geografis Nagari Koto Kaciak terletak di bawah kaki pergunungan dengan luas 13.45 Km2, jumlah penduduk 3000 Jiwa, 800 KK. Untuk mengetahui asal-usul indang tuo di jorong Balai Belo diperkirakan seiring masuknya agama Islam ke Minangkabau. Untuk mengetahui siapa yang membawa indang tuo ke Balai Belo tidak ada data yang jelas. Namun, menurut Ali Amran, indang tuo adalah kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang dari nenek moyang mereka yang secara turun- temurun yang masih hidup di tengah masyarakat. Indang tuo ini bukan milik seseorang tetapi milik bersama. Pada masa dahulunya, kelompok indang tuo dipimpin oleh suku-suku, terdiri dari beberapa suku yang ada di Jorong Balai Belo. Kelompok (grup) indang ini dinamakan Bunga Rampai, karena anggota terdiri dari berbagai suku. Hal ini bisa dilihat pada bunga rampai yang bermacam-macam warna bunganya, dari sinilah kelompok tersebut membuat kelompok Bunga Rampai yang berjalan selama lima periode atau generasi. Periode pertama dipimpin oleh Jandaro St, Majo Kayo. Kedua oleh Saripuddin Menan Gindo St Prapatiah. Ketiga, Amir St Zainal. Keempat St Zainul dan yang kelima dipimpin oleh Ali Amran St Parpatiah. Pada periode terakhir yang dipimpin oleh Ali Amran St Parpatiah pada tahun 1955, atau yang kelima terjadi konflik dalam kelompok Bunga Rampai antara anggota indang tuo

95

karena tidak cocok satu dengan yang lain. Sebagian kelompok berkeinginan untuk membentuk kelompok grup yang baru. Konflik ini juga dipengaruhi oleh orang di luar kelompok tersebut atau suku yang lain. Terjadinya perpecahan tersebut pada tahun 1993. Menjadi dua kelompok. Satu kelompok tetap bertahan dengan kelompok Bunga Rampai, dan yang baru kelompok Bunga Tanjung. Perpecahan ini terjadi beberapa tahun, lebih kurang 1993-1994. Pada akhir tahun 1995, indang tuo kembali bergabung menjadi satu kelompok tapi tidak lagi di bawah naungan suku melainkan pemerintahan jorong. Hal ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Keputusan yang diambil pemerintahan jorong berdasarkan indang tuo bukan milik kelompok atau suku tapi milik bersama milik masyarakat Balai Belo itu sendiri. Menurut Jeni, perpecahan terjadi pada grup Bunga Rampai ada ketidak-cocokkan antara sesama anggota karena sebagian angota ada yang sudah berkeluarga mempengaruhi dalam grup tersebut.4 Kemudian menurut Kulih, perpecahan terjadi karena ada pengaruh dari luar anggota. Dalam grup tersebut terdiri dari beberapa suku yang ada di Balai Belo. Orang yang luar dari grup tadi membujuk anggota yang satu suku dengannya untuk mendirikan grup baru.5 Kesenian indang tuo tumbuh di dalam lingkungan masyarakat jorong Balai Belo. Sampai sekarang, kesenian ini mereka wariskan dari generasi ke generasi sehingga kesenian masih tetap hidup di tengah masyarakat Balai Belo. Hal ini bisa dilihat karena banyaknya generasi penerus yang ingin mengetahui tentang indang tersebut. Kesenian indang tuo pada sekarang jarang ditampilkan lagi. Tetapi kalau ada yang meminta indang tuo di pertunjukan, barulah indang dipertunjukan oleh grup Bunga Rampai. Masyarakat Balai Belo masih menghargai warisan nenek moyang

4 Wawancara dengan Jeni pada tanggal 20 Mei 2017 di Balai Belo. 5 Wawancara dengan Kulih Pada Tanggal 27 Juni 2017 di Balai Belo.

