Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa ' Kyai Jimat' Gaya Pakualaman

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa ' Kyai Jimat' Gaya Pakualaman Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa VOLUME 03, No. 01, November 2016: 1-30 INTER RELASI GATRA WAYANG KULIT PURWA ‘ KYAI JIMAT’ GAYA PAKUALAMAN DENGAN ILUSTRASI WAYANG DALAM MANUSKRIP SKRIPTORIUM PAKUALAMAN Bima Slamet Raharja Prodi Sastra Jawa, Departemen Bahasa dan Sastra Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada [email protected] ABSTRACT This study discusses about historical aspects and inter relation between Pakualaman ‘s wayang purwa and a number of illustrations in the manuscripts. Pakualaman’s wayang purwa is called Kyai Jimat, which changed and developed along the turn of Pakualaman leadership until the era of seventh leadership. A number of Pakualaman’s wayang purwa more infl uenced by a wayang illustrations on the manuscripts, such as at the Serat Baratayuda, Serat Rama, Serat Lokapala, Sestradisuhul, Pawukon, Sestra Ageng Adidarma, etc. The spesifi c was discovered through the form of design of motif, colouring, and ornaments. According to iconographic aspects was discovered through tatahan (carving), sunggingan (colouring), and symbolic. The creation of wayang purwa ‘Kyai Jimat’ s Pakualaman not merely for the performance purposes. Most of the characters that are made, is closely related to its narrative in literature text “scriptorium” from Paku Alam I until Paku Alam VII. There are various assumption emerge that wayang kulit made within Pakualaman style is not complete. Because its characters that is created in Pakualaman, is only emphasize in pedagogy aspect that relates to highly respectfully sestradi doctrin. Intertextuality aspect is important in order to reveal each of its character existance; which will be further understood through the shape and style, symbol that is found within the wayangs puppet. Keywords: ‘Kyai Jimat’, Pakualaman wayang purwas style, manuscripts, inter relation, iconography, intertextuality. ABSTRAK Tulisan ini membahas tentang sejarah dan inter relasi antara Wayang Purwa Pakualaman dan sejumlah ilustrasi di dalam manuskrip. Wayang purwa Pakualaman dikenal dengan Kyai Jimat, yang berubah dan berkembang sepanjang kepemimpinan Pakualaman hingga era kepemimpinan ketujuh. Sejumlah Wayang Purwa Pakualaman lebih banyak dipengaruhi oleh ilustrasi wayang pada manuskrip tersebut, seperti di Serat Baratayuda, Serat Rama, Serat Lokapala, Sestradisuhul, Pawukon, Sestra Ageng Adidarma, dan sebagainya. Spesifi kasi tersebut ditemukan melalui bentuk desain motif, pewarnaan, dan ornamen. Menurut aspek ikonografi , hal tersebut ditemukan melalui tatahan (ukiran), sunggingan (mewarnai), dan simbolis. Dalam penggunaannya, penciptaan Wayang Purwa ‘Kyai Jimat’s Pakualaman tidak hanya untuk tujuan pertunjukan. Sebagian besar karakter yang dibuat, terkait erat dengan 1 Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30 narasinya dalam teks sastra “scriptorium” dari Paku Alam I sampai Paku Alam VII. Atas dasar tersebut, ada anggapan bahwa wayang Kulit yang dibuat dengan gaya Pakualaman tidaklah lengkap. Pasalnya, karakter yang dibuat di Pakualaman hanya menekankan pada aspek pedagogi yang berhubungan dengan doktrin Sestradi. Oleh karena itu, aspek intertekstualitas penting untuk saling mengungkap keberadaan karakternya; yang selanjutnya akan dipahami melalui bentuk dan gaya, simbol yang ditemukan di wayang wayang. Kata kunci: Ikonografi , Inter relasi, Intertekstualitas, ‘Kyai Jimat’, Manuskrip, Wayang purwa gaya Pakualaman. PENGANTAR atas kedua bidang tersebut belum Bentuk wayang kulit purwa gagrag dapat secara simultan dan menyeluruh. (gaya) Pakualaman cenderung bertumpu Hal ini disebabkan oleh situasi politik pada bentuk wayang kulit purwa gaya dalam keadaan genting, sehingga Paku Mataraman, khususnya sub gaya Alam I kurang mempunyai waktu untuk Yogyakarta. Dalam kehidupan budaya, mengembangkan kegiatan kesenian dan termasuk seni di dalamnya; baik secara kesusastraan di lingkungan Kadipaten materi maupun nonmateri, tidak lepas Pakualaman (Poerwokoesoemo, 1985: dari peran penguasa pada zamannya. 