LAPORAN PENELITIAN SISTEMATIS

HUBUNGAN NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL DALAM KEBIJAKAN REFORMA AGRARIA DAN PENYELESAIAN PERMASALAHAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN DI KABUPATEN SIGI

Oleh:

Sutaryono Tjahjo Arianto Ahmad Nashih Luthfi

SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL 2018

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Penelitian

Hubungan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Kebijakan Reforma Agraria dan Penyelesaian Permasalahan Tanah dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Sigi

Disusun oleh:

Sutaryono Tjahjo Arianto Ahmad Nashih Luthfi

Telah diseminarkan pada Seminar Hasil Penelitian pada tanggal ….November 2018 di hadapan Reviewer/Steering Committee

Mengetahui Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat

Dr. Julius Sembiring, S.H., M.P.A. NIP. 19640729 199103 100 8

2

PENGANTAR

Kegelisahan peneliti dalam mensikapi penyelesaian penguasaan tanah pada kawasan hutan di berbagai wilayah mendapatkan momentum yang tepat pada saat melakukan penelitian kebijakan reforma agraria dan perhutanan sosial di Kabupaten Sigi. Kebijakan pelaksanaan RAPS yang diinisiasi dan dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Sigi menunjukkan bahwa Negara harus hadir dan menjadi aktor utama dalam menjalankan agenda RAPS. Alhamdulillah laporan penelitian yang mengelaborasi gagasan tentang pentingnya berbagi peran antar pemangku kepentingan dalam menjalankan agenda RAPS ini dapat terselesaikan. Hasil dan rekomendasi yang disampaikan menunjukkan bahwa agenda RAPS harus dilaksanakan secara bersama-sama oleh seluruh pemangku kepentingan. Dalam kesempatan ini, terimakasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya disampaikan kepada Bupati Sigi beserta jajarannya, Ketua STPN dan Kepala PPPM beserta jajarannya, Kanwil BPN Provinsi Sulawesi Tengah dan Kantor Pertanahan Kabupaten Sigi, Camat Tanambulava, Kepala Desa Sibalaya Utara, Tim GTRA Kabupaten Sigi dan pihak-pihak yang telah membantu selama proses penelitian hingga terselesaikannya laporan ini. Akhir kata, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) guna perbaikan kebijakan dalam menjalankan agenda RAPS.

Yogyakarta, November 2018 Peneliti

3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1 HALAMAN PENGESAHAN 2 PENGANTAR 3 DAFTAR ISI 4 BAB I. PENDAHULUAN 5 A. Latarbelakang Masalah 5 B. Permasalahan Penelitian 9 C. Tujuan Penelitian 10 D. Manfaat Penelitian 10 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 11 A. Penyelesaian Permasalahan Tanah Dalam Kawasan Hutan 11 B. Kabijakan Sebagai Proses 13 C. RAPS sebagai “Struggle for Access” 14 D. Kelembagaan Lintas-Sektor Dan Multi-Level 15 E. “Strategi ” dalam Pelaksanaan Reforma Agraria 17

BAB III. METODE PENELITIAN 19 A. Format Penelitian 19 B. Lokasi Penelitian 19 C. Teknik Pengumpulan Data 20

BAB IV. KEBIJAKAN REFORMA AGRARIA DAN PENYELESAIAN PERMASALAHAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN DI KABUPATEN SIGI 21 A. Gagasan Reforma Agraria Di Kabupaten Sigi 21 B. Proses Pengusulan Data TORA dan Perhutanan Sosial 23 C. Kolaborasi antar Pemangku Kepentingan 26

BAB V. PENUTUP 35 A. Kesimpulan 35 B. Rekomendasi 35 DAFTAR PUSTAKA 36

4

BAB I PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah Babak baru reforma agraria dimulai dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden pada 2014. Nawacita memuat agenda reforma agraria dan strategi membangun dari pinggiran dimulai dari daerah dan desa. Dalam Sembilan Agenda Prioritas atau yang dikenal sebagai Nawacita, disebutkan pembenahan agraria berupa, “Menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat” (No. 4). Guna meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, dilakukan dengan cara “mendorong landreform dan program kepemilikan tanah 9 juta hektar” (No. 5). Penjabaran Nawacita salah satunya dilakukan melalui Peraturan Presiden No.45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017. Di dalam RKP 2017 ini, reforma agraria menjadi salah satu prioritas nasional yang dijalankan oleh pemerintah pusat hingga daerah, yakni: (1) Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria; (2) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria; (3) Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas Tanah Objek Reforma Agraria; (4) Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma Agraria; (5) Pengalokasian Sumber Daya Hutan untuk Dikelola oleh Masyarakat; serta (6) Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah.1 Program-program prioritas Pelaksanaan Reforma Agraria dilaksanakan oleh masing-masing Kementerian dan Lembaga Pemerintah maupun bekerjasama secara sinergis dan lintas-sektor, serta dikendalikan dan dikordinasikan oleh Kantor Staf Presiden bersama Kementerian Koordinator

1 Kantor Staf Kepresidenan, Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016 – 2019, Arahan dari Kantor Staf Presiden, , 28 April 2016, hlm 1. Selanjutnya untuk merujuk

5

Perekonomian. Pelaksanaan Reforma Agraria dikendalikan Kantor Staf Presiden (KSP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden. Pelaksanaan Reforma Agraria ini menyasar empat kategori tanah, yakni: (i) Tanah-tanah legalisasi aset yang menjadi objek dan sekaligus arena pertentangan klaim antara kelompok masyarakat dengan pihak perusahaan dan instansi pemerintah, dan tanah-tanah yang sudah dihaki masyarakat namun kepastian hukum nya belum diperoleh penyandang haknya; (ii) Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk diredistribusikan kepada kelompok masyarakat miskin pedesaan; (iii) Hutan negara yang dialokasikan untuk desa dan masyarakat desa melalui skema-skema hutan adat dan perhutanan sosial termasuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan sebagainya; dan (iv) Pengelolaan dan pengadaan lahan aset desa untuk diusahakan oleh rumah tangga petani miskin secara bersama.2 Sasaran reforma agraria selama 2 tahun (2014-2016) dijalankan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional adalah program redistribusi dan legalisasi (sampai dengan 31 Agustus 2016).3Dalam hal ini, Kementerian ATR/BPN menjabarkan tanah untuk reforma agraria berjumlah 9 juta hektar yang dibagi menjadi dua, yaitu legalisasi aset dan redistribusi tanah yang masing-masing 4,5 juta hektar.

dokumen ini, akan disebut dengan Strategi Nasional. 2 Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden 3Topik Khusus Reforma Agraria 2 Tahun Kerja Nyata Jokowi-JK https://kerjanyata.id/portfolio/ topik-khusus-reforma-agraria, diakses tanggal 23 Desember 2016.

