E-Book-Agama Dan Kepercayaan Nusantara

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

E-Book-Agama Dan Kepercayaan Nusantara Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 12 Tahun 1997 Pasal 44 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memper- banyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, meng edarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Editor: Sumanto Al Qurtuby & Tedi Kholiludin AGAMA DAN KEPERCAYAAN NUSANTARA © Copyright Nusantara Institutes ISBN: 978-602-6418-38-8 Editor : Sumanto Al Qutuby & Tedi Kholiludin Desain Cover dan Isi : Abdus Salam Cetakan Pertama, Juli 2019 Penerbit: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Press Perumahan Bukit Walisongo Permai, Jl. Sunan Ampel Blok V No. 11 Tambakaji- Ngaliyan-Semarang 50185 Telp. (024)7627587 CP: 085727170205 (Wahib), 082225129241 (Salam), E-mail: [email protected] Website: www.elsaonline.com/toko.elsaonline.com © Hak pengarang dan penerbit dilindungi undang-undang No. 19 Tahun 2002. Dilarang memproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. Kata PENGANtaR Merawat Agama dan Kepercayaan Nusantara Oleh: Sumanto Al Qurtuby alah satu fakta getir yang dialami Bangsa Indonesia dewasa ini adalah terjadinya proses marjinalisasi atas berbagai Sagama dan kepercayaan lokal Nusantara yang berlangsung cukup intens dan masif. Proses peminggiran itu bukan hanya terjadi melalui proses religius-kultural di level masyarakat bawah saja tetapi juga lewat proses politik di tingkat pemerintah dan negara. Dengan kata lain, marjinalisasi itu terjadi dari segala penjuru angin: baik di level “state” maupun “society”, baik melalui proses “bottom up” maupun “top down”. Yang dimaksud dengan proses “bottom up” disini adalah setelah elemen-elemen masyarakat melakukan aneka aksi peminggiran terhadap agama dan kepercayaan lokal, mereka kemudian mencoba mempengaruhi para pembuat kebijakan v Merawat Agama dan Kepercayaan Nusantara Merawat Agama dan Kepercayaan Nusantara publik (policymakers) untuk “melegalkan” marjinalisasi itu dalam bentuk aturan-aturan pelarangan atau diskriminasi lain terhadap para penganut agama dan kepercayaan lokal Nusantara tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan “top down” adalah elemen-elemen pemerintah, baik pusat maupun daerah, ataupun institusi pembuat kebijakan itu sendiri yang mengeluarkan sejumlah aturan tetek-bengek yang bermuara pada pembatasan, pelarangan, atau bahkan pemusnahan terhadap agama dan kepercayaan lokal Nusantara. Bisa jadi, berbagai aturan diskriminatif itu karena pemerintah maupun para pembuat kebijakan publik lain (seperti parlemen) menuruti masukan- masukan sebagian kelompok masyarakat atau bisa juga karena inisiatif mereka sendiri. Kedua bentuk proses peminggiran ini memang sudah ada sejak dulu, terutama di era pemerintah Orde Baru, dan terus terjadi hingga kini dan bahkan cenderung menguat dan semakin gencar pasca rontoknya rezim Orba, seiring dengan tumbuh dan merajalelanya berbagai kelompok agama konservatif, puritan, dan militan, khususnya di kalangan Islam dan Kristen, dua agama misionaris yang gigih mencari pengikut dan menyesatkan parktik-praktik ritual-keagamaan penganut agama dan kepercayaan lokal Nusantara. *** Pemerintah atau negara jelas berkontribusi dalam proses peminggiran agama dan kepercayaan lokal Nusantara. Coba saja simak, misalnya, meskipun Konstitusi (UUD 1945) dan Ideologi Negara Indonesia (Pancasila) mengakui secara eksplisit dan implisit agama dan kepercayaan lokal Nusantara, tetapi Pemerintah RI (misalnya, melalui Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969) hanya vi Sumanto Al Qurtuby Sumanto Al Qurtuby mengakui secara resmi eksistensi enam agama, yang ironisnya semuanya adalah agama