Tata Ruang Ibukota Terakhir Kerajaan Galuh (1371 - 1475)

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Tata Ruang Ibukota Terakhir Kerajaan Galuh (1371 - 1475) Tata Ruang Ibukota … (Budimansyah, Nina Herlina Lubis, Miftahul Falah) 123 TATA RUANG IBUKOTA TERAKHIR KERAJAAN GALUH (1371 - 1475) THE SPATIAL PLANNING OF THE LAST CAPITAL CITY OF THE GALUH KINGDOM (1371 - 1475 AD) Budimansyah1, Nina Herlina Lubis2, Miftahul Falah3 1,2,3 Departemen Sejarah dan Filologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor, Kabupaten Sumedang e-mail: 1 [email protected], 2 [email protected], 3 [email protected] Naskah Diterima: 13 Januari 2020 Naskah Direvisi: 26 Juli 2020 Naskah Disetujui :26 Agustus 2020 DOI: 10.30959/patanjala.v12i2.596 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguak tata ruang Galuh Pakwan sebagai ibukota terakhir Kerajaan Galuh, sejauh mana pola ruang kota tersebut berkaitan dengan nilai-nilai kelokalan sebagaimana tergambar dalam historiografi tradisional. Dalam penelitian ini metode sejarah akan dipergunakan sebagai fitur utama agar menghasilkan suatu hasil kajian yang komprehensif, dan menggunakan teori tata kota, serta metode deskriptif-kualitatif. Minimnya sumber terkait sejarah Galuh Pakwan, wawancara secara mendalam kepada para narasumber diharapkan bisa menjadi suatu bahan analisis historis. Berdasarkan fakta di lapangan, Galuh Pakwan sebagai ibukota kerajaan berawal dari sebuah kabuyutan. Pada masa pemerintahan Niskalawastu Kancana, kabuyutan tersebut dijadikan pusat politik dengan tetap menjalankan fungsi kabuyutannya. Seiring waktu, Galuh Pakwan menjelma menjadi sebuah kota yang tata ruangnya menunjukkan representasi dan implementasi konsep kosmologi Sunda. Galuh Pakwan terbentuk oleh pola radial-konsentris menerus, sebagai gambaran kosmologi Sunda sebagaimana terungkap dalam naskah-naksah Sunda kuna. Kata kunci: Galuh Pakwan, kosmologi Sunda, Kabuyutan, tata ruang, morfologi kota. Abstract The research is not only aimed at uncovering the spatial layout of Galuh Pakwan as the last capital of Galuh Kingdom, but also at exploring how well the relationship between the urban spatial patterns and the local values as depicted in the traditional historiography. Beside having the historical methods as the main feature to produce a comprehensive study result, the study also uses the urban planning theory, as well as the descriptive qualitative methods. The historical sources related to the history of the Galuh Pakuan are very limited. As a result, the in-depth interviews with the resource persons are expected to be appropriate as the observation material for historical analysis. Based on the facts found in the field, the Galuh Pakwan as the capital of the kingdom originated from a Kabuyutan. During the reign of Niskalawastu Kancana, Kabuyutan served as a political center while maintaining its original function as Kabuyutan. As the time passed, the Galuh Pakwan was transformed into a city whose spatial layout represented and implemented the Sundanese cosmological concept. The Galuh Pakwan was formed by a Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online) 124 Patanjala Vol. 12 No. 2 Oktober 2020: 123-139 continuous radial-concentric pattern, as a description of Sundanese cosmology in the ancient Sundanese manuscript. Keywords: Galuh Pakwan, Sundanese cosmology, kabuyutan, spatial planning, city morphology. pembentuk ruang Kota Galuh Pakwan. A. PENDAHULUAN Namun temuan tersebut tidak sampai Pokok permasalahan dalam penelitian ini, menghasilkan peta tata ruang kota. yaitu bagaimana pola tata ruang Kota Galuh Dalam studi sejarah modern untuk Pakwan dan sejauh mana pola tersebut merekonstruksi kondisi Kota Galuh Pakwan berkaitan dengan nilai-nilai kelokalan tidak hanya cukup dengan melakukan uraian sebagaimana tergambar dalam historiografi secara genetis, tetapi diperlukan juga tradisional? Tujuan penelitian