TOKOH AGAMA DAN ORGANISASI KEAGAMAAN DI (Kajian Pengembangan Materi Pada Diklat Kader Muballigh)

Oleh Dr. H. Muchammad Toha, M.Si (Widyaiswara Muda Balai Diklat Keagamaan )

ABSTRAK Keberadaan masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran seorang tokoh, apabila masyarakat tersebut memiliki kekhasan yang menonjol dalam bidang agama, maka tokoh yang memiliki kedudukan penting dan pengaruh besar biasanya adalah tokoh yang mempunyai keahlian lebih dalam bidang agama, tokoh agama dalam masyarakat agama tidak saja akan menjadi panutan dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan agama yang dianut mayoritas masyrakat tersebut, namun lebih dari itu tokoh agama juga akan menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai hal yang berkorelasi dengan masalah politik dan sosial ekonomi. Biasanya tokoh agama menempatkan dirinya dalam organisasi keagamaan sebagai wujud kongkrit dan untuk mempermudah gerakan dakwahnya. Di Indonesia terdapat dua organisasi kemasyarakatan yang memiliki andil besar dalam pembangunan Indonesia.

KATA KUNCI: Tokoh Agama, Organisasi Agama A. PENDAHULUAN Menurut Pareto dalam Robert H. Lauer (1993 : 347) masyarakat adalah suatu sistem kekuatan yang berada dalam keadaan seimbang. Dalam setiap masyarakat terdapat dua kategori utama, yaitu tokoh dan non tokoh. Sedangkan Toynbee, yang lebih menekankan pada aktivitas elite menyatakan, perkembangan peradapan mayoritas berkaitan erat dengan karya kreatif kelompok minoritas (tokoh), selanjutnya kelompok ini harus memikirkan tanggapan yang tepat atas tantangan sosial, serta mendorong masyarakat untuk memilih alternatif tanggapan dan direncanakannya. Bila fungsi ini tidak dimiliki elite, maka peradaban akan mengalami kemunduran untuk seterusnya menuju kematian. Bahkan menurut A’la dalam Hamim dkk (2007: 102) tidak jarang elite inilah yang mempelopori masyarakat sehingga terjebak dalam pertikaian yang berkepanjangan dan berakhir pada kekerasan.

1

Memperkuat pendapat di atas, Pitirim A. Sorokin dalam Soekanto (1985 : 219- 220) mengatakan, sistem berlapis-lapis adalah merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat secara teratur. Bentuk-bentuk pelapisan dalam masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali, akan tetapi lapisan-lapisan tersebut tetap ada, meskipun dalam masyarakat kapitalistis, demokratis, komunitas dan sebagainya. Sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama dalam suatu organisasi sosial, maka saat itu juga pelapisan masyarakat tersebut ada. Pada masyarakat yang tingkatan kebudayaannya tergolong sederhana, pelapisan masyarakat mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, golongan budak dan bukan budak, pembagian kerja serta pembedaan berdasarkan kekayaan. Ketika kompleksitas masyarakat semakin tinggi seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi, maka sistem pelapisan dalam masyarakat semakin kompleks pula. Jika ditilik perkembangan masyarakat berdasarkan cara produksinya, menurut Marx, diawali pada masyarakat primitif menuju masyarakat perbudakan lalu masyarakat feodalisme, kapitalisme dan berakhir dalam masyarakat komunisme. Dalam teori Davis dan Moore, pelapisan sosial terdapat pada semua masyarakat, karena dalam setiap masyarakat selalu ada kedudukan yang dianggap lebih penting dari kedudukan lainnya. Sedangkan Karl Marx melihat adanya kelas sosial dari sisi relasinya dengan sumber produksi. Menurutnya, masyarakat dibagi dalam dua kelas utama yang bermusuhan yaitu golongan yang menguasai sumber produksi dan golongan yang tidak menguasia sumber produksi. Talcott Parson merinci enam ukuran yang merupakan dasar ukuran penilaian tentang kedudukan seseorang dalam sistem pelapisan yaitu: keanggotaan dalam satuan kekeluargaan (keturunan, perkawinan), sifat pribadi, sukses, pemilikan benda atau harta, kewibawaan dan kekuasaan. Berbeda dengan B. Barber yang berpendapat, ukuran penilaian tentang kedudukan seseorang adalah peranannya dalam politik, agama, ekonomi, profesi, kekayaan, keturunan, karakter pribadi dan peranan dalam aktifitas komunitas (Garna, 1996 : 179-180).

