Studi Atas Sistem Propaganda Jepang Di Jawa 1942-1945)

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Studi Atas Sistem Propaganda Jepang Di Jawa 1942-1945) MEWASPADAI PROPAGANDA MELALUI KAJIAN SEJARAH (STUDI ATAS SISTEM PROPAGANDA JEPANG DI JAWA 1942-1945) Oleh: Dewi Yuliati ABSTRACT This article describes the Japanese propaganda system in Java during its occupation (1942-1945). Before its invasion in Java the Japanese had already prepared the propaganda system intensively. The goal of the propaganda was to mobilize the commitment of the Indonesian people to support the Japanese military government to become the winner in the Greater East Asia war against the Allies. The system of the Japanese propaganda in Java includes institutions, methods, packages of propaganda, and control systems. The most important package of the Japanese propaganda was art, especially poetry, prose, drama, and songs. Because of its entertaining values, the Indonesian people could easily absorbed the propaganda substances without awareness that they were indoctrinated. Keywords: Japanese propaganda, Japanese control system A. PENGANTAR cara yang berpengaruh (Combs, 1994:23). Pada umumnya propaganda yang 1. Latar Belakang memberikan isu-isu kontroversial lebih Kata propaganda mulai digunakan mudah diterima oleh masyarakat (Merton, pada tahun 1622 ketika Paus Gregory XV 1957:509). Berdasarkan pada pengertian- mendirikan sebuah organisasi yang diberi pengertian ini, sistem propaganda dalam nama Congregatio de Propaganda Fide. konteks kekuasaan Jepang di Indonesia Organisasi itu bertugas menyebarkan mencakup organisasi, pesan, dan teknik agama Katolik di kalangan masyarakat penyampaian pesan yang ditujukan untuk non-Kristen. Dalam konteks ini, mempengaruhi bangsa Indonesia guna propaganda berarti organisasi yang mendukung pencapaian tujuannya. mengirimkan pesan-pesan. Setelah tahun Dalam sistem pemerintahan Jepang 1622, propaganda tidak hanya diartikan di Indonesia, propaganda merupakan sebagai organisasi, tetapi juga sebagai bagian penting dan integral. Suatu indikasi pesan yang disebarkan oleh organisasi. bahwa propaganda tidak terpisahkan dari Dalam perkembangannya, pengertian sistem pemerintahan Jepang di Indonesia propaganda juga berkaitan dengan teknik adalah dibentuknya departemen propa- yang digunakan untuk menyampaikan ganda (Sendenbu) di bawah pemerintah pesan, contohnya iklan, film, dan televisi militer Jepang. Untuk menguasai Jawa, (Combs, 1994:9). Berdasarkan tujuannya, Jepang berpegang pada dua prinsip utama propaganda berarti komunikasi untuk yaitu: bagaimana menarik hati rakyat menyebarluaskan tujuan yang diinginkan (minshin ha‘aku) dan bagaimana (sering bersifat subversif dan jahat) mengindoktrinasi dan menjinakkan mereka terhadap para pemirsa, pembaca, dan (senbu kosaku). Prinsip ini perlu pendengar serta dilakukan dengan cara- dilaksanakan untuk memobilisasi seluruh sumber-sumber sehingga dapat diperoleh rakyat guna mendukung kepentingan fakta sejarah yang otentik dan kredibel. perang dan untuk mengubah mentalitas Dalam penulisan dilakukan penyusunan mereka secara keseluruhan. fakta-fakta yang masih fragmentaris itu ke Berdasarkan keyakinan bahwa dalam suatu sintesis yang sistematis, utuh, bangsa Indonesia harus dibawa kepada dan komunikatif. Untuk itu, diperlukan pola tingkah laku dan berpikir Jepang, suatu penelitian yang tidak saja berangkat propaganda ditujukan untuk dari pertanyaan-pertanyaan pokok tentang mengindoktrinasi rakyat agar dapat "apa, siapa, di mana,dan kapan", tetapi menjadi mitra yang dapat dipercaya dalam juga berdasar pada pertanyaan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia "bagaimana", "mengapa serta apa jadinya". Timur Raya (Kurasawa, 1987:59). Betapa Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penting arti propaganda itu terlihat dari pokok adalah fakta sejarah serta unsur- bagaimana Jepang mempersiapkan sistem