Drs. Firdaus Syam, M.A. Drs. Ahmad Suhelmi, M.A. Drs. Firdaus Syam, M.A. AHMAD Drs. Ahmad Suhelmi, M.A. SUMARGONO Dai & Aktivis Pergerakan Islam yang Mengakar di Hati Umat

Sebagai manusia biasa Ahmad Sumargono punya banyak kelemahan dan kekurangan, akan tetapi semua itu dikalahkan dengan satu kelebihannya, yaitu selalu membela dan mendahulukan Islam dalam gerakannya. Sehingga kita pun hormat atas setiap kerjanya bagi umat, bangsa, dan negara. Adhiyaksa Dault, S.H, M.A.

Beliau seperti ayah bagi Arifin. Setiap Tablig Akbar Arifin selalu hadir dan cium tangan Dai & Aktivis Pergerakan Islam yang Mengakar di Hati Umat beliau. Sosoknya terkesan keras, padahal beliau adalah tegas. Karisma beliau, cita-cita beliau demi umat dan syariat Islam. Karena itulah Arifin sayang beliau. Ustad Arifin Ilham

Alhamdulillah, umat Islam khususnya dan bangsa umumnya, kembali AHMAD SUMARGONO mendapatkan bukti bahwa ber-Islam ternyata dapat dilakukan dalam beragam kegiatan yang memberdayakan, mencerahkan, dan membawa manfaat amal sholeh yang beragam pula. Itu dapat dibaca dengan gamblang dalam fakta-fakta yang sangat terang dari buku biografi Ustad Ahmad Sumargono, S.E. Dr. Hidayat Nurwahid, M.A.

Sejak KISDI di deklarasikan pertama kali oleh M. Natsir (Alm). September 1987, nama Ahmad Sumargono menjadi lekat dan dekat dengan KISDI. Berbagai gerakan dan tablig jadi hidup. Sayang setelah ia aktif di politik, ia tidak punya banyak waktu lagi di KISDI. K.H. Abdul Rasyid Abdulah Syafi’i

Sejak kecil kami, saya dan keluarganya selalu dekat. Dia berasal dari keluarga darah biru, tetapi karena pergaulan yang luas, dia tidak pernah membedakan orang-orang yang dihadapinya. Dia tidak pernah kelihatan merasa lebih dari yang lain. Ustad Mohammad Soebari Kata Pengantar: Serem? Ternyata saya ketemu seorang Ahmad Sumargono yang suka humor dan DR. Bahtiar Effendy, M.A. gampang diajak bicara, termasuk tentang hal-hal peka. Bahwa posisinya tegas Islami, itulah profilnya. Franz Magnis Suseno, S.J.

Jl. Cendrawasih Raya A27/4 Pondok Safari Indah Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan - 15223 Phone/WA: 0811 9882 118 / 021-731 4567 E-mail : [email protected], Web : indocamp.id ISBN 978-623-252-966-3 (PDF) AHMAD SUMARGONO Dai & Aktivis Pergerakan Islam yang Mengakar di Hati Umat

Drs. Firdaus Syam, M.A. Drs. Ahmad Suhelmi, M.A. AHMAD SUMARGONO Dai & Aktivis Pergerakan Islam yang Mengakar di Hati Umat

Penulis : Drs. Firdaus Syam, M.A. Drs. Ahmad Suhelmi, M.A. Penyunting : Wakhid Nur Effendi Desain sampul : Edi Wahyono Penata letak : Ireng Halimun Koordinator : G. Hersan Mulyatno Cetakan pertama : Oktober 2004 Cetakan kedua : Agustus 2020 Diterbitkan : Jl. Cendrawasih Raya A27/4 Pondok Safari Indah Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan - 15223 Phone/WA: 0811 9882 118 / 021-731 4567 E-mail: [email protected], Web: indocamp.id

ISBN: 978-623-252-965-6 ISBN: 978-623-252-966-3 (PDF)

Anggota IKAPI DKI Jakarta Hak Penerbitan ada pada © Hak cipta dilindungi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi tanpa izin Penerbit

Hak Cipta © Drs. Firdaus Syam, M.A. & Drs. Ahmad Suhelmi, M.A.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

(1) Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

ii Benarkah apa yang dikatakan majalah Tempo? Bahwa dunia di mata Ahmad Sumargono, terdiri dari “Mereka” dan “ Kami.” “Mereka” adalah yang memerangi perjuangan Islam dan “Kami” adalah umat Islam.

(Tempo, 23 November 1998)

iii iv DAFTAR ISI

DAFTAR ISI v

UCAPAN TERIMA KASIH vii

PENGANTAR PENULIS ix

KATA PENGANTAR Refleksi atas Pasang-Surut Hubungan Islam dan Negara di Indonesia xv

BAB I Pendahuluan 1

BAB II Kehidupan dari Masa Kanak-kanak hingga Menjadi Aktivis Dakwah 19 Masa Kanak-kanak dan Remaja 19 Romantika Masa Kemahasiswaan hingga Membina Rumah Tangga 25

BAB III Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional 53 Membangun Jaringan Umat 53 Motor Gerakan Islam: KMJ, KISDI, dan GPMI 62 Gogon dan Partai Bulan Bintang: “Pewaris” Masyumi 72

BAB IV Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono 99 Pelarangan Jilbab 99

v Miras dan Makanan Haram 105 Penghinaan terhadap Islam 110 Aliran Kepercayaan 116 Menolak Negara Sekuler 122 Saya Seorang Fundamentalis 133 Syariat Islam 142

BAB V Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah 147 Aksi Politik Menjelang SI MPR 1999 147 Merespons Kerusuhan 154 Menilai Tiga Presiden: Habibie, Gus Dur, dan Megawati 169

BAB VI Sumargono di antara Para Jenderal, Nasionalis Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat 205 Sumargono dan Kalangan Militer 205 Sumargono dan Nasionalis Sekuler 221 Sumargono dan Elit Islam 225 Sumargono di Mata Pengamat Barat 235

BAB VII Kesimpulan 245

Aktivitas Ahmad Sumargono dalam Foto Dokumentasi 251

Daftar Pustaka 271

Indeks 277

Riwayat Penulis 286 vi UCAPAN TERIMA KASIH

SSALAMU’ALAIKUM Wr. Wb. A Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya, serta salawat dan salam untuk Nabi Muhammad SAW beserta keluarga- nya, dengan penuh harapan semoga umat Islam di mana pun berada akan segera mencapai Izzul Islam wal Muslimin. Alhamdullillah sampai saat ini saya masih diberikan umur panjang, kesehatan dan rizki serta keturunan yang sangat membahagiakan. Adalah hal yang sama sekali tidak pernah terpikirkan bahkan sangat tak terduga, bahwa pada tahun ini dalam usia saya 61 tahun, Allah telah mentakdirkan sejarah dalam perjalanan kehidupan keluarga saya, melalui terbitnya buku biografi ini, yang ditulis oleh saudara-saudara saya seiman dan secita-cita, Firdaus Syam, MA dan Ahmad Suhelmi, MA. Diam-diam saya sangat kagum pada anak-anak muda ini yang keduanya adalah kandidat Doktor. Di samping itu keterlibatannya seorang tokoh intelektual muda DR. Bahtiar Effendy, MA, dengan tulus ikhlas sekalipun dalam keadaan sakit, dia rela memenuhi permohonan saya untuk menyampaikan kata pengantar pada buku biografi ini secara kritis dan objektif, sehingga buku ini telah menjadi lebih berkualitas. Atas ketulusan dan kerja keras mereka, saya hanya bisa berdoa, semoga kelak mereka akan diangkat harkat dan derajatnya oleh Allah Swt. sebagai pemimpin umat dan bangsa di masa yang akan datang.

vii Buku biografi ini, saya nilai sangat berharga buat anak cucu saya, dan tentunya saya berharap agar perjalanan hidup saya yang terefleksi dalam buku ini akan menjadi pelajaran bagi anak cucu saya khususnya, dan mungkin saja bagi generasi muda saat ini dan di masa datang. Kepada sahabat-sahabat saya yang telah memberikan komentar singkat tentang diri saya, seperti Sdr. H. Adhi- yaksa Dault, SH, MA, Ustad K.H. Arifin Ilham, Dr. H. Hidayat Nurwahid, MA, K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafii, Ustad H. Mohammad Soebari dan Franz Magnis Suseno, SJ, dalam kesempatan ini pula saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga. Tentunya tiada ada gading yang tidak retak, kelemahan dan kekurangan pasti akan dijumpai dalam buku ini, apalagi masa penyusunan buku ini relatif singkat. Oleh karenanya saran dan kritik membangun demi masa depan bangsa dan negara yang kita cintai ini akan menjadi harapan saya. Tidak lupa pula saya sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah mendorong dan membantu terwujudnya buku ini, khususnya kepada Sdr. Aru Syeif Asadullah, Sdr. Nuim Hidayat, Pak Hersan dari Penerbit Millennium Publisher, PT Dyatama Milenia, dan lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Wassalam

Ahmad Sumargono

viii PENGANTAR PENULIS

M EMAHAMI pemikiran seorang tokoh adalah menangkap spektrum pergulatan pemikiran yang terjalin secara berkelindan dari puncak nilai nilai yang mempengaruhi pergulatan, perbenturan, persentuhan, dan konvergensinya dari hasil perenungan pemikiran serta perantauan batin serta pengalamannya. Tak ada yang steril dari gagasan yang ditawarkan serta penggugatan yang dikemukakan sebagai wujud kegelisahan sekaligus obsesi yang dirasakan. Namun bagi penulis selalu berupaya menangkap, memahami apa yang dapat dirumuskan dari pemikiran tokoh ini, adalah orisinalitas serta relevansinya dengan tantangan jaman yang dihadapi, maupun aktualisasinya menjawab persoalan kini dan masa depan dalam kehidupan masyarakat serta fenomena politik kenegaraan di Indonesia khususnya, serta denyut nadi dari arus globalisasi yang dirasakan dewasa ini.

Demikian pula dalam memahami sosok tokoh elit islam dari basis kultural modernis islam. Tokoh ini bukan saja memiliki kekuatan intelektualitas yang disegani, akan tetapi

ix juga integritas, keberanian serta ketajamannya dalam meramu, merakit nilai nilai islam yang diperjuangkannya dalam kehidupan kemasyarakatan juga pergulatan pemikiran maupun tindakan politiknya dalam kehidupan politik kenegaraan dalam denyut nadi bangsa Indonesia.

Fakta, data, metode, maupun pembahasan serta kesimpulan analisis dalam buku ini, dapat memberikan pencerahan sekaligus pengayaan buat para pembaca, apa, siapa serta bagaimana tokoh ini mampu mengkritisi sekaligus memberi solusi jawaban bagi kepentingan keumatan khususnya serta bangsa Indonesia secara pendekatan akademis dari apa yang dapat dirumuskan oleh penulis.

Buku ini sangat baik utuk dimiliki bukan saja sebagai buku ajar bagi disiplin kajian politik, kesejarahan serta sosial budaya. Hal lain juga sangat berguna bagi kalangan peraktisi, aktivis, maupun para peneliti dalam mencari, mendapatkan temuannya apa yang dimiliki dan dipahami tentang pemikiran sekaligus sepakterjang sang tokoh ini.

Dengan terus berkembangnya era digital terhadap dunia literasi, karya ini akan memiliki jangkauan lebih luas dan kompleks untuk dapat dinikmati dekaligus dipahami.

x Pengantar Penulis 

Buat penulis, sangatlah menyadari "tiada gading yang tak retak" dalam berkarya sekaligus mempersembahkan karya tulis dalam bentuk buku yang diterbitkan secara pisik dan digital. Semoga terbitnya buku ini memperkaya khasanah dunia literasi di Indonesia serta peradaban buku ilmiah.

Demikian pengantar dari penulis, terimakasih dan selamat untuk menikmati isinya.

Jakarta,

Penulis

Drs. Firdaus Syam, M.A.

Drs. Ahmad Suhelmi, M.A

xi xii KATA PENGANTAR Refleksi atas Pasang-Surut Hubungan Islam dan Negara di Indonesia

ALAH satu persoalan yang hingga kini masih menjadi S perhatian sebagian masyarakat Muslim Indonesia adalah keterkaitan antara Islam dan negara. Sebenarnya ini hanya merupakan bagian dari masalah yang lebih besar, yaitu hubungan antara agama dengan persoalan-persoalan kehidupan. Sebagai suatu agama yang sejak awalnya menekankan bahwa wahyu-wahyu Allah itu memiliki keterkaitan sedemikian rupa dengan berbagai persoalan kehidupan, maka perjalanan sejarah Muslim tak pernah lepas dari masalah ini. Hal ini menjadi lebih problematis ketika dalam kenyataannya mendudukkan keterkaitan antara keduanya bukan merupakan perkara gampang. Banyak faktor yang membuat rumusan atau pola hubungan di atas tidak mudah. Pernah dalam suatu tahapan sejarah, faktor-faktor tersebut dirumuskan dalam istilah- istilah seperti belum diterimanya Islam secara utuh; sekuler; ketakutan terhadap Islam; kemunafikan; dan sebagainya. Dengan kata lain, ada orang Islam yang berpendapat bahwa beberapa faktor yang mempersulit terwujudnya keterkaitan antara Islam dan Negara sebagaimana yang diinginkan xiii berasal dari “dalam” masyarakat Islam itu sendiri. Meskipun kecenderungan untuk lebih menitikberatkan pada faktor-faktor “internal” banyak pendukungnya, tidak semua orang Islam bersedia menerima hal-hal “dalam” di atas sebagai persoalan. Entah harus dilihat sebagai faktor “dalam” atau “luar”, banyak orang Islam yang beranggapan bahwa Islam itu satu, akan tetapi penafsirannya beragam. Adanya berbagai mazdhab, baik dalam soal fikih, kalam tasawuf, maupun cabang-cabang pengetahuan Islam lainnya, merupakan bukti bahwa Islam memang bukan merupakan sesuatu yang bersifat monolitis. Inilah saya kira faktor terpenting bagi sulitnya diwujud- kan suatu paham yang bersifat seragam berkaitan dengan soal hubungan antara Islam dengan Negara. Perdebatan yang berlangsung panjang antara kalangan Islam, baik yang tergabung dalam “golongan agama” (Nasionalis agama) atau “golongan Nasionalis” (Nasionalis netral agama atau Nasionalis sekuler), di dalam upaya mencari keterkaitan yang memungkinkan antara agama dan Negara di Indo- nesia, pada dasarnya disebabkan oleh faktor penting di atas. Beberapa kesempatan yang tersedia di panggung sejarah Indonesia, apakah itu pembicaraan pada BPUPKI/PPPKI atau Dewan Konstituante bukan hanya tidak bisa digunakan secara maksimal, tetapi juga menunjukkan bahwa beragam pandangan mengenai keterkaitan antara agama dan Negara merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Saya tidak bisa mengatakan bahwa orang-orang Islam yang pada waktu itu menolak Islam sebagai dasar Negara xiv Kata Pengantar  sebagai Muslim yang imannya kurang kuat atau keterkaitan- nya terhadap Islam tidak menyeluruh. Bahwa pengetahuan mereka tentang Islam tidak sedalam atau seluas yang dimi- liki tokoh-tokoh Islam yang lain bisa jadi halnya. Akan teta- pi, sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, kedalaman dan/ atau keluasan pemahaman terhadap Islam tidak serta merta membuat orang memiliki pahaman keagamaan tertentu, apalagi yang bersifat seragam. Lagi-lagi keberagaman mazdhab di dunia Islam merupakan bukti dari hal ini. Untuk itu, tanpa harus mengaitkan apakah seseorang itu sekuler atau tidak kaffah Islamnya, kita bisa memahami mengapa Sukarno atau Hatta berpandangan politik-ke- agamaan seperti itu. Sementara M. Natsir, , Sukiman, Prawoto Mangkusasmito, , atau Kasman Singodimedjo percaya benar atas “kesatuan” antara Islam dan Negara–bahwa Islam itu adalah agama dan Negara. Dalam perspektif Islam, saya sendiri cende- rung melihat perdebatan seperti ini sebagai bagian dari ijtihad yang dilakukan oleh masing-masing pihak. Bahwa pada akhirnya Pancasila dan bukan Islam yang diterima sebagai dasar Negara, tentu hal tersebut bukan karena se- mata-mata soal substansi yang dihadirkannya, melainkan juga karena kemampuan politik untuk memperoleh dukungan atas gagasan yang diajukan. Penilaian bahwa kedalaman dan keluasan seorang Muslim tidak ada kaitannya dengan pandangan politik- keagamaan tertentu menjadi semakin terteguhkan ketika makin banyak kalangan terdidik Islam yang berpendapat xv bahwa keterkaitan antara Islam dan Negara tidak harus mengambil bentuk Islam sebagai dasar Negara. Sebelum , mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Dahlan Ranuwihardjo, sudah mendukung pandangan Sukarno berkaitan dengan cita-cita Islam di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dahlan le- bih kurang berpendapat bahwa kaitan yang formal dan legal antara Islam dan Negara tidak diperlukan dalam konteks Indonesia. Demikianlah, Dahlan menjadi lokomotif yang ikut mempengaruhi berkembangnya pandangan yang tidak legal dan formal berkaitan dengan soal hubungan antara Islam dan Negara. Nurcholis Madjid tentu menjadi tulang pung- gung teologis yang memberi dasar-dasar yang memungkin- kan untuk tidak mengaitkan Islam dan Negara secara legal dan formal. Begitu juga halnya dengan Abdurrahman Wa- hid, Munawir Syadzali dan kalangan Muslim terdidik lainnya. Tanpa disadari, gerakan untuk tidak melegalkan atau memformalkan Islam, dalam kaitannya dengan Negara atau politik, menjadi semakin eksesif. Ketika pemerintah Orde Baru berada pada posisi puncaknya, tiba-tiba apa saja yang berbau Islam tidak boleh dikaitkan dengan politik. Jika pada masa sebelumnya, wacana hanya terjadi di seputar gagasan Islam sebagai dasar Negara, pada masa Orde Baru Islam tidak dibolehkan untuk menjadi simbol atau dasar partai. Bahkan untuk mendirikan Bank Islam atau memakai jilbab pun menjadi sesuatu yang dikait-kaitkan dengan ideologi- xvi Kata Pengantar  politik Islam. Inilah saya kira yang menjadi penyebab penting mengapa para aktivis politik Islam mempunyai pandangan tertentu terhadap penguasa Orde Baru. Dalam konteks inilah transformasi pemikiran politik Is- lam yang bergulir sejak dasawarsa 1970-an tidak terjadi secara menyeluruh. Bahwa legalisme dan formalisme poli- tik Islam telah banyak berkurang pendukungnya, hal ter- sebut benar adanya. Kalau pada Pemilihan Umum 1955 kekuatan politik legalisme dan formalisme Islam adalah 43,5%, hal tersebut berkurang banyak pada Pemilu 1971 dan pemilu-pemilu berikutnya yang diselenggarakan oleh Orde Baru. Bisa saja orang beralasan bahwa berkurangnya pendu- kung legalisme dan formalisme politik Islam karena sistem politik yang otoriter dan intimidatif. Hal ini benar adanya sampai dasawarsa 1980-an di mana intimidasi, koersi dan kooptasi mewarnai politik Pemilu kita. Akan tetapi, pada tahun-tahun berikutnya, meski otoritarianisme politik ma- sih bersama Orde Baru, hal tersebut tidak lagi menjadi faktor determinan bagi seluruh pendukung politik Islam. Pandangan ini dikukuhkan dengan hasil perolehan Pemilu 1999 ketika hal tersebut dilakukan dengan cara- cara demokratis. Kenyataan bahwa kekuatan politik Islam hanya berkisar angka 37,5%, hal itu menunjukkan berku- rangnya dukungan dibandingkan pada perolehan tahun 1955 yang berjumlah 43,5%. Itu pun dua kekuatan politik besar, seperti PAN dan PKB, yang didukung oleh sebagian besar warga NU dan , enggan disebut xvii partai Islam. Jika dua partai ini dikeluarkan dari hitungan, maka jumlah kekuatan partai Islam hanyalah 17,8% atau 87 kursi di parlemen. Dalam konteks ini, motor penggerak legalisme dan formalisme politik Islam hanyalah PPP, PBB, dan partai-partai kecil yang tergabung dalam fraksi Persa- tuan Daulah Ummah. Inilah kekuatan yang beberapa waktu lalu menjadi pendukung dimasukkannya Piagam Jakarta di dalam amandemen UUD 1945. Dalam kenyataan ini, harus diakui formalisme dan legalisme politik Islam merupakan suatu fenomena yang tidak bisa ditepis. Berbagai “upaya”, politik maupun kultural telah dilakukan untuk menghasilkan transformasi pemikiran dan praktik politik. Akan tetapi, pada akhirnya kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa legalisme dan formalisme politik Islam juga berhak memperoleh hak hidup. Bahwa Islam sebagai dasar Negara bisa men- datangkan problematika nasional yang cukup kompleks, akan tetapi keinginan untuk mendasarkan suatu platform politik pada ajaran agama tertentu merupakan hal yang harus dihormati. Dalam hal ini, adalah bijaksana untuk menyerahkan pada pasar untuk memilih. Karenanya, penilaian-penilaian bahwa kekuatan politik yang didasarkan atas alasan-alasan “primordial” tertentu adalah eksklusif dan sektarian sulit dicarikan alasan pembenar demokratisnya. Inilah yang pernah berkembang pada masa Orde Baru dan tidak pada masa demokrasi parle- menter. Ahmad Sumargono adalah seorang aktivis Muslim yang xviii Kata Pengantar  memilih untuk mengembangkan formalisme dan legalisme politik Islam. Tentu tidak semua gagasannya sama dengan apa yang pernah dikembangkan oleh “golongan Islam” pada dasawarsa 1940-an sampai 1950-an. Seperti banyak politisi Muslim lainnya, ia menyadari bahwa Islam adalah jalan keluar bagi seluruh persoalan kebangsaan dan keindo- nesiaan. Selain karena alasan agama, itulah yang juga mendasarinya untuk kembali memperjuangkan Piagam Jakarta. Sayangnya situasi Ahmad Sumargono yang seperti ini sering dipahami dalam konteks sejarah tertentu. Karena Islam, maka selalu saja konteks yang ikut dijadikan bahan penilaian adalah stigma Indonesia terhadap politik Islam- negara Islam, syariat Islam, hukum Islam, lengkap dengan segala sesuatunya yang dipersepsi secara negatif. Karena- nya, Ahmad Sumargono akan (tetap) dipandang “galak”– apalagi dengan brewok, kumis dan cambangnya! Padahal, masa Reformasi telah memberikannya kesem- patan untuk bergaul dengan sesama politisi lintas agama, partai, dan ideologi. Dan hal tersebut, sampai tingkat terten- tu bisa mendatangkan capaian-capaian bersama–tidak sektarian dan eksklusif. Artinya, meskipun seseorang itu memiliki cita-cita tertentu, dalam banyak hal cita-cita ter- sebut akan sangat dipengaruhi oleh circumstances. Nisbatnya seorang aktivis Muslim yang dalam banyak hal percaya atas legalisme dan formalisme Islam dalam politik, maka mesti- nya akan kesulitan bagi kita untuk memahami bahwa pada waktu yang sama Ahmad Sumargono juga berkawan baik xix dengan Jan Darmadi atau Bambang Riyadi Soegomo. Situasi “nonpolitik” seperti ini yang sering kali luput dari pandangan, ketika kita berusaha untuk memahami seseorang seperti Ahmad Sumargono. Terlepas dari apa yang digagas dan diperjuangkan oleh Ahmad Sumargono, sebagai seorang dai-politisi ia paham bahwa komitmen terhadap gagasan saja tidaklah cukup. Dalam politik, kemampuan untuk memperoleh dukungan adalah penting. Keinginan Ahmad Sumargono, termasuk dalam hal “keharusan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”, tidak akan berarti banyak jika tidak disertai oleh kemampuan untuk memperoleh dukungan serta menjajakan ide. Dalam hal yang terakhir ini, sebagai dai, Ahmad Sumargono dituntut jujur berkaitan dengan gagasan- gagasan Islamnya itu. Termasuk dalam hal ini adalah keharusan untuk meletakkannya dalam kerangka kerja untuk Indonesia–bagaimana gagasan mengenai Piagam Jakarta bisa dipahami oleh orang lain, bukan saja oleh kawan-kawan dekatnya, tetapi juga oleh orang seperti Taufik Kiemas atau Alvin Lie, bahkan juga oleh dan Nurcholish Madjid. Sebagai ketua partai, mungkin saja ia telah menugaskan para pemikir di partainya untuk melakukan elaborasi yang sungguh-sungguh atas apa yang disebut Piagam Jakarta. Itu Semua akan sangat membantu di dalam melakukan sosialisasi atas gagasan-gagasan tersebut. Tanpa itu, ia akan menghadapi kesulitan terutama dalam hal mencari dukungan. xx Kata Pengantar 

Situasi demokratis ini sangatlah baik untuk diman- faatkan. Sebab, inilah kesempatan kedua kalinya bagi para aktivis politik Muslim untuk mendialogkan gagasan-gagas- an mereka dengan berbagai kalangan yang selama ini bersi- kap skeptis dan bermusuhan terhadap gagasan Islam politik yang bersifat legalistik dan formalistik. Dengan dialog selalu saja terbuka kemungkinan bahwa suatu gagasan akan tam- bah kokoh atau mengalami perubahan di sana-sini. Itu se- mua merupakan hal yang wajar. Dalam perspektif politik, dialog adalah kesempatan untuk menunjukkan kekuasaan- kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti apa yang kita maui. Buku yang berisi perjalanan hidup Ahmad Sumargono ini sarat dengan gagasan yang diperbincangkan di atas. Mes- kipun buku tersebut, di sana-sini, memperlihatkan komit- men secara kokoh dari sang empunya gagasan, hal tersebut masih menyisakan kesempatan luas untuk didialogkan. Sebagai dai, Ahamad Sumargono paham, bahwa segala sesuatunya harus disampaikan bi al-hikmah wa al-mau’idhah al-hasanah. Sebagai politisi, Ahmad Sumargono memerlukan berbagai forum untuk mendialogkan gagasan-gagasannya. Sebab hanya dengan cara inilah, ia bisa melakukan persuasi terhadap lawan dialognya.

Depok,

Bahtiar Effendy

xxi Ahmad Sumargono dengan istri tercinta, Dr. Joon Sumargono, M.Sc. Pendahuluan 

BAB

Pendahuluan

THOMAS Carlyle menyatakan bahwa sesungguhnya T sejarah tidak lain adalah riwayat hidup “orang-orang besar” (history is biography of the great men).1 Kaum Marxis tentu akan menolak tesis itu. Dalam perspektif Marxis, individu tidak memiliki makna signifikan dalam sejarah. Massa-lah–kumpulan kolektif manusia–yang sesungguh- nya mengonstruksi proses-proses sejarah. Kelas-kelas sosial lah–bukan ‘orang-orang besar’–yang menjadi arsitek sejarah. Namun, bagi kami tesis Carlyle itu memberikan pers- pektif yang pas dalam memahami peran individu dalam

1 Dikutip dalam Suhelmi, Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam, Jakarta: Darul Falah, 2001. 1  Ahmad Sumargono proses sejarah dan peradaban dunia. Ilustrasinya mudah saja. Lihat bagaimana peran Julius Caesar dan kekasihnya Cleopatra dalam sejarah imperium Romawi kuno. Bisakah terbayangkan imperium itu akan berhasil menaklukkan bangsa-bangsa sekitarnya sehingga Romawi kemudian menjadi sebuah kekuatan adikuasa tanpa Caesar? Apa yang terjadi dengan Romawi dan Mesir–negerinya Cleopatra– seandainya dua sejoli itu tidak pernah bercinta? Yang pasti, sejarah kedua bangsa itu akan menempuh perjalanan sejarah yang berbeda seandainya kedua ‘orang besar itu’ tidak pernah dilahirkan dalam sejarah. Seandainya kedua sejoli itu tidak pernah bercinta. Nasib sejarah Yunani kuno juga sama. Dapatkah kita membayangkan zaman keemasan (golden age) Yunani kuno abad V S.M tanpa kehadiran Jen- deral Pericles? Bagaimana nasib demokrasi Athena tanpa peran Pericles? Boleh jadi, tanpa orang besar seperti diri- nya, sejarah peradaban Yunani tak memiliki arti historis penting bagi zaman kita sekarang ini.2 Begitu juga dengan sejarah bangsa Arab dan eksistensi Islam. Nabi Muhammad Saw muncul dalam sejarah. Dengan misi dan visi kenabiannya yang mulia, dibekali

2 Salah satu kontribusi terpenting zaman Pericles kepada dunia Barat sekarang adalah sumbangannya bagi perkembangan konsep dan pemikiran demokrasi. Di zaman Pericles-lah gagasan demokrasi berkembang dan diimplemen- tasikan dalam proses-proses politik nyata. Demokrasi tidak sekedar konsep ideal, tetapi juga konsep yang applicable. Di zaman Pericles itu juga telah tumbuh gagasan-gagasan nasionalisme primitif, yang di abad-abad modern kemudian dikembangkan menjadi sebuah ideologi nasionalisme modern. Paul Kagan, Pericles of Athens and the Birth of Democracy, New York: Free Press, 1991. 2 Pendahuluan  akhlak yang luhur, kekuatan fisik dan psikis luar biasa serta mukjizat Alquran3 beliau menjadi individu yang menen- tukan perjalanan bangsa Arab dan Islam. Dalam waktu rela-tif singkat–hanya dalam hitungan beberapa dekade– penga-ruh ajarannya telah menembus batas teritorial Arabia, men-capai negeri Yaman di Selatan, Spanyol di Timur, kawasan Bizantium Romawi di Utara, Sungai Indus di India, Cina, hingga kawasan Asia Tenggara.4 Tanpa mengabaikan fak-tor-faktor sosial, kultural dan politik yang kondusif bagi penyebaran Islam, tentu faktor individu Sang Nabi sangat menentukan. Bisakah dibayangkan apa yang terjadi dengan eksistensi Islam seandainya bukan Nabi Muhammad yang mengemban misi risalah mulia itu? Apa yang terjadi de-ngan bangsa Arab dan Islam, seandainya pembawa risalah itu gagal–mati atau terbunuh–dalam proses penyebaran ajaran-ajaran Tuhan? Mengikuti logika Carlyle di atas, ja-wabannya jelas, bangsa Arab menjadi bangsa marjinal dan Islam mungkin tidak akan menjadi agama yang mengagum-kan dan menentukan proses sejarah peradaban kemanusia-an seperti yang sekarang kita saksikan! Tesis Carlyle–kami kira–juga relevan untuk konteks seja-

3 Kebesaran dan keagungannya dipuji sejarawan Edward Gibbon. Lihat Edward Gibbon, The Decline and Fall of the Roman Empire, London: J.M Dentand Sons Ltd., 1954, hlm. 207-292.

4 Marshal Hodson, The Venture of Islam, 2 Jilid. terjemahan, Jakarta: Paramadi- na, 2002. Khusus tentang penyebaran Isalm di Asia Tenggara lihat, Anthony Reid, The Making of Islamic Political Discourse, Clayton: Monash University, 1992. , Jaringan di Asia Tenggara, Bandung: Mizan 2001. 3  Ahmad Sumargono rah pergerakan politik Islam di Indonesia. Satu demi satu lahir “orang-orang besar” di Tanah Air. Mereka memben- tuk proses sejarah Islam di negeri ini. Tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto yang kharismatik dan memukau telah mela- hirkan “orang-orang besar”. Dari “rahim asuhannya” telah lahir Ir. Sukarno, proklamator RI, Muso, tokoh PKI dan S.M Kartosuwiryo, tokoh utama dalam gerakan .5 Satu guru melahirkan tiga “orang besar” yang karak- ter, visi dan misi ideologisnya berbeda–bahkan berten- tangan satu-sama lain. Sejarah pergerakan politik Islam Indonesia juga menge- nal . Beliau “orang besar” yang merintis gerakan Islam modernis Masyumi, tokoh penting dalam proses kelahiran Republik Indonesia, mantan perdana men- teri dan arsitek utama kelahiran Dewan Dakwah Islam- iyah Indonesia (DDII) serta Komite Solidaritas Indonesia untuk Dunia Islam (KISDI). Karena demikian pentingnya tokoh ini dalam perjalanan sejarah pergerakan politik Islam Indonesia modern, berbagai kajian telah dilakukan untuk memahami peran historis dan makna kehadirannya dalam sejarah Islam dan politik Indonesia.6 Dan, riwayat hidup Natsir sendiri patut ditulis dengan tinta emas. Satu hal pen- ting dicatat, sebagai “orang besar”, Natsir telah melahirkan

5 Mengenai Sukarno lihat John Legge, Sukarno, A Political Biography, London: Penguin, 1972; Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, Bandung: Pustaka Teraju, 2001.

6 Lihat Yusril Ihza Mahendra, “Modernisme dan Fundamentalisme: Kes Perbandingan Partai Masyumi di Indonesia dengan Jama’at I Islami di Pakistan,” Disertasi Doktor Falsafah di Universiti Sains Malaysia, 1992. 4 Pendahuluan  banyak “orang-orang besar”, kader-kader pergerakan Islam pula. Mengenai peranan Masyumi–partai yang dasar-dasar ideologisnya kuat berakar pada pemikirannya–telah diakui memiliki peran historis luar biasa bagi Islam dan bangsa Indonesia. Organisasi dakwah dan pergerakan Islam lain yang telah dirintisnya pun–antara lain DDII dan KISDI–telah menjadi tonggak penting dalam peta politik pergerakan Islam Indonesia. Organisasi-organisasi itu telah banyak membentuk aktivis dakwah dan politik Islam yang peranannya tidak bisa diabaikan dalam sejarah pergerakan politik Islam Indonesia mutakhir. Dua di antara kader Natsir yang patut disebut–yang turut mewarnai dinamika pergerakan Islam dewasa ini–adalah Yusril Ihza Mahendra dan Ahmad Sumargono. Yusril mengklaim diri dan partainya–Partai Bulan Bin- tang–sebagai “pewaris sah” Masyumi. Klaim ini sah-sah saja sesungguhnya. Yusril lama dekat dengat tokoh-tokoh Masyumi seperti Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Mohammad Roem, Anwar Haryono dan lain-lain.7 Khusus kaitannya dengan Natsir, Yusril mengakui bahwa dirinya banyak berguru dan meneladani tokoh Masyumi dan terinspirasikan oleh pikiran-pikiran Natsir. Dalam penilaian kami, ada obsesi Yusril untuk “menjadi seperti Natsir” sejak masa remajanya. Obsesi itu kemudian–untuk sebagian, terwujud. Yusril kini dikenal publik sebagai intelektual, guru besar hukum tata negara di Universitas Indonesia dengan sejumlah karya tulis yang cukup penting. Juga seperti Natsir, Yusril adalah seorang

7 Wawancara dengan Yusril Ihza Mahendra 17 Juli 2003 di Jakarta. 5  Ahmad Sumargono politikus ulung. Jabatannya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM dan pimpinan puncak PBB merefleksikan kepiawai- annya sebagai politisi. Juga saat ia mengajukan pencalonan dirinya sebagai Presiden–di samping dan Megawati Sukarnoputri. Dalam proses pemilihan calon presiden pada 1999 lalu, sekalipun gagal, manuver politik- nya diakui sebagai kepiawaian Yusril dalam berpolitik. Yusril mungkin boleh dilukiskan–sebagaimana ia melukis- kan Natsir–sebagai seorang Muslim yang berhasil meng- kombinasikan intelektualisme dan aktivisme sekaligus. Suatu kemampuan yang jarang dimiliki oleh seorang aktivis politik atau intelektual. Sosok Ahmad Sumargono, atau dikenal dengan panggil- an akrabnya Gogon, memiliki kesamaan dengan Yusril. Sebagaimana Yusril, ia juga “pewaris tradisi religio-politik Natsir” dan sama-sama memimpin PBB. Yusril “top leader” PBB, sementara Gogon salah seorang wakil ketua umumnya. Namun, di sisi lain, keduanya juga memiliki perbedaan-perbedaan. Perbedaan itu mungkin, antara lain, disebabkan karena Natsir dan Yusril dibesarkan dan mengalami sosialisasi politik yang berbeda dengan yang dialami Gogon. Dua orang tokoh yang pertama, Natsir dan Yusril, berasal dari Sumatera, besar dan tersosialisasi- kan oleh nilai-nilai kebudayaan pulau itu. Gogon–sekalipun lahir 100% dari keturunan Jawa, namun ia lebih akrab dike- nal sebagai orang Betawi. Karena itu banyak yang mengira- nya sebagai anak Betawi asli, setidaknya dalam makna simbolik. Betawi adalah sebuah entitas etnik yang secara

6 Pendahuluan  kultural merupakan melting pot–tempat berasimilasinya berbagai nilai kultural–dari yang bersifat lokal hingga kosmopolitan. Dalam entitas etnik Betawi, kita temukan nilai-nilai relijius yang sangat dalam, watak inklusif (terbuka terhadap berbagai pandangan yang berbeda) dan egalitarianisme (kesamaan derajat).8 Nilai-nilai kultural ini sebenarnya mampu menjadi basis nilai orang Betawi untuk maju dan berkembang. Munculnya Gogon sebagai politisi terkemuka dan dai belakangan ini membuktikan validitas asumsi itu. Kemunculan Gogon sebagai politikus Muslim yang me- nonjol saat ini–yang notabene mengidentifikasikan dirinya secara kultural dengan “budaya Betawi”–sedikit menghibur “orang-orang Betawi” yang selama ini termarjinalisasikan oleh proses-proses pembangunan negara. “Orang-orang Betawi” terpinggirkan, dan nyaris peran mereka secara sosial politik tidak diketahui baik oleh publik Indonesia. Ketika disebut “orang Betawi”, hanya tokoh-tokoh sinetron seperti Mandra–dalam sinetron “Si Doel Anak Sekolah- an”–yang muncul di benak publik. Mandra, tokoh kurang terdidik (unwell educated) dan buta huruf (illiterate) menjadi seakan-akan tokoh representatif “orang-orang Betawi” saat ini. Nah, di sini sekali lagi, pentingnya kemunculan Gogon di pentas politik nasional Indonesia dewasa ini; sosoknya menepis image publik bahwa orang Betawi itu kurang terdidik, buta huruf dan tidak memiliki etos belajar!

8 Untuk memahami kultur Betawi dan nilai-nilai sosio-relijiusnya, baca Abdul Azis, Islam dan Masyarakat Betawi, Jakarta, 2001. 7  Ahmad Sumargono

Tentu kurang adil kalau kita membandingkan Natsir dengan Gogon, meskipun keduanya sama-sama aktivis politik, tokoh pergerakan Islam dan dakwah Islam. Ini kare- na keduanya memiliki keunikan masing-masing. Keunikan yang bisa ditemukan pada salah satu tokoh, tapi tidak di- temui pada tokoh yang lain, atau sebaliknya. Natsir besar dan dibesarkan di zaman kolonial9 dan pascakolonial. Ke- matangannya dalam berpikir dan berpolitik tentu saja di- bentuk oleh karakter zaman kolonial yang sangat diskri- minatif, represif dan opresif terhadap bangsa Indonesia yang notabene mayoritas berpenduduk Muslim. Kematangan Gogon sebagai seorang politikus Muslim dan aktivis dakwah sangat kuat dibentuk oleh sistem politik Orde Baru yang represif dan otoriter selama lebih dari tiga dekade.10 Otoriterisme Orde Baru–dengan segala sis-tem intelijennya–hampir menutup seluruh celah kebebasan berekspresi. Namun, bagi kelompok-kelompok politik dan dakwah Islam, celah-celah kebebasan yang masih tersisa tetap dimanfaatkan untuk sarana perjuangan ideologi Islam. Di sinilah kita melihat kemampuan Gogon–juga rekan- rekan seperjuangannya seperti Tonie Ardie, A.M Fatwa, Abdul Qodir Jaelani, Mawardi Noor S.H dan lain-lain–

9 Zaman kolonial memang aneh. Namun, zaman ini diakui oleh Mangun Wijaya sebagai episode sejarah yang telah banyak melahirkan orang-orang besar seperti Natsir, Hatta, Sukarno, Tan Malaka, Syahrir dan lain-lain. Lihat Mangun Wijaya, “Sutan Syahrir”, dalam Taufik Abdullah dan Daniel Dakidae,eds., Manusia Dalam Kemelut Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1976.

10 Mengenai sistem kekuasaan negara Orde Baru, lihat antara lain Arief Budiman, ed. State and Civil Society, Clayton: Monash University, 1991. 8 Pendahuluan  memanfaatkan celah-celah kebebasan yang masih tersisa. Risikonya tentu pasti tetap ada. Penjara, teror dan intimidasi menjadi “makanan sehari-hari” mereka. Gogon sendiri misalnya pernah mendekam dalam penjara Orde Baru un-tuk waktu yang cukup lama. Ini tentu sebuah siksaan fisik dan batin. Apalagi ketika baru masuk penjara, salah seorang anaknya meninggal dunia. Penderitaannya sebagai pejuang politik dan juru dakwah Islam semakin bertambah saja. Namun demikian, represi Orde Baru itulah yang mem-bentuk kematangan berpikirnya sebagai seorang politikus Muslim dan juru dakwah umat. KISDI berdiri atas inisiatif Mohammad Natsir pada September 1987 untuk antisipasi dan demi solidaritas ge-rakan intifadah; yakni perlawanan remaja Palestina atas pendudukan Israel dengan menggunakan katepel dan batu sebagai senjata utama mereka. Melalui KISDI ini kemudian nampak sosok dan peranan Gogon yang menonjol. Ia mengangkat berbagai isu penindasan terhadap Islam; dan penistaan terhadap agama ini menjadi concern umat Islam tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia Islam. KISDI di bawah Gogon sebagai ketua pelaksana harian dan pe-mimpin lainnya seperti K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i selaku ketua umum, Hussein Umar serta K.H. Kholil Ridwan, masing masing sebagai ketua, dan rekan-rekan seperjuangan lainnya, menjadi alat perjuangan simbolis perlawanan Islam terhadap musuh-musuhnya. Memang tidak semua orang apresiatif terhadap apa yang dilakukan 9  Ahmad Sumargono

Gogon dengan KISDI-nya. Para pengamat Barat bahkan ada yang menilai Gogon dan organisasi yang dipimpinnya itu hanyalah sebuah instrumen dari “kekuatan fasis Orde Baru”. Ada juga yang menilainya teroris, pragmatis dan oportunis seperti yang diungkapkan Michael Davis dan Martin van Bruinessen dalam artikel-artikel mereka.11 Sebuah kritik tajam yang cukup menyakitkan! Dasar kritik itu antara lain karena Gogon memiliki hubungan dekat dengan para elit militer– jenderal-jenderal TNI “bermasalah”–seperti Letjen Pra- bowo, Letjen Djaja Suparman dan Jenderal Wiranto, Mayjen Muchdi PR, Mayjen Syafri Syamsuddin, Letjen Hendropriyono, Letjen Nugroho Jayusman dan Brigjen Adityawarman. Selain itu, aksi-aksi KISDI konon dinilai berbau “kekerasan” seperti yang ditunjukkan dalam aksi- aksi PAMSWAKARSA12 tidak lama setelah Soeharto jatuh dari kursi kekuasaannya. Ada juga yang menilainya anti- Yahudi dan Kristen, memusuhi kaum non-Muslim. Penampilan Gogon yang terkesan “angker”, berkumis dan

11 Lihat Michael Davis, “Lasykar Jihad and the Political Position of Conser- vative ,” Contemporary Southeast Asia, Volume 24 No. 1, April 2002 dan Martin van Bruinessen, “Genealogies of Islamic Radicalism in post-Soeharto Indonesia”, South East Asia Research, No. 10, 2 July 2002. Stigmatisasi dan stereotip negatif kedua pakar Indonesia atas KISDI dan ketokohan Gogon akan dibahas dalam buku ini pada Bab VI.

12 Organisasi milisi sipil ini dibentuk untuk kepentingan membela Presiden Habibie yang ketika itu –menjelang pemilihan presiden dihadapi oleh aksi- aksi anarkis yang dilakukan, antara lain, kelompok-kelompok “Kiri” misalnya Forkot, Famred, PRD dan lain-lain. Para pengamat politik umumnya sependapat bahwa PAMSWAKARSA dibentuk atas bantuan dan inisiatif faksi-faksi elit militer di tubuh TNI. 10 Pendahuluan  berjenggot lebat–seperti umumnya sosok “aktivis fun- damentalis” Timur Tengah atau pasukan Taliban–makin kuat menimbulkan image tentang dirinya sebagaimana yang dituduhkan mereka. Keterlibatan Gogon dalam aktivitas politik, dakwah Islam dan aksi-aksi “politik jalanan” (street politics) serta kedekatannya dengan elit-elit militer di atas membuatnya menjadi tokoh kontroversial. Belakangan, kontroversi seputar dirinya semakin berkembang dengan adanya kedekatan hubungan pribadinya dengan tokoh-tokoh “nasionalis sekuler” seperti Presiden Megawati Sukarno- putri serta suaminya, Taufik Kiemas. Juga jalinan kontak pribadinya dengan beberapa dubes asing. Misalnya para duta besar dunia Islam seperti Bosnia, Afganistan, Pales- tina, Pakistan, Turki dan sebagainya. Dari apa yang kami kemukakan di atas jelas bahwa bagi pengamat politik dan gerakan dakwah Islam Indonesia, Gogon adalah sebuah fenomena menarik untuk dijadikan lahan kajian akademis. Menarik karena, tokoh ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan banyak tokoh pergerak- an politik Islam yang selevel dengannya. Namun sayang sekali kajian-kajian biografi mengenai tokoh-tokoh per- gerakan Islam seperti Gogon masih sangat minim. Padahal kajian-kajian seperti itu akan sangat bermanfaat untuk memahami bagaimana seorang tokoh yang sebelumnya marginalized secara sosio-kultural, kemudian mengalami mobilitas sosial vertikal dan menjadi salah satu tokoh sen- tral dalam gerakan politik Islam Indonesia. 11  Ahmad Sumargono

Dalam buku ini, penulis akan memaparkan secara des- kriptif apa dan bagaimana seorang “anak” bangsa, sang aktivis gerakan dan dai yang hidup dalam empat era per- ubahan, yaitu; lahir di Orde Revolusi Kemerdekaan, tumbuh di masa Orde Parlementer, menjadi pemuda dan belajar mengenal dunia politik pada Orde Demokrasi Terpimpin, dewasa dan mulai berjuang pada Orde Demo- krasi Pancasila dan tampil di pentas politik formal di Era Reformasi. Ia adalah Sumargono yang kemudian menam- bah namanya, dalam pengalaman batin saat menunaikan ibadah haji tahun 1980, menjadi H. Ahmad Sumargono, yang lebih akrab dipanggil Gogon. Buku ini juga memaparkan serpihan pemikirannya yang telah dimuat di berbagai koran dan majalah yang merupa- kan kontribusi amat berharga dalam upaya memecahkan persoalan negara, masyarakat dan umat Islam kontemporer yang amat pelik. Membaca tulisan-tulisan Gogon yang arti- kulatif, penuh semangat pembelaan terhadap Islam, dan di sana-sini terkesan “galak”, membangkitkan memori kami pada tokoh-tokoh Masyumi tahun 1950-an seperti K.H. Isa Anshary. Tokoh ini terkenal bukan karena aktivitas poli- tiknya saja yang menonjol dalam Masyumi, tetapi juga ka- rena tulisan-tulisannya yang artikulatif dan penuh semangat pembelaan ideologis terhadap Islam dan partainya.13 Gogon tumbuh dari keluarga Jawa Ningrat, karena itu ayah dan ibunya berhak memakai gelar Raden dalam strata

13 Untuk memahami lebih baik sosok K.H. Isa Anshary, lihat antara lain, Boyd Compton, Surat-Surat Rahasia Boyd Compton, Jakarta: LP3ES, 1992. 12 Pendahuluan  sosial masyarakat Jawa. Mereka berasal dari Purworedjo, Jawa Tengah. Namun takdir kehidupan menghendaki lain, Gogon harus tinggal dan dititipkan kepada pamannya, seorang Betawi dan dikenal sebagai jawara yang tinggal di daerah Petojo, kawasan Jakarta Pusat. Gogon hidup de- ngan kesederhanaan di tengah kultur yang tradisional serta bernuansa kejawen. Kehidupan yang keras di tengah keluar- ga pamannya, telah membawanya untuk “lari”, bergulat dengan pencarian makna hidup. Ada masa ia menggeluti ilmu kebatinan, akan tetapi perkenalannya dengan guru agama, sentuhan dunia kampus di era Orde Lama, berin- teraksi dengan tokoh-tokoh Islam dari kalangan Masyumi membawanya pada kultur kehidupan yang jauh berbeda dengan sosialisasi awal di masa kecil. Dari Gogon “kecil” yang kejawen menjadi Gogon “dewasa” yang mendamba- kan Islam sebagai “pacar” untuk memahami arti hidup dan misi perjuangan yang harus dicapai. Kecintaan akan Islam, menimbulkan semangat hidup baru. Akan tetapi, tantangan yang semakin keras, lebih keras dari “keterasingannya” akan jati diri di masa kecil, membawanya berkenalan dengan Islam politik Modernis dan dinamika politik dunia kampus, yang membentuk watak untuk mengatakan “tidak” atau “ya” berdasar paradigma Islam politik yang diyakininya. Tidak mengherankan di era Orde Baru, ia harus merasakan alam kampus buat orang “pesakitan” yaitu sebagai tahanan politik karena terlibat gerakan politik “ekstrem kanan”, sebuah istilah dalam kamus politik Orde Baru.

13  Ahmad Sumargono

Sisi lain ia seorang bisnis yang cukup berhasil. Sebagai sarjana tamatan dari Fakultas Ekonomi Univeritas Indo- nesia (FEUI), yang menggeluti dunia manajemen, ia sempat bekerja di berbagai bidang usaha. Dari dunia pengeboran minyak, agrobisnis pengembangan kelapa sawit dan cokelat, sampai ekspansi pada dunia properti, ini mengantarkannya banyak berkenalan dan cukup dekat dengan kalangan elit di Jakarta. Dunia bisnis digelutinya selama 17 tahun, bersama- an dengan usahanya itu Gogon telah mulai mengem- bangkan dunia dakwah Islamnya di lingkungan masyarakat Jakarta. Kegiatan tersebut dirintis sejak tahun 1980-an ke- tika ia bergabung dengan Korps Mubalig Jakarta (KMJ). Pergulatan batin di antara dunia bisnis dan dunia dakwah sebenarnya bukanlah sesuatu yang saling bertentangan. Dalam ceramahnya ia selalu menekankan bahwa orang Muslim itu harus sukses dan leading dalam hidup, sebagai- mana sabda Rasul: ”tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah.” Persoalannya kemudian, apakah kesuk- sesan “keduniaan” adalah pintu akhir dari segala sesuatu. Kesadaran keagamaannya yang dalam, mengantarkan satu pemahaman padanya, bahwa segala nikmat itu harus disyu- kuri, termasuk cobaan yang dialami. Baginya itu bukan sebuah penderitaan. Rasa syukur telah mengantarkan pada sebuah pandangan untuk secara terus-menerus melakukan gerak amal shaleh dalam bingkai fisabilillah–berjuang untuk dan atas nama Allah Swt. Berjihad sungguh membela aga- ma adalah wahana hakiki yang mengantarkan dirinya me- rasakan nikmat dan makna syukur itu sendiri.

14 Pendahuluan 

Dari kejawen ke Islam yang kaffah, dari bui ke parlemen, dari anak yang “terbuang”, menjadi manusia yang selalu menjadi bahan perbincangan kawan maupun “lawan”. Siapa sebenarnya Gogon, Radikaliskah, Fundamentalis, Provokator, atau dangerous man, atau hamba Allah yang istiqomah? Penulis dan pembaca mungkin memiliki persepsi yang berbeda mengenai sosok tokoh ini. Yang jelas– apapun perbedaan persepsi itu–sebuah pemahaman yang utuh-lengkap mengenai jati diri H. Ahmad Sumargono, SE sangat diperlukan sebagai “syarat” untuk kita menilainya, bukan dengan pandangan “lepas” yang penuh bias-bias atas dasar rabaan, dan asumsi dangkal atau dibentuk atas dasar stigma dan stereotip negatif mengenai dirinya. Buku tentu dapat menjadi khazanah dan pembanding yang memperkaya pemahaman kita sebanyak mungkin mengenai tokoh-tokoh Islam di negeri ini. Buku ini mengemukakan kisah perjuangan dan serpihan pergulatan pemikiran, tindakan dan aksi Gogon sebagai dai maupun politisi dalam pentas pergerakan dakwah maupun politik Islam Indonesia modern. Uraian isi buku ini oleh penulis didasarkan pada fenomena-fenomena kehidupan, apa yang menjadi simpul-simpul dari peristiwa politik di mana sang tokoh terlibat di dalamnya dan turut mewarnainya. Sisi lain dari buku ini adalah ia tidak ditulis dengan konstruksi analisis teoretis yang rumit atau analisis mendalam berdasar pada suatu pendekatan tertentu, karena pesan dari buku ini bukan untuk memetakan di posisi mana Gogon berdiri dalam konfigurasi percaturan elit politik

15  Ahmad Sumargono

Islam di Indonesia. Titik tumpunya, pada penyampaian kehidupan dan peristiwa demi peristiwa yang dilalui, dan apa yang melatarbelakangi adanya perubahan dalam pribadi sang tokoh tersebut. Terakhir, karena terbatasnya waktu penulisan buku ini–hanya 3 (tiga) bulan–maka apa yang dilakukan penulis adalah sekadar memaparkan, memban- dingkan dan mempersepsikan sosok Gogon secara apa adanya. Tidak mengurangi, atau melebih-lebihkan ke- tokohannya. Isi buku ini dibagi atas 7 bagian (termasuk Bab I, Penda- huluan dan Bab VII, Penutup), yang dikelompokkan men- jadi tiga bagian penting, yaitu: Bagian pertama, pada Bab II, memaparkan perjalanan hidup Gogon yang menekan- kan pada sosialisasi, pencarian, perubahan dan pilihan sikap hidup yang diambil. Pada Bab III dan Bab IV, berisikan muatan materi mengenai aktivitas dan wacana pemikiran Islam yang dibangun Gogon dalam mengokohkan sikap hidup dan politiknya. Pada bagian kedua ini akan terlihat pola-pola dan kecenderungan kuat yang digeluti dan bagaimana sosok Gogon menempa dirinya dalam menge- nal cakrawala berorganisasi, pilihan pembelajaran dan pergaulan politik, jaringan politik yang dikembangkan, dan peran serta akses kendaraan politik yang menjadi wahana perjuangannya. Bagian tiga, pada Bab V dan Bab VI, memuat serta menggambarkan aksi-aksi dakwah, politik damai yang di- lakukan melalui penggalangan dengan kekuatan internal Islam serta mereka yang secara stratejik memiliki pandang- 16 Pendahuluan  an atau isu yang sama. Kemudian bagaimana tokoh ini membangun pola hubungan dengan berbagai kalangan elit sosial, politik dan ekonomi dari berbagai kelompok dan penilaian jujur terhadap mereka. Untuk Bab I (Pendahulu- an), lebih kepada latar belakang dan spectrum (titik pandang) apa, dan bagaimana penulisan ini dilakukan, dengan pende- katan format yang mungkin dapat membantu pembaca sebatas mana sikap kritis kita pada isi buku ini dapat di- lakukan. Adapun pada Bab VII (Penutup), penulis men- coba merangkum “perjalanan” kehidupan sang tokoh ini agar menjadi sebuah uraian peristiwa diakronis yang dapat dirumuskan secara holistik, bukan sebuah penggalan- penggalan yang terpisah-pisahkan. Karya kecil ini memang bukan sebuah hasil penelitian akademis yang mendalam sebagaimana umumnya kajian- kajian biografis yang dilakukan para peneliti asing atau do- mestik atau Indonesianists.14 Ia, sebagaimana dikemukakan di atas, hanya sekadar paparan deskriptif–namun jelas dan mengalir–mengenai lintasan kehidupan Gogon. Karena paparannya yang sederhana itulah, karya ini tidak membuat para pembaca mengernyitkan dahi untuk mengenal sosok yang mengaku dirinya seorang fundamentalis ini.

