KONSEP K.H. TENTANG PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

Oleh Resdhia Maula Pracahya 108011000083

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 2013

ABSTRAK

Konsep K.H Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Islam Multikultural

Kata Kunci : Abdurrahman Wahid, Pendidikan Islam, Multikultural

Penelitian ini hendak menjawab masalah utama tentang bagaimana konsep pendidikan Islam multikultural menurut K.H Abdurrahman Wahid. Alasanya adalah perlunya dinamisasi dan pembaruan sistem pendidikan agar selaras dan harmonis dengan kebutuhan manusia yang selalu dinamis. Adapun desain penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yang mencoba mencari data-data primer dan sekunder tentang gagasan pendidikan Islam multikultural menurut K.H Abdurrahman Wahid, lalu dilakukan kajian analisis isi dari data-data yang telah terkumpul.

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Gus Dur dalam menggagas serta mengaplikasikan teori pendidikan multikultural melalui beberapa strategi pendekatan antara lain strategi politik, kultural, sosio kultural, dan pedagogis. Hasil dari strategi pendekatan tersebut dapat diaplikasikan dalam pendidikan berlandaskan multikultural. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan Gus Dur, penulis kemudian menyimpulkan Gus Dur dapat dikategorisasikan sebagai pemikir bercorak Post Modernisme atau juga Neo modernisme dalam kaitanya sebagai tokoh pendidikan. Alasanya pendidikan yang ditawarkan Gus Dur berupaya mengintegrasikan serta mengharmoniskan antara pendidikan tradisional dengan pendidikan modern, pendidikan umum dengan pendidikan Islam yang bertujuan untuk melestarikan kebudayaan masyarakat, humanisasi, serta mencegah adanya diskriminasi terhadap golongan minoritas.

Resdhia Maula Pracahya (PAI)

MOTTO

Selama aku masih bernafas, aku akan selalu berusaha

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Swt, yang telah melimpahkan kekuatan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Skripsi berjudul “Konsep K.H Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Islam Multikultural” ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I).

Selesainya skripsi ini tidak lepas dari sumbangsih berbagai pihak yang telah membantu dan memberi dukungan baik moril maupun materil. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua penulis, beserta keluarga yang telah merawat, mendidik, membimbing dan mendukung penulis dengan kasih sayang tulus sepanjang masa. 2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi. MA. beserta para pembantu dekan dan segenap jajarannya. 3. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak Bahrissalim, M.A. dan Sekertaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak Drs. Sapiudin Shidiq, M.A. yang telah memberikan nasehat, arahan, dan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Dosen Pembimbing Dr Zaimuddin M.A. dengan penuh kesabaran dalam memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen dan para pegawai perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Utama yang telah memberikan ilmu dan tuntunan kepada penulis dan membantu melengkapi literatur yang penulis perlukan dalam penyelesaian skripsi ini.

ix

6. Teman-teman Mahasiswa PAI, khususnya reguler kelas C angkatan 2008, atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan saat berinteraksi dengan mereka. 7. Kepada pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam membantu dukungan dan semangat dalam mengerjakan karya tulis ini.

Terima kasih atas bantuan selama penyelesaian skripsi ini, semoga mereka mendapat imbalan yang sesuai dari Allah Swt. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi seluruh pembaca.

Jakarta, 08 Januari 2013

Penulis

x

Daftar Isi

HALAMAN SAMPUL ...... I

HALAMAN JUDUL ...... II

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ...... III

LEMBAR UJI REFERENSI ...... IV

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...... V

LEMBAR PERNYATAAN JURUSAN ...... VI

LEMBAR PERNYATAAN PENULIS ...... VII

HALAMAN MOTTO ...... VIII

ABSTRAK ...... IX

Kata Pengantar ...... X

Daftar Isi ...... XI

Pedoman Transliterasi ...... XIV BAB I

Pendahuluan ...... 1

A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 8 C. Pembatasan Masalah ...... 9 D. Rumusan Masalah ...... 9 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 9

BAB II

Kajian Teori Tentang Pendidikan Multikultural ...... ….... 11

A. Konsep Pendidikan Multikultural ...... 11 B. Landasan Pendidikan Multikultural ...... 13 C. Karakteristik Pendidikan multikultural ...... 16 D. Pendidikan Islam Multikultural ...... 18

xi

E. Paradigma Pendidikan Islam Multikultural...... 21 F. Hasil Penelitian yang relevan ...... 23

BAB III

Metodologi Penelitian ...... 25

A. Jenis penelitian ...... 25 B. Setting Penelitian...... 25 C. Sumber penelitian ...... 26 D. Teknik Pengumpulan Data ...... 26 E. Teknik Analisis Data ...... 27 F. Pemeriksaan Keabsahan Data ...... 28

BAB IV

Hasil Penelitian dan Pembahasan ...... 29

A. Deskripsi Tokoh ...... 29 1. Nasab dan kelahiran ...... 29 2. Kehidupan pribadi ...... 30 3. Pendidikan Dan Guru-Gurunya ...... 31 4. Setting Sosio Masyarakat ...... 33 5. Pekerjaan dan Karya-Karya Ilmiah ...... 35 6. Penghargaan ...... 38 7. Sketsa Pemikiran ...... 40

B. Analisis pemikiran Gus Dur tentang Pendidikan Islam Multikultural .... 45 1. Gagalnya pendidikan Islam Ekslusif ...... 45 2. Menggagas Pendidikan Islam Multikultural ...... 48 3. Strategi pendekatan pendidikan Islam multikultural ...... 51 a) Strategi Sosio-Politik ...... 52 b) Strategi Kultural ...... 52 c) Strategi sosio-kultural ...... 53 d) Strategi pedagogis ...... 53 4. Kurikulum Pendidikan Islam Multikultural ...... 54 5. Aplikasi Pendidikan Islam Multikultural ...... 57

BAB V

Penutup ...... 63

A. Kesimpulan...... 63

xii

B. Implikasi ...... 65 C. Saran ...... 65

Daftar Pustaka ...... 67

LAMPIRAN-LAMPIRAN

BIODATA PENULIS

xiii

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan sebuah konsep yang tidak ada habisnya dibahas dan dikaji lebih dalam. Berbagai macam ide, wacana, dan gagasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan menjadi suatu objek kajian yang menarik bagi para ahli untuk meneliti dan mengembangkanya. Dari beberapa kajian tersebut, munculah konsep-konsep pendikan yang mempunyai landasan pemikiranya masing-masing. Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan adanya interaksi. Interaksi antar individu tersebut bermacam-macam, misalnya interaksi sosial, agama, budaya, dan sebagainya. Proses adanya interaksi antar individu tidak hanya melalui pendidikan saja, akan tetapi pendidikan merupakan media utama dalam interaksi antar individu baik keadaan formal ataupun non formal. Budaya atau kultur merupakan salah satu interaksi yang merupakan kebutuhan dan fitrah manusia. Secara etimologi kultur atau culture berasal dari bahasa latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan. Pengertian tersebut berkembang bahwa kultur atau budaya berarti segala daya dan aktivitas manusia untuk mengubah dan mengembangkan alam. Kemudian dilihat dari bahasa Indonesia asal kata budaya berasal dari bahasa

1

2

sangsekerta “buddayah” yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.1 H.A.R Tilaar seperti yang dikutip Maslikhah menyatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks. Yaitu kebudayaan merupakan prestasi dan kreasi dari cipta, rasa, karsa manusia yang melekat pada kehidupan fisik maupun psikis manusia yang dianugerahkan Allah. Cipta, rasa , dan karsa manusia memiliki jangkauan ruang dan waktu yang sangat besar. Kebesaran itulah yang dapat mengantarkan manusia pada peradaban yang besar.2

Dari beberapa pengertian di atas, yang dapat disimpulkan oleh penulis yaitu budaya adalah anugerah yang telah diberikan Tuhan kepada manusia berupa akal, budi pekerti yang ada pada manusia itu sendiri. Budaya dan kebudayaan terbentuk dengan adanya interaksi antar individu dan bisa diwariskan terhadap generasi yang lain dengan pendidikan atau enkulturasi. Manusia memiliki akal, budi pekerti atau budaya yang beraneka ragam, fleksibel, serta dinamis. Keanekaragaman budaya merupakan sunnatulah, akan tetapi perbedaan budaya itu tidak dibenarkan mendiskriminasikan antar budaya lainya, justru dari perbedaan tersebut budaya menjadikan media persatuan antar individu, suku, kelompok dengan kelompok lainnya. Islam menggambarkan bahwa budaya ialah media yang membedakan antara satu kelompok dengan kelompok lainya seperti yang tersirat dalam Alqur’an surat al Hujurat : 13

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat diatas tersirat berbagai makna menurut penulis yakni Allah telah menjadikan manusia berbagai macam bentuk serta identitas yang membedakan

1 Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), h.58 2 Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultur, (Surabaya: PT Temprina Media Grafika, 2007), h.23-24

3

antara satu dengan lainnya. Namun perbedaaan tersebut merupakan kesatuan tunggal yakni sebagai makhluk Allah, hanya yang membedakan bagaimana suatu suku atau bangsa tersebut dapat mengenal dan berinteraksi dengan baik antara bangsa satu dengan bangsa lainnya untuk memperoleh derajat ketaqwaan atau kemuliaan di hadapan Allah. Allah S.W.T telah menciptakan dunia ini secara partikular, dunia yang kita tempati ini terdiri dari beberapa benua (gugusan pulau-pulau), samudra, serta penghuni yang berlainan. Dari benua tersebut, munculah kerajaan ataupun Negara yang menjadi ciri khas sendiri. Ciri khas tersebut menandakan bahwa Allah Ta’ala mengkaruniai perbedaan itu merupakan sebuah identitas multikultural. Tidak ada identitas yang paling unggul dihadapan Allah kecuali kebaikan dan ketaqwaanya. Boleh saja dalam hal sosial dan teknologi Negara Amerika lebih unggul daripada Negara lainnya, tetapi keunggulan yang seperti itu belum tentu sama dihadapan Allah S.W.T. Dalam konteks ini, Negara Indonesia sebagai salah satu penghuni benua di dunia memiliki budaya dan kebudayaan yang sangat beragam, baik dari segi suku, bahasa, agama, sosial-politik, dan sebagainya. Keragaman tersebut banyak menimbulkan ethnosentris dan menyebabkan konflik kebudayaan yang sering terjadi. Banyak contoh dalam hal ini, misalnya konflik suku, konflik organisasi, konflik keagamaan, dan sebagainya. Konflik tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi ciri khas, yaitu : 1. Masyarakat terbagi dalam berbagai bentuk kelompok latar belakang budaya dan sub-budaya yang berbeda. Perbedaan yang seperti itu menimbulkan cluster-cluster dalam masyarakat yang mana masyarakat belum mampu untuk menyikapinya. 2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi dalam lembaga-lembaga yang saling tidak melengkapi. Struktur yang ada tidak menjadi sistem yang bermuara pada satu tujuan, melainkan hanya struktur yang bersifat ekslusif semata. 3. Kurang adanya kemauan untuk mengembangkan musyawarah antar masyarakat dalam hal nilai-nilai sosial yang fundamental. Terkadang

4

musyawarah lebih mengedepankan sisi formalnya daripada substansinya. Hal ini yang menjadikan sebuah penyakit bagi lembaga masyarakat yang menyukai sisi formal dari musyawarah itu. 4. Kurangnya kesadaran mengembangkan musyawarah dan sering berkembang konflik antar sub-budaya tersebut. Dalam hal ini, konflik yang sering terjadi merupakan akibat dari bagaimana sistem hukum yang menaunginya. 5. Konflik dapat dihindari dan integrasi sosial dapat terjadi dengan jalan paksaan ditambah adanya ketergantungan satu sama lain dalam bidang ekonomi. Pada era globalisasi ini, Negara kita memang jauh tertinggal dalam berbagai bidang, sifat ketergantungan tersebut hanya akan menyebabkan hilangnya kemandirian dan akan selalu menyandang titel sebagai Negara yang selalu berkembang. 6. Adanya dominasi politik kelompok satu atas kelompok yang lain. Dominasi yang seperti itu sering menimbulkan cluster dalam berbagai kelompok, kelompok minoritas sering terintimidasi dan termarginalkan oleh kelompok-kelompok yang lebih dominan.3

Karakteristik di atas bisa disimpulkan bahwa masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang labil. Walaupun ada simbol perdamaian, namun perdamaian tersebut masih berkonotasi negatif. Hal seperti itu dibuktikan dengan banyaknya konflik antar suku, ras, agama terus bermunculan dewasa ini, baik dalam masalah ideologis, politik, bahkan dalam pendidikan. Hal ini menjadi penting untuk menyadari dan mencari solusi tentang masalah multikultural melalui pendidikan supaya tidak terjadi adanya disintegrasi sesuai dengan undang- undang pendidikan nasional dan ajaran Islam sebagai budaya negeri ini. Kebudayaan sebagai identitas bangsa dan antar individu tidak akan berkembang dan berkelanjutan tanpa melalui proses pendidikan, karena kebudayaan bukan merupakan sesuatu untuk diwariskan secara generative,

3 Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, (Malang: Aditya Media Publishing, 2011), h. 153

5

melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar. Pendidikan sebagai proses budaya seakan tidak membumi jika tanpa kompromi dengan kebudayaaan, karena pada dasarnya proses pendidikan terdapat nilai budaya masyarakat yang hendak diwariskan kepada generasi selanjutnya.4 Pendidikan pada dasarnya adalah upaya sadar dan sistematis untuk mengembangkan potensi manusia menjadi manusia seutuhnya. Potensi yang ada dalam manusia sangat beragam, karena itu pendidikan pada dasarnya merupakan alat yang mengarahkan potensi manusia agar mempunyai nilai-nilai yang baik dan positif. Tujuan mulia ini tidak akan pernah tercapai jika pendidikan ditegakan di atas rendahnya kesadaran atas kemajemukan masyarakat yang tidak menyadari pentingnya arti multikultularisme.5 Multikulturalisme sebagai ideologi merupakan alat untuk meningkatkan dan menyetarakan derajat manusia. Dari ideologi tersebut kemudian lahir sebuah model pendidikan baru yang dinamakan pendidikan multikultural. Pendidikan seperti ini merupakan pendidikan yang dilatarbelakangi kesadaran akan kemajemukan masyarakat yang ada supaya terjadi keadilan dan tidak mendiskriminasikan golongan tertentu seperti yang dirumuskan undang-undang dasar No 20 tahun 2003 Bab Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Bab 4 yang isinya : 1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. 2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. 3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. 4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. 5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis,dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.