ini adalah untuk pendekatan multidisiplin. Pendekatan tersebut menjelaskan pola tata ruang Kota Galuh dapat dilakukan dengan meminjam konsep Pakwan dan sejauh mana pola tersebut dan teori dari ilmu-ilmu sosial karena berkaitan dengan nilai-nilai kelokalan memiliki daya analisis lebih besar untuk sebagaimana tergambar dalam historiografi mencari kondisi-kondisi kausal dari peristiwa tradisional. sejarah sehingga dapat memperkuat analisis Kajian terkait Galuh Pakwan sebagai masalah (Kartodirdjo, 1992: 2). ibukota terakhir Kerajaan Galuh sangat Perkembangan ilmu pengetahuan yang penting, mengingat masih minimnya sangat cepat pada saat ini melahirkan historiografi kota kuno Nusantara, yang paradigma baru dalam pendekatan analisis diharapkan bisa menjadi pembanding untuk penelitian ilmiah. Pada praktiknya, terhadap “tudingan” dari beberapa ahli yang proses penelitian yang dilakukan idealnya menyimpulkan bahwa budaya tata kota di harus menggunakan pendekatan transdisiplin. Nusantara diperkenalkan oleh pemerintah Sabine Hoffmann, Christian Pohl, dan Janet Hindia Belanda. G. Hering (2017: 1-2) mengatakan bahwa Widyonugrahanto dkk. (2017) dalam pendekatan transdisiplin merupakan konsep artikelnya “The Politics of Sundanese yang multi-perspektif yang melampaui batas- Kingdom Administration in Kawali-Galuh” batas keilmuan tertentu, sebagai jembatan sebagai hasil penelitian program Academic terhadap semua disiplin ilmu untuk Leadership Grant Universitas Padjadjaran menghasilkan solusi yang lebih tajam 2015-2018, menghasilkan kesimpulan bahwa terhadap masalah-masalah yang akan menjadi Kawali merupakan ibukota terakhir Kerajaan fokus penelitian. Lalu Brian M. Belchera dkk. Galuh yang kemudian secara fungsinya (2019: 195) menambahkan bahwa pendekatan dipindahkan oleh Prabu Dewataprana ke Kota transdisiplin dapat memberikan penilaian Pakwan Pajajaran. Sesuai dengan judulnya, yang relevan dan kredibel secara efektif dalam artikel tersebut hanya memberikan dalam proses penelitian. Hal tersebut karena penekanan pada wilayah politik masa semua permasalahan yang sedang dianalisis Kerajaan Galuh, terutama tentang konsep akan ditinjau dari segala sudut berbeda, untuk pembagian kekuasaan, dan tata ruang Kota menghasilkan kesimpulan yang berdimensi Galuh Pakwan hampir tidak dibahas sama luas dan benar-benar baru. Untuk sekali. menghasilkan kesimpulan yang tajam dan Lalu pada November 2019, Etty holistik, maka pendekatan melalui ilmu Saringendyanti dkk. membuat laporan sosiologi, arkeologi, filologi, antropologi, penelitian “Tata Ruang Keraton Galuh (IX-X planologi, dan toponimi diharapkan bisa M) dan Keraton Surawisesa (XIV-XV M)”. menjadi pisau analisis yang tepat, agar bisa Kegiatan yang dilaksanakan oleh Balai mengekstrapolasikan berbagai fakta terkait Arkeologi Jawa Barat ini menghasilkan dengan Galuh Pakwan pada masa lampau temuan bahwa tinggalan-tinggalan arkeologis sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Galuh dan toponimi di wilayah Kawali sebagai secara lebih komprehensif. Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online) Tata Ruang Ibukota … (Budimansyah, Nina Herlina Lubis, Miftahul Falah) 125 Galuh Pakwan sebagai jantung bagian sentralnya akan selalu terdapat sebuah Kerajaan Galuh merupakan kota yang sumbu penghubung (axis mundi) sebagai direncanakan dengan kondisi fisik bentang “media komunikasi” di antara kedua alam alam kawasannya sebagai pertimbangan tersebut (Singh, 1993: 239-240). utama, dan dirancang dengan konsep kelokalan serta memanfaatkan kondisi topografis dan geologis yang diselaraskan dengan kosmologi lokal. Rully Damayanti dan Handinoto (2005: 35); serta Ofita Purwani (2017: 74) menulis, kota-kota di Pulau Jawa masa pra-kolonial pada dasarnya menganut pola kota mandala, sebagai keberlanjutan dari tradisi kota-kota pada masa Hindu-Buddha, yang selalu memiliki "pusat" (inti) kota yang berupa istana penguasa (kerajaan