impor: Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Pada masa rezim Orde Baru (Orba), Konghucu dicoret dari daftar “agama resmi negara” gara-gara China dituduh sebagai dalang dan suporter Komunis. Padahal, mereka hanya dijadikan sebagai tumbal dan dikambinghitamkan saja oleh Suharto. Rezim Orba juga melarang warga Tionghoa untuk merayakan tradisi dan budaya mereka. Kelak, tahun 2000, mendiang Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadikan Konghucu kembali menjadi agama resmi negara. Gus Dur juga mencabut berbagai aturan diskriminatif terhadap masyarakat Tionghoa serta membebaskan mereka untuk menjalankan agama, tradisi, dan kebudayaan mereka secara terbuka di Indonesia. Setelah Konghucu dicoret, melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1974, pemerintah akhirnya memutuskan warga Negara Indonesia untuk mengisi salah satu dari lima agama resmi yang diakui pemerintah (minus Konghucu) di “kolom agama” di KTP (Kartu Tanda Penduduk). Maka, demikianlah, sejarah mencatat banyak penduduk Indonesia, karena ingin selamat dan supaya lebih gampang urusan mereka, terpaksa mencantumkan salah satu dari lima agama tersebut di kolom KTP meskipun tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Meski begitu, ada pula yang bersikukuh tidak mau mencantumkan agama dan kepercayaan mereka dan memilih mengosongkan kolom agama. Mereka yang bersikeras tidak mau mengisi kolom agama di KTP tentu saja mendapat perlakuan yang diskriminatif, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Misalnya, mereka dipersulit mengurus berbagai urusan administrasi pemerintahan. Mereka juga dikucilkan dari berbagai aktivitas vii Merawat Agama dan Kepercayaan Nusantara sosial-keagamaan di masyarakat. Bukan hanya itu saja, kelak jika meninggal, masyarakat juga enggan untuk menguburkan mereka. Jadi, jangankan waktu masih hidup, sudah mati pun mereka sengsara. Titik balik sejarah Bangsa Indonesia yang paling revolusioner terjadi pada 1965/66, tahun dimana negara ini mengalami tragedi nasional yang mahadahsyat dan memilukan: pembasmian orang-orang yang dituduh sebagai Komunis oleh rezim Orba. Para sejarawan mencatat lebih dari 2 juta warga Indonesia mati sia-sia dalam kampanye dan propaganda busuk anti-komunisme itu. Siapapun yang dicurigai sebagai Komunis atau dituduh memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan underbouw-nya disiksa dan dibunuh dengan kejam. Bukan hanya itu saja, rezim Orba juga memaksa penduduk Indonesia untuk mencantumkan salah satu dari lima agama yang diakui oleh pemerintah dalam kolom KTP jika mereka tidak ingin dituduh atau dicap sebagai komunis, yang berarti juga ateis karena oleh rezim Orba komunisme itu diidentikkan dengan ateisme, sebuah pandangan yang keliru besar. Maka demikianlah, sejak itu, lantaran takut dicap komunis, ateis, atau PKI, banyak warga atau penduduk Indonesia yang semula tidak jelas agamanya apa (atau mungkin bahkan tak beragama) kemudian terpaksa mencantumkan salah satu dari lima agama yang diakui oleh pemerintah Orde Baru di kolom KTP mereka. Sebagian besar dari mereka tentu saja memilih Islam yang dianggap lebih aman. Para pengikut Konghucu, masyarakat Tionghoa, mayoritas terpaksa “hijrah” ke agama Buddha, sebagian lagi ke Kristen (baik Katolik maupun Protestan). Para pengikut Kejawen banyak yang hijrah ke Islam atau Katolik. viii Sumanto Al Qurtuby Para pengikut Hindu Tengger di Jawa Timur, seperti pernah ditulis oleh antropolog Robert Hefner di buku Hindu Javanese, memilih bergabung dengan Hindu (Bali), meskipun sebetulnya mereka tidak sreg karena ada banyak ketidaksamaan pandangan, filosofi ajaran, dan praktik ritual-keagamaan. Karena beragama dengan keterpaksaan, maka tak heran jika banyak yang beragama Islam tetapi tidak