KONSEP PENDEKATAN DIRI KEPADA ALLAH DALAM TAREKAT SYADZILIYAH
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh : AHMAD ROFIQ NIM. 1112033100050
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M
ABSTRAK Dzikir bermakna ‘mengingat’. pada hakikatnya mengingat Allah adalah sumber kesehatan hati dan jiwa. Indikasi pertama untuk melihat penyakit dalam diri seseorang terdapat kikir di dalamnya. Kikir menjadi faktor timbulnya penyakit jiwa atau rohani dan penyakit tersebut bisa disembuhnya dengan dzikir kepada Allah. Skripsi ini menggunakan metode deskriptif dengan data kualitatif. Maka yang menjadi pegangan dalam penelitian ini adalah interpretasi penulis terhadap kegiatan tarekat Syadziliyah dengan fokus penelitian konsep pendekatan diri kepada Allah, di dalamnya terdapat muatan-muatan kegiatan yang penulis patut untuk diteliti. Lalu apakah dengan dzikirullah seseorang dapat merasakan tenang dan tidak terdapat konflik batin? dan Bagaimana penghayatan dan atau pengaruh dzikir bagi kondisi jiwa, dan makna bagi tujuan hidup para pengamal? Dalam praktiknya, dzikir mempunyai pengaruh yang sangat hebat terhadap kesehatan jiwa dan mental juga bernilai positif sekaligus penting untuk diamalkan. Pengaruh dzikir terhadap jiwa ini bisa diperoleh dengan bacaan-bacaan dzikir seperti tahlil, tasbih, tahmid, takbir, basmalah, hauqalah, hasbalah, membaca Al-Qur’an dan asmaul husna. Persoalan yang melatarbelakangi seseorang untuk mengamalkan dzikir, salah satunya adalah upaya untuk tidak gelisah dan tidak ada konflik batin dalam dirinya.
Kata kunci: Dzikir, Ketenangan Jiwa
i KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. Tuhan semesta alam, Tuhan yang maha pengasih di alam dunia dan Tuhan yang maha penyayang di alam akhirat kelak. Tuhan yang selalu memberikan karunia dan nikmat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Salawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Saw., kepada keluarganya, sahabatsahabatnya, dan kita sebagai ummatnya yang menanti pertolongannya di akhirat nanti. Amin. Penulis ucapkan syukur kepada Allah Swt. atas selesainya penulisan dan penyusunan skripsi yang berjudul “KONSEP PENDEKATAN DIRI KEPADA ALLAH DALAM TAREKAT SYADZILIYAH” sebagai tugas akhir akademis pada Jurusan Aqidah Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta adalah berkat bantuan, bimbingan, dan dukungan berbagai pihak. Karena itu perkenankanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih yang mendalam dan khusus kepada: 1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Amany Lubis, MA dan Dekan Fakultas Ushuluddin Dr. Yusuf Rahman, MA. 2. Dr. Edwin Syarif, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu meluangkan waktunya di tengah kesibukan dan aktifitas padatnya untuk membimbing dan mengarahkan penulis demi perbaikan dan hasil skripsi yang mendekati sempurna. 3. Dra. Tien Rohmatin, MA, sekalu ketua Prodi Aqidah dan Filsafat Islam dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. selaku sekretaris Prodi Aqidah dan Filsafat Islam. 4. Dr. Abdul Hakim Wahid, MA selaku dosen penasihat akademik saya yang selalu berkenan ditemui ketika penulis menemukan kesulitan selama perkuliahan dan berkenan membimbing dalam penulisan proposal skripsi penulis. 5. Jajaran Dekanat fakultas Ushuluddin dan khusus kepada seluruh Dosen Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam yang senantiasa ikhlas memberikan
i perkuliahan dan membimbing selama penulis belajar di Jurusan Aqidah Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Kepada Bapak tercinta dan tersayang (H.ABD.GANI) yang berhasil menularkan api semangatnya kepada saya dan selalu menjadi alasan untuk bangkit di setiap rapuh yang menerjang. Dan kepada ibu (HJ.HOIRIYAH) yang cinta dan kasih sayangnya tak pernah padam dan selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir. Semoga Allah ridho atas segala amaliyah mamah, serta tak lupa kepada nenek yang selalu bertanya dan menanti cucunya mengenakan toga semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan dan umur panjang. 7. Kepada seluruh saudara tercinta, Adinda Syaiful Huda, Fitriati Saadah, Faiqul Abror, S.Hum, Dan Zayyana Hariva, S.Th.I yang tak berhenti- berhentinya untuk selalu memberikan semangat dan saran sehingga skripsi ini selesai. 8. Kawan-kawan AF (Aqidah dan Filsafat) yang selalu memberikan motivasi-motivasi ceria semasa skripsi ini disusun. 9. Kawan-kawan FKMSB (Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar) jabodetabek yang tak bisa saya sebutkan satu persatu tidak mengurangi rasa terimakasih yang selalu memotivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 10. Teman-teman FORMAD (Forum Mahasiswa Madura) jabodetabek yang selalu memberikan semangat serta nasehat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 11. Dan kepada seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu di atas lembaran putih ini, namun tidak akan mengurangi rasa terima kasih saya kepada semua pihak sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan, olehkarenanya kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Adapaun segala kekurangan dan kesalahan pada skripsi ini menjadi penanggungjawab penulis. Harapan
ii penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang dan bermanfaat untuk perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Ciputat, 10 Mei 2019
Ahmad Rofiq 1112033100050
iii DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL...... LEMBAR PERSETUJUAN ...... i LEMBAR PENGESAHAN...... ii LEMBAR PERNYATAAN ...... iii PEDOMAN TRANSLITERASI...... iv ABSTRAK...... v KATA PENGANTAR...... vi DAFTAR ISI ...... x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 8 C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ...... 9 1. Tujuan Penelitian...... 9 2. Kegunaan Penelitian...... 9 D. Tinjauan Pustaka ...... 10 E. Kerangka Teori ...... 13 F. Metode Penelitian ...... 17 1. Jenis Penelitian...... 18 2. Pendekatan Penelitian...... 18 3. Sumber Data...... 19 4. Metode Pengumpulan Data...... 19 5. Metode Analisis Data...... 20 G. Sistematika Pembahasan ...... 21
BAB II GAMBARAN UMUM HISTORIS DAN PERKEMBANGAN TAREKAT SYADZILIYAH A. Sejarah dan Tarekat Syadziliyah...... 25 1. Sejarah Tarekat Syadziliyah...... 25 2. Perkembangan Tarekat Syadziliyah...... 27 3. Tarekat Syadziliyah di Indonesia...... 32 B. Kondisi Sosio-Kultur dan Keagamaan...... 37 1. Kondisi Kehidupan sosial, Budaya dan Keagamaan...... 37
i C. Ajaran dan Amalan Tarekat Syadziliyah...... 43 1. Ajaran Tarekat Syadziliyyah ...... 45 2. Amalan Tarekat Syadziliyyah ...... 47 D. Pengertian dan Pengaruh Dzikir Terhadap Jiwa...... 54 1. Pengertian Jiwa ...... 54 2. Pengertian Ketenangan Jiwa ...... 55 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketenangan Jiwa ...... 57 4. Kriteria Ketenangan Jiwa...... 63 5. Pengaruh Dzikir terhadap Ketenangan Jiwa...... 65
BAB III DZIKIR DALAM KONSEP QADIRIYAH DAN NAQSABANDIYAH A. Qodariyah ...... 67 1. Sejarah ...... 67 2. Tokoh...... 69 3. Ajaran...... 73 4. Dzikir...... 74 B. Naqsabandiyah ...... 75 1. Sejarah ...... 75 2. Tokoh...... 83 3. Ajaran...... 85 4. Dzikir...... 90 BAB IV KONSEP PENDEKTAN DIRI KEPADA ALLAH DALAM TAREKAT SYADZILIYAH A. Cara Mendekatkan Diri Kepada Allah dalam Tarekat Syadziliyah... 95 1. Tasawuf sebagai Jalan Mendekatkan Diri Kepada Allah ...... 96 2. Langkah-Langkah Menuju Kehidupan Tasawuf...... 104 3. Al-ahwal (Kodisi Spiritual) dalam Tasawuf...... 106 B. Macam-Macam Hizb...... 109 1. Pengertian Hizb ...... 109 2. Hizb-Hizb Tarekat Syadziliyah...... 110
ii 3. Pengaruh Hizb Bagi yang Mengamalkannya ...... 114 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN...... 119 B. SARAN ...... 121 DAFTAR PUSTAKA...... 122
iii PEDOMAN TRANSLITERASI HURUF ARAB LATIN
Skripsi ini menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi” yang terdapat dalam Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012/2013.
No Huruf Arab Huruf Latin Keterangan Tidak dilambangkan ا 1 B Be ب 2 T Te ت 3 Ts te dan es ث 4 J Je ج 5 H Ha dan garis bawah ح 6 Kh ka dan ha خ 7 D De د 8 Dz de dan zet ذ 9 R Er ر 10 Z Zet ز 11 S Es س 12 Sy es dan ye ش 13 S es dengan garis di bawah ص 14 D de dengan garis di bawah ض 15 T te dengan garis di bawah ط 16 Z Zet dengan garis di bawah ظ 17 Koma terbalik di ta hadap kanan ‘ ع 18 Gh ge dan ha غ 19 F Ef ف 20 Q Ki ق 21 K Ka ك 22 L El ل 23
i M Em م 24 N En ن 25 W We و 26 H ha ه 27 Apostrof ‘ ء 28 Y Ye ي 29
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong Unuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
No Vokal Arab Vokal Latin Keterangan A Fathah ◌ َ 1 I Kasrah ◌ َ 2 U Dammah ◌ َ 3
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
No Vokal Arab Vokal Latin Keterangan Ai Fathah ◌ َ _ ى 1 Au kasrah _ و 2
Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
No Vokal Arab Vokal Latin Keterangan  a dengan topi di atas ا 1 Î i dengan topi di atas ئ 2
ii Û u dengan topi di atas ؤ 3
Kata Sandang ال Kata yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi hururf /I/, baik diikuti oleh huruf syamsiyyah, maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl, al-dîwân bukan aḍ-ḋîwân.
Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab yang dilambangkan dengan sebuah tanda ( ّ ◌), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata tidak ﺿﺮورة ال sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ditulis ad-ḏarûrah, melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
Ta Marbûṯah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 dibawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) lihat contoh 2. Namun jika huruf ta marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh:
No Kata Arab Transliterasi Ṯarîqah طﺮﯾﻘﺔ 1 al-jâmi’âh al-Islâmiyyah ة اﻻﺳﻼﻣﻲ اﻟﺠﻤﻌﺔ 2 waẖdat al-wujûd اﻟﻮﺟﻮد وﺣﺪة 3
iii Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab hurf kapital dikenal, dalam alihaksara ini huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhtikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî, bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi. Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD. Judul ini ditulis dengan cetak miring, maka demikianlah halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî, Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîr
iv 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap makhluk di muka bumi ini adalah ciptaan Allah. Dari semua
makhluq tersebut manusia menduduki derajat yang lebih tinggi karena
manusia dibekali akal oleh penciptanya. Akal inilah yang membedakan
manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Manusia dengan akalnya bisa
merenungkan proses kejadian dirinya, yaitu dari turab (tanah) sebagai materi
pertama pembentukan manusia, atau min sulalah min thin (dari saripati yang
berasal dari tanah) sebagai sejarah awal penciptaan manusia, atau min sulalah
min ma-in mahin (dari saripati yang berasal dari air yang hina) setelah
melalui beberapa proses penurunan, sehingga menuju kesempurnaan jasmani
dan rohani. Dari perenungan tersebut timbul rasa takjub atas kehebetan dan
kebesaran Allah. Pada gilirannya, rasa takjub itu menimbulkan kesadaran
yang mendalam akan keagungan dan kehebatan Allah sebagai maha pencipta,
dan sekaligus manusia itu sendiri akan menyadari betapa kerdil dirinya
dihadapan Allah SWT.1Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Mu’minun
ayat 12-14, yang artinya:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
1Muhaimin, Renungan Keagamaan Dan Dzikir Kontekstual (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Hlm.14-15. 2
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
Maka segala sesuatu yang menyenangkan jasmani adalah sesuatu yang berasal dari tanah (makanan, minuman, dll.) Sedangkan rohani atau ruh berasal dari Allah SWT. sesuai dengan QS. Al-Sajadah ayat 9, yang artinya:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalam (tubuh)nya dari rohNya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati.
Maka kebahagiaan dan ketentraman ruh adalah dengan mendapatkan sesuatu yang datangnya dari Allah SWT., yaitu syari’at Islam dan bisa berkomunikasi dengan-Nya.
Sementara saat ini manusia sedang memasuki era globalisasi atau dunia modern dalam berbagai bidang kehidupan baik dibidang iptek, ekonomi, budaya, etika maupun moral. Bahkan globalisasi sudah menjadi bagian dari kehidupan umat manusia sehari-hari, suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarinya. Ekonom peraih Nobel di bidang ekonomi, Joseph Stigilitz, mendefinisikan globalisasi sebagai “semakin dekatnya integrasi antar negara dan bangsa dunia”, hal ini akan membuat runtuhnya batas-batas regional akibat arus modal, jasa, komoditas, pengetahuan dan manusia yang saling melintas antar perbatasan. Thomas Friedman juga menyatakan dalam bukunya yang berjudul The World is Flat sebagaimana yang dikutip oleh
Muhaimin bahwa dunia masa kini telah menjadi lahan “bermain” yang sejajar. Maksud dari dunia yang rata adalah semua pesaing memiliki kesempatan yang sama. Artinya adalah barang siapa yang tidak mampu 3
menggunakan kesempatan yang ada maka akan tertinggal, bahkan akan tekena dampak negatif akan ketertinggalannya.
Di samping itu, masyarakat juga sedang menghadapai globalisasi dibidang budaya, etika dan moral yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, terutama dibidang informasi melalui media massa sehingga tidak jarang dapat menyebabkan kerugian dalam semua aspek kehidupan, terutama masalah dekadensi moral.2 Acara televisi yang banyak ditemui saat ini kurang mendidik sehingga mengakibatkan kekerasan atau pertengkaran dikalangan remaja. Dan juga lembaga penyiaran radio yang kurang memberi argumen baik terhadap masyarakat, dan bahkan yang paling bisa mempengaruhi adalah media elektronik seperti telepon genggam dengan kecanggihan yang ditawarkannya melalui berbagai fitur sehingga dapat melalaikan penggunanya terhadap kehidupan ruhani.
Uraian tersebut perlu digaris bawahi bahwa manusia harus kembali kepada Tuhannya melalui agama yang berarti kembali pada pandangan hidup asasi manusia itu sendiri, karena manusia itu merupakan fitrah insani. Lalu kemudian apa yang harus diperbuat oleh manusia terhadap dirinya? Dalam
Q.S.at-Tahrim:6, Allah berfirman, yang artinya;
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
2Muhaimin, Renungan Keagamaan dan Dzikir Kontekstual, hlm. 3-5 4
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa manusia yang beriman hendaknya menjaga, memelihara, dan memperbaiki kualitas diri dan keluarganya agar tidak mengalami hidup kesengsaraan (neraka). Maksud dari menjaga, memelihara, dan memperbaiki diri ditinjau dari aspek biologis yang berarti adalah menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan anggota tubuhnya, namun ditinjau dari aspek psikologis atau ruhani adalah mengembangkan atau meningkatkan kualitas IQ (Intellegent Quotient), kecerdasan, emosional, kreativitas, dan kecerdasan spritual.3
Untuk menghadapi era globalisasi di sini tidak cukup dengan mengembangkan dan meningkatkan kualitas IQ, kecerdasan emosional, dan kreativitas saja, akan tetapi perlu juga untuk meningkatkan kualitas kecerdasan spritual yang menjadi penopangnya dalam menjaga kualitas sebagai seorang hamba. Pendidikan IQ menyangkut peningkatan kualitas otak agar seseorang menjadi cerdas, pintar, dan lain-lain. Dan pendidikan kecerdasan emosional menyangkut peningkatan kualitas hati agar menjadi orang yang berjiwa besar, sabar, rendah hati, menjaga diri, berempati, cinta kebaikan, mampu mengendalikan diri atau nafsu, dan tidak terburu-buru mengambil keputusan. Dan pendidikan kreativitas yang menyangkut peningkatan kualitas tangan agar seseorang dapat menjadi agen of change, atau mampu membuat inovasi dan menciptakan hal-hal yang baru.
Pendidikan spiritual menyangkut peningkatan kualitas kejujuran, agar menjadi orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Dalam hal ini
3Muhaimin, Renungan Keagamaan dan Dzikir Kontekstual, hlm. 8-9 5
meningkatkan kecerdasan spritual seseorang dianjurkan untuk berintegrasi dengan cara mengimplementasikan nilai-nilai spritual seperti ber-dzikir kepada Allah SWT untuk menjaga dan melindungi sikap mental beragama4.
Surat QS.al-Ra’du: 28 menyebutkan, yang artinya yaitu;
Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Bahwasanya umat manusia dianjurkan untuk berdzikir kepada-Nya
(Allah) agar mendapatkan ketenangan hati dan juga ketenangan jiwa.
Ketenangan jiwa adalah sumber bagi kebahagiaan. Seorang individu tidak akan mengalami perasaan yang bahagia ketika jiwanya tidak tenang atau gelisah. Hakikat perjalanan hidup yang kita jalani, semakin kita melangkah semakin banyak masalah yang datang dan pergi. Oleh sebab itu maka patutlah kita sebagai umat muslim melakukan kegiatan-kegiatan dzikir dengan tujuan supaya mendapatkan ketenangan jiwa dan dapat meningkatkan akhlak dalam kehidupan sehari hari. Adapun keutamaan dalam berdzikir adalah hati akan menjadi tentram, pikiran akan jernih dengan begitu segala sesuatu yang dilakukan akan menjadi baik khususnya dalam berakhlakul karimah dengan seseorang.
Islam juga mengajarkan untuk berdzikir kepada Allah SWT. Karena dzikir dapat memberikan kontribusi yang besar dan dapat mengandung tiga gerakan, yaitu badan (al-riyadiyah), hati (al-qalbiyah), dan jiwa (al-nafsiyah), melaksanakan dzikir dengan khusuk, ikhlas dan penuh pengharapan ridha
4 Muhaimin, Renungan Keagamaan dan Dzikir Kontekstual, hlm. 9 6
Allah SWT.5 Maka hal tersebut akan membiasakan hati selalu dekat kepada
Allah SWT. Dzikir juga mengandung dimensi dzikrullah yang memiliki
dampak psikologis dalam jiwa seseorang. Karena dengan mengingat Allah
SWT. maka alam kesadaran manusia akan merasakan kehadiran Allah SWT.
Untuk sampai kepada jiwa yang tenang dzikir memiliki peranan penting bagi
kehidupan manusia karena dzikir merupakan suatu kebuTuhan psikis manusia
yang merindukan ketenangan dan kebahagiaan, disamping itu juga dapat
memberikan bimbingan jiwa manusia untuk memotivasi berbuat baik dengan
mencegahnya dari perbuatan dosa, menghidupkan hati sanubari dan
meningkatkan jiwa agar jangan lalai dan lupa, dapat mensucikan jiwa,
mengobati dan mencegah jiwa dari gangguan dan penyakit hati.
Dengan berdzikir kita dapat terbimbing dan memberikan motivasi hidup
agar mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan jiwa yang diharapkan
memiliki kekuatan iman dan taqwa kepada Allah, dzikir dapat mengatasi
problema yang sedang dihadapinya. Hal ini sesuai dengan fungsi bimbingan
yang ditawarkan Islam untuk membantu manusia agar dapat menggunakan
potensi ikhtiarnya, untuk menciptakan manusia yang bertaqwa sebagai salah
satu upaya preventif, kuratif dan developmental yang mengotori jiwa manusia
dalam kehidupan, manusia mampu untuk mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat.