162). Namun demikian, Paku Alam I Tokoh penguasa ditempatkan sebagai tetap merupakan perintis awal bagi pencipta atau penggubah suatu bentuk kegiatan kesenian dan kesusastraan di budaya serta menjadi legitimasi dan Kadipaten Pakualaman. penghormatan atas artefak tertentu Meskipun bukti artefak wayang bagi masyarakatnya (Haryono, 2009:6). belum ditemukan di Kadipaten Penguasa Kadipaten Pakualaman, yaitu Pakualaman, namun ‘patron’ atau ‘pola’ Paku Alam disebut sebagai pencipta dasar pembentukan artefak itu sendiri produk budaya wayang. Bentuk sudah diciptakan pada masa Paku Alam artefak wayang kulit purwa gagrag I. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui Pakualaman mulai ditemukan sejak masa berbagai iluminasi yang ditemukan pemerintahan Paku Alam II (1829-1858). dalam manuskrip kesusastraan, yaitu Rintisan terhadap artefak wayang kulit teks Serat Baratayuda babon yang purwa dimulai sejak masa Paku Alam II, digubah pada tanggal 20 Rabiulakhir termasuk juga beberapa produk kesenian 1741 TJ atau 12 April 1814 Masehi. Masa yang secara bersama-sama berkembang penggubahan naskah ini tidak lama di tengah geliat perkembangan setelah berdirinya Kadipaten Pakualaman kegiatan kesusastraan di lingkungan dan digolongkan sebagai manuskrip awal Paku Alaman. Perhatian di bidang yang berada di kraton tersebut (bdk. kebudayaan, terutama kesenian dan Saktimulya, 2005:137 & 308; Saktimulya, kesusastraan pun sudah dimulai sejak 2012:113-114). Ilustrasi wayang yang masa pemerintahan Paku Alam I (1812- digambarkan masih sangat sederhana, 1829). Meskipun demikian, perhatian namun pola-polanya dapat digunakan 2 Bima Slamet Raharja, Inter Relasi Gatra Wayang Kulit Purwa sebagai ‘patron dasar’ menuju bentuk dengan mengambil patron-patron yang yang nyata dan sempurna. Kesenian baik, seperti halnya tarian dan gending wayang di lingkungan Pakualaman mulai karawitan (Poerwokoesoemo, 1985:303- tumbuh dan berkembang beriringan 305). Melalui keterangan tersebut, dengan kehadiran karya sastra yang tidak menutup kemungkinan bahwa memuat naratif ceritanya. kesenian wayang pun mengalami hal Perangkat koleksi wayang kulit yang yang sama dengan menggabungkan berada di Kadipaten Pakualaman dikenal unsur-unsur lintas gaya, sehingga dengan nama ‘Kyai Jimat’. Nama ‘Kyai terjadi suatu hibriditas. Diterapkan Jimat’ ini digunakan untuk menyebut pada wayang misalnya, pola sunggingan seluruh koleksi wayang kulit purwa yang (pewarnaan) dan penambahan proporsi tersimpan dalam satu kotak. Perangkat bentuk wayang mengadopsi kedua gaya wayang ini merupakan ciptaan Kanjeng besar, yaitu Yogyakarta dan Surakarta Gusti Paku Alam, mulai dari Paku Alam sehingga terkesan di’satupadu’kan II hingga Paku Alam VII. Hampir tiap dalam satu gatra baru. Pada masa wujud wayang gagrag Pakualaman Paku Alam II hingga Paku Alam VI seiring perjalanan waktu penciptaannya beberapa bentuk wayang masih menurut menunjukkan suatu perkembangan yang pada sub gaya Yogyakarta ‘tua’ dengan menuju pada kesempurnaan bentuk. proses perkembangan yang menuju pada Bentuk wayang Pakualaman mempunyai kesempurnaan bentuk khas Pakualaman, karakteristik yang berbeda dengan gaya maka pada era Paku Alam VII terdapat wayang dari wilayah lain. Meskipun satu terobosan untuk ber’eksperimen’ dikenal mempunyai kekhususan memadukan semua bentuk pada dua karakter, wayang gagrag Pakualaman gaya mayor tersebut. mengacu pada bentuk dasar wayang gaya Perubahan dan penyempurnaan Mataraman dengan sub gaya Yogyakarta. bukanlah sesuatu yang berlebihan Sebagian besar anggapan menyatakan dalam ranah seni, karena kebudayaan bahwa kesenian wayang yang terdapat merupakan proses pelajaran yang terus- di Kadipaten Pakualaman cenderung menerus dengan dua faktor penting yang mengacu pada