unsur yang turut membentuk peristiwa di propagandanya secara sistematis dan tempat dan pada waktu tertentu. Jawaban intensif sejak sebelum pelaksanaan invasi terhadap pertanyaan "bagaimana" ke negeri ini. merupakan rekonstruksi yang menjadikan semua unsur itu terkait dalam suatu 2. Permasalahan deskripsi yang disebut sejarah. Jawaban terhadap pertanyaan "mengapa dan apa Meskipun Jepang memerintah jadinya" akan menerangkan hubungan secara militeris, rakyat Indonesia tetap kausalitas (Abdullah dan Surjomihardjo, bersedia untuk memberikan dukungan 1985: xiv). Hasil seluruh kegiatan tersebut pada instruksi-instruksi Jepang melalui dituangkan dalam bentuk tulisan sejarah. sarana propagandanya. Penelitian ini Sumber-sumber diperoleh dari dilakukan untuk menjawab pertanyaan- berbagai perpustakaan yaitu Perpustakaan pertanyaan berikut: Pertama, mengapa Mangkunegaran dan Monumen Pers Jepang perlu melaksanakan propaganda di Surakarta, Perpustakaan Islam dan Jawa. Kedua, bagaimana sistem Perpustakaan Nasional Daerah Istimewa propaganda Jepang di Jawa. Ketiga, Yogyakarta, Perpustakaan Nasional dan bagaimana rakyat Jawa bereaksi terhadap Arsip Nasional Jakarta. Sumber-sumber sistem propaganda Jepang itu. Untuk tertulis yang diteliti adalah dokumen menjawab pertanyaan pertama, dilakukan pemerintah, KAN PO, berbagai surat kabar penelitian terhadap ideologi, cara-cara, di Jawa pada masa penjajahan Jepang, slogan, konsep, serta kebijakan Jepang tulisan-tulisan sezaman yang memuat dalam rangka invasi di wilayah selatan, propaganda. termasuk Indonesia. Pertanyaan kedua akan dijawab dengan meneliti lembaga, tujuan, materi atau kemasan, spirit, dan B. HASIL DAN PEMBAHASAN metode propaganda, serta sistem 1. Propaganda Jepang sebelum Invasi kontrolnya. Pertanyaan ketiga dijawab ke Indonesia melalui penelusuran sumber-sumber Jauh sebelum berkuasa, Jepang suratkabar yang memuat reaksi rakyat sudah mempersiapkan diri untuk mengam- Jawa terhadap sistem propaganda Jepang. bil hati rakyat Indonesia yang ketika itu masih berada di bawah kekuasaan 3. Penelitian kolonialis Belanda. Propaganda sebagai Penelitian ini merupakan penelitian alat utama menarik simpati rakyat sejarah. Dengan demikian metode yang Indonesia telah Jepang siapkan secara dipergunakan adalah metode sejarah yaitu sistematis selama beberapa tahun sebelum mencari, menemukan, dan menguji melaksanakan invasi ke wilayah Selatan. Awal persiapan materi propaganda merupakan sasaran invasi Jepang yang ditandai dengan penerbitan artikel yang penting karena wilayah itu memiliki ditulis oleh Jenderal Araki, Menteri persediaan bahan mentah seperti minyak, Urusan Perang, dalam bulan April 1932. karet, timah, bauksit, mangan yang sangat Artikel itu berjudul The Call of Japan in diperlukan untuk mendukung kepentingan the Sowa Period (Seruan Jepang pada perang (Azis, 1955:100). Masa Sowa), yang memuat ajaran bahwa Untuk persiapan penyerbuan ke bangsa Jepang harus mengikuti Imperial wilayah Selatan, sistem propaganda pun Way (Jalan Kekaisaran) untuk mengangkat semakin diperkuat. Dalam musim panas bangsa Yamato, dan untuk menyelamatkan tahun 1940, Pangeran Konoye meresmikan Asia Timur serta dunia. Jenderal Araki empat biro propaganda di Tokyo. Biro mengakhiri artikel ini dengan suatu propaganda yang utama adalah Cabinet penegasan bahwa misi bangsa Jepang Information Biro, sedangkan tiga biro adalah menyebarluaskan doktrin Imperial yang lain ditempatkan di kementerian luar Way di seluruh lautan dan dunia. Jenderal negeri, markas militer, dan di Taisei Araki juga menulis The Present Position Yomusankai (Pergerakan Nasional Baru). of East Asia, yang antara lain menyatakan: Propaganda disiarkan melalui radio, —Kekaisaran Jepang, dalam sudut pers,pamflet dan dilaksanakan oleh pandangnya sendiri dan sudut pandang organisasi-organisasi propagandis, sebagai orang lain, pemimpin Asia Timur dan contoh Great Asia Society dan South Seast dengan