Dengan demikian maka sangat memungkinkan bagi manusia untuk
bersikap dan berprilaku yang baik agar jiwanya bisa menghadapi berbagai
5Moh Sholeh, Tahajjud Manfaat Praktis Ditinjau Dari Ilmu Kedokteran Tetapi Relegius, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 27 7
persoalan yang mengitarinya dapat terselesaikan dengan sendirinya. Dan
apabila dzikir dilakukan dengan khusuk maka jiwa merasakan adanya
pengaruh yang manusia belum pernah merasakannya. Dan apabila dzikir yang
dilakukan dengan penuh khidmat akan timbul dalam jiwa seseorang
kedamaian yang diharapkannya demi tercapainya kebahagiaan dan
ketenangan pada dirinya dapat membantu menghilangkan rasa sedih, stress,
frustasi, putus asa, khawatir, dan takut adalah gejala jiwa yang berat. Dzikir
merupakan cara penenangan batin yang dapat mengembalikan kedamaian
pada dirinya,6 sehingga persoalan persoalan tersebut dapat terselesaikan
dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Di abad ketujuh hijriyah dalam dunia Islam muncul sebuah tarekat yang
yang sangat aktif, tarekat tersebut bernama tarekat syadziliyah dimana tarekat
tersebut sangat berkembang di wilayah mesir dan negara-negara dunia islam
belahan timur dan terus menyebar ke berbagai kawasan-kawasan islam
sampai saat ini.7 Dan tarekat syadziliyah tersebut adalah salah satu tarekat
yang sangat diakui kebenarannya (al-mu’tabarah).
Tarekat Syadziliyah dinisbatkan kepada Abu Hasan Al-Syadzili (w. 656
H/ 1258) sebagai pendirinya, Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh
jalur tasawuf yang pada prakteknya tetap memegang teguh syariat, artinya
selalu berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Pelurusan dan penyucian jiwa
(tazkiyahal-nafs) dan pembinaan moral (akhlaq). Dari tarekat Syadziliyah
6Syekh Nawawi Ibn Umar Al-jawi, Nasho-ihul ‘ibad (Nasehat Bagi Sang Hamba), (Surabaya: Gita Media Press, 2008), hlm. 54 7Abu al-Wafa al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman. Penerjemah Ahmad Rofi’ ‘Utsmani (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 238 8
banyak orang yang menilai bahwa tarekat tersebut bersifat modern dan
moderat.8 Tarekat Syadizili mengajarkan kepada pengikutnya untuk tidak
menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan. Sebab dunia adalah tempat
manusia hidup dan berkembang. Namun meski demikian tarekat ini juga
memperingatkan supaya jangan sampai terjerumus dan bergantung kepada
dunia.
Sebab itu penulis sangat tertarik terhadap dzikir tarekat Syadziliyah
karena banyaknya penganut atau pengikut dari tarekat Syadziliyah tersebut.
Maka sebab itu juga penulis beranggapan sangat penting membahas tentang
“Konsep Pendekatan Diri Kepada Allah dalam Tarekat Syadziliyah”,
dikarenakan arus zaman yang semakin modernini, di mana ulama menyatakan
bahwa semakin jauh zaman maka semakin lemah iman manusia dan sekarang
sudah memasuki zaman tersebut.9
B. RUMUSAN MASALAH
Guna menghindari kesalahpahaman dan untuk mencapai kesamaan
persepsi dalam masalah yang hendak penulis bahas pada skripsi ini, maka
penulis merasa perlu untuk memberikan suatu batasan dan rumusan terhadap
masalah yang akan dikaji. Pembahasan tentang dzikir, dalam tulisan ini
pembahasannya akan dibatasi pada lingkup kegiatan tarekat Syadzilih.
Dalam tulisan ini, penulis merumuskan beberapa masalah, yaitu:
1. Apa motivasi mengamalkan dzikir Tarekat Syadziliyah?
8Sri dan Wiwi, Laporan Penelitian Kolektif: Tasawwuf Pasca Ibn Arabi (Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN, 2006), hlm. 22 9Amir Faishol Fath, Benteng Diri, (Jakarta; fath institute, 2015), hlm.10 9
2. Bagaimana pengaruh dzikir terhadap pengamal dzikir Tarekat
Syadziliyah?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran sebanyak
mungkin tentang kegiatan, latar belakang, serta penghayatan dalam
mengamalkan amalan tarekat syadziliyah tentang dzikir.
Penelitian ini diharapkan memiliki nilai manfaat akademis maupun
praktisnya. Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini adalah:
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui urgensi dzikir sebagai media spiritual untuk
ketenangan jiwa menurut tarekat syadziliyah.
b. Untuk mengetahui bentuk atau kegiatan dzikir.
2. Kegunaan Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini mampu memberikan khazanah ilmu
pengetahuan baru, khususnya terkait konsep pendekatan diri
kepada Allah menurut tarekat Syadziliyah.
Secara umum diharapkan penelitan ini dapat menjadi rujukan
penelitian di bidang study agama, khususnya filsafat di
perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah yang masih sedikit akan
literatur penelitian tentang dzikir.
b. Manfaat Praktis 10
Dari hasil penelitian karya ilmiah ini diharapkan dapat
menambah wacana sekaligus pengetahuan bagi para pembaca,
khususnya bagi peneliti dalam mengkaji dan memahami dzikir
menurut tarekat Syadziliyah sekaligus masukan bagi praktisi
filsafat agama dalam mentranformasi nilai-nilai agama pada
masyarakat melalui dzikir.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjaun pustaka merupakan diskripsi singkat dari penelitian sebelumnya
tentang masalah yang memiliki keterkaitan dengan yang akan diteliti
sekaligus untuk menunjukan letak perbedaan masalah yang akan diteliti. Dari
beberapa literatur, baik buku, skripsi atau jurnal yang mengkaji tentang
masalah dzikir menurut tarekat Syadziliyah tidak begitu banyak ditemukan,
selama penelusuran ada beberapa peneliti terdahulu yang melakukan
pengkajian tentang dzikir menurut tarekat Syadziliyah di antaranya;
Skripsi saudara Imron Rosyadi dengan judul “Tarekat dan Ketenangan
Jiwa: Studi Kualitatif Tentang Kontribusi Dzikir dalam Menenangkan Jiwa
Penganut Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren
Darul Hikmah SAWahan Mojosari Mojokerto” Skripsi ini menguraikan
bentuk dan ajaran tarekat Qodiriyah wan Naqsyabandiyah yang dianut oleh
jamaah di lingkungan Pondok Pesantren Darul Hikmah SAWahan Mojosari
Mojokerto Jawa Timur, di mana dalam skripsi ini saudara Imron Rosyadi
memposisikan dzikir sebagai kontribusi penting bagi jamah penganut tarekat
Qadiriyah wan Naqsyabanduyah, dan tarekat tersebut memberikan 11
ketenangan bagi jiwa pengikutnya. Skripsi ini mengaitkan antara dzikir dengan ketengan jiwa para jamaahnya.
Skripsi saudara Tarwalis dengan judul “Dampak Dzikir Terhadap
Ketenangan Jiwa (Studi Kasus di Gampong Baet Kecamatan Baitussalam
Kabupaten Aceh Besar)” skripsi menguraikan dampaknya yang terlihat ketika selesai melakukan dzikir, saudara Tarwalis dalam skripsinya menyimpulan bahwa ketika melakukan dzikir seeorang dapat menimbulkan rasa ketenangan di dalam jiwa, menghilangkan stres, meringankan bedan, lebih tawaduk rendah hati, memperbaiki akhlak, sehingga apabila ada musibah atau ujian yang datang dari Allah maka akan timbul kesabaran dan selalu berserah diri kepada Allah SWT. Sedangkan dalam menyelesaikan kendala-kendala bagi yang tidak khusuk dengan tindakan mengamalkan dzikir adalah dengan mengkondusifkan keadaan sekitar, berupa kendaran yang bermesin.
Selanjutnya skripsi saudari E. Ova Siti Sofwatul Ummah dengan judul
“Pengaruh Pengamalan Tarekat Syadziliyah terhadap Kesalehan Spiritual
Santri Pesantren Cidahu Pandeglang Banten”, skripsi ini membahas mengenai Tarekat Syadziliyah di Kabupaten Pandeglang, yang disebarkan dan dikembangkan Oleh Abuya Dimyathi, berlokasi di Kampung Cidahu,
Desa Tanagara, Kecamatan Cadasari, Pandeglang Banten adalah salah satu tarekat terbesar yang berkembang di Kabupaten Pandeglang. Amalan Tarekat
Syadziliyah yang diajarkan oleh Abuya Dimyathi di antaranya meliputi pengamalan lafadz istighfar, shalawat ummi, kalimah tauhid sebanyak 100 12
kali, do’a, dan wasilah atau rabithah. Wirid tarekat Syadziliyah tersebut diamalkan setiap ba’da shalat subuh dan magrib. Adapun pengaruh pengamalan tarekat Syadziliyah terhadap kesalehan spiritual santri pesantren
Cidahu di antaranya adalah memberikan dampak positif terhadap peningkatan ibadah shalat wajib lima waktu dan sunnah, meningkatkan ketaqwaan kepada
Allah SWT. memberikan ketenangan hati dan memberikan pengaruh agar senantiasa berserah diri kepada Allah SWT baik dalam keadaan sedang mendapatkan nikmat yang banyak ataupun nikmat yang sedikit.
Selanjutnya buku 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf yang ditulis oleh KH
A. Aziz Masyhuri. Buku tersebut mengulas tentang kemunculan tarekat yang terus menerus mengalami perkembangan dan penyebarluasan ke berbagai negeri, sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya aliran-aliran di dalam tarekat. Dinamika aliran-aliran tarekat itulah yang diamati oleh penulis sampai ia kemudian mengumpulkan serpihan historiografi, tradisi, ciri khas, ajaran sampai keistimewaan di dalam tarekat-tarekat.
Buku Ensiklopedi Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, dalam buku tersebut terdapat berbagai aspek esoteris maupun eksoteris aliran tarekat yang sudah masyhur, yakni aliran tarekat: Alawiyah, Ahmadiyah Badawiyah, Aidrusiyah,
Christiyah, Dasuqiyah, Ghazaliyah, Haddadiyah, Idrisiyah, Khalwatiyah,
Malamatiyah, Maulawiyah, Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Haqqaniyah,
Qadiriyah, Qadariyah Wa Naqsyabandiyah, Rifa’iyah, Sammaniyah,
Sanusiyah, Suhrawardiyah, Syadziliyah, Syattariyah, sampai Tijaniyah. 13
Dari kajian pra penelitian di atas yang lebih dulu mengkaji dzikir tarekat
Syadziliyah, ada banyak pembahas dzikir dari sudat pandang spritual dan
bersifat sosial kultural. Di sini masih sedikit yang mengkaji dzikir dari
kacamata geografis atau aliran yang dianut oleh satu kelompok tertentu,
kemudian peneliti menitik beratkan pembahasan pada konsep pendekatan diri
kepada Allah dalam tarekat Syadziliyah. Unsur-unsur yang ada di dalam
dzikir semuanya tidak bisa lepas dari suatu keyakinan masyarakat tentang
munculnya kepercayaan yang gaib (magis), sebagai tradisi Islam. Konteksnya
saat ini, dzikir yang ada di Indonesia sudah mengalami perkembangan atau
pandangan-pandangan tersendiri dalam melantunkan dzikir bersama.
E. KERANGKA TEORI
Dalam melakukan penelitian kerangka teori merupakan pisau analisis
masalah guna menguji fakta-fakta yang diperoleh serta menguraikan
persoalan secara utuh untuk menjawab masalah-masalah yang timbul.10 Teori
ini digunakan untuk menganlisis, memahami dan mengkaji persoalan konsep
pendekatan diri kepada Allah dalam tarekat Syadziliyah.
Seiring dengan fokus penelitian yang diuraikan pada latar belakang
masalah yang dispesifikan dalam rumusan masalah, maka penelitian ini akan
menggunakan beberapa teori sebagai berikut:
Dzikir ditinjau dari segi bahasa (lughatan) adalah mengingat, sedangkan
dzikir secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian
10Kuncoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarkat, (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 2005), hlm. 68 14
kepada Allah.11 Secara etimologi dzikir berasal dari kata “zakara” berarti
menyebut, mensucikan, menggabungkan, menjaga, mengerti, mempelajari,
memberi dan nasehat. Oleh karena itu dzikir berarti mensucikan dan
mengagungkan, juga dapat diartikan menyebut dan mengucapkan nama Allah
atau menjaga dalam ingatan.12 Dzikir merupakan elemen yang sangat esensial
dalam kehidupan penganut tarekat, bahkan seringkali ketenangan dan
kebahagiaan seseorang sangat ditentukan oleh amalan-amalan dzikirnya
dalam setiap waktu. Dzikir sangat erat kaitannya dengan ilmu tasawuf.
Tasawuf adalah tujuan utama untuk menjadi seorang sufi, dengan begitu sufi
menempuh jalan melalui dzikir untuk mencapai taraf yang lebih tinggi.
Artinya kebersatuan antara dirinya dengan Allah yang menciptakan tarekat
atau dzikir adalah salah satu jalan yang dijalani oleh seseorang.
Mengenai kebersatuan antara dirinya dan Allah Ibn Arabi menyebutkan,
bahwa wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah
hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut
khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan
antara ‘abid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Antara yang
menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanyalah pada
bentuk dan ragam dari hakikat yang satu.
Kebersatuan Tuhan dengan dirinya adalah upaya untuk menenangkan,
keberpasrahan ini bisa dilalui dengan dzikir sebagai medianya. Melihat dari
11 Ismail Nawawi, Risalah Pembersih Jiwa: Terapi Prilaku Lahir & Batin Dalam Perspektif Tasawuf, (Surabaya: Karya Agung Surabaya, 2008), hlm. 244 12 Hazri Adlany, et al, al-Qur’an Terjemah Indonesia (Jakarta: Sari Agung, 2002), hlm. 470 15
perbedaan antara tarekat dan tasawuf, dari penjelasan di atas maka tasawuf adalah usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan dzikir adalah cara dan jalan yang ditempuh dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah.
Ibn Arabi adalah seorang tokoh sufi dan filsafat agama yang produktif yang berhasil merekonstruksikan pendekatan tasawuf dengan filsafat dalam mengkaji masalah wujud yang kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan yang utuh dalam ajaran wahdatul wujud. Ajaran ini cukup menggemparkan dunia tasawuf sehingga kepadanya diberikan gelar Syekh al Akbar. Uraian pemikirannya sistematis, luas dan mendalam tentang tasawuf. Di mana hal tersebut belum didapati pada sufi sebelum bahkan sesudahnya. Ajaran wahdatul al wujud dalam tasawuf Ibnu Arabi merupakan suatu ajaran yang melihat masalah wujud dalam hal ini Tuhan, alam dan manusia sebagai suatu kesatuan. Namun berada pada dimensinya masing-masing, dan Tuhan meliputi segala yang ada. Sehingga yang ada bersifat nisbi; merupakan ada yang diadakan tidak lain dari yang mengadakannya. Sebab apa yang ada merupakan penampakan bagi diri-Nya, dan segala yang ada bersumber dari-
Nya serta Dia pulalah yang menjadi esensinya. Namun itu tidak berarti yang diadakan dan yang terbatas menjadi Yang Tak Terbatas. Tidak berarti alam semesta dan manusia menjelma menjadi Tuhan dan Tuhan menjadi manusia.
Antara Tuhan, alam semesta dan manusia sekalipun dikatakan berbeda dalam satu keberadaan atau wahdatu al wujud namun alam semesta dan manusia nisbi dan terbatas. Keberadaannya bergantung pada Yang Tak Terbatas. 16
Sedang Tuhan yang tidak terbatas ada di luar relasi, bukan yang ada dalam
pengertian dan perasaan.
Tuhan adalah independen atau mandiri dari semua makhluk-Nya. Ada-
Nya bukan dari luar diri-Nya dan bukan pula karena selain diri-Nya. Akan
tetapi ada karena diri-Nya dan oleh diri-Nya sendiri. Ia meliputi semua yang
diciptakan-Nya. Hubungan dengan segala yang diciptakan-Nya. Dia
membutuhkan mereka dalam kaitannya dengan keTuhanan-Nya. Sebab tanpa
makhluk ciptaan-Nya Dia tidak dikenal sebagai Tuhan; yaitu objek pujaan
(ilah) sampai maluh (komplemen logis dari ilah) diketahui. Maka Ibnu Arabi
melihat realitas alam dan manusia tidak lain dari itajalli ilahi sekaligus
sebagai cermin untuk melihat diri-Nya yang Maha Sempurna. Demikian pula
sebagai pengenalan akan keberadaan-Nya. Hal yang demikian ini pulalah
yang menjadi tujuan dari penciptaan-Nya.
Sedangkan di dalam al-Quran menurut M. Quraish Shihab mengenai
dzikir, bahwa kata dzikir dalam berbagai bentuknya ditemukan dalam al-
quran tidak kurang dari 280 kali.13 Dalam teori Shihab berkesimpulan bahwa
kehidupan manusia betapapun mewahnya tidak akan menyenangkan jika
tidak dibarengi dengan ketenteraman hati, sedang ketenteraman hati baru
didapat dan dirasakan bila mansuia yakin dan percaya bahwa ada sumber
yang tidak terkalahkan yang selalu berdampingan dan memenuhi harapan.
13 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran tentang Dzikir dan Doa, cet. Ke-1 (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 11 17
Yang berdzikir merenung dan mengingat Allah. Selalu akan merasa ramai
walau sendirian, kaya walau hampa tangan, dan berani walau tanpa kawan.14
Selanjutnya M. Quraish Shihab mengutip pendapat imam Ghozali, beliau
menyebutkan ada empat puluh manfaat, dua puluh di dunia dan dua puluh di
akhirat. Di antara manfaat yang diraih oleh pendzikir di dunia antara lain
adalah dia akan disebut-sebut atau diingat, dipuji dan dicintai. Allah menjadi
wakilnya dalam menangani urusan dan Allah akan menjadi teman
menghiburnya.15
Ibnul Qoyyim al-Jauziyeh menjelaskan bahwa manfaat dzikir salah
satunya adalah dzikir akan menjaga lidah dari perkataan yang dilarang. Dzikir
dapat memalingkan lidah dari menggunjing, mengadu domba, berbohong,
berkata jorok dan kebatilan. Beliau juga menambahkan bahwa tidak ada
sesuatupun jalan selamat pun kecuali dengan dzikir kepada Allah. Realita dan
prakteknya telah membuktikannya, barang siapa lidahnya telah terbiasa dzikir
kepada Allah, maka ia akan terjaga dari perkataan yang batil dan sia-sia. Dan
barang siapa lidahnya kering dari mengingat Allah, maka akan basah dengan
segala kebatilan, perkataan sia-sia dan kejelekan.16
F. METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan instrument paling penting dalam
melakukan penelitian ilmiah untuk mendapatkan data-data tentang objek yang
14 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran tentang Dzikir dan Doa, cet. Ke-1, hlm. 128 15 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran tentang Dzikir dan Doa, cet. Ke-1, hlm. 132 16 Ibnul Qoyyim al-Jauziyeh, Fawaidu al-Adzkar (dzikir cahaya kehidupan), Cet. Ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press,2002), hlm. 50 18
diteliti, sekaligus sebagai penunjang untuk memperoleh data-data yang
konkrit sehingga sebuah penelitian dapat dipertanggung jawabkan
keilmiahannya. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan metode sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kajian pustaka (library research), yaitu
sebuah penelitian yang bersumber pada data-data dokumentasi, informasi
dari berbagai materi dan literatur, baik berupa buku, surat kabar, majalah,
ensiklopedi, catatan, serta karya- karya ilmiah yang berupa makalah atau
artikel-artikel yang relevan dengan obyek penelitian.17
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini mengunakan pendekatan filosofi dengan
memposisikan dzikir sebagai faktor determinan terhadap terbentuknya
ketenangan dan kepasrahan atas sang khalik, yang menjadi pemicu
lahirnya tarekat. Akan tetapi, peran filsafat di sini memposisikan diri
bukan hanya kepada tasawuf ibn Arabi dalam tarekat Syadziliyah yang
dikaji, melainkan memposisikan tasawuf dengan nilai-nilai yang dimiliki
sebagai faktor penting terciptanya tarekat syadziliyah. Pendekatan ini
sangat sesuai dengan penelitian tarekat sebagai aliran tasawuf yang
17 Mustika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm. 89. Lihat juga Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Rosda Karya, 2008), hlm, 10 19
memiliki kandungan ketenangan, kepasrahan, dan ketotalitasan kepada
sang khalik sebagai hasil dari tradisi Islam yang tetap dijaga
keberadaanya. Selain itu pendekatan filsafat Islam sesuai untuk melihat
unsur intrinsik agama, yaitu bagaimana tarekat terlibat dalam perubahan
sosio-kultur yang ada saat ini.
