Nasionalisme Pers: Studi Kasus Peran Medan Prijaji Dalam Menumbuhkan Kesadaran Kebangsaan

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Nasionalisme Pers: Studi Kasus Peran Medan Prijaji Dalam Menumbuhkan Kesadaran Kebangsaan NASIONALISME PERS: STUDI KASUS PERAN MEDAN PRIJAJI DALAM MENUMBUHKAN KESADARAN KEBANGSAAN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Oleh: R. M. Joko Prawoto Mulyadi NIM: 105033201150 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H/ 2011 M DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : R.M. Joko Prawoto Mulyadi Tempat / Tanggal lahir : Jakarta, 12 Januari 1986 Alamat : Jalan Kebon Nanas Selatan 2, OTISTA III Rt.007/05 no.30 Jakarta Timur Kebangsaan : Indonesia Agama : Islam Pendidikan : 1. TK. Islam An-Nuriyyah, Otista, Jakarta Timur. 2. SD. Muhammadiyah 55, Tebet, Jakarta Selatan. 3. Madrasah Diniyyah An-Nafi’ah 4. SMPN 73, Tebet, Jakarta Selatan. 5. SMUN 26, Tebet, Jakarta Selatan. 6. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FISIP, Ilmu Politik ii ABSTRAK Judul : NASIONALISME PERS: STUDI KASUS PERAN MEDAN PRIJAJI DALAM MENUMBUHKAN KESADARAN KEBANGSAAN Sebagai suatu tema kajian menarik, nasionalisme atau istilah lain yang berkaitan dengannya juga memiliki keunikan dan kerumitannya sendiri. Hal yang demikian itu terjadi akibat nasionalisme kerap ditulis dengan ‘N’ huruf awalan kapital. Artinya, ia terlanjur diasosiasikan sebagai sebuah ideologi sebagaimana juga ideologi lain semisal Marxisme, Sosialisme, dan sebagainya. Namun demikian, apa yang akan saya bahas pada karya ini bukan Nasionalisme dengan ‘N’, melainkan nasionalisme dengan ‘n’. Sekilas lalu apalah artinya dari huruf awalan kapital atau tidak, namun kelak dalam pembahasan itu akan berdampak besar. Apa yang dimaksud nasionalisme dengan ‘n’ bukanlah sebagai ideologi, tapi suatu rasa kebangsaan. Atau dalam istilah lain juga disebut kesadaran kebangsaan. Nasionalisme model ini yang akan menjadi pembahasan kita. Sebuah kesadaran kebangsaan yang disemai di ladang kering tanah koloni bernama Hindia Belanda. Bukan petani atau peladang, tapi jurnalis yang menyemai bibit kesadaran kebangsaan itu melalui media berupa surat kabar. Dalam hal ini, surat kabar yang dimaksud tentu adalah surat kabar yang mengawali upaya pembenihan kesadaran kebangsaan tersebut. dan pilihan jatuh pada sebuah surat kabar yang terbit pada 1907, Medan Prijaji, dengan seorang jurnalis berwatak keras, R.M. Tirto Adhi Soerjo. Surat kabar ini menjadi pilihan sebab selain ia selaku pionir dalam usaha pembibitan kesadaran ke ‘kita’an sebagai sebuah bangsa, juga memiliki sikap politik yang tegas. Sejak dari jargon sampai pada artikel, surat kabar yang sempat mencapai tiras 2000 ini benar-benar menariik garis tegas antara ‘kami’ dan ‘kalian’, yakni antara penjajah Kolonial dengan yang dijajahnya, yang dalam istilahnya digunakan identitas oposisi antara ’bangsa jang terprentah’ dengan ‘bangsa jang memerentah’. iii KATA PENGANTAR Bismihi Ta’ala Alhamdulillah, wash-sholatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa alihi al- ath’har. Segala puji bagi Rabb semesta alam atas segala nikmatNya. Shalawat dan salam terhatur kehadirat Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya. Semua itu adalah ungkapan syukur karena berkat rahmat itulah skripsi “NASIONALISME PERS: STUDI KASUS PERAN MEDAN PRIJAJI DALAM MENUMBUHKAN KESADARAN KEBANGSAAN” terselesaikan. Beragam kisah menarik saya jumpai di tengah perjalanan penulisan skripsi yang berawal dari makalah saya dalam sebuah seminar tentang Pers dan Kebangsaan di Universitas Negeri Yogyakarta beberapa tahun lalu. Biarlah tersimpan dalam kenangan dan terbuka pada saatnya. Namun yang terpenting adalah rampungnya penulisan skripsi ini sebagai syarat kelulusan dan beroleh gelar sarjana. Tentu semua ini tak lepas dari jasa yang tak berbilang dari berbagai pihak. Untuk itu, saya haturkan rasa hormat dan terima kasih kepada: 1. Alm. R.M. Tirto Adhi Soerjo, kakek buyut yang secara ironis harus saya kenal dari buku, baru kemudian diceritakan orang tua. Aku masih menziarahimu, di makam dan pada ratusan lembar buah penamu dalam Medan Prijaji. 2. Alm. S. Syahabuddin Shahab, kakek yang mengajariku bermain dengan kertas, pena, dan mesin ketik sejak kecil. Seorang penyiar, pengajar tafsir, dan Soekarnois yang membuatku akrab dengan dunia tulis menulis. 3. Alm. R.M. Dicky Permadi Tirtoadhisoerjo, ayah yang selalu mendidik dengan caranya yang unik. Yang dengan santai namun pasti, menjadikanku begitu akrab dengan buku. Amanat terakhirmu sebelum wafat telah kujalankan, skripsi ini salah satunya. Pesanmu masih kuingat, bahwa pilihan ‘menjadi seorang idealis harus tahan keadaan sulit’. 4. Syarifah Fathiyyah Shahab, ibu yang dengan segala keteguhan hati dan kesabaran menjalani hari-hari menunggu kelulusanku. Pengertian yang luar biasa atas jalan sunyi yang kupilih membuatku tetap tegar. iv v 5. Pramoedya Ananta Toer. Bung, melalui bukumu, aku mengenal asal- usulku, dan banyak hal luar biasa tentang nasion kita. 6. Prof. Dr. Bahtiar Efendi. Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 7. Dr. Ali Munhanif, ketua Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si, sekretaris Program Studi sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah menyempatkan waktu di sela kesibukan dan memberi bantuan referensi penting. 9. Seluruh dosen Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10. Indra B Aden, melalui pria yang kutemui semasa kuliah di IISIP ini aku mengenal Pram, dan akhirnya, Tirto. 11. Muhidin M Dahlan, yang telah memberikan foto copy Medan Prijaji melalui Iswara yang didapatnya dari Bung Pram. Terus menulis, kawan. 12. Teman-teman peneliti di Jogja, khususnya Iswara N Raditya, kerja kerasmu menulis Tirto akan berbuah suatu hari. 13. Kawan-kawan Kelompok Studi Kedai Pemikiran: Rendi, Aga, Lendi, Nurman, Andika, yang telah bersama-sama mengkaji masalah keIndonesiaan, termasuk pers dan membantu melengkapi referensi. Tetap jalan, kawan. Ilmu untuk kemanusiaan!!. 14. Teman berbincang yang memberi kesan dengan segala warnanya: Hasan sang pegandrung Semar, Riski si Aneuk Nangroe, Achmad Zaki dosen muda yang menjadi teman diskusi tentang sastra, media, dan banyak hal. 15. Nabila ‘habiba’ al-Aidrus, ‘alarm’ terindah yang selalu mengingatkan bahwa skripsi ini harus cepat selesai. Semoga segalanya indah pada waktunya. Semoga segala kebaikan terbalaskan. Sebagai sebuah skripsi yang beradu cepat dengan waktu di sela kesibukan lain yang menghimpit, tentu karya ini jauh dari sempurna. Namun semoga dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Jakarta 15 Juni 2011 R.M. Joko Prawoto Mulyadi DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN.......................................................................... i DAFTAR RIWAYAT HIDUP..................................................................... ii ABSTRAK..................................................................................................... iii KATA PENGANTAR.................................................................................. iv DAFTAR ISI.................................................................................................. vi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah............................................................. 6 C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 7 D. Tinjauan Pustaka.................................................................................. 7 E. Metode Penelitian................................................................................ 10 F. Sistematika Penulisan.......................................................................... 11 BAB II. LANDASAN TEORI A. Pengertian Nasion dan Nasionalisme..................................................... 13 B. Peran Pers sebagai Kontra Opini Kolonial............................................. 24 C. Nasionalisme dalam Pers....................................................................... 30 BAB III. NASIONALISME YANG LAHIR DARI PERS A. Geliat Pers di Hindia Belanda............................................................... 41 B. Medan Prijaji, Pers yang Berpolitik..................................................... 49 C. R.M Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Kebangsaan................................. 58 vi vii BAB IV. NASIONALISME CETAK, PERLAWANAN PERS TERHADAP PENJAJAHAN KOLONIALISME A. Linguafranca sebagai Identitas Bangsa.................................................... 65 B. Kritisisme Medan Prijaji Terhadap Penguasa......................................... 70 C. Sentimen Kebangsaan Medan Prijaji: “Bangsa Jang Terprentah” dan “Bangsa Jang Memrentah”....................................................................... 74 D. Pengaruh Medan Prijaji Terhadap Kemunculan Kaum Nasionalis Revolusioner............................................................................................. 83 BAB V. KESIMPULAN..................................................................................... 86 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesadaran kebangsaan atau yang lebih akrab di telinga dengan istilah „nasionalisme‟, merupakan tema perbincangan yang nyaris tak lekang digerogoti usia. Sepertinya, hal tersebut akan terus dan terus diperbincangkan selama negeri ini masih memiliki penghuni. Tema ini menjadi penting dan oleh karenanya selalu up to date dikarenakan sifatnya yang merupakan bagian dari pembahasan jatidiri bangsa, di mana di dalamnya terdapat temali cerita mengenai proses terbentuknya sebuah bangsa. Bahkan dalam gaya yang agak hiperbolis namun saya pikir benar, Hobsbawm menggambarkan bahwa
Recommended publications
  • Book Reviews - Matthew Amster, Jérôme Rousseau, Kayan Religion; Ritual Life and Religious Reform in Central Borneo
    Book Reviews - Matthew Amster, Jérôme Rousseau, Kayan religion; Ritual life and religious reform in Central Borneo. Leiden: KITLV Press, 1998, 352 pp. [VKI 180.] - Atsushi Ota, Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater; Staatsvorming, koloniale expansie en economische onderontwikkeling in Banten, West-Java, 1600-1750. Hilversum: Verloren, 1999, 253 pp. - Wanda Avé, Johannes Salilah, Traditional medicine among the Ngaju Dayak in Central Kalimantan; The 1935 writings of a former Ngaju Dayak Priest, edited and translated by A.H. Klokke. Phillips, Maine: Borneo Research Council, 1998, xxi + 314 pp. [Borneo Research Council Monograph 3.] - Peter Boomgaard, Sandra Pannell, Old world places, new world problems; Exploring issues of resource management in eastern Indonesia. Canberra: Centre for Resource and Environmental Studies, Australian National University, 1998, xiv + 387 pp., Franz von Benda-Beckmann (eds.) - H.J.M. Claessen, Geoffrey M. White, Chiefs today; Traditional Pacific leadership and the postcolonial state. Stanford, California: Stanford University Press, 1997, xiv + 343 pp., Lamont Lindstrom (eds.) - H.J.M. Claessen, Judith Huntsman, Tokelau; A historical ethnography. Auckland: Auckland University Press, 1996, xii + 355 pp., Antony Hooper (eds.) - Hans Gooszen, Gavin W. Jones, Indonesia assessment; Population and human resources. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University, 1997, 73 pp., Terence Hull (eds.) - Rens Heringa, John Guy, Woven cargoes; Indian textiles in the East. London: Thames and Hudson, 1998, 192 pp., with 241 illustrations (145 in colour). - Rens Heringa, Ruth Barnes, Indian block-printed textiles in Egypt; The Newberry collection in the Ashmolean Museum, Oxford. Oxford: Clarendon Press, 1997. Volume 1 (text): xiv + 138 pp., with 32 b/w illustrations and 43 colour plates; Volume 2 (catalogue): 379 pp., with 1226 b/w illustrations.
    [Show full text]
  • Modul Sejarah Kelas XI KD 3.7 Dan 3.7
    Modul Sejarah Kelas XI KD 3.7 Dan 3.7 RESPON BANGSA INDONESIA TERHADAP IMPERIALISME DAN KOLONIALISME DALAM BIDANG POLITIK, EKONOMI, SOSIAL-BUDAYA, DAN PENDIDIKAN SEJARAH KELAS XI PENYUSUN Zia Ulhaq SMAN 42 JAKARTA @2020, Direktorat SMA, Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS dan DIKMEN i Modul Sejarah Kelas XI KD 3.7 Dan 3.7 DAFTAR ISI PENYUSUN .......................................................................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ ii GLOSARIUM .................................................................................................................................... iii PETA KONSEP ................................................................................................................................. iv PENDAHULUAN ............................................................................................................................... 1 A. Identitas Modul ...................................................................................................... 1 B. Kompetensi Dasar .................................................................................................. 1 C. Deskripsi Singkat Materi ....................................................................................... 1 D. Petunjuk Penggunaan Modul ................................................................................. 2 E. Materi Pembelajaran
    [Show full text]
  • Student Hijo
    STUDENT HIJO Student Hidjo Oleh Marco Kartodikromo (1918) Diambil dari : militanindonesia.org Student Hijo karya Marco Kartodikromo, terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul sebagai buku tahun 1919. Merupakan salah satu perintis lahirnya sastra perlawanan, sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Novel ini mencoba berkisah tentang awal mula kelahiran para intelektual pribumi, yang lahir dari kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengkontraskan kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda. I. KONINGKLIJKE SCHOUWBURG DI ‘SRAVENHAGE [DEN HAAG] Sudah dua bulan lamanya Hidjo tinggal di Negeri Belanda dan menjadi pelajar di Delf. Selama itu pula Hidjo belum merasa kerasan tinggal di Nederland karena pikiran dan sikap Hidjo tidak sebagaimana anak muda kebanyakan. Yaitu suka melihat aneka pertunjukan yang bagus-bagus dan bermain-main dengan perempuan yang pertama kali Hidjo masuk di Koninklijke Schouwburg bersama dengan famili direktur yang ditumpangi rumahnya untuk melihat opera Faust. Sebuah pertunjukan yang sangat digemari oleh orang-orang Belanda. Dalam Faust itu, terdapat cerita dari seorang yang sangat gemar belajar mencari ilmu, sampai dia (Faust) itu tidak lagi mempunyai waktu untuk merasakan kesenangan dunia. Faust seorang yang berharta, tetapi dia tidak senang memelihara perempuan sebagaimana dilakukan orang kebanyakan. Juga plesiran dan lain-lainnya, dia tidak suka. Jadi Faust itu telah merasa bisa hidup dengan senang dengan beberapa ratus buku yang disukainya. Sejak ia masih muda sampai rambut Faust itu berganti warna putih, dia tidak pernah buang-buang waktu barang satu jam pun selain untuk belajar. Sudah barang tentu, semakin lama dia bertambah besar kekayaan. Begitu juga Faust selalu memikirkan hari kematiannya yang musti datang.
    [Show full text]
  • Thesis Submission
    From Primordialism to Peace Journalism: Lessons from Reporting Transitional Violence in Indonesia from the Late New Order to Early Reformasi Author Sharp, Stephen Published 2011 Thesis Type Thesis (PhD Doctorate) School School of Humanities DOI https://doi.org/10.25904/1912/273 Copyright Statement The author owns the copyright in this thesis, unless stated otherwise. Downloaded from http://hdl.handle.net/10072/367313 Griffith Research Online https://research-repository.griffith.edu.au School of Humanities, Faculty of Humanities & Social Sciences, Griffith University PhD Candidate: Steve Sharp B.Ec(Syd) MA(Journ)(UTS) Thesis Title: From Primordialism to Peace Journalism: lessons from reporting transitional violence in Indonesia from the late New Order to early Reformasi September 2010 Submitted in fulfilment of the requirements of the degree of Doctor of Philosophy This work has not previously been submitted for a degree or diploma in any university. To the best of my knowledge and belief, the thesis contains no material previously published or written by another person except where due reference is made in the thesis itself. _______________________ Date: 1 Abstract Since the fall of Communism, ethno-religious violence and ‘ethnic cleansing’ have become mainstay of news media reporting. Self-critical journalists increasingly question their professional role in exacerbating violent disintegration and ask how they can do journalism to assist the peaceful resolution of conflict. Due to its own difficult journey to nationhood, fear of a disintegrating state has been central to Indonesia’s political development and something of a national pathology. This was particularly apparent during the political crisis in the late 1990s when the historical repression and manipulation of ethnic and religious difference returned to haunt the state at its moment of weakness.
    [Show full text]
  • INDO 94 0 1349469264 57 84.Pdf (672.6Kb)
    From Foe to Partner to Foe Again: The Strange Alliance of the Dutch Authorities and Digoel Exiles in Australia, 1943-1945 Harry A. Poeze The Netherlands East Indies, the vast Dutch colony, was invaded by the Japanese and occupied with relative ease. The Indies government surrendered on March 8,1942. In the days leading up to the surrender, on orders of the Dutch Governor General, a number of government officials left for Australia. The Dutch government in exile in London—Germany occupied the Netherlands from May 1940—authorized the formation of an Indies government in exile in Australia, named the Netherlands Indies Commission. The commission was inaugurated on April 8, 1942, and was headed by H. J. van Mook. Starting in April 1944, the Raad van Departementshoofden (Commission of Departmental Heads) acted as Van Mook's cabinet. It consisted of six members, with Loekman Djajadiningrat as the sole Indonesian among them. Matters regarding the Dutch and Indonesians in Australia were supervised by Ch. O. van der Plas, who held the rank of Chief Commissioner for Australia and New Zealand and who was undoubtedly the most influential member of the Raad. The Indonesians stranded in Australia beginning in March 1942—mostly seamen and soldiers—cost Van der Plas a lot of time and caused him much worry. Moreover, Indonesia 94 (October 2012) 58 Harry Poeze he was also responsible for the almost forgotten community of political prisoners, interned in Boven Digoel, in the Southeast New Guinea jungle. That part of the Netherlands Indies was all that was left of the Dutch realm.
    [Show full text]
  • SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY in the NEW ORDER a Thesis Presented to the Faculty of the Center for Inte
    SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY IN THE NEW ORDER A thesis presented to the faculty of the Center for International Studies of Ohio University In partial fulfillment of the requirements for the degree Master of Arts Sony Karsono August 2005 This thesis entitled SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY IN THE NEW ORDER by Sony Karsono has been approved for the Department of Southeast Asian Studies and the Center for International Studies by William H. Frederick Associate Professor of History Josep Rota Director of International Studies KARSONO, SONY. M.A. August 2005. International Studies Setting History Straight? Indonesian Historiography in the New Order (274 pp.) Director of Thesis: William H. Frederick This thesis discusses one central problem: What happened to Indonesian historiography in the New Order (1966-98)? To analyze the problem, the author studies the connections between the major themes in his intellectual autobiography and those in the metahistory of the regime. Proceeding in chronological and thematic manner, the thesis comes in three parts. Part One presents the author’s intellectual autobiography, which illustrates how, as a member of the generation of people who grew up in the New Order, he came into contact with history. Part Two examines the genealogy of and the major issues at stake in the post-New Order controversy over the rectification of history. Part Three ends with several concluding observations. First, the historiographical engineering that the New Order committed was not effective. Second, the regime created the tools for people to criticize itself, which shows that it misunderstood its own society. Third, Indonesian contemporary culture is such that people abhor the idea that there is no single truth.
    [Show full text]
  • Inlandsche Journalisten Bond and Persatoean Djoernalis Indonesia1
    Keio Communication Review No.36, 2014 The Dynamics of Contentious Politics in The Indies: Inlandsche Journalisten Bond and Persatoean Djoernalis Indonesia1 By YAMAMOTO Nobuto* In the last three decades of Dutch colonialism, the vernacular press in the Netherlands Indies flourished. Journalists played a significant role in mounting various nationalistic and social movements by circulating and articulating both news and political messages. Such a honeymoon relationship between the press and mobilizational politics saw the high days of political radicalism in the 1910s and 1920s Java. Not a small number of the vernacular press functioned as organs of political parties and associations, and being conduits of their propagandas. After the crash of the so-called communist uprisings in 1926 and 1927, however, the colonial authorities suppressed mobilizational politics.2 Despite of the fact that newspapers now recoiled from doing propaganda works or politics altogether, they were actually able to attract more readerships than ever before throughout the 1930s. Dutch colonial authorities did not allow freedom of the press in the Indies and exercised censorship against the emergent periodical markets. Persdelict (press offense) as penal code was introduced in 1914, while persbreidel (press curbing) as an administrative measure was introduced in 1931 and became the dominant tool to curtail press freedom in the 1930s. The former targeted individual journalists including editors and associates, whereas the latter had power to shut down the publisher and the printer of a particular newspaper for a certain period of time. Under these two censorship regimes, journalists were always put under pressure of severe legal punishments and sometimes even being expelled from the Indies.
    [Show full text]
  • Nasionalisme Kulit Putih: Ernest Douwes Dekker Malaikat Pemberani
    Nasionalisme Kulit Putih: Ernest Douwes Dekker Malaikat Pemberani Samingan e-mail: [email protected] Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Flores ABSTRAK: Permasalahan dalam penelitian ini bagaimana bentuk nasionalisme orang Indo Ernest Douwes Dekker untuk memperjuangkan kesetaraan antara semua lapisan dengan orang Eropa. Lewat perjuangan yang berliku-liku mengalami berbagai pembuangan telah melahirkan rasa nasionalisme sebagai dasar pinjakan untuk Indonesia Merdeka. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk nasionalisme Ernest Douwes Dekker yang diperjuangkan mencapai kesetaraan antara orang kulit putih Eropa dengan orang pribumi dan orang Indo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode Sejarah (historical method). Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pertama adalah mengumpulkan sumber (heuristik), ke dua adalah kritik sumber atau verifikasi, langkah ke tiga adalah interpretasi, langkah ke empat rekontruksi historiografi (penulisan) sejarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Douwes Dekker merupakan seorang keturunan Belanda. Keprihatinannya atas penindasan bangsa kolonial terhadap kaum Pribumi mengetuk hati nuraninya untuk memperjuangkan kaum Indo (Keturunan Belanda) Pribumi dari segala diskriminasi. Langkah nyata yang ditempuh Douwes Dekker guna menyuarakan aspirasinya ditempuh dengan mendirikan partai politik atau dikenal dengan Indische Partij. Tjipto dikenal menentang sistem feodal yang telah mengakar, sementara Soewardi yang merupakan
    [Show full text]
  • Best Essays of 2015
    Logo Master File for Indonesian Scholarship & Research Support Foundation ISRSF Scholars Research Scholarship (R)65 (G)0 (B)170 (C)88 (M)97 (Y)0 (K)0 ISRSF Rockwell W100 H90 Scholars, Research and Scholarship Rockwell Light Best Essays of 2015 ISRSF Best Essays of 2015 Copyright © 2016 by ISRSF (Indonesian Scholarship and Research Support Foundation) All rights reserved. This book or any portion thereof may not be reproduced or used in any manner whatsoever without the express written permission of the publisher except for the use of brief quotations in a book review. Jakarta, February 2016 www.ISRSF.org Cover artwork: Designed by freepik.com and visualryan Table of Contents PREFACE 2 I. WOMEN’S ESSAYS 5 Introduction – by Dr. Dewi Candraningrum 6 Getting the ‘Post-Secular’ Right: Reading the Aceh Singkil Tragedy with Charles Taylor – by Lailatul Fitriyah 9 Deconstructing Stigma in Amurwani Dwi Lestariningsih’s GERWANI: The Story of Women as Political Prisoners in Plantungan Camp (1969-1979) – by Isyfi Afiani 19 The Impact of Women’s Representation in Politics and Society Towards Cultural and Religion Perspectives – by Juniar Laraswanda Umagapi 27 The Case of West Java: Behind The Popularity of Indonesian Coffee, Does This Popularity Show Farmers’ Empowerment? – by Resna Ria Asmara 39 The Influences of Culture and Stigma on Health Condition in Communities – by Mustika Yundari 49 The Reinterpretation of Gender: Inspiring Women in Modern Life – by Lenni Lestari 59 II. HISTORY ESSAYS 67 Introduction – by Dr. Baskara T. Wardaya, S.J. 68 Years
    [Show full text]
  • Semangat Sirnagalih 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen
    N E D N E P E D N I S I L A N R J U S I A L I A N SEMANGAT SIRNAGALIH 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen SEMANGAT SIRNAGALIH 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen Aliansi Jurnalis Independen (AJI), 2014 SEMANGat SIRNAGALIH 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen PENANGGUNGJAWAB: Eko Maryadi, Ketua Umum AJI Suwarjono, Sekjen AJI KOORDINatOR TIM: Abdul Manan PENULIS: Abdul Manan Arfi Bambani Wenri Wanhar Agustinus Eko Rahardjo Wenseslaus Manggut PEWAWANCARA: Y. Hesthi Murthi Wenri Wanhar Arfi Bambani Abdul Manan Aryo Wisanggeni Pito Agustin Alwan Ridha Ramdani Suwarjono KONTRIBUTOR BAHAN: Pengurus AJI kota seluruh Indonesia RISET DAN DOKUMENtasi: Y. Hesthi Murthi Satrio Putra Yuganto FOTO SAMPUL: Idon Haryana PENERBIT: Aliansi Jurnalis Independen Jl. Kembang Raya No. 6, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat 10420 Telepon/Fax: (6221) 3151214 (6221) 3151261 Email: [email protected] Buku ini didedikasikan untuk para deklarator Aliansi Jurnalis Independen (AJI). DEKLARASI SIRNAGALIH ahwa sesungguhnya kemerdekaan berpendapat, memperoleh informasi dan kemerdekaan berserikat B adalah hak asasi setiap warga negara. Bahwa sejarah pers Indonesia berangkat dari pers perjuangan yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, serta melawan kesewenang-wenangan. Dalam melaksanakan misi perjuangannya, pers Indonesia menempatkan kepentingan dan keutuhan bangsa di atas segala kepentingan pribadi maupun golongan. Indonesia adalah negara hukum, karena itu pers Indonesia melandaskan perjuangannya pada prinsip-prinsip hukum yang adil, dan bukan pada kekuasaan. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka kami menyatakan: • Menolak segala bentuk campur tangan, intimidasi, sensor, dan pembredelan pers yang mengingkari kebebasan berpendapat dan hak warga negara memperoleh informasi. • Menolak segala upaya mengaburkan semangat pers Indonesia sebagai pers perjuangan.
    [Show full text]
  • Enlightenment and the Revolutionary Press in Colonial Indonesia
    International Journal of Communication 11(2017), 1357–1377 1932–8036/20170005 Enlightenment and the Revolutionary Press in Colonial Indonesia RIANNE SUBIJANTO1 Baruch College, City University of New York, USA In the historiography of Indonesian nationalism and the press, much has been made of the vernacular press and its role in the emergence of national consciousness. However, this work has not typically distinguished between the vernacular press and the self- identified “revolutionary press,” which emerged during the early communist movement of 1920–1926. This article recovers the tradition of the revolutionary press and situates it in the history of Indonesian national struggles by examining the production and development of the revolutionary newspaper Sinar Hindia. An investigation of the paper’s content, production, and distribution practices reveals how Sinar Hindia not only embodied the anticolonial national struggle but also became a voice for a project of enlightenment in the colony. By uncovering this “revolutionary” paper’s own discourses of enlightenment and revolutionary struggle, this study sheds light on the role of the press in the production of enlightenment ideas and practices in colonial Indonesia. Keywords: revolutionary press, enlightenment project, Indonesia, communism, social movements, communication history The growth of the native vernacular press and political organizations in the first two decades of the 20th century provided the conditions for an important period in Indonesian press history that saw the rise and fall of the “revolutionary press.” This self-identified revolutionary press (or pers revolutionair) was an outgrowth of the earlier vernacular press, which itself, along with political parties and unions, had become a voice of the colonized people throughout the Dutch East Indies (now Indonesia).
    [Show full text]
  • Buruh Bergerak; Semaun Dan Suryopranoto Dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926
    BURUH BERGERAK; SEMAUN DAN SURYOPRANOTO DALAM PERJUANGAN GERAKAN BURUH 1900-1926 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh : Dominikus Bondan Pamungkas NIM : 054314004 NIRM PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 ii Halaman Persembahan Skripsi ini dipersembahkan kepada papa dan mama. Penulisan ini juga disumbangkan bagi pergerakan buruh di Indonesia, kemarin, kini dan esok. iv v ABSTRAK Dominikus Bondan Pamungkas Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Skripsi yang berjudul “Buruh Bergerak; Semaun dan Soeryopranoto dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926” berangkat dari 3 permasalahan. Pertama, faktor-faktor yang membawa Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan. Kedua, peranan Semaun dan Suryopranoto dalam gerakan perburuhan di Indonesia pada saat itu. Ketiga, faktor-faktor yang menjadi sebab terhentinya pergerakan buruh di Indonesia pada tahun 1926. Untuk mengkaji masalah-masalah tersebut, skripsi ini mempergunakan teori kelas Karl Marx, di mana dalam teori tersebut dibahas mengenai kemunculan kesadaran kelas. Dalam mempergunakan teori kelas Karl Marx, diseimbangakan pula dengan dua perspektif lain, yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi dan pandangan tentang Ratu Adil sebagai tokoh yang membebaskan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Metode ini digunakan untuk melihat perspektif konflik antara kekuatan kolonial dengan masyarakat pribumi. Penelitian ini memperoleh
    [Show full text]