ULOS DI TUGU KHATULISTIWA : STUDI DESKRIPTIF AKULTURASI

MASYARAKAT BATAK DI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Albert Arie Bonivor

NIM: 06 9114 099

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2011 ULOS DI TUGU KHATULISTIWA : STUDI DESKRIPTIF AKULTURASI

MASYARAKAT BATAK DI PONTIANAK

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Albert Arie Bonivor

NIM: 06 9114 099

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2011

i

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Menaklukkan alam adalah dengan cara bersinkronisasi dengan alam,

menaklukkan manusia adalah dengan cara mengerti manusia.

- AB THIRTEEN –

Dame Ma di Hita Saluhutna

(Dame Ma di Hita Saluhutna)

Karya ini saya persembahkan sebagai jawaban atas harapan untuk mencapai

kehidupan yang damai dalam tatanan dunia ideal.

iv

ULOS DI TUGU KHATULISTIWA : STUDI DESKRIPTIF AKULTURASI

MASYARAKAT BATAK DI PONTIANAK

Albert Arie Bonivor

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan sebuah studi deskriptif mengenai kisah hidup masyarakat Batak di Pontianak yang selanjutnya dipahami sebagai proses akulturasi secara utuh. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana proses dan bentuk strategi akulturasi masyarakat Batak di Pontianak. Ciri khas yang dimiliki Barat yaitu mengidentikkan etnis dengan agama tertentu, membuat etnis Batak selalu diidentikkan dengan agama Kristiani, agama yang sama dengan salah satu etnis yang pernah berkonflik. Masyarakat Batak di Pontianak dalam catatan sejarah, tidak pernah terlibat dalam konflik yang telah sering terjadi di Kalimantan Barat. Hal ini menjadi ketertarikan tersendiri untuk mengetahui bagaimana pola akulturasi masyarakat Batak di Pontianak. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data yaitu wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Batak di Pontianak mengandalkan nilai-nilai budaya Batak sebagai acuan dalam setiap tahap akulturasi yang dilaluinya hingga saat ini. Dalihan na tolu menjadi konsep dasar yang mengatur pola interaksi mereka dengan masyarakat di Pontianak. Tata cara berperilaku yang diatur dalam Dalihan na tolu mengarahkan masyarakat Batak memilih strategi Integrasi dalam menjalani proses akulturasi.

Kata Kunci : Akulturasi, Tahapan akulturasi, Strategi akulturasi, orang Batak.

vi

ULOS IN THE EQUATOR MONUMENT : A DESCRIPTIVE STUDY OF

BATAKNESE ACCULTURATION IN PONTIANAK

Albert Arie Bonivor

ABSTRACT

This study was a descriptive study of the life story of Bataknese people in Pontianak, understood as the process of acculturation in their entirety. The goal to find out how the process and strategy of acculturation Bataknese people in Pontianak. West Borneo has the unique characteristic that identifies a particular ethnicity to a religion, ethnic Batak always identified with the Christian religion, the similar religion with ethnic that was involved with the ethnical conflict. Bataknese people in Pontianak, in recorded history, was never involved in a conflict that has often occurred in West Borneo. Researcher want to know what is the Bataknese people acculturation patterns in Pontianak. Researcher was using qualitative descriptive method, with interviews and observation as data collection techniques. The results showed that the Bataknese people in Pontianak using Bataknese cultural values as a guide in every stage of acculturation. Dalihan na tolu became basic concepts that regulate their interaction with people in Pontianak. The procedure how to behaving that guiding in Dalihan na tolu, directing Bataknese people choose integration strategies during their acculturation process.

Key words : Acculturation, Stages of acculturation, acculturation strategies, Bataknese People.

vii

KATA PENGANTAR

Dengan rahmat Tuhan Semesta Alam yang Maha Esa, yang memberikan petunjuk dan semangat selama ini akhirnya saya dapat menyelesaikan tulisan ini.

Sebuah karya yang tidak seberapa bila dibandingkan dengan berkat yang diberikan-Nya kepada saya, terima kasih tak terhingga untuk Engkau. Karya ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana dalam bidang

Psikologi (S.Psi) sebagai pelengkap ilmu yang selama ini saya pelajari di Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Karya ini diharapkan dapat memberikan sedikit sumbangsih kepada elemen-elemen yang (mungkin) berkepentingan didalamnya demi kebahagiaan bersama. Dengan harapan tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.

Pemahaman bahwa hidup bersama tidaklah mudah dengan semua perbedaan yang ada, mengantarkan hasil penelitian ini menjadi bahan referensi kecil dalam proses pembelajaran hidup bersama. Sehingga impian hidup dalam damai dapat terus tertanam dalam benak kita semua.

Sebuah ucapan terima kasih yang besar saya ucapkan kepada orang tua saya, Bapak Drs. Bontor Panggabean dan Ibu Rovina Clara Pangaribuan atas kesempatan yang berharga untuk saya dalam memenuhi rasa haus akan ilmu.

Serta terhadap pengorbanan mereka dan dengan ciri khas masing-masing memberikan dukungan dan pengajaran hidup kepada saya, Mauliate. Terima kasih juga saya ucapkan kepada saudara-saudaraku, kakakku Mariavor Corry Sabarina

Panggabean, SE dan adikku Anton Meirio Grahavor Panggabean, yang dengan kebersamaan dalam nama “VOR” dan dukungan yang diberikan selama ini.

ix

Sebagai seorang yang belum mahir dalam melakukan penelitian, saya menerima banyak bantuan, dukungan serta bimbingan baik secara moril maupun materil yang sangat berharga dan berperan penting dalam penyelesaian karya ini.

Dengan hormat, secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Christina Siwi Handayani, sebagai Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma. Begitu pula atas kesabaran dan

kebijaksanaannya menjadi Dosen yang membimbing saya selama

mengerjakan skripsi.

2. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang

dengan kebijaksanaannya membagikan ilmu mereka kepada saya.

3. Minta Istono, M.Si, yang dengan kesabaran dan ciri khasnya

membimbing saya secara akademik.

4. Staf Fakultas : Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, Mas Doni dan Pak

Gie, atas bantuannya selama saya menuntut ilmu.

5. Guru, sahabat dan patner diskusi sejati yang dengan luar biasa

memberikan perspektif baru mulai dari awal hingga karya ini selesai

dikerjakan : Dr. Y. Argo Twikromo, Sasmito Adi Singowidjojo, S.Psi.,

Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqadrie, MRH. Panggabean, M.Si., Khidir

Marsanto, S.Ant., terima kasih atas bantuan anda.

6. Semua pihak-pihak yang memberikan data dan dalam penelitian ini :

Para Informan, Masyarakat Pontianak, Pemerintah Daerah Kalimantan

Barat, Pemerintah Kota Pontianak, Badan Pusat Statistik Kota

Pontianak, Segenap jajaran Kepolisian Daerah Kalimantan Barat,

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING...... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN...... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...... v

ABSTRAK...... vi

ABSTRACT...... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...... viii

KATA PENGANTAR ...... ix

DAFTAR ISI...... xii

DAFTAR TABEL……………………………………………………………xvi

DAFTAR GAMBAR………………………………………………………..xvii

DAFTAR SKEMA……………………………………………………….....xviii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………...1

A. Latar Belakang…………...... 1

B. Rumusan Masalah...... 7

C. Tujuan Penelitian...... 7

D. Manfaat Penelitian ...... 8

xii

BAB II LANDASAN KONSEPTUAL………………………………………...9

A. Akulturasi…………………………………………………….……………..9

1. Pengertian…………………………….….…………………………..9

2. Proses akulturasi…….……………………………………………...11

3. Strategi akulturasi….……………………………………………….13

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi akulturasi……………………...13

5. Konsekuensi / dampak akulturasi………………..…………………15

a. Perubahan perilaku……………………….………………...15

b. Stres akulturatif…………………….………………………15

B. Batak……………………………………………………………………….18

1. Nilai budaya Batak………………………………………………....18

a. Dongan Sabutuha atau Dongan Tubu…………………...….21

b. Hula-hula…………………………………………………...23

c. Boru………………………………………………………...24

2. Mayarakat Batak di Pontianak………………………….…………..26

C. Masyarakat Pontianak……………………………………………………...27

1. Demografis……………………………………………………...….27

2. Sosial, Ekonomi dan Budaya……………………………………….28

D. Batasan Konseptual………………………………………………………..30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……………………………………..31

A. Jenis Penelitian…………….………………………………………………31

B. Prosedur Penelitian………....……………………………………………...31

C. Subjek Penelitian...…………….………………...………………………...33

xiii

D. Batasan Penelitian………………………………………………………….34

E. Teknik Pengumpulan Data………………………………………………....35

1. Wawancara…………………………………………………………35

a. Wawancara menggunakan petunjuk umum wawancara

(pedoman pertanyaan)……………………………………...35

b. Wawancara informal………………………………………..37

2. Observasi……………………………………………………...……38

3. Pengumpulan dokumen…………………………………………….38

F. Keabsahan Data…………………………………………………………….38

BAB IV PENYAJIAN HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN…40

A. Proses Penelitian…………………………………………………………...40

B. Hasil Penelitian…………………………………………………………….41

1. Data Demografi Informan………………………………………….41

2. Dinamika Psikologis Informan…………………………..…………42

3. Dinamika Proses dan Strategi………………………………………53

a. Proses Migrasi……………………………………………...53

b. Interaksi…………………………………………………….58

c. Kendala Interaksi…………………………………………...61

d. Strategi Akulturasi………………………………………….64

C. Pembahasan……………………………………………………………..…66

1. Proses Akulturasi…………………………………………………...66

a. Dinamika proses migrasi…………………………………...66

1) Nilai budaya dan dinamika daerah asal…………….67

xiv

2) Penentuan daerah tujuan migrasi…………………..68

b. Kehidupan berinteraksi……………………………………..71

1) Pola interaksi……………………………………….71

2) Berdinamika menghadapi kendala…………………74

2. Strategi Akulturasi : Integrasi………………………………………79

BAB V PENUTUP……………………………………………………………82

A. Kesimpulan………………...………………………………………………82

B. Saran……………………………………………………………………….83

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………85

xv

Daftar Tabel

Tabel 1. Pedoman Wawancara………………..………………………36

Tabel 2. Data Demografi Informan…………………………………...42

Tabel 3. Ringkasan Hasil Interpretasi………………………………...51

Tabel 4. Alasan Migrasi ke Pontianak………………………………...54

Tabel 5. Pengetahuan Awal Mengenai Pontianak…………………….56

Tabel 6. Interaksi Dengan Masyarakat Pontianak…………………….59

Tabel 7. Kendala Interaksi…………………………………………….62

Tabel 8. Perbedaan Sebelum dan Sesudah Otonomi………………….76

xvi

Daftar Gambar

Gambar 1. Pola Hubungan Dalam Dalihan Na Tolu………………….21

xvii

Daftar Skema

Skema 1. Dinamika Proses Migrasi…………………………………...70

xviii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di dengan tingkat keberagaman budaya yang sangat menonjol. Di Kalbar tidak terdapat etnis dominan dengan jumlah lebih dari 50% jumlah penduduk Kalbar. Etnis yang dianggap sebagai etnis asli Kalbar adalah etnis Dayak yaitu sebanyak 41 %, kemudian etnis Melayu sebanyak 39 %, Tiong Hoa 12 % dan etnis-etnis lain sebesar 8 % (Polda Kalbar, 2006). Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa tidak terdapat etnis yang sangat dominan (lebih dari 50 %) mendiami Kalbar.

Sejarah kelam mengenai konflik terbuka besar-besaran dan potensi konflik antar etnis di Kalbar telah menjadi sorotan para akademisi dan pemerintah.

Lumpuhnya semua semua sendi kehidupan sebagai dampak dari konflik besar- besaran, menjadi pelajaran penting dan berharga bagi seluruh lapisan masyarakat

Kalimantan Barat. Pada tahun 2003, Gubernur Kalbar H. Usman Jafar mencanangkan semboyan “Harmonis dalam etnis” (Supriyatna, 2007) untuk membuat Kalbar kembali aman demi terwujudnya pembangunan Kalbar. Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan keadaan Kalbar menjadi kondusif. Dinamika kehidupan multikultural di Kota Pontianak sebagai ibukota dari Kalimantan Barat masih berproses menuju keharmonisan dan kerjasama yang baik antar agama, ras dan etnis.

Konflik terbuka besar-besaran yang terakhir kali terjadi di Kalimantan

Barat adalah pada tahun 1997 antara etnis Dayak-Madura dan pada tahun 1998-

1

2

1999 antara etnis Madura-Melayu di daerah Sambas (Alqadrie, 2008). Konflik antar etnis di Kalimantan Barat sesungguhnya sudah sering terjadi. Bahkan menurut Alqadrie (2009) dalam analisis dan prediksi “Hipotesis Kekerasan 2020”, konflik kekerasan antar komunitas atau kelompok etnis di Kalbar telah terjadi dalam kurun waktu hampir 30 tahunan sekali dimulai dari tahun 1900-an hingga

1990-an. Dalam periode ke empat yaitu tahun 1960-an hingga 1990-an, tercatat telah terjadi konflik antar etnis sebanyak lebih dari 15 kali yang melibatkan 3 etnis yaitu Dayak, Melayu dan Madura, hal ini belum termasuk pergesekan dan pertengkaran kecil yang menimbulkan kekhawatiran dan pengungsian kecil secara pribadi.

Menurut Alqadrie (2009), potensi konflik di Kalbar disebabkan oleh tingginya kesadaran terhadap identitas etnis dan kesetiakawanan dalam membela kelompok pada masyarakat Kalbar. Kesadaran dan kesetiakawanan ini muncul sebagai konsekuensi bahwa tiap etnis di Kalbar selalu diidentikkan dengan agama tertentu. Sebagai contoh, Dayak diidentikkan dengan Kristiani (Kristen dan

Katholik), Melayu dan Madura diidentikkan dengan Islam dan Tiong Hoa identik dengan Budha dan Kong Hu Cu. Pergesekan yang menyebabkan konflik terbuka lebih sering terjadi antara dua etnis yang mempunyai perbedaan lebih besar, yaitu

Dayak dan Madura. Perbedaan ini terbentuk dari faktor agama dan etnis. Akan tetapi, konflik antara etnis Melayu dan Madura juga sering terjadi karena perbedaan budaya secara etnisitas.

Pada konflik antara etnis Dayak dan Madura, perbedaan yang mencolok dari segi etnis dan agama, memperkeruh kondisi konflik tersebut. Identitas

3

kelompok yang muncul adalah identitas agama dan etnisitas. Pada konteks konflik antara etnis Melayu dan Madura, perbedaan mengenai pemahaman tentang ajaran agama Islam: hubungan manusia dengan Allah (Hablum-minallah) dan hubungan antar manusia (Hablumminnanas), dimana masing-masing etnis memiliki pola pemahaman tersendiri (Alqadrie, 2009). Situasi konflik yang terbentuk dari pergesekan-pergesekan kecil antar individu kemudian diakomodir oleh tradisi kekerasan yang ada pada tiap-tiap etnis yang berkonflik. Arogansi budaya yang kemudian membentuk arogansi individual dalam etnis tersebut memupuk rasa solidaritas untuk membantu anggota etnis yang berkonflik. Akan tetapi, bantuan tersebut mengarah pada penyelesaian konflik dengan cara kekerasan secara berkelompok.

Identifikasi secara keagamaan yang terjadi, dimana tiap-tiap etnis di

Kalimantan Barat selalu diidentikkan dengan agama tertentu, tidak lalu membuat etnis lain yang mempunyai agama yang sama ikut dalam konflik tersebut.

Etnisitas menjadi tembok pemisah pengaruh solidaritas keagamaan dalam konflik yang terjadi. Sebagai contoh, saat konflik antara etnis Dayak dan Madura, masyarakat etnis Melayu maupun etnis lain (Jawa, Padang, Bugis, dsb) yang diidentikkan dengan agama Islam, tidak semata-mata langsung mengedepankan solidaritas keagamaan dan serta-merta membantu etnis Madura dalam berkonflik.

Mereka lebih cenderung berada pada posisi netral. Hal tersebut juga terjadi pada etnis yang diidentikkan dengan agama yang sama dengan etnis Dayak yaitu

Kristen atau Katholik. Sikap netralitas dalam memposisikan diri di situasi konflik cenderung muncul dari etnis-etnis pendatang. Pada etnis Melayu, sikap netral saat

4

terjadi konflik antara etnis Dayak dan Madura kemungkinan muncul akibat pengalaman konflik yang sama dengan etnis Madura. Sedangkan etnis lain yang mempunyai identitas agama yang sama kebanyakan merupakan etnis pendatang.

Salah satu etnis pendatang yang cukup banyak mendiami Kalbar adalah etnis Batak. Etnis Batak dan etnis-etnis pendatang lain mempunyai prosentase hanya 8 % dari total penduduk Kalbar (Polda Kalbar, 2006). Etnis Batak diidentikan dengan agama Kristen, yaitu agama yang sama dengan etnis Dayak.

