Quick viewing(Text Mode)

ANALISIS SEMIOTIK FILM a MIGHTY HEART Skripsi RIZKY

ANALISIS SEMIOTIK FILM a MIGHTY HEART Skripsi RIZKY

ANALISIS SEMIOTIK FILM

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

RIZKY AKMALSYAH

NIM 106051101939

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010 ANALISIS SEMIOTIK FILM A MIGHTY HEART

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh Rizky Akmalsyah NIM: 106051101939

Di Bawah Bimbingan

Dra. Hj. Asriati Jamil, M. Hum NIP 19610422 199003 2 001

KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/ 2010 M

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat,

Rizky Akmalsyah

ABSTRAK

Rizky Akmalsyah

Analisis Semiotik Film “ A Mighty Heart ”

A Mighty Heart, sebuah film drama menegangkan yang diangkat berdasarkan kisah nyata seorang jurnalis Wall Street Journal, ’s, yang hilang diculik dan dibunuh tragis oleh oknum suatu gerakan di , . Film yang disutradarai ini benar-benar akan membawa penonton hanyut dalam setiap adegannya. Apalagi dibantu oleh pengambilan gambar yang dramatis dan dialog yang sesuai, menjadikan film yang distribusi oleh Revolutions studio dan Paramount ini diminati oleh para pecinta film drama. Selain, film ini juga didekasikan untuk para jurnalis yang terbunuh dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Pernyataan di atas, merumuskan beragam pertanyaan mengenai film yang dilakoni artis papan atas, . Apakah dalam film” A Mighty Heart” diperlihatkan adegan pembunuhan tragis itu, seperti yang sudah dilihat oleh dunia melalui internet? Bagaimanakah keadaan jiwa ’s dalam film tersebut setelah mengetahui sang suami tewas mengenaskan di ujung layar LCD handycam? Lalu, benarkah Daniel Pearl’s satu-satunya jurnalis yang diculik dan dibunuh ketika menjalankan tugasnya?

Dalam film yang berhasil mendapatkan beberapa penghargaan ini tidak diperlihatkan bagaimana Daniel pearl’s dibunuh, atau disembelih seperti yang sudah dilihat banyak orang di internet. Di film ini hanya diperlihatkan rasa emosi dan kengeriaan pemain ketika melihat gambar tragis di layar kecil LCD handycam. Tentu, keadaan Mariane, istri Daniel yang tengah hamil 6 bulan saat itu terpukul, dalam film ia digambarkan teriak histeris dan menangis sejadinya. Namun, peristiwa penculikan dan pembunuhan jurnalis ini bukan hanya menimpa Daniel’s. CPJ ( Committee to Protect Jounalist) menginformasikan sejak 15 tahun terakhir sudah 500 jurnalis yang terbunuh, dan jika dihitung setelah 5 tahun sejak kematian Daniel’s, sudah 230 jurnalis yang hilang dan terbunuh dari seluruh belahan dunia.

Film yang menyedot perhatian kritikus film ini memang layak untuk ditonton dan diteliti, sebab dari dialog, pengambilan gambar dan gerakan para pemain sanggup menggugah penikmat film. Inilah yang menjadi kesempatan penulis menggunakan metodologi kualitatif untuk menggali lebih dalam film ini. Terlebih lagi, didukung oleh analisis semiotika yang diusung oleh Roland Barthes melalui denotasi, konotasi dan Mitos-nya, menafsirkan lebih lanjut dialog, pengambilan gambar dan gerakan pemain dalam film tersebut. Bisa dikatakan, melalui teori Roland Barthes dengan denotasi, konotasi dan mitos-nya, peneliti dapat lebih memahami pesan atau simbol yang terkandung dalam dialog, pengambilan gambar dan gerak para pemain film”A Mighty Heart”. Sehingga, penyampaian informasi yang diharapkan Michael Winterbottom sebagai sang sutradara tersampaiakan dengan cermat. Berdasarkan, salah satu sumber analisis, yaitu analisis semiotika, yang membuka pesan tersirat mengenai perjalanan rumit seorang jurnalis ketika mereka ingin mencapai sebuah kebenaran. Film”A Mighty Heart” merupakan suara kebenaran mereka yang hilang.

KATA PENGANTAR

Kesulitan memang tidak pernah lepas dari kulit hidup manusia, sebab itu Tuhan selalu memberikan dukungan kepada hamba-Nya untuk tidak berputus asa. Ia berfirman, “ setelah kesulitan pasti ada kemudahan ”. Atas nama-NYA Yang Agung dan harum penulis bersimpuh dan bersyukur kepada Allah SWT, Raja dari segala raja, tiada

Tuhan selain Engkau, yang telah mendukung penulis melalui firman-NYA, yang telah menghangatkan penulis dari malam-Nya dan yang telah membuat skripsi ini selesai karena cinta-Nya.

Tidak lupa pula penulis bershalawat kepada sang pangeran cinta, manusia agung yang banyak berkorban, menangis dan tersenyum untuk umatnya, seorang suami, sahabat, nabi, dan rasul yang mencintai anak-anak yatim. Al-Mustofa, Nabi Muhammad

Saw. Semoga keberkahan sholawat dan salam selalu tercurah kepada beliau, keluarga dan para sahabatnya.

Tiada emas, mutiara, intan permata sekalipun yang dapat menggantikan kegembiraan hati penulis dalam menyelesaikan tugas mulia ini. Alhamdulillah berkat usaha, doa dan tawakal, skripsi yang berjudul ANALISIS SEMIOTIK FILM “A MIGHTY

HEART “ ini dapat dituntaskan.

Selesainya skripsi ini tentunya tidak lepas dari dukungan dan bantuan serta bimbingan semua pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Arif Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi,

serta Drs. H. Mahmud Jalal, MA dan Drs. Studi Rizal L.K, MA, selaku para

pembantu Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Suhaimi, M. Si, selaku Ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Rubiyanah,

MA, selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik yang selalu ada dan siap

membantu dalam masalah akademik. Terima kasih atas segala

bimbingannya.

3. Dra. Hj. Asriati Jamil, M. Hum, selaku dosen pembimbing, yang telah

banyak meluangkan waktunya kepada penulis. Terima kasih atas

bimbingan, secercah ilmu dan dorongan yang telah Ibu berikan kepada

penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

4. Dosen-dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang namanya tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas ilmu dan

dedikasi yang diberikan kepada penulis. Semoga menjadi ilmu yang

bermanfaat bagi penulis. Amin.

5. Segenap staff dan karyawan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya. 6. Situs www.amightyheart.com atas rumah produksi revolutions yang

telah memudahkan penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Thank You

All!

7. Orang tua tercinta, Ayah dan Ibu (Rusmiadi dan Norma hidayah) yang

telah memberikan doa, kelembutan kasih sayang, materi dan motivasi

kepada penulis. Semoga setiap tetesan keringat kalian menjadi

wewangian dan jalan menuju surga Allah SWT. Serta adik-adikku, Isya

Andriansyah dan Indah ramadhani yang banyak menuangkan warna bagi

penulis.

8. Permaisuriku, Rizky Maulinawati, terima kasih atas dukungan dan

bantuannya. Cintamu membuat penulis mampu menyelesaikan skripsi

ini.

9. Sahabat-sahabat yang selalu kurindukan, Juftazani, Dana, Angga, Amin,

Fajri, Zakaria, Irham, Deden, Topan, Jose, A.Yani, Hardi, Subekti, Bagus,

Gesta, Edy, Danang, Dede.R, Pandu, Maysarah, Aida, Risni, Mimi, Ina,

Dyamby, Putri, Novita dan Mulia. Terima kasih atas memoir suci yang

kalian berikan. Sukron Yaa Ashabiii !!!

10. Teman-teman seperjuanganku di Konsentrasi Jurnalistik angkatan 2007.

Terima kasih atas kepercayaan dan kerja sama kalian selama ini. Satu

kata, kalian teman-teman yang sungguh luar biasa !. Five Thumbs Up!

11. Guru-guru dan teman-temanku di Pondok Pesantren Daar el-Qolam.

Terima kasih atas ilmu, suri tauladan, inspirasi, bimbingan dan pelajaran

hidup yang telah kalian berikan.

12. Kakek Lin di Padang dan untuk para Jurnalis yang meninggal dalam

menjalankan tugasnya. Skripsi ini penulis dedikasikan untuk kalian. Dan kepada semua pihak yang secara langsung atau tidak langsung membantu penulis dalam menyelasaikan skripsi ini, Semoga Allah membalas budi baik yang telah kalian berikan. Amin.

Tangerang, Juni 2010

Penulis.

DAFTAR ISI

ABSTRAK…………………………………………………………………...... i

KATA PENGANTAR……………………………………………………...... ii

DAFTAR ISI.………………………………………………………………..….v

DAFTAR TABEL……………………………………………………………..vii

DAFTAR GAMBAR……...……………………………………………….….viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………...…………...... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah……………………………...... …4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………....4

D. Metodologi Penelitian….………………………………….…...... 5

E. Tinjauan Pustaka…………………………………………………..7 F. Sistematika Penulisan……………………………………………...8

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Umum Tentang Film

1. Sejarah dan Perkembangan Film...... 10

2. Klasifikasi Film...... 12

3. Struktur dalam Film...... 14

B. Tinjauan Umum Tentang Semiotika

1. Konsep Semiotika...... 17

2. Konsep Semiotika Roland Barthes...... 20

C. Tinjauan Umum Tentang Jurnalisme

1. Pengertian Jurnalisme...... 23

2. Sejarah dan Perkembangan Jurnalisme...... 24

3. Macam-macam Jurnalisme...... 26

4. Kode Etik Jurnalisme...... 28

BAB III GAMBARAN UMUM FILM ”A MIGHTY HEART”

A. Profil Sutradara Film...... 32

B. Profil Pemain dan Film Maker’s...... 34

C. Nominasi dan Penghargaan...... 46

D. Sinopsis Film ”A Mighty Heart”...... 49

BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA LAPANGAN

A. Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos...... 55 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...... 76

B. Saran...... 77

DAFTAR PUSTAKA...... 78

LAMPIRAN-LAMPIRAN...... 81

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1: Peta Tanda Roland Barthes...... 21 2. Tabel 2: Nominasi dan Penghargaan...... 46 3. Tabel 3: Scene 1...... 56 4. Tabel 4: Scene 2...... 58 5. Tabel 5: Scene 3...... 59 6. Tabel 6: Scene 4...... 60 7. Tabel 7: Scene 5...... 62 8. Tabel 8: Scene 6...... 63 9. Tabel 9: Scene 7...... 65 10. Tabel 10: Scene 8...... 66 11. Tabel 11: Scene 9...... 68 12. Tabel 12: Scene 10...... 69 13. Tabel 13: Scene 11...... 71 14. Tabel 14: Scene 12...... 72 15. Tabel 15: Scene 13...... 74

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1 : Dokumenter……………………………………………...56 2. Gambar 2 : Sebuah Kota Besar………………………………………58 3. Gambar 3 : Perpisahan……………………………………………….59 4. Gambar 4 : Bertemu Kaleem Yusuf………………………………….60 5. Gambar 5 : Makan Malam…………………………………………...62 6. Gambar 6 : Pria Berjanggut Putih…………………………………...63 7. Gambar 7 : Menghubungi Konsulat…………………………………65 8. Gambar 8 : Dua Intelejen……………………………………………66 9. Gambar 9 : Foto Eksekusi…………………………………………...68 10. Gambar 10: Sheikh Gilani……………………………………………69 11. Gambar 11: Bernama Omar………………………………………….71 12. Gambar 12: Histeris………………………………………………….72 13. Gambar 13: A Mighty Heart…………………………………………74

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Komunikasi massa merupakan media yang sangat berpengaruh bagi manusia.

Kerjanya ibarat jarum hipodermik atau teori peluru yang banyak dicetuskan oleh pakar ilmu komunikasi, di mana kegiatan mengirimkan pesan sama halnya dengan tindakan menyuntikkan obat yang dapat langsung merasuk ke dalam jiwa penerima pesan1.

Medianya bisa berupa apa saja, salah satunya film.

Film dapat diartikan sebagai gambar bergerak yang diperangkati oleh warna, suara dan sebuah kisah. Atau film bisa juga disebut gambar-hidup. Para sineas barat biasa menyebutnya movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid.

Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari

Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak

1 Morrisan, Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio dan Televisi ( Tangerang: Ramdina Prakarsa, 2005), h.12. dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera.2

Dewasa ini banyak film-film yang meninggikan kapitalisme, romantisme, nasio nalisme atau sekedar idealisme. Namun, dari beberapa pilihan yang ada peneliti lebih tertarik dengan film yang melatarbelakangi kerja para wartawan. Semangat jurnalisme. Identitas sebuah tantangan dan perjuangan mereka sebagai pencari berita.

Di antaranya seperti film “Long Road to Heaven : Makna di balik tragedy” (2007) yang disutradarai oleh Enison Sinaro, mengisahkan tentang wartawan Australia yang ingin menguak lebih dalam peristiwa di balik tragedi Bom Bali pada tahun 2002. Kemudian,

“Blood Diamond” (2007) yang disutradarai oleh Edward Zwick ( Glory, The Last Samurai) dan dibintangi oleh artis papan atas, Leonardo Dicarpio (Titanic, Romeo and Juliet, The

Beach, The Departed), Jennifer Connelly (Hulk) dan Djimon Hounsou ( Island,

Constantine, Gladiator).3 Menceritakan bagaimana seorang wartawan mampu memecahkan masalah mutiara berdarah, yang sering menjadi penyebab pembelian senjata, pertumpahan darah dan perpecahan saudara di Sierra Leone, Afrika.

Namun, dari berbagai macam film mengenai jurnalisme, peneliti lebih simpatik dengan film yang disutradarai oleh Michael Winterbottom “ A Mighty Heart” (2007).

Diangkat dari judul novel yang sama dan berangkat dari kisah nyata oleh Mariane

Pearl’s. Film ini menggambarkan kerasnya hidup menjadi seorang wartawan. Letihnya mencari narasumber dan perihnya meninggalkan keluarga demi sebuah berita. Tidak

2 “Pengertian Film” di akses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 10:30 WIB dari http://www.bahasafilmbarengblogspot.com.

3 Ricky Siahan, Blood Diamond, Majalah Rolling Stone edisi 27, (Jakarta: PT Indonesia Printer, 2007), h.118. hanya itu, di sini juga menjelaskan bagaimana wartawan menjadi korban pembunuhan dan penculikan di area konflik. Seperti di Karachi, Pakistan, Irak dan Afghanistan.

Selain itu, film yang diperankan oleh artis cantik terkenal, Angelina Jolie, istri dari ini bukan hanya menggugah dan membuat para pecinta film drama menangis, spesialnya film ini juga hampir tidak ada konspirasi Amerika seperti kebanyakan film-film Hollywood lainnya, tidak ada tuding-menuding Islamkah atau kaum radikalkah yang membunuh sang Jurnalis. Di sini digambarkan permasalahan itu secara lembut, bahwa teroris adalah teroris, Muslim adalah muslim, bukan sebaliknya, teroris adalah muslim, pembunuh adalah orang Islam.

Kemudian, kejeniusan sang sutradara menempatkan dokumenter singkat di awal scene dan memutar balikkan adegan antara Mariane, penculikan Daniel dan masa lalu , kisahnya bisa dibilang maju-mundur, seakan-akan penonton diajak se- dramatis mungkin, atau merasakan apa yang film tonjolkan. Tapi, walaupun begitu, pesan yang akan disampaikan begitu terasa di akhir film. Sebab itu film ini berhasil mendapatkan 16 nominasi, salah satu satunya penghargaan Golden Globe di USA

(United State of America) kategori Best Performance by an Actress in a Motion Picture –

Drama, Angelina Jolie.

Berdasarkan latar belakang film di atas, perlu adanya penelitian secara mendalam pada aspek cerita film ini, guna memahami denotasi, konotasi dan mitos apa yang akan di sampaikan dalam sebuah film melalui pendekatan semiotika Roland

Barthes. Sebab dalam industri perfilman, khusunya bagi sang sutradara ada pesan atau simbol-simbol yang ingin disampaikan untuk masyarakat luas lewat film. Berangkat dari penjelasan di atas, maka peneliti memilih judul Analisis Semiotik Film “ A Mighty Heart

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah, penulis sengaja membatasi pengambilan adegan-adegan dalam film A Mighty Heart hanya yang dianggap memiliki makna simbol yang mewakili bagaimana jurnalis, intelejen bekerja dan budaya orang-orang Pakistan di

Karachi. Seutuhnya penelitian ini menggunakan analisis semiotika model Roland

Barthes, sebab menurut Roland semua objek kultural dapat diolah secara tekstual.

Dengan demikian, semiotika dapat meneliti bermacam-macam teks, film salah satunya.4

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos dalam film A MIGHTY

HEART?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah penelitian di atas, secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat dalam film A Mighty Heart, dan mengetahui pesan yang terkandung dalam film A Mighty Heart.

Sedangkan, manfaat yang dilahirkan dengan adanya penelitian ini ialah:

1) Manfaat Akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

konstribusi bagi pegembangan ilmu komunikasi, serta sebagai tambahan

4 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, Analisis Framing (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), Cet.ke-4, h.123. referensi bahan pustaka, khususnya penelitian tentang analisis dengan

minat pada kajian film dan semiotika.

