Perkembangan Arsitektur Mesjid Walisongo Di Jawa (Ashadi)
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Perkembangan Arsitektur Mesjid Walisongo di Jawa (Ashadi) PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MESJID WALISONGO DI JAWA : PERUBAHAN RUANG DAN BENTUK Ashadi Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta [email protected] ABSTRAK. Seiring dengan perkembangan jaman dan semakin meningkatnya kebutuhan- kebutuhan masyarakat muslim, arsitektur mesjid sebagai sarana tempat ibadah umat Islam cenderung pula mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan ini terjadi pula pada mesjid-mesjid awal perkembangan Islam di Jawa yang pada umumnya disangkutpautkan dengan para mubaligh Wali Songo. Dengan pendekatan historis, tulisan ini berusaha memperlihatkan perubahan-perubahan ruang dan bentuk dalam arsitektur mesjid Wali Songo melalui tema-tema keruangan dan modernitas. Kata kunci : Keruangan memusat, tradisionalitas, modernitas ABSTRACT. As period of time changes all the time and as the needs of moslem community had increased, an architecture of mosque as a prayer facility for moslem has tend to be changed as well. Those changes had happened to mostly mosques within early Islam development in Java, which generally had been related to “Wali Songo”. By using historicalcopyright approach, this paper is trying to seek the changes of architectural space and form within architecture of Wali Songo’s mosque through spatial themes and modernity. Keywords : centered space, traditionality, modernity 143 NALARs Volume 11 No 2 Juli 2012 : 143-160 PENDAHULUAN Perkembangan Islam pada periode awal di pulau Jawa tidak terlepas dari peran Wali Songo (Wali yang jumlahnya sembilan), yakni sembilan mubaligh Islam yang dianggap sebagai kepala dari sejumlah besar mubaligh Islam yang bertugas menyiarkan agama Islam di daerah-daerah di pesisir utara pulau Jawa. Mereka adalah Maulanan Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Para Wali Songo itu masing-masing memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Jawa melalui tiga wilayah penting. Wilayah pertama adalah, Surabaya, Gresik dan Lamongan di Jawa Timur. Wilayah kedua adalah, Demak, Kudus dan Muria di Jawa Tengah. Dan wilayah ketiga adalah, Cirebon di Jawa Barat. Dalam berdakwah, para Wali Songo itu menggunakan jalur- jalur tradisi yang sudah dikenal oleh orang-orang Indonesia kuno. Yakni dengan melekatkan nilai-nilai Islam pada praktek dan kebiasaan tradisi setempat. Sehingga tampak bahwa ajaran Islam sangat luwes, mudah dan memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa waktu itu tidak merasakan sesuatu perubahan yang berarti dari agama Hindu dan Budha ke agama Islam. Sebagaimana agama Hindu dan Budha sebelumnya juga melakukan hal yang sama terhadap kepercayaan Asli (Animisme dan Dinamisme) masyarakat Jawa. Dalam rangka kegiatan penyebaran Islam, para Wali Songo itu mendirikan mesjid di daerah-daerah yang menjadi lahan dakwahnya. Dengan demikian, di Jawa banyak karya arsitekturcopyright mesjid muncul pada masa itu. Karya arsitektur mesjid tersebut dipenuhi dengan nilai-nilai historis dan estetika dengan coraknya yang khas. Dalam tulisan ini, mesjid - mesjid yang didirikan oleh atau disangkutpautkan dengan para Wali Songo itu dinamakan Mesjid Wali Songo. Mesjid Wali Songo, beberapa di antaranya terletak di dan menjadi bagian dari kota-kota modern di Jawa, seperti mesjid Ampel Denta (Sunan Ampel) menjadi bagian dari kota Surabaya, mesjid Menara Kudus (Sunan Kudus) menjadi bagian dari kota Kudus, mesjid Agung Demak menjadi bagian penting dari pusat kota Demak, dan mesjid Agung Sang Cipta Rasa (Sunan Gunung Jati) yang menjadi bagian kota Cirebon. Dari dulu hingga sekarang mesjid-mesjid ini menjadi tempat pengembangan dakwah agama Islam bagi masyarakat di lingkungan sekitarnya. Sementara Mesjid Walisongo yang lainnya terletak sedikit di luar kota, membentuk lingkungannya sendiri, seperti mesjid Sunan Giri di atas bukit di Gresik, mesjid Sunan Kalijogo di sebuah dusun Kadilangu di Demak, dan mesjid 144 Perkembangan Arsitektur Mesjid Walisongo di Jawa (Ashadi) Sunan Muria di bukit Muria di Kudus. Mesjid-mesjid ini pada umumnya merupakan mesjid makam, yakni mesjid yang sejak awalnya dididirikan untuk fasilitas kegiatan ziarah makam. Arsitektur Mesjid Wali Songo sebagai perwujudan dari kebudayaan Jawa kelihatannya cenderung untuk tidak berubah atau bertahan pada tradisi-tradisi yang berlaku, padahal sebenarnya mengalami perubahan seiring dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Perubahan yang terjadi akibat dari semakin meningkatnya faktor kemampuan dan tuntutan kebutuhan masyarakat pendukungnya telah memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan arsitektur Mesjid Wali Songo. Tulisan ini mencoba memperlihatkan sejauh mana perubahan-perubahan yang terjadi