RELEVANSI PENDIDIKAN HOLISTIK KI HADJAR DEWANTATARA BAGI PENDIDIKAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat Agama Katolik

Oleh

PASKALIS GABRIEL DJARO

NPM: 16.75.5949

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO

2020 LEMBAR PENERIMAAN JUDUL

1. Nama : Paskalis Gabriel Djaro

2. NPM : 16.75.5949

3. Judul : Relevansi Pendidikan Holistik Ki Hadjar Dewantara bagi Pendidikan di Indonesia

4. Pembimbing :

1. Antonius Jemaru, M.Sc : ………………………

(Penanggung Jawab)

2. Aloysia Berlindis Lasar, S.Pd., M.Pd : ………………………

3. Antonius Marius Tangi, Drs., Lic : ………………………

5. Tanggal Diterima : 28 Agustus 2019

6. Mengesahkan 7. Mengetahui

Wakil Ketua I Ketua STFK Ledalero

Dr. Yosef Keladu Dr. Otto Gusti Nd. Madung

ii

Dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat Agama Katolik

Pada 1 Juni 2020

Mengesahkan SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO Ketua

Dr. Otto Gusti Ndegong Madung

DEWAN PENGUJI:

1. Antonius Jemaru, M.Sc : ………………………….

2. Aloysia Berlindis Lasar, S.Pd., M.Pd : ………………………….

3. Antonius Marius Tangi, Drs., Lic : ………………………….

iii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Paskalis Gabriel Djaro

NPM : 16.75.5949 menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya ilmiah saya sendiri, dan bukan plagiat dari karya ilmiah yang ditulis orang lain atau lembaga lain. Semua karya ilmiah orang lain atau lembaga lain yang dirujuk dalam skripsi ini telah disebutkan sumber kutipannya serta dicantumkan pada catatan kaki dan daftar pustaka.

Jika dikemudian hari terbukti ditemukan kecurangan atau penyimpangan, berupa plagiasi atau penjiblakan dan sejenisnya di karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi akademis yakni pencabutan skripsi atau gelar yang saya peroleh dari skripsi ini.

Ledalero, 26 Mei 2020

Yang menyatakan

Paskalis Gabriel Djaro

iv

KATA PENGANTAR

Pendidikan memampukan manusia untuk melatih ketangkasan berpikir yang logis dan kritis, serta membentuk pola tingkah laku yang baik. Proses pendidikan harus diarahkan pada upaya pengembangan daya kreasi dan imajinasi pelajar. Hemat penulis, salah satu pendidikan yang patut dan perlu untuk ditumbuhkembangkan adalah pendidikan holistik. Hakikat pendidikan holistik adalah proses pembentukan manusia muda menjadi insan yang berkembang secara baik yang meliputi olah rasio, olah rasa, olah jiwa dan olah raga melalui proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan dilaksanakan dalam suasana keterbukaan, kebebasan dan menyenangkan. Dengan itu, tujuan dasariahnya tercapai yaitu membentuk pribadi utuh yang memiliki kecerdesan intelektual, emosional, spiritual, sosial, moral dan memiliki daya juang yang tinggi.

Pendidikan pada era globalisasi dihadapkan pada sejumlah peristiwa kekinian dan kompleksitas perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Ketika pendidikan direduksi maknanya menjadi sekedar aktivitas pengajaran yang memberikan aksentuasi pada optimalisasi pengembangan kemampuan intelektual pelajar, taruhannya adalah pengabaian pengembangan kemampuan emosionalitas, spiritualitas, sosialitas dan moralitas. Kalau pola pendidikan holistik ini mau diterapkan, sebaiknya kita berguru pada Ki Hadjar Dewantara. Sebagai pemikir dan praktisi pendidikan, Ki Hadjar Dewantara merupakan sosok pejuang kemanusiaan di Indonesia. Ia berupaya membangun dan menyelenggarakan pendidikan untuk manusia di Indonesia. Prinsip dasar dalam pendidikan adalah kebebasan. Kebebasan yang dimaksud yaitu bebas dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan perdamaian tumbuh dalam diri mereka sendiri (dalam hati setiap orang). Dengan judul skripsi Relevansi Pendidikan Holistik Ki Hadjar Dewantara bagi Pendidikan di Indonesia. Penulis memaparkan konsep pendidikan model Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara meninggalkan suatu prinsip bagi pendidikan nasional Indonesia. Pendidikan tidak hanya mementingkan aspek intelektualitas, tetapi juga menekankan keseimbangan dalam aspek spiritualitas, sosialitas dan moralitas bagi pendidikan dewasa ini. Titik nadi

v pendidikan menghasilkan manusia beradab, karena itu diperlukan keseimbangan seperti ini.

Pada tempat pertama, penulis bersyukur kepada Tuhan karena atas berkat dan tuntunan-Nya, skripsi ini dapat terselesaikan. Pada lembaran ini, penulis menyatakan rasa terima kasih berlimpah kepada pelbagai pihak yang telah mendukung proses pengerjaan skripsi ini hingga tuntas. Penulis mengucapkan terima kasih kepada P. Antonius Jemaru, M.Sc., yang dengan penuh kesetiaan, perhatian dan kesabaran membimbing penulis hingga skripsi ini terselesaikan. Penulis menyadari selama proses pengerjaan terdapat begitu banyak kekurangan dan kekeliruan. Segala sumbangan pikiran dan tenaga dari Pater sangat memotivasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Terima kasih yang sama penulis sampaikan kepada Ibu Aloysia Berlindis Lasar, S.Pd., M.Pd meski dengan sekian banyak kesibukan bersedia menjadi penguji dan meluangkan waktu serta membantu penulis dalam memperbaiki dan menyelesaikan karya ini.

Penulis berterima kasih juga kepada lembaga Pendidikan Calon Imam Seminari Tinggi Interdiosesan St. Petrus Ritapiret dan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero yang telah menyediakan segala macam sarana dan prasarana yang mendukung penyelesaian tulisan ini. Terima kasih pula kepada Bapak dan Mama yang selalu menjadi bayangan semu dalam memberikan kekuatan menyelesaikan tulisan ini, ucapan pada titik yang sama, saya limpahkan kepada Novia Erika Isabela Maulandi yang menyisihkan sembangan dan motivasi untuk menyelesaikan tulisan ini, rasa yang sama saya ucapkan kepada teman Alfonsus Soter, S. Fil dan Theo Kelore, S. Fil yang menyumbang sebagaian besar tenaga dan pikiran-pikiran brilian untuk tulisan ini, juga kepada para Frater Tingkat IV dan teman-teman angkatan serta semua teman dan sahabat yang dengan caranya masing-masing memberikan kekuatan dan pikiran dalam menyelesaikan tulisan ini.

Seluruh uraian tulisan ini memang jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun dari para pembaca merupakan masukan yang amat berharga bagi penulis demi menyempurnakan tulisan ini.

vi

Akhirnya, semoga tulisan ini dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada pembaca sekalian. Terima kasih dan selamat membaca.

Maumere, 26 Mei 2020

Penulis

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... iv LEMBAR PENERIMAAN JUDUL ...... ii LEMBAR PENGESAHAN ...... iii PERNYATAAN ORISINALITAS ...... iv KATA PENGANTAR ...... v DAFTAR ISI ...... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG ...... 1 1.2 RUMUSAN MASALAH ...... 7 1.3 TUJUAN PENULISAN ...... 8 1.4 METODE PENULISAN ...... 8 1.5 SISTEMATIKA PENULISAN ...... 8

BAB II BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA 2.1 BIOGRAFI KI HADJAR DEWANTARA ...... 10 2.1.1 Masa Kanak-Kanak Ki Hadjar Dewantara ...... 10 2.1.2 Masa Sekolah ...... 12 2.1.3 Dari Raden Mas Suwardi Suryaningrat menjadi Ki Hadjar Dewantara ...... 13 2.2 KARYA-KARYA KI HADJAR DEWANTARA ...... 14 2.2.1 Ki Hadjar Dewantara, Buku Bagian Pertama: tentang pendidikan ...... 14 2.2.2 Ki Hadjar Dewantara, Buku Bagian Kedua Tentang Kebudayaan ...... 16 2.2.3 Ki Hadjar Dewantara, buku bagian ketiga: tentang Politik dan Kemasyarakatan...... 16 2.2.4 Ki Hadjar Dewantara, buku bagian keempat: tentang Riwayat dan Perjuangan Hidup Penulis...... 17 2.2.5 Karya-karya lain: ...... 17 2.2.5.1 Wartawan Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara ...... 17 2.2.5.2 Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang Pertama ...... 19

viii

2.2.5.3 Budi Utomo ...... 20 2.2.5.4 Pendiri Indische Partij (Partai Politik pertama yang beraliran nasionalis Indonesia) ...... 20 2.3 AJARAN- AJARAN KI HADJAR DEWANTARA ...... 21 2.3.1 Konsep tentang Kepemimpinan ...... 22 2.3.1.1 Demokrasi dan Kepemimpinan ...... 22 2.3.1.2 Trilogi Kepemimpinan ...... 22 2.3.2 Konsep tentang Kebudayaan ...... 22 2.3.3 Konsep tentang Politik ...... 23 2.4 PENGHARGAAN YANG DIPEROLEH KI HADJAR DEWANTARA ... 24 2.4.1 Bapak Pendidikan Nasional dan Pergerakan Nasional ...... 24 2.4.2 Doctor Honoris Causa...... 24 2.5 CATATAN KRITIS...... 26

BAB III KONSEP PENDIDIKAN HOLISTIK KI HADJAR DEWANTARA 3.1 POTRET PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN PEMERINTAHAN KOLONIAL ...... 29 3.1.1 Pendidikan pada Masa VOC dan Pemerintahan Hindia Belanda ...... 29 3.1.2 Sistem Persekolahan pada Zaman Pemerintahan Hindia Belanda ...... 34 3.1.3 Pendidikan Pada Zaman Jepang ...... 36 3.2 KESADARAN PROGRESIF KI HADJAR DEWANTARA ...... 38 3.2.1 Politik Kemajuan dan Kesetaraan ...... 39 3.2.2 Perlawanan Terhadap Kolonialisme ...... 40 3.2.2.1 Seorang Jurnalis ...... 41 3.2.2.2 Tokoh Indische Partij ...... 42 3.2.2.3 Pendiri Indonesische Persbureau...... 45 3.2.3 Kiprah Perguruan Taman Siswa ...... 47 3.3 KONSEP PENDIDIKAN HOLISTIK KI HADJAR DEWANTARA ...... 49 3.3.1 Dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara ...... 50 3.3.2 Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara ...... 53 3.3.3 Metode Pendidikan ...... 55 3.3.4 Asas-Asas Pendidikan ...... 56 3.3.4.1 Asas Kodrat Alam ...... 57

ix

3.3.4.2 Asas Kemerdekaan ...... 57 3.3.4.3 Asas Kebudayaan ...... 57 3.3.4.4 Asas Kebangsaan ...... 58 3.3.4.5 Asas kemanusiaan ...... 59 3.4 CATATAN KRITIS...... 59

BAB IV RELEVANSI PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA UNTUK MENYIKAPI PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI INDONESIA SAAT INI 4.1 POTRET SINGKAT PENDIDIKAN DI INDONESIA...... 62 4.1.1 Pendidikan Masa Awal Kemerdekaan ...... 63 4.1.2 Pendidikan Masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama) ...... 65 4.1.3 Pendidikan Masa Orde Baru ...... 66 4.1.4 Pendidikan Masa Reformasi ...... 69 4.2 PROBLEMATIKA DALAM DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA .... 71 4.2.1 Merajalelanya Krisis Moral Yang Melanda Masyarakat ...... 71 4.2.2 Dehumanisasi Pendidikan ...... 72 4.2.3 Pendidikan Hampa Kesadaran ...... 73 4.2.4 Pendidikan Krisis Identitas ...... 74 4.3 PENTINGNYA PENDIDIKAN DEWANTARA DALAM UPAYA MENANGANI PENDIDIKAN DI INDONESIA ...... 75 4.3.1 Siswa Harus Memiliki Jiwa yang Merdeka ...... 75 4.3.2 Siswa Sebagai Subjek Belajar ...... 77 4.3.3 Cara Mengatasi Dehumanisasi Pendidikan dan Pendidikan Krisis Identitas .... 78 4.3.4 Guru Sebagai Teladan ...... 82 4.4 CATATAN KRITIS...... 82

BAB V PENUTUP 5.1 KESIMPULAN ...... 84 5.2 SARAN...... 87 DAFTAR PUSTAKA ...... 89

x

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pembicaraan seputar pendidikan adalah sebuah kebutuhan yang urgen. Sampai sekarang pendidikan masih diakui perannya sebagai sarana pendukung perubahan cara pandang, pola pikir, sikap dan perilaku seseorang. Pendidikan adalah sarana yang paling ampuh untuk menciptakan kepribadian yang berkembang. Pendidikan mampu membentuk manusia menjadi pribadi yang utuh, yang kemudian pula akan membentuk suatu masyarakat yang utuh dan juga positif.1 Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana yang membuat seseorang dengan tahu dan mau bertindak sebagai manusia (hominisasi), tetapi lebih pada taraf pemanusiaan manusia (humanisasi). Jelas bahwa, pendidikan sebagai sarana humanisasi berperan untuk menumbuhkembangkan mental yang baik dalam diri setiap pelajar. Jika demikian, tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa pendidikan adalah basis revolusi mental.

Di tengah diskursus tentang pentingnya pendidikan sebagai basis revolusi mental muncul sebuah ekstrim baru. Pendidikan yang diakui kemampuannya dalam menentukan dinamika dan progresivitas kehidupan menampakkan gejala destruktif dalam realitas. Banyak orang mulai menaruh pesimis terhadap pendidikan sebagai sarana humanisasi. Pramoedya Ananta Toer secara terang benderang meluapkan rasa pesimisnya terhadap pendidikan dengan mengatakan “Jangan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih

1 Nazili Shaleh Ahmed, Pendidikan dan Masyarakat (Yogyakarta: Sabda Media, 2011), hlm. 54.

1 bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pada dasarnya”.2

Pernyataan Pramoedya Ananta Toer patut dibenarkan tatkala dikonfrontasikan dengan mentalitas pelajar zaman sekarang yang disinyalir sebagai produk dari pendidikan yang telah kehilangan orientasi. Sebut saja, virus mental instan, balapan liar, tawuran antarpelajar, penggunaan narkoba dan obat- obat terlarang, praktik seks bebas, vandalisme dan sederetan litani kejahatan lainnya yang justru dilakonkan oleh kaum terpelajar. Berhadapan dengan realitas mental zaman sekarang, kita bisa berasumsi bahwa ternyata ada yang salah dengan praktik pendidikan kita selama ini. Rupanya praktik pendidikan kita hanya mampu menghasilkan lulusan yang kaya pengetahuan, tetapi miskin dalam kepemilikan mental yang baik. Hal ini senada dengan tesis yang disampaikan oleh seorang filosof Inggris Bertrand Rusell. Rusell sebagaimana diuraikan oleh Ignas Kleden, mengatakan bahwa “daya intelegensi manusia sudah berkembang sangat jauh ketimbang bakat-bakat moral mereka.”3 Dalam hal intelektual atau intelegensi, pelajar sudah menjadi dewasa dan bahkan sangat dewasa, tetapi dalam hal moral dan kepemilikan mental baik masih kekanak-kanakan. Ini disebabkan karena praktik pendidikan yang lebih memfokuskan diri pada pengembangan kemampuan intelektual pelajar. Pendidikan direduksi maknanya hanya sebatas aktivitas transfer ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik. Praksis pendidikan di Indonesia sudah melorot menjadi indoktrinasi dan sosialisasi kognitif semata.

Pendidikan pada era globalisasi dihadapkan pada sejumlah peristiwa kekinian dan kompleksitas perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Kompleksitas kepentingan yang tidak beraturan memunculkan gejala disorientasi nilai, disharmonisasi sosial, disorder sistem, dan disfungsi peran dan profesi.4 Contohnya pendidikan melalui berbagai institusi dan media belum mencapai hasil yang diharapkan dan belum berkolerasi dengan perilaku sosial. Akibatnya terjadi

2Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa (Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002), hlm. 23. 3Ignas Kleden, “Status Ilmiah Filsafat dan Tantangan Kontemporer”, dalam Paul Budi Kleden dan Otto Gusti Madung (eds.), Menukik Lebih Dalam, Kenangan 40 Tahun STFK Ledalero (Maumere: Penerbit Ledalero, 2009), hlm. 5. 4Mulaysana, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), hlm. 3.

2 tindakan negatif, penyimpangan dan kejahatan masih mewarnai kehidupan bangsa.5 Dunia pendidikan selama ini memfokuskan diri pada IQ (dan EQ), ini barangkali karena ada anggapan bahwa untuk hidup dibutuhkan kecerdasan agar dapat meraih modal materiil dan modal sosial.6

Ketika pendidikan direduksi maknanya menjadi sekedar aktivitas pengajaran yang memberikan aksentuasi pada optimalisasi pengembangan kemampuan intelektual pelajar, taruhannya adalah pengabaian pengembangan kemampuan emosionalitas, spiritualitas, sosialitas dan moralitas. Hal ini tentunya sangat kontradiktif dengan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, perintis Pendidikan Nasional Indonesia yang melihat pendidikan sebagai sarana “memerdekakan dimensi lahiriah dan batiniah”. Konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara mengisyaratkan adanya metode pendidikan yang mengintegrasikan pengembangan potensi-potensi pelajar secara seimbang dalam aspek intelektualitas, emosionalitas, spiritualitas, sosialitas dan moralitas. Keberhasilan pengintegrasian potensi-potensi pelajar secara seimbang niscaya akan menghasilkan pelajar dengan kepemilikan mentalitas yang baik. Lantas, pertanyaan fundamental yang muncul adalah pola pendidikan apakah yang perlu diterapkan dalam rangka menumbuhkembangkan mentalitas baik dalam diri pelajar?

Ada banyak metode pendidikan yang tepat untuk dipraktikkan. Metode pendidikan yang dipraktikkan seharusnya bertujuan menghilangkan atau paling kurang meminimalisir sedapat mungkin mentalitas buruk pelajar yang dapat membahayakan diri sendiri dan sesama. Dengan demikian, keberhasilan sebuah metode pendidikan tidak hanya diukur dari kualitas intelektual pelajar tetapi lebih dari itu bagaimana metode pendidikan tersebut membantu pelajar untuk menampilkan hal-hal yang konstruktif dalam kebersamaan dengan yang lain.

Tujuan pendidikan yang tertuang dalam UU Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 berbunyi: “mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya: manusia

5Jejen Musfah (ed), Pendidikan Holistik Pendekatan Lintas Perspektif (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 120. 6Saptono, Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 14.

3 yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (pasal 4).”7 Jika ditelusuri tujuan pendidikan nasional, maka kita akan menemukan sebuah cita-cita pengintegrasian secara seimbang potensi-potensi pelajar yang meliputi intelektualitas, emosionalitas, spiritualitas, kreativitas, mentalitas, sosialitas, dedikasi dan moralitas. Hemat penulis, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, maka penerapan sistem pendidikan holistik di setiap sekolah sedini mungkin menjadi sebuah kebutuhan mendesak.

Hakikat pendidikan holistik adalah proses pembentukan manusia muda menjadi insan yang berkembang secara baik, yang meliputi olah rasio, olah rasa, olah jiwa dan olah raga melalui proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan dilaksanakan dalam suasana keterbukaan, kebebasan dan menyenangkan.8 Tujuan pendidikan holistik adalah membentuk pribadi utuh yang memiliki kecerdesan intelektual, emosional, spiritual, sosial, moral dan memiliki daya juang yang tinggi. Untuk mencapai tujuan pendidikan holistik, maka dituntut adanya proses pembelajaran yang mengembangkan otak kiri (analisis) dan otak kanan (imajinasi) pelajar. Pendidikan memampukan manusia untuk melatih ketangkasan berpikir yang logis dan kritis, serta membentuk pola tingkah laku yang baik. Melalui pendidikan manusia diarahkan untuk membangun paradigma berpikir yang tidak jauh dari realitas sosial, tetapi mampu bersentuhan secara konkret dan riil dengan sesuatu yang sedang terjadi dalam persoalan sosial kemasyarakatan.9 Di samping itu, proses pendidikan harus diarahkan pada upaya pengembangan daya kreasi dan imajinasi pelajar. Untuk itu, dibutuhkan waktu untuk memberi porsi pada apresiasi seni, baik seni rupa, seni gambar, seni musik dan sastra. Dengan memberi porsi pada apresiasi seni, pelajar dapat mengembangkan bakat seni dengan baik pada tempatnya, bukan dengan aksi vandalisme.

7A. Supratiknya, “Sistem Pendidikan Indonesia Saat ini dalam Psikologis” dalam majalah Ilmiah Widya Dharma, No. 2 Th. X, ISSN: 0853-0920, April 2000. 8Bartolomeus Samho, Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: Tantangan dan Relevansi (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 14. 9Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia (Yogyakarta: AR. RUZZ MEDIA, 2009), hlm. 16.

4

Pendidikan holistik menuntut adanya metode pembelajaran yang menghargai martabat pelajar sehingga mereka mampu menghargai martabat sesamanya dan memperhatikan aspirasi dan persoalan-persoalan mendasar pelajar. Dengan demikian, mereka merasa diperhatikan, disayangi dan berkomitmen untuk berjuang mengatasi persoalan dengan menempuh jalur-jalur yang baik, bukan dengan tawuran antarpelajar atau mencari kenikmatan, semisal seks. Pendidikan yang holistik menuntut adanya metode pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan menempatkan para pendidik sebagai motivator dan suri teladan bagi pelajar dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Meminjam semboyan pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Ing Ngarsa Sung Tuladha (pendidik selalu berada di depan untuk memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (pendidik selalu berada di tengah-tengah pelajar dan terus-menerus memberi motivasi) dan Tut Wuri Handayani (pendidik selalu mendukung pelajar untuk berkarya ke arah yang benar dalam hidup bermasyarakat).10

Harapan akan lahirnya suatu model pendidikan holistik masih jauh dari kata merdeka meskipun saat ini negara kita sudah bebas dari bangsa penjajah. Pendidikan ala penjajah masih saja diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan tertentu, di mana ada pemisahan antara kelompok yang mampu (berduit) dan kelompok yang kurang mampu (miskin).11 Pemisahan seperti ini secara tidak langsung mematikan semangat setiap orang yang ingin belajar namun karena lemah secara ekonomis akhirnya harus mengurungkan niat untuk belajar. Pendidikan yang dulu diterapkan pada masa kolonial yang hanya menjadi alat politik guna memperdaya golongan bumiputra12 kini juga masih diterapkan oleh pemerintahan Indonesia untuk menindas kelompok-kelompok atau golongan- golongan tertentu. Kurang meratanya pendidikan di Indonesia memberikan dampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan antara lain banyaknya angka pengangguran, kemiskinan, kelaparan, dan berbagai dampak negatif lainnya.

Pendidikan holistik memberikan ruang yang bebas kepada setiap orang untuk menimba pengetahuan. Dengan memperolah pendidikan dan pengajaran

10Bartolomeus Samho, op.cit., hlm. 78. 11Ibid., hlm 65. 12Ibid., hlm. 63.

5 yang baik, setiap orang mempunyai budi pekerti yang baik. Pendidikan dan pengajaran merupakan daya-upaya yang dapat memerdekakan manusia baik dalam aspek lahiriah maupun batiniah.13 Pendidikan dan pengajaran melahirkan manusia yang berbudi pekerti yang dapat membuat setiap manusia merasa merdeka dengan hidup sehingga dapat menguasai dan memerintah diri sendiri secara baik, kata Ki Hadjar Dewantara14 dalam visi pendidikannya untuk bangsa Indonesia kala itu. Melalui pendidikan itulah manusia berusaha mengembangkan potensi dalam dirinya melalui proses pembelajaran, serta cara lain yang diakui dan dikenal oleh masyarakat demi sebuah pembangunan yang lebih baik.15

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap model pendidikan holistik secara tidak langsung menodai begitu banyak generasi muda. Pendidikan yang pada hakekatnya dapat mengarahkan setiap orang untuk menggapai tujuan hidup, menjadikan orang mati dalam ketakberdayaannya pada sistem yang ada. Sistem mematikan segala tujuan hidup dari generasi-generasi muda karena sistem (pemerintah) menjadikan kelompok-kelompok minoritas sebagai tumbal demi kesejahteraan segelintir kaum elitis. Ki Hadjar Dewantara membahasakan sistem pendidikan seperti ini destruktif karena mematikan kesadaran golongan tertentu akan identitas dirinya. Mereka disetir untuk melupakan dirinya dan juga nasionalisme melemah atau dibunuh secara tersistematisasikan.16 Mematikan semangat generasi muda untuk mendapatkan pendidikan merupakan bentuk penindasan yang paling keji karena membatasi ruang gerak setiap orang juga merampas kebebasannya untuk menggapai tujuan dan cita-citanya. Membatasi pendidikan terhadap kelompok-kelompok tertentu juga secara tidak langsung mematikan cita-cita dan tujuan bangsa yang termuat dalam sila kelima dari pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pendidikan holistik adalah suatu filsafat pendidikan yang bersumber dari pemikiran bahwa pada dasarnya setiap individu atau setiap orang dapat menemukan identitas dirinya, tujuan hidupnya dan makna hidupnya melalui

13Ibid., hlm. 74. 14Ibid., hlm. 76. 15Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 7. 16Bartolomeus Samho, op.cit., hlm. 67.

