BAB II

KUDETA MILITER DAN DEMOKRATISASI

2.1. Posisi Militer dalam Politik Thailand

Sejak berakhirnya sistem pemerintahan Monarki Konstitusional pada tahun 1932, militer memiliki peran yang cukup besar dalam politik pihak militer tidak hanya mengurusi masalah pertahanan tetapi juga masalah keamanan nasional yaitu stabilitas politik di pemerintahan.27 Pihak militer sebagai aparatur negara seperti aparat kepolisian telah memiliki pengaruh besar dalam pembuatan kebijakan politik. Militer selalu mengatasnamakan dirinya sebagai pelindung negara. Lemahnya kekuatan sipil dan kuatnya pengaruh militer memaksa Thailand menjadi negara otoriter. Fenomena kudeta banyak terjadi dikarenakan bahwa kinerja pemerintahan sipil tidak efektif dan tidak melembaga, badan eksekutif tidak dapat menguasai serta mengontrol militer, maka peluang terjadinya kudeta relatif terbuka lebar.28

Pada saat terjadi kudeta tahun 1932 militer Thailand berawal memasuki politik yang menjatuhkan sistem Monarki Absolut. Kudeta yang terjadi pada saat itu dipengaruhi dari beberapa faktor seperti situasi perekonomian negara semakin memburuk dan juga ada campur tangan raja pada waktu itu, namun kudeta ini termasuk langkah awal bagi masuknya militer ke dalam ranah politik di Thailand.

27Sri Issundari. “Latar Belakang Kudeta Militer Thailand Pada Masa Pemerintahan PM ,”Jurusan Hubungan Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta, Vol. 12 No. 4, Desember 2008, hal. 204. 28Ibid.

28

Pengambil-alihan kekuasaan yang dilakukan pihak militer disebabkan oleh ketimpangan ekonomi akibat penyalahgunaan kekuasaan. Thaksin Shinawatra lebih dianggap sebagai pemimpin yang berkarakteristik pebisnis, korupsi, kronisme, nepotisme. Pemerintahan yang korup ataupun peraturan perundang- undangan yang tidak beres mengakibatkan buruknya kondisi pemerintahan

Thailand. Semua kudeta yang terjadi selalu memunculkan dugaan kalau militer yang selalu melatarbelakanginya. Selama ini petinggi militer Thailand selalu memainkan peran sangat penting disetiap peristiwa kudeta maupun peristiwa unjuk rasa yang terjadi. Sejak awal terjadinya kudeta di Thailand sudah beberapa kali militer juga yang melakukan kudeta, baik itu dilakukan oleh semua angkatan yang ada atau hanya sebagian saja. Cara itupun juga sudah cukup efektif untuk menggulingkan pemerintahan sementara di Thailand.

Budaya politik di Thailand dengan peristiwa kudeta sangatlah erat kaitannya, masalah kudeta militer dan rezim junta militer juga sangat erat dalam perpolitikan di Thailand. Maka, tidaklah heran jika proses demokratisasi di

Thailand mengalami hambatan serta tantangan yang berat menuju sistem demokrasi yang sebenarnya. Tentunya dinamika ini tidak lepas dari budaya politik masyarakat yang masih memegang teguh pada nilai - nilai tradisional, sementara dalam demokrasi membutuhkan nilai - nilai kontemporer yang mengacu pada budaya barat. Hal inilah yang kemudian berimplikasi pada pembentukan konstitusi yang mengatur kekuasaan politik Thailand yang selalu diwarnai dengan perebutan dan persaingan diantara elit - elit militer dan sipil.

29

Nilai paternalisme dan patriakal dalam budaya Thailand masih melekat erat, mereka menganggap raja sebagai “father” dalam mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih baik, raja juga dianggap sebagai perwakilan titisan dewa.29

Segala perintah raja merupakan perwujudan dewa yang harus dipatuhi. Sehingga tidak heran jika masyarakat Thailand lebih mencintai raja daripada politik yang harus mereka patuhi. Perselisihan dan persaingan politik di Thailand setidaknya tidak ada pertumpahan darah sebagai akibat dari persaingan antara militer dan sipil. Ada beberapa karakteristik budaya politik di Thailand, yaitu :30

1. Otoritarianisme yaitu budaya politik dimana kepemimpinan dipandang

sebagai representasi dari dewa sehingga perintahnya atau titahnya

hampir harus dilaksanakan tanpa ada sangkalan. Ini juga didukung

dengan budaya paternalistik dan patriakal yang cenderung

mengagungkan pemimpin sebagai “father” dalam keluarga yang

mempunyai wewenang dan kekuasaan atas keluarganya.

2. Patron klien yaitu kaum elit yang lebih mengedepankan kepentingan

kelompoknya sendiri daripada kepentingan untuk melayani rakyat. Hal

ini berdampak pada hubungan antar elit atas kelompoknya lebih kuat

daripada dengan rakyat.

3. Personalisme yaitu hubungan personal lebih penting dalam politik

Thailand. Begitu juga fungsi seorang tokoh sangat menentukan garis

29Surya Yudha Regif, 2009, Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap Thailand Pasca Kudeta Militer Thailand Pada Tahun 2006 Dalam Ruang Lingkup ASEAN, Skripsi, Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Sumatera Utara, hal. 44. 30Ibid., hal. 45.

30

kebijakan politik karena orang Thailand yang pragmatis lebih melihat

figur tokoh daripada ideologi ataupun latar belakang partai.

4. Hirarkis yaitu orang Thailand lebih mementingkan tingkatan status

daripada pencapaian seseorang. Senioritas, strata sosial, kekayaan,

menjadi faktor utama daripada prestasi seseorang. Hal ini kemudian

yang mengarahkan masyarakat Thailand pada masyarakat unik.

5. Tradisionalisme yaitu masyarakat Thailand masih memegang kuat

kepercayaan mistis dan takhayul serta kepercayaan pada nenek

moyang. Hal ini membuat irasionalitas menjadi hal yang umum terjadi

dalam menghadapi kehidupan (sifat konservatif).

6. Pasivitas yaitu sifat tradisional dan percaya pada adanya hirarki serta

takdir membuat masyarakat Thailand menjadi pasif dan tidak memiliki

interest terhadap proses dan partisipasi politik.

7. Cinta damai yaitu hal ini tak lepas dari pengaruh agama Budha yang

dianut orang Thailand yang mengajarkan ajaran - ajaran cinta dan

damai. Sehingga mereka lebih memilih untuk mengalah dalam rangka

mencapai kedamaian bersama daripada konfrontasi yang berdampak

pada ketidakdamaian. Sehingga tidak heran jika terjadi kudeta militer

tidak sampai terjadi peristiwa berdarah. Karena selain peran Raja yang

berpengaruh terhadap legitimasi kudeta tersebut, peran agama Budha

yang cinta damai juga tidak kalah pengaruhnya terhadap kehidupan

masyarakat Thailand.

31

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dilihat bahwa demokrasi yang ada di

Thailand akan selalu mengalami dan menghadapi two face of dilema dan binarry opposition, yaitu di satu sisi nilai demokrasi berusaha diterapkan dan dijalankan dengan sepenuh hati namun disisi lain ada nilai - nilai tradisional yang berbenturan dengan paham demokrasi.31

Hal ini bertentangan dengan nilai - nilai demokrasi. Sehingga perebutan kekuasaan antara pihak militer dan sipil selalu terjadi dan masih menjadi permasalahan dalam demokrasi di Thailand. Elit militer merasa dirinya memiliki kapabilitas dan kapasitas dalam menjalankan pemerintahan negara karena latar belakang mereka dari pendidikan akademi militer bisa membuat mereka berpikir strategis yang memang diperlukan oleh pertahanan dan keamanan negara.

Sedangkan pihak sipil menganggap bahwa masalah politik merupakan kekuasaan sipil yang harus lepas dari campur tangan militer. Pihak sipil beranggapan bahwa campur tangan militer dapat menghambat proses berkembangnya politik dan demokrasi karena kebiasaan militer cenderung anti-demokrasi.

Panglima militer selaku pimpinan tertinggi militer di Thailand memiliki kekuasaan mutlak atas militer, sehingga menyebabkan peluang terjadinya kudeta sangat terbuka. Militer melatarbelakangi hampir semua kudeta yang terjadi di

Thailand dan juga dipastikan ada sebabnya. Selama ini sipil dinilai belum bisa untuk memimpin Thailand, karena selalu menimbulkan pemerintahan yang korup yang mana apabila dipimpin oleh pemerintah sipil.

31Ibid., hal 47.

32

Sementara itu apabila militer diberi kekuasaan penuh di Thailand maka akan tercipta pemerintahan yang rezim, yang bisa mengakibatkan sistem demokrasi tidak bisa berjalan apabila berdekatan dengan sistem militer. Apabila rezim militer yang berkuasa, akan selalu mendapat tekanan dari pihak asing untuk segera menyerahkan kekuasaannya kepada pihak sipil, dikarenakan untuk menghindari hilangnya sistem demokrasi yang ada dan juga pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Karena hal demikian, menyebabkan tekanan dari dunia internasional agar militer menyerahkan kekuasaannya kepada pihak sipil dan tidak berkuasa terlalu lama di Thailand.

2.2. Dinamika Kudeta Militer di Thailand

2.2.1. Kudeta Antara Tahun 1932 - 1957

Thailand merupakan negara yang memiliki keunikan politik dalam perihal pemindahan kekuasaan, dan yang paling banyak diwarnai dengan unjuk rasa maupun kudeta, yang mana semuanya selalu berujung pada pergantian pihak yang berkuasa. Bentuk pemerintahan Monarki Konstitusional yang dibentuk pada tahun

1932, di mana bentuk sistem pemerintahan sebelumnya adalah Monarki Absolut.

