MEMOAR OF JEDDAH How Can I Not Love Jeddah? Sanksi Pelanggaran Pasal ]2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan per­ buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan danfatau denda paling sedikit Rp1.ooo.ooo,oo (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.ooo.ooo.ooo,oo (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng-edarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama s (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.ooo.ooo,oo(lima ratus juta rupiah). MEMOAR OF JEDDAH How Can I Not Love Jeddah?

Jihan Davincka

Penerbit PT Elex Media Komputindo � KOMPAS GRAMEDIA MEMOAROF JEDDAH

How Can I Not Love Jeddah? Jihan Davincka © 2013, PT Elex Media Komputindo,Jakarta Hakcipta clilindungi undang-undang Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Elex KomputindoMedia Kompas - Gramedia, Anggoca IKAPI,Jakarta 2013

998131779 ISBN: 978-602-02-2097-0

Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, acau memperbanyak sebagian acau seluruh isi buku ini canpa izin cerculis daripenerbic.

Dicecak oleh Percecakan PTGramedia, Jakarta lsi di luar tanggung jawab percecakan Daftar lsi

Prakata Penulis : Bahagia Meski Mungkin Tak Sebebas Merpati...... vii

Chapter 1 : Tak Kenai maka TakSayang ...... 1 Chapter 2 : Saar Ka'bah Hanya Berjarak Satu Jam. 5 Chapter 3 : Never Judge a Book by Its Cover ...... 11 Chapter 4 : Ngabuburit ala Orang Arab ...... 21 Chapter 5 : Bunda of Arabia (Behind the Scene) ... 27 Chapter 6 : Naik Haji via Jeddah ...... 35 Chapter 7 : Bergaya dengan Abaya ...... 55 Chapter 8 : People We Haven't Met Yet...... 61 Chapter 9 : Perut Terjamin Lahir Batin di Jeddah.. 73 Chapter 10 : Melahirkan di Jeddah ...... 83 Chapter 11 : Berakhir Pekan di Negeri Paman Syam 89 Chapter 12 : Ru pa-Rupa Wajah Kota Jeddah ...... 97 Chapter 13 : Yanbu-Badr, dari Pantai

ke Padang Pasir ...... 107 Chapter 14 : Thaif, Musim Semi di Gurun Saudi .... 119 vi Memoarof Jedd ah

Chapter 15 : Al Hijr, Warisan Budaya Dunia di Saudi...... 131 Chapter 16 : Berlibur Bersama Anak-anak di Pantai Thuwal...... 141

Chapter 17 : Tunjukkan pada Saudi, !...... 147

Chapter 18 : When One Door Closes, Another Opens ...... 153

Daftar Pustaka...... 159 Riwayat Penulis...... 161 PRAKATA PENULIS: ia Meski Mungkin bebasMerp

" ah, rasanya seperti di TravalgarSquare ya, Bang," ucap Wsaya kepada suami hampir tiga tahun lalu. Ketika itu kami sedang menuju Masjidil Haram di Mekkah sambil menggandeng anak sulung saya. Anak kedua saya masih di dalam kandungan. Kami dikepung sekawanan burung merpati yang sibuk menikrnati makanan yang dilemparkan oleh orang-orang ke atas tanah. Namun, mereka langsung beterbangan begitu langkah kami makin mendekat. "Tuuuh! Ngapain jauh-jauh ke Eropa? Di sini juga ada," kata suami menggoda. lya, dia sangat tahu saya begitu ngebet ke Eropa. Burung merpati bukan ha! langka di Saudi. Mereka mengepakkan sayap hampir di seluruh penjuru Saudi. Selalu asyik berputar-putar di udara. Tidak perlu payah-payah berburu makanan. Hampir tiap saat ada saja orang yang melemparkan makanan pada mereka. Hidup hanya untuk terbang dan makan. Whata life. Seminggu pertama di Saudi bosannya minta ampun. "Jangan lama-lama, dong, di sini," saya merajuk pada suami. "Aku ini harusnya udah ngambil S2 di kampus. Mau viii Memoar of Jeddah ngapain di sini? Serba dilarang. Bete, ah, lama-lama di sini. Enggak berkembang." Saat pertama menapakkan kaki, turun dari pesawat, saya sudah tidak suka dengan perlakuan orang-orang sekitar. Ber­ lagak cuek tapi memandangi saya dari ujung rambut ke ujung kaki. Sesekali bertanya, "Indonezi? Malayzi?" Saya malas mela­ deninya. Saya hanya berdua dengan anak sulung ketika pertama kali mendarat di Jeddah. Suami menjemput setelah bagian imigrasi terlewati.

***

Saya ingin sekali tinggal di luar negeri. Bermukim, maksudnya. Kalau untuk liburan, terus terang tidak terlalu ingin. Tempat liburan terbaik dari pantai hingga gunung hanya ada di Indonesia. Buat apa berlibur ke luar negeri? Salah satu pantai terbaik itu ada di Losari, tempat kelahiran saya nun di kota Makasar sana. Sudah pernah ke sana? Luar negeri dalam benak saya dulu adalah memandangi perkasanya Menara Eiffel, berjalan-jalan dan sibuk berfoto saat bunga bermekaran di Keukenhof, atau sibuk melempar bola salju dengan anak ketika musirn dingin tiba. Saudi? Maaf, hanya untuk haji dan umrah. Tidak lebih! Jadi, ketika tak ada pilihan selain memboyong anak dan tinggal di Jeddah menyusul suami, saya enggak nyaman banget.

*** ProlcalaPenulis ix

Ternyata saya belajar banyak dari kesempatan yang diberikan Tuhan kepada saya, kesempatan untuk mencicipi kehidupan di kota Jeddah. Mungkin mustahil bertemu salju di sini. Hujan pun bisa tak muncul dalam setahun penuh. Mungkin saya akan menghabiskan waktu dengan meman­ dang iri pada kawanan merpati yang wira-wiri di udara. Jangan-jangan mereka sedang melihat ke arah saya sembari mengejek, "Kasihan, deh, lo." Teman-teman saya pun sering memberondong saya dengan pertanyaan:

• Enak tidak, sih, pakai baju hitam di bawah teriknya matahari?

• Gimana lo di sana kalau mau keluar-keluar?

• Eh, ada berita penyiksaan TKW tuh, Say. Bagaimana di sana? Aman?

• Baju apa yang dijual di sana? Kasihan, ya. Abaya doang, ya? Kan nggak boleh macam-macam bajunya.

• Gue mah Jee, uang nomor kesekianlah. Yang penting kebahagiaan. Enggak usah suami sampai mesti kerja ke Saudi segala.

• Gue nggak bisa ngebayangin dari pagi sampe malam di rumah terus. Suami kan kerja dari pagi sampai sore.

Apa iya benar seperti itu? Sesungguhnya, sengitnya mentari dan kakunya kehidupan tak boleh diberi celah sedikit pun untuk menghalau keinginan berbahagia. Bahagia itu bisa diciptakan. Tidak tepat jika kita sibuk mencari akar permasalahan pada sesuatu di luar kuasa kita. As we've heard, happines... isnot given. It ismade. x Memoar of Jeddah

Percaya atau tidak, ada banyak hal lain di sini yang mungkin tak akan saya jumpai dan alami di belahan bumi mana pun. Ada banyak alasan untuk tersenyum sembari menjalani kehidupan di Saudi, khususnya di kota Jeddah. Seperti kata pepatah lama, "Bila kau tidak mendapatkan apa yang kau inginkan, mungkin saja itu keberuntunganmu!"

***

Tentu saja, hidup di Jeddah juga banyak tantangannya. Tapi namanya juga manusia, tempat salah dan lupa. Seringnya kita terlalu sibuk mencari-cari yang tidak ada. Mengeluh soal dikekanglah, soal sekolah anaklah, soal jauh dari orangtualah, keterbatasan soal menyetirlah .... Sama. Saya pun kadang tak lepas dari pikiran-pikiran seperti itu. Saya seperti ingin terbang ketika akhirnya ada kesempatan untuk tinggal di salah satu wilayah yang saya impi-impikan. Saya berdiri di barisan paling depan buat menyemangati kala suami saya menunjukkan keraguan untuk pindah dari sini. Lucunya, ketika beberapa hari lalu suami berkata, "Nih, tiket tanggal segini. Mulai packing-packing, gih," tanggapan saya cak lain dan tak bukan adalah ... menangis! Begitulah. You don'tknow what you'vegot until it'sgone. Siapa bilang bersabar dan bersyukur itu mudah? Namun untuk rasa syukur yang memang berharga mahal itu, Allah sudah menjanjikan ganjaran yang tidak sedikit. "Dan (ingatlah juga) tatkala Tu hanmu memaklumkan, 'Sesungguhnyajika kamu bersyukur, pasti Kamiakan menambah {nikmat} kepadamu, danjika kamu mengingkari {nikmat-Ku}, PralcalaPenulis xi maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. "'(QS. Ibrahim [14]: 7) Saya persembahkan kumpulan kenangan yang saya ikat dalam tulisan-tulisan ringan ini. Memoar ofjeddah. Kenangan tentang sebuah masa yang mengajarkan banyak hal menarik dalam hidup saya. Tiga puluh bulan yang indah di kota Jeddah. Semoga bermanfaat pula untuk pembaca sekalian.

*** IRAQ • Amman

a1 J Buraydah. Dai YPT .Medina * • Yan bu Ri� SAUDI ARABIA

• Mecca · Jedd ah raif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r:n ERITREA Sana'a • • Asmara Yf � "' � g 2 Memoar of Jeddah

A pa kira-kira respons pertama Anda jika suatu hari suami .r\.berkata, "Bunda, Ayah dapat tawaran kerja di kota Jeddah, nih! Ayah udah bilang oke. Kita pindah ke Jeddah, ya?"

Saya kaget. "Jeddah? Kok ke sana? Ngeri, ah. . .." Seharusnya saya senang. Dari dulu saya pengin banget ngerasain tinggal di luar negeri. Kalau mendengar kata luar negeri, yang terlintas di benak saya pastilah kota-kota di negara­ negara maju di Eropa, Arnerika, dan Australia, dan Asia. Entah kenapa, tidak satu pun kota di Timur Te ngah pernah saya masukkan ke daftar I should live there someday. Kalau untuk liburan bolehlah. Saya pengin ke Dubai, Abu Dhabi, dan mungkin Doha. Ta pi Saudi? Hanya untuk berhaji dan umrah. Tidak lebih! Jeddah? Duh, saya jarang mendengar tentang kota satu ini. Selain itu, tidak pernah ada alasan untuk menaruh kata "Jeddah" di kolom pencarian di berbagai mesin pencari yang ada di internet. Yang saya sering dengar dari teman, saudara, dan kenalan yang pernah melaksanakan ibadah umrah atau haji adalah kota Mekkah dan Madinah. Selain pengalaman religius yang menyentuh kalbu, ada pula beberapa selentingan seperti, "Ah,Arab itu panas!" atau "Kotor, ah. Jorok banget!" Dalam beberapa hari, logika saya normal lagi. Saya mulai menodong si Mbah Google untuk mengeluarkan koleksi informasinya tentang kota yang membuat saya merinding ini. Beberapa blog muncul. Ada yang dengan datar mencerita­ kan suasana kota Jeddah yang ternyata dijejali pendatang, mudahnya mendapatkan makanan Indonesia, dan banyaknya mal. Terselip juga cerita-cerita tentang penyiksaan terhadap para TKI/TKW nonformal asal Indonesia. Setelah saya telu- Tak Kenai Maka Tak Sayang 3 suri, ternyata yang menulis blog itu laki-laki. Wajar saja dia sering berjalan-jalan karena dia laki-laki. Saya mempersempit pencarian dengan mengetikkan kali­ mat "kehidupan perempuan Indonesia di kota Jeddah" di kolom pencari. Jeng ... jeeeng... ! Muncul beberapa blog lain. Ada kisah sebuah keluarga yang sedang berlibur tapi membahas pantai Jeddah yang kotor, jorok, serta minim fasilitas. Ada blog yang kebanyakan isinya tentang kebiasaan si ibu yang suka mengotak-atik menu dapur. Lalu, ada blog yang didominasi kisah-kisah spiritual selama tinggal di Jeddah. Puncaknya adalah ketika saya menemukan kalimat ini di salah satu blog tersebut, "Berada di kota ini membuat saya berada di titik terendah dalam kehidupan saya." Cukup sudah! Saya panik dan buru-buru bilang ke suami, "Enggak mau ke sana. Lihat dong banyak berita penyiksaan TKW asal nega­ ra kita di sana. Tega sekali mau membawa keluarga hidup di

" sana. Namun, saya gentar juga ketika suarni mulai berargumen panjang lebar. Sepertinya, jalan terbaik adalah berangkat menyusul suami. Saya pun pasrah. "Ya sudah, kita lihat saja . " nanu, gumarn saya. Tak kenal maka tak sayang. Begitu kata pepatah. Ternyata, pepatah lama ini benar-benar menunjukkan tajinya, Lebay benar saya dengan segala pikiran sempit tentang Jeddah, pada­ hal berangkat saja belum. Ternyata ada banyak ha! menyenangkan di Jeddah yang se­ lama ini tersimpan rapi entah di mana. Banyak ha! seru yang 4 Memoarof Jedd ah gaungnya terlalu lemah karena tertimbun kisah-kisah dengan nada berbeda tentang kota ini. Namun, tak dimungkiri, ke­ hidupan sehari-hari perempuan di kota Jeddah memang me­ miliki banyak "dinding pembatas" dibandingkan dengan wi­ layah lain di berbagai belahan dunia. Beberapa informasi yang mungkin belum pernah muncul akan dikisahkan dalam lembaran-lembaran buku ini.

*** IRAQ • Amman

a1 J Buraydah. Dai YPT .Medina * • Yan bu Ri� SAUDI ARABIA

• Mecca · Jedd ah raif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r:n ERITREA Sana'a • • Asmara Yf §l "' � g 6 Memoar of Jeddah

alah satu obrolan yang lazim terjadi saat akhir pekan di S Jeddah adalah seperti ini. "On callnggak, Bang?" "Engga k" . "Umra h , yu k". "Yuk." "Abis aku nyuapin dan mandiin anak-anak, kita langsung berangkat." "Oke." Ada berapa tempat di dunia ini yang memungkinkan per­ cakapan tersebut terjadi? Jika Anda bermukim di negara Saudi pun, Anda belum tentu bisa memutuskan untuk umrah dalam hitungan detik. Kota Madinah saja berjarak ratusan kilometer dari Mekkah. lbu kota Saudi, Riyadh, malah berjarak lebih dari seribu kilometer. Salah satu tempat "penuh berkah" tersebut adalah kota Jeddah. Berjarak hanya sekitar 70 kilometer dari Rumah Tuhan. Dalam tempo satu jam sejak mobil meninggalkan pelataran parkir apartemen, kami sudah berhadapan langsung dengan bangunan hitam yang berdiri tegak di tengah-tengah Masjidil Haram itu. Waktu satu jam itu sudah mencakup waktu untuk mencari tempat parkir dan berjalan kaki dari basementmal ke dalam masjid.

***

ltu baru soal jarak, belum soal biaya. Berapa biaya yang harus dikeluarkan jamaah umrah asal tanah air? Minimal belasan juta. Bahkan ada biro perjalanan yang mematok biaya di atas Saat Ka'bah Hanya BerjarakSatu Jam 7

20 juta rupiah. Di Jeddah, kami tinggal naik mobil untuk mencapai Masjidil Haram. Kalau naik mobil, kan, tetap harus bayar bensin? Tetap saja jauh lebih murah daripada biaya yang harus di­ keluarkan oleh jamaah yang berangkat dari Indonesia. Di sini harga bensin hanya Rpl.000 per liter, padahal jenis bensin yang dijual umum di seluruh penjuru Saudi berlevel pertamax semua. Betul, level pertamax dengan harga seribu perak per liter. Sekarang soal waktu umrah. Saat umrah dan berkesempatan mengunjungi kami, ibu saya menyeletuk, "Aduh, penuh juga, ya. Kasihan anak-anak­ mu kalau dibawa umrah." Selain jarak dan biaya, kami, para pemukim di Jeddah, juga beruntung soal waktu dan frekuensi melaksanakan umrah. Kami punya pilihan untuk berziarah ke Tanah Suci pada saat­ saat lengang. Pemerintah menutup visa umrah setelah Idul Fitri karena akan bersiap-siap menyambut kedatangan jamaah haji dari seluruh penjuru dunia. Pada masa iculah, selama sekitar dua minggu kami dapat mengunjungi Mekkah dan Madinah yang masih terbilang sepi. Berapa orang yang diberikan rezeki merasakan tawaf da­ lam 10 menit saja? Begitu musim haji berlalu, visa umrah kembali dicucup. Waktu berleha-leha lebih panjang, sekitar dua bulan. Pada saat inilah biasanya kiswah, kain hitam penutup Ka'bah, diganti. Biasanya, beberapa tempat di dalam masjid ditutup untuk renovasi. 8 Memoar of Jeddah

Bagaimana dengan naik haji? Suatu waktu, saat saya pulang liburan, teman saya mengeluh, "Gila. Sekarang ngantre haji bisa tujuh tahun. Ampun, deh. Gue masih nabung, nih, buat bayar uang mukanya. Kalau uang muka sudah lunas, baru bisa masuk antrean." Saya bertanya, "Berapa uang mukanya?" "Dua puluh lima jutaan. Kalau berdua suami jadi lima pu­ luh. ltu belum termasuk biaya lain-lain." "ONH plus saja." "Lu kira berape? ONH plus yang saudara gue pakai bisa 80 jutaan. ltu pun ternyaca bukan yang mewah-mewah amat. Kalau berdua 160 juta, dong." Saya mengangguk-angguk pen uh empati. "Ooohhh ...." "Makanya, lu beruntung. Enggak banyak cing cong tahu­ tahu sudah hajian saja. Selamat ya, Say." Tepat sekali. Saya malah berhaji dengan rencana agak da­ dakan. Setelah Hari Raya Idul Fitri berlalu pun saya tidak menyangka akan mendapat kesempatan naik haji. Bukannya tidak ada keinginan, tetapi pertimbangan saya cukup banyak. Yang terutama adalah karena anak bungsu saya belurnberusia dua tahun. Kami mendaftar sebulan sebelum periode wukuf. Biayanya hanya belasan juta rupiah. Mendaftar di hamla lokal yang dikelola orang Arab asal Saudi bisa lebih murah kalau mau. Namun, karena kami memboyong si kecil, kami berusaha memilih biro haji yang nyaman clan tidak terlalu mahal. ltu baru soal biaya. Pada tahun yang sama, ada dua kera­ bat suami yang juga melaksanakan ibadah haji. Keduanya Saat Ka'bah Hanya BerjarakSatu Jam 9 menggunakan program haji reguler dari tanah air. Miris rasa­ nya ketika mengetahui fasilitas yang mereka dapatkan. Bayangkan. Mereka hanya mendapat jatah makan dengan !auk super sederhana. Makanan dibagikan dengan sistem an­ trean. Tidur tanpa alas kasur di tenda Mina. Boro-boro ada selimut, bantal saja tidak ada. Tendanya cukup sesak sehingga untuk tidur pun tak mungkin meluruskan kaki. Kamar sangat terbatas. Tante bahkan mengeluh ada jamaah yang nekat membuang air di tempat wudhu. Selain itu, perjalanan untuk melontar jumrah ditempuh dengan berjalan kakipulang pergi selama tiga hari penuh-bahkan empat hari untuk yang mengambil nafartsani. Berhaji dengan hamla lokal Arab? Makanan berlimpah ruah dan diantar ke tenda masing-masing. Jangankan repot mengantre, keluar tenda saja tidak perlu. Meja panjang di se­ lasar tenda pun tak pernah kosong oleh makanan. Rak-rak lemari pendingin selalu terisi penuh dengan minuman kaleng. Makanan kecil diantarkan tiap hari-pagi, siang, dan sore. Kami tidur menggunakan tempat tidur. Ada kasur, bantal, lengkap dengan selimut. Satu orang di satu kasur. Di tengah­ tengah tiap tenda ada ruangan cukup luas untuk makan bersa­ ma atau tempat bermain anak-anak. Kamar mandinya cukup memadai. Bahkan ada petugas yang membersihkannya dua-tiga kali sehari. Jarang sekali ha­ rus mengantre. Melontar jumrah? Pulang pergi naik kereta yang ber-AC. Lokasi tenda hamla kami di Mina sangat dekat dengan stasiun kereta. 10 Memoarof Jeddah

Masya Allah, rasanya tak akan cukup rasa syukur yang ter­ ucap untuk pengalaman haji via Jeddah ini.

*** • IRAQ Amman

Buraydah. Dai YPT � � • .Medina * Ri� <.f; Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r.n ERITREA Sana'a • •

Asmara Yf i o ::;; "' � g 12 Memoar of Jeddah

can't findhalawa here. Do you know where I can find one?" I saya bertanya sesopan mungk.in pada seorang wanita Arab di sebelah saya. Kami berdua sedang berada di dalam supermarket. Sibuk berbelanja di rak yang sama. Dia bengong sebentar, tampaknya tidak mengerti. Baiklah. Mari berbahasa Arab. Saya gelagapan karena bahasa Arab saya pas-pasan. "Halawa, halawa. Ummm... sukkar. Fen halawa?Ma'alish, mafiArabic. "1 Barulah dia mengangguk-angguk. Dia menjelaskan dengan bahasa Arab sambil tangannya sibuk mengarahkan. Saya mengangguk-angguk kecil padahal sebenarnya, "Sumpah, gue nggak ngerti." Hehehe. Saya akhirnya memilih pergi saja. Tiba-tiba dia kembali memanggil, saya menengok. Dia bertanya penasaran, "Filipino? Malayzi?" Saya tersenyum, "lndonezi." Matanya membesar. la menepuk bahu saya. '7ndonezi? Sp eak English? MasyaAllah!" Ya, begitulah (mungk.in) pandangan sebagian besar orang di Jeddah terhadap perempuan Indonesia. Seo rang perempuan Indonesia yang bisa berbahasa lnggris (apalagi tidak bisa ber­ bahasa Arab) akan dianggap sebagai sesuatu yang istimewa. Setidaknya saya sudah kenyang banget dengan pengalaman, "Youlndonezi? Sp eak English?Masya Allah!" Pengalaman saya tidak terbatas kepada perempuan-perem­ puan Arab yang ternya ta banyak juga yang tidak fasih berbahasa lnggris. Saya pernah mendapatkan pengalaman yang sama saat

1 "Halawa, halawa. Ummm.. . manisan. Di mana manisan, ya? Maaf, saya tidak bisa berbahasa Arab." NewtrJudge a Book by Its Cover 13 berobac ke bagian unit gawac darurat Rumah Sakic Bugshan, salah sacu rumah sakit swasta di Jeddah. Dokternya adalah laki-laki yang sangat ramah dan sopan, berasal dari Mesir. Oh, ya, katanya sebagian besar dokcer di Saudi memang berasal dari Mesir. Kami sudah mengobrol dengan akrab selama hampir se­ tengah jam dalam bahasa lnggris. Mungkin Pak Dokter ber­ usaha mencairkan suasana. Dia pasti melihac kalau saya keca­ kucan dan gemecar, padahal cuma operasi kecil di bagian jari tangan. Dia kaget sekali ketika saya bilang saya dari Indonesia. Sedari tadi dia berpikir saya orang Filipina atau Malaysia. Se­ cara fisik memang cerdapat banyak kemiripan antara kica dan penduduk kedua negara tetangga tersebut. Sudah pakemnya di Jeddah, perempuan yang bisa berbahasa Inggris PASTI dari Filipina atau Malaysia. Perempuan Indonesia? Harusnya lancar berbahasa Arab dan profesimereka pastilah TKW Diskriminatif? Tidak juga. lni lebih karena kondisi ling­ kungan.

***

Meskipun saya tidak punya data akuratnya, terlihat jelas bahwa sebagian besar perempuan Indonesia yang datang ke Saudi berprofesi sebagai TKW Mereka menguasai sektor domestik, pekerja rumah tangga atau pengasuh anak. Memangnya yang dari Filipina enggak ada? Malaysia? Bangladesh? Pakistan? 14 Memoar of Jeddah

Dari Filipina memang ada, banyak juga jumlahnya. Mereka mendominasi di beberapa sektor formal. Saya nyaris tak pernah bertemu suster yang berkebangsaan BUKAN Filipina di rumah sakic besar di Jeddah. Admin-admin rumah sakit pun sebagian besar berasal dari Filipina. Dari petugas lab, petugas apotek, hingga customer service. Perempuan Indonesia ada juga tapi kebanyakan menjadi petugas kebersihan. Malaysia? Jangan sirik. Tak ada TKW Malaysia di sini. Ditambah lagi, menurut suami, tenaga kerja laki-laki yang datang dari Malaysia rata-rata berstatus mohandis/engineer (insinyur). Jadi, para perempuan asal Malaysia bisa dipascikan istri mohandis (atau level lain di atas mohandis). Ditambah lagi mereka rata-rata fasih berbahasa lnggris, bahasa kedua di negeri jiran tersebut. Bangladesh konon tidak mengirimkan TKW secara legal. Pakistan juga. Namun, ada juga perempuan asal negara-negara tetangga India yang bekerja di sektor domestik. Kemungkinan cidak legal dan jumlahnya terbatas. Saya tidak marah kepada para TKW Hormat saya setinggi­ tingginya kepada perempuan-perempuan luar biasa ini. Saya berdiri di barisan penentang moratorium. Menurut saya pri­ badi, pemerintahlah yang gaga! melindungi mereka di sini. Tak kuasa menyediakan lapangan kerja di tanah air tapi melarang mereka mencari rezeki di negeri orang. Tidak seperti pemerintah Filipina. Negara tetangga sacu ini mungkin paham betul kekurangan mereka dalam menghidupi seluruh rakyatnya. Mereka dengan sigap membaca kesempatan di luar negeri dan mengirimkan warganya. Mereka tak lupa NewrJudge a Book by Its Cover 15 memberikan jaminan clan perlindungan penuh beserta keter­ ampilan yang mumpuni. Ketika masa melahirkan, saya menggunakan jasa seorang asisten rumah tangga asal Madura. Dia pernah foto anaknya yang mengenakan seragam SMP. "Saya yang ngongkosin dia bisa sekolah setinggi ini, Ning," ujarnya dengan bangga. Ning adalah sebutan untuk perempuan dalam bahasa Madura. Proudof you, Mbak.