6 hubungan yang dijalin dengan masyarakat dan nilai-nilai spiritual yang dimilikinya serta lingkungan alam yang ada di sekitarnya. Pendidikan holistik dilakukan dengan tujuan untuk membantu di dalam mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap orang, di mana hal tersebut dilakukan dalam suasana yang lebih menyenangkan, demokratis, serta humanis.17 Adanya pendidikan holistik setiap pribadi dilatih untuk mandiri, di mana orang tersebut mendapatkan kebebasan, mampu mengambil keputusan yang tepat dan baik bagi dirinya serta mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Pendidikan holistik Ki Hadjar Dewantara sebagaimana diuraikan oleh Soeratman, lebih menekankan pada kecerdasan budi pekerti yang dapat mengantar setiap orang untuk merdeka secara batiniah. Kemerdekaan secara batiniah dapat mengantar setiap pribadi untuk berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri (menguasai diri).18

Keprihatinan terhadap pendidikan di era modern yang hanya memperhatikan aspek intelektualitas semata membawa sebuah kecemasan yang mendalam terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu penulis mengangkat judul RELEVANSI PENDIDIKAN HOLISTIK KI HADJAR DEWANTARA BAGI PENDIDIKAN DI INDONESIA guna membawa kita semua untuk kembali pada sebuah konsep pendidikan yang tidak hanya memperhatikan aspek intelektualitas semata, melainkan segala bentuk aspek kehidupan seperti aspek sosialitas, spiritualitas, dan solidaritas. Pendidikan bukan lagi digunakan untuk menjatuhkan kaum-kaum minoritas melainkan dapat memberi keharmonisan dalam menggapai suatu tujuan dan cita-cita bersama mulai dari diri sendiri, untuk orang lain, dan juga untuk bangsa dan Negara.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Pendidikan merupakan salah satu masalah terbesar yang dialami bangsa Indonesia saat ini. Pendidikan yang pada hakekatnya dapat memberikan pengetahuan dan wawasan bagi setiap pribadi justru dijadikan untuk menindas

17Nanik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010), hlm. 2. 18Darsiti Soeratman, Ki Hadjar Dewantara (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), hlm. 24-25.

7 kelompok-kelompok atau etnis-etnis tertentu. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengangkat beberapa permasalahan dasar berkaitan dengan pendidikan: Pertama, bagaimana konsep pendidikan holistik dengan berguru pada Ki Hadjar Dewantara? Kedua, bagaimana tantangan dan relevansi konsep pendidikan holistik menurut Ki Hadjar Dewantara bagi dunia pendidikan Indonesia masa kini?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Bertolak dari latar belakang penulisan di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini yaitu: pertama, menjelaskan sejauh mana relevansi pendidikan holistik Ki Hadjar Dewantara bagi pendidikan di Indonesia. Terkait dengan tujuan tersebut hendak juga dijelaskan konsep pendidikan holistik Ki Hadjar Dewantara. Kedua, tulisan ini diajukan sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.

1.4 METODE PENULISAN

Metode yang digunakan penulis dalam menyelesaikan tulisan ini adalah dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan membaca buku- buku, majalah-majalah sebagai sumber penulisan skripsi.

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN

Tulisan ini terdiri dari lima pokok pembahasan yang dikategorikan dalam beberapa bab. Bab 1 merupakan pendahuluan. Dalam bab ini penulis menampilkan arah dari keseluruhan pembahasan yang mencakup latar belakang penulisan pokok permasalahan, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Dalam Bab II, penulis membahas Biografi dan pemikiran dari Ki Hadjar Dewantara. Dalam bab ini penulis mengemukakan beberapa pokok bahasan yakni, biografi Ki Hadjar Dewantara, karya-karya Ki Hadjar Dewantara, ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara, dan penghargaan yang diperoleh Ki Hadjar Dewantara. Pada bagian ini penulis juga membuat catatan kritis dari keseluruhan Bab II.

8

Pada Bab III, penulis mengemukakan konsep pendidikan holistik Ki Hadjar Dewantara. Dalam bagian ini penulis mengemukakan beberapa pokok bahasan yakni, potret pendidikan dan pengajaran pemerintah kolonial, kesadaran progresif Ki Hadjar Dewantara, dan konsep pendidikan holistik Ki Hadjar Dewantara. Pada bagian ini penulis juga membuat catatan kritis dari keseluruhan Bab III.

Pada Bab IV, penulis menemukakan tantangan dan relevansi dari pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Dalam bagian ini penulis mengemukakan tantangan dari konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan relevansi konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara untuk pendidikan dewasa ini. Pada bagian ini penulis juga membuat catatan kritis dari keseluruhan Bab IV.

Akhirnya pada Bab V yang merupakan bab penutup, penulis membuat kesimpulan dan saran. Bab ini merupakan bagian akhir dari uraian seluruh tulisan. Di sini juga disertakan dengan penegasan kembali tema tulisan, kesan tulisan sehubungan dengan penulisan karya ini dan himbauan penulis terhadap pembaca.

9

BAB II

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA

Pendidikan merupakan faktor penting dalam memajukan suatu bangsa. Hal ini karena peran pendidikan sangat vital dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membebaskannya dari belenggu penjajahan. Oleh karena itu, Ki Hadjar Dewantara menyadari perlunya suatu bentuk perjuangan ke arah kemerdekaan dengan pendidikan sebagai media utamanya, di samping media lain seperti melalui organisasi politik.

Kemajuan dunia pendidikan di Indonesia saat ini tidak dapat dilepaskan dari peran tokoh atau pejuang pendidikan sebagai aktor utama. Salah satu tokoh yang memiliki sumbangsih besar untuk kemajuan pendidikan di Indonesia, yaitu Ki Hadjar Dewantara. Ia adalah aktivis pergerakkan kemerdekaan Indonesia dan pelopor pendidikan bagi bangsa Indonesia. Dalam bab ini akan dibahas secara mendalam tentang biografi dan karya-karya dari Ki Hadjar Dewantara.

2.1 BIOGRAFI KI HADJAR DEWANTARA

2.1.1 Masa Kanak-Kanak Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889, bertepatan dengan tanggal 2 Ramadhan 1309 H. Lahirnya Ki Hadjar Dewantara pada bulan Ramadhan membawa serta harapan bahwa di kemudian hari dia membawa hikmat pendidikan dan peningkatan iman bagi banyak orang. Ki Hadjar Dewantara adalah putra kelima dari Soeryaningrat Putra dari Paku Alam III. Pada waktu dilahirkan dia diberi nama Soewardi Soeryaningrat karena ia masih

10 keturunan bangsawan maka mendapat gelar Raden Mas (RM) yang kemudian nama lengkapnya menjadi Raden Mas Soewardi Soeryaningrat.19

Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Ario (K.P.A.) Suryaningrat dan ibundanya bernama Raden Ayu Sandiyah yang merupakan buyut dari Nyai Ageng Serang, seorang keturunan dari Sunan Kalijaga. Kelahiran Soewardi Suryaningrat membahagiakan K. P. A. Suryaningrat yang mengharapkan anak laki-laki, akan tetapi berat badannya kurang dari 3 kg, badannya kurus, perutnya buncit, dan suaranya lembut, sehingga ayahnya memberikan julukan Jemblung (buncit) kepadanya. Kyai Soleman sahabat dari ayah Suwardi Suryaningrat yang merupakan seorang Santri memberi nama tambahan Trunogati kepada putra K.P.A. Suryaningrat, karena menurutnya kelak Suwardi Suryaningrat akan menelan dan mencerna ilmu yang banyak dan sesudah memasuki masa dewasa ia akan menjadi seorang pemuda yang penting (Truno= pemuda; Wigati= penting, berarti).20

Selain Ki Hadjar Dewantara merupakan keturunan bangsawan, dia juga merupakan keturunan ulama karena masih mempunyai silsilah keturunan dengan Sunan Kalijaga. Sebagai seorang keturunan bangsawan dan ulama, Ki Hadjar Dewantara dididik dan dibesarkan dalam lingkungan sosio kultural dan religius yang tinggi serta kondusif. Pendidikan yang diperoleh Ki Hadjar Dewantara di lingkungan keluarga sudah mengarah ke penghayatan nilai-nilai kultural dan religius. Pendidikan dari keluarga yang tersalur melalui pendidikan adat dan sopan santun, kesenian dan pendidikan keagamaan turut mengukir jiwa kepribadiannya. Pada masa itu pendidikan sangatlah langkah, hanya orang-orang dari kalangan Belanda, Tiong Hoa, dan para pembesar daerah yang dapat mengenyam jenjang pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda. Ki Hadjar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat) kecil mendapat pendidikan formal pertama kali pada tahun 1896, akan tetapi dia kurang senang karena teman sepermainannya tidak dapat bersekolah bersama karena hanya seorang anak dari rakyat biasa. Hal ini

19Ibid., hlm. 8-9. 20Suparto Rahardjo, Biograf Singkat Ki. Hajar Dewantara, 1889-1959 (Yogyakarta: Garasi, 2009), hlm. 9.

11 yang kemudian mengilhami dan memberikan kesan yang sangat mendalam di dalam hati nuraninya, dalam melakukan perjuangannya baik dalam dunia politik maupun dengan pendidikan. Ia juga menentang kolonialisme dan feodalisme yang menurutnya sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan, kemerdekaan dan tidak memajukan hidup dan penghidupan manusia secara adil dan merata.21

2.1.2 Masa Sekolah

Berasal dari keluarga bangsawan, Suwardi Suryaningrat mendapat kesempatan belajar di Europeesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Dasar Belanda. Ia menjalankan pendidikan dasar selama 7 tahun di kampung Bintaran Yogyakarta, yang tidak jauh dari rumahnya. Suwardi Suryaningrat kemudian melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool (Sekolah Guru) setelah menamatkan pendidikan dasarnya pada tahun 1904. Kedatangan Dr. Wahidin Sudiro Husodo di Puro Pakualaman, membuat pendidikan Suwardi yang mulanya di Kweekschool (Sekolah Guru) Yogyakarta berpindah ke STOVIA (School Fit Opleiding Van Indische Arisen) Sekolah Dokter Jawa di Jakarta dan mendapatkan beasiswa. Suwardi Suryaningrat kemudian menjadi mahasiswa STOVIA dari tahun 1905- 1910. Namun karena sakit selama 4 bulan, Suwardi tidak naik kelas dan beasiswanya dicabut. Ada banyak isu yang mengatakan alasan sakit bukanlah semata-mata alasan pencabutan beasiswa, tetapi ada alasan politis di balik itu. Pencabutan beasiswa dilakukan beberapa hari setelah Suwardi Suryaningrat mendeklarasikan sebuah sajak dalam suatu pertemuan. Sajak itu menggambarkan keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo, seorang panglima Perang yang digubah oleh Multatuli dalam bahasa Belanda, dibawakan oleh Suwardi Suryaningrat. Setelah pembacaan sajak itu, Suwardi Suryaningrat dipanggil Direktur STOVIA dan dimarahi habis-habisan. Ia dituduh telah membangkitkan semangat pemberontakan terhadap Pemerintahan Belanda. Masalah ini sesudahnya berdampak pada pendidikan Suwardi Suryaningrat yang membuatnya gagal menjadi seorang dokter. Suwardi Suryaningrat lalu menekuni bidang

21Bambang Soekawati Dewantara, Mereka yang Selalu Hidup Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara (Jakarta: Roda Pengetahuan, 1981), hlm. 15-16.

12 politik, jurnalistik, dan pendidikan. Dari Direktur STOVIA, Suwardi Suryaningrat mendapat Surat Keterangan Istimewa atas kepandaiannya berbahasa Belanda.22

Suwardi Suryaningrat melakukan pernikahan atau lebih tepatnya “Nikah Gantung” dengan R. A. Sutartinah pada tanggal 4 November 1907. Keduanya merupakan cucu dari Sri Paku Alam III. Pada akhir Agustus 1913 pernikahan diresmikan secara adat di Puri Suryaningrat Yogyakarta. Setelah beberapa hari menikah, Suwardi Suryaningrat diberangkatkan ke tempat pengasingan di Belanda.23

2.1.3 Dari Raden Mas Suwardi Suryaningrat menjadi Ki Hadjar Dewantara

Suwardi Suryaningrat sendiri mungkin tidak pernah memikirkan secara mendetail nama baru sebagai ganti namanya yang asli. Ada beberapa alasan yang dapat membuktikan pergantian nama tersebut: pertama, sebagai seorang intelektual yang ternama, Dewantara belum pernah menulis secara lengkap mengenai pergantian nama tersebut. Kedua, nama Ki Ajar (Ki Hadjar) itu sendiri secara spontan diberikan oleh Raden Mas Sutatmo Suryokusumo, sepupunya, dalam suatu diskusi Selasa Kliwon.24

Sejarah telah mencatat bahwa dalam dunia pendidikan di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara adalah gelar yang dipakai dan dikenang sebagai salah seorang tokoh dalam dunia pendidikan nasional, dan bukannya Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ki Hadjar Dewantara melepas atribut elite birokrasi sekaligus mendekonstruksi berbagai kekuasaan yang hanya berpusat di istana menuju ke pusat-pusat yang menyediakan makna bagi pluralisme budaya. Secara etimologis, Ki Ajar (Ki Hadjar) mengacu pada pengertian ahli mendidik, sedangkan Dewantara mengacu pada fungsi-fungsi mediator para Dewa.25 Ki Hadjar Dewantara pada dasarnya juga memediasi trilogi bangsawan, ulama, dan

22Hah. Harahap dan Bambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara dan Kawan-Kawan Ditangkap, Dipenjara, dan Diasingkan (Jakarta: Gunung Aguna, 1980), hlm. 12. 23Ibid. 24B ambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara: Ayahku (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hlm. 19-33. 25K. Tsuchiya, Democracy and Leadership: the Rise of the Taman Siswa. Movement in Indonesia (Honolulu: University of Hawai Press, 1987), hlm. 64.

13 masyarakat pada umumnya. Secara mitologis pergeseran nama tersebut menandai perubahan dari satrio pinandito (ksatria yang berjiwa pendeta) ke pandito sinatrio (pendeta atau guru yang bersedia mengangkat senjata untuk membela nusa dan bangsa).26

Pergantian nama bukanlah suatu masalah yang besar, melainkan bersifat subjektif dan menyangkut masalah-masalah pribadi Ki Hadjar Dewantara. Tetapi dalam kaitannya dengan perkembangan kebudayaan Indonesia, pergantian nama memiliki implikasi yang sangat penting sebagai tokoh. Apabila ingin menyatukan diri dengan masyarakat, maka sikap pertama yang dilakukan adalah menyamakan, menyetarakan diri dengan situasi sosial masyarakat. Sebagai langkah awal dalam usaha untuk memajukan masyarakatnya, salah satu cara yang ditempuh oleh Suwardi Suryaningrat adalah mengganti namanya.27

2.2 KARYA-KARYA KI HADJAR DEWANTARA

Ki Hadjar Dewantara merupakan figur yang selalu menjadi kebanggaan bangsa Indonesia terutama di dunia pendidikan. Ia dikenal sebagai tokoh yang mempunyai jiwa pejuang yang tidak kenal kata menyerah dan sebagai pemimpin yang dapat menuntun anak buahnya. Sebagai seorang yang kritis terhadap dunia pendidikan, Ki Hadjar Dewantara telah menghasilkan berbagai gagasan yang meliputi masalah politik dan budaya, sehingga beliau dikenal sebagai seorang pejuang pendidik sejati dan sekaligus menjadi budayawan Indonesia.

Sebagai seorang pendidik, budayawan dan seorang nasionalis, Ki Hadjar Dewantara mempunyai beberapa karya di masa hidupnya. Karya-karya itu memberikan banyak sumbangsih terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia.

2.2.1 Ki Hadjar Dewantara, Buku Bagian Pertama: tentang pendidikan

Sebagai bapak pendidikan, bagian terbesar perjuangan Ki Hadjar Dewantara terletak pada bidang pendidikan. Banyak tulisannya berbicara

26M. Tauchid, Ki Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1968), hlm. 19. 27Ibid., hlm 25.

14 mengenai pendidikan, sehingga hari lahir Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional berdasarkan surat keputusan Presiden No. 316 tanggal 16 Desember 1959. Penetapan hari lahir Ki Hadjar Dewantara sebagai Hari Pendidikan Nasional merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan atas jasanya di bidang pendidikan nasional.28

Karya pertama Ki Hadjar Dewantara dalam dunia pendidikan bertemakan pendidikan. Dalam buku ini dibicarakan gagasan dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam bidang pendidikan, di antaranya tentang hal ihwal pendidikan nasional. Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa kemerdekaan nusa dan bangsa untuk mengejar keselamatan dan kesejahteraan rakyat tidak hanya dicapai melalui jalan politik, tetapi juga melalui pendidikan. Oleh karenanya timbullah gagasan untuk mendirikan sekolah sendiri yang akan dibina sesuai dengan cita-citanya. Untuk merealisasikan tujuannya, Ki Hadjar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa. Cita-cita perguruan tersebut adalah “saka” (Saka adalah singkatan dari Paguyuban Selasa Kliwon di Yogyakarta, di bawah pimpinan Ki Ageng Sutatmo Suryokusumo).29 Paguyuban ini merupakan cikal bakal perguruan taman siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara.

Untuk mewujudkan konsep atau gagasannya tentang pendidikan yang dicita-citakan, Ki Hadjar Dewantara menggunakan metode “Among” yaitu “tut wuri handayani”. “Among” berarti asuhan dan pemeliharaan dengan suka cita, dengan memberi kebebasan anak asuh bergerak menurut kemauannya, berkembang menurut kemampuannya. Sedangkan “tut wuri handayani” berarti pemimpin mengikuti dari belakang, memberi kebebasan dan keleluasaan bergerak bagi orang yang dipimpinnya. Tetapi dia juga adalah “handayani” mempengaruhi dengan daya kekuatannya dengan pengaruh dan wibawanya. Metode among merupakan metode pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan dilandasi dua dasar, yaitu kodrat alam dan kemerdekaan.30

28 I. Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Pendidikan (Bandung: CV. Ilmu, 1976), hlm. 87. 29 Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan (Yogyakarta: MLPTS, cet. IV, 2011), hlm. 480.

30 I. Djumhur dan H. Danasuparta, op. cit., hlm. 89.

15

Metode among menempatkan anak didik sebagai subjek dan sebagai objek sekaligus. Proses pendidikan dengan metode among mengandung pengertian bahwa seorang pamong/guru dalam mendidik harus memiliki rasa cinta kasih terhadap anak didiknya dengan memperhatikan bakat, minat, dan kemampuan anak didik dan menumbuhkan daya inisiatif serta kreatifitas anak didiknya. Pamong atau guru tidak dibenarkan bersifat otoriter terhadap anak didiknya dan bersikap Ing Ngarsa Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani.

Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa remaja yang berumur 14-16 tahun berada dalam periode atau masa di mana mereka mencari hakikat jati diri, mulai melatih diri terhadap segala tingkah laku yang sukar atau berat dengan niat yang disengaja seperti perilaku sosial, mulai melatih dirinya lebih mandiri terutama dari orang tua, serta mencari kenyamanan dan rasa damai dalam batinnya.31

2.2.2 Ki Hadjar Dewantara, Buku Bagian Kedua Tentang Kebudayaan

Dalam karyanya ini, Ki Hadjar Dewantara menulis mengenai kebudayaan dan kesenian yang di antaranya: Asosiasi antara Barat dan Timur, pembangunan kebudayaan nasional, pembangunan kebudayaan di zaman merdeka, kebudayaan nasional. Kebudayaan merupakan sifat pribadi bangsa, kesenian daerah dalam Persatuan Indonesia, Islam dan kebudayaan, ajaran Pancasila dan lain-lain.

2.2.3 Ki Hadjar Dewantara, buku bagian ketiga: tentang Politik dan Kemasyarakatan

Buku ini khusus memuat tulisan-tulisan mengenai politik antara tahun 1913-1922 yang menggegerkan dunia imperialis Belanda, juga tulisan-tulisan mengenai wanita dan perjuangannya. Gagasan-gagasan yang dihasilkannya bertujuan untuk membebaskan kaum pribumi dari para penjajah.32

31 Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, op. cit., hlm. 488. 32 Djoko Marihandono, Perjuangan Ki Hadjar Dewantara (Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, 2017), hlm. 37.

16

2.2.4 Ki Hadjar Dewantara, buku bagian keempat: tentang Riwayat dan Perjuangan Hidup Penulis

Dalam buku ini, Ki Hadjar Dewantara banyak melukiskan kisah kehidupan dan perjuangan hidupnya sebagai seorang perintis dan pahlawan kemerdekaan. Ki Hadjar Dewantara banyak menulis tentang kisah hidupnya semasa kecil dan berbagai pergolakan semasa hidupnya.

2.2.5 Karya-karya lain:

2.2.5.1 Wartawan Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara

Pada masanya, Ki hadjar Dewantara tergolong penulis handal. Tulisan- tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Meskipun Ki Hadjar Dewantara kurang berhasil dalam menempuh pendidikan tapi kegagalan tidak menjadi hambatan untuk berkarya dan berjuang. Perhatiannya dalam bidang jurnalistik inilah yang menyebabkan Ki Hadjar Dewantara diberhentikan oleh Rathkamp, kemudian pindah ke Bandung membantu Douwes Dekker dalam mengelola harian De Express. Melalui De Express inilah Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) mengasah ketajaman penanya yang mengalirkan pemikiran yang progresif dan mencerminkan kekentalan semangat kebangsaannya. Tulisan demi tulisan terus mengalir dari pena Suwardi Suryaningrat dan puncaknya adalah sirkuler yang menggemparkan pemerintah Belanda yaitu “Als Ik Eens Nederlander Was!” (Andaikan aku seorang Belanda!). Tulisan ini pula yang mengantar Suwardi Suryaningrat ke pintu penjara pemerintahan kolonial Belanda, untuk kemudian bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker diasingkan ke negeri Belanda.33 Tulisan tersebut sebagai reaksi terhadap rencana pemerintahan Belanda untuk mengadakan perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penindasan Perancis

33Gunawan, Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah” Peringatan 70 Tahun Taman Siswa (Yoyakarta: MLPTS, 1992), hlm. 303.

17 yang akan dirayakan pada tanggal 15 November 1913, dengan memungut biaya secara paksa dari rakyat Indonesia.34

Dengan tersebarnya tulisan tersebut, pemerintah Belanda menjadi marah.Kemudian Belanda memanggil panitia De Express untuk diperiksa. Dalam suasana seperti itu Cipto Mangunkusumo menulis dalam harian De Express 26 Juli 1913 untuk menyerang Belanda, yang berjudul “Kracht of Vress” (Kekuatan atau Ketakutan). Selanjutnya Suwardi kembali menulis dalam harian De Express tanggal 28 Juli 1913 yang berjudul “Een Vorr Allen, Maar Ook Allen Voor Een” (satu buat semua, tetapi juga semua buat satu).35

Pada tanggal 30 Juli Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo ditangkap, seakan-akan keduanya orang yang paling berbahaya di wilayah Hindia Belanda. Setelah diadakan pemeriksaan singkat keduanya secara resmi dikenakan tahanan sementara dalam sel yang terpisah dengan seorang pengawal di depan pintu. Douwes Dekker yang baru datang dari Belanda, menulis pembelaannya terhadap kedua temannya melalui harian De Express, 5 Agustus 1913 yang berjudul “Onze Heiden: En R. M. Soewardi Soeryaningrat” (Dia Pahlawan kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan R. M. Soewardi Soeryaningrat). Douwes Dekker menulis ini sebagai bentuk pujian atas keberanian dan kepahlawan mereka berdua.

Berdasarkan putusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 18 Agustus 1913 Nomor: 2, ketiga orang tersebut diintenir, Ki Hadjar Dewantara ke Bangka, Cipto Mangunkusumo ke Banda, dan Douwes Dekker ke Timur Kupang. Namun ketiganya menolak dan mengajukan diekstenir ke Belanda meski dengan biaya perjalanan sendiri. Dalam perjalanan menuju pengasingan, Ki Hadjar Dewantara menulis pesan untuk saudara dan kawan seperjuangan yang ditinggalkan dengan judul “Vriheidsherdenking end Vriheidsberoowing” (peringatan kemerdekaan dan

34 Bambang Sokawati Dewantara, op. cit., hlm. 48. 35M.Tauhid, Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta: MLPTS, 1963), hlm. 299.