Peralihan bentuk kekuasaan ini disebabkan oleh kudeta militer yang mengakhiri kekuasaan diktator. Raja Rama VII (Prajadiphok), menyetujui penghapusan monarki absolut dan mengganti dengan sistem konstitusi dengan sistem demokratik Barat.32

Kudeta adalah penggulingan kekuasaan pemerintahan oleh sekelompok orang dan biasanya dilakukan oleh pihak militer. Dalam tindakan kudeta, aktor

32Surya Yudha Regif, 2009, Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap Thailand Pasca Kudeta Militer Thailand Pada Tahun 2006 Dalam Ruang Lingkup ASEAN, Skripsi, Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Sumatera Utara, hal. 34.

33

negara dilengserkan sedangkan institusi pemerintahan relatif tidak berubah.

Kudeta berbeda dengan revolusi, revolusi biasanya pelengseran yang berimplikasi pada penggantian keseluruhan tatanan sektor pemerintahan yang sudah mapan

(misalnya pemimpin, institusi, bentuk pemerintahan dsb), sedangkan kudeta hanya sebatas pada penggantian kepemimpinan saja.33 Berkaitan dengan Thailand, kudeta yang dilakukan tidak merubah sistem monarki yang sudah berlangsung sejak lama, namun hanya menggulingkan pemimpin yang terpilih sah secara demokrasi.

Sejak tahun 1932 budaya kudeta telah terjadi, kudeta yang terus terjadi merupakan suatu tanda bahwa pemerintahan yang telah berlangsung di Thailand tidak pernah tepat. Thailand dapat dikatakan memiliki rekor yang sangat tinggi dalam urusan kudeta. Tercatat dari tahun 1932 - 2006, setidaknya sudah terjadi 23 kali kudeta dan 18 kali perubahan konstitusi dalam 74 tahun terakhir dan militer yang melakukan kudeta.34 Hal ini menandakan intervensi militer dalam perpolitikan di Thailand relatif kuat dan terlihat adanya supremasi militer atas sipil, akan tetapi peran Raja sebagai Kepala Negara sangatlah penting di kalangan masyarakat Thailand. Raja , sebagai pemimpin tertinggi di

Thailand yang merupakan peraduan terakhir dalam mengakhiri kebuntuan politik.

33 Sri Issundari. “Latar Belakang Kudeta Militer Thailand Pada Masa Pemerintahan PM Thaksin Shinawatra,”Jurusan Hubungan Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta, Vol. 12 No. 4, Desember 2008, hal. 204. 34Lidya Christin Sinaga, Jalan Panjang Demokrasi Thailand, diakses dalam http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politik-internasional/361-jalan-panjang- demokrasi-thailand-, (11/12/2018, 19:00 WIB).

34

Ada tiga peranan Raja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di

Thailand.35 Pertama, Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam politik, agama, sosial dan budaya. Meskipun secara struktur politik kekuasaan Raja mulai dibatasi dengan adanya parlemen militer dan elit politik. Adanya kesenjangan antara militer, elit politik dan masyarakat, maka Raja dianggap sebagai tempat terakhir untuk menyelesaikan masalah. Kedua, Raja yang memiliki kekuasaan turun - temurun sehingga dianggap sebagai wakil Tuhan (Dewa) di bumi untuk menyelamatkan negara ketika berada pada perpecahan nasional. Meskipun

Thailand merupakan negera modern ala barat tapi belum mampu menggantikan peranan Raja sebagai pemilik kekuasaan tertinggi. Menurut Duverger, bahwa dalam suatu bentuk apapun juga, pengangkatan dan penunjukan penguasa dalam sistem otokrasi ini sering menyertakan pengakuan bahwa Tuhan-lah yang menyertai penguasa tersebut.36 Ketiga, Raja sebagai simbol tertinggi kekuatan moral, Raja selalu mampu menempatkan posisi yang tepat ketika terjadi krisis politik.

Dimulai pada tahun 1932, yang paling terkenal dalam sejarah modern

Thailand dan merupakan momen kudeta yang tidak berdarah. Peristiwa ini juga dikenal sebagai “Revolusi Siam” yang merupakan momen titik balik dalam sejarah Thailand. Ketika pemerintahan monarki absolut Kerajaan digulingkan yang sudah berkuasa selama 7 abad dan membentuk monarki konstitusional.

Thailand masih saja dirundung rangkaian kudeta yang tak berkesudahan. Pada

35Surya Yudha Regif, 2009, Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap Thailand Pasca Kudeta Militer Thailand Pada Tahun 2006 Dalam Ruang Lingkup ASEAN, Skripsi, Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Sumatera Utara, hal. 36-37. 36Pakpahan Mukhtar, 2006, Ilmu Negara dan Politik, Jakarta : Bumi Intitama Sejahtera, hal. 103.

35

awalnya kudeta di Thailand bersifat elit dan hanya melibatkan para pimpinan militer dan birokrat tinggi di sekitar Raja. Oleh karena kudeta yang bersifat elit maka kudeta yang terjadi di Thailand nyaris tidak melibatkan masyarakat.

Kudeta yang terjadi pada tahun 1932, tepatnya pada 24 Juni 1932 yang diprakarsai oleh empat kelompok yang berbeda yaitu, perwira militer senior, perwira militer yunior, perwira angkatan laut dan pegawai pemerintah. Kelompok

- kelompok pelaku kudeta tersebut menjuluki diri mereka sebagai “People

Party”. Kudeta yang dijalankan oleh “People Party”di Thailand ini mengakhiri kejayaan monarki absolut yang pada saat itu dipegang oleh dinasti Chakri.37 Raja yang berkuasa saat itu adalah Raja Prajadiphok, dan akhirnya memberikan kekuasaannya.38 Peristiwa kudeta 1932 ini tidak hanya sekedar menjadi suatu peristiwa dimana bentuk negara berubah akan tetapi juga menjadi titik awal bagi pihak militer untuk masuk ke pemerintahan dan menguasainya.

Peristiwa ini juga menjadi titik awal masuknya pihak militer ke dunia politik. Militer tidak hanya berperan untuk menjalankan fungsi utamanya sebagai pertahanan dan keamanan negara tetapi juga ikut berperan serta dalam menjalankan roda pemerintahan juga mempengaruhi jalannya pemerintahan.

Militer menjadi salah satu kekuatan politik, bersama dengan kekuatan politik sipil guna merebut kekuasaan Raja Prajadiphok.39

Pihak sipil dipimpin oleh Pridi Phanomyong, sedangkan militer dipimpin oleh Kolonel Phraya Phahon Phompyayuhasena dan Mayor Phibunsongkhram.

37Paul M. Handley, 2006, The King Never Smiles : A Biography of Thailand’s Bhumibol Adulyadej, New Haven & London : Yale University Press, hal. 42-44. 38Raja Prajadiphok turun tahta pada Februari tahun 1935. 39Yulia Kusumawardani, 2012, Pengaruh Hubungan Raja-Militer Di Thailand Terhadap Konstitusi 2007, Skripsi, Program Studi Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia, hal. 27-28.

36

Meskipun kubu sipil dan militer bisa bersatu dalam usaha untuk merebut kekuasaan pada tahun 1932, namun setelah tujuan tersebut tercapai kedua kubu ini saling berebut kekuasaan pemerintahan.40

Persaingan antara sipil dan militer bisa dilihat dari seringnya ada pergantian perdana menteri. Pada saat itu kudeta terjadi karena kondisi perekonomian Thailand yang semakin parah. Krisis ekonomi yang terjadi di

Thailand pada tahun 1930-an yang menjadi awal munculnya Revolusi 1932.41

Dan membuat turunnya harga komoditas ekspor.42 Untuk mengurangi beban pemerintah, maka Raja Prajadiphok pun akhirnya mengeluarkan kebijakan untuk penghematan ekonomi dengan cara memberhentikan (PHK) sebagian pegawai - pegawai pemerintah sipil maupun militer, pemotongan pos anggaran gaji dan promosi pegawai pemerintahan sipil - militer, serta mengeluarkan kebijakan pajak penghasilan bagi pegawai - pegawai pemerintah sipil maupun militer.43

Kebijakan tersebut dirasa tidak adil bagi pegawai pemerintah sipil maupun militer, karena bagi mereka hanya mengandalkan gaji sebagai pendapatan utama.44 Karena kondisi ini berbanding terbalik dengan keadaan para bangsawan dan anggota kerajaan, meskipun para bangsawan dan anggota kerajaan terkena pajak, mereka tidak terlalu khawatir karena mereka masih memiliki sumber pendapatan selain gaji utama. Situasi kesenjangan ini membuat kondisi rakyat

40Ibid., hal. 28. 41John L. S. Girling, 1981, Thailand : Society and Politics, London : Cornell University Press, hal. 58. 42Komoditas ekspor yang terkenal pada saat itu adalah beras, kayu, karet dan timah. 43John L. S. Girling, 1981, Thailand : Society and Politics, London : Cornell University Press, hal. 59. 44Ibid.

37

kelas menengah ke bawah menjadi sengsara, baik mereka yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan.

Setahun setelah Revolusi 1932, pada tahun 1933 terjadi lagi kudeta, pihak militer melakukan kudeta untuk melengserkan kekuasaan Perdana Menteri Siam pertama setelah kudeta Revolusi 1932. Militer kembali melakukan kudeta pada tahun 1933 terhadap Perdana Menteri Phraya Manopakorn Nititada yang hanya memerintah selama tujuh bulan.45 Pemerintahannya dianggap militer dan telah mengarah pada diktator. Kemudian posisinya digantikan oleh Phraya Phahon menjadi perdana menteri kedua Thailand dan hanya menjabat selama lima tahun kedepan. Penyebab berakhir pemerintahannya yaitu karena pemilu. Pasca

Revolusi 1932, hubungan Raja dengan pihak militer mengalami pasang surut.