mengerti sama sekali tentang doktrn-doktrin fundamental Islam, tidak memahami tentang aturan-aturan Hukum Islam, dan bahkan tidak pernah melakukan praktik ritual-keagamaan Islam yang utama seperti salat atau puasa. Mereka juga tidak bisa membaca Al-Qur’an. Oleh karena itu tidak heran jika di Indonesia terkenal dengan istilah “Islam KTP”, yaitu KTP-nya saja yang beragama Islam, sedangkan orangnya tidak jelas keislamannya karena tidak memahami, tidak mengerti, dan tidak pernah menjalankan ajaran-ajaran dan doktrin fundamental Islam. Ada lagi yang menyebut “Islam nasional”, “Islam nominal”, atau “Islam abangan” (Islam abritan) sebagai lawan dari “Islam putihan” alias kaum santri atau “wong kaum”. Berbagai sebutan itu merujuk pada pengertian jenis keislaman yang “tidak serius” atau keislaman gado-gado semacam “creole Islam” yang sudah bercampur dengan aneka tradisi, kepercayaan dan kebudayaan lokal sehingga tidak lagi pristine atau asli dan murni. Saya lebih suka menyebut dengan istilah “Islam budaya”, yaitu bentuk keislaman yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia itu keislaman yang sudah tercampur dengan produk-produk kebudayaan lokal. Oleh karena itu tidak heran jika banyak dari mereka yang tidak bisa membedakan mana doktrin (Islam) dan mana budaya (lokal Indonesia), mana “doktrin primer” dan mana “doktrin sekunder” atau tersier. Dalam banyak hal, mereka lebih mementingkan budaya lokal ketimbang ajaran dan doktrin ix Merawat Agama dan Kepercayaan Nusantara keislaman. Contoh, setiap tahun umat Islam begitu hiruk-pikuk merayakan lebaran yang merupakan produk kebudayaan lokal. Padahal, banyak dari mereka yang tidak puasa Ramadlan.
Recommended publications
  • Kebudayaan, Kesehatan Orang Papua Dalam Perspektif Antropologi
    Antropologi Papua (ISSN: 1693-2099) Volume 1. No. 1, Agustus 2002 KEBUDAYAAN, KESEHATAN ORANG PAPUA pengetahuan berdasarkan kebudayaan mereka masing-masing dalam DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI KESEHATAN menanggapi masalah kesehatan. Kajian etnografi ini akan memberikan ilustrasi tentang bagaimana A.E. Dumatubun kebudayaan, kesehatan orang Papua berdasarkan perspektif antropologi, (Staf dosen Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih) yang dapat memberikan pemahaman kesehatan secara kultural. Abstract B. KEBUDAYAAN DAN PERILAKU SEBAGAI KONSEP DASAR In this article the author tries to look on social and cultural interpretation of the health problems on Papuan’s societies. The Papuan’s traditionally, have different views to care Kebudayaan sebagai pedoman dalam kehidupan warga penyandangnya jauh out their health. lebih kompleks dari sekedar menentukan pemikiran dasar, karena kenyataan As found in most – perhaps all – societies some illnesses are viewed as having “natural” or kebudayaan itu sendiri akan membuka suatu cakrawala kompetensi dan “naturalistic” causes, while others have “magical” or “supernatural” or “personalistic kinerja manusia sebagai makhluk sosial yang fenomenal. Untuk itu dapatlah causes. In this causes, most of the Papuan’s depent on supernatural or personalistic to care dikemukakan beberapa rumusan kebudayaan: about their health. My finding is more complexs. That is how the decision was made and what kind of help to look for depent on many factors such as perceived the gravity of the “…dalam konteks suatu aliran atau golongan teori kebudayaan yang besar illness, past experience with different kinds of healers, family knowledge and therapeutic pengaruhnya dalam kajian antropologi, atau yang dikenal dengan “Ideasionalisme” skills (couple with the advice of friends and neighbors), cost of different kinds of treatment, (ideationalism) (Keesing, 1981; Sathe, 1985) dalam kajian khususnya kesehatan.