18 perampasan kemerdekaan). Tulisan tersebut dikirim melalui kapal “Bullow” tanggal 14 September 1913 dari teluk Benggala.36

2.2.5.2 Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang Pertama

Ki Hadjar Dewantara kembali ke tanah air di tahun 1918. Setelah Zaman kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Menjelang kemerdekaan RI yakni pada pendudukan Jepang (1942-1945) Ki Hadjar Dewantara duduk sebagai anggota “Empat Serangkai” yang terdiri dari Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Kyai Mansur. Pada bulan Maret 1943, Empat Serangkai tersebut mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) yang bertujuan untuk memusatkan tenaga untuk menyiapkan kemerdekaan RI, akhirnya paa tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia dapat diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Pada hari minggu Pon tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah RI terbentuk dengan Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Moh. Hatta sebagai wakil presiden. Disamping itu juga mengangkat menteri-menterinya dan Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.37

Pada tahun 1946, Ki Hadjar Dewantara menjabat sebagai Ketua Panitia Penyelidikan Pendidikan dan Pengajaran Republik Indonesia, ketua pembantu pembentukan undang-undang pokok pengajaran dan menjadi Mahaguru di Akademi Kepolisian. Tahun 1947, Ki Hadjar Dewantara menjadi Dosen Akademi Pertanian. Tanggal 23 Maret 1947, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia dan menjadi Anggota Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam di Sekolah Rakyat.38

Pada tahun 1948, Ki Hadjar Dewantara dipilih sebagai ketua peringatan 40 tahun Peringatan Kebangkitan Nasional, pada kesempatan itu Ki Hadjar Dewantara bersama partai-partai mencetuskan pernyataan untuk menghadapi Belanda. Pada peringatan 20 tahun Ikrar Pemuda (28 Oktober 1948), Ki Hadjar Dewantara ditunjuk sebagai ketua pelaksana Ikrar Pemuda. Setelah pengakuan

36Ibid., hlm. 21. 37 Bambang Sokawati Dewantara, op. cit., hlm. 111. 38Ibid., hlm. 113.

19 kedaulatan di Negeri Belanda pada Desember 1949, Ki Hadjar Dewantara menjabat sebagai anggota DPR RIS yang selanjutnya berubah sebagai DPR RI. Pada tahun 1950, Ki Hadjar Dewantara mengundurkan diri dari keanggotaan DPR RI dan kembali ke Yogyakarta untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Taman Siswa sampai akhir hayatnya.39

2.2.5.3 Budi Utomo

Pada tahun 1908, Ki Hadjar Dewantara aktif di seksi propaganda Budi Utomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.40

2.2.5.4 Pendiri Indische Partij (Partai Politik pertama yang beraliran nasionalis Indonesia)

Ketika berada di Belanda, Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker, langsung aktif dalam kegiatan politik. Di Denhaag, Ki Hadjar Dewantara mendirikan “Indonesische Persbureau” (IPB), yang merupakan badan pemusatan penerangan dan propaganda pergerakan Nasional Indonesia.

Sekembalinya dari pengasingan, Ki Hadjar Dewantara tetap aktif dalam berjuang untuk kebebasan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai pengurus besar NIP (National Indische Partij) di Semarang. Ki Hadjar Dewantara juga menjadi redaktur “De Bewenging”, majalah partainya yang berbahasa Belanda, dan Persatuan Hindia dalam bahasa Indonesia. Ki Hadjar Dewantara juga menjabat sebagai pimpinan harian De Express yang diterbitkan kembali pada masa itu. Karena ketajaman pembicaraan dan tulisannya yang mengecam kekuasaan Belanda selama di Semarang, Ki Hadjar Dewantara dua kali masuk penjara.41

Ki Hadjar Dewantara bersama Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran

39Ibid., hlm. 114. 40Djoko Marihandono (Ed), op. cit., hlm. 168. 41M. Tauhid, op. cit., hlm. 22-23.

20 nasionalis Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintahan kolonial Belanda. Tetapi pemerintahan kolonial Belanda melalui Gubernur Idenburg berusaha menghalang kehadiran partai ini dengan cara menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Pemerintahan Belanda takut organisasi ini dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakkan kesatuan untuk menentang mereka. Dewantara juga melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Perancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Atas kritikan-kritikannya itu, Dewantara dibuang ke negeri Belanda. Kesempatan ini digunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Ki Hadjar Dewantara berhasil memperoleh Europeesche Akte. Jabatan- jabatan lain yang diduduki oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu pada tahun 1913, KI Hadjar Dewantara bersama Cipto Mangunkusumo mendirikan Komite Bumi Putera untuk memprotes rencana perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Perancis yang akan dilaksanakan pada tanggal 15 November 1913 secara besar-besaran di Indonesia. Kemudian tahun 1918 Ki Hadjar Dewantara mendirikan Kantor Berita Indonesische Persbureau di Nederland. Selanjutnya pada tahun 1944 Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi anggota Naimo Bun Kyiok Sanyo (Kantor Urusan Pengajaran dan Pendidikan). Pada tanggal 8 Maret 1955 dia ditetapkan pemerintah sebagai perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia. Sedangkan pada tanggal 17 Agustus 1960, Ki Hadjar Dewantara dianugerahi oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI bintang maha putera tingkat I. Atau pada tanggal 20 Mei 1961 Ki Hadjar Dewantara menerima tanda kehormatan Satya Lantjana Kemerdekaan.42

2.3 AJARAN- AJARAN KI HADJAR DEWANTARA

Mesti diakui bahwa ada begitu banyak ajaran Ki hadjar Dewantara, di antaranya bisa disebutkan ada yang bersifat konsepsional, petunjuk operasional praktis, dan fatwa atau nasehat.

42Irna dan H.N. Hadi Soewito, Soewardi Soeryaningrat dalam Pengasingan (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 132.

21

2.3.1 Konsep tentang Kepemimpinan

2.3.1.1 Demokrasi dan Kepemimpinan

Demokrasi dan kepemimpinan merupakan wujud demokrasi yang dilandasi oleh jiwa kekeluargaan, dan sejiwa dan selaras dengan Demokrasi Pancasila. Demokrasi sangat memperhatikan unsur kemerdekaan yang mengenal batas, yaitu tertib damainya kehidupan bersama, dan juga menolak kekuasaan mutlak (otoriter). Setiap permasalahan diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan bersama.43

2.3.1.2 Trilogi Kepemimpinan

Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tutwuri handayani merupakan trilogi Ki Hadjar Dewantara di kalangan pendidikan. Trilogi ini merupakan perangkat pendidikan dalam melaksanakan tugas pendidikan yang berjiwa kekeluargaan. Namun dalam perkembangannya, Trilogi Kepemimpinan telah menjadi salah satu model kepemimpinan nasional, sebagai sarana mengatur tata kehidupan bersama, baik di kalangan Pemerintah, TNI/Polri, maupun masyarakat sipil.44

2.3.2 Konsep tentang Kebudayaan

Menurut Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan merupakan buah dari keadaban manusia. Dalam kebudayaan terkandung sikap keluhuran dan keindahan, etis dan estetis yang umumnya ada dalam kehidupan manusia. Kebudayaan itu timbul dari hasil perjuangan manusia, yakni perjuangan terhadap segala kekuatan alam yang mengelilinginya dan juga segala pengaruh zaman. Manusia selalu berusaha untuk melawan segala kekuatan alam dan pengaruh zaman yang membatasi usahanya untuk mencapai kebahagiaan hidup, baik lahir maupun batin.45 Perlawanan yang dilakukan secara terus-menerus akan menghasilkan satu-kesatuan kebudayaan yang membawa kesejahteraan bagi semua masyarakat dalam suatu bangsa.

43Djoko Marihandono (Ed), op. cit., hlm. 171. 44Ibid., hlm. 171-172. 45 Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, op. cit., hlm. 65.

22

Ki Hadjar Dewantara juga mengemukakan bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) merupakan landasan atau cerminan dari kebudayaan Indonesia. Beragam pulau dengan segala jenis keanekaragaman suku, ras, dan agama dipersatukan dalam satu-kesatuan negara Republik Indonesia. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang terbuka terhadap kebudayaan lain, yang menerima segala bentuk masukan yang bernilai, baik yang lama maupun yang baru, juga yang berasal dari luar bangsa. Akan tetapi kebudayaan yang diterima itu harus sesuai dengan kekhasan serta kepribadian bangsa Indonesia, dengan pedoman dasarnya adalah Pancasila. Hal ini bertujuan untuk memperkaya dan mengembangkan kebudayaan bangsa ini ke arah yang lebih baik.46

2.3.3 Konsep tentang Politik

Ki Hadjar Dewantara mempunyai peran yang sangat besar dalam bidang politik. Hal ini terlihat dengan jelas dalam upaya-upaya yang dilakukannya dalam perjuangan melawan penjajah kolonial Belanda. Dewantara berjuang melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan yang menyengsarakan masyarakat dengan suatu tujuan menuju kemerdekaan dan kebebasan.

Upaya Ki Hadjar Dewantara dalam membebaskan bangsa ini dimulai ketika dia aktif di seksi propaganda Budi Utomo. Dewantara bertugas untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia saat itu akan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Perkenalannya dengan Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo, membuat mereka mendirikan Indische Partij, partai politik yang beraliran Nasionalisme Indonesia yang bertujuan untuk mencapai Indonesia Merdeka.47 Mereka kemudian berusaha untuk mendaftarkan organisasi tersebut agar memperoleh status badan hukum pada pemerintahan kolonial Belanda. Tetapi pemerintahan Belanda menolaknya dengan alasan bahwa organisasi ini dapat membangkitkan rasa

46 Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian II: Kebudayaan (Yogyakarta: MLPTS, cet. IV, 2011), hlm. 93-97. 47Poerbakawatja dan H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 70-71.

23 nasionalisme rakyat dan menggerakkan kesatuan untuk menentang pemerintahan kolonial Belanda.

Melalui berbagai perjuangannya, Dewantara kemuadian diangkat sebagai perintis Perjuangan Kemerdekaan, sebagai Perwira Tinggi, sebagai Mahaputra Tingkat I, sebagai Pahlawan Nasional, dan juga sebagai Bapak Pendidikan Nasional pertama bagi seluruh bangsa Indonesia.48

2.4 PENGHARGAAN YANG DIPEROLEH KI HADJAR DEWANTARA

2.4.1 Bapak Pendidikan Nasional dan Pergerakan Nasional

Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan Nasional) yang diperingati pada tanggal kelahirannya 2 Mei, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.49

2.4.2 Doctor Honoris Causa

Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu kebudayaan dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.50

Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah- risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar Dewantara

48Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, op. cit., hlm. XIII. 49Djoko Marihandono (Ed), op. cit., hlm. 179. 50Ibid.

24 sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.51

Bapak pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai penggagas dan pemerhati utama pendidikan karakter Indonesia pertama. Tiga semboyannya yang terkenal: Ing Ngara Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani yang mempunyai arti ketika berada di depan harus mampu menjadi teladan (contoh yang baik), ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangun semangat, serta ketika berada di belakang harus mampu mendorong orang-orang dan pihak-pihak yang dipimpinnya. Pendidikan Taman Siswa yang dirintis oleh Ki Hadjar Dewantara didasarkan atas prinsip atau slogan di atas, karena seorang guru atau pun orang tua harus menjadi teladan, lalu ketika di tengah-tengah anak harus membangun karsa (kehendak), dan dengan prinsip tutwuri dandayani, akan memberikan anak kondisi yang efisien dan efektif untuk bertumbuh sesuai dengan usia pertumbuhannya. Ketiga semboyan ini juga menjadi pilar penopang dalam suksesnya seorang guru dalam menuntaskan pendidikan karakter di Indonesia. Pendidikan keteladanan (budi pekerti) sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Perkembangan yang tidak hanya dilihat dari jasmaninya, karena perkembangan jasmani tanpa diimbangi dengan keteladanan (budi pekerti) dapat berdampak buruk terhadap perkembangan manusia, yang pada akhirnya akan melahirkan manusia yang sombong dan serakah.52

Secara mendalam Ki Hadjar Dewantara tidak hanya sepakat dengan sistem pendidikan yang diwariskan oleh kolonial Belanda, orientasi pendidikan yang diwariskan tersebut hanya pada segi kognitif (penalaran) tanpa melihat segi yang lain, yaitu pendidikan keteladanan (budi pekerti/akhlak). Produk sistem pendidikan tersebut melahirkan manusia yang sombong, manusia yang tidak mempunyai perangai yang baik. Ki Hadjar Dewantara berkeyakinan bahwa pembentukan moral yang baik merupakan tugas dari pendidikan teladan (akhlak).

51Ibid. 52Ibid., hlm. 180-181.

25

Dengan keteladanan dari seorang pendidik, anak didik diharapkan mampu menjadi manusia yang luhur dan berguna bagi nusa dan bangsa.53

Kecerdasan otak bukanlah hal yang utama dalam pendidikan. Hal yang utama adalah bagaimana peserta didik memiliki budi pekerti yang mulia yang merupakan tujuan utama dalam pendidikan. Pendidikan tidak hanya fokus pada satu aspek semata, melainkan pada seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian peserta didik akan menjadi orang yang cerdas dan tidak akan menyalahgunakan kecerdasannya untuk mengintimidasi orang lain.

2.5 CATATAN KRITIS

Meskipun Ki Hadjar Dewantara belajar ilmu kependidikan di barat, dia tidak mau menerapkan sistem pendidikan barat di Indonesia. Sistem barat dipandangnya tidak cocok karena dasar-dasarnya adalah perintah, hukuman dan ketertiban yang bersifat paksaan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, metode pendidikan yang cocok dengan karakter dan budaya orang Indonesia tidak memakai syarat paksaan. Orang Indonesia adalah termasuk ke dalam bangsa timur. Bangsa yang hidup dalam nilai-nilai tradisional berupa kehalusan rasa, hidup dalam kasih sayang, cinta akan kedamaian, ketertiban, kejujuran dan sopan dalam tutur kata dan tindakan. Maka ia menerapkan tiga semboyan pendidikan yang menunjukkan kekhasan Indonesia, yakni: Ing Ngara Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani yang mempunyai arti ketika berada di depan harus mampu menjadi teladan (contoh yang baik), ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangun semangat, serta ketika berada di belakang harus mampu mendorong orang-orang dan pihak-pihak yang dipimpinnya.

Kapasitasnya sebagai seorang pemikir dan praktisi pendidikan tidaklah berlebihan kalau Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai pejuang kemanusiaan di Indonesia. Ia berupaya membangun dan menyelenggarakan pendidikan untuk manusia di Indonesia dengan perjuangan yang begitu besar. Perlawanan terhadap pemerintahah kolonial merupakan bukti bahwa Ki Hadjar Dewantara sangat

53Ibid.

26 memperhatikan sistem pendidikan di Indonesia. Semuanya itu dilakukannya demi mewujudkan idealisme terdalamnya, yakni membangun kesadaran manusia di Indonesia akan hak-haknya. Pada pembahasan selanjutnya kita akan sama-sama melihat perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam dunia pendidikan di Indonesia termasuk juga konsep dan idealisme pendidikan yang diterapkannya.

27

BAB III

KONSEP PENDIDIKAN HOLISTIK KI HADJAR DEWANTARA

Masyarakat abad ini tentunya tidak terlepas dari sebuah perubahan. Arus perkembangan akibat globalisasi tidak dapat terbendung lagi. Dampak dari globalisasi tidak hanya dirasakan oleh beberapa kalangan, melainkan di seluruh lapisan masyarakat. Perkembangan akibat adanya globalisasi tidak hanya menyentuh satu aspek kehidupan, melainkan juga seluruh aspek kehidupan. Mulai dari aspek sosial, ekonomi, budaya, teknologi hingga pendidikan.

Perubahan di setiap lini kehidupan inilah yang mendorong setiap pribadi manusia untuk mampu mengikuti serta bisa menjadi bagian dari perubahan tersebut. Hal ini juga terjadi dalam potret pendidikan di Indionesia. Kemajuan ini tidak terlepas dari suatu perjuangan yang panjang. Mulai dari masa penjajahan sampai pada saat ini. Pelaksanaan pendidikan membutuhkan adanya landasan yang mampu memberikan ciri khas sesuai dengan falsafah kehidupan bangsa.

Ki Hadjar Dewantara adalah sosok pemikir dan penggiat pendidikan. Pemikiran-pemikiran dan perhatiannya terhadap dunia pendidikan menjadikannya tokoh peletak dasar pendidikan Bangsa Indonesia. Konsep pendidikan holistik yang ingin diuraikan penulis menurut pemikiran Ki Hadjar Dewantara yaitu pendidikan yang tidak hanya memperhatikan aspek intelektualitas semata, melainkan segala aspek kehidupan. Seperti kebebasan berpendapat, kesetaraan dalam memperoleh pendidikan dan berbudi pekerti. Pada kesempatan ini penulis sekali lagi menegaskan bahwa konsep pendidikan holistik yang dimaksud yaitu konsep pendidikan yang dapat memerdekakan seseorang secara utuh.

28

3.1 POTRET PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN PEMERINTAHAN KOLONIAL

3.1.1 Pendidikan pada Masa VOC dan Pemerintahan Hindia Belanda

Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode dasar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan pada masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.54

Pada zaman VOC abad ke-17 dan ke-18, pendidikan untuk kaum “inlanders”55 ditangani oleh Gereja Kristen dari Belanda yang ikut dalam misi VOC. Mereka inilah yang membiayai kegiatan pendidikan di Indonesia, bukan dari pemerintahan Belanda. Pendidikan, termasuk pendirian sekolah-sekolah baru yang dikembangkan oleh VOC pun pada awalnya berbasis agama. Kegiatan pendidikan yang dilakukan lebih terpusat pada daerah yang struktur politiknya lemah, misalnya di Ambon dan Banda.56

Pada tahun 1607 sekolah pertama didirikan di Batavia. Itu pun hanya sekolah berbasis agama Kristen yang pencapaiannya terbatas pada kemampuan memahami Bible, kitab suci agama Kristen. Oleh karena itu, jika ada pendidikan lanjutan, pendidikan tersebut hanya untuk mendidik guru dan pastor.57

Pada abad ke-19 atau tepatnya setelah VOC bubar pada tahun 1799, pendidikan di Indonesia ditangani langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dibubarkannya VOC di Indonesia mendorong berubahnya sistem pemerintahan dari Indirect Rulle ke Direct Rulle (Sistem Pemerintahan Tidak Langsung ke Sistem Pemerintahan Langsung). Hal ini berdampak pada perubahan di mana kebijakan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda.58

54Afifuddin, Sejarah Pendidikan (Bandung: Prosfect, 2007), hlm. 29. 55Inlanders yaitu penduduk tanah jajahan yang ditangani oleh Nederlands Zendelingen Genootschap atau NZG 56Dedi Supriadi (Ed), Guru di Indonesia:Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangan Sejak Zaman Kolonial hingga Era Refomasi (Jakarta: Depdikbud, 2003), hlm. 6-7. 57Ibid., hlm. 7. 58Ibid., hlm. 8.

29

Pada tahun 1808, Raja Lodewijk memerintahkan Deandels, seorang Gubernur Belanda untuk mengarahkan bupati-bupati di Jawa agar mengorganisir sekolah-sekolah demi anak-anak pribumi. Tujuannya yaitu menerapkan kurikulum yang mencakup kultur Jawa dan agama sehingga anak-anak dapat bertumbuh menjadi anak Jawa yang baik. Deandels kemudian mendirikan sekolah Bidan di Jakarta dan sekolah Ronggeng di Cirebon. Usaha Deandels tersebut tidak berhasil, bahkan menambah penderitaan rakyat, karena ia mengadakan dan mewajibkan kerja paksa (rodi).59

Pada tahun 1842, menteri jajahan memberikan perintah agar Gubernur Jenderal berusaha dengan segenap tenaga agar memperbesar keuntungan bagi negerinya. Setiap Gubernur Jenderal berjanji bahwa ia akan memajukan kesejahteraan Hindia Belanda dengan segenap usahanya. Prinsip yang masih dipertahankan adalah Hindia Belanda sebagai negeri yang direbut harus memberi keuntungan kepada negeri Belanda sebagai tujuan pendidikan itu.60

Sekolah pertama bagi anak Belanda dibuka di Jakarta pada tahun 1817 yang segera diakui oleh pembukaan sekolah lain di kota Jawa. Prinsip yang dijadikan pegangan tercantum di tahun 1818 bahwa sekolah-sekolah harus dibuka di tiap tempat bila diperlukan oleh penduduk Belanda. Pada tahun 1820, Gubernur Jenderal Van der Capellen (1819-1823) menginstruksikan kepada regen-regen untuk menyediakan sekolah bagi penduduk pribumi. Hal ini bertujuan untuk mengajarkan anak-anak membaca dan menulis serta mengenal budi pekerti yang baik. Namun pada kenyataannya yang memasuki sekolah-sekolah tersebut hanya sedikit sekali yang berasal dari kalangan pribumi. Anjuran Gubernur Jenderal itu tidak berhasil untuk mengembangkan pendidikan oleh regen yang aktif.61

Pada tahun 1892 akhirnya dilakukan restrukturisasi terhadap persekolahan karena kebutuhan yang sangat besar terhadap pegawai rendahan yang bisa berbahasa Belanda. Restrukturisasi itu terlihat misalnya dengan memberlakukan sekolah kelas satu (ongko sidji) atau eerste klasse untuk anak-anak golongan

59Budiardjo Mariam, Dasar-dasar Ilmu Politik(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 56. 60Jalaludin, Sejarah Nasional Indonesia IV (Jakarta: Balai, 1990), hlm. 30. 61Afifuddin, op. cit., hlm. 105.

30 priyayi dengan pelajaran Bahasa Belanda. Sedangkan sekolah kelas dua (ongko loro) atau tweede klasse untuk rakyat kebanyakan tanpa pelajaran Bahasa Belanda.62 Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peraturan pendidikan lebih dikhususkan pada anak-anak golongan priyayi. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan penduduk yang lebih rendah status sosialnya dapat mudah ditundukkan karena pemerintah Belanda telah memegang golongan priyayi yang merupakan kaum elite.63 Menurut Ary Gunawan sebagaimana diuraikan oleh Rifa’i, dalam prinsip kebijakan pendidikan kolonial, pemerintah kolonial berusaha untuk tidak memihak salah satu agama tertentu. Hal ini dibuat agar pendidikan menghasilkan para lulusan yang siap bekerja, terutama demi kepentingan kaum penjajah. Selain itu sistem persekolahan juga disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat. Pendidikan bagi kaum kolonial pertama-tama diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat penjajah) Belanda. Terakhir bagi kaum kolonial dasar pendidikan untuk masyarakat Indonesia waktu itu adalah dasar pendidikan Barat yang berorientasi pada pengetahuan dan kebudayaan Barat.64

Kesempatan mendapatkan pendidikan diutamakan kepada anak-anak bangsawan bumiputra serta tokoh-tokoh terkemuka dan pegawai kolonial. Hal ini bertujuan agar dengan pendidikan seperti itu kelak akan dihasilkan kader pemimpin yang berjiwa kebarat-baratan atau condong ke Belanda dan merupakan kelompok elite yang terpisah dengan masyarakatnya sendiri. Mereka akan menjadi penyambung tangan-tangan penjajah sebagai upaya Belanda untuk memerintah secara tidak langsung kepada masyarakat dan bangsa Indonesia.65

Pada masa ini sekolah-sekolah diperbanyak. Namun demikian, masih ada perbedaan pelayanan bagi anak-anak bumiputra dengan anak-anak Belanda, yaitu diturunkannya uang sekolah hanya untuk sekolah Belanda. Anak-anak Indonesia diterima di sekolah Belanda masih dengan ragu-ragu dengan dalih yang dibuat-

62Rusdi Kantrapawira, Sistem Politik Indonesia (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1999), hlm. 86. 63M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 Cetakan ke-3 (Jakarta: Serambi, 2007), hlm. 21. 64 Muhammad Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 59. 65Ibid., hlm. 63.