gagrag Surakarta. saling berkaitan, yaitu kreativitas dan Asumsi tersebut memang tidak inventitas (lih. Peursen, 1976: 11 dan sepenuhnya keliru, karena pada era Murgiyanto, 2004:51). Pada era Paku Alam pemerintahan Paku Alam VII (1906-1937) V ditemukan ragam kreativitas pujangga kesenian Pakualaman tidak sekedar dalam mengilustrasikan bentuk wayang satu kesenian yang konservatif saja, sehingga muncul karakteristik gatra namun berusaha untuk menambah wayang era tersebut bagi lingkungan dan mengembangkannya dengan adopsi Pakualaman. “Rekaman-rekaman” visual berbagai macam model kesenian. dalam iluminasi dan ilustrasi pada Kedua gaya, antara Yogyakarta dan beberapa naskah kategori sastra wayang Surakarta dicampur menjadi satu di lingkungan Kadipaten Pakualaman 3 Jurnal Kajian Seni, Vol. 03, No. 01, November 2016: 1-30 saling berkait dengan gatra wujud intertekstual dengan bantuan teks-teks artefak wayang yang diciptakan dalam lain jelas diperlukan untuk mengungkap setiap era pemerintahan Paku Alam, naratif tokoh wayang. Pembacaan secara sehingga menciptakan hubungan yang intertekstualitas, tidak sekedar melihat pantas untuk dikaji lebih dalam melalui sebuah bentuk gatra kemudian dilihat penelitian ini. Tidak berlebihan kiranya teks penyerta yang sesuai dengan bentuk meminjam pernyataan Sedyawati (2008 visual tersebut. Akan tetapi sebuah teks II: 312) bahwa dalam satu ‘rekaman’ didampingi pula dengan teks lain. visual, baik melalui gambar, relief, Dalam hal ini, peneliti terlebih maupun foto didapatkan ungkapan dahulu memfokuskan pada objek, yaitu budaya pada suatu wilayah. gatra bentuk wayang kulit purwa gagrag Dalam menganalisis permasalahan, Pakualaman, khususnya perangkat pendekatan multidisiplin digunakan Kyai Jimat. Identifikasi bentuk dasar dalam kajian ini. Analisis bentuk beberapa tokoh yang dapat memberikan wayang
Recommended publications
  • POLITIK KOLONIAL DAN PERKEMBANGAN SENI TARI DI PURO PAKUALAMAN PADA MASA PEMERINTAHAN PAKU ALAM IV (1864-1878) Oleh : HY
    POLITIK KOLONIAL DAN PERKEMBANGAN SENI TARI DI PURO PAKUALAMAN PADA MASA PEMERINTAHAN PAKU ALAM IV (1864-1878) Oleh : HY. Agus Murdiyastomo ABSTRAK Pusat budaya di Yogyakarta selama ini yang lebih banyak diketahui oleh masyarakat adalah Kraton Kasultanan Yogyakarta, tetapi sesungguhnya selain Kraton Kasutanan masih terdapat pusat budaya yang lain yaitu Pura Paku Alaman. Di Kadipaten telah terlahir tokoh-tokoh yang sangat memperhatikan kelestarian budaya Jawa khususnya seni tari tradisi. Salah satunya adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam IV, yang pada masa ia berkuasa, budaya Barat yang dibawa oleh kaum kolonialis melanda daerah jajahan. Hadirnya budaya asing tentu sulit untuk ditolak. Namun demikian denga piawainya KGPAA Paku Alam IV, justru mengadopsi budaya Barat, tetapi ditampilkan dengan rasa dan estetika Jawa, dalam bentuk tari klasik. Sehingga pada masanya lahir repertoar tari baru yang memperkaya seni tari tradisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap perkembangan seni tari di Pura Pakualaman pada masa pemerintahan KGPAA Paku Alam IV, dan hal-hal apa yang melatarbelakangi penciptaannya. Dalam rangka mewujudkan rekonstruksi ini dilakukan dengan metode sejarah kritis, yang tahapannya meliputi Pertama, Heuristik, atau pencarian dan pengumpulan sumber data sejarah, yang dalam hal ini dilakukan di BPAD DIY, dan di Perpustakaan Pura Pakualaman. Di kedua lembaga tersebut tersimpan arsip tentang Paku Alaman, dan juga naskah- naskah yang berkaitan dengan penciptaan tari. Kedua, Kritik, atau pengujian terhadap sumber-sumber yang terkumpul, sumber yang telah terkumpul diuji dari segi fisik untuk memperoleh otentisitas, kemudian membandingkan informasi yang termuat dengan informasi dari sumber yang berbeda, untuk memperoleh keterpercayaan atau kredibilitas. Ketiga, Interpretasi yaitu informasi yang ada dikaji untuk diangkat fakta-fakta sejarahnya, yang kemudian dirangkai menjadi sebuah kisah sejarah.
