Kebijakan Jepang di Kawasan Asia Tenggara melalui Penandatanganan “Joint Declaration on AJCEP” di Era Kepemimpinan

Nafira Fitri, Sukma Sushanti, S.S., M.Si., Putu Titah Kawitri Resen, S.IP., M.A. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana Email : [email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRAK

This paper found that the making of Japanese foreign policy related to trade sector in Southeast Asia in the era of the leadership of Junichiro Koizumi. This topic is interesting, because until the mid-1990s, committed to making the policy of multilateralism and reject the free trade agreements, because they assume the free trade agreement is not in accordance with the GATT / WTO. But in the era of Junichiro Koizumi changed the emphasis of economic cooperation to "act together and move forward together" with ASEAN and establish the ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP) as the beginning of the establishment for the Free Trade Agreement. In this paper the author will examine the making of Japanese foreign policy-related trade in Southeast Asia in the era of the leadership of Junichiro Koizumi. With a locus of time in the 1998-2002, after Asian crisis in 1997 and the signing of the "Joint Declaration on the ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership". This paper will explorate using Model II: Organizational Process by Graham T. Allison with the initial assumption that the change of foreign policy in the economic field in Japan is the result of the government organization in Japan which is influenced by external factors at that time and the list options which produced by the organization. Keyword: AJCEP, Junichiro Koizumi, the Asian Crisis, Free Trade Agreement

Pendahuluan Kebijakan terkait proteksi juga Sejak tahun 1950-an, Jepang membuat Jepang selama tahun 1990-an merupakan negara pertama yang maju menolak adanya Free Trade Agreement. perekonomiannya di Asia, dan Hal ini disebabkan karena Jepang memberikan efek berkesinambungan menganggap bahwa Free Trade yang positif terhadap negara-negara lain Aggreement merupakan alat diskriminatif di Asia Timur (Yue, 2004). Kemajuan yang yang paling buruk dan merusak konsep dicapai ini juga merupakan hasil dari sistem perdagangan yang ada dalam industrialisasi yang ditunjang oleh peran pasal 1 GATT (The General Agreement pemerintah melalui kebijakan-kebijakan on Tariffs and Trade) (Sutton, 2007). ekonomi, salah satunya yaitu proteksi Namun sebenarnya Perjanjian pasar dalam negerinya dengan Perdagangan Bebas (Free Trade memberikan subsidi kepada produsen Agreements) merupakan salah satu dalam negeri dan membatasi penerimaan pengecualian dari prinsip non-diskriminasi impor dari negara lain. perdagangan dalam pasal tersebut yang memang masih ada ketidaksetujuan dari 2002, melalui penandatanganan Joint beberapa negara termasuk Jepang Declaration untuk membangun sebuah mengenai batas-batas dan sifat kerangka kerja untuk ASEAN-Japan pengecualian yang berlaku terhadap Comprehensive Economic Partnership perdagangan bebas (Sutton, 2007). Meski (AJCEP). demikian, Jepang tetap dapat menguasai Hal ini menarik untuk dilihat pasar Asia, utamanya Asia Tenggara, karena seperti yang telah dibahas karena negara-negara di kawasan Asia sebelumnya bahwa Jepang dengan keras Tenggara sangat tergantung dengan menolak perjanjian perdagangan bebas teknologi yang dihasilkan oleh Jepang. yang dianggap melanggar sistem Belum lagi dengan banyaknya Foreign perdagangan GATT/WTO namun setelah Direct Investment (FDI) yang dialirkan adanya krisis Asia di tahun 1997 dan Jepang ke kawasan ini, menjadikan pergantian Perdana Menteri menjadi Jepang memiliki posisi yang kuat di Junichiro Koizumi di tahun 2001, arah bidang perdagangan di kawasan Asia kebijakan ekonomi dan luar negeri Jepang Tenggara (Purbantina, 2013). berubah dengan membuat perjanjian Hal tersebut berubah di tahun ekonomi dengan ASEAN sebagai 2001 saat Kabinet dari Perdana Menteri organisasi regional pertama yang yang baru terpilih yaitu Junichiro Koizumi membuat kesepakatan perdagangan mulai mengubah sejumlah kebijakan yang multilateral dengan Jepang. ada di Jepang utamanya kebijakan Berdasarkan uraian diatas, dapat ekonomi yang mengarah pada perbaikan dilihat bahwa Jepang pasca krisis Asia pasca krisis Asia 1997 dan kebijakan luar dan di bawah kepemimpinan Junichiro negeri Jepang yang mulai mengarah ke Koizumi telah membuat perubahan dalam pembentukan perjanjian kebijakan ekonomi dan luar negeri pada perdagangan bebas dengan negara lain. bidang perdagangan internasional Kebijakan yang paling signifikan terhadap khususnya dengan ASEAN dan dari latar hubungannya dengan ASEAN sebagai belakang permasalahan yang ada organisasi regional di kawasan Asia dirumuskan permasalahan yaitu Tenggara dapat dilihat dengan dibuatnya bagaimana proses pembuatan kebijakan Koizumi Doctrine pada 14 Januari 2002 luar negeri Jepang terkait perdagangan yang menekankan pada ide normatif dengan ikut serta