31 buat. Akhirnya anak-anak Indonesia banyak yang tidak diterima di sekolah- sekolah Belanda.66

Tahun 1826 lapangan pendidikan dan pengajaran terganggu oleh adanya usaha-usaha penghematan. Sekolah-sekolah yang ada hanya bagi anak-anak yang memeluk agama Nasrani. Alasannya adalah adanya kesulitan finansial yang dihadapi orang Belanda sebagai akibat dari perang Diponegoro (1825-1830) yang mahal dan menelan banyak korban serta peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839).67 Kesulitan keuangan ini menyebabkan raja Belanda meninggalkan prinsip-prinsip liberal dan menerima rencana yang dianjurkan Van der Bosch, bekas Gubernur di Guyana, jajahan Belanda di Amerika Selatan, untuk memanfaatkan pekerjaan budak menjadi dasar eksploitasi kolonial. Ia membawa ide penggunaan kerja paksa (rodi) sebagai cara yang ampuh untuk memperoleh usaha maksimal. Usaha tersebut kemudian terkenal dengan cultuur stelsel atau tanam paksa yang memaksa penduduk untuk menghasilkan tanaman yang diperlukan di pasaran Eropa.68

Van den Bosch mengerti bahwa untuk memperbaiki pembangunan ekonomi bagi Belanda dibutuhkan banyak tenaga ahli. Setelah tahun 1848 dikeluarkan peraturan yang menunjukkan pemerintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia. Hal ini timbul dari hasil perdebatan di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap liberal yang lebih menguntungkan terhadap rakyat Indonesia. Terbongkarnya penyalahgunaan sistem tanam paksa merupakan faktor dalam perubahan segala pandangan yang ada. Peraturan pemerintah tahun 1854 menginstruksi Gubernur Jenderal untuk mendirikan sekolah dalam tiap kabupaten bagi pendidikan anak pribumi. Peraturan tahun1863 mewajibkan Gubernur Jenderal untuk mengusahakan terciptanya situasi yang memungkinkan penduduk bumi putera pada umumnya menikmati pendidikan.69

66Ibid., hlm. 65. 67Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 30. 68Prof. Dr. S. Nasution, Sejarah Pendidikan Nasional (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 112. 69SL der Wal, Pendidikan di Indonesia 1900-1940 (Jakarta: Depdikbud, 1977), hlm. 97.

32

Pada tahun 1893 timbullah differensiasi pengajaran bumi putra. Hal ini disebabkan oleh hasil sekolah-sekolah bumi putra yang kurang memuaskan pemerintahan kolonial. Hal ini disebabkan oleh isi rencana pelaksanaannya terlalu padat. Di samping itu di kalangan pemerintah sendiri mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka sadar bahwa yang harus mendapat pengajaran itu bukan hanya lapisan atas. Juga adanya keyakinan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kedua kebutuhan dilapangan pendidikan, yaitu lapisan atas dan lapisan bawah.70

Namun dalam perjalanan sejarahnya ditunjukkan bagaimana Belanda menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada. Pada tahun 1882, Belanda membentuk pristerraden yang mendapat tugas mengawasi pengajaran agama di pesantren-pesantren. Pada tahun 1925, Belanda mengeluarkan peraturan bahwa orang yang akan memberi pengajaran harus minta izin dulu. Pada tahun 1925 juga, terbit Goeroe-Ordonnantie71 yang menetapkan bahwa para kiai yang akan memberi pelajaran, cukup memberitahukan kepada pihak Belanda. Peraturan-peraturan itu semua merupakan rintangan perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh para pengikut agama Islam.72

Pada tahun terakhir di masa pemerintahan Belanda di Indonesia, baru dikeluarkan peraturan persekolahan yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan penyelenggaraan pengajaran. Ide-ide Deandels pada masa sebelumnya yang ingin memperluas kesempatan memperoleh pendidikan bagi penduduk jajahan tidak dilanjutkan lagi. Hal tersebut sangat jelas karena dalam ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan sangatlah sedikit yang membahas masalah pengajaran untuk penduduk jajahan. Salah satunya adalah peraturan umum tentang pendidikan sekolah yang berisi bahwa pendidikan hanya untuk orang

70Abd. Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hlm. 212. 71Persyaratan guru Jawa yang menyatakan bahwa sebelum pengajaran agama dapat diberikan harus izin tertulis dari pihak penguasa dan harus ada daftar muridnya. 72Muhammad Rifa’I, op. cit., hlm. 56.

33

Belanda.73 Bahkan peraturan ini berlaku hingga tahun terakhir pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen.

Secara tegas, tujuan pendidikan selama periode kolonial Belanda memang tidak pernah dinyatakan, tetapi dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar kaum modal Belanda, disamping ada sebagian yang dilatih dan dididik untuk tenaga-tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang dianggap sebagai pekerja-pekerja kelas dua atau kelas tiga.74

Pada tahun 1871, keluarlah UU Pendidikan yang pertama, yaitu pendidikan dan pengajaran yang makin diarahkan kepada kepentingan penduduk bumiputra. Secara tidak langsung pengaruh Politik Etis terutama di bidang pendidikan memberikan dampak positif bagi munculnya kaum pendidik dan pergerakan Indonesia.75 Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan kemajuan bagi rakyat Indonesia dapat ditengarai dengan kemunculan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh yang memerhatikan pendidikan bagi rakyat Indonesia.

3.1.2 Sistem Persekolahan pada Zaman Pemerintahan Hindia Belanda

Pada umumnya sistem pendidikan, khususnya sistem persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau kelas sosial yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu, yaitu: Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs) pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar menggunakan sistem pokok, yakni sekolah rendah dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Sekolah-sekolah itu adalah sekolah rendah Eropa, sekolah Cina Belanda, dan sekolah Bumi Putera Belanda HIS.

Sekolah rendah Eropa adalah sekolah rendah untuk anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak keturunan Timur asing atau Bumi Putera dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun dan didirikan pada tahun 1818. Sedangkan Sekolah Cina Belanda atau HCS (Hollands Chinese School) adalah

73Muhammad Said dan Junimar Affan, Mendidik dari Zaman Ke Zaman (Bandung: Jemmars, 1987), hlm. 87. 74Prof. Dr. S. Nasution, op. cit., hlm. 130. 75Ibid., hlm. 135.

34 suatu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan timur asing, khususnya keturunan Cina. Sekolah ini pertama kali didirikan pada tahun 1908 dan lama sekolahnya tujuh tahun. Di samping itu sekolah Bumi Putra Belanda HIS (Hollands Inlandse School) merupakan sekolah rendah untuk golongan penduduk Indonesia asli. Lamanya sekolah ini tujuh tahun dan pertama kali didirikan pada tahun 1914.76

Di samping sistem sekolah dengan bahasa pengantar dengan bahasa Belanda, ada juga sistem sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah. Sekolah-sekolah itu adalah Sekolah Bumi Putra kelas II, Sekolah Rakyat, Sekolah Lanjutan, dan Sekolah Peralihan.

Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede Klasee) merupakan sekolah yang disediakan untuk golongan bumi putra. Lamanya pendidikan yang ditempuh yaitu tujuh tahun. Sekolah ini pertama didirikan pada tahun 1892. Sedangkan sekolah Rakyat (Volksschool) disediakan bagi anak-anak bumi putra. Lamanya pendidikan yang ditempuh yaitu tiga tahun. Pertama kali didirikan pada tahun 1907. Sementara itu sekolah Lanjutan (Vorvolgschool) merupakan lanjutan dari sekolah Rakyat dan lamanya pendidikan yang ditempuh yaitu dua tahun. Sekolah ini juga diperuntukkan bagi anak-anak bumi putra dan didirikan pada tahun 1914. Sedangkan sekolah Peralihan (Schakelschool) merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa (tiga tahun) ke sekolah dasar dengan Bahasa pengantar Bahasa Belanda. Lama pendidikannya lima tahun dan diperuntukkan bagi anak-anak bumi putra.77

Di samping sekolah dasar di atas masih terdapat sekolah khusus untuk untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun 1922 dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1876, tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS.78 Sekolah pendidikan Lanjutan atau pendidikan menengah khusus

76Afifuddin, op. cit., hlm. 99-101. 77Najamuddin, Perjalanan Pendidikan di Tanah Air (Bandung: Rineka Cipta, 2005), hlm 11. 78 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992), hlm. 29.

35 yang dimaksud adalah MULO (Meer Uit gebreid Lager School), AMS (Algemene Middelbare School), dan HBS (Hoobere Burger School). MULO adalah sekolah lanjutan dari sekolah dasar yang berbahasa pengantar Bahasa Belanda. Pendidikan yang ditempuh tiga sampai empat tahun dan didirikan pada tahun 1914. Sementara AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum kelanjutan dari MULO. Golongan Berbahasa Belanda dan diperuntukkan bagi golongan bumi putra dan Timur asing. Pendidikan yang ditempuh selama tiga tahun dan didirikan pada tahun 1915. Sedangkan HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah menengah kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa. Sekolah ini didirikan pada tahun 1860.79

Pendidikan kejuruan sebagai pelaksanaan politik etika pemerintahan Belanda banyak mencurahkan perhatian pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah kejuruan yang ada adalah sekolah pertukangan, sekolah teknik, pendidikan dagang, dan pendidikan pertanian.80

Selain itu karena terdesak oleh tenaga ahli Pendidikan tinggi (Hooger Onderwijs) akhirnya mendirikan sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School), sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge School), dan pendidikan Tinggi Kedokteran.81

3.1.3 Pendidikan Pada Zaman Jepang

Pendidikan masa Jepang didorong dengan semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana untuk membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, daratan China, kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang. Jepang mulai melakukan ekspansi ke berbagai negara sekitarnya termasuk Indonesia dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”. Dengan konteks

79Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1995), hlm. 56. 80Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid I (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 110. 81Kartini Kartono, Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 78.

36 sejarah dunia yang menuntut dukungan militer yang kuat, pendidikan Jepang di Indonesia pun diterapkan berdasarkan kepentingan ini. Pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer Jepang dalam peperangan pasifik.82 Pada Februari 1942, Jepang menyerang Sumatra, Jawa, dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Kebijakan-kebijakan itu adalah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan sebagai ganti bahasa Belanda. Terdapat juga integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.83

Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan The Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Jepang kemudian merekrut Ki Hadjar Dewantara sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize. Karena itulah, di Indonesia mereka mencoba format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Patut dicatat pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya. Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu, Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran Jepang, bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang, ilmu bumi dengan perspektif geopolitis, olahraga dan nyanyian Jepang.84

Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan setiap murid sekolah untuk melakukan rutin beberapa aktivitas seperti menyanyikan lagu

82Afifuddin, op. cit., hlm. 54. 83Ibid., hlm. 55. 84H. A. R. Tilaar, Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995 (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1995), hlm. 188.

37 kebangsaan Jepang setiap pagi; mengibarkan bendera Jepang dan menghormati kaisar Jepang setiap pagi; setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; melakukan senam Jepang setiap pagi; melakukan latihan-latihan fisik dan militer; menjadikan Bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan85

Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang sekolah swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukkan izin untuk dapat beroperasi. Kebijakan ini menyebabkan kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasionalisasi.

Semua perguruan tinggi masa pemerintahan Jepang ditutup walaupun kemudian ada beberapa yang dibuka seperti perguruan tinggi kedokteran di Jakarta tahun 1943, perguruan tinggi teknik di Bandung, perguruan tinggi pamongpraja di Jakarta, dan perguruan tinggi kedokteran hewan di Bogor. Perguruan-perguruan tinggi ini berada di bawah pengawasan Jepang. Baru pada tanggal 8 Juli 1945 berdirilah sekolah tinggi Islam di Jakarta.86

3.2 KESADARAN PROGRESIF KI HADJAR DEWANTARA

Kebangkitan kesadaran dan emansipasi masyarakat terhadap ketidakseimbangan yang dibuat oleh pihak penjajah menjadi awal yang baik untuk melawan sistem yang sudah ada. Perjuangan politik merupakan ranah pilihan untuk mengubah tatanan yang tidak adil tersebut. Dalam tahapan perjuangan dan pergerakan itu, identitas dan tujuan baru dicapai yaitu, kebangsaan, kebebasan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun, pencapaian itu tidak hanya diperoleh melalui perjuangan politik. Sumbangsih yang signifikan dan relevan juga diberikan oleh perjuangan di bidang pendidikan.

85Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: PT. Bumi Aksara, 2000), hlm. 54. 86Rochidin Wahab, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: CV Alfabeta, 2004), hlm. 18.

38

3.2.1 Politik Kemajuan dan Kesetaraan

Salah satu bagian penting politik kolonial yang dipertahankan di koloni adalah politik diskriminasi yang membedakan kedudukan dan peran antara penjajah dan terjajah. Diskriminasi itu dipertahankan untuk mendukung kedudukan dan peran sosial-politik kolonial yang menghegemoni semua bidang kehidupan kolonial.87 Pemerintahan kolonial yang diidentifikasi sebagai penguasa otomatis mempunyai kedudukan yang jauh lebih tinggi daripada kaum jajahan, baik secara material maupun spiritual. Konsep inilah yang mendukung perasaan superioritas sebagai penjajah, pemerintah kolonial berhak mengatur inferoritas kaum jajahan.

Ki Hadjar Dewantara mengembangkan pemikiran politiknya untuk mendapatkan sesuatu yang dipertahankan oleh pemerintahan kolonial. Pemikiran politik Ki Hadjar Dewantara bukan hanya dalam bidang politik melulu tetapi juga sosial dan kultural.

Diskriminasi terjadi karena adanya perbedaan fisik dan kultur. Kaum penjajah menganggap diri sebagai ras Arya yang memiliki peradaban tinggi di Eropa. Hal ini berdampak pada diskriminasi terhadap kaum yang memiliki ras lebih rendah seperti bangsa Indonesia. Keinginan untuk memusnahkan dan menghancurkan ras yang lebih rendah begitu tinggi bagi para penjajah. Kolonialisme sering berkedok mengadabkan bangsa lain meski sebenarnya berisi pemerasan, pembedaan, dan penguasaan. Bangsa Barat bersiteguh mengadakan perlawanannya ke dunia Timur merupakan mission sacree atau tugas suci untuk mengadapkan bangsa-bangsa Timur termasuk Indonesia.88 Namun, dalam prakteknya pemerintah kolonial dengan aparat kolonialnya berperilaku menyimpang dari cita-cita awal untuk mengadapkan bangsa Timur. Praktek- praktek diskriminasi, kekerasan, penekanan, kecurangan, korupsi dan sejenisnya sangat tidak mengenakkan perasaan kaum terjajah. Ketidakpuasan menyelimuti

87Ki Hadjar Dewantara, Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan: kenang- kenangan Ki Hadjar Dewantara (Jakarta: Endang, 1952), hlm. 108. 88Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, 1908-1945 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 104.

39 semua perasaan etnik-etnik di koloni yang menginginkan kehidupan setara antara penjajah dan kaum terjajah baik sosial maupun politik.89

Dari latar belakang kehidupan sosial-politik inilah, Ki Hadjar Dewantara mempunya pikiran yang jauh ke depan yaitu bagaimana caranya orang-orang Indonesia yang terpinggirkan mendapat kesempatan untuk memperoleh kesetaraan secara sosial-politik dalam masyarakat kolonial. Memang secara tidak langsung di lingkungan Pakualaman sudah terbentuk cultuur-milieu berupa kultur yang maju yang didukung oleh para elite Pakualaman.90

Sebagai contohnya adalah para misionaris Katolik yang membangun persekolahan di Flores. Mereka berusaha untuk membangun sekolah bukan karena misi Gereja sejak awalnya melainkan demi kepentingan tertentu. Kepentingan itu kemudian dirumuskan dalam ungkapan: membebaskan masyarakat dari keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan.91 Warta pembebasan ini mengandung semangat untuk membebaskan seluruh masyarakat Indonesia dari keterbelakangan dan kebodohan. Mencari kesetaraan dalam masyarakat kolonial yang mempunyai unsur demokrasi dalam politik dan mendorong kesejahteraan bagi masyarakat kecil pada umumnya merupakan upaya yang ingin dicapai oleh Ki Hadjar Dewantara. Salah satu cara untuk bisa menghancurkan struktur masyarakat kolonial yang rigid yaitu dengan perjuangan di bidang pendidikan. Demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia, pendidikan harus ditingkatkan untuk melawan sistem kaum penjajah.

3.2.2 Perlawanan Terhadap Kolonialisme

Kepincangan dalam masyarakat kolonial adalah kuatnya diskriminasi sosial dan politik. Usaha mempertahankan diskriminasi ini dimaksudkan agar terjaga kewibawaan kolonial dan membuat distansi dengan masyarakat pribumi tetap terjaga. Dengan kata lain, diskriminasi melanggengkan penjajahan. Sistem kolonialisme yang menjauhkan antara penjajah dan terjajah tetap terpelihara

89Ibid., hlm. 107. 90Takashi Shiraishi, The Age In Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 (London: Comell University Press, 1990), hlm. 38. 91Eduard Jebarus, Sejarah Persekolahan di Flores (Maumere: Ledalero, 2008), hlm. 166.

40 sehingga mobilitas vertikal kaum pribumi tetap terkontrol. Komunikasi sosial- politik antara penjajah dan terjajah sangat renggang dan bahkan terjadi jurang yang dalam sehingga melanggengkan sistem pemerintahan tidak langsung, artinya masyarakat pribumi tetap diperintah penguasa tradisional, sehingga penguasa kolonial cukup menghubungi penguasa bumiputra dalam menjalankan pemerintahan kolonial.92

Dengan melintasi berbagai rintangan dan tantangan, sesuai dengan jamannya, sesuai pula dengan taktik dan perhitungannya, Ki Hadjar Dewantara menggunakan seluruh masa hidupnya untuk perjuangan, dengan menanggung segala akibat dan konsekuensinya. Perjuangan politik yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara untuk melawan pemerintahan kolonial diuraikan dalam bagian- bagian berikut:

3.2.2.1 Seorang Jurnalis

Ki Hadjar Dewantara mengawali kiprahnya sebagai seorang jurnalis muda yang ulet dan ia memulai karir perjuangannya di bidang jurnalistik. Kemampuannya sebagai jurnalis ia gunakan sebagai sarana untuk memberikan pendidikan politik kepada rakyat dan mencurahkan rasa hati serta cita-cita perjuangannya.

Mula-mula di Yogyakarta, dia sebagai pembantu harian Sedyo Tomo dan surat kabar bahasa Belanda Midden Java di Semarang, kemudian sebagai koresponden De Expres di Bandung yang terbit mulai 1 Maret 1912 di bawah pimpinan Douwes Dekker. Selain De Expres di Bandung, Ki Hadjar Dewantara menjadi pembantu utusan Hindia di Surabaya di bawah pimpinan Tjokroaminoto dan membantu Tjahaya Timur di Malang di bawah pimpinan Djojosudiro, kemudian ia turut mengasuh majalah Het Tijdschrift yang terbit di Bandung di bawah pimpinan Douwes Dekker. Kedua surat kabar De Express dan Het Tijdschrift menjadi pelopor lahirnya partai politik Indische Party. Tulisannya yang pertama dalam harian De Express berjudul: ”Kemerdekaan Indonesia,”

92Prof. Dr. Djoko Marihandono (Ed), op. cit., hlm. 14-15.

41 mengemukakan cita-cita menuju Indonesia merdeka.93 Jurnalistik baginya merupakan media bagi alat dan lapangan perjuangannya, tempat mencurahkan rasa hati dan semangatnya untuk kemerdekaan tanah airnya. Artikel yang dimuat dalam De Express telah membawa pengaruh luas dalam kehidupan masyarakat, terutama orang-orang yang bisa baca dan tulis, dan membaca artikel tersebut akan menambah wawasannya tentang perjuangan kemerdekaan bangsanya. Jurnalis bagi Ki Hadjar Dewantara dmaksudkan untuk mendidik kaum pribumi lainnya supaya mengetahui realitas bangsanya yang sedang dijajah. Dengan demikian akan melahirkan suatu kesadaran untuk membela tanah air.

3.2.2.2 Tokoh Indische Partij

Politik etis telah melahirkan kaum cerdik pandai. Wawasan mereka telah terbuka berkat pendidikan model Barat. Kesadaran akan nasionalisme telah lahir. Pengalaman masa lampau, bahwa perjuangan dengan mengangkat senjata yang bergantung pada satu pemimpin dan tidak memiliki organisasi yang teratur dengan mudah dilibas oleh para penjajah. Untuk itu mereka sekarang telah mempunyai konsep bahwa perjuangan harus dirubah dari cara tradisional dengan cara yang modern. Hanya dengan organisasi yang modern dan mengedepankan akal sehat kemerdekaan Indonesia bisa tercipta.

Pada tanggal 6 September 1912 Ki Hadjar Dewantara bersama dengan dr. Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker mendirikan Indische Partij. Dalam memperjuangkan cita-citan mereka, ketiga pemimpin tersebut mempunyai semboyan: Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Cita-cita mereka adalah menciptakan Indonesia merdeka dan berdaulat.94 Ketiganya mempunyai pemikiran dan pandangan yang hampir sama dan dapat saling memahami satu sama lain. Kapabilitas mereka juga tidak dapat diragukan lagi. Mereka sama- sama anti terhadap penjajah yang menindas rakyat tanpa peri kemanusiaan.

Tujuan Indische Partij ialah untuk membangkitkan patriotisme semua Indiers terhadap tanah air, yang memberi lapangan hidup kepada mereka, agar

93Mochammad Tauhid, Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1963), hlm. 29. 94Darsiti Soeratman, op. cit., hlm. 38.

42 mendapat dorongan untuk bekerja sama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air Hindia dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka. Indische Partij berdiri di atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan Indonesia. Indonesia sebagai “National Home” semua orang berketurunan bumiputra, Belanda, Cina, Arab dan sebagainya, yang mengaku Hindia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Semangat ini pulalah yang menyatakan Indische Partij sebagai partai politik yang pertama di Indonesia. Cita-cita Indische Partij akan berakar dalam dan membantu mempertajam fokus akan identitas nasional baru dari Hindia Timur.95

Dalam politiknya, Indische Partij tidak mau berkompromi dengan pihak pemerintahan kolonial. Ki Hadjar Dewantara sebagai master mind dari Indische Partij dengan berapi-api mengobarkan nasionalisme. Dengan menggunakan rasa supra-lokalisme yang baru tumbuh, Ki Hadjar Dewantara melakukan lompatan atau gebrakan pertama dalam perjuangan politik yaitu dengan cara melakukan penyusunan sebuah konsep masyarakat kepulauan Hindia Timur sebagai satu kesatuan secara politis dan bukan dari segi kedudukan geografis. Langkah Ki Hadjar Dewantara ini didukung oleh teman seperjuangannya yaitu Cipto Mangunkusumo dengan menulis sebuah artikel: “Saya merasakan tugas suci untuk bekerjasama memulihkan tanah air dan bangsa kita yang terpuruk, dan kalau mungkin, mendirikan kerajaan Hindia yang merdeka dari kerajaan lain, versi baru kerajaan Majapahit, tentu saja tanpa menyerahkan kekuasaan Negara kepada satu orang atau satu keluarga.”96 Ki Hadjar Dewantara benar-benar membangkitkan patriotisme dalam Indische Partij terhadap semua orang Hindia Timur, tentang tanah air yang memberi mereka makan, dan mereka harus bekerjasama atas dasar kesetaraan politis untuk mrmbuat tanah air Hindia Timur berkembang dan memerdekakan demi rakyat semuanya. Aktivitas Ki Hadjar Dewantara dalam Indische Partij itu didasarkan atas nama rakyat Hindia Timur. Ia menyerukan kesetaraan atas semua ras, bersatu dalam sebuah negara yang utuh tidak terbagi-bagi. Keberaniannya menentang kesewenang-wenangan

95Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Natususanto,Sejarah Indonesia Nasional V (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 188. 96R. E. Elson,The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2009), hlm. 22.

43 pemerintahan kolonial dalam wadah Indische Partij, telah membuat gusar pihak penguasa.

Pemerintahan kolonial merasa khawatir terhadap aktivitas Indische Partij karena bersifat politik dan mengancam eksistensi pemerintahannya. Pihak pemerintah tidak memberikan pengakuan legal atas organisasi tersebut karena dapat membahayakan ketertiban umum. Tidak lama kemudian organisasi Indische Partij dibubarkan oleh pemerintah kolonial. Kemudiaan Ki Hadjar Dewantara bersama dengan tokoh Indische Partij lainnya ditangkap dan diperiksa di kota Bandung. Dengan ditangkapnya tokoh-tokoh tersebut, maka berakibat pada ditangguhkannya penerbitan Expres Melayu, edisi bahasa Melayu dari harian oposisi De Expres yang seyogyanya akan terbit dengan asuhan Ki Hadjar Dewantara dan Cipto Mangunkusumo sebagaimana telah diumumkan sebelumnya dan menyebabkan kalangan pemerintahan kolonial menentang dengan kerasnya.97

Pembelaan Ki Hadjar Dewantara mengenai tuduhan memberontak terhadap pemerintahan kolonial yaitu bahwa Ki Hadjar Dewantara tidak bermotif memberontak karena yakin bahwa suatu pemberontakan pada saat itu akan mengakibatkan kemunduran bagi rakyat untuk berpuluh-puluh tahun dan tidak mungkin saat itu menunjuk orang-orang yang kelak akan memegang kemudi pemerintahan dan mampu mengurus nasib berjuta-juta manusia. Pemberontakan yang demikian harus matang dan menggunakan persiapan berpuluh-puluh tahun. Selain itu pemberontakan tidak akan menggunakan gerakan secara terbuka sebaliknya orang akan mempersiapkan secara diam-diam dan rahasia sementara gerakan Ki Hadjar Dewantara dilakukan secara terbuka dan mengemukakan pemikiran mereka secara terbuka dan terang-terangan.98

Menurut Ki Hadjar Dewantara, maksud dari gerakan tersebut hanya untuk memperdengarkan suara mereka sehingga orang-orang, lebih-lebih yang duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat akan membicarakan gerakan mereka. Maksud pendirian gerakan Komite Bumi Putra, untuk turut serta merayakan pesta-pesta kemerdekaan itu sehingga pada penduduk pribumi tertinggal kesan dan kenang-

97Ibid., hlm. 27. 98H. A. H. Harahap & B. S. Dewantara, op. cit., hlm. 25.

