Download Article (PDF)
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Load more
Recommended publications
-
Penataan Wilayah Pada Masa Kerajaan Sunda
Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda Agus Aris Munandar Keywords: history, archaeology, Hindu-Buddhist, Kingdom of Sunda, West Java How to Cite: Munandar, A.A. Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda. Berkala Arkeologi, 14(2), 95–105. https://doi.org/10.30883/jba.v14i2.706 Berkala Arkeologi https://berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id/ Volume 14 No. 2, 1994, 95-105 DOI: 10.30883/jba.v14i2.706 This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License. PENATAAN WILAYAH PADA MASA KERAJAAN SUNDA Agus Aris Munandar (Jurusan Arkeolog, FSUI) terlihat dalam periode Singhasan dan Ma1apah1t 1. KeraJ aan Sunda adalah salah satu kera yang jelas disebutkan dalam prasast, dan k1tab Jaan dalam masa Hindu-Buddha yang terletak di Nagarakrtagama bahwa kedua keraJaan terse Jawa Barat. Tidak seperti sejarah kerajaan-kera but mempunyai berbagai negara daerah Namun Jaan lamnya yang pernah tumbuh dan berkem bagaimana halnya dengan Kerajaan Sunda bang dt Pulau Jawa (Mataram, Kadiri, Singhasa apakah juga memiliki negara-negara daerah n, MaJapahit), seJarah Kerajaan Sunda masth be masih belum diketahui secara past1. Hal lam lum banyak diungk.apkan oleh para ahl1. Hal ini yang patut diperhat,kan penataan wilayah yang disebabkan karena sumber sejarah yang berken pastinya telah dikenal dalam masa 1tu, penataan aan dengan perkembangan kerajaan tersebut wilayah Kerajaan Sunda hingga saat ini masih sangat terbatas, peninggalan-peninggala ��ya belum juga diperhattkan oleh para ahli; untuk ,tu pun tidak terlalu banyak, kalaupun ada JeJak kajian ini berusaha mengungkapkan penataan se1arah itu sudah sangat rusak. Walaupun w1layah kerajaan tersebut se1auh data yang dem1kian para ahli sejarah dan arkeologi tentu tersedia hingga kini nya masih berharap bahwa di kemudian hari akan ditemukan lag, sumber sejarah baru yang dapat membantu mengungkapkan seJarah Kera 2. -
Tri Tangtu on Sunda Wiwitan Doctrine in the XIV-XVII Century
TAWARIKH: Journal of Historical Studies, Volume 10(1), October 2018 Journal of Historical Studies ETTY SARINGENDYANTI, NINA HERLINA & MUMUH MUHSIN ZAKARIA Tri Tangtu on Sunda Wiwitan Doctrine in the XIV-XVII Century ABSTRACT: This article aims to reconstruct the concept of “Tri Tangtu” in the “Sunda Wiwitan” doctrine in the XIV-XVII century, when the Sunda kingdom in West Java, Indonesia was under the reign of Niskala Wastu (-kancana) at Surawisesa Palace in Kawali, Ciamis, until its collapse in 1579 AD (Anno Domini). “Tri Tangtu” absorbs the three to unite, one for three, essentially three things in fact one, the things and paradoxical attributes fused into and expanded outward. The outside looks calm, firm, one, but inside is continuously active in its entirety in various activities. This concept is still also continues on indigenous of Kanekes (Baduy) in Banten, Western Java. In achieving that goal, historical methods are used, consisting of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. In the context of explanation used social sciences theory, namely socio-anthropology through the theory of religion proposed by Clifford Geertz (1973), namely religion as a cultural system that coherently explains the involvement between religion and culture. The results of this study show that the concept of “Tri Tangtu” consists of “Tri Tangtu dina Raga (Salira)”; “Tri Tangtu dina Nagara”; and “Tri Tangtu dina Buana”. About “Tri Tangtu dina Raga” is a system of human reciprocal relationship to the transcendent with “lampah, tekad, ucap (bayu-sabda- hedap)” or deed, strong will, and word. “Tri Tangtu dina Nagara” is a unity of “Rsi-Ratu-Rama” or Cleric, Ruler, and a Wise Oldmen. -
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Kerajaan Pakuan Pajajaran Merupakan Kerajaan Hindu-Budha Terbesar Ke 2 Dan Merupakan Tandingan Dari