3. Sumber Data
Sumber data merupakan data yang diperoleh dari buku yang
terkait dengan konsep pendekatan diri kepada Allah dalam tarekat
Syadziliyah. Berhubung jenis penelitian ini adalah kajian pustaka
(library research), maka sumber data utama (primary research) dalam
penelitian ini adalah karya-karya Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh baik
dalam bentuk buku, kuliah di Internet, atau jurnal khususnya yang
membahas tentang tarekat Syadziliyah. Sementara sumber sekunder
(secodary research) dalam penelitian ini adalah karya-karya orang lain
yang relevan dengan tema penelitian ini.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data digunakan untuk menemukan arti
penting dalam sebuah fenomena keagamaan dalam bentuk fakta,
realitas kejadian, gejala ataupun masalah dapat tercapai dengan baik.18
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
18J.R. Raco.Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karekteristik dan Keunggulannya, (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm 172 20
adalah bersumber pada buku- buku, majalah, artikel, surat kabar, jurnal
serta catatan-catatan lainnya yang terkait dengan masalah yang di bahas
dalam penelitian ini.
5. Metode Analisis Data
Setelah melakukan pengumpulan data tahap selanjutnya adalah
menganalisis dan mengolah data. Hal ini dianggap penting karena data yang
diperoleh melalui buku-buku, majalah, artikel, surat kabar, jurnal serta
catatan-catatan lainnya yang terkait dengan masalah yang di bahas
merupakan data yang belum dikelola bersifat mentah dan belum layak untuk
disajikan. Sehingga perlu adanya pengelolahan data. Pengolahan atau
analisis terhadap data mentah membuat data memiliki makna dan dapat
memecahkan masalah penelitian.19
Metode diskriptif merupakan metode yang sesuai untuk menganalisis
penelitan ini. Metode diskriptif merupakan suatu analisis yang digunakan
untuk memahami fokus kajian yang sangat kompleks dengan melakukan
pemisahan melalui pengumpulan data. Pemisahan data bertujuan untuk
memudahkan peneliti dalam menganalisis data.20 Berikut analisis data yang
akan dilakukan: proses analisis data dimulai dengan menelaah data yang
diperoleh dari berbagai sumber.21 Selanjutnnya menyusun data dalam satuan
kategori data sesuai dengan tipe data kemudian melakukan reduksi data
19 M. Junaidi Ghony dan Fuzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 245 20Moh, Soehada, Metode Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), (Yogyakarta: Bidang Akademik, 2008), hlm. 115 21M. Junaidi Ghony dan Fuzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif, hlm. 246 21
secara keseluruhan dari data yang telah diperoleh. Setelah itu tahap analisis
dengan menggunakan teori filsafat Islam sebagai pisau analisis dalam
penelitian ini. Dalam penyajiannya penelitian menyajikan dalam bentuk
tulisan dengan menerangkan dengan apa adanya seperti yang diperoleh dari
penelitian dan mencoba disajikan dalam bentuk yang sistematis sehingga
mudah untuk dipahami oleh pembaca.
Agar hasil analisis ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah,
maka penulis menggunakan teknik analisa dengan prosedur sebagai berikut:
Pertama, penulis akan membaca dan menelaah secara seksama
karya- karya Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh terkhusus yang berkaitan
dengan gagasan tarekat Syadziliyah yang diusungnya. Kedua, penulis akan
memisahkan bahasan kedalam beberapa bagian dari keseluruhan fokus yang
dikaji. Ketiga, penulis akan melakukan analisis terhadap data tersebut secara
rinci. Keempat, pengajuan dalam bentuk laporan atau hasil yang diperoleh
dari hasil penelitian tersebut secara deskriptif.
G. SITEMATIKA PEMBAHASAN
Sistematika pembahasan dilakukan guna untuk mengarahkan
pembahasan-pembahasan dalam penulisan penelitian ini serta untuk
mempermudah dan memahami pembahasan isi hasil penelitian. Dalam
penyusunan penelitian ini peneliti membagi pembahasan dalam lima bab dan
beberapa sub bab untuk memperoleh gambaran yang sistematis. Adapun 22
sistematika pembahasan dalam bentuk bab dan sub bab adalah sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab penting yang merupakan akar dari penelitian yang berisi pendahuluan sebagai pengantar dalam proses penelitian secara keseluruhan. Adapun sub bab dari penelitian ini terdiri dari latar belakang masalah yang menguraikan masalah yang akan diteliti. Selanjutnya rumusan masalah yaitu pertanyaan tentang masalah yang akan dipecahkan oleh peneliti. Setelah itu diikuti dengan tujuan dan manfaat dari penelitian yang menguraikan untuk apa dan manfaat apa yang diperoleh. Dilanjutkan dengan sub bab tinjauan pustaka, yang berisi tentang berbagai tinjauan tulisan yang memiliki kaitan yang hampir sama yang dilakukan sebelum penelitian, untuk menjelaskan bahwasanya penelitian ini layak untuk diteliti dan belum pernah dibahas sebelumnya. Sub bab selanjutnya kerangka teori, berisi tentang teori yang digunakan untuk menganalisis masalah. Dilanjutkan dengan metode penelitian, yang berisi langkah-langkah sekaligus pautan dalam penelitian. Terakhir sub bab sistematika pembahasan, sub bab ini untuk mempermudah dalam melakukan penelitian.
Bab kedua berisi gambaran umum tentang subjek penelitian. Sub bab pertama merupakan gambaran umum dari letak geografis, sejarah dzikir
Tarekat Syadziliyah dari pendiri sampai ke Pondok Pesantren el-Istighosah
Bekasi, serta peran dan dzikirnya. Sub bab kedua berisi gambaran kondisi giografis, kultur dan agama serta apa dan bagaimana Tarekat Syadziliyah yang komposisinya dzikir sebagai kerja dari tasawuf untuk lebih 23
mendekatkan diri kepada Allah dan berharap mendapapatkan ridho-Nya.
Kemudian sub bab selanjutnya, penulis menyusun ajaran dan amalan tarekat syadziliyah. Sedangkan yang terakhir pada bab ini adalah dzikir daalm tareka syadziliyah sebagai media spiritual untuk ketenangan jiwa. Kedua sub bab di atas merupakan pengantar awal dan identifikasi masalah dalam menuju pembahasan tentang dzikir.
Bab ketiga, bab ke tiga berisi tentang konsep Qodariah dan naqsabandiah dalam pendekatan diri kepada Allah, adalah rincian dari tarekat yang berkembang di Indonesia. Dengan rincian pada sub pertama mengenai sejarah, tokoh dan ajaran qodariah. Kemudian sub selanjutnya di naqsabandiah yang menjelaskan mengenai sejarah, tokoh dan ajarannya.
Bab keempat berisi tentang konsep pendekatan diri kepada Allah dalam
Tarekat Syadziliyah. Secara rinci akan menjabarkan sub bab tentang metode pendekatan diri kepada Allah, dzikir yang berisi tentang unsur-unsur yang terkandung dalam tarekat Syadziliyah. Sub bab selanjutnya unsur kepasrahan dan mengamini keagungan Allah dalam dzikir, yang bisa diperinci dengan dzikir adalah tarekat yang mampu untuk menenangkan jiwa seseorang yang mengamalkan; tradisi tasawuf yang sudah sejak lama dilestarikan sampai sekarang; dan unsur-unsur yang membuat seseorang memasrahkan dirinya kepada Allah. Selanjutnya peneliti mendukung dengan argumen mengenai dzikir dalam mengkontruksi identitas dirinya dengan Tuhan, kebersatuan dan ketenangan. Bab ini menjelaskan bagaimana dzikir menjadi salah satu jalan yang paling mudah dilakukan oleh manusia untuk mengangumi keesaan 24
Allah. Dilanjutkan dengan sub bab nilai moral, dan makna dzikir dalam tradisi Islam. dan sub bab terakhir dzikir sebagai pemersatu antara dirinya dengan sang khalik.
Bab kelima merupakan bagian akhir yang berisi tentang kesimpulan dari rumusan masalah dan saran untuk para peneliti yang akan membahas tentang masalah yang berkaitan dengan penelitian ini. BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAREKAT SYADZILIYAH
A. Sejarah dan Kedudukan Tarekat
1. Sejarah Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah ini didirikan oleh Abu Hasan al Syadzili dan
dipergunakan untuk nama tarekatnya sendiri, yakni menjadi tarekat
Syadziliyah. Nama lengkap Syadzili adalah Ali bin Abdullah bin Abd Al
Jabbar Abu al Hasan al Syadzili, yang silsilah nama keluarganya berasal dari
keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib atau dengan kata lain adalah
keturunan Siti Fatimah anak perempuan Nabi Muhammad SAW. Ia sendiri
pernah menuliskan garis keturunannya menjadi Ali bin Abdullah bin Abd
Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.1
Beliau lahir di desa Amman, Afrika sekitar tahun 573 Hijriyah, di masa
mudanya ia sempat pergi ke Tunisia untuk belajar di sana dan sempat pergi ke
Mekkah untuk menunaikan haji beberapa kali. Di sana ia bertemu dengan
Syekh Abdul Qadir Al Jilani. Setelah itu ia bertolak ke Iran dan bertemu
dengan Abu Fatah al-Wasithi, seseorang yang pertama kali berteman dengan
as-Syadzili. Syadzili adalah murid dari Abd al Salam Ibn Masyisy. Sejak
kecil ia telah menunjukkan sifat-sifat saleh dan sufi. Ia memakai khirqah yang
dianugerahkan dari dua gurunya yang terbesar, yakni Abu Abdullah bin
1 Moh. Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya dari Abu Hafsh, Siraj al Din, Thaqahat al Auliya”, dalam Sri Mulyati et.al, Mengenal dan Memahai Tarekat- Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 57
25 26
Harazim dan Abdullah Abdussalam ibn Masjisy. Kedua guru tersebut
penganut dari khalifah Abu Bakar dan Khalifah Ali Bin Thalib.2
Abu Hasan al-Syadzili merupakan salah seorang sufi yang luar biasa,
seorang tokoh sufi terbesar, yang dipuja dan dipuji di antaranya oleh wali-
wali kebatinan dalam kitab-kitabnya, baik karena kepribadiannya maupun
dalam fikiran dan ajaran-ajaranya. Hampir tak ada kitab tasawuf yang tidak
menyebutkan namanya dan mempergunakan ucapan-ucapan yang penuh
dengan rahasia dan hikmah untuk menguatkan suatu uraian atau
pendiriannya.3
Syadzili ini juga membaca beberapa kitab di antaranya Ihya Ulumuddin-
nya Al Ghazali, Qut al Qulub Abu Thali, dan al Mawafiq wa al Mukhatabah
Muhammad Abd al abbar, kemudian ia tularkan ilmu tersebut kepada
muridnya. Dikatakan jika Syadzili menghafalkan Al-quran dan Hadis serta
pernah mempelajari ilmu-ilmu agama secara otodidak, dikatakan juga bahwa
Syadzili menjadi pejuang pembela tanah airnya, yakni keikutsertaannya
dalam pertempuran Mansyurah membela dari serangan Prancis.
Hingga pada tahun 646 H ia mengalami kebutaan, namun di tengah
keterbatasannya itu ia masih mampu mengajarkan ajarannya itu pada para
muridnya, beberapa di antara muridnya, yakni Izzal Din Abd al Salam ibn al
Hajib dan meninggal pada 656 H atau 1258 M di Humaithra ketika dalam
perjalanan pulang dari ibadah haji. Sebelum meninggal ia memiliki firasat
2Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian tentang Mistik), Cet.III, (Solo: CV. Ramadani, 1985), hlm. 306 3Aboebakar Atjeh, Tarekat dalam Tasawwuf, Cet.VI, (Kelantan: Pustaka Aman Press, 1993), hlm. 40 27
yang mana pada ibadah haji terakhirnya ia memerintahkan kepada
khadamnya untuk membawa bakul kecil yang dibuat dari daun kurma,
kemudian ketika sampai di Hamistra ia mandi dan sholat dua rakaat. Di saat
dalam sujudnya yang terakhir itulah Syadzili meninggal dunia.
Dijelaskan oleh Aboebakar Atjeh bahwa tarekat Syadziliyah ini
merupakan tarekat yang silsilahnya sambung sampai kepada Hasan bin Ali,
melalui Ali bin Abi Thalib dan sampai pada Nabi Muhammad SAW, dapat
dikatakan bahwa tarekat ini merupakan tarekat termudah mengenai ilmu dan
amal, ihwal dan maqam, ilham dan maqal, dapat menghantarkan penganutnya
kepada jazab, mujahadah, hidayah, asrar dan keramat.
Dijelaskan oleh kitab-kitbnya tarekat Syadziliyah bahwa tarekat ini tidak
memberi syarat yang sulit pada syaikh tarekat, hanya saja seorang syaikh
tersebut harus meninggalkan segala maksiat, memelihara ibadah yang
diwajibkan, melakukan ibadah-ibadah sunnah semampunya, dzikir kepada
Allah sebanyak 1000x atau lebih sehari semalam, istighfar 100x, shalawat
kepada Nabi 100x atau lebih sehari semalam, serta dzikir yang lain.4
2. Perkembangan Tarekat Syadziliyah
Victor Danner mengatakan bahwa perkembangan tarekat ini bermula di
kota Tunisia yang pada saat itu ada di bawah pimpinan dinasti Hafsiyah
dengan rajanya Zakariya, lalu disebarkan ke daerah timur yaitu di kota Mesir
di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk dan berkembang di sana. Pada abad 10
4 Aboebakar Atjeh Pengantar Ilmu, hlm. 308 28
H atau 16 M, banyak tokoh Maghribi yang mulai bergabung dengan tarekat ini seperti, Ali al Sanhaji dan muridnya Abd al Rahman al Majdhub. Ada juga sejumlah intelek dan ulama terkenal seperti Jalal al Din al Syuyuti.
Setelah meninggalnya al Syadzili, kepemimpinan diambil alih oleh muridnya Abu Abbas Al Mursi. Kepemimpinan diambil oleh al Mursi karena merupakan wasiat dari sang guru. Al Mursyi mempunyai nama lengkap
Ahmad ibn Umar bin Ali al Ansari al Mursi, lahir di Murcia, Spanyol pada
616 H atau pada tahun 1219 M dan meninggal pada tahun 686 H atau 1287 M di Alexandria. Bukan hanya ilmu yang telah diwarisinya dari al Syadzili namun juga perilaku yang suka menolong tanpa pandang status atau derajat manusia juga telah melekat pada dirinya.
Sedikit berbeda dengan gurunya yang menerima untuk berhubungan dengan para pejabat dengan maksud tertentu, namun al Mursi tidak demikian.
Ia menolak keterlibatan dirinya dengan para pejabat tinggi dan menolak apapun yang ditawarkan kepadanya. Al Mursi mempunyai beberapa murid, di antaranya adalah seorang penyair dari Berber yang bernama al Busyiri, syairnya yang terkenal adalah al Burdah (syair jubah). Muridnya yang lain yaitu Hamziyyah dan syaikh Najm al Din al Isfahani yang berasal dari Persia.
Syaikh Najm al Din al Isfahani ini menetap lama di Makkah untuk menyebarkan tarekat Syadziliyah kepada para haji. Syaikh Najm al Din al
Isfahani juga mempunyai murid yang bernama al Yafi’i.
Al Yafi’i adalah seorang tokoh tarekat Syadziliyah yang berhasil mengadakan hubungan antara terakat Syadziliyah dengan tarekat Ni’matullah 29
yang beraliran syi’ah. Murid al Mursi yang lain adalah syaikh Ibn Athaillah al
Sakandari. Ibn Athaillah merupakan guru ketiga pada silsilah tarekat ini. Di sinilah ajaran-ajaran, pesan, doa dan berbagai aturan dalam tarekat
Syadziliyah untuk yang pertama kalinya ditulis oleh Ibn Athaillah.
Di antara karya-karya Ibn Athaillah adalah sebagai berikut: Kitab Al
Hikam, sebuah rangkuman yang berisi tentang jalan sufi dalam elemennya yang abadi; Al Tanwir fi Isqath al Tabdir, berisi tentang penjelasan sebuah kesalahan yang dapat ditemukan dalam sebuah tindakan pilihan bebas yang egosentris; Lathaif al Minan, berisi tentang biografi dua guru pertama dalam tarekat Syadziliyah; al Qasd al Mujarrad fi Ma’rifat al Ism al Mufrad, berisi tentang diskusi metafisikal dan spiritual yang amat baik dan nama-nama
Allah dan nama-nama lain; Miftah al Falah wa Misbah al Arwah, sebuah kompendium tentang dzikir dalam pengertian luas, dan masih banyak lagi karya-karya lainnya. Semua karya-karya yang ditulisnya adalah sebuah karya yang berisi tentang ajaran-ajaran yang diperoleh dari gurunya al Mursi.5
Namun pada hakikatnya seluruh karya yang ditulisnya merupakan ajaran syaikh al Syadzili.
Dalam tasawuf tidak serta merta hanya menekankan ajaran tasawufnya, namun juga harus berpegang pada syari’at Islam. Begitupun dalam tarekat
Syadziliyah ini, selain menekankan pada ajaran dan praktik tasawufnya juga menekankan aqidah dan hukum Islam. Al Syadzili sebagai pendiri tarekat ini sangat menganjurkan para pengikutnya untuk matang dalam pengetahuan
5 Ardani, “Tarekat Syadziliyah”, dalam Sri Mulyati et.al, Mengenal, hlm. 66-70 30
agamanya. Tasawuf tarekat ini bermazhab sunni, sedangkan dalam hal ilmu
kalam bermazhab Asy’ari yang sudah banyak dipengaruhi oleh imam Al
Ghozali. Meskipun anggota tarekat Syadziliyah menganut dogma Asy’ariyah,
lantas tidak membawa ke-tasawufannya dalam dogma-dogma Asy’ariyah.
Dalam hal fiqh atau hukum Islam tarekat Syaziliyah bermazhab Malikiyah
karena daerah Maghribi banyak dipengaruhi oleh mazhab Malikiyah, juga
pada penyebarannya di Alexandria, Mesir yang juga mayoritas bermazhab
Malikiyah.
Dalam penyebarannya, menurut Annemarie Schimmel, tarekat
Syadziliyah memakai perndekatan secara pragmatis yang bertujuan untuk
kenyamanan duniawi. Seorang sufi tidak harus miskin harta, menjauhi
keramaian, tidak bersosialisasi atau hal keduniawian lainnya, namun
seharusnya dengan dunia tersebut dapat menjadikan kencintaan kepada Allah
SWT, dengan mengamalkan ajaran tarekat ini pada masyarakat di tengah
kesibukannya.6 Ia juga menjelaskan tarekat ini dalam buku Perngantar
Sejarah Sufi dan Tasawuf Aboebakar Atjeh tentang kemudahan ajaran dalam
tarekat Syadziliyah ini, seperti melakukan ibadah sunnah semampunya, dzikir
sebanyak 1000 kali sehari semalam, membaca istighfar dan sholawat Nabi.7
masing-masing dibaca sebanyak 100 kali setelah melaksanakan shalat
maghrib dan subuh. Jika tidak bisa dilakukan sesuai ketentuan maka bisa
diganti pada waktu lain atau bisa dilakukan sambil mengerjakan kegiatan
6 Annemarrie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, (Pustaka Firdaus, Jakarta 2009), hlm. 128 7 Sa’adatul Jannah, Tarekat Syadziliyah dan Hizbnya, (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 36-37 31
lainnya, seperti berjalan atau bekerja. Sehingga dengan kesederhanaanya ini dapat menarik banyak pengikut dari berbagai kalangan dan berkembang secara luas hingga sat ini.
Selanjutnya pada abad ke-8 H mulai ada kemunculan cabang-cabang pada tarekat ini. Banyak faktor yang melatarbelakangi berdirinya cabang- cabang pada tarekat Syadziliyah, salah satunya adalah tuntutan lingkungan sosial. Victor Danner mengutarakan beberapa faktor tersebut. Seperti tarekat
Jazuliyyah yang didirikan oleh al Jazuli, ia merupakan seorang imam yang terkenal dan wali dari Marrakesh. Muncul dengan ajarannya yang mengedepankan ketaatan yang kuat pada Nabi. Ajaran ini dimunculkan dengan tujuan membangkitkan kembali rasa spiritual di Marrakesh. Pada saat itu Marrakesh sangat membutuhkan sosok spiritual yang dapat membangkitkan semangat spiritual pada diri juga sebagai tauladan mereka.
Menurut Al Jazuli sosok tersebut adalah Nabi SAW. Kemudian cabang lainnya adalah tarekat Zaruqqiyah didirikan oleh syaikh Ahmad Zarruq.
Tarekat ini lebih menekankan pada syariat sebagai syarat utama yang wajib ditempuh oleh murid untuk mencapai tingkat makrifat. Ahmad Zarruq sangatlah berhati-hati dalam menjalankan syari’at.