6

Reforma Agraria (9 Juta Hektar)

Legalisasi Aset (4,5 Juta Hetar) Redistribusi Tanah (4,5 Juta Hektar)

Tanah Transmigrasi Legalisasi Aset HGU Habis dan Pelepasan

belum bersertifikat (4,5 Juta Tanah Terlantar Kawasan Hutan

(0,6 Juta Hektar) Hektar) (0,6 Juta Hektar) (4,1 Juta Hektar)

Gambar 1. Skema Pelaksanaan Reforma Agraria (2015)4

Legalisasi Aset 4,5 juta hetar, setengah dari program reforma agraria masih dipersoalkan oleh para pengiat agraria, karena dianggap tidak ada kaitannya dengan reforma agraria. Legalisasi aset merupakan bagian dari pendaftaran tanah yang sudah menjadi pekerjaan rutin birokrasi administrasi pertanahan untuk mewujudkan kepastian hukum bagi pemilikan tanah secara individual. Legalisasi asset berpontensi terkosentrasinya pemilikan tanah yang dapat menimbulkan ketimpangan kepemilikan dan penguasaa tanah. Dengan demikian, diperlukan “reformulasi ulang” konsepsi tentang reforma agraria. Redistribusi Tanah 4,5 juta hektar yang terbagi dari hak guna usaha (HGU) yang telah habis serta dari tanah-tanah yang ditelantarkan dan dari Pelepasan Kawasan Hutan. Untuk menyelesaikan kosentrasi aset dan mengurai persoalan-persoalan pokok diatas salah satunya adalah dengan menertibkan tanah- tanah yang ditelantarkan, untuk menciptakan perombakan struktur yang timpang, terutama dalam hal kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam khususnya tanah dan didayagunakan salah satunya dengan cara reforma agraria. Dalam konteks reforma agraria pada kawasan hutan, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH). Regulasi ini menjadikan agenda RA melalui skema pelepasan kawasan hutan ataupun melalui perubahan tata batas

7 kawasan hutan dapat dipercepat akselerasinya. Secara kelembagaan, Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) secara bertahap juga sudah dibentuk, baik GTRA Nasional, GTRA Pusat, maupun GTRA di daerah. Bahkan untuk mendukung pelaksanaan agenda reforma agrarian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah menerbitkan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pekerjaan Bidang Penataan Keagrariaan di Daerah Tahun 2018. Petunjuk teknis tersebut dimaksudkan sebagai pedoman bagi Kanwil BPN Provinsi, c.q, Kabid 3 Bidang Penataan Pertanahan dalam melaksanakan kegiatan penataan pertanahan terkait Gugus Tugas Reforma Agraria. Sedangkan tujuannya adalah untuk meningkatkan kinerja bidang Penataan Pertanahan yang menjadi tugas pembinaan dari Direktorat Jenderal Penataan Agraria. Disamping hal di atas, terkait agenda RA, salah satu rumusan dalam Rakernas Kementerian ATR/BPN Tahun 2018 tentang RA adalah melakukan koordinasi pelaksanaan Inventarisasi dan Verifikasi (Inver) P4T dalam rangka implementasi Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) dengan Pemerintah Provinsi dan BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan) setempat. Agenda ini juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari agenda RA secara keseluruhan. Bahkan agenda PPTKH menjadi prioritas pada tahun 2018, mengingat selama ini pemerintah belum memfokuskan pada kawasan hutan sebagai sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Pelaksanaan redistribusi tanah di luar kawasan hutan dari target 4,5 juta hektar (RPJMN 2015-2019), hingga saat ini baru terealisasi seluas 231.349 hektar (5,14%) yang terbagi menjadi 177.423 bidang tanah (Ditjend Penataan Agraria, 2018). Jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan capaian legalisasi asset. Dari target 3,9 juta hektar, sudah tercapai sekitar 1,79 juta hektar (46,03%). Lambatnya capaian agenda RA terjadi akibat pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) cenderung fokus pada tanah-tanah di luar kawasan hutan. Salah satu rumusan Rakernas Kementerian ATR/BPN Tahun 2018 menunjukkan hak tersebut, yakni:

4 Kantor Staf Presiden, ibid. hlm 10.

8

“Salah satu faktor penentu keberhasilan pelaksanaan Reforma Agraria adalah tersedianya TORA yang berasal dari klaster transmigrasi, HGU yang telah berakhir, tanah terlantar ataupun tanah Negara lainnya serta TORA yang berasal dari pelepasan kawasan hutan”. Obyek TORA dari pelepasan kawasan hutan merupakan klaster terakhir. Padahal, potensi TORA dari kawasan hutan dapat dilakukan melalui perubahan tata batas kawasan hutan ataupun pelepasan kawasan hutan, mengingat sebagian wilayah yang dikuasai masyarakat termasuk dalam kawasan hutan. Dalam konteks Kabupaten Sigi, sejak tahun 2016 agenda reforma agraria telah diinisiasi di wilayah ini. Bahkan hingga saat ini Kabupaten Sigi mengklaim diri sebagai kabupaten pertama yang secara resmi menjalankan kebijakan reforma agraria. Kantor Staf Presiden RI menyatakan bahwa kabupaten ini merupakan percontohan pelaksanaan reforma agraria di tingkat kabupaten. Diharapkan pelaksanaannya dapat direplikasi untuk daerah-daerah lain.

B. Permasalahan Penelitian Berdasarkan urgensitas serta kemajuan dalam proses kebijakan RAPS di Kabupaten Sigi tersebut, maka penelitian ini memfokuskan pada aspek pelembagaan kebijakan reforma agraria di Kabupaten Sigi. Kebijakan ini dijalankan secara kolaboratif antara kekuatan bottom up yakni pemerintah daerah dan Gugus Tugas Reforma Agraria yang berasal dari kalangan sipil, dengan kekuatan pemerintah pusat yang dikoordinasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan kementerian dan lembaga pelaksana lainnya yang terkait, serta Kantor Staf Presiden sebagai lembaga pengarahnya. Adapun permasalahan yang akan didalami adalah: 1. Bagaimana gagasan mengenai RAPS dapat menjadi salah satu agenda utama pemerintah daerah Kabupaten Sigi? 2. Bagaimana proses pengusulan data TORA dan PS yang yang disusun oleh Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten Sigi? 3. Bagaimana proses terjadinya kolaborasi antar unsur pemerintah dan masyarakat di tingkat kabupaten dalam melakukan penyelesaian tanah dalam kawasan hutan dan pelaksanaan reforma agraria ini?

9

C. Tujuan Penelitian 1. Mengelaborasi gagasan reforma agraria pada pemerintahan daerah sehingga menjadi agenda utama pembangunan daerah; 2. Menganalis proses pengusulan data TORA dan PS yang yang disusun oleh Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten Sigi; 3. Mengkaji proses terjadinya kolaborasi antar unsur pemerintah dan masyarakat di tingkat kabupaten dalam melakukan penyelesaian tanah dalam kawasan hutan dan pelaksanaan reforma agraria.

D. Manfaat Penelitian 1. Secara akademik, pembelajaran proses hubungan Negara dan masyarakat dalam pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten Sigi mengukuhkan bahwa strategi pelaksanaan reforma agraria harus dijalankan secara kolaboratif dan partisipatif; 2. Secara praksis, agenda reforma agraria yang dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Sigi dapat menjadi model pelaksanaan RA di wilayah-wilayah lainnya.

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyelesaian Permasalahan Tanah Dalam Kawasan Hutan Secara nasional kebijakan penyelesaian permasalahan tanah dalam kawasan hutan (PPTKH) sebagai bagian dari Reforma Agraria (RA) telah diatur dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH). Regulasi ini menjadikan agenda RA melalui perubahan tata batas kawasan hutan dapat dipercepat akselerasinya. Secara kelembagaan, Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) secara bertahap juga sudah dibentuk, baik GTRA Nasional, GTRA Pusat, maupun GTRA di daerah. Bahkan untuk mendukung pelaksanaan agenda reforma agrarian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah menerbitkan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pekerjaan Bidang Penataan Keagrariaan di Daerah Tahun 2018. Petunjuk teknis tersebut dimaksudkan sebagai pedoman bagi Kanwil BPN Provinsi, c.q, Kabid 3 Bidang Penataan Pertanahan dalam melaksanakan kegiatan penataan pertanahan terkait Gugus Tugas Reforma Agraria. Sedangkan tujuannya adalah untuk meningkatkan kinerja bidang Penataan Pertanahan yang menjadi tugas pembinaan dari Direktorat Jenderal Penataan Agraria. Disamping hal di atas, terkait agenda RA, salah satu rumusan dalam Rakernas Kementerian ATR/BPN Tahun 2018 tentang RA adalah melakukan koordinasi pelaksanaan Inventarisasi dan Verifikasi (Inver) P4T dalam rangka implementasi Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) dengan Pemerintah Provinsi dan BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan) setempat. Agenda ini juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari agenda RA secara keseluruhan. Bahkan agenda PPTKH menjadi prioritas pada tahun 2018, mengingat selama ini pemerintah belum memfokuskan pada kawasan hutan sebagai sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).