4 Maslikhah, Op. cit., h. 25-26 5 Ahmad Gaus , Dkk, Cerita sukses pendidikan multicultural di Indonesia, (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2010). h. 1

6

6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.6

Undang-undang pendidikan tersebut mengandung makna menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menghargai keragaman individu. Sistem Pendidikan yang ada dewasa ini belumlah mempunyai karakteristik yang sesuai dengan undang-undang tersebut. Oleh karena itu, pendidikan multikultural patut dikembangkan dan dijadikan sebagai model pendidikan alternatif di Indonesia dengan berbagai alasan, antara lain : 1. Realitas bahwa Indonesia adalah negara yang dihuni oleh berbagai suku, bangsa, etnis, agama, dengan bahasa yang beragam dan membawa budaya yang heterogen serta tradisi dan peradaban yang beraneka ragam. 2. Pluralitas tersebut secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. 3. Masyarakat menentang pendidikan yang berorientasi bisnis, komersialisasi, dan kapitalis yang mengutamakan golongan atau orang tertentu. 4. Masyarakat tidak menghendaki kekerasan dan kesewenang-wenangan pelaksanaan hak setiap orang. 5. Pendidikan multikultur sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan, dan kesewenang-wenangan. 6. Pendidikan multikultural memberikan harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. 7. Pendidikan multikultur sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, sosial, kealaman, dan ke-Tuhanan.7

Masalah-masalah multikultur yang ada telah membuat berbagai tokoh di Indonesia maupun di dunia dalam membuat konsepnya masing-masing. Dalam hal ini penulis ingin menguraikan konsep K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam hal pendidikan Islam multikultural. Gus Dur berpandangan bahwa kebhinekaan

6 Sisdiknas, Undang-undang sistem pendidikan nasional, (Bidang DIKBUD KBRI Tokyo). h.3-4 7 Maslikhah, Op.cit. , h. 159

7

budaya yang berkonotasi positif dapat diwujudkan dengan beberapa aspek, salah satunya ialah pendidikan. Sebagai tokoh yang digelari Bapak Pluralisme- Multikulturalisme, Beliau menjelaskan bahwa pendidikan itu harus beragam sesuai dengan kulturnya masing-masing. Pendidikan yang beragam itu bukan menyimpang dari tujuan, melainkan suatu upaya untuk mencapai tujuan pendidikan melalui cara yang beragam. Gus Dur memandang perlunya sikap percaya diri dari individu atas kulturnya masing-masing. Dalam contoh ini ia menawarkan solusi yang sering dinamakan pribumisasi Islam, yakni bagaimana mengintegrasikan Islam dengan budaya lokal, ataupun pendidikan Islam dengan pendidikan lokal. Dari pengertian ini munculah sikap inklusif, plural, multikultural terhadap individu. Sikap yang demikian merupakan solusi dalam perwujudan masyarakat Indonesia yang multikulturalisme, sehingga tindakan rasisme, separatis, maupun konflik-konflik SARA lainnya tidak terjadi lagi. 8 Latar belakang kehidupan Gus Dur banyak mempengaruhi bagaimana ia mempunyai pemikiran yang luas dan paradoks. Gus Dur merupakan seorang yang multi-talenta dan berkepribadian ganda. Ia seorang Kiai dan juga presiden, seorang seniman bahkan juga arsitek, sebagai guru bangsa ataupun sebagai masyarakat biasa pada umumnya. Ia mempunyai kekurangan keterbatasan fisik, tetapi hatinya keras seperti baja, di satu sisi ia lembut dan fleksibel atas pemikiran orang lain sehingga sulit mengklasifikasikan pemikiran Gus Dur. Ia mampu mengintegrasikan semua ideologi yang ada sehingga banyak orang yang menjuluki Gus Dur sebagai wajah Islam di Indonesia. Sebagai penerus organisasi NU () Gus Dur merupakan Cucu dari pendiri organisasi islam terbesar di Indonesia bahkan dunia yaitu K.H Hasyim Asy’ari. Ayahnya K.H. adalah menteri Agama pertama sejak diproklamirkan Nusantara menjadi sebuah negara yang merdeka yaitu Indonesia. NU pada masa kepemimpinan Gus Dur bertransformasi menjadi NU yang tidak sepenuhnya tradisionil. NU dibawah kepemimpinanya bernuansa

8 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, (Jakarta: , 2006) h. 223

8

warna-warni yang mengayomi bukan hanya anggotanya saja, melainkan seluruh masyarakat. Masalah-masalah yang telah terurai di atas melatarbelakangi penulis untuk mencoba menguraikan lebih lanjut tentang pendidikan multikultural dengan menghubung-hubungkan beberapa konsep yang telah dirumuskan oleh para peneliti sebelumnya. Di samping itu beberapa pemikiran-pemikiran Gus Dur yang berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan dan multikultural menjadi suatu objek yang akan diuraikan lebih lanjut oleh penulis. Penulis mencoba memberikan desain terhadap penulisan skripsi ini berjudul Konsep K.H Abdurahman Wahid tentang pendidikan Islam multikultural. Alasan pemilihan judul tersebut penulis ingin menguraikan pengertian yang pertama, yakni konsep dalam bahasa Indonesia yang berarti ide atau gagasan yang masih samar. K.H Abdurrahman Wahid Sebagai objek yang akan diteliti, serta pendidikan Islam multikultural merupakan fokus kajian terhadap konsep yang digagas tokoh tersebut. Implikasi dari pemilihan judul tersebut, penulis ingin mengkaji seorang tokoh yang menyimpan paradoks, unik dari seorang Gus Dur lepas dari kelebihan dan kekuranganya dengan memfokuskan pada masalah pendidikan multikultural. Seperti yang telah diketahui bahwa Gus Dur adalah seorang dengan berkepribadian ganda dan multi-talenta dalam berbagai bidang (multidisipliner), hal inilah yang melandasi penulis untuk mengamati dan mengkaji pemikirannya dalam bidang tertentu terlepas dari pemikiranya dalam bidang yang lain, yakni pendidikan. Ia adalah salah satu tokoh pendidikan dan juga guru bangsa yang banyak berpengaruh dan berkontribusi di Indonesia.

B. Identifikasi Masalah

Permasalahan yang telah diuraikan menjadi sangat lebar, supaya masalah yang terkait dengan judul menjadi jelas, maka penulis perlu mengidentifikasi masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

9

1. Masalah-masalah yang terkait kebudayaan dan SARA selalu menjadi wacana yang menarik untuk dikaji, namun pemecahan masalahnya belum memuaskan. 2. Indonesia sebagai Negara multikultural berfrekuensi tinggi adanya konflik kultural. 3. Pemikiran K.H Abdurrahman Wahid terkait dengan pendidikan multikultural belum terkonsepkan. 4. Pendidikan yang ada sekarang belum bisa mencapai tujuan pendidikan seperti yang dirumuskan undang-undang sisdiknas. 5. Pendidikan islam multikultural merupakan pendidikan alternatif yang perlu dikembangkan, tetapi konsepnya masih abstrak untuk terealisasikan.

C. Pembatasan Masalah

Pembahasan dalam penulisan skripsi tidak mungkin dapat dibahas secara keseluruhan. penulisan ini perlu dibatasi supaya tidak melebar dan menyimpang dari fokus masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu “Konsep pendidikan islam multikultural menurut pandangan K.H Abdurrahman Wahid”.

D. Rumusan Masalah

Masalah-masalah yang telah teridentifikasi dan dibatasi diatas, selanjutnya penulis memformulasikan rumusan masalah ke dalam bentuk pertanyaan deskriptif yaitu : Bagaimana Konsep K.H Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam multikultural?

E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian ini Berdasarkan Rumusan masalah diatas tujuan penelitian ini ialah mengkaji makna pendidikan multikultural secara faktual, dan mencoba mengeksplorasi

10

serta menginventarisir pemikiran K.H Abdurrahman Wahid dengan konsep pendidikan multikultural tersebut. 2. Manfaat penelitian Penelitian ini sangat bermanfaat bagi penulis, maupun pembacanya. Manfaat yang didapat dari penelitian ini ada dua macam : a). Manfaat teoritis 1) Penulis dan pembaca dapat mengetahui arti pendidikan multikultural 2) Menambah pengetahuan seputar para tokoh pendidikan dan isu-isu yang ada. 3) Melatih penulis untuk menghasilkan karya ilmiah, dan menambah pengetahuan serta menambah pengalaman dalam belajar. b). Manfaat pragmatis 1) Sebagai Bahan Bacaan yang dapat dikritik ataupun saran yang konstruktif. 2) Menambah khazanah ilmu dan referensi bagi penulis selanjutnya. 3) Menjadi teori yang dapat diaplikasikan ke instansi-instansi pendidikan.

BAB II Kajian Teori Tentang Pendidikan Multikultural

A. Konsep Pendidikan Multikultural Kata pendidikan mempunyai keragaman makna yang kompleks baik dari kalangan masyarakat umum, maupun para ahli pendidikan. Keragaman makna tersebut merupakan hal yang wajar, karena masing-masing ahli memiliki perbedaan latar belakang baik pendidikan, budaya, agama, sosial maupun lainya. Dari latar belakang inilah para ahli mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam mendefinisikan pendidikan. Karena setiap definisi menunjukan pandangan individu dalam pemikiranya masing-masing, misalnya bagi ahli biologi pendidikan adalah adaptasi, bagi ahli psikologi pendidikan merupakan sinonim dari belajar, sedangkan ahli filsafat berpandangan bahwa pendidikan merupakan cerminan ideologi yang dianut setiap individu.1 Dalam konteks sosio-kultural dan pedagogik, kata pendidikan memberikan pengertian yang beragam misalnya, Koentjaraningrat seperti yang dikutip ngainun naim dan achmad sauqi mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk mengalihkan adat-istiadat dan seluruh kebudayaan dari generasi lama ke generasi baru. Kemudian N. Drijakarya juga memberikan definisi pendidikan dengan filosofisnya yaitu suatu perbuatan fundamental dalam bentuk komunikasi antarpribadi, dan dalam komunikasi tersebut terjadi proses pemanusiaan manusia muda, dalam arti terjadi proses hominisasi (proses menjadikan seseorang sebagai

1 Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), h.73-74

11 12

manusia) dan humanisasi ( proses pengembangan kemanusiaan manusia). Selain itu bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara memberikan rumusan pendidikan sebagai usaha orang tua bagi anak-anaknya dengan maksud untuk menyokong kemajuan hidupnya. 2 Dari definisi-definisi yang beragam ini terdapat titik temu jika dilihat dari substansi maknanya, yaitu hasil rumusan UNESCO yang berisi learning to know, to do, to be, dan to life together. Multikultural merupakan kata yang berasal dari kata multi yang berarti banyak, ragam atau aneka dan kultur yang berarti budaya, kesopanan dan akal. Dengan demikian arti dari multikultural ialah keragaman kebudayaan, aneka kesopanan, dan beragam akal. Dari akar kata ini kemudian kata multikultural berkembang menjadi konsep, ideologis, ataupun aliran yang dinamakan multikultularisme. Secara definitif Conrad P. Kottak memberikan kata kunci dalam memahami kultur yaitu general dan spesifik. Maksudnya kultur secara general dapat dicontohkan bahwa manusia mempunyai kultur masing-masing, sedangkan maksud spesifik artinya setiap kultur mempunyai varian tersendiri yang membedakan satu kultur dengan kultur lainnya.3 Pendidikan multikultural secara umum adalah konsep dan praksis pendidikan yang mencoba untuk memberikan pemahaman mengenai keanekaragaman ras, etnis, dan budaya dalam suatu masyarakat. Tujuan dari konsep tersebut ialah agar manusia dapat hidup berdampingan secara damai antar komunitas yang berbeda-beda. Lebih dari itu pendidikan multikultural merupakan praktik pendidikan yang berupaya membangun interaksi sosial yang toleran, saling menghormati, dan demokratis antar orang lain yang berbeda latar belakangnya. Dalam pengertian yang luas, pendidikan multikultural bukan hanya pendidikan formal saja, tetapi meliputi non formal dan informal.4 Dalam memahami makna pendidikan multikultural, Maslikhah memberikan kata kunci yang lazim disebut kultural, pluralitas, dan pendidikan.

2 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan multikultural (konsep dan aplikasi), (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010). h. 29-31 3 Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultur, (Surabaya: PT Temprina Media Grafika, 2007), h.45-47 4 Ahmad Gaus , Dkk, Cerita sukses pendidikan multicultural di Indonesia, (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2010). h.4 13

Pemahaman terhadap pluralitas mencakup segala perbedaan dan keragaman, sedangkan kultur mengandung empat term yaitu agama, ras, suku, dan budaya. Dari kata kunci di atas, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik. Artinya pendidikan multikultural tidak hanya mengenal perbedaan yang ada, akan tetapi lebih menekankan praktik hidup secara inklusif.5

B. Landasan Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep mempunyai landasan tersendiri. Penulis memberikan dua hal utama yang melandasi konsep pendidikan multikultural dalam mekanismenya, yaitu: landasan filosofis, dan landasan yuridis.

1. Landasan filosofis Ideologi pendidikan multikultural secara filosofis mengacu pada aliran filsafat post modernisme, yaitu aliran yang mempunyai konsep transendental. Aliran ini tidak bisa dijelaskan secara konseptual, tetapi pada ideologinya post modernisme pada awalnya merupakan sebuah ideologi yang mengkritik akan ideologi modernisme, namun terkadang post modernisme juga menolak ideologi tradisionalisme, fundamentalisme, dan sebagainya.6 Menurut post modernisme, pendidikan yang ditawarkan kaum modernisme yaitu pendidikan yang bercorak sekular, liberal, kapitalis, dan sebagainya belum bisa mengharmonisasikan dan memajukan umat manusia seluruhnya, hanya yang kuat yang bisa mencapai kemajuan tersebut. Adapun beberapa kritik aliran post modernisme terhadap pendidikan modernisme menurut H.A.R Tilaar antara lain :

5 Maslikhah, Op.cit, h. 48 6 Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, (Malang: Aditya Media Publishing, 2011),. h.152 14

a) Pendidikan modern dinilai gagal dalam memecahkan berbagai persoalan manusia. b) Pendidikan modern banyak disalahgunakan untuk kepentingan individu yang berkuasa daripada kepentingan umat manusia. c) Pendidikan modern menyimpang dari standar formal maupun akademiknya dan hanya mengikuti kemauan dari pendidikan yang lebih maju. d) Pendidikan modern tidak berdaya dalam memecahkan masalah- masalah sosio-kultural yang ada pada umat manusia. e) Pendidikan modern hanya mengakui keberadaan logika dan fisik, dan menganggap mistis dan metafisik merupakan kajian yang sepele dalam ilmu pengetahuan. f) Pendidikan modern memberikan perhatian yang sangat kecil terhadap hal-hal yang melingkupi norma-norma sosial dan metafisis.7

Pendidikan modern yang lahir bersamaan dengan abad pencerahan di Barat ternyata terbius oleh kemajuan globalisasi dan pengaruh budaya kristenisasi saja, sehingga nilai-nilai universal yang tercakup dalam pendidikan modern tersebut adalah nilai-nilai pendidikan Barat. Pada kasus yang ada dampak negatif dari pendidikan modern adalah persaingan dan penindasan terhadap yang lemah seperti perang dunia, diskriminasi ras, penjajahan terhadap negara-negara yang terbelakang. Hal ini dibuktikan bahwa teknologi pengetahuan modern berhasil menciptakan senjata pemusnah massal dan menghancurkan kebudayaan dan peradaban manusia. Berbeda dengan pendapat H.A.R Tilaar, Ainurrofiq Dawam seperti yang dikutip Maslikhah berpendapat bahwa ideologi pendidikan multikultural berasal dari ideologi sirkularisme yang mencakup ideologi-ideologi antara lain:

7H.A.R Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional Tinjauan dari perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, (Jakarta: PT Kompas Me dia Nusantara, 2005),h. 44-45 15

a) Ideologi theisme, yaitu ideologi pendidikan yang mendasarkan diri pada nilai-nilai ketuhanan. Ideologi ini bersifat spiritual, mistisme, dan transendental. Nilai-nilai dalam pendidikan ini adalah nilai-nilai yang sarat dengan dimensi transendental dan spiritual. b) Ideologi humanisme, yaitu ideologi pendidikan yang berdasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai itu bersumber dari hati nurani manusia dan secara integral menyatu dalam hukum yang diyakini kebenarannya. c) Ideologi sosialisme, yaitu ideologi pendidikan yang berdasarkan pada nilai-nilai kebersamaan manusia. Ideologi ini memiliki nilai-nilai bahwa manusia memiliki hak yang sama terhadap segala sesuatu. d) Ideologi kapitalisme, yaitu ideologi pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kapital atau permodalan. Nilai-nilai yang ada dalam pendidikan ini ialah mengagungkan sesuatu yang bersifat kebendaan. Dari ideologi ini pada akhirnya diyakini mampu melahirkan karakter teliti, disiplin, jujur, dan berorientasi terhadap kemajuan.

Dari dua pendapat diatas, penulis menyimpulkan bahwa ideologi pendidikan multikultural itu ingin mengharmoniskan dan mencoba mengintegrasikan antara dua aliran ideologi pendidikan yang bertentangan.