2) Manfaat Praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan deskripsi

dalam membaca makna yang terkandung dalam sebuah film melalui

semiotika. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kosa

kata dan istilah yang biasa digunakan dalam film.

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefenisikan metodologi sebagai mekanisme penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, baik itu tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati oleh peneliti.5

Dalam penerapannya, pendekatan kualitatif menggunakan metode pengumpulan data dan metode analisis yang bersifat nonkuantitatif, seperti penggunaan instrumen wawancara mendalam dan pengamatan.6 Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis deskriptif yang berfokus pada penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis.7

2. Objek Penelitian dan Unit Analisis

Objek penelitian ini ialah film A Mighty Heart. Sedangkan, unit analisis penelitiannya adalah potongan gambar atau visual yang terdapat dalam film A Mighty

Heart yang berkaitan dengan rumusan masalah dalam penelitian.

3. Sumber Data

5 Lexy J. Moeleong, Metodologi Peneliitian Kualitatif (Bandung: Rosda, 2002), h.3. 6 Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi (Yogyakarta: Gintanyali, 2004) h.2. 7 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendakatan Praktik (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1989), h. 194. Sumber data terbagi menjadi dua, yaitu: 1) Data Primer adalah data yang diperoleh dari rekaman video original berupa satu keping DVD film A Mighty Heart.

Kemudian dipilih visual atau gambar dari adegan-adegan film yang diperlukan untuk penelitian. 2) Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur. Literatur yang

mendukung data primer, seperti kamus, internet, artikel Koran, buku-buku yang berhubungan dengan penelitian, catatan kuliah dan sebagainya.

4. Teknik Penelitian

Teknik penelitian terdiri atas dua, yaitu 1) Observasi adalah melakukan pengamatan8 secara langsung dan tidak terikat terhadap objek penelitian dan unit analisis dengan cara menonton dan mengamati teliti dialog-dialog, serta adegan-adegan dalam film A Mighty Heart. Kemudian mencatat, memilih dan menganalisanya sesuai dengan model penelitian yang digunakan. 2) Studi komunikasi (document research), yaitu penulis mengumpulkan data-data melalui telaah dan mengkaji berbagai literatur yang relevensinya dengan materi penelitian untuk selanjutnya dijadikan bahan argumentasi, seperti DVD film, arsip, majalah, surat kabar, catatan perkuliahan, internet dan lain-lain.

5. Waktu

Penelitian ini dilakukan dari Desember 2009 sampai Juni 2010. Peneliti sengaja menggunakan kaca mata analisis semiotika, sebab film merupakan objek yang penuh tanda dan simbol, sehingga penggunaan analisis semiotika menjadi lebih tepat digunakan dalam penelitian ini.

8 Tigor Pangaribuan, Kamus Populer Lengkap, (Bandung: Pustaka Stia, 1996), cet-1, h. 114.

6. Teknik Analisis Data

Setelah data primer dan sekunder terkumpul, kemudian diklarifikasikan sesuai dengan pertanyaan penelitian yang telah ditentukan. Setelah data terklarifikasi, dilakukan analisis data dengan menggunakan teknik analisis semiotika Roland Barthes.

Roland mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi yang menghasilkan makna secara objektif untuk memahami makna yang tersirat dalam film A Mighty Heart yang menjadi titik dalam penelitian ini.

7. Teknik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku ”Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis dan Disertasi” yang diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang menjadi rujukan penulis, yaitu:

1) “ Analisis Semiotika Rubrik Fashion Style Majalah Kawanku” oleh Trigustia

Pusporini, tahun 2009, Konsentrasi Jurnalistik, UIN Jakarta.

2) “ Makna Foto Berita Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotika Karya

Zarqoni Maksum pada Galeri Foto Antara.co.id)” oleh Fatimah, tahun 2008,

Konsentrasi Jurnalistik, UIN Jakarta.

3) “ Analisis Semiotika terhadap Foto-foto pada Majalah National Geographic

dalam Perspektif Kebudayaan” oleh Siti Fatimah, tahun 2008, Konsentrasi

Jurnalistik, UIN Jakarta. 4) “ Analisis Semiotika Film Turtle Can Fly” oleh Istianah, tahun 2009,

Konsentrasi Jurnalistik, UIN Jakarta.

Keempat skripsi di atas memiliki objek berbeda. Ketiga skripsi yang berada di posisi atas menggunakan objek foto dan satu skripsi terakhir menggunakan objek film.

Masing-masing menggunakan teknik analisis semiotika model Roland Barthes.

Walaupun dalam penelitian ini penulis merujuk pada skripsi di atas, tetap penelitian yang dilakukan penulis berbeda. Objek penelitian penulis adalah film

Internasional yang berkoalisi pada kerja wartawan dengan menggunakan pendekatan analisis semiotika Roland Barthes.

Film ini sengaja diambil penulis karena belum banyak mahasiswa yang meneliti

Film Internasional seperti tersebut. Sehingga, penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat menambah referensi penelitian film. Khususny, Film Internasional yang merujuk pada kerja wartawan, sehingga dapat menjadi bahan referensi selanjutnya. Film genre drama berjudul A Mighty Heart karya Michael Winterbottom yang akan penulis teliti ini diangkat dari novel dengan judul yang sama dan berangkat dari kisah nyata Mariane Pearl’s.

F. Sistematika Penulisan

Penelitian yang akan dibahas dalam skripsi ini terdiri dari lima Bab dan masing- masing bab terdiri dari Sub Bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini terdapat latar belakang masalah, perumusan dan

batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi

penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Dalam bab ini berisikan tinjauan umum tentang film, seperti

sejarah dan perkembangannya, klasifikasi dalam film, struktur

film, kemudian terdapat pula tinjauan umum tentang semiotika,

konsep semiotika, konsep semiotika Roland Barthes, serta

tinjauan umum tentang jurnalisme, pengertian jurnalisme,

sejarah dan perkembangan jurnalisme, macam-macam

jurnalisme dan kode etik jurnalisme.

BAB III GAMBARAN UMUM FILM ”A MIGHTY HEART”

Pada Bab ini pembahasan spesial di balik layar film A Mighty

Heart, seperti profil sutradara, para pemain, pembuat film,

nominasi, penghargaan dan sinopsis film A Mighty Heart.

BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA LAPANGAN

Membahas konsep semiotika Roland Barthes mengenai makna

denotasi, konotasi dan mitos dalam film yang digarap Michael

Winterbottom.

BAB V PENUTUP

Penulis mengakhiri skripsi ini dengan beberapa kesimpulan

sekaligus berfungsi sebagai jawaban umum yang terdapat dalam

bab pendahuluan, serta diikuti dengan saran penulis.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan Umum tentang Film

1. Sejarah dan Perkembangan Film

Berawal dari sebuah mimpi, “Aku ingin membuat gambar yang bergerak”, yang tersimpan kira-kira 17.000 tahun yang lalu di gua Altamira, Spanyol. Ditemukan gambar hewan berkaki banyak. Para ahli sejarah menyatakan, bisa saja ini adalah sebuah impian manusia zaman purbakala untuk membuat gambar bergerak. Sebab itu, seakan tersembullah ungkapan dari gambar itu, “ Aku ingin membuat gambar ini bergerak”. 9

Bukan hanya itu, yang membuktikan cikal bakal terlahirnya film dari zaman purbakala, para ahli sejarah juga menjelaskan, bagaimana dahulu manusia zaman purbakala berkomunikasi dengan menggunakan obor, dari bukit satu ke bukit yang lain kepada kawanannya. Obor yang diputar-putar, sebagai tanda mengirim isyrat (pesan).

Para ahli sejarah mendeskripsikan bahwa, jika obor digerakkan, maka akan terlihat seperti satu garis, sebagaimana lampu senter yang digerakkan di tempat yang gelap, akan membentuk suatu garis. Ini yang disebut ajaib dan tipuan mata, sesuatu yang berhubungan erat dengan pemutaran film.10

9 Seiichi Konishi & Keiji Nakamura, Penemuan Film, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002), cet-1, h.5. 10 Ibid, h.7 Berdasarkan penemuan di atas, muncul-lah gagasan untuk membuat foto bergerak. Dipelopori oleh Edward Muybridge, mahasiswa yang mencoba membuat 16 foto atau frame kuda yang sedang berlari. Dari ke-16 foto kuda yang sedang berlari ini, Muybridge mencoba merangkai dan menggerakkan secara

berurutan. Hasilnya, foto tersebut terlihat hidup dan berhasil menjadi foto bergerak pertama di dunia. Sekalipun pada saat itu teknologi perekam belum ada, Muybridge menggunakan kamera foto biasa untuk menghasilkan gerakan lari kuda. Dengan kata lain, diperlukan pengambilan gambar beberapa kali agar memperoleh gerakan lari kuda yang sempurna saat difilmkan. Sejarah mencatat peristiwa itu pada tahun 1878. Dari sinilah ide membuat film muncul.11

Sejak saat itu, banyak orang berbondong-bondong mulai membuat foto bergerak dan bergulat untuk memperbaiki mesin proyektor. Marey salah satunya, penemu asal

Perancis yang mampu membuat foto bergerak (progresif), sehingga dengan adanya kamera ini teknologi film dan fotografi mengalami kemajuan yang pesat. Selain itu,

Thomas Alva Edison ” sang raja penemu ”, juga sedang berkutat dalam pembuatan film.

Penemuan Edison kali ini berbeda dengan penemuannya yang lain, yaitu sebuah alat berbentuk kotak dinamakan kinetoscope (alat untuk memproyeksikan gerak), dan orang dapat mengintip melalui jendela kecilnya. Di dalamnya terdapat pita film endores

11 “News Display” di akses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 11:00 WIB dari http://www.wikimu.com. 4 Seiichi Konishi & Keiji Nakamura, Penemuan Film, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002), cet-1, h.21.

sepanjang 17 m, sehingga film yang sama dapat dilihat berulang kali. Penemuan ini banyak digemari, sampai orang-orang rela mengantri untuk bisa menikmatinya.12

Ketika itu, di Perancis, Lumiere bersaudara yaitu sang kakak Auguste, dan sang adik Louis juga sedang berusaha keras menemukan film. Dan, pada tanggal 28

Desember 1895, Lumiere bersaudara akhirnya berhasil menemukan dan mempertunjukkan film mereka untuk pertama kali kepada masyarakat Paris.13 Salah satu film pertama yang diputar, durasinya sangat singkat, dan hanya bercerita tentang kereta api yang tiba di stasiun. Berlandaskan hal ini, para ahli sejarah sepakat menetapkan, bahwa pertunjukkan perdana Lumiere bersaudara saat itu, dideklarasikan sebagai hari kelahiran dunia perfilman.14

Beberapa tahun kemudian, barulah negara yang dikenal adidaya, Amerika Serikat memproduksi film pertamanya yang berjudul Monkey Shines No.1. Gambar orang yang

‘blur’ dengan latar hitam yang sedang melakukan gerakan-gerakan tangan dalam beberapa detik.15 Demikianlah pada tahun 80-an dianggap sebagai tahun di mana film itu terlahir sampai saat ini.

2. Klasifikasi Film

Klasifikasi film atau genre (jenis/ragam)16 dalam film berawal dari klasifikasi drama yang lahir pada abad XVIII. Klasifikasi drama tersebut muncul berdasarkan atas jenis

13 “Sejarah Film” di akses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 11:00 WIB dari http://www.blogiehahablogspot.com 14 Seiichi Konishi & Keiji Nakamura, Penemuan Film, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002), cet-1, h.22. 7 “News Display” di akses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 11:00 WIB dari http://www.wikimu.com. 8 John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 2000), h. 265.

stereotip manusia dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan. Ada berbagai jenis naskah drama yang dikenal saat itu, di antaranya, lelucon, banyolan, opera balada, komedisentimental, komedi tinggi, tragedi borjois dan tragedi neoklasik. Selanjutnya berbagai macam jenis drama itu diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: Tragedi (duka

cita), Komedi (drama ria), melodrama, dagelan (farce).17

Tapi, seiring berkembangnya zaman dan dunia perfilman, genre dalam film pun mengalami sedikit perubahan. Namun, tetap tidak menghilangkan keaslian dari awal pembentukannya. Sejauh ini diklasifikasikan menjadi 5 jenis,18 yaitu:

a. Komedi, film yang mendeskipsikan kelucuan, kekonyolan, kebanyolan pemain

(actor/actress). Sehingga alur cerita dalam film tidak kaku, hambar, hampa, ada

bumbu kejenakaan yang dapat membuat penonton tidak bosan.

b. Drama, Film yang menggambarkan realita (kenyataan) di sekeliling hidup

manusia. Dalam film drama, alur ceritanya terkadang dapat membuat penonton

tersenyum, sedih dan menetaskan air mata.

c. Horor, Film beraroma mistis, alam gaib, dan supranatural. Alur ceritanya biasa

membuat jantung penonton berdegup kencang, menegangkan, dan berteriak

histeris.

d. Musikal, Film yang penuh dengan nuansa musik. Alur ceritanya sama seperti

drama, hanya saja di beberapa bagian adegan dalam film para pemain

(actor/actress) bernyanyi, berdansa, bahkan beberapa dialog menggunakan

musik (seperti bernyanyi).

17 Prof. Dr.Herman J. Waluyo, Drama: Teori dan pengajarannya, ( Yogyakarrta: PT. Hanindita, 2003), cet-2, h. 38. 18 Ekky Imanjaya, Why Not: Remaja Doyan Nonton, ( Bandung:: PT Mizan Bunaya Kreativa, 2004_), cet-1, h. 104. e. Laga (action), Film yang dipenuhi aksi, perkelahian, tembak-menembak, kejar-

kejaran, dan adegan-adegan berbahaya yang mendebarkan. Alur ceritanya

sederhana, hanya saja dapat menjadi luar biasa setelah dibumbui aksi-aksi yang

membuat penonton tidak beranjak dari kursi.

3. Struktur dalam Film

Sehebat apa pun film 2012 Karya Rolland Emmerich, sepopuler apa pun film

Jurasic Park karya dan se-booming apa pun Ayat-Ayat Cinta karya

Hanung Bramantyo, tidak akan pernah menarik dan nyaman untuk dilihat, jika para kru

(regu) film tidak menampilkan angle (sudut) kamera yang baik untuk ditonton. Tentu saja selain kehebatan para kru, ada beberapa teknik pengambilan gambar yang mampu membuat penonton berdecak kagum terhadap film yang mereka lihat:

1. Sudut pengambilan gambar (Camera Angle)19

a. Bird Eye View

Pengambilan gambar dilakukan dari atas ketinggian tertentu, sehingga

memperlihatkan lingkungan yang sedemikian luas dengan benda-benda lain yang

tampak dibawah sedemikian kecil. Pengambilan gambar biasanya menggunakan

helikopter maupun dari gedung-gedung tinggi.

b. High Angle

Sudut pengambilan gambar tepat diatas objek, pengambilan gambar seperti ini

memiliki arti yang dramatik yaitu kecil atau kerdil

c. Low Angle

19 “main” diakses pada tanggal 25 Januari 2010 pukul 23:00 WIB dari http://www.koma.or.id.

Pengambilan gambar diambil dari bawah si objek, sudut pengambilan gambar ini

merupakan kebalikan dari high angle. Kesan yang ditimbulkan dari sudut pandang

ini yaitu keagungan atau kejayaan.

d. Eye Level

Pengambilan gambar ini mengambil sudut sejajar dengan mata objek, tidak ada

kesan dramatik tertentu yang didapat dari eye level ini, yang ada hanya

memperlihatkan pandangan mata seseorang yang berdiri.

e. Frog Level

Sudut pengambilan gambar ini diambil sejajar dengan permukaan tempat objek

berdiri, seolah-olah memperlihatkan objek menjadi sangat besar.

2. Ukuran gambar (frame size)20

a. Extreme Close Up (ECU/XCU) : pengambilan gambar yang terlihat sangat detail

seperti hidung pemain atau bibir atau ujung tumit dari sepatu.

b. Big Close Up (BCU) : pengambilan gambar dari sebatas kepala hingga dagu.

c. Close Up (CU) : gambar diambil dari jarak dekat, hanya sebagian dari objek

yang terlihat seperti hanya mukanya saja atau sepasang kaki yang bersepatu

baru

d. Medium Close Up : (MCU) hampir sama dengan MS, jika objeknya orang dan

diambil dari dada keatas.

e. Medium Shot (MS) : pengambilan dari jarak sedang, jika objeknya orang maka

yang terlihat hanya separuh badannya saja (dari perut/pinggang keatas).

20 “Teknik Pengambilan Gambar” diakses pada tanggal 25 Januari 2010 pukul 23:01 WIB dari http://www.thinktep.wordpress.com

f. Knee Shot (KS) : pengambilan gambar objek dari kepala hingga lutut.

g. Full Shot (FS) : pengambilan gambar objek secara penuh dari kepala sampai

kaki.

h. Long Shot (LS) : pengambilan secara keseluruhan. Gambar diambil dari jarak

jauh, seluruh objek terkena hingga latar belakang objek.

i. Medium Long Shot (MLS) : gambar diambil dari jarak yang wajar, sehingga jika

misalnya terdapat 3 objek maka seluruhnya akan terlihat. Bila objeknya satu

orang maka tampak dari kepala sampai lutut.

j. Extreme Long Shot (XLS): gambar diambil dari jarak sangat jauh, yang

ditonjolkan bukan objek lagi tetapi latar belakangnya. Dengan demikian dapat

diketahui posisi objek tersebut terhadap lingkungannya.

k. One Shot (1S) : Pengambilan gambar satu objek.

l. Two Shot (2S) : pengambilan gambar dua orang.

m. Three Shot (3S) : pengambilan gambar tiga orang.

n. Group Shot (GS): pengambilan gambar sekelompok orang.