14 Misalnya kajian-kajian biografis yang ditulis John Legge, Sukarno, Sebuah Biografi Politik, Jakarta: Sinar Harapan, 1985; Bernard Dahm, Sukarno and the Struggle for Indonesian Independence; translated by Mary F. Somers Heidhues, Ithaca and London: Cornell University Press, 1976; Deliar Noer, Mohammad Hatta, Sebuah Biografi Politik, Jakarta: LP3ES, 1990; Rudolf Mrazek, Syahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996; Angus McIntyre, Indonesian Political Biography, CSES: Monash University, 1992. 17  Ahmad Sumargono

Ahmad Sumargono di usia remaja “ngaji”, “main pukulan”, 1967 18 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah 

BAB

Kehidupan dari Masa Kanak-kanak hingga Menjadi Aktivis Dakwah

Masa Kanak-kanak dan Remaja

HMAD Sumargono–lebih populer disebut Gogon– A lahir di Jakarta, 1 Februari 1943, dari pasangan R. Su- mantri dan R.R. Sumariah.1 Sebenarnya bukan anak Betawi asli melainkan dari “Wetan” yaitu berasal dari Purworejo,

1 Inisial R dan R.R, yaitu Raden dan Raden Roro dalam strata sosial masyarakat Jawa merupakan gelar yang menunjukkan bahwa keluarga itu berasal dari kalangan , yang tentunya dalam lingkungan sosial mendapatkan kedudukan yang terhormat. Dengan demikian Sumargono atau Gogon berasal dari turunan keluarga terhormat. 19  Ahmad Sumargono

Jawa Tengah,2 namun karena dibesarkan di lingkungan masyarakat Betawi di kawasan Petojo, Jakarta Pusat maka bukan saja gaya bicaranya ala Betawi, lebih dari itu ia sangat terpengaruh oleh kebiasaan orang Betawi. Jadi secara geneologis Jawa tetapi secara kultural ia telah dibetawikan.” Ia anak ke-5 dari 7 bersaudara, yang terdiri dari 4 laki-laki dan 3 perempuan. Ayahnya telah wafat saat Gogon masih kecil. Dari tujuh bersaudara Gogon termasuk anak yang beruntung, karena hanya dia satu-satunya yang berkesem- patan mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi dan menyandang gelar kesarjanaan bahkan saat ini sedang me- nyelesaikan tesis untuk meraih Magister Manajemen Agro- bisnis (MMA) di Institut Pertanian Bogor (IPB). Di usia 1 tahun 2 bulan, ia diserahkan ke bibinya Supar- tinah dan pamannya Mohammad Arup, karena bibi dan pamannya tersebut terus-menerus meminta kepada Su- mantri, ayah Gogon, agar mereka diberikan kesempatan untuk merawat dan membesarkan Gogon. Supartinah dan Arup telah lebih tiga tahun menikah te- tapi belum juga dianugerahi seorang anak pun. Bahkan keti- ka melahirkan anak pertamanya yang lahir prematur dan kemudian meninggal, Supartinah telah divonis dokter tidak akan mendapat keturunan lagi. Supartinah dan Arup meru- pakan keluarga yang sangat dekat dengan keluarga Sumantri,

2 Dalam Majalah Gatra, edisi 12 Februari, 2000, halaman 96 tertulis Ahmad Sumargono lahir di Jakarta, tetapi dalam majalah Tempo, 23 November pada halaman 32 tertulis lahir di Purworejo, Jawa Tengah dengan tanggal, bulan dan tahun yang sama. 20 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah  ayah Gogon. Itulah yang membuat Sumantri iba kepada keluarga Arup, sehingga ia mempercayai sepenuhnya menyerahkan Gogon kepada Arup untuk merawat dan membesarkannya. Namun 3 bulan kemudian tepatnya 3 hari setelah kemerdekaan Republik Indonesia atau pada tanggal 20 Agustus 1945, Sumantri ayah kandung Gogon dipanggil Allah SWT untuk selama lamanya. Mohammad Arup adalah orang Betawi asli dari keluarga besar Suid yang sangat dikenal di seputar kawasan Petojo, Jakarta Pusat. Arup bekerja se- bagai PNS di Departemen Keuangan. Setahun setelah Go- gon tinggal bersama keluarga pamannya itu, ternyata Allah Swt telah menganugrahi keluarga Arup seorang anak laki- laki yang kemudian diberi nama Bambang Sukamto. Keluarga Arup bukanlah keluarga yang penuh keme- wahan material. Sangat sederhana. Di tengah-tengah ke- luarga sederhana dan jauh dari cara hidup yang hura-hura, Gogon tumbuh dan berkembang. Mengenai pengalaman- nya hidup bersama keluarga pamannya itu, Gogon meng- ungkapkan bahwa sebagai anak “angkat” tentu secara psiko- logis berada pada posisi yang berbeda dengan adik misan- nya, sekalipun demikian Gogon sangat merasakan bahwa paman dan bibinya sangat menyayanginya dan berusaha memperlakukan Gogon sebagai anak kandungnya sendiri serta tidak membedakan perlakuan antara dirinya dan adik misannya. “Mungkin” ia mesti menyadari, bagaimana mem- posisikan diri di tengah orangtua angkatnya itu, apalagi ayah angkatnya itu sangat “keras” dalam mendidik anak. Dalam suasana kehidupan yang sederhana dan penuh keprihatinan, 21  Ahmad Sumargono justru telah mendorong Gogon untuk terus bangkit sambil mencari dan kemudian menemukan gantungan hidup yang abadi yaitu Allah Swt. Semasa remajanya Gogon hampir boleh dikatakan tak pernah pergi ke pesta, ia lebih banyak mengaji dan mendalami Islam, dari mulai ilmu Islam tradi- sional sampai kepada pemahaman yang lebih komprehensif, dari ilmu kejawen yang berbau musyrik sampai kepada ilmu Tauhid dan kesufi-sufian. Gogon mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) Petojo Udik, Jakarta, yang diselesaikan pada tahun 1956, kemudian ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta AMPRI di Jakarta yang diselesaikannya pada tahun 1960. Dalam masa remajanya, selain mengaji ia pernah belajar il- mu kanuragan3 dan belajar ilmu bela diri pencak silat yang di- lakukan usai jam pelajaran sekolah. Memang dalam kehidupan masyarakat Betawi, menurutnya hanya ada dua, yaitu “ngaji” dan “main pukulan”, dua tradisi yang “harus” dilaluinya seba- gaimana anak Betawi pada umumnya. Sampai ia menginjak dewasa minat Gogon terhadap ilmu bela diri semakin besar. Ia tak ragu menelusuri berbagai kampung di daerah Banten untuk berguru ilmu kebal. Akan tetapi setelah cukup lama mempelajari ilmu itu, Gogon pun merasakan sesuatu yag tidak beres. Ia merasa mempelajari ilmu kanuragan itu sia-sia dan menjauhkan dirinya dari Tuhan, karena selain berbau musyrik

3 Ilmu kanuragan adalah ilmu yang bersifat tenaga dalam yang tidak mempan dibacok, tetapi tindakan ini telah ditinggalkannya setelah belajar agama secara lebih intens dengan Buya Malik Achmad, lihat Tempo, 23 November 1998. 22 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah  juga membentuk karakter kesombongan. Segera saja ia meninggalkan ilmu tersebut. Kehidupan masa itu disebutnya sebagai “masa jahiliyah”, belum mengenal Islam. Gogon ingin mencari sebuah kehidupan baru yang diwar- nai oleh kedekatannya kepada Tuhan. Ia berhasil menemu- kannya. Masa beranjak dewasa dan perantauan pemikiran dan mental membuatnya menemukan suasana kebatinan dan relijius yang lebih dalam, Gogon mulai banyak merenung dan menyendiri “mencari” makna hidup dan kehidupan yang lebih dalam dari itu.4 Ia pun menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) dari Sekolah Menengah Atas Negeri X pada ta- hun 1963. Waktu itu merupakan masa di mana ia mulai aktif beribadat seperti puasa Senin-Kamis, sholat Tahajud dan Dhuha, mengikuti pengajian yang khusus dan umum. Di masa Sekolah Menengah Atas (SMA) ini, ia mulai berkecimpung dalam dunia organisasi pemuda lokal, yaitu aktivitas pemuda antar-Rukun Warga (RW) sekawasan Petojo Selatan. Ia mengkoordinasi uang hasil pendapatan para anak muda tetangganya sebagai penjual koran dan majalah, dan mengajarkan mereka tentang cara dan pan- dangan hidup dalam Islam, seperti yang dia peroleh dari gurunya. Di sini, nampak naluri berorganisasi dan kesadar- an sosialnya mulai muncul. Dan hal itu datang secara alami, tidak dibuat-buat. Ia pun belajar mengaji secara khusus dengan guru ngaji yang bernama Engkong Sanen. Dari sini Gogon mulai banyak “bergaul” dengan kalangan yang

4 Matra, April 1999, hlm. 25. 23  Ahmad Sumargono usianya jauh di atasnya (para orangtua). Ia pun dipercaya untuk menjadi imam sholat berjamaah di sebuah masjid yang berada di lingkungan tempat tinggalnya, sambil juga belajar ilmu qiroah dengan Ustad Kholili dari Banten. Us- tad Kholili adalah murid dari Kiai Ma’mun, kiai ternama di Banten. Gogon sempat di-gurah semata untuk dapat membaca Alquran dengan cara baca yang indah. Pada masa ini ia mulai mengenal apa yang disebut partai politik yaitu Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Ia pun sangat mengagumi Sukarno dan Marhenismenya. Dalam perspektif sejarah politik di Indonesia, saat itu memang banyak pemuda yang terpikat dengan gaya pidato pemimpin besar revolusi Indonesia yang memukau dan penuh retorika, dan ini diakui oleh masyarakat internasional. Sebaliknya Gogon belum ba- nyak tahu mengenai Partai Masyumi serta tokoh-tokohnya. Tidak sulit bila kita mengkaji, mengapa demikian. Hal ini disebabkan karena lingkungan sosial dan keagamaan tempat Gogon berinteraksi dan bergaul berada di lingkungan masya- rakat Jakarta yang tradisional, baik dalam pandangan pema- haman agama maupun “dunia” politik dirinya yang masih sangat terbatas. Apalagi orang tua angkatnya berlatar bela- kang dalam penerapan pemahaman agama.5

5 Dalam literatur Antropologi-Sosiologi, istilah Abangan dikemukakan oleh Clifford Geertz dalam bukunya , Priyayi,dan Abangan dalam Masyarakat Jawa, di tahun 1961. Geertz membuat kategorisasi sosial masyarakat Jawa di desa Mojokuto, Jawa Timur. Istilah Abangan untuk menunjukkan kategori sosial masyarakat Jawa yang secara ekonomis berada di tingkat sosial lapisan bawah-pedesaan dan secara agama pemahaman Islamnya sangat tipis bahkan memiliki pengaruh ajaran mistik, sehingga terjadi sinkretisme dalam kehidupan keagamaan. 24 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah  Romantika Masa Kemahasiswaan hingga Membina Rumah Tangga

Usai Gogon menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA), minatnya mulai berubah menjelang menjadi mahasis- wa di tahun 1963. Ia sempat tertarik ajaran Marhaen,6 dan ia nyaris menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indo- nesia (GMNI) . Ketika itu seusai masa perpeloncoan di Uni- versitas Kristen Indonesia (UKI) Gogon berangkat menuju ke sekretariat GMNI di Pegangsaan Timur, tetapi ternyata tidak ada satu pun Mahasiswa GMNI yang piket. Dari situ Gogon meluncur ke Universitas Indonesia (UI) untuk me- lihat hasil ujian masuk yang telah ditempuhnya, dan ternyata Gogon lulus sebagai calon mahasiwa Fakultas Ekonomi Uni- versitas Indonesia (FEUI). Di kampus FEUI inilah Gogon kemudian “digarap” oleh senior-seniornya para aktivis Him- punan Mahasiswa Islam (HMI) waktu itu seperti Fahmi Idris, Ekky Syachruddin, Firdaus Wajdi, Mar’ie Muhammad dan masih banyak lagi untuk disebutkan. Saat itulah Gogon mulai bergabung dalam aktivitas organisasi ekstrauniversiter di FEUI yang kemudian tampil sebagai kader dan aktivis HMI.

6 Marhaen merupakan sebuah ajaran yang dikemukakan oleh Sukarno ketika di masa pergerakan, secara substansi istilah ini lahir dari ketertarikannya mempelajari pemikiran Karl Marx yang memperkenalkan konsep Proletariat. Sebuah istilah yang memberikan makna keberpihakan memperjuangkan orang kebanyakan “rakyat yang miskin dan tertindas.” Secara harfiah istilah ini diambil dari nama seorang petani di daerah Bandung Utara ketika Sukarno sedang melewati daerah itu dan melihat “Kang Marhaen” yang sedang mengerjakan sawah. Ini sebuah konsep yang kemudian diperkenalkan Sukarno sebagai tokoh Nasionalis, lebih jelas lihat tulisan Sukarno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, Terbitan Panitia Penerbit. 25  Ahmad Sumargono

Gogon sempat mengikuti kuliah di dua universitas de- ngan fakultas yang sama yaitu Fakultas Ekonomi Uni- versitas Kristen Indonesia (UKI), dan Universitas Indone- sia (UI) pada tahun 1963. Di UKI ia hanya sempat kuliah 1 semester, selebihnya ia mengikuti pendidikan tinggi itu di Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta sampai tamat.7 Selain berkenalan dengan tokoh-tokoh yang disebut di atas, ia juga bergaul dengan tokoh dan senior HMI yang rajin memberikan kursus-kursus politik, yaitu almarhum Dahlan Ranuwihardjo, SH dan Prof. Dr. Deliar Noer. Dari sinilah, Gogon mengalami babak baru dalam pemahaman- nya terhadap Islam dan politik, dari pemahaman Islam sebatas teologis-ubudiah, kini meluas kepada pemahaman Islam ideologis-amaliah wal muamalah, atau istilah penulis pemahaman holistic Islam. Aktivitas di lingkungan HMI pada masa itu lebih kepada aksi sosial yang lebih banyak bukan bergerak di dalam kampus. Gogon bergabung dengan HMI rayon Petojo, Grogol, dan Tanah Abang (PGT).8 Gogon telah masuk dalam perjuangan Islam secara ideologis, ia

7 Dengan kondisi ekonomi Gogon yang saat itu seperti kalangan kebanyakan masyarakat Betawi, tekad Gogon untuk menuntut ilmu sangat tinggi, ini terlihat saat masuk dalam dua universitas dalam waktu yang bersamaan, betapapun keadaan sosial-ekonominya sangatlah terbatas.

8 Pada tahun 1960-an di lingkungan struktur organisasi HMI, selain dikenal adanya istilah komisariat untuk lingkungan perguruan tinggi, juga dibentuk satuan yang dinamakan rayon untuk lingkungan masyarakat di luar kampus. Ini dilakukan karena tantangan situasi politik waktu itu, terutama menghadapi rivalitas politik dengan kalangan komunis, khususnya dari Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang “berkiblat” pada ideologi Komunis. Satuan rayon ini kemudian dihilangkan pada masa HMI era 1980-an. 26 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah  memiliki kawan dekatnya yaitu Ridwan Saidi dan Mar’ie Muhammad, para aktivis HMI dari kampus UI. Ketiga orang ini dikenal dengan “Trio sekawan”. Ketiganya kemudian dipercayakan duduk di kepengurusan HMI pada tingkat pengurus besar di era kepemimpinan Sulastomo. Bedanya, kawan-kawan Gogon sempat menjabat pada tingkat teras kepemimpinan, sedangkan Gogon cukup di level departemen kader.9 Gogon bercerita, “Awal mula saya belajar soal politik Indonesia dari sahabat saya Mar’ie Muhammad, seorang mahasiswa, aktivis HMI sekaligus politikus ulung pada masa Orde Baru.”10 Darinya kemudian ia berkenalan de-ngan tokoh mahasiswa tingkat nasional masa itu seperti David Napitupulu, Cosmas Batubara, Zamroni, Husni Tamrin yang dikenal kemudian sebagai tokoh mahasiswa angkatan “66” dalam wajah pergulatan pemuda dan maha-siswa di Indonesia, yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Kemudian Gogon melaku-kan pembinaan soal kepemimpinan, keorganisasian, keis-laman dan masalah politik dengan belajar banyak pada Mas Dahlan Ranuwihardjo, SH dan Prof. DR. Deliar Noer, ma- sing-masing sebagai mantan Ketua Umum PB HMI yang

9 Perpeloncoaan atau mapras, merupakan istilah yang dikenal di era 60-70-an di lingkungan dunia kampus, yaitu sebuah aktivitas perkenalan para mahasiswa baru terhadap senior dan dunia perguruan tinggi, saat sekarang lebih dikenal dengan istilah reorientasi mahasiswa baru.

10 Wawancara dengan Ahmad Sumargono, pada hari Senin, 29 Desember 2003, di Gedung DPR-RI, Jakarta. 27  Ahmad Sumargono sangat mumpuni dan disegani. Gogon sempat tinggal di rumah Mas Dahlan selama tiga tahun. Mengenai Dahlan, Gogon berkomentar bahwa waktu itu Mas Dahlan meme- gang jabatan sebagai anggota DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), lembaga legislatif bentukan Pre- siden Sukarno. “Mas Dahlan sebagai senior HMI yang banyak menularkan pengetahuannya kepada saya dan teman-teman terutama menyangkut materi ideologi, kepe- mimpinan, strategi dan taktik. Saya tidak hanya menyerap ilmu dari beliau, melainkan juga membantu pekerjaan sehari-hari beliau sebagai sekretaris pribadi.”11 Perjalanan hidup seseorang, bukan garis linear. Ia ter- kadang jalan berkelok, bagai lurah (lembah) kehidupan pe- nuh terjal dan pendakian. Kehidupan seseorang dapat pin- dah dari satu ruang kehidupan yang satu ke yang ruang lain dan itu kemudian membentuk karakter sejarahnya sen- diri. Demikian pula Gogon, selain ditempa di HMI dan kampus UI Salemba, ia juga terbina dalam aktivitas penga- jian asuhan Ustad Mohammad Soebari. Mohammad Soe- bari, mantan pegawai Sekretariat DPR RI, di mata Gogon, bukanlah sosok yang baru dikenalnya, karena mereka per- nah tinggal bertetangga dan sering terlibat dalam perde- batan pemikiran tentang Islam. Intimitas itu dimulai ketika keluarga Ustad Mohammad Soebari mengalami cobaan, istri beliau sakit, hingga kemudian dipanggil oleh Al Khalik. Ketika dia sedang berada di Inggris Gogon-lah yang

11 Ibid. 28 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah  mengurus istrinya sejak mulai sakit sampai akhir hayatnya. Tentang Mohammad Soebari, Gogon berkomentar: “Dia adalah sahabat saya, abang saya, guru saya dan juga orang tua saya, dia juga banyak membantu membiayai penyelesaian studi saya, dan aktivitas dakwah saya. Saya sangat kagum dengan kepribadiannya, dia suka menolong orang yang sedang mengalami ke- sulitan, dia orang yang saya anggap pemberani da- lam menegakkan Islam, dia orang yang sangat khusu’ ketika sholat. Dia menguasai ilmu agama yang luas, hafal Alquran (hafiz) dan menguasai 4 bahasa yaitu Inggris, Perancis, Belanda dan Arab. Ia pernah menetap dan studi di Political Science, Oxford-Manfield College, Inggris. Pengetahuan- nya diraih sebagian besar secara otodidak. Saya banyak berguru kepadanya.”12 Selain berpengetahuan sangat luas, kepribadian Ustad Mohammad Soebari juga sangat mengagumkan. Ia seorang dermawan, rasa solidernya tinggi terhadap siapa pun terma- suk Gogon. Soebari juga orang yang khusu’ dalam sholat- nya, tidak jarang beliau meneteskan air matanya ketika sho- lat. Kekaguman dan kedekatan Gogon itu mengantarkan- nya aktif bersama-sama di organisasi Al-Irsyad pada tahun 1967-an. Ustad Mohammad Soebari sebagai sekretaris

12 Ibid. 29  Ahmad Sumargono jenderal dan Gogon sebagai wakilnya di Dewan Pimpinan Pusat Pemuda Al-Irsyad . Di samping keberadaannya sebagai aktivis Ormas Al Irsyad, Gogon masih memiliki sisa waktu untuk melakukan aktivitas di lingkungannya yang berpusat di Masjid Nurun Ala Nurin, Petojo Selatan, Jakarta Pusat. Sebagai Ketua Remaja Masjid setempat, Gogon bersama remaja masjid lainnya mengadakan kegiatan pengajian-ceramah setiap hari Jum’at dan Ahad, atau dua kali dalam satu minggu. Gogon yang telah tertempa di organisasi kampus HMI, mampu memainkan peran kepemimpinannya di lingkungan tempat tinggalnya melalui lembaga masjid. Di Masjid ini ia sering mengundang tokoh-tokoh Islam, kalangan ulama maupun cendekiawan, khususnya dari kalangan Masyumi seperti DR. Mohammad Natsir, Prof. DR. , Buya Sutan Mansur, Buya Malik Ahmad, DR. Mahmudin Sudin, KH Dalari Umar dan banyak lagi lainnya. Sosialisasi yang intens ini semakin mendekatkan cara berpikir dan berjuang seba- gaimana kalangan tokoh Islam itu. Islam bagi Gogon telah menjadi pandangan hidup yang harus utuh dan diperjuang- kan sebagai suatu keyakinan melalui dakwah dan politik dalam rangka mengantarkan rakyat dan bangsa untuk men- capai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Intensitas dari berbagai aktivitas di Masjid Nurun Ala Nurin yang dirasakan positif kemanfaatannya bagi masyara- kat sekitar, telah menimbulkan kepercayaan yang mendalam bagi pimpinan dan pengurus masjid, apalagi pendekatan 30 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah 

Gogon yang selalu kooperatif dan konsultatif kepada orang-orang tua atau yang dituakan di masjid tersebut. Ketika pada giliran- nya untuk mewu- judkan nilai-nilai Islam dalam kehi- dupan masyarakat yang ditimbanya dari materi cera- mah yang disam- paikan oleh para ustad dan tokoh Islam, maka tim- bullah ide dan ga- gasan untuk mem- Mohammad Natsir, tokoh yang dikagumi Ahmad Sumargono. bantu masyarakat yang termarjinalkan, khususnya dalam bidang kesehatan. Gogon dengan bekal pengalaman organisasi, dan kekayaan kerabat dan relasi, pada sekitar tahun 1968 memberanikan diri membangun poliklinik di atas tanah kosong seputar masjid seluas 10x15 m2. Dengan bekerja sama antara remaja masjid Nurun Ala Nurin dan Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI)

31  Ahmad Sumargono sebagai lembaga otonomi dari HMI, Gogon berhasil mem- bangun poliklinik tersebut yang dipimpin oleh Dr. Muham- mad Muadz Dirdjowijoto yang kebetulan sebagai sahabat karib Gogon. Bahkan peresmiannya dilakukan oleh Dr Herman Susilo, MPH, selaku Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, yang mewakili Gubernur DKI yang waktu itu dijabat oleh Ali Sadikin. Aktivitas Gogon selain membina umat di Masjid Nurun Ala Nurin tersebut, juga menata poliklinik yang dibangun- nya. Di poliklinik inilah kemudian Gogon menemukan se- orang gadis mahasiswi kedokteran UI tingkat IV, Joon Idrus yang menawarkan diri untuk membantu aktivitas poliklinik sebagai tenaga medis. Joon Idrus yang keturunan Arab itu, kemudian menjadi bagian dari romantika kehidupan Gogon, sebagai istri yang selalu setia dalam mendampingi perjuang- annya baik dalam keadaan suka maupun duka. Kegiatan di organisasi yang demikian aktif, memang di- akuinya sempat mengganggu studinya di universitas. Karena itu baru 22 tahun kemudian Gogon dapat menggondol ijazah sarjana ekonomi dari universitas yang bergengsi itu. Dalam meniti karir kehidupan, perjuangan, kerja keras tidak semata diartikan fisik dan pengalaman lahiriah semata, melainkan juga intimitas untuk dekat dengan pengetahuan, buku bacaan yang tentu memiliki pengaruh ke mana arah, bimbingan dan sikap hidup itu harus diambil. Proses sosi- alisasi itu, sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak lang- sung, melahirkan rasa kagum dan kesan yang dalam, dan 32 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah  ini mampu menjadi spirit untuk mendorong seseorang me- langkah lebih maju. Gogon merupakan satu di antara manusia yang senang membaca buku-buku yang kental dengan nuansa keagama- an, falsafah yang bernapas relijius dan sufisme, sampai ke- pada politik Islam kontemporer. Sebab itu pula ia memiliki sejumlah idola kepada siapa ia mendapatkan pesan dan hik- mah untuk mereguk pengetahuan baik di bidang agama maupun masalah keduniaan. Pandangan-pandangan ka- langan Ikhwanul Muslimin,13 tampaknya menjadi pilihan yang digemarinya. Nama Hassan Al-Banna, Rasyid Ridho, Yusuf Qardhawi, Muhammad Qutb dan Sayid Qutb adalah sejumlah tokoh dari kalangan pemikir Ikhwanul Muslimin yang banyak ia ketahui. Untuk ulama di Indonesia, Gogon mengagumi Buya Hamka dan Buya Malik di samping tentu- nya M. Natsir. Mengenai Buya Hamka, kekagumannya pada prestasi seorang ulama, sebab dia hanya berasal dari pendi- dikan yang rendah, namun mampu melahirkan pemikiran dan kepribadian yang disegani umat. Untuk Buya Malik,

13 Ikhwanul Muslimin adalah sebuah gerakan (harakah) di Mesir. Dalam perkembangannya ia memiliki pengaruh sampai ke berbagai dunia Islam, para tokohnya dianggap militan dalam menyuarakan perjuangan umat Islam di Mesir khusunyas dan dunia Islam. Organisasi ini menjadi terkenal, selain karena kemampuan aktivitas yang cukup maju dan pengorganisasian yang hebat, lebih dari itu dari sini lahir para pemimpin/ulama yang berani menghadapi risiko perjuangan, sehingga para tokohnya banyak yang mengalami penderitaan fisik dan politik ketika organisasi ini dianggap melakukan tindakan melawan negara yang dituduhkan oleh penguasa Mesir pada waktu itu. Banyak di antara mereka yang ditawan dan menjalani hukuman yang berat. Karena itu pula para tokohnya sangat dikagumi dan populer di kalangan para aktivis gerakan Islam. 33  Ahmad Sumargono

Gogon terkesan dengan karya tafsirnya yang berjudul Tafsir Sinar, menurutnya, kajian-kajian yang terkandung dalam tulisan itu, memiliki nilai Tauhid yang mendalam dan sangat mempengaruhi kehidupannya. Guru, tokoh dengan karya-karya pemikirannya, yang dipelajari Gogon, menjadi sumber inspirasi sebagai pemicu semangat dan motivasi perjuangannya. Tidak hanya seba- gai rujukan bagaimana suatu prestasi itu dapat diraih seba- gai amal shaleh, akan tetapi juga dari sana ia mendapatkan pemahaman apa yang sebaiknya dan sebenarnya dalam hidup yang harus menjadi prinsip dan sikap agar manusia tidak terlepas dari fitrahnya. Gogon “anak” Betawi yang sukses di pentas politik ini, dalam kehidupan beragamanya telah dua kali menunaikan ibadah haji bersama istri dan selalu gratis karena diajak teman, begitu pula beberapa kali melaksanakan ibadah umrah. Ada empat butir doa yang dipanjatkan Gogon ketika melaksanakan haji tahun 1980, dengan rasa tulus dan harapan memohon ke hadirat Allah Swt, pertama, agar menjadikan diri dan keluarganya sebagai keluarga mujahid, kedua, agar dirinya terlindung dari segala bentuk pertikaian dan perpecahan umat, ketiga, agar dibukakan jalan kemudahan dalam menghimpun dana umat dan keempat, agar diberikan kekuatan dalam menghadapi musuh-musuh Allah Swt. Doa dan harapan tersebut, masih tetap menjadi obsesi Gogon, yang sedikit demi sedikit, telah dirasakan makbulnya ijabah dari Allah Swt. Nama Sumargono memang kental berbau Jawa, bahkan 34 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah 

“aliran kebatinan” alias kejawen, yang sedang marak pada saat itu. Sekembalinya dari ibadah haji itu, Sumargono melengkapi namanya dengan “Ahmad”, sehingga menjadi Ahmad Sumargono yang membuat identitas keislamannya semakin kental.14 Perubahan nama itu bisa disebut sebagai sebuah “hijrah kultural”, sebuah migrasi nilai dari yang bersifat kejawaan ke nilai yang lebih Islami. Yang jelas, sho- lat, puasa Senin-Kamis, puasa Daud dan i’tikaf di penghu- jung bulan Ramadhan adalah bagian dari kehidupan sehari- hari dan “energi” yang memacu spirit perjuangannya seba- gai seorang juru dakwah Islam. Gogon beserta istri dan anak-menantunya tinggal di ka- wasan Pasar Rebo, Jakarta Timur, suatu lingkungan peru- mahan di sisi Jalan H. Baping, Kelurahan Susukan, Ciracas, yang cukup asri dengan nuansa sosial etnik Betawi yang se- derhana, terbuka, spontan, ramah dan akrab dengan suasana relijius budaya Islam. Rumah yang terletak di ujung jalan kompleks perumahan dokter itu, bak sebuah benteng dan padepokan sebab selain dibatasi dengan pagar tembok yang tinggi, bagian sisi rumah sebelah dalam ada blok bangunan bertingkat tiga yang selalu digunakan untuk berbagai kegiatan seperti pendidikan dakwah, pelatihan-kursus kepemimpinan, seminar, konferensi pers dan tempat temu ramah. Di sisi lain bangunan itu juga dilengkapi semacam home stay bagi tamu-tamu yang acap kali datang dari daerah dan bermalam. Di arena itu di rumah Gogon berkumpul para ulama, para

14 Wawancara dengan Ahmad Sumargono di Jakarta Selasa, 30 Desember 2003. 35  Ahmad Sumargono aktivis, kawula muda serta para tamu yang haus akan silatu- rahmi ilmu dan ingin tukar-menukar informasi mengenai perkembangan Islam maupun politik. Di tengah bagian da- lam ada halaman yang cukup luas dikelilingi oleh bangunan rumah tinggal, balai dan mushola yang saling berdempetan dengan dilengkapi lorong penghubung pada bagian te- ngahnya. Rumahnya memang bernuansa Islami dan unik. Bila pada bagian ruang tamu ada hiasan dengan bertuliskan asma Allah maka bagian teras utama rumah berdiri kokoh pagar besi dengan lambang Bulan-Bintang, sebuah lambang partai yang dinahkodainya. Nuansa Islam itu akan lebih terasa bila kita bertamu ke rumahnya. Jangan kaget jika terdengar suara hiruk pikuk dari balik pintu. Boleh jadi pada saat itu mungkin peng- huni rumah yang perempuan tengah sibuk segera melangkah masuk kamar untuk memakai jilbab sebelum menemui sang tamu. Keluarga ini memang menerapkan aturan tak tertulis, yakni setiap penghuni rumahnya tak terkecuali pembantu rumah tangga sekalipun, harus menggunakan busana mus- limah yang tertutup rapi dari ujung kepala sampai ujung kaki kecuali bagian muka dan telapak tangan. Ini dimulai sejak sang istri mulai menggunakan jilbab sepulang dari ibadah haji pada tahun 1985. Karena itu pula Gogon dengan kesadaran yang dalam mengharuskan kedua anak perempuannya, Fathya Ulfah, Silmi Kaffah dan menantu perempuannya untuk selalu berbusana muslimah. “Mulanya memang agak sukar, namun lama-lama tanpa diajari lagi jika ada tamu laki-laki buru-buru masuk ke dalam dan pakai jilbab.” Orang bilang asal terbiasa 36 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah 

Keluarga besar Ahmad Sumargono, membangun rumah tangga yang sakinah, 2003. jadi bisa. Bagi yang belum mengenakan jilbab tidak perlu dipaksa apalagi dimaki. Menurut Gogon karena “itu namanya belum mendapat hidayah. Dan hidayah itu urusan Allah, bukan hak kita.” Yang jelas untuk mengatasi agar tercipta suasana harmonis, maka rumah itu dibagi menjadi “wilayah dalam” dan “wilayah luar”. “Wilayah dalam” khusus untuk istri dan 37  Ahmad Sumargono keluarga agar dapat santai.15 Sedangkan “wilayah luar” untuk aktivis atau siapa pun yang menjadi tamu keluarga Gogon. Banyak kerabat dan para ikhwan, yang heran kok Gogon ting- gal di kompleks dokter, apalagi di gerbang kompleks ada papan nama yang bertuliskan “Praktek Umum Dr. Hj. Joon Sumar- gono M.Sc.” sehingga banyak jamaah yang mencantumkan nama Gogon dalam undangan ceramahnya dengan sebutan Dr. Sumargono, M.Sc. Pasalnya adalah bahwa sesungguhnya Gogon boleh dikatakan numpang sama istrinya yang dokter, dan memperoleh kesempatan tinggal di kompleks tersebut. Dan Gogon dengan keluarga sejak menikah sudah lima kali kontrak, setiap kontrakan dapat satu anak, jadi jumlah 5 orang anak sesuai dengan jumlah kontrakan, demikian ulah Gogon sambil tertawa terbahak bahak. Oleh karena itu ketika istri Gogon mendapat kesempatan menghuni kompleks tersebut, tanpa pikir panjang Gogon memboyong keluarganya, dan nampaknya itulah kontrak yang terakhir. Karena setelah itu selesailah urusan kontrak-mengontrak, bahkan Gogon bersa- ma istrinya telah mampu membeli tanah-tanah di seputar tem- pat tinggalnya, dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan harga di pusat kota. Di sini pulalah Gogon memba- ngun dinasti Ahmad Sumargono, karena seluruh putra dan putri beserta keluarganya tinggal bersama dalam sebuah kompleks, yang telah dipersiapkan oleh Gogon. Di sinilah tampak budaya kebetawiannya yang sangat kental, “makan tidak makan yang penting ngumpul,” seperti yang diungkapkan Gogon secara berseloroh.

15 Matra, April, 1999, hlm. 24. 38 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah 

Joon istri Gogon, dulunya seorang mahasiswi fakultas kedokteran. Kini menjadi istri sang politikus. Joon Sumar- gono yang lahir di Ambon 8 November 1945, semasa lajang dikenal dengan nama Joon Idrus, ia putri tunggal pasangan keturunan Arab (jamaah) pasangan Ibrahim Idrus dan Salmah al Hamid yang merupakan keponakan Des Alwi, seorang politikus dan pengusaha sukses.16 Joon Idrus ber- latar belakang pendidikan kedokteran dan alumnus fakultas kedokteran Universitas Indonesia yang lulus pada tahun 1971. Selain berpendidikan dokter, Joon juga, dalam kurun waktu yang bersamaan menyelesaikan B.Sc. (Bachelor Of Science) dari Fakultas Biologi Universitas Nasional (UNAS). Kemudian ia melanjutkan pendidikan terakhirnya dengan meraih gelar S2 (strata 2) dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) pada 1989. Mulanya sama-sama mengelola poliklinik yang didirikan remaja masjid, Gogon sering mengantarkan pulang sang pujaan hatinya Joon Idrus yang kebetulan sebagai tenaga medis. Saling cinta antara keduanya telah mengantarkan mereka ke jenjang pernikahan pada 1971. Kini cinta mereka berbuah lima orang anak dan enam orang cucu. Semuanya santun dalam bergaul dengan semua orang dan lapisan masyarakat.17 Kelima orang anak itu bernama, Muhammad Ridha, 32 tahun, telah mengikuti pendidikan Graduate di

16 Des Alwi seorang tokoh politik dan pengusaha dari Bandanaira, sepupu dari Ibrahim Idrus, mertua Ahmad Sumargono.

17 Ibid. 39  Ahmad Sumargono

Purdue University Indianapolis, dan menyelesaikan pro- gram Master Graduate di Arizona University, keduanya dalam bidang Teknologi Informatika di Amerika Serikat dan saat ini masih menetap di Seatle Portland AS, melan- jutkan studinya dalam Program Doktor (S3). Mohammad Ridha telah berkeluarga dengan memperistri Ratu Vanda Wardani yang memiliki pendidikan sebagai seorang insinyur dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dari Jurusan Sosial Eko- nomi (Sosek) dan telah dikaruniai dua orang anak, Mohammad Fathih Ridha dan Thoriq Al Islahi Ridha. Anak yang kedua bernama Mohammad Salmanul Faris, 30 tahun, yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana dari Universitas Gunadarma dalam bidang ilmu Akuntansi. Ia dikaruniai dua orang anak, Mohammad Arizrizka dan Shahrani Raudina dari pernikahannya dengan Oktin Utama, teman sealmamaternya. Anak ketiga, Fathya Ulfah, berusia 29 tahun, bersuami- kan Drs. Seto Tjahyono. Keduanya menyelesaikan pendi- dikan sarjana, dari Universitas Borobudur dan Universitas Gunadarma, Jakarta. Kedua pasangan itu dikaruniai dua orang anak, yang bernama Shafira Nur Sadrina dan Zaky Fadillah Yusuf. Anak keempat Khusnul Khotimah, telah wafat dalam usia empat tahun karena serangan demam berdarah, pada saat Gogon berada dalam tahanan politik tahun 1981. Sedangkan anak kelima, Silmi Kaffah, 19 ta- hun, mahasiswi fakultas kedokteran Universitas Yarsi. Anak terakhir ini masih berstatus lajang, belum berkeluarga. 40 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah 

Pribadi Gogon adalah pribadi terbuka, spontan dan res- ponsif terhadap siapa pun. Ia selain bersahaja dalam penam- pilan, pandangan dan ucapannya tidak pernah lepas dalam dua hal: ucapannya bernilai dakwah dan dialogis dalam mem- bangun pembicaraan. Yang unik ada dalam penampilannya. Wajahnya dihiasi kumis dan berewok yang lebat, kadang memberi kesan serem, secara ideologis dianggap tipikal atau simbolis dari penampilan seorang fundamentalis yang kono- tasinya politis. Mengenai hal ini ada joke dari Gogon, “Kalau orang berjenggot tapi enggak pakai kumis, itu konon orang Partai Keadilan Sejahtera, lalu kalau berjenggot dan berkumis, itu orang Partai Bulan Bintang, tapi kalau hanya berkumis tetapi tidak berjenggot, itu orang Partai Golkar.” Gogon tidak mau meng- ubah penampilan dirinya itu, karena istrinya senang dengan penampilan wajah suaminya itu, walau anaknya bilang kayak teroris. Pandangan Gogon mengenai Joon, istrinya, ia se- orang istri yang berani mengkritik dan memberikan spirit dalam perjuangannya. Buat Gogon itu hal yang manusia- wi, karena keterbukaan dalam kehidupan berumah tang- ga menjadi sangat penting dan berarti. Mengenai poli- gami, Gogon berpandangan bahwa Alquran memperbo- lehkan, bahkan Partai yang dipimpinnya sendiri dalam suatu Musyawarah Wilayah PBB Jawa Timur mengusul- kan satu poin yang datang dari kalangan Muslimat untuk mencabut PP 10 yang melarang laki-laki beristri lebih dari satu. Akan tetapi bagi Gogon sendiri ia tidak akan

41  Ahmad Sumargono berpoligami karena tidak memerlukan hal itu.18 Dunia pekerjaan adalah sisi lain yang harus didapat sebagai seorang lelaki, suami sekaligus kepala rumah tangga. Apalagi Islam mengajarkan bahwa istri dan anak itu meru- pakan amanah Allah Swt yang diembankan pada diri seorang lelaki. Ini prinsip hidup yang dianut Gogon dalam hidupnya. Oleh karena kewajiban sebagai suami itulah maka Gogon bekerja di perusahaan milik Jan Darmadi, seorang pengusaha sukses. Ia diterima bekerja di perusahaan itu atas rekomendasi dosennya di FEUI Nasruddin Suminta- pura.19 Gogon memulai kariernya di Jan Darmadi Corpo- ration (JDC), pada tahun 1973 dengan jabatan sebagai tenaga staf personalia, setahun kemudian dipercayakan sebagai kepala biro personalia, dan setahun berikutnya di- percayakan untuk menduduki jabatan corporate personnel manager (CPM) sampai dengan tahun 1980. Selain jabat- annya sebagai manager di Kantor Pusat tersebut, Gogon sempat menduduki jabatan direktur pada salah satu unit Usaha Jan Darmadi Group, yang bekerja sama dengan per- usahaan asing yaitu PT Crown Pacific Jaya, yang bergerak

18 Ibid. 19 Selain sebagai dosen di Universitas Indonesia, Nasruddin Suminta Pura pernah menjabat sebagai Menteri Muda Keuangan RI, pernah turut mengelola Lembaga Manajemen Universitas Indonesia, kemudian pernah dipercayakan sebagai duta besar. Ketika menjabat sebagai Ketua Lembaga Manajemen UI, ia dimintai advice oleh Jan Darmadi sehubungan rencananya mendirikan sebuah usaha bidang pengepakan. Kemudian Nasruddin Suminta Pura menawarkan Gogon untuk bekerja di perusahaan Jan Darmadi itu, karena pada saat itu Gogon memang menggeluti bidang disiplin ilmu manajemen. Di sinilah ia mulai berkenalan dengan dunia kerja yang baru dan penuh tantangan. 42 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah  dalam bidang Packaging dan Forwarding. Jan Darmadi, di- kemukakan Gogon sebagai sosok seorang “nasionalis se- jati”. Pernyataan Gogon tersebut didukung oleh fakta bah- wa sekalipun Jan Darmadi warganegara keturunan namun di perusahaannya, sangat sarat dengan karyawan dan para manajer serta direktur pribumi yang menempati jabatan kunci dan pengambil keputusan. Tidak itu saja, Gogon menyaksikan bahwa Jan Darmadi sangat besar peranannya dalam membantu pengusaha-pengusaha pribumi yang berhasil. Dan hampir 90 persen kerabat dan kawan-kawan terdekatnya adalah pribumi. Di samping itu, Jan Darmadi adalah sosok pengusaha sukses yang boleh dikatakan tidak pernah bermasalah. Jan Darmadi sering mengungkapkan kepada Gogon bahwa dirinya sangat mencintai negeri ini, dia ingin mati di negeri ini. Bergabungnya Gogon dengan Jan Darmadi, sebagai te- naga profesional tidaklah menjadi penghambat kegiatan dakwah yang digelutinya selama ini. Namun Gogon sangat menjaga amanah dan kercayaan yang diembannya, terutama menyangkut kredibilitas dalam masalah keuangan dan eksistensi manajerial yang dipercayakan kepadanya. Keberadaan Gogon dalam kegiatan bisnis manajemen, di samping dakwah yang tidak pernah berhenti, membuat Gogon mudah dikenal di kalangan aktivis serta para pemuda Islam baik yang di lingkungan ormas Islam maupun yang aktif di lingkungan masjid termasuk masjid-masjid di ling- kungan kampus, instansi pemerintah, perusahaan swasta, 43  Ahmad Sumargono perhotelan dan perbankan. Untuk kalangan elit manajer dan pimpinan perusahaan, tidak sulit buat Gogon mengkaitkan materi dakwah dengan kebutuhan manajemen seperti “Etos Kerja dan Islam”, “Sistem Manajemen dalam Islam”, “Leadership dalam Islam” dan lain sejenisnya. Di samping itu kebutuhan umat akan analisis informasi tentang keumatan dan politik yang sangat dibutuhkan oleh umat, Gogon selalu mampu menyampaikan analisis yang hangat tentang keber- adaan umat dikaitkan dengan kondisi politik kontemporer baik dalam maupun luar negeri. Dakwah yang disampaikan Gogon selalu menyinggung persoalan keumatan, bangsa dan persoalan dunia Islam, termasuk kritikannya yang tajam atas berbagai kebijakan politik pemerintah di era pemerintahan Orde Baru. Sensitivitas dan Islamphobia rezim Orde Baru pada dekade 70-an sampai awal 80-an ini membawa risiko dan konsekuensi di kemudian hari untuk mubalig seperti Gogon. Sebagai mubalig Gogon sangat dinamik dan dekat de- ngan tokoh umat serta para ulama dari berbagai latar bela- kang. Ini membuatnya dikenal sebagai tokoh muda di ka- langan aktivis pergerakan Islam dan masyarakat Jakarta. Ia juga mubalig yang bicaranya keras dan kritis hampir dalam setiap kesempatan ketika diminta berceramah. Gogon, misalnya mengeritik kebijakan-kebijakan penguasa Orde Baru yang diskriminatif terhadap Islam. Karena khutbah- nya yang terlalu “keras” ini, Gogon menjadi sorotan pengu- asa saat itu. Sebagai ganjarannya, penguasa keamanan Orde

44 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah 

Baru pun lalu menangkap dan memenjarakannya pada 1980. Ia ditangkap oleh Komando Pelaksana Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), sebuah lembaga keamanan ekstrakonstitusional dan sangat represif. Penjara yang dimasukinya tidak tanggung-tanggung, yakni tahanan Polisi Militer (POM) Guntur yang bagi kalangan aktivis Islam ketika itu diibaratkan sebagai “neraka dunia”. Pada hari kesepuluh dalam tahanan, ia mendapatkan pukulan berat, anaknya yang bernama Khusnul Khatimah yang baru berusia 4 tahun, terserang penyakit demam ber- darah. Atas kehendak-Nya anak yang menjadi permata hati bagi seorang ayah, telah dipanggil ke hadirat-Nya untuk selamanya. Gogon sangat terpukul lahir dan batin. Siksaan penjara akibat aktivitas dakwahnya sungguh seakan tidak berarti apa-apa dibandingkan siksaan batin akibat kematian putri tercintanya itu. Untung ketika itu penguasa keamanan masih memiliki sedikit ‘hati nurani’. Gogon diizinkan pu- lang untuk mengantarkan jenazah anandanya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Namun, usai prosesi pema- kaman itu, ia segera diperintahkan kembali mendekam dalam penjara yang sumpek dan menyiksa. Bagi para mujahid dakwah, hidup di penjara tidak memiliki perbedaan berarti dengan hidup dalam istana yang megah. Karena mereka yakin di mana pun berada, Allah selalu bersama mereka, dalam suka dan duka. Bagi mereka, penjara terkadang justru tempat terbaik untuk menggem- bleng diri secara intelektual maupun spiritual. Juga untuk 45  Ahmad Sumargono menjalin hubungan dengan sesama mujahid dakwah dan mengenal manusia-manusia lain yang memiliki karakter berbeda-beda. Ini antara lain yang dilakukan Gogon ketika berada dalam penjara Orde baru. Dalam tahanan, ia banyak bergaul dengan narapidana, khususnya para disersi dari kalangan militer. Dalam tahanan, Gogon juga merasakan mendapatkan ilmu yang luar biasa. Pengalaman “keilmuan” yang diperolehnya ketika ia bergabung dengan 99 tahanan dari berbagai latar belakang aliran. Jumlah 99 adalah jumlah nama-nama Allah yang indah yang dalam bahasa agama disebut asmaul husna. Menyebut nama-nama Tuhan itu mendatangkan banyak manfaat, di antaranya “ilmu hikmah”, sebuah pengetahuan ilahiah yang diperoleh tanpa proses belajar dan rasionalisasi. Ini adalah ilmu yang dimiliki kaum Arif seperti para ulama salaf yang sholeh. Selama di sel tahanan itu juga telah memungkinkan Gogon lebih berkonsentrasi untuk menghafal ayat Alquran yang membuatnya semakin dekat dengan Kitab Suci itu. Sholatnya pun semakin khusyu’. Kedekatannya dengan Allah, sang pencipta alam semesta, dalam penjara itu membuatnya tidak merasakan penjara sebagai sebuah siksaan. Ketika keluar dari tahanan, setelah enam bulan di sel tanpa proses pengadilan, Gogon mendatangi pimpinan tempat ia bekerja. Pimpinannya Jan Darmadi memberi na- sihat, “ agar dirinya tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik.” 46 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah 

Urusan dengan polisi dan Kopkamtib ini, disadari Gogon akan merugikan perusahaan tempatnya bekerja, sehingga Gogon minta mengundurkan diri dari perusahaan yang dipimpin Jan Darmadi itu. Akan tetapi jawaban yang datang dari pimpinannya tersebut meminta agar ia istirahat selama satu tahun, dengan tetap memperoleh fasilitas kantor, gaji, juga kendaraan yang diperlukan, dan nanti bila situasinya telah membaik, dapat bergabung kembali. Jan Darmadi sebagai pemilik (owner) dan pimpinan Perusahaan dalam PT Jan Darmadi Corporation, sangat peduli dengan Gogon karena secara pribadi kedekatannya dengan Gogon didasari kepada kepercayaan (trusty) yang telah bergabung selama puluhan tahun dalam grup per- usahaannya. Dia sangat bersimpati dengan aktivitas Gogon di luar perusahaannya, selama tidak mengganggu sistem manajemen yang selalu berkembang menuju profesi- onalisme. Itulah sebabnya ketika Gogon mendekam dalam tahanan politik, di saat teman-teman dan kerabatnya men- jauh, justru Jan Darmadi mengirim utusan ke rumah Gogon untuk menemui istrinya, guna menyampaikan rasa keprihatinan dan memberi bantuan kepada keluarga Gogon yang sedang mengalami kesulitan. Ternyata di mata Gogon Jan Darmadi jauh dari sifat apa yang dibilang pepatah, habis manis sepah dibuang. Ia tetap membantu pada saat mubalig itu menghadapi ujian. Padahal menurut pengakuan Gogon, banyak kawannya yang telah menjauhinya dengan berbagai alasan. “Saya dianggap 47  Ahmad Sumargono seperti orang terkena lepra atau penyakit kusta, yang harus dijauhi dari manusia lainnya,” ujarnya. Image ”menyeramkan” tentang sosok Gogon ternyata tidak mematikan karirnya untuk tetap menjadi seorang profesional. Terbukti kemudian ketika baru tiga bulan menikmati cutinya, Gogon dihubungi Jan Darmadi atasan- nya itu, agar dia bergabung kembali dalam Unit Perusahaan di luar grup perusahaannya. Perusahaan baru yang dipercaya- kan kepadanya adalah PT. Naptabor Pratama, yang meren- canakan usaha pengeboran minyak bekerja sama dengan Parker Drilling, yang dinakhodai oleh Abdillah Toha (seka- rang salah seorang Ketua PAN) sebagai presiden direktur, sedangkan Gogon dipercaya sebagai general managernya. Umur perusahaan ini ternyata hanya bertahan setahun saja, karena ternyata harga minyak dunia melorot terus, sehingga tidak feasible lagi untuk dilanjutkan. Setahun setelah di PT Naptabor Pratama, Gogon diper- kenalkan Jan Darmadi pada Bambang Riyadi Soegomo (Bambang Yoga), seorang pengusaha muda yang konon ingin banyak belajar pada Jan Darmadi. Kemudian Gogon ditem- patkan di perusahaan Bambang yang juga dalam kegiatan usaha pengeboran minyak PT Autonesia Tripama, yang ter- gabung dalam Automatic Accessories Group, bergerak da- lam bidang supplier oil equipment seperti Xmas-Tree dan Control Valve. Di sinilah Gogon menemukan dunia barunya, bergabung dengan pengusaha-pengusaha muda yang sele- britis, seperti Ponco Sutowo, Aswin Nasution, Robert Sili- 48 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah  tonga. Namun Gogon mampu bergaul tanpa meninggalkan identitasnya, dia tetap eksis dalam menata perusahaan yang diamanahkan kepadanya. Dia tetap sebagai Gogon dengan watak dan kepribadiannya, yang senantiasa bertahan dalam menerapkan prinsip-prinsip keyakinannya. Bambang Riyadi Soegomo, seorang pengusaha yang saat ini berhasil dalam mendayung bisnisnya, adalah insinyur muda lulusan ITB dalam jurusan geologi, namun dunia bisnisnya sangat beraneka ragam dari mulai supplier oil equipment, perkebunan kelapa sawit dan cokelat, pe- metaan, perikanan, sampai kepada bisnis pasir kwarsa. Gogon cepat akrab dengan Bambang dan keluarganya, bahkan dia merasa seperti keluarga sendiri. Gogon sangat terkesan dengan kepemimpinan yang sangat baik, akrab dengan siapa pun, arif, baik hati, humoris dan relijius. Satu kali Gogon menunggu kendaraannya yang sedang dipakai untuk urusan kantor, waktu itu hari Jumat dan Gogon harus khutbah, tiba-tiba Bambang datang, langsung bertanya, “tidak khutbah Jumat?” setelah Bambang mengetahui posisi Gogon yang sedang menunggu kendaraannya, maka Bambang langsung meminta kepada stafnya untuk meminjamkan kendaraan buat Gogon. Selama bergabung dengan Bambang, Gogon tidak hanya dipercaya dalam bisnis minyak saja, tetapi kemudian ikut pula dilibatkan dalam bisnis lainnya seperti perkebunan kelapa sawit, cokelat di Jambi dan Bengkulu, serta per- tambangan pasir kwarsa di Belitung. 49  Ahmad Sumargono

Gogon merasakan kebaikan Bambang dan kelurganya yang sangat kompak dan harmonis: Bambang Siswadi Kusumo Yudo Soegomo (Adik Yoga), Bambang Harso Perwiro Yudo Soegomo (Yudo), Kumbo Sulistio Soegomo (Kumbo). Dalam era Bambang-lah Gogon berhasil me- nyelesaikan studinya di FEUI pada tahun 1985. Bahkan Bambang pernah mengancam yang disertai pemberian fasilitas serta memanfaatkan sekretarisnya, untuk penyelesaian studinya. Kalau perlu Gogon tidak usaha memikirkan pekerjaan dan berkonsentrasi pada studinya yang harus selesai selama tiga bulan. Dorongan Bambang inilah yang mengantarkan Gogon berhasil meraih gelar sarjana ekonomi di Universitas Indonesia. Gogon yang memiliki kemampuan pengetahuan mana- jemen dan memiliki jam terbang dalam bidang manajemen yang panjang, telah berhasil membenahi perusahaan yang dipercayakan Bambang dan Jan Darmadi dalam PT Auto- nesia Tripama (dari posisi merugi menjadi break event). Ini berlangsung dari 1995 sampai 1990. Pada awal tahun 1990, setelah kurang lebih 5 tahun Go- gon tidak lagi bergabung dengan Jan Darmadi dan teng- gelam dalam bisnisnya Bambang Yoga, tiba tiba Jan Dar- madi menelpon Gogon dan mengajak bergabung kembali. Sehingga sejak tahun 1990, Gogon kembali dipercaya Jan Darmadi dalam bidang bisnis properti di PT Copylas Indo- nesia, di atas tanah seluas 150 hektar, dengan proyek real estate yang dikenal dengan Mega Kebon Jeruk. Nampaknya 50 Kehidupan dari Masa Kank-kanak Hingga Menjadi Aktivis Dakwah 

PT Copylas Indonesia adalah akhir perjalanan karier Gogon di bidang bisnis dan manajemen, karena setelah awal tahun 1999, Gogon telah mulai merintis dan berkiprah dalam partai politik, yaitu Partai Bulan Bintang.

51  Ahmad Sumargono

Ahmad Sumargono saat berorasi politik dalam acara memperingati Peristiwa Pembantaian Tanjungpriok.