2. Landasan Yuridis Secara teori definitif serta aplikasinya, pendidikan multikultural memang sangat patut untuk di aplikasikan dalam pendidikan di Negara kita, baik pendidikan umum, maupun pendidikan Islam semuanya mempunyai orientasi yang ingin dicapai sesuai dengan undang-undang pendidikan nasional. Ahmad Gaus , Dkk menyatakan bahwa pendidikan multikultural memang belum mempunyai landasan yang kongkrit dalam undang-undang pendidikan nasional kita, akan tetapi peraturan menteri pendidikan nasional no 23 tahun 2006 memuat beberapa mata pelajaran yang dapat dijadikan sebagai gerbang utama pendidikan multikultural. Dari peraturan tersebut munculah standar kompetensi lulusan (SKL) yang termuat dalam kelompok mata pelajaran 16

berbasiskan multikultural. Mata pelajaran tersebut antara lain: agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, dan kesehatan jasmani.8 Senada dengan itu, Ali Maksum memaparkan bahwa mata pelajaran pendidikan multikultural juga termuat dalam undang-undang sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 pasal 37 ayat 1 tentang kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Isi dari kurikulum tersebut menggambarkan penekanan mata pelajaran yang berbasis nilai untuk membentuk kepribadian anak bangsa yang pancasilais dan agamis serta menjunjung kearifan budaya lokal. Lebih dari itu, ali maksum menjelaskan bahwa untuk mengembangkan pendidikan multikultural diperlukan tiga landasan yuridis yang menjadi pijakan, yaitu: pertama, pancasila sebagai landasan ideal bangsa, serta merupakan falsafah yang harus terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) disamping merupakan landasan konstitusional, UUD 1945 juga mengandung nilai, norma, etika bermasyarakat maupun berbangsa. Ketiga, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 sebagai landasan operasional penyelenggaraan pendidikan nasional. Berdasarkan undang-undang ini mengandung implikasi perlunya membangun desain pendidikan yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat, norma masyarakat, dan kebutuhan masyarakat. 9

C. Karakteristik Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural disamping mempunyai landasan teoritis, juga mempunyai karakteristik tersendiri. Menurut Ali Maksum teori pendidikan multikultural mempunyai karakteristik sebagai berikut :

8 Ahmad Gaus , Dkk, Op.cit, h.8 9 Ali Maksum, Op,cit., h.206 17

1. Pendidikan multikultural cenderung berupaya memberdayakan yang lemah dan menolak terhadap teori pendidikan universalitas yang cenderung mendukung pihak yang kuat, 2. Pendidikan multikultural bersifat inklusif dan harmonis. 3. Pendidikan multikultural tidak hanya mencakup dunia sosial tetapi juga dunia intelektual. 4. Pendidikan multikultural tanggap dalam mengkritik terhadap diri sendiri dan pendidikan lainnya.10

Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultural bisa menjadi acuan kepada model-model pendidikan lainnya karena karakteristik diatas lebih menekankan pada subtansi yang mengandung nilai-nilai universal. Lebih lanjut menurut Zakiyuddin Baydhawy, pendidikan multikultural memiliki karakteristik yang khas pula antara lain : 1. Pendidikan yang bertujuan untuk belajar hidup dalam perbedaan 2. Pendidikan yang membangun sikap saling percaya 3. Pendidikan yang memelihara saling pengertian 4. Pendidikan yang menjunjung sikap saling menghargai 5. Pendidikan yang mengajarkan berfikir secara terbuka 6. Apresiasi dan interdependensi, yaitu pendidikan yang menghargai budaya dan sosio-kultural 7. Resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan, yakni pendidikan yang mampu menyelesaikan konflik dan menganggap perbedaan itu bukan ditujukan untuk diskriminasi terhadap golongan lain.11

Dari karakteristik diatas pendidikan multikultural memberi perhatian yang luas dalam pendidikan, pendidikan multikultural mempunyai karakter khas yang membedakan dengan pendidikan sekular atau pendidikan lainnya yaitu

10 Ibid., h.152 11 Zakiyudin Baidhawi, Pendidikan Islam Multikulturalisme, (Jakarta: PT Erlangga,2005) .,h.78 18

menciptakan harmonisasi dan integrasi antar budaya dalam hidup manusia melalui beberapa strategi pendekatan yang bersifat inklusif. Ainurrofiq Dawam menambahkan bahwa karakteristik pendidikan multikultural pada akhirnya berorientasi penting dalam kehidupan bermasyarakat. Orientasi tersebut berisikan antara lain: orientasi kemanusiaan, kebersamaan, kesejahteraan, dan orientasi mengakui adanya pluralitas dan heterogenitas yang ada dalam masyarakat.12 Atas dasar karakteristik ini, pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang bisa diterima di semua kalangan dan masyarakat.

D. Pendidikan Islam Multikultural

Secara umum Pendidikan Islam didefinisikan sebagai pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran Islam dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunah. Pendidikan Islam sebagai sistem mempunyai orientasi yang jelas bahwa semata-mata untuk beribadah kepada Allah dan bermanfaat bagi umat manusia. Bisa dikatakan jika pendidikan Islam belum membentuk pribadi peserta didik sesuai nilai-nilai universal dan tidak bermanfaat bagi manusia lainnya maka pendidikan Islam tersebut belum mencapai tujuan. Atas dasar ini, pendidikan Islam pada dasarnya mengandung nilai-nilai inklusif dan multikultural. Al-qur’an menegaskan dalam surat ar-Rum ayat 22 :

dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.

Al-qur’an menjelaskan bahwa keragaman etnis maupun budaya merupakan fitrah manusia seutuhnya yang telah di anugerahkan sang pencipta. Fitrah manusia seutuhnya bersifat sosial, tanpa adanya rasa sosial mustahil manusia dapat hidup secara individual. Dari ajaran fundamentalis ini, Al-Qur’an

12 Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural,(Jogjakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2006), h. 78 19

mengakui bahwa budaya merupakan bagian dari fitrah manusia, dan kebudayaan pula yang membentuk suatu peradaban manusia terlepas dari baik dan buruknya. Menurut Muslih Usa dan Aden Wijdan seperti yang dikutip Maslikhah memberi pengertian bahwa pendidikan islam merupakan proses pembelajaran yang sangat intens pada pembentukan kepribadian, budi pekerti yang luhur. Walaupun pendidikan Islam dipahami secara berbeda, namun pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam satu sistem, yaitu pendidikan islam.13 Istilah multikultural tidak lepas dari istilah pluralisme yang menjadi perhatian masyarakat sekarang ini akibat dari era globalisasi yang semakin ekstrim. Diskursus tentang multikultural dan pluralis sudah lama bermunculan dalam dekade terakhir ini. Pluralisme erat kaitanya dengan keragaman agama, sedangkan multikultural erat kaitanya dengan keragaman budaya. Dalam hal ini sebagian orang mengartikan kata pluralisme dengan konotasi negatif, menurut penulis, konotasi negatif tersebut berdasarkan pada sisi transformatif yang berlangsung tiba-tiba. Masyarakat Indonesia yang kental akan budaya fundamentalis serta tradisionalis tidak akan bisa menerima pluralisme yang dalam konotasi ekstrimnya diartikan sebagai kejahatan pemikiran. Dalam konteks pendidikan, pendidikan multikultural menurut Franz Magnis Suseno seperti yang dikutip Achmad Syauqi dan Ngainun Naim yaitu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi tentang cakrawala yang luas, dan mampu melintasi batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita. Sehingga, kita mampu melihat manusia sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan dan kesamaan cita- cita. Pendidikan inilah yang akan menjadi nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.14 Pendidikan multikultural memang mempunyai kesamaan dengan dengan pendidikan pluralis, tetapi yang menjadikan perbedaan mendasar yaitu orientasinya. Pendidikan pluralis bertransformatif menjadi pendidikan liberal, neo modernis yang hanya memikirkan adanya perbedaan, sedangkan pendidikan

13 Maslikhah, Op.cit, h. 120 14 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Op.cit, h. 50-51 20

multikultural merupakan pendidikan yang menawarkan sisi humanisme manusia yang memikirkan bagaimana menghadapi perbedaan itu. Senada dengan itu, Ainurrofiq Dawam menjelaskan definisi pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan agama. Pengertian pendidikan multikultural yang demikian, tentu mempunyai implikasi yang luas dalam pendidikan. Karena kependidikan itu sendiri secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural memiliki makna penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari segala aspek. Harapannya, dalam jangka panjang adalah terciptanya kedamaian yang sejati, keamanaan yang tidak dihantui kecemasan, kesejahteraan yang tidak dihantui manipulasi, dan kebahagiaan yang terlepas dari jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.15 Berangkat dari kesadaran multikulturalitas dalam masyarakat kita yang terdiri dari banyak suku dan beberapa agama, maka pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan, yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkannya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang dapat mengantisipasi konflik sosial-keagamaan menuju perdamaian. Model pendidikan tersebut akhirnya dikenal sebagai pendidikan islam berbasis multikultural.16 Pendidikan Islam dengan berasaskan multikulturalisme tidak saja mengandaikan hadirnya keanekaragaman elemen sosial budaya tetapi juga hadirnya proses integrasi. Proses integrasi ini bukan dalam pengertian penciptaan identitas tunggal melalui penyeragamaan yang bersifat menekan dan merendahkan , tetapi kerelaan saling melebur tanpa harus menghilangkan identitas-identitas

15 Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003), h.99-100 16 Ali Maksum, Op,cit., h.203 21

sosial tiap individu atau kelompok. Paradigma multikulturalisme sebagai basis bagi pendidikan Islam berarti meniscayakan pemahaman bahwa unsur-unsur sosial budaya harus bersifat inklusif untuk membuka diri terhadap budaya lain dari luar, dan berani berkompromi dengan yang lain. Pemahaman yang bersifat inklusif ini pada akhirnya bergerak menuju keberagamaan yang inklusif untuk menerima perbedaan yang ada pada masyarakat. Dalam konteks pendidikan, pendidikan islam multikultural menekankan adanya sikap harmonisasi dalam segala aspek, hal itu sesuai dengan sumber ajaran Islam yang tersirat dalam Al- Qur’an :

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiya‟: 107)

Menurut Nikmah Rahmawati seperti yang dikutip maslikhah, jika kita ingin menanamkan nilai-nilai pluralisme, mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab, serta menghapus praktik monopoli dalam pendidikan termasuk pendidikan Islam, maka yang perlu kita benahi adalah sistem pendidikan itu sendiri, sumber daya manusia, dan kurikulum. Untuk merealisasikan upaya tersebut perlu dirancang strategi serta mengukur kemampuan secara mendalam dari pendidikan Islam itu sendiri. Kajian ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi pendidikan Islam yang berbasis multikulturisme.17

E. Paradigma Pendidikan Islam Multikultural

Kata paradigma berarti kerangka berfikir, cara pandang, model teori ilmu pengetahuan. Paradigma pendidikan berarti model atau kerangka berfikir tentang proses dan hasil dari pendidikan. Proses dan hasil pendidikan meliputi aspek prosedur, teknik, strategi, dan komponen-komponen teknis yang diproyeksikan pada tujuan.18 Pendidikan Islam multikultikultural dilihat dari sudut lembaga dapat

17 Maslikhah, Op.cit. 150-151 18 Ibid, h. 151-152 22

mempersiapkan generasi baru pada masa yang akan datang. Generasi baru tersebut agar mampu hidup layak menurut sistem norma yang berlaku serta mampu hidup mandiri dan menjalankan perannya di masa yang akan datang. Dalam melaksanakan tugas dan perannya di masa datang, pendidikan Islam multikultural dapat diberi muatan apa saja termasuk pesan pendidikan agama Islam. Melihat makna strategis pendidikan, maka tidak mustahil agama menggunakan lembaga ini untuk melestarikan dan memperkokoh keberadaan dirinya. Di antara tujuan pendidikan agama adalah agar siswa gemar menjalankan ritual hidup sesuai tuntunan agama. Untuk kepentingan tiga hubungan tripartiat, mampu mempolakan hubungan privat tersebut dalam bentuk pengamalan untuk kemanusiaan dan kealaman mengikuti tuntunan agama. Agama yang ditujukan secara universal kepada segenap manusia dapat dipahami secara total- komprehensif untuk menjunjung tinggi perdamaian, menuntun persaudaraan sesama manusia, dan kelestarian alam lingkungannya . Pendidikan Islam multikultural jika ditinjau dalam konteks diatas menurut Ngainun Naim dan Ahmad Syauqi yaitu pendidikan yang berusaha menerima ekspresi budaya-budaya manusia dalam memahami pesan utama agama Islam. Kemudian pendidikan itu dilandasi pada ajaran Islam, penggunaan pendidikan Islam ini memperkokoh bahwa pendidikan Islam sarat dengan ajaran menghargai dimensi sosio-kultural sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri. Implikasi multikultural yang dirangkai dengan pendidikan Islam yaitu sebagai paradigma sekaligus konstruksi teoritis dan aplikatif yang menghargai keragaman agama dan budaya.19 Manusia memiliki beberapa dimensi yang harus diakomodir dan dikembangkan secara komprehensif. Kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah pengakuan akan pluralitas, heterogenitas, dan keragaman manusia itu sendiri. Keragaman itu dapat berupa ideologi, agama, paradigma, pola pikir, kebutuhan, keinginan, tingkat ekonomi, strata sosial, suku, etnis, ras, budaya, nilai-nilai tradisi, dan lain sebagainya. Dalam kaitan ini, pendidikan Islam multikultural

19 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi Op.cit h. 51-52 23

menurut maslikhah mempunyai tujuh dimensi yaitu: dimensi fisik atau jasmani, akal, keyakinan, etika, kejiwaan, estetika, dan sosial kemasyarakatan.20 Dalam hubungan ini, pendidikan Islam harus mampu menjadi transformatif, yakni Pendidikan yang mampu untuk memperkokoh rasa cinta tanah air, setia kawan, dan selalu berorientasi pada upaya mewujudkan islam sebagai rahmatan lil „alamin. Di samping itu, pendidikan Islam harus memodifikasi dirinya agar mampu menjalankan perannya sebagai subsistem Pendidikan Nasional. 21

F. Hasil Penelitian yang relevan

Penelitian yang berkaitan dengan masalah pendidikan multikultural dan pemikiran Gus Dur diperoleh dari kajian relevan penulis terhadap penulis sebelumnya. penelitian-penelitian tersebut mengupas berbagai hal berkaitan dengan persoalan paradigma pendidikan multikultural sebagai pendidikan alternatif yang patut dikembangkan dalam pendidikan umum maupun pendidikan Islam. Pemikiran-pemikiran Gus Dur yang Kompleks dan penuh paradoks mempunyai berbagai macam hasil penelitian di berbagai bidang, baik bidang sosial, agama, politik, dan sebagainya. Dari berbagai hasil penelitian tersebut tentunya penulis tidak bisa menghimpun kesemua penelitian yang relevan dengan hal tersebut. Penulis ingin membingkai dan mengembangkanya menjadi satu konsep tersendiri terhadap pemikiran Gus Dur tentang pendidikan multikultural. Adapun hasil kajian penelitian yang relevan tersebut antara lain :

1. Skripsi karya Miratul Hayati berjudul “rekontruksi pendidikan islam berbasis multikultural”. Hasil penelitian yang telah dilakukannya mempunyai benang merah bahwa pendidikan Islam berbasis multikultural merupakan sebuah jawaban terhadap era globalisasi dan konflik-konflik kultur. 2. Skripsi karya Fauzan yang berjudul “Pendidikan Multikultural dalam Piagam Madinah”. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa pendidikan

20 Maslikhah, Op.cit, h. 168 21 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Op.cit. h. 54 24

multikultural pernah diaplikasikan pada masa Rasulullah, namun konsepnya belum di rumuskan. Tetapi secara teknis, Rasulullah mengajarkan cara menghargai keragaman melalui piagam madinah tersebut. 3. Skripsi karya Subkhi Akhwani berjudul “pendidikan berspektif Multikultural studi pemikiran pendidikan multikultural menurut H.A.R Tilaar”. Penelitian ini menjelaskan pendidikan multikultural menurut H.A.R Tilaar melalui sketsa biografi dan hasil wawancara langsung antara peneliti dengan tokoh tersebut. 4. Buku Terjemah Biografi Gus Dur yang mengupas potret utuh gambaran seorang Gus Dur semasa hidupnya karya penulis dan peneliti terkenal Greg Barton. Dalam buku ini, Greg Barton mencoba membingkai sketsa biografi sekaligus pemikiran Gus Dur melalui beberapa pendekatan multidisipliner. Kemudian Greg Barton mencoba menggeneralisasi pemikiran Gus Dur dengan menempatkan Gus Dur kedalam Tokoh Neo- Modernisme Islam.

BAB III

Metodologi Penelitian

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kepustakaan (library research), yang bertumpu pada kajian referensi dan telaah teks literature dengan pendekatan deskriftif dan filosofis. Karena sumber-sumber data yang digunakan oleh peneliti adalah data literatur. Tujuan dari desain penelitian ini adalah untuk melatih penulis untuk membaca secara kritis segala literatur yang ada. Tujuan lain dari jenis penelitian ini ialah melatih penulis dalam mengekspresikan semua bahan atau data mentah yang bermacam-macam menjadi suatu karya tulis yang panjang dan teratur.1

B. Setting Penelitian

Setting Penelitian dalam penelitian ini adalah K.H Abdurrahman Wahid dan pemikiranya dalam pendidikan islam multikultural yang didapat dari berbagai kajian pustaka di berbagai perpustakaan. Penulis mengambil 2 perpustakaan utama yang menjadi tempat dalam melakukan penelitian antara lain: 1. Perpustakaan Utama dan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan

1 Gorys Keraf, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, (Flores: Penerbit Nusa Indah, 1994) Cet-10.h. 165

25 26

2. Perpustakaan The Wahid Institute di Jalan Taman Amir Hamzah Matraman Jakarta Timur. Perpustakaan The Wahid Institute ini merupakan warisan peninggalan Gus Dur, dan menjadi basis para aktifis HAM dan Multikulturalisme.

