E-Book-Agama Dan Kepercayaan Nusantara
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 12 Tahun 1997 Pasal 44 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memper- banyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, meng edarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Editor: Sumanto Al Qurtuby & Tedi Kholiludin AGAMA DAN KEPERCAYAAN NUSANTARA © Copyright Nusantara Institutes ISBN: 978-602-6418-38-8 Editor : Sumanto Al Qutuby & Tedi Kholiludin Desain Cover dan Isi : Abdus Salam Cetakan Pertama, Juli 2019 Penerbit: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Press Perumahan Bukit Walisongo Permai, Jl. Sunan Ampel Blok V No. 11 Tambakaji- Ngaliyan-Semarang 50185 Telp. (024)7627587 CP: 085727170205 (Wahib), 082225129241 (Salam), E-mail: [email protected] Website: www.elsaonline.com/toko.elsaonline.com © Hak pengarang dan penerbit dilindungi undang-undang No. 19 Tahun 2002. Dilarang memproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. Kata PENGANtaR Merawat Agama dan Kepercayaan Nusantara Oleh: Sumanto Al Qurtuby alah satu fakta getir yang dialami Bangsa Indonesia dewasa ini adalah terjadinya proses marjinalisasi atas berbagai Sagama dan kepercayaan lokal Nusantara yang berlangsung cukup intens dan masif. Proses peminggiran itu bukan hanya terjadi melalui proses religius-kultural di level masyarakat bawah saja tetapi juga lewat proses politik di tingkat pemerintah dan negara. Dengan kata lain, marjinalisasi itu terjadi dari segala penjuru angin: baik di level “state” maupun “society”, baik melalui proses “bottom up” maupun “top down”. Yang dimaksud dengan proses “bottom up” disini adalah setelah elemen-elemen masyarakat melakukan aneka aksi peminggiran terhadap agama dan kepercayaan lokal, mereka kemudian mencoba mempengaruhi para pembuat kebijakan v Merawat Agama dan Kepercayaan Nusantara Merawat Agama dan Kepercayaan Nusantara publik (policymakers) untuk “melegalkan” marjinalisasi itu dalam bentuk aturan-aturan pelarangan atau diskriminasi lain terhadap para penganut agama dan kepercayaan lokal Nusantara tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan “top down” adalah elemen-elemen pemerintah, baik pusat maupun daerah, ataupun institusi pembuat kebijakan itu sendiri yang mengeluarkan sejumlah aturan tetek-bengek yang bermuara pada pembatasan, pelarangan, atau bahkan pemusnahan terhadap agama dan kepercayaan lokal Nusantara. Bisa jadi, berbagai aturan diskriminatif itu karena pemerintah maupun para pembuat kebijakan publik lain (seperti parlemen) menuruti masukan- masukan sebagian kelompok masyarakat atau bisa juga karena inisiatif mereka sendiri. Kedua bentuk proses peminggiran ini memang sudah ada sejak dulu, terutama di era pemerintah Orde Baru, dan terus terjadi hingga kini dan bahkan cenderung menguat dan semakin gencar pasca rontoknya rezim Orba, seiring dengan tumbuh dan merajalelanya berbagai kelompok agama konservatif, puritan, dan militan, khususnya di kalangan Islam dan Kristen, dua agama misionaris yang gigih mencari pengikut dan menyesatkan parktik-praktik ritual-keagamaan penganut agama dan kepercayaan lokal Nusantara. *** Pemerintah atau negara jelas berkontribusi dalam proses peminggiran agama dan kepercayaan lokal Nusantara. Coba saja simak, misalnya, meskipun Konstitusi (UUD 1945) dan Ideologi Negara Indonesia (Pancasila) mengakui secara eksplisit dan implisit agama dan kepercayaan lokal Nusantara, tetapi Pemerintah RI (misalnya, melalui Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969) hanya vi Sumanto Al Qurtuby Sumanto Al Qurtuby mengakui secara resmi eksistensi enam agama, yang ironisnya semuanya adalah agama impor: Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Pada masa rezim Orde Baru (Orba), Konghucu dicoret dari daftar “agama resmi negara” gara-gara China dituduh sebagai dalang dan suporter Komunis. Padahal, mereka hanya dijadikan sebagai tumbal dan dikambinghitamkan saja oleh Suharto. Rezim Orba juga melarang warga Tionghoa untuk merayakan tradisi dan budaya mereka. Kelak, tahun 2000, mendiang Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadikan Konghucu kembali menjadi agama resmi negara. Gus Dur juga mencabut berbagai aturan diskriminatif terhadap masyarakat Tionghoa serta membebaskan mereka untuk menjalankan agama, tradisi, dan kebudayaan mereka secara terbuka di Indonesia. Setelah Konghucu dicoret, melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1974, pemerintah akhirnya memutuskan warga Negara Indonesia untuk mengisi salah satu dari lima agama