2

B. PEMBAHASAN 1. Tokoh Keagamaan

Ulama adalah sebutan yang paling umum bagi tokoh Agama . Kata ini berasal dari bahasa Arab, artinya orang yang senantiasa takwa (takut) kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang- binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”(Faathir: 28).

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa ulama adalah hamba-hamba Tuhan yang hanya takut kepada-Nya, serta hanya beribadah menurut perintah-Nya dan memberikan petunjuk, bimbingan pada masyarakat sesuai ajaran agama. Selain itu ulama merupakan teladan dalam beribadah, serta figur yang layak dicontoh dalam menggapai pengetahuan makrifat (status tertinggi dalam pengetahuan sufi), dan mengajarkan bagaimana memperpendek jarak diri dengan Tuhan (Horikoshi, 1987: 227). Shihab, (1999: 385) merinci tugas utama yang harus ditunaikan ulama sebagaimana tugas kenabian dalam mengembangkan kitab suci, antara lain: Pertama, menyampaikan ( tabligh ) ajaran-ajaranya sesuai dengan perintah Allah,

“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (al-Maaidah: 67).

Kedua, menjelaskan ajaran-ajaranNya, sebagaimana ayat al-Qur’an, “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al , agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,” (an-Nahl: 44).

Ketiga, memutuskan perkara atau problem yang dihadapi masyarakat,

berdasarkan ayat,

“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia

3

tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak- Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (al-Baqarah: 213).

Keempat, memberi contoh-contoh pengalaman, bagaimana bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari, menjalani hidup bermasyarakat dengan baik sesuai tuntunan al- Qur’an. Sedangkan Muchtar, (1988) mengemukakan identitas atau persyaratan pokok bagi seseorang yang disebut ulama, antara lain; Pertama, pengalaman ilmu yang diemban. Seorang ulama, selain mengemban ilmu yang bermanfaat sekaligus harus menjadi pelaksana ilmu itu. Serta setiap perbuatan dan tingkah lakunya tidak bertentangan dengan apa yang diucapkan berdasarkan ilmu tersebut. Kedua, penyiaran ilmu yang diemban. Seorang ulama harus mempunyai komitmen terhadap tugas menyiarkan dan memasyarakatkan ilmunya untuk memberikan informasi, bimbingan dan tuntunan pada masyarakat. Ketiga. Tunduk sepenuhnya pada al-Qur’an. Dasar pertimbangan seorang ulama dalam bersikap dan bertindak adalah tuntunan Allah dan Rasul-Nya, menerima dengan puas semua keputusan berdasarkan agama. Keempat. Kesadaran terhadap kepastian terjadinya janji dan ketentuan Allah. Kesadaran ini mendorong untuk selalu ingat tanggung jawab sebagai ulama, sehingga selalu lebih memperhatikan pada hak yang pasti diperoleh. Sikap ini menjadikan seorang ulama selalu merasa terpanggil untuk melibatkan diri dalam usaha-usaha mengatasi setiap persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Kelima. Bersikap tawadlu’ dan rendah hati. Pemahaman dan penghayatan yang dimiliki seorang ulama tentang tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah, baik yang bersifat Qur’aniyah maupun yang bersifat Kauniyah, menyadarkan akan keterbatasan dan kelemahan dirinya dihadapan Allah, sehingga membuatnya bersikap rendah hati, tidak sombong, bersedia menghargai dan menghormati pendapat orang lain yang berbeda, merasa lebih patut menghormati orang lain dari pada dihormati, serta melandasi setiap sikap dan perbuatanya dengan keikhlasan, semata-mata mencari keridlaan Allah.