Selain dua cabang di atas ada beberapa cabang lagi dalam tarekat
Syazdiliyah, seperti Hanafiyyah, Nashiriyah, Isawiyyah, Tihamiyyah,
Darqawiyyah dan lain sebagainya.8 Seperti yang dijelaskan di atas bahwa berdirinya tarekat-tarekat di atas dilatarbelakangi oleh kondisi lingkungannya
8 Ardani, “Tarekat Syadziliyah”, dalam Sri Mulyati et.al, Mengenal, hlm. 71-72 32
yang pada saat itu mengalami krisis ekonomi dan politik. Karena tujuan
berdirinya tarekat ini adalah untuk memajukan ilmu pengetahuan, peradaban,
dan perekonomian wilayah tersebut, maka tarekat ini sangat mudah diterima
oleh masyarakatnya.
Setelah ajaran ini diteruskan oleh Abu Abbas Al Mursi, kemudian
diteruskan lagi oleh Ibn Atho‘illah al Sakandari, kemudian Ibn Abbas al
Ronda lalu pada abad ke 9 H, dilanjutkan oleh Sayid Abi Abdullah
Muhammad ibn Sulaiman al Jazuli. Mereka dipandang sebagai pemimpin-
pemimpin tarekat Syadziliyah yang sangat berpengaruh dalam penyebarannya
di beberapa wilayah seperti, Tunisia, Mesir, Aljazair, Maroko, Sudan, Syiria,
dan Indonesia khususnya di pulau Jawa.9
3. Tarekat Syadziliyah di Indonesia
Dalam beberapa buku sejarah dituliskan sejarah Islam Indonesia pada
abad ke-17 yang menceritakan tentang salah satu Wali Sanga yaitu Sunan
Gunung Jati yang pergi ke Makkah untuk berguru kepada Najmuddin al
Kubra dan selanjutnya berguru kepada Ibn Athaillah al Iskandari al Syadzili
di Madinah dan dibaiat langsung oleh Ibn Athaillah menjadi penganut tarekat
Syadziliyah, Sattariyah, dan Naqsabandiyah.10
9 Ardani, “Tarekat Syadziliyah”, dalam Sri Mulyati et.al, Mengenal, hlm. 72-76 10 Dalam buku Sejarah Banten Rante-Rante (SBR) dan Hikayat Hasanuddin, terj bahasa Melayu yang disusun pada abad ke-17 M atau awal abad 18 M yang berisi sejumlah cerita yang berbeda-beda, salah satunya menceritakan tentang Sunan Gunung Jati yang dikatakan belajar berbagai ilmu di Makkah. Buku ini diterjemahkan oleh Edel: Brandes/Rinkes. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Isam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999) cet III, hlm. 223-224 33
Dalam sumber yang lain menyatakan bahwa tarekat Syattariyah dan
Naqsabandiyah telah tersebar selama abad ke-17 melalui Madinah, dan memungkinkan jika tarekat Syadziliah juga menyebar pada masa yang sama.
Ibn Athaillah pada saat abad ke-13 menjadi orang terkemuka di Mesir bukan di kota Madinah pada abad ke-16.11 Sedikit rancu jika dikatakan Sunan
Gunung Jati telah bertemu langsung dengan kedua Syaikh tersebut. Karena dikatakan bahwa kedua Syaikh tersebut telah berbeda abad dengan abad
Sunan Gunung Jati. Di sisi lain telah dikatakan dalam Serat Banten Rante-
Rante, bahwa Kesultanan Cirebon yang dipercaya membawa tariqah
Kubrawiyah dan Syadiliyah ke tanah Jawa pada abad ke 16 dan 17.
Dengan masuknya tarekat Syadziliyah ke Indonesia maka terjadi pula penyesuaian mazhab yang dianut oleh orang Indonesia dengan tarekat
Syadziyah yang berasal dari Maghribi. Seperti yang kita tahu bahwa tarekat
Syadzilyah awalnya banyak yang bermazhab Malikiyah sebelum masuk ke
Indonesia, namun setelah masuk ke Indonesia tarekat ini menyesuaikan dengan aspek-aspek yang dianut di Indonesia, yaitu menjadi tarekat
Syadziliyah yang bermazhab Syafi’iyah. Dalam pembahasan tipologi mazhab fikih penganut tarekat dalam ringkasan desertasi milik Zaenu Zuhdi dijelaskan bahwa ada beberapa tarekat di Jombang yang umumnya dalam melaksanakan ibadah yang diperintah langsung oleh Allah masih didominai oleh mazhab Syafi‟i. Namun dalam kasus-kasus tertentu seorang penganut tarekat akan lebih mengikuti pendapat mursyidnya sekalipun pendapat
11 Bruinessen, Kitab Kuning, hlm. 224 34
tersebut dapat dikatakan diluar dari mazhab Syafi’i. Juga terdapat beberapa
penganut yang mengikuti mazhab selain dari mazhab Syafi’i seperti tiga
mazhab Sunni lainnya yaitu mazhab Maliki, Hambali dan Hanafi. Seorang
pelaku tarekat yang mengambil beberapa pendapat seperti penjelasan di atas
diistilahkan sebagai elektisme bermazhab.12
Beberapa tarekat Syadziliyah yang berkembang di Pondok Pesantren di
Jawa juga mengalami perkembangan yang cukup pesat, di antara seperti
tarekat Syadziliyah yang berada di Kabupaten Bekasi yang mengalami
perkembangan yang sangat pesat sejak periode KH. Mahfudz Syafi’I hingga
sekarang. Konsep yang mudah dipahami dan sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan dapat menjadi ketertarikan tersendiri bagi para pengikutnya.
Kemudian tarekat Syadziliyah yang ada di Pondok Pesantren PETA
Tulungagung dalam perkembagan dan ajarannya mendapat respon yang yang
baik dari masyarakat dan dapat diperkirakan pengikutnya mencapai 50.000
orang. Tarekat Syadziliyah di Pondok Pesantren PETA Tulungagung ini
berasal dari Pondok Pesantren Termas Pacitan yang dibawa oleh Syaikh
Abdul Razzaq ibn al Termasi. Setelah itu muncullah beberapa tarekat
Syadziliyah di Jombang. Ada beberapa ajaran tarekat yang harus diamalkan
12 Elektisme bermadzhab penganut tarekat terjadi ketika para mursyid tarekat memberikan fatwa yang berlainan dengan pendapat madhab Syafi’i dan seorang penganut tarekat lebih memilih mengikuti fatwa dari mursyidnya, atau seorang penganut tarekat lebih memilih mengikuti pendapat dari tiga madhab. Namun jika seorang mursyid tidak mengeluarkan fatwa maka seorang penganut tarekat akan tetap berafiliasi pada madhab Syafi’i. Penjelasan dalam Zaenu Zuhdi, “Ibadah Penganut Tarekat (Studi tentang Afiliasi Madzhab Fikih Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Shiddiqiyyah, dan Syadziliyah di Jombang)”, (Disertasi IAIN Sunan Ampel, 2013), hlm. 61 35
seperti istighfar, shalawat Nabi, wasilah atau tawassul, rabithah, wirid, hizb
adab murid dan suluk.13
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zaenu Zuhdi tarekat Syadziliyah
yang ada di Jombang memiliki dua kelompok dengan silsilah yang berbeda.
Kelompok pertama berada di desa Tambakberas yang dipimpin oleh KH.
Jamaludin dengan jalur silsilah dari KH. Abdul Jalil Tulungagung (Pondok
Pesantren PETA) yang sampai pada Ahmad Nahrawi al Makki. Kelompok
lainnya berada di desa Bulurejo Kecamatan Diwek yang dipimpin oleh KH.
Muhammad Qoyim dengan jalur silsilah dari KH. Mas’ud Thoha Magelang
yang sampai pada Ahamad Nahrawi al-Makki.
Masyarakat islam memiliki warisan kultur dari ulama sebelumnya yang
dapat digunakan sebagai pegangan, yakni doktrin tasawuf, yang merupakan
aspek kultural yang ikut membidani lahirnya tarekat-tareka pada masa itu.
Dan yang paling utama adalah kepedulian ulama sufi. Kelompok-kelompok
sufi tersebut memberikan pengayoman masyarakat islam yang sedang
mengalami krisis moral yang hebat. Dengan dibukanya ajaran-ajaran tasawuf
kepada orang awam, secara praktis lebih berfungsi sebagai psikoterapi yang
bersifat massal. Dengan begitu masyarakat menyambutnya dengan antusias
dan dengan bersama-sama masyarakat menghadiri majelis-majelis taklim para
sufi, yang lama kelamaan berkembnag menjadi suatu kelompok tersendiri
(esklusif) yang disebut dengan istilah tarekat. Di antara sufi yang
13 Muhammad Juni, “Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah di Kabupaten Bekasi”, (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), hlm. 33 36
memberikan pengayoman kepada masyarakat umum untuk mengamalkan
tasawuf kecara praktis (tasawuf amali) adalah Abu Muhammad al Ghazali.14
Tarekat-tarekat yang berkembang di Kabupaten Bekasi antara lain adalah
tarekat Syadziliyah, Qodariah, Naqsabandiyah, Satoriyah, Rifaiyah, Tijaniyah
dan Salmaniyah. Sejak tahun 2005 di Kabupaten Bekasi ada jamiah ahli
thoriqoh Muktabarah Indonesia yang ketua umumnya adalah KH. Maktub
Efendi, maka di Bekasi dijadikan sebagai pusat Jamiah se-Jawa Barat.
Sementara untuk ketua umumnya, khusus daerah di Bekasi adalah KH. Munir
Abbas Bukhori. Peresmian jamiah ahli tarekat Muktabaroh Indonesia pada
tanggal 27 Mei 2005 atau 18 Rabius Tsani 1425 H yang bertempat di masjid
Rahmatullilalamin Ma’had Azzaitun Andramayu Jawa Barat.
Tarekat-tarekat yang berkembang di Bekasi ada dua tarekat yang lebih
dikenal oleh khalayak umum dan lebih unggul dari pada tarekat-tarekat yang
lainnya, yakni tarekat Syadziliyah dan tarekat Qodariah. Adapun tarekat
Syadziliyah yang berkembang di Bekasi yaitu tarekat yang datang dari
daerah-daerah lain di Indonesia, seperti Tulungagung Jawa Timur yang
dikembangkan oleh KH. Mahfudz Syafi’i dan Watucongol Magelang yang
dikembangkan oleh Kyai Dalhar. Di sini pelopornya Bambang Irawan.
14Abu hamid Muhammad al-Gazali, Ihya Ulum al Din, Jilid III (kairo Mustofa al-Bab al- Halabi, 1333 H), hlm. 16-20 37
B. Kondisi Sosio-Kultur dan Keagamaan
1. Kondisi Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama
Berdasarkan peraturan menteri dalam negeri nomor 13 tahun 2016, maka
kebijakan kabupaten Bekasi lima tahun ke depan dikelompokkan menjadi tiga
kelompok arahan kebijakan, yakni arah kebijakan umum yang berkaitan
dengan peran setiap SKPD dalam melaksanakan program pembangunan, arah
kebijakan umum yang berkaitan dengan urusan pilihan. Dari arah kebijakan
peran semua SKPD, dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas supporting
system pelayanan publik yang prima.
Adapun aku wajib, meliputi urusan pendidikan, kesehatan, pekerjaan
umum, perumahan, tata ruang, perencanaan bangunan, urusan perhubungan,
lingkungan hidup, urusan pertanahan, kependudukan dan catatan sipil,
pemberdayaan perempuan, urusan keluarga berencana dan keluarga sejahtera.
Juga urusan sosial, ketatanegaran, urusan operasi usaha kecil dan menegah,
urusan penanaman modal, urusan kebudayaan, pemuda olah raga, kesatuan
bangsa dan politik dalam negeri, urusan pemerintahan umum, urusan
kepegawaian, pemberdayaan masyarakat dan desa, urusan statistik, kearsipan,
komunikasi dan informasi, dan aku pilihan meliputiurusan pertanian,
kehutanan, energi sumber daya dan mineral, urusan pariwisata, kelautan dan
perikanan, urusan perdaganngan dan urusan perindustrian.15
15 Hubungan Masyarakat SETDA Kab. Bekasi: Bekasi Membangun, (Bandung: BPS Jawa Barat, Edisi I, 2007), hlm. 52 38
Di samping itu juga, Kabupaten Bekasi mempunyai corak budaya yang
unik, yakni budaya yang berasal dari beberapa daerah. Potensi-potensi inilah
yang harus kita kembangkan baik secara nasional maupun dalam lingkup
kedaerahan. Dengan budaya dan seni, kita bisa menjunjung jati diri sehingga
keberadaan seni dan budaya dapat memberikan sumbangan terhadap
kehidupan bangsa bagi peyegaran rohani dan jasmani. Selayaknya masyarakat
mampu dan menyadari bahwa pembangunan di Kabupaten Bekasi dalam
skala besar belum mampu dibiyai dari dana anggaran pendanaan belanja
daerah, karena memerlukan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu
diharapkan kepada para investor dapat memanfaatkan potensi semua
kebudayaan yang ada di kabupaten Bekasi untuk dikembangkan, sehingga
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Sejalan dengan upaya pengembangan
kesenian di kabupaten Bekasi, juga diharapkan kesenian tradisional yang
dapat dikembangkan dan dilestarikan sebagi salah satu upaya pelestarian seni
budaya yang ada di kabupaten Bekasi.16
Upaya pembentukan Kabupaten Bekasi dimulai ketika rakyat Bekasi
berupaya menentang keberadaan Negara Indonesia Serikat (RIS). Rakyat
Bekasi menuntut berdirinya kembali negara kesatuan RI dan menentang
keberadaan Pasundan.17 Dalam upaya ini para pemimpin rakyat salah satunya
K.H Noer Alie berperan dalam perubahan nama Kabupaten Jatinegara
menjadi Kabupaten Bekasi, dan ada beberapa tokoh lainnya yang berperan
16Kab. Bekasi Pemda, 1973, Mengenal Bekasi, (Bekasi : Pemda Kab. Bekasi, 2007), hlm. 102 17Andi Sopandi, Sejarah dan Budaya Kota Bekasi; Sebuah Catatan Perkembangan Sejarah dan Budaya Masyarakat Bekasi, hlm. 89 39
diantaranya R. Supardi, M. Hasibuan, Namin, Aminudin, dan Marzuki
Urmaini, membentuk “Panitia Amanat Rakyat Bekasi” pada awal tahun 1950.
Pembentukan ini mulai terjadi pada Tanggal 17 Januari 1950, di mana para
Panitia Amanat Rakyat Bekasi mengadakan Rapat Raksasa di Alun-alun
Bekasi yang dihadiri oleh ribuan rakyat.
Setelah adanya pengajuan untuk pembentukan Kabupaten Bekasi yang
semakin kuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.14 Tahun 1950
yang ditetapkan tanggal 8 Agustus 1950 tentang pembentukan kabupaten-
kabupaten di lingkungan propinsi Jawa Barat serta dengan memperhatikan
perarturan pemerintah No.32 Tahun 1950 tentang berlakunya Undang-undang
tersebut, maka Kabupaten Bekasi dibentuk secara resmi realisasi perantiannya
tanggal 15 Agustus 1950 dan berhak mengatur rumah tangganya sendiri,
sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 1948.18 Pengertian dan realisasi
pembangunan pada masa RIS dapat dikatakan tidak berjalan. Hal ini
diakibatkan disamping karena tidak adanya dana untuk membangun, juga
situasi keamanan yang tidak menentu.19
Sejak adanya pemilihan umum tahun 1955 yang diharapkan
mempersatukan seluruh potensi politik masayarakat, ternyata dinilai oleh
Presiden Sukarno sebagai pertentangan antara kepentingan politik rakyat.20
Karena pada masa ini banyak konsepsi yang harus dibentuk pada tanggal 21
18Andi Sopandi, Sejarah dan Budaya Kota Bekasi; Sebuah Catatan Perkembangan Sejarah dan Budaya Masyarakat Bekasi, hlm. 93 19 Pemerintah Daerah Bekasi Tingkat II Bekasi, Sejarah Bekasi Sejak Pemerintahan Purnawarman sampai Orde Baru, (Jakarta: Yayasan Historia Vitae Magistra [Yavitra], 1992), hlm. 85 20 Sukarno, “Marilah Kita Kubur Partai-Partai (1956)”, dalam Herbert Feith & Lance Castles (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 62-66 40
Februari 1957. Seperti konsepsi Sukarno yang menyarankan agar dibentuk
Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional. Disusul dengan beberapa
kebijaksanaan, undang-undang, perarturan pemerintahan, serta penetapan
Presiden dan peraturan lain yang merombak sistem pemerintahan demokrasi
liberal menjadi demokrasi terpimpin.
Perkembangan Bekasi mulai terlihat di masa orde baru setelah tahun
1965-an mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini terjadi
terutama ketika masa pemerintahan Bupati H. Abdul Fatah.21 Proses
pembangunan dan berbagai proyek sarana dan prasarana fisik terasa
menonjol, seperti pembangunan irigasi pengairan fisik. Perubahan lainnya
terjadi pada tahun 1976, ketika wilayah administratif Kabupaten Daerah
Tingkat II Bekasi mengalami pemekaran beberapa wilayah Kecamatan dan
Desa.22
Berdasarkan intruksi Presiden No.13 bulan Juli 1976, diadakanlah
pengembangan wilayah JABOTABEK untuk meringankan tekanan penduduk
Jakarta yakni dengan cara membina pola pemukiman perkotaan dan
penyebaran kesempatan kerja. Salah satu dari wilayah pengembangan kota
tersebut adalah Kabupaten Bekasi, mengingat wilayah ini memiliki potensi
21 Rintisan program yang dirancangnya, kini terbukti dengan semakin merebaknya pembangunan yang terjadi di Bekasi. Oleh karena itu, bagi kebanyakan kalangan, ia dikenal sebagai “Bapak pembangunan Bekasi”. Dalam buku Andi Sopandi, Sejarah Dan Budaya Kota Bekasi; Sebuah Catatan perkembangan Sejarah dan Budaya Masyarakat Bekasi, (Bekasi: Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan , dan Kepariwisataan Kota Bekasi, 2009), hlm. 129 22 Pemerintah Daerah Bekasi Tingkat II Bekasi, Sejarah Bekasi Sejak Pemerintahan Purnawarman sampai Orde Baru, Op. cit, hlm. 130 41
untuk berkembang.23 Perluasan wilayah kota Jakarta merupakan sebuah
alternatif untuk mengantisipasi pertumbuhan kota Jakarta yang ketika itu
makin pesat, kemudian tercetusnya gagasan bernama JABOTABEK melalui
intruksi Presiden 13 tahun 1976. Pokok-pokok kebijaksnaan di dalam
pengembangan wilayah Jabotabek diantaranya adalah untuk menekan jumlah
penduduk yang terus bertambah serta dapat meratakan penyebarannya yang
tidak hanya terjadi di kota Jakarta melainkan kota-kota penyangga
disekitarnya. Dengan begitu banyak beban kota Jakarta sebagai sebuah kota
induk dari segi pembangunan ekonomi maka Bekasi dijadikan kota yang
terkait dengan terbentuknya JABOTABEK.
Pengembangan Bekasi sebagai daerah penyangga Jakarta sudah
direncanakan jauh sebelumnya, di antaranya dengan penataan kawasan
Bekasi yang diperuntukkan untuk pemukiman dan dijadikan wilayah industri.
Cikarang, Cibitung dan Lemahabang yang sebelumnya dikenal daerah
pertanian dan perkebunan mulai dikembangkan menjadi daerah
pengembangan industri. Pengembangan kawasan industri di wilayah tersebut
semakin marak ketika tahun 1982 mulai dibangunnya jalan tol Cawang-
Cikampek.24 Akibat dari perkembangan yang cukup pesat sejak tahun 80-an,
maka secara tidak langsung berdampak terhadap perkembangan wilayah
administratif dan pola pembangunan daerah Bekasi meliputi faktor-faktor
infrasturuktur dan perubahan sosial masyarakat Bekasi. Bekasi yang
23 Yufridawati, Pembinaan Kota : Studi Kasus Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Bekasi. Diambil dari: http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-76536.pdf, pada Tanggal 4 Februari 2019 24 Pemerintah Daerah Bekasi Tingkat II Bekasi, “Sejarah Bekasi Sejak Pemerintahan Purnawarman sampai Orde Baru”, Op. cit, hlm. 130 42
merupakan wilayah sub-urban, dan merupakan kota satelit penopang sebuah
kota besar yaitu Jakarta. Bekasi berkembang bukan hanya menjadi tempat
tinggal kaum urban namun juga berkembang menjadi sebuah kota industri
barang dan jasa. Daerah yang dahulunya menjadi merupakan wilayah agraris
kemudian bertranformasi menjadi yang didominasi oleh kegiatan
perindustrian. Arus modernisasi terus merambat terlihat dari banyaknya pusat
perbelanjaan dan pusat-pusat industri membuat kota Bekasi terus
bertranformasi menjadi sebuah kota yang modern.