96

mereka terutama orang tua-tua dan generasi penerus pemuda- pemuda sangat memberi responnya saat indang dipertunjukan. Pada masa sekarang ini jenis-jenis tradisi bisa dikatakan mengalami zaman kemunduran. Tetapi kesenian tradisi masih hidup di tengah masyarakat tersebut. Karena semakin majunya perkembangan teknologi, kesenian indang tuo jarang lagi ditampilkan dalam acara Pesta perkawinan maupun Alek Nagari di jorong Balai Belo. Perkembangan zaman pada masa kini sangat berpengaruh kepada perkembangan kehidupan sosial budaya. Pengaruh modern yang sampai kepada pelosok-pelosok daerah menyebabkan pola serta pandangan hidup masyarakat dalam suatu daerah tersebut terkadang ikut pula berpengarui tidak langsung. Perkembangan ini berpengaruh terhadap budaya yang ada di dalam masyarakat. Dalam kondisi dewasa ini, jangankan seni tradisional, pola kehidupan berseni ala Barat-pun akan terus merambat dalam diri pribadi seseorang. Dengan masuknya ala seni Barat ini ke dalam individu-individual, masyarakat telah dipengaruhi oleh budaya ala Barat, pola kehidupan dan kesenian Barat yang cendrung lebih bersikap duniawi sehingga sikap yang tumbuh dan lahir dalam diri sekelomok masyarakat tersebut adalah kegiatan dunia semata. Artinya, kesenian-kesenian tidak lagi mereka pandang sebagai seni hanya untuk kebutuhan kelompok mereka atau pandanan mereka terhadap kesenian tidak lagi berdasarkan atau fungsinya. Tetapi mereka ingin ke arah hal-hal yang bersifat sajian estetis. Dengan Kemajuan zaman sekarang, Ketua indang grup Bunga Rampai, Ali Amran, St Parpatiah berpendapat, munculnya kesenian yang bernuansa dari Barat juga bisa mempengaruhi kesenian tradisional yang ada di jorong Balai Belo Pada masa mendatang. Inilah yang perlu diwaspadai tokoh indang tuo di jorong Balai Belo, agar kesenian tradisi tidak hilang begitu saja.

97

Indang Tuo, Balai Belo Maninjau Foto: Maswir Chaniago

98

Bab 6 PENUTUP

lam Minangkabau yang sangat luas, memiliki keragaman musik tradisional yang menjadi identitas kebudayaannya. A Keragaman musik tradisional itu masih didapati di nagari-nagari yang difungsikan dalam berbagai acara dan upacara adat dan keramaian anak nagari. Paling tidak terdapat empat pengelompokan musik tradisional Minangkabau yang berkembang hingga hari ini, yaitu (1) Musik Perkusi Tradisional Minangkabau; (2) Musik Tiup Tradisional Minangkabau; (3) Musik Gesek dan Petik Tradisional Minangkabau; dan (4) Musik/Tari Indang Minangkabau Pengaruh Islam. Keempat kelompok musik tradisional Minangkabau tersebut masing-masing penamaan jenis kelompoknya mengacu kepada alat musik yang digunakan memiliki wujud sejumlah ensambel musik tradisional pula. Dimana setiap ensambel musik memiliki ciri-ciri khusus sesuai dengan konsep masyarakat pemilik dan pendukung di mana masyarakat itu hidup di daerah sub kultur Minangkabau itu berada. Karena itu perlu dikemukakan sudut pandang dalam menentukan budaya kedaerahan terkait tradisi musik bersangkutan. Berdasarkan dua sudut pandang tersebut, tampaklah suatu tradisi musik itu dimiliki dan didukung oleh masyarakatnya berdasarkan: pertama, di lingkung wilayah kebudayaan; dan kedua, berdasarkan wilayah pemerintahan. Dalam hal ini digunakan dua istilah sudut pandang yaitu sudut pandang geo-budaya bagi tradisi musik yang terkait dengan wilayah kebudayaan musikalnya, dan sudut pandang geo-politik bagi tradisi musik yang sesuai dengan batas wilayah pemerintahan.

