(PKB) Dan Nahdlatul Ulama‟ (NU) Sepertinya Tidak Akan Pernah Menemukan Kata Final

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

(PKB) Dan Nahdlatul Ulama‟ (NU) Sepertinya Tidak Akan Pernah Menemukan Kata Final BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diskursus kesejarahan mengenai hubungan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Nahdlatul Ulama‟ (NU) sepertinya tidak akan pernah menemukan kata final. Hubungan PKB-NU seperti irama musik yang tak pernah datar. Ada anggapan bahwa hubungan PKB-NU tak ubahnya hubungan di dalam rumah tangga. Pertengkaran dan konflik merupakan pemandangan yang lumrah terlihat dalam sebuah pengamatan telanjang. Hubungan mesra PKB-NU, bisa disebut bulan madu (honey moon) kedua organisasi ini, hanya tampak di awal-awal pernikahannya saja. Prestasi politik tertinggi dari kekompakan keduanya pasca Pemilu 1999 berhasil menghantarkan cucu pendiri NU, KH. Abdurrahman Wahid, yang lekat disapa Gus Dur, menjadi presiden keempat di republik ini. Adapula yang beranggapan bahwa hubungan PKB-NU seperti orang tua dan anak. NU berposisi sebagai organisasi yang melahirkan PKB. Kala itu, Gus Dur dan dibantu oleh 4 (empat) kiai lainnya, berijtihad untuk melahirkan PKB. Pasca ide itu dideklarasikan banyak elite NU yang menganggap dirinya berkontribusi akan lahirnya partai pertama NU pasca vakum dari politik praksis berdasarkan hasil muktamar ke-27 di Situbondo untuk kembali ke Khittah 1926. Di sisi lain, tak jarang pula yang beranggapan bahwa hubungan PKB-NU tak ubahnya hubungan organisatoris. Hal ini didasarkan pada sejumlah metamorfosa beberapa produk hukum PKB yang secara garis besar merupakan jelmaan dari produk-produk hukum NU. Misalnya saja, sistematika dan susunan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PKB yang hampir mirip dengan AD/ART milik NU. Menilik beragamnya pola hubungan PKB-NU ini tidak mengherankan jika dimasa-masa berikutnya menghasilkan konflik dan sengketa kekuasaan. Konflik pertama terjadi diinternal PKB adalah persoalan penurunan Gus Dur dari kekuasaan kepresiden. Kala itu, Mathori Abdul Djalil, yang menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB tidak mengindahkan perintah Gus Dur 1 untuk tidak menghadiri rapat paripurna di DPR. Imbasnya, Gus Dur sebagai Ketua Umum Dewan Syuro merasa berhak untuk mencopot jabatan Ketua Umum Dewan Tanfidz (eksekutif) PKB. Gus Dur pun mengangkat Alwi Shihab sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB. Matori tidak tinggal diam, dia juga menggalang kekuatan struktural PKB untuk membendung seruan Gus Dur tersebut. Matori membuat Musyawarah Nasional Ulama‟ tandingan1. Konflik awal ini rupanya terus berkembang dan tak menemui ujung. Setelah konflik dengan Mathori. Gus Dur pun berkonflik dengan Alwi Shihab2, orang yang diangkatnya untuk menggantikan posisi Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum DPP PKB. Gus Dur memilih menggandeng Muhaimin Islkandar menggantikan Alwi Shihab. Di fase berikutnya, Gus Dur lagi-lagi bermanufer. Beliau menganggap bahwa Muhaimin cacat dalam memimpin PKB. Kemudian beliau mengangkat Ali Maskur Moesa untuk menggantikan posisi Muhaimin Iskandar. Meskipun, di ranah hukum Gus Dur dikalahkan Cak Imin (panggilan akrab Muhaimin Iskandar)3. Dan, KPU menganggap bahwa kubu Cak Imin yang sah untuk mengikuti Pemilu 2009. Di masa pemilu yang sama, tantangan Cak Imin juga datang dari Partai Kebangkitan Nasional Ulama‟ (PKNU) yang dibesut oleh kubu Alwi Shihab dan Chairul Anam. Imbasnya, PKB terlempar dari percaturan partai Islam besar. PKB berada di posisi ke-6 dari sembilan partai yang lolos ke parlemen4. 