    [Show full text]
  • Pola Lantai Panggung Un Dan Kompetensi Dasar Yang Tercantum Dalam Kurikulum
    Alien Wariatunnisa Yulia Hendrilianti Seni Tari Seni Seni S e untukuntuk SSMA/MAMA/MA KKelaselas XX,, XXI,I, ddanan XXIIII n i Tari untuk SMA/MA Kelas X, XI, dan XII untuk SMA/MA u nt u Yulia Hendrilianti Yulia Alien Wariatunnisa PUSAT PERBUKUAN Kementerian Pendidikan Nasional Hak Cipta buku ini pada Kementerian Pendidikan Nasional. Dilindungi Undang-undang. Penulis Alien Wariatunnisa Seni Tari Yulia Hendrilianti untuk SMA/MA Kelas X, XI, dan XII Penyunting Isi Irma Rahmawati Penyunting Bahasa Ria Novitasari Penata Letak Irma Pewajah Isi Joni Eff endi Daulay Perancang Sampul Yusuf Mulyadin Ukuran Buku 17,6 x 25 cm 792.8 ALI ALIEN Wiriatunnisa s Seni Tari untuk SMA/MA Kelas X, XI, dan XII/Alien Wiriatunnisa, Yulia Hendrilianti; editor, Irma Rahmawati, Ria Novitasari.—Jakarta: Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional, 2010. xii, 230 hlm.: ilus.; 30 cm Bibliograę : hlm. 228 Indeks ISBN 978-979-095-260-7 1. Tarian - Studi dan Pengajaran I. Judul II. Yulia Hendrilianti III. Irma Rahmawati IV. Ria Novitasari Hak Cipta Buku ini dialihkan kepada Kementerian Pendidikan Nasional dari Penerbit PT Sinergi Pustaka Indonesia Diterbitkan oleh Pusat Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010 Diperbanyak oleh... Kata Sambutan Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya, Pemerintah, dalam hal ini, Departemen Pendidikan Nasional, pada tahun 2009, telah membeli hak cipta buku teks pelajaran ini dari penulis/penerbit untuk disebarluaskan kepada masyarakat melalui situs internet (website) Jaringan Pendidikan Nasional. Buku teks pelajaran ini telah dinilai oleh Badan Standar Nasional Pendidikan dan telah ditetapkan sebagai buku teks pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam proses pembelajaran melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 49 Tahun 2009 tanggal 12 Agustus 2009.
    [Show full text]
  • Van Galen's Memorandum on the Alor Islands in 1946. an Annotated
    14 HumaNetten Nr 25 Våren 2010 Van Galen’s memorandum on the Alor Islands in 1946. An annotated translation with an introduction. Part 1. Av Hans Hägerdal Among the 17,000 islands of Indonesia, the Alor Islands are among the lesser known, but far from the least interesting. For the modern tourist they are primarily known as an excel- lent diving resort, that attracts a modest but devoted group of Westerners each year. For art historians their fame rests on the moko, the hourglass-shaped bronze drums that were once found all over the islands. Students of anthropology may know Alor via the well-known monograph of Cora Du Bois, The People of Alor (1944). Linguists find the plethora of local languages, at least fifteen in number, intriguing, the more so since speakers of Austronesian and Papuan languages meet here. And avid readers of tropical travel literature may have en- countered the islands as the supposed abode of ferocious cannibals and headhunters. To put it briefly, the Alor Islands are situated in the Nusa Tenggara Timur province of eastern Indonesia, north of Timor and east of Flores and the Solor Islands. They consist of two larger islands, Alor and Pantar, and some smaller ones. The mountainous islands cover an area which is about half of Bali’s, with a mixed population of Christians and Muslims. As is the case with much of Indonesia’s history outside Java, the past of this little archipelago is fragmentarily known up to the nineteenth century. Knowledge of the written word was utterly limited until modern times, and scholars have to piece Alorese history together from indigenous oral tradition, accounts by foreigners, and linguistic and archaeological data.
