ANALISIS KEKALAHAN PETAHANA (Studi Kekalahan -Djarot Saiful Hidayat

Pada Pilkada DKI Tahun 2017)

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan M emperoleh Gelar Sarjana S osial (S.Sos)

Oleh: JuwansahWiandi 1113112000037

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2019 M

ABSTRAK

Skripsi ini membahas tentang faktor kekalahan pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat atau yang sering disapa dengan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Hal ini menarik untuk dikaji mengingat pasangan Ahok-Djarot merupakan petahana yang memiliki popularitas tinggi hanya mampu meraih suara terbanyak di putaran pertama dan gagal memperoleh suara terbanyak di putaran kedua. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui anilisis deskriptif. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui wawancara, penelusuran dokumen dan studi pustaka. Selain itu kerang kateoritis pada penelitian ini menggunakan teori kampanye dan perilaku politik.

Dalam penelitian ini penulis menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 seperti; kegagalan Tim Sukses menaikkan citra Ahok-Djarot, gaya komunikasi Ahok dan yang paling dominan adalah Turunnya Citra Ahok-Djarot. Adapun turunnya citra Ahok-Djarot berdasarkan Indikator pendekatan psikologis disebabkan oleh isu SARA disusul dengan beragam reaksi dari masyarakat seperti aksi massa besar- besaran, adanya spanduk-spanduk anti Ahok dan penolakan warga saat Ahok-Djarot berkampanye. Selain itu faktor tambahan lainnya adalah kegagalan Tim Sukses dibuktikan dengan kurangnya efektifitas kampanye yang dilakukan Tim Sukses ditambah blunder politik dimasa tenang Pilkada mengakibatkan semakin berkurangnya kepercayaan warga terhadap pasangan Ahok-Djarot.

Kata Kunci: Kekalahan, Petahana, Citra Pilkada, SARA

iv

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya yang memberikan kemudahan dan jalan kepada hambanya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Shalawat beriringkan salam semoga senantiasa selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW.

Dalam proses penyelesaian penelitian ini tentu melibatkan banyak pihak yang telah member dukungan dan motivasi serta membantu menyusun penelitian ini sehingga dapat terselesaikan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan bantuan yang mereka lakukan kepada penulis. Oleh karenanya penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A, Sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

2. Dr. Ali Munhanif, M.A, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Dzuriyatun Thoyibah, M.Si, Dr. Bakir Ihsan, M.Si, dan Dr. Agus

Nugraha, M.A, sebagai Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Iding Rosyidin sebagai Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus

dosen pembimbing dalam menyelesaikan skripsi ini.

v

5. Suryani, M.Si, sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kepada seluruh dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa disebutkan satu pers satu.

Terima kasih banyak atas ilmu yang diberikan selama masa perkuliahan,

semoga mereka selalu diberikan kesehatan oleh Allah SWT.

7. Kepada Orangtuaku, Wargo dan Kuswati, dua orang paling berharga dalam

hidup penulis, terima kasih atas doa dan segala yang diberikan kepada

penulis dalam setiap langkah hidup yang penulis jalani. Semoga Allah

SWT membukakan pintu rahmat seluas-seluasnya, selalu diberikan

kesehatan dan semoga diberikan keselamatan dunia dan akhirat. Amin.

8. Kepada keluarga besarku, terima kasih atas segala doa dan dukungan

kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

9. Kepada kawan-kawan seperjuangan yang tetap selalu bersama-sama hingga

hari ini, Aldo Serena, Dendi Budiman, Hendri Satrio, Luthfi Hasanal

Bolqiah, M. Andrean Saefuddin, Riyan Hidayat, Travelio Rian Agusta.

Semoga mereka diberikan kesuksesan dunia maupun akhirat.

10. Annisa Qurota Ayun`i, teman diskusi sekaligus sosok yang mengingatkan

dan menyemangati penulis selama proses penelitian ini hingga selesai.

11. Kepada para senior di Ciputat, Sopian Hadi Permana, Alfrad Rusyd,

Ahmad Fathoni, Gery Novandika Age, dan senior-senior lainya yang telah

banyak membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

vi

12. Kawan-kawan organisasi, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), GRPI,

Kuliah Kerja Nyata (KKN) SEPATU, Dewan Eksekutif Mahasiswa

Universitas (DEMA U) masa bakti 2017, Himpunan Mahasiswa Ilmu

Politik (HIMAPOL) masa bakti 2014, Perkumpulan Gerakan Kebangsaan

(PGK), Keluarga Mahasiswa Minang (KMM).

13. Kepada kawan-kawan Ilmu Politik A, terima kasih atas masukan yang

diberikan. Semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka semua.

14. Kepada Rian Ernest, Veri Muhlis Ariefuzzaman, dan beberapa warga yang

telah bersedia menjadi narasumber dalam pelitian ini.

Sekali lagi terima kasih banyak atas doa, dukungan dan bantuan ini sehingga skripsi ini bisa diselesaikan. Penulis juga sadar bahwa masih banyak kekurangan yang ada pada skripsi ini, oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga menjadi lebih baik ke depan terutama dalam ranah akademik.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 8 Februari 2019

JuwansahWiandi

vii

DAFTAR ISI

ABSTRAK………………………………………………………………. iv

KATA PENGANTAR…………………………………………………... v

DAFTAR ISI…………………………………………………………….. viii

DAFTAR TABEL……………………………………………………...... x

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….. xi

DAFTAR SINGKATAN……………………………………………….... xii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………… 1

A. Pernyataan Masalah……………………………………. 1

B. Pertanyaan Penelitian………………………………….. 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………… 8

D. Tinjauan Pustaka……………………………………….. 9

E. Metode Penelitian……………………………………… 12

F. Sistematika Penulisan………………………………….. 17

BAB II LANDASAN TEORI……………………………………... 19

A. Kampanye Politik……………………………………… 19

B. Perilaku Politik………………………………………… 21

1. Pendekatan Psikologis……………………………... 24

2. Pendekatan Sosiologis……………………………... 25

3. Pendekatan Pilihan Rasional……………………..... 26

viii

C. PemilihanKepala Daerah……………………………… 28

BAB III BIOGRAFI BASUKI TJAHAJA PURNAMA DAN DJAROT

SAIFUL HIDAYAT………………………………………. 32

A. Profil Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful

Hidayat…………………………………………………. 32

1. Basuki Tjahaja Purnama…………………………… 32

2. Djarot Saiful Hidayat………………………………. 40

B. Partai Pengusung dan Tim Pemenangan Ahok-Djarot… 43

C. Visi dan Misi Ahok-Djarot…………………………….. 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA………... 48

A. Faktor Kekalahan Ahok-Djarot………………………… 48

1. Timses Gagal Mengkampanyekan Ahok-Djarot…… 50

2. Turunnya Citra Ahok……………………………….. 56

3. Faktor Gaya Komunikasi Ahok…………………….. 66

B. Pembahasan…………………………………………….. 68

BAB V PENUTUP…………………………………………………. 71

A. Kesimpulan…………………………………………….. 71

B. Saran…………………………………………………… 72

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... 73

LAMPIRAN-LAMPIRAN

ix

DAFTAR TABEL

Tabel I.A.1 Perolehan suara putaran pertama Pilkada DKI Jakarta tahun 2017…………………………………………………… 4

Tabel I.A.2 Perolehan suara putaran kedua Pilkada DKI Jakarta tahun 2017…………………………………………………… 6

Tabel I.E.3 Selisih suara Ahok-Djarot di Pilkada DKI dari Putaran Pertama sampai Putaran Kedua………………………………... 14

Tabel I.E.4 Selisih suara Ahok-Djarot dari Putaran Pertama sampai Putaran Kedua di Kabupaten/Kota Jakarta Timur……………... 15

Tabel III.A.5 Data Pribadi Basuki Tjahaja Purnama……………….... 34

Tabel III.A.6 Data Pribadi Djarot Saiful Hidayat……………………. 40

Tabel III.B.7 Struktur Tim Pemenangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat…………………………………………. 43

Tabel IV.A.8 Data Jumlah Daftar Pemilih Tetap di Putaran Pertama.. 49

Tabel IV.A.9 Data Jumlah Daftar Pemilih Tetap di Putaran Kedua… 49

Tabel IV.A.10 Survei Elektabilitas Pasangan Ahok-Djarot…………... 57

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar VI.A.1 Ribuan Massa Aksi Bela Islam I…………………... 60

xi

DAFTAR SINGKATAN

PILKADA Pemilihan Kepala Daerah SARA Suku, Agama, Ras dan Antargolongan KPU Komisi Pemilihan Umum PDIP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan NASDEM Nasional Demokrat HANURA Hati Nurani Rakyat Golongan Karya KTP Kartu Tanda Penduduk LSI Lembaga Survei Indonesia SMRC Saiful Mujani Research and Consulting GERINDRA Gerakan Indonesia Raya PKS Partai Keadlian Sejahtera PPIB Partai Perhimpunan Indonesia Baru DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KKN Korupsi, Kolusi dan Nepotisme SPPD Surat Perintah Perjalanan Dinas DPT Daftar Pemilih Tetap BAWASLU Badan Pengawas Pemilu DPC Dewan Pengurus Cabang FPI Front Pembela Islam FUI Front Umat Islam

xii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Menurut A. S. S. Tambunan pemilu adalah sarana atas pelaksanaan

kedaulatan rakyat yang pada dasarnya merupakan pengakuan dan perwujudan

dari pada hak-hak politik rakyat dan merupakan pendelegasian hak-hak tersebut

oleh rakyat kepada wakil-wakilnya yang terpilih untuk menjalankan roda

pemerintahan.1

Indonesia sebagai salah satu negara yang demokratis, artinya pemilu

merupakan hajatan yang harus dilaksanakan oleh Indonesia, masyarakat

mempergunakan haknya untuk memilih wakil rakyat maupun presiden dan wakil

presiden. Diselenggarakannya pemilihan umum akan berguna bagi aspirasi rakyat

dan menjalankan roda pemerintahan yang bertujuan untuk mensejahterakan

rakyat. Begitu pula halnya pemilihan kepala daerah (PILKADA) secara langsung

yang dilakukan di masing-masing daerah di Indonesia baik di tingkat Propinsi

maupun Kabupaten/Kota. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan

salah satu agenda penting penyelenggaraan pemerintahan sejak diselenggarakan

pertama kali tahun 2005 setelah adanya sistem otonomi daerah di Indonesia.2

Pada Tahun 2017, Indonesia mengadakan pilkada serentak kedua setelah

pilkada serentak pertama Tahun 2015 di mana Komisi Pemilihan Umum (KPU)

1Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 331. 2Tjahjo Kumolo, Politik Hukum Pilkada Serentak, (Jakarta: Expose, 2015), hlm.76.

1

menetapkan pelaksanaan Pilkada serentak pada 15 Februari 2017 yang diikuti oleh 101 daerah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Pilkada tersebut terdiri atas 7 Provinsi, 76 Kabupaten, dan 18 Kota. Ketujuh Provinsi tersebut yaitu Aceh,

Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua

Barat.3Dari daerah-daerah tersebut, yang menarik adalah Pilkada di DKI Jakarta dengan menyorot Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang berpasangan dengan

Djarot Syaiful Hidayat sebagai pasangan petahana, namun kalah dalam kontestasi.

Pilkada DKI Jakarta menghadirkan atmosfer yang berbeda dibanding pemilihan kepala daerah di daerah-daerah lainnya. Nyatanya Pilkada DKI Jakarta mampu menarik perhatian dalam lingkup nasional, bahkan internasional karena tidak sedikit pula media asing yang ikut memberitakan Pilkada DKI Jakarta.

Dengan majunya pasangan petahana Ahok-Djarot, disusul kemudian pasangan

Anies Baswedan- dan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-

Sylviana Murni menjadi kontestasi yang menarik.

Beberapa kelompok masyarakat di Jakarta menginginkan calon yang sudah terlihat kinerjanya dan sudah dikenal lama oleh masyarakat jakarta. Namun, sebagian lain menginginkan suasana baru dan mendambakan sosok gubernur dengan harapan lebih santun dan pro terhadap rakyat kecil. Dinamika yang tercipta diikuti dengan keterlibatan beragam media membuat situasi dalam

Pilkada menjadi semakin menarik. Hal ini dikarenakan calon yang terpilih

3Liputan6, “Ini 101 Daerah yang gelar Pilkada Serentak 2017”, pilkada.liputan6.com, 18 Oktober 2017.

2

selanjutnya menjadi penentu nasib mereka dan kebijakan yang dikeluarkan akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat jakarta.4

Dari peta kekuatan masing-masing pasangan, pasangan Ahok-Djarot diusung oleh empat parpol, yaitu PDIP (28 kursi DPRD DKI), Nasdem (5 kursi),

Hanura (10 kursi), Golkar (9 kursi). Total kekuatan kursi Ahok-Djarot di DPRD

DKI Jakarta yaitu 52 kursi.5Selain diusung empat parpol tersebut, Ahok-Djarot juga didukung oleh Relawan Teman Ahok yang mengklaim telah berhasil mengumpukan satu juta KTP dukungan untuk Ahok.6

Berdasarkan survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menjelang pencoblosan putaran pertama dan hasil survei diumumkan 5 hari sebelum pencoblosan dengan mengukur eletabilitas para calon, pasangan Ahok-

Djarot yang diterpa banyak isu, elektabilitasnya mencapai 30,7 %, di bawah pasangan Agus-Sylvi dengan 30,9 % dan berada di atas Anies-Sandi dengan 29,9

%.7 Sedangkan elektabilitas Ahok-Djarot berdasarkan survei yang dilakukan pada

Tanggal 3-9 Februari 2017 oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), unggul di atas pasangan lainnya dengan memperoleh angka 39,1 %, disusul pasangan Anies-Sandi 33,5 %, dan terakhir pasangan Agus-Sylvi dengan 19,9 %.8

4Muhammad Fathan, “Dinamika Pilkada DKI”, www.republika.co.id, 18 Oktober 2017. 5Nila Chrisna Yulika, “Koalisi Non-Ahok Pecah, Berapa Kekuatan Penantang Ahok- Djarot?”, pilkada.liputan6.com, 19 Oktober 2017 6Ahmad Toriq, “Peta Kekuatan Ahok, Agus dan Anies”, news.detik.com, 19 Oktober 2017. 7Jessi Carina, “Survei LSI Denny JA: Dukungan Untuk Ahok-Djarot 42.7 Persen Anies- Sandi 51.4 Persen”, megapolitan.kompas.com, 19 Oktober 2017 8Alsadad Rudi, “Survei SMRC: Elektabilitas Ahok-Djarot 39.1%, Anies-Sandi 33.5%, Agus-Sylvi 19.9%”, megapolitan.kompas.com, 19 Oktober 2017.

3

Dengan banyaknya dukungan dari berbagai partai dan elektabilitas pasangan Ahok-Djarot yang tidak begitu mengecewakan meskipun diterpa banyak isu, pasangan petahana ini berhasil meraih suara terbanyak pada Pilkada putaran pertama, seperti yang terlihat pada tabel berikut:

Tabel I.A.1 Perolehan suara Putaran Pertama Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 No Nama Pasangan Calon Perolehan Suara 1 Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni 937.955 (17,05 %) 2 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat 2.364.577 (42,99 %) 3 Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno 2.197.333 (39,95 %) Sumber: Arsip KPUD DKI Jakarta

Sebagai pasangan petahana sekaligus yang diunggulkan, Ahok-Djarot membuktikan diri dengan memperoleh suara terbanyak diantara pasangan lain.

Walaupun memperoleh suara terbanyak, selisih suara dengan pasangan lain khususnya pasangan Anies-Sandi terbilang tidak terlalu jauh. Ini mengejutkan jika dilihat dari peta kekuatan politik anies-sandi yang hanya didukung oleh dua partai, yaitu Gerindra dan PKS.

Pada Pilkada putaran pertama memang memunculkan peroleh suara terbanyak dari ketiga pasangan calon yaitu pasangan Ahok-Djarot, meskipun mendapat suara terbanyak Ahok-Djarot belum bisa dinyatakan menang dalam pertarungan, karena peroleh suara Ahok-Djarot belum mencapai 50 persen dari syarat menjadi gubernur dan wakil gubernur. Berdasarkan aturan Undang-undang

No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota

Negara Kesatuan Republik Indonesia serta PKPU No. 6/2016 tentang Pemilihan

4

Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil

Walikota di Wilayah Aceh, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pada

Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua dan Papua Barat yang menyatakan bahwa

Cagub dan Cawagub DKI harus memperoleh suara lebih dari 50 persen untuk menjadi pemenang.9

Menjelang dilakukannya putaran kedua, suasana pilkada semakin panas dengan berbagai macam model kampanye yang dilakukan, ditambah saling serangnya di media antara kedua pasang calon yang akan bertarung di putaran kedua. Banyaknya pemberitaan media tentang figur calon, khususnya pasangan

Ahok-Djarot, dengan menampilkan isu-isu seperti isu SARA ditambah Ahok ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama atas pernyataannya terkait

Surat Al-Maidah ayat 51. Berikut ucapan Ahok yang dianggap telah merendahkan dan menghina ayat suci Al-Qur`an.

"Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu nggak bisa pilih saya ya kan? Dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam- macam itu. Itu hak Bapak-Ibu ya. Jadi kalau Bapak-Ibu perasaan nggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu ya, nggak apa-apa,"10 Hal ini menjadi bumerang tersendiri bagi kubu Ahok-Djarot. Sontak pernyataan tersebut menimbulkan tanggapan dan sentimen negatif dari banyak pihak, terutama kalangan umat Muslim di Indonesia. Puncak dari isu panas ini adalah banyaknya demonstrasi-demonstrasi di ibukota yang dilakukan oleh umat

Muslim dari berbagai daerah seperti aksi pada Tanggal 4 November atau yang

9Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “KPU Launching Pilkada DKI Putaran Kedua”, kpujakarta.co.id, 20 Oktober 2017. 10Rina Atriana, “Hakim: Ahok Merendahkan Surat Al-Maidah 51”, news.detik.com, 20 Oktober 2017.

5

dikenal dengan aksi 411 dan aksi pada Tanggal 2 Desember atau yang dikenal aksi 212. Demonstrasi ini menuntut agar Ahok di pidanakan karena telah dianggap menghina umat Islam terutama.

Berdasarkan survei yang dilakukan pada 12-14 April 2017 oleh lembaga

Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa eletabilitas pasangan Ahok-

Djarot yang banyak diterpa isu ditambah ditetapkannya Ahok sebagai tersangka kalah tipis dengan berada pada angka 47,4 %, dibanding pasangan Anies-Sandi dengan angka 48,2 %.11 Dengan demikian, artinya ada perubahan perilaku warga

Jakarta dalam menilai pasangan Ahok-Djarot meskipun elektabilitas ini mengalami peningkatan. Pertarungan kedua pasangan ini mengahsilkan kekalahan yang harus diterima oleh pasangan Ahok-Djarot. Berikut hasil perolehan suara pada pilkada putaran kedua.

Tabel I.A.2 Perolehan suara Putaran Kedua Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017 No Nama Pasangan Calon Perolehan Suara 1 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat 2.350.366 (42,04 %) 2 Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno 3.240.987 (57,96 %) Sumber: Arsip KPUD DKI Jakarta

Kekalahan Ahok-Djarot dengan selisih suara sebesar 15,92 % menandakan bahwa pertarungan Pilkada di DKI Jakarta bukan ditentukan oleh partai pendukung, namun diyakini figurcalon menjadi faktor penentu calon gubernur serta kinerja seorang Ahok-Djarot sebagai petahana sangat diperhitungkan. Selain itu isu-isu tentang pasangan ini juga mempengaruhi perilaku memilih warga

11Bartanius Dony, “Survei Indikator: Elektabilitas Anies-Sandi 48.2%, Ahok-Djarot 47.4%”, news.detik.com, 20 Oktober 2017.

6

jakarta. Kekalahan Ahok juga tidak terlepas dari sosoknya yang dinilai publik

memiliki gaya komunikasi yang tidak ramah dan kurang santun, seperti survei

yang dilakukan Lembaga Indikator Politik Indonesia, yangmenghasilkan bahwa

Ahok sangat rendah dalam citra ramah dan santun.12

Berdasarkan penjelasan di atas dinamika politik Pilkada Jakarta

menghadirkan atmosfer yang beragam, salah satunya kekalahan Ahok-Djarot

yang notabene sebagai pasangan petahana dan diunggulkan ditambahdengan

banyaknya dukungan dari partai-partai namun kenyataannya justru Ahok-Djarot

mengalami kekalahan dalam kontestasi di Pilkada. Atas dasar inilah penulis ingin

meneliti kasus kekalahan Ahok-Djarat dalam penelitian yang diberi judul:

"Analisis Kekalahan Petahana (Studi Kekalahan Ahok-Djarot Pada Pilkada DKI

Jakarta Tahun 2017).

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan fenomena yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta dengan melihat

kekalahan Ahok-Djarot maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

mengapa Ahok-Djarot kalah dalam Pilkada DKI Jakarta 2017?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab

kekalahan Ahok-Djarot pada pemilihan kepala daerah DKI Jakarta Tahun 2017.

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

12Putera Negara, “Survei Indikator Politik: Ahok dinilai sosok yang kurang santun”, news.okezone.com, 20 Oktober 2017.

7

1. Secara teoritis, memberikan kontribusi terhadap ilmu politik khususnya kajian

tentang politik lokal, sekaligus menjadi tambahan literatur penelitian Program

Studi Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Secara praktis, dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor yang

membuat Ahok-Djarot kalah dalam Pilkada DKI Jakarta serta penelitian ini

diharapkan dapat dijadikan masukan bagi kandidat petahana pada umumnya

agar menjadi bahan evaluasi terhadap pencalonan kepala daerah.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, penulis menghadirkan beberapa literatur-literatur

yang bisa dijadikan bahan perbandingan ataupun memberikan keragaman

persepktif dalam melakukan penelitian tentang kekalahan Ahok-Djarot ini,

diantaranya:

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Bakti Saputra.13 Penelitian ini

menjelaskan bahwa dukungan dari berbagai kalangan dan punya posisi strategis

nyatanya belum mampu membuat pasangan Tobroni Harun-Komarudin menang

dalam pilkada di Lampung dengan kekalahan presentase yang sangat jauh, hanya

mendapat suara sebesar 11,34% dibanding lawannya yaitu pasangan Herman HN-

Yusuf Kohar yang unggul sangat jauh dengan perolehan suara sebesar 86,66%.

Berdasarkan pendekatan perilaku pemilih, ditemukan beberapa faktor

yang membuat Tobroni Harun-Komarunizar kalah. Tobroni Harun-Komarunizar

13Bakti Saputra, “Kekalahan Tobroni Harun-Komarunizar Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Bandar Lampung 2015”, (Program Sarjana, Universitas Lampung, 2016).

8

belum mampu dianggap sebagai figur yang ditokohkan oleh pemilih di Bandar

Lampung dan ditemukan fakta bahwa informasi mengenai visi misi dan sosok

Tobroni Harun informasinya belum sampai ke masyarakat. Faktor lain yang ditemukan adalah adanya konflik internal Partai Amanat Nasional sebagai pengusung mempengaruhi dukungan dan huga kinerja tim sukses kepada pasangan Tobroni Harun-Komarunizar. Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif yaitu menggambarkan secara sistematis dan mendalam.

Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian tersebut diantaranya subjek penelitian yang berbeda dan objek penelitian yang berbeda pula yaitu

Tobroni Harun dan Komarunizar dan kekalahannya di Kota Bandar Lampung.

Adapun kesamaan dari penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya yaitu sama-sama meneliti sosok calon dari petahana.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Reza Muhammad.14 Penelitian ini menggambarkan bahwa figur dan kinerja calon dari petahana sangat mempengaruhi perilaku seorang pemilih. Hal ini terlihat dari kekalahan Arifin

Junaidi dalam pilkada di Luwu Utara yang dikalahkan oleh mantan wakilnya di pemerintahan sebelumnya. Kekalahan Arifin Junaidi juga tidak terlepas dari sikap kepemimpinannya yang cenderung otoriter dan berorientasi politik dinasti.

Ditambah juga kepercayaan masyarakat Luwu Utara terhadap mantan wakilnya

14Reza Muhammad, “Kekalahan Petahana Dalam Pilkada 2015 Di kabupaten Luwu Utara”, (Program Sarjana, Universitas Hasanuddin Makassar, 2017).

9

yang dinilai lebih baik darinya. Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif secara deskriptif.

Perbedaan yang ditemukan dari penelitian penulis dengan penelitian tersebut diantaranya subjek penelitian yang berbeda dan objek penelitian yang berbeda pula yaitu sosok Arifin Junaidi dan kekalahannya di Kabupaten Luwu

Utara. Adapun kesamaan dari penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya yaitu sama-sama meneliti sosok calon dari petahana.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Monicha Angraini.15 Penelitian ini menggambarkan kekalahan petahana dalam pemilukada di Kabupaten Lampung

Utara. Berdasarkan penelitian tersebut, dengan pendekatan perilaku pemilih rasional, pemilih menjatuhkan suara penghukuman (punishment vote) sebagai bentuk kekecewaan terhadap pasangan Zainal Abidin dan Anshori Djausal atas kinerjanya sebelumnya. Pemilih memilih pasangan calon lain dengan harapan adanya perubahan dari seorang pemimpin baru. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemilih semakin rasional. Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif secara deskriptif.

Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian tersebut diantaranya subjek penelitian yang berbeda dan objek penelitian yang berbeda pula yaitu

Zainal Abidin dan Anshori Djausal dan kekalahannya di Kabupaten Lampung

Utara. Adapun kesamaan dari penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya yaitu sama-sama meneliti sosok calon dari petahana.

15Monicha Angraini, “Faktor Penyebab Kekalahan Pasangan Zainal Abidin (Incumbent) Dan Anshori Djausal Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara Tahun 2013”, (Program Sarjana, Universitas Lampung Bandar Lampung, 2015).

10

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Muhamad Khafidhin.16

Penelitian ini menggambarkan pemberitaan Media Kompas dalam framing

dugaan kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok. Pada penilitian tersebut

menunjukkan bahwa Media Kompas lebih menonjolkan sesuatu yang mendukung

Ahok. Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian kualitatif dengan

objek penelitiannya adalah framing pemberitaan dan subjek penelitian adalah

harian kompas.

Walaupun terdapat persamaan antara penelitian penulis dengan penelitian

sebelumnya yaitu subjek yang sama, namun terdapat pula perbedaan penelitian

yang penulis buat dengan penelitian tersebut yaitu sudut pandang yang berbeda di

mana penelitian sebelumnya membahas tentang framing terhadap Ahok,

sedangkan penelitian penulis membahas kekalahan Ahok pada pilkada DKI

Jakarta. Dari beberapa literatur yang diperoleh tentang tentang Ahok dan Djarot,

penulis belum menemukan studi kasus atau penelitian yang sama dengan penulis.

Dengan demikian penelitian tentang “faktor penyebab kekalahan Ahok-Djarot

dalam pilkada DKI Jakarta” akan menjadi tambahan khazanah keilmuan,

sekaligus menjadi pembeda dengan jurnal, riset, skripsi yang lainnya.

E. Metode Penelitian

a. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif karena data yang digunakan untuk menjelaskan dan

16Muhamad Khafidhin, “Framing Kasus Ahok Tentang Penistaan Agama (Analisis Terhadap Berita Kompas Edisi 5-17 November 2016)”, (Program Sarjana, Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017).

11

menggambarkan fenomena sosial yang diteliti adalah data-data yang bersifat

kualitatif yang berbentuk kata dan perilaku, kalimat dan skema. Menurut John

W. Creswell, pendekatan kualitatif sebagai pendekatan atau penulusuran untuk

mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral. Untuk mengetahuinya,

peneliti mewancarai peserta penelitian atau partisipan dengan mengajukan

pertanyaan yang umum dan luas.17

Sementara itu, tipe pendekatan kualitatif pada penelitian ini dengan

cara deskriptif. Menurut Nazir penelitian deskriptif merupakan metode dalam

meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem

pemikiran, suatu kelas peristiwa pada masa sekarang dengan tujuan membuat

deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang

diselidiki.18 b. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh

penulis mencakup wawancara dan dokumentasi. Wawancara adalah

pertemuan periset dan responden di mana jawaban responden akan menjadi

data mentah. Secara khusus, wawancara adalah alat yang baik untuk

menghidupkan topik riset.19 Dalam wawancara, pengumpulan datanya diambil

dari responden yang penulis anggap mampu menjawab fenomena kekalahan

17J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif (Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya), (Jakarta: GRASINDO, 2010), hal. 7 18Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal. 63. 19Lisa Harrison, Metode Penelitian Politik, (Jakarta: KENCANA, 2009), hal. 104.

12

Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta. Sedangkan dokumentasi, menurut

Hamidi ialah informasi yang berasal dari catatan penting baik dari lembaga

atau organisasi maupun dari perorangan.Sumber datanya baik dari media cetak

maupun elektronik, seperti jurnal, buku, artikel, skripsi, tesis, disertasi dan

sumber-sumber media elektronik lainnya.20 c. Sumber dan Jenis Data

Adapun sumber data diperoleh peneliti dari hasil observasi dan

wawancara yang dialakukan oleh peneliti serta dari dokumen-dokumen yang

peneliti peroleh. Selanjutnya, sebelum masuk pada proses analisis, terlebih

dahulu data dikelompokan sesuai jenis dan karakteristiknya. Dalam hal ini,

penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data

sekunder:

1. Data Primer

Adalah data yang berupa teks hasil wawancara dan diperoleh

melalui wawancara dengan informan yang sedang dijadikan sampel dalam

penelitiannya. Peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mendapatkan

data yang riil dalam berbagai bentuk.21 Adapun data primer diambil dari

beberapa kalangan seperti: Tim Sukses Ahok-Djarot (Rian Ernest),

Pengamat Politik (Veri Muhlis Ariefuzzaman) serta beberapa warga.

Adapun warga yang dijadikan sampel wawancara diambil berdasarkan

20Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan proposan dan Laporan penelitian, (Malang: UMM Press, 2004), hal. 72. 21Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006, hal. 209.

13

pertimbangan penulis yang melihat turunnya suara Ahok-Djarot di putaran

kedua setelah di putaran pertama mampu menang. Dalam hal ini penulis

melihat selisih suara Ahok-Djarot dari putaran pertama hingga putaran

kedua yang mengalami penurunan suara paling drastis, seperti pada tabel

berikut:

Tabel I.E.3 Selisih Suara Ahok-Djarot di Pilkada DKI dari Putaran Pertama sampai Putaran Kedua

Kabupaten/Kota Putaran 1 Putaran 2 Selisih Jakarta Pusat 244.727 243.416 -1.311 Jakarta Utara 416.720 418.068 1.348 Kepulauan Seribu 5.532 5.391 -141 Jakarta Timur 618.880 612.093 -6.787 Jakarta Selatan 465.524 459.639 -5.885 Jakarta Barat 613.194 611.759 -1.435 Total 2.364.577 2.350.366 -14.211 Sumber: kpujakarta.go.id Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa daerah yang mengalami

penurunan suara paling drastis terjadi di Kabupaten/Kota Jakarta timur

dengan total suara yang turun dari putaran pertama sampai putaran kedua

mencapai 6.787 suara atau menyumbang 47% suara yang turun dari

putaran pertama sampai putaran kedua. Oleh karena itu penulis memilih

daerah Jakarta Timur sebagai tujuan pengambilan sampel warga yang akan

diwawancara. Lebih dalam lagi penulis menggali kembali daerah Jakarta

Timur yang mengalami penurunan suara paling banyak, seperti yang

tercantum pada tabel berikut:

14

Tabel I.E.4 Selisih suara Ahok-Djarot dari Putaran Pertama sampai Putaran Kedua di Kabupaten/Kota Jakarta Timur

Kecamatan Putaran 1 Putaran 2 Selisih Cakung 91.925 93.873 1.948 Cipayung 54.384 52.694 -1.690 Ciracas 66.192 63.952 -2.240 Duren Sawit 89.433 88.659 -774 Jatinegara 64.291 63.774 -517 Kramat jati 56.896 55.584 -1.312 Makasar 46.921 46.219 -702 Matraman 37.868 37.654 -214 Pasar Rebo 43.848 43.685 -163 Pulo Gadung 67.122 66.536 -586 Jumlah 618.880 612.630 -6.250 Sumber: kpujakarta.go.id

Pada tabel diatas menunjukkan penurunan suara Ahok-Djarot di

Kabupaten/Kota Jakarta Timur mencapai 6.250 suara dengan tiga

kecamatan sebagai penyumbang terbesar suara Ahok-Djarot turun di

Jakarta Timur yaitu Ciracas (2.240 suara), Cipayung (1.690suara) dan

Kramat Jati (1.312 suara). Penulis mewawancarai dua orang warga dari

setiap daerah tersebut dengan berdasarkan perbedaan gender, satu orang

laki-laki dan satu orang perempuan.