C. Sumber Penelitian

Sumber penelitian yang digunakan penulis yaitu bersifat dokumenter atau data yang bersifat simbol, literatur kepustakaan, dan sebagainya. Kemudian sumber penelitian ini ada dua macam. Pertama, sumber primer yaitu pemikiran- pemikiran K.H Abdurrahman wahid tentang pendidikan multikultural yang tertulis dalam buku, jurnal, katalog dan sebagainya. Kedua, sumber-sumber sekunder, yaitu sumber bacaan yang relevan dengan sumber primer, baik dari koran, internet, dan sebagainya.2

D. Teknik pengumpulan data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis melakukan telaah kepustakaan, yaitu dengan membaca kajian kepustakaan yang berkenaan dengan pemikiran-pemikiran K.H Abdurrahman Wahid tentang pendidikan multikultural. Setelah mengumpulkan data atau informasi mentah, kemudian data tersebut diseleksi menjadi kerangka penelitian yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Mekanisme teknik dalam mengumpulkan data tidak memungkinkan penulis untuk membaca semua buku yang ada pada perpustakaan. Faktor waktu dan tenaga menjadi alasan yang jelas, akan tetapi penulis memanfaatkan alat riset dan mekanisme standar yang biasa ada pada perpustakaan seperti katalog online, ensiklopedia, maupun internet.3

2 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006) cet 13.h. 158 3 Gorys Keraf, Op.Cit. h. 166 27

E. Teknik Analisis Data

Dalam mengkaji penelitian kepustakaan ini penulis menggunakan Content Analysis yakni analisis data yang menjadi isi atau materi buku kajian. Teknik analisis isi merupakan teknik utama dalam melakukan kajian dokumentasi atau kepustakaan. Dalam hal ini penulis mengambil kesimpulan dari data-data yang di peroleh dari buku-buku yang dikaji. Kemudian data yang terkumpul tersebut disusun secara sistematis untuk memperoleh gambaran yang valid. 4 Untuk memperoleh kevalidan tersebut, penulis menyusun instrumen analisis data menggunakan flow model. Langkah-langkahnya dimulai dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Adapun penjelasan dalam teknik tersebut yaitu: 1. Pengumpulan data Modal utama Penulis dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini ialah dengan membaca katalog, buku, jurnal terkait tema permasalahan yang penulis inginkan kemudian mengelompokan sumber-sumber data menjadi sumber primer dan sumber sekunder. 2. Reduksi data Setelah data berhasil dikelompokan, penulis menyeleksi dan memfokuskan terhadap masalah yang akan menjadi tujuan dari penelitian ini. 3. Penyajian data Penulis kemudian menyajikan data yang telah dibatasi tersebut menjadi karangan naratif yang mendeskripsikan rumusan masalah berdasarkan sumber-sumber yang diperoleh. 4. Penarikan Kesimpulan Setelah kesemua langkah-langkah diatas dilakukan, penulis mengevaluasi dan memverifikasi data-data yang telah tersaji. Teknik

4 Suharsimi Arikunto, Op.cit. h.159 28

diatas bisa berubah-ubah urutanya, karena teknik dalam penelitian kepustakaan bersifat fleksibel.5

F. Pemeriksaan keabsahan data

Data-data yang telah dikumpulkan dan dianalisis, sebagai pelengkapnya penulis memeriksa keabsahan data. Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan teknik-teknik berikut ini:

1. Kredibilitas Teknik tersebut menunjukan tingkat kejelasan fenomena hasil penelitian sesuai dengan kenyataan. Lincoln dan Guba menambahkan teknik tersebut perlu dikelompokan untuk mencapai kredibilitasnya dengan perpanjangan waktu penelitian, mengamati secara tekun, menguji sesuai keabsahan datanya, dan mengadakan pengecekan serta kecukupan referensi. 2. Dependabilitas Teknik ini mempengaruhi status dan kedudukan peneliti di lapangan, situasi dan kondisi yang mempengaruhi informasi yang diberikan, definisi konsep, dan metode pengumpulan dan analisis data penelitian. Untuk mempertinggi kualitas proses dalam mengkonsepsikan penelitian ini, penulis mendeskripsikan uraian yang jelas, kemudian meminta pendapat dari dosen pembimbing sebagai independent auditor, serta ditunjang dengan media yang mendukung. 3. Objektivitas Teknik ini menekankan penulis untuk menganalisis secara sistematis, cermat, dan teliti. Teknik ini bertujuan untuk menghindari tendensi- tendensi yang bersifat subjektif, fiktif, dan tidak ilmiah.6

5 Kadir, Dkk, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Tarbiyah UIN JAKARTA 2011, (Jakarta: UIN Jakarta, 2011), h. 59-61 6 Ibid, h.62-67

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Deskripsi Tokoh 1. Nasab dan kelahiran Abdurrahman Wahid dilahirkan pada tanggal 4 Sya’ban atau bertepatan dengan 7 September 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur. Ia adalah anak sulung dari enam bersaudara pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Meskipun beliau lahir pada tanggal 7 September, ia merayakan ulang tahunnya pada tanggal 4 Agustus, dikarenakan perbedaan persepsi teman-temannya mengenai penanggalan kalender kelahiran beliau.1 Perbedaan persepsi ini dikarenakan tahun yang menjadi acuan kelahiran Gus Dur adalah Tahun Hijriyah. Beliau lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk". Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan pada akhirnya Gus Dur memberikan akhiran "Wahid" sesuai dengan tradisi ulama NU yang menisbatkan nama akhir menggunakan nama ayahnya yakni Abdurrahman putera Wahid. Kemudian beliau lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. Kata "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren NU kepada seorang anak kiai laki- laki yang berati bagus atau mas. Gus Dur dilahirkan di lingkungan keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim di Jawa Timur bahkan Indonesia. Kakek dari ayahnya adalah

1 Greg Barton, Biografi Gusdur (The authorized bioghraphy of Abdurrahman Wahid) , (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2008) h.25-26

29 30

K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi Islam terbesar dan terkuat di Indonesia, sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengasuh pesantren yang memperkenalkan kelas santri puteri pertama dalam dunia pesantren di desa Denanyar Jombang. Ayah Gus Dur Wahid Hasyim adalah seorang kiai yang disegani masyarakatnya sekaligus seorang tokoh elit politik yang berperan penting pada masa kemerdekaan Indonesia. Wahid Hasyim merupakan anak kelima dari sepuluh saudara dan merupakan anak laki-laki pertama dari K.H Hasyim Asy’ari. Sedangkan Ibu Gus Dur Nyai Solichah merupakan putri K.H Bisri syansuri yang merupakan teman dekat K.H Hasyim Asy’ari. Gus Dur pernah menyatakan bahwa nasab keturunanya berasal dari Raja Brawijaya VI, Raja yang berkuasa di Jawa dan merupakan Raja terakhir Kerajaan Majapahit. Raja Majapahit tersebut mempunyai anak bernama Jaka Tingkir, kemudian keturunan dari Jaka Tingkir inilah yang dianggap memperkenalkan Islam di daerah pantai timur laut pulau Jawa.2

2. Kehidupan pribadi

Abdurrahman Wahid menikah dengan wanita idamannya yakni Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang puteri yaitu Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Kehidupan Gus Dur selalu perpindah-pindah tempat baik sebelum menikah maupun setelah menikah. Hal itu dikarenakan banyaknya aktifitas yang ia jalani terlebih setelah ia menjadi ketua NU. Bakat-bakat yang dimiliki Gus Dur semasa hidupnya melebihi santri atau kiai pada zamannya. Ia dikenal memiliki daya ingat yang kuat dengan fisik yang terbatas, naluri yang tajam, serta berpenampilan sederhana. Sejak kecil ia telah mengenal berbagai macam bahan bacaan yang luas yang amat jarang dilakukan santri pada zamannya. Tradisi pesantren pada umumnya adalah memandang para ulama sepuh sebagai guru spiritual maupun guru intelektual, walaupun daya intelektual Gus

2 Ahmad Suaedy dan Raja Juli Antoni (ed), Para Pembaharu Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggara, ( Jakarta: SEAMUS, 2009) h. 2 31

Dur paling menonjol di antara kiai-kiai NU lainnya ia sangat menghormati dan patuh terhadap para kiai sepuh dan kiai lainnya. Kecenderungan spiritual Gus Dur yang amat khas yaitu melestarikan adat ziarah ke makam-makam keramat, bersilaturahmi terhadap kiai-kiai lainnya, serta memperhatikan kaum yang minoritas. Dari hal itu Gus Dur menyukai tradisi mistisisme asketik. Kesibukan dan aktifitas Gus Dur yang ekstrim menyebabkan ia menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia belum menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga seringkali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan stroke, diabetes, dan gangguan ginjal yang dideritanya. Ia wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin.3

3. Pendidikan Dan Guru-Gurunya

Sebagai keturunan seorang kiai yang disegani di masyarakat Jawa waktu itu, Gus Dur sejak kecil berada di lingkungan pesantren. Ia diajarkan pendidikan Agama oleh kakeknya sendiri K.H Hasyim Asy’ari mulai dari membaca Al- Qur’an dan ilmu agama lainnya. Di samping Kakek dan ayahnya ada beberapa Guru yang membentuk kpribadian dan pemikiran Gus Dur kedepannya yaitu Kiai Bisri Sansuri, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Khudori Tegal Rejo Magelang yang merupakan tokoh-tokoh perintis NU, sedangkan Gurunya yang lain yaitu Kiai Junaidi yang merupakan salah satu anggota majlis tarjih organisasi Muhammadiyah dan K.H Ali Maksum dari pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Pada tahun 1949 Abdurrahman Wahid memulai pendidikan formalnya di Jakarta, ia masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Perwari Matraman. Pendidikan Abdurrahman Wahid pada tahap ini sepenuhnya bersifat sekuler, oleh ayahnya ia diajarkan membaca buku apa saja tak terkecuali buku non-Muslim,

3 Mahbub Risad, Biografi Gusdur, 2012, p.1, (http://sosok.kompasiana.com/2012/06/09/biografi-gusdur-469556.html). 32

majalah, dan koran untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Bulan April Tahun 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil, ketika itu Gus Dur baru berumur 12 tahun.4 Pendidikan Gus Dur berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP). Di sekolah itu ia tidak naik kelas sehingga Ibunya mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Disamping meneruskan sekolah umumnya, secara rutin Gus Dur melengkapi pendidikanya dengan belajar bahasa Arab di pesantren Al-Munawwir Krapyak dibawah asuhan K.H Ali Ma’shum. Pendidikan pesantren Gus Dur terus berlanjut pada Tahun 1957, Ia pindah ke Pesantren Tegal Rejo Magelang di bawah Asuhan Kiai Khudori. Di Pesantren ini bakat intelektual Gus Dur berkembang dengan pesat, dalam waktu dua tahun Gus Dur telah menyelesaikan pelajaranya dibanding dengan santri-santri yang pada umumnya menyelesaikan pelajaranya selama empat tahun. Setelah menamatkan pesantren di Magelang, tahun 1959 Gus Dur pindah ke pesantren Tambakberas Jombang di bawah asuhan Kiai Wahab Chasbullah. Di pesantren ini ia belajar sekaligus mengajar, selain itu Gus Dur sangat tertarik pada sisi sufistik dari kebudayaan Islam tradisional disamping minat intelektualnya yang komprehensif. Hal itu dibuktikan dengan hobinya berziarah ke makam- makam para ulama dan para sesepuhnya.5 Pada tahun 1963, Abdurrahman Wahid pergi ke Mesir untuk melanjutkan studinya dengan berkuliah di Universitas Al-Azhar. Sebagai seorang intelektual yang haus dengan ilmu, Gus Dur merasa kecewa dengan sistem pendidikan di Al- Azhar yang hanya menekankan metode hafalan dan mengulang pelajaran sewaktu di pesantren. Ia lebih menikmati hidup di Mesir dengan menonton film, sepak bola, serta jalan-jalan. Karena kegemaranya tersebut Gus Dur gagal dalam menyelesaikan studi secara penuh di Mesir.6

4 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005),h. 339-340 5 Greg Barton, Op.cit, h.49-54 6 ibid, h. 92-94 33

Gus Dur kemudian memutuskan pindah ke Baghdad dan menikmati lingkungan barunya di Universitas Baghdad. Di Universitas ini ia belajar sastra Arab, filsafat, dan teori sosial. Ia menikmati kuliah tersebut, baginya sistem pendidikan di Baghdad lebih baik daripada di mesir pada waktu itu. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid sempat pergi ke Eropa dan Kanada untuk meneruskan pendidikannya formalnya, tetapi kualifikasi alumni perguruan tinggi di Timur Tengah pada waktu itu tidak diakui di Eropa hingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia.7

4. Setting Sosio Masyarakat

Abdurrahman Wahid tumbuh di lingkungan pesantren yang bercorak tradisional atau dalam masyarakat yang berbasis tradisionil. Pesantren-pesantren yang bercorak tradisionil tersebut mempunyai basis organisasi yang kuat di bawah naungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada tahun 1926. Sebelumnya telah ada basis organisasi Islam yang bercorak modern yaitu Muhammadiyah. NU didirikan adalah sebagai respon atas kekuatiran akan hilangnya kultur dan tradisi sufistik Islam akibat pengaruh modernisasi, akan tetapi pada saat yang sama NU tidak menentang adanya ide-ide modernisasi Islam. Hal ini terutama berkaitan dengan pendekatan modern di berbagai bidang, misalnya pendidikan, sosial, dan politik. Kendati Gus Dur tumbuh di lingkungan tradisional, ayahnya Kiai Wahid Hasyim adalah tokoh modernis yang banyak mempengaruhi hidup Gus Dur, terutama dalam hal pergaulan. Ia sangat diplomatis dan memberikan kebebasan pada anaknya dalam hal pendidikan. Pesantren sebagai lembaga yang bernafaskan Islam pada waktu itu hanya mempelajari ilmu-ilmu agama saja. Ilmu-ilmu agama tersebut secara umum berisikan kurikulum yang menekankan mata pelajaran Fiqih, Tafsir Hadist, Aqidah akhlak, dan bahasa Arab. Sebelum Indonesia merdeka bahasa utama di kalangan pesantren adalah bahasa Arab dan bahasa lokal. Berbeda dengan santri

7 ibid , h. 102-110 34

pada umumnya, Gus Dur juga mempelajari Ilmu sekuler lainnya seperti sastra, bahasa Inggris, Belanda, serta ilmu-ilmu lainnya dari hasil bacaan Gus Dur. Abuddin Nata menyatakan bahwa pesantren mempunyai 5 macam tipologi. Pertama, lembaga pendidikan pesantren yang bersifat salafi, yaitu lembaga pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan agama dengan bersandar pada kitab-kitab klasik dengan menggunakan sistem halaqah, sorogan dan bandongan. Kedua, lembaga pendidikan pesantren yang selain memiliki ciri-ciri pesantren salafi sebagai mana tersebut di atas, juga telah mengadopsi sistem madrasah, walaupun muatan kurikulumnya sepenuhnya agama. Ketiga, lembaga pendidikan pesantren yang selain memiliki sistem madrasah juga sudah melengkapinya dengan sistem sekolah umum yang memungkinkan santrinya dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi baik di perguruan tinggi agama maupun pada perguruan tinggi umum. Keempat, sistem pendidikan pesantren yang sudah melengkapi dirinya dengan keunggulan dalam menguasai bahasa asing dan teknologi modern. Kelima, sistem pendidikan pesantren yang santrinya diarahkan untuk menjadi tenaga kerja professional yang dibutuhkan masyarakat. Pada pesantren model kelima ini, para lulusannya diarahkan untuk bekerja secara mandiri pada sektor informal. 8 Gus Dur sebagai intelektual yang haus akan ilmu, meski ia tumbuh di pesantren bercorak tradisionil dan salafi, Gus Dur tidak hanya mempelajari pelajaran yang bersifat keagamaan saja, ia selalu mengasah diri dengan membaca buku-buku yang ditemuinya. Ia terbiasa bergaul dengan orang-orang yang multikultur, termasuk pada saat ia dan ayahnya tinggal di lingkungan elit Jakarta. Hal itu bisa dibuktikan dengan kegemaranya mendengarkan musik bethoveen disamping ia juga hobi menyaksikan pertunjukan wayang kulit, cerita silat, dan sebagainya. Dengan latar belakang Gus Dur yang kompleks, sebagai keturunan pendiri organisasi NU yang disegani, lingkungan sosio-masyarakat yang multikultural, serta pergaulan yang tidak terbatas menjadikan seorang Gus Dur sebagai tokoh yang kompleks dan penuh paradoks.9