atau kabupaten) dengan alun-alun dan bangunan penting lain di sekitarnya. Miftahul Falah (2018: 43-45) berpendapat bahwa, keselarasan dengan menghadirkan harmonisasi jagat raya diciptakan berdasarkan kosmologi dari manusianya. Oleh karena itu konsep makrokosmos dan mikrokosmos Gambar 1. Pola Mandala pada Kota Jawa merupakan suatu kesatuan yang selalu ada di Sumber: Damayanti dan Handinoto, 2005: 35. dalam desain tata ruang pada kota-kota lama yang ada di Pulau Jawa. Berbeda dengan kota-kota yang Struktur kerajaan pada masa Hindu- berakar pada tradisi Hindu-Buddha, Kota Buddha merupakan cerminan dari mitologi Galuh Pakwan adalah sebuah produk budaya alam semesta, dimana sosok sang dari masyarakat Sunda pada masa lampau penguasanya meraih suatu legitimasi dengan (pra-kolonial) dengan konsep tata ruang kota jalan menerjemahkan konsep mandala ke “modern” yang bersinergi dengan alam dalam sebuah kota pusat. Mandala tersebut setempat. Arief Sabaruddin (2012: 41-41) berfungsi sebagai kerangka geopolitik, yang mengatakan bahwa dalam merancang karya secara politis menjadi pelindung sang arsitektur, manusia pembuatnya diharapkan penguasa sebagai manusia pilihan dari para memiliki kesadaran secara tinggi terhadap dewa (dalam banyak kisah, raja-raja pada dimensi ekologi, agar karya arsitektur tersebut masa Hindu-Buddha mengaku dirinya sebagai menjadi selaras dengan kaidah-kaidah keturunan para dewa). Model kerajaan dengan arsitektur berkelanjutan, yang merupakan konsep kota mandala tersebut oleh Clifford bagian dari kearifan lokal. Geertz (1980) dinamakan sebagai a Theater Pemahaman akan keberagaman dan State (Young, 2016: 17). nilai-nilai budaya lokal merupakan bagian Dalam kosmologi tata ruang kota penting selain dimensi ekologi. Hal tersebut dengan tradisi Hindu, tatanan manusia selalu adalah sebagai akar bagi seluruh masyarakat diwujudkan pada proses awal penciptaan di dunia ini, tak
Recommended publications
  • The Past That Has Not Passed: Human Rights Violations in Papua Before and After Reformasi
    International Center for Transitional Justice The Past That Has Not Passed: Human Rights Violations in Papua Before and After Reformasi June 2012 Cover: A Papuan victim shows diary entries from 1969, when he was detained and transported to Java before the Act of Free Choice. ICTJ International Center The Past That Has Not Passed: Human Rights Violations in Papua for Transitional Justice Before and After Reformasi The Past That Has Not Passed: Human Rights Violations in Papua Before and After Reformasi www.ictj.org iii International Center The Past That Has Not Passed: Human Rights Violations in Papua for Transitional Justice Before and After Reformasi Acknowledgements The International Center for Transitional Justice and (ICTJ) and the Institute of Human Rights Studies and Advocacy (ELSHAM) acknowledges the contributions of Matthew Easton, Zandra Mambrasar, Ferry Marisan, Joost Willem Mirino, Dominggas Nari, Daniel Radongkir, Aiesh Rumbekwan, Mathius Rumbrapuk, Sem Rumbrar, Andy Tagihuma, and Galuh Wandita in preparing this paper. Editorial support was also provided by Tony Francis, Atikah Nuraini, Nancy Sunarno, Dodi Yuniar, Dewi Yuri, and Sri Lestari Wahyuningroem. Research for this document were supported by Canada Fund. This document has been produced with the financial assistance of the European Union. The contents of this document are the sole responsibility of ICTJ and ELSHAM and can under no circumstances be regarded as reflecting the position of the European Union. About the International Center for Transitional Justice ICTJ works to assist societies in regaining humanity in the wake of massive human rights abuses. We provide expert technical advice, policy analysis, and comparative research on transitional justice approaches, including criminal prosecutions, reparations initiatives, truth seeking and memory, and institutional reform.