2. Data Sekunder

Adalah data-data yang sudah tersedia dan diperoleh dari sumber

data yang sudah ada, diantaranya informasi yang diambil secara langsung

dari dokumen, data, statistik yang dalam hal ini adalah hasil penelitian

15

sebelumnya, serta buku-buku yang menunjang penelitian.22 Data sekunder

yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah data yang benar

dan valid yang bersumber dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait

hasil Pilkada DKI Jakarta 2017 yang didukung dengan buku-buku terkait,

jurnal, artikel dan beberapa sumber pustaka, dokumentasi dan lainnya

yang berkaitan dengan kajian penelitian. d. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan bagian paling penting dalam penelitian.

Dengan menganalisa data maka penulis akan mendapat jawaban atas

fenomena yang sedang diteliti. Dalam proses analsis data, peneliti

menggunakan model Miles dan Huberman yang terbagi menjadi tiga tahap,

yaitu:

1. Reduksi data (data reduction)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema polanya.23 Proses

analisis data dengan menelaah data dari berbagai sumber yang telah di

dapat dari pengamatan seperti wawancara dan dokumen.

2. Penyajian data (data display)

Setelah data di reduksi, maka langkah selanjutnya adalah

mendisplaykan data. Pada tahap ini juga dilakukan proses pengelompokan

data berdasarkan dari informan, sehingga akan diketahui informasi yang

22Lisa Horison, Metode Penelitian Politik, Jakarta: Kencana, 2007, hal. 125. 23Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,(Bandung: Alfabeta, 2012), hlm. 277.

16

sesuai dengan pokok masalah. Penyajian bisa dilakukan dalam bentuk

uraian singkat, bagan, dan hubungan antar kategori. Penggunaan gambar,

bagan dan tabel bisa memperkuat data deskriptif dan mempermudah

pembaca dalam memahami isi penelitian.24

3. Verifikasi data (conclusion drawing)

Kesimpulan yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan

berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan mendukung pada

pengumpulan data berikutnya.25 Pada tahap ini dilakukan proses

pengulangan dan peninjauan kembali data yang sudah disajikan dengan

tujuan untuk memantapkan data agar dapat diperoleh benang merah dari

fenomena yang sedang diteliti.

F. Sistematika Penulisan

Agar skripsi ini menjadi lebih sistematis, dalam penulisan skripsi ini

penulis membagi lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I, penulis memaparkan permasalahan yang melatar belakangi

pembahasan dan perumusan masalah serta manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan

pustaka, metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini.

BAB II, penulis menjelaskan lebih dalam teori-teori yang digunakan

dalam penelitian ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan

kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta.

24Ibid, hal 71. 25Ibid, hal 28.

17

BAB III, penulis memaparkan profil dari pasangan Basuki Tjahaja

Purnama dan Djarot Syaiful Hidayat seperti perjalanan politik kedua pasangan ini sehingga sampai ikut berkontestasi di pemilukada DKI Jakarta tahun 2017.

BAB IV, pada bab ini penulis menganalisa hasil temuan-temuan pokok penelitian yang menjelaskan tentang faktor kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada

DKI Jakarta Tahun2017 kendati menang diputaran pertama.

BAB V, pada bab ini penulis memaparkan garis besar dari inti penelitian yang penulis teliti tentang faktor kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI

Jakarta Tahun 2017.

18

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini peneliti akan menjelaskan mengenai kajian teori yang

digunakan untuk melihat faktor kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta

dengan menggunakan teori perilaku politik sebagai teori utama dalam penelitian

ini. Disamping teori utama, akan dijelaskan juga teori pendukung penelitian ini

yaitu pemilihan umum kepala daerah.

A. Kampanye Politik

Hasil pemilu tanpa didahului oleh kampanye akan berefek pada menang

dan kalah, karena kampanye politik sangat menentukan apakah calon pemimpin

akan menang atau justru kalah. Kampanye politik adalah suatu usaha yang

terkelola, terorganisir utnuk mengikhtiarkan orang dicalonkan, dipilih, atau dipilih

kembali dalam suatu jabatan resmi. Sedangkan kampanye politik modern menurut

Arnold Steinberg adalah cara yang digunakan warga negara dalam demokrasi

untuk menentukan siapa yang akan memerintah mereka.

Setiap kampanye politik adalah suatu usaha hubungan masyarakat. Tugas

itu pada abad 19 pada hakikatnya sama yakni membujuk sejumlah pemberi suara

yang sudah terdaftar untuk mendukung calon. Kampanye yang berorientasi pada

hubungan masyarakat, berusaha merangsang perhatian orang kepada sang calon.1

Apapun ragam dan tujuannya, upaya perubahan yang dilakukan kampanye selalu

1Toni Andrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah, Mengenal Teori-teori Politik: Dari Sistem Politik sampai Korupsi, (Bandung: Nuansa Cendikia, 2013), hal. 186.

19

terkait dengan aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan perilaku

(behavioral).

Terdapat jenis kampanye menurut Charles U. Larson yang dibagi dalam tiga kategori:2

1. Product-Oriented Campaign (Commercial Campaign atau Corporate

Campaign), yaitu kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi

dilingkungan bisnis. Motivasi yang mendasarinya adalah memperoleh

keuntungan financial. Cara yang ditempuh adalah dengan memperkenalkan

produk dan melipatgandakan penjualan sehingga diperoleh keuntungan yang

diharapakan.

2. Candidat-Oriented Campaign atau yang disebut juga kampanye politik, yaitu

kampanye yang berorientasi pada kandidat umumnya dimotivasi oleh hasrat

untuk meraih kekuasaan politik. Tujuannya antara lain adalah untuk

memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang

diajukan partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang

diperebutkan lewat proses pemilihan umum.

3. Ideologically or Cause Oriented Campaign, yaitu jenis kampanye yang

berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi

perubahan sosial.

Sementara itu, terdapat dua jenis kampanye yang bersifat menyerang

(attacking campaign), yaitu kampanye negatif dan kampanye hitam (black campaign). Kampanye negatif adalah kampanye yang menyerang pihak lain

2Toni, Mengenal Teori-teori Politik, hal. 187.

20

melalui sejumlah data atau fakta yang bisa diverifikasi dan diperdebatkan.

Sedangkan kampanye negatif (black campaign) adalah kampanye yang berisi buruk atau jahat dengan cara menjatuhkan lawan politik untuk mendapat keuntungan.3 Salah satu bentuk kampanye negative adalah menggelari orang dengan nama-nama julukan (name calling) yang jelek, hal ini membuat citra diri aslinya sirna dan digantikan citra baru negatif yang diberikan orang lain.4

Faktor-faktor Penghambat dalam kampanye Menurut Kotler dan Roberto

(1989), ketidakberhasilan sebagian besar kampanye biasanya disebabkan oleh:5

1. Program-program kampanye tersebut tidak menetapkan khalayak sasarannya

secara tepat. Mereka mengalamatkan kampanye kepada semua orang, hasilnya

kampanye menjadi tidak fokus dan tidak efektif.

2. Pesan-pesan yang disampaikan dalam kampanye juga tidak mampu

memotivasi khalayak untuk menerima dan menerangkan gagasan yang

diterima.

3. Pesan-pesan tersebut juga memberikan petunjuk bagaimana khalayak harus

mengambil tindakan yang diperlukan.

4. Pelaku kampanye terlalu mengandalkan media massa tanpa

menindaklanjutinya dengan komunikasi antar pribadi.

3Denis McQuali, Teori Komunikasi Masa: Suatu Pengantar. Diterjemahkan Aminuddin Ram (Jakarta: Erlangga, 1983), hal. 242. 4Hafied Canggara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi,(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 366. 5Antar Venus, Manajemen Kampanye: Panduan Teoretis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009), hal.131.

21

5. Anggaran untuk membiayai program kampanye tersebut tidak memadai,

sehingga pelaku kampanye tidak berbuat secara total.

B. Perilaku Politik

Sebagai sebuah pendekatan dalam menganilisis perilaku seseorang dalam

politik, perilaku politik (political behavioural)memperoleh posisi penting dalam

ilmu sosial tahun 1950-an dan 1960-an. Asal-usul filosofisnya adalah dalam

tulisan Auguste Comte di abad ke-19, dan berdasarkan positivisme logis `Vienna

Circle` tahun 1920-an.6 Perilaku politik dapat dianggap berkembang melalui tiga

tahap. Pertama, yang mendahului pecahnya Perang Dunia II, terdapat

peningkatan pemanfaatan metode-metode empiris dan kuantitatif.7

Interaksi antara pemerintah dan masyarakat atau adanya hak untuk

memilih dan menentukan pilihannya adalah bentuk dari perilaku politik (political

behavioral). Adapun perilaku politik sendiri juga dipengaruhi oleh beberapa

faktor, seperti faktor internal dan faktor eksternal. Berbagai studi memperlihatkan

bahwa kelas sosial mempengaruhi perilaku politik orang. Studi yang dilakukan

Erbe (1964), Hansen (1975), Kim, Petrocik, dan Enokson (1975) menyimpulkan

bahwa semakin tinggi kelas sosial maka semakin cenderung sang individu

mendaftarkan diri sebagai pemilih, memberikan suara, tertarik pada politik,

membahas soal-soal politik, menjadi anggota organisasi yang mempunyai arti

6David Marsh dan Gerry Stoker, Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik,(Bandung: Nusa Media, 2010), hal. 54. 7S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 88.

22

penting, secara politis, dan berusaha mempengaruhi pandangan politik orang lain.8

Menurut Soedjatmoko perilaku politik adalah sebuah tindakan manusia dalam menghadapi situasi politik tertentu. Situasi politik yang dimaksud adalah seperti pemilihan presiden ataupun pemilihan kepala daerah.9 Sedangkan menurut

Ramlan Surbakti perilaku politik dikemukakannya sebagai sebuah kegiatan yang berkaitan dengan proses dalam pembuatan dan pelaksanaan atas keputusan politik. Keputusan politik yang dimaksud Ramlan adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selaku aktor politik dan bermanfaat bagi masyarakat sebagai pelaksana kebijakan. Tetapi kegiatan ini bukan hanya dilakukan oleh satu pihak, hubungan pemerintah dan masyarakat harus saling terjalin demi berjalannya pemerintahan yang baik dan tahu akan fungsi masing-masing, yakni fungsi-fungsi pemerintahan dipegang oleh pemerintah dan fungsi-fungsi politik dipegang oleh masyarakat.10

Oleh karena itu, perilaku politik pada dasarnya kegiatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat yang bertujuan demi kepentingan bersama. Dalam kegiatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat akan ada yang namanya perilaku pemilih (voter behavior)yang ditujukan kepada perilaku seseorang dalam proses pemilihan umum. Menurut Surbakti perilaku pemilih adalah akivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan

8J. Dwi Darwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan, (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2004), hal. 190. 9Soedjatmoko, Dimensi Manusia Dalam Pembangunan,(Jakarta: LP3ES, 1995), hal 57. 10Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Poliik, (Jakarta: Gramedia Widya Sarana, 2010), hal.167.

23

keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote) didalam suatu pemilihan umum. Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote) maka voters akan memilih/mendukung kandidat tertentu.11

Di Indonesia sendiri perilaku politik sekurang-kurangnya terdapat dua aspek. Pertama, berkaitan dengan berpartisipasi dalam pemilu atau pemilihan presiden (voter turnout). Kedua, berkaitan dengan pilihan warga terhadap partai politik atau calon anggota DPR/DPRD, DPD atau calon Presiden.12

Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum? Kalau memutuskan memilih, apakah memilih partai atau kandidat X ataukah partai Y atau kandidat Y? Lalu kemudian muncul berbagai pertanyaan, mengapa pemilih memilih kontestan tertentu dan bukan kontestan lain?13

Oleh karena itu, dalam memahami perilaku politik, ada beberapa pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan unuk mengkaji perilaku politik atas faktor kekalahan Ahok-Djarot pada pemilukada DKI Jakarta, diantaranya:

11Suryana Aminudin, Jurnal Aspirasi, “Perilaku Politik di Indonesia”, Vol.1/No.2/Februari 2011, FISIP UNWIR Indramayu, hal. 5. Di unduh dari http://ejournal.unwir.ac.id/ pada17 november 2017. 12Saiful Mujani, William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis Tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Mizan Publika, 2011), hal. 20. 13Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 185-186.

24

1. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan Sosiologis (Mazhab Columbia) cenderung menempatkan

kegiatan dalam kaitan dengan konteks sosial.14 Pendekatan sosiologis

menjelaskan perilaku pemilih bahwa masyarakat dalam menentukan

pilihannya saat pemilu Legislatif banyak dipengaruhi oleh faktor prinsip-

prinsip kesamaan karakter sosiologis.

Faktor kesamaan sosiologis mazhab columbia yang digagas oleh Paul

F. Lezarsfeild dan Bernard Berelson menyebutkan ada beberapa hal, yang

pertama yaitu berkaitan dengan latar belakang sosiologis seperti agama, jenis

kelamin, umur, dan yang kedua adalah berdasarkan pengelompokkan sosial

seperti ikatan profesi, kelompok pertemanan, sedangkan yang ketiga adalah

berkaitan dengan predisposisi sosial ekonomi yaitu kecendrungan lingkungan

sosial ekonomi pemilih dan keluarga yang ada disekitarnya dan yang terakhir

yaitu dipengaruhi oleh kelas sosial yaitu tingkat pendidikan, tingkat

pekerjaan.15

2. Pendekatan Psikologis

Model pendekatan Psikologis muncul sebagai bentuk respon terhadap

pendekatan sosiologis yang dikembangkan oleh The Survey Research Center,

University Of Michigan atau dikenal dengan “Mazhab Michigan”. Menurut

14Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 186. 15Radityo Rizki Hutomo, Jurnal Politik Muda, “Perilaku Memilih Warga Surabaya Dalam Pemilu Legislatif 2014 (Hubungan Kesesuaian Program Kandidat, Kampanye, Identifikasi Partai dan Pemberian Imbalan Uang dalam Menentukan Pilihan Partai Politik dalam Pemilu Legislatif 2014)”, Vol.4/No.1/Januari-Maret 2015, Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 53. Di unduh dari http://journal.unair.ac.id/ pada 18 November 2017.

25

Saiful Mujani, seorang warga berpartisipasi dalam pemilu atau pilpres bukan

saja karena kondisinya lebih baik secara sosial-ekonomi, atau karena berada

dalam jaringan sosial, akan tetapi, karena ia tertarik dengan politik, punya

perasaan dekat dengan partai tertentu (identifikasi partai), punya informasi

yang cukup untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta percaya

bahwa pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan (political efficacy).16

Pendekatan psikologis menjelaskan keputusan suara individu

didasarkan dalam suatu sikap, yaitu Partisanship (keberpihakan), pendapat

terhadap isu, dan citra kandidat. Keyakinan inilah yang paling dekat pada

keputusan suara dan karena itu memiliki dampak langsung dan sangat kuat

terhadap perilaku memilih.17

Menurut Campbel, psikologi dapat menjelaskan mengapa seseorang

memiliki pilihan tertentu yang dapat dijelaskan oleh tiga fungsi sikap. Fungsi

sikap pertama adalah fungsi kepentingan, dimana tiap pilihan yang dipilih

oleh setiap orang didasarkan untuk pemenuhan kepentingannya secara pribadi.

Fungsi sikap kedua adalah fungsi adaptasi, bahwa dalam setiap pilihan yang ia

ambil adalah bentuk dorongan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan

sekitarnya misalnya seseorang terpaksa untuk memilih calon tertentu karena

berada dibawah tekanan preman atau yangselainnya maka mau tidak mau ia

harus memilih orang tersebut. Fungsi sikap ketiga adalah fungsi

16Saiful Mujani, Kuasa Rakyat, hal.22. 17Haryanto, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, “Kebangkitan Party ID: Analisis Perilaku Memilih Dalam Politik Lokal Di Indonesia”, Vol. 17/No. 3/Maret 2014, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, hal. 293-294. Di unduh dari https://jurnal.ugm.ac.id/ pada 18 November 2017.

