Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa ' Kyai Jimat' Gaya Pakualaman
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa VOLUME 03, No. 01, November 2016: 1-30 INTER RELASI GATRA WAYANG KULIT PURWA ‘ KYAI JIMAT’ GAYA PAKUALAMAN DENGAN ILUSTRASI WAYANG DALAM MANUSKRIP SKRIPTORIUM PAKUALAMAN Bima Slamet Raharja Prodi Sastra Jawa, Departemen Bahasa dan Sastra Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada [email protected] ABSTRACT This study discusses about historical aspects and inter relation between Pakualaman ‘s wayang purwa and a number of illustrations in the manuscripts. Pakualaman’s wayang purwa is called Kyai Jimat, which changed and developed along the turn of Pakualaman leadership until the era of seventh leadership. A number of Pakualaman’s wayang purwa more infl uenced by a wayang illustrations on the manuscripts, such as at the Serat Baratayuda, Serat Rama, Serat Lokapala, Sestradisuhul, Pawukon, Sestra Ageng Adidarma, etc. The spesifi c was discovered through the form of design of motif, colouring, and ornaments. According to iconographic aspects was discovered through tatahan (carving), sunggingan (colouring), and symbolic. The creation of wayang purwa ‘Kyai Jimat’ s Pakualaman not merely for the performance purposes. Most of the characters that are made, is closely related to its narrative in literature text “scriptorium” from Paku Alam I until Paku Alam VII. There are various assumption emerge that wayang kulit made within Pakualaman style is not complete. Because its characters that is created in Pakualaman, is only emphasize in pedagogy aspect that relates to highly respectfully sestradi doctrin. Intertextuality aspect is important in order to reveal each of its character existance; which will be further understood through the shape and style, symbol that is found within the wayangs puppet. Keywords: ‘Kyai Jimat’, Pakualaman wayang purwas style, manuscripts, inter relation, iconography, intertextuality. ABSTRAK Tulisan ini membahas tentang sejarah dan inter relasi antara Wayang Purwa Pakualaman dan sejumlah ilustrasi di dalam manuskrip. Wayang purwa Pakualaman dikenal dengan Kyai Jimat, yang berubah dan berkembang sepanjang kepemimpinan Pakualaman hingga era kepemimpinan ketujuh. Sejumlah Wayang Purwa Pakualaman lebih banyak dipengaruhi oleh ilustrasi wayang pada manuskrip tersebut, seperti di Serat Baratayuda, Serat Rama, Serat Lokapala, Sestradisuhul, Pawukon, Sestra Ageng Adidarma, dan sebagainya. Spesifi kasi tersebut ditemukan melalui bentuk desain motif, pewarnaan, dan ornamen. Menurut aspek ikonografi , hal tersebut ditemukan melalui tatahan (ukiran), sunggingan (mewarnai), dan simbolis. Dalam penggunaannya, penciptaan Wayang Purwa ‘Kyai Jimat’s Pakualaman tidak hanya untuk tujuan pertunjukan. Sebagian besar karakter yang dibuat, terkait erat dengan 1 Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30 narasinya dalam teks sastra “scriptorium” dari Paku Alam I sampai Paku Alam VII. Atas dasar tersebut, ada anggapan bahwa wayang Kulit yang dibuat dengan gaya Pakualaman tidaklah lengkap. Pasalnya, karakter yang dibuat di Pakualaman hanya menekankan pada aspek pedagogi yang berhubungan dengan doktrin Sestradi. Oleh karena itu, aspek intertekstualitas penting untuk saling mengungkap keberadaan karakternya; yang selanjutnya akan dipahami melalui bentuk dan gaya, simbol yang ditemukan di wayang wayang. Kata kunci: Ikonografi , Inter relasi, Intertekstualitas, ‘Kyai Jimat’, Manuskrip, Wayang purwa gaya Pakualaman. PENGANTAR atas kedua bidang tersebut belum Bentuk wayang kulit purwa gagrag dapat secara simultan dan menyeluruh. (gaya) Pakualaman cenderung bertumpu Hal ini disebabkan oleh situasi politik pada bentuk wayang kulit purwa gaya dalam keadaan genting, sehingga Paku Mataraman, khususnya sub gaya Alam I kurang mempunyai waktu untuk Yogyakarta. Dalam kehidupan budaya, mengembangkan kegiatan kesenian dan termasuk seni di dalamnya; baik secara kesusastraan di lingkungan Kadipaten materi maupun nonmateri, tidak lepas Pakualaman (Poerwokoesoemo, 1985: dari peran penguasa pada zamannya. 162). Namun demikian, Paku Alam I Tokoh penguasa ditempatkan sebagai tetap merupakan perintis awal bagi pencipta atau penggubah suatu bentuk kegiatan kesenian dan kesusastraan di budaya serta menjadi legitimasi dan Kadipaten Pakualaman. penghormatan atas artefak tertentu Meskipun bukti artefak wayang bagi masyarakatnya (Haryono, 2009:6). belum ditemukan di Kadipaten Penguasa Kadipaten Pakualaman, yaitu Pakualaman, namun ‘patron’ atau ‘pola’ Paku Alam disebut sebagai pencipta dasar pembentukan artefak itu sendiri produk budaya wayang. Bentuk sudah diciptakan pada masa Paku Alam artefak wayang kulit purwa gagrag I. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui Pakualaman mulai ditemukan sejak masa berbagai iluminasi yang ditemukan pemerintahan Paku Alam II (1829-1858). dalam manuskrip kesusastraan, yaitu Rintisan terhadap artefak wayang kulit teks Serat Baratayuda babon yang purwa dimulai sejak masa Paku Alam II, digubah pada tanggal 20 Rabiulakhir termasuk juga beberapa produk kesenian 1741 TJ atau 12 April 1814 Masehi. Masa yang secara bersama-sama berkembang penggubahan naskah ini tidak lama di tengah geliat perkembangan setelah berdirinya Kadipaten Pakualaman kegiatan kesusastraan di lingkungan dan digolongkan sebagai manuskrip awal Paku Alaman. Perhatian di bidang yang berada di kraton tersebut (bdk. kebudayaan, terutama kesenian dan Saktimulya, 2005:137 & 308; Saktimulya, kesusastraan pun sudah dimulai sejak 2012:113-114). Ilustrasi wayang yang masa pemerintahan Paku Alam I (1812- digambarkan masih sangat sederhana, 1829). Meskipun demikian, perhatian namun pola-polanya dapat digunakan 2 Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa sebagai ‘patron dasar’ menuju bentuk dengan mengambil patron-patron yang yang nyata dan sempurna. Kesenian baik, seperti halnya tarian dan gending wayang di lingkungan Pakualaman mulai karawitan (Poerwokoesoemo, 1985:303- tumbuh dan berkembang beriringan 305). Melalui keterangan tersebut, dengan kehadiran karya sastra yang tidak menutup kemungkinan bahwa memuat naratif ceritanya. kesenian wayang pun mengalami hal Perangkat koleksi wayang kulit yang yang sama dengan menggabungkan berada di Kadipaten Pakualaman dikenal unsur-unsur lintas gaya, sehingga dengan nama ‘Kyai Jimat’. Nama ‘Kyai terjadi suatu hibriditas. Diterapkan Jimat’ ini digunakan untuk menyebut pada wayang misalnya, pola sunggingan seluruh koleksi wayang kulit purwa yang (pewarnaan) dan penambahan proporsi tersimpan dalam satu kotak. Perangkat bentuk wayang mengadopsi kedua gaya wayang ini merupakan ciptaan Kanjeng besar, yaitu Yogyakarta dan Surakarta Gusti Paku Alam, mulai dari Paku Alam sehingga terkesan di’satupadu’kan II hingga Paku Alam VII. Hampir tiap dalam satu gatra baru. Pada masa wujud wayang gagrag Pakualaman Paku Alam II hingga Paku Alam VI seiring perjalanan waktu penciptaannya beberapa bentuk wayang masih menurut menunjukkan suatu perkembangan yang pada sub gaya Yogyakarta ‘tua’ dengan menuju pada kesempurnaan bentuk. proses perkembangan yang menuju pada Bentuk wayang Pakualaman mempunyai kesempurnaan bentuk khas Pakualaman, karakteristik yang berbeda dengan gaya maka pada era Paku Alam VII terdapat wayang dari wilayah lain. Meskipun satu terobosan untuk ber’eksperimen’ dikenal mempunyai kekhususan memadukan semua bentuk pada dua karakter, wayang gagrag Pakualaman gaya mayor tersebut. mengacu pada bentuk dasar wayang gaya Perubahan dan penyempurnaan Mataraman dengan sub gaya Yogyakarta. bukanlah sesuatu yang berlebihan Sebagian besar anggapan menyatakan dalam ranah seni, karena kebudayaan bahwa kesenian wayang yang terdapat merupakan proses pelajaran yang terus- di Kadipaten Pakualaman cenderung menerus dengan dua faktor penting yang mengacu pada gagrag Surakarta. saling berkaitan, yaitu kreativitas dan Asumsi tersebut memang tidak inventitas (lih. Peursen, 1976: 11 dan sepenuhnya keliru, karena pada era Murgiyanto, 2004:51). Pada era Paku Alam pemerintahan Paku Alam VII (1906-1937) V ditemukan ragam kreativitas pujangga kesenian Pakualaman tidak sekedar dalam mengilustrasikan bentuk wayang satu kesenian yang konservatif saja, sehingga muncul karakteristik gatra namun berusaha untuk menambah wayang era tersebut bagi lingkungan dan mengembangkannya dengan adopsi Pakualaman. “Rekaman-rekaman” visual berbagai macam model kesenian. dalam iluminasi dan ilustrasi pada Kedua gaya, antara Yogyakarta dan beberapa naskah kategori sastra wayang Surakarta dicampur menjadi satu di lingkungan Kadipaten Pakualaman 3 Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30 saling berkait dengan gatra wujud intertekstual dengan bantuan teks-teks artefak wayang yang diciptakan dalam lain jelas diperlukan untuk mengungkap setiap era pemerintahan Paku Alam, naratif tokoh wayang. Pembacaan secara sehingga menciptakan hubungan yang intertekstualitas, tidak sekedar melihat pantas untuk dikaji lebih dalam melalui sebuah bentuk gatra kemudian dilihat penelitian ini. Tidak berlebihan kiranya teks penyerta yang sesuai dengan bentuk meminjam pernyataan Sedyawati (2008 visual tersebut. Akan tetapi sebuah teks II: 312) bahwa dalam satu ‘rekaman’ didampingi pula dengan teks lain. visual, baik melalui gambar, relief, Dalam hal ini, peneliti terlebih maupun foto didapatkan ungkapan dahulu memfokuskan pada objek, yaitu budaya pada suatu wilayah. gatra bentuk wayang kulit purwa gagrag Dalam menganalisis permasalahan, Pakualaman, khususnya perangkat pendekatan multidisiplin digunakan Kyai Jimat. Identifikasi bentuk dasar dalam kajian ini. Analisis bentuk beberapa tokoh yang dapat memberikan wayang