    [Show full text]
  • Penataan Wilayah Pada Masa Kerajaan Sunda
    Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda Agus Aris Munandar Keywords: history, archaeology, Hindu-Buddhist, Kingdom of Sunda, West Java How to Cite: Munandar, A.A. Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda. Berkala Arkeologi, 14(2), 95–105. https://doi.org/10.30883/jba.v14i2.706 Berkala Arkeologi https://berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id/ Volume 14 No. 2, 1994, 95-105 DOI: 10.30883/jba.v14i2.706 This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License. PENATAAN WILAYAH PADA MASA KERAJAAN SUNDA Agus Aris Munandar (Jurusan Arkeolog, FSUI) terlihat dalam periode Singhasan dan Ma1apah1t 1. KeraJ aan Sunda adalah salah satu kera­ yang jelas disebutkan dalam prasast, dan k1tab Jaan dalam masa Hindu-Buddha yang terletak di Nagarakrtagama bahwa kedua keraJaan terse­ Jawa Barat. Tidak seperti sejarah kerajaan-kera­ but mempunyai berbagai negara daerah Namun Jaan lamnya yang pernah tumbuh dan berkem­ bagaimana halnya dengan Kerajaan Sunda bang dt Pulau Jawa (Mataram, Kadiri, Singhasa­ apakah juga memiliki negara-negara daerah n, MaJapahit), seJarah Kerajaan Sunda masth be­ masih belum diketahui secara past1. Hal lam lum banyak diungk.apkan oleh para ahl1. Hal ini yang patut diperhat,kan penataan wilayah yang disebabkan karena sumber sejarah yang berken­ pastinya telah dikenal dalam masa 1tu, penataan aan dengan perkembangan kerajaan tersebut wilayah Kerajaan Sunda hingga saat ini masih sangat terbatas, peninggalan-peninggala ��ya belum juga diperhattkan oleh para ahli; untuk ,tu pun tidak terlalu banyak, kalaupun ada JeJak kajian ini berusaha mengungkapkan penataan se1arah itu sudah sangat rusak. Walaupun w1layah kerajaan tersebut se1auh data yang dem1kian para ahli sejarah dan arkeologi tentu­ tersedia hingga kini nya masih berharap bahwa di kemudian hari akan ditemukan lag, sumber sejarah baru yang dapat membantu mengungkapkan seJarah Kera­ 2.
    [Show full text]
  • Tri Tangtu on Sunda Wiwitan Doctrine in the XIV-XVII Century
    TAWARIKH: Journal of Historical Studies, Volume 10(1), October 2018 Journal of Historical Studies ETTY SARINGENDYANTI, NINA HERLINA & MUMUH MUHSIN ZAKARIA Tri Tangtu on Sunda Wiwitan Doctrine in the XIV-XVII Century ABSTRACT: This article aims to reconstruct the concept of “Tri Tangtu” in the “Sunda Wiwitan” doctrine in the XIV-XVII century, when the Sunda kingdom in West Java, Indonesia was under the reign of Niskala Wastu (-kancana) at Surawisesa Palace in Kawali, Ciamis, until its collapse in 1579 AD (Anno Domini). “Tri Tangtu” absorbs the three to unite, one for three, essentially three things in fact one, the things and paradoxical attributes fused into and expanded outward. The outside looks calm, firm, one, but inside is continuously active in its entirety in various activities. This concept is still also continues on indigenous of Kanekes (Baduy) in Banten, Western Java. In achieving that goal, historical methods are used, consisting of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. In the context of explanation used social sciences theory, namely socio-anthropology through the theory of religion proposed by Clifford Geertz (1973), namely religion as a cultural system that coherently explains the involvement between religion and culture. The results of this study show that the concept of “Tri Tangtu” consists of “Tri Tangtu dina Raga (Salira)”; “Tri Tangtu dina Nagara”; and “Tri Tangtu dina Buana”. About “Tri Tangtu dina Raga” is a system of human reciprocal relationship to the transcendent with “lampah, tekad, ucap (bayu-sabda- hedap)” or deed, strong will, and word. “Tri Tangtu dina Nagara” is a unity of “Rsi-Ratu-Rama” or Cleric, Ruler, and a Wise Oldmen.