26

mempertahankan diri dan externalisasi diri dimana setiap pilihan yang akan ia

pilih terlebih dahuli ia proyeksikan kedepan terlebih dahulu apakah

memeberikan ancaman atau tidak terhadap pribadinya.18

3. Pendekatan Pilihan Rasional

Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice Approach) atau nama

lainnya seperti Public Choice danCollective Choice19yang dibawa oleh

penganut mazhab Virginia, merupakan sebuah pendekatan perilaku politik

yang hadir sebagai kritik atas dua model pendekatan yang sudah ada

sebelumnya. Pilihan rasional muncul sebagai bagian revolusi behavioural

dalam ilmu politik Amerika tahun 1950-an dan 1960-an yang sebenarnya

berusaha meneliti bagaimana individu berperilaku dengan menggunakan

metode empiris.20 Meskipun pada masa perkembangannya menemui

pertentangan termasuk dari para penganut structural-functionalism karena

dianggap tidak memperhatikan kenyataan bahwa manusia dalam perilaku

politiknya sering tidak rasional, tetapi bagaimanapun juga pendekatan

Rational Choice sangat berjasa untuk mendorong usaha kuantifikasi dalam

ilmu politik dan mengembangkan sifat empiris yang dapat dibuktikan

kebenarannya. Ia merupakan studi empiris, ketimbang abstrak dan

spekulatif.21

18Hutomo,“Perilaku Memilih Warga Surabaya Dalam Pemilu Legislatif 2014”, Vol.4/No.1/Januari-Maret 2015, hal. 53-54. 19Miriam budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 92. 20David Marsh dan Gerry Stoker, Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik, hal. 76. 21Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 94-95.

27

Anthony Down adalah pelopor dalam penerapan teori pilihan rasional

bagi perilaku pemilihan umum dan persaingan partai, dan karyanya

merevolusi studi pemilihan umum. Pendekatan pilihan rasional menunjukkan

bahwa individu yang mempunyai kepentingan pribadi tidak akan selalu ambil

bagian dalam tindakan kolektif untuk memperjuangkan tujuan bersama.22

Latar belakang teoritis untuk menjelaskan pendekatan ini berangkat

dari teori ekonomi. Model ini merupakan upaya untuk menjelaskan perilaku

pemilih yang berhubungan dengan parameter ekonomi-politik. Pendekatan

rasional ini didasarkan bahwa semua keputusan yang telah dibuat oleh pemilih

bersifat rasional, yakni berdasarkan kepentingan pribadi dan diberlakukan

sesuai dengan prinsip memaksimalisasi manfaat. Pilihan politik pemilih yang

rasional senantiasa berorientasi kepada hasil yang dicapai oleh partai atau

kandidat tertentu dalam politik. Perilaku rasional terhadap kandidat dapat

diorientasikan berdasarkan pada kedudukan informasi, pencapaian pribadi,

dan popularitas seorang kandidat di mata masyarakat.23

Ketiga pendekatan diatas merupakan tolak ukur perilaku politik

seseorang dalam menentukan pilihannya ataupun kenapa seseorang

berpartisipasi dalam pemilu sedangkan orang lain tidak, ketiga model diatas

selalu hadir untuk menjelaskan perilaku seseorang dalam menentukan

pilihannya.

22David Marsh dan Gerry Stoker, Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik, hal. 77. 23Hariyanto, “Kebangkitan Party ID: Analisis Perilaku Memilih Dalam Politik Lokal Di Indonesia”, Vol. 17/No. 3/Maret 2014, hal. 294.

28

C. Pemilihan Kepala Daerah

Menurut Matori Abdul Djalil, pemilihan umum adalah memberikan

kepastian terhadap alih kepemimpinan dan kekuasaan (transfer of leader and

power) secara konstitusional untuk melahirkan pemimpin yang legitimatif.

Pemilihan umum adalah wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat (sovereignty)

secara mendasar di negara demokrasi dan pemilihan umum juga dimaksudkan

sebagai wahana formal untuk membentuk tatanan negara dan masyarakat (state

and social formation) menuju tatanan yang lebih baik.

Pentingnya dilaksanakan pemilihan umum pada dasarnya adalah untuk

melaksanakan kedaulatan rakyat, memilih wakil-wakil rakyat, meyakinkan atau

setidaknya memperbaharui kesepakatan pihak warga negara, mempengaruhi

perilaku warga negara, dan mendidik penguasa untuk semakin mengandalkan

kesepakatan (consent).24

Sementara itu pilkada, sebagai instrumen atas terselenggaranya demokrasi

di daerah, diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD Tahun 1945. Dalam sejarahnya,

pelaksanaan pilkada di Indonesia telah mengalami pergeseran sebelum dan

sesudah reformasi. Di masa Orde Baru, calon-calon kepala daerah, tingkat satu

dan dua, dipilih oleh anggota DPR kemudian diajukan untuk mendapatkan restu

dari presiden. Sedangkan di masa reformasi, proses pemilihan yang sentralistik

24Marulak Pardede, Jurnal Rechts Vinding BPHN, “Implikasi Sistem Pemilihan Umum Indonesia”, Vol. 3/No. 1/April 2014, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, hal. 86. Di unduh dari http://rechtsvinding.bphn.go.id/ pada 18 November 2017

29

kemudian bergeser kepada pilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD).25

Pilkada langsung di Indonesia sendiri dilaksanakan sejak Juni 2005.

Pelaksanaan pilkada langsung tersebut sebelumnya didahului keberhasilan pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2004.

Penyelenggaraan pilkada langsung diintrodusir di dalam UndangUndang (UU)

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan UU hasil revisi atas UU No. 22 Tahun 1999 mengenai substansi yang sama.26

Pilkada secara langsung sebenarnya dimulai setelah keluarnya Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan dapat dikatakan sebagai bagian dari rezim pemilu. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan

Pemilihan Umum, Pasal 1 angka 4 yang menentukan bahwa “Pemilihan Umum

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilihan Umum untuk memilih

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945”.

Namun, setelah adanya UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 2014, Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih oleh DPR. Setelah terjadi perdebatan politik hingga muncul penolakan publik, maka pemerintah akhirnya

25Pheni Khalid, dkk, ed., Pilkada Langsung:Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, (Jakarta: PT Mardi Mulyo, 2005), hal. 1. 26Ridho Imawan Hanafi, Jurnal Penilitan Politik, “Pemilihan langsung Kepala Daerah Di Indonesia: Beberapa Catatan Kritis Untuk Partai Politk”, Vol. 11/No. 2/Desember 2014, FISIP Universitas Indonesia, hal. 2. Di unduh dari http://ejournal.politik.lipi.go.id pada 20 November 2017.

30

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan

Walikota yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, maka

Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.27

Lalu lahirlah UU No. 1 Tahun 2015 peraturan yang berasal dari Perppu No

1/2014 yang bertujuan menjamin penyelenggaraan pilkada langsung oleh rakyat.

UU No. 1 Tahun 2015 ini memuat tujuh substansi baru: (1) pencalonan tunggal,

(2) pencegahan politik dinasti, (3) uji publik, (4) pembatasan dana kampanye, (5) pemungutan dan penghitungan suara elektronik; (6) penyelesaian sengketa hasil pemilihan ke MA, dan (7) pilkada serentak.28

Pemilihan kepala daerah yang dikenal saat ini yaitu pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil

Walikota adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil

27Cucu Sutrisno, Jurnal Pancasila Dan Kewarganegaraan, “Partisipasi Warga Negara Dalam Pilkada”, Vol. 2/No. 2/Juli 2017, Universitas Muhammadiyah Ponorogo, hal. 38. Di unduh dari http://journal.umpo.ac.id pada 20 Desember 2017. 28Tim Revisi Undang-Undang Pilkada, Menuju Pilkada Serentak Nasional 2021: Substansi dan Strategi Perubahan UU No 1/2015, (Jakarta: Yayasan Perludem, 2015), hal. 1.

31

Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.29Seperti yang telah dikemukakan bahwa tiap-tiap provinsi dibagi atas kabupaten dan kota. Provinsi dan kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah tersendiri. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Rebuplik Indonesia Tahun 1945.30

29Pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota 30Pasal 1 ayat (22) UU nomor 8 tahun 2015

32

BAB III

BIOGRAFI BASUKI TJAHAJA PURNAMA DAN DJAROT SAIFUL

HIDAYAT

DKI Jakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia merupakan kota terbesar di Indonesia. Hal ini menjadikan jakarta juga sebagai pusat perekonomian

Indonesia, maka tak sedikit pula yang berhijrah dari luar berbagai daerah pergi ke jakarta. Sebagai pusat pemerintahan, persaingan politik di Ibukota juga turut mengundang perhatian dari masyarakat dari berbagai daerah dan para tokoh- tokoh yang ingin maju sebagai gubernur DKI Jakarta, seperti halnya Basuki

Tjhaja purnama dan Djarot Saiful Hidayat yang sudah pernah memimpin di DKI

Jakarta namun tergiur untuk memimpin kembali DKI Jakarta. Perjalanan politik kedua tokoh ini juga akan dibahas pada bab ini.

Pada bab ini, diawal peneliti memaparkan tentang biografi kedua pasangan petahana yang maju pada Pilkada DKI Jakarta yaitu Basuki Tjahaja

Purnama dan Djarot Saiful Hidayat disertai dengan pemamparan tentang perjalanan politik kedua tokoh ini sampai akhirnya kembali mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gunernur DKI Jakarta.

33

A. Profil Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat

1. Basuki Tjahaja Purnama

Tabel III.A.41 Data PribadiBasuki Tjahaja Purnama NamaLengkap Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM Tempat/TanggalLahir Manggar, 29 Juni 1966 Pantai Mutiara Blok J No. 39, RT/RW. 006/016, AlamatTempatTinggal Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara Agama Kristen Mati adalah keuntungan dan hidup untuk Moto Hidup wujudkan keadilan social SDN No. 03, Gantung, Belitung Timur (1971- 1977) SMP Negeri 1, Gantung, Belitung Timur (1978- 1981) Riwayat Pendidikan SMA Swasta III PSKD, Jakarta (1981-1984) Universitas Trisakti, Teknik Geologi, Jakarta (1990) Sekolah Tinggi Prasetiya Mulya, Magister Manajamen, Jakarta (1994) Direktur Eksekutif Center Of Democracy and Transparency (CDT 3.1) (2007-2009) Direktur PT. NurindraEkapersada (1992-2005) Staf Direksi Bidang Analisa Biaya dan Keuangan PT. Simaxsindo Primadaya (1994-1995) Anggota DPRD Kab. Belitung Timur Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) (2004-2005) Riwayat Pekerjaan Bupati Kabupaten Belitung Timur (2005-2006) Anggota DPR RI Partai GolonganKarya (Golkar) (2009-2012) Wakil Gubenur Provinsi DKI Jakarta (2012-19 Nov 2014) Gubernur Provinsi DKI Jakarta (19 Nov 2014- 2017) Sekretaris Jenderal Partai Perhimpunan Indonesia Riwayat Organisasi Baru (2007) Sumber: Arsip KPUD DKI Jakarta

1Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “Profil Cagub dan Cawagub”, Diunduh melalui https://kpujakarta.go.id/file_lampiran/BB2%20BASUKI%20-%20DJAROT.pdf, 05 Januari 2018.

34

Basuki lahir di Manggar, Belitung Timur pada 29 Juni 1966 sebagai keturunan Tionghoa-Indonesia dari suku Hakka. Beliau tercatat sebagai putra pertama Alm. Indra Tjahaja Purnama (Tjoeng Kiem Nam) dan Buniarti

Ningsih (Boen Nen Tjauw). Anak kedua yaitu Basuri lahir pada tahun berikutnya, diikuti oleh kelahiran Fifi, Harry, dan Frans yang meninggal karena kecelakaan saat remaja. Ketika lahir nama Ahok sesungguhnya hanya

Basuki saja dan bahkan yang tercantum di rapor SMA-nya pun hanya Basuki.

Pria yang menikah dengan Veronica Tan ini lantas dikenal luas dengan nama panggilan “Ahok”.2

Masa kecil lebih banyak dihabiskan di sekitar Manggar, tepatnya di

Desa Gantung. Sayangnya, komitmen Ahok untuk berbisnis diciderai oleh sistem pemerintahan Belitung Timur yang korup dan feodal. Tahun 1995, pabriknya ditutup karena Ahok melawan kesewenang-wenangan pejabat setempat yang membuatnya sampai berkeinginan untuk hijrah ke Kanada, namun keinginan itu ditolak oleh Ayahnya. Sang Ayah pernah mengatakan bahwa suatu hari nanti rakyat akan memilih Ahok untuk memperjuangkan nasib mereka.

Bermodalkan keyakinan bahwa orang miskin jangan melawan orang kaya dan orang kaya jangan melawan pejabat, berlandaskan keinginan untuk membantu rakyat kecil di kampungnya, dan didorong oleh rasa frustasi terhadap kesemena-menaan pejabat yang dialaminya sendiri, Ahok memutuskan untuk masuk ke politik pada tahun 2003. Ahok bergabung

2Meicky Shoreamanis Panggabean, AHOK, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2016), hal. 3.

35

dengan Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) yang saat itu dipimpin

oleh Dr. Sjahrir. Pada pemilu 2004 Ahok mencalonkan diri sebagai anggota

legislatif. Dengan keungan sangat terbatas dan dengan model kampanye yang

lain dari yang lain, yaitu menolak memberikan uang kepada rakyat, Ahok

terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur periode 2004-

2009.3Selama di DPRD ia berhasil menunjukan integritasnya dengan menolak

ikut dalam praktik KKN, menolak mengambil uang SPPD fiktif, dan menjadi

dikenal masyarakat karena ia satu-satunya anggota DPRD yang berani secara

langsung dan sering bertemu dengan masyarakat untuk mendengar keluhan

mereka sementara anggota DPRD lain lebih sering “mangkir”.4

Ahok dalam mengarungi debut politiknya di tanah air sering kali

digoda dan diperhadapkan pada perilaku-perilaku tidak terpuji, seperti

diminta untuk membayar sejumlah uang untuk sebuah jabatan, memberi jatah

proyek kepada para tim sukses, dan banyak lagi. Tapi semua itu ditolaknya

dengan alasan tidak sesuai dengan kebenaran yang dipegang dan diyakininya.

Bagi Ahok apalah artinya memperoleh kehormatan, kekuasaan dan kekayaan

di dunia ini tapi kehilangan kemuliaan di depan penciptanya.5

Setelah tujuh bulan menjadi anggota DPRD, muncul banyak

dukungan dari rakyat kepada Ahok untuk menjadi bupati. Maju sebagai calon

Bupati Belitung Timur pada 2005, Ahok secara mengejutkan berhasil

3Panggabean, AHOK, hal. 4. 4Ginanjar, “Siapa Ahok”, ahok.org, 06 Januari 2018 pukul 14.02. 5Piter Randan Bua, The Ahok Way, (Bandung: PT. Visi Anugerah Indonesia, 2014), hal. 31.

36

mengantongi suara 37,13 persen dan menjadi Bupati Belitung Timur periode

2005-2010. Padahal Belitung Timur dikenal sebagai basis Masyumi, yang juga adalah kampung dari Yusril Ihza Mahendra.

Bermodalkan pengalamannya sebagai pengusaha dan juga anggota

DPRD yang mengerti betul sistem keuangan dan budaya birokrasi yang ada dalam waktu singkat sebagai bupati, Ahok mampu melaksanakan pelayanan kesehatan gratis, sekolah gratis sampai tingkat SMA, pengaspalan jalan sampai ke pelosok-pelosok daerah, dan perbaikan pelayanan publik lainnya.

Prinsipnya sederhana: Jika kepala lurus, bawahannya tidak berani tidak lurus.

Selama menjadi bupati, Ahok dikenal sebagai sosok yang anti sogokan baik di kalangan lawan politik, pengusaha, maupun rakyat kecil. Ahok memotong semua biaya pembangunan yang melibatkan kontraktor sampai 20 persen.

Dengan demikian, Ahok memiliki banyak kelebihan anggaran untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat.6

Cerita menarik lainnya sewaktu kampanye pemilu, Ahok harus memilih melakukan pendidikan politik atau melakukan azas saling membutuhkan dengan rakyat pemilih. Dengan segala yang telah diberikan, dan jika diteruskan dengan melakukan “bantuan uang”, tentulah akan menuai banyak suara. Tetapi, Ahok berkeyakinan, jika menjadi anggota DPRD terpilih dan konstituen yang memilih disebabkan karena memperoleh sesuatu, pastilah kelak konstituen itu akan terus meminta atau mereka akan mengatakan bahwa mereka akan dilupakan pasca pemilu. Bahkan, lebih

6Panggabean, AHOK, hal. 5.

37

buruk lagi mereka bias merasa tidak ada harapan, memilih siapapun sama

saja.