    [Show full text]
  • SECULAR, RELIGIOUS and SUPERNATURAL – an EASTERN INDONESIAN CATHOLIC EXPERIENCE of FEAR (Autoethnographic Reflections On
    SECULAR, RELIGIOUS AND SUPERNATURAL – AN EASTERN INDONESIAN CATHOLIC EXPERIENCE OF FEAR (Autoethnographic Reflections on the Reading of a New Order-Era Propaganda Text) Justin Laba Wejak Submitted in total fulfilment of the requirements of the degree of Doctor of Philosophy 2017 Faculty of Arts The University of Melbourne Abstract This thesis examines an Eastern Indonesian Catholic experience of fear by analysing how a New Order-era propaganda text dealing with the political upheavals of 1965- 66 triggers and maintains fear in one Eastern Indonesian Catholic reader – myself. It uses the methodology of autoethnography to examine the fears that I myself experienced in 2004 when encountering a 1967 Catholic propaganda text entitled, ‘Dari Madiun ke Lubang Buaya, dari Lubang Buaya ke…?’ [From Madiun to the Crocodile Hole, from the Crocodile Hole to...?]). By analysing my own experience of fear in reading the text, I argue that the Eastern Indonesian Catholic experience of fear involves three interlocking dimensions – secular, religious and supernatural. These three forms of fear are experienced simultaneously by the reader (myself). The From Madiun text is primarily a secular narrative of the 1965-66 events, but the reader brings his culturally-conditioned religious and supernatural fears when reading it. I argue that supernatural fear is the most unspoken but most powerful form of fear that I experienced when reading the text, and this reflects my membership of the Lamaholot community in which supernatural fear is pervasive. The thesis contends that in relation to 1965, the Catholic Church’s propaganda created an explicit secular fear of communists, an implicit religious fear of Muslims, and a hidden supernatural fear of ghosts.
    [Show full text]
  • PENGLIAKAN DALAM KAJIAN FILSAFAT.Pdf
    i PROSIDING SEMINAR NASIONAL Fakultas Pendidikan Universitas Hindu Indonesia 2020 PENGLIAKAN DALAM KAJIAN FILSAFAT, AGAMA DAN ILMU PADA MASYARAKAT BALI WAKTU & TEMPAT Selasa, 3 desember 2019 Aula Lantai III Rektorat UNHI, Denpasar, Bali, Indonesia Editor Prof. Dr. phil l Ketut Ardana, M.A Prof. Dr. I Wayan Sukayasa, M.Si Reviewer Naskah I Made Sudarsana, S.Sn., M.Sn I Made Sugiarta, S.Sn., M.Si I Wayan Arissusila, S.Sn., M.Sn Ni Nyoman Wahyu Adi Gotama, S.Sn., M.Sn Putu Satyaprasavita Amerta Steering Committee I Nyoman Winyana, S.Skar., M.Si (Ketua) Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si (Sekretaris) Gusti Komang Sri Utami, S.Ag., M.Si (Bendahara) Keynote Speakers: Prof. Dr. Volker Gottowik I Gusti Ayu Diah Pridari, MPsi., Ph.D Narasumber: Prof. Dr. Ida Ayu Gde Yadnyawati, M.Pd Dr. I Komang Idara Wirawan, S.Sn., M. FillH I Gusti Agung Ngurah Artha, S.E Desain Cover dan Lay Out Putu Satyaprasavita Amerta Ni Luh Putu Trisdyani, S.Sn., M.Sn UNHI PRESS 2020 ii FAKULTAS PENDIDIKAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL Fakultas Pendidikan Universitas Hindu Indonesia 2020 PENGLIAKAN DALAM KAJIAN FILSAFAT, AGAMA DAN ILMU PADA MASYARAKAT BALI TEMPAT Selasa, 3 desember 2019 Aula Lantai III Rektorat UNHI, Denpasar, Bali, Indonesia Editor Prof. Dr. phil l Ketut Ardana, M.A Prof. Dr. I Wayan Sukayasa,M.Si Reviewer Naskah I Made Sudarsana S.Sn., M.Sn I Made Sugiarta, S.Sn., M.Si I Wayan Arissusila, S.Sn., M.Sn Ni Nyoman Wahyu Adi Gotama, S.Sn., M.Sn Putu Satyaprasavita Amerta Steering Committee I Nyoman Winyana, S.Skar., M.Si (Ketua) Dr.