Akan tetapi, dalam catatan dokumen maupun wawancara penulis di lapangan (14

April 2010), etnis Batak tidak pernah terlibat dalam konflik terbuka dengan etnis lain. Selain itu, didapati bahwa pada setiap sektor pekerjaan terdapat orang Batak yang bekerja didalamnya. Hal ini sangat menarik perhatian penulis untuk mengungkap bagaimana proses pembauran yang terjadi sehingga masyarakat

Batak dapat bertahan selama lebih dari 100 tahun di Pontianak dan Kalimantan

Barat.

Keberadaan masyarakat Batak yang kurang lebih selama 100 tahun di

Kalimantan Barat dimana menurut Panitia Jubileum 50 Tahun HKBP Pontianak

(dalam Parhalado HKBP Pontianak, 2008), pada tahun 1915 sudah ada dua orang pemuda dari Tanah Batak yang secara terpisah tiba di Kota Sambas untuk mengadu nasib atau bermigrasi memperbaiki taraf hidup. Mereka adalah Peres

Lumban Tobing dan Willy Hutagalung. Mereka menuju daerah Moterado dimana terdapat tambang emas.

Migrasi masyarakat Batak ke Kalbar terus berjalan hingga sekarang. Saat ini masyarakat Batak sebagian besar berdomisili di Kota Pontianak yang dapat

5

dilihat dari jumlah jemaat HKBP Pontianak yaitu sekitar 2.459 jiwa (Parhalado

HKBP Pontianak, 2009). Jumlah ini belum ditambah dengan masyarakat Batak lain yang bukan menjadi anggota jemaat HKBP Pontianak, baik itu yang menjadi anggota jemaat Gereja lain maupun masyarakat Batak yang non Kristen yang berdomisili di Pontianak. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk

Pontianak yaitu sebesar 521.569 jiwa (Badan Pusat Statistik Kota Pontianak,

2009) dapat dikatakan bahwa prosentase masyarakat Batak di Pontianak adalah sekitar 0,5 % dari penduduk Kota Pontianak.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Batak mulai memberikan banyak kontribusi serta berperan dalam pembangunan daerah Kalimantan Barat dan

Pontianak khususnya. Gubernur Kalimantan Barat, H. Usman Jafar pada acara peletakan batu pertama pembangunan gereja HKBP Pontianak pada tanggal 16

April 2007, mengungkapkan bahwa sudah banyak generasi Batak yang lahir di

Kalimantan Barat dan turut menyumbang dalam pembangunan daerah Kalimantan

Barat (arsip.pontianakpost.com, 2009).

Tidak terlibatnya etnis Batak dalam serangkaian konflik terbuka yang terjadi di Kalbar, menjadi indikator bagi penulis bahwa masyarakat Batak di

Kalbar dapat melakukan adaptasi dalam rangkaian proses akulturasi dengan masyarakat Pontianak pada khususnya dan Kalbar pada umumnya. Meskipun demikian, dari catatan lapangan yang didapat penulis, terdapat permasalahan- permasalahan yang dihadapi masyarakat Batak secara perorangan maupun kelompok (14 April 2010). Adaptasi sendiri merupakan bagian dari tahapan- tahapan dalam proses akulturasi. Tahapan-tahapan akulturasi yang terdiri dari pra

6

kontak, kontak, konflik, krisis dan adaptasi dapat menggambarkan dinamika psikologis kelompok maupun individu (Berry, Poortinga, Segall & Dasen, 1999).

Elemen psikologis yang muncul dalam tiap tahap dalam proses akulturasi, menjadi alasan pemilihan akulturasi untuk menggambarkan mengapa masyarakat

Batak tidak terlibat dalam konflik di Kalimantan Barat.

Pemilihan etnis Batak sebagai fokus penelitian didasarkan pada variasi posisi sosial di masyarakat yang beragam. Masyarakat Batak menempati posisi mulai dari posisi pemerintahan di kalangan pejabat teras, hingga swasta menengah kebawah. Hal ini dapat menunjukkan bahwa masyarakat Batak telah membaur dan berinteraksi pada segala lini sosial kemasyarakatan. Apabila dilakukan perbandingan dengan etnis lain, etnis Batak lebih memiliki variasi yang lebih tinggi (catatan lapangan, 17 April 2011). Sebagai perbandingan, etnis Tionghoa lebih mendominasi di bidang swasta, dan mereka mempunyai interaksi yang relative terbatas sesama etnis mereka. Hal ini ditunjukkan pula oleh banyaknya lokasi atau wilayah yang menjadi sentral pemukiman masyarakat Tiong Hoa.

Wilayah-wilayah tersebut antara lain wilayah Jalan Gajahmada dan Tanjungpura,

Siantan. Sedangkan etnis pendatang lain seperti Jawa dan Padang, dimana mereka lebih melebur dan lebih sulit dibedakan identitas etnisnya, tidak begitu menunjukkan pola penyebaran yang jelas. Hal ini disebabkan karena mereka tidak menonjolkan identitas dan cenderung memeluk agama Islam serta melebur ke etnis Melayu, (Alqadrie, 2009).

Dari permasalahan-permasalahan yang timbul baik secara perorangan maupun kelompok, masyarakat Batak tetap tidak terlibat dalam konflik terbuka

7

dengan etnis lain, baik itu etnis utama maupun sesama etnis pendatang. Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat permasalahan apa saja yang dihadapi masyarakat Batak di Pontianak dalam rangka proses akulturasi dan mencoba menggambarkan dinamika psikologisnya. Selain itu, penulis mencoba menggambarkan strategi dan nilai-nilai apa yang menjadi pegangan masyarakat

Batak di Pontianak dalam menghadapi permasalahan serta dalam berinteraksi dengan masyarakat dari etnis lain. Dengan mengetahui dan mempelajari hal-hal tersebut, diharapkan dapat memberi gambaran sebuah proses akulturasi masyarakat Batak di Pontianak yang selama ini tidak menimbulkan konflik. Hal ini dapat dilihat sebagai referensi dalam rangka mewujudkan harmonisasi antar etnis-etnis di Kalbar dalam kemajemukan budaya di Kalbar pada umumnya dan

Pontianak pada khususnya.

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan diatas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu :

Bagaimana proses dan bentuk strategi akulturasi yang dilakukan masyarakat Batak di Pontianak ?

C. Tujuan Penelitian

Menggambarkan proses dan bentuk strategi akulturasi yang dipilih dan dijalankan oleh masyarakat Batak di Pontianak.

8

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini secara keseluruhan dirumuskan dalam beberapa hal berikut :

1. Dalam bidang keilmuan diharapkan dapat menambah literatur

mengenai masyarakat Batak saat ini yang masih minim, terutama

masyarakat Batak di perantauan. Literatur tersebut diharapkan dapat

digunakan dalam bidang ilmu Psikologi, Sosiologi dan Antropologi.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi

masyarakat Kalbar pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada

umumnya tentang kehidupan dalam pluralisme dan multikulturalisme

yang berpotensi besar menimbulkan konflik.

BAB II

LANDASAN KONSEPTUAL

A. Akulturasi

1. Pengertian

Akulturasi dipahami sebagai sebuah fenomena yang terjadi tatkala

kelompok-kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda terlibat

dalam kontak yang terjadi secara langsung. (Redfield, Linton & Herskovitz,

dalam Berry dkk, 1999). Kontak secara langsung ini dapat dipahami sebagai

interaksi terus menerus yang melibatkan posisi individu secara personal

(melibatkan elemen psikologis seperti persepsi dan sikap) maupun sebagai

individu dengan atribut yang melekat padanya (contoh : identitas etnis atau

kelompok).

John W. Berry (2004) mendefinisikan secara sederhana bahwa akulturasi

merupakan proses perubahan budaya dan perubahan psikologis sebagai hasil

dari kontak antara kelompok-kelompok budaya dan anggota-anggota

kelompoknya. Dalam masyarakat yang plural dalam kontek budaya adat dan

tradisi, kelompok-kelompok budaya yang beraneka ragam berdinamika untuk

mempertahankan tradisi budaya yang merupakan warisan dari pendahulunya.

Akulturasi menjadi sebuah proses dinamis yang terjadi terus menerus dan

melibatkan elemen-elemen kebudayaan dari tiap-tiap budaya yang bertemu.

Proses ini terjadi dalam dua ranah yaitu individu dan kelompok. Akulturasi

pada ranah kelompok menimbulkan perubahan dalam struktur sosial, landasan

9

10

ekonomi, dan organisasi politik. Pada ranah individual, timbul perubahan jati diri, nilai dan sikap.

Graves (1967 dalam Berry, 2004) mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan antara akulturasi sebagai fenomena kolektif atau fenomena pada ranah kelompok dan akulturasi psikologis secara personal. Pada awalnya, akulturasi merupakan perubahan kultur yang terjadi pada level kelompok dan kemudian berlanjut pada perubahan psikologis personal. Perubahan yang terjadi secara berkelompok yang disepakati bersama dengan alasan-alasan tertentu, mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan psikologis individu- individu anggota kelompok tersebut. Dua hal tersebut kemudian menjadi variabel yang saling berhubungan secara sistematis.

Definisi lain dari akulturasi diungkapkan oleh Social Science Research

Council (1954 dalam Berry, 2004 hal 24)

“…culture change that is initiated by the conjunction of two or more autonomous cultural systems. Acculturative change may be consequence of direct cultural transmission; it may be derived from non cultural causes, such as ecological or demographic modification induced by an impinging culture; it may be delayed, as with internal adjustments following upon the acceptance of alien trait or patterns; or it may be a reactive adaptation ot traditional modes of life...”

Dapat dipahami bahwa perubahan dalam akulturasi bisa saja merupakan dampak dari kontak budaya secara langsung. Perubahan tersebut mungkin saja tidak berasal atau berbentuk budaya (tradisi/ritual), sebagai contoh perubahan demografi atau modifikasi lingkungan yang disebabkan oleh pergeseran

11

budaya. Perubahan tersebut dapat berlangsung cepat atau tertunda tergantung dari pola adaptasi tiap individu terhadap pengaruh-pengaruh asing.

Merangkum semua definisi yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis mendefinisikan akulturasi sebagai sebuah proses berkepanjangan yang terjadi sebagai konsekuensi bertemunya dua kebudayaan yang berbeda. Kontak dan interaksi dengan dinamika konflik serta adaptasi yang terjadi didalamnya, menjadi sebuah proses longitudinal yang terjadi dalam ranah individual maupun kelompok. Akulturasi juga mencakup semua perubahan yang timbul dalam kontak individu dan kelompok dengan dua budaya yang berbeda.

Akulturasi hanya akan terjadi apabila terjadi kontak antara budaya yang berbeda tersebut dengan cara apapun. Terjadinya akulturasi dapat dipahami, dirasakan dan dideteksi apabila muncul perubahan-perubahan yang merupakan dampak, hasil atau konsekuensi dari akulturasi.

2. Proses akulturasi

Dalam proses akulturasi, individu atau kelompok budaya melewati beberapa tahap. Strategi akulturasi yang dipilih serta dijalani juga mempengaruhi waktu serta hasil-hasil pada tiap tahap akulturasi (Berry,

Poortinga, Segall & Dasen, 1999).

a. Pra kontak

Merupakan tahap dimana individu atau kelompok budaya sebelum

bertemu dan melakukan kontak dengan budaya lain. Pada tahap ini,

individu atau kelompok budaya yang akan melakukan akulturasi

12

mempunyai informasi awal mengenai kebudayaan lain yang akan berakulturasi dengan mereka atau bahkan tidak sama sekali.

b. Kontak

Tahap dimana individu atau kelompok budaya melakukan kontak atau interaksi langsung dengan kebudayaan lain.

c. Konflik

Pada tahap ini, individu atau kelompok budaya menghadapi permasalahan-permasalahan yang bersumber dari perbedaan kebudayaan, perlakuan, kondisi lingkungan, kondisi sosial, serta permasalahan lain yang muncul dalam proses interaksi dengan kebudayaan lain.

d. Krisis

Individu atau kelompok budaya yang berakulturasi mengalami masa krisis dalam berbagai ranah, baik secara individu atau kelompok.

e. Adaptasi

Pada tahap ini, individu atau kelompok sudah dapat menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul dari perbedaan-perbedaan budaya. Individu atau kelompok budaya menerapkan strategi-strategi akulturasi yang mereka pilih untuk dalam menghadapi permasalahan yang muncul dalam proses akulturasi.

13

3. Strategi akulturasi :

Menurut Berry, Poortinga, Segall & Dasen (1999), individu atau kelompok budaya dalam berakulturasi menggunakan cara-cara tertentu yang disebut sebagai strategi akulturasi, yaitu :

 Asimilasi

Dua kebudayaan bertemu namun salah satu kebudayaan melebur dan

merubah bentuk asli kebudayaan tersebut.

 Integrasi

Yaitu dua kebudayaan saling meleburkan diri dengan kebudayaan

lainnya tanpa meninggalkan kebudayaan mereka.

 Separasi

Budaya yang mempertahankan kebudayaannya dan menghindari

kontak dengan budaya lain (eklusifitas budaya).

 Marginalisasi

Ketika budaya tidak melakukan kontak dengan budaya lain dan tidak

mempertahankan budayanya.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi akulturasi

Dalam setiap dinamika dalam interaksi akan ditemukan perbedaan- perbedaan hasil yang dipengaruhi oleh banyak hal. Begitu pula dalam proses akulturasi. Dampak dari interaksi yang terjadi mempunyai hasil serta faktor- faktor yang mempengaruhi sendiri-sendiri. Berdasarakan pengertian serta

14

penjelasan dari beberapa sumber, peneliti menyimpulkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi akulturasi.

 Pemilihan strategi akulturasi

Dalam proses akulturasi, hasil akulturasi muncul dan dipahami

sebagai sebuah strategi akulturasi. Setiap strategi akulturasi memiliki hasil

dan tipikal yang berbeda-beda. Menurut Berry, Poortinga, Segall & Dasen

(1999), keberhasilan akulturasi hingga mencapai tahap adaptasi tidak

terjadi pada semua strategi akulturasi. Adaptasi hanya terjadi pada strategi

akulturasi Asimilasi, Integrasi dan Separasi. Sedangkan Marjinalisasi

hanya akan sampai pada tahap konflik.

 Sikap terhadap akulturasi

Perbedaan keinginan berinteraksi dan mempertahankan nilai

budayanya juga menjadi faktor lain yang mempengaruhi akulturasi. Sikap

ini pula yang menjadi salah satu indicator strategi akulturasi yang dipilih.

(Berry, Poortinga, Segall & Dasen, 1999).

 Kemampuan adaptasi

Perbedaan budaya yang tinggi dapat menyebabkan sulitnya menuju tahap

adaptasi. Ketidakmampuan beradaptasi dapat menimbulkan stress

akulturatif atau culture shock (Dayakisni & Yuniardi, 2008)

15

5. Konsekuensi / dampak akulturasi

Akulturasi memberikan berbagai konsekuensi bagi pada pelakunya atau orang yang terlibat dalam proses ini. Konsekuensi tersebut serta tingkatannya merujuk pada kemampuan adaptif serta nilai-nilai budaya masing-masing pelaku akulturasi, (Berry, Poortinga, Segall & Dasen, 1999)

a. Perubahan perilaku

Perubahan perilaku individu atau kelompok budaya, merupakan

konsekuensi yang cenderung tidak terlihat secara nyata. Tingkatan

perubahan dipengaruhi oleh strategi akulturasi yang dipilih dan dijalani.

Pada dasarnya, perubahan ini dilakukan dalam rangka menghindari konflik

yang muncul dalam proses akulturasi.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perubahan tersebut. Strategi

akulturasi yang dipilih dan dijalani menjadi acuan tingkat perubahannya.

Posisi individu atau kelompok budaya (sebagai kelompok dominan atau

tidak) dalam proses akulturasi mempengaruhi perubahan perilaku tersebut.

b. Stres akulturatif

Pengertian sederhana dari stres akulturatif adalah stres yang

diakibatkan oleh proses akulturatif (Berry, 2004). Lebih lanjut dijelaskan

bahwa stres akulturatif merupakan reaksi psikologis yang negatif terhadap

pengalaman-pengalaman akulturasi. Hal ini terjadi karena kurang

mampunya kelompok dan atau individu menyesuaikan diri atau

16

beradaptasi dengan stresor-stresor yang timbul sebagai konsekuensi akulturasi. Contoh : kecemasan, depresi, alienasi, kebingungan jati diri, dll. Lebih lanjut dijelaskan bahwa stres akulturatif merupakan sebuah fenomena yang mungkin mendasari suatu reduksi dalam status kesehatan individu (termasuk aspek fisik, psikologis dan sosial) (Berry, Poortinga,

Segall & Dasen, 1999 : 553). Stres akulturatif merupakan distres psikokultural yang mengacu pada perbedaan kebudayaan antara kebudayaan asal dengan kebudayaan baru. Hal ini termasuk masalah- masalah ekonomi, sosial, psikologis dan tekanan-tekanan psikologis

(Berry 1980, 1987, 1997, dalam Romanova, 2007 : 14).

Faktor yang menimbulkkan stres akulturatif antara lain :

a. Perbedaan kebudayaan yang mendasar yang menjadi potensi

timbulnya konflik.

b. Status sosial dalam kebudayaan baru.

c. Kebijakan pemerintah yang mendeskriditkan.

d. Faktor latar belakang individu seperti : pendidikan, pekerjaan,

nilai, pengetahuan awal terhadap kebudayaan baru.