Setelah melihat fenomena tersebut, Ahok mengambil satu keputusan

yaitu dalam berpolitik harus berdasarkan prophetical voice, bukan political

voice. Artinya, melakukan fungsi “kenabian” yang menyuarakan kebenaran

dan keadilan, sekalipun dengan resiko ditolak dan dicampakkan. Sedangkan

political voice artinya tidak peduli halal atau haram, yang menang dalam

pemilu, karena hanya ada prinsip menang dan kalah, tidak istilah halal dan

haram.7

Di Belitung, apa yang dilakukan Ahok termasuk langka. Oleh karena

itulah sepak terjang Ahok sampai terdengar ke seluruh Bangka Belitung.

Kemudian, mulailah muncul suara-suara utnuk mendorong Ahok maju

sebagai Gubernur pada 2007. Kesuksesannya di Belitung Timur tercermin

dalam pemilihan Gubernur Babel ketika 63 persen pemilih di Belitung Timur

memilih Ahok. Sayang, karena banyaknya manipulasi dalam proses

pemungutan dan penghitungan suara, dia gagal menjadi Gubernur Babel.

Dalam pemilu legislatif 2009 dia maju sebagai caleg dari Golkar,

meski awalnya ditempatkan pada nomor urut keempat dalam daftar caleg, dia

berhasil mendapatkan suara terbanyak dan memperoleh kursi DPR berkat

perubahan sistem pembagian kursi dari nomor urut menjadi suara terbanyak.

Selama di DPR, dia duduk di komisi II. Dia dikenal oleh kawan dan lawan

7Jani Ginting, dkk, ed,.Merubah Indonesia: The story Of Basuki Tjahaja Purnama, (Jakarta: Center For Democracy and transparency, 2008), hal. 28.

38

sebagai figure yang apa adanya, vokal, dan mudah diakses oleh masyarakat banyak. Lewat kiprahnya di DPR, dia menciptakan standar baru yaitu, anggota-anggota DPR semestinyalah bersikap bersih, transparan, dan professional (BTP). Dia bisa dikatakan sebagai pionir dalam pelaporan aktivitas kerja DPR dan semua laporan bisa diakses melalui website-nya.

Sementara itu, staf ahlinya bukan hanya sekedar bekerja menyediakan materi undang-undang, tetapi juga secara aktif mengumpulkan informasi dan mengadvokasi kebutuhan masyarakat.

Pada tahun 2006, Ahok dinobatkan oleh Majalah Tempo sebagai salah satu dari 10 tokoh yang mengubah Indonesia. Pada tahun 2007 dia donobatkan sebagai tokoh Anti-Korupsi dari penyelenggara Negara oleh

Gerakan Tiga Pilar Kemitraan yang terdiri dari KADIN, kementerian

Penyalahgunaan Aparatur Negara, dan masyarakat Transparansi Indonesia.

Nama Ahok kian mencuat pada tahun 2012 karena dipilih Joko

Widodo (Jokowi) sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta dari PDIP dan

Gerindra. Setelah melalui dua tahap pemilihan, akhirnya Jokowi-Ahok ditetapkan sebagai pemenang dan dilantik sebagai Gubernur dan Wakil

Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 pada 15 Oktober 2012. Namun karena Jokowi mencalonkan diri menjadi Presiden dan menang, Ahok pun secara otomatis naik menjadi gubernur.8

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah Gubernur pertama dari komunitas Tionghoa yang siap untuk mengambil alih kepemimpinan ibukota.

8Panggabean, AHOK, hal. 7.

39

Sekalipun mendapat tantangan, terutama dari Partai Gerindra dan Front

Pembela Islam (FPI), DPRD DKI Jakarta dalam sidang paripurna pada

tanggal 04 November 2015 memutuskan menetapkan Ahok sebagai

gubernur.9

Pada saat menjadi gubernur, Ahok dikenal tegas10 dan juga dikenal

ceplas-ceplos. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Ahok selama

memimpin DKI Jakarta juga mendapat respon yang positif dan negatif.

Sehingga gaya kepemimpinan Ahok menuai pro dan kontra dikalangan

masyarakat, di mana posisi kontra masyarakat ada pada gaya komunikasinya

yang sering mengeluarkan kata-kata kasar. Terakhir, dengan dilaksanakannya

pilkada serentak tahun 2017, Ahok kembali mencalonkan diri lagi menjadi

cagub dengan status sebagai petahana bersama wakilnya di pemerintahan

sebelumnya yaitu Djarot Saiful Hidayat.

2. Djarot Saiful Hidayat

Tabel III.A.711 Data Pribadi Djarot Saiful Hidayat Nama Lengkap Drs. Djarot Saiful Hidayat Tempat/Tanggal Lahir Magelang, 06 Juli 1962 Alamat Tempat Jl. Mega Kuningan Barat III / Blok E 35 No. 11, Tinggal RT/RW. 004/005, Kelurahan Kuningan Timur,

9M. Husein Maruapey, Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, “Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara (Analisis Kritis Terhadap Kasus Penistaan Agama Oleh Petahana Gubernur DKI Jakarta), Vol. VII/No. 1/Juni 2017, Administrasi Publik S3 Unpad, hal. 22. Di unduh dari http://jipsi.fisip.unikom.ac.id pada 06 Januari 2018 10M. Husein Maruapey, “Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara”, Vol. VII/No. 1/Juni 2017, hal. 26. 11Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “Profil Cagub dan Cawagub”, Diunduh melalui https://kpujakarta.go.id/file_lampiran/BB2%20BASUKI%20-%20DJAROT.pdf, 07 Januari 2018.

40

Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan Agama Islam Isi Hidupmu Dengan Mengabdi Kepada Semua, Moto Hidup Bangsa dan Negara SDN Raden Saleh Surabaya (1971-1977) SMPN Surabaya (1978-1981) Riwayat Pendidikan SMA TNH-Mojokerto (1981-1984) S-1 Universitas Brawijaya (1986) S-2 Universitas Gajah Mada (1991) Dosen Universitas 17 Agutsus 1945 Surabaya (1986) Pembantu Dekan 1 Universitas 17 Agutsus 1945 Surabaya (1989-1991) Dekan FIA Universitas 17 Agutsus 1945 Surabaya (1991-1997) Pembantu Rektor 1 Universitas 17 Agutsus 1945 Riwayat Pekerjaan Surabaya (1997-1999) Ketua Komisi DPRD Provinsi Jawa Timur (1999-2000) Walikota Blitar (2000-2010) Anggota DPR RI (01 Okt 2014-12 Des 2014) Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta (17 Des 2014-2017) Ketua DPC GMNI Brawijaya (1981-1986) Riwayat Organisasi Ketua PA GMNI Jawa Timur (2010-2015) Ketua Apeksi (2005-2010) Sumber: Arsip KPUD DKI Jakarta

Djarot Saiful Hidayat, pria kelahiran Magelang 06 Juli 1962 ini adalah anak keempat dari keluarga M. Toyib, seorang pendiunan militer dari detasemen perhubungan. Djarot menikah dengan Happy Farida, dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu Farida Prameswari, Karunia Dwi Haspa Paramasari, dan

Meisa Rizki. Pemilik nama lengkap Djarot Saiful Hidayat ini biasa dipanggil

Djarot, dan nama panggilan tersebut sebetulnya bukan nama aslinya, saat lahir ia diberi nama Saiful Hidayat. Nama Djarot sendiri berawal dari panggilan seorang tukang tempe langganan sang ibu, dan kebetulan ketika kecil dirinya sering diasuh oleh penjual tempe langganan ibunya. Saat diasuh tukang tempe

41

langganan ibunya, dia suka dipanggil Djarot kemudian nama itu melekat pada dirinya.

Sejak saat itu, orang tuanya menambahkan nama Djarot sehingga namanya sekarang menjadi Djarot Saiful Hidayat. Karena ada pengubahan nama tersebut, Djarot pun harus mengurus akta kelahiran ke kelurahan lantaran akta sebelumnya tercantum nama Saiful Hidayat. Djarot memberikan alasan kepada kelurahan karena ketika kecil dia sering sakit-sakitan, maka perlu ditambah nama Djarot.

Pada awal reformasi tahun 1998, Djarot mencoba karir barunya di dunia politik. Pada tahun 1999 dia bergabung dengan PDIP utnuk maju sebagai calon legislatif daerah dan dia terpilih sebagai anggota DPRD Jawa

Timur periode 1999-2004. Baru setahun menjadi anggota legislatif, Djarot pilih haluan untuk berkarir ke dunia eksekutif. Pada tahun 2000, dia bertarung maju untuk menjadi Walikota Blitar, dan dalam kontestasinya tersebut, Djarot terpilih sebagai walikota periode 2000-2005. Pada pilkada berikutnya, Djarot sukses kembali menjadi Walikota Blitar untuk yang kedua kalinya.

Setelah menjabat sebagai Walikota Blitar selama dua periode, Djarot kembali aktif di PDIP tingkat provinsi Jawa Timur hingga kemudian mencalonkan diri sebagai caleg DPR pusat, di mana dia terpilih untuk periode

2014-2019. Lagi-lagi, belum lama menjalankan tugas dewan, dia diajukan

PDIP pusat untuk menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta yang kosong. Dia menggantikan posisi Ahok yang naik menjadi Gubernur menggantikan Jokowi

42

yang terpilih menjadi Presiden. Ia pun resmi mendampingi Ahok untuk

periode 2014-2017. Jelang masa baktinya berakhir, Djarot kembali diminta

PDIP berpasangan dengan Ahok untuk bertarung di pilkada DKI Jakarta

2017.12

B. Partai Pengusung dan Tim Pemenangan Ahok-Djarot

Dalam proses pemenangannya sebagai calon Gubernur dan wakil

Gubernur DKI Jakarta, terdapat tim pemenangan dalam mengawal pasangan

Ahok-Djarot yang terdiri dari orang-orang yang berada dalam barisan koalisi

partai pengusung Ahok-Djarot. Adapun struktur tim pemenangan Ahok-Djarot

sebagai berikut:

Tabel III.B.1013 Struktur Tim Pemenangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat

No Jabatan Nama Pekerjaan 1 Ahmad Basarah Anggota DPR RI 2 Eriko Sotarduga Anggota DPR RI 3 Jefri Darmadi Karyawan Swasta 4 Dewan Pengarah Effendy Choirie (Gus Anggota DPR RI Choy) 5 Dadang Rusdiana Anggota DPR RI 6 Agun Gunanjar Sudarsa Anggota DPR RI 7 Fayakhun Andriadi Anggota DPR RI 8 Gatot Sudariyanto Wiraswasta

9 Ketua Prasetyo Edi Marsudi Ketua DPRD

12Herianto, “Siapa Djarot Saiful Hidayat”, www.viva.co.id, 07 Januari 2018. 13Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “Struktur Tim Kampanye ahok- Djarot”, diunduh dari https://kpujakarta.go.id/file_data/16112510134725112016%20tim%20kampanye%20ahok%20djar ot%20lengkap.pdf, 28 Februari 2018.

43

Anggota DPRD Prov. 10 Mohammad Sangaji DKI Jakarta 11 Wakil Ketua Basri Baco Wiraswasta 12 Wibi Andrino Pengacara Staf Kepala BNP2TKI 13 Yovita Octaviani (non PNS)

14 Wakil Sekjen DPP Sekretaris TB Ace Hasan Syadzily Partai Golkar 15 Yuke Yurike Anggota DPRD 16 Wakil Ketua DPD Wakil Sekretaris Abdul Canter Hanura DKI Jakarta 17 Virgie Baker Swasta 18 Andre J.O Sumual Wiraswasta

19 Bendahara Anggota DPR RI 20 Nadya Pratiwi Purba Swasta 21 Baskara Sukarya Wiraswasta 22 Bendahara PDP Hanura Wakil Bendahara Anies Hasan DKI Jakarta 23 Joice Triatman Wiraswasta 24 Anggota Fraksi PDI Manuhara Siahaan Perjuangan DPRD DKI Jakarta

25 Bidang Sumber Daya dan Kreatif Aria Bima Anggota DPR RI 26 Bidang Data dan Informasi Eva Sundari Anggota DPRD Prov. DKI Jakarta 27 Bidang Perlengkapan dan Mahmudin Muslim Senior Peneliti Rumah Tangga 28 Bidang Kampanye dan Sosialisasi Merry Hotma Anggota DPRD Prov. DKI Jakarta 29 Bidang Penggalangan Massa Arif Wibowo Anggota DPR RI 30 Bidang Media Martin Manurung Wiraswasta 31 Bidang Saksi Faiz Dwi Hazrian Karyawan Swasta 32 Bidang Hukum dan Advokasi Pantas Nainggolan Pengacara 33 Bidang Khusus Anggota DPR RI 34 Juru Bicara Ahmad Basarah Anggota DPR RI 35 Bidang Keamanan Audi Tambunan Swasta

44

36 Bidang Koorda Jakarta Timur Taufik Azhar Anggota DPRD 37 Bidang Koorda Jakarta Pusat Farida Listuti Wakil Ketua DPD DKI Jakarta Partai Hanura 38 Bidang Koorda Jakarta Barat Darmadi Durianto Anggota DPR RI 39 Bidang Koorda Jakarta Utara dan Jonny Simanjuntak Anggota DPRD Prov. Kep. Seribu DKI Jakarta 40 Bidang Koorda Gembong Warsono Anggota DPRD Prov. Jakarta Selatan DKI Jakarta

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa struktur tim pemenangan Ahok-

Djarot diisi oleh orang-orang yang berada di partai pengusung. Pada pilkada DKI

Jakarta 2017 lalu, pasangan Ahok-Djarot sendiri dalam proses pencalonannya sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur diusung oleh koalisi dari berbagai partai, yaitu koalisi partai PDI Perjuangan, partai Nasdem, dan partai Hanura.

Sementara itu pasangan Ahok-Djarot turut mendapat dukungan dari partai pendukung non-parlemen seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dipimpin

Dzan Faridz serta Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dipimpin oleh Grace

Natali yang juga masuk dalam struktur pemenangan Ahok-Djarot.

Selain dari pada tim pemenangan yang ada dalam barisan pencalonan

Ahok-Djarot sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur, terdapat juga tim relawan yang mengalawan pencalonannya. Sebut saja salah satunya Teman Ahok yang menarik banyak perhatian dengan gerakannya mengumpulkan KTP warga

Jakarta sebanyak 1 juta KTP sebagai syarat dan upaya pencalonan Ahok melalui jalur independen, meskipun pada akhirnya Ahok berbelok arah dengan maju

45

melalui jalur partai politik. Selain Teman Ahok, masih banyak relawan lainnya

yang ikut serta aktif dalam mengawal pencalonan Ahok-Djarot di pilkada DKI

Jakarta 2017 di mana tercatat di KPU berjumlah 95 organ relawan.

C. Visi dan Misi Ahok-Djarot

Adapun dalam pencalonannya sebagai calon Gubernur dan Wakil

Gubernur DKI Jakarta, kedua pasangan ini mempunyai visi sebagai berikut:14

“Jakarta sebagai etalase kota Indonesia yang modern, tertata rapi,

manusiawi dan fokus pada pembangunan manusia seutuhnya dengan

kepemimpinan yang bersih, transparan, dan professional”

Adapun misi yang akan dijalankan oleh pasangan Ahok-Djarot sebagai

berikut:

1. Mewujudkan pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),

terbuka, dan melayani warga.

2. Menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warga, jaminan kesehatan, jaminan

pendidikan, hunian yang layak, bahan pangan yang terjangkau, transportasi

public yang ekonomis, dan lapangan pekerjaan serta usaha agar seluruh warga

berkesempatan memperoleh kehidupan yang lebih baik sehingga indeks

kebahagiaan kota Jakarta menjadi salah satu yang tertinggi diantara kota-kota

di dunia.

14Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “Visi dan Misi Ahok-Djarot”, kpujakarta.go.id, 15 Maret 2018.

46

3. Menciptakan menciptakan sumber daya manusia yang tangguh, lahir dan

batin, kompeten, dan berdaya saing global dengan indeks pembangunan

manusiayang setara dengan kota-kota maju di dunia.

4. Menata kota sesuai perubahan zaman untuk mendukung kemajuan ekonomi,

keberlangsungan lingkungan, dan kehidupan social budaya warga.

5. Membangun kehidupan kota yang berbasis teknologi dan berinfrastruktur

kelas dunia dengan warga yang berketuhanan, berbudaya, bergotong royong,

berwawasan, toleran, partisipatif, dan inovatif.