1 Konflik kedua kubu ini juga memecah percaturan kiai NU di dalam politik PKB. Gus Dur bersama dengan para pendukungnya melaksanakan Musyawarah Nasional Alim Ulama‟ 13-14 Nopember 2001. Sedangkan Mathori menyelenggarakan Musyarah Kerja Nasional Pengurus PKB yang didalamnya juga diikuti oleh Kiai 12-13 Nopember 2001. (Lihat : Tim Litbang Kompas, partai- partai politik Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara 2004)257) 2 Konflik dengan Alwi Shihab, konon disebabkan perbedaan pandangan antara Gus Dur dan Alwi Shihab tentang Pemilu Presiden 2004. Alwi Shihab, kala itu, memberikan dukungan SBY-JK, sedangkan Gus Dur sendiri berusaha mencalonkan diri sebagai calon presiden dari PKB, namun „digagalkan‟ oleh Komisi Pemilihan Umum. Konsekwensi pengalihan dukungan tersebut kemudian berbuntut pada pengangkatan Alwi Shihab sebagai Menkokesra dan Gus Ipul sebagai Mentri PDT. Tapi, setelah Gus Dur mampu mengambil alih kekuasaan Alwi-Saifullah Yusuf. Gus Ipul ditarik Gus Dur dari kementrian dan digantikan Lukman Edy. 3 Perseteruan ini mungkin yang paling berbuntut panjang dan paling menarik. Selain karena harus melalui proses hukum. Ada kejadian unik imbas dari dualisme kepengurusan ini. Yakni, disaat proses pleno KPU untuk pengambilan nomor urut partai. Cak Imin dan Yeny Wahid bersama-sama mengambil nomor urut partai. Keduanya sontak menjadi bahan tertawaan ketua partai lainnya. 4 Hasil Pemilu 2009 menempatkan Demokrat sebagai pemenang pemilu, disusul Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura. PKB termasuk beruntung. Meskipun, partai ini didera konflik. Partai ini mampu lolos batas ambang minimum parlemen. Naas bagi PKNU. 2 Kondisi konflik di internal PKB yang terjadi secara terus menerus, membuat elite NU merasa tidak elegan lagi untuk menganggap PKB sebagai bagian dari NU. Pasalnya, perpecahan itu menjadikan nahdiyin (pengikut atau warga NU) kebingungan menentukan pilihan politiknya. Para kiai NU pun terpecah kebeberapa kubu yang dibuat oleh para elite partai PKB. Berdasarkan alasan yang demikian, KH. Hasyim Muzadi, sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU kala itu, mengatakan : “...komitment NU bukanlah pada elite-elite partai manapun juga, termasuk PKB. Komitmen NU tetap pada umat....ketidaknetralan NU yang ditunjukkan dengan mendukung salah satu parpol justeru akan membuat warga nahdiyin gelisah dan kebingungan. Karenanya, institusi organisasi NU memutuskan untuk tidak terkait dan mengaitkan diri dengan salah satu parpol...Bila PKB ingin menarik sebanyak-banyaknya nahdiyin sebagai pendukungnya maka PKB harus bersikap baik pada warga NU. Seberapa besar santunan yang diberikan PKB pada warga nahdiyin sebesar itupula dukungan yang akan dipetiknya. Saya memimpin ormas NU dan Gus Dur memimpin partai. Jadi, susah ketemu. Perseteruan itu sebenarnya hanya kesan saja”5. Ungkapan KH. Hasyim Muzadi membuktikan adanya kerenggangan komunikasi NU dan PKB secara organisasional. Meskipun, banyak orang yang masih beranggapan bahwa NU adalah organisasi yang