dalam perjanjian untuk bertindak bersama dan maju perdagangan bebas melalui ASEAN- bersama dengan ASEAN melalui Japan Comprehensive Economic beberapa hal yaitu melakukan perbaikan Partnership di era kepemimpinan dan peningkatan kemakmuran, Junichiro Koizumi? memperkuat kerjasama ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas antar Model II : Organizational Process kawasan, serta kerjasama yang menekankan pada prospek di masa yang Penulis dalam hal ini akan datang (Dharmastuti, 2009). Poin menggunakan model II: proses organisasi kerjasama perdagangan dalam Koizumi yang dijelaskan oleh Graham T. Allison. Doctrine selanjutnya dituangkan dalam Allison menjelaskan bahwa kebijakan luar perjanjian ekonomi formal dengan ASEAN negeri adalah output dari proses yang diajukan Jepang pada November organisasi (Allison, 1971). Negara yang akan terjadi dan apa yang tidak akan diasumsikan sebagai organisasi yang terjadi dengan menggunakan sebuah memiliki berbagai organ dengan fungsi keputusan yang pernah sebelumnya yang berbeda, dan bekerja untuk dilakukan (Kegley,2008). mencapai tujuan bersama dari organisasi Hal serupa juga dijelaskan oleh tersebut. Perilaku pemerintahan dapat Karen A. Mingst mengenai Model dilihat sebagai tindakan yang dipilih oleh Organisasi dalam bukunya yang berjudul suatu kesatuan dan hasil dari pikiran “Essentials of International Relations”. rasional para pembuat kebijakan, Mingst menjelaskan bahwa aktor dalam dikendalikan secara terpusat, serta pembuatan kebijakan juga ditentukan oleh dilengkapi dengan informasi yang isu yang ingin dipecahkan, sedangkan sebenar-benarnya, dan memaksimalkan aktor-aktor lain (subunit lain yang tidak nilai dari hasil yang bisa didapatkan. berhubungan dengan isu) tetap memiliki Model ini menekankan pada asumsi suara untuk mempertimbangkan bahwa sebuah keputusan yang diambil keputusan yang akan diambil, agar adalah berdasarkan standard operating keputusan tersebut tidak merugikan aktor- procedures (SOP) dalam pemerintahan aktor lain tersebut. Dengan model dan cenderung dapat diprediksi dan tetap organisasi yang dipaparkan oleh Graham sesuai pola aksi tertentu. Karakteristik dari T. Allison dan didukung oleh Charles W. aksi pemerintah biasanya akan mengikuti Kegley serta Karen A. Mingst ini, penulis dari rutinitas-rutinitas yang telah mencoba melihat bagaimana proses dipatenkan atau dari pilihan yang dibuat pembuatan kebijakan luar negeri Jepang oleh kepala pemerintahan dengan terkait perdagangan dengan ikut serta berbasis pada informasi dan estimasi dalam perjanjian perdagangan bebas konsekuensi yang akan berlaku bila aksi melalui ASEAN-Japan Comprehensive tersebut dilakukan. Economic Partnership di era Mendukung model proses kepemimpinan Junichiro Koizumi. organisasi yang dipaparkan oleh Graham T Allison, Charles W. Kegley dalam Krisis Asia 1997 bukunya yang berjudul “World Politics : Trends and Transformation” menjelaskan Menghadapi krisis Asia yang bahwa Standard Operating Procedures terjadi tahun 1997, Jepang mulai (SOPs) menurut Kegley merupakan mengambil tindakan strategis sesuai SOP aturan-aturan untuk mencapai sebuah yang berlaku di dalam tubuh keputusan dengan metode-metode yang pemerintahan Jepang sendiri sebagai telah ditetapkan dan dapat diikuti secara aktor dalam pengambilan kebijakan berkelanjutan (Kegley,2008). Rutinitas menghadapi Krisis tersebut, yang saat itu yang terjadi ini membuat adanya berada dibawah Perdana Menteri keterbatasan pilihan-pilihan alternatif Hasyimoto Ryutaro. Dalam menghadapi dalam kebijakan yang dibuat. Hal ini suatu krisis sesuai dengan SOP yang dianggap lebih baik, karena dibandingkan berlaku, harus ditangani oleh Ministry of harus menambah jumlah dari pilihan- Finance (MOF) , yang nantinya pilihan alternatif, sebuah organisasi lebih mengeluarkan kebijakan untuk memiliki persiapan untuk memulihkan kondisi yang ada. Kebijakan mempertimbangkan kemungkinan apa yang dikeluarkan oleh MOF adalah mengatasi permasalahan domestik yang mengajukan sebuah Badan yang disebut terjadi. MOF membuat suatu kebijakan dengan Asian Monetary Fund (AMF). paket deregulasi finasial dengan Pemerintah Jepang melalui Menteri memberikan stimulus kepada Keuangan Hiroshi Mitsuzuka, dan Wakil perusahaan-perusahaan dalam negeri Menteri Keuangan Eisuke Sakakibara melalui subsidi dan pinjaman dana agar mengajukan proposal Asian Monetary tetap dapat berjalan dalam kondisi krisis Fund (AMF) saat menghadiri pertemuan seperti saat itu dan membuka kesempatan negara-negara G-7 di Hong Kong pada yang seluas-luasnya bagi para investor September 1997 (Adriani, 2010). asing untuk menanamkan modal di Rancangan pembentukan AMF ini juga Jepang sebagai suatu cara meningkatkan diajukan sebagai kebijakan alternatif globalisasi (Hook dkk, 2001). Namun selain tersedianya IMF, karena negara- kebijakan tersebut bukan memperbaiki negara di kawasan Asia mulai menyadari keadaan, justru menambah permasalahan bahwa IMF tidak dapat memberikan solusi finansial ditubuh