pada arsitektur Mesjid Wali Songo, khususnya perubahan tata ruang dan bentuk bangunan mesjid sebagai akibat dari semakin meningkatnya dan beragamnya kebutuhan masyarakat pendukungnya dari masa ke masa, dan menguraikan keterkaitan berbagai faktor dan konteks yang mempengaruhi perubahan-perubahan itu. Tulisan ini menggunakan pendekatan Historis, dengan studi kasus Mesjid Walisongo yang lokasinya di dan menjadi bagian kota-kota di Jawa, yakni Mesjid Ampel Denta Surabaya, Mesjid Menara Kudus, Mesjid Agung Demak, dan Mesjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. Dalam proses analisis digunakan dua metode analisis secara komplementer, yakni Analisis Diakronik, untuk melihat perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu, dan Analisis Sinkronik,copyright untuk melihat peristiwa-peristiwa simultan yang berpengaruh terhadap perubahan yang terjadi pada suatu waktu tertentu. Dengan gabungan kedua metode ini diharapkan dapat diketahui hubungan antara gejala perubahan dengan struktur atau konteks gejala perubahan tersebut terjadi. Tema-tema arsitektur seperti ruang dan bentuk tetap menjadi perhatian utama. MESJID SEBAGAI SARANA KEGIATAN DAKWAH : SEJARAH SINGKAT Dakwah Islam secara sistematik dan terorganisir di tanah Jawa dirintis oleh seorang mubaligh ternama yaitu Raden Rahmat, yang kemudian dikenal dengan Sunan Ampel. Dia datang dari negeri Campa. Di Ampel Denta, sebagai sarana dakwahnya setelah mendirikan pesantren yang makin lama santrinya semakin banyak, dia membangun sebuah mesjid besar dengan atap tumpang. (Wiryoprawiro, 1986:123). 145 NALARs Volume 11 No 2 Juli 2012 : 143-160 Mesjid Ampel Denta yang dibangun oleh Sunan Ampel bersama murid-muridnya sejak berdirinya tahun 1450 hingga sekarang masih bisa kita saksikan, dan beberapa kali telah mengalami perluasan. Perluasan pertama dilakukan oleh Adipati Aryo Cokronegoro dengan menambah bangunan di sebelah utara bangunan lama. Perluasan kedua dilakukan oleh Adipati Regent Raden Aryo Niti Adiningrat pada tahun 1926, yakni dengan menambah atau memperluas ke bagian utara lagi. Perluasan ketiga dilakukan setelah masa kemerdekaan yang diselenggarakan oleh Panitia Khusus Perluasan Mesjid Agung Sunan Ampel tahun 1954 - 1958, yakni perluasan di sebelah utara lagi dan di sebelah barat. Perluasan keempat dilakukan tahun 1974 dengan memperluas lagi bagian barat. Dengan adanya perluasan ini maka bangunan semula yang luasnya 2.069 m2 kini bertambah menjadi 4.780 m2. (Wiryoprawiro, 1986:182). Mesjid dan pesantren Ampel Denta telah melahirkan mubaligh-mubaligh muda hasil gemblengan Sunan Ampel, diantaranya ialah Maulana Ishak, Raden Paku (Sunan Giri), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Syarifuddin (Sunan Drajat), dan Raden Patah. Bahkan tokoh yang disebutkan terakhir ini kemudian didudukkan sebagai sultan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang berpusat di Demak. Sunan Ampel juga disebut-sebut sebagai arsitek pembangunan mesjid Agung Demak (Salam, 1974:28). Pembangunan mesjid Agung Demak dilaksanakan tahun 1477-1479 (atau 1481). Tahun 1481 merupakan tahun wafatnya Sunan Ampel. Mesjid Agung Demak kemudian menjadi prototipe mesjid-mesjid di Nusantara (Ashadi, Jurnal Nalars, 2002). copyright Mesjid Agung Demak selama masa keberadaannya sudah beberapa kali mengalami perbaikan dan perluasan. Berdasarkan gambar kuno (Soekmono,1973:53), penampilan mesjid Demak terkesan sederhana. Dari gambar terlihat bahwa bangunan mesjid merupakan single building. Penambahan fasilitas yang mula-mula adalah bangunan serambi yang terkenal dengan serambi 'majapahit', yang diperkirakan menyatu dengan bangunan utama mesjid Agung Demak pada tahun 1845. Dalam buku Geschiedenis Van Java Deel II, terbitan tahun 1920 menampilkan gambar (photo) mesjid Agung Demak. Dari gambar terlihat sebuah regol sebagai gerbang utama masuk ke dalam kompleks mesjid. Di belakang regol terdapat bangunan penghubung ke serambi mesjid yang dinamakan tratag rambat. Namun pada tahun 1966 regol dan tratag rambat itu dibongkar dan kemudian dibangun kembali gapura dengan ornamen batu andesit seperti kondisi sekarang ini. Pada tahun 1967 dibuatlah sebuah kolam di sebelah tenggara bangunan mesjid yang kemudian terkenal dengan 'kolam bersejarah'. 146 Perkembangan Arsitektur Mesjid Walisongo di Jawa (Ashadi) Penyusunan strategi dan operasional dakwah Islam oleh para Wali Songo saat itu dilakukan di mesjid Agung Demak. Kiprah para Wali Songo dalam memperjuangkan Islam di tanah Jawa dengan mesjid Agung Demak sebagai pusat aktivitasnya tidaklah diragukan lagi, bahkan menjadikan namanya melegenda di kalangan masyarakat Jawa. Salah satu dari mereka selain sebagai pemimpin rohani (Imam), juga sebagai anggota pasukan perang kerajaan Islam Demak. Dialah Ja'far Shodiq yang kemudian dikenal dengan Sunan Kudus. Nama Ja’far Shodiq jelas disebut