Menurut Dayakisni & Yuniardi (2008 : 191), stres akulturatif

mempunyai pengertian yang sama dengan cultural shock. Pengertian dari

cultural shock sendiri adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-

kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika ia mengenalnya maka ia tak

dapat atau tidak bersedia menampilkan perilaku yang sesuai dengan

aturan-aturan ini (Bochner, 1970 dalam Dayakisni & Yuniardi, 2008).

17

Akulturasi yang muncul mengarahkan (bahkan terkadang memaksa)

tiap individu baik secara kelompok maupun personal untuk melakukan

perubahan. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya tiap budaya dapat

mempengaruhi budaya lain dengan kemampuan yang sama. Akan tetapi,

pada prakteknya budaya yang satu akan cenderung menguasai budaya

lain dan pada akhirnya mengarahkan pada munculnya “kelompok

dominan” dan kelompok yang berakulturasi” (Berry, Poortinga, Segall &

Dasen, 1999). Perubahan yang muncul sebagai pilihan untuk bertahan

dan mempertahankan budaya, dikemudian hari menjadi sebuah pola

adaptasi unik dari tiap individu beserta kelompok budayanya.

Pembatasan istilah akulturasi dalam penelitian ini diarahkan pada akulturasi yang terjadi pada ranah individual yang mencakup proses dan strategi individu dalam berakulturasi. Perlu dipahami lebih lanjut bahwa setiap individu yang terlibat dalam proses akulturasi mempunyai pengalaman akulturasi yang berbeda-beda. Selain itu, tidak semua pengalaman yang dimaknai dan diakui sebagai pengalaman akulturasi, merupakan pengalaman personal yang dialami langsung oleh individu tersebut. Beberapa pengalaman merupakan pengalaman langsung salah satu anggota kelompok yang kemudian

“diakui” sebagai pengalaman kelompok. Pengalaman kelompok tersebut kemudian “diakui” dan dihayati sebagai pengalaman personal tiap anggota kelompok. Oleh karena itu, tiap informan akan dilihat dinamika psikologisnya untuk melihat runtutan pengalaman yang dialami dan dimaknai.

18

B. Batak

1. Nilai Budaya Batak

Suku Batak memiliki nilai budaya yang sangat beragam. Simanjuntak

(2009) secara ringkas mengungkapkan tujuan dan pandangan hidup orang

Batak sebagai berkut :

“Tujuan dan pandangan hidup mereka (orang Batak) secara turun temurun yakni kekayaan (hamoraon), banyak keturunan (hagabeon) dan kehormatan (hasangapon)” (Simanjuntak, 2009 : 142).

Tujuan dan pandangan hidup hamoraon, hagabeon, hasangapon

(selanjutnya akan disebut dengan 3H), merupakan nilai dasar yang menjadi

terminal values (nilai-nilai yang ingin dicapai) bagi orang Batak (Irmawati,

2002). Nilai-nilai dalam 3 H merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.

Dalam usaha mewujudkan hasangapon, masyarakat Batak menggunakan

hamoraon dan hagabeon.

Hamoraon atau kekayaan menjadi tujuan awal dalam proses menuju

hasangapon (penghormatan). Kekayaan juga menjadi modal awal untuk

mendapatkan hagabeon. Untuk mendapatkan keturunan masyarakat Batak

haruslah menyelenggarakan ritual tradisi adat yang memakan biaya cukup

besar. Bahkan tidak sedikit masyarakat Batak yang rela meminjam ke sanak

keluarga untuk membiayai pernikahan.

Hagabeon atau keturunan menjadi tujuan selanjutnya bagi orang Batak,

begitu pentingnya posisi keturunan diungkapkan dalam sebuah lagu daerah

Batak “Anakkon ki do hamoraon di au” (anakku yang paling berharga bagiku).

19

Begitu berharganya seorang anak terutama anak laki-laki (sebagai penerus marga) membuat para orang tua-orang tua Batak memberikan segalanya bagi anaknya. Investasi utama yang diperjuangkan oleh masyarakat Batak bagi anaknya adalah pendidikan. Bagi masyarakat Batak, pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang turut meningkatkan kehormatan (sangap) keluarga. Semakin tinggi pendidikan anaknya, semakin tinggi pula tingkat kehormatan keluarga.

Pendidikan sebagai sebuah sarana peningkatan kehormatan atau harga diri orang Batak menjadi salah satu alasan mengapa saat ini sulit ditemui orang

Batak yang tidak bersekolah. Hasangapon dilihat sebagai tujuan yang hanya dapat dicapai dengan perjuangan yang keras. Oleh karena itu, bukanlah hal yang aneh apabila orang Batak muncul sebagai seorang pekerja keras, tidak mau kalah dan selalu mengejar prestasi tertinggi (Irmawati, 2002).

Berdasarkan analisis Harahap dan Siahaan (1987) terhadap 300 ungkapan tradisional masyarakat Batak, dalam hal ini sub suku Batak Toba, mereka menemukan 9 nilai budaya utama masyarakat Batak yaitu kekerabatan, religi, hagabeon (keturunan), hasangapon (kemuliaan, kewibawaan, kharisma), hamoraon (kekayaan), hamajuon (kemajuan), hukum, Pangayoman

(Pengasuhan) dan konflik. Lebih lanjut diungkapkan, dari semua nilai budaya utama tersebut yang menjadi urutan pertama berdasarkan frekuensi pemakaian kata-kata kunci adalah kekerabatan yaitu dengan frekuensi 34.33 %, berbeda jauh dengan urutan kedua yaitu religi dengan frekuensi pemakaian kata-kata kunci sebanyak 17.25 % dan urutan-urutan selanjutnya. Dari analisis ini, dapat

20

dikatakan bahwa nilai kekerabatan menjadi hal yang menjadi nilai utama dalam budaya masyarakat Batak.

Kekerabatan masyarakat Batak diatur dalam sistem kekerabatan ciri khas kebudayaan Batak yang dikenal dengan istilah Dalihan Na Tolu (Harahap dan

Siahaan, 1987). Dalihan Na Tolu yang yang biasa disingkat DNT, merupakan sebuah terminologi yang mulai terkenal sejak tahu 1960 sampai sekarang

(Simanjuntak, 2006). Pada buku-buku lama, seperti karangan J.C. Vergouwen yang terbit pertama kali dalam bahasa Belanda tahun 1933, istilah DNT tidak disebutkan sama sekali. Istilah ini mempunyai beberapa pendapat mengenai artinya secara harafiah, Sormin (dalam Simanjuntak, 2006) mengungkapkan bahwa arti dari Dalihan Na Tolu adalah “tungku nan tiga”. Simanjuntak

(2006) mengkritik pengertian tersebut. Ia berpendapat bahwa istilah yang diungkapkan oleh Siahaan tersebut tidak tepat. Menurutnya, kata Dalihan berarti tungku dan Na Tolu maksudnya adalah kaki tungku tersebut ada tiga.

Sedangkan istilah “Tungku Nan Tiga” yang di ungkapkan berarti ada tiga buah tungku. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari kesalahan yang dilakukan T.D Pardede yang member pengertian Dalihan

Na Tolu dalam kutipan pidato pengukuhannya menjadi guru besar Universitas

Nommensen di Medan :

“Dari sudut terminologi Dalihan Na Tolu berarti tiga buah tungku yang dipergunakan tempat meletakkan alat memasak…” (Pardede, 1973 dalam Simanjuntak, 2006:99).

Terlepas dari pengertian mana yang benar, pada prinsipnya terminologi ini berasal dari tiga golongan penting dalam masyarakat Batak yaitu Hula-hula,

21

Boru dan Dongan Sabutuha. dari pihak menantu laki-laki). Pola hubungan ketiga golongan tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut :

Gambar 1 Pola Hubungan dalam Dalihan Na Tolu

Penerima Istri Pemberi Istri

Boru

Hula-Hula

Dongan Tubu

a. Dongan Sabutuha atau Dongan Tubu

Dongan Sabutuha merupakan satu-satunya unsur hubungan

kekeluargaan yang bukan disebabkan oleh pernikahan. Hubungan dengan

Dongan Sabutuha tidak dapat terputus karena merupakan hubungan darah

berdasarkan marga. Dongan Sabutuha merupakan hubungan kekeluargaan

orang Batak yang sudah melekat semenjak lahir. Arti dari Dongan adalah

teman, sedangkan Sabutuha artinya satu perut atau satu ibu.

Prinsip dasar dalam berhubungan dengan Dongan Sabutuha adalah “

Manat mardongan tubu “. Prinsip ini berarti bahwa orang Batak harus

berhati-hati dan cermat (manat) dalam berhubungan dengan Dongan

Sabutuha-nya. Jangan sampai menyinggung atau membuat hubungan tidak

baik dengan Dongan Sabutuha-nya. Nilai lain yang dimaksud dalam unsur

22

ini adalah bahwa semua orang yang satu marga adalah saudara dan seorang individu Batak wajib saling menolong antar sesama Dongan

Sabutuha-nya. Sebuah filsafat Batak berbunyi :

“Suhar bulu ditait dongan, laos suhar do i taiton” (walaupun teman semarga kita menarik bambu dengan cara yang salah, kita harus tetap membantu untuk menarik bambu dengan cara yang salah itu)

Filsafat ini berarti walaupun teman semarga kita berbuat salah, kita harus tetap solider (Sihombing, 1986). Oleh karena itu dapat kita lihat bahwa nilai solidaritas sangat ditanamkan kuat dalam kehidupan masyarakat

Batak. Namun, pada perkembangannya solidaritas yang terlalu tinggi tanpa melihat kebenaran mulai berkurang saat ini. Masyarakat Batak terutama yang telah memperoleh pendidikan tinggi sudah tidak lagi secara habis- habisan mempertahankan solidaritas tanpa melihat kebenaran.

Apabila bertemu Dongan Sabutuha yang tidak dikenal sama sekali, seorang individu Batak akan menanyakan urutan generasi. Setelah mengetahui urutan generasi masing-masing, maka akan diketahui sebutan untuk memanggil Dongan Sabutuha-nya tersebut. Sebagai contoh, apabila seorang pria Batak “A” bermarga Panggabean yang mempunyai urutan generasi 14 bertemu seorang pria Batak “B” yang bermarga Panggabean urutan 16 dan tidak dikenal serta belum pernah bertemu sama sekali, maka

B wajib menghormati A dan memanggil dengan sebutan opung

(nenek/kakek).

23

b. Hula-hula

Hula-hula merupakan hubungan kekeluargaan yang dihasilkan dari sebuah pernikahan. Hula-hula merupakan keluarga dari pihak istri.

Sebagai contoh apabila seorang Batak bermarga Panggabean menikahi seorang wanita Batak bermarga Simamora, maka bagi pria tersebut dan bagi marga Panggabean, Simamora merupakan Hula-hula mereka.

Prinsip dasar dalam berhubungan dengan Hula-hula adalah “Somba marhula-hula“. Hal ini berarti bahwa setiap individu Batak haruslah hormat terhadap Hula-hula-nya. Penghormatan ini dimaksudkan agar mendapat Pasu-pasu atau berkat.

Berbeda dengan suku bangsa lain, yang tidak terlalu mempermasalahkan penghormatan terhadap keluarga istri, seorang Batak harus menghormati Hula-hula mereka dengan sungguh-sungguh. Posisi

Hula-hula merupakan posisi terhormat dalam setiap acara adat. Hula-hula harus dijamu dengan baik dan ditempatkan pada posisi terhormat dalam sebuah acara adat. Filsafat Batak mengenai Hula-hula berbunyi :

“Hula-hula i do Debata na tarida” (Hula-hula adalah dewata yang tampak)

Hula-hula dianggap sebagai pemberi Pasu-pasu (berkat) bagi pihak

Boru. Hula-hula boleh meletakkan tangan di kepala Boru dan kelompoknya, akan tetapi apabila sebaliknya merupakan hal yang tabu dan pantang. (Sihombing, 1986).

24

Setiap individu Batak mempunyai Hula-hula, baik itu dari keluarga istrinya, keluarga ipar perempuannya, keluarga ibunya maupun keluarga nenek dari ayahnya juga disebut Hula-hula dan patut dihormati. Berkaitan dengan salah satu misi budaya Batak yaitu Hagabeon yang salah satunya adalah keturunan, Hula-hula dianggap sebagai pemberi berkat untuk memberikan keturunan karena merekalah yang memberikan seorang wanita untuk dijadikan istri dan melahirkan anak.

Hula-hula tidak hanya menerima hormat dan pelayanan dari Boru-nya saja. Akan tetapi, segala hormat serta pelayanan yang diberikan pihak

Boru haruslah dibalas dengan memberikan “berkat” kepada Boru-nya.

Dalam acara adat, “berkat” tersebut berupa barang atau uang yang diberikan oleh Hula-hula kepada Boru-nya.

c. Boru

Boru merupakan unsur lain dari DNT. Boru merupakan pihak penerima istri. Unsur ini bukanlah unsur yang terendah dalam DNT. Hal ini dikarenakan DNT bukanlah sebuah hierarki dimana menempatkan tiap- tiap unsur dalam tingkatan yang berdeda. Outsider (orang diluar suku

Batak) menganggap bahwa Boru merupakan unsur terendah dalam DNT karena Boru haruslah hormat kepada Hula-hula dan melayaninya dengan baik. Bahkan pada praktek keseharian outsider mungkin merasa heran mengapa orang Batak begitu menghormati Hula-hula-nya bahkan hingga tingkatan yang menurut outsider terlalu berlebihan, seperti berhutang

25

untuk memberikan sumbangan yang terhormat bagi Hula-hula-nya. Untuk menjelaskan hal ini, Sihombing (1986) menjelaskan dengan filsafat Batak yang berbunyi :

“Obuk do jambulan na nidandan bahen samara, Pasupasu ni hula- hula mambaen pitu sundut soada mara” (doa restu Hula-hula dapat menjauhkan marabahaya selama tujuh generasi)

“Nidurung situma, terihut porapora” (doa restu Hula-hula dapat membuat yang miskin menjadi kaya)

Boru haruslah mendapatkan doa restu Hula-hula apabila ingin sukses dalam kehidupannya terutama untuk mewujudkan Hagabeon (keturunan).

Prinsip dasar dalam berhubungan dengan Boru adalah “Elek marboru”.

Prinsip ini berarti bahwa individu Batak dalam berhubungan dengan Boru- nya adalah bersifat membujuk atau “mengambil hati”. Dengan kata lain,

Hula-hula yang sangat dihormati oleh Boru-nya dalam memberi arahan, nasehat atau perintah tidaklah bertingkah-laku seenaknya, melainkan harus membujuk agar Boru-nya mau melakukan nasehat dan arahannya.

Sinaga (2008, 84) mengungkapkan bahwa diluar tiga kelompok atau golongan tersebut dapat ditambahkan golongan lain lagi yaitu Ale-ale

(teman sejawat atau teman akrab) dan atau Dongan sahuta (teman sekampung atau tetangga). Dalam berhubungan dengan Ale-ale dan

Dongan sahuta adalah “Ringkot jala denggan marale-ale” dan “Dame mardongan sahuta”. Prinsip ini berarti bahwa seorang individu Batak haruslah berusaha memelihara hubungan baik dengan teman sejawat atau teman karib dan selalu rukun bertetangga.

26

2. Masyarakat Batak di Pontianak

Mayarakat Batak telah berada di Pontianak kurang lebih selama 100 tahun semenjak tahun 1915 dimana ada 2 orang pemuda dari Tanak Batak yaitu Peres

Lumban Tobing dan Willy Hutagalung secara terpisah bermigrasi ke Kota

Sambas. Mereka selanjutnya menuju ke Monterado untuk bekerja sebagai penambang emas (Parhalado HKBP Pontianak, 2008). Migrasi tersebut terus berlanjut hingga saat ini. Banyak orang Batak yang meninggalkan kampung halaman mereka dengan tujuan memperbaiki hidup.

Aktifitas kesukuan masyarakat Batak dalam lingkup agama terlihat dari terdapatnya gereja HKBP Pontianak yang telah berdiri selama lebih dari 60 tahun. Kegiatan lain yang diungkapkan oleh informan adalah diadakannya

Festival Lagu-lagu Batak yang diselenggarakan oleh KERABAT (Kerukunan

Masyarakat Batak). Selain itu, di Pontianak terdapat banyak Punguan

(perkumpulan marga) yang melakukan kegiatan-kegiatan seperti perayaan

Natal dan kegiatan keagamaan lain, arisan, pertemuan rutin, dll.

Migrasi masyarakat Batak ke Kalimantan Barat berkembang dengan membawa tiga obsesi utama (Siagian, 2001) yaitu :

a. Membawa adatnya, suku Batak terkenal dengan adat nya yang kuat

dan terus memelihara adat mereka walaupun didaerah perantauan.

b. Membawa agamanya, hal ini dapat dilihat pula dari jumlah Gereja

HKBP yang tersebar di seluruh Indonesia dan diluar negeri. Di

Kalimantan Barat sendiri terdapat 13 Gereja HKBP yang tersebar

hingga ke kabupaten bahkan kecamatan.