Jepang. yang banyak dalam krisis Asia tersebut. Namun, AMF harus menghadapi Perubahan Cara Pandang Jepang kenyataan penolakan Amerika Serikat terhadap FTA (termasuk IMF), dan tidak adanya dukungan dari Cina. Sehingga pada Tekanan tidak hanya datang dari November 1997, Jepang mengambil kondisi dalam negeri melainkan Amerika tindakan untuk tidak melanjutkan proposal Serikat yang juga merupakan aliansi AMF ketahap selanjutnya. besar Jepang, dimana Amerika Serikat Tidak sampai disana, MOF menuntut Jepang untuk menjamin meninjau bahwa krisis Asia ini sangat keamanan politik dan ekonomi Amerika berpengaruh pada perdagangan domestik serta aset-aset Amerika dari ancaman Jepang terlebih dalam bidang ekspor dan Cina di kawasan Asia (BA, 2009). impor. Hal ini dikarenakan kawasan Asia Sehingga Amerika meminta Jepang untuk Tenggara merupakan pasar nomor satu segera membuka pasarnya dengan bagi hasil industri Jepang. Sebaliknya, membentuk sebuah Perjanjian kawasan Asia Tenggara merupakan Perdagangan Bebas sebelum Cina penyuplai bahan-bahan mentah bagi berhasil mengambil alih posisi Jepang di keperluan industri yang dibutuhkan oleh kawasan Asia. Tekanan-tekanan dari Jepang. Hal ini membuat penurunan di eksternal tersebut membuat Jepang di bidang ekspor Jepang di kawasan Asia tahun 1998 mulai mempelajari tentang Tenggara sebesar 27,9%. Sementara itu FTA. Dalam argumen terakhir ekspor negara-negara ASEAN ke Jepang perundingan WTO disebutkan bahwa mencapai 14,2% (Castellano, 2000). bilateral dan regional FTA dapat dilakukan Investasi Jepang di kawasan Asia secara umum dan dapat membuat sebuah Tenggara juga mengalami penurunan model alternatif yang datang dari progres yang semula di tahun 1990-1996 yang nyata dalam proses liberalisasi mencapai 534 milliar yen, menjadi 515,6 perdagangan. Untuk itu, Jepang membuat milliar yen di tahun 1997 (Castellano, sebuah Kelompok Kerja dalam bidang 2000). Hal tersebut membuat MOF mulai perjanjian kerjasama ekonomi dalam memfokuskan pembuatan kebijakan untuk Dewan Ekonomi dan Kebijakan Fiskal. WTO Putaran Doha. Dalam pertemuan Tugas dari badan ini tidak hanya menjalin tersebut, Jepang menemukan bahwa kerjsama antara negara melainkan juga Amerika Serikat dan Negara-negara Uni untuk memperoleh hasil yang lebih baik Eropa berdiri di sisi yang sama dan untuk Jepang daripada harus ikut dalam sepakat untuk meringankan peringatan proses perundingan dibawah WTO bagi subsidi pertanian dan proteksi pasar. (Rathus,2011). Hal ini semakin membuat Jepang Pada tahun 1998, Jepang meningkatkan urgensinya untuk menyadari kebuntuannya dalam proses membentuk suatu kebijakan yang bersifat liberalisasi yang terhalang oleh krisis di adaptif dilakukan oleh Jepang tanpa tahun tersebut. Sehingga di bulan menghilangkan kebijakan-kebijakan yang Agustus, Kepala JETRO, Noboru sudah menjadi sebuah inti dari kebijakan Hatakeyama mengunjungi Mexico atas nasional yang tidak dapat diubah undangan Menteri Perdagangan dan kepentingannya. Industri Mexico, Herminio Blanco (Fatnilativia,2008). Hasil dari pertemuan Proses Pengambilan Kebijakan tersebut adalah sebuah laporan positif ASEAN-Japan Comprehensive mengenai perlunya dibentuk FTA dengan Economic Partnership (AJCEP) kebijakan pendekatan dual-track untuk mengejar liberalisasi baik melalui FTA Kondisi ekonomi Jepang yang maupun WTO. Tidak sampai disana, di belum mengalami perubahan yang bulan November setelahnya, Presiden signifikan di bidang perdagangan dan Ernesto Zedillo berkunjung ke Jepang. perekonomian domestik yang tidak Meskipun tidak dapat membahas FTA, kunjung membaik, akhirnya harus karena tim dari MITI belum selesai untuk dihadapi oleh Perdana Menteri Terpilih di mengkaji FTA bagi Jepang dan Mexico, masa itu, yaitu Junichiro Koizumi. Koizumi namun pembicaraan tentang mengkaji mulai memasuki kabinet pemerintahan ulang efek FTA bagi industri Jepang telah pada 26 April 2001 (Hook, 2001). Koizumi dilakukan, dan hasil dari pembicaraan merupakan sosok yang karismatik dan tersebut adalah pemerintah Jepang harus kuat. Dengan kondisi Jepang yang sangat membuka FTA dengan Mexico untuk buruk dibandingkan tahun-tahun mencegah diskriminasi terhadap sebelumnya membuat Koizumi mulai perusahaan Jepang yang berinvestasi di bergerak cepat mengatasi permasalahan Mexico (Fatnilativia, 2008). Perubahan ekonomi tersebut. Kontribusi signifikan kebijakan Jepang terhadap FTA ini yang datang dari kementerian- diperhatikan seksama oleh Singapura kementerian terkait yaitu MOF, MOFA, yang akhirnya ikut mengajukan proposal MITI ( setelah 2001 berubah menjadi kerjasama FTA secara bilateral dengan Ministry on Economic, Trade, and Industry Jepang pada akhir Oktober 1999. Namun (METI)), dan MAFF telah memberikan pada masa itu Jepang bereaksi negatif bantuan pertimbangan yang cukup kuat dan skeptis terhadap proposal Singapura. dan meluas untuk dikolaborasikan oleh Di tahun 1999 pula, Jepang kembali Junichiro Koizumi. Kementerian- mendapat tekanan yang sekaligus kementerian ini sangat