NASKAH : IDENTITAS BUDAYA SELATAN DI MUSEUM LA GALIGO LA GALIGO MANUSCRIPT: THE CULTURAL IDENTITY OF IN THE LA GALIGO MUSEUM

Andini Perdana Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan Jalan Ujung Pandang No. 1 Kompleks Benteng Rotterdam Makassar, 90111 Telepon: (0411) 3621701 œ 3631117, Faksimili : (0411) 3621702 Pos-el : [email protected]

ABSTRACT The bestowal of the name La Galigo upon the Provincial State Museum of South Sulawesi is based on the La Galigo manuscript, which is famaous in the Bugis, Makassar, Toraja, Selayar, and Massenrempulu regions. For them, La Galigo is their unifier. As part of its collection, the La Galigo Museum features a La Galigo manuscript, which is registered as a UNESCO Memory of the World. The manuscript is currently on display in the permanent exhibition room of the La Galigo museum; however, the representation of the cultural identity of South Sulawesi has been not reflected in the exhibit. This has encouraged the author to identify the significance of the La Galigo manuscript, analyze the concept of the current exhibits of the La Galigo Museum, and recommend the addition of the La Galigo storyline to the museum. The research employed a case study method, with a museology approach, especially examining new museums, cultural identity, and exhibits. The conclusion in this research was the lack of information in the La Galigo exhibition due to the lack of research of the significance of the La Galigo for various ethnic groups, the unity between them, the collective memory of the society, and the relevance of the La Galigo story to the present. The development of the La Galigo storyline, which not only describes the La Galigo manuscript itself, but links it to other collections and represents the cultural identity of South Sulawesi, is needed.

Keywords : La Galigo, museum, the cultural identity

ABSTRAK Pemberian nama La Galigo pada Museum Negeri Provinsi Sulawesi Selatan didasari atas makna La Galigo yang dikenal di daerah Bugis, Makassar, Toraja, Selayar dan Massenrempulu. La Galigo merupakan pemersatu bagi mereka. Museum La Galigo memiliki koleksi naskah La Galigo yang teregistrasi dalam Memory of the World UNESCO. Naskah tersebut terdisplay di ruang pameran tetap, namun representasi identitas budaya Sulawesi Selatan belum tercermin dalam ekshibisi tersebut. Belum direpresentasikan itulah yang mendorong penulis untuk mengidentifikasi nilai penting makna La Galigo, menganalisis konsep ekshibisi Museum La Galigo saat ini, dan merekomendasikan storyline ekshibisi museum. Metode yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan museology, khususnya teori new museum, identitas budaya, dan ekshibisi. Dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa minimnya informasi dalam ekshibisi naskah La Galigo dikarenakan kurangnya penggalian nilai penting La Galigo bagi berbagai suku bangsa, pemersatu di antara mereka, memori kolektif masyarakat, dan relevansi cerita itu dengan saat ini. Perbaikan storyline cerita La Galigo yang bukan hanya mendeskripsikan naskah La Galigo itu sendiri, melainkan mengaitkannya dengan koleksi lain dan merepresentasikan identitas budaya Sulawesi Selatan diperlukan.

Kata kunci : La Galigo, museum, identitas budaya

116

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

PENDAHULUAN diperkirakan ditulis pada awal abad 19. La Galigo merupakan tradisi lisan Naskah terinventarisasi dengan nomor masyarakat Sulawesi Selatan yang 2610/07.114, kondisi naskah relatif diturunkan dari generasi ke generasi bagus namun sangat memerlukan perawatan. sebelum dikenalnya aksara. Cerita La Galigo kemudian dituliskan oleh suku 2. Naskah La Galigo di Perpustakaan Bugis (Ideanto, 2005: 93) dengan maksud Universitas Leiden di Leiden, Belanda, dengan judul “La Galigo“, untuk mengabadikan cerita tersebut dari terdiri dari kepunahan. Cerita tersebut disalin dengan 12 episode, 2851 halaman yang menggunakan aksara Bugis kuno (huruf menjadikannya sebagai naskah La lontarak) yang ditulis di atas daun lontar Galigo terpanjang. Naskah (Ideanto, 2005: 93). Meskipun La Galigo terinventarisasi dengan nomor NBG- dituliskan, namun fungsinya tetap untuk Boeg 188, ditulis pada pertengahan diekspresikan secara lisan sampai saat ini, abad ke-19 dan disalin oleh Colliq sehingga dikenal oleh berbagai suku bangsa Pujie, Ratu Pancana (sebuah kerajaan di Sulawesi Selatan (Rahman, 2003: xxi-i ). Bugis di Sulawesi Selatan). La Galigo merupakan rujukan bagi Kedua naskah La Galigo tersebut telah suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja dipublikasikan dalam Bahasa dan di Sulawesi Selatan untuk merasakan Bugis pada tahun 1995 dan 2000. kesatuan diantara mereka (Mattulada, 2003: La Galigo disusun dengan puisi indah 447). Cerita La Galigo yang tersebar di yang mengandung narasi petualangan, Sulawesi Selatan didominasi oleh tokoh pertempuran, dan cerita imaginatif dalam bernama Sawerigading, manusia keturunan idiom bahasa Bugis. Meskipun di Sulawesi Dewa sekaligus ayah dari I La Galigo. Selatan terdapat manuskrip La Galigo yang Sawerigading dianggap sebagai peletak menjadi koleksi pribadi, namun pemiliknya dasar munculnya kerajaan di Sulawesi kurang memahami arti penting naskah Selatan sehingga selain dilisankan, Ia juga tersebut dan beranggapan naskah tersebut dikaitkan dengan simbol-simbol mitologis sakral dan magis. Menurut mereka di dalam setiap kerajaan (Enre, 1983: 12). Oleh naskah tersebut bersemayam para roh tokoh karenanya Sawerigading dianggap sebagai suci yang terdapat dalam cerita La Galigo, tokoh pemersatu di Sulawesi Selatan baik buruknya kehidupan manusia (Sakka, 2008: 29). tergantung bagaimana sang pemilik Pada tahun 2011, dua naskah La memperlakukan-nya (Rahman, 1998: 397- Galigo terdaftar dalam Memory of the 8). Sudah saatnya mereka mengetahui World (MoW) register yang dinominasikan tentang arti penting makna La Galigo dan oleh Indonesia (diwakilkan oleh Mukhlis upaya perawatannya. PaEni) dan Belanda (diwakilkan oleh Selain itu, pengetahuan masyarakat Rogert Tol). Memory of the world Sulawesi Selatan terhadap La Galigo merupakan program dari United Nations semakin berkurang. Agar diingat sebagai Educational Scientific and Cultural identitas budaya masyarakat Bugis Organizations (UNESCO) sejak tahun khususnya dan Sulawesi Selatan umumnya, 1992. Program ini bertujuan untuk La Galigo bahkan dijadikan sebagai nama melestarikan dan mengkomunikasikan jalan, universitas, dan museum. Museum warisan dokumenter di berbagai belahan Negeri Provinsi Sulawesi Selatan, La dunia. Kedua naskah tersebut adalah sbb : Galigo didirikan pada tanggal 1 Mei 1970 1. Naskah La Galigo di Museum La oleh pemerintah (Depdikbud, 1986: 26-7). Galigo di Makassar, Indonesia, dengan Museum ini menyimpan salah satu naskah judul —Sawerigading dan La Galigo ke La Galigo. Senrijawa“, terdiri dari 217 halaman, La Galigo merupakan identitas tidak berangka tahun tetapi bersama dan intangible heritage yang dapat

117

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 digolongkan sebagai tradisi lisan atau cerita Sulawesi Selatan dan belum maksimalnya rakyat yang menjadi memori kolektif cara penyampaian informasi melalui masyarakat Sulawesi Selatan. Peran ekshibisi di MLG seperti yang dijelaskan di Museum La Galigo (MLG) sebagai atas, maka tulisan ini difokuskan tentang museum Provinsi Sulawesi Selatan untuk beberapa makna La Galigo yang dapat menyajikan memori kolektif dan identitas dikomunikasikan oleh MLG melalui masyarakat Sulawesi Selatan. pameran tetapnya. Tulisan ini tidak MLG telah memiliki koleksi yang membahas tentang bagaimana cara merefleksikan identitas dan memori kolektif mengkomunikasikan makna tersebut, masyarakat Sulawesi Selatan. ICOM code karena memerlukan kajian tersendiri. ethics for museum juga menyatakan bahwa koleksi museum harus merefleksikan METODE warisan budaya dan alam komunitas yang Komunikasi di MLG berkisar tentang dilayaninya. Koleksi tersebut dapat informasi apa yang ingin disampaikan dan memperkuat identitas nasional, regional, bagaimana cara menyampaikannya. lokal, etnik, religi, politik (ICOM, 2006: 9), Informasi yang ingin disampaikan adalah dan memiliki nilai bagi memori kolektif identitas budaya Sulawesi Selatan masyarakat Travail, 1984 :3, dalam sedangkan cara menyampaikannya dengan Hauenschild, 1988: 8). Koleksi tersebut menyelenggarakan ekshibisi di museum. adalah naskah La Galigo dan berbagai jenis Akan tetapi, terdapat perbedaan antara koleksi yang berhubungan dengan cerita La kondisi ekshibisi di MLG saat ini dengan Galigo seperti berbagai koleksi perahu dan teori museum, baik new museum, identitas, miniaturnya, berbagai miniatur rumah adat, maupun ekshibisi. berbagai teknologi mata pencaharian, Penelitian ini menggunakan metode berbagai naskah lontarak, dan berbagai studi kasus, dengan pendekatan bersifat benda kerajaan. Koleksi-koleksi tersebut filosofis dalam museology. Sebuah merupakan living heritage yang menjadi pendekatan yang menyatakan bahwa memori kolektif masyarakat Sulawesi museum harus lebih berperan dalam Selatan sampai saat ini. masyarakat. Penerapan pendekatan ini Akan tetapi, ekshibisi koleksi La berpengaruh pada ekshibisi di museum, Galigo belum dinarasikan dan belum karena ekshibisi merupakan proses disesuaikan dengan living heritage dan komunikasi untuk menyampaikan makna kondisi masyarakat masa kini. Bahkan pesan dari museum kepada pengunjungnya beberapa koleksi tersebut belum memiliki (Magetsari, 2009: 2-5). informasi, sehingga jelas bahwa masalah Pendekatan filosofis ini ditekankan MLG dalam menyajikan informasi La pada proses komunikasi, yaitu makna apa Galigo terletak pada proses komunikasi yang akan disampaikan. Pendekatan pada melalui ekshibisi di ruang pameran tulisan ini akan memakai konsep new tetapnya. Eilean Hooper-Greenhill museum, identitas, dan memori kolektif menyatakan bahwa selain ekshibisi, untuk mendeskripsikan data penelitian. komunikasi di museum juga dapat Tahapan penelitian terdiri dari empat tahap, dilakukan melalui edukasi yaitu dengan yaitu penentuan permasalahan penelitian, menyelenggarakan program publik yang pengumpulan data, analisis data, dan berhubungan dengan ekshibisi. Komunikasi pemberian kesimpulan. sendiri merupakan salahsatu fungsi museum, selain preservasi dan penelitian PEMBAHASAN (Van Mensch, 2003, dalam Magetsari, 2008: 13). Konsep Identitas di Museum Mengetahui arti penting La Galigo Secara etimologis, kata identitas sebagai identitas budaya masyarakat berasal dari kata identity yang berarti ciri-

118

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat Ekshibisi identitas di museum adalah pada seseorang atau sesuatu yang sebuah konsep yang kompleks karena membedakannya dengan yang lain identitas dapat dilihat dari perspektif (Liliweri, 2002: 69). Definisi lain psikologi, budaya, dan politik yang dinyatakan oleh Gary Edson, bahwa signifikan untuk individu, budaya, etnik, identitas adalah pembeda karakter setiap dan negara. Secara psikologis, identitas individu dengan individu lainnya. Identitas meliputi pemahaman pribadi, penghargaan, bersifat psikologis yang terdiri dari dan pemberdayaan bagi individu; secara persepsi, definisi, dan proyeksi diri dalam budaya, identitas memberikan pembedaan hubungannya dengan yang lain. Sementara dan terkadang tendensi terhadap perasaan dalam konteks keberadaan, identitas superioritas pada etnik tertentu; secara memunculkan keberagaman budaya atau politik, identitas dapat menciptakan rasa pluralitas (Edson, 2005: 124-5). Senada patriotisme dan kebanggaan nasional dengan definisi tersebut Corsane (Edson, 2005: 126). menyatakan bahwa representasi identitas Salah satu cara untuk memberikan masyarakat di museum selalu berkaitan pemahaman kepada pengunjung akan dengan gambaran self and other. Keduanya identitasnya adalah melalui memori signifikan untuk mengkonstruksi individu, kolektif. Penyajian identitas melalui komunitas, nasional, dan internasional memori kolektif tersebut selalu (Corsane, 2005: 9). Salah satu bentuk menimbulkan pertanyaan mengenai identitas adalah identitas budaya (Liliweri, identitas siapakah yang akan didengarkan, 2007: 95). bagaimana menyajikan identitas yang Identitas budaya bukanlah sesuatu beragam (Corsane, 2005: 9), identitas yang statis, sehingga diproduksi dan siapakah yang akan disajikan, dilestarikan, direproduksi dalam tingkah laku dan diinformasikan oleh museum (Edson, keseharian; melalui edukasi; media; 2005: 124). museum dan sektor budaya; seni; serta Pertanyaan tersebut dijawab dengan sejarah dan literatur (Weedon, 2004: 155). pemilihan identitas budaya Sulawesi Bahkan bagi negara berkembang, identitas Selatan yang menjadi memori kolektif dan budaya adalah sesuatu yang dibutuhkan wujud budaya masyarakat Sulawesi (setelah pemenuhan makanan dan tempat Selatan. Salah satu identitas budaya tersebut tinggal) dan museum memiliki tanggung adalah La Galigo yang masih terdapat jawab untuk melayani komunitas dengan dalam keseharian masyarakat Sulawesi identitas budayanya (Roman, 1992: 31). Selatan. La Galigo merupakan tradisi lisan Pada umumnya tradisi dipelajari dalam (intangible) yang didukung oleh keluarga, media, dan sekolah. Sementara kebudayaan materi (tangible) hampir di museum membantu untuk menciptakan dan seluruh wilayah Sulawesi Selatan. menunjang narasi tentang siapa diri mereka Ekshibisi Museum La Galigo dan dari mana mereka berasal. Hal ini dikarenakan tradisi dan sejarah tidak hanya Pada awalnya MLG bernama Celebes dapat dipelajari melalui buku sejarah, tetapi Museum yang didirikan pada tahun 1938 juga melalui museum (Weedon, 2004: 25). oleh pemerintah Nederlands Indie (Hindia Pada penelitian ini, identitas adalah Belanda) di Kota Makassar sebagai ibukota perbedaan dan persamaan, sehingga jika Gouvermenent Celebes Onderhoorighden perbedaan muncul akan terjadi multikultur (Pemerintahan Sulawesi dan daerah pada identitas tersebut yang menuntut taklukannya). Pada masa pendudukan adanya persamaan atau benang merah. Jepang kegiatan Celebes Museum terhenti. Identitas merupakan sesuatu yang dapat Setelah pengakuan kedaulatan, kalangan berubah tergantung dilihat dari sudut budayawan merintis kembali pendirian pandangnya. sebuah museum dan terealisasi pada tahun