Pada tahun 1947 kembali terjadi kudeta yang dilakukan pihak militer untuk melengserkan kekuasaan Laksamana Muda Thawan Thamrongnavaswadhi yang dipenuhi dengan skandal dan korupsi. Kudeta ini dipimpin oleh Jenderal

Phin Choonhavan. Kemudian pada tahun 1947 sampai 1948, Khuang

Abhaiwongse yang juga sebagai pendiri partai demokrat Thailand menjadi perdana menteri. Tepatnya pada 8 November 1948, perdana menteri Khuang

Abhaiwongse melakukan pengunduran diri karena kudeta yang dipimpin oleh komite kudeta.

Selama satu dekade sejak berakhirnya monarki absolut, tercatat bahwa militer lebih menguasai posisi perdana menteri. Setelah kudeta tahun 1947,

Phibunsongkhram berperan penting dalam peristiwa tersebut dan ia berhasil

45Joe Studwell, 2015, Asian Godfathers : Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa, Cetakan 1, Jakarta : PT Pustaka Alvabet, hal. 341.

38

merebut kursi perdana menteri pada tahun 1949.46 Setelah tahun 1947, hubungan raja dengan pihak militer kembali mengalami pasang surut. Raja tidak memiliki kontrol atas militer sehingga militer menjadi penguasa tunggal pemerintahan.

Namun, pada saat kepemimpinan Perdana Menteri , hubungan raja dengan militer kembali membaik.

Selama pemerintahan Phibunsongkhram melakukan fasisme namun aksinya terlupakan dengan cara membawa Thailand ke Perang Korea dan berada di pihak Amerika Serikat. Sejak saat itulah bantuan uang dari Amerika Serikat mengucur ke Thailand dengan kepentingan sebagai benteng melawan komunisme regional. Karena kedekatan Thailand dengan Amerika Serikat inilah,

Phibunsongkhram meneruskan kebijakan - kebijakan anti-Chinanya.47

Pada tahun 1951, perdana menteri Phibunsongkhram menjadi salah satu korban dalam upaya kudeta di Thailand yang dipimpin oleh Panglima Tertinggi

Phin Choonhavan. Peristiwa ini terjadi pada saat menghadiri upacara di atas kapal perang Sri Ayutthaya, Phibunsongkhram disandera oleh sekelompok perwira angkatan laut yang mengajukan berbagai tuntutan kepada pemerintah di .

Namun, negosiasi yang dilakukan gagal dan angkatan udara Thailand yang berpihak kepada angkatan laut mengebom dan menenggelamkan kapal perang.

Namun, perdana menteri Phibunsongkhram selamat dengan cara berenang ke pantai.

Pemerintahan perdana menteri yang berasal dari pihak sipil hanya bertahan sebentar saja yaitu pada tahun 1945 - 1947. Pihak militer yang sempat

46Ibid. 47Ibid.

39

menjadi pihak yang kalah dari pihak sipil, sukses meraih kembali kekuasaan di pemerintahan setelah adanya peristiwa pembunuhan Raja .48 Raja

Ananda Mahidol terbunuh di istana akibat luka tembakan pada tanggal 9 Juni

1946. Tidak jelas perihal kasus kematian Raja Ananda Mahidol. Hingga saat ini pelaku pembunuhan belum diketahui meskipun sudah disebutkan ada tiga teori yang muncul mengenai peristiwa pembunuhan Raja Ananda Mahidol.49 Raja

Bhumibol Adulyadej naik tahta sebagai Raja pada usia 18 tahun, setelah mangkatnya Raja Ananda Mahidol karena peristiwa pembunuhan.

Pada tahun 1957 terjadi lagi kudeta yang tidak berdarah yang dilakukan pihak militer ketika Raja Bhumibol Adulyadej sedang berada di Lausanne, Swiss.

Pelaku kudeta kemudian menunjuk Jenderal Phibunsongkhram sebagai perdana menteri. Ketika pemilu parlemen tahun 1957 menetapkan kembali kekuasaan

Phibunsongkhram yang terpilih sebagai perdana menteri, namun prosesnya diyakini penuh kecurangan.

Protes pun terjadi, karena dirasa proses pemilu terdapat kecurangan dan massa menggelar aksi demo di beberapa wilayah. Protes massal yang terjadi di

Thailand inilah yang membuat Raja Bhumibol Adulyadej tidak senang dengan keadaan ini. Akhirnya, pada tahun 1957, pemerintahan Phibunsongkhram dilengserkan dalam satu kudeta oleh orang kepercayaannya yang paling loyal yaitu Panglima Tertinggi Sarit Thanarat. Setelah peristiwa tersebut,

48John L. S. Girling, 1981, Thailand : Society and Politics, London : Cornell University Press, hal. 108. 49Paul M. Handley, 2006, The King Never Smiles : A Biography of Thailand’s Bhumibol Adulyadej, New Haven & London : Yale University Press, hal. 75-76.

40

Phibunsongkhram mengasingkan diri ke Jepang dan beliau meninggal dunia di sana pada tahun1964.50 Dan kemudian baru terjadi kudeta lagi pada tahun 1958.

2.2.2. Kudeta Antara Tahun 1958 - 1992

Setelah Panglima Tertinggi Sarit Thanarat melakukan kudeta pada pemerintahan Phibunsongkhram dan dipilihlah sebagai pemegang kekuasaan sementara pada tahun 1958. Setelah kekuasaan sementara dipegang

Pote Sarasin tahun 1957 - 1958 dan lengsernya pemerintahan Pote Sarasin karena pemilu. Panglima Tertinggi Sarit Thanarat menggulingkan pemerintahan dengan melakukan kudeta pada tahun 1958 pada pemerintahan Thanom Kittikachon.

Pemerintahan militer pun menjadi semakin berkuasa setelah kudeta yang dilakukan oleh Sarit Thanarat. Setelah kudeta kedua yang terjadi di tahun yang sama, Sarit Thanarat sadar bahwa ketidakstabilan politik yang terjadi karena angkatan bersenjata tidak memiliki kekompakan. Pada masa pemerintahannya,

Perdana Menteri Sarit Thanarat fokus membangun ekonomi Thailand, sehingga merugikan perkembangan pemerintahan perihal demokrasi. Namun, pada saat itu perekonomian Thailand berkembang dengan pesat dan memperkuat sektor bisnis.

Perdana Menteri Sarit Thanarat berkuasa sejak tahun 1959, beliau dikenal sebagai pemimpin yang otoriter. Meski pemerintahan Perdana Menteri Sarit

Thanarat terkenal otoriter, justru pada masa inilah Raja Bhumibol Adulyadej didorong Sarit Thanarat untuk banyak tampil di muka umum, dengan cara melakukan kunjungan ke provinsi - provinsi, yang merupakan suatu hal berbanding terbalik yang justru sangat dilarang di era sebelum Perdana Menteri

50Joe Studwell, 2015, Asian Godfathers: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa, Cetakan 1, Jakarta : PT Pustaka Alvabet, hal. 341.

41

Sarit Thanarat.51 Usaha yang dilakukan Raja Bhumibol Adulyadej dan Perdana

Menteri Sarit Thanarat, membuahkan hasil dengan bentuk rasa hormat dari masyarakat desa yang berada di pedalaman. Bahkan, menurut Kharabi munculnya komunis pada pemerintahan Sarit Thanarat justru memaksa Raja untuk bersekutu kuat dengan militer.52

Sebelumnya, Raja Bhumibol Adulyadej tidak populer di kalangan masyarakat umum, namun lambat laun menjadi terkenal. Meskipun Raja

Bhumibol pada akhirnya dikenal oleh masyarakat umum, McCargo adalah profesor politik Asia Tenggara, yang berpendapat bahwa semua usaha yang dilakukan Perdana Menteri Sarit Thanarat hanyalah untuk melegitimasi kekuasaan dan program - program pemerintahan Sarit Thanarat.53 Raja Bhumibol Adulyadej memberi pernyataan pada publik secara berkala mengenai keadaan politik

Thailand yang tidak menentu, pada akhir tahun 1960.

Di tahun 1972, mahasiswa melakukan demonstrasi anti produk Jepang dan

Raja Bhumibol pun memberikan dukungannya. Pada masa pemerintahan Sarit

Thanarat, Raja dan militer berbagi kekuasaan dalam pemerintahan. Kondisi ini terjadi karena munculnya ancaman dari luar yaitu paham komunisme yang kemudian menjadi alasan untuk bersatunya Raja dan pihak militer.

51John L. S. Girling, 1981, Thailand : Society and Politics, London : Cornell University Press, hal. 112. 52Op. Cit. 53Duncan McCargo, “Network Monarchy and Legitimacy Crises in Thailand”, The Pacific Review, 18:4, hal. 499-519.

42

Pada awal tahun 1970-an, kondisi perpolitikan Thailand sedang tidak stabil.54 Pihak militer Thailand mulai kehilangan “power” karena mendapatkan kritik tajam dari kalangan masyarakat sipil. Pemerintahan Perdana Menteri

Thanom yang notabene berasal dari pihak militer, semakin tak terkendali.

Korupsi, kolusi, nepotisme, kekerasan dan tidak kompeten dalam pemerintahan serta perilaku yang hanya mementingkan diri sendiri merupakan kondisi era

Thanom. Kondisi pemerintahan Thanom yang buruk menimbulkan gelombang oposisi masyarakat.

Perekonomian Thailand kembali mengalami defisit pada tahun 1969 dan

1970. Karena kondisi perekonomian inilah yang akhirnya mendorong masyarakat guna menyatukan suara penuntutan penyusunan konstitusi baru. Berbagai kalangan di masyarakat umum termasuk Raja, menuntut akan adanya suatu konstitusi yang baru dan nyata di Thailand. Bahkan mahasiswa di Thailand membentuk perkumpulan yang disebut NSCT (National Student Center of

Thailand), pada saat itu Raja juga memberikan dukungannya.