11

Pelaksanaan redistribusi tanah di luar kawasan hutan dari target 4,5 juta hektar (RPJMN 2015-2019), hingga saat ini baru terealisasi seluas 231.349 hektar (5,14%) yang terbagi menjadi 177.423 bidang tanah (Ditjend Penataan Agraria, 2018). Jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan capaian legalisasi asset. Dari target 3,9 juta hektar, sudah tercapai sekitar 1,79 juta hektar (46,03%). Lambatnya capaian agenda RA terjadi akibat pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) cenderung fokus pada tanah-tanah di luar kawasan hutan. Salah satu rumusan Rakernas Kementerian ATR/BPN Tahun 2018 menunjukkan hak tersebut, yakni: “Salah satu faktor penentu keberhasilan pelaksanaan Reforma Agraria adalah tersedianya TORA yang berasal dari klaster transmigrasi, HGU yang telah berakhir, tanah terlantar ataupun tanah Negara lainnya serta TORA yang berasal dari pelepasan kawasan hutan”. Obyek TORA dari pelepasan kawasan hutan merupakan klaster terakhir. Padahal, potensi TORA dari kawasan hutan dapat dilakukan melalui perubahan tata batas kawasan hutan ataupun pelepasan kawasan hutan, mengingat sebagian wilayah yang dikuasai masyarakat termasuk dalam kawasan hutan. Kementerian Kehutanan mencatat bahwa terdapat 25.863 desa dari 75 ribu desa di Indonesia yang berada di dalam kawasan hutan dan sekitar 50 juta petani yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan (Sirait, 2017). Berbagai bentuk penguasaan tanah di kawasan hutan antara lain; (a) Penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat; (b) Penguasaan tanah oleh desa; (c) Penguasaan tanah oleh perorangan baik dengan alas hak atau tidak ada alas hak; (d) penguasaan oleh badan hukum; (e) Penguasaan oleh badan sosial; (f) Penguasaan oleh badan pemerintahan (Safitri, 2014). Data tersebut menunjukkan bahwa potensi TORA yang berasal dari perubahan tata batas kawasan hutan menjadi sangat potensial untuk segera direalisasikan.

12

B. Kebijakan sebagai Proses Penelitian ini menekankan pada aspek pelembagaan kebijakan. Dalam literatur mengenai pelembagaan, penekanannya adalah pada proses pembentukan kebijakan. Kebijakan tidak dilihat secara linear dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasinya, namun kebijakan dilihat dalam proses pembentukannya (policy as policy-making). Peralihan cara pandang terhadap kebijakan dari semula “analisis tentang kebijakan” menuju “analisis tentang proses pembuatan kebijakan” mengajak melihat bagaimana isu yang nantinya menjadi kebijakan itu dinarasikan dan diwacanakan, aktor dan jaringan yang memengaruhi isu tersebut, dan kondisi politik serta kepentingan yang melingkupi isu tersebut. (Wolmer dan Scoones, 2005). Dalam konteks kebijakan ini, dicermati dan dielaborasi proses pembentukan kebijakan RAPS yang dihasilkan antar berbagai aktor mulai dari pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat sipil serta masyarakat di tingkat tapak. Sebagai sebuah proses, kebijakan agenda reforma agraria yang kemudian berkembang menjadi reforma agraria dan perhutanan sosial sangat dipengaruhi oleh beberapa aktor yang memiliki kapasitas dan kewenangan yang berbeda-beda. Pada aras nasional kebijakan reforma agraria secara politis sudah diperintahkan oleh Tap MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Berdasarkan ketetapan tersebut, Presiden dan Wakil Presiden menjabarkan melalui kebijakan politik yang berupa Nawacita. Secara teknokratis kebijakan dalam Nawacita dioperasionalkan melalui RPJMD Tahun 2014 – 2019. Pada aras lokal, Bupati merupakan aktor dominan yang sangat menentukan terformulasinya agenda reforma agraria menjadi program daerah. Dalam konteks Kabupaten Sigi, Bupati telah berkomitman memasukkan agenda reforma agraria ke dalam RPJMD Kabupaten Sigi Tahun 2016 – 2021. Hal-hal inilah yang menunjukkan bahwa kebijakan adalah sebuah proses yang sangat tergantung pada kebijakan politik aktor yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan kebijakan.

13

C. RAPS sebagai “Struggle for Access” Selanjutnya adalah aspek kolaborasi antar-aktor di dalam bingkai struggle for access. Hubungan antara lembaga pemerintah dan masyarakat dalam isu sumberdaya agraria (tanah dan hutan) selama ini bersifat saling menegasikan bahkan konfliktual. Masyarakat memperjuangkan haknya dengan cara melawan (struggle against) terhadap negara karena mempertahankan segala kekuatan yang mengurangi atau akan menghilangkan hak mereka. Namun, dalam mengusung kebijakan RAPS ini kedua aktor (masyarakat dan negara) sedang memperjuangkan hal yang sama dalam bingkai struggle for access yakni perjuangan untuk mendapatkan hak atas tanah dan pengelolaan kawasan hutan bagi rakyat, dan perjuangan dari negara untuk memenuhi itu. Konsep struggle for access (on land and forest) ini diturunkan dari konsep struggle for access yang biasanya digunakan dalam isu keadilan secara umum (Goldschmidt, J 2002). Tuntututannya dapat berupa akses (laki- laki dan perempuan) terhadap isu-isu publik seperti pendidikan, kesehatan, tanah, air, rumah, dan wilayah, dll. Perjuangan akses terhadap pendidikan seperti dinarasikan Kidder (2003). Kidder menggambarkan mengenai kesadaran ras yang berjuang menuntut affirmative action di suatu lembaga pendidikan, University of Michigan Law School, untuk memperluas pendidikan bagi Afro-Amerika. Tuntutan ini merupakan bagian dari tuntutan demokratisasi secara luas. Hill, H 1980 dalam Freedom to roam. The struggle for access to Britain's moors and mountains, menjelaskan mengenai sejarah gerakan perlawanan rakyat secara terbuka terhadap tuan-tanah dan politisi berupa tuntutan akses pada wilayah pegunungan, padang terbuka, ladang penggembalaan dan tanah-tanah yang tidak diolah/kosong di pedalaman Inggris. Sejarah agraria di Inggris terkenal dengan transformasi masyarakatnya yang semula penggembala berubah menjadi buruh industri baru di perkotaan. Semula ladang penggembalaan umum bersifat terbuka namun mengalami gerakan pemagaran (enclosure movement) dari tuan-tanah

14

yang mengalihkannya menjadi gilda-gilda peternakan produsen wol domba, sehingga mengakibatkan para penggembala terusir dari wilayah tersebut. Akibatnya mereka menjadi buruh murah industri wol hingga buruh di perkotaan. Demikian juga karya Stephenson, T 1989, Forbidden land: the struggle for access to mountain and moorland. Perjuangan dalam memperolah akses terhadap tanah dan air (isu sumberdaya agaria) juga digambarkan oleh Matondi, P.B. 2001, The struggle for access to land and water resources in Zimbabwe: The case of Shamva District.