119

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

1966 meskipun belum resmi. Museum ini Kompleks Benteng Rotterdam, jl Ujung baru pada tahap persiapan dan Pandang no. 1, Makassar, Sulawesi Selatan. pengumpulan koleksi dari budayawan. Pada Benteng Rotterdam merupakan salah satu tanggal 1 Mei 1970 museum ini dinyatakan benteng pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo berdiri secara resmi dengan Surat yang pada masa pemerintahan Belanda Keputusan Gubernur Kepala Daerah dijadikan sebagai tempat tinggal dan pusat Tingkat I Sulawesi Selatan No.182/V/1970 administrasi. Dalam benteng ini terdapat 15 dengan nama MLG. gedung berarsitektur kolonial. Pemberian nama La Galigo pada MLG menyelenggarakan tiga jenis museum ini didasari pada suatu pemikiran eskhibisi, yaitu pameran tetap, temporer, dan pertimbangan atas makna yang dan keliling. Ruang pameran tetap terdapat terkandung di dalamnya. Cerita yang di gedung nomor 2 (sebelah utara) dan terkandung dalam La Galigo dikenal di gedung no.10 (terletak di sebelah selatan) di daerah Bugis, Makassar, Toraja, Selayar, dalam Kompleks Benteng Rotterdam. Massenrempulu, Sulawesi Tenggara, dan La Galigo sebagai Identitas Budaya Sulawesi Tengah. La Galigo juga dianggap Sulawesi Selatan sebagai warisan dan kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan, sehingga Seperti yang telah dijelaskan dijadikan sebagai nama sebuah museum. I sebelumnya bahwa identitas merupakan La Galigo sendiri merupakan: nama sesuatu yang cair dan berubah merespon seorang putera dari pernikahan kondisi sosial saat ini. Sejalan dengan itu, Sawerigading Opunna Ware dengan puteri memori kolektif juga bersifat dinamis yang We Cudai Daeng ri Sompa. Setelah dewasa, tergantung pada kondisi sosial. Memori La Galigo dinobatkan menjadi Raja di kolektif tidak hanya terbatas pada masa lalu Kerajaan pada abad ke-14. La Galigo yang dibagi bersama, melainkan juga sama sebuah karya sastra klasik dalam representasi dari masa lalu yang bentuk naskah tertulis Bahasa Bugis, yang diwujudkan dalam berbagai praktek dikenal dengan nama Naskah I La Galigo. budaya, khususnya commemorative simbol. Fungsi naskah La Galigo dalam masyarakat Oleh karena itu, pemilihan identitas Sulawesi Selatan adalah: budaya Sulawesi Selatan juga haruslah 1. Penawar keresahan menghadapi merupakan memori kolektif yang berupa ancaman penyakit, bencana alam, dan sistem budaya yang terlihat dari prilaku kematian serta sebagai pelindung (sistem sosial) dan hasil kebudayaan fisik terhadap ancaman kebahagiaan hidup. manusia (commemorative symbol). Identitas 2. Pendorong terciptanya integritas sosial budaya yang dipilih pada penelitian ini dan pranata sosial budaya. adalah La Galigo tersebut diturunkan 3. Penggugah emosi dan imajinasi serta melalui prilaku dan hasil budayanya terlihat pembina kompetensi dan apresiasi pada kehidupan sehari-hari. sastra di kalangan masyarakat. La Galigo dipilih sebagai identitas budaya Sulawesi Selatan karena La Galigo Pada tanggal 28 Mei 1979, museum ini merupakan rujukan bagi suku Bugis, resmi menjadi MLG Provinsi Sulawesi Makassar, Mandar, dan Toraja di Sulawesi Selatan yang merupakan Unit Pelaksana Selatan untuk merasakan kesatuan diantara Teknis di bidang Permuseuman mereka (Mattulada, 2003: 447). La Galigo (Depdikbud, 1986: 26-9). Berdasarkan sebagai perekat suku bangsa di Sulawesi Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan dikarenakan lima alasan. Selatan Nomor 166 tanggal 28 Juni 2001, 1. I La Galigo adalah anak seorang MLG berubah nama menjadi Unit manusia keturunan Dewa bernama Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) MLG Sawerigading. Dalam berbagai cerita La Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Galigo, Sawerigading menjadi tokoh Sulawesi Selatan. MLG ini terletak di

120

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

utama dan menjadi perekat atau naskah La Galigo yang dipandang penghubung suku bangsa di Sulawesi sebagai rekaman nilai-nilai luhur dan Selatan (Sakka, 2008: 29). Cerita pedoman ideal dalam masyarakat. Bagi tentang Sawerigading tidak hanya masyarakat Sulawesi Selatan yang tidak dikenal di suku Bugis, melainkan di memiliki alat perekam tulisan, maka semua suku di Sulawesi Selatan cerita rakyat Sawerigading tetap berada (Depdikbud, 1986: 25). dalam kenyataan tradisi lisan yang 2. Di beberapa di daerah di Sulawesi dipelihara dari generasi ke generasi Selatan, Sawerigading memiliki simbol (Mattulada, 2003: 437-438). Implikasi mitologis berupa kebudayaan materi terhadap nilai-nilai yang terkandung yang bersifat sakral. Dalam tradisi lisan dalam La Galigo terlihat pada prilaku La Galigo, terdapat tokoh Sawerigading masyarakat Sulawesi Selatan. yang dianggap sebagai pelaut ulung, 5. Naskah La Galigo dianggap sebagai yang pelayarannya sampai ke negeri sesuatu yang disakralkan dan dipercayai Cina. Dalam pengembaraannya tersebut, dapat menyembuhkan penyakit, Ia digambarkan singgah di suatu tempat membuat kebahagiaan dalam hidup, dan yang memunculkan cerita-cerita yang mencegah bencana alam (Depdikbud, berkaitan dengannya. Kehadirannya 1986: 26). Hal ini terlihat pada naskah- tersebut selalu dikaitkan dengan asal naskah tempat menuliskan La Galigo usul raja setempat dan berdirinya daerah dianggap sebagai benda yang tersebut, bahkan di daerah tersebut mempunyai kekuatan magis. Di selalu terdapat benda-benda yang dalamnya dianggap bersemayam para berhubungan dengan Sawerigading. roh tokoh suci yang terdapat dalam Contohnya di dekat Malili, terdapat cerita La Galigo, baik buruknya Gunung Belah (bulupulo) yang terbelah kehidupan manusia adalah tergantung akibat tertimpa pohon Welenreng yang bagamana manusia memperlakukannya ditebang oleh Sawerigading untuk (Rahman, 1998: 397-8). dijadikan perahu; di Cerekang Penjelasan La Galigo sebagai memori 3. Salah satu alasan La Galigo merupakan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial Memory of the World karena naskahnya dikarenakan tiga hal. Pertama; memori diperkirakan dua kali lebih panjang kolektif ada dikarenakan hubungan yang dibandingkan naskah mahabarata dan dibagi bersama dengan yang lainnya, . Naskahnya tersebar di seperti bahasa, simbol, peristiwa, serta beberapa negara, yaitu Indonesia konteks budaya dan konteks sosial. Kedua, (Jakarta dan makassar), Belanda memori kolektif karena diturunkan dari (Leiden), United Kingdom (London dan generasi ke generasi, sehingga memori Manchester), Jerman (Berlin), dan harus diartikulasikan. Ketiga; memori Amerika Serikat (Washington DC) baik kolektif tidak terbentuk dalam kondisi sebagai koleksi pribadi maupun publik. sosial yang statis. Selain itu, La Galigo beberapa kali dipentaskan. Analisis Konsep Ekshibisi Museum La 4. La Galigo berisi tentang peraturan Galigo normatif yang berisi tentang etik, Analisis dilakukan terhadap konsep tingkah laku (PaEni dan Tol, 2010: 6), ekshibisi terkait La Galigo sebagai identitas dan tata cara kehidupan sehari-hari budaya Sulawesi Selatan di ruang pameran (peristiwa kelahiran, perkawinan, tetap MLG. Beberapa permasalahan kematian, dll). Penyebaran legenda La ekshibisi yang ditemukan adalah sebagai Galigo atau Sawerigading terjadi berikut : melalui tradisi lisan. Tradisi lisan 1. Subjek MLG adalah koleksi museum tersebut kemudian direkam dalam yang disajikan baik di ruang pameran