Sementara di kubu militer terjadi faksionalisasi, disorganisasi dan hilangnya tujuan militer. Setiap kelompok di kalangan masyarakat berdemonstrasi, menuntut adanya suatu konstitusi yang lebih demokratis.55

Keinginan masyarakat Thailand akan adanya konstitusi yang demokratis akhirnya direspon oleh pihak militer dengan cara kekerasan yaitu melakukan penangkapan terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi. Faksionalisasi memuncak pada bulan

54John L. S. Girling, 1981, Thailand : Society and Politics, London : Cornell University Press, hal. 114. 55David Morell, “Political Conflict in Thailand”, Asian Affairs, Vol, 3, No, 3 (Jan-Feb 1976), hal. 151-184. Diunduh dari : www.jstor.org/stable/30171893, diakses pada tanggal 10 April 2019 pukul 18:20 WIB.

43

Oktober dengan tindakan penangkapan mahasiswa oleh militer, dan inilah yang kemudian memicu peristiwa berdarah “Student Revolt” pada tahun 1973.56

Permasalahan faksionalisasi dikarenakan adanya perbedaan pandangan diantara faksi - faksi dalam organisasi militer dalam menyikapi kekuasaan militer dan membuat militer terpecah menjadi 3 kelompok yaitu:57

1. The Young Turks

Ide utama berdirinya kelompok ini adalah untuk meningkatkan

profesionalisme Angkatan Darat dan memiliki tujuan untuk

mereformasi serta membangun kembali kehormatan dan reputasi

militer pasca “Student Revolt”. Kelompok ini terdiri dari para

perwira kelas menengah dan merupakan komandan resimen utama

yang berpengaruh pada 1970. Para perwira ini merupakan angkatan

ke-7 Akademi Militer Chulachumklao.

2. Class 5

Tujuan didirikan kelompok ini adalah menjadi kelompok penekan

The Young Turks yang dianggap tidak hormat terhadap senior.

Kelompok ini terdiri dari para perwira senior militer angkatan ke-5

Akademi Militer Chulachumklao yang diketuai oleh Jenderal

Suchinda. Para perwira ini tidak memiliki agenda politik atau

reformasi, melainkan hanya ingin memastikan bahwa

kesejahteraan para perwira angkatan ke-5 terjamin.

56 Kurnia Candra Sartika, 2018, “Identifikasi Politik Militer Dalam Masa Transisi Demokrasi”, Skripsi, Salatiga: Program Studi Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Kristen Satya Wacana, hal. 58. 57Op. Cit., hal. 58-59.

44

3. Democratic Soldiers

Kelompok ini mempunyai pandangan bahwa sistem demokrasi bisa

mengalahkan komunisme, namun ide yang diberikan tidak jelas

dan terlihat hanya sebagai upaya untuk mencari alasan agar pihak

militer dapat berpolitik. Kelompok ini terdiri dari dosen - dosen

perwira Akademi Militer Chulachumklao dan Sekolah Angkatan

Darat yang mempunyai hubungan dengan ISOC (Internal Security

Operation Command) dan mendapatkan dukungan dari CPT

(Community Party Thailand). Para Jenderal pendukung kelompok

ini antara lain yaitu, Jenderal Chauvalit Yongchaiyudh, Jenderal

Prem Tinsulanonda dan Jenderal Harn.

Raja Bhumibol Adulyadej yang tidak pernah mengintervensi politik

Thailand, akhirnya mengintervensi dengan cara mengasingkan Perdana Menteri

Thanom dan Praphat Charusathien sebagai Wakil Perdana Menteri keluar dari

Thailand pada tahun 1973. Menurut McCargo, ada alasan dibalik intervensi Raja

Bhumibol Adulyadej yaitu :58

“Frustrated with the shortcomings of the military, bureaucratic and political leadership, he played an important role in supporting the ouster of strongmen and Praphas Charusathien in 1973 ”

[“Frustasi dengan kelemahan dari militer, birokrasi dan kepemimpinan politik, dia (Raja Bhumibol) memainkan peranan penting dalam mendukung pengasingan Thanom Kittikachorn dan Praphas Charusathein di tahun 1973”]

58Duncan McCargo, “Network Monarchy and Legitimacy Crises in Thailand”, The Pacific Review, 18:4, hal. 499-519.

45

Akibat dari intervensi ini perpolitikan di Thailand berubah, militer tidak lagi menjadi dominan dalam politik Thailand karena kehadiran Raja Bhumibol

Adulyadej. Raja Bhumibol Adulyadej yang kemudian dianggap sebagai simbol pemersatu bagi aspirasi rakyat dan akhirnya dapat menguasai militer. Walaupun secara konstitusi Raja hanya bersifat seremonial saja. Aksi - aksi protes mahasiswa menjadi suatu bentuk kesadaran berpolitik dan membuka jalan upaya demokratisasi. Sejak tahun 1973, Raja Bhumibol Adulyadej daripada membuat rezim pluralis yang kompetitif, raja justru mengajukan diri dalam perpolitikan

Thailand dan menjadi pemain utama.

Peristiwa demonstrasi di tahun 1973 menjadikan raja sebagai penguasa atas militer. Berkuasanya Raja atas militer ditunjukkan dengan perintah Raja untuk mengusir keluar Perdana Menteri Thanom Kittikachorn dan Wakil Perdana

Menteri Praphas Charusathein. Pada tahun 1976, Raja Bhumibol Adulyadej mengizinkan Thanom Kitikachon kembali ke Thailand. Meskipun di tahun 1973 raja mengusir Thanom Kittikachon yang merupakan orang militer terkait dengan peristiwa “Student Revolt”.

Kekuasaan militer atas pemerintahan sipil setelah peristiwa demonstrasi

1973 menjadi berkurang. Sipil menjadi penguasa pemerintahan namun kekuasaan sipil di pemerintahan Thailand tidak bisa berjalan lama. Setelah pemerintahan sipil gagal menerapkan demokrasi konstitusional, pihak militer yang dipimpin

Jenderal Kriangsak Chomanan melakukan kudeta dan memerintah pada periode

1977 - 1979. Selama masa pemerintahan Perdana Menteri Kriangsak Chomanan berperan sebagai penghubung antara pihak militer dan pihak sipil. Perdana

46

Menteri Kriangsak Chomanan dianggap berjasa karena mampu menciptakan persatuan nasional dengan membentuk koalisi di antara kubu sipil dan kubu militer.

Selama masa pemerintahannya, Kriangsak berhasil menyusun konstitusi baru dan pelaksanaan pemilihan umum dilakukan pada tahun 1979. Konstitusi ini pada dasarnya memperkuat sistem eksekutif dan sentralisasi struktural yang bersifat parlementer. Karena, isi konstitusi ini mengatur suatu sistem bikameral59 dimana majelis rendah langsung dipilih dan majelis tinggi langsung ditunjuk oleh

Perdana Menteri dan diangkat oleh Raja. Karena adanya tekanan baik dari internal dan eksternal, ini menandakan berakhirnya masa pemerintahan Perdana Menteri

Kriangsak Chomanan dan ia memilih mengundurkan diri karena tidak lagi memperoleh dukungan dari pihak militer.

Raja Bhumibol Adulyadej kemudian menunjuk Jenderal Prem

Tinsulanonda yang berasal dari kubu militer, yang mana merupakan sekutu raja untuk menjadi perdana menteri di tahun 1980 menggantikan posisi Jenderal

Kriangsak Chomanan. Dengan adanya Perdana Menteri Prem Tinsulanonda, akhirnya raja memiliki seorang pemimpin yang kuat, yang akan selalu menghormati Raja Bhumibol dan akan memimpin pememerintahan dengan nilai - nilai kebajikan yang didukung raja.

Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Prem Tinsulanonda mampu membuat kondisi Thailand stabil, karena usaha - usaha Perdana Menteri Prem

59Sistem bikameral adalah sistem parlemen yang terdiri dari dua kamar atau badan. Kamar pertama (First Chamber) biasa disebut dengan Majelis Rendah atau House of Commons House of Representative, sedangkan kamar kedua (Second Chamber) disebut Majelis Tinggi/Senat atau House of Lords.

47

untuk mendamaikan dan menjadi penengah dalam berbagai macam kepentingan dari berbagai kelompok, baik dari pihak sipil dan militer maupun partai - partai politik. Prem Tinsulanonda selama memimpin sebagai perdana menteri sangat akomodatif terhadap raja.60

Selain itu, dalam buku Raja Bhumibol Adulyadej “The King Never

Smiles”, dijelaskan bahwa Prem Tinsulanonda adalah sosok yang sangat akomodatif dan loyal terhadap hirarki dinasti Chakri dan tak pernah ragu menghormati Raja Bhumibol.61 Pihak kerajaan pun tak segan memberikan dukungan terhadap Prem, terutama ketika pada tahun 1981 pemerintahan Prem mengalami percobaan kudeta. Sebagai bentuk dukungan kerajaan, Raja Bhumibol dan Ratu mendampingi Prem saat berkunjung ke Korat. Sejak saat itu, raja mulai bersikap sebagai “Proactive Participant” dan Prem sebagai “Surrogate

Strongman”.62 Di masa pemerintahan Perdana Menteri Prem Tinsulanonda keadaan politik Thailand tetap tidak menunjukan perubahan ke arah demokratisasi. Dan pemerintahan Prem berakhir setelah diadakan pemilu di tahun

1988.

Pada tahun 1988, berhasil memenangkan pemilu dan terpilih sebagai perdana menteri. Ternyata pada masa pemerintahan Chatichai merusak citra militer dengan cara menjalankan suatu pemerintahan yang korup, lemah dan penuh dengan konflik internal. Terkait dengan militer, pemerintahan

60Johan Kharabi, “The Thai Military : A Political Role”, Asian Journals of Public Affairs, Vol. 3, No. 1. Diunduh dari : http://www.spp.nus.edu.sg/ajpa/issue5/6%20Kharabi.pdf. Diakses pada 18 April 2019, pukul 19:00 WIB. 61Paul M. Handley, The King Never Smiles : A Biography of Thailand’s Bhumibol Adulyadej, (New Haven & London : Yale University Press, 2006), hal. 277. 62Duncan McCargo, “Network Monarchy and Legitimacy Crises in Thailand”, The Pacific Review, 18:4, hal. 499-519.