kekuatan semacam itu, yang Association. Selain melalui media disebut Kodo atau Jalan Kekaisaran, dalam komunikasi, propaganda juga dilakukan rangka perluasan dan penyelamatan secara lisan oleh para propagandis, dan negeri-negeri yang tertindas, tidak dapat mengundang bangsa-bangsa Asia lainnya lagi tinggal diam dan hanya melihat tanpa untuk mengikuti pendidikan serta bekerja melakukan apapun“ (Robertson, 1979: 83). di Jepang (Robertson, 1979:86-87). Dalam tulisan tersebut tampak jelas Khususnya untuk Indonesia, bahwa Jepang telah memprogandakan sasaran pertama Jepang adalah para dirinya sebagai bangsa pemimpin dan wartawan atau orang-orang yang bergiat penyelamat bagi bangsa-bangsa Asia yang dalam dunia persuratkabaran. Pada tahun terjajah, tetapi tanpa menyatakan tindakan 1933, Jepang telah mengundang pemimpin agresifnya untuk menguasai wilayah- redaksi surat kabar Bintang Timur, wilayah lain. Tindakan itu merupakan bersama dengan wartawan lainnya, untuk salah satu karakter fasis Jepang. Seperti mengunjungi Jepang. Undangan ini kaum fasis yang lain, ketika itu Jepang dimaksudkan untuk menanamkan rasa telah melegitimasi perannya sebagai hutang budi, sehingga para wartawan pemegang kekuasaan atas bangsa-bangsa Indonesia itu bersedia menyiarkan tulisan- Asia Timur. Sesungguhnya, slogan yang tulisan yang mendukung Jepang bersifat kemanusiaan untuk membebaskan (Soebagijo, 1980: 68). bangsa-bangsa yang tertindas oleh bangsa Selain mempengaruhi para Barat merupakan kedok Jepang untuk wartawan Indonesia, sejak tahun 1932 melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah Jepang telah menerbitkan surat kabar lain dan menampilkan diri di panggung sendiri di Jawa yang diberi nama Java kekuasaan dunia (ciri fasisme semacam Nippo. Kemudian terbit juga surat kabar itu, periksa Riff, 1995: 56). lainnya yaitu Nichiran Shogyo Shinbun Segera setelah pecah perang di dan Tohindo Nippo yang diperuntukkan Eropa dalam bulan September 1939, bagi orang-orang
Recommended publications
  • Cover Page the Handle
    Cover Page The handle http://hdl.handle.net/1887/30115 holds various files of this Leiden University dissertation Author: Suryadi Title: The recording industry and ‘regional’ culture in Indonesia : the case of Minangkabau Issue Date: 2014-12-16 Glossary adaik / adat FORKASMI custom, tradition associated with a particular ethnicity abbreviation of Forum Komunikasi Artis dan Seniman Minang (Communication Forum for Minangkabau Adat Perpatih Artists), an organization of Minangkabau artists in customary law practised in Malaysia’s state of Negeri Pekanbaru, Riau Sembilan, brought in from Sumatra as early as the 14th century, covering broad areas of daily life, including gamaik /gamad the selection of leaders through a democratic process, song genre that incorporates elements drawn from marriage laws, and community cooperation and rules Portuguese and other Western music, and from the Indian, Niasan, and Minangkabau communities in the alam takambang jadi guru port of Padang; it is a duet between a male and a female the whole of nature becomes the teacher: Minangkabau singer, who avoid physically touching each other. life philosophy Its song lyrics are mostly composed in allegoric and metaphoric pantun verses, and tend to be romantic and ASIRINDO nostalgic in character abbreviation of Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Association of Indonesian Recording Industries), gandang which has branches in several provinces, including West two-headed drum Sumatra goyang ngebor Bahasa Minangkabau Umum erotic dance with special ‘drilling’ (ngebor) movements a dialect of the Minangkabau language used in urban centres like Padang, as a medium of communication harato pusako tinggi among Minangkabau from various areas of West Sumatra heirlooms, especially land, incorporated into the holdings of an extended matrilineal family bansi a small end-blown bamboo flute (e.g.
