Gatra Wayang Purwa 'Kyai Jimat' Gaya Pakualaman Dan Interelasi
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Gatra Wayang Purwa ‘Kyai Jimat’ Gaya Pakualaman dan Interelasi dalam Ilustrasi Naskah Koleksi Pakualaman R. Bima Slamet Raharja 1 ABSTRAK Artikel ini membicarakan tentang aspek interelasi antara bentuk wayang koleksi Pakualaman dengan ilustrasi wayang dalam beberapa manuskrip karya sastra. Pakualaman, sebagai salah satu kerajaan di Jawa yang mengembangkan sistem kebudayaannya sendiri. Termasuk kesenian wayang yang diyakini mempunyai bentuk dan karakteristik tersendiri dan dikenal dengan wayang kulit purwa gagrag Pakualaman. Perangkat wayang kulit purwa gagrag Pakualaman dikenal dengan nama perangkat ‘Kyai Jimat’ yang diciptakan sejak era Paku Alam II hingga Paku Alam VII. Keunikan dan kekhasan wayang kulit purwa ‘Kyai Jimat’ berkaitan dengan aspek naratif hingga aspek iluminatif serta sejumlah ilustrasi bergaya wayang yang terdapat pada bidang kesusastraan. Iluminasi dalam manuskrip wayang skriptorium Pakualaman mempunyai kaitan yang cukup dapat dirunut latar belakang historis yang perlu dilihat melalui kajian sejarah mikro, secara bentuk dan perubahannya. Kajian ikonografis akan digunakan untuk membedah aspek bentuk gatra wayang kulit purwa ‘Kyai Jimat’ sebagai objek materialnya. Adapun pendekatan intertekstualitas akan digunakan merunut makna secara simbolik dan naratif serta pertalian antar kedua bidang tersebut, yaitu bidang seni rupa dan aspek susastranya. Setidaknya inter-relasi kedua objek ini akan diinterpretasikan dengan jelas. Kata kunci: Wayang kulit purwa ‘Kyai Jimat’, gagrag Pakualaman, interelasi, aspek historis, ikonografis, dan intertekstualitas 1. Latar Belakang Kajian tentang gatra wayang terutama wayang kulit purwa gagrag Pakualaman belum banyak ditelusuri secara simultan. Secara bentuk, wayang kulit purwa gagrag (gaya) Pakualaman ini cenderung bertumpu pada bentuk wayang kulit purwa gaya Mataraman, khususnya sub gaya Yogyakarta. Dalam kehidupan budaya, seni termasuk di dalamnya baik secara materi maupun nonmateri, tidak lepas dari peran penguasa pada zamannya. Tokoh penguasa ditempatkan sebagai pencipta atau penggubah suatu bentuk budaya tertentu (Haryono, 2009:6). Begitu pula yang terjadi di Kadipaten Pakualaman, khususnya menyangkut seni budaya wayang. Penguasa Kadipaten Pakualaman, yaitu Paku Alam disebut sebagai pencipta produk budaya wayang. Hal ini tidak lain sebagai bentuk penghormatan dan legitimasi terhadap artefak tertentu di masyarakat (Haryono,2009:6). Bentuk artefak wayang kulit purwa gagrag Pakualaman mulai ditemukan sejak masa pemerintahan Paku Alam II (1829-1858). Perintisan artefak wayang kulit purwa dimulai sejak masa Paku Alam II, termasuk beberapa produk kesenian yang secara bersama-sama berkembang di tengah geliat perkembangan kegiatan kesusastraan di lingkungan Paku Alaman. Sebenarnya, perhatian terhadap keduanya, yaitu kesenian dan kesusastraan pun sudah dimulai sejak masa pemerintahan Paku Alam I (1812-1829). Sekalipun demikian, perhatian tersebut tidak dapat secara simultan dan menyeluruh. Hal ini disebabkan situasi politik yang sedang dalam keadaan genting, sehingga Paku Alam I kurang mempunyai waktu untuk mengembangkan