Faktor penyebab umum yang mendorong sebuah tempat atau daerah
berkembang menjadi kota yaitu pertama, pusat kegiatan agama. Johnson
berpendapat, agama merupakan kekuasaan penting yang menyebabkan
penyatuan desa-desa dalam kesatuan-kesatuan yang lebih besar. Kedua,
daerah pusat pemerintahan dimana kondisi daerah lebih berkembang pesat di
Indonesia masa orde baru. Ketiga, daerah pusat perdagangan dan industri
seperti di Eropa sesudah revolusi Industri atau secara umum pada abad ke-19
adalah pusat-pusat perdagangan berubah menjadi pusat industri begitu juga
yang terjadi di Bekasi setelah perubahan pembentukan kewedanaan Bekasi
menjadi Kabupaten sudah mulai ada perubahan dalam tatanan daerah.
Keempat, kasus-kasus negara jajahan.25 Peradaban kota menjadi gejala dalam
bentuk-bentuk kebudayaan tertentu, seperti tempat-tempat yang dahulunya
lahan SAWah dan perkebunan kini menjadi tempat yang dibangun sebuah
gedung-gedung tinggi, sehingga terciptalah tatanan baru dalam
25 Purnawan Basundoro, Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm. 18-19 43
perkembangan kota. Berkembangnya industrilisasi melalui lapangan kerja di
Bekasi merupakan awal terjadinya perkembangan penduduk yang sangat
tinggi dan mempengaruhi tatanan suatu daerah khususnya Bekasi.
C. Ajaran dan Amalan Tarekat Syadziliyah
Sebagaimana tarekat pada umumnya yang mempunyai beberapa ritual,
tarekat Syadziliyah juga yang memiliki beberapa ritual yang dilakukan seperti
baiat dan fida’. Baiat merupakakan perjanjian seorang murid dengan guru
mursyid untuk menerima dan mengamalkan beberapa ajaran dalam tarekat
tersebut. Hal ini dilakukan sebagai tanda bahwa seorang murid telah bersedia
menyerahkan dirinya untuk dibimbing dan dibina oleh mursyidnya dalam
menempuh perjalanan menuju Allah.26
Bentuk baiat yang dilakukan dalam tarekat Syadziliyah memiliki dua
macam, yaitu baiat sirri dan jahri. Baiat sirri merupakan baiat yang
diucapkan dalam hati ditandai dengan amaliyah yang dilakukan oleh murid.
Jika amalan telah telah dilaksanakan oleh murid maka secara otomatis ia
sudah berbaiat. Sedangkan baiat secara jahr dilakukan dengan mengikuti
upacara pembaiatan dan bertemu langsung dengan mursyid.27
Baiat jahr yang dilakukan oleh musryid dan tidak bolek diwakilkan.
Waktu pembaiatan di lakukan pada pengajian selapanan. Dilaksanakan secara
bersamaan dan dipandu langsung oleh mursyid tarekat Syadziliyah. Proses
pembaiatannya, murid harus dalam keadaan suci. Posisi duduk seperti tahiyat
26 Zuhdi, “Ibadah Penganut”, hlm.126. 27 Zuhdi, “Ibadah Penganut”, hlm. 132. 44
akhir dengan telapat tangan yang menghadap ke atas. Pandangan mata fokus
ke tempat sujud. Mursyid menuntun jamaah yang berbaiat untuk
menngucapkan ayat al-Qur’an surat Fath ayat 10, kemudian disambung
dengan bacaan istighfar dan shalawat sebanyak tiga kali yang dipandu oleh
mursyid. Selanjutnya zikir “laa ilaaha illa Allah”.28
Untuk ritual fida’ dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun. Membaca
surat al-Ikhlas sebanyak 100.000 kali. Bisa dicicil sesuai dengan waktu yang
dimiliki oleh murid. Fida’ merupakan salah satu zikir yang diajarkan dalam
tarekat ini. Merupakan zikir yang dilakukan dengan berjuang (mujahadah)
untuk menyucikan jiwa dengan membaca formula tertentu seperti surat Al-
Ikhlas 100.000 kali. Zikir ini dapat dilakukan sedikit demi sedikit.29 Berasal
dari bahasa Arab fidyah yang berarti tebusan. Dalam pengertian secara umum
memiliki pengertian penebusan diri dari api neraka. Fida’ atau ataqah sebagai
pembebasan diri dari siksa neraka. Di dunia berusaha menebus diri dari
neraka. Cara menebusnya dengan membaca kalimat yang dicintai-Nya.30
Fida’ dalam tarekat Syadziliyah diadakan setiap ahad legi. Dilaksanakan
ba’da ashar dengan membaca surat Al-Ikhlas 1.000 kali. Setiap orang
menebus diri dengan membaca surat al-Ikhlas sebanyak 100.000 kali. Dibaca
sedikit demi sedikit, bisa dilakukan sendiri dan secara berjamaah. Setelah itu
membaca do’a fida’. Jika sudah mencapai 100.000 maka fida’ selanjutnya
dapat ditujukan kepada keluarga yang sudah meninggal.
28Zuhdi, “Ibadah Penganut”, hlm. 131. 29 Sri Mulyati, Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 179. 30 H.M. Madchan Anies, Tahlil dan Kenduri (Tradisi Santri dan Kiai), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009), hlm.166. 45
1. Ajaran Tarekat Syadziliyyah
Dalam sebuah tarekat pastinya memberikan sebuah ajaran tertentu
kepada muridnya, sehingga dalam sebuah tarekat memiliki ciri masing-
masing. Ajaran pada tarekat ini juga terkenal tidak begitu memberatkan bagi
pengikutnya. Karena ajaran yang diterapkan mudah diterima dan moderat.
Sehingga tidak heran jika para pengikutnya pun terdiri dari berbagai
kalangan, mulai dari ulama, pejabat, cendikiawan, sampai masyarakat awam,
baik dari masyarakat desa sampai masyarakat urban.31
Hal ini seperti yang diajarkan oleh Abu al-Hasan al-Syadzili, yaitu:32
a. Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan
profesi dunia mereka. Beliau berpendapat bahwa hidup yang layak dan
sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah Swt dan mengenal
rahmat-Nya, sedangkan meninggalkan dunia secara berlebihan akan
membawa manusia pada hilangnya rasa syukur dan memanfaatkan dunia
secara berlebihan akan membawa pada kezaliman. Dan sebaiknya manusia
menggunakan nikmat Allah sebaik-baiknya sesuai dengan petunjuk-Nya dan
Rasul-Nya.
b. Tidak mengabaikan syari’at Islam. Hal ini searah dengan ajaran Imam
Ghazali, yaitu ajaran tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-
Sunnah.
31 Martin Van Bruienessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992), 16; Sa‟adatul Jannah, “Tarekat Syadziliyah dan Hizbnya”, (Skripsi--UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 26. 32Sri Mulyati, Mengenal Dan Memahami, hlm.73-74. 46
c. Zuhud bukan berarti menjauhi dunia. Karena pada dasarnya zuhud
berarti mengosongkan hati dari selain Allah Swt. Dunia yang dibenci oleh
kaum sufi adalah ketika manusia dikalahkan dan diperbudak oleh dunia. Di
mana manusia akan bersenang-senang, selalu memenuhi keinginannya,
bahkan hawa nafsu yang tak kenal puas.
d. Tasawuf; yaitu latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan
menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah Swt. Tasawuf memiliki
empat aspek, yakni berakhlak sesuai dengan akhlak Allah Swt, senantiasa
melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsu serta berupaya selalu
bersama dan berkekalan dengan-Nya secara bersungguh-sungguh.33
e. Bahwa seorang salik tidak cukup mendekatkan diri kepada Allah Swt
saja, tetapi harus berbakti kepada masyarakat. Menurut Abu Hasan al-
Syadzili seorang sufi bukanlah orang yang menghindar dari masyarakat,
karena sebenarnya beraktifitas sosial untuk kemaslahatan umat adalah bagian
terpenting dari hasil kontemplasi seorang sufi.34
Imam al-Syadzili menyatakan terdapat lima ajaran pokok yang terdapat
pada tarekat Syadziliyah. Pertama, taqwa kepada Allah Swt. Kedua, itba’
kepada al-Sunnah baik dari segi perkataan maupun perbuatan. Ketiga, tidak
“menoleh” kepada orang lain dalam melaksanakan kebajikan. Keempat, rida
atau rela terhadap karunia yang diberikan Allah, baik limpahan kekayaan
33 Ibrahim M. Abu Rabi, “Pengantar dalam The Mystical Teaching”, dalam Sri Mulyati, Mengenal Dan Memahami, hlm. 75. 34 Jannah, “Tarekat Syadziliyah”, hlm. 17. 47
yang banyak atapun sedikit. Dan kelima, membrikan segala urusan kepada
Allah, baik dalam keadaan sempit maupun dalam keadaan lapang.35
2. Amalan Tarekat Syadziliyyah
Menurut Anniemarie Scimmel, dalam tarekat Syadziliyah, ajaran yang
paling mudah adalah ilmu dan amal, ihwal dan maqam. Tarekat syadziliyah
tidak meletakkan syarat-syarat yang berat bagi pengikutnya, kecuali
beribadah wajib, melakukan ibadah sunnah semampunya, zikir kepada Tuhan
sebanyak mungkin minimal 1000 kali sehari semalam, istighfar dan membaca
sholawat nabi.36 Membaca istighfar dan sholawat dilakukan pada setiap habis
magrib dan shubuh sebanyak 100 kali. Dalam keadaan tertentu, amalan ini
bisa diganti (di qadha). Selaian itu bisa dilakukan sambil melakukian kegiatan
pekerjaan lain, Seperti dalam berjalan dan bekerja. Bagi tarekat ini tidak
terpaku pada jumlah amalan yang di baca. Mereka mempunyai pandangan
bahwa diterima atau tidaknya suatu amalan merupakan rahasia Allah.37
Di sisi lain, menurut K.H Aziz Masyhuri ajaran-ajaran dan amalan dalam
tarekat Syadziliyah adalah sebagai berikut:38
a. Istighfar
Maksud istighfar adalah memohon ampun kepada Allah dari segala
dosa yang telah dilakukan seseorang. Doa ini berisi tentang
permohonan ampun dan taubat.39
35 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami yang dikutip dari Muzaiyana, “Paradigma Sufistik Tarekat Shadhiliyah: Study Kasus di Kecamatan SugihwarasKabupaten Bojonegoro”, Jurnal Tasawuf, vol. 1, No. 2, Juli 2012. 182. 36 Atjeh, Pengantar Ilmu, hlm. 308. 37 Jannah, “Tarekat Syadziliyah”, hlm 27. 38 Lutfi Nurul Jannah, ”Motivasi Menjalani Ajaran Tarekat Syadziliyah Pada Remaja di Pondok PETA Tulungagung”, (Skripsi--IAIN Tulungagung, 2014), hlm. 32-36. 48
b. Shalawat Nabi
Membaca shalawat Nabi Muhammad Saw dimaksudkan untuk
memohon rahmat dan karunia bagi Nabi Saw agar pembacanya juga
mendapatkan balasan limpahan rahmat dari Allah Swt.
c. Zikir
Zikir atinya mengingat kepada Tuhan. Dalam tarekat mengingat
tuhan haruslah dengan bantuan atau perantara, karena hakikatnya kita
tidak akan pernah bisa mengenal Tuhan itu sendiri. Oleh karenanya
zikir memiliki bermacam-macam ucapan yang mengandung nama
Allah atau sifat-Nya atau yang mengingatkan kepada-Nya. Dalam
tarekat, zikir adalah menyebut nama Allah yang pada keyakinan
mereka itu akan melahirkan dua sifat pada manusia, yaitu
penghambaan dan kasih sayang. Seorang yang menghamba kepada
Allah takut pada Allah pasti akan menjalankan segala perintah Allah
serta menjauhi larangan Allah. Dan seorang yang kasih kepada Alalh
maka akan memilih segala sesuatu yang disukai oleh Allah, dan
menjauhi segala sesuatu yang dimurkai oleh Allah.40 Pembacaan zikir
tarekat Syadziliyah menggunakan metode jahr dan sirri pada kalimat
“laa ilaa ha illah Allah”. Ketika membaca “la” suara ditebalkan
seakan-akan yang disuarakan antara lam dan ha’. Lalu ketika
membaca “illah” kalimatnya di sirri-kan namun lidah tetap bergerak
39 Atjeh, Pengantar Ilmu, hlm. 284. 40 Atjeh, Pengantar Ilmu, hlm. 279. 49
mengikuti lafal. Pada kalimat “ha illa Allah” disuarakan kembali
dengan menebalkan bacaannya.41
d. Wasilah dan Rabithah
Yaitu hubungan atau ikatan dengan guru. Seorang murid sebaiknya
berwasilah kepada guru pada waktu memulai ibadah kepada Allah
Swt. Maka dapat diartikan dengan luas bahwa wasilah adalah jalan
yang menyampaikan seorang hamba pada Allah Swt. Dalam tarekat
Naqsabandiyah wasilah diartikan sebagai suatu tabarruk atau
mengambil berkah kepada guru yang dilaksanakan oleh murid
sebelum memulai zikir.42
e. Wirid
Adapun wirid yang dianjurkan adalah penggalan ayat al-Qur’an surat
at-Taubah (9:128-129) dan wirid ayat kursi yang dibaca minimal 11
kali setelah shalat fardlu. Dan wirid-wirid lain, yang antara murid
yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda sesuai dengan
kebijaksanaan mursyid. Dalam tarekat Syadziliyah wirid “la ilaaha
illa Allah” dibaca sebanyak 100 kali. Diamalkan setelah shalat
Maghrib dan Subuh dengan didahului dengan tawassul.43
f. Adab (etika murid)
Adab murid dapat dikategorikan ke dalam empat hal, yaitu adab
murid kepada Allah, adab murid kepada mursyidnya, adab murid
41 Zuhdi, “Ibadah Penganut”, hlm. 131. 42 Atjeh, Pengantar Ilmu, hlm. 103. 43 Zuhdi, “Ibadah Penganut”, hlm. 131. 50
kepada dirinya sendiri dan adab murid kepada ikhwan dan sesama
muslim.44
g. Hizib
Hizib yang diajarkan tarekat Syadziliyah jumlahnya cukup banyak,
dan setiap murid tidak menerima hizib yang sama, karena disesuaikan
dengan situasi dan kondisi ruhaniyah murid sendiri dan
kebijaksanaan mursyid.
Adapun hizib-hizib tersebut antara lain hizib al-Asyfa’, hizib al- Aafi,
atau al-autat, hizib al-Bahr, hizib al-Baladiyah, atau al- Birbihatiyah,
hizib al-Barr, hizib an-Nasr, hizib al-Mubarak, hizib as-Salamah,
hizib an-Nur, dan hizib al-Kahfi. Hizib-hizib tersebut tidak boleh
diamalkan oleh semua orang, kecuali telah mendapat izin atau ijazah
dari mursyid atau seorang murid yang ditunjuk mursyid untuk
mengijazahkannya.
h. Uzlah dan suluk
Uzlah adalah mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat atau
khalayak ramai, untuk menghindarkan diri dari godaan-godaan yang
dapat mengotori jiwa, seperti menggunjing, mengadu domba,
bertengkar, dan memikirkan keduniaan. Dalam pandangan
Syadziliyah, untuk mengamalkan tarekat seorang murid tidak harus
mengasingkan diri (uzlah) dan meninggalkan kehidupan duniawi (al-
44 Keterangan dari masing-masing adab dapat dilihat di Atjeh, Pengantar Ilmu, hlm. 85- 90. 51
zuhud) secara membabi buta.45 Dalam hal ini tarekat Syadziliyah
memiliki metode tersendiri dalam beruzlah. Memanfaatkan dunia
sebagai sarana untuk mencari akhirat. Caranya dengan berjuang
dijalan Allah melalui program pendidikan. Berjuang mengamalkan,
mengajarka dan menyebarkan al-Qur’an, mengkader sebanyak-
banyaknya orang untuk menjadi gruru Al-Qur’an yang berkualitas.
Berjuang menyebarkan al-Qur’an agar masyarakat faham al-Qur’an
dan dapat mengamalkan ajaran yang ada dalam al-Qur’an. Berkorban
jiwa, raga dan harta untuk menegakkan agama Allah.
Sedangkan menurut Abu Bakar Aceh dapat disederhanakan Ajaran Tarekat
Syadziliyah sebagai berikut:
a. Secara Umum
Secara umum, tidak hanya ajaran Syadziliyah, semua tarekat memiliki
ajaran yang hampir sama, yakni di antaranya adalah:
1) Mempelajari semua ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan
pelaksanaan semua perintah.
2) Mendampingi guru-guru dan teman setarekat untuk melihat
bagaimana cara melakuan suatu ibadah.
3) Meninggalkan segala rukhsah dan ta’wîl untuk menjaga dan
memelihara kesempurnaan amal.
4) Menjaga dan mempergunakan waktu serta mengisinya dengan wirid
dan do’a guna membentuk pribadi yang khusu’ dan hudur.
45 Keterangan dari masing-masing adab dapat dilihat di Atjeh, Pengantar Ilmu, hlm..135- 136. 52
5) Mengekang diri dari hawa nafsu dan agar diri terjaga dari kesalahan.46
b. Secara Khusus
Ajaran dasar tarekat Syadziliyah yang disebut al-usûl alkhamsah
diantaranya adalah:
1) Taqwa kepada Tuhan lahir dan batin.
2) Mengikuti sunnah dalam perkataan dan perbuatan.
3) Mencegah menggantungkan nasib kepada manusia.
4) Rela kepada pemberian Tuhan baik sedikit maupun banyak, dan
5) Berpegang kepada Tuhan dalam waktu susah dan senang.
Menurut Tarekat Syadziliyah ini, implementasi taqwa dilakukan dengan
wara’ dan istiqâmah, pelaksanaan sunnah dengan penelitian amal dan
perbaikan budi pekerti, pelaksanaan penggantungan nasib dengan sabar dan
tawakal, pelaksanaan rela terhadap ketetapan Tuhan dengan hidup sederhana
dan merasa puas dengan apa yang dimiliki, dan yang terakhir adalah
pelaksanaan pengembalian diri dan berpegang kepada Allah dengan ucapan
tahmîd dan syukûr.47
Kelima ajaran (al usûl al khamsah) tersebut juga berdiri di atas lima sendi
yang harus dipegang teguh oleh pengikut Tarekat Syadziliyah serta menjadi
ciri khas dari perilaku keseharian para pengikut Tarekat Syadziliyah, sebagai
berikut:
46Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian tentang Mistik, (Jakarta: FA.H.M Tawi&Son Bag, 1966), hlm. 50 47 Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian tentang Mistik, hlm. 53 53
1) Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada
derajat yang tinggi.
2) Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih
penjagaan Allah atas kehormatannya.
3) Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang
memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/Kemuliaan-
Nya.
4) Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampikannya kepada
kebahagiaan hidupnya.
5) Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu
meraih tambahan nikmat yang lebih besar.48
Selain usûl al khamsah, tarekat Syadziliyah ini juga memiliki tahapan di
mana para penempuh jalan sufi melakukan dua metode yaitu: metode khas
dan metode ‘âm. Pengertiannya adalah: tarîqât bagi kalangan khas adalah
jalan yang ditempuh oleh kalangan yang dicintai Allah SWT. (al-muhibbûn),
yang merupakan abdâl (pengganti) para Rasul, sedangkan tariqât bagi
kalangan ‘âm (umum) adalah tarekat yang ditempuh oleh para pecinta Allah
SWT. (al-muhibbîn), yaitu abdal para Nabi.
Pengertian lain dari tariqât khas yaitu tarekat elit yang sulit dicerna akal
biasa, dan langka sekali yang mampu menguraikan substansinya. Bagi yang
belum mampu cukup dengan tariqât ‘âm, yaitu jalan penempuhan melalui
48 A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, (Surabaya: IMTIYAZ, 2014), hlm. 305-306 54
satu tahap ke tahap lainnya yang lebih luhur hingga sampai pada satu tahap
tertentu, yaitu, “tempat duduk yang benar di sisi Raja Yang Maha Berkuasa”.