***

Posisi saya cukup dipersulit oleh penampilan fisik suam1. Biarpun perawakannya tidak sebesar orang-orang Arab pada umumnya, tingginya mencapai 180 sentimeter. Hidungnya mancung, berjanggut, dan berkumis. Pasrah deh, (mungkin) akan sering disangka, "TKW yang sukses menikahi majikan Arabnya." Hehehe. Misalnya di Masjidil Haram. Sebagian besar petugas ke­ bersihan di sana perempuan Indonesia, lho. Mereka semua bercadar. Anak sulung saya adalah fotokopi bapaknya. Rambut ke­ cokelatan, kulit langsat cerah, hidung tidak pesek, dan sangat aktif seperti anak-anak kecil Arab pada umumnya. Seperti biasa, saya paling senang mengobrol dengan siapa saja. Jadilah saya sering terlibat percakapan ringan dengan para petugas kebersihan di Masjidil Haram. Ketika asyik berbincang, ada yang bertanya pada saya, "Kamu dapat orang sini, ya?" 16 Memoarof Jeddah

Oh, ya, mereka suka "berkamu-kamu" pada kita. Jangan tersinggung, ya. Saya kaget. "Hah?" "ltu anaknya Arab begitu." "Bukan, bukan. Suamiku orang Indonesia juga, Mbak."

"O 00hhh .... " Entahlah apa yang ada di pikirannya waktu melihat suami saya datang ke arah saya. Otak saya yang suudzon berpikir, mungkin dalam hati dia kesal, "Dasar tukang bohong. Sua­ minya memang orang Arab. Malu, kali, kecahuan kawin sama majikannya."

***

Meng-upgradepenampilan mungkin cukup menolong. Manu­ sia memang tak mudah lepas dari stigma sosial. Saya pun

***

Sedihnya, stigma yang sama juga datang dari jamaah haji asal Indonesia. Mungkin tidak semuanya. Saya pernah menerbitkan sebuah buku secara indie. Judul­ nya Bunda ofArabia. Proses pencetakannya di Indonesia. Saya menitipkan buku-buku tersebut pada ibu, sewaktu beliau da­ tang ke Saudi untuk umrah. Sewaktu ibu akhirnya datang dengan membawa puluhan eksemplar buku tersebut, saya su­ dah siap mental melakukan direct marketing. Penuh percaya diri saya mengajak suami ke Masjid Apung di Corniche. Mantap menyambangi jamaah haji asal Indonesia yang bisa dipastikan akan ke sana tiap ke Jeddah. 18 Memoar of Jeddah

"Permisi, Bu. Mau beli buku Bunda ofArabia? lsinya ten tang pengalaman ibu-ibu Indonesia yang tinggal di Jeddah." Sebagian ada yang tertarik dan mendekat. Mereka melihat­ lihat sampul buku itu sambil bertanya, "Kok bisa keluar ru- " m ah�. "Bisa dong, Bu." "Oooh, dapat libur juga, ya. Baik, ya, majikannya." Sakit hati juga. Padahal saya sengaja mengenakan kacamata hitam yang trendi dan abaya saya yang terbaik. Tidak cuma itu, mereka enggak beli! Sibuk berempati tidak jelas. Jadi, saya pindah ke grup lainnya dan memulai dengan kalimat yang sama. Kali ini dijawab dengan, "lkut suami apa bagaimana, Mbak?" Wah, ada harapan, pikir saya. "Ikut suami, Bu." "Kok bisa, ya, bawa istri? Katanya susah, lho. Kemarin saya diceritain sopir taksi, katanya susah bawa istri." Belum sempat saya menjawab, temannya menyambar, ''Ada yang bisa kali. Kan tergantung majikan. Sopir kan juga " macarn-macarn. Aduh, malah makin sakit hati. Cukup sudah. Sekali itu saja saya nekat ke Masjid Apung. Suami terus sibuk membujuk, katanya latihan mental. Di Masjidil Haram, anak saya pernah diberi uang oleh se­ orang jamaah perempuan asal Indonesia. "Belajar yang rajin. Ingat kerja keras Ibu." Tapi dapat rezeki tidak boleh sakit hati. Senang malah. Saya meminta anak saya untuk menerima uang kertas 10 riyal tersebut dan mengucapkan terima kasih. Sy ukran. NewtrJudge a Book by Its Cover 19

Tentu saja, hidup itu intinya belajar. Mengambil hikmah dari tiap pengalaman. Biarpun marah dan sakit hati, setidaknya saya belajar kalau diperlakukan seperti itu rasanya tidak menyenangkan. Jadi, jangan lakukan hal yang sama pada orang lain! Saya belajar untuk tidak mudah menghakimi orang lain hanya gara-gara stereotip yang menempel pada mereka. Misal­ nya asumsi bahwa perempuan Arab biasanya angkuh. Ternyata ada juga perempuan Arab yang menyenangkan. Ketika me­ laksanakan ibadah haji kemarin, satu tenda di Mina berisi perempuan Arab, kecuali saya. Rasanya sudah seperti keluarga saja. Mereka sopan dan ramah. Perempuan asli Saudi ternyata ada juga yang baik hati, seperti dokter kulit yang sempat menangani saya. Menggunakan cadar tapi bisa berbicara dengan bahasa yang jelas. Tadinya saya sering mengeluh kalau berhadapan dengan perempuan bercadar yang ngomongnya seperti orang kumur-kumur. Bukan cadarnya, tetapi cara berbicara tiap orang yang berbeda. Urusan mengubah penampilan bukan hal yang sulit buat saya. Kalau mau, berbagai merek papan atas sanggup saya koleksi. Tidak bermaksud menyombongkan diri, ya. Penghasilan suami sebagai engineer di Jeddah tidak sedikit. Penghasilan besar dan tanpa dikenakan pajak pula. Namun, jangan lupa pepatah salah satu orang terkaya di dunia, Warren Buffet,bahwa "manusia yang membuat barang". Jangan sampai kita yang didikte oleh barang. Saya tak pernah sudi dinilai berdasarkan apa yang menempel di badan saya. Oleh karena itu, saya pun tak pernah menimbang-nimbang lawan bicara saya berdasarkan "harga" di sekujur tubuhnya. 20 Memoarof Jeddah

Sebagai muslim, saya percaya bahwa Allah sudah menetap­ kan parameter kesempurnaan tiap insan. "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalahyang paling bertakwa. "(QS. Al-Hujurac [49]: 13) Lagi pula, sebuah pepacah mengatakan, "Kalau Anda me­ nilai orang lain hanya dari penampilan (atau suku bangsa), Anda akan kehilangan banyak kesempatan bercemu orang­ orang hebat."

*** • IRAQ Amman

Buraydah. Dai YPT � � • .Medina * Ri� <.f; Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 22 Memoarof Jeddah

ahun 2012 adalah Ramadhan ketiga saya di negeri pa­ Tdang pasir ini. Tentulah banyak penyesuaian yang perlu dilakukan. Saat-saat Ramadhan dan Hari Raya, rasa kangen pada ke­ rabat tercinta di Indonesia pastilah sedang sengit-sengitnya. Untunglah di sini pun banyak teman baru yang tak kalah seru. Oulu saya membayangkan seperti apa, ya, orang-orang Arab menjalani bulan penuh berkah ini? Pastilah lebih ekstrem daripada kita di tanah air. Saya pikir, mal-mal pasti tutup penuh saat bulan Ramadhan. Mengenai mal, jangan tanya ada berapa ma! di salah satu kota besar negara Saudi ini. Banyak banget dan besar-besar. Pada tahun pertama merasakan Ramadhan di sini, saya he­ ran melihat tetangga depan apartemen saya-yang juga dari lndonesia-selalu keluar rumah sekitar pukul sepuluh malam. Saya tahu itu karena selain jarak pintu apartemen kami cuma 4-5 meter, ketiga anak mereka bawel minta ampun. lni bukan cuma beberapa kali tetapi hampir tiap hari. Saya tidak tahu jam berapa mereka pulang. Saya bingung. Ke mana mereka jam segitu, ya? Saya menyimpan rasa penasaran saya. Tidak mungkinlah saya menginterogasi mereka.

***

Di Indonesia, saat Ramadhan tiba, toko-toko malah tutup lebih cepat, bukan? Namun, di Jeddah berbeda. Pagi hari di bulan Ramadhan Jeddah memang bagaikan kota mati. Nyaris tidak ada aktivitas apa-apa. Semua anak sekolah pun wajib li­ bur. Hanya orang kantoran yang berlalu lalang di jalan raya. Toko-toko kelontong tutup semua. Semua gerai dalam mal pun tutup, kecuali tempat-tempat seperti Hyperpanda, Danube, Ngabuburitala OrangArab 23 dan Bin Dawood. Ketiga tempat itu semacam Carrefour kalau di Indonesia. Suasana senyap ini berlangsung hingga waktu Ashar tiba. Setelah Ashar, barulah beberapa gerai dalam ma! buka. Tempat makan juga sudah muJai dibuka. Selepas Maghrib, mereka se­ rempak tutup lagi. Sehabis lsya, barulah kehidupan dimulai! Selama bulan Ramadhan, aktivitas rutin saya tetap seperti biasa. Saya tetap tidur paling lambat pukul sebelas malam. Hingga kemudian tiba jadwal belanja bulanan. Suami meng­ ajak keluar selepas lsya saja. Bukan main suasana jalan raya saat itu. Macet di mana­ mana. Semua orang seolah tumpah ruah di jalan. Kami parkir seperti biasa, lalu masuk ke ma!. Jeng... jeeeng ...! Ramainya minta ampun! Antrean di kasir supermarket pun luar biasa. Padahal, saat itu sudah lewat pukul sepuluh malam dan bukan akhir pekan! Acara belanja itu baru selesai pukul satu dini hari. Suasana di dalam ma! masih hiruk pikuk. Bisa dibilang semua gerai buka, termasukfood court. Barulah saya mengerti ke mana tetangga saya menghabiskan waktu malam mereka. Konon, ha! tersebut berlangsung hingga waktu Subuh tiba. Setelah subuh, semua toko akan tutup se­ perti biasa dan pelan-pelan "pesta" pun berakhir. lnilah yang dimaksud teman saya dengan "Ramadhan di Saudi, siang jadi malam, malam jadi siang." Pantas saja dari pagi hinggasore hari pada bulan Ramadhan kebanyakan orang Arab malah tidur. Kata suami saya, mereka ngabuburit sehabis lsya, menunggu sahur. Beda dengan ke­ biasaan di tanah air yang ngabuburit menjelang jadwal berbuka. 24 Memoarof Jeddah

Rasanya aneh juga. Saya tak terbiasa menghabiskan waktu puasa pada siang hari dengan berdiam diri di rumah. Main ke rumah teman pun nyaris tak mungkin. Sebagian besar teman saya sudah mengikuti pola hidup seperti ini jika Ramadhan tiba. Mau berjalan-jalan pun susah karena tidak ada toko dan pasar yang buka pada siang hari. Tapi kan enak bisa melaksanakan umrah Ramadhan? Duh, jangan tanya ramainya orang-orang mengerumuni Ka'bah clan Masjidil Haram pada bulan Ramadhan. Ingat, Ramadhan tidak seperti waktu berhaji. Jika pada musim haji ada pembatasan jumlah jamaah, untuk umrah Ramadhan tidak ada batasan sama sekali. Puncak keramaian terjadi sehabis Ashar hingga waktu Subuh. Ketika Subuh berakhir, jumlah jamaah berangsur­ angsur berkurang biarpun tak bisa dibilang sepi. Tak banyak orang memilih melakukan ritual umrah pada siang bolong.

***

Meskipun keadaannya sangat berbeda, lama-kelamaan saya menik.mati bulan Ramadhan di kota yang berjarak 70 kilometer dari kota Mekkah ini. Memang, rasa rindu pada keluarga tak kunjung habis. Saya juga bingung kenapa di sini orang malah "dugem" saat bulan puasa, ya? Mau tak mau sesekali kami pun ikut ngabuburit ala mereka, dugem tengah malam demi anak-anak. Kasihan, kan, mereka tidak ada hiburan. Di lain waktu, saya janjian dengan teman anak-anak kami bisa main bersama pada siang hari. Ngabuburitala OrangArab 25

Aduh, saya sering merasa beribadah puasa di sini malah ti­ dak k.husyuk. Bagaimana mau menikmati bulan pen uh berkah ini? Namun, akhirnyasaya menyadari beberapa hal. Ngabuburit­ nya boleh beda, tetapi ibadah puasanya bukan hak kita, sesarna manusia, untuk rnenilai. Lagi pula, urusan rnenikmatiternyata bisa selesai dengan kalimat sakti ini, "Happ iness is not given. It is made. "Kan ada lagunya, tuh. Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang. Berpuasa itu pada intinya adalah beribadah kepada Allah. Seharusnya kita bisa merasakan kehadiran-Nya di mana saja, apa pun suasananya. Nik.mat berpuasa ada dalam diri sendiri, bukan karena suasana lingkungan dan orang-orang sekitar. Selarnat menjalankan ibadah puasa di mana pun Anda berada.

*** Baghdad.

• IRAQ Amman

Buraydah. Dai YPT � � • .Medina * Ri� tg Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 28 Memoarof Jeddah

�nda of Arabia tadinya adalah judul novel yang ingin Dsaya buat. Namun, kala itu saya berpikir saya tak pandai menulis fiksi.Jadi, judul itu menganggur saja. Penghujung tahun 2011, setelah sangat aktif menulis di beberapa blog pribadi, saya menyadari satu hal, "Saya suka sekali menulis!" Saya menghitung, ada puluhan postingan saya di sebuah blog travelling, plus puluhan postingan lain dari penulis lain yang saya edit. Saya juga menulis belasan postingan tentang negara lain yang diceritakan teman saya via email. Namun, saya tetap menuliskan nama teman saya sebagai penulisnya. Begitu tergila-gilanya saya menulis hingga saya tidak keberatan menulis atas nama orang lain. Yang penting blognya ramai dan saya ada alasan menulis. Toh, foto-fotonya dari teman saya itu. Saya menuliskan kalimat ini di cata tan resolusi 2012 saya: "Blog Mamasejagat was some kind of sign to remind me of how much I loved writing when I wasjust a kid. It led me to create another blog: cerita]eddah. Then I truly realized how I still love writing until now, and tadaaaaa ... suddenlywe get one resolution for2012: writing something more serious than a casualpost on my biogs (a book perhaps?). " Resolusi iseng saja. Namun, yang iseng-iseng ini justru mengganggu jadwal tidur selama berhari-hari pada awal bulan Januari itu. Akhirnya, daripada enggak bisa tidur, whynot? Let's write a book!

*** Bunda ofArabia (Behind the Scene) 29

Dasar sok keren, saya pikir sekadar menerbitkan sebuah buku kayaknya terlalu biasa. Bagaimana kalau pakai tenggat waktu? Tenggat waktunya jangan satu tahun. Yang menantang, dong! Saya pun menantang diri sendiri, "Do it in three months! From the scratch!" Jadilah tanggal 1 April 2012 saya tetapkan sebagai tanggal keramat. Pada tanggal itu nanti buku pertama saya akan terbit, whatever it takes!

Namanya juga bukan penulis. Ketikagooglingdan menemu­ kan berbagai artikel mengenai berapa lama biasanya sebuah buku terbit, saya langsung layu. Rata-rata membutuhkan waktu minimal 3-6 bulan. ltu pun levelnya sudah termasuk penulis tenar. Bukan orang macam saya yang tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba merasa pengin menerbitkan buku. Anehnya, sifat keras kepala saya malah meluap-luap. "Masa, sih, tidak ada cara lain?" Jadilah saya mencoba peruntungan lebih jauh, tetap dengan mengandalkan Mbah Google. Akhirnya, menemukan banyak sekali informasi tentang indie publishing. Serasa bertemu jo­ doh, dalam hati saya bersorak, "Eureka! Eureka!"

***

Nah, sekarang mulai menulis. Buku pertama ini mengandung misi untuk mengenalkan kota Jeddah pada kalangan pro­ fesional. Jadi, saya memilih bentuk antologi yang akan menya­ jikan pengalaman beberapa orang sekaligus. Sejujurnya, ini tantangan baru lagi. Saya tahu pasti, mengedit tulisan orang jauh lebih susah daripada menulis sendiri. 30 Memoarof Jeddah

Te man-teman saya di Jeddah tak banyak yang suka menulis. Mulailah saya bergerilya mencari kontributor clanmenceritakan misi saya. Belum ada yang tertarik. Saya mengarahkan tema apa saja yang saya mau. Sudah ada yang tertarik tapi mengaku tak bisa menulis. Akan tetapi, sekali layar terkembang, pantang surut ke daratan. Saya terus membujuk orang-orang yang saya incar kisahnya. Saya bujuk mereka melalui BBM, inbox Facebook, hingga mendatangi ke apartemen mereka. Saya wawancarai. Akhirnya, mereka mulai menulis. Banyak yang menulis untuk pertama kalinya. Saya sudah memprediksi akan banyak sekali mengedit tulisan mereka. Nekat, ya? Sementara itu, saya pun belum menggenggam banyak pengalaman menulis. Hasil berburu kontributor dengan intensif membuahkan sebuah naskah dalam tempo tiga minggu. Jangan ditanya sepetnya mata mengedit tulisan setiap malam. Hey, there's no such thing ca lled free lunch! Begitu naskah selesai, jalannya masih panjang.

***

Sesungguhnya, rasa gentar itu sudah selalu menghantui dari awal. Sejak mencanangkan proyek menerbitkan buku tiga bulan saja, kadang-kadang lutut sudah bergetar. Saat hampir putus asa mencari kontributor, saya sudah le­ mas. "Ah, sudahlah. Lanjutin kapan-kapan aja, deh. Lagian kok sinting mau nerbitin buku dalam tiga bulan." Bunda ofArabia (Behind the Scene) 31

Saat naskah sudah jadi, berburu indie publishing tidak kalah melelahkannya. Siapalah saya? Cuma blogger. Informasi yang saya dapatkan hanya mengandalkan mesin pencari di internet. Saya pun sempat takut dengan beberapa peristiwa penipuan yang didalangi penerbit indie. Duh, apa mundur saja, ya? Setelah menghubungi lima penerbit, akhirnya menemukan satu yang cocok. lni pun cukup deg-degan. Untung salah satu teman dekat saya di Jeddah kenal baik dengan pemiliknya. Akhirnya, saya mengorek isi tabungan pribadi untuk membia­ yai penerbitan buku ini. Selesai sampai di situ? Te rnyata belum. lnilah puncaknya. Melalui penerbit indie, naskah kita memang tak akan ter­ tolak. Namun, penerbit tidak mengurusi strategi pemasaran dan penjualannya. Keduanya termasuk tanggung jawab penu­ lis. Mereka hanya membantu proses distribusi. Sederhana saja ternyata. Jual saja door to door. Ada internet, pikir saya. Kirim pesan via media sosial saja banyak-banyak. Saya pun mulai mengirimkan pesan via inbox di berbagai media sosial. lsi pesannya sama, hanya mengganti beberapa bagian yang dirasa perlu. Assimple as that. Cukup melelahkan juga ternyata. Aw alnya respons sangat minim. Saya lagi-lagi ciut. Padahal, 800 eksemplar sudah tercetak. Saya pun terus saja menyebar pesan secara personal. Pokoknya tutup mata dulu dengan . Lakukan saja yang terbaik semampu saya. Saya terbakar dengan kalimat dari Ustaz Salim A. Fillah di dalam salah satu tulisan di blog beliau. "Keajaiban kadang memancar dari sumber yang lain, bukan dari jalan yang kita susuri atau jejak-jejak yang kita torehkan dalam setiap langkah 32 Memoarof Jeddah

menjalani usaha. Begitulah keajaiban datang. Te rkadang tak terletak dalam ikhtiar-ikhtiar kita." Jadi, just do your best! Let Allah takes care the rest! Menjelang buku cerbit, entah kenapa mendadak banyak yang tertarik. Satu per satu mulai membalas pesan. Tiba-tiba banyak teman yang menawarkan jadi reseller. Anehnya, saya tidak pernah menghubungi mereka. Te rnyata mereka tahu dari teman saya yang lain. See? Begitulah keajaiban datang. Te rkadang tak terletak dalam ikhtiar-ikhtiar kita.

***

So far, cetakan pertamanya habis dalam tempo 10 hari sejak terbit. Kebanyakan pembeli memang dari teman-teman dekat kami saja. Kesembilan penulis dari antologi ini pun ikuc serca dalam proses pemasaran dan penjualan. Sekarang saya sedang melanjutkan ikhtiar untuk cetakan keduanya yang memang tersendat-sendat. Saya benar-benar belajar banyak hal dari pengalaman ini. Saya berpikir, setelah menjalani banyak tahapan yang me­ lelahkan, saya akan kapok. Te rnyata tidak. Saya malah makin mencintai dunia menulis. Saya terus berusaha agar makin ma­ hir. Kesimpulan saya tercantum dalam kalimat yang saya ambil dari Running Quotes from George Sheehan ini, "It's very hardin the beginning to understandthat the whole idea is not to beat the other runners. Eventuallyyou learn that the competition isag ainst the little voice inside you that wants you to quit. " Bunda ofArabia (Behind the Scene) 33

Benar juga. Sebenarnya dalam usaha menggapai setiap mimpi, dalam setiap langkah kita untuk mendekat padanya, ada satu musuh dalam diri yang sukar terlihat dan usah di­ taklukkan, '.14 littk voice inside you that wants you to quit. " Melawan diri sendiri. ltulah intinya. Melawan bisikan­ bisikan yang diembuskan oleh batin sendiri, "Udahlah, ngapain capek-capek? Berhenti aja. Emang nggak mungkin, kali. Menyerahlah." Kemenangan bukan terletak saat bukunya akhirnya ter­ bit, tetapi pada kemenangan-kemenangan kecil dalam tiap pertarungan untuk menaklukkan bisikan-bisikan tadi. Meng­ usir jauh-jauh keinginan untuk berhenti saat garis finish sudah di depan mata. Buku ini bahkan terbit lebih cepat daripada target awal, 1 April. Tanggal 25 Maret, buku Bunda of Arabia sudah terbit. Anggaplah kita sedang berlari. Boleh menurunkan kece­ patan. Tak salah bila langkah melambat. Tak diharamkan bila sekali-sekali berhenti untuk mengelap keringat dan mengum­ pulkan napas. Yang tidak boleh adalah melepaskan sepatu, menepi di lintasan lari, dan menunduk putus asa sambil berbisik, '1'm never gonna make it. " Siapa yang tahu, ketika Anda menyerah dan berbalik, gar is fin is h tinggal beberapa me­ ter lagi. Jadi, cari garis start. Pasang sepatu, lalu mulailah berlari. Jangan mengizinkan ayunan langkah terhenti sebelum meya­ kini bahwa garis finish telah terlewati.