99

Setiap musik etnis memiliki sistem musik masing- masing. Seperti musik Gayo Aceh memiliki sistem musik tersendiri, musik Karo juga dengan sistem musiknya yang berbeda dengan Gayo. Begitu juga musik Minangkabau yang memiliki sistem musik tersendiri pula. Begitu juga yang terjadi pada musik-musik yang tumbuh berkembang di wilayah budaya etnis-etnis yang lain. Di dalam etnis Minangkabau, selain sistem musik dengan ciri tersendiri mengandung beragam jenis ensambel musik, dan setiap ensambel itu cenderung mencirikan kedaerahannya sebagai wilayah budaya sub-sub kultur Minangkabau yang disebut nagari. Kenyataan ini menyiratkan kebebasan anak nagari mengekspresikan keseniannya. Dalam kelompok musik sejenis, seperti musik tradisional talempong memiliki ragam teknik-teknik permainan musikal. Ada ensambel talempong menggunakan teknik interlocking, ada pula yang menggunakan teknik hocketing, dan lain-lain. Begitu juga jenis musik perkusi ritmis seperti musik yang menggunakan instrumen gandang sebagai dasar penciptaan lagu-lagu dalam repertoarnya. Ada ensambel gandang tambua yang menggunakan teknik-teknik permainan call & respons, teknik interlocking, dan unisono, dan lain-lain. Ensambel gandang sarunai di daerah budaya Sungai Pagu memiliki teknik permainan interlocking juga tetapi sifat jalinannya sangat berbeda dibandingkan dengan konsep interlocking gandang tambua. Walaupun teknik permainannya sama-sama menggunakan teknik interlocking. Demikianlah kekayaan budaya musik tradisional Minangkabau yang sangat perlu dipetakan keberadaannya. Memang terasa relatif sulit pekerjaan pemetaan ini karena begitu kompleksnya konsep musikal yang terkandung di dalam musik tradisional Minangkabau, karena itu pekerjaan ini belum dianggap selesai. Namun, sebagai pekerjaan menuju kesempurnaan masih ada tahap-tahap berikutnya sebagai kelengkapan pemetaan musik tradisional ini. Tahap selanjutnya adalah kajian aspek organologis dari instrument musical (alat musik) musik tradisional Minangkabau. Sedangkan tahap ketiga adalah kajian terhadap nilai-nilai musikal. Kajian ini melalui analisis musik dari sudut pandang musikologinya.

100

Dengan demikian laporan penelitian berupa buku ini sebagaimana disebut di atas bahwa keadaannya belum selesai. Namun setidak-tidaknya, informasi berupa data-data dan fakta yang telah disajikan dapat membantu memperdalam kajian pemetaan musik tradisional Minangkabau ke depan. Selain itu, informasi yang tertulis di sini sudah dapat menjadi masukan bagi pihak mahasiswa maupun pihak peneliti mengenal ragam musik tradisional Minangkabau.

101

102

KEPUSTAKAAN

Admawati, 1988. “Salawat Mundam di Nagari Taluak, Kecamatan Lintau Buo”. Laporan Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia. Almuhanis, 2011. “Dikia Mundam dalam Upacara Manyaratuih Hari di Jorong Kampung Tangah Nagari Pagaruyung. Skripsi. Padangpanjang: Institut Seni Indonesia. Andar Indra Sastra, 1999. “Bagurau dalam Basaluang: Cerminan Budaya Konflik.” Tesis. Yogyakarta: Universita Gajah Mada. Antoni Guswandi, 2014. “Oguang Jana dalam Tradisi Pacu Jawi di Nagari Parambahan, Kecamatan Lima Kaum Kabupaten Tanah Datar.” Skripsi. Padangpanjang: Institut Seni Indonesia. Asril, 1997, “Seni Pertunjukan Indang Pariaman, Pergeseran dari Religius ke Profan”. Dalam Jurnal Seni dan Budaya, Nomor 1 tahun 1, Padang Panjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia. ------2004. “Upacara Tabuik: Dari Ritual Heroik ke Pertunjukan Heroik.” Dalam Seni Tradisi Menantang Perubahan (Bunga Rampai). Ed. Mahdi Bahar, Padangpanjang: STSI Padangpanjang Press. Benzani Tasman, 2004. “Seni Religius dalam Praktek Keagamaan: Studi Kasus pada Aktivitas Ratik Saman di Surau Kapeh, Baso.” Skripsi. Padangpanjang: Sekolah Tinggi Seni Indonesia