D. Pengertian dan Pengaruh Dzikir Terhadap Jiwa
1. Pengertian Jiwa
Secara bahasa jiwa berasal dari kata psyche yang berarti jiwa, nyawa
atau alat untuk berfikir.49 Sedang dalam bahasa Arab sering disebut dengan
“an nafs”. Imam Ghazali mengatakan bahwa jiwa adalah manusia-manusia
dengan hakikat kejiwaannya. Itulah pribadi dan zat kejiwaannya.50
Sedangkan menurut para filosof pengikut plotinus (para filosof Yunani),
sebagaimana yang dikutip oleh Abbas Mahmud Al Aqqad dalam Manusia
Diungkap Dalam Al Qur’an, bahwa jiwa menurut mereka adalah sinonim
dengan gerak hidup / kekuatan yang membuat anggota-anggota badan
menjadi hidup yakni kekuatan yang berlainan fisik material, dapat tumbuh
beranak, dan berkembangbiak tingkat kemauannya lebih besar dari pada
benda tanpa nyawa dan lebih kecil daripada roh, jiwa tidak dapat dipindah
dari tempat ia berada.
Kemudian dilihat dari kacamata psikologi, menurut Wasty Soemanto,
jiwa adalah kekuatan dalam diri yang menjadi penggerak bagi jasad dan
tingkah laku manusia, jiwa menumbuhkan sikap dan sifat yang mendorong
tingkah laku. Demikian dekatnya fungsi jiwa dengan tingkah laku, maka
49 Irwanto, dkk., Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 3 50 Imam Ghazali, Keajaiban Hati, (terj.) Nur Hicmah, Dari Ajaib Al Qalb, (Jakarta: Tirta Mas, 1984), hlm. 3 55
berfungsinya jiwa dapat diamati dari tingkah laku yang Nampak.51
Dari sejumlah pemaparan di atas dapat diambil pemahaman bahwa jiwa
adalah merupakan unsur kehidupan, daya rohaniah yang abstrak yang
berfungsi sebagai penggerak manusia dan menjadi simbol kesempurnaan
manusia. Karena manusia yang tidak memiliki jiwa tidak dapat dikatakan
manusia yang sempurna.
Jiwa menumbuhkan sikap dan sifat yang mendorong pada tingkah laku
yang tampak. Karena cara-cara kerja jiwa hanya dapat di amati melalui
tingkah laku yang nyata. Adapun pengertian jiwa di sini meliputi seluruh
aspek rohani yang di miliki oleh manusia, antara lain: hati, akal, pikiran
dan perasaan.
2. Pengertian Ketenangan Jiwa
Ketenangan jiwa merupakan istilah psikologi yang terdiri atas dua kata
yaitu jiwa dan ketenangan. Ketenangan itu sendiri berasal dari kata tenang
yang mendapat tambahan ke-an. Tenang berarti diam tidak berubah-ubah
(diam tidak bergerak), tidak gelisah, tidak susah, tidak gugup betapapun
keadaan gawat, tidak ribut, tidak tergesa-gesa.52
Sedangkan jiwa berasal dari kata psycheyang berarti jiwa, nyawa atau
alat berfikir. Sedang dalam bahasa disebut an-Nafs.53 Imam Ghazali, seorang
tasawuf mengatakan bahwa jiwa adalah suatu yang halus dari manusia, yang
51 Wasty Soemanto, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 15. 52 Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemahan, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002), hlm. 80-100 53 Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Bab Ajaibul QolbiTerj. Ismail Yakub. Jilid 4. (Jakarta: Tirta Mas. 1984), hlm. 3 56
mengetahui dan merasa. Jiwa diibaratkan dengan raja. Ketika raja itu berlaku adil, maka adillah semua kekuatan yang ada dalam tubuh manusia.54
Dilihat dari kaca mata psikologis, menurut Westy Suewanto jiwa adalah kekuatan dalam diri yang menjadi penggerak bagi jasad dan tingkah laku manusia. Jiwa menumbuhkan sikap dan sifat yang mendorong tingkah laku.
Demikian dekatnya fungsi jiwa dengan tingkah laku, maka fungsi jiwa dapat diamati dari tingkah laku yang nampak.55
Jiwa adalah seluruh kehidupan batin manusia yang menjadi unsur kehidupan, daya rohaniah yang abstrak yang berfungsi sebagai penggerak manusia dan menjadi simbol kesempurnaan manusia (yang terjadi dari hati, perasaan, pikiran dan angan-angan). Kata ketenangan jiwa juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri sendiri, dengan orang lain, masyarakat dan lingkungan serta dengan lingkungan di mana ia hidup. Sehingga orang dapat menguasai faktor dalam hidupnya dan menghindarkan tekanan-tekanan perasaan yang membawa kepada frustasi.56
Jiwa yang tenang (muthmainnah) adalah jiwa yang senantiasa mengajak kembali kepada fitrah Ilahiyah Tuhannya. Indikasi hadirnya jiwa yang tenang pada diri seseorang terlihat dari prilaku, sikap dan gerak-geriknya yang tenang, tidak tergesa-gesa, penuh pertimbangan dan perhitungan yang matang, tepat dan benar. Ia tidak terburu-buru untuk bersikap apriori dan berprasangka negatif. Akan tetapi di tengah-tengah sikap itu, secara diam- diam ia menelusuri hikmah yang terkandung dari setiap peristiwa, kejadian
54 Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Bab Ajaibul QolbiTerj. Ismail Yakub. Jilid 4, hlm. 4 55 Westy Soewanto, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 15 56 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet. 9, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 11-12 57
dan eksistensi yang terjadi.57 Jadi ketenangan jiwa atau kesehatan mental
adalah kesehatan jiwa, kesejahteraan jiwa, atau kesehatan mental. Karena
orang yang jiwanya tenang, tenteram berarti orang tersebut mengalami
keseimbangan di dalam fungsi-fungsi jiwanya atau orang yang tidak
mengalami gangguan kejiwaan sedikitpun sehingga dapat berfikir positif,
bijak dalam menyikapi masalah, mampu menyesuaikan diri dengan situasi
yang dihadapi serta mampu merasakan kebahagiaan hidup.
Hal tersebut sesuai dengan pandangan Zakiah Daradjat bahwa kesehatan
mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh- sungguh antara
faktor jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-
problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan
kemampuan dirinya.58
Kartini Kartono mengatakan, bahwa mental hygiene memiliki tema
sentral yaitu bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan batin
manusia yang ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup, serta
berusaha mendapatkan kebersihan jiwa dalam pengertian tidak terganggu
oleh macam-macam ketegangan, ketakutan serta konflik.24
Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa orang yang sehat
mentalnya atau tenang jiwanya adalah orang yang memiliki keseimbangan
dan keharmonisan di dalam fungsi-fungsi jiwanya, memiliki kepribadian
yang terintegrasi dengan baik, dapat menerima sekaligus menghadapi realita
57 Bakran Adz-Dzaky, HM. Hamdani, Konseling dan Psikoterapi Islam, (Yogyakarta: PT. Fajar Pustaka Baru, 2006), hlm. 458 58Bakran Adz-Dzaky, HM. Hamdani, Konseling dan Psikoterapi Islam, (Yogyakarta: PT. Fajar Pustaka Baru, 2006), hlm. 13 58
yang ada, mampu memecahkan segala kesulitan hidup dengan kepercayaan
diri dan keberanian serta dapat menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan
lingkungannya.
Jadi orang yang tenang jiwanya adalah orang yang fungsi-fungsi jiwanya
dapat berjalan secara harmonis dan serasi sehingga mumunculkan
kepribadian yang terintegrasi dengan baik, sebab kepribadian yang
terintegrasi dengan baik dapat dengan mudah memulihkan macam-macam
ketegangan dan konflik-konflik batin secara spontan dan otomatis, dan
mengatur pemecahannya menurut prioritas dan herarkinya, sehingga dengan
mudah akan mendapat kan keseimbangan batin, dan jiwanya ada dalam
keadaan tenang seimbang.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketenangan Jiwa
Menurut imam Ghazali jiwa yang tenang ialah jiwa yang diwarnai
dengan sifat-sifat yang menyebabkan selamat dan bahagia. Di antaranya
adalah sifat-sifat syukur, sabar, taklut siksa, cinta Tuhan, rela akan hukum
Tuhan, mengharapkan pahala dan memperhitungkan amal perbuatan dirinya
selama hidup, dan lain-lain. Sifat-sifat yang menyebabkan selamat.59
Menurut Zakiah Daradjat dan Kartini Kartono ada beberapa faktor yang
mempengaruhi ketenangan jiwa di mana orang yang ingin mencapai
ketenangan jiwa harus memenuhi beberapa faktor tersebut antara lain:
59 Imam Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, hlm. 123. 59
a. Faktor Agama
Agama adalah kebutuhan jiwa (psikis) manusia, yang akan mengatur dan
mengendalikan sikap, kelakuan dan cara menghadapi tiap-tiap masalah.60
Demikian juga dalam agama ada larngan yang harus dijauhi, karena di
dalam nya terdapat dampak negatif dari kehidupan manusia. Orang yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT secara benar, di dalam hatinya
tidak akan diliputi rasa takut dan gelisah. Ia merasa yakin bahwa keimanan
dan ketaqwaannya itu aklan membawa kelegaan dan ketenangan batinnya.
Pelaksanaan agama (ibadah) dalam kehidupan sehari-hari dapat
membentengi orang dari rasa gelisah dan takut. Diantara dari berbagai
macam ibadah yanbg ada yaitu shalat secara psikologis semakin banyak
shalat dan menggantungkan harapan kepada Allah SWT maka akan
tenteramlah hati, karena dalam shalat itu sendiri mengandung psiko-religius
(kekuatan rohaniah) yang dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa
optimisme sehingga memiliki semangat untuk masa depan. Daripada itu
tujuan utama dari shalat adalah ingin beraudiensi, mendekatkan diri dengan
Allah supaya terciptalah kebahagiaan dan ketenangan hidupnya.
b. Terpenuhinya kebutuhan manusia
Ketenangan dalam hati dapat dirasakan apabila kebutuhan- kebutuhan
manusia baik yang bersifat fisik maupun psikis terpenuhi. Apabila
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan mengakibatkan kegelisahan dalam
60Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. cet. IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 52 60
jiwa yang akan berdampak pada terganggunya ketenangan hidup.
Menurut Katini Kartono kebutuhan-kebutuhan yang harus terpenuhi oleh manusia adalah:
1) Terpenuhinya kebutuhan pokok, hal ini karena setiap manusia pasti
memiliki dorongan-dorongan akan kebutuhan pokok. Dorongan-
dorongan akan kebutuhan pokok tersebut menuntut pemenuhan,
sehingga jiwa mwnjadi tenangdan akan menurunkan ketegangan-
ketegangan jiwa jika kebutuhan tersebut terpenuhi.
2) Tercapainya kepuasan, setiap orang pasti menginginkan kepuasan,
baik yang berupa jasmaniah maupun yang bersifat psikis, seperti
kenyang, aman terlindungi, ingin puas dalam hubungan seksnya,
ingin mendapat simpati dan diakui harkatnya. Pendeknya ingin puas
di segala bidang.
3) Posisi status sosial, setiap individu selalu berusaha mencari posisi
sosial dalam lingkungannya. Tiap manusia membutuhkan cinta
kasih dan simpati. Sebab cinta kasih dan simpati menumbuhkan
rasa diri aman, berani optimis, percaya diri.61
Menurut Zakiah Daradjat ada enam kebutuhan jiwa di mana jika tidak terpenuhi akan mengalami ketegangan jiwa. Kebutuhan jiwa tersebut adalah
1) Rasa kasih sayang
61Kartini Kartono dan Jenny Andary, Hygiene Mental, hlm. 29-30 61
Rasa kasih sayang merupakan kebutuhan jiwa yang penting
bagi manusia oleh karenanya apabila rasa kasih sayang itu tidak
didapatnya dari orang-orang disekelilingnya maka akan berdampak
pada keguncangan jiwanya. Tetapi bagi orang yang percaya kepada
Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang maka kehilangan
kasih sayang dari manusia tidak menjadikan jiwa gersang.
2) Rasa aman
Rasa aman juga kebutuhan jiwa yang tidak kalah pentingnya.
Orang yang terancam, baik jiwanya, hartanya, kedudukannya ia
akan gelisah yang berujung pada stress, apabila ia dekat dengan
Allah SWT tentu rasa aman akan selalu melindungi dirinya.
3) Rasa percaya diri
Rasa harga diri juga merupakan kebutuhan jiwa manusia, yang
jika tidak terpenuhi akan berakibat penderitan. Banyak orang
merasa diremehkan, dilecehkan dan tidak dihargai dalam
masyarakat terutama dalam hal harta, pangkat keturunan, dan lain
sebagainya itu tentu perlu dipenuhi. Namun sebenarnya hakekat itu
terletak pada iman dan amal soleh seseorang.
4) Rasa Bebas
Rasa ingin bebas termasuk kebutuhan jiwa yang pokok pula. 62
Setiap orang ingin mengungkapkan perasaannya dengan cara yang
dirasa menyenangkan bagi dirinya. Namun semua itu tentunya ada
batas dan aturan yang harus diikutinya agar orang lain tidak
terganggu haknya. Kebebasan yang sungguh- sungguh hany
terdapat dalam hubungan kita dengan Allah SWT.
5) Rasa Sukses
Rasa sukses yang merupakan salah satu kebutuhan jiwa.
Kegagalan akan membawa kekecewaan bahkan menghilangkan
kepercayaan seseorang kepada dirinya. Islam mengajarkan agar
orang tidak putus asa. Tidak tercapainya suatu keinginan belum
tentu berarti tidak baik. Bahkan kegagalan itu akan lebih baik kalau
manusia mengetahui sebab serta dapat mengambil hikmah dari
kegagalan itu.
6) Rasa Sukses
Rasa ingin tahu juga termasuk kebutuhan jiwa yang pokok
yang jika terpenuhi akan berdampak pada tingkah laku. Orang akan
merasa sengsara apabila tidak mendapatkan informasi atas ilmu
yang dicarinya. Namun tidak semua ilmu itu dapat diketahuinya
karena keterbatasan yang ada pada dirinya.
Jadi agar seorang bisa mencapai ketenangan jiwa maka harus memenuhi 63
beberapa faktor yaitu: faktor agama, terpenuhinya kebutuhan manusia
(meliputi kebutuhan pokok, kebutuhan kepuasan, kebutuhan social, rasa
kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, rasa sukses dan rasa
ingin tahu).
4. Kriteria Ketenangan Jiwa
a. Sabar
Secara etmologi, sabar berarti teguh hati tanpa mengeluh di jumpa
bencana. Menurut pengertian Islam, sabar ialah tahan menderita
sesuatu yang tidak disenangi dengan ridha dan ikhlas serta berserah
diri kepada Allah. Sabar itu membentuk jiwa manusia menjadi kuat
dan teguh tatkala menghadapi bencana (musibah).62
Kebahagiaan, keuntungan, keselamatan, hanya dapat dicapai
dengan usaha secara tekun terus menerus dengan penuh kesabaran,
keteguhan hati, sebab sabar adalah azas untuk melakukan segala
usaha, tiang untuk realisasi segala cita-cita.
Sabar bukan berarti menyerah tanpa syarat, tetapi sabar adalah terus
berusaha dengan hati yang tetap, berikhlas, sampai cita-cita dapat
berhasil dan dikala menerima cobaan dari Allah SWT, wajiblah ridha
dan hati yang ikhlas.63
b. Optimis
62Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 228 63 Barmawie Umary, Materi Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1995), hlm. 52 64
Sikap optimis dapat digambarkan sebagai cahaya dalam
kegelapan dan memperluas wawasan berfikir. Dengan optimisme,
cinta akan kebaikan tumbuh di dalam diri manusia, dan menumbuhkan
perkembangan baru dalam pandangannya tentang kehidupan.
Tidak ada satu penyebabpun yang mampu mengurangi jumlah
problem dalam kehidupan manusia seperti yang diperankan
optimisme. Ciri-ciri kebahagiaan itu lebih tampak pada wajah- wajah
orang yang optimis tidak saja dalam hal kepuasan tetapi juga seluruh
kehidupan baikdalam situasi positif maupun negatif. Disetiap saat
sinar kebahagiaan menerangi jiwa orang yang optimis.64
c. Merasa Dekat dengan Allah
Orang yang tentram jiwanya akan merasa dekat dengan Allah dan
akan sel;alu merasa pengawasan Allah SWT. dengan demikian akan
hati-hati dalam bertindak dan menentukan langkahnya. Ia akan
berusaha untuk menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan akan
menjauhi segala yang tidak diridhai Allah. “Kesadaran manusia akan
melekat eksistensinya oleh tangan Tuhan akan memekarkan
kepercayaan dan harapan bisa hidup bahagia sejahtera juga memiliki
rasa keseimbangan dan keselarasan lahir dan batin.65
Adanya perasaan dekat dengan Allah, manusia akan merasa
tentram hidupnya karena ia akan merasa terlindungi dan selalu dijaga
64 Hamzah Ya’kub, Etika Islam, (Bandung: CV Diponegoro, 1996), hlm. 142 65 Kartini Kartono, Jenny Andary, Hygiene Mental, hlm. 289 65
oleh Allah sehingga ia merasa aman dan selalu mengontrol segala
perbuatannya. “Tanpa kesadaran akan relasi dengan Tuhan maka akan
menimbulkan ketakutan dan kesedihan dan rasa tidak aman (tidak
terjamin yang kronis serta kegoncangan jiwa”.66
Jadi seorang bisa dikatakan jiwanya tenang jika seorang tersebut
menunjukkan perilaku atau sikap yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Perilaku atau sikap tersebut adalah sabar, optimis dan merasa dekat dengan
Allah.
5. Pengaruh Dzikir terhadap Ketenangan Jiwa
Ketenangan jiwa merupakan kondisi psikologi matang yang dicapai
oleh orang-orang beriman setelah mereka mencapai tingkat keyakinan yang
tinggi. Sementara keyakinan tidak datang dengan sendirinya. Ia harus
dicapai dengan melaksanakan dzikir. Allah berfirman:
Artinya: "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram". (Ar-Ra'ad:28).
Dari ayat diatas dapat diketahui bahwa dengan mengingat Allah yaitu
dengan berdzikir maka hati seorang akan menjadi tentram. Bagaimana dzikir
dapat membawa pengaruh pada ketenangan jiwa, dalam perspektif psikologi
dapat dijelaskan dengan beberapa teori, antara lain teori hipnosis. Subandi
66Kartini Kartono, Jenny Andary, Hygiene Mental, hlm. 288 66
dalam Bukhori, menyatakan bahwa dalam pandangan teori hipnosis, dzikir dapat dipandang sebagai bentuk self- hypnosis, karena pada saat dzikir perhatian seseorang dipusatkan pada objek dzikir, sehingga semakin lama dia makin tidak merasakan rangsangan yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, dalam kondisi sebagaimana tersebut, seseorang akan memperoleh ketenangan.67 Prinsip pokok dalam dzikir adalah pemusatan pikiran dan perasaan pada Allah dengan cara menyebut nama-Nya berulang-ulang, menyebabkan dzikir akan mempunyai pengalaman berhubungan dengan
Allah.
Secara psikologis, akibat perbuatan mengingat Allah ini dalam alam kesadaran akan berkembanglah penghayatan akan kehadiran Tuhan Yang
Maha Pemurah dan Maha Pengasih, yang senantiasa mengetahui segala tindakan yang nyata maupun yang tersembunyi. Ia tidak akan merasa hidup sendirian di dunia ini, karena ada dzat Yang Maha Mendengar keluh kesahnya yang mungkin tidak dapat diungkapkan kepada siapapun.68 Jadi dengan berdzikir seorang akan ingat kepada Allah dan merasa setiap langkahnya akan selalu ditemani oleh Allah, sehingga jiwanya akan merasa tenang.
67 Baidu Bukhori, Dzikir, hlm. 27 68 Bastaman, Integrasi Psikologi, hlm. 161 BAB III DZIKIR DALAM KONSEP QADIRIYAH DAN NAQSABANDIYAH
A. Qadiriyah
1. Sejarah
Qadiriyah adalah nama tarekat yang dinisbatkan kepada seorang sufi
besar dan juga pendirinya yaitu Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul
Qodir Jailani Al Baghdadi. Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat
di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di
Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat ini sudah berkembang
sejak abad ke-13. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat
ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru
berkembang setelah Muhammad Ghawsh juga mengaku keturunan Abdul
Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi yang diberi gelar (mursyid kedua).
Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669
M.1
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai
derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus
mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat
yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul
Qadir Jaelani sendiri, bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya,
maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya
untuk seterusnya.
1Aqib. Kharisudin, M.Ag. AL-HIKMAH Memahami Teosofi Tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah,( Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), hal: 49.