    [Show full text]
  • Edisi 6 / 2018 Buletin Pelestarian Warisan Budaya Dan Cagar Budaya MAYANGKARA Edisi 6 / 2018
    ISSN 2502-1567 Buletin Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya MAYANGKARA Edisi 6 / 2018 Buletin Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya MAYANGKARA Edisi 6 / 2018 Sampul Depan: Gedhong Purwaretna, Pura Pakualaman Rubrik Uneg-uneg Redaktur KORI: rubrik pembuka berisi informasi mengenai sejarah dan penjelasan tema buletin edisi kali ini. SUSUNAN REDAKSI PENDHAPA: tajuk utama dalam buletin. PENANGGUNG JAWAB: Drs. Umar Priyono, M. Pd. PLATARAN: rubrik ringan yang berisi perjalanan ataupun informasi situs warisan budaya di berbagai tempat, khususnya Salam Budaya, di DIY. PEMIMPIN REDAKSI: Dian Lakshmi Pratiwi, S.S.,, M.A PRINGGITAN: rubrik berisi kajian maupun penelitian yang membahas mengenai tema Buletin Mayangkara edisi kali ini. Perkembangan pembangunan modern yang terjadi di Yogyakarta khususnya di Kawasan REDAKTUR: EMPU: rubrik wawancara interaktif dengan tokoh-tokoh yang Cagar Budaya Pakualaman membawa berbagai dampak salah satunya identitas kawasan yang Aris Wityanto, S.IP berpengaruh dalam pelestarian warisan budaya dan cagar tergerus. Oleh sebab itu, sebagai salah satu Kawasan Cagar Budaya yang diprioritaskan oleh budaya. pemerintah, perlu adanya langkah khusus dalam mempertahankan karakter Kawasan Cagar EDITOR: PAWARTOS: rubrik berisi berita-berita pelestarian warisan Joy Jatmiko Abdi, S.S. budaya dan cagar budaya. Budaya Pakualaman sebagai salah satu bentuk pelestarian kota heritage. Anglir Bawono, S.S. PAGELARAN: rubrik mengenai kegiatan masyarakat dalam Edisi ke 6 buletin Mayangkara akan membahas lebih dalam mengenai Pelestarian Warisan upaya pelestarian terhadap warisan budaya dan cagar budaya REPORTER: di Kotabaru. Budaya dan Cagar Budaya serta nilai-nilai penting yang terkandung di dalam Kawasan Cagar Ria Retno Wulansari, S.S Budaya Pakualaman. Pembaca akan menemukan rubrik-rubrik yang menambah wawasan SRAWUNG: rubrik berisi serba-serbi mengenai warisan budaya FOTOGRAFER: dan cagar budaya.
    [Show full text]
  • Patrawidya Vol 15 No 1 Maret 2014
    Terakreditasi No. : 405/AU3/P2MI-LIPI/04/2012 seri penerbitan penelitian sejarah dan budaya Melawat ke Barat : Westernisasi Pendidikan Keluarga Paku Alam V Oleh : Mutiah Amini Aspek-Aspek Ikonografi Penggambaran Tokoh Ramayana Seni Prasi di Desa Sidemen Karangasem Bali Oleh : I Wayan Suardana Jinem : Lumbung Padi Petani Blora Oleh : Christriyati Ariani Merapi yang Suci dan Pariwisata yang Kotor : Benturan Nilai-nilai Religi dan Ekonomi yang Memperlemah Potensi Ritual Sebagai Mitigasi Bencana di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Oleh : Bambang H. Suta Purwana Persepsi Petani Terhadap Nilai Sosial-Budaya dan Ekonomi Lahan Sawah di Pinggiran Kota Yogyakarta Oleh : Sudrajat Usaha Kerajinan Ukir Kayu Desa Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara Oleh : Sukari Calung: Musik Tradisional Masyarakat Purbalingga, Jawa Tengah Oleh : Theresiana Ani Larasati Serat Atmawiyata Kajian Aspek Moral dan Didaktik Oleh : Titi Mumfangati Resensi Buku : Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1885) Oleh : Baha' Uddin Yogyakarta No. 1 Hal. 1 - 170 ISSN 1411-5239 Vol. 15 Maret 2014 seri penerbitan penelitian sejarah dan budaya Patrawidya merupakan seri penerbitan hasil penelitian Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta dan peneliti tamu, serta penulis undangan yang meliputi bidang sejarah dan budaya. Patrawidya terbit secara berkala tiga bulan sekali, yaitu pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Nama Patrawidya berasal dari dua kata “patra” dan “widya”, yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang kemudian menjadi kata serapan dalam bahasa Jawa Kuna. Kata “patra” berasal dari kata “pattra” , dari akar kata pat=melayang, yang kemudian diartikan sayap burug; bulu; daun; bunga; tanaman yang harum semerbak; daun yang digunakan untuk ditulisi; surat; dokumen; logam tipis atau daun emas. Kata “widya” berasal dari kata “vidya” , dari akar kata vid=tahu, yang kemudian diartikan sebagai “ilmu pengetahuan”.