melahirkan PKB. Salah satunya, klaim yang dibuat oleh para politisi PKB sendiri. Misalnya, tulisan Eman Hermawan yang selalu menonjolkan NU sebagai penggagas lahirnya PKB. Dalam gagasannya, dia berpendapat bahwa apapun yang terjadi di PKB tidak akan melepaskan nilai kesejarahan, bahwa PKB dilahirkan dan dibidani sendiri oleh para kiai NU6. Hanif Dakhiri pun demikian. Tokoh muda PKB ini menyatakan bahwa rekonsiliasi PKB-NU merupakan sebuah keharusan agar bisa Tidak mampu mencapai batas ambang minimum parlemen. (Lihat partai.info/pemilu2009/). Pasca Pemilu 2009, PKNU masih berusaha peruntungannya mengikuti pemilu 2014. Tapi, KPU menggagalkannya karena dianggap kurang persyaratan. 5 Dikutip dan diolah dari buku Litbang Kompas. Partai-partai politik di Indonesia...258-259 6 Eman Hermawan, Gus Dur, PKB, dan NU, dalam Membangun PKB tanpa Gus Dur Agus Fachri, ed. (Jogjakarta; PDIP-KB 2008), 21 3 mengembalikan marwah PKB sebagai partai besar yang berhaluan ke- Indonesiaan7. Di lain pihak, sikap traumatik dihadapi oleh para elite NU. Mereka beranggapan mengembalikan PKB ke pangkuan NU akan mengembalikan NU pada masa lampau. Netralitas dan kemufakatan untuk kembali ke Khittah 1926, yakni berhidmat di bidang sosial-kegamaan dan pendidikan, akan terganggu. Sebagian juga beranggapan, kembalinya suasana politik di NU membawa NU sebagai boneka yang menarik bagi suatu partai tertentu. Oleh karenanya, tidak semua elite NU bersepakat kalau PKB diakui sebagai bagian dari organisasi besar NU. Hingga tahun 2009, aroma konflik kedua organisasi ini belum bisa dinetralisir. PKB-NU ibarat dua sisi mata uang yang sudah dipotong dan diletakkan terpisah. Ketika sang founding father partai berlambang mirip dengan NU ini alias Gus Dur, wafat, suasana kebatinan elite NU dan PKB mulai berubah. Mereka beranggapan bahwa tidak baik konflik antara dua organisasi ini terus berlangsung. Tajuk yang didengungkan kala itu adalah islah (rekonsiliasi) internal PKB yang sudah tercerai berai menjadi banyak bagian. Beberapa tokoh eks PKB mulai mewacanakan islah. Namun rupanya, islah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kelompok-kelompok anti Cak Imin menginginkan islah dilakukan dengan cara-cara formal, bahkan disertai dengan tuntutan agar Cak Imin lengser dari Ketua Umum DPP PKB dan memilih Ketua Umum baru melalui Muktamar Luar Biasa. Sementara Cak Imin sendiri, lebih menghendaki islah berjalan alamiah. Lelah menyuarakan islah dengan jalur formal, hari ini konsep islah alamiah versi Cak Imin mulai menemukan titik terang. Sejumlah tokoh yang pernah menyeberang dari PKB, mulai kembali. Beberapa kiai sentral NU yang awalnya secara diam-diam membantu PKB, kini mulai terbuka menyatakan dukungannya kepada PKB. Reharmonisasi hubungan PKB-NU menjadi kekuatan utama untuk menghadapi pemilu 2014. Dukungan demi dukungan mulai dilontarkan oleh para 7 Hanif Dakhiri, Jalan Terjal Menuju Islah PKB (diakses melalui blog pribadi mantan sekjend PKB 2005-2009 pada 11-12-2013) 4 elite NU. Salah satunya dukungan diberikan oleh KH. Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU saat ini, beliau mengatakan : “saya adalah salah satu dari sebagian kiai yang membidani lahirnya PKB dari tubuh NU. Jadi, partai orang NU adalah PKB...Saya mengharap hubungan baik antara NU dan PKB tidak hanya
Recommended publications