3. Gerakan kamera (moving camera)21

a) Zoom In/ Zoom Out : kamera bergerak menjauh dan mendekati objek dengan

menggunakan tombol zooming yang ada di kamera.

b) Panning : gerakan kamera menoleh ke kiri dan ke kanan dari atas tripod.

c) Tilting : gerakan kamera ke atas dan ke bawah. Tilt Up jika kamera

mendongak dan tilt down jika kamera mengangguk.

d) Dolly : kedudukan kamera di tripod dan di atas landasan rodanya. Dolly In jika

bergerak maju dan Dolly Out jika bergerak menjauh.

21 Ibid, http://www.thinktep.wordpress.com e) Follow : gerakan kamera mengikuti objek yang bergerak.

f) Crane shot : gerakan kamera yang dipasang di atas roda crane.

g) Fading : pergantian gambar secara perlahan. Fade in jika gambar muncul dan

fade out jika gambar menghilang serta cross fade jika gambar 1 dan 2 saling

menggantikan secara bersamaan.

h) Framing : objek berada dalam framing Shot. Frame In jika memasuki bingkai

dan frame out jika keluar bingkai.

Demikianlah, di balik kematangan sebuah film, selain ada sutradara, D.O.P

(Director of Photography} atau penata fotografi, kameramen, editor, lighting

(penata cahaya), wardrobe,22 dan kru (regu) lainnya, ada juga teknik

pengambilan gambar, yang mampu menyihir penonton untuk hanyut dalam

situasi adegan film.

B. Tinjauan Umum Semiotika

1. Konsep Semiotika

Istilah Semiotika atau semiotik dimunculkan pada akhir abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Peirce, merujuk kepada “doktrin formal tentang tanda-tanda”. Yang menjadi dasar semiotika adalah konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun-sejauh terkait dengan pikiran manusia-seluruhnya terdiri atas tanda- tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas.

Dalam arti lain, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai

(to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to

communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal ini di mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem tersruktur dari tanda.23

Banyak para tokoh yang menggeluti bidang semiotik atau semiotika, di antaranya:24

a) Charles Sanders Peirce: Pierce terkenal karena teori tandanya. Di dalam lingkup

semiotika, Pierce, sebagaimana dipaparkan Lechte, seringkali mengulang-ulang

bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang.

Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks),

dan symbol (simbol). Dijelaskan, Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek

atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan peta. Indeks adalah

tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda

yang bersifat kausal atau kenyataan. Contoh, asap sebagai tanda adanya api.

Dan, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda

dan petandanya.

b) Ferdinand de Saussure, Sedikitnya ada lima pandangan Saussure yang di

kemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, salah

satunya ialah Signifier (penanda) dan signified (petanda). Dengan kata lain

23 Drs. Alex Sobur, M.Si, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), cet-3, h.13-15. 24 Ibid, h.39-62. penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.Bisa

juga disebut aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan

apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan, petanda adalah gambaran mental,

pikiran, atau konsep. Bisa juga disebut aspek mental dari bahasa. Yang mesti

diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, kedua unsur tadi

tidak dapat dilepaskan. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua

sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.

c) Roman Jakobson, Jakobson adalah salah seorang dari teoretikus yang pertama-

tama berusaha menjelaskan komunikasi teks sastra. Pengaruh Jakobson pada

semiotika berawal pada abad-20. Menerangkan adanya fungsi bahasa yang

berbeda, yang merupakan faktor-faktor pembentuk dalam setiap jenis

komunikasi verbal: Adresser (pengirim), message (pesan), adresse (yang

dikirimi), context (konteks), code (kode), dan contact (kontak).

d) Louis Hjelmslev, Hjelmselv mengembangkan sistem dwipihak (dyadic system)

yang merupakan ciri sistem Saussure. Sumbangan Hjelmselv terhadap semiologi

Saussure adalah dalam menegaskan perlunya sebuah “sains yang mempelajari

bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam masyarakat. Dalam pandangan

Hjelmselv, sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan internal

antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga

mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar

dirinya.

2. Konsep Semiotika Roland Barthes25.

25 Drs. Alex Sobur, M.Si, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), cet-3, h.63-70.

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Semasa hidupnya, Bathes telah

banyak menulis buku, di antaranya, telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Karya-karya pokok Barthes, antara lain: Le degree zero de

I’ecriture atau “Nol Derajat di Bidang Menulis”(1953, diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, Writing Degree Zero, 1977).

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai ssstem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran ke-dua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.

Melanjutkan studi Hjelmsev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja:

1. Signifier 2. Signified

(penanda) (petanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif)

4.CONNOTATIVE SIGNIFIER 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED

(PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Gambar 2.1 Peta tanda Roland Barthes

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda

(1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.

Jadi, dalam konsep Barthes, terdapat tanda konotatif yang bukan hanya sekadar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.

Semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya mengungkapkan bahwa, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi. Dilihat segi bahasa, denotasi ialah makna yang sebenarnya yang sama dengan makna lugas untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat faktual. Konotasi ialah adalah makna yang bukan sebenarnya yang umumnya bersifat sindiran dan merupakan makna denotasi yang mengalami penambahan. Sedangkan mitos ialah

sistem komunikasi dan sebuah pesan.26

Dijelaskan pula dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda.

Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.

Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Ungkapan ini ada benarnya, suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator. Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu tekstualisasi tentu dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imaginer. Sebagaimana halnya mitos, ideologi pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi; kehadirannya tidak selalu kontintu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja alias alamiah.

26“Pengertian makna denotatif & konotatif “ diakses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 11:00 WIB dari http://organisasi.org. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat.

Barthes juga menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, karena mitos ini merupakan sebuah pesan pula. Ia menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan, sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. Dalam narasi berita, pembaca dapat memaknai mitos ini melalui konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat menemukan adanya asosiasi-asosiasi terhadap ‘apa’ dan ‘siapa’ yang sedang dibicarakan sehingga terjadi pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya.27

C. Tinjauan Umum tentang Jurnalisme

1. Pengertian Jurnalisme28

Istilah Jurnalisme berasal dari bahasa Inggris “journalism” berarti kewartawanan29, dan bersumber dari bahasa latin “diurnal” yang berarti harian atau setiap hari.

Sedangkan, menurut istilah jurnalisme berarti kegiatan mengumpulkan bahan berita, mengolahnya sampai menyebarluaskannya kepada khalayak. Sebab, setiap

27 “ Mitos & bahasa media mengenal semiotika roland barthes” diakses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 10:30 WIB dari http://www.averroes.or.id. 28 Sudirman Tebba, Junalistik baru, ( Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), cet-1, h.9 29 John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 2000), h. 337. kejadian dan pernyataan yang memiliki daya tarik bagi khalayak dapat dijadikan berita untuk disebarluaskan ke tengah masyarakat.

2. Sejarah dan Perkembangan Jurnalisme30

Kegiatan jurnalisme sudah sangat tua, yaitu dari zaman Romawi kuno ketika

Julius Caesar berkuasa. Tetapi saat itu kegiatan jurnalisme tidak terus berkembang, karena setelah Kerajaan Romawi runtuh, kegiatan jurnalisme sempat mengalami kevakuman, terutama ketika Eropa masih dalam kegelapan (dark age). Pada masa itu jurnaslisme menghilang. Berita disampaikan dengan cara lain, biasanya diceritakan atau dinyanyikan oleh orang yang disebut “wandering minstrels” yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain, kalaupun ada dilakukan secara tertulis hanyalah dalam bentuk surat.

Jurnalisme bergairah kembali pada tahun 1609, dengan terbitnya Avisa Relation

Oder Zeitung di Jerman, yang dikenal sebagai surat kabar pertama. Lalu di London terbit

Weekly News pada 23 Mei 1622. Tetapi surat kabar yang benar-benar terbit secara teratur setiap hari adalah Oxford Gazette pada tahun 1665, yang kemudian namanya diganti menjadi London Gazette. Henry Muddiman sebagai editor pertama surat kabar itu adalah orang yang pertama kalinya memperkenalkan istilah “newspaper”yang digunakan sampai hari ini.

Pada abad ke-18 terjadi peralihan sistem pers dari pers otoriter (authoritarian press) ke sistem pers liberal (libertarian press). Kemenangan pers itu boleh disebut sebagai kemenangan demokrasi atau kemenangan demokrasi merupakan kemenangan pers. Pers diakui sebagai pejuang yang aktif dalam mengembagkan prinsip kemerdekaan. Dalam rangka pembinaan dasar teoritis untuk konsep modern mengenai

22. Sudirman Tebba, Junalistik baru, ( Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), cet-1, h.11-26 kebebasan menyatakan pendapat, pers telah mengembangkan apa yang disebut “the theory of objective reporting” untuk memenuhi fungsinya sebagai media informasi.

Pada abad ke-20 sistem pers berubah lagi dari pers liberal (the libertarian theory of the press) ke pers tanggung jawab social (the social responsibility theory of the press).

Fungsi pers teori tanggung jawab sosial sebenarnya sama dengan pers yang menganut teori liberal, yaitu teori tanggung jawab sosial dapat menerima peranan pers dalam mengabdikan diri kepada sistem politik dalam memberikan penerangan kepada khalayak, dalam melindungi kemerdekaan perorangan, tetapi teori itu menyatakan pendapatnya bahwa pers kurang sempurna dalam melaksanakan tugasnya itu.

Selain ketiga teori di atas, ada satu teori pers lagi yang berkembang di Uni

Soviet, yang disebut teori pers komunis soviet. Namun dengan runtuhnya Uni Soviet, maka teori pers ini sekarang lebih tepat disebut teori pers komunis. Teori yang menempatkan pers sebagai alat partai politik yang berkuasa.

Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di dunia, muncul pula teori- teori jurnalisme yang mendasari perkembangan pers, di antaranya yang terpenting ialah munculnya suatu teori jurnalisme yang disebut jurnalistik baru.

Sesuai dengan namanya sebagai jurnalistik baru, maka jenis jurnalistik ini berbeda dengan gaya jurnalistik lama. Jurnalistik lama bersifat linier, yaitu satu referensi saja. Sementara jurnalistik baru beritanya bersifat multilinier, yaitu selain menggunakan referensi pokok, juga dilengkapi dengan referensi-referensi lain. Dengan demikian, suatu jurnalistik disebut jurnalistik baru lebih karena kelengkapan dan pengembangan beritanya. Karena itu pada prinsipnya jurnalistik baru tetap mengacu pada konsep jurnalisme yang ada, seperti: 1) Tidak boleh memasukkan opini pribadi.

2) Berita yang disajikan hanya fakta yang mengandung kebenaran.

3) Mengandung 5 W (who, what, where, when, why) + 1 H (how).

4) Penulisan berita harus tepat, ringkas, jelas, sederhana dan dapat dipercaya.

5) Naskah berita harus lugas dan megandung daya gerak.

Karena jurnalistik baru juga menggali fakta-fakta yang tersembunyi, maka isinya bisa mengandung banyak hal, tergantung aspek yang digali, misalnya ada yang berupa laporan investigatif, laporan yang faktanya diperoleh dengan cara investigasi. Laporan kontemporer, laporan dengan memasukkan unsur susatra. Laporan komparatif, laporan yang pengolahannya membandingan antara suatu kejadian atau pendapat pokok dengan kejadian/ pendapat yang lain. Laporan analisis, laporan yang memberikan analisis terhadap fakta yang diberitakan. Laporan interpretatif, laporan dengan memberikan interpretasi, dan laporan evaluatif, laporan yang memberikan evaluasi terhadap fakta yang diberikan.

Kelima teori atau sistem pers tersebut berkembang di seluruh dunia di mana ada kehidupan pers, termasuk di Indonesia, yang memang juga sudah berkembang cukup lama.

3. Macam-macam Jurnalisme31

Fred Fedler, Everette Dennis dan pakar lainnya mengkategorikan ada tujuh macam jurnalisme:

• Jurnalis advokasi: Kegiatan jurnalisme yang berupaya menyuntikkan opini

ke dalam berita. Tiap reportase tanpa mengingkari fakta diarahkan untuk

31 Ibid, h.27-29 membentuk opini publik. Jadi, kesimpulan opini mereka memiliki korelasi

erat dengan realitas peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

• Jurnalis alternatif: Kegiatan jurnalisme yang menyangkut publikasi internal

dan bersifat lebih personal. Jurnal-jurnal alternatif memunculkan tulisan-

tulisan yang hendak membasmi korupsi, dengan tampilan yang lain dari

“anjing penyalak”, dan melebihi media underground konvensional dalam

performa kritikan dan liputannya.

• Jurnalis presisi : Kegiatan jurnalisme yang menekankan ketepatan (presisi)

informasi dengan memakai pendakatan ilmu sosial dalam proses kerjanya.

• Jurnalis sastra : Membahas pemakaian gaya penulisan fiksi untuk

kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel-artikel menjadi

memikat. Teknik pelaporan dipenuhi dengan gaya penyajian fiksi yang

memberikan rincian potret subjek, yang secara sengaja diserahkan kepada

pembaca untuk dipikirkan, digambarkan dan ditarik kesimpulannya.

• Jurnalis bawah tanah : Jenis jurnalisme ini menyampaikan perbincangan

tentang soal-soal yang biasanya dianggap tabu oleh pers mainstream.

• Jurnalis pembangunan : Jurnalisme yang menyiarkan berita-berita

pembangunan. Berita pembangunan meliputi berita langsung, feature, tajuk

rencana, surat redaksi dan pidato/ keterangan yang berhubungan dengan

kebutuhan primer, sekunder dan tertier dari suatu negara sedang

berkembang.

• Jurnalis damai : Jurnalisme yang melaporkan suatu kejadian dengan bingkai

yan lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada

informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi.

Jurnalisme damai membuka peluang pada pemahaman non-kekerasan (non- violence) dan kreativitas seperti yang diaplikasikan sehari-hari oleh para

wartawan dalam membuat liputan.

Demikianlah jurnalisme telah berkembang ke dalam berbagai macam jurnalisme sesuai dengan keperluan dan kepentingan wartawan dan media massa yang

menyiarkan berita itu. Hal ini menunjukkan bahwa konsep jurnalisme selalu berkembang sampai melampaui batas-batas jurnalisme itu sendiri.

4. Kode Etik Jurnalisme

Jurnalisme adalah sebuah profesi sekaligus seni, karena wartawan memiliki ketrampilan khusus dan tunduk pada standar-standar yang umum. Penulis dan humoris

Amerika abad ke-19, Finley Peter Dunne, pernah mengatakan bahwa pekerjaan wartawan adalah, “memberi rasa nyaman kepada orang yang kesusahan, dan menyusahkan orang yang hidup nyaman.” Tapi peran utama jurnalisme dalam masyarakat dunia selama generasi ke generasi tetap sama, menyediakan bagi warga informasi yang akurat dan dapat diandalkan, kemudian apa yang mereka lakukan dapat berfungsi dalam sebuah masyarakat.32

Wiliam H. Siemering sebagai instruktur penyiaran di Afrika, Eropa Timur dan Asia menambahkan, “Saya perlu katakan bahwa anda (jurnalis) perlu misi yang jelas dan pemahaman yang mendalam soal pentingnya informasi dalam masyarakat dunia.

Dedikasi terhadap keakuratan dan kebenaran harus sejajar dengan kepercayaan.

Tantangannya adalah bagaimana menyajikan informasi dengan cara yang menarik sehingga orang ingin mendengarkan atau membaca apa yang perlu mereka ketahui.33

32 Deborah Potter, Jurnalisme Independen, (Jakarta: Kedutaan Amerika Serikat, 2006), h. 2-3. 33 Didin Natasukarya, Mencari Media yang Bebas dan Bertanggung Jawab, (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2006), h. 39. Pernyataan di atas merupakan buah dari kode etik Jurnalisme, bisa juga, seperti yang dikatakan seorang penulis, Robert H. Estabrook, bahwa pernyataan itu merupakan kebebasan. Dan kebebasan Pernyataan tersebut merupakan kode etik yang menghormati tindak tanduk pers.34

Memang dalam menjalankan tugasnya, wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah supaya wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyiarkan informasi.

Saat ini ada beberapa definisi yang berkembang mengenai kode etik jurnalisme.

Misalnya ada yang mengatakan bahwa kode etik jurnalisme adalah himpunan etika profesi kewartawanan (Pasal 1 Ayat (14) UU No 40 Tahun 1999). Definisi lain ialah kode etik jurnalis televisi Indonesia, yaitu pedoman perilaku jurnalis televisi dalam menjalankan profesinya (Pasal 1 Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia).35

Dari definisi-definisi itu terlihat bahwa kode etik jurnalisme terkait dengan organisasi wartawan dan kode etik jurnalisme hanya mengikat wartawan yang menjadi anggota oraganisasi wartawan yang bersangkutan.

Di dunia saat ini, khususnya di Indonesia banyak organisasi wartawan yang beragam. Karena itu, kode etik jurnalisme juga berbagai macam, di antaranya:

1) Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

2) Aliansi Jurnalistik Indonesia (ALJI).

3) Asosiasi Wartawan Muslim Indonesia ( AWAM).