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Kerajaan Pakuan Pajajaran merupakan Kerajaan Hindu-Budha terbesar ke 2 dan merupakan tandingan dari Kerajaan Majapahit dan mempunyai dampak positif yaitu membuka jalur perdagangan melalui Pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta. Namun karena minim-nya data mengenai Kerajaan Pakuan Pajajaran membuat Kerajaan ini terlupakan dan kurang dikenal. Remaja sendiri pun lebih mengenal Kerajaan-kerajaan yang lebih terkenal seperti Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Banten, dan Kerajaan lain yang sudah sangat dikenal baik oleh masyarakat Indonesia. Kurang nya media yang mengenalkan tentang Kerajaan Pakuan Pajajaran merupakan salah satu faktornya. Berdasarkan masalah ini penulis ingin mengambil tema Kerajaan Pakuan Pajajaran pada saat Raja Sri Baduga Maharaja memerintah yaitu pada saat masa kejayaan dan perkembangan Kerajaan Pakuan Pajajaran untuk memperkenalkan kepada remaja bahwa Kerajaan yang hebat bukan hanya Kerajaan Majapahit. Penulis ingin mengenalkan masa kejayaan Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan media board game yang mengilustrasikan masa-masa kejayaan Raja Sri Baduga Maharaja sebagai tokoh yang membuat Kerajaan Pakuan Pajajaran berkembang sehingga remaja tidak sulit untuk mencerna informasi mengenai sejarah Kerajaan ini. Salah satu faktor didesain menjadi board game adalah agar dapat menjadi media alternatif pembelajaran sejarah yang lebih menyenangkan dan menarik untuk dilihat. Penulis ingin mengajak remaja-remaja Indonesia untuk lebih mengetahui dan mendalami Kerajaan di Indonesia, karena Kerajaan di Indonesia tidak kalah hebat dengan Kerajaan-kerajaan diluar sana serta ingin menunjukkan bahwa masih banyak Kerajaan yang belum dikenal baik oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu penulis ingin mengajak para remaja untuk mengenali Kerajaan yang lain sehingga Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha Universitas Kristen Maranatha 72 dapat dilestarikan, dikenal tidak hanya oleh dalam negeri namun juga luar negeri sehingga dapat membawa nama baik untuk Indonesia. -
Downloaded From
J. Noorduyn Bujangga Maniks journeys through Java; topographical data from an old Sundanese source In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 138 (1982), no: 4, Leiden, 413-442 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/30/2021 08:56:21AM via free access J. NOORDUYN BUJANGGA MANIK'S JOURNEYS THROUGH JAVA: TOPOGRAPHICAL DATA FROM AN OLD SUNDANESE SOURCE One of the precious remnants of Old Sundanese literature is the story of Bujangga Manik as it is told in octosyllabic lines — the metrical form of Old Sundanese narrative poetry — in a palm-leaf MS kept in the Bodleian Library in Oxford since 1627 or 1629 (MS Jav. b. 3 (R), cf. Noorduyn 1968:460, Ricklefs/Voorhoeve 1977:181). The hero of the story is a Hindu-Sundanese hermit, who, though a prince (tohaari) at the court of Pakuan (which was located near present-day Bogor in western Java), preferred to live the life of a man of religion. As a hermit he made two journeys from Pakuan to central and eastern Java and back, the second including a visit to Bali, and after his return lived in various places in the Sundanese area until the end of his life. A considerable part of the text is devoted to a detailed description of the first and the last stretch of the first journey, i.e. from Pakuan to Brëbës and from Kalapa (now: Jakarta) to Pakuan (about 125 lines out of the total of 1641 lines of the incomplete MS), and to the whole of the second journey (about 550 lines). -
The Nuance of Affirmation the Epistemological Foundation of Sundanese Wisdom
25.1.2009 [57-73] The Nuance of Affirmation The Epistemological Foundation of Sundanese Wisdom Stephanus Djunatan Department of Philosophy, Parahyangan Catholic University, Bandung, Indonesia ABSTRACT One who learns and reads Western Philosophy is familiar with the Decartes' proposition 'cogito ergo sum'. This proposition becomes ontological and epistemological reason of our existence. Nevertheless, one can also explore another reason of existence, not only this Cartesian proposition considered the universal. A nuance of affirmation implied within a local tradition of wisdom can be the other ontological and epistemological reason. Therefore, an exploration the nuance of affirmation in Asian tradition of wisdom is necessarily discovered this alternative reason of existence (1). One can discover such alternative reason from a local worldview and philosophical narration in a local tradition of wisdom (2). This article observes the worldview and philosophical narration of Sundanese people. The