D. Kelembagaan Lintas-Sektor Dan Multi-Level Aspek kelembagaan yang menarik dilihat adalah adalah inisiasi dari pemerintah daerah yang selama ini luput dalam wacana kebijakan reforma agraria. Dilihat secara komparatif dari pengalaman pelaksanaan Landreform era 1960-an, kebijakan reforma agraria sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari peran pemerintah daerah. Melalui Keputusan Presiden No. 131 Tahun 1961 Tentang Organisasi Penyelenggaraan Landreform, maka dibentuklah Panitia Penyelenggara Landreform dari tingkat pusat, daerah, kabupaten, kecamatan, hingga desa. Masing-masing tingkat dipimpin oleh pimpinan pemerintahan. Dijelaskan dalam bagian konsideran Kepres tersebut pembentukan Panitia Penyelenggaraan Landreform adalah untuk mewujudkan kerja sama/koordinasi dalam bidang pimpinan, pelaksanaan serta pengawasan di Pusat maupun Daerah. Membandingkan dengan pelaksanaan kebijakan RAPS di Kabupaten Sigi ini, maka kebijakan ini tidak hanya identik dengan kebijakan yang ada di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR BPN), serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) saja, tetapi juga dengan pemerintah daerah. Meskipun hal ini di dalam desain awal pemerintah pusat yang tertuang dalam dokumen RPJM Pemerintah RI 2014- 2019, tidak dinyatakan bahwa kebijakan RA 9 juta hektar itu melibatkan pemerintah daerah yang notabene mengatur secara teritori wilayah daerahnya.

15

Jika hanya berasal dari pusat (kementerian), maka kebijakan ini hanya bersifat top down dan menunggu bergeraknya birokrasi di dua kementerian tersebut. Tentu ini berlainan jika kebijakan didorong, diinisiasi atau diangkat dari bawah (bottom up) yang berdasarkan pada persoalan-persoalan di daerah hingga di level tapak. Pada gilirannya, aransemen kelembagaan pelaksanaan reforma agraria ini bergerak secara dinamis. Secara formal dibentuk kelembagaan lintas- sektor di tingkat pusat, dengan terkoordinasinya pelaksanaan kebijakan Reforma Agraria berdasarkan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 73 tahun 2017 tentang Tim Reforma Agraria. Tim diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dengan anggota: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Surat Keputusan ini mengganti Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 17/M.PPN/HK/02/2015 Tentang Pembentukan Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional. Oleh sebab itu penataan kelembagaan di tingkat pusat dan daerah dalam menjalankan kebijakan RAPS penting dipelajari. Pengalaman pelembagaan pelaksanaan reforma agraria lintas-sektor dan multi-level inilah yang nantinya dapat direplikasi di kabupaten lain, menjadi model untuk dinaikkan (scaling-up) konfigurasi kelembagaan dan segenap pelaksanaannya di tingkat nasional.

16

Gambar 2. Penataan dan Hubungan Kelembagaan Reforma Agraria Lintas-Sektor dan Multi-Level di tingkat Pusat dan Daerah

E. “Strategi Kue Wingko” dalam Pelaksanaan Reforma Agraria Ketiga konsep di atas sebenarnya memiliki persamaan dan mengerucut pada satu pendekatan dalam pelaksanaan reforma agraria, yakni pendekatan yang menekankan suksesnya kebijakan reforma agraria yang sangat ditentukan oleh kekuatan dari dua sisi: matang dari atas dan matang dari bawah. Konsep ini dipinjam dari Saturnino M. Borras (1998, 2001, 2007). Borras (2001) menjelaskan bahwa keberhasilan kebijakan RA tidak hanya ditentukan oleh faktor struktural dan kelembagaan saja, atau oleh tindakan dan kebijakan elit pemerintahan, namun ditentukan pula oleh aksi politik dan strategi dalam lingkup yang luas antara aktor masyarakat dan negara. Interaksi simbiotik antara kelompok masyarakat otonom dari bawah dengan kelompok pemerintah yang reformis dari atas melahirkan strategi yang menjanjikan bagi keberhasilan reforma agraria dalam menghadapi subyek-subyek penguasa tanah dan tanah-tanah yang disasar untuk menjadi obyek reform. Strategi ini ia istilahkan sebagai strategy dalam pengalaman pelaksanaan land reform di Filipina yang sebenarnya ia meminjam dari istilah Jonathan Fox (1993) berupa sandwich strategydalam pengalaman Mexico, atau saya sebut di sini “strategi kue

17 wingko” untuk konteks Indonesia. Kue wingko ini bisa menjadi matang karena dipanaskan dari atas dan dari bawah. Kesimpulan itu berkesesuaian dengan yang dinyatakan Wiradi (2000, 181-182) bahwa syarat keberhasilan reforma agraria, dua diantaranya adalah adanya kemauan politik dari elit penguasa dan partisipasi aktif dari organisasi rakyat/tani yang pro-reform. Dalam konteks ini, Borras (2007) menjelaskan lebih detail interaksi dan aksi-aksi politik seperti apa yang terjadi antara kekuatan atas dan bawah tersebut. Dalam konteks kebijakan pembaruan agraria di Indonesia, interaksi antara unsur negara (c.q. BPN) dengan gerakan agraria masyarakat sipil (KPA) terjadi antara tahun 2005 hingga 2009yang berjalan secara dinamis (Rachman 2017, 185-224).

18

BAB III METODE PENELITIAN

A. Format Penelitian Metode penelitian yang dilakukan menggunakan format atau jenis penelitian kualitatif dengan pilihan metode pengumpulan data secara triangulatif. Format ini menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan data dan analisisnya, yakni: (a) fieldresearch akan dilakukan dengan melakukan observasi ke lokasi adanya TORA dan Perhutanan Sosial yang diusulkan, serta ke masyarakat yang menjadi calon penerima manfaat; (b) wawancara akan dilakukan di tingkat pemerintah kabupaten Sigi, terutama kepada Bupati Sigi, masyarakat di tingkat tapak yang memperjuangkan akses atas tanah baik untuk TORA maupun Perhutanan Sosial, wawancara dengan perwakilan organisasi sipil baik yang mendukung maupun yang menolak kebijakan RA-PS, dan wawancara dengan GTRA kabupaten Sigi; (c) Studi pustaka dilakukan terhadap dokumen primer (dokumen terkait kelembagaan mulai dari rancangan RA- PS hingga usulan TORA-PS di kabupaten Sigi), dan dokumen sekunder yang terkait.

B. Lokasi Penelitian Sebagai penelitian kebijakan yang menitik-beratkan pada aspek kelembagaan, maka lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian di Kabupaten Sigi ini, secara kelembagaan dapat dipisahkan menjadi beberapa lokasi atau institusi dalam pengumpulan datanya, yakni level desa, kecamatan dan kabupaten. Sedangkan untuk kementerian/lembaga terkait adalah lembaga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada level kabupaten dan provinsi.

