Quick viewing(Text Mode)

AKULTURASI HUKUM ISLAM DAN BUDAYA LOKAL (Studi Terhadap Tradisi Masyarakat Batak Angkola Padangsidimpuan Perspektif Antropologi” Ditulis Oleh Puji Kurniawan

AKULTURASI HUKUM ISLAM DAN BUDAYA LOKAL (Studi Terhadap Tradisi Masyarakat Batak Angkola Padangsidimpuan Perspektif Antropologi” Ditulis Oleh Puji Kurniawan

PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN

Tesis yang berjudul “AKULTURASI HUKUM ISLAM DAN BUDAYA LOKAL (Studi Terhadap Tradisi Masyarakat Batak Angkola Padangsidimpuan Perspektif Antropologi” ditulis oleh Puji Kurniawan. Nim. 11.2.00.1.01.01.0028 telah dinyatakan lulus pada Ujian Pendahuluan yang diselenggarakan pada Kamis, 18 September 2014. Tesis ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar para penguji sehingga disetujui untuk diajukan ke Ujian Promosi.

Jakarta, 29 September 2014

TIM PENGUJI:

1. Prof. Dr. Suwito, MA (...... ) (Ketua Sidang/ Merangkap Penguji)

2. Prof. Dr. H. M. Bambang Pranowo, MA (...... ) (Penguji I)

3. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA (...... ) (Penguji II)

4. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA (...... ) (Pembimbing/ Merangkap Penguji)

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji serta syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga, sahabat dan para pengikut ajarannya. Tesis ini disusun sebagai tugas akhir sekaligus syarat meraih gelar Magister dalam bidang syariah (MA.Hk) di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam- dalamya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu sehingga tugas ini dapat terselesaikan, diantaranya: 1. Ayah dan Ibu (Alm) serta keluarga tercinta yang senantiasa mengiringi dengan doa yang tulus dan motivasi serta semangat dengan harapan semoga penulis diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan studi. 2. Prof. Komarudin Hidayat, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Azyumardi Azra selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada bapak-ibu dosen atas ilmu, bimbingan, dan motivasinya, juga kepada seluruh civitas akademik Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dan memberikan iklim belajar yang kondusif. Semoga menjadi amal baik. 3. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan berdiskusi serta memberikan motivasi. 4. Prof Dr. Suwito, MA, Dr. Yusuf Rahman, MA, Bapak dan Ibu Dosen di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan ilmu, bimbingan dan berbagi pengalaman hidup bagi penulis. 5. Petugas Perpustakaan dan seluruh staf civitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Kelurga besar Bpk H. Ngatimun dan Ibu Hj. Suyati, uwak sekaligus orang tua yang telah memberikan dukungan, nasehat serta terus motivasi penulis untuk menyelesaikan studi. 7. Keluarga besar Istana Hasadaon, Bpk Jonner Rambe Gelar Sri Paduka Ompu Daulat Raja Agung Panuturi Hasadaon (Raja Istana Hasadaon Batang Angkola Tapanuli Selatan), Basa Sahala Harahap Gelar Sutan Enda Kumala Angkola (Raja Bagas Godang Pijorkoling Padangsidimpuan), Khaerul Alam Harahap Gelar Sutan Lembaga Alam (Raja Luat Pijorkoling Padangsidimpuan) beserta seluruh raja-raja Batak Angkola Padangsidimpuan. 8. Adik-adik tersayang; Ahmad Suheri, Ardi dan Lisa Putri Utami yang senantiasa menjadi penyemangat dalam kehidupan penulis. 9. Teman-teman seperjuangan yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, thanks for all. 10. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga amal baiknya mendapat balasan pahala dari Allah SWT. Ami>n ya> rabb al-al’a>mi>n.

i

Akhirnya, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna karena kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat diharapkan untuk penyempurnaan penelitian ini.

Jakarta, September 2014 Penulis

Puji Kurniawan

ii

Abstrak

Tesis ini membuktikan bahwa percampuran Islam dalam tradisi Batak Angkola di Padangsidimpuan menunjukkan Islam dan tradisi lokal merupakan satu kesatuan yang utuh dan bersinergi dalam kehidupan masyarakat. Hal itu dilihat dari bentuk kepribadian masyarakat dalihan natolu (tunggu tiga). Agama sebagai sebuah narasi yang lebih besar masuk ke dalam dunia lokal dan mencoba mengapresiasi tradisi sebagai sarana pengembangan Islam. Islam menjadi agama yang mentradisi dalam masyarakat. Relasi antara Islam dan tradisi lokal telah membentuk habitat baru yang disebut tradisi Islam lokal. Dialektika antara Islam dan budaya menempatkan religi dan ritual lokal sebagai medan kontestasi, seperti tradisi marpege-pege dan mangupa. Kedua tradisi ini merupakan tradisi warisan leluhur yang telah dikenal masyarakat Batak Angkola jauh sebelum Islam masuk ke tanah Batak. Kedatangan Islam memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai adat. Pergeseran nilai-nilai adat pasca masuknya Islam, dari kepercayaan lokal ke nilai keagamaan memberikan warna tersendiri, tanpa mengubah bentuk sistem adat. Pergumulan hukum Islam dan budaya lokal merupakan proses timbal balik yang produktif dan kreatif, sehingga tradisi tidak berdiri sendiri tapi terkait dengan keyakinan, pengetahuan, pengalaman (realitas) dan kondisi spritualitas masyarakat. Penelitian ini mendukung pendapat Lodewiyk Willem Christian van den Berg (1845-1927) dalam teori reseptio in complexu yang mengatakan bahwa umat Islam yang berlaku adalah hukum Islam. Pendapat yang hampir juga disebutkan Joseph Schacht (1902-1969) yaitu adat memberikan kontribusi yang besar dalam formasi hukum Islam. MB. Hooker (1975), Peter L Berger (1929), juga menyebutkan bahwa agama merupakan sistem simbolik yang memberikan makna dalam kehidupan masyarakat dan berfungsi sebagai pedoman tingkah laku sosial. Jhon R Bowen menyebutkan Indonesia yang plural dengan beragam tradisi dan norma adat tidak terlepas dari pengaruh agama. Penelitian Ratno Lukito juga membuktikan bahwa hukum Islam dan hukum adat dalam sebagian besar kasus di Indonesia hidup secara berdampingan. Tesis ini menolak teori receptie Snouck Hurgronje (1867-1936), yang menyebutkan hukum Islam dapat diperlakukan bila telah diterima oleh hukum adat. Tesis ini juga menolak pendapat J.N.D Anderson (1908-1994) dalam tulisannya Reflection on law natural, divine and positive yang menyebutkan arena konflik yang muncul di dunia timur dan barat seperti Afrika, Malaysia maupun Indonesia adalah antara hukum natural dan hak-hak fundamental manusia yakni Hukum adat dengan hukum Agama. Posisi tesis ini membuktikan tradisi Batak Angkola tidak bertentangan dengan hukum Islam. Integrasi hukum Islam dan budaya lokal Batak Angkola telah menjadikan Islam dan budaya menjadi kesatuan yang utuh dan bersinergi dalam kehidupan masyarakat Padangsidimpuan sesuai dengan falsafah “hombar adat dohot ibadat”. Kebudayaan memiliki paradigma dan sistem tersendiri. Agama

v hanya sebagai penuntun dalam mengakrabi realitas budaya dan tradisi Batak Angkola di Padangsidimpuan. Falsafah Batak Angkola menunjukkan prinsif Islam terdapat dalam budaya Batak Angkola dan merupakan bentuk integrasi Islam kedalam budaya, sehingga adat beradaptasi dengan agama. Hal ini terlihat dalam tardisi marpege-pege dan tradisi mangupa. Penelitian ini bersifat fenomenologis dengan menggunakan pendekatan kualitatif dalam persfektif antropologi. Struktur pengumpulan dan klasifikasi data dilakukan dengan memadukan studi dokumentasi dan data dilapangan dengan menggunakan teknik observasi langsung yakni observasi partisipasi dan wawancara.

vi

Abstract This thesis proves that the acculturation between Islam and Batak Angkola tradition in Padangsidimpuan shows that Islam and local tradition can be united and synergized in the community life within the philosophy of dalihan natolu. Religion as a bigger narration enters into the local world, appreciates and uses local tradition as a tool to spread its religious values. This makes the values of Islam rooted within the community. The relation between Islam and local tradition has form a new habit called local Islam tradition. The reciprocal relation between Islam and culture put the religion and local rites in the contestation arena, such as seen in the practice of marpege-pege and mangupa. Both traditions are ancestral heritage which had been widely practiced among Angkola Batak people long before the of Islam in the region. The advent of Islam influenced the traditional values; it shifted the practice of local belief toward religious values without altering the traditional system. The struggle between Islamic law and local culture was a productive and creative reciprocal process, which in turn integrated tradition with the belief, knowledge, experience, and spiritual condition of the community. This research supports Lodewiyk Willem Christian van den Berg (1845-1927) with his theory of reseptio in complexu which said that for Muslim community the acceptable regulation was Islamic law. Almost similar opinion was put forward by Joseph Schacht (1902-1969) which argued that traditional values contributed to the formation of Islamic law. M.B. Hooker (1975) and Peter L. Berger (1929) also explained that religion was a symbolic system that gave meaning to the community life and served as guidelines for social behavior. Jhon R. Bowen stated that Indonesia with its plural traditions and traditional norms was not free from religious influence. A research project by Ratno Lukito also had proved that Islamic law and traditional law in Indonesia, in many cases, were practiced hand in hand. This thesis disagrees with receptive theory by Snouck Hurgronje (1867-1936) which argued that Islamic law would be practiced if compatible with the traditional law. This thesis also refutes the opinion of J. N. D. Anderson (1908-1994) in his Reflection on law natural, divine and positive which argued that the conflict in the West and East such as in Africa, Malaysia, and Indonesia was a conflict between natural law and fundamental human rights, i.e. Customary Law and Religious Law. This thesis proves that Batak Angkola tradition is not contradictory with Islamic law. The integration between Islamic law and local Batak Angkola customary law has united Islam and local culture integral and synergized in the life of Padangsidimpuan community encapsulated within the philosophy of “hombar adat dohot ibadat”. Culture has its own paradigm and system. Religion provides guidelines in dealing with the reality of culture and tradition of Batak Angkola community in Padangsidimpuan. The philosophy of Batak Angkola community shows that Islamic principles are found in the culture of Batak Angkola and is a form of internalization of Islam to the culture so that local custom can adapt with religion. This is materialized in the form of marpege-pege and mangupa. This research is a phenomenology research using qualitative approach within an anthropological perspective. The data was collected and classified by combining documentation study and field study through direct observation and interview. ملخص البحث: أثبت هذا البحث أن التثاقف بني اإلسالم وتقاليد اباتك أنقوال Batak Angkola ببادانج سيدامبووان Padangsidimpuan يدلعلى أن اإلسالم والتقاليد احمللية وحدة ال تتفرق وأن بينهما ترابطا يف حياة اجملتمع بصفته هوية جمتمع داليهان انطالو. والدين بوصفه منطقة أوسع يدخل النطاق احمللّي وجيعل التقاليد من وسائل الدعوة حىت يصبح اإلسالم دينا يتأقلم مع تقاليد اجملتمع. وشكلت العالقة بني اإلسالم والتقاليد احمللية كائنا جديدا يطلق عليه تقاليد اإلسالم احمللية. والعالقة بني اإلسالم والتقاليد جعلت الدين والطقوس احمللية وسيلة السباق. وذلك مثل الشورى والدعاء، فإهنما من تقاليد آابء جمتمع اباتك أنقوال قبل جميئ اإلسالم بقرون. واإلسالم يؤثر يف قيم التقاليد. ولتحول قيم التقاليد من العقائد احمللية إىل العقائد الدينية صبغة متميزة بدون تغري نظام التقاليد. إن الصراع بني األحكام اإلسالمية وبني التقاليد احمللية عملية متبادلة منتجة وخالقة. ومبوجب ذلك أصبحت التقاليد ترتبط ابلعقائد الدينية واملعارف والتجارب وظروف اجملتمع الروحية. ويؤكد هذا البحث رأي لودويك ويليم تشريستييان فان دين بريج Lodewiyk Willem Christian van den Berg )5481-5291( أن ما جرر يف أوساط املسلمني هو احلكم اإلسالمي. ورأي يوسف سخاخ )Joseph Schacht )5292 -5299 أن التقاليد احمللية تسهم إىل حد كبري يف احلكم اإلسالمي، وهذا يشبه رأي لودويك. أضف إىل ذلك أن مب هوكري )MB. Hooker)5211 وبيرت ل بريجري )Peter L Berger )5292 ذكرا أن الدين نظام رمزي يسهم يف حياة اجملتمع إسهامات إجيابية ويتمتع مبَهمة كدليل سلوك اجملتمع. وذكر جون ر بووين Jhon R Bowen أن إندونيسيا بتقاليدها وقيمها املتعددة ال ختلو من اآلاثر الدينية. وأثبتت الدراسة اليت أجرهتا راتنو لوكيتو Ratno Lukito أن معظم األحكام اإلسالمية واألحكام احمللية متكاملة. ويرفض هذا البحث نظرية سنوك هورجرونيو )-5491 Snouck Hurgronje )5299 الذي ذهب إىل أن احلكم اإلسالمي قابل للتنفيذ إذا قبله احلكم القليدي. وجبانب ذلك، يرد هذا البحث ما رآه ج ن د أنديرسون )-5294 J.N.D Anderson )5228 يف دراسته Reflection on law natural, divine and positive من أن النزاع الذي حدث يف املشرق واملغرب كما أنه يف إفريقيا وماليزاي وإندونيسيا يستمد من احلكم الطبيعي وحقوق اإلنسان األساسية، وهو احلكم التقليدي واحلكم الديين. وهذا البحث يثبت أن تقاليد اباتك أنكوال ال تعارض احلكم اإلسالمي. وإن التكامل بنياحلكم اإلسالمي وبني التقاليد احمللية جملتمع اباتك أنكوال شكل اإلسالم والتقاليد جزءا ال يتجزأ هلم وبينهما تعاون. وهذا يتماشى مع شعار "التقاليد والعبادة جزء ال يتجزأ." للحضارة منوذج ونظام متميز. والدين دليل جملتمع اباتك أنكوال ببادانج سيدميبووان على التعايش مع واقعية احلضارة والتقاليد. تدلو فلسفة اباتك أنكوال على أن األسس اإلسالمية موجودة يف تقاليد اباتك أنكوال ونوع من اندماج اإلسالم إىل احلضارة مما يؤدي إىل أتقلم التقاليد ابلدين. ويتمثل ذلك يف تقاليد الشورى والدعاء. هذا البحث حبث فينومينولوجي مستخدما املنهج النوعي يف منظور أنرتوبولوجيا. وقد مت مجع البياانت وتقسيمها جبمع الدراسة الواثئقية والبياانت امليدانية مستعمال أسلوب االستكشافات املشاركة واملقابلة. PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

A. Konsonan

ف = f ز = z ب = b

ق = q س = s ت = t

ك = k ش = sh ث = th

ل = l ص = }s ج = j

م = m ض = }d ح = }h

ن = n ط = }t خ = kh

ه = h ظ = }z د = d

و = w ع = ‘ ذ = dh

ي = y غ = gh ر = r

B. Vokal

1. Vokal Tunggal Tanda Nama Huruf Latin Nama Fath}ah A A َ

Kasrah I I َ ِ D}ammah U U ُ

2. Vokal Rangkap

vii

Tanda Nama Gabungan Huruf Nama

Fath}ah dan ya Ai a dan i ...َ ى

Fath}ah dan wau Au a dan w ...َ و

Contoh: : H}usain : h}aul َحْول ُح َسني

C. Maddah Tanda Nama Huruf Latin Nama Fath{ah dan alif a> a dan garis di atas ـــَـا Kasrah dan ya i> i dan garis di atas ــــِي D}ammah dan wau u> u dan garis di atas ــــُو

(ة) D. Ta’ Marbu>t}ah

Transliterasi ta’ marbu>t}ah ditulis dengan “h” baik dirangkai dengan kata )مدرسة) madrasah (مرأة) sesudahnya maupun tidak contoh mar’ah

Contoh:

al-Madi>nat al-Munawwarah : املدينة املنورة

E . Shaddah

Shaddah/tashdi>d pada transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah itu. Contoh: : nazzala ّنزل

F. Kata Sandang

,dilambangkan berdasarkan huruf yang mengikutinya ا ل Kata sandang jika diikuti huruf shamsiyah maka ditulis sesuai huruf yang bersangkutan, ditulis ا ل dan ditulis “al” jika diikuti dengan huruf qamariyah. Selanjutnya

viii

(القمر) lengkap baik menghadapi al-Qamariyah, contoh kata al-Qamar (الرجل) maupun al-Shamsiyah seperti kata al-Rajulu

Contoh: al-Qalam : القلم al-Shams : الشمس

G. Pengecualian Transliterasi

Pedoman transliterasi ini tidak digunakan untuk kata-kata bahasa arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa Indonesia dan menjadi bagian asma>’ al-h}usna> dan Ibn, kecuali ,اهلل dalam bahasa Indonesia, seperti lafal menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.

ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...... i PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI...... iii PERSETUJUAN PEMBIMBING...... iv ABSTRAK...... v PEDOMAN TRANSLITRASI...... vii DAFTAR ISI...... x DAFTAR TABEL...... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Pembatasan Masalah ...... 9 C. Tujuan Penelitian ...... 10 D. Manfaat dan Singnifikansi Penelitian...... 10 E. Metodologi Penelitian ...... 10 F. Penelitian yang Relevan...... 14 G. Sistematika Pembahasan...... 15

BAB II DISKURSUS HUKUM ISLAM DAN ADAT: MEMAHAMI DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA LOKAL A. Makna dan Fungsi Hukum ...... 17 B. Interelasi Hukum dan Adat...... 26 C. Perdebatan Teoritik Akulturasi Hukum Islam dan Hukum Adat ...... 33

BAB III SETTING SOSIO KULTURAL BATAK ANGKOLA PADANGSIDIMPUAN A. Profil geografis Batak Angkola Padangsidimpuan ...... 45 B. Struktur Sosial Masyarakat Batak Angkola Padangsidimpuan ...... 50 C. Norma dan Hukum Batak Angkola Padangsidimpuan ...... 60

BAB IV INTEGRASI HUKUM ISLAM DAN BUDAYA LOKAL A. Integrasi Hukum Islam dalam Tradisi Batak Angkola ...... 69 B. Marpege-pege: Kerja Sama Sosial dalam Budaya Batak Angkola ...... 80 C. Mangupa: Transformasi Makna dari Sistem Kepercayaan Kenilai Kebudayaan ...... 91

BAB V SARAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN ...... 10 B. REKOMENDASI ...... 108

DAFTAR PUSTAKA...... 109 GLOSSARY...... 123 INDEKS...... 127 BIOGRAFI PENULIS...... DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

No Tabel Hal

1 Tabel 1 Jumlah Desa Pada kecamatan di Kota 50 Padangsidimpuan

2 Tabel 2 Luas Wilayah Kecamatan di Kota 51 Padangsidimpuan

3 Gambar 3.1. Peta Kota Padangsidimpuan 49

4 Gambar 3.2. Dalihan Natolu Batak Angkola 54

5 Gambar 3.3. Fungsi Dalihan Natolu Batak Angkola 59

6 Gambar 3.4. Hubungan dan Silsilah Marga-Marga 61 Batak

xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Persoalan agama dan budaya merupakan salah satu persoalan krusial yang melahirkan banyak penilaian dalam masyarakat. Sebagian kelompok masyarakat menganggap bahwa agama harus steril dari budaya. Kelompok ini memiliki pandangan bahwa agama bukan menjadi bagian terpenting dalam kehidupan. Masyarakat seperti ini, tidak akan mencari solusi hidup dari sebuah agama, tetapi lebih dominan mengedepankan pemecahan masalah secara rasional dan teknologis.1 Evelyn L. Bush menambahkan bahwa masyarakat yang dikendalikan oleh prinsip- prinsip rasionalitas dan oleh berbagai organisasi atau kelompok yang berbasis rasional dianggap sebagai masyarakat sekuler. Wacana terhadap masyarakat sipil global (global civil society) selalu diwarnai dengan kehidupan kosmopolit, komunitas empirik, sains hukum, demokrasi dan hak asasi manusia. Agama akan diposisikan sebagai tantangan untuk meligitimasi kepentingan politik dan ekonomi, karena semua wacana tersebut beresonansi dari prinsip-prinsip renaisans.2 Pada sisi lain, sebagian kelompok masyarakat berpendapat bahwa agama dapat berdialog dengan budaya, selama tetap memperhatikan dan menjaga hal-hal yang berkaitan dengan kemurnian agama. Fenomena tersebut terkait dengan pola pemahaman dan perilaku keagamaan umat Islam, seperti halnya penerapan negara berdasarkan agama dan menjadikan syariah Islam (perda syariah) sebagai acuan di beberapa tempat mayoritas yang berpenduduk muslim. Munculnya gerakan tersebut menunjukkan semangat dan dorongan yang kuat baik secara teologis, sosial dan politik dalam mendirikan negara berdasarkan sistem Islam. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota Padangsidimpuan misalnya mencoba menerapkan kewajiban pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.3 Menurut Peraturan Daerah (Perda) Kota Padangsidimpuan Nomor 5 dan 6 Tahun 2006 bagi siswa yang beragama Islam wajib menggunakan jilbab, busana yang menutup aurat dan pandai baca tulis al-Quran, baik pada tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

1Masyarakat yang memiliki cara pandangan seperti ini, dikenal dengan istilah positivisme, yaitu, manusia hanya mempercayai yang riil berdasarkan ilmu positif (science positive), observasi, dan eksperimen. Sains dan teknologi dijadikan institusi terakhir dalam mengatasi persoalan tanpa mengikutsertakan dimensi transendental. Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 178. 2Evelyn L. Bush, “Measuring Religion in Global Civil Society,” Social Forces 85, No.4 (2007): 1645. 3Kewajibkan pendidikan agama disekolah-sekolah umum juga berlaku di Strasbourg. Kelompok agama dan gereja berperan aktif dalam membantu memperluas kehidupan di perkotaan serta memberikan kontribusi dalam membentuk asosiasi perkotaan dan budaya Lihat Anthony J. Steinhoff, “Religion as Urban Culture A View from Strasbourg 1870-1914”, Journal of Urban History, Vol. 30, (January 2004), 152-188. 1

2

Fenomena tersebut terkadang berlangsung secara mulus tanpa terjadi konflik horizontal, namun tidak jarang menimbulkan polemik, pro dan kontra karena hal yang tersebut bukan bagian dari budaya yang berkembang di masyarakat. Gerakan fundamentalisme4 juga berusaha mengaplikasikan konsep syariah di tengah-tengah masyarakat. Kecendrungan yang muncul dalam gerakan ini adalah konstruksi syariah bercorak Timur Tengah, sehingga ekspresi Arab lebih mendominasi dan menghegemoni tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat, sehingga muncul asumsi bahwa corak Arab merupakan bentuk tunggal yang dianggap paling absah.5 Pembentukan negara Islam tidak bisa hanya terbatas pada argumen-argumen teologis, sosial dan politik, tetapi ada faktor lain yang tidak kalah mendasar, yaitu faktor budaya. Faktor budaya memberikan argumentasi yang berkaitan dengan kecenderungan tata nilai, identitas, etis dan makna kultural, khususnya Indonesia yang dibentuk oleh elemen- elemen plural yang sering kali menjadi kendala utama bagi terbentuknya sistem negara yang berdasarkan agama.6 Fenomena tersebut seakan-akan menggambarkan adanya perseteruan antara hukum Islam dan budaya yang pada akhirnya menimbulkan polemik, apakah budaya yang telah hidup dan berkembang di masyarakat harus tunduk kepada hukum Islam, atau hukum Islam yang harus beradaptasi terhadap budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat. Secara umum, terdapat dua model pendekatan keagamaan dalam studi agama kontemporer, yakni pendekatan tekstual dan kontekstual. Kedua pendekatan ini sering memunculkan pemahaman dan perilaku keagamaan yang berbeda, disebabkan perbedaan pandangan. Pendekatan tekstual lebih membatasi pada sumber nilai (al-Quran dan Sunah) dengan model pemahaman literalis, sementara pendekatan kontekstual memahami bahwa sumber nilai

4Fundamentalisme adalah paham gerakan keagamaan yang menuntut untuk kembali pada ajaran agama yang asli dengan apa yang tersurat di dalam kitab suci, bahkan cendrung memperjuangkan keyakinannya secara radikal, namun dalam konteks ini, penulis sependapat dengan al-Qurtuby yang menggambarkan Islam fundamentalis sebagai gerakan yang menganggap Islam ibarat “obat kapsul” yang siap telan. Kelompok fundamentalis menggambarkan Islam sebagai agama yang lengkap, universal, serba mencangkup, bisa diterapkan pada setiap masa dan tempat. Lebih lanjut lihat, Sumanto al-Qurtuby, Lubang Hitam Agama, Mengkritik Fundamentalisme Agama, Menggugat Islam Tunggal (Yogyakarta: Rumah Kata, 2005), 122-123. Lihat juga Martin. E. Marty dan R. Acott Appleby, Fundamentalism Comprehended (Chicago: Unitersity of Chicago Press, 1955) dan Abdurrahman Kasdi, “Fundamendalisme Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik Wacana dan Politisasi” dalam Tashwirul Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi, No. 13 Tahun 200, 322. 5Fenomena ini mengingatkan pada istilah Cultural Determinism yang digunakan Sobary dalam analisisnya terkait dengan keangkuhan budaya. Pada konteks ini, gerakan Islam Fundamentalis kelihatannya juga terjangkiti virus Cultural Determinism. Lihat Mohammad Sobary, Kang Sejo Melihat Tuhan (Jakarta: Gramedia, 2004), 51-52. Baca Alberto Testa, Gary Armstrong, We Are Against Islam The Lega Nord and the Islamic Folk Devil”, article, posting 14 januari 2012. http://www.sagepublications.com. Diakses pada 24 agustus 2014. 6Yasraf Amir piliang, Bayang-Bayang Tuhan Agama dan Imajinasi (Jakarta: Mizan, 2011), 82.

3 tidak terbatas pada teks, tetapi local wisdom dan konteks sosio-antropologis yang melingkupinya.7 Pendekatan keagamaan dalam konteks local wisdom salah satunya adalah marpege-pege yaitu suatu tradisi yang turun temurun dan berkembang di kalangan masyarakat Batak Angkola Padangsidimpuan. Tradisi ini tidak mengenal batas sosial karena setiap orang mempunyai ikatan primordial dengan kampung halamannya. Menurut kebiasaan lokal masyarakat Batak Angkola Tapanuli Selatan tradisi ini lebih kepada langkah awal dari proses pelaksanaan perkawinan. Tradisi marpege-pege merupakan tradisi markumpul hepeng (mengumpulkan uang) yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat tertentu, untuk membantu calon mempelai laki-laki dalam menyediakan boli atau mahar yang telah ditetapkan oleh pihak perempuan. Tradisi marpege-pege diselenggarakan oleh keluarga calon mempelai laki-laki dengan mengundang seluruh kaum karib-kerabat, handai tolan, dan masyarakat terdekat sebelum dilaksanakannya acara menghantar tanda kepada pihak perempuan. Tradisi marpege-pege merupakan bagian dari wujud kerjasama sosial dalam bentuk interaksi yang terstruktur dalam mengatasi suatu permasalahan di masyarakat, di samping itu marpege-pege juga merupakan bentuk interaksi keagamaan dalam rangka membantu membumikan pernikahan sebagai sunah rasul, walaupun dalam sisi lain memiliki keterkaitan dengan ekonomi masyarakat setempat. Interaksi sosial keagamaan dengan latar belakang kebutuhan antar individu dan antar kelompok masyarakat dalam meringankan beban yang dianggap berat menjadi hal menarik dari kegiatan ini. Tradisi ini juga masih eksis di tengah masyarakat dewasa ini, meskipun di tengah pesatnya terpaan arus globalisasi dan informasi dan gaya hidup yang cenderung hedonis dan individualis. Menurut asumsi penulis tradisi marpege-pege sebenarnya termotivasi secara kuat dari ajaran agama, hanya saja praktik pelaksanaannya tidak terlepas dari pola budaya, karena pada dasarnya agama tidak mengatur secara detail bagaimana para pemeluknya melakukan praktik peribadatan, terutama ibadah ghairu mah{d}ah. Pada area ini kultur lokal diberikan ruang gerak untuk mewarnai bentuk-bentuk peribadatan yang dilakukan komunitasnya termasuk mengekspresikan tradisi marpege-pege yang telah lama dipraktikkan oleh masyarakat Batak Angkola di Padangsidimpuan. Tradisi marpege-pege lahir dari sebuah proses interaksi sosial dalam ruang publik dengan berbagai ikatan normatifnya. Motif tradisi marpege-pege dikalangan masyarakat Batak Angkola antara lain dapat dipahami sebagai bentuk dari sebuah identitas mereka sebagai masyarakat muslim yang memiliki karakter ta’a>wun (tolong menolong), saling membantu dalam rangka membumikan pernikahan sebagai bagian dari anjuran agama. Tradisi marpege-pege juga memiliki keterkaitan dengan filantropi8 Islam dalam hal ini bisa

7M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), v. 8Filantropi adalah sebagai bentuk upaya memberikan pertolongan terhadap pihak yang membutuhkan, hal ini pada awalnya dilakukan oleh para agamawan sebagai upaya amal kebaikan terhadap sesama. Kenyataan ini dapat dilihat baik pada doktrin maupun praktik keagamaan dalam

4 diartikan sebagai kegiatan, baik yang dilakukan oleh sebuah ke maupun kompok atau komunitas masyarakat, dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, diantaranya melalui “budaya memberi”. Keberadaan agama sebagai fenomena abadi, tidak terlepas dari pengaruh realitas sekelilingnya. Praktik-praktik keagamaan pada suatu komunitas masyarakat dikembangkan dari doktrin-doktrin agama, kemudian disesuaikan dengan budaya dan sosio-kultural masyarakat setempat. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya, terkadang terlihat secara jelas dalam ritual keagamaan. Tradisi marpege-pege masyarakat Batak Angkola adalah sebagai bukti dari keterpautan antara nilai-nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara doktrin agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum. Agama dan budaya saling mempengaruhi karena mengandung nilai dan simbol.9 Agama adalah simbol ketaatan kepada Tuhan, sedangkan budaya10 adalah simbol dalam membangun peradaban hidup bermasyarakat. Pada sisi lain, agama dan budaya juga memiliki perbedaan yakni agama adalah sesuatu yang final, abadi dan absolut, sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas yang tidak mendapat tempat.11 Islam diyakini sebagai agama universal untuk seluruh umat manusia dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Quran menyebutkan, ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat manusia.12 Sifat ke-sempurnaan Islam dilihat dari ajarannya yang kompleks dengan segala nilai dan aturan yang mapan. J>.N.D. Anderson mengungkapkan bahwa memahami Islam, memahami pemikiran seorang muslim, berbagai tradisi di berbagai wilayah dunia sebagai bentuk kesetiakawanan terhadap sesama. Bentuk kedermawanan ini disebut charity yang berarti kecintaan terhadap sesama manusia, dan adakalanya disebut sebagai tindakan sukarela untuk kebaikan umum. Lihat Mary Ellen and Molly Mead, Effective Philanthropy (London: MIT Press Cambride, 2006), 1. Lihat Helmut K. Anheier and Regina A. List, A Dictionari of Civil Society Philanthropy and The Non- Profit Sector (London: New York: Routledge, 2005), 196. Lihat Thomas D. Watts, “Charity” dalam Encyclopedia of World Poverty, ed M. Odekon (London: Sage Publication, 2006), 1:143. Lihat Robert L. Playton and Michael P. Moody, Understanding Philanthropy (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 2008), 6. 9Agama dan budaya saling mempengaruhi dan memiliki hubungan yang beragam. Agama memberikan penafsiran kepada budaya dengan cara yang berbeda dan memberikan interpretasi dalam membantu menentukan strategi bagaimana cara yang baik dalam berinteraksi dengan budaya agama yang berbeda. Lihat Reginaldo Prandi, “Religions and Cultures: Religious Dynamics in Latin America”, Social Compass, Vol. 55,(September 2008), 264-274. 10Roymond Williams mendefenisikan budaya dalam tiga cakupan, yaitu: Pertama budaya digunakan pada proses umum perkembangan intelektual, spiritual dan estetis. Kedua budaya bisa berarti pandangan hidup bagi masyarakat, periode atau kelompok tertentu. Ketiga budaya bisa merujuk pada karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktifitas artistik. Peter L. Berger juga mendefenisikan budaya sebagai totalitas produk-produk manusia, baik secara materil maupun non materil. Lihat John Storey. Pengantar Komperhensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop (Yogyakarta: Jalasutra, 2006) 2-3. Peter L. Berger, Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono (Jakarta: LP3ES, 1994), 8. 11Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental (Bandung: Mizan, 2001), 196. 12 Yahya A. Muhaimin, Budaya Politik dan Pembangunan Hukum Nasional dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional (Yogyakarta: UII Press, 1992), 93.

5 masyarakat muslim, ide-ide Islam, politik Islam dan berbagai reaksi keislaman, tanpa memahami pemikiran hukum Islam yang hingga kini masih mendominasi dalam kehidupan umatnya. Memahami Islam tentunya tidak mungkin tanpa memahami ajaran hukumnya, karena hukum Islam merupakan salah satu subjek penting. Hukum Islam13 bukan saja dipandang sebagai suatu aturan yang membimbing prilaku amaliyah keagamaan umat muslim, tetapi hukum Islam juga merupakan penjelmaan konkrit kehendak Allah di tengah-tengah masyarakat.14 Seiring dengan perkembangan zaman, hukum Islam yang di klaim bersifat absolut dan universal dalam level praktik tidak bisa terhindar dari perubahan sebagai sebuah keniscayaan. Secara subtantif agama dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang berbeda, namun memiliki kaitan yang sangat erat, yakni agama produk Tuhan dan budaya sebagai produk manusia. Islam hadir dan bergandengan dengan budaya menimbulkan proses tarik- menarik, integrasi, asimilasi dan akulturasi. Kemunculan Islam mengakibatkan adanya perombakan masyarakat, pengalihan bentuk atau transformasi sosial menuju kearah yang lebih baik. Pada saat yang sama Islam tidak berfungsi sebagai distruptif atau bersifat memotong masyarakat dari tradisi-tradisi masa lampau semata, melainkan ikut melestarikan apa saja yang dianggap baik dan benar dari masa lampau itu dan dipertahankan dalam ajaran universalitas Islam.15 Islam memberikan tempat dan ruang gerak bagi hukum adat dan melegalkan adat dalam sistem hukum Islam, seperti ibadah haji dan umrah yang telah di praktikkan masyarakat Arab jauh sebelum Islam datang.16 Pada periode mujtahid mazhab terlihat beberapa pemikiran yang dipengaruhi oleh sosial budaya, seperti Abu Hanifah menjadikan konsep Istih{san yang menyandar pada ‘urf dalam metode ijtihadnya, Maliki mengambil tradisi yang hidup dikalangan ahli Madinah dan munculnya qaul qadim dan qaul jadi>d dalam spektrum pemikiran Imam Syafi‘i.17 Perkembangan hukum Islam telah menjadi living law dalam masyarakat, bahkan gagasan-gagasan hukum Islam di Indonesia berdasar pada pertimbangan- pertimbangan terhadap tradisi setempat dan memperhatikan kondisi pranata sosial masyarakat. Sejarah Indonesia membuktikan, bahwa hukum Islam merupakan

13Istilah hukum Islam (al- H{ukm al- Isla>miy) tidak dikenal dalam khazanah litelatur Islam (Arab), termasuk dalam Quran dan Sunah. Hukum Islam adalah terjemahan dari istilah barat Islamic Law seperti yang sering digunakan oleh para orientalis dalam karya karya mereka yakni Islamic Law in Modern World tahun 1959 karya J.N.D. Anderson, An Introduction to Islamic Law tahun 1964 karya Joseph Schacht dan History of Islamic Law tahun 1964 karya N.J.Coulson dan para pakar hukum Islam yang menulis dengan bahasa Inggris seperti Hasan Ahmad dalam buku The Early Develoment of Islamic Jurisprudence tahun 1970 dan The Principles of Islamic Jurisprudence tahun 1994. Istilah inilah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Untuk kata shari’ah dalam padanan lain juga terkadang sering disebut dengan istilah Islamic Law, The Revealed Law atau Devine Law. Lihat Ahmad Hasan The Principles of Islamic Jurisprudence: The Command of The Shari’ah and Juridical Norm, Volume I (Delhi: Adam Publisher & Distributors, Cet I, 1994), 396. 14Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (London: Unwin Paperbacks, 1979), 93. 15Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2000), 551. 16Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Islam (Jakarta: Logos, 2004), 11. 17Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II (Jakarta: Logos, cet I, 1999), 375.

6 tatanan hukum yang dipegangi manyoritas penduduk Indonesia dan menjadi hukum yang telah hidup dan diperaktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Pengakuan diatas diperkuat oleh pendapat Lodewiyk Willem Christian van den Berg dalam teori reseptio in complexu, dan di dukung oleh pendapat Hazairin Pada tahun 1963 dengan teori receptie exit, kemudian dilanjutkan dengan munculnya teori receptie a contrario yang dikembangkan oleh Sajuti Thalib. Semua teori-teori tersebut pada intinya menjelaskan bahwa bagi umat Islam Indonesia, yang berlaku adalah hukum Islam.18 Menurut John R. Bowen penduduk Indonesia terdiri dari masyarakat yang pluralistik dan memiliki berbagai macam ritual, tradisi, norma adat dan budaya. Keberadaan norma pada setiap masyarakat tidak terlepas dari pengaruh dan doktrin kepercayaan (agama). Keaneka ragaman budaya di Indonesia tetap memperkokoh semangat kebersamaan, mengakui keunggulan satu sama lain, toleransi dalam menerima perbedaan.19 Berangkat dari pemikiran Erward B. Tylor bahwa kognisi manusia dipengaruhi oleh mentalitas agama. Agama berawal dari kesadaran dan kepercayan manusia terhadap spirit. Taylor juga mengungkapkan bahwa agama memberikan inspirasi dalam kehidupan masyarakat, baik melalui agama formal maupun agama non formal.20 Masyarakat Batak pada umumnya memahami kebudayaan adalah karya luhur generasi terdahulu. Menurut agama malim21 bahwa adat bukan sekedar dari hasil budaya dari setiap generasi ke-generasi yang diturunkan secara turun temurun, akan tetapi keberadaan budaya di tengah-tengah masyarakat dipercaya berasal dari Debata Mulajadi Nabolon dan disampaikan melalui utusannya (rasul) yaitu, para malim, selanjutnya nilai-nilai adat dikemas (disingahon) menjadi butir-butir adat sebagai aturan (patik) yang diakui oleh masyarakat dan disebut sebagai hukum.22 Glifford Geertz, menambahkan bahwa agama bukan hanya sebatas masalah spirit, tetapi telah terjadi hubungan yang intens antara agama sebagai sumber nilai dan agama sebagai sumber kognitif. Model pertama; agama merupakan “pola bagi tindakan manusia” (pattern for behaviour), maka dalam hal ini agama sebagai pedoman yang mengarahkan setiap tindakan manusia. Model kedua; agama merupakan “pola dari tindakan manusia” (pattern of behaviour), maka dalam hal ini agama adalah merupakan hasil dari pemikiran, pemahaman dan pengamalan

18Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi Jakarta, 1999), 73. 19John R. Bowen, Islam, Law and Equality in Indonesia (Cambridge: University Press, 2003), 3. 20Tylor, E.B., Primitive Culture (London: J. Murray: 1891), 135. Baca juga Nuruddin, dkk., AgamaTradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger (Yogyakarta : LKiS, 2003), 126. 21Agama malim adalah aliran kepercayaan masyarakat Batak yang mempertemukan antara manusia dengan Debata Mulajadi Nabolon atau istilah lain Ompu Raja Mulamula dan Ompu Raja Mulajadi (sebutan terhadap yang menguasai alam gaib) melalui sesaji yang bersih dan suci. Secara garis besar ada dua hal yang dituju oleh agama malim yaitu manopoti dosa (penghapusan dosa) dan hangoluan ni tondi (mencari kehidupan ruh). Pengikut agama malim (Pamalim) yang mengamalkan ajaran secara sempurna dengan melewati setiap fase keagamaan yakni roha halimun (perasaan suci) dan ngolu halimun (kehidupan suci) maka akan mencapai tingkat tondi halimun (kesucian jiwa). Lihat Ibrahim Gultom, Agama Malim di Tanah Batak (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 198-199. 22 Ibrahim Gultom, Agama Malim di Tanah Batak, 71.

7 manusia yang tidak jarang telah melembaga menjadi kekuatan mistis. Agama dalam perspektif model yang kedua (pattern of behaviour), sering dipahami sebagai bagian dari sistem kebudayaan.23 Pandangan Geertz di atas dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition, hasil warisan dari pemikiran Ferdinand de Saussure yang mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi menurut Geertz norma atau nilai keagamaan seharusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsep-konsep tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda, pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Modes for reality menunjukkan suatu eksisistensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality, Geertz mengakui agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku masyarakat. Pemikiran agama menurut Geertz bukan semata-mata menstrukturkan kebudayaan, tetapi agama juga menjadi pedoman bagi kebudayaan, yaitu pedoman yang beroperasi melalaui sistem-sistem simbol pada tingkatan emosional, kognitif, subjektif dan individual.24 Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java dan Islam Observed merupakan dua penelitian yang bercerita tentang bagaimana agama dapat dikaji dalam kehidupan masyarakat. Penelitian dalam buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah dan bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat dan memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat, maupun agama sebagai perwujudan dari interaksi masyarakat dengan budaya lokal. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java dan Islam Observed merupakan dua buku monumental yang patut jadikan rujukan dalam mengkaji praktik-praktik keberagamaan dalam masyarakat.25 Pada konsep lain, Emil Durkhem juga menjadikan agama sebagai bagian dari fakta sosial (non material). Durkheim menyebutkan bahwa masyarakat dan agama adalah satu dan sama. Agama adalah cara masyarakat mengekspresikan dirinya dalam bentuk fakta sosial, sehingga agama merupakan realitas objektif yang menjadi pedoman dan tolak ukur bagi tindakan manusia yang harus diikuti dan dipatuhi dalam masyarakat.26 Agama menurut pandangan antropolog adalah bagian dari sistem budaya. Agama dianggap nilai dan harus dipertahankan aspek otoritasnya, karena agama mengarahkan manusia berperilaku yang baik. Agama tidak dipotret dari tradisi

23Pembahasan agama sebagai sistem budaya, baca Clifford Geertz, Religion as a Cultural System, dalam Garry E. Kessler, Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective (Wadswoth Publising Company: An International Thomson Publishing, 1999), 11-12. 24Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 5-10. Lihat Nur Syam, Mazhab-Mazhab Antropologi (yogyakarta: LkiS, 2007), 91. 25Nur Syam, Mazhab-Mazhab Antropologi (yogyakarta: LkiS, 2007), 88. 26George Ritzer Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi (Bantul: Kreasi Wacana, 2011), 19-20

8 besarnya, yakni melihat teks hanya sebagai pedoman, melainkan agama dipotret dari perilaku dan pengamalan sosial keberagamaan, yaitu agama yang sudah banyak dipengaruhi oleh tradisi kecil. Ernest Geller mengatakan bahwa dalam setiap wilayah tradisi besar pasti disertai dengan tradisi kecil.27 Para pemikir dikalangan Islamolog juga menaruh pemahaman yang sama dalam merespon pemahaman keagamaan dari sisi tekstual dan liberal.28 Islamolog berpendapat bahwa agama yang tampil dalam kehidupan masyarakat akan senantiasa beradaptasi dengan zamannya. Agama bukan hanya representasi wahyu murni yang terpisah dari subjektifitas penafsiran manusia, melainkan telah menyatu dan bersinergi dengan kehidupan manusia yang plural. Praktik keberagamaan masyarakat kemungkinan besar adalah bentuk perjumpaan kompromistik antara ajaran Tuhan (agama) dan penalaran subjektif manusia yang disebut budaya.29 Masyarakat Batak Angkola menjadikan agama bagian dari tradisi dan sistem budaya. Praktik adat istiadat tidak terlepas dari pemahaman keagamaan yang dianut masyarakat dan menjadi sebuah sistem, untuk mengatur hubungan kekerabatan dan struktur sosial masyarakat dalihan natolu, kemudian sistem tersebut dijadikan sebagai acuan, rujukan dalam bersikap, berperilaku dan berinteraksi dengan lingkungan sosial, menjadi identitas orang Batak.30 Kajian tentang dialektika agama dan budaya akan terus berkembang karena universalitas agama dalam masyarakat, dan kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Antropologi sebagai ilmu yang mempelajari manusia menjadi sangat penting untuk memahami agama, karena konsep manusia sebagai khalifah merupakan simbol betapa pentingnya posisi manusia dalam memahami agama. Persoalan utama memahami agama adalah bagaimana memahami manusia dan kelompoknya. Kajian tesis ini, lebih melihat kepada bagaimana agama berhadapan dengan budaya lokal adat Batak Angkola. Penelitian ini melihat bagaimana konstruksi hukum Islam berintegrasi dengan budaya lokal Batak Angkola di Padangsidimpuan sebagai wajah Islam yang menyatu dalam adat-istiadat yang disebut dengan budaya Islam lokal. Pertemuan hukum Islam dan budaya lokal Batak Angkola melahirkan integrasi antara Islam dan budaya Batak Angkola sesuai dengan falsafah budaya

27Ernest Gellner, Post Modernism, Reason and Religion (London: Routledge, 1992), 11. 28Leonard Binder, Islamic Liberalsm: A Qritique of Development Ideologies (Chicago, London: The University of Chicago Press, 1988), 243-244. Liberal dalam pandangan Fazlur Rahman hampir senada dengan Leonard Binder dalam buku ini. Menurut Binder sikap liberal dan demokratis adalah sesuai dengan spirit Islam. 29Para Islamolog diantaranya Fazrur rahman dengan konsep neo-modernismenya, Muhammad Abi>d al-Ja>biri dengan post-tradisionalismenya, Mohammed Arkoun dengan post-modernismenya, Nasr Abu> Zaid dengan strukturalismenya, Hasan Hana>fi> oksidentalismenya dan Muhammad Shahrur dengan dan marxismenya. Baca lebih dalam Muhammad al-Ja>biri, Post-Tradionalisme Islam, terj Ahmad Baso (Yogyakarta: LkiS, 2000), V-LIV. Mohammed Arkoun, Al-Fikru al-Usu>li Wasti al-h{{a>latu al-Ta’si>li Nahwa Ta>rikhi>n Akhari>n Li- al Fikri al-Isla>mi, terj. Hasyim Shaleh (Da>ru al- Sha>qi, tt), 329-349. Baca juga Zainul Muhasichin, “Teologi Tanpa Kaki: Jangkar Sosial Studi Islam di Indonesia”,Gerbang: Jurnal Studi Agama dan Demokrasi. 13.5, Surabaya: LSAD: 2003, 86-87. 30Parsadaan Marga Harahap, Horja Adat Istiadat Dalihan Natolu (Bandung: Grafitri, 1993), 15.