    [Show full text]
  • Pelaksanaan Program Kehumasan Dalam Rangka Peningkatan Partisipasi Masyarakat Di Sekolah Menengah Kejuruan Piri 1 Yogyakarta
    PELAKSANAAN PROGRAM KEHUMASAN DALAM RANGKA PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN PIRI 1 YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh Istiqomah NIM 12101241026 PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA JANUARI 2017 PELAKSANAAN PROGRAM KEHUMASAN DALAM RANGKA PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN PIRI 1 YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh Istiqomah NIM 12101241026 PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA JANUARI 2017 i PERSETUJUAN *PELAKSANAAN Skripsi yang berjudul PROGRAM SAN DALAM RANGKA PENINGKATAT{ PARTISIPASI MASYARAKAT DI SEKOLAH MENENGAH KEIURUAN PIRI I YOGYAKARTA" yang disusun oleh Istiqomalq NIM 12101241026 ini telah disetujui oleh dosen pembimbing untuk diujikan. 15 November 2A16 A.J., M.Pd. 199903 t 002 11 SURAT PERNYATAAI\I Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendap at yangditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali dengan acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim. Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berikutnya. Yogyakarta, 5 I amtarl_ 2017 Yang menyatakan, W Istiqomah NrM 12101241026 lll MOTTO Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (Q.S. An Najm: 39) Setiap orang boleh memiliki harapan yang menjadi harapan orang lain, namun kita harus mewujudkannya dengan usaha keras sendiri.
    [Show full text]
  • Tjerita Di Indonesia
    Armijn Pane PRODUKSI FILM 4 TJERITA DI INDONESIA PERKEMBANGANNJA SEBAGAI ALAT MASJARAKAT y % ftU H o y ^ r 8 ^ lo t> , , . ! p H p S i I . .. ^ __MtK Tjetakan chusus madjalah „Indonesia”, no. 1—2, 1953 Peiierbit i Badan Musjawarat Kebudajaan NasionaL pv? 1 : •, \ K A *. N irM il.;,1. »:» ;~A*5Tj*A HAK PENGARANG PADA PENULIS KATA PENGANTAR Sebagai nornor Bali tahun dahulu, tahun ini djugapun kami ingin sekali-sekali menerbitkan nomor jang chusus membitjarakan salah suatu soal dalara lapangan kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat. Karena itulah nomor bulan Djanuari dan Februari tahun 1953 ini kami sediakan untuk suatu soal jang sekarang termasuk salah satu masaalah jang actueel, jaitu soal produksi tjerita film. Sdr. Armijn Pane memandang soal itu integral dengan lapangan-lapang- an kehidupan lainnja, karena menurut pendapatnja, film bukanlah sadja merupakan suatu hasil kesenian, melainkan djuga mendjadi hasil suatu industri. Sebagai hasil kesenian, film itu mendjadi penggabung bermatjam- matjam kesenian lainnja, serta djuga usaha karang-mengarang. Da- lam bentuknja sebagai hasil industri, film terpaut kepada soal-soal ekonomi dan keuangan, serta kepada soal perdagangan ataupun peredaran dan pertundjukan. Lain dari pada itu, film dia pandang sebagai suatu tehnik jang diperoleh dari dunia Barat, karena itu seolah-olah tanaman asing jang ditumbuhkan kepada bumi Indonesia, sebab itu djuga tum- buhnja banjak bergantung kepada ketjintaan dan perhatian si punja kebun. Mudah-mudahan karangan ini dapat mendjadi bahan untuk menggampangkan penjelesaian
    [Show full text]
  • Gramophone Records and Radio in the Late Colonial Era, 1903-1942
    Music and media in the Dutch East Indies: Gramophone records and radio in the late colonial era, 1903-1942 Philip Bradford Yampolsky A dissertation submitted in partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy University of Washington 2013 Reading Committee: Philip D. Schuyler, Chair Ter Ellingson Laurie J. Sears Program Authorized to Offer Degree: Music © 2013 Philip Bradford Yampolsky University of Washington Abstract Music and media in the Dutch East Indies: Gramophone records and radio in the late colonial era, 1903-1942 Philip Bradford Yampolsky Chair of the Supervisory Committee: Associate Professor Emeritus Philip D. Schuyler Music This dissertation is intended as an ethnomusicological contribution to the history of music and media in Indonesia. It deals with topics and resources that have never been systematically examined for this region: gramophone records and radio broadcasting from the years before World War II, the last years of Dutch colonial control. The gramophone records are our only documentation of the sound of Indonesian music in the years before World War II. This dissertation tries to identify (and to some extent provide) the information one needs in order to understand the records and, by extension, stylistic trends during the pre-war period. Ultimately it is meant as an argument for the importance of making use of historical recordings and discography in ethnomusicology. The use of gramophone records from before World War II (“78s”) in musicology and ethnomusicology is growing. Robert
    [Show full text]
  • Downloaded from Brill.Com09/26/2021 11:29:23AM Via Free Access Philip Yampolsky - 9789004261778 Downloaded from Brill.Com09/26/2021 11:29:23AM Via Free Access
    PART ONE AN EMERGENT ENTERTAINMENT INDUSTRY Philip Yampolsky - 9789004261778 Downloaded from Brill.com09/26/2021 11:29:23AM via free access Philip Yampolsky - 9789004261778 Downloaded from Brill.com09/26/2021 11:29:23AM via free access <UN> <UN> CHAPTER TWO MUSIC ON DUTCH EAST INDIES RADIO IN 1938: REPRESENTATIONS OF UNITY, DISUNITY, AND THE MODERN Philip Yampolsky The period in which increasing integration was to have come about [as pro- ponents of ‘Indisch nationalism’ or ‘Indisch citizenship’ hoped] – the first half of [the 20th] century – instead witnessed a rapidly increasing segmen- tation of colonial society. (Van Doorn 1983:6) They were like two planets moving along their own orbits, in a very con- fined universe. If merely to stay on track, it was logical and imperative that each of them, the Eastern as much as the European radio, work strenuously on building up and shielding their own wholeness or, at least, the appear- ance of it. (Mrázek 2002:184) Mangkunegara’s broadcasts of his palace musicians [on the Solosche Radiovereeniging station, SRV] … brought ‘palace art’ to any listeners with access to a receiver, at a time where other princely houses – particularly in Yogyakarta – were also ‘democratizing’ their arts by making them available outside the palace. Live broadcasting added another dimension, though, by at once localizing something modern and modernizing something local. Mangkunegara VII’s broadcast of live gamelan music was a totally modern act. (Lindsay 1997:108) This chapter is an initial report on a project I began years ago as a comple- ment to my research on gramophone recording in Indonesia in the late- colonial era.
    [Show full text]
  • BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakan Lafran Pane Lahir Di Kampung Paguraban, Kecamatan Spirok Yang Terletak Di Kaki Gunung Sibual
    1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakan Lafran Pane lahir di kampung paguraban, kecamatan spirok yang terletak di kaki gunung Sibualbuali, 38 kilometer kearah utara dari Padang Sidampuan, Ibukota kabupaten Tapanuli Selatan, Lafran Pane merupakan tokoh pendiri organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang merupakan organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia.1 Lafran Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim pernah mengenyam pendidikan di pesantren, Ibtidaiyah, Wusta dan Sekolah Muhamadiah. Sebelum tamat dari STI Lafran Pane pindah ke akademi Ilmu Politik (AIP) pada bulan april 1948. Setelah Universitas Gadjah Mada (UGM) dinegrikan pada tanggal 19 desember 1949, dan Akademi Ilmu Politik dimasukan dalam Fakultas Hukum. Lafran Pane termasuk kedalam Mahasiswa pertama yang mwncapai gelar sarjana pada tanggal 26 januari 1953. Dengan sendirinya Lafran Pane menjadi sarjana ilmu politik yang pertama di Indonesia. Lafran Pane mempunyai tekad yang kuat untuk menyatukan mahasiswa dalam wadah HMI, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hamoir identik sebagai kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya tanpa 1 Lafran Pane Lahir di padang sidampuan 5 Februari 1922. Untuk menghindari berbagai macam tafsiran karena bertepatan dengan berdirinya HMI maka Lafran Pane merubanh tanggal kelahirannya menjajadi tanggal 12 April 1923. Jadi sewaktu mendirikan HMI usia Lafran Pane 25 Tahun, Lebih lengkapnya baca, Agus Salimsitompul, Menyatu Dengan Umat, Menyatu Dengan Bangsa: Pemikiran keislaman-Keindonesiaan HMI 1947-1997 (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2002). Hlm. 1. 37. 2 mengurangi sumbangsih tokoh pendiri yang lain seperti Karmoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maissaroh Hilal, Susali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainah, M.