121

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

tetap maupun di ruang pameran dilengkapi dengan koleksi alat batu temporer. Koleksi merupakan bagian (maros point, kapak penetak, dll), fosil terpenting di museum ini, seperti yang (kerang, kayu, vertebrata), perhiasan terlihat pada misi, tujuan, kebijakan, dan (kalung dan gelang manik), kapak program di museum. Sementara itu, upacara dari perunggu, bekal kubur masa pengunjung atau masyarakat belum megalitik, miniatur rumah adat Mamasa, mendapatkan prioritas. Koleksi tersebut dan miniatur erong. Ruang keempat terdapat di ruang pamer sebanyak 60 adalah gudang. Ruang kelima masih persen dan di ruang atau tempat merupakan ruang arkeologi, disajikan penyimpanan sebanyak 40 persen. kebudayaan materi dari masa Hindu dan Prioritas terhadap koleksi juga tercermin Budha (klasik), seperti replika arca melalui pendekatan ekshibisinya; Budha Sempaga, arca , dewa 2. Pendekatan ekshibisi MLG adalah Wisnu, miniatur Candi , kronologi, taksonomik, dan tematik. miniatur Candi , bentuk- Konsep ekshibisi kronologi bentuk nisan, dan mata uang. Ruang diaplikasikan dengan menyajikan koleksi keenam merupakan ruang etnografi. berdasarkan kerangka waktu yang Ruang ketujuh merupakan ruang dimulai dari masa Prasejarah, Hindu Kerajaan Sulawesi Selatan dan pahlawan Budha, Islam, dan setelah kemerdekaan. disajikan koleksi peninggalan kerajaan Konsep ekshibisi taksonomi Palili (kerajaan-kerajaan kecil di diaplikasikan dengan menyajikan koleksi Sulawesi Selatan, seperti Kerajaan berdasarkan sepuluh jenis koleksi, yaitu Sawitto, Kerajaan Mandar, Kerajaan koleksi numismatik di ruang Tana Toraja), perabot kerajaan, dan foto- numismatik, koleksi historika di ruang foto pahlawan nasional dari Sulawesi sejarah, Kerajaan Sulawesi Selatan dan Selatan. Ruang kedelapan merupakan pahlawan. Konsep ekshibisi tematik ruang kerajaan Luwu disajikan benda- diaplikasikan di ruang sejarah benda yang melambangkan kebesaran kebudayaan dan lintas peradaban, kerajaan Luwu termasuk naskah La budaya pedalaman perkampungan, Galigo. Ruang kesembilan merupakan budaya pedalaman agraris, dan budaya ruang kerajaan Bone disajikan benda- pesisir. Ketiga pendekatan ini dapat benda yang melambangkan kebesaran dilihat pada gedung nomor 2 dan gedung kerajaan Bone. Ruang kesepuluh nomor 10. merupakan ruang Kerajaan Gowa, Gedung nomor 2 terdiri dari dua lantai disajikan benda-benda yang dan sebelas ruang. Pada saat memasuki melambangkan kebesaran kerajaan gedung ini, pengunjung dapat melihat 2 Gowa. Ruang kesebelas merupakan (dua) naskah La Galigo, dengan merupakan ruang keramik asing, informasi yang minim. Ruang pertama disajikan dengan koleksi keramik asing merupakan ruang sejarah kebudayaan dari Cina, Jepang, Vietnam, Eropa, dan dan lintas peradaban yang disajikan Thailand, serta peta lokasi penemuan dengan koleksi maket Benteng keramik asing di Sulawesi Selatan. Rotterdam, benda-benda/bahan Gedung nomor 10 terdiri dari dua lantai bangunan benteng, peta lokasi benteng dan tujuh ruang. Ruang pertama Kerajaan Gowa, dan foto-foto gedung merupakan ruang pengenalan dan lobby Benteng Rotterdam. Ruang kedua dan museum. Ruang kedua merupakan ruang ketiga adalah ruang prasejarah, mulai sejarah kebudayaan dan lintas peradaban dari masa paleolitik sampai neolitik yang yang memamerkan tentang kebudayaan disajikan dengan diorama kehidupan manusia. Ruang ketiga yaitu budaya masa prasejarah sampai masa tradisi pedalaman perkampungan yang pemujaan terhadap nenek moyang yang memerkan tentang penempaan besi dan

122

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

tenun tradisional yang disajikan koleksi yang replikanya juga dipamerkan di tenun tradisional dari Sulawesi Selatan, museum ini, sehingga untuk mengisi sarung sutra, alat pembuatan benang, kekosongan tinggalan masa klasik, MLG tombak. Ruang keempat yaitu ruang menyajikan arca dan miniatur candi yang budaya pedalaman agraris yang berasal dari luar Sulawesi Selatan. memamerkan tentang peralatan Koleksi dari luar Sulawesi Selatan dapat pertanian, teknologi tradisional dijadikan sebagai pembanding, namun pembuatan minyak kelapa, gula merah, tidak dijadikan sebagai materi inti sagu, gerabah, tombak, dan emas. Ruang ekshibisi; kelima adalah ruang budaya pesisir yang 5. Belum dikomunikasikannya cerita La memerkan alat-alat penangkap ikan di Galigo. Padahal hampir keseluruhan Sulawesi Selatan, dan berbagai jenis koleksi dari berbagai kerajaan dan perahu. kehidupan masyarakat terkait dengan Ekshibisi di ruang pamer gedung nomor cerita La Galigo. Bahkan naskah La 2 belum menunjukkan kronologi. Hal ini Galigo tidak dijadikan sebagai koleksi terlihat dari alur cerita kronologisnya, masterpiece. MLG memiliki enam yaitu koleksi masa prasejarah dan masa koleksi masterpiece, yaitu salokoa, klasik, yang dilanjutkan dengan koleksi phallus, lontara meong palo‘E, songko mata uang, koleksi keramik asing, pamiring ulaweng, dan perahu phinisi. koleksi ruang kerajaan dan pahlawan Naskah La Galigo saat ini dapat dilihat Sulawesi Selatan. Sementara itu, pada lobby gedung 2, yang belum ekshibisi di ruang pamer gedung 10 ternarasikan dengan baik; menunjukkan bahwa pemaknaan tentang 6. Informasi dan koleksi yang disajikan teknologi tradisional belum dikaitkan dalam ekshibisi yang lebih cenderung dengan relevansi dengan teknologi saat pada suku bangsa atau kerajaan tertentu. ini. Padahal beberapa teknologi Sementara suku bangsa dan kerajaan tradisional seperti pembuatan minyak kecil belum atau hanya sedikit kelapa, sagu dan tenun; teknologi direpresentasikan. Contohnya di ruang penangkapan ikan; teknologi pembuatan Kerajaan Sulawesi Selatan, ekshibisinya logam masih dikerjakan oleh masyarakat difokuskan pada kerajaan besar, yaitu Sulawesi Selatan saat ini. Kerajaan Luwu, Sawitto, Gowa, dan 3. Informasi (narasi) ekshibisi yang Bone sedangkan kerajaan kecil belum dijelaskan pada poin 2 di atas belum banyak direpresentasikan. Contoh dikaitkan dengan masa kini; lainnya adalah ekshibisi di ruang tradisi 4. Baik di ruang pamer gedung 2 maupun perkawinan yang difokuskan pada gedung 10, beberapa koleksi tidak pakaian adat dan proses peralatan berasal dari kebudayaan Sulawesi upacara perkawinan Suku Bugis. Selatan. Contohnya display koleksi arca Padahal terdapat suku lain di Sulawesi Garuda, arca dewa Wisnu dan beberapa Selatan, yaitu suku Bentong, Duri, arca perwujudan lainnya; miniatur Candi Luwu, Makassar, Mandar, Selayar, Prambanan dan Candi Borobudur; serta Toala, Toraja, dan Towala (M. Junus mata uang Ma dan uang Gobog dari Melalatoa, 1995), hanya sedikit atau Jawa Timur, serta uang koin dan kertas tidak sama sekali direpresentasikan. dari Eropa. Berbeda dengan tinggalan Ekshibisi ini nampaknya belum banyak masa Hindu-Budha di Pulau Jawa, perubahan dari ekshibisi sebelumnya tinggalan Hindu-Budha di Sulawesi yang dinyatakan oleh Paul Michael Selatan sangatlah minim ditemukan. Taylor ketika mengunjungi MLG pada Peninggalan berupa arca yang ditemukan tahun 1987, yaitu: adalah arca perunggu Budha (arca La Galigo provincial museum sempaga) di dekat muara Sungai Karama emphasizes South Sulawesi‘s