19

C. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa metode, menyesuaikan dengan jenis datanya. Terkait data yang bersifat kebijakan atau dokumen, dilakukan dengan studi dokumen yang memfokuskan pada dokumen-dokumen kebijakan yang mendukung agenda reforma agraria di Kabupaten Sigi seperti: (1) Naskah Pidato Bupati Sigi pada Pembukaan Diseminasi Reforma Agraria yang dilaksanakan di Dolo, pada tanggal 28 November 2016; (2) Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sigi 2016-2021, dan Dokumen Rencana Kerja Pemerintah Kabupaten (RKPD) 2017; (3) Keputusan Bupati Sigi tentang Pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Sigi; (4) Peta Jalan (road map) Pelaksanaan Reforma Agraria Kabupaten Sigi; (5) Dokumen Rancangan Kerja Integratif Pemerintah Kabupaten Sigi untuk Keberlanjutan Program Reforma Agraria Tahun 2018; (6) Dokumen Usulan Tanah Obyek Reforma Agraria Kabupaten Sigi, atas usulan Masyarakat yang dilakukan melalui pemetaan partisipatif; dan (7) Keputusan Kepala Desa Sibalaya Utara Nomor 0018/140/K.DS/VIII/2017 tentang Pembentukan Panitia Reforma Agraria Desa Sibalaya Utara. Dokumen-dokumen tersebut diperoleh dari Kantor Bupati Sigi, Kantor Bappeda Kabupaten Sigi dan Kantor Pertanahan Kabupaten Sigi. Untuk data dan informasi yang bersifat kualitatif dan kebijakan diperoleh melalui wawancara dengan stake holder terkait, seperti: (1) Bupati Sigi; (2) Kepala Bappeda Kabupaten Sigi; (3) Kepala Bidang Penataan Pertanahan Kanwil BPN Provinsi Sulawesi Tengah; (4) Kepala Seksi Penataan Pertanahan, Kantor Pertanahan Kabupaten Sigi; (5) Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Provinsi Sulawesi Tengah; (6)Camat Kecamatan Camat Tanambulava; (7) Kepala Desa dan Perangkat Desa Sibalaya Utara, Kecamatan Tanambulava; (8) Anggota Gugus Tugas Reforma Agraria; dan (9) Akademikus Universitas Tadulako.

20

BAB IV KEBIJAKAN REFORMA AGRARIA DAN PENYELESAIAN PERMASALAHAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN DI KABUPATEN SIGI

A. Gagasan Reforma Agraria Di Kabupaten Sigi Kabupaten Sigi mengklaim diri sebagai kabupaten pertama yang secara resmi menjalankan kebijakan reforma agraria. Kantor Staf Presiden RI menyatakan bahwa kabupaten ini merupakan percontohan pelaksanaan reforma agraria di tingkat kabupaten. Diharapkan pelaksanaannya dapat direplikasi untuk daerah-daerah lain. Kabupaten Sigi memiliki desain untuk menata ulang ketimpangan penatagunaan hutan dan tanah ini melalui kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS). Dalam Pidato Pembukaan Diseminasi Reforma Agraria yang dilaksanakan di Dolo, pada tanggal 28 November 2016, Bupati Sigi menyatakan bahwa kebijakan reforma agraria ini dilatarbelakangi oleh persoalan yang telah lama berlangsung di daerah Sigi, yakni ketimpangan agraria, atau ketimpangan dalam penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber-sumber penghidupan bagi Rakyat Sigi, dan menjadi konflik di wilayah ini. Pemerintah Kabupaten Sigi melihat bahwa kebijakan reforma agraria merupakan salah satu cara yang paling mungkin meningkatkan kualitas hidup rakyat Sigi secara sosial maupun ekonomi. Dengan penghargaan yang tinggi atas hak asal usul rakyat (adat dan budaya lokal) serta penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria (Gugus Tugas Pengendali Reforma Agraria Kabupaten Sigi 2017). Oleh karena itu Kabupaten Sigi mencanangkan pelaksanaan Reforma Agraria sebagai salah satu program khusus Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah yang tertuang dalam RPJMD dan RKPD, serta secara terpisah dikerjakan melalui suatu gugus tugas yang disebut Gugus Tugas Reforma Agraria. Dalam dokumen visi-misi kabupaten disebutkan bahwa sebagai daerah

21 baru yang dimekarkan yang terpisah dari Kabupateng Donggala pada tahun 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2008, Kabupaten Sigi memiliki strategi percepatan pembangunan yang mengarah pada pemenuhan hak-hak rakyat untuk mencapai kesejahteraan yang maksimal, merata dan berkeadilan. Kabupaten ini menitikberatkan pada pembangunan pertanian dan UMKM. Salah satu strategi yang dianggap penting untuk mencapai tingkat kesejahteraan rakyat yang maksimal, merata dan berkeadilan bagi pemerintah Kabupaten Sigi adalah melakukan “Tata Kelola Hutan dan Lahan secara Partisipatif dalam Kerangka Reforma Agraria”. Strategi ini berangkat dari kondisi geografis dan demografis daerah berupa 114 dari 157 desa berbatasan dan berada dalam kawasan hutan, sehingga sebagian besar dari 226.876 jiwa penduduk daerah ini menggantungkan hidupnya dari hasil pengelolaan hutan dan tanah. Sementara peruntukan hutan dan tanah yang sudah ada di Kabupaten Sigi adalah 51,74% berstatus kawasan lindung, 0,60% Hutan Produksi (HP), 23,82% Hutan Produksi Terbatas (HPT). Artinya, 76,16% dari total wilayah Kabupaten Sigi adalah kawasan hutan. Hanya tersisa kawasan pertanian dan perkebunan masyarakat seluas 19,22%. Dengan demikian, dipastikan bahwa akses masyarakat terhadap pemanfaatan potensi dan sumberdaya alam/hutan sangat terbatas, sementara jumlah masyarakat (± 53.382 KK) yang menggantungkan hidupnya kepada hutan sangat tinggi (Kerangka Acuan Persiapan Reforma Agraria di Tingkat Kabupaten Sigi, 2016). Beberapa hal menarik yang telah dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten Sigi dalam pelaksanaan reforma agraria ini di antaranya adalah (kecuali dari sumber lain yang disebutkan, proses yang bergulir ini disarikan dari Kabupaten Sigi, 2017): 1. Memasukkan agenda reforma agraria dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sigi 2016-2021, dan Dokumen Rencana Kerja Pemerintah Kabupaten (RKPD) 2017 2. Memasukkan agenda reforma agraria dalam anggaran Pendapatan dan

22

Belanja Daerah (APBD) tahun 2017. Pada tahap persiapan (2016) pemerintah daerah telah membelanjakan Rp 700 juta, dan tahun 2017 dianggarkan Rp 1,2 miliar dalam APBD (Wawancara Bupati Sigi Irwan Lapata dengan Tenure Conference, 27 Oktober 2017). 3. Membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Sigi melalui Surat Keputusan Bupati (2017) dan telah menyusun peta jalan (road map) pelaksanaan reforma agraria (2017) 4. Mengidentifikasi potensi Tanah Obyek Reforma Agraria yang berasal dari kawasan hutan dan non-kawasan hutan serta Subyek penerimanya (2017) berdasarkan pemetaan partisipatif dan berasal dari usulan masyarakat di level tapak 5. Mengusulkan dan menyerahkan data dan peta Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial (PS) seluas 137.274 hektar kepada pemerintah pusat. Penyerahannya dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Sigi kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta disaksikan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Badan Informasi Geospasial, dan Kantor Staf Presiden (3 Oktober 2017). 6. Menyusun Dokumen Rancangan Kerja Integratif Pemerintah Kabupaten Sigi untuk Keberlanjutan Program Reforma Agraria (18 April 2018, penjelasan Eva Bande, anggota GTRA Kabupaten Sigi melalui status facebook-nya).