9

Batak hombar adat dohot ibadat yang berarti adat dan ibadat saling beriringan. Integrasi antara agama dan budaya memunculkan tradisi baru diantaranya marpege- pege dan mangupa. Perubahan perilaku sosial dan prantik-praktik keberagamaan diatas, dimata ilmuwan antropologi dianggap sebagai bagian dari proses integrasi, asimilasi dan akulturasi.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Mengingat pembahasan mengenai tradisi Islam Batak cakupannya sangat luas, maka penulis melakukan identifikasi masalah demi tercapainya pembahasan secara sistematis. Berkaitan dengan latar belakang di atas terdapat beberapa permasalahan diantaranya: a. Bagaimana sejarah berkembangnya tradisi Batak Angkola pada masyarakat muslim Padangsidimpuan? b. Bagaimana pelaksanaan tradisi Batak Angkola pada masyarakat muslim Padangsidimpuan? c. Bagaimana bentuk interaksi Islam terhadap tradisi Batak Angkola di Padangsidimpuan? d. Apakah tradisi Batak Angkola sesuai dengan hukum Islam? e. Apakah Islam mengalami reduksi kedalam tradisi Batak Angkola? f. Bagaimana nilai sosial yang terkandung dalam tradisi Batak Angkola pada masyarakat muslim Padangsidimpuan? g. Bagaimana nilai keagamaan yang terkandung dalam tradisi Batak Angkola dalam kehidupan masyarakat muslim Padangsidimpuan? h. Bagaimana implikasi tradisi Batak Angkola terhadap interaksi sosial keagamaan masyarakat muslim Padangsidimpuan? i. Bagaimana bentuk pemahaman, keyakinan dan pengamalan masyarakat muslim terhadap tradisi Batak Angkola dalam bingkai budaya Batak?

2. Pembatasan Masalah Dalam kajian ini pembatasan masalah paling tidak terdiri atas pembatasan obyek penelitian, pembatasan ruang. Dalam penelitian ini, penulis membatasi obyek penelitian hanya pada tradisi adat Batak Angkola pada masyarakat Padangsidimpuan sebagai pembatasan ruang. Mengingat bahwa masalah-masalah yang teridentifikasi tersebut tidak bisa dijawab secara keseluruhan, karena itu tesis ini akan dibatasi pada: Bagaimana konstruksi integrasi hukum Islam kedalam budaya lokal Batak Angkola dalam tradisi marpege-pege di Padangsidimpuan?

3. Perumusan Masalah Berdasarkan Batasan masalah di atas untuk lebih terarahnya penelitian ini, penulis membatasi studinya dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana proses integrasi Islam dengan tradisi adat Batak Angkola? b. Bagaimana nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam tradisi adat Batak Angkola pada masyarakat Padangsidimpuan?

10

C. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami corak keberislaman masyarakat Batak Angkola Padangsidimpuan. Menambah wawasan dalam khazanah keislaman. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memahami proses integrasi Islam dalam tradisi Batak Angkola serta budaya mana saja yang sudah terintegrasi oleh Islam.

D. Manfaat dan Singnifikansi Penelitian Manfaat dari penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menambah wawasan keislaman. Sedangkan secara praktik penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bahwa Islam yang dipraktikkan di tengah-tengah masyarakat Padangsidimpuan tidak terlepas dari pengaruh budaya lokal dan tradisi-tradisi yang telah berkembang, sehingga pengamalan ajaran agama, bukan saja bersifat normatif tetapi juga bersifat historis.

E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Data dan informasi diambil berdasarkan fenomena di lapangan (field research) yang bersifat empirik31dan didukung studi kepustakaan. Penelitian ini beranjak dari perilaku sosial32 (skinnerian), yaitu dengan memahami kenyataan sosial dalam hubungan stimulus- respon yang dialami individu ketika berhadapan langsung dengan lingkungan sosialnya. Individu pada dasarnya akan memberi tanggapan (respons) sosial karena mendapatkan stimulus (rangsangan) yang datang dari luar dirinya, baik rangsangan ini datang dari individu atau dari lingkungan sosial yang lebih besar, seperi keluarga atau institusi politik. Penelitian ini adalah penelitian sosial menggunakan pendekatan kualitatif dengan perspektif antropologi yaitu dengan melihat fenomena agama yang memiliki kaitan dengan aspek budaya masyarakat, atau antropologi bertujuan untuk memahami praktik kehidupan beragama masyarakat dalam kaitan dan kesatuannya dengan budaya.33 Penelitian ini diharapkan dapat memunculkan data-data lapangan dengan metode observasi dan wawancara (interview).34 Observasi dilakukan

31Peter Connoly, Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKiS, 2012), 105. 32Agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda dari segi sifat dan sumbernya, namun memiliki kesamaan dalam fungsinya sebagai pranata sosio-kultural masyarakat. Penelitian ini melihat bagaimana tingkah laku sosial, dan beragam bentuk lembaga sosial yang berada pada lingkungan masyarakat, yang salah satunya adalah agama, dan bagaimana agama itu dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat. Agrahan Suhandi, Pokok-pokok Antropologi: Suatu Pengantar, (Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjajaran Bandung, 2003), 37-39. 33Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006), 12-14. 34Burhanuddin Ashshofa, Metode Penelitian Hukum Islam (Jakarata: Rineka Cipta, 1996), 21. Lihat Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 84. Lihat juga Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), 133.

11 terhadap pelaksanaan tradisi adat Batak Angkola di beberapa wilayah Kota Padangsidimpuan berdasarkan kecamatan yaitu Padangsidimpuan Utara, Selatan, Tenggara, Batunadua, Hutaimbaru, dan Angkola Julu. Pada penelitian ini wawancara juga dilakukan terhadap informan melalui keikutsertaannya dalam bergaul di masyarakat, ketekunan pengamatan, serta trianggulasi metode dan sumber data, hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang akurat sehingga menghasilkan penelitian yang baik. Pada kajian ini penulis berangkat dari gejala-gejala sosial35 yang timbul di masyarakat dan terdapat dalam ruang lingkup budaya Batak Angkola di Padangsidimpuan. Peneliti terjun langsung ke lapangan untuk menelusuri gejala- gejala dalam kelompok sosial (social groupings), hubungan antar kelompok atau individu (social relations), atau proses yang terdapat dalam kehidupan masyarakat tersebut (social processes). Studi kepustakaan dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari data-data atau dokumen36 di perpustakaan yang menyangkut pendapat, pemikiran dan konsep para ahli yang terkait dengan tema-tema pokok penelitian atau dokumentasi dengan menggunakan analisis isi (countent analysis),37selain itu subject matter (materi) dalam penelitian ini adalah budaya Batak Angkola yang menyangkut tindakan atas gejala-gejala berupa pemikiran, ritual dan aksi-aksi adat dan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat muslim Padangsidimpuan. Penulis mempunyai pertimbangan subjektif bahwa, peristiwa- peristiwa adat, perilaku-perilaku ketradisian harus dipahami dengan baik. Penelitian ini bersifat deskripsi analitik kritis, dimana nantinya data yang diperoleh dari observasi dan wawancara di lapangan akan disajikan dengan tampilam asli apa adanya dan menggunakan model analisis antropologis. Analisis ini dilakukan untuk menemukan jawaban masalah berdasarkan kajian teori antropologi dan sosiologi. Analisis sosiologis dapat dikatakan bersifat lebih umum karena terkait dengan sesuatu yang dihasilkan dari masyarakat.38

2. Pendekatan Karena penelitian ini mengkaji tentang fenomena hukum Islam dan tradisi adat dalam kehidupan masyarakat, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan antropologi.39

35Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 122. 36Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 72. 37Conten Analysis adalah upaya menelaah maksud dari isi suatu informasi yang termuat dalam dokumen, syair, lukisan, pidato tertulis, naskah peraturan, atau perundang-undangan. Lihat Eal Babbie, The Practice of Sosial Research (California: Befast, 1980). 267. 38Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 367. 39Secara antropologi agama menurut paradigma kultural Durkheim, memiliki empat komponen, yakni: pertama, emosi atau perasaan keagamaan yang membuat manusia menjadi religius. Kedua, sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta gambaran manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud dari alam gaib, dan segala nilai, norma dan doktrin agama. Ketiga, sistem ritus, ini merupakan mekanisme yang digunakan untuk melakukan interaksi dengan Tuhan, dewa, atau mahluk halus. Keempat, umat atau kesatuan sosial, sebagaimana yang dikutif, dalam, Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 144-145.

12

3. Subyek Penelitian. Penelitian ini bersifat kualitatif dan subjek penelitian lebih mengarah kepada informan-informan kunci yang dipilih berdasarkan kriteria dan kategori tertentu yang dapat merepresentasikan kondisi secara objektif di lapangan, baik dari dimensi umur, status dan peranan sosial maupun dengan kategori sosial lainnya. Terkait dengan masalah yang dikaji dan realitas sosial orang Batak Angkola yang sangat patrimonial dalam arti peranan para elit Batak yang masih sangat dominan dalam kehidupan masyarakat Batak, maka studi ini lebih difokuskan pada tokoh adat, alim ulama dan pengamat lainnya, seperti akademisi, politisi dan beberapa diantaranya lapisan masyarakat.40 Penulis juga akan melakukan observasi dan wawancara kepada penduduk asli Padangsidimpuan (masyarakat yang bermarga) dan masyarakat pendatang seperti Jawa, Sunda, Minang yang ikut dalam melaksanakan tradisi Batak pada acara-acara tertentu, agar penelitian ini lebih objektif. Penentuan sumber data dilakukan dengan teknik snowball sampling yaitu teknik yang digunakan seperti teknik bola salju yakni melakukan wawancara, observasi dari satu informan kunci ke informan kunci lainnya secara berkelanjutan, sehingga informasi yang ditemukan semakin lama semakin membesar seperti bola salju sampai akhirnya pencarian informan akan dihentikan ketika informasi sudah dianggap cukup sebagai bahan penulisan.

4. Teknik Pengumpulan Data Struktur pengumpulan dan klasifikasi data dilakukan dengan teknik observasi langsung yakni observasi partisipasi dan wawancara secara mendalam, sebagai perangkat utama untuk mengumpulkan data kualitatif. Melakukan wawancara ke beberapa informan dan dilaksanakan dalam berbagai tempat yang memungkinkan informan menyampaikan gagasan, pendapat, aspirasi, dan pengalaman- pengalamannya secara bebas, lugas, terbuka tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Data dalam penelitian ini, bukan berdasarkan pada banyaknya informan yang diwawancarai, tetapi lebih kepada mencari informasi secara mendalam dari berbagai sumber. Kriteria penentuan informan didasarkan pada intensitas persentuhan informan dengan masyarakat dan pengalaman informan dalam melaksanakan tradisi-tradisi Batak Angkola. Mengingat karena penelitian ini terkait dengan praktik keagamaan yang unik, kompleks dan dinamik, maka untuk mendapatkan informan yang memuaskan

40Menurut Hoebel cara untuk menginvestigasi hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dapat dilakukan dengan tiga. Pertama ideological method yaitu menginvestigasi norma-norma abstrak yang direkam dari ingatan kepala adat. Kedua descriptive method mengamati setiap tindakan nyata, atau perilaku aktual anggota masyarakat dalam kehidupan sehari hari ketika berinteraksi dengan komunitasnya. Ketiga trouble method yaitu mengkaji kasus sengketa adat yang terjadi dalam masyarakat. Lihat Hoebel E. Adamson, The law of Primitive Man, A Study Comparative Legal Dynamics (New York: Etheneum Press, 1954), 5.

13 diperlukan pendekatan kombinasi, maka dalam hal ini wawancara bukan saja dilakukan kepada tokoh adat dan tokoh agama (alim ulama) melainkan juga terhadap pengamat lainnya, seperti akademisi, politisi dan beberapa diantaranya lapisan masyarakat biasa yang bermanfaat untuk melakukan trianggulasi terhadap informan yang diperoleh dari para informan kunci. Kombinasi informan dengan berbagai ragam latar tersebut tidak diwawancarai dalam satu lokasi atau setting komunitas tunggal, tetapi menyebar di wilayah Padangsidimpuan.

5. Analis data Analisis penelitian ini lebih difokuskan pada upaya penafsiran yang dilakukan secara kritis dengan memperhatikan aspek koherensi, autensitas, dan indepedensi. Pengumpulan, pencatatan dan analisa bahan empirik yang berbentuk ungkapan, pengalaman sehari-hari, struktur, wacana, dan stategi yang dilakukan tokoh agama dan tokoh adat dalam melestarikan identitas budaya Batak Angkola merupakan kegiatan yang terintegrasi dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dengan mengelola bahan empirik melalui agresasi life stories dan menjadi pola-pola dalam berbagai kategori. Informasi akan di susun dan diinterpretasikan ke dalam pola-pola perilaku subjek penelitian secara tipikal dan rasional. Langkah tersebut dilakukan untuk menemukan tema dan pola-pola yang muncul dalam data dari topik-topik pembicaraan dengan membuat klasifikasi batasan-batasan yang relevan dengan setting. Penelitian ini dilakukan melalui empat analisa bahan empirik, yaitu:41 Pertama melakukan reduksi data, dengan melakukan penyederhanaan, pengabstrakan dan trasformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis dilapangan (field note). Kedua mereduksi data dan mengarahkan bahan berupa pengalaman informan dengan metode etnografis. Ketiga pemaparan bahan empirik. Pemaparan bahan empirik berupa archetype subjek penelitian, dimulai dengan proses reduksi yang kemudian disajikan dalam bentuk bahan yang terorganisir dengan membuat ringkasan terstruktur, kemudian analisis itu diarahkan pada upaya merumuskan temuan-temuan konsep, pola perilaku, serta kategori elite dominan untuk mewakili masyarakat di Padangsidimpuan dalam mengkonstruksi tradisi adat Batak Angkola. Keempat, penarikan kesimpulan dan verifikasi. Peninjauan ulang ini dilakukan tidak hanya dengan meneliti kembali catatan lapangan, tetapi juga dengan cara mengkonfirmasi kepada informan, bertukar pikiran, baik secara formal maupun informal, seperti diskusi. Cara-cara tersebut di asumsikan dapat membantu dalam mengorganisasikan bahan empirik, analisis dan menarik relevansi bahan lapangan dengan implikasi teoritiknya. Pada akhirnya hasil penelitian ini dapat diuji kesesuaiannya sesuai dengan derajat transferabilitas, dependabilitas dan sekaligus konfirmabilitasnya.

F. Penelitian Terdahulu yang Relevan Pembahasan dalam kajian Hukum Islam dan budaya lokal, telah banyak ditemukan dan dikaji dalam berbagai penelitian atau jurnal diantaranya:

41Mathew B. Miles A. Michel Huberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992), 16.

14

JC. Vergouwen, The Social Organisation and Customary Law of the Toba Batak of Northern Sumatra, menguraikan kehidupan masyarakat Batak Toba sejak tahun 1927-1930. Buku dari hasil riset ini menjelaskan konsep-konsep dasar mengenai kepercayaan asli Batak Toba yang terkait dengan tondi dan sistem kekerabatan. Pada sisi lain buku ini juga menjelaskan sifat otoritas kepala adat yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan bersama.42 Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, menjelaskan bahwa konflik yang terjadi pada masyarakat Batak Toba bukan hanya perseorangan, tetapi juga konflik dalam gereja Batak. Penelitian ini menyimpulkan penyebab konflik bersumber dari pimpinan gereja (Pendeta) yang mempertahankan jabatannya dan pemaksaan pergantian pendeta oleh Puck pimpinan (Ephous). Background konflik biasanya terkait dengan harta gereja maupun keuangan yang berlatar hasangapon dan hamoraon, sehingga lembaga adat pada dasarnya diharapkan mampu mendamaikan konflik yang terjadi dalam gereja dan kehidupan sehari-hari. Disertasi ini ditulis pada tahun 1995 dan edisi revisi diterbitkan pada tahun 2009.43 Arifuddi Ismail, Agama Nelayan Pergumulan Islam dan Budaya Lokal, mengungkap salah satu aspek religiusitas nelayan Mandar, yakni menyangkut ritual nelayan. Ritual nelayan Mandar adalah ekspresi dari sistem religi lokal yang telah mengalami percampuran dengan nalar Islam seperti tradisi makkuliwa dan maqappu yaitu ritual rutin nelayan sebagai persiapan sebelum melaut untuk melaksanakan operasi penangkapan ikan atau telur ikan terbang. Fauzie Nurdin, Integrasi Islam dan Nilai-nilai Filosofi Budaya Lokal Pada Pembangunan propinsi Lampung. Artikel ini menyebutkan bahwa integrasi Islam dan nilai-nilai filosofi budaya lampung mengandung nilai-nilai etis, moral, spiritual, material dan non material yang dimaknai dalam sistem sosial budaya masyarakat Pesawangan Lampung. Nilai-Nilai Islam yang terintegrasi dengan upacara adat Lampung terefleksi dalam filsafat Piil Pesenggiri sebagai pandangan hidup yang dinamis dalam membangun propinsi Lampung.44 Imam Amrusi Jailani, Pemahaman Islam dan Sentuhan Budaya Lokal. Tulisan ini menjelaskan bahwa pemahaman Islam beragam dan rumusan Islam tersebut dihampiri dengan berbagai macam pendekatan, diantaranya pendekatan tekstual- kontekstual dan struktural-fungsional. Penelitian tersebut menggambarkan bahwa realitas Islam ketika bersentuhan dengan tradisi lokal akan membentuk formulasi baru tentang Islam yaitu budaya Islam lokal.45 Muhammad Djakfar, Tradisi Toron Etnis Madura, Memahami Pertautan Agama, Budaya dan Etos Bisnis. Artikel Ini menjelaskan bahwa tradisi toron (pulang kampung) telah mentradisi di kalangan etnis Madura dengan berbagai

42JC. Vergounwen, Masyarakat dan Hukum Batak Toba (Yogyakarta: LKiS, 2004). 43Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009) 44A. Fauzie Nurdin, “Integrasi Islam dan Nilai-Nilai Filosofi Budaya Lokal Pada Pembangunan propinsi Lampung”, UNISIA, Vol. XXXII, No. 71 Juni 2009. 45Imam Amrusi Jailani, “Pemahaman Islam dan Sentuhan Budaya Lokal”, KARSA, Vol. XIII, No. I April 2008.

15 motifnya. Tradisi toron memiliki pertautan antara nilai agama, budaya dan etos bisnis. Penelitian ini menunjukkan di kalangan santri tradisi toron memperingati maulud untuk menghormati Rasul dan ibarat haul bagi kedua orang tua mereka. Non Santri mengadakan maulud sebagai tawasul untuk menebus dosa, kemudian peringatan maulud di kampung halaman merupakan prestis yang mencerminkan kesuksesan bisnis mereka di rantau orang, sebagai bukti pekerja keras.46 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Buku ini berawal dari tesis. Studi ini menunjukkan bahwa di Indonesia hukum Islam dan adat hidup berdampingan dalam masyarakat. Usaha harmonisasi hukum Islam dan adat dalam beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa kedua sistem hukum bersifat terpisah dan tidak dapat direkonsiliasikan, ternyata tidak punya landasan kuat. Dengan demikian aplikasi teori konflik terhadap hukum Islam dan adat adalah arbitrer sifatnya. M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa. Buku ini berawal dari disertasi di Monash University. Penelitian Bambang Pranowo membuktikan bahwa kategorisasi jawa Clifford Geertz itu lemah. Penggunaan santri dan abangan dalam mengkaji kehidupan sosial masyarakat jawa harus dibaca sebagai data lokalitas bukan sebagai laporan tentang jawa yang ada pada saat ini secara umum. Bambang menambahkan pandangan keagamaan masyarakat Jawa harus dilihat sebagai proses yang dinamis ketimbang statis. Pada perspektif keagamaan setiap individu dianggap berada pada proses “menjadi” (becoming) bukan “mengada” (being). Bambang Pranowo menilai Geertz terperangkap dengan tradisi kajian antropologi konvensional yang cenderung mencermati “tradisi kecil” dibandingkan pola yang lebih general.47

G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa bab diantaranya: Bab Pertama berisi Pendahuluan meliputi: Latar belakang, Permasalahan yang terdiri dari identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah. Tujuan penelitian, Manfaat dan singnifikansi penelitian, Metodologi Penelitian, Penelitian yang relevan dan Sistematika penulisan. Pada bab Kedua, menguraikan beberapa pembahasan secara teoritis sebagai dasar dan kerangka berpikir, serta perdebatan akademis seputar kajian hukum Islam dilihat dari sudut pandang antropologi. Secara umum bab ini akan menguraikan makna dan fungsi hukum, interelasi hukum dan adat, dilanjutkan dengan perdebatan teoritik akulturasi hukum Islam dan hukum adat. Pada bab Ketiga perbincangan diarahkan pada setting sosio-kultural masyarakat Batak Angkola yaitu meliputi, letak geografis Batak Angkola di Padangsidimpuan, kemudian menguraikan bagaimana konsep struktur sosial masyarakat Batak Angkola beserta norma dan hukumnya di Padangsidimpuan. Bab Keempat melihat proses integrasi hukum Islam dan budaya lokal. Pada bab ini dijelaskan bagaimana proses integrasi Islam dalam tradisi lokal Batak Angkola. Marpege-pege: sebagai konsep ta’a>wun dalam Budaya Batak

46Muhammad Djakfar, “Tradisi Toron Etnis Madura Memahami Pertautan Agama, Budaya dan Etos Bisnis”, El Harakah, Vol. 14, No. 1 Tahun 20012. 47 M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011), 363.

16

Angkola Padangsidimpuan dan mangupa: transformasi makna dari sistem kepercayaan ke-nilai keagamaan. Kedua tradisi ini adalah sebagai jawaban terjadinya integrasi dan akulturasi Islam dengan budaya lokal pada masyarakat Batak Angkola. Bab Kelima terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi.

BAB II HUKUM ISLAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

Bab ini menguraikan beberapa pembahasan secara teoritis, serta perdebatan akademis seputar kajian hukum Islam dilihat dari sudut pandang antropologi. Secara umum bab ini akan menguraikan konsep hukum dari segi makna dan fungsinya. Pada bagian selanjutnya akan menjelaskan bagian kolerasi atau interelasi antara hukum dan adat dalam bingkai sosio-historis masyarakat. Pembahasan terakhir dalam bab ini terkait dengan perdebatan teoritik akulturasi hukum Islam dan hukum adat berdasarkan beberapa teori.

A. Makna dan Fungsi Hukum Islam Hukum adalah gejala sosial yang selalu berubah, karena mengikuti perkembangan waktu dan tempat. Sir Henry Maine secara ringkas menyatakan hukum berkembang seiring dan sejalan dengan perkembangan masyarakat, dari masyarakat yang sederhana (primitive), tradisional, dan kesukuan (tribal) ke masyarakat yang kompleks dan modern, dan hukum yang inheren dengan masyarakat semula menekankan pada status kemudian wujudnya berkembang ke bentuk kontrak.1 Manusia sebagai pelaku-pelaku hukum dan objek hukum tidak lagi memiliki identitas alami yang lama, melainkan berubah menjadi (hasil) konstruksi. Hasil konstruksi tersebut adalah seperti subjek hukum, hak hukum, asas hukum, proses hukum, hubungan hukum dan akibat hukum. Kendati demikian, masyarakat tempat hukum itu ada dan bekerja tidak sepenuhnya ikut direkonstruksi bahkan untuk sebagian besar tetap menjalani kehidupannya yang biasa, yaitu yang alami.2 Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan. Hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, struktur sosial dan hukum sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Hukum dalam perspektif antropologi bukan semata- mata berwujud peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh negara (state law), tetapi sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari kebiasaan masyarakat (customary law/folk law), termasuk mekanisme-mekanisme pengaturan

1Sir Henry Maine, A Study in Victorian Jurisprudence (New York: Cambridge University Press, 2004), 128. 2Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagad Ketertiban (Jakarta: Uki Press, 2006). 142.

17

18 dalam masyarakat (self regulation) yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order).3 Antropologi juga melihat hukum itu sebagai suatu aspek dari kebudayaan yang teratur dalam mengatur perilaku manusia dan masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dari norma-norma sosial yang telah ditentukan. Adat masyarakat akan menjadi suatu sistem kontrol sosial dan akan mempunyai kekuatan hukum apabila ia digunakan oleh kekuasaan masyarakat. Hoebel juga mengatakan hukum itu ada pada masyarakat yang sederhana dengan hukumnya yang sederhana atau primitive law, hukum itu ada pada masyarakat purba dengan hukumnya yang purba atau archaic law, dan hukum itu ada pada masyarakat yang telah maju dan hukumnya yang modern.4 Secara umum hukum bukan hanya berfungsi sebagai pengendali sosial (social control) dan pengendali perubahan sosial (social engineering), melainkan lebih diharapkan menjadi instrument pemberdayaan masyarakat. Suatu kondisi sosial dimana masyarakat dan negara sama-sama memiliki kepedulian untuk memelihara keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban, baik untuk kepentingan pemenuhan publik maupun pemenuhan kepentingan keperdataan (civil right).5 Roscoe Pound, memaknai hukum dari dua sudut pandang; pertama hukum dalam arti sebagai tata hukum (hubungan antara manusia dengan individu lainnya, dan tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya, atau tata sosial, atau tata ekonomi). Kedua hukum dalam arti kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif (harapan- harapan atau tuntutan-tuntutan manusia sebagai individu atau pun kelompok- kelompok manusia yang mempengaruhi hubungan mereka atau menentukan tingkah laku mereka). Hukum bagi Rescoe Pound adalah sebagai realitas sosial dan negara didirikan demi kepentingan umum dan hukum adalah sarana utamanya.6 Hukum juga dipengaruhi oleh agama, budaya, adat dan kebiasaan setempat. Secara sederhana hukum diartikan sebagai aturan atau seperangkat norma yang menyangkut tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.7

3I Nyoman Nurjaya, “Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum” http://huma.or.id/ document/I.03 Analisa Hukum/Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum_I Nyoman Nurjaya, diakses pada tanggal 18 November 2012. 4Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 1986), 8. 5Jawahir Thontowi, Islam Politik dan Hukum (Yogyakarta: Madyan Press, 2002), 184. 6Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law (New Heaven: Yale University Press, 1954), 24. 7Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 43. 19

Roscoe Pound berpendapat bahwa ketentuan agama juga diakui sebagai hukum, tetapi hukum yang mengandung nilai suci karena berasal dari Tuhan. Keterkaitan hukum dengan agama mempunyai akar yang sangat kuat untuk menghasilkan kewajiban moral agar tunduk dan patuh terhadap hukum karena keberadaan hukum itu mengandung nilai agama.8 Pengaruh agama terhadap hukum dalam Islam menurut Tahir Azhary adalah keterkaitan yang sifatnya turunan (derivasi) yaitu hukum merupakan turunan dari agama (al Di>n al Isla>mi).9 Pendapat di atas didukung Bernard Weiss yang mengatakan bahwa di dalam ajaran Islam, hukum dan agama tidak dapat dipisahkan baik dalam praktek lembaga peradilan maupun dalam kehidupan yang lebih luas sekaligus memberi argumentasi bahwa budaya masyarakat Islam tidak terlepas dari pengaruh ajaran agamanya. Artinya bahwa kehidupan umat Islam dan adat kebiasaannya pasti mengandung nilai-nilai agama meskipun ukuran kuantitasnya tidak selalu sama.10 Keterkaitan agama dan hukum dibantah oleh Dennis Lloyd dengan beranggapan, walaupun agama mempunyai pengaruh besar terhadap hukum, namun dalam kajian hukum sekuler tidak ada anggapan bahwa hukum yang mengatur kehidupan sebagai hukum yang berasal dari Tuhan baik secara langsung ataupun tidak langsung, sehingga pembentukan dan pelaksanaan hukum harus dipisahkan dari pengaruh nilai-nilai keagamaan.11 Penggunaan istilah hukum Islam sebenarnya adalah istilah khas Indonesia yang diterjemahkan dari istilah al fiqh al Isla>mi atau dalam konteks tertentu dari al Shari>ah al Isla>mi. Istilah ini dalam wacana hukum barat disebut Islamic law. Istilah

8Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, 25. 9Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 38. Studi Keterkaitan antara agama dan hukum meliputi tiga teori. Pertama teori separasi yaitu teori yang memisahkan secara tegas antara agama dan hukum. Teori ini dibangun berdasarkan pandangan sekularisme tentang hukum. Kedua teori inklusivisme yaitu teori yang menyatakan bahwa agama dan hukum sebagai dua hal yang saling membutuhkan dan tidak bisa terpisahkan. Teori ini memandang bahwa agama adalah hukum dan hukum itu adalah agama. Ketiga teori derivasi. Teori ini menyebutkan bahwa hukum adalah turunan dari agama. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Angkasa 1995), 34. 10Bernard Weiss, “Law in Islam and in the West: Some Comporative Observations” dalam Wael Hallaq dan Donald P. Little (eds), Islamic Studies: Presented to Charles J. Adams (Leiden: E. J. Brill, 1991), 253. 11Dennis Lloyd, The Idea of Law (New York: Penguin Books, 1991), 47. Secara umum boleh dikatakan dalam pemikiran Barat agama telah dilepaskan dari wilayah hukum, karena pengaruh rasionalisme dan aufkarung yang sangat dominan. Tetapi Federich Juslius Stahl masih mengakui pengaruh agama terhadap hukum. Stahl berpendapat bahwa hukum juga memperoleh kekuatan mengikat dari ordonansi ketuhanan yang menjadi sandaran negara. Sthal juga melanjutkan dengan menyatakan, sekalipun hukum adalah produk pemikiran manusia, tetapi hukum digunakan untuk menegakkan keadilan secara universal dan membantu mempertahankan tata tertib dunia ketuhanan. Lihat Azhary, Negara Hukum, 38.

20 al Hukm al Isla>m juga tidak dijumpai di dalam Quran dan Hadis, tetapi yang ditemukan adalah istilah shari’ah.12 Hukum Islam pada dasarnya merupakan hukum yang dikaitkan dengan kepercayaan agama Islam. Terma Islam itu sendiri mengandung makna ketaatan atau kepatuhan, yakni mentaati perintah Allah dan rasul. Hukum Islam sebagai sistem hukum yang bersumber dari di>n al Isla>m.13 Islam menyakini hukum tidak sekedar bangunan sekuler untuk mengatur kehidupan manusia di dunia tetapi lebih sebagai jalan lurus menuju akhirat.14 Keyakinan tersebut menjadi elemen yang menguatkan karakter Islam sebagai agama hukum. Hukum dan ideologi pada dasarnya tidak dapat dipisahkan. Institusi hukum dibagun dari teologi dan melalui ketaatan hukum, maka teologi dapat dipertahankan. Secara teologi setiap umat Islam diperintahkan untuk tidak mengambil jawaban dari persoalan di luar Islam, karena wahyu adalah solusi dalam tuntunan agama untuk memecahkan permasalahan manusia. Umat Islam memahami terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara agama dan hukum. Umat Islam mengimplikasikan ketaatan kepada hukum yang telah diturunkan oleh Allah, sehingga ketika seseorang menolak untuk mentaati hukum itu, maka konsekuensinya ia telah berhenti menjadi seorang muslim.15 Diyakini oleh ummat Islam bahwa hukum Islam diturunkan langsung dari Tuhan, tetapi dalam proses emanasi diperlukan seorang agen sebagai mediator antara sumber sakral yaitu Tuhan dengan dunia manusia. Hukum Islam juga dianggap sebagai hukum azali dan abadi karena bersumber dari kalam Tuhan, yang menurut aliran teologi dominan bersifat dahulu (qadi>m). Pemahaman bahwa hukum Islam berasal dari kalamTuhan yang qadi>m itulah yang kemudian membuat para ahli hukum Islam, seperti Majid Khadduri dalam bukunya War and Peace in the Law of Islam menyimpulkan bahwa keberadaan hukum Islam sebagai hukum ketuhanan (devine law) jauh lebih lebih dulu muncul keberadaannya dari pada keberadaan masyarakat maupun negara.16 Khadduri juga menyebutkan bahwa Tuhan adalah puncak sumber kekuasaan, karena Tuhan memiliki pengetahuan hukum yang sempurna. Hukum Islam dapat dilihat sama abadinya serta universalnya dengan hukum alam, jika hukum Islam dipandang dari tradisi hukum Barat. Hukum yang sempurna hanyalah dari Tuhan semata. Hukum yang juga digambarkan oleh agama Yahudi sebagai ungkapan

12Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Kencana, 2010), 31. 13Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2008), 183. 14Mohamed Abdel Khalek Omar, Reasoning in Islamic Law: Part One 1997), 149. 15Muhammad Mitwalli al Sha’rawi, Qada>ya Isla>miyyah (Beirut: Dar al Shuruq, 1977), 35. 16Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, diterjemahkan oleh Kuswanto (Yogyakarta: Tarawang Press, 2002), 20. 21 kehendak Tuhan atau sebagai ciptaan langsung dari Tuhan, ditempatkan setingkat lebih tinggi oleh para ahli hukum Islam menjadi sejajar dengan Tuhan, setelah aliran ortodoks memperoleh kemenangan dari kaum rasionalis Mu’tazilah. Hukum ketuhanan yang mulanya diwujudkan dalam substansi Quran, yang ada dalam diri tuhan sendiri, berbentuk kitab suci yang mungkin disebut hukum alam.17 Eksistensi hukum Islam sebagai hukum tertinggi dalam ajaran Islam, sama halnya dengan hukum alam yang diakui masyarakat di belahan dunia Barat sebagai bentuk tatanan resmi ideal yang terdiri atas hak dan kewajiban tertinggi,18 maka hukum Islam juga dipandang sebagai sistem resmi ideal oleh umat Islam sebagai hukum ketuhanan, keberadaannya dianggap sempurna, abadi dan benar-benar dianggap hukum yang sesungguhnya, dibuat dan berlaku sepanjang masa dengan karakter universal yang bisa diterapkan seluruh umat manusia. Pemahaman tentang hukum Islam yang demikian itu telah begitu melembaga dan berakar berurat pada benak pada ahli hukum Islam, yang pada perbincangan selanjutnya dihadapkan dengan hukum buatan manusia (man made law).19 Menurut Amin Ahsan Ishani ada perbedaan yang mendasar antara hukum Islam dan hukum buatan manusia dilihat dari aspek awal kemunculan dan sumber pembentukannya. Man made law muncul bersamaan dengan kebutuhan manusia ketika mereka sudah berbentuk kelompok atau komunitas, sedangkan hukum Islam muncul untuk memenuhi kebutuhan manusia manakala mereka masih sebagai individu. Man made law jika dilihat dari pembentukanya berasal dari kebiasaan dan tradisi masyarakat, sedangkan hukum Islam berdasarkan wahyu yang bersumber dari Tuhan sebagai pencipta manusia. Berdasarkan perbedaan itu logika hukum yang dipakai adalah hukum ketuhanan lebih sempurna dari pada hukum buatan manusia, karena hukum ketuhanan dibentuk oleh Tuhan sendiri, maksudnya Tuhan tidak mungkin menciptakan hukum yang tidak sesuai dengan kodrat makhluk ciptaannya.20 Kehadiran Muhammad sebagai penerima risalah dipercayai sebagai agen yang sakral dimana kehendak Tuhan dapat diterjemahkan dan diterima dalam kosa kata manusia.21 Proses tersebut menggambarkan Muhammad memainkan peran penting dalam tradisi hukum Islam. Muhammad bukan hanya sebagai utusan, tetapi juga model percontohan dalam menjalani hukum Tuhan. Peran Muhammad dalam

17Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Alquran (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001), 60. 18Penjelasan secara rinci tentang hukum alam, baca Heinrich A. Rommen, The Natural Law: Studi Legal and social history and Philosophy (Indianapolis: Libertty fund, 1998), 10. 19Amir Ahsan Ishani, Islamic Law: Concept and Codification (Lahore: Islamic Publication, 1998), 1-12. 20Amir Ahsan Ishani, Islamic Law, 24. 21Bernard G. Weiss, The Search for God’s Law: Islamic Jurisprudence in the Writings of Sayf al Din al Amidi (Salt Lake City: University of Utah Press, 1992), 83-84.

22 menjembatani antara hal yang sakral dengan profan atau antara teologi dan hukum menjadikan posisi nabi (sunah) menjadi referensi yang kedua dalam sumber hukum Islam.22 Hukum Islam dalam prosesnya sangat menggunakan logika. Menurut Wael Hallaq hukum Islam memiliki kaitan yang sangat erat dengan logika dan sekaligus menunjukkan bahwa hukum Islam sudah menjadi biasa dan terbuka terhadap perubahan sesuai dengan perkembangan tuntutan. Kebiasaaan dan adat kedaerahan dalam suatu negara atau kelompok tidak aneh jika ada kejadian bahwa hukum Islam menampakkan suatu perbedaan antara yang ada disatu negara dengan negara lain khususnya hal-hal yang berkaitan dengan muamalah.23 Hukum Islam adalah suatu sistem hukum di dunia yang sumber utamanya adalah wahyu, sehingga mempunyai konsekuensi adanya pertanggungjawaban di akhirat. Hukum Islam dapat berupa hukum yang secara langsung berasal dari wahyu atau hukum yang merupakan hasil ijtihad para mujtahi>d. Hukum Islam juga dapat dijadikan sumber hukum tidak tertulis oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara. Hakim yang memutuskan suatu perkara dengan berdasarkan pada keyakinannya dapat memperoleh inspirasi dari hukum Islam atau bahkan secara utuh dapat menggali dari hukum Islam. Hal ini diakui dalam sistem peradilan yang mengakui kedudukan hakim sebagai sumber hukum itu sendiri atau menempatkan hakim untuk menggali hukum tidak tertulis sebagaimana yang ada pada sistem hukum Indonesia.24 Hukum Islam juga memiliki karakter yang sama dengan hukum umum yaitu mempunyai sanksi sekaligus dapat dijadikan bahan untuk dijadikan hukum positif. Hukum Islam merupakan hukum agama dan hukum moral serta memiliki nilai-nilai moralitas sehingga dalam banyak hal dipraktekkan oleh pengikutnya dalam rangka amaliah ajaran agama yang mempunyai konsekuensi akhirat. Konteks ini menunjukkan bahwa hukum agama khususnya Islam dapat membudaya dan menjadi kebiasaan dalam kehidupan umat.25 Hukum Islam dalam konteks Quran disebut dengan istilah shari’ah. Secara etimologi kata syariah berasal dari bahasa arab al- Shari>at yang berarti jalan menuju sumber air atau jalan yang harus diikuti, yakni jalan kearah sumber pokok

22Apa yang diperintahkan Rasul Kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat Keras Hukumannya (Q.S. 59:7) Barang siapa yang mentaati Rasul sesungguhnya dia telah mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling dari ketaatan itu, maka Kami tidak mengutus-Mu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Q.S.4:80) Sesungguhnya telah ada pada diri Rasul itu suri tauladan yang baik (Q.S. 33:21) 23Wael Hallaq, “The Logic Of Legal Reasoning in Religious and Non Religious Cultures: the Case of Islamic Law and the Common Law“ dalam Cleveland State Law Review, 1986), 98. 24A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional; Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 86. 25A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional, 87. 23 kehidupan. Secara harfiah kata shari’ah berasal dari kata kerja shara’a berarti menandai atau menggambar jalan yang jelas menuju sumber air. Istilah syariah dalam konteks kajian hukum Islam lebih menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupakan hasil dari proses tashri>’.26 Secara bahasa, syariah berarti jalan tempat keluarnya air untuk minum.27 bangsa Arab menggunakan kata ini untuk konotasi jalan lurus. Istilah syariah jika dikaitkan dalam ranah hukum bermakna segala sesuatu yang di syariatkan Allah kepada hamba-hambanya sebagai jalan lurus untuk memperoleh kabahagiaan dunia dan akhirat.28 Manna>’ al Qat}an berpendapat bahwa istilah syariah itu mencakup aspek akidah dan akhlak disamping aspek hukum, sebagaimana dia katakan bahwa syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.29 Sejalan dengan ini Faruq> Nabha>n juga berpendapat bahwa syariah mencakup aspek akidah, akhlak dan amaliah, namun menurut Fa>ruq istilah syariah berkonotasi fikih yaitu norma-norma fikih beserta kajiannya.30 Pemakaian yang religius, kata syariah memiliki makna jalan hidup yang baik, yaitu nilai-nilai agama yang diaplikasikan secara fungsional dan menjelma dalam kehidupan yang kongkrit dan ditujukan untuk mengarahkan kehidupan manusia.31 Quran menggunakan kata shir’at dan shari>’at dalam beberapa surah diantaranya: QS. al- Ma>idah (5): 48, QS. al- Shu>ra (42): 13, 21 dan QS. al-Ja>shiyat (45): 18 dalam arti di>n atau agama dengan pengertian jalan yang telah ditetapkan Tuhan kepada manusia. Syariah disamakan dengan air, yang menunjukkan bahwa siapa yang mengikuti syariah ia akan mengalir bagaikan air dan memiliki jiwa yang bersih. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana menjadikan syari’ah sebagai penyebab kehidupan dalam jiwa manusia.32 Pada awalnya istilah syari’ah identik dengan di>n. Sehingga syariah didefenisikan sebagai semua peraturan agama yang ditetapkan al Quran maupun Hadis, karena mencakup ajaran-ajaran pokok agama, yakni ajaran-ajaran yang berkaitan dengan Allah dan sifat-sifat-Nya, akhirat, dan yang berkaitan dengan

26Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarata: Rajawali Press,1993), 1. 27Manna>’ al Q{at}t}an>, Tari>kh al Tashri>’ al Isla>mi> al Tashri>’ wa al Fiqh, (Muassasah al risa>lah, t.th), 14. 28Muh}ammad Fa>ruq Nabha>n, al Madh}al li al Tashri>’ al Isla>>mi, (Beirut, dar al Qalam, 1981), 11. 29Manna>’ al Q{at}t}an>, Tari>kh al Tashri>’ al Isla>mi> al Tashri>’ wa al Fiqh, 15. 30Muh}ammad Fa>ruq Nabha>n, al Madh}al li al Tashri>’ al Isla>>mi, 13. 31Lihat Muh}ammad Ibnu Ya’kub al- Fairu>zaba>diy, al- Qa>mu>s al- Muh}i>t}, (Beirut: Da>r al-Fikr, cet I, 1995), 659. Lihat Fazlur Rahman, Islam, Alih bahasa oleh Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1984), 140. Lihat juga Ahmad Hasan, The Principles of Islamic Jurenprudence, Volume I, (Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1994). 1 32Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, cet I (Jakarta: Logos, 1999), 1.