4

Nahdlatul Ulama, memberikan kriteria ulama sebagai berikut: Pertama. Norma pokok yang harus dimiliki seorang ulama adalah ketakwaan kepada Allah. Kedua. Seorang ulama mempunyai tugas utama mewarisi misi ( risalah ) Rasulullah meliputi: ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya. Ketiga. Seseorang disebut ulama apabila memiliki ciri-ciri utama dalam kehidupan sehari-hari seperti, tekun beribadah (baik yang wajib maupun yang sunnah), zuhud (melepaskan diri dari urusan dan kepentingan materi duniawi), mempunyai ilmu akhirat (ilmu agama dalam kadar yang cukup), mengerti kemaslahatan umat (peka terhadap kepentingan umat), dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah dengan didasari niat yang benar, baik dalam berilmu maupun beramal. (Siddiq, 1980: 26). Menurut Ziemek Ziemek (1986: 137), terdapat beberapa faktor yang mendorong lahirnya ulama yaitu: Pertama, berasal dari keluarga ulama di lingkungan masyarakatnya. Kedua. Sosialisasi dan proses pendidikanya dalam suatu terpandang, yang dilengkapi dengan pengalaman dan latar belakang kepemimpinan yang telah ditanamkan. Ketiga, Adanya kesiapan pribadi yang tinggi untuk bertugas, yakni berupa kemauan untuk mengabdikan kehidupan pribadinya demi tugas di pesantren. Keempat. Sebagai pemimpin agama dan masyarakat, ia harus memiliki kharisma sehingga mampu meyakinkan masyarakat untuk bekerja secara sukarela dalam membangun dan mendanai pesantren. Kelima. Mampu menghimpun dana dan bantuan tanah wakaf dari masyarakat berada. Dalam masyarakat tradisional khususnya di Jawa, ulama lebih dikenal dengan sebutan kiai. Seseorang dipanggil kiai atau menjadi kiai karena orang tersebut diterima masyarakat sebagai kiai, mungkin karena bisa dimintai nasehat atau mempunyai santri banyak dan lain sebagainya, bukan karena persyaratan formal seperti studi atau ijazahnya. Walaupun persyaratan formal tidak dibutuhkan, namun ada beberapa persyaratan non formal yang harus dipenuhi untuk menjadi kiai yaitu: pengetahuannya dan keshalehannya. (Atjeh, 1957: 55). Kebanyakan kiai di Jawa tinggal di daerah pedesaan, namun kiai merupakan bagian dari kelompok elite dalam struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat Jawa. Kiai yang memimpin pesantren besar merupakan bagian dari elite nasional, kiai yang memimpin pesantren sedang, merupakan bagian dari elite tingkat propinsi, sedangkan

5 kiai yang memimpin pesantren kecil merupakan bagian dari elite kabupaten. Namun demikian apa yang dikatakan Dhofier di atas, bukanlah suatu yang pasti karena tidak jarang kiai yang mempunyai santri sedikit dengan pondok yang kecil, justru lebih menasional dibandingkan kiai yang mempunyai beribu-ribu santri. (Dhofier, 1994: 56- 57). 2. Organisasi Keagamaan a. Muhammadiyah 1) Tokoh Pendirinya. Muhammadiyah didirikan K.H. pada 8 Dzulhijjah 1330 H di Yogyakarta. Sewaktu muda Ahmad Dahlan bernama Muhammad Darwis yang lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1285 H/1868 M, putra KH. Abubakar bin KH. Sulaiman, seorang ulama dan pejabat khatib besar Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ibunya adalah putri H. Ibrahim bin KH. Hassan, pejabat penghulu Kesultanan Yogyakarta. (Jainuri, 1981: 24). Ahmad Dahlan pernah menikah dengan Nyai Abdullah, janda dari H. Abdullah, pernah juga menikah dengan Nyai Rumu (bibi Prof. Abdul Kahar Muzakir) adik Ajengan Penghulu Cianjur, pernah juga menikah dengan Nyai Sholikhah putri Kanjeng Penghulu M. Syari’i adik Kiai Yasin Pakualam Yogyakarta. Terakhir menikah dengan Walidah binti KH. Fadhil, Penghulu di Kesultanan Yogyakarta (terkenal dengan ) yang mendampinginya hingga meninggal dunia, KH. Achmad Dahlan meninggal dunia pada 23 Februari 1923 M atau bertepatan dengan 7 Rajab 1340 H di Kauman Yogyakarta dalam usia 55 tahun. (Salam, 1985: 146). Pendidikan Ahmad Dahlan untuk pertama kalinya diperoleh dari ayahnya sendiri, kemudian meneruskan pelajaran mengaji , hadis, fikih serta Bahasa Arab kepada beberapa ulama lain di Yogyakarta dan sekitarnya. Atas bantuan Nyai Haji Saleh (kakak perempuannya), pada tahun 1890 Ahmad Dahlan dapat belajar di Makkah selama satu tahun. Ketika belajar di Makkah tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh mendapat perhatian khusus dan paling disenanginya, ketika studi ini pula ia memiliki banyak kesempatan untuk berdiskusi secara langsung dengan Rasyid Ridha yang dikenal melalui KH. Bakir, dari perjumpaan serta pengalaman studi inilah yang mendorongnya untuk melakukan perubahan dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. (Hasbullah, 2001: 95).

