TOKOH AGAMA DAN ORGANISASI KEAGAMAAN DI INDONESIA (Kajian Pengembangan Materi Pada Diklat Kader Muballigh)
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
TOKOH AGAMA DAN ORGANISASI KEAGAMAAN DI INDONESIA (Kajian Pengembangan Materi Pada Diklat Kader Muballigh) Oleh Dr. H. Muchammad Toha, M.Si (Widyaiswara Muda Balai Diklat Keagamaan Surabaya) ABSTRAK Keberadaan masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran seorang tokoh, apabila masyarakat tersebut memiliki kekhasan yang menonjol dalam bidang agama, maka tokoh yang memiliki kedudukan penting dan pengaruh besar biasanya adalah tokoh yang mempunyai keahlian lebih dalam bidang agama, tokoh agama dalam masyarakat agama tidak saja akan menjadi panutan dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan agama yang dianut mayoritas masyrakat tersebut, namun lebih dari itu tokoh agama juga akan menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai hal yang berkorelasi dengan masalah politik dan sosial ekonomi. Biasanya tokoh agama menempatkan dirinya dalam organisasi keagamaan sebagai wujud kongkrit dan untuk mempermudah gerakan dakwahnya. Di Indonesia terdapat dua organisasi kemasyarakatan yang memiliki andil besar dalam pembangunan Indonesia. KATA KUNCI: Tokoh Agama, Organisasi Agama A. PENDAHULUAN Menurut Pareto dalam Robert H. Lauer (1993 : 347) masyarakat adalah suatu sistem kekuatan yang berada dalam keadaan seimbang. Dalam setiap masyarakat terdapat dua kategori utama, yaitu tokoh dan non tokoh. Sedangkan Toynbee, yang lebih menekankan pada aktivitas elite menyatakan, perkembangan peradapan mayoritas berkaitan erat dengan karya kreatif kelompok minoritas (tokoh), selanjutnya kelompok ini harus memikirkan tanggapan yang tepat atas tantangan sosial, serta mendorong masyarakat untuk memilih alternatif tanggapan dan direncanakannya. Bila fungsi ini tidak dimiliki elite, maka peradaban akan mengalami kemunduran untuk seterusnya menuju kematian. Bahkan menurut A’la dalam Hamim dkk (2007: 102) tidak jarang elite inilah yang mempelopori masyarakat sehingga terjebak dalam pertikaian yang berkepanjangan dan berakhir pada kekerasan. 1 Memperkuat pendapat di atas, Pitirim A. Sorokin dalam Soekanto (1985 : 219- 220) mengatakan, sistem berlapis-lapis adalah merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat secara teratur. Bentuk-bentuk pelapisan dalam masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali, akan tetapi lapisan-lapisan tersebut tetap ada, meskipun dalam masyarakat kapitalistis, demokratis, komunitas dan sebagainya. Sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama dalam suatu organisasi sosial, maka saat itu juga pelapisan masyarakat tersebut ada. Pada masyarakat yang tingkatan kebudayaannya tergolong sederhana, pelapisan masyarakat mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, golongan budak dan bukan budak, pembagian kerja serta pembedaan berdasarkan kekayaan. Ketika kompleksitas masyarakat semakin tinggi seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi, maka sistem pelapisan dalam masyarakat semakin kompleks pula. Jika ditilik perkembangan masyarakat berdasarkan cara produksinya, menurut Marx, diawali pada masyarakat primitif menuju masyarakat perbudakan lalu masyarakat feodalisme, kapitalisme dan berakhir dalam masyarakat komunisme. Dalam teori Davis dan Moore, pelapisan sosial terdapat pada semua masyarakat, karena dalam setiap masyarakat selalu ada kedudukan yang dianggap lebih penting dari kedudukan lainnya. Sedangkan Karl Marx melihat adanya kelas sosial dari sisi relasinya dengan sumber produksi. Menurutnya, masyarakat dibagi dalam dua kelas utama yang bermusuhan yaitu golongan yang menguasai sumber produksi dan golongan yang tidak menguasia sumber produksi. Talcott Parson merinci enam ukuran yang merupakan dasar ukuran penilaian tentang kedudukan seseorang dalam sistem pelapisan yaitu: keanggotaan dalam satuan kekeluargaan (keturunan, perkawinan), sifat pribadi, sukses, pemilikan benda atau harta, kewibawaan dan kekuasaan. Berbeda dengan B. Barber yang berpendapat, ukuran penilaian tentang kedudukan seseorang adalah peranannya dalam politik, agama, ekonomi, profesi, kekayaan, keturunan, karakter pribadi dan peranan dalam aktifitas komunitas (Garna, 1996 : 179-180). 