24 pembahasan-pembahasan ilmu tauhid. Syariah juga mencakup etika yaitu cara mendidik diri (individu), keluarga, dan dasar-dasar hubungan kemasyarakatan, disamping itu syari’ah juga mencakup hukum-hukum Allah yang menyangkut tingkah laku atau perbuatan manusia, yaitu halal, haram, makruh, sunah serta mubah, dan kajian ini sekarang masuk dalam kategori fiqih.33 Pada abad ke dua hijriah atau abad ke-9 Masehi kata syariah mulai digunakan secara sistematis dan pemakaiannya dibatasi dalam penyebutan hukum saja. Sedangkan teologi dikeluarkan dalam cakupannya. Syariah juga dibedakan dengan agama (di>n) karena agama adalah satu dan berlaku secara universal sedangkan syari’ah berlaku untuk masing-masing umat dan berbeda dengan umat-umat yang lain atau umat yang sebelumnya.34 Dengan demikian syariah lebih khusus dari agama, atau agama memiliki cakupan yang lebih luas dari syariah dan syariah bagian kecil dari agama. Secara terminologi syari’ah adalah aturan yang ditetapkan Allah untuk dijadikan pedoman bagi manusia dalam hubunganya dengan Tuhan, saudara sesama muslim, sesama manusia, dengan alam dan kaitannya dengan kehidupan.35 Muhammad Yusuf Musa juga mengutip pendapat Muhammad Ali al-Tahanwy, syariah adalah hukum-hukum yang sudah ditetapkan Allah melalui seorang rasul sebagai pedoman bagi hamba-hambanya, baik yang berkaitan dengan hukum- hukum cabang (furu>’) dan amaliyah yang dikodifikasikan dalam ilmu fiqih ataupun yang berkaitan dengan hukum-hukum pokok i’tiqodiyah yang dikodifikasikan dalam ilmu kalam.36 Hukum Islam37juga memiliki kaitan yang sangat erat dengan persoalan fikih meskipun fikih dapat diartikan sebagai hukum Islam. Hukum (law) bukan hanya identik dengan undang-undang saja, karena menurut Qodry Azizy hukum yang menyangkut tentang al-Ahkam al- Khamsah dalam kajian fikih lebih dekat dengan etika beragama.38 Pendapat ini sama dengan pandangan Josep Scahcht yang

33Lihat Muh}ammad Yu>suf Mu>sa>, al- Isla>m wa al-H{a>jat al- Ih}sa>niyyat Ilaih, alih bahasa oleh A. Malik Madani dan Hamim Ilyas dengan judul Islam Suatu Kajian Komprehensif, (Jakarta: Rajawali Press. Cet. I, 1988), 131. Lihat juga Ahmad Hasan, The Principles of Islamic Jurenprudence, Volume I, (Delhi: Adam Publisher & Distributors), Cet I, 1994. 1 34Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya, 1993), 14. Lihat Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Ciputat: Ciputat Press, 2005), 38. 35Mah}mud Shaltu>t, al-Isla>m aqi>dat wa Shari>’at (Kairo: Da>r al- Qalam, Cet. III, 1966), 12. 36Muh}ammad Yu>suf Mu>sa>, al- Isla>m wa al-H{a>jat al- Ih}sa>niyyat Ilaih, 131. 37Istilah Hukum Islam, fiqih, syari’ah kini telah menjadi istilah yang identik dalam penggunaan dewasa ini. Meskipun istilah tersebut memiliki perbedaan dalam sudut historis dan makna literalnya. Taufik Adnan Amal, menjelaskan bahwa penyebutan hukum Islam dan fiqih maknanya sama yaitu secara sebagai aturan hidup. Fiqih berasal dari istilah arab, sedangkan hukum Islam dari bahasa Indonesia, walaupun ada juga yang membedakannya. Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1992), 3. 38A. Qadri Azizy, Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihat Sesuai Saintifik Modern (Jakarta: Teraju, 2003), 14-15. Lihat Azizy, Elektisisme hukum Nasional, 13. 25 mengartikan hukum Islam sebagai sekumpulan aturan agama, totalitas perintah Allah yang mengatur perilaku kehidupan umat Islam dalam seluruh aspek kehidupan.39 Fikih adalah ilmu yang kadang dapat digunakan sebagai sinonim syariah walaupun keduanya berbeda. Syariah erat kaitannya dengan wahyu, pengetahuan dari al Quran dan Hadis. Sebaliknya, fikih sebagian besar dikembangkan oleh para fuqaha dan terdiri dari aturan-aturan yang didasarkan pada penalaran (ijtiha>d) terhadap al Quran dan Hadis.40 Fikih sendiri merupakan suatu konsep yang sudah merata di kalangan masyarakat muslim. Kuatnya pengaruh fikih dalam ranah pemahaman dan kegiatan hidup umat Islam telah mendorong munculnya persepsi fikih sentris yang mengukur semua diskursus kehidupan mereka dalam kerangka fikih. Cara pandang itu juga tergambar dalam tradisi keagamaan umat Islam, sehingga muncul ungkapan bahwa tradisi Islam adalah tradisi fikih. Secara Normatif fikih hampir mencakup semua aspek kehidupan, mulai dari ritual peribadatan, perdata, pidana, sampai kepada hubungan antar agama (Islam dan non Islam) bahkan hubungan internasional antara negara muslim dan non muslim.41 Seiring dengan perkembangan zaman konsep fikih terus tumbuh dan berkembang dalam bingkai sosio-historis masyarakat muslim. Hal ini menunjukkan bahwa fikih merupakan fenomena peradaban, kultur dan sosial masyarakat muslim. Hukum Islam dalam tataran ini telah membumi dalam realitas kehidupan masyarakat dan teraplikasi melalui berbagai institusi, baik institusi keluarga, masyarakat dan negara. Hukum Islam yang di klaim bersifat absolut dan universal dalam level praktik tidak bisa menghindar dari perubahan, hal ini dapat dipahami dengan munculnya berbagai aneka ragam dan variasi perkembangan pemikiran dan praktik fiqih dalam konteks yang lebih spesifik, baik tingat lokal, regional maupun nasional.42 Kaidah fikih menyebutkan “berubahnya hukum disebabkan oleh berubahnya waktu dan tempat, memberi sinyal bahwa hukum Islam akan senantiasa berintegrasi dengan situasi dan lingkungan yang mengitarinya. Secara umum hukum bukan hanya berfungsi sebagai pengendali sosial (social control) dan pengendali perubahan sosial (social engineering), melainkan lebih diharapkan menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat. Suatu kondisi sosial, dimana

39Joseph Schatch, Pengantar Hukum Islam, terj: Joko Supomo, (Yogyakarta: Islamika, 2003), 1. 40Mohammad Hashim Kamali, Membumikan Syariah (Jakarta: Mizan, 2013) 41Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transfortasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid institute, 2007), 46. 42Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),10.

26 masyarakat dan negara sama-sama memiliki kepedulian untuk memelihara keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban.43 Hukum Islam dalam bahasa lain merupakan seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung dan tegas oleh Allah atau ditetapkan pokok-pokoknya untuk mengatur hubungan manusia dan Tuhannya, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam semesta.44 Keterangan ini menjelaskan bahwa hukum Islam itu qadi>m artinya telah ada sejak sebelum manusia ada, karena ia adalah firman Allah yang bersifat nafsi azali. Hukum Islam juga bersifat konstan artinya tetap berlaku secara uviversal sepanjang zaman. Konsep hukum menurut fikih pada dasarnya terletak di atas pandangan bahwa hukum Islam itu bersifat keagamaan. Sejak periode awal sejarah Islam hukum dipandang bagian dari syariah. Adapun syariah adalah pola tingkah laku manusia yang diatur oleh Allah. Konsep hukum seperti ini sejalan dengan pandangan bahwa hukum itu harus bersumber langsung atau tidak dari wahyu Allah yaitu al Quran dan dan penjelasannya dari Nabi Saw yang disebut sunah45 Pada prinsipnya hukum Islam adalah perintah Tuhan (devine law), karena sipatnya yang mengikat sebagai cita-cita agama yang berbeda dengan hukum buatan manusia (man made law) dan dianggap sebagai penomena sosial yang tunduk pada kebutuhan-kebutuhan manusia dan nilai-nilai. Hukum dalam ajaran Islam dipahami sebagai institusi yang tidak berakar maupun diukir dari sosiologi. Hukum Islam adalah hukum yang dipahami sebagai sarana mengabdi kepada Tuhan. Akal manusia hanya berfungsi sebagai alat menemukan hukum melalui ijtiha>d.46

B. Interelasi Hukum Islam dan Adat Istilah adat sering di terjemahkan sebagai suatu kebiasaan (custom). Adat itu sendiri tidak sesederhana makna aslinya yang diambil dari bahasa Arab yakni ‘adah atau ‘urf. 47 Keuniversalan makna adat dapat dibedakan dalam tiga aspek: pertama

43Caroline Baillie, Engineering and Sosial Justice: In the University and Beyond (West Lafayette, Indiana United States: Purdue University Press, 2011),vii 44Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 5. 45Ahmad Ropiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 2001), 23- 24. 46AA Oba, Islamic Law As Customary law: The Changing Perspectif in Nigeria, 2002), 51. 47Menurut Ratno Lukito ‘adah disinonimkan dengan ‘urf , dalam sejarah Islam memiliki sejarah semantik yang menarik. Secara literal ‘adah berarti kebiasaan, adat, praktek. Sementara arti kata ‘urf adalah sesuatu yang sudah diketahui. Beberapa ahli menggunakan mendefenisikan secara lughawi ini untuk membedakan kedua arti kata tersebut. Mereka berpendapat ‘adah mengandung arti pengulangan atau praktek yang sudah menjadi kebiasaan yang dapat digunakan untuk kepentingan individu (‘adah fardiyyah) maupun kelompok (‘\adah ijtima>‘iyah). Pada dimensi lain ‘urf juga diartikan sebagai kegiatan yang berulang-ulang yang dapat diterima oleh orang yang berakal sehat. Oleh karenanya‘urf dalam arti ini lebih merujuk kepada suatu kebiasaan dari sekian banyak orang 27 adat dapat diartikan sebagai hukum, aturan, ajaran, moralitas, kebiasaan, kesepakatan, tindakan yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Hukum dalam hal ini dipandang sebagai tingkah laku yang benar dalam kehidupan bermasyarakat dalam hubunganya dengan orang lain (sesama manusia) maupun dengan alam sekitarnya. Kedua terma adat secara spesifik kadang dihubungkan dengan praktik kebiasaan yang berlaku di daerah tertentu. Ketiga adat dapat dapat diartikan sekumpulan litelatur dari dan tentang adat yang diproduksi para ahli administrator maupun ahli hukum.48 Hukum Islam memberikan apresiasi terhadap adat dengan konsep al ‘a>dah al muhakkamah. Kaidah ini memberikan sinyal bahwa adat atau tradisi adalah bagian dari valiabel sosial yang mempunyai otoritas hukum. Adat dapat mempengaruhi hukum secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor eksternal non implikatif, namun sebaliknya memberikan ruang akomodatif bagi adat. Kenyataan ini membuktikan bahwa hukum Islam bersifat fleksibel. Karakter hukum Islam yang bersifat akomodatif terhadap adat amat sesuai dengan fungsi Islam sebagai agama universal. Wajah Islam diberbagai masyarakat dunia tidak berwajah tunggal (monolitik), akan tetapi keanekaragaman tetap berada dalam bingkai wihda>t al manha>j (kesatuan manhaj).49 Secara teoritis adat tidak diakui sebagai salah satu sumber dalam jurisprudensi Islam, namun dalam perakteknya adat memainkan peranan yang sangat penting dalam proses kreasi hukum Islam dalam berbagai aspek hukum yang muncul di negara-negara Islam. Fakta yang menunjukkan bahwa sejak awal pembentukan hukum Islam kriteria adat lokal justru lebih kuat dan mengalahkan praktek hukum yang dikabarkan berasal dari nabi sendiri. Para ahli hukum Islam dengan kata lain berusaha menerima berbagai bentuk praktek adat kedalam hukum Islam.50 Hukum Islam tidak hanya dipahami sebagai ideologi yang kaku terhadap simbol-simbol dan bertindak oposisi terhadap tradisi masyarakat. Islam merupakan agama dinamis, elastis dan akomodatif terhadap budaya lokal. Konsep untuk memadukan unsur budaya yang tidak bertentangan dengan hukum Islam menjadi

dalam suatu kelompok masyarakat. Sedangkan ‘adah lebih berhubungan dengan kebiasaa sekelompok kecil orang tertentu. Lihat Ratno Lukito Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Islam (Jakarta: Logos, 2004), 1. Dengan demikian walaupun terdapat perbedaan dalam kedua kata tersebut, fuqaha lebih cenderung untuk memahami dalam arti yang sama. Lihat Wahbah az Zuhaili Us}ul al- Fiqh al- Isla>mi (Damaskus: Da>r al Fikr, Jilid II, 1986), 828-829. 48M. B. Hooker, Adat Law in Modren Indonesia (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978) 50-51 49Rijal Mumazziq Zionis “Posisi Urf Dalam Struktur Bangunan Hukum Islam”, Jurnal Falasifa, Vol 2, September 2011. 50A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional, 87.

28 pola dalam konsep kehidupan bermasyarakat adalah bentuk relasi hukum Islam terhadap budaya lokal.51 Relasi Islam dengan budaya lokal memperlihatkan sebuah kecendrungan adaptasi kultural. Adaptasi seperti yang diuraikan Rappaport yang dikutip Giddens merupakan proses organisme atau kelompok-kelompok organisme, melalui perubahan-perubahan responsif dalam keadaan, struktur dan komposisinya sanggup mempertahankan homeostasis di dalam dan di antara mereka sendiri untuk menghadapi fluktuasi lingkungan jangka pendek atau perubahan-perubahan jangka panjang pada komposisi atau struktur lingkungannya.52 Senada dengan pendapat Rappaport, Harding mengatakan dalam teori evolusi, adaptasi bukan hanya berkaitan dengan hubungan masyarakat dengan alam, namun juga dengan usaha saling menyesuaikan di antara masyarakat sendiri. Adaptasi dengan alam akan membentuk teknologi budaya dan secara derivatif juga menciptakan komponen sosial berikut perangkat ideologi yang pada gilirannya bertindak berdasarkan teknologi dan menentukan masa depannya. Keseluruhan konsep adaptif tersebut adalah produksi suatu keutuhan budaya yang terorganisir.53 Proses adaptif suatu komunitas lokal tidak saja dengan alam dan dengan komunitas lokal yang lain, tetapi juga terhadap kebudayaan global dan ajaran- ajaran baru. Selama ini sudah lazim dipahami bahwa persentuhan antara budaya lokal dengan buadaya global menjadi tak terhindari lagi. Al-Jabiri mempertegas dengan mengatakan bahwa kebudayaan atau tradisi (turas) adalah sesuatu yang hadir menyertai kekinian. Kehadiran tradisi bukan hanya dianggap sebagai sisa-sisa masa lalu, melainkan sebagai masa lalu sekaligus masa kini yang menyatu dengan tindakan dan pola pikir masyarakat.54 Adanya hubungan timbal balik antara Islam dengan budaya lokal menjadi kaidah “adat itu dihukumkan” atau dalam bahasa lain adat adalah syariah yang dihukumkan, dengan demikian adat atau kebiasaan pada suatu masyarakat adalah bagian dari hukum Islam. Kedatangan Islam pada suatu tempat mengakibatkan adanya tajdid atau pembaharuan) terhadap masyarakat menuju kearah yang lebih

51Islam jika dilihat dari sudut pandang teologis, adalah sistem nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat ilahiyah, karena itu Islam bersifat transenden. Pada sisi lain, jika Islam dilihat dari sudut pandang sosiologis, ia merupakan penomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Islam dalam realitas sosial bukan hanya sebatas doktrin yang bersifat universal, melainkan mengejawantahkan diri dalam institusi-institussi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta terkait dengan ruang dan waktu. Hamzah Junaid, Kajian Kritis Akulturasi Islam dan Budaya Lokal, Jurnal Diskursus Islam, Vol. I (April 2013), 57. Baca Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), 47. 52Anthony Giddens, The Constitution of Society: Teori Strukturasi Untuk Analisis Sosial (Pasuruan: Pedati, 2003), 283. 53Anthony Giddens, The Constitution of Society, 283. 54Tobroni dan Syamsul Arifin. Islam Pluralisme Budaya dan Politik: Refleksi Teologi untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan (Yogyakarta: SIPRESS, 1994), 174. 29 baik. Pada saat yang sama Islam bukan berarti bersifat memotong tradisi masa lampau masyarakat, tetapi Islam ikut melestarikan apa saja yang baik dan benar dari tradisi lama dan dan dipertahankan dalam ajaran universal Islam yang disebut ‘urf. ‘Urf diartikan sebagai tradisi setempat yang lazim disebut dengan budaya lokal, termasuk pada perkawinan dengan berbagai prosesi di dalamnya mengandung ‘urf dan kemudian masyarakat setempat menjadikanya sebagai budaya lokal.55 Meminjam konsep pribumisasi Islam yang diusung oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur) adalah merupakan bentuk relasi antara agama dan budaya. Pribumisasi Islam adalah gambaran dari konsep Islam Nusantara yang memiliki ciri khas sendiri yang tentu berbeda dengan Islam di kawasan dunia Islam Arab. Islam Nusantara adalah gambaran Islam Indonesia dan merupakan hasil kerja kreatif para penyebar Islam yang mampu mendialogkan agama dengan budaya-budaya lokal Nusantara.56 Menurut Gusdur Islam dan budaya mempunyai indepedesi masing-masing. Independensi agama antara dan budaya bisa dibandingkan dengan independensi antara filsafat dengan ilmu pengetahuan. Orang tidak akan bisa berfilsafat tanpa ilmu pengetahuan, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah filsafat. Pada keduanya terdapat perbedaan. Islam agama wahyu dan memiliki norma sendiri dengan sifatnya yang normatif dan cendrung permanen. Budaya adalah buatan manusia, sehingga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cendrung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan menifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. munculnya Istilah pribumisasi Islam pada tahun 1980-an dimaksud sebagai upaya yang produktif untuk menjadikan Islam sebagai sistem ajaran yang membumi, ia senapas dengan salah satu tujuan penting pembaharuan ajaran Islam. Islam harus dibarukan agar tidak kehilangan relevansinya dengan tuntutan lokal di tempat masyarakat pemeluknya hidup.57 Pribumisasi Islam menekankan pada wilayah metodologis, berkenaan dengan upaya mempertemukan antara wahyu dengan kebudayaan manusia. Hal tersebut dapat dipandang sebagai operasionalisasi untuk memberikan makna yang lebih fungsional antara nilai-nilai yang sakral dan yang profan. Keduanya (agama dan budaya) memang saling bersentuhan dan bahkan saling mengisi. Munculnya terma hukum adat atau adat law dalam bahasa Inggris dan adat recht sebagaimana yang digunakan Snouck Hurgronje dan dikembangkan oleh van Vollenhoven dan Ter Haar merupakan buah hasil dari kebingungan para ahli hukum

55M. Dahlan, Islam dan Budaya Lokal Adat Perkawinan Bugis Sinjai, Jurnal Diskursus Islam, Vol. I (April 2013), 22. 56Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (Jakarta: Desantara, 2001), 79. 57Asep Saeful Muhtadi, Pribumisasi Islam, Ikhtiyar menggagas Fiqhi Kontekstual (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 5.

30

Belanda ketika melihat hukum chitonic 58di gugusan kepulauan Nusantara. Secara etomologi adat digunakan untuk menyebut norma yang mengikat suatu masyarakat tertentu, yang mengatur fase kehidupan seseorang dalam suatu masyarakat.59 Menurut Kusumadi Pudjosewojo bahwa adat lebih kepada proses kreasi hukum yang berlangsung dalam masyarakat dan diturunkan atas dasar kepatutan. Tindakan yang diikuti sebagai suatu kebiasaan yang kemudian berangsur-angsur tertanam dalam benak masyarakat dan dinggap patut untuk mentaatinya yang pada akhirnya tindakan tersebut menjadi adat.60 Soepomo berpendapat adat adalah hukum yang ada dan hidup dalam hati setiap orang. Adat adalah hukum yang merefleksikan rasa keadilan masyarakat dalam keseharian mereka. Ide tentang adat sangat dekat dengan ide modern tentang hukum yang hidup dalam masyarakat. Adat sebagai suatu bentuk tradisi hukum pada dasarnya terdiri dari tiga hal: pertama, bentuknya dalam suatu preskipsi adat terdiri dari berbagai institusi yang saling terkait dalam masyarakat. Kedua, sebagai aturan, adat merupakan suatu arahan untuk mentaati suatu aturan tertentu dalam institusi yang bersangkutan. Ketiga, bentuknya sebagai interpretasi dari suatu keputusan, adat adalah apa yang muncul dalam keputusan-keputusan fungsionaris adat. Makna adat seperti inilah yang membuat diskusi mengenai adat pada esensinya tidak bisa dipisahkan dengan hukum.61 Konsep adat menurut ahli hukum Barat sangat berbeda dengan konsep adat menurut tradisi masyarakat Indonesia. Para ahli hukum Barat enggan menerima adat sebagai hukum, karena masyarakat barat cendrung melihat hukum hanya dalam dimensi legislasi dan preseden yang diturunkan dari sumber tertulis saja. Hukum dalam bentuk lain yang dihasilkan dari tradisi yang tidak tertulis dalam masyarakat pada umumnya hanya dilihat sesuatu yang bukan hukum tapi hanya sekedar kebiasaan.62 Adat dan tradisi adalah bagian dari budaya. Edward Burnett Tylor mendefenisikan budaya meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan dan lain-lain. Secara sederhana kebudayaan seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya melahirkan perilaku yang dipandang layak dan

58Istilah chthonic berasal dari bahasa Yunani khthon atau khthononos yang berarti asli (original) atau bumi. Istilah ini digunakan untuk menyebut tradisi hukum asli yang dipercaya sejak awal dan yang diturunkan dari ajaran nenek moyang dan dipelihara dalam kehidupan masyarakat disuatu daerah. Baca C.T. Onions, ed., The Shorter Oxford English Dictionary, vol. 1 edisi ketiga (Oxford: Clarendon Press, 1975), 334. 59Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, 11. 60Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika 1993), 24. 61R. Soepomo, Bab-bab Tentang hukum Adat, edisi 15(Jakarta: Prad Paramita, 2000), 3. 62Patrick Glenn, “The Capture, Reconstruktion and Marginalization of Custom”, American Journal of Comparative Law 45,(1997), 613. 31 diterima. Menurut A. L. Kroeber kebudayaan bukanlah perilaku yang kelihatan, tetapi berupa nilai-nilai dan kepercayaan yang digunakan oleh manusia untuk menafsirkan pengalamannya dan menimbulkan perilaku dan yang mencerminkan perilaku itu.63 Kebudayaan adalah sebuah cita-cita, nilai dan standar perilaku; kebudayaan adalah sebutan persamaan common denominator yang menyebabkan perbuatan para individu dapat dipahami oleh kelompoknya, karena memiliki kebudayaaan yang sama, sehingga setiap individu dapat meramalkan perbuatan kelompok yang lain dalam situasi tertentu dan mengambil tindakan yang sesuai. Setiap anggota masyarakat memiliki kepentingan bersama untuk kelangsungan hidup dan akan mengembangkan teknik-teknik untuk keperluan hidup dan kerjasama, akan tetapi jika setiap anggota kelompok mempertahankan identitas dan latar belakang kebudayaannya sendiri maka kelompok itu akan bubar dengan sendirinya. Jelaslah bahwa tidak mungkin ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat, demikian juga tidak ada masyarakat tanpa adanya individu, sebaliknya tidak ada masyarakat yang tidak berbudaya.64 Uraian diatas menunjukkan bahwa kebudayaan bagi masyarakat merupakan suatu sistem yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan seperangkat aturan yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan orang lain, dengan kata lain yang penting dilihat dari definisi ini bahwa budaya merupakan sistem nilai, sistem normatif yang mengatur kehidupan masyarakat. Kebudayaan dilihat dari antropologi evolusionis memiliki tiga hal utama yaitu: pertama kebudayaan sebagai sistem (cultural system) atau disebut dengan tata kelakuan yang berupa gagasan, konsep, pikiran, nilai-nilai norma, pandangan hidup dan aturan yang bersifat abstrak yang dimiliki oleh ide. Kedua budaya sebagai sistem sosial (social system) yakni dalam bentuk berbagai aktifitas, seperti tingkah laku berpola, upacara-upacara kongkrit. Ketiga kebudayaan dalam bentuk material atau benda-benda kongkrit baik dari hasil karya manusia maupun hasil dari tingkah laku yang berupa benda.65 Geertz memberikan definisi kebudayaan dalam dua aspek yakni, kebudayaan sebagai sistem kognitif dan kebudayaan sebagai sistem nilai. Sistem kognitif dan sistem makna ini merupakan representasi dari “pola dari” atau model of, ini merupakan representasi dari sesuatu yang riil. Sistem nilai merupakan “pola bagi”

63E.B. Tylor, Primitive Culture (London: J. Murray, 1891), 135. Baca juga Nuruddin, dkk. Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger (Yogyakarta: LkiS, 2003), 126. Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II (Jakarta: UI Pres), 77. 64William A Haviland, Antropologi, edisi keempat (Gelora Aksara Pratama: 2002), 332-333. 65Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa AbadXVIII-Medio AbadXX (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000) 40-41.

32 atau “model for” yang lebih mengarah pada pedoman bagi manusia untuk melakukan tindakan.66 Kebudayaan sebagai sebuah sistem memiliki sebuah isi atau yang disebut dengan cultural universales. Menurut Koentjaraningrat konsep kebudayaan sangat luas mencakup totalitas dari pemikiran karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada naluri yang hanya bisa dicetuskan oleh manusia setelah melakukan pembelajaran. Melihat luasnya cakupan kebudayaan, maka dilakukan pemetaan yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan.67 Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum adat sebagai aspek kebudayaan adalah hukum adat yang dilihat dari nilai, norma sosial, ilmu pengetahuan serta seluruh struktur sosial religious yang didapatkan seseorang dengan eksistensinya sebagai anggota masyarakat. Melihat dari segi wujud kebudayaan, maka hukum adat termasuk dalam kebudayaan yang berwujud kompleks dari ide dan fungsinya untuk mengarahkan dan mengatur tingkah laku masyarakat. Konsep budaya, jika dikaitkan dengan manusia dapat pula dipahami bahwa pada dasarnya manusia memiliki dua segi sisi kehidupan yaitu materil dan spiritual. Sisi material mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda atau yang lainnya dalam wujud materi. Sisi spiritual manusia mengandung cipta yang mengandung Ilmu pengetahuan. Karsa yang menghasilkan kaidah, kepercayaan, kesusilaan, kesopanan hukum serta rasa yang menghasilkan keindahan. Manusia berusaha mendapatkan Ilmu pengetahuan melalui logika, menyerasikan perilaku terhadap kaidah melalui etika dan mendapatkan keindahan estetika.68 Hukum dan masyarakat memiliki hubungan secara timbal balik, karena hukum sebagai sarana pengantar masyarakat, bekerja dalam masyarakat dan dilaksanakan oleh masyarakat. Hubungan hukum dan masyarakat bersifat simbiosis mutualistis yaitu mendukung tumbuh dan tegaknya hukum maupun sebaliknya bersifat parasitis, yaitu menghambat tumbuh kembangnya hukum. Kehidupan masyarakat jelas mempunyai suatu tradisi yang diwariskan dari masa lalu kemasa kini. Kebudayaan digambarkan sebagai produk turun temurun antar generasi yang merangkum unsur dan norma masyarakat itu sendiri. Nilai kebiasaan dan adat istiadat yang dipraktikkan bahkan juga dilanggengkan oleh masyarakat, telah diterima dari masa lalu atau dari nenek moyangnya sampai

66Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisus, 1992), 7-10. 67Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 1-2. 68Hamzah Junaid, Kajian Kritis Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal, Jurnal Diskursus Islam, Vol 1. (April 2013), 58. 33 dengan masa paling akhir. Nilai tersebut meliputi norma bahkan juga hukum dan lebih jelasnya nilai-nilai itu berasal dari agama. Agama apa saja pasti mewariskan nilai-nilai, terutama sekali bagi agama Islam yang meliputi norma dan hukum, dari sejak agama itu diturunkan sampai dengan masa kini, meskipun dalam perwujudan praktiknya mungkin mengalami kodifikasi dari negerasi ke generasi.

C. Perdebatan Teoritik Akulturasi Hukum Islam dan Hukum Adat Isu tentang relasi Islam dengan budaya lokal telah menjadi perhatian yang menarik di kalangan ilmuwan sosial dan antropolog. Corak keislaman yang muncul di Indonesia memang sangat rentan dengan sentuhan budaya lokal yang berkembang jauh sebelum datangnya Islam di Nusantara. Akulturasi adalah proses di mana anggota-anggota dari suatu kelompok budaya menerima atau menuruti suatu kepercayaan-kepercayaan dan tingkah laku dari kelompok yang lain. Biasanya kelompok minoritas menerima serta melaksanakan kebiasaan dan gaya bahasa dari kelompok manyoritas (dominan). Kendati demikian proses akulturasi tersebut akan dapat menguntungkan kedua belah pihak.69 Akulturasi dalam kajian antropologi adalah pengambilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau beberapa budaya yang saling berhubungan. Konsep akulturasi terkait dengan proses sosial masyarakat ketika bersentuhan dengan budaya asing, sehingga unsur-unsur budaya asing lambat laun bisa diterima tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Akulturasi kebudayaan bisa juga merupakan bentuk relasi antara kedua kebudayaan yang berbeda, dimana kebudayaan lokal dapat menerima nilai dari kebudayaan luar tanpa kehilangan jati dirinya. Proses akulturasi berlangsung secara bertahap, mulai dari tranmisi ide-ide, evaluasi oleh pihak yang terlibat dan pada akhirnya menjadi integrasi. Akulturasi merupakan jalan tengah dari ketegangan pertemuan dua kebudayaan yang berbeda. Ada beberapa syarat terjadinya proses akulturasi yaitu: adanya kesamaan nilai pada tingkat dan corak budaya dan adanya nilai baru yang diserap dari kebudayaan asing.70 Hazuda mengatakan bahwa akulturasi adalah suatu proses yang dialami oleh anggota sebuah kelompok budaya ketika menerima atau menuruti kepercayaan atau tingkah laku kelompok yang lain, meskipun akulturasi senantiasa terjadi kepada sebuah kelompok minoritas yang menuruti kebiasaan gaya dan bahasa dari kelompok dominan. Akulturasi juga bisa terjadi timbal balik yaitu kelompok yang

69Muhammad A.R, Akulturasi Nilai-Nilai Persaudaraan Islam Model Dayah Aceh (Puslitbang Kemenang: 2010), 43. 70Jaques Scheuer, ”Inculturation”, dalam Lumen Vitae, International Review of Religious Education, Washington: International Center for Studies in Religious Education, 1985, 12. Lihat juga Kroeber, Anthropology, (New York: Harcout, Barace and Company 1948), 8.

34 dominan juga menuruti atau mengambil pola-pola khusus dari kelompok minoritas.71 Berry berpendapat bahwa akulturasi adalah penukaran budaya yang terjadi ketika kelompok yang senantiasa saling berhubungan secara terus menerus, walaupun kedua kelompok tersebut memiliki budaya yang asli. Persentuhan kedua kelompok menimbulkan penyebaran unsur-unsur budaya dan menimbulkan perubahan, akan tetapi setiap kelompok tetap memiliki perberbedaan. Penyebaran (diffusion) budaya bisa terjadi secara sengaja atau terpaksa sebagai mekanisme dari perubahan budaya.72 Akulturasi terjadi ketika suatu kelompok masyarakat yang mempunyai budaya sendiri dan diserap oleh unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing dari hari ke hari diterima dan diterapkan kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Biasanya sebuah masyarakat yang hidup bertetangga dengan masyarakat lain dan di antara mereka saling berhubungan dalam batas-batas tertentu, misalnya urusan perdagangan, pemerintahan dan pendidikan, maka pada waktu itulah unsur kebudayaan dimasukkan. Proses akulturasi yang berjalan dengan baik dapat menghasilkan integrasi dan persatuan antara unsur-unsur kebudayaan asing dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri. Akibatnya unsur-unsur kebudayaan asing itu tidak lagi dianggap atau dirasakan sebagai kebudayaan luar akan tetapi ia dianggap sebagai kebudayaan sendiri.73 Bertemunya suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang berbeda terkadang melahirkan proses adaptasi. Pertemuan antara nilai agama dan budaya, maka bisa terjadi kesesuaian dan tidak tertutup kemungkinan terjadi benturan satu sama lain. Ketika adat berhadapan dengan ajaran agama, maka terjadi saling mempengaruhi. Akibatnya ada unsur yang ditambah atau dikurangi. Menurut Robert H. Lauer akulturasi merupakan proses percampuran dua kebudayaan atau lebih. Persentuhan kedua budaya akan saling mempengaruhi, namun bukan berarti kebudayaan yang kuat mempengaruhi yang lemah, akan tetapi tergantung jenis kontak kedua kebudayaan terjadi. Akulturasi bisa terjadi sebagai pengaruh kebudayaan yang kuat dan bergengsi terhadap kebudayaan yang lemah dan terbelakang atau kedua kebudayaan tersebut relatif setara.74

71Hazuda, “Acculturation”, diakses melalui: http://www.rice.edu.projects/ Hispanic Helth/ Aculturation.html. Pada tanggal 17 Maret 2013. 72Berry, Acculturation, diakses melalui: http://www.rice.edu.projects/HispanicHelth/ Aculturation.html. Pada tanggal 17 Maret 2013. 73Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Ed. Baru (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2007), 74Robert H. Lauer, Pespective on Social Change, terj. Alimandan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 404-405. 35

Akulturasi juga bisa terjadi secara paksaan. Secara paksaan bisa dilihat bagaimana negara Eropa menjajah bangsa Timur dan memaksakan kebudayaannya agar diterima oleh wilayah jajahannya, seperti paksaan untuk memeluk agama (kristenisasi), menggunakan bahasa dan hukum peradilan. Ratno Lukito mengelompokkan akulturasi penjajah terhadap daerah jajahannya termasuk dalam kategori akulturasi imperialisme (imperialism acculturation). Adapun model akulturasi yang berjalan dengan sukarela dan berjalan saling mempengaruhi antara satu budaya dengan budaya yang lain, maka termasuk dalam kategori accommodated acculturation.75 Pada penelitian ini, teori yang berkaitan dengan studi akulturasi hukum Islam dengan tradisi lokal di Batak Angkola digolongkan dalam accommodated acculturation, yaitu akulturasi yang mampu saling menyesuaikan diri antara agama dan budaya. Penyesuaian agama dan budaya terjadi karena proses adaptasi, yaitu suatu proses tempat makhluk hidup menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya (adaptasi kebudayaan). Dengan memakai teori akulturasi ini, maka dimungkinkan akan diketahui bagaimana Islam mampu berakulturasi dengan baik dengan budaya yang ada sebelum Islam datang. Sifat dasar hukum Islam sebagai hukum yang tidak kebal dari segala bentuk perubahan dan perkembangan memberi akibat kepada sikap yang positif kepada tradisi hukum lain seperti hukum adat dan kebisaan setempat. Hukum Islam dalam konteks ini adalah sebagai hukum kebudayaan asing yang terbuka terhadap tradisi hukum lain, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran, perbauran dan perpaduan antara hukum Islam dan hukum adat. Hubungan seperti ini merupakan keniscayaan karena kemampuan dari hukum Islam untuk beradaptasi dengan tradisi hukum adat. Pada masa nabi masyarakat daratan Arab telah banyak mengadopsi berbagai macam praktek adat.76 Upacara-upacara tersebut sebagai dasar kultural dalam

75Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, 28- 42. Baca Josep Rocek, dan Waren Ronald (ed.), Sociology: An Introduction, (Iowa Little Field, Adam Co. Ames, 1957), 41-44. 76Praktik hukum Islam banyak dipengaruhi oleh peraturan-peraturan yang keputusan hukumnya ditetapkan Nabi berdasarkan pada adat kebisaan yang berlaku. Aturan-aturan itu dapat ditemukan hampir pada setiap aspek hukum, diantaranya upacara-upacara yang dipertahankan pada masa nabi Ibrahim yang berhubungan dengan kabah dan sunatan (h}ita>n). Kasus qis}a>s dan pembayaran diat dalam praktik hukum pidana. Qis}a>s dan pembayaran diat diadopsi dari praktik masyarakat Arab pra-Islam. Perubahan yang dilakukan hukum Islam adalah prinsip keseimbangan kedalam kerangka hukum qis}a>s yaitu jiwa dibalas jiwa tanpa mempersoalkan status kesukuan dan kedudukan korban sesuai dengan standar moral keadilan dan nilai tebusan yang pasti terhadap pihak yang jadi korban. Rasul juga mempertahankan dan memodifikasi praktik-praktik dalam hukum keluarga seperti, poligami, pembayaran mahar, atau iqra>r dalam hal perkawinan. Hukum kontrak juga banyak berutang kepada praktik adat masyarakat Arab pra-Islam. Kontrak bukanlah merupakan praktik hukum yang baru muncul dan pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Arab ketika Islam datang, namun praktik hukum kontrak sudah lama menjadi salah satu bentuk hukum perdagangan adat yang hidup sebelum Islam yang kemudian dimasukkan kedalam sistem hukum mu’a>malah untuk melindungi para pihak

36 pembentukan tradisi sosial setempat. Fakta ini mengindikasikan bahwa kemunculan Islam bukan untuk merevolusi hukum atau melawan adat, melainkan kapasitasnya sebagai agama baru dalam menciptakan peraturan-peraturan yang melegalkan hukum adat masyarakat arab, sehingga memberikan tempat seluas- luasnya bagi praktek hukum adat dalam sistem hukum Islam. Hukum Islam yang berasal dari wahyu bertujuan sebagai penyeimbang dalam memelihara hukum yang dinggap baik secara shar’i dan hanya mengganti beberapa hal yang tampaknya tidak konsisten dengan prinsip-prinsip hukum yang masuk akal dan landasan moral yang baik.77 Sejak kedatangan Islam ke Nusantara hubungan hukum Islam dan hukum adat banyak dilihat sebagai sarana penyempurna dari hukum adat itu sendiri, bahkan pada perkembanganya hukum agama justru dilihat sebagai bagian dari hukum adat. Keharmonisasian antara Hukum Islam dan adat memberikan peluang kepada kepada masyarakat adat untuk hidup secara berdampingan secara harmonis dalam menjalankan agama dan budayanya, seperti falsafah Batak Angkola “hombar adat dohot ibadat”. Kebudayaan Batak merupakan bentuk norma dan keyakinan masyarakat Batak serta melakukan praktik-praktik ritual secara khas terkait dengan kepercayaan leluhur. Pada perjalanannya kebudayaan Batak tidak luput dari persentuhan agama dengan nilai-nilai agama, khususnya Islam atau pandangan baru seperti modernitas. Hasil persentuhan itu menjadi bukti yang tidak bisa dinafikan bahwa kebudayaan selalu berkembang bahkan berevolusi karena adanya adaptasi, asimilasi, akulturasi dengan nilai-nilai atau bahkan dengan pandangan lain (asing). Dua kebudayaan yang bertemu antara Islam dan budaya akan melahirkan dua model relasi dan situasi, yaitu dominasi dan integrasi. Model dominasi terjadi ketika tingkat perubahan tergantung pada berapa kuatnya tekanan internal menahan tekanan asing.78 Perubahan total akan terjadi jika nilai-nilai luar sanggup mempengaruhi sistem ide masyarakat. Perubahan sistem ide akan berimplikasi pada perubahan keseluruhan sistem sosial dan budaya masyarakat.79 Berbeda halnya dengan model integrasi yang merupakan pertemuan yang harmonis antara outsider dan insider, seperti Islam dan budaya, modernitas dan lokalitas. Hubungan integrasi terjadi karena adanya dua kekuatan yang saling yang berkepentingan dan menjamin persetujuan dari kedua belah pihak sebagaimana juga untuk memastikan bahwa kontrak-kontrak yang dilakukan tidak mendorong kepada hasil yang tidak dibenarkan oleh hukum. Baca Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia (Jakarta: INIS, 1998), 6-11. 77Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, 17-18. Baca Juga Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, 90-91. 78Lihat A. Julianto, Pengantar Ringkas Antropologi (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981), 21-23. 79Parsudi suparlan, Perubahan sosial dalam Manusia Indonesia: Individu, Keluarga dan Masyarakat (Jakarta: Akademika Pressindo 1986), 123. 37 mempengaruhi dan saling mewarnai satu sama lain. Meminjam istilah Abdurrahman Wahid, sebagai “pribumisasi Islam”. Integrasi dua kebudayaan bisa terjadi karena adanya relasi yang seimbang antara Islam sebagai outsider dengan kebudayaan Nusantara sebagai insider.80 Dialektika antara agama dan budaya semakin menumbuh suburkan pola akulturasi, bahkan sinkretisasi lintas agama. Indikasi terjadinya proses dialektika antara agama dan budaya terlihat pada pola pemahaman keagamaan dan pola keberagamaan81 dari tradisi Islam murni, misalnya melahirkan berbagai corak Islam lokal, antara lain dari Islam ala Sunni Indonesia, seperti munculnya Islam Sunni Muhammadiyah, Islam Sunni Nahdhatul al-Ulama, Islam Sunni Persis, Islam Sunni al-Wasliyah dan tidak menutup kemungkinan akan memunculkan Islam bercorak tradisional ortodok, Islam moderat dan Islam Liberal.82 Warna-warni ekspresi keberagamaan sebagaimana dilihat diatas mengindikasikan bahwa begitu kuatnya tradisi lokal (law tradition) dalam mempengaruhi karakter asli agama (high tradition), demikian juga sebaliknya. Fenomena demikian dalam sudut pandang antropologi dianggap sebagai proses eksternalisasi, objektivasi maupun internalisasi, siapa membentuk siapa dan sebaliknya apa mempengaruhi apa, bagaimana masyarakat memahami agama hingga bagaimana peran-peran lokal mempengaruhi sosial keberagamaan mereka.83 Manusia sebagai representasi pembawa misi agama tidak akan dapat memisahkan dirinya dari ajaran-ajaran budaya lokal. Menurut Edward B. Tylor bahwa kognisi manusia dipengaruhi oleh mentalitas agama. Frazer juga mengungkapkan hal yang sama bahwa agama adalah sistem kepercayaan yang senantiasa mengalami perubahan dan perubahan sesuai dengan tingkat kognisi seseorang.84 Tylor dalam literatur lain menambahkan bahwa agama manapun pada hakikatnya selalu mengajarkan spirit, dengan kata lain mengajarkan kepercayaan terhadap pemberi inspirasi dalam kehidupan, baik melalui agama formal maupun

80Arifuddin Ismail, Agama Nelayan Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 4. 81Amin Abdullah, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (Jakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), iii. 82Lihat Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis: Kritik atas Nalar Islam Murni (Yogyakarta: ar- Ruzz, 2004), 129-136. 83Malcoml Waters, Modren Sociological Theory (London: Sage Publication, 1994), 35. Buku ini menjelaskan ada tiga macam dialektika yaitu Society is Human Product, Society is an Obyektive Reality, and Man is Social Product. 84J.G, Frazer, The Golden Bough (New York: Macmillan, 1911), 420. Lihat Nuruddin, dkk. Agama Tradisional, 126-127. Lihat James. P. Spradley, Metode Etnografi, terj. Misbach Zulfa Alisabet (Yogyakarta: Pt Tiara IKAPI, 1997, XVI.