34 Budi Prayitno, Pers Tak Terbelenggu, ( Jakarta: Departemen Luar Negeri A.S., 2004), h. 34. 35 . Sudirman Tebba, Junalistik baru, ( Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), cet-1, h. 136. 4) Asosiasi Wartawan Ekonomi (AWE).

5) Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia ( HIPSI).

6) Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

7) Ikatan Wartawan Republik Indonesia (IWARI).

8) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

9) Persekutuan Okumene Jurnalis kristiani Indonesia.

10) Ikatan Wartawan Indonesia (IWI).36

Berikut ini adalah salah satu kode etik jurnalisme, yaitu kode etik wartawan

Indonesia, ditegaskan:

1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memeroleh dan

menyiarkan informasi yang benar.

2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memeroleh dan

menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.

3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak

mencampuradukkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti

kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.]

4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah,

sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.

5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan

profesi.

6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo,

informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.

7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam

pemberitaan serta melayani hak jawab.37

36 Ibid, h.139-140 BAB III

GAMBARAN UMUM FILM A MIGHTY HEART

A. Profil Sutradara Film38

Film A Mighty Heart mengisahkan tentang penculikan dan pembunuhan tragis seorang reporter Wall Street Journal berdarah Yahudi di Pakistan. Film yang diangkat dari kisah nyata Mariane Pearl’s dan novel ini disutradarai oleh Michael Winterbottom, sutradara Inggris yang muncul di akhir abad-21.

Michael Winterbottom lahir di Blackburn, Lancashire pada Tanggal 29 Maret

1961. Meraih gelar di Oxford University. Selain, ia juga menerima pelatihan film dan televisi di Bristol University dan politeknik di London Tengah.

Setelah Michael menyelesaikan bangku kuliahnya, ia menghabiskan waktu mudanya sebagai editor film di Thames Television, yang sukses mengarahkan episode drama dan dua dokumenter tentang Ingmar Bergman. Michael sering mendapat pujian atas karya-karyannya itu termasuk oleh tokoh-tokoh besar Eropa- Jean-Luc Godard, Wim

Wenders, François Truffaut, dan Bergman sendiri- dengan gaya filmnya yang dinilai kontinental sejak awal. Seperti karyanya yang berjudul Forget About Me (ITV, 1990), film

TV drama komedi romantis yang berkolaborasi dengan penulis Frank Cottrell Boyce, mengisahkan dua tentara Skotlandia yang dikirim ke Jerman Barat dan terjerat cinta

37 Ibid, h.138-139. 38 “People” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 13:30 WIB dari http:// www.screenonline.org.uk dengan gadis-gadis Hungaria selama perjalanan ke Budapest. Under The Sun (ITV, 1992), film TV yang berlatar belakang di Spanyol ini mengisahkan tentang seorang gadis pemalu yang belajar membela dirinya sendiri.

Pada tahun 1994 Michael membentuk Revolution Films, sebuah rumah produksi yang dibangun bersama Andrew Eaton, produser sekaligus keluarganya sendiri, yang kemudian membuat debut film pertamanya “Butterfly Kiss”. Lalu, pada tahun 1996

Michael membuat film pertamanya yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul Jude.

Film yang diangkat dari judul yang sama buah karya Thomas Hardy’s ini diperankan oleh artis papan atas, Kate Winslet (finding Neverland, Titanic, The Reader) sebagai batu loncatan menembus pasaran.

Pada tahun 1997, dengan bakatnya yang elektik Michael mengubah gaya filmnya. Kali ini ia membuat sesuatu yang subjektif dan periodik, Welcome to Sarajevo

(1997). Film yang penuh emosional ini diangkat dari kisah nyata wartawan televisi

(diperankan oleh Stephen Dillane) yang bertekad menyelamatkan seorang anak yatim di

Sarajevo. Walaupun film Welcome to Sarajevo dibilang gagal, Michael terus berkarya dengan menyutradai banyak film, I Want You (1998), Wonderland (1999), 24 Hours Party

People (2002), In This World (2002), Code 46 (2003), 9 Songs (2004), Tristram Shandy: A

Cock and Bull Story (2005) dan A Mighty Heart (2007).

Meskipun, dalam film-film komersil yang dibuatnya tidak banyak menuai sukses, tapi tekad, semangat dan inovasinya memajukan film-film Inggris membuat iri para sineas Internasional.

B. Profil Pemain dan Film Maker’s

a) Angelina Jolie as Mariane Pearl’s

Angelina Jolie (lahir di Los Angeles, , Amerika Serikat, 4 Juli 1975; umur

34 tahun - lahir dengan nama Angelina Jolie Voight) adalah seorang pemeran wanita

Amerika Serikat yang pernah dinominasikan dalam Academy Award. Ia adalah putri kandung dari pemeran pria senior, Jon Voight. Ia memulai karier aktingnya di era 1980- an. Pada tahun 2003, ia menikah dengan pemeran dan penyanyi senior, Billy Bob

Thornton, namun mereka bercerai pada tahun 2005. Setelah itu ia menikah kembali dengan Brad Pitt pada tahun 2006. Anak hasil hubungan mereka, Shiloh Nouvel Jolie-

Pitt, lahir pada Januari 2006.39

Sebelum terjun ke dunia perfilman, Jolie bekerja sebagai seorang model di Los

Angeles, New York dan London saat usianya 14 tahun. Pada saat itu Jolie juga sering muncul di video-video klip, termasuk Meat Loaf ( Rock & Roll Dreams Come Through),

Antonello Venditti ( Alta Marea), Lenny Kravitz ( Stand by My Woman), dan The

Lemonheads ( It's About Time). Pada usia 16 tahun, Jolie kembali ke teater dan memainkan peran pertamanya sebagai seorang Jerman. Ia mulai belajar dari ayahnya, memerhatikan dan mengamati bagaimana menjadi orang besar seperti mereka.

Walaupun sebelumnya, hubungan mereka kurang baik, tapi akhirnya jolie menyadari bahwa mereka berdua bisa menjadi ” Ratu Drama”.

Pada tahun 1982, Jolie baru mulai berakting dengan debut film perdananya bersama sang ayah, Jon Voight, Lookin’ to Get Out. Satu dekade kemudian, karir Jolie

39 “Biografi” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 13:45 WIB dari http://www.wikipediaindonesia.com

menanjak dengan film yang beranggaran rendah, Cyborg 2 (1993). Peran utama pertamanya dimulai dari sebuah film besar, Hackers (1995). Ia juga membintangi film- film biografi yang diakui secara kritis, George Wallace (1997) dan Gia (1998), kemudian pernah memenangkan Academy Award For Supporting Actress dalam film Girl,

Interrupted (1999).

Beberapa tahun kemudian, jolie mencapai puncak ketenarannya melalui sebuah film yang diangkat dari video game fenomenal, Lara Croft : Tomb Raider (2001). Dalam film itu ia berperan sebagai Lara Croft, perempuan seksi yang berpetualang mencari benda-benda langka. Dan sejak saat itulah, ia dikenal sebagai artis yang paling mahal di

Hollywood. Terkenal dengan film aksi-komedinya bersama suami tercinta, Brad Pitt, Mr and Mrs Smith (2005), kemudian A Mighty Heart (2007), dalam film ini suaminya bertindak sebagai produser, film animasi Kungfu Panda (2008), pengisi suara the tiger, dan Wanted (2008).40

b) as Daniel Pearl’s41

Dan Futterman dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tanggal 8 Juni 1967 dan dibesarkan di Westchester County. Ayahnya adalah seorang pengacara dan ibunya seorang psikoanalis, yang kemudian ia bercanda bahwa dua hal yang paling dibutuhkan dari keduanya ialah seorang aktor. Ia belajar di Columbia University dan lulus pada tahun 1989 dengan gelar degree in English. Kemudian, terbagi antara lulusan sekolah dan mengejar karir akting, akhirnya ia menyerah ke dalam dorongan kreatif dan memilih yang terakhir. Karirnya begitu cepat, sebab pada tahun 1991 ia sudah di kontrak jangka panjang oleh club soda di teater WPA bersejarah di New York. Setelah bergelut di

40 “Biografi” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 13:45 WIB dari http:// www.en.wikipedia.org 41 “ Movie” diakses pada tanggal 15 Frbruari 2010 pukul 13:10 WIB dari http:// www.moviesyahoo.com. Teater, ia kemudian segera menampilkan film perdananya”The Fisher King”, yang bermain sebagai anak-anak punk. Dalam rentang waktu yang singkat, karirnya pun memuncak.

Pada tahun 1992, Futterman dipilih menjadi bintang utama dalam fim Big Girls

Don't Cry...They Get Even. Selain itu, Futterman banyak membuat beberapa penampilan di Televisi, salah satunya film seri Class of '61 (ABC, 1993). Pernah juga memberikan penampilan mengesankan dalam film-film independen yang diperankannya, Breathing

Room (1996), Far Harbor (1996), Shooting Fish (1997) dan Birdcage, di film ini ia bermain bersama artis tersohor Hollywood, Robin Williams. Kemudian, Futterman semakin bergairah di dunia pertelevisian. Beberapa chanel TV seperti TNT menempatkannya sebagai bintang utama dengan Mickey Rourke” Thicker Than Blood"

(1998), Dan dipasangkan bersama Ron Eldard dan Martin Donovan dalam kisah Perang

Dunia II “When Trumpets Fade" (HBO, 1998).

Selain menyukai dunia akting, Futterman juga senang menulis skenario film.

Terbukti dengan kesuksesannya memperoleh nominasi oscar untuk Best Adapted

Screenplay dari Boston dan Los Angeles Film Critics Associations. Sementara itu, pada tahun 2007 Futterman kembali ditarik sebagai aktor untuk memerankan seorang reporter Wall Street Journal, Daniel Pearl’s yang dibunuh dan dipenggal di Pakistan dalam film “A Mighty Heart”. Ia mengatakan, bahwa film ini ialah film terakhirnya, sebab ia ingin lebih serius dibidang tulis-menulis skenario.

c) Archana "Archie" Panjabi as Asra Nomani42

Archana "Archie" Panjabi lahir pada tahun 1972, ia merupakan artis Inggris yang diakui karena perannya dalam film komedi “Bend it Like Beckham” (2002), dan aktingnya sebagai Kalinda Sharma di serial TV CBS ”Good Wife”.

Panjabi lahir di London Barat dan ia merupakan mahasiswi lulusan Brunel

University di London Barat pada tahun 1996 dengan gelar studi manajemen. Panjabi dikenal sebagai wanita yang berbakat dalam dunia film dan televisi. Karirnya di awali pada tahun 1999 dalam sebuah film komedi “East to East” dan baru-baru ini mengikuti serial TV BBC “Life in Mars”. Sedangkan, Peran Hollywood pertamanya adalah pada tahun 2005 sebagai seorang diplomat Inggris,”The Constant Gardener”, film yang sempat mendapatkan piala oscar. Walaupun sebenarnya, Panjabi tetap unggul dalam film komedi yang digarap pada tahun 2002, “Bend it Like Beckham”.

Pada tahun 2005, ia juga memenangkan Bintang Award untuk perannya sebagai karakter dalam judul Yasmin di Festival Film Berlin, dan penghargaan Best Actress pada tahun yang sama di Reims Film Festival.

Pada tahun 2007, Punjab muncul dengan artis seksi Angelina Jolie dalam film adaptasi sebuah buku dan kisah nyata Mariane Pearl’s, istri jurnalis Daniel Pearl’s ”A

Mighty Heart”. Dalam film ini Punjab memainkan peran mantan Wall Street Journal, reporter . Selain itu Punjab juga telah memberikan suaranya untuk beberapa tokoh dalam film animasi anak di televisi Inggris “Postman Pat”.

d) Irfan Khan as Captain43

42 “” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 14: 10 WIB dari http:// www.wikipedia.org. Sahabzade Irfan Ali Khan, dikenal juga sebagai Irfan Khan, (Hindi: इरफन खन; lahir 30 November 1962). Ia adalah seorang aktor India yang berkecimpung dalam film, televisi dan teater. Banyak sudah film yang dimainkan olehnya, The Warrior (2001),

Maqbool (2003), Haasil (2004), The Namesake (2006), A Mighty Heart (2007), Slumdog

Millionaire (2008), Billu (2009) dan New York, I Love You (2009), serta Vodafone, sebuah iklan.

Khan lahir di Jaipur, India, ia seorang muslim Nawab, Ibu Khan bernama Sayeeda

Begum, berasal dari Keluarga Hakim Tonk dan Bapaknya, Late Yaseen Khan Jagirdar, berasal dari desa dekat Tonk Khajuriya Dist. Pada tahun 1984, ia memperoleh beasiswa di National School of Drama (NSD), New Delhi, padahal saat itu ia sedang mengejar gelar

M.A.

Setelah lulus pada tahun 1987, Khan pindah ke , di sana ia membintangi berbagai film serial televisi, seperti 'Chanakya', 'Sara Jahan Hamara (Banegi Apni baat,,'

'Chandrakanta' (Doordarshan), dan lain-lain. Ia pernah membintangi tokoh antagonis dalam serial Darr (yang disiarkan di Star Plus), di mana ia berperan sebagai seorang psikopat yang haus darah. Ia juga memainkan peran revolusioner penyair urdu terkenal dan aktivis politik Marxis India, Makhdoom Mohiuddin, “Kahkashan” yang disutradarai oleh Ali Sardar Jafri. Pada tahun 1990-an, ia juga muncul dalam sebuah film yang diakui secara kritis, “Ki Ek Dokter Maut” dan Long Journey (1998).

Setelah banyak film yang dilakoninya tidak berhasil, sutradara Asif Kapadia yang berbasis di London, memberinya peran dalam film The Warrior, sebuah film sejarah yang selesai dalam 11 minggu. The Warrior meledak dalam festival film internasional, dan

43 “Irfan Khan” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:40 WIB dari http:// www.wikipedia.org. inilah yang membuat wajah Irfan Khan terkenal di seluruh dunia.. Pada tahun 2007, ia muncul dalam film box office, Metro, sehingga ia menerima penghargaan sebagai Aktor

Pendukung Terbaik Filmfare Award, dan The Namesake, yang sukses di luar negara.

Kemudian, diikuti pula penampilan lainnya dalam film-film internasional, A Mighty Heart

dan The Darjeeling Limited.

Khan menikah dengan seorang penulis, Sutapa Sikdar, yang juga seorang lulusan

NSD dan saat ini mereka dikaruniai dua orang anak, Babil dan Ayan.

e) Will Patton as Randall Bennet44

Aktor Will Patton berhasil membagi waktunya, antara figur utama, film televisi, dan panggung kariernya. Lahir dan dibesarkan di North Carolina, putra seorang pendeta

Lutheran. Patton belajar keahliannya di North Carolina School of the Arts dan Actor's

Studio, New York, di mana ia belajar di bawah bimbingan Lee Strasberg. Selain, Patton juga belajar di Open Teater, di bawah bimbingan Joseph Chaikin, sebelum membuatnya naik ke atas panggung New York.

Patton telah memenangkan dua Obie Award dalam Tourists and Refugees No 2 dan Sam Shepard, Fool for Love. Patton juga telah memiliki pengalaman bekerja di

London's Royal Court Theatre. Patton pertama kali muncul dalam film pendek, Minus

Zero (1979). Lalu, film independen yang berbasis di New York, King_Blank dan Varietas

(keduanya 1983).

Patton pernah bermain sebagai figuran, tapi menjadi peran penting dalam

Susan_Seidelman 's Desperately_Seeking_Susan (1985). Setelah film itu, ia dilempar dalam Martin_Scorsese' s After_Hours (1985), film beranggaran besar yang pertama kali

44 “Actor’s” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:30 WIB dari http://www.starpulse.com. diperankan olehnya, di mana ia bermain sebagai kekasih yang kasar. Penggambaran terbaiknya menjadi seorang penjahat dapat dilihat dalam film yang dibintangi oleh Gene

Hackman, No_Way_Out (1987). Kemudian, dari beberapa film-film independennya yang telah muncul, ia mendapatkan ulasan baik di festival film, terutama The_Spitfire_Grill

(1996) dan A Mighty Heart (2007).

f) Denis O’hare as John Bussey45

Denis O'Hare lahir di Kansas, Missouri pada tanggal 17 Januari 1962. Ia merupakan seorang artis yang pernah mendapatkan Tony Award-winning aktor. Ia lulusan teater sekolah Northwestern University's. Sebenarnya O'Hare adalah seorang

Amerika Irlandia dan telah memiliki paspornya. .

O'Hare memenangkan Tony Award untuk Best Performance dalam Richard

Greenberg 's Take me Out. Ia juga memenangkan Drama Desk Award pada tahun 2005 untuk Outstanding Feature Actor atas perannya sebagai Oscar Lindquist dalam

Broadway. Ia juga pernah muncul beberapa episode sebagai bintang tamu dalam film serial Law & Order, spin-off, Law & Order: Special Victims Unit, Law & Order : Criminal

Intent dan Brothers & Sisters. Kemudian, film-filmnya yang termasuk mendapat penghargaan The Anniversary Party, 21 Gram, Globe Golden, ialah Michael Clayton , A

Mighty Heart , Half Nelson , dan Milk.