8 Abuddin Nata, Op.Cit,.h 349 9 Greg Barton, Op.cit,h. 41-42 35

5. Pekerjaan dan Karya-Karya Ilmiah

Gus Dur memulai karir pekerjaanya di Indonesia setelah ia gagal melanjutkan studi formalnya di luar negeri, pada awalnya ia kemudian kembali ke tanah kelahiranya di Jombang dengan mengajar di pesantren. Gus Dur membuktikan bahwa dirinya sebagai guru yang berintelektual tinggi dan mendapatkan kepercayaan dari sesepuh serta para murid-muridnya. Kemudian ia merangkap bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di Jakarta, yaitu sebuah lembaga organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan para aktifis sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut Prisma dan Wahid menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Wahid juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa untuk meneliti perkembangan pendidikan pesantren dalam penelitiannya.10 Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya. Gus Dur kemudian diminta oleh sesepuhnya untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun, ia akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Kiai Bisri Syansuri terus membujuknya. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Gus Dur memimpin dirinya sebagai reforman NU yang pada akhirnya Gus Dur diangkat menjadi ketua umum PBNU selama beberapa periode. Selama masa jabatan pertamanya di PBNU, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan Islam dalam pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah umum

10 Abuddin Nata, Op.cit,h.343 36

pada saat itu.. Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dengan NU untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks Muslim. Gus Dur pernah pula dikritik atas ide-idenya mengubah salam Muslim yang lazim diucapkan "assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat pagi".11 Gus Dur kemudian membentuk suatu partai politik sebagai upaya respon Gus Dur dalam menanggapi partai-partai Islam dan partai lainnya, Ia menamakan partainya partai kebangkitan bangsa, partai ini menggunakan simbol-simbol yang universal tanpa adanya simbol-simbol Islam. Menurut Gus Dur partainya bukan hanya diperuntukan untuk orang Islam saja, tetapi untuk rakyat Indonesia, namun pada kenyataanya PKB didominasi oleh kalangan Islam Nahdliyin. Setelah membentuk partai, Gus Dur akhirnya meniti karir tertinggi di Indonesia dengan menjadi presiden Indonesia ke-empat. Setelah jabatan presiden ditanggalkanya Gus Dur menjadi pengamat sekaligus pengkritik pemerintahan yang baru. Ia selalu konsisten membela kaum minoritas, dan tertindas. Gus Dur dengan sikap humanisnya mampu menjembatani berbagai macam golongan walaupun sikapnya terkadang memihak. Lebih dari itu ia masih aktif berperan dalam NU dan kembali menjadi guru bangsa dengan mengasuh pesantren yang didirikannya di Ciganjur Jakarta Selatan, mengadakan aktifitas-aktifitas di tv swasta, dan memberikan pengajian di pesantren-pesantren Indonesia sampai akhirnya tutup usia akhir tahun 2009 lalu. Latar belakang Gus Dur yang membentuk kepribadianya baik sebagai politisi, aktifis sosial, dan sebagainya membuat Gus Dur menghasilkan beberapa karya ilmiah yang cukup berbobot nilai akademisnya. Abuddin Nata menyatakan ada beberapa karya ilmiah yang ditulis Gus Dur berkaitan dengan gagasanya terhadap berbagai bidang maupun yang rangkum oleh penulis lain. Karya-karya ilmiah tersebut antara lain : 1) Bunga rampai pesantren. Di dalam buku ini terdapat 12 artikel yang secara umum bertemakan tentang pesantren. Di dalam buku ini Gus Dur menunjukan sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri-ciri

11 Greg Barton, Op.cit,h.125-126 37

dasarnya mempunyai potensi yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama pada kaum tertindas dan terpinggirkan. 2) Muslim di Tengah Pergumulan. Dalam buku yang menampung 17 artikel ini, Gus Dur mencoba menjelaskan berbagai masalah yang timbul dalam rangka merespon modernisasi di era global saat ini. 3) Kiai Nyentrik membela Pemerintah, Gus Dur mencoba mengajak pembaca untuk memikirkan kembali persoalan-persoalan kenegaraan, kebudayaan dan keislaman. 4) Tuhan Tak Perlu Dibela. Dalam buku yang menjelaskan berbagai fenomena sikap keagamaan dan kekerasan poIitik ini, Gus Dur menjelaskan bahwa kekerasan poIitik merupakan akibat perilaku kaum fundamentalis agama yang berakar pada fanatisme yang sempit. 5) Prisma Pemikiran Abdurrahman Wahid yang merupakan kumpulan tulisannya. Dalam buku tersebut terdapat pandangan Gus Dur dalam bidang politik, ideologi, nasionalisme, gerakan keagamaan, pemikiran sosial dan budaya. 6) Mengurai hubungan agama dan Negara. Di dalam buku yang memuat 17 artikel ini, Gus Du menjelaskan pandangan-pandangan Gus Dur dalam bidang agama, demokrasi dan pemberdayaan Civil Society, tentang NU dalam dinamika politik bangsa, posisi kepemimpinan Islam di antara eksklusifisme dan inklusifisme. 7) Islamku, Islam anda, Islam kita. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang ditulis Gus Dur yang berisi pemikiran-pemikiran Gus Dur berkaitan dengan pendidikan, budaya, ideologi, dan sebagainya. 8) Islam Kosmopolitan. Di buku ini Gus Dur menjawab upaya pendidikan agama dalam merespon modernisasi. Selain itu, terdapat pula beberapa buku yang membahas tentang pemikiran dan gagasan Gus Dur, yaitu buku yang berjudul Kiai Menggugat, Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi, Tabayyun Gus Dur, Islam, Negara dan Demokrasi:Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur, Gus 38

Dur Menjawab Tantangan Perubahan, Membangun Demokrasi, serta melawan Lelucon.12

Berdasarkan karya tulis tersebut dapat diketahui, bahwa selain sebagai tokoh politik, negarawan, budayawan, kiai, Gus Dur juga sebagai seorang akademisi yang memberikan perhatian yang cukup besar terhadap maju mundurnya pendidikan Islam, hal-hal seputar politik, dan sebagainya dengan titik tekan pada permasalahan pendidikan pesantren, sebuah lembaga pendidikan tradisional. Gus Dur yang terkenal humoris akan joke-nya memiliki makna mendalam, baik berupa kritik maupun pengalaman-pengalaman yang telah dialaminya, humor-humornya pun dibukukan, karena humor yang dibawakan Gus Dur disamping lucu, humornya merupakan humor yang sarat dengan pandangan dan pemikiranya.

6. Penghargaan

Berbekal pengalaman dan pandangan Gus Dur yang luas serta ditunjang dengan kekonsistenya dalam memanifestasikan apa yang ia yakini, membuat Gus Dur menerima banyak penghargaan. Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership. Gus Dur dianggap sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004. Hal ini dikarenakan Gus Dur menjadikan hari Imlek sebagai hari libur nasional, tujuannya yaitu menjamin kebebasan pemeluk agama minoritas untuk merayakan kebudayaanya sebagai salah satu warga Negara di Indonesia. Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur dan Gadis

12 Abuddin Nata, Op.cit,h.358-359 39

dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes dari para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu. Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan The Jakarta Post membantah dan mempertanyakan hubungan perjuangan Gus Dur menentang RUU APP dengan kebebasan pers. Kemudian Ia juga mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Gus Dur mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM. Selain itu, Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Gus Dur dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru. Gus Dur juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple di Philadhelpia Amerika Serikat pada tahun 2008. Namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.13 Disamping penghargaan-penghargaan yang ia raih, Gus Dur juga memperoleh gelar kehormatan dalam dunia akademik walaupun ia tidak pernah menamatkan gelar akademik secara tuntas, namun perjalanan Gus Dur dalam dunia akademisi layak mendapatkanya. Gus Dur banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga pendidikan misalnya: 1) Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)

13 Kompas (ed), Gusdur (Santri Par Excellence), (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h. 2 40

2) Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000) 3) Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Prancis (2000) 4) Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000) 5) Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000) 6) Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000) 7) Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002) 8) Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003) 9) Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003) 10) Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)14

7. Sketsa Pemikiran

Mengurai pemikiran Gus Dur secara menyeluruh merupakan hal yang mustahi dilakukan dalam waktu yang singkat. Perjuangan pemikiran Gus Dur mampu melewati semua jenis disiplin ilmu, mulai dari agama, filsafat, tasawuf, tata bahasa, kebudayaan dan kesenian, humor, demokrasi, pluralisme, humanisme, nasionalisme. Dengan ide-idenya yang cemerlang, pemikiran Gus Dur mampu menjadi komentator sosial yang mampu membuat gelisah dan menyadarkan banyak kalangan. Oleh karena itu, maka pemikiran Gus Dur perlu dibingkai dengan sketsa yang sesuai. Perkembangan intelektual Gus Dur dibentuk oleh pendidikan Islam klasik dan pendidikan barat modern. Faktor-faktor ini merupakan prasyarat baginya untuk mengembangkan ide-idenya. Dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan

14 Ibid, h.3 41

dengan perjalanan, membaca, dan memperdebatkan ide, Gus Dur mensintesiskan kedua dunia pendidikan ini. Mungkin ia mengerjakan hal ini lebih lengkap daripada mayoritas intelektual di Indonesia, yang kemudian membuat Gus Dur menjadi bagian dari gerakan baru dalam pemikiran Islam di Indonesia. Penekanan pemikiran Gus Dur lebih mengisyaratkan pada hal-hal yang lebih substansial, mengajarkan kepada kita untuk selalu toleran, terbuka, dan inklusif. Menurut Greg Barton, pemikiran Gus Dur dikategorikan dalam salah satu cendekiawan bercorak Neo-Modernis. Diantara karakter intelektual yang digolongkannya dalam kelompok Neo-modernis yaitu dalam memahami ajaran Islam banyak mewarisi semangat Muhammad Abduh dalam rasionalisme berijtihad secara konstekstual kemudian ia juga banyak trinspirasi dari Fadzlur Rahman. Gus Dur berusaha memuat sintesis antara khazanah klasik dengan keharusan berijtihad, serta apresiatif dengan gagasan barat terutama dalam ilmu- ilmu sosial dan humaniora. Neo-Modernis sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif terutama dalam menerima realitas faktual pluralisme masyarakat yang ada, condong untuk menekankan sikap toleran dan harmonis dalam hubungan antar komunitas. Keluwesan Gus Dur dalam mengkonstruksikan pemikirannya tidak dapat dipungkiri. Seperti halnya perihal negara Indonesia yang harus di Islamkan, Gus Dur menolak konsep ini, baginya negara yang dikonsepkan menurut Islam tidak memiliki kejelasan formatnya dan akan sangat mustahil dilakukan di Negara yang majemuk ini. Ia mencontohkan bahwa Nabi Muhammad ketika meninggal di Madinah tidak mewariskan serta mewasiatkan selain Al-Qur’an dan As-sunnah, tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Tentang negara Islam yang dipikirkan sebagian orang itu hanya memandang Islam dari sudut institusionalnya saja. Selama tidak ada kejelasan tentang hal di atas, sebenarnya sia-sia saja diajukan klaim bahwa Islam memiliki konsep kenegaraan. Kemudian Gus Dur berhasil menyelesaikan pertentangan antara negara dan masyarakat, dimana pada masa orde baru Negara terlalu kuat atau otoriter, sementara masyarakat terlalu lemah. Ia dengan pemikiran dan pengembangan gerakan kemasyarakatan berhasil mengurangi sifat otoritarianisme negara dan 42

pada saat yang sama sukses memberdayakan masyarakat dengan munculnya kekuatan masyarakat sipil (civil society). Perjuangan Gus Dur terhadap demokrasi untuk negara, sudah bukan menjadi rahasia lagi, banyak orang yang mengetahui dan mengenal. Pemikiran Gus Dur tentang Indonesia yang dicita-citakan adalah menjadi negara yang demokrasi yang memiliki pengaruh kecil terhadap militer dan tidak ada fundamentalisme dalam agama. Baginya di kehidupan yang modern ini demokrasilah yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa. Demokrasi menjadi sedemikian penting dalam sebuah negara yang pluralistik karena ternyata dalam berkehidupan kebangsaan yang utuh hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana demokratis meskipun demokrasi untuk saat ini di Indonesia masih menjadi proses diskusi, tapi suatu saat akan tercapai demokrasi yang sebenarnya. Gus Dur sebagai satu-satu nya orang yang pertama kali mensuarakan kembali terhadap gagasan pribumisasi Islam. Dengan artian yang dipribumikan itu manifestasi kehidupan Islam, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Ini yang telah dilakukan para pelopor dakwah wali songo dalam proses Islamisasi di Indonesia. Bisa dilihat bahwa pemikiran dan gerakan Gus Dur tidak jauh berbeda dengan para wali bisa disebut juga sufi.15 Gus Dur menyatukan kebudayaan dan keberagamaan, menurutnya, agama Islam dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang tindih. Manusia tidak dapat beragama tanpa budaya, karena kebudayaan merupakan kreativitas manusia yang dapat menjadi salah satu bentuk ekspresi keberagaman. Tetapi tidak dapat disimpulkan bahwa agama adalah kebudayaan. Di antara keduanya terjadi tumpang tindih dan saling mengisi namun tetap memiliki perbedaan. Agama bersumber pada wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Norma-norma agama bersifat normatif, karenanya ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung

15 Ahmad Suaedy dan Raja Juli Antoni (ed), Op.cit, h. 11 43

untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Perspektif demikian menempatkan agama dalam fungsinya sebagai wahana pengayoman tradisi bangsa dan pada saat yang sama agama menjadikan kehidupaan berbangsa sebagai wahana pematangan dirinya.16 Gus Dur dikenal juga sebagai sosok yang humoris. Pemikiran dan sikap kritisnya terhadap realitas kehidupan sering disampaikan melalui humor, sehingga yang setuju maupun tidak sama-sama tertawa. Bahkan ia disejajarkan dengan filsuf Yunani, Socrates, yang gemar melontarkan komentar-komentar humoristis. Perlawanan yang Gus Dur lakukan mungkin banyak tidak diketahui orang, bahwa sebenarnya ia sedang mengadakan perubahan dan kritik besar besaran yang disampaikannya lewat lelucon. Di dunia internasional pun pemikiran Gus Dur diterima banyak kalangan intelektual dunia. Bahkan banyak yang melakukan penelitian secara khusus terhadap pola dan gaya pikirannya. Tidak aneh pula bila beragam penghargaan didapatkan Gus Dur dari dunia internasional. Gus Dur adalah representasi paling genuine dari dua kultur yang terus menerus bertahan dan berkembang di lingkungan NU. Yang pertama adalah kultur kiai dengan pesantrennya yang menjadi jagad kecilnya NU. Yang kedua adalah kultur kaum muda NU yang menandai konvergensi NU dengan dunia modern. Ia juga membangun pemikirannya sebagai gerakan sosial yang secara cerdas bisa menempatkan NU dalam posisi yang strategis. Lewat NU juga Gus Dur melakukan perubahan besar- besaran dan mendasar terhadap NU sendiri maupun bangsa dan negara. Pemikiran Gus Dur memiliki kekuatan aroma sufistik. Seperti gagasannya tentang Tuhan tidak perlu dibela, ia berargumen seperti yang dikatakan Al- Hujwiri yang mengatakan, “bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau “Ia menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau

16 Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LKIS, 2010),h. 107 44

orang menyerang hakikat-Nya”. Yang di takuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya. 17 Sebagian orang terutama para pengikut-pengikutnya mengatakan bahwa pemikiran spiritual Gus Dur bisa disebut sebagai sufi sejati. Ia pemaaf, meski kepada musuh yang jahat sekalipun. Meski dicaci karena membela non-muslim ia sabar dan tenang, tidak pernah menaruh dendam kepada siapapun, tidak pernah takut menghadapi apapun, ikhlas, tanpa pamrih, dan sebagainya yang mencorakkan Gus Dur pada sisi sufistik. Seorang sufi selalu menggabungkan kerja keras dan kepasrahan kepada Tuhan secara total. Gus Dur dianggap wali di mata pengikutnya dan orang-orang teraniaya. Pemikiran, pembelaan dan perjuangan Gus Dur sepanjang hidupnya, menunjukkan bahwa ia memiliki sifat- sifat seorang wali, tanpa harus dipaksakan atau diperdebatkan untuk disebut sebagai wali. Dalam hal ini Gus Dur memang sudah menjadi fenomena yang menarik sekaligus unik, terutama dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia bahkan diperhitungkan dalam wacana politik. sementara itu, ia mampu mengadakan perubahan besar-besaran di kalangan Nahdliyyin. Hal itu menjadikan dirinya sebagai sebuah tumpuan tempat berkonsultasi, menyampaikan keluhan, dan mencari informasi, kadang-kadang juga dimintai restu dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat. Gus Dur tampaknya bukan lagi seorang figur, ia sudah menjadi simbol atau bahkan sebuah mitos bagi sebagian orang. Bagi Gus Dur seorang tokoh akan diketahui tingkat keberhasilannya dengan jelas dalam memajukan umat, jika produk-produk ijtihad-nya dapat dirasakan implikasinya bagi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dapat disimpulkan bahwa pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para

17 Ibid, h. 107 45

pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo yang merupakan guru-guru sejak Gus Dur kecil telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan. Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal. Kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras. Ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan sulit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.

