Gerakan Pembaharuan

Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Aam Saepul Alam STAI Siliwangi Garut [email protected]

Abstract Two thinkers and modernists who are different in education and organization genealogy, i.e. Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan Hasyim Muzadi. Cak Nur was born in Western education and Hasyim was born in “” education (boarding school) with its locality. Two of these figures give a change that is significant in modernity context in Indonesia. Theoretical framework that was built by starts from a fundamental question, i.e. how universal Islam can be placed in local modernity and culture framework. Islam is universal and implication of its universality is Islam must be understood and performed in every place and time. Cak Nur practiced critical to single truth and paid attention on humanistic value in universal religious life. Different to Hasyim Muzadi who built thoughts framework Rahmatan lil alamin through freedom and harmony. Starting from nation problems, how to perform religious function (Islam) in a country without cause national disintegration. Theory framework built by Hasyim starting from a NU’s jargon, i.e. Tasamuh, Tawazun, dan Tawasut. Bringing Islam with full good manners and bland, not make Islam image isolated and grow phobia toward terms what are born from Islam womb. In practice, Hasyim paid attention on preventing of radicalism and terrorism undersrtanding that grow in Indonesia, that threaten NKRI totality. Keywords: modernity, Islam universal, Islam and country

Abstrak Dua pemikir dan pembaharu yang berbeda geneologi pendidikan dan organisasi, yaitu Nurcholis Madjid dan Hasyim Muzadi. Nurcholis Madjid (Cak Nu)r lahir dari pendidikan Barat dan Hasyim Muzadi lahir dari pendidikan pesantren yang lokalitas. Kedua tokoh ini, dalam kehadirannya memberikan perubahan yang signifikan dalam konteks pembaharuan di Indonesia. Kerangka Teoritis yang dibangun Nurcholish Madjid berawal dari dari sebuah pertanyaan yang fundamental yaitu bagaimana Islam yang universal bisa ditempatkan dalam kerangka kemodernan dan budaya lokal? Islam adalah universal dan implikasi dari keuniversalannya adalah bahwa Islam harus dapat dipahami dan dilaksanakan pada setiap ruang dan waktu. Cak Nur

1 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019 Gerakan Pembaharuan

mempraktekan kritik terhadap kebenaran tunggal dan memperhatikan nilai kemanusian dalam kehidupan beragama yang universal. Berbeda dengan Hasyim Muzadi membangun kerangka pemikiran Rahmatan lil alamin melalui kerangka perdamainan dan kerukunan. Berawal dari permasalahan bangsa, bagaimana menjalankan fungsi profetik agama (Islam) dalam sebuah negara, tanpa menimbulkan disintegrasi bangsa. Kerangka teori yang dibangun Hasyim Muzadi berawal dari jargon NU, yaitu: Tasamuh , Tawazun , dan Tawasut. Membawa Islam yang penuh kesantunan dan kelemahlembutan, bukan menjadikan citra Islam terpinggirkan dan menumbuh-kembangkan phobia terhadap istilah-istilah yang lahir dari rahim Islam. Melaui prakteknya Hasyim memberikan perhatian dalam pencegahan paham radikalisme dan terorime yang berkembang di bumi Indonesia, yang mengancam keutuhan NKRI. Kata kunci: pembaharuan, Islam universal, Islam dan negara

A. Pendahuluan

Gerakan dan pemikiran pembaruan keagamaan senantiasa menjadi bagian penting dari tradisi Islam sepanjang sejarah perkembangannya. Para pelopor pembaruan hadir untuk merenovasi kepercayaan, pengetahuan, maupun praktek keberagamaan masyarakat Muslim. Sekalipun kaum ortodoks tidak mengakui hadirnya figur profetik pasca Nabi Muhammad SAW, mayoritas masyarakat Muslim meyakini, bahwa pada setiap episode sejarah dan kawasan dunia Islam yang berbeda, para pembaharu tampil untuk melawan status quo dan menginisiasi perubahan. Misalnya, pada abad 17-19 M, muncul beberapa tokoh dan gerakan pembaruan di dunia Islam, yang berdasarkan setting kemunculan dan orientasi gerakannya dapat dibedakan ke dalam tiga episode. Pertama, Shah Waliullah di India, Ahmad bin Abdul Wahhab di Saudi Arabia, dan Muhammad bin Ali al Sanusi di Afrika Utara. Pada masa ini, para tokoh dan gerakan pembaruan mengemuka berkaitan dengan tekanan atau lingkungan internal1 .dan sedikit bersentuhan dengan dampak dari perkembangan peradaban Barat. Kehadiran mereka adalah dalam rangka

1 Khalid Masud, Muhammad. 2009. Islamic Modernism. in ed. Muhammad Khalid Masud et.al, Islam and Modernity: Key Issues and Debates. British: Edinburgh University Press.H. 240 2 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Gerakan Pembaharuan

menentang praktek taqlid (blind imitation) dan fanatisme mazhab (taqdis al afkar al diniy), karena keduanya dipandang telah meng-akibatkan keretakan dalam komunitas Muslim2.

Kedua, seiring dengan meningkatnya penetrasi koloni Eropa ke dunia Islam, muncul beberapa gerakan (jihadiy movements) pada abad ke-19, sebagai aspek kunci dari pembaruan Islam. Misalnya, sebagai respons terhadap kolonisasi Inggris di anak benua India, para mendeklarasikan, bahwa India tidak bisa lagi disebut dengan “abode of Islam” (dar al Islam), tetapi sebagai “abode of war” (dar al harb). Pada awal tahun 1800 an, Hajji Shariatullah manyatakan bahwa India adalah kawasan perang dan menyerukan jihad melawan koloni Inggris di Bengal. Begitu juga di Afrika Barat, Syekh Usman bin Fudi (w. 1817), yang lebih dikenal sebagai Shehu Usman dan Fodio, bersama putrinya (seorang sastrawan dan pendidik ternama) Nana Asmau (w. 1864), telah berhasil memulai jihad dan membangun kekhalifahan Sokoto, sebuah kekuatan Islam terbesar di Afrika pada abad ke-19.3Dua ilustrasi aspek pembaruan di bidang militer ini penting, sebagai suatu pandangan yang juga turut membentuk bagian signifikan dari pemahaman terhadap agenda anti-kolonialisme masyarakat Muslim pada abad ke-20.