38 non formal. Agama dengan seperangkat tata aturan ajaranya adalah hasil konstruk penciptanya.85 Hukum Islam dan hukum adat dalam konteks penelitian ini, akan dikaji dalam persfektif bahwa keduanya merupakan sistem yang memiliki fungsi penting dalam kehidupan masyarakat, sehingga dengan adanya fungsi sistemik tersebut hukum Islam dan adat tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Dialektika hukum Islam dan adat ini yang nantinya yang akan melahirkan pola keberagamaan dan pola budaya dalam masyarakat, itulah sebabnya kita menemukan ajaran agama diterapkan dalam budaya, dan unsur-unsur budaya pun dilihat sebagai bersumber dari agama atau budaya masyarakat terinspirasi dari ajaran agama. Apabila agama dilihat sebagai sebuah sistem, maka pemikiran Parsons sangat berguna dalam menjabarkan agama sebagai sistem. Parsons memiliki ide mengenai seluruh pengertian perilaku manusia (sistem bertindak) yang merupakan sistem hidup, sehingga didalamnya terdapat sistem-sistem yang terkait seperti sistem kebudayaan (cultural system), sistem sosial (social system), sistem kepribadian (personality) dan sistem organisme perilaku (behaviaural organism). Keempat sistem tersebut bisa digunakan sebagai sistem yang memiliki prasarat fungsional sistem bertindak. Organisme perilaku, memenuhi kebutuhan yang bersifat penyesuaian (adaptation), sistem kepribadian, memenuhi tentang pencapaian tujuan goal attainment, sistem sosial berfungsi sebagai integrasi (integration) sistem kebudayaan (cultural system) berfungsi untuk mempertahankan pola-pola yang ada dalam Latent pattern-maentenance.86 Kebudayaan sebagai sebuah sistem, jika dilihat dari kerangka teori Parsons, maka kebudayaan harus memiliki empat unsur tersebut. Kebutuhan system adaptation dipenuhi melalui sub-sistem simbol kognitif yang bentuknya adalah ilmu pengetahuan atau dasar perilaku kognitif. Goal attainment melalui simbol- simbol ekspresif, bentuk wujudnya adalah karya-karya seni dan komunikasi simbolik lainnya. Integration dipenuhi melalui simbol-simbol moral, wujudnya adalah ketentuan normativ dalam etika, adat sopan santun dalam pergaulan. Laten pattern-maentenance melalui simbol konstitutif, wujudnya adalah berupa kepercayaan atau dasar dan perilaku keagamaan.87 Geertz, salah seorang ilmuwan yang menaruh perhatian terhadap dialektika Islam dan tradisi lokal di Indonesia. Desa Mujo Kuto yang dilihat oleh Geertz memiliki agama sendiri yaitu agama lokal yang berisi kepercayaan terhadap

85E.B. Tylor, Primitive Culture (London: J. Murray, 1891), 135. Lihat Nuruddin, dkk. Agama Tradisional, 126. 86George Ritzer, Modern Socology Theory (New York: The McGraw-Hill Companies, 1996),99- 100. 87Harsy W. Bahtiar, Birokrasi dan Kebudayaan dalam Alfian. dkk. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan (Jakarta: Gramedia, 1985), 66. 39 neumorologi, kekuatan gaib. Kepercayaan ini hidup secara berdampingan dengan kaum santri yang memiliki keyakinan kuat terhadap ajaran agama Islam. Kajian yang mendukung pendapat Geertz adalah Beatty yang juga memahami bahwa agama Jawa dengan pusat ritual pada ritual slametan adalah sebuah tindakan sinkretik. Slametan merupakan medium yang mempertemukan berbagai statifikasi sosial dan simbol ritual yang berhubungan dengan variasi dan tingkatan di dalam struktur sosial.88 Studi lain yang setuju dengan teori sinkretik dalam melihat relasi Islam dengan budaya lokal adalah Noeried Haloei Radam yang mengkaji religi orang bukit. Menurutnya orang bukit tidak hanya memahami religi sekedar berkaitan dengan sakralitas ilahiyah, kodrati atau kehidupan di alam setelah kematian, melainkan perilaku kehidupan seharian yang bernuansa duniawi. Religi juga berfungsi dalam kehidupan sosial ekonomi dan masyarakat.89 Mark R. Woodward pemerhati masalah relasi Islam dengan budaya lokal tidak setuju dengan pendapat Geertz tentang Islam sinkretik. Menurut Woodward hubungan antara Islam dan tradisi lokal yang dianggap sebagai warisan tradisi hindu tidak bersifat sinkretis, tetapi bersifat kompatibel. Islam Jawa bukanlah Islam animistis dan sinkretis, tetapi Islam yang kontekstual dan berproses secara akulturatif.90 Muhaimin juga tidak setuju dengan pendapat Geertz. Menurutnya menelusuri Islam dari sudut pandang sinkretisme ternyata tidak cukup memberikan penjelasan yang komprehensip tentang Islam Jawa. Dibutuhkan upaya yang lebih luas untuk memaknai ekspresi keagamaan, sistem kepercayaan dan ritual lokal seperti slametan dan mengkaitkanya dengan jalinan ibadah dan adat yang diturunkan dari teks-teks Islam seperti Al Quran, Hadis dan karya ulama terdahulu.91 Islam tradisi berarti suatu model akulturasi yang tidak stagnan dan terus berlangsung secara kompatibel dan kontekstual. Perubahan-perubahan pun akan segera terjadi seiring perubahan situasi dan konteks yang sedang terjadi disekelilingnya. Bassam Tibi memandang bahwa terdapat berbagai variasi dalam Islam. Ini disebabkan oleh konteks lokalitas di mana Islam itu berada. Tibi mengusulkan perlunya upaya melihat Islam dalam kerangka models of reality (model-model dari realitas) dan models for reality menggambarkan kongruensi structural dengan objek

88Andrew Beatty, The Varienties of Javanese Religion (Princeton: Princetone Unitercity Press, 1999), 78. Baca juga tulisan Andrew Beatty, Adam and Eve and Vishnu: Syncretisme in Javanese Slametan dalam The Journal of Royal Antropologi Institute, 2, June 1996. 122. 89Noerid Haleoi Radam, Religi Orang Bukit (Yogyakarta: Semesta, 2001), 35. 90Mark Woodward, The Slametan: Textual Knowledge and Ritual Performance in Central Javanese Islam (Chicago: History of Relegion, 1988, 51. 91Muhaimin. A.G., Islam dalam Bigkai Budaya Lokal: Protret dari Cirebon (Jakarta: Logos, 2001), 47.

40 yang digambarkan. Pada sisi lain model untuk realitas bersifat abstrak, berupa teori, dogma dan doktrin yang bukan merupakan kongruensi struktural.92 Niels Mulder menggunakan konsep lokalitas sebagai medan pergulatan antara Islam dan budaya lokal. Secara spesifik, Mulder turut menolak teori sinkretisme. Sinkretisme menurutnya sangat mengaburkan proses relasi antara dua unsur yang berbeda. Lokalitas senantiasa mengandaikan adanya unsur yang selalu menyesuaikan. Islam yang datang belakangan menyesuaikan diri dengan unsur lokal.93 Menurut Richad Niebuhr ada lima bentuk respon yang muncul ketika terjadi persentuhan agama dan budaya yaitu: Pertama agama menolak kebudayaan. Kedua agama menyatu dengan kebudayaan. Ketiga agama mengatasi kebudayaan. Keempat agama dan kebudayaan bertolak belakang. Kelima agama mentransformasi kebudayaan.94 Pertemuan antara Islam dengan budaya lokal yang terjadi di masyarakat bisa dianalisa dengan menggunakan lima model respon diatas. Model respon yang pertama (agama menolak kebudayaan). Kategori respon seperti ini didasari pada pemahaman bahwa Islam merupakan satu-satunya pedoman hidup bagi umat manusia. Penolakan pada setiap bentuk kepercayaan dan budaya di luar Islam menjadikan sikap keberagamaan yang kaku dan eksklusif. Kelompok ini berkeyakinan bahwa Islam adalah agama kaffah yang sudah mengatur segala aspek kehidupan dari hal yang terkecil hingga terbesar secara sistematis. Model keagamaan kelompok ini menuntut untuk kembali pada ajaran agama yang asli dengan apa yang tersurat di dalam kitab suci, bahkan cendrung memperjuangkan keyakinannya secara radikal.95 Kategori respon kedua (agama menyatu dengan kebudayaan) mengasumsikan bahwa agama sejalan dengan budaya. Pandangan ini melahirkan kelompok masyarakat yang berusaha memadukan agama dengan kebudayaan dalam satu bentuk pemahaman dan pengamalan agama secara sinkretistik. Unsur-unsur agama menyatu dalam budaya. Praktek lokal masyarakat tetap dipelihara dan diamalkan pasca masuknya Islam. Penghormatan terhadap tempat-tempat suci, benda-benda keramat dianggap memiliki kesaktian tetap dilaksanakan dengan memasukkan unsur-unsur keislaman seperti membaca ayat-ayat Al-Quran dan memanjatkan doa- doa. Islam dalam konteks budaya mempertegas kewajiban moral pada setiap

92Bassam Tibi, Islam, kebudayaan dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 45. 93Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari, dan Perubahan Budaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), 62. 94Richard Niebuhr, Chist and Culture (New York: Happer and Row, 1951), I. Lihat juga Nurman Said, Masyarakat Muslim Makassar Studi Pola-Pola Integrasi sosial (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI, 2009), 98. 95Lihat, Sumanto al-Qurtuby, Lubang Hitam Agama, Mengkritik Fundamentalisme Agama, Menggugat Islam Tunggal (Yogyakarta: Rumah Kata, 2005), 122-123. 41 individu dan menghindari keburukan. Kegiatan-kegiatan keagamaan selalu diikuti dengan ritual-ritual kebudayaan lokal seperti aqiqah, khitanan, pernikahan dan kematian.96 Kategori respon ketiga (agama mengatasi kebudayaan) didasarkan pada pandangan bahwa setiap kelompok memiliki sistem nilai, baik Islam maupun budaya lokal. Islam tidak menolak praktik keagamaan dan kebudayaan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam atau syariah. Kelompok ini juga berpendapat bahwa kebudayaan merupakan hasil kreasi manusia dengan menggunakan segala potensi yang diberikan Tuhan untuk menemukan kebenaran. Pada konteks ini manusia membutuhkan bimbingan dari agama sehingga apa yang ditafsirkan kedalam ranah budaya tidak terlepas dari bingkai agama dan menyimpang dari ketentuan pokok agama.97 Kategori keempat (agama dan kebudayaan bertolak belakang) melihat bahwa agama dan budaya adalah sesuatu yang berbeda dan bersifat paradoks. Pada konteks ini agama dan budaya memiliki ruang secara sendiri-sendiri. Agama adalah bagian dari bentuk pengabdian kepada Tuhan dan mensucikan diri lewat ibadah yang telah ditentukan, sedangkan kebudayaan bagian dari kehidupan dunia. Kategori kelima (agama mentransformasi kebudayaan). Kelompok ini berpendapat bahwa agama berfungsi sebagai transformator dalam kehidupan manusia. Nilai- nilai yang diajarkan agama mendorong manusia untuk mengubah pola sikap dan tindakan kearah yang lebih baik. Agama mempunyai fungsi sebagai pedoman yang mengarahkan aktifitas manusia sehingga lebih bermakna. Para Wali Songo sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa telah menunjukkan bagaimana mentransformasikan budaya Jawa yang bernuansa mistis menjadi Islami.98 Teori relasi Islam dan tradisi lokal yang menarik digunakan adalah teori pribumisasi Islam yang dicetuskan Abdurrahman Wahid, atau lebih akrab disapa Gusdur. Pribumisasi Islam pertama kali diungkapkan oleh Gusdur pada tahun 1980- an sebagai ganti istilah indigenization. Pribumisasi Islam lahir dalam konteks perhatian Gusdur untuk tidak menjadikan Islam sebagai alternatif terhadap persoalan kenegaraan dan kebangsaan. Pribumisasi adalah upaya mengokohkan kembali akar budaya yang tetap menciptakan masyarakat yang taat beragama.99 Pribumisasi merupakan proses timbal balik yang produktif dan kreatif yang melibatkan subjek-subjek aktif melakukan akomodasi, dialog, negosiasi ataupun

96Nurman said, Masyarakat Muslim Makassar Studi Pola-Pola Integrasi Sosial antara Muslim Pagama dengan Muslim Sossorang (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI, 2009), 100. 97Nurman said, Masyarakat Muslim Makassar Studi Pola-Pola Integrasi Sosial antara Muslim Pagama dengan Muslim Sossorang, 100-101. 98Nurman said, Masyarakat Muslim Makassar Studi Pola-Pola Integrasi Sosial antara Muslim Pagama dengan Muslim Sossorang, 100-101 99Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam (Jakarta: Desantara, 2002), 8.

42 resistensi. Budaya tidak berdiri sendiri tapi terkait dengan keyakinan, pengetahuan, pengalaman (realitas), dan kondisi spiritualitas sebagai unsur-unsur religiusitas. Interaksi antara Islam dan budaya lokal, merupakan upaya menjalin hubungan yang dinamis antara Islam dan nilai-nilai yang dipelihara dalam konsep kehidupan dan diwarisi serta dipandang sebagai pedoman hidup. Pedoman hidup juga mencakup tradisi yang diwarisi dari generasi ke generasi. Interaksi yang dinamis antara elemen (agama dan budaya) dapat menimbulkan konflik dan integrasi. Konflik dapat melahirkan penolakan dan integrasi sebagai proses penyesuaian di antara kedua elemen. Pertemuan kedua elemen yang berbeda (agama dan budaya) tidak menjadikan semua unsur budaya yang masuk tertolak secara keseluruhan dan juga tidak dapat terintegrasi secara penuh. Pertemuan di antara keduanya menimbulkan proses tarik-menarik yang dapat mendorong terjadinya kompromitas, akomodasi, adaptasi, asimilasi dan akulturasi.100 Perpaduan antara agama dan budaya menghasilkan budaya khas yang bercorak lokal yang lazim disebut dengan kearifan lokal (local genius) yaitu kemampuan menyerap dan menyeleksi dan melakukan pengolahan secara aktif terhadap pengaruh kebudayaan yang datang. Kearifan lokal merupakan kebenaran yang mentradisi (ajeg) dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kerifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti yang luas. Kerifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut dilestarikan, meskipun bernilai lokal tetapi mengandung nilai-nilai universal.101 Menurut Taylor religiusitas berawal dari kesadaran manusia terhadap adanya jiwa. Proses evolusi religi yang terjadi pada manusia dimulai dari sebuah kepercayaan terhadap makhluk halus yang menempati alam disekitar manusia. Makhluk halus (roh) yang tidak bisa tertangkap panca indra manusia dianggap mampu melakukan sesuatu hal yang tidak dapat dilakukan manusia secara normal. Anggapan ini beranjak untuk menjadikan manusia memposisikan makhluk halus (roh) sebagai objek sesembahan. Penghormatan dan penyembahan terhadap makhluk halus dilakukan manusia dalam berbagai upacara adat. Ritual yang dilakukan dalam pelaksanaan sesembahan bisa berupa doa atau bentuk sajian. Konsep ini menurut Taylor disebut dengan animisme.102 Pada perkembangan selanjutnya manusia percaya bahwa gerakan alam disebabkan eksistensi jiwa yang ada dibelakang peristiwa dan gerak alam. Berdasarkan keyakinan manusia ada kekuatan gaib yang luar biasa yang menjadi sebab timbulnya suatu gejala pada alam semesta. Terjadinya bencana alam, seperti

100Taufik Akbar, http://radarlampung.co.id/read/opini/15034-islam-dan budaya-lokal. Diakses 15 September 2011 101Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas, Politik Pribumisasi Islam, 13. 102Nur Syam, Mazhab-Mazhab Antropologi (Yogyakarta: LKiS, 2007), 15. 43 gunung meletus, tsunami, angin topan bergerak karena jiwa alam semesta. Jiwa alam (kekuatan gaib) pada proses selanjutnya dianggap manusia sebagai makhluk yang memiliki kepribadian, kemauan dan pemikiran dan ini kemudian disebut manusia sebagai dewa-dewa alam. Menurut taylor terdapat dua doktrin animisme yaitu,pertama conserning souls of individual creature, capable continued existence after the death or the destruction ot the body. Kedua concerning others spirit upward to rank of powerfull deities.103 Teori Taylor ini mengajukan dua konsep: Pertama, konsep religiusitas terkait-erat dengan kepercayaan manusia terhadap jiwa (souls) yang abadi dan akan tetap hidup pasca kematian. Kedua spiritual (jiwa) memberikan kekuatan dan dampak yang besar terhadap kehidupan manusia. Keterangan Taylor diatas dapat ditarik sebuah benang merah bahwa agama menurut pandangan Taylor adalah kepercayaan terhadap jiwa. Taylor juga mengatakan bahwa dalam jiwa manusia ada suatu kemampuan gaib yang dapat bekerja lebih kuat disaat makin lemahnya aktifitas pikiran manusia yang rasional. Teori animisme versi Tylor mendapat kritikan dari pemerhati religious yang muncul pada era selanjutnya seperti R.H Condrington dan R.R Marret. Codrington meragukan teori dasar animisme Tylor yang menegaskan pemahaman tentang jiwa sebagai asal muasal religi. Codrington merilis teori tentang kekuatan gaib atau mana sebagai asumsi dasar munculnya sistem religi pada masyarakat secara sederhana seperti di Melasinia. Mana adalah pancaran roh atau dewa kepada manusia yang selalu berhasil pada setiap pekerjaannya seperti berkebun, berburu dan mencari ikan. Orang yang memiliki mana mendapatkan legitimasi untuk berkuasa dan memimpin orang lain.104 Marret pun meragukan teori Taylor sama halnya dengan Codrington yang meragukan konsepsi Tylor tentang kesadaran manusia terhadap jiwa. Kesadaran tersebut dianggap terlalu kompleks bagi pemikiran manusia yang sangat sederhana. Menurut Marret pangkal dari segala kelakuan religi ditimbulkan karena suatu perasaan rendah terhadap gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa alam yang mengitarinya.105 Alam sebagai tempat asal atas segala gejala dan peristiwa konon dianggap manusia sebagai tempat adanya kekuatan yang besar melebihi kekuatan yang selama ini telah dikenal manusia dialam sekitarnya. Kekuatan ini disebut dengan istilah kekuatan supernatural atau kekuatan sakti. Pandangan ini dikenal dengan teori kekuatan luar biasa atau supernaturalistik.106

103J. van Ball, Antropologi Budaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), 89. 104Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: Qalam, 2001), 60-61. 105Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI-Press, 2010), 229-233. 106Koentjaraningrat, Bererapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), 212.

44

Menurut Edward Norbeck, pengarut paham supernalistik memandang agama sebagai ide dan tingkah laku yang berhubungan dengan kepercayaan di dalam kekuatan-kekuatan yang tidak dapat dijelaskan secara konvensional.107 Teori lain tentang religi muncul dalam konteks perbebatan antropologi klasik adalah teori magi oleh J.G Frazier. Frazier merupakan ilmuwan yang meletakkan potensi rasionalitas meski dengan sangat sederhana dalam kompigurasi religi. Menurut Frazier manusia dapat memecahkan problematika kehidupan dengan akal dan sistem pengetahuan yang dimiliki. Persoalan yang tidak dapat dipecahkan dengan rasionalitas dapat dipecahkan melalui magic dan magi. Magi didefenisikan sebagai tindakan manusia untuk memecahkan persolan hidup dan untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan supranatural yang ada di alam. Frazier mengungkapkan magi menjadi sains bagi masyarakat primitif. Magi dibangun atas asumsi bahwa setelah suatu ritual dilakukan dengan benar, maka pengaruh alaminya pasti terjadi seperti yang telah ditetapkan. Magi menetapkan hukum- hukum in personal, tetap dan universal, seperti jika ritual minta hujan dilakukan secara benar, maka hujan akan benar-benar turun.108 Perspektif tentang religi yang lebih sistematik dan modern diungkapkan oleh Emile Durkheim. Menurut Durkheim agama adalah suatu sistem kepercayaan yang praktik yang berkaitan dengan hal-hal yang sakral, kepercayaan dan praktik yang telah dipersatukan menjadi suatu komunitas moral yang tunggal.109 Defenisi Durkheim mengandung dua unsur penting dan menjadi syarat agar sesuatu disebut sebagai agama, yaitu sifat kudus dan praktik ritual. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu makhluk supranatural, tetapi agama tidak melepaskan dua unsur tersebut, karena ia bukan agama lagi ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Tampak bahwa suatu agama bukan dilihat dari substansinya, tetapi bentuknya dari dua ciri tadi. Pandangan dari sisi lain berasal dari pendapat Geertz memandang religi sebagai sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat yang meresap dan tahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum, dan membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas realistis.110 Geertz berpendapat bahwa agama mengandung suatu penekanan adanya sistem makna yang terkandung di dalam simbol-simbol. Simbol itu sendiri merupakan petunjuk yang memungkinkan kita membuat abstraksi. Pemahaman ini membuktikan bahwa

107Edward Norbeck, The Study of Religion dalam Horizons of Anthropology (Chicago: Aldine Publising Company, 1972), 213. 108Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: Qalam, 2001), 61. 109Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial (Yogyakarta: Ircisod, 1991), 80. 110Clifford Geertz, Tafsir kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 5. 45 simbol memiliki nilai instrumental (alat ekspresi), komunikasi pengetahuan dan kontrol.111 Haviland sependapat dengan hal diatas dan mengungkapkan bahwa dalam pandangan antropolog, religi adalah kepercayaan dan pola prilaku yang diusahakan manusia untuk menangani masalah penting yang tidak dapat dipecahkan menggunakan teknologi dan teknik organisasi yang diketahuinya. Religi mengandung nilai yang bermakna yang mendorong manusia mempercayai suatu kekuatan yang lebih tinggi darinya, dan berbagai cara untuk menjalin hubungan dengan kekuatan tersebut. Kepercayaan ini beserta konsep-konsep yang terdapat di dalamnya berkembang secara dinamis seiring perkembangan pemikiran manusia.112 Apapun nama dan bentuk wujudnya, religi yang diyakini masyarakat dapat menjadi bagian dari suatu sistem nilai yang ada di dalam kebudayaan masyarakat bersangkutan. Sistem nilai ini kemudian menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat. Begitulah religi dipandang sebagai bagian way of life bagi dirinya dan di dalam kehidupannya. Secara fungsional religi menjadi pengatur yang menata kehidupan manusia, baik hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa agama dan budaya memiliki keterkaitan. Agama dapat menjadi sumber moral dan etika yang bersifat absolut dan menjadi bagian dari sistem budaya dalam pranata sosial masyarakat. Keberadaan Islam pada level praktik dapat dikatakan sebagai fenomena sosial. Islam yang dipraktikkan masyarakat Batak secara tidak langsung merupakan jawaban atas persoalan yang muncul dalam keseharian. Pada level ini terjadi akulturasi antara pemahaman agama dan konsep adat yang berlaku di masyarakat. Pada konteks lain agama bisa menjadi establishment dan kekuatan mobilisasi yang menimbulkan konflik. Konflik yang muncul dimasyarakat adalah ketika agama tidak mampu merespon secara kreatif terhadap perubahan sosial dan situasi baru yang berkembang, sehingga kehidupan sosial masyarakat terpasung dalam kebimbangan. Islam yang dimaksud dalam kajian akulturasi ini adalah agama Islam dalam sebuah sistem nilai, norma yang menjadi sumber dalam spiritual keagamaan, berperilaku, termasuk dalam pemaknaannya dalam kehidupan umat Islam umumnya dan masyarakat Batak Angkola pada khususnya. Islam dalam pengertian ini tidak hanya sebagai sumber nilai yang mengatur masalah spiritual, tetapi Islam sebagai suatu sistem tatanan sosial yang mengatur cara hidup dan berperilaku. Dengan demikian, Islam sebagai sebuah sistem keyakinan menjadi bagian dan inti dari

111Raymond Firt, Kepercayaan dan Keraguan Terhadap ilmu Gaib Kampung Kelantan dalam Islam di Asia Tenggara (Surabaya: Lembaga Penelitian universitas Air langga, 1989), 31. 112William. A Haviland, Anthropology The Human Challenge (Stamford: Cengage Liarning, 2013), 620.

46 sistem nilai yang ada dalam suatu kebudayaan dan menjadi penggerak dan pengontrol bagi tindakan untuk sesuai dengan nilai kebudayaan dan ajaran Islam. Kajian ini pada titik akhir akan selalu memunculkan pandangan-pandangan yang berbeda dan kontradiktif disebabkan adanya perbedaan pemikiran, pemahaman dan pengalaman dalam memaknai agama dan budaya.

BAB III SETTING SOSIO KULTURAL SUKU BATAK ANGKOLA

Pada bab ini menguraikan gambaran suku Batak Angkola di Kota Padangsidimpuan secara geografis dan sejarahnya. Penelitian ini dilakukan di Padangsidimpuan karena pada masa pemeritahan Belanda kota Padangsidimpuan sebagai afdeeling Angkola dan Sipirok atau pusat administrasi pemerintahan Kolonial Belanda untuk wilayah Angkola-Sipirok. Bab ini juga akan membahas dalihan natolu sebagai struktur sosial masyarakat dalam bingkai budaya Batak yang diwariskan secara turun temurun. Pada akhir bab ini juga akan menguraikan nilai- nilai patik dohot uhum sebagai norma dan hukum masyarakat Batak yang harus ditaati dan dipatuhi.

A. Profil Geografis Batak Angkola di Padangsidimpuan Angkola adalah sebutan untuk suatu daerah yang berada di kawasan Tapanuli Selatan propinsi Sumatera Utara. Menurut sumber tradisional bernuansa mitos bahwa nama Angkola berasal dari satu nama sungai di daerah Tapanuli Selatan yaitu sungai Batang Angkola. Menurut cerita, sungai ini diberi nama oleh Rajendra Chola I, seorang penguasa pada kerajaan Chola (1014 - 1044 M) di India Selatan ketika itu yang masuk melalui Padang Lawas. Daerah Angkola sendiri terbagi dua wilayah yang sebelah Selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae (Hilir) dan sebelah Utara diberi nama Angkola Julu (Hulu.1 Masyarakat Batak Angkola sebagai satu etnik Batak, tentu tidak berbeda dengan etnik lainnya yang ada di Indonesia. Secara umum orang-orang Batak Angkola tidak hanya memandang mereka sebagai bagian dari sub suku Batak, tetapi juga disebut sebagai orang Tapanuli Selatan. Pada masa Belanda secara terotorial wilayah Angkola termasuk ke dalam wilayah tanah Batak meliputi kecamatan Batang Toru, kecamatan Batang Angkola, kota Padangsidimpuan, kecamatan Sipirok, dan kecamatan Saipar Dolok Hole. Kelima kecamatan ini berada di wilayah Tapanuli Selatan.2 Pada masa penjajahan Belanda kabupaten Tapanuli Selatan disebut afdeeling Padangsidimpuan yang dipimpin seorang Residen. Afdeeling Padangsidimpuan dibagi kepada tiga order afdeeling dan masing-masing dipimpin seorang contreleur

1Wawancara, Khaerul Alam Harahap Gelar Sutan Lembaga Alam (Raja Luat Pijorkoling Padangsidimpuan), tanggal 10 Juli 2013. 2Rita Smith Kipp, “Conversion by Affiliation: The History of the Karo Batak Protestant Church”, American Ethnologist, Vol. 22, No. 4 (November 1995), 868-882, http://www.jstor.org/stable/646390. Diakses tanggal 9 September 2014. Lihat Parlaungan Ritonga, Sistem Pertuturan Masyarakat Tapanuli Selatan (Medan: Yandira Agung 2002), 1-2.

47

48 dan dibantu seorang Demang. Pertama order afdeeling Angkola dan Sipirok di Padangsidimpuan, dibagi kepada tiga distrik, yaitu Angkola bertempat di Padangsidimpuan, Batang Toru dan Sipirok, masing-masing distrik dipimpin seorang asisten.3 Kedua order afdeeling Padang Lawas bertempat di Sibuhuan dan dibagi atas tiga distrik yaitu, Padang Bolak bertempat di Gunung Tua, Barumun-Sosa bertempat di Sibuhuan dan Dolok bertempat di Sipiongot. Ketiga order afdeeling Mandailing dan Natal bertempat di Kotanopan, dibagi kepada lima distrik yaitu, Panyabungan, Kotanopan, Muara Sipongi, Natal dan Batang Natal bertempat di Muara Soma.4 Pada tahun 1949-1950 daerah Padangsidimpuan mengalami perubahan perubahan secara administratif.5 Pasca Indonesia merdeka Tapanuli Selatan mengalami beberapa kali pemekaran. Padangsidimpuan dibentuk menjadi kota Administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1982 tanggal 30 November 1982 dan masuk dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1982. Pada tanggal 23 November 1988 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1998 tentang pengesahan pemekaran kabupaten Tapanuli Selatan menjadi dua kabupaten yaitu Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal.6 Pemekaran kabupaten Tapanuli Selatan masih terus berlanjut dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007, disahkan pada tanggal 10 Agustus 2007 Tentang pembentukan kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 dan disahkan pada tanggal 10 Agustus 2007 Tentang pembentukan kabupaten Padang Lawas (Palas). Tapanuli Selatan dimekarkan menjadi tiga kabupaten yaitu Padang Lawas, Padang Lawas Utara dan Tapanuli Selatan. Kabupaten Tapanuli Selatan yang awalnya sebagai kabupaten tunggal di wilayah Tapanuli bagian Selatan sekarang telah dibagi menjadi empat kabupaten dan satu kota, yaitu: kabupaten Tapanuli Selatan, kabupaten Mandailing

3Toenggoel P. Siagian, “Bibliography on the Batak Peoples”, Indonesia, Southeast Asia Program Publications at Cornell University. No. 2 (Oktober.1966), 161-184, http://www.jstor.org/stable/3350760. Diakses tanggal 9 September . Baca Sejarah Singkat Tapanuli Selatan dalam: DDA Tapanuli Selatan, 2009), xxxviii 4Basyral Hamidi Harahap, Pemerintah Kota Padangsidimpuan Menghadapi Tantangan Zaman, (Padangsidimpuan: Pemkot Padangsidimpuan, 2003), 34-35. 5Basyral Hamidi Harahap, Rakyat Mendaulat Taman Nasional Batang Gadis (Bandung: Pustaka, 2004), ix 6Susan Rodgers, “Folklore with a Vengeance: A Sumatran Literature of Resistance in the Colonial Indies and New Order Indonesia”, The Journal of American Folklore, Vol. 116, No. 460 (Spring, 2003), 129-158, http://www.jstor.org/stable/4137895, Diakses tanggal 9 September 2014. Basyral Hamidi Harahap, Pemerintah Kota Padangsidimpuan Menghadapi Tantangan Zaman , 121. 49

Natal, kabupaten Padang Lawas Utara, kabupaten Padang Lawas dan kota Padangsidimpuan.7 Pembahasan tesis ini, dibatasi pada Batak Angkola yang berada di wilayah Padangsidimpuan. Padangsidimpuan adalah nama kota yang berasal dari bahasa Batak yaitu padang na dimpu artinya padang adalah hamparan yang sangat luas, kemudian kata na artinya di, dan dimpu artinya tinggi, sehingga Padangsidimpuan adalah hamparan luas yang berada pada tempat yang tinggi. Padangsidimpuan dulunya dikenal sebagai tempat persinggahan para pedangang dari berbagai daerah. Padangsidimpuan pada awalnya merupakan kota administratif yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1982. Munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 membuka peluang bagi Padangsidimpuan untuk meningkatkan status administratif menjadi kotamadya. Pada tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2001 Padangsidimpuan ditetapkan sebagai kotamadya.8 Padangsidimpuan secara geografis terletak pada posisi 010 08’ 07 – 010 28’ 9 Lintang Utara (LU) dan 990 13’ 53 - 990 21’ 31 Bujur Timur (BT). Luasnya mencapai 146,85 Km2 dan terletak antara 260 - 1100 meter diatas permukaan laut.9 Jarak Padangsidimpuan dari kota Medan sebagai ibu kota propinsi Sumatera Utara adalah 389 Km dengan jarak tempuh dalam waktu lebih kurang 10 jam melalui jalur darat.

Gambar 3.1. Peta Kota Padangsidimpuan

7Basyral Hamidi, Pemerintah Kota Padangsidimpuan Menghadapi Tantangan Zaman, 121. 8Wawancara, Amran Hasibuan (Warga Padangsidimpuan) tanggal 11 Juli 2003. 9Pemerintah Kota Padangsidimpuan, Padangsidimpuan dalam Angka 2013, (Padangsidimpuan: Pemerintah Kota Padangsidimpuan, 2013), 3. 50

Keterangan. Peta Kota Padangsidimpuan: 1. Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara 2. Kecamatan Padangsidimpuan Selatan 3. Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua 4. Kecamatan Padangsidimpuan Utara 5. Kecamatan Padangsidimpuan Hutaimbaru 6. Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu

Kota Padangsidimpuan terdiri dari enam (6) kecamatan, tiga puluh tujuh (37) kelurahan, empat puluh dua (42) desa dan dua ratus enam puluh lima (265) lingkungan/dusun dengan luas wilayah 14.684,68 Ha.

Tabel 3.110 Jumlah Desa Pada kecamatan di Kota Padangsidimpuan

No Kecamatan Desa/ Lingkungan/ Kelurahan Dusun 1 Padangsidimpuan Tenggara 18 38 2 Padangsidimpuan Selatan 12 62 3 Padangsidimpuan Batunadua 15 44 4 Padangsidimpuan Utara 16 51 5 Padangsidimpuan Hutaimbaru 10 41 6 Padangsidimpuan Angkola Julu 8 29 Jumlah 79 265

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Kota Padangsidimpuan sebagaimana terdapat pada Bab II Pasal 3 dan 6 terkait dengan pembentukan dan batas wilayah. Padangsidimpuan sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Angkola Barat Kabupaten Tapanuli Selatan, sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Angkola Timur kabupaten Tapanuli Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Batang Angkola Tapanuli Selatan dan sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Angkola Selatan Tapanuli Selatan.11 Perubahan status Padangsidimpuan dari kota administratif menjadi pemerintah kota diharapkan mampu memberikan dampak positif pada masyarakat. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1982 tentang pembentukan Padangsidimpuan menjadi Kota adminstratif menjadi langkah awal pengembangan kota Padangsidimpuan. Munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah

10Dokumentasi Administrasi Pemerintah Kota Padangsidimpuan 2013. 11Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2001 Tentang Pembentukan Kota Padangsidimpuan. 51 dan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 membuka peluang untuk berbagai daerah meningkatkan status kota administratif menjadi kotamadya.12 Sejalan dengan perkembangan pembangunan dan tuntutan terhadap pelayanan masyarakat, maka pemerintah meningkatkan status kota administratif menjadi daerah otonom pemerintah kota Padangsidimpuan melalui Keputusan Nomor 131.22/329/2001 pada tanggal 24 Agustus 2001 dan pelantikan dilakukan pada tanggal 9 November 2001.

Tabel 3.213 Luas Wilayah Kecamatan di Kota Padangsidimpuan

No Kecamatan Luas Area Rasio Total (Km2) (%) 1 Padangsidimpuan Tenggara 27,69 18,99 2 Padangsidimpuan Selatan 15,81 10,84 3 Padangsidimpuan Batunadua 38,74 25,88 4 Padangsidimpuan Utara 14,09 9,66 5 Padangsidimpuan Hutaimbaru 22,34 15,32 6 Padangsidimpuan Angkola Julu 28,18 19,32 Jumlah 146,85 100,00

Jumlah penduduk Padangsidimpuan mencapai 198.809 jiwa, dengan rincian penduduk yang di daerah perkotaan sebanyak 142.376 jiwa sedangkan yang tinggal di daerah pedesaan sebanyak 57.433 jiwa dan kepadatan penduduk mencapai 1.354 jiwa/Km2. Padangsidimpuan terdiri dari 45.148 rumah tangga dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga 4,40 orang. Rasio jenis kelamin merupakan perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk perempuan yaitu sebesar 94,97 %, hal ini menunjukkan jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibanding jumlah penduduk laki-laki sekitar 5,03 %.14 Berdasarkan agama yang dianut, maka persentase penduduk yang beragama Islam di Padangsidimpuan sebesar 90,22%, Kristen Katolik sebesar 0,46%, Kristen Protestan 8,97% dan Budha 0,35% dan lainnya 0,00% dengan sarana ibadah 216 mesjid, 165 langgar/mushola, 42 gereja protestan, 2 gereja katolik dan 1 wihara.15

12Wawancara, Wildan Lubis dan Anggara Lubis (Anggota DPRD Kota Padangsidimpuan) tanggal 21 Juli 2013. 13Dokumentasi Administrasi Pemerintah Kota Padangsidimpuan 2013. 14Dokumentasi Badan Pusat Statistik Kota Padangsidimpuan 2013. 15Dokumentasi Badan Pusat Statistik Kota Padangsidimpuan 2013. 52

B. Struktur dan Sistem Sosial Masyarakat Batak Angkola di Padangsidimpuan Masyarakat Batak Angkola merupakan salah satu sub suku Batak yang memiliki struktur dan sistem sosial yang diakui adat secara turun temurun sebagai warisan yang berasal dari leluhur. Struktur dan sistem sosial tersebut mengatur kehidupan bermasyarakat baik dalam tata hubungan sesama kerabat dekat, saudara semarga, saudara antar marga serta masyarakat umum secara luas. Sruktur dan sistem sosial masyarakat Batak disebut dengan istilah dalihan natolu.16 Kata dalihan dalam bahasa Batak artinya tungku sedangkan natolu ada tiga. Secara sederhana dalihan natolu adalah tiga buah tungku, dan ada juga yang menyebutnya dengan tunggu berkaki tiga yang digunakan sebagai tempat memasak makanan. Ketiga tungku letaknya persis seperti segitiga sama sisi. Istilah itu kemudian diadopsi dan menjadi simbol yang memiliki makna filosofis. Masyarakat Batak diibaratkan sebagai kuali besar, maka yang menjadi tungkunya adalah dalihan natolu. Menurut masyarakat Batak Angkola dalihan natolu mengandung makna tiga kelompok masyarakat yang merupakan dasar, tumpuan, dan penyeimbang dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat.17 Dalihan natolu adalah sistem sosial masyarakat yang menyangkut kekerabatan dalam menjalankan segala aktifitas yang bertalian dengan adat. Artinya setiap kegiatan yang menjadi aktifitas masyarakat Batak harus berasas kepada nilai falsafah dalihan natolu dan menjadi rujukan dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sosial.18 Sejarah lahirnya dalihan natolu tidak diketahui secara pasti, tetapi masyarakat Batak berpendapat bahwa lahirnya dalihan natolu memiliki proses sejarah yang panjang dan dilatarbelakangi dengan terjadinya peristiwa krisis sosial kekerabatan secara beruntun pada generasi ketiga setelah si Raja Batak. Peristiwa marsumbang (kawin incest) antara tuan Saribu Raja dengan iboto (saudara kandungnya) Boru Pareme. Akibat dari peristiwa marsumbang Saribu Raja melarikan diri ke dalam hutan dan Boru Pareme diusir dari kampung Sianjurmula-mula. Pada fase selanjutnya peristiwa yang sama juga terjadi pada Raja Lontung yang mengawini ibu kandungnya Boru Pareme. Hal ini menimbulkan kejolak sosial

16Wawancara, Basa Sahala Harahap Gelar Sutan Enda Kumala Angkola (Raja Bagas Godang Pijorkoling Padangsidimpuan), tanggal 11 Juli 2013. 17Gultom Rajamarpondang, Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak (Medan: Armanda, 1992), 377. Lihat Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 99. Baca Irapas, Adat Batak II, (Pematang Siantar: Lembaga Penelitian Universitas HKPB Siantar, 1975), 5. 18Margaret J. Kartomi, “Dualism in Unity: The Ceremonial Music of the Mandailing Raja Tradition”, Asian Music University of Texas Press, Vol. 12, No. 2 (1981), 74-108, http://www.jstor.org/stable/834057. Diakses tanggal 9 September 2014

53 dan menyebabkan perpecahan pada keturunan Tatea Bulan. Belajar dari peristiwa memalukan tersebut keturunan Tatea Bulan dan Raja Isumbaon menggagas norma adat dengan suatu konsep dasar falsafah, tentang batasan-batasan hubungan kekerabatan antar sesama keturunan mereka. Aturan ini tidak dibuat secara tertulis melainkan secara tutur atau lisan dan menjadi falsafah yang kemudian dikenal dengan istilah dalihan natolu.19 Konsep dalihan natolu bertujuan membentuk sistem kekerabatan yang patuh kepada adat, meskipun pada saat yang bersamaan masyarakat Batak belum memeluk agama secara khusus sebagai panutan. Nilai-nilai etika tumbuh secara naluriah dan memutuskan larangan perkawinan terhadap saudara sedarah dan ibu kandung. Peraturan yang berupa anjuran dan larangan dibungkus dalam sebuah kemasan yang disebut sebagai adat. Peraturan ini terus berkembang secara turun temurun kepada keturunan Batak sampai sekarang. Suku Batak yang menikahi wanita satu marga disebut naso maradat (tidak beradat), dan hukuman terberat di usir dari kampung adat dan tidak dilibatkan dalam segala hal yang berhubungan dengan upacara adat, seperti pesta adat perkawinan. Konsep perkawinan semarga pada sebagian masyarakat Batak muslim sudah mulai bergeser. Hal ini disebabkan karena pengaruh ajaran agama. Unsur-unsur dalihan natolu terdiri dari tiga kelompok yaitu: Pertama saudara pertalian darah (dongan sabutuha) atau semarga dalam istilah Batak Angkola disebut Kahanggi. Kedua adalah kelompok kelompok pemberi boru (keluarga isteri atau mertua) dalam istilah Batak Angkola disebut mora. Ketiga kelompok penerima boru (keluarga suami atau menantu) dalam istilah Batak Angkola disebut dengan anak boru. Kelompok kedua dan ketiga (mora dan anak boru) terbentuk karena adanya hubungan perkawinan.20 Ketiga unsur dalihan natolu menjadi satu kesatuan, saling terikat dan memiliki fungsi serta peran penting dalam struktur sosial budaya Batak, baik ketika memberikan ide serta gagasan, maupun pada konsep pengamalan di masyarakat. Dalihan natolu juga terdapat pada setiap sub suku Batak. Ketiga unsur ini memiliki nama dan istilah penyebutan yang berbeda pada setiap daerah. Dalihan Natolu dalam masyarakat Batak Toba terdiri dari hula hula, dongan tubu dan boru. Batak Simalungun menyebut dalihan natolu dengan istilah tolu sahundulan yaitu tondong, sanina dan boru. Batak Karo menyebut istilah dalihan natolu dengan istilah akut sitelu yaitu kalimbubu, sembuyak dan anak beru. Batak Pakpak menyebutnya dengan daliken sitelu yang terdiri dari kula-kula, dengan tubuh dan berru.