kegiatan kesenian dan kesusastraan di lingkungan Kadipaten 1 Dosen Program Studi Sastra Jawa, Departemen Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Pakualaman (Poerwokoesoemo, 1985: 162). Namun demikian, Paku Alam I merupakan perintis awal bagi kegiatan kesenian dan kesusastraan di Kadipaten Pakualaman. Sekalipun secara artefak belum ditemukan wujud fisik wayang di Kadipaten Pakualaman, namun ‘patron’ atau ‘pola’ dasar pembentukan artefak itu sendiri sudah diciptakan pada masa Paku Alam I. Hal ini dapat dibuktikan melalui iluminasi dalam manuskrip kesusastraan, yaitu dalam teks Serat Baratayuda babon yang digubah pada tanggal 20 Rabiulakhir 1741 TJ atau 12 April 1814 Masehi (bdk. Saktimulya, 2005:137 & 308; Saktimulya, 2012:113-114). Masa penggubahan naskah ini tidak lama setelah berdirinya Kadipaten Pakualaman dan digolongkan sebagai manuskrip awal yang berada di kraton tersebut. Meskipun sederhana dalam hal pola ilustrasi wayang yang digambarkan, namun dapat digunakan sebagai ‘patron dasar’ menuju bentuknya secara riil dan sempurna. Selain itu, kesenian wayang di lingkungan Pakualaman berkembang secara setahap serta beriringan dengan kehadiran karya sastra yang memuat naratif ceritanya. Perangkat koleksi wayang kulit yang berada di Kadipaten Pakualaman dengan gatra ‘asli’ gagrag Pakualaman dikenal dengan nama ‘Kyai Jimat’. Nama ‘Kyai Jimat’ ini digunakan untuk menyebut seluruh koleksi wayang kulit purwa yang tersimpan dalam kotak dan merupakan ciptaan Kanjeng Gusti Paku Alam, mulai dari Paku Alam II hingga Paku Alam VII. Setiap artefak wayang gagrag Pakualaman dalam perjalanan masa penciptaannya menunjukkan adanya perkembangan yang menuju pada kesempurnaan bentuk. Bentuk wayang Pakualaman mempunyai karakteristik yang berbeda dengan gaya wayang dari wilayah lain. Meskipun demikian, wayang gagrag Pakualaman mengacu pada bentuk dasar wayang gaya Mataraman sub gaya Yogyakarta. Sebagian besar anggapan bahwa kesenian wayang yang terdapat di Kadipaten Pakualaman cenderung mengacu pada gagrag Surakarta. Asumsi ini tidak sepenuhnya keliru, karena pada era pemerintahan Paku Alam VII (1906-1937) kesenian Pakualaman tidak sekedar konservatif saja, tetapi berusaha untuk menambah dan mengembangkannya dengan adopsi berbagai macam model kesenian. Kedua gaya, antara Yogyakarta dan Surakarta dicampur menjadi satu dengan mengambil patron-patron yang baik, seperti halnya tarian dan gending karawitan(Poerwokoesoemo, 1985:303-305). Tidak menutup kemungkinan pula, bahwa kesenian wayang pun mengalami hal yang sama dengan menggabungkan unsur-unsur lintas gaya sehingga hibriditas tampak dengan jelas. Untuk artefak wayang, tampaknya pola sunggingan (pewarnaan) dan penambahan proporsi bentuk wayang mengadopsi kedua gaya besar, yaitu Yogyakarta dan Surakarta yang terkesan di’padu’kan dalam satu gatra bentuk. Apabila pada masa Paku Alam II hingga Paku Alam VI beberapa bentuk wayang masih dalam sub gaya Yogyakarta ‘tua’ dengan proses perkembangan yang menuju pada kesempurnaan bentuk Pakualaman, maka era Paku Alam VII memberikan satu terobosan untuk ber’eksperimen’ memadukan semua gaya mayor tersebut. Dalam kaitannya dengan kesusastraan, terutama berkaitan dengan iluminasi dalam teks manuskrip wayang