Ketiga, bersamaan dengan kedatangan era modern (abad ke-19 dan seterusnya), tradisi pembaruan keagamaan berlanjut secara lebih intensif dari pada era sebelumnya. Suatu era yang mengumumkan konfrontasi militer dan politik dari kekuatan-kekuatan Barat dengan dunia Islam, dimana masyarakat Muslim mengalami kekalahan4 Modernisme masyarakat Muslim yang terjadi pada era ini sebagiannya merupakan kelanjutan dari gerakan pembaruan abad 18-19M, dan sebagian yang lain adalah suatu cara untuk menjawab tantangan yang ditunjukkan oleh kemodernan Barat ketika masih tersisa sekepal

2 Saeed, Abdullah.2006. Islamic Thought: An Introduction. USA and Canada: Routledge. 3 Ibid., H.134 4 Boyd, J. 2001. Distance Learning from Purdah in Nineteenth Century Northern Nigeria: the Work of Asma’u Fodiyo. Journal of African Cultural Studies, 14.1, June 2001: 7–22.

3 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019 Gerakan Pembaharuan

keyakinan terhadap dasar-dasar keagamaan. Beberapa pembaharu Muslim yang berusaha memberikan renspons dengan tingkat tantangan dari modernitas Barat itu, misalnya, Jamaluddin al Afghani (w. 1897), Muhammad Abduh (1905) di dunia Arab, Sayyid Ahmad Khan (w. 1898) dan Muhammad Iqbal (w. 1938) di anak benua India, serta sejumlah pemikir dari Turki Usmani, seperti Namik Kemal (w. 1888). Pada penggalan ini, reformasi atau pembaruan merupakan tema sentral (key theme) bagi kaum modernis.

Jamaluddin al Afghani, misalnya, berargumentasi bahwa masyarakat Muslim harus melakukan gerakan reformasi sebagaimana peran penting tersebut dimainkan oleh masyarakat Kristen Eropa. Konteks modern tersebut menuntut sebuah penghargaan kembali atas warisan budaya intelektual Muslim, termasuk karya-karya para ulama generasi awal. Gagasan kunci yang lain dari kaum modernis adalah kembali pada Islam murni (return to the pristine Islam) generasi Muslim paling awal (salaf), revitalisasi tradisi intelektual Islam, interpretasi atau reinterpretasi tradisi dan sumber-sumbernya untuk menjawab tantangan yang diajukan oleh era-modern, sehingga di sini diperlukan sistem teologi baru.5 Di sini penulis akan meneksplorasi tentang pemikiran Indonesia pada era reformasi, pertama kajian tokoh yang mewakilinya, nyaitu Hasyim Muzadi (NU), dan Noercholis Majid (), kedua,kajian gerakan organisai fudamentalis dan modernis.

B. Pembaharuan Pemikiran Islam Era-Reformasi

Pembaruan juga menggunakan khazanah pemikiran Islam klasik terdahulu, seperti pemikiran Ibn. Thaimiyah, Ibn. Qayyim, Abd.Wahhab maupun Abduh dan lainnya.

5 Khalid Masud, Muhammad. 2009. Islamic Modernism. in ed. Muhammad Khalid Masud et.al, Islam and Modernity: Key Issues and Debates. British: Edinburgh University Press.H. 241 4 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Gerakan Pembaharuan

Fazlur Rahman telah membagi pembaruan Islam menjadi beberapa peri ode, diawali dengan priode revivalisme pramodernis, modernisme klasik, neo- revivalisme dan neo-modernisme.

Pembaruan pemikiran Islam yang diintrodusir pada abad 17-19 M. di atas dapat ditemukan pengaruhnya di Indonesia sejak permulaan abad ke-20 melalui kehadiran Muhammadiyah dan Persatuan Islam, yang menjadikan purifikasi atau pemurnian akidah sebagai tema sentral gerakan mereka. Sebagaimana pemikiran pembaruan Ahmad bin Abdul Wahhab dan Muhammad Abduh, episode awal sejarah modernisme Islam Indonesia juga dicirikan oleh semangat untuk keluar dari ikatan-ikatan kaum ortodoks dengan mengedepankan ijtihad dari pada taqlid, menekankan pentingnya qiyas agar dapat merebut semangat hukum yang tersimpan dalam tulisan hukum; dan memilih mengurangi ketergantungan pada Hadis demi mendahulukan al Quran dan Sunnah Nabi. 6

Visi modernitas yang diajukan oleh Muhammadiyah dan Persis tersebut selama hampir satu setengah dekade melahirkan ketegangan dengan kelompok konservatif, yang terdiri dari para kiai pesantren. Kelompok kiai tradisional ini beranggapan bahwa ijtihad yang terkait masalah-masalah fundamental dalam hukum adalah tidak mungkin dan tidak diperlukan. Mereka berpendapat bahwa para ulama klasik pendiri empat madzhab memiliki keahlian yang belum tertandingi sejak abad kesepuluh, sehingga kebenarannya di bidang hukum Islam tidak perlu diragukan. Dengan alasan inilah para ulama tradisionalis memperlakukan taqlid terhadap prinsip-prinsip hukum yang diajukan para imam mazhab. Perseteruan ini pada saatnya mendorong para kiai untuk membentuk suatu organisasi sosial keagamaan yang sangat berpengaruh di Indonesia, (NU), yang didirikan pada tahun 1926 sebagai

6 Barton, Greg 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo Modernisme Nurcholish Madjid, , Ahmad Wahib, dan . Jakarta: Paramadina.h. 41

5 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019 Gerakan Pembaharuan

puncak dari reaksi kaum konser-vatif terhadap gerakan modernis Muhammadiyah 7.