Pada tahun 2007, O’hare muncul dalam film Charlie Wilson’s War bersama artis papan atas (Saving Private Ryan, Green Mile, Forrest Gump), Julia Robert,

Rachel Nichols, Emily Blunt dan Philip Seymour Hoffman. Pada tahun 2008, ia muncul kembali dalam film Changeling, berperan sebagai Doktor Jonathan Steele yang korup dan psikiater sadis. Lalu, pada tahun 2009 ia dipercaya berperan sebagai Phillip Steele

45 “Wiki” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14: 15 dari http:// www.en.wikipedia.org dalam film televisi yang diangkat dari biografi Quentin Crisp, berjudul An Inggris in New

York. Pada tahun 2010, ia membintangi film Thriller, Edge Of Darkness dan peran kecil dalam True Blood.

g) Gary Wilmes as Steve leVine46

Gary Wilmes penduduk asli Chicago. Ia dibesarkan sebagai seorang aktor teater di New York. Banyak pujian yang telah didapatkannya dari dunia teater, termasuk Brace

Up! , keterlibatannya dengan The Wooster Group; Bad Boy Nietzsche dan Paradise Hotel dengan Richard Foreman, Henry IV Part 1, Boxing 2000 dan House dengan Richard

Maxwell. Dan banyak lagi keterlibatannya di Teater Vineyard dan Shoppers.

Kemudian, di tanah kelahirannya, Chicago, Gary mengikuti teater dengan judul

Laughter on the 23rd Floor bersama Fox Theatricals; The Chicago Conspiracy Trial bersama Remains Theatre dan The Persecution of Arnold Petch bersama A Red Orchid

Theatre. Lalu, ia juga menjadi anggota The Cook County Theatre Department. Sebagai seorang aktor teater kawakan, Gary juga sudah terbiasa berperan dalam film serial Law

& Order : Criminal Intent bersama Denis O’hare dan film The Girl from Monday, yang disutradarai oleh Hartley Hal, serta A Mighty Heart, sebuah film Michael Winterbottom.

h) Brad Pitt (Producer)

Brad Pitt Lahir pada tanggal 18 Desember 1963, di Shawnee, Oklahoma. Ia dibesarkan di Springfield, Missouri, anak tertua dari tiga bersaudara dalam sebuah

46 “Gary Wilmesi” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:25 WIB dari http:// www.en.wikipedia.org keluarga yang taat pada Southern Baptis. Ayahnya, William Pitt, memiliki sebuah perusahaan truk dan ibunya, Jane Jeta Hillhouse, adalah seorang konselor keluarga47. Ia sekolah di University of Missouri, di mana ia mengambil jurusan jurnalisme.

Tidak jarang, Pitt ikut ber-akting drama yang diadakan oleh asramanya. Bahkan, karena itu ia memutuskan untuk pergi meninggalkan bangku kuliahnya menuju

California mengejar karir di bidang akting. Ia mendapat peran penting pertamanya melalui film Cutting Class (1987).

Pada tahun 1999, Pitt berkencan dengan banyak aktris, di antaranya adalah

Gwyneth Patrow, Thandie Newton, Robin Givens, Juliette Lewis. Banyak film yang diperankan oleh Pitt, seperti Interview with The Vampire (1994), Seven (1995), Seven

Years in Tibet (1997), Fight Club (1999), Snatch (2000)48 dan masih banyak lagi.

Pada pertengahan 2000, Pitt menikahi Jennifer Aniston. Tetapi pernikahan itu berakhir pada akhir 2005. Kini ia hidup bersama dengan aktris cantik asal California,

Angelina Jolie, pemeran Mariane Pearl’s dalam film yang diproduseri olehnya sendiri , A

Mighty Heart (2007)49.

Cast (Pemain)50

• Angelina Jolie - Mariane Pearl • Dan Futterman - Daniel "Danny" Pearl • Irfan Khan - Javed Nabib, "Captain" • Denis O'Hare - John Bussey

47 “Brad Pitt” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:30 WIB dari http:// www.en.wikipedia.org. 48 Muhammad Takdir, Snatch, Majalah Cinemags, edisi 115, (Bandung: PT Megindo Tunggal Sejahtera, 2009), h. 068 49 Charly Himawan, One of the Sexiest Man Alive Was Born, Majalah Cinemags, edisi 102, ( Bandung: PT Megindo Tunggal Sejahtera, 2008), h. 076 50 “amightyheart” diakses pada tanggal 15 Frbruari 2010 pukul 14:30 WIB dari http:// www.fandango.com • Archie Panjabi - Asra Nomani • Will Patton - Randall Bennett • Gary Wilmes - Steve LeVine • Mohammad Afzal - Shabir • Mushtaq Ahmed - Danny's Taxi Driver • Daud Khan - Masud the Fixer • Telal Saeed - Kaleem Yusuf

• Arif Kahn - Marianne's Taxi Driver • Tipu Taheer - Human Rights Director • Amit Dhawan - Technical Supervisor • Saira Nasir Khan - Nasrin • Alya Khan - Kashva • Sarah Mone - Female Guest • Bushra Parwani - Female Guest • Afar Zarachiwala - Male Guest • Danish Iqbal - Male Guest • Ali Tejani - Male Guest • Azfar Ali - Azlar • Ahmed Jamal - Khwaja • Perrine Moran - Ruth Pearl • Jeffry Kaplow - • Ishaque Ahmed - Arif • Alyy Kahn - Omar Saeed Sheikh, "Bashir" • Adnan Siddiqui - Dost Aliani • Shah Murad Aliani - Farooq • Imran Paracha - Major Major • Imran Patel - Jamal Paracha • Jean-Jacques Scaerou - Philippe Scaerou • Veronique Darleguy - Veronique Laurent • Jillian Armenante - Maureen Platt • Demitri Goritsas - John Skeleton • Zach Coffin - Matt MacDowell • Sajid Hasan - Zafir • Farooq Khan - Noor • Mikail Lotia - Hasan • Baba Shaikh - Phone Engineer • Amy Shindler - Michelle Pearl • William Hoyland - John Bauman • Bilal Saeed - Haider • Sean Chapman - US Journalist • Holly Goline - News Producer • Amy Rosenthal - Tamara Pearl • Nour Ayad - Ibrahim the Cook • Lynn Blades - News Reader • Ikram Bhatti - Gilani, Sheikh • Fahad Hussain - Farhad Naseem • Taj Khan - Suleiman • Hasan Ali - Cell Phone Worker • Naeem Sogay - Adil • Sujata Humane - Omar's Aunt • Dr. Sayed Masood - Doctor • Imran Hasny - Lawyer • Chad Chenouga - Satchi • Mike Rosen - US Journalist • Jenni Lee - US Journalist • Elizabeth Danheim - US Journalist • Tom Spencer - US Phone Journalist

• Qasim Iqbal - Hotel Manager • Fabienne Khaldi - Mariane's Mother • Gigi Ledron - Woman in Orange • Aimee Matimbia - French Midwife • Harvesp Viraf Chiniwala - Baby Adam • Nassim Benbrik - Adam Aged 4 • Barney Welch - Reporter

Crew (Kru di balik layar film)51

• Michael Winterbottom - Director, Screenwriter • Andrew Eaton - Producer • Arti Gupta Surendranath - Producer • Brad Pitt - Producer • Dede Gardner - Producer • Adam Garner - Digital Effects • Albert Zimmer - Production Accountant • Alice Dawson - Production Accountant, Production Manager • Amy Bell - Set Decorator • Andrew Tapper - Art Director • Anita Overland - Co-producer • Anthony Wilcox - Assistant Director, Second Assistant Director • Arnaud Duterque - Location Manager • Asra Nomani - Consultant/advisor • Bernard Lamy - Production Accountant • Bijon Das Gupta - Art Director • Catherine Conrad - Key Hairstylist, Key Make-up • Charlotte Walter - Costume Designer • Christopher Stull - Art Director • Danny Daniel - Sound Mixer • David Bryan - Art Director • Dilip More - Art Director • Don Gillespie - Production Accountant • Eliot Mathews - Second Assistant Director • Ellen Lewis - Casting • Emma Field Rayner - Set Decorator • Erin Charles - Production Coordinator • Fiona McCann - Costume Designer • Frank Omø - Gaffer

51 Ibid. http:// www.fandango.com

• Gabriel De Cunto - Prosthetic Makeup Effects • Gus Martinez - Digital Effects • Harry Escott - Composer (Music Score) • Jane Coombes - Post Production Supervisor • Janice Janecek - Costume Designer • Jessie Taylor - Re-Recording Mixer • Joakim Sundström - Supervising Sound Editor

- Screenwriter • Jon Duncan - Production Accountant • Laurence Coriat - Screenwriter • Marcel Zsykind - Cinematographer • Marcel Zyskind - Cinematographer • Marese Langan - Hair Styles, Makeup • Mariane Pearl - Book Author, Consultant/advisor • Mark Digby - Production Designer • Mark Knapton - Digital Effects • Meg Beatty - Second Assistant Director • Melissa Parmenter - Production Manager • Mike Elliott - First Assistant Director • Molly Nyman - Composer (Music Score) • Mozez Singh - Production Manager • Peter Christelis - Editor • Peter Digby - Editor • Raphaël Benoliel - Production Manager • Richard Davey - Re-Recording Mixer • Richard Flynn - Sound Recordist • Robert Reynolds - Gaffer • Sarah-Jane Wheale - Production Coordinator • Shobie Partos - Location Manager • Simon Tindall - Second Unit Camera • Susan Kirr - Line Producer • Susanna Lenton - Script Supervisor • Texas Hunsaker - Costume Designer • Wendy Brazington – Casting

C. Nominasi dan Penghargaan52

Broadcast Film Critics Association Awards

52 “Award” diakses pada tanggal 20 Juni 2010 pukul 21:00 WIB dari http:// www.imdb.com

Year Result Award Category/Recipient(s)

Best Actress 2008 Nominated Critics Choice Award Angelina Jolie

Chicago Film Critics Association Awards

Year Result Award Category/Recipient(s)

Best Actress 2007 Nominated CFCA Award Angelina Jolie

Empire Awards, UK

Year Result Award Category/Recipient(s)

Best Actress 2008 Nominated Empire Award Angelina Jolie

Golden Globes, USA

Year Result Award Category/Recipient(s)

Best Performance by an Actress in a Motion 2008 Nominated Golden Globe Picture - Drama Angelina Jolie

Image Awards Year Result Award Category/Recipient(s)

Outstanding Actress in a Motion Picture Angelina Jolie 2008 Nominated Image Award

Outstanding Independent or Foreign Film

Independent Spirit Awards

Year Result Award Category/Recipient(s)

Best Feature Dede Gardner Andrew Eaton Brad Pitt

Independent Spirit 2008 Nominated Award Best Female Lead Angelina Jolie

Best First Screenplay John Orloff

London Critics Circle Film Awards

Year Result Award Category/Recipient(s)

Actress of the Year 2008 Nominated ALFS Award Angelina Jolie

Online Film Critics Society Awards Year Result Award Category/Recipient(s)

Best Actress 2008 Nominated OFCS Award Angelina Jolie

People's Choice Awards, USA

Year Result Award Category/Recipient(s)

2008 Nominated People's Choice Award Favorite Independent Movie

Santa Barbara International Film Festival

Year Result Award Category/Recipient(s)

Outstanding 2008 Won Performance Award Angelina Jolie

Satellite Awards

Year Result Award Category/Recipient(s)

Best Actress in a Motion Picture, Drama 2007 Nominated Satellite Award Angelina Jolie

Screen Actors Guild Awards

Year Result Award Category/Recipient(s) Outstanding Performance by a Female Actor 2008 Nominated Actor in a Leading Role Angelina Jolie

Teen Choice Awards

Year Result Award Category/Recipient(s)

Choice Movie Actress: Drama 2007 Nominated Teen Choice Award Angelina Jolie

D. Sinopsis Film A Mighty Heart

On January 23, 2002, Mariane Pearl’s world changed forever. Her husband

Daniel, the South Asia Bureau chief for , was researching a story on shoe bomber Richard Reid. The story drew them to Karachi where a go-between had promised access to an elusive source. As Danny left for the meeting, he told Mariane he might be late for dinner. He never returned.

In the face of death, Danny’s spirit of defiance and his unflinching belief in the power of journalism led Mariane to write about his disappearance, the intense effort to find him and his eventual murderer in her memoir A Mighty Heart: The Brave Life and

Death of My Husband Danny Pearl. Six months pregnant when the ordeal began, she was carrying a son that Danny hoped to name Adam. She wrote the book to introduce

Adam to the father he would never meet. Transcending religion, race and nationality,

Mariane’s courageous desire to rise above the bitterness and hatred that continues to plague this post 9/11 world, serves as the purest expression of the joy of life she and

Danny shared.

Starring Academy Award® winner Angelina Jolie (Girl, Interrupted) as Mariane

Pearl, and Dan Futterman, Oscar®-nominated for his Capote screenplay, as Daniel Pearl,

A Mighty Heart is directed by Michael Winterbottom (The Road to Guantanamo,

Tristram Shandy) and produced by Brad Pitt and Dede Gardner for Plan B Entertainment

(Year of the Dog, THE Departed) and Andrew Eaton for Revolution Films (The Road to

Guantanamo). John Orloff (BAND OF BROTHERS) wrote the screenplay.

In addition to Jolie and Futterman, A Mighty Heart stars Irrfan Khan (The

Namesake), Tony Award winner Denis O’Hare (“Take Me Out”), Archie Panjabi (Bend It

Like Beckham), Will Patton (Remember the Titans), Pakistani television star Adnan

Siddiqui (Amer Bail), and Obie Award winner Gary Wilmes (“Red Light Winter”).

The film’s behind-the-scenes artists are all Winterbottom veterans, including director of photography Marcel Zyskind (The Road to Guantanamo), production designer

Mark Digby (The Road to Guantanamo), editor Peter Christelis (CODE 46), and costume designer Charlotte Walter (TRISTRAM SHANDY: A COCK & BULL STORY).

The night Danny disappeared, Mariane kept vigil with Asra Nomani, an old friend and colleague of Danny’s at the WSJ, living in Karachi. Both women were seasoned international journalists with formidable investigative skills, but they were also foreign women in a country that had become increasingly volatile since September 11. By dawn, they knew they were facing a crisis that required strong allies fully briefed on

Pakistan’s proliferating terrorist cells, its byzantine bureaucracy and its notorious Inter-

Services-Intelligence agency (I.S.I.). Dozens of local investigators swarmed the house that morning, including a man called Captain, the then head of Pakistan’s brand new counter- unit. With

Asra’s house as headquarters, Captain’s men, along with an American diplomatic security agent, two Journal colleagues and the FBI, dedicated themselves to the search.

After five harrowing weeks, amidst escalating media frenzy, they found the kidnappers.

Among them was the known militant Omar Saeed Sheikh, aka “Bashir,” the go-between who had offered Danny information relating to the shoe bomber story. Then came the devastating news that Danny had been brutally murdered weeks earlier.

Mariane and Danny believed that by bearing witness to events and allowing all voices to be heard, truthful journalism could bridge communities in conflict. Mariane has remained devoted to this principle, refusing to succumb to hate or fear. After

Danny’s death, she went home to her native France to await Adam’s birth. She and

Adam now live in Paris, France.53

Artis cantik kelahiran Los Angeles, Angelina Jolie berperan sebagai Mariane

Pearl’s, istri seorang jurnalis yang terbunuh, Daniel Pearl’s, dalam film yang disutradarai

Michael Winterbottom, A Mighty Heart (2007). Film yang diangkat dari kenangan (kisah nyata) Mariane tentang penculikan dan pembunuhan suaminya (diperankan oleh Dan

Futterman) oleh militan Pakistan.

Peristiwa itu terjadi pada tanggal 23 Januari 2002. Mariane tidak tahu bahwa kini gilirannya-lah menerima takdir yang tidak pernah diharapkan. The South Asia

Bureau Chief untuk Wall Street Journal, Daniel Pearl’s, berada di Pakistan bersama istrinya yang sedang hamil, Mariane, saat itu Daniel berangkat untuk wawancara artikel terakhir dengan seorang syeikh; sebab pasangan itu akan segera ke Amerika setelah

53http://www.amightyheart.com diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 14:00 WIB semua tugasnya selesai. Padahal wawancara itu biasa dilakukan Daniel, tapi entah kenapa hari itu mariane merasa gelisah setelah kepergiannya. Dan, kekhawatiran

Mariane memuncak setelah Daniel tidak pernah pulang untuk makan malam selamanya.

Kemudian, di tengah gemuruh tangis, kesedihan dan kenyataan bahwa suami tercinta telah dibunuh oleh militan Pakistan secara tragis, Mariane menulis sebuah

Novel (diangkat dari kisah pribadinya) A Mighty Heart: The Brave Life and Death of My

Husband Danny Pearl’s, untuk sang bayi yang tidak akan pernah tahu wajah bapaknya.

Kisah nyata yang luar biasa ini sempat mengguncang dunia. Bahkan, menjadi harum setelah Mariane, istri mendiang Daniel Pearl’s menulisnya dalam sebuah novel.

Beberapa tahun kemudian, kisahnya pun dangkat menjadi sebuah film dengan judul yang sama, A Mighty Heart, oleh sutradara yang pernah mendapat piala penghargaan

BAFTA, “The Road to Guantanamo” Michael Winterbottom.54

Film ini mengandung implikasi politik yang masih bergema (dengan seribu tanda tanya) di dunia: yaitu dunia kita setelah tragedi 9/11. Tetapi film ini tidak mempersoalkan pertikaian politik dan ideologi itu, melainkan bagaimana Marianne Pearl

(Angelina Jolie), istri Daniel Pearl, menghadapi hilangnya sang suami di suatu malam.