48

Chatichai Choonhavan telah merusak posisi militer di dalam perpolitikan

Thailand.63 Selain itu, pemikiran Chatichai yang independen dianggap sebagai suatu usaha untuk mengubah basis politik yang telah dibangun oleh Raja

Bhumibol dan Prem Tinsulanonda.64

Pemerintahan Chatichai Choonhavan akhirnya harus berakhir melalui kudeta militer yang dilakukan oleh NPKC (National Peace Keeping Council) pada tahun 1991.65 NPKC sebagai pelaku utama kudeta militer terhadap pemerintahan Chatichai Choonhavan dan kemudian menduduki pemerintahan.

Supaya diterima di masyarakat luas, NPKC menunjuk yang merupakan seorang diplomat handal sebagai perdana menteri sementara. NPKC kemudian menjadi pihak yang berkuasa dalam pemerintahan Thailand yang diketuai oleh Jenderal Sunthorn Kongsompong dan wakil ketua Jenderal Suchinda

Kraprayoon.

Meskipun kudeta militer 1991 dikatakan sukses, namun tidak berarti menggambarkan kekuatan militer saat itu. Justru sebaliknya, kudeta militer pada tahun 1991 menunjukkan bahwa kekuatan militer tidak lagi sekuat era 1950 dan

1960. Dan setahun kemudian setelah kudeta, pemerintahan Anand menyetujui konstitusi baru dan mengadakan pemilu. Pada tahun 1992 disetujui konstitusi baru dan diadakan pemilu yang dimenangkan partai bentukan junta militer yaitu partai

63D.R. Sardesai, Southeast Asia : Past & Present, 4th edition (Colorado : Westview Press, 1997), hal. 261. 64Op. Cit. 65Nationaal Peace Keeping Council (NPKC) merupakan junta militer yang melengserkan pemerintahan Chatichai Choonhavan pada tahun 1991. Junta militer ini dipimpin oleh Jenderal Sunthom Kongsompong dan Jenderal .

49

Sammakitham. NPKC mengajukan Jenderal Suchinda Kraprayoon sebagai perdana menteri.

Jenderal Suchinda kemudian naik menjadi perdana menteri, namun tidak lepas dari permasalahan. Permasalahan yang dihadapi terkait dengan diangkatnya menjadi perdana menteri. Menurut partai - partai prodemokrasi yang dipimpin

Mayor Jenderal , calon perdana menteri seharusnya berasal dari parlemen, bukan dari luar parlemen. Di kalangan masyarakat, juga mempunyai tuntutan yang sama. Dominasi militer semakin memudar karena liberalisasi yang telah berkembang di masyarakat.

Junta militer harus mengizinkan berkembangnya liberalisasi sampai pada tahap tertentu dan menjanjikan adanya konstitusi yang baru serta pemilu dalam waktu satu tahun dalam rangka menenangkan elemen - elemen liberal yang saat itu sedang berkembang. Langkah - langkah kerjasama yang dilakukan NPKC mendapatkan kritikan. Dan gelombang demokrasi di masyarakat semakin menguat ketika pihak junta militer berusaha untuk meneruskan kekuasaannya pasca pemilu pada tahun 1992.66

Hal ini menimbulkan perdebatan diantara parpol prodemokrasi dan berujung adanya banyak protes - protes massal yang terjadi setelah pemilu 1992 dan berakhir dengan revolusi di bulan Mei 1992. Raja kembali mengintervensi politik Thailand dengan cara memanggil Suchinda Kraprayoon dan Chamlong

66Junta militer (NPKC) membentuk parpol yaitu Sammakitham. Dalam pemilu tahun 1992, Sammakitham meraih suara terbanyak, di parlemen meraih 74 kursi. Partai Sammakitham didukung oleh Partai Chart Thai dan SAP, yang kemudian sering dikenal sebagai partai promiliter. Partai ini kemudian mengeluarkan sebuah pernyataan untuk mendukung pemimpin junta militer yaitu Jenderal Suchinda Kraprayoon sebagai perdana menteri. Permasalahan muncul karena berdasarkan peraturan, perdana menteri harus berasal dari anggota parlemen terpilih, sementara Suchinda bukanlah anggota parlemen terpilih.

50

Srimuang untuk melakukan pertemuan. Pada masa ini Raja Bhumibol Adulyadej ikut andil mengambil peran, dan hasil dari pertemuan ini akhirnya Suchinda

Kraprayoon mengundurkan diri dari jabatannya sebagai perdana menteri, dan

Chamlong Srimuang ditunjuk menjadi perdana menteri sementara oleh Raja.

Pasca peristiwa pengunduran diri Perdana Menteri Suchinda Kraprayoon, kekuasaan militer atas pemerintahan sipil berkurang. Dan peristiwa Mei 1992 menjadi titik balik revolusi Thailand untuk berdemokrasi dan disusunnya sebuah

Konstitusi 1992 yang dijuluki dengan “Konstitusi Rakyat” karena didalamnya berisi pasal - pasal yang lebih demokratis. Kemajuan demokratisasi di Thailand berhasil mendorong pihak militer untuk mendukung proses demokrasi dan memberi pengakuan terhadap supremasi sipil. Setelah peristiwa yang terjadi pada tahun 1992, negara yang mempunyai julukan gajah putih, tidak lagi terjadi kudeta.

Pemilihan Perdana Menteri selalu melalui proses pemilu. Namun pada tahun

2001-2006 baru terjadi lagi kudeta militer untuk melengserkan pemerintahan

Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.

2.2.3. Kudeta Antara Tahun 2001-2006

Pemilu yang diadakan pada tahun 2001 merupakan awal dari kebangkitan proses demokratisasi yang harmonis di Thailand. Pemilu 2001 merupakan pemilu pertama sejak diberlakukannya Konstitusi Rakyat 199767, dimana sejak tahun

1990-an pergantian kekuasaan pemerintahan selalu terjadi dengan kudeta militer.

Pada tahun 2001, partai TRT (Thai Rak Thai) memenangkan pemilu di Thailand

67 Constitution of the Kingdom of Thailand 1997, diakses dari http://www.asianlii.org/th/legis/const/1997/. (18/4/2019, 18:15 WIB).

51

yang diselenggarakan pada tanggal 6 Januari 2001.68 Thaksin Shinawatra adalah pendiri partai TRT pada tahun 1998 dan mendominasi perpolitikan di Thailand pada abad ke-21.

Pemilu yang berjalan demokratis yang diikuti 37 Partai Politik, namun dari sekian banyaknya partai yang ikut merayakan pesta demokrasi ini hanya tersedia

500 kursi di parlemen. Hasil perolehan suara dalam pemilu 2001 yang memperebutkan 500 kursi di parlemen berhasil diraih partai TRT sebanyak 248 kursi di parlemen.69 Tabel dibawah ini adalah perolehan pemilihan umum pada tahun 2001 di Thailand.

Tabel 2.1 Hasil Pemilihan Umum Tahun 2001 di Thailand Partai Kursi

Thai Rak Thai 248 Democrat 128 New Aspiration 26 Chart Pattana 29 Seritham 14 Chart Thai 41 Ratsadom 2 Social Action 1 Thin Thai 1 Mahacon - Sumber : National Election Commision 2001

Dari tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa kemenangan partai Thai Rak

Thai pada pemilu 2001 berhasil meraih 248 kursi dan mengungguli partai

Democrat yang hanya meraih 128 kursi di parlemen. Kemenangan ini membawa

Thaksin Shinawatra berada dipuncak kekuasaan Thailand. Bersama partainya,

68Diakses dalam http://www.ipu.org/parline-e/reports/arc/2311 01.htm. (18/4/2019, 19:30 WIB). 69Harsa Arizki Nurulsrihanto, 2014, Pengaruh Thaksin Shinawatra Dan Terhadap Konflik Politik Internal Di Thailand 2001-2014, Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Paramadina, hal. 12.

52

Thaksin berhasil menjalankan kebijakan - kebijakan populis. Thaksin juga mendapat dukungan dari masyarakat menengah ke bawah, khususnya kaum petani dan kaum borjuis yang berada di Thailand bagian Utara dan bagian Timur Laut.70

Konstitusi 1997 menjadi landasan pelaksanaan sistem politik dan pemerintahan yang baru di Thailand yang lebih menekankan terhadap perlindungan hak dan kebebasan rakyat serta menjamin partisipasi yang lebih terbuka bagi publik dalam pelaksanaan pemerintahan. Konstitusi 1997 juga bertujuan untuk memperkuat sistem pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan negara yang dijalankan oleh pemerintah melalui pembentukan badan - badan negara yang bersifat independen dari tindakan intervensi pemerintahan, sekaligus membentuk struktur politik dan pemerintahan yang lebih stabil dengan cara memperkuat kedudukan pemerintah sebagai penyelenggara negara.

Dalam Konstitusi 1997, Thailand merupakan salah satu bentuk perwujudan dari jaminan perluasan partisipasi politik rakyat, melalui pemberian jaminan kebebasan untuk pembentukan suatu partai politik baru, sesuai dengan amanat pasal 4771 :

“A person shall enjoy the liberty to unite and form a political party for the purpose of making political will of the people and carrying out political activities in fulfilment of such will through the democratic regime of government with the

King as Head of the State as provided in this Constitution”.