Sampai paroh kedua abad ke-20, gerakan modernisme di Indonesia ditandai dengan ketegangan teologis dan bahkan berkembang ke arah politis Muhammadiyah dan NU, sehingga sebagaimana terjadi pada dunia Islam yang lain, gerakan pembaruan Islam Indonesia pada akhirnya juga mengambil corak yang cukup kuat dalam bidang politik. Sekalipun ketegangan Muhammadiyah dan NU bukan refleksi sepenuhnya dari sikap anti terhadap Barat. Modernisasi di Indonesia ini memiliki kemiripan dengan Iran pasca revolusi, dimana para intelektual terpolarisasi ke dalam dua spektrum, yaitu mereka yang mengamini narasi modernitas Barat dengan persepsi keberagamaan masyarakat yang anti Barat. Melihat kondisi tersebut, Michel Foucoult mengajukan pertanyaan yang agak sarkastis “apa sebenarnya yang sedang terjadi di Iran (dan Indonesia, pen.), dimana kebanyakan orang, yang berada pada haluan kiri maupun kanan tampak agak mengalami iritasi?”.8

C. Kajian Pemikiran Pembaharuan Pemikiran di masa Orde Baru ala Norcholis Majid

Perwakilan pembaharu pemikiran orde baru Nurcholis Madjid, Doktor dari Chicago University ini mempelopori gerakan pembaharuan sejak 1970-an. Tonggak pembaharuannya dimulai sejak ia mengungkapkan pemikiran- pemikirannya dalam ceramah halal bi halal di Jakarta pada tanggal 3 Januari 1970. Dalam acara yang dihadiri oleh para aktivis penerus Masyumi, HMI, PII, dan GPI itu Nurcholish menyampaikan makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dalam makalah

7 Sutarto, Ayu. 2008. Menjadi NU Menjadi Indonesia: Pemikiran K.H. Abdul Muchith Muzadi. Surabaya: Khalista, H. 27 8 Kritzman, ed, Lawrence, D. 1988. Michel Foucault: Politics, Philosophy, Culture: Interviews and Other Writings, 1977–1984. New York: Routledge, H. 224 6 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Gerakan Pembaharuan

yang cukup menghebohkan ini ia menawarkan sekularisasi dan liberalisasi pemikiran Islam9

Sejak meluncurkan gagasan sekularisasinya pada 1970-an itulah sebagai intelektual, pemikiran Nurcholish banyak dikaji dan dibahas dalam konteks dan dinamika keislaman dan keindonesiaan. Beliau bahkan dijuluki sebagai “lokomotif kaum pembaharu” yang dimasukkan ke dalam aliran neo-modernis Islam bersama , Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rahmat, dan lainnya10. Berbeda dengan paradigma kaum modernis dan tradisionalis 11. pemikiran Neo-modernism adalah suatu madzhab yang berusaha memadukan antara otensitas wahyu dengan realitas sosial yang dinamis. Antara wahyu yang transenden dan konteks yang profan. Oleh karena itu, Nurcholish berusaha membangun visi Islam di masa modern, dengan sama sekali tidak meninggalkan warisan intelektual Islam. Bahkan jika mungkin mencari akar- akar Islam untuk mendapatkan kemodernan Islam itu sendiri.12

Sejak awal kemunculannya pada tahun 1970–an, Nurcholish menjelma menjadi sebuah fenomena sekaligus sosok yang kontoversial, pemikirannya sangat mendapat apresiasi sekaligus resistensi, terutama konsep inklusivismenya yang muncul di tengah arus utama ekslusivisme. Jika dikategorisasikan secara sederhana, maka ada tiga pandangan dan kecenderungan masyarakat dalam menanggapi pemikiran dan sosok Nurcholish. Pertama, pandangan yang apresiatif - empatik yang memposisikannya sebagai teman dialog bagi kegelisahan-kegelisahan teologis yang sama. Implikasinya, semua pemikiran Nurcholish diterima tanpa reserve, tanpa sikap kritis. Dalam konteks ini pemikiran-pemikiran Nurcholish menghasilkan proses transformasi yang cukup signifikan, terutama dalam

9 Madjid, Nurcholish. (1999). Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan,.h6 10 Urbaningrum, Anas. (2004). Islamo-Demokrasi : Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Republika.,h.56 11 Al Qurthuby, Sumanto. (1999). Era Baru Fiqih Indonesia, : Cermin, h.tt 12 kandi. (2004). Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h56

7 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019 Gerakan Pembaharuan

mendorong perubahan aspek berfikir dan sikap keberagamaan. Mereka adalah kelompok pemikir muda Islam. Bagi kelompok ini Nurcholis adalah figur pembaharu yang patut dihargai dan bola salju pemikirannya mesti harus terus menerus digelindingkan. Kedua, pandangan kritis, yang menempatkan Nurcholish dan pemikirannya tersebut berada di luar bingkai mainstream pemikiran umat Islam. Implikasinya adalah apologi dan sekaligus resistensi atas pemikiran Nurcholish. Reaksi keras dan bahkan muncul vonis-vonis teologis yang disematkan padanya, seperti sesat. Ketiga, adalah pandangan simpati yang menempatkan Nurcholish dan pemikirannya secara objektif dan independen. Kelompok ini melihat ada banyak sisi positif dan manfaat dari gagasan Nurcholish, namun juga bersikap kritis dan objektif bahwa ada sisi kelemahan.13

Kerangka Teoritis Nurcholish Madjid Kerangka konseptual seluruh pemikiran Nurcholish dibangun dari sebuah pertanyaan yang fundamental yaitu bagaimana Islam yang universal bisa ditempatkan dalam kerangka kemodernan dan budaya lokal. Islam adalah universal dan implikasi dari keuniversalannya adalah bahwa Islam harus dapat dipahami dan dilaksanakan pada setiap ruang dan waktu. Dengan demikian Islam bisa bahkan harus disesuaikan dengan kemodernan. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan adalah bukan menolak modernitas tersebut melainkan menafsirkan kembali ajaran tersebut 14. Antara keotentikan dan kemodernan tidak dapat dilepaskan dalam merespon permasalahan umat. Dengan kata lain diperlukan kesadaran akan kekayaan tradisi sekaligus kemampuan untuk senantiasa membuat inovasi dalam “ruang” Indonesia dan “waktu” zaman modern.