*** L • IRAQ Amman

Buraydah. Dai YPT � � • .Medina * Ri� � Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 36 Memoarof Jeddah

anggal 7 Dzulhijjah sudah menjelang. Sejak pagi, kami Tsibuk melengkapi barang-barang bawaan. Kami akan membawa si bungsu, Narda, untuk ikuc berhaji. Cukup sibuk mengatur bawaan yang didominasi oleh popok sekali pakai, susu kotak, dan camilan balita. Tas si sulung, Nabil, juga dibereskan. Nabil tidak dibawa serca. Alhamdulillah, ada teman yang menawarkan diri men­ jaga Nabil. Sebelum azan Zuhur, kami mengancar Nabil ke rumah teman yang bersedia menjadi tempat penitipan terse­ but. Hanya sekitar setengah jam kami di sana, kami pun ber­ gegas pulang. Begitu azan Magrib, kami langsung mandi. Suarni menge­ nakan pakaian ihram, lalu kami shalat bersama. Dengan me­ numpang taksi, kami bertiga berangkat menuju hamla (biro haji) Al Mahabbah, tempat kami mendafcar haji. Hamla kami cukup spesial karena memperbolehkan jamaah­ nya membawa anak-anak. Asalkan memiliki iqama (semacam KTP untuk pemukim Saudi), kita bebas mendaftar di hamla mana saja di negara Saudi. Biayanya beragam, tergantung fasilitas yang disediakan. Ada pula pemukim yang menjadi haji 'koboi'. Tidak perlu mendaftar. Datang saja pada hari wukuf ketika penjagaan di checkpoint kota Mekkah sudah longgar. Mereka membawa tenda dan makanan sendiri. Beberapa kenalan saya malah mengundang orangtua mereka dengan invitation letter biasa dan membawa mereka ikut serta berhaji. Hati-hati, jangan gegabah. Bila ketahuan, bisa dipenjara dan dipulangkan paksa ke negeri asal. Naik Haji via Jecldah 37

Lokasi hamla dekat sekali dengan gedung apartemen kami. Hanya butuh lima menit perjalanan. Begitu tiba, kami langsung disambut pemandangan berupa belasan bus besar yang siap mengangkut jamaah memasuki kota Mekkah. Pukul delapan malam, bus mulai berjalan. Kota Mekkah cuma sekitar 70 kmdari Jeddah clan biasanya ditempuh dalam waktu 45 menit. Pada musim haji seperti ini, tanggal 7 malam biasanya rombongan Jeddah serentak memasuki Mekkah. Alhasil, perjalanan pun tersendat-sendat begitu mendekati checkpoint Mekkah. Sekitar pukul setengah sebelas malam kami ciba di Kudai, parkiran raksasa yang dibuat khusus uncuk pengunjung Masjidil Haram. Kudai ini hanya ramai saat Ramadhan clan musim haji saja. Pada hari-hari lain, shuttle bus dari clan ke Masjidil Haram agak sepi sehingga para pemilik kendaraan enggan memarkirkan mobil di sana. Kami langsung menuju Masjidil Haram. Tak ada pembim­ bing, semua bergerak sendiri-sendiri. Saar musim haji clan Ramadhan banyak disediakan bus khusus untuk bolak-balik Kudai-Haram. Duh, ramainya saat harus berebucan naik bus Saptco. Kami sudah terbiasa dengan sifat orang-orang Arab yang pada umumnya memang kurang sabaran. Jadinya pasrah saja menanti giliran. Pukul sebelas malam kami tiba di Masjidil Haram, lalu ta­ waf di lancai satu. Keadaannya sudah sesak. Namun, semilir angin malam di awal musim dingin membantu kami melewati 1,5 jam mengitari Ka'bah selama tujuh putaran di tengah impitan jamaah lainnya. Sementara itu, anak kami tidur terus. 38 Memoarof Jeddah

Tadinya ingin melanjutkan dengan sa'i, tapi kami takut ter­ tinggal bus. Jadi, kami pun bergegas ke arah bus station dan melesat kembali ke Kudai. Tiba di Kudai, ternyata keadaan masih sepi sekali. Jam me­ nunjukkan pukul 2.30 dini hari. Kami langsung menyesal karena tidak ikut sa'i, padahal masih segar bugar. Kami bertiga akhirnya duduk-duduk di rumput di samping parkiran bus sambil menikmati teh hangar yang dibeli suami di baqala (toko kelontong) di seberang jalan. Pukul 4.30 subuh barulah bus kembali bergerak menuju Mina. Macet luar biasa. Butuh sekitar sejam untuk mencapai tenda di Mina, padahal jaraknya cuma sekitar dua kilometer. Setiap hamla menyewa satu kompleks tenda tertentu. lstilahnya compound. Di depan tiap compound terpasang plang bertuliskan nama hamla penyewanya. Dalam compound tersebut, tenda perempuan disekat khu­ sus, terpisah dari tenda laki-laki. Te mpatnya bersih sekali. Ada belasan, bahkan mungkin puluhan asisten, yang hampir tiap waktu membersihkan kamar mandi, lorong-lorong antartenda, dan ruangan dalam tenda. Anak-anak pun bebas berlarian di luar tenda. Nah, tiap tenda terbagi-bagi lagi. Satu tenda bisa ditempati oleh 10-20 orang. Ada delapan tempat tidur tingkat lengkap dengan kasur dan selimut untuk tiap orang. Lantainya dialasi karpet-karpet yang cukup tebal. Ta nggal 8 Dzulhijjah pagi, suasana dalam compound su­ nyi senyap. Sebagian besar jamaah tertidur lelap, mungkin kelelahan. Saya memanfaatkan kesempatan ini untuk mandi, Naik Haji via Jeddah 39

mumpung kamar mandi tidak terlalu ramai. Anak saya, Narda, sudah pulas dari tadi. Dalam tenda saya, dari 16 orang perempuan dewasa, 15 orang adalah perempuan Arab asal Mesir. Semua tempat tidur bawah sudah terisi. Jadi, saya kebagian tempat tidur tingkat atas. Untung juga karena tempat tidur bagian atas tidak pengap. Mereka sangat ramah. Pada siang hari, saya leluasa ke ka­ mar mandi atau keluar tenda sebentar jika ada keperluan dan menitipkan Narda pada salah satu dari mereka. Di hamla saya ternyata ada beberapa orang Indonesia. Saya bertemu mereka di tenda Arafah. Kelima orang tersebut adalah pekerja rurnah tangga. Sebagian takut keluar tenda dan meminta tolong kepada saya untuk membelikan lndomie gelas. Di sekitar tenda-tenda memang banyak toko-toko kecil dan penjual makanan jadi.

***

Sepanjang hari pada tanggal 8 dilewati dengan acara berkenalan. Malam harinya semua tidur lebih awal, mempersiapkan diri untuk wukuf di Arafah keesokan paginya. Ta nggal 9 Dzulhijjah pun menjelang. Azan Subuh masih berkumandang, tapi compound kami sudah hiruk pikuk sejak sejam sebelumnya. Setelah sarapan roti ala Arab, tepat pukul tujuh pagi kami berbaris di depan tenda. Ikut mengantre menuju stasiun kereta yang akan membawa kami ke Padang Arafah. 40 Memoarof Jeddah

Stasiunnya dekat sekali. Stasiun Mina 1 hanya berjarak se­ kitar 200 meter dari compound kami. Namun, puluhan ribu jamaah lainnya akan menuju stasiun dan menaiki kereta yang sama. Kami mengantre sekitar 1,5 jam dari depan tenda hingga menapakkan kaki di kereta. Suasana cukup tertib. Masih pagi dan segar. Talbiyah terus berkumandang tak putus-putusnya. Te rus membakar semangat biarpun kaki lumayan pegal karena berdiri dan berdesakan cukup lama. Petugas-petugas di stasiun berjumlah ratusan dan sangat kompak. Pria-pria berseragam biru tua itu tak ada capeknya mengarahkan puluhan ribu jamaah, dari mengantre di jalanan, memasuki stasiun, hingga berdiri dengan patuh menanti di pintu kereta. Naik kereta dari Stasiun Mina 1 ke Stasiun Arafat 3 cuma 20 menit. Setelah itu, kami berjalan kaki sekitar 15 menit me­ nuju compound yang disewa oleh hamla kami. Sepanjang jalan, terutama di bawah jembatan, sudah dijejali para 'haji koboi'. Ada yang cuma bermodal selembar tikar tipis tanpa tenda. Ta nggal 9 Dzulhijjah pagi itu Arafah penuh dengan jutaan umat. Datang bersama-sama dari segala penjuru dunia untuk menundukkan diri di hadapan Allah, memuji keagungan-Nya di momen wukuf, salah satu rukun wajib ibadah haji. Mahabenar Allah dengan firman-Nya, yang sudah diturun­ kan lebih dari 1.400 tahun lalu, bahwa: Naik Haji via Jeddah 41

"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, nis­ caya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka .... "(QS. Al-Hajj (22]: 27-28).

***

Te nda di Arafah juga berbentuk compound. Kamar mandinya pun khusus. Tidak kalah nyaman dengan tenda Mina. Ruangan dalam tenda hanya beralas karpet tebal tanpa tem­ pat tidur. Meskipun tidak menginap, tiap jamaah mendapat sebuah kantong tidur. Untuk perempuan ada lima tenda besar. Satu tenda ber­ isi 70-80 orang. Te ndanya lapang dengan atap yang tinggi. Pendingin ruangan disediakan di setiap sudut tenda. Dileng­ kapi pula dengan satu kipas angin besar. Sejam pertama di Arafahdiisi dengan drama perebutan AC. Masing-masing berkeras mengontrol arah angin dari AC besar tersebut. Duh, ributnya mereka berdebat. Ketika ibu-ibunya sibuk beradu mulut, anak-anak kecil meraung-raung. Mungkin kegerahan. Untungnya, Narda lagi-lagi tidak ikut-ikutan rewel. Dia asyik saja bermain-main dengan kantong tidur basil pembagian tadi. "Kerusuhan" itu berakhir saat azan Zuhur berkumandang. Setelah shalat berjamaah, makan siang pun datang berupa nasi kabsah yang disajikan dalam bentuk nampan. Sempat bingung juga. Satu tenda disapu bersih oleh orang Arab. Te man-teman satu tenda di Mina duduknya sudah tersebar-sebar pula. Akhirnya, dengan membawa nampan kosong, saya membe­ ranikan diri mendekati tiga orang ibu yang asyik makan senam­ pan, "Can I have a little?" 42 Memoarof Jeddah

Mereka menyambut dengan ramah dan mengisi nampan saya dengan makanan. Banyak banget, malah. Saya sampai mesti menolak berkali-kali, "Kha/as, khalas. It's too much. '� Sehabis makan, sebagian besar ibu-ibu di tenda saya malah tertidur sedangkan anak-anak mereka ramai berlari-lari. Narda sedang berada di bawah pengawasan bapaknya. Setelah makan tadi, saya membawanya ke tempat suami. Biarpun suasana tenda agak gaduh dengan suara ibu-ibu yang asyik mengobrol, saya berusaha untuk berkonsentrasi berdoa. Sesekali saya mengecek ponsel, melihat kembali siapa saja yang menitip doa via pesan singkat. Alhamdulillah, kesendirian tidak menghalangi niat ber­ ibadah. Malah ketika terbenam seorang diri dalam tangis, se­ seorang menepuk bahu saya perlahan, menyodorkan tisu dan air mineral. Masya Allah.

Usai memanjatkan doa, saya bertukar buku dengan suami. Kami janjian di pintu batas tenda perempuan dan laki-laki, sekaligus berganti giliran menjaga Narda. Tiba kembali di tenda perempuan, Narda lagi-lagi tertidur pulas. Ta mpaknya ia tahu mamanya butuh konsentrasi untuk memanfaatkan sedikit kesempatan untuk memohon belas ka­ sihan melalui munajat panjang kepada-Nya di tempat dan waktu yang paling mustajab itu. Akhirnya, waktu Magrib tiba. Kami berkemas-kemas. Se­ lanjutnya, berbaris lagi di jalan dan mengantre menuju stasiun untuk kembali ke Mina dengan menggunakan kereta.

2 Cukup, cukup. lni terlalu banyak. Naik Haji via Jeddah 43

Para haji 'koboi' telah meninggalkan tempat mereka. Sedih­ nya, mereka juga meninggalkan tumpukan sampah di mana­ mana dan bau pesing yang menyengat. Saya tahu, ibadah ke­ pada Allah itu nomor satu. Namun, bukankah kebersihan pun sebagian dari irnan? Dalam buku sejarah Perang Suci karya Karen Armstrong dituliskan bahwa orang-orang Eropa Barat belajar mandi dari orang-orang muslim di Jazirah Arab. Mereka belajar ke­ bersihan justru dari kaum muslimin. Kenyataannya kini, tak banyak negara muslim yang terkenal dengan kedisiplinan me­ reka dalam menjaga kebersihan.

***

Jika paginya suasana mengantre menuju stasiun tertib dan syahdu oleh lantunan talbiyah, suasana pulang berubah 180 derajat! Kami mengantre hingga tiga jam! Dalam tiga jam itu, orang-orang berdesakan dan berimpitan, diselingi suara orang-orang yang berteriak mengamuk. Anak­ anak kecil bergantian meraung. Keringat sudah mengucur dari atas hingga alas kaki. Entah berapa kali terkena sikut orang lain. Anak saya tidak rewel sedikit pun. Sesekali ia malah terti­ dur, padahal badannya sudah basah oleh keringat. Suami saya pun tenang. Tidak ikut berteriak-teriak atau memasang wajah emosi. Untuk suami dan anak luar biasa ini, beberapa kali saya menicikkan air mata sembari berucap dalam hati, "Bismillahirrahmanirrahim. Fa biayyi alaa irabbikuma tukazziban. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha 44 Memoarof Jeddah

Pengasih dan Maha Penyayang. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"

***

Pukul setengah tujuh meninggalkan tenda Arafah, tiba di tenda Mina sekitar pukul 10 malam. Saya langsung memandikan Narda, mengganti bajunya, dan membiarkannya tidur nyaman di kasur. Te man sebelah menawarkan diri untuk menjaga Narda dan mempersilakan saya mandi. Untung juga saat itu kamar mandi sedang sepi. Mungkin banyak orang yang masih "berjuang" di jalan dalam perjalanan pulang dari Arafah. Setelah mandi sekadarnya, saya langsung pulas di sebelah Narda. Keesokan paginya, subuh-subuh sudah heboh. Orang­ orang berjabac tangan dan berpelukan. Saya sempat bengong sebentar hingga akhirnya Eyma, salah sacu penghuni tenda yang sama, menghampiri saya dan berkata, "Happy led, Jihan." Ya am pun! 10 Dzuhijjah, Hari Raya Qurban. Kemeriahannya berlangsung hingga ke kamar mandi. Ti ap orang berpelukan dan mengucapkan selamat. Rasa lelah karena peristiwa sema­ lam, terkurung antrean selama tiga jam menuju kereta, meng­ uap cak berbekas pagi itu.

***

Sebagian besar penghuni tenda saya melontar jumrah hari percama pada waktu fajar. Pukul enam pagi mereka sudah membawa anak masing-masing (dari 16 orang, perempuan Naik Haji via Jeddah 45 di tenda saya membawa balita). Bersama para suami, mereka bergegas menuju stasiun kereta. Sejak hari pertama, untuk melontar jumrah tidak mendapat bimbingan apa pun dari hamla. Seluruh jamaah berangkat sendiri-sendiri atau dalam rombongan-rombongan kecil. Setelah Narda bangun dan sarapan, pukul 8.30 kami bertiga berjalan menuju stasiun. Te rnyata, kereta menuju Jumarat dihentikan sementara. Katanya, empat jam lagi baru akan kembali beroperasi. Masa mau balik ke tenda? Jadilah pada hari pertama itu kami berjalan kaki dari tenda Mina menuju Jumarat. Jaraknya sekitar 4 km. Setelah 1,5 jam berjalan kaki, tibalah kami di tempat melontar jumrah. Kami memilih lantai 4. Suasana cukup lengang, tidak berdesak-desakan sama sekali. Kami pulang ke Mina dengan naik kereta. Jarak ke stasiun pun bisa ditempuh dengan 10 menit berjalan kaki. Tiba di tenda Mina, tukang cukur sudah ada di mana­ mana. Lantunan talbiyah mulai tenggelam berganti dengan gema takbir, "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillaahilham.... " Suami langsung mencukur rambut dengan biaya 10 riyal. Dalam tempo semenit langsung plontos. Usai sudah masa berihram. Pulang ke tenda, suami mandi dan mengganti kostum ihram dengan baju biasa. Karena kelelahan, kami me­ mutuskan untuk melaksanakan tawaf Ifada besok saja.

*** 46 Memoarof Jeddah

Malamnya agak santai. Saya bermain-main dengan anak­ anak kecil dalam tenda saya dan berbincang-bincang dengan ibu-ibu yang lain. Belajar dari pengalaman tanggal 10 kemarin, pada tanggal 11 Dzulhijjah kami bergerak lebih pagi. Pukul enam kami su­ dah siap dan sudah sarapan. Narda yang masih tidur digotong saJa. Kami berjalan ke arah Musdalifah untuk mencari angkutan menuju Mekkah. Cuma lima menit menunggu di tepi ja­ lan, datang deb sebuah mobil omprengan tujuan Mekkah. Ongkosnya sekitar 30 riyal per orang. Kota Mekkah masih sunyi sekali pagi itu. Penumpang di­ turunkan di dekat Masjidil Haram. Kami mampir sebentar uncuk membeli sarapan buac Narda dan dua gelas teh hangar. Masjidil Haram masih relatif sepi. Tawaf di lantai satu sudah sangat sesak tapi kami tetap nekat menembus masuk. Sekicar 30 detik terkurung di impitan orang-orang dan ci­ dak bergerak maju sedikit pun, suami langsung memberi ins­ truksi tegas, "Keluar! Keluar! Kita cawaf di lantai dua saja!" Keputusan yang sangat tepat untuk tawaf di lantai dua. Kami pikir, kepadatan pada tanggal 11 sudah berkurang. Ter­ nyata masih sangat padat juga. Lantai dua adem sekali. Full AC dan kipas angin di mana­ mana. Terasa sangat sejuk. Saya agak keder saat mengedarkan pandangan dan menyadari becapa panjangnya jarak tempuh di lantai ini. Tiga putaran pertama relatif nyaman. Memasuki putaran keempat, bottle neck-nya mulai memanjang. Mulai, deb, seng­ gol-senggolan, dorong-dorongan, dan saling menghardik. Naik Haji via Jecldah 47

Tawaf ifada tuntas dalam tempo 2,5 jam nonstop. Boro­ boro, deh, mau mampir beristirahat. Usai putaran ketuj uh, seluruh badan terasa sakit saat berusaha menembus keluar dari jalur tawaf Di lantai dua, jalur tawaf sudah bercampur dengan rombongan sa'i. Selesai tawaf masih harus dilanjutkan dengan sa'i. Sebe­ lumnya, harus saalat dua rakaat terlebih dahulu. Pokoknya, begitu bertemu tempat kosong, langsung shalat saja. Suami mengantre unruk mengambil air zamzam sebentar. Antreannya sesak, tapi suami saya gesit juga. Dalam tempo lima menit ia sudah datang membawa dua botol dan dua gelas air zam-zam. Kami duduk sebentar di wilayah Safa, sedikit mengatur napas. Namun, kami tidak berlama-lama duduk karena takut keburu makin sesak. Kami bergegas melaksanakan sa'i. Untuk melaksanakan sa'i cuma butuh waktu satu jam. Normalnya, saat bukan musim haji dan Ramadhan, kami sa'i sekitar 40 menit. Setelah sa'i, untuk keluar dari Masjidil Haram pun mesti mengerahkan kekuatan penuh. Saya sempat melihat tempat sa'i di lantai satu. Subhanallah, penuh luar biasa! Seperti tidak bergerak sama sekali. Kaki sudah kebas benar rasanya. Namun, ritual haji di hari itu belum berakhir karena kami masih harus melontar jumrah. Mengingat si kecil harus makan siang, kami menuju Supermarket Bin Dawood lebih dulu. Di Bin Dawood, kami membeli biskuit, wafer, susu, dan sebagainya. Setelah itu, kami menuju Kudai dengan menggunakan bus. Tiba di Kudai, kami berusaha mencari taksi untuk menuju 48 Memoarof Jeddah

Stasiun Musdalifah 3. Tarif taksinya 100 riyal, jauh lebih mahal daripada hari biasa. Kami sama sekali tidak perlu mengantre di stasiun. Kereta pun segera datang. Alhamdulillah. Setelah 25 menit, kami tiba di stasiun Mina 3 Oumarat). Lagi-lagi kami ke lantai 4. Masih lancar seperti kemarin. Tempat jumarat memang sudah jauh berbeda sekarang ini. Selain sudah dibuat empat lantai, semua tugunya pun diperlebar. Setelah melontar jumrah, kami langsung kembali ke stasiun kereta. Tiba di tenda Mina, tidak ada istilah santai-santai. Saya buru-buru memandikan Narda, ganti baju, dan menitipkan Narda ke suami sebentar. Biarpun badan sudah rontok, tetap harus makan dulu sebelum tidur. Jadwal makan malam orang Arab pukul sembilan malam. Saya tidak kuat menunggu. Jadi, selesai mandi, saya makan gelas dan satu butir telur rebus sisa sarapan. Lumayan. Setelah itu saya terkapar dikasur berdua Narda.

***

Tanggal 11 Dzulhijjah memang yang terberat buat kami. Alhamdulillah, semua rukun haji selesai pada tanggal itu. Sele­ pas sa'i, secara rukun kami resmi menyandang gelar haji. lnsya Allah mabrur. Amin. Pas tidur malamnya, terasa deh betis dan kaki mulai pegal. Doa saya malam itu, "Ya Allah, berilah saya kekuatan untuk melakukan tawaf wada besok sore." Menurut beberapa teman, pemukim Jeddah boleh saja ti­ dak melakukan tawaf wada saat itu juga. Pulang saja dulu ke Naik Haji via Jeddah 49

Jeddah, nanti balik lagi untuk melakukan tawaf wada. Namun, mumpung semangat masih membara, kami memutuskan untuk tidak menunda. To h, bus kami pasti mampir di Mekkah dulu. Ta nggal 12 Dzulhijjah merupakan hari terakhir di Mina. Karena mengambil nafar awal, sebelum senja tiba kami sudah harus meninggalkan Mina. Paginya, saat di kamar mandi, saya kaget bukan kepalang. I got my period that morning. Saya sibuk menghitung hari. Seharusnya masih tiga hari lagi. Kok kali ini cepat sekali, ya? Jadwal menstruasi saya hampir tidak pernah kecepatan. Kalau terlambat, sih, pernah. Saya berpikir positif saja. Mungkin ini jawaban Tu han atas doa saya semalam. Saya malah tidak diizinkan untuk ikut ta­ waf wada hari ini. Pasti ada hikmahnya. Mohon diingac, satu-satunya ritual haji yang "terlarang" bagi wanita yang sedang haid hanya tawaf Sisanya tetap boleh. Wukufboleh, melontar jumrah pun boleh. Jadi, menurut saya sih, pemakaian obat-obatan tertentu untuk mencegah jadwal menstruasi itu tidak perlu. Tidak baik pula untuk kesehatan, kan? Kami melontar jumrah terakhir pada pagi hari. Pukul tujuh kami sudah menuju stasiun. Kereta masih kosong melompong. Te mpat melontar jumrah di lantai empat pada hari ketiga itu benar-benar sepi. Kami berjalan dari stasiun menuju Jurnarat sambil mencari kerikil-kerikil kecil buat melontar. Karena sepi, cukup aman berjalan sambil sesekali berjongkok memunguti kerikil. 50 Memoarof Jeddah

Pulang ke tenda, saya membenahi isi tas. Beberapa teman mulai pamit. Mereka ke Mekkah sendiri lebih awal tanpa menunggu rombongan. Namun, sebagian besar teman satu tenda saya mengambil nafar akhir. Mereka baru meninggalkan Mina pada tanggal 13 Dzulhijjah. Te rharu juga saat pamit. Satu per satu teman menyalami saya. "�'regonna miss you. Take care. Ma 'assalamah. Wa daan. "5

***

Bus tiba di Kudai pada pukul setengah tiga sore. Sopir bus memberi waktu empat jam. Pukul setengah tujuh sudah harus kembali ke Jeddah. Saya ikut ke Masjidil Haram. Begitu tiba, saya sudah mulai deg-degan. Hampir semua pintu dikepung pria berseragam cokelat. Sempat terjadi kehebohan di salah satu pintu. Be­ berapa orang mendobrak masuk dan mematahkan barikade para petugas. Namun, dengan sigap para petugas itu kembali berdiri cegak dan menghalau orang yang ingin masuk. Rupanya akses ke lantai satu ditutup rapat. Untunglah kami berhasil menemukan pintu masuk yang cuma ada tangga langsung menuju lantai dua. Suami bergegas menuju tempat tawaf di lantai dua, sedangkan saya dan Narda menunggu di salah satu sudut masjid yang cukup lengang. Tadinya saya ingin memanfaatkan waktu dengan kembali membaca buku-buku doa yang masih tersimpan lengkap da­ lam tas. Apa daya, si kecil sedang ingin bermain-main. Dia berlarian ke sana kemari. Seorang bocah laki-laki Arab yang

3 Mo'ossolomoh, wodo'on = sampai jumpa lagi. Naik Haji via Jeddah 51 berusia sekitar tiga tahun tahu-tahu muncul dan mendorong Narda hingga terjatuh. Dia bangkit, menangis, dan berlari kembali ke arah saya. Ak.hirnya, saya menghabiskan waktu dengan mengawasi Narda yang berlarian ke sana kemari. Dibujuk agar tidur enggak mempan juga.

***

Nyaris empat jam menunggu, suami muncul dengan langkah tertatih-tatih. ''Aduh, penuhnya, Dek. Untung saja Adek lagi haid. Nggak bisa bayangin kalau harus tawaf yang ini sambil menggendong Narda." lni rupanya hikmah kenapa jadwal menstruasi saya yang biasanya sangat teratur (kalaupun tidak pas, biasanya mundur) tiba-tiba maju tiga hari. Semula saya sudah rela menggendong Narda balik lagi ke Kudai. Tapi tern ya ta ... suasana di luar masjid sama "horor" nya. Penuh sesak oleh lautan manusia. Suami yang tadi berjalan agak pincang mendadak gesit lagi. Sambil menggendong Narda, tangannya yang satu memegangi saya. Benar-benar padat. Belum lagi yang tidak sabaran berteriak­ teriak, "Yalla! Yalla!Imsi, imsi. Rouh, rouhf''i Pasrah, deh, didorong sana-sini di tengah lautan manusia. Ak.hirnya kami tiba dengan sempoyongan di bus station. Kami langsung naik bus-yang alhamdulillah belum terlalu padat-untuk menuju Kudai. Di Kudai kami setengah berlari

4 Ayo! Ayo! Jalan, jalanl Pergi, pergil 52 Memoarof Jeddah

menuju parkiran bus karena jam telah menunj ukkan pukul 8.30 malam. Kami terlambat dua jam! Namun, begitu mencapai bus, ternyata kami termasuk ja­ maah pertama yang ciba. Hanya ada sepasang suami istri dan si sopir yang sudah tampak gelisah. Baru duduk sebentar di kursi bus, suami tiba-tiba berseru, "Ya ampun! Makan malam Narda gimana?" Rasa letihnya mendadak luntur. Ia langsung melesat keluar bus dan berlari ke seberang jalan untuk mencari baqala. Tak lama kemudian, ia datang dengan membawa kantong plastik berisi jus kotak, air mineral, roti, dan -kue.