47

BAB IV

ANALISA KEKLAHAN PETAHANA (STUDI KEKALAHAN AHOK-

DJAROT PADA PILKADA DKI JAKARTA 2017

Fenomena kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017

memunculkan pertanyaan-pertanyaan dari berbagai kalangan, apalagi pasangan

Ahok-Djarot yang notabene adalah pasangan petahana yang sudah lama dikenal

oleh masyarakat dan sudah terbukti kinerjanya namun justru kalah dalam

kontestasinya di Pilkada DKI Jakarta. Pada bab ini, penulis akan menganalisis

faktor apa yang menyebabkan Ahok-Djarot kalah pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

A. Faktor Kekalahan Ahok-Djarot

Situasi politik yang begitu panas di Pilkada DKI Jakarta 2017

menghadirkan animo masyarakat yang begitu banyak untuk turut serta

berpartisipasi aktif dalam agenda politik di ibukota. Tingkat partisipasi warga

dalam menggunakan hak pilihnya di kontestasi politik merupakan intisari dari

perilaku politik.1 Dari data yang dihimpun berdasarkan hasil real count KPU DKI

Jakarta melalui Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU RI, tingkat

partisipasi pemilih mencapai 77.1 persen pada putaran pertama dan diputaran

kedua mencapai 78 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT).2

1Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rumpai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hal. 8. 2Nursita Sari, “Tingkat Partisipasi Pemilih pada Putaran Kedua Pilkada DKI 78 Persen”, megapolitan.kompas.com, 20 November 2018.

48

Tabel IV.A.12 Data Jumlah Daftar Pemilih Tetap di Putaran Pertama Jumlah Jumlah Pemilih No. Kabupaten/Kota TPS L P Total 1 Jakarta Barat 2.934 834.448 817.603 1.652.051 2 Jakarta Pusat 1.237 374.307 372.845 747.152 3 Jakarta Selatan 2.973 796.540 797.160 1.593.700 4 Jakarta Timur 3.690 999.941 1.006.456 2.006.397 5 Jakarta Utara 2.150 547.668 544.206 1.091.874 6 Kepulauan Seribu 39 8.786 8.629 17.415 Total 13.023 7.108.589 Sumber: Arsip KPUD DKI Jakarta Tabel IV.A.13 Data Jumlah Daftar Pemilih Tetap di Putaran Kedua Jumlah Jumlah Pemilih No. Kota TPS L P Total 1 DKI Jakarta 13.034 3.610.079 3.608.201 7.218.280 Sumber: Arsip KPUD DKI Jakarta Kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 memunculkan beragam faktor yang menyebabkan pasangan petahana ini mengalami kekalahan. Sebagai pasangan petahana, Ahok-Djarot tentu diunggulkan layaknya seperti calon kandidat lain dengan status petahana.

Bermodalkan kinerja yang sudah terbukti hasilnya dan sosoknya yang sudah banyak dikenal masyarakat, Ahok-Djarot nyatanya gagal dalam mempertahankan kekuasaannya di ibukota meskipun mendapat dukungan dari beberapa partai besar.

Pada prakteknya, pasangan petahana memiliki keistimewaan tersendiri dibanding kandidat lain karena petahana bisa memanfaatkan posisinya dengan melakukan kampanye lebih lama bahkan saat masih menjabat dengan membuat kebijakan-kebijakan yang berdampak pada citra positifnya dihadapan masyarakat

49

atau berkomunikasi dengan masyarakat langsung saat sosialisasi program kerjanya.

Pada kasus kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI, pasangan ini tidak mampu memanfaatkan posisinya sebagai calon dari petahana. Ahok-Djarot hanya mampu meraih kemenangan pada putaran pertama saja, diputaran kedua justru mengalami kekalahan akibat dari beberapa faktor yang menyebabkan citranya yang semakin buruk menjelang masa pencoblosan. Dalam hal ini, penulis telah menemukan faktor-faktor yang menyebabkan pasangan petahana mengalami kekalahan pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, diantaranya:

1. Timses Gagal Mengkampanyekan Ahok-Djarot

Dalam sebuah kontestasi politik, menang atau kalahnya seorang

kandidat juga dipengaruhi oleh kemampuan timses dalam mengkampanyekan

kandidatnya. Timses dalam hal ini harus mampu membuat strategi kampanye

yang efektif agar kandidatnya mendapat tempat di hati masyarakat.

Kesuksesan seorang kandidat dapat dilihat dari efektifitas kampanye yang

dilakukan timses seperti yang dikatakan oleh pengamat politik Veri Muhlis

Ariefuzzaman, “Dalam pemilu, kampanye yang sukses itu kampanye yang

mampu memenangkan kandidatnya. Semahal apapun kampanye kalau

kandidatnya kalah ya timses gagal mengkampanyekan kandidatnya.”3

Kegiatan kampanye merupakan momentum yang harus dijalankan

sebaik mungkin agar dapat menarik suara pemilih sebanyak-banyaknya.

3Wawancara penulis dengan pengamat politik Veri Muhlis Ariefuzzaman, di kantor KONSEP Indonesia, BSD Tangerang 14 Agustus 2018

50

Dalam prosesnya, timses harus punya strategi yang matang sehingga mampu

mengajak warga untuk memilih kandidat yang diusungnya, bukan malah

membuat citra kandidatnya menjadi buruk dihadapan pemilihnya. Meskipun

Ahok-Djarot menang di putaran pertama namun pada putaran berikutnya

mereka gagal, hal ini seperti yang sampaikan Rian Ernest selaku timses Ahok-

Djarot, “kemenangan diputaran pertama karena masyarakat mampu menerima

pesan yang kita sampaikan. Pola yang kita gunakan selama kampanye terbukti

efektif meskipun keinginan kita untuk menang satu putaran tidak tercapai.”4

Selain itu, perolehan suara Ahok-Djarot di putaran pertama tidak sesuai

dengan ekspektasi timses sedari awal, meski unggul atas Anies-Sandi.

Oleh karena itu, penulis bahkan berpandangan timses Ahok bukan

hanya gagal di putaran kedua tetapi juga telah gagal pada putaran pertama

karena hanya unggul tipis dari pesaing terdekatnya yaitu pasangan Anies-

Sandi. Hasil perolehan suara di putaran pertama menunjukkan pasangan

Ahok-Djarot memperoleh suara sebesar 42.99 persen, unggul atas Agus Sylvi

yang memperoleh suara sebesar 17.05 persen dan Anies Sandi dengan

perolehan suara sebesar 39.95 persen. Dengan hasil ini pasangan Ahok-Djarot

belum resmi memenangkan pilkada karena berdasarkan UU No 29 Tahun

2007 pasal 11 bahwa keterpilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta

harus menghasilkan perolehan suara setidaknya lebih dari 50 persen. Jika

4Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi, Rian Ernest Di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai PSI, Jakarta, 27 Juli 2018.

51

tidak ada maka akan dilanjutkan dengan putaran kedua yang diikuti oleh

pasangan calon dengan suara terbanyak pertama dan kedua.5

Melihat kandidat yang maju adalah petahana, hal ini menjadi tantangan

tersendiri karena bagaimanapun timses harus mampu mempertahankan suara

pendukung Ahok-Djarot bukan justru meremehkan bahwa pendukung Ahok-

Djarot tidak akan pindah ke lain hati, apalagi Ahok sendiri adalah seorang

minoritas yang akan merebut suara mayoritas dan sudah barang tentu Ahok

menjadi pusat perhatian masyarakat khususnya pemilih muslim. Maka timses

semestinya punya persiapan dan strategi khusus karena sudah tahu apa yang

akan dihadapi ketika memasang Ahok di Pilkada DKI Jakarta.

Dalam urusan strategi kampanye, timses Ahok-Djarot memiliki

strategi tersendiri untuk menarik perhatian pemilih. Salah satu strategi yang

digunakan selama kampanye adalah kampanye rakyat.Hal ini juga dijelaskan

oleh Rian Ernest,

“Kampanye rakyat yang kami galakkan ini merupakan program penggalangan dana kampanye yang berbasis partisipasi rakyat. Jadi kami ingin menunjukkan kepada publik sistem pendanaan kampanye kita terbuka dan transparan. Selama ini kampanye itu sarat akan politik uangmakanya kami menggunakan metode ini. Penggalangan dana ini juga bisa dilakukan secara online dengan mengunjungi website kami.”6 Rian Ernest juga menambahkan soal strategi lainnya yang digunakan

selama kampanye berlangsung ia mengatakan, yakni “strategi door to

5Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “KPU Provinsi DKI Selesaikan Rekapitulasi Perhitungan Suara hari ini,”, kpujakarta.go.id, 21 Oktober 2018. 6Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi, Rian Ernest Di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai PSI, Jakarta, 27 Juli 2018.

52

doorataumasuk ke rumah-rumah warga mensosialisaikan program, dan tidak

lupa menyampaikan prestasi-presatsi apa saja yang sudah dicapai oleh pak

Ahok-Djarot. Selain itu kita juga fokus ke daerah-daerah yang punya problem

sosial yang tinggi, dan ini merupakan inisiatif dari pak Ahok sendiri.”7

Dari keterangan timses menunjukkan bahwa fokus kampanye Ahok-

Djarot yaitu lebih banyak menyampaikan perihal kinerjanya saat memimpin

Jakarta pada pemerintahan sebelumnya sekaligus menyampaikan program

kerjanya di mana hal ini hal ini relevan dengan status Ahok-Djarot sebagai

petahana, namun faktanya hal itu tidaklah cukup mengingat munculnya kasus

penistaan agama yang dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu. Konsekuensinya,

isu ini secara cepat berkembang di masyarakat membuat kepercayaan publik

semakin berkurang terutama dikarenakan timses tidak mampu memberikan

pembuktian atau meyakinkan kepada masyarakat secara masif bahwa Ahok

tidak bersalah, padahal isu penistaan agama tersebut semakin panas diputaran

kedua. Hal ini juga diakui oleh Rian Ernest yang mengatakan,

“Dalam setiap kegiatan kampanye baik diputaran pertama maupun kedua kami menghidari kampanye yang berbau SARA, kami fokus soal kinerja, prestasi dan program kerja. Soal adanya isu SARA, kami kampanyekan Ahok-Djarot sebagai pasangan yang pro-Islam melalui beberapa kegiatan seperti tablig akbar dan pengajian.”8 Selain itu, efektifitas kampanye yang dilakukan timses juga tidak

maksimal di media sosial seperti yang diungkapkan oleh Veri Muhlis:

7Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi, Rian Ernest Di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai PSI, Jakarta, 27 Juli 2018. 8Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi, Rian Ernest Di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai PSI, Jakarta, 27 Juli 2018.

53

“Jadi apakah kampanye Ahok-Djarot itu efektif menurut saya tidak efektif karena semuanya jadi jenderal, disosial media itu jadi jenderal semua mengklaim jadi panglima akhirnya isunya tidak terkomando karena semua orang ingin terlibat dan banyak sekali orang yang mengeluarkan dana pribadi hanya untuk memenuhi keterpanggilan jiwanya hanya karena kesamaannya sebagai minoritas.”9

Dalam kampanye ada faktor yang menghambat keberhasilan

kampanye yang disebabkan oleh pesan-pesan yang disampaikan dalam

kampanye juga tidak mampu memotivasi khalayak untuk menerima dan

menerangkan gagasan yang diterima.10 Kekalahan Ahok-Djarot telah

membuktikan bahwa tujuan kampanye tidak berhasil dicapai karena kandidat

politik mengalami kekalahan meskipun menang diputaran pertama namun

pembuktian sesungguhnya ada diputaran kedua. Timses tidak mampu

meyakinkan masyarakat bahwa Ahok tidak bersalah dan ini dibuktikan dengan

hasil survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indoneisa (LSI) Denny JA

di mana 89% responden mengetahui kasus penistaan agama oleh Ahok. Dari

angka tersebut, 73.20% responden menyatakan setuju bahwa Ahok melakukan

penistaan agama.11

Ketika Ahok sudah sulit diterima oleh masyarakat muslim dan di saat

masyarakat butuh kepercayaan, justru muncul isu timses melakukan blunder

politik di masa tenang Pilkada yaitu pada 16-18 April 2017 Badan Pengawas

Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta menemukan paket sembako beserta spanduk

9Wawancara penulis dengan pengamat politik Veri Muhlis Ariefuzzaman, di kantor KONSEP Indonesia, BSD Tangerang 29 Agustus 2018. 10Antar Venus, Manajemen Kampanye, hal.131. 11Yusuf Efendi, “73% Warga Yakin Ahok Menistakan Agama”, metro.sindonews.com, 22 Oktober 2018.

54

relawan Badja yang ditemukan dibeberapa wilayah seperti Tanah Abang,

Ciracas, Cakung Timur, Klender, Tanjung Priuk, Kalibata dan Kalideres. Di

Kepulauan Seribu Bawaslu juga menemukan paket sembako disertai 23 ekor

Sapi yang diketahui milik DPC PDIP Kepulauan Seribu.12

Adanya isu bagi-bagi sembako ini jelas merusak citra Ahok-Djarot

sendiri, namun isu ini dibantah oleh Rian Ernest yang mengatakan, “itu tidak

benar ya, itu jelas fitnah bagi kami, bahkan pak ahok sendiri itu paling tidak

suka dengan cara-cara tidak sehat seperti ini, pak ahok bisa saja melakukan

hal seperti itu atau semacamnya, tapi pak ahok lebih memilih cara-cara yang

sehat.”13

Meskipun kasus bagi-bagi sembako tersebut mendapat bantahan dari

timses, namun isu bagi-bagi sembako yang dilakukan oleh timses Ahok-Djarot

tersebut diduga mempengaruhi pilihan politik warga. Cara kampanye seperti

ini jelas membuat warga semakin kecewa karena dianggap merusak demokrasi

dan juga tidak sesuai dengan apa yang selalu di galakkan oleh pasangan Ahok-

Djarot yaitu bersih dan transparan. Sebagai mana yang diungkapkan salah satu

warga ciracas Hendi Sunardi, “Terus juga ada berita yang saya lihat di TV

kalo timses Ahok itu bagi-bagi sembako itu kan gak boleh sebenarnya,

12Cici Marlina Rahayu, “Ini Lokasi Penemuan Sembako hingga Sapi Diduga Politik Uang, news.detik.com, 22 Oktober 2018. 13Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi, Rian Ernest Di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai PSI, Jakarta, 27 Juli 2018.

55

menurut saya itu kan politik kotor ya, gak bagus cara-cara seperti itu buat

dicontoh.”14

Dalam hal ini kegagalan timses terlihat jelas, alih-alih meningkatkan

kepercayaan masyarakat terhadap pasangan Ahok-Djarot justru malah

meruntuhkan kepercayaan masyarakat dengan munculnya isu bagi-bagi

sembako di masa tenang Pilkada. Indikator pendekatan psikologis pada

kekalahan Ahok-Djarot turut mempengaruhi warga dalam pilihan politiknya

yang disebabkan oleh isu. Faktor kegagalan lainnya timses juga tidak mampu

melakukan pembuktian dan meyakinan masyarakat bahwa Ahok tidak

bersalah.

2. Turunnya Citra Ahok

Dalam kontestasi politik citra seorang kandidat sangat mempengaruhi

pilihan politik seorang warga karena berkaitan dengan suka atau tidaknya

warga terhadap kandidat yang akan dipilih. Kandidat yang memiliki citra

positif dari pada negatif akan lebih disukai oleh warga. Citra positif dianggap

sebagai bagian terpenting dalam menciptakan preferensi-preferensi calon

pemilih terhadap kandidat.15

Pada kasus kekalahan Ahok-Djarot di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017,

citra pasangan petahana ini mengalami penurunan yang sangat drastis, selain

sebagai satu-satunya kandidat dari minoritas, Ahok juga dikenal ceplas-ceplos,

14Wawancara dengan warga Kecamatan Ciracas Hendi Sunardi di Ciracas Jakarta Timur, 05 Agustus 2018. 15Pawito, Komunikasi Politik, Media Massa dan Kampanye Pemilihan, (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2009), hal. 263.

56

ditambah kasus yang menimpa dirinya yaitu kasus penistaan agama. Efeknya

terutama pada umat muslim menyebabkan penurunan elektabilitas pasangan

Ahok-Djarot, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga survei

Polmark Research Center. Lihat tabel berikut:

Tabel IV.A.14 Survei Elektabilitas Pasangan Ahok-Djarot

Elektabilitas Ahok-Djarot

43.0% 40.5% 41.1% 37.8%

31.9

27.1%

20.4%

FEBRUARI 2016 JULI 2016 OKTOBER 2016 JANUARI 2017 FEBRUARI 2017 15 FEBRUARI 2017 MARET 2017

Series 1

Source: Polmark Research Centre16

Tabel IV.A.3menunjukan naik turunnya elektabilitas Ahok-Djarot,

pada bulan Februari 2016 tingkat elektabilitas pasangan Ahok-Djarot

memperoleh angka 37.80%, namun terhitung dari bulan Juli 2016 sampai

bulan Januari 2017 elektabilitas pasangan Ahok-Djarot mengalami penurunan

yang sangat drastis (40.50%, 31.50% dan 20.40%). Penurunan tingkat

elektabilitas ini tidak terlepas dari pengaruh isu penistaan agama yang

dilakukan oleh Ahok di Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016.