13 Wahid, Abu Dua. (2004). Ahmad Wahib: Pergulatan, Doktrin dan Realitas Sosial, Yogyakarta: Resist Book.h.86 14 Noercholis Majid, (2000). Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina.h.493 8 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Gerakan Pembaharuan

Dalam merekonstruksi pemikiran-pemikirannya, termasuk teologi inklusifnya, Nurcholish menggunakan pendekatan kritis-dekonstruktif dan pendekatan humanistik/antroposentris 15. a. Pendekatan kritis-dekonstruktif, berbeda dengan pemikiran klasik, dalam pandangan Nurcholish, absolutisme harus diruntuhkan dan relativisme harus diteguhkan. Pemahaman yang dianggap kebenaran oleh umat Islam, dalam pandangan Nurcholish kebenaran bukanlah taken for granted, statis dan tidak berubah. Setiap pemahaman terhadap kebenaran adalah proses pencarian yang terus menerus, karenanya ia tidak tunggal dan tidak final. Pemahaman terhadap kebenaran sangat dipengaruhi oleh konteks ruang dan waktu. Karenanya ia tidak mutlak dan sangat memberi ruang untuk dikritisi. Dengan asumsi seperti itu, maka tidak heran jika pemikirannya dipenuhi tafsir baru, kritik, revisi, bahkan dekontruksi terhadap konsep- konsep Islam yang selama ini sudah terlanjur dianggap kebenaran yang final. Tujuan akhirnya adalah untuk menemukan makna baru yang lebih segar dan progresif. b. Pendekatan Humanistik-antroposentris. Dalam menemukan gagasan-gagasan pemikirannya, Nurcholish senantiasa memakai pendekatan humanistik, artinya upaya pembelaan terhadap harkat kemanusiaan lebih ditekankan daripada klaim-klaim ketuhanan. Agama pada akhirnya harus membela umat manusia daripada klaim ketuhanan. Pendekatan humanistik ini dalam pandangan Nurcholish menjadikan agama lebih membumi, berdialog dengan konteks ruang dan waktu. Dalam bahasa lain teosentrisme harus disatu padukan dengan antroposentrisme. Manusia menemukan kepribadiannya yang utuh hanya jika memusatkan orientasi transendental hidupnya pada Allah. Pemusatan oreintasi transendental ini harus dalam bingkai antroposentrisme.. Untuk membela kemanusiaan, maka harus dipetakan secara jelas dan tepat

15 Suprayogo, Imam. (2003). Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: Rosdakarya,h.68

9 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019 Gerakan Pembaharuan

wilayah keduniaan yang harus disekulerkan dan diprofankan dan apa yang menjadi wilayah religius yang disakralkan dan dimutlakkan. Dalam pandangan Nurcholish kemanusiaan itu universal, sehingga manusia didudukan secara equal tanpa membedakan perbedaan atribut dan agama. Pendekatan humanistik inilah yang sejalan dengan upaya kemaslahatan manusia, karena agama haruslah untuk kemaslahatan manusia bukan untuk agama itu sendiri.

D. Pembaharuan Pemikiran Era pasca Reformasi ala KH Hasyim Muzadi

Hasim Muzadi, lahir di desa bangilan , , Jawa Timur, tanggal 8 Agustus 1944, setahun sebelum Indonesia merdeka. Orang tuanya memberi nama Ahmad Hasim Muzadi, namun kelak lebih populer dengan nama Hasyim Muzadi Saja. Ayahnya, Muzadi, yang berasal dari Kota Tuban adalah pedagang tembakau. Sedangkan sang ibu, Rumiyati, yang asli Bangilan, sehari- hari berdagang roti dan kue kering di kampung tersebut.Sama seperti yang lainnya, sejak kecil, Hasyim mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang tuanya. Muzadi dan Rumiyati memang bercita-cita: kelak , semua ankanya, termasuk Hasyim, harus tumbuh dan berkembang menjadi orang berilmu dan bermanfaat bagi umat. Karena itu, dasar-dasar ilmu agama mulai ditanamkan sejak masih belia.Selain belajar disekolah umum, Hasyim Muzadi kecil juga belajar mengaji dari kedua orang tuanya. Beliau mengawali pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah Salafiyah (setingkat sekolah dasar) Bangialan mulai kelas satu sampai kelas tiga. Selebihnya diselasaikan disekolah Rakyat . Hasyim Muzadi sempat mengeyam pendididikan SMP tapi tidak sampai tamat. Di SMPN I Tuban hanya 1,5 tahun, beliau pindah ke Gontor untuk melanjutkan studinya.16 Hasyim Muzadi orang kedua di Bangilan yang menimba ilmu di Gontor. Sebelumnya , sepupu Kiai Hasim sudah terlebih dahulu berangkat

16 Ahmad Millah Hasan, Biografi A. Hasyim Muzadi, (: Keira, 2018), hal. 43-47 10 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Gerakan Pembaharuan

kegontor. Bedanya, Kiai Hasyim belajar di Gontor sampai lulus, yaitu pada 1956 sampai 1962. Sedangkan sepupunya putus di tengah jalan.Selain menimba ilmu di Gontor, Kiai Hasyim sempat mengeyam pendidikan Pesantren Seniori, di Tuban, Pesantren Lasem , Jawa Tengah.

Pemikiran( Fikrah) pertama NU lebih mengedepan sikap moderat yang telah membumi di tanah Nusantara, ini ciri khas NU sebagai organisasi Islam yang paling besar yang memilki nilai budaya sosial yang bisa diterima oleh lapisan masyarakat, kecuali pihak-pihak yang tidak setuju terhadap pemikiran dan gerakan NU di Indonesia. NU melalui peranan para kiai dan ulama dalam memerdekakan bangsa dan merukunkan dengan menjaga kerukunan beragama dan kerukunan berbangsa.

Perjalan para kiai selalu menghindari dari sikap radikal, karena sikap tersebut paling tidak disukai yang akan menimbulkan resiko negatif jangka panjang dan menjauhkan dari nilai-nilai kemaslahatan umat terutama negara kesatuan republik Indonesia. Para ulama NU lebih mengedepankan nilai-nilai moderasi dalam menghadapai masalah baik masalah agama dan bangsa dengan menjalankan prinsip-prinsip yang factual dan realistis.