    [Show full text]
  • 'Sundelbolong' As a Mode of Femininity
    chapter 4 ‘Sundelbolong’ as a Mode of Femininity Analysis of Popular Ghost Movies in Indonesia Maren Wilger Introduction: Hantu Sundelbolong Indonesian folklore is populated by various kind of ghosts or hantu.1 While they used to haunt the living through ghost stories (cerita hantu), in contempo- rary culture they are presented in multifaceted ways on the silver screen to tell modern ghost stories, and part of the discourse of modernization.2 In this chapter, I start with a short description of the nature of ‘Sundel- bolong’, one of the many vengeful female spirits in Indonesian lore, before providing a brief introduction to the political and cinematic background of 1 Hantu: ‘Spirit’, ‘specter’ (Heuken, 2009: 181). In general terms, ‘hantu’ contains more than the European/Western understanding of ‘spirit’ or the German ‘Geist’. The term hantu is also used to describe possession by demons and presents good and evil supernatural beings. It appears to be insufficient to use Western classifications, such as ‘undead’, ‘spirit’ or ‘vam- pire’ for Southeast Asian beings, since the categories of hantu are much more fluid than the Western ones. While an undead entity in the Western hemisphere is statically characterized as being completely apart from the living—as being dead—, cerita hantu contain the idea that those beings can be tamed and transformed back into a living and human form again. Indeed, hantu Sundelbolong can be transformed back into a human when a knife is driven through her neck. It seems like hantu have greater physical potency and effect the living more than Western spirits, the undead or vampires do.
    [Show full text]
  • (Case: Obesity at Buginess Ethnic) Hikmawati Mas'uda Nutrition
    THE BALANCE OF BIOCULTURE AND SOCIOCULTURE WITHIN FOOD CULTURE (Case: Obesity at Buginess Ethnic) Hikmawati Mas’uda Nutrition Department, Health Polytechnic of Ministry of Health in Makassar a Corresponding author: [email protected] ABSTRACT Many phenomena about eat culture create a gap and conflict between the culture and health perspektif in order to satisfy any need of biocultural-biosocial and socioculture. This research aim to analyse a conception about biocultural – biosocial and socioculture to eating in culturization. A qualitaitive descriptive by Grand Theory used a kind of this research. Obesity and its characteristic as subject of this study. The primary ad secondary as source of data. Any data collected by observation, interviews and documentation. A qualitative used to analyze data. The result of this research indicated that there are a gap and conflict between the culture and health perspektif in order to satisfy any need of biocultural-biosocial and socioculture particularly for the at culture. The culture viewed that obesity is a eat culture product which represented culturization and social predicate it. The health look at be unbalance food intake need a body. The gap occur caused the culture perspective oriented socioculture dimension as macro locus dan the health stressed a bioculture ones. The social culture element can be able create a routinely eating behavior or attitude many people which often contrast or different with a food intake standard. The phenomena of bioculture not one single determinant but there are other determinant influence eat culture namely socioculture and ecoculture. Their relation are reflected at knowledge system, economy, traditionally ritual, and culture process.