67 68
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan
tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti
Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah, Junaidiyah,
Kamaliyah, Miyan Khei, Qumaishiyah, Hayat al-Mir, semuanya di India. Di
Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah,
Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah,
Mushariyyah, ‘Urabiyyah, Yafi’iyah dan Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika
terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan
tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul
Qodir Jailani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah
keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen
pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut Syurafa Jilala.2
Dari ketauladanan nabi dan sabahat Ali r.a dalam mendekatkan diri
kepada Allah Swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat
Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk
mendekat dan mendapat ridho dari Allah Swt. Oleh sebab itu dengan tarekat
manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan
terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus
ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa
Allah” dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah
contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jailani dari Sayidina Ali bin
2 https://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat_Qodiriyah (Diakses Pada 30 Juli Juni 2019, pukul 17.50). 69
Abi Thalib r.a, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan
Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali.
Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.
Sedangkan di Indonesia tarekat Qadiriyah diperkirakan muncul pada paruh kedua abad ke-16 dan diperkenalkan oleh Syekh Hamzah Fansuri di
Aceh. Dari Aceh, tarekat Qadiriyah kemudian menyebar ke Banten dan
Jawa Barat. Menurut Abdul Wadud Kasyful Humam, dalam tradisi rakyat
Cirebon, Syekh Abdul Qadir al-Jailani dipercaya pernah datang ke Jawa dan meninggal di pulau tersebut. Bahkan orang-orang dapat menunjukkan makamnya.
Penyebaran di Jawa terjadi di beberapa pesantren, seperti di Pesantren
Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat,
Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren
Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah.
Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke
Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.
Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh
Annemerie Schimmel dalam bukunya Mystical Dimensions of Islam (236) 70
yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan
untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah
Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani
yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa
terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah
satu daerah yang sering berontak.
Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda,
karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil
penyelidikan Martin van Bruneissen menunjukkan mereka itu pengikut
tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH
Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda
kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di Praya,
Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903 KH.
Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH. Khasan Tafsir dari Krapyak
Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.3
2. Tokoh Syaikh Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi sebagai pendiri tarekat ini
adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Silsilah
tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah Saw,
kemudian turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a,
Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein r.a, Sayidina Al-Imam Ali
Zainal Abidin r.a, Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja'far
3 https://mozaik.inilah.com/read/detail/2192269/tarekat-qodiriyah-di-indonesia (Diakses Pada 30 Juli 2019, pukul 18.05). 71
As Shodiq r.a, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul
Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan
Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi,
Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi,
Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh
Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad
Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi.
Syeikh Abdul Qadir Jailaini mempunyai nama lengkap Muhy al-Din
Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani, lahir di
Naif kota Gilan (wilayah Iraq sekarang) tahun 470 H atau 1077 M, wilayah yang terletak 150 km timur laut Baghdad dan wafat di Baghdad pada 1166
M. Ibunya seorang perempuan yang shalehah bernama Fathimah binti
Abdullah al-Shama’i al-Husaini keturunan Rasulullah Saw. Ketika melahirkan Syekh Abd Qadir jilani ibunya berumur 60 tahun. Suatu kelahiran yang tidak lazim bagi wanita yag seumurnya. Ayahnya bernama Abu Shalih, jauh sebelum kelahirannya ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw yang diiringi oleh para sahabat, imam mujahidin, dan wali.
Pada usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Gilan menuju Baghdad pada tahun 1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah
Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany di 72
kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul
Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang
Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia
Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab, diteruskan anaknya
Abdul Salam. Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul
Razaq, sampai hancurnya Bagdad pada tahun 1258 M.
Dari Syeikh Abdul Qadir Jailani Qadariyah berkembang hingga keluar
Bagdad melalui beberapa muridnya yang mengajarkan metode dan ajaran tasawufnya ke berbagai negeri Islam. Di antaranya ialah: Ali Muhammad al-
Haddad di daerah Yaman, Muhammad Al-Batha ihi di daerah Balbek dan di
Syiria, dan Muhammad ibn Abd Shamad menyebarkan ajarannya di Mesir.
Demikian juga karena kerja keras dan ketulusan putera-puteri Syeikh Abd
Qadir Jailani sendiri untuk melanjutkan tarekat ayahandanya, sehingga pada abad 12-13 M, tarekat ini telah tersebar ke berbagai daerah Islam, baik di barat maupun di timur.
Di India disebarkan oleh Muhammad Ghawsh yang juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani, di Turki oleh Ismail Rumi yang diberi gelar
(mursyid kedua), sedangkan di Indonesia disebarkan oleh Syekh Hamzah
Fansuri di Aceh, Syeikh Abdul Karim dari Banten dan KH Ahmad 73
Shohibulwafa Tadjul Arifin dari Tasikmalaya.4
3. Ajaran Menurut al-Sya’rani bahwa bentuk dan karakter tarekat Qadariyah
adalah tauhid, sedangkan pelaksanaannya tetap menempuh jalur syariat lahir
dan batin. Syaikh Ali ibn al-Hayti menilai bahwa tarekat Syekh Abdul
Qadir adalah pemurnian akidah dengan meletakan diri pada sikap beribadah,
sedangkan Ady ibn Musafir mengatakan bahwa karakter tarekat qadariyah
adalah tunduk dibawah garis keturunan takdir dengan kesesuaian hati dan
roh serta kesatuan lahir dan batin.
Ajaran spiritual Syekh Abdul Qadir berakar pada konsep tentang dan
pengalamannya akan Tuhan. Baginya, Tuhan dan tauhid bukanlah suatu
mitos teologis maupun abstraksi logis, melainkan sebuah pribadi yang
kehadiran-Nya merengkuh seluruh pengalaman etis, intelektual dan estetis
seorang manusia. Ia selalu merasakan bahwa tuhan senantiasa hadir. Nasihat
Rasulullah dalam hadits, “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-
Nya. Dan jika engkau tidak dapat melihat-Nya, ketahuilah bahwa ia
melihatmu. Ini merupakan semboyan hidupnya yang diterjemahkan dalam
praktik kehidupan sehari-hari.
Khotbahnya menggambarkan keluasan kesadarannya akan kehadiran
Tuhan yang serba meliput. Ia meyakini bahwa kesadara ini membersihkan
dan memurnikan hati seorang manusia, serta mengakrabkan hati dengan
alam roh. Ajaran Syekh Abdul Qadir selalu menekankan pada pensucian diri
4 https://www.bacaanmadani.com/2018/03/tarikat-qodiriyah-tokoh-tarikat.html (Diakses Pada 30 Juli 2019, pukul 18.12). 74
dari nafsu dunia. Karena itu beliau memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tinggi yaitu taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha, dan jujur.
4. Dzikir
Diantara praktik spiritual yang diadopsi oleh tarekat Qadariyah adalah
“dzikir”, melantunkan asma Allah berulang-ulang. Didalam praktik dzikir terdapat beberapa tingkatan dalam penekanannya.
a. Dzikir dengan satu gerakan dilakukan dengan mengulang-ngulang
asama Allah, melalui tarikan nafas yang kuat, diikuti dengan
penekanan dari jantung dan tenggorokan, kemudian dihentikan
sampai nafas kembali normal.
b. Dzikir dengan dua gerakan dilakukan dengan duduk dalam posisi
shalat, kemudian melantunkan asma Allah di dada sebelah kanan,
lalu dijantung dengan berulang-ulang, hal ini dianggap efektif
untuk meningkatkan konsentrasi dan menghilangkan rasa gelisah
dan pikiran yang kacau.
c. Dzikir tiga gerakan dilakukan dengan duduk bersila dan mengulang
pembacaan asma Allah dibagian dada sebelah kanan, kemudian
disebelah kiri dan akhirnya dijantung. Kesemuanya dilakukan
dengan intensitas yang lebih tinggi dan pengulangannya yang lebih
sering. 75
d. Dzikir empat dilakukan dengan duduk bersila, dengan
mengucapkan asma Allah berulang-ulang di dada sebelah kanan,
kemudian disebelah kiri, lalu ditarik kearah jantung, dan terakhir
dibaca di depan dada. Cara terakhir ini dilakukan lebih kuat dan
lebih lama.
Praktik dzikir ini dapat dilakukan bersama-sama, dibaca dengan suara
keras atau perlahan , sambil duduk membentuk sebuah lingkaran setelah
shalat, pada waktu shubuh maupun malam hari. Jika seorang pengikut
sanggup melantunkan asma Allah empat ribu kali setiap harinya, tanpa putus
selama dua bulan, dapat diharapkan bahwa dirinya telah memiliki kualifikasi
untuk meraup pengalaman spiritual tertentu.
Setelah melakukan dzikir, tarekat menganjurkan untuk melakukan
pegaturan nafas (pas-i anfas) sedemikian rupa, sehingga dalam proses
menarik dan menghembuskan nafas, asma Allah bersikulasi dalam tubuh
secara otomatis. Kemudian diikuti dengan murokobah. Dan dianjurkan
untuk berkonsentrasi pada sejumlah ayat Al-Quran atau sifat-sifat ilahi
tertentu, hingga sungguh-sungguh terserap pada kontemplasi.5
B. Naqsabandiyah
1. Sejarah Tarekat Naqsabandiyah merupakan sebuah tarekat yang diambil dari
nama seorang pendiri Tasawuf terkenal yakni, Muhammad bin Muhammad
Baha’ al-Din al-Uwais al-Bukhari Naqsyabandi, dilahirkan di sebuah desa
5 https://yanamadyana07.wordpress.com/2013/01/05/tarekat-qadiriyah/ (Diakses Pada 30 Juli 2019, Pukul 18:25). 76
Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari.
Ia berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar Syah
yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin
spiritual. Naqsyabandi secara harfiah berarti “pelukis, penyulam, penghias”.
Jika nenek moyang mereka penyulam, nama itu mengacu pada profesi
keluarga, jika tidak hal itu menunjukkan kualitas spiritualnya untuk melukis
nama Allah di atas hati seorang murid.6
Tarekat Naqsabandiyah merupakan salah satu tarekat yang luas
penyebarannya, umumnya di wilayah Asia Tengah, Volga, Kaukasus,
China, Indonesia, India, Turki, Eropa dan Amerika Utara. Tarekat ini
mengutamakan pada pemahaman hakikat dan tasawuf yang mengandung
unsur-unsur pemahaman rohani yang spesifik, seperti tentang rasa
atau dzauq. Di dalam pemahaman yang mengisbatkan Dzat ketuhanan
dan isbat akan sifat ma'nawiyah yang termaktub di dalam roh anak-anak
adam maupun pengakuan di dalam fanabillah maupun berkekalan
dalam baqabillah yang melibatkan zikir-zikir hati (hudurun
kalbu/menhadirkan hati).
Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsabandiyah mulai
menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus
tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang
Mujaddadiyah yang diawali oleh Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i
Tsani (Pembaru Milenium kedua). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir
6 Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996), hal.23 77
sinonimdengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan,wilayah Utsmaniyah,
dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat
Naqsabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam
beribadah, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan
kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik
(meskipun tidak konsisten).
Kata Naqsabandiyah berasal dari Bahasa Arab yaitu Murakab Bina-i
dua kalimah Naqsh dan Band yang berarti suatu ukiran yang terpateri, atau
mungkin juga dari Bahasa Persia, atau diambil dari nama pendirinya
yaitu Baha-ud-Din Naqshband Bukhari. Sebagian orang menerjemahkan
kata tersebut sebagai "pembuat gambar", "pembuat hiasan". Sebagian lagi
menerjemahkannya sebagai "Jalan Rantai", atau "Rantai Emas". Perlu
dicatat pula bahwa dalam Tarekat Naqsabandiyah, Silsilah spiritualnya
kepada Nabi Muhammad Saw adalah melalui khalifah Hadhrat Sayyidina
Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, sementara kebanyakan Tarekat-Tarekat lain
silsilahnya melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Ali bin Abu Thalib
Karramallahu Wajhahu.7
Diantara beberapa tarekat yang berkembang di Indonesia,
Naqsabandiyah adalah tarekat yang paling banyak pengikutnya. Ia tidak saja
tersebar di kalangan penduduk, tetapi juga menjadi bagian penting dalam
kebangitan politik Islam pada abad 19. Tarekat ini memiliki tiga cabang;
Mazhariyah, Khalidiyah dan Qadiriyah. Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah
7 https://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat_Naqsyabandiyah (Diakses Pada 30 Juli 2019, Pukul 18:30). 78
merupakan perpaduan dua tarekat yang diciptakan oleh seorang sufi bernama Ahmad Khatib Sambasi dari Kalimantan sekitar pertengahan abad
19.8
AjaranTarekat Naqsabandiyah di Indonesia pertama kali di perkenalkan oleh Syeikh Yusuf Al-Makassari. Seperti disebutkan dalam bukunya safinah al-Najah ia telah mendapat ijazah dari Syeikh Naqsabandiyah yaitu
Muhammad ’Abd al Baqi di Yaman dan mempelajari tarekat ini ketika berada di Madinah dibawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani. Syeikh
Yusuf berasal dari Kerajaan Gowa Sulawesi. Pada tahun 1644 ia pergi ke
Yaman kemudian diteruskan lagi ke makkah, madinah untuk menuntut ilmu dan naik haji. Karena kondisi politik saat itu, ia mengrungkan niatnya untuk pulang ke tanah kelahirannya di Makassar sehingga membawanya menetap di Jawa Barat Banten hingga ia menikah dengan putri Sultan Banten.
Kehadirannya di Banten membawa sumbangan besar dalam mengangkat nama Banten sebagai pusat pendidikan Islam. mIa terkenal sebagai ulama
Indonesia pertama yang menulis tentang tarekat ini.
Syeikh Yusuf telah menulis berbagai risalah mengenai Tasawuf dan menulis surah-surah tentang nasihat kerohanian untuk orang-orang penting.
Kebanyakan risalah dan surah-surahnya ditulis dalam bahasa Arab dan
Bugis. Didalam tulisan-tulisannya, Syeikh Yusuf tetap konsisten pada paham Wahdatul Wujud dan menekankan akan pentingnya meditasi melalui seorang Syeikh (Tawassul) dan kewajiban sang murid untuk patuh tanpa
8 Martin van Bruinessen. Tarekat Naqsabandiyah. (Bandung: Mizan), hlm. 17. 79
banyak tanya kepada gurunya. Ia mengemukakan bahwa kepatuhan paripurna kepada syeikh merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi demi pencapaian spiritual.
Tarekat Naqsabandiyah menyebar di nusantara berasal dari pusatnya di
Makkah, yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang beajar disana dan oleh para jemaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan tarekat ini keseluruh pelosok nusantara.
Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara dapat dilihat dari para tokoh-tokoh tarekat ini yang mengambangkan ajaran Tareqat
Naqsabandiyah di bebarapa pelosok nusantara diantaranya adalah :
a. Muhammad Yusuf adalah yang dipertuan muda di kepulauan Riau,
beliau menjadi sultan di pulau tempat dia tinggal. Dan mempunyai
istana di penyengat dan di Lingga.
b. Di Pontianak, sebelum perkembangannya telah ada Tarekat
Naqsabandiyah Mazhariyah. Tarekat Naqsabandiyah mulai
dikembangkan oleh Ismail Jabal yang merupakan teman dari Usman
al-Puntani (ulama yang terkenal di Pontianak sebagai penganut
Tasawuf dan penerjemah tak sufi)
c. Di Madura, Tarekat Naqsabandiyah sudah hadir pada abad ke 11
hijriyah. Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah merupakan Tarekat
yang paling berpengaruh di Madura dan juga di beberapa tempat lain
yang banyak penduduknya bersal dari madura, seperti surabaya,
Jakarta, dan Kalimantan Barat. 80
d. Di Dataran Tinggi Minangkabau tarekat Naqsabandiyah adlah yang
paling padat. Tokohnya adalah jalaludin dari Cangking, ’Abd al
Wahab, Tuanku Syaikh Labuan di Padang. Perkembangannya di
Minangkabau sangat pesat hingga sampai ke silungkang, cangking,
Singkarak dan Bonjol.
e. Di Jawa Tengah berasal dari Muhammad Ilyas dari Sukaraja dan
Muhammad Hadi dari Giri Kusumo. Popongan menjadi salah satu
pusat utama Naqsabandiyah di Jawa Tengah.
f. Perkembangan selanjutnya di Jawa antara lain di Rembang, Blora,
Banyumas-Purwokerto, Cirebon, Jawa Timur bagian Utara, Kediri,
dan Blitar.
Tarekat ini merupakan satu-satunya tarekat yang terwakili di semua provinsi di Indonesia. Tarekat ini sudah tersebar hampir keseluruh provinsi yang ada di tanah air yakni sampai ke Jawa, Sulawesi Selatan, Lombok,
Madura, Kalimantan Selatan, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan
Barat, dan daerah-daerah lainnya. Pengikutnya terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dari yang berstatus sosial rendah sampai lapisan menengah dan lapisan yang lebih tinggi.
Di Sumatera Utara, lebih tepatnya kompleks pasantren kaum sufi persulukan Babussalam, atau masyarakat Sumatera Utara lebih sering menyebutnya Basilam, tarekat Naqsyabandiyah memasuki daerah ini menjelang pertengahan abad ke-13 H/19 M. Hal ini dikaitkan dengan 81
berdirinya suluk91 di Babussalam, Langkat, Sumatera Utara, atas kerjasama
Sultan Musa, dari Kesultanan Langkat dengan Syaikh Abdul Wahab Rokan
sebagai pemimpin (Syeikh) persulukan tersebut.10
Munculnya tarekat Naqsyabandiyah di Basilam dibawa oleh Syaikh
Abdul Wahab yang berasal dari Rokan, Riau. Untuk mengembangkan ajaran
tarekat Naqsyabandiyah, Syaikh Abdul Wahab memulainya di Rokan
hingga ke sepanjang pesisir pantai Timur Sumatera-Siak, Tembusai di Riau
sampai ke Kerajaan Kota Pinang, Bilah Panai, Asahan, Kualuh, Deli
Serdang hingga ke Basilam di Langkat-. Di Besilam Syaikh Abdul Wahab
membangun desa dan madrasah Babussalam guna pengembangan ajaran
tarekat, walaupun sempat meninggalkan Babussalam karena dituduh
melakukan pemalsuan uang oleh penguasa Belanda pada masa itu, ia
akhirnya kembali lagi ke Babussalam melalui undangan Sultan Langkat.
Kampung Basilam dihuni oleh penduduk yang heterogen, terdiri dari
berbagai macam suku, seperti Melayu, Mandailing dan Jawa. Agar
masyarakat hidup tentram dan damai dibuat suatu peraturan yang disebut
Peraturan-peraturan Babussalam. Berdasarkan silsilah tarekat
9 Secara praktis tarekat ini disebut juga dengan suluk atau persulukan Basilam. Kata suluk berasal dari bahasa Arab (sulûk) artinya menempuh jalan. Orang yang menempuh jalan itu disebut sâlik. Maksudnya ialah orang yang berjalan menuju kedekatan dengan Allah SWT. dengan menjalankan ibadah sepanjang malam. Lihat Abdul al-Razzaq al-Kasyani, Istilâhat al-Sufiyah (Kairo : Dâr al-Ma’ârif, 1984), hlm. 115. Dikalangan tarekat kata suluk mengandung arti latihan yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu untuk memperoleh keadaan dan maqâm dengan jalan memperbanyak ibadah, intropeksi diri dan berusaha memperbaiki jiwa agar dekat dengan Tuhan. Lihat Syekh al-Kamasykhawani, Jami’ al-Usûl fî al-Awtiyâ’ (Kairo: Dâr al-Kutub al-Arabiah, t.t.), hlm. 22. Lihat juga Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat (Semarang: Ramadhani, 1992), hlm. 121. 10 H.A. Fuad Said, Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam, cet. 8 (Medan: Pustaka Babussalam, 1998), hlm. 63-64. Mengenal keberadaan kerajaan Melayu di Langkat dapat dilihat pada T. Luckman Sinar, Kerajaan-Kerajaan Melayu di Sumatera Timur (Medan Dirasat al-Ulya, 1988). 82
Naqsyabandiyah ini menduduki urutan ke-17 dari pendiri tarekat tersebut yakni Baha’ al-Dîn al-Naqsyabandiyah, dan urutan yang ke-34 dari Nabi
Muhammad Saw.
Pokok Ajaran Syaikh Abdul Wahab Rokan adalah keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Kegiatan yang dilakukan Syaikh Abdul Wahab
Rokan dan pengikut tarekatnya tidak hanya berzikir dan bersuluk. Syaikh
Abdul Wahab Rokan juga membuka perkebunan karet, jeruk manis dan lada hitam, mengembangkan peternakan dan perikanan serta mendirikan percetakan.
Syaikh Abdul Wahab Rokan juga melibatkan diri dalam urusan politik.