    [Show full text]
  • SITUS MAKAM GARUSELA KECAMATAN CISAGA KABUPATEN CIAMIS (Suatu Tinjauan Sejarah Tentang Hubungan Garusela Dengan Sumedang Dalam Penyebaran Agama Islam Abad Ke-17)
    SITUS MAKAM GARUSELA KECAMATAN CISAGA KABUPATEN CIAMIS (Suatu Tinjauan Sejarah tentang Hubungan Garusela dengan Sumedang dalam Penyebaran Agama Islam Abad ke-17) Oleh: Agus Gunawan 1 Rika Septiani 2 ABSTRAK Hasil penelitian menunjukkan : 1) Makam Eyang Kyai Haji Putih merupakan makam leluhur Dusun Cisaga Kolot yang berasal dari Sumedang dan termasuk keturunan Prabu Geusan Ulun serta Prabu Geusan Ulun merupakan penguasa Kerajaan Sumedang Larang sekitar tahun 1578 M. Sehingga makam tersebut dikeramatkan di Dusun Cisaga Kolot Desa Mekarmukti Kecamatan Cisaga Kabupaten Ciamis. 2) Makam Eyang Kyai Haji Putih lebih terkenal dengan sebutan Makam Keramat Garusela karena dalam keseharian Kyai Haji Putih, selain menyebarkan agama Islam, dia juga membuat sela sebagai perlengkapan untuk menunggang kuda. Keterampilannya dalam membuat sela dia dapatkan ketika masih di Sumedang. 3) Susuhunan Geusan Ulun atau yang lebih dikenal dengan nama Kyai Haji Putih juga mendapat kepercayaan dari Kerajaan Sumedang Larang untuk mengislamkan daerah Kerajaan Galuh, khususnya di wilayah Cisaga. Berbeda dengan para pendahulunya yang menyebarkan agama Islam dengan cara berdagang, menjadi pekerja/pelayan atau pernikahan, Kyai Haji Putih menyebarkan agama Islam dengan perilaku dalam kesehariannya. 4) Proses penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Kyai Haji Putih yang berjalan damai dan menggunakan metode yang halus, yaitu menggabungkan budaya yang lama dengan nilai-nilai Islam, menjadikan nilai-nilai Islam ini dapat dengan mudah diserap dan diterima dengan baik oleh masyarakat Dusun Cisaga Kolot. Refleksi dan cara penyampaian yang dilakukan Kyai Haji Putih adalah mengaktualisasikan ajaran agama Islam dengan kehidupan sehari-hari, cara penyampaian yang mudah diterima dan kedekatan Kyai Haji Putih dengan masyarakat Dusun Cisaga Kolot menjadikan poin penting dalam keberhasilan Kyai Haji Putih dalam menyebarkan agama Islam.
    [Show full text]
  • Downloaded From
    J. Noorduyn Bujangga Maniks journeys through Java; topographical data from an old Sundanese source In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 138 (1982), no: 4, Leiden, 413-442 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/30/2021 08:56:21AM via free access J. NOORDUYN BUJANGGA MANIK'S JOURNEYS THROUGH JAVA: TOPOGRAPHICAL DATA FROM AN OLD SUNDANESE SOURCE One of the precious remnants of Old Sundanese literature is the story of Bujangga Manik as it is told in octosyllabic lines — the metrical form of Old Sundanese narrative poetry — in a palm-leaf MS kept in the Bodleian Library in Oxford since 1627 or 1629 (MS Jav. b. 3 (R), cf. Noorduyn 1968:460, Ricklefs/Voorhoeve 1977:181). The hero of the story is a Hindu-Sundanese hermit, who, though a prince (tohaari) at the court of Pakuan (which was located near present-day Bogor in western Java), preferred to live the life of a man of religion. As a hermit he made two journeys from Pakuan to central and eastern Java and back, the second including a visit to Bali, and after his return lived in various places in the Sundanese area until the end of his life. A considerable part of the text is devoted to a detailed description of the first and the last stretch of the first journey, i.e. from Pakuan to Brëbës and from Kalapa (now: Jakarta) to Pakuan (about 125 lines out of the total of 1641 lines of the incomplete MS), and to the whole of the second journey (about 550 lines).