Satu per satu jamaah lain muJai datang. Waj ah-wajah kele­ lahan, langkah terpincang-pincang, dan saling menyambut dengan ucapan, "Ma bruk, mabruk. Hajj Mabruran lnsya

Allah. "5

Hingga pukul 10 malam bus tak kunjung penuh. Menjelang pukul 11, akhirnya semua penumpang sudah duduk di kursi masing-masing. Jalanan macet luar biasa. Pukul setengah dua dini hari barulah kami tiba di pelataran parkir hamla di Palestine Street, Jeddah. Untung tempatnya sangat dekat dengan gedung apartemen kami. Cuma lima menit naik taksi, kami tiba di rumah dengan selamat.

Semogamenjadi haji yang mabrur. Te rima kasih pada Allah yang sudah memberi kekuacan uncuk melaksanakan semua ritual haji ini dengan cukup lancar.

5 Selamat, selamat. Semoga mabrur. Naik Haji via Jeddah 53

Kalau mendengar cerita tante suami yang kebetulan berhaji juga tahun ini, kami jauh lebih beruntung. Haji reguler dari Indonesia berjalan kakipulang pergi selama prosesi lontar jum­ rah, sedangkan kami diberi kemudahan dengan fasilicas kereta. Kata tante juga, di tenda Mina mereka cuma tidur di atas karpet. Penghuni tenda cukup padat sehingga agak sulit jika ingin meluruskan kaki saat tidur. Sementara itu, kami tidur di tempat tidur yang sudah dilengkapi selimut clan kasur. Kami juga membayar biaya yang jauh lebih murah (dengan fasilitas luar biasa) clan durasi waktu yang jauh lebih pendek. Semoga segala kemudahan yang kami dapackan tidak mengurangi pahala berhaji ini. Amin.

*** L • IRAQ Amman

-- 8 u ray d ah• Dai YPT � � • .Medina * Ri� � Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 56 Memoarof Jeddah

ebelum berangkat ke Jeddah, tidak pernah terbayang jika S harus mengenakan kain hitam ke mana-mana. Saya pernah melihat pakaian seperti ini kala bermukim di kota Te heran. Te rnyaca, icu bukan abaya yang umum dikenakan di Saudi. Pakaian hicam-hicam khas ala perempuan Persia tersebuc ber­ nama chador. Biarpun buca fa shion, dalam hal berpakaian saya cukup picky. Saya lebih suka mengenakan celana panjang, cidak suka rok sama sekali. Nah, bagaimana ceritanya jika harus tinggal di cempat yang ke mana-mana harus mengenakan baju hitam panjang?

***

Berburu abaya di Indonesia ternyaca tidak sulit. Namun, saya sarankan jangan membeli abaya di canah air. Dengan kualicas yang sama, Anda bisa mendapatkan abaya yang lebih murah di )eddah. Catac

***

Ketika baru seminggu di Jeddah, saya sudah diajak teman mengikuti salah satu pengajian ibu-ibu di sini. Wah, soal komunitas Indonesia di Jeddah, jangan ditanya! Apalagi yang ibu-ibunya. Saya yang semula sempat khawatir akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan bengong di rumah, ter­ nyata malah kewalahan milih-milih komunitas yang cocok untuk eksis. Di pengajian pertama itu saya melihat beberapa orang da­ tang tanpa abaya hitam! Mereka hanya mengenakan gamis biasa, malah ada yang memakai gamis berwarna biru terang clan ada yang menggunakan jilbab warna kuning. Nahl Dari situ, saya langsung mengobrol dengan teman-teman yang sudah lebih dulu menyambangi kota Jeddah. Te rnyata, menurut mereka, "Tidak mesti hitam, kok. Jeddah ini lebih santai. Bahkan tidak sedikit perempuan muslim yang tidak menggunakan cutup kepala ke mana-mana." Di beberapa acara ibu-ibu selanjutnya, saya melihat be­ gi tu banyak model abaya yang keren. Biarpun warna hitam mendominasi, aksen berwarna bisa muncul di kancing depan dari atas sampe bawah, clan di lengan baju. Malah ada abaya yang warna hitamnya terkesan numpang lewat saja. 58 Memoarof Jeddah

Abaya polos yang tidak berwarna hitam pernah menjadi hits di kalangan ibu-ibu yang berasal dari Indonesia. Warna­ warnanya tergolong berani seperti biru, ungu, cokelat, merah marun, dan hijau cosca. Saya sendiri cukup nyaman memakai gamis berbahan jins warna biru dan sebuah gamis lain yang berwarna merah marun di tempat umum. Perempuan di mana-mana sama saja. Tidak ada kata mati gaya! Bagaimana dengan tutup kepala? Sebenarnya, cara berjilbab perempuan Arab pada umumnya sangat praktis, lho. Hanya dililit di kepala tanpa menggunakan peniti sama sekali. Namun, maraknya cara berhijab aneka rupa yang sedang tren di tanah air juga boleh dipraktikkan di Jeddah. Silakan saja. Tutup kepala bebas menggunakan warna apa saja. Modelnya pun tidak dibatasi. Lalu, apakah tumpukan celana jins clan baju lain yang non-abaya tak akan tersentuh? Belu m tentu. Jangan ragu memasukkan pakaian non-abaya-yang sudah umum kita gunakan sehari-hari di tanah air-ke dalam koper saat akan berangkat ke kota Jeddah. Coba simak penjelasan berikut. Di kota Jeddah ini, jumlah pendatang dari negara lain tidak sedikit. Para pendatang itu sudah punya komunitas masing­ masing. Meskipun ada juga yang bergaul lintas budaya, pada umumnya orang asal Indonesia bergaulnya ya dengan orang Indonesia juga. Demikian pula dengan pendatang dari Pakistan, Filipina, Bangladesh, clan bangsa Arab dari negara tetangga Saudi. Setiap komunitas pasti memiliki jadwal pertemuan masing­ masing. Dalam acara khusus orang Indonesia, pesertanya kebanyakan orang Indonesia semua. Kalau pertemuan dilaku- BergQ)'O clenganAbaya 59 kan dalam ruang privat, peserta tidak harus tampil dengan abaya. Carat, kewajiban berabaya atau bergamis panjang itu hanya di ranah publik. Kalau dalam rumah, biarpun ada acara kumpul-kumpul, abaya tidak waj ib. Di sinilah saatnya kita be­ bas mengenakan koleksi pakaian non-abaya Berburu abaya di kota Jeddah terbilang seru. Banyak rupa, ragam, model, dan tempacnya. Harga bervariasi. Mau yang mahal ada, yang murah juga banyak. Ada pula yang memiliki model cukup fa shionable dengan harga terjangkau. Salah satu tempat favorit saya dan teman-teman adalah toko-coko penjual abaya di Pasar Balad, tepacnya di sebuah bangunan mal yang bernama Queen's Building. Kami biasa berburu abaya di berbagai toko yang berjejer di lantai dua. Pada umumnya harga-harga abaya standar sekicar 100-150SR. Bahan abaya itu tergolong adem dan nyaman. Oulu saya sempat tidak habis pikir, mengapa negara yang dihujani terik matahari hampir sepanjang tahun tega betul mewajibkan kaum perempuannya memakai baju hitam-hitam?

***

Te rnyata, memakai abaya menjadi hal yang positif buat saya. Oulu saya suka melepas abaya di acara-acara rumahan. Sekali-sekali ingin, dong, pamer-pamer jins atau baju baru. Belakangan sudah jarang. Membuka abaya hanya saya lakukan kalau kegiatannya kurang nyaman dilakukan bila harus berabaya. Oulu saya merasa peraturan ini konyol sekali. Serasa mun­ dur beberapa abad ke belakang. Kampungan. 60 Memoarof Jeddah

Pada kenyataannya, aturan pakaian yang mengharuskan setiap perempuan dari golongan mana pun untuk berhitam­ hitam ini membuat hidup akan lebih praktis. Untuk apa punya abaya banyak-banyak? Masalah abaya juga membuat saya yang memang tergolong malas beli-beli baju jadi kalang kabut sendiri setiap berlibur ke tanah air. Berbulan-bulan hidup damai dengan abaya, kalau mudik sibuk mengisi lemari lagi. Damai di kantong, damai pula saat harus berhadapan dengan kaca, "Langsingnya aku ...." Pengalaman berabaya semasa hidup di Jeddah mengajarkan satu lagi hal penting:

., .,., · ,,. . ., · · , r ... · · • • · 1 · · · .,., . ... · · � • · · · :.J. . ,...... • 1c• ,..�•t -'�"' ·i:-. ·'�..I"" . ,.-' '°':!"'\�._;· .r&--'�� _,._, ·. 1_,.J-u • .« ·. 1 �-' "Bo/eh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bolehjadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. "(QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya. L • IRAQ Amman

Buraydah. Dai YPT � � • .Medina * Ri� � Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 62 Memoarof Jeddah

aya ingat betul ucapan salah satu teman saya, "Waktu baru S nyampe di Jeddah, pertama kali ke mal, ke Serafi Mall. Gue takut banget. Pegangan terus sama suami gue. Gue takut . dICU l"kl"I • Kalimat tersebut tidak berlebihan. Saya juga begitu. Se­ wakcu masih di tanah air, cerita-cerita yang mendominasi tentang Saudi ya tentang penculikan perempuan, perkosaan TKw, dan sejenisnya. Sebagian besar teman saya di Jeddah juga punya kesan pertama yang tidak jauh berbeda. Sekarang, sih, jangan ditanya! Siang-siang saat suami di kantor, kami suka kelayapan ke mana-mana. Aw al-awalnya masih suka naik taksi dengan sopir Indonesia. Lama-kelamaan makin banyak yang berani naik taksi "abal-abal". Taksi apa saja yang kami setop sendiri di jalan. Saya pun demikian, padahal saya termasuk penakut. Be­ lum lagi kecerdasan visual saya sangac terbacas. Susah sekali menghafal jalan. Sampai sekarang saya masih sering bingung membedakan empat ruas jalan utama yang mengelilingi lokasi apartemen kami: Madinah Road, Sitten Street, Palestine Street, dan Tahlia Street. Saya masih pilih-pilih rute. Kalau cuma ke sekolah anak atau ke rumah teman yang sering saya datangi, saya berani naik taksi "abal-abal" sendiri. Ada, lho, teman saya yang tidak pandang bulu. Ke mana pun berani naik taksi "abal-abal" sendiri!

*** PeopleWe H

Pernah tersiar rumor yang mengatakan bahwa kewajiban me­ nutup aurat bagi wanita di tempat umum malah menjadikan Saudi sebagai negara yang rawan perkosaan. Datanya dari mana, ya? Kejahatan pemerkosaan yang beberapa kali diberitakan di media nasional pada umumnya terjadi di wilayah domestik. Kejadiannya di dalam rumah. Di tempat-tempat umum, hijab antara perempuan dan laki-laki sangat dijaga, kecuali di tempat-tempat tertentu yang pengunjungnya didominasi oleh pendatang seperti di pusat perbelanjaan Balad. Saya cuma berani ke Balad kalau ditemani suami atau ramai-ramai dengan teman perempuan. Pendatang pada umumnya tidak terlalu terbiasa dengan aturan berhijab seperti ini. Kalau ke mal-mal besar, insya Allah aman buat perempuan yang hanya sendiri atau bersama balita. Pengalaman tiap orang berbeda-beda. Memoar ini pun berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri. Mungkin ber­ beda dengan teman-teman lain karena ada juga teman saya yang empet luar biasa dengan pria Arab yang menurutnya selalu mencari gara-gara. Alhamdulillah, biarpun ada yang kurang menyenangkan, bagi saya pribadi lebih banyak yang meninggalkan kesan baik.

***

Aw alnya saya bingung dengan laki-laki yang suka membuang muka ketika berpapasan dengan saya. Atau kalau saya di lift bersama suami, laki-laki lain dalam lift tiba-tiba merapat ke dinding. Kayak gengsi gitu, lho, dekat-dekat saya. Pernah juga 64 Memoarof Jeddah di rumah sakit saya duduk di ujung sebuah kursi panjang. Laki-laki yang duduk di ujung satunya langsung berdiri, pada­ hal tempat kosong di antara kami masih bisa ditempati oleb 2-3 orang lagi. Lain lagi di supermarket. Kalau di kasir, biarpun saya yang ada dalam posisi mengeluarkan uang dari dompet, kasir laki­ laki pasti memilib berbicara pada suami saya. Padahal saya juga bisa berbabasa lnggris dan sedikit-sedikit mengerti bahasa Arab. Saya mengomel pada suami, "Busyet, deb. Sombong amat laki-laki di sini. Kenapa, sib, Bang? Aku disangka TKw, ya? Jijik dekat-dekat orang Indonesia?" Suami langsung terbahak, lalu menjelaskan, "Jangan salah sangka dulu. Di tempat umum memang begitu. Laki-laki tidak boleb dekat-dekat perempuan, apalagi mengajak ngobrol yang tidak perlu." Benar juga ternyata. Baru, deb, saya perbatikan betul-betul sejak saat itu. Te rnyata perlakuan seperti itu berlaku untuk pe­ rempuan mana pun. Jadi, aman kok bagi para perempuan untuk bepergian, apalagi kalau ada suami. Selain lebih aman, kalau mau belanja­ belanja kan lebih terjamin. Ada ''.ATM colek" dengan saldo yang takterbatas. Apa? Ke mana-mana harus bersama suami? Suami di kantor dari pagi bingga sore. Masa jalan-jalannya malam doang? Tidak, kok. Tadi sudah dibahas, menunggu suami pulang kantor dulu hanya jika akan mengunjungi tempat-tempat tertentu. Dibandingkan situasi di Jakarta, rasanya memang berbeda. Di ibu kota tanah air, saban ke mal, biarpun sudah punya PeopleWe Hawin't Met Yet 65 anak, tampang seadanya, dan pakai penutup kepala pula, ada saja yang suit-suit enggak jelas. Di Saudi, perlakuan seperti itu jarang terjadi di tempat-tempat umum.

***

Bulan Januari 2011, saya tengah hamil enam bulan. Bumil kepengin jalan-jalan malam-malam. Jadi, deh, kami ke Corniche Road, lalu mampir di salah satu kios di pantai untuk jajan. Semua keluar dari mobil. Pintu dikunci dengan central lock. Lalu, suami tersadar, "Yaaa ... kuncinya ketinggalan di dalam mobil!" Waktu itu kami masih menggunakan mobil sewaan. Suami mencoba menghubungi pihak penyewa. Sembari menunggu mereka membawa kunci cadangan, suami berusaha sendiri. Saya berdiri di samping kios sambil kedinginan. Angin bertiup kencang sekali dan Jeddah sedang berada di puncak musim dingin. Aduh, langsung lemas. Mau duduk, bingung mau duduk di mana. Sementara itu, Abil, anak sulung saya, sudah sibuk berlarian sendiri ke sana sini. Tiba-tiba pemilik kios keluar membawa karpet. Saya cuekin saja, pura-pura tidak melihat. Mana tahu maksudnya kurang baik. Eh, pas menoleh lagi, orangnya sudah tidak ada, menghilang ke dalam kiosnya. Dan... karpet yang tadi ditentengnya sudah digelar dilantai. Duh, sudah berburuk sangka. Tidak berapa lama ia keluar lagi. Kali ini ia membawakan secangkir teh hangat. Ta ngannya memberi isyarat harganya 1 riyal. Setelah saya mengambil teh itu, dia buru-buru pergi lagi. 66 Memoarof Jeddah

Pemilik kios dan seorang temannya juga ikut membantu suami saya. Namun, hal itu dilakukan sambil melayani pem­ beli. Enggak ada tuh yang mengajak saya mengobrol atau menggoda tidak jelas. Tahu-tahu sudah pukul 11 malam. Parahnya, tempat penye­ waan mobil tidak menemukan kunci cadangan. Jadi, mereka sibuk mencari cara lain. Kemudian sebuah mobil mewah berhenti. Seorang pria Arab berpenampilan necis keluar dari mobil dan mendekati kami. Saya deg-degan. Mau apa, ya, dia kira-kira? Saya cuma mem­ perhacikan dari jauh ketika pria Arab itu mengobrol dengan suami saya. Entah apa yang mereka obrolkan, Namun, setelah itu dia pun sibuk membantu mengeluarkan kunci mobil. Sekitar pukul 12 malam, kunci berhasil dikeluarkan. Para laki-laki itu dan suami saya saling berjabat tangan dengan senyum merekah. Alhamdulillah, kaki sudah beku menahan dingin. Herannya, Abil tetap bagai gasing berputar-putar dengan gembira di pelataran parkir. Saya membayar jajan kami dan bermaksud memberi uang lebih untuk karpet. Pemilik kios menggeleng-geleng sambil berkata, "Mafi musykilah. '1' Sewaktu saya tetap memaksa, suami menegur, "Ja ngan, Dek. Tersinggung, !ho, nanti." Ya sudah, kami pun pulang. Masya Allah pengalaman kami malam itu. Sampai sekarang kalau ingat bantuan mereka (yang tanpa pamrih sama sekali), rasa harunya tak pernah berkurang.

6 Tidak ada masalah, tidak apa-apa. PeopleWe H

Pernah pula ban mendadak kempis di daerah Balad. Kami mudik mendadak. Jadi, dadakan pula berburu oleh-oleh. Apesnya, pakai acara ban bermasalah pula saat hendak pulang secelah membeli beberapa barang di coko langganan di Balad. Saat suami mencoba mengganti ban sendiri, beberapa anak kecil berkulit hitam tiba-tiba menghampiri dan menawarkan bantuan. Saya waswas. Barang-barang dari bagasi berserakan di luar karena suami mengeluarkan ban serep yang ditaruh di bagasi. Biasanya orang-orang ini terkenal bengal. Konon, mereka sering melakukan tindakan kriminal. Akhirnya, saya berdiri di luar mobil, dekat bagasi. Menjaga barang, maksud­ nya. Kemudian lewat seorang lelaki dewasa berkulic hicam. Duh, saya makin cemas. Namun, laki-laki itu mengajarkan cara mengganti ban yang benar. Acara ganti ban berlangsung lebih lancar setelahnya. Secelah memberi pengarahan singkac, laki-laki dewasa itu pergi begitu saja. Saat kami sibuk memasukkan barang ke bagasi, anak-anak tadi juga ikut pergi. Saya cepat-cepat mengingackan suami, "Bang, kasih uang, Bang." Suami saya buru-buru mengejar mereka tapi mereka malah masuk ke mobil dan bersiap-siap pergi. Suami saya mengecuk pintu kaca mobil. Akhirnya, dengan wajah malu-malu mereka menerima pemberian suami. Masya Allah, never judge a book by its cover.

*** 68 Memoarof Jeddah

Saat di mal atau di rumah sakit, saya sering kesulitan menjaga Abil. Apalagi ketika Narda pun sudah bisa diajak main oleh kakaknya. Mereka berdua menjadi "duet maut" yang kerap membuat saya sibuk min ta maaf kepada orang sekitar. lni kebiasaan di Indonesia, sih. Di tanah air, rasanya orang­ orang kurang suka dengan tipe anak-anak yang tidak bisa diam. Mereka suka melempar pandangan, "Duh, ibunya bisa ngurus anak enggak, sih?" ltu sebabnya kalau acara pengajian dan kebetulan anak su­ lung saya tidak sekolah, saya memilih tidak mengikuti acara tersebuc, kecuali jika saya kenal dekat dengan nyonya rumah. Kalau saya sudah tahu nyonya rumah "kurang nyaman" dengan kehadiran anak-anak saya, saya memilih enggak dacang. Lain dengan di Jeddah ini. Kalau saya menegur anak-anak, saya sering ditegur balik oleh pria Arab. Pernah di rumah sakit saya menegur Abil yang bolak-balik naik ke kursi, meloncac, naik lagi, meloncat lagi, dan seterusnya. lbu-ibu Arab yang melihat ulah Abil hanya tersenyum-senyum. Saya pikir mereka hanya tersenyum basa-basi seperti ceman­ ceman dari Indonesia. Senyum-senyum di depan, dalam hati menyimpan jengkel. Jadinya, saya tetap menegur anak saya. Seo rang priaArab malah melotot ke saya sambil menggeleng­ gelengkan kepala. "Shagi.ir, "7 kacanya. Mungkin maksudnya masih anak kecil, santai saja. Saya akhirnya membiarkan Abil jadi tontonan orang-orang di ruang tunggu. Kejadian yang sama terulang di supermarket. Abil mau masuk ke croli seorang pria Arab. Te ntu saja saya langsung

7 kecil. PeopleWe Hawn't Met Yet 69 menegur. Eh, si pria Arab malah mengomel balik pada saya. Ia malah memberi permen pada anak saya.

***

Selanjutnya, bagaimana kesan-kesan bekerja dengan orang­ orang Arab? Apa dicambuk kalau bandel? Hahaha. Mari kita tengok pengalaman suami saya. Pada hari acara perpisahan yang diadakan divisi tempat suami bekerja, sepulang dari kantor, wajah suami terlihat muram. Dia menenteng sebuah kotak hitam besar. Katanya suvenir dari teman-teman di kantor. Dia memang tidak me­ nyangka akan dibuatkan acara perpisahan secara khusus, leng­ kap dengan tanda mata pula. Kenang-kenangannya pun bukan barang murah.

"Seumur-umur aku kerja, baru kali ini dapat kenang-ke­ nangan," kata suami. Sekilas saya melihat matanya sedikit berkaca-kaca. Kalau di Jeddah, adatnya sedikit berbeda. Yang akan pergi ditraktir oleh teman-temannya. Di Jakarta, biasanya yang akan pergi yang ditodong untuk mentraktir teman-teman lain. Suami saya terharu sekali. Orang Arab memang punya ciri khas sendiri. Tidak semua jelek, kok. Mereka juga punya sisi positif Biarpun terkenal bawel dan pemalas, kalau sudah kenal baik dan ki ta bisa merebut kepercayaan mereka, mereka bisa memperlakukan kita dengan istimewa. Cerewetnya memang tidak ketulungan, sih, menurut sua­ mi saya. Kadang-kadang suka memaksa. Namun, mereka tidak 70 Memoarof Jeddah pendendam. Kalau sudah mengomel, tidak berapa lama me­ reka akan biasa-biasa lagi. Seorang teman yang tinggal di Negeri Sakura pernah mengeluh. Supervisornya baik dan jarang protes tapi tahu­ tahu memberi app raisal atau nilai yang kurang bagus. Padahal dia sudah mengira hasil kerjanya bagus karena tidak pernah mendapat kritikan. Saya percaya tidak semua seperti itu. Ke­ biasaan kita sebagai orang Timur memang banyak "enggak enak an " nya. Salah satu teman kerja suami diJeddah-sama-sama orang lndonesia-merupakan karyawan kesayangan bos. Kebetulan bosnya sama dengan bos suami saya. Ketika suami saya akan pergi, dia langsung meminta CV teman suami. Rupanya dia sudah jatuh cinta pada orang Indonesia, padahal rate orang Indonesia konon lebih tinggi daripada rate karyawan asal Pakistan, Bangladesh, dan India. Tak terasa akhirnya kami pun harus pindah ke tempat lain. Tiga puluh bulan di Jeddah memberikan banyak sekali kenangan manis. Pada hari keberangkatan, sejak pukul dua dini hari saya sudah tidak bisa tidur. Sibuk mengingat saya pernah kecewa karena "tak ada salju di kota Jeddah". Saya sungguh ingin tinggal di negeri yang bersalju. Saya gagal bertemu salju tapi sukses bersentuhan dengan hal-hal indah lainnya. Tak ada penyesalan karena sudah mengambil keputusan yang tidak mudah ini. lnsya Allah di tempat baru nanti, jika Tu han menghendaki, kami akan dipertemukan dengan orang­ orang baik. Sekali lagi ... insya Allah. PeopleWe Hawn't Met Yet 71

"Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin.

.. ·. ' .,r.., (.) '·�., )l.;1 �• t !•J. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

Dan di langit terdapat (s ebab-sebab) rezekimu dan apa yang di janjikan kepadamu.