44 kenangan yang baik akan perayaan peringatan itu dan berharap disediakan suatu Badan Perwakilan rakyat. Jadi kemerdekaan yang dimaksudkan ialah kemerdekaan untuk turut menjalankan pemerintahan melalui suatu Dewan Perwakilan Rakyat yang di dalamnya kaum pribumi juga memperoleh kursi secara adil. Namun nyatanya semua anggota itu diangkat oleh pemerintah. Dengan demikian rakyat tidak diwakili di dalamnya sehingga tidak ada manfaat dan keuntungan bagi rakyat, dan Ki Hadjar Dewantara merasa wajib mengajukan protes terhadap rencana itu. Selain itu agar rakyat menjadi melek dan terbuka hatinya, agar mereka menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman, mengangkat dirinya sejajar dengan golongan-golongan penduduk lainnya.99

Selama mendalami bidang pengajaran dan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara mempelajari gagasan-gagasan pendidikan dari beberapa tokoh pendidikan dunia. Dari Rabindranath Tagore,dia mendapat gagasan pendidikan yang mengutamakan pendidikan pengembangan kepribadian anak. Dari Montessori, dia mendapatkan gagasan pendidikan yang mengutamakan pelatihan panca indra untuk mengembangkan tabiat dan kekuatan jiwa anak. Sedangkan dari Kerschenteiner, dia mendapatkan konsep tentang sekolah frobel yang menekankan pengembangan angan-angan anak dengan cara mengajari anak berpikir melalui permainan.100

Semua pengetahuan tentang pengajaran dan pendidikan tersebut, ia internalisasikan dalam jiwa pemikirannya. Kelak suatu saat akan ia terapkan dalam pendidikan kaum pribumi.

3.2.2.3 Pendiri Indonesische Persbureau

Keberadaan Ki Hadjar Dewantara di negeri Belanda telah memberi nuansa baru bagi pergerakan Indische Vereeniging. Pada bulan November 1913, Ki Hadjar Dewantara mendirikan agen yang dikenal sebagain Indonesische Persbureau (Biro Pers Indonesia) di Den Haag. Biro ini untuk mengumpulkan dan menyebarluaskan berita mengenai gerakan politik di Hindia. Hindia Poetra,

99Ibid., hlm. 91. 100Suparno Raharjo, Ki Hadjar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959 (Yogyakarta: Garasi, 2009), hlm. 48.

45 dengan Ki Hadjar Dewantara sebagai pemimpin redaksinya, mengusung semboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia!”. Jurnal tersebut dimaksudkan untuk tidak hanya menjadi jurnal bagi orang-orang Indonesia yang sedang belajar di Belanda, tetapi juga untuk orang-orang penting di dunia pribumi Hindia, dan bertujuan mendorong perkembangan harmonis bangsa Hindia.101

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara sungguh kuat dan berwawasan jauh ke depan, dan itu tidak hanya di antara saudara sebangsanya. Seperti pemikiran rekan-rekannya yang sejalan, pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengandung dua pokok penting dan amat berpengaruh. Pertama, bahwa negara Indonesia yang merdeka secara politis dari Belanda merupakan perkembangan yang tak terelakkan, yang pada saat itu hanya disadari oleh Indonesisch Verbond Van Studeerenden yang membaca tanda-tanda zaman. Kedua, Indonesia yang akan muncul bakal didasarkan pada pertimbangan nasionalis-humanis, bukan etnis atau agama.102

Pada tanggal 17 Agustus 1917, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Graaf Van Limburg Stirum, mencabut hukuman yang telah dikenakan kepada Ki Hadjar Dewantara sejak tanggal 18 Agustus 1913. Setelah meninggalkan negeri Belanda, Ki Hadjar Dewantara menerbitkan sebuah karangan yang diberi judul “Kembali ke Medan Perjuangan.” Dalam karangannya itu Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa ia bersama istrinya akan segera kembali ke tanah air untuk melanjutkan perjuangan dan bukan sekedar menikmati kemenangan atas kemerdekaan dirinya, sebab apa yang dicita-citakan belum tercapai yakni kemerdekaan bangsa.103

Kebebasan setelah menjalani masa hukumannya tidak membuat Ki Hadjar Dewantara larut dalam euforia kebebasan. Dengan pengalaman yang diperoleh dari negeri Belanda, ia akan tetap berjuang demi kemerdekaan bangsanya. Kalau sebelumnya ia bergerak dalam kancah politik, akan tetapi dengan pengetahuan dan wawasan barunya, ia kemudian berjuang dalam kancah pendidikan dengan mendirikan sekolah Taman Siswa. Dengan pendidikan yang diperuntukan bagi

101R. E. Elson, op. cit., hlm. 34. 102Ibid., hlm. 37. 103H.A.H. Harahap & B.S. Dewantara, op. cit., hlm. 157.

46 kaum pribumi akan menghasilkan pemuda-pemudi yang bisa membaca dan menulis. Perkembangan selanjutnya membuka kesadaran bagi kaum pribumi tentang nasib bangsanya yang sedang dijajah. Kemudian mereka akan berjuang untuk mengusir penjajah. 104

3.2.3 Kiprah Perguruan Taman Siswa

Perlawanan terakhir yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara untuk menjatuhkan Pemerintah Kolonial adalah dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa. Pada masa itu, putra-putri Indonesia yang disekolahkan di HIS dididik dengan sistem pendidikan Pemerintah Kolonial, yang jelas sesuai dengan harapan dan kepentingan mereka. Konten pelajaran-pelajaran yang diberikan merupakan upaya secara sistematis agar generasi Indonesia melupakan dan merendahkan diri dan martabat bangsanya sendiri.

Ki Hadjar Dewantara memahami betul ke mana arah pendidikan pemerintahan Kolonial itu. Maka ia bercita-cita meningkatkan kesadaran generasi muda untuk menegaskan derajat dan martabat bangsanya. Ia yakin, jika generasi Indonesia pada masa itu cerdas maka mereka akan menjadi pembangun kesadaran bangsa untuk bangkit berjuang melawan segala bentuk penindasan dan merebut kemerdekaan. Inti cita-citanya yakni membahagiakan diri, membahagiakan bangsa dan membahagiakan manusia.105

Terdorong oleh cita-cita itu, Ki Hadjar Dewantara yang telah mengenal dunia pengajaran dan pendidikan selama satu tahun di sekolah Adi Dharma, memutuskan untuk mendirikan sebuah perguruan yang cocok untuk mendidik generasi Indonesia. Pada tanggal 3 Juli 1922 didirikanlah sebuah perguruan di Yogyakarta dan dikenal sebagai Perguruan Taman Siswa. Kelahiran Perguruan Taman Siswa jelas menjadi tandingan bagi sekolah-sekolah milik Pemerintah Kolonial. Perguan Taman Siswa ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada para peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Kondisi ini tentu menjadi ancaman

104Ibid., hlm. 159. 105M. C. Ricklefs, op. cit., hlm. 333.

47 bagi pemerintah kolonial. Semakin banyak orang belajar dan tamat dari Perguruan Taman Siswa, semakin banyak generasi Indonesia yang berani membangkang dan melawan kebijakan politik pemerintah kolonial.

Perguruan Taman Siswa berperan dalam menumbuhkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Meskipun menggunakan sistem pendidikan modern Belanda, Perguruan Taman Siswa tidak mengambil kepribadian Belanda. Perguruan Taman Siswa melaksanakan proses pendidikan dengan tiga semboyan, yaitu: Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani.106 Di kalangan para pemimpin terdapat dua pendapat atau aliran. Aliran yang pertama menginginkan Perguruan Taman Siswa terlepas dari sistem pendidikan pemerintah dan aliran pemikiran yang kedua berpendapat bahwa perkembangan Indonesia baru sangat berbeda dengan keadaan zaman kolonial, oleh karena perubahan itu perlu dihadapi dengan pemikiran baru. Perguruan Taman Siswa dapat menyumbangkan pengalaman dan keahlian untuk Menteri Pendidikan dalam usahanya mengembangkan kebijaksanaan politik pendidikan nasional.107

Eksistensi Perguruan Taman Siswa mulai dirasakan Pemerintah Kolonial sebagai ancaman bagi mereka. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Salah satu pasal berbunyi bahwa pemerintah kolonial mempunyai kekuasaan penuh untuk mengurus ujud dan isi sekolah swasta.108 Itu berarti seluruh aktivitas sekolah swasta dan instrumen-instrumennya diatur oleh Pemerintah Kolonial. Ki Hadjar Dewantara tentu merasa keberatan terhadap`kebijakan ini sebab membatasi secara sepihak setiap aktivitas sekolah swasta. Kebijakan itu bahkan dapat secara sepihak pula menghentikan seluruh aktivitas sekolah swasta atau memutuskan keberlangsungannya.

Pada tahun 1935-1937, taman siswa dihadapkan pada masalah-masalah baru yaitu masalah tunjangan anak dan upah pajak. Dan para guru berpendapat bahwa tidak seharusnya membayar pajak upah dan hanya membayar pajak

106Bambang Sokawati Dewantara, op. cit., hlm. 138. 107Ibid., hlm. 142. 108M. C. Ricklefs, op. cit., hlm. 96.

48 penghasilan saja, sebab Perguruan Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan bersifat kekeluargaan yang tidak mengenal buruh dan majikan.109 Ki Hadjar Dewantara membawa masalah undang-undang sekolah liar ke Dewan Rakyat. Pada tanggal 10 Januari 1933, Wiranata Kusumah dan kawan-kawan mengusulkan untuk membuat undang-undang baru, usulan tersebut diterima dan dimufakati oleh pemerintah, maka undang-undang sekolah liar ditunda selama satu tahun.110 Ki Hadjar Dewantara mengirimkan telegram untuk menggerakkan seluruh tenaga bangsa dan bangkit serentak berdiri di belakang Ki Hadjar Dewantara bersama-sama melawan undang-undang kolonial dengan gagah berani, akhirnya ordonasi sekolah liar dibekukan, delapan bulan kemudian dicabut dan dibatalkan.111

3.3 KONSEP PENDIDIKAN HOLISTIK KI HADJAR DEWANTARA

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Dalam pandangannya, tujuan pendidikan adalah memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial serta didasarkan nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.

Dasar-dasar pendidikan Barat dirasakan Ki Hadjar Dewantara tidak tepat dan tidak cocok untuk mendidik generasi muda Indonesia karena pendidikan Barat bersifat perintah, hukuman dan ketertiban. Karakter pendidikan semacam ini dalam prakteknya merupakan suatu pemerkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Akibatnya anak-anak rusak budi pekertinya karena selalu hidup di bawah paksaan/tekanan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, cara mendidik semacam itu tidak akan bisa membentuk seseorang hingga memiliki kepribadian112 yang matang dan mandiri.

109Darsati Soeratman, op. cit., hlm. 106-107. 110Ibid., hlm. 102. 111M. Tauchid, Perdjuangan dan Adjaran Hidup Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1963), hlm. 61. 112Selama menjalani hukum buang di negeri Belanda, Ki hadjar Dewantara tentu banyak mempelajari teori tentang pendidikan yang berkembang dan diterapkan pada masa itu dan juga dewasa ini. Pada umuumnya teori-teori pendidikan menggarisbawahi pentingnya “proses menjadi” menuju kemanusiaan yang utuh dan penuh. Pendidikan pun lantas dipahami sebagai proses kegiatan mengubah perilaku individu ke arah kedewasaan dan kematangan dlam arti yang seluas- luasnya (pengetahuan, pemahaman, perasaan, spiritual, sosial, dll). Pemahaman demikian

49

Manusia yang terdidik mampu menyikapi tuntutan-tuntutan dan tantangan- tantangan kehidupan dengan sikap bersahaja. Ia tidak lagi terperangkap dalam kepentingan-kepentingan diri dan golongan yang temporal dan duniawi sifatnya. Praksis kehidupannya sarat dengan permenungan atas nilai-nilai kemanusiaan universal sekaligus disertai dengan daya upaya untuk mewujudkannya dalam kehidupan nyata. Manusia yang merdeka batiniahnya adalah manusia pintar tapi sekaligus benar tindakannya, maju penalaran akalnya dan sekaligus bermoral perilakunya, beragama sekaligus beriman.

3.3.1 Dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Pada hakikatnya pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dimulai dari rasa kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi terhadap bumi putera atau tanah air Indonesia. Pada setiap pergerakan kebangsaan yang dilakukan Ki Hadjar Dewantara, selalu terdapat buah pikiran tentang persamaan derajat,pendidikan untuk rakyat jelata, kemerdekaan bagi seluruh rakyar secara lahir dan batin, berani dan bijaksana, mawas diri dan percaya akan kemampuan sendiri.

Menurut Ki Hadjar Dewantara dasar pendidikan itu sendiri adalah penguasaan diri sebab disinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa. Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada dua hal yang harus dibedakan yaitu sistem pengajaran dan pendidikan yang harus bersinergi satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).113

menempatkan pendidikan sebagaikebutuhan dasar manusia, baik sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial. Pendidikan adalah rekayasa secara sadar dan terencana untuk mendidik anak manusia agar ia mencapai kematangan atau kedewasaan secara utuh dan penuh. Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, op. cit., hlm. 98. 113 Thomas Hidya, Mencari Orientasi Pendidikan, Sebuah Perspektif Historis (Jakarta: 2004), hlm. 3.

50

Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya.114 Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu upaya pemanusiaan manusia secara manusiawi ke arah kemerdekaan lahiriah dan batiniah.Pendidikan harus bersentuhan dengan upaya-upaya konkret berupa pengajaran dan pendidikan. Dalam praksisnya, pengajaran dan pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi hidup dan kehidupan rakyat. Kondisi rakyat yang terjajah tidak cukup menguntungkan dunia pendidikan manakala prosesnya berorientasi pada keuntungan material. Maka yang hendak dicapai oleh Ki Hadjar Dewantara dalam dan melalui pendidikan adalah tumbuhnya kesadaran akan pentingnya menghormati nilai-nilai kemanusiaan, baik dalam kehidupan personal maupun kehidupan sosial. Artinya, kesadaran akan pentingnya hormat pada martabat kehidupan yang diimani sebagai hormat pada pencipta kehidupan. Di situlah dasar daya upaya memerdekakan badaniah dan batiniah dibangun.

Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah pintu masuk menuju kemerdekaan lahiriah dan batiniah manusia, baik sebagai makhluk individual maupun sebagai anggota masyarakat dan warga dunia. Pendidikan menjadi wadah membangun otonomi intelektual, otonomi eksistensial, dan otonomi sosial. Pendidikan adalah cara untuk sampai pada kesadaran akan pentingnya memiliki ketiga otonomi diri di atas. Kemerdekaan batiniah dan badaniah yang dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara adalah keadaan di mana manusia di Indonesia mampu menegaskan secara serentak otonomi eksistensi dirinya sebagai warga Indonesia dan warga dunia. Pendidikan menghantar seseorang memiliki otonomi diri secara utuh dan penuh dalam wilayah kognisi, afeksi, spiritual, sosial sehingga eksistensinya mampu berdiri senidiri, tidak bergantung pada orang lain, dan mengatur dirinya sendiri.115

114 Ki Hadjar Dewantara, Karya I: Pendidikan (Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa, 1962), hlm. 14-15. 115Kalau kita cermati ketiga macam kemerdekaan di atas, pendidikan tampaknya berurusan dengan upaya membangun kesadaran pada manusia bahwa dirinya adalah subjek realitas. Artinya sebagai pribadi mampu mengurus dirinya sendiri dan sekaligus mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Kesadaran demikian tentu sulit dikembangkan pada masa Ki Hadjar Dewantara sebab

51

Suparlan menuliskan bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan yang seutuhnya, Ki Hadjar Dewantara mengajukan konsep tri pusat pendidikan, yaitu:pendidikan keluarga, pendidikan dalam alam perguruan dan pendidikan dalam alam pemuda.116 Pertama, pendidikan keluarga. Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa dalam sistem Taman Siswa keluarga mendapat tempat yang luhur dan istimewa karena keluarga merupakan lingkungan yang kecil, tetapi keluarga merupakan tempat yang suci dan murni dalam dasar-dasar sosialnya, oleh sebab itu keluarga merupakan satu pusat pendidikan yang mulia. Dalam lingkungan keluarga, seseorang dapat menerima segala tradisi mengenai hidup kemasyarakatan, keagamaan, kesenian, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.

Ki Hadjar Dewantara menjelaskan bahwa pentingnya menjadikan keluarga sebagai pusat pendidikan karena keluarga tidak hanya menjadi ajang untuk melaksanakan pendidikan individual dan sosial tetapi menjadi kesempatan bagi orang tua untuk menanamkan segala benih nurani dalam jiwa anak-anak.117 Apabila keluarga menjadi pusat pendidikan maka secara tidak langsung orang tua berperan sebagai guru yang mendidik perilakunya dan sebagai pengajar yang memberikan kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan, serta menjadi teladan dalam kehidupan sosial. Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa hak mendidik anak, dalam sifat, bentuk, isi, dan alirannya, pada dasarnya ada pada orang tua bukan pada pihak lain. Pandangan Ki Hadjar Dewantara didasari oleh pandangan bahwa dalam diri orang tua tergabung berbagai golongan baik seperti golongan kebangsaan, kerakyatan atau keagamaan dan golongan itulah yang memiliki hak untuk menetapkan sifat, bentu, isi, dan aliran pendidikan untuk kepentingan anak- anak.118

Kedua, pendidikan dalam alam perguruan. Ki Hadjar Dewantara menolak pandangan bahwa pendidikan sosial merupakan tugas sekolah. Bagi Ki Hadjar Dewantara, selama sistem sekolah masih bertujuan untuk pencarian dan rakyat Indonesia kala itu dijajah oleh pemerintah Belanda.Maka pendidikan adalah kata kunci untuk ke arah kemerdekaan yang dimaksudkan. Ibid., hlm. 4. 116 Henricus Suparlan, “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia” Jurnal Filsafat, Vol 25, Nomor 1 (April 2014): 1-19. 117 Ki Hadjar Dewantara, Azaz-azaz Dasar Taman Siswa (Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa, 1956), hlm. 72-73. 118Ibid., hlm.357.

52 pemberian ilmu pengetahuan dan kecerdasan pikiran maka pengaruhnya tidak akan terlalu nampak bagi anak-anak. Pendidikan dalam alam perguruan berkewajiban untuk mengusahakan kecerdasan pikiran dan pemberian ilmu pengetahuan. Apabila sekolah dan keluarga terpisah maka pendidikan yang dihasilkan dalam ruang keluarga akan selalu sia-sia, sebab pengaruh sekolah yang mengasah intelektual semata sangat kuat. Ki Hadjar Dewantara mencontohkan pada waktu itu, anak-anak harus mengasah inteleknya setiap hari kurang lebih selama 8 jam.119 Oleh sebab itu sekolah tidak dapat berpisah dengan kehidupan keluarga. Sekolah dan keluarga dapat saling mengisi dan melengkapi agar dapat mencapai tujuan pendidikan.

Ketiga, pendidikan dalam alam pemuda. Konsep ini muncul dilatarbelakangi karena pergerakan pemuda pada waktu itu yang sebagian besar meniru perilaku barat. Pada masa pergerakan kemerdekaan, pergerakan pemuda tampak memisahkan antara anak-anak dan keluarganya. Ki Hadjar Dewantara melihat hal itu sebagai sesuatu yang berbahaya karena pendidikan budi pekerti yang belum baik. Oleh sebab itu Ki Hadjar Dewantara memasukkan pergerakan pemuda sebagai pusat pendidikan. Tauchid menjelaskan bahwa pergerakan pemuda merupakan dukungan yang besar bagi pendidikan dan memusatkannya dalam rencana pendidikan. Orang tua hendaknya berperan sebagai penasehat yang memberi kemerdekaan yang terbatas bagi pemuda-pemudi. Di samping itu orang tua selalu mengawasi mereka dan bertindak ketika ada bahaya yang tidak dapat mereka hindari.120 Konsep ini bila diterapkan pada masa kini dapat menolong dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan moral generasi muda bangsa Indonesia.

3.3.2 Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan dan pengajaran adalah daya- upaya yang disengaja secara terpadu dalam rangka memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia. Pengajaran adalah salah satu bagian dari pendidikan. Artinya, pengajaran adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau

119 M. Tauchid, Tugas Taman Siswa dalam Pembangunan Masyarakat Baru (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1962), hlm. 72-73. 120Ibid., hlm. 74.

53 pengetahuan dan memberi kecakapan, pengertian serta pelatihan kepandaian kepada anak-anak, yang dapat berfaedah untuk hidup anak-anak baik lahir maupun batin.121

Dinamika pendidikan menurut pengertian umum adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak. Maksud pendidikan yaitu menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- tingginya.

Konsep pendidikan holistik yang dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara yaitu pendidikan yang bukan hanya fokus pada aspek intelektual semata melainkan penekanan pada budi pekerti yang diperlukan. Pendidikan yang mencerdaskan budi pekerti itu berkuasa untuk mengalahkan dasar-dasar dari jiwa manusia, baik dalam arti melenyapkan dasar-dasar yang jahat dan menutupi atau mengurangi tabiat-tabiat jahat yang tak dapat dilenyapkan sama sekali (tabiat biologis) karena sudah bersatu dengan jiwanya. Kecerdasan budi pekerti berkat pendidikan mengantar seseorang pada kemerdekaan hidup batin, yang sifatnya ada tiga macam, yakni berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri (menguasai diri).122

Konsepsi pendidikan yang demikian yang mendasari penilaian Ki Hadjar Dewantara bahwa dasar pendidikan Barat (pendidikan model penjajahan Belanda) tidak tepat dan tidak cocok untuk mendidik generasi muda Indonesia karena bersifat perintah, hukuman, dan ketertiban. Karakter pendidikan semacam ini, menurut Ki Hadjar Dewantara dalam prakteknya merupakan suatu bentuk pemerkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Akibatnya, anak-anak rusak budi pekertinya karena selalu hidup di bawah paksaan atau tekanan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, cara mendidik semacam itu tidak akan bisa membentuk seseorang hingga memiliki kepribadian yang berbudi pekerti.123

121 Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, op. cit., hlm. 485.

122 Ibid. 123 Bartolomeus Samho, op. cit., hlm. 74-77.

54

3.3.3 Metode Pendidikan

Ki Hadjar Dewantara memang menempuh pendidikan di belahan dunia bagian Barat. Namun ia tidak mau menerapkan sistem pendidikan yang bercorak Barat karena sistem pendidikan Barat tidak sesuai dan tidak cocok untuk keadaan masyarakat Indonesia saat itu. Dalam sistem pendidikan Barat terdapat paksaan, hukuman, dan perintah. Pendidikan model seperti ini menurut Ki Hadjar Dewantara akan memperkosa kehidupan batin anak-anak. Model pendidikan seperti ini akan berdampak buruk pada perkembangan kepribadian anak-anak. Pendidikan yang baik akan melalui tahapan-tahapan pembiasaan, penyadaran emosi dan pendisiplinan.124

Menurut Ki Hadjar Dewantara, metode pendidikan yang cocok dengan karaktek dan budaya orang Indonesia tidak memakai syarat paksaan. Orang Indonesia termasuk ke dalam bangsa Timur di mana kekhasan yang nampak yaitu kehalusan rasa, hidup dalam kasih sayang, cinta akan kedamaian, tertib, jujur, sopan dalam tutur kata dan tindakan. Nilai-niai itu disemai dalam dan melalui pendidikan sejak usia dini anak. Dalam praksis penyemaian nilai-nilai itu, pendidik menempatkan peserta didik sebagai subyek bukan obyek pendidikan. Artinya, peserta didik diberi ruang yang seluasnya untuk bereksplorasi, berekspresi, berkreativitas, mandiri dan bertanggung jawab. Sistem Among merupakan metode yang diberikan oleh Ki Hadjar Dewantara. Bagi Ki Hadjar Dewantara, sistem Among merupakan metode yang sesuai untuk pendidikan. Metode ini merupakan metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Pendidikan sistem Among berpegang pada dua hal yaitu: kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat hidup mandiri. Sistem Among sering dikaitkan dengan asas-asas seperti Ing Ngarso Sung Tuladha yang memiliki arti di depan guru harus memberikan teladan seluruh aspek kehidupannya. Hal ini mencerminkan bahwa menjadi seorang guru harus bisa memberikan sebuah keteladanan dan menjadi teladan. Ada juga asas Ing Madya Mangun Karsa yang

124Suparno Raharjo, op. cit , hlm. 74.