19Ibrahim Gultom, Agama Parmalim di Tanah Batak (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 60. Lihat Juga WM Hutagalung, Pustaka Batak (Medan: Tulus Jaya, 1991), 36-37. 20Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna , Horja Adat Istiadat Dalihan Natolu (Bandung: Grafitri, 1993), 85. 54

Gambar 3.2. Dalihan Natolu Batak Angkola

Isteri Suami

Anak/Keturunan

Kahanggi Kahanggi

AP MP MP AL (S) AL (S) (I) ML

Mora Mora Anak Boru

MTP MTP MTP MTL MTL MTL

Keterangan Gambar 3.2. Dalihan Natolu: AL (S) : Anak Laki-Laki (Suami) AP (I) : Anak Perempuan (Isteri) MP : Menantu Perempuan ML : Menantu Laki-laki MTL : Mertua Laki-Laki MTR : Mertua Perempuan

Konsep dalihan natolu sejalan dengan teori Levi Strauss tentang segitiga kuliner (triangle culinaire). Menurut Strauss salah satu syarat dalam pelaksanaan horja perkawinan, harus di hadiri tiga kelompok atau sejumlah kelompok yang dapat dibagi tiga, yaitu pemberi istri harus lebih tinggi dari yang menerima, walaupun pada prinsipnya ketiga unsur memiliki posisi yang sama dalam konsep dalihan natolu.21 Secara praktek mora menempati kedudukan tertinggi dalam sistem sosial masyarakat Batak dan lebih istimewa dari kedudukan kelompok dalihan lainnya. Besarnya pengaruh dan kedudukan mora dibuktikan dalam pesta adat. Kelompok mora dipandang sebagai sumber restu. Penghormatan terhadap mora akan memberikan keselamatan jasmani, materi bahkan rohani. Mora dalam kehidupan sosial masyarakat Batak merupakan posisi yang sangat dihormati, disanjung dan disegani. Mora tidak boleh diperintah, disuruh dan dipaksa oleh anak boru.22

21Levi Strauss, Structural Anthropology (Middlesex: Peregrine Books, 1977), 22Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 80. 55

Keberadaan mora, kahanggi, dan anak boru merupakan analogi keberadaan tiga dewata yaitu Batara Guru, Batara Sori dan Balabuhan.23 Keberadaan mora dalam hal ini, dianalogikan sebagai Dewata Batara Guru yang merupakan manifestasi dari dewa tertinggi sehingga mora menempati posisi yang lebih tinggi dari unsur dalihan yang lain.24 Mora sebagai kelompok mertua dianggap mempunyai kekuatan magis untuk melimpahkan pasu-pasu (kekuatan rohani) pada kelompok anak boru atau kelompok menantu.25 Mora merupakan sumber kekuatan supranatural yang dapat memberi semangat secara rohani maupun jasmani. Masyarakat Batak Angkola menempatkan posisi mora dan melegalisasinya dalam sikap sosial dengan falsafah somba marmora artinya sembah kepada mora atau hula-hula. Somba dalam konteks masyarakat Batak adalah bertingkah laku yang hormat, sikap pandang yang lebih, dan memberikan pelayanan yang terbaik dalam konteks sosial dan adat.26 Mora dipandang sebagai sumber kehidupan serta membawa kesejahteraan lahir dan batin bagi anak boru. Hal ini karena mora telah memberikan boru (anak perempuannya) kepada anak boru (menantu). Keberadaan boru akan melahirkan generasi selanjutnya bagi keturunan anak boru (menantu). Menurut keyakinan masyarakat batak mora memiliki sahala (karisma). Karisma ini dapat diwariskan kepada anak boru dengan melakukan ritul pemberkatan pahoras tondi 27 dan manyulangi anak boru. Kekuatan sahala tondi 28yang dimiliki mora untuk

23Batara Guru, Batara Sori dan Balabuhan disebut juga dengan Debata Natolu. Debata Natolu diciptakan oleh Debata Mulajadi Nabolon untuk memberikan pemberkatan kepada manusia dalam arti luas. Tugas Batara Guru adalah menurunkan kerajaan, keadilan, kebijaksanaan dan pengetahuan kepada manusia di bumi. Menurut keyakinan masyarakat Batak kedudukan raja (harajaon) dan karisma kerajaan (sahala harajaon) adalah berkat titisan dari Batara Guru, seperti Sisingamangaraja yang memegang kekuasaan dan raja di tanah Batak mulai dari Sisingamangaraja I-XII. Batara Sori bertugas menurunkan dan menyebarkan hamalimon (keagamaan) dan nilai-nilai kesucian, sedangkan Balabuhan bertugas memberikan panurirangon (kemampuan memberikan nasehat), hadatuon (pengobatan)dan hagogoan (kekuatan). Baca Ibrahim Gultom, Agama Malim di Tanah Batak (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 118-121. 24J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta: LKiS, 2004), 56. 25Baca Harry Parkin, Batak Fruit Hindu Thought (Madra: Cristian Literature Society, 1978), 253. Baca juga Ben Marohajan Pasaribu, Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan (Medan: USU Press, 1986), 46. 26Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, 81. 27Tondi sering diterjemahkan dengan kata roh atau zat yang tidak tampak. Tondi akan selalu menyertai manusia selama hidupnya, namun ketika yang bersangkutan menderita sakit, tondi akan meninggalkan jasad selama penyakitnya belum sembuh. Tondi juga mampu bergerak keluar dari jasad disaat tidur dan berkomunikasi dengan makhluk lain. Tondi merupakan kekuatan sehingga tondi harus selalu menyatu dengan jasad. Masyarakat Batak sering melakukan ritual mangupa untuk mengikat dan kenguatkan tondi dalam jasad dengan salah satu doa, pir tondi madingin horas tondi matogu. Maksudnya adalah semoga tondi kokoh dan sejuk, semoga tondi kokoh, kuat dan selamat selamanya. Baca J.C.Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Toba, 91-101. 28Sahala dalam bahasa Batak-Indonesia diartikan dengan karisma atau wibawa, walaupun sesungguhnya maknanya belum sepenuhnya tepat. Vergouwen memaknakan sahala adalah daya khusus dari tondi (jiwa). Menurut kepercayaan agama Malim sahala adalah ruh suci yang bersumber 56 melindungi dan memberi kesejahteraan kepada anak boru, sehingga mora menduduki posisi yang paling terhormat di antara dalihan natolu (tungku tiga). Leluhur Batak mewariskan sikap somba marmora kepada anak boru dengan tujuan agar kehidupan berjalan secara harmonis, saling menyayangi, hormat-menghormati dan sopan santun dalam berperilaku khususnya pada keluarga mora.29 Masyarakat Batak Angkola juga menyebut kahanggi dengan istilah dongan tubu atau disebut juga dengan istilah dongan sabutuha atau dongan saina berarti saudara dalam perut. Kahanggi dalam konteks dongan sabutuha menggambarkan hubungan saudara kandung karena memiliki ikatan persaudaraan melalui hubungan darah. Istilah kahanggi dalam konteks semarga, adalah keluarga besar yang satu marga30tanpa memandang hubungan silsilah yang dekat. Kelompok sosial ini dianggap saudara dekat, walaupun sesama keturunan tidak saling mengenal antara satu sama lain. Kekerabatan dalam kelompok ini diikat melalui marga sebagai bukti satu keturunan dan dilahirkan dari ompung atau nenek moyang yang sama.31 Masyarakat Batak mengakui kekerabatan dalam kelompok kahanggi dengan istilah manat mardongan tubu atau manat markahanggi artinya teliti, hati-hati dan bijaksana terhadap saudara semarga. Fungsi kahanggi dalam sistem kekerabatan adalah sebagai pendamping dan penolong bagi keluarga yang satu marga ketika keluarga semarga bertindak sebagai suhut (tuan rumah) dalam suatu horja (pesta). Hubungan dongan sabutuha dalam konteks pergaulan tidak se-kaku dan seketat hubungan antara anak boru dan mora. Dongan sabutuha atau semarga boleh bercengkrama, bersenda gulau dan bebas berbicara apa saja (joking relationship) selama masih dalam batas-batas kewajaran.32 dari Debata Mulajadi Nabolon yang diturunkan kepada manusia pilihan. Sahala tidak dapat dipelajari dan tidak diperoleh dengan cara dipanggil, melainkan ia datang sendiri hinggap kepada seorang manusia tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Sahala bisa hinggap dengan waktu yang lama atau hanya sekedar singgah pada diri seseorang. Sahala adalah wujud yang gaib dan tidak dapat ditanggap oleh panca indra manusia, namun ia bisa menyatu dengan jiwa dan badan. Manusia yang dihinggapi oleh sahala akan terlihat pada sikap dan perilaku kehidupannya sehari-hari. Ciri-ciri manusia yang marsahala (orang yang memiliki sahala) akan menjauhkan diri dari sikap dan perilaku yang buruk baik pada dirinya maupun kepada orang lain, kelihatan berwibawa dan mampu memberikan pertolongan dalam bidang pengobatan. Lihat J.CVergounwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba,76. Lihat juga Ibrahim Gultom, Agama Malim di Tanah Batak, 192-194. 29Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna, Horja Adat Istiadat Dalihan Natolu (Bandung: Grafitri, 1993), 103. 30Marga adalah kelompok kekerabatan yang merujuk kepada asal keturunan. Menurut suku Batak, marga dan jenis-jenisnya berasal dari nenek moyang laki-laki (patrilineal). Marga merupakan dasar untuk menentukan partuturon, hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang dari marga lain. Menurut Ketentuan adat setelah tujuh atau delapan generasi dari marga lama, marga baru boleh dimunculkan setelah memenuhi persyaratan adat, atau karena pelanggaran adat yang dinamakan dengan manompas bongbong (memecahkan tembok marga). Lihat Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik (Jakarta: Yayasan Obor, 2006), 79-80. 31Baca Lonthar Schreiner, Adat dan Injil (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), 42. 32Ibrahim Gultom, Agama Parmalim di Tanah Batak, 65 57

Ungkapan Batak yang menitik beratkan sikap bijaksana dalam hubungan sosial dengan saudara semarga adalah sebagai antisipasi bahwa hubungan bersaudara dapat menjadi buruk dan berbahaya, bahkan cendrung menimbulkan konflik yang mengarahkan pada perpecahan sosial. Ungkapan manat markahanggi adalah sebagai peringatan kepada saudara semarga agar tetap waspada dan hati-hati dalam menjaga hubungan baik dan keutuhan dalam markahanggi. Titik rawan konflik sakahanggi biasanya berkaitan dengan harta pusaka karena sifat late (iri hati), hosom (dengki) dan teal (sombong) yang berasal dari gutgut.33 Marga merupakan identitas masyarakat Batak yang diambil dari garis keturunan ayah (patrilineal).34Apabila ayah bermarga Harahap, maka seluruh anak keturunannya akan bermarga Harahap baik anak laki-laki dan perempuan. Sistem marga sudah ada sejak jaman dulu dan masih dipertahankan hingga sekarang secara turun-temurun. Marga selain sebagai identitas diri juga berfungsi sebagai pengikat tali persaudaraan yang ada di antara sesama masyarakat Batak. Peranan marga dalam sistem masyarakat Batak telah mendarah daging sehingga dalam kebiasaan masyarakat Batak, jika bertemu pertama kali dengan orang lain dan ingin berkenalan, maka yang ditanyakan bukanlah nama dari orang yang bersangkutan melainkan marga (martarombo).35 Marga dalam masyarakat Batak adalah lambang kekeluargaan. Ikatan batin antara saudara semarga menimbulkan rasa hormat dan persaudaraan yang erat. Ikatan marga dalam masyarakat Batak adalah sebagai pemersatu dongan saompung (saudara satu kakek), sekaligus untuk menjalin hubungan yang pernah putus di antara sesama keturunan. Masyarakat Batak Toba memelihara marga adalah dengan mengingat silsilah leluhur semarga dengan cara martarombo atau mencari saudara-saudaranya dalam satu ompung. Hal ini bisanya dilakukan dengam cara memberi nomor pada setiap generasi, mulai dari leluhur pertama hingga generasi terakhir. misalnya, Sihombing Lumban Toruan Nomor 17, maksudnya adalah generasi ke 17 dari Sihombing Lumban Toruan yang pertama.36 Anak boru atau boru dalam konteks dalihan natolu adalah kebalikan dari mora atau hula-hula. Posisi anak boru dalam dalihan natolu adalah sebagai si pengambil boru (anak perempuan) atau menantu. Semua keluarga dekat menantu dan yang satu marga dengannya disebut sebagai anak boru. Fungsi anak boru dalam dalihan natolu disebut sebagai kelompok siloja-loja, karena kelompok anak boru sebagai tumpuan dalam acara hajatan adat perkawinan atau horja (pesta) lainnya di rumah

33Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna, 102. 34Pandapotan Nasution, Uraian Singkat Tentang Adat Mandailing Serta Tata cara Perkawinannya (Jakarta: Widya Press, 1994), 16. 35Wawancara, Porkas Dalimunthe Gelar Patuan Kumala Suangkupon (Raja Panusunan Bulung Bagas Godang Luat Muaratais Batang Angkola), tanggal 28 Agustus 2013. 36Wawancara, Banuara Sihombing (Masyarakat Padangsidimpuan), tanggal 28 Agustus 2013. 58 mora (mertua) ketika menjadi suhut (tuan rumah). Kelompok anak boru juga diharapkan sebagai penyandang dana terbesar bagi pihak mora (mertua) terutama dalam adat perkawinan. Pada sisi lain kelompok anak boru harus senantiasa tampil sebagai orang terdepan bagi kepentingan mora-nya. Ketiga unsur dalam dalihan natolu bukan hanya berlaku dalam setiap upacara adat, tetapi juga diterapkan dalam pergaulan sehari-hari. Inti dari konsep hormat marmora, elek maranak boru manat markahanggi adalah anak boru harus hormat jika berhadapan dengan mora, dan mora juga harus sayang, pandai bersikap kepada anak boru, sedangkan untuk sesama saudara kandung dan sesama saudara semarga harus lebih hati-hati dalam bersikap. Sikap kebersamaan yang dijalin dalam ikatan dalihan natolu merupakan aplikasi dari sikap holong dohot domu (kasih dan rukun). Hal ini juga tertuang dalam umpama masyarakat Batak Angkola salaklak sasingkoru sasanggar saria-ria saanak saboru suangnamarsada ina.37 Keharusan dalam sikap somba marmora (menyembah mora) terhadap keluarga isteri dan semarga dengannya merupakan bagian dari simbol keselamatan. Somba marmora yang dilakukan anak boru terhadap mora diyakini dapat membawa keselamatan dan ketentraman. Keharusan untuk manat markahannggi, atau menjaga tali persaudaraan dengan saudara semarga bertujuan agar terhindar dari perseteruan dan perselisihan. Aturan untuk elek maranak boru (mengasihi keluarga suami dan yang semarga dengannya ) diyakini akan membawa berkahan.38 Ketiga aturan ini dalam struktur dalihan natolu menjadi nilai yang mendasar pada tata krama, hingga formalitas adat istiadat suku Batak. Unsur dalihan natolu ibarat roda berputar sehingga tiap individu masyarakat Batak akan mengalami posisi mora sebagai posisi tertinggi yang dirajakan dalam adat istiadat, kahanggi sebagai posisi sejajar dalam dan posisi anak boru sebagi posisi bawah dalam tata laksana kekeluargaan dan adat-istiadat.39 Aturan yang ditetapkan melalui struktur dalihan natolu menjadi trias politika dalam sistem kehidupan sosial masyarakat Batak. Kebijakan-kebijakan adat istiadat dalam masyarakat Batak Angkola tidak terlepas dari unsur dalihan natolu. Konsep dalihan natolu juga terkait dengan pelaksanaan perkawinan. Perkawinan adalah hal yang penting dalam kehidupan sosial masyarakat Batak karena perkawinan merupakan salah satu proses memelihara marga bagi pihak laki-laki.

37Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman (Medan: FORKALA, 2005), 88. 38Andrew Causey, “The Folder In The Drawer Of The Sky Blue Lemari: A Toba Batak Carver's Secrets”, Crossroads: An Interdisciplinary Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 14, No. 1. (2000), 1-34 http://www.jstor.org/stable/40860751 . Diakses tanggal 9 September 2014. 39Wawancara, Joonner Rambe Gelar Sri Paduka Ompu Daulat Raja Agung Panuturi Hasadaon (Raja Istana Hasadaon Batang Angkola Tapanuli Selatan), tanggal 25 Agustus 2013. 59

Menikahi boru tulang atau anak perempuan dari saudara laki-laki ibu sangat dianjurkan dalam perkawinan masyarakat Batak. Menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki ibu disebut dengan istilah manyunduti. Proses manyunduti biasanya dilakukan dengan cara mendatangi saudara laki-laki ibu oleh keluarga pihak laki-laki yang hendak menikah dengan membawa indahan tungkus.40 Pada tradisi menyunduti pihak laki-laki memohon kepada tulang (saudara laki- laki ibu) untuk menikahkan anak perempuannya agar dijadikan sebagai parumaen (menantu). Proses manyunduti bertujuan untuk melangengkan hubungan kekerabatan secara dekat dengan iboto atau saudara laki-laki kandung dari ibu.41 Masyarakat Batak melarang keras perkawinan semarga. Akibat dari perkawinan semarga akan merusak tatanan partuturon. Masayarakat Batak yang melakukan perkawinan semarga akan dijatuhi hukuman adat dengan kewajiban mengadakan pesta sekampung dengan menyembelih kerbau dan diusir dari kampung halaman. Suku Batak yang menikah dengan suku lain (non marga) atau tidak sesama orang Batak, maka akan diberikan marga Batak sesuai dengan aturan dalihan natolu sebagai salah satu cara memelihara tatanan trias politika dalihan natolu.42

Gambar 3.3. Fungsi Dalihan Natolu

Mora Anak Boru

Eksekutif Legislatif

Kahanggi

Yudikatif

Dalihan natolu memiliki unsur kesamaan dengan konsep trias politika seperti pada gambar 3.3. Dalihan natolu menempatkan mora pada posisi tertinggi dalam upacara adat. Penempatan mora sebagai posisi tertinggi dalam mayarakat adat

40Indahan tungkus adalah nasi dibungkus dari anak boru yang akan dihantar kerumah mora. Nasi ini biasanya dilengkapi dengan ayam rendang, ikan yang disalai dan telor rebus. Indahan tungkus dibungkus dengan daun pisang berbentuk piramid. Indahan tungkus dalam upacara lamaran pada umumnya disertai dengan seperangkat alat sholat. 41Wawancara, Basa Sahala Harahap Gelar Sutan Enda Kumala Angkola (Raja Bagas Godang Pijorkoling Padangsidimpuan), tanggal 11 Juli 2013. 42Wawancara Sujari, (warga suku jawa di Padangsidimpuan), tanggal 1 agustus 2013. 60

Batak tidak bertentangan dengan asas patrilinialisme atau marga diambil dari garis keturunan ayah (laki-laki). Posisi mora menempati posisi tertinggi dalam proses adat Batak angkola pada hakikatnya adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap posisi perempuan dalam kehidupan keluarga. Kahanggi sebagai saudara semarga dalam struktur dalihan natolu adalah posisi setara atau sederajat. Kahanggi dalam acara horja adat (pesta adat) dianggap sebagai suhut (tuan rumah ). Falsafah angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna”, artinya bahwa bahwa jika hubungan di antara saudara semarga tidak berjalan dengan baik dan harmonis, hal ini akan menimbulkan perpecahan dan perselisihan.43 Falsafah ini membuktikan bahwa sesama saudara semarga harus memiliki rasa kesatuan (domu). Hubungan pertalian darah (semarga) disimbolkan dengan marburangir 44pada setiap upacara adat. Warna merah yang ditimbulkan ketika memakan sirih (marburangir) disimbolkan masyarakat Batak sebagai darah (ikatan pertalian sedarah/semarga). Anak boru menempati posisi ketiga dalam konsep struktur dalihan natolu. Posisi ini secara umum adalah posisi terbawah dan ditempati oleh marga keluarga dari pihak laki-laki yang menikahi perempuan Batak. Anak boru dalam adat Batak disimbolkan sebagai pelayan, atau pelaksana teknis. Masyarakat Batak Angkola beranggapan bahwa fungsi laki-laki adalah sebagai pemberi nafkah, walaupun secara demokratis posisi pelaksana bukanlah posisi terendah. Anak boru sebagai bagain pelaksana adat memiliki peran penting dalam menjalankan adat-istiadat.45

43Sutan Tinggibarani Perkasa Alam, Burangir Barita (Padangsidimpuan: Pemkab Tapsel, 2007), 27. 44Burangir menurut Adat Batak Angkola memiliki peranan penting dalam pelaksanaan adat. Suguhan burangir dari suhut menandakan bahwa pekerjaan yang dilakukan harus sesuai dengan adat. Burangir digunakan sebagai simbol ketika mengundang raja-raja adat atau melakukan sidang adat. Marburangir dalam kontek masyarakat Batak bukan hanya memakan daun sirih tetapi juga termasuk perkengkapan marburangir yaitu: sontang (gambir), soda (kapur sirih), pining (pinang) dan timbako (tembakau). Perlengkapan burangir disebut dengan istilah opat ganjil lima gonop. Daun sirih beserta haronduk (tempatnya) dibungkus dengan kain tenun. Burangir yang sudah siap saji disebut dengan burangir sirara udut, sibontar adop-adop, sataon sora busuk, sabulan nasora malos artinya daun sirih merah, menunjukkan hati yang putih bersih, setahun tidak bisa busuk sebulan tidak bisa layu. Burangir sirara adalah simbol bahwa hasil musyawarah adat harus tetap dipertahankan, walaupun harus meneteskan darah. Memberikan daun sirih yang disusun secara teratur dalam haronduk kepada raja dan warga masyarakat Batak Angkola ketika upacara adat adalah ungkapan sopan santun yang tidak ternilai. Wawancara, Basa Sahala Harahap Gelar Sutan Enda Kumala Angkola (Raja Bagas Godang Pijorkoling Padangsidimpuan), tanggal 13 Juli 2013. 45Parlaungan Ritonga, Sistem Pertuturan Masyarakat Tapanuli Selatan (Medan: Yandira Agung, 2002), 10. 61

Gambar 3.4. Hubungan dan Silsilah Marga-Marga Batak.46

Konsep dalihan natolu menjadi sesuatu yang menarik, karena dalihan natolu tidak hanya berbatas pada keluarga inti, tetapi meliputi marga-marga yang ada pada masyarakat Batak secara keseluruhan, misalnya seseorang bermarga Siregar memiliki isteri bermarga Harahap, maka suami akan menempatkan semua orang bermarga Harahap sebagai mora sesuai dengan adat istiadat Batak. Dalihan Natolu menjadi dasar mikro sosial dalam kehidupan makro masyarakat Batak yang tercermin dalam peta global yang biasa disebut sebagai “tarombo” atau silsilah genealogi masyarakat Batak yang bersumber pada Si Raja Batak, sebagai kakek moyang semua masyarakat Batak. Hubungan pada setiap marga-marga Batak sebagaimana yang digambarkan pada gambar 3.4 tersebut, bahwa setiap titik adalah marga dan setiap garis menunjukkan keterkaitan keturunan antara marga-marga Batak. Gambar 3.4 juga menunjukkan pola keterkaitan secara global.47 Hubungan setiap marga dalam struktur mikro-sosial orang Batak yang tertuang dalam dalihan natolu menunjukkan karakter yang kompleks. Hal ini dilihat dari praktik kehidupan masyarakat Batak yang memiliki mekanisme sosial tertentu untuk mempermudah menjalin hubungan kekerabatan dengan sesama orang Batak \melalui struktur genealogi tarombo Batak. Secara tradisional dalihan natolu memiliki kemampuan untuk mempertahankan hubungan sosial secara global. Konstitusi masyarakat Batak tidak

46Tipologi graf silsilah marga-marga Batak (sumber: Situngkir, “How Close a Bataknese One Another?: Study of Indonesian Batak’s Family Tree”. BFI Working Paper Series WP-2-2008) 47Ethan Mark, Asia's Transwar Lineage: Nationalism, Marxism, and Greater Asia in an IndonesianInflection”, The Journal of Asian Studies, Vol. 65, No. 3 (Aug., 2006), 461-493 http://www.jstor.org/stable/25076078. Diakses tanggal 9 September 2014.

62 ditulis di atas kertas dan dijalankan secara makro, melainkan tertanam dalam pemikiran. Menurut masyarakat Batak selain konsep dalihan natolu sebagai struktur sosial masyarakat Batak Angkola, sebagian masyarakat Batak yang juga memasukkan unsur sihal-sihal sebagai komponen pelengkap dari dalihan natolu. Sihal-sihal bukan sebagai komponen utama, karena penggunaannya hanya bersipat sementara dan berkantung kepada situasi dan konsidi masyarakat ketika melaksanakan horja (pesta) atau upacara adat lainnya. Secara sederhana sihal-sihal bermakna batu penyela. Batu ini diletakkan di antara tiga tungku yang berfungsi sebagai alat penyokong dari bawah apa bila memakai periuk yang ukurannya kecil. Penggunaan batu ini bukan sesuatu yang wajib dan tidak begitu mutlak karena digunakan secara kondisional. Makna sihal-sihal dalam jika dikaitkan dengan falsafah dalihan natolu, adalah sebagai pelengkap dalam struktur dalihan natolu dan penggunaannya hanya bersifat sementara sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Konsep sihal-sihal dalam dalihan natolu, dalam struktur adat boleh diisi oleh siapa saja, baik dari kelompok raja adat, hatobangon atau orang yang dituakan atau yang memangku jabatan di pemerintahan. E.M Burner pernah melakukan penelitian pada suku bangsa Indian Amerika dan juga Indonesia khususnya masyarakat Batak Toba di Medan, selama tahun 1957-1958 kemudian di bandung tahun 1969-1970. Hasil penelitiannya menyebutkan perpindahan masyarakat Batak akibat urbanisasi bukan melemahkan adat istiadat Batak, bahkan menjadi lebih kuat. Persentuhan dan persaingan dengan budaya asing, seperti Melayu, Jawa dan Cina menyebabkan meningkatnya nilai kekerabatan dan solidaritas di antara mereka.48 Meningkatnya kesadaran terhadap norma-norma adat, juga disertai dengan meningkatnya semangat kerja keras, ekonomi, sosial dan politik. Pengakuan terhadap eksistensi marga memperkuat identitas kesukuan sebagai orang Batak ditengah-tengah perjuangan hidup di kota.49 Persaudaraan masyarakat Batak Angkola yang dibangun berdasarkan sistem kekeluargaan dalam konsep dalihan natolu menjadi jatidiri yang khas orang Batak. Dalihan natolu adalah landasan dari setiap nilai-nilai kekerabatan, baik yg tercipta karena hubungan darah, marga dan perkawinan. Semangat kekerabatan tetap dipelihara di mana pun mereka berada. Beberapa organisasi yang dibentuk dalam ikatan kekeluargaan perantau Batak (parsadaan) muncul di berbagai daerah beserta

48Edward M. Bruner, “Batak Ethnic Associations in Three Indonesian”, Southwestern Journal of Anthropology University of New Mexico, Vol. 28, No. 3 (1972), 207-229, http://www.jstor.org/stable/3629220. Diakses tanggal 3 September 2014. 49Koentjaraningrat, Sejarah Antropologi II, 104. 63 kegiatan keagamaannya. Hal ini bertujuan menumbuhkan kesadaran dan rasa holong (kasih-sayang) antara satu sama lain. C. Norma dan Hukum Batak Angkola di Padangsidimpuan Norma dan hukum adalah pranata atau institust yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Hukum dibentuk sebagai proses konstruksi. Keberadaannya tidak terlepas dari berbagai peristiwa atau kenyataan sosial yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling berhubungan antara satu sama lain. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa hukum adalah karya manusia yang berupa norma- norma yang memuat petunjuk-petunjuk dalam bertingkah laku.50 Malinowski menyebutkan bahwa institusi sosial adalah konsep utama untuk memahami masyarakat. Koentjaraningrat menambahkan institusi sosial adalah seluruh totalitas dari kelakuan manusia yang berpola, baik pola pikir dan tindakan. Institusi sosial merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa peranan sosial dan norma-norma saling terkait.51 Secara defenitif kebudayaan terdiri dari norma-norma yang berisi nilai-nilai dan kepercayaan yang dimiliki secara bersama oleh para anggota masyarakat. Apabila anggota masyarakat berbuat dan berperilaku sesuai dengan norma dan nilai-nilai tersebut, maka perilaku mereka akan dipandang layak dan diterima oleh masyarakat itu.52 Studi antropologi memberikan perhatian secara khusus terhadap fenomena hukum dari segi budaya manusia. Hukum sebagai sarana menjaga keteraturan sosial (social order) atau sebagai pengendali sosial (social kontrol) memberikan peranan penting dalam menjawab bagaimana proses-proses sosial yang dibentuk masyarakat. Perhatian khusus itu terkait dengan pengaturan konsep hak dan kewajiban masyarakat dalam pola pembentukan, perubahan, manipulasi, interpretasi dan implementasi dalam menjalankankan kehidupan sosial masyarakat.53 Hukum dalam pengertian luas bukan hanya produk pemerintah (state law), tetapi hukum sebagai produk kebudayaan tidak hanya terdapat pada organisasi yang dibentuk oleh negara tetapi juga terdapat pada setiap bentuk komunitas masyarakat adat. Hukum selain terwujud dalam bentuk undang-undang, tetapi hukum juga terbentuk dalam mekanisme-mekanisme pengendalian sosial dalam sistem hukum rakyat (hukum adat). Norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat secara metodologis dipahami sebagai bentuk putusan perseorangan atau

50Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), 18. 51Koentjaraningrat, Sejarah Antropologi I (Jakarta: UI-Press, 2010), 167-168) 52William A. Haviland, Antropologi (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), 340 53Beckmann, K von and F. Strijbosch. Anthropology of law in the Netherland Essay on Legal Pluralism (Holland: foris publications, 1986), 17. 64 kelompok yang secara sosial diberikan otoritas untuk menjatuhkan sanksi hukum kepada masyarakat yang melanggar. Pada masyarakat Batak Angkola norma adalah bagian terpenting dalam pelaksanaan adat. Norma menurut kepercayaan Batak Angkola merupakan petunjuk dan pedoman yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat pastak-pastak ni paradaton. Norma berfungsi sebagai aturan dalam melaksanaan adat. Keberadaan norma adalah sebagai bingkai dan batasan dalam masyarakat dalihan natolu. Nilai-nilai yang terkandung dalam norma adat sebagai tolak ukur dalam berinteraksi terhadap lingkungan dan struktur masyarakat Batak Angkola terdiri dari patik54, uhum55, ugari 56dan hapantunon57. Menurut pandangan masyarakat

54Patik adalah aturan dasar dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Patik merupakan norma sosial yang tidak tertulis, namun berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman dalam bersikap, bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa adat dan berbagai macam kegiatan paradaton harus senantiasa merujuk pada patik-patik paradaton yang tertuang dalam ungkapan-ungkapan filosofis yang mengandung konsekuensi hukum yang mesti dipatuhi. Secara garis besar patik-patik paradaton dikelompokkan ke dalam dua bagian: pertama patik-patik paradaton yang mengajarkankan holong (kasih sayang). Kedua patik-patik paradaton yang berisi tentang domu atau anjuran membina persatuan dan kesatuan dalam hidup bermasyarakat. Baca Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, 61. 55Uhum secara umum adalah penjelasan atas patik. Uhum biasanya terkait dengan sanksi hukum. Sanksi atas setiap pelanggaran norma dan ketentuan adat dalam patik, ugari dan hapantunon telah diatur dalam konsep uhum masyarakat Batak. Pemberian sanksi dilakukan oleh Par-uhum (hakim) yang terdiri dari harajaon bersama dengan parkancing seperti, hatobangon, namora natoras, dan goruk-goruk hapinis. Baca Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, 69. Lihat juga Siregar Baumi, Ruhut-Ruhut Ni Paradaton, (Padangsidimpuan: Marancar 1996), 3. 56Ugari adalah kebiasaan masyarakat yang telah ditetapkan menjadi sebuah peraturan. Ugari merupakan suatu kebiasaan yang diadatkan dengan tidak merusak norma adat yang asli. Ugari harus tetap mengacu pada patik dan uhum sebagai peraturan tertinggi. Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam ugari harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan lex generalis (patik dan uhum). Ugari dirumuskan dan ditetapkan melalui sidang adat yang dipimpin oleh harajaon. Ugari bukan hanya muncul karena kebiasaan masyarakat, melainkan berdasarkan hasil keputusan musyawarah adat. Perselisihan dan perbedaan pandangan di kalangan masyarakat baik secara eksternal dan internal harus dipecahkan berdasarkan ugari atau adat na di adatkon (adat yang diadatkan). Ugari terjadi disebabkan beberapa hal diantaranya, kemajuan pola pikir masyarakat, pengaruh agama, sehingga adat tidak usang dan kaku. Lihat Agus Salim, dkk, Kerukunan Umat Beragama dalam Bingkai Adat Sipirok Tapanuli Selatan (Padangsidimpuan: Pemda Tapanuli Selatan, 2009), 33. Baca Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, 70. 57Hapantunon adalah tata tertib atau etika bermasyarakat. Hapantunon merupakan pelengkap pastak-pastak paradaton dalam bentuk norma-norma baku yang harus dipatuhi dan ditaati oleh seluruh masyarakat. Konsep hapantunon lebih kepada etika, tata krama, tutur kata dan adap bersopan santun dalam bertingkah laku. Hapantunon dapat dibagi kedalam dua kategori sesuai dengan tempat dan kondisi. Pertama hapantunon dalam paradaton yang terkait dengan unsur-unsur dalihan natolu. Kedua hapantunon dalam pergaulan hidup sehari-hari yang terkait dengan partuturon. Baca Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, 74. Lihat Parsadaan Marga Harahap, Horja Adat Istiadat dalihan Natolu, 107. 65

Batak inti dari nilai-nilai budaya Batak adalah bertujuan mewujudkan cita-cita kehidupan yang luhur meliputi hamoraon, hagabeon, dan hasangapon disingkat dengan “3H”.58 Konsep patik, uhum, ugari dan hapantunon dikemas ke dalam peribahasa hukum. Peribahasa hukum yang digunakan oleh masyarakat Batak Angkola disebut dengan istilah umpama. Umpama adalah ungkapan peribahasa Batak yang mengandung nilai-nilai hukum dan dituangkan dalam bentuk sajak, kemudian butir- butir hukumnya diterapkan ditanah Batak (bona pasogit). Masyarakat Batak menganggap bahwa umpama merupakan konsep yang sudah mapan untuk diterapkan pada masyarakat Batak yang dinamis.59 Konsep umpama banyak mencerminkan kearifan dalam makna yang lebih luas, sehingga makna yang terkandung lebih mendalam dari sekedar peribahasa dan tidak sekedar hal yang tersirat, tetapi juga menyangkut materi (isi umpama) bahkan sampai kepada efek yang ditimbulkan. Kekuatan peribahasa umpama bukan hanya terletak pada kiasan-kiasan kehidupan bermasyarakat, tetapi juga pada susunan kata dan iramanya.60 Prinsip umpama sangat dijunjung tinggi masyarakat Batak Angkola karena umpama merupakan bentuk kearifan para leluhur Batak. Masyarakat Batak Angkola sering menyebutnya dengan ungkapan adat ni ompung ta na jumolo tubu, sahala ni amanta (hukum adat yang sudah ada sejak zaman nenek moyang, harus tetap dijunjung tinggi sebagai penghormatan kepada orang tua). Masyarakat Batak na-paradat beranggapan bahwa hukum yang di-tuturi atau yang disampaikan oleh para leluhur adalah sesuatu yang mutlak dan suci bahkan tidak boleh dirubah. Bukti hukum adat Batak sebagai sesuatu yang mutlak di ungkapkan kedalam umpama seperti:

Adat ni ompung ta naparjolo I do na hita paoban-oban Adat yang sudah ditetapkan para leluhur sejak dulu kala Itu yang menjadi pedoman bagi kita (keturunannya)

58Istilah “3H” adalah Hamoraon yaitu kekayaan materi dan non materi. Hagabeon adalah memiliki keturunan yang banyak dan baik. Puncak hagabeon ketika memiliki anak laki-laki sebagai penerus marga (clan). Hasangapon adalah kehormatan. Kehormatan menurut masyarakat Batak terletak pada keseimbangan material dan spiritual 59Rene Teygeler, “Pustaha. A Study Into The Produktion Process Of The Batak Book”, Manuscripts Of Indonesia, (1993), 593-611, http://www.jstor.org/stable/27864489. Diakses tanggal 9 September 2014. 60Wawancara, Khaerul Alam Harahap Gelar Sutan Lembaga Alam (Raja Luat Pijorkoling Padangsidimpuan), tanggal 10 Juli 2013. 66

Kalimat di atas adalah salah satu bentuk umpama yang berbentuk seperti syair-syair pantun dari peribahasa Batak. Umpama biasanya dituangkan dalam bentuk sajak dengan menggunakan tata bahasa yang teratur dan ber-pola.61 Prinsip umpama pada kata “adat ni ama dohot ompung ta tongka pauba ubaon” bertujuan bahwa masyarakat adat harus senantiasa berpegang teguh pada nasehat-nasehat leluhur (poda-poda ni ompung ta).62 Kebiasaan-kebiasaan leluhur yang telah dilakukan secara turun-temurun harus tetap dilestarikan dalam kehidupan masyarakat dalihan natolu. Masyarakat Batak perpendapat bahwa hukum adat yang mereka yakini adalah hukum yang mapan dan memiliki daya paksa. Istilah patik dalam bahasa Batak merupakan sesuatu yang pasti atau peraturan yang mengikat dan tidak dapat diubah. Sutan Haburjuan Harahap berpendapat adat merupakan manispestasi dari “pandangan hidup” masyarakat Batak Angkola. Institusi sosial dalihan natolu dan menempati posisi tertinggi dalam mengatur pola tingkah laku masyrakat. Masyarakat yang berada dalam lingkaran adat merupakan bagian dari unit sosial dalihan natolu. Tutur (perkataan) dan mekanisme kehidupan sosial harus didasari semangat dalihan natolu.63 Penggunaan kata uhum menurut masyarakat Batak adalah simbol keadilan hukum. Penegakan hukum yang dimuat dalam surat tumbaga holing melalui peraturan (patik dohot uhum) memang sesuai dengan konstruksi budaya Batak.64 Pemberian sanksi hukum (uhum) terhadap masyarakat yang melakukan pelanggaran adat biasanya terdiri dari dua bentuk, yaitu sanksi restitutif dan sanksi represif. Sanksi restitutif adalah sanksi yang bersifat teguran atau pemberitahuan terhadap anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran adat. Sanksi represif adalah hukuman berupa tindakan terhadap anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran adat, seperti pengusiran dari kampung.65

61Yoshiko Okazaki, “Liturgical Music Among The Toba Batak People Of North Sumatera : The Creationof a New Traditio”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 12, No. 2(1998), 55-74 http://www.jstor.org/stable/40860678 . Diakses tanggal 9 September. 62Poda adalah kata-kata nasehat atau petuah leluhur Batak yang harus ditaati dan dipatuhi. Kebiasaan marsipoda pada orang Batak berlangsung secara turun temurun. Salah satu bentuk poda yang sering diungkapkan para orang tua di tanah Batak adalah poda na lima atau nasehat yang lima yaitu: paias rohamu (bersihkan hatimu), paias pamatangmu (bersihkan jasmanimu), paias parabitonmu (bersihkan pakaianmu), paias bagasmu (bersihkan rumah/tempat tinggalmu), paias pakaranganmu (bersihkan lingkunganmu). Baca Parlaungan ritonga, Sistem Pertuturan Masyarakat Tapanuli Selatan (Medan: Yandika Agung, 2002), 16. 63Wawancara, Sutan Haburjuan Harahap (Masyarakat Aek Tuhul Padangsidimpuan), tanggal 10 September, 2013) 64Wawancara, Martua Ansori Siregar (Hatobangon di Sidangkal Padangsidimpuan Selatan), tanggal 10 September 2013. 65Lihat Agus Salim, dkk, Kerukunan Umat Beragama dalam Bingkai Adat Sipirok Tapanuli Selatan (Padangsidimpuan: Pemda Tapanuli Selatan, 2009), 41. 67

Menurut masyarakat Batak Angkola ada beberapa jenis sanksi hukum yang diatur dalam uhum Batak Angkola yaitu: uhum mate (hukuman mati), uhum pasung (hukuman pasung) uhum jadi hatoban (hukuman jadi budak), uhum hora (hukuman denda), uhum horbo mate (hukuman memotong seekor kerbau), uhum mate mangolu (hukuman denda dua ekor kerbau, satu ekor hidup dan satu ekor untuk disembelih), uhum horbo tailpa (hukuman satu ekor kerbau dan emas).66 Masyarakat Batak menyakini bahwa konsep uhum merupakan hukum yang bersipat baku dan permanen, namun bukan berarti tidak dapat diubah. Peraturan adat sering mengalami pergeseran nilai dari satu aturan keaturan yang lain. Pergeseran hukum biasanya terjadi dalam penentuan sanksi adat. Terjadinya perubahan dalam penetapan sanksi hukum dilihat berdasarkan pertimbangan- pertimbangan adat dan negosiasi hukum yang dilakukan oleh masyarakat adat. Opsi yang ditawarkan sebagai sanksi, tetap diatur dalam bingkai budaya Batak.67 Perubahan hukum pada masyarakat Batak dijelaskan dalam sebuah umpama yaitu:

Mago pahat, mago uhuran Ditoruni jabi-jabi Mago adat tulus aturan Anggo dung domunitahi.