123

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

maritime culture drawing on museum masih dapat digunakan. Pendekatan buildings architecture and history as a kronologi ini disajikan dengan tema coastal fort. This also has the effect of dan subtema, sehingga informasi lebih emphasizing the predominant local banyak diberikan dibandingkan objek ethnic group, the traditionally tanpa konteks. Pendekatan ekshibisi maritime Bugis. In fact, despite large- MLG dapat menggunakan pendekatan scale foreign tourism to the Toraja areas of the province, the Toraja are kronologi yang disampaikan secara virtually unpresented at La Galigo tematik, misalnya museum museums (Taylor, 1994: 80). menceritakan tentang tradisi lisan kedatangan Tomanurung atau Taylor menyatakan bahwa MLG pada Sawerigading yang menjadi tokoh tahun 1994, menceritakan tentang utama dalam cerita La Galigo. kebudayaan maritim Bugis, sementara Kronologi waktu dalam cerita La suku Toraja belum direpresentasikan. Galigo dapat dibagi menjadi beberapa Adapun rekomendasi pemecahan tema, yaitu tema kehidupan masyarakat masalah bagi MLG sesuai dengan konsep Sulawesi Selatan sebelum kedatangan new museum dalam museologi. Tomanurung, kedatangan Tomanurung, 1. Subjek pada konsep new museum munculnya kerajaan-kerajaan, dan bukan koleksi yang ditempatkan di kehidupan masyarakat saat ini. museum melainkan complex reality 3. Relevansi pemaknaan koleksi museum dari masyarakat. Complex reality untuk masa kini. Salah satu aspek yang dalam masyarakat Sulawesi Selatan ditekankan dalan new museum adalah adalah nilai-nilai budaya masa lalu relevansi museum dengan masyarakat, yang masih digunakan sampai saat ini. agar pengunjung (masyarakat) Nilai-nilai tersebut merupakan cerita mengetahui posisinya sekarang dalam La Galigo sebagai identitas budaya dan kehidupan yang sedang mereka jalani. memori kolektif masyarakat Sulawesi MLG dapat membuat ekshibisi yang Selatan. Nilai yang terkandung dalam pemaknaannya memiliki relevansi koleksi semestinya lebih ditonjolkan dengan masa kini karena beberapa melalui ekshibisi museum. koleksi yang dimilikinya telah 2. Pendekatan ekshibisi di MLG belum merefleksikan kehidupan masyarakat menggunakan sepenuhnya pendekatan Sulawesi Selatan saat ini, seperti taksonomik, tematik, dan kronologis. koleksi alat-alat pembuat tenun, sagu, Jika MLG memutuskan untuk logam, dll. menggunakan pendekatan tematik atau 4. Penempatan koleksi museum yang kronologis dalam satu ruang, maka bukan merupakan hasil kebudayaan pendekatan tersebut harus digunakan Sulawesi Selatan sebaiknya sepenuhnya. Sebagai contoh di ruang dipertimbangkan untuk disajikan. New budaya pesisir, ruangan ini disajikan museum bersifat territory, sehingga secara tematik, namun belum koleksi harus memperlihatkan mempresentasikan storyline, teks, kebudayaan lokal, dalam hal ini grafik, dan label koleksi serta objek Sulawesi Selatan. Koleksi yang pendukung secara tematik, melainkan disajikan bukan hanya benda yang disajikan taksonomik. dipergunakan pada masa lalu Selain itu, terdapat permasalahan pada melainkan benda yang dipergunakan pendekatan kronologinya yang tidak oleh masyarakat masa kini. Benda menunjukkan urutan waktu. Meskipun tersebut haruslah dapat memunculkan new museum lebih menekankan kembali memori kolektif. Benda tanpa pendekatannya pada pendekatan memori kolektif tidak akan bernilai di tematik, namun pendekatan kronologi mata masyarakat yang

124

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

menggunakannya. Dengan kata lain, hampir di berbagai etnik yang ada di sumber primer tentang informasi Sulawesi, Sumatera, , dan koleksi yang disajikan berdasarkan Semenanjung Melayu (Rahman, 2003: pendapat masyarakat Sulawesi Selatan, xxi-i). La Galigo merupakan cerita bukan berdasarkan pendapat para ahli mitologis yang didalamnya mengandung ataupun museum khususnya dari berbagai nilai-nilai sosial terdiri dari bidang koleksi. Koleksi yang bukan berbagai rangkaian cerita diberbagai daerah merupakan benda hasil kebudayaan (Mattulada, 1985: 65, dalam Fauziah, 2001: Sulawesi Selatan dapat ditempatkan di 1). ruang wawasan nusantara. Menurut Mukhlis PaEni dan Roger Tol 5. Museum dapat mengaitkan cerita La dalam La Galigo MoW register, La Galigo Galigo pada koleksi lainnya untuk berisi tentang aturan normatif, etik, dan memunculkan memori kolektif berbagai jenis upacara (PaEni dan Tol, masyarakat Sulawesi Selatan. Ekshibisi 2010: 6). Fauziah kemudian merinci isi La La Galigo juga dapat difokuskan pada Galigo. Pertama; pola-pola tingkah laku tradisi lisan karena tradisi tersebut yang baik dan buruk serta petunjuk tentang merupakan identitas budaya Sulawesi yang boleh dilakukan dan tidak boleh Selatan, sedangkan La Galigo sebagai dilakukan. Kedua; berbagai tata cara tradisi tulis merupakan hasil budaya kehidupan sehari-hari seperti upacara yang suku Bugis. berkaitan dengan daur hidup. Ketiga; 6. Museum dapat menyajikan semua petualangan, percintaan, dan peperangan. informasi tentang masyarakat sebuah Keempat cikal bakal manusia Sulawesi daerah tanpa memandang apakah Selatan yang disegani dan dimuliakan komunitas yang direpresentasikan (Fauziah, 2001: 8). tersebut termasuk komunitas mayoritas La Galigo dalam Keseharian Masyarakat dan minoritas. Oleh karenanya, MLG Sulawesi Selatan Masa Lalu harus mengkomunikasikan semua suku yang ada di Sulawesi Selatan. La Galigo berperan dalam keseharian masyarakat Sulawesi Selatan Storyline La Galigo Sebagai Identitas yang terlihat pada hubungan antara La Budaya Sulawesi Selatan Galigo dengan manusia, kepercayaan, dan lingkungannya. Cerita La Galigo terlihat Penyajian La Galigo sebagai identitas pada munculnya cerita kedatangan budaya Sulawesi Selatan didahului dengan Tomanurung, sistem kepercayaan, pengumpulan informasi. Informasi ini akan pelapisan sosial, cerita rakyat, arsitektur dijadikan sebagai storyline dalam ekshibisi rumah, simbol-simbol mitologis La Galigo. Adapun storyline tersebut Sawerigading, pelayaran dan perantauan, terkait dengan cerita La Galigo, La Galigo serta kehidupan Bissu. dalam keseharian masyarakat Sulawesi Selatan, dan nilai-nilai budaya pada La 1. Kedatangan Tomanurung Galigo. Dalam cerita La Galigo dijelaskan Cerita La Galigo tentang asal usul kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang dimulai dengan Meskipun La Galigo dituliskan namun kedatangan Tomanurung. Tomanurung fungsinya tetap untuk dilisankan, sehingga merupakan manusia keturunan Dewa dapat dikatakan bahwa penyebaran La yang dianggap sebagai pendiri berbagai Galigo diturunkan melalui tradisi lisan dan kerajaan di Sulawesi Selatan (Johan tradisi tulis. Kedua tradisi ini ditemukan Nyompa, dkk, 1979, dalam Direktorat pada masyarakat Sulawesi Selatan dan Jenderal Kebudayaan, 1982: 5). menjadi baku karena ketertulisannya. Kedatangan Tomanurung melalui tiga Sementara tradisi lisan La Galigo menyebar fase, pada fase ketiga merupakan awal 125