pun terdapat perubahan yang cukup mencolok. Sejumlah ilustrasi wayang dalam Serat Baratayuda yang disalin pada masa pemerintahan Paku Alam V (1878-1900) mengalami perkembangan bentuk yang cukup meningkat apabila dibandingkan dengan ilustrasi wayang dalam Serat Baratayuda babon . Beberapa perubahan bentuk ini pun berpengaruh terhadap artefak gatra wayang ‘Kyai Jimat’ terutama yang diciptakan pada masa Paku Alam V bertahta. Tidaklah berlebihan bila dalam ranah seni, perubahan dan penyempurnaan karena kebudayaan merupakan proses pelajaran yang terus-menerus dengan dua faktor penting yang saling berkaitan, yaitu kreativitas dan inventitas (lih. Peursen, 1976: 11 dan Murgiyanto, 2004:51). Pada era Paku Alam V terdapat kreativitas pujangga dalam mengilustrasikan bentuk wayang sehingga timbul karakteristik gatra wayang era tersebut bagi lingkungan Pakualaman. “Rekaman-rekaman” visual dalam iluminasi dan ilustrasi pada beberapa naskah kategori sastra wayang di lingkungan Kadipaten Pakualaman saling berkait dengan gatra wujud artefak wayang yang diciptakan dalam setiap era pemerintahan Paku Alam, sehingga menciptakan hubungan yang pantas untuk dikaji lebih dalam melalui penelitian ini. Tidak berlebihan kiranya meminjam pernyataan Sedyawati (2008 II: 312) bahwa dalam satu ‘rekaman’ visual, baik melalui gambar, relief, maupun foto didapatkan ungkapan budaya pada suatu wilayah. 2. Permasalahan dan Tujuan Pengkajian Keberkaitan antara gatra wujud secara kesenirupaan dalam wayang kulit purwa ‘Kyai Jimat’ koleksi Kadipaten Pakualaman dengan sejumlah ilustrasi wayang dalam teks-teks manuskrip kesusastraan yang tersimpan di skriptorium Pakualaman menunjukkan adanya hubungan yang seimbang dan saling mempengaruhi antar keduanya. Ukiran dekoratif dalam iluminasi dan ilustrasi teks menjadi salah satu sumber referensi dalam upaya menciptakan bentuk wayang itu sendiri. Meskipun ungkapan ini bukan merupakan suatu simpulan, namun inter-relasi antar keduanya tidak dapat diabaikan begitu saja, khususnya dalam tinjauan perkembangan seni wayang di Kadipaten Pakualaman. Melalui hal tersebut, dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana interelasi antara gatra rupa wayang kulit purwa ‘Kyai Jimat’ ditinjau dari aspek bentuk, ornamen pendukung, motif dekoratif, dan karakteristiknya dengan sejumlah iluminasi wayang dalam naratif teks-teks kesusastraan wayang skriptorium Pakualaman. Dapat dimungkinkan kehadiran gatra rupa wayang yang melahirkan ‘gaya’ Pakualaman ini diawali dengan munculnya sejumlah ilustrasi dalam iluminasi teks kesusastraannya. Hal ini sebagaimana kehadiran suatu ‘gaya’ tidak begitu saja muncul tanpa disertai keterangan dan bukti yang mendukung serta mendasar mengenai pujangga yang membidaninya (Soedarso, 1987:9). Selain itu, suatu gaya seni mampu memperlihatkan wajah suatu daerah; merepresentasikan masyarakat pendukungnya; memperlihatkan teknik dan karakteristik para kreator. Oleh karenanya, gaya seni dapat dikelompokkan berdasarkan wilayah daerah, waktu atau mazhab, tampilan teknik, dan subject matternya (lih. Gustami, 2002: 2 dan Feldman, 1967). Dengan demikian perunutan kajian tentang interelasi bentuk wayang kulit purwa gagrag Pakualaman dan kaitannya dengan sumber iluminasi dalam