    [Show full text]
  • The Nuance of Affirmation the Epistemological Foundation of Sundanese Wisdom
    25.1.2009 [57-73] The Nuance of Affirmation The Epistemological Foundation of Sundanese Wisdom Stephanus Djunatan Department of Philosophy, Parahyangan Catholic University, Bandung, Indonesia ABSTRACT One who learns and reads Western Philosophy is familiar with the Decartes' proposition 'cogito ergo sum'. This proposition becomes ontological and epistemological reason of our existence. Nevertheless, one can also explore another reason of existence, not only this Cartesian proposition considered the universal. A nuance of affirmation implied within a local tradition of wisdom can be the other ontological and epistemological reason. Therefore, an exploration the nuance of affirmation in Asian tradition of wisdom is necessarily discovered this alternative reason of existence (1). One can discover such alternative reason from a local worldview and philosophical narration in a local tradition of wisdom (2). This article observes the worldview and philosophical narration of Sundanese people. The observation offers a further interpretation to the Sundanese worldview and philosophical narration. The purpose of this interpretation is to formulate the nuance of affirmation as it is implied in the local system of knowledge. A principle of affirmation is derived from the interpretation of the system of knowledge (3). The interpretation also becomes a further invitation to explore and to find out an intercultural understanding and dialogues of various systems of knowledge (4). Key Words: Principle of affirmation correlative thinking Sundanese 57 MELINTAS 25.1.2009 worldview Tritangtu, Nagara Padang, intercultural dialogues of knowledge Dunya sakitu legana, heurinna ngan ku dua jalma, lalaki jeung awewe. (“Our vast earth suitably comprises of two: man and woman.”) Abah Karmo, The elder and guardian of The Sufi Shrine Nagara Padang eaders and learners of Western Philosophy acknowledge Cartesian Rstatement “cogito ergo sum” as the ontological and epistemological foundation for human being.
    [Show full text]
  • The Indonesian Fermented Food Product Terasi: History and Potential Bioactivities
    Sys Rev Pharm 2021;12(2):378-384 A multifaceted review journal in the field of pharmacy The Indonesian Fermented Food Product Terasi: History and Potential Bioactivities *Asep A. Prihanto 1,2,3,4, and Hidayatun Muyasyaroh 2,3 1Department Fishery Product Technology, Faculty of Fisheries and Marine Science, Brawijaya University, Jl. Veteran, Malang, 65145, East Java, Indonesia 2BIO-SEAFOOD Research Unit, Brawijaya University, Jl. Veteran, Malang, 65145, East Java, Indonesia 3Halal Thoyib Science Center, Brawijaya University, Jl. Veteran, Malang, 65145, East Java, Indonesia 4Coastal and Marine Science Center, Brawijaya University, Jl. Veteran, Malang, 65145, East Java, Indonesia *Corresponding Author: Asep A. Prihanto Email: [email protected] ABSTRACT Terasi is a fish/shrimp fermentation product native to Indonesia and is produced Keywords: Bioactivity; fermentation; Indonesia; terasi. using bacteria generated from fish or shrimp. Also known as shrimp paste, it has a long history on the island of Java, as well as other regions that employ slightly Correspondence: varied processes and ascribe various names to this edible compound. The Asep A. Prihanto emergence, history, processing, and characterization of terasi are explained in Department Fishery Product Technology, Faculty of Fisheries and Marine this manuscript, following its extensive applications as a main seasoning in Science, Brawijaya University, JI. Veteran, Malang, 65145, East Java, Indonesia various dishes. Furthermore, potential bioactivity of this product and its derived Email: [email protected] microorganisms are discussed along with the possibility of their usage as bioactive remedies for human health. INTRODUCTION by the presence or absence of contaminants, such as Fermented seafood is a common condiment for foods in insects and other foreign materials [1].
