(PKB) Dan Nahdlatul Ulama‟ (NU) Sepertinya Tidak Akan Pernah Menemukan Kata Final
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diskursus kesejarahan mengenai hubungan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Nahdlatul Ulama‟ (NU) sepertinya tidak akan pernah menemukan kata final. Hubungan PKB-NU seperti irama musik yang tak pernah datar. Ada anggapan bahwa hubungan PKB-NU tak ubahnya hubungan di dalam rumah tangga. Pertengkaran dan konflik merupakan pemandangan yang lumrah terlihat dalam sebuah pengamatan telanjang. Hubungan mesra PKB-NU, bisa disebut bulan madu (honey moon) kedua organisasi ini, hanya tampak di awal-awal pernikahannya saja. Prestasi politik tertinggi dari kekompakan keduanya pasca Pemilu 1999 berhasil menghantarkan cucu pendiri NU, KH. Abdurrahman Wahid, yang lekat disapa Gus Dur, menjadi presiden keempat di republik ini. Adapula yang beranggapan bahwa hubungan PKB-NU seperti orang tua dan anak. NU berposisi sebagai organisasi yang melahirkan PKB. Kala itu, Gus Dur dan dibantu oleh 4 (empat) kiai lainnya, berijtihad untuk melahirkan PKB. Pasca ide itu dideklarasikan banyak elite NU yang menganggap dirinya berkontribusi akan lahirnya partai pertama NU pasca vakum dari politik praksis berdasarkan hasil muktamar ke-27 di Situbondo untuk kembali ke Khittah 1926. Di sisi lain, tak jarang pula yang beranggapan bahwa hubungan PKB-NU tak ubahnya hubungan organisatoris. Hal ini didasarkan pada sejumlah metamorfosa beberapa produk hukum PKB yang secara garis besar merupakan jelmaan dari produk-produk hukum NU. Misalnya saja, sistematika dan susunan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PKB yang hampir mirip dengan AD/ART milik NU. Menilik beragamnya pola hubungan PKB-NU ini tidak mengherankan jika dimasa-masa berikutnya menghasilkan konflik dan sengketa kekuasaan. Konflik pertama terjadi diinternal PKB adalah persoalan penurunan Gus Dur dari kekuasaan kepresiden. Kala itu, Mathori Abdul Djalil, yang menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB tidak mengindahkan perintah Gus Dur 1 untuk tidak menghadiri rapat paripurna di DPR. Imbasnya, Gus Dur sebagai Ketua Umum Dewan Syuro merasa berhak untuk mencopot jabatan Ketua Umum Dewan Tanfidz (eksekutif) PKB. Gus Dur pun mengangkat Alwi Shihab sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB. Matori tidak tinggal diam, dia juga menggalang kekuatan struktural PKB untuk membendung seruan Gus Dur tersebut. Matori membuat Musyawarah Nasional Ulama‟ tandingan1. Konflik awal ini rupanya terus berkembang dan tak menemui ujung. Setelah konflik dengan Mathori. Gus Dur pun berkonflik dengan Alwi Shihab2, orang yang diangkatnya untuk menggantikan posisi Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum DPP PKB. Gus Dur memilih menggandeng Muhaimin Islkandar menggantikan Alwi Shihab. Di fase berikutnya, Gus Dur lagi-lagi bermanufer. Beliau menganggap bahwa Muhaimin cacat dalam memimpin PKB. Kemudian beliau mengangkat Ali Maskur Moesa untuk menggantikan posisi Muhaimin Iskandar. Meskipun, di ranah hukum Gus Dur dikalahkan Cak Imin (panggilan akrab Muhaimin Iskandar)3. Dan, KPU menganggap bahwa kubu Cak Imin yang sah untuk mengikuti Pemilu 2009. Di masa pemilu yang sama, tantangan Cak Imin juga datang dari Partai Kebangkitan Nasional Ulama‟ (PKNU) yang dibesut oleh kubu Alwi Shihab dan Chairul Anam. Imbasnya, PKB terlempar dari percaturan partai Islam besar. PKB berada di posisi ke-6 dari sembilan partai yang lolos ke parlemen4. 