70“Additional Information Thai Government vs UUD (Red Shirts): The UCDP Take on the Violence in Bangkok During the Red Shirt Protests of April and May 2010”, hal. 1-6. Diunduh dari: http://www.ucdp.uu.se/gpdatabase/info/THI.1.pdf, diakses pada tanggal 16 april 2019, pada pukul 21:00 WIB. 71Harsa Arizki Nurulsrihanto, 2014, Pengaruh Thaksin Shinawatra Dan Terhadap Konflik Politik Internal Di Thailand 2001-2014, Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Paramadina, hal. 13.

53

Pada masa pemerintahan Thaksin Shinawatra, Thailand memiliki demokrasi yang berkembang dengan kebebasan berekspresi, pers terbuka dan relatif bebas serta masyarakat sipil yang aktif, dimana gerakan sosial berkampanye untuk melindungi kepentingan rakyat borjuis. Kemenangan Thaksin

Shinawatra saat itu tepat bersamaan dengan terjadinya krisis finansial di Asia.

Pemerintahan Thaksin berupaya keluar dari krisis dengan cara menggunakan kekayaannya dalam mengendalikan perekonomian di daerah pedesaan.

Hal ini juga meningkatkan kesejahteraan petani pedesaan pasca krisis finansial dan berhasil mengeluarkan Thailand dari ketergantungan pinjaman dana

IMF (International Monetary Fund). Thaksin membuktikan bahwa Thailand merupakan salah satu negara yang bisa cepat keluar dari krisis Asia. Thaksin menjadi sangat populer karena kebijakan - kebijakan yang pro-rakyat. Kebijakan - kebijakan populis Thaksin meliputi kebijakan - kebijakan dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Pada masa pemerintahan Thaksin, Thailand mampu memulihkan perekonomian negara. Oleh karena itu, Thaksin mewakili sebagian pemimpin Thailand yang menentang dominasi nexus (politisi, birokrat dan militer) yang sangat berpengaruh sejak tahun 1932 dalam perpolitikan di

Thailand.

Pada awal pemerintahannya dengan kebijakan - kebijakan populis,

Thaksin bisa membawa dampak positif terhadap pemulihan dari krisis ekonomi yang melanda Aia Tenggara. Kebijakan dalam bidang ekonomi dikenal dengan

“Thaksinomics”. Prioritas Thaksinomics berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, perdagangan bebas, dan penggunaan sistem kapitalisme di dalam negera. Dengan

54

latar belakang sebagai pengusaha maka pada masa pemerintahannya, Thaksin juga menerapkan strategi yang sama seperti yang digunakan dalam mengelola perusahaannya.

Dengan demikian dalam strategi pemerintahan yang dijalankan, pembangunan dalam bidang ekonomi menjadi prioritas utama. Perekonomian

Thailand berjalan secara dinamis yang berorientasi pada penguatan sektor - sektor ekonomi rakyat yang tidak terlepas dari kebijakan - kebijakan populis Thaksin

Shinawatra.72 Pada masa pemerintahan Thaksin Shinawatra, rakyat miskin baik di perkotaan maupun pedesaan merasakan dampak yang signifikan dari implementasi kebijakan Thaksin.

Rakyat menganggap bahwa, Thaksin merupakan pemimpin yang memikirkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat kalangan menengah ke bawah.

Hal ini juga merupakan faktor kecintaan rakyat borjuis terhadap sosok perdana menteri pertama, yang mau turun langsung (berkunjung) ke pelosok desa untuk mendengarkan aspirasi rakyat yang peduli akan nasib rakyat borjuis. Selama memimpin, Thaksin telah mengeluarkan beberapa kebijakan. Beberapa dari kebijakan tersebut berdampak positif bagi masyarakat Thailand, seperti kebijakan bantuan asuransi perawatan kesehatan, kredit murah, penyaluran kredit sebesat 1 juta Baht per tahun satu desa guna membangun industri kecil, membeli beras petani diatas harga pasar, moratorium hutang tiga tahun bagi petani, serta kebijakan OTOP (One Tambon One Product), dsb.

72Robert Looney, Thaksionomics A New Asian Paradigm, diunduh dari : http://www.relooney.fatcow.com/Rel.JSPES04.pdf, diakses pada tanggal 19 April 2019, pada pukul 19:45 WIB.

55

Kebijakan yang disusun Thaksin memang sangat menguntungkan bagi rakyat kecil, namun disisi lain juga menjadi ancaman bagi para elit Thailand terhadap dominasi ekonomi dan politik. Meskipun Thaksin Shinawatra mengeluarkan beberapa kebijakan yang berdampak posistif bagi masyarakat

Thailand, Thaksin juga mengeluarkan kebijakan yang berdampak negatif. Dua kebijakan yang berdampak negatif yang tersoroti yaitu kebijakan terkait di daerah selatan Thailand dan kebijakan anti narkoba.

Terkait dengan kebijakan kasus pemberantasan narkoba yang dipermasalahkan oleh publik Thailand adalah mengenai cara - cara yang digunakan oleh pemerintahan Thaksin untuk memberantas narkoba. Selama ini, kasus narkoba identik dengan Thailand karena Thailand menjadi salah satu negara yang berada di kawasan penghasil narkoba terbesar di dunia atau yang biasa dikenal dengan kawasan “Segitiga Emas”.73 Akibatnya, banyak kasus kejahatan yang muncul karena narkoba di Thailand dan yang meresahkan publik yaitu pada kenyataannya bahwa narkoba telah mempengaruhi generasi muda Thailand.

Untuk kasus ini, sebenarnya pemerintahan Thailand telah menjalankan program pemberantasan narkoba sejak 1982 namun upaya ini tidak terlalu berhasil.

Thaksin merasa harus tanggap terhadap masalah narkoba kemudian membuat kebijakan pemberantasan narkoba yang dikenal dengan“The Wars on

Drugs”. Untuk mewujudkan kebijakannya pada tanggal 28 Januari 2003, Thaksin mengeluarkan peraturan Prime Ministerial Order No. 29/2546 yang berisi

73Syahbuddin Mangandaralam, 1987, Mengenal Dari Dekat Thailand : Lumbung Padi Asia Tenggara, Bandung : CV. Remadja Karya, hal. 65-72.

56

petunjuk - petunjuk atau arahan - arahan dalam memberantas narkoba.74 Petunjuk

- petunjuk atau arahan - arahan inilah yang menyebabkan permasalahan di kemudian hari.

Menurut Mutebi, peraturan yang dibuat oleh pemerintahan Thaksin sebenarnya lebih menekankan pada cara - cara persuasif seperti pendidikan dan peningkatan kesadaran di masyarakat dan diperlakukan layaknya “pasien” bukan

“penjahat” kepada pasien pengguna narkoba. Namun, ternyata dalam penerapan di lapangan sangat berbeda dengan isi Prime Ministerial Order No. 29/2546.75

Pemerintahan Thaksin memberikan intensif bonus kepada para polisi untuk menangkap para pedagang narkoba yang telah dicurigai. Besarnya bonus tergantung dari banyaknya tersangka yang ditangkap.

Dengan adanya intensif bonus ini, tidak mengherankan jika program ini menunjukkan betapa tidak cakapnya Thaksin dalam memerintah. Bahkan,

Amnesty International, yang merupakan sebuah lembaga pemerhati HAM telah menganggap kebijakan ini tidak sesuai dengan HAM karena penerapan di lapangan meniadakan adanya proses hukum sebelum dieksekusi. Meskipun dikecam dan dianggap melanggar HAM oleh masyarakat Thailand dan

Internasional, Thaksin menanggapinya sebagai berikut :

“.....the government’s strategy is to smoke out pushers, who will be eliminated by their own kind. I don’t understand why some people are so concerned about them while neglecting to care for the future of one million children who are being lured into becoming a drug user”.

74Alex M. Mutebi, Thailand in 2003 : Riding High Again, Asian Survey, Vol. 44, No. 1, 2004. 75Ibid.

57

[“.....strategi pemerintah adalah untuk mengusir penjual obat bius, yang tereliminasi oleh kaumnya sendiri. Saya tidak mengerti kenapa beberapa orang sangat peduli dengan mereka sementara melupakan untuk memperhatikan masa depan satu juta anak yang sedamg dipengaruhi untuk menjadi pemakai narkoba”.]76

Dari penyataan Thaksin, dapat disimpulkan bahwa Thaksin menggunakan segala cara dalam memberantas narkoba meskipun harus melanggar HAM. Di sisi lain, terdapat kebenaran dalam pernyataan di atas mengingat narkoba telah mempengaruhi generasi muda Thailand dan banyaknya kasus - kasus kejahatan yang bermunculan karena narkoba.

Kebijakan ini tersorot karena dianggap telah melanggar HAM (Hak Asasi

Manusia). Pada masa ini, rekor pelanggaran HAM terburuk di bawah kepemimpinan Thaksin Shinawatra. Pada tanggal 28 April sampai bulan Oktober

2004 tercatat ada sebanyak 108 warga muslim lokal meninggal dunia. Konflik antara pemerintah pusat dengan wilayah selatan Thailand, sampai pada bulan

Januari 2006 tercatat bahwa total jumlah korban mencapai 1.700 orang.77

Terkait dengan kebijakan yang dibuat Thaksin di daerah selatan Thailand, selain karena masalah HAM, Thaksin Shinawatra juga dianggap telah gagal dalam membangun daerah selatan Thailand yang sebagian penduduknya adalah orang

Muslim Melayu. Muslim Melayu di Thailand merupakan kelompok minoritas dan sejak lama dimarginalisasi oleh pemerintah pusat Thailand. Marginalisasi yang

76Ibid. 77“Rusuh di Thailand Selatan, Enam Orang Tewas”, diunduh dari : http://www.rakyatmerdeka.co.id/internasional/2006/10/18/2003/Rusuh-di-Thailand-Selatan-Enam- Orang-Tewas, diakses pada tanggal 18 April 2019, pada pukul 20:50 WIB.