16Pertanyaan elektabilitas pada survei Februari dan Juli 2016 ditujukan untuk bakal calon secara perseorangan, bukan sebagai pasangan. Sementara data survei Oktober 2016, Januari 2017, Februari 2017 dan Maret 2017 ditujukan untuk pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur.

57

Sedangkan pada bulan Januari hingga Februari 2017 elektabilitas

Ahok-Djarot kembali mengalami penaikan yang disebabkan karena masifnya

sosialisasi tentang prestasi Ahok-Djarot selama menjadi gubernur.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Rian Ernest, “selama kampanye

kamisangat fokus pada program kerja dan mensosialisasikan prestasi pak

Ahok-Djarot secara masif.”17Disisi lain penyebab naiknya elektabilitas Ahok

karena gaya komunikasinya yang berubah tidak sekasar dulu dan permintaan

maafnya atas kasus penistaan agama mendapat simpati dari masyarakat.18

Setelah elektabilitasnya naik, bulan Maret 2017 elektabilitas Ahok-

Djarot kembali turun dengan memeperoleh angka 41.10% yang disebabkan

karena menguatnya isu SARA menjelang putaran kedua.19Menurut Rian

Ernest penurunan itu disebabkan,“karena isu SARA tadi ya, isunya semakin

panas baik itu di media sosial ataupun beberapa tempat yang memang banyak

bertebaran spanduk-spanduk anti Ahok dan itu memang menyulitkan bagi

kami sebagai timses, isunya semakin sulit untuk kami bendung.”20

Dari data tersebut diketahui bahwa dukungan terhadap pasangan

Ahok-Djarot menunjukkan perolehan polling yang relatif tidak stabil bahkan

memperlihatkan situasi yang sulit menjelang pelaksanaan Pilkada putaran

kedua. Memanasnya isu SARA menjelang putaran kedua berdampak pada

17Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi Rian Ernest via Telepon, 27 Juli 2018 18Avit Hidayat, “Elektabilitas Ahok Merangkak Naik, Ini Penyebabnya”, pilkada.tempo.co, 26 Oktober 2018. 19Hasan Fadillah “Timses Akui Elektabilitas Ahok-Djarot Turun Karena Isu”, mmetrotvnews.com, 26 Oktober 2018. 20Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi Rian Ernest via Telepon, 27 Juli 2018

58

melemahnya kepercayaan masyarakat DKI Jakarta terhadap Ahok-Djarot dan

berimbas pada bertambahnya dukungan publik kepada kubu lawan. Hal ini

juga berdampak pada berubahnya pilihan warga terhadap Ahok-Djarot seperti

yang diungkapkan oleh warga bernama Suhatmo, “Saya sempet kemaren itu

milih Ahok dan belum terlalu yakin ahok menistakan agama, tapi nyatanya

Ahok gak bisa buktikan kalo dia gak salah berarti kan Ahok bener dong

menistakan agama. Ya udah akhirnya saya ga jadi milih dia lagi.”21

Dalam periode putaran pertama terdapat banyak aksi besar-besaran

atau yang disebut dengan “Aksi Bela Islam” ini digelar menuntut hukuman

atas pelanggaran yang dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu. Aksi pertama

digelar pada tanggal 14 Oktober 2016 yang berlangsung di depan balai kota

DKI Jakarta, dikomandoi oleh Front Pembela Islam (FPI) aksi ini menuntut

segera dilakukannya penyelidikan atas kasus penistaan agama oleh Ahok.

Sebelum aksi ini dibubarkan, Habib Rizieq Shihab selaku pimpinan FPI

mengecam akan melakukan aksi lanjutan yang lebih besar jika dalam tempo

tiga minggu tidak ada perkembangan penyelidikan atas kasus yang dilakukan

oleh Ahok.22

21Wawancara dengan warga Kecamatan Cipayung Suhatmo di Cipayung Jakarta Timur, 05 Agustus 2018 22Siswanto, Demo Ormas Islam Bubar, Sebelum Pergi, Rizieq Keluarkan Ancaman”, www.suara.com, 26 Oktober 2018.

59

Gambar IV.A.1 Ribuan Massa Aksi Bela Islam I

Karena dianggap lamban dalam proses penyelidikan kasus penistaan agama, pada tanggal 4 November 2016 akhirnya digelar kembali aksi lanjutan yang dihadiri massa dari luar daerah guna menuntut segera di tentukannya status hukum Ahok. Aksi yang dikenal juga dengan aksi damai 411 ini berpusat di depan Istana Negara dan disertai kericuhan. Buntut dari aksi ini mendapat respon dari pemerintah dan Ahok resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama pada tanggal 16 November 2016.

Setelah hadirnya dua aksi bela Islam, mendekati masa pencoblosan hadir pula aksi lanjutan yang berlangsung pada tanggal 2 Desember dan 11

Februari 2016. Aksi ini berlangsung damai yang disertai dengan zikir dan do`a bersama. Terhitung diputaran pertama telah terjadi empat aksi belas Islam yang membuat elektabilitas Ahok-Djarot semakin turun sangat jauh.

Menjelang putaran kedua yang berlangsung pada tanggal 19 April

2017, situasi politik ibukota semakin memanas. Penyebabnya masih sama yaitu karena isu penistaan agama yang terus bergejolak sampai digelarnya aksi

60

besar-besaran yang terjadi pada tanggal 21 Februari 2017 atau disebut juga

dengan Aksi Bela Islam 212 sebagai aksi lanjutan atas beberapa aksi yang

terjadi diputaran pertama. Aksi tersebut berlangsung di depan gedung Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) dan dihadiri oleh ribuan massa yang terdiri dari

simpatisan Forum Umat Islam (FUI) dan Mahasiswa yang menuntut agar

Ahok dipenjarakan. Bersamaan dengan aksi tersebut, Ahok menjalani sidang

ke-11 kasus dugaan penistaan agama di auditorium gedung Kementrian

Pertanian, Jakarta Selatan.23

Mendekati masa pencoblosan diputaran kedua, kembali lagi digelar

aksi lanjutan yang berlangsung pada tanggal 31 Maret 2017. Aksi ini

bertujuan meminta Presiden untuk segera memberhentikan

Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Awalnya aksi ini akan

berpusat di Istana Merdeka namun tidak di izinkan dan hanya boleh

melakukan long march sampai dengan Kawasan patung kuda.24

Selain hadirnya beberapa aksi besar-besaran demi menuntut Ahok

diadili, dampak kasus penistaan agama ternyata sangat dirasakan oleh

pasangan Ahok-Djarot selama kampanye yang berujung pada aksi penolakan

yang dilakukan sekelompok warga untuk mencegah Ahok-Djarot

berkampanye. Aksi penolakan kampanye ini terjadi di beberapa daerah seperti

di Jatipadang, Cilincing, Rawa Belong, Ciracas dan Pasar Minggu.

23Angga Yudha Pratomo, “21 Februari, FUI gelar aksi bela Islamdi DPR tuntut Ahok dicopot”, www.merdeka.com, 29 Oktober 2018. 24Nanda Perdana Putra, “Massa Aksi 31 Maret Longmarch dari Istiqlal ke Istana Merdeka”, www.liputan6.com, 29 Oktober 2018.

61

Meskipun sudah diatur dalam pasal 187 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2015 tentang pelarangan bagi setiap orang untuk mengacaukan,

menghalangi, atau menggganggu jalannya kampanye dan akan terancam

hukuman pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda maksimal Rp 6 juta,

tetapi tak menyurutkan aksi penolakan ini. Pada akhirnya Ahok-Djarot pun

memilih untuk menghindar karena ditakutkan agenda sosialiasi ke warga akan

berjalan tidak kondusif.25 Hal ini yang kemudian menyebabkan tidak

efektifnya sosialisasi program yang dilakukan oleh pasangan Ahok-Djarot

kepada warga akibat aksi ini.

Adanya aksi besar-besaran ini mempengaruhi citra Ahok di mata

masyarakat khususnya umat muslim. Hal ini merupakan faktor yang sangat

berpengaruh terhadap kekalahan yang dialami oleh pasangan Ahok-Djarot

diputaran kedua seperti yang disampaikan oleh Rian Ernest, ia mengatakan:26

“Putaran kedua sudah kami prediksi isunya akan semakin panas, seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Adanya aksi dan spanduk anti Ahok membuat kami harus bekerja keras membendung isu penistaan agama ini baik di media sosial maupun bertatap muka langsung dengan warga melalui kampanye senyap yang kami lakukan di putaran kedua dan memang faktor ini sangat mempengaruhi kekalahan Pak Ahok diputaran kedua.” Imbas dari kasus penistaan agama membuat warga enggan memilih

Ahok seperti yang diungkapkan oleh seorang warga perempuan bernama Siti

Mahfuzoh seperti yang disampaikannya, “ya kan orang udah terbukti jadi

tersangka ngelakuin penistaan agama kok mau dipilih, enggak lah. Warga

25Kurnia Sari Aziza, “Kapanye Ahok yang Bergejolak di Penghujung dan Awal Tahun”, megapolitan.kompas.com, 26 Oktober 2018. 26Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi Rian Ernest via Telepon, 27 Juli 2018

62

muslim mana yang ga marah kalo Ayat suci Al-Qur`an di lecehin apalagi

sama orang non-muslim. Makanya mending pilih calon lain aja yang lebih

santun.”27

Hal senada juga diungkapkan oleh seorang warga bernama Imam

Santoso yang lebih memilih pemimpin lain dibanding Ahok seperti yang ia

sampaikan, ia mengatakan,“saya kemaren itu gak milih Ahok karena memang

kurang suka ya, terutama dia orang yang udah menistakan agama, jadi

siapapun pemimpinnya asal jangan Ahok aja pokoknya”28

Menariknya, meskipun berubah pilihan, Imam punya penilaian lain

terhadap pasangan Ahok-Djarot. Bahkan Imam juga setuju dan mengapresiasi

kinerja Ahok selama memimpin Jakarta salah satunya soal penggusuran

wilayah kalijodo, seperti yang disampaikannya,“Sebenarnya Ahok itu

kerjanya bagus ya, saya senang juga waktu yang kalijodo di gusur, itu kan

tempat prostitusi, jadi saya setuju kalo tempat kaya gitu digusur..”29

Dari penuturan para warga DKI Jakarta yang tidak memilih Ahok-

Djarot, hal ini juga didukung dari hasil survei yang dilakukan oleh Lingkaran

Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang digelar pada tanggal 5-11 januari 2017

dalam melihat penyebab warga tidak memilih Ahok-Djarot. Menurut peneliti

LSI Denny JA Ardian Sofa menyatakan hasil survei yang menunjukkan bahwa

27Wawancara dengan warga Kecamatan Ciracas Siti Mahfuzoh di Ciracas Jakarta Timur, 05 Agustus 2018. 28Wawancara dengan warga Kecamatan Kramat Jati Imam Santoso di Kramat Jati Jakarta Timur, 05 Agustus 2018. 29Wawancara dengan warga Kecamatan Kramat Jati Imam Santoso di Kramat Jati Jakarta Timur, 05 Agustus 2018.

63

ucapan Ahok terkait surat Al-Maidah ayat 51 yang dianggap menistakan

agama, merupakan faktor utama penyebab warga tidak memilih Ahok di mana

tingkat ketidaksukaan warga mencapai 47,2 persen.30

Selain karena kasus penistaan agama, pertimbangan lain pemilih dalam

menentukan pilihannya alasan lainnya adalah murni karena faktor latar

belakang agama yang dianut oleh kandidat. Ahok mencalonkan diri kembali

menjadi calon gubernur dengan status minoritas yang artinya tantangannya

harus mampu meraup suara dari kalangan mayoritas yaitu pemilih dari warga

muslim. Pada studi perilaku politik, keinginan warga dalam memilih kandidat

karena faktor agama termasuk dalam pendekatan sosiologis.

Pendekatan sosiologis dapat dilihat melalui beberapa indikator,

diantaranya umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, suku dan gender.31 Dalam

fenomena kekalahan Ahok-Djarot masyarakat lebih menyoroti sosok Ahok

ketimbang Djarot. Ahok dinilai selain kepribadian dan kinerjannya juga dinilai

dari latar belakang keagamaannya yang non-muslim, seperti yang

disampaikan oleh salah satu warga bernama Mariah yang mengatakan, “saya

kurang suka pasangan ini ya, apalagi ahok itu kan non-muslim, kalo saya

pribadi mending milih yang seagama aja.”32

Hal senada juga disampaikan oleh perempuan 40 tahun, Karsini, “saya

sih kalo bisa seagama lah kalo buat pemimpin, kalo bukan seagama jangan

30Ardian Siregar, “Ini Penyebab Warga Ogah Pilih Ahok Versi Survei LSI”, pilkada.jpnn.com, 16 November 2018. 31Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 186. 32Wawancara dengan warga Kecamatan Cipayung Mariah di Cipayung Jakarta Timur, 05 Agustus 2018.

64

deh. Itu aja sih kalo saya.” Yang menarik adalah setelah Karsini tidak memilih

Ahok-Djarot, dia justru menentukan kandidat antara Anis-Sandi dan Agus-

Silvy berdasarkan debat kandidat. Dalam hal ini penulis melihat bahwa

indikator pendekatan sosiologis menjadi sangat kuat di masyarakat seperti

yang disampaikan Karsini, ia mengatakan,“ya setelah tau Ahok maju lagi dia

kan non-muslim ya saya ga akan milih dia. Terus kan ada dua calon lagi yang

seagamalah gitu, jadi saya lihat dua calon yang lain, saya juga sempat lihat pas

debat kandidat kan ada berapa tahap tuh, ya mungkin saya mulai menentukan

pilihannya dari situ.”33

Dengan demikian, maka terlihat dengan jelas bahwa indikator yang

ada pada pendekatan sosiologis khususnya mengenai sentimen agama juga

mempengaruhi perilaku pemilih warga DKI Jakarta dan terlebih sosok Ahok

yang nampaknya menjadi bahan pertimbangan bagi para warga dalam

memilih pasangan ini. Ahok masih menjadi magnet perhatian terbesar warga

karena sosoknya yang nyentrik dan minoritas sedangkan Djarot mendapat

mendapat perhatian sedikit dari warga.Hal ini juga diungkapkan oleh Veri

Muhlis yang mengatakan, “Jadi kenapa elektabilitas pasangan Ahok-Djarot

turun ya karena faktor Ahoklah yang menurunkan elektabilitas pasangan ini

dan kenapa petahana ini bisa kalah juga karena Ahok, Ahok lebih banyak

masalahnya sehingga warga lebih banyak melihat sosok Ahok dibanding

Djarot”.

33Wawancara dengan warga Kecamatan Kramat Jati Karsini di Kramat Jati Jakarta Timur, 05 Agustus 2018.

65

Pada tahap ini menunjukkan bahwa pasangan Ahok-Djarot tak mampu

mendapat kepercayaan dari masyarakat terbukti dengan menurunnya kembali

elektabilitas Ahok-Djarot menjelang putaran kedua seperti pada tabel Tabel

IV.A.3 dandisisi lain elektabilitas Anies-Sandi masih berada diatas Ahok-

Djarot. Isu penistaan agama membuat dilema bagi warga muslim yang ingin

mendukung Ahok karena warga menjadi terintimidasi oleh banyaknya

spanduk-spanduk anti Ahok dan adanya mobilisasi massa besar-besaran oleh

umat muslim menuntut Ahok di hukum juga telah mengubah pilihan warga

untuk tidak memilih Ahok.

3. Gaya Komunikasi Ahok

Sebagai seorang petahana, Ahok dinilai memiliki karakter yang tegas

dan gaya komunikasinya yang kasar bahkan sampai memaki-maki. Hal ini

terlihat dari gaya kepemimpinannya pada saat dirinya masih menjabat sebagai

gubernur. Ketidaksukaan warga dengan gaya kepemimpinannya ini menjadi

salah satu faktor kekalahannya ditambah isu penistaan agama yang memanas

menjelang masa pemilihan hingga mempengaruhi perilaku warga dalam

memilih kandidat. Dalam studi perilaku politik, pertimbangan warga untuk

memilih kandidat atas hal tersebut termasuk pada pendekatan psikologis.

Pendekatan psikologis menekankan perilaku politik warga pada tataran

identifikasi partai, artinya kedekatan pemilih dengan partai dapat

mempengaruhi pilihan politik seorang pemilih. Dalam hal ini pemilih

melewati proses sosialisasi yang panjang, seperti adanya pengaruh orang tua

66

ataupun lingkungan keluarga hingga memiliki ikatan emosional dengan partai.

Namun bagi pemilih yang tidak mempunyai ikatan emosional dengan partai,

maka figur calon menentukkan perilaku politik seorang pemilih.34

Dalam fenomena kekalahan Ahok-Djarot pengamat politik Veri

Muhlis melihat faktor kepribadian atau figur calon sebagai penyebab dari

ketidaksukaan warga pada pasangan calon. Dalam hal ini kepribadian Ahok

dinilai tidak dapat diterima oleh kultur masyarakat, seperti yang dia

sampaikan:35

“Kalo ditanya penyebab kekalahan ahok itu banyak sebabnya, tapi dari sudut pandang perilaku politik di Indonesia ini faktor kepribadian seorang kandidat itu diperhatikan oleh pemilih. Siapapun orang kalo dia mau dipilih oleh rakyat, apalagi kulturnya masih kultur tradisional modern tapi nusantara begini, maka dia harus punya sikap yang baik, dia harus mampu menjaga perkataannya dengan baik. Kalo kita bandingkan dari sisi para pemimpin bangsa, seperti soekarno itu punya daya pikat yang luar biasa karena dia selalu tampil di depan publik dalam keadaan berwibawa, lihat cara dia berpakaian, lihat cara dia berbicara, nyaris tidak ada celah. Nah tokoh-tokoh yang tidak bisa menjaga lisan, yang tidak bisa menjaga perilakunya atau kredibilitasnya buruk itu akan mendapatkan akibatnya yaitu warga menjadi tidak suka. Suka dan tidak suka itu kan sesuatu yang dinamis, tingkat kesukaannya bisa naik turun makanya di ukur lewat survei kan tingkat kesukaan, nah kondisi inilah yang terjadi pada pasangan ahok-djarot dimana tingkat kesukaan warga Jakarta yang relatif naik turun.” Pendapat ini juga didukung dari hasil survei yang diselenggarakan oleh

Litbang Kompas pada 7-15 Desember 2017 yang menunjukkan tingkat

kesukaan warga DKI Jakarta terhadap pasangan Ahok-Djarot memiliki

presentase paling rendah dibanding dua pasangan lainnya. Survei

membuktikan kesukaan warga terhadap Ahok mencapai 70,6 persen

34Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 187. 35Wawancara penulis dengan pengamat politik Veri Muhlis Ariefuzzaman, di kantor KONSEP Indonesia, BSD Tangerang 29 Agustus 2018

67

responden, sedangkan kesukaan terhadap Djarot mencapai 73,3 persen

responden. Kemudian hasil survei juga memperlihatkan 51,5 persen responden

mengaku tidak akan memilih pasangan Ahok-Djarot disebabkan karena faktor

gaya komunikasi Ahok.36

B. Pembahasan

Kekalahan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat pada

Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi salah satu yang menunjukkan bahwa calon

petahana tidak menjamin kemenangan dalam kontestasi, meski demikian

potensinya masih besar. Sebagai seorang petahana, Ahok-Djarot semestinya

diunggulkan untuk bisa meraih kembali tampuk kekuasaan di ibukota, seperti

halnya petahana-petahana lainnya yang mempunyai modal khusus sehingga

bisa memenangkan pertarungan.

Proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini

diwarnai dengan kasus penistaan agama yang menimpa Ahok. Sebagai calon

Gubernur hal ini sangat menyulitkan bagi kubu Ahok dalam mendulang suara

khususnya warga muslim bahkan menghadirkan aksi massa yang menuntut

dirinya di penjara. Kasus ini juga berdampak pada turunnya elektabilitas

pasangan Ahok-Djarot meskipun di putaran pertama Ahok-Djarot menang

tetapi diputaran kedua isu penistaan agama semakin menguat ditambah timses

melakukan blunder politik di masa tenang Pilkada sehingga kepercayaan

36Nursita Sari, “Survei Litbang Kompas: Meski Popularitas Paling Tingggi, Tingkat Kesukaan Terhadap Ahok-Djarot Paling Rendah, megapolitan.kompas.com, 10 November 2018.

68

masyarakat menurun dan berakibat pada kekalahan Ahok-Djarot di Pilkada

DKI Jakarta.

Kekalahan Ahok-Djarot di Pilkada DKI Jakarta 2017 jelas menjadi pukulan telak bagi pasangan petahana. Kekalahan itu tidak lain bermula dari blunder petahana sendiri dimana Ahok sebagai seorang minoritas dengan berani menyentuh persoalan yang sangat sensitif bagi kultur masyarakat di

Indonesia sehingga mengundang reaksi yang beragam yang berujung pada penurunan elektabilitas yang drastis. Faktor lain seperti yang telah disinggung diatas justru karena ketidakberhasilan timses dalam merespon isu-isu yang menerpa petahana bahkan bukan membalikkan citra menjadi positif justru adanya pembagian sembako semakin menunjukan ketidakmampuan timses dalam memenangkan pasangan Ahok-Djarot. Oleh karena itu tanpa menafikan adanya usaha-usaha yang dilakukan timses Anies-Sandi dengan efektif, penulis justru mencari sudut pandang berbeda yakni melihat faktor utama kekalahan Ahok-Djarot justru berasal dari internal timnya bahkan kandidat petahana sendiri.

69

BAB V

PENUTUP

Berdasarkan analisis penilitian pada bab sebelumnya, pada bab ini penulis

akan menguraikan secara singkat hasil penelitian yang penulis peroleh tentang

faktor kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Selain berisi

uraian singkat dari hasil penelitian, pada bab ini penulis juga memberikan saran-

saran berupa masukan yang sifatnya membangun.

A. Kesimpulan

Dari hasil penilitian yang penulis peroleh, terdapat beberapa faktor yang

menyebabkan pasangan Ahok-Djarot kalah dalam pertarungan di Pilkada DKI

Jakarta tahun 2017, diantaranya sebagai berikut:

1. Timses gagal dalam meyakinkan warga untuk memilih Ahok-Djarot di mana

strategi timses meng counter isu tidak berjalan maksimal, hanya memberikan

informasi tentang kinerja dan prestasi pada pemerintahan sebelumnya tanpa

melakukan pembuktian secara masif. Efektifitas kampanye yang dilakukan

timses di media sosial juga tidak maksimal karena semua mengklaim sebagai

jenderal sehingga isunya tidak terkomando. Disisi lain adanya isu pembagian

sembako menjadi blunder fatal yang dilakukan timses di masa tenang Pilkada

sehingga meruntuhkan kepercayaan masyarakat.

2. Pada pendekatan sosiologis dalam melihat perilaku politik warga untuk

memilih kandidat yang dipilihnya berdasarkan sentimen Agama. Indikator

pendekatan sosiologis sebagai faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi

70

warga untuk tidak memilih Ahok-Djarot sebagai Gubernur dan Wakil

Gubernur DKI Jakarta.

3. Pada pendekatan psikologis dalam melihat perilaku politik warga untuk

memilih kandidat yang dipilihnya selain berdasarkan kedekatan dengan partai

politik juga berdasarkan isu dan figur kandidat. Indikator pendekatan

psikologis menjadi salah satu yang menyebabkan Ahok-Djarot kalah

berdasarkan penilaian warga atas gaya komunikasi Ahok yang kasar yang

membuat warga menjadi tidak suka. Selain itu isu bagi-bagi sembako turut

mempengaruhi pilihan warga untuk tidak memilih Ahok-Djarot.

B. Saran

Adapun penulis memberikan saran-saran yang relevan dengan hasil

penelitian diantaranya sebagai berikut:

1. Sebaiknya dalam mengahadapi kontestasi politik setelah mengetahui calon

yang diusung adalah seorang minoritas, hendaknya dipersiapkan strategi

khusus untuk mengkampanyekan kandidatnya sekaligus strategi dalam meng

counter isu yang bersifat SARA.

2. Sebagai seorang kandidat dari minoritas, baiknya menghindari kampanye

yang berbau SARA. Hal ini juga berlaku bagi kandidat dari kalangan mana

saja sebab persoalan SARA sangat riskan untuk dikampanyekan karena dapat

mengundang ketidaksukaan dari suatu golongan.

3. Dari sudut pandang perilaku politik pemilih di Indonesia, faktor kepribadian

seorang kandidat sangat diperhatikan oleh pemilih. Melihat kultur di

71

Indonesia, siapapun kandidatnya baiknya ia harus mampu menjaga lisannya dan berprilaku sopan santun dihadapan masyarakat.

72

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Bua, Piter Randan. The Ahok Way, Bandung: PT. Visi Anugerah Indonesia, 2014.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Budiardjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rumpai, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.

Canggara, Hafied. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

David Marsh dan Gerry Stoker. Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik, Bandung: Nusa Media, 2010.

Ginting, Jani. dkk, ed,.Merubah Indonesia: The story Of Basuki Tjahaja Purnama, Jakarta: Center For Democracy and transparency, 2008.

Hamidi. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan proposan dan Laporan penelitian, Malang: UMM Press, 2004.

Harrison, Lisa. Metode Penelitian Politik, Jakarta: KENCANA, 2009.

J. Dwi Darwoko dan Bagong Suyanto. Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan, Jakarta: Prenada Media Group, 2004.

Kumolo, Thahjo. Politik Hukum Pilkada Serentak, Jakarta: PT Mizan Republika, 2015.

McQuali, Denis. Teori Komunikasi Masa: Suatu Pengantar. Diterjemahkan Aminuddin Ram, Jakarta: Erlangga, 1983.

Mujani, Saiful. Kuasa Rakyat: Analisis Tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta: Mizan Publika, 2011.

73

Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Panggabean, Meicky Shoreamanis. AHOK, Jakarta: PT Mizan Publika, 2016.

Pawito. Komunikasi Politik, Media Massa dan Kampanye Pemilihan, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2009.

Raco, J. R. Metode Penelitian Kualitatif (Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya), Jakarta: GRASINDO, 2010.

Ramlan Subakti. Memahami Ilmu Poliik, Jakarta: Gramedia Widya Sarana, 2010.

Sarwono. Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.

Sitepu, P. Antonius. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Soedjatmoko. Dimensi Manusia Dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES, 1995.

Sugiyono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif , kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2012.

Toni Andrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah. Mengenal Teori-teori Politik: Dari Sistem Politik sampai Korupsi, Bandung: Nuansa Cendikia, 2013.

Triwulan, Titik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.

Varma, S.P. Teori Politik Modern, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

PENELITIAN

Angraini, Monicha. “Faktor Penyebab Kekalahan Pasangan Zainal Abidin (Incumbent) Dan Anshori Djausal Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara Tahun 2013”, Program Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung Bandar Lampung, 2015. Khafidhin, Muhamad. “Framing Kasus Ahok Tentang Penistaan Agama (Analisis Terhadap Berita Kompas Edisi 5-17 November 2016)”, Program Sarjana,

74

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017. Muhammad, Reza. “Kekalahan Petahana Dalam Pilkada 2015 Di kabupaten Luwu Utara”, Program Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin Makassar, 2017. Saputra, Bakti. “Kekalahan Tobroni Harun-Komarunizar Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Bandar Lampung 2015”, Program Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung, 2016. JURNAL Aminudin, Suryana, “Perilaku Politik di Indonesia”,Jurnal Aspirasi, Vol.1/No.2. (Februari 2011).

Hanafi, Ridho Imawan. “Pemilihan langsung Kepala Daerah Di Indonesia: Beberapa Catatan Kritis Untuk Partai Politk”, Jurnal Penilitan Politik, Vol. 11/No. 2. (Desember 2014). Hutomo, Radityo Rizki. “Perilaku Memilih Warga Surabaya Dalam Pemilu Legislatif 2014 (Hubungan Kesesuaian Program Kandidat, Kampanye, Identifikasi Partai dan Pemberian Imbalan Uang dalam Menentukan Pilihan Partai Politik dalam Pemilu Legislatif 2014)”, Jurnal Politik Muda, Vol.4/No.1. (Januari-Maret 2015).

Maruapey, M. Husein.“Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara (Analisis Kritis Terhadap Kasus Penistaan Agama Oleh Petahana Gubernur DKI Jakarta), Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, Vol. VII/No. 1. (Juni 2017).

Sutrisno, Cucu.“Partisipasi Warga Negara Dalam Pilkada”, Jurnal Pancasila Dan Kewarganegaraan, Vol. 2/No. 2. (Juli 2017).

INTERNET

Atriana, Rina. “Hakim: Ahok Merendahkan Surat Al-Maidah 51”,

news.detik.com, 20 Oktober 2017.

75

Aziza, Kurnia S. “Kapanye Ahok yang Bergejolak di Penghujung dan Awal

Tahun”, megapolitan.kompas.com, 26 Oktober 2018.

Carina, Jessi. “Survei LSI Denny JA: Dukungan Untuk Ahok-Djarot 42.7 Persen

Anies-Sandi 51.4 Persen”, megapolitan.kompas.com, 19 Oktober 2017

Dony, Bartanius. “Survei Indikator: Elektabilitas Anies-Sandi 48.2%, Ahok-

Djarot 47.4%”, news.detik.com, 20 Oktober 2017.

Efendi, Yusuf. “73% Warga Yakin Ahok Menistakan Agama”,

metro.sindonews.com, 22 Oktober 2018.

Fadillah, Hasan. “Timses Akui Elektabilitas Ahok-Djarot Turun Karena Isu”,

mmetrotvnews.com, 26 Oktober 2018.

Fathan, Muhammad “Dinamika Pilkada DKI”, www.republika.co.id, 18 Oktober

2017.

Ginanjar, “Siapa Ahok”, ahok.org, 06 Januari 2018.

Hidayat, Avit. “Elektabilitas Ahok Merangkak Naik, Ini Penyebabnya”,

pilkada.tempo.co, 26 Oktober 2018.

Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “KPU Launching Pilkada DKI

Putaran Kedua”, kpujakarta.co.id, 20 Oktober 2017.

Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “KPU Provinsi DKI Selesaikan

Rekapitulasi Perhitungan Suara hari ini,”, kpujakarta.go.id, 21 Oktober

2018.

76

Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “Profil Cagub dan Cawagub”,

kpujakarta.go.id, 07 Januari 2018.

Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “Struktur Tim Kampanye ahok-

Djarot”, kpujakarta.go.id, 28 Februari 2018.

Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “Visi dan Misi Ahok-Djarot”,

kpujakarta.go.id, 15 Maret 2018.

Negara, Putera. “Survei Indikator Politik: Ahok dinilai sosok yang kurang

santun”, news.okezone.com, 20 Oktober 2017.

Pratomo, Angga Y. “21 Februari, FUI gelar aksi bela Islamdi DPR tuntut Ahok

dicopot”, www.merdeka.com, 29 Oktober 2018.

Putra, Nanda P. “Massa Aksi 31 Maret Longmarch dari Istiqlal ke Istana

Merdeka”, www.liputan6.com, 29 Oktober 2018.

Rahayu, Cici M. “Ini Lokasi Penemuan Sembako hingga Sapi Diduga Politik

Uang, news.detik.com, 22 Oktober 2018.

Rudi, Alsadad. “Survei SMRC: Elektabilitas Ahok-Djarot 39.1%, Anies-Sandi

33.5%, Agus-Sylvi 19.9%”, megapolitan.kompas.com, 19 Oktober 2017.

Sari, Nursita, “Survei Litbang Kompas: Meski Popularitas Paling Tingggi,

Tingkat Kesukaan Terhadap Ahok-Djarot Paling Rendah,

megapolitan.kompas.com, 10 November 2018.

Siregar, Ardian. “Ini Penyebab Warga Ogah Pilih Ahok Versi Survei LSI”,

pilkada.jpnn.com, 16 November 2018.

77

Siswanto, Demo Ormas Islam Bubar, Sebelum Pergi, Rizieq Keluarkan

Ancaman”, www.suara.com, 26 Oktober 2018.

Toriq, Ahmad. “Peta Kekuatan Ahok, Agus dan Anies”, news.detik.com, 19

Oktober 2017.

Yulika, Nila C. “Koalisi Non-Ahok Pecah, Berapa Kekuatan Penantang Ahok-

Djarot?”, pilkada.liputan6.com, 19 Oktober 2017.

PERUNDANGAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota

78