103

Boestanoel Arifin Adam, 1980. “Saluang dan Dendang di Luhak Nan Tigo Minangkabau”. Laporan Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia ------1986/1987. “Talempong Musik Tradisi Minangkabau”, laporan penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia. Dwita Norfalinda, 2000. “Studi Musikologis Dikia Mundam di Desa Sungai Omeh Kecamatan Tanjuang Omeh, Kabupaten Tanah Datar.” Skripsi. Padang Panjang: ASKI/STSI. Desmawardi, 2001. “Saluang Dangdut: Bagurau Gaya Rantau Minangkabau di Pariaman Sumatera Barat.” Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Desi Syari’ah. 2016. “Estetika Akulturasi Pertunjukan Gurau Oyak Saluang Orgen.” Skripsi. Padangpanjag: Institut Seni Indonesia Ediwar, 1999, “ Perjalanan Kesenian Indang dari Surau ke Seni Pertunjukan Rakyat Minangkabau di Padang Pariaman Sumatera Barat”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada ------2002. “Seni Pertunjukan Indonesia: Genre Seni Pertunjukan Melayu Minangkabau”, Buku Ajar, Padangpanjang: Sekolah Tinggi Seni Indonesia. ------2016, Musik Talempong Uwaik-uwaik dalam Kehidupan Masyarakat Nagari Paninjauan. ISI Padangpanjang. Erianto, 1998. “Talempong Unggan Musik Tradisi di Desa Unggan Minangkabau: Tinjauan Tentang Kehidupan dan Sistem Pewarisannya. “ Skripsi. Bandung: Sekolah Tinggi Seni Indonesia

104

Fraser. Jennifer A., 2015. Gongs & Pop Song: Sounding Minangkabau in Indonesia. Athens: Ohio University Press. Gitrif Yunus, 1990. “Studi Deskriptif Gaya Penyajian Dendang Singgalang dalam Tradisi Pertunjukan Saluang Dendang di Luhak Nan Tigo Minangkabau Sumatera Barat.” Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara Hanefi, Dkk., 2013. “Temu Karya Taman Budaya Se- Indonesia: Kekuatan Mantera dalam Perspektif Kebudayaan Manusia 4 s/d 8 Januari 2013.” Buku Festival. Jambi: Taman Budaya Prop. Jambi. ------2009. “Tradisi Lisan Berlatar Pesisiran di Daerah Darek Sumatera Barat: Studi Kasus Tradisi Sijobang di Luhak Limo Puluah Koto.” Laporan Penelitian. Jakarta: Direktorat Jenderal Dikti-Depdiknas. ------2004. Talempong Mingkabau: Bahan Ajar Musik dan Tari. Bandung: P4ST-UPI. Hanefi & Eko Wahyuni, 2013. Sang Pewaris: Tokoh-tokoh Kesenian Tradisi Madura dan Minangkabau. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya-Kemendikbud. Hajizar. 1995. “Seni Pertunjukan Rabab Minangkabau (Rabab Pariaman, Rabab Darek, Rabab Pasisia, dan Rabab Badoi).” Laporan Penelitian. Surakarta: Masyarakat Seni Pertunjuksn Indonesia .------1993. “Sijobang: Sebuah Seni Tutur Minangkabau (Ditinjau dari Sudut Seni Pertunjukan)”. Makalah. Padangpanjang: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia ------et.al. 1992/93. Talempong Tradisional di Nagari Pitalah dan Bungo Tanjuang”. Laporan Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia

105

------1991a. “Fungsi Musikal Alat Musik Kecapi dalam Kesenian Sijobang di Luhak Limo Puluah Koto, Minangkabau (Studi Analisis Musikologis).” Laporan Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia. ------1991. “Studi Dokumenter I Kesenian Tradisional Sijobang (sijobang api-api) di Luhak Limo Puluah, Kota Payakumbuh.” Laporan Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia. Herawati Dkk., 1993. “Studi Deskriptif Musik Talempong Gandang Aguang di desa Sialang Kecamatan Kapur IX Kabupaten 50 Kota”. Laporan Penelitian Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia Ismar Maadis, 1999. “Dendang Pauah di Kodya Padang: Tinjauan Musikologis Lagu Lambok Malam.” Skripsi. Padangpanjang: Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Mahdi Bahar, 1994. Fungsi Gandang Oguang dalam Masyarakat Sialang. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. ------1988. Gandang Sarunai di Desa Ujung Jalan, Muara Labuh, Kabupaten Solok. Laporan Penelitan. Padangpanjang. Akademi Seni Karawitan Indonesia Mardjani Martamin, 1989. “Dendang Minangkabau”. Laporan Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia M. Kadir, 1987. “Sampelong: Sebuah Alat Karawitan Minangkabau.” Laporan Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia Misda Elina, 1992. “Sijobang Salah Satu Karawitan Vokal Minang di Luhak 50 Kota.” Laporan Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia

106

Marzam, 2002. Sebuah Transformasi Aktivitas Ritual Magis Menuju Seni Pertunjukan Basirompak. Yogyakarta: KEPPEL Press. Nadya Fulzi, 2005. “Teknik Hoketing dalam Permainan Talempong Basaue di Daerah Ikua Parik, Kabupaten 50 Kota.” Jurnal Penelitian. Padangpanjang: Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Rina Oktavia, 2012. “Bagurau Oyak dalam Konteks Saluang Dendang di Kabupaten 50 Kota.” Skripsi. Padangpanjang: Institut Seni Indonesia. Rizaldi, 1994. Musik Gamat di Kotamadya Padang: Sebuah Bentuk Akulturasi Antara Budaya Pribumi dan Budaya Barat.” Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada ------1982. “Saluang Sirompak di Kanagarian Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh. Skripsi. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia Siti Chairani Proehoeman, 2006. “Dendang Darek Alternatif Pengembangan Cara Menyanyi Tradisional ke Cara Yang Sesuai Dengan Kaidah Fisiologi.” Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Syafniati, 2007. Dikia Pano di Kanagarian Ganggo Hilir, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman.” Laporan Penelitian. Padangpanjang: Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Tulus Handra Kadir, 1993. “Teknik Interlocking dalam Gaya Permainan Talempong Minangkabau di Desa Kubang Pipik Kec. Baso Kabupaten Agam, Prop. Sumatera Barat.” Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Wilman Delfitra. 1995. “Bagurau dalam Pertunjukan Saluang Dendang di Luhak Nan Tigo Minangkabau”. Skripsi. Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Iindonesia.