1 Konflik kedua kubu ini juga memecah percaturan kiai NU di dalam politik PKB. Gus Dur bersama dengan para pendukungnya melaksanakan Musyawarah Nasional Alim Ulama‟ 13-14 Nopember 2001. Sedangkan Mathori menyelenggarakan Musyarah Kerja Nasional Pengurus PKB yang didalamnya juga diikuti oleh Kiai 12-13 Nopember 2001. (Lihat : Tim Litbang Kompas, partai- partai politik Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara 2004)257) 2 Konflik dengan Alwi Shihab, konon disebabkan perbedaan pandangan antara Gus Dur dan Alwi Shihab tentang Pemilu Presiden 2004. Alwi Shihab, kala itu, memberikan dukungan SBY-JK, sedangkan Gus Dur sendiri berusaha mencalonkan diri sebagai calon presiden dari PKB, namun „digagalkan‟ oleh Komisi Pemilihan Umum. Konsekwensi pengalihan dukungan tersebut kemudian berbuntut pada pengangkatan Alwi Shihab sebagai Menkokesra dan Gus Ipul sebagai Mentri PDT. Tapi, setelah Gus Dur mampu mengambil alih kekuasaan Alwi-Saifullah Yusuf. Gus Ipul ditarik Gus Dur dari kementrian dan digantikan Lukman Edy. 3 Perseteruan ini mungkin yang paling berbuntut panjang dan paling menarik. Selain karena harus melalui proses hukum. Ada kejadian unik imbas dari dualisme kepengurusan ini. Yakni, disaat proses pleno KPU untuk pengambilan nomor urut partai. Cak Imin dan Yeny Wahid bersama-sama mengambil nomor urut partai. Keduanya sontak menjadi bahan tertawaan ketua partai lainnya. 4 Hasil Pemilu 2009 menempatkan Demokrat sebagai pemenang pemilu, disusul Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura. PKB termasuk beruntung. Meskipun, partai ini didera konflik. Partai ini mampu lolos batas ambang minimum parlemen. Naas bagi PKNU. 2 Kondisi konflik di internal PKB yang terjadi secara terus menerus, membuat elite NU merasa tidak elegan lagi untuk menganggap PKB sebagai bagian dari NU. Pasalnya, perpecahan itu menjadikan nahdiyin (pengikut atau warga NU) kebingungan menentukan pilihan politiknya. Para kiai NU pun terpecah kebeberapa kubu yang dibuat oleh para elite partai PKB. Berdasarkan alasan yang demikian, KH. Hasyim Muzadi, sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU kala itu, mengatakan : “...komitment NU bukanlah pada elite-elite partai manapun juga, termasuk PKB. Komitmen NU tetap pada umat....ketidaknetralan NU yang ditunjukkan dengan mendukung salah satu parpol justeru akan membuat warga nahdiyin gelisah dan kebingungan. Karenanya, institusi organisasi NU memutuskan untuk tidak terkait dan mengaitkan diri dengan salah satu parpol...Bila PKB ingin menarik sebanyak-banyaknya nahdiyin sebagai pendukungnya maka PKB harus bersikap baik pada warga NU. Seberapa besar santunan yang diberikan PKB pada warga nahdiyin sebesar itupula dukungan yang akan dipetiknya. Saya memimpin ormas NU dan Gus Dur memimpin partai. Jadi, susah ketemu. Perseteruan itu sebenarnya hanya kesan saja”5. Ungkapan KH. Hasyim Muzadi membuktikan adanya kerenggangan komunikasi NU dan PKB secara organisasional. Meskipun, banyak orang yang masih beranggapan bahwa NU adalah organisasi yang melahirkan PKB. Salah