berpengaruh menjadi angin segar bagi Jepang, dimana terhadap keputusan ekonomi yang dibuat pada tahun tersebut terjadi pertemuan pada masa itu. Atas pertimbangan dari yang tepat untuk memulihkan METI, Koizumi mulai melakukan perekonomian Jepang tanpa harus privatisasi perusahaan-perusahaan mengorbankan pihak manapun dan nasional seperti kantor pos dalam rangka menggunakan kebijakan sementara mengurangi pengeluaran untuk subsidi tersebut untuk menyelamatkan perusahaan nasional yang kurang perekonomian domestik. produktif (Thies, 2008). Dengan Kerja keras dari Kabinet ini mulai pertimbangan MOF, Koizumi mulai terlihat ketika METI mengeluarkan White mengurangi subsidi untuk para petani Paper on International Trade yang yang sebelumnya mendapatkan proteksi menggambarkan sebuah Perjanjian tarif dan kuota dari produk importir Kerjasama Ekonomi yang disebut EPA kompetitor, support harga, dan pajak yang (Economic Partnership Agreement) minim (Thies,2008). Meskipun (Yoshimura,2012). EPA kemudian mendapatkan banyak aksi demo dari para digambarkan sebagai sebuah petani, Koizumi tetap melakukan hal kesepakatan dagang yang melampaui tersebut. Hal ini dikarenakan Jepang batas-bats eliminasi tarif yang dicakup membutuhkan banyak pendapatan dan konsep FTA tradisional, yang merupakan simpanan yang akan digunakan untuk elemen dasar dari negosiasi yang ada mempersiapkan Jepang dalam dalam GATT dan WTO,dimana hanya pembukaan pasarnya. Kebijakan ini akan melibatkan kesepakatan sesungguhnya juga memunculkan adanya penghapusan hambatan tarif dan non tarif ketidaksetujuan dari tubuh MAFF, terlebih dalam perdagangan barang dan jasa, dengan isu tambahan atas kebijakan melainkan dengan menjangkau juga area impor beras yang membuat takut para baru seperti investasi, kompetisi, petani Jepang tidak bisa berkompetisi, digitalisasi prosedur dagang, harmonisasi karena kebijakan ini tentu merugikan e-commerce untuk sistem terkait dan kementeriannya terlebih dalam hal memfasilitasi pergerakan orang pendanaan dan pengembangan industri didalamnya (Fatnilativia,2008). METI pangan domestiknya. Sehingga kebijakan memaparkan bahwa manfaat FTA yang ini dianggap telah mengorbankan pihak akan diperoleh Jepang adalah untuk petani (Hook dkk,2001). Selain itu, Partai mengembangkan aturan perdagangan Demokrat Liberal (LDP) juga menegur baru, sebagai mekanisme yang baik untuk dengan keras kebijakan yang disetujui memelihara momentum WTO pasca Doha oleh Perdana Menteri yang berasal dari Round, meningkatkan pengalaman partainya tersebut. LDP menganggap pembangunan sistem internasional, dan kebijakan tersebut akan membuat LDP dapat menjadikan katalif bagi reformasi kehilangan suara dan kepercayaan dari struktural di lingkup domestik para petani yang selama ini selalu (Fatnilativia,2008). Model kerjasama EPA menjadi pendukung tetap dan terbesar ini juga sangat menguntungkan bagi bagi kemenangan LDP (Thies, 2008). Jepang, karena memungkinkan Jepang Pertimbangan tersebut telah diterima oleh untuk tetap mempertahankan langkah Kabinet Pemerintahan Junichiro Koizumi. proteksi untuk sektor ekonomi tertentu, Namun sekali lagi Jepang khususnya yang memungkinkannya untuk menarget Kabinet pemerintahan Junichiro Koizumi sektor spesifik yang dirasakannya terus bergerak untuk mencari formulasi memerlukan kompetisi yang lebih besar dan reformasi struktural. Sehingga model Singapura terkait JSEPA pada 14 Januari ini tidak akan merugikan pihak manapun, 2002 kemudian mendapatkan cara untuk terlebih di sektor-sektor sensitif seperti masuk yaitu dengan bekerjasama dengan pertanian. organisasi regional yang terbesar di Model yang diajukan oleh METI kawasan tersebut. Pada pertemuan itu, ini juga mendapatkan dukungan dari Koizumi membuat pernyataan yang MOFA. MOFA melihat strategi ini harus dikenal dengan “Koizumi Doctrine”, yang segera dilakukan agar dapat menjadi menekankan pada ide normatif untuk payung penghalang sebelum Cina :bertindak bersama, maju bersama” meluncurkan kerjasama dengan negara- dengan ASEAN dalam hal melakukan negara di kawasan Asia tersebut dan perbaikan dan peningkatakn menggantikan posisi Jepang di kawasan kemakmuran, memperkuar kerjasama tersebut (BA,2009). Untuk itu, model yang demi terciptanya stabilitas, dan kerjasama sudah matang ini harus segera yang menekankan pada prospek di masa diaplikasikan. Singapura yang yang akan datang (Dharmastuti,2009). sebelumnya mendapatkan penolakan dari Jepang yang diwakili oleh Junichiro Jepang, kini mendapatkan angin segar Koizumi menyatakan bahwa Jepang akan untuk membuat segera perjanjian membantu ASEAN terutama dalam perdagangan bebas yang berbasis pada merealisasikan Initiative for Development model EPA tersebut. Sehingga pada 20 in East Asia (IDEA), dengan memberikan Oktober 2001, dalam acara APEC Summit Official Development Assistance di Shanghai, Jepang mennyetujui (ODA),FDI, dan fasilitas perdagangan pembuatan Japan-Singapore Economic berupa kerjasama dagang bagi negara- Partnership Agreement (JSEPA). Selama negara didalamnya serta adanya rencana beberapa bulan, perjanjian ini dianggap untuk membuat sebuah kerjasama yang sukses membangkitkan semangat untuk menyeluruh dengan ASEAN melalui meningkatkan perekonomian Jepang. Comprehensive Economic Partnership. Koizumi pun menganggap kerjasama dengan Singapura ini adalah sebagai Pidato Junichiro Koizumi dalan pintu masuk untuk dapat membuat suatu Japan and East Asia- A Sincere and kerjasama dengan negara-negara lain di Open Partnership di Singapore, 14 kawasan Asia Tenggara tersebut. Namun Januari 2002 Jepang mengalami kesulitan karena negara-negara di kawasan Asia Tenggara “I believe that Japan has made a cenderung memiliki kekuatan industri contribution in strengthening the countries pangan dan pertanian yang cukup of ASEAN. True to the old adage, "A memadai dan bahkan memiliki friend in need is a friend indeed," Japan at kemampuan ekspor yang hampir sama the time of Asia's financial crisis played a dengan Jepang. role in easing that crisis. We viewed the Hal ini kemudian membuat situation not just as your challenge but as Jepang kembali mencari cara untuk our own. I believe that Japan- ASEAN masuk kedalam kawasan tersebut. relations have reached a new level of Koizumi sendiri sebagai Perdana Menteri maturity and understanding. In the 21st yang mewakili Jepang dalam acara century, as sincere and open partners, penandatanganan kerjasama dengan Japan and ASEAN should strengthen their cooperation under the basic concept of pasar modal dilengkapi dengan program "acting together- - advancing together. I bantuan terhadap negara-negara anggota would like to propose an Initiative for ASEAN. Dalam kesepakatan ini memiliki Japan-ASEAN Comprehensive Economic beberapa poin penting untuk dilakukan Partnership. Of course, we will cooperate oleh kedua belah pihak. Pemerintah in the new round of multilateral trade negara-negara anggota ASEAN harus negotiations under the WTO. At the same dapat mengubah kebijakan time, we must strengthen broad ranged investasi,perdagangan dan economic partnership by stretching further industrinya,dari pola tradisional than trade and investment--to such areas pembatasan impor dan ekspor ke arah as science and technology, human kompetisi pasar menuju pasar tunggal resource development and tourism. The ASEAN (Dharmastuti,2009). Sementara Japan-Singapore Economic Agreement itu, Jepang harus mampu menunjukkan for a New Age Partnership, which was kepada rekan-rekannya di ASEAN tentang signed yesterday, is an example of such bagaimana perbaikan industri dan struktur economic partnership. I would like to see perusahaan dalam negeri akan us generate concrete proposals for berpengaruh terhadap perdagangan dan endorsement at the Japan-ASEAN investasi negara-negara tetangganya Summit Meeting.” –Junichiro Koizumi (Dharmastuti,2009). AJCEP dirasa oleh Jepang mampu untuk mempermudah Sumber : www.kantei.go.jp Jepang menjalin kerjasama dengan negara-negara anggota ASEAN, Tidak lama setelah doktrin meskipun kesepakatan ini hanya dibuat tersebut dibuat, pada September 2002, secara umum dan nantinya Jepang akan dalam pertemuan menteri-menteri membuat jaringan kerjasama bilateral ekonomi ASEAN di Brunei, Jepang mulai dengan negara-negara tersebut dibawah membicarakan rencana mengenai naungan AJCEP sendiri untuk kerangka pembentukan Joint Declaration mengakomodir kesulitan dalam on ASEAN-Japan Comprehensive bernegosiasi dalam satu paket yang Economic Partnership (AJCEP) menyeluruh. Hal ini juga memberikan (Dharmastuti,2009). Dalam pertemuan peluang kerjasama bilateral yang lebih tersebut dibicarakan pula rencana AJCEP mudah untuk dipecahkan dan dibentuk akan direalisasikan dalam waktu sepuluh terutama untuk bernegosiasi masalah tahun. Akhirnya, pada 5 November 2002 agrikultur yang dianggap sangat sensitif saat pertemuan ASEAN +3 Summit di oleh kedua belah pihak (Yue,2004). Phnom Penh, Jepang dan ASEAN Dalam kesepakatan AJCEP ini, menandatangani perjanjian kerjasama pihak Jepang juga sangat menekankan Joint Declaration on ASEAN-Japan bahwa kesepakatan ini harus ditempuh Comprehensive Economic Partnership dengan mekanisme single undertaking. (AJCEP) (Hook,2007) . Kesepakatan ini Prinsip ini menjadi pola khas negosiasi memiliki beberapa poin penting yaitu EPA Jepang dan dianggap sebagai Pengurangan batas-batas perdagangan, strategi negosiasi Jepang untuk mencapai investasi, dan jasa, Perbaikan struktur kesepakatan. Prinsip ini merujuk pada industri di Jepang dan industri ekonomi di mekanisme negosiasi dimana ASEAN, serta kerjasama keuangan dan kesepakatan hanya dapat dicapai jika semua pihak sepakat atas semua sektor domestik dan meningkatkan kembali yang dicakup dalam negosiasi ekspornya yang sedang terhambat oleh (Fatnilativia,2008). Jika masing-masing dampak krisis Asia. AJCEP sendiri pihak belum memiliki kesepakatan atas nantinya akan membentuk sebuah komite sektor-sektor yang harus masuk dalam senior resmi yang akan membuat skema EPA, maka