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

munculnya kerajaan-kerajaan di salah pada aturan adat. Ata bukan suatu Sulawesi Selatan. Cerita Tomanurung lapisan yang fundamentil karena muncul terdapat dalam riwayat-riwayat akibat peperangan, perampasan dan masyarakat Sulawesi Selatan. peradilan. Ata dipandang sebagai 2. Sistem Kepercayaan salahsatu aspek untuk mencegah masyarakat Sulawesi Selatan menerima Sistem kepercayaan seperti yang atau menyerah kepada nasib karena ini digambarkan dalam cerita La Galigo akan menimbulkan siri‘ (Mattulada, sebagai tradisi lisan dan didukung oleh 2007: 20). tradisi tulis masih digunakan pada Pada dasarnya setiap pelapisan sosial di beberapa kelompok masyarakat. Sulawesi Selatan memiliki kesamaan Kepercayaan tersebut mengarah kepada meskipun saat ini terjadi perubahan. Dewa Tunggal, yang bernama Patoto‘E Persamaan pelapisan sosial kelima suku (Dia yang menentukan nasib), tersebut, yaitu: 1) Lapisan Raja dan TopalonroE (Dia yang menciptakan), kerabatnya: Orang Bugis menyebutnya Dewata SeuaE (Dewa yang tunggal), Tu- Anakarung, Orang Makassar riE A‘ra‘na (kehendak yang tertinggi), menyebutnya Ana‘ Karaeng, Orang dan Puang Matua (Tuhan yang tertinggi) Mandar menyebutnya Daeng, Orang (Mattulada, 1974: 35). Toraja meneyebutnya Tana Bulaan, dan 3. Pelapisan Sosial Orang Bajo menyebutnya Lolo same; 2) Lapisan rakyat biasa atau orang Pelapisan sosial di Sulawesi Selatan kebanyakan: Orang Bugis menyebutnya muncul sejak kedatangan Tomanurung. Maradeka, Orang Makassar Setiap suku bangsa di Sulawesi Selatan menyebutnya To Maradeka, Orang memiliki pelapisan sosialnya masing- Mandar menyebutnya Tau Maradeka, masing, misalnya pada Suku Makassar, Orang Toraja menyebutnya Tana dibagi menjadi empat. Pertama; ana‘ Karurung, dan Orang Bajo menyebutnya karaeng ri gowa (anak raja-raja gowa) Gallareng; dan 3) Lapisan sahaya: dibagi menjadi ana‘ ti‘no (anak Orang Bugis dan Makassar menyebutnya bangsawan penuh), ana‘ sipuwe (anak Ata, Orang Mandar menyebutnya separuh bangsawan), ana‘ cera‘ (anak Batuwa, Orang Toraja menyebutnya bangsawan berdarah campuran), dan Tana Kua-Kua, dan Orang Bajo ana‘ karaeng sala (anak bangsawan menyebutnya Ate. Kesamaan tersebut keliru). Kedua; ana‘ karaeng disebabkan adanya pandangan maraengannaya (bangsawan atau anak makrokosmos, bahwa dunia terbagi raja-raja yang termasuk dalam golongan menjadi tiga yaitu dunia langit (botting asal Tomanurung). Ketiga; to maradeka langiq), dunia tengah (bumi), dan dunia (orang merdeka) terdiri dari tu-baji‘ bawah (peretiwi). Pandangan ini juga (orang merdeka) dan tu-samara (orang terdapat pada pelapisan sosial yang kebanyakan). Keempat; ata (sahaya) terbagi menjadi tiga (Rahman, 1998: terdiri dari ata sossorang (sahaya 379-380). Pelapisan sosial tersebut pun warisan) dan ata nibuwang (sahaya mengalami perubahan. baru). Hubungan antar golongan tersebut

berdasarkan anggapan bahwa golongan 4. Cerita Rakyat satu adalah lebih tinggi dari golongan La Galigo merupakan tradisi lisan yang lain, karena golongan satu berasal masyarakat Sulawesi Selatan sehingga dari langit dan golongan yang satu penyebarannya berpindah dari satu berasal dari dunia bawah. Sementara tempat ke tampat lain dan beradaptasi golongan saya atau ata, adalah golongan dengan kebudayaan setempat, sehingga yang berasal dari menjual diri, kalah muncul berbagai versi (Rahman, 1998: perang, tawanan perang, serta berbuat 126

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

395). Berbagai versi cerita tersebut Malili, terdapat Gunung Belah masih menunjukkan beberapa kesamaan (bulupulo) yang terbelah akibat tertimpa cerita. Beberapa cerita tersebut adalah pohon Welenreng, ditebang oleh sbb: Sawerigading untuk dijadikan perahu; di 1) Cerita Sawerigading sebagai tokoh Cerekang terdapat batu cadas yang utama banyak diambil untuk dijadikan sebagai Cerita Sawerigading sebagai tokoh batu asah karena dianggap telah tertimpa utama terdapat diberbagai cerita kerajaan kulit bekas pohon Welenreng di Sulawesi selatan. Beberapa cerita Sawerigading; di gunung Kandora Tana tersebut memiliki persamaan dan Toraja terdapat batu yang dianggap perbedaan. sebagai penjelmaan We Pindakati, isteri 2) Possi tana atau pocci tana atau possi Sawerigading; di Enrekang terdapat butta gunung batu yang terlihat seperti Pada umumnya setiap daerah di anjungan perahu, dianggap sebagai Sulawesi Selatan memiliki cerita tentang perahu Sawerigading yang karam possi tana atau pusat bumi yang menurut kemudian membatu; di Selayar terdapat tradisi lisan adalah tempat turunnya gong besar (nekara) dianggap sebagai Tomanurung di bumi. gong Sawerigading yang dibunyikan 3) Dewi Padi (Sangiang Serri) setiap memasuki pelabuhan; di Cerita Sangiang atau Sangeng Serri atau Bontotekne terdapat kepingan perahu, Dewi Padi yang dipercaya sebagai gadis dianggap berasal dari perahu muda dan cantik, yang memiliki Sawerigading; di utara Majene terdapat berbagai versi. batu berbentuk kaki kiri manusia, 4) Pemmali atau kasipalli dianggap sebagai kaki Sawerigading; di Kasipalli yaitu larangan atau pantangan Parigi terdapat sebuah tempat yang tidak untuk berbuat atau melakukan sesuatu ditumbuhi tanaman apapun kecuali yang bersifat sakral (keramat) dan sebuah pohon beringin dianggap sebagai berfungsi melindungi. tempat Sawerigading mengadakan 5. Arsitektur Rumah sabung ayam (Enre, 1983: 12-3, Sakka, 2008: 33-4); di Banawa Sulawesi Pandangan kosmologi dalam naskah La Tengah, terdapat perahu yang membatu, Galigo menyatakan bahwa alam raya gunung yang menyerupai layar, sumur (makrokosmos) terdiri atas tiga bagian air tawar di dasar laut yang dianggap (lapisan), yaitu benua atas, benua tengah, sebagai peninggalan Sawerigading; dan dan benua bawah. Pusat ketiga benua di Sulawesi Tenggara kehadiran tersebut adalah benua atas, tampat Sawerigading dikaitkan dengan bersemayamnya Dewa PatotoE. Salah keturunan raja-raja Tolaki, Buton, dan satu cerminan dari pandangan Muna (Rahman, 1998: 395-6). makrokosmos tersebut adalah bentuk rumah panggung (rumah di atas tiang) yang terdiri atas tiga tingkat, yaitu tingkat atas, tengah, dan bawah (Hamid, 7. Pelayaran dan Perantauan 2008: 59) dengan fungsinya masing- masing. Cerita tentang orang Sulawesi Selatan yang terkenal sebagai perantau dan 6. Simbol Mitologis pelaut ulung karena berlayar dengan Sawerigading sebagai tokoh dalam La perahu-perahu tradisional, seperti , Galigo dikaitkan dengan berbagai tanjak, dan paddewakkang (Rahman, simbol-simbol mitologis pada beberapa 1998: 392) telah ada dalam cerita La tempat di Sulawesi Selatan. Beberapa Galigo. Cerita tersebut berhubungan simbol tersebut ditemukan di dekat 127