observation offers a further interpretation to the Sundanese worldview and philosophical narration. The purpose of this interpretation is to formulate the nuance of affirmation as it is implied in the local system of knowledge. A principle of affirmation is derived from the interpretation of the system of knowledge (3). The interpretation also becomes a further invitation to explore and to find out an intercultural understanding and dialogues of various systems of knowledge (4). Key Words: Principle of affirmation correlative thinking Sundanese 57 MELINTAS 25.1.2009 worldview Tritangtu, Nagara Padang, intercultural dialogues of knowledge Dunya sakitu legana, heurinna ngan ku dua jalma, lalaki jeung awewe. (“Our vast earth suitably comprises of two: man and woman.”) Abah Karmo, The elder and guardian of The Sufi Shrine Nagara Padang eaders and learners of Western Philosophy acknowledge Cartesian Rstatement “cogito ergo sum” as the ontological and epistemological foundation for human being. -
Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java
Southeast Asian Studies, Vol. 34, No.1, June 1996 Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java: An Introduction to the Formation of Sundanese Writing in 19th Century West Java* Mikihira MaRlYAMA** I The 'Language' Discovering the 'Language' An ethnicity (een volk) is defined by a language.i) This idea had come to be generally accepted in the Dutch East Indies at the beginning of the twentieth century. The prominent Sundanese scholar, Raden Memed Sastrahadiprawira, expressed it, probably in the 1920s, as follows: Basa teh anoe djadi loeloegoe, pangtetelana djeung pangdjembarna tina sagala tanda-tanda noe ngabedakeun bangsa pada bangsa. Lamoen sipatna roepa-roepa basa tea leungit, bedana bakat-bakatna kabangsaan oge moesna. Lamoen ras kabangsaanana soewoeng, basana eta bangsa tea oge lila-lila leungit. [Sastrahadiprawira in Deenik n. y.: 2] [The language forms a norm: the most evident and the most comprehensive symbols (notions) to distinguish one ethnic group from another. If the characteristics of a language disappear, the distinguishing features of an ethnicity will fade away as well. If an ethnicity no longer exists, the language of the ethnic group will also disappear in due course of time.] There is a third element involved: culture. Here too, Dutch assumptions exerted a great influence upon the thinking of the growing group of Sundanese intellectuals: a It occurred to me that I wanted to be a scholar when I first met the late Prof. Kenji Tsuchiya in 1980. It is he who stimulated me to write about the formation of Sundano logy in a letter from Jakarta in 1985. -
ISLAMISASI DI TATAR SUNDA Era Kerajaan Sukapura
ISLAMISASI DI TATAR SUNDA Era kerajaan Sukapura Islamisasi di Tatar Sunda ___ i ISLAMISASI DI TATAR SUNDA Era kerajaan Sukapura Penulis: Prof. Dr. Sulasman Dr. Ruhiyat Agus Wirabudiman, MA Abud Syehabudin, M.Pd Dr. Acep Aripudin Editor: Ahmad Yunani, S.Ag., M.Hum. Cetakan I, 2017 14,8 x 21 cm vi + 287 hal. Desain dan Layout: Buya Samuray Diterbitkan oleh: Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Tahun 2017 Copyraight @2017 All Rights Reserved ii ___ Islamisasi di Tatar Sunda Pengantar enyelesaian penulisan hasil penelitian sejarah Islamisasi masa Kerajaan Sukapura merupakan langkah tepat, tepat P sasaran (targetting) dan momentum mengenai pelurusan sejarah yang selama ini masih terkesan mengambang. Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Balit- bang dan Diklat Kementerian Agama RI sebagai institusi yang memfasilitasi program penulisan sejarah Nusantara telah berperan dalam melaksanakan misinya dalam memelihara dan mengembangakan khazanah budaya Nusantara. Ada beberapa urgensi penulisan sejarah Sukapura dilihat dari sudut pandang, berikut: pertama, kekayaan warisan budaya di Nusantara, ter- masuk wilayah Sukapura belum diungkap secara baik dan benar, sehingga belum dipublikasikan dan belum diketahui luas oleh masyarakat Nusantara, masyarakat Sunda sekitar Priangan Timur pada khususnya. Kedua, belum adanya tulisan memadai tentang Islamisasi masa Kerajaan Sukapura yang akan menjadi pijakan dan pelurusan sejarah pembangunan di Tatar Sukapura. Perdebatan tentang Islamisasi di Sukapura, lahirnya Sukapura, dan atau Islamisasi di Tatar Sunda ___ iii Tasikmalaya, menjadi contoh bagaimana sejarah sangat menen- tukan terhadap jalannya roda pembangunan karena menjadi landasan fundamental filosofi perjalanan manusia. Ketiga, ada- nya tugas moral untuk ikut serta dalam upaya pencerdasan masyarakat dan bangsa melalui penyadaran terhadap jati diri bangsa. -