107

Wiwik Anggraini, 2005. “Studi Komparatif Lagu Pararakan Musik Dikia Rabano di Kanagarian Silungkang Kabupaten Sawahlunto/Sijunjuang dan Padang Tarok Kabupaten Agam. Skripsi. Padangpanjang: Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Yampolsky. Philip, 1996a. Liner notes For Gong and Vokal Music From Sumatera: Talempong, Didong, Kulintang, Salawat Dulang. Music of Indonesia, vol. 12. Smithsonian Folkways SF CD 40428. Yampolsky. Philip, and Hanefi. 1994. Liner Nots For Night Music of West Sumatrra: Saluang, Rabab Pariaman, Dendang Pauah. Music of Indonesia, vol. 6, Smithsonian Folks-ways SF CD 40422. 1994. Yelmi Idrawati, 2006. “Pertunjukan Saluang Dendang dalam Bagurau Lapiak di Pasar Payakumbuh.” Skripsi. Padangpanjang: Institut Seni Indonesia. Zahara Kamal. 1995. “Gandang Tambua di Desa Sungai Sirah, Kecamatan Pariaman Tengah Kabupaten Padang Pariaman: Ditinjau dari Aspek Titmis.” Laporan Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia. Zaiful Anwar, et al. 1982. Tabut dan Peranannya dalam Masyarakat. Padang: Museum Sumataera Barat. ------1983/1984. “Harmoni dalam Karawitan Minangkabau.” Laporan Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia Zainuddin, 1997. “Studi Organologi Saluang Sirompak di Desa Taeh Baruah.” Laporan Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia. ------1993. “Pembuatan Saluang di Singgalang, Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar.” Skripsi. Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.

108

INDEKS

A Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, 1 dokumentasi, 1, 74 administratif, 2 alat musik, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 12, 13, E 16, 18, 19, 21, 23, 26, 30, 33, 35, 36, 44, 47, 48, 49, 51, 52, etnomusikolog, 77 53, 55, 57, 67, 68, 69, 73, 74, 77, 83, 84, 99, 100 F B filosofi, 2 flute, 3, 52, 57, 67, 68, 70 baindang, 87, 91, 93 biola, 73, 74, 75 G budaya, 1, 2, 3, 9, 21, 22, 27, 30, 74, 87, 90, 93, 97, 99, 100 Gandang lasuang, 30 gandang sarunai, 6, 35, 40, 41, 42, C 100 generasi, 1, 30, 49, 61, 83, 92, 94, choir, 4 95, 96, 97 genre, 5, 9, 10, 18, 26, 47, 54 D geo-budaya, 2, 99 geografis, 2, 95 daerah, 1, 2, 11, 19, 23, 27, 30, 33, geopolitik, 2 34, 36, 37, 38, 47, 52, 54, 60, gesek, 3, 4, 73, 78 61, 66, 68, 69, 71, 73, 78, 79, 82, 83, 89, 93, 97, 99, 100 H darek, 2, 51, 52, 54, 63, 68, 69, 78, 79, 80, 84 historis, 51, 52, 57, 74 dendang, 3, 34, 51, 52, 54, 55, 57, hocketing, 6, 13, 19, 21, 100 58, 59, 60, 61, 62, 65, 66, 67, Hoyak Tabuik, 6 68, 69, 70, 78, 79, 82, 83, 84 dendang pauah, 52, 66, 67 dikia rabano, 4, 45, 47, 48, 49