    [Show full text]
  • Cerita Rakyat Pulau Buru
    ANTOLOGI antologi CERITA Nurfia Aminah Ipa Muhamad Buton Khatijah Suneth RAKYAT Dwi Yuniar Marasabessy Muhd. Ali Sangaji Parida Sudiati Manahaji PULAU BURU Nining Halimombo Leonora Biloro Yuswan Pattinasarany Ahmad cerita rakyat pulau buru Dewi Umasugi Nurlaila Makian Kurnia Tomia Djamila Saanun Aisah Papalia Nuryani Kapota Kamaria Fandi Marua Syukriani Amrus Tahir Ratna Sari Mappa Irmawati Basso Syamsiah Ode Alaam Ulhaq Manusamal Faisyah Susanti Suwati Lutfi Siompo Haula Siompo Patima Angkotasan Penyunting Marila Buton Irmawati Asrif Nita Handayani Hasan Kantor Bahasa Maluku ISBN 978 602 263 177 4 Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 9 786022 631774 2019 ANTOLOGI CERITA RAKYAT PULAU BURU ANTOLOGI CERITA RAKYAT PULAU BURU ANTOLOGI CERITA RAKYAT PULAU BURU A A ANTOLOGI CERITA RAKYAT PULAU BURU ANTOLOGI CERITA RAKYAT PULAU BURU Sanksi Pelanggaran Hak Cipta Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 : 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta dan pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaanm dilahirkan tanjpa mengurangi pembatasan yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 : 1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat satu (1) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) 2. barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.
    [Show full text]
  • Dominasi Medis Modern Atas Medis Tradisional Suku Sumuri, Teluk Bintuni, Papua Barat
    Dominasi Medis Modern Atas Medis Tradisional Suku Sumuri, Teluk Bintuni, Papua Barat Modern Medicine Domination Over Traditional Medicine in Sumuri Ethnic, Bintuni Bay, West Papua Atik Triratnawati Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Jalan Nusantara 1, Bulaksumur, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Telepon: (0274) 513096 e-mail: [email protected] Abstract Declaration 1990-2015 MDG's 4 and 5 points in Indonesia fail due to a decrease in maternal and infant mortality rate is not reached until three quarters. Sumuri District, in West Papua is one of the area that maternal and infant mortality rates high, althought free health care for its residents. This paper wants to explore how the interaction between modern medicine and local medicine so the dominant health care in the community will be identified. Ethnographic study by living together with the local community to make the observation of the patient's health centers, community leader interviews, adult population, health workers and mini Focus Group Discussion among 4 mothers who has under 5 years old children conducted in June 2014. Government, oil and gas companies are aggressively introducing modern medical to the residents of Sumuri District, as a result communities have high interest to visit the health center for treatment and natural healing tends to disappear. New health institutions such as health centers, integrated health, midwives, nurses, physicians are able to shift the role of traditional birth attendants, traditional healer or traditional medicine. As a result of social relations within the extended family was replaced by a stronger role of midwives, nurses and doctors.