55 memiliki arti seseorang harus bisa membangun semangat, motivasi dan gairah hidup untuk menuju masa depan yang lebih baik. Hal ini menjelaskan bahwa menjadi seorang guru harus mampu memberikan dorongan serta motivasi bagi peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuan dan potensi dirinya. Atau asas Tut Wuri Handayani yang memiliki arti seorang guru harus dapat mengikuti dengan baik para murid yang telah menunjukkan sikap dan perilaku yang benar (baik, jujur, cerdas).125

Asas ini telah banyak dikenal oleh masyarakat daripada Sistem Among sendiri, karena banyak dari anggota masyarakat yang belum memahaminya. Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya mengasuh anak. Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Tujuan dari sistem among adalah membangun anak didik untuk menjadi manusia beriman dan bertaqwa, merdeka lahir dan batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohani agar menjadi masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya. Dalam pelaksanaan sistem among, setelah anak didik menguasai ilmu, mereka di dorong untuk mampu memanfaatkannya dalam masyarakat, didorong oleh cipta, rasa, dan karsa. 126

3.3.4 Asas-Asas Pendidikan

Dalam perspektif , pendidikan adalah upaya pendewasaan seseorang dengan metode among. Kedewasaan peserta didik secara lahir-batin merupakan modal bagi mereka untuk siap menjalani kehidupan bermasyarakat secara bertanggung jawab. Terkait dengan upaya mengimplementasikan metode among, Ki Hajara Dewantara mengajukan lima asas pendidikan yang dikenal dengan pancadharma. Berikut adalah penalaran atas kelima asas berikut:

125Ibid., hlm. 74-75. 126Ibid., hlm. 75.

56

3.3.4.1 Asas Kodrat Alam

Asas kodrat alam atau asas tertib damai, bagi Ki Hajar Dewantara adalah hak seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertibnya persatuan dengan kehidupan umum. Dalam konteks itu pendidikan mesti dilaksanakan dengan maskud pemeliharaan atas dasar perhatian yang besar kepada kebebasan anak untuk bertumbuh lahir-batinnya sesuai dengan kodratnya. Berdasarkan konsep asas kodrat alam ini, Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pelaksanaan pendidikan berdasarkan akal pikiran manusia yang berkembang dan dapat dikembangkan. Secara kodrat, akal pikiran manusia itu dapat berkembang. Pengembangan kemampuan berpikir manusia secara sengaja itulah yang dipahami dan dimengerti sebagai “pendidikan”. Jadi pendidikan adalah tindakan yang disengaja dan direncanakan dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik yang dibawa sejak lahir secara tertib dan damai.127

3.3.4.2 Asas Kemerdekaan

Asas kemerdekaan ini mengandung arti bahwa pengajaran berarti mendidik peserta didik menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara asas kemerdekaan berkaitan dengan upaya membentuk peserta didik menjadi pribadi yang memiliki kebebasan yang bertanggung jawab sehingga menciptakan keselarasan dengan masyarakat. Asas ini bersandar pada keyakinan bahwa setiap manusia memiliki potensi sebagai andalan dasar untuk menggapai kebebasan yang mengarah kepada “kemerdekaan”.128

3.3.4.3 Asas Kebudayaan

Asas kebudayaan ini bersandar pada keyakinan kodrati bahwa manusia adalah makhluk berbudaya. Artinya, manusia mengalami dinamika evolutif dalam pembentukan diri menjadi pribadi-pribadi yang berbudi pekerti. Dalam konteks ini pula, pendidik perlu dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai budaya sebab kebudayaan merupakan ciri khas manusia. Bagi Ki Hajar Dewantara,

127Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan Dasar-Dasar Taman Siswa, dalam Buku Peringatan Taman Siswa 30 Tahun (Yogyakarta: MLPTS, 1952), hlm. 56 128 Ibid., hlm. 57.

57 kemanusiaan bukanlah suatu pemikiran yang statis. Kemanusiaan merupakan suatu konsep yang dinamis, evolutif dan organis. Maka, menurut Ki Hajar Dewantara, kebudayaan itu tidak pernah mempunyai bentuk yang abadi, tetapi terus menerus berganti-ganti wujudnya. Salah satu penyebabnya adalah karena bergani-gantinya alam dan zaman. Ki Hajar Dewantara melihat secara jernih posisi kebudayaan bangsa Indonesia di tengah-tengah kebudayaan bengsa-bangsa lain di dunia ini, yakni sebagai petunjuk arah dan pedoman untuk mencapai keharmonisan sosial di indonesia. Dalam konteks ini pula, asas ini menekankan memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan.129

3.3.4.4 Asas Kebangsaan

Asas kebangsaan merupakan ajaran Ki Hajar Dewantara yang amat penting sebagai bagian dari wawasan kemanusiaan. Melalui asas ini Ki Hajar Dewantara hendak menegaskan bahwa, seseorang harus merasa satu dengan bangsanya dan perasaan tersebut tidak boleh bertentangan dengan rasa kemanusiaan dalam konteks ini pula, asas ini diperjuangkan Ki Hajar Dewantara untuk mengatasi segala perbedaan dan diskriminasi yang dapat tumbuh dan terjadi berdasarkan daerah, suku, keturunan, atau pun keagamaan.

Rasa kebangsaan adalah bagian rasa dari kebatinan kita manusia, yang hidup dan dihidupkan dalam jiwa kita dengan disengaja. Wujud rasa kebangsaan itu umumnya ialah dalam mempersatukan kepentingan bangsa dengan kepentingan diri sendiri. Kehormatan bangsa ialah kehormatan diri. Ideologi kebangsaan inilah yang diterapkam Ki Hajar Dewantara secara konsekuen ketika mendirikan Indische Partij pada tahun 1912. Bahkan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, yang juga merupakan ideologi nasional, pada dasarnya adalah suatu formulasi dari ideologi kebangsaan itu sendiri. Mencermati pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang asas kebangsaan ini kita

129Ki Hajar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua: Kebudayaan (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1994), hlm. 23.

58 semakin yakin bahwa Bapak Pendidikan Nasional Indonesia itu adalah sosok yang pluralis.130

3.3.4.5 Asas kemanusiaan

Asas ini pada dasarnya mengandung makna persahabatan antarbangsa. Dalam konteks ini, Ki Hajar Dewantara menggarisbawahi pentingnya bangsa Indonesia menjalin persahabatan dengan bangsa-bangsa lain. Asas kemanusiaan ini boleh dipandang sebagai asas yang radikal sebab konsep kemanusiaan itu merupakan akar dan sekaligus titik simpul bagi proses hidup yang manusiawi. Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh untuk membangun kondisi hidup bermasyarakat yang cinta damai dan saling menghormati dalam konteks sosial yang dewasa ini menjadi sedemikian kompleks, mengglobal, dan sarat dengan persoalan kemanusiaan. Dalam perspektif Ki Hajar Dewantara dipandang sebagai sosok yang humanis. Ia mengabdikan hidupnya secara total dan radikal untuk membangun kesadaran tinggi akan pentingnya tumbuh dalam rasa kemanusiaan. Gagasan ini dapat ditemukan dalam refleksi Ki Hajar Dewantara terhadap Pancasila yang ditulis pada tahun 1948. Ki Hajar Dewantara mendeskripsikan Pancasila sebagai keluhuran sifat hidup manusia.131

3.4 CATATAN KRITIS

Pendidikan selama masa penjajahan dapat dipetakan ke dalam tiga periode besar, yaitu pada masa VOC, masa pemerintahan Hindia Belanda dan masa pemerintahan Jepang. Politik pendidikan kaum penjajah erat hubungannya dengan suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa. Dampaknya segala bentuk keberlangsungan sistem pendidikan sangat berkaitan erat dengan segala kebijakan dari masing-masing rezim. Secara umum sistem pendidikan khususnya persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan sosial yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu.

Perlawanan yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara dan kawan-kawan, memberikan sebuah harapan baru bagi pendidikan di Indonesia. Ki Hadjar

130Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan Dasar-Dasar Taman Siswa, dalam Buku Peringatan Taman Siswa 30 Tahun, op. cit., hlm. 58. 131Ibid., hlm. 59.

59

Dewantara memandang bahwa pendidikan Nasional tidak dapat dipisahkan dari keadaan ataupun kondisi masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus beralaskan garis hidup dari bangsanya. Hal ini bertujuan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya. Melalui konsep, asas-asas dan metode pendidikan di atas, Ki Hadjar Dewantara yakin bahwa rakyat yang merdeka dalam arti yang sebenar-benarnya akan menjadi kenyataan di Indonesia. Kemerdekaan yang dimaksudkan di sini adalah ketika seorang anak hidup dalam kesadaran bahwa dirinya sebagai pribadi hidup mandiri, memiliki kebebasan dan hak-hak dasar yang patut dihargai. Artinya, lahirnya tiada diperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendiri.

Kita dapat menangkap pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan, yakni upaya konkret untuk memerdekakan manusia secara utuh dan penuh. Baginya, pendidikan adalah pintu masuk menuju kemerdekaan lahiriah dan batiniah manusia, baik sebagai makhluk individual maupun sebagai anggota masyarakat dan warga dunia. Dengan demikian, pendidikan menjadi wadah untuk membangun otonomi intelektual, otonomi eksistensial dan otonomi sosial. Pendidikan adalah cara untuk sampai pada kesadaran akan pentingnya memiliki ketiga otonomi diri di atas. Dengan demikian, kemerdekaan badaniah dan batiniah yang dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara adalah keadaan dimana manusia di Indonesia mampu menegaskan secara serentak otonomi eksistensi dirinya sebagai warga Indonesia dan warga dunia. Pendidikan menghantar seseorang memiliki otonomi diri secara utuh dan penuh dalam wilayah kognisi, afeksi, spiritual dan sosial. Sehingga eksistensinya mampu berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang laindan dapat mengatur dirinya sendiri.

Pendidikan di Indonesia saat ini telah mengalami kemerosotan nilai moral. Pendidikan yang hanya menekan pada tingkat intelektualitas, pendidikan yang tanpa memberikan ruang kebebasan untuk berpikir kritis bagi peserta didik dan kemerosotan dalam pembentukan karakter peserta didik. Oleh sebab itu pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara perlu diejawantahkan. Hal itu disebabkan

60 pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara sangat mempunyai relevansi terhadap pendidikan karakter. Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara harus diejawantahkan demi menjawab problematika pendidikan dalam membentuk manusia Indonesia yang lebih baik. Hal ini perlu diperhatikan dan direnungi baik pemerintah maupun praksis pendidikan saat ini. Maka dalam bab selanjutnya kita akan sama-sama melihat tantangan dan relevansi pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam perkembangan pendidikan saat ini.

61

BAB IV

RELEVANSI PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA UNTUK MENYIKAPI PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI INDONESIA SAAT INI

Pendidikan memegang peranan penting dalam memajukan suatu bangsa. Sejak zaman perjuangan kemerdekaan, para pejuang serta perintis kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat vital dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan dijadikan media untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa. Salah satu tokoh yang mempunyai peran dalam pendidikan yaitu Ki Hadjar Dewantara.

Pada Bab ini, penulis ingin menjelaskan relevansi pendidikan Ki Hadjar Dewantara terhadap pendidikan di Indonesia. Namun sebelum itu, penulis akan memberikan gambaran singkat mengenai pendidikan dari zaman kemerdekaan hingga saat ini. Penulis juga akan melihat problematika pendidikan Indonesia saat ini dan mengaitkan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam mengatasi problematika tersebut. Penulis yakin bahwa konsep pendidikan yang dibangun oleh Ki Hadjar Dewantara saat itu masih mempunyai relevansi yang besar untuk mengatasi krisis pendidikan saat ini. Penulis tidak memaparkan secara terperinci mengenai problematika saat ini, melainkan mengambil beberapa problematika yang ada untuk dikaitkan dengan konsep pendidikan Ki hadjar Dewantara.

4.1 POTRET SINGKAT PENDIDIKAN DI INDONESIA

Pendidikan selalu berubah dari zaman ke zaman.Arah dan tujuan pendidikan pun selalu disesuaikan dengan faktor kepemimpinan. Pada kesempatan ini penulis akan memberikan gambaran singkat mengenai potret pendidikan dari zaman kemerdekaan hingga saat ini.

62

4.1.1 Pendidikan Masa Awal Kemerdekaan

Pada masa awal kemerdekaan, penduduk Indonesia masih dalam suasana yang diliputi oleh perang ataupun revolusi fisik. Pada tahun 1950, pemerintah Indonesia baru mulai membenahi pendidikannya dalam situasi yang lebih tentram. Perkembangan pendidikan pada masa awal kemerdekaan lebih berfokus pada upaya pengembangan kebijakan nasional yang berlangsung sejak tahun 1945- 1950. Pada masa ini, pemerintah Indonesia disibukkan dengan berbagai perubahan dalam sektor-sektor kehidupan bangsa, termasuk juga dalam sektor pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa yang merdeka.132 Perubahan utama yang terjadi yaitu dalam hal landasan utamanya, tujuan pendidikan, sistem persekolahan, dan kesempatan belajar bagi rakyat Indonesia.

Landasan utama yang dipakai untuk mengembalikan pendidikan di Indonesia yaitu Pancasila. Hal ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yang menetapkan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia. Keduanya (Pancasila dan UUD 1945) merupakan Ideologi paling kuat yang menjiwai semangat perjuangan rakyat menuju kemerdekaan.133 Pendidikan yang dicanangkan berupaya mengembangkan semangat bagi setiap murid yaitu dengan mengadakan pembaharuan metode yang berlaku di sekolah-sekolah sesuai sistem. Sebagai konsekuensi perubahan sistem, kurikulum pada semua tingkat pendidikan mengalami perubahan. Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan” artinya rencana pembelajaran.134 Penekanan utama dalam sistem kurikulum rencana pelajaran bukan pada pikiran melainkan pada watak. Hal ini sejalan dengan konsep pembangunan karakter bangsa yang dicanangkan oleh Soekarno, yaitu “berkepribadian di bidang kebudayaan”.135 Pemerintah juga berupaya

132Sarino Mangunpranoto, Pendidikan Sebagai Sistem Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), hlm. 122. 133Marcel M. Lintong, Gagasan-Gagasan Pendidikan Kontemporer (Pemberdayaan Mutu Pendidikan di Indonesia) (Yogyakarta: Cahaya Pineleng, 2011), hlm. 52. 134Ary Gunawan, op. cit., hlm. 48. 135 Fatchul Mu’in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik & Praktik (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 95.

63 mengembangkan wajib belajar paling lama 10 tahun. Hal ini terbukti dengan perhatian secara istimewa oleh pemerintah dalam pengajaran di bidang ekonomi dan olahraga serta penetapan kebijakan sekolah gratis bagi Sekolah Rendah. Pemerintah juga memperhatikan aturan pembayaran dan tunjangan bagi sekolah menengah serta perguruan tinggi agar hal tersebut tidak menjadi halangan bagi pelajar-pelajar yang kurang mampu.136

Pendidikan pada masa awal kemerdekaan secara umum berfokus dan bertujuan pada pencerdasan dan peningkatan kualitas serta kemampuan anak bangsa. Pendidikan nasional berupaya untuk membentuk masyarakat yang demokratis.137 Menyangkut hal ini, H.A.R. Tilaar berkata:

“Membangun masyarakat demokratis Indonesia tentu menghadapi tantangan. Pertama-tama menghilangkan sisa-sisa pola kehidupan tradisional yang feodalistik dan cenderung ke arah totalitarisme. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat Indonesia modern meminta sikap dan tanggung jawab dari setiap insan Indonesia yaitu kesadaran akan manfaat bersama dan adanya suatu keinginan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang bersatu, terlepas dari kecurigaan serta prasangka-prasangka negatif, apalagi di dalam masyarakat yang plural.”138

Namun perkembangan pendidikan berjalan agak lamban karena keterbatasan sumber daya (dana, tenaga dan sarana). Ditambah lagi kondisi politik saat itu yang kurang stabil, terutama berkaitan dengan politik internasional, di mana Belanda ingin kembali menjajah bangsa Indonesia. Semua elemen bangsa turut terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mulai dari para pemimpin bangsa, para guru, hingga para pelajar. Hal ini dikatakan secara tegas oleh Mangunpranoto dalam buku Pendidikan Sebagai Sistem Perjuangan Kemerdekaan Indonesia:139

“Tidak ketinggalan adanya unsur pemuda, wanita, buruh dan tani serempak maju ke medan perang. Mahasiswa dan pelajar banyak yang menggabungkan diri dengan wadah “TRIP” (Tentara Pelajar Indonesia). Aksi gerakan mewujudkan persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia dari

136 Muhammad Rifa’i, op. cit., hlm. 124. 137Ibid., hlm. 149. 138H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme (Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional) (Jakarta: Grasindo: 2004), hlm. 99-100. 139Sarino Mangunpranoto, op. cit., hlm. 125.

64

Sabang sampai Merauke yang menghasilkan buah kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia hingga kini.”

Situasi ini sangat mengganggu proses pendidikan yang sedang berlangsung, apalagi fasilitas sekolah dijadikan sebagai tempat perlindungan perang. Hal ini berdampak pada kurangnya sarana dan prasarana dalam proses pembelajaran. Semangat yang semestinya dapat dimobilisasi untuk membangun pendidikan yang lebih baik, ternyata tidak seimbang.Salah satu akibatnya adalah secara perlahan-lahan masyarakat mulai terbiasa dan dibiasakan dengan pendidikan yang serba salah.Asal berjalan, asal ada guru, asal ada sekolah dan tanpa disertai komitmen terhadap mutu.

4.1.2 Pendidikan Masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama)

Secara kuantitatif pendidikan di Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama) mengalami perkembangan yang cukup baik. Soekarno memberikan kebebasan terhadap pendidikan. Pemerintah yang berasaskan sosialisme menjadi sebuah rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan masa mendatang. Prinsip dasar konsep sosialisme dalam pendidikan yaitu memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kedudukan sosial.140

Pada masa ini Indonesia mampu mengekspor guru ke negara tetangga.Banyak juga pelajar yang diutus ke luar negeri dengan tujuan kelak dapat kembali ke tanah air untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Pada era ini juga penekanan terhadap pembangunan masyarakat yang sama di hadapan hukum tanpa pembedaan suku, agama dan ras. Setiap orang diberi kesempatan belajar yang seluas-luasnya untuk menekuni dunia pendidikan. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pendidikan di masa ini

140Moh. Yamin, op. cit., hlm. 87.

65 merupakan sebuah surga yang mampu membuka paradigma kebebasan yang luar biasa.141

Demi meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah memberikan kebebasan kepada masing-masing daerah untuk mengembangkan pola pendidikan yang dapat mendorong terwujudnya pembangunan nasional. Strategi yang diambil pemerintah yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi, menuntut setiap guru untuk mengajar dengan prinsip sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, dan tidak melihat dari sisi materi semata. Hal ini bertujuan supaya para siswa dan guru sama-sama dituntut untuk menerapkan disiplin tinggi tanpa harus meninggalkan kualitas hasil didikan yang bermutu.142 Pendidikan sungguh dijadikan sebagai alat untuk mengubah wajah bangsa. Pemerintah orde lama menunjukkan sebuah keseriusan yang tinggi dalam memajukan bangsa Indonesia melalui pendidikan.

Namun secara kuantitatif pendidikan bangsa Indonesia pada saat itu mengalami kemandekan. Hal ini disebabkan adanya konflik-konflik atau pertentangan ideologi, yang menempatkan persekolahan sebagai wahana ideologisasi dan proses internalisasi sosialis-komunisme. Kurikulum pendidikan tidak lepas dari campur tangan politisi, terutama pendidikan agama dan pendidikan moral atau budi pekerti. Pendidikan moral dan pendidikan agama sebagai ladang hegemoni akibat dampak memanasnya perang Dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur. Di lingkungan Departemen P & K, pertentangan politik menjadi sedemikian memanas yang mencapai klimaks dengan pemecatan 27 pejabat senior Departemen. Pemecatan ini terjadi pada tahun 1964 oleh Menteri P & K, Prof. Dr. Prijono.143

4.1.3 Pendidikan Masa Orde Baru

Orde baru berlangsung dari tahun 1968-1998, dan sering dikatakan sebagai era pembangunan naional, termasuk dalam dunia pendidikan. Pendidikan pada masa Orde Baru pada awalnya berjalan cukup menggembirakan. Hal ini dikarenakan adanya kenaikan harga minyak bumi mulai tahun 1973 sehingga

141Ibid., hlm. 89. 142Ibid., hlm. 91. 143Dedi Supriadi (Ed), op. cit., hlm. 17.

66 dapat membantu dalam proses pembiayaan pendidikan di Indonesia.144 Pada tahun 1970-an dibangun puluhan ribu gedung Sekolah Dasar (SD) dan pada tahun 1980-an didirikan juga Universitas Terbuka. Pembangunan yang begitu besar dikarenakan jumlah dana untuk pendidikan waktu itu cukup berlimpah. Pada saat itu Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI yaitu rasio antara jumlah seluruh siswa dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun mencapai 80%. Hanya beberapa tahun kemudian, statistik pendidikan mencatat bahwa APK SD/MI melampaui 100%.145

Tujuan utama yang mau dicapai dalam pendidikan nasional pada masa Orde Baru yaitu membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan- ketentuan yang telah yang telah dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945. Pembentukan manusia Pancasila sejati ini bertujuan untuk mengubah mental masyarakat yang penuh dengan doktrin-doktrin Manipol USDEK (Manifestasi Politik-UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) sejak zaman Orde Lama.146

Namun dalam perkembangannya, pembangunan dalam dunia pendidikan masa Orde Baru mengalami sejumlah kegagalan. Pendidikan bukan bertujuan untuk menghasilkan manusia Pancasila sejati, tetapi justru membodohi masyarakat dengan sejuta pembangunan palsu yang hanya berusaha untuk mengokohkan suatu kekuasaan tertentu. Pendidikan pada masa Orde Baru dijadikan sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan. Hasil ujian nasional mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi dimanipulasi. Ijazah dipalsukan demi meraih kelulusan dan mendapat popularitas tertinggi di sekolahnya. Muncullah perguruan tinggi swasta yang kemudian mengakibatkan mutu pendidikan perguruan tinggi pendidikan menjadi menurun. Kehidupan sekolah mengalami erosi disiplin, baik disebabkan oleh pendidik maupun dari peserta didik sendiri.147 Tujuan utama mereka hanyalah mengeruk keuntungan ekonomis. Pendidikan masa Orde Baru yang betujuan

144Giroux M. Beeby, Ideology, Culture and The Process of Schooling (London: Falmer Press, 1981), hlm. 57. 145Dedi Supriadi (Ed), loc. cit. 146Muhammad Rifa’i, op. cit., hlm. 176-177. 147H.A.R Tilaar, Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 87.

67 untuk mencerdaskan dan mencerahkan itu sesungguhnya hanyalah rekayasa belaka demi sebuah pencitraan diri.

Pengaruh lain yang lebih buruk yaitu pemerintah menggelar ideologi penyeragaman sehingga perkembangan pendidikan pun menjadi terhambat. Semua hal diseragamkan mulai dari cara berpakaian, kurikulum, metode mengajar, hingga cara berpikir. Pendidikan yang berlaku waktu itu hanya menghasilkan peserta didik yang setelah lulus harus berpartisipasi bagi kemajuan ekonomi pembangunan bangsa yang sudah ditafsirkan pemerintah.148

Mengenai potret pendidikan yang sungguh menyedihkan ini, H.A.R Tilaar sebagaimana dikutip oleh Rifa’I, mengemukakan 3 ciri utama yang menghambat proses pendidikan pada masa Orde Baru, yaitu pendidikan nasional yang kaku dan sentralis, praktik KKN membudaya dalam Sistem Pendidikan Nasional, dan sistem pendidikan yang tidak berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.149 Pertama, sistem pendidikan nasional yang kaku dan sentralistis.Dikatakan kaku karena sistem pendidikannya berada di bawah pengaruh satu tangan yang berkuasa sehingga semuanya terpaku pada otoritas yang berkuasa. Sedangkan sistem pendidikan yang sentralis maksudnya adanya birokrasi yang ketat agar mudah disetir dari satu tangan. Kedua, praktik KKN membudaya dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan yang telah terperangkap dengan pekerjaan “asal jadi” atau ”asal bapak senang (ABS)” sehingga tidak heran jika tujuan dan cita-cita luhur pendidikan mengalami hambatan karena keterbatasan akan sumber dana. Ketiga, sistem pendidikan yang tidak berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Masyarakat diperbodoh melalui nilai-nilai ujian yang sudah dimanipulasi sehingga orang tidak perlu berjuang untuk mendapatkan hasil yang baik karena semuanya sudah diatur dari sistem yang ada.