satunya, klaim yang dibuat oleh para politisi PKB sendiri. Misalnya, tulisan Eman Hermawan yang selalu menonjolkan NU sebagai penggagas lahirnya PKB. Dalam gagasannya, dia berpendapat bahwa apapun yang terjadi di PKB tidak akan melepaskan nilai kesejarahan, bahwa PKB dilahirkan dan dibidani sendiri oleh para kiai NU6. Hanif Dakhiri pun demikian. Tokoh muda PKB ini menyatakan bahwa rekonsiliasi PKB-NU merupakan sebuah keharusan agar bisa Tidak mampu mencapai batas ambang minimum parlemen. (Lihat partai.info/pemilu2009/). Pasca Pemilu 2009, PKNU masih berusaha peruntungannya mengikuti pemilu 2014. Tapi, KPU menggagalkannya karena dianggap kurang persyaratan. 5 Dikutip dan diolah dari buku Litbang Kompas. Partai-partai politik di Indonesia...258-259 6 Eman Hermawan, Gus Dur, PKB, dan NU, dalam Membangun PKB tanpa Gus Dur Agus Fachri, ed. (Jogjakarta; PDIP-KB 2008), 21 3 mengembalikan marwah PKB sebagai partai besar yang berhaluan ke- Indonesiaan7. Di lain pihak, sikap traumatik dihadapi oleh para elite NU. Mereka beranggapan mengembalikan PKB ke pangkuan NU akan mengembalikan NU pada masa lampau. Netralitas dan kemufakatan untuk kembali ke Khittah 1926, yakni berhidmat di bidang sosial-kegamaan dan pendidikan, akan terganggu. Sebagian juga beranggapan, kembalinya suasana politik di NU membawa NU sebagai boneka yang menarik bagi suatu partai tertentu. Oleh karenanya, tidak semua elite NU bersepakat kalau PKB diakui sebagai bagian dari organisasi besar NU. Hingga tahun 2009, aroma konflik kedua organisasi ini belum bisa dinetralisir. PKB-NU ibarat dua sisi mata uang yang sudah dipotong dan diletakkan terpisah. Ketika sang founding father partai berlambang mirip dengan NU ini alias Gus Dur, wafat, suasana kebatinan elite NU dan PKB mulai berubah. Mereka beranggapan bahwa tidak baik konflik antara dua organisasi ini terus berlangsung. Tajuk yang didengungkan kala itu adalah islah (rekonsiliasi) internal PKB yang sudah tercerai berai menjadi banyak bagian. Beberapa tokoh eks PKB mulai mewacanakan islah. Namun rupanya, islah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kelompok-kelompok anti Cak Imin menginginkan islah dilakukan dengan cara-cara formal, bahkan disertai dengan tuntutan agar Cak Imin lengser dari Ketua Umum DPP PKB dan memilih Ketua Umum baru melalui Muktamar Luar Biasa. Sementara Cak Imin sendiri, lebih menghendaki islah berjalan alamiah. Lelah menyuarakan islah dengan jalur formal, hari ini konsep islah alamiah versi Cak Imin mulai menemukan titik terang. Sejumlah tokoh yang pernah menyeberang dari PKB, mulai kembali. Beberapa kiai sentral NU yang awalnya secara diam-diam membantu PKB, kini mulai terbuka menyatakan dukungannya kepada PKB. Reharmonisasi hubungan PKB-NU menjadi kekuatan utama untuk menghadapi pemilu 2014. Dukungan demi dukungan mulai dilontarkan oleh para 7 Hanif Dakhiri, Jalan Terjal Menuju Islah PKB (diakses melalui blog pribadi mantan sekjend PKB 2005-2009 pada 11-12-2013) 4 elite NU. Salah satunya dukungan diberikan oleh KH. Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU saat ini, beliau mengatakan : “saya adalah salah satu dari sebagian kiai yang membidani lahirnya PKB dari tubuh NU. Jadi, partai orang NU adalah PKB...Saya mengharap hubungan baik antara NU dan PKB tidak hanya