Film ini dibuka dengan perpisahan Marianne (yang tengah hamil lima bulan) dan Dan yang punya ”pe-er” satu wawancara lagi sebelum nanti mereka berdua terbang pulang.

Janji Dan untuk makan malam pukul sembilan yang berakhir dengan hilangnya Dan dan pencarian yang semakin lama semakin menegangkan inilah yang kemudian menjadi pusat cerita.

54 “amightyheart” diakses pada tanggal 15 Frbruari 2010 pukul 14:30 WIB dari http:// www.fandango.com. Antara adegan masa kini dan masa lalu bolak-balik dengan santai, saling susup- menyusup tanpa peringatan, tanpa musik sinting yang menghantam. Semuanya tampak begitu realistik, hampir menyerupai sebuah dokudrama. Bahkan Angelina Jolie, yang dihajar begitu banyak pihak (karena Marianne yang sesungguhnya adalah wartawan

berdarah campuran Kuba, Prancis, dan Afrika-Amerika, maka ada yang menganggap pemilihan Jolie sebagai Marianne tidak benar) memerankan tokoh ini dengan elegan, dingin. Sepanjang film, Marianne menyimpan seluruh rasa frustrasi dan kegelisahannya dan terus-menerus mencoba optimistik karena ”saya sedang hamil, saya tak bisa

(berkeluh kesah),” katanya menjawab reporter yang berisik.

Para penonton, yang kita asumsikan pembaca koran, tentu saja sudah tahu akhir dari tragedi ini, tetapi sutradara Winterbottom memilih untuk sengaja tidak memperlihatkan adegan pemenggalan leher Dan Pearl yang sudah disaksikan jutaan orang melalui internet. Reaksi tim investigasi saat melihat video itu menjadi puncak teror. Teror inilah yang bisa dihadang oleh Marianne. Dia bertahan untuk tidak meratap- ratap, meski luar biasa terluka oleh kematian suaminya.

Jika ini disebut sebuah film penting, mungkin karena ucapan Marianne, bahwa apa yang terjadi pada suaminya sama sekali tidak mewakili rakyat Pakistan; melainkan sebuah brutalitas sekelompok orang belaka. Jolie telah kembali ke ”habitatnya”. Dia telah kembali menunjukkan bahwa dia adalah aktris serius seperti saat dia menerima

Academy Awards untuk penampilannya dalam film Girl, Interrupted.55

55 “ Showthread” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:45 dari http:// www.kaskus.us. BAB IV

TEMUAN DAN ANALISA DATA LAPANGAN

Film merupakan salah satu ide cerdas insan perfilman untuk meraih keuntungan, kepuasan dan ke-intelektualan membangun pesan. Saling berlomba-lomba membuat dunia terperangah adalah cita-cita yang sengaja mereka buat. Bisa terlihat dari penyuguhan gambar, ide cerita, skenario, audio-visual dan bujet uang yang besar, yang mereka kumpulkan untuk menyulap sebuah cerita menjadi film yang dapat dinikmati. Dan sebagai penulis, rasanya sayang jika film hanya dijadikan sebagai hiburan atau hal yang dapat dinikmati semata. Pada kesempatan ini penulis mencoba mengupas makna denotasi, konotasi dan mitos dari sebuah film dalam pandangan Roland Barthes.

I. Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos

Sudah banyak dari industri perfilman lokal memproduksi film di negara lain, sebut saja industri perfilman terbesar Hollywood yang sudah malang melintang di dunia perfilman. Sepertinya seakan memiliki roh tersendiri jika memproduksi sebuah film di negara di mana kisah itu berasal, film menjadi terasa utuh. Seperti film yang digarap

Michael Winterbottom, A Mighty Heart, ia menyutradai film itu di tempat di mana

Daniel diculik dan dibunuh, Pakistan.

E. Scene 1:

Film dibuka oleh suara Mariane Pearl’s yang mengisahkan tentang awal perjalanannya dengan Daniel hingga sampai di kota besar Pakistan. Penggambarannya dibuat seperti dokumenter, yang mencampurkan antara adegan film dengan dokumenter asli. Tentang kemunduran militan Taliban, demonstrasi rakyat Pakistan, pembakaran bendera Amerika dan perkumpulan pers di Islamabad, yang merupakan adegan film.

Visual Dialog / Suara Type of Shot

Narrator (Mariane Pearl’s): Hari Medium Long Shot: gambar setelah 11/9 (runtuhnya World diambil setengah badan dari Trade Center), aku dan Daniel jarak yang jauh, namun objek terbang ke Pakistan. Ribuan jurnalis tetap terlihat jelas beserta

dari seluruh dunia tiba di Islamabad latar belakangnya. untuk meliput berita di negara tetangga Afghanistan.

Tanggal 7 Oktober bomnya Big Close Up: Bagian kepala dimulai. Kekuatan dari objek nampak jelas dan tidak pemerintahan Taliban kewalahan. menutupi panorama di

Dan akhir dari perang, banyak belakangnya. jurnalis yang pindah. Daniel dan aku tetap tinggal, melaporkan senjata nuklir, al-Qaeda, kamp latihan rahasia jihad dan jutaan

pengungsi yang masih tinggal di Extra Long Shot: Gambar diambil dari jarak yang sangat Peshawar, tanah kelahiran Taliban. jauh sehingga objek terlihat Perburuan bin Laden terus lebih kecil. berlanjut di gunung Tora Bora, dan banyak dari pejuang mereka mundur ke perbatasan Pakistan,

mencari tempat aman untuk berkumpul. Dan, banyak orang di Medium Long Shot: gambar Pakistan melihat orang Amerika diambil setengah badan dari sebagai musuh dan Taliban sebagai jarak yang jauh, namun objek saudara muslim mereka. tetap terlihat jelas beserta

latar belakangnya.

Long Shot: Gambar diambil

dari jarak jauh, sehingga seluruh bagian objek dan latar belakangnya nampak jelas.

Terlihat dua orang laki-laki berada di atas mobil bak di antara

kerumunan orang banyak. Kemudian, ada seorang pria dewasa

berteriak di sekitar orang-orang yang mengangkat tangan dan papan, Denotasi jutaan orang berkumpul memadati jalan, sekumpulan orang

membakar bendera Amerika, dan sekumpulan orang yang sedang

duduk mendengarkan pembicara di depannya.

Konotasi Pemerintahan Taliban tidak terkendali dan mundur ke perbatasan Pakistan. Selanjutnya para rakyat Pakistan berkumpul di jalan-jalan

untuk mendemo kejahatan Bush terhadap Timur Tengah. Kemudian,

hal itu direalisasikan dengan membakar bendera Amerika.

Disamping itu, pers dunia berkumpul di Islamabad untuk meliput

peristiwa di Pakistan.

Dilihat dari penggambaran di atas bahwa adegan dokumenter

tersebut adalah pencintraan buruk Amerika, baik di mata militan

Mitos Taliban maupun di mata orang-orang Pakistan. Di antara kedua golongan tersebut tidak ada yang menyukai Amerika, melainkan

mengutuknya.

F. Scene 2

Adegan selanjutnya masuk pada bagian real film, di bagian ini tidak ada lagi dokumenter melainkan masuk pada bagian film yang dibuat sutradara. Pencintraan film ini di awali dengan panorama indah berupa tata letak yang dipenuhi kubah dan menara- menara. Kemudian, di lain sisi tata letaknya dipenuhi oleh bangunan-bangunan tinggi dan rendah.

Visual Dialog / Suara Type of Shot

Medium Long Shot: gambar diambil setengah dari jarak yang jauh, namun objek tetap (Tidak ada dialog) terlihat jelas beserta latar belakangnya.

Long Shot: Gambar diambil dari jarak jauh, sehingga seluruh bagian objek dan latar (Tidak ada dialog) belakangnya nampak jelas.

Suasana seperti pagi hari di tengah puluhan kubah dan menara-

menara masjid yang menjulang tinggi ke langit. Di sisi yang berbeda Denotasi langit masih tampak sendu di atas gedung-gedung tinggi dan rumah-

rumah yang sesak.

Penggambaran kepadatan sebuah kota yang dilihat dari

pandangan humanisme. Pada bagian ini di arahkan kepada penonton

bahwa kehidupan ini seimbang. Jika di satu sisi manusia melihat

identitas agama (ukhrawi), maka di satu sisi manusia akan melihat

Konotasi identitas dunia (duniawi).

Film A Mighty Heart dibuat di Pakistan, tempat mendiang

Daniel diculik dan dibunuh tanpa pernah ditemukan jasadnya. Mitos Tepatnya di Karachi, sebuah kota besar yang padat penduduk dan

merupakan pusat kota itu. Michael Winterbottom (director), ”…..we tried to shoot in the places where it happened, such as the place where Daniel was kidnapped…” [ …..kita mencoba mengambil tempat di mana peristiwa itu terjadi, seperti tempat di mana Daniel telah diculik…]56

Scene 3

Selanjutnya adegan Mariane berpisah dengan Daniel. Daniel mengucapkan kata- kata terakhir dan mengecup bibir sang istri. Kemudian, ia menaiki taksi dan meninggalkan Mariane dengan adegan yang dramatis.

Visual Dialog / Suara Type of Shot

Daniel: Baik, aku harus berangkat. I Love You (Aku mencintaimu). Medium Long Shot: gambar diambil setengah badan dari

jarak yang jauh, namun objek tetap terlihat jelas beserta

latar belakangnya.

Medium Close Up: Dari jarak yang dekat objek diambil

hanya separuh badan. (Tidak ada dialog)

Medium Long Shot: gambar diambil setengah badan dari jarak yang jauh, namun objek

tetap terlihat jelas beserta latar belakangnya.

(Tidak ada dialog)

56 “ Michael ” diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 13:00 WIB dari http: //indielondon.co.uk

Mariane memberikan senyum manisnya ketika Daniel ingin

pergi. Sedangkan, Daniel mengucapkan kata-kata manis dan

Denotasi mencium Istrinya. Tak lama ia pun menaiki taksi dan pergi meninggalkan tatapan perpisahan. Mariane tetap melihatnya

walaupun taksi sudah melaju sangat jauh.

Berjumpa dan berpisah merupakan skenario Tuhan. Manusia

hanya dapat merasakan bagaimana drama itu berjalan. Seperti

Konotasi halnya Mariane dan Daniel perpisahan tidak dilukiskan sebagai bencana. Mereka lebih menganggap perpisahan itu sesuatu yang

akan kembali dan datang mengikat cinta mereka lebih erat.

Dalam kisah nyata Mariane merasa perpisahan itu tidak seperti

biasanya. Sebagai naluri seorang istri hari itu ia sedikit gelisah, Mitos apalagi setelah melihat tatapan suaminya yang redup, seakan

mengisyaratkan detik-detik terakhir bersamanya.

G. Scene 4

Pada scene berikutnya film berjalan ke belakang (mundur). Daniel bertemu temannya, Kaleem Yusuf, meminta pendapatnya sebelum berangkat menemui sheikh

Gilani.

Visual Dialog / Suara Type of Shot Daniel: Aku ingin meminta pendapatmu tentang sesuatu. Seharusnya aku malam ini bertemu Long Shot: Gambar diambil dengan Sheikh Gilani. dari jarak jauh, sehingga objek dan latar belakangnya Kaleem Yusuf: Kau bertemu nampak jelas.

dengannya di mana?

Daniel: Di restoran Village

Kaleem Yusuf: Bertemu dengannya di tempat umum kau Medium Close Up: Dari jarak akan baik-baik saja. Tapi, berhati- yang dekat objek diambil hatilah. hanya separuh badan.

Daniel: Ok, tentu saja.

Di kediaman Kaleem Yusuf, Daniel disambut hangat olehnya.

Denotasi Hingga mereka berdua sudah duduk saling berhadapan dan membicarakan masalah sheikh Gilani.

Bertemu dengan seseorang yang belum dikenal memang perlu

berhati-hati. Sebab, belum tahu apakah orang itu baik atau jahat.

Konotasi Setidaknya bertanya kepada orang yang tahu adalah hal yang paling tepat sebelum bertemu dengan si pelaku (orang yang belum pernah

dikenal).

Sheikh Gilani adalah tokoh agama besar di Pakistan, ia

merupakan seorang ulama yang dikenal arif dan sering meneteskan

air mata. Beliau dikagumi banyak orang, baik muslim maupun non Mitos muslim. Namun, setelah runtuhnya WTC beliau diduga memiliki

hubungan dekat dengan pemimpin al-Qaeda. Karena itulah, banyak

dari jurnalis penjuru dunia ingin bertemu dengannya.

H. Scene 5

Pada bagian ini cerita kembali ke depan (maju). Teman-teman Daniel, Mariane dan Asra berkumpul untuk makan malam sambil menunggu Daniel yang belum pulang.

Kemudian, di tengah asyik menikmati makanan khas Cuba yang dibuat Mariane mereka berbincang-bincang.

Visual Dialog / Suara Type of Shot

Extra Long Shot: Gambar diambil dari jarak yang sangat jauh sehingga objek terlihat

(Tidak ada dialog) lebih kecil dan latar belakang begitu jelas.

Medium Long Shot: gambar diambil setengah badan dari jarak yang jauh, namun objek tetap terlihat jelas beserta

latar belakangnya. Laki-laki 1: Di mana agen CIA itu?

Mariane: Apa maksudmu?

Medium Long Shot: gambar Asra Nomani: Aku bekerja di Wall diambil setengah badan dari Street Journal, apa aku juga agen CIA? jarak yang jauh, namun objek tetap terlihat jelas beserta Laki-laki 2: Tapi bagaimana orang latar belakangnya. Amerika itu tahu banyak tentang Pakistan? Apa mereka tahu tentang Afghanistan? Terlepas dari

pengeboman sepanjang waktu.

Asra Nomani: Itulah mengapa kami jurnalis, memberitahu semua orang.

Teman-teman datang ke rumah Mariane untuk makan malam.

Mereka dihidangkan masakan khas Cuba yang dibuat oleh Mariane

Denotasi sendiri. Namun, di tengah asyiknya menikmati makanan itu mereka mulai mempertanyakan Daniel dan orang Amerika yang tahu

segalanya.

Makan malam bersama kerabat atau keluarga merupakan

kebiasan manusia dalam mengokohkan tali persahabatan dan

persaudaraan. Islam mengenalnya dengan silaturrahmi, jalan Konotasi memperpanjang umur dan menambah rezeki. Namun, tidak untuk

berbicara ketika makan. Karena sangat berbeda dengan peradaban

barat yang meng-halalkan perihal tersebut.

Orang banyak mengira jurnalis adalah antek agensi. Sampai-

sampai oknum militan garis keras mencurigai jurnalis barat sebagai

Mitos mata-mata FBI atau CIA. Inilah mengapa, khususnya di wilayah zona merah jurnalis-jurnalis barat banyak mengalami ancaman

berupa penculikan dan pembunuhan.

I. Scene 6 Adegan selanjutnya film berbalik mundur, namun pada bagian ini cerita merangkak lebih jauh, tepatnya sebelum Daniel bertemu Kaleem Yusuf. Ia dan Mariane, istrinya, mewawancarai salah seorang rakyat Pakistan mengenai sheikh Gilani.

Visual Dialog / Suara Type of Shot

Pak Tua: Tidak, sheikh Gilani orang yang tenang. Dia selalu sedih ketika orang meninggal. Medium Close Up: Dari jarak Daniel:Jadi, dia sedih WTC di yang dekat objek diambil

bom? hanya separuh badan.

Pak Tua: Ya, karena banyak dari pengikutnya orang Amerika.

Apakah kau tahu siapa dalang di balik pengeboman WTC?

Daniel: Siapa?

Pak Tua: Orang yahudi. Mossad Long Shot: Gambar diambil satu-satunya organisasi yang dapat dari jarak jauh, sehingga mengatur peristiwa itu. Apakah kau objek dan latar belakangnya tahu 4000 orang yahudi yang nampak jelas. bekerja secara normal di WTC tidak muncul hari itu?

Daniel: Apa agamamu?

Pak Tua: Saya seorang penganut Kristen. Medium Close Up: Dari jarak Daniel: Bukan, yahudi. yang dekat objek diambil hanya separuh badan.

Daniel ditemani Mariane, istrinya mewawancarai seorang pria

Denotasi berjanggut lebat dan panjang berwarna putih mengenai keberadaan sheikh Gilani di mata orang-orang Pakistan.

Salah satu tugas jurnalis adalah mewawancarai objek yang akan

menjadi sebuah berita. Tujuannya, Selain mengetahui informasi

jurnalis juga dapat menemukan kebenaran hakiki ketika ragu

Konotasi mengenai target. Apalagi mengenai tokoh-tokoh besar yang dicurigai komplotan al-Qaeda, tentu mewawancarai langsung pada

objek yang dituju dapat melahirkan kebenaran yang hendak ditutupi

atau yang selama ini dianggap prejudice (prasangka).

Mossad merupakan organisasi kepolisian rahasia Israel yang

setara dengan FBI, KGB dan CIA. Mossad juga sebuah intelejen

yang sudah diakui dunia. Keberadaannya merupakan pilihan terbesar

untuk menjaga keselamatan sipil dan negaranya. Rumor mengenai

Mossad yang memiliki rencana meluluh lantahkan WTC memang Mitos sudah tersebar dari pintu ke pintu. Sebab hanya agen terselubunglah

yang dapat menembus pendektesian sinyal keamanan super ketat di

New York City. Namun, kembali kepada kenyataan, itu hanyalah

sebuah rumor hanya Tuhan jua-lah yang Mengetahui segala

kebenarannya.