    [Show full text]
  • Bab Ii Penelusuran Persoalan Perancangan Dan Pemecahannya
    Redesain Pasar Sentul Berbasis Morfologi Elemen Catur Gatra Tunggal di Kawasan Pakualaman Yogyakarta BAB II PENELUSURAN PERSOALAN PERANCANGAN DAN PEMECAHANNYA 2.1. Narasi Konteks Lokasi, Site dan Arsitektur 2.1.1. Kawasan Pakualaman Yogyakarta Pakualaman yaitu sebuah kecamatan yang terdapat di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kecamatan Pakualaman memiliki luas 63 Ha. Kecamatan ini terletak diantara sungai Code dan sungai Manunggal. Batas wilayah Pakualaman yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Danurejan dan Gondokusuman. Timur berbatasan dengan Kecamatan Umbulharjo dan Mergangsan. Selatan berbatasan dengan Kecamatan Mergangsan, dan Barat berbatasan dengan Kecamatan Mergangsan dan Gondomanan. Kelurahan Gunungketur Kelurahan Purwokinanti Pasar Sentul Farichatul Ulya | 14512031 | Bachelor Final Project 30 Redesain Pasar Sentul Berbasis Morfologi Elemen Catur Gatra Tunggal di Kawasan Pakualaman Yogyakarta Gambar 2. 1 Batas Wilayah Kecamatan Pakualaman Sumber: Analisa Penulis, 2018 Dilihat dari peta penyebaran cagar budaya di kawasan Pakualaman, Pasar Sentul masuk kedalam elemen pembentuk Catur Gatra Tunggal yang memiliki nilai budaya pada masa pembentukan dan pembangunannya. Catur Gatra Tunggal Indish 1. Puro Pakualaman 11. Bangunan Kemayoran I 2. Alun-alun Sewandanan 12. Bangunan Kemayoran III 3. Pasar Sentul 4. Masjid Besar Pakualaman Tradisional Jawa Ndalem Pangeran 4. Ndalem Kepatihan/Natakusuman 13. SMK Taman Ibu (hancur) 5. Ndalem Suryaringprangan 14. TK Al Husnah 6. Ndalem Natatarunan 15. Rumah Tinggal RA Mirnayati L. 7. Ndalem Pujawinatan 16. SDN Puro Pakualaman 8. Ndalem Suryadirjan 9. Ndalem Banaran 10. Ndalem Sanawinatan Farichatul Ulya | 14512031 | Bachelor Final Project 31 Redesain Pasar Sentul Berbasis Morfologi Elemen Catur Gatra Tunggal di Kawasan Pakualaman Yogyakarta Gambar 2. 2 Peta Persebaran Bangunan Cagar Budaya di Kawasan Pakualaman Sumber: Ulya, 2017 2.1.2.
    [Show full text]
  • Direktori Kekayaan Dan Keragaman Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
    Direktori Kekayaan dan Keragaman Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017 ii KATALOG DALAM TERBITAN Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktori Kekayaan dan Keragaman Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Disusun oleh: Bidang Pendayagunaan dan Pelayanan. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, Kemendikbud, 2017 vii, 169 1. Direktori 2. Budaya 3. Yogyakarta i. Judul ii. PDSPK Penyusun: Dwi Winanto Hadi Bakti Utama Pengarah: Siti Sofiah Ilustrator; Bakti Utama © 2017, PDSPK Kemdikbud RI iii Kata Pengantar Alhamdulillah kami panjatkan ke hidarat Allah Subhanahu wa ta’ala karena Direktori Kekayaan dan Keragaman Budaya Provinsi Daerah Isimewa Yogyakarta telah behasil disusun. Direktori ini dilakukan untuk mengetahui kekayaan dan keragaman budaya yang terdapat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Direktori ini menguraikan kekayaan dan keragaman budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menurut data Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DIY, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY, Dinas Kebudayaan Provinsi DIY, serta Dinas-Dinas Kebudayaan di Kota/ Kabupaten seluruh DIY. Direktori ini menggambarkan kekayaan budaya benda dan tak benda. Direktori ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak terkait dalam rangka memberikan gambaran kekayaan dan keragaman budaya dan peningkatan kinerja kebudayaan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ucapan terima kasih disampaikan kepada para pihak yang telah membantu sehingga Direktori ini terwujud. Kritik dan saran yang konstruktif terhadap Direktori ini diterima dengan hati terbuka. Jakarta, November 2017 Kepala Pusat, Dr. Ir. Bastari, M.A. NIP. 196607301990011001 iv DAFTAR ISI Hal Sampul Luar i Sampul Dalam ii Kata Pengantar iii Daftar Isi iv Bab I PENDAHULUAN 1 A. Pengantar 1 B.
    [Show full text]
  • Partisipasi Politik Para Tokoh Pakualaman Pada Masa Pergerakan Nasional
    pustaka.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PARTISIPASI POLITIK PARA TOKOH PAKUALAMAN PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL Skripsi Oleh : IRMA AYU KARTIKA DEWI K 4406003 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 commit to users pustaka.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, di Indonesia diterapkan beberapa kali kebijakan politik seperti : (1) Politik Kolonial Konservatif (1800- 1870), politik ini diberlakukan dari awal pemerintahan Hindia-Belanda sampai dengan tanam paksa (Cultuurstelsel). Pada masa ini, pemerintah menggunakan cara tradisional yaitu menempatkan penguasa pribumi untuk mengurusi administrasi pemerintahan lokal dan perusahaan perkebunan sebagai pengawas; (2) Politik Kolonial Liberal (1870-1900), pada masa ini kebebasan usaha dijamin pemerintah dan kerja paksa dihapus serta digantikan kerja bebas; (3) Politik Kolonial Etis (1900-1942), politik ini berbeda dari politik sebelumnya. Politik ini berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia (Suhartono, 2001 : 11-16). Pada tahun 1870 Belanda memasuki periode kapitalis modern. Sistem perdagangan bebas mengatur hubungan-hubungan ekonomi Belanda dengan negara-negara tetangga. Politik Pintu Terbuka di Hindia Belanda dan perkembangan perusahaan-perusahaan swasta mengakibatkan hasil bumi jajahan lebih banyak dipasarkan di negeri-negeri asing daripada di negeri Belanda sendiri. Kondisi politik kolonial Belanda di Nusantara sangat berhubungan erat dengan kondisi politik di negeri Belanda. Walaupun pada kenyataannya perkembangan politik di Nusantara sangat lambat daripada di negeri Belanda. Pada permulaan abad XX, kebijakan pemerintahan Belanda mengalami perubahan, yang semula berusaha mengeksploitasi dan menguasai seluruh wilayah Nusantara, mulai berkurang dan menyatakan prihatin terhadap kesejahteraan Indonesia. Kebijakan ini dinamakan ”Politik Ethis”. Politik ini berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui Irigasi, Emigrasi (Transmigrasi) dan Edukasi.