Melalui penggunaan aspek al-tawassuth ini dalam konteks berbangsa dan bernegara, NU mampu berlayar di antara karang ekstremisme dan liberalism, kedua kata yang memang dicurigai sebagai penyebab kehancuran sebuah peradaban. Ekstremisme yang ditandai dengan absolutisme pendapat, fanatisme akut dan takfir-isme, banyak menimbulkan konflik sektarian dan bentrokan ideologis. Liberalisme, di sisi lain, dicurigai mempengaruhi pola pikir dalam aspek sosial, teologi hingga ekonomi. Di bidang sosial, liberalisme lebih cenderung dimaknai sebagai liberalisasi gaya hidup, westernisasi dan modernisasi. Di bidang teologi, alih-alih memancing gairah pembebasan, sebagaimana arti kata liberal, liberalisme justeru banyak berkutat pada wacana- wacana elitis, sibuk membongka doktrin yang qath’i dan jauh dari makna

11 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019 Gerakan Pembaharuan

pembebasan kaum yang tertindas (mustadh’afin) serta dicurigai sebagai kepanjangan pihak kapitalis-borjuis. Di bidang ekonomi, dan ini yang paling berpengaruh, liberalisme lebih banyak menjadi tukang stempel kebijakan yang berpihak pada kaum neo-liberalisme.17

Fikrah Tawassuthiyyah ini juga mengandung kata kunci lain yang tidak kalah penting, yaitu al-tawazun. Dalam tulisan ini, kata al-tawazun dimaknai sebagai sebuah harmoni. Kata kunci ini akan terwujud jika terdapat berbagai anasir yang berkaitan dalam kesamaan pemahaman. Dalam konteks kebangsaan, wujud al-tawazun ini adalah NU selalu berusaha menjaga harmoni kemajemukan,kerukunan antar umat beragama sekaligus memberikan berbagai keputusan siyasi yang menghindarkan keterpecahan Indonesia. Kontribusi NU sejak 1926 sampai sekarang dalam berbagai peristiwa penting merupakan pengejawantahan harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini bias dilihat dengan jelas dalam Resolusi Jihad, pemberian gelar waliyyul amri al- dharuri bi al-syaukah, membela NKRI dari rongrongan PKI, penerimaan asas tunggal Pancasila hingga keputusan NKRI adalah final.

Dalam konteks pemahaman seperti ini, sangat menarik kalimat yang telah disampaikan oleh KH. A. berikut ini:

“Saya berkata demikian (kegembiraan berdirinya PTAIN-pen) bukanlah karena saya seorang muslim yang kebetulan berbangsa Indonesia, akan tetapi sebagai seorang putra Indonesia yang beragama Islam.”18

Peranan kiai NU terus bergulir diteruskan oleh generasa seterusnya, terutama KH Abdurahman Wahid (GusDur) putra dari KH. Wahid Hasyim. Dalam peranan GusDur terhadap Konflik Ambon di Maluku sejak tahun 1999 adalah salah satu contoh luka bangsa ini. Saat menjadi presiden, KH.

17 Rijal Mumazziq Zionis, Fikrah Nakhdiyah sebagai Pondasi kehidupan Berbangsa dan Bernegara , (Jember: STAI Assuniyah Kencong), Hal.8

18 Aboebakar Atjeh, Sedjarah Hidup KH. Abdul Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H. A. Wahid Hasyim, 1957), 812. 12 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Gerakan Pembaharuan

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mendarmabaktikan hidupnya untuk bangsa Indonesia. Dalam menyelesaikan konflik Ambon ini, Gus Dur menggunakan paradigma ukhuwah wathaniyah, yaitu prinsip persaudaraan karena memiliki tanah air yang sama, yaitu Indonesia. Jika Gus Dur saat itu menggunakan paradigma ukhuwah islamiyah, maka sebagai pemuka umat Islam dan sebagai presiden muslim, sangat dimungkinkan Gus Dur mengirimkan ribuan untuk melakukan jihad di sana membantu kaum muslim. Namun Gus Dur justeru tidak melakukannya. Saat menyelesaikan konflik, Gus Dur tidak memilih memberfungsikan dirinya sebagai “politisi muslim” yang bisa menunggangi isu konflik Ambon bagi kepentingan politiknya sendiri. Gus Dur justeru memilih menjadi seorang negarawan sejati, berusaha mendamaikan anak bangsa yang tercabik perang saudara, merukunkan kembali dan menyadarkan bahwa konflik tidak akan menghasilkan kemaslahatan, karena sebagaimana pepatah, menang jadi arang, kalah jadi abu.

Meskipun perdamaian di Ambon terjadi usai Gus Dur dilengserkan, namun upaya rekonsiliasi yang dilakukan sejak jamannya berbuah manis. Di tengah konflik membara, secara diam-diam Gus Dur mengutus Menteri Agama KH. Tolchah Hasan dan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi untuk menjadi salah satu mediator perdamaian Ambon.19NU dipilih menjadi inisiator perdamaian karena selama itu sikapnya memang menunjukkan moderatisme beragama dan visi besarnya mengenai Islam Indonesia. Beberapa pemimpin kaum Nasrani garis keras juga melihat ketulusan dan obyektivitas NU dalam proses perdamaian ini, sehingga proses rekonsiliasi mampu dilakukan dengan cepat dan tepat. Nahdatul Ulama (NU), sejak dilahirkan pada 1926, tidak habis-habisnya melahirkan tokoh dan pemimpin besar. Tidak hanya level nasional, tetapi juga internasional. Mereka telah terbukti memberi warna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu tokoh itu adalah

19Disampaikan oleh KH. Tolchah Hasan saat haul pertama Gus Dur di Pesantren Tebuireng Jombang, 26 Desember 2010.

13 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019 Gerakan Pembaharuan

KH Hasyim Muzadi. Umumnya pemimpin NU, terutama ditingkat pusat , lahir dari keluarga kiai yang punya nama besar. Namun tidak begitu dengan pria yang aktivis NU di Jawa Timur akrab disapa Kiai Hasim “cak” ialah bahasa Jawa Timur yang berarti kakak. Dia lahir dari kalngan keluarga biasa di Bangilan, Tuban, jawa Timur ayahnya, Muzadi seorang pedagang tembakau.