John Orloff (screenplay), ”…you can have a conversation about journalism - its risks and rewards and necessity. Three really interesting thematic, structural, emotional things were going on in this story.” [ …anda (penonton) dapat berdialog mengenai jurnalisme – Ini adalah sebuah risiko, penghargaan dan kebutuhan. Ada tiga hal yang benar-benar akan disuguhkan dalam kisah ini yaitu thematik, struktur (susunan) dan emosional.57

J. Scene 7

Film berjalan maju lagi. Adegan Mariane yang sedang menelepon dan gambaran mukanya yang gelisah.

Visual Dialog / Suara Type of Shot

Konselor: Konsulat Amerika, saya Corporal Bailey. Apakah ada yang perlu dibantu?

Mariane: Halo! Nama saya Big Close Up: Bagian kepala Mariane Pearl’s, dan saya menelpon objek nampak jelas dan tidak karena suami saya hilang. Dia menutupi panorama di seorang jurnalis. Dan dia….. belakangnya.

Konselor: Nyonya, maaf konsulat sudah tutup. Mungkin, anda bisa menelpon lagi besok pagi. Dan anda, bisa bicara dengan Randall Medium Long Shot: gambar Bennet, dia bagian keamanan diambil setengah badan dari diplomatik. Besok dia datang lebih jarak yang jauh, namun objek awal, oke? tetap terlihat jelas beserta latar belakangnya.

Adegan Mariane yang sedang menelepon petugas konsulat

Amerika atas kehilangan suaminya, Daniel. Dan paras wajahnya

yang gelisah. Denotasi

57 “John Orloff ” diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 11:00 WIB dari http:// www.cinematical.com

Suatu hal yang wajar ketika seorang istri merasa gelisah jika

sang suami tidak pulang berhari-hari. Apalagi istri tahu suami

Konotasi bekerja di area yang bisa dikatakan rawan penculikan dan pembunuhan. Mungkin, apa yang dirasakan Mariane juga dirasakan

istri-istri yang ada di dunia.

Malam itu, Daniel memang tidak pulang. Selain ia juga tidak

pernah memberi kabar, karena telepon genggamnya sama sekali

Mitos tidak aktif sampai ia tewas mengenaskan di ujung LCD handycam. Dicurigai malam itu Daniel sudah dibawa oknum militan ke tempat

eksekusi, yang tidak pernah diketahui keberadaannya.

K. Scene 8

Adegan selanjutnya Randall Bennet-bagian diplomatik keamanan di konsulat

Amerika-mengirim intelejen militer Pakistan dan FBI ke rumah Mariane untuk menyelidiki kasus penculikan Daniel.

Visual Dialog / Suara Type of Shot

Medium Long Shot: gambar (Tidak ada dialog) diambil setengah badan dari jarak yang jauh, namun objek tetap terlihat jelas beserta latar belakangnya.

(Tidak ada dialog) Long Shot: Gambar diambil dari jarak jauh, sehingga objek dan latar belakangnya nampak jelas.

Intelejen militer Pakistan yang dikepalai oleh Javed Habib

bekerja sama dengan FBI yang dikepalai oleh Maureen Platt Denotasi menyelidiki kasus penculikan Daniel di rumah kediaman Mariane

Pearl’s. Mereka datang atas permintaan Randall Bennet-Divisi

Diplomatik Keamanan Konsulat Amerika.

Bekerja sama antar kedua belah pihak sangat diperlukan. Selain

memudahkan pencarian juga meringankan beban yang diemban. Di

Konotasi film ini terlihat antar kedua intelejen saling bekerja sama dan memiliki tugasnya masing-masing. Intelejen Pakistan digambarkan

bekerja dengan otot, sedangkan FBI bekerja dengan otak.

Kepolisian rahasia negara atau yang lebih dikenal “intel” atau

intelejen hampir ada di setiap negara. Sebutlah Indonesia, BIN Mitos (Badan Intelejen Negara), Israel, Mossad, Amerika, FBI (Federal

Bureau of Investigation), CIA (Central Intelligence Agency), Interpool dan lain-lain. Mereka memiliki tugas yang sama

menyelidiki kasus yang berat. Seperti membongkar pengedar obat-

obatan, penjualan manusia, terorisme, pembunuhan berantai,

penculikan dan kriminal berat lainnya.

L. Scene 9

Scene selanjutnya, di tengah Intelejen Pakistan sibuk mencari sumber dalang penculikan Daniel di sudut kota besar Karachi, FBI menemukan foto Daniel yang terancam di situs (website) kelompok garis keras.

Visual Dialog / Suara Type of Shot

Medium Long Shot: gambar diambil setengah badan dari jarak yang jauh, namun objek (Tidak ada dialog) tetap terlihat jelas beserta latar belakangnya.

Knee Shot: Pengambilan gambar objek dari kepala (Tidak ada dialog) hingga lutut.

Full Shot: Pengambilan (Tidak ada dialog) gambar objek secara penuh dari kepala hingga kaki.

(Tidak ada dialog)

Knee Shot: Pengambilan gambar objek dari kepala hingga lutut.

Mariane beserta Javed Habib melihat foto Daniel yang

ditemukan FBI di salah satu situs (website) kelompok militan garis

Denotasi keras. Dalam foto itu Daniel terlihat mengangkat sebuah surat kabar,

kemudian pada foto selanjutnya ia sedang memegang kepala disertai

tangan yang dirantai.Dan, pada foto terakhir sisi kepalanya ditodong

pistol oleh salah satu oknum.

Jika melihat foto Daniel yang ditemukan FBI di internet, secara

tidak langsung foto itu memiliki pesan berupa ancaman, baik untuk Konotasi keluarganya, sahabatnya atau negaranya. Todongan pistol yang di

arahkan ke kepala Daniel merupakan suatu tekanan oknum kepada

Negara Daniel untuk menerima tuntutan mereka.

Foto Daniel yang ada di dalam film sengaja dibuat persis oleh

sutradara dengan peristiwa aslinya. Foto-foto yang ditemukan FBI di Mitos internet bukan rekayasa melainkan benar-benar Daniel sebelum

dirinya di eksekusi mati. Tentu foto-foto tersebut membuat Mariane

bersedih.

M. Scene 10 Pada bagian ini, intelejen Pakistan menemukan sheikh Gilani, dan mengundangnya datang ke kantor kepolisian untuk diminta keterangan.

Visual Dialog / Suara Type of Shot

Medium Long Shot: gambar diambil setengah badan dari Javed Habib: Aku tidak bertanya jarak yang jauh, namun objek tentang keberadaannya. Aku hanya tetap terlihat jelas beserta ingin… latar belakangnya.

Medium Close Up: Dari jarak yang dekat objek diambil

hanya separuh badan. Sheikh Gilani: Aku tidak tahu, aku sudah katakan padamu, aku tidak pernah mendengar tentang pria ini sebelumya.

Javed Habib, kepala intelejen militer Pakistan menemui sheikh

Denotasi Gilani dan menanyakan seputar Daniel kepadanya. Namun, sheikh sendiri ternyata tidak tahu dan tidak pernah mengenal Daniel.

Dari kisah ini bisa dikatakan bahwa sheikh Gilani tidak pernah

menemui Daniel, dan Daniel tidak pernah menemui sheikh Gilani. Konotasi Di sini sheikh Gilani hanya dijadikan sebagai alat atau topeng oleh

oknum agar Daniel datang dan tertangkap.

Mitos Faktanya sheikh Gilani hanya dijadikan batu loncatan oleh oknum untuk menculik Daniel. Inilah yang membuat beliau menjadi

bulan-bulanan media massa dan fitnahan agensi. Namun, hal itu

cepat diselesaikan oleh intelejen Pakistan dengan menjelaskan

kepada khalayak ramai bahwa, sheikh Gilani tidak ada hubungannya

dengan penculikan dan pembunuhan Daniel.

N. Scene 11

Selanjutnya intelejen Pakistan berhasil menangkap otak di balik penculikan

Daniel Pearl. Ia bernama Omar.

Visual Dialog / Suara Type of Shot

Medium Long Shot: gambar diambil setengah badan dari jarak yang jauh, namun objek (Tidak ada dialog) tetap terlihat jelas beserta latar belakangnya.

Medium Close Up: Dari jarak yang dekat objek diambil

hanya separuh badan. Kuasa Hukum: Apakah anda

mengetahui di mana Daniel Pearl berada?

Long Shot: Gambar diambil dari jarak jauh, sehingga

objek dan latar belakangnya Omar: Tidak, aku tidak tahu. nampak jelas.

Medium Close Up: Dari jarak yang dekat objek diambil Kuasa Hukum: Apakah anda tahu hanya separuh badan. kalau Daniel Pearl masih hidup?

Medium Long Shot: gambar diambil setengah badan dari jarak yang jauh, namun objek Omar: Sejauh yang saya ketahui, ia tetap terlihat jelas beserta tidak dalam keadaan hidup. latar belakangnya.

Kepala Omar dibungkus kain oleh polisi ketika ia dibawa ke

meja hijau Pakistan. Di atas mimbar pengadilan terdakwa diajukan Denotasi beberapa pertanyaan oleh kuasa hukum Mariane mengenai Daniel.

Di pengadilan seorang terdakwa biasanya akan diajukan

pertanyaan oleh hakim atau lainnya tentang perbuatan yang ia

Konotasi lakukan. Jika ada saksi mata maka saksi-saksi tersebut akan

diturunkan dan perlu memberi keterangan. Di pengadilan pula

ditentukannya hukuman dan masa hukuman yang berlaku untuk

terdakwa.

Omar atau yang memiliki nama lengkap Omar Saeed Sheikh

adalah salah satu pembantu Osama bin Laden yang terkenal. Dalam Mitos organisasi, tugasnya menculik dan mengalirkan uang untuk al-Qaeda

dan organisasi jihad lainnya di seluruh dunia.

O. Scene 12

Adegan berikutnya Mariane menangis histeris, menjerit-jerit, setelah mengetahui kabar kematian suaminya, Daniel Pearl, melalui teman-teman konsulat dan kepolisian.

Visual Dialog / Suara Type of Shot

Big Close Up: Bagian kepala (Tidak ada dialog) objek nampak jelas dan tidak menutupi panorama di belakangnya.

(Tidak ada dialog) Medium Close Up: Dari jarak yang dekat objek diambil hanya separuh badan.

(Tidak ada dialog) Knee Shot: Pengambilan gambar objek dari kepala hingga lutut.

Mariane menangis sejadi-jadinya, menjerit-jerit, beberapa kali Denotasi memegang kepala bagian depan dan tengkuk kepalanya.

Gambaran seorang istri yang terpukul hatinya ketika mendengar

sang suami meninggal. Apalagi mendengar kabar kalau suami

Konotasi meninggal secara mengenaskan. Secara naluri wanita pasti rasa kesedihan itu sulit untuk dibendung. Dan, sulit untuk diterima dalam

kenyataan.

Ada seseorang yang mengaku dirinya wartawan memberikan

Mitos bungkusan kepada Yohanes (Petugas konsulat Amerika). Di

dalamya terdapat sebuah handycam. Setelah dinyalakan terekam Daniel Pearl yang mengakui ayahnya Yahudi, dirinya Yahudi,

beberapa pernyataan kepada Negara Amerika dan pengeksekusian

matinya. Kepala Daniel disembelih sampai putus dan kepalanya

diangkat oleh salah satu oknum, kemudian ditunjukkan ke mata

kamera.

Michael Winterbottom (director),”…From my point of view, having read Mariane’s book, we were going to keep the film very simple and try and focus on Mariane, like you say, and the people in the house, which is what the book does. We really sort of borrowed the shape and structure of how she tells the story in the book.” […Inti dari pandangan saya, setelah membaca buku Mariane, kita akan membuat film sesederhana mungkin dan mencoba untuk tetap fokus kepada Mariane, seperti yang anda katakan, orang-orang di rumah katakan, dan yang buku ini katakan. Kami benar-benar mengikuti bentuk dan susunannya sebagaimana ia mengisahkan ceritanya dalam buku]58

P. Scene 13

Pada adegan terakhir sutradara menutupnya dengan gaya dokumenter, selayaknya adegan pertama, terdapat narator yang melapisi gambar. Jadi, seolah-olah film ini adalah sebuah kenangan yang diceritakan oleh Mariane.

Visual Dialog / Suara Type of Shot

Narrator (Mariane Pearl’s):

Mereka menemukan Daniel telah Big Close Up: Bagian kepala objek nampak jelas dan tidak terpotong 10 bagian. Tidak ada menutupi panorama di yang memberitahu saya tentang ini. belakangnya. Saya mendapatkannya dari sebuah

email, yang secara kebetulan dari email lain mengirim kepada saya.

Saya memutuskan, setelah Adam Medium Close Up: Dari jarak

58 “ Michael ” diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 13:00 WIB dari http: //indielondon.co.uk lahir, saya harus menerima semua yang dekat objek diambil hal yang terjadi pada Daniel. hanya separuh badan.

(Tidak ada dialog) Big Close Up: Bagian kepala objek nampak jelas dan tidak

menutupi panorama di belakangnya.

(Tidak ada dialog) Big Close Up: Bagian kepala objek nampak jelas dan tidak menutupi panorama di belakangnya.

Long Shot: Gambar diambil dari jarak jauh, sehingga objek dan latar belakangnya nampak jelas.

Mariane seperti memikirkan dan membayangkan

sesuatu.Kemudian pada scene berikutnya, ia merasa bahagia karena Denotasi Adam telah lahir. Final adegannya, ia dan Adam berjalan bersama di

sisi jalan perkotaan.

Penggambaran secara jujur kehidupan seorang istri yang mesti

hidup sendiri, menanggung beban sendiri, memikul tanggung jawab

sendiri, sejak kematian suami tercintanya. Namun, hal itu terlihat memiliki pesan baginya. Pesan dari Tuhan berupa ketabahan atau

jiwa yang besar. A Mighty Heart.

Konotasi

Setelah mendengar suaminya tewas mengenaskan, sedikitpun

Mariane tidak pernah melihat kronologis kematian suaminya itu.

Sampai ada kabar ditemukannya tubuh Daniel yang sudah terpotong

Mitos menjadi 10 bagian. Itupun masih menjadi kabar menggantung pada diri Mariane. Sebab, tidak ada satu pun kepolisian mengabarkan

perihal tersebut. Akhirnya Mariane meninggalkan Pakistan selama

Adam masih di dalam rahim.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah mengamati dan menganalisis bab sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa:

Makna denotasi dari sebuah film yang diangkat berdasarkan kisah nyata ini berawal dari kehidupan Daniel dan Mariane Pearl’s yang dramatis di Pakistan.

Kemudian, penculikan dan pembunuhan tragis Daniel yang membuat Mariane berjiwa besar ( A Mighty Heart).

Sedangkan, makna konotasi dari film yang diproduksi Revolution Studio ini

Sutradara sengaja mengangkat kinerja jurnalis yang rumit dan perasaan orang-orang yang ditinggal pergi (mati) oleh mereka. Selain itu juga merupakan dedikasi dan penghargaan bagi para jurnalis yang tewas dalam mengemban tugas mereka.

Dan, mitos dari film ini memang diformulasikan dari kisah mendiang Daniel

Pearl’s, seorang jurnalis yang hilang diculik dan dibunuh di akhir bulan Januari 2002.

Daniel, diculik saat ingin mewawancarai salah satu syeikh yang diduga memiliki hubungan kuat dengan al-Qaeda di Karachi. Menurut CPJ (Committe to Protect

Journalist) penculikan dan pembunuhan tragis bukan hanya menimpa Daniel Pearls, tapi ada 7 Daniel lainnya yang tewas mengenaskan seperti itu di Pakistan.

B. Saran

Saran yang ingin disampaikan penulis untuk film A Mighty Heart ialah:

1. Ada yang penulis sayangkan dalam film ini, di beberapa scene saat intelejen

Pakistan meringkus salah seorang penghubung al-Qaeda di sebuah rumah

bertingkat sutradara seperti sengaja tidak memberi background sound. Padahal

dalam adegan itu menurut penulis sangat relevan untuk diberi background sound,

apalagi ada kejar-mengejar dan baku tembaknya. Jadi, walaupun sutradara sudah

membuat adegan itu se-dramatis mungkin tetap saja terlihat sepi dan menjadikan

adegan itu biasa.

2. Film ini sudah baik berusaha mengikuti alur cerita aslinya, Daniel dan Mariane

Pearl’s, namun sayang adegan dramatis penculikan, peng-eksekusian, dan

pembunuhan Daniel tidak dibuat dalam film ini. Entah kenapa sang sutradara

hanya melihat porsi besar Mariane sebagai seorang istri yang sabar dan tabah (a

mighty heart), kemudian sebagian kecilnya penggambaran kenangan bersama

Daniel, detik-detik ditangkapnya dan kerja sama antar agensi untuk mendapatkan

Daniel kembali. Alangkah lebih baiknya jika sutradara membuat porsi besar juga

untuk Daniel, sehingga sempurnalah film itu diberi judul A Mighty Heart.