  • Pemikiran Gus Dur Tentang Nasionalisme Dan
    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PEMIKIRAN GUS DUR TENTANG NASIONALISME DAN MULTIKULTURALISME (1963 - 2001) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Oleh : Ana Riwayati Dewi NIM: 131314055 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PEMIKIRAN GUS DUR TENTANG NASIONALISME DAN MULTIKULTURALISME (1963 - 2001) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Oleh : Ana Riwayati Dewi NIM: 131314055 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017 i PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI iii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini ku persembahkan kepada: 1. Kedua orang tua saya, Ayahanda Yonathan Suyoto dan Ibunda Suwarti. 2. Kedua saudara saya, Arief Ika Setiawan dan Hastanti Dwi Lestari. 3. Sahabat-sahabat saya. iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI MOTTO Yakinlah kau bisa dan kau sudah separuh jalan menuju ke sana (Theodore Roosevelt) Manusia tidak merancang untuk gagal, mereka gagal untuk merancang (William J. Siegel) Usaha dan keyakinan tidak akan mengkhianati hasil (Ana Riwayati Dewi) v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERNYATAAN KEASLIAN
    [Show full text]
  • Pemikiran Pendidikan Islam Kh. Abdurrahman Wahid Dan Implikasinya Bagi Pengembangan Pendidikan Islam Di Indonesia
    Vol. 1, No. 2, Juli – Desember 2017 https://ejournal.unuja.ac.id/index.php/edureligia PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM KH. ABDURRAHMAN WAHID DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Moch. Tohet Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Nurul Jadid, Indonesia Info Artikel Abstrak Sejarah Artikel: Diterima Juni 2017 Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan Disetujui Juli 2017 martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan Dipublikasikan Oktober selalu berkembang dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. 2017 Untuk itu, mau tak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut. Apabila pendidikan tidak didesain mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan ketinggalan laju Keywords: perkembangan zaman itu sendiri. Pendidikan Islam dalam pandangan KH. Abdurrahman Wahid haruslah menjadi pangkalan untuk merebut Abdurrahman Wahid; kembali wilayah-wilayah yang kini sudah mulai lepas. Ia menjadi Pendidikan Islam;Keislaman tumpuan langkah strategis untuk membalik arus yang menggedor pintu pertahanan umat Islam. Sesuatu yang cukup vital adalah membuat sebuah kerangka pemahaman, khususnya dalam pendidikan Islam sehingga mampu menjadi inspirasi dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang sifatnya universal. Pemahaman terhadap nilai-nilai ajaran Islam pun menjadi pemahaman yang utuh dan komprehensif © 2017 Fakultas Tarbiyah IAI Nurul Jadid Alamat Korespondensi: ISSN 2549-4821 Gedung E Lantai 1 Fakultas Agama Islam E-ISSN 2579-5694 PO. Box 1 Paiton Probolinggo, 67291 E-mail: [email protected] 175 Moch. Tohet / edureligia Vol. 1, No. 2, 2017 PENDAHULUAN tumbuh dan berkembang bersama alam lingkungannya. Tetapi sebagai khalifah Allah, Seiring dengan zaman yang sudah maka manusia mempunyai tugas untuk modern ini, pendidikan masih dianggap memadukan pertumbuhan dan sebagai kunci pembuka dalam komunitas perkembangannya bersama dengan alam.