58

dilakukan oleh pemerintahan pusat Thailand di daerah selatan ada tiga provinsi yaitu Yala, Pattani dan Narathiwat yang kemudian memicu usaha untuk memisahkan diri dari Thailand. Peristiwa yang terjadi di selatan Thailand menjadi semakin rumit karena Thaksin menggunakan cara kekerasan dalam mengatasi konflik yang terjadi. Selain dari segi kebijakan - kebijakan yang dibuat Thaksin selama masa pemerintahannya, ia juga telah dianggap menghina Raja dengan cara mengabaikan segala perintah Raja Bhumibol Adulyadej.

Bagi masyarakat dan pihak militer yang sangat mencintai Raja, perilaku

Thaksin ini dianggap sebagai sikap yang arogan. Thaksin bisa bersikap arogan terhadap Raja karena selama lima tahun masa pemerintahannya, partai Thai Rak

Thai yang dipimpinnya sukses merebut simpati masyarakat pedesaan yang juga merupakan pendukung raja.

Kepopuleran Thaksin Shinawatra ternyata memiliki dampak negatif karena menjadi penyebab konflik perpolitikan di Thailand sejak tahun 2001.

Kemenangan pemilu Thaksin sebanyak dua kali pada tahun 2001 dan tahun 2005 membuat para elit di Thailand panik dan berupaya mencari jalan guna menyingkirkan pengaruh Thaksin dari perpolitikan Thailand. Kebijakan - kebijakan populis Thaksin menjadi alasan kuat bagi kemenangan Thaksin dalam pemilihan umum yang diselenggarakan pada 6 Februari 2005.

Dalam pemilu tahun 2005, partai TRT mengalami peningkatan perolehan suara dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, partai TRT berhasil meraih 375 kursi di Parlemen. Bahkan pemilihan umum tahun 2005 tercatat sebagai pemilu dengan tingkat partisipasi tertinggi dalam sejarah penyelenggaraan pemilu di

59

Thailand. Kemenangan partai TRT untuk yang kedua kalinya dalam pemilu yang diselenggarakan pada tahun 2005, semakin mendominasi kekuasaan Thaksin dan

TRT dalam perpolitikan di Thailand. Dan situasi ini juga didukung oleh

Konstitusi 1997 yang dibentuk guna menjamin stabilitas politik Thailand dengan memperkuat posisi kekuasaan eksekutif.

Berbagai praktek korupsi pada pemerintahan Thaksin Shinawatra seperti memanipulasi konstitusi, memonopoli sistem pemilu, memobilisasi politik uang untuk mendapatkan dukungan dsb. Namun, kasus korupsi yang membuat heboh yang dilakukan Thaksin yaitu ketika menjual saham yang dimiliki oleh keluarga

Thaksin yaitu Shin Corp pada tanggal 23 Januari 2006 kepada pihak asing yaitu

Temasek Holding (perusahaan milik pemerintah) yang merupakan perusahaan telekomunikasi miliknya dianggap sebagai alasan dilakukannya kudeta.

Penjualan saham ini dimaksudkan Thaksin untuk menghindari pemerintahannya dari konflik kepentingan.78 Dari penjualan saham Shin Corp, keluarga Shinawatra dan Damapong telah menambah kekayaan keluarga sebesar

73.3 miliar Baht.79 Menurut Direktur TDRI (Thailand Development Research

Institute), Somkiat Tankitvanij, penjualan saham Shin Corp ke Temasek Holding, sukses menjadikan Temasek sebagai pemegang saham terbesar dengan nilai kepemilikan sebesar 85%.80

78Yulia Kusumawardani, 2012, “Pengaruh Hubungan Raja-Militer Di Thailand Terhadap Konstitusi 2007”, Skripsi, Jakarta: Program Studi Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia, hal. 52. 79Ibid. 80“Takeover Sets Bad Precedents, Forum Told”, diakses dalam http://www.nationmultimedia.com/specials/shincorp/shin40.html (25/4/2019, 19:00 WIB)

60

Tindakan yang dilakukan oleh Thaksin Shinawatra telah memicu kemarahan masyarakat perkotaan di Thailand dan telah dianggap melakukan pelanggaran peraturan dan Thaksin dianggap tidak nasionalis dan patriotis.

Masyarakat berpendapat bahwa penjualan saham menjadi ancaman bagi kedaulatan negara karena perusahaan Shin Corp berkaitan dengan jaringan telekomunikasi di Thailand. Seluruh informasi yang berkaitan dengan telekomunikasi terhubung dengan perusahaan Shin Corp sehingga menyebabkan kekhawatiran masyarakat terhadap kebocoran informasi.

Amarah masyarakat Thailand terhadap penjualan saham perusahaan Shin

Corp disebabkan oleh dual hal. Pertama, hasil dari penjualan saham ini oleh keluarga Thaksin tidak dipungut biaya pajak. Keluarga Thaksin berhasil tidak membayar pajak dengan cara mencari kelemahan security-exchange law. Padahal,

Shin Corp memperoleh bantuan finansial dari Board of Investment yang didanai oleh wajib pajak.81 Kedua, perusahaan Shin Corp adalah perusahaan jaringan telekomunikasi. Salah satu anak perusahaan Shin Corp yaitu AIS Pic (Advanced

Info Service) merupakan perusahaan provider telepon selular terbesar di

Thailand.82 Dengan menjual induk perusahaannya, kelompok anti-Thaksin menganggap bahwa tindakan yang dilakukan Thaksin untuk menjual Shin Corp telah mengancam kedaulatan negara.

Pada dasarnya kudeta militer yang terjadi di Thailand dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor internal dan faktor eksternal militer. Faktor internal yang dimaksud yaitu yang berasal dari dalam organisasi militer yang

81Ibid. 82Thitinan Pongsudhirak, 2006, Thaksin’s Political Zenith and Nadir, dalam Daljit Singh, Lorraine C. Salazar, Southeast Asian Affairs (Singapore: ISEAS Publication, 2006), hal. 296.

61

merupakan kepentingan organisasi atau kepentingan kelompok tertentu yang ada dalam organisasi. Faktor internal yang mendorong kudeta militer pada masa pemerintahan Thaksin Shinawatra adalah adanya kepentingan diantara elit - elit di pemerintahan Thailand dan usaha Thaksin yang melakukan tindakan guna mengabaikan aspirasi para elit militer.

Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor pemicu kudeta yang muncul dari luar organisasi yaitu berupa kondisi sosial, ekonomi dan politik. Faktor eksternal yang terjadi pada masa pemerintahan Thaksin Shinawatra yang melatarbelakangi kudeta militer yaitu ekonomi, adanya korupsi, kolusi, nepotisme dan tindakan - tindakan lainnya yang telah merugikan negara. Adapun juga penyebab militer mengkudeta pemerintahan Thaksin Shinawatra. Diantaranya terkait dengan beberapa kebijakan - kebijakan populis yang dikeluarkan pada pemerintahan Thaksin dan terkait dengan sikap Raja Bhumibol Adulyadej.

Selama masa kepemimpinannya, Thaksin dianggap telah mengabaikan perintah

Raja yang kemudian dikategorikan sebagai tindakan penghinaan terhadap Raja serta sikap anti monarki Thaksin Shinawatra. Ajaran Budhisme yang dianut masyarakat melihat Raja sebagai Budha hidup. Oleh karena itu, seluruh masyarakat Thailand tunduk kepada Raja.

Dengan alasan telah memecah belah negara dan menyebabkan korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela di Thailand, pihak militer akhirnya mengkudeta pemerintahan Thaksin Shinawatra pada tanggal 19 September 2006. Dalam hubungannya dengan kudeta ini, adapun kesalahan yang mendasari terjadinya militer mengkudeta pemerintahan Thaksin yaitu, Thaksin telah mengembalikan

62

konflik politik kedalam militer dengan upayanya untuk memajukan orang - orang terdekatnya dan menyingkirkan orang - orang yang dianggap kurang kooperatif.

Dan kebijakan Thaksin di Thailand selatan telah membuat banyak perwira militer marah. Selain meningkatkan peranan kepolisian daripada peranan tentara itulah penyebab Thaksin bersitegang secara langsung dengan Jenderal Sonthi

Boonyaratglin. Ironisnya, Thaksin yang notabene berasal dari sipil justru mendukung kebijakan garis keras terhadap pembangkang di Selatan, sedangkan

Jenderal Sonthi yang dari militer lebih cenderung melakukan perundingan.83

Kudeta ini dilakukan atas nama Dewan Reformasi Demokrasi yang dipimpin oleh Jenderal . Militer menganggap keberadaan

Thaksin Shinawatra sebagai ancaman bagi kedaulatan negara Thailand karena dengan berbagai sikap dan kebijakannya yang mengakibatkan krisis dan praktek

KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) semakin menjalar baik di tingakat eksekutif maupun legislatif. Dengan demikian, pihak militer yang didukung Raja Bhumibol

Adulyadej akhirnya mengkudeta kekuasaan Thaksin ketika ia sedang menghadiri peretemuan sidang umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) di New York,

Amerika Serikat.84

Sebagai perdana menteri Thailand, Thaksin banyak menuai kritikan mengenai pemerintahannya. Sebagian ada yang berpendapat bahwa Thaksin merupakan seorang pebisnis sehingga selama menjabat seluruh kebijakan yang

83Surya Yudha Regif, 2009, Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap Thailand Pasca Kudeta Militer Thailand Pada Tahun 2006 Dalam Ruang Lingkup ASEAN, Skripsi, Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Sumatera Utara, hal. 40. 84 Sri Issundari. “Latar Belakang Kudeta Militer Thailand Pada Masa Pemerintahan PM Thaksin Shinawatra,”Jurusan Hubungan Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta, Vol. 12 No. 4, Desember 2008, hal. 203-207.