negosiasi tidak akan kerangka kasar dari Framework yang berlanjut. Hal ini memungkinkan negosiasi akan dibahas pada tahun 2003 EPA menjadi sangat fleksibel karena para mendatang, memonitor perkembangan pihak yang terlibat didalamnya dapat perjanjian bilateral, dan melaporkan memasukkan berbagai elemen sesuai kembali dalam pertemuan berikutnya yang dengan kepentingannya dijadwalkan pada November 2003 (Fatnilativia,2008). Dalam hal ini, (Rathus,2001). Studi simulasi yang kesepakatan EPA tidak akan hanya terdiri meneliti tentang kesepakatan Jepang dan dari pemotongan tarif dan reduksi atas ASEAN ini menunjukkan bahwa FTA ini produk-produk tertentu melainkan juga akan meningkatkan ekspor dari Jepang ke dapat memasukkan sektor jasa, investasi, ASEAN sebanyak 27,6 persen, dan dari kerjasama ekonomi dan hak kekayaan ASEAN ke Jepang sebesar 44,2 persen. intelektual. Prinsip ini pun juga sangat Hal ini tentunya akan meningkatkan Gross berguna terutama ketika negara memiliki Domestic Product (GDP) sebanyak 0,07 sektor sensitif untuk dinegosiasikan. persen di Jepang dan 1,99 persen di Dalam negosiasi dengan negara- ASEAN (Yue,2004). Sehingga secara negara anggota ASEAN, Jepang untuk keseluruhan, AJCEP dianggap sangat menghapus tarif produk industrial dan membantu Jepang dalam usaha untuk tidak membuka pasar produk memulihkan kembali perekonomiannya pertaniannya, menggunakan elemen yang sempat hancur karena krisis Asia, kerjasama ekonomi sebagai alat dan menjalankan kepentingannya di negosiasi. Jepang memenangkan kawasan Asia Tenggara sebagai usaha kesepakatan dengan menawarkan untuk tetap mendapatkan posisi kuat di kerjasama di sektor pertanian dalam Asia dan meraih kepercayaan bahwa bentuk kerjasama pelatihan perbaikan Jepang merupakan pemimpin Asia,serta sanitasi untuk meningkatkan mutu produk dapat menjadi penyeimbang bagi pertanian partnernya dan melakukan pengaruh Cina di kawasan tersebut. pengiriman tenaga ahli untuk meningkatkan sektor otomotif. Sehingga Pengambilan Kebijakan Luar Negeri menurut Jepang, prinsip ini sangat sesuai di Jepang dengan kondisi yang diinginkan Jepang. Selain dapat memperbaiki Dengan melihat pemaparan perekonomiannya, Jepang tidak perlu dalam penelitian ini, Standard Operating mengorbankan kebijakan nasional yang Procedures (SOP) yang dijalankan selalu menjadi acuan dalam pembuatan pemerintahan di Jepang dalam kebijakan ekonomi luar negeri yaitu pengambilan kebijakan luar negeri dari dengan tidak mengorbankan proteksi Era Perdana Menteri Hayotama Ichiro dalam negerinya, namun tetap dapat tahun 1955 yaitu awal berdirinya sistem menjalin kerjasama ekonomi dengan demokrasi parlementer di Jepang sendiri pihak lain untuk menstimulus pasar hingga Era Perdana Menteri Junichiro Keuangan atau Ministry of Finance Koizumi tahun 2001 memiliki alur yang (MOF), dan Kementerian Pertanian, sama, dimana dalam perumusan Perikanan dan Kehutanan atau Ministry of kebijakan luar negeri di Jepang, birokrasi Agriculture, Foresty and Fisheries dan partai-partai yang ada melakukan (MAFF). Keseluruhan kepentingan dari kerjasama-kerjasama untuk memberikan berbagai kementerian terkait tersebut pertimbangan-pertimbangan dalam nantinya akan dibahas dalam rapat besar pengambilan kebijakan tersebut. Para Kabinet yang dipimpin oleh Perdana pemimpin partai dominan memainkan Menteri. Dalam rapat tersebut akan peran utama dalam menentukan kerangka dibahas isu-isu yang memiliki urgensi dan kerja yang luas dimana kebijakan luar melihat tujuan operasional yang nantinya negeri akan dibuat dan dikembangkan ingin diraih dan bagaimana SOP yang biasanya dengan melibatkan kementerian- dilakukan untuk mendapatkan tujuan kementerian terkait seperti kementerian tersebut. Biasanya dalam SOP yang luar negeri atau Ministry on Foreign Affairs berlaku di Jepang, MOF akan mengambil (MOFA), kementerian keuangan atau tindakan paling awal dalam penentuan Ministry on Finance (MOF), dan kebijakan tersebut, karena hal ini kementerian perdagangan dan industri menyangkut pengendalian anggaran dan atau Ministry on International Trade and budgeting yang dimiliki Jepang sendiri Industri ((MITI) yang selanjutnya pada (Yahuda,2004). Setelah MOF tahun 2001 berubah menjadi Ministry on memutuskan anggaran yang ada dan Economy, Trade and Industry (METI)) usulan kebijakan dari MOF, selanjutnya yang mengajukan kerangka kasar yang akan di bahas kembali oleh kementerian- spesifik dalam kebijakan tersebut. kementerian terkait lainnya. Jika Rancangan ini kemudian harus tunduk kementerian-kementerian tersebut telah pada pengawasan dan persetujuan para setuju dengan usulan tersebut makan pemimpin partai dan perdana menteri, perdana menteri akan segera serta pejabat yang ditunjuk untuk mengajukannya kepada badan legislatif. mengeksekusi kebijakan tersebut Namun apabila ada ketidaksetujuan di (Scalapino, 1976). beberapa pihak kementerian lain yang Sistem pemerintahan Jepang terkait, Perdana Menteri harus dapat terkenal dikendalikan dengan aturan yang