Umpana ini memunjukkan segala peraturan-peraturan yang sudah baku yang berlaku pada masyarakat Batak Angkola, bisa mengalami perubahan dengan melakukan musyawarah (pokat)68. Perubahan hukum pada masyarakat adat Batak didasari karena domuni tahi atau hasil kesepakatan dalam musyawarah, sehingga hukum yang awalnya bersifat baku berubah menjadi hukum yang statis dan dinamis. Masyarakat Batak Angkola menjadikan patik, uhum dan ugari sebagai

66Lihat Agus Salim, dkk, Kerukunan Umat Beragama dalam Bingkai Adat Sipirok Tapanuli Selatan, 42. 67Achim Sibeth, (Review by: Rita Smith Kipp), “The Batak: Peoples of Sumatra”, Journal of Anthropological Research University of New Mexico, Vol. 53, No. 1 (Spring, 1997), 98-99, http://www.jstor.org/stable/3631123 . Diakses tanggal 9 September 2014. 68Pokat dalam istilah Batak yang berarti musyawarah atau mupakat. Musyawarah adalah pokok dalam pelaksanaan horja Batak pada masyarakat dalihan natolu. Pokat pada masyarakat Batak Angkola terbagi menjadi lima bentuk: Pertama pokat ulu ni tot (musyawarah antara suami isteri). Kedua pokat sabagas (musyawarah keluarga, termasuk mora, kahanggi dan anak boru). Ketiga pokat saripe (musyawarah kampung). Keempat pokat sahuta (musyawarah dengan dihadiri masyarakat dalam satu kampung dan dihadiri unsur dalihan natolu, pisang raut, mora, namora natoras dan raja pamusuk). Kelima pokat godang (musyawarah paripurna musyawarah dengan dihadiri masyarakat dalam satu kampung dan dihadiri unsur dalihan natolu, pisang raut, mora, namora natoras dan raja pamusuk dilengkapi dengan masyarakat dari desa tetangga termasuk raja-raja torbin balok, raja-raja tingon desa na walu dan raja panusunan. Wawancara, Ismail Hasibuan Gelar Baginda Hamonangan (Raja Pamusuk desa Aek Tuhul), tanggal 12 Agustus 2013. 68 dasar dan pedoman dalam pelaksanaan adat. Masyarakat adat dalihan natolu adalah cerminan dari hukum yang diwariskan leluhur Batak. Perubahan hukum terjadi karena proses perubahan sosial. Perubahan adalah proses tranmisi dari satu nilai budaya kepada nilai budaya lain melalui jalur difusi, asimilasi dan akulturasi. Perubahan budaya pada masyarakat Batak banyak dipengaruhi oleh agama dan pendidikan. Perkembangan agama dan pendidikan banyak mempengaruhi dan mengubah cara hidup dan sitem berpikir. Perubahan masyarakat pedesaan yang bermarga homogen menjadi terbuka kearah sistem hidup bersama yang heterogen. Sistem sosial yang berorientasi pada tanah, sawah dan ladang semakin mengendur dan berkembang kearah organisasi modern dalam status formal berupa jabatan. Persaingan tradisional genealogik bergeser pada persaingan rasional yang berorientasi pada status formal, ekonomi dan politik. Pada bidang kesehatan kepercayaan lokal pada datu terhadap mantra dan obat mulai bergeser kepada dokter dan bidan yang berpendidikan medis.69 Pengampu adat berupaya mempertahankan tradisi yang telah melekat di kalangan masyarakat adat dan berusaha menyesuaikan adat dengan setiap perubahan. Ketentuan hukum pada masyarakat Batak yang bersifat dinamis, disimbolkan dalam bentuk umpama lotok aek dijae, angkon ditukkir do tujulu. (keruh air dihilir, harus dilihat kearah hulu). Maknanya bahwa setiap perubahan yang dilakukan dalam adat harus memiliki dasar filosofis yang kuat. Sikap tanggap para pengampu adat terhadap kondisi sosial masyarakat dinilai mampu menjadikan tradisi Batak tetap relevan hingga sekarang.70 Norma dan adat istiadat dalam kerangka dalihan natolu dinilai mampu melahirkan suasana kehidupan yang harmonis serta kepekaan terhadap perubahan sosial. Etika perilaku yang diajarkan dalam budaya tertuang dalam patik dohot uhum.71 Keterlibatan setiap individu dalam pelaksanaan horja adat merupakan pendidikan secara langsung terhadap nilai-nilai budaya sekaligus pengamalannya. Melalui tutur atau sapaan kepada kerabat secara tidak langsung mengajarkan setiap individu memahami hak dan kewajiban terhadap sesama dan posisinya dalam pelaksaan horja adat. Pelaksanaan horja adat adalah simbol kebersamaan dan kekeluargaan. Horja merupakan salah satu alat padomu koum atau mempererat ikatan kekeluargaan. Peran serta setiap individu dalam ritual adat menjadikan uparaca horja sebagai media pembelajaran bagi generasi muda secara khusus dan memperkokoh ikatan persaudaraan masyarakat dalihan natolu. Partisipasi koum (kerabat) dalam bentuk

69Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak, 151. 70Rithaony Hutajulu, “Tourism's Impact on Toba Batak Ceremony” Performing Arts inSoutheast Asia, KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (1995), 639-655, http://www.jstor.org/stable/27864707. Diakses tanggal 9 September 2014. 71Wawanacara Sutan Parlagutan (Raja Pamusuk Sigulang), tanggal 12 Agustus 2013. 69 tumpak72 dan sabat73 merupakan tanggung jawab bersama yang tergabung dalam dalihan natolu. Pelaksanaan horja pada masyarakat Batak bukan hanya dilakukan marga-marga yang berada dalam satu wilayah (huta),tetapi pada sisi lain pelaksanaan horja juga terkait dengan ritual keagamaan (bius). Horja bius biasanya dilakukan sekali setahun seperti upacara mangose taon dengan memotong seekor kerbau. Tujuan pesta bius adalah sebagai ucapan terimakasih kepada Tuhan. Horja bius menurut masyarakat Batak bukan hanya pesta biasa, tetapi juga mengandung makna religius dan diutamakan untuk upacara keagamaan. Kesuburan tanah, peningkatan hasil panen adalah satu bukti adanya pesta mangose taon. Horja adalah simbol kesatuan secara teritorial yang didasarkan pada suatu perjanjian kekeluargaan untuk kesatuan pelaksanaan pesta yang bersifat adat, sekaligus bentuk upacara yang bersifat keagamaan.74 Pada bagian akhir bab ini dapat disimpulkan bahwa adat pada masyarakat Batak Angkola menempatkan posisi sentral dalam struktur sosial dalihan natolu. Adat yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Angkola membentuk pandangan serta pola hidup sehari-hari yang mencakup proses-proses sosial seperti hubungan antar individu dan kelompok. Pada akhirnya kajian agama dan budaya dalam berbagai penelitian ilmiyah selalu mengalami perkembangan, meskipun agama dan budaya memiliki perbedaan secara substantif, namun keduanya memiliki nilai kepentingan yang sama dalam masyarakat. Masyarakat Batak berusaha mempertahankan nilai-nilai agama sementara pada waktu yang sama juga mentaati hukum adat dalam strukur dalihan natolu. Agama dan budaya diharapkan saling melengkapi antara satu sama lain (hombar adat dohot ibadat). Kajian tentang fenomena agama dan budaya pada akhirnya akan selalu menjadi kajian yang hangat dan memunculkan pendapat yang pro-kontradiktif. Hukum Islam dan budaya akan selalu hidup secara nyata dalam masyarakat walaupun dengan formulasi yang berbeda sesuai dengan falsafah dan faktor historisitas yang berbeda-beda.

72Tumpak adalah bantuan bersifat materil, seperti uang, beras, dan buah kelapa. 73Sabat adalah bantuan moril, seperti waktu dan tenaga ketika penyelenggaraan horja. 74Artur Simon, “Functional Changes in Batak Traditional Music and Its Role in Modern Indonesian Society”, Asian Music University of Texas Press, Vol. 15, No. 2 (1984), 58-66, http://www.jstor.org/stable/834031. Diakses tanggal 9 September 2014.

70

BAB IV

INTEGRASI HUKUM ISLAM DAN BUDAYA LOKAL

Bab ini menguraikan bagaimana integrasi hukum Islam ketika bersentuhan dengan budaya lokal dan menyatu secara inheren. Penjelasan yang dimuat pada bab ini terkait dengan bagaimana Islam sebagai agama masuk dan mempengaruhi budaya Batak Angkola di Padangsidimpuan. Tradisi Batak Angkola yang dipengaruhi oleh agama termasuk Marpege-pege: Konsep ta’a>wun dalam Budaya Batak Angkola Padangsidimpuan. Mangupa: Transformasi makna dari sistem kepercayaan ke nilai keagamaan.

A. Proses Integrasi Hukum Islam dalam Tradisi Batak Angkola. Islam dan budaya Batak Angkola dua hal yang sangat prinsifil dalam kehidupan masyarakat Padangsidimpuan. Keduanya (Islam dan budaya) menyatu secara inheren dan menjadi bagian dari falsafah hidup yaitu hombar adat dohot ibadat. Islam dan budaya menjadi spirit ketika melakukan kebaikan dan menjadi acuan agar tetap berada pada garis ketentuan, sesuai dengan norma yang berlaku. Keduanya juga memainkan peran sebagai pranata atau tata aturan moral secara normatif dalam kehidupan bermasyarakat. Islam dan budaya Batak Angkola terintegrasi sebagai pedoman hidup yang dijalankan dalam hubungannya dengan kehidupan sosio-kultural masyarakat, sehingga secara kultural dan simbolik, masyarakat Padangsidimpuan dikenal dengan masyarakat religious.1 Masyarakat Batak Angkola, sebelum Islam masuk pada dasarnya telah mengenal berbagai macam kepercayaan dan adat lokal yang telah diperaktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Kepercayaan masyarakat Batak Angkola telah menyatu dalam struktur sosial, baik berupa sistem nilai, pengetahuan dan kepercayaan yang telah dianut sejak lama. Masyarakat Batak Angkola telah mengenal bentuk-bentuk kepercayaan terhadap roh-roh leluhur yang berasal dari akar-akar kepercayaan agama Pelebegu2, Parmalim, Budha dan Hindu.

1Integrasi antara agama dan budaya pada masyarakat Batak, diharapkan mampu mewujudkan kehidupan yang harmonis dan membangun semangat kebersamaan kearah yang lebih dinamis dan kondusif. Adanya sikap eksklusif terhadap pandangan ideologi dan keyakinan agama akhirnya dapat menimbulkan ketegangan dan konflik yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Sikap menggelorakan fanatisme kelompok lewat kesukuan dan keagamaan akan melumpuhkan semangat kekeluargaan dalam masyarakat majemuk (pluralistic society). Apresiasi agama terhadap budaya lokal secara tidak langsung dapat mengeksplorasi pengembangan kebijakan keagamaan. Lihat Mauly Purba, “From Conflict to Reconciliation: The Case of the "Gondang Sabangunan" in the Order of Discipline of the Toba Batak Protestant”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 36. No. 2 (Juni 2005), 207-233. Diakses : tanggal 3 September 2014. 2Istilah Pelebegu berasal dari dua kata pele dan begu. Pele artinya memberikan sesaji, sedangkan begu adalah roh. Pelebegu merupakan ritual memberikan sesaji kepada roh baik berupa makanan, minuman atau sesuatu benda ke makam-makam, pohon besar dan ke tempat yang diyakini keramat (sakral). Lihat Artur Simon “Southeast Asia: Musical Syncretism and Cultural 71

72

Islam sebagai sebuah budaya baru yang masuk ke dalam budaya lama di Batak Angkola, harus dikaji secra holistik, yaitu integrasi budaya Islam dan Batak Angkola harus ditinjau dengan tinjauan budaya sebagai satu kesatuan yang terintegrasi.3 Islam masuk ke dalam Budaya Batak, merupakan proses akulturasi budaya, yang bisa dilihat dari perbedaan (deversitas) vertikal dan horisontal. Deversitas vertikal yang dimaksud adalah menyangkut perbedaan kelas sosial, dan kasta. Sedangkan deversitas horisontal adalah menyangkut perbedaan suku bangsa, golongan, dan agama.4 Penelitian ini melihat bahwa proses integrasi Islam dan budaya lokal Batak Angkola terjadi melalui proses akulturasi dan tidak terlepas dari tiga aspek berikut: Pertama, sejarah penyebaran agama Islam di Padangsidimpuan. Kedua peran tokoh agama (malim). Ketiga adanya kesepakatan nilai dan dominasi agama terhadap budaya. Melalui tiga aspek diatas akan ditemukan aspek mana saja dari budaya lokal Batak Angkola yang sudah dipengaruhi hukum Islam dan bersinergi dalam kehidupan masyarakat sebagai konsep hombar adat dohot ibadat ( adat dan agama hidup secara berdampingan). 1. Islam dalam Perspektif Sejarah Lokal Masyarakat Batak Angkola Islam masuk ke tanah Batak belum diketahui waktunya secara pasti, karena tidak ada sumber tertulis yang menjelaskan sejarah awal masuknya Islam di tanah Batak. Menurut Mangaraja Onggang Parlindungan, masuknya agama Islam ke tanah Batak tidak terlepas dari sejarah perang Paderi. Masyarakat Batak menyebut perang Paderi dengan istilah perang Pidari yaitu perang yang dilakukan oleh kelompok berjubah putih. Istilah perang Paderi di tanah Batak Angkola lebih populer dengan sebutan Silom Bonjo atau agama Islam yang berasal dari Bonjol. Meluasnya Perang Paderi ke tanah Batak berawal dari pergolakan besar yang terjadi di Minangkabau Sumatera Barat.5 Perang ini berawal dari munculnya gerakan reformasi yang berkecamuk di dunia Islam Timur Tengah, sehingga pengaruhnya sampai ke daerah Sumatera. Gerakan Wahabi di dunia Arab pada abad 18, membawa semangat puritanisme untuk memulihkan kemurnian Islam. Pada tahun 1780 an, gerakan ini mulai menyebar di Minangkabau Sumatera Barat. Pada 1803-1804, gerakan ini semakin militan di bawah kepemimpinan kelompok Paderi. Kelompok ini dipengaruhi oleh

Identity”, Fontes Artis Musicae, Vol. 57, No. 1 (Januari-Maret 2010), 23-34, http://www.jstor.org/stable/23512081. Diakses tanggal 9 September 2014. Lihat Pangaduan Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok (Medan: USU Press, 1998), 31. 3Koentjoeraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 170-171. 4Koentjoeraningrat, Sejarah Antropologi II (Jakarta: UI Press, 2010), 98. 5Nancy Tanner, “Disputing and Dispute Settlement among the Minangkabau of Indonesia”, Southeast Asia Program Publications at Cornell. No. 8 (Oktober,1969), 21-68 http://www.jstor.org/stable/3350668. Diakses tanggal 3 September 2014. 73 gerakan Wahabi ketika melakukan ibadah haji ke Mekkah. Pertentangan kaum Paderi dengan tokoh adat atas kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan masyarakat, mengakibatkan pecahnya perang saudara pada tahun 1815. Kekalahan tokoh adat Minangkabau, memaksa mereka meminta dukungan Belanda (1821), sehingga perang kembali terjadi dan berakhir pada tahun 1838 yang mengakibatkan Belanda berhasil menguasai wilayah Sumatera Barat.6 Perang Paderi di tanah Batak terjadi dalam dua periode yaitu pada tahun 1824- 1829 dan 1830-1833. Masuknya pasukan Paderi di tanah Batak di bawah pimpinan Tuanku Rao. Kedatangan pasukan Paderi dengan jumlah kekuatan yang cukup besar, tidak dapat dibendung dan dihalangi oleh penduduk setempat, sehingga dalam hitungan waktu pasukan Paderi mampu menaklukkan dan mengusai wilayah Batak di Padangsidimpuan. Tanah Batak ditaklukkan oleh pasukan Paderi dengan peperangan, kekerasan dan penindasan, bahkan membunuh penduduk yang menolak ajaran Islam.7 Basyal Hamidi menambahkan, bahwa proses penyebaran Islam di tanah Batak (Padangsidimpuan) tidak terlepas dari pengaruh Tuanku Lelo (1785-1833}). Tuanku Lelo adalah putra dari seorang hartawan (borjouis). Ayahnya bernama Pagu Nasution (1750-1833). Ia berasal dari desa Hutasiantar (sekarang berada di Kabupaten Mandailing Natal) dan tinggal di Pariaman Sumatera Barat. Pagu Nasution dikenal dengan nama haji Hassan Nasution atau Tuanku Kadi Malikul Adil dan lebih populer dengan nama Kadi Hassan. Tuanku Lelo lahir dengan nama Idris Nasution. Menginjak usia remaja Idris Nasution gemar belajar . Ia mahir memainkan berbagai macam senjata, bahkan pernah menjadi buronan karena kasus pembunuhan, kemudian bersembunyi di desa Air Bangis dan Lubuk Sikaping. Keahlianya dalam seni bela diri diperoleh dari gurunya yang bernama Saidi Muning. Kecerdasannya Idris Nasution dan Saidi Muning dalam Ilmu peperangan, menjadikan Tuanku Nan Renceh (salah satu tokoh perang Paderi) mengangkat keduanya menjadi bagian dari kelompok Paderi. Berkat kegigihan dan loyalitasnya sebagai gerakan Islam kaum putih, Saidi Muning diberikan gelar Tuanku Lintau, sedangkan Idris Nasution mendapat gelar Tuanku Lelo. Sifat keberanian Tuanku lelo bersama para pasukan Paderi menjadikannya sebagai salah satu utusan untuk menyebarkan Islam ke tanah Batak bagian selatan yaitu, Mandailing, Angkola dan Sipirok.8

6MC. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, terj. Dono Sunardi dan Satrio Wahono (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013), 43. Lihat Mangaradja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao, (Yogyakarta: LKiS, 2007), 172. 7Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba, Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 71. 8Basyaral Hamidi Harahap, Pemerintah Kota Padangsidimpuan Menghadapi Tantangan Zaman (Padangsidimpuan: Pemkot Padangsidimpuan, 2003), 24-25. 74

Tuanku Lelo berhasil mengusai Padangsidimpuan hanya dalam tenggang waktu sehari semalam atas bantuan dan arahan dari Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. Pada tahun 1821, atas nasehat Tuanku Tambusai, Tuanku Lelo membangun tembok besar di Padangsidimpuan yang disebut dengan “Benteng Padangsidimpuan” diatas tanah 600 Ha. Pada sisi benteng dipagari dengan kayu runcing dan meranti ukuran 4-5 meter, kayu-kayu tersebut khusus didatangkan dari daerah Singkuang. Benteng tersebut dibangun untuk melindungi rumah penduduk, diantaranya rumah Tuanku Lelo (sekarang pasar raya Sangkumpal Bonang Padangsidimpuan).9 Pada tahun 1846, rakyat melakukan perlawanan dan pemberontakan terhadap Tuanku Lelo. Benteng Padangsidimpuan diruntuhkan, pasukan Tuanku Lelo porak poranda dan akhirnya mengalami kekalahan. 41 tahun berlalu, yaitu pada tahun 1885 didirikan rumah Residen, tepat di lokasi rumah Tuanku Lelo10. Perkembangan selanjutnya, pasukan Paderi melakukan penyebaran agama Islam di kawasan Sipirok, yakni diperkirakan tahun 1816 di bawah kepemimpinan Tuanku Rao. Pasukan Paderi masuk ke Sipirok untuk mengajak para penduduk memeluk agama Islam.11 Islam sudah mulai dikenal dan diterima dikalangan masyarakat Batak dengan sebutan Islam Bonjo atau Islam yang berasal dari Bonjol. Pasukan Paderi mengembangkan ajaran Islam di Sipirok dan beberapa tempat di wilayah Tapanuli Selatan kurang lebih 5 tahunan. Kegiatan pengembangan ajaran Islam mengalami kemunduran pada tahun 1821, tepatnya ketika terjadi perang antara pasukan Paderi dan Belanda di Sumatera Barat. Peperangan itu menyebabkan sebagian besar pasukan Paderi yang berada di Tapanuli Selatan, kembali untuk menghadapi tentara Belanda. Peperangan berlangsung hingga tahun 1837.12 Keberadaan Paderi di tanah Batak, tidak langsung menjadikan penduduk Sipirok memeluk Islam secara keseluruhan. Kuatnya pengaruh kepercayaan lokal dan istiadat seperti agama Parmalin dan Pelebegu, membuat para penduduk tetap konsisten terhadap kepercayaan lokal yang telah mereka anut. Proses penyebaran Islam mulai dilakukan secara berangsur-angsur dengan mengutus para pendakwah

9Basyaral Hamidi Harahap, Pemerintah Kota Padangsidimpuan Menghadapi Tantangan Zaman, 25. 10Basyaral Hamidi Harahap, Pemerintah Kota Padangsidimpuan Menghadapi Tantangan Zaman, 28. 11Jeffrey Hadler, “A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol andthe Uses of History “, The Journal of Asian Studies, Vol. 67, No. 3 (Agustus, 2008), 971-1010, http://www.jstor.org/stable/2020343. Diakses tanggal 9 September 2014. 12Masashi Hirosue, “The Batak Millenarian Response to the Colonial Order”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 25, No.2 (September 1994), 331-343, http://www.jstor.org/stable/20071661. Diakses tanggal 9 September 2014. Lihat Pangaduan Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 32. 75

(malim) dan menggunakan media lokal sebagai instrumen. Penyebaran Islam secara persuasif bertujuan agar Islam dapat diterima secara mudah oleh masyarakat sekitar. Pada tahun 1855, sekitar 40 tahun pasca masuknya Islam di Sipirok, para penduduk mulai meninggalkan kepercayaan animisme dan memeluk agama Islam.13 Bungaran Antonius berpendapat, bahwa masuknya pasukan Paderi ketanah ke tanah Batak, bukan karena misi keagamaan. Pengislaman yang dilakukan pasukan Paderi terhadap para penduduk, pada dasarnya bukan menjadi tujuan utama. Penyerangan dilakukan karena kebutuhan ekonomi (logistik). Kekalahan pasukan Paderi dari kaum adat dan Belanda di Minangkabau, menyebabkan mereka terdesak kearah utara Minangkabau yaitu tanah Batak. Penyerangan dilakukan untuk mencari perbekalan dan sumber makanan.14 Proses akulturasi yang disebabkan oleh faktor ekonomi juga didukung oleh G.M. Foster sebagaimana yang dikutip oleh Koentjaraningrat dalam bukunya Traditional Cultures and The Imfact of Technological Change bahwa akulturasi yang terjadi pada suatu budaya yang terpengaruh oleh budaya asing disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor ekonomi.15 Kawasan di sepanjang pesisir pulau Sumatera, telah lama dikenal memiliki berbagai macam hasil bumi. Salah satu jenis tanaman kayu yang memiliki potensi yang besar di Sumatera adalah pohon kayu jenis gaharu16 (aquailaria) pohon ini banyak diminati baik dalam maupun luar negeri. Pohon gaharu bernilai tinggi dipasaran, sehingga diekspoitasi secara berlebihan. Akibat permintaan pasar dunia yang cukup tinggi, membuat pohon gaharu ini hampir mengalami kepunahan. Sejak tahun 1994, pohon gaharu menjadi salah satu jenis tanaman yang dilindungi dan masuk dalam Appendix II CITES dan hanya dapat diperdagangkan sesuai dengan

13Basyaral Hamidi Harahap, Pemerintah Kota Padangsidimpuan Menghadapi Tantangan Zaman, 26. Baca. Pangaduan Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 32. 14Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba, 44. 15Koentjaraningrat, Sejarah Antropologi II (Jakarta: UI Press, 2010), 101. 16Pohon gaharu memiliki nama daerah diantaranya kayu karas, garu, kekaras, mengkaras (Dayak), galoop (Melayu) dan kayu alim. Masyarakat Batak menyebut kayu garu dengan istilah kayu alim. Pohon tergolong tanaman kayu keras yang dapat tumbuh pada ketinggian 35-40 meter. Berdiameter 60 cm, kulit batang licin berwarna putih atau keputih-putihan. Daun lonjong memanjang ukuran 5-8 cm dan lebar 3-4 cm. Ujung daun runcing, warna daun hijau mengkilat. Bunga berada di ujung ranting atau diketiak atas bawah daun. Buah berada dalam polongan berbentuk bulat telur atau lonjong ukuran panjang 5cm dan lebar 3 cm. Biji berbentuk bulat dan tertutup bulu-bulu halus berwarna kemerahan. Tanaman ini tumbuh pada ketinggian 750 meter, pada hutan dataran rendah dan pegunungan dengan suhu rata-rata 320 c dan kelembaban 70% dengan curah hujan dari 2000 mm/tahun. Lihat Andri Restiyadi dkk (Tim Penulis Balai Arkeologi Medan), Sumatera Utara Catatan Sejarah dan Arkeologi (Yogyakarta, Ombak, 2014), 35. Lihat Darma Susetya, Budidaya Gaharu Satu Pohon Hasilkan Jutaan Rupiah (Yogyakarta, Pustaka Baru Press 2002), 11-12. 76 quota yang telah di tentukan.17 Pohon ini sekarang tersebar di beberapa negara diantaranya, Indonesia, Malaysia, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Filipina.18 Masyarakat Batak pada masa lalu menjadikan alam, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga terkait dengan hal- hal yang bersifat religi. Perlengkapan upacara ritual keagamaan seperti, panen, upacara tubuan anak, pernikahan, perang dan kematian diperoleh dari unsur-unsur yang terdapat dari alam sekitarnya. Pohon gaharu pada masa lampau dijadikan sebagai aroma pengharum tubuh, ruangan, pegasapan obat-obatan dan kelengkapan ritual keagamaan.19 Masyarakat Batak menjadikan pohon gaharu sebagai media penulisan pustaha laklak.20 Dalam konsep kepercayaan masyarakat Batak, pohon merupakan simbol penghubung antara dunia bawah (banua partoru) dengan dunia atas (banua ginjang).21 Penggunaan borotan 22 (yaitu batang/ tunggul pohon) pada rangkaian prosesi pemakaman masyarakat Batak juga merupakan bukti adanya keterkaitan antara agama dan alam sekitar. Mitologi Batak menyebutkan, bahwa dewa tertinggi (Mulajadi Nabolon) menjadikan pohon kehidupan yang disebut dengan haruaya sundung di langit, di dahannya diletakkan seekor burung mistis yang disebut hulambujati.23 Masyarakat Batak, tampaknya menyimbolkan borotan sebagai media

17Mandang dan Wiyono, “Anatomi kayu gaharu (Lamk) dan Beberapa Jenis Sekerabat” dalam Buletin Penelitian Hasil Hutan, tahun 2002, 107-126. 18Leonar Y. Andaya, “The Trans-Sumatra Trade and the Ethnicization of the Batak“ Author(s): Source: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 158, No. 3 (2002), pp. 367-409, KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2786584, diakses tanggal, 3 September 2014. Lihat juga Andri Restiyadi dkk, Sumatera Utara Catatan Sejarah dan Arkeologi, 33. 19Andri Restiyadi dkk Sumatera Utara Catatan Sejarah dan Arkeologi, 37. Lihat Darma Susetya, Budidaya Gaharu Satu Pohon Hasilkan Jutaan Rupiah, 3 20Pustaha Laklak adalah kitab peninggalan leluhur masyarakat Batak yang merupakan gambaran dari gagasan-gasan pengalaman dan pengetahuan yang diaktualisasikan dalam bentuk budaya, interaksi sosial, religi dan alam sekitar, baik yang bersifat fisik dan non fisik. Kitab ini berisi tentang ilmu pangulubalang, tunggal panalu, pamunu tanduk, gadam,tolak bala, pamagar, ilmu nujum dan lain-lain. Pegamalan atau penerapan ilmu-ilmu tersebut dilakukan dalam sebuah ritual oleh orang- orang pilihan, dipimpin oleh seorang datu pada hari dan saat-saat tertentu. Pustaha Laklak pada masa lampau dianggap sebagai kitab sakral seperti halnya objek-objek lain seperti, patung pangulubalang dan tongkat tunggal panalu 21Konsep religi masyarakat Batak, dunia ini terbagi kepada tiga bagian: Pertama; banua ginjang (dunia atas, yakni dunia Sang pencipta). Kedua; banua tonga (dunia tengah, dunia tempat manusia melakukan segala aktifitasnya). Ketiga; banua partoru (dunia bawah, yakni dunia roh). Lihat Andri Restiyadi dkk, Sumatera Utara Catatan Sejarah dan Arkeologi, 40. 22Borotan yaitu batang pohon, dibagian puncaknya dihiasi oleh dedaunan yang diikat ijuk dan ditanjapkan di tengah halaman rumah duka, sebagai simbol berlangsungnya upacara kematian sayur matua dan bersifat sebagai tambatan hewan kurban (kerbau), seperti upacara kalpataru dalam mitologi Hindu (Ery Soedewo, “Tinjauan Semiotik Terhadap Gambaran Dunia Menurut kosmologi Hindu Budha dan Batak” dalam Arkeologi Sangkhakala, Vol. X. No. 19. ( 2007), 22-23. 23Hasanuddin, Fungsi dan Makna Kerbau pada Masyarakat Batak Toba (Kajian Upacara Kematian Saur Matua dan Mangongkal Holi di Kabupaten Samosir (Tesis, Universitas Negeri medan, 2006), 77. 77 perantara yang menghubungkan para dewa dengan dunia nyata (banua tonga) dengan banua ginjang (dunia Sang pencipta) dan dunia bawah (roh). Catatan sejarah menunjukkan bahwa Sumatera Utara merupakan daerah penghasil kamper, benzoin (kemenyan), emas dan rempah-rempah yang merupakan komuditas dagang utama bandar-bandar di sepanjang pesisir Selat Malaka. Kondisi perairan di Pesisir Barat Sumatera sulit didatangi, namun komuditasnya sangat diburu para pedagang dunia saat itu, seperti Eropa dan Cina. Kapur barus menjadi salah satu icon dari beberapa produk perdagangan karena dinilai berkualitas prima. Kapur barus diminati para konsumen dari Timur Tengah, Mesir hingga Eropa dan kamper diminati di negeri Cina. Hubungan Barus di pesisir barat Sumatera Utara dengan Timur Tengah sudah berlangsung lama. Arkeolog membuktikan adanya hubungan tersebut dengan menemukan gelas, botol, cermin, wadah wewangian dan obat-obatan dari Khurasan, Iran dan Mesir. Barus juga memiliki bukti arkeologi berupa prasasti serikat dangang bersegi enam dalam bahasa Tamil tahun 1010 Saka (1088 M).24 Berbicara tentang Barus sebagi perannya sebagai sebuah bandar juga membawa kita ke kurun waktu abad VII, hingga sekitar abad XVI. Selain terkait dengan pelayaran, perdagangan dan kontak budaya, juga berkenaan dengan tumbuh kembangnya Islam di sana. Menghubungkannya dengan kerajaan-kerajaan besar di Sumatera, keberadaan Barus sangat menarik. Hegemoni bidang pelayaran dan perdagangan di Samudera Indonesia saat itu dibagi atas tingkatan masa keberadaan raja-raja Sriwijaya (abad VII hingga abad XIII) dan tingkatan masa keberadaan raja-raja Islam Samudera Pasai, Aceh Darussalam dan Malaka. Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan maritim yang kuat dan berkemampuan mengendalikan berlangsungnya aktivitas di sepanjang pesisir Selat Malaka, Selat Sunda serta pesisir barat Sumatera. Bukti arkeologi misalnya menemukan gerabah dan tembikar.25 Pada masa pergolakan, kaum Paderi juga menjalankan strategi berperang sambil berniaga. Para saudagar Paderi menjalankan perdagangan bebas yang dianggap sebagai aktivitas ilegal oleh pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1831 Belanda kembali menguasai hampir semua kota-kota dagang di Pantai Barat. Jatuhnya Benteng Bonjol tahun 1837 aktivitas niaga kaum Paderi berangsur hilang. Pada periode ini kemajuan pihak Belanda di Sumatera melaju hingga ke perbatasan Aceh. Pada tahun 1838 Belanda berhasil mengadakan perjanjian Inderagiri, maka

24Lucar Partanda Kuenstoro, Medan Kota Pesisir Timur Sumatera Utara dan Peninggalan Tuanya (Medan: Balai Arkeologi Medan, 2006), 42-43. 25Uli Kozok, “On Writing the Not-To-Be-Read: Literature and Literacy in a Pre-Colonial 'Tribal' Society “ Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Vol. 156, No. 1 (2000), 33-55 http://www.jstor.org/stable/2786558, Diakses tanggal 9 September 2014. 78 pada sekitar 1838-1840 Barus dan Singkil diduduki. Akibat perang Paderi mengakibatkan merambahnya pengaruh Belanda ke tanah Batak, sebelah utara Ranah Minang.26 Antonius menambahkan terjadinya perang Paderi di tanah Batak, juga terjadi akibat rasa sakit hati Pongki Nagolgolan yaitu, salah seorang panglima pasukan Paderi yang berasal dari Batak terhadap pamannya Sisingamangaraja ke-X. Perang Paderi menurut masyarakat Batak, dianggap sebagai perang saudara dan menjadi cerita panjang dalam catatan kelam sejarah Batak. Kedatangan Islam dengan kekerasan ke tanah Batak, bahkan tidak menjadikan masyarakat menolak ajaran Islam secara keseruluhan khususnya Tapanuli bagian Selatan.27 Perlawanan masyarakat Batak yang muncul terhadap pasukan Paderi merupakan bentuk konsekuensi benturan paham agama dan budaya lokal. Paham agama yang dimaksud adalah paham yang dibawa oleh pasukan Paderi bercorak wahabi, yang sangat kaku untuk menerima budaya atau tradisi lokal, sehingga sulit diterima oleh masyarakat Batak yang masih kental dengan adat istiadat atau tradisi lokal. 2. Peran Malim Dalam Penyebaran Islam di Tanah Batak Angkola. Persentuhan Islam dengan budaya lokal Batak Angkola menghasilkan sejumlah bentuk-bentuk budaya baru. Budaya baru yang dimaksud adalah budaya yang masih terikat oleh tradisi lama, akan tetapi makna dan tujuan dari budaya tersebut telah dipengaruhi oleh ajaran Islam. Pertemuan Islam dengan budaya lokal Batak Angkola berfungsi sebagai transformasi budaya asli Batak Angkola yang bercorak animisme-dinamisme menjadi budaya Batak bercorak Islam. Kemampuan Malim (tokoh agama yang sangat toleran terhadap budaya Batak) menyiarkan Islam pada masyarakat Batak Angkola, memungkinkan terjadinya proses tranformasi kebudayaan lokal yang bercorak animisme-dinamisme menjadi kebudayaan Islam dengan tetap mempertahankan unsur-unsur budaya lokal yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Melalui metode ini proses Islamisasi berlangsung secara cepat dan mencapai puncaknya tatkala Islam diterima sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ritual adat (adat hombar adat dohot ibadat). Penerimaan masyarakat Batak terhadap agama Islam dengan jalan damai, tidak terlepas dari peristiwa wabah penyakit di tanah Batak. Peristiwa tersebut terjadi, kurang lebih empat puluh tahun setelah masuknya pasukan Paderi ke tanah Batak, tepatnya pada tahun 1855. Menurut Sutan Pangurabaan, kejadian wabah penyakit telah menjangkit seluruh warga, termasuk salah satu anggota keluarga kerajaan Sipirok. Penyakit yang sudah mewabah dan telah masuk ke dalam istana menambah

26Andri Restiyadi dkk, Sumatera Utara Catatan Sejarah dan Arkeologi, 184. 27Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba, 44. Baca Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 71. 79 kekhawatiran banyak pihak, terutama keluarga istana. Berdasarkan pada tradisi di Batak Angkola, penyembuhan penyakit dilakukan dengan menggunakan ritual adat. Proses penyembuhan dipimpin oleh Sibaso, yaitu seorang datu (dukun) yang menganut kepercayaan pelebegu. Pada saat ritul Sibaso menjanjikan kepada setiap masyarakat dan pihak istana bahwa setiap warga yang terserang penyakit akan segera sembuh. Mendengar ucapan Sibaso, masyarakat merasa senang karena menyakini Sibaso merupakan tokoh sakti yang mampu berkomunikasi langsung dengan penguasa alam gaib. Masyarakat Batak juga menyakini bahwa Sibaso merupakan titisan dewa sebagai penyampai kebenaran. Anggota keluarga istana dan warga yang diobati Sibaso akhirnya meninggal dunia. Hal ini membawa kedukaan yang mendalam kepada keluarga istana dan masyarakat. Kejadian tersebut membuat masyarakat mulai tidak percaya dengan Sibaso, dan akhirnya meninggalkan Sibaso dan kepercayaan yang dibawanya. Raja Huta Siantar Patuan Suangkupon bertemu dengan Baleo Natar dua tahun setelah kejadian pengobatan yang dilakukan oleh Sibaso. Baleo Natar adalah seorang Malim (tokoh agama) yang mengembangkan ajaran Islam di wilayah Mandailing. Beliau berasal dari Natar (sekarang disebut daerah Natal). Perjumpaan keduanya menimbulkan kesepakatan atas kesediaan Baleo Natar mengembangkan Islam di kawasan Sipirok Batak Angkola. Baleo Natar kemudian memerintahkan muridnya bernama Djabal dari Mandailing untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Sipirok Batak Angkola. Penyebaran Islam yang dilakukan Djabal mendapat perhatian khusus dari masyarakat. Antusias masyarakat terhadap ajaran Islam dan kaderisasi Djabal di Sipirok menghasilkan seorang tokoh yang bernama Dja Galangan. Peristiwa tersebut menjadi akar penyebaran agama Islam ke wilayah-wilayah Batak Angkola dan dapat diterima menjadi agama manyoritas. Sejarah ini juga menjadi awal bagaimana integrasi hukum Islam dalam budaya lokal masyarakat Batak Angkola melalui peran malim (tokoh agama).28 Pendekatan secara damai yang dilakukan para malim membuat masyarakat lebih tertarik pada ajaran Islam. Peran malim dalam penyebaran Islam di tanah Batak dengan menggunakan model pendekatan dialog dan menerima nilai-nilai adat sebagai suatu identitas baru yang saling menghargai menjadikan Islam lebih bersikap akomodatif terhadap unsur-unsur budaya lokal. Fase selanjutnya para tokoh agama memilih institusi pendidikan sebagai media pendidikan Islam yang dikenal dengan nama pesantren dan mereka disebut dengan nama tuan guru. Munculnya pesantren merupakan proses akulturasi damai antara doktrin Islam dan masyarakat adat. Relasi sosial yang berlangsung secara harmonis juga dapat dilihat melalui katerlibatan malim dalam setiap tradisi yang dilakukan masyarakat Batak Angkola.

28Pangaduan Lubis, Sipirok Nasoli, 32-33. 80

Keterlibatan malim dalam sejumlah ritual adat menjadi salah satu cara untuk menyelinapkan pesan-pesan agama. Posisi malim sebagai tokoh agama dalam tradisi Batak Angkola saat ini, memiliki peran penting pada setiap ritual-ritual adat. Setiap ritual-ritual adat yang dilaksanakan selalu diwarnai dengan nuansa keagamaan, seperti pembacaan doa. Kegiatan membaca doa pada tradisi mangupa misalnya, melahirkan bentuk sikap keagamaan yang berciri khas Batak Angkola. Percampuaran unsur-unsur Islam dengan unsur-unsur lokal Batak terlihat jelas pada setiap kegiatan yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat seperti, kehamilan, kelahiran, khitanan pernikahan dan kematian.29 Syukuran atas kelahiran bayi (tubuan anak ) pada masyarakat Batak Angkola, umumnya merupakan perpaduan antara hal-hal yang bernuansa tradisi lokal dengan hal yang bernuansa Islam. Pelaksaan aqiqah dan pembacaan al Barzanji pada acara tubuan anak tubuan boru (kelahiran) serta mangupa daganak (mangupa anak yang baru lahir) adalah bentuk persentuhan Islam dengan tradisi lokal Batak. Perpaduan unsur-unsur keagamaan juga terlihat pada acara pernikahan (haroan boru) sebagai bentuk spritualitas masyarakat muslim.30 Prosesi pernikahan pada masyarakat Batak keluarga calon pengantin laki-laki dan perempuan melakukan persiapan untuk acara prosesi pernikahan baik secara sendiri, maupun secara bersama-sama. Persiapan yang dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki, meliputi kegiatan manyapai boru (penjajakan), mangaririt boru (peminangan), padamos hata, patobang hata, manulak sere (acara penyerahan emas dan mahar), horja adat (pesta adat) sampai pada acara mulak ari atau mebat (kunjungan pengantin kerumah mertua perempuan pasca pernikahan). Keluarga calon pengantin perempuan juga melakukan berbagai kegiatan terkait dengan penyambutan kehadiran anak boru (keluarga calon pengantin laki-laki). Bentuk penyambutan kepada anak boru sangat terkait dengan stastus sosial keluarga yang menyelenggarakan pesta.31

29Harley Harris Bartlett, “A Batak and Malay Chant on Rice Cultivation, with Introductory Notes on Bilingualism and Acculturation in Indonesia”, Proceedings of the American Philosophical Society, Vol. 96, No. 6 (20 Desember 1952), 629-652, http://www.jstor.org/stable/3143633. Diakses tanggal 9 September 2014. 30Kata spiritual berasal dari kata spirit yang memiliki beberapa arti. Pertama, daya tahan (endurance) yang terkait dengan kelangsungan identitas diri melalui kehidupan individu; Kedua, transenden (transcendence) yang terkait dengan berbagai kemampuan sebagai kesadaran diri dan refleksi abstrak; Ketiga, kreativitas (creativity) yang terkait dengan kemauan melatih imajenasi dan menghasilkan perubahan gagasan dan fisik; Keempat, dialog (dilague) yang terkait dengan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Spirit yang berarti transenden menurut Hill membuat manusia mampu mengubah naluri kebinatangan menjadi manusia yang sadar sebagai entitas. Inilah dasar keharusan memaknai spiritualitas sebagai hal yang terkait dengan dimensi ketuhanan dan keagamaan. Brian V. Hill, “Spiritual Development in the Education Reform Act: A Source of Acrimony, Apathy or Accord?,” British Journal of Educational Studies 37, no. 2 (1989): 171. 31Pangaduan Lubis, Sipirok Nasoli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok (Medan: USU Press, 1998), 182. 81

Peran malim terhadap proses akulturasi antara Islam dengan tradisi lokal Batak juga terjadi pada upacara siluluton (kematian). Pemakaman pada adat Batak sebelum Islam dianut sering tertunda berbulan-bulan bahkan sampai setahun. Penundaan ini disebabkan adanya upacara horja siluluton atau upacara sebelum pemakaman yang dilakukan secara besar-besaran dengan menyembelih hewan kerbau. Penundaan ini menyebabkan jenazah harus diawetkan dengan menggunakan kapur barus. Pemakaman adat Batak ini berubah seiring dengan agama Islam dianut oleh masyarakat Batak, sehingga upacara siluluton mengalami pergeseran dengan mengikuti aturan agama Islam.32 Proses integrasi Islam dengan budaya Batak Angkola telah berlangsung dengan jangka waktu yang cukup lama. Proses integrasi Islam ke dalam tradisi masyarakat Batak Angkola tidak terlepas dari peran tokoh agama yang menyebarkan Islam. Para malim memerlukan perangkat strategis untuk menerjemahkan Islam ke dalam ruang epistimologis masyarakat Batak yang tradisionalis. Perangkat stategis yang dimaksud adalah kemampuan untuk melakukan adaptasi dengan situasi lokal tanpa kehilangan inti ajaran Islam.33 Relasi Islam dan adat menunjukkan telah terjadi hubungan dialogis antara agama dan budaya sejak Islam diterima sebagai ideologi baru pada masyarakat Batak Angkola. Bentuk dari dialog tersebut menjadi ciri khas komunitas muslim Batak. Model dialog kontekstual yang dilakukan malim lebih bersifat dinamis dan akomodatif dengan menerima Islam sebagai ideologi utamanya, tetapi tetap menghargai eksistensi budaya lokal dan adat istiadat di masyarakat. Dialog mesra antara agama dan budaya akan melahirkan wajah Islam yang lemah lembut. Fleksibilitas ajaran Islam yang terbuka terhadap beragam kultur memungkinkan Islam diterima oleh berbagai pihak dan tetap eksis untuk waktu yang tidak terbatas. Agama merupakan hal yang paling dalam yang melekat dalam sistem keyakinan dan perilaku keseharian. Mengadopsi berbagai macam kultur akan memberi warna tersendiri terhadap perkembangannya.34 Interaksi yang sehat antara tokoh agama dan tokoh adat terbukti mampu meredam berbagai rumor negatif atau kesan yang kurang baik yang berkembang di masyarakat. Ikatan kekeluargaan dalam parmargaon (kesukuan) juga menjadi modal dalam membentuk kerukunan di masyarakat, baik pada tingkat kesukuan, maupun agama. 3. Kesepakatan Nilai dan Dominasi Agama Kedatangan Islam membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat Batak. Perubahan itu meliputi cara pandang terhadap sosio-kultural masyarakat,

32Pangaduan Lubis, Sipirok Nasoli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 187. 33Wawancara, Ahmatnijar, (Pemerhati Kebudayaan Batak di Padangsidimpuan), tanggal 3 Agutus 2013. 34Taufik Abdullah, Islam di Indonesia, sepintas lalu beberapa segi (Jakarta: Tintamas, 1974), 41. 82 serta perubahan yang terkait dengan praktek keberagamaan. Masyarakat Batak, pada umumnya menjadikan sistem adat sebagai sumber dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Masyakat Batak Batak Toba dan Angkola merupakan suku yang sangat taat pada sistem adat yang telah melembaga dalam kehidupan mereka. Kesetiaan pada adat menjadikan masyarakat Batak menjadi kelompok masyarakat yang memiliki identitas yang sangat kuat diantara berbagai etnis yang mendiami wilayah Nusantara.35 Masyarakat Batak memahami agama sebagai salah satu faktor untuk memperkuat identitas kesukuan. Penambahan identitas Islam terhadap etnisitas masyarakat Batak Angkola menjadi salah satu ciri khas dari suku Batak Toba. Integrasi Islam ke dalam budaya lokal memberikan dimensi spritual terhadap unsur- unsur budaya sehingga memiliki nuansa keagamaan.36 Proses integrasi Islam dalam budaya lokal tidak terlepas dari nilai-nilai agama dan kebudayaan. Agama sebagai sesuatu yang lekat dengan kehidupan manusia harus dipahami dan dijalani dalam kerangka budaya. Setiap agama tidak terlepas dari tradisi panjang yang dihasilkan oleh bangsa atau masyarakat yang menjadi pemeluknya. Perkembangan itu menjadi sebuah interaksi antara keyakinan keagamaan dengan kreativitas manusia, sehingga Islam menyerap unsur-unsur budaya lokal yang dilewatinya.37 Islam juga memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk menjalankan doktrin-doktrin agama yang tidak terlepas dari sosio mul\\\\\\\tikultural yang melingkupinya. Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang memiliki dua atau lebih komunitas kultural atau menunjuk pada deversitas kultural atau perbedaan yang melekat erat secara kultural. Pada konteks ini multikultural merupakan cara pandang terhadap esensi kehidupan manusia untuk menghargai dan merespon perbedaan.38 Persentuhan Islam dengan tradisi lokal memunculkan nilai- nilai toleransi yang diproduksi oleh konsep silaturrahim. Pentingnya nilai-nilai kasih sayang terhadap makhluk menjadi sesuatu yang mungkin dilakukan tanpa adanya stigma dan hambatan secara agama dan budaya. Mencari titik temu atau adanya unsur-unsur kesamaan nilai dalam ajaran agama dan budaya menjadikan Islam lebih mudah masuk dan diterima oleh budaya. Adanya tradisi marpege-pege dalam budaya Batak

35Susan Rodgers, “Compromise and Contestation in Colonial Sumatra: An 1873 Mandailing Schoolbook on the'Wonders of the West”, KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Vol. 158, No. 3 (2002), 479-512, http://www.jstor.org/stable/2786584. Diakses tanggal 03 September 2014. 36Wawancara, Ahmatnijar, (Pemerhati Kebudayaan Batak di Padangsidimpuan), tanggal 3 Agutus 2013. 37Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis (Yogyakarta, LKiS, 2011), 186. 38Bhikhu Parekh, Rethingking Multiculturalism, Cultural Diversity and Political Theory (London: Macmillan Press, 2000), 3-6. 83

Angkola merupakan bentuk adanya kesamaan nilai antara agama dan budaya. konsep ta’a>wun dalam Islam dan konsep holong (kasih-sayang) melalui tradisi martumpak menjadi awal munculnya tradisi marpege-pege. Demikian halnya dengan tradisi mangupa, Islam masuk dan mempengaruhi nilai-nilai budaya serta mampu mendominasi pada sebagian budaya Batak Angkola.