The Particle Ma in Old Sundanese Aditia Gunawan, Evi Fuji Fauziyah
The particle ma in Old Sundanese Aditia Gunawan, Evi Fuji Fauziyah To cite this version: Aditia Gunawan, Evi Fuji Fauziyah. The particle ma in Old Sundanese. Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia, Faculty of Humanities,University of Indonesia, 2021, Languages of Nusantara I, 22 (1), pp.207-223. 10.17510/wacana.v22i1.1040. hal-03193257 HAL Id: hal-03193257 https://hal.archives-ouvertes.fr/hal-03193257 Submitted on 11 May 2021 HAL is a multi-disciplinary open access L’archive ouverte pluridisciplinaire HAL, est archive for the deposit and dissemination of sci- destinée au dépôt et à la diffusion de documents entific research documents, whether they are pub- scientifiques de niveau recherche, publiés ou non, lished or not. The documents may come from émanant des établissements d’enseignement et de teaching and research institutions in France or recherche français ou étrangers, des laboratoires abroad, or from public or private research centers. publics ou privés. PB Wacana Vol. 22 No. 1 (2021) Aditia Gunawan andWacana Evi Fuji Vol. Fauziyah 22 No. 1 ,(2021): The particle 207-223 ma in Old Sundanese 207 The particle ma in Old Sundanese Aditia Gunawan and Evi Fuji Fauziyah ABSTRACT This article will analyse the distribution of the particle ma in Old Sundanese texts. Based on an examination of fifteen Old Sundanese texts (two inscriptions, eight prose texts, and five poems), we have identified 730 occurrences ofma . We have selected several examples which represent the range of its grammatical functions in sentences. Our observations -
Tata Ruang Ibukota Terakhir Kerajaan Galuh (1371 - 1475)
Tata Ruang Ibukota … (Budimansyah, Nina Herlina Lubis, Miftahul Falah) 123 TATA RUANG IBUKOTA TERAKHIR KERAJAAN GALUH (1371 - 1475) THE SPATIAL PLANNING OF THE LAST CAPITAL CITY OF THE GALUH KINGDOM (1371 - 1475 AD) Budimansyah1, Nina Herlina Lubis2, Miftahul Falah3 1,2,3 Departemen Sejarah dan Filologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor, Kabupaten Sumedang e-mail: 1 [email protected], 2 [email protected], 3 [email protected] Naskah Diterima: 13 Januari 2020 Naskah Direvisi: 26 Juli 2020 Naskah Disetujui :26 Agustus 2020 DOI: 10.30959/patanjala.v12i2.596 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguak tata ruang Galuh Pakwan sebagai ibukota terakhir Kerajaan Galuh, sejauh mana pola ruang kota tersebut berkaitan dengan nilai-nilai kelokalan sebagaimana tergambar dalam historiografi tradisional. Dalam penelitian ini metode sejarah akan dipergunakan sebagai fitur utama agar menghasilkan suatu hasil kajian yang komprehensif, dan menggunakan teori tata kota, serta metode deskriptif-kualitatif. Minimnya sumber terkait sejarah Galuh Pakwan, wawancara secara mendalam kepada para narasumber diharapkan bisa menjadi suatu bahan analisis historis. Berdasarkan fakta di lapangan, Galuh Pakwan sebagai ibukota kerajaan berawal dari sebuah kabuyutan. Pada masa pemerintahan Niskalawastu Kancana, kabuyutan tersebut dijadikan pusat politik dengan tetap menjalankan fungsi kabuyutannya. Seiring waktu, Galuh Pakwan menjelma menjadi sebuah kota yang tata ruangnya menunjukkan representasi -
Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik Kira-Kira Sejarah Jawa Barat
ILMUIMAN.NET: Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik Cerita Kira-kira Sejarah (16+). 2017 (c) ilmuiman.net. All rights reserved. Berdiri sejak 2007, ilmuiman.net tempat berbagi kebahagiaan & kebaikan lewat novel- cerpen percintaan atau romance, dan cerita non fiksi.. Seru. Ergonomis, mudah, & enak dibaca. Karya kita semua. Peringatan: Pembaca yang sensi dengan seloroh ala internet, silakan stop di sini. Segala akibat menggunakan atau membaca, sepenuhnya tanggung jawab pembaca. Terima kasih & salam. *** Kira-kira Sejarah Jawa Barat Babak-1: Salakanagara Jawa bagian barat, adalah termasuk negeri besar tertua di nusantara. Peninggalannya diyakini sudah ada sejak abad ke-2 masehi atau sekitar tahun 130-an, yaitu negeri Salakanagara namanya. Sebagai