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

dengan pelayaran dan perantauan orang lain (Rahman, 1998: 374). Konsep Sawerigading menuju Cina. pesse tidak dapat dipisahkan dari siri‘ ia 8. Kehidupan Bissu seperti yang tercermin dari pribahasa sempugikku rekkua de‘ na siri‘na, engka Bissu atau pendeta, , dan ahli messa pesse‘na artinya mereka sesama ritual trance (kemasukan oleh roh) orang Bugis jika tidak memiliki siri‘ merupakan penghubung antara umat maka masih memiliki pesse, atau manusia dengan Dewata (Pelras, 2006: pribahasa ikambe mangkasaraka punna 97-8). Pada masa pemerintahan kerajaan tasiri‘, pacce seng ni pabbulo artinya sebelum masuknya Islam di Sulawesi kalau bukan siri‘ maka pacce-lah yang Selatan, peran Bissu sangat penting. Saat membuat kita satu (Mattulada, 1974: Islam masuk pun peran Bissu masih 38). Siri‘ dianggap sebagai pandangan dibutuhkan oleh kerajaan dan hidup yang mengandung etik pembedaan masyarakat pendukungnya. Namun, antara manusia dan binatang karena sejalan dengan semakin kuatnya adanya rasa harga diri dan kehormatan pengaruh ajaran Islam peran Bissu yang melekat pada manusia, sehingga menurun. Selain itu, Bissu bertugas siri‘ berbeda dengan kejahatan. Adanya memelihara berbagai benda pusaka dan pendapat yang menyatakan siri‘ sama tradisi karena diyakini sebagai dengan kejahatan karena rasa malu penghubung manusia dan Dewa identik dengan siri‘ sehingga (Hamonic, 2003: 487). mewajibkan adanya tindakan terhadap penyebab timbulnya rasa malu tersebut. Nilai-Nilai Budaya pada La Galigo Bentuk-bentuk tindakan tersebutlah yang terkadang menyebabkan kejahatan Beberapa nilai-nilai La Galigo masih (Budidarmo, 1977: 16-18, dalam Farid, relevan dengan kehidupan saat ini dan 2007:22). terkadang terdapat nilai yang telah berubah dan tidak sesuai dengan nilai aslinya. 2. Sumangeq dan Inninawa 1. Siri‘ dan Pesse Semangat atau sumangeq atau sungek adalah suatu spirit yang memberi Konsep siri‘ dan pesse di Sulawesi manusia kekuatan untuk hidup. Segala Selatan pada dasarnya adalah sama, baik sesuatu yang ada pada manusia, masyarakat suku Bugis, Makassar, tubuhnya, dan senjatanya selalu Mandar, maupun Toraja (Lopa, 2007: diperkuat oleh sumangeqnya 65-6). Siri‘ diartikan sebagai rasa malu (Gonggong, 2003: xiv-v). Masyarakat yang menyangkut martabat atau harga Sulawesi Selatan percaya sumangeq diri, reputasi, dan kehormatan yang telah ada sejak manusia dilahirkan., harus dipelihara dan ditegakkan. Siri‘ sehinga harus terus dijaga agar tidak juga diartikan keteguhan hati dalam menjauh dari tubuh (Lathief, 2004: 9). kehidupan bermasyarakat (Mattulada, Sementara ininnawa adalah hati nurani 2007: 59-60). Sementara passe‘ atau manusia. Sumangeq-inninawa adalah pacce‘ adalah perasaan simpati, sakit, dua hal yang menjadi kekuatan manusia dan pedih apabila sesama warga untuk memanusiakan dirinya dan masyarakat Sulawesi Selatan ditimpa merupakan dua pengikat untuk kemalangan yang menimbulkan suatu mempertahankan hidup bersama sebagai pendorongan ke arah solidaritas dalam manusia. Jika keduanya dilapisi oleh berbagai bentuk terhadap mereka yang siri‘ dan pesse menjadi kekuatan utama ditimpa kemalangan (Farid, 2007: 28). bertahan hidup, baik individual maupun Pesse‘ muncul secara spontan ketika bersama seperti yang dilukiskan dalam harga diri kelompok atau keluarga La Galigo (Gonggong, 2003: xiv-v). merasa dihina atau direndahkan oleh

128

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

3. Pemeliharaan Lingkungan Selatan terdapat dalam karya sastra paseng Pada cerita La Galigo dijelaskan tentang yang terlihat pada ungkapan teppugauk gauuk maceko pentingnya manusia melestarikan alam. (tidak boleh

Kehadiran Tomanurung dalam cerita La berbuat curang). Galigo bertujuan untuk menyampaikan 6. Getteng (keteguhan pada prinsip) perintah Dewa agar menjaga lingkungan Getteng diartikan sebagai keteguhan dan mengetahui tanda-tanda alam. pada prinsip yang benar dan tidak Lingkungan dijaga untuk menjaga memihak pada yang salah. Contoh kestabilan dan keharmonisan hidup getteng diantaranya dalam pau-pau menusia. Perintah dan ajaran itulah yang rikadong arung masala ulik-e harus dipahami oleh manusia agar diceritakan bahwa raja Luwu diminta hidupnya tentram dan harmonis untuk mempertahankan puterinya yang (Rahman, 1998:372). Dalam cerita La memiliki penyakit menular di istana atau Galigo diungkapkan mengenai tata cara mengeluarkan puterinya dari istana agar pengelolaan alam dan lingkungan sekitar penyakit tersebut tidak menular pada melalui tanda-tanda alam. Tanpa rakyatnya (Ibrahim, 2003: 139-140). pemahaman tersebut, manusia akan mudah tertimpa bencana alam, sehingga 7. Saling menghargai tanda alam merupakan pedoman bagi Sipakatau (Bugis-Makassar), manusia dalam beradaptasi dengan alam. sipamandar (Mandar), Sipakaele Pemahaman tersebut dibukukan oleh (Toraja) berarti saling menghargai orang Sulawesi Selatan yang disebut sesama manusia. Dalam interaksi sosial lontarak kutika (Bugis dan Makassar), nilai sipakatau mengharuskan seseorang berisi tentang tanda-tanda alam, cara- untuk memperlakukan orang lain sebagai cara memahami tanda dan cara manusia dan menghargai hak-haknya. mengatasinya (Rahman, 1998:372). Perilaku sipakatau yang paling tinggi 4. Ide Demokrasi adalah berupaya memanusiakan orang yang telah terjerumus menjadi rapang- Ide demokrasi terlihat pada masyarakat rapang tau (bukan manusia). Sulawesi Selatan sejak kedatangan Perwujudan nilai dasar sipakatau dikenal Tomanurung. Hal ini terlihat pada dengan sipakaingek, siparengerangi Tomanurung perjanjian antara dengan (saling mengingatkan), sipangajari para pemimpin kaum di berbagai daerah, (saling menasehati), dan sipaitai (saling misalnya di Bone, Soppeng, Gowa, dll. memberikan petunjuk). Selain itu dalam Tomanurung Dalam perjanjian antara interaksi sosial dikenal istilah dengan pemimpin kaum terdapat sipakalebbi (saling memuliakan) dan ungkapan yang menyatakan bahwa siamasei (saling mengasihi) (Ibrahim, kepatuhan rakyat kepada raja adalah 2003: 140-1). bersyarat, yaitu tergantung pada

komimen raja pada kepentingan dan hak-

hak rakyat. Rakyat akan patuh dan setia PENUTUP kepada raja yang memberikan pengayoman dan menghargai hak milik La Galigo merupakan intangible rakyat. heritage yang menjadi identitas masyarakat Sulawesi Selatan dan saat ini masih 5. Lempuk (kejujuran) bertahan di tengah arus globalisasi. Salah Lempuk adalah sikap jujur pada sesama satu cara untuk melestarikan cerita La manusia, diri sendiri, dan pencipta Galigo adalah melalui MLG karena (Rahman, 1998: 331). Lempuk sebagai museum ini menyimpan berbagai koleksi nilai budaya masyarakat Sulawesi yang terkait dengan cerita La Galigo,