Maka demi Tu han langit dan bumi, sungguh apa yang di janjikan itu pasti terjadi seperti apa yang dijanjikan itu pasti teryadi apa yang kamu ucapkan. " (QS. Adz-Dzariyac (51): 20- 23)

*** • IRAQ Amman

Buraydah. Dai YPT � � • .Medina * Ri� <.f; Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 74 Memoar of Jeddah

etelah menuntaskan kontrak kerja di Jeddah, suami saya S memutuskan untuk pindah ke Irlandia. Tiga hari menje­ lang keberangkatan menuju kota Athlone, Irlandia, saya sibuk menjejali koper dengan berbagai dan rempah khas tanah air. Ketika sedang heboh dengan acara packing, sesekali terlintas nostalgia selama di Jeddah. Selama tinggal di Jeddah, saya dua kali mudik. Acara beres­ beres koper kala liburan usai dan harus kembali ke Jeddah selalu berlangsung santai. Beberapa hari sebelum berangkat, saya malah woro-woro ke teman-teman di Jeddah, "Ada yang mau nitip nggak? Koper gue kosong, nih." Tinggal di Jeddah, biarpun judulnya luar negeri, tidak membuat kita jumpalitan membawa segala macam bumbu dan penganan khas tanah air. Di Jeddah . . . allyou can eat, Babe! Selain itu, karena ke mana-mana berabaya, tidak perlu pusing­ pusing memikirkan baju dan teman-temannya. Te man saya, sesama pemukim Jeddah, punya pengalaman sama. Dia mudik ke tanah ai r bersama kakak iparnya. Kebe­ tulan mereka berbarengan membereskan barang bawaan untuk pulang kembali ke tempat masing-masing. Kalau kakak iparnya sibuk memasukkan segala macam bumbu, sampai pun dibawa hingga berkilo­ kilo, teman saya malah bingung, "Duh, bawa makanan apa, ya?" Teman saya hendak kembali ke Jeddah, kakak iparnya ke Dubai. Meskipun Dubai terletak di Uni Emirat, berbatasan langsung dengan Arab Saudi, urusan makanan bagaikan bumi dan langit. PerutTerj amin Lahir Batin di Jeddah 75

Dari sebuah travelling blog, saya jadi punya banyak teman sesama ibu-ibu yang bermukim di luar negeri. Mereka ke luar negeri karena bermacam-macam alasan: mengikuti suami, sekolah, atau bekerja di sana. Keluhan mereka raca-rata sama, "Kangen masakan Indonesia, euy." Di beberapa negara, makanan Indonesia tidak susah dite­ mukan tapi terganjal masalah lain. Kalau bukan karena harga­ nya yang mahal, ya katena rasanya yang kurang enak. Te man saya di belahan dunia lain, yang tadinya buta urusan dapur, mendadak jadi jagoan di depan kompor. "Tidak ada pilihan lain, terpaksa jadi jago masak," begicu rata-rata alasan mereka. Alhamdulillah, urusan perut terjamin lahir dan batin di Jeddah. Harganya sangat "cerjangkau" dan rasanya juga enak. lmpian saya menjadi master chef bila tinggal di luar negeri pupus sudah.

***

Rumah makan ala Indonesia di Jeddah cukup banyak. Apalagi jika berada di Distrik Sharafiyah dan Bagdadiyah, dua distrik yang sarat pemukim asal Indonesia. Levelnya bervariasi. Yang model warteg juga ada, !ho. Menyediakan nasi rames komplet dengan rasa yang tak jauh berbeda dengan di canah air. Rumah makan level menengah ke atas juga ada. Menunya pun lengkap. Katering rumahan juga menjamur. lnilah salah satu alasan saya cukup percaya diri menjalani proses hamil hingga melahirkan anak kedua di kota Jeddah. Saya cetap percaya diri biarpun ibu dan ibu mertua saya tak dapat datang uncuk menemani pada masa-masa melahirkan. 76 Memoar of Jeddah

Semasa hamil muda-ketika melihat dapur saja rasanya sudah muak-kami memutuskan untuk menggunakan jasa katering. Diantarkan langsung ke pintu apartemen, lho. Jika senang bertarung di dapur pun tidak perlu khawatir. Bumbu khas tanah air mudah sekali ditemukan di toko-toko Indonesia. Harganya pun masuk akal. Dari daun-daunan, rempah-rempah, hingga tahu tempe selalu tertata rapi di rak­ rak toko. Tak perlu pula susah-susah memboyong bungkus­ bungkus instan dari tanah air. lndomie bukan barang langka di Saudi. "Enaknya, di sini lndomie cuma empac ribu perak. Dijual­ nya juga di banyak tempat. Di semua toko Asia ada," begitu kira-kira isi salah satu status Facebook seorang teman saya yang sedang bermukim di Sydney. Saya senyum-senyum sendiri. Hm, empat ribu rupiah? Anda cahu berapa harga Indomie yang dijual bebas di Jeddah? 1 SR! Hanya sekitar Rp2.500. Kalau membeli di swalayan besar bahkan bisa senilai 0.95 SR per bungkus. Bukan cuma harganya yang menyenangkan, tetapi juga karena mudah didapat. Di toko-toko Indonesia sudah pasti ada. Di toko kelontong lokal juga selalu ada. Di supermarket apalagi, menguasai satu rak penuh. Jadi, seperti di Indonesia, Indomie termasuk makanan "wajib" di Saudi. Bukan cuma untuk pendatang asal Indonesia, dus-dus bertuliskan "lndomie" pun bisa ditemukan di troli belanjaan warga asing. Sewaktu ke Singapura saat hamil anak pertama, saya meng­ eluh karena biarpun Indomie bukan barang asing di sana, rasanya kok "aneh-aneh" dan nggak cocok di lidah saya. Di Saudi, lndomie yang umum dipasarkan memiliki rasa yang PerutTerj amin Lahir Batin di Jeddah 77 sama dengan yang kita kenal di Indonesia. Ada kaldu ayam, kari ayam, , ayam bawang, ayam spesial, dan mie. Ditambah rasa seafood yang sepertinya khusus dijual di Jazirah Arab. lndomie rasa Nusantara, misalnya rasa , juga bisa ditemukan di toko-toko Indonesia yang tersebar di berbagai distrik di seluruh penjuru Jeddah. Harganya juga sama, 1 SR saja per bungkus. Di salah satu ruas jalan tol menuju kota Mekkah, ada banner raksasa yang memuat iklan lndomie sebagai bukti betapa makanan satu ini sudah menancapkan kekuasaannya sebagai salah satu produk makanan yang digemari di Saudi. lklan-iklan lndomie pun memiliki jam tayang cukup tinggi di beberapa stasiun televisi lokal Saudi. Sering juga, lho, menjadi sponsor acara-acara lokal di sini. lndofood sendiri selaku produsen dan distributor lndomie punya pabrik dan kantor di Jeddah. Karyawannya lumayan banyak. Menurut cerita yang berkembang, lndomie bisa menjadi hits di Saudi karena dibawa oleh para TKI (termasuk TKW) ke sini. Katanya, para TKW yang banyak menjadi pengasuh anak menyodori mi instan ini pada anak-anak majikan mereka. Anak-anak itu pun menjadi penggemar mi instan hingga dewasa dan meneruskan kebiasaan menyantap mi instan ini pada anak-anak mereka. Para TKI yang mau praktis-karena kebanyakan tidak membawa istri-memilih lndomie menjadi alternatif utama. Para TKI/TKW tercinta ini berjasa banger, ya. 78 Memoarof Jeddah

Pagi-pagi pada saat akhir pekan, para istri pun ingin ber­ santai di taman atau pantai. Dapur diliburkan dulu. Kalau tak sempat memesan katering, datangi saja toko-toko Indonesia yang terbilang ramai. Tiap pagi, toko-toko ini tak pernah absen menyediakan nasi rames kotakan khas tanah air. lsinya nasi, sejumput sayur, lauk pauk (seperti telur, daging, atau tahu-tempe), dan samba!. Untuk membawa sekotak nasi rames, harga yang harus dibayar rata-rata 3-5 riyal! (1 riyal sekitar Rp2.500). Amboi, murahnya.

***

Salah satu makanan siap saji yang menjadi trademark kota Jeddah adalah Al Baik. Biarpun hanya berupa tepung, Al Baik ini sangat tersohor di kota Jeddah. Sebelum saya menginjakkan kaki di kota Jeddah, suami saya sudah sering banget memuji-muji ayam goreng yang satu ini. Padahal biasanya suami saya kurang suka dengan segala menu yang berupa ayam. Baru dua hari menghirup udara Jeddah, saya diajak ke Serafi Mal, khusus buat icip-icip si Al Baik ini. Saat di foodcourt, melihat antreannya yang panjang, saya cukup opti­ mistis membayangkan kelezatan Al Baik ini. Namun, setelah mencoba sendiri, saya tidak merasa ada yang istimewa. Mungkin selera saya yang kurang umum. Al Baik ini adalah sejenis fas tfood seperti KFC dan McDonalds. Tidak semua kota di Saudi menyajikan Al Baik ini, hanya ada di Mekkah, Jeddah, Madinah, Ya nbu, dan Thaif. ParutTer jamin Lahir Batin di Jeddah 79

Di kota Jeddah ini, saking tenarnya, cabangnya ada sekitar 20. Te rsebar di berbagai mal dan gerai yang berdiri sendiri. Menunya terdiri dari ayam, udang, dan ikan. Ketiganya disajikan dalam bentuk hidangan goreng tepung dan nugget. Menu yang lebih ringan juga ada, misalnya jagung-jagungan dan es krim. Apanya yang khas? Rasa memang sedikit berbeda diban­ dingkan ayam goreng tepung lainnya. Lebih kaya bumbu dengan aroma rempah-rempah yang unik. Selain dinikmaci dengan saus to mat, hidangan utama AlBaik juga bisa disajikan bersama saus bawang putih ( sauce) yang rasanya juara banget. Harga makanan di Al Baik lebih murah dibandingkan dengan menu yang sama dari fas tfoodlain yang sejenis. Mung­ kin selain rasanya yang khas, harganya ini yang membuat orang-orang lebih memilih Al Baik. PorsimakanandiSaudisecaraumumsangatmengenyangkan. Misalnya paket menu ayam goreng yang reguler berisi empat potong ayam, sekantong kencang goreng, satu buah roti, dan sekaleng minuman bersoda. Bagi saya pribadi, ukuran seporsi cadi cerlalu banyak untuk jatah makan satu orang. Seringnya kami membeli satu paket lalu membawanya pulang dan me­ nikmacinya bersama-sama anak-anak. Alasan lain kenapa saya lebih suka makan di rumah adalah gerai Al Baik tidak menyediakan nasi. Maklumlah, lidah kam­ pung saya ini, makan mesti pakai nasi.

*** 80 Memoarof Jeddah

Mumpung tinggal luar negeri, tak ada salahnya mencic1p1 masakan internasional. Konon, di banyak tempat di luar ta­ nah air agak sulit menemukan makanan halal, bahkan di ne­ gara-negara yang penduduknya mayoritas muslim. Nah, ini kelebihan lain negara Saudi. Pemerintah menjamin kehalalan semua restoran yang dibuka untuk umum. Saudi menerapkan aturan ini, entahlah dengan negara Timur Te ngah lainnya. Jadi, jangan takut berwisaca kuliner di restoran publik mana pun di Saudi. Saya sekeluarga kebetu1an tidak terlalu suka makan di luar rumah, tetapi kami juga punya restoran favorit. Namanya Pattaya. Restoran ini menyajikan masakan Thailand yang segar dengan harga cukup murah. Sebagian teman saya lebih menyukai restoran lain yang menyediakan menu sejenis. Resto ran Asia namanya. Resto ran Asia inilahyang lebih urnum dikenal oleh jamaah umrah atau haji asal tanah air. Di ruas Jalan Andalus, berjajar restoran-restoran papan atas kelas dunia. Dijamin halal. Selama ini saya lebih sering menumpang lewat saja. Selama 30 bulan tinggal di Jeddah, tidak pernah tebersit keinginan coba-coba jajan di sana. Suami, sih, sering ribut ngajakin makan ke sana. Apa hendak dikata, lidah istrinya ini lidah kampung. Hahaha. Masakan khas Arab juga patut dicoba. Hidangan Timur Te ngah clan sekitarnya tak sulit ditemukan. Dari aneka kebab daging segar khas Turki, masakan ala Pakistan­ Afganistan, nasi kari ala India, hingga berbagai menu Lebanon. Masakan ala oriental juga bertaburan. Misalnya hidangan khas Cina, Jepang, Thailand, clan Filipina. Jangan ragu-ragu. Kehalalannya dijamin oleh pemerintah setempat. Tidak perlu capek-capek memeriksa label halal. Namun, beberapa teman ParutTar jamin Lahir Batin di Jecldah 81 saya tetap berkeras, menganggap pemerintah Saudi "tidak terlalu disiplin" dan label halal mudah dipermainkan. Di masa kini, apa sih yang tidak bisa dibeli? Jangankan label halal, harga diri pun mudah tergadai di mana-mana. Untuk urusan kehalalan makanan di Saudi, prinsip saya, sih, hidup jangan dibuat susah. Kita berikhtiar semampu kita. Pemerintah berani menjamin, berarti mereka berani ber­ tanggung jawab. Mari menikmati wisata kuliner tanpa rasa waswas di Arab Saudi.

***

Di Jeddah, urusan perut memang terbilang memuaskan bagi para perantau dari tanah air. Biaya hidup secara umum yang tergolong murah membuat saya sempat enggan pindah. Kesempatan emas untuk mengatrol angka tabungan seoptimal mungkin. Materi memang penting, tetapi tentunya kita sepakat bah­ wa pengalaman adalah hal yang tidak mungkin terbeli oleh uang. Ti ap tempat pasti punya keistimewaan masing-masing. Rasa galau yang sempat menghampiri kala suami memutus­ kan untuk merantau ketempat lain sedikit terobati oleh petuah dari salah satu imam terkenal ini: "Travel! Youwill find a replacementfor what you leave behind, and strive! Because the joy of living is in striving. " (Imam al­ Shafi'i)

*** L • IRAQ Amman

Buraydah. Dai YPT � � • .Medina * Ri� � Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 84 Memoarof Jeddah

elum lama menjejakkan kaki di kota Jeddah, keluarga Bkami diberi rezeki terindah. Saya hamil anak kedua pada bulan kedua tinggal di Jeddah. Masa-masa hamil muda saya untuk anak yang kedua ini sama dengan hamil pertama dulu. Didera morning sickness berkepanjangan yang sayangnya tidak sesuai namanya. Rasa mual disertai muntah-muntah muncul tidak pada pagi hari saja tapi di sepanjang waktu. Anak pertama masih berusia dua tahun dan belum mandiri kala itu. Makan masih disuapi dan masih perlu saya mandikan. Suami masih harus ke kantor tiap hari, kecuali akhir pekan. Sebenarnya tak sulit mencari asisten rumah tangga di Jeddah. Namun, kami memutuskan untuk menggunakan jasa katering saja di masa-masa saya benar-benar bermusuhan dengan dapur. Jasa asisten rumah tangga belum diperlukan. lnilah perbedaan Saudi dengan negara-negara maju di luar tanah air pada umumnya. Kita bisa memanfaatkan jasa para TKW ilegal yang kebingungan mencari pekerjaan karena sta­ tus mereka. Kita bisa menggunakan tenaga mereka untuk membantu beberapa pekerjaan rumah tangga. Biasanya jasa mereka disewa harian atau dibayar per jam. Mereka tidak ikut menginap di rumah kita. Soal makanan juga jauh dari repot, bahkan untuk yang sedang hamil muda sekali pun. Tinggal memilih berbagai jasa katering rumahan yang bisa didapatkan dengan mudah di kota Jeddah. Pemilik katering biasanya orang Indonesia juga. Jadi, cita rasa masakannya benar-benar khas Nusantara. Tak perlu takut ngidam macam-macam dan tidak keturutan.

*** Melahiriandi Jeddah 85

Soal rumah sakit juga sempat membuat saya resah. Saya sudah terlanjur nyaman dengan dokter yang menangani saya di Indonesia pada kehamilan sebelumnya. Belum lagi di Jeddah orang-orang Indonesia sering dipandang sebelah mata. Saya takut perlakuan para petugas medis akan berbeda pada saya. Rasanya ingin pulang saja ke tanah air. Semangat dari suami dan pesan ibu di tanah air selalu menguatkan saya. "Tempat terbaik untuk seorang perempuan yang telah menikah adalah di samping suaminya," kata ibu saya. Mulailah kami mencari-cari info rumah sakit dari teman­ teman yang telah memiliki pengalaman melahirkan di Jeddah. Pilihan jatuh pada Rumah Sak.it Bugshan yang terletak cukup dekat danstrategis dari gedung apartemen kami. Hal penting lainnya yang segera harus diurus adalah masalah asuransi. Ta npa asuransi akan sangat sulit mendapatkan pela­ yanan dari rumah sakit swasta. Bukan hanya harganya yang sangat mahal, capi biasanya secara administratif para pendatang akan dipersulit untuk berobat di sana. Alhamdulillah, kami bertemu dokter yang cocok. Seorang dokter perempuan berkebangsaan India yang sangat ramah bernama Nazeema Anjum. Dokter Nazeema sangat kooperatif dan tidak pernah membeda-bedakan pasien. Sayangnya, budaya antre susah diterapkan di berbagai tem­ pat publik di Saudi, termasuk di rumah sakit. Mendaftar di resepsionis saja sering gaduh. Semua berebutan ingin dilayani lebih dulu. Petugas pun tak berusaha menertibkan orang­ orang itu. 86 Memoarof Jeddah

Oemikian pula saat harus masuk ke ruang periksa. Ada saja yang mencoba mengabaikan antrean dan mendesak harus dilayani terlebih dahulu. Untung saja para perawat cukup tegas. Dokter pun menolak melayani pasien yang mencoba menyerobot antrean. Waiau pun sering dilanda kekesalan saat harus memeriksakan kandungan ke dokter, saya berusaha sabar saja. Anggap saja ini pengalaman berharga yang harus saya lalui untuk mendapatkan salah sacu anugerah Tuhan yang cerindah ini.

***

Akhirnya, 37 minggu masa-masa kehamilan berakhir sudah. Memasuki minggu ke-38, saya mulai merasakan mulas. Rabu malam, tepat di jadwal kontrol ke dokter, saya meminta suami untuk langsung ke bagian Gawat Darurat saja. Sudah tidak ada wakcu uncuk mengantre dan bertemu dokter. Anak sulung saya titipkan pada tetangga depan apartemen yang juga berasal dari Indonesia. Hidup merantau jauh dari sanak keluarga membuat kami mendapatkan banyak saudara baru walaupun cak ada hubungan darah. Alhamdulillah, untuk anugerah ceman-teman cerbaik kala bermukim di Jeddah. Te rnyata perlakuan para perawat dan dokter jaga di ruang persalinan sangat baik dan ramah. Hanya dua jam sejak kami mendaftar di meja resepsionis Unit Gawat Darurat, lahirlah dengan selamat putra kedua kami. Saya sempat takut karena pernah mendengar cerita kalau melahirkan di Saudi, setelah melahirkan kica harus berjalan sendiri ke kamar perawatan. Te rnyata cerita itu tidak benar. Melahiriandi Jeddah 87

Prosesnya sama dengan sebagian besar rumah sakit di Indonesia, pasien dipindahkan ke kamar perawatan dengan menggunakan kursi roda. Di kamar pun sang ibu mendapatkan pelayanan khusus dari perawat yang bertugas. Salah satu pengalaman berkesan saat di kamar perawatan adalah banyaknya kunjungan perawat clan dokter. Mungkin tiap empat jam, kecuali pada tengah malam hingga dini hari, ada saja rombongan dokter clanperawat yang masuk ke kamar. Uniknya, saya sering disangka orang Filipina. Tak banyak orang Indonesia yang menjadi pelanggan rumah sakit ini. Yang terlihat sering mondar-mandir adalah orang-orang Arab dari berbagai negara lain clan warga Filipina Wajar saja jika saya sering diajak berbicara dengan bahasa Tagalog. Suatu ketika, seorang perawat yang bertugas mengantarkan makanan berkata dengan bahasa lnggris dengan terbata-bata, "Thisis your lunch. " Dari wajah clan gelagatnya, saya bisa menebak perawat perempuan tersebut adalah orang Indonesia. Saya langsung membalas, "Orang Indonesia juga, ya, Mbak?" Dia tampak kaget. "Oh, lbu dari Indonesia? Saya kira dari Filipina." Kejutan lainnya adalah saat kami diberitahu bahwa asuransi hanya menanggung perawatan 1 x 24 jam sejak saya melahirkan. Perpanjangan rawat inap harus kami bayar sendiri. Harganya tidak murah. Saat suami bertanya apakah saya ingin menginap semalam lagi, saya mantap menjawab, "Enggak, ah. Pulang saja." Saya menguatkan diri. Hanya 24 jam setelah bertarung di kamar bersalin, suami membawa saya clan si kecil ke dalam 88 Memoarof Jeddah mobil dan pulang ke apartemen. Te rus terang saya cukup ta­ kut. Tidak ada siapa-siapa yang menunggu di rumah. Un­ tunglah, seminggu sebelum melahirkan kami sudah mulai menggunakan jasa asisten rumah tangga. Akan tetapi, asisten ini hanya datang 3 kali seminggu, empat jam per kedatangan. Te rnyata, setelah menghadapi keadaan itu, semua bisa ter­ lewati. Sejak pulang ke rumah, dari hari pertama saya yang memandikan si kecil. Kadang-kadang saya tetap memasak untuk anak sulung dan suami. Sesekali beberes rumah karena asisten tak datang tiap hari. Apa pun yang terjadi, kita cuma harus menghadapinya. Walaupun terlihat menakutkan, asalkan bersedia ikhlas dan tak berhenti berikhtiar dalam menjalaninya, kekuatan akan datang sendiri. "Katakanlah, 'Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dia/ah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal. "'(QS. At-Taubah [9]: 51)

*** • IRAQ Amman

Buraydah. Dai YPT � � • .Medina * Ri� <.f; Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 90 Memoarof Jeddah

aman Syam, bukan Paman Sam. Syam diambil dari kata PAs-syamsu yang berarti matahari dalam bahasa Arab. Ka­ rena cahaya matahari melimpah ruah di negara ini, cukup tepat kalau saya memberi julukan Negeri Paman Syam. Akhir pekan di negara Saudi Sabtu-Minggu. Menghabiskan akhir pekan ke mana kita? Di Saudi tidak ada kastil-kastil unik seperti di Jerman dan lnggris, yang konon dijuluki Negeri Seribu Kastil. Mustahil menemukan danau-danau dikelilingi nuansa hijau seperti Norwegia, Negeri Seribu Danau. Tidak bisa menikmati rum­ put hijau mahaluas seperti di Selandia Baru dan Irlandia yang terkenal dengan kecantikan pemandangan alam hijaunya. Namun, harap diingat, (mungkin) tujuan hidup utama (hampir) seluruh umat muslim di dunia adalah ... Mekkah dan Madinah! Sebagian mungkin perlu menabung, menyiapkan waktu, mengurus izin, dan lain-lain. Sementara itu, pemukim Jeddah tinggal mengisi bensin dan memacu mobil dalam ku­ run waktu kurang dari sejam untuk bersimpuh di hadapan Ka'bah. Pesona Negeri Gurun ini tidak cuma berpusat di dua Kota Suci tadi. Banyak tempat untuk menghabiskan akhir pekan di kota Jeddah. Jangan ragu melebarkan langkah ke luar kota. Berapa harga bensin di Saudi? Plus, berapa harga mobil di Saudi? Kondisi jalan to! antarkota? Mahalkah karcis tolnya? Bensinnya hanya seribu rupiah per liter. Kualitasnya selevel pertamax semua. Harga mobil di Saudi jauh lebih murah daripada di Indonesia. Semua to! pun gratis dengan kondisi jalan yang mulus dan lebar-lebar.

*** Berakhir Pakan Negeridi Paman Syam 91

Jakarta terkenal dengan banyaknya mal megah. Jeddah pun tidak kalah. Oulu, rasanya sudah encok kalau diajak berputar­ putar di mal-mal besar di Jakarta. Kalau di Jeddah, silakan uji dengkul di Red Sea Mall yang konon merupakan salah satu mal terbesar di dunia. Mal-mal di Jeddah dibangun di atas lahan yang sangat luas. Rata-rata cuma dua lantai. Tiap mal dilengkapi dengan lahan parkir yang tidak kalah luasnya. Parkirannya pun tidak berbayar alias gratis sepanjang waktu. Coba bayangkan sendiri sebesar apa bangunan mal dan parkirannya jika dilihat dari luar. Gerai-gerai internasional sekelas Zara, Mango, Guess, dan Top Shop nyaris ada di mana-mana. Kalau ke Jeddah, jangan mentok di daerah Balad saja. Main­ mainlah ke Ta hlia Street. Di Tahlia ini ada jejeran ma! kelas atas, misalnya Rubaiyat yang menjual produk-produk sekelas Gucci, Armani, Burberry, LV, dan merek lain yang sekelas. Masa ke mal melulu? Ya, jangan. Kalau enggak ada diskon, mending ke playgroundsaja. Playgrounddi Jeddah tidak kalah banyaknya. Bisa dikunjungi oleh siapa saja tanpa dipungut biaya sepeser pun. Kalau di tanah air sedang ramai-ramainya Saturday Morning Run, kami di Jeddah punya Thursday MorningRun. Playground favorit saya dan teman-teman terletak di belakang Hotel Hilton, Corniche. Te mpatnya luas dannyaman. Baru-baru ini wilayah North Corniche baru saja meram­ pungkan proses pemugaran. Di sana sudah dibangun banyak playground yang bagus, luas, bersih, dan lengkap. Corniche Road yang bersentuhan langsung dengan Laut Merah tidak cuma dihuni oleh Masjid Apung. Ada King 92 Memoarof Jeddah

Fahd Fountain di sisi Corniche ke arah Balad. Air mancur ini sanggup memancarkan air hingga ketinggian 320 m di atas permukaan laut. King Fahd Fountain ini merupakan air man­ cur tertinggi di dunia. Sekadar berputar-putar di dalam kota pun sudah seru. Kota Jeddah bertabur monumen-monumen cantik dengan bentuk yang unik dan artistik. Tak ada patung orang atau makhluk hidup lainnya. Haram buat mereka.