27

c. Pendidikan, melanjutkan pendidikan dianggap sebagai Human

Invesment yang paling baik. Banyak orang Batak yang melanjutkan

pendidikan di Unversitas Tanjungpura, bahkan alumnus sarjana

pertama dari Unversitas tersebut adalah orang Batak dan setiap tahun

wisuda selalu terdapat orang Batak.

C. Masyarakat Pontianak

1. Demografis

Pontianak merupakan ibukota Kalbar dengan kehidupan multietnis yang

sangat heterogen. Etnis yang dominan mendiami Pontianak adalah etnis

Melayu. Berdasarkan data dari Polda Kalbar (2006), prosentase etnis Melayu

sekitar 39 % dari total penduduk Kalbar dan sebagian besar berada di

Pontianak. Berdasarkan data dari BPS, etnis Melayu di Pontianak mencapai

30,98 % (Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2000). Selain etnis Melayu,

etnis yang dominan di Pontianak adalah etnis Tiong Hoa (masyarakat

keturunan Cina). Dari sekitar 12 % masyarakat Tionghoa di Kalbar sebagian

besar mendiami Kota Pontianak. Etnis Dayak yang merupakan penduduk asli

(Indigenous people) Pulau Kalimantan serta paling dominan mendiami Kalbar

yaitu sekitar 41 % dari penduduk Kalbar, hanya sebagian kecil yang mendiami

Kota Pontianak. Kebanyakan masyarakat etnis Dayak berada di kabupaten-

kabupaten dan di pedalaman Kalbar. Etnis lain yang tinggal di Pontianak

adalah etnis pendatang seperti Jawa, Batak, Padang, Bugis, Madura dan etnis

lainnya.

28

Berbeda dengan daerah lain di Kalbar, Pontianak sebagai ibukota provinsi mempunyai keragaman variasi etnis yang tinggi. Hal ini dikarenakan Pontianak merupakan pintu gerbang utama transportasi untuk keluar dan masuk ke

Kalbar. Tingkat mobilitas keluar masuk Kota Pontianak juga sangat tinggi.

Jumlah penumpang yang datang melalui pelabuhan Pontianak sekitar 106.093 orang. Jumlah ini mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dengan penumpang yang berangkat yaitu sekitar 71.370 orang. Arus penumpang di bandara Supadio mempunyai selisih yang tidak begitu signifikan, penumpang yang datang sekitar 688.306 orang dan penumpang yang berangkat sekitar

744.215 orang (Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2009). Akan tetapi, aktifitas ini sebagian besar menuju ke luar pulau Kalimantan terutama pulau

Jawa. Hal ini mempunyai perbedaaan yang sangat signifikan dengan jalur transportasi ke daerah lain di Kalbar maupun di Kalimantan. Jalan darat trans

Kalimantan sangat tidak layak untuk digunakan sebagai jalur transportasi.

Ketimpangan mobilitas penduduk di Kalbar dapat dilihat ketika ingin menuju provinsi lain di Kalimantan. Untuk sampai ke Balikpapan atau Samarinda, seseorang harus transit terlebih dahulu di Jakarta.

2. Sosial, Ekonomi dan Budaya

Bahasa pengantar di Pontianak menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Melayu. Hal ini dikarenakan etnis Melayu merupakan etnis yang dominan berada di Pontianak. Akan tetapi, menurut Arkanuddin (2009), dominasi etnis Melayu secara kuantitas tidak dibarengi dengan kekuatan untuk

29

membuat budaya-budaya lain yang dibawa para etnis pendatang untuk secara utuh menyesuaikan diri dengan kultur Melayu di Pontianak. Lebih lanjut dikatakan bahwa masing-masing etnis pendatang menciptakan keteraturan sosial dalam lingkungan masyarakat etnisnya masing-masing.

Ketidakmampuan atau kurang kuatnya pengaruh budaya Melayu, memberi kesempatan pada budaya-budaya dari etnis lain untuk berkembang sendiri berdasarkan kebudayaannya masing-masing. Berkembangnya masing-masing kebudayaan etnis yang ada di Kalimantan Barat kemudian diakomodir oleh pemerintahan pada masa Gubernur Usman Jafar (2003-2008) dengan dibentuknya banyak paguyuban etnis. Hingga saat ini terdapat 14 paguyuban etnis di Kalbar (Supriyatna, 2007).

Secara pekerjaan yang dilakukan, sangat terlihat jelas pola pekerjaan yang dilakukan etnis-etnis di Pontianak. Etnis Melayu sebagian besar bekerja di bidang pemerintahan (PNS). Masyarakat etnis Dayak, walaupun merupakan etnis yang dominan jumlahnya di Kalbar, di Kota Pontianak tidaklah sebanyak etnis Melayu dalam bidang pemerintahan. Masyarakat etnis Dayak di

Pontianak kebanyakan bekerja di sektor swasta. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka tidak sebagai pemilik usaha melainkan hanya sebagai pekerja.

Bahkan tidak sedikit yang menjadi pekerja kasar atau bahkan pembantu rumah tangga. Banyak anak-anak dari etnis Dayak usia sekolah (SMP-SMA) dari daerah merantau ke Pontianak untuk melanjutkan sekolah sambil bekerja membantu pekerjaan rumah tangga untuk dapat membiayai sekolah mereka.

Etnis Tiong Hoa merupakan pemilik sebagian besar sektor swasta di Pontianak.

30

Diskriminasi masa orde baru yang menutup kesempatan mereka untuk

berkecimpung di dunia pemerintahan membuat mereka lebih memfokuskan diri

di sektor swasta (Asali, 2008). Hal ini yang kemudian membuat masyarakat

Tionghoa di Pontianak mempunyai keadaan ekonomi rata-rata menengah

keatas. Sedangkan etnis-etnis lain di Pontianak bekerja pada sektor yang lebih

bervariasi baik itu pemerintahan maupun swasta.

D. Batasan Konseptual

Rambu-rambu yang berfungsi untuk membatasi pemahaman akulturasi pada penelitian ini adalah akulturasi yang terjadi pada tingkat individu atau dikenal pula dengan akulturasi psikologis. Proses akulturasi masyarakat Batak di

Pontianak dengan masyarakat di Pontianak menjadi fokus utama penelitian ini.

Selain itu, strategi akulturasi yang dipilih oleh informan dan juga sebagai konsekuensi identitas budaya yang melekat pada tiap individu, menjadi elemen penting dalam penelitian ini untuk melihat pola dan proses akulturasi pada tingkat individu.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

penelitian kualitatif yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang

dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,

dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan

bahasa (Moleong, 2005:6). Tema penelitian ini yaitu mengenai akulturasi,

memerlukan data yang mendalam dan personal dari tiap informan. Hal ini

diperlukan agar dapat menggambarkan dinamika proses dan strategi akulturasi

yang menjadi fokus utama penelitian ini.

B. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan mengikuti prosedural standar yang diperlukan

dalam setiap penelitian kualitatif. Prosedur tersebut berupa tahapan penelitian

mulai dari awal penyusunan rancangan penelitian hingga analisis dan

kesimpulan penelitian. Lebih lanjut tahapan ini diungkapkan oleh Moleong

(2006) sebagai berikut :

1. Tahap Pra Lapangan

Pada tahap ini, dilakukan perancangan penelitian yang akan dilakukan.

Proses ini mencakup pula persiapan-persiapan yang harus dilakukan

sebelum turun ke lapangan untuk mengambil data. Peneliti haruslah

terlebih dahulu memahami semua hal yang berkaitan dengan konteks

31

32

penelitian. Sebagai contoh, peneliti harus memahami kebudayaan,

bahasa, situasi sosial serta permasalahan etika penelitian. Apabila

diperlukan, semua hal yang berkaitan dengan perizinan haruslah

diselesaikan pada tahap ini.

2. Tahap Pekerjaan Lapangan

Pada tahap ini, peneliti sudah mulai turun ke lapangan untuk

mengambil data. Penelitian diarahkan untuk mengambil data sebanyak-

banyaknya yang terkait dengan fokus penelitian. Akan tetapi, perlu

diperhatikan bahwa jangan sampai peneliti melenceng terlalu jauh dari

rancangan awa penelitian. Perubahan rancangan penelitian mungkin

saja terjadi, hal ini terkait dengan kondisi lapangan yang dapat selalu

berubah-ubah. Pendekatan dengan sumber data yaitu informan perlu

dilakukan untuk mencegah terjadinya bias data. Pemahaman yang baik

terhadap sumber data dan konteks sosialnya dapat mengurangi bias

dalam data yang diperoleh.

3. Tahap Analisis Data

Tahapan analisis data dapat dilakukan saat berada dilapangan ataupun

setelah menginggalkan lokasi penelitian. Analisis yang dilakukan saat

berada di lokasi penelitian bertujuan untuk mengetahui apakah data

yang diperlukan sudah cukup atau masih perlu dilakukan pengumpulan

data lanjuta. Hal ini biasanya terjadi pada saat peneliti melakukan uji

33

silang data antar informan. Selain itu, kejenuhan data juga didapat dari

analisis data yang dilakukan di lapangan. Analisis yang dilakukan

setelah meninggalkan lokasi penelitian merupakan analisis utama

untuk membahas semua data yang telah diperoleh. Analisis ini

dilakukan dengan pendekatan analisis data berdasarkan tujuan dan

rumusan masalah penelitian.

C. Subjek Penelitian

Informan yang dipilih adalah informan yang sesuai dengan kriteria yang

telah disusun sebelumnya oleh peneliti. Kriteria-kriteria tersebut antara lain :

- Orang Batak yang tinggal di Pontianak lebih dari dua dekade.

Alasan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam dua dekade

telah terjadi banyak perubahan dari segala lini kehidupan di Pontianak.

Mulai dari pemerintahan hingga sosial kemasyarakatan.

- Aktif dalam berkegiatan sosial, baik sesama etnisnya maupun antar

etnis yang lain.

Dengan aktif dalam berkegiatan sosial, informan yang dipilih

merupakan individu yang mempunyai pengalaman interaksi yang relatif

banyak.

- Semua informan utama adalah laki-laki.

Hal ini didasarkan pada pola kebudayaan Batak yang bersifat patriarki.

Laki-laki pada etnis Batak cenderng ekspansif dan banyak melakukan

kontak dengan etnis lain.

34

Dari kriteria tersebut, dipilih informan-informan yang representatif dengan

penelitian ini. Penulis memilih masyarakat Batak di dalam lingkungan gereja

HKBP Pontianak sebagai pintu masuk untuk dapat melakukan pemetaan

masyarakat Batak di Pontianak. Hal tersebut dikarenakan HKBP merupakan

lembaga keagamaan yang mempersatukan masyarakat Batak di Pontianak

dalam Punguan (persatuan atau paguyuban) berdasarkan marga yang dibentuk

dan beranggotakan anggota jemaat HKBP Pontianak itu sendiri. Selanjutnya,

pola penyebaran jemaat HKBP disusun untuk menemukan sebaran masyarakat

Batak di Pontianak dari segi pekerjaan. Untuk memudahkan pemilihan

informan, penulis membagi lingkup pekerjaan menjadi dua yaitu swasta dan

pemerintahan. Setelah menemukan pola penyebaran tersebut, dilakukan

pemilihan informan yang akan mewakili tiap lingkup pekerjaan yang ada.

Proporsi anggota dari tiap lingkup pekerjaan menjadi dasar untuk menentukan

jumlah informan dari tiap lingkup pekerjaan.

D. Batasan penelitian

Pembatasan dalam penelitian ini bertujuan untuk lebih memfokuskan

penelitian pada tujuan penelitian. Batasan penelitian diarahkan pada proses

akulturasi pada masyarakat Batak di Pontianak dalam ranah individual dan

strategi akulturasi yang dipilih.

Dari tiap informan dikumpulkan data mengenai dinamika bagaimana

mereka dapat ke kota Pontianak. Proses akulturasi terdiri dari pra kontak,

kontak, konflik, krisis dan adaptasi. Sedangkan strategi akulturasi terdiri dari

35

Asimilasi, Integrasi, Separasi dan Marginalisasi. Strategi akulturasi dapat

dilihat dari cara tiap informan dalam menyelesaikan konflik yang dihadapi

sehingga mencapai tahap adaptasi. Oleh karena itu, strategi akulturasi tidak

dapat dipisahkan dengan proses akulturasi.

E. Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara

Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan

ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) dengan orang

yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan

tersebut (Moleong, 2005). Dalam melakukan wawancara, penulis melakukan

wawancara menggunakan petunjuk umum wawancara (pedoman pertanyaan)

dan wawancara informal.

a. Wawancara menggunakan petunjuk umum wawancara (pedoman

pertanyaan)

Wawancara menggunakan petunjuk umum merupakan wawancara

dengan menggunakan pedoman pertanyaan yang merupakan pokok-pokok

atau kerangka pertanyaan yang akan diajukan (Moleong, 2005). Tujuannya

adalah agar pokok-pokok pertanyaan yang direncanakan dapat tercakup

sepenuhnya. Pelaksanaan wawancara dan urutan pertanyaan yang diajukan

disesuaikan dengan situasi dan keadaan selama wawancara berjalan.

Wawancara jenis ini dilakukan pada informan utama dalam penelitian.

36

Wawancara yang dilakukan adalah wawancara personal. Hal ini bertujuan

untuk memahami secara mendalam dinamika psikologis tiap informan.

Bias yang dapat timbul yaitu menjawab dengan kecenderungan normatif,

juga menjadi alasan lain mengapa wawancara tersebut dilakukan secara

personal.

Tabel 1. Pedoman Wawancara

No. Poin yang dituju Pokok pertanyaan Pertanyaan 1. Pra Kontak Proses Migrasi ke 1. Sudah berapa lama anda Pontianak tinggal di Pontianak ? 2. Bagaimana hingga anda bisa sampai ke Pontianak ? Apa motivasi anda ? 3. Apakah anda mengetahui budaya masyarakat Pontianak ?

2. Kontak Bentuk dan proses 4. Bagaimana bentuk interaksi dengan etnis interaksi anda dengan lain di Pontianak masyarakat Pontianak

dan seberapa sering anda bergaul dengan mereka? a. di lingkungan tempat tinggal b. di lingkungan pekerjaan c. di masyarakat lain

5. Bagaimana proses interaksi anda dengan masyarakat Pontianak dan seberapa sering anda bergaul dengan mereka? a. di lingkungan tempat tinggal b. di lingkungan

37

pekerjaan c. di masyarakat lain

3. Konflik, Krisis, Kendala / Permasalahan 6. Apakah anda adaptasi dan yang dihadapi selama menemukan kendala Strategi berinteraksi saat berinteraksi dengan

masyarakat lain di luar suku Batak ? a. di lingkungan tempat tinggal b. di lingkungan pekerjaan c. di masyarakat lain

7. Bagaimana anda menangani kendala tersebut ?

8. Apa yang anda pelajari dari kendala tersebut ?

b. Wawancara informal

Wawancara informal merupakan wawancara yang dilakukan

berdasarkan spontanitas informan (Moleong, 2005). Wawancara

berlangsung seperti pembicaraan biasa dan wajar dalam kehidupan sehari-

hari. Bahkan tekadang informan yang diwawancarai tidak mengetahui

bahwa ia sedang diwawancarai. Wawancara jenis ini dilakukan pada

significant others yang menjadi penguat serta faktor dalam validitas data.

Significant others dipilih berdasarkan informasi-informasi tertentu yang

didapat dari wawancara terhadap informan utama, yang dirasa penulis

perlu dicari kebenarannya.

38

2. Observasi

Observasi atau pengamatan dalam penelitian adalah proses mengamati

dengan atau tanpa terlibat langsung (partisipasi) dengan objek sebagai bagian

dari objek pengamatan. Teknik ini bertujuan untuk mengoptimalkan

kemampuan penulis dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar,

kebiasaan dan lain sebagainya. Dengan melakukan teknik ini penulis berharap

mendapatkan data-data mengenai pengalaman yang lebih nyata dan apa adanya

(Moleong, 2005).

3. Pengumpulan Dokumen

Data lain yang didapat dalam penelitian ini adalah data dari dokumen-

dokumen yang ada. Data-data tersebut terkait dengan konteks penelitian seperti

kejadian, data statistikal dan data-data lain yang didapat dari sumber-sumber

yang kredibel. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan data pembanding demi

mencapai tingkat keabsahan data penelitian.

F. Keabsahan data

Dalam menentukan kredibilitas data penelitian, penelitian ini

menggunakan beberapa teknik pengujian keabsahan seperti yang dipaparkan

oleh Moleong (2005) triangulasi. Triangulasi yang dilakukan adalah triangulasi

dengan memanfaatkan sumber data. Teknik ini dilakukan dengan cara

membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang

diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif

39

(Patton, 1987 dalam Moleong, 2005). Pada penelitian ini penulis membandingkan hasil dari berbagai sumber data yang diperoleh yaitu data wawancara terhadap informan utama, hasil pengamatan, wawancara dengan significant others, serta data-data berupa dokumen dan hasil penelitian pendahulu yang terkait dengan konteks penelitian yaitu penelitian yang terkait etnisitas di Pontianak.