6

2). Tujuan dan Usaha Muhammadiyah memiliki tujuan memperluas dan mempertinggi pendidikan Agama Islam secara modern, serta memperteguh keyakinan Agama Islam, sehingga terwujud umat Islam yang sebenar-benarnya dengan berdasar sumber aslinya yaitu al- Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang diamanatkan Rasulullah SAW. Untuk mencapai tujuan itu, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar di Indonesia. Di samping pendidikan Agama Islam, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah juga memberikan mata pelajaran umum sebagaimana pendidikan yang dikelola pemerintah. (Danasaputra, 1979: 95). Usaha-usaha lain yang dilakukan Muhammadiyah adalah memperluas pengajian- pengajian, menyebarkan bacaan-bacaan agama, mendirikan masjid, madrasah dan pesantren serta lapangan usaha lain, terutama menyangkut sosial umat Islam. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri khas sebagai berikut : a) Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan serta cita-cita organisasinya, Muhammadiyah menggunakan asas Islam, karena dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material-spiritual. Karena itu Muhammadiyah berusaha mewujudkan shariat Islam dalam kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. b) Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf nahi munkar . Dakwah yang dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad, yaitu dengan hikmah kebijaksanaan, nasehat dan jika perlu dengan dialog. c) Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid Muhammadiyah selalu berusaha memperbaharui dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional, sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati masyarakat. Melalui pendidikan dan tarjih serta muktamar Muhammadiyah selalu berusaha mendapatkan cara-cara baru dalam melaksanakan Ajaran Islam, sehingga lebih dipahami dan diamalkan umat Islam Indonesia.

7

Tujuan pendirian Muhammadiyah selalu berubah mengikuti perkembangan waktu. Ketika awal pendirian, Muhammadiyah memiliki tujuan antara lain: (1) Menyebarkan ajaran Nabi Muhammad kepada penduduk Yogyakarta dan sekitarnya. (2) Memajukan Agama Islam kepada anggota-anggotanya. Setelah Muhammadiyah meluas ke luar daerah Yogyakarta, tujuannya dirumuskan lagi sebagai berikut: (1) Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Agama Islam di Hindia Belanda. (2) Memajukan dan menggembirakan hidup, sepanjang tidak bertentangan dengan Agama Islam kepada masyarakat luas. Pada masa Jepang tujuannya adalah: (1) Hendak menyiarkan Agama Islam serta melatih hidup selaras dengan tuntutannya. (2) Hendak melakukan pekerjaan kebaikan umum. (3) Hendak memajukan pengetahuan dan perdamaian serta budi pekerti yang baik kepada anggota-anggotanya. (Zuhairini, 1986: 28). Pada masa kemerdekaan, tujuan yang hendak diraih Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu, disusun usaha-usaha sebagai berikut: (1) Mengadakan dakwah. (2) Memajukan pendidikan dan pengajaran. (3) Menghidupsuburkan masyarakat tolong-menolong. (4) Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf. (5) Mendidik dan mengasuh anak-anak dan pemuda-pemuda supaya kelak menjadi orang Islam yang berarti. (6) Berusaha kearah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan Ajaran Islam. (7) Berusaha dengan segala kebijaksanaan, supaya hendaknya peraturan Islam berlaku dalam masyarakat. (Yunus, 1985: 269). c. Usaha di bidang pendidikan Dasar pendidikan Muhammadiyah antara lain: (1). Tajdid , ialah kesediaan jiwa berdasarkan pemikiran baru untuk mengubah cara berpikir dan berbuat yang sudah biasa demi mencapai tujuan pendidikan. (2) Kemasyarakatan, terciptanya suasana saling membutuhkan diantara individu dan masyarakat demi keselamatan bersama, (3) Aktivitas, mengamalkan pengetahuan baru yang diterima oleh setiap anak didik, (4) Kreativitas, kecakapan dan keterampilan yang dimili anak didik dalam menghadapi situasi baru, (5) Optimisme, keyakinan pada peserta didik bahwa dengan keridlaan