B. Proses Pengusulan Data TORA dan Perhutanan Sosial Proses pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten Sigi telah mengalami langkah maju dengan menyerahkan usulan data dan peta TORA serta PS tersebut. Pemerintah pusat dalam hal ini adalah kementerian dan lembaga terkait akan melakukan tindak lanjut. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN melalui Kanwil Provinsi Sulawesi Tengah akan melakukan verifikasi lapangan terhadap TORA yang nantinya akan diusulkan kepada Dirjen Penataan Agraria. Ujungnya adalah pelaksanaan redistribusi atau

23 legalisasi atas TORA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan mengkoordinasikan secara internal atas data usulan tersebut, dan jika telah ditetapkan data usulan itu maka akan dikeluarkan SK Pelepasan Kawasan Hutan untuk dijadikan TORA dan dapat diredistribusi kepada masyarakat di Kabupaten Sigi. Informasi berkenaan dengan proses pengajuan TORA oleh masyarakat diperoleh melalui kunjungan dan wawancara di salah satu desa lokasi usulan TORA dan melalui pencermatan terhadap dokumen pengusulan TORA. Salah satu lokasi yang diusulkan masuk dalam TORA adalah Desa Sibalaya Kecamatan Tanambulava. Informasi yang diperoleh berdasarkan wawancara dengan sesepuh desa (Ibu Sulastri), bahwa masyarakat Sibalaya Utara sudah mendiami wilayah Sibalaya secara turun temurun sejak nenek moyang mereka. Bukti bahwa nenek moyang mereka telah menguasai kawasan Sibalaya adalah adanya Kasuata, yakni tempat nenek moyang melakukan upacara adat. Meskipun sudah menghuni sejak lama, tetapi pada tahun 2005 suaminya pernah ditangkap oleh pihak berwajib karena dianggap merambah hutan. Perangkat desa dan masyarakat yang ditemui berharap bahwa agenda reforma agraria di Desa Sibalaya Utara dapat direalisasikan. Mereka saat ini pada posisi menunggu, mengingat pengukuran dan pemetaan sudah dilakukan. Seluas 30 hektar yang saat ini sudah dikuasi dan 300 hektar hasil pengukuran yang belum dikuasai diharapkan akan menjadi lahan garapan masyarakat dan haknya diberikan oleh Negara. Dalam sebuah wawancara di Kantor Desa Sibalaya Utara, Camat Tanambulava menyatakan bahwa agenda reforma agraria untuk mendapatkan TORA difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten dan pendanaan dibebankan kepada pemerintah desa. Tujuan agenda tersebut untuk membantu dalam penyelesaian konflik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Khusus Desa Sibalaya Utara, yang berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu berhasil diukur dan dipetakan seluas 300 hektar lahan kosong yang direncanakan untuk sekitar 40 Kepala Keluarga aktif untuk usaha palawija dan

24 kebun. Kepala Desa Sibalaya Utara yang dibantu oleh Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat dan Pelayanan menyatakan bahwa kegiatan ini diawali oleh sosialisasi pada tingkat kecamatan. Setelah itu Pemerintah Desa(Pemdes) menyusun TOR dan RAB serta mengalokasikan dana sebesar Rp. 22.135.000 untuk pembiayaan dari dana desa (total danadesa mencapai sebesar Rp. 1,114 M). Sebelum itu Pemdes juga membentuk Panitia Reforma Agraria Desa Sibalaya Utara melalui Keputusan Kepala Desa Nomor 0018/140/K.DS/VIII/2017 tentang Pembentukan Panitia Reforma Agraria Desa Sibalaya Utara (Gambar 3). Panitia RA Desa Sibalaya Utara ini terdiri dari 10 orang, dengan Kepala Desa sebagai Penanggungjawab, Koordinator dan sekretaris berasal dari warga masyarakat dan yang lain adalah perangkat desa dan tokoh masyarakat.

Gambar 3. Contoh SK Kepala Desa tentang Pembentukan Panitia RA Desa (Sumber: Kantor Desa Sibalaya Utara, 2018 – Lampiran 1)

Setelah Panitia RA Desa Sibalaya Utara terbentuk, mereka mendapatkan pelatihan singkat dari Tim GTRA Kabupaten Sigi berkenaan dengan

25

pengukuran. Pekerjaan pengukuran dilakukan selama 10 hari dan menginap menggunakan tenda. Anggaran yang digunakan sebesar Rp. 16,5 juta dari total sebesar Rp. 22.135.000 (Lampiran 2). Alat yang digunakan adalah alat ukur GPS hand held yang dibeli dengan anggaran desa. Data-data hasil pengukuran langsung diserahkan kepada Tim Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten dan Panitia RA Desa sama sekali tidak menyimpan/memiliki data hasil pengukuran. Data yang dikumpulkan tidak termasuk data penguasaan tanahnya. Setelah selesai pengukuran dan data diserahkan ke Tim GTRA, selesailah tugas panitia reforma agraria desa. Tim GTRA setelah mendapatkan data-data hasil pengukuran dan pemetaan secara partisipastif dari desa-desa yang menjadi lokasi TORA segera melakukan inventarisasi dan menyusun dokumen usulan TORA Kabupaten Sigi.

C. Kolaborasi antar Pemangku Kepentingan Sejak munculnya gagasan awal reforma agraria di Kabupaten Sigi, berbagai unsur pemerintah dan masyarakat telah secara bersama-sama membangun relasi dan membuka ruang interaksi untuk menyusun reforma agraria sebagai agenda bersama. Dalam konteks Kabupaten Sigi, peran Bupati cukup dominan. Gagasan awal hingga lahirnya kebijakan RAPS di Kabupaten Sigi tidak terlepas dari peran Bupati Sigi yang mempunyai tujuan untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat yang ada di sekitar atau di dalam kawasan hutan. Wawancara dengan Bupati Sigi (Gambar 4) mendapatkan informasi bahwa agenda RA di SIGI, sudah dimulai sejak tahun 2016, dimana Bupati dan Pemerintah Kabupaten mempunyai insiatif untuk melakukan penyiapan- penyiapan RA, salah satunya dengan membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria. Agenda RA di Sigi terbagi menjadi dua, yakni di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Di Luar kawasan hutan diorientasikan untuk HGU yang habis masa berlakunya dan HGU yang diterlantarkan. Dalam hal ini, BPN masih menunggu Tim PPTKH turun untuk melakukan Inver.

26

Gambar 4. Wawancara dengan Bupati Sigi (September, 2018) Kolaborasi dalam agenda RA ini diharapkan mampu saling mendukung dan bekerjasama untuk mencapai tujuan RA di Kabupaten Sigi. Namun demikian, harapan tersebut belum sepenuhnya terwujud. Perbedaan cara pandang dan kepentingan tampaknya masih cukup dominan ditemukan dalam kerja kolaboratif ini. Beberapa hal penting yang ditemukan dalam kolaborasi antar pihak dalam pelaksanaan RA di Kabupaten Sigi dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Pada tingkat Daerah (Pemerintah Kabupaten, Masyarakat Sipil dan Pemerintah Desa) a. Memasukkan agenda reforma agraria dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sigi 2016-2021, dan Dokumen Rencana Kerja Pemerintah Kabupaten (RKPD) 2017 b. Memasukkan agenda reforma agraria dalam anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2017. Pada tahap persiapan (2016) pemerintah daerah telah membelanjakan Rp 700 juta, dan tahun 2017 dianggarkan Rp 1,2 miliar dalam APBD c. Membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Sigi

