Eksploitasi Anak Di Balik Audisi Badminton Djarum
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
SMASH! EKSPLOITASI ANAK DI BALIK AUDISI BADMINTON DJARUM 1 SMASH! Eksploitasi Anak di Balik Audisi Badminton Djarum Diterbitkan oleh: Jakarta, Desember 2018 1 DAFTAR ISI Pengantar ............................................................................................... 5 SMASH! Eksploitasi Anak di Balik Audisi Badminton Djarum ............................................................... 11 Iklan Berjalan ....................................................................................... 25 Promosi Kaos vs Spanduk ................................................................35 Eksploitasi di Balik Audisi ................................................................37 Penumpang Gelap Nasionalisme .................................................... 41 Kolom-Kolom Otak Anak Seperti Spons, Liza Djaprie, Psikolog .........................51 Eksploitasi Anak melalui Beasiswa Bulutangkis, Hamid Patilima, Kriminolog .............................................................53 Menyelamatkan Indonesia di Babak Ketiga, Reza Indragiri Amriel, Ahli psikologi forensik Universitas Indonesia ...........................................................................55 Olahraga, Anak-anak, dan Pemasaran Rokok, Sudut Pandang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Jalal, Pendiri – A+ CSR Indonesia ...................................................... 59 Melindungi Anak dari Zat Adiktif, Muhammad Joni, Praktisi hukum .................................................... 65 Djarum dan Anak-anak, Nina Mutmainnah Armand, Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia ..............................69 Manipulasi di Balik Audisi, Gian Carlo Binti, Praktisi Marketing and Business Development ................................... 75 Referensi ............................................................................................... 79 4 — SMASH! Eksploitasi Anak di Balik Audisi Badminton Djarum PENGANTAR ELALU ada jalan lain ke Roma. Pepatah ini amat pas disematkan kepada industri rokok. Mereka selalu punya S cara memasarkan produk tembakau kendati ruang geraknya telah menyempit. Industri rokok selalu punya cara dan inovasi agar produk mereka sampai ke tangan konsumen dan calon konsumennya secara elegan. Tapi, sesungguhnya, “inovasi- inovasi” industri rokok terus mengepung masyarakat dengan candu nikotin bukan hal yang aneh karena mereka adalah bisnis dengan omzet Rp 345 triliun setahun . Lanskap pemasaran industri rokok berubah sejak 2009, yaitu ketika pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Kesehatan. Beleid itu menjadi tonggak dan sejarah baru bahwa Indonesia akhirnya memiliki undang-undang yang berpihak kepada perlindungan kesehatan masyarakat. Undang-undang tersebut lahir melalui ikhtiar yang panjang, penuh onak dan halangan, karena inisiatif-inisiatif baru dalam undang-undang ini sudah muncul sejak 1992. Seperti ditulis dalam buku “The Giant Pack of Lies” karya Mardiyah Chamim, dkk. industri rokok giat melobi banyak pihak agar gagasan dan keinginan para ahli kesehatan dan masyarakat agar rokok digolongkan sebagai zat adiktif dalam Undang-Undang Kesehatan tak bisa lolos. Usaha industri rokok itu berhasil, setidaknya revisi terhadap Undang-Undang Kesehatan mandek hingga 16 tahun. Maka setelah gagal membendung keinginan masyarakat menjadikan rokok sebagai zat adiktif yang harus dikendalikan distribusi dan pemasarannya, mereka melakukan upaya terakhir dengan menghapus pasal penting tersebut dari naskah rancangan yang dikirim kepada Presiden. Seperti termuat dalam banyak berita 5 media, sejumlah politikus dan pejabat Departemen Kesehatan ditengarai terlibat dalam penghilangan pasal krusial tersebut. Cara culas itu terbongkar dan populer di publik dengan sebu- tan “pencurian ayat tembakau”. Koalisi masyarakat melaporkan “pencurian ayat” tersebut kepada polisi, tapi agaknya para penyi- dik kurang minat menelisik lebih jauh pelanggaran konstitusi be- rat ini. Polisi menghentikan penyelidikannya dan kasus tersebut menguap begitu saja. Para pelaku pencuri pasal tembakau kini masih duduk di lembaga-lembaga terhormat negeri ini. Segera setelah Undang-Undang Kesehatan disahkan, aturan turunannya disiapkan. Salah satu yang pokok adalah peraturan pemerintah tentang pengaturan iklan rokok di ruang-ruang publik dan peringatan bahaya yang mengancam kesehatan manusia pada bungkus-bungkus rokok. Sudah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa prevalensi perokok makin memuda akibat terpapar iklan rokok yang tayang secara bebas di pelbagai media publik. Dalam jurnal Pediatrics yang terbit 18 September 2007, misalnya, jelas disebutkan bahwa anak-anak remaja di Amerika Serikat hanya perlu empat tahun sejak terpapar iklan rokok, dalam pelbagai