***

Pesona pesisir barat Negeri Minyak ini tidak kalah cantiknya. Kalau di dalam kota ada Corniche Road, sedikit keluar kota, mari mengunjungi Pantai Obhur. Menuju Obhur cuma perlu sekitar 30 menit. Fasilitas umumnya kurang bagus menurut saya, tetapi tempatnya cukup bersih. Saya lumayan terhibur dengan adanya penyewaan pa­ yung besar sehingga bisa nyaman berlindung dari sengatan terik matahari. Di Obhur, anak-anak boleh berenang di tem­ pat-tempat tertentu. Selain Obhur, Pantai Dhurrat juga tergolong dekat. Na­ mun, Dhurrat ini termasuk private beach. Tidak gratis, harus membayar jika ingin masuk ke sana. lstimewanya, di Dhurrat bebas melepaskan abaya alias tidak wajib berhijab. Konon, di beberapa tempat bahkan boleh berbikini. Lebih jauh sedikit, selamat datang di Pantai Thuwal. Thuwal jauh lebih bagus. Te mpatnya bersih, nyaman, kamar mandinya banyak, dan pasirnya enak untuk bermain-main. Berakhir Pakan Negeridi Paman Syam 93

Petugas kebersihan wira-wiri di mana-mana. Di Thuwal juga lebih bebas berkeliaran ke dalam air. Maklum, letaknya bukan di laut lepas melainkan di daerah tanjung. Melangkah lebih jauh lagi, ada South Corniche (Laut Ya man). Sayang sekali, tempat ini kurang terawat. Sampah ber­ serakan di mana-mana. Tidak ada petugas kebersihan khusus seperti di Obhur atau Thuwal. Pengunjungnya pun lebih sepi. Namun, tempatnya cukup unik dengan suasana yang berbeda. Jangan lupa juga ke North Obhur. Saya sendiri cuma num­ pang lewat saat ke sana. Suasananya mirip sekali dengan South Corniche, tetapi pengunjungnya lebih ramai. Ya ng lebih jauh juga ada. Sempatkan berjalan-jalan ke Pantai Rabigh. Pantai ini terletak di kota Rabigh, salah satu kota tempat pengilangan minyak milik Petro-Rabigh. Jaraknya 200-an kilometer dan dapat ditempuh dalam waktu dua jam saja dari Jeddah. Di Rabigh ada pantai yang terbuka untuk umum, ada pula yang privat. Kalau punya teman yang tinggal di sana, kita bisa memasuki wilayah privat tadi. Te mpatnya lebih cantik dan bersih. Namun, menggelar tikar di Corniche Road, Rabigh, pun sudah cukup memuaskan. Masih gatal ingin menyetir lebih jauh mumpung harga bensin hanya seribu rupiah per liter? Jangan ragu-ragu mela­ jukan mobil menuju Ya nbu. Kota industri yang jauh lebih be­ sar daripada Rabigh ini terletak di dekat kota Badar. Jadi, bisa sekalian menyambangi Padang Badar, tuh. Waktu tempuhnya dari Jeddah sekitar 3,5 jam. Jangan khawatir, banyak penginapan (jut! service aparte­ men yang berharga murah) dan hotel, dari level melati sam- 94 Memoar of Jeddah pai bintang lima. Di sepanjang pesisir pantai Yanbu juga ber­ tebaran resort-resortyang lagi-lagi dari level melati sampai level muahaaalll. Sebagian wilayah Pantai Yanbu juga tertutup uncuk umum alias private beach. Perlu merogoh kocek uncuk bisa mengincip sampai ke dalam.

***

Kangen suasana hijau, segar, dan dingin? Kalau begicu, wajib berziarah ke Thai£ Thaif ini dekat dari kota Mekkah. Sebelum mencapai Thaif, kita sudah dibuat takjub oleh highway menuju ke acas. Sebelum Thaif, ada Al Hada. Mampirlah sebencar un­ tuk mencoba cable car. Kereta gantung ini akan membawa kita menikmati hamparan bukit batu dari ketinggian. Thaif masih kurang dingin. Mau lebih seru dengan highway yang lebih wah? Colek suarni untuk menyecir ke wilayah Al Baha. Rasakan sensasi melangkah di atas awan Al Baha. Ke­ tinggian tempatnya melewati awan. Sayang sekali, hingga meninggalkan Saudi, kami belum sempat berjalan-jalan ke Baha. Selain Al Baha, ada Abha. Abha ini terletak sekitar 800 km dari Jeddah. Suami saya sempac ke sana bersama ceman-ceman prianya. Katanya, tempat itu lebih hijau dan lebih dingin daripada Thaif.

***

Te mpat bersejarahnya banyak acau cidak, ya? Wilayah Saudi merupakan tempat kelahiran Nabi Muhammad saw. Te ntu Ban:ikhirPalcan diPaman Negeri Syam 95 banyak sekali tempat bersejarah untuk umat muslim di sean­ tero Saudi. Kita bahas yang dekat-dekat Jeddah saja, ya. Kota Mekkah tentu ada di daftar paling puncak. Kalau ke Mekkah dan bukan musim haji, kunjungilah Mina dan Arafah. Sepi sekali. Saya sendiri bercucuran air mata saat ke sana sebelurnfinal exit. Soalnya beberapa bulan sebelumnya, saya baru saja menunaikan ibadah haji. Suasananya sangat berbeda. Mina dan Arafah seperti sedang tertidur. Sepi sekali. Sangat jauh berbeda saat mendatanginya pada musim haji kemarin. Kami bahkan menemukan areal tenda kami di Mina. Te mpatnya ditutup tapi kita bisa berjalan kaki ke sana. Duh, kalau ingat berhaj i, susah sekali untuk tidak mengalirkan air mata. Madinah juga sarat dengan tempat bersejarah. Dari masjid­ masjidnya (Nabawi, Kiblatain, Kuba, dan lain-lain), Jabal Uhud-lokasi perang Khandaq-hingga Ar-Rawdah, makam Nabi yang terletak dalam areal Masjid Nabawi. Te mpat wisata lain juga ada, misalnya kebun-kebun kurma dan Jabal Magnet. Sekitar 400 km dari Madinah ada kota Al-Ula. Di kota inilah terdapat sebuah situs bersej arah warisan dunia yang bernama Al Hijr, atau lebih terkenal dengan nama Maclain Saleh.

***

Te mpat lain yang kami kunjungi beramai-ramai adalah Bahrah. Ketika itu, teman-teman mengajak kami menjelajahi gurun pastr. 96 Memoarof Jeddah

ltulah liburan penutup bersama teman-teman sebelum kami sekeluarga menyerahkan iqama di imigrasi, pertanda kami sudah melakukan final exitdari Saudi. Kini, meski raga sudah berbulan-bulan tidak di Saudi lagi, kenangan tentang negara itu masih utuh di dalam hati. Seringnya menjelma menjadi air mata pada saat-saat tertentu, termasuk saat menuliskan memoar ini. Namun, jangan bersedih terlampau larut. Bersyukur telah diberi kesempatan indah menikmati tempat-tempat luar biasa di Negeri Penjaga Kota Suci Islam ini.

· · ··· �"' ,, . LJ"':' ��.)�U i�4!''. "Ma ka nikmat Tu han kamu yang manakah yang kamu dusta­ kan?" ( QS. Ar-Rahman, [55]: 77)

''Mahaagung nama Tu hanmu yang mempunyai kebesaran dan karunia. "(QS. Ar-Rahman [55]: 78)

*** • IRAQ AmmaR

-Buraydah. Dai YPT � Medina � . * · RI� <.g Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • · Jedd ah raif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 98 Memoarof Jeddah

agi sebagian besar jamaah umrah clan haji asal Indonesia, Bkota Jeddah hanya merupakan tempat persinggahan se­ malam. Kota Jeddah sering diidentikkan sebagai pusat per­ belanjaan di Balad (Corniche Commercial Center) clan Masjid Apung saja. Sebenarnya bukan cuma kedua tempat tersebut yang bisa disambangi kala mampir ke kota terbesar kedua di Arab Saudi ini. Ada rupa-rupa sudut kota yang menawarkan daya tarik berbeda-beda.

Corniche Road

Salah satu julukan yang disematkan untuk kota Jeddah adalah "Pengantin Laut Merah''. Tidak salah. Kota ini memang ber­ singgungan langsung dengan pesisir Laut Merah. Jalan raya di tepian pantai tersebut dikenal dengan nama Corniche Road. Corniche Road ini tidak hanya berupa satu jalan panjang yang sambung menyambung, tetapi terbagi atas dua bagian. Jalan ini terletak di Distrik AlHamra clan Distrik Ar Rawdah. Yang wajib dikunjungi kala melintasi Corniche Road di sepanjang Ar Rawdah adalah Masjid Apung. Nama aslinya adalah Masjid Ar Rahman. Diberi julukan "Masjid Apung" karena sebagian fo ndasinya cerletak di dasar laut. Sembari menunggu waktu shalat tiba, biasanya jamaah asal Indonesia berfoto di tepi pantai di sisi kanan masjid. Saya kurang tahu apa yang menyebabkan masjid ini bisa menjadi tempat wajib buat jamaah asal Indonesia. Ada yang bilang bahwa dulunya salah satu khatib di masjid ini adalah seorang imam asal Indonesia. Entah betul atau sekadar rumor. Rupo-Rupo Wajah Kola Jeddah 99

Jeddah - Masjid Apung

Selain Masjid Apung, ada King Fahd's Fountain yang menarik untuk disinggahi di Corniche Road di sepanjang Distrik Al Hamra. Air mancur tertinggi di dunia sanggup memancarkan air hingga ketinggian 312 1neter di acas per­ mukaan Laut Merah. Air mancur ini hanya beroperasi saat senja menjelang hingga wakru subuh. Jadi, pasrikan 1nelewatinya pada 1nalam hari. Di sepanjang Corniche Road mudah ditemukan hotel berbintang lima. Selain hotel kelas atas, terdapat pula apar­ ten1en-apartemen mewah. Bermacan1-macan1 theme park (tempat hiburan buat keluarga) pun ada di kawasan ini. Saat akhir pekan, hari Kamis dan Jumat, sepanjang tepian pantai didatangi banyak orang. Pada umumnya n1ereka ke pantai unruk berpiknik. Orang-orang Arab akan dacang be­ ramai-ramai, menggelar tikar, membawa termos dan penga­ nan, lalu duduk bersantai hingga larut malam. l 00 Memoar of Jeddah

Corniche Road juga menjadi tempat rutin untuk berburu objek foto yang menarik. Pehobi fo rografi sering menjelajahi area di sepanjang jalan ini untuk merekam jejak alam yang indah di sekitar pantai.

Corniche Road

Balad, Kenangan Jeddah pada Masa Lampau

Distrik Balad ini mungkin merupakan distrik paling rerkenal bagi jamaah asal canah air. Di sinilah terdapac Corniche Commercial Center yang dikenal sebagai Pasar Balad. Te mpat ini hampir selalu menjadi rujuan jamaah Indonesia unruk berburu oleh-oleh. Sebenarnya Balad menyimpan banyak kisah tentang)eddah pada masa lalu. Distrik Balad ini dulu merupakan pusat kota Jeddah. Konon, kora Jeddah ini tadinya hanya sebuah kora Rupa-Rupa Wajah KolaJeddah 101 nelayan kecil yang perlahan-lahan membangun diri menjadi salah satu kota metropolitan dunia. Sisa-sisa bangunan tempo dulu yang berusia di atas 100 tahun masih tersebar di Balad. Arsitektur bangunannya khas. Bentuknya seperti kotak yang dilapisi jendela-jendela kayu berwarna cokelat. Ada sebuah wilayah khusus yang dipugar clan dilindungi oleh pemerintah. Wilayah ini bernama Historic District. Historic District merupakan sebuah kawasan yang terdiri dari beberapa bangunan lama yang sudah tidak ditinggali lagi. Namun, bila kita menyusuri jalan-jalan kecil ke dalam kom­ pleks ini, kita bisa menemukan beberapa tunawisma yang memanfaatkan bangunan kosong ini sebagai tempat tinggal mereka. Beberapa bangunan seperti hotel clan kantor pemerintahan pun masih mengusung arsitektur khas Arab tempo dulu, mi­ salnya Hotel Radisson di Madinah Road. Hotel ini diberi aksen jendela-jendela cokelat kayu yang mengelilingi keseluruhan bangunan. Di daerah Balad juga terdapat banyak pasar khas Arab. Jadi, jangan terpaku di Corniche Commercial Center saja. Di sini ada Bab Shareef, tempat Anda bisa menemukan macam­ macam kaftan clan pashmina yang bisa dibeli secara grosiran. Harganya tentu lebih murah. Jangan lupa ke Bab Mekkah me­ lihat-lihat karpet clan berburu oleh-oleh khas negeri gurun ini. Untuk membeli abaya tidak perlu jauh-jauh. Abaya di Madinah memang terkenal dengan harganya yang murah tapi bahannya kurang bagus. Mampir saja ke Queen's Building yang terletak di belakang gedung Corniche Commercial Center. 102 Memoarof Jeddah

• --

Bangunan kantor dcngan arsitcktur kuno

Rupa-rupa abaya dengan harga variacif bisa Anda dapackan di sana.

Kota Super Mal

Tak banyak yang tahu betapa banyaknya mal besar di kota Jeddah ini. Bukan main pembangunan mal di koca besar yang berjarak sekicar sejam dari Koca Suci Mekkah ini. Ada belasan bangunan yang cersebar di berbagai penjuru kota. Salah sacu yang cerbesar adalah Red Sea Mall. Letaknya agak jauh, di sebelah ucara koca Jeddah. Bangunannya berlapis kaca di mana-mana. Wah, saya sampai kepayahan saac mencoba menjajal habis seluruh sudut mal ini. Ada juga Mall of Arabia yang cak kalah megahnya. Mal ini cerlecak di Madinah Road dan pasci akan cerlewaci dalam perjalanan pulang-pergi ancara Jeddah - Bandara Incernasional King Abdul Aziz. Rupa-Rvpa Wajah KolaJeddah 103

Pencinta barang-barang bermerek kelas atas jangan sampai melewatkan Ta hlia Street yang borju. Di sinilah bertebaran gerai-gerai internasional ternama, baik yang berdiri sendiri maupun yang terdapat di dalam mal. Ada bangunan Ve rsace berwarna emas yang khas di salah satu sudut jalan. Kunjungi pula Rubaiyat, mal yang memamerkan brandkelas atas seperti Gucci, Saint Laurent, Louis Vuitton, Armani, juga Dolce & Gabbana. Beberapa mal mewah berjajar di sepanjang Ta hlia Street, antara lain Nojoud Center, Le Mall, Jeddah Mall, Ta hlia Roshana Center, danTa hlia Shopping Center. Harga barang-barang merek ternama ini lebih murah dari­ pada harga barang yang sama di tanah air. Mungkin karena negara Saudi tidak menerapkan aturan pajak apa pun. Bolehlah membeli beberapa barang untuk selanjutnya ditawarkan ke­ pada kerabat di tanah air. Kuliner internasional papan atas juga ikut meramaikan hi­ ruk pikuk di salah satu jalanan utama kota ini. lstimewanya lagi, kuliner di Saudi ini dijamin kehalalannya oleh pemerintah. Jadi, silakan sepuasnya bersantai di restoran kelas dunia yang ada di Ta hlia Street. Mal-ma! lainnya yang cukup terkenal dan terletak di jantung kota antara lain adalah Andalus Mall, Aziz Mall, Serafi Mega Mall, Roshan Mall, dan Star Avenue. Bermunculan pula mal­ mal baru dengan ukuran tak kalah besarnya seperti Haifa Mall dan Central Park. 104 Memoarof Jeddah

Jeddah yang Bertabur Monumen

Sekadar menyusuri jalanan kota Jeddah, mata kita akan di­ manjakan oleh banyaknya monurnen. Sepeda raksasa di Sitten Street yang terkenal dengan narna "Sepeda Nabi Adam" itu cuma satu di antara seribu. Monumen-monumen cantik ini tertata rapi, memenuhi segala sudut kota. Dari ruas jalan, persirnpangan, sarnbungan jalan, sampai ke tepi pantai. Ada yang berbentuk kompleks, tapi banyak juga yang hanya berupa bangunan kecil nan unik, misalnya jangka raksasa, alat-alat pertukangan (Linggis, palu, dan lain-lain), benturan mobil warna warni di sebuah dinding, bola dunia, serta tangan raksasa yang terkepal dengan gagah. Corniche Road juga merupakan pusatnya monumen-mo­ numen unik. Sembari menikmati suasana pesisir, jangan lupa mengedarkan pandangan melihat-lihat bangunan-bangunan seru yang berjejer di jalanan pantai ini. Favorit saya pribadi adalah The Giant Lantern, empat len­ tera raksasa yang berdiri perkasa di salah satu jalan protokol, Ki ng Abdullah Road. Pada siang hari, monumen ini hanya berupa lampu-lampu besar penuh debu tanpa warna. Akan tetapi, cobalah melewatinya pada malarn hari. Lentera raksasa ini akan berselimutkan cahaya warna-warni laksana lentera dari negeri dongeng. Rupa-Rupa Wajah Kola Jeddah 105

Sepeda Nabi Adam

Monumen di Corniche Road l 06 Memoorof Jeddah

Jalan-Jalan di KotaJeddah?

Sebenarnya tidak perlu waktu lama untuk menyusuri berbagai tempat tadi karena infrastruktur jalan yang cukup bagus. Jalan raya di Jeddah lebar clan n1ulus. Ken1aceran juga jarang terjadi. Kalau Anda adalah jamaah umrah clan haji, mungkin Anda bisa menghubungi pengawas rombongan. Pengawas biasanya ada yang memang bermukim di negara Saudi. Para pengawas ini punya kenalan sopir-sopir yangjuga berasal dari Indonesia. Mungkin Anda bisa memanfaatkan jasa mereka.

Jalan Raya Baghdad.

• IRAQ Amman

a1 J Buraydah. Dai YPT � � • .Medina * Ri� tg Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 108 Memoarof Jeddah

ermukim dua tahun di kotaJeddah, memperkenalkan saya Bkepada tempat-tempat menarik di Saudi. Te rnyata ada pesona lain dari kota-kota di sekitar Jeddah-selain magnet dari dua Kora Suci umat muslim, Mekkah dan Madinah. Harga bensin yang sangat murah seolah ikut memberi dukungan untuk melancong ke luar kota setiap akhir pekan atau ketika liburan tiba, seperti ketika Lebaran. Suasana Lebaran di kota Jeddah jauh berbeda dengan pera­ yaan di tanah air. Sepi sekali suasana kota menjelang dan saat Hari Raya tiba. Jadilah, liburan Hari Raya Idul Fitri tahun lalu kami sekeluarga berlibur ke kota Ya nbu dan Badar.

Ya nbu: Kota lndustri, Kota Pantai

Kota Yanbu terletak sekitar 300 km di sebelah utara kota Jeddah. Dengan infrastruktur jalan antarkota di Saudi yang umumnya lebar nan mulus, jarak ini bisa ditempuh dalam tempo kurang dari tiga jam. Hati-hati, jangan terbius untuk ngebut. Ada kamera peng­ intai kecepatan yang siap menangkap basah pengemudi nakal dan menjeratnya dengan denda ratusan riyal. Di sepanjang perjalanan, gunung-gunung batu yang berdiri megah, peternakan unta di beberapa sudut gurun, serta ham­ paran padang pasir mahaluas menghiasi kiri kanan jalan. Memasuki kota Ya nbu, dengan menyusuri jalanan utama King Abdul Azis Road, suguhan pertama adalah kilang-kilang minyak, diselingi bangunan berbahan seng berbentuk kotak alias gudang, atau dikenal dengan istilah warehouse. Yanbu-Badr, dari Panlai kePadang Pasir 109

Di Yanbu inilah terdapat pengilangan minyak kepunyaan Saudi Aramco, perusahaan minyak asal negeri Paman Sam. Sejak tahun 1970-an, sebagian wilayah kota Yanbu ini disulap menjadi kota industri oleh pemerintah Saudi. Pemandangan ala daerah industri dari berbagai perusahaan internasional ini bisa dinikmati sepanjang sekitar 30-40 km. Setelah itu, berganti dengan taman-taman dengan bunga ber­ warna-warni serta playgroundyang tertata rapi. Wa h, suasananya berbeda dengan kontur umum di Saudi sebagai negara tandus. Sepertinya, bagian kota yang ini me­ mang ikut "disulap" menjadi keren untuk kepentingan warga Yanbu yang menghuni wilayah perumahan di sekitar pabrik­ pabrik tadi. Mereka rata-rata pekerja asing. Mungkin agar mereka betah tinggal di kota kecil nan sunyi ini. Kalau berbelok di kiri-kanan jalan utama yang bertaburan taman tadi, kita akan melihat jajaran compound. Ada yang ma­ sih dalam proses pembangunan, ada pula yang sudah berdiri kokoh, lengkap dengan pos penjaga beserta satpamnya. Compound adalah semacam kompleks perumahan yang biasanya dikelilingi oleh tembok tinggi. Siapa pun yang berada dalam compound terbebas dari aturan-aturan khas Saudi, mi­ salnya kewajiban berabaya untuk wanita dewasa dan pe­ rempuan tidak boleh menyetir. Compound merupakan pemukiman yang umum ditemukan di banyak kota di Saudi. Modelnya bermacam-macam. Dari yang hanya berupa susunan rumah mungil tanpa lahan untuk kendaraan, hingga yang berukuran sangat luas, lengkap dengan berbagai fa silitas olahraga dan supermarket. 110 Memoarof Jeddah

Selain barisan compound, ada juga rumah-rumah kecil atau gedung-gedung apartemen kecil yang tertata apik di sepanjang jalan. Ada minimarket yang tersebar di beberapa tempat. Komplet dengan pohon-pohon yang ditanam rapi di pinggiran jalan. Bersih dan teduh. Balik lagi ke jalan utama, King Abdul Azis Road, dan terus­ lah mengikuti jalan ke arah utara. Perlahan-lahan kita akan memasuki bagian kota yang belum tersentuh efek modernisasi. Bagian kota yang ini jalan-jalannya mulai mengecil. Bangunan­ bangunan apartemennya berukuran kecil dan banyak yang sudah kusam. Lama-kelamaan, masih menyusuri King Abdul Azis ini, kita akan bertemu dengan pesisir pantai Laut Merah. Di sekitar sini banyak ditemui penginapan berupa hotel dan resort. Pesisir pantai kota Yanbu tergolong bersih. Dari kejauhan, warna air laut tampak berkilau kehijauan. Mendekatlah ke bibir pantai, lalu jejakkan kaki ke dalam airnya hingga teng­ gelam. Bayangan kaki kita akan terlihat jelas karena airnya be­ ning sekali. Pesisir pantai Ya nbu cukup panjang. Kami mencoba menyu­ suri pesisirnya dari satu ujung ke ujung yang lain dengan menyetir santai. Namun, karena sudah sejam belum tampak ujungnya, kami pun memutar balik. Kami berhenti di beberapa tempat untuk mengambiJ fo to. Ada beberapa tempat yang sekilas mirip dengan suasana di Pantai Anyer dan Pangadaran. Sebagian wilayah pesisir Yanbu ditutup untuk umum, disekat dengan pagar tinggi atau tembok semen. lni me­ nunjukkan wilayah tersebut tergolong private beach. Untuk Yanbu-Badr, dari Pantai ke Padang Pasir 111 melongok ke dalam, perlu merogoh kantong. Te mpat-tempat seperti ini juga dilengkapi dengan re sort, dari yang biasa-biasa saja hingga yang 1nenawarkan fasilicas bintang li1na. Pada u1nu1nnya, daerah pancai di Saudi ini hanya ramai bila malam telah menjelang. Pada saat itu, barulah orang­ orang Arab berbondong-bondong 1nenggelar tikar di sepan­ jang pcsisir pancai dan duduk bcrsancai di sana. Tak lupa memboyong termos minuman hangat dan camilan. Tidak seperti di Indonesia, di sini jarang ditenu1kan pedagang kaki li1na yang 1nenjual 1nakanan. Hari beranjak senja. Ka1ni menepi sebentar unruk menik­ mati pemandangan. Setelah puas menikmati langit yang ber­ warna kuning ken1erahan, ka1ni 111en1utuskan untuk 1nencari pcnginapan di Yanbu.

Pant;li Yanbu -Air Jernih 112 Memoarof Jeddah

Akomodasi di Ya nbu

Mengenai penginapan, tak perlu khawatir. Ada beberapa hotel berbintang beserta resort yang berdiri megah di kota ini dan bisa di-booking secara online. Sebagian besar hotel tersebut dibangun di sekitar pesisir pantai Yanbu, di antaranya:

• Movenpick Hotel & Resort.

• Tu lip Inn Hotel, hanya berjarak ratusan meter dari bi­ bir pantai, tempatnya rindang, clan dilengkapi dengan playg round untuk anak-anak.

• Radisson Blu Hotel.

• Dolphin Beach Resort, salah satu resort yang terletak di dalam wilayah private beach.

Kami sendiri menginap di sebuahfull service apartmentyang terletak di tengah kota. Hanya sekitar 15 menit berkendara dari kawasan bibir pantai. Penginapan macam ini juga ada, tersebar di beberapa jalan­ an utama kota. Te mpatnya bersih, dilengkapi dengan dapur mini. Harganya l 70SR per malam. Untuk makanan pun tidak perlu risau. Meskipun tergolong kota kecil, di Yanbu ada gerai-gerai makanan internasional seperti Pizza Hut. Ada juga gerai AlBaik, ayam goreng tepung asal Saudi yang cukup terkenal, bahkan untuk para pendatang. Di food court yang ada di Dana Mall juga ada beragam makanan. Dari menu khas Arab, India clan Pakistan, hingga menu Asia lainnya. Dana Mall ini cukup besar. Mal-mal di Saudi, walaupun jarang yang bertingkat, rata-rata berukuran Yanbu-Badr, dari Pantai kePadang Pasir 113

Panrai Yanbu -Senja

sangac luas. Gerai-gerai pakaian cernama seperci Zara, Mango, dan Guess juga ada di sini. Jadi, bisa sekalian window shopping.