52 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional 

BAB Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional

Membangun Jaringan Umat

I era Orde Baru kita mengenal istilah “politisi katrolan” Datau “politisi yang di-drop dari atas”, yaitu sosok politisi yang muncul dalam kepemimpinan partai politik, institusi tentara dan organisasi-organisasi massa bukan karena kapabilitas dan akseptibilitas dirinya tetapi karena “dikatrol” atau “didrop” dari atas untuk naik ke posisi-posisi strategis politik oleh penguasa Orde Baru. Politisi seperti itu besar karena fasilitas negara dan dukungan elit Orde Baru kepada 53  Ahmad Sumargono mereka.1 Sumber-sumber dan basis kekuasaan serta kepe- mimpinan mereka bukan berasal dari kepercayaan rakyat– sebagaimana diteoretisasikan para pemikir teori kontrak sosial (social contract theorists)—tetapi karena dukungan penguasa negara. Mereka jelas bukan politisi yang mengakar di hati rakyat. Kemunculan politisi seperti itu amat dimung- kinkan karena sistem politik Indonesia era Orde Baru sa- ngat bersifat birokratis-otoriter, patrimonialistis dan mene- kankan hubungan patron-client dalam hubungan-hubungan kekuasaannya.2 Sumargono bukanlah sosok politisi dan dai yang muncul karena fasilitas yang didapat dari kebaikan atau belas kasihan penguasa. Ia juga bukan tipikal politisi yang tampil bak selebritis yang “dimanjakan” oleh publisitas agar namanya selalu “terjaga” dan “melambung” dengan segenap kosme- tik politik yang penuh “cover”, atau membutuhkan stamina permainan yang selalu menyiapkan citra diri (image) yang dibangun lewat jargon-jargon atau cerita mistik guna meng- absahkan kehebatan seorang tokoh. Sumargono yang akrab dipanggil Gogon adalah seorang

1 Banyak contoh kasus “politisi katrolan” atau “politisi yang di-drop dari atas” di era Orde Baru. John Naro dalam kasus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Suryadi dalam kasus Partai Demokrasi Indonesia (PDI) adalah dua contoh terbaik mengenai kasus tersebut. 2 Mengenai sifat sistem politik Indonesia era Orde Baru yang demikian baca antara lain, Arief Budiman, State and Civil Society in Indonesia, Clayton: Monash University, 1991; Patrimonialisme dan Pemerintahan Militer di Indonesia, terj. Dharma- wan Ronodipuro, Jakarta: ISIP UI, 1981; Karl D. Jackson and Lucian Pye,eds., Political Power and Communications in Indonesia, Berkeley: University of California Press, 1978; Richard Robison, Sejarah Politik Orde Baru, Jakarta: LSP, 1986. 54 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  anak bangsa sebagaimana aktivis lainnya yang lahir dari suatu pergulatan pemikiran dan aksi perjuangan sosial dari bawah. Secara alamiah, ketika ia mulai menemukan pilihan “ideologi” perjuangan dan manakala sosialisasi yang secara intens diperolehnya, maka secara naluriah dan hikmah, mu- lailah ia terjun ke medan aktivitas di lingkungannya: meng- organisasi remaja dan jamaah Masjid Nurun ala Nurin; bela- jar berorganisasi dari seniornya di kampus dan di HMI; mengikuti kursus politik dari Mas Dahlan; belajar agama dari Ustad Mohammad Soebari. Ia pun berinteraksi secara terus-menerus dengan tokoh politik dari kalangan Masyumi seperti Natsir, Buya Hamka, Buya Malik dan lainnya melalui ceramah-ceramah mereka. Ditambah dengan buku-buku gerakan yang dibacanya, Gogon mulai menapak ke padang dakwah di belantara Jakarta pada era 1970-1980-an. Ia ber- ceramah dari mushola ke mushola, dari halaqoh ke halaqoh di kampus-kampus, lingkungan remaja masjid dan aktivitas training yang dilakukan oleh ormas Islam. Nampaknya po- tensi dan talenta Gogon mulai tergosok untuk menjadi so- sok figur yang dikenal. Sikap kritisnya menjadikan dirinya sebagai sasaran “tembak” di masa rezim Orde Baru, bahkan dicap “orang berbahaya” (the dangerous man). Ia bersama kawan-kawan memulai membangun jaringan gerakan dakwah dan harokah dengan keterlibatannya dalam membangun Lembaga Manajemen dan Pengembangan Infak (LMPI), 1985. Pada awal berdirinya, LMPI, dimak- sudkan sebagai sarana untuk penghimpunan dana umat

55  Ahmad Sumargono dengan sistem Islami. Motif pendirian itu karena Gogon sangat terobsesi dengan keberhasilan sistem keuangan dan perbankan Islam (Islamic finance and banking system) seperti yang telah berkembang di Malaysia. Di negeri jiran itu, ke- berhasilan sistem keuangan dan perbankan Islami telah memberikan kemakmuran dan kesejahteraan tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga semua warga negara Malaysia. Keberhasilan sistem itu patut dicontoh dan diikuti oleh negara-negara Muslim seperti Indonesia. Dan kita tidak usah malu belajar dari keberhasilan negeri jiran tersebut. Gogon menilai saat itu di Indonesia belum ada bank Islam (Islamic bank) seperti yang ada di Malaysia tersebut. Inilah obsesi yang melatari mengapa Gogon membangun LMPI bersama rekan-rekannya pada tahun 1985 tersebut. Untuk mewujudkan tujuannya LMPI membuat program-pro- gram, kajian ilmiah, pendalaman agama, dan santunan sosial dalam bentuk beasiswa pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, LMPI menjadi gerakan sosial dan dakwah yang kritis terhadap perkembangan pemikiran-pemikiran sekuler dan anti-Islam. Sikap kritis itu antara lain diwujudkan oleh LMPI dalam merespons pemikiran cendekiawan Muslim terkemuka Dr. Nurcholish Madjid pada Oktober 1992. Dalam orasi cera- mahnya yang berjudul “Kehidupan Keagamaan di Indo- nesia untuk Generasi Mendatang”3 dalam Forum Dewan

3 Makalah ini kemudian menjadi salah satu bagian dari bukunya yang berjudul Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995. 56 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional 

Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki itu, Nurcholish mengemukakan gagasan tentang agama Ibrahim yang hanief yang–menurutnya–tidak memiliki syariat. Islam menurut Nurcholish berarti “suatu penyerahan diri total kepada Allah.” Maka, siapa pun yang menyerahkan dirinya kepada Allah–apa pun agamanya, apakah Islam, Kristen, Yahudi, adalah termasuk seorang Muslim. Nurcholish juga berpendapat bahwa agama merupakan sumber konflik dan peperangan, bukan sumber perdamaian. Ia juga menyebut- kan Islam di Indonesia penuh kultus serta berkecenderung- an fundamentalis. Dalam makalahnya itu di sana sini, Nur- cholish mengutip pemikiran-pemikiran kaum Yahudi, antara lain Erich Fromm.4 Gogon menilai ceramah dan isi makalah Nurcholish ber- masalah, dan bisa menyesatkan umat Islam. Maka, tidak lama setelah acara orasi Nurcholish di TMII itu selesai, Gogon bersama rekan-rekannya mengambil inisiatif untuk merespons secara kritis isi ceramah cendekiawan Muslim itu. Demikianlah, maka dengan bekerja sama antara LMPI pimpinan Gogon dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indo- nesia (DDII), diselenggarakanlah sebuah acara seminar di Masjid Cut Mutiah, Menteng Jakarta pada November1992. Dalam acara itu, LMPI mengundang Dr. Daud Rasyid

4 Gagasan-gagasan serupa juga dikembangkan Nurcholish dalam karya-karyanya yang lain. Lihat antara lain, Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 1995; Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1995, Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995. 57  Ahmad Sumargono sebagai salah satu pembicara utamanya. Selain itu, acara tersebut juga dihadiri Hidayat Nurwahid, Ridwan Saidi, Ibrahim Madilao, Gogon dan Nurcholish sendiri. Di antara mereka ada juga yang turut bicara dan mengkritik pedas pandangan-pandangan Nurcholish. Daud Rasyid dalam makalahnya, “Kesesatan yang Dikemas dengan Gaya Il- miah” mengkritik tajam pemikiran-pemikiran Nurcholish. Ia menyebut pemikiran Nurcholish sebagai tipikal pemi- kiran kaum Orientalis dan Yahudi. Perdebatan dalam forum itu menghangat dan mendapat liputan luas dalam media massa di Indonesia. Tidak berlebihan untuk menyebut acara itu sebagai salah satu momentum penting dalam ge- rakan antisekularisasi di Indonesia. Dan, bagi Nurcholish sendiri momentum itu merupakan momentum kedua– yang pertama pada tahun 1972 ketika ia mulai memperke- nalkan gagasan sekularisasi–ia menuai “badai kritik” karena lontaran-lontaran pemikirannya yang kontroversial. Diskusi tersebut telah menjadi polemik yang berkepanjangan di kalangan umat Islam, pro dan kontra terhadap ide pemba- haruan Nurcholish yang dianggap mengembangkan gagas- an sekularisme. Kegiatan LMPI berlangsung hingga hampir sepuluh tahun. Ibarat “pohon pisang”, LMPI berhasil memotivasi lahirnya bank-bank Islam dan semangat untuk mengguna- kan sistem keuangan Islam. Namun, setelah itu LMPI yang dibangun susah payah oleh Gogon berakhir. Gogon tidak berhenti sampai di sini. Ia lalu bergabung

58 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  dengan Korps Mubalig Jakarta (KMJ) pada 1980-an, sebuah organisasi dakwah yang menghimpun segenap dai yang kritis. Setelah Dalali Umar, ia kemudian menjadi Ketua KMJ. Melalui KMJ ini, mulailah namanya dikenal, terutama di wilayah Jakarta, sebagai penceramah yang lugas dan keras namun tanpa kehilangan argumentasi dan fakta serta dengan cara yang tidak emosional. Wilayah perhatian dak- wahnya menjadi lebih luas ketika KISDI berdiri dan Gogon tampil sebagai ketua harian organisasi tersebut. Kritikannya bertumpu pada kondisi umat Islam yang selalu dimarjinal- kan dan dizalimi dalam kancah politik di satu sisi, serta gugatannya atas keadaan umat Islam di berbagai wilayah dunia yang mengalami penderitaan akibat hegemoni Barat terhadap dunia Islam di sisi lainnya. Kasus bangsa Palestina, Kashmir, Moro, Patani, Afghanistan, Bosnia, Kosovo, Chechnya, Aljazair, Turki dan Irak menjadi perhatian dari pernyataan-pernyataan dan pidato Gogon di tengah jamaah pengajian maupun kalangan pers. Saat itulah ia mulai memasuki wilayah percaturan politik nasional dan mulai dikenal serta dekat dengan kalangan muda Islam yang selama 20 tahun berada dalam tekanan politik yang hebat dari pemerintah Orde Baru. Ia sering diminta berceramah dan memberikan kursus- kursus intensif soal agama yang dihubungkan dengan ke- masyarakatan. Kemauan yang kuat untuk mau turun mem- bina anak-anak muda Islam mengingatkan penulis kepada sosok Mas Dahlan Ranuwihardjo. Apakah Gogon

59  Ahmad Sumargono mengambil contoh darinya? Yang jelas ia pernah tinggal dengan Mas Dahlan selama tiga tahun. Mas Dahlan meru- pakan salah satu contoh pejuang politik yang mau membina anak-anak muda secara intens, dinamis dan ikhlas melalui kursus-kursus politiknya. Ini juga mengingatkan penulis pada para tokoh besar dalam sejarah, seperti H.O.S. Tjo- kroaminoto. Bukankah ia memiliki murid yang kemudian tercatat dalam sejarah besar bangsa: Soekarno, Karto- suwiryo dan Semaun, atau Haji , yang melahir- kan murid-muridnya seperti Mohammad Natsir, Soekiman, Mohammad Roem, Syamsurizal, yang sangat disegani. Demikian pula Mohammad Hatta dan Syahrir dengan ke- lompok studinya, dan pemimpin bangsa lainnya yang juga membina kadernya. Tidak mengherankan apabila Gogon sangat dikenal kalangan muda dan aktivis. Rumahnya yang berada di ka- wasan Jakarta Timur, tepatnya di lintasan Jalan H. Baping, pada saat-saat tertentu sering dijubeli anak-anak muda serta tokoh dari berbagai lapisan dan wilayah, tidak terbatas dari Jakarta saja. Di tempat ini secara khusus sering diadakan pelatihan, kursus keagamaan dan peningkatan wacana ke- umatan maupun politik. Selain itu, tempat ini juga menjadi markas untuk mengorganisir sebuah event seperti rapat ak- bar, aksi protes, demo, pernyataan pers sampai pada akti- vitas yang bersifat membangun solidaritas serta aksi sosial. Gogon bagai “bola bekel” politik, ia menukik ke bawah hingga ke tingkat massa dan menyentuh aspirasinya, lalu 60 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  melambung lagi ke atas hingga akrab dengan kalangan elit politik lainnya. Ia bergerak dinamis, lincah, karena tanggap terhadap berbagai persoalan umat dan bangsa dengan memotivasi massa untuk mau peduli dalam menyuarakan keadilan dan kemerdekaan. Gogon pun menghimpun berbagai eksponen kekuatan umat melalui kegiatan silaturahmi secara kontinyu, dan membangun muara persepsi kepada semua pihak untuk membangun cita-cita bersama. Apabila di era Orde Baru ia hanya mampu membangun dan masuk jaringan dari kelompok kecil lalu bergerak ke organisasi sosial yang lebih formal dan terorganisasi dengan berjuang di luar parlemen, maka di era Reformasi Gogon tampil dalam arena organisasi massa yang lebih luas jang- kauannya, yaitu Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI) yang diketuainya; dan di organisasi politik Partai Bulan Bintang. Menjabat sebagai wakil ketua umum, ia ke- mudian masuk di parlemen selaku Ketua Fraksi dan Wakil Ketua DPR guna menyuarakan gagasan dan aspirasi umat Islam. Menurut Gogon, jaringan umat memang perlu diba- ngun seperti membuat pelatihan, perencanaan dan peng- organisasian untuk jangka depan. “Bersekolah, melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tinggi dalam rangka meningkatkan kualitas umat, itu juga membangun jaringan umat,” ujarnya.5 “Saya melanjutkan sekolah S2 bidang Magister Manajer di IPB, diilhami oleh dorongan ketika

5 Wawancara dengan Ahmad Sumargono di Jakarta 30 Desember 2003. 61  Ahmad Sumargono duduk di Panitia Anggaran DPR. Di sana banyak pen- dekatan angka-angka budget (anggaran), saya perlu reorien- tasi, mulanya belajar dengan DR. Dradjat Wibowo, dua kali dilakukan, eh, dia menyuruh saya sekolah. Saya berpikir di sini perlunya membangun jaringan dengan mening- katkan kualitas dan belajar dengan siapa saja.” Tetapi bagi Gogon semua itu dilakukan secara “alamiah saja”. 6

Motor Gerakan Islam: KMJ, KISDI dan GPMI

Kesadaran Gogon akan pentingnya jaringan kekuatan umat mendorongnya untuk terlibat dalam berbagai or- ganisasi. Tidak sekedar terlibat sebagai “aktivis-biasa-biasa saja” di dalamnya, tetapi juga sebagai pendiri dan perintis dan “motor” dari organisasi-organisasi pergerakan Islam itu. Ia sangat menyadari apa yang dikatakan Sayidina Ali r.a. benar: “Kebenaran tanpa didukung oleh adanya organi- sasi yang rapi dan kuat, akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir rapi.” Kesadaran historis itulah yang kemudian membuatnya terlibat dalam tiga organisasi ini sekaligus; Korps Mubalig Jakarta (KMJ), Komite Solidaritas Indone- sia untuk Dunia Islam (KISDI) dan Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI). KMJ adalah sebuah lembaga dakwah Islam yang menghimpun para mubalig di Jakarta pada sekitar 1980-

6 Ibid. 62 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional 

Ahmad Sumargono selaku Ketua Umum Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI), memberikan arahan dan sambutan pada acara Rakernas, Februari 2001. 63  Ahmad Sumargono an. Dalam organisasi dakwah ini bergabung para dai aktivis yang memiliki reputasi dakwah yang baik di mata masya- rakat Jakarta. Mereka adalah para dai yang umumnya berani menyuarakan kebenaran Islam sekalipun harus berhadapan dengan tangan-tangan kekuasaan rezim Soeharto yang sa- ngat represif terhadap Islam politik. KMJ mulanya dipim- pin KH Dalali Umar. Mubalig kenamaan ini adalah seorang mantan anggota TNI berpangkat mayor, pejuang kemer- dekaan dan memiliki keberanian dalam berdakwah serta dihormati oleh para aktivis Islam di masa itu. Ia juga memi- liki hubungan personal sangat dekat dengan tokoh-tokoh Masyumi seperti Natsir, Roem, Kasman Singodimedjo dan Mr.Syafruddin Prawiranegara. Di masa kepemimpinan Dalali Umar inilah terjadi penangkapan, pemenjaraan dan penyiksaan terhadap para aktivis dakwah Islam. Di antaranya seperti yang dialami oleh dai muda kondang “radikal” Tonie Ardie, Mawardi Noer, SH dan Abdul Qodir Jaelani. Kepemimpinan KMJ beralih ke orang lain setelah terjadi kemelut internal di organisasi para mubalig itu. Dalam beberapa pertemuan kemudian terjadi kesepakatan agar kepemimpinan KMJ dipegang oleh Gogon. Sejak itulah Gogon menjadi “nahkoda” KMJ selama beberapa tahun. Organisasi dakwah ini tetap eksis sejak didirikannya pada 1980-an hingga sekarang. Sedang untuk KISDI, nama ini tidak asing di kalangan aktivis dan pengamat sosial politik dan keagamaan, khususnya di kalangan umat Islam. Sejak kelahiran

64 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  organisasi ini pada tahun 1986, nama Gogon seakan identik dengan lembaga tersebut. Komite ini sebenarnya digagas oleh tokoh senior Masyumi yang disegani yaitu Dr. Mo- hammad Natsir (almarhum) dan sejumlah tokoh lainnya seperti Hussein Umar, Jam‘at Jufri, Zaqi dan Kholil Rid- wan. Mulanya wadah ini didirikan oleh berbagai kalangan umat untuk merespons dan membangun solidaritas ter- hadap perjuangan rakyat Palestina. Anggotanya terdiri dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Korps Mubalig Jakarta (KMJ), Al-Irsyad dan sebagainya.7 Gogon sendiri diberi kepercayaan sebagai Ketua Harian KISDI. Melihat namanya, KISDI seyogianya lebih berorientasi pada kasus-kasus internasional, akan tetapi dalam prak- tiknya, lembaga ini lebih banyak menggugat masalah do- mestik: kasus jilbab, perjudian, miras, makanan haram, ma- salah kristenisasi, sekularisasi dan aliran kepercayaan. Da- lam perkembangannya KISDI juga melakukan social action terhadap berbagai peristiwa yang diderita umat Islam di berbagai belahan dunia: penderitaan rakyat Palestina di kampung-kampung pengungsian, Umat Islam di Kashmir, Filipina Selatan, Afganistan, Bosnia-Herzegovina, Kosovo dan lainnya. Sebaliknya KISDI sangat getol melakukan pengutukan terhadap tindakan biadab Israel dan sikap Amerika Serikat yang “bermusuhan” terhadap perjuangan umat Islam. Ini dilakukan dengan aksi protes melalui demo dan unjuk rasa. Selain itu aksi yang bernuansa politis (political

7 Gatra, 12 Februari 2000. 65  Ahmad Sumargono action) juga dilakukan, misalnya protes dalam persoalan per- sepsi yang salah atas berbagai kerusuhan di Tanah Air– Tasikmalaya, Kupang, Ambon sampai ke Poso; juga perju- angannya yang penuh komitmen yang menuntut penerapan syariat Islam. Sikap Gogon sebagai “komandan” KISDI yang tanpa tedeng aling-aling ini memang membuat dia sering dicurigai. Karena protesnya terhadap berbagai pihak, mulai dari majalah Jakarta Jakarta, harian Kompas, dan CSIS, tidaklah mengherankan jika Gogon dan KISDI dianggap oleh ba- nyak pihak sebagai kelompok yang garang. “Kami bergerak karena kepentingan umat Islam terancam,” ucap Gogon sebagai Wakil Ketua KISDI.8 Tapi yang pasti KISDI dari hari ke hari semakin kokoh, terlebih di era pascakejatuhan Soeharto. Ini diakui para pengamat Barat seperti R.William Liddle, guru besar ilmu politik di Ohio State University, Colombus, Amerika Serikat. Liddle berkomentar tentang KISDI bahwa organisasi Islam pimpinan Sumargono ini “is a newer, more overtly political organization, and spends much of its time demonstrating against domestic opponents or Western governments. The combined forces of Dewan Dakwah and KISDI are still small, but they are much more influential today than they were a decade ago”.9

8 Tempo, 23 November 1998. 9 R. William Liddle, “Indonesia’s Unexpected Failure of Leadership,” dalam Adam Schwarz and Jonathan Paris, eds., The Politics of Post-Soeharto Indonesia, New York: Council on Foreign Relations Press, 1999, hlm. 33. 66 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional 

Jadi, de facto, Liddle mengakui bahwa sekalipun KISDI itu kecil, namun pengaruhnya dalam politik Indonesia pasca-Soeharto patut diperhitungkan. Komitmen KISDI yang juga merupakan komitmen Gogon adalah memperjuangkan nasib dunia Islam yang dilanda musibah dan penindasan negara-negara Barat adikuasa. Gogon adalah salah satu tokoh Islam yang sangat terikat untuk secara terus-menerus menggugah umat dan pemerintah agar tanggap, kritis dan responsif terhadap berbagai probematika yang dihadapi dunia Islam. Tidak hanya sekadar berbicara di hadapan pers atau menulis, malah ia sendiri juga gemar memimpin langsung dan bergabung untuk melakukan aksi-aksi politik damai sebagai upaya me- lakukan apa yang ia katakan pressure terhadap pihak yang ber- sentuhan dan memiliki tanggung jawab pada persoalan yang sedang terjadi. Gogon dengan KMJ, KISDI, GPMI dan bekerja sama dengan berbagai komite, front maupun forum keumatan, selalu melakukan penggalangan dalam rangka pembelaan bagi posisi umat yang dipojokkan atau dizalimi. Gogon tidak memandang bulu, apakah yang menjadi sasaran aksi atau “penggugatan” itu tokoh nasionalis, sekuler, prag- matis atau tokoh Islam sekalipun. Jika menurut ukuran-ukur- an normatif, etis, apalagi hukum sudah tidak patut atau me- langgar rambu-rambu peraturan dan kebersamaan, maka ia akan bereaksi. Itulah gaya dan citra Gogon! Kultur spontani- tas dalam masyarakat Betawi membuatnya demikian lugas dan tanpa tedeng aling-aling dalam menyikapi berbagai masa-

67  Ahmad Sumargono lah politik, sosial, budaya, keagamaan yang aktual. Masalah Palestina, penderitaan rakyat Afghan, Bosnia, ketidakadilan dalam politik umat di Aljazair, Turki, kepo- ngahan musuh Islam atas Irak, Moro, Chechnya dan belah- an dunia lainnya, membuat Gogon dan kelompok umat yang terpanggil selalu tidak tinggal diam. Rapat akbar, penggalangan solidaritas dengan bantuan kemanusiaan, pernyataan pers yang tegas dan keras, demonstrasi, pengi- riman delegasi dalam forum internasional, semua ini meru- pakan bagian dari bentuk kerja yang dilakukan Gogon tanpa kenal lelah. Dalam proses yang cukup panjang, dengan per- jalanan waktu yang harus dilalui oleh tokoh yang satu ini, sampai batas kini ia telah dikenal masyarakat internasional, bahkan dengan sinismenya ada surat kabar dari luar negeri yang menjuluki tokoh ini sebagai “orang yang berbahaya” (the dangerous man). Akan tetapi itu tidak membuatnya surut melangkah. Dalam memperjuangkan kepentingan dan nasib umat Islam, ia serasa tak pernah lelah. Ia terus ber- juang dengan prinsip-prinsip yang diyakininya benar sekali- pun kritik dan kecaman menghujani dirinya bertubi-tubi. Sikap dan aktivitas politiknya tidak lepas dari sikap pro dan kontra publik. Ia kadang mendapatkan kritikan, sinisme sampai fitnah dari pihak-pihak yang menilai sepak terjang perpolitikannya. Sebutan seperti radikalis, funda-mentalis, politik kekerasan, dan banyak sebutan lainnya harus di- terimanya dengan lapang dada. Apa respons yang dilaku- kannya? Kebencian itu ia tanggapi secara proporsional de-

68 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  ngan tanpa melepaskan keinginan untuk selalu membina hubungan sosial secara baik dan wajar pada siapa pun atau kepentingan mana pun. Buktinya ia yang disebut funda- mentalis, ternyata dapat berkomunikasi secara terbuka dengan kawan-kawan dari kalangan nasionalis, para jurnalis maupun kalangan militer. Gogon nampaknya sadar bahwa medan politik dan amaliah betapapun disemaikan dengan niat amar ma’ruf nahi munkar tidak selalu berbalas dengan kema’rufan. Itu semua baginya sebuah risiko dari cobaan, ujian, karena memang sudah sunatullah, bahwa dunia itu bak sebuah permainan. Dan di permainan itu juga banyak jelaga yang membuaikan, serta menyebabkan manusia tidak sadar bahwa dunia itu hanyalah satu terminal yang sebentar saja akan berakhir. Selain aktif di KMJ dan KISDI, Gogon juga merintis dan terlibat aktif dalam GPMI. Wadah ini lahir di tengah- tengah suasana euforia sosial dan politik bangsa Indonesia di masa Reformasi, tepatnya pada bulan Syawal tahun 2000. Gogon sebagai tokoh utama penggagas ini mendapatkan dukungan yang sangat luas dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Lahirnya wadah ini dilatarbelakangi oleh suasana euforia bangsa yang berimbas kepada umat Islam. Berdirinya partai-partai politik dan organisasi- organisasi yang demikian banyak, ditambah adanya “ketegangan” politik antara kalangan Nasionalis Islam de- ngan Nasionalis sekuler yang basis pendukungnya juga sama-sama umat Islam, mendorong untuk mendirikan wa- dah Islam yang dapat mencairkan situasi itu. Lebih dari itu 69  Ahmad Sumargono kelahiran GPMI diharapkan mampu menjadi “jembatan emas” untuk merajut silaturahmi di antara berbagai lapisan elit Islam yang beredar di berbagai organisasi dan partai. Hal lainnya adalah perlunya wadah yang dapat memberikan perhatian secara lebih holistik menyangkut problematika umat dan bangsa dan itu hanya dapat dilakukan bila segenap potensi umat dapat “duduk” bersama dan membicara- kannya dengan nuansa persaudaraan. Ketika GPMI dideklarasikan, sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang aktivitas turut hadir: mulai dari kalangan ulama, partisan, wartawan, artis, cendekiawan kampus, pemuda, sampai kalangan massa. Dalam suasana silaturahmi yang diadakan di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan, tersedia acara-acara penting selain deklarasi itu sendiri. Sambutan disampaikan Gogon selaku Ketua Umum GPMI. Ia menjelaskan panjang lebar mengenai latar belakang, maksud dan tujuan berdirinya organisasi GPMI, yang saat ini telah ada sejumlah perwakilan di tingkat wila- yah dan cabang. Ceramah disampaikan oleh Prof. DR. Nur- cholish Madjid yang memberikan apresiasinya atas berdiri- nya GPMI, sementara tausyiah disampaikan K.H. Sukron Makmun, selaku Wakil Ketua Majelis Syuro organisasi ini. Puncak acaranya adalah pembacaan “Pernyataan Kepriha- tinan” GPMI terhadap berbagai perkembangan nasional yang terjadi, ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal GPMI. Hadir dalam acara itu antara lain dari kalangan Partai seperti Taufik Kiemas, Akbar Tanjung, Bachtiar Chamsyah, Hatta Radjasa, Fahmi Idris, Drs. Ibrahim 70 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional 

Ambong, MA, Drs. Ade Komaruddin, Hamdan Zulva, Zulvan Z.B. Lindan; dari organisasi Islam antara lain Drs. Nabhan Husein; dari kalangan cendekiawan adalah Bachtiar Effendi, Winarno Zein; dari praktisi adalah Muchtar Lutfi, SH, Drs. Erlangga Masdiana, MA; dari kalangan militer adalah Letjen Hendropriyono, Mayjen Muchdi; kalangan tokoh muda antara lain Adhyaksa Dault, SH dan banyak lagi lainnya. Untuk kepengurusan pada jajaran Pimpinan Pusat adalah DR. Bachtiar Effendi, Drs. Edy Setiawan, Drs. Zahir Khan, SH, Drs. Muchtar Lutfi, SH, Winarno Zein, SE, Hadi Mustafa Djuraid, Spd, sebagai sekretaris jenderal adalah Drs. Firdaus Syam, MA. Pengurus besar GPMI telah melakukan rapat kerja yang dilakukan di Cisarua Bogor dengan hasil, dirumuskannya AD/ART, Pedoman Kerja Organisasi dan Struktur Or- ganisasi yang telah disetujui dalam rapat pleno. Sebagai or- ganisasi yang bergerak pada aktivitas sosial, GPMI sangat peduli memberikan bantuan dan santunan akibat korban banjir, kebakaran, gempa bumi, serta pembagian hewan qurban bagi para dhuafa. Dalam membangun wacana, GPMI telah melakukan sejumlah diskusi, pelatihan bagi para pemuda yang putus sekolah, sampai kepada meng- hadirkan pembicara yang profesional di bidangnya, dan melakukan aksi kritis untuk peduli terhadap aspirasi publik dengan melakukan tablig akbar. Hal lain adalah melakukan kunjungan ke sejumlah tokoh dan ulama untuk menguatkan tali silaturahmi, di antaranya menjadi tamu kehormatan Wakil Presiden Hamzah Haz di kantor dinasnya. 71  Ahmad Sumargono Gogon dan Partai Bulan Bintang: “Pewaris” Masyumi

Kejatuhan Presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya telah mendorong terjadinya perubahan-perubahan politik sangat signifikan di Indonesia.10 Di antaranya perubahan sistem politik dari yang bersifat tertutup dan otoriter ke arah sistem politik yang terbuka dan bebas. Lalu muncullah fenomena sejenis “superfluitas demokrasi”;11 proses peng- implimentasian cita-cita demokrasi yang meledak-ledak yang sering pada akhirnya justru kontraproduktif terhadap upaya penegakan demokrasi itu sendiri. Dalam suasana per- ubahan iklim politik itulah, pemerintahan Presiden B.J. Ha- bibie membuka kran kebebasan politik dengan memberikan peluang bagi munculnya partai-partai politik baru. Berbagai partai politik dengan asas ideologinya masing-masing ke- mudian lahir dalam jumlah mengejutkan, lebih dari seratus partai. Sebagian partai-partai itu ada yang menganut ideo- logi nasionalisme “netral agama” seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Murbaisme (Partai Murba),

10 Mengenai kejatuhan Presiden Soeharto, Orde Baru dan implikasinya terhadap perkembangan politik di Indonesia telah dikaji oleh beberapa ilmuwan politik. Baca antara lain, Leo Suryadinata, Elections and Politics in Indonesia, Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 2000, hlm. 43-55; Dedy N. Hidayat et al. eds., “Pers dalam Revolusi Mei” dalam Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta: Gramedia, 2000. Lihat juga artikel Adam Schwarz dan R. William Liddle dalam karya yang disunting Adam Schawrz and Jonathan Paris, eds., The Politics of Post-Soeharto Indonesia. 11 Istilah “superfluitas demokrasi” penulis pinjam dari M. Alfan. Lihat tulisannya, Mahalnya Harga Demokrasi, Catatan atas Dinamika Transisi Politik Indonesia Pasca- Orde Baru dan Jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid, Jakarta: Intrans, 2000. 72 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  tetapi ada juga yang berasaskan ideologi agama Kristen (Partai Demokrasi Kasih Bangsa), dan ideologi Islam se- perti PBB dan lain-lain. Persis seperti partai-partai masa lalu yang berasaskan “politik aliran”.12 Perubahan politik dramatis ini tidak luput dari sorotan kalangan politisi Muslim. Tokoh-tokoh pergerakan politik Islam–dari yang ‘radikal’, ‘idealis’, ‘akomodatif’, ‘oportunis’ hingga ‘moderat’–mencermati perkembangan politik pasca-Soeharto dengan penuh perhatian dan antusiasme mendalam. Bagi mereka yang idealis perubahan iklim politik itu harus dimanfaatkan untuk menseting kembali munculnya partai politik Islam yang bisa mewadahi aspirasi Islam di satu sisi namun, memiliki akar-akar genealogi historis yang menghujam kuat ke masa lampau. Yang pasti– sebagaimana diakui para pengamat politik–kejatuhan Soeharto itu memiliki implikasi politis sangat strategis ter- hadap perkembangan politik Islam di masa-masa kemu- dian.13 Anwar Haryono, Yusril Ihza, Ahmad Sumargono, Hartono Mardjono, Abdul Qodir Djaelani, M.S. Ka’ban

12 Herbert Feith dan Lance Castles memetakan “aliran-aliran politik” yang pernah berkembang di masa lampau, yaitu, Islam, Marxisme-Komunisme, Tradisionalisme Jawa, Sosialisme Demokrasi dan Nasionalisme Radikal. Atas dasar pemetaan itu, kedua ilmuwan politik itu membuat pemetaan partai-partai politik berdasar aliran. PKI misalnya adalah partai yang beraliran Marxisme- Komunisme yang bercampur dengan tradisionalisme Jawa. Masyumi berdasarkan Islam yang bercampur dengan aliran Sosialisme Demokrasi dan seterusnya. Lihat Herbert Feith and Lance Castles, eds. Indonesian Political Thinking, 1945-1965, Ithaca: Cornell University Press, 1970, hlm. 14.

13 Masalah ini dibahas secara baik dalam tulisan-tulisan Indonesianists. Lihat antara lain, artikel Hefner, “Islam and Nation in the Post-Soeharto Era,” dalam Adam Schwarz and Jonathan Paris, eds., The Politics of Post-Soeharto Indonesia, hlm. 40-71. 73  Ahmad Sumargono dan tokoh-tokoh pergerakan Islam lainnya memiliki per- sepsi yang sama mengenai bagaimana memanfaatkan mo- mentum sangat bersejarah pasca-Soeharto itu. Dalam kon- teks inilah kita melihat relevansi kelahiran Partai Bulan Bin- tang (PBB). Bagi Gogon, salah satu tokoh yang turut mem- bidani kelahiran partai “pewaris Masyumi” itu, eksistensi PBB tentu bermakna khusus. PBB memiliki makna tersen- diri bagi tokoh ini dalam kehadirannya sebagai politisi ter- kemuka saat ini. Yang jelas, melalui wadah politik itulah ia mengekspresikan idealisme politik keislamannya secara nyata dan bermakna. PBB, sebagaimana dikatakan di atas, memiliki akar genealogi historisnya pada Masyumi. Di bawah ini akan diuraikan sejarah pendirian PBB dan kaitan historisnya de- ngan Masyumi.14 Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indo- nesia) merupakan sebuah himpunan dari berbagai ormas dan partai-partai Islam yang menonjol di masa pendudukan Jepang (1942-1945). Yaitu, antara lain, , Muhammadiyah, Laskar Hizbullah, Laskar Hizbul Wathon (keduanya kemudian menjadi sayap bersenjata Masyumi di masa revolusi kemerdekaan), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan lain-lain. Pendirian Masyumi dideklarasikan pada 11 November 1945, sekitar tiga bulan

14 Mengenai sejarah perkembangan Masyumi sendiri lihat misalnya Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Jakarta: Grafiti Pers, 1987; Herbert Feith, Decline of the Constitutional Demo-cracy in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1972; Yusril Ihza Mahendra, “Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Satu Kajian Perbandingan Kes Parti Masyumi di Indonesia dan Jam’at Islami di Pakistan,” Ph.D Thesis di Universiti Sains Malaysia, 1993. 74 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  setelah Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI. Sejak awal pendirian partai Islam ini, para tokohnya seperti Mohammad Natsir, K.H. Wahid Hasyim (ayah kandung mantan Presiden Abdurrahman Wahid), K.H. Wahab Hasbullah, Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, telah memiliki pendirian tegas bahwa Masyumi ber- juang untuk keagungan Islam dan kaum Muslimin (Izzu al Islam wa al Muslimun). Wujud konkretnya adalah, upaya memperjuangkan sya- riat Islam menjadi bagian penting dari konstitusi Republik Indonesia. Perjuangan para tokoh Masyumi itu terlihat dalam tahun 1945 ketika mengupayakan agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta “menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya” tetap diberlakukan. Namun, sejarah berkehendak lain. Tokoh-tokoh Nasionalis “sekuler” seperti Ir. Sukarno, juga Mohammad Hatta–yang sekalipun memiliki akar-akar pemikiran keislaman cukup kuat– menolak mempertahankan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu.15 Mereka menolaknya dengan alasan khawatir kaum non-Muslim di Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Republik Indonesia. Setelah terjadi “kompromi politik” akhirnya ditetapkan bahwa tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu harus dihapus. Kenyataan ini praktis berarti bahwa perjuangan para tokoh Masyumi untuk memperjuangkan syariat Islam kandas di tengah jalan.

15 Mengenai alasan penolakan Hatta, lihat Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi, Jakarta: Tintamas, 1969. 75  Ahmad Sumargono

Kegagalan di tahun 1945 itu tidak menyurutkan langkah para politisi Masyumi untuk tidak memperjuangkan syariat Islam kembali di masa-masa pascakolonial. Ketika Indone- sia memasuki periode Demokrasi Parlementer (1951-1959), kembali tokoh-tokoh Masyumi menggulirkan isu penerap- an syariat Islam di Indonesia. Kali ini mereka menggunakan forum Dewan Konstituante untuk memperjuangkan pene- gakan syariat itu. Dalam forum itulah, nampak ukhuwah Islamiyah yang kokoh di antara pemimpin-pemimpin Islam seperti Natsir, Hamka, Rusyad Nurdin, Prawoto dan lain- lain. Mereka sepakat bahwa Islam harus menjadi dasar ne- gara Republik Indonesia. Namun, tantangan politik segera menghadang mereka. Kaum Nasionalis sekuler–didukung oleh kelompok Sosialis dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan kaum komunis PKI–berupaya menggagalkan pene- gakan syariat Islam. Sukarno, turut bermain dalam pergu- latan politik di Dewan Konstituante. Dalam situasi ketika kelompok Islam hampir saja memenangkan separuh per- tarungan ideologis dalam Dewan Konstituante, “tiba-tiba” Sukarno mengeluarkan Dekret 5 Juli 1959 yang berisi pem- bubaran Dewan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Dengan dekret itu, praktis semua agenda perjuangan politik partai-partai Islam seperti Masyumi kandas di tengah jalan.16 Kegetiran yang dialami pemimpin-pemimpin Masyumi

16 Mengenai masalah pertarungan politik dan ideologis di Dewan Konstituante, lihat Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Percaturan Islam dan Kekuasaan di Dewan Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985. 76 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  tidak hanya sampai di situ. Kegetiran lain menyusul. PKI yang telah lama menjadi musuh nomor satu Masyumi terus saja mempengaruhi Sukarno agar membubarkan partai itu. Pada 1960 tibalah saat dinantikan oleh PKI. Karena penga- ruh PKI, Presiden menyatakan pembubaran Masyumi–juga kemudian PSI–dengan alasan yang sangat artifisial, yakni pemimpin puncak Masyumi, Natsir dan Syafruddin Prawi- ranegara, terlibat pemberontakan Pemerintahan Revolusi- oner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958-1959. Para to- koh Masyumi tentu saja menolak keras pembubaran partai- nya dan menilai tindakan Sukarno itu inkonstitusional. Tetapi ibarat kata pepatah, “nasi telah jadi bubur”. Keputus- an pembubaran Masyumi sudah final dan tidak bisa digang- gu gugat. Ini terbukti ketika kekuasaan Sukarno dan rezim- nya tumbang pada 1966, lalu digantikan oleh rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto, upaya untuk merehabilitasi Masyumi tetap tidak berhasil. Soe- harto–seorang jenderal abangan dan berkecenderungan anti-Islam ketika itu–menolak rehabilitasi Masyumi dengan alasan seperti yang diyakini Sukarno: Masyumi ter- libat makar terhadap Republik Indonesia. Sebuah tuduhan yang sangat menyakitkan–namun tidak pernah terbukti– terhadap para tokoh Masyumi yang notabene adalah pe- juang Republik yang paling gigih, ikhlas tanpa pamrih dan sangat demokrat. Terlepas dari kenyataan sejarah bahwa Masyumi tidak diizinkan untuk direhabilitasi pada masa Orde Baru, pemikiran dan warisan ideologis para pemimpin partai 77  Ahmad Sumargono

Islam terbesar itu tetap mengakar di hati umat Islam Indonesia. Di sinilah kita temukan bagaimana upaya para pendiri PBB untuk kembali menghidupkan Partai Masyumi di era Reformasi pascakejatuhan Orde Baru. Lahirnya Partai Bulan Bintang (PBB) sejauh bangsa Indonesia hendak menyongsong Pemilu 2004 ini belum bahkan tidak pernah diungkapkan sekalipun oleh para pelaku sejarah yang membidaninya. Masyarakat luas khususnya umat Islam hanya sedikit membaca berbagai artikel yang menyebutkan bahwa Partai Bulan Bintang dilahirkan pada 17 Juli 1998 (Tanggal 17 Juli ini dipilih karena merupakan hari lahirnya Partai Masyumi 17 Juli 1947), namun baru dideklarasikan pada 26 Juli 1998 di halaman Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Lebih jauh lagi pengetahuan masyarakat luas mengenai sejarah lahirnya Partai Bulan Bintang ini, berkisar pada prakarsa sebuah badan yang bernama BKUI (Badan Koordinasi Umat Islam) yang dipimpin DR. Anwar Haryono SH (alm.) yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). BKUI inilah yang secara resmi mendeklarasikan Partai Bulan Bintang. Catatan sejarah ini tidak bisa dibilang meleset sama sekali, namun kurang lengkap dan menyentuh embrio yang sebenarnya atas lahirnya jabang bayi yang kelak bernama Partai Bulan Bintang itu. Bahwa BKUI disebut yang bertindak mendeklarasikan Partai Bulan Bintang tidaklah salah. BKUI merupakan wadah bagi sekitar 22 organisasi massa Islam (selengkapnya massa 22 ormas itu), 78 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  yakni: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII); Forum Ukhuwah Islamiyah (FKUI); Persatuan Islam (Persis); Al Irsyad Al Islamiyah (Al Irsyad); Forum Silaturrahmi Ulama- Habaib dan tokoh masyarakat; Syarikat Islam (SI); Persatuan Umat Islam (PUI); Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI); Badan Kerja Sama Pondok se-Indonesia (BKSPPI); Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti); Muhammadiyah (Diwakili Majelis Hikmah); Ittihadul Mubalighin; Badan Koordinasi Mubalig Indonesia (Bakomubin); Komite Solidaritas Indonesia untuk Dunia Islam (KISDI); Serikat Tani Islam Indonesia (STII); Badan Koordinasi Pemuda/Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI); Perhimpunan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI); Lembaga Dakwah Kampus (LDK); dan Wanita Islam. Wadah ini lahir dari rapat-rapat di kediaman Dr. Anwar Haryono, SH menyusul tumbangnya rezim Soeharto. Lembaga bernama BKUI inilah yang kemudian bertindak mendeklarasikan Partai Bulan Bintang. Tetapi sekali lagi belum dan tidak pernah diungkapkan latar belakang berlangsungnya rapat-rapat di rumah DR. Anwar Haryono, SH (di Jalan Marabahan Jakarta Pusat) itu yang kemudian melahirkan wadah BKUI dan di ujung- nya malah melahirkan Partai Bulan Bintang. Yang jelas rapat-rapat di kediaman Ketua DDII itu bukanlah sekedar mengantisipasi pascatumbangnya rezim Soeharto saat itu, 21 Mei 1998, saja, yang suasana ketika itu memang banyak kelompok dan elemen masyarakat “tergopoh-gopoh” ber-

79  Ahmad Sumargono kumpul di mana-mana membicarakan perkembangan mutakhir dengan lahirnya era baru, era Reformasi. Dari forum semacam inilah kemudian lahir ratusan partai politik, di antaranya 48 partai yang menjadi peserta Pemilu 1999, termasuk Partai Bulan Bintang. Yang belum diungkapkan oleh catatan sejarah berdirinya Partai Bulan Bintang adalah latar belakang yang mendorong bahkan mendaulat diselenggarakannya rapat-rapat estafet di rumah Ketua DDII itu yang sesungguhnya hanyalah kelan- jutan atau pemindahan tempat belaka dari rapat-rapat sebelumnya yang diselenggarakan di dua tempat, yakni di kediaman Hartono Mardjono, SH di kawasan Cipete, Keba- yoran Baru Jakarta Selatan dan lebih banyak lagi rapat-rapat di rumah tokoh Masyumi kawakan Drs. Cholil Badawi yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPA (Dewan Pertim- bangan Agung) yang mendiami rumah dinas pejabat tinggi negara di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Rapat-rapat di dua tempat inilah sejatinya yang menjadi embrio atau jabang bayi yang kelak menjadi Partai Bulan Bintang itu. Rapat-rapat di rumah Hartono Mardjono, SH dan lebih banyak lagi di rumah dinas Cholil Badawi diselenggarakan sejak Juli 1997 saat bangsa Indonesia mulai dilanda krisis moneter yang amat dahsyat. Pertemuan-pertemuan ketika itu diikuti sekitar belasan orang saja yang merupakan aktivis KISDI (Komite Indonesia Untuk Solidaritas Dunia Islam), dan juga beberapa eksponen Dewan Dakwah, dalam hal ini Hartono Mardjono dan Cholil Badawi yang tercatat 80 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  sebagai Wakil Ketua DDII, juga Ahmad Cholil Ridwan sebagai Ketua DDII Jakarta Raya menggantikan H.M. Yunan Nasution. Peserta rapat-rapat itu selengkapnya antara lain: Abdul Qodir Djaelani, Ahmad Sumargono, Farid Prawiranegara (putra alm. Syafruddin Prawiranegara), K.H. Anwar Sanusi, M.S. Kaban, Aru Syeif Assad, Adian Husaini, Nuim Hidayat, Fadli Zon, seluruhnya berjumlah sekitar 12 orang saja. Beberapa tokoh pimpinan Dewan Dakwah sekali dua kali ikut hadir pada rapat di kediaman Cholil Badawi antara lain: Hussein Umar (Sekjen Dewan Dakwah), Rachman Ghaffar yang saat itu menjabat sebagai Kasdam di Irian Jaya yang sekali dua kali ikut bergabung berdiskusi bersama selama masa kunjungan ke rumah mertuanya. Ketika itu Abdul Racman Ghaffar dikenal sebagai deretan Jenderal TNI yang sangat dekat dengan kalangan Islam, termasuk Prabowo Subianto, Muchdi PR, Kivlan Zen, Syafrie Syamsudin. Mayjen Kivlan Zen pun pernah bertemu ke rumah Cholil Badawi, ia tercatat pernah sekali ikut di dalam pertemuan dan amat mendukung berdirinya Partai Islam. Rapat-rapat di rumah Cholil Badawi ini sejak awal di- maksudkan untuk merespons situasi mutakhir ketika kon- disi bangsa terancam perpecahan dan kehancuran bahkan terasa bakal terjungkirnya kekuasaan Presiden Soeharto. Ekspresi yang lahir dari rapat-rapat ini adalah berbagai gerakan KISDI melalui berbagai tablig akbarnya yang diselenggarakan di Masjid Al Azhar dan juga berbagai

81  Ahmad Sumargono demo dan protes terhadap berbagai kalangan yang meleceh- kan Islam. Rapat-rapat di rumah Cholil Badawi ini menjadi sinkron dengan rapat-rapat resmi KISDI yang diseleng- garakan di rumah Ketua Umumnya, KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafii di Tebet Jakarta selatan. Walau demikian fokus pertemuan-pertemuan di kediam- an Cholil Badawi itu terus mengkristal khususnya setelah setelah mendapat gendang dari situasi aktual di tengah masyarakat ketika demo-demo mahasiswa semakin marak saat itu, karena Pemilu 1997 akhirnya kembali dimenangkan secara mutlak oleh Golkar, dan bisa ditebak pasti akan sege- ra mengangkat kembali Presiden Soeharto pada sidang umum Maret 1998. Situasi semakin panas tatkala forum rapat ini mencium dari “dapur” penyusunan kabinet hasil Pemilu 1997 itu, bahwa Siti Hardiyanti Rukmana kala itu begitu dominan menentukan susunan kabinet. Dua anggo- ta yang rapat yakni Fadli Zon dan Adian Husaini saat itu memiliki akses informasi ke lingkaran satu putri sulung Presiden Soeharto itu. Informasi penting dan terpercaya ini mengiring rapat-rapat pada kesimpulan bahwa rezim Soeharto niscaya akan tumbang jika memaksakan susunan kabinet seperti itu. Oleh karena itu, rapat yang telah bebe- rapa bulan menyiapkan terbentuknya partai baru itu, saat itu makin yakin bahwa partai baru Islam yang direncanakan itu sudah benar-benar tepat untuk segera dideklarasikan. Sebelum Presiden Soeharto mengumumkan susunan kabinetnya pada awal Maret 1998, forum rapat di kediaman 82 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional 

Cholil Badawi semakin intensif diselenggarakan seminggu sekali, bahkan bisa tiga hari sekali digelar rapat karena mun- culnya peristiwa-peristiwa panas dadakan saat itu. Pada waktu itu seluruh peserta rapat sudah bulat bertekad hendak mendi- rikan partai Islam baru yang merepresentasikan kelanjutan Partai Islam Masyumi. Sampai waktu itu sudah dipilih-pilih nama yang tepat untuk partai baru itu. Hartono Mardjono misalnya mengusulkan nama Partai Ka’bah dengan lambang persis seperti yang pernah digunakan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ada yang mengusulkan kembali nama asli yakni Masyumi, dan ada pula yang mengusulkan nama Bulan Bintang. Namun yang terakhir ini dianggap tepat ka- rena sejak Partai Masyumi dilikuidasi oleh rezim Sukarno pada 1960, kalangan keluarga Masyumi yang kemudian ber- himpun di dalam wadah Dewan Dakwah sudah sangat lazim menyebut diri sebagai keluarga besar Bulan Bintang. Acara- acara halal-bihalal di lingkungan markas Masyumi yang kini menjadi kantor pusat Dewan Dakwah di Jalan Kramat Raya 45 Jakarta Pusat, juga selalu menyebut diri sebagai acara ke- luarga besar Bulan Bintang. Karena itu nama Bulan Bintang menjadi pilihan terpenting saat itu. Lambang Partai pun per- sis dibuat seperti lambang Masyumi, yakni Bulan Bintang, hanya warnanya kini berubah menjadi hijau dan kuning. Dulu lambang Masyumi hitam dan putih. Tatkala Presiden Soeharto benar-benar mengumumkan susunan kabinetnya persis seperti yang tertulis dalam daftar yang diterima peserta rapat sebelumnya, di antaranya yang

83  Ahmad Sumargono paling fatal mencantumkan Tutut sebagai menteri sosial, dan Bob Hasan sebagai menperindag (menteri perindustri- an dan perdagangan), rapat-rapat di rumah Cholil Badawi semakin ditingkatkan volumenya. Dua hari sekali anggota diskusi berkumpul hingga jauh lewat tengah malam. Peng- umuman anggota kabinet itu terjadi awal Maret 2003 dan seluruh peserta rapat berkesimpulan bahwa rezim Soeharto benar-benar bakal terguling. Saat itulah diatur bagaimana teknis deklarasi partai baru ini mengingat masih berlaku larangan mendirikan partai politik kecuali tiga yang eksis selama ini yaitu Golkar, PDI dan PPP. Hartono mengusul- kan agar sementara didirikan semacam ormas yang merupa- kan embrio partai politik yang pada saatnya (dan diyakini bakal segera tumbangnya rezim Soeharto) akan berubah bentuk menjadi partai Islam yang menampung aspirasi orang-orang Masyumi. Asas yang dipilih pun saat itu asas Pancasila, sekadar mengantisipasi agar memudahkan proses pendirian. Tetapi direncanakan begitu situasi memungkin- kan, asas itu harus diganti asas Islam. Sejak pengumuman susunan kabinet, Maret 2003, suasana politik benar-benar memanas bahkan mulai menuju titik didih terpanas. Upaya Mensos yang baru Siti Hardiyanti Rukmana–populer dipanggil Mbak Tutut–membujuk masyarakat luas dengan membagikan nasi gratis untuk go- longan miskin melalui warteg-warteg di Jakarta dan kota be- sar bukan mengobati massa grass root, justru sebaliknya me- nimbulkan rasa benci tambahan. Apalagi menyaksikan sepak-

84 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  terjang Menperindag Bob Hasan yang sesekali inspeksi mendadak (sidak) ke pasar-pasar tradisional yang hanya membuat masyarakat luas semakin membenci rezim Soeharto. Istilah KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) semakin gencar diusung sebagai yel-yel para demonstran dan hampir setiap hari mereka turun ke jalan-jalan ibu kota Jakarta. Juga kota-kota penting lainnya seperti , Bandung, Surabaya, Medan hingga Makasar (saat itu bernama Ujung Pandang). Istilah KKN ini kiranya menyindir pembentukan kabinet Soeharto massa bakti 1998-2003 itu, walaupun sejatinya hampir keseluruhan massa pemerintahan Soeharto tak bisa dipungkiri dibangun melalui KKN yang kemudian terbukti telah menghancurkan bangsa Indonesia. Seperti diketahui seluruh bangsa Indonesia akhirnya menyaksikan pemerintahan Presiden Soeharto benar-benar tumbang. Ia kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden B.J. Habibie pada 21 Mei 1998, hanya dua bulan beberapa hari setelah ia dilantik kembali untuk ke- enam kalinya oleh MPR pada 11 Maret 1998. Prolog keja- tuhan rezim Soeharto ini dimulai sejak awal Mei 1998 tat- kala Soeharto berkunjung ke Kairo Mesir. Pada saat itu di Tanah Air sudah berlangsung demo-demo mahasiswa se- panjang tujuh bulan terakhir. Hakikatnya kaum demonstran yang terdiri dari para mahasiswa itu sudah amat letih untuk berdemonstrasi, sekaligus kehilangan tema-tema. Tetapi pada saat itu, 8 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan kenaikan harga BBM, yang bagai menyulut bensin ke atas jerami yang tengah terbakar. Kaum demonstran pun terbakar 85  Ahmad Sumargono dengan hebatnya dan kembali demonstran bergerak dari kampus UI di Depok menuju ke Gedung DPR-MPR. Ken- dati kemudian Soeharto menganulir kenaikan harga BBM itu, namun kemarahan demonstran dan rakyat luas bagai tak tertahankan. Apalagi ketika terjadi peristiwa Jakarta ber- darah pada 13-14-15 Mei, yang diawali dengan tertembaknya empat orang mahasiswa Trisakti di halaman kampus mereka, yang segera menjadi “api pembakar” seluruh Jakarta tiga hari berturut-turut. Sejarah mencatat Soeharto kemudian menyerahkan kursi kekuasaannya yang telah didudukinya selama lebih 30 tahun itu kepada Wakil Presiden B.J. Habibie, sesuai dengan Undang-Undang 1945. Seratus ribu mahasiswa gabungan berbagai perguruan tinggi di Jakarta yang telah menginap berhari-hari di Gedung DPR-MPR, tatkala mendengar kabar Soeharto telah benar-benar menyerahkan kekuasaannya (lengser) kepada Habibie, segera menyambutnya dengan sorak-sorai, menari-nari dan bernyanyi. Namun keesokan harinya demonstran yang tetap menduduki Gedung DPR-MPR itu sudah menaikkan spanduk-spanduk kutukan kepada sang Presiden baru, Habibie. Habibie dianggap sebagai kelanjutan dan sama sebangun dengan Soeharto. Mereka tidak peduli kendati Habibie menggantikan Soeharto telah sesuai konstitusi. Hujatan kepada Habibie melalui spanduk sungguh tidak senonoh dengan menyebut Habibie sebagai babi, selain lantunan nyanyian yang amat sangat menghina dari para demonstran yang telah disusupi kekuatan Nasrani dan juga kelompok Kiri. Mereka menggugat Habibie untuk 86 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  segera turun dari jabatan yang baru diembannya satu hari tersebut. Situasi sungguh sangat kritis. Seluruh rapat di kediaman Cholil Badawi yang mengan- tisipasi perkembangan di DPR-MPR itu segera bergabung dengan berbagai eksponen Islam di kantor Institute Policy Studies pimpinan Fadli Zon di Jalan Suwiryo 6 Menteng Jakarta Pusat. Rapat pada 21 Mei itu dihadiri pula oleh Ketua Umum KISDI K.H. Abdul Rasyid yang juga dikenal sebagai ulama kharismatis Betawi. Hadir pula berbagai pimpinan ormas Islam seperti PII, GPI, BKPMRI, dan HMI. Kesimpulan rapat, Gedung DPR-MPR yang kini di- kuasai golongan sekuler, di mana aparat keamanan sendiri sudah menyerah tak bisa mnghentikan kegiatan mereka yang sangat anarkis itu, harus segera dibebaskan. Gedung DPR-MPR harus segera diserbu. Malam hari itu juga segera dilakukan koordinasi untuk mengerahkan massa anggotanya. K.H. Abdul Rasyid dan Ahmad Sumargono menjanjikan anggota KISDI dikerah- kan seluruh kekuatannya, begitu juga halnya seluruh ormas Islam yang hadir, siap menerjunkan seluruh massa yang dimiliki. Malam itu dikalkulasi massa yang akan disiapkan “menyerbu” DPR-MPR tak kurang 100 ribu orang sehing- ga mengimbangi jumlah massa yang akan diusir dari dalam gedung dan halaman DPR-MPR. Tercatat dalam sejarah keesokan harinya, Jumat 22 Mei 1998 Gedung MPR-DPR benar-benar diserbu seratusan ribu massa. Dengan teriakan “Allahuakbar” massa gerakan Islam ini mengusir dengan 87  Ahmad Sumargono mudah demonstran yang telah bertahan berhari-hari di DPR-MPR. Tampak memimpin “penyerbuan” ini K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i, Ketua Umum KISDI yang juga dikenal sebagai pimpinan Perguruan Islam As- Syafiiyah; tampak juga Gogon, Ketua Pelaksana Harian KISDI yang tampil di mimbar Masjid DPR seraya dielu- elukan massa Islam; juga Fadli Zon yang ikut terjun mendampingi massa generasi muda, seluruh demonstran sampai malam harinya berhasil dievakuasi atau “diusir” dari Gedung DPR tak tersisa. Satu hari kemudian Gedung DPR-MPR benar-benar steril dan dibersihkan aparat keamanan. Bertruk-truk sampah dikeluarkan dari areal Gedung DPR-MPR saat itu, dan pers, mengutip aparat pembersih gedung, banyak menemukan kondom berserakan di berbagai ruangan Gedung DPR-MPR. Di era pemerintahan baru Habibie inilah forum rapat di kediaman Cholil Badawi, juga sesekali di kediaman Hartono Mardjono, semakin menemukan ketetapan sikap untuk segera melahirkan partai baru kelanjutan Partai Masyumi di masa silam. Menjadi catatan sejarah, Hartono Mardjono-lah yang tampil mengusulkan lambang partai yang direncanakan berupa Ka’bah, dan partai pun boleh dinamakan Partai Kiblat. Hartono Mardjono bahkan sejak 1997 telah menyiapkan secara lengkap anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Partai Kiblat itu. Dan ternyata kelak AD-ART Partai Kiblat itu dijadikan AD-ART Partai Bulan Bintang. Tatkala Partai Bulan Bintang dideklarasikan di

88 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  halaman Masjid Al Azhar pada 26 Juli 1998, Pidato DR. Anwar Haryono, SH pun disusun seluruhnya oleh Hartono Mardjono. Sekitar Juni 1998 rapat-rapat di kediaman Cholil Badawi memutuskan agar hasil akhir rapat-rapat estafet di situ (Sejak September 1997-Juni 1998) dibawa dan dikon- sultasikan kepada Dr. Anwar Haryono, SH. Alasannya ke- tua DDII ini tatkala Masyumi dibubarkan pada 1960, oleh pimpinan Masyumi saat itu Prawoto Mangkusasmito, telah disepakati dan ditetapkan sebagai juru bicara resmi Ma- syumi yang diberi wewenang membuat keterangan berkait dengan Masyumi pascapembubarannya itu. Dengan dalih inilah kemudian forum rapat dipindahkan ke kediaman Anwar Haryono di Jalan Marabahan Jakarta Pusat. Kemudian sejarah tercatat sebagaimana banyak sudah diungkapkan banyak pihak, di forum kediaman Anwar Har- yono (yang saat itu ia dalam kondisi sakit stroke dan dalam upaya penyembuhan) itulah lahir badan yang dinamakan BKUI (Badan Koordinasi Umat Islam), yakni gabungan 22 ormas Islam yang bertindak mendirikan Partai Bulan Bintang. Ide seperti ini niscaya saja ingin mengulang Sejarah Masyumi di mana embrio pendirian Partai Masyumi yang merupakan gabungan seluruh elemen dan organisasi Islam di Nusantara. Walau demikian, tujuan ideal itu tentunya belum mempresentasikan kekuatan ormas-ormas Islam yang ada, apalagi yang baru berdiri.