    [Show full text]
  • Sosialisasi Hasil Ekskavasi Situs Astana Gede Kawali Kepada Aparat Pemerintahan Dan Masyarakat Sekitar Situs
    SOSIALISASI HASIL EKSKAVASI SITUS ASTANA GEDE KAWALI KEPADA APARAT PEMERINTAHAN DAN MASYARAKAT SEKITAR SITUS Nina Herlina, Mumuh Muhsin, Dade Mahzuni, Undang A. Darsa, Widyo Nugrahanto Departemen Sejarah dan Filologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. E-mail: [email protected] ABSTRAK, Situs Astana Gede Kawali merupakan salah satu situs tinggalan Kerajaan Galuh yang memiliki nilai historis tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa di situs tersebut telah ditemukan enam buah prasasti dan beberapa artefak lainnya. Secara umum diyakini bahwa Situs Astana Gede merupakan sebuah kabuyutan Kerajaan Galuh. Akan tetapi, dari sumber naskah pada periode tertentu, Situs Astana Gede berfungsi pula sebagai keraton Kerajaan Galuh. Untuk memperkuat pendapat tersebut, dilakukan ekskavasi di beberapa titik di Situs Astana Gede. Hasil ekskavasi tersebut perlu disosialisasikan kepada masyarakat sehingga akan melengkapi pengetahuan sebelumnya terkait keberadaan situs tersebut. Setelah pemaparan hasil ekskavasi, dilanjutkan dengan diskusi di lapangan yang hasilnya menunjukkan bahwa pemerintah dan masyarakat menunjukkan respons positif terhadap ekskavasi dan memiliki pandangan bahwa Situs Astana Gede Kawali memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata budaya di Kabupaten Ciamis. Kata Kunci: Astana Gede, Kawali, Ekskavasi, Kabuyutan, Kerajaan Galuh ABSTRACT, Astana Gede Kawali site is one site that owns the Galuh Kingdom remains the historical value is high. It is caused by the fact that the site had been discovered six inscriptions and some other artifacts. It is generally believed that the site of Astana Gede is a kabuyutan the Kingdom of Galuh. However, the source of the script at certain periods, the site also serves as the Gede Astana Palace of the Kingdom of Galuh.
    [Show full text]
  • Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java
    Southeast Asian Studies, Vol. 34, No.1, June 1996 Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java: An Introduction to the Formation of Sundanese Writing in 19th Century West Java* Mikihira MaRlYAMA** I The 'Language' Discovering the 'Language' An ethnicity (een volk) is defined by a language.i) This idea had come to be generally accepted in the Dutch East Indies at the beginning of the twentieth century. The prominent Sundanese scholar, Raden Memed Sastrahadiprawira, expressed it, probably in the 1920s, as follows: Basa teh anoe djadi loeloegoe, pangtetelana djeung pangdjembarna tina sagala tanda-tanda noe ngabedakeun bangsa pada bangsa. Lamoen sipatna roepa-roepa basa tea leungit, bedana bakat-bakatna kabangsaan oge moesna. Lamoen ras kabangsaanana soewoeng, basana eta bangsa tea oge lila-lila leungit. [Sastrahadiprawira in Deenik n. y.: 2] [The language forms a norm: the most evident and the most comprehensive symbols (notions) to distinguish one ethnic group from another. If the characteristics of a language disappear, the distinguishing features of an ethnicity will fade away as well. If an ethnicity no longer exists, the language of the ethnic group will also disappear in due course of time.] There is a third element involved: culture. Here too, Dutch assumptions exerted a great influence upon the thinking of the growing group of Sundanese intellectuals: a It occurred to me that I wanted to be a scholar when I first met the late Prof. Kenji Tsuchiya in 1980. It is he who stimulated me to write about the formation of Sundano­ logy in a letter from Jakarta in 1985.