2 B. PEMBAHASAN 1. Tokoh Keagamaan Ulama adalah sebutan yang paling umum bagi tokoh Agama Islam. Kata ini berasal dari bahasa Arab, artinya orang yang senantiasa takwa (takut) kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang- binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”(Faathir: 28). Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa ulama adalah hamba-hamba Tuhan yang hanya takut kepada-Nya, serta hanya beribadah menurut perintah-Nya dan memberikan petunjuk, bimbingan pada masyarakat sesuai ajaran agama. Selain itu ulama merupakan teladan dalam beribadah, serta figur yang layak dicontoh dalam menggapai pengetahuan makrifat (status tertinggi dalam pengetahuan sufi), dan mengajarkan bagaimana memperpendek jarak diri dengan Tuhan (Horikoshi, 1987: 227). Shihab, (1999: 385) merinci tugas utama yang harus ditunaikan ulama sebagaimana tugas kenabian dalam mengembangkan kitab suci, antara lain: Pertama, menyampaikan ( tabligh ) ajaran-ajaranya sesuai dengan perintah Allah, “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (al-Maaidah: 67). Kedua, menjelaskan ajaran-ajaranNya, sebagaimana ayat al-Qur’an, “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,” (an-Nahl: 44). Ketiga, memutuskan perkara atau problem yang dihadapi masyarakat, berdasarkan ayat, “Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia 3 tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak- Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (al-Baqarah: 213). Keempat, memberi contoh-contoh pengalaman, bagaimana bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari, menjalani hidup bermasyarakat dengan baik sesuai tuntunan al- Qur’an. Sedangkan Muchtar, (1988) mengemukakan identitas atau persyaratan pokok bagi seseorang yang disebut ulama, antara lain; Pertama, pengalaman ilmu yang diemban. Seorang ulama, selain mengemban ilmu yang bermanfaat sekaligus harus menjadi pelaksana ilmu itu. Serta setiap perbuatan dan tingkah lakunya tidak bertentangan dengan apa yang diucapkan berdasarkan ilmu tersebut. Kedua, penyiaran ilmu yang diemban. Seorang ulama harus mempunyai komitmen terhadap tugas menyiarkan dan memasyarakatkan ilmunya untuk memberikan informasi, bimbingan dan tuntunan pada masyarakat. Ketiga. Tunduk sepenuhnya pada al-Qur’an. Dasar pertimbangan seorang ulama dalam bersikap dan bertindak adalah tuntunan Allah dan Rasul-Nya, menerima dengan puas semua keputusan berdasarkan agama. Keempat. Kesadaran terhadap kepastian terjadinya janji dan ketentuan Allah. Kesadaran ini mendorong untuk selalu ingat tanggung jawab sebagai ulama, sehingga selalu lebih memperhatikan pada hak yang pasti diperoleh. Sikap ini menjadikan seorang ulama selalu merasa terpanggil untuk melibatkan diri dalam usaha-usaha mengatasi setiap persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Kelima. Bersikap tawadlu’ dan rendah hati. Pemahaman dan penghayatan yang dimiliki seorang ulama tentang tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah, baik yang bersifat Qur’aniyah maupun yang bersifat Kauniyah, menyadarkan akan keterbatasan dan kelemahan dirinya dihadapan Allah, sehingga membuatnya bersikap rendah hati, tidak sombong, bersedia menghargai dan menghormati pendapat orang lain yang berbeda, merasa lebih patut menghormati orang lain dari pada dihormati, serta melandasi setiap sikap dan perbuatanya dengan keikhlasan, semata-mata mencari keridlaan Allah. 4 Nahdlatul Ulama, memberikan kriteria ulama sebagai berikut: Pertama. Norma pokok yang harus dimiliki seorang ulama adalah ketakwaan kepada Allah. Kedua. Seorang ulama mempunyai tugas utama mewarisi misi ( risalah ) Rasulullah meliputi: ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya. Ketiga. Seseorang disebut ulama apabila memiliki ciri-ciri utama dalam kehidupan sehari-hari seperti, tekun beribadah (baik yang wajib maupun yang sunnah), zuhud (melepaskan diri dari urusan dan kepentingan materi duniawi), mempunyai ilmu akhirat (ilmu agama dalam kadar yang cukup), mengerti kemaslahatan umat (peka terhadap kepentingan umat), dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah dengan didasari niat yang benar, baik dalam berilmu maupun beramal. (Siddiq, 1980: 26). Menurut Ziemek Ziemek (1986: 137), terdapat beberapa faktor yang mendorong lahirnya ulama yaitu: Pertama, berasal dari keluarga ulama di lingkungan masyarakatnya. Kedua. Sosialisasi dan proses pendidikanya dalam suatu pesantren terpandang, yang dilengkapi dengan pengalaman dan latar belakang