BAB IV

PENYAJIAN HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Proses Penelitian

Penelitian selama satu bulan di lokasi penelitian yaitu di Kota Pontianak,

Kalimantan Barat. Penulis tidak menemukan kesulitan untuk mendapatkan perizinan dan koneksi untuk melakukan penelitian karena penulis lahir dan besar di tempat tersebut. Pada awalnya penulis mencari literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian. Pencarian dilakukan di Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas

Tanjungpura Pontianak dan juga literatur-literatur lain yang dimiliki secara individu. Selanjutnya penulis melakukan survei sumber-sumber yang akan dijadikan informan dalam penelitian.

Selanjutnya penulis mulai mencari orang-orang Batak yang cocok untuk dijadikan informan penelitian. Pencarian ini dilakukan dengan cara mencari terlebih dahulu informasi mengenai orang-orang Batak yang memiliki pengetahuan luas mengenai keadaan di Pontianak dan Kalimantan Barat. Kegiatan tersebut terus berlanjut hingga pencarian penulis mengerucut pada calon informan yang tepat.

Sangat sulit untuk menemukan sumber data kuantitatif mengenai kehidupan sosial masyarakat terkait masalah etnisitas secara statistikal. Bahkan berdasarkan wawancara penulis terhadap salah satu pegawai kantor BPS Kota Pontianak

(2010), sensus mengenai etnisitas dilakukan terakhir kali pada tahun 2000. Hal ini merupakan dampak dari upaya pemerintah untuk meredam konflik yang terjadi di

40

41

Kalbar. Oleh karena itu, penulis melakukan observasi yang mendalam mengenai kehidupan sosial masyarakat Pontianak. Observasi ini dilakukan selama masa penelitian (2010) dan berdasarkan pengalaman penulis selama tinggal di

Pontianak (1988-2006). Akan tetapi, penulis juga menggunakan literatur dari hasil penelitian yang dilakukan penulis dari Pontianak maupun luar Pontianak.

B. Hasil Penelitian

1. Data Demografi Informan

Proses pemilihan informan didasarkan pada sebaran bidang pekerjaan

masyarakat Batak di Pontianak. Dari catatan lapangan (1-10 April 2010) yang

didapat, lingkup pekerjaan dibagi menjadi swasta dan pemerintahan. Pekerjaan

masyarakat Batak di Pontianak yang paling dominan adalah di bidang

pemerintahan. Oleh karena itu, jumlah informan yang dipilih lebih banyak dari

bidang swasta.

Penentuan informan dipengaruhi pula pada faktor-faktor lain seperti

waktu, kebersediaan informan, keterbukaan dan hal-hal lain yang menjadi

pertimbangan subjektif penulis.

42

Tabel 2. Data Demografi Informan

Uraian Informan 1 Informan 2 Informan 3 Asal Pematang Siantar, Sidikalang, Dairi, Pangaribuan, Utara Sumatra Utara Tapanuli Utara, Sumatra Utara Usia 60 Tahun 49 Tahun 43 Tahun Tiba di Pontianak 1970 1978 1986 Lama tinggal di 40 tahun 32 tahun 24 tahun Pontianak Pendidikan SMA SMA SMA Pekerjaan Swasta Pegawai Negeri Pegawai Negeri Lingkup interaksi Pekerjaan Pekerjaan Pekerjaan yang dominan

Informan secara keseluruhan memenuhi syarat mendasar dari yang

diharapkan yaitu telah tinggal lebih dari dua dekade (20 tahun) di Pontianak.

Harapan tersebut berdasarkan pada asumsi bahwa dalam dua dekade tersebut

telah terjadi banyak perubahan yang terjadi di Pontianak. Selain itu, jangka

waktu dua dekade dianggap telah memberikan kesempatan yang luas bagi tiap

informan untuk berinteraksi dengan masyarakat Pontianak.

Semua informan tidak berasal dari daerah perkotaan yang besar, hal ini

memberikan asumsi lain bahwa nilai-nilai budaya Batak masih dipegang teguh

pada masyarakat di daerah asal masing-masing. Dengan demikian, proses

akulturasi yang terjadi masih dapat digambarkan sebagai akulturasi budaya dan

tradisi masyarakat Batak yang ada di Pontianak.

2. Dinamika Psikologis Informan

Masyarakat Batak dengan kebiasaan dan tradisi yang berbeda hidup dan

tinggal di Pontianak sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. Sejak saat itu pula

43

proses akulturasi masyarakat Batak dan masyarakat di Pontianak dimulai.

Dalam rangka melihat proses tersebut, data akan disajikan berdasarkan masing-

masing informan. Hal ini bertujuan untuk melihat dinamika psikologis tiap

informan.

Informan 1

Pengetahuan awal informan tentang Kalimantan adalah bahwa orang- orang di Kalimantan merupakan orang yang buas. Informasi ini didapat oleh informan dari pengamatan terhadap orang Dayak yang berada di daerah asalnya.

Selain itu, informasi lain yang dimiliki adalah bahwa tanah di Kalimantan pada umumnya merupakan rawa-rawa dan penghasilan untama berasal dari hasil hutan dan pertambangan. Informasi ini didapat dari buku-buku formal (pelajaran) yang dipelajari oleh informan didaerah asalnya. Setelah berada di Pontianak, informan mengamati bahwa tidak seratus persen informasi yang didapatnya sesuai dengan kenyataan di Pontianak, salah satunya adalah bahwa orang-orang di Pontianak tidak didominasi oleh etnis Dayak, melainkan gabungan dari etnis Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa).

Pada awalnya informan memang ingin ke Kalimantan karena merasa peluang untuk bekerja lebih besar dibandingkan daerah asal informan. Selain itu, informan yang lulusan SLTA merasa persaingan kerja bagi lulusan SLTA di

Kalimantan masih kecil. Karena informan mempunyai keluarga yang tinggal di

Pontianak, informan lalu memutuskan untuk pergi ke Pontianak.

44

Setiap hari informan berinteraksi dengan etnis lain. Informan tidak hanya berinteraksi dengan etnis tertentu, melainkan hampir merata semua etnis.

Informan berinteraksi dengan etnis lain dalam pekerjaannya di bidang swasta.

Kebanyakan interaksi terjadi di warung kopi, tempat dimana informan sering bertemu dengan rekan kerjanya. Informan bekerja di bidang kayu pada tahun 70an sampai 78. Tahun 78 informan memulai usaha di bidang angkutan. Pada saat itu informan mempunyai anak buah dari berbagai etnis seperti Cina, Bugis, Jawa dan

Batak. Informan tidak hanya mempekerjakan etnis tertentu, melainkan semua etnis yang dianggap sesuai dengan pekerjaan tersebut.

Informan tidak terlalu melihat masalah dalam interaksinya dengan etnis lain di Pontianak. Informan merasa pembedaan perlakuan tidak terang-terangan dinampakkan oleh etnis lain, terutama etnis yang dominan di Pontianak. Akan tetapi, informan bisa merasakan pembedaan perlakuan dari etnis lain di Pontianak, terutama etnis yang dominan. Informan mengatasi permasalahan ini dengan merubah cara pandangnya terhadap masalah. Untuk kasus-kasus yang tidak bisa dibuktikan, informan menganggap bahwa permbedaan perlakuan hanya sebatas perasaannya saja. Permasalahan pembedaan perlakuan tersebut tidak menjadi kendala bagi informan dalam berinteraksi dengan etnis lain. Informan beranggapan bahwa, selama hal tersebut menguntungkan, informan akan tetap berinteraksi dengan etnis lain. Pembedaan perlakuan tersebut, dirasa informan tidak hanya disebabkan karena perbedaan etnis, melainkan karena perbedaan agama. Hal ini dirasa informan berasal dari orang-orang yang fanatic terhadap agama mereka yang berbeda dengan agama informan.

45

Permasalahan permbedaan perlakuan mulai sangat terasa setelah era otonomi daerah. Pada saat sebelum otonomi daerah, informan tidak merasa perbedaan etnis dan agama sebagai sebuah permasalahan besar. Tapi setelah muncul Undang-undang otonomi daerah, muncul pula konsepsi putra daerah atau pribumi yang dibuat oleh etnis-etnis utama yang mendominasi di Pontianak

(Melayu dan Dayak). Konsepsi ini membuat etnis lain termasuk informan tidak diperkenankan untuk memimpin atau berkuasa. Menurut informan, hal ini lebih terasa di dunia birokrasi atau pemerintahan. Informan melihat etnis Melayu mendominasi menjadi pegawai negeri, hal tersebut juga yang membuat permasalahan pembedaan perlakuan lebih sering terjadi di birokrasi pemerintahan.

Informan menganggap konsepsi putra daerah sebagai cara untuk mengimbangi dominasi etnis lain termasuk Batak dalam pimpinan di pemerintahan.

Masalah perbedaan perlakuan yang dialami diatasi dengan cara mencari celah untuk membuktikan bahwa informan mampu dan berkomitmen dalam pekerjaannya. Hal ini dilakukan agar mendapat pengakuan bahwa informan mampu dan berkomitmen dalam bekerja. Informan melakukan pembuktian tidak dengan cara terbuka. Hal ini dikarenakan sebagai orang Batak informan merasa bahwa pembicaraan secara terbuka merupakan hal yang tidak etis. Selain itu, informan merasa harus melihat situasi untuk berbicara ceplas-ceplos. Hal ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan hasil yang diinginkan.

Perbedaan kebudayaan asal informan dengan kebudayaan di Pontianak terlihat dari intonasi dalam berbicara. Informan melakukan adaptasi terhadap

46

perbedaan tersebut. Adaptasi ini dilakukan agar dapat berhasil dengan catatan bahwa hal ini saling menguntungkan.

Informan mengungkapkan bahwa tidak terdapat diskriminasi, namun perbedaan perlakuan oleh masyarakat di Pontianak. Masalah ini terjadi karena faktor suka dan tidak suka serta faktor satu rumpun. Perbedaan perlakuan tidak terlalu dirasakan di sektor swasta. Hanya kasus perkasus saja dan tergantung orang yang dihadapi. Perbedaan perlakuan terjadi setelah identitas informan diketahui orang lain. Hal ini dirasa informan terjadi disebabkan oleh faktor ketidaksamaan dari segi agama. Informan lalu menghadapainya dengan cara mengalah dan mundur dari proyek yang dilakukannya. Akan tetapi, informan tidak pernah menyembunyikan identitasnya.

Orang Batak dianggap susah untuk menjabat setelah adanya otonomi daerah. Saat ini orang Batak sudah menjabat karena birokrasi didominasi oleh orang Melayu. Informan merasa orang Batak harus punya kemampuan khusus dan lebih agar bisa menjadi pejabat. Informan menganggap bahwa masyarakat di

Pontianak tidak memahami konsepsi putra daerah sebagai mana mestinya.

Dalam berinteraksi, informan berpegang pada nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua di kampung halaman. Informan berprinsip dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Selain itu, prinsip bahwa sesama orang Batak mempunyai keterikatan masih dipegang oleh informan. Setiap orang Batak yang merantau harus mencari orang yang dapat melindungi selama di rantau. Oleh karena itu, penting bagi informan untuk mencari keluarga yang sesama orang Batak di

47

Pontianak, hal tersebut pula yang menjadi salah satu pertimbangan untuk merantau ke Pontianak.

Informan beranggapan bahwa terdapat totalitas masyarakat Batak dalam merantau. Orang Batak ingin tetap tinggal diperantauan dan tidak ada niat untuk pulang ke kampung halaman terkecuali ada hal khusus yang membuat mereka harus pulang ke kampung halaman. Dalam rangka mengakomidir kebutuhan- kebutuhan selama di perantauan, orang Batak mendirikan rumah, mencari pekerjaan yang layak bahkan membangun Gereja Batak.

Informan 2

Informan migrasi ke Pontianak karena di ajak oleh keluarga. Tujuannya adalah agar informan dapat melanjutkan pendidikan. Di kampung halaman orang tua sudah meninggal sehingga tidak ada yang dapat membiayai untuk melanjutkan pendidikan. Apabila terus berada di kampung halaman, informan ditakutkan akan terlalu cepat menikah.

Pada awalnya informan belum tahu sama sekali mengenai budaya dan keadaan di Pontianak. Informan sendiri belum begitu menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Hal ini dikarenakan pada saat di kampung halaman informan jarang menggunakan bahasa Indonesia.

Setelah tamat SMA, informan mencari kerja dengan bantuan keluarga yang ada di Pontianak. Informan sering berpindah-pindah karena pekerjaan yang dijalani mengharuskan informan berpindah-pindah. Perpindahan ini yang

48

menyebabkan informan sering berinteraksi dengan berbagai macam etnis di

Kalimantan Barat.

Kendala yang dihadapi informan pada awal interaksi adalah masalah kemampuan berbahasa Indonesia. Kesulitan berbahasa Indonesia dikarenakan sewaktu dikampung dulu masih menggunakan bahasa Batak, bahkan di SD juga menggunakan bahasa Batak. Bahasa Indonesia cuma 25 % dipakai. Disisi lain, informan merasa tidak menghadapi kendala yang berarti selama proses interaksinya dengan etnis lain. Informan berprinsip bahwa dalam berinteraksi tingkah laku yang mempengaruhi proses interaksi. Selama bertingkah laku baik, tidak akan menemukan kendala dalam berinteraksi. Informan beranggapan bahwa selama interaksi semua hal tergantung pada pribadi masing-masing. Apabila bertingkah laku baik dan mau menerima apa yang terjadi maka tidak akan ada kendala yang berarti selama proses interaksi. Prinsip yang di pegang oleh informan adalah bahwa sopan santun dalam berinteraksi menjadi kunci dari lancarnya proses adaptasinya dan interaksinya terhadap kebudaayaan di Pontianak dan Kalimantan Barat. Selain itu, informan berprinsip dalam segala hal apabila mau belajar pasti bisa. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.

49

Informan 3

Alasan informan migrasi ke Pontianak adalah untuk melanjutkan pendidikan.

Pada awalnya informan diajak oleh keluarga karena orang tua di kampung halaman sudah meninggal dunia. Keadaan kampung halaman yang tidak mendukung untuk melanjutkan pendidikan, membuat informan akhirnya mau bermigrasi ke Pontianak.

Pada saat berangkat ke Pontianak, informan tidak mempunyai banyak informasi mengenai kondisi Pontianak. Hanya gambaran-gambaran sederhana didapat informan dari orang-orang di kampung halamannya.

Informan banyak berinteraksi dengan etnis lain. Even interaksi paling banyak terjadi di dunia pekerjaan. Pekerjaanlah yang mengarahkan informan untuk berintekasi dengan etnis lain. Hal tersebut dikarenakan lingkup pekerjaan yang mengarah pada kegiatan antar etnis-etnis yang ada di Pontianak.

Dalam berinteraksi, Informan tidak menemui permasalahan interaksi secara pribadi terhadap etnis lain. Akan tetapi permasalahan muncul saat terjadi interaksi antar kelompok. Untuk mensiasati hal tersebut, informan lebih memilih untuk berinteraksi secara pribadi.

Informan merasa suku pendatang masih dianggap bukan sebagai putra daerah walaupun sudah lahir di Pontianak. Permasalahan ini muncul setelah otonomi daerah. Konsepsi putra daerah menjadi penyebab utama etnis Batak kesulitan.

Informan menilai bahwa opsi bahwa pemimpin daerah harus putra asli daerah tersebut, membuat orang Batak tidak lagi mudah untuk menduduki jabatan

50

penting di pemerintahan. Hal ini berbeda dengan masa sebelum otonomi dimana masih banyak orang Batak yang menduduki jabatan penting di pemerintahan.

Penyebab munculnya konsepsi tersebut dirasa informan sebagai dari dampak kecemburuan akan keberhasilan orang-orang dari etnis Batak, baik dipemerintahan maupun dibidang swasta. Informan mensiasati kendala dalam berinteraksi dengan selalu berhati-hati dalam segala hal termasuk dalam berkegiatan sosial, tidak terlalu mempublikasikan kemewahan agar tidak terjadi kecemburuan.

Informan berprinsip untuk selalu berbuat baik dan menjaga jarak serta selalu waspada dalam berinteraksi dengan etnis lain. Semua orang lain diluar etnis Batak sebagai dongan tubu. Hal ini yang kemudian membuat informan selalu berlaku manat mardongan tubu, dimana informan berlaku berhati-hati dan selalu waspada terhadap masyarakat dari etnis lain.