8

Tuhan, pendidikan akan membawanya pada tujuan yang dicita-citakan, jika dilaksanakan dengan penuh dedikasi, tanggung jawab. Sedangkan fungsi lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai berikut: (1) Alat dakwah ke dalam dan ke luar anggota Muhammadiyah, (2) Tempat pembibitan kader yang dilaksanakan secara sistematis dan selektif sesuai kebutuhan Muhammadiyah pada khususnya dan masyarakat Islam pada umumnya, (3) Gerak amal anggota, penyelenggaraan pendidikan diatur secara berkewajiban terhadap peningkatan pendidikan itu, serta akan menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Muhammadiyah. d. Jenis Pendidikan Muhammadiyah mendirikan berbagai jenis dan tingkat pendidikan serta tidak memisah-misahkan antara pelajaran agama dan pelajaran umum. Pada zaman Pemerintah Kolonial Belanda, sekolah-sekolah yang dilaksanakan Muhammadiyah adalah: (1) Sekolah Umum: Taman Kanak-kanak (Bustanul Atfal), Vervolg School 2 tahun, Schakel School 4 tahun, HIS 7 tahun, Mulo 3 tahun, AMS 3 tahun dan HIK 3 tahun. Di sekolah- sekolah tersebut diajarkan pendidikan Agama Islam sebanyak 4 jam pelajaran seminggu. (2) Sekolah Agama: Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun, Tsanawiyah 3 tahun, Muallimin/Muallimat 5 tahun, Kulliatul Muballighin (SPG Islam) 5 tahun. Dalam madrasah-madrasah tersebut diberikan mata pelajaran pengetahuan umum. Pada zaman kemerdekaan terdapat empat jenis pendidikan yang dikembangkan Muhammadiyah, antara lain: (1) Sekolah-sekolah umum yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, seperti, SD, SMP, SMA, SMK dan sebagainya, (2) Madrasah-madrasah yang bernaung di bawah Kementerian Agama, seperti, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), (3) Sekolah atau madrasah khusus Muhammadiyah, yaitu: Muallimin, Muallimat, Sekolah Tabligh dan Pondok Pesantren Muhammadiyah, (4) Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang dikelola dengan bentuk hubungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah umum di bawah pembinaan Kopertis (Kementerian Pendidikan Nasional), sedangkan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Agama di bawah pembinaan Kopertais (kementerian Agama). Hasbullah, 2001: 99).

9

2. a. Tokoh Pendirinya. Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya 31 Januari 1926 M bertepatan 16 Rajab 1344 H. oleh para kiai pesantren, yang paling populer adalah K.H.M. Hasyim Asy’ari pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang serta K.H. Bisyri Syansuri (Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), K.H. Ma’shum (Lasem), K.H. Ridlwan (Semarang), K.H. Nawawi (Pasuruan), K.H. Nahrowi (Malang), K.H. Ridlwan Abdullah (Surabaya), K.H. Abdullah Ubaid (Surabaya), K.H. Alwi Abdul Aziz (Malang), K.H. Abdul Halim (Cirebon), K.H. Muntaha (Madura), K.H. Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), K.H. Abdullah Faqih (Gresik). (Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, tt: 10-11). b. Tujuan Pendirian Organisasi ini didirikan untuk melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran ahlussunnah wal jamaah dengan menganut salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Dalam anggaran dasar pertama NU (1927), dinyatakan organisasi ini mempunyai tujuan memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab empat. Sedangkan kegiatan yang dilakukan antara lain: (1) Memperkuat persatuan ulama yang masih setia pada madzhab, (2) Memberikan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, (3) Penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab, (4) Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasinya, (5) Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar dan pondok pesantren, (6) Membantu yatim, piatu dan fakir, miskin. (Fadeli dan Subhan, 2008: 1-6). c. Garis-Garis Besar Pemikiran Nahdlatul Ulama Dasar pemahaman keagamaan Nahdlatul Ulama adalah al-Qur’an, al-Hadits, al- Ijma’ (kesepakatan para sahabat dan ulama) dan al-Qiyas (analogi). Dalam memahami dan menafsirkan Islam, NU mengikuti paham ahlussunnah wal jamaah dan menggunakan pendekatan madzhab: (1) Bidang Akidah, NU mengikuti paham ahlussunnah wal jamaah yang dipelopori Imam Abu Hasan Al-Ash’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi, (2) Bidang Fikih, NU mengikuti pendekatan (madzhab) salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan

10

Imam Ahmad bin Hanbal, (3) Bidang Tasawwuf, NU mengikuti Imam Junaid al- Baghdadi dan Imam Al-Ghazali dan imam-imam yang lain. Bentuk dakwah NU mengambil model yang dilakukan Walisanga, yaitu menyelaraskan dengan tradisi budaya masyarakat setempat dan menghindarkan kekerasan. Tradisi budaya pra-Islam Nusantara yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam terus dikembangkan dan dilestarikan, sedangkan yang jelas-jelas bertentangan ditinggalkan. Pada dasarnya, pendekatan kemasyarakatan yang diambil NU dapat dikategorikan menjadi tiga, antara lain: (1) Tawassuth dan I’tidal , yaitu sikap moderat yang dilandasi prinsip keadilan serta berusaha menghindari berbagai bentuk tatharruf (ekstrim), (2) Tasamuh, yaitu sikap toleran yang didasari sikap menghargai atas adanya perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat, (3) Tawazun , yaitu sikap seimbang dalam membangun keserasian hubungan antara sesama manusia dan antara manusia dengan Tuhan. (Fadeli dan Subhan, 2008: 13). d. Sekitar Pendiriannya. Beberapa hal yang menjadi latar belakang berdirinya NU baik langsung maupun tidak langsung, yaitu, munculnya gerakan pembaharuan di Mesir dan sebagian Timur Tengah yang terkenal dengan ide Pan-Islamisme yang dipelopori Jamaluddin Al-Afghani dengan maksud menyatukan umat Islam seluruh dunia. Sedangkan di Turki ditandai lahirnya faham nasionalisme yang berhasil meruntuhkan Daulah Usmaniyyah Turki. (Haidar, 1994: 40). Munculnya gerakan pembaharuan di Mesir dan Turki dorong kesadaran sosial politik atas ketertinggalan Islam dari barat. Sedangkan di Arab Saudi gerakan pembaharuan lebih didorong masalah internal umat Islam sendiri, yaitu reformasi faham tauhid dan konservasi dalam bidang hukum yang menurut kaum Wahabi telah dirusak oleh khurafat dan kemusyrikan yang melanda dunia Islam. (Nasution, 1975: 23-26). Dan puncaknya adalah kemenangan Abdul Aziz bin Saud yang menganut faham Wahabi atas Syarif Husein, penguasa tanah Hijaz (Makkah) yang menganut faham sunni. (Fadeli dan Subhan, 2008: 20). Sedangkan di Indonesia sendiri lahir organisasi sosial keagamaan yang berusaha memajukan dan mensejahterakan kehidupan masyarakat, misalnya, Budi Utomo (20 Mei 1908), Syarekat Islam (11 November 1912) perkembangan dari Syarekat Dagang Islam