89  Ahmad Sumargono

Anwar Haryono gagal total mendudukkan M. Amien Rais menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang. Semula Amien Rais yang telah datang ke rumah Anwar Haryono dan bertangis-tangisan menyatakan siap berdampingan dengan Yusril Ihza Mahendra yang saat itu berada di Banyuwangi Jawa Timur. Keduanya siap berdampingan, tetapi beberapa jam kemudian tatkala Amien Rais singgah di kantor PP Mu- hammadiyah di Jalan Menteng Raya Jakarta, ia membuat pernyataan pers seraya mengatakan dirinya tidak sesuai du- duk di Partai Bulan Bintang itu, karena ibarat baju, format Partai Bulan Bintang terlalu sesak buat dirinya. Buyarlah ren- cana Anwar Haryono, dan digantikannya rencana semula yang sudah sepakat bahwa Partai Islam baru kelanjutan Ma- syumi ini hendaknya dipimpin generasi muda. Namun Yusril dipilih atas pertimbangan sebagai tokoh intelektualis yang sangat tenang penampilannya. Sejumlah pendamping dari usia muda dan tua di jajaran DPP Partai Bulan Bintang tak lain atas pertimbangan saling melengkapi agar barisan Partai ini menjadi solid. Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang kemudian selain menempatkan Prof. DR.Yusril Ihza Mahendra sebagai ketua umum, didudukkan pula Hartono Mardjono, Cholil Rid-wan dan KH. Drs. Anwar Sanusi sebagai wakil ketua umum. Sementara jajaran para ketuanya, antara lain, Ahmad Sumar-gono, Abdul Qodir Djaelani, Farid Prawiranegara, CPA dan lain-lain. Praktis seluruh anggota rapat di kediaman Cholil Badawi duduk di jajaran puncak Partai

90 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional 

Bulan Bintang. Sementara sang tuan rumah Cholil Badawi yang telah menfasilitasi rapat-rapat embrio pembentukan Partai Bulan Bintang hanyalah tampil sebagai tokoh deklarator saja bersama K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i. Seperti pengakuan Cholil Badawi yang mengaku sebagai murid Prawoto Mangkusasmito itu, ia sangat mencintai Masyumi sejak masa muda. Cholil Badawi pernah menjabat Ketua Wilayah Masyumi Jawa Tengah yang berkedudukan di Semarang pada 1950-an. Kini ia bermaksud untuk mengantarkan “lahirnya” kembali Masyumi melalui Partai Bulan Bintang. Ada peristiwa yang menarik dan penting untuk dijelas- kan penulis yang disari dari penjelasan Yusril Ihza Mahen- dra, kini menjadi Ketua Umum Partai. Suatu ketika ia mendapatkan telepon dari Anwar Haryono, Ketua Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII). Kontak ini masuk di saat tengah berlangsungnya suatu upaya yang demikian “alot” dari berbagai pihak untuk menggabungkan “dua tokoh” Islam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra ke dalam garis perjuangan yang seirama, yakni memimpin Partai Bulan Bintang dengan asas Islam.17 Akan tetapi seja- rah berkata lain dan bergerak ke arah yang tidak dapat di- duga, Amien Rais mengundurkan diri. Ini menyebabkan

17 “Saudara Yusril,” ujar DR. Anwar Haryono serius, “Pak Amien Rais sudah datang dan perkembangan sudah mencapai 90 persen, alhamdulillah, Pak Amien Rais menjadi Ketua, dan bagaimana kalau Saudara menjadi Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang.” Tanpa ragu-ragu Yusril Ihza menjawab, “Kalau semua orang menerima, Insya Allah saya terima.” Lihat Yudi Pramuko, Yusril Ihza Sang Bintang Cemerlang, Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, 1999, hlm. 164. 91  Ahmad Sumargono keputusan Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang ber- geser kepada Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, SH, MA, tokoh muda yang kalem dan memiliki artikulasi bahasa yang menawan jika ia berbicara. Memang tidak sedikit kalangan umat Islam yang terkejut dan tidak menduga atas kegagalan memadukan kedua tokoh tersebut. Dengan demikian ha- rapan besar umat Islam akan “Dwitunggal” tersebut belum berhasil.18 Yusril menjelaskan mengenai hal ini: Memang ada inti perbedaan di antara kami, saya ingin membentuk partai yang berasaskan Islam, sementara Pak Amien Rais ingin mem-bentuk partai yang multiagama, multi-etnis…Pak Amien Rais bilang PBB platform-nya kekecilan, ibarat baju sesak dipakai, memang saya katakan bahwa PBB ini partai tertutup, soalnya tidak ada di dunia ini partai yang se-sungguhnya terbuka, semua partai itu aliran, kalau tidak ada aliran, orang tak membuat partai.19 Bagi Yusril, simbol “Bulan Bintang” di masa lalu pernah digunakan oleh Partai Masyumi. Yusril sendiri tampil sebagai ketua selain atas dukungan banyak orang, termasuk para tokoh Masyumi seperti DR. Anwar Haryono, kawan dekat mantan Ketua Umum Partai Masyumi DR. Mohammad Natsir. Ini dikemukakannya sewaktu berbicara

18 Ibid, hlm. 164.

19 Tempo, Wawancara, 9 November 1998. 92 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  dalam sambutan Musyawarah Kerja Nasional I (Mukernas I) Partai Bulan Bintang.20 Kedudukan Yusril Ihza Mahendra kemudian dikukuhkan melalui Muktamar I Partai Bulan Bintang di Jakarta, 26 April - 1 Mei 2000, forum tertinggi partai dalam mengambil berbagai keputusan strategis par- tai. Sosok PBB yang baru saja dibentuk dan diketuai Yusril itu boleh disebut sebagai “pewaris Masyumi”. Ini karena, sebagaimana diakui oleh Yusril, PBB yang dipimpinnya banyak mengambil inspirasi dari Partai Masyumi di bawah kepemimpinan Natsir. Yusril berkata ...memang benar partai ini mengambil banyak aspirasi dari Masyumi dan kemudian belajar dari pengalaman-pengalaman Masyumi. Masyumi lahir dari ide besar yakni Islamic modernization… selama dua belas tahun Pak Natsir saya anggap sebagai mentor politik, dan dari beliaulah saya mengenal para pemikir Islam.21 Berdirinya PBB yang berasaskan Islam–serta banyak partai lainnya yang didasarkan pada asas yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) mendapat kri- tikan dari berbagai kalangan. Para pengkritik itu menolak agama (Islam) dijadikan trade mark partai politik karena

20 Dalam musyawarah itu ia meminta kejelasan kembali sehubungan pencalonannya sebagai Ketua Umum Partai, ini dilakukan sebagai upaya menumbuhkan suatu kultur politik yang benar-benar demokratis dalam tubuh partai, dengan mengembalikan aspirasi kepada cabang-cabang partai dan jelas ia tidak pernah mencalonkan diri, Ibid.

21 Tempo, 9 November 1998. 93  Ahmad Sumargono hanya akan dipolitisasi semata demi kepentingan politik partai bersangkutan. Ini antara lain kritik dua cendekiawan terkemuka Muslim Indonesia, Nurcholish Madjid dan Kuntowijoyo. Nurcholish berpendapat bahwa partai-partai baru yang nanti didirikan tidak boleh mengandung SARA. “Meski dari sisi kebebasan berserikat boleh, sebaiknya tidak mengatasnamakan agama.”22 Kuntowijoyo bahkan menulis artikel khusus dalam Republika yang isinya adalah kritik atas pendirian partai-partai baru berasaskan aliran ideologis dan agama tertentu. Akan tetapi para pendukung berdirinya partai Islam pun mempunyai alasan untuk menjadikan Islam sebagai landasan ideologi partai yang mereka bentuk. Di antaranya alasan yang dikemukakan Ketua KISDI Ahmad Sumargono yang mengatakan bahwa pelarangan penggunaan asas Islam untuk partai yang didirikan tidak lain merupakan bagian dari global depolitisasi Islam.23 Sebagai kolega partai, Gogon sangat concern dengan pri- badi Yusril Ihza Mahendra yang baru saja diangkat sebagai Ketua Umum PBB. Menurutnya, Yusril itu anak muda yang berhasil dalam pendidikan, cerdas, lebih dari itu, sebagai ketua umum jika berdebat selalu leading. Ia berpotensi untuk menjadi pemimpin Nasional. Jabatannya sebagai menteri baik di masa Gus Dur maupun di era Megawati semata di- dasari kemampuan yang profesional. Ketika terjadi rivalitas antara B.J. Habibie dengan Megawati dalam pertarungan

22 Forum Keadilan, No. 6 Tahun VII, 29 Juni 1998. 23 Ibid. 94 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional  perebutan kursi Presiden, Gogon menyebutkan kemung- kinan calon alternatif: “Jika ada yang lebih baik, ya mungkin saja. Yusril Ihza Mahendra bisa, namun selain masih muda, ia juga perlu waktu untuk menghapus citra sebagai orang dalam lingkaran Sekretariat Negara, karena pernah bekerja di sana.”24 Mengenai masalah kepemimpinan Yusril di internal PBB, Gogon memberikan beberapa catatan: pertama, sebagai pe- mimpin puncak partai, Yusril dirasakan kurang “turun ke bawah”–mengunjungi para pendukungnya di tingkat akar rumput (grass root level). Padahal, jika hal itu dilakukan akan memiliki pengaruh luar biasa bagi peningkatan dukungan massa terhadap PBB; Kedua dalam masalah kepemimpinan partai ada “kecemburuan” dan persaingan yang tidak sehat yang bersumber dari kepribadian Yusril. Ketiga, ada masalah dengan keinginan Yusril untuk menjadi “orang nomor satu” di Indonesia. Gogon mengatakan, “Saya pernah bilang ke- padanya, sebaiknya jangan jadi orang nomor satu dulu, jadilah orang nomor dua di Indonesia untuk masa pemilihan Presi- den sekarang. Saya juga mengusulkan agar Susilo Bambang Yudoyono dijadikan partner dalam proses kepemimpinan ke depan dan memasukkan dia ke ‘lingkungan Partai’.” 25 Gogon tentu memiliki perhitungan politik yang matang mengapa ia mengusulkan demikian. Pertimbangan itu antara lain, Yusril masih relatif muda. Menjadi “orang nomor dua” akan berarti Yusril bisa belajar dari pengalaman “orang

24 Tempo, 23 November, 1998. 25 Ibid. 95  Ahmad Sumargono nomor satu” sambil mematangkan dirinya agar suatu saat kelak siap menjadi “orang nomor satu”. Pentingnya menarik Bambang Yudhoyono ke “orbit politik” PBB karena ia selain memiliki leadership yang kuat, berpembawaan tenang, dan cerdas, juga kuatnya dukungan kalangan tentara (TNI) terhadap kepemimpinannya seandainya ia benar-benar menjadi “orang nomor satu” di Indonesia. Dukungan TNI, bagi Gogon, tidak bisa diabaikan mengingat tentara merupakan salah satu kekuatan politik paling riil dalam percaturan politik Indonesia sekarang dan masa akan datang. Mengenai kelebihan Partai Bulan Bintang dibandingkan partai-partai politik Islam lainnya Gogon mengatakan, “Kelebihannya pada unsur sentimen Masyumi yang terus terang saja, paling nyata. Pembangunan wilayah di PBB itu paling sempurna, enggak hanya asal daftar, tiap cabang, ranting, punya kantor, dan itu peninggalan Masyumi. Orang-orang lamanya masih fanatik. Selain itu, PBB tidak memperjuangkan orang, tetapi sistem, maka Amandemen terhadap UUD 1945 tetap akan diperjuangkan, sebab kun- cinya di situ. Kalau tidak, akan tetap terjadi penyimpangan- penyimpangan.” Dalam soal kepemimpinan di PBB, menurut Gogon, kepemimpinan bersifat kolektif. “Tanpa Yusril Ihza Mahendra, kami tetap akan jalan.26 Kita lihat bahwa hanya dalam waktu tiga bulan, 25 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PBB telah terbentuk.”27

26 Matra, April, 1999. 27 Media Dakwah, Rajab 1419/November 1998 96 Menerjunkan Diri dalam Pergerakan Islam dan Politik Nasional 

Agenda lain yang akan diperjuangkan PBB, menurut Gogon, adalah perjuangan memasukkan syariat Islam ke dalam konstitusi negara, yang berarti Piagam Jakarta mesti dihargai dan dijunjung tinggi. Mengenai munculnya keta- kutan sejumlah kalangan terutama non-Muslim bila syariat Islam ditegakkan, menurut Gogon merupakan kekhawatir- an yang berlebihan. Gogon meyakinkan bahwa kekhawatir- an itu tidak beralasan karena Islam sangat toleran dan menghargai perbedaan, temasuk dalam urusan agama. Ma- lah dalam sejarah membuktikan, banyak pemimpin Islam yang sangat demokratis. Mereka tak takut berbeda penda- pat, bahkan siap diluruskan jika melakukan kesalahan.28 Dalam kiprahnya di Partai Bulan Bintang, di mana ia menjadi salah satu pimpinan teras partai yang dibidani ka- langan Masyumi tersebut, Gogon termasuk anggota, fung- sionaris yang aktif sejak partai ini mulai dirintis sampai terjadinya deklarasi pendirian partai. Kehadiran Gogon di Partai turut pemberi warna “wajah” partai. Ia merupakan kombinasi yang saling melengkapi dengan Yusril Ihza Ma- hendra. Yusril bertipikal romantis, filosofis dan artikulatif dalam menyampaikan visi, misi perjuangan partai; sedangkan Sumargono bersifat populis, evokatif-gamblang dalam mengemukakan pendapat, responsif dan artikulatif untuk membuka komunikasi politik dengan siapa saja. Dalam bahasa politik, mereka berdua dapat menjadi spirit dan “ladang” suara Partai Bulan Bintang.

28 Forum Keadilan, No.4, 2 Mei 1998. 97  Ahmad Sumargono

Ahmad Sumargono bersama Anwar Haryono saat sambutan deklarasi Partai Bulan Bintang di Masjid Al Azhar, Jakarta, 1998.

98 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono 

BAB Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono

Pelarangan Jilbab

EPOLITISASI Islam di era Orde Baru tidak hanya D terjadi di tingkat praxis (praxis), tetapi juga merasuk hingga ke tingkat wacana (discourse). Di tingkat praxis, Orde Baru memarjinalisasi kekuatan-kekuatan politik Islam dengan melarang munculnya kekuatan politik Islam yang terlembaga.1 Dalam konteks inilah kita memahami

1 Politik Islam Orde Baru tersebut menurut pengamat politik Allan Samson merupakan manifestasi dari kebijakan Snouck Hurgronye. Rezim Orde Baru Soeharto menurut Samson adalah pelanjut dari kebijakan Snouck yang sebelumnya dilaksanakan oleh pemerintahan Orde Lama Sukarno dan rezim fasis Jepang (1942-1945). Lihat Allan A. Samson, “Islam and the Army in Indonesia”, dalam Pacific Affairs. Lihat juga karyanya yang lain dalam Allan 99  Ahmad Sumargono mengapa rehabilitasi partai politik Islam Masyumi dilarang oleh penguasa Orde Baru tidak lama setelah Orde Lama Sukarno tumbang pada pertengahan 1960-an. Demikian juga dengan dilakukannya fusi partai-partai politik Islam pada awal 1970-an. Semua partai politik Islam dipaksa untuk meleburkan diri hanya dalam wadah politik tunggal, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Orde Baru–sebagaimana umumnya rezim-rezim oto- riter–memiliki kepentingan untuk mengontrol wacana yang berkembang dalam masyarakat. Kontrol atas wacana ini penting karena ia terkait erat dengan struktur hubungan kekuasaan yang dibangunnya. Perkembangan wacana harus dikontrol agar ia tidak menjadi ancaman bagi kekuasaan elit-elit politik Orde Baru.2 Di sinilah kita menyaksikan bagaimana Orde Baru berupaya keras melakukan distorsi atas wacana-wacana keislaman yang potensial mengganggu stabilitas kekuasaannya, lalu menggantinya dengan wacana yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan rezim. Dalam wujudnya yang konkret hal tersebut bisa dilihat dalam kebijakan pemerintah melarang penggunaan Islam sebagai asas atau ideologi partai politik dan organisasi massa. Pe- merintah Orde Baru memaksakan kehendaknya agar

Samson, “Conceptions of Politics, Power, and Ideology in Contemporary Indonesian Islam,” dalam Karl D. Jackson and Lucian Pye, eds., Political Power and Communications in Indonesia, Berkeley: Los Angeles, London: University of California Press, 1978. 2 Kajian menarik mengenai hubungan antara wacana (discourse) dengan kekuasaan Orde Baru telah banyak dilakukan para pengamat politik. Salah satunya yang terbaik dilakukan oleh Daniel Dakidae. Lihat Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia, 2003. 100 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono 

Pancasila menjadi satu-satunya asas bagi partai politik dan organisasi massa. Padahal, realitas sejarah membuktikan Islam telah menjadi asas perjuangan ideologis partai dan ormas Islam jauh sebelum Indonesia merdeka. Bentuk lain dari depolitisasi Islam Orde Baru adalah pelarangan atas penggunaan jilbab bagi Muslimah pada sekitar 1970-an hingga awal 1980-an. Pada masa itu, para siswi Muslim di sekolah-sekolah dilarang menggunakan jil- bab. Pelarangan berjilbab itu mengejutkan para aktivis, pela- jar, orang tua dan pengamat sosial. Pelarangan itu disebabkan pertama, sebagian kalangan Islam sendiri masih banyak yang belum paham mengenai perintah berbusana muslimah (jilbab) yang merupakan perintah wajib dalam agama dan bukan–sebagaimana yang dituduhkan mereka yang antijilbab–bagian dari fenomena Islam jamaah yang menghebohkan kala itu. Kedua, masalah pelarangan jilbab ini semakin rumit ketika ia kemudian berkembang memasuki wilayah politik. Pemakaian jilbab kemudian dihubungkan dengan peraturan-peraturan sekolah yang mesti ditegakkan. Bagi mereka yang dihinggapi Islamophobia, gejala Muslimah berjilbab menimbulkan ketakutan karena dianggap identik dengan pengaruh Revolusi Islam yang terjadi di negara Iran, dan kebangkitan dunia Islam. Jilbab kemudian identik dengan radikalisme, ekstremisme dan semangat revolusi yang meledak-ledak. Kalangan ulama dan umat Islam sangat tersudut dengan opini yang dikembangkan media massa berkaitan soal jilbab

101  Ahmad Sumargono itu. Juga amat kuat dirasakan bahwa pelarangan berjilbab merupakan diskriminasi politik maupun sosial terhadap umat Islam yang semestinya tidak terjadi di negeri ini. Ke- adaan ini tentu menimbulkan keheranan dan reaksi dari berbagai kalangan Islam. Cendekiawan muda Islam dan juga tokoh aktivis Masjid Salman ITB Bandung, Dr. Imadu- ddin Abdurrachim–dikenal dengan sebutan Bang Imad– mempertanyakan alasan mengapa jilbab bagi Muslimah dilarang. Ia sangat mendukung mahasiwi dan pelajar ber- jilbab. Melalui pelatihan mujahid dakwahnya, Bang Imad gencar mengkampanyekan pentingnya berjilbab. Kampanye jilbab terus-menerus dilakukan. Jilbab kemu- dian menjadi sebuah gerakan kultural khususnya. Dalam kaitan ini organisasi pelajar dan mahasiswa seperti HMI dan PII serta remaja masjid memainkan peranan penting. Gerakan kultural itu telah menimbulkan kesadaran luas akan pentingnya menggunakan jilbab. Di sinilah kemudian kita saksikan pegawai negeri maupun swasta hingga kepada kaum ibu rumah tangga dan kalangan profesional tidak sungkan dan malu-malu memakai busana Muslimah itu. Dengan munculnya gerakan kultural itu maka isu maupun opini yang sengaja dilemparkan oleh mereka yang tidak suka dengan maraknya kesadaran Islam di Indonesia ini akhirnya surut. Masalah jilbab kemudian mencapai “titik terang” ketika pemerintah–melalui Dirjen Menengah dan Dasar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan–mem- benarkan penggunaan jilbab bagi para siswi Muslimah. Jilbab kini tidak lagi ‘diharamkan’ di sekolah-sekolah. 102 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono 

Bagaikan sebuah judul film Mekar Diguncang Prahara, ketika masalah ini telah jelas dan penggunaan jilbab semakin marak melalui ekspos pentas busana (fashion show) di kalangan elit, profesional, selebritis sampai ibu-ibu pejabat, tiba-tiba PT SCJI, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri elektronik di Cimangis, Bogor, Jawa Barat melarang bekerja kepada 33 karyawatinya yang berjilbab. Mereka diteror, diintimidasi dan bahkan dicap munafik. Tindakan ini telah mengundang reaksi dari berbagai simpatisan Muslim dan reaksi keras sejumlah pemuda Islam dengan menyerukan kepada umat Islam agar memboikot produk-produk yang berlebel perusahaan tersebut. Bahkan sejumlah ulama di Bogor dalam sebuah tablig akbar ba’da shalat Jumat me- nyerukan agar umat Islam “berperang” melawan perusahaan bermisi zionis dan melecehkan umat Islam Indonesia. Gogon sendiri tidak tinggal diam terhadap kemunkaran ini. Ia aktif memperjuangkan nasib karyawati berjilbab yang terkena “cekal” itu. Dalam forum silaturahmi di rumahnya bersama kalangan wartawan, pemuda Islam, dan mubalig yang tergabung dalam Korps Mubalig Jakarta (KMJ), ia mengemu- kakan bahwa perusahaan yang melarang karyawatinya berjilbab itu telah melakukan kekeliruan serius. Perusahaan sama sekali tidak menghargai kebebasan karyawati Muslimah menjalankan syariat Islam, padahal Indonesia adalah negara yang ber- dasarkan Pancasila di mana setiap warganya memiliki kebe- basan menjalankan keyakinan agamanya. Bahkan demikian semangat dan militannya Gogon dalam menentang perusa- haan antijilbab itu, ia kemudian meminta kepada umat Islam 103  Ahmad Sumargono agar memboikot produk-produk perusahaan yang jelas-jelas melecehkan Islam dan menuntutnya meminta maaf atas tindakan sepihak itu.3 Perjuangan Gogon dan teman-temannya mendapat dukungan dari berbagai pihak. Kolumnis Islam Dr. Rifyal Ka’bah mengemukakan, “Mengherankan bahwa di Indonesia ternyata masih banyak pabrik yang melarang karyawannya berjilbab.” Sebagai perbandingan ia mencon- tohkan di Amerika dan Inggris, dua negara yang sekuler ini justru tidak melarang kaum muslimah berjilbab. “Di kita rasa- nya memang masih ada ganjalan, ada semacam Islamophobia.” Menghadapi persoalan ini, Gogon dengan Korps Mubalig Jakarta (KMJ), merilis pernyataan yang dikirimkan ke media massa. Intinya bahwa busana muslimah (jilbab) merupakan bagian dari ibadah yang erat kaitannya dengan keimanan seorang Muslimah yang sesuai dengan Alquran. Sedangkan berdasarkan undang-undang negara kita maupun inter- nasional, penggunaan busana muslimah dijamin dan dilindungi Pancasila dan UUD 45 Pasal 29 ayat 2 serta Declaration of Human Right yang dikeluarkan PBB, 10 Desember 1948. Menurut Gogon, adalah tidak relevan jika mengaitkan masalah jilbab dengan produktivitas dan meng- ganggu lingkungan kerja. Nampaknya apa yang diperjuang- kan itu tidaklah sia-sia, akhirnya sejak tanggal 23 Februari 1995, karyawan itu dapat bekerja kembali di perusahaan tersebut dengan menggunakan jilbab. Pakaian bukan semata produk dari filosofi kebebasan yang

3 Panji Masyarakat, No. 819 Tahun XXXV, 21-28 Februari 1995, hlm. 63 104 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  dianut peradaban Barat yang kemudian menanggalkan prin- sip etika, padahal Alquran dengan jelas dan tegas memerin- tahkan ini: Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak- anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya. Yang demikian ini supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, maka mereka tidak akan diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ (QS. Al-Ahzab: 59)

Miras dan Makanan Haram

Ada berita yang cukup menarik dan menggembirakan bagi umat Islam pada Idul Fitri 1417 Hijriah atau 11 Feb- ruari 1997, ketika Kahumas Depdagri HAS Jusaac meng- umumkan keluarnya Keppres Miras, yaitu Keppres No. 3 Tahun 1997. Keppres itu bertajuk Pengendalian dan Peng- awasan Minuman Beralkohol. Secara sepintas Keputusan Pemerintah itu merupakan hadiah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia yang relijius bahwa minuman keras yang jelas dilarang agama (Islam) adalah “musuh” yang merusak kesehatan individu dan kerusakan hubungan sosial. Berita itu sepintas sangat mengesankan, tetapi tidak de- mikian bagi Gogon yang mengkritisi kandungan peng- umuman pemerintah itu. Mengapa? Minuman keras itu tidak dikategorikan sebagai barang haram Isi Keppres 105  Ahmad Sumargono tersebut hanya memberikan penjelasan mengenai klasifikasi kandungan atau kadar alkohol minuman keras yang di- kaitkan dengan pengawasan dalam ekspansi pemasaran- nya.4 Keppres itu juga tidak mencantumkan sanksi bagi para pelanggar baik bagi mereka yang memproduksi, mengedarkan atau menjual di tempat yang tidak semestinya. Gogon memandang Keppres tersebut bersifat diskrimi- natif bila dibandingkan dengan UU mengenai Psikotropika yang mengatur peredaran obat-obat terlarang dengan sanksi minimal 4 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara, bahkan dalam realisasinya ada yang diputuskan pengadilan sampai hukuman mati. Ia juga menegaskan bahwa sukar sekali untuk membenarkan bahwa mengkonsumsi miras adalah perbuatan yang sesuai dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa atau sila lain dalam Pancasila atau pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945. Mengutip pernyataan Prof. Dadang Hawari, Gogon menyatakan bahwa 58 persen kejahatan di negara-negara Barat dipicu oleh miras. Di Indonesia pun banyak peristiwa pembunuhan dan kecelakaan yang merenggut nyawa manu- sia akibat mabuk minuman keras. Di negara Brunei sendiri miras dikategorikan barang haram yang tidak boleh hadir

4 Disebutkan dalam Keppres No. 3/1977 itu, miras terbagi dalam tiga golongan, yaitu A (berkadar alkohol 1-5 %), B (5-20 %) dan C (20-55%). Golongan B dan C adalah kelompok miras yang produksi, peredaran dan penjualannya di- tetapkan sebagai barang dalam pengawasan. Sedangkan golongan A (Bir Bintang dan sejenisnya) masih bebas berkeliaran tanpa pengawasan. Golongan B dan C sendiri disebutkan pemasarannya hanya di tempat tertentu, tetapi tidak dijelaskan kriteria tempat tertentu itu. Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, Bogor: Global Cita Press, 2000, hlm. 112. 106 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  baik di hotel maupun di toko-toko. Bila kita melihat dalam sejarah kepemimpinan Islam di masa Khalifah Umar bin Khattab, peminum miras dicambuk 40 kali. Malah di Amerika ada ketentuan drunk driving, suatu peraturan di mana seseorang akan berurusan dengan Polisi apabila di mobil atau kendaraannya terdapat minuman keras. Dalam konteks Islam, Gogon menilai bahwa tindakan mengon- sumsi minuman keras merupakan kejahatan (kriminal) yang diancam sanksi cukup berat. Gogon mempersoalkan kebijakan pemerintah dalam soal miras yang terkesan lebih kepada pertimbangan ekonomis, dan berpihak pada ke- pentingan pengusaha. Keppres itu hanya membuat antiklimaks dari harapan besar umat Islam kepada pemerintah agar Indonesia men- jadi negara yang bebas dari minuman keras. Tokoh yang getol melakukan aksi terhadap kemunkaran ini nampaknya tidak “garang” dalam menyikapi persoalan ini. Sebaliknya ia nampak berharap agar pemerintah berpandangan bahwa Keppres miras bukanlah “barang suci” yang bebas dari kesalahan, dan harga mati.5 Yang jelas Gogon meng- ingatkan bahwa umat Islam memiliki pandangan tegas, mi- ras itu barang haram dan sesuatu yang haram harus dila- rang, bukan diatur, sehingga yang diperlukan oleh umat dan bangsa ini adalah Undang-undang yang melarang ber- edarnya miras. Dengan Undang-undang ini kita akan memiliki landasan hukum dan legalitas yang lebih tegas

5 Ibid, hlm. 115. 107  Ahmad Sumargono dengan seperangkat sanksinya. Gogon tetap menghargai itikad baik pemerintah, namun ia memandang ada dua ke- pentingan yang paradoks antara pengusaha dengan pengu- asa. Respons yang diperlukan dalam perspektif pemikiran tokoh yang disebut garis keras ini adalah perlunya mem- persiapkan rancangan Undang-Undang Pelarangan Miras. Dalam ajaran Islam khamar bukan hanya terlarang me- minumnya tetapi, menyimpan dan menjualnya juga tidak dibenarkan. Gogon juga menghadapi persoalan makanan haram. Ma- kanan haram menurut Gogon seharusnya tidak boleh masuk di Indonesia karena mayoritas penduduknya beragama Islam dan negara Muslin terbesar di dunia. Masalah makanan haram muncul akibat ulah pelaku bisnis yang mencari ke- untungan tanpa menghormati etika kehidupan berma- syarakat, berbangsa dan bernegara. Di negara sekuler sekali- pun masalah hak menjalankan perintah agama yang masuk ke wilayah pribadi, secara eksplisit mendapatkan kebebasan dan jaminan perlindungan negara. Kasus makanan haram itu, bukan hanya melukai perasaan sanubari umat saja, lebih dari itu perbuatan tersebut juga melecehkan agama. Persoalan itu bermula dari penemuan sosis dan bakso sapi melalui kemasan berlebel Aroma. Ditengarai bahwa produk yang telah merambah pasar swalayan ini diduga mengandung babi. Sosis sapi berdaging babi dan bakso sapi beraroma babi ini merupakan produk dari perusahaan PT Aroma dan Duta Rasa (selanjutnya disebut Aroma

108 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono 

Duta). Yang bermarkas di Bali.6 Adalah Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) yang membuka ma- salah ini. Gogon selaku Wakil Ketua KISDI mengemuka- kan, pada Juli 1997, organisasinya menerima laporan masya- rakat yang meragukan kehalalan Aroma Duta. Karuan saja tokoh dan organisasi yang selalu aktif memprotes hal-hal yang haram ini langsung membentuk tim penyelidik ber- anggota enam orang. Pada tanggal 1-4 Agustus 1997 mereka langsung diterjunkan ke kawasan Jalan Merthayasa, Denpasar, yakni lokasi pabrik. Mereka meminta keterangan dari dua mantan karyawan Aroma Duta dan seorang tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia setempat yang pernah berkunjung ke lokasi pabrik. Hasil investigasi membuktikan bahwa dalam menghasilkan produknya pa- brik itu telah melakukan kelalaian dalam teknik peng- olahannya.7 Perjuangan Gogon dengan KISDI-nya tidak berhenti sampai batas temuan yang mengejutkan masyarakat luas ini. Mereka menindaklanjutinya dengan melayangkan surat pengaduan ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 12 Agustus 1997. Dan hanya beberapa saat sesudah pengadu- an diterima, MUI mengadakan konferensi pers dan meng-

6 Gatra, 23 Agustus 1997. 7 Hasil keterangan menunjukkan bahwa proses produksi berbagai jenis makanan olahan dari daging sapi dan babi tersebut hanya memakai satu mesin pemroses, tidak dengan mesin yang berlainan. Di situlah sosis dan bakso sapi dibuat. Pemilik Aroma mengakui bahwa produknya memang tidak 100 persen halal, Ibid, hlm. 44 109  Ahmad Sumargono himbau umat Islam agar tak mengkonsumsi sosis dan baso buatan Aroma Duta. Langkah MUI ini diteruskan kepada Departemen Kesehatan dengan desakan agar perusahaan yang bersangkutan mendapatkan sanksi. Akhirnya izin mereka dicabut dan seluruh produknya yang beredar harus ditarik dari pasaran. Muchtar Luthfi, salah seorang pengacara KISDI menyata- kan bahwa para pebisnis makanan haram itu jelas-jelas melakukan penipuan dan melanggar hukum. Gambar kepala sapi tersebut seharusnya menunjukkan produk Aroma Duta seratus persen halal, yang tidak lagi mengandung unsur babi.8 KISDI yang dimotori Gogon telah berhasil “menyelamatkan” umat dari tindakan bisnis yang tidak terpuji dan menyakitkan hati umat. Ternyata organisasi ini dengan para tokohnya cukup dewasa dalam menyikapi kasus-kasus yang ada di tengah masyarakat kita. Gogon dan KISDI tidak identik dengan demonstrasi dan aksi emosional.

Penghinaan terhadap Islam

Sejarah Islam Indonesia memberikan bukti bahwa kasus penghinaan terhadap Islam telah memiliki benih-benihnya sejak masa pergerakan. Ambil saja peristiwa Jawi Hisworo; sebuah kelompok Islam abangan di Jawa yang melakukan pelecehan kepada Nabi yang sangat dicintai dan dihormati umat Islam. Penghinaan yang dilakukan melalui sebuah arti-

8 Ibid. 110 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  kel pada masa pergerakan tersebut telah membuka polemik terbuka antara tokoh Islam dengan kalangan abangan.9 Di masa awal kemerdekaan dan memasuki era Demokrasi Ter- pimpin, terjadi lagi konflik ideologi yang tajam, ketika ka- langan Nasionalis sekuler menolak keinginan kalangan Nasi- onalis Islam yang memperjuangkan syariat Islam. Pada era pemerintahan Orde Baru, pekerjaan rumah itu juga “belum selesai”, betapapun pada akhirnya sejumlah agenda umat telah berhasil direalisasikan melalui jaminan perundang-un- dangan. Ada sisi gelap umat yang menjadi traumatis di era Orde Baru itu, seperti kasus Arswendo Atmowiloto, dikem- bangkannya Islamophobia, tudingan ekstrem kanan, funda- mentalisme, radikalisme sampai pada istilah kelompok sem- palan dan adanya “ustad karbitan”. Era Reformasi adalah era yang ditandai antara lain oleh, pertama, tumbuhnya budaya politik yang demokratis, ter- buka serta upaya pemulihan hak asasi dan terbukanya usaha untuk melakukan perubahan agenda politik baru berkait dengan konstitusi negara; kedua, tokoh-tokoh Islam yang kritis, teguh pendirian dan cukup militan yang pada masa Orde Baru mengalami marjinalisasi peranan, kini dapat tampil kembali dalam pentas politik. Sejumlah tokoh men- jadi pendorong dan lokomotif Reformasi, bahkan melalui kekuatan Islam lainnya (Poros Tengah) berhasil mengantar

9 Mengenai hal ini dapat dilihat pada sejumlah tulisan antara lain Deliar Noer, Gerakan Modernis Islam di Indonesia, 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980, lihat juga Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1987, Lihat juga Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia , Jakarta: Khairul Bayan, 2003. 111  Ahmad Sumargono salah seorang tokoh dari kelompok Islam yang berbasis kyai–K.H. Abdurahman Wahid untuk duduk dalam kursi kepresidenan.10 Perubahan politik ini menimbulkan persepsi lain dari mere- ka yang merasa terkalahkan. Mereka sinis dan berprasangka terhadap umat Islam yang juga anak bangsa ini. Reaksi politik yang menunjukkan ketidakdewasaan dan jauh dari semangat demokratis itu di antaranya dengan cara penghinaan dan tu- dingan yang tidak berdasar kepada Islam. Gogon menyoroti dua kasus yang dianggap menonjol saat itu, yakni Kasus Theo Sjafei dan berita yang dilansir oleh majalah Jakarta Jakarta. Da- lam kasus Theo Sjafei, Gogon menilainya sebagai auctor intellec- tualis di balik berbagai manuver politik yang menyudutkan Islam di Indonesia. Melalui rekaman ceramahnya, ia secara terbuka memfitnah, membuat fakta-fakta palsu serta melecehkan Islam di hadapan aktivis gereja. “Ini sungguh luar biasa dan ia sama sekali tidak mau mengakui kesalahannya, bahkan menantang kaum Muslimin,” ungkap Gogon.11 Dalam sebuah tulisannya mengenai masalah ini, Gogon memgingatkan para pembaca, khususnya umat Islam pada sebuah peristiwa di tahun 1991, yaitu kasus Arswendo At- mowiloto. Kesalahan Arswendo “hanyalah” karena mem- buat angket yang kemudian menempatkan Nabi Muham- mad Saw pada peringkat di bawah dirinya sendiri dan

10 Firdaus Syam, Amien Rais Politisi yang Merakyat dan Intelektual yang Shaleh, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003, hlm. 3-4. 11 Makna penting Kasus Theo Syafei, lihat Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 57. 112 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  sejumlah artis. Umat bereaksi atas angket Arswendo, Arswendo pun tak meminta maaf. Namun menurut Gogon, Arswendo yang menjadi seorang arsitek media porno Monitor, masih mensinyalir kemungkinan terjadinya “ketidaksengajaan” atau “kebodohan” sehingga bisa jadi memang tindakan itu dilakukan akibat ketidaktahuannya.12 Kasus Theo Syafei jelas sangat berbeda dengan Arswen- do. Ada atau tiadanya niat dia telah menghujat Islam dengan logika dan fakta sejarah berdasar versinya sendiri dengan maksud menyesatkan umat Islam dan mendistorsi keagungan Nabi Muhammad. Berdasar penelitian atau isi ceramah yang disampaikannya itu, sekalipun kaset yang beredar luas itu tidak diakui suaranya. Gogon menyimpulkan bahwa Theo bukan saja seorang fundamentalis Kristen, lebih dari itu juga aktor politik yang handal. Ia memiliki niat menyingkirkan Islam dari kancah politik nasional, dan berusaha mengembalikan kejayaan Kristen dalam pemerintah RI, seperti terjadi pada tahun 1970- an dan 1980-an. Lebih lanjut Gogon mengemukakan: Kita tidak tahu apakah “gerakan Theo Sjafei” ini direstui dan diberi angin, atau malah merupakan strategi bersama gereja Protestan. Kita juga merasa aneh, melihat sikap diam gereja Protestan, bahkan ada kecenderungan untuk membela Theo. Kita lihat saja, kalau benar seperti itu, berarti ada ”permainan bersama”. Mudah-mudahan ini tidak.13

12 Ibid. 13 Ibid, hlm. 59. 113  Ahmad Sumargono

Ada kesan kuat di mata Gogon, sepertinya Theo ingin memancing-mancing kemarahan umat Islam agar terjadi konflik agama, yang ujung-ujungnya negara ini akan ter- cabik-cabik dan terpecah belah. Karena itu pengusutan tun- tas atas kasus Theo ini sangat penting dilakukan oleh pihak keamanan untuk membongkar apa sebenarnya misi dan motif yang ada di balik penghinaan itu.14 Ini disampaikan Gogon dengan semangat “berapi-api” dalam sebuah Tablig Akbar. Kasus lainnya yang menjadi perhatian tokoh ini adalah berita yang dimuat majalah Jakarta Jakarta, No. 609, Juli 1998. Kita semua merasakan bahwa di era Reformasi ini dunia pers Indonesia bebas untuk mengekspresikan segala peristiwa yang dianggap patut dijual, atau bernilai berita tinggi walaupun mungkin berita itu mengusik perasaan pihak lain. Pers menjadi tak peduli pada orang lain. Kebe- basan sepertinya hanya untuk kebebasan semata. Berawal dari artikel yang ditulis F.X. Rudy Gunawan mengenai kasus pemerkosaan wanita keturunan Tionghoa. Dalam artikel itu diceritakan terjadinya kasus pemerkosaan terhadap wanita keturunan Tionghoa yang pelakunya adalah seorang Muslim. Pemerkosa itu mengeluarkan kata- kata: “You must be raped because you are Chinese and non-Muslim.” Kalimat ini memiliki tendensi untuk memojokkan atau membangun opini yang bertujuan menjelekkan kelompok Islam dan umat Islam. Menurut Gogon dengan mengutip

14 Ibid. 114 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  kalimat tersebut, si penulis tampak jelas berusaha mem- bangun opini bahwa para pemerkosa biadab itu adalah kaum Muslim dan bukan Cina. Bagi Gogon, tindakan penulis artikel–juga majalah yang memuatnya–adalah tin- dakan keji dan fitnah yang mengada-ada. Dalam ajaran Islam pemerkosaan adalah perbuatan biadab yang dikutuk dan pelakunya harus dihukum mati. Peristiwa ini terjadi pada saat meledaknya kerusuhan 13 Mei 1998. KISDI yang diwakili Gogon memandang agar semua pihak melihat persoalan itu dengan jernih, dengan akal se- hat, tidak dengan main tuduh dan berbuat fitnah yang akhir- nya mengaburkan substansi masalahnya. Karena itu KISDI juga menghimbau agar seluruh bangsa Indonesia lebih mendahulukan kepentingan bangsa dan tidak terjebak oleh unsur dan pola permaian destruktif yang akibatnya sangat membahayakan masa depan bangsa.15 Menurut Pemred Jakarta Jakarta yang diwakili Seno Gumira Ajidarma dikatakan bahwa sebenarnya tulisan itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan Islam (Republika, 1 Agustus 1998). Gogon bersama kawan- kawannya di KISDI meminta secara konkret, siapa orang yang diperkosa itu, juga kepada Romo Sandyawan dan Ita Nadia atau siapa pun. Tanpa bukti-bukti itu, mereka ter- kesan hanya ingin melakukan provokasi. Gogon juga menyayangkan bahwa majalah Jakarta Jakarta sama sekali

15 Ini diambil dari artikel “Kecerobohan Majalah Jakarta Jakarta,” dalam Gogon, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 73-74. 115  Ahmad Sumargono tidak mengakui telah melakukan semua ini. Bahkan bangga dengan apa yang telah dilakukannya. Apakah kebebasan itu hanya untuk sebuah kebebasan? Apakah kebebasan yang bermaksud melakukan pembelaan dan kemanusiaan itu harus mengorbankan perasaan hati nurani lainnya, hanya untuk sebuah pemuasan pemberitaan yang maksimal dan vulgar? Atau bahkan kebebasan itu sebenarnya telah mem- belenggu kebebasan lainnya demi kebebasan itu sendiri? Kalangan jurnalis profesional perlu merenungkan hal ini.

Aliran Kepercayaan

Adanya kekhawatiran kemungkinan perkembangan aliran kepercayaan ditafsirkan “sejajar” dengan agama telah diperkirakan oleh kalangan tokoh Islam sejak dekade 1970- an, yaitu ketika pemerintahan Orde Baru mengusulkan agar aliran kepercayaan dimasukkan dalam Tap MPR dan GBHN dalam Sidang MPR tahun 1978. Usulan ini menda- patkan tentangan keras dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang masih mau menyuarakan kepentingan umat. Demikian pula Ormas Islam seperti DDII dan lainnya yang tegas menolak keinginan pemerintah itu, bahkan terjadi aksi demo dan protes sangat keras pada masa itu baik di dalam maupun di luar gedung parlemen. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana K.H. Bisri Syamsuri Rois Am PBNU yang masih menjadi politisi PPP ini melakukan walk out, meninggalkan ruang sidang. Masalah ini kemudian berakhir dengan usulan kompromi dengan dimasukkannya 116 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  pembinaan aliran kepercayaan di bawah departemen pendidikan, bukan departemen agama. Dalam perkem- bangannya, setelah tokoh aliran kepercayaan Sudjono Humardani wafat, kelompok ini semakin surut perannya dan tidak mendapatkan “payung” politik. Secara politis persoalan ini timbul kembali ketika Sidang Umum MPR. Pada masa Sidang Umum MPR 1978 keber- adaan kelompok ini secara formal dikukuhkan lewat GBHN, termasuk GBHN tahun 1993 yang dalam klausul itu disebutkan, “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama,” dan pembinaannya diama- natkan agar tidak mengarah kepada pembentukan agama baru. Akan tetapi persoalan ini muncul dalam sidang Panitia Adhoc I ketika Fraksi Persatuan Pembangunan bersikeras untuk memindahkan klausul di atas dari subbab “Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” ke subbab “Kesejahteraan Rakyat” dalam GBHN.16 Ahmad Sumargono, Ketua Pelaksana Harian KISDI memimpin protes ke Gedung DPR/MPR di Senayan, No- vember 1997. Dengan tegas dia menyatakan, “Lebih baik rumusan mengenai Aliran Kepercayaan dihapus sama sekali dari GBHN.” Menurutnya, sejak dimasukkannya dalam GBHN dalam Sidang Umum MPR 1978, penganut Aliran Kepercayaan justru makin berani, karena merasa mendapat dukungan formal untuk mengembangkan diri, serta melakukan aktivitas keagamaan dan sistem sosial yang

16 Gatra, 22 November 1997. 117  Ahmad Sumargono menyimpang dari agama. Kasus pernikahan dengan Sunda, tepatnya tata cara aliran Madraisme yang terjadi beberapa waktu lalu adalah bukti penyimpangan itu.17 Pada tahun 1980, di daerah Bojonegoro juga muncul kasus perkawinan penganut kepercayaan Sapto Darmo. Kasus itu akhirnya diselesaikan secara persuasif oleh BK PAKEM Tk II Bojonegoro, yang dengan kesadaran sendiri pasangan Sapto Darmo itu menikah di KUA. Mengenai sikap kaum Muslimin terhadap Gumirat berawal pada tanggal 6 Mei 1991, ketika seorang hakim di PN Kebumen berkirim surat kepada Ketua Muda Mahka- mah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Umum bi- dang Hukum Perdata, Prof. Z. Asikin Kusumaatmadja, SH. Dalam suratnya, hakim meminta petunjuk kepada Asi- kin mengenai perkara yang ditanganinya, menyangkut per- kawinan penganut Paguyuban Jawa Sejati (Pejati). Kantor Catatan Sipil (KCS) dan KUA tidak mau mencatat perka- winan pasangan penganut Pejati bernama Sadikin dan Su-

17 Berbeda dengan tokoh Islam yang berada di Golkar, DR. , menurutnya di Indonesia terdapat ratusan kelompok penganut aliran kepercayaan, tepatnya 245 organisasi yang terdaftar di Direktorat Pembinaan Penghayatan Kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P&K), misalnya Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) dan Susilo Budi (Subud), Sumarah, Gaya Urip Utami, Himpunan Amanat Rakyat Indonesia serta Mangudi Kaweruh Rasa. “Sekitar 99 persen kelompok itu berakar pada Islam,” kata Din. Bagi tokoh ini yang juga anggota PAH I, aliran kepercayaan sebenarnya bukan sesuatu yang sama sekali terpisah dari agama. “Banyak kelompok aliran kepercayaan yang memiliki akar teologis dari Islam. Kita sering mendengar istilah eling yang diucapkan pengikut aliran kepercayaan, itu berarti selalu ingat kepada Allah Swt. Berdasarkan itu, maka mereka jangan ditinggalkan, melainkan harus dibina agar kelak kembali ke agama masing-masing.” Lihat Gatra, 22 November 1997. 118 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  warsih. Pasangan ini telah berputra yang diberi nama Yuli- purwati. Tampaknya hakim di PN Kebumen itu mengacu pada surat Mendagri nomor 477/2535/PUOD tahun 1990, yang isinya menyatakan bahwa bagi penganut kepercayaan murni yang tidak memeluk suatu agama, pencatatan per- kawinannya dapat dilakukan di KCS setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Lima tahun kemudian, 1995 keluar surat Dirjen PUOD nomor 4742/3069/PUOD yang menginstruksikan agar pencatatan perkawinan penganut kepercayaan ditunda dahulu pelaksanaannya. Prof. Asikin sendiri melalui surat- nya ke PN Kebumen menegaskan, bahwa tidak ada tata cara dan sumpah perkawinan menurut aliran kepecayaan.18 Ditegaskan pula, aliran kepercayaan adalah kekayaan ruhaniah rakyat Indonesia, akan tetapi bukan merupakan agama dan perkembangannya tidak boleh mengarah kepada pembentukan agama baru. Jika kita amati lebih jauh dalam pidato kenegaraan di DPR, 16 Agustus 1978, Presiden Soeharto telah menegaskan, bahwa Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama dan juga bukan agama baru.19 Gumirat adalah penganut aliran kepercayaan Madrasi atau Agama Jawa Sunda. Ia mengaku kawin secara adat Sunda, bukan dengan cara aliran kepercayaan yang dianutnya. Seba- gian media massa mengesankan bahwa Gumirat adalah orang

18 Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 68. 19 Ibid, hlm. 69. 119  Ahmad Sumargono yang “tidak munafik” dan “jantan” karena berani berterus terang, bahwa ia tidak memeluk salah satu agama yang diakui pemerintah RI. Karena itu ia tetap menolak kawin dengan cara satu agama. “Sebagai warga negara saya ini kan memiliki hak yang sama dengan warga negara lain, mengapa perka- winan saya tidak bisa diterima KCS. Saya kan bukan warga negara tiri, karena itu akan berusaha mendapatkan hak-hak saya itu sampai di mana pun,” kata Gumirat.20 Usaha-usaha para penganut kepercayaan untuk mengarah pada suatu pembentukan “agama baru” ini tampaknya masih terus dilakukan. Menghadapi masalah ini, Gogon berpendapat bahwa aliran yang didirikan oleh Mad Rais ini cenderung mense- jajarkan diri dengan agama, dengan membentuk ritus-ritus sendiri.21 Dengan kata lain, biasa dikatakan cenderung men- jadi “agama baru”. Perlembagaan dan pengesahan per- kawinan ini tentu saja ditolak oleh kalangan agama, bukan hanya Islam, tetapi juga kalangan agama lain.22 Mengenai di mana posisi aliran kepercayaan ini ditempatkan, Gogon menjelaskan dengan mengutip apa yang dikemukakan Alm. Prof. Dr. Hamka yaitu:

20 Kompas, 7 Mei 1997. 21 Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 71. 22 Sebagai contoh, menjawab pertanyaan tentang perkawinan beda agama di rubrik Konsultasi Iman Majalah Hidup, edisi 10 Agustus 1997, Romo Pidyanto Gunawan menyatakan, “Dari sudut hukum gereja, perkawinan antara seorang Katolik dan orang lain (entah itu dia Katolik, Kristen atau non-Kristen) yang diadakan di catatan sipil saja (tanpa ada kaitan dengan petugas resmi gereja Katholik) adalah tidak sah, karena orang Katholik wajib melakukan pernikahan menurut tata peneguhan kanonik (kanon 1108), Ibid. 120 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono 

Saya sebagai seorang penganut paham demo-krasi sejati, demokrasi Pancasila, tidaklah keberatan kalau negara kita ini ada golongan yang mengaku diri mereka percaya juga kepada Tuhan Yang Maha Esa, asal Tuhan itu jangan Allah dan mau menikah dengan upacara sendiri, mengubur mayat dengan mengarang upacara sendiri. Tetapi adalah suatu hal yang tidak logis kalau mereka mesti dimasukkan pula dalam golongan suatu yang sama duduknya dengan satu agama. Cukuplah mereka itu sebagai golongan Deisme di Prancis pada abad kedelapan belas, yang kadang-kadang disebut orang juga “kaum Encyclopaedia” yang dipimpin Voltaire.23 Maka sehari setelah PTUN Jakarta mengabulkan gugatan pasangan Gumirat-Susilawati (15/7/1997), KISDI menge- luarkan pernyataan yang isinya menyesalkan keputusan ter- sebut. Menurut pandangan KISDI, putusan PTUN tersebut akan dapat menimbulkan situasi anarkis dan ketidakpastian hukum di bidang perkawinan. Ia mengemukakan bahwa per- soalan keagamaan merupakan masalah yang sangat sensitif di negeri ini. Sikap kaum Muslimin sudah jelas, mereka dila- rang memaksakan agamanya kepada orang lain untuk meme- luk agama Islam, akan tetapi, masalahnya menjadi lain ketika para pezina yang melakukan “hidup bersama tanpa nikah” dicatat (disahkan) oleh pemerintah melalui KCS. Sebagai war- ga negara yang baik, wajar sekali jika kaum Muslimin bereaksi,

23 Suara Hidayatullah, 08/X/Sya’ban 1418 121  Ahmad Sumargono karena mereka menginginkan terciptanya tertib hukum di negeri yang sangat mereka cintai ini.24

Menolak Negara Sekuler

Perdebatan istilah sekularisme dan sekularisasi, dua istilah dari akar kata yang sama, bukanlah sesuatu hal yang baru dan asing di negeri tercinta ini. Para peneliti Islam dan politik di Indonesia akan mengetahui bahwa dua kata di atas telah banyak diperdebatkan para tokoh pergerakan, elit politik dan cendekia- wan, terutama dalam menyikapi hubungan agama (Islam) da- lam kehidupan negara atau agama dengan masalah politik sejak zaman kolonial hingga sekarang. Perdebatan awal itu ditandai antara A. Hasan dan M. Natsir dari kalangan Nasionalis Islam dengan Sukarno dari kalangan Nasionalis netral agama, atau juga Nasionalis sekuler. Ketika Sukarno sangat memuji sekularisasi kehidupan politik di Turki dalam sekuat tulisannya,25 maka M. Natsir melalui artikel yang berjudul “Membudakkan Pengertian Islam”, memberikan re- aksi keras atas tulisan Sukarno itu.26 Demikian pula A. Hasan,

24 Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 72. 25 Sukarno, dalam artikel berjudul “Memudahkan Pengertian Islam,” Pandji Islam, No 12 dan 13, 1940, ia sangat menyanjung apa yang dilakukan Kemal Attaturk di Turki sebagai langkah yang “paling modern” dan “paling radikal”. Agama dijadikan urusan perorangan, Islam diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri, dan tidak pada negara, Lihat H. Ahmad Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 32. Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, Sukarno versus Natsir, Bandung: Teraju, 2001. 26 Mohammad Natsir menyebut paham sekuler sebagai “la diniyah,” bebas dari agama. Uraian Natsir secara lengkap dapat dilihat dalam Capita Selekta, Jilid I, Jakarta: Pustaka Pendis, 1957. 122 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  tokoh Persis ini memberikan reaksi keras dengan menge- mukakan bahwa pemerintahan Turki di bawah Attaturk yang hobi melakukan perbuatan maksiat dan menghapus aturan-aturan Allah di negaranya sangat tidak layak meneri- ma pujian.27 Demikian penting dan bahayanya paham seku- ler ini hingga Natsir menolak keras paham tersebut dalam suatu Sidang Konstituante dengan menyampaikan topik pidatonya: Pilihan kita, satu dari dua: Sekularisme atau Agama.28 Bagi Natsir, sekularisme itu la diniyah atau tanpa agama. Sekularisme tidak hanya mengakibatkan hilangnya orien- tasi hidup, ia juga tidak mampu menjawab apa arti hidup. Sekularisme juga tidak semata menimbulkan sikap tidak peduli dan tidak menghormati tuntutan-tuntutan adab (nilai-nilai hidup) tetapi juga mengesampingkan agama. Lebih dari itu dalam penghidupan perseorangan, seku- larisme menyuburkan timbulnya penyakit syaraf dan ro- hani. Manusia yang menjadikan sekularisme sebagai pandangan hidupnya maka mudahlah baginya mengalami taufan rohani, kesehatan rohaninya terganggu dan ini diakui oleh ilmu jiwa zaman sekarang.29

27 Perdebatan A. Hasan dengan Sukarno secara lebih lengkap dapat dilihat dalam bukunya mengenai Islam dan Kebangsaan, terbitan Bangil atau kumpulan tulisan Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, Jakarta: Panitia Penerbit. 28 Menurut Mohammad Natsir, sekulerisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan dan sikap hanya dalam batas keduniaan. Segala sesuatu dalam kehidupan kaum sekularis tidak mengenal akhirat, Tuhan dan sebagainya. Lihat Mohammad Natsir, “Islam Sebagai Dasar Negara,” Media Da’wah, Jakarta, 2000, hlm. 62. 29 Mohammad Natsir, “Islam sebagai Dasar Negara,” Media Da’wah, Jakarta, 2000, hlm. 65, 72-73. 123  Ahmad Sumargono

Di Indonesia, gagasan sekularisasi dan sekularisme ber- ulang kali diperjuangkan oleh berbagai pihak. Pada bukunya Saya Seorang Fundamentalis, Gogon menjelaskan hal itu. Ia menulis bahwa pada tahun 1945 sebagian kalangan sekuler itu menolak keras pendirian Kementerian Agama (Departe- men Agama) dan mengusulkan agar masalah keagamaan di- atur oleh Kementerian Dalam Negeri. Pada tahun 1973 ter- dapat rumusan RUU Perkawinan yang dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa suatu perkawinan yang sah adalah yang dicatat dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974. Pasal ini berubah total. Akhirnya perkawinan yang sah di negeri ini menurut UU tersebut adalah yang dilakukan menu- rut agama dan kepercayaannya itu.30 Perubahan itu terjadi akibat desakan dari tokoh Islam yang didukung oleh aksi demonstrasi berbagai ormas Islam di gedung parlemen. Persoalan sekularisasi muncul kembali pada era 1970-an yang dipelopori oleh Nurcholish Madjid, seorang pucuk pim- pinan HMI dengan kawan-kawannya dari Yogyakarta dan Jakarta.31 Mereka menolak partai politik dengan wahana per-

30 Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 21. 31 Selain Nurcholish adalah , M. , Usep Fathuddin serta beberapa cendekiawan muda lainnya. Mereka berbeda dengan pemikiran sekuler Sukarno, gagasan Cak Nur dengan kelompoknya jauh lebih sophisticated, sistematis, terarah dan moderat. Sekularisasi yang dimaksudnya sangat canggih. Gerakan yang dipelopori Nurcholish Madjid dimaksud untuk menerobos kebeku- an berpikir umat Islam, menyegarkan paham keagamaan, yang menurutnya meru- pakan kekuatan pandangan psikologis, antara lain dengan mengkampanyekan anti-Partai Islam; Islam Yes Partai Islam No. Para pengritiknya sangat tidak sepen- dapat dengan pendirian ini, Gerakan ini berbeda dengan CSIS yang memang menginginkan de-Islamisasi di Indonesia. Abdul Qadir Djaelani melihat tujuan CSIS dan Cak Nur sama, yakni de-Islamisasi Islam di Indonesia. Lihat Abdul Qodir Djaelani, Menyelusuri…, Lihat juga William Liddle, “Media Dakwah, 124 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  juangan Islam dan secara tegas menentang gagasan Negara Islam. Dalam perspektif Cak Nur kekuatan politik Islam tidak identik dengan partai Islam. Cak Nur mirip dengan Sukarno dalam menilai bahwa konsep negara Islam itu tidak ada dalam sejarah Islam. Menurutnya, konsep tersebut tidak didukung dengan nash-nash Alquran serta sebuah bentuk apologia umat Islam terhadap ekspansi pemikiran dan politik Barat atas dunia Islam selama berabad-abad.32 Cak Nur kemudian menolak tegas persamaan sekularisme dengan sekularisasi karena menurutnya kedua kata itu merupakan dua konsep yang sama sekali berbeda. Konsep sekulerisasi yang dikemukakannya adalah sebuah konsep sosiologis, bukan konsep filsafat sebagaimana yang diyakini para pengritiknya. Dalam konteks penafsiran sosiologis, sekularisasi adalah sebuah gerakan sosial yang bertujuan mendemitologisasi dan demistifikasi Islam, sehingga yang sakral di dunia hanyalah Allah semata, di luar Allah hanyalah bersifat duniawi, sekuler.33 Pemikiran tersebut ditentang

“Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesia,” dalam William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, Sidney: Allen and Unwin, 1996, hlm. 271. 32 Lihat karya-karya Nurcholish termasuk surat-menyurat dengan Muhamad Roem, lihat juga Ahmad Suhelmy, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999, hlm. 103. Lihat juga edisi revisi buku ini, Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, Sukarno versus Natsir, Bandung: Teraju, 2001. 33 Cak Nur nampak konsisten dengan gagasannya itu, walaupun ada penggunaan konsep baru pada era 1980-an yang dikenal dengan Sakralisasi dan Desakralisasi. Untuk memahami pemikirannya lebih luas dan utuh, lihat, Islam Agama Kemanusiaan (1991), Islam Agama Peradaban (1991), Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (1992), diterbitkan oleh Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta. 125  Ahmad Sumargono oleh sejumlah tokoh dan cendekiawan Islam, antara lain Prof. H.M. Rasyidi, Prof. Dr. Deliar Noer, Abdul Qadir Djaelani dan Dr. Daud Rasyid. Mereka menilai gagasan sekularisasi Cak Nur bertentangan dengan prinsip Tauhid (Keesaan Allah) dan ahistoris serta dibangun dengan argumentasi yang rapuh. Djaelani mengkritik pemikiran Cak Nur sebagai gerakan deislamisasi dan anti-Islam.34 Kritik ini dilanjutkan oleh Daud Rasyid, seorang alumnus Universitas Kairo-Mesir. Pada intinya Rasyid mengritik pemikiran Cak Nur sebagai sekuler yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan bertolak belakang dengan prinsip kenegaraan Islam formulasi ulama zaman dulu. Bahkan majalah Media Dakwah milik DDII lebih keras lagi menyebut Cak Nur sebagai lobbi Yahudi di Indonesia.35 Amien Rais ikut menanggapi masalah di atas. Ia menolak ide “sekularisme” dan “sekularisasi” yang dikemukakan Cak Nur. Amien Rais berpendapat bahwa sekularisasi tidak lain menganjurkan agar agama menjauhkan diri dari politik dan begitu pula sebaliknya. Gagasan seperti ini bila dijual ke masyarakat Islam tidak akan laku alias akan mengalami kegagalan. Menurut Amien Rais, sekalipun sekularisasi dicoba dibedakan dari sekularisme dengan alasan bahwa yang terakhir ini adalah ideologi sedangkan yang pertama

34 Lihat karya Prof. Rasyidi, DR. Kamal Hassan dan Abdul Qadir Djaelani, Menyelusuri Pembaruan Nurcholish Madjid, Bandung: Yadia, 1993. 35 Lihat Dr. Daud Rasyid, Orientalism dalam Sorotan, Jakarta: Usamah Press, 1993. kritik Rasyidi memiliki kesamaan dengan Ridwan Saidi, lihat Ridwan Saidi dalam Fakta Yahudi di Indonesia. 126 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  menunjuk kepada proses sosial yang bersifat open ended, akan tetapi pada asasnya sekularisasi juga ideologi, yakni ideologi sekularisasionisme.36 Menurut Gogon upaya untuk memperjuangkan “negara sekuler” di Indonesia terus berlanjut. Tahun 1981, Ali Murtopo membuat tujuh penafsiran atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurutnya gagasan ini mirip dengan gagasan negara sekuler sebagai bentuk negara ideal yang dikemukakan Denny JA dalam artikelnya di harian Republika, 19 Juni 1997 dan harian Kompas, 15 Mei 1997. Antara lain dikemukakan Ali Murtopo pada bagian c dalam bukunya, agama dalam Negara Republik Indonesia adalah lembaga swasta dan bukan lembaga negara, maka dari itu tidak diatur, diurus atau diselenggarakan oleh negara.37 Gogon memandang masalah hubungan agama dan negara dari beberapa aspek, yaitu pertama, aspek historis. Ia menjelaskan bahwa upaya sekularisasi Barat terhadap masyarakat Muslim akan menghadapi tantangan berat dan gagal. Seperti di Turki, sekularisasi yang dijalankan sejak tahun 1924, dengan melakukan penghapusan nilai agama secara sistematis, yaitu pelajaran agama yang secara bertahap dihapus sampai dihilangkan sama sekali (1935);

36 Amien Rais, “Pembaruan Pemahaman Islam dalam Perspektif,” disampaikan dalam peringatan Isra’ Mi’raj yang diselenggarakan Institut Teknologi Surabaya (ITS), Surabaya tanggal 7 Mei 1993. Lihat juga Amien Rais, Cakrawala Islam, Bandung: Mizan, 1987. 37 Ali Murtopo, Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta: CSIS, 1982, hlm. 21-22. Lihat dalam Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, Bogor: Global Cita, 2000, hlm. 24. 127  Ahmad Sumargono diberlakukan hukum baru yang berdasarkan negara Swiss (1926); Islam dihapus sebagai agama Negara (1928) dan kemudian lembaga pendidikan tinggi Fakultas Teologi di Istambul ditutup; ternyata dalam perkembangannya ber- balik arah. Mulai tahun 1948, lembaga pendidikan Islam kembali diberlakukan, pada tahun 1950 untuk pertama kalinya pengajian Alquran dikumandangkan kembali di radio dan perkembangan kegiatan keagamaan semakin meningkat. Yang spektakuler adalah, melalui sebuah pemi- lihan umum yang demokratis di Turki, telah mengantarkan Erbakan yang Islamis ke kedudukan sebagai perdana menteri, walaupun kemudian ia disingkirkan dengan cara yang tidak demokratis oleh militer dan lawan politiknya.38 Padahal Erbakan melakukan sesuatu yang tidak merugikan rakyat Turki, ia juga tidak memaksakan kehendak, dan hanya memberi sedikit ruang gerak pada kaum Muslimin di negerinya agar dapat berdakwah melalui TV serta, ber- busana Muslimah. Tentang kembalinya Turki yang gencar melakukan Islamisasi melalui peranan Partai Refah ini, Gogon berke- sempatan mengunjungi Partai Refah pada 1995 di Turki. Di beberapa kota Turki Gogon sempat mengikuti kampanye Partai Refah. Gogon juga sempat bertemu dan berdialog dengan tokoh-tokoh Partai Refah yang amat mengesankan gambaran Gogon. Tumbuhnya kesadaran baru dalam keagamaan di Turki pada kenyataannya memperkuat tesis yang

38 Ibid, hlm. 19-20. 128 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  dikemukakan Amien Rais, “Persoalan agama dan politik justru saling bersatu, karena itu melancarkan usaha sekularisasi di dunia Islam tidak akan pernah berhasil.”39 Ini juga terjadi di Aljazair, kemenangan FIS (Front Islamique du Salut) sebagai partai politik yang memperjuangkan kebangkitan Islam di ne- geri ini secara demokratis, ternyata disingkirkan dalam arena politik secara kekerasan oleh kalangan militer, tetapi perla- wanan dari pendukungnya tidak akan pernah padam. Sebuah perubahan ke arah modernisasi dan demokrati- sasi yang dilakukan dengan cara non-violence dan menghargai pluralisme masyarakat justru akan memberikan peluang yang besar bagi kemenangan Islam. Contoh yang tak ter- bantahkan secara sosiologis adalah negara Malaysia yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Dalam tulis- annya Gogon mengemukakan mengenai peran hukum Islam di negeri ini sebagai berikut: Negeri jiran ini mencantumkan Islam sebagai “agama” resmi negara. Di sini berlaku “hukum khalwat” bagi kaum Muslim. Seorang Muslim dapat dijatuhi hukuman karena “berkhalwat” dengan lain jenis yang bukan muhrimnya. Setelah membayar zakat kaum Muslim Malaysia mendapat keringanan pajak. Negeri bagian Kelantan bahkan menerapkan hudud, dan kaum

39 Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy Ibrahim, Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi, Bandung: Zaman, 1997, hlm. 111. Lihat juga Firdaus Syam, Amien Rais, Politisi yang Merakyat dan Intelektual Yang Shaleh, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003, hlm. 181. 129  Ahmad Sumargono

non-Muslim tidak protes. Semua ini ternyata tidak menghalangi Malaysia untuk menjadi negara maju, demokratis dan tidak biadab. Program New Economic Policy (NEP) yang menganakemaskan kaum Melayu (Muslim) pun tidak menimbulkan goncangan sosial.40 Bukti di atas adalah jawaban sekaligus bantahan bagi pandangan yang memperkenalkan konsep sekularisme dan sekularisasi yang ahistoris atau melihatnya dalam perspektif sosiologis. Gogon terlibat dalam polemik tentang sekularisme dan negara sekuler dengan Denny JA. Sebuah polemik seru yang kemudian melibatkan banyak penulis lain. Dalam tulisannya, Denny berpendapat bahwa negara sekuler merupakan bentuk ideal dari suatu negara demokratis atau modern dengan dasar bahwa gagasan negara yang netral atas agama dan keyakinan maka negara itu sendiri tidak diharapkan menjadi instrumen agama tertentu dan tidak disakralkan. Kemudian Denny mempromosikan Amerika Serikat sebagai “pusat negara sekuler”. Di sana agama menurutnya tumbuh subur. Membaca artikel Denny itu, Gogon melemparkan sederet pertanyaan yang didasarkan pada fakta-fakta empiris. Benarkah di Amerika agama tumbuh subur? Benarkah Amerika Serikat memberikan perlakuan yang sama kepada agama dan pemeluk agama? Bukankah Amerika Serikat meliburkan 25 Desember

40 Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 28. 130 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  dan tidak meliburkan 1 Muharram? Bukankah WASP (White, Anglo-Saxon, Protestan), meskipun tidak tertulis, menjadi kriteria calon Presiden Amerika Serikat? Sayangnya dalam mengkritisi pandangan pendukung sekularisme Gogon belum melengkapi fakta bagaimana keadaan komunitas Muslim baik di Amerika maupun di sejumlah negara Barat (non-Muslim) diperlakukan, juga sikap sinistis dan kebencian orang Barat kepada Islam dengan tudingan agama “teroris”, “primitif ” dan sebagainya yang berkonotasi prasangka (prejudice). Bukankah alasan tindakan “pencegahan” atas teroris itu dilakukan dengan kebohongan besar? Inikah yang disebut negara sekuler yang ideal, modern dan demokratis? Gogon menyimpulkan bahwa negara sekuler (ideal) yang tidak mengistimewakan salah satu agama dan memberikan perlakuan yang sama terhadap semua agama (non-discrimi- nation) sangat tidak realistis, bahkan utopis. Konsep semacam itu hanya di atas kertas, dan karena itu sering hanya menjadi komoditas politik untuk kepentingan kelompok tertentu.41 Dalam soal di atas penulis sependapat dengan Gogon dalam dua hal. Pertama, mereka yang mengidealisasikan negara sekuler dengan menjadikan negara Barat sebagai mo- del ideal melihat pangkal persoalan secara simplistis, hanya pada dataran permukaan (cover image) karena terpesona de- ngan jargon dan isu berkesan humanis, egalitarian dan modern, yang menilai bahwa hanya dengan meniru Barat- lah suatu negara akan maju. Meminjam istilah Amien Rais,

41 Ibid. 131  Ahmad Sumargono mereka terkena penyakit kejiwaan westomania, yakni adanya hambatan psikologis atau peracunan nilai Barat (Westoxica- tion).42 Kedua, adanya kesadaran kaum Muslimin yang mencoba menjawab tantangan dan krisis modern melalui agamanya dewasa ini. Sementara ketertarikan masyarakat maju untuk kembali “merindukan agama”, apalagi adanya perkembangan Islam yang pesat di Barat dan kembalinya “si anak” yang hilang dari jati diri keimanan di dunia Islam sendiri, menjadikan pangkal ketakutan berlebihan masyarakat Barat terhadap agama (Islam), yang kemudian memunculkan kerancuan terminologi. Tidak mengherankan jika sikap se- macam ini muncul dari ilmuwan Barat dan yang gandrung pada paradigma Barat yang melihat trauma sejarah di abad pertengahan saat negara berhadapan dengan agama. Contoh konkretnya adalah istilah “teokrasi” atau “negara agama” yang selalu dikontradiksikan dengan “negara sekuler”, pada- hal istilah itu sebenarnya tidak tepat untuk melihat Islam. Menarik untuk mengkaji apa yang dikemukakan Donald Eugene Smith dalam bukunya Agama dan Modernisasi yang mengatakan bahwa sekularisasi adalah fenomena universal yang tidak dapat dielakkan. Negara-negara berkembang pada tahap ini akan menemui dilema tentang bagaimana peranan agama dalam pengaturan masalah-masalah kenegaraan. Khusus tentang Islam, Smith menyimpulkan bahwa sekularisasi yang diterapkan dalam Islam, seperti pengenalan nilai-nilai Barat, akan menimbulkan ketegangan. Indonesia

42 Ibid, hlm. 26 132 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  pada era 1990-an mengalami keadaan seperti yang dikatakan Smith ketika peran Islam dalam negara menguat. Mereka yang tidak menyukainya mengangkat isu “politisasi agama”. Maka sangat dapat dipahami pandangan Gogon yang menge- mukakan, “Setiap upaya mengabaikan faktor agama dalam politik, akan memunculkan budaya munafik dan berujung pada politik intrik antaragama yang sangat tidak sehat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”43

Saya Seorang Fundamentalis

Gogon adalah orang yang termasuk menjadi sorotan berita terutama bila timbul peristiwa yang menyangkut keumatan. Memang ia tipe manusia yang mampu membina hubungan dengan banyak lapisan dan kalangan. Mengakar ke arus bawah umat, melekat pada level menengah terpe- lajar karena selalu hadir dengan isu-isu aktual berbasis praktis dengan argumen yang tajam, kemudian mampu memberi kesan simpatik dan terbuka di kalangan elit politik yang berbeda latar belakang. Bagi penulis, wataknya pantas disebut orang Pang Kostrad yaitu “Pantes Dianggap Konsis- ten, Ramah dan Dinamis”. Konsisten; karena ia lurus, jelas sikapnya sesuai dengan agama Islam yang dianutnya. Ramah; selalu terbuka dengan siapa pun dan lapisan mana pun untuk berdialog. Dinamis; reaksinya spontan, tidak

43 Sumargono, “Isu Agama dan Sekularisasi Politik,” dalam Saripudin HA (Pnyt.), Negara Sekuler sebuah Polemik, Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, 2000, hlm. 51.

133  Ahmad Sumargono peduli apakah yang dihadapinya akademisi, “lawan atau kawan sekalipun.” “Kalau Islam yang diganggu, berkaitan dengan umat dan kelewatan, saya tidak akan mundur,” ujar Gogon dalam sebuah wawancara di sebuah majalah.44 Tidak heran bila Cak Nur memberi pengakuan dan penghargaan tersendiri kepada Gogon, “Untuk menjadi pribadi yang konsisten, tidak plintat-plintut bukan barang mudah. Lebih mudah memahami kerangka berpikirnya ketimbang para petualang politik yang cara berpikirnya cepat berubah secepat angin berembus.”45 Sikapnya yang tegas pada prinsip, terbuka pada semua pihak, menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu disorot atau sasaran tembak. Dunia di mata Gogon terdiri dari “mereka” dan “kami”. Mereka adalah yang memerangi per- juangan Islam dan kami adalah umat Islam.46 Banyak sebut- an yang dilontarkan kepada tokoh ini, yang bisa membuat, tentu bila tidak memiliki pribadi yang sabar dan jiwa yang tegar, berang karena julukan seperti tokoh Islam yang radikal dan “raja demo” (Matra, April 1999), tokoh Islam garis ke- ras (Gatra, 12 Februari 2000), media Barat menjulukinya the most dangerous man (Forum, 6 Februari 2000). Ungkapan “miring” lainnya adalah sosok yang “keras,” “reaktif ”, “biang rusuh,” Islam garang”, tokoh “sumbu pendek” (meminjam istilah Adian Husaini),47 atau terlalu nyinyir da-

44 Matra, April 1999. 45 Ahmad Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, Ibid, hlm. 182. 46 Tempo, 23 November 1998. 47 Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm.177. 134 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  lam berbagai persoalan yang dianggap sepele, sehingga dalam majalah Tajuk ia dijuluki sebagai “Pengawal Ideologi yang Kontroversial”, sebuah opini yang terkesan negatif. Sebutan terakhir yakni “fundamentalis” (Gatra, 12 Februari 2000), mengusik Gogon untuk merespons melalui buku yang berjudul Refleksi Ideologis Sumargono: Saya Seorang Fundamentalis. Buku ini secara sadar dipublikasi dengan tujuan untuk menjawab, menjelaskan, dan peran yang harus dimainkannya dalam pentas politik di negeri ini. Gogon berpendapat bahwa bagi kalangan pemikir Barat, kata fundamentalis atau fundamentalisme biasanya dimaknai dan diekspresikan dengan kata jihad, ekstrem, radikal, kebang- kitan Islam atau lainnya dengan konotasi yang negatif. Webs- ter Ninth Collegiate Dictionary mengartikan fundamentalis sebagai sesuatu yang bermakna hinaan, statis, kemunduran dan ekstrem (Gogon: 198). Dalam sejarahnya istilah ini pada awalnya berkaitan dengan gerakan para penganut Kristen yang menggariskan secara tegas pokok-pokok keyakinan mereka dan menafsirkan Injil berdasarkan pemahaman literal. Injil tidak boleh ditambah apalagi diku- rangi. Gerakan Protestan ini terjadi pada awal abad ke- 20.48 Pengertian fundamentalisme dengan menekankan unsur rigid dan literalis dikemukakan oleh Alan Taylor, Patrick Bannerman, Daniel Pipes, Bassam Tibi dan Bruce Lawrence. Menurut Taylor, kaum fundamentalis adalah kelompok yang melakukan pendekatan konservatif dalam

48 Sumargono, Ibid, hlm. 186. 135  Ahmad Sumargono melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin.49 Bannerman men- jelaskan kaum fundamentalis sebagai “kelompok ortodoks yang bercorak rigid dan ta’ashub” yang bercita-cita untuk menegakkan konsep-konsep keagamaan dari abad ke- tujuh”, yaitu doktrin Islam dari zaman klasik.50 Kantor berita Barat maupun media massa di negara-negara Muslim telah lazim menggunakan kata “fundamentalisme” dengan konotasi negatif untuk menyebut gerakan Islam berhaluan keras seperti di Libya, Aljazair, Lebanon, Iran, Afganistan. Jadi, kata fundamentalis bila dilihat dari kacamata Barat memang menakutkan dan menyeramkan. Di kalangan Islam sendiri, khususnya para pemikir dari kelompok Neo-Modernis menggunakan istilah “funda- mentalisme” dengan nada yang berbau sinisme. Fazlur Rahman, menyebut kaum fundamentalis sebagai “orang-orang yang dangkal dan superfisial”, “antiintelektual” dan pemikirannya “tidak bersumberkan kepada Alquran dan tradisi intelektual Islam.”51 Bagi Nurcholish Madjid, fundamentalisme di samping menyebarkan paham keagamaan yang telah “standar” dalam suatu agama tertentu, juga menyebarkan gagasan-gagasan “palsu dan menipu”. Di masa sekarang fundamentalisme telah menjadi

49 Allan R. Taylor, The Islamic Question in Middle East Politics. London: Westview, 1988, hlm.viii. 50 Patrick Bannerman, Islam and Perspective: A Guide to Islamic Society, Politics and Law. London: Routledge, 1988, hlm. 156. 51 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, An Intellectual Transformation, Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1979, hlm. 164. Lihat juga dalam Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1999, hlm. 7. 136 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono 

“sumber kekacauan dan penyakit mental” mutakhir dalam ma- syarakat.52 Sedang menurut Yusril Ihza Mahendra, akibat istilah yang digunakan oleh media massa, pengertian “fundamentalis Muslim” kini secara sederhana cenderung diartikan sebagai ke- lompok Islam yang memperjuangkan tujuannya dengan meng- gunakan cara-cara kekerasan. “Fundamentalisme Islam” diko- notasikan sebagai “Islam yang kejam”, “Islam yang terbelakang”. Bahkan istilah ini sering dimanipulasi secara sedemikian rupa padahal sebenarnya mereka secara sadar berjuang akibat domi- nasi dari kultur Barat di negerinya.53 Di Indonesia sendiri pemerintah (masa Orba, pen.) secara khusus menggunakan istilah “ekstrem kanan” untuk menye- but kaum fundamentalis. Kelompok ini dituduh ingin meng- ganti “negara Pancasila” dengan “negara Islam”. Di Malaysia, istilah puak pelampau (untuk orang-orang yang ekstrem) atau puak pengganas (orang-orang yang kejam) telah lazim digunakan oleh media massa untuk mengganti istilah fundamentalis,54 atau sebutan radikalisme Islam di era Reformasi. Implikasi sosiologisnya, kelompok-kelompok fundamentalis ini menjadi sorotan. Pasalnya dalam beberapa kasus radikalisme Islam yang terjadi belakangan ini di Indonesia maupun di belahan dunia melalui aksi teror bom bunuh diri serta konflik horizontal, mereka semakin disudutkan pada tudingan sebagai gerakan

52 Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, hlm. 586. 53 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1999, hlm. 8. 54 Yusril Ihza Mahendra, Ibid, hlm. 9. 137  Ahmad Sumargono teroris atau Islam garis keras. Suatu tudingan yang sebenarnya perlu dipertanyakan kembali. Sebenarnya tidak semua kalangan memahami pengertian fundamentalis dalam pengertian dan konotasi yang buruk. Misalnya pandangan Musa Keilani. Ia mendefinisikan fun- damentalisme sebagai gerakan sosial dan keagamaan yang mengajak umat Islam kembali kepada “prinsip-prinsip Is- lam” yang fundamental, kembali kepada keaslian atau ke- murnian etika dengan cara mengintegrasikannya secara po- sitif untuk membangun keseimbangan di antara manusia dengan sang Khalik, dengan masyarakat dan dengan kepri- badiannya sendiri. Jan Harfeleih menekankan pada keyakin- an akan Alquran dan Sunnah sebagai sumber utama yang memiliki norma berbagai aspek kehidupan. Binder sendiri memandang fundamentalisme sebagai aliran yang bercorak romantis yang mengacu kepada masa awal kedatangan Is- lam, dengan keyakinan bahwa doktrin ini “lengkap, sempur- na yang mencakup segala aspek” dengan hukum Tuhan yang mengatur alam semesta.55 Ciri Fundamentalisme adalah pandangannya yang khas mengenai kedudukan ijtihad sepanjang syariah tidak memberikan perincian yang lebih mendalam terhadap masalah-masalah tertentu.56 Mohammad Natsir, negarawan dan tokoh Islam Indo- nesia yang disegani, menegaskan mengenai adanya kekacau- an semantik atas istilah fundamentalisme Islam, yaitu de-

55 Leonard Binder, Religion and Politics in Pakistan, Barkeley and Los Angeles: The University of California Press, 1961, hlm. 71. 56 Yusril Ihza Mahendra, Ibid, hlm. 18. 138 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  ngan memutarbalikkan istilah yang baik dengan istilah yang mendiskreditkan apa yang tidak disetujui, sehingga dikesan- kan bahwa Islam itu beku-kolot. Padahal fundamentalis ialah orang-orang yang memiliki dasar. Orang Islam yang fundamental ialah orang yang “berpegang pada dasar Islam” sebagaimana apa yang telah dipesankan Rasulullah: “Aku telah mewariskan kepada kamu dua perkara, kalau kamu berpegang kepadanya tidak akan sesat, yaitu Kitab- ullah dan Sunnah Rasul.”57 Menurut Natsir istilah yang da- tang dari Barat itu perlu ditinjau dan diletakkan secara pro- porsional apabila dikaitkan dengan Islam dan umat Islam.58 Gogon adalah nama yang sering disebut sebagai tokoh Islam fundamentalis yang punya pendirian keras. Konon ia sukar diajak kompromi dan gemar membuat isu kontro- versial, sehingga menarik dijadikan bahan berita oleh war- tawan. Mengenai fundamentalisme, dalam bukunya ia mengemukakan pandangan tentang istilah itu dalam upayanya memberi pemahaman kepada pemerhati politik dan masyarakat luas kepada posisi yang wajar-proporsional. Dengan mengutip pendapat John L. Esposito, menurutnya fundamentalisme itu mengandung tiga makna: Pertama, fundamentalis sering disejajarkan dengan sese- orang yang aktif dalam politik dengan perilaku ekstrem, fanatis, dan anti-Amerika. Kedua, Kata fundamentalis biasa dirujuk pada gerakan para penganut Kristen yang mengga-

57 A.W. Pratiknya (Penyt.), M. Natsir: Pesan Perjuangan Seorang Bapak, Jakarta: DDII, 1989, hlm. 35. 58 Ibid. 139  Ahmad Sumargono riskan secara tegas pokok-pokok keyakinan mereka dan menafsirkan Injil secara literal. Injil tidak boleh ditambah apalagi dikurangi. Gerakan Kristen Protestanisme ini terjadi pada awal abad ke-20. Makna ini menurut Sumargono mengandung hinaan, bermakna statis, dan kemunduran. Ketiga, Fundamentalis dapat berarti seseorang yang meng- hendaki agar kembali ke kepercayaan dasar suatu agama. Bila orang tersebut beragama Islam, misalnya, maka ia harus menerima dan menjalankan ajaran Alquran dan Sunnah Rasulullah sebagai model atau pedoman hidupnya. Dalam kehidupan sehari-hari ia istiqomah pada agamanya. Jika orang yang hanya ingin konsisten melaksanakan ajaran aga- manya, mengikuti petunjuk Alquran dan Sunnah, kemudian disebut fundamentalis, dengan tegas Gogon mengatakan, “Saya seorang fundamentalis.”59 Nurcholish Madjid, cendekiawan Islam yang dianggap sangat moderat dan sarat dengan pandangan akademis, mengomentari sikap Gogon dalam suatu forum pelun- curan bukunya, Saya Seorang Fundamentalis. “Saya tak kha- watir atas pengakuan dia (maksudnya Gogon) sebagai fun- damentalis karena seseorang yang mengaku apa yang dituduhkan orang lain biasanya justru itu tidak benar,” pujinya. Menurutnya, lebih mudah memahami kerangka berpikir Gogon ketimbang para petualang politik yang cara berpikirnya berubah secepat angin berembus.60 Demikian

59 Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, Ibid, hlm. 181. 60 Ibid, hlm. 182. 140 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  pula kesan Bill Liddle (pengamat politik) yang mulanya menganggap Gogon radikal, ternyata ia merasa keliru da- lam suatu pertemuan dua jam.61 Apakah pandangan Gogon itu suatu wujud dari sikap yang reaktif? Atau kompensasi yang kritis karena bertolak dari “ketidaksukaannya” terhadap mitra dialognya yang ke- banyakan non-Muslim? Buat penulis ini terlalu spekulatif atau sinistis akibat ketidakpahaman pribadi dan sikap Gogon secara lebih utuh. Padahal ia sosok pribadi yang jauh dari sikap arogan atau jumawa, atau untuk gagah-ga- gahan dan sok-sokan, karena “klaim” fundamentalis yang diikrarkannya itu ia mulai dengan suatu penjelasan menge- nai pengertian fundamentalis itu sendiri. Di tengah persepsi pemahaman yang berbeda yang cukup banyak dikemuka- kan kalangan pemikir dan adanya suatu “stigma” sebagian kalangan Barat yang jelas bermusuhan pada Islam, Gogon secara elegan berani menantang “stigma” yang “memben- ci” kebenaran Islam tersebut dengan memakai parameter pengertian yang berbeda mengenai istlah fundamentalis itu sendiri. Sikap pribadinya yang demikian responsif dan berada dalam pembelaan terhadap berbagai persoalan kepentingan umat saat ini sangat jarang diperlihatkan oleh para tokoh politik yang mengaku dirinya sebagai Muslim atau tokoh Islam. Hal ini semata karena mereka lebih banyak kepada pertimbangan politis dan taktis. Inilah yang mem- buat “mereka gerah” dan merasa perlu “memojokkan”

61 Tempo, Loc.cit, hlm. 35. 141  Ahmad Sumargono tokoh Islam yang satu ini, tentunya ini tidak mudah, dan tudingan yang didasari kebencian itu pada akhirnya akan gagal. Insya Allah. Sesungguhnya Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah “sesungguhnya petunjuk Allah itulah (petunjuk yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengeta- huan datang kepadamu, maka Allah tidak akan lagi menjadi pelindung dan penolongmu. (QS. Al Baqarah: 120)

Syariat Islam

Perjuangan dan penerapan Syariah Islam di Indonesia telah memakan waktu cukup panjang dan tak pernah tuntas,62 karena, pertama, dari sejak zaman kolonial Belanda, penerapan syariat Islam sudah diberlakukan walaupun sebatas masalah ibadah dan hukum perdata, artinya masih terbatas pada bagian tertentu tetapi pada prinsipnya telah

62 Dalam arti yang luas menurut Hamdan Zoelva, kawan seperjuangan Gogon dari Partai Bulan Bintang (PBB) yang juga anggota legislatif, Syariat Islam mencakup wilayah pengaturan sangat luas bahkan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya serta manusia dengan alam lingkungannya, yang terangkum dalam bidang akidah, akhlak, hukum. Sedangkan arti sempit, Syariat diartikan sebagai hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan ibadah, mu’amalah dan jinayah saja. Prinsip inilah yang dianut UUD 1945 yang secara eksplisit dimuat dalam pasal 29 ayat 2. Lihat Hamdan Zoelva, “Syariat Islam Kemungkinan Penerapannya di Indonesia,” Media Dakwah, Rabiul Akhir 123/Juli 2000. 142 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono  ada pengakuan mengenai keberadaan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia, selain hukum adat dan hukum produk penjajah. Misalnya dalam bidang muamalah yang berhubungan dengan masalah ibadah dan wakaf. Bi- dang ini sejak zaman Belanda diakui sebagai hukum yang hidup (living law) dan diberlakukan (dipositifkan) oleh peme- rintah penjajah Belanda. Kedua, pada masa kemerdekaan secara implementasi penerapan syariat Islam telah diakui bahkan dikembangkan khususnya di masa Orde Baru sejak era 1980-an dalam jaminan perundangan melalui keputusan politik. Memang ruang lingkupnya masih terbatas seperti mendirikan pengadilan agama, yang secara resmi pada ta- hun 1986 pengadilan ini memiliki kewenangan menyangkut hukum perkawinan, hibah, wasiat serta wakaf. Sejak akhir tahun 1980-an umat Islam Indonesia meng- ambil langkah-langkah sebagai upaya penegakan syariat Islam dalam bidang muamalah yaitu dengan mendirikan institusi syariah Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Tafa- kul, Arbitrase Muamalat serta penawaran modal madani. Dalam bidang makanan dan minuman telah dibentuk lem- baga labelisasi kehalalan. Penerapan syariat Islam di atas masih terbatas, demikian pula “payung perlindungan” pada tingkat yang lebih tinggi untuk dicantumkan pada Konstitusi Negara Republik Indonesia pun masih meng- alami pasang surut perjuangan. Namun demikian Prof. Ali Yafie sendiri mengakui kemajuan penerapan syariat Islam di Indonesia. Hussein Umar pun mengemukakan bahwa lebih dari 50 persen hukum syariat Islam di Indonesia telah 143  Ahmad Sumargono diberlakukan.63 Ajaran Islam sejatinya memang memberi tuntunan da- lam berbagai aspek kehidupan, terlebih lagi tuntunan mengelola negara yang menurut DR. Fuad Amsyari disebut sebagai sistem ketatanegaraan Islam atau sistem pemerin- tahan Islam. Abul A’la al Maududi, Mohammad Assad, ada- lah sejumlah nama yang banyak menulis mengenai peme- rintahan Islam, hanya tinggal bagaimana mengaplikasi- kannya saja.64 Menurut Gogon yang kini menjabat Wakil Ketua Umum Partai Bulan Bintang, syariat Islam memang harus dimasuk- kan dalam batang tubuh UUD 1945, karena agama Islam tidak dapat dipisahkan dari konstitusi negara di mana kon- stitusi dibuat menurut mayoritas masyarakat, selain keten- tuan tersebut sebagai amanah partai. Hal ini dikemuka- kannya dalam acara Musyawarah Wilayah Kerja I, DPP Partai Bulan Bintang di Provinsi Jawa Barat.65 Dalam ke- sempatan yang lain, di sela-sela sidang tahunan MPR-RI tahun 2000, Ketua Fraksi PBB ini mengatakan, “Sikap ini adalah garis partai. Piagam Jakarta itu prinsip, dan kami bertekad akan terus memperjuangkan keinginan pelak- sanaan syariat Islam tersebut.”66

63 Hussein Umar, “Perjuangan menegakkan Syariat Islam,” Media Dakwah, Rabiul Akhir 1423/Juli 2002, hlm. 6. 64 Fuad Amsyari, “Sistem Ketatanegaraan yang Islami: Suatu Arah untuk Penyelamatan Krisis Nasional Indonesia, Media Dakwah, Ibid, hlm 48. 65 Forum Keadilan, 15-18 Juli 2002. 66 Republika, 6 November 2000. 144 Wacana Islam dan Islam Politik Sumargono 

Mengenai adanya ketakutan atau kekhawatiran sejumlah kalangan–terutama dari kalangan non-Muslim bila syariat Islam ditegakkan–hal itu menurut Gogon sebenarnya hal yang sangat berlebihan. Mengapa? Karena Islam sangat toleran dan menghargai perbedaan, termasuk dalam soal urusan agama. Bahkan sejarah membuktikan, banyak pe- mimpin Islam yang sangat demokratis. Mereka tidak takut berbeda pendapat, dan siap diluruskan jika melakukan kesalahan. Gogon adalah satu di antara sedikit elit politik Islam yang secara terbuka dan elegan berani mengemukakan secara formal mengenai hak politik umat Islam di negeri ini. Ba- nyak elit politik Islam bersikap tidak berpihak atau perduli terhadap perjuangan syariat tersebut dikarenakan pertim- bangan historis, kalkulasi politik atau ketidakyakinan akan keberhasilannya bila hal itu benar-benar dilakukan. Mereka yang termasuk dalam kategori menolak perjuangan syariat Islam adalah Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Gus Dur yang dikenal sebagai elit-elit Islam paling menonjol di Indonesia. Terlepas apa pun pertimbangannya, satu hal patut diiakui bahwa syariat Islam sebagai sebuah sistem hukum dan kemasyarakatan hanya dapat ditegakkan dengan utuh apabila memenuhi ketentuan hukum positif dan harus didukung budaya masyarakat yang memahami dan menyadari penghormatan atas aturan syariat.

145  Ahmad Sumargono

Ahmad Sumargono memegang bendera di saat berdemo Tritura, 1965.

Demonstrasi di Kedutaan Besar Singapura akibat statemen Lee Kwan Yew yang menyudutkan umat Islam di Indonesia. Gogon sedang berorasi (inzet). 146 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah 

BAB Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah Aksi Politik Menjelang SI MPR 1999

UBUNGAN Islam dan negara Orde Baru mengalami H pergeseran penting antara 1985 hingga 1990. Sebelum- nya, Islam selalu berhadap-hadapan secara antagonistik de- ngan penguasa Orde Baru dan dianggap sebagai ancaman potensial bagi kelangsungan stabilitas politiknya. Namun, pada era yang disebutkan di atas, mulai terjadi hubungan akomodatif antara Islam dan negara Orde Baru.1 Bahkan, pada awal 1990-an, terjadi apa yang disebut para pengamat

1 Kajian berikut menjelaskan cukup baik tentang hubungan Islam dan negara Orde Baru pada periode 1980-an hingga 1990-an; Adam Schwarz, Nation in Waiting Indonesia in 1990s, Sydney: Allen and Unwin, 1994. 147  Ahmad Sumargono politik sebagai “bulan madu” antara Islam dan negara Orde Baru. Inisiatif terjadinya pergeseran hubungan itu adalah ka- rena “budi baik” Presiden Soeharto, penguasa puncak Orde Baru. Beberapa pengamat menduga munculnya “budi baik” Soeharto semata-mata didasarkan pada kepentingan bersifat politik. Ia perlu melakukan pendekatan kepada ke- kuatan politik Islam agar bisa dijadikan pendukungnya. Suharto menyadari hal itu perlu dilakukan karena ABRI– yang sejak 1966 merupakan salah satu pilar pendukung kekuasaan Soeharto–kini tidak lagi mendukung sepenuh- nya. Di ABRI terjadi friksi yang kemudian berakibat pada melemahnya dukungan institusi militer tersebut kepada penguasa Orde Baru itu. Dari sisi umat Islam sendiri, pergeseran hubungan itu akibat terjadinya mobilisasi vertikal umat di bidang pendidikan. Karena profesionalitas yang mereka miliki, mereka berhasil memegang posisi strategis di lingkungan birokrasi pemerintahan.2 Pada masa ini kelas menengah santri telah mengusahakan anak-anaknya untuk dapat meraih pendidikan sebaik mungkin dan tidak terbatas pada bidang kajian agama, melainkan juga pada bidang disiplin ilmu pengetahuan yang lebih luas. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa pendidikan merupakan sarana untuk memperbaiki masa depan anak-anaknya. Sikap inilah yang

2 Firdaus Syam, Amien Rais: Pemimpin yang Merakyat dan Intelektual yang Shaleh, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003, hlm. 230. 148 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  kemudian melahirkan tumbuhnya ”generasi santri baru” di Indonesia. Inilah yang memungkinkan terjadinya mobili- sasi vertikal kaum santri untuk meningkatkan karir dan profesi.3 Namun, dalam politik berbeda. Menguatnya political bar- gaining umat vis-à-vis pemerintahan Soeharto lebih disebab- kan “niat baik” atau “adanya dua kepentingan yang ber- temu” yang masing-masing tentu memiliki agendanya sen- diri. ‘Restu penguasa’ saat itu sangat menentukan. Ketika pihak penguasa mulai memerlukan mereka demi keseim- bangan politik, maka sejumlah konsesi yang menyangkut kepentingan umat pun diberikan kepada umat Islam.4 Soe- harto membuka ruang politik bagi umat, dimulai dengan munculnya dinamika intelektual berupa terbitnya berbagai buku Islam baik dari penulis luar maupun dalam negeri dalam berbagai tinjauan termasuk soal politik, maraknya ceramah-seminar mengenai Islamisasi pengetahuan, fashion show mengenalkan busana muslimah sampai di kalangan the have, yang puncak dari segi kultural dan intelektual adalah diizinkannya pendirian wadah yang menggalang kalangan intelektual Islam, yakni Ikatan Cendekiawan Muslim Indo- nesia (ICMI) pada 1990 yang kepemimpinannya dipercaya- kan kepada B.J. Habibie, orang kepecayaan Soeharto. Masa itu ditandai pula dengan maraknya pengajian dan

3 Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonsia Modern, Jakarta: Khairul Bayan, 2003, hlm. 96. 4 Firdaus Syam, Amien Rais.Ibid. 149  Ahmad Sumargono ceramah-ceramah di masjid dan kantor-kantor sampai ke hotel berbintang; mencairnya dikotomi antara kaum tradi- sional dengan modernis Islam; lahirnya sejumlah kebijakan politik yang menggembirakan umat berupa Undang- Undang Pendidikan Nasional (1989), Undang-Undang Peradilan Agama (1989), Surat Keputusan Tiga Menteri (SKB) mengenai efektivitas zakat (1991), surat keputusan Direktur Jenderal Pendidkan Dasar dan Menengah Depar- temen Pendidikan dan Kebudayaan mengenai diizinkannya pemakaian jilbab bagi pelajar puteri dan berdirinya Per- bankan Islam (Bank Muamalat).5 Hal ini kemudian me- nimbulkan isu yang digelindingkan oleh mereka yang me- rasa “gerah” atas peran politik umat yang menguat dengan ungkapan ijo royo-royo. Setelah runtuhnya rezim Orde Baru, kekuatan-kekuatan anti-Soeharto dipolitisasi untuk dihadapkan pada pengganti Soeharto, yaitu B.J. Habibie yang memegang pemerintahan selama 512 hari. Terjadilah polarisasi antara pendukung B.J. Habibie dengan pendukung Megawati dengan memain- kan isu agama yang demikian sensitif. Ada kalangan elit yang memandang pertarungan antara kedua tokoh itu me- rupakan pertarungan kelompok sekuler dan non-Muslim versus umat Islam. Kondisi ini menimbulkan penggalangan kekuatan dari tiap-tiap pihak. Dalam menghadapi rival politiknya Habibie mendapat dukungan Pam Swakarsa. Salah satu tokoh penggerak pada aksi massa ketika itu

5 Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril, hlm.96-97. 150 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  adalah Gogon. Mengapa harus melakukan penggalangan masa? Gogon memiliki alasan kuat mengenai hal ini. Gogon berpendapat bahwa ketika Habibie berkuasa terdapat kekuatan politik yang berupaya menggoyang pemerintahannya. Mereka adalah kekuatan politik anti- Islam yang telah ada jauh sebelum lahirnya era Reformasi. Sejak Soeharto lengser dan pemerintahan beralih ke Habibie sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, ada kelompok mahasiswa yang apriori menolak. Timbullah pro-kontra mengenai legitimasi Habibie. Mereka yang kontra terhadap Habibie melakukan pelecehan terhadap Presiden yang justru semakin dekat kepada Islam. Pelecehan itu, di mata para pendukung Habibie, dinilai sudah sangat keterlaluan. Inilah yang kemudian menggerakkan umat Islam pendukung Presiden berbondong-bondong mendatangi DPR pada tanggal 22 Mei 1998. Mereka memberikan dukungan kepada Habibie agar tidak lemah menghadapi mereka yang menentangnya. Dalam perspektif tokoh-tokoh Islam pro-Habibie, persoalan sebenarnya bukan pada soal apakah Habibie layak atau tidak menjadi presiden menggantikan Soeharto tetapi lebih karena ketika itu Habibie telah lekat dengan simbol- simbol kekuatan Islam. Habibie dianggap sebagai penguasa baru yang memiliki kesadaran akan pentingnya umat Islam kuat dan menjadi penguasa di negerinya sendiri. Dengan kata lain, Habibie telah menjadi simbol Islam. Namun demikian, kenyataan itu tetap menyisakan kenyataan lain 151  Ahmad Sumargono bahwa Habibie masih mengecewakan kelompok-kelompok Islam ketika itu. Ia misalnya belum membebaskan tahanan- tahanan politik Muslim, sementara tahanan politik komunis (PKI) dengan serta merta dibebaskannya. Ia juga mengece- wakan tokoh-tokoh Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) yang tidak memenuhi permintaan agar Masyumi direhabilitasi dan penganugerahan gelar pahlawan bagi Pak Natsir juga diberikan belakangan. Tetapi sekali lagi, bagi kelompok-kelompok pro-Habibie, presiden asal Sulawesi Selatan itu, tetaplah simbol Islam, terlepas ia dianggap bagian dari status quo. Dengan demi- kian yang anti-Habibie itu adalah anti-Islam. Inilah pan- dangan yang dianut Gogon ketika itu. Dikatakannya Habibie for the time being–untuk saat ini masih berada dalam jalan yang benar. Sementara dukungan kelompok yang se- barisan dengan Gogon adalah mereka yang mendukung sidang istimewa karena inilah yang konstitusional. Dalam mendukung kepemimpinan Presiden Habibie, Gogon melakukan mobilisasi massa besar-besaran. Ia ke- rahkan segala kemampuannya yang ada untuk memobilisasi massa agar ikut mendukung Habibie. Kemampuan Gogon mengumpulkan dan mengerahkan massa memang luar biasa. Hanya dalam waktu relatif singkat Gogon misalnya berhasil mengumpulkan massa dalam jumlah puluhan atau bahkan ratusan ribu orang. Kemampuannya itu tentulah membuktikan bahwa tokoh dai-aktivis ini sangat mengakar di kalangan muda Islam khususnya, serta mampu membina 152 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  link dengan kekuatan lainnya di masyarakat.6 Kalau tidak, maka mobilisasi massa amat tidak mungkin dilakukan. Para pemimpin yang elitis dan borjuis seperti mereka yang hanya pandai bicara di forum-forum seminar tidak memiliki kapa- bilitas mengumpulkan massa seperti yang dilakukan Gogon. Ini karena mereka tidak mengakar di hati umat. Tingginya jam terbang dan keterlibatannya dalam aksi-aksi massa membuat Gogon sering dijuluki “raja demo.” Gogon sempat diterpa “badai” isu soal penggunaan dana demo seperti dalam Pam Swakarsa yang kabarnya dibiayai oleh elit-elit politik prostatusquo. Mengenai hal tersebut ia menolaknya. Tidak benar menurutnya kalau aksi-aksi mobilisasi massa yang dilakukannya itu adalah pesanan elit politik tertentu dan dibayar untuk elit politik bersangkutan. Isu tersebut antara lain muncul saat maraknya aksi-aksi demo yang melibatkan Pam Swakarsa. Ia menepis: “Waduh, kalau Pam Swakarsa saya enggak mengerti. Itu konon pemerintah juga membantu, saya tak terlibat dengan soal ini sebab sejak pertama saya ketemu Kapolda, anak-anak melaporkan mereka dicampur dengan mahasiswa, lalu saya bilang jangan deh, kita bantu moril dari luar saja, dan setahu saya di Pam Swakarsa juga tidak demikian.”7 Mengenai aktivititas demo itu sendiri Gogon memandangnya sebagai bagian dari pressure group dengan kepentingan umat yang perlu disalurkan. Bagi Gogon, aksi demo selain merupakan ibadah, secara politis memiliki

6 Tempo, 23 November 1998 7 Matra, April 1999. 153  Ahmad Sumargono implikasi politik signifikan terhadap sebuah kebijakan politik dan, tentu saja merupakan sarana penyaluran rasa ketidak- puasan. Aksi demo adalah aksi yang wajar terjadi dalam negara demokrasi, termasuk negara-negara Barat.8 Aksi-aksi demo terus ia lakukan sampai pada ujung per- tarungan politik di luar parlemen, pada tahun 1998. Perjuangan melalui aksi-aksi politik itu membuahkan hasil. Gogon dipercaya untuk berpolitik tidak hanya di jalanan, tetapi juga dalam parlemen. Pasca-Pemilu 1999 yang demokratis, ia dipercaya untuk menjadi anggota DPR mewakili masyarakat Jakarta. Tidak hanya itu, partainya, Partai Bulan Bintang pun memberikannya amanah sebagai Ketua Partai Bulan Bintang (jabatan saat itu) dan Ketua Fraksi PBB di DPR tempatnya berkiprah. Semua ini tentu merupakan tantangan. Akan tetapi langkahnya untuk memperjuangkan nasib umat dan bangsa ini, tidak pernah surut. Gogon adalah Gogon, seorang tokoh parlemen yang vokal dan juga “raja demo” yang terus berteriak seirama dengan mereka yang memperjuangkan kepentingan umat dari luar parlemen, dan dalam posisinya sekarang ia dapat lebih tajam mengamati sesuatu.

Merespons Kerusuhan

Kerusuhan politik adalah bagian dari sisi hitam kehi- dupan politik di negeri ini. Kerusuhan sebenarnya hanyalah puncak-puncak “gunung es” ketidakpuasan “akar-rumput”

8 Ibid. 154 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  terhadap perlakuan sewenang-wenang pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan program-program pembangun- annya yang sangat beriorientasi pada pertumbuhan eko- nomi. “Pembangunan” sepertinya menjadi ideologi peme- rintahan Soeharto, khususnya pembangunan ekonomi. Kue pembangunan itu sebagian besar hanya dinikmati segelintir orang yang dianggap setia-loyal, dan bersedia menjadi bagi- an instrumen politik maupun ekonomi terhadap pemegang kekuasaan. Akibatnya masyarakat kebanyakan serta elit strategis yang kritis berada dalam tekanan serta “keter- asingan” atau alienasi sosial dan ini secara perlahan memicu perlawanan dari mereka yang menuntut hak dan kemerde- kaannya karena terzalimi. Protes, perlawanan, radikalisme dan kekerasan menjadi absah ketika ruang untuk menyampaikan aspirasi tidak diberi tempat secara wajar, bahkan “dimatikan”. Lalu mun- cullah Peristiwa Tanjung Priok, Lampung, Haur Koneng, Sampang, Timika, Tragedi 27 Juli, Situbondo, Banyuwangi, Tasikmalaya, Rengasdengklok, Kupang, Sampit, Ambon, Poso dan banyak kerusuhan yang dianggap lebih kecil skala konfliknya. Sejumlah analisis kemudian menyimpulkan akar munculnya kerusuhan yaitu: akibat kesenjangan sosial ekonomi; Konflik SARA (terutama persoalan etnik dan agama); provokasi elit politik; serta rivalitas elit politik dalam memobilisasi massa akar rumput. Faktor lain penyebab kerusuhan adalah apa yang dikata- kan Amien Rais dengan tesis “rumput kering”. Rakyat

155  Ahmad Sumargono sudah terlalu marah dengan kondisi bangsa ini. Mereka kecewa karena kehidupan ekonomi dan sosial mereka makin carut marut dari hari ke hari, sementara mereka meli- hat para penguasa negara dan segelintir penguasa hidup melampaui batas-batas kehidupan mewah. Situasi sosial yang sedemikian parah yang dirasakan masyarakat ini bila ada gesekan sekecil apapun akan dengan cepat memicu kekacauan, ibarat api dalam sekam. Gogon tidak lepas untuk menyikapi masalah ini. Penyi- kapan itu bukan semata panggilan nurani, melainkan juga karena kekhawatiran akan terjadinya perusakan terhadap keharmonisan sosial dan eksistensi keutuhan negara kesatu- an Republik Indonesia di masa depan. Ini dilakukannya dengan menyampaikan pemikiran kritis serta aksi protes damai seperti yang dilakukannya saat meletus kerusuhan- kerusuhan sosial di Situbondo, Tasikmalaya dan Rengas- dengklok pada 1997. Ketika sedang hangat-hangatnya terjadi aksi-aksi kerusuhan-kerusuhan tersebut, seorang ahli psikologi terkemuka dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono menulis sebuah artikel di media massa yang bagi Gogon isinya perlu diluruskan. Dalam tulisan Situbondo dan Tasikmalaya: Bukan Dwi- tunggal, Sarlito mengemukakan hasil kajian mendalam mengenai apa sebetulnya yang mendasari terjadinya kerusuhan di dua tempat itu. Bagian pernyataan itu meliputi:

156 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah 

…masalah intinya adalah masalah hubungan antaragama, sedangkan faktor penunggangan dan kesenjangan hanya merupakan faktor pendukung. … Sikap negatif antaragama ini (khususnya dari pihak Islam ke Kristen bukan sebaliknya dan tidak pada agama-agama lain nampaknya sudah seperti api dalam sekam).… Tumbuhnya sikap anti- Kristen ini sebenarnya berawal dari perkembangan positif agama Islam sejak awal Orde Baru.”9 Lebih jauh dikatakannya bahwa aksi-aksi kerusuhan itu melibatkan faktor agama, yaitu Islam: “Tahun 1973 menjelang lahirnya UU Perka- winan tahun 1974, massa Islam berdemonstrasi sehingga akhirnya sekarang ini sangat sulit (bah- kan tidak mungkin) dilaksanakan perkawinan antaragama (akibatnya banyak yang kawin di luar negeri atau kumpul kebo saja).10 Dalam tulisan yang sama Sarlito juga menggugat fatwa Natal yang telah dikeluarkan MUI (Majelis Ulama Indone- sia) di masa kepemimpinan Buya Hamka. Ia heran mengapa lembaga keulamaan itu mengharamkan ucapan Selamat Na- tal dan menuding para kiai dan ajengan di pesantren, guru- guru agama di sekolah-sekolah, ustad-ustad di berbagai pengajian dan majelis ta’lim serta para dai di masjid-masjid

9 Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 81-82. 10 Ibid. 157  Ahmad Sumargono yang tetap saja mengembangkan prasangka negatif terhadap agama lain. Disinggungnya pula kristenisasi yang terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan aksi-aksi kerusuhan di atas; Perkembangan selanjutnya adalah isu kristenisasi. Adanya menteri-menteri Kristen di Kabinet dianggap kris- tenisasi. Dibangunnya sebuah gereja di lingkungan RW setempat dianggap Kristenisasi. Terpilihnya ketua RT atau kepala kantor atau dekan atau rektor yang kebetulan Kristen dianggap kristenisasi. Akhirnya berkembanglah sikap dan prasangka anti-Kristen yang secara tidak disadari dan de- ngan segala itikad baik yang erat pertaliannya dengan pesan- tren. Tidak mengherankan jika sekam itu lambat atau cepat menjalar ke mana-mana.11 Membaca tulisan Sarlito itu, Gogon langsung mengritisi kesimpulan sang psikolog tersebut. Ia berpandangan bahwa pertama, kesimpulan-kesimpulan Sarlito itu lebih banyak di- dasari oleh rekayasa fantasi, asumsi dan data yang tidak ter- susun sistematis, sebagaimana layaknya analisis di bidang sosial. Kedua, Sarlito tampaknya terjebak pada arus opini yang dikembangkan secara sistematis oleh mereka yang dihing- gapi Islamophobia yang mencoba menciptakan kesan bahwa umat Islam itu brutal dan menakutkan. Menurut Gogon, Sarlito telah menafikan adanya proses kristenisasi sebagai salah satu faktor memanasnya hubungan antaragama, dengan demikian ia juga dinilai sangat gegabah.12

11 Ibid. 12 Ibid, hlm. 83 158 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah 

Dalam kasus Situbondo dan Rengasdengklok, Gogon menulis bahwa terbukti masalah pembangunan gereja telah menjadi persoalan masyarakat sejak lama di daerah itu. Masalah itu hampir tidak pernah diselesaikan secara tuntas hingga akhirnya meletus kerusuhan-kerusuhan itu. Di Situ- bondo, dari 30 gereja yang dirusak, hanya 4 yang memiliki izin. Di Rengasdengklok menurut Sekretaris MUI setem- pat, H. Sobana, masalah ini dapat menjadi bom waktu yang dapat meledak.13 Sementara itu di Tasikmalaya, sebuah , ada 18 gereja berdiri megah dengan formasi bangun- an menurut kalangan Muslim setempat adalah “gereja mengepung masjid”. Ini aneh mengingat penganut agama Kristen sangat kecil jumlahnya. Data statistik tahun 1997 menunjukkan penduduk Muslim berjumlah 1,5 juta jiwa, Protestan 1900 jiwa, Katolik 1.900 jiwa, Hindu 285 jiwa, Bhuda 1.969 jiwa dan Konghucu 1.113 jiwa. Perlu diketahui bahwa selama ini umat Islam bukannya berdiam diri, seperti kasus protes warga Tasikmalaya terhadap rumah yang di- jadikan gereja di Jl. Karangmanis No. 2/4 Tasikmalaya. Bupati dan Walikota Administratif Tasikmalaya kemudian mengeluarkan larangan bagi penganut Kristen untuk membangun gereja di daerahnya. Akan tetapi, larangan Bu- pati dan Walikota itu tidak digubris pihak gereja. Mereka tetap saja mendirikan rumah ibadah tanpa izin resmi penguasa lokal setempat. Bahkan, ini bagi Gogon sudah keterlaluan, Gereja Priangan Timur justru mengeluarkan

13 Ibid, hlm. 88. 159  Ahmad Sumargono surat teguran kepada Walikota dan mengimbau agar lebih menghayati Pancasila.14 Gogon menyoroti ada hal yang tidak logis dari fenomena demikian pesatnya perkembangan pembangunan gereja di kota-kota yang terkenal sebagai kota santri di mana antara jumlah penganut dengan jumlah gereja tidak rasional. Jumlah gereja jauh lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan ril tempat ibadah. Padahal untuk menumbuhkan saling pengertian sangat diperlukan musyawarah secara jujur agar upaya dan tanggung jawab penyebaran agama itu berdasar pada etika sosial yang saling menghormati. Gogon lalu memberikan penjelasan bagaimana sesungguhnya masalah saling menghormati antara penganut agama dan aturan tentang pendirian gereja di suatu daerah telah disepakati sejak lama. Dalam musyawarah antaragama pada tahun 1967, pihak Kristen menolak piagam penyiaran agama, yang berisi mengenai orang yang sudah beragama tidak dijadikan sasaran penyebaran agama lain. SKB Mendagri dan Menag tahun 1969 dan SK Menag No.70 tahun 1978 tentang tata cara penyiaran agama dan pendirian tempat ibadah juga tidak mendapat tanggapan yang baik dari pihak Kristen.15 Seharusnya pihak Kristen mengakui dengan fair bahwa apa yang merela lakukan adalah sebuah kekeliruan. Gogon kemudian mengajak kita berefleksi ke masa silam. Bila kita mengamati sejarah di Indonesia, menurut-

14 Ibid, hlm. 94. 15 Gatra, 1 Februari 1997. 160 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  nya, kristenisasi sudah dilakukan terutama oleh para zending dan misionaris Kristen Belanda yang didukung oleh orang-orang pribumi yang telah beragama Kristen. Gogon mengemukakan sejumlah pengakuan dari Alb. C. Kruyt, salah seorang tokoh Nederlands Bijbelgenootschap dan Mr. OJH Graaf van Limburg Stirum mengenai kristenisasi di Hindia Belanda. Juga dikemukakannya hasil riset DR. Aqib Suminto dalam bukunya Politik Islam Hindia Belanda, yang menulis, Bagaimana pun juga Islam harus dihadapi, karena semua yang menguntungkan Islam di kepulauan ini akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini diakui bahwa kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan, dan zending Kristen merupakan rekan persekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.16 Dalam memberikan solusi terhadap peristiwa di Situ- bondo dan Tasikmalaya, Gogon mengajak semua pihak untuk tidak saling menuding. Insiden yang terjadi itu sangat disesali semua pihak. Tidak boleh saling menyalahkan. Se- mua harus melakukan introspeksi agar peristiwa kerusuhan sosial serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang.