    [Show full text]
  • Kebijakan-Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid Tahun 1999-2001
    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID TAHUN 1999-2001 MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Oleh: LAURENTIUS RIGEN DARIS NIM: 101314022 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID TAHUN 1999-2001 MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Oleh: LAURENTIUS RIGEN DARIS NIM: 101314022 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016 i PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN Makalah ini ku persembahkan kepada: Kedua orangtuaku yang selalu mendoakan dan mendukungku. Kedua kakak perempuanku yang selalu menyemangatiku. Almamaterku. iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HALAMAN MOTTO Menyesali nasib tidak akan mengubah keadaan. Terus berkarya dan bekerjalah yang membuat kita berharga. (Abdurrahman Wahid) Bangunlah suatu dunia dimana suatu bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan (Ir. Soekarno) Setialah pada hal-hal yang kecil, karena kelak disanalah kekuatanmu berasal. (Bunda Teresa) v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRAK KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID TAHUN 1999-2001 Oleh: Laurentius Rigen Daris Universitas Sanata Dharma 2016 Makalah ini bertujuan mendeskripsikan: (1) Latar belakang kehidupan Abdurrahman Wahid, (2) Kebijakan-kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid, (3) Jasa-jasa Presiden Abdurrahman Wahid. Penulisan makalah ini menggunakan metode sejarah dengan langkah- langkah heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
    [Show full text]
  • Social Education Through Digital Literacy Among
    Evi Fatimatur Rusydiyah DOI: 10.15642/JIIS.2020.14.1.210-247 SOCIAL EDUCATION THROUGH DIGITAL LITERACY AMONG INDONESIAN FEMALE MUSLIM ACTIVISTS The Experience of Abdurrahman Wahid’s Daughters Evi Fatimatur Rusydiyah | UIN Sunan Ampel Surabaya – Indonesia [email protected] Abstract: This article analyses the experience of Indonesian women Muslim activists in conducting social education through digital literacy. It focuses on Twitter as the media of digital literacy they actively employ. Responses to tweets are assessed with Anderson’s taxonomic indicators (namely remembering, understanding, applying, analyzing, evaluating, and creating) in order to know the cognitive level of society under the framework of social education. With regards to the notion of the Indonesian women Muslim activists, this article refers to four daughters of the late Abdurrahman Wahid, Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, and Inayah Wulandari, being known as social activists on religions, multiculturalism, equality, democracy, and human rights, particularly through their tweets. This paper argues that women Muslim activists play a key role in making use of digital media for leading the Indonesian Muslim community to become a critical society. Through the enhancement of the society’s cognitive level, it further argues, those women Muslim activists have skillfully developed digital literacy-based social education for people’s socio-political criticism. Keywords: Digital literacy, muslim society, social education, social media, muslim female figures Introduction Information and communication technology (ICT) continues to develop every year. It makes it easy for people, including the Indonesian Muslim society, to get the information they needed. Consequently, data and information have become a valuable commodity nowadays.
    [Show full text]
  • Opinionjournal - the WEEKEND INTERVIEW
    OpinionJournal - THE WEEKEND INTERVIEW http://www.opinionjournal.com/forms/printThis.html?id=110008016 PRINT WINDOW CLOSE WINDOW THE WEEKEND INTERVIEW Daughter of Islam An eloquent (and elegant) foe of Muslim fundamentalists. BY NANCY de WOLF SMITH Saturday, February 25, 2006 12:01 a.m. WASHINGTON--Yenny Wahid has a smile that could melt a Hershey bar at 100 yards. Her sunny disposition is all the more remarkable because Ms. Wahid is on what may be the world's most difficult mission right now: She's a prominent Muslim (and a woman at that) who speaks out against terror and the hijacking of her religion by ideologues who twist it to their own political ends. After 9/11, many Americans assume that the radical Islamic agenda is to destroy the U.S. The reality is that attacks on Western targets are designed to function as brutal propaganda coups that will attract recruits to the cause of violent revolution. The main goal of ideologues like Osama bin Laden is to topple the governments of Muslim countries, including, most famously, the Wahabi royal regime of Saudi Arabia. But the real strategic plum, Ms. Wahid says, would be her native Indonesia and its 220 million citizens--with the largest Muslim population on earth. "We are the ultimate target," she told me in Washington during a trip to the U.S. earlier this month. "The real battle for the hearts and minds of Muslims is happening in Indonesia, not anywhere else. And that's why the world should focus on Indonesia and help." Think of it as a potential domino whose fall would be felt far beyond Asia.