Banyak pihak yang kaget ketika mayoritas peserta Muktamar ke-30 NU di Lirboyo, kediri, tahun 2000, memutuskan memilih Kiai Hasim Muzadi sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU. Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua PBNU yang kala itu masih menjabat Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Barat, pada periode kedua. Ia menggantikan KH. Abdurahman Wahid alias Gus Dur yang memimpin NU selama tiga periode :1984-1989,1989- 1994, dan 1994-1999. Muktamar itu adalah momentum bersejarah naik tokoh kampung memjadi pemimpin tertinggi NU. Gus Dur berperan besar dalam terpilihnya Kiai Hasyim, karena ia, yang kala itu menjadi persiden, mendukung penuh Kiai Hasyim. Namun setelah lima tahun berlalu, Gus Dur dan Kiai Hasyim berada pada posisi berhadapan pada muktamar ke - 31 NU di Donohudan Boyolali, Jawa Tengah, tahun 2004.20

Saat itu, Gus Dur ingin kembali memimpin NU. Sedangkan Kiai Hasyim yang tetap bergandengan dengan KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz sebagai Rais Am, hendak melanjutkan perjuangannya. Pada Muktamar yang memanas itu, Kiai Hasim kembali terpilih sebgai Ketua Umum NU. Pada tahap pencalonan, Kiai Hasyim memperoleh 293 suara, KH Masdar F. Mas’udi 103 suara, KH. 35 suara, abdul Aziz 4 suara. Sedangkan Gus Dur dan KH. Tholchah Hasan hanya memperoleh 1 suara. Kemudian pemilihan tahap selanjutnya antara KH. Masdar F. Masudi dan KH. Hasyim Muzadi, pada tahap ini, Kiai Hasyim mengungguli KH. Masdar F.Mas’udi dengan perbandingan suara 334 dan 99.

20 Ahmad Millah Hasan, Biografi A. Hasyim Muzadi, hal. 71-72 14 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Gerakan Pembaharuan

E. Pemikiran dan Gerakan KH Hasyim tentang Terorisme

Selanjutnya dalam pemikiran dan gerakan yang dilakukan Hasim Muzadi pada masa kepemimpinanya atau setelah kepemimpinanya, beliau lebih eksis pada bidang perdamaian dunia dan kerukunan antar agama. Peranan agama dalam perdamaian dan kerukunan sangat urgen sekali, sebagaimana yang dicita-citakan sekaligus dikerjagakan Hasyim Muzadi, karena agama akan menjadi pilar utama dalam mewujudkan perdamaian dan kerukunan, kemudian agama hanya dapat menjalankan perannya secara efektif dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, diperlukan tiga kenyakinan yang bersumber dari keyakian Ibrahim untuk menjadikan keselamatan atau perdaian sebagai inti ajarannya. Sebagai contoh, Islam berarti penyerahan diri secara total terhadap kehendak Allah.dan perdamaian di antara sesama manusia dengan cara melakukan perbuatan yang baik, bagi Yahudi, pada pengertian keharmonisan organik, pemenuhan kewajiban, penunaian tugas, kebaikan atau rokonsialiasi atas berbagai pertentangan.

Dadang kahmad menegaskan pengertian itu tidak mencakup kata “ perdamaian” dalam pemahaman keagamaan Barat yang berarti penafsiran atas konflik atau kesolehan pasif, dengan cara menghindarikan diri dari urusan duniawi. Perdamaian mewujudkan, bukan hanya menghilangkan saling curiga, saling mencelakai, penaklukan, atau peperangan, melainkan juga menciptkanan tatanan alamiah segala sesuatu.21 Terjadinya konflik di berbagai daerah tidak pernah usai, ini perlu penyelesaian yang sangat serius bagi seluruh komponen bangsa, termasuk para tokoh agama. Hal ini, kiai Hasyim sangat inten dalam menagggapai gerakan teroris di Indonesia yang

21 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama Potret Agama dalam Dinamika Konflik, Pluralisme dan Modernitas,( Pustaka Setia: Bandung, 2011), Hal. 163

15 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019 Gerakan Pembaharuan

terus terjadi bermunculan dengan melakukan pemboman di daerah terutama di kantor-kantor kepolisian yang menjadi sasrannya.

Hasyim Muzadi tak pernah sependapat dengan tindakan penangan Kepolisian terhadap pelaku teror, terutama seperti yang dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88 yang sering menembak mati mereka terduga teroris. Sebab, katanya, cara seperti itu sama dengan pemberantasan terorisme dengan teror baru. Penanganan terorisme , menurut Hasyim Muzadi, harus tetap dilakukan dalam kolidor hukum. “ Jangan asal menembak mati orang yang belum dibuktikan keterlibatannya sebagai teroris di Pengadilan. Itu namanya menangani teroris dengan teror.Ia juga tidak sependapat dengan dengan tereksposnya aksi penggerebekan dan penangkapan terduga teroris lewat siarang langsung televisi (TV). Cara itu malah menyuburkan rasa dendam kerabat atau simpatisan para teroris tersebut. Logikannya, melalui tayangan aksi penangkapan itu mereka dapat melihat bagai mana karabat, ayah, kakak, atau temen mereka yang diduga teroris itu, diperlakukan secara tidak manusiawi oleh aparat. Dalam pandangannya, Indonesia pernah sukses menangani kasus terosrisme secara elegan dan dapat apresiasi banyak kalangan, termasuk luar negeri, yakni saat menangani kasus bom Bali dengan pelaku, antara lain, Imam Samudra dan Amrozi. Saat itu aparat menangkap pelaku dalam keadaan hidup, diadili, dan dijatuhi hukuman, harus diterapkan kembali. Meskipun di pengadilan nantinya pelaku dijatuhi hukuman mati , seperti pelaku Bom Bali, hal itu jauh lebih baik dari pada menembak mati tanpa proses pengadilan.

Kiai Hasyim berpendapat, terorisme bukan watak asli bangsa Indonesia. Tentu ada faktor-faktor yang membuat kelompok teroris lahir dan berkembang di tanah air. Ia beranalisi, terorisme di Dunia dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu teror yang murni teror dan teror yang bagian dari perang . terror yang terjadi di Indonesia, setelah era reformasi,

16 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Gerakan Pembaharuan

adalah teror yang murni teror karena terjadi di negara damai. Sedang teror yang bagian dari perang, seperti terjadi di Israel dan Palestina.Ia menyakini, aktor intelektual teror bom bunuh diri adalah kelompok teroris lama. Kini, mereka sudah berani berani terang-terangan melakukan serangan serta terbuka. bahkan, masjid pun menjadi target serangan, seperti yang terjadi di Msjid Polersta Cirebon, jawa Barat , 15 Juni 2011. Itu menjadi bukti tentik bahwa torerisme tidak ada kaitanya dengan ajaran Islam dan ajaran agama Islam. Kata Hasyim Muzadi, anehnya selama ini ada labelisasi Islam dalam aksi terorisme di Indonesia. Labelisasi yang bersifat general itu menyebabkan banyak umat Islam ikut kesel. Lalu, terjadi pembiaran. Jika sikap itu berkembang di masyarakat, terorisme di Indonesia akan bersiafat permanen.