B. Marpege-pege: Pola Kerjasama Sosial Dalam Budaya Batak Angkola Masyarakat Batak Angkola dikenal sebagai salah satu suku yang memiliki semangat kekeluargaan. Munculnya semangat kekeluargaan berakar dari sistem sosial dalihan natolu. Sistem kekeluargaan tersebut, telah membentuk pola sikap serta tingkah laku dalam berinteraksi dengan kehidupan sosial. Masyarakat Batak Angkola memahami bahwa semua keturunan Batak adalah saudara dan harus saling membantu antara satu sama lain. Hubungan yang dibangun senantiasa dipelihara dan dijaga, baik diantara sesama marga, antar marga dan suku lain melalui simbol- simbol kebudayaan. Ikatan persaudaraan masyarakat Batak Angkola bukan hanya terbatas pada keluarga inti atau hubungan darah. Jaringan kekeluargaan mencakup seluruh anggota masyarakat dalam satu luat (daerah). Jalinan kekeluargaan yang dibangun melalui sistem dalihan natolu menyebabkan menguatnya hubungan emosional diantara sesama, ketika berinteraksi dengan lingkungan sosial masyarakat. Keberadaan penduduk antara satu desa (luat) dengan desa (luat) yang lain, terkadang masih memiliki ikatan tali persaudaraan, baik melalui hubungan darah, marga atau hubungan perkawinan. Pengaruh hubungan persaudaraan yang cukup erat diantara sesama kahanggi (saudara) dan marga memberikan berpengaruh, ketika melakukan pemilihan ketua adat, kepala desa pada setiap daerah. Ikatan kekerabatan di kalangan masyarakat Batak terkait dengan pandangan terhadap marga. Implikasi marga melahirkan kesadaran solidaritas yang kuat dan mengakar di antara sesama anggota parmargaon (komunitas marga). Kewajiban memelihara dan melestarikan marga menjadi tanggung jawab moril secara individual.39 Anjuran menikahi boru tulang (putri dari saudara laki-laki ibu) dalam tradisi Batak, merupakan salah satu upaya untuk melestarikan marga dan keturunan. Kesadaran yang kuat terhadap eksistensi marga menjadikan masyarakat Batak membentuk kelompok-kelompok parmargaon dalam istilah lain parsadaan marga dohot anak boruna pada setiap marga-marga yang ada di tanah Batak.40 Holong (rasa belas kasih) menjadi landasan dan semangat kebersamaan pada masyarakat Batak Angkola. Kesadaran terhadap holong mendorong munculnya

39Wawancara, Togu Hasibuan (Masyarakat Silandit Padangsidimpuan), tanggal 15 Juli 2013. 40Wawancara, Marasoki Pohan (Masyarakat Siborang Padangsidimpuan), tanggal 20 Juli 2013. 84 semangat tolong-menolong di antara sesama warga dalam mengatasi problematika kehidupan yang dialami. Implementasi holong dibuktikan dengan kesediaan untuk saling membantu di antara sesama, baik yang terkait dengan horja siriaon, (upacara syukuran), maupun horja siluluton (upacara kematian). Partisipasi masyarakat dalam upacara syukuran seperti, upacara haroan boru, tubuan anak, dan mangupa merupakan bagian dari pastak-pastak ni paradaton (tradisi-tradisi adat). Praktik menikahi boru tulang telah menjadi tradisi yang dilakukan secara turun-temurun. Menikahi sepupu menurut tradisi Batak, merupakan bentuk sebuah perkawinan yang ideal, karena bertujuan memperkuat hubungan kekerabatan. Larangan pernikahan semarga (mono marga), menjadi aturan baku, karena mereka memandang bahwa orang yang menikah dengan sesama marga, dianggap sebagai satu keturunan (saompung) dan dianggap sedarah (markahanggi). Perkawinan yang didasarkan pada prinsip eksogami marga sampai sekarang tetap diakui oleh sebagian besar masyarakat Batak Angkola, meskipun tidak ada larangan dari segi agama.41 Pernikahan semarga dalam tradisi Batak, dianggap sebagai pernikahan incest. Masyarakat Batak yang melakukan pernikahan semarga akan diberi sanksi hukum yaitu pengasingan dan pengusiran dari komunitas huta (kampung) dan dicabut hak politiknya sebagai warga. Sanksi ini berlaku, sebelum Islam masuk ke tanah Batak. Preferensi perkawinan menurut tradisi Batak Angkola adalah menikahi boru tulang bagi anak laki-laki dan menikahi anak namboru42 bagi anak perempuan. Praktik perkawinan seperti ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Batak, masyarakat melakukan perkawinan cross-cousin atau perkawinan antar saudara sepupu. Ketentuan menikahi sepupu hanya bersifat perkawinan cross-cousin43 yang a- simetris atau perkawinan antara saudara sepupu yang sepihak saja, yaitu pihak ibu. Ketentuan adat melarang seorang laki-laki menikahi boru dari namborunya44, meskipun berlainan marga. Praktik perkawinan seperti ini, diharapkan mampu menjalin hubungan kekerabatan antara sesama pihak (mora, kahanggi dan anak boru) agar tetap terjalin dan terpelihara sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat.45

41Pangaduan Lubis, Sipirok Nasoli Bianglala Masyarakat Sipirok, 177. 42Anak laki-laki dari saudara perempuan ayah. 43Cross cousin (sepupu silang), yaitu perkawinan antara saudara sepupu, yakni anak saudara laki-laki ibu (anak paman) atau anak saudara perempuan ayah. Lihat Susan Rodger, “A Batak Literature of Modernization Indonesia”, Southeast Asia Program Publications at Cornell University. No. 31 (April. 1981),137-16, http://www.jstor.org/stable/3351018. Diakses tanggal 3 September 2014. 44Anak perempuan dari saudara perempuan ayah. 45E. R. Leach, “The Structural Implications of Matrilateral Cross-Cousin Marriage” The Journal of the Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Vol.81, No. 1/2 (1951), 23-55. http://www.jstor.org/stable/2844015 . Diakses tanggal 9 September 2014 85

Persentuhan Islam dan budaya lokal juga memberikan pengaruh terhadap praktik perkawinan pada tradisi Batak Angkola. Larangan terhadap pernikahan semarga telah mengalami pergeseran, terutama dalam pemberian sanksi. Pengusiran bagi yang melakukan praktik perkawinan semarga, sudah tidak berlaku pasca masuknya Islam. Sanksi yang diberlakukan pasca masuknya Islam adalah mencabut hak adat, sehingga bagi yang menikahi saudara semarga tidak berhak untuk diadati. Hal ini juga berlaku bagi setiap anak keturunannya yang hendak melangsungkan perkawinan.46 Pada masa kekinian, praktik pernikahan antar sepupu pada masyarakat Batak Angkola telah mengalami pergeseran. Kemajuan pendidikan dan meluasnya pengaulan telah memberikan pengaruh terhadap pola berpikir dan berubahnya praktik pernikahan tradisional kepada bentuk pernikahan modern. Generasi muda masa kini, sudah mulai diberi kebebasan untuk menentukan pasangan hidupnya sendiri tanpa harus menikahi boru tulang dan anak namboru.47 Perkawinan dalam Islam merupakan salah satu cara menjaga dan melestarikan keturunan. Perkawinan disebut juga dengan law of sex (hukum berpasangan) yang diciptakan Tuhan menjadi suatu ketetapan yang berlaku terhadap semua makhluk. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri untuk membentuk keluarga yang bahagia. Pernikahan dianggap sah, apabila dilaksanakan sesuai dengan syariah dan telah memenuhi segala ketentuan, termasuk syarat dan rukunnya. Mahar dalam ketentuan hukum Islam merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan.48 Menurut Anderson praktik pernikahan sudah ada pada zaman pra-Islam. Perkawinan patrilineal, patrilokal, matrilineal dan matrilokal, hingga bentuk perkawinan temporer untuk sekedar bersenang-senang (mut’ah) telah terjadi pada masa itu. Perkawinan patrineal merupakan bentuk perkawinan yang terhormat karena pihak laki-laki memberikan mahar kepada calon pengantin perempuan.49 Pada fase berikutnya mahar berevolusi menjadi alat yang harus dibayar kepada suku atau pengantin perempuan. Pemberian mahar dianggap sebagai imbalan (pengganti) dan sebagai sarana untuk menciptakan kestabilan ekonomi dalam rumah tangga.50 Mahar, juga memiliki kaitan dengan status perwalian. Pemberian mahar kepada perempuan pada masa pra-Islam, sangat berkaitan dengan kondisi perempuan yang tidak memiliki hak dan kebebasannya. Mahar diberikan kepada

46Wawancara, Porkot Hasibuan (Tokoh Hatobangon), tanggal 10 Juli, 2013. 47Wawancara, Novizal Wendri (Pengamat Kebudayaan Batak di Padangsidimpuan), tanggal 3 Agustus 2013. 48M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran Kalung Permata Buat Anak-Anakku (Jakarta: Lentera hati, 2007), 2-3. 49JND. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa Machrun Husein (Surabaya: Amarpress, 1990), 48 50JND. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, , 48 86 wali perempuan, sebagai bentuk kompensasi atas resiko hilanganya peranan anak dalam keluarga. Seorang perempuan yang telah dinikahi, akan menjadi hak penuh suaminya, dalam arti memiliki kewenangan terhadap isteri untuk dijadikan apa saja, termasuk kewenangan dalam melakukan hubungan biologis, bahkan menikahkannya dengan laki-laki lain. Masyarakat pra-Islam juga mewariskan isteri- isteri yang ditinggal mati suaminya. Mereka menganggap bahwa hak atas pernikahan dari saudara mereka tetap berlaku dan dapat berpindah tangan, bahkan boleh mengambil mahar dari pernikahan tersebut.51 Agama Islam datang membawa pembaharuan52 dan memperbaiki sistem sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Perombakan dilakukan untuk mengubah budaya lokal, kemudian disesuaikan dengan hukum Islam. Perkawinan menurut hukum Islam adalah ibadah. Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebagian ibadah dan telah menyempurnakan sebagian dari ajaran agama. Perkawinan mengakibatkan adanya hubungan hak dan kewajiban antara suami dan isteri.53 Pada umumnya hak dan kewajiban dalam pernikahan terdiri dari dua hal; Pertama, kebutuhan materil. Kedua, non materil. Kebutuhan materil terkait dengan mahar dan nafkah, sedangkan kebutuhan non materil meliputi seksualitas dan relasi kemanusiaan.54 Penyebutan mahar dalam hukum Islam, terdapat beberapa istilah yaitu: ajrun,55 fari>d{ah,56 s{ada>q,57 dan nih{lah.58 Pemberian mahar merupakan bukti

51Rakesh Kumar, “Law of Dower (Mahr) in India”, Journal of Islamic Law and Culture 12, No.1 (2010), 58. Lihat Yossef Rapoport, “Matrimonial Gifts In Early Islamic Egypt”, Journal Islamic and Society, 7 (2000), 1-2. 52Term pembaharuan (reformation) diartikan dalam dua hal; pertama perubahan radikal untuk memperbaiki sitem sosial, politik ekonomi dalm suatu masyarakat. Kedua perbaikan dan perombakan. Menurut Harun Nasution Pembaharuan berarti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, intitusi-intitusi lama untuk disesuaikan dengan suasana baruyang ditimbilkan oleh ilmu pengetahuan. Muhammad al Bahiy berpendapat bahwa gerakan reformasi adalah usaha untuk mengungkapkan nilai-nilai esensial dalam ajaran Islam. Nurcholish Madjid mengidentikkan pembaharuan dengan modernisasi dan rasionalisasi, yaitu proses perombakan pola pikir dan tata kerja lama yang tidak rasional dan menggantikanya dengan pola pikir baru yang rasional. Ibnu Qoyyim al-Jauziyah menambahkan bahwa pembaharuan merupakan suatu keharusan. Pemikiran lama yang tidak memiliki relevasi harus dirubah sesuai dengan ijtihad dan kemaslahatan umat. Lihat Save M. Dagum, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lemabaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1997), 949. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975, 11-12. Lihat Muhammad al Bahiy, al Fikr al Isla>>mi> al ha>dith wa S{ila<<>tuhu> bi Isti’ma>r al Gharbiy>ah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1975), 376. Lihat Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan,2008), 172. Lihat Ibnu Qoyyim al Jauziyah, I’la>m al Muwaqqi’i>n, Juz III, (Beirut: Dar al Fikr, tt), 3. 53Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Cet III (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 5-8. 54Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2001), 108. 55Q.S al T{alaq (65): 10 56Q.S al Baqarah (2): 236 57Q.S an Nisa> (4): 4 87 keseriusan dan penghormatan suami kepada isteri karena mempergaulinya secara ma’ru>f.59 Menurut Khoiruddin Nasution, pengertian nih{lah adalah pemberian suka rela tanpa pamrih, sebagai simbol kasih sayang laki-laki kepada perempuan yang hendak menikah. Mahar bukan sebagai pengganti untuk memiliki perempuan tersebut atau untuk mendapatkan pelayanan. Khoiruddin menambahkan bahwa mahar bukan merupakan suatu kewajiban bagi laki-laki yang harus ada dalam syarat dan rukun perkawinan.60 Khoiruddin berpendapat mahar merupakan sebuah tradisi dan secara sosiologis hasil dari produk pra-Islam sebagai ganti rugi atas pemeliharaan orang tua perempuan yang hendak dinikahi. Ketentuan ini didasarkan pada struktur masyarakat Arab yang bersifat patriarkal-agnatic yang didominasi oleh keturunan laki-laki. Islam datang membawa pembaharuan moral dan spiritual serta memperkenalkan kebebasan baru dan keluhuran derajat manusia secara individu, terutama kepada wanita dan anak-anak, salah satunya dengan memberikan mahar kepada perempuan.61 As-syaukani juga menjelaskan bahwa mahar adalah sesuatu kebiasaan bukan syarat dan rukun nikah, namun dalam hal yang bisa dijadikan mahar adalah harta atau sesuatu hal yang bisa diambil manfaatnya.62 Pendapat ini tentu berbeda dengan para ulama klasik yang lebih mendasarkan pemahaman parsial. Hanafiyah mendefenisikan mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak isteri karena adanya akad. Syafi’iyah memaknai mahar sebagai kewajiban suami dan syarat untuk mendapatkan manfaat dari seorang isteri (istimta’). Malikiyah berpendapat mahar adalah rukun dari akad nikah. Hanabilah juga menjadikan mahar sebagai akibat hubungan suami isteri.63 Menurut Raihanah Azahari, konsep mahar yang diungkapkan ulama mujtahid diatas belum menggambarkan fungsi mahar secara objektif. Konsep mahar masih diartikan dalam skop yang sempit dan memberi kesan negatif. Azahari berpendapat bahwa mahar adalah hak ekslusif seorang isteri. Mahar adalah simbol tanggung jawab suami, sehingga isteri berhak untuk menolak mengurus rumah tangganya,

58Q.S an Nisa> (4): 4. 59Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2001), 108-109). 60Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami Isteri (Hukum Perkawinan I), Yogyakarta: Academia dan TAZZAFA, 2004), 168. 61Khoiruddin Nasution, “Persoalan Mahar dalam Perkawinan: Studi Komvensional dan Kontemporer”dalam Hermenia, Vol. 1. No. 2. (Juli- Desember, 2002), 275-276. 62Mah{mud Ibra>him Za>id, as Sail al Jara>r al Mutada>fiqa ‘ala H>{ada>iqa> al Azha>r, Cet II (Beirut: Da>r Kutub al ‘Ilmiyah, tt), 262. 63Wahbah az Z>{uh{ayli, al Fiqh al Isla>my wa adillatuh, Juz{ 7 (Dams{iq: Da>r al Fikr, 1989), 252. Lihat Abdu ar Rahman al Jaz{i<>ri>, al Fiqh ‘ala Madhahib al Arba’ah, Juz{ 4 (Beirut: Da>r al Fikr, tt), 94. Lihat Muh{ammad bin Ah{mad bin Abi Sahl al Sarakhsy>, al Mabsut{ (Beirut, Lubna>n: Da>r Ibn H{azm, 1978), 64. Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Jilid @2 (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 432. 88 jika suami belum memberikan mahar sesuai dengan yang disepakati. Hikmah penetapan mahar dalam hukum Islam diantaranya adalah untuk memberikan hak kepemilikan harta kepada isteri, memberi perlindungan secara sosio-ekonomi dan simbol kemuliaan terhadap isteri. Menurut Murtada Mutahhari, konsep mahar yang ditawarkan oleh Islam juga belum sepenuhnya mampu meningkatkan derajat dan melindungi wanita dalam rumah tangga. Mahar dinilai mengandung unsur penindasan karena suami berhak meminta kembali mahar yang ia berikan baik seluruh atau sebagian ketika isteri meminta cerai kepada suami. Kesan perceraian menggambarkan bentuk pengembalian mahar sebagaimana yang diinginkan suami.64 Mahar dalam Islam merupakan kewajiban individu (suami) terhadap Isteri. Ishaq, Abu Tsaur fuqaha Madinah dari kelompok tabiin menjelaskan tidak ada batasan dalam menetapkan besar kecilnya ukuran mahar. Ibnu Wahb (pengikut Malikiyah) berpendapat setiap benda yang memiliki nilai (harga) dapat dijadikan sebagai mahar.65 Berbeda halnya dengan Malik dan Abu Hanifah yang memberikan batasan minimal terhadap mahar. Menurut Hanafi jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham, jika akad nikah dilakukan dengan mahar kurang dari sepuluh dirham, maka pernikahan tetap dianggap sah dengan ketentuan wajib melunasi kekurangannya. Maliki berpendapat batas minimal mahar adalah tiga dirham, namun jika akad dilakukan dengan mahar kurang dari jumlah tersebut,suami boleh melakukan khiyar (memilih) melanjutkan pernikahan atau menjatuhkan fasakh.66 Kewajiban menyerahkan mahar kepada pihak perempuan juga terdapat dalam tradisi perkawinan Batak Angkola. Pada umumnya masyarakat Batak Angkola menyebutkan mahar dengan beberapa istilah diantaranya: panompas atau penebus, boli yang berarti membeli. Sarmadan Lubis mengatakan bahwa mahar diibaratkan sebagai jual beli, laki-laki membeli perempuan. Istilah lain mahar disebut dengan tuhor, yaitu tukar, alat tukar atau sering diartikan dengan harga. Laki-laki bisa mendapatkan seorang perempuan untuk dijadikan isteri, apabila perempuan yang bersangkutan ditukar dengan tuhor (mahar). Pengertian ini dianggap lebih relevan dengan merujuk pada penyebutan mahar dibeberapa kalangan masyarakat yang menyebutkan mahar dengan istilah tuhor. Pada konteks lain mahar juga disebut dengan jujur, yaitu konsep tradisi pernikahan manjujur berarti isteri tinggal di keluarga suami.67 Masyarakat Batak Angkola menjadikan mahar bukan hanya sebagai tanggung jawab individu (suami), tetapi tanggung jawab kolektif. Kewajiban membayar

64Murtada Mutahhari, The Righs of Women in Islam (Tehran: World Organizations For Islamic Services, 1980), 2004. 65Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Jilid @2 (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 432-433. 66Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Jakarta: Lentera, 2011), 364-365. 67Wawancara, Sarmadan Lubis (masyarakat desa Siloting), tanggal 12 Juli 2013. 89 mahar menjadi tanggung jawab bersama, sehingga masyarakat memiliki andil dalam membantu menyediakan mahar, walaupun pada praktiknya acara penyerahan mahar tetap dilakukan oleh calon suami. Tradisi membantu membayar mahar disebut dengan marpege-pege. Tradisi marpege-pege merupakan tradisi markumpul hepeng (mengumpulkan uang) yang dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk membantu calon suami menyediakan mahar yang telah ditetapkan pihak perempuan. Tradisi ini dilakukan keluarga calon suami pasca melakukan peminangan. Tradisi marpege-pege diselenggarakan oleh keluarga calon mempelai laki-laki dengan mengundang seluruh kaum karib-kerabat, handai tolan, dan seluruh komponen dalihan natolu beserta masyarakat terdekat. Sebelum masuknya Islam ke Batak Angkola. Pada awalnya tradisi marpege- pege, berasal dari kebiasan martumpak atau martumpuk yaitu tradisi tolong menolong dengan cara mengumpulkan benda yang memiliki nilai untuk membantu sesama secara bersama-sama. Tradisi martumpak merupakan bentuk kepedulian sosial dalam rangka membantu setiap masyarakat yang mengalami kesulitan dalam skala yang lebih luas, seperti membantu meringankan biaya situhuk (orang sakit). Tradisi martumpak merupakan wujud dari simbol dalihan natolu, yaitu tiga tungku yang digunakan sebagai pondasi untuk membantu setiap masakan yang hendak dimasak. Ketika Islam masuk ke Batak Angkola. Islam bersentuhan dengan berbagai budaya Batak dan menyoroti tradisi-tradisi yang ada di masyarakat. Salah satu budaya yang disoroti adalah tradisi martumpak. Tradisi ini dianggap memiliki roh yang relevan dengan nilai-nilai Islam. Konsep tolong menolong (ta’a>wun) menjadi dasar Islam menerima tradisi martumpak sebagai bagian dari tradisi yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pergumulan Islam dan budaya lokal pada tradisi martumpak di masyarakat Batak Angkola, akhirnya memunculkan tradisi marpege-pege. Tradisi ini merupakan bagian kecil dari budaya martumpak. Pembentukan tradisi marpege- pege lebih dikhususkan untuk membantu masyarakat dalam ruang lingkup mangalap boru (perkawinan). Tradisi marpege-pege juga merupakan simbol, bagaimana Islam membumikan konsep perkawinan pada tradisi Batak Angkola.68 Istilah marpege-pege berasal dari kata pege. Pege adalah sejenis tanaman rimpang berbentuk jemari yang menggembung di ruas-ruas tengah, digunakan sebagai rempah-rempah dan bahan obat, atau lebih populer dengan sebutan “jahe”. Masyarakat Batak Angkola mengartikulasikan “rasa pedas” yang terkandung pada jahe sebagai simbol kesulitan. Menciptakan suasana bahagia dengan membantu

68Wawancara, Basa Sahala Harahap Gelar Sutan Enda Kumala Angkola (Raja Bagas Godang Pijorkoling Padangsidimpuan), tanggal 15 Juli 2013 90 sesama pada masa-masa sulit merupakan bagian dari ajaran agama dan norma adat.69 Pesan ini termuat dalam bahasa umpama :

Salumpat saindege, sapangambe sapanaili Songon siala sampagul, rap tuginjang rap tutoru Muda madabu rap margulu, muda malamun saulak lalu Salaklak sasingkoru, Sasanggar saria-ria Songon sa anak sa boru, suang namarsada ina.

Falsafah diatas mengajarkan kesucian jiwa dan kebersihan hati yang didasari rasa kebersamaan, keserasian, keselarasan dan ketulusan seperti satu kelurga. Tradisi marpege-pege merupakan wujud kerjasama sosial dalam bentuk interaksi yang terstruktur dalam mengatasi problematika kehidupan di tengah-tengah masyarakat Batak Angkola. Secara teologi tradisi marpege-pege adalah bagian dari bentuk interpretasi terhadap konsep agama dalam rangka membantu membumikan pernikahan sebagai sunah rasul. Tradisi marpege-pege merupakan makna dari wujud spritualitas masyarakat yang terkait dengan dimensi kemanusiaan, cinta kasih dan ketuhanan. Hal ini sejalan dengan Martin Luther King, sebagaimana yang dikatakan Halliwell dan Mousley memaknai spiritual dengan cinta, sehingga spiritualitas harus didasari pada pengakuan dan penghargaan dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Jika cinta hilang, maka jiwa juga hilang, dan cinta adalah Tuhan (God is Love).70 Seyyed Hossein Nasr juga menambahkan, makna spiritualitas dalam diri manusia bukan hanya terbatas pada cinta, tetapi juga kasih sayang dan nilai-nilai kemanusiaan. Keindahan, kedamaian, kasih sayang dan cinta itu sendiri adalah Tuhan. Atas dasar ini, Nasr memahami manusia sebagai manifestasi dari Tuhan.71 Melihat dari sisi antroposentris marpege-pege memiliki keterkaitan dengan sosial ekonomi masyarakat setempat. Interaksi sosial keagamaan dengan latar belakang kebutuhan antar individu dan kelompok masyarakat dalam meringankan beban yang dianggap berat menjadi sebuah tradisi. Marpege-pege merupakan bentuk dari kedermawanan yang berbasis keagamaan (religious giving) yang dipraktikkan dalam konteks budaya Batak Angkola. Setiap agama pada dasarnya memiliki ajaran tentang konsep kedermawanan sosial, bahkan agama dipercaya sebagai salah satu faktor pendorong maraknya gerakan berderma dalam

69Wawancara, Basa Sahala Harahap Gelar Sutan Enda Kumala Angkola (Raja Bagas Godang Pijorkoling Padangsidimpuan), tanggal 15 Juli 2013 70Martin Halliwell & Andy Mousley, Critical Humanism: Humanist/Anti- Humanist. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd, 2003), 99. 71Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Valuers for Humanity (New York: HarperSanFracisco, 2004), 13. 91 masyarakat. Praktik berderma juga ditemukan pada budaya-budaya asing, pada setiap kurun dan waktu. Pada masyarakat yang dianggap sekuler, seperti Amerika Serikat, konsep religious giving (kedermawanan berbasis agama) terbukti memiliki peran yang sangat dominan, bahkan menjadi pendorong bagi kedermawanan sosial secara umum.72 Secara teologis-normatif agama sangat dekat dengan kedermawanan sosial. Agama memberikan anjuran dan tuntunan secara moralitas kepada setiap individu dan kelompok masyarakat untuk merefleksikan ketaatannya kepada Tuhan dengan cara mengasihi sesama umat manusia. Konsep marpege-pege merupakan wujud dari kesalehan sosial. Sifat kedermawanan yang dibangun masyarakat Batak Angkola secara moralitas adalah implementasi dari pemahaman keagamaan. Pola kedermawanan merupakan bukti kesalehan individu dan kesalehan sosial.73 Agama- agama di dunia memiliki ajaran dan praktek filantropi yang memiliki ciri khas dan tidak terlepas dari konstruk budaya lokal masing-masing.74 Pada praktiknya religious giving adalah aktivitas kedermawanan sosial yang diberikan atau disalurkan kepada lembaga-lembaga keagamaan, atau dari dan oleh komunitas agama tertentu. Doktrin agama, ajaran tentang kedermawanan ada yang berupa himbauan secara umum dan khusus, seperti mengasihi dan membantu sesama dan ada yang berupa kegiatan khusus dan dianggap sebagai kewajiban agama, seperti zakat. Di Indonesia budaya menderma, bukan hanya dipengaruhi oleh doktrin-doktrin agama, tetapi juga dipengaruhi oleh budaya dan tradisi masyarakat setempat. Masyarakat bisa berderma dengan mengedepankan religious

72Amelia Fauzia “Religious Giving di Indonesia: Studi Kasus Filantropi Islam”, Dialog Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan Filantropi Islam. No. 69, (Juli 2010), 51. 73Besse Wediawati “Revitalisasi Filantropi Islam di Kota Jambi” Universitas Jambi. Vol. 14. No. 1. (2012), 47-51. 74Agama Hindu memiliki konsep dana dan seva. Dana diartikan sebagai memberi, mengajar, kebebasan dan menyumbang. Semua istilah ini maknanya merujuk pada konsep pemberian, sumbangan atau hadiah yang dianggap sebagai suatu dharma atau kewajiban. Dana menjadi pemberian ritual yang biasanya diberikan kepada orang suci guna mendapatkan spritualitas. Jika dana lebih kepada pemberian secara materi, maka seva lebih bersifat pelayanan (volunteering) yaitu kewajiban untuk memberikan waktu dan tenaga untuk merawat tempat ibadah. Praktik filantropi dalam agama Yahudi dikenal dengan Istilah zedekah yaitu berlaku adil atau lebih sering diartikan dengan karitas dan gemilith hasadim, yaitu memberikan kebaikan dan pelayanan sosial termasuk menolong sesama. Kedua konsep ini tertanam dalam Bibel, Talmud dan Literatur Robbi, dan menjadi bagian integral dari pola hidup orang Yahudi. Agama Kristen selain tuntunan mengasihi Tuhan berarti mengasihi sesama manusia. Tuntunan untuk menyumbangkan sebesar 10 persen dari hasil pendapatan menjadi kewajiban agama. Ismantoro mengatakan pengadilan terakhir dan orang Samaria yang murah hati sering dipakai untuk dasar aktifitas filantropi. Agama Islam, konsep filantropi merupakan implementasi dari al birr (kebaikan), seperti yang dianjurkan Al- Quran dalam beberapa surat diantaranya: al baqarah ayat 177, al ma> ’u>n ayat 1-7, al taubah ayat 103. Baca Ilchman, W, F., Katz, S.N., dan Queen, EL, Philanthropy in the World’s Traditions (Bloomington: Indiana University Press, 1998). Baca Ismantoro, I. Filantropi dalam Dunia Kristiani dalam Idris Thaha (ed). Berderma untuk semua, Praktek dan Wacana Filantropi Islam (Jakarta Pusat Bahasa dan Budaya & Teraju, 2002), 81- 90. 92 giving atau kedermawanan atas nama agama atau non religious giving atau disebut dengan secular giving, bahkan beberapa lembaga keagamaan dan lembaga kemanusiaan yang berdasarkan agama yang lebih mementingkan substansi kemanusiaan dibanding membuat pengkhususan berdasarkan agama.75 Safaruddin Pane berpendapat, motivasi marpege-pege bukan hanya semata- mata terkait dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat, tetapi telah menjadi budaya yang dilakukan secara berulang-ulang. Hal ini terlihat dari praktek marpege-pege yang bersifat menyeluruh, bukan hanya dilakukan oleh orang yang kesulitan dalam membayar mahar, tetapi juga dilakukan oleh orang yang mampu dan mapan. Pane menambahkan kebiasaan marpege-pege pada masyarakat Batak Angkola bertujuan untuk mempererat ikatan kekeluargaan, kekerabatan dalihan natolu, dan seluruh masyarakat.76 Sikap saling percaya di antara sesama warga (interpersonal trust) memunculkan sikap saling membantu bagi yang memiliki hajat. Saat tradisi marpege-pege dilakukan, semua sejajar tanpa dibedakan status sosialnya. Mereka berbaur dan menyatu dalam suasana kekeluargaan, meskipun ada sejumlah tokoh seperti, harajaon, hatobangon, alim ulama memperoleh hidangan lebih awal dari warga yang lain. Secara keseluruhan mereka menempati posisi yang sama bergabung ketika menyantap makanan (sipulut). Tradisi ini menggambarkan adanya kerukunan antar warga. Semangat menjalani hubungan silaturrahim sangat kental dalam kegiatan marpege-pege. Munculnya tradisi marpege-pege secara hukum adat adalah sebagai solusi yang ditawarkan oleh Islam terhadap maraknya praktik marlojong (kawin lari) yang dilakukan masyarakat Batak Angkola. Tradisi marpege-pege berfungsi untuk meminimalisir terjadinya marlojong (kawin lari). Praktik tradisi marlojong pada masyarakat Batak Angkola, umumnya disebabkan kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan yang hendak melangsungkan perkawinan) tidak mendapatkan persetujuan (restu) dari orang tua disebabkan karena beberapa hal, diantaranya karena perbedaan status sosial. Tradisi marlojong, dilakukan pada malam hari pasca meninggalkan abit partinggal 77dan surat dibawah bantal sebagai pertanda. Pihak laki-laki membawa boru (anak perempuan) yang hendak dikawini ke rumah orang tuanya (simatobang) atau ke tempat saudaranya. Tradisi ini disinyalir sebagai salah satu upaya untuk menurunkan nilai mahar.

75Amelia Fauzia “Religious Giving di Indonesia: Studi Kasus Filantropi Islam”, Dialog Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan Filantropi Islam. No. 69, (Juli 2010), 52. 76Wawancara, Safaruddin Pane, masyarakat Padangsidimpuan, tanggal 22 Agustus 2013. 77Abit partinggal adalah kain yang ditinggalkan sebagai tanda dari seorang laki-laki, ketika akan melakukan kawin lari. Abit partinggal biasanya disertai dengan surat dan sejumlah uang sebagai pandok-dok. Hal ini bertujuan untuk memberitahukan kepada orang tua perempuan. 93

Jumlah mahar biasanya ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (keluarga laki-laki dan keluarga perempuan). Penyerahan mahar dilakukan bersama kerabat dekat, disaksikan oleh sejumlah tokoh adat dan beberapa kerabat dekat dari pihak perempuan. Penyerahan mahar dilakukan, setelah peminangan dan tradisi marpege-pege. Penyerahan mahar disebut manghobar boru (musyawarah perkawinan). Istilah lain disebut manghobari adat boru atau mangadati boru. Pada prosesi manghobar boru terdapat tradisi mangampar ruji. Tradisi mangampar ruji, merupakan tradisi menentukan jumlah mahar serta menentukan setiap rincian-rincian yang akan dilakukan pada saat prosesi perkawinan oleh kedua pihak keluarga. Tradisi ini juga menguraikan setiap peruntukan mahar yang terkait dengan kebutuhan keluarga perempuan beserta sejumlah kerabatnya, fungsionaris adat, serta perlengkapan pernikahan lainnya. (batang boban).78 Praktik mahar dalam tradisi Batak, diperuntukkan kedalam beberapa kategori diantaranya: upa tompas handang, mahar bagi kelompok anak boru yang berfungsi sebagai goruk-goruk hapinis dalam lingkungan keluarga calon pengantin perempuan. Hariman nimarkahanggi, bagian untuk memelihara kesepakatan antara kerabat yang tergolong sebagai kahanggi dari ayah keluarga perempuan. Pangamai, bagian mahar untuk anak boru tertua di lingkungan kerabat dekat dari ayah keluarga perempuan. Hundulan ni raja, mahar bagi raja. Upah Ampar ruji, biaya penyerahan mahar. Pas-pas bide bagian mahar bagi pekerja yang membantu proses horja (pesta pernikahan). Ingot-ingot uang receh diberikan kepada semua yang hadir pada majelis adat.79 Tradisi mangampar ruji dihadiri oleh keluarga pihak perempuan, diantaranya kahanggi, mora anak boru dan pisang raut. Hatobangon dan Harajaon juga ikut hadir pada pada prosesi tersebut, sedangkan yang menjadi juru bicaranya adalah saudara laki-laki ayah. Penyerahan mahar dilakukan oleh pihak kahanggi, mora, anak boru dan pisang raut (goruk-goruk hapinis) kepada ibu sebagai wakil dari pihak perempuan. Kedua orang tua dari pengantin laki-laki, biasanya tidak ikut menghadiri tradisi penyerahan mahar. Mahar berupa uang, ditempatkan pada haronduk (tampah) yang sudah dilapisi daun pisang, disertai dengan beberapa daun sirih sebagai simbol penghormatan. Upacara penyerahan mahar biasanya dilakukan pada siang atau malam hari, kemudian ditutup dengan makan sipulut (ketan gula merah).80

78Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna, 273. 79Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna, 270-272. 80Susan Rodgers, “Symbolic Patterning in Angkola Batak Adat Ritual”, The Journal of Asian Studies, Vol. 44, No. 4 (Agustus 1985), 765-778 http://www.jstor.org/stable/2056447. Diakses tanggal 9 September 2014. Wawancara, Khaerul Alam Harahap Gelar Sutan Lembaga Alam (Raja Luat Pijorkoling Padangsidimpuan), tanggal 10 Juli 2013. 94

Usai upacara penyerahan mahar, keluarga pihak perempuan akan mengutus beberapa kerabatnya membawa indahan tompu robu (nasi adat) kepada keluarga pihak laki-laki. Pemberian Indahan tompu robu menjadi simbol dari awal hubungan keluarga yang baik, sekaligus pambuka dalan (pembuka jalan) bagi pihak calon pengantin laki-laki agar senantiasa saling mengunjungi antara satu sama lain. Masyarakat Batak Angkola mengenal beberapa jenis perkawinan yang berlaku menurut adat. Masing-masing jenis perkawinan dilaksanakan melalui proses yang berbeda. Penamaan setiap jenis perkawinan didasarkan pada proses pelaksanaan masing-masing perkawinan. Perkawinan yang dilakukan dengan cara meminang terlebih dahulu disebut dengan perkawinan manjujur, pengantin laki-laki diwajibkan oleh adat menjemput pengantin perempuan dari rumah orang tuanya melalui prosesi upacara adat. Tradisi menjemput pengantin perempuan disebut mangalap boru. Pengantin perempuan yang dijemput melalui upacara adat untuk dibawa ke rumah orang tua pengantin laki-laki, disebut pabuat boru.81 Pengantin laki-laki disebut dengan bayo panggoli dan pengantin perempuan disebut dengan na nioli. Penamaan bayo panggoli berasal dari istilah bayo pamboli (laki-laki pembeli). Penamaan boru na nioli berasal dari istilah boru na diboli (perempuan yang dibeli). Istilah tersebut di adopsi dari ketentuan adat pra-Islam Pendapat tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa mahar yang diberikan pihak laki-laki kepada perempuan disebut dengan istilah boli (membeli).82 Perkawinan manjujur berawal dari perjodohan laki-laki dengan seorang perempuan oleh orang tua mereka. Perjodohan dilakukan berdasakan ketentuan adat, yaitu harus menikahi sepupu dari pihak ibu (boru tulang). Perjodohan bisa dilakukan ketika keduanya masih bayi atau anak-anak. Saat dewasa, dikukuhkan dengan sumpah yang disebut marbulan, pihak laki-laki menyerahkan kain atau perhiasan kepada pihak perempuan sebagai tanda ikatan pertunangan, namun tradisi ini sudah hilang dikalangan masyarakat. Pernikahan manjujur berawal dari proses pencarian jodoh. Masa penjajakan seorang laki-laki akan datang ke rumah perempuan (martandang). Proses martandang menjadi awal perkenalan antara keduanya. Kesepakatan akan dilakukan jika ada kecocokan yang dilanjutkan dengan peminangan (mangaririt boru), pihak laki-laki mengutarakan niatnya untuk menikahi perempuan yang dimaksud. Saat peminangan, pihak laki-laki wajib manungkus (membawa makanan

81Wawancara, Novizal Wendri (cerdik pandai masyarakat Padangsidimpuan ), tanggal 20 Agustus 2013. 82Wawancara, Porkas Dalimunthe Gelar Patuan Kumala Suangkupon (Raja Panusunan Bulung Bagas Godang Luat Muaratais Batang Angkola), tanggal 28 Agustus 2013. 95 yang dibungkus dengan daun pisang dan membawa sirih adat untuk diberikan kepada keluarga pihak perempuan.83

C. Mangupa: Transformasi Makna dari Sistem Kepercayaan Ke Nilai Keagamaan Masyarakat Batak Angkola sebelum masuknya agama Islam menganut beberapa aliran kepercayaan, diantaranya ajaran Parmalim dan Pelebegu. Kepercayaan mengenai ajaran tersebut sangat kental mempengaruhi ritual-ritual adat. Kebudayaan Batak dibangun di atas nilai-nilai tradisional terutama pada aspek kepercayaan dan ritual. Kedatangan Islam ke tanah Batak beradaptasi dengan situasi lokal dan mengubah tatanan adat dari nilai-nilai kepercayaan lokal kepada nilai-nilai Islam. Akulturasi Islam dengan budaya lokal Batak Angkola tercermin dari ritual adat yang masih dilakukan hingga saat ini. Tradisi mangupa merupakan salah satu bentuk tradisi lokal Batak Angkola yang dipengaruhi oleh Islam. Mangupa mempunyai peran penting dalam tradisi dan kehidupan masyarakat Batak Angkola, terutama di Padangsidimpuan. Mangupa merupakan istilah yang digunakan untuk menyampaikan atau mempersembahkan upa-upa atau pangupa kepada seseorang atau kelompok melalui upacara adat. Mangupa bertujuan mengembalikan tondi ke badan. Upacara memanggil tondi dilakukan dengan cara melaksanakan ritual mangupa dengan menggunakan sesaji sebagai simbol. Harapannya, agar orang yang di-upa diberikan keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan dan berbagai kebaikan oleh Tuhan.84 Tradisi mangupa bisa dilakukan secara tersendiri tanpa dikaitkan dengan ritual-ritual yang lain, seperti mangupa seseorang setelah sembuh dari penyakit, terhindar dari bencana dan kecelakaan. Disisi lain, mangupa juga dapat disandarkan pada ritual yang lain, bahkan menjadi bagian terpenting dan puncak dari sebuah tradisi. Mangupa pengantin baru misalnya, merupakan contoh bagaimana tradisi mangupa disandarkan, digabungkan dan menjadi bagian dari tradisi perkawinan. Pada posisi ini tradisi mangupa menjadi salah satu dari sejumlah tradisi yang dirangkai menjadi satu tradisi besar yang disebut sebagai horja godang (pesta besar) atau horja haroan boru (pesta perkawinan).85 Jumlah sesajian yang digunakan sebagai bahan mangupa pada proses perkawinan lebih besar dan lebih beragam dari pada tradisi mangupa yang dilakukan secara perseorangan (individual) dan skala kecil. Tradisi mangupa pada masyarakat Angkola, selaras dengan pendapat Taylor yang menyebutkan, bahwa sifat religi yang ada pada manusia berawal dari keyakinan manusia terhadap jiwa. Konsep religi manusia berevolusi dari keyakinan

83Wawancara, Basa Sahala Harahap Gelar Sutan Enda Kumala Angkola (Raja Bagas Godang Pijorkoling Padangsidimpuan), tanggal 15 Juli 2013 84Wawancara, Khairil Pane (cerdik pandai Padangsidimpuan), tanggal 27 Juli, 2013. 85Wawancara, Parnihonan Batubara, tanggal 27 juli 2013. 96 atau kepercayaan tradisional terhadap mahluk halus (roh), yang dianggap mempunyai kekuatan untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan manusia. Roh menjadi objek sesembahan bagi manusia melalui ritual-ritual yang dilakukan masyarakat. Penghormatan kepada makhluk halus dilakukan dalam berbagai bentuk tradisi, seperti upacara adat dan doa-doa. Taylor mendefinisikan agama sebagai wujud-wujud spiritual. Menurutnya, setiap bentuk agama kecil, maupun besar, agama kuno atau modern memiliki kesamaan dalam hal kepercayaan terhadap wujud spiritual yang berpikir, berperilaku dan merasa seperti manusia.86 Menurut Catherine Bell, ritual bukan hanya sekedar kumpulan dari aktifitas manusia yang bersifat teknis, tetapi dilihat sebagai suatu kenyataan yang di dalamnya melibatkan persoalan-persoalan mistis.87 Tradisi mangupa pada tradisi Batak, adalah ritual yang terkait dengan hubungan manusia dengan hal-hal yang gaib yaitu tondi dan hal-hal yang berbau mistis. Pelaksanaan tradisi mangupa dalam masyarakat Batak Angkola, membuktikan kedekatan dengan hal-hal yang berbau mistis. Kepercayaan lokal terhadap makhluk halus atau roh masih dipertahankan oleh sejumlah masyarakat Batak Angkola di Padangsidimpuan hingga saat ini, meskipun penduduknya mayoritas menganut agama Islam. Percaya dengan adanya roh dalam istilah Batak disebut Tondi, yang berarti penjaga manusia dan alam sekitarnya. Kepercayaan masyarakat terhadap tondi menjadi sumber motivasi karena mengandung unsur pengharapan. Masyarakat Batak Angkola menyakini tondi dapat memberikan manfaat dan mudarat bagi manusia. Mereka mempercayai bahwa roh para leluhur tidak pernah lenyap dan senantiasa hidup mengawasi setiap gerak-gerik keturunannya. Perbuatan keturunannya yang melanggar aturan norma-norma adat, akan ditegur oleh leluhur. Teguran ini akan menyebabkan keturunannya kehilangan tondi dalam istilah Batak Angkola disebut manggora naso tarida.88 Tondi menurut kepercayaan lokal Batak harus dijaga, disenangkan melalui ritual dan diperlakukan dengan cara yang baik. Masyarakat Batak Angkola mempercayai tondi sebagai inti dari kehidupan dan simbol kekuatan. Mengabaikan kebutuhan tondi bisa menganggu ketenangan hidup manusia itu sendiri dan munculnya bahaya yang mengancam keselamatan jiwa.89 Tradisi mangupa menjadi penting dalam tradisi Batak karena terkait dengan keberadaan tondi. orang yang hidup disebut martondi karena memiliki tondi,

