Sistem ekonomi masa demokrasi liberal

Sistem Ekonomi Ali Baba

Sistem ekonomi ali baba sendiri sangat terkenal ya kawan. Taukah kalian mengenai sistem ekonomi ali baba di era demokrasi liberal sendiri? sistem ekonomi ali baba ialah orang yang memperoleh lisensi tapi yang menjalankan adalah perusahaan keturunan China bung. Jadi, dalam sistem ekonomi ini orang Indonesia sama sekali tidak memiliki lisensi.

Perusahaan yang lahir dari kerjasama tersebut dinamakan perusahaan Ali Baba. Ali yang mewakili pribumi dan Baba mewakili keturunan bangsa China.

Gerakan Asaat

Gerakan asaat adalah salah satu usaha lain yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan melalui 'Gerakan Asaat'. Gerakan Asaat sendiri memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada umumnya dan warga keturunan Cina pada khususnya.

Gunting Syafrudin

Pada tanggal 20 Maret 1950, Menteri Keuangan Syafrudin Prawiranegara mengambil sebuah kebijakan ekonomi yaitu memotong uang dengan memberlakukan nilai setengahnya untuk mata uang yang mempunyai nomina 250 ke atas. Kebijakan memotong uang ini dikenal dengan nama gunting syafrudin.

Program Perencanaan Pembangunan Lima Tahun (1956-1961)

Upaya dalam meningkatkan sektor ekonomi dalam masa demokrasi liberal memang terus dilakukan. Upaya pembangunan juga mulai dilaksanakan dengan program lima tahun ini. yang mana program telah dirancang atau dipersiapkan oleh Biro Perancang Nasional. Program ini pertama kali dijalankan pada masa Kabinet II. Program pembangunan rencana lima tahun berbeda dengan RUP yang lebih umum sifatnya. Program ini sangat terinci dan memlakukan prioritas proyek rendah.

Tujuan rencana pembangunan lima tahun adalah mendorong munculnya industri besar, munculnya perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan jasa pada sektor publik yang hasilnya diharapkan mampu mendorong penanaman modal dalam sektor swasta.

Nasionalisasi Perusahaan Asing

Langkah pemerintah belum terhenti dampai disitu. Usaha pembangunan ekonomi nasional lainnya dijalankan dengan kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Dengan ini Nasionalisasi dibentuk dengan tindakan pencabutan hak milik Belanda atau asing yang kemudian diambil alih atau ditetapkan statusnya sebagai milik pemerintah RI. Pengalihan hak milik modal asing sudah dilakukan sejak pengakuan kedaulatan pada tahun 1949. Hal ini terkait dengan hasil KMB yang mana akan membahas tentang irian barat namun tak kunjung dibahas.

Program Benteng Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Program Benteng adalah kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah Indonesia bulan April 1950 dan secara resmi dihentikan tahun 1957. Tujuannya adalah membina pembentukan suatu kelas pengusaha Indonesia "pribumi" (dalam arti "non-Tionghoa).

Latar belakang

Pada tahun 1950-an, ada tekanan politis yang meningkat agar kekuasaan ekonomi diambil dari perusahaan swasta Belanda yang masih ada di Indonesia saat itu, demi penyelesaian Revolusi. Namun, Indonesia masih memerlukan modal dan keterampilan asing untuk menghasilkan pembangunan ekonomi yang diperlukan untuk menghadapi peningkatan jumlah penduduk. Bulan Februari 1950, presiden Soekarno sudah sempat menyampaikan kepada kalangan perusahaan asing bahwa pemulihan ekonomi Indonesia setelah selesainya Revolusi memerlukan dikerahkannya segala sumber modal, baik asing maupun dalam negeri. Tahun 1953 menteri Keuangan Ong Eng Die menyatakan bahwa peranan perusahaan asing dalam pembangunan ekonomi Indonesia perlu dicantumkan secara jelas dalam rencana pembangunan mendatang.

Program Benteng merupakan suatu cara mengembangkan peranan orang Indonesia dalam ekonomi tanpa merugikan perusahaan asing, terutama Belanda.

Pelaksanaan

Program Benteng melewati sejumlah tahap, dengan pengubahan dalam banyak kesempatan. Program terutama mencakup impor, karena modal yang diperlukan tidak terlalu besar. Lagipula, peranan Belanda sangat terasa di bidang ini, terutama lewat lima perusahaan niaga besar.

Pada mulanya yang ditekankan adalah barang mana yang wajib diimpor oleh pengusaha pribumi. Kemudian, yang dibicarakan adalah persyaratan mengenai kelayakan memperoleh lisensi impor. Tahun 1950 sudah sempat ditentukan bahwa paling tidak 70% dari pemegangan saham perusahaan harus dimiliki "bangsa Indonesia asli". Bulan Mei dan Juni 1953, debat mengenai penaikan persentase ini, termasuk tuduhan diskriminasi terhadap importir Tionghoa, berakibatkan jatuhnya Kabinet Wilopo.

Program Benteng ditinjau kembali bulan September 1955 oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dan menteri Keuangan . Syarat berdasarkan suku dicabut dan diganti dengan persyaratan ketat mengenai pembayaran uang muka.

Dibentuknya Kabinet Karya di bawah bulan Maret dan April 1957 ditandai dengan pengalihan ke "ekonomi terpimpin". Program Benteng resmi dihentikan.

Nasionalisasi De Javasche Bank

Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi . Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian kredi tharus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis.

Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang- undang No. 24 tahun 1951.

Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)

Pada masa Kabinet Burhanudin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi :

1. Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan. 2. Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral. 3. Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.

Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari1956, Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden menandatangani undang-undang pembatalan KMB.

Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)

Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956- 1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.

RPLT mengalami kegagalan disebabkan oleh Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot. Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi. Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.

Musyawarah Nasional Pembangunan

Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang.