<<

NASIONALISME PERS: STUDI KASUS PERAN DALAM MENUMBUHKAN KESADARAN KEBANGSAAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Oleh:

R. M. Joko Prawoto Mulyadi NIM: 105033201150

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432H/ 2011 M

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : R.M. Joko Prawoto Mulyadi

Tempat / Tanggal lahir : Jakarta, 12 Januari 1986

Alamat : Jalan Kebon Nanas Selatan 2, OTISTA III Rt.007/05 no.30 Jakarta Timur

Kebangsaan :

Agama : Islam

Pendidikan :

1. TK. Islam An-Nuriyyah, Otista, Jakarta Timur. 2. SD. Muhammadiyah 55, Tebet, Jakarta Selatan. 3. Madrasah Diniyyah An-Nafi’ah 4. SMPN 73, Tebet, Jakarta Selatan. 5. SMUN 26, Tebet, Jakarta Selatan. 6. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FISIP, Ilmu Politik

ii

ABSTRAK

Judul : NASIONALISME PERS: STUDI KASUS PERAN MEDAN PRIJAJI DALAM MENUMBUHKAN KESADARAN KEBANGSAAN

Sebagai suatu tema kajian menarik, nasionalisme atau istilah lain yang berkaitan dengannya juga memiliki keunikan dan kerumitannya sendiri. Hal yang demikian itu terjadi akibat nasionalisme kerap ditulis dengan ‘N’ huruf awalan kapital. Artinya, ia terlanjur diasosiasikan sebagai sebuah ideologi sebagaimana juga ideologi lain semisal Marxisme, Sosialisme, dan sebagainya. Namun demikian, apa yang akan saya bahas pada karya ini bukan Nasionalisme dengan ‘N’, melainkan nasionalisme dengan ‘n’. Sekilas lalu apalah artinya dari huruf awalan kapital atau tidak, namun kelak dalam pembahasan itu akan berdampak besar. Apa yang dimaksud nasionalisme dengan ‘n’ bukanlah sebagai ideologi, tapi suatu rasa kebangsaan. Atau dalam istilah lain juga disebut kesadaran kebangsaan. Nasionalisme model ini yang akan menjadi pembahasan kita. Sebuah kesadaran kebangsaan yang disemai di ladang kering tanah koloni bernama Hindia Belanda. Bukan petani atau peladang, tapi jurnalis yang menyemai bibit kesadaran kebangsaan itu melalui media berupa surat kabar. Dalam hal ini, surat kabar yang dimaksud tentu adalah surat kabar yang mengawali upaya pembenihan kesadaran kebangsaan tersebut. dan pilihan jatuh pada sebuah surat kabar yang terbit pada 1907, Medan Prijaji, dengan seorang jurnalis berwatak keras, R.M. . Surat kabar ini menjadi pilihan sebab selain ia selaku pionir dalam usaha pembibitan kesadaran ke ‘kita’an sebagai sebuah bangsa, juga memiliki sikap politik yang tegas. Sejak dari jargon sampai pada artikel, surat kabar yang sempat mencapai tiras 2000 ini benar-benar menariik garis tegas antara ‘kami’ dan ‘kalian’, yakni antara penjajah Kolonial dengan yang dijajahnya, yang dalam istilahnya digunakan identitas oposisi antara ’bangsa jang terprentah’ dengan ‘bangsa jang memerentah’.

iii

KATA PENGANTAR

Bismihi Ta’ala

Alhamdulillah, wash-sholatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa alihi al- ath’har. Segala puji bagi Rabb semesta alam atas segala nikmatNya. Shalawat dan salam terhatur kehadirat Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya. Semua itu adalah ungkapan syukur karena berkat rahmat itulah skripsi “NASIONALISME PERS: STUDI KASUS PERAN MEDAN PRIJAJI DALAM MENUMBUHKAN KESADARAN KEBANGSAAN” terselesaikan.

Beragam kisah menarik saya jumpai di tengah perjalanan penulisan skripsi yang berawal dari makalah saya dalam sebuah seminar tentang Pers dan Kebangsaan di Universitas Negeri Yogyakarta beberapa tahun lalu. Biarlah tersimpan dalam kenangan dan terbuka pada saatnya. Namun yang terpenting adalah rampungnya penulisan skripsi ini sebagai syarat kelulusan dan beroleh gelar sarjana. Tentu semua ini tak lepas dari jasa yang tak berbilang dari berbagai pihak.

Untuk itu, saya haturkan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. Alm. R.M. Tirto Adhi Soerjo, kakek buyut yang secara ironis harus saya kenal dari buku, baru kemudian diceritakan orang tua. Aku masih menziarahimu, di makam dan pada ratusan lembar buah penamu dalam Medan Prijaji. 2. Alm. S. Syahabuddin Shahab, kakek yang mengajariku bermain dengan kertas, pena, dan mesin ketik sejak kecil. Seorang penyiar, pengajar tafsir, dan Soekarnois yang membuatku akrab dengan dunia tulis menulis. 3. Alm. R.M. Dicky Permadi Tirtoadhisoerjo, ayah yang selalu mendidik dengan caranya yang unik. Yang dengan santai namun pasti, menjadikanku begitu akrab dengan buku. Amanat terakhirmu sebelum wafat telah kujalankan, skripsi ini salah satunya. Pesanmu masih kuingat, bahwa pilihan ‘menjadi seorang idealis harus tahan keadaan sulit’. 4. Syarifah Fathiyyah Shahab, ibu yang dengan segala keteguhan hati dan kesabaran menjalani hari-hari menunggu kelulusanku. Pengertian yang luar biasa atas jalan sunyi yang kupilih membuatku tetap tegar.

iv

v

5. . Bung, melalui bukumu, aku mengenal asal- usulku, dan banyak hal luar biasa tentang nasion kita. 6. Prof. Dr. Bahtiar Efendi. Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 7. Dr. Ali Munhanif, ketua Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si, sekretaris Program Studi sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah menyempatkan waktu di sela kesibukan dan memberi bantuan referensi penting. 9. Seluruh dosen Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10. Indra B Aden, melalui pria yang kutemui semasa kuliah di IISIP ini aku mengenal Pram, dan akhirnya, Tirto. 11. Muhidin M Dahlan, yang telah memberikan foto copy Medan Prijaji melalui Iswara yang didapatnya dari Bung Pram. Terus menulis, kawan. 12. Teman-teman peneliti di Jogja, khususnya Iswara N Raditya, kerja kerasmu menulis Tirto akan berbuah suatu hari. 13. Kawan-kawan Kelompok Studi Kedai Pemikiran: Rendi, Aga, Lendi, Nurman, Andika, yang telah bersama-sama mengkaji masalah keIndonesiaan, termasuk pers dan membantu melengkapi referensi. Tetap jalan, kawan. Ilmu untuk kemanusiaan!!. 14. Teman berbincang yang memberi kesan dengan segala warnanya: Hasan sang pegandrung Semar, Riski si Aneuk Nangroe, Achmad Zaki dosen muda yang menjadi teman diskusi tentang sastra, media, dan banyak hal. 15. Nabila ‘habiba’ al-Aidrus, ‘alarm’ terindah yang selalu mengingatkan bahwa skripsi ini harus cepat selesai. Semoga segalanya indah pada waktunya.

Semoga segala kebaikan terbalaskan. Sebagai sebuah skripsi yang beradu cepat dengan waktu di sela kesibukan lain yang menghimpit, tentu karya ini jauh dari sempurna. Namun semoga dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Jakarta 15 Juni 2011

R.M. Joko Prawoto Mulyadi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN...... i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP...... ii

ABSTRAK...... iii

KATA PENGANTAR...... iv

DAFTAR ISI...... vi

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah...... 6

C. Tujuan Penelitian...... 7

D. Tinjauan Pustaka...... 7

E. Metode Penelitian...... 10

F. Sistematika Penulisan...... 11

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Pengertian Nasion dan Nasionalisme...... 13

B. Peran Pers sebagai Kontra Opini Kolonial...... 24

C. Nasionalisme dalam Pers...... 30

BAB III. NASIONALISME YANG LAHIR DARI PERS

A. Geliat Pers di Hindia Belanda...... 41

B. Medan Prijaji, Pers yang Berpolitik...... 49

C. R.M Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Kebangsaan...... 58

vi

vii

BAB IV. NASIONALISME CETAK, PERLAWANAN PERS TERHADAP PENJAJAHAN KOLONIALISME

A. Linguafranca sebagai Identitas Bangsa...... 65

B. Kritisisme Medan Prijaji Terhadap Penguasa...... 70

C. Sentimen Kebangsaan Medan Prijaji: “Bangsa Jang Terprentah” dan “Bangsa Jang Memrentah”...... 74

D. Pengaruh Medan Prijaji Terhadap Kemunculan Kaum Nasionalis Revolusioner...... 83

BAB V. KESIMPULAN...... 86

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesadaran kebangsaan atau yang lebih akrab di telinga dengan istilah

„nasionalisme‟, merupakan tema perbincangan yang nyaris tak lekang digerogoti usia. Sepertinya, hal tersebut akan terus dan terus diperbincangkan selama negeri ini masih memiliki penghuni. Tema ini menjadi penting dan oleh karenanya selalu up to date dikarenakan sifatnya yang merupakan bagian dari pembahasan jatidiri bangsa, di mana di dalamnya terdapat temali cerita mengenai proses terbentuknya sebuah bangsa. Bahkan dalam gaya yang agak hiperbolis namun saya pikir benar,

Hobsbawm menggambarkan bahwa sejarah manusia di planet Bumi ini tidak akan dapat dipahami tanpa terlebih dahulu memahami istilah „bangsa‟ dan kosakata yang berasal darinya, tentu termasuk di dalamnya „nasional‟ dan „nasionalisme‟ dalam segala bentuk dan polemik pembahasannya.1

Di samping itu pula, apa yang kita sebut dengan „nasionalisme‟ ini seolah merupakan bahan bakar bagi lajunya sebuah bahtera besar bernama bangsa dengan sekumpulan manusia yang bermula dari komunitas etni sebagai penumpangnya. Dan bahan bakar itu harus terus menyala kobar mengepul demi lajunya bahtera mengarungi luas samudera menuju satu pulau bernama kemerdekaan sebagaimana bahtera itu ditujukan sejak awal.

1 E. J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI (Yogyakarta: Tiara Wacana,1992) h.1

1

2

Namun demikian, apakah semua awak mengenali apa kiranya bahan bakar yang bernama „nasionalisme‟ itu? Rasa-rasanya tidak semua dari mereka memahaminya, tidak semua dari para penumpang bahtera bernama bangsa itu tahu dari mana gerangan asal muasal diperolehnya bahan bakar „nasionalisme‟ itu.

Atau bahkan, jangan-jangan tidak semua dari penumpang itu tahu bagaimana rupa-rupanya wujud daripada bahan bakar bernama „nasionalisme‟ tersebut.

Darimana ia digali atau dari rahim mana ia dilahirkan. Ini juga berarti bahwa apa yang kita sebut sebagai para awak „bangsa‟ itu tidak mengenal betul dirinya sebab

„nasionalisme‟ atau kesadaran kebangsaan sejatinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri suatu bangsa, sebagaimana seseorang tak berjarak dengan perasaannya.

Mengenai hal ini, saya teringat betapa dahulu di sekolah dasar hingga sampai pada tingkat menengah atas, pelajaran sejarah memberi informasi mengenai darimana datangnya kesadaran kebangsaan. Dan sepertinya, antara kita tak jauh berbeda, sebab kita dibentuk di dalam suatu sistem pendidikan yang sama, oleh rejim yang juga sama. Dari sana saya beroleh suatu pengetahuan bahwa nasionalisme atau kesadaran kebangsaan itu dilahirkan oleh suatu momentum besar. Sebuah momentum bernama Kebangkitan Nasional. Kita tahu, bahwa konsekuensi dari menyebut dua kata „kebangkitan‟ dan „nasional‟ adalah memunculkan dua kata yang tampaknya tak mau jauh-jauh dari momen itu,

„Boedi Oetomo‟. Mengapa demikian? Entah! Sebab kita terlanjur diajarkan demikian. Kita terlanjur diajarkan bahwa rahim yang melahirkan momen

3

kebangkitan bangsa adalah organisasi modern yang lokomotifnya adalah Boedi

Oetomo.2

Tentang anggapan ini, pada mulanya sebagaimana pelajar lainnya, saya hanya ikut saja. Sebab yang saya baca dan dengar pada umumnya memang demikian. Pun dengan segala bacaan yang ada pada waktu itu. Sampai suatu ketika saya bertemu dengan sebuah buku berjudul „Sang Pemula’ yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan beraliran realis yang banyak menulis karya sastra historis. Meski dengan segala kerendahan hatinya Bung Pram menyebut bahwa karyanya tersebut bukanlah karya ilmiah sejarah, namun para sejarawan mengapresiasinya sebagai sebuah karya sejarah yang patut diperhitungkan. Bahkan sejarawan besar sekelas Denys Lombard dalam membahas sejarah masyarakat miskin Blora, merekomendasikan para pembaca untuk juga merujuk karya Pramoedya „Cerita dari Blora’ untuk dapat menangkap suasana Blora dengan kemiskinan yang meliputinya.3

Di dalam buku yang dilarang penguasa Orde Baru itu, saya mendapatkan suatu informasi berharga yang membawa saya dalam perasaan senang sekaligus terheran-heran sebab info semisal itu tak pernah saya dapati pada buku-buku sejarah yang saya baca sebelumnya (tentunya versi Orde Baru). Satu dari sekian banyak informasi berharga itu menyangkut kebangitan nasional atau cikal bakal kebangkitan kesadaran kebangsaan. Uniknya, Bung Pram tidak hanya melihat sisi kebangkitan tersebut dari faktor organisasi modern (yang juga berbeda dari versi penguasa), tapi juga melihatnya dari aspek media, dalam hal ini pers. Alhasil,

2 Bambang E. Budhyono, Menggugat Boedi Oetomo dalam Indonesia Newsnet vol.1. No.1, h. 17 3 Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Jogjakarta:Tiara Wacana, 2008) h. 29

4

dalam karya tersebut ia menggambarkan betapa pers, termasuk di dalamnya

Medan Prijaji, memainkan peran penting dalam membakar kesadaran kebangsaan terutama bagi kalangan terpelajar.4

Namun demikian, kendati buku tersebut sudah dengan leluasa beredar dan banyak dibaca kalangan akademisi, dan banyak pula menyusul karya senafas, pembahasan seputar pers dan nasionalisme masih bernasib tak berbeda. Masih menjadi topik yang kerap dilewatkan begitu saja, atau bahkan dilupakan. Mungkin anggapan bahwa keberadaan pers kurang begitu mendapat perhatian akibat ketidakpahaman akan betapa pentingnya instrumen yang satu ini menjadi sah ketika ditujukan pada mereka yang awam. Tapi menjadi agak rancu dan amat disayangkan ketika insan akademis pun masih belum membuka mata mengenai hal ini. Berkenaan dengan masih belum ramainya jalan tersebut maka saya memutuskan mengangkat tema penting ini untuk dituliskan.

Dalam skripsi ini, saya akan mencoba menuliskan betapa pers memainkan peranan penting dalam proses penyemaian bibit kesadaran kebangsaan. Masalah ini saya angkat dengan mengambil latar masa kolonial dengan Medan Prijaji sebagai pers pada zaman tersebut. Ini saya lakukan bukan tanpa alasan. Pertama, mengapa masa kolonial, sebab ini akan membantu kita untuk menemukan akar genealogis proses lahirnya kesadaran kebangsaan. Kedua, mengapa pers, sebab selama ini ketika berbicara masalah kebangkitan kesadaran kebangsaan, fokus pembicaraan selalu ditujukan pada satu nama, Boedi Oetomo. Pandangan tersebut seolah memberi kesan bahwa organisasi modern yang masih berwatak Jawa

4 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra,1985) h. 68 dan 146

5

Sentris tersebut adalah satu-satunya pemberi sumbangsih atas bangkitnya kesadaran kebangsaan.

Meskipun belakangan banyak lahir pandangan berbeda perihal siapa bidan yang membantu proses lahirnya kesadaran kebangsaan semisal tesis yang diajukan

M.C. Ricklefs bahwa tonggak kebangkitan nasional bukanlah Boedi Oetomo, melainkan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan pada 4 Juli 1927 oleh

Bung Karno.5 Pendapat lain lagi datang dari Ahmad Syafii Maarif. Beliau seolah berupaya mencarikan jalan tengah perihal momen kelahiran kebangkitan nasional atau kesadaran kebangsaan. Jalan tengah itu adalah dengan mengusung hari

Sumpah Pemuda.6 Ini tentu bari sebagian pandangan, sebab ada berbagai pendapat lain yang akan lahir berdasar pada latar cara pandang golongan atau orang yang memberi pandangan. Kelompok Islam sentris misalnya pasti akan mengusung

Sarekat Islam sebagai tonggak kebangkitan nasional. Mengenai hal ini akan saya bahas pada bab II dari karya tulis ini dalam bagian nasionalisme. Termasuk pada bagian itu pula saya akan jelaskan mengapa pada bagian-bagian awal saya memberi tanda kutip pada kata nasionalisme.

Namun demikian, bersamaan dengan beragamnya pandangan tersebut di atas, agaknya peran pers tetap tak mendapat perhatian, atau bahkan tak begitu dianggap keberadaannya. Padahal sejatinya daya tohok sebuah berita bisa merogoh jantung penguasa. Sebagaimana digambarkan dalam terbitan Pertja

Selatan, sebuah suratkabar yang pada generasi setelah Medan Prijaji melakukan

5 M.C. Ricklefs, Kebangkitan Nasional dan Kebangkitan Nasionalisme dalam Jurnal MAARIF vol.3. No. 2 edisi Mei 2008, h.4 6 Ahmad Syafii Maarif, Jelang 80 Tahun Kebangkitan Nasional dalam Jurnal MAARIF vol.3. No. 2 edisi Mei 2008, h.11

6

perlawanan terhadap kolonialisme, bahwa ”journalist ada satoe toekang gembreng, satoe censor, satoe adviseur, satoe regert dari keradjaan, satoe pendjaga dari kebangsaan. Soerat kabar jang mardika ada lebih ditakoetin daripada seriboe bajonet jang tadjem.” 7 Pun demikian halnya dengan Medan

Prijaji, surat kabar pribumi pertama dengan kesadaran politik yang dibidani oleh

R.M. Tirtoadhisoerjo ini benar-benar seperti lambangnya, seorang ksatria memanah. Medan Prijaji ibarat busur yang melejitkan anak panah pemikiran kritis ke arah jantung „bangsa jang memrentah‟ dan kroni-kroninya hingga mereka muntah darah.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Pembahasan seputar kesadaran kebangsaan atau nasionalisme merupakan tema yang sangat luas dan dapat didekati dari berbagai sisi, demikian pula halnya dengan tema seputar pers yang dapat diamati dari berbagai sudut. Terlebih ketika keduanya disandingkan menjadi pasangan tema dalam sebuah karya tulis ilmiah, tak terbayangkan betapa berlimpahnya aspek yang dapat disajikan.

Namun demikian, dengan segala keterbatasan yang menyelimuti saya sebagai seorang mahasiswa program sarjana strata satu, dan untuk memudahkan saya dalam menggembala sekawanan ide liar di tengah luasnya tema tersebut, maka dalam skripisi ini, saya mencoba membatasi masalah pada kesadaran kebangsaan atau nasionalisme Indonesia (pada masa itu istilah „Indonesia‟ sendiri belum lahir) yang kesadaran awalnya dibangkitkan oleh pers bumiputera bernama

7 Basilus Triharyanto, Pers Perlawanan; Politik Anti Kolonialisme Pertja Selatan (Yogyakarta: LKIS, 2009) h. xvi

7

Medan Prijaji. Dan untuk mempermudah, maka saya merumuskannya ke dalam format pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah gagasan kesadaran kebangsaan terdapat dalam Medan

Prijaji?

2. Bagaimana kesadaran kebangsaan ditemukan dalam Medan Prijaji?

C. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini ditujukan untuk memperkaya sudut pandang

mengenai proses kelahiran kesadaran kebangsaan atau momen

kebangkitan nasional yang selama ini didominasi oleh perspektif

gerakan organisasi moderen-sentris.

2. Penulis berharap hasil penelitian ini berguna bagi peminat studi

yang berkenaan dengan tema penelitian dan menambah referensi

mengingat terbatasnya referensi seputar tema penelitian ini.

D. Tinjauan Pustaka

Studi atau penelitian tentang bagaimana pers memainkan peran aktif dalam

upaya menyemai bibit kesadaran kebangsaan memang belum seramai tema

lainnya. Terlebih di Indonesia, penelitian yang memfokuskan diri pada

bagaimana peran pers dalam menanamkan dan sekaligus menyulut kesadaran

kebangsaan belum banyak dijumpai. Mengenai keterbatasan ini, saya alami

langsung dari betapa sulitnya mencari literatur berkenaan dengan tema

tersebut. Beruntung saya bertemu dengan karya Pramoedya Ananta Toer,

„Sang Pemula’ yang pada akhirnya membawa saya jauh masuk pada studi ini.

8

Karya ini terbilang kuat sebab ia menyandarkan analisisnya pada sumber

primer. Di dalamnya, sang penulis mencoba menuturkan sepak terjang Medan

Prijaji dengan merekam jejak langkah sang empunya, R.M. Tirtoadhosoerjo

yang pada saat kesadaran politiknya menjadi matang maka ia menjadikan

terbitannya sebagai pers yang berpolitik.

Karya lain yang juga komprehensif dan memiliki cakupan lebih luas

datang dari negeri Jiran. Sebuah buku yang sejatinya merupakan desertasi

doktoral Ahmat Adam berjudul „Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan

Kesadaran Keindonesiaan‟ juga memberikan gambaran jelas bagaimana

perjalanan panjang pers di Hindia Belanda, dari mulai berada di tangan bangsa

Eropa, Tionghoa, hingga berada total dalam genggaman bumiputera yang pada

gilirannya memainkan peran sebagai motor gerakan penyadaran kesadaran

kebangsaan. Bakan dalam karya ini, Adam juga memberi suatu gambaran

betapa kesadaran kebangsaan kita juga muncul, salah satunya akibat dari

memanasnya kesadaran kebangsaan warga Tionghoa di tanah Nusantara.8

Adapun karya terkini berkenaan dengan karya seputar Medan Prijaji dan

Tirtoadhisoerjo adalah beberapa karya yang merupakan buah kerja keras

kawan-kawan peneliti muda di Yogyakarta di bawah koordinasi Muhidin M

Dahlan. Karya semisal Tanah Air Bahasa, memang hanya menampilkan

sepintas lalau profil Medan Prijaji dan Tirtoadhisoerjo, namun format yang

selayang pandang itu bukan berarti bahwa buku yang merupakan kumpulan

artikel ini miskin data. Hanya saja memang karya yang memuat kumpulan esai

8 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan ( Jakarta: Hasta Mitra, 2003) h. 209

9

singkat tersebut tak cukup memadai bagi kita yang ingin menyelam lebih

dalam. Karya lain yang menurut saya luarbiasa adalah sebuah buku berjudul

„Karya-Karya Lengkap Tirtoadhisoerjo; Pers Pergerakan dan Kebangsaan‟

yang merupakan hasil penyusunan ulang karya-karya Tirtoadhisoerjo baik

yang termuat dalam Medan Prijaji maupun terbitan lain. Kendati merupakan

kompilasi karya yang disusun dan ditulis ulang, namun apa yang dilakukan

penyusunnya, Iswara N Raditya, merupakan suatu yang meletihkan. Selain itu,

karya ini layak diapresiasi sebab membantu memudahkan kita yang ingin

meneliti seputar Medan Prijaji, Tirtoadhisoerjo, suratkabar lainnya atau yang

berkenaan dengan itu tanpa harus bergulat dengan sulitnya mencari naskah

asli yang sulit ditemukan.

Namun demikian, karya-karya tersebut umumnya merupakan karya

sejarah yang disajikan selayaknya karya historis. „Sang Pemula’ misalnya,

lebih menyoroti pada tokoh Tirtoadhisoerjo dalam berbagai aspek

kehidupannya, salah satunya di bidang pers. Meskipun dalam buku yang lebih

nampak sebagai sebuah biografi ini termuat pula karya fiksi dan non-fiksi dari

Tirtoadhisoerjo yang dimuat dalam terbitan-terbitan, namun Pramoedya

Ananta Toer tidak fokus pada pembahasan seputar Medan Prijaji saja.9 Karya

lain semisal „Karya-Karya Lengkap Tirtoadhisoerjo; Pers Pergerakan dan

Kebangsaan‟ yang ditulis Iswara N Raditya pun bernafas sama, sejarah.

Sejatinya, karya ini lebih merupakan sebuah upaya penyelamatan naskah

9 Dalam Sang Pemula, khususnya pada bagian yang menerangkan kiprah Tirtoadhisoerjo di bidang pers, Pramoedya tidak terfokus hanya pada Medan Prijaji, namun lebih kepada menyoroti jejak langkah Tirtoadhisoerjo sebagai seorang jurnalis di beberapa media semisal Pemberita Betawi yang di kepalai oleh seorang hoofdredactuur atau pemimpin redaksi asing, hingga akhirnya ia memiliki terbitannya sendiri. Lih. Pramoedya ananta Toer. Sang Pemula. Bagian I. Bab II (Jakarta: Hasta Mitra, 1985)

10

bersejarah yang disusun ulang ke dalam format buku. Dan karenanya kita

tidak bisa menuntut banyak tentang analisis seputar peran politik Medan

Prijaji di dalamnya. Kemudian karya Ahmat Adam „Sejarah Awal Pers dan

Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan‟ pun lebih fokus pada sudut pandang

historis, meskipun sebagai sebuah karya desertasi doktoral tentunya

menyiratkan banyak analisis. Karya-karya lain yang bertebaran seputar sejarah

pers pergerakan pun hanya memuat sepintas lalu tentang Medan Prijaji dan

kiprahnya. Ini membuat saya tertantang untuk menuliskan sebuah karya utuh

yang membahas peran Medan Prijaji dalam melawan laku kesewenangan dari

penguasa. Dan sebuah motivasi datang dari karya Basilus Triharyanto „Pers

Perlawanan‟ yang membahas secara utuh sepak terjang koran Pertja Selatan

di Palembang dalam menghadapi kolonialisme. Hingga akhirnya saya semakin

yakin dan optimis bahwa penulisan tentang kiprah Medan Prijaji dalam

menumbuhkan rasa kebangsaan ini harus terwujud.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian untuk kepentingan penulisan karya tulis ilmiah atau skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif berbasis pada kepustakaan dengan pendekatan deskriptif analitik, yakni dengan memberi pemaparan umum menyengkut nasionalisme serta analisis lebih fokus pada

Suratkabar Medan Prijaji. Dan sebagai faktor penting dari proses penelitian tersebut, tentu diperlukan data yang saya peroleh dari dua tipe data, yakni primer

11

dan sekunder.10 Data primer merupakan data yang saya peroleh berupa terbitan

Medan Prijaji tahun ke III. 1909. Sedangkan data sekunder merupakan data pendukung yang saya ambil dari berbagai sumber semisal buku, jurnal, majalah, koran, video yang berisi wawancara ataupun sumber lain yang berkaitan dengan topik penelitian.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari beberapa bagian. Bab I. Merupakan bab awal yang membahas tentang latar belakang masalah yang diteliti, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, serta sistematika penulisan. Sedangkan pada bab berikutnya, bab II, memuat bahasan seputar landasan teori yang menjelaskan mengenai apa itu pers, bagaimana peran pers dalam membangun opini publik, apa itu nasionalisme, dan akhirnya bagaimana gambaran nasionalisme dalam pers yang banyak merujuk pada

Benedict Anderson.

Pada bagian selanjutnya, yakni bab III, akan memuat mengenai latar historis yang menjelaskan cikal bakal kelahiran nasionalisme yang dibidani oleh pers dengan menggambarkan geliat pers di nusantara beserta coraknya masing- masing, dari yang komersil sampai ideologis, dari yang agamis, kesukuan, hingga berwatak nasional. Pada bab ini pula dimuat sosok Tirtoadhisoerjo, sang pelopor pers kebangsaan yang tak bisa dilepaskan dari pembahasan. Dan pada bab IV akan ditampilkan bagaimana Medan Prijaji memainkan peran dalam menumbuhkan sentimen kebangsaan. Pada bab ini termuat betapa Medan Prijaji memuat artikel-

10 Tim Penyusun Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009 (Jakarta: Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN, 2009) h.466.

12

artikel tajam yang menyerang laku semena-mena penguasa, istilah “bangsa jang memerentah” dan “bangsa jang terprentah” sebagai penegasan identitas nasional sebuah bangsa, lingua franca sebagai bahasa operasional pers dan identitas bangsa, serta akhirnya bagaimana Medan Prijaji memberi pengaruh terhadap kemunculan kaum nasionalis revolusioner. Terakhir, bab V merupakan bagian penutup yang memuat kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka.

BAB II

LANDASAN TEORI

Studi nasionalisme memiliki keunikan dan kerumitannya sendiri. Oleh karenanya, banyak disiplin ilmu lain yang kerap „turun tangan‟ dalam membahas tema ini. Sebut saja pendekatan pscakolonial yang di dalamnya juga didapati beragam analisis seperti linguistik, semiotik dan pers. Pada bagian ini saya tidak akan berkutat pada pendekatan pascakolonial yang menurut beberapa tokohnya sendiri, problematis. Tetapi saya akan membahas nasionalisme melalui salah satu aspek pembentuknya saja, pers. Namun demikian, sebelum masuk pada pembahasan menyangkut pers dan kaitannya dengan nasionalisme, terlebih dahulu saya akan paparkan sedikit mengenai bangsa dan kebangsaan.

A. Pengertian Nasion dan Nasionalisme

Sebelum masuk pada pembahasan Nasionalisme, maka terlebih dahulu saya akan berikan sedikit gambaran tentang apa itu bangsa. Sebab ini akan sangat berkaitan meskipun pada akhirnya tidak tertutup kemungkinan pembahasan

„bangsa‟ terselip di tengah pembahasan nasionalisme. Pembahasan mengenai bangsa juga menjadi penting sebab mau atau tidak, cepat atau lambat, kita akan bertemu dengan pembahasan tentang yang mana melahirkan yang mana, apakah bangsa melahirkan nasionalisme atau sebaliknya, nasionalisme (dalam kapasitasnya sebagai kesadaran kebangsaan, atau lebih tepatnya nationalitas) melahirkan bangsa.

Dalam pandangan teoritikus seperti Anthony D Smith, „bangsa‟ merupakan istilah yang paling problematik dan kerap mengundang perdebatan.

13

14

Mengenai hal ini, Charles Tilly menyebutnya sebagai salah satu hal yang paling menimbulkan teka-teki dan tendensius dalam kamus politik. 1 Upaya mendefinisikan istilah bangsa memang tak semudah melafalkannya. Berbagai definisi coba ditawarkan oleh teoritisi mulai dari definisi objektif yang menekankan aspek bahasa, wilayah, dan sebagainya hingga definisi subjektif yang lebih menekankan aspek sikap, sentimen dan persepsi.

Definisi objektif dapat kita ambil dari contoh pengertian yang datang dari

Joseph Stalin yang mengatakan bahwa sebuah bangsa terbentuk secara historis yang merupakan komunitas rakyat stabil yang terbentuk dengan dasar kesamaan bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi, serta keadaan psikologis yang terwujud dalam budaya bersama. Sedangkan definisi subjektif dapat kita ambil dari

Benedict Anderson yang berpandangan bahwa bangsa adalah suatu komunitas politik yang dibayangkan.2

Dalam karya berjudul Nationalism a Very Short Introduction, Grosby menuliskan:

“The nation is a territorial community of nativity...... It differs from other territorial societies such as a tribe, city-state, or various „ethnic groups‟ not merely by the greater extent of its territory, but also because of its relatively uniform culture that provides stability, that is, continuation over time.”3

Meskipun Grosby menengarai definisi tersebut sebagai suatu pengertian yang agak rumit meskipun pada gilirannya ia memberikan titik cerah bernama kesadaran kolektif yang mendasari sebuah bangsa. Namun dari kutipan tersebut

1 Anthony D Smith, Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah (Jakarta: Erlangga,2002)h. 12 2 Benedict Anderson, Imagined Communities, (Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2008) h. 8 3 “Bangsa adalah sebuah komunitas teritorial... ini berbeda dari masyarakat teritorial lainnya seperti suku, negara kota, atau berbagai kelompok etnik tidak hanya berdasar pada luas teritori lebih besar, tapi juga karena kebudayaan yang relatif seragam yang memberikan stabilitas, karenanya, berkelanjutan sepanjang waktu”. lihat Steven Grosby, Nationalism A Very Short Introduction. (Oxford, 2005) h. 7 15

setidaknya kita memperoleh ilustrasi awal bahwa apa yang disebut bangsa merupakan suatu yang berbeda dari sekadar suku atau etnik yang berkelompok dalam sebuah komunitas. ini menjadi penting untuk digarisbawahi meski pada gilirannya kita akan mendapati betapa sejarah nasionalisme Eropa menjadi demikian rumit oleh sebab tumpang tindih antara bangsa dan ras.

Dalam sebuah bab mengenai nasionalisme, Lathrop Stoddard menuliskan bahwa istilah bangsa dan ras kerap digunakan seenaknya dan oleh karenanya menciptakan kebingungan. 4 Ketumpangtindihan ini, dalam pandangan Smith, merupakan akibat yang tak terhindarkan sebab bangsa dan komunitas lainnya

(seperti etnik atau ras) sama-sama merupakan bagian dari kelompok fenomena yang sama. Hanya saja bangsa bukan merupakan komunitas etnik oleh karena apa yang saya sebut terakhir tidak memiliki rujukan politik.5

Namun Smith menggarisbawahi bahwa dalam praktiknya, tidak ada garis tegas yang membatasi antara bangsa dan komunitas etnik, terlebih jika melihat pada definisi David Miler yang mengartikan bangsa secara sangat berdekatan dengan komunitas etnik. Menurutnya, bangsa merupakan suatu komunitas yang terbentuk dari keyakinan bersama dan komitmen saling menguntungkan, memiliki latar sejarah, berkarakter aktif, berhubungan dengan wilayah tertentu, dan dibedakan dari komunitas lain melalui budaya publiknya yang khas.6

Sementara menurut Stoddard, perbedaan antara bangsa dan ras sangatlah jelas. Bangsa merupakan suatu pengertian yang berlandaskan pada keadaan psikologis, sebuah gagasan. Sedangkan ras lebih bersifat jasmaniah yang dapat

4 Lathrop Stoddard, Dunia Baru Islam, (Jakarta: Panitia Penerbitan, 1966) h. 138 5 Anthony D Smith, Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah h. 14 6 Anthony, Nasionalisme...., h. 15 16

ditentukan oleh ciri fisik.7 Nah, berangkat dari pengertian bangsa tersebut, maka kita akan sampai pada suatu pemahaman bahwa bangsa dilahirkan oleh sebuah keadaan jiwa (sate of mind) yang menuntun seseorang atau sekelompok orang untuk hidup bersama dalam semacam ikatan persaudaraan suci. Rasa kebangsaan atau kesadaran kebangsaan inilah yang pada akhirnya kita kenal dengan gagasan kebangsaan atau „nasionalisme‟.

Lantas bagaimana dengan pertanyaan mengapa sekelompok orang yang sudah memiliki kemapanan identitas sebagai sebuah ras, etnik atau suku yang merupakan realitas nyata harus membangun ulang identitas baru yang masih berjarak dengan diri mereka. Identitas bernama bangsa itu saya katakan berjarak sebab memang ia belum hadir bersama kelompok manusia yang berkumpul di bawah naungan identitas suku atau etnis tertentu. Dalam bahasa yang juga kerap dikutip orang, Bennedict Anderson bahkan menyebutnya masih dalam pembayangan.

Namun tentu bukan sekadar lamunan, melainkan pembayangan yang mampu melahirkan pentas drama ke “kita” an dengan segala keterikatan yang menggugah, sekaligus kolosal.8 Tentu istilah bangsa yang lahir dari pembayangan kembali mengundang perdebatan akibat ragam penafsiran atas istilah tersebut.

Namun pada bab empat kita akan coba membincang hal tersebut, bahwa masih dalam upaya „pembayangan‟, Tirtoadhisoerjo tidak memetik gagasan kebangsaan dari langit, namun memungutinya dari bumi.

7 Lathrop, Dunia Baru Islam. h. 138 8 Benedict Anderson, Imagined Communities, h. 11 17

Dan mengenai mengapa sekelompok orang memilih untuk beralih pada indentitas baru bernama bangsa, tidak lain adalah karena mereka merasa bahwa identitas lamanya tidak lagi menawarkan sesuatu di tengah dialektika sejarah dan persentuhan mereka dengan realitas sosial politik yang terus bergulir sejurus waktu. Dalam kasus Indonesia, kita bisa melihat bahwa pada mulanya bangsa ini belum ada dan masih merupakan komunitas-komunitas etnik yang terpencar dan tak terhubung dalam sebuah gulungan pola komunikasi sebagaimana saat ini kita dapat beroleh informasi tentang apa yang menimpa saudara kita di Jogja dan daerah lain dalam hitungan detik.

Mengenai hal ini, lebih lanjut akan kita bahas pada bagian berikut di mana suratkabar memainkan peran melipat jarak dan oleh karenanya sebuah bangsa memiliki peluang untuk dihadirkan dalam apa yang disebut Anderson dengan

„pembayangan‟. Pun demikian halnya dengan bab empat yang akan mempertajam pembayangan tersebut melalui teks yang menghadirkan kontradiksi antara bangsa

„jang terprentah‟ dengan bangsa „jang memerentah‟.

Sekali lagi, jawaban atas pertanyaan mengapa sekelompok manusia mau hidup bersama di bawah naungan baru bernama bangsa juga tak luput dari pantauan seorang teoritikus Marxis, E. J. Hobsbawm. Dalam catatnnya,

Hobsbawm menggarisbawahi bahwa di antara alasan yang menjadikan sebab mengapa sekelompok orang mau menjadi Bangsa adalah juga sama sebagaimana pandangan umum, yakni pada adanya rasa kesamaan pada beberapa aspek semisal bahasa, kebudayaan, teritori, atau kesukuan. 9 Namun sebagaimana juga dirasa

9 E. J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992) h. 5 18

Hobsbawm, saya melihat bahwa kriteria ini tak selamanya cocok dalam beberapa hal. Utamanya dalam hal dasar kesukuan. Saya khawatir bahwa aspek ini memiliki kecenderungan untuk mengantarkan kita pada apa yang disebut Stoddard sebagai pseudo rasial pada pengalaman Eropa.10

Sedangkan pembahasan mengenai bahasa sebagai salah satu instrumen bangsa akan kita temukan pada bab empat yang akan menjelaskan peran media dalam memediasi linguafranca sebagai identitas budaya dan politik sebuah bangsa sekaligus sarana mengkonstruk realitas baru bernama bangsa itu sendiri di kepala para pembacanya. Sedangkan aspek lain yang juga perlu mendapat catatan adalah mengenai wilayah.

Tentu kita sepakat bahwa apa yang kita sebut dengan nasional bukan hanya melulu manusia sebagai entitas bangsa, melainkan juga wilayah. Namun patut kiranya dicatat mengenai keberadaan di mana seorang atau kelompok berdiam di “luar” teritori nasional. Masih mengutip Hobsbawm bahwa

„nasionalitas‟ juga berhak dilekatkan pada seseorang di mana pun ia tinggal.11

Ada sebuah contoh mengenai hal ini dalam sejarah kebangsaan kita. Pada polemik kebangkitan nasional, kerap kali kita dihadapkan pada perdebatan pelik yang salah satu nadanya adalah penolakan terhadap mereka yang berada di luar wilayah Nusantara. Namun pada saat yang sama juga kita tak dapat memungkiri bahwa apa yang dilakukan sekelompok pelajar atau mahasiswa bumiputera di negeri Belanda dalam sebuah kelompok bernama Indische Vereeniging atau kelak

10 Lathrop, Dunia Baru Islam, h. 141 11 Hobsbawm, Nasionalisme... h. 7 19

berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1922, juga memberikan sumbangan berarti bagi gerakan kesadaran kebangsaan.12

Boleh jadi cara pandang ini juga yang mendasari pemikiran Syafii Maarif untuk mengatakan bahwa organisasi yang pada gilirannya melahirkan sosok seperi

Hatta, Sjahrir, dan sebagainya ini merupakan salah satu tonggak kebangkitan nasional.13 Ini sekaligus merupakan suatu contoh betapa keberadaan seorang dari kelompok bernama bangsa itu bukan menjadi masalah sebagaimana juga pandangan ini dilontarkan para Marxis Austria.14

Sekarang kita masuk pada pembahasan nasionalisme. Sebagai sebuah pokok bahasan, nasionalisme memang cukup rumit dan memiliki keunikannya sendiri. Pembahasannya pun menjadi tidak sesederhana ideologi lain semisal sosialisme, komunisme, liberalisme, dan sebagainya. Oleh karena ketidakmudahan mengurai tema ini maka pada bagian awal saya kerap menggunakan tanda kutip pada kata nasionalisme. Ini memang sengaja saya lakukan dengan maksud menekankan bahwa hal tersebut masih multi makna dan akan saya bahas pada bagian ini.

Perdebatan demi perdebatan pasti akan kita jumpai dalam tema ini dan kalau toh ada kesepakatan mengenai istilah nasionalisme, sebagaimana ditulis

Anthony D Smith, itu mengenai kesamaan pandangan mengenai nasionalisme sebagai sebuah istilah modern. Sejarah nasionalisme memang tak bisa dilepaskan dari akar kelahirannya, Eropa. Masih dalam catatan Smith bahwa istilah

12 M.C. Ricklefs, Kebangkitan Nasional dan Kebangkitan Nasionalisme dalam Jurnal MAARIF vol.3. No.2, edisi Mei 2008, h. 8 13 Ahmad Syafii Maarif, Jelang 80 Tahun Kebangkitan Nasional dalam Jurnal MAARIF vol.3. No.2, edisi Mei 2008, h. 11 14 Hobsbawm, Nasionalisme... h. 7 20

nasionalisme dalam konteks sosial politik merujuk pada dua nama, yakni filsuf

Jerman Johann Gottfried Herder dan seorang biarawan kontra-revolusioner

Perancis, Uskup Augustin de Barruel. Menurut Smith pada mulanya, sekitar tahun

1836, istilah nasionalisme hadir dalam bahasa Inggris berkenaan dengan doktrin teologis yang mengatakan bahwa ada bangsa tertentu yang merupakan bangsa pilihan Tuhan.15

Namun dalam catatan Lathrop Stoddard, alih-alih mengusung rasa kebangsaan sebagai satu kesatuan entitas bangsa, sejarah nasionalisme Eropa justeru sarat dengan muatan rasial. Ini tampak dari pemahaman mereka mengenai nasionalisme atau rasa kebangsaan yang pada umumnya merujuk pada apa yang disebut Stoddard dengan persamaan dan kesatuan kebudayaan, bahasa, dan sejarah. 16 Namun landasan kesamaan tersebut masih merujuk pada dasar ras apakah itu Slavia, Latin, Anglosakson, Teuton dan semacamnya. Masih menurut

Stoddard bahwa pada mulanya ide kebangsaan berpangkal pada cara pandang yang picik dari abad pertengahan yang menyandarkan sebab perbedaan antara bangsa dengan batasan geografis, feodal, serta perbedaan logat bahasa. Namun pada paruh pertama dari abad 19 pandangan tersebut kian meluas.

Dengan berkembangnya paham atau gagasan kebangsaan ini, maka gagasan awal mulai ditinggalkan. Stoddard mencatat bahwa pada masa inilah nasionalisme hampir-hampir dimaknai meliputi semua yang sedarah seketurunan oleh ikatan bahasa, budaya, dan sejarah, meskipun mereka sangat berjauhan.17

15 Anthony, Nasionalisme.... h. 6 16 Lathrop, Dunia Baru Islam h. 140 17 Lathrop, Dunia Baru..... h. 140 21

Namun demikian, ini menunjukkan kepada kita bahwa dalam sejarah nasionalisme Eropa, terjadi tumpang tindih antara kesadaran kebangsaan dengan semangat kejayaan ras. Ini akan tampak jelas ketika pada akhirnya sejarah menunjukkan pada kita bahwa nasionalisme Eropa sebagaimana kita bahas tadi mengalami metamorfosa dan segera menjadi paseudo rasial (meminjam istilah

Stoddard) dengan diusungnya panji-panji “Pan Jermania”, “Pan slavia”, “Pan

Britania”, “Pan Latinia”, dan sebagainya.18

Kendati demikian, sebagaimana telah saya tuliskan di atas, bahwa permasalahan tumpang tindihnya pemahaman antara nasionalisme dengan pandangan rasial dapat dihindari ketika kita tidak tumpang tindih dalam memahami antara bangsa dengan ras. Bahwa yang saya sebut pertama lebih merupakan suatu yang berdasar pada keadaan psikologis sedangkan yang kedua adalah keadaan jasmaniah yang ditandai dengan ciri fisik.

Maka berdasar pada pemahaman ini kita akan mendapati bahwa nasionalisme sejatinya merupakan suatu keadaan jiwa, suatu keyakinan sejumlah besar manusia untuk bersatu dan hidup bersama sebagai satu kesatuan sebagai sebuah entitas bangsa.19

Sebuah tawaran mengenai penggunaan istilah nasionalisme datang dari

Anthony D Smith. Melalui definisi yang disodorkan Smith, kita dapat memetik pandangan yang melihat nasionalisme setidaknya dalam lima sudut. Pertama,

Smith mengajak kita untuk melihat nasionalisme sebagai sebuah proses pertumbuhan atau pembentukan bangsa. Kedua, ia memandang nasionalisme

18 Lathrop, Dunia Baru ..... h. 141 19 Lathrop, Dunia Baru..... h. 137 22

sebagai sentimen atau kesadaran memiliki bangsa. Ketiga, Smith menyorotinya sebagai anasir yang memuat peran penting bahasa dan simbolisme bangsa.

Keempat, ia memandangnya sebagai sebuah gerakan sosial politik yang ditujukan demi bangsa. Dan terakhir, ia mengartikannya sebagai sebuah doktrin dan atau ideologi bangsa dalam artian umum maupun khusus.

Ada sebuah poin yang mesti digarisbawahi menyangkut pengertian kedua, yakni sentimen atau kesadaran. Hal ini penting sebab merupakan kata kunci pembahasan kita sekaligus menjadi alasan mengapa pada bagian awal tuisan ini, saya menghindar sejak dini dari penggunaan istilah nasionalisme dan kalau toh terpaksa maka saya menulisnya dalam tanda kutip. Mengenai pengertian kedua ini, Smith memberi catatan khusus sebab sentimen kebangsaan seseorang tidak serta merta membuat ia terlibat dalam gerakan nasionalis.20 Agak aneh terdengar memang, tapi itulah faktanya menurut Smith. Dan secara tidak langsung, penjelasan ini juga membantu menerangkan mengapa saya memilih istilah kesadaran kebangsaan atau kita bisa menyebutnya proto nasionalisme. Sebab istilah nasionalisme lebih cenderung mengarah pada konotasi ideologis yang mapan dan tersistematisasi dan terlanjur dimaknai sebagai ideologi politik sebuah partai dan semacamnya.

Kendati demikian, kita tak perlu terlalu dipusingkan dengan istilah tersebut ketika kita tahu bahwa ada fase di mana kesadaran kebangsaan atau nasionalisme berjalan pada tahapan-tahapan yang selaras dengan laju sejarah terbentuknya bangsa. Sebagai kesadaran kebangsaan, kita melihat nasionalisme mula-mula atau proto nasionalisme tak ubahnya fase penyemaian benih-benih sebuah bangsa

20 Anthony, Nasionalisme.... h. 7 23

sebagaimana dilakukan Tirtoadhisoerjo dengan suratkabarnya, Medan Prijaji.

Berikutnya, nasionalisme berkembang menjadi sebuah semangat gerakan pembebasan sampai pada upaya pembentukan sebuah negara, dan setelah itu kita bertemu dengan nasionalisme yang telah bermetamorfosa menjadi ideologi politik partai dan semacamnya dalam konstelasi politik yang sudah berbeda dengan tahap awal penyemaian benih-benih tadi.

Melalui ilustrasi tersebut, saya rasa kita tak akan terlilit kepeningan yang lahir dari istilah nasionalisme. Sebuah tawaran yang datang dari Ben anderson agaknya akan makin memperjelas mengenai bagaimana semestinya kita memandang nasionalisme. Dalam pandangan Anderson, kerumitan yang selama ini terjadi ialah akibat dari pemahaman kita yang terlanjur mencatat Nasionalisme dengan “N” kapital. Sehingga konsekuensi logisnya, ia akan cenderung dimaknai sejajar dengan Marxisme atau Liberalisme. Masih menurut Anderson, jika saja kita melihat nasionalisme dengan “n” kecil, maka hal itu tidak akan teradi dan oleh karenanya tak akan ada kerumitan. Ini juga sekaligus mengantarkan kita untuk meletakkan nasionalisme menjadi sesuatu yang berbagi ruang dengan agama atau kekerabatan, bukan dengan Isme-isme lain. 21 Pengertian yang ditawarkan Anderson ini akan membantu kita dalam melihat nasionalisme dalam kaitannya dengan proses awal, yakni penyemaian benih kesadaran kebangsaan yang dimainkan salah satunya oleh media, dalam hal ini Medan Prijaji.

Setelah jernih dengan penjelasan di atas, saya akan kembali mengajak kita semua untuk bersentuhan dengan Smith. ia mencatat bahwa ada yang disebut dengan definisi kerja nasionalisme yang diartikan sebagai suatu gerakan ideologis

21 Benedict Anderson, Imagined Communities, h.8 24

guna mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas sebuah kelompok dengan sejumlah anggota yang memiliki kebulatan tekad untuk membentuk bangsa.22 Ia juga mencatat bahwa di negara-negara pascakolonial di kawasan Afrika dan Asia, tentu negara kita termasuk di dalamnya, nasionalisme tidak berhenti atau terbatas hanya pada sasaran politik, tapi juga menyangkut identitas nasional terutama berkenaan dengan masalah budaya.

Ia menambahkan bahwa setiap nasionalisme mengejar sasaran identitas nasional ini dalam tingkatan berbeda-beda, namun akan kembali pada ideal bangsa tersebut.23 Dalam kasus Indonesia, pembahasan-pembahasan lanjut akan mengantarkan pembaca untuk sampai pada apa sebenarnya ideal daripada Bangsa yang juga sekaligus menjelaskan pada kita watak nasionalisme kita. Dan tentunya, bagaimana kesadaran kebangsaan itu disemai melalui peran penting surat kabar yang tak hanya menjadi kontra opini penguasa, tapi juga mengkonstruksi gagasan bangsa.

B. Peran Pers sebagai Kontra Opini Kolonial

Dalam kajian sosiologi politik dan atau komunikasi politik, kita akan bertemu dengan pembahasan seputar bagaimana pers memainkan peran dalam mengkonstruk opini publik. Namun demikian, terlebih dahulu kita akan sepakati bahwa apa yang kita sebut dengan pers adalah media yang dicetak. Istilah ini dapat kita tarik dari dua akar bahasa, yakni Belanda dan Inggris. Dalam bahasa

Inggris kita kerap menemuinya dalam kata „Press‟ sedangkan dalam bahasa

Belanda pers ditulis apa adanya dengan „pers‟. Namun keduanya memiliki arti

22 Anthony, Nasionalisme..... h. 11 23 Anthony , Nasionalisme..... h. 12 25

yang sama, yakni media yang dicetak dengan cara dipres atau ditekan. Tentu istilah dengan definisi ini akan mengantarkan kita pada betapa sempitnya ruang makna pers mengingat kemajuan teknologi mutakhir.

Benar bahwa pada gilirannya, pemaknaan pers tidak dibatasi hanya pada lingkup media cetak saja, namun termasuk di dalamnya media lain semisal radio, televisi, dan media online. Mengenai pengertian yang mengalami perluasan makna ini kita dapat mengambil perumpamaan dari kegiatan “Press Conference” di mana yang hadir bukan hanya para jurnalis cetak melainkan juga radio, televisi, atau dunia maya. 24 Namun demikian berkenaan dengan pembahasan kita mengenai suratkabar, maka apa yang saya maksudkan dengan pers di sini tak lain adalah dalam pengertiannya yang semula, media cetak. Dalam keterbatasan ruang ini, saya juga tidak akan mengajak kita semua untuk masuk pada perdebatan istilah yang tak jauh dari pers, yakni publisistik dan jurnalistik, sebab pada akhirnya kesemuanya itu bermuara pada suatu proses pengemasan dan pendistribusian informasi kepada orang banyak.

Oleh karena perannya sebagai pengawal opini publik, maka pers memiliki peran penting yang juga sekaligus merupakan tanggung jawab moral yang dipikul di pundaknya. Dalam pandangan Magnis Suseno misalnya, dikatakan bahwa salah satu peran pers adalah mengawal kehidupan publik. Yakni dengan cara menyediakan terus menerus informasi kepada masyarakat banyak yang tidak hanya berupa apa yang ada, rekaman atas realitas objektif, tapi juga yang seharusnya, pengetahuan tentang bagaimana cara pemecahan masalah yang

24 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktik (Jakarta: Logos, 1999) h. 26 26

melingkupi realitas tersebut. Masih meminjam cara pandang Magnis, bahwa dalam kaitannya dengan alam kehidupan kolonialisme dan feodalisme, pers tidak hanya menjadi satu dari sekian penggali makam Kolonialisme, tapi juga mengubur feodalisme atau dalam istilah Magnis „feodalisme tradisional‟. Sebab feodalisme dapat tetap bertahan hidup dikarenakan tersumbatnya akal pikiran rakyat dari realitas objektif dan gagasan-gagasan pembaharuan.25

Masih menurut Romo yang juga profesor filsafat ini, ia melihat bahwa dalam menjalankan misinya yang mulia itu, maka pers harus dibekali dengan etika pers yang di dalamnya termuat setidaknya tiga aspek seperti tanggung jawab dalam menyajikan informasi, mengemukakan penilaian, dan sebagai pasar ide bagi seluruh masyarakat. Singkatnya, pers wajib untuk selalu menyajikan kebenaran seutuhnya sebagai sebuah kebenaran sebenar-benarnya. 26 Meskipun jika kita menyelam lebih dalam lagi, kita akan bertanya-tanya perihal ketelanjangan kebenaran dalam pers terkait dengan “Man behind the gun” baik dalam domain ideologis maupun ekonomi. Tentu kita tidak akan berpanjang lebar dalam pembahasan cara pandang ekonomi politik dalam menganalisa proses produksi sebuah berita. Namun patut digarisbawahi bahwa proses terbitnya suratkabar tidak hanya selesai di ruang rapat redaksi sebagaimana diyakini analisa organisasional, tapi ada beberapa hal yang patut diperhatikan semisal tangan- tangan gaib yang mengatur suratkabar dari balik tirai modal.27

Faktor ini juga yang pada gilirannya menentukan cara berpikir suratkabar yang bersangkutan atau dalam bahasa teknis kerap disebut dengan „framing‟ yang

25 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral (Jakarta: Gramedia, 1988) h. 120 26 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, h.122 27Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (Yogjakarta: LKIS, 2006) h.3-6 27

akan menggambarkan pijakan ideologis media tersebut. Hal ini menjadi penting diingat meskipun pada gilirannya kita akan disuguhi dengan mitos bernama cover both side yang mencitrakan seolah-olah suratkabar merupakan zona netral kepentingan. Ini menjadi agak kontradiktif mengingat apa peran framing sesungguhnya. Dan mengenai hal ini, ada pendapat menarik yang saya rasa masuk akal, terlebih ketika kita membawanya pada konteks era kolonialisme. Pendapat ini datang dari dalam bukunya Pers dan Massa, redaktur suratkabar Harian

Rakjat yang juga seniman ini mengatakan bahwa mustahil bagi suratkabar untuk bersikap netral atau tidak berpihak pada suatu golongan terlebih di zaman di mana pada saat itu penindasan dan penghisapan terjadi.28 Tentu ini juga menyangkut pembentukan opini publik yang diarahkan untuk kepentingan apa dan siapa.

Menjadi penting untuk diperhatikan bahwa pers memainkan peran dalam membentuk pendapat umum. Sebab hal ini bukan hanya berkenaan dengan sistem komunikasi an sich, tapi lebih dari itu, berpengaruh pada tatanan politik. Di negara-negara totaliter seperti Sovyet dan Jerman pada rezim Nazi misalnya, arus media massa diawasi demikian ketatnya sebab informasi yang hilir mudik di antara kepala rakyat harus „dikawal‟ demi menjaga stabilitas kekuasaan. Di

Jerman, di bawah rezim Nazi, ada suatu ketika di mana media massa mendapat pengawasan yang luar biasa ketat, hingga suratkabar menerima arahan pada tiap hari, mengenai apa yang harus mereka muat dan bagaimana mengemasnya.

Bahkan seorang editor harus dipastikan loyal pada kekuasaan, dan jika tidak, maka suratkabar itu akan mendapat tekanan atau penggantian staf. Namun demikian, kendati pola sistem komunikasi yang dikawal ketat ini mampu juga

28 Basilius Triharyanto, Pers Perlawanan; Politik Anti Kolonialisme.....hal. 8 28

mengawal opini publik, khususnya menyangkut penguasa, namun pengamat seperti William Shirer menyebutnya sebagai suatu penyajian dalam bentuk pemalsuan dan pemutarbalikan kenyataan selama bertahun-tahun yang melahirkan kesan tertentu dalam pikiran orang tentang „kebenaran‟ versi penguasa yang pada akhirnya, menyesatkan. 29

Menurut Rush dan Althoff, setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi pendapat umum: pertama, jumlah perlawanan untuk mengubah. Kedua, evaluasi sumber informasi. Mengenai kaitan hal ini dengan konteks yang penulis angkat sebagai tema kita kali ini, akan terlihat betapa pendapat umum seolah menjadi ruang tanding, arena perebutan pengaruh antara penguasa dengan elemen perlawanan, yakni kolonial dengan rakyat terjajah.

Saya katakan demikian, sebab suratkabar yang beredar selalu dicengkeram penguasa kolonial dengan aturan-aturan hukum seperti pengawasan oleh plaatselijk Bestuur, Officier Van Justitie, Algemeene Secretarie, dan Komissi

Batjaan, hingga menggunakan tangan kuasa politik yang memata-matai sebagaimana dilakukan oleh Adviseur Voor Indlandsche Zaken, yakni Penasihat urusan pribumi yang hakikatnya adalah intelijen Kolonial. 30 Dalam hal ini penjajah kolonial, untuk mengedarkan „kebenaran‟ versi mereka yang pada gilirannya harus dipercayai sebagai „kebenaran‟ tunggal bahwa tidak ada yang salah mengenai bumi Nusantara yang sedang berada di bawah pendudukan kolonial. Dan sebagai counter-opinion maka bertumbuhanlah suratkabar

29 Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: C.V. Rajawali, 1986) h. 270-271 30 Hilmar Farid, Kolonialisme dan Budaya dalam Jurnal Prisma 10 Oktober 1991 (Jakarta: LP3ES, 1991) h. 27, 32-33 29

berkesadaran yang di antaranya adalah Medan Prijaji, yang melek dengan keadaan tersebut dan mencoba mengidentifikasi bahwa terdapat kesalahan pada

„kebenaran‟ itu. Ini terjadi sebab dalam pandangan kaum pergerakan, produksi sumber bacaan semisal surat kabar adalah hal yang tidak terpisahkan dari pergerakan itu sendiri. Surat kabar adalah corong bagi opini orang atau golongan pergerakan yang dibagikan kepada khalayak luas agar tersiar kabar bahwa keadaan telah berubah menjadi lebih buruk, yakni menyangkut penghisapan yang kian menjadi-jadi.31

Namun demikian, tentu sebagaimana juga terjadi pada negara totaliter, pemerintah kolonial tidak tinggal diam dan segera melakukan upaya membungkam lisan pers yang melahirkan pendapat umum yang berbeda dari yang mereka ciptakan. Ini dilakukan dengan berbagai cara mulai dari upaya hukum persreglement dengan persdelict-nya, hingga stigma „Bacaan Liar‟ terhadap media massa yang mencoba melahirkan opini tandingan. Ini menjadi lumrah dalam perspektif logika kekuasaan sebab timbulnya suratkabar memungkinkan akses lebih luas bagi rakyat terjajah untuk memperoleh dan menciptakan wacana yang sebelumnya dikuasai segelintir orang saja. 32 Mungkin kemampuan suratkabar dalam memproduksi opini publik yang pada akhirnya bertendens pada pendapat umum yang melahirkan kesadaran melawan ini yang membuat orang segagah Napoleon harus mengatakan betapa ia lebih takut menghadapi tiga surat kabar ketimbang seribu bayonet.33

31 Razif, Bacaan Liar; Budaya dan Politik Pada Zaman Pergerakan (Geocities) h.1 32 Hilmar Farid, Kolonialisme dan Budaya.. h.30 33 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: Rajawali Press, 2010) h.129 30

Ketakutan penguasa menjadi kian beralasan sebab melalui suratkabar, pada gilirannya rakyat terjajah mampu mengangkat dagu mereka untuk memandang wajah kolonialisme. Dalam pandangan Ania Loomba, tidak ada perkataan manusia yang polos. Sebab kata-kata dapat dianalisis guna menangkap kesadaran sejarah. Maka kata-kata, gambaran, sebagaimana tentunya tercetak dalam suratkabar, menjadi fundamental untuk menganalisis proses sejarah seperti halnya kolonialisme. 34 Jika sebelum periode cetak, rakyat terjajah selalu mendengar dongeng pembangunan tanah koloni sembari menunduk takzim pada sang Kolonial. Maka setelah periode pers kebangsaan, mereka bukan hanya mampu mengangkat dagu dan memandang tuan kolonial, tapi juga berani bertutur tentang diri mereka sebagai rakyat terjajah.

C. Nasionalisme dalam Pers

Dalam pembahasan sebelumnya, kita telah bertemu pada pembahasan mengenai bangsa dan kesadaran kebangsaan di mana salah satu pilarnya adalah bahasa. Hal ini tentu akan sangat berkaitan erat dengan pembahasan seputar pers dengan salah satu bentuknya, surat kabar yang menjadi rumah bagi bahasa untuk pada gilirannya memainkan perannya sebagaimana akan dibahas pada bab empat.

Mengenai pembahasan bagaimana media cetak memainkan peran dalam perubahan, khususnya dalam hal ini menyangkut kesadaran kebangsaan, tentu kita tak bisa melupakan begitu saja sejarah yang terjadi di Jerman. Meski memiliki sandaran sebab mula atau katakanlah stimulus yang berbeda, namun hal ini tetap kita bicarakan setidaknya sebagai sebuah ilustrasi tentang bagaimana media cetak

34 Ania Loomba, Kolonialisme/Pacakolonialisme (Jogjakarta: Bentang, 2003) h. 49 31

memainkan peran dalam menimbulkan kesadaran kebangsaan. Dalam kasus

Jerman, kita akan melihat bahwa latar belakang dari lahirnya kesadaran kebangsaan adalah perlawanan terhadap Tahta Suci Vatikan. Namun tanpa harus masuk lebih jauh dalam perdebatan teologis antara keduanya (Paus Leo X dan

Martin Luther) kita tetap bisa menyaksikan bagaimana media cetak mampu menjadi rumah bagi usaha penyebaran kesadaran kebangsaan.

Dalam pengalaman Jerman, nasionalisme mula-mula tak bisa dilepaskan dari upaya penerjemahan Alkitab. Semua ini bermula dari perselisihan teologis yang ditabuh Luther pada 31 Oktober 1517 dengan “95 tesis Wittenberg” yang merupakan genderang perang bagi kekuasaan mutlak Vatikan. Serangan-serangan

Luther terhadap Curia Romana terkait pelanggaran terhadap Codex iuris cannonici yang berisi regula fidei dan termasuk juga di dalamnya mengenai

Indulgensia ternyata berbuah ketegangan serius.35 Vatikan mengancamnya dengan teguran keras melalui maklumat Exurge Domine yang mengutuknya sebagai seorang pembawa ajaran bidaah. Apa mau dikata, bahwa reaksi ini dapat dipandang sebagai suatu yang wajar mengingat kekhawatiran Vatikan mengenai kekuasaannya. Terlebih ketika aksi-aksi perlawanan Luther terhadap kuasa

Vatikan semakin bernada provokatif dengan aksi balasan membakar surat-surat dari Vatikan menjelang Natal 1520,36 benar-benar Natal kelabu bagi satu sisi dan

Natal penuh semangat pembaharuan bagi sisi lain.

35 Daniel Dhakidae, Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa sebagai Komunitas Komunitas Terbayang dalam Benedict Anderson, Imagined Communities (yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar,2008) h.xxii 36 Daniel Dhakidae, Memahami Rasa Kebangsaan.... h.xxiii 32

Blessing in disguise, orang Barat kerap menyebut keadaan dimana suatu musibah membuahkan keberuntungan di lain sisi pada saat bersamaan. Agaknya istilah ini juga berlaku dalam pengalaman Jerman, di mana konflik teologis yang dari sisi keagamaan boleh jadi dinilai sebagai suatu musibah namun menjadi berkah bagi aspek lain, lahirnya kesadaran kebangsaan. „Berkah‟ ini mulai bertumbuhan di sepanjang jalan pelarian Luther dengan upayanya menerjemahkan

Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman. Karena teramat indahnya karya terjemahan sang pembaharu itu, hingga menjadi awal dari geliat perkembangan bahasa Jerman dan karya sastra Jerman yang utuh sebagaimana dikatakan

Nietzsche bahwa karya Luther adalah mahakarya prosa Jerman.37

Pertanyaan boleh jadi timbul sebab terasa agak janggal ketika berbicara pers tiba-tiba contoh yang diangkat malah Injil. Namun sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa pengertian pers bukan hanya surat kabar, tapi sesuatu yang dicetak, itu sebabnya saya kerap gunakan istilah media cetak dalam contoh kasus Luther ini. Contoh lain adalah poster. Kita tahu bahwa reformasi teologi Luther berdampak pada lahirnya semangat kebebasan dalam menafsirkan

Alkitab. Dalam catatan Daniel Dhakidae disebutkan bahwa kemerdekaan dalam penafsiran memiliki dampak pada aspek lain yang pada gilirannya membuat

Jerman dilanda semangat “Frijheit”, kemerdekaan yang dicetak dan disebarkan dalam bentuk pamflet yang mampu menggerakkan kaum tani. Mengenai hal ini,

Dhakidae mengutip pernyataan Frederick Engels dalam “The Peasant War in

Germany” yang mengatakan bahwa Luther telah memberikan senjata luar biasa

37Daniel Dhakidae, Memahami Rasa Kebangsaan, h. xxv 33

kepada kaum pergerakan yang mampu menggerakkan kaum petani menentang para pangeran, bangsawan, dan rohaniwan.

Ini merupakan suatu gambaran betapa nasionalisme tahap awal muncul di

Jerman, Dakhidae menyebutnya sebagai suatu “titik awal ketika kebangsaan dan rasa kebangsaan itu bersemi”, di mana semua itu menjadi mustahil tanpa peran mesin cetak.38 Dalam pengalaman Jerman ini tentu setidaknya kita bisa melihat bahwa bangsa dibangun di atas beberapa susun pondasi seperti bahasa dan teknologi mesin cetak Gutenberg yang pada gilirannya memberi rumah pada bahasa. „Rumah-rumah‟ bahasa pada pengalaman Jerman ini memiliki desainnya yang khas, yakni Injil terjemahan Luther, di samping bentuk lain seperti pamflet- pamflet.

Contoh lain juga dapat kita petik dari pengalaman sejarah Iran pada masa

Dinasti Qajar. Pada masa kekuasaan bebasis suku (Bani Qajar) ini, terjadi kebangkitan kaum intelektual sebagaimana juga terjadi di Jerman dan tentunya

Bumi Nusantara. Hanya saja, ketika pada pengalaman Nusantara intelektual tumbuh pasca era politik etis di bawah penjajahan langsung dari kolonialisme, intelektual Iran lahir akibat persentuhan mereka dengan wacana Barat melalui perjalanan pendidikan ke luar negeri. Kemunculan kaum intelektual ini dimungkinkan oleh keadaan sosial ekonomi serta politik negara dan tentunya pengaruh modernitas Barat serta iklim pemberontakan negara terjajah yang sedang bangkit melawan penjajahan Eropa.39

38 Daniel Dhakidae, Memahami Rasa Kebangsaan, h. xxvi- xxvii 39 Hassan Bashir, Bagaimana Akar-Akar Revolusi Mulai Tumbuh? dalam Roger Garaudy, dkk, Demi Kaum Tertindas; Akar Revolusi Islam di Iran (Jakarta: Citra, Tanpa Tahun) h. 21 34

Dalam catatan Hassan Bashir, perubahan sosial politik di Iran ini terjadi dengan sokongan dua pengaruh, eksternal dan internal. Sebagaimana telah saya tuliskan tadi, bahwa contoh dari faktor internal itu adalah kebangkitan kaum intelektual. Adapun faktor eksternal yang dimaksud adalah aliran ide-ide baru yang datang melalui interaksi langsung dengan orang-orang Barat ataupun melalui media cetak. 40 Dalam artikel yang sama, Bashir kembali menekankan peran penting media cetak atau pers sebagai alat komunikasi modern yang menjadi sarana sosialisasi ide-ide Barat modern kepada masyarakat Iran, pun demikian halnya dengan buku-buku sebagai sarana transformasi gagasan-gagasan baru.41

Ia juga menambahkan betapa peran pers independen, semi independen, atau pers yang dipublikasikan di pengasingan memiliki peranan penting dalam upaya perubahan sosial politik.42 Termasuk di dalamnya perubahan cara pandang yang menimbulkan pemikiran baru yang lahir dari bahasa baru, atau idiom politik baru semisal nasionalisme yang membuahkan wacana seputar identitas, bahasa, dan sejarah sebagai suatu formula wajib dalam meracik suatu pupuk bagi benih kesadaran kebangsaan.43

Sekarang kita kembali berinteraksi dengan Anderson, dalam bab kedua dari karya berjudul „Imagined Commuities‟, ia menjabarkan betapa media cetak, termasuk dalam hal ini karya fiksi dalam bentuk novel, mampu membantu proses persalinan sebuah bangsa. Tentu sebagaimana sudah sama-sama kita duga, ia

40 Hassan Bashir, Peranan Pers Iran Dalam Perkembangan Politik Iran Sebelum dan Selama Revolusi Konstitusional Tahun 1906-1911 dalam Roger Garaudy, dkk. Demi Kaum Tertindas, h.57 41 Hassan Bashir, Peranan Pers Iran....., h.59-60 42 Hassan Bashir, Peranan Pers Iran.... h.62 43 Hassan Bashir, Bagaimana Akar-Akar Revolusi.....h. 26

35

menuliskannya dalam kaitan dengan bagaimana karya sastra semisal Noli Me

Tangere karya Jose Rizal, dengan logika novel yang ditandai dengan plot dan tokoh-tokoh anonimus 44 mampu membantu Filipina untuk melakukan

„pembayangan‟ atas diri sendiri sebagai sebuah bangsa.45

Anderson juga memberikan contoh yang lebih dekat dengan kita, yakni karya seorang nasionalis revolusioner yang juga seorang Marxis dan entah kita harus menyebutnya sebagai suatu kebetulan atau tidak, juga seorang murid dari

Tirtoadhisoerjo yang terlibat langsung dalam suratkabar Medan Prijaji yang sedang kita bahas. Ia adalah Mas , seorang jurnalis yang juga menulis cerita fiksi „ Hitam‟ yang akan kita bahas dalam kaitannya dengan proses pembayangan sebuah bangsa. Pada gilirannya, kita akan menyaksikan betapa karya ini juga menunjukkan bahwa tepat apa yang digambarkan Plekhanov bahwa fungsi Seni adalah membantu perkembangan kesadaran manusia serta memajukan sistem sosial. 46 Tentu juga termasuk di dalamnnya kesadaran akan bangsa dan kebangsaan.

Dalam karya yang diterbitkan pada tahun 1924 dengan format cerita bersambung ini, Marco membantu kita untuk menyaksikan bagaimana cara kerja proses pembayangan sebuah bangsa berlangsung melalui bantuan suratkabar. Ini juga sekaligus menjadi ilustrasi awal betapa cara kerja yang sama juga dapat diterapkan untuk melihat bagaimana proses penyemaian kesadaran kebangsaan dilakukan melalui media suratkabar yang lahir terlebih dulu, yang juga terdapat

44 Mengenai para tokoh tanpa nama ini akan kita lihat dalam pembahasan karya Mas Marco „Semarang Hitam‟. 45 Benedict Anderson, Imagined Communities, h.39 46 G. Plekhanov, Seni dan Kehidupan Sosial (: Ultimus, 2006) h.1 36

sentuhan Marco, Medan Prijaji. Namun rasanya kita harus kembali segera pada

„Semarang Hitam‟ untuk mengembalikan fokus pada proses pembayangan tadi.

Berikut ini kita akan sama-sama membaca beberapa kutipan „Semarang

Hitam‟ yang dinukil Anderson. ”...anak-anak muda Semarang tak pernah diam di rumah pada Sabtu malam. Tetapi malam ini tak seorangpun terlihat. Sebab hujan lebat seharian telah membuat jalanan menjadi becek dan sangat licin, semua orang diam di rumah..... ”, kutipan ini tidak saya tuliskan secara utuh sebagaimana termaktub dalam karya Anderson, namun saya mengambil beberapa bagian tertentu yang saya rasa sangat penting dan merupakan kunci dari upaya kita membaca teks tersebut. Bagian yang saya kutip tadi memberikan ilustrasi suasana tempo dulu di Semarang dengan gambaran umum bahwa rasanya menjadi lumrah pada sebuah daerah yang biasanya ramai, suasana akan menjadi berbeda ketika hari digagahi lebatnya hujan. Dan oleh karenanya, orang-orang yang biasanya pergi keluar rumah, malam itu mereka lebih memilih untuk berteduh di bawah atap rumah. Dan pada keadaan malam seperti ini kita akan mendapati betapa “.... Semarang lengang. Cahaya dari deretan lampu gas langsung menyinari jalan aspal berkilauan. Sesekali cahaya terang dari lampu-lampu gas itu meredup ketika angin bertiup dari timur....”. Dan di tengah keheningan itu, kita mendapati “....Seorang laki-laki muda duduk di atas kursi rotan panjang membaca koran. Ia tenggelam dalam keasyikan. Kemarahannya sekali-sekali dan pada saat-saat lain senyumannya menjadi tanda pasti ia sangat menaruh minat pada cerita yang dibacanya... ”. Kisah ini mulai mengantarkan kita mendekati proses pembayangan sebuah bangsa yang dijalin benang merah berupa rasa senasib sepenanggungan sampai tiba saat di mana laki-laki muda tanpa nama itu 37

membalikkan halaman koran dan “....berpikir mungkin ia dapat menemukan sesuatu yang akan menghentikan perasaannya yang sangat menderita....”. Lembar demi lembar dibuka hingga pada akhirnya lelaki tanpa nama itu bertemu sebuah artikel berjudul “Kemakmuran” yang memberitakan tentang “seorang gelandangan jatuh sakit dan tewas di tepi jalan karena kedinginan”.

Kemudian Marco menuliskan betapa “orang muda itu sangat tersentuh oleh laporan singkat ini. Ia serasa dapat membayangkan penderitaan orang malang itu ketika terbaring menyongsong ajal di pinggir jalan....”. Tak selesai di situ, penulis kita yang memetik buah pikiran jurnalisme dari sang guru,

Tirtoadhisoerjo, juga melukiskan betapa pemuda tanpa nama yang sedang membaca dan merasakan nasib malang gelandangan itu merasa iba dan

“....kemarahannya terarah kepada sistem sosial yang melahirkan kemelaratan semacam itu, sambil membuat suatu kelompok kecil menjadi kaya raya”.47

Melaui karya Marco ini kita akan berada pada sebuah situasi di mana kita sedang membaca cerita tentang lelaki tanpa nama yang sedang membaca berita.

Ini terjadi sebab cerita bersambung “semarang Hitam” di muat dalam suratkabar, dan pada saat yang bersamaan menceritakan kisah tentang sosok lelaki yang membaca suratkabar. Seperti realitas bertumpuk, kisah ini mengisahkan orang yang sedang membaca kisah. Kita bisa menggarisbawahi keberadaan suratkabar sebagai sesuatu yang penting. Sebuah kata kunci, kalau boleh dikatakan demikian.

Pasalnya, melalui suratkabar yang memuat karya Marco, kita dapat memperoleh informasi tentang proses pembayangan sebuah bangsa oleh seorang tokoh tanpa

47 Benedict Anderson, Imagined Communities, h. 46-47 38

nama dalam cerita yang sedang membaca suratkabar pula, di mana pada akhirnya ia membayangkan nasib malang sosok gelandangan yang juga tanpa nama.

Dalam cerita tersebut jelas digambarkan betapa suratkabar memiliki daya melipat jarak dan pada saat yang sama menjadi penghantar bagi rasa ke‟kita‟an yang lahir dari empati atas ketertindasan yang diderita orang lain, tanpa harus tahu siapa nama gelandangan yang malang itu. Pun demikian halnya dengan sang lelaki yang melakukan proses pembayangan. Ia di ceritakan sebagai sosok lelaki tanpa nama, artinya bahwa upaya merajut rasa kebangsaan dilakukan tanpa saling mengenal.

Namun demikian, melalui kisah itu kita bisa memetik suatu kesimpulan bahwa satu-satunya identitas yang dimiliki adalah kesamaan nasib, yakni korban dari “..sistem sosial yang melahirkan kemelaratan...”. Sementara nun di sana, di seberang jurang sosial ekonomi yang berjarak, ada komunitas lain yang memiliki identitas yang lagi-lagi dibedakan berdasarkan nasib dengan sebuah gambaran betapa sistem bernama kolonialisme melahirkan keadaan di mana pada satu sisi sekumpulan orang yang disebut Tirto dengan „bangsa jang terprentah‟ 48 dimiskinkan, ”....sambil membuat suatu kelompok kecil menjadi kaya raya”, tentu kelompok yang dimaksud Marco adalah “bangsa jang memerentah”, mereka yang terdiri dari para kolonial beserta „sekrup-sekrup mesin penghisap buatan dalam negeri‟ yang menjual dirinya dengan sebongkah pragmatisme. Adapun mengenai sosok laki-laki tanpa nama, saya tidak sampai jauh pada pembahasan mengapa

48 Mengenai iastilah „bangsa jang memerintah‟ dan „bangsa jang terprentah‟ lihat. „Ucapan Selamat Anggota Parlemen Belanda‟ dalam Iswara N Raditya, Karya-karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo; Pers Pergerakan dan Kebangsaan (Jakarta: I;BOEKOE,2008) h.98 dengan judul asli dalam Medan Prijaji 1909 „Pemberian Selamet Seorang Anggota Staten Generaal Pada Kita‟. Serta h.146 „Komentar Tirto Atas Terbitnya Buku Almanak‟ dengan judul asli dalam Medan Prijaji 1909 „Selamat Poetra Baginda‟. 39

harus laki-laki. Sebab pembahasan kita kali ini memang tidak menyediakan kursi bagi duduknya perdebatan seputar dominasi paternalistik dalam gerak sejarah, dan tentunya lagi-lagi ini berdasar pada pembatasan masalah yang berdampak langsung pada sempitnya ruang bincang kita kali ini.

Mengenai sistem kolonialisme yang digambarkan Marco sebagai biang keladi dari pemiskinan anak negeri ini, Anderson memberikan penekanan bahwa

Marco mengarahkan kemarahan tokoh pada sistem sosial “itu”, bukan pada sistem sosial “kita”. 49 Ini meniscayakan bahwa ada jarak yang memang sudah ada, namun dipertegas, antara sistem sosial yang dibangun oleh “orang lain” dengan sang korban yang merupakan bagian dari “kita”. Melalui cara pandang “Kami dan

Kalian”, hal tersebut makin dipertegas lagi bahwa yang dimaksud dengan sistem

“itu” adalah sistem yang melahirkan kemalaratan bagi “kita” dan kekayaan bagi

“orang lain”. Dan agaknya “orang lain” dalam hal ini benar-benar bisa dianggap sebagaimana Sartre menyebut “orang lain adalah neraka”. Sebab “orang lain” dalam hikayat tanah koloni sejatinya memang para pencipta neraka bagi pemilik rumah yang sesungguhnya. Ini mengingatkan kita pada pendapat Fanon yang menggambarkan betapa zona kolonialisme adalah suatu “dunia yang terbagi ke dalam kompartemen-kompartemen”, yakni suatu “dunia yang terbelah menjadi dua”, di mana para penghuninya merupakan “dua spesies berbeda”.50 Dan pada akhirnya kita tahu bahwa dua spesies berbeda itu adalah bangsa yang memerintah dan bangsa yang terperintah.

49 Benedict Anderson, Imagined Communities, h. 48 50 Frantz Fanon, Bumi Berantakan (Jakarta: Teplok, 2000) h. 9 40

Apa yang dilakukan Marco dengan karya fiksinya tersebut membuat saya teringat pendapat Chernyshevsky bahwa sebuah karya seni memang seharusnyaa tidak hanya mereproduksi kehidupan, tetapi lebih dari itu memeberikan penjelasan dan tentunya penilaian atas gejala-gejala sosial.51 Betapa tidak, sebagaimana telah kita bicarakan tadi, melalui karyanya, Marco tidak hanya mereproduksi realitas, tapi menukik dalam pada permasalahan sosial dan karenanya meniscayakan penilaiannya atas sistem buruk yang menciptakan kemiskinan dan pada akhirnya memperjelas posisi sang penulis.

Di titik ini, kita jelas mendapati betapa watak berpikir yang sama juga bersemayam dalam kepala Tirtoadhisoerjo yang menjadi bingkai berpikir Medan

Prijaji yang konfrontatif dan dengan tegas memposisikan bangsa yang

“terprentah” berhadap-hadapan dengan bangsa yang “memerentah” sebagaimana akan kita bicarakan pada bagian lain betapa cara berpikir seorang Hoofdredactie merupakan jurumudi bagi pelayaran suratkabar. Di titik ini pula kita menemukan betapa watak kebangsaan kita tidak hanya berhenti pada kesadaran ke‟kita‟an, tapi juga menjadi sebuah kesadaran tentang “kita” yang anti terhadap penghisapan kolonial.

51 G. Plekhanov, Seni dan Kehidupan..... h.2 BAB III

NASIONALISME YANG LAHIR DARI PERS

Pada umumnya, pembahasan menyangkut nasionalisme segera dilekatkan dengan peran organisasi moderen. Namun, ada yang terlupa bahwa peran penting yang dimainkan suratkabar terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. pada bagian ini, saya akan uraikan sedikit mengenai perkembangan suratkabar di bumi

Nusantara hingga pada akhirnya menggeliat sebagai alat perlawanan berupa pers kebangsaan, pers yang memiliki kesadaran politik.

A. Geliat Pers di Hindia Belanda

Kedatangan mesin cetak ke bumi nusantara yang dibawa oleh VOC memiliki pengaruh signifikan bagi perkembangan Pers di tanah air. Pasalnya, melalui mesin cetak inilah pers memproduksi barang cetakan secara massif dan pada gilirannya memainkan peran penting dalam upaya pembenihan rasa kebangsaan. Pada awal kedatangannya, mesin cetak tidak langsung difungsikan untuk memproduksi surat kabar, VOC menggunakan nya untuk mencetak pemberitahuan resmi pemerintah berupa aturan-aturan hukum atau katakanlah

Lembaran Negara.1 Maka pada kalimat di atas saya tidak langsung menggunakan istiah surat kabar, melainkan barang cetakan.

Disamping itu, mesin cetak juga digunakan oleh kalangan agama, dalam hal ini gereja, untuk kepentingan misi penyebaran agama, yakni penerbitan kitab suci dan kitab-kitab mengenai ajaran agama dan terbitan lain yang serupa dengan itu. Namun semua rencana penerbitan tersebut sempat tertunda sebab tidak adanya

1 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan (Jakarta: Hasta Mitra, 2003) h. 12

41

42

tenaga terampil yang mampu mengoperasikan mesin ceetak tersebut. Berpuluh tahun kemudian, mesin yang pada gilirannya melahirkan wacana pembaharuan itu kembali berfungsi pada 1659 ditandai dengan tercetaknya suatu buku kalender.

Lagi-lagi mesin cetak kembali berhenti beroperasi hingga delapan tahun berikutnya pemerintah kolonial membeli mesin cetak dengan spesifikasi lebih baik untuk menerbitkan surat-surat penting yang salah satu contohnya adalah perjanjian Bongaya. 2 Mulai dari sinilah kemudian mesin cetak difungsikan pemerintah kolonial sebagai alat propaganda, terlebih dengan berdirinya lembaga pencetak buku pemerintah.

Kendati begitu rupa berfungsinya mesin cetak pada masa itu sebagai alat propaganda, namun belum ada inisiatif menerbitkan surat kabar. Sedangkan penerbitan surat kabar baru dimulai lama setelah itu, yakni dengan kemunculan terbitan bernama Bataviase Nouvelles yang bertanggal 8 Agustus 1744.3

Namun dua tahun kemudian, penerbitan Bataviase Nouvelles harus dihentikan atas petunjuk pemerintah. Pasalnya, koran yang sejatinya lebih pada koran bisnis atau advertentie Blad ini mengkhawatirkan VOC berkenaan dengan info-info usaha yang ada di dalamnya, yang di antaranya memberi gambaran peluang bagi pesaing bisnis VOC. Dalam dunia niaga, informasi bernilai demikian penting sehingga sebagai perusahaan raksasa, VOC merasa kebakaran jenggot ketika informasi berkenaan hal niaga dapat diakses pihak lain.

Pada fase berikutnya, pada masa Daendels tepatnya koran mulai benar- benar berfungsi sebagai alat negara, demikian pula hanya pada masa pendudukan

Inggris. Nama-nama seperti Bataviasche Koloniale Courant dan

2 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan, h. 2 3 Abdurrachman Soerjomihardjo, dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (Jakarta: Kompas, 2002) h. 25 43

Government, memperjelas bahwa koran mulai benar-benar berfungsi sebagai media propaganda, dalam hal ini menggiring opini publik hingga membuat citra tertentu, pastinya citra baik, mengenai pemerintahan penjajah Inggris. Awal keberadaannya di tanah air, pers didominasi oleh surat kabar negara, sedangkan surat kabar swasta baru terbit belakangan pada 1831.4

Fenomena geliat pers swasta ini ditandai dengan munculnya sejumlah nama di tanah air semisal Bataviasch Advertentie blad (Batavia), Nederlandsch

Indisch Handelsblad (Batavia), Soerabajasche Courant, Semarangsch Advertentie blad atau De Locomotief, Semarangsch Courant, dan lain sebagainya.5

Berkenaan dengan daerah dimana koran tersebut terbit, perlu kiranya diingat bahwa Batavia, Semarang dan merupakan daerah pelabuhan dengan mobilitas perdagangan tinggi. Maka fungsi surat kabar tersebut masih didominasi kepentingan dagang serta periklanan atau advertentie. Adapun mengenai bahasa yang digunakan surat kabar pada masa itu, Ahmat Adam memberi catatan bahwa sebelum 1855, baik surat kabar maupun berkala masih menggunakan bahasa Belanda.

Masih merujuk pada Adam, bahwa pada masa sebelum tahun 1855 di

Hindia Belanda, pers hadir dalam format yang cenderung komersil dan menggunakan bahasa Belanda. Kemudian pada awal tahun 1855, tepatnya Maret tanggal 29 terbit sebuah koran bernama Bromartani (setelah sebelumnya, pada

Januari 1855 menerbitkan edisi percobaan) yang merupakan koran pertama yang tampil dengan bahasa Jawa.6

4 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan, h.8 5 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers.., h. 11-12 6 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers.., h. 27 44

Sebagai pendatang baru, media yang menggunakan kromo inggil sebagai pilihan bahasa ini tampil agak berbeda dengan koran-koran atau berkala sebelumnya. Jika masa sebelumnya orientasi media lebih mengarah pada bidang komersil, maka Bromartani lebih merupakan koran dengan genre idealis. Isi yang ditampilkan Bromartani cenderung mengarah pada isu-isu pendidikan sebagaimana halnya dengan berkala Poespita Mantjawarna yang terbit semasa dengan Bromartani. Masih menurut Adam, keduanya tergolong kategori pers idealis.7

Bentuk idealisme dari kedua terbitan tersebut dapat terlihat dari muatannya yang cenderung menekankan pada aspek pendidikan dan budaya, yakni sastra atau cerita-cerita. Disamping itu, Bromartani pun masih menyisakan ruang bagi periklanan komersil dan semacamnya. Namun ada kalanya, Bromartani bersinggungan dengan isu-isu berbau politik seperti pada saat memuat liputan

“Naik Tahta” Susuhunan . Namun sayang, Bromartani tak berumur panjang.

Dalam kehidupan, pasang surut selalu ada. Patah tumbuh hilang berganti, orang bilang. Meski sempat collaps, namun Bromartani mampu bangkit lagi dan pada saat yang sama, Surabaya diramaikan dengan terbitnya koran baru, Soerat

Kabar Bahasa Melaijoe. Koran yang di terbitkan E. Fuhri ini lebih merupakan terbitan komersil yang muatannya ditujukan bagi dunia perniagaan. Pada masa ini, sebuah dobrakan pun mewarnai dunia media dengan hadirnya jurnal yang terbit bulanan, Bintang Oetara.

7 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers, h. 25 45

Untuk ukuran media pada zaman itu, Bintang Oetara tampil lebih progresif. Melalui bahasa melayu, Bintang Oetara yang terbit pada 1856 ini menjanjikan beragam muatan yang memberi inspirasi semisal pengetahuan umum, liputan-liputan berkenaan dengan keadaan luar negeri, sastra melayu dan indo- persia, rubrik moral keagamaan, dan yang membuatnya tambah menarik adalah dimuatnya permainan catur dan kuis. Sebagai jurnal di pertengahan abad sembilanbelas, Bintang Oetara tampil menawan. Namun lagi-lagi terbitan ini harus pupus karena “Terlalu berkualitas” bagi pelanggan. Pembahasan sastra dan penggunaan bahasa Melayu buku atau Melayu tinggi membuat pelanggan yang mayoritas Jawa-Sunda agak sulit mencerna muatan jurnal pencerahan ini.

Jika harus menampilkan dalam bentuk kronologis atau berdasar indeks nama-nama, agaknya tulisan ini tak mencukupi, sebab masih tercecer sekian nama terbitan berkenaan dengan pembahasan ini. Namun setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita cermati. Bahwa penerbitan pers berhasa pribumi ini dilatari oleh berbagai kepentingan. Sebagian kalangan mencium aroma peluang untuk melakukan misi penyebaran ajaran agama (baca: Kristiani). Sebagian lagi melakukannya atas dasar idealisme, demi mencerdaskan bangsa.

Dan tentunya, yang tak kalah merebut perhatian ialah motif dagang.

Berkenaan dengan kepentingan niaga tersebutlah orang-orang Tionghoa mendukung penerbitan dengan bahasa pribumi, bahkan mereka berlangganan.

Mungkin mereka melihat keberadaan terbitan dengan bahasa lokal sebagai sarana iklan yang tak hanya dimengerti orang-orang Eropa, tapi juga pribumi yang mulai dibidik sebagai mitra usaha. Dilain sisi, isu-isu seputar liberalisasi pers pun sedikit banyak memberi pengaruh bagi bertebaranya terbitan-terbitan ini. 46

Tak pelak bahwa pengetahuan orang banyak tentang bahasa, memiliki pengaruh signifikan bagi pertumbuhan pers. Demikian pula halnya yang terjadi di

Hindia Belanda. Bahwa pengetahuan penduduk tentang bahasa melayu masihlah minim sekali. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi pers untuk tetap bertahan hidup dan terus menggeliat di bumi Nusantara. Mengenai hal ini, kita akan menemukan bahwa ada peranan faktor lain dalam perkembangan pergerakan pers.

Adam dan hampir rata-rata peneliti sejarah kebangkitan nasional mencatat bahwa kebijakan pemerintah untuk membuka sekian banyak sekolah untuk kalangan pribumi ini merupakan titik balik yang menentukan bagi pengetahuan orang banyak. Pasalnya, melalui sekolah-sekolah tersebutlah, penduduk dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan berbahasa Melayu.8

Mengenai hal ini, tentu kita tak bisa tidak, harus membahas mengenai politik etis. Sebab dari sistem inilah perubahan besar masyarakat bumi Nusantara dimulai. Kita perlu kembali mengingat, bahwa masa kolonialisme Belanda merupakan masa panjang dengan liku-liku di mana di dalamnya terdapat beragam perubahan. Pasca zaman tanam paksa (1830-1870), pemerintahan kolonial menerapkan sistem liberalisasi ekonomi yang menyerahkan sepenuhnya pengelolaan aspek ekonomi pada modal swasta.

Dalam hal ini pemerintah tak ubahnya petugas ronda malam yang menjaga kebun-kebun dan pabrik dari para pencuri. Perluasan wilayah kekuasaan kolonial pada Era liberalisasi (1970-1900) ini juga dapat dimaknai sebagai perluasan wilayah penghisapan oleh modal swasta. 9 Pada 1901 pemerintah kolonial menerapkan sebuah sistem baru, yang kita sebut politik etis, di mana negara mulai

8 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers....h. 36 9R.Z. Leirissa, Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950, (Akademika Pressindo, 1985) h.11 47

kembali mencampuri banyak hal. Meskipun demikian, tak ada perubahan mendasar menyangkut kegiatan ekonomi yang tetap memeberi ruang gerak bagi pemodal swasta untuk menghisap kekayaan alam bumi Nusantara. Hanya saja perbedaan datang dari aspek lain, sosial budaya.10

Sebuah artikel yang ditulis Van Deventer dalam majalah De Gids (1899) akan membantu menjelaskan apa sebenarnya politik etis dan dampak sosial budayanya. Dalam artikel berjudul “Een Eereschuld” Deventer menjelaskan bahwa pemerintahan kolonial harusnya membalas hutang kehormatan atas penghisapan yang selama ini dilakukan oleh pemerintahan kolonial yang sejatinya adalah pertumbuhan kapitalisme moderen yang telah sampai pada dehumanisasi yang dinilainya mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam artikel yang sama, ia mengatakan bahwa apa yang dilakukan Kolonial mulai dari tanam paksa sejatinya adalah „politik drainase‟ atau pengeringan yang menggambarkan kerakusan kolonialisme menghisap sekering-keringnya kekayaan Nusantara.11

Pada catatan Deventer, sejatinya Kerajaan Belanda telah mengeluarkan

Comptabiliteitswet pada 1878. Undang-undang ini mengatur bahwa sebagian dari pendapatan harus digunakan untuk kepentingan daerah jajahan. Namun hal ini tidak dilakukan dan oleh karenanya Deventer menilai Kerajaan Belanda berhutang pada koloni jajahan. Dalam catatannya, Deventer mengatakan bahwa sampai pada

1899 hutang itu bernilai 187.000.000 gulden, dan ini harus dibayar.12 Memang artikel ini bukan satu-satunya penyebab direstuinya sistem baru tersebut.

Diterapkannya politik etis juga tak bisa dilepaskan dari penerapan sistem baru itu.

10 R.Z. Leirissa, Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah... h.23 11 R.Z. Leirissa, Terwujudnya...h.22 12 R.Z. Leirissa, Terwujudnya...h.23 48

Rasanya kita akan menyingkat pembahasan dengan langsung mengerucutkan bahwa salah satu dari aspek sosial budaya hasil politik etis adalah dibangunnya sarana pendidikan yang pada gilirannya melahirkan golongan baru dalam masyarakat, yakni kalangan bumiputera terdidik. Gairah berburu pengetahuan ini pada mulanya ditanggapi secara pragmatis oleh sementara kalangan. Sebab pada masa itu, Pemerintah Hindia Belanda mulai membuka peluang bagi atau „Indo‟ untuk menduduki posisi yang lebih tinggi dalam dunia ambtenaar.13

Dibukanya peluang kerja yang lebih luas untuk pribumi dan Indo ini membuat sebagian orang berlomba-lomba untuk mencicipi pendidikan model barat. Alhasil pada tahap awal, geliat dunia pendidikan yang progresif ini memiliki korelasi positif dengan dunia pers. Semakin maju pendidikan, semakin banyak orang melek huruf. Artinya makin banyak ruang yang terbuka bagi arus informasi dan edukasi dan semakin luas kesempatan bagi media untuk memainkan peranannya. Di samping itu, penggunaan telegram dan jalur kereta api pun kian membuat pers terus melaju melesat, terutama memudahkan diperoleh pada aspek teknis semisal distribusi, korespondensi, pengiriman berita atau artikel. Semua ini seolah menandakan bahwa babak baru pers berbahasa anak negeri telah dimulai dengan interaksi yang semakin intens antara daerah satu dengan selainnya.14

Namun jika berbicara isi, maka tidak ada perubahan yang terlalu berarti.

Tidak ada perubahan fundamental sebab isi dari terbitan yang ada pada babak baru ini tak ubahnya isi terbitan pada masa sebelumnya. Kebanyakan masih bermuatan komersil dan berita seputar perdagangan. Sedangkan genre lain yang

13 R.Z. Leirissa, Terwujudnya..h.17 14 R.Z. Leirissa, Terwujudnya... h.18. Lihat juga Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers..h.38 49

turut mewarnai pun masih sama seperti masa sebelumnya, yakni genre misionaris.

Terbitan model ini sempat berkibar di bawah bendera terbitan Biang Lala yang pada gilirannya berganti nama menjadi Bintang Djohar pada 1 Januari 1873.15

Nama-nama lain dari genre sejenis pun muncul semisal Tjahaja Sijang di

Minahasa. Sebagai koran misionaris, tak jarang Biang Lala memuat isu-isu dengan gaya provokatif seputar Islam, Nabi Muhammad, perbandingan Qur‟an dengan Injil, dan lain sebagainya.16 Kendati demikian, alhasil geliat pers babak dua ini timbul dari sebuah kesadaran bahwa sebelumnya, berita-berita hanya ditampilkan dalam bahasa Belanda dan tak dapat di akses pribumi. Maka timbullah kesadaran untuk menerbitkan koran berbahasa anak negeri.

B. Medan Prijaji, Pers yang Berpolitik

Sebagaimana telah sedikit diurai pada bagian sebelumnya, selaku salah satu sarana informasi, pers memainkan peranan penting. Peranan besar ini dapat mencakup berbagai aspek baik itu bidang pendidikan, ekonomi, budaya, sosial, keagamaan, politik, dan lain sebagainya. Kiprah pers sebagai corong informasi ini bukan merupakan hal baru di Bumi Nusantara. Pada bagian sebelumnya telah disinggung bahwa Jauh hari sebelum tercetus kata “Indonesia”, pers di Nusantara sudah menggeliat memainkan perannya. Sejumlah nama tokoh dan Koran pun turut mewarnai geliat awal pers di era Hindia Belanda.

Seiring perjalanan panjangnya, pers mengalami perubahan fungsi dari sekadar alat advertentie blad yang berisi pengumuman perdagangan atau transaksi niaga lainnya seperti pelelangan, kepada fungsi lain yakni mesin pembangun

15 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers....h. 61 16 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers....h. 51 50

kesadaran kebangsaan. Meskipun pada fase awal pers sudah terbagi setidaknya menjadi tiga genre utama yakni komersil, misionaris, dan idealis. Artinya sudah terdapat jenis pers “pergerakan” dalam hal ini misionaris dan idealis yang sejatinya dapat di “satu rumahkan”, namun genre tersebut belum dapat dikategorikan sebagai pers kebangsaan (baca: pembangkit kesadaran kebangsaan).

Pasalnya, fokus pemberitaan pada terbitan berkala yang notabene idealis itu masih difungsikan sebagai sarana edukasi yang bercorak lokal dan sektarian pada hal tertentu.17 Kendati demikian, pada perkembangannya, kita bisa melihat bahwa pers genre tersebut merupakan suatu pondasi bagi pijakan jejak langkah pers kebangsaan yang menggeliat antara abad 19 hingga permulaan abad dua puluh.

Dari sejumlah nama tokoh maupun Koran yang ada pada kurun abad 19 hingga awal abad 20, ada satu nama yang akhir-akhir ini mendapat banyak sorotan. Sosok itu bernama R.M. Tirto Adhi Soerjo. Sebagai seorang jurnalis muda, Tirto yang juga tercatat sebagai siswa Sekolah Dokter Jawa (STOVIA) itu merupakan sosok penting dalam sejarah pers nasional. Tanpa bermaksud mengecilkan peran tokoh pers sebelum maupun setelahnya, sosok Tirto dan

Medan Prijaji seolah merupakan titik tolak pers kebangsaan yang „berdikari‟18

Sebab ditangannyalah pers berperan sebagai media yang berpolitik.

17 Terbitan semisal Biang Lala umpanyanya, kerap kali memuat artikel provokativ tentang islam yang dikesankan “miring”, yang pada saat ini boleh dikategorikan sebagai penistaan agama. Lih.pembahasan seputar Biang Lala, dalam Ahmat Adam, Sejarah awal pers dan kebangkitan kesadaran keindonesiaan. (Jakarta: Hasta Mitra,2003). 18 Saya katakan demikian sebab banyak kritik menghujani kawan-kawan yang mengusung Tirto dan Medan Prijaji sebagai titik tolak pers kebangsaan. Kritik ini datang dari berbagai pihak, termasuk salah satunya Andreas Harsono, seorang kritikus media. Kritik tersebut, sebagaimana ia tulis pada blog pribadinya, sejatinya diarahkan pada rekan-rekan Indexpress perihal metodologi penulisan buku “Tanah Air Bahasa” yang menggambarkan bahwa penokohan Tirto seolah berdasar pada rasisme. Menanggapi ini, saya akan berbagi sedikit yang saya paham. Namun sebelumnya saya mohon maaf atas kelancangan intelektual ini sebab saya hanya seorang pemula dalam kajian pers. Menanggapi penokohan Tirto dan dipilihnya Medan Prijaji sebagai tonggak pers kebangsaan adalah hal yang bukan tanpa dasar. Pertama, boleh jadi pada masa sebelumnya telah ada berkala yang terbit dan telah menggunakan bahasa Melayu pasar seperti pada Selompret 51

Berbagai nama koran baik harian maupun mingguan sempat berada di bawah pimpinannya, baik itu sebagai redaktur atau pemilik langsung.

Sebagaimana ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam “Sang Pemula” sejumlah nama semisal Soenda Berita, Pembrita Betawi, Soeara BOW, Soeara Spoor dan traam, Medan Prijaji, dan Poetri Hindia pun digawangi Tirto sebagai sarana penyeru kepada bangsa jang terprentah menyangkut hak dan kedudukan mereka dari Bangsa jang memerentah.

Sebagai seorang yang sadar dan peduli pada keadaan bangsanya sebagai

Bangsa yang “terprentah”, ia menggunakan media pers sebagai alat perjuangannya. Jika pada umumnya pahlawan dikenal sebagai orang yang berjuang dengan senjata, maka yang menjadi senjata dalam perjuangan beliau melawan kesewenangan Kolonial adalah pena tajamnya. Melalui berbagai Koran yang dipimpinnya tersebut ia lakukan pembelaan pada bangsanya atas perlakuan semena-mena para pejabat belanda ataupun pejabat pribumi yang menjadi kaki tangan penjajah.

Dari sejumlah Koran yang dipimpinnya itu, ada satu nama yang patut disoroti berkenaan dengan peranannya. Medan Prijaji (MP), adalah koran yang berpolitik pada zamannya. Melalui koran inilah Tirto menyebarkan kesadaran

Melajoe. Namun redaksi, penerbitan, atau kepemilikannya belum secara utuh digawangi oleh pribumi. Pada 1903, hadir Soenda Berita sebagai pers pribumi yang dikelola dan dimiliki oleh pribumi (Tirto), namun mengenai perannya, SB belum secara signifikan membangkitkan kesadaran kebangsaan. Sedangkan perihal Bintang Hindia yang juga digawangi Abdul Rivai, medan perjuangan Bintang Hindia tidak seperti apa yang dihadapi Medan Prijaji. Proses penerbitan Bitang Hindia berlangsung di negeri kincir angin yang tidak terlalu ketat perihal aturan press. Sedangkan Medan Prijaji harus berulang kali terseok ke meja hijau akibat persdelict atau persreglement yang membatasi sedemikian rupa. Jadi atas berbagai parameter tersebut maka sekelompok orang sepakat Medan Prijaji sebagai pelopor pers kebangsaan yang murni pribumi atau yang saya istilahkan dengan “kaffah” sebagai pers pribumi sekaligus pers kebangsaan. Singkat kata, meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, sebelum Medan Prijaji, surat kabar masih bernada „dari mereka untuk pribumi‟, lih. Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985) h.24 52

kebangsaan. Sebagai media, Medan Prijaji memainkan peran penting pada masanya dengan menjadi media yang berpolitik, Medan Prijaji menggeliat sebagai alat propaganda yang menyebarkan kesadaran tentang konsep “bangsa”, sebuah konsep kebangsaan yang di paparkan Tirto menggunakan bahasa yang sederhana dengan membedakan antara bangsa yang “terprentah” dengan bangsa yang “memrentah”.

Dari namanya, maka akan tampak bahwa surat kabar ini ditujukan pada kelas terpelajar dan mereka yang mengabdi pada penguasa, yakni para prijaji.19

Secara umum, khalayak tahu bahwa apa yang disebut priyayi adalah seorang dengan darah bangsawan yang mengalir dalam tubuhnya. Namun lain halnya ketika kata priyayi telah bergeser maknanya. Priyayi, menurut Tirto, telah bermakna pegawai negeri.20

Mengenai makna priyayi yang diartikan sebagai gelar administratur dan tidak melulu genetis ini juga tergambar dalam cerita bersambung Tirto dalam

Medan Prijaji „Busono‟. Dalam kisah itu, Busono, yang merupakan alter-ego dari sang penulis berbincang dengan asisten Residen Bandung. Busono ditawari pekerjaan sebagai pegawai pajak dengan gaji f 40,- tiap bulan. Namun tawaran itu ditolaknya, “ia mengucapkan banyak terimakasih. Malah dijanjikan kepadanya akan diangkat menjadi priyayi segala. Tapi ia menolak”. Dari secuplik kisah tersebut, kita dapat melihat bahwa pada masa itu, priyayi tak lagi melulu berdasar darah, tapi bisa diberikan oleh „yang berwenang‟ dengan cara menjadi hamba penguasa.21

19Bandingkan Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia..., h. 77 20 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula... h.20, catatan kaki no.21 21 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.405 53

Pengertian senada juga datang dari Van Niel, menurutnya priyayi adalah administratur, pegawai pemerintah, dan orang berpendidikan yang berada di tempat lebih baik dan bisa pula disebut elit. 22 Dalam pada itulah Tirto memaksudkan Medan Prijaji sebagai penyeru anak negeri agar jangan mau menjual diri pada bangsa yang memerintah, sebab sejatinya mereka adalah anak- anak bangsa yang terperintah yang justeru harus membebaskan bangsanya dari belenggu kolonial.

Upaya penyadaran ini menjadi penting mengingat predikat priyayi dan semacamnya seolah senjata kolonial untuk memberikan kehormatan semu pada pribumi, yang sebelum masuk kolonial, tergiur dengan kehormatan bangsawan feodal. Maka ini diihat sebagai peluang, sehingga sebagaimana dikutip dari

Fromberg, seorang Bupati berulah selayaknya pengeran feodal meskipun tetap harus tunduk pada Residen yang berkebangsaan Belanda.23

Mari kita tengok semmboyan dari surat kabar yang merepotkan kolonial ini. Pada tahun 1909 selagi masih berupa mingguan yang “terbit tiap-tiap hari

Djemaat” Medan Prijaji mengidentifikasi diri selaku “Swara oentoeq sekalian radja-radja bangsawan asali, bangsawan pikiran, prijaji-prijaji dan kaum moeda dari bangsa priboemi serta bangsa jang dipersamahken dengannja di seloeroeh

Hindia Olanda”.24 Namun pada saat formatnya berganti menjadi harian, maka berganti pula semboyannya. Dalam catatan Pramoedya, dan beberapa tulisan lain juga senada, semboyan itu berbunyi “Soeara bagai sekalian radja-radja, bangsawan asali dan fikiran, prijaji dan sudagar Boemipoetra dan officier-officier

22 Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009) h.31 23 Goerge M.T Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan,1995) h. 14 24 Halaman muka Medan Prijaji 1909 54

serta saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentah laenja jang dipersamakan dengan anak negri di seloeroeh Hindia Olanda”.

Kendati terjadi perubahan, namun semboyan tersebut menunjukkan sikap tentang gagasan „bangsa‟. Bahwa suatu bangsa tidak didasarkan pada status sosial, kasta, terlebih ras. Sebab semua itu “dipersamakan” sebagai bangsa yang

“terprentah”. 25 Perubahan ini tak banyak diperhatikan sebab umumnya orang merujuk pada semboyan versi harian.

Menyangkut peran penting Medan Prijaji dalam membangun kesadaran kebangsaan, Pramoedya Ananta Toer yang juga seorang „Tirtois‟ mengajukan sebuah pertanyaan bermakna mendalam. Pram mengandaikan jika kerja membangun kesadaran kebangsaan “...tidak melalui tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti

Hindia, bagaimana kiranya nasion Indonesia akan terbentuk?”.26

Disamping itu, Medan Prijaji pun kerap tampil sebagai Koran dengan semangat jurnalisme advokatif dengan melakukan fungsi advokasi atas permasalahan yang dihadapi rakyat pribumi. Berbagai upaya dilakukan sebagai aksi pendampingan pada warga yang terjerat masalah, utamanya dalam perkara hukum. Ini dilakukan Tirto dengan begitu lihai sebab memang ia memiliki pemahaman yang lumayan baik seputar hukum. Melalui pengetahuannya itulah ia melakukan pembelaan atas bangsanya, bangsa yang “terprentah”.

Sikap Medan Prijaji ini tergambar pada delapan azas yang dijadikan garis pijakan bagi misinya; 1. Memberi informasi, 2. Menjadi penyuluh keadilan, 3.

Memberikan bantuan hukum, 4. Tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, 5.

25 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.47 26 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.9 55

Mencari pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan di Betawi, 6.

Menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri, 7.

Membangunkan dan memajukan bangsanya, 8. Memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.27

Tak jarang akibat aksi pembelaan atas bangsanya itu, Tirto harus berhadapan dengan aksi kekerasan berupa pencambukan, pemukulan, atau jerat hukum kolonial. Berbagai tuduhan kerap diarahkan padanya. Persdelict, adalah satu dari sekian batu sandungan yang kerap menghalang-halangi jejak langkahnya. Buah akibat aksi kritisnya terhadap pejabat belanda bernama A.

Simon ini tergambar dalam karyanya „persdelict: Umpatan‟ yang dikutip

Pramoedya dari Medan Prijaji.28 Contoh lain adalah penggerebegan kantor Medan

Prijaji oleh sekelompok orang di bawah pimpinan seorang jurnalis muda yang kelak mendirikan kantor berita Aneta, Dominique Willem Beretty perihal kasus skandal Van Hulten yang diungkap Medan Prijaji.29

Di lain pihak, ia pun kerap kali harus berhadapan dengan aksi intrik busuk beberapa orang licik yang bermaksud membunuh karakternya. Semua „karma‟ itu tentu buah akibat dari tajamnya anak panah surat kabar yang berawal sebagai mingguan berukuran 12,5 x 19,5 cm pada 1907 ini. Pada tahun 10 Desember

1908, tahun ke dua terbit, secara sah berdasarkan akta notaris, berdiri sebuah perusahaan yang menaungi penerbitannya, NV Javasche Boekhandel en Drukerij

27 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.46 28 Perdelict. Oepatan dan Penistaan. Aspirant Controleur A. Simon Contra R.M. Tirto Adhi Soerjo Hoofd Redacteur Medan Prijaji, dalam Medan Prijaji Th.III/1909, h. 224. Bandingkan, Pramoedya Ananta Toer, „ Persdelict: Umpatan, A. Simon Kontra R.M. Tirto Adhi Soerjo. dalam Sang Pemula ,h. 208. Artikel lain berjudul Persdelict dalam Medan Prijaji tahun III, h.669 juga memuat hal serupa. 29 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.63-64 56

Schrijfbehoften Medan Prijaji.30 Pada tahun ke tiga, 1909, Medan Prijaji telah memberi pertolongan pada sedikitnya 225 orang. Mulai dari tukang ikan di pasar hingga sultan di luar pulau Jawa ditolongnya.31 Panah yang mengarah pada laku semena penguasa kulit putih maupun kulit berwarna itu mengubah diri pada 1910 menjadi harian ditambah terbitan ekstra pada hari Minggu dengan oplah mencapai dua ribu eksemplar.

Akhir hayat Medan Prijaji pada 22 Agustus 1912 bukan disebabkan oleh rasa takut pada penguasa. Bukan pula oleh sebab kehabisan anak panah yang terkenal tajam. Melainkan sebaliknya, mereka yang pernah dibuat „muntah darah‟ oleh panahan sang Jurnalis semakin banyak. Mulai dari pejabat kecil hingga sang penguasatama, Gubernur Jenderal Idenburg tak luput dari pantauannya. Idenburg diserang dengan sebuah artikel yang menyebutnya sebagai „kyaine‟ yang menggunakan uang rakyat bukan untuk semestinya.32

Rupa-rupanya, serangan bertubi-tubi ini membuat para penguasa geram dan memulai suatu upaya merontokkan Medan Prijaji. Dengan cara yang serba misterius, Medan Prijaji dinyatakan pailit oleh sebuah operasi tersembunyi. Ini akibat berita yang keras membuat pelanggan takut pada penguasa dan menghentikan berlangganan. Sebagian dari mereka tidak membayar sehingga

Medan Prijaji digerogoti hutang. Ini membuat Tirto disandera dan kemudian sekali lagi, dibuang.

Sedemikian beracun panah Medan Prijaji sehingga para penguasa menghelat suatu permufakatan jahat untuk menyudahi teriakan protesnya yang lantang. Betapa bahayanya surat kabar ini tampak dari pengakuan Rinkes dalam

30 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.49 31 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.64 32 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.65 57

surat rahasianya untuk Idenburg pada 1912 yang menyatakan bahwa “.. dalam mingguan yang kemudian jadi harian itu, di bawah pimpinan redaktur-kepala, direktur, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo..... diserang dengan keras pemerintahan dan para pegawai pemerintah, peraturan-peraturan pemerintah dihaja”‟.

Ia juga menekankan betapa Medan Prijaji „meracuni‟ kepala kaum setengah terpelajar untuk mengupayakan perbaikan nasib. Dan “semua ditulis dengan berani, dan dengan tegas, sehingga mengesankan pada pembaca dan membuat mereka pertama-tama menyadari, harian itu sebagai pejuang untuk kepentingan mereka yang orang harus menunjang dan mengikuti”.33

Berbahayanya harian ini dikukuhkan Rinkes sekali lagi pada 1915 dengan suatu pengakuan tentang pengamatannya mengenai dunia surat kabar bahwa “pers pribumi di waktu-waktu belakangan sama sekali tidak menimbulkan alasan serius tertentu untuk mengeluh, (di waktu-waktu semasa Tirto Adhi Soerjo hal itu lebih gawat).”34 Kekhawatiran serupa juga tampak dari suatu dokumen Kementerian

Daerah Jajahan Belanda mengenai tinjauan ulang atas Drukpersreglement 1856 yang dilaksanakan pada 1906 dalam Staatsblad no. 770, di mana salah satu pasalnya menyebutkan bahwa Medan Prijaji termasuk berbahaya dengan

“...bahasa yang menghasut.” 35 Nampaknya Medan Prijaji telah benar-benar membuktikan diri sebagai ruang perlawanan. Mengutip Saleh Abdullah bahwa

33 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.67 34 Beginilah Tirto Adhi Soerjo dalam Majalah Seabad Pers Kebangsaan (Jakarta: Indexpress, 2007) h. 17 35 Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, h. 303 58

perlawanan tidak sebatas ide. Melainkan ia memerlukan ruang aktualisasi diri untuk menunjukkan bahwa resistensi itu ada.36

Dari secuplik sejarah pers di ranah bumi Nusantara, kita dapat melihat suatu fenomena betapa pers memiliki kekuatan politik sebagai pembangun identitas bangsa yang sedang ”menjadi”. Dan dalam gerak sejarah yang demikian itu, meminjam istilah Taufik Rahzen, Medan Prijaji merupakan patok awal di mana nasionalisme untuk pertama kali dibangkitkan dengan jalan revolusi cetak.37

C. R.M Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Kebangsaan

Dalam sebuah ungkapan indah yang dicatat pada kisaran 1904 di mana wartawan hidup dalam semangat patriotisme, Joseph Pulitzer memberikan gambaran mengenai siapa seorang jurnalis. Dalam pandangan Pulitzer, wartawan adalah seorang yang berdiri di anjungan kapal, senantiasa melakukan pengamatan.

Ia mencatat laju pelayaran, menggambarkan keadaan cakrawala yang cerah.

Membuat laporan mengenai yang terdampar agar kapal selamat. Berteman dengan badai dan kabut agar dapat segera kirimkan kabar bahaya. Seorang yang tidak memikirkan gaji. Ia berada di sana demi kesejahteraan rakyat atau siapapun yang mempercayainya.38

Sepak terjangnya dituangkan Pramoedya Ananta Toer dalam bentuk fiksi berjudul Jejak Langkah.39 Jurnalis kita, Tirto Adhi soerjo, seorang yang disebut

36 Saleh Abdullah, Melawan Arus, Menguasai Ruang dalam Jurnal Wacana (Jogjakarta: Insist Press, 2008) h. 7 37 Bataviase Nouvelles, no.04 Februari (Jakarta: Indexpress, 2007) h. 36 38 Pawito, Komunikasi Politik (Yogyakarta: Jalasutera, 2009) h. 127-128 39 Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah (Jakarta: Lentera Dipantara, 2006) 59

Dakhideae memiliki pandangan jauh menembus zaman.40 Ia digambarkan S. De

Vries sebagai seorang dengan daya kerja luarbiasa yang digambarkan dengan

“setiap saat ia bekerja untuk kemajuan bangsanya, namun semua hasilnya dipersembahkannya pada umum, sehingga ia tidak mengenal kekayaan...” tirto juga disebut sebagai jurnalis yang “memberikan bantuan paada semua orang yang membutuhkan...”41

Seorang seperti beliau dan para pengikut jejak langkahnya bukan sekadar pencari berita “mereka itu bukan news getter, tapi pahlawan perdjuangan nasional, pelopor tjita-tjita persatuan dan kesatuan. Mulai daripada jang tertua seperti

Tirtohadisurjo dengan Medan Prijaji-nja...”42 dalam kalimat singkat, Max Lane menyebutnya sebagai “seorang pribumi pertama yang menerbitkan koran harian dan menggunakannya untuk mendorong perjuangan menentang kolonialisme...”43

Namun demikian, kerapkali ia kerjakan tugas jurnalistiknya itu dari pembuangan. Tirto memang tidak dipenjara sebab kebangsawanannya memberinya suatu forum previlegiatum. Tapi seebuah kalimat agaknya bisa digunakan menggambarkan betapa ia bekerja dengan sebelah kaki di pembuangan. Sebagaimana hampir rata-rata nasib para jurnalis dan redaktur di daerah jajahan yang kritis akan menjadi seorang yang “...selalu bekerja dengan satu kakinya di penjara”.44

40Daniel Dakhideae, Sang Perintis. http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsprograms/2007/04/17/1298/ pena. tajam. Tirto. Adhi. Soerjo. hari. pers. nasional. 41 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 6-7 42 Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia,h. 355 43 Max Lane, Bangsa yang Belum Selesai (Jakarta: Reform Institut,2007) h.xxv 44 Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi.... ,h. 31 60

Beberapa kali pembuangan dihadapinya tak lain sebagai buah yang harus ia petik dari ketajaman penanya. Sebagai seorang bangsawan keturunan Pangeran

Sambernyowo, Tirto termasuk orang yang „menabrak garis‟. Sebab ia terbilang anti terhadap watak feodal. Dalam pandangannya, boleh jadi satu-satunya sisi positif dari kolonialisme adalah mendobrak feodalisme, tapi lebih dari itu ia memusuhinya sebagai sistem yang menindas.45

Sebagai siswa STOVIA, tentu ia memiliki modal intelektual. Namun ketajamannya menjadi kian terasah ketika ia bertemu dengan Karel Wijbrands di dapur berita surat kabar Pembrita Betawi, seorang jurnalis senior yang mengajarkannya cara mengelola usaha surat kabar serta ilmu hukum agar tepat dalam melangkah.46 Dalam pengamatan Pramoedya, ketajaman kritik Tirto atas kolonial dalam tulisan-tulisannya kian menjadi setelah ia kembali dari pembuangan di Maluku. Sebab di sana ia mendengar pengakuan tentang kekejaman kolonial.47

Sejak di awal-awal karirnya di Pembrita Betawi, ia sudah disoroti akibat keberaniannya mengungkap skandal J.J Donner, residen Madiun, dalam perkara upaya perebutan posisi. Donner menghadapkan Bupati ke hadapan hukum dan mengalahkan Bupati Madiun, Brotodiningrat yang kemudian dibuang ke Padang.

Hal ini terus diungkap Tirto dalam Pembrita Betawi, dan karenanya ia harus berhadapan dengan penguasa kolonial.48

45 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 14 46 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 25 47 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 45 48 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 29 61

Sebagai seorang penggerak perlawanan atas kolonialisme, Tirto memiliki anomalinya sendiri. Jika umumnya orang menganggap agak janggal bagi seorang aktivis perlawanan berdekat-dekat dengan penguasa. Lain halnya dengan Tirto, ia terbilang dekat dengan Gubernur Jenderal Van Heustz. Agaknya kedekatannya ini sebagai salah satu faktor begitu beraninya ia mengangkat suatu berita yang tak berani dibicarakan orang. Namun setelah Van Heutsz digantikan oleh Idenburg, malapetaka dimulai. Gubernur Jenderal yang baru itu segera mengendus jejak perlawanan dan mengambil tindakan atasnya. Kesempatan ini dibaca dengan jeli oleh lawan sang jurnalis, A.Simon. baginya ini adalah kesempatan baik untuk balas dendam. Tirto didakwa atas tulisan-tulisannya yang memojokkan pemerintahan kolonial sebagai aparat yang mementingkan bangsa yang memerintah yang tidak menghargai hak bangsa yang diperintah. Ia juga didakwa atas tulisan yang menyebutkan bahwa pemerintah kolonial tidak memberikan kebebasan bersuara dalam pers serta pembiaran korupsi resmi.49

Akibat dakwaan itu, ia dikenakan hukuman. Bukan penjara atau gantung, berkat previlese yang dimilikinya ia beroleh pembuangan ke Teluk Betung. 50

Kendati mulai dibuntungi perlahan, jejak langkahnya masih mendapat simpati.

Seorang yang entah siapa, mengiriminya surat puitis dari Eropa. Dalam surat itu dikatakan bahwa “penghukuman tuan menyedihkan saya, kesedihan yang mendalam....” dan untunglah ada satu pepatah Perancis yang menghibur perihal tuduhan yang ditimpakan atas Tirto, “C’est le crime, qui fait la honte et non pas l’푐 hafaud.. ”, “kejahatanlah yang telah membikin aib, dan bukan tiang gantungan”

. Sang pengagum melihat sosok jurnalis kita sebagai seorang juru selamat,

49 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 62 50 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 56 62

seorang Mahdi bagi bangsanya. Ini terlukis puitis dalam surat yang sama seolah ingin mengatakan bahwa ia dihukum bukan karena salah “orang telah menyalib

Mahdi-ku namun tetaplah dia Juruselamat-ku. Hari-hari pembuangan untunglah bagi tuan bukan hari-hari penebus dosa..... tuan bukanlah penjahat. Di mata mereka yang berpikiran waras, tuan tetap keturunan terhormat seorang Ario

Jipang dan seorang Pangeran Sambernyowo”.51

Dari pembuangan di Teluk Betung, alih-alih patah, pena Sang Pemula malah kian runcing. Dalam pembuangan itu ia memberikan pada pembacanya suatu “Oleh-oleh dari Tempat Pembuangan” yang mengatakan bahwa watak

“berbuat sesuka sendiri dan pilih kasih adalah penyakit kebanyakan orang yang berkuasa di Hindia ini”. Setiap hari ia mendengar pengaduan betapa masyarakat jauh dari kebebasan dan perlakuan adil. Ini membuatnya berang hingga “...darah kita sedang mendidih, gigi kita menggigit bibir, dan hati berdebar-debar karena murka sudah menggunakan pena...”.52

Begitu dendamnya ia pada kolonial terlukiskan dalam penuturan seorang yang pernah berjumpa pada pembuangan di Ambon. Menurutnya, Tirto pernah berkata “jika interniran saya dicabut, saya akan pergi ke Japan. Dan ajak Japan pukul atau runtuhkan Hindia Belanda”.53 Sedemikian berbahayanya tokoh kita, sehingga dibikin tak banyak orang mengenalnya. Tentu bukan suatu kebetulan, melainkan suatu upaya yang terencana. Kita akan lihat bagaimana Tirto dilukiskan

51 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 56-57. Lihat juga Bataviase Nouvelles no.04 Februari 2007, h. 37 52 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 246 53 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 168 63

dalam syair yang ditulis Priatman berjudul „Siapa Pelopor Djurnalistik di

Indonesia- 1875-1917‟ sebagai berikut:

“Raden Mas Tirtoadisoerjo Nama kecilnja Djokomono Keturunan Tirtonoto Bupati Bodjonegoro

Peladjar S.T.O.V.I.A. di Djakarta Penulis pembela Bangsa Membasmi sifat pendjajah Belanda Dengan tulisan jang sangat tadjam penanja

Membuka sedjarah djurnalistiknja „Medan Prijai‟ warta hariannja Suluh keadilan dan Putri Hindia Ada dalam pegangan Redaksinja

Tiap perbuatan dari pendjadjah Jang akan membuat lemah Terhadap Nusa dan Bangsa kita Diserang dan dibasmi dengan sendjata penanja

Akibat dari sangat tadjam sendjata penanja Pendjadjah dengan kekuasaannja Mendjatuhkan hukumannja Marhum Tirtoadisurjo diasingkan dari tempat kediamannja

Lampung adalah tempat tudjuannja Setibanja di pengasingan terus berdjuang Tak ada tempo jang terluang „ntuk membela Nusa dan Bangsanja

Pelopor Djurnalistik Indonesia Tahun 1875 adalah tahun lahirnja Pada tahun 1917 wafatnja Mangga Dua di Djakarta beliau dimakamkannja ”54

Dalam sang Pemula, Pramoedya memberi catatan mengenai syair ini.

Menurutnya terdapat ketidakakuratan mengenai tahun lahir dan wafat Tirto yang seharusnya 1880-1918.55 Kini makamnya pun telah dipindah di sebidang tanah berpagar yang dijadikan makam keluarga di tengah pemakaman umum di daerah

Blender, Bogor.

54 Priatman, Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah (Bogor: Badan Penerbiit Patani,1950) h.89 55 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.3 64

Mengingat jejak langkahnya sebagai jurnalis yang „berbahaya‟, bukan mustahil bahwa kiprahnya dihilangkan dari sejarah nasional. Bahkan upaya menghapus kiprah Tirto ini sudah dimulai sejak ia masih hidup. Mengenai hal ini, sedikitnya kita bisa menyebut tiga nama agen rahasia Belanda yang membuntuti dan mencatat tindak-tanduknya, Dr. C. Snouck Hurgronje, Dr. G.A.J. Hazeu, dan

Dr. D.A. Rinkes yang melakukan upaya sistematis untuk mencitrakan Tirto sebagai sosok yang bermasalah. 56 Muhidin M Dahlan menyebutnya sebagai operasi arsivaris yang bertujuan menghabisi jejak perjuangan Sang Pemula. 57

Singkat kata, Tirto dikriminalisasi karena kerja jurnalistiknya dianggap berbahaya bagi kolonial, sebagaimana diakui sendiri oleh Tirto bahwa “dengan bekerja sebagai redaktur koran, saya bisa menggerakkan hati bangsa dan menggugah mereka yang masih tidur nyenyak agar mulai menyadari kewajibannya ”.58

56 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 4 57 Muhidin M Dahlan, Revolusi yang Lahir dari Cetak dalam BASIS Januari-Februari 2009, h.6 58 Iswara N Raditya, Karya-karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo; Pers Pergerakan dan Kebangsaan (Jakarta: I;BOEKOE, 2008) h.7

BAB IV

NASIONALISME CETAK, PERLAWANAN PERS TERHADAP

PENJAJAHAN KOLONIALISME

Bahasa menunjukkan bangsa, demikian bunyi sebuah adegium yang kerap menyambangi daun telinga. Kalau memang benar demikian adanya, lantas sejauh mana bahasa berpengaruh dalam upaya komunal mengidentifikasi dirinya sebagai satu kesatuan bangsa dengan kriteria tertentu. Berikut akan saya paparkan mengenai bahasa sebagai identitas sebuah bangsa yang memainkan peran melalui suratkabar.

A. Linguafranca sebagai Identitas Bangsa

Setelah pada bab kedua kita telah membahas teori mengenai bagaimana pers mengkonstruksi realitas bernama bangsa, maka Pada bagian ini kita akan sedikit memberikan penekanan mengenai bagaimana bahasa bukan hanya sebagai pelengkap identitas, namun lebih dari itu menjadi sarana pembentukan sebuah bangsa. Tentu masih dalam rangka menjelaskan peran pers, dalam hal ini Medan

Prijaji, untuk memainkan sepak terjangnya di alam penghisapan kolonial untuk pada akhirnya memberi tempat pada bahasa untuk menegaskan dirinya sebagai sebuah bagian yang menjadi instrumen penting dari pembentukan sebuah bangsa.

Sebagaimana Loomba mengutip Ben Anderson bahwa di tengah proses menjalin ikatan-ikatan antara komunitas yaang tak pernah saling tatap, suratkabar memainkan peran menciptakan budaya, kepentingan, dan kosa kata bersama yang

65

66

menciptakan „bahasa cetak‟ tertentu.1 Dalam hal ini, apa yang dimaksud dengan

„bahasa cetak „ itu adalah linguafranca yang dirumahkan suratkabar.

Sebagaimana dikatakan Perry Anderson dalam “Modernity and

Revolution”, kebudayaan adalah kesadaran yang dirumuskan dengan aktivitas bahasa. Bahasa adalah praktik kesadaran, sebagaimana kesadaran, hanya muncul dari kebutuhan; kebutuhan terhadap pergaulan dengan manusia lain. Dengan kata lain, kesadaran tertentu merupakan produk dari hubungan sosial tertentu.2 Kita tentu masih ingat betapa bangsa juga diandaikan sebagai suatu „hubungan sosial tertentu‟.

Sekarang bagaimana halnya dengan bahasa dan bangsa dalam kaitannya dengan topik pembahasan kita. Dalam kasus Medan Prijaji, tentu kita bisa melihat sekilas mata bahwa bahasa lingua franca yang digunakan sebagai bahasa operasional media cetak tersebut. Namun, ternyata lingua franca yang semula

„berkeliaran‟ di pasar-pasar sebagai bahasa perdagangan itu bertransformasi menjadi suatu yang tak sekadar transmisi antara penjual dan pembeli. Dalam

„asuhan‟ Medan Prijaji, bahasa yang pada akhirnya menjadi bahasa Nasional kita ini, bermetamorfosa menjadi identitas budaya sekaligus politik, yang menarik garis tegas antara “kami” dan “kalian”.

Dalam hal ini, “kami” dan “kalian” yang saya maksud tentu tidak lain adalah “bangsa jang terprentah” dan “bangsa jang memerentah”. Dan ini merupakan suatu instrumen penting bagi Bangsa yang berawal sebagai sebuah

1 Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (Jogjakarta: Bentang, 2003) h.241 2 Perry Anderson, Modernity and Revolution, Newleft Review. No. 144, Maret-April 1984. Dalam Razif, Bacaan Liar: Budaya dan Politik Pada Zaman Pergerakan. (Geocities) h.8 catatan kaki no.10 67

kumpulan terpisah komunitas etni yang sedang mangalami demam kesadaran akan suatu di luar dirinya. Realitas yang dipungut dan terkonstruk dalam pengandaian akan sebuah entitas bangsa. Dan pada akhirnya, dalam suratkabar yang diasuh

Tirto ini, bahasa benar-benar menarik garis pembatas antara sebuah Bangsa yang tertindas dan dicitrakan terbelakang dengan Barbarian yang dicitrakan „beradab‟, atau meminjam istilah Lenin ”Civilized Barbarism”, 3 dalam menggambarkan betapa di balik gemerlap glamor kehidupan „beradab‟ dua kota, London dan Paris ternyata tersimpan wajah menakutkan dari monster Kapitalisme. Dan dalam konteks Nusantara, monster itu adalah sekelompok penghisap yang mengeksploitasi habis harta benda milik bumi Nusantara di bawah panji kolonialisme.

Mengenai bagaimana bahasa bekerja mengkonstuk bangsa. Ini merupakan pembahasan menarik. Pertama, kita kembali mengingat bahwa bangsa kita terbentuk dari sekumpulan komunitas etni. Ini berarti bahwa keduanya, yakni bangsa dan suku bangsa, merupakan kelompok fenomena yang sama, dengan kesadaran berbeda. Kesadaran yang pada awalnya hanya berupa ke „kita‟an dalam batasan kesukuan bertransformasi dengan memperluas jangkauan ke „kita‟an menjadi tidak hanya berdasar pada gen 4 dan etnisitas, tapi lebih terbuka dan menjadi kesadaran kolektif. Ini dapat terjadi salah satunya berkat media massa yang mampu „melipat jarak‟ sehingga proses pembagian kesadaran ke „kita‟an menjadi lebih massif dan efektif.

3 V.I. Lenin, Civilized Barbarism dalam V.I. Lenin on Britain (Moscow: Foreign Languages Publishing House) h. 187 4 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009) h.90 68

Dalam pandangan De Fleur dan Ball- Rokeach, ada berbagai cara media massa mempengaruhi bahasa, di antaranya dengan menciptakan istilah baru. Pada gugusan sejarah di masa pendudukan kolonial, kita bisa melihat betapa tradisi pendidikan modern mengenalkan istilah baru yang berkaitan erat dan berpengaruh dengan pergerakan semisal vergadering, voordracht (pidato), accoord (setuju), vakbonden (serikat buruh), communisme,Islamisme, dan tentunya nasionalisme.

Takashi Shiraishi menyebutkan bahwa istilah baru ini merupakan penanda bentuk baru politik pergerakan yang menancapkan akarnya pada bahasa melayu. Dan menurut Shiraishi “ Untuk memahami persoalan ini kita cukup mengingat kembali

Tirtoadhisoerjo”. 5 Dalam kaitannya dengan Medan Prijaji, istilah baru yang diciptakan adalah terminologi „bangsa‟, yakni „bangsa jang terprentah‟ dan

„bangsa jang memerentah‟. Kita tahu bahwa pada masa itu, kata bangsa biasanya identik dengan etnisitas, misalnya bangsa Jawa, bangsa batak, dan semacamnya.

Namun Medan Prijaji melahirkan istilah dengan pengertian yang juga baru. Bangsa tidak lagi dipahami sebagai Jawa, Madura, Batak, Ambon dan lain- lain. Tapi sebagai ke‟kita‟an yang merupakan hasil relasi sosial yang dibangun diatas pondasi kesadaran kolektif. Sebagaimana dikatakan Saussure bahwa pandangan kita tentang realitas dikonstruksi oleh kata-kata6, maka di titik inilah bahasa, melalui suratkabar, tidak hanya memantulkan realitas dalam sebuah cerminan apa adanya, tapi lebih dari itu, sebagai sarana konseptualisasi, ia mengkonstruk realitas7 tentang bangsa dengan pengertian yang sama sekali baru.

5 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926 (Jakarta: Grafiti,2005) h.470 6 Alex Sobur, Analisis Teks Media....h.87 7 Alex Sobur, Analisis Teks Media... h.91 69

Pandangan konstruktivisme seperti Peter Berger maupun yang datang dari kaum Marxis juga berpandangan senada, bahwa penggunaan bahasa dalam suatu proses sosial ditujukan bukan hanya mendefinisikan, tapi juga mengkonstruksi realitas dalam relasi kuasa tertentu. 8 Tentu kita tidak dalam porsi membahas politik bahasa secara mendalam, namun demikian, penggunaan linguafranca menjadi pilihan strategis dalam upaya penyebaran kesadaran kolektif mengingat bahasa tersebut digunakan oleh lapisan penduduk yang lebih banyak. Tentu pilihan ini menjadi efektif mengingat apa yang dilakukan Medan Prijaji sejatinya adalah counter-hegemony terhadap wacana yang disebarkan penguasa kolonial baik menyangkut kolonialisme sebagai praktik ekonomi politik maupun budaya yang disusupkan di antaranya. Berikut akan kita lihat bagaimana Medan Prijaji menentukan sikap perihal bahasa pilihannya itu:

“... dalam tempat tempat pesisir itoe dimana bahasa kita soeda bertempat moela moela, dalam bahagian berbanjak dalam koempoelan Hindia pada raajat negrinja di dapet penggoenannja lingua franca, jani Melajoe rendah jani Melajoe jang sederhana ditjampoer dengan roepa-roepa tjampoeran dari itoe bahasa Melajoe rendah sahaja tida maoe kata djahat. Itoe ada bahoea jang berfaedah dan kerna sederhana rangkaianja gampang dipeladjari olih dan antara berdjenis djenis raajat itoe.....”9

Dalam tulisan yang cukup panjang ini, sikap Medan Prijaji menyangkut bahasa pilihannya sebagai identitas sebuah bangsa sangat jelas bahkan gamblang tanpa tedeng aling-aling. Meminjam kacamata Taufik Rahzen, Seorang pemerhati sejarah media yang juga mengidolakan Tirtoadhisoerjo, bahwa perjuangan surat kabar inilah yang disebut sebagai nasionalisme cetak atau print-nationalism, yakni nasionalisme yang bukan hanya memfungsikan pers sebagai sarana propaganda

8 Dedy N Hidayat, Politik Media, Politik Bahasa dalam Proses Legitimasi dan Delegitimasi Rejim Orde Baru dalam Dari Keseragaman Menuju Keberagaman (Jakarta: LSPP, 1999) h.47 9 T.A.S, Behasa Olanda di Hindia Olanda dalam Medan Prijaji th.III ( NV. Medan Prijaji, 1909). h. 446-447 70

tapi lebih dari itu, merumahkan bahasa sebagai identitas budaya dan politik bangsa, sebab pada bahasa tersirat gugusan politik identitas yang dirajut dalam surat kabar.10

B. Kritisisme Medan Prijaji Terhadap Penguasa

Sebagaimana telah saya tuliskan pada bab kedua, dalam karya berjudul

Pers dan Massa, Njoto mengatakan bahwa “suratkabar tidak mungkin mengambil jalan tengah atau tidak berpihak”. Pandangan ini kembali saya kutipkan sebagai sebuah penekanan bahwa pada keadaan sebagaimana Medan Prijaji tumbuh dan berkembang, yakni dalam nuansa penghisapan kolonial atas bangsa tanah koloni, atau meminjam istilah Medan Prijaji penjajahan „bangsa jang memerentah‟ atas

„bangsa jang terprentah‟, mustahil bagi sebuah surat kabar untuk tidak berpihak atau bersikap netral mengingat watak dasar Medan Prijaji sebagai pers yang berpolitik.

Ini sekaligus menjelaskan bahwa sejak dari jargon, koran berlambang kesatria memanah yang sempat mencapai oplah dua ribu eksemplar ini sudah menentukan ke arah mana keberpihakannya ditujukan. Keberpihakan pada rakyat tertindas yang diidentifikasi dengan nama „bangsa jang terprentah‟ ini diartikulasikan dalam tulisan-tulisan yang menggigit. Baik fiksi maupun non fiksi, keduanya memiliki daya tonjok yang telak mendarat di pelipis kekuasaan. Oleh sebab gaya penulisan yang menyerang sekaligus sinis, surat kabar yang ngeh politik ini kerap mendapat serangan balik dari pihak-pihak yang merasa aibnya dibongkar.

10 Taufik Rahzen, Seratus yang Membangun Rumah Bahasa dalam Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (Jakarta: I:BOEKOE, 2007) h.420-424 71

Karena konsistensinya mengawal kaum tertindas, Medan Prijaji juga diberi predikat sebagai koran pengusung jurnalisme advokasi. Keadaan Medan

Prijaji yang demikian itu adalah suatu tanda betapa surat kabar memiliki daya advokasi dan oleh karenanya ia tidak hanya hadir, tapi dirindukan oleh rakyat kecil. Suatu keadaan di mana „teekenend dat de kleine man in den journalist zijn verdendiger ziet...‟, bahwa orang kecil memandang jurnalis sebagai pembela mereka.11

Tema dari artikel kritis suratkabar yang kerap merongrong penguasa ini beragam. Namun dua diantaranya yang mencolok dan senafas dengan tema kita adalah tema seputar kritik terhadap penguasa di satu sisi dan „sentimen kebangsaan‟ di lain sisi. Namun sebenarnya kedua sisi tersebut memiliki satu sasaran yang sama dan kadang kedua tema tersebut termuat dalam satu artikel, kritik terhadap „bangsa jang memerrentah‟ yang kelak melahirkan konsekuensi berupa lahirnya rasa ke‟kita‟an. Bahwa „kita‟ yakni „bangsa jang terprentah‟ berbeda, dan harus mengatakan tidak terhadap „mereka‟ yang tak lain „bangsa jang memerentah‟.

Berkenaan dengan itu, tidak satu dua permasalahan yang dicuatkan oleh suratkabar pembangkit bumiputra dari tidurnya ini. Tidak sedikit pula kasus yang disorotinya berkenaan dengan laku semena para penguasa, baik itu dari bangsa

Eropa maupun bangsa pribumi yang bersatu dengan bangsa jang memerentah.

Boleh jadi watak konfrontatif dalam mengawal kasus kaum lemah dan kritik atas penguasa ini yang membuat Medan Prijaji kerap berurusan dengan hukum.

Berikut kita akan melihat sebuah berita yang dimuat Medan Prjiaji berkenaan

11 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985) h.211 72

dengan kritik-kritiknya terhadap penguasa, salah satunya adalah kritisisme Medan

Prijaji dalam upaya menolong orang-orang desa Bapangan atas laku kuasa

Aspirant Controleur Purworedjo, A. Simon yang berbuntut panjang.

Gambaran dari peristiwa saat itu kira-kira sebagai berikut; “.... kita didakwa soeda mengoepat saakan akan kita ada toedoeh Asp. Controleur itu terima smeer, tetapi toedoehan ini tida di terima olih en Raad van justitie en olih

Hof besar sehingga kita terlepas dari.... toedoehan itoe; akan hal ini soerat-soerat kabar melaijoe jang ternama soeda menjatakan kegirangannja”.12

Dalam artikel yang sama, Tirto yang menulis dengan nama pena berupa inisial T.A.S, mengutipkan suatu keadaan perkembangan kritisisme media yang diberitakan ulang Medan Prijaji dari Java Bode No.226 bahwa pers bumiputera sudah menggeliat luarbiasa maju. Dalam artikel itu, dikatakan bahwa “bagi kebaekannja gerakan boemi poetra maka pers anak negeri ta‟akan moenkir lagi.

Maka boemi poetra soedah berdiam diri sekian lamanja, tetapi sekarang soedah moelai hendak majoe, dan pers-pers disini soedah berterejak pandjang lebar”.13

Semangat yang berapi-api nampaknya juga akibat disulut rasa simpati dari

„orang-orang kecil‟ yang menuliskan surat berisi dukungan mereka untuk berhadapan dengan sang Aspirant yang juga dimuat dalam Medan Prijaji sebagai berikut:

“ Dipersembahkan pada toeankoe Raden Mas Tirtohadisoerjo jang berpangkat hoofdredakteur Medan Prijaji di Bogor.

Hamba, 1.Soetodikromo, 2. Himan Djojo, 3. Mangoenkarso, 4. Matkarip, mendengar kabar djikaloe padoeka didakwa olih toean Apirant Controleur Poerworedjo perkara

12 Tirtoadhisoerjo, Doenia Soerat-soerat Chabar Boemipoetra dalam Medan Prijaji tahun III (NV. Medan Prijaji,1909) h.906 13 Tirtoadhisoerjo, Doenia Soerat-soerat Chabar Boemipoetra.., h. 902 73

padoeka soeda toeloeng pada hamba dan teman-teman semoea sedjoemblah 236 (orang). Hal itoe djangan koewatir djikaloe padoeka toean didenda, hamba orang 236 jang bersanggoep bajar, memang itoe poetoesannja toean tida adil.....”14

Seteru antara kedua pihak, Medan Prijaji kontra A. Simon ini dipertajam dengan suatu kalimat sarkastik ketika Medan Prijaji menyebut A. Simon sebagai

Snot- aap alias monyet ingusan. Ini berawal dari kecurangan persekongkolan politik dalam upaya memenangkan salah satu calon Lurah yang sudah kalah suara pa pemilihan di distrik Cangkrep, Bapangan.15

Tak melulu mengenai sistem pemerintahan, Medan Prijaji juga menyoroti ketidakberesan lain yang menurutnya harus diwartakan. Seolah tak rela ketidakberesan itu terlanjur dianggap wajar, maka lekas-lekas ia menghantamnya.

Berikut adalah suatu kritik yang diwartakan menyangkut perilaku hidup mewah seorang bupati yang “...soeda mendadak bisa bli automobiel bebrapa sehinggaarganja betreak seperti treaknja boereoeng podang, ewoe, ewoe woe!!!

...”, usut punya usut ternyata kekayaan mendadak itu datang setelah “...ada fabriek goela” yang dibuka di daerah sang Bupati. Alhasil dengan segala kepemilikan bupati yang mewah itu “... orang ketjil soeda takoet dan srahkan sawahnja pada paksa Bupati automobiel itoe akan disewa boeat kebon teboe...”.

Dan tentunya, akibat nafsu sang Bupati memperoleh untung dari upaya penanaman tebu itu, ia perluas ladang tebu sehingga “orang ketjil betreak tida bisa

14 Soeratnja orang-orang desa Bapangan pada Hoofd Red M.P. dalam Medan Prijaji Th. III/ 1909 h. 15 15 Perdelict. Oepatan dan Penistaan. Aspirant Controleur A. Simon Contra R.M. Tirto Adhi Soerjo Hoofd Redacteur Medan Prijaji, dalam Medan Prijaji Th.III/1909 h. 224. Sebagai catatan, Pramoedya Ananta Toer dalam Sang Pemula menuliskaannya dengan „Persdelict: Umpatan, A. Simon Kontra R.M. Tirto Adhi Soerjo. Lih. Sang Pemula h. 208. Dalam Sang Pemula, Pramoedya juga kerap mengubah tidak hanya ejaan tapi juga redaksional yang berbeda dari teks asli Medan Prijaji. Dan itu diakuinya agar membuat nyaman para pembaca. 74

tanam padi atau polowidjo”. Dengan gaya bahasa yang sangat meledek, seperti menyisipkan suara burung Kepodang tadi, Tirto menutup artikel itu “Eeee! Main

Ewoe Ewoe sadja! Apa lagi nanti kalau soeda giling, ewoe, ewoe orang dipaksa djadi koeli, sebab, ewoe ewoe soeda masoek di kabopaten...”16 boleh jadi bunyi kepodang yang dimaksudnya adalah bunyi mesin giling tebu. Kesulitan rakyat kecil semacam ini digambarkan juga dalam Medan Prijaji dengan sebuah pantun mengenai pemaksaan pemerintah pada rakyat untuk menanam sirih, dan jika tidak, maka akan diancam hukuman, “melak seureuh di boeroehan, oi!. Prentah ti kawedanaan, oi!. Abong menak pamarentahan, oi!. Henteu njaah kasamahan, oi!”, menanam sirih di halaman, perintah dari kewedanaan, mentang-mentang pejabat negeri (prijaji), tidak kasihan pada orang kecil.17

Kritisisme surat kabar yang menggunakan gaya bahasa menyerang ini tak hanya berhenti pada upaya memanah penguasa baik lokal maupun penjajah asing saja. lebih jauh lagi, bersamaan dengan itu ia menghembuskan sentimen ke‟kita‟an dengan langsung menarik garis antara „bangsa jang memerentah‟ yakni kolonial belanda beserta gigi roda penindasannya yang merupakan orang bumiputera, dengan „bangsa jang terprentah‟ sebagaimana tertuang pada bagian berikut.

C. Sentimen Kebangsaan Medan Prijaji: „Bangsa Jang Terprentah‟ dan

„Bangsa Jang Memrentah‟

Dalam pengertian yang paling sederhana, kolonialisme dapat diartikan sebagai penghisapan kaum kolonialis atas tanah koloni atau jajahan. Sedangkan

16 TAS, Baoe Goela dalam Medan Prijaji tahun III (NV Medan Prijaji, 1909) h.787 17 Kamerdikaannja Peladang Kita dalam Medan Prijaji tahun III, h. 713 75

pengertian lebih jelas dapat kita lihat sebagaimana dikatakan oleh Ronald

Horvath:

“It seems generally, if not universally, agreed that colonialism is a form of domination- the control by individuals or groups over the territory and/or behavior of other individuals or groups. Colonialism has also been seen as a form of expolitation, with emphasis on economic variables, as in the Marxist-Leninist literature, and as a culture-change process, as in anthropology...”18 Dari kutipan di atas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa hakikat dari kolonialisme adalah upaya eksploitasi yang dilakukan perorangan maupun kelompok, yang dapat berpengaruh tidak hanya secara ekonomi, tapi juga berdampak pada budaya. Pandangan senada namun agak berbeda dengan penekanan pada penghisapan ekonomi juga tercermin dari pernyataan Marco bahwa menurutnya, kolonialisme adalah “...kapitalist Europa...” yang dinilai

Marco ”soedah sama bersepakat dengan bangsanja kapitalis alias membikin

Maatschappij jang besar-besar, dan akalnya menggaroek oeang, jaitoe menghisap darahnja kromo....”.19

Pendapat tersebut mengindikasikan bahwa dampak kolonialisme tidak hanya melulu berkutat pada ranah perekonomian tapi juga bergerak dan berpengaruh pada aspek lain semisal tatanan sosial. Mengenai hal ini, kita bisa melihat melalui sejarah kolonialisme yang setelah secara membabibuta memberlakukan tanam paksa, pada gilirannya menerapkan liberalisasi ekonomi di bumi Nusantara. Akibat dari penerapan sistem tersebut, modal swasta asing

18 ”rupanya secara umum, jika tidak secara keseluruhan, disepakati bahwa kolonialisme adalah bentuk dominasi. Kontrol perorangan atau kelompok keluar teritori dan atau sikap dari perorangan atau kelompok lain. Kolonialisme juga telah dilihat sebagai bentuk eksploitasi, dengan penekanan pada variabel ekonomi, sebagaimana terdapat pada karya Marxis- Leninis, dan sebagai sebuah perubahan budaya, sebagaimana terdapat pada kajian antropologi” lihat Ronald Horvath, A Definition of Colonialism dalam Current Anthropology vol.13. no.1 (Chicago, 1972) diambil dari http://www.jstor.org 19 Razif, Bacaan Liar; Budaya dan Politik.... (Geocities) h.3 76

mengalir deras dan akhirnya berdirilah kegiatan ekonomi berlandaskan industrialisasi. Singkatnya, pabrik-pabrik didirikan dan sawah berubah wujud menjadi perkebunan. Ini bermula dengan diterapkannya sistem sewa tanah yang mengubah tatanan sosial masyarakat. Sisi positif dari perubahan ini adalah terkikisnya feodalisme, namun sisi negatifnya melahirkan kemelaratan rakyat. 20

Ania Loomba menyebut kolonialisme sebagai suatu penaklukan dan penguasaan tanah dan kepemilikan rakyat oleh „orang lain‟. Lebih spesifik, dalam kasus kolonialisme Eropa atas tanah koloni disebut sebagai kolonialisme modern.

Ini dilakukan untuk membedakannya dari kolonialisme lama yang merupakan penaklukan-penaklukan pada zaman Aztec, Inca, Roma, dan sebagainya. Dalam pandangan marxis, kolonialisme modern sejalan dengan ditegakkannya kapitalisme Eropa Barat, sementara kolonialisme lama berada pada tahapan prakapitalis.21

Apa yang sedari tadi kita sebut dengan „kesadaran kebangsaan‟ yang pada gilirannya melahirkan bangsa, sejatinya merupakan respon atas sistem eksploitasi para penghisap ini. Ian Adams menyebutkan bahwa merupakan pola yang wajar ketika kemunculan nasionalisme merupakan suatu reaksi atas kolonisasi Eropa.22

Dalam istilah lain, kita bisa mengatakaan bahwa kolonialisme pada akhirnya harus menemui takdir menggali lubang kuburnya sendiri, dan lubang kubur itu bernama nasionalisme. Sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya, bahwa cangkul yang digunakan oleh kolonialisme itu bernama politik etis. Ada sebuah perkataan menarik dari Adams di mana ia mengatakan bahwa orang-orang Eropa sendiri,

20 Zainul Munasichin, Berebut Kiri (Jogjakarta: LKIS, 2005) h. 1-4 21 Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme.. h.2-5 22 Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir (Jogjakarta:Qalam, 2004) h. 131 77

tentu dalam konteks ini ia memaksudkannya dalam kapasitas kolonial, yang memberikan perkakas kepada kaum nasionalis yang akhirnya mampu menumbangkan kekuasaan sang pemberi alat-alat berupa modernisme dan ide-ide dari Eropa seperti nasionalisme, Hak asasi dan sebagainya.23

Pada pembahasan sebelumnya, kita telah bertemu dengan beragam pengertian bangsa dari berbagai cara pandang yang di dominasi oleh pengalaman sejarah kesadaran kebangsaan Eropa. Dalam bab ini saya akan memaparkan sebuah cara pandang yang datang dari anak Negeri. Suatu gagasan tentang bangsa yang lahir dari kepala anak negeri dengan keunikan dan pengalaman sejarah bangsanya sendiri. Namun demikian, pada bagian ini kita tentu masih akan tetap bersinggungan dengan pengertian bangsa berdasar pengalaman Eropa.

Melalui corong suara pergerakan bernama Medan Prijaji, Tirto menawarkan kepada kita sebuah cara pandang khas mengenai bangsa. Dalam gagasannya tentang bangsa, Tirto melakukan klasifikasi kelompok manusia ke dalam dua kategori bangsa antara “jang terprentah” dan “jang memerentah”, istilah ini ternyata tidak sesederhana pelafalannya. Cara pandang Tirto seolah mengingatkan kita pada cara pandang Kelas a la Karl Marx. Istilah ini bukan sekadar jargon yang kerap dirapal Tirto sepanjang khotbah politiknya atau dalam rangka meyakinkan kawan seperjuangannya. Namun dalam cara berpikirnya yang maju, ia benar-benar menuangkan cara pandang „pertentangan kelas‟ ini ke dalam bingkai berpikir suratkabar yang menjadi duta pemikirannya. Ini yang kemudian menjadikan frame Medan Prijaji menampilkan sosok berita yang frontal, tanpa

23 Ian Adams, Ideologi Politik.... h. 131. 78

tedeng aling-aling. Sebab dalam pandangan Medan Prijaji dan sang Mpu-nya, musuh sangat jelas di depan mata.

Melalui cara pandang ini pula kita dapat memasuki alam pikiran Medan

Prijaji dan sang Hoofdredactueur yang juga tertuang dalam artikel-artikelnya tentang pembayangan sebuah bangsa. Pada literatur yang membahas seputar masa kolonial di bumi Nusantara, kita akan mendapati sederetan nama semisal Jong

Java, Jong Celebes, Jong Ambon, dan semacamnya. Ini mengindikasikan betapa watak kedaerahan pada masa itu masih begitu kuat, masih terfokus pada ke‟kita‟an dalam lingkup komunitas etni ,dan pada saat yang sama belum ada pemikiran tentang suatu entitas bangsa.

Kalau toh ada, apa yang disebut dengan bangsa pada masa itu berbasis pada dasar kesukuan atau etnisitas sebab pada masa itu komunitas dari daerah tertentu disebut bangsa, misalnya Bangsa Ambon, Bangsa Celebes, Bangsa

Borneo, bangsa Sumatera, bangsa Jawa, dan sebagainya. Di tengah keriuhan bangsa-bangsa itu Tirto menggunakan istilah yang sama sekali baru, „Bangsa Jang

Terprentah‟. Suatu gagasan tentang kumpulan manusia yang berada di luar realitas maupun pikiran masyarakat saat itu.

Dari sini kita bisa melihat bahwa apa yang Tirto inginkan dengan istilahnya itu setidaknya ada dua. Pertama, ia ingin menarik orang-orang untuk keluar dari kesadaran kedaerahan menuju kesadaran kebangsaan.24 Kedua, ia ingin menyibak selubung penghisapan bernama kolonialisme dengan menyadarkan rakyat bahwa mereka, kaum kolonial, adalah bangsa „jang memerentah‟ yang

24 Bandingkan R.E. Elson, The Idea of Indonesia (Jakarta: Serambi, 2009) h.22 79

dengan semena-mena mengatur kehidupan anak negeri dan pada saat yang sama melakukan penindasan dalam berbagai aspek kehidupan.

Padahal sejatinya sebuah bangsa, selayaknya seorang manusia, bukan berangkat dari apa yang orang pikirkan, tapi dari realitas yang memang ada.

Meminjam istilah Marx dalam German Ideology bahwa kita tidak berangkat dari khayalan atau bayangan untuk sampai pada yang namanya manusia dalam wujudnya yang seperti sekarang ini, melainkan manusia itu telah ada. Sedangkan bayangan yang terbentuk dalam pikiran manusia merupakan gambaran dari proses kehidupan nyata.25

Ini sekaligus menjawab apa yang saya maksudkan pada bab sebelumnya bahwa kendati kita menggunakan „pembayangan‟ Ben Anderson, namun pada

Medan Prijaji pembayangan itu bukan selayaknya seorang seniman mengarang karya serupa lukisan abstrak yang tak berbasis pada objek riil dan hanya meluapkan rasa. Justeru sebaliknya, „Bangsa Jang Terprentah‟ adalah realitas obyektif dari kehidupan anak negeri pada masa pendudukan kolonial. Artinya,

Jurnalis kita ini bukan sedang mengarang cerita tentang penindasan yang ia khayal-khayalkan terjadi pada alam pikirannya. Akan tetapi sebaliknya, Tirto melalui Medan Prijaji mampu merekam fakta dan memunculkan realitas objektif bahwa penindasan itu sungguh terjadi, di saat kolonialisme menculiknya jauh dari kesadaran banyak orang.

Berikut ini saya coba kutipkan artikel dalam Medan Prijaji yang ditulis atas nama Diana. Melalui artikel ini kita akan melihat suatu gambaran bagaimana

25 Haris Rusly Moti dalam Njoto, Marxisme Ilmu dan Amalnya (Jakarta: Teplok Press, 2003) h.xviii. Lihat juga Terry Eagelton, Kritik Sastra Marxis (Jakarta: Desantara, 2002) h.10-11 80

keadaan bangsa jang terprentah itu demikian diremehkan oleh bangsa yang memerentah sebagai bangsa „sopan‟.

“...demikianlah bangsa Tionghoa bisa djadi madjoe. Sekarang betapakah halnja tentang orang Boemi poetera? ... orang berkoeli, jaitoe mentjeri makan dengan dapet opahan dari angkatken orang laen punja barang...”

“ tjoba lihat, itoe disana ada koetsier, dan dinaiki seorang bangsa sopan. Dogcart dibawa poeter kota, dari sini kesana, dari sana kemari, barangkali soedah empat lima djam lamanja.. „sekarang berhenti disini sir‟, „saja toean‟, „ini sewanja... een kwartje‟, „minta tambah, toean!‟, „apa! Kaoe berani boeka moeloet!‟, „tida toean, ini terlaloe sedikit sebab dogcart dipake 4 djam lamanja‟, „Peng!‟. Apa itu, soeara bedil! Boekan! Itoe soeara tapak tangan jang jatoeh dipipinja koetsir jang brutaal. Kasihan! ”

“...lihat itoe disana!... seorang Opziender poekoel pada koeli. Apa sebab? Oleh koeli tida maoe berhormat dan madoeka pada itoe kandjeng toean besar Opziender.” 26 Buah pemahaman apa yang dapat kita petik dari artikel di atas. Tentu semua kita yang membaca tulisan atas nama Diana tersebut akan menangkap suatu gambaran bahwa laku semena atau penindasan benar-benar telah terjadi.

Baik itu hinaan, kekerasan fisik, atau eksploitasi. Dari artikel tersebut kita bisa memungut gambaran bahwa penindasan itu menghujani keseharian rakyat dengan berbagai profesi mulai dari kusir, kuli, dan sebagainya yang tak dituliskan sebab menurut penulisnya terlalu banyak jika harus dibeberkan semua, “djikaloe disini haroes diseboetken roepa-roepa hinaan itoe, tentoelah terlaloe makan banjak tempat.”27

Alhasil itulah potret dari bangsa bumiputera yang diperlakukan sedemikian rupa selayaknya binatang oleh bangsa „sopan‟ sebagaimana kata „sopan‟ itu dipilih oleh penulis artikel untuk dikontraskan dengan laku semena atas kusir yang dianggap brutal hanya karena berani menuntut haknya. Sebuah satire yang menguak kesadaran sekaligus sentimen ke‟kita‟an dalam upaya merajut jalin

26 Diana, Mendjoendjoeng bangsa, dalam Medan Prijaji no.33 tahun III (NV Medan Prijaji, 1909) h. 764-769 27 Diana, Mendjoendjoeng Bangsa...h. 769 81

temali terwujudnya sebuah nasion. Oleh sebab artikel semacam ini dapat memberikan kabar menggantikan lisan untuk bertutur dan berbagi keluh peluh atas penindasan yang dialami saudara sebangsa di belahan nusa yang tak saling tatap mata. Dan lagi-lagi harus kita katakan bahwa di sinilah suratkabar berperan melipat jarak, sehingga meski mata tak saling tatap namun satu sama lain bisa saling pandang melalui kata dan berita.

Namun demikian, penulis artikel tersebut memberikan sikap sekaligus pandangannya atas fenomena tersebut, bahwa keadaan seperti itu tidak bisa didiamkan. Sebab menurutnya, binatang saja tidak boleh disakiti apalagi orang, dan kebusukan dalam bentuk apapun harus diusir dari dunia.

Masih dalam artikel yang sama, penulis kita menjelaskan bahwa ini semua bukan hanya disebabkan oleh perkara uang dan pengetahuan yang dimiliki kaum yang dipertuan saja. tapi juga oleh sebab mental minder atau rasa rendah diri dari kaum pribumi yang merasa takut sejak awal. Dan oleh karenanya, menurut artikel tersebut, maka “tiada lain, soepaja orang Boemi terlepas dari penganiajaan, haroeslah orang Boemi Poetra djadi koeat dan koeasa djoega”.28 Dan jaln satu- satunya tiada lain adalah dengan merebut kemerdekaan harkat sebagai sebuah bangsa terhormat. Dan untuk itu dalam artikel yang membakar kesadaran ini, penulis kita memberikan uraian mengenai apa saja langkah yang harus ditempuh untuk melakukan upaya membebaskan bangsa dari penindasan.

Menurut penulis yang menggunakan nama Diana ini setidaknya ada tiga poin yang digarisbawahi. Menurutnya, orang harus memperhatikan modal

28Diana, Mendjoendjoeng Bangsa, dalam Medan Prijaji no.33 tahun III, h. 770 82

intelektual, bekerja keras, dan menggaungkan persatuan bangsa agar mampu berdiri di atas kaki sendiri, “berame-rame menoeloeng bangsanja, mengangkat dari tempat jang rendah ketempat jang tinggi...”.29

Melalui artikel-artikel tajam yang dilansir Medan Prijaji itulah, sebagaimana juga telah saya ilustrasikan melalui karya Mas Marco pada bab dua, para pembaca diajak untuk menaruh rasa empati pada apa yang menimpa saudara senasibnya yang diberi predikat „bangsa jang terprentah‟ sebagai identitas pengikat guna meyakinkan bahwa sejatinya mereka adalah satu kesatuan.

Dalam keadaan inilah proses pembayangan berlangsung pada jarak yang dilipat suratkabar sehingga dalam keadaan „tak berjarak‟ itu proses pembayangan meniscayakan timbulnya rasa ke‟kita‟an. Dari titik inilah kesadaran bumiputera dibangunkan dari tidur nyenyak yang sengaja diciptakan kolonialisme dengan dongeng-dongeng yang diamini mereka yang pragmatis dan tak peduli dengan nasib saudaranya yang teramat nyata di hadapan mata.

Melalui pembahasan artikel-artikel di atas, sebagaimana juga pada bab dua yang mengutip cerita yang ditulis Marco, maka dapat kita katakan bahwa apa yang dilakukan Medan Prijaji adalah upaya untuk memanggil anak-anak bangsa yang tercecer. Dalam kajian media dan ideologi, ada suatu pejelasan mengenai interpelasi. Yakni di mana gagasan menginterpelasi individu-individu30. Dalam contoh sederhana, tiba-tiba ada yang memanggil dengan suara hei! Kau yang di sana!!, dan secara refleks kita yang tiba-tiba merasa sebagai „kau yang di sana‟ memberikan respon. Ini terjadi dalam kasus tulisan Marco “Semarang Hitam”

29 Diana, Mendjoendjoeng Bangsa, h. 771 30 Tony Thwaites, dkk, Introducing Cultural Studies; Sebuah Pendekatan Semiotik (Jogjakarta: Jalasutra, 2009) h.242 83

dengan lelaki tanpa nama. Demikian pula dengan artikel-artikel kritis Medan

Prijaji yang seolah memanggil bangsa jang terprentah untuk sadar. Dan ketika respon diberikan seperti halnya oleh orang desa Bapangan, maka yang terjadi adalah terbentuknya rasa ke„kita‟an yang tergambarkan betapa “senar-senarku telah ditarik dari tempat lain, oleh suara yang bahkan tidak kukenal namun tampaknya kutaati”.31

D. Pengaruh Medan Prijaji Terhadap Kemunculan Kaum Nasionalis

Revolusioner

Dari dalam newsroom Medan Prijaji kita telah menyaksikan bagaimana sekerumun aksara diatur sedemikian rupa sehingga berubah wujud menjadi sekawanan berita yang memburu mengejar para penguasa baik itu kolonial

Belanda maupun penduduk bumiputera yang menjadi hamba kolonial. Sejumlah artikel yang dilesatkan dari busur pemikiran kritis membuat mereka yang bersalah tak nyenyak tidur. Selayaknya lambang dari suratkabar pengusung Jurnalisme advokasi yang berupa pendekar pemanah, berita yang dikandung Medan Prijaji seolah melesat seperti anak panah mencari sasaran. Dalam bahasa yang berbau hiperbolis, dalam beberapa literatur mengenai Medan Prijaji, kita akan mendapati ilustrasi betapa pena tajam dari sang empunya mampu membuat para pejabat muntah darah karena buah pikiran sang jurnalis. Watak yang selalu berpihak pada mereka yang lemah inilah yang membuat Medan Prijaji tampil sebagai surat kabar pembela kaum tertindas.32

31 Tony Thwaites, dkk, Introducing Cultural Studies... h.241-243 32 Iswara N Raditya, Para Pemula Indonesia dalam Sang Guru (Jogjakarta: Ekspresi Buku, 2006) h.228 84

Namun demikian, newsroom Medan Prijaji ternyata tak hanya melahirkan berita-berita pedas, artikel-artikel yang merongrong laku semena para penguasa, maupun cerita bernada satire. Dari ruang penggodokan berita itu, tergodok pula pemikiran seorang anak muda yang merupakan hasil didikan Tirtoadhisoerjo.

Sebagaimana kerap kita bicarakan pada bagian sebelumnya, anak muda yang kita maksud tidak lain adalah Mas Marco Kartodikromo. Bagi jurnalis nasionalis-

Marxis ini, Medan Prijaji selayaknya sekolah yang mendidiknya tidak hanya mengenai cara menyusun huruf selaku seorang letterzetter (penyusun aksara), namun juga tempat di mana pikiran, gagasan, dan kepiawaiannya di dunia jurnalistik diasah setajam anak panah pada lambang Medan Prijaji.

Berbagai literatur berkenaan dengan sosok Tirto seolah tak membiarkan kedua nama ini terpisah. Hal serupa juga datang dari tulisan penulis muda, Iswara

N Raditya, yang menaruh perhatian dan meneliti cukup lama seputar

Tirtoadhisoerjo dan tentunya Medan Prijaji. Dalam karya yang merupakan himpunan tulisan beberapa penulis muda itu ia menggambarkan betapa Marco mengakui bahwa “lantaran pimpinannya saya bisa menjadi redaktur...”.33 Dalam paparan yang lebih panjang, Pramoedya Ananta Toer menuliskan pengakuan

Marco mengenai sang guru bahwa “ ....saya mesti mengaku juga bahwa lantaran pimpinannya.... saya bisa menjadi redacteur, pada keetika saya ada di Bandung, kumpul serumah dengan beliau... seorang journalist Jawa paling tua...... mashur di seluruh Hindia lantaran keberaniannya mengusik laku sewenang-wenang...” 34

Tulisan Marco ini sejatinya merupakan suatu upaya melepas wafatnya sang guru.

33 Iswara N Raditya, Para Pemula Indonesia .....h.230 34 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985) h.7 85

Marco menulisnya di Sinar Hindia lima hari setelah sang Guru menghembus nafas akhir.

Keterbatasan tema pada karya ini membuat ruang kita membahas Marco harus dibatasi pula. Oleh karenanya saya tidak akan berpanjang kalam dalam pembahasan Marco, hanya selintas sekadar memberi petanda betapa hubungan guru murid itu ada dan berpengaruh dalam dunia jurnalistik pergerakan. Berikut saya kutipkan syair Marco Kartodikromo dalam surat kabar Sinar Hindia 14

Agustus 1918 berjudul „Awas! Kaoem Journalist!‟ sebagai suatu gambaran mengenai sikap Marco sebagai seorang jurnalis yang dipelajarinya dari sang guru:

“Jadi Journalist zaman sekarang Berani dihukum dan di buang Karena dia yang mesti menendang Semua barang yang melangmalang

Journalist harus berani mati Bekerja berat membanting diri Sebab dia hendak melindungi Guna mencari anak sendiri

Journalist harus bisa berdiri Sendiri juga yang keras hati Dan tidak boleh main komedi Guna mencari enak sendiri

Koran itu tooneel umpamanya Tuan membaca yang menontonnya Journalisnya jadi pemainnya Hoofdredacteur jadi kepalanya”35

35 Muhidin M Dahlan, Revolusi yang Lahir dari Cetak dalam majalah BASIS no. 01-02 Januari- Februari 2009. h. 4

BAB V

KESIMPULAN

Setelah berkutat sedemikian panjang dengan liku-liku pembahasan mengenai bangsa dan kesadaran kebangsaan yang tidak sesederhana pelafalannya, akhirnya kita sampai pada bagian akhir dari pembahasan. Pada bagian awal kita telah berpanjang lebar dalam pembahasan tentang gagasan bangsa dan kesadaran kebangsaan yang kerap tumpang tindih. Berbagai aspek dan pendekatan serta beragam cara pandang dalam memaknai gagasan tersebut pun sudah kita sambangi. Demikian pula halnya dengan apa yang menjadi sarana dari bekerjanya kesadaran kebangsaan yang pada gilirannya mengkonstruk bangsa, media cetak.

Namun demikian, berlikunya jalan pembahasan mengenai hal yang memang sudah problematik sejak dari istilah ini perlu kembali mendapatkan penekanan. Saya katakan demikian sebab saya merasa perlu untuk kembali mengingatkan kita semua bahwa kesadaran kebangsaan kita memiliki sejarahnya sendiri yang berbeda dengan pengalaman sejarah Eropa. Mengenai hal ini, sejatinya kerap saya kemukakan pada beberapa bagian sebab menjadi penting untuk tidak mengukur ukuran pakaian kita berdasar pada ukuran badan orang lain.

Sebagaimana telah kita bahas bahwa pengalaman sejarah terbentuknya bangsa kita sama sekali berbeda dengan catatan harian bangsa Eropa. Meski tentu ada faktor-faktor pembentuk yang sama seperti teknologi mesin cetak yang pada akhirnya memainkan peran penyebaran bibit kesadaran kebangsaan. Namun pondasi yang menjadi alas bagi bangunan bangsa itu berbeda. Kita mendasarkan bangunan kebangsaan kita di atas suatu kesadaran anti kolonialisme.

86

87

Akhirnya, melaui pembahasan tentang Medan Prijaji dan perannya dalam menabur benih kesadaran kebangsaan melalui sentimen yang dibangun dengan identitas yang secara langsung menarik garis, kita akan bertemu dengan hakikat dari nasionalisme kita, watak bangsa kita. Dari gaya bahasa Medan Prijaji yang konfrontatif sebagai suatu media dengan semangat Jurnalisme advokasi yang membela orang tertindas dari kalangan ‘Bangsa jang terprentah’, kita akan mendapati suatu pertanda bahwa watak bangsa kita adalah anti terhadap segala bentuk penjajahan.

Melalui jargon yang dipampang suratkabar tersebut, kita akan menemukan hakikat dari kesadaran kebangsaan kita yang dibangun tepat di atas sikap anti terhadap kolonialisme. Mengenai sikap anti terhadap kolonialisme ini ia tunjukkan secara gamblang tanpa tedeng aling-aling bahwa para kolonialis atau penjajah adalah bangsa yang memerintah, pun demikian dengan kroni-kroninya yang sudi menjadi sekrup bagi mesin penjajahan yang menggiling nasib anak bangsa yang ia sebut sebagai bangsa yang terperintah yang harus bangkit melawan sebagai suatu kesatuan bangsa yang dalam ruang pembayangan dirajut melalui media cetak.

Nampaknya kita harus kembali mengingat istilah kolonialisme yang menggali lubang kuburnya sendiri dengan cangkul bermerek politik etis. Bahwa sebagai akibat dari politik etis yang melahirkan banyak kaum intelektual itu, serta didukung kemajuan teknologi cetak, maka lahirlah pergerakan kaum intelektual melalui dunia persuratkabaran yang mampu menjalin rasa keterikatan antara bangsa yang terperintah di bumi Nusantara yang membelokkan cita-cita awal kolonial menyatukan Nusantara sebagai tanah jajahan menjadi ladang

88

pembebasan Nasional. Dan akhirnya berlaku suatu perumpamaan kolonialisme tak ubahnya seekor ayam petelur yang harus terkena serangan jantung di tengah kesibukannya memproduksi, karena tak kuasa menahan kekagetan yang begitu dahsyat ketika ia harus menyaksikan seekor Garuda menetas dari salah sebutir telurnya yang dibuahi semangat perlawanan.

Daftar Pustaka

Buku Adam, Ahmat. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan. Jakarta: Hasta Mitra dan KITLV, 2003. Adams, Ian. Ideologi Politik Mutakhir. Yogyakarta: Qalam,2004. Algadri, Hamid, Mr. C. Snouck Hurgronje; Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab. Jakarta: Sinar Harapan, 1984. Anderson, Benedict. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 2008. Cangara, Hafied, Prof.Dr. M.Sc. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali Press, 2010. Dahlan, Muhidin. M. Ed, dkk. Sang Guru. Jogjakarta: Ekspresi Buku, 2006. Eagleton, Terry. Marxisme & Kritik Sastra. Depok: Desantara, 2002. Elson, R.E. The Idea of Indonesia. Jakarta: Serambi, 2009. Fairclough, Norman. Language and Power, Relasi Bahasa, Kekuasaan, dan Ideologi. Gresik: Boyan, 2003. Fanon, Frantz. Bumi Bernatakan. Jakarta: Teplok Press, 2000. Garaudy, Roger,dkk. Demi Kaum Tertindas. Jakarta: Citra,tt. Grosby, Steven. Nationalism A Very Short Introduction. Oxford, 2005 Hidayat, Dedy. N, dkk. Pers Dalam “Revolusi Mei”, Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia, 2000. Hobsbawm, E.J. Nasionalisme Menjelang Abad XXI. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992. Horvath, Ronald. A Definition of Colonialism dalam Current Anthropology vol.13 no.1. Chicago, 1972. diambil dari http://www.jstor.org Kahin, George M.T. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1995. Kartika, sandra. Ed. dari Keseragaman Menuju Keberagaman. Jakarta: LSPP 1999. Kuntowijoyo. Penjelasan Sejarah. Jogjakarta: Tiara Wacana, 2008. Latif, Yudi, Ph.D. Intelegensia Muslim dan Kuasa. Bandung: Mizan, 2005. Lane, Max. Bangsa yang Belum Selesai, Indonesia Sebelum dan Sesudah Soeharto. Jakarta: Reform Institut, 2007. Leirissa, R.Z. Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia1900- 1950. Akademika Pressindo, 1985. Lenin,V.I. V.I. Lenin on Britain . Moscow: Foreign Languages Publishing House Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Jogjakarta: Bentang, 2003. Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: C.V. Rajawali, 1986. Muhtadi, Asep. Saeful. Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktik. Ciputat: Logos wacana Ilmu, 1999. Munasichin, Zainul. Berebut Kiri. Yogyakarta: LKIS, 2005. Nasuhi, Hamid, dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: Ceqda, 2007. Njoto. Marxisme, Ilmu & Amalnya. Jakarta: Teplok press, 2003. Niel, Robert Van. Munculnya Elit Modern di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 2009. Pawito, Ph.D. Komunikasi Politik, Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta: Jalasutera, 2009. Plekhanov, G. Seni dan Kehidupan Sosial .Bandung: Ultimus, 2006. Priatman. Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah. Bogor: Badan Penerbit Patani, 1950 Raditya, Iswara, N. Karya-karya Lengkap Tirtoadhisoerjo; Pers Pergerakan dan Kebangsaan. Jakarta: I:BOEKOE, 2008. Rahzen, Taufik, et al. Tanah Air Bahasa. Jakarta: I:BOEKOE, 2007. Razif. Bacaan Liar; Budaya dan Politik Pada Zaman Pergerakan (Geocities) Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005. Said, Tribuana. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. Jakarta: Haji Masagung, 1988. Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Grafiti, 2005. Smith, Anthony D. Nasionalisme; Teori, Ideologi, Sejarah. Jakarta: Erlangga, 2003. Sobur, Alex, Drs.M.Si. Analisis Teks Wacana. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009. , Ir. di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Penerbit, 1965. Stoddard, Lothrop. Dunia Baru Islam. Jakarta: Panitia Penerbit (diprakarsai oleh Presiden Soekarno), 1966. Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKIS, 2006. Surjomihardjo, Abdurrachman. Dkk. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas, 2002. Suseno, Franz. Magnis. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia, 1988. Thwaites, Tony, dkk. Introducing Cultural Studies. Jogjakarta: Jalasutra, 2009. Tim Penyusun Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009. Jakarta: Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN. 2009. Toer, Pramoedya, Ananta. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra, 1985. ------. Jejak Langkah. Jakarta: Lentera Dipantara, 2006 Triharyanto, Basilius. Pers Perlawanan; Politik Anti Kolonialisme Pertja Selatan. Yogyakarta: LKIS, 2009.

Sumber suratkabar, jurnal, dan majalah Bataviase Nouvelles no.04 Februari. Jakarta: Indexpress, 2007 Jurnal Maarif edisi vol.3 no.2 Mei 2008 Jurnal Wacana edisi 24, 2008. Insist Press Majalah BASIS no. 01-02, 2009. Majalah Prisma, Oktober 1991. LP3ES. Majalah Seabad Pers Kebangsaan, Desember 2007. I:BOEKOE. Medan Prijaji Th.III. 1909. NV Medan Prijaji Tabloid Indonesia Newsnet vol.1. no.1. juni 2005.

Video (wawancara) Sang Perintis, http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsprograms/2007/04/17/129 8/PENA.TAJAM.TIRTO..ADHI.SOERJO.hari.pers.nasional.