86Lihat Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 1996), 24 87Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice (New York: Oxford University Press, 1992), 19. 88Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna, 197. 89Wawancara, Basa Sahala Harahap Gelar Sutan Enda Kumala Angkola (Raja Bagas Godang Pijorkoling Padangsidimpuan), tanggal 15 Juli 2013 97 sedangkan orang yang meninggal disebut marsumangot (kehilangan tondi). Keterkaitan tondi tidak hanya dengan manusia, tetapi dengan lingkungan. Rumah misalnya, disebut martondi, jika dihuni oleh pemiliknya dan rumah yang tidak ada penghuninya disebut nasomartondi. Tradisi mangupa juga terkait dengan beberapa upacara adat lainnya, diantaranya, upacara anak tubu (menyambut kelahiran), manggoar daganak tubu (penabalan nama), paginjang obuk (memotong rambut bayi), manjagit parompa (pemberian kain untuk gendongan bayi), patobang daganak (pernikahan), marbongkot bagas (memasuki rumah baru). Tradisi mangupa yang dilakukan masyarakat Batak Angkola, pada dasarnya tidak terlepas dari syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh adat istiadat. Ketentuan itu terkait dengan beberapa hal, diantaranya: kapan tradisi itu dilakukan, di mana tradisi tersebut dilakukan, benda apakah yang dijadikan sebagai media pada saat ritual dan siapa yang melakukannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat bahwa setiap upacara adat harus memenuhi empat komponen diantaranya: waktu upacara, tempat upacara, benda atau alat upacara dan orang- orang yang melaksanakan upacara adat.90 Melihat dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh adat, tradisi mangupa juga terdiri dari beberapa syarat, diantaranya: Pertama, adalah waktu. Tradisi mangupa biasanya dilakukan ketika matahari mulai naik. Kedua, adalah tempat. Tradisi mangupa dilakukan di rumah pengantin laki-laki (suhut sihabolonan). Ketiga tradisi mangupa dilakukan oleh suhut (tuan rumah) dan dihadiri raja, kerabat dan masyarakat. Keempat tradisi mangupa menggunakan telur, ayam, kambing dan kerbau sebagai media ritual. Sesaji yang digunakan dalam tradisi mangupa terdiri dari beberapa jenis makanan yang telah ditentukan secara adat dan mengandung magis dan memiliki makna simbolik, diiringi dengan hata mangupa (kata-kata yang berisi doa) yang disusun secara sitematis. Proses pelaksanaan mangupa dilakukan oleh beberapa pihak diantaranya, orang tua, harajaon dan perangkat-perangkat adat. Secara sederhana, mangupa dianggap sebagai sarana untuk menyampaikan doa selamat menggunakan bahan-bahan khusus sebagai parhitean (titian/ wasilah) atas doa yang dipanjatkan kepada Tuhan.91 Bahan sesajian yang dijadikan sebagai media dalam tradisi mangupa yaitu terdiri dari: tiga butir telur ayam rebus yang telah dibuang kulitnya, garam, nasi, ikan dan udang sungai, daun singkong dan daging ayam. Segala jenis bahan mangupa dilengkapi dengan daun pisang, ranting beringin, daun ria-ria dan

90Koentjaraningrat, Sejarah Antropologi I (Jakarta:UI Press, 2010), 80 91Wawancara, Khaerul Alam Harahap Gelar Sutan Lembaga Alam (Raja Luat Pijorkoling Padangsidimpuan), tanggal 10 Juli 2013 98 beberapa daun torop (terap). Pada praktiknya mangupa dalam kategori yang paling sederhana bisa dilakukan hanya dengan menyediakan sebutir telur ayam rebus yang telah dikupas, nasi dan garam secukupnya sebagai media.92Sesaji ini dinilai memiliki makna filosofis. Tiga butir telur ayam yang sudah direbus dalam istilah Batak disebut pira manuk nadihobolan. Telur menurut masyarakat Batak adalah simbol kemakmuran. Memberi kekebalan dari segala bahaya, bencana, penyakit dan perbuatan jahat. Putih telur (albumen) dianggap sebagai simbol kesucian dan ketulusan, sedangkan kuning telur ibarat emas sebagai simbol kekayaan. Garam atau sira yang mengandung rasa asin adalah simbol agar kehidupan lebih terasa dan lebih bermakna (tidak tawar). Nasi dalam bahasa adat disebut indahan sibonang manyita, na dilompa ni boru angkola, haru nada dope dipangan, madung binoto harani tabo sebagai simbol kebahagiaan. Ikan, udang dan sayur daun singkong disebut ihan sayur sebagai simbol sayur matua bulung (panjang umur). Daging Ayam atau manuk pangkatiri mengandung harapan, agar orang yang di-upa memiliki keturunan yang banyak, khususnya anak laki-laki. Daun dan ranting beringin, ria-ria dan beberapa daun torop (terap) sebagai simbol keharmonisan. Kehidupan orang yang di-upa diharapkan tumbuh dan berkembang seperti pohon besar tempat berteduh, menjadi sandaran dan pelindung bagi saudara dan masyarakat luas.93 Wadah yang digunakan dalam tradisi mangupa disebut anduri. Anduri adalah tampi berbentuk empat persegi, terbuat dari bambu yang dianyam secara rapi dan setiap sisi diikat dengan rotan. Anduri dalam bahasa adat disebut anduri na bidang na rapak rere, pardomuan boru dohot babere. Anduri diyakini memiliki kekuatan magis dapat mempertemukan jodoh manusia. Wadah (anduri) ini, dianggap mampu membawa kemuliaan (tua dohot sangap) dari desa nawalu (desa delapan penjuru mata angin). Permukaan wadah (anduri) dilapisi dengan tiga lembar daun pisang beserta pelepahnya (bulung ujung). Menurut tradisi masyarakat Batak Angkola hewan sembelihan (lahanan) untuk sesajian pada tradisi mangupa disesuaikan dengan besar-kecilnya upacara adat yang dilakukan. Hewan sembelihan terdiri dari ayam (manuk) untuk horja menek (pesta kecil), kambing (hambeng) untuk horja manonga (pesta menengah) dan kerbau (horbo) untuk horja godang (pesta besar).94

92Pandapotan Nasution, Uraian Singkat Tentang Adat Mandailing Serta Tata cara Perkawinannya (Jakarta: Widya Press, 1994), 174-181. 93Wawancara, Khaerul Alam Harahap Gelar Sutan Lembaga Alam (Raja Luat Pijorkoling Padangsidimpuan), tanggal 10 Juli 2013. 94Robert Wessing, “Symbolic Animals in the Land between the Waters: Markers of Place and Transition”, Asian Folklore Studies, Vol. 65, No. 2 (2006), 205-239, http://www.jstor.org/stable/30030399. Diakses tanggal 3 September 20014. 99

Istilah hewan kerbau yang hendak disembelih dalam tradisi mangupa terdiri dari dua macam, yaitu: Pertama, kerbau yang disebut dengan horbo mangasa jaya, yaitu hewan kerbau yang diperoleh dari bantuan pihak keluarga dan saudara dekat. Kedua, horbo mangasa gogo, yaitu kerbau yang diperoleh dari hasil usaha sendiri (biaya mandiri) tanpa melibatkan kaum kerabat. Ketika kerbau dijadikan sebagai lahanan atau hewan sembelihan adat, maka kerbau itu, disebut dengan istilah na bontar atau na bontar di juluan na lomlom ditalaga dengan artian hewan yang dimuliakan secara adat. Perbedaan dalam istilah penamaan antara horbo na lomlom dan horbo na bontar terhadap hewan kerbau, merupakan ketentuan adat. Pengklasifikasian ini dilakukan untuk membedakan antara kerbau yang hendak dijadikan sebagai sembelihan (horbo na bontar), dan kerbau yang bukan dijadikan sebagai hewan sembelihan (horbo na lomlom). Kerbau yang dijadikan hewan sembelihan dalam tradisi Batak adalah kerbau biasa yang berwarna hitam (lomlom), namun ketika kerbau ini digunakan sebagai media dalam ritual adat, maka status kerbau berubah dan disebut dengan istilah na bontar (putih). Status kerbau yang dijadikan sebagai lahanan (sembelihan) upacara adat dipandang lebih tinggi posisinya, dari kerbau yang bukan sebagai hewan sembelihan, atau ketika belum digunakan sebagai lahanan adat.95 Kerbau yang sudah disembelih, kemudian diletakkan di wadah (anduri). Peletakan kerbau tersebut dilakukan dengan cara tertentu yaitu: Pertama, melapisi anduri dengan tiga lembar daun pisang. Kedua, meletakkan nasi putih dengan bentuk sedikit membukit yang disebut dimpu. Ketiga, meletakkan tiga butir telur ayam yang sudah direbus di atas nasi, dengan posisi menyerupai tiga tungku sebagai simbol dalihan natolu. Keempat, meletakkan sejemput garam di tengah ketiga telur berbentuk tungku yang sudah ditaruh dalam wadah kecil yang terbuat dari daun pisang. Kelima, meletakkan hidung dan lidah kerbau di depan. Kelima, meletakkan mata kerbau pada sisi kanan dan kiri anduri. Keenam, meletakkan kedua telinga kerbau di samping kedua mata kerbau. Ketujuh, meletakkan hati dan kulit kerbau sejajar dengan tiga telur rebus. Tata letak masing-masing bahan pangupa disusun secara teratur, sehingga menggambarkan kembali kepala kerbau. Kepala kerbau yang telah terbentuk, diletakkan dua kaki depan dan dua kaki belakang kerbau yang dilengkapi dengan bagian atas pahanya yang disebut tulan rincan. Peletakan tersebut menggambarkan seekor kerbau hidup. Bahan mangupa yang telah disusun di atas anduri, ditutup dengan tiga lembar bulung ujung (ujung daun pisang), dan diatasnya ditutup dengan kain adat (abit godang). Kerbau yang disajikan mempunyai makna filosofis. Hidung dan bibir kerbau melambangkan agar orang yang di-upa senantiasa menjalani kehidupan dengan

95Wawancara, Joonner Rambe Gelar Sri Paduka Ompu Daulat Raja Agung Panuturi Hasadaon (Raja Istana Hasadaon Batang Angkola Tapanuli Selatan), tanggal 25 Agustus 2013 100 hati-hati dan bijaksana. Lidah kerbau melambangkan harapan untuk senantiasa bertutur kata dengan sopan, pandai memberi nasehat dan pandangan yang baik bagi orang lain. Kedua mata kerbau menjadi simbol agar selalu memperhatikan secara cermat tata cara dan kaidah-kaidah adat istiadat. Telinga kerbau adalah simbol untuk mendengarkan sesuatu yang baik. Hati dan paruh kerbau adalah simbol untuk selalu menerima pertimbangan secara cermat sebelum melakukan tindakan.96 Hewan sembelihan lain untuk upacara adat adalah kambing. Kambing yang disembelih untuk upacara adat disebut horbo janggut (kerbau berjanggut) atau hambeng simaradang tua (kambing pembawa tuah atau kebahagiaam). Wadah dan cara peletakan kambing sembelihan, serupa dengan tata letak dan wadah untuk tempat bahan mangupa yang dipergunakan dalam upacara mangupa dengan lahanan kerbau. Kambing diletakkan di atas anduri bersama dengan bahan pangupa lainnya, yaitu kepala kambing, empat tulang kaki dan pahanya beserta hati dan ekornya. Perbedaannya hanya terdapat pada kepala binatang sembelihan. Jika pada kerbau kepalanya disuguhkan secara terpisah, maka pada kambing kepalanya dimasak secara utuh. Mangupa dengan menggunakan kambing sebagai media, memerlukan bahan lain sebagai pelengkap. Bahan pelengkap yang dimaksud adalah: Pertama, baberapa ikan sungai yang sudah disalai yang disebut dengan ihan na sian pitu sunge (ikan dari tujuh sungai). Makna filosofis yang terkandung dalam ihan adalah diberikan kemudahan dalam segala hal sampai pada tujuh turunan. Kedua, kepala kambing sebagai lambang kesejahteraan. Ketiga, paha dan kaki kambing sebelah muka dan belakang memiliki makna dipermudah dalam mencari dan menjalankan usaha. Keempat, hati kambing dan kelima adalah ekor kambing, mempunyai makna bijaksana dalam mengambil keputusan dan rajin melakukan silaturrahim.97 Mangupa dengan menggunakan manuk (ayam) sebagai media ritual adalah dengan cara memotong ayam, menyediakan setumpuk nasi yang dibentuk setengah lingkaran di atas piring berukuran besar yang dilapisi dengan tiga helai bulung (daun) dari pisang. Meletakkan telur dengan posisi berdiri di tengah tumpuan nasi beserta garam. Ayam yang sudah dimasak dipotong-potong dan diletakkan disekeliling telur dan nasi dengan kepala ayam di depan. Sayap dan paha ayam diletakkan pada sisi kiri dan kanan. Hati dan bagian dada ayam diletakkan dibagian belakang telur, kemudian ditutup dengan daun dan kain bugis hitam.98 Mangupa menggunakan ayam adalah simbol keberanian dan tanggungjawab. Mangupa dengan menggunakan manuk (ayam) mengandung harapan, yakni

96Pandapotan Nasution, Uraian Singkat Tentang Adat Mandailing Serta Tata cara Perkawinannya (Jakarta: Widya Press, 1994), 179-181. 97Pangaduan Lubis, Sipirok Nasoli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 216. 98Lihat. Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna, Horja Adat Istiadat Dalihan Natolu (Bandung: Grafitri, 1993), 211. 101 seseorang yang telah di-upa-upa mampu melindungi anak dan keturunannya dari bahaya. Memberikan pendidikan yang baik dan berusaha untuk mempertahankan hidup dengan cara yang baik dan jujur. Tata letak bahan pangupa dengan lahanan ayam pada dasarnya tidak berbeda dengan tata letak bahan pangupa yang menggunakan media kerbau dan kambing. Wadah yang dipergunakan untuk bahan mangupa adalah tampah atau piring besar. Kepala ayam yang sudah dimasak diletakkan pada posisi paling depan dan pada sisi samping kanan kiri diletakkan sayap ayam dan di belakangnya diletakkan daging ekornya sesuai gambaran seekor ayam. Tradisi mangupa merupakan bentuk godang niroha (tanda kebesaran hati). Bahan mangupa dan perlengkapan lainnya (pangkatiri) yang telah ditata secara rapi menurut ketentuan adat, kemudian diletakan diatas anduri merupakan bentuk rasa syukur dari pihak suhut (tuan rumah) dan kahanggi kepada pihak anak boru (menantu). Pada saat mangupa pengantin dalam konteks perkawinan, waktu pelaksanaannya adalah ketika matahari mulai naik, tepatnya sebelum pukul dua belas siang atau sebelum waktu zuhur (hatiha manaek mataniari). Menurut kepercayaan masyarakat Batak Angkola apabila tradisi mangupa dilakukan pada saat matahari mulai naik, maka semua sinta-sinta (doa-doa) yang dipanjatkan akan dikabulkan seperti naiknya matahari, dan senantiasa mendapat kebaikan dan keberuntungan. Prosesi mangupa biasa dilakukan di rumah suhut atau pengantin laki-laki. Tepatnya pada ruangan tengah (pantar tonga). Pasangan pengantin yang akan di- upa duduk di atas tikar adat (lage lampisan) yang telah disediakan di juluan (tempat yang dianggap terhormat secara adat. Kerabat, dan tamu undangan duduk melingkar mengelilingi pasangan pengantin. Raja adat (harajaon), hatobangon dan tokoh-tokoh adat duduk di depan pengantin secara berhadapan. Raja yang menjadi pimpinan pada tradisi tersebut, disesuaikan menurut sesajiannya. Apabila menggunakan lahanan kerbau, maka yang menjadi pimpinan adat adalah raja panusunan bulung (raja besar). Tradisi mangupa dengan menggunakan lahanan kambing dipimpin oleh Raja Pamusuk (raja kampung), sedangkan mangupa dengan lahanan ayam dipimpin oleh Hatobangon. Anak boru suhut (menantu dari tuan rumah) yang tertua, akan menjadi pemandu pada acara tersebut. Pelaksanaan tradisi mangupa pengantin dengan lahanan kerbau dihadiri oleh beberapa kerabat yaitu: Pertama, orang kaya adat sebagai pembuka acara. Kedua, ibu kandung dari pengantin laki-laki, jika tidak ada digantikan dengan kerabat perempuan yang setara dengan ibu, misalnya kakak perempuan atau adik perempuan ibu yang sudah menikah. Ketiga, saudara kandung perempuan dari ayah 102 pengantin laki-laki yang berstatus sebagai namboru dari pengantin laki-laki. Namboru dari pengantin laki-laki ikut sebagai pelaksana upacara, dan mereka masing-masing mempersembahkan pangupa secara berurutan sesuai dengan tingkat kedudukannya menurut adat. Keempat, beberapa kerabat perempuan dari anak boru dari suhut (ayah pengantin laki-laki), mereka mempersembahkan pangupa secara bergiliran tingkat statusnya menurut adat. Kelima, beberapa kerabat perempuan sebagai pisang raut. Keenam, ayah kandung pengantin laki-laki, jika tidak ada, digantikan oleh salah satu kerabatnya yang dekat, misalnya abang atau adik kandung yang sudah berumah tangga. Ketujuh, kelompok kahanggi. Kedelapan, kelompok hatobangon sebagai pemuka masyarakat. Kesembilan, harajaon, yakni raja pamusuk. Kesepuluh, harajaon torbing balok (raja dari beberapa desa tetangga yang sengaja di undang untuk mengikuti upacara). Kesebelas, raja panusunan bulung.99 Peserta yang menghadiri tradisi mangupa dengan lahanan kambing sama hal- nya dengan tradisi mangupa dengan lahanan kerbau dan ayam. Letak perbedaannya hanya pada harajaon (raja-raja). Pada tradisi mangupa dengan lahanan kambing tidak dihadiri oleh raja panusunan bulung dan hatobangon torbing balok (orang yang dituakan adat dari kampung yang lain). Upacara dengan lahanan ayam, hanya dihadiri oleh orang yang di upa-upa, suhut (tuan rumah), dan beberapa kerabat dekat yang tergolong dalam dalihan natolu (mora, kahanggi dan anak boru), serta tetangga dekat. Mangupa pengantin, baik yang menggunakan lahanan kerbau atau lahanan kambing merupakan bagian dari rangkaian upacara adat yang dilaksanakan secara berurutan dalam satu upacara haroan boru dan lazim secara adat disebut horja siriaon. Upacara horja siriaon dengan menggunakan lahanan kerbau, maka ia dikategorikan sebagai horja godang.100 Mangupa pengantin dilakukan pada saat sidang adat haroan boru. Kedua pengantin duduk di atas tikar adat dan ditemani seoarang pandongani (pendamping) yang terdiri dari seorang pemuda dan pemudi. Kelompok hasuhuton (tuan rumah) duduk di samping kanan pengantin dan kelompok anak boru duduk di samping kiri. Harajaon, hatobangon, harajaon torbin balok, raja panusunan bulung, dan orang tua duduk di depan kedua pengantin bersama dengan kelompok kahanggi.

99Susan Rodgers, “A Modern Batak Horja: Innovation in Sipirok Adat Indonesia, Southeast Asia Program Publications at Cornell University. No. 27 (April.1979), 103- 128,http://www.jstor.org/stable/3350818. Diakses 3 September 2014. 100Susan Rodgers, “Symbolic Patterning in Angkola Batak Adat Ritual”, The Journal of Asian Studies, Vol. 44, No. 4 (Agustus 1985), 765-778 http://www.jstor.org/stable/2056447. Diakses tanggal 9 September 2014. 103

Peserta, pelaksana dan pimpinan upacara duduk di tempat yang telah disediakan. Orang kaya adat sebagai pembawa acara memberitahukan kepada harajaaon dan hatobangon bahwa upacara adat dapat dimulai. Seorang tokoh hatobangon memberi instruksi agar bahan pangupa yang telah dipersiapkan dibawa ke ruangan upacara adat. Pangupa tersebut diangkat oleh anak boru, dan orang kaya adat meletakkan pangupa di depan pengantin. Segelas air bening yang dinamakan aek sitio-tio dan santan pamorgoi diletakkan di samping pangupa. Ketika meletakkan pangupa orang kaya adat mengucapkan:

“dison mada sarang banua, pangidoan tu Tuhanta anso marbulung marbunga, dipayakkon dijolomunu pangupa, pangidoan tu Tuhanta anso hamu marpomparan martua”101

(di sini tempat kita berkumpul, memohon kepada Tuhan, agar berdaun berbunga, diletakkan pangupa di depan, dengan memohon kepada Tuhan, semoga senantiasa mendapatkan keturunan yang membawa keberkahan dan kebahagiaan)

Pangupa diletakkan dihadapan kedua pengantin, selanjutnya tokoh harajaon memberikan arahan kepada orang kaya adat untuk membuka penutup pangupa, seraya mengucapkan :

Habangma langkupa, songon bulung ni hapadan, diungkapma pangupa saihoras tondi dohot badan

(terbang burung hantu, hinggap di daun hadapan, dibuka petutup pangupa, semoga sehat sentosa jiwa dan raga)

“Habangma langkupa, nasonggop tu siding-diari, diungkapma pangupa, sai horas ma on tu ginjang ni ari” 102

(terbang burung hantu, hinggap ke siding-dingari, ketika dibuka penutup pangupa, semoga selamat sentosa sepanjang masa)

Penutup pangupa dibuka, kemudian orang kaya adat menghidangkan daun sirih yang disebut burangir-sampe-sampe kepada kedua pengantin, sebagai tanda upacara

101Wawancara, Basyir Harahap (orang kaya adat desa Aek Tuhul Padangsidimpuan), tanggal 25 Agustus, 2013. 102Wawancara, Basyir Harahap (orang kaya adat desa Aek Tuhul Padangsidimpuan), tanggal 25 Agustus, 2013. 104 mangupa dilakukan secara resmi. Pada saat menghidangkan daun sirih, orang kaya adat mengatakan kepada pengantin laki-laki “jagit hamu bo tulang burangir on” artinya tulang, terimalah daun sirih ini. Kepada pengantin perempuan orang kaya adat juga mengatakan : dijagit nantulang mada artinya nantulang juga harus menerima daun sirih ini. Orang kaya melanjutkan kata-katanya:

“Burangir si rara huduk mada on , si bontar adop-adop, sataon sora busuk, sabulan sora malos, samurdu burangir dihamu dihanaek mataniarion, anso manaek tua, sahap dohot hama mora, hahorasan bope hagabeon di hamu na dihadopkon ni pangupaon. Madung lolot tarngiet dibagasan roha ni suhut sihabolonan bope nadung tama antong lolot natarmomos dibagasan sitamunang ni morangkon, harani job dohot moga ni roha i, leng di palalu ma baga-baga i di nasadari on”.103

(daun sirih berwarna merah di punggung, putih di permukaan. Setahun akan busuk, sebulan akan mulai layu, sirih ini disediakan kepada kamu pada saat mahahari mulai naik, agar naik (meningkat) tuah, kehormatan dan kemuliaan, kesentosaan dan derajat. Sesungguhnya sudah lama terniat dalam hati suhut sihabolonan (orang tua pengantin laki-laki) dan sudah lama tersimpan dalam pikiran mora. Pada hari ini, hari yang penuh dengan suka cita dan kegembiraan, maka disampaikan juga, hal-hal yang membesarkan hati.

Orang kaya adat, selanjutnya mengutarakan niat mangupa kepada ibu pengantin laki-laki :

“Jadi on pe damorangku, panortor hamu ma sudena dibagasan roha munu dohot sanga na songon dia do antong patama dohot patumbuk na mangihutkon laho-laho ni adat. Mangihutkon hasomalan ni ompungta na parjolo sundut i, laho paboahon sinta-sinta dohot pangidoan ni roha tu Tuhanta i, anso denggan maratur sude. Jadi sannari marlindung ma da halak ompung tu anak dohot parumaen sanga na songon dia do jop dohot moga ni roha i”

103Susan Rodgers, “Orality, Literacy, and Batak Concepts of Marriage Alliance”, Journal of Anthropological Research, Vol. 40, No. 3 (1984), 433-450, http://www.jstor.org/stable/3629764. Diakses tanggal 9 September 2014.

105

(Jadi sekarang, dipersilahkan kepada mora untuk menguraikan segala sesuatu yang terkandung dalam hati dan mengemukakan hal hal yang sesuai dengan adat menurut tradisi nenek moyang, sekaligus menyampaikan hasrat hati dan doa kepada tuhan agar segala sesuatunya berjalan dengan baik. Jadi sekarang, halak ompung dipersilahkan untuk mengungkapkan rasa gembira dan suka cita kepada anak dan menantu.

Ibu pengantin laki-laki, kemudian menjawab ucapan orang kaya dengan menggunakan bahasa adat, diawali dengan menyampaikan salam dan penghormatan kepada harajaon, hatobangon, raja torbing balok dan raja panusunan bulung. Ibu pengantin laki-laki menceritakan bahwa ketika anaknya masih kecil, dia selalu berdoa kepada Tuhan, kelak ketika anaknya dewasa diberikan keselamatan, berkepribadian yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan norma adat. Ibu pengantin laki-laki juga berharap, apabila anaknya menemukan jodoh, maka ia kan mengumpulkan kerabat, hatobangon dan harajaaon untuk menunjukkan rasa syukur dan kegembiraan serta suka cita kepada seluruh masyarakat untuk memberikan doa restu kepada anak dan menantunya melalui upacara mangupa. Ibu pengantin laki- laki juga turut merasa bahagia menerima kedatangan menantunya.104 Ungkapan rasa syukur ibu pengantin laki-laki, juga disambut baik oleh saudara perempuan dari ayah pengantin laki-laki (bou/ namboru) untuk menyampaikan hata-hata adat (kata-kata adat), kemudian dilanjutkan oleh beberapa kerabat wanita dari kelompok kahanggi dari namboru pengantin laki-laki secara bergiliran. Giliran selanjutnya yang menyampaikan hata-hata adat adalah beberapa kerabat dari pisang raut. Pada umumnya, apa yang mereka sampaikan tidak jauh berbeda dengan kerabat yang lain yaitu ucapan syukur dan kebahagiaan atas menikahnya saudara mereka dan berharap diberikan kebahagiaan dan kemakmuran. Kelompok selanjutnya menyampaikan hata-hata adat, adalah dari golongan laki- laki yaitu ayah dari pengantin laki-laki sebagai suhut sihabolonan, kemudian kahanggi dan anak boru dari ayah pengantin laki-laki. Hatobangon sebagai fungsionaris adat yang menempati posisi penasehat dalam pelaksanaan tradisi mangupa. Pada prosesi ini hatobangon mengucapkan beberapa hata pangupa yaitu:

Dipajuguk hamu dijuluan, disurdu burangir sampe-sampe dapot nian parsaulian, parkawinan munu on maroban dame”

104Pangaduan Lubis, Sipirok Nasoli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 229 106

(pengantin duduk di tempat yang dimuliakan menurut tradisi adat, dengan menyuguhkan daun sirih, dengan harapan semoga pernikahan ini mendapat kebahagiaan, ketenangan dan kedamaian)

Juguk hamu di lage lampisan namartambi marsimata dapot parsaulian maroban tua dohot sahala

(pengantin duduk di atas tikar adat yang telah dihias dengan manik- manik, semoga kelak memperoleh kebahagiaan membawa tuah dan kemuliaan)

Tarpayak di ginjang anduri di tutup dohot abit godang diajarkon di hamu sannari tanda na hamu madung matobang105

(pangupa diletakkan di atas wadah, kemudian ditutup dengan menggunakan kain adat, diajarkan petuah kebaikan kepada para pengantin, sebagai simbol kedewasaan dan tanggung jawab terhadap rumah tangga)

Tarpayak dijolo hamu pira manuk na dihobolan dohot sira na ancim pandaian anso hobol tondi dohot badan mura rasoki dohot pancamotan

(disuguhkan telur rebus dan sedikit garam di depan sidang adat sebagai intriument mangupa, semoga membawa kekebalan, bersama garam yang asin rasanya, agar kebal jiwa dan raga murah rezeki dan mendapatkan mata pencaharian yang lebih baik)

Horbo on siompang bahal, monang mangalo musu, talu mangalo dongan manjampal on tubalain mangelngei tu bagasan, natajom on tandukna, na godang indegena, na holong dianak na, narosuon dohot dongan na.

(diletakkan bahan pangupa, diantaranya kerbau si ompang bahal, semoga kerbau ini, menjadi simbol menang melawan musuh, kalah melawan kawan/ saudara, mencari rumput keluar kandang, berkembang biak di dalam kandang, tanduknya tajam, memiliki jejak kaki yang besar, sayang kepada anak-anaknya, baik terhadap saudara.

105Pangaduan Lubis, Sipirok Nasoli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 230. 107

Dison dua mata ni tiur panaili, marnida borngin dohot arian, tutur hamu marpangarohai, rama markoum malo mardongan.106

(di sini terletak dua mata kerbau yang digunakan untuk melihat, baik di waktu siang dan malam, semoga pengantin pandai bertenggang rasa, dan ramah tamah dalam bersahabat.

Songon i dohot indahan sibonang manita, sangape indahan ribu-ribu nada dope dipangan madung binoto daina, godang roha ni ama dohot ina, marsintaon anso hombang ratus hombang ribu

(disediakan nasi putih bernama sibonang manita, atau nasi yang disebut ribu-ribu, belum dimakan sudah terasa nikmatnya, sebagai bukti rasa suka cita dari ayah dan ibu, mendoakan para pengantin agar senantiasa mendapatkan keturunan.

Silalat nadipudunan, ihan napitu sunge, salamat hamu tu hapudia, tongtong dibagasan dame

(daun singkong yang disimpul, dan ikan dari tujuh sungai, semoga pengantin selamat sentosa dan damai sepanjang masa)

Manuk hatir manuk pogang, disiamun dohot siambirang, lahir anak dohot boru na sorang, namarholong tusimatobang.

(ayam pendamping ayam pengawal, diletakkan di sebelah kiri dan kanan, semoga kelak melahirkan putra dan putri yang hidup senang, dan kepada orang tua penuh kasih sayang)

Onsude hatani adat, padan ni ompungta naparjolo sunduti, diari sadarion hami pasahat, tu badan simanare munu.107

Pada hari ini, semua kata-kata adat, serta norma dan ajaran para leluhur, kami sampaikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan.

106Pangaduan Lubis, Sipirok Nasoli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 231 107Wawancara, Ridwan Rangkuti (Hatobangon Padangsidimpuan), tanggal 27 Juli 2013. 108

Selanjutnya hata-hata adat disampaikan oleh raja sebagi kata penutup, kemudian semua kata-kata mangupa di atas dijawab oleh kedua pengantin dengan ucapan terima kasih kepada orang tua, kerabat dalihan natolu, hatobangon dan harajaon. Terakhir tradisi mangupa ditutup dengan acara makan bersama. Uraian di atas menunjukkan, adanya kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan-kekuatan gaib merupakan benih-benih keberagamaan yang menjadi cikal bakal diterimanya Islam sebagai anutan masyarakat Batak. Setiap benda yang digunakan masyarakat Batak Angkola dalam melakukan hubungan kepada hal-hal gaib merupakan simbol yang memiliki makna sekaligus nilai. Adanya kepercayaan terhadap kekuatan gaib dinyatakan dalam bentuk simbol-simbol yang suci dan merupakan sumber inspirasi dan sumber kekuatan yang tumbuh secara tradisional dalam kehidupan masyarakat. Jika proses mangupa sebelum Islam, segala tumpuan dan harapan ditujukan kepada benda-benda yang memiliki kekuatan dan kekuasaan magis, maka dengan datangnya Islam tradisi mangupa mengalami pergeseran nilai, yakni pergeseran nilai dari kepercayaan lokal kepada pengharapan yang ditujukan kepada Allah. Sesajian yang digunakan pada tradisi mangupa juga mengalami perubahan dari sesuatu yang haram menurut hukum Islam menjadi sesuatu yang halal. Masuknya pengaruh Islam dalam tradisi mangupa tidak mengubah tatanan adat yang sudah lama terbentuk. Relasi Islam dan budaya lokal menjadikan budaya sebagai media dan simbol dalam mengajarkan nilai-nilai keyakinan dalam Islam. Sesajian yang digunakan pada tradisi mangupa pasca datangnya Islam adalah beberapa jenis dari makanan yang halal. Beranjak dari pemahaman Islam, masyarakat Batak Angkola menyakini Allah sebagai Tuhan penguasa alam. Mereka juga percaya adanya makhluk gaib yang diciptakan Allah. Makhluk gaib tersebut menempati ruang dan waktu dan keberadaannya ada di mana-mana. Persoalan kegaiban yang mengitasi kehidupan manusia merupakakan hal yang esensial dan telah diatur oleh Tuhan. Masyarakat Batak juga mengimani dibalik dunia nyata terdapat dunia gaib yang tidak tampak. Mereka meyakini bahwa percaya kepada sesuatu yang gaib merupakan bagian dari ketakwaan sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.108 Kepercayaan masyarakat Batak Angkola terhadap kekuatan gaib yang memberikan dampak positif dan negatif, juga terinspirasi dari kisah nabi Sulaiman sebagai ponggawa penguasa dan penakluk hal-hal gaib. Memberikan perlakuan khusus, seperti melakukan ritul mangupa, merupakan bentuk sahutan yang dimaksud sebagai media komunikasi dan menjalin keharmonisan dengan yang gaib. Memberikan perlakuan khusus, seperti melakukan ritul mangupa, merupakan

108Wawancara, Irfan Marwazi Gultom (Alim Ulama Padangsidimpuan), tanggal 27 Juli 2013. 109 bentuk sahutan yang dimaksud sebagai media komunikasi dan menjalin keharmonisan dengan yang gaib. Tradisi mangupa pada masyarakat Batak, jika dikaitkan dengan pendapat Kipral Sinh merupakan bentuk dari sikap spiritualitas masyarakat dalam membangun hubungan baik dengan Tuhan melalui alam sekitarnya. Kipral Sinh menyebutkan bahwa seluruh dunia dan segala isinya merupakan manifestasi dari Tuhan.109 Pemahaman ini mengindikasikan bahwa domain spiritual adalah membangun hubungan baik dengan Tuhan, kemudian direalisasikan kepada sesama manusia dan alam. Artinya, jika Tuhan diyakini peduli dengan manusia dan alam sekitar, maka manusia juga harus peduli dengan orang lain dan alam, karena manusia adalah refleksi dari Tuhan. Hubungannya dengan kehidupan sosial Moore dan Casper menyimpulkan bahwa spiritualitas merupakan keyakinan batin, sikap, atau emosi yang mempengaruhi perilaku orang.110 Spiritualitas menjadi penting karena telah memberikan peran dalam menjaga keseimbangan secara global. Pandangan spiritualitas memberi ruang dialog lintas budaya dan agama. Clive Erricker dan Jane Erricker, menambahkan dalam makna spiritualitas yang lebih luas, juga dapat diartikan dan difungsikan sebagai dasar untuk menghubungkan antara ilmu pengetahuan, agama, dan mistisisme.111 Implikasi akulturasi Islam dalam tradisi mangupa telah membentuk tradisi lokal baru yang bernuansa islami. Secara empiris persentuhan Islam terhadap hal- hal gaib menjadi titik pertemuan atau titik fokus antara Islam dan tradisi mangupa. Tradisi lokal masyarakat Batak Angkola yang sarat terhadap muatan-muatan gaib dan anjuran membaca hata-hata mangupa menjadi sangat penting untuk keselamatan jiwa manusia. Kepercayaan terhadap kekutan tondi menjadi hal mutlak bagi masyarakat Batak. Para pendakwah tampak arif melihat persoalan keyakinan lokal, sehingga berhasil melakukan transformasi keislaman kedalam tradisi lokal masyarakat dan mengubahnya menjadi tradisi Islam lokal tanpa kehilangan aspek-aspek formal dari kebudayaan tersebut. Proses islamisasi yang terjadi melalui dialog yang bersifat kultural kemudian melahirkan identitas yang disebut Islam lokal sehingga masyarakat mampu menggunakan idiom Islam sebagai bagian dari tradisi. Negosiasi dan kepercayaan lokal tidak hanya berhasil melakukan transformasi nilai-nilai keislaman tetapi memberikan peluang bagi agama untuk saling mengisi dan membentuk, pembacaan doa dan zikir pada ritual mangupa , barzanji pada

109Kirpal Singh, The Coming Spiritual Revolution (Sanbornton: Sant Bani Ashram, 1997), 1. 110Tom W. Moore and Wendy J. Casper, An Examination of Proxy Measures of Workplace Spirituality: A Profile Model of Multidimensional Constructs,” Journal of Leadership and Organizational Studies 12, no. 4 (2006): 109-118. 111Clive Erricker dan Jane Erricker, Contemporary Spiritualities: Social and Religious Contexts (London: Continuum, 2001), 15. 110 upacara manggoar daganak tubu (memberi nama anak) menjadi corak Islam bernuansa lokal. Tradisi mangupa menjadi kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang. Kebiasaan tersebut menjadi adat dan dianggap tidak bertentangan dengan hukum Islam. Menurut masyarakat Batak Angkola Padangsidimpuan tradisi mangupa dalam horja godang haroan boru (upacara perkawinan), menjadi sesuatu hal yang harus dilakukan. Perkawinan yang sah menurut masyarakat bukan hanya dilihat dari aspek agamanya saja, tetapi juga terkait dengan aspek budaya. Kondisi ini membuktikan bahwa mangupa menjadi sesuatu yang sakral.112 Keyakinan masyarakat Batak Angkola terhadap tondi, menjadikan tradisi mangupa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari konteks perkawinan. Orang yang menikah tidak akan merasa nyaman, jika tidak melakukan ritul mangupa pada saat prosesi perkawinan, sehingga praktik ini tetap eksis dan senantiasa berkembang pada masyarakat Batak Angkola. Jika dilihat dari konteks hukum Islam, tradisi mangupa yang dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang menjadi bagian dari al a>dat. Pada kasus marpege-pege dan mangupa hukum Islam difokuskan untuk menjembatani cita-cita keagamaan pada level yang seharusnya dan komplek realitas sosial pada level kenyataan. Keinginan untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan nilai-nilai adat pada tradisi Batak Angkola menjadi perhatian para Malim (tokoh agama) dan masyarakat dalam memberikan ruang bagi tradisi hukum lain. Gagasan hukum Islam versi lokal (tradisi Islam lokal) dianggap sangat penting untuk melanjutkan implementasi hukum Islam yang dapat memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan persoalan masyarakat. Tradisi Islam lokal tidak lain adalah hasil dari usaha untuk memasukkan nilai- nilai hukum Islam ke dalam situasi baru yaitu situasi masyarakat Batak Angkola yang sangat berbeda dari situasi dan kondisi tempat asal hukum Islam itu sendiri dilahirkan. Integrasi Islam dan budaya lokal Batak Angkola, menjadikan agama dan budaya menyatu dalam praktik kehidupan masyarakat. Persentuhan budaya lokal dan agama harus menimbulkan kesepakatan yang baik untuk menyatukan prinsip- prinsip Islam dengan prinsip-prinsip budaya, sehingga persoalannya bukan lagi bagaimana mendorong masyarakat mengikuti ketentuan hukum Islam, tapi bagaimana ajaran Islam bisa diterapkan di dalam kehidupan masyarakat tanpa menimbulkan konflik. Memasukkan hukum Islam dalam budaya lokal adalah bentuk pelestarian dalam mempertahankan institusi lama.

112Wawancara, Ridwan Rangkuti (tokoh hatobangon Padangsidimpuan), tanggal, 30 Juli 2013. BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Integrasi Islam ke dalam budaya lokal Batak Angkola terjadi melalui proses akulturasi dan tidak terlepas dari tiga aspek: Pertama, sejarah penyebaran agama Islam di Padangsidimpuan. Kedua peran tokoh agama (malim). Ketiga adanya kesepakatan nilai dan dominasi agama terhadap budaya. Akulturasi Islam di masyarakat Batak Angkola di Padangsidimpuan menunjukkan bahwa Islam dan tradisi lokal merupakan satu kesatuan. Tradisi-tradisi yang dilakukan adalah bagian dari interpretasi agama dan religiusitas masyarakat dalam bingkai hombar adat dohot ibadat (agama dan adat hidup secara berdampingan). Dialektika antara Islam dan budaya menempatkan religi dan ritual lokal sebagai medan kontestasi. Relasi Islam dan tradisi lokal telah membentuk habitat baru yang disebut tradisi Islam lokal. Tradisi mangupa merupakan tradisi warisan leluhur yang telah dikenal masyarakat Batak Angkola jauh sebelum Islam masuk ke tanah Batak. Kedatangan Islam memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai adat. Pergeseran nilai-nilai adat pasca masuknya Islam, dari kepercayaan lokal kenilai keagamaan memberikan warna tersendiri, tanpa mengubah bentuk sistem adat. Pergumulan hukum Islam dan budaya lokal merupakan proses timbal balik yang produktif dan kreatif, sehingga tradisi tidak berdiri sendiri tapi terkait dengan keyakinan, pengetahuan, pengalaman (realitas) dan kondisi spritualitas sebagai unsur-unsur religiusitas. Nilai-nilai keislaman yang terlihat pada tradisi mangupa ditemukan pada hata-hata mangupa yaitu pemahaman terhadap konsep ketuhanan. Pemahaman keilahian merupakan titik awal pendekatan batiniyah. Eksistensi Tuhan dengan segala kekuasaan dan kasih sayang-Nya dijadikan sebagai sandaran. Pembacaan doa dan zikir pada ritual mangupa menjadi corak Islam bernuansa lokal. Pada tradisi marpege-pege, konsep ta’a>wun merupakan bagian dari nilai-nilai keislaman. Mahar sebagai tanggungjawab secara individual (suami), mengalami pergeseran dan menjadi tanggung jawab bersama. Markumpul hepeng (mengumpulkan uang) yang dilakukan sekelompok masyarakat untuk membantu membayar merupakan simbol penghormatan terhadap perempuan. Pengaruh interaksi masyarakat dalam marpege-pege menumbuhkan semangat gotong royong untuk memperkuat ikatan kekerabatan di masyarakat. Terakhir, Islam lokal telah diterima sebagai nilai dan tradisi yang pada gilirannya membentuk identitas keislaman masyarakat Batak Angkola. Menyebut Islam bukan hanya terhadap pada ritual wajib, seperti sholat, puasa dan haji, tetapi juga proses ritual adat. Islam lokal mencerminkan elemen religi dalam tradisi

111

112 lokalitas, sehingga Islam tidak hanya ditemukan di mesjid, sebaliknya Islam dapat ditemukan pada ritual-ritual budaya

B. Saran dan Implikasi Penelitian Islam yang ada di Batak Angkola, merupakan Islam yang sesuai dengan pola kultur masyarakat Batak. Konsep lokalitas merupakan media kebudayaan yang efektif untuk mengartikulasikan Islam. Pengkajian Islam pada masyarakat Batak Angkola bukan dilihat dari pendekatan teologis- normatif yang melahirkan klaim penilaian benar dan salah, tetapi lebih pada menggunakan pendekatan lain, seperti antropologi-sosiologi agar penilaian secara objektif bisa dilakukan, khususnya pada kelompok-kelompok keagamaan.