resmi yang diakui pemerintah (minus Konghucu) di “kolom agama” di KTP (Kartu Tanda Penduduk). Maka, demikianlah, sejarah mencatat banyak penduduk Indonesia, karena ingin selamat dan supaya lebih gampang urusan mereka, terpaksa mencantumkan salah satu dari lima agama tersebut di kolom KTP meskipun tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Meski begitu, ada pula yang bersikukuh tidak mau mencantumkan agama dan kepercayaan mereka dan memilih mengosongkan kolom agama. Mereka yang bersikeras tidak mau mengisi kolom agama di KTP tentu saja mendapat perlakuan yang diskriminatif, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Misalnya, mereka dipersulit mengurus berbagai urusan administrasi pemerintahan. Mereka juga dikucilkan dari berbagai aktivitas vii Merawat Agama dan Kepercayaan Nusantara sosial-keagamaan di masyarakat. Bukan hanya itu saja, kelak jika meninggal, masyarakat juga enggan untuk menguburkan mereka. Jadi, jangankan waktu masih hidup, sudah mati pun mereka sengsara. Titik balik sejarah Bangsa Indonesia yang paling revolusioner terjadi pada 1965/66, tahun dimana negara ini mengalami tragedi nasional yang mahadahsyat dan memilukan: pembasmian orang-orang yang dituduh sebagai Komunis oleh rezim Orba. Para sejarawan mencatat lebih dari 2 juta warga Indonesia mati sia-sia dalam kampanye dan propaganda busuk anti-komunisme itu. Siapapun yang dicurigai sebagai Komunis atau dituduh memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan underbouw-nya disiksa dan dibunuh dengan kejam. Bukan hanya itu saja, rezim Orba juga memaksa penduduk Indonesia untuk mencantumkan salah satu dari lima agama yang diakui oleh pemerintah dalam kolom KTP jika mereka tidak ingin dituduh atau dicap sebagai komunis, yang berarti juga ateis karena oleh rezim Orba komunisme itu diidentikkan dengan ateisme, sebuah pandangan yang keliru besar. Maka demikianlah, sejak itu, lantaran takut dicap komunis, ateis, atau PKI, banyak warga atau penduduk Indonesia yang semula tidak jelas agamanya apa (atau mungkin bahkan tak beragama) kemudian terpaksa mencantumkan salah satu dari lima agama yang diakui oleh pemerintah Orde Baru di kolom KTP mereka. Sebagian besar dari mereka tentu saja memilih Islam yang dianggap lebih aman. Para pengikut Konghucu, masyarakat Tionghoa, mayoritas terpaksa “hijrah” ke agama Buddha, sebagian lagi ke Kristen (baik Katolik maupun Protestan). Para pengikut Kejawen banyak yang hijrah ke Islam atau Katolik. viii Sumanto Al Qurtuby Para pengikut Hindu Tengger di Jawa Timur, seperti pernah ditulis oleh antropolog Robert Hefner di buku Hindu Javanese, memilih bergabung dengan Hindu (Bali), meskipun sebetulnya mereka tidak sreg karena ada banyak ketidaksamaan pandangan, filosofi ajaran, dan praktik ritual-keagamaan. Karena beragama dengan keterpaksaan, maka tak heran jika banyak yang beragama Islam tetapi tidak mengerti sama sekali tentang doktrn-doktrin fundamental Islam, tidak memahami tentang aturan-aturan Hukum Islam, dan bahkan tidak pernah melakukan praktik ritual-keagamaan Islam yang utama seperti salat atau puasa. Mereka juga tidak bisa membaca Al-Qur’an. Oleh karena itu tidak heran jika di Indonesia terkenal dengan istilah “Islam KTP”, yaitu KTP-nya saja yang beragama Islam, sedangkan orangnya tidak jelas keislamannya karena tidak memahami, tidak mengerti, dan tidak pernah menjalankan ajaran-ajaran dan doktrin fundamental Islam. Ada lagi yang menyebut “Islam nasional”, “Islam nominal”, atau “Islam abangan” (Islam abritan) sebagai lawan dari “Islam putihan” alias kaum santri atau “wong kaum”. Berbagai sebutan itu merujuk pada pengertian jenis keislaman yang “tidak serius” atau keislaman gado-gado semacam “creole Islam” yang sudah bercampur dengan aneka tradisi, kepercayaan dan kebudayaan lokal sehingga tidak lagi pristine atau asli dan murni. Saya lebih suka menyebut dengan istilah “Islam budaya”, yaitu bentuk keislaman yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia itu keislaman yang sudah tercampur dengan produk-produk kebudayaan lokal. Oleh karena itu tidak heran jika banyak dari mereka yang tidak bisa membedakan mana doktrin (Islam) dan mana budaya (lokal Indonesia), mana “doktrin primer” dan mana “doktrin sekunder” atau tersier. Dalam banyak hal, mereka lebih mementingkan budaya lokal ketimbang ajaran dan doktrin ix Merawat Agama dan Kepercayaan Nusantara keislaman. Contoh, setiap tahun umat Islam begitu hiruk-pikuk merayakan lebaran yang merupakan produk kebudayaan lokal. Padahal, banyak dari mereka yang tidak puasa Ramadlan.