    [Show full text]
  • Thewahid Institute on Religious Issues
    Edition The Institute 28 WAHID March 2010 Monthly Report on Religious Issues EDITOR’S WORD Gus Dur Buddhist Statue Display Closed ince the death of KH Abdurrah- Tedi Kholiludin man Wahid, people have paid their Srespects in many different ways. A 29 year old sculptor from Central Java, Cipto Purnomo, created a Buddha statue featuring Gus Dur’s head. One of Cipto’s friends crafted a “Gus Dur Gladiator” statue and a “Gus Dur Mountain” statue within 40 days of the former president’s death. The Buddhist statue sparked pro- test from the Indonesian Theravada Youth (PATRIA) Headquarters as it was considered degrading, and the statues, on display at Mendut art gallery in Magelang, were taken down. Photograph: Statue of the Buddha featuring Gus Dur’s head Photo.SCTV In addition, throughout February there were more problems with the n silence and with resignation, Cipto from display, which coincided with the establishment of houses of worship. A Purnomo (29) slowly arranged the 40th day anniversary since Gus Dur’s number of local organisations placed planks of wood. But he was not death, was accompanied by a ritual or pressure on the Church of Galilee in I making a bonfire; instead Cipto was performance art. However, in this case Bekasi to close its doors. In Bogor, the sealing off the “Statue of Gus Dur’s Con- the ceremony was much quieter than local government gave in to pressure from several groups, with the mayor science” with the planks. On top of the usual, with only a reading of mantras revoking the building permit granted planks was a sign reading “statue closed and Javanese hymns.
    [Show full text]
  • Kiai Dan Politik Studi Kasus Perilaku Politik Kiai Dalam Konflik Partai Kebangkitan Bangsa (Pkb) Pasca Muktamar Ii Semarang
    View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by Diponegoro University Institutional Repository KIAI DAN POLITIK STUDI KASUS PERILAKU POLITIK KIAI DALAM KONFLIK PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) PASCA MUKTAMAR II SEMARANG TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat guna Memperoleh gelar Magister Ilmu Politik Pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Oleh: ICHWAN ARIFIN D4B005004 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU POLITIK PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 1 Sertifikat Yang bertanda tangan dibawah ini saya, Ichwan Arifin menyatakan bahwa tesis yang saya ajukan ini adalah hasil karya saya sendiri yang belum pernah disampaikan untuk mendapatkan gelar pada program Magister Ilmu Politik ini ataupun pada program lainnya. Karya ini adalah milik saya, karena itu pertanggungjawabannya sepenuhnya berada di pundak saya. Ichwan Arifin 24 September 2008. 2 PENGESAHAN TESIS Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa usulan penelitian berjudul: KIAI DAN POLITIK: STUDI KASUS PERILAKU POLITIK KIAI DALAM KONFLIK PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) PASCA MUKTAMAR II SEMARANG Yang disusun oleh Ichwan Arifin, NIM D4B005004 telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 24 September 2008 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima. Ketua Penguji Anggota Penguji (Drs. Turtiantoro, MSi) 1. (Drs. Achmad Taufik, MSi) Sekretaris Penguji (Dra. Rina Martini, MSi) 2. (Drs. Priyatno Harsasto, MA) Semarang, 24 September 2008 Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Program Studi Magister
    [Show full text]
  • Booklet Wi 2013.Pdf
    1 The Wahid Institute FOUNDERS 2 FOUNDERSFOUNDERS 3 H.E. KH Abdurrahman Wahid KH Abdurrahman Wahid, or also known as Gus Dur, was an important !gure of Islam and peace. In Indonesia, he was known as a prominent intellectual !gure as well as the main !gure of modernist Islam. He was very world renowned as a man of peace and anti-violence. His thoughts and his movement was aimed to !nd an understanding to reduce various tensions and con"icts around the world, including between Islam and the West. He led the biggest Islamic organization in the world – Nahdlatul Ulama – for 15 years (1983-1998), when he introduced the tradition of inter-religious and -cultural dialogues, not only in Indonesia, but also throughout the world, for the purpose of achieving peace and promoting democracy. His leadership as the fourth President of Republic of Indonesia (1999- 2001) was during a time of crisis and full of turmoil; nevertheless he succeeded in putting the foundations of the country for law enforcement, military repositioning, people oriented economic development, as well as fostering the cooperation among religions to support democracy and law enforcement in the country. Dr. Gregorius Barton Dr. Greg Barton is a senior lecturer in the Faculty of Arts at Deakin University, Geelong, Victoria, Australia. Since the late 1980s he has researched the in"uence of Islamic liberalism in Indonesia and its contribution to the development of civil society and democracy. One of the central !gures in his research has been Gus Dur, whom Barton has come to know better than perhaps any other researcher.