63

dibuat hanya untuk meraup keuntungan untuk dirinya sendiri. Bahkan Thaksin

kerap melakukan nepotisme, ia sering mengangkat kerabat dekatnya dan

koleganya untuk menduduki jabatan - jabatan penting dalam pemerintahannya.

Dalam kabinet, Thaksin menempatkan posisi jabatan seseorang tidak dilihat dari

kemampuannya tapi cenderung karena orang tersebut dekat dengan Thaksin atau

mempunyai posisi kekuasaan yang kuat. Bahkan mereka yang pernah terkena

kasus korupsi juga bisa masuk dalam kabinetnya. Tabel berikut ini adalah

beberapa contoh nepotisme pada masa pemerintahan Perdana Menteri Thaksin

Shinawatra.

Tabel 2.2 Beberapa contoh Nepotisme pada masa pemerintahan Perdana

Menteri Thaksin Shinawatra

No Nama Jabatan Hubungan Keterangan dengan Thaksin 1 Purachai Menteri - Sebelumnya menjabat Piumsombun Kehakiman sebagai Menteri Dalam Negeri 2 Wan Muhammad Menteri Dalam - Penunjukkannya Noor Matha Negeri cenderung untuk menarik simpati masyarakat di Thailand Selatan 3 Somkid Jatusripitak Menteri - - Keuangan 4 Jenderal Chavalit Deputi Perdana - - Yongchaiyudh Menteri 5 Pongpol Adireksarn Menteri - - Pendidikan 6 Uraiwan Thienthong Menteri Kolega Snoh Thienthong Kebudayaan merupakan suaminya yang merupakan salah satu orang kuat di Partai TRT 7 Suwit Khunkitti Deputi Perdana - - Menteri 8 Pichate Satirachaval Deputi Menteri - Didakwa oleh NCCC atas Perindustrian kasus penyembunyian aset

64

9 Praphat Deputi Menteri - Terlibat dalam skandal Panyatchatraksa Pertanian penimbunan karet 10 Jenderal Chaisit Panglima Militer Sepupu - Shinawatra 11 Jenderal Uthai Sekretaris Sepupu - Shinawatra Pertahanan 12 Letjen. Polisi Asisten Panglima Saudara Mengalahkan 14 pejabat Priewphan Polisi Ipar senior. Beberapa pejabat Damapong senior ini bahkan mengundurkan diri untuk mempermudah Panitia Kepolisian mempromosikan Priewphan 13 Suriya Menteri Kolega di Skandal korupsi Juengrungruangkit Transportasi Partai TRT pembangunan bandar udara baru 14 Suriya Lapwisuthisin Deputi Menteri - Penggelapan saham dan Perdagangan usaha keluarga 15 Somkid Jatusripitak Menteri Kolega - Perdagangan 16 Thanong Bidaya Menteri Kolega Pernah bekerja di salah Keuangan satu perusahaan milik Thaksin 17 Air Chief Marshall Menteri Dalam Kolega Istri Wantana sangat dekat Kongsak Wantana Negeri dengan Thaksin Sumber : Daljit Singh, Lorraine C. Salazar, Southeast Asian Affairs 2006 (Singapore: ISEAS Publication, 2006). Alex M. Mutebi, “Thailand IN 2002: Political Consolidation amid Economic Uncertainties”, Asian Survey, Vol. XLIII. No. 1.

Dari tabel di atas, nepotisme yang dilakukan pada masa pemerintahan Thaksin

seluruhnya melibatkan pihak militer dan sipil. Thaksin memanfaatkan ini guna

mencari rekan yang strategis dan terpercaya dalam mendukung pemerintahannya.

Perdana Menteri Thaksin juga mendapat kritikan dari media massa terkait

tindakan politiknya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Untuk

mengahadapi kritikan yang terjadi dan membungkam media massa, Thaksin

menggunakan cara - cara keras (arogan). Cara - cara keras yang digunakan oleh

Thaksin untuk menghadapi media massa bermacam - macam. Sebagai contoh,

65

Thaksin pernah mencabut visa Kepala Biro Far Eastern Economics Review’s,

Shawn Crispin dan staff wartawan majalah, Rodney Tasker karena telah menolak untuk mengoreksi tulisan yang menyangkut dirinya dan pihak kerajaan.85 Ada juga cara lain yang digunakan Thaksin yaitu, dengan cara memata - matai. Contoh yang terkenal dalam masyarakat adalah skandal “Thaksingate”.

Skandal ini menjadi terkenal karena Thaksin menggunakan institusi pemerintah, AMLO86 (Anti Money Laundering Office), untuk menyelidiki aset - aset beberapa jurnalis beserta keluarga masing - masing yang sering mengkritik pemerintahan Thaksin seperti pemred (pemimpin redaksi) dan group editor surat kabar The Nation, Sopon Onkgara; kolumnis surat kabar Post, Roj Ngamman dan

Amporn Pimpipat.87 Pelanggaran terhadap kebebasan pers yang dilakukan

Thaksin terlihat jelas pada saat perusahaan Shin Corp milik Thaksin, mengajukan tuntutan hukum terhadap Supinya Klangnarong88, karena telah menulis berita terkait keuntungan yang diraih Shin Corp dikarenakan adanya keistimewaan dari pemerintah Thaksin.89 Shin Corp mengajukan tuntutan sebesar 400 juta Baht

85Alex M. Mutebi, “Thailand in 2002: Political Consolidation amid Economic Uncertainties”, Asian Survey, Vol. XLIII, No. 1. 86AMLO adalah sebuah lembaga di Thailand yang khusus menangani permasalahan yang berkaitan dengan pencucian uang dan pembiayaan untuk kegiatan teroris. Institusi penegak hukum ini diresmikan pada tahun 1999. Keterangan lebih lanjut mengenai lembaga ini bisa di akses di situs resmi mereka yaitu, http://www.amlo.go.th/amlofarm/farm/web/index.php?option=comcontent&view=article&id=945 &Itemid=976&lang=en 87Yulia Kusumawardani, 2012, “Pengaruh Hubungan Raja-Militer Di Thailand Terhadap Konstitusi 2007”, Skripsi, Jakarta: Program Studi Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia, hal 51. 88 Supinya Klangnarong adalah seorang aktivis reformasi media di Thailand pada tahun 2005, Supinya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal program “Campaign for Popular Media Reform”. Informasi mengenai tuntutan Shin Corp terhadap Supinya bisa diakses dalam http://www.prachatai.com/english/node/2667, http://www.acpp.org/uappeals/cprofile/Thai%20Country%20Profile%20mar06.pdf 89Beril Lintner, “Thailand in Tatters, Democracy Delayed”, Far Eastern Economic Review, Vol. 171, No. 10, hal. 24.

66

terhadap Supinya, akhirnya tidak dikabulkan oleh pengadilan Thailand dengan alasan tidak ada yang salah dengan artikel yang ditulis.

Kudeta yang dilakukan merupakan salah satu bentuk dari intervensi militer dalam politik, dalam kaitannya dengan pelaksanaan demokrasi, kudeta merupakan bukti kemunduran dari perkembangan demokrasi. Sedangkan intervensi militer merupakan bentuk lain dari istilah keterlibatan militer dalam politik, pendorong lainnya juga bisa berasal dari dalam organisasi militer.

Maurice Duverger mengkriteriakan sistem ini kedalam sistem otokrasi yaitu perebutan kekuasaan. Perebutan kekuasaan yang dimaksud yaitu adanya perebutan kekuasaan oleh seseorang dengan kelompoknya dari kelompok penguasa yang lama. Biasanya tidak lama setelah ada perebutan kekuasaan akan diadakan cara - cara yang sah menurut hukum untuk mengesahkan kekuasaannya.

Dengan kata lain diadakan legitimasi kekuasaan yang sah secara yuridis, sebab kekuasaan yang diperoleh dengan cara pronunciaminto.90 Pronunciaminto merupakan cara seperti kudeta namun menggunakan kekuatan militer untuk menggulingkan pemerintahan yang lama.91 Kudeta yang terjadi di Thailand tidak merubah sistem monarki yang sudah berlangsung sejak lama, melainkan hanya menggulingkan pemimpin yang sudah terpilih sah secara demokrasi pada

90Surya Yudha Regif, 2009, Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap Thailand Pasca Kudeta Militer Thailand Pada Tahun 2006 Dalam Ruang Lingkup ASEAN, Skripsi, Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Sumatera Utara, hal. 35. 91Pakpahan Mukhtar, 2006, Ilmu Negara dan Politik, Jakarta : Bumi Intitama Sejahtera, hal. 102.

67

Pemerintahan Thaksin Shinawatra yang dilengserkan oleh pihak militer atas dukungan Raja Bhumibol Adulyadej.92

Kudeta terhadap Thaksin mendapat respon dari rakyat borjuis di pedesaan wilayah Utara dan Timur Laut Thailand dengan menggelar aksi protes mengecam aksi kudeta. Mereka tergabung dalam suatu wadah perjuangan demokrasi yaitu kelompok Kaus Merah. Perjuangan rakyat dalam melawan elit yang merupakan akar dari krisis politik yang menyebabkan krisis berkepanjangan pasca kudeta

2006 hingga kejatuhan rezim Abhisit pasca Thaksin di Thailand. Kemunculan kelompok pro-demokrasi pasca kudeta merupakan bentuk tanggapan dari pendukung Thaksin dalam menentang kudeta militer tidak berdarah pada

September 2006. Kembalinya militer dalam ranah politik Thailand jelas menggambarkan kemunduran demokrasi di Thailand. Di sisi lain, militer sendiri sedang mengupayakan reformasi di bidang militer, agar lebih professional atau tidak mencampuri urusan politik.

92Surya Yudha Regif, 2009, Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap Thailand Pasca Kudeta Militer Thailand Pada Tahun 2006 Dalam Ruang Lingkup ASEAN, Skripsi, Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Sumatera Utara, hal. 35.

68