51

Tabel 3. Ringkasan Hasil Interpretasi

Interpretasi Tema Informan 1 (AP) Informan 2 (PSin) Informan 3 (PSih) Alasan - Peluang bekerja lebih - Diajak oleh keluarga. - Melanjutkan Migrasi besar. - Melanjutkan pendidikan. - Persaingan kerja bagi pendidikan. - Diajak oleh lulusan SLTA di - Di kampung keluarga. Kalimantan masih halaman orang tua - Orang tua di kecil. sudah meninggal. kampung halaman - Mempunyai keluarga - Tidak ada yang sudah meninggal yang tinggal di membiayai dunia. Pontianak. pendidikan. Pemahaman Orang-orang di Belum tahu sama Tidak mempunyai awal. Kalimantan sekali mengenai banyak informasi merupakan orang budaya dan keadaan di mengenai kondisi yang buas. Pontianak. Pontianak. Interaksi Setiap hari, didunia Sering berinteraksi Sering berinteraksi dengan kerja. dengan etnis lain, dengan etnis lain di masyarakat didunia pekerjaan. dunia pekerjaan. Pontianak Kendala Pembedaan Keterbatasan - Kesulitan interaksi perlakuan. kemampuan berbahasa berinteraksi dengan Indonesia. etnis lain secara berkelompok. - Masih dianggap bukan sebagai putra daerah. Penilaian - Disebabkan karena Kesulitan berbahasa - Disebabkan oleh terhadap munculnya UU Indonesia dikarenakan Faktor kendala Otonomi Daerah. sewaktu dikampung kecemburuan. - Munculnya konsepsi penggunakan bahasa - Munculnya putra daerah sebagai Indonesia hanya 25 %. Konsepsi putra

52

cara untuk daerah. mengimbangi

dominasi etnis lain di pemerintahan. Sikap - Merubah cara Berusaha mempelajari - Selalu berhati-hati terhadap pandang. bahasa Indonesia dalam segala hal kendala - Tetap berinteraksi dengan baik. termasuk dalam asal menguntungkan. berkegiatan sosial. - Mau tidak mau harus - Tidak terlalu ikut. mempublikasikan - Mencari celah untuk kemewahan agar merubah persepsi tidak terjadi negatif terhadap kecemburuan. Batak. - Menunjukkan komitmen dalam pekerjaan. Prinsip - Hidup janganlah - Sopan santun dalam - Semua orang lain dalam merugikan orang berinteraksi diluar etnis Batak berinteraksi lain. - Apabila mau belajar sebagai dongan - Mengutamakan pasti bisa. tubu. rukun tetangga. - Dimana bumi - Berlaku berhati-hati - Dimana bumi dipijak dipijak, disitu langit dan selalu waspada disitu langit dijunjung. terhadap masyarakat dijunjung. dari etnis lain. - Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.

53

3. Dinamika Proses dan Strategi

Data akan dianalisis berdasarkan konsep pada penjabaran yang dilakukan oleh Berry (1999) mengenai tahapan-tahapan dalam proses akulturasi. Akan tetapi, penulis membagi tahapan tersebut menjadi dua kelompok besar yaitu proses akulturasi dan strategi akulturasi. Pembagian ini didasarkan pada rumusan masalah penelitian dan hasil data yang didapat. Oleh karena itu, konsep tahapan- tahapan akulturasi tersebut tidak sepenuhnya diterapkan dalam penyajian analisis data, akan tetapi disesuaikan dan dikembangkan penulis berdasarkan tujuan dan data yang diperoleh.

Proses akulturasi masyarakat Batak di Pontianak seiring berjalannya waktu terus menerus terjadi. Beberapa tema-tema yang didapat dikelompokkan dalam kategorisasi tema yang lebih umum. Kategorisasi ini didasarkan pada keterkaitan atau interkoneksi antar tema. Tema-tema yang lebih umum ini kemudian yang membentuk sebuah tahap akulturasi berdasarkan konsep yang dipaparkan oleh

Berry (1999).

a. Proses Migrasi

Perpindahan atau migrasi masyarakat Batak ke Pontianak tidak lepas

dari alasan-alasan yang terbentuk dari tujuan-tujuan individu maupun nilai

budaya yang dianut oleh masyarakat Batak. Dalam tabel 4. dipaparkan

alasan-alasan dari informan bermigrasi ke Pontianak.

54

Tabel 4.

Alasan migrasi ke Pontianak

Informan 1 (AP) Informan 2 (PSin) Informan 3 (PSih) - Merasa peluang untuk - Diajak oleh keluarga. - Melanjutkan pendidikan. bekerja lebih besar - Melanjutkan - Diajak oleh keluarga. dibandingkan daerah pendidikan. - Orang tua di kampung asal. - Di kampung halaman halaman sudah - Ingin bekerja untuk orang tua sudah meninggal dunia. dapat melanjutkan meninggal. pendidikan. - Tidak ada yang dapat - Informan yang lulusan membiayai untuk SLTA merasa melanjutkan persaingan kerja bagi pendidikan. lulusan SLTA di - Ditakutkan akan terlalu Kalimantan masih kecil. cepat menikah apabila - Mempunyai keluarga berada dikampung yang tinggal di halaman. Pontianak. - Ditakutkan akan cepat menikah apabila tidak sekolah.

Dari tabel diatas dapat dilihat pola yang sama dari setiap informan.

Semua informan mengungkapkan bahwa keinginan untuk melanjutkan

pendidikan merupakan alasan utama bermigrasi ke Pontianak. Informan

AP mengungkapkan bahwa ia sebagai anak pertama ingin sekali

melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang sarjana, akan tetapi orang

tua di kampung halaman hanya mampu menyekolahkan hingga tingka

SLTA. Oleh karena itu, ia berusaha untuk bagaimana caranya dapat

melanjutkan kuliah.

55

“…keluarga pada saat itu memang orang tua hanya mampu menyekolahkan anaknya sampai SLTA. Jadi kita mungkin ada prinsip setelah bisa bekerja kita bisa meningkatkan pendidikan bisa memungkinkan….” (AP)

Keterbatasan ekonomi menjadi tujuan lain informan bermigrasi, kondisi di kampung halaman yang tidak mendukung dari segi perekonomian membuat informan lebih memilih untuk bermigrasi ke

Pontianak. Informan PSin mengungkapkan bahwa alasan melakukan migrasi karena dipanggil oleh saudaranya untuk melanjutkan pendidikan di

Pontianak. Keadaan saat itu kedua orang tua informan sudah meninggal, sedangkan saudaranya tidak mampu untuk membiayai pendidikannya.

“Sebenarnya opung sudah meninggal dua-duanya. Waktu itu masih belasan tahun nggak ada yang bisa diharapkan disana. Ada sih abang disana tapi tidak bisa jadi jaminan. Jadi disini dibilang daripada disana langsung cepat kawin nanti, disuruh kesini”. (PSin)

Perekonomian keluarga yang kurang mampu dikampung halaman, terlebih untuk membiayai pendidikan, membuat para informan mencari cara untuk bisa melanjutkan pendidikannya. Pemilihan kota Pontianak sebagai tujuan migrasi didasarkan pada adanya keluarga yang terlebih dahulu berada di Pontianak.

Pada saat sebelum melakukan migrasi ke Pontianak, informan tidak mempunyai cukup informasi dan pengetahuan mengenai kondisi di

Pontianak. Semua informan mengungkapkan bahwa sebelum migrasi

56

mereka tidak mempunyai banyak informasi dan pengetahuan tentang

keadaan di Pontianak.

Tabel 5.

Pengetahuan awal mengenai Pontianak

Informan 1 (AP) Informan 2 (PSin) Informan 3 (PSih) ”Kalau kita hanya “Belum tahu sama “…pas mau berangkat dengar sepintas, orang- sekali, sedangkan orang bilang orang di orang di Kalimantan bahasa Indonesia Kalimantan suka makan pada umumnya orang- belum tahu sama sekali, orang….”. orang buas…” masih bahasa “…waktu di Siantar Batak…”. dulu ada orang Dayak yang kalau dia demonstrasi itu makan ayam mentah dan sebagainya…”.

Informan mendapatkan Informan belum Informan mendapatkan informasi yang minim, mengetahui sama sekali hanya dari orang lain. informasi tersebut informasi serta Informasi yang didapat hanya sebatas perilaku gambaran mengenai hanya sebatas perilaku. umum yang keadaan di Pontianak. direpresentasikan dari orang Dayak yang pernah ditemui.

Minimnya informasi yang dimiliki tidak menjadi penghalang untuk

tetap bermigrasi ke Pontianak. Walaupun informasi yang didapat

57

cenderung mengenai perilaku yang menimbulkan persepsi negatif (buas, suka makan orang) informan tetap bersikukuh untuk tetap bermigrasi.

Tujuan yang kuat untuk meningkatkan pendidikan menjadi pemacu informan untuk tetap memilih bermigrasi ke Pontianak. Informan tidak memperdulikan apa yang akan terjadi nanti setelah tiba di Pontianak.

Kepastian tentang adanya keluarga yang tinggal di Pontianak menjadi jaminan utama bagi para informan. Bahkan informan PSin yang sama sekali tidak mengetahui keadaan di Pontianak dan tidak mengetahui alamat tempat tinggal keluarganya di Pontianak dan bahkan informan yang tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik, tetap memilih untuk bermigrasi ke Pontianak.

“Sampai di Supadio (bandara) tidak tahu apa-apa. Tapi dulu kan mau di jemput. Tahu-tahu terlambat Amangboru, ditunda keberangkatan. Jadi pas 17an, 17 agustus, tahun 78. Jadi Amangboru waktu itu nggak ada yang jemput lagi. Jadi saya di bandara duduk-duduk di situ tunggu jemputan...

…Saya pikir kan abang saya bukan tentara, loh kok jd saya dibawa. Jadi saya dibawa ke mobil AURI, dibawa kerumah Sinaga yang di AURI. Saya lihat foto-foto, ini foto-foto angkatan udara semua. Mau dibawa kemana saya nih “.

Kepercayaan yang kuat kepada saudara dan tingkat kepedulian yang tinggi sebagai dampak dari kuatnya kekeluargaan antar sesama orang

Batak, menjadi kepercayaan tersendiri yang membuat orang Batak berani bermigrasi ke tempat yang sama sekali tidak diketahui bagaimana keadaannya. Kepercayaan ini semakin kuat tatkala saudara yang dituju adalah yang masih dalam lingkup dalihan na tolu. Informan PSih juga

58

mengungkapkan bahwa keluargalah yang membuat dirinya dapat bermigrasi ke Pontianak.

“Motivasi sendiri sebenarnya, cuma ditopang dengan keluarga, lalu jadilah kenyataan. Kalau cuma motivasi tanpa dibarengi biaya kan gak mungkin. Datang kesini tak ada tempat tinggal, tak ada keluarga kan gak mungkin”.

b. Interaksi

Dalam proses akulturasi, interaksi merupakan hal dasar yang pasti terjadi dalam setiap proses akulturasi. Begitu pula dengan masyarakat

Batak di Pontianak. Informan mengungkapkan bahwa interaksi paling banyak terjadi di lingkup pekerjaan. Para informan lebih banyak menghabiskan waktu dan kesempatan berinteraksi dalam pekerjaan.

Sedangkan intesitas interaksi diluar pekerjaan sangat minim.

59

Tabel 6.

Interaksi dengan masyarakat Pontianak

Informan 1 (AP) Informan 2 (PSin) Informan 3 (PSih) “Tahun 78 kan “Kalau di kantor kan “Kalau saya kebetulan Amangtua sudah di sudah campur, Melayu tugas saya di transportasi, di usaha ada, Batak ada, kepemudaan di angkutan. Nah itu tadi, Padang, Bugis…” Kalimantan Barat anak buah itu campur termasuk di Kota. Saya baur semua. Ada yang semua suku ras dan Cina, Bugis, Jawa, agama sering kita Batak, Dayak, Melayu” berinteraksi”

Informan berinteraksi Informan sering Informan sering dengan etnis lain dalam berinteraksi dengan berinteraksi dengan dunia pekerjaan karena etnis lain didunia etnis lain karena informan mempunyai pekerjaan. pekerjaan informan bawahan dari berbagai mengharuskan etnis. berinteraksi dengan etnis lain.

Lingkup pekerjaan mutlak mengharuskan para informan untuk

melakukan interaksi dengan etnis lain dengan kebudayaan berbeda.

Banyaknya waktu yang dihabiskan untuk bekerja dengan kata lain juga

menunjukkan bahwa intesitas interaksi informan dengan etnis lain

termasuk tinggi. Pada informan AP yang bekerja di bidang swasta,

interaksi banyak terjadi secara tidak formal.

60

“Kita pada umumnya di warung kopi, restoran dan sebagainya. Ya itu lah. Pada umumnya seperti itu, kalau kita dirumah kan sudah terlalu formal ya. Jarang kita ketemu dirumah”.

Informan lebih sering berinteraksi dengan etnis lain di situasi non formal seperti warung kopi dan restoran. Sedangkan informan PSin dan

PSih berinteraksi disituasi formal yaitu pemerintahan.

Budaya kekerabatan masyarakat Batak terus dibawa hingga ke tempat perantauan termasuk di Pontianak. Senangnya masyarakat Batak bercengkrama dengan orang lain diakomodir dengan persamaan- persamaan situasi kampung halaman dengan kondisi di kota Pontianak.

Budaya bercengkrama di Pontianak termanifestasi dengan adanya banyak warung kopi yang tersebar di setiap penjuru kota Pontianak. Kondisi ini serupa dengan daerah asal masyarakat Batak yaitu daerah Sumatra Utara.

Posisi warung kopi merupakan unsur penting dalam konteks interaksi masyarakat Batak. Banyak ditemukan masyarakat Batak yang

“nongkrong” di warung kopi. Semua kalangan, mulai dari masyarakat tingkat ekonomi menengah ke bawah hingga atas, dari semua bidang pekerjaan dan tidak terbatas pada usia, dengan mudah dapat ditemui di warung kopi. Begitu pula dengan masyarakat Batak, penulis dapat menemukan banyak masyarakat Batak yang “nongkrong” di warung kopi.

Klasikasifikasi warung kopi yang dipilih untuk berkumpul tergantung pada selera masing-masing kelompok “nongkrong” yang berkumpul. Terdapat berbagai macam bentuk warung kopi di kota Pontianak, mulai dari yang hanya berada di pinggir-pinggir jalan, hingga yang berbentuk seperti

61

layaknya cafe-cafe besar. Walaupun demikian, semua tempat tersebut tetaplah dianggap sebagai warung kopi.

Pada beberapa kesempatan, penulis menemukan masyarakat Batak yang bercengkrama di warung kopi. Dari hasil cacatan lapangan, kegiatan ini tidak hanya untuk bercengkrama, akan tetapi banyak hal hal yang terjadi selama kegiatan “nongkrong” ini (catatan lapangan, 1-30 April

2010). Hal yang paling banyak terjadi adalah transfer informasi antar sesama orang Batak yang hadir. Kegiatan ini biasanya terjadi pada kumpulan sesama orang Batak. Isu-isu terbaru dan informasi-informasi lain dipaparkan selama kegiatan “nongkrong” ini. Pada kesempatan lain, banyak pula ditemukan orang Batak yang berkumpul satu meja dengan masyarakat dari etnis lain. Hal yang terjadi selama kegiatan ini tidak jauh berbeda dengan kumpulan sesama orang Batak, akan tetapi isu-isu yang dibicarakan lebih bersifat netral tanpa menyinggung etnis tertentu, terkecuali etnis tersebut tidak ikut berkumpul saat itu. Kesepakatan- kesepakatan juga banyak terjadi pada kegiatan “nongkrong” ini. Apabila terdapat sebuah proyek yang akan dilaksanakan, kegiatan “lobi” juga banyak terjadi. Informan AP mengungkapkan bahwa banyak proyek yang ia tangani berawal dari pertemuan di warung kopi. Posisi warung kopi sebagai tempat interaksi masyarakat Batak dengan etnis lain, sama besarnya dengan interaksi pada tempat-tempat lain seperti pasar, lingkungan sosial serta pekerjaan.

62

Dalam berinteraksi, masyarakat Batak berpegang pada nilai-nilai yang dianutnya. Sikap selalu berhati-hati menjadi pedoman masyarakat Batak dalam berinteraksi dengan sesama etnis Batak maupun dengan etnis lain.

Berhati-hati yang dimaksud tidaklah semata-mata menjaga jarak dan selalu waspada serta curiga, melainkan berhati-hati dalam berperilaku. Informan

PSih mengungkapkan bahwa masyarakat etnis lain selalu dianggap sebagai dongan tubu. Anggapan tersebut mengisyaratkan bahwa masyarakat harus selalu manat mardongan tubu (berhati-hati). Prinsip ini mengarahkan masyarakat Batak untuk selalu menjaga hubungan yang baik dengan dongan tubu-nya. Hubungan baik tersebut dijaga dengan sikap berhati-hati dalam bersikap dan berperilaku.

c. Kendala Interaksi

Dalam dinamika interaksi dan latar belakang pekerjaan masing- masing, informan mengalami dinamika dan pengalaman interaksi yang berbeda-beda. Begitu pula dengan konflik ataupun kendala yang dihadapi dalam proses interaksi tersebut. Tabel 7 akan menunjukkan kendala- kendala yang dialami tiap-tiap informan.

63

Tabel 7.

Kendala Interaksi

Informan 1 (AP) Informan 2 (PSin) Informan 3 (PSih) ”Walaupun sama-sama “...kesulitan - ”…bukan hanya Indonesia kan mereka sebenarnya tidak ada, karena orang Batak. menganggap orang cuma berbicara saja Kalau suku diluar mereka, jadi vakum… pendatang masih muncullah istilah … kan dikampung dulu, dianggap disini kaum pribumi mereka...” SD kan masih pakai minoritas. Bukan bahasa Batak dipakai. putra daerah, Bahasa Indonesia cuma walaupun sudah 25 % dipakai”. lahir dan besar disini”. - “Kalau kita masuk kelompok mereka, kita akan kesusahan”.