    [Show full text]
  • Fragmentation and Conflict Among Islamic Political
    Conflict among Islamist Political Parties in Indonesia FRAGMENTATION AND CONFLICT AMONG ISLAMIC POLITICAL PARTIES IN INDONESIA DURING REFORMASI ERA (1998-2009) Anatomy, Factors and Implications Sri Yunanto and Ahmad Fauzi Abdul Hamid Universiti Sains Malaysia, Penang - Malaysia Abstract: Since independence of the Republic of Indonesia, Muslims, as the majority population, have established diverse Islamic political parties. The nature of such parties has changed from the days of the Old Order to the New Order and Reformasi eras. Despite similar anatomies between Islamic parties of the Old Order and those of Reformasi, Islamic political parties profess different ideological missions. While the beginning of Old Order saw the confederation of Islamic political parties, Masyumi, seeking to promote the establishment of an Islamic State, none of the Islamic political parties which mushroomed during Reformasi era expressly struggled for the establishment of an Islamic state. However, the Islamic political parties had to weather similar problems of internal conflict and fragmentation. Different ideological strands, policy stances and leadership styles are believed to be amongst the pivotal root causes of their domestic troubles. With their popular votes and parliamentary seats significantly reduced, they prove to be no competition to the nationalist political parties. Keywords: Islamic political parties, reformasi era, conflict. Introduction Since the era of Dutch colonization, Islam in Indonesia has displayed the character of being not only a social movement but also a political force to be reckoned with. Series of armed resistence were campaigned by Muslims of the archipelago against the colonial masters. From the early of the twentieth century onward, the avenue of JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM 337 Volume 07, Number 02, December 2013 Sri Yunanto and Ahmad Fauzi Abdul Hamid resistance of Muslims was not only manifested in armed-struggles against the colonial forces, but also in form of political parties.