109

I musik, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 16, 17, 18, 19, 20, Indang, 4, 11, 80, 87, 91, 93, 95, 21, 23, 24, 26, 27, 28, 30, 31, 98, 99, 103, 104 33, 34, 35, 36, 37, 38, 42, 43, interlocking, 6, 8, 9, 10, 13, 17, 18, 44, 45, 47, 48, 49, 51, 52, 53, 20, 26, 40, 42, 53, 100 54, 55, 57, 63, 65, 66, 67, 68, inventarisasi, 1 69, 70, 73, 74, 75, 77, 78, 79, Islam, 3, 4, 44, 45, 47, 49, 70, 87, 83, 84, 87, 88, 94, 99, 100, 101 88, 89, 90, 95, 99 musikal, 2, 4, 5, 7, 10, 18, 19, 35, 36, 37, 42, 44, 45, 54, 55, 58, K 67, 68, 69, 71, 74, 93, 100 musikologis, 2 kaba, 3, 52, 54, 66, 67, 73, 75, 77, 78, 79, 83, 84 N kecapi, 73, 83 klasifikasi, 2, 45, 51, 70, 73 nagari, 2, 11, 13, 14, 16, 17, 18, 20, konsep, 2, 4, 7, 10, 11, 52, 79, 82, 21, 22, 25, 28, 31, 33, 35, 37, 99, 100 42, 43, 49, 59, 62, 65, 66, 69, Kureta Mandaki, 6, 31 70, 79, 88, 93, 94, 99, 100 nilai, 1, 74, 89, 90, 93, 100 L O lagu, 5, 6, 10, 11, 13, 17, 19, 20, 21, 25, 26, 27, 28, 31, 32, 34, 35, organologis, 2, 3, 5, 41, 45, 54, 57, 36, 38, 40, 42, 43, 44, 51, 52, 68, 74, 100 53, 57, 58, 59, 60, 67, 69, 71, 74, 75, 79, 82, 83, 88, 90, 92, P 93, 94, 100 luhak nan tigo, 2 panokok, 7 pemetaan, 1, 2, 100, 101 M perkusi, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 13, 16, 19, 26, 30, 35, 36, 37, 42, 44, masyarakat, 1, 2, 3, 8, 9, 10, 13, 14, 45, 100 16, 19, 20, 21, 23, 25, 27, 33, petik, 3, 4, 73, 83 37, 40, 41, 44, 45, 49, 57, 63, pewaris, 1, 27, 71, 87 64, 68, 70, 73, 75, 80, 84, 87, piaman, 3, 45, 73, 77 88, 89, 90, 94, 95, 96, 97, 99 pitunang, 70 membranophone, 88 pola, 4, 6, 17, 20, 23, 25, 30, 36, Minangkabau, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 37, 40, 42, 47, 53, 55, 58, 83, 9, 10, 11, 13, 19, 21, 22, 23, 24, 92, 94, 97 26, 27, 28, 33, 35, 36, 37, 42, 44, 45, 47, 51, 52, 54, 57, 58, R 64, 66, 69, 70, 73, 74, 77, 78, 84, 87, 90, 93, 95, 99, 100, 101, rabab, 3, 60, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 104, 105, 106, 107, 108 80, 82, 83 Rabab Bado’i, 74

110

Rabab badoi, 82, 83 talempong batuang, 5, 33, 34 Rabab Darek, 73, 78, 81, 105 talempong botuang, 9 rabab pariaman, 77, 79, 80, 82 talempong duduak, 6, 8, 9, 10, 12, rabab pasisia, 60, 73, 74, 75, 77, 79, 21, 22, 26, 28 80 talempong jao, 9 rantau, 2, 84 talempong kayu, 5, 9, 29, 34 rapa’i, 11, 44, 88, 92, 93 tari, 4, 13, 31, 34, 37, 43, 45, 65, repertoar, 10, 13, 21, 26, 27, 36, 43, 83, 88, 92, 93, 99 44, 51, 52, 57, 59, 60, 69, 75, teks kaba, 79 77, 84 teks pantun, 79 resonansi, 7, 8, 47 tradisional, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, resonator, 9, 12, 34, 47, 53, 77 10, 11, 12, 16, 17, 18, 19, 20, responsorial, 82 21, 23, 35, 42, 44, 51, 52, 54, ritmis, 4, 5, 6, 7, 9, 12, 13, 16, 17, 57, 66, 68, 69, 71, 73, 74, 75, 20, 26, 35, 36, 42, 44, 45, 46, 77, 84, 87, 95, 97, 99, 100, 101 58, 59, 100 U S ulama, 87, 88 salawat dulang, 4, 44 saluang, 3, 6, 51, 52, 54, 55, 57, 58, W 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 79, 80, 82 warisan, 1, 27, 30, 96 sarunai, 35, 36, 40, 41, 42, 51, 53 wilayah, 2, 3, 7, 9, 12, 21, 22, 47, seni, 1, 55, 63, 65, 90, 93, 97 49, 52, 54, 66, 99, 100 sijundai, 70 Siontong Tabang, 6 X snare, 75, 77 Sumatra Barat, 1, 38, 39 xylophone, 5, 9

T Z taksonomi, 3 zaman, 1, 2, 33, 89, 97

111