16 Aqib Suminto dalam H. Ahmad Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 83. 161  Ahmad Sumargono

Dinilainya juga bahwa kasus yang terjadi itu sangat bertendensi politis, bukan semata-mata agama. Demikian juga dalam kasus Ambon. Ini adalah termasuk kerusuhan paling spektakuler dan memakan banyak korban baik dari kalangan Muslim maupun Kristen. Gogon juga merespons kerusuhan Ambon secara kritis. Ambon adalah sebuah daerah yang sangat dikenal karena keharmonisan hubungan antaragamanya yang diikat oleh ikatan budaya Pela gandong. Semua itu kemudian dengan tiba-tiba menjadi rusak, kerusuhan yang terjadi sejak Januari 1999 di era pemerintahan B.J. Habibie ini yang kemudian berlanjut hingga masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Umat Islam sangat menderita akibat kerusuhan Ambon itu. Lebih memprihatinkan lagi di tengah penderitaan kaum Muslimin itu, muncul pernyataan B.J. Habibie yang menga- takan bahwa kerusuhan-kerusuhan di Ambon bukan pe- rang agama, tetapi perang melawan kemiskinan dan meru- pakan ulah segelintir kelompok radikal/ekstremis Islam dan Kristen yang memiliki kepentingannya masing-masing. Habibie juga memberikan solusi yang di mata Gogon sama sekali tidak adil, yaitu untuk menyelesaikan kerusuhan di Ambon, biarkan puluhan ribu warga Muslim terusir dari Ambon, kalau perlu diberi kemudahan untuk meninggalkan Ambon, agar wilayah itu segera tenang.17 Di mata Gogon pernyataan Presiden B.J. Habibie itu “menggelikan” karena terkesan menutup-nutupi persoalan.

17 Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 96-97. 162 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah 

Jika ukurannya kerusuhan itu disebabkan ekonomi, seperti kemiskinan, mengapa tidak terjadi konflik di daerah yang sama dari wilayah lain di Indonesia seperti Gunung Kidul, Ponorogo atau Tanggerang, dan pernyataannya bahwa itu akibat perbuatan ulah segelintir kelompok radikal juga pernyataan yang keterlaluan. Tokoh Muslim Ambon seperti imam Masjid Al-Fatah H. Abdul Azis Sabri menolak keras pernyataan-pernyataan tanpa dasar itu dan meminta pemerintah mencabut pernyataannya, sebuah tuntutan yang tidak ditanggapi pemerintah.18 Gogon lebih jauh menduga bahwa kerusuhan-kerusuhan itu merupakan bagian dari skenario besar provokator lokal, nasional dan internasional yang bertujuan melakukan “kristenisasi” Indonesia Timur. Cara teror yang dipakai merupakan upaya agar penduduk Muslim terusir dari wilayahnya. Cara ini mirip dengan cara yang dilakukan Zionis Israel dalam mengusir warga Pale- stina dari tanah airnya.19 Gogon tegas menyatakan bahwa peristiwa Ambon adalah refleksi perang agama. Dan perang itu memang sudah ada sejak dahulu, malah setiap malam takbiran terjadi konflik di sana, tetapi tidak pernah terungkap. Karena itu meledaknya peristiwa kerusuhan tersebut memiliki rangkaian unsur-unsur yang berkaitan dengan sistem sekarang yaitu tidak dapat terlepas dari dominasi kekuasaan birokrat kelompok-kelompok minoritas yang merupakan

18 Ibid, hlm. 96-97. 19 Ibid. 163  Ahmad Sumargono kelompok sekuler. Mereka adalah kelompok politik yang telah menjadi “parasit politik” Orde Baru yang membuat umat Islam termarjinalisasikan selama 27 tahun. Marjinali- sasi itu baru berakhir pada tahun 1993, ketika Soeharto mengubah orientasi kebijaksanaannya dengan menunjuk- kan simpati yang lebih mendalam terhadap Islam. Soeharto mulai mendekati Islam, bersimpati kepada para politisi Muslim yang dulu berseberangan dengan dirinya. Secara pribadi, Soeharto juga menunjukkan kesalehannya sebagai seorang Muslim yang antara lain dilakukan dengan menja- lankan ibadah haji ke Mekkah bersama keluarganya. Ketaat- an Soeharto dan keluarganya semakin nampak saat mening- galnya Ibu Tien, istri Soeharto. Di saat prosesi pemakaman- nya itu, Suharto benar-benar menunjukkan identitas keis- lamannya. Ritus-ritus Jawa yang menunjukkan sifat ke- abangannya secara perlahan tetapi pasti mulai ditinggalkan- nya. Semuanya ini telah membuat situasi terbalik. Mereka yang dahulu memarjinalisasi kelompok Islam, kini diri mereka yang mengalami marjinalisasi. Jadi, di balik konflik Islam-Kristen di Ambon itu meru- pakan ajang pertarungan kepentingan. Gerakan-gerakan anti-Islam ini sudah dipersiapkan sebelumnya dan di Am- bon potensinya sudah ada, mereka menganggap pos-pos penting dipegang oleh orang Islam itu merupakan proses islamisasi. Permainan ini tentunya memiliki latar belakang yang sama. Tampaknya aksi sudah dipersiapkan sejak 1993 tetapi aksi ini sukar dibuktikan. Mereka menggunakan isu

164 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  demokrasi dan hak asasi manusia sebagai tameng agar negara-negara Barat mendukungnya. Sejak 1995, pihak Barat membantu dengan dana sebesar US$ 26 juta atau sekitar Rp 600 miliar, ini akurat dan diakui kedutaan besar Amerika Serikat. Mereka katakan bahwa dana itu bukan untuk menumbangkan suatu rezim, tetapi untuk membiayai gerakan HAM dan demokrasi. Isu HAM dan demokrasi menjadi tameng buat mereka sehingga aparat keamanan dipecundangi. Inilah awal hancurnya kewibawaan ABRI. Pengaruh kekuatan lama tentunya masih ada, namun tidak ada ahli intelijen yang dapat mengalahkannya. “Akan tetapi kita tidak dapat menuduh, intelijen itu hebat, tidak meninggalkan bekas,” ungkap Gogon.20 Ia mengusulkan demi menjaga kesatuan dan persatuan serta keutuhan negara, maka harus dilakukan program serius untuk mengembalikan warga Muslim yang terusir ke tempat tinggal semula di bumi Indonesia.21 Pada tanggal 7 November 1992, Dr. Amien Rais mempresentasikan makalahnya yang berjudul Prospek Dunia Islam Pasca-Komunis di kampus IPB Bogor dalam suatu seminar yang diselenggarakan pemuda PERSIS (persatuan Islam). Di dalam makalah itu dikatakan bahwa setelah Uni Soviet kalah dalam perang dingin melawan Barat, nampak bahwa Barat mencari musuh baru. Amien mengatakan, ”…Amerika sebagai biangnya kekuatan

20 Ibid. 21 Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 97. 165  Ahmad Sumargono

Barat merekayasa PBB, terutama Dewan Keamanannya, untuk memukul setiap kekuatan Islam yang akan bangkit”22 Amien yang reformis itu sangat dikenal dengan pendapat-pendapanya yang sangat kritis dan tajam. Ketika Gus Dur menjadi anggota Institut Shimon Perez, Amien Rais dengan lantang berpidato di Masjid Al-Azhar bahwa yang namanya Yahudi–baik Shimon Perez atau Netanyahu–itu sama saja kejamnya. Ungkapan-ungkap- annya seperti Yahudi tengik, selama ini turut membang- kitkan semangat ribuan pemuda Islam dalam melawan gerakan zionisme. Bahkan Gogon berani mengatakan, Amien Rais selama ini berperan besar dalam membangun persepsi para aktivis KISDI dan umat Islam pada umum- nya tentang AS dan Israel. Pikiran-pikiran Amien Rais yang sangat keras dalam mengkritisi kemunafikan dan ketidakadilan Barat semacam itu juga tersebar di bukunya Cakrawala Islam yang diterbitkan pada tahun 1980-an itu. Namun, entah mengapa belakangan Amien mengubah pandangannya berkaitan dengan kasus Ambon. Pada hari Kamis, 4 Maret 1999, ia mengeluarkan penyataan tentang perlunya intervensi AS dalam mengatasi kerusuhan di Ambon dan wilayah lainnya. Kemudian setelah bertemu dengan Menlu AS Medeline Allbright di Hotel Borobudur Jakarta, Jumat 5 Maret 1999, Amien mengatakan, “Saya katakan kepada- nya secara tegas bahwa sebagai anak bangsa saya mengha- rapkan adanya intervensi moral dari Washington terhadap

22 Makalahnya ini dimuat juga di harian Pelita, edisi 18, November 1992. 166 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah 

Indonesia (Merdeka, 6/3/1999).23 Ucapan-ucapan Amien mengejutkan banyak pihak, termasuk Gogon. Mereka tidak pernah menyangka Amien yang demikian terkesan anti-Barat dan Amerika, kini berubah arah. Gogon spontan memberikan tanggapannya mengenai pandangan Amien Rais, Pertama, ungkapan Amien yang meminta AS untuk melakukan intervensi moral ke Indonesia menimbulkan sejumlah persoalan yang perlu dicer- mati lebih jauh. Kedua, persoalan harga diri dan martabat bangsa dan kaum Muslim Indonesia. Sebenarnya, tanpa diundang oleh Amien pun, AS sudah campur tangan dan melakukan intervensi moral dan politik ke Indonesia dan semua rakyat tahu hal itu… Ketiga, persoalan legitimasi “inter- vensi” AS dalam bentuk tekanan pada pemerintah RI, telah memberikan legitimasi bagi “intervensi” AS tersebut…Keempat, persoalan perubahan sikap yang cukup mendasar pada diri Amien Rais dalam hal memandang AS…Apakah sikap AS telah ber- ubah? Apakah AS sekarang ini tidak lagi menerapkan standar ganda dalam soal HAM dan

23 Namun ketika memberi pengarahan pada acara Silaturahmi Perempuan dan Orientasi Kader DPW PAN DKI Jakarta, Sabtu 6 Maret 1999, Amien Rais mengatakan bahwa dirinya atau PAN tidak sedikit pun berkeinginan meminta agar AS mengintervensi secara politik, militer atau ekonomi pada Indonesia. Sebab hal itu tabu dan dilarang Pembukaan UUD 1945 dan jiwa bangsa. Lihat Kompas, 7 Maret 1999. Lihat dalam Sumargono, Ibid, hlm. 141. 167  Ahmad Sumargono

demokrasi? Apakah AS telah menjadi dewa peno- long HAM terhadap negeri-negeri Muslim? 24 Lebih jauh dikatakannya bahwa dengan melihat perkembangan dunia internasional akhir-akhir ini mulai kasus Bosnia, Kosovo, Iran, Suriah, Libya dan pendudukan- nya terhadap Irak yang kemudian dikecam dunia menun- jukkan bahwa perilaku AS tetap tidak berubah yakni tetap tidak fair dan munafik. AS tetap negara imperialis yang men- jajah bangsa-bangsa lain. Pertanyaannya adalah jika AS tidak berubah, mengapa Amien Rais justru berubah sikapnya? Jika Amien Rais selalu mengatakan bahwa Barat khususnya AS selalu menerapkan standar ganda dalam soal HAM, mengapa ia meminta intervensi AS ke Indonesia untuk membereskan soal HAM di Ambon? Gogon mencoba memahami logika Amien dengan men- coba memahami bahwa Amien Rais sedang melakukan ma- nuver politik untuk “mengambil hati” negara adikuasa itu. Karena Amien tentunya paham bahwa AS begitu berkuasa untuk menentukan “hitam-putihnya” suatu negara ter- masuk merestui atau tidak merestui calon pemimpin suatu bangsa. Mungkin Amien sedang berpikir realistis, bahwa kalau ia mau menjadi Presiden RI, mau tidak mau harus mendapatkan restu dari dunia internasional, khususnya AS. Bagi Gogon sikap politik Amien itu patut dipersoalkan. Bagi Gogon, sebagai anak bangsa yang memiliki harga diri selayaknya sikap politik Amien semacam itu pantang di-

24 Sumargono, Ibid, hlm.142. 168 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  lakukan apalagi tindakan mengemis kepada orang, kelom- pok atau negara yang jelas-jelas menjadi musuh Islam. Tindakan mengemis kepada negara AS adalah suatu bentuk penistaan martabat kaum Muslim dan bangsa Muslim terbesar di dunia. Oleh karena itu, apa yang dilakukan Amien harus ditolak. Gogon pada dasarnya mengajak semua pihak, segenap komponen bangsa dan masyarakat dengan berbagai latar belakang untuk bersikap jujur dalam melihat persoalan ke- rusuhan yang merebak secara massal ini. Ia juga meng- imbau agar siapa pun tidak mengeluarkan pernyataan-per- nyataan sepotong-potong, tanpa penelitian yang memadai, serta tudingan-tudingan ke berbagai lawan politiknya. Tindakan seperti itu hanya memperkeruh situasi, terutama dilansir untuk mengadu domba dan bukan menyelesaikan akar persoalan.25

Menilai Tiga Presiden: Habibie, Gus Dur dan Megawati

Dalam wacana publik, jatuhnya Soeharto dan digantikan oleh B.J. Habibie sebagai presiden yang ketiga menimbul- kan pandangan pro dan kontra. Ada yang beranggapan bah- wa “pengunduran diri” Soeharto dengan pernyataan “ber- henti” secara sepihak kemudian digantikan wakilnya adalah tidak sah karena dianggap ia bagian dari rezim Soeharto.

25 Ibid, hlm. 93. 169  Ahmad Sumargono

Pandangan lainnya berdasar pada kedudukan hukum ketatanegaraan dengan melihat konstitusi yang berlaku bah- wa Soeharto itu dinyatakan “berhenti” dari kedudukan se- bagai presiden. Yusril Ihza Mahendra secara tegas mengata- kan: “Saya tidak suka dengan istilah lengser atau mundur. Istilah yang benar adalah Pak Harto menyatakan berhenti. Kedua konsep itu, mundur atau berhenti mempunyai penger- tian yang jauh berbeda.”26 Sebagaimana Yusril Ihza, Gogon juga memiliki penilaian sendiri mengenai naiknya B.J. Habibie ke kursi kepresiden- an. Melalui tulisannya yang bertajuk Evaluasi 47 hari Kepe- mimpinan B.J. Habibie, Gogon berpendapat bahwa baru 47 hari B.J. Habibie duduk di kursi Presiden RI ke-3 sejak leng- sernya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang bersejarah itu, KISDI di bawah kepemimpinan dirinya telah menyatakan dukungan penuh kepada presiden pengganti Soeharto itu. Alasan dukungan itu karena pemerintahan Habibie itu sah dan konstitusional sesuai dengan pasal 8 UUD 1945. KISDI sejak awal naiknya B.J. Habibie sebagai Presiden RI telah meminta agar ia bersungguh-sungguh melakukan agenda Reformasi, di antaranya soal memberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta berani menunjukkan jati dirinya sebagai pemimpin Muslim yang berani bersikap tegas dan percaya diri. Dalam hal membela Habibie, KISDI melakukan

26 Tempo, 9 Mei 1998, lihat juga Kawiyan, Membangun Indonesia yang Demokratis dan Berkeadilan, Jakarta: Global Publika, 2000, Lihat juga Firdaus Syam, Amien Rais Pemimpin yang Merakyat dan Intelektual yang Shaleh, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003. 170 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah 

“pembelaan” terbuka kepada Habibie dan tidak segan-segan menghadapi oknum-oknum atau kelompok-kelompok yang merongrong pemerintahannya yang sah tersebut.27 Dukungannya kepada B.J. Habibie secara politik bukan semata karena dukungan yang bersifat pribadi, melainkan juga karena Habibie–sebagaimana telah dikemukakan di atas–telah menjadi simbol Islam. Gogon menilai bahwa apa yang dilakukan Habibie dengan semakin dekatnya de- ngan Islam merupakan kelanjutan belaka dengan apa yang terjadi sejak tahun 1993. Sejak itu kabinet Soeharto itu ijo royo-royo. Ini berlangsung hingga Soeharto jatuh. Mereka yang anti-Islam mengharapkan terjadinya perubahan iklim politik. Kelompok ini mengharapkan pada periode berikut- nya kabinet akan berubah warna. Tetapi ternyata tidak. Si- tuasi tidak berubah, dominasi Islam atas kabinet pemerin- tahan Habibie tetapi berlangsung. Maka, menurut Gogon, wajar saja jika mereka cemburu karena tidak terakomodasi, dan karena itu mereka bareng-bareng menggoyang peme- rintahan Habibie.28

27 Kelompok yang merongrong dan menggoyang pemerintahan Presiden BJ. Habibie adalah kelompok BARNAS –Barisan Nasional, yang dipimpin sejumlah mantan perwira tinggi militer yang berhadapan dengan kelompok Islam yang mendukung Presiden B.J. Habibie di antaranya KISDI. Di sebuah stasiun TV Gogon berkata, “Kalau Barnas menurunkan massa, kita akan sikat habis,” seperti ditulis tabloid Detak. Namun Gogon menggarisbawahi, “Kita counter itu juga lihat-lihat, artinya jika masih dalam koridor hak asasi, kita tentu konsisten terhadap demokrasi,” Radio Nederland Wereldomroep, Postbus 222,1200 JG Hilversum. 28 Tempo, 23 November 1998. 171  Ahmad Sumargono

Gerakan anti-ijo royo-royo telah muncul dan bergerak jauh sebelum Reformasi muncul. Mereka yang anti-B.J. Habibie disinyalir dilatarbelakangi oleh beberapa kelompok anti- Islam. Ini yang kemudian menjadi daya panggil umat Islam yang ikut ke DPR pada tanggal 22 Mei 1998 silam. Di masa Orde Baru, kelompok anti-Islam pernah berkuasa selama 24 tahun, sejak 1966 sampai 1990. “Ketika itu umat Islam dimarjinalkan dan dianggap fasis.” Gogon mengetahui siapa sesungguhnya auctor intellektualis dari gerakan-gerakan anti-Islam selama Orde Baru itu.29 Dukungan KISDI terhadap pemerintahan Habibie juga karena pemerintahan ini telah melakukan langkah-langkah politik yang patut diapresiasi secara positif. KISDI menca- tat langkah-langkah positif Presiden Habibie, seperti kebe- basan untuk membentuk partai, kebebasan pers, pembe- basan sejumlah tapol/napol, kesiapan dirinya untuk melak- sanakan Pemilu pada tahun 1999, pembatalan SK terhadap wewenang Yayasan Soeharto untuk mengadakan pungutan- pungutan dan sebagainya. Namun demikian harus diakui, di tengah perkembangan langkah politik positif itu, Gogon memandang sejumlah langkah yang sangat mengkhawatir- kan dari tindakan politik yang diambil Presiden B.J. Habibie. Presiden yang masih menjabat Ketua Umum Ikatan Cende- kiawan Muslim (ICMI) ini masih riskan untuk memperju- angkan hal yang berkait dengan aspirasi umat Islam. Ada kecenderungan Presiden B.J. Habibie untuk “menghilang-

29 Tempo, No. 1, 27, 1998. 172 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  kan” citra dirinya sebagai “pemimpin Muslim”. Mungkin, kata Gogon, ia takut dituduh sektarian, fundamentalis, atau takut kehilangan kekuasaannya sehingga ia terlalu “mencari muka” terhadap Barat. Sejumlah agenda yang belum mendapat perhatian serius Presiden B.J. Habibie di antaranya, menurut Gogon ia masih kurang apresiatif terhadap tuntutan umat Islam agar masa- lah pembantaian Tanjung Priok diajukan ke pengadilan dan diusut tuntas.30 Kasus Tanjung Priok tahun 1984 itu telah menelan korban lebih kurang 400 orang lebih dan hingga kini belum jelas di mana jenazah mereka “dibuang”, ini sa- ngat melukai hati umat Islam. Menurut Gogon, setelah umat Islam dibantai, kemudian disebarkan berita resmi bahwa yang bersalah adalah umat Islam, karena melakukan pemberon- takan terhadap pemerintah. Ia juga menegaskan perlunya Presiden B.J. Habibe menjernihkan kasus lainnya seperti Ambon, Lampung dan Komando Jihad. Harus jelas siapa sesungguhnya yang bersalah, melakukan aksi provokasi yang menyebabkan munculnya kerusuhan-kerusuhan sosial di daerah tersebut. Dan kalau terbukti bersalah, Gogon me- nuntut agar mereka diadili secara adil, siapa pun dia. Dalam hal ini Habibie jangan berlaku diskriminatif, seperti yang dilakukannya saat membebaskan Mukhtar Pakpahan. B.J. Habibie membebaskan Mukhtar Pakpahan, seorang tokoh fundamentalis Kristen, yang mengidap semangat anti-Islam berlebihan, sementara itu Presiden belum juga

30 Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 118. 173  Ahmad Sumargono memberikan langkah nyata terhadap tuntutan dibebas- kannya tapol/napol Islam.31 Demikian pula mengenai pendirian partai, Presiden B.J. Habibie juga telah melarang berdirinya partai yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Bagi Gogon tindakan Presiden ini aneh, sebab keberadaan agama dijamin keabsahannya di negara ini. Pertanyaan kemudian timbul, mengapa suara B.J. Habibie itu sejalan dengan suara-suara kalangan sekuler yang ketakutan melihat munculnya Partai Islam di Indo- nesia. KISDI sendiri memang masih terus mencermati per- kembangan kepartaian dan belum menentukan sikap. KISDI menginginkan terbentuknya suatu partai yang be- nar-benar meyakini, mengamalkan dan memperjuangkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, ma- syarakat, berbangsa dan bernegara, sebab Islam itu diturun- kan untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam dan dalam segala aspek kehidupan. Masih mengenai kelemahan B.J. Habibie, kali ini Gogon menyoroti mutasi yang berlangsung di tubuh ABRI. Gogon menulis, bahwa kita patut mempertanyakan mengapa Presiden B.J. Habibie yang juga Panglima Tertinggi ABRI dengan mudahnya menggusur sejumlah perwira aktivis muslim dan “membuang” begitu saja, seperti Mayjen TNI Kivlan Zen, mantan Kaskostrad dan perwira berorientasi

31 Mengenai pembebasan tapol/napol Islam, dari hasil wawancara yang dimuat majalah Tempo, ada seorang pakar yang menjelaskan pandangan B.J. Habibie yang disampaikan kepadanya tentang tidak dibebaskannya napol Islam, sebab Presiden harus membebaskan dahulu Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan, lihat Tempo, 23 November 1998. 174 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah 

Islam lainnya. Jika ada sesuatu yang mungkin dianggap terlibat dalam pelanggaran HAM atau berbuat makar– yang memang merebak dalam isu yang berkembang tersebut, sudah selayaknya dibuktikan dahulu di pengadilan. Jangan hal itu dibiarkan berkembang luas, tanpa bukti-bukti yang jelas. Gogon juga menilai Pernyataan B.J. Habibie mengenai mantan Pangkostrad Letjen Subianto Prabowo sangat mengecewakan dan membingungkan.32 Semua ini menjadi pertimbangan Gogon dalam bersikap. “Bagaimana mung- kin kami memilih orang yang membingungkan sebagai calon Presiden?” tanya Gogon.33 Dalam bidang ekonomi, pemerintahan pimpinan Presiden B.J. Habibie sangat lamban melakukan gebrakan- gebrakan ekonomi. Misal dalam kondisi di mana krisis sedang berlangsung, pemerintah membatalkan sistem kurs mengambang dan mengganti dengan sistem kurs tetap/ terkendali (fixed exchange rate). Presiden juga harus berani mencopot menteri-menteri yang jelas-jelas terlibat KKN dan hobi berzina. Dikritiknya juga pemerintah terus- menerus membiarkan beredarnya budaya pornografi melalui layar kaca, membiarkan beredarnya minuman keras, dan melegalisasikan praktik-praktik kemaksiatan. Gogon menekankan kejahatan di mata Allah Swt bukan sekedar KKN, tetapi juga kejahatan kemaksiatan, miras dan lainnya.

32 Ini berkaitan dengan adanya pengerahan pasukan di sekitar kediaman Presiden B.J. Habibie beberapa jam setelah pergantian kekuasaan dari Presiden Soeharto ke B.J. Habibie, lihat Gamma, 21 Maret 1999. 33 Gamma, 21 Maret 1999. 175  Ahmad Sumargono

Gogon juga kritis atas kebijakan Presiden B.J. Habibie yang tidak memberikan reaksi apa-apa terhadap usulan to- koh-tokoh Islam agar pejuang bangsa seperti DR. Moham- mad Natsir dan Mr. Sjafrudin Prawiranegara diakui jasa- jasanya oleh negara dan diangkat sebagai pahlawan nasional. Ia juga tidak berbuat apa-apa terhadap tuntutan rehabilitasi nama baik Masyumi, partai Islam yang dizalimi dua rezim (Sukarno dan Soeharto). Menurut Gogon seharusnya saat inilah B.J. Habibie menunjukkan kesungguhannya sebagai tokoh reformis, dengan membatalkan Keppres No. 200/ 1960 yang memberantas partai Islam Masyumi. Jika Ma- syumi dipersalahkan karena beberapa pimpinannya terlibat PRRI, harus dipahami pula, bukankah tokoh-tokoh peng- gerak PRRI itu sendiri adalah sejumlah perwira militer? Tentunya, agar adil, para aperwira militer yang dianggap terlibat pemberontakan itu harus diadili juga sebagaimana yang dialami para tokoh Masyumi. Sebaliknya Presiden B.J. Habibie justru tidak demikian menghadapi orang-orang di luar Islam. Berdasarkan lapor- an beberapa Muslim dari daerah Irian Jaya dan Timtim ke- pada KISDI, Gogon mengambil kesimpulan bahwa kedua wilayah itu sudah sangat keterlaluan dengan memanfaatkan semangat Reformasi. Kaum Muslim di Timtim sudah men- dapat ancaman secara terbuka untuk segera meninggalkan Timtim, karena daerah itu akan dijadikan daerah khusus Katolik. Dalam persoalan ini Gogon sangat menekankan agar Presiden B.J. Habibie bersikap tegas dalam masalah

176 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  kedaulatan dan persatuan bangsa. Selain itu Gogon dengan tegas menolak keras usulan-usulan untuk menyewakan be- berapa pulau di Indonesia guna dijadikan pangkalan militer bagi negara-begara besar. Menurutnya tindakan itu sama saja dengan menyerahkan negara ini kepada negara imperialis.34 Jatuhnya Soeharto dan tampilnya B.J. Habibie memimpin pemerintahan baru telah membawa blessing in disguise (hik- mah yang tersembunyi) bagi kekuatan-kekuatan oposisi di Indonesia. Euforia politik yang terasa demikian hebat dan tak terbendung telah mengkondisikan lahirnya partai-partai politik dengan berbagai kepentingan, ideologi atau aliran politik. Jumlah partai yang resmi mendaftar mencapai angka lebih dari seratus dan yang ikut pemilihan umum sebanyak 48 partai politik dengan asasnya berbeda-beda: Islam, Nasi- onalisme, Pancasila, Sosialisme, Demokrasi dan lainnya. B.J. Habibie sendiri pada tanggal 3 Juni 1988, ketika mengunjungi Abdurrahman Wahid yang sedang sakit karena stroke di kediamannya Ciganjur, mengemukakan: “Semua pihak boleh mendirikan partai politik baru asalkan tetap berasas Pancasila dan UUD 1945, dengan tidak mempersoalkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) atau primordialisme.” Yang jelas, keadaan ini telah mengubah pentas politik dalam suasana demokratis, tetapi juga menimbulkan ketegangan sosial pada lapisan akar rumput. Dukungan untuk pemerintahan B.J. Habidie datang dari

34 Ibid, hlm. 120. 177  Ahmad Sumargono dalam dan luar negeri. Abdurrahman Wahid yang selama ini dinilai berseberangan dengan B.J. Habibie, secara tidak terduga menyampaikan dukungannya. Dari luar negeri pe- merintahan Jepang, Australia, Uni Eropa bahkan Sekjen PBB merasa senang dengan peralihan kekuasaan di Indo- nesia yang berlangsung secara damai walaupun sebelumnya diawali dengan kerusuhan serta sejumlah tragedi. Presiden B.J. Habibie sendiri dalam sebuah majalah mengemukakan: Saya ingin menyampaikan komitmen saya pada aspirasi rakyat untuk melakukan Reformasi secara bertahap dan konstitusional di segala bidang dengan memulihkan kehidupan sosial ekonomi, meningkatkan kehidupan politik yang demokratis dengan mengikuti tuntutan zaman generasinya dan menegakkan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.35 B.J. Habibie telah melakukan langkah-langkah strategis sebagai respons terhadap tuntutan orang ramai atau rakyat dengan melakukan sejumlah langkah seperti, menyusun kabinet, memasukkan figur dari berasal dari berbagai latar belakang mantan aktivis, praktisi dan kalangan intelektual dalam susunan kabinetnya, walaupun di antara mereka ada yang kurang kredibel dalam jabatan yang diembannya. Dalam bidang hukum dan perundang-undangan, Habibie memberikan amnesti dan abolisi terhadap sejumlah tahanan politik era pemerintahan Soeharto. Kemudian untuk

35 Gatra, 30 Mei 1998. 178 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  mengambil hati rakyat ia telah mengundang beberapa tokoh kritis seperti Amien Rais, Sudjana Syafe’i dan Rudini ke Istana Presiden. Mereka diminta datang oleh Presiden un- tuk bersama-sama menyusun agenda reformasi. Langkah politik Habibie lainnya adalah menciptakan suasana kon- dusif dan akseleratif menuju Reformasi dan mencabut Per- aturan Menteri Nomor 1 Tahun 1984 mengenai SIUPP melalui Menpen Yunus Yosfiah. Habibie juga memberikan kebebasan politik dan apresiasinya yang mendalam terhadap kepentingan kelompok Islam dengan menempat- kan tokoh-tokoh politik Islam dalam jabatan-jabatan politik strategis dalam pemerintahannnya. Gogon sangat apresiatif terhadap langkah-langkah po- litik Presiden B.J. Habibie. Diakuinya banyak hal yang telah dikerjakan Habibie selama masa pemerintahannya yang singkat. Habibie juga dinilainya begitu tegar menghadapi hantaman ”badai” politik intrik, penghujatan, penghinaan yang sangat tidak pantas sebagai seorang kepala negara. Di Sidang Istimewa MPR tahun 1999, ia kalah suara dalam acara pertanggungjawabannya selaku Presiden. Tetapi, ka- rena ia seorang demokrat sejati, tidak menolak untuk di- calonkan kembali sebagai presiden oleh para pendukung- nya. Jelaslah demokrasi, jiwa besar dan elegan bukan sekedar omongan melainkan refleksi dari watak kepe- mimpinannya. Kini kita beralih pada pandangan Gogon terhadap kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau yang 179  Ahmad Sumargono lebih akrab dipanggil Gus Dur. Sebagaimana terhadap Habibie, Gogon juga memiliki penilaian sendiri terhadap kepemimpinan Presiden Gus Dur. Pemilihan umum pertama di era Reformasi dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Telah diperkirakan sebelumnya bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dike- tuai Megawati Sukarnoputri akan memenangkan hasil pe- milihan umum tersebut. PDIP mendapat 30 persen kursi DPR atau 152 kursi dari 452 kursi yang diperebutkan. Ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan kelompok Islam politik, salah satunya adalah Gogon. Gogon mensinyalir, ini akibat rekrutmen anggota parlemen PDIP yang keba- nyakan dari kalangan non-Islam dalam daftar calegnya. Ironisnya, mulai dari tingkat nasional hingga tingkat daerah, jumlah calon non-Muslim sangat besar dan tidak propor- sional.36 Keprihatinan seandainya Megawati menjadi presiden, sikap PDIP yang semakin arogan dan terlalu percaya diri serta kondisi ekonomi, sosial dan politik yang semakin pa- rah dari hari ke hari telah mendorong sejumlah politisi un- tuk menggagas apa yang kemudian dikenal dengan “Poros Tengah”. Idenya bermula dari Bambang Sudibyo, salah se- orang ekonom dan pengurus Partai Amanat Nasional (PAN) ini. Tokoh-tokoh PAN yang lain setuju dengan ga- gasan Sudibyo, termasuk ketua umumnya, Prof. Dr. Amien

36 Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999, hlm. 117. 180 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah 

Rais, MA. Amien kemudian menggulirkan ide “Poros Tengah” lebih keras lagi. Maka, jadilah ia sebuah “bola salju politik.” “Poros Tengah” menjadi kekuatan politik yang menghadang kalangan nasionalis sekuler untuk mencapai tujuan politiknya. Lahirnya Poros Tengah juga sebagai upa- ya untuk mencairkan ketegangan antara kelompok pendu- kung B.J. Habibie dengan kelompok pendukung Megawati yang berpotensi kepada benturan massa. Kecanggihan dan kelihaian politik kelompok Poros Tengah telah memberikan pelajaran pahit bagi pendukung Megawati yang terlalu “percaya diri”. Dari hasil pertarungan memperebutkan komposisi pimpinan parlemen (MPR dan DPR), pimpinan fraksi mereka kalah siasat untuk membendung lobi-lobi cantik yang dilancarkan pimpinan teras Poros Tengah itu.37 Diawali dengan sejumlah pertemuan, maka lahirlah gagasan untuk mengusulkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI ke-4 menggantikan B.J. Habibie. Dukungan dari kubu Islam ini nampaknya mendapatkan gayung bersambut bagai bola salju. Berbagai kelompok politik Islam dengan orientasi ideologi dan kepentingan politik yang berbeda-beda kini bersatu, termasuk kalangan politisi NU. Para politisi NU itu menyatakan kesediaannya berga- bung ke dalam lingkaran kekuatan Islam ketimbang ber- koalisi dengan kalangan sekuler di bawah kepemimpinan Megawati dengan PDIP-nya. Mengenai fenomena unik yang amat langka terjadi dalam politik Indonesia ini,

37 Firdaus Syam, Amien Rais, hlm. 240. 181  Ahmad Sumargono

Abdurrahman Wahid menyatakan, Kita sama-sama Muslim, Insya Allah di masa- masa yang akan datang kita akan men-dirikan bangsa Muslim yang kuat, akan melahirkan kaum Muslim yang baik sekali. Sekarang kita tertinggal, ketertinggalan itu kita kejar sebanyak mungkin sehingga kita dapat sejajar dengan orang-orang lain, kalau perlu melampaui. Karena itu marilah antara kita tidak usah ribut- ribut yang penting antara kita itu saling mendukung, sehingga maju bareng-bareng. Hanya dengan begitu Insya Allah Islam akan jaya selama-lamanya.38 Pernyataan ini dilontarkan dalam kesempatan acara halal bihalal di kediaman rumah pribadi budayawan Setiawan Djodi di Jakarta Barat, Februari 1999. Pertemuan itu diha- diri antara lain dihadiri Nurcholish Madjid, Adnan Buyung Nasution, Rendra, Iwan Fals dan A.M. Fatwa. Tanpa di- duga, dalam acara tersebut terjadi peristiwa unik, yakni adegan “peluk cium” antara Abdurrahman Wahid dengan Ahmad Sumargono yang selama ini dikenal sebagai pen- tolan Islam “garis keras” dan cenderung selalu berse- berangan dengan mantan Ketua Umum PBNU itu. Apa yang terjadi di rumah Setiawan Djodi itu seakan mere- fleksikan apa yang selama ini diidamkan kaum Muslim; bersatunya umat dalam menghadapi persoalan bersama.

38 Ummat, No.30, 8 Februari 1999. 182 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah 

Sepertinya yang sedang mereka lakukan dalam pertemuan tokoh Islam di rumah Setiawan Djodi itu adalah untuk mele-takkan grand design, atau menurut istilah Gogon, “semacam rumah tawon yang kotaknya banyak tapi satu rumah. Jadi yang penting menyatukan visi.”39 Peristiwa politik langka itu telah menimbulkan kekecewaan kalangan non- Islam yang selama ini menganggap Gus Dur dapat bekerja sama dalam “atmosfer” mereka. Gogon malah yakin bahwa apa yang telah dilakukan para politisi Muslim di rumah Setiawan Djodi itu telah membuat kelompok-kelompok anti-Islam resah dan kecewa. Ia mengatakan, “Saya melihat kelompok-kelompok Kiri, Kristen, Katholik, Sosialis, dan Abangan itu masih memiliki rasa Islamophobia karena masih traumatis dengan cita-cita negara Islam, sehingga mereka selalu pasang kuda-kuda.”40 Karena perjuangan Poros Tengah, Gus Dur kemudian berhasil naik ke kursi kepresidenan. Tampilnya Gus Dur menjadi presiden itu menjadi “dambaan umat”, karena ia berasal dari keluarga para ulama, dan ia tokoh yang di- besarkan di lingkungan organsasi Islam dengan jumlah pen- dukungnya yang sangat besar di negeri ini. Tokoh umat ini berada dalam atmosfer politik bangsa, selain tokoh lainnya seperti Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, Hamzah Haz dan Ahmad Sumargono.

39 Ibid. 40 Ibid. 183  Ahmad Sumargono

Namun bukanlah Gus Dur bila tidak membuat panas “kuping” umat dan membuat kontroversi politik berke- panjangan. Belum lama menjadi orang nomor satu RI, ia mengeluarkan pernyataan kebijakan luar negeri yang dilontarkan dalam kunjungan kerja pertama ke Denpasar Bali, Minggu 24 Oktober mengenai masa depan Indonesia di depan pakar dan para dubes dari mancanegara. Ia menga- takan belum berniat ke Israel, namun pihaknya akan mem- buka hubungan dagang dengan Israil. Tak ayal pernyata- annya ini mengagetkan banyak pihak karena selama ini kebi- jakan politik RI terhadap Israel sudah jelas sikapnya, meski- pun sebenarnya pendirian Gus Dur mengenai posisi Israel di matanya telah nampak sejak tahun 1994. Usulan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel didasarkan pada asumsi karena alasan Israel adalah negara yang beragama. Gogon yang pernah “berciuman” dengan Gus Dur, mencurigai hubungan dagang yang diinginkan itu merupakan trik untuk langkah yang lebih jauh. Karena itu KISDI meminta pe- merintah mempertimbangkan diberlakukannya pembekuan hubungan dalam bentuk apapun dengan Israel.41 Langkah Presiden telah menimbulkan reaksi yang keras dari berbagai kalangan, khususnya tokoh, generasi muda dan ormas Islam. Inilah yang kemudian akhirnya menjadikan pandang- an Presiden ini hanya sampai sebatas wacana. Masih dalam kerangka membina hubungan RI dengan negara-negara lain, kunjungan Presiden ke berbagai negara

41 DR, 1-7 Desember 1999. 184 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  diharapkan dapat memulihkan kepercayaan negara lain untuk memberikan bantuan dan menarik investor ke dalam negeri, yang tujuannya dapat mempercepat recovery ekonomi negara. Presiden Abdurrahman Wahid memandang perlu melakukan kunjungan kenegaraan ke negara-negara ASEAN untuk mene- guhkan kembali sikap Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Tetapi apa yang diharapkan itu ternyata jauh dari kenyataan. Yang mengejutkan, saat berada di Singapura, bukan persoalan bagaimana dana sebesar 30 juta dolar yang konon sempat parkir di negeri Tuan Lee diharapkan dapat balik ke Indonesia, melainkan pernyataan kontroversial yang meminta Menteri Senior Lee Kuan Yew sebagai penasehat ekonomi RI. Ini me- nimbulkan pro-kontra dan tanggapan ini bermuara bukan pada persoalan formal atau tidak formal atau legal atau tidak legal, namun lebih pada persoalan tidak memungkinkannya seseorang memiliki dwikewarganegaraan karena menyangkut posisi seseorang dalam lintas negara. Presiden tidak mungkin untuk bersikukuh memformalkan jabatan penasehat ekonomi untuk Menteri Senior itu tanpa mendengarkan dulu suara DPR. Gogon sebagai anggota DPR dari Fraksi PBB menilai sosok Presiden Abdurrahman Wahid sebagai seorang yang cuek tapi totaliter. Sikap-sikap politik Gus Dur itu menurut Gogon pada akhirnya hanya menimbulkan perasaan bahwa DPR ditinggalkan.42 Belum clear satu-dua persoalan yang diciptakannya sendiri, Presiden Wahid melanjutkan muhibah kenegaraan

42 Garda, no.38, 21 November 1999. 185  Ahmad Sumargono ke sejumlah negara di kawasan Timur Tengah, di antaranya Kuwait, Qatar dan Yordania–negara ini menjanjikan akan menebar investasi di Indonesia. Bahkan Emir Kuwait, Syekh Jaber Al-Ahmed Al-Sabah, bersedia membebaskan utang-utang Indonesia kepada Kuwait Fund, sebuah lembaga pendanaan milik negara kaya minyak itu. Kisah sukses Gus Dur tidak mendapatkan apresiasi positif dari kalangan politisi dalam negeri. Banyak pihak, termasuk para politisi dalam negeri justru ingin “mengadili” Presiden yang mereka anggap lambat dalam mengatasi berbagai persoalan di dalam negeri, seperti krisis di Aceh, konflik di Ambon. Sebab bila persoalan di dalam negeri masih semrawut, langkah yang diambil di luar negeri menjadi tidak efektif. Gogon bersuara lebih keras lagi ke- tika persoalan konflik di dalam negeri tidak menjadi per- hatian serius dan semakin berlarut-larut, dikatakannya, “Untuk apa keliling cari duit ke luar negeri kalau di dalam negeri hancur-hancuran.” Ia menilai Presiden Gus Dur dan Wakil Presiden Megawati lambat dalam menyelesaikan kasus Aceh dan Ambon. Gogon mengancam akan meng- ajukan mosi tidak percaya apabila masalah tersebut tidak segera ditangani.43 Dan ini ternyata mendapatkan dukungan dari sejumlah kalangan baik yang berada di DPR maupun di masyarakat luas. Adanya “serangan” terhadap sejumlah pernyataan Presiden Abdurahman Wahid itu membuat sang Presiden

43 Gatra, 4 Desember 1999. 186 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  nampak gusar. Presiden sering mengeluarkan pernyataan yang “beraroma” fitnah seperti tudingan siapa provokator di berbagai kerusuhan di sejumlah daerah dengan menye- butkan sejumlah inisial seperti “ES”, “AS”, “Mayjen “K”, yang terakhir ini inisial orang yang tinggal di sekitar Cigan- jur, tidak jauh dari tempat tinggal sang Presiden. Mereka kemudian merasa dipojokkan, namun Gus Dur lebih jauh melakukan langkah dan jurus dengan ancaman akan me- libas pengacau kerusuhan di Ambon. Tak lama tersebar rumor akan ada penangkapan terhadap 40 elit politik ter- masuk Gogon. Dari Bali, Gus Dur menyebut anggota MPR yang akan dibawa ke pengadilan (Gatra, 8/7/2000). Menu- rut Gus Dur para provokator di Maluku itu dibiayai oleh orang-orang yang punya uang dan kekuasaan di Jakarta, yang tak mau melihat perubahan, ingin mempertahankan status quo. Gus Dur dengan nada tinggi menyatakan, “Perlu saya ingatkan, waktu Anda sudah habis, tindakan Anda ter- lalu jauh, kalau sudah habis kesabaran, awas! Akan ditindak rakyat.”44 Kata-kata Presiden Wahid ini jelas bernada an- caman serius, yang tidak pantas diucapkan oleh seorang petinggi negara seperti dirinya. Gogon, Ketua KISDI dan tokoh dari PBB heran men- dengar isu dirinya bakal ditangkap. Informasi mengenai

44 Tudingan itu dialamatkan kepada nama seperti Fuad Bawazier (Menteri Keuangan dalam kabinet Orde Baru) kini menjadi anggota MPR dari PAN; Ginanjar Kartasasmita, Arifin Panigoro dari PDIP, Akbar Tandjung, Ekky Syachrudin, Mari’e Muhammad, Adi Sasono dan masih banyak lagi. Di kalangan Islam garis keras disebut tokoh Ustad Ja’far Umar Thalib dan Gogon, lihat Gatra, 8 Juli 2000. 187  Ahmad Sumargono hal tersebut didapatkannya dari kalangan NU. Gogon curiga, isu penangkapan ini datang dari pembisik Gus Dur. Gogon tahu siapa yang berniat jahat membisikkan tentang penangkapannya. Ia lalu menyebut dua nama pembisik yang bekerja membantu Gus Dur di Istana Kepresidenan.45 Gogon juga mempertanyakan peranan para sekretaris dalam mempengaruhi kebijakan Presiden, “Mengapa ba- nyak kebijakan Presiden inkonstitusional, apa dipengaruhi sekretarisnya?” Arbi Sanit, seorang pengamat politik mengatakan bahwa tradisi kiai dan tokoh masyarakat telah lama membiasakan terbuka, dan Gus Dur hanyut oleh kebi- asaan pesantren dan LSM. Akan tetapi keragaman tugasnya yang kompleks menuntut Gus Dur menyesuaikan komu- nikasi politiknya lewat para sekretaris. Itu pun belum dapat menyederhanakan jalur komunikasi politiknya, sehingga isu tukang bisik masih akan dimunculkan berbagai kalang- an.46 Di antara yang dituding sebagai “pembisik” itu adalah Sekretaris Presiden Ratih Kurniawan Hardjono, perempu- an kelahiran Bandung, 6 Januari 1960 ini dituduh sebagai agen Australia, Yahudi dan CIA. Ia menolak tuduhan- tuduhan atas dirinya dan menantang dengan mengatakan, “Jika ada buktinya saya siap dibawa ke pengadilan mana pun.” Sementara itu K.H. Abdullah Fakih, kiai asal Langitan yang disegani nahdliyin mengomentari: “Saya tidak percaya Ratih, ini kan tidak jelas asal-usulnya.”47

45 Ibid, hlm.26-27. 46 Forum Keadilan, No.46, 17 Februari 2000. 47 Ibid, hlm. 87. 188 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah 

Sikap Gus Dur yang lebih suka melontarkan isu, pernya- taan yang membingungkan, semakin menambah semrawut- nya kehidupan politik kenegaraan serta kepemimpinan nasi- onal bangsa Indonesia di tengah badai krisis ekonomi, politik dan kehidupan sosial masyarakat. Sisi lain yang lebih menoreh kepiluan bangsa adalah kemelut di Ambon yang penuh simbah darah, korban rakyat sipil yang tidak berdosa di tengah pertikaian yang tak kunjung kepastian penyele- saiannya dari pemerintah, demikian pula Aceh yang terus bergolak, semua itu memperkuat pandangan bahwa kepe- mimpinan nasional memang tidak mampu dan tidak serius menyikapi persoalan krusial negeri ini. Sementara Presiden Abdurrahman Wahid sibuk melakukan lawatan ke berbagai negara, entah sudah berapa dana negara yang harus di- keluarkan untuk perjalanan rombongan Presiden itu, sedangkan hasil kunjungan yang diharapkan dapat menarik dana bagi pemulihan ekonomi dapat dikatakan “nihil”. Keadaan inilah yang mendorong berbagai elemen ma- syarakat melakukan aksi protes, penggugatan, demonstrasi terhadap duet kepemimpinan nasional Gus Dur-Megawati. Memang demo itu terbagi dalam kelompok pro dan kontra. Yang pro melihat Gus Dur sebagai presiden yang sah dan tidak pantas diperlakukan kritikan seperti yang terpampang di berbagai media, terlepas dari berbagai persoalan negeri ini tambah carut-marut. Para loyalis Gus Dur ini mere- bakkan aroma yang “mengancam” lawan-lawannya. Seba- liknya kelompok kontra-Presiden, mereka sebagian besar

189  Ahmad Sumargono awalnya pendukung dari kelompok Poros Tengah. Namun akibat ulah sang Presiden yang dianggap sudah banyak “menyebar fitnah” serta membuat sakit banyak orang, di- tambah ketidakmampuannya dalam menyelesaikan konflik di sejumlah tempat, secara tegas kelompok penentang Gus Dur ini menuntut agar Presiden mundur dari jabatannya. Spanduk “Hidup Mulia atau Mati Sahid” dan “Gus Dur dan Mega Mundur” menghiasi kawasan Monas dalam aksi sejuta umat atas kepedulian dan kelanjutan dari serangkai- an demonstrasi yang telah digelar sebelumnya. Waktu itu Amien Rais, Ketua MPR mengatakan, “Saya menuntut para pemimpin untuk segera menangkap cecunguk dan provo- kator Ambon. Jika tidak Abu Lahab dan Abu Jahal Ambon tu kita gulung bersama!” yang disaksikan sejumlah tokoh antara lain Hamzah Haz (Ketua Umum PPP), K.H. Didin Hafiduddin (Partai Keadilan) serta ratusan ribu massa. Ah- mad Sumargono dari Partai Bulan Bintang mengatakan, mereka akan mengajukan mosi tak pecaya kepada pe- merintah Gus Dur, jika dalam tempo 30 hari pemerintah tidak mengambil tindakan tegas.48 Resep Presiden Abdur- rahman Wahid bahwa konflik di Ambon dan Maluku hen- daknya diselesaikan di antara warga di sana juga tak mampu mencegah korban yang bergelimpangan. Konflik di Ambon yang telah berjalan satu tahun mulai bergeser dari persoalan problem sosial-agama menjadi pro- blem politik berskala nasional. Hal ini dapat dijadikan agenda

48 Gatra, 15 Januari 2000. 190 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  politik pada bidikan politik ke arah Gus Dur. Mulai ada ge- sekan antara sang Presiden dari kalangan nahdliyin ini dengan kelompok Poros Tengah yang sebelumnya telah mengantar- kan Ketua Umum NU itu ke tampuk kekuasaan. Dari kelom- pok Islam lalu membentuk Laskar Jihad yang menghimpun kalangan muda yang siap ke medan “perang” untuk mem- bantu saudaranya yang dizalimi tanpa mendapatkan perlin- dungan optimal dari pemerintah. Selain itu juga ada kelom- pok Mujahidin, Front Pembela Islam, Laskar Islam dari Ahli Sunnah Waljamaah, belum lagi kelompok muslim yang mela- kukan aksi sosial untuk mengatasi penderitaan saudaranya. Aksi jihad di Ambon yang dilakukan semata berdasar kesadaran akidah ini mendapatkan reaksi “negatif ” dari Presiden Abdurrahman Wahid. Saat menerima jamaah Assuryaniyah Atthahiriyah di Istana Negara, ia mengata- kan: “Mau jihad …jahid, Islam atau Kristen tangkap me- reka.” Pernyataan itu semakin membuat panas telinga umat Islam. Gogon yang dikenal kelompok Islam garis keras merasa tidak bisa tinggal diam atas komentar Presiden itu. Baginya pernyataan itu melecehkan umat Islam. Persoalan- nya, jihad merupakan isyarat dari Allah agar umat Islam serius, sungguh-sungguh dan konsisten di jalan Allah dan jihad memiliki pengertian yang lebih luas dari sekadar ber- perang. Berjuang menghidupi keluarga, termasuk jihad. Berpijak dari sini, jihad wajib dilaksanakan dalam kasus Ambon. Gogon mengutip sebuah hadis: “Belum beriman kamu sekalian, dan tidak masuk golonganku, kalau kamu

191  Ahmad Sumargono belum tersentuh atas penderitaan sesama Muslim.”49 Gogon pun dalam hal ini mengakui bahwa KISDI tidak memiliki program jihad seperti yang diumumkan kelompok lainnya. Secara personal KISDI membantu orang-orang Ambon yang ingin pulang kampung untuk menengok kelu- arganya di sana. “Apakah mereka kemudian berjihad atau tidak, saya tidak tahu. “Munculnya semangat jihad ini meru- pakan ungkapan kekecewaan masyarakat pada pemerin- tahan Gus Dur yang bermuara pada pertanyaan, “Siapa sebenarnya Gus Dur itu.”50 Mulai mekar benih kekecewaan kalangan Poros Tengah kepada “kiai” yang menjadi Presiden ini. Harapan dan kegem- biraan yang ditumpahkan umat saat awal pengangkatan Gus Dur sebagai presiden, perlahan namun “pasti” mulai sirna, jalinan kemesraan antara kalangan Islam modernis dengan kalangan Islam tradisionalis pun mulai terganggu. Kalangan pimpinan teras NU mulai “menyadari” mengapa dari kalangan Poros Tengah mulai menjaga jarak dengan Gus Dur. Bahkan ada kesan bahwa konflik terbuka hanya tinggal selangkah lagi ketika kawan-kawan Gus Dur di Poros Tengah akan “mening- galkannya”. Namun sikap kearifan teras NU terlihat ketika beredar kabar burung tentang aksi massa anti-Gus Dur akan digelar 15 Januari 2001, Ketua PBNU “lepas tangan” atas ke- inginan Jatim untuk menandingi aksi tersebut.51

49 Gatra, 22, Januari 2000. 50 Ibid. 51 Mohammad Fajrul Falakh, “ Massa NU, Gus Dur dan Politik,” Republika, Sabtu, 13 Januari 2001. 192 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah 

Pada bulan-bulan pertama Gus Dur memerintah, sudah banyak ia melakukan perbuatan aneh. Misalnya melontar- kan isu ada tiga menteri dalam kabinetnya yang melakukan KKN. Waktu itu tuduhan itu masih bisa dimaafkan oleh mereka yang dituduh ber-KKN itu. Pada waktu itu alasan pemaaf klasik selalu dikatakan, “Gus Dus berpendapat jauh ke depan, massa NU belum mampu menjangkaunya.”52 Akan tetapi persoalan menjadi lain ketika telah terlalu ba- nyak kata bernada “permusuhan” dilontarkan dan arah ser- ta eskalasinya semakin luas. Bila mula-mula Poros Tengah dan kelompok Islam politik ada kesan ditinggalkan dan dipojokkan, kini giliran kalangan Militer. Pernyataan kon- troversial Gus Dur mulai terdengar lagi pada 4 Februari, ketika itu beliau sedang di Den Haag, Belanda. Gus Dur menyentak publik dengan pernyataan bahwa di Jakarta telah terjadi pertemuan petinggi militer yang hendak mengacau- kan situasi. Panglima TNI Widodo A.S. dengan sigap mem- bantah keberadaan pertemuan sejumlah jenderal. “Tidak ada perwira TNI yang rapat di situ,” kata Panglima.53 Terakhir kebijakan Gus Dur menonaktifkan Jenderal Wi- ranto dari jabatan Menko Polkam, yang diduga kuat dikom- pori “pembisik”. Ini masuk akal sebab enam jam sebelumnya ia berpendapat Wiranto tetap duduk di posisinya, sampai Tim Kejaksaan Agung selesai memproses laporan HAM,54 soal

52 Ibid. 53 Forum Keadilan, No. 26, 27 Februari 2000. 54 Ibid 193  Ahmad Sumargono keterlibatan mantan Panglima ini dalam kasus Timor-Timur. Tindakan politik Gus Dur telah jauh melampaui batas-batas yang disebut “toleransi politik”, sebab Presiden Gus Dur naik ke kursi kekuasaan karena hasil ”kebaikan politik” dari sebuah kompromi besar dalam bentuk kabinet pelangi atau bahasa yang lain Presiden Gus Dur duduk di kursi Presiden adalah karena “kecelakaan politik” akibat arogansi orang PDI yang terlalu percaya diri untuk tidak mengajak kerja sama dengan kekuatan lain. Puncak-puncak kegusaran terhadap Gus Dur adalah ketika pansus Buloggate dan Bruneigate harus ber- muara kepada memorandum DPR I dan II, yang berujung ke Sidang Istimewa MPR. Apalagi adanya kabar dendang per- selingkuhannya dengan Aryanti, maka lengkap sudah kegagal- an kinerja politik sekaligus integritas kiai. Menjelang tutup tahun 2000, 151 anggota DPR telah me- ninggalkan Gus Dur dengan mendorong DPR untuk menyampaikan “pernyataan pendapat”. Di antara 151 inisiator tersebut dijumpai pula aktivis muda NU dari non-PKB. Lang- kah teknis ketatanegaraan ini akhirnya lolos, meskipun Presi- den diberi kesempatan untuk membela diri. Sebuah memo- randum DPR yang bernada sangat keras telah dialamatkan kepada Presiden. Bila setelah dua kali memorandum DPR tak menghasilkan keadaan yang membaik maka DPR dapat mengundang Sidang Istimewa MPR. Semua itu bergulir kepada berakhirnya kekuasaan Gus Dur selaku presiden yang harus berhenti di ”tengah jalan”. Gogon menegaskan bahwa ketika upaya untuk melak- 194 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  sanakan Sidang Istimewa telah dilakukan, maka menurut- nya telah tertutup peluang lobi dengan Gus Dur karena MPR sudah mengirim surat kepada Presiden untuk memin- ta pertanggungjawaban. Berarti lobi sudah tidak ada guna- nya. Bagi Gogon sendiri, SI MPR merupakan suatu keha- rusan. Presiden Wahid harus diberhentikan dari jabatannya, karena kepemimpinannya bukan memecahkan masalah, melainkan ia menjadi bagian dari masalah itu sendiri Kini kita amati bagaimana sikap politik Gogon terhadap kepemimpinan Megawati Sukarnoputri yang menduduki jabatan presiden setelah Abdurrahman Wahid diberhenti- kan dari jabatannya dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2001. Pada masa menjelang Pemilu 1999 sampai saat pemi- lihan presiden pertama di era Reformasi, suasana politik di akar rumput sampai elit politik terjadi ketegangan. Kete- gangan itu seputar perdebatan sah-tidaknya Megawati bila dicalonkan sebagai presiden atau orang nomor satu di Re- publik ini. Perdebatan itu berkisar pada dua pandangan dasar: pertama, aspek teologis, yakni bagaimana hukum Islam menyikapi bila seorang kepala negara adalah seorang pe- rempuan; kedua, aspek ideologis, yakni, dalam rivalitas politik Megawati memposisikan diri “berseberangan” dengan ka- langan Islam politik, karena ia berada dalam lingkaran ke- lompok nasionalis sekuler; ketiga, aspek kapabilitas, yakni masalah kemampuan dan ”jam terbang” yang belum cukup. Tiga aspek tersebut memungkinkan terjadi resistensi yang kuat dari kalangan Islam untuk “menolak” atau tidak