kontrasnya, negeri-negeri kecil sporadis di nusantara ini, yang lain, baru ada jejaknya dalam catatan sejarah pada sekitaran abad ke-4M. *** Babak-2: Tarumanagara Salakanagara kemudian menjelma menjadi negeri besar Taruma atau Tarumanagara. Salah satu raja terkenalnya Purnawarman. Bentangan wilayahnya meliputi seluruh Jawa Barat masa kini, daerah Banyumasan terus sampai ke sungai Bogowonto, dan di bagian utara, ada yang bilang sampai batas tradisional sungai Cipamali, tapi bisa juga meliputi seluruh bagian utara yang bahasa Jawanya di masa kini bahasa ngapak (kecampur Sunda) seperti Tegal dan seperti itu. Tarumanagara yang jaya kemudian menelurkan kerajaan-kerajaan bawahan yang banyak, yang menonjol adalah Sunda dan Galuh. Sampai suatu ketika, saat sudah masanya agak mundur disebabkan melejitnya Sriwijaya, raja Tarumanagara tidak punya anak lelaki, sehingga putri mahkotanya terus dicarikan jodoh bangsawan Sunda (Jakarta sekarang). Maka, jadilah pasangan Tarumagara-Sunda menjadi pemimpin Jawa Barat. *** Babak-3: Sunda & Galuh Oleh sang raja Sunda (yang semula raja bawahan sebelum menyunting putri mahkota Tarumanagara), kemudian ibukota dipindahkan ke Sunda atau Sunda Kelapa masa kini. -
Sejarah Dan Kebudayaan Provinsi Banten
Sejarah Dan Kebudayaan Provinsi Banten Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten pada abad ke 5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidanghiyangatau prasasti Lebak, yang ditemukan di kampung lebak di tepi Ci Danghiyang, Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian rajaPurnawarman. Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara (menurut beberapa sejarawan ini akibat serangan kerajaan Sriwijaya), kekuasaan di bagian baratPulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Seperti dinyatakan oleh Tome Pires, penjelajah Portugispada tahun 1513, Banten menjadi salah satu pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut, Banten adalah salah satu pelabuhan kerajaan itu selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Cimanuk. Diawali dengan penguasaan Kota Pelabuhan Banten, yang dilanjutkan dengan merebut Banten Girang dari Pucuk Umun pada tahun 1527, Maulana Hasanuddin, mendirikan Kesultanan Banten di wilayah bekas Banten Girang. Dan pada tahun 1579, Maulana Yusuf, penerus Maulana Hasanuddin, menghancurkan Pakuan Pajajaran, ibukota atau pakuan (berasal dar kata pakuwuan) Kerajaan Sunda. Dengan demikian pemerintahan di Jawa Barat dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Hal itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan Pajajaran ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. -
Kanekes and Pajajaran in West Java Gardiens Du Sanctuaire De L’Esprit Du Royaume : Les Urang Kanekes Et L’Etat De Pajajaran À Java Ouest
Moussons Recherche en sciences humaines sur l’Asie du Sud-Est 8 | 2005 Recherche en sciences humaines sur l'Asie du Sud-Est Tending the Spirit’s Shrine: Kanekes and Pajajaran in West Java Gardiens du sanctuaire de l’Esprit du royaume : les Urang Kanekes et l’Etat de Pajajaran à Java Ouest Robert Wessing and Bart Barendregt Electronic version URL: http://journals.openedition.org/moussons/2199 DOI: 10.4000/moussons.2199 ISSN: 2262-8363 Publisher Presses Universitaires de Provence Printed version Date of publication: 1 December 2005 Number of pages: 3-26 ISBN: 2-7449-0625-5 ISSN: 1620-3224 Electronic reference Robert Wessing and Bart Barendregt, « Tending the Spirit’s Shrine: Kanekes and Pajajaran in West Java », Moussons [Online], 8 | 2005, Online since 15 October 2013, connection on 02 May 2019. URL : http://journals.openedition.org/moussons/2199 ; DOI : 10.4000/moussons.2199 Les contenus de la revue Moussons sont mis à disposition selon les termes de la Licence Creative Commons Attribution - Pas d’Utilisation Commerciale - Pas de Modification 4.0 International. Articles / Articles Tending the Spirit’s Shrine: Kanekes and Pajajaran in West Java Robert WESSING*and Bart BARENDREGT** Although, or perhaps precisely because field research among the Urang Kanekes, the people of Kanekes1 of South Banten in West Java (Indonesia), is next to impossible, especially in their sacred inner hamlets, they have over the years been the subject of much speculation and, where possible, analysis. Indeed, as early as 1882, Veth (1875-84, III: 129) observed