Berpetualang ke Padang Badar dan Mengunjungi Makam Syuhada Badar

Secelah menjelajahi koca Yanbu dan mencicipi senja di pesisir pancainya, keesokan paginya kami berpecualang ke Badar. Tujuan utama kami adalah menikmati bukit pasir halus di Padang Badar. Badar adalah kota kecil yang berjarak sekitar 90 km dari Yanbu. Tak susah menemukan jalan menuju koca ini dari Yanbu karena banyak petunjuk bertebaran di sepanjang jalan. Namun, cidak ada salahnya meminca bancuan melalui GPS. Tidak sampai sejam perjalanan, kami sudahmemarkir mo­ bil di salah satu sisi bukit pasir yang terhampar di sebagian 114 Memoar ofJeddoh

- '!t: • ... -· . .. - .., .;" .·J ...... �• . �. . ·�.·

Badar - Hamparan Padang Pasir

besar wilayah kota ini. Pilihlah bukit pasir yang halus tanpa kerikil. Saat itu musim dingin sudah menjelang, namun suhu be­ lum terlalu rendah. Suhu gurun pagi itu mencapai 37 derajat cekius. Konon, pada puncak musim dingin, suhu sore hari di padang ini bisa berada di bawah 10 deraj at celcius. Brrrr.... Apabila membawa bayi, sebaiknya berkunjung pada pagi hari. Biarpun sore hari lebih sejuk, namun anginnya cukup kencang. Pasirnya beterbangan ke mana-mana. Anak sulung kami bebas berlarian di padang pasir mahaluas itu sambil sesekali mendaki. Pasirnya tidak terasa panas di ku­ lit. Ta npa angin, pasirnya hanya berhan1buran bila terinjak kaki. Hawanya pun tidak gerah. Anak kedua saya yang saat icu masih berusia lima bulan tidak rewel sama sekali. Yanbu-Badr, dari Pantai kePadang Pasir 115

Bermain di Padang l'asir Badr

Setelah mendaki bukit pasir yang agak tinggi, terlihat hamparan gurun pasir yang sangat luas. Te rlihat juga jalan­ jalan raya berliku yang membelah gurun. Datarannya sangat empuk, seolah akan nlengisap kaki-kaki kita. Benar-benar tun1pukan pasir membencuk bukic, bukan bukit bacu berlapis pasir. Lepaskan alas kaki bila tidak ingin langkah memberat akibac butiran-buciran pasir yang menyusup nlasuk. Kota Badar merupakan salah satu saksi penting dalam se­ jarah penyebaran agama lsla1n. Di Sadar inilah terjadi pe­ perangan besar pertama umat muslim sejak hijrah ke Madinah. Pasukan muslim yang berjun1lah jauh lebih sedikic berhasil n1cn1ukul mundur musuh. Bebcrapa sahabat Nabi gugur dalam pertempuran ini. Mereka dimakamkan di salah satu tempat di kota Badar ini. Sayangnya, ketika liburan itu kami tidak sen1pat berkunjung ke maka1n para syuhada Badar. 116 Memoar ofJeddah

Namun, beberapa waktu lalu, saat ibu mertua mengunjungi kami sekaligus beribadah umrah, kami bertandang lagi ke kota Badar ini. Sekali ini disertai niat berziarah ke makam tersebut.

Badar - Hamparan Padang Pasir

Te mpatnya mudah dijangkau. Jangan khawatir, semua orang mengerti jika kita bertanya. Bilang saja "Makam Badar?" Orang-orang sudah paham. Makam ini terletak di tengah kota Badar. Sangat mudah menemukannya. Ada di sisi salah satu jalan utama di kota ini. Kotanya lebih kecil lagi daripada Yan bu. Di jalan tersebut juga dibangun semacam rugu dan monu­ men Perang Sadar. Monumen tersebut memuat nama keempat belas sahabat Nabi yang mati syahid dalam peperangan itu. Yanbu-Badr, dari Pantai kePadang Pasir 117

lvlonumcn Para Syuhada Badar

*** 118 Memoarof Jedd ah

Demikianlah kisah berjalan-jalan kami selama dua hari penuh. Menikmati suasana kota Ya nbu yang berbeda dengan hiruk pikuk di Jeddah, sekaligus menjajal pesisir pantainya yang bersih. Tak lupa mampir ke kota Badar, bermain-main di padang pasirnya clan berziarah ke salah satu tempat bersejarah di sana. • IRAQ Amman

Buraydah. Dai YPT � � • .Medina * Ri� <.f; Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 120 Memoarof Jeddah

adinya saya berpikir mustahil bertemu yang hijau-hijau Tdi Saudi karena negara ini terletak di daerah gurun. Meskipun terkesan dengan pantai-pantai cantik dan peman­ dangan khas gurun yang berjejer di pesisir barat negeri Petro Dolar ini, saya pun rindu menyaksikan suasana alam dengan dominasi warna hijau yang segar. Te rnyata ada, lho, pemandangan seperti ini di Saudi. Sila­ kan melebarkan langkah menuju kota Thai£ Te rletak di lereng Perbukitan Sarawat, wajar saja jika kota ini memiliki iklim yang sejuk hampir sepanjang tahun. Thaif adalah tujuan wisata yang cukup umum bagi pendu­ duk Saudi saat musim panas tiba. Te rmasuk untuk saya, Jihan Davincka, yang sekarang ini bermukim di kota Jeddah. Kota ini pernah punya kisah dalam sejarah perjalanan Nabi Muhammad menyiarkan agama Islam. Konon, Rasulullah per­ nah dilempari batu oleh penduduk Thaif ketika beliau sedang berdakwah di tengah kota. Namun, banyak yang meragukan kebenaran riwayat ini.

Perjalanan Mendaki Bulcit Batu

Kota Thaifberjarak sekitar 100 km di arah tenggara Kota Suci Mekkah. Dari Jeddah sendiri, kota ini bisa dicapai dalam 90 menit bermobil. Sebelum mencapai kota Thaif, kita sudah akan terpukau dengan jalanan yang melewati lereng-lereng pegunungan batu yang terjal. Jalanan ini merupakan akses utama menuju Thai£ Jalanan yang panjang, curam, dan meliuk-liuk tersebut dibangun dengan megah di atas gunung-gunung batu. Theil, Musim Semi di Gurun Saudi 121

Jabnan di hukir hcrharu

Saya tak bisa membayangkan berapa lan1a pemerintah Saudi membangun jalanan terse but 111engingat tiang-tiang penyangga 122 Memoarof Jeddah jalannya yang kokoh dan panjang. Biarpun medannya terlihat menakutkan, jalan ini sangat aman dan nyaman untuk dilalui. Keselamatan pengguna jalan sangat diperhatikan. Di tiap tikungan yang sangat curam dan belokan tajam dipasang banyak speed breaker. Dua jalur yang tidak searah disekat dengan beton panjang. Kita tak akan berpapasan langsung dengan mobil dari arah yang berlawanan. Di pinggir jalan yang mengarah ke lembah juga dibangun beton-beton tinggi dan kokoh. Tiap jalur berukuran cukup lebar. Selain jalannya yang lebar dan mulus, pemerintah juga menyediakan tempat-tempat khusus bagi yang ingin menepi. Biasanya orang-orang menepi untuk bersantai sejenak sambil menikmati hamparan perbukitan batu dari atas. Banyak juga yang merekam indahnya jejak alam ini melalui kamera. Yang cukup berkesan dan unik adalah monyet-monyet yang terlihat di sisi jalan sepanjang lereng. Di salah satu tempat menepi, mereka bebas berkeliaran dan mendekat jika ada mo­ bil yang berhenti. Mungkin menanti makanan. Benar saja. Orang-orang sibuk melemparkan makanan ke arah mereka. Kami tak sempat mendekat karena anak-anak saya terlihat takut dan risih. Padahal, monyet ini termasuk hewan favorit mereka dalam berbagai acara televisi dan buku-buku cerita bergambar. Mungkin berbeda rasanya ketika melihat mereka di dunia nyata.

Naik Kereta Gantung diAl Hada

Kota pertama yang akan kita lewati selepas menyusuri jalanan mendaki tadi adalah AlHada. Begitu memasuki AlHada, war- lhaif, MusimSemi di Gurun Saudi 123 na hijau sudah mulai mendominasi kiri kanan jalan. Hawanya mulai sejuk. Jika belum puas menikmati pemandangan dari atas bukit batu, mampirlah ke Hotel Ramada. Hotel ini berada di puncak salah satu lereng di perbukitan batu yang terlewati tadi. Persis di samping Hotel Ramada ini kita bisa naik kereta gantung {cable car) yang akan melintasi sepanjang areal perbukitan batu dari atas ke bawah dan sebaliknya. Kereta gantung menempuh rute menurun, menuju sebuah waterparkdi salah satu lembah di dasar perbukitan batu. Butuh sekitar setengah jam untuk tiba di kawasan waterpark. Duh, deg-degan juga ketika berada di tengah-tengah kare­ na pemandangan di luar didominasi oleh batu-batu terjal berukuran raksasa. Berjajar rapi membentuk perbukitan batu yang luas dan terjal. Saya tidak berani memandang ke bawah berlama-lama. Tarif kereta gantung ini sekitar 90SR (saudi riyal) per orang. lni sudah termasuk berpiknik dan berenang di kawasan waterparkserta perjalanan bolak balik dari atas (Hotel Ramada) ke waterpark dan sebaliknya. Sayang sekali kami tidak sempat turun dan menghabiskan waktu di waterpark. Kami cuma melihat-lihat sebentar, lalu masuk ke kereta, dan kembali ke Hotel Ramada lagi, tempat kami memarkir mobil. Konon, lebih seru jika naik kereta gancung ini pada malam hari. Kita bisa melihat lampu-lampu yang menghiasi kota-kota besar di sekitar Thaif dari atas. 124 Memoar ofJeddah

AlHada - Kcrcra Gantung

Bersantai diPlay groundThaif

Tak sampai setengah jam menyetir dari Hotel Ramada, kami tiba di tengah-tengah kota Thai£ Kami berputar-putar sebentar menikmati suasana kota yang terkenal dengan suhu ademnya 1n1. Thaif kota kecil, jauh lebih sepi daripada kotaJeddah. Kami hampir tak bisa menemukan petunjuk jalan atau toko dalam tulisan latin. Hampir semuanya dalam tulisan Arab. Dari jauh saya clan suami sempat main tebak-tebakan, apakah tempat yang akan kami lewati di depan adalah toko baju atau rumah makan. Kami memang belum fasih membaca tulisan Arab. Taman-taman kota yang hijau clan cukup rimbun terlihat di mana-mana. Bangunan-bangunan apartemen clan toko di jalan-jalan berukuran kecil clan tampak kusam. Nyaris tak ada bangunan baru. Thaif, Musim Semi di Gurun Saudi 125

Te rnyata tak perlu waktu lama untuk menyusuri sudut­ sudut kota. Mungkin setengah jam saja sudah cukup. Setelah itu, kami bergabung dengan teman-teman lain. lkut menggelar tikar dan duduk bersantai di salah satu taman kora. Ta mannya cukup hijau, dilengkapi dengan playground yang lumayan lengkap hingga anak-anak bisa bebas bermain-main. Para orangtua duduk bersantai di bawah pohon. Anak­ anak kami biarkan berlari-lari di areal taman bermain. Selain berlarian dan berkejaran, mereka juga memanfaatkan fasilitas bermain seperti ayunan, jungkat jungkit, dan perosotan. Semuanya bebas dinikmati tanpa keluar biaya.

Thaif- Playground 126 Memoarof Jeddah

Mampir keAsh-Shafa

Selepas waktu Ashar, kami beranjak pergi dari taman. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Shafa. Shafa terletak tidak jauh dari Thaif. Hanya sekitar 40 menit menyetir santai. Jalanan menuju Shafa juga tergolong mulus. Pemandangan sepanjang kiri kanan jalan adalah perbukitan hijau dengan lembah-lembahnya yang landai. Sangat kontras dengan suasa­ na Negeri Gurun yang umumnya didominasi padang pasir bersemu warna cokelat. Menurut saya, pemandangan di sini mirip sekali dengan suasana sebuah padang rumput mahaluas di film trilogi Lord of The Ring. ltu sebabnya saya memberi julukan sendiri buat Shafa, middle earth-nya Saudi. Kami berhenti di salah satu taman di pinggirjalan. Ta man­ nya tidak terlalu terawat. Tan aman tumbuh tidak rapi dan tempatnya agak dekat dengan lembah. Biarpun tidak curam, para ibu sibuk menjaga balita mereka agar tidak berlarian menuju bibir lembah. Sayang sekali, kami tiba di Shafa saat senja sudah mulai menghampiri. Sudah hampir gelap. Perbukitan hijau yang ber­ baris memanjang tak sempat tertangkap kamera dalam per­ jalanan tadi. Theil, Musim Semi di Gurun Saudi 127

As h-Shafa menjelang malam hari

Berburu Oleh-Oleh Buah-Buahan Segar

Gelap sudah 111en1enuhi langit ketika kami beranjak 111ening­ galkan Shafa. La1npu-la1npu 1nulai dinyalakan di sepanjang jalan. Perjalanan pulang yang tadinya dikhawacirkan akan gelap gulita ternyata malah terang benderang.

Dari Shafa, kira bisa langsung 1nenuju Al Hada. Sebelu1n meninggalkan ka\vasan Thaif dan Al Hada ini, jangan lupa berbelanja buah-buahan segar. Mampirlah ke sebuah Japak penjual buah-buahan yang cukup besar dan ra1nai. Te 1npatnya pasci cerlewati dala1n rute perjalanan pulang.

Iklim yang sejuk mem ungkinkan perkebunan buah-buahan tumbuh subur di kawasan ini. Thaif 111erupakan pusatnya anggur clan ape!. Harga buah-buahan di sini memang relarif murah daripada harga buah yang san1a di kota Jeddah, terutama buah anggur. 128 Memoar of Jeddah

Dengan hanya membayar I 0 SR, kita bisa mendapatkan 1-2 kilogra111 buah anggur hijau yang dikemas dalan1 sebuah korak kardus . Rasanya pun lebih 111anis. Buah-buahan lain yang rersedia di sini anrara lain jeruk, ape!, kiwi, peach, pisang, dan mangga.

Penjm1l bu'1h-bm1han di -n,.;f

Menginap dan Makan di Mana?

Sepertinya tidak ada ru111ah 1nakan khas Indonesia di sepanjang Al Hada - Thaif - Shafa. Maklu1nlah, kota kccil. Nyaris rnk ada pendatang asal Indonesia yang bermukim di daerah ini. Nlungkin ada tapi pasci jumlahnya tak sebanyak di kota-kota besar seperti Riyadh, Jeddah, Ivfekkah, dan Madinah. Jangan kha\vatir. lvfakanan khas TimurTe ngah seperri ke­ bab dan nasinya yang beraroma khas lumayan cocok, kok, un­ cuk lidah Asia kita. Kebab daging sapi clan ayam rasanya 111irip- Thaif, MusimSemi di Gurun Saudi 129 mirip dengan sate. Di sepanjang jalan, rumah makan yang menyajikan kebab clan nasi khas Arab tak sulit ditemukan. Harga makanan di wilayah ini sedikit lebih mahal diban­ dingkan harga makanan yang sama di kota-kota besar Saudi. Untuk satu porsi mungkin perlu sekitar 20 - 25 riyal per orang tapi satu porsi nasinya sangat banyak. Porsi standar orang Arab memang lebih banyak daripada porsi makanan untuk satu orang di tanah air. Bagaimana dengan penginapan? Hotel-hotel berbintang tersebar di kawasan Al Hada - Thaif, seperti Hotel Ramada clan Hotel Intercontinental Thaif. Kalau masih kuat menyetir sekitar 40 menit, lebih baik menginap di kota Mekkah saja. Kota Mekkah menawarkan lebih banyak penginapan dengan harga bervariasi. Lokasinya pun mudah ditemukan sa­ king banyaknya hotel clan penginapan di kota Mekkah. Kami sendiri memutuskan untuk langsung balik ke kota Jeddah malam itu juga. lnfrastruktur jalan di Saudi ini me­ mang sangat memanjakan para pengemudi. Menurut suami saya, menyetir di Saudi tidak terasa melelahkan seberapa pun jauhnya. Jalan tol penghubung Mekkah clanJeddah, misalnya, lurus­ lurus saja. Kondisi jalan yang mulus dan lebar, serta dua jalur berlawanan arah selalu disekat rapi. Makin nyamanlah urusan menyetir ini. Macet pun hampir tak pernah ditemui. Taksusah menemukan pompa bensin di sepanjang jalan to!. Tiap pompa bensin dilengkapi dengan toko-toko kelontong. Ada juga kedai-kedai kecil yang menjual kebab mini clan semacamnya. Jadi, bisa mampir kapan saja clan beristirahat jika lelah mulai menghampiri. 130 Memoarof Jedd ah

Bagaimana? Apakah tertarik ikut berpetualang di Negeri Pengawal Dua Kota Suci Islam ini?

*** • IRAQ Amman

Buraydah. Dai YPT � � • .Medina * Ri� <.f; Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 132 Memoarof Jeddah

agnet negara Saudi tidak terbatas pada dua Kota MSuci, Mekk.ah dan Madinah, saja. Negara Petro Dolar ini juga memiliki situs menarik yang tidak hanya bercerita mengenai kisah dari zarnan Nabi Muhammad. Salah satu tempat bersejarah masa lampau yang masih tertinggal di tanah Negara Kerajaan ini adalah Al Hijr.

Al Hijr, Nama Lain dariMadain Saleh

Al Hijr berarti Pegunungan Batu. Menggambarkan kemegahan arsitektur bangunan yang terpahat indah di gunung-gunung batu yang terhampar di mana-mana. Al Hijr juga dikenal dengan narna Madain Saleh. Konon, dulu tempat ini dihuni oleh kaum Ts arnud, kaum yang dilak­ nat Allah pada zaman Nabi Saleh. Madain sendiri berarti kumpulan kota. Kata madain diambil dari kata Madinah yang berarti kota (tunggal). Narnun, bangunan yang masih berdiri di sana sudah tidak menyisakan jejak kaum Ts amud sama sekali. Sisa-sisa bangunan kuno di barisan bukit batu di Al Hijr merupakan peninggalan suku Nabatean, suatu kaum dari rumpun Arab yang hidup di kawasan Timur Te ngah sebelum masuknya bangsa Romawi. Salah satu peninggalan sejarah yang juga berasal dari suku ini adalah Petra. Petra merupakan sebuah situs sejarah di Yo rdania yang pernah dimasukkan ke dalam salah satu tempat yang wajib dikunjungi sebelum meninggal dunia Al Hijr resmi ditetapkan sebagai situs peninggalan sejarah dunia oleh UNESCO pada tahun 2008. Al Hijr, Warisan Budaya Dunia di Saudi 133

LokasiAl Hijr

Al Hijr sendiri rerlerak sekitar 20 km di sebelah urara kota Al­ Ula, sekitar 400 km dari kota l\.1adinah. Kami beramai-ramai 1nengunjungi situs bersejarah tersebut pada penghujung tahun 2012. Kami 1nenyecir dari Jeddah clan 1nenginap se1nala1n di Madinah. Keesokan paginya, pukul delapan pagi, kami ke1nbali berkonvoi ke Al-Ula. Infrascrukcur jalan ancarkoca di Saudi sudah sangac 1naju. Jalan-jalannya rnulus berbahan beron clan dibuat lebar-lebar. Hati-hati, jangan terlena! Ada kamera Saher yang dicipcakan untuk "1nenangkap" penge1nudi nakal yang nlelewaci batas kecepatan maksi1num di jalan col. Perjalanan dari Jvfadinah ke AJ-Ula memakan waktu sekitar empat jam dengan kecepatan rata-rata 120 km/jam.

Al Ula

Unuunnya, wilayah Saudi berhiaskan gurun pasir dan bu­ kic bacu kecil yang didominasi warna abu-abu. Nan1un, koca 134 Memoarof Jeddah

Al-Ula menawarkan pemandangan yang tidak biasa. Hampir di sepanjang jalan yang kami lintasi menuju Al Hijr, kami terpukau oleh barisan bukit batu berwarna cokelat yang beraneka bentuk. Batu-batu itu terpahat sendiri oleh alam. Berada di sana serasa berada di pegunungan Amerika Serikat bagian selatan, The Grand Canyon. Ketika kami masih sibuk mengagumi The Grand Canyon of Arabian ini, tahu-tahu kami sudah berada di depan pintu gerbang AJ Hijr. Kita tidak perlu membayar biaya apa pun untuk menjelajahi Al Hijr, tetapi aksesnya tidak terbuka begitu saja untuk umum. Kita perlu semacam tasrikh, surat izin resmi, yang diperlihatkan kepada penjaga yang selalu siap siaga di pintu masuk Al Hijr. Jangan khawatir, pakai saja pemandu lokal asal sana. Dengan membayar total 300-500 riyal, urusan tasrikh heres. Kita pun akan dipandu berpetualang sembari mendengar kisah-kisah menarik tentang situs antik ini.

Menjelajahi AlHijr

Tempat pemberhentian pertama setelah melewati pintu ger­ bang AJ Hijr adalah stasiun kereta peninggalan Kekaisaran Ottoman. Begitu pintu-pintu mobil dibuka, anak-anak lang­ sung berhamburan menyerbu sebuah kereta yang berdiri apik di atas rel. Pemandu kami, seorang pria setengah baya, penduduk asli kota Al-Ula, mulai bercerita. Stasiun ini adalah salah satu di antara rangkaian stasiun kereta yang dibangun pada zaman Kekaisaran Ottoman untuk menghubungkan Suriah- Al Hijr, Warisan Budaya Dunia di Saudi 135

Ye russalem dan vrilayah Kota Suci. Tuj uan utamanya untuk mengangkut jamaah haji menuju Mekkah dan Madinah. Pembangunannya terhenci saac Perang Dunia 1 berkecamuk. Beberapa bagian dari scasiun yang cerlecak di bagian ucara Al Hijr tersebut rusak akibat pemberontakan lokal yang terjadi di daerah cersebut. Secelah Al Hijr resmi dicecapkan sebagai situs sejarah nasional oleh Kerajaan Saudi pada tahun 1970-an, renovasi terhadap scasiun cersebuc mulai dilakukan. Kerangka utama kerera yang kami lihac itu adalah versi aslinya. Pemerincah Saudi cuma menambahkan beberapa ornamen pelapis serca mengecat ulang.

Bangunan di sckitar rd kcrcta api

Beberapa bangunan berwarna cokelat di sekicar rel pun ikut dipugar. Ada bengkel, peron, dan semacam benceng kecil yang cerletak agak jauh dari kawasan cersebut. 136 Memoar of Jeddah

Setelah membujuk anak-anak agar mau turun dari kereta dan masuk lagi ke mobil, kami melanjutkan tur. Setelah menye­ tir santai sekitar lirna menit, kami diminta kembali berhenti. Kali ini kami berhenti di jejeran bukit batu yang terpahat unik menjadi bangunan-bangunan yang berusia lebih dari 2.000 tahun. Bangunan-bangunan tersebut adalah peninggalan suku Nabatean yang diperkirakan menghuni wilayah ini di sekitar abad pertama Masehi. Pemandu kami kembali kembali berkisah, bukit batu terse­ but dipahat dengan cara yang tidak lazim, yaitu dari atas ke bawah. Hanya mengandalkan sebilah kayu untuk memahat dan air untuk melembutkan permukaan bukit batu. Bayangkan, hanya dengan bermodalkan metode dan peralatan sederhana, kaum Nabatean sanggup membangun kuil unik yang masih kokoh hingga kini. Bangunan-bangunan di kawasan itu ternyata digunakan se­ bagai kuburan. Jasad yang masih utuh dibiarkan begitu saja di depan pintu bangunan. Setelah dimangsa elang, barulah tulang belulang yang tersisa dimasukkan. ltulah sebabnya di bagian atas pintu tiap bangunan terukir gambar seekor elang. Kami menghabiskan waktu lebih lama di kompleks peku­ buran tersebut. Anak-anak juga sibuk keluar masuk bangunan serta bermain pasir di padang yang terhampar luas di hampir seluruh wilayah Al Hijr. Akhirnya, puas juga berfoto-foto sebelum pemandu me­ minta kami bergegas kembali ke dalam mobil. Kami digiring ke suatu tempat. Di sana terdapat sebuah bangunan batu berukuran besar yang merupakan salah satu rumah tinggal Al Hijr, Warisan Budaya Dunia di Saudi 137 kaum Nabatean. Pintu masuknya ada beberapa. Tak jelas siapa pemilik bangunan itu, apakah keluarga penguasa atau bukan. Tak jauh dari situ ada sebuah bangunan unik yang jika di­ lihat dari bawah menyerupai wajah orang. Menurut pemandu kami, itu bukan ha! yang disengaja. Secara kebetulan, alam memahat bukit batu tersebut sehingga menyerupai wajah manusia tampak samping. Te mpat persinggahan terakhir adalah Ad Diwan, sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat pemujaan oleh kaum Nabatean. Beberapa batu besar dengan bagian atas meruncing berdiri berjajar. Ti ap batu dipahat membentuk ruangan lebar di dalamnya. Sebelum menuju Ad Diwan, pemandu kami sudah pamit. Sayang juga pemandu yang kelihatan terpelajar dansangat fa­ sih berbahasa Inggris tersebut pergi lebih awal. Namun, jangan khawatir. Tiap lokasi dalam Al Hijr sudah dilengkapi dengan keterangan. Keterangan tesebut ditulis dalam sebuah layar yang berlapis bahan plastik tebal agar tidak bisa dicorat-coret dan tidak kotor. Layar-layar tersebut ditempelkan di atas tugu­ tugu batu setinggi pinggang manusia dewasa. Keterangannya cukup lengkap danditulis dalam dua bahasa, Arab dan Inggris. Namun, tetap saja terasa kurang lengkap bila tanpa pemandu. Keuntungan memakai pemandu adalah kita bisa bebas bertanya. Kita pun bisa menemani si kecil bermain sembari merekam suara si pemandu melalui kamera saku dan semacamnya. Masih banyak tempat di dalamAI Hijryang bisa dikunjungi, namun langit mulai senja. Waktu Ashar telah terlewati. Mobil­ mobil kami beriringan keluar melalui pintu gerbang. Menurut 138 Memoar of Jeddah

. . . . rekan yang pernah ke sana, tempat-tempatnya m1rip-m1rip, cuma fungsi bangunannya yang berbeda-beda.