195  Ahmad Sumargono mendukung Megawati. Opini, propaganda serta justifikasi dibuat untuk melemahkan dukungan atas Megawati, ter- utama dari kalangan tokoh Islam “garis keras”. Alasan pe- nolakan berangkat dari dasar pemikiran logika konstitusi: Partai pemenang Pemilu tidak otomatis calon presidennya melenggang ke istana, karena kewenangan memilih ada di tangan MPR, dan suka atau tidak suka suara PDIP di MPR tak pula dominan.55 Media Dakwah, media kalangan Islam garis keras atau loyalis Masyumi, dalam terbitan edisi Oktober, 1999, 10 Alasan Megawati Tidak Pantas jadi Presiden menyebutkan alas- an-alasan mengapa Megawati tidak pantas menjadi presiden RI. Secara umum disebutkan bahwa alasan itu adalah, Pro- PKI, Anak Sukarno, Bukan pembela rakyat, Diktator, Militeris-fasis dan anti-Reformasi, Anti-Islam. Megawati dikontraskan dengan Habibie yang dikatakan sebagai presiden yang menyetujui penerapan syariat Islam di Aceh; memberikan kebebasan berpendapat, memberikan kebe- basan pers, memberikan kebebasan berpartai, membebas- kan Tapol/Napol, melaksanakan Pemilu yang jurdil-bebas dan damai, mencabut TAP MPR dan menyetujui Aman- demen UUD 1945, memberikan opsi bagi Timtim untuk merdeka, mendesakralisasi jabatan presiden, menyetujui pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya, berlapang dada dan tidak membalas dengan represi hujatan-hujatan kepada dirinya yang dilakukan melalui berbagai arena (media,

55 Gatra, 10 Juli 1999. 196 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  televisi, selebaran, seminar dan lainnya). Sepertinya majalah ini mengukuhkan pesan kepada umat, kepada siapa umat harus berpihak dan melakukan pengambilan keputusan politik yang bersejarah di Pemilu era Reformasi tersebut.56 Eksistensi Megawati menghadapi problem paling serius. Kalangan Islam sangat khawatir kalau Megawati benar- benar naik ke kursi Presiden. Karena seperti dikatakan Gogon, “ideologi orang di sekelilingnya belum kita keta- hui.” Di mata tokoh ini ada kekhawatiran, jika Megawati naik, Islam akan kembali tersingkir dari panggung politik seperti di era yang lalu. Seorang tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang juga seorang pakar ekonomi Prof. A.M. Syaifuddin bahkan menancapkan tekad untuk habis-habisan mengganjal Megawati.57 Walau Megawati sendiri adem-ayem dalam menyikapi la- wan-lawannya, tidak demikian dengan massa PDIP. Ke- harusan Megawati Sukarnoputri untuk menjadi Presiden sepertinya sesuatu yang sudah pasti. Mereka menganggap partainya telah memenangkan suara terbanyak hasil dari Pemilihan Umum yang digelar, walaupun tidak dengan su- ara mayoritas. Dukungan itu berupa sikap kesetiaan melalui “cap jempol darah” yang diprakarsai oleh kelompok Per- juangan Rakyat untuk Reformasi Total (PRRRT) dari Sura- baya, Jawa Timur, sebuah organ yang tidak resmi di bawah

56 Lihat di Media Da’wah, Oktober, 1999, hlm. 53-55. 57 Tempo, 18 Juli 1999, hlm. 25. 197  Ahmad Sumargono

PDIP. Aksi sumpah darah dalam waktu yang singkat itu telah menarik simpati 5.000 simpatisan Megawati. “Ini bukti bahwa kami siap mati membela Ibu Megawati,” ucap Sugi- man, seorang buruh pabrik. Walau jajaran pimpinan PDIP seperti Wakil Sekjen PDIP Haryanto Taslam tak mendu- kung aksi itu tetapi juga tidak melarang, ia mengatakan, ”Logika masyarakat bawah dan menengah itu sederhana saja. Yang menang mestinya mendapat piala, masak, PDIP juara, tapi pialanya jatuh ke orang lain.”58 Kapabilitas dan jender adalah dua jurus yang dijadikan lawan politiknya untuk melakukan serangan kepada Megawati Sukarnoputri. Gogon mengatakan, “Melihat latar belakang pendidikan dan pengalamannya, dia belum punya jam terbang yang cukup. Wajar kalau orang meragukan kepemimpinannya.” Kalangan tokoh Islam yang menolak Megawati lebih mengangkat landasan teologis yaitu masalah kedudukan jender, “Dalam Islam, perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.” Sementara di Pasuruan, Jawa Timur, basis dari kalangan nahdliyin ini telah beredar surat menolak Mega- wati yang ditandatangani sebanyak 60 ulama. Dua tahun dalam kekuasaan Gus Dur, bak hujan yang baru berganti panas, belum seumur jagung riwayat perde- batan penolakan Megawati Sukarnoputeri itu, para ketua fraksi yang dulu berseberangan dengan pimpinan PDIP itu–Sumargono (PBB), Hatta Radjasa (PAN) dan Ali Marwan Hanan (PPP) bersama Arifin Panigoro (PDIP)

58 Gatra, 10 Juli 1999. 198 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah  melakukan penyambutan sekembali Wakil Presiden Mega- wati dari wilayah konflik di Sampit, Kalimantan Tengah, saat tiba di bandara Halim Perdana Kusuma, di bulan Maret 2001. Ini menandakan penggalangan dukungan untuk menjadikan Megawati Sukarnoputri sebagai presiden yang menggantikan tokoh NU yang sudah tidak berkenan di hati kelompok besar masyarakat. Diwakili Ali Marwan Ha- nan, dijelaskan alasannya, “Kami datang memberikan peng- hormatan terhadap kesungguhan, keberanian dan rasa tang- gung jawab beliau (Mega) dengan turun ke Kalimantan,” lanjutnya, ”Masalah dukungan hanyalah dukungan kon- stitusional. Yakni, apabila presiden berhalangan, maka yang menggantikan adalah wakil presiden, tidak ada pilihan lain.”59 Gogon diisukan telah bulat mendukung Megawati Sukarnoputri sebagai Presiden padahal pada Pemilu lalu ia begitu serius mempermasalahkan PDIP dan tokohnya. Ia dengan tegas membantah jika dirinya pernah bersumpah mendukung wakil presiden untuk menjadi presiden hingga tahun 2004. Menurut Sumargono, tidak pernah ada perte- muan khusus yang membahas dukungan terhadap Mega- wati tersebut dengan Soetardjo Soerjoguritno. “Enggak ada sumpah-sumpahan, kita tetap mendukung kon- stitusi.”60 Itu artinya, kata Gogon, jika Gus Dur berhalang- an tetap, maka secara konstitusional Megawati mengganti-

59 Tempo Interaktif, 1 Maret, 2001. 60 Tempo Interaktif, 6 Maret, 2001. 199  Ahmad Sumargono kannya. Ia dengan tegas menolak jika dukungan terhadap Megawati itu diartikan sebagai dukungan terhadap kepe- mimpinan perempuan. Untuk saat ini, jelas Gogon, pihak- nya bisa menerima realitas itu, “Namanya darurat, karena keadaan.” Pasalnya, kredibilitas Gus Dur sudah semakin merosot, jika diteruskan, menurutnya, kondisi fisik yang lemah akan selalu mendapatkan bisikan-bisikan yang justru menjerumuskan dirinya.61 Namun harus diakui, bahwa ketika di depan pengurus Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI) di kota Bandung yang dihadiri sejumlah ulama temasuk K.H. Ab- dullah Gymnastiar (Aa Gym), Gogon menyebut Taufik Kiemas sebagai orang yang nasionalis yang sekaligus tokoh Masyumi. Ayah kandungnya adalah asisten Kasman Singo- dimedjo, tokoh Masyumi yang terkenal sebagai “Singa Po- dium” itu. Dan seperti ada gayung bersambut–kesepakatan bahwa dikotomi Nasionalis dan Islamis itu tidak relevan lagi untuk dimunculkan, karena memang tidak ada. Sebagai- mana argumen Taufik Kiemas, bahwa di kabinet Megawati sekarang justru yang mayoritas atau mencapai 14 orang adalah alumni HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), semen- tara Kwik Kian Gie dan Laksamana Sukardi tidak penah duduk di GMNI. Satu-satunya kader PDIP yang menjadi Menteri Kehutanan adalah Prakoso, juga mantan Ketua HMI komisariat IPB.62

61 Ibid. 62 Suara Merdeka, Senin, 15 Juli 2000. 200 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah 

Sikap berpegang pada konstitusi dan istiqomah pada prinsip perjuangan terlihat dalam pribadi Sumargono saat adanya usulan PDIP yang meminta rehabilitasi nama Presi- den Sukarno. Ini termasuk pencabutan TAP MPR yang mengatur soal ajaran Bung Karno itu. TAP MPRS No. 25 tahun 1966 tentang pembubaran PKI, larangan ajaran Komunis/Marxisme dan Leninisme adalah masalah yang dikemukakan politisi dari Partai Islam ini. Gogon dengan tegas mengemukakan: Kita juga tetap menolak segala bentuk ajaran- ajaran yang sifatnya bertentangan dengan undang-undang kita. Dengan diusulkannya pencabutan UU berkaitan dengan masalah ajaran Bung Karno dan segala macam ajaran Komunis, saya pikir ajaran Bung Karno dulu dengan PKI atau Komunis itu adalah kakak beradik.63 Menurut Gogon, ajaran Bung Karno dengan Marxisme itu tidak jauh berbeda, ideologi pada awalnya memang tidak ada apa-apanya, dan rakyat maupun bangsa Indonesia memang sangat mudah untuk melupakan masa-masa lam- pau. Indonesia walaupun merupakan negara besar, tetapi karena pola pikir masyarakat Indonesia masih sangat terbe- lakang, maka penyebaran Sukarnoisme, Marxisme dan sejenisnya sangat rawan sekali. Selain bisa menimbulkan anarki sosial, konflik-konflik ideologi yang tidak perlu,

63 Radio Nederland, 14 Juli 2003 201  Ahmad Sumargono ideologi-ideologi tersebut juga bisa mengubah pandangan hidup seorang Muslim. Gogon lalu mencontohkan sebuah kasus bagaimana seorang mahasiswa Muslim yang dulunya berpegang dan mengagumi kitab- begitu sampai ke Jakarta dan belajar Marxisme, maka hanya dalam satu-dua-tiga bulan sudah berubah. Kini buku Pramudya Ananta Toer yang menjadi kebanggaannya.64

64 Ibid. 202 Raja Demo dan Politisi yang Istiqomah 

203  Ahmad Sumargono

Ahmad Sumargono dengan B.J. Habibie pada acara ulang tahun Pesantren Asy Syafi’iah di Puloair, Sukabumi, 1990.

204 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat 

BAB Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat Sumargono dan Kalangan Militer

ENTARA Nasional Indonesia (TNI)–sebagaimana T tentara lain di negara-negara berkembang1–memiliki karakter berbeda dengan militer di negara-negara Barat yang telah maju. Di Indonesia, militer tidak sekadar menjadi alat pertahanan keamanan, tetapi juga menjalankan peran-

1 Mengenai karakter tentara di negara-negara berkembang, lihat JJ. Johnson, ed. The Role of Military in Under Developed Countries, Princeton, 1962. 205  Ahmad Sumargono peran sosial politik sipil. Inilah yang disebut jenderal Nasu- tion sebagai Dwifungsi ABRI. Bahkan dalam episode-epi- sode sejarah tertentu, TNI mendominasi politik nasional tanpa tertandingi oleh kekuatan politisi sipil. Kebalikan dari apa yang terjadi di negara-negara Barat di mana sipil me- miliki supremasi atas militer (civil supremacy over the military), di Indonesia militerlah yang memiliki supremasi atas ka- langan sipil (military supremacy over the civilian). Di negara-negara Barat, tentara berperan semata sebagai alat pertahanan negara.2 Militer menjadi bagian dari biro- krasi pemerintahan yang secara profesional bertanggung jawab atas terjaminnya pertahanan negara tersebut. Masalah peran sosial politik sepenuhnya diserahkan kepada politisi sipil. Militer tidak terlibat dalam politik, dalam suasana pe- rang mereka tampil di garis depan, sebaliknya dalam sua- sana damai berada “di belakang”, membantu polisi jika di- perlukan karena situasi darurat (emergence), selebihnya di barak dan tidak terlibat secara individu dalam kegiatan bisnis. Moris Janowitzs menyebut mereka sebagai tentara profesional (professional soldier). Dengan kata lain, prinsip supremasi sipil atas militer benar-benar dipraktekkan dalam politik negara. Dalam sejarah politik Indonesia sebenarnya militer telah mulai terlibat dalam kancah politik formal sejak Oktober 1956. Setelah keluarnya Dekret Presiden 1959, dengan

2 Kajian klasik mengenai peran militer di negara-negara Barat lihat antara lain, S.E Finer, The Man On Horseback, Revised Edition, London, 1976. 206 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat  dibentuknya Dewan Nasional, kepentingan politik kalangan militer diakomodasikan oleh Presiden Sukarno dari kelem- bagaan negara yang dibentuk. Keterlibatan militer di dunia politik semakin berlanjut dan mendapatkan pengakuan se- cara legal di masa pemerintahan Orde Baru di bawah ke- pemimpinan Soeharto. Konsep Dwifungsi ABRI yang di- gagas Jenderal Besar Abdul Haris Nasution semakin men- dapatkan keabsahannya dengan dasar landasan historis, ini dikembangkan oleh Soeharto dan pendukungnya, bahwa ABRI (militer) di Indonesia selain sebagai kekuatan perta- hanan negara juga sebagai kekuatan politik.3 Sejarah itu dibentuk oleh manusia, dan sejarah itu tidak selalu berjalan mengikuti garis linear. ABRI yang selalu dikumandangkan Orde Baru akan berdiri di atas semua golongan menjadi tidak relevan ketika ABRI terlibat dalam politik. Sehingga secara riil politik ABRI pada masa Orde Baru sangat berpihak kepada salah satu kekuatan politik dan menjadi alat sekaligus mitra politik pemerintahan di bawah kekuasaan Soeharto. Secara jujur harus dikatakan bahwa ABRI berada di garda terdepan, hampir sebagian waktunya selama Orde Baru menjaga kepentingan politik penguasa Orde Baru. Ke mana posisi ABRI condong ber-

3 Kajian mengenai militer Indonesia dan peran sosial politik mereka, lihat, antara lain, Daniel Lev., “The Role of the Army in Indonesian Politics, “Pacific Affairs, Vol. XXXVI, No. 4 Winter 1963/4. Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwifungsi ABRI, Jakarta: LP3ES, 1986; Yahya Muhaimin, Militer Indonesia dalam Politik, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1992; Leo Suryadinata, Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik, terj. AE Priyono, Jakarta: LP3ES, 1992. 207  Ahmad Sumargono pihak adalah sangat tergantung kebijakan penguasa ter- tinggi Orde Baru. Kondisi ini pada akhirnya tidak memung- kinkan militer untuk menjaga keseimbangan secara adil, dan ini akan lebih bergantung pada “ideologi” atau kepen- tingan dari Pimpinan ABRI. Ada fenomena politik yang baru di era 1990-an, ketika pemerintah Orde Baru mulai mendekati kelompok Islam politik, nuansa ijo-royo-royo atau “bulan madu” penguasa Orde Baru dengan kalangan Islam demikian terasa dalam wilayah sosial, budaya dan politik. Demikian pula kalangan jajaran Pimpinan ABRI, sangat kental dengan jenderal- jenderal yang “Islamis”. Ini kemudian menimbulkan persepsi dan persoalan baru dalam manuver-manuver politik berbagai kepentingan politik dan kelompok politik baik yang di luar ABRI maupun di internal ABRI. Perkembangan militer dalam politik Indonesia, sebagai- mana diutarakan di atas tak luput dari pengamatan Gogon, atas dasar pengamatannya itu aktivis dan dai ini menyadari bahwa militer merupakan salah satu pilar kekuatan politik Indonesia yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Gogon juga meyakini bahwa perjuangan kelompok politik mana- pun akan sukar mencapai keberhasilan tanpa melibatkan institusi TNI. Dalam kaitan itulah ia melihat sangat strategisnya menjalin hubungan antara militer dengan kelompok politik Islam. Karena itu upaya apa pun untuk memisahkan TNI dengan umat Islam pastilah ditentang oleh Gogon. 208 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat 

Ini tampak dalam sebuah tulisannya mengenai hubungan ABRI dan Islam. Tulisan ini dibuat berkaitan dengan ceramah Menhankam Jenderal Edy Sudradjat dalam acara Silaturahmi PP Pepabri dengan Purnawirawan Pati mantan wisudawan tahun 1995, di Jakarta pada tanggal 14 Januari. Ceramah itu diangkat sebagai headline salah satu media cetak ternama. Menhankam Edy Sudradjat dalam waktu terakhir pada masa itu vokal menyuarakan posisi ABRI yang dalam keadaan apapun adalah milik nasional dan pemihakannya kepada kepentingan bangsa dan negara Indonesia berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Jadi TNI/ ABRI tidak akan diatur atau diberi pesan atau instruksi dari pihak lain di luar ABRI yang hanya bertujuan untuk kepentingan golongan sendiri, tegasnya. Ia mengatakan: Sebagai tentara yang berasal dari rakyat sudah barang tentu seharusnya tidak ber-orientasi kepada kepentingan salah satu partai politik atau salah golongan akan tetapi harus berorientasi hanya kepada kepentingan seluruh rakyat Indonesia.4 Di bagian akhir ceramahnya, Menhankam Edy Sudradjat mengajak segenap purnawirawan agar ikut menyelamatkan ABRI yang–dikesankannya, terancam oleh kepentingan segelintir kelompok Islam. Ia mengatakan, “Oleh karena- nya, para purnawirawan ABRI yang juga berjiwa Merah-

4 Sumargono, “Soal Hubungan ABRI dan Islam,” dalam Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 39. 209  Ahmad Sumargono

Putih pasti tidak rela bila gangguan terhadap ABRI sema- cam itu terulang lagi.”5 Sebenarnya tidak ada hal yang baru dalam jargon-jargon yang digunakan Menhankam itu. Bagi Gogon kekhawatiran Menhankam dapat dimengerti, sebab memang ada indikasi ABRI saat itu yang telah dianggap melakukan pemihakan terhadap kepentingan golongan tertentu. Akan tetapi Gogon mengisyaratkan adanya hal yang perlu mendapat perhatian dari nuansa dan latar belakang ucapan tersebut. Dai sekaligus tokoh demo ini berasumsi: Pertama, ungkapan yang dimaksud oleh Menhankam bisa saja merupakan isyarat bahwa ABRI sebagai kekuatan sosial politik, tampak- nya masih sulit untuk benar-benar berdiri di atas semua golongan karena sudah merupakan rahasia umum sejak lahirnya Golkar hingga saat terakhir ini tidak dapat dipungkiri bahwa kecenderungan ABRI selama ini telah menyalur-kan aspirasi politiknya melalui Golkar. Sehingga kepemihakan ABRI kepada Golkar sebagai salah satu kekuatan politik di samping kekuatan politik lainnya seperti PPP dan PDI tidak dapat dihindari. Kedua, Penyata- an Menhankam Edy Sudradjat yang mengguna- kan golongan, tentu dimaksudkan untuk menunjuk satu golongan tertentu di tengah

5 Ibid. 210 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat 

masyarakat. Mudah ditebak, sasarannya adalah golongan Islam, apalagi selama ini, Menhankam Edy Sudradjat sudah dikenal sebagai pendu- kung organisasi-organisasi berslogan kebang- saan, seperti PCPP dan YKPK. Beliau tidak hanya mendukung PCPP, tapi juga mengharap- kan organisasi cendekiawan yang sama yang telah berdiri (PIKI, ISKA, ICMI, PCHI dan KCBI). “Karena wawasan kebangsaan sangat mengindahkan kondisi yang majemuk” (Tempo, 4 Juni 1994).6 Ketika Letjen (TNI) Hariyoto PS digantikan oleh Mayjen (TNI) R. Hartono sebagai Kasospol ABRI, Letjen TNI (Purn) Harsudiono Hartas berkomentar: “Yang saya tahu, Pak Hari- yoto itu memiliki sifat yang tebal sebagai prajurit Merah-Putih yang tidak pernah goyah oleh keadaan apa pun. Dia selalu mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan kelompok.”7 Kemudian sebuah media yang mengutip sumber yang tidak mau disebutkan namanya mengaitkan mutasi di ABRI itu dengan manuver B.J. Habibie. Media itu menulis, “Habibie, kata salah seorang pejabat tinggi negara, memang termasuk figur yang selama ini sangat gencar melakukan manuver politik sehubungan dengan suksesi mendatang.” Sumber itu lantas menunjuk sejumlah kebijakan-kebijakan politik Habibie selama ini yang berkaitan dengan pengangkatan

6 Ibid, hlm. 40. 7 Editor, 27 Januari 1994. 211  Ahmad Sumargono anggota DPR-MPR, dan terakhir mutasi para perwira militer Mabes ABRI.8 Ketika R. Hartono menggantikan Jenderal Wismoyo Arismunandar sebagai KSAD, muncul analisis Harold Crouch yang berjudul ABRI dan Islam, ia menulis: “Walau- pun para pemimpin ABRI sekarang berbaik-baik dengan golongan Islam yang diwakili oleh ICMI, sikap itu belum tentu meresap ke dalam tubuh ABRI yang sudah begitu lama curiga terhadap organisasi-organisasi Islam yang di- anggap berbau Neo-Masyumi.”9 Amien Rais juga menu- runkan tulisan yang bertajuk Islamophobia, menurutnya banyak media massa yang membuat komentar agak miring terhadap penggantian pucuk pimpinan ABRI akhir-akhir ini. “Secara jelas dapat kita baca melalui reading between the lines, ada pesan yang hendak disampaikan: Mau dibawa ke mana ABRI dan Indonesia kalau jenderal-jenderal di pucuk pimpinan adalah santri dan Islam,” tulis Amien.10 Arbi Sanit dalam sebuah tulisannya, menepis isu pergantian pimpinan ABRI itu dikaitkan dengan usaha-usaha meng-ijo royo-royo- kan ABRI, “Saya kira ijo royo-royo itu otomatis. Kalau sudah berbasiskan masyarakat maka akan ijo royo-royo, karena mayoritas masyarakat kita ini Islam.”11 DR. Anwar Haryono, Ketua Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII), cendekiawan dan tokoh Islam yang de-

8 Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 40-41. 9 Tiras, 23 Februari 1995. 10 Republika, 20 Oktober 1995. 11 Editor, 27 Januari 1994. 212 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat  kat dengan negarawan Dr. Mohammad Natsir, mengemu- kakan bahwa fenomena dunia militer yang dikemukakan Harold Crouch itu dengan komentar, “Tuan tentu tahu juga, bahwa yang Tuan sebut kaum militer itu kebanyakan adalah orang-orang Islam juga. Bahkan banyak pemimpin mereka, sejak dibentuknya embrio militer yang bermula dari PETA dan BKR, adalah pemimpin-pemimpin Islam. Tetapi sekali masuk dalam dinas militer, mereka terikat oleh disiplin militer.”12 Artinya siapa pun yang telah masuk dinas militer, apalagi dalam kariernya telah mencapai kedudukan strategis di militer, maka mereka secara naluriah harus ber- adaptasi dengan “kultur” militer. Sulit untuk menjadi sem- palan ideologis karena kukuhnya hierarki dalam organisasi kemiliteran. Hierarki yang ada dalam tubuh militer dan se- mangat de Corps dalam “kultur” militer itu membangun semangat solidaritas dalam lingkungan prajurit demikian kuat yang mengukuhkan doktrin militer itu sendiri.13 De- ngan demikian, isu santrinisasi atau penghijauan TNI ada- lah isu yang sengaja diciptakan untuk memojokkan Islam. Mengenai isu ini Gogon mempertanyakan mengapa isu semacam itu tak pernah terdengar saat ABRI dipimpin oleh jenderal-jenderal yang anti-Islam seperti Ali Moertopo dan Benny Moerdani di mana posisi-posisi strategis dalam

12 Media Dakwah, Maret 1995. 13 Dalam soal karakteristik militer di Indonesia dapat dilihat lebih jelas dalam tulisan Arbi Sanit, Sistem Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1988, atau dalam buku dengan pengarang yang sama yang berjudul Peta Kekuatan-Kekuatan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1981. 213  Ahmad Sumargono organisasi militer itu dipegang sepenuhnya oleh “orang- orang yang dekat” dengan kedua jenderal anti-Islam tersebut. Bagi Gogon ini sangat mengherankan. Ketika Laksamana Sudomo, Jenderal Benny Moerdani dan Jen- deral Maraden Panggabean naik di pucuk-pucuk pimpinan ABRI tidak pernah terdengar isu kristenisasi ABRI. Tidak ada yang menggembar-gemborkan isu adanya ABRI Merah, Kuning atau Jenderal Kristen.”14 Menurut Gogon kekhawatiran Menhankam tampaknya berlebihan apabila yang dimaksud “golongan tertentu” itu adalah kelompok-kelompok Islam. Tokoh ini sependapat dengan Menhankam bahwa kesatuan dan persatuan sangat penting dalam rangka terciptanya stabilitas nasional. Apalagi umat Islam sebagai komponen mayoritas bangsa ini, tentu- nya sangat berkepentingan dengan persatuan dan kesatuan ABRI sebagai tulang punggung persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan ABRI untuk bersahabat dan memba- ngun saling pengertian dengan umat Islam adalah langkah strategis bagi masa depan bangsa ini. Tetapi itu bukan ber- arti Islam harus ditakuti atau dianggap sebagai musuh bagi terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa. Karena, Islam sebagaimana terefleksi dalam perjalanan sejarahnya tidak menindas golongan lain. Islam, justru sebagaimana dibuk- tikan dalam penelitian Prof. George Mc. Turnan Kahin, adalah perekat bangsa Indonesia dan merupakan penyemai

14 Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 42. 214 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat  benih-benih nasionalisme sejak zaman kolonial Belanda.15 Dengan demikian, kekhawatiran Menhankam Edy Sudradjat tidak memiliki pijakan historis yang kuat. Pandangan kritis Gogon atas pernyataan Menhankam di atas tampaknya menjadi semacam ajakan kepada segenap pelaku politik di Indonesia, termasuk para jenderal militer, untuk bersikap fair dan elegant dalam menghadapi rivalitas perpolitikan di negeri ini. Tidak memojokkan satu kelompok politik, dengan menyanjung kelompok politik yang lain. Gogon setuju dengan anggapan bahwa TNI harus berada di atas semua golongan, tidak memihak pada satu kelompok politik tertentu. Tetapi, menurutnya sikap itu perlu diikuti oleh adanya perubahan dalam paradigma militer; TNI tidak lagi menjalankan peran sosial politik sebagaimana yang digariskan dalam doktrin Dwifungsinya. Ini berarti konsep Dwifungsi perlu dikaji ulang. Menurut Gogon hanya dengan itu militer dapat berdiri di atas semua golongan dan militer mampu membangun hubungan politik yang harmonis dengan segenap kekuatan politik yang sama-sama mencintai persatuan dan kesatuan Indonesia. Sikap kritis Gogon terhadap para jenderal TNI seperti yang ditunjukkannya atas pernyataan Jenderal Edy Sudradjat di atas tidak menghalanginya untuk tetap dekat dan merasa dekat dengan kalangan TNI. Ada kalangan yang mengatakan Gogon sangat dekat bahkan memiliki

15 Lihat, George Mc Turnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1972. 215  Ahmad Sumargono hubungan khusus dengan sejumlah petinggi militer, sebut saja dengan Letjen (TNI) Prabowo Subianto, putra dari Begawan Ekonomi Prof. DR. Sumitro Djojohadikusumo yang juga tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) di era 1950- an. Lainnya adalah Letjen Hendropriyono, Jenderal Subagio HS, Mayjen Muchdi, Mayjen Syafrie Syamsuddin, Mayjen Kivlan Zein. Empat nama terakhir adalah alumni Pelajar Islam Indonesia (PII) yang secara historis dan kultural orientasi Islam politiknya “berkiblat” kepada Masyumi. Gogon memiliki hubungan dan pandangan tersendiri mengenai orang-orang tersebut. Kedekatan hubungan itu tampak misalnya antara dirinya dengan Letjen Prabowo dan Kivlan Zein. Kedua jenderal TNI ini pernah berkun- jung ke rumahnya di kawasan Ciracas, Jakarta Timur, dan tampak tidak ada kesungkanan pada mereka untuk memasuki rumah Gogon dan berdialog penuh keterbukaan dengan tuan rumah yang sering dilukiskan media massa Barat sebagai “orang berbahaya” itu. Kedua jenderal itu tidak khawatir dicap dekat dengan “orang berbahaya” seperti Gogon. Kalau ditanya mengapa Gogon menjalin hubungan baik dengan para perwira tinggi TNI itu, maka jawabannya adalah karena wajah militer sekarang itu jauh lebih bersahabat kepada Islam dan para tokohnya ketimbang pada masa-masa sebelumnya.16 Para jenderal itu sendiri saat ini jauh lebih Islamic oriented, ketimbang pada masa-masa lampau. Lebih lanjut dijelaskan-

16 Tempo, 23 November 1998. 216 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat  nya, era sebelumnya sewaktu ABRI dikuasai kalangan militer non-Islam, jenderal sekuler dan Kristen, setiap khotbah, cera- mah atau kegiatan tablig akbar diawasi intel. Para intel ini tidak segan-segan membuat laporan palsu kepada atasan mereka (Benny Moerdani) yang kemudian membuat para dai, ustad atau pengkhotbah mendapatkan masalah serius dengan pihak keamanan. “Saya masuk penjara selama enam bulan pada ta- hun 1980, juga karena hanya ceramah. Ini hasil kerja orang- orang tertentu yang sekarang getol membicarakan demokrasi. Kalau mereka berkuasa lagi tentu akan kembali seperti itu, dengan membentengi diri dengan isu hak asasi,” ujar Gogon. Karakter militer di bawah Benny Moerdani dengan karakter militer sekarang jauh berbeda. Di sini, menurut Gogon, kita harus jujur terhadap sejarah. Tidak pernah terjadi dalam sejarah hubungan Islam dan negara selama ini di mana Markas Kopassus di Cijantung itu dibanjiri umat Islam seperti ketika Kopassus dipimpin oleh Mayjen Prabowo. Lebih dari itu jenderal yang baby face itu juga tanpa sungkan menunjukkan keberpihakannya kepada Islam. Dalam kesempatan pertemuan di Mako Kopassus–di hadapan massa umat Islam–Prabowo bahkan berteriak Allahu Akbar berkali-kali, sebuah simbol dukungan terhadap apa yang dilakukan Gogon dan rekan-rekannya dalam memperjuangkan aspirasi Islam.17 Mengenai hubungan Gogon dengan Prabowo, Gogon menyatakan tidak ada yang istimewa, biasa-biasa saja. Di-

17 Ibid. 217  Ahmad Sumargono akuinya jujur bahwa banyak tokoh umat yang lebih dekat dengan Prabowo ketimbang dirinya. Sebagai sahabat, Gogon pernah memberikan nasihat kepadanya untuk tidak ragu berpihak kepada umat Islam, sekalipun di kalangan Islam masih terdapat keraguan tentang komitmen Prabowo ter- hadap Islam. Ini karena ayahnya seorang Sosialis sedang ibunya seorang (beragama) Kristen. Atas nasihat itu, Pra- bowo tidak marah atau tersinggung. Ia justru menanggapi nasihat Gogon dengan baik. Mengenai kabar yang mengata- kan upaya Prabowo mendekati Gogon tidak lain untuk memoderatkan KISDI, dijawabnya, “itu bisa-bisa saja.” Gogon melanjutkan, “Sebenarnya saya berkenalan dengan Prabowo melalui Syafrie Syamsuddin–mantan Pangdam Jaya. Sekarang hubungan kami tidak terlalu intim lagi.”18 Gogon berhubungan dengan Prabowo dalam rangka kegiatan KISDI. Rupanya, Prabowo tertarik dengan kegiatan dakwah. Itu sudah jadi tugasnya untuk menjalin hubungan baik dengan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk dengan tokoh umat Islam. Prabowo itu akrab dengan siapa saja, baik dari kalangan agama maupun kelompok lainnya. Demikian pula sikap yang sama diperlihatkan Syafrie Syamsuddin, Muchdi P.R. dan Kivlan Zein. Mereka adalah perwira-perwira muda yang berbakat. Orang menilainya berbau Masyumi atau alumni Pelajar Islam Indonesia (PII). Mengenai anggapan orang bahwa Gogon merupakan guru spiritual Prabowo, ia menjawab, “Itu anggapan orang, dia

18 Ibid. 218 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat  lebih tertarik dengan guru ngaji yang mistik, misalnya Abah Anom atau Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Saya bukan tipe Cak Nun. Prabowo juga dekat dengan Kiai Yusuf Hasyim dari Nahdlatul Ulama, di samping Gus Dur.” 19 Mengenai penculikan yang dituduhkan kepada Prabowo, Gogon menyatakannya hal itu sebagai berita yang tidak benar sepenuhnya. Gogon mengakui bahwa Prabowo terli- bat aksi penculikan aktivis, namun ia–menurut Gogon– berani sumpah dengan Alquran bahwa dirinya tidak per- nah memerintahkan anak buahnya melakukan penem- bakan terhadap para aktivis sebagaimana yang dituduhkan media massa. Gogon menilai bahwa aksi penculikan itu merupakan bagian dari kerja intelijen. “Bukankah pen- culikan ini sebenarnya strategi intelijen saat Soeharto ber- kuasa?” Demikian Gogon menanyakan dengan penuh ke- heranan. Lalu, ia mengingatkan orang-orang yang menuduh Prabowo secara berlebihan bahwa sekalipun jenderal itu melakukan penculikan–sebagaimana yang dituduhkan, tidak ada satupun aktivis yang diculiknya mengalami cacat karena siksaan berat. Para aktivis yang diculik, setelah dilepaskan, tetap dalam keadaan baik lahir dan batin.20 Kemudian Gogon mengajak mereka yang menuduh Prabowo untuk membandingkan apa yang dilakukan oleh menantu Soeharto itu dengan apa yang telah dilakukan Sintong Panjaitan di masa lampau. Di mata Gogon, pen-

19 Gatra, 2 Januari 1999. 20 Mengenai kasus penculikan ini, lihat S. Sinansari ecip, Siapa “Dalang” Prabowo, Bandung: Mizan, 1999. 219  Ahmad Sumargono culikan yang dilakukan Sintong jauh lebih parah, dan tidak berperikemanusiaan. Puluhan aktivis yang diculiknya mati dibunuh atas perintah Sintong. Ini menurut Gogon aneh dan sama sekali tidak fair. Prabowo dipecat dari jabatannya secara tidak hormat dan memalukan, sementara Sintong bukannya dipecat malahan terus mendapat kenaikan pangkat dan jabatan.21 Gogon demikian gamblang menceritakan “kedekatan- nya” dengan sejumlah kalangan militer. Keterbukaan, ke- terusterangannya, merupakan satu kejujuran dan ketulusan dari sosok politisi yang juga dai ini. Bahwa apa pun, di mana pun, kapan pun sebuah interaksi, rivalitas, dan persentuhan yang dibangun oleh dirinya kepada siapa saja, betapapun bernuansa politik, maka keadilan memberi penilaian terhadap manusia haruslah dikedepankan, bukan prasangka, apalagi fitnah, yang dalam agama tentunya sangat pantang dilakukan. Dalam masalah membina hubungan dengan siapa pun di kalangan militer, demi kebaikan umat baginya adalah hal yang terpenting. Suatu ketika Jenderal Wiranto membentuk Garda Muda Merah Putih (GMMP). Oleh Wiranto, Gogon ditawari jabatan sebagai tim ahli dalam organisasi ini. GMMP adalah organisasi yang diketuai oleh Adhyaksa Dault, SH, seorang anak pengacara terkemuka H.M. Dault, SH yang merupakan wadah untuk membangkitkan semangat kebangsaan dan me- nyatukan potensi bangsa. Gogon menerima tawaran Jenderal Wiranto, yaitu duduk sebagai tim ahli dalam GMMP bersama

21 Tempo, 23 November 1998. 220 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat  sejumlah tokoh lainnya. Mengapa Gogon maun menerima tawaran Jenderal Wiranto itu? Diakuinya terus terang bahwa di matanya Jenderal Wiranto adalah sosok perwira TNI yang dekat dengan Islam: Gogon mengatakan, “Saya menerima tawaran duduk dalam kepengurusan GMMP karena Jenderal Wiranto dekat dengan kelompok Islam dan mau bekerja sama dengan kelompok Islam. Ia sosok pribadi yang tidak usil dan sangat dekat dengan sejumlah tokoh Islam. Memang ada penilaian saya agak miring terhadap Jenderal itu, saat dekat dengan Prabowo Subianto, akan tetapi dari segi ideologis dan strategi keduanya dapat menjadi partner.”22

Sumargono dan Nasionalis Sekuler

Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu lebih dari 87 persen. Sejarah umat Islam Indonesia memberikan banyak bukti bahwa penganut agama ini tidak akan pernah mencampuri urusan agama- agama lain. Toleransi beragama benar-benar dipegang teguh oleh kaum Muslimin Indonesia selama ini. Umat Islam tidak suka menghasut, menuding, menjelek-jelekkan agama dan umat beragama lain tanpa dasar dan argumen- tasi yang kukuh semata demi memperoleh keuntungan sesaat. Tapi, apa yang dilakukan oleh umat lain terhadap Islam, menurut Gogon, justru sebaliknya. Berbagai peng- hinaan, penistaan dan perendahan martabat Islam dan umat

22 Wawancara dengan Ahmad Sumargono, Selasa, 30 Desember 2003. 221  Ahmad Sumargono

Islam telah sering kali dilakukan umat lain. Bagi Gogon ini sangat ironis. Ia lalu mencontohkan beberapa kasus berikut.

Persiapan menggugat kasus pelecehan Islam oleh Theo Syafei.

Laksamana (Purn.) Sudomo, Mayjen (Purn.) Theo Syafei dan Liem Bian Koen (Sofyan Wanandi) adalah tiga nama yang menjadi sorotan tajam dari Gogon dalam kaitannya dengan penghinaan dan marjinalisasi Islam di Indonesia. Ketika mele- tus aksi kerusuhan di Tasikmalaya, Sudomo tanpa melakukan penelitian mendalam langsung saja menuduh bahwa anarki sosial di kota itu didalangi oleh apa yang disebutnya sisa-sisa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Mereka adalah para pelanjut dari gerakan pemberontak Muslim di masa lampau. DI/TII menurut Sudomo sangat mungkin adalah master mind 222 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat  aksi kerusuhan Tasikmalaya itu.23 Tuduhan tak berdasar kepada Islam ini bukan sekali saja dilakukan. Sudomo telah melakukan- nya berkali-kali, dengan segala akibatnya yang amat buruk ter- hadap para aktivis Islam. Namun, menurut Gogon, ia–sekalipun tuduhannya sering kali keliru–tidak pernah minta maaf kepada umat Islam. Juga tidak pernah kapok. Karena terbukti, mantan tokoh di masa Orde Baru ini sering kali mempopulerkan istilah “ekstrem kanan” bagi kelompok-kelompok Islam yang dianggap berseberangan dengan kebijakan politik Orde Baru. Malah pada tanggal 21 Januari 1997 ia mempopulerkan lagi istilah “ekstrem kanan”, sebuah jargon politik yang kini lagi populer.24 Sama seperti Sudomo, Theo Syafei menurut Gogon juga seorang tokoh yang paling tampak permusuhannya kepada Islam dan para aktivisnya. Apa yang dilakukan Theo terhadap Islam dan aktivisnya sudah kelewat batas. Di mata Gogon, Theo melakukan berbagai manuver politik yang menyudutkan kelompok Islam di Indonesia yang dilakukannya melalui rekaman ceramah-ceramah yang bersifat memfitnah, menyebarkan fakta-fakta palsu, dan melecehkan Islam di hadapan aktivis gereja. Ini pun tidak dilakukannya sekali saja. Theo sudah sering kali melakukan penghinaan terhadap Islam tanpa merasa bersalah sama sekali. Menurut Gogon apa yang dilakukan Theo itu sangat luar biasa.25

23 Lihat ‘Sudomo dan Ekstremisasi Islam,” dalam Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 45. 24 Ibid. 25 Lihat Ahmad Sumargono, “Makna Penting Kasus Theo Syafei,” dalam Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 57-60. 223  Ahmad Sumargono

Tokoh lainnya adalah Sofyan Wanandi alias Liem Bian Koen, mantan Ketua Persatuan Mahasiswa Katolik Re- publik Indonesia (PMKRI) yang menurut Gogon jelas- jelas melakukan kebohongan kepada rakyat Indonesia. Gogon menjelaskan ucapan Sofyan Wanandi pada sejumlah tabloid ternama di Jakarta seperti Majalah Gatra (31 Januari 1998), Tabloid Paron (31 Januari 1998), dan Harian Merdeka (27 Januari 1998). Kutipan-kutipan dari pernyataannya yang diangkat oleh Gogon dalam tulisannya, di antaranya pernyataan Sofyan Wanandi berikut: “…Jangan ngomong politik sama saya. Saya sudah 20 tahun lebih, sejak 1975, tak mau terlibat. Tapi kalau you tanya, saya diajak-ajak politik praktis saya enggak mau lagi.” “Saya dulu main politik, tapi begitu banting setir, saya tak pernah mau tahu politik praktis lagi” (Gatra, 31 Januari 1998).

Sofyan Wanandi: “Saya ngertinya urusan bisnis” (Paron, 31 Januari 1998).

“Sampai sekarang kita betul-betul tidak terlibat politik. Enggak ikut kita kalau politik. Kita takut politik” (Merdeka, 27 Januari 1998).26

26 Ahmad Sumargono, “Kebohongan Liem Bian Koen (Sofyan Wanandi),” dalam Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 53. 224 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat 

Apa benar bahwa Sofyan Wanandi itu tidak berpolitik, takut politik dan sebagainya? Ucapan-ucapan dia, menurut Gogon di dalam dan luar negeri jelas-jelas menunjukkan adanya indikasi gerakan subversif ekonomi, yaitu memaksa- kan kehendak politik dengan cara mengacaukan ekonomi, sehingga penguasa sekarang mau menuruti kehendak me- reka.27 Liem Bian Koen dan kelompoknya, bagi Gogon, adalah contoh oknum dan kumpulan oknum yang secara mudah dapat dilihat sebagai “pelaku pembohongan publik”, meminjam istilah Amien Rais, mereka-mereka itu adalah makhluk sejenis vampire pengisap darah yang tidak pernah puas.28

Sumargono dan Elit Islam

Dalam beberapa event aksi sosial maupun politik, ber- silaturahmi dan melakukan penggalangan umat, Gogon tidak segan-segan untuk melibatkan berbagai kalangan. Hal ini menunjukkan keterbukaannya untuk bekerja sama de- ngan siapa saja demi suatu kebaikan. Sebagai contoh, Go- gon memiliki pandangan yang berbeda dengan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Akan tetapi perbedaan itu tidak mengu- rangi rasa hormat kepada cendekiawan itu untuk mengha- dirkannya memberikan ceramah, membangun silaturahmi

27 Ibid, hlm. 55-56. 28 Ibid. 225  Ahmad Sumargono dan saling tukar informasi melalui berbagai akivitas yang dilakukan Gogon dengan organisasi yang pernah dipim- pinnya, seperti Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI) dan KISDI. Sepanjang perjalanan hidupnya, Gogon telah banyak berinteraksi, berguru, bergaul dan belajar dari banyak tokoh Islam. Sebagian mereka menjadi guru, sahabat, dan seba- gian lagi setidaknya memiliki apresiasi positif atas apa yang dilakukannya selama ini. Gogon sendiri memiliki kesan- kesan tersendiri tentang para tokoh dan elit Islam itu. Begitu juga mereka terhadap Gogon. Di bawah ini kami akan urai- kan serba singkat beberapa elit Islam yang penah bersentuh- an secara langsung dengan tokoh yang kita kaji ini. DR. Mohammad Natsir. Gogon hampir selalu menye- but nama tokoh puncak Masyumi ini dengan rasa hormat dan kekaguman mendalam. Natsir, sebagaimana tokoh- tokoh Masyumi lainnya memang patut mendapat penghor- matan tinggi mengingat jasanya yang luar biasa tidak hanya bagi Islam dan umat Islam Indonesia, tetapi juga bagi bang- sa ini secara keseluruhan. Bahkan Natsir juga memiliki jasa besar dalam pergerakan Islam Dunia dengan keterlibat- annya dalam kegiatan Rabithah Alam al Islami yang berpu- sat di kota Makkah, Saudi Arabia. Natsir juga layak dihor- mati dan dikagumi karena kepribadiannya–yang meminjam istilah Yusril Ihza Mahendra–“penuh sejuta pesona”. Hi- dupnya sangat sederhana, sekalipun ia sedang memegang jabatan tinggi dalam pemerintahan Republik Indonesia.

226 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat 

Natsir, sebagaimana tercatat dalam sejarah, pernah menja- bat sebagai Menteri Penerangan di zaman revolusi kemer- dekaan (1945) dan Perdana Menteri RI (1950-1951). Orang tahu di masa itu ia tetap berpakaian sederhana dan–seperti diakui Prof. Mc Turnan Kahin–penuh tambal sulam. Dia biasa bersepeda ke kantornya tanpa rasa malu sedikit pun. Sebuah sikap hidup yang amat langka di zaman kita sekarang! Bagi Gogon sendiri, penghormatan dan kekagumannya pada beliau juga karena Natsir adalah penggagas berdirinya Komite Indonesia Solidaritas untuk Dunia Islam (KISDI) pada tahun 1987, organisasi pergerakan Islam yang telah memunculkan Gogon sebagai elit politik Islam Indonesia. Sumargono diberi kepercayaan untuk memegang pimpinan sebagai Ketua Harian komite tersebut. K.H. Rusyad Nurdin. K.H. Rusyad adalah tokoh dai dan pemimpin Masyumi terkemuka pada dekade 1950-an. Beliau dikenal keberaniannya sebagai politikus Masyumi pada masa itu karena perlawanannya yang keras tanpa kompromi terhadap kekuatan komunis (PKI). K.H. Rusyad juga merupakan salah satu tokoh penting dalam proses berdirinya KISDI. Gogon banyak bercermin pada tokoh Masyumi yang satu ini. Kepribadian K.H. Rusyad meng- ajarkan Gogon untuk tetap ingat pada asal-usulnya dahulu; dari kehidupan susah dan penuh keprihatinan di masa lalu hingga masa makmur dan mencapai posisi terhormat sekarang ini. K.H. Rusyad mengajarkan Gogon agar seperti 227  Ahmad Sumargono

“kacang yang tak lupa akan kulitnya”. DR. H. Anwar Haryono. Ia adalah juga seorang tokoh Masyumi terkemuka yang jasanya juga luar biasa bagi Islam dan bangsa Indonesia. Kehidupan Anwar penuh liku-liku perjuangan sejak masa muda hingga masa tuanya. Anwar adalah seorang politikus dan pejuang Muslim yang amat gigih, yang di mata Gogon patut dijadikan contoh serta te- ladan bagi umat Islam. Mengenai tokoh ini, Gogon pernah menulis sebuah artikel berjudul “Jiwa Besar Dr. Anwar Haryono”. Kita simak bagaimana Gogon memandang tokoh Masyumi tersebut, Saya mengenal Pak Anwar, meskipun saya bukan pengurus Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII). Suaranya yang lembut dan perhatiannya yang besar terhadap aktivitas yang saya kerjakan … Ia seringkali menelpon langsung ke rumah saya, untuk sekadar bertanya, “Apa perkem- bangan terbaru?” atau sekadar menyatakan, “apa yang Saudara lakukan itu baik.” Sebagai orang yang lebih muda, tindakan-tindakan Pak Anwar itu cukup simpatik.29 Berkaitan dengan itu di bagian lain dari tulisan Gogon, dikemukakan pula:

29 Ahmad Sumargono, “Jiwa Besar DR. H. Anwar Haryono,” dalam Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 149. 228 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat 

Kesabaran, kesederhanaan, dan halus tutur katanya menjadi ciri khas yang sangat menonjol. Tiga sikap itulah yang sering kali meluluhkan berbagai “sikap keras” generasi yang lebih muda. Lagi pula, sikap politik Pak Anwar sama sekali tidak dimanfaatkan untuk mengeruk ke- untungan pribadi. Kedekatannya dengan penguasa tidak membuat hidupnya berubah sama sekali. Ia hidup sederhana. Semua itu dilakukan sebagai hasil “ijtihad politiknya” yang matang dan mendalam untuk meraih apa “yang terbaik” bagi umat Islam.30 Ada bagian lain yang dikemukakan Gogon mengenai Anwar Haryono dan ini memiliki relevansi dan benang me- rahnya dengan perpolitikan menjelang jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Gogon bercerita: Setiap saya diundang dalam suatu acara ke Istana Negara dan bertemu dengan Presiden Soeharto oleh DR. Anwar Haryono, saya selalu menolak dengan halus. Undangan itu menim- bulkan posisi dilematis bagi saya… Langkah- langkah Pak Anwar yang melakukan strategi “politik akomodatif ” terhadap Soeharto dan pemerintah Orde Baru, bukannya tidak menim- bulkan kontroversi yang tajam di kalangan war-

30 Ibid, hlm. 150. 229  Ahmad Sumargono

ga DDII sendiri… Sejumlah aktivis datang ke saya dan berkata dengan nada tinggi bahwa Pak Anwar Haryono sudah tidak bisa dipercaya lagi. “Tangga Istana sudah menjadi licin mengkilap, gara-gara diinjak oleh sepatunya Anwar Haryo- no,” ujar seorang anak muda.31 Peristiwa di atas harus dikaitkan dengan peristiwa sebelumnya sebagai suatu peristiwa politik yang “diakronik”, yaitu suatu peristiwa yang bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan ada bandingnya, ada keterkaitannya dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Gogon lebih lanjut men- jelaskan hal ini: Strategi politik akomodatif terhadap penguasa Orde Baru sudah dilakukan oleh Pak Natsir (almarhum), ketika beliau merestui pendirian ICMI, tahun 1990. Boleh dikatakan, hubungan pemerintah Orde Baru dan DDII–sebagai pewaris Masyumi–berlangsung mesra, sehingga memunculkan isu “Neo-Masyumi”.32 Di “mata” Gogon, strategi politik yang dilakukan tokoh Masyumi itu, termasuk Pak Anwar Haryono bukan tanpa risiko. Sebagai pucuk pimpinan DDII beliau menjadi sasaran fitnah. Anwar Haryono, tidak bosannya berulang kali menjelaskan tugas pokok dakwah yang menurut beliau

31 Ibid, hlm. 149. 32 Ibid. 230 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat  amar ma’ruf nahi munkar. Pandangan beliau itu tetap, tidak pernah berubah. Beliau mengartikan perintah Alquran itu bukan sebagai sikap harus bermusuhan, membenci atau mencari-cari musuh. Dalam implementasinya, ayat itu se- sungguhnya seperti obat bagi penyakit. Ia berfungsi me- nyembuhkan penyakit. Dan dalam hal ini, sebagaimana diutarakan Gogon, yang penting bukan rasa pahitnya, tetapi kemampuan obat menyembuhkan penyakit. “Apa obat itu harus rasanya pahit. Yang penting adalah khasiatnya, bukan rasanya.”33 Demikian perumpamaan Anwar dalam melaksanakan perintah amar ma’ruf nahi munkar. Sikap jiwa besar Pak Anwar Haryono dapat terlihat ketika ada perbedaan pendapat dengan KISDI. Ketika itu KISDI mengeluarkan statemen akhir tahun 1997 yang di antaranya meminta MPR tidak lagi mencalonkan Soeharto sebagai Presiden untuk keenam kalinya. Atas pernyataan itu, Anwar juga tidak menunjukkan penolakannya. Peristiwa lain adalah ketika menjelang lengsernya Soeharto, 21 Mei 1998. Anwar Haryono sempat terlibat perdebatan seru de- ngan Amien Rais di kediamannya tentang bagaimana sikap yang harus dilakukan dengan Soeharto. Rupanya ada perbe- daan pandangan serius antara kedua tokoh itu dalam menyi- kapi situasi menjelang kejatuhan Soeharto. Kedua tokoh itu akhirnya sepakat untuk “berpisah jalan”. Pak Anwar sempat menitikkan air mata dan beliau sama sekali tidak menghalangi apa yang dilakukan Amien. Apalagi

33 Ibid. 231  Ahmad Sumargono menyalahkan keyakinan politik Amien Rais. Demikian pula pada saat menjelang deklarasi Partai Bulan Bintang. Amien Rais yang diminta Pak Anwar memimpin PBB, menolak permintaannya. Pak Anwar sedih, ia pun me- nitikkan air mata. Ia menyadari harus “berpisah jalan” dengan Amien Rais, elit politik Islam terkemuka yang telah dianggap sebagai anaknya sendiri. Walaupun permintaannya ditolak Amien, Pak Anwar ikhlas, terbukti ketika mendengar Amien Rais diminta untuk datang ke Kejagung karena ada kasus politik yang menimpanya, Pak Anwar resah. Ia pun lalu me- nelpon sejumlah orang dan meminta agar Amien Rais jangan sampai ditangkap. Ucapnya, “Bagaimanapun Amien Rais itu seperti anak saya.”34 Kualitas kepribadian dan kepemimpinan Anwar Haryono termasuk langka. Dan yang pasti, patut diteladani. Bagi Gogon, sosok seperti Anwar adalah sosok yang kini diharapkan kemunculannya. Ia menyatakan, “Pada kondisi seperti saat ini, kita sebenarnya membutuhkan kehadiran figur DR. Anwar Haryono yang keteduhan dan kelembutannya diharapkan dapat menenangkan jiwa yang sedang panas dan bergolak. “Tetapi,” lanjutnya, “tokoh Masyumi itu telah tiada lagi.” Prof. DR. Nurcholish Madjid (Cak Nur). Gogon merupa- kan salah satu tokoh Islam yang sangat dekat dengan Cak Nur. Terbukti dengan seringnya Gogon berjumpa, bersilatu- rahmi dan berdialog dengan cendekiawan Muslim terkemuka

34 Ibid, hlm. 151. 232 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat  itu dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh GPMI. Antara Gogon dan Cak Nur tentu saja terdapat perbedaan pemikiran yang cukup tajam. Perbedaan itu menyangkut ber- bagai hal. Bagaimana pandangan Gogon sendiri mengenai Cak Nur? Gogon mengagumi keislaman dan komitmen Cak Nur terhadap Islam, terlepas apa pun manuver yang pernah dilakukan tokoh cendekiawan itu di masa lalu. Kita simak komentar Gogon tentang tokoh ini. “Dari sisi konsistensi ucapan Islam yes dan partai Islam no, kita mesti salut. “Komit- men Cak Nur pada Islam juga jelas. Cak Nur adalah salah seorang humanis yang menghindari benturan, dan tidak masuk politik praktis. Namun, dari segi akidah, lain masalah,” lanjut Gogon, “kita tidak bisa memberi toleransi pada pernyataannya, ‘tiada tuhan (t) kecuali Tuhan (T), dan yang sejenisnya.”35 Prof. DR. M. Amien Rais. Mengenai sosok yang diberi gelar Lokomotif Reformasi, dan di era 1980-an pernah disebut “Natsiris” ini, Gogon memberikan apresiasi kepada Amien dalam soal calon presiden dari kalangan umat Islam (seti- daknya masa tahun 1998-an), akan tetapi, ia ‘kan tidak bisa diterima militer.36 Tampaknya Gogon lebih mengkritisi Amien Rais tidak hanya dalam melihat posisi kekuatan-ke- kuatan politik dalam memandang “lokomotif ” Reformasi itu, melainkan juga sejumlah persoalan akibat pernyataan Amien Rais yang sering kontroversial yang mengundang Gogon untuk melakukan penilaian tersendiri kepada tokoh

35 Tempo, 23 November 1998. 36 Tempo, 23 November 1998. 233  Ahmad Sumargono ini. Penulis anggap penting untuk diamati lebih dalam atas tulisan yang bertajuk “Tentang Amien Rais: Mari Berpikir secara Proporsional dan Wajar,” Gogon mengemukakan- nya, sebagai berikut: Saya sudah melihat gejala kecenderungan munculnya sikap partisan dan fanatisme buta, bahwa apa pun yang dilakukan Amien Rais adalah benar, sehingga tidak membuka ruang untuk berdebat…Saya tidak ingin melihat seorang Amien Rais atau siapa pun manusia di muka bumi ini seperti seorang Nabi, yang ma’shum, dan tidak bisa berbuat salah. Bagi saya Amien adalah tokoh, sahabat, dan teman per- juangan. Namun, saya tidak ingin menempat- kan diri sebagai “yes man” atau “mufassir” bagi Amien Rais, yang mencoba mencari-cari pembenaran terhadap ucapan dan tindakan seorang tokoh bernama Amien Rais.37 Tulisan Gogon ini merupakan responsnya atas sebuah tulisan yang dimuat di Tabloid Amanat Nasional No. 023/25 Maret 1999 yang membuat pembelaan habis-habisan terhadap tindakan Amien, berkaitan dengan ucapannya tentang permintaan intervensi moral kepada AS. Di sini Gogon menunjukkan konsistensinya, mendukung seseorang kalau ia benar, tapi mengritiknya kalau keliru. Bagi Gogon, “Kalau Amien Rais benar, saya dukung. kalau saya anggap salah, saya

37 Sumargono, Saya Seorang Fundamentalis, hlm. 144. 234 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat  kritik, dan ini berlaku kepada siapa pun” (sambil menyebut sejumlah nama tokoh).38 Masalahnya siapa pun yang disukai atau tidak disukai, didukung atau tidak didukung tidak berarti semua itu menjadi sesuatu wilayah “haram” untuk dikritik, apalagi bila semangat demokrasi telah menjadi bagian sikap politik semua pihak yang ingin membangun reformasi politik di negeri ini.