    [Show full text]
  • Bab 2 Tata Pemerintahan Kerajaan Mataram │ 13
    SAMBUTAN Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, saya menyambut baik terbitnya buku Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah buku yang secara lengkap membahas sejarah tata kelola pemerintahan di DIY yang jejaknya merentang sejak masa Mataram Islam hingga saat ini. Melalui buku ini kita bisa melihat bahwa tata kelola pemerintahan di DIY meskipun selalu berubah mengikuti perkembangan zaman, namun dalam proses perubahannya tidak pernah meninggalkan nilai, norma, dan budaya yang mengakar di Yogyakarta. Penjelasan kronologi sejarah dalam buku ini memberikan kita pemahaman bahwa perubahan tata kelola pemerintahan di DIY dari masa ke masa bukanlah perubahan yang revolusioner namun merupakan suatu perubahan yang lebih bersifat transformatif. Membaca buku ini, kita juga bisa melihat bahwa tata pemerintahan di DIY merupakan perpaduan antara birokrasi modern dan institusi tradisional (Kasultanan dan Kadipaten). Perpaduan tersebut merupakan konsekuensi dari status keistimewaan DIY yang diperoleh sejak lama dan semakin diperkuat dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Menelisik akar kesejarahan di DIY dan falsafah yang menyertainya memberikan kita gambaran tentang berbagai macam aspek yang menjadi fondasi tata pemerintahan di DIY. Beberapa aspek dasar tata pemerintahan tersebut antara lain demokrasi, kerakyatan, ke-bhineka-tunggal-ika-an, efektivitas pemerintahan, dan pendayagunaan kearifan lokal. Secara struktur, kelima aspek dasar tersebut dalam perjalanannya senantiasa mengalami perubahan namun dengan tetap mempertahankan prinsip nilai, norma, dan budaya yang ada di DIY. Buku sejarah pemerintahan ini disusun dalam kerangka untuk memahami dinamika perubahan dan keberlanjutan tata pemerintahan DIY dalam lintasan sejarah sampai dengan situasi kontemporer. Maka dengan demikian diharapkan baik aparatur pemerintahan maupun masyarakat luas dapat memahami lebih dalam bagaimana hubungan antara sejarah, keraton, kadipaten, Negara, dan masyarakat di DIY dalam pusaran perubahan tata kelola pemerintahan.
    [Show full text]
  • Paramita Januari 2014
    Paramita Vol. 25, No. 1 - Januari 2015 PAKU ALAM V: SANG ARISTO-MODERNIS DARI TIMUR Sudibyo Jurusan Sastra Nusantara, FIB, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta [email protected] ABSTRACT ABSTRAK This paper recites Paku Alam V figures as an Tulisan ini mengkaji sosok Paku Alam V sebagai ambiguity subject and a cultural paradox. He subjek ambiguitas dan paradoks kebudayaan. Ia lived in a kingdom economic crisis and a rapid hidup di tengah krisis ekonomi kerajaan dan arus flow of changes in politics, economy, laws, and perubahan yang deras di bidang politik, ekonomi, lifestyle aspects which is caused by other colonial hukum dan gaya hidup yang dihembuskan oleh social elements. The analysis focuses on psycho- kekuasaan dan elemen-elemen masyarakat ko- logical, religious, and cultural aspects which lonial lainnya. Analisis difokuskan pada aspek- form his personality. To achieve the goal, it uses aspek psikologis, religious, dan kultural yang post colonialism concerning in contact zone, membentuk pribadinya. Untuk mencapai tujuan textual studies and historical context. The textu- itu, digunakan teori poskolonialisme tentang al studies are used to explain the role moderniza- zona kontak dan kajian teks serta konteks sejarah. tion in genealogy, consistence, and Paku Alam V Kajian teks digunakan untuk menjelaskan peran mind revolution. The historical context is used to modernisasi dalam genealogi, konsistensi, dan explain the historical background, especially re- evolusi atau revolusi pemikiran P.A. V. Konteks lated to zeitgeist, when Paku Alam V implement- sejarah digunakan untuk menjelaskan latar ed his ideas. belakang sejarah, khususnya yang berkaitan dengan zeitgeist saat P.A. V mengimplementasi- Keywords: aristocrat, paradox, text, context.