Tetapi begitu terjadinya peristiwa “Lengser Keprabon” angka-angka yang prestisius tersebut serta julukan mitos-mitos tentang Indonesia sebagai The Asian Economic Tigers menjadi sirna dengan sendirinya. Tidak satupun citra yang

148 Muhammad Rifa’i, op. cit., hlm. 200. 149Ibid., hlm. 253-255.

68 selama puluhan tahun ditonjolkan dan sudah terlanjur dipercaya mampu bertahan. Meskipun berbagai publikasi badan-badan internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan UNESCO pada kurun waktu tersebut cenderung memuji keberhasilan perkembangan pendidikan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan penghargaan “Medali Avicena” yang diberikan UNESCO kepada presiden Suharto pada bulan Juni 1993. Presiden Suharto dinilai telah berhasil mewujudkan pendidikan dasar universal.150

4.1.4 Pendidikan Masa Reformasi

Pada era reformasi, semangat serba anti Orde Baru begitu menggelora. Targetnya adalah sistem pendidikan yang meliputi semua aspek dari sistem pendidikan nasional yang ada. Misalnya aturan PP No. 25/2000 menetapkan bahwa sekitar 80% dari jenis-jenis urusan pendidikan yang sebelumnya ditangani oleh pemerintah pusat dan provinsi akhirnya diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota dalam kerangka otonomi daerah yang secara resmi mulai berlaku sejak tahun 2001. Secara nasional dari tahun 1997-2000 saja untuk seluruh tingkatan, dari SD ke SLTP sampai SMA, rata-rata 5%.Pemerintah memang mengupayakan sektor pendidikan ini agar tidak terbengkalai, namun tiap tahun rata-rata 12% dalam masa krisis. Diadakan pula program nasional bernama JPS maupun BOS untuk mereka yang tidak mampu.

Untuk era reformasi, penulis membatasi diri untuk mengelaborasi perkembangan pendidikan di Indonesia khusus untuk kurun waktu 10 tahun terakhir. Pendidikan di Indonesia dalam era reformasi mengalami kemajuan karena pada era ini terjadi independensi dan otonomi sekolah. Sekolah tidak lagi diberdayakan dan diselenggarakan dari atas (pemerintah pusat), tetapi diberdayakan secara langsung oleh pemerintah kabupaten/kota. Selain itu pada fase ini juga sudah terdapat kebebasan berpikir dan berpendapat dalam dunia pendidikan, hal mana tidak pernah ditemukan pada fase pendidikan di era ORBA. Sudah terdapat literasi dan referensi-referensi kritis yang diperbolehkan untuk menjadi bahan ajaran dan bacaan bagi para guru dan siswa.

150Parakitri T. Simbolon, Indonesia Memasuki Milenium Ketiga dalam 1000 Tahun Nusantara (Jakarta: Penerbit Kompas, 2000), hlm. 2.

69

Terlepas dari aspek dan dampak positif di atas mesti diakui juga bahwa pada masa ini juga terdapat kekuarangan. Hal ini tercermin dalam dunia pendidikan nasional yang menjadi alat subordinasi dari kekuatan-kekuatan politik. Dunia pendidikan dijadikan sebagai media untuk mengindoktrinasi nilai-nilai ekslusif demi mempertahankan status quo penguasa. Hal ini berarti pendidikan telah dimasukkan di dalam kancah perebutan kekuasaan oleh partai-partai politik. Pendidikan bukan lagi membangun manusia Indonesia seutuhnya, tetapi untuk membangun kekuatan dari partai politik praktis tertentu untuk kepentingan golongan atau pun kelompok sendiri.151

Pendidikan juga mengalami krisis nilai. Pendidikan hanya menghasilkan output-output atau lulusan yang pintar secara kognitif, tetapi kering dari nilai-nilai kemanusiaan dan sosial dalam penerapannya. Pemerataan akses pendidikan hanya sebuah mitos dan tidak bisa dinikmati oleh seluruh anak bangsa. Kenyataan yang terjadi pada anak-anak miskin tetap mengalami kesulitan untuk menikmati pendidikan walaupun berprestasi. Teriakan mahasiswa terhadap oknum-oknum kapitalisme pendidikan hanyalah sebatas pada kesepakatan semata. Janji politik untuk membuka akses pendidikan secara merata tidak terealisasikan.152

Lunturnya nilai moral dalam kultur masyarakat juga merupakan dampak pendidikan saat ini. Hal itu dapat dilihat dari bentuk-bentuk aksi negatif seperti maraknya mentalitas korupsi dengan berbagai bentuknya, penyalah-gunaan kekuasaan, dan lunturnya solidaritas sosial. Dampak lainnya yaitu meningkatnya semangat primordialisme yang mendasarkan diri pada suku, etnis, maupun paham agama dapat mengakibatkan konflik dan keutuhan bangsa semakin terancam. Oleh karena itu, meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkat, namun angka kriminalitas juga terus meningkat. Sehingga menyulitkan pengembangan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan nilai-nilai sosial dan humanisme bagi setiap individu.153

151 H.A.R. Tilaar, Standar Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 14. 152Moh.Yamin, op. cit., hlm. 133. 153Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: PT Grasindo, 2007), hlm. 224.

70

4.2 PROBLEMATIKA DALAM DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA

Problematika pendidikan nasional hari ini sangatlah kompleks. Kompleksitas ini merupakan efek dari berkembangnya kehidupan yang mengglobal. Oleh karena itu dalam memetakan problematika perlu dilihat dari sudut pandang seberapa penting masalah tersebut dan dalam batasan apa kita melihat problematika dalam realitas pendidikan. Penulis akan menjelaskan beberapa problematika dalam bidang pendidikan di Indonesia saat ini.

4.2.1 Merajalelanya Krisis Moral Yang Melanda Masyarakat

Pendidikan di zaman ini lebih terfokus pada aspek kognitif saja dan mengabaikan aspek-aspek yang lain. Padahal kita tahu bahwa dalam pendidikan, bukan saja aspek kognitif yang diperhatikan, tetapi konsep dasar dalam penyusunan sistem pendidikan harus berangkat dari nilai-nilai moralitas. Hai itu dibuktikan oleh Sujarwo dalam ulasannya tentang pemberian peringkat terhadap anak yang beprestasi dalam bidang pengetahuan. Pemberian prestasi terhadap siswa yang besprestas dalam aspek kognitif membuktikan bahwa hanya pengetahuan yang menjadi perhatian utama dalam pendidikan.154 Sedangkan yang diperlukan dalam sebuah pendidikan itu bukan hanya aspek kognitif saja melainkan juga pembentukan karakternya. Jika konsep pendidikan dipisahkan dari pendidikan moral, maka akan berdampak pada proses pertumbuhan dan perkembangan kepribadian karena yang dihasilkan yaitu orang-orang yang hanya cerdas secara intelektual, tetapi miskin secara moral. Dampak dari sistem pendidikan seperti ini yaitu akan menghasilkan orang-orang atau pemimpin- pemimpin yang korup.155

Krisis moral dapat kita jumpai juga saat ini di kalangan anak sekolah. Salah satunya adalah fenomena tawuran antarpelajar yang sebab terjadinya sangat beragam, mulai dari saling ejek sampai pada saling berebutan pacar. Dan kadang- kadang tawuran yang terjadi menimbulkan korban jiwa.156 Bukan hanya

154 S. Sujarwo, Beberapa Aspek Pengembangan Sumber Belajar (Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa, 1988), hlm. 108. 155Syukurman, Sosiologi Pendidikan: Memahami Pendidikan Dari Aspek Multikulturalisme (Jakarta: Prenadamedia Group, 2020), hlm. 173. 156Ibid., hlm. 172.

71 kekerasan fisik yang kita jumpai.Namun ada kekerasan yang bersifat psikis. Kekerasan bersifat psikis maksudnya kekerasan yang berdampak pada psikis seseorang. Misalnya, guru mempermalukan siswa di depan umum atau guru melabeli siswa dengan label-label yang secara psikis membuat siswa merasa tertekan dan rendah diri seperti memberi label siswa bodoh. Di kota-kota besar sering terjadi coret-coret di tembok dengan kalimat yang tidak senonoh, tawuran massal antar-pelajar, ada geng-geng antarsekolah, para siswa terlibat dalam seks bebas, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan terlarang, pencurian, perampokan, bahkan terorisme. Apalagi persoalan sopan-santun telah lama hilang dari kehidupan mereka.157

4.2.2 Dehumanisasi Pendidikan

Permasalahan Pendidikan di Indonesia saat ini adalah bahaya manifestasi dari globalisasi. Permasalahan tersebut antara lain pendidikan yang hanya mementingkan kepentingan pasar dan kurangnya kualitas pendidikan sehingga tidak mampu bersaing dalam era globalisasi.158 Artinya bahaya manifestasi dari globalisasi terhadap pendidikan adalah tergerusnya identitas nasional. Jika tidak mampu diantisipasi dengan baik akan berbahaya bagi kebertahanan identitas nasional.

Dehumanisasi pendidikan berarti pendidikan yang berorientasi kepada intelektualitas atau aspek kognitif peserta didik, membuat pendidikan kehilangan moralitas dan kreativitas. Pendidikan seperti ini menghasilkan manusia yang terbiasa dengan menghafal. Proses dehumanisasi ini pada dasarnya bertentangan dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang aktif dan otonom. Dehumanisasi merupakan salah satu permasalahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan saat ini tidak lagi menghormati dan menghargai martabat manusia dan segala hak asasinya. Akibatnya, melalui proses pendidikan, peserta didik pun tidak tumbuh dalam kemanusiaannya sebagai subyek.

157Ibid., hlm. 172-173. 158Tim Kreatif LKM UNJ, Restorasi Pendidikan Indonesia; Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 21-64.

72

4.2.3 Pendidikan Hampa Kesadaran

Pendidikan nasional saat ini belum mampu menciptakan kesadaran kritis bagi siswa. Hal ini berpengaruh kepada sikap peserta didik yang pasif, apatis, individualis, dan kehilangan separuh jiwanya. Kesadaran yang dimaksudkan bukanlah kesadaran yang bersifat teoritis, namun elaborasi antara kesadaran teoritis dan praktis yang mampu mengejawantahkan kesadaran kritis. Pendidikan hampa kesadaran artinya pendidikan saat ini belum mampu menyadarkan siswa untuk sadar akan relitas sosial yang mengancam. Potret pendidikan nasional seperti ini hanya berfokus pada pencarian ijazah, tidak berorientasi kepada pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.159 Hal ini menyebabkan pendidikan kehilangan kesadaran. Sedangkan jika dilihat secara sosiologis faktor hampa kesadaran ini mempengaruhi tingkat kehidupan siswa dan masyarakat pada umumnya. Kehampaan kesadaran akan melahirkan orang yang pasif, apatis- individualistis, dan kehilangan separuh jiwanya.

Pendidikan hampa kesadaran juga terlihat dari proses pembentukan pengetahuan yang berjalan satu arah. Peserta didik hanya dijadikan sebagai pengguna informasi dan pengetahuan dari guru dan para ahli. Hal ini jelas berbahaya karena belum adanya kesadaran dalam diri para guru dan pendidik bahwa para siswa mampu memproduksi dan melihat pemikiran alternatif dari pengetahuan yang mereka dapat.

Selain itu dengan adanya sertifikasi, banyak guru justru memprioritaskan kenaikan upahnya di atas pekerjaan yang dijalankan.Terjadi pergeseran perilaku para guru dari tendensi untuk mengawetkan metode, teknik, dan materi pembelajarannya melalui rutinitas menuju pada tendensi untuk mengadministrasikan segala kegiatan belajar-mengajar.Sertifikasi guru yang awalnya berorientasi untuk peningkatan kualitas pendidikan sekaligus juga kualitas kesejahteraan para gurunya mengalami ketimpangan. Konsekuensi kenaikan gaji guru ternyata tidak selalu berdampak positif bagi pengembangan kualitas proses pendidikan.

159Ibid., hlm. 202.

73

Hal ini terlihat jelas ketika terjadi paradoks kecenderungan antara semakin besarnya anggaran pendidikan di satu sisi dan semakin merosotnya mutu pendidikan di sisi lain. Sebagai contoh pada APBN 2018, alokasi angaran pendidikan mencapai Rp. 444 triliun dan pada 2020 angka ini meningkat menjadi Rp 508 triliun. Di sisi lain ranking PISA Indonesia turun dari urutan ke-65 (2015) menjadi ke-72 (2018) di antara 77 negara karena skor kemampuan membaca, matematika, dan sains anak-anak Indonesia terus menurun. Data lain Bank Dunia melaporkan kualitas pendidikan Indonesia masih terendah di lingkup Asean, 55 persen anak usia 15 tahun secara fungsional buta huruf dibandingkan Vetnam yang kurang dari 10 persen. Bahkan berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia dinilai terbuurk di dunia dan yang terbaik adalah Finlandia dan Korea Selatan.160

4.2.4 Pendidikan Krisis Identitas

Seperti yang kita ketahui hantu globalisasi mengancam integritas nasional, terlebih dari sisi kebudayaan dan pendidikan. Menurut Martono, globalisasi telah menyebabkan perubahan tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat, termasuk mempengaruhi praktik pendidikan di berbagai negara.161 Hal ini mengakibatkan krisis identitas nasional yang lahir dari sinergitas kearifan lokal. Pendidikan di Indonesia sebagai akibat dari globalisasi lebih mengutamakan dan mengedepankan budaya atau pemikiran Barat yang belum tentu kompatibel dengan budaya bangsa dan masyarakat Indonesia yang beragam. Semangat kompetitif dan individualis yang mengedepankan keberhasilan pribadi sebagai yang khas Barat perlahan-lahan meresap dan masuk dalam cara berpikir, berkarya, dan bertindak semua elemen pendidikan di Indonesia. Sebenarnya jika mampu dikelola dengan baik, perkembangan globalisasi dan industrialisasi mampu menempatkan kebudayaan Indonesia di tingkat internasional. Namun melihat kondisi masyarakat saat ini, kelihatannya belum ada kesiap-sediaan dari sisi sumber daya manusia. Penulis pesimis masyarakat Indonesia mampu bertahan

160Hafid Abbas, “Rapor Merah Pendidikan”, Kompas, 20 Februari 2020, hlm. 6. 161Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern, dan Postkolonial (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2014), hlm. 284.

74 dalam cengkraman globalisasi jika pendidikan belum mampu mengakomodir kearifan lokal menjadi ujung tombak kebertahanan nasional.

4.3 PENTINGNYA PENDIDIKAN DEWANTARA DALAM UPAYA MENANGANI PENDIDIKAN DI INDONESIA

Pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan yang bukan hanya membuat orang hebat dalam aspek intelektual (kognitif), melainkan juga mempunyai hati yang baik. Setiap orang harus bebas dengan dirinya sendir tanpa dipengaruhi oleh pemikiran orang lain. Pada kesempatan ini penulis akan menguraikan relevansi pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam mengatasi problematika pendidikan saat ini.

4.3.1 Siswa Harus Memiliki Jiwa yang Merdeka

Konsep merdeka yang dimaksud Ki Hadjar Dewantara berarti bahwa hal itu merupakan karunia dari Tuhan. Manusia berhak untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat syarat tertib damai dalam hidup bermasyarakat.

Menurut Priyo Dwiarso, siswa harus memiliki jiwa merdeka, dalam arti merdeka lahir, batin serta tenaganya.162 Jiwa merdeka ini sangat diperlukan sepanjang zaman agar bangsa Indonesia tidak didikte negara lain. Sistem among melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik karena akan mematikan jiwa merdekanya, mematikan kreativitasnya.

Ki Hadjar Dewantara dalam praktik pendidikannya di Taman Siswa membahas pendidikan sebagai sebuah proses memerdekakan. Proses memerdekakan ini dimaknai sebagai yang eksistensial dan rensistensial. Kebebasan yang eksistensial adalah kebebasan yang pada hakikatnya terdiri dalam kemampuan menusia untuk menentukan dirinya sendiri, yang bersifat positif, sedangkan kebebasan yang resistensial adalah kebebasan yang timbul dari perlawanan terhadap suatu sistem yang ada, seperti keinginan untuk bebas dari penjajahan. Tujuan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah alat memerdekakan siswa, dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:

162Priyo Dwiarso, Napak Tilas Ajaran Ki Hadjar Dewantara (Ypgyakarta: Majelis Luhur Persatuan, 2010), hlm. 6.

75

“Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya sejak lahir, sedangkan hidup batin itu terdapat dari pendidikan. Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir batin atau tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar akan kekuatannya sendiri. Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggota dari persatuan (rakyat).”163

Berdasarkan kutipan di atas, proses memerdekakan manusia menurut Ki Hadjar Dewantara dimaknai sebagai kebebasan yang bersifat eksistensial. Ada tiga poin yang dapat kita ambil dari tujuan pendidikan sebagai alat memerdekakan siswa yaitu, berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri. Selain itu proses memerdekakan manusia oleh ki hadjar Dewantara dimaknai sebagai kebebasan yang bersifat resistensial. Konsepsi ini dikonstruksikan ketika Ki Hadjar Dewantara sedang dikungkung oleh kolonialisme. Ki Hadjar Dewantara pernah mengkritik proses pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda, proses pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda saat itu hanya mengedepankan intelektual. Sehingga pendidikan saat itu hanya menghasilkan pekerja murah bagi pabrik-pabrik milik Belanda. Proses pendidikan pada saat itu tidak bertujuan untuk menyadarkan siswa terhadap realitas sosial yang ada di sekitarnya. Kemudian Ki Hadjar Dewantara memanifestasikan pendidikan yang memerdekakan siswa dalam Taman Siswa dengan menanamkan nilai-nilai nasionalisme sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Kebebasan ini merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem yang ada.

Menurut Sularto, pendidikan dan pengajaran Ki Hadjar Dewantara dimaknai sebagai upaya sengaja dan terpadu dalam rangka memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia. Lebih lanjut pendidikan dipusatkan pada anak dengan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kreativitas.164 Misalnya anak diberi kebebasan dalam memilih program studi yang diminatinya. Dari pendidikan yang seperti inilah akan lahir siswa yang mandiri dan kreatif yang

163Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1977), hlm. 3. 164 Sularto, Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2016), hlm. 86.

76 mempunya jati diri yang kuat untuk dapat berjuang dan bertahan hidup di dalam masyarakat.

4.3.2 Siswa Sebagai Subjek Belajar

Pembelajaran yang ideal menurut Ki Hadjar Dewantara adalah menjadikan siswa sebagai subjek belajar. Siswa dijadikan subjek dalam belajar dengan tujuan membangun kesadarn kritis siswa untuk membentuk manusia yang merdeka.Siswa sebagai subjek belajar artinya mampu berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri.165 Pandangan ini membawa implikasi terhadap tujuan pendidikan yang memberi peluang dan kesempatan kepada siswa untuk aktif berkembang dan memperoleh keahlian. Oleh karena itu, proses pendidikan merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri yang terus menerus berlangsung. Dalam proses tersebut berlangsung proses psikologis (perubahan tingkah laku yang tertuju pada tingkah laku yang terencana dan bertujuan) dalam proses sosiologis perubahan adat istiadat, sikap, dan kebiasaan) yang tidak terpisahkan.166

Secara praktik pendidikan, posisi siswa yang menjadi obyek dalam pembelajaran menjadikan siswa agen pasif dalam proses pembelajaran. Guru menjadi satu-satunya sumber kebenaran dalam proses pembelajaran di kelas. Murid seperti gelas kosong yang akan diisi air sampai gelasnya penuh. Hal ini memengaruhi kesadaran siswa akan pentingnya pendidikan. Siswa akan menjadikan guru sebagai panutan yang benar, padahal dengan pemahaman seperti ini siswa menjadi tidak kreatif dalam proses pembelajaran.

Menurut Darmiyati pendidikan haruslah mendorong siswa untuk berpikir kritis dan kreatif dengan tujuan membangun kepekaan sosial ke dalam diri siswa.167 Lebih lanjut Freire menambahkan pembebasan merupakan hakekat dan tujuan dalam proses pembelajaran.168 Artinya pendidikan bukan hanya mentransfer

165Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, op. cit., hlm 4. 166Syukurman, op. cit., hlm 79. 167 Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan Yang Manusiawi (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 125. 168Paulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terj.Agung Prihantoro (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm ix.

77 ilmu pengetahuan, namun harus sampai kepada transformasi ilmu pengetahuan dengan tujuan membangun kesadaran kritis siswa.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, proses pendidikan haruslah siswa dijadikan sebagai subyek belajar. Artinya pendidikan haruslah mengembangkan kemerdekaan siswa dengan tujuan siswa mendapatkan kesadaran kritis dan kepekaan sosial. Lebih lanjut Ki Hadjar Dewantara menambahkan:

“Perkara pendidikan tiada pula dilupakan.Dan memang usaha kita adalah membentuk manusia yang merdeka segala-galanya; merdeka pikirannya, merdeka batinnya, dan merdeka pula tenaganya supaya bermanfaat bagi bangsa dan tanah air.”169

Pendidikan harusnya mengedepankan kemerdekaan berpikir peserta didik. Pendidikan bukanlah mengajarkan siswa untuk menghafal sehingga siswa tidak mengerti hakikat dan tujuan yang diajarkan oleh guru. Hal ini berakibat pada siswa menjadi pragmatis. Sekolah hanya dimaknai sebagai penggapaian suatu legitimasi yaitu ijazah. Jika pendidikan mengembalikan manusia menjadi subjek aktif yang otonom, maka akan dilahirkan siswa yang mandiri dan kreatif.

4.3.3 Cara Mengatasi Dehumanisasi Pendidikan dan Pendidikan Krisis Identitas

Secara makro praktik dehumanisasi pendidikan termanifestasi dalam Ujian Nasional. Menurut Winarno Surakhmad sebagaimana dikutip oleh Mujiati, pendidikan memang selalu diiringi dengan ujian sebagai indikator keberhasilan, namun ujian bukan proses tersendiri dalam proses pembelajaran.170 Artinya Ujian Nasional sebagai evaluasi final dalam proses pembelajaran formal di Indonesia. Hal ini berdampak pada orientasi belajar siswa yang hanya berfokus pada pencarian nilai setinggi-tingginya. Kelulusan siswa ditentukan dari aspek intelektual semata, tanpa memperhatikan proses pembelajaran siswa selama tiga tahun.

169Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, op. cit., hlm. 12-13. 170Hermanik Mujiati, “Quo Vadis Kebijakan Ujian Nasional”, dalam Sobri AR (ed.), Meneropong Realitas Kebijakan Pendidikan (Jakarta: Spektrum, 2008), hlm. 175-177.

78

Secara mikro praktik dehumanisasi pendidikan termanifestasi dalam proses pembelajaran dalam kelas. Menurut Alkhudri, proses dehumanisasi pendidikan terjadi karena penekanan pembelajaran yang cenderung pada pendekatan teoritis semata, bukan diajarkan bagaimana mempraktikan pemecahan dari suatu masalah.171 Lebih jauh penulis menambahkan bahwa penekanan menghafal dalam proses pembelajaran, ketimbang mengembangkan proses berpikir siswa menjadikan proses pembelajaran bersifat dogmatis ketimbang kritis sebab manusia yang terbiasa menghafal adalah manusia yang mekanis, sehingga menjauhkan diri pada proses pengembangan diri. Proses dehumanisasi ini pada dasarnya mencederai jati diri manusia yang bersifat aktif dan merdeka. Poin penting dalam permasalahan dehumanisasi pendidikan adalah pendidikan yang mengedepankan intelektualitas atau aspek kognitif pada siswa.

Sebelum problematika pendidikan ini hadir, Ki Hadjar Dewantara telah menarasikan terlebih dahulu bahwa manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, rasa dan karsa. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan kepribadian sebagai manusia. Lebih lanjut Ki Hadjar Dewantara sebagaimana diuraikan oleh Raharjo, menarasikan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Pendidikan adalah proses bagaimana siswa Ngerti (mengetahui), Ngerasa (memahami), dan Ngelakoni (melakukan).172 Artinya ada proses transformasi ilmu pengetahuan terhadap siswanya. Siswa tidak hanya tahu tentang ilmu yang diberikan, namun mampu memahami dan melakukan.

Secara konkrit Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan haruslah bermuara kepada keterampilan hidup. Dalam proses pembelajaran yang dinarasikannya, ia mengedepankan metode belajar sambil bekerja. Metode ini hadir sebagai bentuk respon terhadap praktik sekolah yang diselenggarakan oleh Belanda pada saat itu. Sekolah yang diselenggarakan oleh Belanda yang hanya

171 Ahmad Tarmiji Alkhudri, Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun: Menggapai Transformasi Sosio-Edukasi dan Kesadaran Humanis (Bogor: Edukati Press, 2011), hlm. 184. 172 Suparno Raharjo, op. cit., hlm. 63.

79 mementingkan inteletualitas, individualistis, dan materialistis. Sekolah tersebut hanya mampu menjadikan siswa ketika lulus nanti sebagai buruh pabrik yang dibayar murah.