B. Analisis Pemikiran Gus Dur Tentang pendidikan Islam Multikultural 1. Gagalnya pendidikan Islam Ekslusif

Masyarakat Indonesia telah lama akrab dengan istilah “Bhinneka Tunggal Ika”. Dari istilah tersebut munculah ideologi filosofis pancasila yang menjadi landasan filosofis bangsa Indonesia. Sayangnya, konsep ini telah mengalami pemelintiran makna dan bias interpretasi, misalnya kebijakan sosial politik cenderung uniformistik. Sehingga tampak budaya milik kelompok dominanlah yang diajarkan dan disalurkan oleh sekolah dari satu generasi kepada generasi lainnya. Hal tersebut menimbulkan kesan adanya struktural yang membuat perbedaan dan diskriminasi budaya tertentu. Contoh lainnya adalah gagalnya peran pendidikan Islam dalam memainkan perannya sebagai juru damai (problem solver) atau eksistensi Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin yang mana bagi persoalan SARA erat kaitannya dengan pengajaran Islam secara eksklusif. Maka dari itu, agar bisa keluar dari kemelut yang mendera bangsa Indonesia terkait persoalan SARA, adalah sudah 46

saatnya bagi umat Islam untuk memunculkan wajah pendidikan Islam yang inklusif, humanis, dan multikultural. Alasan kegagalan pendidikan Islam yang ekslusif yaitu tidak bisa menyesuaikan dirinya terhadap perubahan. Terlebih dalam era globalisasi, pendidikan Islam yang demikian melahirkan sikap fanatisme belaka. Pada tataran teologis dalam pendidikan Islam perlu mengubah paradigma teologis yang pasif, tekstualitas, dan eksklusif menjadi teologi yang saling menghormati, saling mengakui eksistensi, berpikir dan bersikap positif, serta saling memperkaya iman. Dalam konteks ini muaranya adalah untuk membangun interaksi antar umat beragama yang tidak hanya bereksistensi secara harmonis dan damai, tetapi juga bersedia aktif dan pro-aktif dalam hal kemanusiaan. 18 Gus Dur berpendapat bahwa pendidikan Islam mengharuskan keberagaman tanpa menghilangkan eksistensi kultur yang ada. Lembaga-lembaga pendidikan Islam harus percaya diri menghadapi tantangan globalisasi dengan kulturnya masing-masing. Di saat yang sama Gus Dur mengkritik akan penyeragaman model kependidikan Islam yang bersifat eklusif dan fundamental, menurutnya pendidikan semacam itu hanya akan mempersempit nilai-nilai universal yang terkandung dalam Islam. Dalam hal ini Gus Dur lebih cenderung kepada rumusan pendidikan Islam multikultural. Kritik Gus Dur yang lain yaitu sistem pendidikan yang bersifat feodalistis, pendidikan yang semacam itu banyak terjadi di lembaga-lembaga Islam tradisional seperti pesantren salaf dan sebagainya. Menurut Gus Dur pendidikan yang bersifat demikian sulit untuk mempertahankan eksistensi di masa mendatang, karena pendidikan tersebut substansinya hanya mengikuti dan fanatisme ketokohan seseorang daripada lembaga pendidikan tersebut. Menurutnya figure ketokohan memang diperlukan, tetapi jika hal tersebut dijadikan modal bagi suatu lembaga, ini yang merupakan hal yang tidak sesuai dalam pemikiran Gus Dur.

18 Ali Maksum, Pluralisme dan multikulturalisme Paradigma baru pendidikan agama Islam di Indonesia, (Malang: PT Aditya Media Publishing, 2011). h. 197 47

Di sisi yang lain Gus Dur juga merasa prihatin dengan era modernisasi. Menurutnya era modernisasi telah mengubah paradigma pesantren-pesantren di Indonesia sebagai sub-kultur yang telah berabad-abad lamanya berkembang. Terlihat sangat jelas contoh perbedaan pesantren di kota besar dan pesantren di pedesaan, dampak nyata yang ditimbulkan modernisasi tersebut ialah pesantren kurang percaya diri dengan tradisinya mempelajari kitab-kitab klasik. Padahal menurut Gus Dur kitab-kitab klasik adalah buah sejarah dari peradaban Islam di dunia yang masih sangat layak untuk dikaji lebih dalam baik melalui pendekatan rasional, ataupun dengan pendekatan sufistik. Kritik-kritik yang melandasi pemikiran Gus Dur mempunyai titik tekan adanya rekontruksi bahwa pendidikan Islam perlu adanya upaya dinamisasi agar sejalan dengan tujuan agama, negara, dan masyarakat yang multikultural. Dinamisasi disini ingin menjembatani model-model pendidikan yang berseberangan. Pendidikan Islam tidak akan kehilangan jati dirinya sebagai sistem pendidikan yang unik, pendidikan Islam juga akan bertransformasi menjadi sub kultur dalam ruang lingkup masyarakat akibat dinamisasi tersebut.19 Dapat disimpulkan adanya berbagai faktor penyebab kegagalan pendidikan agama dalam menumbuhkan kesadaran multikulturalisme, contoh dari faktor tersebut misalnya penekanan pada proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik, kemudian faktor kurangnya penekanan pada penanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antar agama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka damai dan toleransi. Faktor lainnya yang erat kaitanya dengan gagalnya pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya yakni masalah keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik yang seharusnya menjadi faktor yang diperhitungkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum, tampaknya justru belum dijadikan sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan di Negara kita. Akibatnya, wajar manakala terjadi kegagalan dalam praktik pendidikan, termasuk

19 Abudin Nata Op.cit, .h. 360 48

pendidikan agama, terutama sekali dalam menumbuhkan sikap-sikap untuk menghargai adanya perbedaan dalam masyarakat. Melihat realitas tersebut, seharusnya yang menjadi tujuan dan refleksi pendidikan agama adalah upaya melakukan transformasi kehidupan beragama itu sendiri dengan melihat sisi ilahiiyah dan sosial budayanya. Pendidikan agama juga harus mampu menanamkan cara dan model hidup yang baik dan santun kepada peserta didik. Sehingga sikap-sikap seperti saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman agama dan budaya dapat dipraktikkan ditengah- tengah kehidupan masyarakat plural.20

2. Menggagas Pendidikan Islam Multikultural

Di antara bingkai pemikiran Gus Dur dalam masalah pendidikan ialah gagasanya tentang pembaruan pendidikan baik pendidikan agama maupun pendidikan umum, Konsep yang ditawarkan Gus Dur tentang pendidikan islam yang diteropong melalui pemikirannya akan peran pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan Islam yang menjadi wahana resistensi moral dan budaya atau pewaris tradisi intelektual Islam tradisional. Di samping itu Pendidikan Islam juga menawarkan ajaran universal yang menampilkan kepedulian yang tinggi pada unsur-unsur kemanusian. Gus Dur berpandangan perlunya konsep yang bisa menjadikan pendidikan Islam menjadi bagian dari proses dinamisasi universal tanpa kehilangan aspek kultural dari pendidikan Islam itu. Salah satu gagasan Gus Dur dalam usaha menampilkan citra pendidikan Islam ke dalam kehidupan kemasyarakatan adalah pendidikan Islam berbasis multikultural. Pendidikan ini mengutamakan sikap mengembangkan pandangan dan perangkat kultural yang dilengkapi oleh upaya membangun sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai itu. Pendidikan ini lebih mementingkan aktifitas budaya dalam konteks pengembangan lembaga-lembaga yang dapat mendorong transformasi sistem

20 Khisbiyah, Yayah at all., Mencari Pendidikan Yang Menghargai Pluralisme dalam Membangun Masa Depan Anak-anak Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2000) ,h.156-157 49

sosial secara evolutif. Hal ini dapat mempermudah dalam menggagas pendidikan Islam berbasis multikultural sebagaimana ciri khas pendidikan tersebut. Selanjutnya, menurut Gus Dur sifat inklusif yang diiringi dengan landasan sosio-kultural dan harmonisasinya dengan segala macam manifestasi kulturalnya dapat mengangkat peradaban Islam yang sangat tinggi seperti pada abad kejayaan Islam di masa lampau. Landasan dan filosofi utama pemikiran Gus Dur tentang pendidikan Islam menitikberatkan Pendidikan Islam sebagai etika sosial (social ethics) dalam kehidupan bangsa. Gus Dur secara tegas menolak formalisme Islam dalam masalah kultural, meski Islam adalah agama mayoritas. Ia juga konsisten mengimplementasikan pemikiran tersebut dalam sikapnya. Formalisme tersebut menurutnya bukan bersumber dari ajaran Islam, tetapi formalisme yang bersumber dari budaya arabisasi. Menurut Gus Dur Pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran, baik yang berupa pendidikan sekolah, pesantren, maupun pendidikan non-formal seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Tak terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa ini. Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri.21 Pendidikan Islam yang mempunyai nilai-nilai yang membedakan dengan pendidikan lainnya bisa dimanifestasikan kesemua lembaga selain sekolah, madrasah. Tetapi nilai-nilai keislaman justru lebih banyak diajarkan di luar lembaga tersebut. Di dalam sebuah negara bangsa yang majemuk seperti Indonesia, seharusnya pendidikan Islam diimplementasikan sebagai etika sosial, yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam kehidupan negara. Menempatkan Islam sebagai etika sosial merupakan rancang bangun yang menyeimbangkan antara

21 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 226 50

keharusan mengambil nilai-nilai positif dari proses sekularisasi atau pertukaran kultur dan spiritualitas operatif sebagai manifestasi ketaatan terhadap ajaran agama.22 Sebagai etika sosial, keislaman bisa termanifestasi dalam banyak wajah. Pertama, Islam akan menjadi agama yang terbuka karena sebagai etika, Islam terhindar dari kekakuan ajaran formalnya. Kedua, Islam akan menjadi sumber inspirasi bagi banyak golongan karena etika Pada dasarnya bersifat universal. Ketiga, Islam akan menyatu sebagai bagian dari perubahan kultural masyarakat secara keseluruhan. Dalam pandangan Gus Dur Islam tidak akan kehilangan kebesaranya dengan berfungsi sebagai etika masyarakat. bahkan kebesarannya akan memancar, karena mampu mengembangkan diri tanpa dukungan massif dari institusi negara. beragama Islam yang artinya berserah diri sepenuhnya kepada Allah, adalah tujuan hidup yang luhur. karenanya haruslah Islam menjadi prinsip masyarakat. Kemuliaan akhlaq hanyalah terasa logis untuk disempurnakan jika upaya itu diartikan sebagai kesadaran mendalam akan etika sosial dari suatu masyarakat bangsa. Prinsip Gus Dur yang demikian tampaknya menempuh jalan sufi dan para wali dalam memahami dan menyebarkan ajaran Islam. yaitu pemahaman yang lebih menekankan dimensi spiritualitas daripada dimensi normatifnya. Mengedepankan etika daripada sisi formalitasnya. Melihat manusia dari hatinya, bukan dari penampakan fisiknya dengan begitu, Gus Dur bisa menghargai berbagai pemahaman, perilaku dan bahkan keyakinan di kalangan umat Islam sendiri, dan juga di kalangan umat agama lain Tidak pernah menyalahkan, apalagi menyesatkan atau mengkafirkan mereka yang berbeda dengan keyakinan umum. Bukan semata-mata karena keyakinan merupakan sesuatu yang harus dihargai dan dilindungi, sebagaimana menjadi tujuan syariat (maqasid as-syariah), tetapi juga karena keyakinan merupakan kekayaan dan pengalaman spiritual yang khas dan berharga bagi setiap manusia. Gus Dur mengajarkan bahwa kemuliaan seorang muslim tidak semata- mata terletak pada kesadarannya untuk menghayati keagungan ajaran agama,

22 Hanif Dhakiri, Op.cit, h.101-105 51

tetapi juga pada kepedulian dan penghargaannya kepada manusia lain dengan agama dan keyakinan yang dimilikinya. menghargai orang lain adalah menghargai jiwanya dan juga agamanya. Itulah penghargaan yang sejati yang perlu ditanamkan pada peserta didik agar mempunyai rasa kemanusiaan dan toleransi antar sesama manusia.23

3. Strategi pendekatan pendidikan Islam multikultural

Gus Dur berpandangan pendidikan Islam multikultural itu bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan dan strategi, misalnya dengan cara pembaharuan pendidikan Islam dan modernisasi Pendidikan Islam, dalam bahasa Arab: tajdid al-tarbiyah al-Islâmiah dan al-hadâsah. Dalam liputan istilah pertama, tentu saja ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus dididik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang diubah adalah cara penyampaiannya kepada peserta didik, sehingga mereka akan mampu memahami dan mempertahankan kebenaran. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri, dapat dilihat pada kesungguhan anak-anak muda muslimin terpelajar, untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajaran yang benar tentang Islam. Gus Dur memberi contoh yaitu penggunaan tutup kepala di sekolah non-agama, yang di negeri ini dikenal dengan nama jilbab. Ke-Islaman lahiriyah seperti itu, juga terbukti dari semakin tingginya jumlah mereka dari tahun ke-tahun yang melakukan ibadah umroh/ haji kecil. Demikian juga, semangat menjalankan ajaran Islam datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara Berbagai komponen masyarakat Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam tidak hanya disampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang berserak-serak di seluruh penjuru dunia. 24 Kenyataan seperti itu tidak dapat diabaikan di dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di negeri manapun. Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam

23 ibid.,h. 125 24 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita ,Op.cit, h. 225 52

terhadap tantangan modernisasi. Tantangan seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam. Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup meluruskan responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Gus Dur mengambil sikap dan langkah yang berbeda dengan mayoritas aktivis Islam karena ia memiliki dasar yang kuat. Wawasannya sangat luas karena ia memahami dengan baik teks-teks keagamaan dan khazanah intelektual Islam, baik klasik maupun kontemporer. Pemahamannya terhadap banyak khazanah intelektual Islam dan juga khazanah intelektual secara umum membuatnya menjadi pribadi yang memiliki pandangan komprehensif terhadap berbagai persoalan yang ada. Dan karena itulah, Gus Dur memandang keberagaman harus mendapat perlindungan dan tak ada yang memiliki hak untuk menindas apalagi meniadakan sesuatu karena alasan perbedaan, walaupun yang berbeda secara numerik hanya sejumlah kecil saja. Kemudian beberapa strategi yang ditawarkan Gus Dur Terkait dengan pendidikan dapat penulis himpun sebagai berikut: a) Strategi Sosio-Politik Strategi ini menekankan pentingnya formalisasi ajaran-ajaran Islam ke dalam lembaga-lembaga negara melalui upaya formal dan legal. Untuk menerapkan hal tersebut pendidikan Islam harus menekankan aspek etika dalam lembaga, SDM, masyarakatnya. Strategi ini merupakan prioritas yang harus dilaksanakan sebelum melaksanakan strategi yang lainya, sebab pendidikan Islam memerlukan suatu naungan politik eksplisit Islam yang akan memproklamirkan adanya pendidikan Islam tersebut. b) Strategi Kultural Strategi ini dirancang untuk mengembangkan pendidikan Islam dengan memperbaharui kualitas pendidikan tersebut agar selaras dengan jaman. Tujuan ini dapat dicapai dengan memperdalam kesadaran pendidikan islam mengenai kompleksitas lingkunganya. Kemudian pendidikan islam terutama pesantren harus menekankan berfikir rasionalis 53

dan dan memperkuat solidaritas terhadap sesama umat manusia tanpa memandang ideologi, asal-usul, ras, atau budaya. Pendidikan Islam sebagai lembaga kultural terutama yang bernuansa pesantren merupakan agen pembaharuan yang memperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan (rural development), sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of community learning) dan juga pondok pesantren yang bersandar pada silabi yang dibawakan oleh Imam Al-Suyuti lebih dari 500 tahun lalu, dalam itmam al-dirayah silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional selama ini, dengan pengembangan kajian Islam yang terbagi dalam 14 macam disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini, dari nahwu atau tata bahasa arab klasik hingga tafsir al-qur’an dan teks hadis nabi, semuanya dipelajari dalam lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam.25 c) Strategi sosio-kultural Strategi ini menekankan bahwa pendidikan Islam perlu mengembangkan nilai-nilai keislaman yang tidak harus dilembagakan. Artinya pendidikan Islam lebih bisa diterima masyarakat melalui lembaga- lembaga umum. Gus Dur menempatkan pesantren pada sebuah tempat eksklusif dalam transformasi ajaran Islam. Pemikiran-pemikiran Gus Dur masih terbuka dalam memperjuangkan budaya-budaya Islam tradisional, khususnya budaya pesantren, namun tidak menutup mata terhadap kondisi dan perkembangan zaman yang terus berevolusi.26 d) Strategi pedagogis Titik tekan terhadap keberhasilan penerapan pendidikan Islam multikultural mengarah pada pendidik yang yang berkompeten, profesional, berwawasan luas, serta karismatik. Karismatik menurut Gus Dur Ialah nilai lebih dalam membangun spiritualitas antara pendidik dengan peserta didik di samping pendidik juga memiliki wawasan luas

25 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan (Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan,(Jakarta: The Wahid Institute : 2007) ,h. 148-149 26 Faisol, Gusdur dan Pendidikan Islam (Upaya mengembalikan Esensi Pendidikan di Era Global), Sleman (Ar-Ruz Media) 2011. h. 98 54

tentang harmonisasi dan humanisasi yang tinggi dalam menciptakan pendidikan yang multikultural. Menurut Ngainun Naim dan Achmad Syauqi penanaman nilai-nilai spiritual dan kultur sejak dini merupakan langkah yang paling efektif dalam membentuk karakter peserta didik di masa depan.27

Dari beberapa strategi di atas, pendekatan-pendekatan yang di gagas Gus Dur bersumber bagaimana ia memanifestasikan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an yang kemudian menjadi sebuah metode dalam pendidikan Islam. Ia berpandangan bahwa strategi pendekatan pendidikan Islam telah dirumuskan dalam Al-Quran berabad-abad yang lalu, ia memanifestasikan ajaran itu melalui ciri khas yang sesuai dengan pandanganya dengan melihat aspek universal, dan sisi harmonisnya sesuai dengan tuntunan Al-qur’an:

serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(Q.S. An- Nahl-125)

4. Kurikulum Pendidikan Islam Multikultural

Menurut Ronald C. Doll seperti yang dikutip Ngainun Naim dan Achmad Syauqi kurikulum merupakan pengalaman yang ditawarkan kepada anak didik di bawah bimbingan dan araha sekolah. Senada dengan itu, Mauritz Johnson mengartikan kurikulum sebagai tujuan yang akan dicapai anak didik.28 Menurut Gus Dur kurikulum yang harus dicapai pada pendidikan Islam berbasis multikultural harus mengandung universalisme ajaran Islam itu sendiri. Universalisme Islam menurut Gus Dur termanifestasikan dalam rangkaian ilmu pengetahuan yang biasa disebut pondasi agama Islam. ilmu hukum (fiqh),

27 Ngainun Na’im dan Ahmad Syauqi, Pendidikan multikultural (konsep dan aplikasi), (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010)., h.34 28 Ibid, h.189 55

keimanan (tauhid), serta etika (akhlaq). Universalisme dalam pendidikan Islam tersebut selanjutnya harus mengandung prinsip-prinsip kemanusiaan. Prinsip- prinsip kemanusiaan itu menurut Gus Dur adalah sebagai jalan diterimanya pendidikan Islam sebagai pendidikan yang humanis. Prinsip-prinsip tersebut telah dirumuskan dalam literatur kuno yaitu : pertama, keselamatan lahiriah manusia di luar ketentuan hukum (Hifdzu Nafs). Jaminan akan keselamatan lahiriah individu mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum dengan perlakuan adil kepada semua masyarakat tanpa kecuali sesuai hak masing-masing. Dengan kepastian adanya hukum, masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya dan akan tercipta keadilan sosial dalam arti yang sebenarnya. Kedua, jaminan kebebasan berkeyakinan tanpa ada paksaan untuk berpindah keyakinan ( hifdzu ad-din). Jaminan ini akan melandasi hubungan antar masyarakat demi tumbuhnya sikap saling hormat, tenggang rasa dan saling pengertian. Ketiga, jaminan keselamatan keluarga dan keturunan ( hifdzu an-nasl), jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti etis maupun arti kesusilaan. Jaminan kesucian keluarga merupakan sesuatu yang penting, karena keluarga merupakan ikatan sosial yang paling dasar. Keempat, jaminan keselamatan harta benda dan kepemilikan di luar ketentuan hukum ( hifdzu al-mal), jaminan dasar kepemilakan merupakan sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan proporsional, dalam kaitanya dengan hak-hak masyarakat atas individu. Dengann hak itulah masyarakat memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan diri melalui pola atau cara yang dipilihnya sendiri. Kelima, jaminan hak cipta dan profesi ( hifdzu al-aql). Jaminan ini menampilkan sosok lain dari universalisme Islam, kebebasan profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan atas resiko masing-masing akan keberhasilan yang ingin diraih. Kebebasan yang telah diraih merupakan penentuan arah hidup dan tanggung jawabnya sendiri.29

29 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Op.cit,h. 4-8 56

Prinsip ajaran universalisme Islam ini kemudian diorientasikan kepada tujuan pendidikan Islam multikultural. Menurut Gus Dur tujuan pendidikan tersebut harus lebih ditekankan kepada aspek afektif dan psikomotorik. Selain itu nilai-nilai etika yang bersumber dari ajaran Islam dan aspek kebudayaan lokal masyarakat perlu ditekankan . Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik dan pembekalan keterampilan atau skill, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekadar mengandalkan aspek kognitif. Kemudian, dalam proses belajar mengajar guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga terbentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif dan inovatif pada diri peserta didik. Selanjutnya, guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya sekedar transfer of knowledge tapi pembelajaran harus meliputi transfer of value and skill, serta pembentukan karakter (caracter building). Disamping itu, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan motivasi belajar kepada peserta didik sehingga anak akan memiliki minat belajar yang tinggi dan harus ditanamkan pola pendidikan yang berorientasi proses (process oriented), di mana proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan di atas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil formalitas, seperti mengejar gelar atau titel di kalangan praktisi pendidikan dan pendidik tidak termasuk dalam pendidikan berbasiskan multikultural. Yang harus dikedepankan dalam pembelajaran kita sekarang adalah penguasaan pengetahuan, kadar intelektualitas, dan kompetensi keilmuan dan keahlian yang dimilikinya. Sistem pembelajaran pada sekolah kejuruan mungkin bisa diterapkan pada sekolah-sekolah umum, yaitu dengan menyeimbangkan antara teori dengan praktek dalam implementasinya. Sehingga peserta didik tidak mengalami titik kejenuhan berfikir, dan siap manakala dituntut mengaplikasikan pengetahuannya dalam masyarakat dan dunia kerja. 57

Pengembangan kurikulum yang digagas Gus Dur didasarkan pada prinsip- prinsip budaya dengan pendekatan multikultural sebagai berikut: 1) mengubah filosofi pendidikan yang mengembangkan kemampuan kemanusiaan, ini dinamakan humanisme. 2) isi kurikulum yang mencakup moral, nilai, keterampilan yang harus dimiliki peserta didik, hal ini dinamakan etika sosial 3) teori belajar yang bersifat kebudayaan dan sosio kultural. 4) proses belajar yang tidak kompetitif dan individualistik. 5) evaluasi yang komprehensif.30

5. Aplikasi Pendidikan Islam Multikultural

Pesantren sebagai salah satu lembaga yang bernafaskan Islam memiliki keunikan tersendiri. Aplikasi pendidikan islam multikultural yang digagas Gus Dur tidak lepas dari lembaga pendidikan Islam tersebut. Sebagaimana yang telah dibahas di atas, Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, kita melihat paling kurang terdapat lima macam tipologi pesantren. Pertama, lembaga pendidikan pesantren yang bersifat salafi, yaitu lembaga pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan agama dengan bersandar pada kitab-kitab klasik dengan menggunakan sistem halaqah, sorogan dan bandongan. Kedua, lembaga pendidikan pesantren yang selain memiliki ciri-ciri pesantren salafi sebagai mana tersebut di atas, juga telah mengadopsi sistem madrasah, walaupun muatan kurikulumnya sepenuhnya agama. Ketiga, lembaga pendidikan pesantren yang selain memiliki sistem madrasah juga sudah melengkapinya dengan sistem sekolah umum yang memungkinkan santrinya dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi baik di perguruan tinggi agama maupun pada perguruan tinggi umum. Keempat, sistem pendidikan pesantren yang sudah melengkapi dirinya dengan keunggulan dalam menguasai bahasa asing dan teknologi modern. Kelima, sistem pendidikan pesantren yang santrinya diarahkan untuk menjadi tenaga kerja professional yang dibutuhkan masyarakat. Pada

30 Ngainun Na’im dan Ahmad Syauqi, Op.cit, h. 198-199 58

pesantren model kelima ini, para lulusannya diarahkan untuk bekerja secara mandiri pada sektor informal.31 Munculnya dinamika pesantren yang demikian itu tidak lepas dari gagasan Gus Dur menginginkan terjadinya proses penggalakan kembali nilai-nilai lama yang tidak relevan lagi dengan nilai-nilai baru yang lebih relevan dan dianggap baik dan lebih sempurna. Inilah yang selanjutnya memunculkan istilah yang berbunyi :al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wal al-akhdzu bi al-jadid al – ashlah (memelihara dan melestarikan nilai-nilai lama yang masih relevan dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih relevan lagi. Abuddin Nata merefleksikan pemikiran Gus Dur dengan mengkategorisasikan sebagai pembaharu pendidikan. Misalnya: Gus Dur juga menyinggung tentang terjadinya kekacauan dalam sistem pendidikan pesantren. Menurutnya kekacauan ini terjadi karena dua hal pertama, sebagai refleksi dari kekacauan yang terjadi secara umum di masyarakat Indonesia, sebagaimana masyarakat yang tengah mengalami transisi. Kedua, karena munculnya kesadaran bahwa kapasitas pesantren dalam menghadapi tantangan-tantangan modernitas hampir tidak memadai yang disebabkan karena unsur-unsur strukturalnya mandeg sehingga tidak mampu menanggapi perubahan. Selain itu Gus Dur juga melihat adanya kekurangan pada sistem pesantren yang berakibat pada kekurangmampuan pesantren dalam menghadapi tantangan pembaruan. Gus Dur melihat bahwa kekurangan tersebut melahirkan dua reaksi sebagai berikut: Pertama, berbentuk munculnya sikap menutup diri dari perkembangan umum masyarakat luar terutama dari kegiatan yang mengancam kemurnian kehidupan beragama. Kedua, timbulnya aksi solidaritas yang kuat di antara pesantren dan masyarakat. Selanjutnya Gus Dur menjelaskan bahwa dalam melakukan modernisasi dan dinamisasi pendidikan Islam multuikulturalisme perlu adanya langkah- langkah sebagai berikut. Pertama, perlu adanya perbaikan keadaan di lembaga pendidikan yang didasarkan pada proses regenerasi kepemimpinan yang sehat dan kuat. Kedua, perlu adanya persyaratan yang melandasi terjadinya proses

31 Abudin Nata Op.cit, .h. 353 59

dinamisasi tersebut. Persyaratan dimaksud meliputi rekonstruksi bahan-bahan pengajaran ilmu-ilmu agama dalam skala besar-besaran. Inilah yang melandasai gagasan pemikiran Gus Dur tentang perlunya melakukan reorientasi dan rekonstruksi terhadap semua sistem pendidikan pesantren yang dilakukan dengan cara mengambil nilai-nilai baru, tanpa meninggalkan pokok-pokok ajaran agama yang kita warisi selama ini. Selain itu, Gus Dur juga menekankan pentingnya mengatasi problema internal dan eksternal yang ada di pendidikan Islam, sehingga ia tetap eksis di masa mendatang. Selanjutnya Gus Dur berpendapat, bahwa dalam melakukan modernisasi tersebut, pendidikan Islam harus mampu melihat gejala sosial yang tumbuh di masyarakat, sehingga keberadaan lembaga islam tersebut dapat berperan sebagai pusat pengembangan masyarakat. Upaya ke arah ini, menurut Gus Dur dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan cara mengarahkan semua perubahan yang dilakukan pada tujuan mengintegrasikan pendidikan islam sebagai sistem pendidikan ke dalam pola umum pendidikan nasional yang membangun manusia yang kreatif. Kedua, dengan cara meletakkan fungsi kemasyarakatan dalam kerangka menumbuhkan Lembaga Governmental Organization (LGO) menjadi Lembaga Non-Governmental Organization (NGO) yang kuat dan matang di pedesaan, sehingga mampu menjadi rekan yang sesungguhnya bagi pemerintah dalam upaya melakukan pembangunan nasional.32 Lebih lanjut Gus Dur berpendapat, bahwa tradisi pendidikan Islam yang bernuansa multikultural, merupakan modal yang amat berharga bagi pengembangan pendidikan yang lebih humanis. Menurutnya tradisi ini telah terbukti sangat ampuh dalam memainkan perannya sebagai benteng kultural dan agama yang dapat diharapkan mampu menjadi penyelamat generasi muda Muslim dari proses brain washing nilai-nilai keislaman yang terjadi dalam proses pendidikan umum. Dalam konteks ini terlihat dengan jelas, bahwa di dalam gagasan pembaruan sistem pendidikan Islam yang dikemukakan Gus Dur amat erat kaitannya dengan gagasan dan pemikiran humanismenya sebagaimana telah disebutkan di atas.