jenis, untuk sampai menjadi pecandu nikotin. Di Amerika, iklan rokok menyamar dalam bentuk kartun Joe Camel yang digemari anak-anak. Dalam penelitian 1991, The Journal of The American Medical Associations bahkan secara tegas menyebut bahwa R.J Reynolds, produsen rokok Camel itu, menyasar anak-anak sebagai target utama konsumen mereka. Pada tahun itu sebanyak 32 persen konsumen rokok cap Unta itu adalah anak-anak usia di bawah 18 tahun. Kesimpulan itu kian kukuh ketika pengadilan San Francisco membuka dokumen strategi pemasaran Camel. Dari dokumen yang dibuka jaksa dari sebuah investigasi setelah publikasi Jurnal The American Medical itu terungkap bahwa R.J Reynolds menargetkan anak-anak dan remaja usia 14-24 sebagai “konsumen 6 — SMASH! Eksploitasi Anak di Balik Audisi Badminton Djarum masa depan mereka” sejak 1974. Agaknya strategi lawas itu tak berubah hingga hari ini. Buku ini menguak dengan jelas bagaimana strategi itu hanya bersalin rupa dan topeng belaka. Para penulis buku ini menelusuri cara-cara Djarum—perusahaan rokok terbesar di Indonesia— memasarkan produk tembakau mereka mengatasnamakan olah raga bulu tangkis—olah raga paling populer di Indonesia. Sejak 2006, Djarum menggelar audisi bea siswa bagi anak-anak untuk mendapatkan pelatihan bulu tangkis oleh perusahaan ini. Mulanya audisi beasiswa untuk remaja hingga usia 15 tahun ini hanya digelar di Kudus. Pada 2015, audisi ini melebar ke sembilan kota di Indonesia. Djarum memang punya pengalaman panjang bersinggungan dengan badminton. Pada 1974 mereka mendirikan Persatuan Bulutangkis Djarum di Kudus, di Jawa Tengah, kota yang menjadi pusat pabrik rokok perusahaan ini. Perkumpulan yang berisi para karyawan pabrik rokok Djarum awalnya bernama Komunitas Kudus, yakni komunitas karyawan Djarum yang bermain bulu tangkis di brak (tempat melinting tembakau) di pabrik yang berlokasi di Jalan Bitingan Lama (kini Jalan Lukmonohadi) Nomor 35 Kudus pada 1969. Seiring membesarnya usaha Djarum, karyawan juga bertambah hingga lahir PB Djarum yang memberikan beasiswa kepada remaja- remaja berbakat dan kemudian menjadi kampiun dunia bulu tangkis. “Pembinaan” atlet bulu tangkis ini kemudian menginspirasi Djarum memanfaatkannya untuk menjadi bagian strategi pemasaran, terutama setelah PP 109 lahir pada 2012 sebagai turunan Undang-Undang Kesehatan itu. PP ini melarang iklan rokok tayang di jam-jam ketika anak menonton televisi, juga melarang perusahaan rokok memberikan sponsor untuk acara musik dan olah raga dengan memakai merek dagang produk tembakau. PP ini juga melarang iklan rokok mempertontonkan orang sedang merokok. 7 Sayangnya, PP ini terlalu lemah sehingga larangan itu diakali justru oleh peringatan pemerintah di bungkus dan baliho iklan rokok yang menampilkan orang merokok. Sehingga, meskipun iklannya tak menampilkan rokok dan orang merokok, publik tahu iklan tersebut adalah iklan rokok karena gambar imbauan pemerintah itu. Pemerintah justru yang melanggar larangannya sendiri. Seperti akan terlihat dari paparan dalam buku ini, Djarum menyasar anak-anak dan remaja yang menjadi peserta audisi beasiswa bulu tangkis. Sepintas pembinaan olah raga itu terlihat baik-baik saja sebagai usaha sebuah korporasi membantu memajukan sebuah cabang olah tubuh yang selalu menjadi andalan pengumpul medali bagi Indonesia dalam turnamen- turnamen internasional. Tapi seperti liputan di tiga kota—dari sembilan kota tempat audisi—segera terlihat bahwa ribuan anak-anak yang menjadi peserta itu sesungguhnya sedang diindoktrinasi dengan brand Djarum. Mereka tengah dikenalkan secara diam-diam kepada merek sebuah produk yang digolongkan ke dalam zat adiktif. Para remaja ini sedang dibuat terbiasa dengan produk berbahaya karena dibungkus melalui kegiatan yang menyehatkan. Sejak baliho, sejak tayangan, hingga kaos para peserta tak beda dengan bungkus rokok yang diproduksi Djarum. Seperti strategi R.J Reynolds dalam tayangan kartun di Amerika, anak-anak Indonesia sedang dibuat terlena agar menerima Djarum sebagai merek produk yang baik untuk mereka, bukan produk berbahaya karena mengandung zat adiktif. Inilah strategi Djarum menemukan “jalan lain ke Roma” untuk mengakali larangan dan usaha pengendalian bahaya produk tembakau bagi generasi muda Indonesia. Buku ini upaya mengingatkan kita agar tak lengah dengan cara-cara baru “membunuh Indonesia” lewat candu nikotin. Selain reportase dari tiga kota, para ahli dari pelbagai bidang keilmuan menganalisis audisi tersebut dari pelbagai sudut 8 — SMASH! Eksploitasi Anak di Balik Audisi Badminton Djarum pandang. Beragam tinjauan itu menghasilkan satu aspek yang mengerikan: eksploitasi anak-anak yang dibungkus dalam audisi pemberian beasiswa sebuah cabang olah raga. Lisda Sundari Ketua Yayasan Lentera Anak 9 10 — SMASH! Eksploitasi Anak di Balik Audisi Badminton Djarum SMASH! EKSPLOITASI ANAK DI BALIK AUDISI BADMINTON DJARUM