memutuskan kebijakan mana yang dapat terus-menerus dan berkelanjutan dari diambil dan nantinya akan diajukan pihak LDP ( Liberal Democratic Party) kepada pihak legislatif. Dalam hal ini yang merupakan partai dominan yang ada Perdana Menteri harus dapat melihat di Jepang, kelompok-kelompok bisnis dan kepentingan nasional dari Jepang sendiri semua kementerian yang ada di atas dan tetap mempertahankan kebijakan birokrasi semi-otonom (Yahuda, 2004). nasional yang sebelumnya pernah dibuat. Kementerian-kementerian yang biasanya Hal ini dilakukan karena Kabinet di terlibat dalam pembuatan kebijakan luar Jepang menganggap akan lebih mudah negeri yaitu Kementerian Luar Negeri atau untuk menggunakan kebijakan Ministry of Foreign Affairs (MOFA), sebelumnya dan mengkolaborasikan Kementerian Perdagangan Internasional kebijakan yang sudah diketahui tingkat dan Industri atau Ministry of International keberhasilannya dan di adaptasikan Trade and Industri (MITI), Kementerian dengan kondisi yang ada dibandingkan harus melakukan perubahan sikap dari berpotensi untuk terkena dampak dari kebijakan yang sebelumnya dibuat krisis tersebut, Jepang tetap memiliki (Yahuda,2004). Kebijakan yang dihasilkan jalinan yang erat dengan negara-negara di oleh eksekutif sendiri pun biasanya pasti kawasan Asia Tenggara yang akhirnya kan disetujui oleh pihak legislatif, karena membuat Jepang pun terkena dampak Jepang merupakan negara dengan sistem dari Krisis Asia tersebut. parlementer sehingga pihak eksekutif dan Untuk mengatasi dampak dari pihak legislatif di Jepang berada dalam krisis Asia, Jepang memiliki beberapa satu payung besar yaitu partai politik yang SOP yang harus dilaksanakan. Dalam hal memenangkan pemilihan umum tersebut. ini MOF yaitu departemen keuangan di Hal inilah yang sering mengakibatkan Jepang yang berhak untuk mengatasi kebijakan yang dibuat cenderung efektif krisis tersebut. MOF mengambil kebijakan karena hanya mengalami penyesuaian dengan menawarkan sebuah badan dengan perubahan kondisi, dan pilihan- bernama Asian Monetary Fund untuk pilihan yang berubah sangat ekstrim dan membantu negara-negara yang terkena mampu memicu pertikaian antar pihak krisis tersebut. Namun hal ini ditolak oleh dapat dihalangi (Yahuda, 2004). Sehingga Amerika dan Cina, yang akhirnya apabila terdapat kebijakan yang tidak membuat Jepang terkena dampak dari dapat mengakomodir kebutuhan Jepang, krisis Asia karena pasar utama Jepang para pembuat kebijakan di Jepang akan mengalami krisis yang sangat berat. terus berusaha untuk membuat suatu Belum lagi dengan adanya ancaman dari formulasi kebijakan yang dapat negara tetangganya yaitu Cina yang tidak diadaptasikan dengan kebijakan Jepang terkena dampak krisis Asia dan berpotensi sebelumnya tanpa harus mengubah mengambil posisi kuat Jepang di kawasan kebijakan nasional yang telah diterapkan Asia. Beberapa kondisi ini membuat Jepang sebelumnya namun tetap Jepang semakin terpojok dengan kondisi mendapatkan tujuan dari pembuatan krisis yang terjadi hingga di tahun 2001. kebijakan tersebut. Pada 26 April 2001, Perdana Menteri yang baru saja terpilih yaitu Kesimpulan Junichiro Koizumi memasuki kabinet pemerintahan. Kondisi perekonomian Jepang yang sebelumnya terkenal Jepang yang sangat buruk di masa itu dengan kemajuan ekonomi yang cukup membuat Junchiro Koizumi yang tidak pesat dan berbagai proteksi yang lama setelah dilantik mulai bertindak diberikannya hingga Jepang mendapatkan dengan mengubah beberapa kebijakan perlakuan diskriminatif dari negara-negara yang dihasilkan dari koordinasinya Barat dan Jepang memutuskan untuk dengan METI, MOFA, dan MOF pada tidak ikut dalam perjanjian perdagangan masa itu. Perubahan beberapa kebijakan bebas, kini sejak tahun 1997 mulai mulai dilakukan, dari privatisasi yang mengubah arah kebijakannya. Negara- dilakukan terhadap perusahaan- negara di Asia harus menghadapi krisis perusahaan nasional hingga mengurangi finansial yang terjadi di tahun 1997 yang subsidi yang diberikan terhadap bank- memberikan efek domino kepada negara- bank nasional yang memiliki masalah negara di Asia. Walaupun Jepang tidak kredit bermasalah dan beberapa sektor industri tradisional yang sangat sensitif seperti pertanian. Meskipun terdapat pertentangan dari pihak LDP yang Daftar Pustaka merupakan partai dominan dan juga partai dari Junichiro Koizumi sendiri, serta Purbantina, Adiasri Putri. 2013. Dari kelompok-kelompok tani yang memprotes Yoshida Doctrine ke Fukuda Doctrine : beberapa kebijakan pemotongan subsidi Politik Luar Negeri Jepang di Asia tersebut, tidak lantas membuat Jepang Tenggara Pasca- Perang Dunia II menyerah. Kabinet pemerintahan . Global and Policy Vol. 1.UPN Junichiro Koizumi justru Veteran Jawa Timur. Surabaya mempertimbangkan pertentangan tersebut untuk membuat suatu terobosan Soerjadi, Bachtiar Agus. 1991. Dinamika kebijakan yang lebih adaptif untuk Politik Dalam Negeri Jepang dan Jepang. Hubungannya dengan Hingga pada akhirnya Pertumbuhan Ekonomi Pasca Pemerintahan Junichiro Koizumi mulai Perang Dunia II. Universitas membuka pasarnya dan mengajukan Airlangga, Surabaya perjanjian perdagangan bebas dengan organisasi regional terbesar di kawasan Hapsari, Wiwin. 