32Ibid, h.360 60

Selanjutnya pendidikan Islam juga harus berperan dalam merespon modernisasi yang tengah berkembang saat ini. Peran tersebut terjadi pada upayanya menyediakan pedoman spiritual pada masyarakat dengan cara menyesuaikan agama dengan tantangan modernisasi. Dengan kata lain agama tidak cukup hanya dimanifestasikan dalam rangkaian upacara-upacara keagamaan, akan tetapi pesan telah berperan dalam merumuskan kembali universalisme dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Gus Dur berpendapat bahwa lembaga pendidikan Islam perlu menyelenggarakan kajian pendidikan umum. Alasan tersebut antara lain: Pertama, bahwa mayoritas masyarakat tidak semua belajar di lembaga pendidikan Islam. Kedua, masyarakat yang belajar di sekolah umum dengan belajar agama di lembaga Islam, akan terdorong untuk memasuki pendidikan Islam dan sekaligus memasuki lembaganya. Dalam konteksnya Gus Dur tidak menginginkan adanya dikotomi pendidikan. Semua aspek-aspek pendidikan hendaknya bersaing secara sehat dalam mencapai tujuan dan karakter masing-masing. Berdasarkan pada gagasannya, Gus Dur menginginkan juga agar peserta didik yang belajar adalah peserta didik yang memiliki ilmu agama yang kuat dan sekaligus juga memiliki ilmu umum yang kuat secara seimbang. Gus Dur menginginkan, agar di samping mencetak ahli ilmu agama Islam, juga mampu mencetak orang yang memiliki keahlian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti ilmu komputer, fisika, pertanian, perkebunan, dan sebagainya. Tetapi yang patut digaris bawahi peserta didik tersebut mampu menjadi peserta didik yang humanis terhadap peserta didik lainnya sebagai bekal kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya Gus Dur juga menginginkan agar kurikulum pendidikan Islam memiliki keterkaitan dengan kebutuhan lapangan kerja. Untuk kalangan dunia kerja, baik dalam bidang jasa maupun dalam bidang perdagangan dan keahlian lainnya, pendidikan Islam harus memberikan masukan bagi kalangan pendidikan lainya, tentang keahlian apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh lapangan kerja yang di era globalisasi seperti sekarang ini demikian cepat dan beragam. Seiring dengan perubahan arah kurikulum tersebut di atas, Gus Dur juga menekankan tentang pentingnya menghilangkan dikotomi antara ilmu agama dan 61

ilmu umum, dengan catatan penguasaan ilmu agama harus diberi porsi yang cukup besar dalam kurikulum tersebut. Porsi tersebut dapat diberikan dalam ukuran besar secara kualitatif dan bukan dalam segi kuantitatif. Dengan kata lain, modernisasi kurikulum pendidikan Islam harus tetap berada pada jati dirinya, karena dengan cara demikian itulah, dunia pendidikan Islam tidak akan kehilangan jati dirinya sebagai sub kultur dalam negara ini. Dalam hal ini, ia pernah menggagas serta mengaplikasikan wujud dari percampuran pendidikan dalam madrasah-madrasah pesantren berbasis NU. Menurut Abdurrahman Wahid, tujuan pendidikan Islam bukan hanya terletak pada upaya tafaqquh fi aI-din, yakni menghasilkan manusia yang mendalami ilmu agama setingkat ulama, melainkan terintegrasinya pengetahuan agama dan non-agama, sehingga lulusan yang dihasilkan pesantren adalah suatu kepribadian yang utuh dan bulat dalam dirinya, yakni pribadi yang di dalamnya tergabung unsur-unsur keimanan yang kuat atas pengetahuan secara seimbang. Peserta didik yang dihasilkan pendidikan yang demikian itu, sebagai peserta didik yang memiliki wawasan pemikiran yang luas, pandangan hidup yang matang dan mampu melakukan kerja-kerja praktis, serta berwatak multi sektoral dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dengan kata lain, peserta didik yang mampu memandang jauh ke depan, di samping memiliki keterampilan praktis untuk menyelesaikan berbagai persoalannya sendiri secara tuntas.33 Dengan demikian, menurut Abuddin Nata orientasi yang diharapkan oleh Gus Dur adalah sebuah pribadi yang tercermin pada diri Gus Dur itu sendiri, yaitu pribadi yang di samping menguasai ilmu agama secara luas dan mendalam juga menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Sehubungan dengan tujuan tersebut, maka berbagai aspek yang terkait dengan pengembangan pendidikan Islam, mulai dari kurikulum metode pengajaran, kepemimpinan dan manajemennya harus diperbaiki dan diperbarui dengan cara menyerap nilai-nilai baru yang modern dan mempertahankan nilai-

33 Ibid, h.361-363 62

nilai lama yang masih relevan, sesuai dengan pandangannya sebagaimana tersebut di atas. Dari substansi diatas, yang dapat disimpulkan dari penulis yaitu pandanganya yang sangat dinamis, terkadang ia seperti memihak kearah yang berlawanan. Gus Dur terkadang menginginkan bahwa pendidikan Islam haruslah sesuai dengan perkembangan zaman atau dalam istilah modernisasi, tetapi dalam waktu yang sama ia juga tidak setuju akan adanya modernisasi itu. Modernisasi dalam Islam sendiri berkonotasi sebagai gerakan purifikasi. Hal yang perlu dicatat dari hasil analisis ini yaitu bagaimana ia mengenalkan perbedaan menjadi sesuatu yang harus ada dan bagaimana cara menghadapi perbedaan itu dengan harmonis. Kemudian dalam pandanganya terhadap pendidikan Islam, ia menganggap bahwa pendidikan Islam itu merupakan pendidikan yang tidak harus dirubah secara besar-besaran. Hal ini menyebabkan pendidikan Islam itu kehilangan jati dirinya. Ia menginginkan bahwa dalam menghadapi era globalisasi pendidikan Islam maupun pendidikan umum harus dimodifikasi dalam aspek substansinya sebagai sebuah kebudayaan yang humanis.

BAB V

Penutup

A. Kesimpulan

Adapun dalam menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini penulis menyimpulkan secara naratif yaitu: pertama, Gus Dur adalah seorang tokoh yang memiliki pengalaman pendidikan yang lengkap antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Pendidikan agamanya ia peroleh dari pesantren, kemudian lembaga-lembaga pendidikan yang prestisius, yaitu Universitas Al-Azhar, Kairo, dan Universitas di Baghdad. Sedangkan pendidikan umumnya di peroleh dengan cara otodidak, membaca buku-buku berbahasa asing yang membahas tentang berbagai masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya. Kedua, dilihat dari kontribusinya, Gus Dur bukan hanya mengabdikan dirinya untuk kepentingan komunitas Islam, atau untuk kepentingan bangsa Indonesia saja, melainkan untuk kepentingan kemanusiaan di seluruh dunia. Dengan komitmenya ini, Gus Dur telah mendapatkan berbagai penghargaan yang bertarap nasional dan internasional. Terlepas dari pro dan kontra, Gus Dur memang dikenang oleh sebagian banyak orang di berbagai penjuru dunia melalui kontribusinya. Ketiga, dilihat dari segi pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur dapat dikategorikan sebagai pemikir neo modernis, tradisionalisme, dan juga post modernisme. Di dalam pemikirannya dapat dijumpai gagasan-gagasan unik yang dibangun atas dasar pandangan keagamaan, kemodernan, dan kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang memiliki pemikiran ultratradisionalis,

63 64

rasional, liberal dan sekaligus kultural dan aktual. Ia adalah pemikir yang unik yang apabila dikaji secara mendalam, pemikiranya bertumpu pada upaya memadukan nilai-nilai lama yang masih relevan dengan nilai-nilai baru yang lebih relevan dengan konsep dinamisasi dan harmonisasinya. Kempat , gagasan dan pemikiran Gus Dur dalam bidang pendidikan secara signifikan berkisar pada modernisasi pendidikan Islam. Berbagai aspek pendidikan, mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, manajemen dan kepemimpinan yang ada di pesantren harus diperbaiki sesuai dengan perkembangan zaman era globalisasi tanpa menghilangkan subkultur dari pendidikan tersebut. Perubahan pada pendidikan tidak harus modern, tetapi pendidikan harus mencapai tujuan dengan caranya sendiri, baik secara tradisional maupun modern pendidikan harus mempunyai kesamaan tujuan universal sesuai dengan definisinya. Pendidikan Islam multikultural menekankan aspek afektif dan psikomotorik peserta didik agar dapat menjalani kehidupan secara dinamis. Pendidikan Islam juga harus terlibat secara aktif dalam memberdayakan masyarakat dan tampil sebagai kultur identitas bangsa. Seiring dengan itu, kurikulum pendidikan Islam seharusnya tidak hanya berisi mata pelajaran agama saja, melainkan juga memuat mata pelajaran umum, ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan yang dibutuhkan oleh lapangan kerja tetapi mempunyai landasan dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Selanjutnya pendekatan dalam pengajaran harus disempurnakan dengan metode pengajaran yang merangsang kemampuan berpikir kritis, rasional dan spiritual. Sedangkan dalam segi pendidik harus dilakukan perpaduan karismatik dengan kepemimpinan yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern. Pendidikan Islam multikultural menurut Gus Dur lebih menekankan pada aspek psikomotorik ditambah dengan aspek spiritual dan humanisme. Aspek tersebut akan mencapai dimensi aspek-aspek lainnya secara naturalistik, menurutnya pula aspek yang digagas tersebut akan menjadi landasan pluralitas- dan multikulturalitas suatu bangsa 65

B. Implikasi

Pendidikan Islam multikultural merupakan konsep pendidikan yang sangat baik jika diterapkan pada pendidikan di Indonesia, baik pendidikan umum, maupun pendidikan Islam. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa di Negara ini mempunyai kultur dan masyarakat yang sangat beragam, di samping itu globalisasi dan modernisasi juga telah merubah sejarah yang ada sehingga tantangan akan konflik kultur menjadi sesuatu yang sering terjadi dalam masyarakat.

Kesadaran akan rasa multikultural dapat menjadikan seseorang lebih humanis, professional, serta menjunjung tinggi perilaku rahmatan lil alamin atau rahmat bagi semua makhluk Allah, tidak terbatas pada golongan tertentu saja. Oleh karena itu kesadaran dan kedewasaan bagi para individu akan multikultural sebagai rahmatan lil alamin merupakan pintu utama akan terciptanya sebuah masyarakat masa depan yang harmonis.

C. Saran

Dari kesimpulan di atas penulis beranggapan bahwa perlunya gagasan pembaruan pendidikan yang bersifat multikultural dapat di realisasikan terutama bagi sistem pendidikan kita. Karena disamping melestarikan kearifan budaya lokal juga pendidikan tersebut mampu merespon tantangan globalisasi yang ditimbulkan modernisme. Banyak contoh yang dapat direalisasikan dalam mengaplikasikan pendidikan Islam multikultural tersebut, pada prinsipnya baik pendidikan Islam maupun pendidikan umum bisa dikatakan multikulturalisme apabila memuat prinsip-prinsip kemanusiaan, harmonisasi, dan kesadaran toleransi dan menerima perbedaan yang ada. Prinsip-prinsip itulah yang membedakan pendidikan multikultural dengan pendidikan monokultural baik yang berupa lembaga modern, tradisional ataupun yang lainnya. 66

Kemudian saran-saran yang terkait dengan kesimpulan, penulis mengorientasikan kepada stake holder pendidikan antara lain: 1. Bagi para ahli pendidikan Agar mengembangkan wacana tentang pendidikan yang lebih dinamis dengan berorientasi kepada masyarakat dan kulturnya. Di samping itu hendaknya para ahli pendidikan terus berinovasi dalam mengembangkan desain kurikulum berbasis multikultural bagi pendidikan di negara Indonesia. 2. Bagi pendidik dan peserta didik Agar mengembangkan wawasan yang luas tentang pendidikan yang multikultur, disamping bersikap toleran, profesional, spiritual yang tinggi baik dalam situasi formal maupun nonformal berlandaskan aspek-aspek universal ajaran Islam dan kebudayaan lokal. 3. Bagi lembaga pendidikan Agar mengembangkan kurikulumnya baik visi, misi yang berorientasi kepada kebudayaan sekitar, Tidak hanya mengikuti pragmatisme dan modernisasi saja. Lebih dari itu lembaga pendidikan seyogyanya bersaing secara sehat dalam mencapai tujuan. Lembaga-lembaga tersebut harus menerapkan standarisasi dalam hal kualitas dan karakternya masing-masing. 4. Bagi pemerintah Agar lebih memperhatikan sektor pendidikan dalam menciptakan pendidikan yang baik dan berkualitas. Karena pendidikan yang baik dan berkualitas merupakan pondasi dalam menciptakan pemerintahan yang baik dan berkualitas pula. Selain itu pemerintah seyogyanya tidak membeda- bedakan kualifikasi baik dari pendidikan umum maupun pendidikan Islam ataupun pendidikan lainnya. 5. Bagi masyarakat Agar menciptakan lingkungan yang toleran dan inklusif terhadap keberagaman yang ada. Di samping itu setiap individu masyarakat mempunyai kesadaran yang tinggi dalam bersikap harmonisasi dan toleransi terhadap keragaman budaya.

67

Daftar Pustaka

Abdullah Amin, Pengajaran Kalam & Teologi di era kemajemukan, Jurnal Tashwirul Afkar, LAKPESDAM, Edisi 11, 2001

Abidin Zainal dan Habibah Neneng ed, Pendidikan Islam dalam Perspektif Multikulturalisme, Jakarta (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama) 2009

Ahmadi H. Abu, Sosiologi Pendidikan, Jakarta (PT Rineka Cipta), 2004.

Arikunto Suharsimi, Prosedur penelitian suatu Pendekatan Praktik, Jakarta (Rineka Cipta) 2006

Azra Azyumardi, Pendidikan Islam : Tradisi & modernisasi menuju Milennium Baru, Ciputat (PT Logos Wacana Ilmu) cet IV, 2002

Baidhawi Zakiyudin, Pendidikan Islam Multikulturalisme, Jakarta (PT Erlangga) 2005

Barton Greg, Biografi Gusdur (The authorized bioghraphy of Abdurrahman Wahid) , Yogyakarta (LkiS Pelangi Aksara) 2008

Dhakiri Hanif, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, Yogyakarta (LKIS) 2010

Fauzan, Pendidikan Multikultural dalam Piagam Madinah, Skripsi Pada Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011. Tidak dipublikasikan

Gaus Ahmad, Dkk, cerita sukses pendidikan multicultural di Indonesia, Jakarta (CSRC UIN Jakarta) 2010

Hamid Hasan, S, “Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Edisi Januari- November 2000,. 68

Hayati Miratul, Rekontruksi PAI Berbasis Multikultural, Skripsi Pada Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2006. Tidak dipublikasikan

Kompas ed, Gusdur (Santri Par Excellence), Jakarta (PT Kompas Media Nusantara) 2010

Kompas ed, (perjalanan politik Gusdur), Jakarta (PT Kompas Media Nusantara) 2010

Maksum Ali, Pluralisme dan Multikulturalisme Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, Malang (Aditya Media Publishing) 2011

Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultur, Surabaya (PT Temprina Media Grafika)

Mastuhu, Pendidikan Islam Masih Berkutat Pada Nalar Islam Klasik, Rubrik Wawancara Jurnal Tashwirul Afkar, LAKPESDAM, Edisi 11, 2001

Mulkhan Abdul Munir, Humanisasi Pendidikan Islam, Jurnal Tashwirul Afkar, LAKPESDAM, Edisi 11, 2001

Naim Ngainun dan Sauqi Achmad, pendidikan multicultural (konsep dan aplikasi), Jogjakarta (Ar-Ruzz Media)2010.

Nata Abuddin, Tokoh-tokoh pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta (PT Raja Grafindo Persada) 2005

Nizar Samsul, Pengantar dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001

Noer Aly Hery, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta (Logos) 1999

Risad Mahbub, Biografi Gusdur, 2012, p.1, (http://sosok.kompasiana.com/2012/06/09/biografi-gusdur-469556.html). 69

Rumaidi, Post Tradisionalisme Islam :Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, Balitbang DEPAG RI, 2008

Sisdiknas, Undang-undang sistem pendidikan nasional, (Bidang DIKBUD KBRI Tokyo). H.3-4

Suaedy Ahmad dan Antoni Raja Juli ed, Para Pembaharu Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggara , Jakarta (SEAMUS) 2009

Subkhi Akhwani, Pendidikan Berspektif Multikultural; Studi Pemikiran Pendidikan Multikultural Menurut H.A.R Tilaar, Skripsi Pada Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011. Tidak dipublikasikan

Tilaar H.A.R, Manifesto Pendidikan Nasional Tinjauan dari Perspektif PostModernisme dan Studi Kultural, Jakarta (PT Kompas) 2005

Wahid Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta (The Wahid Institute) 2006

------, Islam Kosmopolitan, Jakarta (The Wahid Institute) 2006

Zada Khamami, Membebaskan Pendidikan Islam dari eklusivisme menuju inklusifisme dan pluralisme, Jurnal Tashwirul Afkar, LAKPESDAM, Edisi 11, 2001

BIODATA PENULIS

Nama : Resdhia Maula Pracahya Warga Negara : Indonesia Tempat,Tanggal Lahir : Tambah Rejo, 03 Oktober 1990 Agama : Islam Alamat Asal : Pagelaran – Pringsewu - Lampung Email : [email protected] Pendidikan Formal : S1 Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN Jakarta angkatan 2008 MAK Al Hikmah 01 Bumiayu Jawa Tengah, tamat 2007 MTs Al Hikmah 01 Bumiayu Jawa Tengah, tamat 2004 SDN 2 Pagelaran Lampung Selatan, tamat 2001.

Pendidikan Non Formal : Kursus Bahasa Inggris di CIS (Clear English Study) Ciputat tahun 2011 Kursus Komputer Privat di UNJ Rawamangun tahun 2010 Madrasah Mualimin Al-Hikmah Bumiayu Jawa Tengah spesifik gramatika Arab / Nahwu Shorof tahun 2001-2007 TPA Pagelaran Pringsewu Lampung tahun 1997-2000