Pembedaan perlakuan Kendala lebih kearah Suku pendatang masih dari etnis yang dominan kemampuan diri dalam dianggap suku di Pontianak. berkomunikasi. minoritas dan bukan putra daerah.

Kendala interaksi dari tiap-tiap individu tentulah berbeda-beda secara

detil dan kontekstual. Akan tetapi, dua dari tiga informan menyatakan

bahwa permasalahan pembedaan perlakuan menjadi kendala utama yang

dihadapi. Satu informan lebih menganggap sumber kendala berasal dari

64

diri sendiri yaitu keterbasakan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa

Indonesia yang menjadi kendala yang dihadapi.

Dapat dipahami mengapa informan AP dan PSih mengungkapkan bahwa otonomi dan konsepsi putra daerah menjadi kendala yang mereka rasakan. AP mengungkapkan bahwa walaupun pekerjaannya di bidang swasta, ia tetap berhubungan dengan pemerintah, hal tersebut karena bidang pekerjaan AP membutuhkan hubungan dengan institusi pemerintah.

“…kita ada proyek nih, ya artinya kesibukan kita di ini ya, jadi gimana supaya biar bisa “confirm” jadi kan kita kan harus ada dana untuk ini itu, OK kita kasi dana, tapi akhirnya proyek itu tidak kita dapat…”.

“… kita tidak dapat itu mungkin karena dia tidak mampu untuk arahkan ke kita, karena ada faktor-faktor X...”

Faktor-faktor X menurut informan lebih ke arah faktor latar belakang informan. Lebih jauh informan mengungkapkan pengalaman pembedaan perlakuan yang dirasakannya terkait dengan latar belakang identitasnya.

“…setalah ada pembicaraan, bagaimana supaya kita mengerjakan proyek ini. Akhirnya jadi tadi “itu orang ini kah? (Kristen), Ga usah ikut lah”. Jadi ada kesana arahnya. Tapi mungkin tidak terang-terangan ke kita”.

Pembedaan perlakuan ini menurut informan tidaklah secara gamblang ditunjukkan, akan tetapi informan merasakan hal tersebut. Pada beberapa kesempatan lain, informan juga merasakan hal yang sama. Pada informan

PSih, pengaruh otonomi daerah sangat terasa karena ia bekerja di pemerintahan (PNS). Berbeda dengan PSih, informan PSin tidak

65

merasakan pengaruh dan permasalahan yang ditimbulkan dari otonomi daerah, walaupun informan bekerja di pemerintahan. Hal ini dapat dipahami karena instansi tempat informan bekerja tidak mempunyai keterkaitan masalah kepegawaian dengan pemerintah daerah. Instansi tempat informan bekerja langsung berhubungan dengan pusat.

“Nah otonomi daerah, saya tidak bisa berkomentar, karena saya masih dari pusat. Masih UPT dari pusat, belum terpengaruh otonomi daerah…, … Kita bertanggungjawab ke pusat. Jadi masalah itu tidak ada kaitannya dengan kita. Masalah kepegawaian tidak ada sangkut pautnya dengan daerah. SK juga dari pusat, nggak ada dari sini. Kita tidak memakai persetujuan daerah. Nggak ada kaitannya dengan otonomi daerah. Statusnya PNS dari pusat.”

Informan PSin lebih mencermati kendala yang dihadapi berasal dari kemampuannya berkomunikasi dengan etnis lain. Hal tersebut dikarenakan kemampuan berbahasa Indonesianya masih minim. Menurut observasi dan pengamatan penulis, informan juga termasuk orang yang pendiam dan tidak banyak berbicara.

d. Stratergi Akulturasi

Strategi integrasi dalam berakulturasi dipilih sebagai perwujudan prinsip masyarakat Batak dalam berinteraksi yaitu selalu mengutamakan kerukunan dari semua elemen masyarakat. Kerukunan ini dimulai dari elemen terkecil yaitu rukun bertetangga. Kendala-kendala maupun permasalahan-permasalahan yang muncul selalu ditanggapi dengan memperhitungkan kerukunan-kerukunan yang harus dijaga. Kesadaran

66

bahwa tinggal di kebudayaan yang berbeda dengan mereka membuat masyarakat Batak lebih bijak dalam menanggulangi permasalahan yang timbul. Semua informan mengungkapkan bahwa prinsip “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” menjadi acuan mereka dalam berinteraksi.

Penyesuaian dengan kultur setempat menjadi fokus perhatian utama masyarakat Batak dalam berinteraksi. Hal ini terkait pula dengan totalitas masyarakat Batak dalam merantau. Setiap tempat yang didatangi, mayarakat Batak selalu berniat untuk tetap tinggal di tempat tersebut.

Semua hal yang dibutuhkan untuk dapat tinggal ditempat tersebut secara perlahan diusahakan untuk mewujudkannya. Pekerjaan, rumah, relasi bahkan gereja pun didirikan untuk meangkomodir kebutuhan religi.

Menurut informan, sedikit masyarakat Batak yang kembali dari perantauan. Hal tersebut karena semua yang mereka butuhkan didaerah perantauan sudah terpenuhi, bahkan keluarga yang berada dikampung halaman diajak untuk ikut merantau. Hal tersebut terjadi pada informan

AP dimana sebagian besar keluarganya sudah berada di Pontianak.

Dengan prinsip yang selalu dipegang dalam berinteraksi, penanggulangan kendala pun secara tidak langsung dipengaruhi oleh prinsip-prinsip tersebut. Strategi-strategi akulturasi yang dipilih juga identik dengan prinsip-prinsip yang dipegang oleh masyarakat Batak tersebut.

67

C. Pembahasan

Proses akulturasi beserta strategi akulturasi yang dipilih masyarakat Batak di Pontianak dapat digambarkan berdasarkan keseharian hidup mereka. Kisah- kisah pengalaman sehari-hari dalam berinteraksi dan pengambilan keputusan menjadi contoh sumber penggambaran proses aklturasi yang terjadi.

Penggambaran ini dibagi dalam dua ranah yang saling berhubungan yaitu tahapan akulturasi dan strategi akulturasi. Strategi akulturasi menjadi sebuah kesimpulan dari tahapan-tahapan yang dilalui oleh masyarakat Batak di Pontianak.

1. Proses Akulturasi

Kisah hidup masyarakat Batak di Pontianak menjadi sebuah

pengalaman akulturasi yang terjadi dalam perjalanan hidup mereka.

Penuturan pembahasan mengenai proses tersebut akan disajikan secara

mendalam dalam beberapa bagian. Hal ini ditujukan agar mendapatkan

kedalaman pembahasan sebagaimana tujuan yang diinginkan dari

penelitian ini.

a. Dinamika Proses Migrasi

Proses akulturasi yang didahului oleh tahap pra kontak. Pada

masyarakat Batak di Pontianak, pra kontak dilalui mulai dari dinamika

di daerah asal yang mengarahkan mereka untuk mengambil keputusan

bermigrasi ke Pontianak.

68

1) Nilai Budaya dan Dinamika di Daerah Asal

Nilai budaya Batak menjadi patokan bagi masyarakat dalam berperilaku. Triandis (1994) mengungkapkan bahwa nilai merupakan prinsip-prinsip yang menjadi acuan hidup dalam berperilaku. Implementasi lain dari nilai budaya tersebut terwujud dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menyertai usaha pencapaian tujuan hidup masyarakat Batak yaitu 3H. Hasangapon yang terbentuk dari dukungan Hamoraon dan Hagabeon menjadi tujuan yang selalu diutamakan dan diidam-idamkan oleh setiap masyarakat Batak. Dinamika perwujudannya juga menjadi sebuah perjalanan panjang dalam hidup setiap individu Batak dimanapun mereka berada termasuk di Pontianak.

Pendidikan merupakan salah satu sarana Masyarakat Batak untuk mewujudkan nilai tujuan hidupnya (3H) yaitu Hasangapon

(kemuliaan). Tingkat pendidikan yang tinggi masih merupakan sebuah gelar kehormatan yang tinggi di masyarakat Batak. Disisi lain, pendidikan dianggap pula sebagai investasi jangka panjang agar dapat hidup layak dikemudian hari. Tanpa memandang status ekonomi, setiap orang tua di masyarakat Batak akan berusaha sekuat tenaga agar anak mereka bisa sekolah. Namun, apabila keadaan perekonomian keluarga tetap tidak mampu untuk menyekolahkan anak-anak mereka, anak-anak tersebut akan dititipkan kepada keluarga yang lebih mampu secara ekonomi.

69

Anak-anak tersebut akan diarahkan untuk merantau agar mendapatkan pendidikan yang lebih layak.

Pada awalnya, kendala yang muncul adalah dalam mewujudkan sebuah pengembangan diri yang maksimal dalam hal ini pendidikan, untuk mendapatkan materi yang cukup dan menjadi terhormat. Hal ini menjadi alasan dilakukannya upaya-upaya dari masyarakat Batak untuk dapat tetap mewujudkannya. Keterbatasan keadaan ekonomi keluarga menjadi kendala utama dalam melanjutkan pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai Human

Investment yang paling berpotensial untuk dapat mewujudkan ketercukupan secara materi. Orang yang berpendidikan tinggi dianggap akan selalu mendapatkan pekerjaan yang layak dan mendapatkan kekayaan sehingga terwujudlah Hamoraon. Hal ini yang kemudian menjadi alasan bahwa pendidikan yang tinggi menjadi cita-cita setiap individu Batak. Sesungguhnya, migrasi atau merantau bukanlah satu-satunya cara untuk mewujudkan cita- cita akan pendidikan yang tinggi. Akan tetapi, bagi mereka yang kondisi ekonomi keluarganya di kampung halaman tidak memadai, merantau menjadi pilihan utama.

2) Penentuan Daerah Tujuan Migrasi

Tingkat solidaritas serta kekerabatan yang tinggi antar sesama orang Batak menjadi pegangan bagi mereka yang akan merantau.

70

Sebuah nilai kekeluargaan terbentuk dari penghayatan bahwa keluarga merupakan hal yang berharga bagi orang Batak.

Kekerabatan yang kuat antar masyarakat Batak, terutama bagi yang masih dalam lingkup dalihan na tolu, membawa para informan memilih untuk bermigrasi ke tempat dimana terdapat keluarga yang lebih mampu untuk membantu membiayai pendidikannya, atau setidaknya memberi tumpangan tempat tinggal. Daerah tujuan perantauan dipengaruhi oleh peluang-peluang yang ada dan juga ada tidaknya keluarga yang berada disana. Pilihan logis dalam menentukan daerah perantauan yang dituju didasari oleh hal tersebut. Oleh karena itu, faktor penting lain yang menyebabkan informan memilih melakukan migrasi adalah terdapat keluarga yang sudah terlebih dahulu berada di Pontianak. Dapat dipahami pula bahwa walaupun mempunyai keberanian dan tujuan yang kuat untuk bermigrasi, informan masih melakukan pertimbangan- pertimbangan yang logis mengenai peluang-peluang yang memungkinkan ia untuk mewujudkan tujuannya untuk melanjutkan pendidikan.

Sebuah konsep pengambilan keputusan serta pertimbangan- pertimbangan yang dilakukan oleh masyarakat Batak kemudian disederhanakan dalam sebuah skema untuk mendapatkan pemahaman yang lebih sederhana.

71

Skema 1 Dinamika Proses Migrasi

Nilai Budaya Batak : Nilai Budaya Batak : Nilai Budaya Batak : Hasangapon Hamoraon Kekerabatan

Perwujudan : Perwujudan : Ada keluarga Pendidikan Pekerjaan yang layak di Pontianak

Kondisi perekonomian keluarga tidak mendukung

Migrasi ke Pontianak

72

b. Kehidupan berinteraksi

1) Pola Interaksi

Interaksi dengan etnis lain sebagai konsekuensi migrasi ke

daerah lain menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan

individu Batak yang merantau. Dengan segala kesungguhan dan

kesadaran bahwa mereka tidak lagi berada di lingkungan dengan

budaya yang sama, pembelajaran akan budaya baru menjadi

dinamika baru yang muncul dalam kehidupan mereka.

Pekerjaan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan akan materi

menjadi lingkup utama interaksi masyarakat Batak dengan

masyarakat di Pontianak. Sektor pemerintahan menjadi dominasi

lingkup pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat Batak. Selain

itu, sektor swasta juga merupakan lingkup pekerjaan yang cukup

besar dijalani oleh masyarakat Batak di Pontianak.

Pembelajaran mengenai budaya di Pontianak dilakukan terus

menerus selama proses akulturasi. Sebuah pepatah klasik menjadi

pedoman sederhana yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Batak di

Pontianak. “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” pepatah

ini mungkin yang dapat menggambarkan secara sederhana

bagaimana dinamika interaksi masyarakat Batak di Pontianak.

Nilai-nilai yang sedari awal telah mereka pelajari melalui

“transfer of learning” baik secara langsung (lisan) maupun melalui

contoh perilaku orang tua di daerah asal, menjadi pegangan

73

masyarakat Batak dalam berinteraksi. Sebuah umpasa (peribahasa) masyarakat Batak mungkin dapat memberikan pemahaman mengenai perilaku masyarakat Batak di daerah yang bukan asalnya.

“sidapot solup do na ro” (orang yang datang haruslah menggunakan liter setempat)

Maksud dari peribahasa ini adalah hendaklah orang pendatang sebaiknya menggunakan ukuran atau norma yang berlaku ditempat tersebut (Sinaga, 2008).

Adaptasi menjadi senjata pamungkas mereka untuk dapat bertahan hidup dalam budaya yang berbeda di Pontianak. Menjaga segala perilaku dan menghindari semua tindakan yang dapat menimbulkan resiko konflik, secara terus menerus dilakukan agar dapat terus hidup dan tinggal di Pontianak dengan aman dan tentram. Kesadaran terhadap etika posisi sebagai pendatang dengan kuantitas yang minor, muncul dari hasil pendidikan yang terus menerus mereka perjuangkan.

Seiring kecerdasan berperilaku yang berkembang dari pengalaman berinteraksi dengan etnis lain, pendidikan juga turut ambil bagian dalam berkembangnya kecerdasan berperilaku masyarakat Batak, termasuk di Pontianak. Berkembangnya konsep dasar nilai budaya Batak yaitu dalihan na tolu, dengan menambahkan posisi ale-ale (teman sejawat) dan dongan sahuta

(teman sekampung atau tetangga). Kedua posisi ini dianggap tidak

74

kalah penting dalam hidup seseorang. Oleh karena itu, ditambahkan pedoman dalam berinteraksi terhadap kedua posisi ini.

Pedoman tersebut adalah :

“ringkot jala denggan marale-ale” (berusaha menjaga hubungan baik dengan teman sejawat atau teman karib)

dan

“dame mardonggan sahuta” (selalu rukun bertetangga)

Kehati-hatian dalam perilaku berinteraksi tidak jarang pula membuat masyarakat Batak di Pontianak cenderung pasif dalam menghadapi perselisihan. Dari beberapa kasus perselisihan yang dialami masyarakat Batak di Pontianak, baik yang diungkapkan oleh informan, significant others, maupun dari dokumen serta catatan lapangan, sebagian besar diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Tidak jarang pula mengalah menjadi pilihan untuk menghindari konflik yang mungkin timbul dari perselisihan tersebut. Apabila cara kekeluargaan tidak menemukan jalan keluar dalam penyelesaian perselisihan, masyarakat Batak di Pontianak cenderung menyerahkan penyelesaian perselisihan tersebut pada pihak yang berwenang.

75

2) Berdinamika Menghadapi Kendala

Dalam proses akulturasi, setiap budaya baik itu secara kelompok maupun individu menggunakan strategi-strategi dalam menjalani proses akulturasinya. Seperti yang diungkapkan Berry

(1999), strategi-strategi tersebut digunakan pada proses adaptasi.

Seiring berjalannya waktu, orang Batak di Pontianak menemukan kendala-kendala-kendala selama mereka tinggal dan berinteraksi di Pontianak. Pilihan yang muncul adalah bagaimana caranya agar dapat tetap bertahan di Pontianak dengan segala keadaan yang ada. Perbedaan perlakuan dan tidak diakuinya sebagai putra daerah walaupun telah berada di Pontianak selama lebih dari dua dekade, adalah kenyataan yang harus diterima.

Kendala-kendala yang muncul saat interaksi, diselesaikan dengan strategi-strategi tertentu dalam proses adaptasi. Penulis menyajikan analisis kendala yang menonjol dari tiga informan yaitu kendala pembedaan perlakuan akibat otonomi daerah. Dari kendala ini akan dilihat bagaimana cara masyarakat Batak meyelesaikannya. Cara penyelesaian tersebut lalu akan diidentifikasikan sebagai salah satu strategi akulturasi seperti yang dijabarkan oleh Berry (1999).