Komplcks Pcmakaman

L:iyar yang 1nenn1ar kererang:u1 riap ren1par Al Hijr, Warisan Budaya Dunia di Saudi 139

Akomodasi di Al-Ula

Jika menjelajahi koca-koca besar di Saudi seperci Riyadh, Jeddah, J\tlekkah, dan .tvladinah,jangan khawatir dengan un1s­ an pen1t. Selain banyak gerai 1nakanan incernasional yang sudah cak asing di canah air, banyak pula rumah makan khas

Indonesia . Selain itu, masakan Arab yang urr1umnya berupa beraneka nasi berbu111bu khas dan kebabnya yang 1nirip daging sace, cukup bisa diniktnati oleh lidah ranah air.

Jika bepergian ke kora kecil seperti Al-Ula ini, kami biasa­ nya 1ne111bawa bekal sendiri yang sudah disiapkan dari kota lvfadinah. Secelah 1nenggelar cikar clan makan bersama-sama di salah satu sudut kora yang cukup nyan1an, kami rnernuruskan lang­ sung ke1nbali ke Madinah. Jangan lupa, infrastruktur jalan di

Saudi tak 111elelahkan biarpun harus dite111puh berja1n-ja1n. )<1lanannya mulus, lebar-lebar, dan lurus-lurus saja. Jarang sekali n1enen1ukan jalan to! yang dibuat berkelok-kelok.

ivlakan siang bersan1a Baghdad.

• IRAQ Amman

Buraydah. Dai YPT � � • .Medina * Ri� tg Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 142 Memoar of Jeddah

asalah yang saya hadapi pada masa awal bermukim Mdi kota Jeddah bukan cuma penyesuaian dengan banyaknya ha! baru. Kekhawatiran terhadap lingkungan baru bagi anak-anak pun turut memusingkan kepala. Sewaktu masih di Jakarta, saya tinggal di lingkungan kom­ pleks perumahan. Tiap sore anak-anak bebas bermain di luar rumah. Bercanda dengan teman-teman atau sekadar berlari­ lari sarnbil bermain bola. Naik sepeda beramai-ramai juga sering. Di Saudi, suasananya berbeda. Kami tinggal di dalarn ling­ kungan apartemen. Lingkungan sehari-hari cenderung ter­ tutup. Perempuan tidak cerlalu bebas ke mana-mana. Boleh saja, sih, ke mana-mana sendirian tanpa suami. Narnun, tidak mungkin tiap sore membawa anak bermain di playground. Tiap minggu, saya sekeluarga bermain ke pantai atau play­ ground gratisan yang tersebar di berbagai penjuru kota. Tiap bulan karni piknik bersama-sama keluarga asal Indonesia yang bermukim di Jeddah. Semacam acara gathering keluarga. Te mpat yang paling sering karni kunjungi adalah pantai. Jeddah terletak di pesisir barat Saudi clan memiliki beberapa pantai cantik di luar kota yang seru buat berlibur. Salah satunya adalah Pantai Thuwal. Pantai ini terlecak di kota Thuwal, sekicar 80 km di utara Jeddah clan dapat dicapai dalarn waktu sekitar sejarn dengan menyetir santai.

***

Pantai Thuwal cukup berbeda dengan pantai-pantai lainnya. Thuwal memiliki fa silitas umum yang cukup lengkap. Karnar Berlibur Bersomo Anok-onok di Pontoi Thuwol 143 mandinya banyak dan ada banyak petugas yang w1ra-w1n membersihkan lingkungan sekitar pantai. Nyan1an dan bersih. Ka li ini saya yang 1nenjadi ketua panicia. Saya 1nengusulkan agar anak-anak diberi kegiaran khusus selain bermain pasir dan berenang. Jadilah kami sepakat n1engadakan lomba kecil­ kecilan untuk 111enghibur mereka. Kan1i sudah 1nenyiapkan hadiah untuk tiap pcscrta 101nba. Lomba pertarna adalah rnencari harta karun. Lomba ini kan1i peruntukkan bagi para balita. Dari run1ah, beberapa te- 1nan saya sudah 1nenyiapkan copi khusus buac para bajak laut kecil ini. Untuk "!urea karun"nya sendiri, kan1i menyebar bola-bola kecil berwarna-warni yang diselipkan di dalam pasir.

'J huwal lkad1

Tiap bajak lauc dilengkapi dengan sekop kecil untuk meng­ a1nbil bola dan kancong plascik yang digancung di leher sebagai 144 Memoar ofJeddah wadah "harta karun" tadi. Para balita cukup bersemangat mengikuti lomba ini. Usai mencari harta karun, lomba selanjutnya adalah makan kerupuk. Rata-rata kami sudah bermukim di sini lebih dari dua tahun. Jadi, anak-anak belum tentu tahu soal kebiasaan anak kecil sebaya mereka di Indonesia. Lomba makan kerupuk kami pilih untuk memperkenalkan salah satu lomba khas dari tanah ai r ini pada anak-anak. Pesertanya untuk anak-anak yang lebih tua. Namun, karena banyak peminat, akhirnya siapa pun boleh berpartisipasi. Kerupuk, sih, bukan barang langka di Saudi. Hehehe. Lomba makan kerupuk ini lebih seru daripada lomba men­ cari harta karun. Bapak-bapak sibuk memotret anak-anak. lbu-ibu heboh memberi semangat sambil bertepuk tangan. Menjelang senja, kami membiarkan mereka bermain-main sendiri di bibir pantai. Ada yang sibuk bermain pasir, ada yang berenang. Sisanya sibuk berkelompok. Para batita juga tidak ketinggalan menikmati serunya bergulat di pasir. Te rnyata, tidak perlu khawatir berlebihan. Kalau mau, kita bisa menciptakan kegembiraan buat mereka dalam kondisi apa pun di wilayah mana pun. Idenya enggak usah yang ribet-ribet. Modalnya hanya majalah bekas untuk membuat topi bajak laut-itu sudah membuat mereka senang dan merasa jadi bajak laut beneran. Kemudian, beli sekantong kerupuk, gantung di tali, clan biarkan mereka bersusah payah menggigit kerupuk tanpa bantuan tangan. Acara yang heboh pun tercipta. Pengalaman ini membuat saya belajar lagi bahwa ''Happiness is not gt,ven. It is made". Berlibur Bersama Anak-anak di Pantai Thuwal 145

Lornba bajak laut 1nencarl harta karun

l.omb:J mabn kerupuk

*** • IRAQ Amman

Buraydah. Dai YPT � � • .Medina * Ri� <.f; Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 148 Memoar of Jeddah

ermukim dua tahun lebih di Jeddah dan berpredikat Bsebagai "perempuan Indonesia" bukan perkara gampang. Suka tidak suka, fa ktanya adalah orang-orang Indonesia me­ nempati salah satu kasca terbawah di golongan para pendatang asal negara lain di Saudi. Bukan cuma kepada para pekerja informal. Asal sudah ber­ embel-embel "lndonezi" (cara mereka menyebut Indonesia di sini), siap-siap saja gi git jari.

***

Suatu hari saya ke UGO salah satu rumah sakit swasca di sini. Saya harus menjalani operasi kecil kala itu. Hanya bius lokal. Yang menangani saya adalah dokter laki-laki asal Mesir. Saya gemetaran, takut setengah mati karena harus berha­ dapan dengan meja operasi. Pak Dokter tampaknya tahu. la berusaha menenangkan dengan mengajak mengobrol. Bahasa Arab saya kala itu NOL besar dansaya pastikan Pak Dokter tak bisa berbahasa Indonesia. Jadi, kami asyik meng­ obrol dengan bahasa Inggris. Petikan percakapan kami saya terjemahkan sebagian besar ke bahasa Indonesia, ya. "Wah, tadi saya kira kamu orang Indonesia, !ho," ujar Pak Dokter setelah ngobrol agak panjang. "Saya memang asli Indonesia." Matanya terbelalak. "Indonezi? You can sp eak English? Masya Allah!" "Sure. Whynot?" Karena sudah sering mendapat tanggapan seperti ini, saya menjawab sambil tertawa kecil. Tunjukkan pada Saudi, Indonesia! 149

"Kalau bisa bahasa lnggris seperti ini, kamu harusnya cari pekerjaan lain. Kamu lulusan apa, sih?"

Meski belum bisa menebak arah pembicaraannya, saya te­ tap menjawab, "Saya dari Computer Science. S l ." Dia makin kaget. "Kenapa mau bekerja sebagai pembantu?" Saya merespons dengan terbahak. Ya ampun, kalau disangka seperti ini oleh orang lain yang kebetulan berpapasan, sih, biasa saja. Tapi kami berbincang sudah sekitar setengah jam. Masa iya, dia bisa menyangka saya ini TKW-asisten rumah tangga? Payah, nih, Pak Dokter. Ya, begitulah umumnya tanggapan orang-orangjikabertemu dengan perempuan asal Indonesia di Saudi. Kemampuan kita berbahasa lnggris menjadi hal yang luar biasa di Saudi. Setelah itu, dia sibuk bertanya ngapain saya tinggal di Saudi. Dengan siapa saya tinggal di sini. Apa iya di Indonesia banyak perempuan mendapat kesempatan untuk duduk di perguruan tinggi? Kok orang Indonesia bisa berbahasa lnggris? Dengan waktu yang tersisa, saya mencoba sedikit melurus­ kan persepsi dia tentang Indonesia. Operasi keciJ yang tadinya saya kira menakutkan itu pun berakhir dengan happy ending. Pak Dokter cukup puas dengan penjelasan singkat saya dan memberikan sedikit pembelaan atas komentarnya di awal tadi. "Kamu jangan salahkan saya kalau saya tidak paham banyak orang Indonesia bisa berbahasa lnggris. Bahwa kota Jakarta sama kerennya dengan Jeddah. Bahwa pendidikan bukan hal tabu buat perempuan Indonesia. Masalahnya, hampir semua perempuan Indonesia yang saya tahu ada di Jeddah ini rata­ rata berprofesi sebagai pekerja rumah tangga." 150 Memoar of Jeddah

Selain membawa pulang jari yang berbalut perban dan rasa lega karena tangan saya sudah tidak nyut-nyutan lagi, saya pun cukup senang karena mendapat kesempatan untuk sedikit membenahi pemikiran umum tentang perempuan Indonesia di Jeddah. Saya jadi berpikir, "Oh, jadi benar juga, ya. Tidak 1 OOo/o orang-orang non-Indonesia yang ada di sini berpikiran sempit. Mereka berpendapat menurut apa yang mereka temui sehari­ hari."

***

Orang Filipina juga banyak yang bekerja di sini. Masalahnya, tenaga kerja asal negeri ini (baik laki-laki maupun perempuan) juga banyak yang berprofesi sebagai suster, sales, penjaga toko, manajer bank, engineer, konsultan IT/SAP, dan sebagainya. Profesi mereka lebih variatif. Demikian pula dengan pendatang lain dari negara-negara seperti Pakistan dan India. Orang Indonesia? Kalau Anda laki-laki, pasti disangka sopir. Kalau perempuan, otomatis dianggap pekerja rumah tangga. Banyak sekali TKI informal asal negara kita di negara ini tidak seimbang dengan jumlah pekerja profesionalnya. Begitulah kenyataannya. Jadi, tidak perlu semi, harusnya.

***

Ketika berurusan dengan rumah sakit, masalah kewarganegara­ an juga punya pengaruh. Te man saya punya pengalaman ku­ rang menyenangkan. Pihak administrasi rumah sakit agak Tunjukkan pada Saudi, Indonesia! 151 enggan melayaninya. Mereka malah sibuk berceramah soal ma­ halnya biaya rumah sakit dan menyarankan teman saya untuk mencoba di rumah sakit lain yang biayanya lebih terjangkau. Urusan sekolah sama saja. Ada beberapa sekolah yang dengan angkuhnya menolak anak-anak teman saya dengan banyak dalih. Ada yang tes masuknya dijadwal ulang terus. Ada juga yang menolak sejak awal tanpa alasan jelas. Hunting sekolah anak pun butuh waktu dan kesabaran lebih. Saya sering menggoda mereka, "Kalau ke mana-mana, bawa slip gaji suami, kali, biar mereka mingkem. Bawa iqama suami sekalian, biar lihat kalau ki ta ini keluarga mohandis." Di tiap iqama (resident permit) tercantum status pekerjaan kita. Mohandis adalah sebutan untuk level engineer. Kalau kita berpakaian rapi dan sedikit necis, ucapan yang mendarat adalah, "Malayzi?" Negeri jiran ini memang punya nama besar di kawasan Timur Te ngah. Malaysia hanya mengirim pekerja fo rmal se­ level mohandis ke atas. Tak ada satu pun TKW asal Malaysia di negeri gurun ini. Bisa dipastikan, bila bertemu dengan pe­ rempuan asal Malaysia, mereka pastilah istri insinyur atau manaJer. Mungkin salah satu alasan utama keengganan TKI fo rmal asal negeri kita mengadu nasib ke Saudi adalah faktor keaman­ an keluarga, terutama bagi para perempuan. Bukan rahasia lagi, banyak dinding pembatas untuk para wanita yang hidup di Saudi ini. Belum lagi merasa sebal karena kerap diremehkan gara-gara disangka TKW Pegawai toko pun nyaris tidak ada orang Indonesia. Ke­ banyakan tenaga kerja informal asal Indonesia memilih menjadi 152 Memoar of Jeddah pekerja domestik rumah tangga (sopir dan pembantu). Bukan tanpa alasan. Selain profesi informal lainnya membutuhkan kemampuan berbahasa lnggris, upah sebagai pekerja domestik memang lebih tinggi. Mereka pun tidak perlu membayar uang sewa rumah dan makan.

***

Stigma ini akan sulit didobrak selama orang-orang Indonesia (level engi.neer ke atas) sudah alergi duluan untuk mengadu nasib ke Saudi. Padahal enak juga, !ho, di Saudi. Gajinya standar negara maju, tanpa pajak sama sekali, dan didukung oleh biaya hidup yang murah. Berapa besar devisa yang bisa kita kirim ke tanah air? Sekadar info, teman saya di Qatar dan Emirat sering mengeluh soal mahalnya biaya hidup di sana. Di lain pihak, warga asli Saudi dan pendatang lainnya di Saudi, tiap tahun disuguhi dengan fakta banyaknya pekerja informal asal Indonesia. Jadi, ya, tak seratus persen salah me­ reka bila telanjur menyematkan label "bangsa pembantu" ke­ pada kita. Anda yang pekerja fo rmal dan mengharap upah ribuan dolar, jangan ragu mencoba peruntungan di sini. Hitung­ hitung mengurangi kepadatan penduduk ibu kota. Tingkat persaingan di negara ini tidak sesengit usaha menembus ma­ suk ke negara maju. Tunj ukkan pada Saudi kalau ki ta layak mendapat predikat lebih dari sekadar "negara pembantu".

*** • IRAQ Amman

Buraydah. Dai YPT � � • .Medina * Ri� <.f; Vanbu 9 SAUDI ARABIA Mecca • • Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan. harto�r.n ERITREA Sana'a • • Asmara YEME 154 Memoar of Jeddah

aya termasuk beruntung. Dalam hitungan hari setelah S sidang terakhir penentuan kelulusan, saya diterima bekerja. Bulan April 2002 saya sudah mendapat kepastian diterima bekerja. Jadi, ketika menghadiri wisuda pada bulan September di tahun yang sama, saya sudah berstatus sebagai pegawai. Te mpat kerja pertama inilah yang meninggalkan kesan pa­ ling dalam. As they said, "First love never ends. " Kantor saya itu terletak di Cikini, tepat di depan stasiun kereta. Hanya membayar abonemen 45 ribu sebulan (bisa naik kereta sepuasnya), saya tinggal menyeberang jalan dari stasiun menuju !obi kantor. Pada penghujung tahun 2005 saya pindah ke perusahaan lain. Kantornya di Gedung BEJ. Di sana tak lama, cuma se­ kitar enam bulan. Baru sebulan masuk, saya sudah mendapat telepon dari sebuah perusahaan besar yang saya impi-impikan. Tiba-tiba tak ada kabar lagi. Saya pikir saya gagal. Namun, tiga bulan kemudian, ada telepon lagi. Kali ini tes kesehatan dan interview terakhir. Bulan Juni 2006 saya resmi menjadi karyawan di salah satu perusahaan consumer goods terbesar di Indonesia. Sebuah perusahaan yang bikin penasaran karena beberapa kali me­ menangkan award sebagai 7he Most Admired Company di Indonesia. Selama bekerja di sana, saya nyaris tak pernah me­ lamar lagi ke perusahaan lain. Usai cuti melahirkan anak pertama, saya kembali masuk kerja dengan rutinitas tambahan: memeras ASL Kalau ibu-ibu lain mungkin mengeluh karena harus memeras ASI di toilet kantor, kantor saya menyediakan nursery room yang sangat WhenOne DoorCloses, AnotherOpens 155 nyaman, luas, dan berfasilitas lengkap. Di salah satu pojok ruangan diletakkan sebuah kulkas untuk menitipkan ASI sebelum dibawa pulang. Namun, sejak punya anak saya memang mendadak galau. Pada hari-hari terakhir sebelum mengambil keputusan pen ting, pekerjaan di kantor sedang padat-padatnya. Hari libur pun saya kadang masuk. Setelah berpikir selama berbulan-bulan, saya akhirnya yakin untuk duduk di hadapan bos sambil menyerahkan surat pengunduran diri. Untuk saya pribadi, keputusan meng­ undurkan diri adalah yang terbaik kala itu.

***

Tujuan utama saya berhenti bekerja awalnya karena ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang 52. Saat itu saya masih terombang-ambing karena suami masih berpindah-pindah kerja. Awalnya di Te heran selama lima bulan, sebelum akhirnya pindah ke Jeddah. Hampir setahun di Jeddah, suami saya belum juga berhasil mendapatkan iqama (KTP untuk pemukim Saudi). Kalau hanya berbekal visa bisnis, suami cidak percaya diri untuk membawa serta saya clan anak sulung kami. Lelah menunggu, saya pun mengikuti tes masuk penerimaan mahasiswa baru uncuk jenjang 52. Hanya beberapa hari se­ celah saya menerima surat pernyataan bahwa saya lulus clan diharapkan segera mendaftar ulang, suami membawa berita lain. Perusahaannya sudah bersedia membuatkan iqama. 156 Memoar of Jeddah

Jujur saja, saya cakut sekali harus ke Saudi. Saya mengemu­ kakan berbagai alasan. lntinya, saya takut tidak bahagia di sana. Namun, akhirnya, saya dan anak sulung saya naik pesawat ke Jeddah.

***

Banyak pengalaman menghiasi perjalanan hidup saya di Jeddah. Saya tak menampik, lebih banyak senangnya daripada menderitanya. Sangat jauh dari perkiraan awal saya. Tidak sedikit episode terindah dalam hidup saya terjadi di kota Jeddah. Saya menjadi rajin menulis untuk membunuh waktu kala bermukim di Jeddah. Sebuah hobi yang sudah terkubur lama. Te rakhir saya rutin menulis adalah sewaktu SMP. Sudah lama sekali saya melupakan hobi satu ini. Di Jeddah, saya menggagas blog Mama Sejagat. Di blog itu, saya mengajak teman-teman dari seluruh penjuru dunia untuk menulis tentang pengalaman hidup sehari-hari kala jauh dari tanah air. Hobi menulis di blog mengantar saya menerbitkan buku untuk pertama kalinya, walaupun hanya berani saya terbitkan secara indie. Dari menulis buku, saya makin tertarik untuk menulis lebih serius. Mulailah saya gencar mengirimkan nas­ kah ke berbagai media cetak. Alhamdulillah, responsnya sangat bagus. Sekarang ini saya sangat bergairah untuk terus menulis dan mengembangkan hasrat menulis saya dari sekadar suka/ hobi menjadi mahir.

*** When One DoorCloses, AnotherOpens 157

Pada hari saya resmi meletakkan karier yang saya bangun tanpa jeda selama tujuh tahun penuh, saya mengira hidup akan biasa-biasa saja setelah itu. Saya pasrahkan kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang 52 yang ki ni mulai padam. Saya berpikir, "The door has been closed. " Butuh tiga tahun lamanya untuk membuktikan kebenaran pepatah "When one door closes, another opens. " Siapa, sih, yang mengira bahwa setelah memutuskan ber­ henti berkarier, banyak pengalaman baru menanti? Tak lama setelah mengundurkan diri, tak lagi menunggu­ nunggu tanggal 21 ketika saldo tabungan akan melonjak se­ cara reguler, Allah mengalirkan rezeki-Nya melalui jalan lain. Obsesi suami selama berbulan-bulan untuk mencari per­ untungan ke luar negeri terkabul setelah saya mengajukan surat pengunduran diri. Hanya tiga minggu setelah saya me­ lewatkan hari terakhir di kantor, suami berangkat ke luar negeri untuk pertama kalinya. Nasib baik terus bergulir hingga akhirnya kami sekeluarga bermukim di kota Jeddah. Di kota yang saya pikir akan menjadikan saya sebagai tahanan rumah, saya malah mene­ mukan passion sejati saya. Saya sangat gemar menulis. Saya bahkan tidak segan-segan menulis di media online yang tidak menjanjikan penghasilan sepeser pun.

***

Hidup terlalu singkat untuk digunakan menyesali masa yang sudah lewat. Setahun pertama setelah mengundurkan diri, kadang terselip rasa menyesal. "Why am I doing this again?" 158 Memoar of Jeddah

Sesekali menyesal, tapi untungnya harapan terus terpelihara. Selalu meyakini pasti ada sesuatu yang lebih istimewa menanti di depan sana. Tidak tahu apa, tapi insya Allah ada. Menulis membangkitkan gairah baru. Energi yang jauh lebih besar dan tidak pernah terpikirkan bisa dicapai. Meskipun penghasilan dari menulis belum ada apa-apanya dibandingkan saat berstatus pegawai swasta, saya mengerjakannya dengan perasaan senang dan bersemangat, tak ada bosannya. Di blog, di notes, di wall, dan di mana saja. Akhirnya, terpikir untuk menulis buku solo. Make decsions,i takesome stand and set some goals. Roda kehidupan tak punya alasan untuk berhenti berputar. Siapa menyangka semua ini bermula dari kota Jeddah yang kata orang-orang "Enggak banget itu"? Mana ada tempat yang menjanjikan kesenangan semata. Mau senang terus? Berbuat kebaikan sebanyak mungkin agar bisa meraih tiket menuju surga. Di sanalah nanti kita akan me­ nemui kesenangan abadi. "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang di­ sediakan untuk orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali lmran [3]: 133)

*** Daftar Pustaka

Keterangan pelengkap mengenai tempat-tempat wisata di­ ambil dari :

A1 Hijr I Madain Saleh http://en.wikipedia.org/wiki/

Madain_saleh

Pantai Thuwal http://en.wikipedia.org/wiki/Thuwal

Jeddah http://en.wikipedia.org/wiki/Jeddah

Yan bu http://en.wikipedia.or g/wiki/Yanbu

Sadar http://en.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Badr

Thaif http://en.wikipedia.org/wiki/Taif,_Saudi_Arabia Riwayat Penulis

ihan Davincka, dilahirkan di kota Makassar pada bulan JJanuari 1980. Menghabiskan belasan tahun di kota pantai tersebut hingga akhirnya pindah ke ibu kota untuk kuliah di Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia. Memulai kuliah pada tahun 1998, resmi menggenggam ijazah pada tahun 2002. Mei 2002 memulai karier sebagai pekerja IT (programmer) di Manulife Indonesia. Tahun 2005 berpindah dari Manulife Indonesia ke AIU Indonesia (AIG-Group) sebagai Business Analyst. Pada bulan Juni 2006 menggenggam status sebagai Business ProcessAnalyst di Unilever Indonesia. Pada tahun 2009 meletakkan karier dan mengikuti suami yang berpindah ke kota Te heran, Iran. Hanya dua bulan di Te heran, pulang kembali ke tanah air. Bulan Juli 2010, kembali mengikuti suami yang bekerja di kota Jeddah, Arab Saudi. Sejak Maret 2013 bermukim di kota Athlone, lrlandia. Selain mengurus kedua buah hatinya, Adnan Nabil dan Narda Atif, Jihan gemar menulis, baik secara profesional maupun sebagai blogger biasa. 162 Memoarof Jedd ah

Jihan bisa disapa di akun Tw itter @davincka atau kunjungi blognya di www.jihandavincka.wordpress.com

***L