27

melalui Surat Keputusan Bupati (2017) dan telah menyusun peta jalan (road map) pelaksanaan reforma agraria (2017). GTRA terdiri dari gabungan unsur pemerintah daerah, kementerian di tingkat daerah dan masyarakat sipil. d. Mengidentifikasi potensi Tanah Obyek Reforma Agraria yang berasal dari kawasan hutan dan non-kawasan hutan serta Subyek penerimanya (2017) berdasarkan pemetaan partisipatif dan berasal dari usulan masyarakat di level tapak. Pemetaan ini dilaksanakan oleh GTRA Desa dan pendampingan dari CSO, dengan menggunakan anggaran Dana Desa sebesar rata-rata 15 juta/desa. Pembentukan GTRA Desa serta penggunaan anggaran Dana Desa didasarkan pada Surat Keputusan Bupati. e. Usulan potensi Tanah Obyek Reforma Agraria dihimpun dari bawah, desa-demi desa, dengan Berita Acara Penetapan TORA per-desa yang diotorisasi oleh GTRA Desa sekaligus pemerintah desa. f. Mengusulkan dan menyerahkan data dan peta Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial (PS) kepada pemerintah pusat. Program prioritas kebijakan reforma agraria Sigi didahului dengan pemetaan bersama masyarakat yang difasilitasi oleh GTRA kabupaten terhadap beberapa wilayah sebagai berikut (Usulan TORA 2017): (1) HGU PT. Hasfram Sulawesi yang secara fisik telah terlantar; (2) Eks- HGU Perusahaan Daerah Sulawesi Tengah; (3) APL yang telah digarap oleh masyarakat. Kesemuanya ini diusulkan oleh GTRA dalam skema Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial (PS) kepada pemerintah pusat. Penyerahannya dilaksanakan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta disaksikan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Badan Informasi Geospasial, dan Kantor Staf Presiden (3 Oktober 2017). g. Menyusun Dokumen Rancangan Kerja Integratif Pemerintah Kabupaten Sigi untuk Keberlanjutan Program Reforma Agraria (18 April 2018).

28

2. Pada tingkat Kementerian (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) a. Bekerja dengan kerangka regulasi, yang terdiri dari Perpres 88 Tahun 2017; Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 3 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah Dalam kawasan Hutan; Peraturan MenLHK No. 17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan dan Perubahan Batas Kawasan Hutan untuk Sumber Tanah Objek Reforma Agraria; Keputusan MenLHK No. SK. 3154/Menlhk-PKTL/KUH/PLA.2/5/2018 tentang Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan Untuk TORA Revisi 2, target penyelesaian Di Prov. Sulteng seluas ± 135.671 Ha (Kab. Sigi seluas ± 14.864 Ha. Terdiri dari inver ± 10.027 Ha dan non inver ± 4.837 Ha); Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah No.522/518.2/DIS.HUT-G.ST/2017 tentang Pembentukan Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan Provinsi Sulawesi Tengah, terbentuknya Tim Inver PTKH melalui SK Sulawesi Tengah No. 522/518.2/DIS.HUT-G.ST/2017. b. Melakukan identifikasi dan inventarisasi potensi RAPS. Pada tahapan operasional, terdapat dua institusi yang melakukan identifikasi dan inventarisasi TORA. Pada awalnya, Tim GTRA Kabupaten Sigi telah melakukan identifikasi dan inventarisasi melalui pemetaan partisipatif yang berujung pada Usulan TORA yang disampaikan kepada Kementerian LHK dan Kementerian ATR/BPN. Selanjutnya Kementerian LHK melalui BPKH Sulawesi Tengah menindaklanjuti melalui Inventarisasi dan Verifikasi. 1) Pada tahap awal BPKH KLHK bekerja dengan cara memverifikasi data Usulan TORA GTRA dengan data Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan (revisi II) sesuai Kepmenlhk No. SK. 3154/Menlhk- PKTL/KUH/PLA.2/5/2018. 2) Terdapat perbedaan tajam antara keduanya dalam hal sebaran lokasi:

29

jumlah desa yang mengusulkan dan yang tidak mengusulkan, jumlah penduduk pemohon, lokasi usulan yang berada di dalam atau di luar peta indikatif, dan konsekuensi luasan yang dihasilkan. Tabel 1. Perbandingan Usulan Tora dan Peta Indikatif BPKH Usulan TORA Peta Indikatif Hasil Inver GTRA (Surat sesuai SK KLHK Bupati Sigi 3154 Nomor: 590/ 6660/Adpum- Setda, 8 Agustus 2018) Luas (ha) Inver ± 10.027, non inver ± 4.837 Lokasi 10 kecamatan 13 kecamatan dari Di dalam Peta Kecamatan 15 kecamatan Indikatif: 9 kecamatan

Di luar Peta Indikatif: 10 kecamatan Lokasi 46 desa 59 desa Di dalam Peta Desa Indikatif: 26 desa

Di luar Peta Indikatif: 20 desa Hasil − 26 desa telah mengajukan, 33 yang belum/tidak Pengajuan mengajukan − Jumlah pemohon: 2.268 Orang − Dinyatakan lengkap melalui inver: 9 pemohon di 2 Desa (Waturalele dan Doda)

Sumber: diolah kembali dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVI Palu, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan, Hasil Evaluasi Usulan Sumber TORA Dalam Kawasan Hutan Kabupaten Sigi, 19 September 2018

Tabel di atas menyajikan hasil inver secara administratif yang dilakukan oleh BPKH dengan memeriksa kelengkapan administratif dokumen Usulan yang disesuaikan dengan acuan (formulir) dalam Peraturan MenLHK No. 17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan dan Perubahan Batas Kawasan Hutan untuk

30

Sumber Tanah Objek Reforma Agraria, serta mengacu pada Peta Indikatif. Inver tersebut belum dilakukan secara pengecekan di lapangan. Hasil inver di atas disajikan pada tanggal 19 September 2018 di hadapan Bupati Sigi dan jajarannya, serta unsur masyarakat. Pertemuan tidak sampai selesai dari yang dijadwalkan sebab bupati dan jajarannya memutuskan pergi sebab merasa tidak puas dengan hasil inver yang dilakukan oleh BPKH tersebut. Pada tanggal 20 September 2018 Bupati Sigi mengadakan rapat konsolidasi dengan semua Setda, kepala desa, camat, dan organisasi masyarakat sipil pendukung kebijakan Reforma Agraria. Rapat menghasilkan keputusan bahwa sebagian besar hasil inver yang dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh BPKH akan dibawa oleh pemerintah daerah ke pusat, kepada Menteri KLHK untuk dimintakan diskresi. Pemerintah daerah menganggap bahwa data yang ditetapkan dalam Peta Indikatif oleh KLHK tersebut pada dasarnya adalah usulan dari daerah (BPKH) yang telah mengantisipasi adanya kebijakan RAPS. Pemerintah daerah akan menolak hasil inver tersebut jika usulannya lebih lanjut tetap tidak disetujui. Dari proses di atas tergambar bahwa masih belum ada titik temu antara pemerintah daerah dengan BPKH Palu sebagai pelaksana dari KLHK. Oleh karena itu, kerja kolaboratif antar lembaga perlu dirumuskan secara jelas sesuai dengan kewenangan yang dimiliki serta mendasarkan pada fakta obyektif di lapangan. Tabel berikut menunjukkan pembagian peran dalam rengka pelaksanaan reforma agraria. Tabel 2. Berbagi Peran dalam Menjalankan Reforma Agraria No Institusi Peran Tugas Keterangan 1 Kementerian Koordinator Mengoordinasi lintas Dihasilkan Peraturan Menteri Koordinator Pelaksanaan kementerian terkait Koordinator Bidang Perekonomian Kebijakan pelaksanaan Kebijakan Perekonomian RI Nomor 3 Reforma Agraria Reforma Agraria dan tahun 2018 tentang Pedoman dan Perhutanan Perhutanan Sosial Pelaksanaan Tugas Tim Sosial Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah Dalam kawasan Hutan; keluar Surat Keputusan Kepmenko No. 73 tahun 2017 tentang Tim Reforma Agraria dan Tim