2000. Politik Luar Negeri Asia yaitu ASEAN. Perjanjian ini berbeda Uni Soviet Masa Mikhail Gorbachev dengan perjanjian perdagangan bebas dan Politik Luar Negeri Rusia lainnya, karena perjanjian yang lebih Masa Boris Yeltsin dalam Upaya sering disebut Comprehensive Economic Memelihara Hubungan Baik Partnership (CEP) tersebut lebih dapat dengan Republik Rakyat Cina diatur dalam kesepakatannya. CEP pun Perubahan dan Penyebabnya. tidak hanya kerjasama dalam bidang Universitas Airlangga. Surabaya perdagangan saja namun juga memberikan monitoring dan training untuk Yue, Chia Siow. 2004. The Rise of China negara-negara yang berpartner dengan and Emergent East Asian Regionalism Jepang untuk dapat maju seprti Jepang. dalam The Rise of Cina and a Perjanjian ini juga tidak serta merta Changing East Asian Order. memotong tarif masuk untuk keseluruhan Japan Centre for International sektor perdagangan, namun perjanjian ini Exchange. New York lebih fleksibel dimana Jepang dan pihak lainnya dapat mengatur sektor-sektor Sutton, Michael. 2007. Free Trade mana saja yang dapat dimasukkan dalam Agreements, the World Trade kesepakatan tersebut. Sehingga kebijakan Organization ini diharapkan dapat menjadi sebuah and Open Trade. Ritsumei jawaban untuk Jepang agar dapat Bulletin Vol 20-1. Ritsumeikan mengembangkan kerjasama ekonomi University,Japan dengan negara lain tanpa harus mengorbankan sektor-sektor sensitif yang Darmastuti, Shanti. 2009. Persaingan dimiliki Jepang dan tidak juga Ekonomi Antara Jepang dan Cina di mengesampingkan kebijakan proteksi di ASEAN : Tantangan dan Jepang yang selama ini selalu Pengaruhnya bagi Indonesia dipertahankan. dalam Merangkul Cina : Mingst, Karen A. 2003. Essentials of Persaingan Ekonomi antara International Relations. W.W. Norton & Jepang dan Cina di ASEAN . PT Company, New York Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Mintz, Alex. 2010. Understanding Foreign Policy Decision Making. Cambridge Perwita, AA Banyu. 2006. Pengantar Ilmu University Press.New York Hubungan Internasional. PT Remaja Rosdakarya, Bandung Jentleson, Bruce W. 2007. American Foreign Policy : The Dynamics of Choice Scalapino, Robert A. 1976. Foreign Policy in in World Politics. Prentice-Hall, Inc., the 21st Century. W.W. Norton & New Jersey Company. New York

Rathus, Joel. 2011. Japan, Cina and Kegley, Charles W. 2008. World Politics : Networked Regionalism in East Asia. Trends and Transformation. Cengage Palgrave Macmillan, Britain Learning. USA

Rosenau, James N. 1970. Foreign Policy Chung, Duck-Koo, & Eichen Green,Barry. as Adaptive Behavior: Some 2007. Toward and East Asian Preliminary Notes for a Exchange Rate Regime. Theoretical Model. E-Journal Brookings Institution Press. Washington Comparative Politics, Vol. 2, No. 3 DC (Apr., 1970), pp. 365-387, New York Barston, R.P. 1988. Modern Diplomacy. Longman Singapore Publishers (Pte) Ltd. Allison, Graham T. 1971. The Essence of Singapore Decision : Explaining the Cuban Missile Crisis . Little, Brown and Fatnilativia, Dzihnia. 2008. Kepentingan Company, Boston Jepang dalam Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (Economic Partnership Kazuhito,Yamashita.2001.Agricultural Agreement) dengan Indonesia tahun Policy Reform in the 21st Century- An 2007. Agricultural Strategy for Surviving Universitas Indonesia. Jakarta WTO and FTA Negotiations.Research Institute Hook, Glenn D., Gilson, J., Hughes, od Economy, Trade, and Industry, Christopher W., Dobson, Hugo. 2001. IAA, Japan Japan’s International Relations. Routledge Taylor & Francis Group. Great Munakata, Naoko. 2006. Has Politics Britain Caught Up with Markets? dalam Beyond Japan : The Dynamics of East Almond, Gabriel A., Powell, G. Bingham, Asian Regionalism. Cornell Dalton, Russell J., Strom, Kaare. 2008. University Press, London Politics Today : A World View. Pearson Longman. New York BA, Alice D. 2009. The Politics and Economics of “East Asia” in China-ASEAN Relations. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore Pempel, T.J. 2006. A Decade of Political Torpor : When Political Logic Trumps Economic Rationality. Cornell University Press. New York

Sood, Muhammad. 2005. Penerapan Tarif Impor Berdasarkan Ketentuan GATT WTO,AFTA, dan Perundang- undangan Indonesia. Mataram University Press. Mataram

Weatherbee, Donald E. 2009. International Relations in Southeast Asia : The Struggle for Autonomy. Rowman & Littlefield Publishers, Inc. New York

Djafar, Zainuddin. 2008. Indonesia, ASEAN & Dinamika Asia Timur : Kajian Perspektif Ekonomi- Politik. Pustaka Jaya. Jakarta

Adriani .2010. Peran Jepang dalam Kerjasama Finansial Regional Chiang Mai Initiative: Kesinambungan Kebijakan Ekonomi Luar Negeri Jepang di ASEAN pada masa Krisis Asia 1998 dan Krisis Global 2008. Universitas Indonesia : Jakarta