Kiai Hasyim Muzadi menilai, ada permanenisasi terorisme di Indonesia untuk dijadikan proyek yang juga permanen. Buktinya respon pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap penanggulangan terorisme itu lebih banyak dalam bentuk diskusi, bukan dalam bentuk aksi-aksi nayata melakukan deideolgisasi di tengah-tengah masyarakat. 22 Diakui atau tidak , penangan teririsme selama ini masih mengacu kepada kekuatan senjata aparat kepolisian. Sementara, peran masyarakat sipil cenderung dipinggirkan dan diabaikan. Tidak dilibatkannya masyarakat sipil justru kontraproduktif dan tidak mengenai sasaran, karena tidak mampu membasmi akar teroris. Cara yang digunakan Indonesia sekarang sebenarnya sama dengan cara yang dilakukan Amerika Serikat pada masya Persiden George W Bush, yaitu pre empetive action ( pikul dulu urusan belakangan). Cara itu ternyata gagal, bahkan membawa Amerika ke dalam gelombang teror.23

22 Ahmad Millah Hasan, Biografi A. Hasyim Muzadi, (Depok: Keira, 2018), hal. 242

23 “ Ini bukan serangan terhadap Islam, tapi serangan untuk terorisme,” demikian pernyataan Persiden AS, George W Bush, beberapa saat setelah melakukan serangan pertama terhadap beberapa tempat yang diduga sebagai instalasi militer pemerintahan Taliban Afganistan, 7 oktober

17 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019 Gerakan Pembaharuan

Di Indonesia, cara seperti ini justru memunculkan terorisme baru. Juka terus berlanjut, militansi para teroris semakin bertambah. Akibatnya, mereka bisa semakin brutal melakukan serangan kepada polisi. Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi yang menyebutkan pentingnya peran kelompok masyarakat sipil dalam memberantas terorisme. Namun, implimentasi resolusi itu juga masih lemah di Indonesia. Penangan terorisme perlu melibatkan kelompok masyarakat sipil karena terorisme memilki banyak bentuk dan manisfestasinya bisa dalam berbagai hal. Kelompok masyarakat sipil dapat membantu mengatasi terorisme dari aspek-aspek nonfisik, seperti ideologi dan kondisi sosial ekonomi.24

Sebagai ormas yang moderat, NU telah memberikan perhatian lebih terhadap masalah terorisme di Indonesia. Dalam berbagai kesempatan, NU aktif mengampanyekan Islam yang moderat dan anti terorisme, dalam forum –forum nasional maupun internasioanl. Bagi NU, menguatnya Islam modertalah yang mampu membendung kelompok Islam radikal. Melalui lokomotif NU, Hasyim Muzadi melakukan kompanye tentang Islam rahmatan Lil alamin terus tidak henti-henti beliau sampai wafat.25 NU melakukan hal itu karena kesadaran bahwa penangan terorisme tidak hanya menjadi tanggung jawa pemerintah, tetapi juga menjadi tangggung jawa masyarakat dan organisasi keagamaan. Bahkan, isu terorisme telah menjadi bahasan khusus pada muktamar ke-32 NU, di Makasar, Sulawesi Selatan, 2010. Rekomendasi Muktamar menekankan pentingnya partisipasi masyarakat sipil dalam penangan terorisme.

lalu. Pernyataan di atas sengaja diucapkan W Bush dengan maksud ingin melokalisir masalah agar umat Islam tidak terpancing untuk melakukan solidaritas terhadap Afganistan di satu pihak, dan pihak lain Bush seolah ingin menegaskan bahwa Islam tidak identik dengan terorisme. Bush sadar betul bahwa serangan itu sangat potensial untuk menyatukan solidaritas umat Islam di berbagai belahan dunia, dan bila hal itu terjadi maka tidak menutup kemungkinan sejarah hutam “ Perang salib” akan terualang kembali.Lihat buku “ Masyarakat Post-Teologi wajah baru Agama dan Demokrasi Indonesia, karya Rumadi ( Mustika Bahmid: Jakarta, 2002), Hal. 139-140 24 Ibid., hal. 243 25 Ibid., 18 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Gerakan Pembaharuan

Belajar dari pengalaman kegagalan Indonesia dalam menangkal terorisme, dalam pandangan Kiai Hasyim, ada beberapa aspek pendekatan yang harus dilakukan:

1. Aspek ideologis dan agama. Dibutuhkan peran serta organisasi kemasyarakatan, seperti NU, Muahammadiyah dan lintas agama. Para kiai pesantren, tokoh masyarakat dan lintas agama perlu digerakan secara serentak. Tugas mereka adalah melurusken pemahaman agama yang salah atau deradikalisasi ideologi kepada masyarakat luas. Terorisme ada karena kesalahpahaman terhadap hakikat dari ajaran agama. Kesalahpahaman ini kemudian pada 2006 telah berkembang menjadi penyalah gunaan agama. Karena akar terorisme adalah pemahaman ideologi yang salah, perhatian aparat tidak boleh hanya tertuju pada bentuk terornya. 2. Aspek hukum. Untuk memberantas terorisme tentu parlu undang-undang yang cukup agar aparat bisa bergerak di lapangan dengan langkah – langkah yang terukur. Jangan sampai aparat justru dinilai melanggar hak asasi manusia. Apalagi polisi kini belum sepenuhnya mendapat dukungan opini, partisipasi masyarakat secara luas. 3. Pendekatan Intelejen dan pendekatan kewilayahan. Karena para teroris di Indonesia bergerak dibawah tanah, penanganan terorisme tidak bisa ditempuh diatas tanah. Di sinilah pendekatan intelijen sangat diperlukan. Jika kepolisian tidak mampu bergerak maksimal, sebaiknya melibatkan intelijen TNI. Kedua lembaga harus bekerja sama tanpa saling menegasikan. 4. Aspek security dan represi. Tugas negara, terutama kepolisian, adalah menciptakan rasa aman di masyarakat dari ancaman terorisme. Karena itu, penangann semua kasus terorisme harus dituntaskan. Namun, perlu diperhatikan, cara kekerasan bisa menimbulkan terorisme baru, sehingga diperlukan pendekatan lain.