Menghadapi kendala yang timbul pada interaksi dengan etnis di Pontianak, mayarakat Batak pada awalnya memahami bagaimana sesungguhnya kendala tersebut. Pemahaman ini muncul

76

dari informasi-informasi yang diterima baik itu secara langsung maupun tidak. Penulis melihat pola pemahaman yang sama dari setiap informan mengenai seperti apa otonomi daerah, baik itu secara ideal maupun penerapannya di Pontianak.

Informan memahami otonomi daerah sebagai pembagian kekuasaan termasuk pemimpin daerah kepada kebijakan pemerintahan di daerah. Berbeda dengan informan yang lain, PSin tidak mau berkomentar tentang apa itu otonomi, hal ini dikarenakan sistem kepegawaian di tempat informan bekerja masih terhubung dengan pemerintah pusat.

Setiap kendala yang muncul dalam proses interaksi merupakan konsekuensi dari perbedaan budaya yang muncul dari tiap-tiap budaya yang bertemu dan melakukan kontak (Berry, 1999).

Kendala yang dialami masyarakat Batak di Pontianak diungkapkan informan dengan menunjukkan perubahan-perubahan dalam bentuk pembedaan perlakuan yang terjadi sebelum dan sesudah otonomi daerah. Dari perubahan tersebut, maka diidentifikasikan pula penyebab dan asal muasal perubahan yang menjadi tonggak dimulainya pembedaan perlakuan tersebut.

77

Tabel 8.

Perbedaan sebelum dan sesudah otonomi

Informan 1 (AP) Informan 2 (PSin) Informan 3 (PSih) Kondisi - Tidak pernah Jumlah orang Batak sebelum dipermasalahkan yang menjadi pejabat otonomi status sebagai orang masih berimbang. daerah Batak. Semua hal tergantung pembicaraan. - Orang Batak menduduki banyak posisi penting di Pemerintahan. Kondisi - Merasa ada - Muncul wacana putra setelah pembedaan daerah. otonomi perlakuan karena - Pemimpin daerah daerah merupakan etnis haruslah putra daerah. pendatang. - Seorang pemimpin - Kesulitan dalam daerah takut mendapatkan mengangkat pejabat peluang kerja yang bukan putra terutama di daerah. Pemerintahan. - Muncul istilah pribumi dan pendatang.

78

Perbedaan kondisi dan situasi yang muncul diidentifikasikan oleh informan berasal dari munculnya Undang-undang otonomi daerah. Informan AP mengungkapkan bahwa tidak ada yang salah dengan Undang-undang tersebut, akan tetapi, penerapannya dilapangan yang tidak sesuai.

”Kalau otonomi daerah itu kalau menurut yang kita baca tidak seperti itu tujuannya. Bagus sebenarnya. Artinya siapa yang punya kemampuan, tidak harus karena dia orang Batak jadi dia tidak bisa untuk disini.”

Penerapan itu dirasa merupakan bagian dari tendensi tertentu dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan didalamnya.

Informan PSin mengungkapkan bahwa isu putra daerah yang harus memimpin daerahnya menjadi salah satu penyebab munculnya pembedaan perlakuan tersebut. Menurut informan, istilah putra daerah dan non-putra daerah didengung-dengungkan untuk mengurangi dominasi orang Batak untuk duduk di posisi penting pemerintahan.

“Istilahnya setelah otonomi daerah, karena putra daerah selalu didengung-dengungkan begitu mau pengangkatan jabatan, seorang pejabat pun jadi takut mengangkat diluar dari etnis daerah itu sendiri”.

Istilah non-putra daerah menjadi identitas tetap bagi masyarakat

Batak di Pontianak. Identitas ini yang kemudian dirasa menyulitkan masyarakat Batak untuk berkecimpung didunia pemerintahan.

79

Pada masa sebelum undang-undang otonomi daerah muncul, pejabat penting di pemerintahan Kalimantan Barat dapat dikatakan di dominasi oleh orang Batak. Terdapat 9 orang Batak yang menduduki jabatan Kakanwil (kepala kantor wilayah) departemen atau setara Kakanwil. Posisi pejabat eselon 2 ini merupakan posisi penting dalam pemerintahan di Kalimantan Barat. Hal ini menurut informan significant others yang merupakan salah satu dari 9

Kakanwil tersebut, merupakan dampak dari kurangnya SDM di

Kal-Bar. Belum ada pegawai negeri sipil yang mempunyai kompetensi untuk menduduki jabatan tersebut. Beberapa informan significant others lain juga mengungkapkan hal yang serupa.

Pada masa setelah otonomi daerah terjadi perubahan besar- besaran pada struktur pemerintahan di Kalimantan Barat. Banyak orang Batak yang tidak lagi mendapat tempat di jabatan-jabatan strategis dan di mutasikan ke posisi-posisi tidak strategis dan terkesan “dibuang”. Status putra daerah dan non putra daerah menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan pejabat yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Salah satu informan significant others mengakui kondisi ini membuat ia belasan tahun berada di eselon III dan baru-baru ini diangkat menjadi eselon II, itupun dengan masa kerja satu tahun menjelang pensiun.

Isu-isu mengenai putra daerah dengan cepat menyebar di kalangan masyarakat Batak. Bahkan menurut informan, ada

80

beberapa orang Batak yang memilih untuk mutasi ke kampung

halamannya karena takut tidak akan mendapat tempat di

pemerintahan Kalimantan Barat. Disisi lain, keadaan pembedaan

perlakuan yang terjadi membuat kerukunan antar sesama orang

Batak semakin erat. Perasaan senasib dan sepenanggungan

membuat tali persaudaaraan semakin kuat. Informasi-informasi

penting mengenai kehidupan bermasyarakat semakin sering dibagi

antar sesama orang Batak.

2. Strategi Akulturasi : Integrasi

Identitas kesukuan yang melekat di masyarakat Batak, membentuk sebuah identitas baru yaitu “non putra daerah”. Identitas ini semakin mudah dikenali dari nama marga yang menyertai nama orang Batak.

Dengan demikian masyarakat Batak mau tidak mau menerima identitas baru mereka.

Dalam menyikapi hal ini, tiaptiap orang Batak mempunyai pandangan tersendiri. Akan tetapi dengan tingginya intensitas berkumpul antar sesama masyarakat Batak, sikap yang terbentuk menjadi seragam. Seorang informan mengungkapkan bahwa dalam menyikapi ini mau tidak mau harus menerimanya dengan lapang dada. Merupakan hal yang mustahil untuk merubah keadaan yang sudah terjadi dengan mudah. Hal yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kompetensi agar mempunyai kemampuan diatas rata-rata. Dengan mempunyai kemampuan diatas-rata-rata, secara

81

otomatis akan dilirik dalam pemilihan pejabat. Celah-celah kecil yang bisa dilalui untuk tetap bertahan menjadi target utama. Kecenderungan untuk memilih putra daerah juga dipaparkan oleh informan lain yang merupakan significant others. Ia mengungkapkan bahwa apabila terdapat dua orang yang menjadi pilihan untuk menduduki jabatan tertentu, dengan kemampuan dan prestasi yang sama, maka dengan sendirinya yang merupakan putra daerah yang akan maju menduduki jabatan tersebut.

Celah-celah lain yang dilirik oleh masyarakat Batak adalah sektor swasta. Dengan kecilnya peluang untuk berkembang di pemerintahan, masyarakat Batak di Pontianak mulai melirik sektor swasta. Pada masa sebelum otonomi daerah, hampir semua masyarakat Batak terfokus untuk bekerja di pemerintahan. Iming-iming kepastian jaminan hidup membuat pilihan jatuh pada sektor pemerintahan (PNS). Sektor swasta yang dinilai mempunyai resiko yang lebih besar tidak menjadi target pekerjaan utama.

Informan mengungkapkan bahwa peningkatan SDM generasi muda masyarakat Batak di Pontianak menjadi fokus utama para orang tua Batak.

SDM yang berkualitas nantinya akan menjadi modal dalam bersaing di sektor swasta. Sektor swasta dinilai lebih fair dalam penerimaan dan pengembangan karir daripada sektor pemerintahan. Oleh karena itu, terjadi pergeseran fokus pekerjaan masyarakat Batak di Pontianak.

Pada akhirnya masyarakat Batak memilih strategi integrasi dalam menghadapi kendala yang muncul dalam proses akulturasi. Keinginan untuk tetap menjaga kerukunan antar sesama menjadi pendorong

82

masyarakat Batak untuk tetap berinteraksi. Dengan kesadaran masing- masing, masyarakat Batak mengetahui bahwa mereka tidak dapat hidup sendiri dan mengisolasi pergaulan dengan etnis lain. Prinsip untuk tetap berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku semakin menjadi pedoman dalam berinteraksi. Kejadian-kejadian konflik terbuka secara besar- besaran yang pernah terjadi di Kalimantan Barat menjadi pembelajaran tersendiri bagi masyarakat Batak di Pontianak.

Pendewasaan tingkah laku masyarakat Batak meningkat sebagai konsekuensi pembelajaran mengenai kendala-kendala yang muncul didaerah perantauan. Pengalihan fokus pekerjaan dan kesadaran untuk selalu waspada serta berhati-hati dalam bertingkah laku, menjadi langkah- langkah selanjutnya yang ditanamkan pada generasi muda Batak di

Pontianak. Keinginan untuk tetap berinteraksi dengan masyarakat dari etnis lain dan disisi lain selalu menjaga adat dan budaya serta nilai-nilai

Batak, merupakan indikasi dari strategi integrasi yang dipilih masyarakat

Batak.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian, dapat dibuat kesimpulan bahwa pengalaman hidup masyarakat Batak di Pontianak dapat dipahami sebagai sebuah proses akulturasi secara utuh. Nilai-nilai budaya Batak yang mereka bawa dari daerah asal mereka, menjadi sebuah pedoman yang mengarahkan perilaku mereka untuk beradaptasi dimanapun mereka berada. Kecerdasan yang muncul dari pengalaman interaksi dengan etnis lain serta pemahaman mengenai posisi sebagai pendatang, membuat masyarakat Batak di Pontianak berusaha sedemikian rupa mencegah terjadinya konflik. Semua permasalahan yang dimulai dari perselisihan dengan etnis lain, diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Kecerdasan berperilaku dan pengambilan keputusan mengarahkan mereka agar tidak segan-segan untuk mengalah demi mencegah munculnya perselisihan yang lebih besar yang dapat memicu konflik.

Semua tahapan akulturasi telah mereka lalui selama dua dekade, dan mereka telah sampai pada tahap adaptasi. Akan tetapi, akulturasi merupakan sebuah proses yang terus berjalan. Secara berkala masyarakat Batak di Pontianak menemukan kendala-kendala baru sebagai dampak dinamika dalam sosial kemasyarakatan. Hingga saat ini, mereka masih memilih integrasi sebagai strategi dalam berakulturasi. Identitas sebagai bukan putra daerah tidak menjadi penghalang mereka untuk tetap bertahan di Pontianak. Koneksi yang terjalin dengan baik antara sesama anggota masyarakat Batak di Pontianak, membuat

83

84

mereka dengan mudah merumuskan setiap kendala yang dihadapi. Kendala yang muncul dari kecilnya potensi untuk mengembangkan diri dalam pekerjaan di sektor pemerintahan, memacu masyarakat Batak di Pontianak untuk lebih giat lagi dalam meningkatkan sumber daya mereka agar dapat bersaing di sektor swasta.

Pengambilan keputusan bersama sebagai hasil dari baiknya koneksifitas antar masyarakat Batak di Pontianak, mengurangi resiko munculnya stres akulturatif akibat dari kendala-kendala yang mereka hadapi.

B. Saran

1. Bagi peneliti lain yang akan meneliti di Pontianak dengan tema-tema

yang sama dengan penelitian ini (sosial, akulturasi, etnis, dsb)

Penelitian dengan tema ini memerlukan adanya pemahaman yang

mendalam terhadap konteks penelitian. Pemahaman mendalam mengenai nilai

budaya, sejarah dan gejolak sosial yang terjadi harus menjadi bekal utama yang

dipersiapkan selain konsep penelitian yang akan dilakukan. Pada konteks

Pontianak dan Kalimantan Barat, peneliti hendaknya menyadari bahwa daerah

ini sangat rawan konflik antar etnis. Peneliti perlu mendata terlebih dahulu

potensi konflik dan mendiskusikan dengan pihak-pihak yang berwenang

didaerah ini. Keakuratan data potensi konflik yang actual dapat membantu

permasalahan etik yang harus dijaga oleh peneliti. Kekurang pahaman terhadap

hal-hal tersebut dapat menimbulkan resiko-resiko yang akan muncul selama

dan setelah melakukan penelitian di lapangan. Resiko tersebut dapat menimpa

85

masyarakat tempat penelitian dilakukan dan bahkan dapat menimpa peneliti itu sendiri.

2. Bagi Masyarakat Batak di Pontianak

Perlu adanya transfer of learning yang selalu terjaga dengan baik antara orang tua dan generasi muda Batak yang tinggal di Pontianak. Pengajaran mengenai nilai-nilai budaya Batak, terutama dalam hal perilaku dalam pergaulan dengan unsur di luar dalihan na tolu, menjadi hal yang penting untuk diteruskan kepada generasi muda. Nilai-nilai budaya tersebut telah terbukti dapat membuat masyarakat Batak di Pontianak bertahan hidup di daerah tersebut selama lebih dari 100 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Alqadrie, Syarif Ibrahim. (2009). Identitas Budaya, Identifikasi Etnis dan Keagamaan, Kesadaran Etnis, dan Hipotesis Kekerasan 2020-an di Kalimantan Barat. Makalah tidak diterbitkan, disampaikan pada Konferensi Antar Universiti Se-Borneo-Kalimantan ke 5 di Universiti Malaysia Sabah, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia.

------(2008). Matahari Akan Terbit Dari Barat. Pontianak: Yayasan Insan Cita Kalimantan Barat.

Arkanudin. (2009). Pluralisme Suku dan Agama di Kalbar. diunduh dari http://www.unka.ac.id/index.php?page=artikel&h=2 pada 3 Maret 2010 pukul 19.54

Asali, F.X. (Lie Sau Fat). (2008), Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat. Pontianak: Muare Public Relation.

Badan Pusat Statistik Kota Pontianak. (2009). Kota Pontianak Dalam Angka Tahun 2009. Pontianak : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak.

------(2000). Kota Pontianak Dalam Angka Tahun 2000. Pontianak: Badan Pusat Statistik Kota Pontianak.

Berry, J.W., Poortinga, Y.H., Seagall, M.H., dan Dasen, P.R. (1999). Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi (edisi terjemahan). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Berry, J. W. (2004). Encyclopedia of Applied Psychology, Vol. I. Missouri. Academic Press.

Dayaksini, T. & Yuniardi, S. (2008). Psikologi Lintas Budaya (edisi revisi). : UMM Press.

Harahap, E. St. (1960). Perihal Bangsa Batak. Jakarta: Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Departemen Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudayaan.

86

87

Harahap, Hamidy & Siahaan, Hotman M. (1987). Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak : Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba Dan Angkola- Mandailing. Jakarta: Sanggar Willem Iskander.

Irmawati. (2002). Motovasi Berprestasi dan Pola Pengasuhan Pada Suku Bangsa Batak Toba di Desa Parparean II dan Suku Bangsa Melayu di Desa Bogak (Studi Etnopsikologi). Thesis. Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.

Moleong, Lexy J. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Parhalado HKBP Pontianak. (2008). Sejarah Penginjilan Dan Pembangunan Gereja HKBP di Kalimantan Barat. Arsip HKBP Pontianak. Pontianak : Tidak diterbitkan.

------(2009). Bericht Dohot Statistik Jiwa HKBP Pontianak Tahun 2009. Arsip HKBP Pontianak. Pontianak : Tidak diterbitkan.

Polda Kalbar. (2006). Upaya Polri Dalam Mengantisipasi Secara Dini Konflik Etnis di Kalimantan Barat. Makalah disampaikan pada Workshop Jaringan Sistem Peringatan Dini (Networking of Early Warning System) di Pontianak 29 Juli, Pontianak: Jaringan Sistem Peringatan Dini Kalimantan Barat.

Romanova, Evguenia. (2007). Balance Theory and Acculturation: Russian- speaking Immigrants in Norway. Master Thesis. Norway: Det Samfunnsvitenskapelige Fakultet Institutt for psykologi University of Tromsø.

Siagian, James. (2001). Adat Budaya Batak. Pontianak: Ikatan Masyarakat Dalihan Na Tolu.

Sihombing, T. H. (1986). Filsafat Batak Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat. Jakarta: Balai Pustaka.

Simanjuntak, Bungaran Antonius. (2006). Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945 : Suatu Pendekatan Antropologi Budaya dan Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 88

------(2009). Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Bagian Sejarah Batak (edisi revisi). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sinaga, Richard. (2008). Kamus Batak Toba-Indonesia. Jakarta: Dian Utama.

Supriyatna, Akhmad. (2007) Usman Ja’far : Anak Desa Yang Jadi Gubernur. Jakarta: PT. Spora Cipta Paramedia.

Triandis, H. C. (1994). Culture and Social Behaviour. Boston: Mc. Graw-Hill, Inc.

http://arsip.pontianakpost.com. diunduh pada 5 november 2009 pukul 15.45

http://www.hkbp.or.id. diunduh pada 6 november 2009 pukul 21.34