    [Show full text]
  • Nahdliyin Candidate Political Communication Construction in Contest Pilkada in East Java Indonesia PJAEE, 17 (7) (2020)
    Nahdliyin Candidate Political Communication Construction in Contest Pilkada in East Java Indonesia PJAEE, 17 (7) (2020) NAHDLIYIN CANDIDATE POLITICAL COMMUNICATION CONSTRUCTION IN CONTEST PILKADA IN EAST JAVA INDONESIA Hamim1, Suwandi Sumartias2, Dadang Rahmat Hidayat3, Dadang Sugiana4 1234Faculty of Communication Sciences,Padjadjaran University Bandung Indonesia. Email:[email protected] Orcid id:hamimfikom; https://orcid.org/0000-0003-4492-9893 Hamim, Suwandi Sumartias, Dadang Rahmat Hidayat and Dadang Sugiana : Nahdliyin Candidate Political Communication Construction in Contest Pilkada in East Java Indonesia - Palarch’s Journal of Archaeology of Egypt/Egyptology, ISSN 1567-214x Keywords; Construction, Political Communication, Nahdliyin, Pilkada East Java Indonesia ABSTRACT This research departed from the phenomenon of the 2018 regional elections, which were dominated by candidates with Nahdhiyin backgrounds. The most interesting thing about the 2018 East Java regional election political contestation is that the political narrative has been started by the mass media played by political actors with various propaganda and persuasive messages which will be the main goal of each candidate. Currently there are two santri on the political stage for the 2018 East Java (Jatim) Pilkada. They are the cagub supported by the National Awakening Party (PKB) and the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDIP), namely Saifullah Yusuf (Gus Ipul). The second student is Khofifah Indar Parawansah who is supported by the Democratic, Nasdem and Golkar parties.\ This research uses qualitative research methods, and data collection through in-depth interviews, and data analysis is based on researchers' interpretations. The approach used is a case study, with the aim of focusing on the object under study in depth.
    [Show full text]
  • The View of Hasyim Asy'ari Descent to Nahdlatul
    THE VIEW OF HASYIM ASY’ARI DESCENT TO NAHDLATUL ULAMA’S ROLE DYNAMICS IN INDONESIAN'S SOCIAL AND POLITICAL DOMAIN Muhammad Shidqi/070810086 Program Studi S1 Ilmu Politik, Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga ABSTRACT The study is entitled "The View of Hasyim Asy’ari descent to NU’s Role Dynamics in Indonesian's Social and Political Domain". The background of this study is Nahdlatul Ulama as the biggest Islamic organization has role paradigm shift in development of Indonesian politics. The different views from each descendants of Hasyim has influence the dynamics the development of Nahdlatul Ulama. This study has the following objectives. First, to know the Bani Hasyim's descendants view of the Nahdlatul Ulama in the past. Second, to know Bani Hasyim's view about Nahdlatul Ulama after the reform. The method used in this thesis is a qualitative research method and the method of discourse is collecting data made through interviews with descendants of Bani Hasyim. Through the Habermas's critical theory as the main theory with the two theories supporting that is the Sunni political theory and the theory of the relation between Islam and the state, can be known the Bani Hasyim’s wiew about the dynamics of role in NU at the past and after the reform. The conclusion of this study as follows. First, in view of Hasyim’s descent, NU is the right organization at the past and should be maintained. Second, when entering an era of reform Hasyim descendants have a different view when NU entered the domain of politics.
    [Show full text]
  • Sulfikar Amir2
    T he State a n d the Reactor: N uclear Politics in Post-Su h a r to In d o n e s ia 1 Sulfikar Amir2 Introduction Standing tall on Jepara's main street, the building was only halfway done when it was chosen as a venue to host an important gathering on a day in early September 2007. The owner of the building, the Jepara district branch of Nahdlatul Ulama (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama, PCNU), Indonesia's largest Islamic social organization, had only been able to place some decorations to embellish the unfinished three-story building. The urgency of this meeting PCNU was compelled to host had apparently prevented them from reserving a better place. A month of preparation had convinced PCNU's leaders that they would be able to act as mediators and facilitate a healthy dialogue between two conflicting groups that held opposing stances regarding Jakarta's plan to build nuclear power plants in the Muria Peninsula, about fifty kilometers from the PCNU headquarters. The presence of Minister of Research and Technology Kusmayanto Kadiman, who was invited to inaugurate the one-day meeting, pressured PCNU to ensure that everything was under control. Consequently, a battalion of security officers was deployed around the perimeter of the building, blocking off the front street to prevent uninvited guests from interrupting the proceedings. What occurred, it turned out, was not exactly what PCNU had anticipated. After a two-hour delay, Minister Kadiman, accompanied by the district 1 This paper stems from a manuscript written during my visiting fellowship at the East-West Center in Washington (Washington, DC).
    [Show full text]