    [Show full text]
  • Abstrak Kadipaten Pakualaman Memiliki Keunggulan Dalam Bidang Pendidikan, Kasusastraan,Dan Kesenian. Identitas Khas Ini Tidak La
    Sejarah Lahirnya Pesantren Berdasarkan Naskah Babad Cirebon Koleksi PNRI Bilih manggih galagah arum ambêtipun, punika dipun dhêkahana, awit panggenan punika badhe dados nagari, sarta gêmah raharja. Radèn Patah lajêng lumampah anjog ing wana agêng, amanggih galagah wangi ambêtipun. Wana punika anama ing Bintara, ing ngriku Radèn Patah adhêdhêkah, botên antawis lami kathah têtiyang dhatêng, sami tumut gêgriya ing ngriku, sarta sami ambabadi wana, angadêgakên masjid, sangsaya kathah têtiyang dhatêng,Abstrak sami anggêguru dhatêng Radèn Patah. Kadipaten Pakualaman memiliki keunggulan dalam bidang(Kembali pendidikan, pada kasusastraan,dan cerita Raden Patah: kesenian. beliau Identitas masih khastinggal ini tidak la[berguru]in berkat di kegigihanPangeranAmpel Denta, lalu Natakusumadinikahkan dengan yang bukancucu saja sebagaisulung pemimpin Sunan Ampel dalam halbernama politik pemerintahan,tetapijugaNyai Ageng Maloka. berperanRaden sebagai Patah pujangga lalu memohon yang pertama petunjuk dan dan paling arahan utama dimana dari Kadipatenharus Pakualaman bertempat (Dewantara,tinggal dan 1994:289).membangun Ideologi permukiman ajaran Sěstradibaru adalah (adhêdh halêkah utama) dengan yang amanmenjadi dan pokok damai. pembangunan Sang Sunan karakterkemudian mulia di memberiKadipaten petunjuk: Pakualaman. Kalau Adanya Raden visi Patah dan maumisi ajaran diberiSěstradi petunjuk, ini menjadikan maka yangsebagian harus besar ia karyalakukan sastra adalah yang lahir diberjalan Kadipaten lurus Pakualaman ke arah barat. bergenre Kalau piwulang sudah menemukan dan sedikit sekali pohonkarya sastragelagah yang yang mendokumen berbau harum,tasikan maka seni itulah pertunjukan. tempat Berdasarkanidealnya. tahapan Karena kerja berawal inventarisasi dari tempat naskah, itulah karyadiharapkan-karya sastra akanbergenre menjadi seni kota pertunjukan yang ramai hanya dan sejahtera.ditemukan Raden pada Patah masa kepemimpinankemudian Sampeyan menuruti nasehatDalěm Pakugurunya Alam itu. IV,Membuka yakni naskahhutan Kyai Sěstradilarasbesar di sana, dandi daerah Langěn Bintara.
    [Show full text]
  • Patrawidya Vol 15 No 3 September 2014
    Terakreditasi No. : 405/AU3/P2MI-LIPI/04/2012 seri penerbitan penelitian sejarah dan budaya Westernisasi dan Gaya Hidup Bangsawan di Kadipaten Pakualaman pada Masa Paku Alam V Oleh : Baha' Uddin Gerakan Kiri di Klaten: 1950 - 1965 Oleh : H. Purwanta Kedaulatan Rakyat dan Solopos: Pilar Kehidupan Bahasa Jawa dan Kebudayaan Lokal Masyarakat Oleh : Heri Priyatmoko Menjadi Melayu : Perempuan Jawa sebagai Agen Transformasi Sosial dalam Masyarakat Jawa di Semenanjung Malaya Tahun 1900-2000 Oleh : Lucia Juningsih ….Selanjutnya Kami Memilih Pergi … Kisah-kisah Etnis Tionghoa Asal Indonesia yang Kembali ke Taiwan 1950-1960an Oleh : Devi Riskianingrum Strategi Peningkatan Pendapatan Melalui Budidaya Rumput Laut di Kecamatan Talango, Pulau Poteran, Sumenep Oleh : Emiliana Sadilah Usaha Gula Kelapa : Pertukaran dalam Produksi dan Distribusi Oleh : Sumintarsih Dampak Pembangunan Jembatan Suramadu Terhadap Mobilitas dan Kondisi Sosial Budaya Penduduk (Kasus Lima Keluarga di Desa Pangpong, Kecamatan Labang, Kabupaten Bangkalan) Oleh : Ernawati Purwaningsih Yogyakarta No. 3 Hal. 341 - 504 ISSN 1411-5239 Vol. 15 September 2014 seri penerbitan penelitian sejarah dan budaya Patrawidya merupakan seri penerbitan hasil penelitian Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta dan peneliti tamu, serta penulis undangan yang meliputi bidang sejarah dan budaya. Patrawidya terbit secara berkala tiga bulan sekali, yaitu pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Nama Patrawidya berasal dari dua kata “patra” dan “widya”, yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang kemudian menjadi kata serapan dalam bahasa Jawa Kuna. Kata “patra” berasal dari kata “pattra” , dari akar kata pat=melayang, yang kemudian diartikan sayap burug; bulu; daun; bunga; tanaman yang harum semerbak; daun yang digunakan untuk ditulisi; surat; dokumen; logam tipis atau daun emas. Kata “widya” berasal dari kata “vidya” , dari akar kata vid=tahu, yang kemudian diartikan sebagai “ilmu pengetahuan”.