    [Show full text]
  • Islam Raja Ampat Dan Mitos Hantu Cuwig: Benturan Agama, Adat Dan Kepercayaan Lokal Pada Masyarakat Multikultural Di Kampung Lilinta Papua Barat
    SANGKÉP: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan Vol. 3, No. 1, (2020) 1-22 DOI: 10.20414/sangkep.v2i2. p-ISSN: 2654-6612 e-ISSN: 2656-0798 Islam Raja Ampat dan Mitos Hantu Cuwig: Benturan Agama, Adat dan Kepercayaan Lokal pada Masyarakat Multikultural di Kampung Lilinta Papua Barat M. Syukri Nawir*, Muhamad Yusuf, Akhmad Kadir IAIN Fattahul Muluk Papua Jl. Merah Putih Buper Waena Distrik Heram Kota Jayapura, Jayapura, Papua Submitted: 2nd Dec 2019 Revised: 25th Dec 2019 Accepted: 20th Jan 2020 Abstract The clash of religions, customs, local beliefs gives a distinctive color in the lives of the people of the Raja Ampat Islands. How the myth of Cuwig's mythical influence on religious life in the village of Lilinta in the Raja Ampat-Papua archipelago and in interpreting and reformulate their religious life in response to the myth of Cuwig. Religious knowledge has an important meaning to improve the faith of the community, thus creating religious emotion, encouraging people to do religious actions, although there is still a society believing the mystical, lack of of religious development. The mythical ghost of Cuwig is influenced by the environment. Myths evolved from the simultaneous stories beginning with the emergence of sudden death from the citizens, the problem spread the issue of the science of Cuwig in the intended person. Keywords: Religion, customs, mythical Cuwig Ghost Abstrak Benturan agama, adat, kepercayaan lokal memberikan warna tersendiri dalam kehidupan keberagamaan masyarakat di kepulauan Raja Ampat. Bagaimana Pengaruh mitos hantu Cuwig terhadap kehidupan beragama di kampung Lilinta di Kepulauan Raja Ampat-Papua serta dalam menafsirkan dan memformulasikan kembali kehidupan beragama mereka sebagai respon atas adanya mitos Cuwig.
    [Show full text]
  • Sharing the Earth, Dividing the Land: Territorial Categories and Institutions in the Austronesian World’
    Sharing the earth, DiviDing the LanD Land and territory in the Austronesian world Sharing the earth, DiviDing the LanD Land and territory in the Austronesian world edited by ThomAs ReuTeR Published by ANU E Press The Australian National University Canberra ACT 0200, Australia Email: [email protected] Web: http://epress.anu.edu.au National Library of Australia Cataloguing-in-Publication entry Sharing the earth, dividing the land : land and territory in the Austronesian world. Bibliography. Includes index. For tertiary students. ISBN 1 920942 69 6 (pbk.). ISBN 1 920942 70 X (online). 1. Ethnology - Asia, Southeastern. 2. Ethnology - Oceania. 3. Southeast Asians. 4. Pacific Islanders. I. Reuter, Thomas Anton. 305.800959 All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying or otherwise, without the prior permission of the publisher. Cover design by Teresa Prowse Printed by University Printing Services, ANU This edition © 2006 ANU E Press Dedication This book is dedicated to all the people of the Asia Pacific whose land has been alienated in the wake of colonialism, modernity and development, and whose traditional insights into human beings' relationship with their physical environment have rarely received the serious consideration they indisputably deserve. i Sharing the Earth, Dividing the Land Table of Contents List of Figures v Acknowledgments ix Chapter 1. Land and Territory in the Austronesian World Thomas Reuter 11 Chapter 2. The Origin Structure of Kute Among the Gumai: An Analysis of an Indigenous Territorial Institution in the Highlands of South Sumatra Minako Sakai 39 Chapter 3.
    [Show full text]
  • I Strukturasi Kekuasaan Dan Kekerasan Simbolik Dalam Tiga Cerpen Afryantho Keyn Perspektif Pierre Bourdieu
    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK DALAM TIGA CERPEN AFRYANTHO KEYN: PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Sastra Indonesia Oleh Yan Hendrimus Dawadoren Langobelen NIM: 154114026 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA JANUARI 2020 i PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERSEMBAHAN Saya mepersembahkan karya ini untuk perempuan terhebat Ribka Lea Van Room dan lelaki terhebat Simon Langobelen. vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI MOTO “Asal Ibu Bapak senang.” Endy Langobelen vii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, karunia, dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam Tiga Cerpen Afryantho Keyn: Perspektif Pierre Bourdieu” dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana (S-1) pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan berkat bantuan, bimbingan, dan dorongan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak tersebut. Pertama, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. dan Susilawati Endah Peni Adji, S.S., M.Hum. selaku dosen pembimbing yang selalu sabar membimbing dan memberikan pengarahan dari awal hingga selesainya skripsi ini. Kedua, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak\Ibu dosen Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma (USD), yaitu Susilawati Endah Peni Adji, S.S., M.Hum.
    [Show full text]