    [Show full text]
  • SISTEM PROPAGANDA JEPANG DI JAWA 1942-1945 Oleh: Dewi Yuliati
    SISTEM PROPAGANDA JEPANG DI JAWA 1942-1945 Oleh: Dewi Yuliati Abstract This article describes the Japanese propaganda system in Java during its occupation (1942-1945). Before its invasion in Java, the Japanese had already prepared the propaganda system intensively. The goal of the propaganda was to mobilize the commitment of the Indonesian people of supporting the Japanese to become the winner in the Greater East Asia War against the Allies. The system of the Japanese propaganda in Java includes institutions, methods, packages of propaganda, and control systems. The most important package of the propaganda was art, especially poetry, prose, drama, and songs. Because of entertaining values, the Indonesian people could easily absorbed the propaganda substances without awareness that they were indoctrinated. Key words: Japanese propaganda, Japanese control system. I. Pendahuluan A. Latar Belakang Asal-usul kata propaganda sulit ditentukan secara pasti, tetapi ada suatu sumber yang menyatakan bahwa kata itu mulai digunakan pada tahun 1622, ketika Paus Gregory XV mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Congregatio de Propaganda Fide. Organisasi itu bertugas untuk menyebarkan agama Kristen Katholik di kalangan masyarakat non-Kristen. Dalam konteks pengertian ini, propaganda diartikan sebagai organisasi yang mengirimkan pesan-pesan. Setelah tahun 1622 propaganda tidak hanya diartikan sebagai organisasi, tetapi juga sebagai pesan yang disebarkan oleh organisasi. Dalam perkembangan, pengertian propaganda juga berkaitan dengan teknik yang digunakan untuk menyampaikan pesan, sebagai contoh: iklan, film dan televisi (James E. Combs dan Dan Dimmo, 1994: 9). Berdasarkan tujuannya, propaganda juga diartikan sebagai komunikasi yang ditujukan untuk menyebarluaskan tujuan yang diinginkan (sering bersifat subversif dan jahat) terhadap para pemirsa, dan dilakukan dengan cara-cara yang berpengaruh (James E.
    [Show full text]
  • Studi Atas Sistem Propaganda Jepang Di Jawa 1942-1945)
    MEWASPADAI PROPAGANDA MELALUI KAJIAN SEJARAH (STUDI ATAS SISTEM PROPAGANDA JEPANG DI JAWA 1942-1945) Oleh: Dewi Yuliati ABSTRACT This article describes the Japanese propaganda system in Java during its occupation (1942-1945). Before its invasion in Java the Japanese had already prepared the propaganda system intensively. The goal of the propaganda was to mobilize the commitment of the Indonesian people to support the Japanese military government to become the winner in the Greater East Asia war against the Allies. The system of the Japanese propaganda in Java includes institutions, methods, packages of propaganda, and control systems. The most important package of the Japanese propaganda was art, especially poetry, prose, drama, and songs. Because of its entertaining values, the Indonesian people could easily absorbed the propaganda substances without awareness that they were indoctrinated. Keywords: Japanese propaganda, Japanese control system A. PENGANTAR cara yang berpengaruh (Combs, 1994:23). Pada umumnya propaganda yang 1. Latar Belakang memberikan isu-isu kontroversial lebih Kata propaganda mulai digunakan mudah diterima oleh masyarakat (Merton, pada tahun 1622 ketika Paus Gregory XV 1957:509). Berdasarkan pada pengertian- mendirikan sebuah organisasi yang diberi pengertian ini, sistem propaganda dalam nama Congregatio de Propaganda Fide. konteks kekuasaan Jepang di Indonesia Organisasi itu bertugas menyebarkan mencakup organisasi, pesan, dan teknik agama Katolik di kalangan masyarakat penyampaian pesan yang ditujukan untuk non-Kristen. Dalam konteks ini, mempengaruhi bangsa Indonesia guna propaganda berarti organisasi yang mendukung pencapaian tujuannya. mengirimkan pesan-pesan. Setelah tahun Dalam sistem pemerintahan Jepang 1622, propaganda tidak hanya diartikan di Indonesia, propaganda merupakan sebagai organisasi, tetapi juga sebagai bagian penting dan integral.