19 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019 Gerakan Pembaharuan

5. Political will. Dalam hal ini, kepala negara perlu tugas mengambil sikap dalam menagani terorisme yang terus mengancam. Hanya kepala negara yang bis menggerakan semua elemen bangsa Indonesia dalam rangka melakukan penangan terorisme secara tepadu. 6. Ujung dari semua ini aspek di atas adalah proses hukum terhadap para pelaku teror. Pada masa lalu, berhasil meangkap hidup-hidup orang yang diduga teroris. 26

F. Penutup Mengacu pada paparan hasil analisis tentang dua pembaharu Muslim di Indonesia dapat disimpulkan melalui runutan berikut:

Pertama, kedua pemuka pembaharu Muslim tersebut memiliki ruh serupa dan merepresentasikan bagaimana pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia pasca Reformasi 1998. Nurcholis Majid (Cak Nur) mengungkap formulasi pemikiran Islam lebih substantif filosofis dengan menggunakan media potensi lokalitas atau kearifan budaya yang berkembang dalam tradisi intelektual Islam. Sementara, Hasyim Muzadi melakukan formulasi pemikiran yang cenderung tradisional. Perbedaan keduanya lebih pada metodologi yang dibangun dan digunakan untuk menjelaskan relasi intelektual dalam tradisi Islam di Indonesia. Cak Nur selangkah lebih maju karena di samping mengkontruksi tradisi intelektual Islam, juga menggunakan metodologi dan tradisi intelektual yang berkembang di dunia Barat. Sementara Hasyim Muzadi masih menggunakan term-term dalam hazanah Islam tanpa “memolesnya” dengan tradisi yang berkembang di dunia Barat.

Kedua, konsekuensi perbedaan penggunaan metodologi bukan terbatas pada pengaruh latar belakadng keduanya, namun hasil kerja intelektual keduanya memiliki misi dan media berbeda. Pengaruh tradisionalisme nampak

26 Ibid., hal. 244-245. 20 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Gerakan Pembaharuan

dijadikan sepirit oleh Hasyim Mujadi untuk mengimbangi paham-paham ekstrim, radikal dan intoleran. Hasyim Muzadi seolah melawankan dua arus utama (mainstream) dalam pemikiran dan gerakan intelektual Islam di Indonesia. Nucholis Majid lebih luwes dalam menganalisis relasi tumbuhnya paham radikalisme dengan metdologi pemahaman yang dibangun oleh kelompok Islam terkait.

Fakta demikian, merupakan konsekuensi dari lingkungan Hasyim Muzadi yang merepresentasikan sebagai warga ormas Nahdatul Ulama, sebuah organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Metode dan pendekatan Hasyim serupa dengan metode dan pendekatan yang dibangun oleh NU dalam membangun narasi dan praktek keislaman. Cak Nur juga memiliki konsekuensi yang serupa. Namun dengan segmen masyarakat lebih modern (kelas menengah ke atas). Dua arus pemikiran yang mengisi dinamika pembangunan di Indonesia pasca Reformasi 1998 pada akhirnya bermuara yang sama.

Daftar Pustaka Aboebakar Atjeh, Sedjarah Hidup KH. Abdul Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H. A. Wahid Hasyim, 1957). Ahmad Millah Hasan, Biografi A. Hasyim Muzadi, (Depok: Keira, 2018). Al Qurthuby, Sumanto. (1999). Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Cermin. Barton, Greg 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Paramadina. Boyd, J. 2001. Distance Learning from Purdah in Nineteenth Century Northern Nigeria: the Work of Asma’u Fodiyo. Journal of African Cultural Studies. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama Potret Agama dalam Dinamika Konflik, Pluralisme dan Modernitas,( Pustaka Setia: Bandung, 2011). Dahlan, M. Moderasi Hukum Islam dalam Pemikiran Ahmad Hasyim Muzadi. Al-Ihkam, Vol. 11 No. 2 Desember 2016, hlm. 313-334. Ehwanudin. Tokoh Proklamator Nahdlatul Ulama (Studi Historis Berdirinya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama), Fikri, Vol. 1, No. 2, Desember 2016, P- ISSN: 2527-4430, E-ISSN: 2548-7620, hlm. 447-467.

21 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019 Gerakan Pembaharuan

Janah, N. Nurcholish Madjid dan Pemikirannya (Diantara Kontribusi dan Kontroversi). Cakrawala: Jurnal Studi Islam, Vol. XII, No. 1, 2017, hlm. 44-63. Jawahir, M. 2016. Analisis Pemikiran Nurcholis Madjid Tentang Politik Islam, Skripsi. Semarang: UIN Walisongo. Kandi. (2004). Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Khalid Masud, Muhammad. 2009. Islamic Modernism. in ed. Muhammad Khalid Masud et.al, Islam and Modernity: Key Issues and Debates. British: Edinburgh University Press. Kritzman, ed, Lawrence, D. 1988. Michel Foucault: Politics, Philosophy, Culture: Interviews and Other Writings, 1977–1984. New York: Routledge. Madjid, Nurcholish. (1999). Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan. Munir, M. Nurcholish Madjid dan Harun Nasution serta Pengaruh Pemikiran Filsafatnya. Petita, Volume 2, Nomor 2, November 2017, hlm. 211-227. Noercholis Majid, (2000). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina. Rasyid, MM. Islam Rahmatan Lil Alamin Perspektif Kh. Hasyim Muzadi, Epistemé, Vol. 11, No. 1, Juni 2016, hlm. 93-116 Rijal Mumazziq Zionis, Fikrah Nakhdiyah sebagai Pondasi kehidupan Berbangsa dan Bernegara , (Jember: STAI Assuniyah Kencong). Salamuddin. Meneguhkan : Nahdlatul Ulama dan Falsafah Pendidikan Pesantren Musthafawiyah, Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies, Vol. 3 No. 1 Januari-Juni 2019, hlm. 36-67. Suprayogo, Imam. (2003). Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: Rosdakarya. Sutarto, Ayu. 2008. Menjadi NU Menjadi Indonesia: Pemikiran K.H. Abdul Muchith Muzadi. Surabaya: Khalista. Urbaningrum, Anas. (2004). Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Republika. Wahid, Abu Dua. (2004). Ahmad Wahib: Pergulatan, Doktrin dan Realitas Sosial, Yogyakarta: Resist Book.

22 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019