129

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 termasuk naskah La Galigo itu sendiri. tentang La Galigo yang akan Koleksi yang berhubungan dengan cerita La dikomunikasikan kepada pengunjung; Galigo tersebut disimpan di ruang 3. Ekshibisi La Galigo harus penyimpanan maupun diekshibisi di ruang merepresentasikan masyarakat Sulawesi pameran tetap. Akan tetapi, informasi yang Selatan, sehingga evaluasi atau studi disajikan kepada pengunjung tentang cerita pengunjung untuk menjaring pendapat La Galigo masih minim, bahkan beberapa masyarakat Sulawesi Selatan tentang La alur cerita tidak dikaitkan dengan cerita La Galigo harus dilakukan; Galigo. 4. Perekaman cerita La Galigo sebagai Informasi tentang MLG tersebut memori kolekif diperlukan, untuk tentunya dijadikan dasar untuk perencanaan membuat storyline ekshibisi; desain ekshibisi. Desain media ekshibisi ini 5. Ekshibisi La Galigo ini didukung oleh memanfaatkan memori kolektif masyarakat program publik; Sulawesi Selatan. Memori kolektif tersebut 6. Tradisi lisan La Galigo menyebar dapat muncul karena adanya kesamaan hampir di berbagai suku bangsa yang antar individu dalam setiap atau antar ada di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, kelompok dalam cerita La Galigo. dan Semenanjung Melayu. Oleh karena Contohnya kesamaan pengalaman sejarah itu, pada penyelenggaraan ekshibisinya, dan budaya, kesamaan pengetahuan harus merepresentasikan semua pihak; tertentu, kesamaan demografi atau wilayah, 7. Salah satu kendala yang akan dihadapi dan kesamaan kondisi sosial ekonomi pada dalam penyelenggaraan ekshibisi La cerita La Galigo dan kehidupan saat ini. Galigo ini adalah perasaan Beberapa saran yang sebaiknya etnosentrisme dan prasangka dari setiap dilakukan oleh MLG untuk suku bangsa tentang kepemilikian La penyelenggaraan ekshibisi La Galigo, yaitu Galigo sebagai identitasnya masing- sebagai berikut: masing. Pemunculan sikap 1. Ekshibisi La Galigo seperti yang telah etnosentrisme dan prasangka ini harus dijelaskan pada tulisan ini dapat dihindari dengan memberikan diselenggarakan di dua tempat. pemahaman melalui ekshibisi bahwa La Pertama, di ruang atau gedung baru Galigo adalah warisan bersama dan yang berbeda dengan gedung pameran milik masyarakat Sulawesi Selatan tetap saat ini. Ekshibisi La Galigo ini khususnya dan milik Indonesia dapat dikaitkan dengan ekshibisi di umumnya. ruang pameran tetap saat ini dengan menempatkannya sebagai informasi DAFTAR PUSTAKA awal di ruang pengenalan. Kedua, di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional ruang pameran tetap yang menyimpan Ujung Pandang. 1994. Laporan berbagai koleksi yang mendukung Penelitian Sejarah dan Nilai pameran La Galigo sebagai identitas Tradisional. Makassar: BKSNT Ujung budaya Sulawesi Selatan. Berbagai jenis Pandang. koleksi tersebut terdapat di ruang pameran tetap gedung nomor 2 dan Corsane, Gerard. 2005. —Issues in Heritage, nomor 10; Museums, and Galleries“ dalam 2. Ekshibisi La Galigo sebagai identitas Heritage, Museums, and Galleries. Ed. budaya Sulawesi Selatan harus Gerard Corsane. New York: dilaksanakan melalui empat tahap, yaitu Routledge. tahap konseptual, tahap pengembangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. tahap fungsional, dan tahap penilaian. 1985/1986. Petunjuk Museum Negeri Penelitian ini dibatasi pada tahap La Galigo Ujung Pandang. Sulawesi konseptual, yaitu pengumpulan ide Selatan: Proyek Pengembangan

130

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

Permuseuman Direktorat Jenderal Lokal. Makassar: Lembaga Penerbitan Kebudayaan. Universitas Hasanuddin. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Lopa, Baharuddin. 2007. —Siri dalam 1981/1982. Upacara Tradisional Masyarakat Mandar“. Siri‘ dan Pesse Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Harga Diri Manusia Bugis. Makassar: Departemen Kebudayaan dan Pustaka Refleksi. Pariwisata. Mattulada. 1974. Bugis-Makassar: Manusia Edson, Gary, ed. 2005. Museum Ethics. dan Kebudayaannya. Jakarta: FS UI. London and New York: Taylor and ______. 2003. —Sawerigading dalam Francis e-Library. Identifikasi dan Analisis“ dalam La Edson, Gary dan David Dean. 1996. The Galigo Menelusuri Jejak Warisan Handbook for Museums. New York: Sastra Dunia. Makassar: PS La Galigo Routledge. Unhas. Enre, Fachrudin Ambo. 1983. —Ritumpanna ______. 2007. —Siri dalam Masyarakat Welenrengge, Telaah Filologis Sebuah Makassar“ dalam Siri‘ dan Pesse Episoda Sastera Bugis Klasik Galigo“. Harga Diri Manusia Bugis. Makassar: (Disertasi). Universitas Indonesia. Pustaka Refleksi. Farid Andi Zainal Abidin. 2007. —Siri, Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Pesse‘ dan Were Pandangan Hidup Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Orang Bugis“ dalam Siri‘ dan Pesse Departemen Pendidikan dan Harga Diri Manusia Bugis. Makassar: Kebudayaan. Pustaka Refleksi. PaEni, Mukhlis dan Roger Tol. —Memory of Fauziah. 2001. —Analisis Nilai-Nilai the World Register, La Galigo Kehidupan dalam Naskah (Indonesia)“, diunduh 23 Januari Mula Tau“ dalam Laporan Penelitian 2019, pukul 13.26 WIB Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan. Makassar: BKSNT. Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Gonggong, Anhar. 2003. —Interpretasi Jakarta: Nalar. Kelampauan“ dalam La Galigo Perdana, Andini. “Museum La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra sebagai Media Komunikasi Identitas Dunia . Makassar: Pusat Studi La Budaya Sulawesi Selatan“. (Tesis). Galigo Unhas. Universitas Indonesia. Hamid, Abu. 2008. —Sawerigading Sebagai Rahim, Rahman. 1998. Nilai-Nilai Utama Pahlawan Budaya; Simbol Budaya Kebudayaan Bugis. Makassar: Maritim di Sulawesi Selatan“ dalam Lembaga Penerbitan Universitas Walasui Jurnal Kebudayaan Sulselra Hasanuddin. dan Barat Juli-Desember. Rahman, Nurhayati. 2003. —Pendahuluan“ Hamonic, Gilbert Albert. 2003. dalam La Galigo Menelusuri Jejak —Kepercayaan dan Upacara dari Warisan Sastra Dunia. Makassar: Budaya Bugis Kuno“ dalam La Galigo Pusat Studi La Galigo Unhas. Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia. Makassar: Pusat Studi La Roman, Lorena San. 1992. —Politics and the Galigo Unhas. Role of Museums in the Rescue of identity“ dalam Museums 2000. Ed. Ibrahim, Anwar. 2003. Sulesena Kumpulan Patrick J. Boylan. London: Routledge. Esai tentang Demokrasi dan Kearifan

131

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Sakka, A.Rasyid A. 2008. —Pelayaran Sawerigading“ dalam Sulesana, Jurnal Sejarah Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat. BKSNT Makassar, Taylor, Paul Michael, ed. 1994. —The Nusantara Concept of Culture: Local Traditions and National Identity as Expressed in Indonesian‘s Museums“ dalam Fragile Tradition, Indonesian Arts in Jeopardy. Honolulu : Univ of Hawaii Press. Weedon, Chris. 2004. Identity and Culture, Narratives of Difference and Belonging. England: Open University Press.

132