    [Show full text]
  • Karawitan Source Readings in Javanese Gamelan and Vocal Music
    THE UNIVERSITY OF MICHIGAN CENTER FOR SOUTH AND SOUTHEAST ASIAN STUDIES MICHIGAN PAPERS ON SOUTH AND SOUTHEAST ASIA Editorial Board Alton L. Becker Karl L, Hutterer John K» Musgrave Peter E. Hook, Chairman Ann Arbor, Michigan USA KARAWITAN SOURCE READINGS IN JAVANESE GAMELAN AND VOCAL MUSIC Judith Becker editor Alan H. Feinstein assistant editor Hardjo Susilo Sumarsam A. L* Becker consultants Volume 1 MICHIGAN PAPERS ON SOUTH AND SOUTHEAST ASIA Center for South and Southeast Asian Studies The University of Michigan Number 23, 1984 Open access edition funded by the National Endowment for the Humanities/ Andrew W. Mellon Foundation Humanities Open Book Program. Library of Congress Catalog Card Number: 82-72445 ISBN 0-89148-027-7 Copyright © 1984 by Center for South and Southeast Asian Studies The University of Michigan Publication of this book was assisted in part by a grant from the Publications Program of the National Endowment for the Humanities. Additional funding was provided by the National Endowment for the Humanities (Translations); the Southeast Asia Regional Council, Association for Asian Studies; The Rackham School of Graduate Studies, The University of Michigan; and the School of Music, The University of Michigan. Printed in the United States of America ISBN 978-0-89148-027-3 (hardcover) ISBN 978-0-472-03818-3 (paper) ISBN 978-0-472-12768-9 (ebook) ISBN 978-0-472-90164-7 (open access) The text of this book is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License: https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/ CONTENTS Preface Judith Becker ix Catatan-Catatan Penqetahuan Karawitan, volume 1 By Raden Lurah Martopangrawit Translated by Martin F.
    [Show full text]
  • 7.1 Sudjojono (14.12.1913, Or 1917-25.3.1986) [Note: Sources for the Following Are Largely SY [Hardiwadoyo] Sanento Yuliman, 1981 & Sidharta, 2006
    The Asian Modern, Volume II © John Clark, 2014 1 7.1 Sudjojono (14.12.1913, or 1917-25.3.1986) [Note: sources for the following are largely SY [Hardiwadoyo] Sanento Yuliman, 1981 & Sidharta, 2006. MB is interview with Sri Nasti Rukmawati & Mia Bustam, at former’s home in Cinere, 13. 12. 2010, and RP is interview with Mrs Rose Pandanwangi and daughters at home in Cirendeu, 14. 12. 2010. S is Sudjojono]. Thanks to Siobhan Campbell, Matt Cox, Werner Kraus, Yvonne Low, and Adrian Vickers for further suggestions and additions. Precursor discourses domestic Role of European artists living in Java, ‘tourist painters’, drawing teachers at colonial high schools [Allgemene Middelbare School] teachers had Middelbare Onderwijus diplomas and teaching licenses. Their presence could not substitute for criticism and intellectual discourse [Supangkat in Sidharta, 2006, 253,] Under Dutch colonial rule only three Indonesians received the Middlebare Akte, official certificate for teaching painting: RJ Katamsi, first head of ASRI; Siafei Soemardja, first Indonesian teacher at Balai Pendidikan Universitas Guru Gambar Bandung, predecessor of Faculty of Arts and Design at ITB; Soemarno [Wiyanto, 2010, 98: Middlebare Akte, Bandung: Institut Teknologi Bandung, Galeri Soemardja, 2010] Signs of modern art seen in Dutch painters Jan Frank, Piet Ouburg, Sudjojono and PERSAGI. Pirngadie (1875-1936) of central Javanese aristocracy, student of Du Chattel, a resident Dutch painter, known as a landscapist and illustrator, especially for J.E. Jasper and Pirngadie, De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indië, 5 vols, Den Haag: Mouton, 1912-1927. A direct teacher of Sudjojono and Suromo. Abdullah Surio Subroto (1878-1941) child of an aristocrat adopted by a Javanese doctor Mas Ngabehi Wahidin Sudiorhusodo.