Metode pembelajaran ini bertujuan agar siswa memiliki kemampuan. Metode ini bertujuan untuk memberi semangat bekerja kepada siswa dan dilakukan secara konkrit. Artinya metode pembelajaran ini bertujuan untuk menjadikan siswa siap secara batin dan lahir untuk hidup di masyarakat nanti. Selain itu metode ini bertujuan untuk mendekatkan anak-anak kepada alam pekerjaan dan membiasakan anak-anak untuk mengabdikan diri kepada masyarakat.

Problematika pendidikan berikutnya yaitu krisis identitas. Salah satu solusi menghadapi pendidikan yang krisis akan identitas adalah mengkonstruksikan nasionalisme melalui pendidikan. Nasionalisme muncul karena adanya internalisasi nilai-nilai nasionalisme dalam pendidikan. Di mana pendidikan tersebut membangkitkan kesadaran kritis untuk keluar dari kolonialisme. Semangat nasionalisme dalam konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara di era globalisasi ini yaitu melawan segala kebijakan yang menghilangkan identitas bangsa dan identitas manusia.

Secara konseptual, memang Ki hadjar Dewantara tidak merumuskan konsep nasionalisme secara sistematis. Namun konsep nasionalisme tersebut termanifestasi dalam dasar-dasar pendidikan yang dirancangnya. Ki Hadjar dewantara sebagai seorang tokoh pendidikan nasional tidak menolak terhadap perubahan-perubahan. Hal ini termanifestasi dalam Taman Siswa yang beberapa komponen pembelajarannya mengelaborasikan beberapa konsep pendidikan barat. Namun konsepsi pendidikan barat tidak ditiru secara menyeluruh, tetapi disesuikan dengan konteks kebudayaan di Indonesia.173

Asumsi dasar Ki Hadjar Dewantara dengan tidak menolak perubahan dan pembaharuan adalah teori trikon yaitu kontinu, konvergen, dan konsentris. Melalui dasar kontinu artinya kebudayaan yang kita rasakan hari ini adalah

173 Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan,op. cit., hlm. 126-127.

80 produk dari kebudayaan sebelumnya yang berkembang. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, yaitu usaha untuk memperbaiki dan mempertinggi derajat turunan seseorang dan bangsa dengan landasan kebudayaan yang bersifat kontinu. Kebudayaan nasional dijadikan sebagai dasar untuk berperilaku dan bermasyarakat supaya generasi selanjutnya tidak kehilangan identitas kebudayaan.

Dasar yang kedua adalah konsentris atau yang biasa disebut dengan dasar nasional.Konsentris yang dimaksudkan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah lingkaran-lingkaran besar kecil yang bersusun-susun dengan satu titik pusat, dimana orang duduk atau berdiri pada titik tersebut.174 Artinya adalah semua lingkaran yang bersusun-susun mempunyai satu titik pusatnya, tempat seseorang berdiri sebagai landasannya.Kebangsaan dan kemanusiaan harus menjadi dasar setelah alam diri dan keluarga. Hal ini dimaksudkan sebagai benteng dari pengaruh-pengaruh budaya luar yang merusak kebertahanan kebudayaan nasional.

Dasar ketiga adalah konvergensi atau yang biasa dikenal dengan dasar kemasyarakatan. Dasar kemasyarakatan yang dimaksudkan oleh ki Hadjar Dewantara adalah bagaimana hubungan taman siswa dengan masyarakat yang lebih luas.175 Artinya pendidikan taman siswa tidak menutup diri dari perubahan- perubahan sosial secara luas. Terlebih jika dilihat dalam konteks perkembangan pemikiran. Ki Hadjar Dewantara tidak tertutup dari perkembangan pemikiran- pemikiran barat dan tokoh lainnya. Pemikiran yang berasal dari luar disesuaikan oleh Ki Hadjar Dewantara dengan konteks sosial budaya yang didasari oleh dasar kontinu dan konsentris.

Teori trikon Ki Hadjar Dewantara dapat dijadikan sebagai dasar hidup bangsa dalam mengatur kehidupan politik, kehidupan ekonomi, dan kemasyarakatan. Terlebih dapat dijadikan dasar sebagai hubungan berbangsa dan bernegara secara internasional. Dalam konteks pendidikan dijadikan sebagai proses pembudayaan. Landasannya adalah dengan berpegang teguh pada kebudayaan nasional yang bersifat kontinu, dan dijadikan dasar secara konsentris

174Ibid 175Ibid., hlm. 118.

81 dengan menerima perubahan secara konvergen membuat seseorang maupun negara mampu berkembang secara progresif.

4.3.4 Guru Sebagai Teladan

Proses pendidikan dengan mengembangkan kemerdekaan siswa juga membutuhkan guru sebagai salah satu sumber belajar. Posisi guru sangatlah sentral, walaupun bukan hanya menjadi subyek dalam proses pembelajaran, melainkan siswa sendirilah. Bukan guru otoriterlah yang dapat mengembangkan kreativitas siswa. Tetapi guru yang mengayomi siswalah yang dapat mengembangkan kreativitas dan kemerdekaan siswa.

Sebagai proses mengembangkan kemerdekaan siswa, Ki Hadjar Dewantara sebagaimana dikutip oleh Suratman, menggunakan pendekatan among dengan tiga semboyannya. Tiga semboyan tersebut antara lain Ing ngarso sung tuludo, Guru di depan selalu menjadi teladan. Ing madyo mangun karso, guru di tengah anak didik membangun semangat. Tut wuri handayani, guru di belakang mendorong anak didik agar kreatif sambil mengarahkannya.176

Ki Hadjar Dewantara menjadikan posisi guru sebagai sentral.H.A.R Tilaar berpendapat bahwa sosok guru abad ke-21 adalah profesionalisme.177 Artinya bukan guru otoriterlah yang mampu mengembangkan kesadaran kritis dan kreativitas para siswa, melainkan guru yang mampu menjadi teladan, membangun semangat, dan mendorong siswa supaya lebih kreatif. Seharusnya potret guru seperti inilah yang mampu mempertahankan jati diri bangsa.

4.4 CATATAN KRITIS

Konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara masih memiliki relevansi dalam konteks pendidikan Indonesia saat ini. Relevansinya terlihat, baik dalam tingkat wacana maupun kenyataan secara kontekstual dengan pendidikan di Indonesia saat ini. Walaupun Ki Hadjar Dewantara hidup pada zaman pergerakan

176Ki Suratman, Tugas Kita Sebagai Pamong Taman siswa ( Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1987), hlm. 126. 177H.A.R Tilaar, Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2015), hlm. 133-136.

82 kemerdekaan sampai awal merdekanya Indonesia, wacana pendidikannya masih bisa menjawab problematika pendidikan saat ini.

Filsafat pendidikan progresif merupakan aliran pendidikan yang mendasari Ki Hadjar Dewantara dalam merumuskan wacana-wacana pendidikannya. Sebagai sebuah catatan kritis, tujuan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah alat untuk memerdekakan. Pendidikan yang dimaksud di sini adalah pendidikan yang mendidik siswa dengan mengembalikan semangat kemerdekaan, kebangsaan, dan kemanusiaan karena pada dasarnya manusia mempunyai kodrat sebagai individu yang aktif dan merdeka. Selanjutnya, pendidikan bukan semata-mata diarahkan bagi pembentukan aspek kognitif dan intelektual seseorang yang jauh dari aspek- aspek pragmatis dalam kehidupan. Namun pendidikan juga merupakan gejala konklusif yang lahir dari formasi masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Dengan demikian, pendidikan merupakan upaya untuk transformasi perilaku dan ilmu untuk perubahan sosial.

Selanjutnya, visi pendidikan masa mendatang Ki hadjar Dewantara merupakan jawaban atas problematika pendidikan saat ini. Visi pendidikan masa mendatang menurutnya adalah pendidikan yang mengembangkan kemerdekaan siswa. Artinya proses pendidikan yang memposisikan siswa sebagai obyek pasif dalam belajar menyalahi kodrat alam dari manusia yang bersifat aktif dan otonom. Hal ini menjadikan pendidikan hampa kesadaran. Sebagai proses mengembangkan kemerdekaan siswa, Ki Hadjar Dewantara menggunakan pendekatan among dengan tiga semboyannya. Tiga semboyan itu adalah Ing ngarso sung tuludo, guru di depan selalu menjadi teladan. Ing madyo mangun karso, guru di tengah anak didik, membangun semangat. Tut wuri handayani, guru di belakang mendorong anak didik agar kreatif sambil mengarahkannya.

83

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pendidikan memampukan manusia untuk melatih ketangkasan berpikir yang logis, kritis, serta membentuk pola tingkah laku yang baik. Proses pendidikan harus diarahkan pada upaya pengembangan daya kreasi dan imajinasi pelajar. Hemat penulis, salah satu pendidikan yang patut dan perlu untuk ditumbuhkembangkan adalah pendidikan holistik. Hakikat pendidikan holistik adalah proses pembentukan manusia muda menjadi insan yang berkembang secara baik yang meliputi olah rasio, olah rasa, olah jiwa, dan olah raga melalui proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan dilaksanakan dalam suasana keterbukaan, kebebasan dan menyenangkan. Dengan begitu, pendidikan mampu mencapai tujuan dasariahnya, yaitu membentuk pribadi utuh yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, sosial, moral dan memiliki daya juang yang tinggi.

Sebagai pemikir dan praktisi pendidikan, Ki Hadjar Dewantara merupakan sosok pejuang kemanusiaan di Indonesia. Ia berupaya membangun dan menyelenggarakan pendidikan untuk manusia di Indonesia. Konsep, landasan, semboyan dan metode yang ditampilkan Ki Hadjar Dewantara merupakan kekhasan kultural Indonesia. Semua perjuangan yang dilakukan Ki Hadjar Dewantara demi mewujudkan idealismenya, yakni membangun kesadaran manusia di Indonesia akan hak-haknya. Untuk itu pula, Ki Hadjar Dewantara sering berurusan dengan penegak hukum kolonial. Ia bahkan mengalami keluar masuk penjara, suatu pengalaman yang tidak lazim baginya pada zaman itu.

Pengalaman perjuangannya, baik di bidang politik, jurnalistik dan pendidikan, sama sekali tidak menyurutkan semangat juang Ki Hadjar Dewantara.

84

Bapak Pendidikan Nasional Indonesia itu justru terus membangun kesadaran eksistensial generasi Indonesia pada masanya. Perguruan Taman Siswa yang dia dirikan merupakan buah nyata perjuangannya dalam bidang pendidikan. Model pendidikan yang diterapkannya di Taman Siswa juga jelas berbeda dari model pendidikan para penjajah. Baginya pendidikan merupakan upaya membangun kesadaran eksistensial manusia.

Konsep, semboyan, metode dan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan Ki Hadjar Dewantara sungguh universal. Ki Hadjar Dewantara mencitrakan kondisi yang dirindukan oleh manusia pada umumnya, sebuah kondisi yang dirindukan dan sekaligus diupayakan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia di kemudian hari. Harapan-harapan yang sudah dibangun oleh pejuang kita terdahulu, justru berbanding terbalik dengan situasi dan kondisi saat ini. Bahkan pendidikan di Indonesia mengalami pasang surut. Pendidikan bukan mengarahkan setiap orang untuk merdeka terhadap dirinya sendiri, melainkan lebih fokus pada aspek intelektualitas yang mengarahkan orang untuk patuh pada prinsip yang sudah diturunkan dari atas.

Prinsip dasar dalam pendidikan adalah kebebasan. Kebebasan yang dimaksud yaitu bila peserta didik mengalami suasana cinta, kebahagiaan, keadilan, dan perdamaian. Suasana itu sendiri mesti tumbuh dalam diri mereka sendiri (dalam hati setiap orang). Suasana yang dibutuhkan dalam pendidikan adalah suasana kekeluargaan, kebaikan, empati, dan menghormati satu sama lain. Pendidikan harus membantu peserta didik untuk menjadi bebas dan merdeka secara fisik, mental, dan spiritual. Pendidikan seharusnya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual karena hal itu akan memisahkan sifat kemanusiaan itu sendiri. Pendidikan seharusnya memperkaya setiap individu tetapi tetap memperhatikan perbedaan yang berlaku di masing-masing individu. Pendidikan juga harus memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan diri sendiri dan menjadi pendorong dalam menyampaikan pendapat.

Ketika pendidikan direduksi maknanya menjadi sekedar aktivitas pengajaran yang hanya memberikan aksentuasi pada optimalisasi pengembangan kemampuan semata, maka akan ada banyak aspek yang diterlantarkan.

85

Pengabaian pada kemampuan emosionalitas, spiritualitas, sosialitas dan moralitas akan begitu nampak. Hal ini sangat kontradiktif dengan konsep pendidikan menurut Ki hadjar Dewantara, perintis Pendidikan Nasional Indonesia. Ki Hadjar Dewantara mengisyaratkan adanya metode pendidikan yang mengintegrasikan pengembangan potensi-potensi pelajar secara seimbang dalam aspek intelektualitas, emosional, spiritualitas, sosialitas dan moralitas.

Perjuangan Ki Hadjar Dewantara demi menciptakan suatu konsep pendidikan yang sangat ideal pada waktu itu cukup panjang. Ki Hadjar Dewantara harus melawan sistem yang sudah dibangun oleh pemerintahan kolonial. Semua ini dilakukannya demi memajukan pendidikan bangsa Indonesia saat itu dan mewujudkan idealisme terdalamnya, yakni membangun kesadaran manusia di Indonesia akan hak-haknya. Kapasitasnya sebagai seorang pemikir dan praktisi pendidikan, membuatnya layak disebut sebagai seorang pejuang kemanusiaan.

Ada tiga periode besar selama pendidikan masa penjajahan, yaitu pada masa VOC, masa pemerintahan Hindia Belanda dan masa pemerintahan Jepang. Pendidikan masa penjajahan sangat berkaitan erat dengan politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa. Hal ini berdampak pada keberlangsungan sistem pendidikan di Indonesia waktu itu, di mana sistem pendidikannya sangat bergantung pada kebijakan masing-masing rezim. Pendidikan pada masa itu juga pada umumnya berdasarkan lapisan sosial yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu. Hal ini berdampak pada tidak semua masyarakat Indonesia mempunyai hak untuk belajar. Masyarakat miskin (kaum proletar) hanya dijadikan sebagai pembantu pemerintahan kolonial, jika bersekolah pun hanya sebatas menjadi pekerja pemerintah kolonial.

Atau untuk konteks pendidikan di Indonesia saat ini di mana para siswa dididik hanya sekedar untuk menjawabi tuntutan pasar kerja. Hal ini terjadi karena dunia pendidikan hanya dijadikan sebagai mesin produksi tenaga kerja yang kompetitif dan laku di pasar kerja. Selain itu dengan adanya sertifikasi, banyak guru justru memprioritaskan kenaikan upahnya di atas pekerjaan yang dijalankan. Terjadi pergeseran perilaku para guru dari tendensi untuk mengawetkan metode,

86 teknik, dan materi pembelajarannya melalui rutinitas menuju pada tendensi untuk mengadministrasikan segala kegiatan belajar-mengajar.

Bertolak dari persoalan di atas, Ki Hadjar Dewantara mewariskan prinsip- prinsip penting bagi pendidikan nasional Indonesia saat ini. Bagi beliau, pendidikan tidak hanya mementingkan aspek intelektual, melainkan perlunya keseimbangan bagi pendidikan dewasa ini. Titik nadi pendidikan ada pada keseimbangan mengajar. Dampak penting yang dituju adalah menghasilkan manusia yang beradab dengan keseimbangan pada semua aspek, yaitu aspek intelektualitas, sosialitas, spritualitas dan moralitas. Pada titik ini, kehidupan pendidikan menjadi wadah dan fundamen bagi perilaku dan nalar berpikir siswa dan pendidik yang beradab sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Keseimbangan yang diejawantahkan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan membawa suatu cita rasa keadaban. Dengan ini, dasar pendidikan Indonesia dapat melebarkan sayapnya pada semua aspek kehidupan.

5.2 Saran

Pendidikan mencakup semua jenjang sekolah.Pendidikan memengaruhi semua aspek tingkah dan berpikir. Dengan demikian, dibutuhkan suatu saran membangun untuk keberhasilan pendidikan Indonesia dan jenjang sekolah sehingga menghasilkan mutu pendidikan yang baik. Hal ini tentu berdampak pada cita-cita bangsa Indonesia sendiri menghasilkan manusia yang beradab. Di sini, penulis memberikan beberapa saran bagi pembaca sebagai kerangka acuan memajukan pendidikan di Indonesia.

Pertama, bagi Lembaga Pendidikan Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero. Sebagai sebuah Lembaga Perguruan Tinggi diharapkan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero untuk tetap dan semakin menghasilkan alumnus yang beradab dan berdaya guna bagi Gereja dan Negara. Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero harus lebih mengasah mahasiswa seturut pendidikan holistik di mana semua aspek- bukan saja aspek intelek- melekat pada semua alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero.

87

Kedua, bagi semua pendidik (Guru dan Dosen). Sebagai pengajar atau pendidik, sebaiknya para guru dan dosen tidak hanya mengutamakan transfer ilmu melainkan juga mengasah, mengarahkan dan memberi teladan bagi mahasiswa. Di sini sebenarnya yang dituntut adalah adanya kesesuaian antara kata dan perbuatan. Pendidik harus menjadi subjek utama menanamkan pendidikan holistik agar menghasilkan manusia yang beradab.

Ketiga, bagi siswa dan mahasiswa. Sebagai subjek pendidikan, mahasiswa diharapkan untuk semakin mampu berpikir kritis dan bukannya sebatas mengadopsi pengetahuan orang lain. Siswa dan Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa sudah seharusnya tetap menjadi matahari yang menyinari pendidikan Indonesia dengan menanamkan di dalam diri mereka keseimbangan antara sikap, perilaku dan nalar.

Keempat, bagi kita semua. Pendidikan menjadi dasar menghasilkan manusia yang beradab. Semua orang dibutuhkan menjadi pendidik pola perilaku dan norma-norma yang baik di semua tempat dan dalam keadaan apapun. Dengan ini, semua sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk memanusiakan manusia beradab.

88

DAFTAR PUSTAKA

1. Ensiklopedia

Poerbakawatja dan H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung, 1982.

2. Buku

Afifuddin. Sejarah Pendidikan. Bandung: Prosfect, 2007.

Ahmed, Nazili Shaleh. Pendidikan dan Masyarakat. Yogyakarta: Sabda Media, 2011.

Alkhudri, Ahmad Tarmiji. Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun: Menggapai Transformasi Sosio-Edukasi dan Kesadaran Humanis. Bogor: Edukati Press, 2011.

Assegaf, Abd. Rachman. Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005.

Beeby. Giroux M. Ideology, Culture and The Process of Schooling. London: Falmer Press, 1981.

Dewantara, Bambang Sokawati. Ki Hadjar Dewantara: Ayahku. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989.

Dewantara, Ki Hadjar. Asas-asas dan Dasar-Dasar Taman Siswa, dalam Buku Peringatan Taman Siswa 30 Tahun. Yogyakarta: MLPTS, 1952

______. Azaz-azaz Dasar Taman Siswa. Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa, 1956.

______. Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan: kenang-kenangan Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Endang, 1952.

89

______. Karya Bagian I: Pendidikan. Yogyakarta: MLPTS, cet. IV, 2011.

______. Karya Bagian II: Kebudayaan. Yogyakarta: MLPTS, cet. IV, 2011.

Djumhur, I. dan H. Danasuparta. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu, 1976.

Dwiarso, Priyo. Napak Tilas Ajaran Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan, 2010.

Elson, R. E. The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2009.

Freire, Paulo. Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Gunawan, “Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah” Peringatan 70 Tahun Taman Siswa. Yoyakarta: MLPTS, 1992.

Gunawan, Ary H. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1995.

Harahap, Hah. dan Bambang Sokawati Dewantara. Ki Hadjar Dewantara dan Kawan-Kawan Ditangkap, Dipenjara, dan Diasingkan. Jakarta: Gunung Aguna, 1980.

Hidya, Thomas. Mencari Orientasi Pendidikan, Sebuah Perspektif Historis. Jakarta: 2004.

Irna dan H.N. Hadi Soewito. Soewardi Soeryaningrat dalam Pengasingan. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Jalaludin. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai, 1990.

Jebarus, Eduard. Sejarah Persekolahan di Flores. Maumere: Ledalero, 2008.

90

Kantrapawira, Rusdi. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1999.

Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid I. Jakarta: Gramedia, 1987.

Kartono, Kartini. Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Mandar Maju, 1990.

Kleden, Ignas. “Status Ilmiah Filsafat dan Tantangan Kontemporer”, dalam Paul Budi Kleden dan Otto Gusti Madung (eds.), Menukik Lebih Dalam, Kenangan 40 Tahun STFK Ledalero. Maumere: Penerbit Ledalero, 2009.

Koesoema, Doni. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT Grasindo, 2007.

Lintong, Marcel M. Gagasan-Gagasan Pendidikan Kontemporer (Pemberdayaan Mutu Pendidikan di Indonesia). Yogyakarta: Cahaya Pineleng, 2011.

Mangunpranoto, Sarino. Pendidikan Sebagai Sistem Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Idayu, 1978.

Mariam, Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Marihandono, Djoko (Ed). Perjuangan Ki Hadjar Dewantara: Dari Politik Ke Pendidikan. Jakara: Museum Kebangkitan Nasional, 2017.

Martono, Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern, dan Postkolonial. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2014.

Mu’in, Fatchul. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik & Praktik. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Mujiati, Hermanik. “Quo Vadis Kebijakan Ujian Nasional”, dalam Sobri AR (ed.). Meneropong Realitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Spektrum, 2008.

91

Mulaysana. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011.

Musfah, Jejen (Ed). Pendidikan Holistik Pendekatan Lintas Perspektif. Jakarta: Kencana, 2012.

Najamuddin. Perjalanan Pendidikan di Tanah Air. Bandung: Rineka Cipta, 2005.

Nasution, S. Sejarah Pendidikan Nasional. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Natususanto. Sejarah Indonesia Nasional V. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Rahardjo, Suparto. Biograf Singkat Ki. Hajar Dewantara, 1889-1959. Yogyakarta: Garasi, 2009.

Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 Cetakan ke-3. Jakarta: Serambi, 2007.

Rifa’I, Muhammad. Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Rubiyanto, Nanik dan Dany Haryanto. Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010.

Said, Muhammad dan Junimar Affan. Mendidik dari Zaman Ke Zaman. Bandung: Jemmars, 1987.

Samho, Bartolomeus. Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: Tantangan dan Relevansi. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Samsul, Nizar. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008.

Saptono, Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter. Jakarta: Erlangga, 2011.

Shiraishi, Takashi. The Age In Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. London: Comell University Press, 1990.

92

Simbolon, Parakitri T. Indonesia Memasuki Milenium Ketiga dalam 1000 Tahun Nusantara. Jakarta: Penerbit Kompas, 2000.

Soeratman, Darsiti. Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

Suhartono. Sejarah Pergerakan Nasional, 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.

Sujarwo, S. Beberapa Aspek Pengembangan Sumber Belajar. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa, 1988.

Sularto. Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2016.

Supriadi, Dedi (Ed). Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangan Sejak Zaman Kolonial hingga Era Refomasi. Jakarta: Depdikbud, 2003.

Suratman, Ki. Tugas Kita Sebagai Pamong Taman siswa. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1987.

Syukurman, Sosiologi Pendidikan: Memahami Pendidikan Dari Aspek Multikulturalisme. Jakarta: Prenadamedia Group, 2020.

Tauchid, M. Ki Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1968.

______. Tugas Taman Siswa dalam Pembangunan Masyarakat Baru. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1962.

______. Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1963.

Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme (Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional). Jakarta: Grasindo: 2004.

93

______. Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2015.

______. Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

______. Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995. Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1995.

______. Standar Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta, 2006.

Tim Kreatif LKM UNJ. Restorasi Pendidikan Indonesia; Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Toer, Pramoedya Ananta. Anak Semua Bangsa. Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002.

Tsuchiya, K. Democracy and Leadership: the Rise of the Taman Siswa. Movement in Indonesia. Honolulu: University of Hawai Press, 1987.

Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: CV Alfabeta, 2004.

Wal, SL der. Pendidikan di Indonesia 1900-1940. Jakarta: Depdikbud, 1977.

Yamin, Moh. Menggugat Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: AR. RUZZ MEDIA, 2009.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992.

Zuchdi, Darmiyati. Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan Yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: PT. Bumi Aksara, 2000.

Zuriah, Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara, 2007.

94

3. Jurnal dan Majalah

Suparlan, Henricus. “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia” Jurnal Filsafat, Vol 25, Nomor 1 (April 2014): 1-19.

Supratiknya, A. “Sistem Pendidikan Indonesia Saat ini dalam Psikologis” dalam majalah Ilmiah Widya Dharma, No. 2 Th. X, ISSN: 0853-0920, April 2000.

4. Koran

Abbas, Hafid. “Rapor Merah Pendidikan”, Kompas, 20 Februari 2020

95