    [Show full text]
  • ISLAMISASI DI TATAR SUNDA Era Kerajaan Sukapura
    ISLAMISASI DI TATAR SUNDA Era kerajaan Sukapura Islamisasi di Tatar Sunda ___ i ISLAMISASI DI TATAR SUNDA Era kerajaan Sukapura Penulis: Prof. Dr. Sulasman Dr. Ruhiyat Agus Wirabudiman, MA Abud Syehabudin, M.Pd Dr. Acep Aripudin Editor: Ahmad Yunani, S.Ag., M.Hum. Cetakan I, 2017 14,8 x 21 cm vi + 287 hal. Desain dan Layout: Buya Samuray Diterbitkan oleh: Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Tahun 2017 Copyraight @2017 All Rights Reserved ii ___ Islamisasi di Tatar Sunda Pengantar enyelesaian penulisan hasil penelitian sejarah Islamisasi masa Kerajaan Sukapura merupakan langkah tepat, tepat P sasaran (targetting) dan momentum mengenai pelurusan sejarah yang selama ini masih terkesan mengambang. Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Balit- bang dan Diklat Kementerian Agama RI sebagai institusi yang memfasilitasi program penulisan sejarah Nusantara telah berperan dalam melaksanakan misinya dalam memelihara dan mengembangakan khazanah budaya Nusantara. Ada beberapa urgensi penulisan sejarah Sukapura dilihat dari sudut pandang, berikut: pertama, kekayaan warisan budaya di Nusantara, ter- masuk wilayah Sukapura belum diungkap secara baik dan benar, sehingga belum dipublikasikan dan belum diketahui luas oleh masyarakat Nusantara, masyarakat Sunda sekitar Priangan Timur pada khususnya. Kedua, belum adanya tulisan memadai tentang Islamisasi masa Kerajaan Sukapura yang akan menjadi pijakan dan pelurusan sejarah pembangunan di Tatar Sukapura. Perdebatan tentang Islamisasi di Sukapura, lahirnya Sukapura, dan atau Islamisasi di Tatar Sunda ___ iii Tasikmalaya, menjadi contoh bagaimana sejarah sangat menen- tukan terhadap jalannya roda pembangunan karena menjadi landasan fundamental filosofi perjalanan manusia. Ketiga, ada- nya tugas moral untuk ikut serta dalam upaya pencerdasan masyarakat dan bangsa melalui penyadaran terhadap jati diri bangsa.
    [Show full text]
  • Buddhist Women and Polygamy Issue in Indonesia By
    Buddhist Women and Polygamy Issue in Indonesia By: Kustiani (Article was presented for the 2nd IABU Conference, 30-3 June 2012, in Thailand) Background Marriage is a human‟s phenomenon that commonly practiced since the ancient civilizations regardless geography, religion, race and social classes. Marriage in the Vulgar Latin is marītācum and in the Latin is marītātus, meaning 'to wed, marry and give in marriage'.1 Now days, marriage is defined as 1. a formal, usually legally recognized, agreement between a man and a woman making them husband and wife; 2. a ceremony at which a couple are married.2 Marriage of the first meaning is meant in this article and it is not the second one. There are many kinds of marriage which have been influenced by the religious, social and philosophical viewpoints. Generally, there are three kinds of marriage, namely polygamy, monogamy and group marriage. Monogamy is the practice or custom of being married to only one person at a time.3 This is commonly practice in the society and of course this type of marriage can be seen everywhere. But, group marriage is quite rare to be seen. Group marriage involves more than one member of each sex. They live together by sharing husband and wife, and responsibility in taking care of wealth and children.4 However, these two types of marriage are not the purpose of this article. The main purpose of this article is to discuss and examine the third type of marriage: polygamy. The term polygamy is defined in two ways: 1. the custom of having more than one wife at the same time;5 2.
    [Show full text]
  • Textiles in Old-Sundanese Texts Aditia Gunawan
    Textiles in Old-Sundanese Texts Aditia Gunawan To cite this version: Aditia Gunawan. Textiles in Old-Sundanese Texts. Archipel, Association Archipel/Éditions de la FMSH, 2019, 98, pp.71-107. 10.4000/archipel.1332. hal-02514162 HAL Id: hal-02514162 https://hal.archives-ouvertes.fr/hal-02514162 Submitted on 24 Mar 2020 HAL is a multi-disciplinary open access L’archive ouverte pluridisciplinaire HAL, est archive for the deposit and dissemination of sci- destinée au dépôt et à la diffusion de documents entific research documents, whether they are pub- scientifiques de niveau recherche, publiés ou non, lished or not. The documents may come from émanant des établissements d’enseignement et de teaching and research institutions in France or recherche français ou étrangers, des laboratoires abroad, or from public or private research centers. publics ou privés. ÉTUDES ADITIA GUNAWAN 1 Textiles in Old-Sundanese Texts Introduction1 Once upon a time Dayang Sumbi was having a wonderful time weaving. Her taropong, that is, a bamboo tool for rolling yarn, fell from her hands. So frail was she that she joked: if a woman would pick up that taropong for her, she would make her her sister, and if a man would do so, she would surely make him her husband. Si Tumang, her loyal dog, heard that promise. With enthusiasm he picked up the taropong, presenting it to Dayang Sumbi while sitting in front of her and staring at her intently. Dayang Sumbi regretted her words. But the oath could not be unsaid. Dayang Sumbi finally married Tumang and they had a son, Sang Kuriang.
    [Show full text]