Sumargono di Mata Pengamat Politik Barat

Kajian-kajian mengenai dinamika dan pergulatan politik Islam Indonesia yang dilakukan pengamat Barat (asing)–atau sering dijuluki Indonesianist sering kali merupakan hasil penelitian yang sangat berharga dan patut dijadikan rujukan. Kerja keras, loyalitas akademis, disiplin serta empati mereka yang mendalam terhadap objek studi mereka–dalam bebe- rapa sisi–patut diacungkan jempol. Studi-studi mereka jelas bermanfaat dan “mencerahkan” alam pikiran (intellectually enlightened) kita dalam memahami pergulatan Islam dengan proses-proses politik dunia modern dewasa ini. Tidak jarang di antara karya-karya Indonesianist itu seakan memberikan “kata putus” dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar Islam dan politik Indonesia. Karya George Mc Turnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia,39 sering dijadikan rujukan

38 Ibid. 39 George Mc Turnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1952. 235  Ahmad Sumargono penting untuk menganalisis sebab-sebab dan faktor-faktor historis yang mendorong lahirnya nasionalisme dan peranan Islam di dalamnya. Demikian juga, karya muridnya–Benedict Anderson–Java in a Time of Revolution, Occupation and Resistence, 1944-194640 yang mengkaji ulang dinamika revolusi Indonesia dan sekaligus kritik tajam atas karya Kahin itu. Tak kalah hebatnya adalah studi Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.41 Sebuah karya yang di mata para ahli Indonesia merupakan karya terbaik menge- nai demokrasi zaman Demokrasi Liberal dan peran-peran partai-partai Islam di masa itu (1951-1959). Juga, karya yang disuntingnya bersama Lance Castles, Indonesian Political Thinking, 1945-1965 yang berisi koleksi pemikiran para politisi dan pemikir Indonesia terkemuka sejak 1945-1965.42 Begitu kuatnya argumentasi karya ini, berkembang anggapan hampir merata di kalangan peneliti Indonesia bahwa rasanya kurang sempurna seandainya menulis pemikiran politik Indonesia pascakolonial tanpa mengutip karta Feith dan Castles di atas.

40 Benedict Anderson, Java in a Time of Revolution Occupation and Resistance, 1944- 1946, Ithaca: Cornell University Press, 1972. 41 Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1962. ]42 Herbert Feith and Lance Castles (eds.), Indonesian Political Thinking, 1945-1965, Ithaca; Cornell University Press, 1972. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1965, Jakarta: LP3ES, 1987. Namun sayangnya, dalam edisi terjemahan itu pemikiran tokoh- tokoh PKI seperti Aidit tidak dimasukkan. Ini tentu mengurangi makna pen- tingnya karya itu. Penulis menduga hal itu terjadi mungkin karena penerbit khawatir akan tekanan politik pemerintah Orde Baru yang sangat antikomunis dan PKI ketika itu. 236 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat 

Ambil dua contoh lain. Karya Clifford Geertz, Religion of Java.43 Sebuah karya antropologi politik yang memiliki tesis bahwa masyarakat Jawa terdiri dari tiga kategori sosial– santri, priyayi dan abangan–ini selalu dijadikan rujukan da- lam menganalisis pergulatan Islam versus kaum Nasionalis, PKI dan seterusnya. Uniknya, meski karya ini sudah dikritik habis-habisan oleh para ahli Indonesia sendiri–misalnya M.C. Ricklefs, Harsya Bakhtiar dan Kuntjaraningrat–seba- gai karya antropologis penuh mitos, penuh kesalahan sis- tematis dalam penelitiannya, keliru dalam membuat tipologi sosialisme namun tetap saja jadi rujukan penting dalam studi-studi Indonesia. Hegemoni akademis Geertzian ba- rangkali baru mulai runtuh pada dekade 1980-an, yaitu keti- ka terjadi proses santrinisasi di kalangan elit birokrasi politik Indonesia dan semakin taatnya mantan Presiden Soeharto terhadap ajaran-ajaran Islam yang diyakininya. Karya Greg Barton asal Deakins University Australia, Pemikiran Islam Liberal di Indonesia44–yang menganalisis pemikiran liberal Cak Nur, Gus Dur, Johan Effendi dan Ahmad Wahid– seakan menjadi “kata putus” untuk menjelaskan fenomena kemunculan JIL () yang dimotori Ulil Absor Abdalla. Dengan karyanya itu, Greg tiba-tiba men- jadi akademisi Australia yang paling otoritatif dalam topik- topik liberalisme Islam di Indonesia.

43 Clifford Geertz, Religion of Java, Illinois: The Free Press of Glencoe, 1960. 44 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Paramadina, 1999. 237  Ahmad Sumargono

Kami tentu tidak sedang, dan ingin, berapologi membela Islam dan para tokoh gerakannya, atau mengritik tanpa dasar karya-karya Indonesianist di atas. Kesempatan dan ruang yang amat terbatas dalam tulisan tidak memungkinkan untuk itu. Tanpa mengurangi penghormatan kita atas karya-karya mereka, kita juga melihat bahwa sebagian (tidak semua) para pengamat Barat itu sering melakukan stigmatisasi dan stereotip-stereotip negatif mengenai Islam dan tokoh-tokoh pergerakan Islam. Ini jelas secara akademis maupun politik merugikan kepentingan Islam. Sebuah disertasi doktor yang ditulis Thomas Myer, The Development of Indonesian Socialist Party di University of Chi- cago merendahkan Masyumi dan tokoh utamanya, Moham-mad Natsir.45 Ia menyebutkan bahwa PSI dan tokohnya–Sutan Syahrir–secara intelektual dan politik lebih unggul dari Partai Islam Masyumi dan Natsir. Ia–dalam sudut pandang kami–merendahkan Masyumi dan Natsir dengan mengatakan bahwa PSI dan Syahrir merupakan brain trust dari pemikiran dan aksi politik Masyumi, khususnya di bawah kepemimpinan Natsir. Dikesankan seolah-olah Na-tsir adalah “Pak Turut” –hanya “membeo saja” atas segala titah PSI dan Syahrir. Seolah-olah Natsir –juga pemimpin-peminpin Masyumi–“orang-orang” awam kurang pendi-dikan (poorly educated) yang mau begitu saja mengikuti kemauan kaum Sosialis pengikut Syahrir.

45 Thomas Myers, “The Development of Indonesian Socialist Party, “Unpublished Ph.D. Dissertation Chicago University, 1952. 238 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat 

Kesimpulan itu tentu saja misleading dan patut dipertanya- kan. Data sejarah menunjukkan bahwa tokoh-tokoh Masyu- mi seperti Natsir, Roem, Syafruddin Prawiranegara, Sukiman bukanlah sekadar “aktivis politik”, melainkan juga tokoh- tokoh intelektual sangat terdidik (well educated intellectuals), memiliki visi dan misi yang hebat, kadang melampaui zaman mereka. Karena itulah, mereka juga dikenal sebagai demokrat tulen (true democrats) yang berani melawan kediktatoran Sukarno meskipun kemudian harus mengorbankan partai mereka, Masyumi, yang bubar berantakan pada 1960. Kesimpulan-kesimpulan akademis yang misleading seperti itu masih banyak kita temukan sampai sekarang dalam ber- bagai tulisan para Indonesianist. Kita ambil contoh dua tulis- an yang agak miring tentang politisi Muslim Ahmad Sumar- gono dan Partai Bulan Bintang-nya (PBB). Pertama, artikel yang ditulis Michael Davis, Laskar Jihad and the Political Position of Conservative Islam in Indonesia46 yang mengulas ge- rakan Laskar Jihad dalam politik Indonesia pascakejatuhan Soeharto. Membaca artikel itu, satu kesan tampak; Michael Davis nyaris tidak memiliki empati mendalam atas gerakan Laskar Jihad, termasuk para tokohnya seperti Ustad Ja’far Umar Thalib. Dengan nada serupa ia menyinggung peran politik KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), PBB (Partai Bulan Bintang), DDII (Dewan Dakwah Islamiah Indonesia) dan salah satu tokoh utamanya, Ah-

46 Michael Davis, “Laskar Jihad and the Political Position of Conservative Islam in Indonesia,” Contemporary Southeast Asia, Volume 24 No. 1, April 2002. 239  Ahmad Sumargono mad Sumargono. Tulisan ini cenderung melakukan stereo- tip negatif tentang Islam politik Indonesia dengan para tokohnya seperti Ja’far Umar Thalib dan Sumargono. Juga terhadap Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim. Davis menyebut Indonesia–dengan mengutip mantan Dubes AS untuk Indonesia Paul Wolfowitz–heavens for terrorists, sarang teroris. Tokoh-tokoh gerakan Islam di- stigmatisasi sebagai conservative Muslim, anti-Christians, frustrating dalam menghadapi transisi demokrasi, terjangkiti opportunism dan seterusnya. Disebutkannya juga bahwa Laskar Jihad dibentuk karena ketakutan bila Indonesia menjadi negara demokratis. Ia ingin mengesankan Laskar Jihad antidemokrasi dan oportunis; This provided the context for the creation of Laskar Jihad in one sense, ‘conservative Muslims’ worst fears were being realized as the prospect of democratic system directly threatened groups with minimal electoral support.47 … In other respect, however, the creation of Laskar Jihad was based on calculation and opportunism, reflecting the political priorities of conservative Muslim groups following the 1999 elections.48 Kedua, tulisan Martin van Bruinessen–antropolog terkemuka asal Belanda. Tulisan Martin juga memiliki ke- cenderungan serupa dengan Michael Davis. Ia melakukan stigmatisasi dan stereotip negatif terhadap gerakan Islam Indonesia berikut tokoh-tokohnya. Kita mengenal Martin

47 Ibid, hlm. 14. 48 Ibid, hlm. 16. 240 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat  sebagai sosok ilmuwan yang memiliki integritas keilmuan yang patut dipuji. Juga kegigihannya dalam penelitian mengenai Indonesia. Studinya mengenai tarekat dan gerak- an-gerakan tarekat di Indonesia banyak dijadikan rujukan keilmuan karena bobot ilmiahnya yang bermutu. Namun, di sini ironinya. Ketika mengkaji gerakan-gerakan Islam politik pasca-Soeharto, terlihat Martin serasa kurang memiliki empati terhadap objek studinya. Dalam artikelnya, Genealogies of Islamic Radicalism in post-Soeharto Indonesia,49 Martin menilai KISDI dan Sumargono sebagai gerakan Islam dan tokoh Islam garis keras yang sengaja dibentuk untuk menghantam umat non-Muslim, khususnya Yahudi dan Kristen. Para pendiri KISDI–tentu termasuk Sumargono–oleh Martin dijuluki sebagai tokoh yang beringas terhadap non-Muslim: “Its founders belong to the most hard-line wing of DDII, were firm believers in a Western Jewish and Christian conspiracy to weaken or destroy Islam, and were generally hostile to non-Muslim.”50 Tulisan Martin ini cukup artikulatif dan argumentatif khususnya dalam menilai akar-akar radikalisme Islam politik di Indonesia. Namun, sayangnya ketika menilai DDII, KISDI, Masyumi dan tokoh-tokohnya, terasa sangat adanya semacam Islamophobia, xenopobhia. Martin juga tidak meng-analisis konteks dan latar belakang psiko-politik yang

49 Martin van Bruinessen, Genealogies of Islamic Radicalism in post-Soeharto Indonesia,” South East Asia Research, No. 10, 2 Juli 2002. 50 Ibid, hlm., 137. 241  Ahmad Sumargono menyebabkan mengapa gerakan-gerakan Islam seperti DDII maupun KISDI memiliki sikap “anti” terhadap Yahudi dan Kristen. Martin tidak menganalisis bagaimana besarnya kekecewaan umat Islam terhadap pemerintahan Gus Dur yang kurang peduli kepada kepentingan Islam, namun justru sebaliknya menampakkan sikap pembelaan berlebihan terhadap non-Muslim. Stigmatisasi terhadap gerakan Islam dan para tokohnya seperti Sumargono jelas merugikan kepentingan Islam dan umatnya. Kita lihat belakangan ini misalnya bagaimana isu- isu terorisme dan aksi-aksi kekerasan lainnya yang dikaitkan dengan Islam dan para tokoh gerakannya telah dijadikan komoditas politik oleh kelompok-kelompok politik yang ingin secara sengaja memojokkan Islam. Penangkapan dan pemenjaraan–diiringi oleh penyiksaan dan intimidasi– dilakukan aparat-aparat negara terhadap para dai, ustad dan aktivis masjid. Citra Islam sebagai “agama kekerasan” sema- kin mengental yang membuat berbagai upaya untuk mem- perjuangkan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara semakin sukar. Itu sebabnya, upaya-upaya politis dari politisi Muslim seperti Sumargono di DPR RI– bersama dengan politisi Muslim lain dari PPP–untuk me- nempatkan “Piagam Jakarta” sebagai bagian penting dari kehidupan konstitusional beberapa waktu lalu kandas di tengah jalan. Bagi tokoh Islam sendiri–seperti Sumargono–stigmati- sasi itu juga merugikan dan patut dipertanyakan. Benarkah 242 Sumargono di Antara Para Jenderal, Nasionalis, Sekuler, Elit Islam dan Pengamat Barat  misalnya, tokoh seperti Sumargono anti-Yahudi dan Kristen? Kalau memang demikian, tentu perlu diteliti faktor-faktor apa saja yang membuatnya anti-Kristen dan Yahudi ? Kalau demikian, bagaimana dia bisa menjalin hu- bungan baik dengan banyak politisi non-Muslim–termasuk tokoh-tokoh politik Kristen–selama ini? Pertanyaan- pertanyaan seperti ini tentu perlu dijawab hati-hati dan bebas dari Islamophobia dan xenophobia. Kalau tidak, maka personal bias itu hanya akan menciderai keelokan sebuah analisis ilmiah.

243 Ahmad Sumargono tanpa sadar telah mengukir hidupnya dalam sejarah pergerakan Islam dunia.

244 BAB Kesimpulan

ENULISKAN perjalanan hidup atau biografi M seorang tokoh bukanlah pekerjaan mudah. Berbagai kendala akan dihadapi oleh sang penulis. Di antaranya yang terberat adalah “menjaga jarak” dan keterlibatan emosional antara si penulis dengan tokoh yang ditulisnya. Semakin dekat hubungan emosional antara subjek dan objek penulis- an, maka akan semakin sukar untuk mendeskripsikan perja- lanan hidup sang tokoh secara objektif dan bebas dari bias- bias pribadi. Kedekatan emosional itu membuat seakan ti- dak ada jarak antara si penulis dan apa yang ditulisnya. Pe- nulis larut dalam lautan emosi kehidupan sang tokoh yang digelutinya. Kalau penulis mengagumi sang tokoh, maka kekaguman itu amat kuat terefleksi dalam tulisannya. 245  Ahmad Sumargono

Ia menjadi “pemuja” sang tokoh, dan cenderung kehi- langan sikap kritis atas tokoh tersebut. Sebaliknya, kalau kebencian, ketidaksukaan (dislike) terhadap tokoh itu yang mendominasi pikiran penulis, maka hampir bisa dipastikan tulisannya penuh bias-bias subjektif. Kekaguman dan keti- daksukaan dalam penulisan biografi sama-sama tidak baik karena mengurangi objektivitas si penulis dalam menilai hidup dan kehidupan sang tokoh yang digelutinya. Kedua- duanya–kagum dan benci berlebihan–memang sepatutnya dihindari dalam penulis biografi. Apa pun jenis biografi yang ditulis. “Hukum” penulisan itu tentu berlaku atas karya biografi mengenai kehidupan dan perjuangan Islam H. Ahmad Sumargono yang ada di tangan pembaca sekarang ini. Tetapi tentu saja unsur kekaguman itu yang paling tampak dari keseluruhan sisi buku ini. Dan hal itu, tentu saja bukan satu kekeliruan. Karya kecil ini merekam dengan baik perjalanan hidup Ahmad Sumargono sejak masa kanak-kanak hingga men- jadi salah satu politisi terkemuka saat ini. Memang tidak semua fase-fase dan liku-liku hidup dan perjuangannya di- lukiskan secara lengkap dalam karya ini. Ini semata karena berbagai kendala yang dihadapi penulis. Namun demikian, karya ini setidaknya berhasil menggambarkan secara baik sosok Gogon sebagai “anak Betawi”, kepala rumah tangga, mujahid dakwah maupun aktivis pergerakan Islam Indonesia mutakhir. Membaca perjalanan hidup tokoh tersebut memaksa kita 246 Kesimpulan  untuk kembali menyimak perjalanan para dai dan politisi Muslim Indonesia masa lampau. Di sini, Gogon seakan- akan “menyambungkan” dinamika Islam masa lampau ke dinamika Islam zaman kita sekarang. Ambil contoh seperti polemiknya dengan Denny JA mengenai negara sekuler atau, perjuangannya yang tak kenal lelah menegakkan syariat Islam. Dalam polemik dengan Denny yang tegas- tegas menghendaki sekularisasi negara Republik Indonesia, Gogon memiliki ketegasan sikap politik dan kejernihan pi- kiran serta semangat pembelaan Islam seperti yang dimiliki Mohammad Natsir dalam polemiknya dengan Sukarno di penghujung tahun 1930-an dan awal 1940-an. Gogon menolak keras sekularisasi negara yang ditawarkan Denny sambil memberikan data maupun fakta yang membuktikan kekeliruan lawan polemiknya. Begitu juga perjuangannya menegakkan syariat Islam. Sekalipun upayanya tidak mencapai hasil yang diharapkan, apa yang dilakukan Gogon sebagai Ketua Partai Bulan Bin- tang (PBB) dan Ketua Fraksi PBB di DPR dalam menegak- kan syariat dalam perdebatan-perdebatannya di lembaga legislatif telah mengingatkan kita kembali atas apa yang telah dilakukan tokoh-tokoh Masyumi dalam Dewan Kon- stituante pada dekade 1950-an. Yang jelas, dalam dua tema itu–menolak negara sekuler dan penegakan syariat Islam– Gogon telah menyambungkan masa lalu dengan masa keki- nian kita. Membaca perjalanan hidup Gogon, dengan demikian menyadarkan kita akan adanya apa yang disebut

247  Ahmad Sumargono sejarawan sebagai “paralelisme sejarah” (historical parallelism) dalam sejarah pergulatan Islam dan politik di Indonesia. Terlepas kita setuju atau tidak, apa yang telah dilakukan oleh Gogon–baik sebagai aktivis dakwah, pemimpin KISDI dan Ketua PBB–telah memberikan sumbangan cu- kup berarti bagi upaya perjuangan menegakkan Islam di Indonesia. Keterlibatannya dalam pergerakan KISDI misal- nya memang tidak seberapa berarti misalnya kalau kita ban- dingkan dengan peran Natsir dalam perjuangan Masyumi bagi penegakan Islam di Indonesia. Namun begitu, di ba- wah kepemimpinan Gogon, KISDI semakin memiliki pengaruh signifikan dalam percaturan politik Islam bela- kangan ini. KISDI di bawah kepemimpinan Sumargono– seperti dikatakan William Liddle di atas–memang masih “kecil” tetapi pengaruhnya patut diperhitungkan oleh mu- suh-musuh Islam di era pasca-Soeharto sekarang ini. Karya biografis seperti ini memang bukan sebuah buku sejarah. Juga bukan data sejarah yang bebas dari bias-bias subjektif penulisnya. Ia–seperti dikatakan di atas–ditulis dengan penuh kekaguman pada sang tokoh yang ditulisnya. Tetapi, itu tidak mengecilkan arti pentingnya buku ini sebagai sebuah “warisan sejarah” kelak. Kisah perjalanan hidup seseorang siapa pun dia–apalagi tokoh umat Islam seperti Gogon–tetap memiliki makna dalam sejarah. Ia tu- rut mengukir sejarah, setidaknya sejarah hidupnya sendiri, sejarah keluarganya, sejarah komunitas lokalnya. Dan bagi penulis, seorang tokoh seperti Gogon, pastilah telah turut 248 Kesimpulan  mengukir sejarah perjuangan Islam tidak hanya pada tingkat lokal (baca; komunitas etnik Betawi), tetapi juga sejarah perjuangan Islam tingkat nasional. Bahkan, karena keterlibatannya dalam pergerakan KISDI–yang telah go international–Gogon mungkin tanpa sadar telah mengukir hidupnya dalam sejarah pergerakan Islam dunia.

249 250 AKTIVITAS AHMAD SUMARGONO DALAM FOTO DOKUMENTASI

Gogon dan Keluarga <

Diantara Ibu Sumariyah, ibu kandung (kiri) dan Ibu Supar- tinah, bibi sekaligus ibu ang- kat (kanan).

< Menyunting sang gadis pujaan, Joon

Idrus, tahun 1971 <

Bersama dengan besan, alm. H. Tb. Fauzi Syam- suddin dan istri beserta cucu ke-4, Toriq al Fatih, 2001. 251

Gogon dan Dunia Pendidikan <

Wisuda Sarjana S1 FE UI tahun 1985, Gogon di baris kedua, paling kiri. > Tetap semangat menuntut ilmu. Dalam usia kepala 6 (60 tahun), Gogon, baris depan, nomor 2 dari kiri, tercatat sebagai mahasiswa program pascasarjana

jurusan Agribisnis, IPB >

Menyaksikan sang putera sulung, Muhammad Ridha, lulus dari Arizona State University, AS, 2000. 252 Perjalanan Dakwah Gogon

Dimulai dari Masjid Nurun Ala Nurin, Petojo, Jakarta Pusat,> 1960.

Memberikan pengarahan– dalam rangka membangun umat– kepada Remaja Masjid se-DKI, 1960. >

Saat menjadi khotib da- lam rangka sholat Ied di Lapangan Urip Sumo- hardjo, Jatinegara, 1990- an. Mengakar ke arus bawah umat, melekat pada level menengah terpelajar, memberi ke- san simpatik dan terbuka di kalangan elit politik yang berbeda latar bela- kang. >

253 Bakti Sosial sebagai Wujud Dakwah Islamiah > Gogon di tengah-tengah korban banjir Kampung

Melayu, Jakarta, 2002. >

Bakti sosial GPMI ke lokasi pengungsi penggusuran warga nelayan di Kali Adem – Muara Karang, Jakarta Barat (November 2003).

> Bakti sosial ke Pandeglang, Ban- ten Selatan yang sedang tertimpa musibah gempa bumi, 2002. 254 Gogon Koordinator Lapangan Demo di DPR RI, Senayan Orasi di Masjid Baiturrahman DPR-RI, sebagai koordinator kapangan (kor-lap) mendesak maha- siswa keluar dari

DPR> RI, 1998. > Gogon di tengah- te-ngah massa umat Islam, ulama, dan tokoh masya-

rakat, 1998. >

Bertemu dua keku- atan massa besar namun terhindar dari bentrokan se- hingga tidak satu korban pun jatuh. 255 Gogon dengan Tokoh, Politisi dan Ulama

Gogon dengan mantan Presiden RI ke-4, K.H. Abdurrahman Wahid, 2000.

Gogon dengan Wakil Presiden RI Hamzah Haz dalam Rakernas GPMI, 2003. 256 Foto Dokumentasi  < “Jangan ada dikotomi antara Islam dan Nasionalis.” Mengalungkan sorban “GPMI” kepada Taufik Kiemas dalam acara pelantikan GPMI wilayah Jabar, 2002.

<

Berdampingan dengan Ir. Akbar Tandjung. <

Gogon yang pernah di- tawari sebagai Dubes di Libya sedang berbin- cang hangat dengan Menlu Alwi Shihab, 2001. 257 Tampil bareng Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum PBB dalam SI MPR 1999.

Gogon bersama tokoh-tokoh umat, DR. Anwar Haryono, DR. Amien

Rais, Ustad H. Hussein Umar, 1998 >

Bersama Cak Nur dalam acara buku Gogon Saya Seorang Fundamentalis, 2000. 258 Foto Dokumentasi 

Di bawah kepemimpinannya, KISDI mendukung Presiden Habibie se- bagai pengganti Soeharto karena alasan sah dan sudah konstitusi-

onal. > >

Bersama pengacara beken Hotman Paris Hutapea, SH, 2000.

> Terlibat diskusi dengan Arifin Panigoro, Ketua Fraksi PDI-P di DPR-RI 259 Romo Franz Magnis Suseno, SJ: “Serem? Ternyata gampang diajak bicara termasuk tentang hal-hal peka. Posisinya tegas Islamis, itulah profil Gogon.”

Dengan tokoh intelektual muda yang juga ketua bidang politik GPMI, DR. Bahtiar Effendy, M.A. 260 Dengan DR. Hidayat Nurwahid, diskusi membahas masa depan umat Islam, 2003. <

Bersama dengan Rizal Ramli, Alwi Shihab dan Laksamana Sukardi, di Hotel Hilton, Mekkah,

pasca-Umroh, 2001. <

Bersama tokoh dan ulama

< Pamekasan, Madura, 2003.

261 261 < Bincang-bincang santai dengan K.H. Mohammad Soebari, beliau merupakan sahabat, abang, guru dan

juga orang tua bagi Gogon <

Bersama DR. Habib Syech Bin Ali Aljufri.

< Bersahabat dengan ustad muda, K.H. Arifin Ilham

262

Foto Dokumentasi  < Bersama pejabat Sekneg dan Deplu, Alwi Shihab (menlu waktu itu), dan Sophan Sophiaan di depan Hotel Hilton, Mekkah Saudi Arabia,

pasca-Umroh, 2000. <

Bersama tokoh dan ulama Betawi, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, 2003

< Bersama Habib Syekh al Djufri, Ustad H. Hus- sein Umar, DR. Daud Rasyid, 1998. 263 Gogon dengan Para Jenderal < Berbincang dengan Mayjen Syafrie Syamsuddin.

< Berbincang akrab dengan

Sekjen Golkar, Boedisantoso. <

Bersapa dengan Danjen Kopassus, Letjen Pra- bowo Subianto, Gogon memberikan nasihat kepadanya agar tidak ragu berpihak kepada umat Islam. 264 Foto Dokumentasi 

Gogon bersahabat dengan semua kalangan, tampak bersalaman dengan Letjen Djadja Suparman,

< <

Bersama Jenderal Wiranto, yang disebutnya sebagai sosok yang tidak usil dan sangat dekat dengan sejumlah tokoh Islam.

< Bersama Komjen (Purn.) Nugroho Jayusman, mantan Kapolda Metro Jaya, 2001. 265 Gogon dengan Jenderal TNI (Purn.) Agum Gumelar, dalam acara Peringatan Maulid Nabi di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, 2003.

> Bersama Jenderal TNI (Purn.) Hendro Priyono

Bersama Kapolda Metro Jaya Irjen Makbul Padmanegara, 2003. 266 Gogon dengan Dunia Islam

Gogon > bertemu dengan Jenderal Pervez Musharaf, Presiden Pa- kistan, saat menghadiri Kashmir Solidarity Day.

> Berbincang dengan anggota Kongres AS, 2001, seminggu

setelah peristiwa WTC. >

Diwawancarai oleh televisi Pa- kistan di daerah Jamu - Kashmir. 267 Bersama Menteri Besar Trengganu Malaysia, Pe- mangku Presiden PAS Malaysia, Yang Terhormat Abdul Hadi

Awang, 2002. >

Gogon, nomor 4 dari kiri, berfoto bersama tokoh Partai Refah saat menghadiri

undangan Pemilu di Turki, tahun 1990-an >

Beraudiensi kepada Pre- siden Bosnia, Alija Izetbego- vic antara lain bersama DR. Anwar Haryono (alm), Ketua DDII. 268 Foto Dokumentasi 

Gogon dan ustad Muz- zayyin Abd. Wahab di Markas Partai Refah,

Turki, 1990. >

Di kantor Perwakilan Bosnia Herzegovina di Malaysia, saat memberi bantuan dan du- kungan untuk Muslim Bosnia. >

Bersama dengan masyarakat > Muslim Australia, 2001.

269 Gogon bersama dengan siswa Akademi Kepolisian Inggris dalam rangka studi banding, 2002.

Pertemuan bilateral antara pemerintah RI dan Bangladesh, 2001. 270 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Al Qardhawi, Yusuf. (2003). Perjalanan Hidupku I. Jakarta: Pustaka Al Kautsar. Abdullah, Taufik dan Dakidae, Daniel (1976). Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES. Azis, Abdul (2001). Islam dan Masyarakat Betawi. Jakarta. Azra, Azyumardi (2001). Jaringan Ulama di Asia Tengara. Bandung: Mizan. Binder, Leonard.(1961). Religion and Politics in Pakistan. Barkeley and Los Angeles: The University of California. Budiman, Arief. (1991). State and Civil Society. Clayton: Monash University. Compton, Boyd. (1992). Surat-Surat Rahasia Boy Compton. Jakarta: LP3ES. Djamaluddin Malik, Dedy & Subandy, Idi. (1997). Pemikiran dan Aksi. Bandung: Zaman. Dahm, Bernard. (1976). Sukarno and the Struggle for Indonesian Independence. Ithaca and London: Cornel University Press. Dhakidae, Daniel. (2003). Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia. E Finner, S. (1976) The Man On Horseback. London. Feith, Herbert & Castles, Lance. (1970). Indonesian Political Thinking. London: Ithaca. Geertz, Clifford. (1960). The Religion of Java. London: The Free Press of Glenco. Hassan, Ahmad. (1984). Islam dan Kebangsaan. Bangil: Lajnah Penerbit Pesantren Persis.

271 Ihza Mahendra, Yusril. (1992). Modernisme dan Fundamentalisme. University Sains Malaysia. Hodgson, Marshal. (2002) The Venture of Islam. Jakarta: Paramadina. Jackson, Karl D, and Pye, Lucian. (1978). Political and Power and Communications in Indonesian. Berkeley: University of California Press. Johnson, JJ. (1962). The Role of Military in Underdeveloped Countries. Princeton Kagan, Paul. (1991), Pericles of Athens and the Birth of Democracy, New York: Free Prees. Kawiyan (Pnyt.). (2000). Membangun Indonesia Yang Demokratis Berkeadilan. Jakarta: Global Publika. Legge, John. (1972). Sukarno A Political Biografi. London: Penguin. Lev, Daniel. (1963/4). “The Role of the Army in Indonesia Politics,” Pasific Affairs. Winter. Mrazek, Rudolf. (1996). Syahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Moertopo, Ali. (1982). Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta: CSIS Madjid, Nurcholish. (1991). Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. Muhaimin, Yahya. (1992). Militer Indonesia dalam Politik. Yogyakarta: Gajah Mada Press. McIntyre, Angus. (1992). Indonesian Political Biography. CSES: Monash University. Natsir, Mohammad. (1973). Capita Selecta, Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang.

272 Daftar Pustaka  Natsir, Mohammad. (2000). Islam sebagai Dasar Negara. Jakarta: Media Dakwah. Noer, Deliar. (1982). Gerakan Modernis Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. Noer, Deliar. (1983). Pengantar ke Pemikiran Politik Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Noer, Deliar. (1987).Partai Islam di Pentas Politik Nasional. Jakarta: Grafiti Press. Noer ,Deliar. (2001).Membincangkan Tokoh Bangsa. Bandung: Mizan. Noer, Deliar. (1990). Mohammad Hatta, Sebuah Biografi Politik. Jakarta: LP3ES. Pramuko, Yudi. (1999). Yusril Ihza Mahendra Sang Bintang Cemerlang. Jakarta: Putra Berdikari Bangsa. Pratiknya, Watik (Pnyt.) (1989). M. Natsir; Pesan Perjuangan Seorang Bapak. Jakarta : DDII. Rahman, Fazlur. (1979). Islam and Modernity, an Intellectual Transformation. Minneapolis: Bibliotheca Islamica. Rasyidi, Dkk (1993). Menyelusuri Pembaruan Nurcholish Madjid. Bandung: Yadia. Rais, Amien. (1987). Cakrawala Islam. Bandung: Mizan. Reid, Anthony (1992). The Making of Islamic Political Discourse. Clayton: Monash University. Robison, Richard. (1986). Sejarah Politik Orde Baru. Jakarta: LSP. R. Taylor, Allan. (1988). The Islamic Question in Middle East Politics. London: Westview. Samson, Allan A. (1978). Islam and the Armi in Indonesia. Berkeley: Los Engeles, London: University of California Press. 273 Sundhaussen, Ulf (1986). Politik Militer Indonesia 1945- 1967, Menuju Dwfungsi ABRI. Jakarta: LP3ES. Suryadinata, Leo. (1992). Golkar dan Militer. Jakarta: LP3ES. Sanit, Arbi. (1981). Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Syam, Firdaus. (2003). Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Nasional. Jakarta: Khairul Bayan. Syam, Firdaus. (2003). Amien Rais: Pemimpin yang Merakyat dan Intelektual yang Shaleh. Jakarta: Pustaka Alkautsar. Saripudin.(2000). Sekuler Sebuah Polemik. Jakarta: Putra Berdikari Bangsa. Sumargono, Ahmad. (2000). Saya Seorang Fundamentalis. Bogor: Global Cita Press. Sukarno. (1963). Di Bawah Bendera Revolusi. Jilid I. Jakarta: Panitia Penerbit. Suminto, Aqib.(1996). Politik Islam Hindia Belanda. Bandung: Mizan. Suhelmi, Ahmad.(1999). Sukarno versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler. Jakarta: Darul Falah. ——————————. (2001), Polemik Negara Islam, Bandung: Teraju Mizan, 2001. ——————————. (2001). Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam, Jakarta: Darul Falah, 2001.

274 Daftar Pustaka  Majalah Berkala dan Surat Kabar Forum Keadilan, No. 6, Tahun VII, 29 Juni 1998. Forum Keadilan, No.4, 2 Mei 1998. Forum Keadilan, No. 46, 17 Februari 2000. Forum Keadilan, No. 26, 27 Februari 2000. Forum keadilan. 15-18 Juli 2002. Panji Masyarakat, No. 819, Tahun XXXV, 21-28 Februari 1995. Gatra,1 Februari 1997. Gatra, 12 Februari 2000. Gatra, 23 Agustus 1997. Gatra, 22, November 1997. Gatra, 2 Januari 1999. Gatra, 30 Mei 1998. Gatra, 1 Maret 1999. Gatra, 10 Juli 1999. Gatra, 4 Desember 1999. Gatra, 15 Januari 2000. Gatra, 22 Januari 2000. Gatra, 8 Juli 2000. Garda, No. 38, 21 November 1999. Tempo, 9 Mei 1998. Tempo, 23 November 1998. Tempo, No.1, 27, 1998. Tempo, 18 Juli 1999. Tempo Interkatif, 1 Maret 2001. Tempo Interaktif, 6 Maret 2001. Matra, April 1999. Editor, 27 Januari 1994. 275 Tiras, 23 Februari 1995. Media Dakwah, Rajab 1419/9November 1998. Media Dakwah, Oktober 1999. Media Dakwah, Rabiul Akhir 1423/Juli 2002. Sabili, 9 Februari 2000. Hidup, Edisi 10 Agustus 1997. Suara Hidayatullah, 08/X/Sya’ban 1418 H. DR, 1-7 Desember 1999. Republika, 20 Oktober 1995. Republika, 6 November 2002. Pelita, 18 November 1992. Suara Merdeka, Senin, 15 Juli 2000.

Media Elektronika

Radio Nederland, 14 Juli 2003.

Dokumen

Mardjoened, Ramlan. (2000). Pendidikan Politik Membangun Demokrasi di Era Reformasi, Jakarta: DPP PBB

Wawancara

Wawancara dengan H. Ahmad Sumargono, tanggal 29 & 30 Desember 2003. Wawancara dengan Yusril Ihza Mahendra 17 Juli 2003 di Jakarta.

276 INDEKS

A A.M. Fatwa 182 Abdul Haris Nasution 207 Abdul Qodir Djaelani 9, 64, 73, 81, 90 Abdurahman Wahid 112, 186 Adhyaksa Dault, SH 71 Adian Husaini 81, 82 Adnan Buyung Nasution 182 Agama Jawa Sunda 119 Ahli Sunnah Waljamaah 191 Ahmad Cholil Ridwan 81 Ahmad Sumargono 5, 6, 12, 15, 52, 61, 63, 73, 81, 87, 94 Akbar Tanjung 70 Al Irsyad 79 Al Irsyad Al Islamiyah 79 Alb. C. Kruyt 161 Ali Moertopo 127, 213 Aliran kepercayaan 65, 116, 117, 118, 119, 120 Amien Rais 90, 91 , 92, 111, 112, 126, 127, 129, 131, 145, 148, 149, 150, 155, 165, 166, 167, 168, 170, 179, 180, 181, 183, 190, 212, 225, 231, 232, 233, 234, 258, 272, 277, 279 Anwar Haryono 5, 73, 78, 79, 89, 90, 91, 92, 212 Arbi Sanit 188, 212, 213 Arswendo Atmowiloto 111 Aru Syeif Assad 81 B Bachtiar Chamsyah 70 Bachtiar Effendi 71 Badan Kerja Sama Pondok Pesantren se-Indonesia 79 Badan Koordinasi Mubalig Indonesia 79 Badan Koordinasi Pemuda/Remaja Masjid Indonesia 79 Badan Koordinasi Umat Islam 78, 89 Bakomubin 79 Bambang Sudibyo 180 Bambang Yudoyono 95 Benedict Anderson 236 Benny Moerdani 213 Bisri Syamsuri 116

277 BKPMRI 87 BKPRMI 79 BKSPPI 79 BKUI 78, 79, 89 Bob Hasan 84, 85 Brigjen Adityawarman 10 Burhanuddin Harahap 5 Buya Hamka 55 C Cholil Badawi 80, 81, 82, 83, 84, 87, 88, 89, 90, 91 Clifford Geertz 237 CSIS 66 D Dalali Umar 59, 64 Darul Islam 4, 222 DDII 4, 5, 57, 65, 78, 79, 80, 81, 89, 91 Dekret 76 Deliar Noer 17, 74 Denny JA 127, 130, 247 Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia 65, 78, 79 Dewan Konstituante 76 Dewan Pertimbangan Agung 80 DI/TII 222 Donald Eugene Smith 132 DPA 80 DR. Aqib Suminto 161 DR. Bachtiar Effendi 71 Dr. Daud Rasyid 57 DR. Fuad Amsyari 144 Drs. Ade Komaruddin 71 Drs. Edy Setiawan 71 Drs. Erlangga Masdiana, MA 71 Drs. Firdaus Syam, MA 71 Drs. Ibrahim Ambong, MA 70 Drs. Muchtar Lutfi, SH 71 Drs. Nabhan Husein 71 Drs. Zahir Khan, SH 71 Dwifungsi ABRI 20, 206

278 E Emha Ainun Nadjib 219 Erbakan 128 F Fadli Zon 81, 82, 87, 88 Fahmi Idris 70 Farid Prawiranegara 81, 90 FIS 54, 129, 280, 281 FKUI 79 Forum Silaturrahmi Ulama-Habib 79 Forum Ukhuwah Islamiyah 79 Front Pembela Islam 191 Fundamentalis 4, 15, 17 , 41, 57, 74, 106, 112, 115 , 119, 120, 122, 124, 127, 1 30, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 140, 141, 157, 161, 162, 165, 173, 209, 212, 214, 223, 224, 228, 234, 258, 270, 272, 173 G Garda Muda Merah Putih 220 George Mc Turnan Kahin 235 GMMP 220, 221 Gogon 6-17, 1 9-51, 54-62, 64-70, 72, 74, 88 , 94-97, 103-110, 112- 115, 120, 124, 127-131, 133-135, 139-1 42, 144-146, 151- 154, 156, 158-163, 165-17 7, 179-180, 183-188, 19 1-192, 194- 195, 1 97-202, 208, 210, 213-234, 246-249, 251-253, 255-259, 262- 268 Golkar 41, 82, 84, 118, 207, 210, 262, 272 GPI 87 GPMI 61, 62, 63, 67, 69, 70, 71, 200, 226, 233, 254, 256, 257, 279 Greg Barton 237 Gumirat 118, 119, 120, 121 Gus Dur 94, 145, 166, 169, 180, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 198, 199, 200, 219, 237, 242 H H. Abdul Azis Sabri 163 H.M. Dault, SH 220 H.M. Yunan Nasution 81 H.O.S Tjokroaminoto 4

279 Habibie 85, 86, 88, 94 Hadi Mustafa Djuraid, Spd 71 Haji Agus Salim 60 Hamdan Zulva 71 Hamka 55, 76 Hamzah Haz 71 Hanief 57 Harold Crouch 213 Hartono Mardjono 73, 80, 83, 88, 89, 90 Haryanto Taslam 198 Hatta Radjasa 70 Hendropriyono 71 Herbert Feith 236 Hidayat Nurwahid 58 HMI 25, 26, 27, 28, 30, 32, 55, 87, 102, 124, 200, 278, 279 Hussein Umar 9, 65, 81, 143, 144, 258 I Ibrahim Madilao 58 ICMI 79, 211 ijo royo-royo 150, 171, 172, 212 Indonesianists 17, 73 Institut Shimon Perez 166 Institute Policy Studies 87 Ir. Sukarno 4, 75 ISKA 211 Islamophobia 101, 104, 111, 158, 183, 212, 241, 243 Ittihadul Mubalighin 79 Iwan Fals 182 J Jakarta Jakarta 66 Jan Harfeleih 138 Jaringan Islam Liberal 237 Jenderal Maraden Panggabean 214 Jenderal Benny Moerdani 214 Jenderal Edy Sudradjat 209, 215 Jenderal Subagio HS 216 Jenderal Wiranto 10, 193 Jilbab 99, 101, 102 John L. Esposito 139 280 K K.H. (Aa Gym) 200 K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i 9, 82, 91 K.H. Abdullah Fakih 188 K.H. Anwar Sanusi 81, 90 K.H. Didin Hafiduddin 190 K.H. Isa Anshary 12 K.H. Kholil Ridwan 9 Kasman Singodimedjo 64, 75, 100 KCBI 211 Kholil Ridwan 9 KISDI 4, 5, 9, 10, 59, 62, 64, 65, 66, 67, 69, 79, 80, 81, 82, 87, 88, 94, 176 KKN 85, 175, 193 Komite Indonesia Untuk Solidaritas Dunia Islam 79, 80 Kompas 66 Konflik SARA 155 Korps Mubalig Jakarta (KMJ) 14, 59, 62, 65, 67, 69 Kuntowijoyo 94 Kwik Kian Gie 200 L Laksamana Sudomo 214 Laksamana Sukardi 200 Lance Castles 236 Laskar Hizbul Wathon 74 Laskar Hizbullah 74 Laskar Islam 191 Laskar Jihad 187, 191, 239, 240 LDK 79 Lee Kuan Yew 185 Lembaga Dakwah Kampus 79 Lembaga Manajemen dan Pengembangan Infak (LMPI) 55 Letjen Hariyoto PS 211 Letjen Prabowo Subianto 10, 175, 216 Letjen Djaja Suparman 10 Letjen Hendropriyono 10, 71 Letjen Nugroho Jayusman 10 Liberalisme Islam 237 Liem Bian Koen (Sofyan Wanandi) 222, 224, 225

281 LMPI 55, 56, 57, 58 M M.S. Kaban 81 Majelis Hikmah 79 Mar’ie Muhammad 25 Martin van Bruinessen 10, 240, 241 Marxisme 73 Masjid Al-Azhar 166 Masjid Al-Fatah 163 Masyumi 4, 5, 12, 13 , 24, 30, 55, 64, 65, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 80, 83, 84, 88 , 89, 91, 92, 93, 96, 97, 100, 152, 176, 196, 200, 212, 216, 218, 226, 227, 228, 230, 232, 238, 239, 241, 247, 248 Mawardi Noor S.H 9 Mayjen R. Hartono 211 Mayjen Kivlan Zein 81, 216 Mayjen Muchdi PR 10, 71, 216 Mayjen Syafrie Syamsuddin 10, 216 Medeline Allbright 166 Media Dakwah 96, 124, 126, 142, 144, 196, 213, 271, 274 Megawati Sukarnoputri 6, 11, 180, 195, 197, 198, 199 Michael Davis 10, 239 Mohammad Hatta 60, 75 Mohammad Natsir 4, 5, 6, 8, 9, 30, 31, 33, 55, 60, 64, 65, 75, 76, 77, 92, 93, 122, 123, 125, 138, 1 39, 152, 176, 180, 226, 227, 230, 231, 233, 238, 239, 247, 248, 270, 271, 272, 281 Mohammad Roem 5, 60, 64, 75 Moris Janowitzs 206 Mr. OJH Graaf van Limburg Stirum 161 Muchtar Lutfi, SH 71 Muhammad Saw 2 , 3, 33, 39, 252, 278 Muhammadiyah 74, 79 MUI 109, 110, 157, 159 Mujahidin 191 Mukhtar Pakpahan 173 Musa Keilani 138 Muso 4 N Nahdlatul Ulama 74 Nasionalis netral agama 122 282 Nasionalis Sekuler 11, 69, 76, 111, 122, 125, 180, 181, 195, 221, 272, 281 Neo-Masyumi 212, 230 Nuim Hidayat 81 Nurcholish Madjid 56, 57, 94 Nurun ala Nurin 55 O Orde Baru 8, 9, 10, 13, 14, 53, 54, 55, 59, 61, 72, 77, 78 P PAMSWAKARSA 10 PAN 48, 167, 180, 187, 198 Pancasila 12, 84, 101, 103, 104, 106, 121, 137, 160, 177, 178, 209 Partai Bulan Bintang 6, 41, 51, 61, 72, 78, 79, 80, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 96, 97, 98, 142, 144, 154, 190, 232, 239, 279 Partai Demokrasi Kasih Bangsa 73 Partai Ka’bah 83 Partai Murba 72 Partai Refah 128, 266, 267 Partai Sosialis Indonesia 76, 216 Partai Syarikat Islam Indonesia 74 PCHI 211 PCPP 211 PDI 54, 72, 84, 180, 181, 187, 194, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 210, 259 PDIP 72, 180, 181, 187, 196, 197, 198, 199, 200, 201 Pelajar Islam Indonesia (PII) 87, 102, 216, 218 Perhimpunan Pekerja Muslim Indonesia 79 Pericles 2, 270 Persatuan Islam 79 Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia 224 Persatuan Tarbiyah Islamiyah 79 Persatuan Umat Islam 79 Persis 79 Perti 79 Piagam Jakarta 75, 97, 144, 242 PIKI 211 PKI 4, 73, 76, 77, 152, 196, 201, 227, 236, 237 Poros Tengah 111, 180, 181, 183, 190, 191, 192, 193 PPP 54, 83, 84, 100, 116, 190, 197, 198, 210, 242 283 Prakoso 200 Pramudya Ananta Toer 202 Prawoto Mangkusasmito 89, 91 Prof. A.M. Syaifuddin 197 Prof. Ali Yafie 143 Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono 156 Prof. DR. Sumitro Djojohadikusumo 216 Prof. George Mc. Turnan Kahin 214 PRRI 77 PSI 74, 76, 77, 216, 238 PT Aroma 108 PT SCJI 103 PUI 79 R R. William Liddle 66, 72 Rachman Ghaffar 81 Ratih Kurniawan Hardjono 188 Rengasdengklok 155, 159 Republika 94, 115, 127, 144, 192, 212, 274 Ridwan Saidi 58 Rois Am 116 Rudini 179 S S.M Kartosuwiryo 4 Sekulerisasi 125 Sekulerisme 123 Serikat Tani Islam Indonesia 79 Setiawan Djodi 183 Siti Hardiyanti Rukmana 82, 84 Situbondo 155, 156, 159 Soeharto 10, 64, 66, 67, 72, 73, 74, 77, 79, 81, 82, 83, 84, 85, 86 Sofyan Wanandi 222, 224, 225 STII 79 Sudjana Syafe’i 179 Sukarno 4, 8, 17, 75, 76, 77, 83 Sukarnoisme 201 Sutan Syahrir 8, 238 Syafruddin Prawiranegara 5, 64, 81, 176 Syamsurizal 60 284 Syariat Islam 66, 75, 76, 97, 103, 111, 126, 142, 143, 144, 145, 196, 242, 247 Syarikat Islam 79 Syekh Jaber Al-Ahmed Al-Sabah 186 T Tasikmalaya 66, 155, 156, 159, 161, 222, 223 Taufik Kiemas 11, 70 Theo Syafei 112, 113, 222, 223 Thomas Carlyle 1 Thomas Myer 238 TNI 10, 64, 81, 96, 174, 193, 205, 206, 208, 209, 211, 213, 215, 216, 221, 264 Tonie Ardie 9, 64 Turki 11, 59, 68, 122, 123, 127, 128, 266, 267 Tutut 84 U Ulil Absor Abdalla 237 W Wahab Hasbullah 75 Wahid Hasyim 75 Widodo A.S. 193 Winarno Zein, SE 71 Y YKPK 211 Yunus Yosfiah 179 Yusril Ihza Mahendra 4, 5, 74, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 111, 136, 137, 138, 149, 170, 183, 226, 258, 271, 272, 274, 279 Yusuf Hasyim 219 Z Zaqi 65 Zionis 103, 163, 166 Zionisme 166 Zulvan Z.B. Lindan 71

285 RIWAYAT PENULIS

IRDAUS Syam, lahir di Suka- F bumi, Jawa Barat, 18 Oktober 1961. Staf pengajar di Universitas Nasional, Jakarta. Anak dari se- orang perwira Angkatan Darat Alm. Syamsidar dan Siti Aisyiah. Menyelesaikan Sarjana Muda (Bachelor) Program Studi Ilmu Politik dengan karya Ilmiah ber- judul Kepemimpinan Politik Nabi Muhammad di Kota Madinah,(1984). Program S1 dalam Program Studi Sosiologi dan Perubahan Sosial diselesaikan di Universitas Nasional pada tahun 1986 dengan menuliskan skripsi berjudul Islam dalam Pemikiran Politik Sukarno 1926-1945. Melanjutkan Program S2 (Master) di Universitas Nasional Program Stu- di Ilmu Politik (1992) dan Universitas Indonesia (1997), Jakarta, Program Studi Antropologi Politik, dengan tesis bertema Kepemimpinan Kiai di Perkampungan Islam Modern ‘Islamic Village’ Kelapa Dua Tangerang. Sejak belia, penulis terlibat dalam berbagai organisasi intra maupun ekstra di sekolah/universitas, dari Ketua OSIS SMA 28 (1978-1979) hingga Ketua Pemuda Kompleks AKABRI (1979-1983). Kegiatan ini terus berlanjut ketika ia masih berstatus mahasiswa hingga saat menjadi akademisi. Antara lain: Ketua Badan Perwakilan Mahasiwa (BPM) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Nasional (1982-83); Sekretaris HMI Cabang Jakarta (1982-1983); LDMI

286 Riwayat Penulis 

Cabang Jakarta (1982); PB HMI Bidang Kader (1983-1985); Wakil Sekretaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) DKI Jaya (1989-2003); Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Universitas Nasional (1989-1995); Anggota Senat Fakultas (1993-1996); Ketua Yayasan Bumi (1992); Wakil Sekretaris Tawakal (1995); Sekretaris Jenderal Gerakan Persaudaraan Muslim Indo- nesia (GPMI-2000-2003); Staf Ahli (Asistensi) Bidang Poli- tik Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB) DPR RI (2000-2002). Pernah mengikuti sejumlah seminar, workshop dan kong- res di dalam dan di luar negeri, dan pernah terlibat dalam Tim Investigasi bersama LSM terhadap peristiwa sosial po- litik yang terjadi di Tanah Air. Sejumlah tulisan, artikel dan puisinya pernah menghias media dan jurnal ilmiah. Semen- tara karya-karya yang telah dibukukan antara lain: Pengantar Ideologi dan Prinsip Kemasyarakatan dalam Islam (1984); Manusia dalam Sains Islam (1996); Penyunting dan kontributor dalam buku Lingkungan Hidup Berkeadilan (1992); Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Nasional (Jakarta: Khairul Bayan, 2003); Amien Rais Politisi yang Merakyat dan Intelektual yang Saleh (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003); sebentar lagi akan terbit karyanya yang berjudul Yusril Ihza Mahendra: Pikiran Ucapan dan Tindakan Politik. Kini, dari tahun 2000, sedang mengikuti Pendidikan Ph.D (Doktor Falsafah) Program Studi Bidang Ilmu Politik dengan bidang Kajian Pemikiran Politik Indonesia Baru mengenai Pemikiran Politik Islam Modernis di Indonesia 287 pada Program Studi Ilmu Politik di Fakultas Sains Sosial dan Kemanusiaan (FSSK), Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), Selangor Darul Ehsan, Malaysia.

HMAD Suhelmi, lahir di Ja- A karta, 27 Juli 1962. Pengajar tetap di Program Sarjana Reguler, Program Pasca-Sarjana dan Eks- tensi Ilmu Politik FISIP Universi- tas Indonesia. Juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Nasi- onal (UNAS), Universitas Mu- hammadiyah Jakarta (UMJ), IISIP Jakarta, Universitas Jayabaya. Menyelesaikan S1 di Jurusan Ilmu Politik FISIP UI, Depok (1987-1988). Menyelesaikan S2 (M.A.) di Department of History Monash University, Melbourne Australia (1991-1993). Sempat berguru pada DR. Herbert Feith dan dibimbing sejarawan terkemuka Prof. DR. M.C. Ricklefs ketika belajar di Monash University. Kegiatan ilmiah yang dilakukannya, antara lain dalam penelitian tentang Perilaku Pemilih dalam Pemilu 1999 kerja sama Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI dengan Ohio State University, di bawah supervisi Prof. DR. William Liddle; anggota penelitian tentang Islamic Radicalism yang disponsori The Asia Foundation; pemakalah dalam

288 Riwayat Penulis  konferensi internasional bertajuk Democracy and Legitimacy di Nottingham University, Inggris, Desember 1998; me- lakukan survai ke situs-situs bersejarah di London-Inggris; dan menjadi peneliti selama beberapa tahun di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial serta Labo- ratorium Ilmu Politik FISIP UI Depok–sejumlah penelitian ilmiah telah dihasilkan lewat lembaga ini. Tulisannya, Nasionalisme Indonesia: Sebuah Perspektif Sejarah, memperoleh penghargaan dari PWI dan Gubernur Lemhanas karena prestasinya sebagai juara umum Perlom- baan Jurnalistik. Sekitar seratus artikel, kolom dan makalah telah dihasilkan sejak tahun 1992 hingga sekarang. Karya-karya yang telah lahir di antaranya: Sukarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler (Jakarta: Darul Falah, 1999); Dari Kanan Islam hingga Kiri Islam: Biografi Politik S.M. Kartosuwiryo, M. Natsir, M. Amien Rais, M. Hatta, Abdurrahman Wahid, H.M. Misbach, Tan Malaka, Ali Syariati, Hassan Hanafi (Jakarta: Darul Falah, 1999); Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia, 2001); Polemik Negara Islam (Bandung: Teraju, 2001). Selain itu juga akan menyusul tiga buku lainnya: Islam dan Kaum Kiri, Respons Elite Politik Islam terhadap Isu Kebangkitan Komunis Paska Suharto; Kebangkitan Kaum Kiri dan Islam Politik serta Tragedi Sukarno, Islam dan Demokrasi. Empat buku lainnya juga telah ditulis bersama rekan- rekannya sejak 1993. 289 Sejak November 2001 penulis melanjutkan studinya de- ngan mengambil Program Doktor Ilmu Politik (Ph.D Pro- gram) di Department of Political Science, International Islamic University Malaysia (IIUM). Kini sedang menyele- saikan disertasinya yang berjudul Muslim Political Elite and the Left in Indonesian Politics, 1998-2001 di bawah bimbingan Prof. DR. Abdul Rashid Moten, ilmuwan politik berke- warganegaraan Kanada asal Bangladesh.

290 Drs. Firdaus Syam, M.A. Drs. Ahmad Suhelmi, M.A. Drs. Firdaus Syam, M.A. AHMAD Drs. Ahmad Suhelmi, M.A. SUMARGONO Dai & Aktivis Pergerakan Islam yang Mengakar di Hati Umat

Sebagai manusia biasa Ahmad Sumargono punya banyak kelemahan dan kekurangan, akan tetapi semua itu dikalahkan dengan satu kelebihannya, yaitu selalu membela dan mendahulukan Islam dalam gerakannya. Sehingga kita pun hormat atas setiap kerjanya bagi umat, bangsa, dan negara. Adhiyaksa Dault, S.H, M.A.

Beliau seperti ayah bagi Arifin. Setiap Tablig Akbar Arifin selalu hadir dan cium tangan Dai & Aktivis Pergerakan Islam yang Mengakar di Hati Umat beliau. Sosoknya terkesan keras, padahal beliau adalah tegas. Karisma beliau, cita-cita beliau demi umat dan syariat Islam. Karena itulah Arifin sayang beliau. Ustad Arifin Ilham

Alhamdulillah, umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya, kembali AHMAD SUMARGONO mendapatkan bukti bahwa ber-Islam ternyata dapat dilakukan dalam beragam kegiatan yang memberdayakan, mencerahkan, dan membawa manfaat amal sholeh yang beragam pula. Itu dapat dibaca dengan gamblang dalam fakta-fakta yang sangat terang dari buku biografi Ustad Ahmad Sumargono, S.E. Dr. Hidayat Nurwahid, M.A.

Sejak KISDI di deklarasikan pertama kali oleh M. Natsir (Alm). September 1987, nama Ahmad Sumargono menjadi lekat dan dekat dengan KISDI. Berbagai gerakan dan tablig jadi hidup. Sayang setelah ia aktif di politik, ia tidak punya banyak waktu lagi di KISDI. K.H. Abdul Rasyid Abdulah Syafi’i

Sejak kecil kami, saya dan keluarganya selalu dekat. Dia berasal dari keluarga darah biru, tetapi karena pergaulan yang luas, dia tidak pernah membedakan orang-orang yang dihadapinya. Dia tidak pernah kelihatan merasa lebih dari yang lain. Ustad Mohammad Soebari Kata Pengantar: Serem? Ternyata saya ketemu seorang Ahmad Sumargono yang suka humor dan DR. Bahtiar Effendy, M.A. gampang diajak bicara, termasuk tentang hal-hal peka. Bahwa posisinya tegas Islami, itulah profilnya. Franz Magnis Suseno, S.J.

Jl. Cendrawasih Raya A27/4 Pondok Safari Indah Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan - 15223 Phone/WA: 0811 9882 118 / 021-731 4567 E-mail : [email protected], Web : indocamp.id ISBN 978-623-252-966-3 (PDF)