    [Show full text]
  • Musical Worlds in Yogyakarta Is an Ethnographic Account of Musical Worlds in Yogyakarta a Vibrant Indonesian City During the Turbulent Early Post- Soeharto Years
    Musical worlds in Yogyakarta is an ethnographic account of in Yogyakarta Musical worlds a vibrant Indonesian city during the turbulent early post- Soeharto years. The book examines musical performance in public contexts ranging from the street and neighbour- hood through to commercial venues and state environ- ments such as Yogyakarta’s regional parliament, its military institutions, universities and the Sultan’s palace. It focuses on the musical tastes and practices of street workers, artists, students and others. From street-corner jam sessions to large-scale concerts, a range of genres emerge that cohere around notions of campursari (‘mixed essences’) and jalanan (‘of the street’). Musical worlds addresses themes of social identity and power, counter- poising Pierre Bourdieu’s theories on class, gender and nation with the author’s alter- native perspectives of inter-group social capital, physical- ity and grounded cosmopolitanism. The author argues that Yogyakarta is exemplary of how everyday people make use of music to negotiate issues of power and at the same time Musical worlds promote peace and intergroup appreciation in culturally- Max M. Richter diverse inner-city settings. in Yogyakarta Max M. Richter is director of the Monash Asia Institute and lecturer in Anthropology at Monash University, Australia. He has published in international journals and edited book Max M. Richter collections, and has given presentations on Indonesian music and society in several countries and forums. His current research focuses on local-level music performance, intellec- tual/power-broker gatherings and centre/region identities in urban Indonesia. www.musicethnography.net ISBN 978-90-6718-390-1 9 789067 183901 MUSICAL WORLDS IN YOGYAKARTA Southeast Asia Mediated This series considers media forms and practices, processes of medi- ation, and the complex evolving and intersecting media ecologies that characterize Southeast Asia whether in contemporary or his- torical circumstances.
    [Show full text]
  • Propaganda Media on Java Under the Japanese 1942-1945
    PROPAGANDA MEDIA ON JAVA UNDER THE JAPANESE 1942-1945 Aiko Kurasawa One maj'or impact of the Japanese occupation on the Javanese people was the introduction and development of new media for political propaganda. In order to carry out their policies smoothly in occupied Java, the Japanese military goverment paid great attention to how to "grasp people's minds" (minthln ka'aka) and how to "propagate and tame them" (-iznhu kd-iaku). They considered it indis­ pensable for their war effort to mobilize the whole society (total mobilization) and entirely change the people's mentality. Believing that Indonesians had to be completely molded into a Japanese pattern of behavior and thinking, they aimed their propaganda at indoctrinating the Indonesian people so that they could become dependable partners in the Greater East Asian Co-prosperity Sphere. To put their propaganda schemes into operation various media were employed, such as newspapers, pamphlets, books, posters, photographs, broadcasting, exhibitions, speech, drama, traditional arts performances, paper picture shows (kam-L&h-ihcU.), music, and movies. A striking characteristic of wartime Japanese propaganda was its use of media that would mainly appeal to a person's "auditory and visual" sense. Especially highly promoted were movies, performing arts, kam-osk-Cbax., and music. The Japanese considered such media as the most effective means for influencing the uneducated and illiterate rural people, who constituted the great part of the Javanese population. The Japanese were aware that written media such as newspapers, books, magazines, and pamphlets, might have some limited effect with regard to educated urban dwellers, but were totally useless in the rural society.
    [Show full text]