11

(SDI), serta Muhammadiyah (18 November 1912). (Haidar, 1994: 41-42). Beberapa hal di atas membangkitkan semangat para pemuda Islam Indonesia untuk mewujudkan lembaga pendidikan dan dakwah, seperti Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air yang berdiri sekitar 1914), serta Taswirul Afkar (potret pemikiran, berdiri 1918). Kedua lembaga ini dirintis K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan K.H. Mas Mansur. (Burhan, 1981: 21). Tahun 1916, madrasah Nahdlatul Wathan didirikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah di Surabaya dengan bangunan yang besar dan bertingkat sebagai sarana pembinaan kader pemuda, berikutnya membentuk organisasi Jam’iyyatun Nasihin (organisasi para juru dakwah). (Halim, 1970: 10). Cabang-cabang madrasah Nahdlatul Wathan berdiri di Malang, Semarang, Gresik, Jombang, serta beberapa tempat di Surabaya. Ada yang tetap menggunakan nama Nahdlatul Wathan, tapi ada juga yang memakai nama lain, misalnya, Far’ul Wathan, Hidayatul Wathan, Khitabatul Wathan atau Akhul Wathan. Tahun 1919 Madrasah Taswirul Afkar didirikan di Ampel sebagai tempat anak-anak mengaji dan belajar untuk dipersiapkan sebagai pembela kepentingan Islam tradisionalis. (Feillard, 1999: 9). Di samping mendirikan lembaga pendidikan dan dakwah, K.H. Wahab Hasbullah pada tahun 1918 mendirikan pula koperasi para saudagar yang bernama Nahdlatul Tujjar (kebangkitan para pedagang). (Anam, 1985: 27). Di tahun dua puluhan, dalam forum diskusi Syarekat Islam, perdebatan antara Islam tradisionalis dengan Islam modernis menjadi semakin seru, Abdul Wahab Hasbullah dan kawan-kawan di satu pihak dengan Achmad Soorkati (Al-Irsyad) serta Achmad Dahlan (Muhammadiyah) dipihak yang lain. Tapi kalangan Islam tradisionalis tidak menutup diri terhadap saran pembaharuan serta menyetujui gagasan tentang modernisasi sistem pendidikan, walaupun menolak untuk tidak bermadhhab. (Noer, 1980: 247). Usaha untuk mempertemukan perbedaan paham antara kalangan Islam tradisionalis dan Islam modernis semakin rumit ketika hadirnya gerakan reformis yang sangat vokal dari Sumatra Barat di Surabaya, dengan orator utamanya yang sangat keras dan kontroversial bernama Faqih Hasyim seorang saudagar yang juga murid Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah) dari Minangkabau. (Noer, 1980: 246). Perbedaan semakin meruncing ketika pada tahun 1922, K.H. Mas Mansur, guru madrasah Nahdlatul Wathan

12 mengundurkan diri dari lembaga pendidikan dan dakwah tersebut kemudian bergabung dengan gerakan reformis Muhammadiyah. (Burhan, 1981: 23). Ketika Kongres Al-Islam di Cirebon tahun 1922, perdebatan antara kelompok Islam tradisionalis dengan Islam modernis juga terjadi, bahkan acara tersebut berubah menjadi panggung perdebatan yang sangat keras, hingga terlontar tuduhan kafir dan shirik . (Noer, 1980: 247). Sebelum Kongres Al-Islam di Bandung, diadakan rapat antar organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur pada Januari 1926, memutuskan untuk mengirim dua orang dari kalangan Islam modernis ke Mekah. Sebulan kemudian, Kongres Al-Islam tidak menerima gagasan K.H.Abdul Wahab Hasbullah (kalangan Islam tradisionalis) yang menyarankan agar usul-usul kalangan Islam tradisionalis tentang praktek keagamaan dibawa delegasi Indonesia. Penolakan tersebut cukup beralasan karena apa yang diusulkan kalangan Islam tradisionalis adalah tradisi-tradisi yang harus dihilangkan menurut kalangan Islam modernis. (Noer, 1980: 243). Mensikapi penolakan itu kalangan Islam tradisionalis membentuk suatu komite yang dikenal dengan Komite Hijaz untuk menghadap Raja Saud guna menyampaikan usulan-usulan yang disepakati kalangan Islam tradisionalis, antara lain: (1) Kebebasan bermadzhab, (2) Diizinkan masuknya kitab-kitab karangan Imam Ghazali, Imam Sanusi dan lain-lain, (3) Tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah, makam dengan tradisi ziarahnya, (4) Kepastian biaya haji, (5) Penjelasan tertulis tentang hukum yang berlaku di Negeri Hijaz. (Anam, 1985: 317). Untuk memudahkan tugas Komite Hijaz, pada 31 Januari 1926 dibentuk suatu organisasi yang mewakili Islam tradisionalis, bernama Nahdlatoel Oelama. Baru pada Muktamar tahun 1928, NU menetapkan anggaran dasarnya sebagai syarat pengakuan dari Pemerintah Belanda, dan pengakuan itu baru diterima pada 6 Februari 1930. Semenjak inilah, NU menetapkan dirinya sebagai pengawas tradisi dengan mempertahankan ajaran keempat madzab, menangkis serangan kaum reformis yang menuduh sebagai ahli bid’ah. (Anam, 1985: 319). Pendapat lain mengatakan, keberadaan NU adalah untuk mempertahankan tata cara ibadah yang dipertanyakan kaum Wahabi puritan, seperti, membangun makam, berziarah kubur, membaca doa (dalail al khairat) , serta kepercayaan pada para Wali. (Noer, 1980: 244).