31

diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2 Kantor Staf Mendesain secara Mengkomunuikasikan Telah dihasilkan buku putih Presiden nasional desain kebijakan Strategi Nasional kebijakan Reforma Agraria dan Pelaksanaan Reforma Reforma Agraria Perhutanan Sosial Agraria 2016 – 2019, dan Perhutanan kepada presiden, Sosial kementerian terkait, dan kabupaten percontohan 3 Kementerian Melaksanakan Menyusun Peta Telah dihasilkan Keputusan Lingkungan kebijakan Indikatif untuk MenLHK No. SK. Hidup & Perhutanan Perhutanan Sosial dan 3154/Menlhk- Kehutanan Sosial; Reforma Agraria yang PKTL/KUH/PLA.2/5/2018 menindaklanjuti diusulkan; menjadi tentang Peta Indikatif usulan TORA; anggota dalam GTRA Alokasi Kawasan Hutan pelaksana Tim Untuk TORA (Revisi 2) Inver; 4 Kementerian Menyusun TORA Menjadi anggota dalam Cenderung bersifat pasif dan Agraria & Tata yang berasal dari GTRA dan Tim Inver menunggu Ruang/BPN wilayah yurisdiksinya; pelaksana Reforma Agraria 5 Pemerintah Menjadi anggota Provinsi dalam GTRA dan Tim Inver 6 Pemerintah Koordinasi dan Membentuk GTRA Contoh kasus di Sigi: telah Kabupaten pelaksanaan Kabupaten, dihasilkan Usulan TORA kebijakan reforma memerintahkan dan Kabupaten agraria kabupaten memfasilitasi GTRA Desa, 7 Pemerintah Mengidentifikasi Pelaksana GTRA Desa, Telah dihasilkan Usulan Desa dan Memetakan terbentuknya GTRA TORA Kabupaten yang tanah untuk Desa berasal dari desa dan diusulkan menjadi menyediakan anggaran TORA pelaksanaan dari Dana Desa 8 NGO Mengadvokasi Menjadi anggota GTRA Cenderung melakukan kerja- kebijakan reforma Propinsi hingga kerja pendampingan agraria di level Kabupaten; nasional hingga mendampingi GTRA daerah; bagian Desa dalam dari pelaksana mengidentifikasi dan reforma Agraria; memetaan tanah yang Mendampingi diusulkan menjadi identifikasi dan TORA pemetaan tanah yang diusulkan menjadi TORA 9 Kelompok Menyiapkan data Melakukan pemetaan Dapat didukung dengan

32

Masyarakat yuridis dan teknis partisipatif dan Anggaran Desa dalam identifikasi mengusulkan TORA dan pemetaan yang berada di tanah yang wilayahnya diusulkan menjadi TORA; dapat menjadi anggota GTRA Kabupaten dan Desa

33

34

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 1. Gagasan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di Kabupaten Sigi lahir, tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kebijakan karena factor kepemimpinan Bupati Sigi yang berkehendak menyelesaikan permasalahan penguasaan tanah di kawasan hutan bagi masyarakat sekitar hutan; 2. Proses pengusulan data TORA dan PS diawali dengan sosialisasi oleh GTRA Kabupaten Sigi, pembentukan Panitia Reforma Agraria Desa, pengukuran dan pemetaan partisipatif serta pengusulan TORA dan PS oleh Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten Sigi. 3. Kolaborasi antar pemangku kepentingan di tingkat kabupaten dalam melakukan penyelesaian tanah dalam kawasan hutan melalui RAPS dapat dilakukan apabila semua pihak sesuai dengan kewenangannya melakukan upaya-upaya produktif dalam pelaksanaan reforma agraria.

B. Rekomendasi 1. Untuk mengurangi terjadinya perbedaan antara usulan TORA oleh GTRA dengan Tim Inver bentukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka pengukuran dan pemetaan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan Tim Inver; 2. Penguatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pelaksanaan RAPS harus dilakukan secara bersama-sama, sekaligus berbagi kewenangan dalam menjalankannya; 3. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten harus secara proaktif menjalankan agenda RAPS melalui kebijakan yang mendorong para pemangku kepentingan untuk terlibat dalam pelaksanaan RAPS.

35

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2016, Kerangka Acuan Persiapan Reforma Agraria di Tingkat Kabupaten Sigi. Pemerintah Kabupaten Sigi. Borras, Satumino M. 1998, “The Bibingka Strategy to Land Reform and Implementation: Autonomous Peasant Mobilization and State Reformist in The Philippines”, Working Paper Series No. 274, ISS The Hague Borras, Satumino M. 2001, “State-Society Relations in Land Reform Implementation in The Philippines”, Development and Change, Vol. 32, hl. 545-575 Borras, Satumino M. 2007, Pro-poor land reform : a critique, Ottawa, Ontario: University of Ottawa Press Eva Bande 2018, Anggota GTRA Kabupaten Sigi dalam penjelasannya di status facebook, 18 April, https://www.facebook.com/photo.php?fbid=808995875962825&set=pcb.8 08996245962788&type=3&theater Fox, Jonathan 1993, The Politics of Food in Mexico: State Power and Social Mobilization. Ithac, NY: Cornell University Press Goldschmidt, J 2002, “The pro se litigant's struggle for access to justice”, Family Court Review Hill, H 1980, Freedom to roam. The struggle for access to Britain's moors and mountains Kidder, WC 2003. The struggle for access from Sweatt to Grutter: A history of African American, Latino, and American Indian law school admissions, 1950-2000, Harv. BlackLetter LJ. Luthfi, Ahmad Nashih dan Westi Utami 2017, Menuju Reforma Agraria Lintas Sektor, Laporan Penelitian Sistematis 2017, PPPM STPN. Matondi, P.B. 2001, The struggle for access to land and water resources in Zimbabwe: The case of Shamva District, Food and Agriculture Organization

36

Pemerintah Kabupaten Sigi 2017, Navigasi Pengusulan Tanah Obyek Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah Rachman, Noer Fauzi 2017. Land Reform dan Gerakan Agraria Indonesia, : Insist Press Safitri, Myrna, 2014, Hak Menguasai Negara Di Kawasan Hutan : Beberapa Indikator Menilai Pelaksanaanya, Jurnal Hukum Lingkungan Vol. 1 Issue 2 , Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia Sirait, Martua T, 2017, Inklusi, Eksklusi dan Perubahan Agraria, STPN Press, Yogyakarta Stephenson, T 1989, Forbidden land: the struggle for access to mountain and moorland, Manchester University Press Tenure Conference 2017, “Ketika Sigi Memilih Jalan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial”, Wawancara Bupati Sigi Irwan Lapata dengan Tenure Conference, 27 Oktober 2017, https://www.tenureconference.id/single- post/2017/10/27/Ketika-Sigi-Memilih-Jalan-Reforma-Agraria-dan- Perhutanan-Sosial Wiradi, Gunawan 2000, Reforma Agraria, Perjalanan Yang Belum Berakhir, Yogyakarta, Insist Pess, KPA dam Pustaka Pelajar Wolmer, W. dan Scoones, I 2005, An Introduction to Policy Processes. IDS: Brighton

37