3. Jika memang film ini penggambaran seorang istri yang berjiwa besar, mengapa

sutradara membuat Mariane dalam film berteriak histeris saat mengetahui Daniel

terbunuh mengenaskan. Penulis kira adegan histeris itu menjadikan citra Mariane

yang sabar, tabah dan berjiwa besar kandas. Penulis rasa Mariane cukup

meneteskan air mata untuk menggambarkan kesedihannya, sehingga tidak

berlebihan dan citra A Mighty Heart tetap ada. C. DAFTAR PUSTAKA

D. Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. E. Jakarta: PT Bina Aksara. F. G. Birowo, Antonius. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Gintanyali. H. I. Gumira Ajidarma, Seno. 2005. Ketika Jurnalisme Dibungkam sastra harus J. bicara. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka. K. L. Imanjaya, Ekky. 2004. Why Not: Remaja Doyan Nonton. Bandung:: PT Mizan M. Bunaya Kreativa. N. O. J. Waluyo, Herman. 2003. Drama: Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: PT. P. Hanindita. Q. R. Konishi, Seiichi & Nakamura, keiji. 2002. Penemuan Film. Jakarta: Elex Media S. Komputindo. T. U. M. Echols, John & Shadily Hassan. 2000. Kamus Inggris- Indonesia. Jakarta: PT V. Gramedia. W. X. Morrisan. 2005. Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio dan Televisi. Y. Tangerang: Ramdina Prakarsa. Z. Å. Moeleng, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda. Ä. CC. Natasukarya, Didin. 2006. Mencari Media yang Bebas dan Bertanggung Jawab. DD. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. EE. CC. Pangaribuan, Tigor. 1996. Kamus Populer Lengkap. Bandung: PT Pustaka Setia. DD. HH. Potter, Deborah. 2006. Buku Pegangan Jurnalisme Independen. Jakarta: Kedutaan II. Amerika Serikat. JJ. KK. Prayitno, Budi. 2004. Pers Tak Terbelenggu. Jakarta: Departemen Luar Negeri II. A.S. JJ. KK. Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, LL. Analisis Semiotika, Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. MM. NN. Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. OO. SS. Tebba, Sudirman. 2005. Jurnalistik Baru . Ciputat: Kalam Indonesia. TT. UU. VV. Himawan, Charly. One of the Sexiest Man Alive Was Born. Majalah Cinemags, WW. edisi 102, 2008. Bandung: PT Megindo Tunggal Sejahtera XX. VV. Siahan, Ricky. Blood Diamond. Majalah Rolling Stone, edisi 27, 2007. Jakarta: WW. PT Indonesia Printer. XX. BBB. Takdir, Muhammad. Snatch. Majalah Cinemags, edisi 115, 2009. Bandung: PT CCC. Megindo Tunggal Sejahtera. ÅÅ. ÄÄ. FFF. “Actor’s” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:30 WIB dari AAA. http://www.starpulse.com. BBB. III. “Amightyheart” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 14:30 WIB dari JJJ. http:/ www.fandango.com. EEE. LLL. “Archie Panjabi” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 14: 10 WIB dari MMM. http://www.wikipedia.org. HHH. OOO. “Award” diakses pada tanggal 20 Juni 2010 pukul 21:00 WIB dari http:/ PPP. / www.imdb.com QQQ. RRR. “Biografi” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 13:45 WIB dari SSS. http://www.wikipediaindonesia.com

TTT.

UUU. “Biografi” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 13:40 WIB dari http:// VVV. www.en.wikipedia.org.

WWW. XXX. “Brad Pitt” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:30 WIB dari http:// YYY. www.en.wikipedia.org. ZZZ. AAAA. “Gary Wilmesi” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:25 WIB dari BBBB. http:// www.en.wikipedia.org CCCC. DDDD. “Irfan Khan” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:40 WIB dari http:// EEEE. www.wikipedia.org. FFFF. GGGG. “John Orloff ” diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 11:00 WIB dari http:// HHHH. www.cinematical.com IIII.

JJJJ. “ Main” diakses pada tanggal 25 Januari 2010 pukul 23:00 WIB dari KKKK. http://www.koma.or.id. LLLL. MMMM. NNNN. “Michael” diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 13:00 WIB dari http: OOOO. //www.indielondon.co.uk PPPP. QQQQ. “ Mitos & bahasa media mengenal semiotika roland barthes” diakses pada tanggal RRRR. 28 Desember 2009 pukul 10:30 WIB dari http://www.averroes.or.id. SSSS. TTTT. UUUU. “ Movie” diakses pada tanggal 15 Frbruari 2010 pukul 13:10 WIB dari http:// VVVV. www.moviesyahoo.com WWWW. XXXX. “News Display” di akses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 11:00 WIB dari YYYY. http://www.wikimu.com. ZZZZ. AAAAA. “Pengertian Film” di akses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 10:30 WIB dari BBBBB. http://www.bahasafilmbarengblogspot.com. CCCCC. DDDDD. “Pengertian makna denotatif & konotatif “ diakses pada tanggal 28 Desember EEEEE. 2009 pukul 11:00 WIB dari http://organisasi.org. FFFFF. GGGGG. “People” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 13:30 WIB dari http:// HHHHH. www.screenonline.org.uk IIIII. JJJJJ. “Sejarah Film” di akses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 11:00 WIB dari KKKKK. http://www.blogiehahablogspot.com. LLLLL. MMMMM. “ Showthread” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:45 dari http:// NNNNN. www.kaskus.us. OOOOO. PPPPP. “Teknik Pengambilan Gambar” diakses pada tanggal 25 Januari 2010 pukul 23:01 QQQQQ. WIB dari http://www.thinktep.wordpress.com RRRRR. SSSSS. “Wiki” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14: 15 dari http:// TTTTT. www.en.wikipedia.org UUUUU. VVVVV. http://www.amightyheart.com diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 14:00 WWWWW. WIB XXXXX. YYYYY. ZZZZZ. AAAAAA. BBBBBB. CCCCCC.

DDDDDD.

EEEEEE.

FFFFFF.

GGGGGG.

The Write Stuff: Interview with "A Mighty Heart" Screenwriter John Orloff59 by Patrick Walsh Jan 23rd 2008 // 11:02AM

John Orloff got his break writing two episodes of the Emmy-winning

HBO mini-series Band of Brothers. His latest script is another true-life tale -- Michael Winterbottom's A Mighty Heart, just out on DVD. Heart focuses on Mariane Pearl (Angelina Jolie), a reporter whose husband Daniel, an American journalist, was kidnapped and murdered in Pakistan. The script just earned Orloff an Independent Spirit Award nomination for Best First Screenplay. The awards will be held on February 23rd.

Cinematical: When did you know you wanted to be a writer?

John Orloff: I still don't know whether I want to be a writer! I went to UCLA Film School, and I had a great writing teacher who thought I had a particular skill in that department. So I kept taking that teacher for the whole time I was at UCLA, kept on writing. At the end of it I was 22, it was the late 80s, and people weren't really hiring young writers, so I started to work in advertising. Spent about ten years miserably working in commercials, until I met a woman -- who is now my wife -- who was working in the business as a development exec at HBO. And she was bringing home all these screenplays, and they were horrible! Just awful! And these people had agents, and they were working. So I pitched my wife a non-fiction movie that I had been thinking about writing for ten years, with the incredibly commercial idea of a sixteenth century English melodrama. It was actually about the Shakespeare authorship issue -- who wrote the plays? I wrote the script and had the misfortune of writing it two months before Shakespeare in Love came out. But I sent out this script, trying to get an agent, and did finally get "hip-pocketed" by an agency.

Cinematical: What are the steps that led you to A Mighty Heart?

JO: Brad Pitt's company had bought the book for Warner Brothers, and they were talking to a lot of writers trying to figure out who was going to adapt it. I read the book, loved it, figured out what I thought was a great way to tell the story, they liked what I had to say when I came into the room, and here we are. The book was not really a whodunit, and the movie has a bit more of that. I looked at it as a procedural of sorts. So it was actually confusing to me reading the book and trying to figure out

59“ John Orloff ” diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 11:00 WIB dari http:// www.cinematical.com what exactly happened. In terms of orchestrating it as a writer, who did what and how they figured everything out -- that's not in the book. So I had to first figure all that out, by interviewing several other people besides Mariane. Then I opened things up, and followed the procedure, because I found it fascinating. I wasn't interested in the "woman in jeopardy" story, I was interested in examining the front lines of this new world we find ourselves in. This was before the Iraq war, but I would argue even with the Iraq war, the real front lines are on the streets of Pakistan. And they're not on battlefields, they're in the cities. They're in Karachi and Islamabad and Mecca and all these cities. That's where this is going to be figured out and won or lost. And it's going to be won or lost with the help of non-radical Muslims. So, from my perspective, I thought this was an incredible opportunity to explore what's going on in our world right now. On top of that, you have this incredible emotional journey. On top of that, you can have a conversation about journalism -- its risks and rewards and necessity. Three really interesting thematic, structural, emotional things were going on in this story.

Cinematical: Since your major projects have been about not only real people, but living people, do you feel a lot of pressure to get the details exactly right, or are you more concerned with hitting the general emotional beats and making the story relatable to a mass audience?

JO: It's a mixture of both. That's the neverending question and issue when you're adapting non-fiction material where the people are still alive. I've now done that twice, with Band and A Mighty Heart. It's a real tightrope, because you're not making a documentary, you're making a drama. And real life is not always laid out in three acts. I find that the projects I say yes to are the ones I know will be compelling and interesting without having to make shit up. I am of the opinion that if it's interesting enough to film, then it should be interesting enough to not have to make shit up on. I'm not that interested in "inspired by a true event." So the question then becomes how to make this compelling and true event interesting as a piece of cinema. I spend months doing that, and there's no right answer. It's about aligning the events in the right order, finding a way to distill some of the events...I try to never distill characters. I don't make pastiche characters. Audiences are pretty sophisticated, you don't need to make that kind of stuff up. There's an unending quest to balance drama and reality.

Cinematical: When you're writing something as heavy as A Mighty Heart, is it hard to get in that head space every day? JO: Yeah, it's terribly hard. I had done it before with Band of Brothers, when I wrote the concentration camp stuff, and it's really dark, really hard. It puts you in a grumpy mood. When I had to write the last thirty pages of Mighty Heart, it was weeks before I could come to it. I got past the beginning of the third act and I just froze, and it was really because I just didn't want to write it. I didn't want to make real in my script what I knew was going to happen. I fall in love with my characters, all of them. And I don't want bad things to happen to them. It was very hard to write the last bit of that film. Really, really hard.

Cinematical: What do you consider a perfect screenplay?

JO: For me, the big question is: what is the best version of the movie supposed to be, and does that film accomplish it? Like Raiders of the Lost Ark, to me, is a perfect film. Is it a serious film? No. But it wanted to be the 1930s serial movie, and it is awesome. It is exactly what it wanted to be, and it is the greatest version of that genre. For me, the greatest script I ever read is Dalton Trumbo's script for Spartacus. It reads like a novel, and it is so much better than the movie. It's unbelievably textured, and nuanced, and sexy. I adore Stanley Kubrick, but this script is so much better than that movie. It's endless, I mean it's 200 pages, I think. But it's better than a book. Most scripts aren't written that fully, and technically, and beautifully. I'm a 'less is more' kind of writer. I don't write like Dalton Trumbo, maybe that's why I'm so enamored with his writing. 2001 is an amazing script. That's probably the greatest non-verbal movie there is that's not a silent film. Dr. Strangelove -- I almost weep at how great that script is. I guess I'm on a big Kubrick kick right now! Jaws is a great script.

A Mighty Heart - Michael Winterbottom interview60

Interview by Rob Carnevale

PROLIFIC British director Michael Winterbottom talks about making A Mighty Heart, the film about murdered Wall Street Journal reporter Daniel Pearl, and working with Angelina Jolie.He also discusses some of the challenges of filming on location in Pakistan and working with the film’s producer, Brad Pitt…

Did you have to think twice about taking on A Mighty Heart given that it would be your second film in a row that was connected to the war on terror?

Michael Winterbottom: Hopefully, whenever you do a film you think about it a little bit and we had just done Road To Guantanamo, so there was a sense that the timing wasn’t great. We’d been due to do a film in Italy last summer, so originally we said maybe we should do that first but they [Plan B and Paramount Vantage] said they needed to do it now. So it was a little bit of a shame that we were doing a film that was a little bit in the same area and set in the same time. But on the other hand, I thought Mariane [Pearl]‘s book was very powerful and it was a chance to try and match it.

But this is a very different film about the war on terror in that it almost celebrates the triumph of the human spirit at the darkest of times?

Michael Winterbottom: Sure, yeah. From my point of view, having read Mariane’s book, we were going to keep the film very simple and try and focus on Mariane, like you say, and the people in the house, which is what the book does. We really sort of borrowed the shape and structure of how she tells the story in the book.

Angelina Jolie gives what is arguably the performance of her career. How did you enjoy working with her?

Michael Winterbottom: I thought she was great. I first met her with Brad [Pitt] and my own dad in Namibia when we were talking about whether we were going to do it or not. I think there were lots of things that were very, very lucky from our point of view because both Brad and Angelina knew Mariane and were really personally committed to making it a story. Also, I think Mariane and Angelina are very similar in lots of ways – Mariane’s views about journalism are quite similar to Angelina’s views about her work with the UN and so on. So, I think the reason why Angelina wanted to do it was because she connected to Mariane and felt she recognised a lot of things in her.

60 “Michael” diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 13:00 WIB dari http: //www.indielondon.co.uk From the very beginning, when she started working on the film, she was great. When we talked to other people in the house about Mariane, they said she was clearly trying to make a group of very disparate people feel like part of a team and part of a family [during Daniel’s missing days], and I think Angelina was aware of that and wanted to do the same thing with the film. She was very inclusive of everyone from the most junior member of the crew upwards. Everyone felt very relaxed and very much part of the group as opposed to there being a star and then everyone else.

Everyone is obviously going to be talking about Angelina’s performance. But Dan Futterman is also superb as Daniel Pearl…?

Michael Winterbottom: Yeah, we went out and did some casting in America with all the people that we thought were possible but once I’d met him I kind of felt he should be the priority because he’s a good actor and he’s also physically very similar to Daniel. That’s important because while you’re not necessarily trying to impersonate someone you’re kind of looking for someone who has some of the same characteristics. But Dan’s a writer himself and that was important because some actors sometimes try to over compensate for being what a journalist is like.

Dan is very bright and intelligent, I thought he wrote a great script for Capote, and I liked the sense that he had another aspect to him besides being an actor and that he could bring that to Daniel a little bit. I also think he was a little bit nervous about coming to Pakistan because he was the only American in the end who did come out. I’m sure he had some reservations about doing it but I think it ultimately really helped because he overcame those worries. And because we were taking him into some of the real locations, it helped his understanding of the character and the situation as to what the experience might have really been like.

Did you get to meet Mariane yourself?

Michael Winterbottom: Yes. The whole thing was quite compressed with time. So, I met her briefly in Paris and then we all went down and had about three days in Namibia, which was the longest period we were together. After that, she gave instructions to all the other people so I went off to Pakistan and then America meeting all the people that were in the house with her. As soon as we got the shape of the script down I went back to Paris to talk it through with her and after that we were off filming. So, we didn’t spend a huge amount of time together but she was always very open and very supportive if we needed help.

And yet at the same time, from the very beginning she was very hands off in terms of content. She never said anything like: “You must change this.” Or: “You can’t do that.” She very much felt that we should make the film and she’d help but she didn’t want to be involved.

Has she seen the film? Michael Winterbottom: Yes. We showed it to her before we took it to Cannes and she was very positive about it in the sense that you could be about that sort of experience. I’m sure the whole thing was difficult for her but she chose to write the book and obviously felt it was important to tell her version of the story. At the same time, every time you have to revisit something like that it’s not a very pleasant experience.

How easy was it to gain access to some of the real locations you used?

Michael Winterbottom: Most of the exterior stuff we tried to shoot in the places where it happened, such as the place where Daniel was kidnapped – even places where some people were arrested. But because of Mariane’s introductions, I met all the other people that were there, such as Captain [the police investigator played by Irfan Khan], who were very co-operative. It meant we had easy access to the locations in order to find out where things happened and to make sure we got the story accurate.

But given that it’s quite a problematic story in a lot of ways for Pakistan I wasn’t sure how much help we’d get and in the end we had a lot of co-operation and a lot of problems. The intelligence agency was basically quite hostile to the project and made things difficult, whereas people like the police and the interior ministry were supportive

What were some of the biggest problems you faced?

Michael Winterbottom: From the beginning the intelligence agencies were following us the whole time and they would hassle the crew a little bit. We also weren’t always sure what was going on. When we started filming we thought we had most of the permissions from Islamabad but we never had exactly the right document. We were all very open about it and everyone knew what we were trying to do [with the movie] but at the same time… we started filming thinking we were OK and the police in Karachi were helping us but then after about two days they stopped helping us.

Our local crew especially began to get more hassle from the intelligence agency people who kept stopping them and making them feel uncomfortable. They would also always be there filming us when we were filming. When they eventually arrested some of the people we were working with we said: “OK, we’re going to leave the country, we’re going to complain about it all and we’re going to kick up as much fuss as we can because this film can’t work here because of your attitude.” They then backed off a bit and in the end the Culture Ministry was trying to encourage us to come back and make more films.

I think it’s like any country, though. Pakistan is not a unified country where everyone feels the same – we had people who were genuinely very supportive and people who were very involved in the investigation who were very proud of the work they did and therefore wanted the film to be made. But at the same time we had other people that felt it reflected badly on Pakistan. We were lucky in the end that we were able to shoot pretty much everything we wanted to shoot.