    [Show full text]
  • Jentera, 7 (1), 1—19, ©2018 | 1 PENDAHULUAN Perempuan Adalah Sakti
    PEREMPUAN DALAM SWARA SESTRA DAN FAKTA PERKAWINAN ENDOGAMI ARISTROKAT JAWA Women in Swara Sestra and Facts of Endogamy Marriage in Javanese Arictocrat Fajar Wijanarko Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta Pos-el: [email protected] Naskah Diterima 5 Februari 2018 —Direvisi Akhir 31 Mei 2018 —Disetujui 31 Mei 2018 doi: doi.org/10.26499/jentera.v7i1.606) Abstrak: Pada umumnya, perempuan Jawa bercitra baik sehingga kerap dimunculkan sebagai bentuk ajaran dalam sastra. Akan tetapi, dalam teks Swara Sěstra justru dimetaforakan sebagai daun senthe, yaitu alegori perempuan muda yang dimadu dengan perempuan yang lebih tua. Persoalan ini menjadi rumit ketika keadaan tersebut terjadi di lingkungan aristokrat Jawa. Berbekal disiplin filologi dengan metode penyuntingan teks dan penerjemahan, fenomena perempuan dalam teks Swara Sěstra akan diungkapkan. Telaah teks secara semiotik melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik kemudian menjadi upaya dalam menafsirkan teks. Pada akhir pembahasan, diketahui bahwa alegori perempuan sebagai senthe merujuk pada citra perempuan Jawa yang tidak baik. Di balik pemaknaan teks tersebut kemudian ditemukan pula bukti bahwa pengalegorian perempuan ini menyeret fakta sejarah tentang maraknya perkawinan endogami di lingkungan bangsawan. Bahkan perilaku tersebut merupakan hal yang subur, terutama di lingkungan dalam tembok istana. Kata-kata kunci: senthe, alegori perempuan, perkawinan endogami, filologi Abstract: In general, Javanese women are well-imagery and often raised as a form of teaching in literature. However, in the Swara Sěstra text, it is actually metaphorically as a senthe leaves, the allegory of young women who being a co-wife to older women. This issue becomes complicated when the situation occurs in the aristocratic environment of Java. By the discipline of philology with methods of text editing and translation, the phenomenon of women in the text of Swara Sěstra will be expressed.
    [Show full text]
  • 22 BAB II PAKUALAMAN TAHUN 1892-1942 A. Keadaan Geografis
    BAB II PAKUALAMAN TAHUN 1892-1942 A. Keadaan Geografis Pakualaman Kadipaten Pakualaman adalah salah satu dari empat Kerajaan Jawa (Praja Kejawen), yang keempat kerajaan itu sama-sama berasal dari sebuah kerajaan yang pernah berjaya di hampir seluruh pulau Jawa dan sebagian di pulau Kalimantan, yaitu Mataram Islam.1 Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati (1575-1601) mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Pada masa pemerintahan Paku Buwono II (1727-1749), Mataram berhasil dikuasai VOC2 (Belanda). Tahun 1743, Belanda telah menguasai daerah- daerah pelayaran dan perdagangan yang semula dikuasai Mataram, selain itu sistem pemerintahan Mataram seperti pengangkatan dan pemberhentian pepatih dalem dan para bupati dikendalikan oleh Belanda. Sejak 11 Desember 1749, Mataram tidak lagi berdaulat secara de jure dan de facto karena Pakubuwono II menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda.3 Meruntuhkan kerajaan Mataram ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Seorang pangeran bernama Mangkubumi tidak terima dengan penyerahan 1 Ilmi Albilahdiyah, Puro Pakualaman Selayang Pandang, (Yogyakarta : DEPDIKBUD, 1984), hlm. 22 2VOC merupakan kepanjangan dari Vereenigde Oost-Indische Compagnie, yang merupakan suatu kongsi dagang yang keberadaannya sangat berpengaruh dalam perekonomian masyarakat Indonesia. 3 Ilmi Albilahdiyah, op, cit. hlm. 25 22 23 kedaulatan dan sikap lemah Paku Buwono II itu. Tanggal 19 Mei 1746, Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana bersama 3 pangeran lainnya yaitu Pangeran Wijil,
    [Show full text]