13

PENUTUP Seorang tokoh agama biasanya mendapat tempat istimewa dalam stratifikasi sosial masyarakat. Begitu istimewanya, sehingga penghormatan sosial tertinggi pun diperuntukkan bagi tokoh ini, karena tokoh agama tidak hanya dapat berperan sebagai pengajar agama yang baik, tetapi kiai dianggap dianggap memiliki pengetahuan dan kearifan yang dalam, sehingga mampu menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat, dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam, seringkali dilihat sebagai sosok yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan kerahasiaan alam, dengan kata lain seorang tokoh agama memiliki kekuatan supranatural (Sahidin, 2004 : 110). Penghormatan terhadap tokoh agama oleh segmen masyarakat Islam terutama golongan tradisional, kiranya dapat dimaklumi karena dalam Islam, para ulama merupakan pewaris atau penerus ajaran para nabi, yang memiliki keunggulan seperti, kedalaman ilmu, keturunan, ekonomi yang diabdikan untuk masyarakat secara luas (Ziemek, 1986 : 192), sehingga dalam kehidupan di masyarakat tokoh agama sebagai pembawa panji-panji Islam yang sepanjang kehidupannya memimpin aktivitas kehidupan keagamaan, pada akhirnya juga memperoleh pengaruh politik yang kadang-kadang harus berkompetisi dengan penguasa (Dhofier, 1982 : 58) Organisasi keagamaan di Indonesia memiliki jasa yang luar biasa dalam membangun negara dan kemasyarakatan, karena kelahiran organisasi keagamaan ini jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan organisasi ini memiliki andil besar dalam proses kemerdekaannya. Beberapa jasa besar yang didarma baktikan organisasi keagamaan antara lain dalam dunia pendidikan yang sangat besar dalam membangun sumber daya masyarakat, kesehatan juga mendapat perhatian yang cukup besar dari organisasi keagamaan ini, karena tidak sedikit rumah sakit dan poliklinik serta rumah bersalin baik di kota sampai di pelosok pegunungan.

14

DAFTAR PUSTAKA

Ali Haidar, M, 1998. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia. Pendekatan Fikih dalam Politik, : PT. Gramedia Pustaka Utama. Abdul Karim, Khalil, , 2003. Syari’ah Sejarah Perkelahian dan Pemaknaan , Yogyakarta : LkiS. Al-Jabiri, Muhammad Abed, 2003. Syura : Tradisi-Partikularitas-Universalitas, Yogyakarta : LkiS. Diamond, Larry, 1994. Revolusi Demokrasi : Perjuangan untuk Kebebasan dan Pluralisme di Negara sedang Berkembang, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Enayat, Hamid, 2001. Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, Bandung : Pustaka. Engineer, Ali Asghar, , 2004. Islam Masa Kini, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Esposito, John L, 1999. Islam dan Pembangunan, Jakarta : Rineka Cipta. Hidayat, Komaruddin, 1994. Tiga Model Hubungan Agama dan Demokrasi, dalam, Elza Peldi Taher, Demokrasi Politik, Budaya dan Ekonomi : Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta : Paramadina. Ismail, Faisal, 2002. Pijar-Pijar Islam : Pergumulan Kultur dan Struktur, Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam. Iqbal, Muhammad, 2001. Fiqh Siyasah : Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama. Ismail, Faisal, 2002. Pijar-Pijar Islam : Pergumulan Kultur dan Struktur, Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam. Kuntowijoyo, 1997. Identitas Politik Islam, Bandung : Mizan. Lewis, Bernard, , 1994. Bahasa Politik Islam, Jakarta : Gramedia. May Rudy, Teuku, 1999. Politik Islam dalam Pemerintahan Demokrasi, dalam, Abu Zahra, Politik Demi Tuhan : Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung : Pustaka Hidayah. Moesa, Ali Maschan, 2007. Nasionalisme Kiai : Konstruksi Sosial Berbasis Agama, Yogyakarta : LkiS. Mumtaz Ahmad, 1996. Masalah-Masalah Teori Politik Islam , Bandung : Mizan Nasution, Harun, 1996. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang. Roy, Oliver, 2005. Genealogi Islam Radikal, Yogyakarta : Genta Press. Suhelmi, Ahmad, 1999. Pemikiran Politik Barat : Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta : Dar al-Falah Shimogaki, Kazuo, 2007. Kiri Islam, Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta : LkiS. Van Bruinessen, Martin, 2004. NU : Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta : LkiS.

15