Beliau mempunyai hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam, seperti
HOS Cokroaminoto dan Raden Gunawan, yang mendirikan Syarikat Islam
(SI) pada tahun 1912 kemudian menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII).11 Pada tahun 1913 ia mengutus dua orang puteranya ke musyawarah
SI di Jawa dan kemudian mendirikan Syarikat Islam cabang Babussalam di mana Syaikh Abdul Wahab Rokan menjadi salah seorang pengurusnya.
Keraguan sebahagian kalangan terhadap tarekat di satu sisi, dan keberhasilan tarekat Naqsabandiyah dalam membangun tatanan kehidupan sosial pengikutnya di sisi yang lain, menawarkan satu bidang pembahasan yang sangat menarik dan membutuhkan satu eksposisi tersendiri. Kebutuhan inilah yang akan dijawab tulisan ini, meliputi tokoh tarekat Naqsabandiyah
Sumatera Utara, Syaikh Abdul Wahab Rokan, sejarah perkembangannya,
11 Fuad Said, Syekh Abdul Wahab, hlm. 14. 83
pemikiran, amalan, dan perubahan yang dilakukannya.
2. Tokoh
Ada beberapa tokoh dalam tarekat Naqsabandiyah di dunia. Imam
Tariqah Shah Muhammad Baha'uddin Naqshband al-Uwaisi al-Bukhari
merupakan pendiri Naqsabandiyah. Syeikh Baha'uddin dilahirkan pada
tahun 1318 di desa Qasr-i-Hinduvan (yang kemudian bernama Qasr-i
Arifan) di dekat Bukhara, yang juga merupakan tempat di mana ia wafat
pada tahun 1389. Sebagian besar masa hidupnya dihabiskan di
Bukhara, Uzbekistan serta daerah di dekatnya, Transoxiana. Ini dilakukan
untuk menjaga prinsip "melakukan perjalanan di dalam negeri", yang
merupakan salah satu bentuk "laku" seperti yang ditulis oleh Omar Ali-
Shah dalam bukunya "Ajaran atau Rahasia dari Tariqat Naqsyabandi".
Perjalanan jauh yang dilakukannya hanya pada waktu ia menjalankan ibadah
haji dua kali.
Dari awal, ia memiliki kaitan erat dengan Khwajagan, yaitu para guru
dalam mata rantai Tariqat Naqsyabandi. Sejak masih bayi, ia diadopsi
sebagai anak spiritual oleh salah seorang dari mereka, yaitu Baba
Muhammad Sammasi. Sammasi merupakan pemandu pertamanya dalam
jalur ini, dan yang lebih penting lagi adalah hubungannya dengan penerus
(khalifah) Sammasi, yaitu Amir Kulal, yang merupakan rantai terakhir
dalam silsilah sebelum Baha-ud-Din. Baha-ud-Din mendapat latihan dasar
dalam jalur ini dari Amir Kulal, yang juga merupakan sahabat dekatnya
selama bertahun-tahun. 84
Pada suatu saat, Baha'uddin mendapat instruksi secara "ruhani" oleh
Abdul Khaliq Gajadwani (yang telah meninggal secara jasmani) untuk melakukan dzikir secara hening (tanpa suara). Meskipun Amir Kulal adalah keturunan spiritual dari Abdul Khaliq, Amir Kulal mempraktikkan dzikir yang dilakukan dengan bersuara. Setelah mendapat petunjuk mengenai dzikir diam tersebut, Baha-ud-Din lantas absen dari kelompok ketika mereka mengadakan dzikir bersuara.
Di Irak ada Maulana Khalid al-Baghdadi yang merupakan seorang
Ulama Sufi dari suku Kurdi, dengan nama Syekh Diya al-Din Khalid al-
Shahrazuri, pendiri cabang tarekat Sufi Naqsyabandi yang disebut
Khalidiyah setelahnya, yang telah memiliki dampak mendalam tidak hanya pada tanah asli Kurdi, tetapi juga di banyak wilayah lain di dunia Islam barat.
Maulana Khalid memperoleh gelar Baghdadi karena beliau seringnya tinggal sekaligus dakwah di Baghdad, tepatnya berada di kota Karadag
(Qaradagh) di wilayah Shahrizur, sekitar 5 mil dari Sulaymaniyah, ia dilahirkan pada 1779. Ayahnya adalah seorang penganut tarekat Qadiriyah
Sufi yang dikenal sebagai Pir Mika'il Shesh-angosht, dan ibunya juga berasal dari keluarga Sufi yang terkenal di Kurdistan.
Tokoh lainnya seperti Syaikhul Masyaikh Khwajah Khwajahgan Pir
Piran Maulana Khwajah Khan Muhammad Sahib Khanqah Sirajiah,
Maulana Ameer Muhammad Akram Awan, Imam Shamil, Jami, Shaykh
Said Afandi al-Chirkawi, Shaikh Ma'aruf Lengging, Shaykh Nazim al- 85
Qubrusi, Abdullah Fa'izi ad-Daghestani Syaikh Al Waasi Achmad
Syaechudin, Shaykh Muhammad Hisham Kabbani, Professor Sibghatullah
Mojaddedi, Haji Soofi Masood Ahmad Siddiqui Lasani Sarkar, Ahmet
Kayhan Dede, Abdullah Isa Neil Dougan, Irina Tweedie, Idries Shah,
Muchsin Al-Hinduan, Omar Ali Shah, Hazrat Mujadid Abdul Wahab
Siddiqi, Shaykh Faiz-ul-Aqtab Siddiqi, Shaykh Naeem Abdul Wali,
Mohammed Amin Kuftaro, Mukhsin Bin Ali Al-Hinduan, Faqir Maulawi
Jalalluddin Ahmad Ar-Rowi Naqshbandi Mujaddidi, Hazrat Nachrawi An-
Naqsyabandie, Syeikh Raja Ashman Shah an-Naqsyabandi, Sheikh Nursy
Al-Naqsyabandiah, Sheikh Abdul Wahab b. Abdul Manaf ALKholidi, cicit
Sheikh Abdul Wahab Rokan ALKholidi (Mursyid di Jerlun, Kuala
Kangsar), Sheikh Haji Zainuddin bin Haji Alang Ahmad Al-Kholidi, Sheikh
Haji Hashim b. Haji Hassan Al-Kholidi, Mursyid di Pekan Cendawan, Ipoh
dan Sheikh Haji Suhaimi Khalis b. Haji Ishak Al-Kholidi, Mursyid di
Greenwood, Gombak.12
3. Ajaran Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada
empat aspek pokok yaitu: syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Ajaran
Tarekat Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan
yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat
dengan Allah. Ajaran yang nampak kepermukaan dan memiliki tata aturan
adalah suluk atau khalwat. Suluk ialah mengasingkan diri dari keramaian
12 https://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat_Naqsyabandiyah (Diakses Pada 30 Juli 2019, Pukul 18:30). 86
atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir di bawah bimbingan seorang syekh atau khalifahnya selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara bersuluk ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin.
Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah.
Sebelum suluk ada beberapa tahapan yaitu; Talqin dzikir atau bai’at dzikir, tawajjuh, rabithah, tawassul dan dzikir. Talqin dzikir atau bai’at dzikir dimulai dengan mandi taubat, bertawajjuh dan melakukan rabithah dan tawassul yaitu melakukan kontak (hubungan) dengan guru dengan cara membayangkan wajah guru yang mentalqin (mengajari dzikir) ketika akan memulai dzikir.
Dzikir ada 5 tingkatan, murid belum boleh pindah tingkat tanpa ada izin dari guru. Kelima tingkat itu adalah (a) dzikir ism al-dzat, (b) dzikr al- lata’if, (c) dzikir naïf wa isbat, (d) dzikir wuquf dan ( e) dzikir muraqabah.
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya.
Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari 87
Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh
Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya (“Kakek” spiritual dari Yusuf
Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).
Asas-asasnya ‘Abd al-Khaliq adalah:
a. Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Suatu latihan konsentrasi:
sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas,
menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara
keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah,
memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir
kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual
dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
b. Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid
haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang
lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya
tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
c. Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”.
Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk
ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan 88
hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran
lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari
mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan
dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah
(Gumusykhanawi)]. d. Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Berbagai
pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada
konsep “innerweltliche Askese” dalam sosiologi agama Max Weber.
Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat
berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini
sebagai menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir
tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di
tengah keramaian orang; yang lain mengartikan sebagai perintah
untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat
sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah
saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah
secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang)
dengan mengacu kepada asas ini. e. Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama
Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula
dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau
dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir
itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis 89
shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam
kesadaran akan Allah yang permanen. f. Baz gasyt: “kembali”, ” memperbarui”. Demi mengendalikan hati
supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur),
sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti
sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka
mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan
keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir,
arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang,
untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata. g. Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-
menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar
pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap
akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang
agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip
seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama sepuluh hari;
kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.” h. Yad dasyt: “mengingat kembali”. Penglihatan yang diberkahi: secara
langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan
nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah
Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak
berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan
jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai. 90
Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:
1. Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”.
Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan
waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua
atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan
tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah
berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau
lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta
ampun kepada-Nya.
2. Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan
hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa
pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam
jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Wuquf-I qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan
membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir
ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan
yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang
secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din
menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama
Allah terukir di atasnya.13
13 http://bumi-ilmu01.blogspot.com/2015/08/tarekat-naqsabandiyah-dan-ajarannya.html (Diakses Pada 30 Juli 2019, Pukul 18:30). 91
4. Dzikir
Amalan pokok paling mendasar bagi penganut Tarekat Naqsyabandiyah
adalah dzikrullah (mengingat Allah). Sebagaimana penelitian yang
dilakukan oleh Mir Valiuddin, bagi para pengamal tarekat naqsyabandiyah
meyakini bahwa waktu luang seseorang itu sangatlah berharga dan bernilai,
serta tidak boleh dibiarkan berlalu sia-sia begitu saja. Waktu luang itu
mestilah digunakan untuk melantunkan zikir kepada Allah SWT. Tarekat
Naqsyabndiyah tidak memerlukan banyak berjaga malam dan lapar, tetapi
hendaklah mengambil jalan tengah dalam segala perkara beserta hari yang
selalu hadir mengingat Allah, baik menyendiri maupun ketika sedang
berkumpul dengan orang banyak.14
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya,
adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun
menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai
kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali,
Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal
dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ”
dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai
tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan
lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat
lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri.
14 Mir Valiuddin. Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf. (Bandung : Pustaka Hidayah, 1996), hlm.20. 92
Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.
Tarekat Naqsabandiyah mempunyai dua macam zikir yaitu:
a. Dzikir ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ”
mengingat keesaan”. Yang duluan terdiri dari pengucapan asma
Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan
tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata.
b. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri
atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la
ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis)
melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar
terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan
berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa
dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung,
dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat
tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama
Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.
Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang 93
lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh.
Tujuh tingkatan zikir ini adalah:
a. Mukasyah. Mula-mula zikir dengan nama Allah dalam hati
sebanyak 5000 kali sehari semalam. Kemudian melaporkan kepada
syeikh untuk di naikkan zikirnya menjadi 6000 kali sehari-
semalam. Zikir 5000 dan 6000 itu dinamakan maqam pertama.
b. Lathifah (jamak latha’if), zikir ini antara 7000 hingga 11.000 kali
sehari-semalam. Terbagi kepada tujuh macam yaitu qalb (hati), ruh
(jiwa), sirr (nurani terdalam), khafi (kedalaman tersembunyi), akhfa
(kedalaman paling tersembunyi), dan nafs nathiqah (akal budi),.
Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi
luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai
tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh
tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Ternyata latha’if pun
persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu
letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan
teknik meditasi seluruhnya sama saja.
c. Nafi’ Itsbat, pada tahap ini, atas pertimbangan syeikh, diteruskan
zikirnya dengan kalimat la ilaha illa Allah. Merupakan maqam ke-
tiga
d. Waqaf Qalbi 94
e. Ahadiah f. Ma’iah g. Tahlil, Setelah samapat pada maqam terakhir ini maka sang murid
tersebut akan memperolah gelar Khalifah, dengan ijazah dan
berkewajiabn menyebarluaskan ajaran tarekat ini dan boleh.
Mendirikan suluk yang dipimpin oleh mursyid. BAB IV KONSEP PENDEKTAN DIRI KEPADA ALLAH DALAM TAREKAT SYADZILIYAH
A. Cara Mendekatkan Diri Kepada Allah dalam Tarekat Syadziliyah
1. Tasawuf sebagai Jalan Mendekatkan Diri Kepada Allah Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
cara dan jalan bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin
dengan kesederhanaan Tuhan. Secara etimologi kata tasawuf berasal
dari: (1) Ahlussuffah, yakni orang-orang yang ikut pindah bersama
Nabi dari Mekah ke Madinah, (2) Shafi dan shafiyyun yang artinya
suci. Maksudnya, seorang sufi adalah orang yang disucikan, (3) Shuf
(kain wol kasar yang dibuat dari bulu), maksudnya bahwa kaum sufi
sering memakai kain wol kasar sebegai simbol.1
Menurut Al-Kurdi, tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari
hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari
sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji,
cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan
meninggalkan larangan-Nya menuju kepada perintah- Nya2
Ada tiga macam akhlak yang harus dilakukan oleh seorang yang
mengikuti jalan tasawuf, yaitu: pertama, akhlak kepada Tuhan,
dengan memenuhi perintah-perintah-Nya tanpa kemunafikan; kedua,
1 Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang , 1995), hlm. 66. 2 Majhudin , Akhlak Tasawuf Jilid I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm.66
95 96
akhlak kepada manusia, dengan menghormati yang lebih tua dan
berlaku kasih sayang kepada yang lebih muda dan berbuat adil
terhadap sesama, dan dengan tidak mencari balasan dan keadilan dari
segenap orang pada umumnya; dan ketiga, akhlak kepada diri
sendiri, dengan tidak menuruti hawa nafsu dan setan. Ketiga akhlak
seorang sufi menjadi orang yang paling mulia di hadapan Tuhan3
Dari beberapa pendapat para ahli tentang makna tasawuf
sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa tasawuf pada
dasarnya merupakan suatu suatu ilmu yang mempelajari tentang
cara-cara membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati,
mengisinya dengan sifat-sifat terpuji melalui mujahadah dan
riyadhah, sehingga merasakan kedekatan dengan Allah dalam
hatinya dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya, dan dapat
melihat Allah dengan matahatinya.
2. Langkah-Langkah Menuju Kehidupan Tasawuf
a. Tazkiyahal-Nafs
Tazkiyah al-nafs itu adalah merupakan suatu upaya untuk
menjadikan hati menjadi bersih dan suci, baik dzatnya, maupun
keyakinannya”.4 Berkaitan dengan tazkiyah al-nafs, Azra5
menjelaskan bahwa kegiatan pokok mengamalkan tasawuf itu
terfokus pada tiga kegiatan sebagai berikut: (1) tazkiyat an-nafs,
3 Al Isma’il, Ensiklopedi Tasawuf Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. 90. 4 Ibnu Taimiyah., Tazkiyatun Nafs, (Jakarta: DarussunAH Press, 2010), hlm. 117 5 Al Isma’il, Ensiklopedi Tasawuf Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. xi. 97
yakni membersihkan diri dari dosa besar dan dosa kecil,
sertmembersihkan diri dari berbagai penyakit hati dan sifat-sifat
tercela; (2) taqarrub ila Allah, yakni memberikan perhatian serius
kepada usaha-usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya. Memang Allah itu dekat dengan hamba-hamba-
Nya, bahkan lebih dekat daripada urat nadi yang ada di leher
(QS.50:16). Persoalannya, kedekatan Allah dengan manusia tidak
selalu dapat dirasakan manusia; (3) hudlur al-qalb ma'a Allah, yakni
menfokuskan diri kepada usaha untuk merasakan kehadiran Allah
dan melihat-Nya dengan mata hati, bahkan merasakan persatuan
denganAllah.
b. Mujahadah dan Riyadah Salah satu hal yang harus ditempuh oleh seorang Sufi sebagai
upaya mendekatkan diri kepada Allah yaitu mujahadah dan
riyadhah. Mujahadah (berjuang melawan hawa nafsu) adalah
menyapihnya, membawanya keluar dari keinginan-keinginan yang
tercela dan mengharuskannya untuk melaksanakan syari’at Allah,
baik perintah maupun larangan.6 Menurut al-Shadiqi, bahwa
mujahadah itu ialah kemampuan diri untuk menekan dorongan hawa
nafsu yang selalu ingin berbuat hal-hal yang tidak benar, lalu mampu
memaksanya untuk berbuat hal-hal yang baik.7
Selain harus melakukan mujahadah, untuk dapat mendekatkan
6 A. Isa, Hakikat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah 2010), hlm. 72 7 Majhudin , Akhlak Tasawuf Jilid I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm.200 98
diri kepada Allah yaitu harus melakukan riyadhah. Yang dimaksud
riyadhah menurut ash-Shidiqi ialah latihan kerohanian dalam
melaksanakan hal-hal yang terpuji, baik dengan cara perkataan,
perbuatan maupun dengan cara penyikapan terhadap hal-hal yang
benar, yang dilakukan dengan tiga macam cara menurut tingkatan
kedekatan hamba dengan Tuhannya.8 Tiga macam cara tersebut,
yaitu:
Pertama, riyadhah orang awam, yaitu upaya melatih dirinya
untuk berbuat baik. Kedua, riyadhah orang khowas (sufi, wali), yaitu
upaya agar selalu tetap berkonsentrasi terhadap Allah ketika
melaksanakan suatu perbuatan baik engan cara berusaha memahami
perbuatan yang dilakukannya, kesaksian Allah dan ma’rifat atau
kebersatuan dengan Allah. Kebersatuan Ketiga, riyadhah orang
khowasul khowas (nabi, rasul), yaitu berbuat baik untuk
mendapatkan dengan Allah berbeda dengan istilah penyatuan
menurut paham wujudiah. Dari uraian tentang mujahadah dan
riyadhah di atas, dapat dikatakan bahwa mujahadah dan riyadhah
dalam tasawuf itu merupakan suatu hal yang mutlak harus dilakukan.
c. Maqomat (Kedudukan Spiritual) dalam Tasawuf Dalam pandangan al-Qusyairi, maqam adalah tahapan adab
(etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepada Allah
dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian
8Majhudin , Akhlak Tasawuf Jilid I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 201 99
dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri
ketika dalam kondisi tersebut, serta latihan-latihan spiritual
(riyadhah) menujukepada-Nya.
Senada dengan al-Qusyairy, al-Hujwiri menunjuk maqam
kepada keberadaan seseorang di jalan Allah yang dipenuhi olehnya
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan maqam itu serta
menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaannya, sejauh berada
dalam kekuatan manusia. Sedangkan menurut al-Ansari
berpandangan bahwa maqam adalah pemenuhan hak-hak Allah. Jika
seorang hamba tidak memenuhi hak-hak yang ada pada perhentian-
perhentian (manazil) itu, maka tidak sah baginya untuk naik ke
maqam (tingkat) yang lebih tinggi. Selanjutnya, Bahri menjelaskan
bahwa kaum sufi berbeda pandangan perihal jumlah maqam yang
ditempuh oleh seseorang. As-Sarraj menyebut tujuh maqam, yaitu
taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakkal, dan ridha. Abu Talib
Al-Makki menyebut sembilan maqam, yaitu taubat, sabar, syukur,
roja, khauf, zuhud, tawakkal, ridha, dan mahabbah.9 Maqam adalah
kedudukan atau tingkatan seorang hamba di hadapan Allah yang
diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan
melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah),
latihan- latihan spiritual (riyadhah), dan mengarahkan segenap jiwa
raga semata-mata kepada Allah serta memutuskan selain-Nya. Al-
9 I. et.al Isma’il, Ensiklopedi Tasawuf Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. 781. 100
Maqamat tersebut meliputi: taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar,
tawakal, dan ridha .10
Dari beberapa pendapat para sufi tentang maqamat seperti
dijelaskan di atas, dapat dipahami bahwa maqamat itu pada dasarnya
merupakan kedudukan dan sekaligus tahapan-tahapan spiritual yang
harus dilalui oleh seseorang dalam menempuh jalan mendekatkan
diri kepada Allah. Mengenai perbedaan jumlah maqamat yang
dikemukakan oleh para sufi itu tiada lain karena adanya perbedaan
pengalaman ruhani kaum sufi, sehingga sering terjadi pencapaian
atau pengalaman spiritual tertentu, kemudian hal itu dianggap
sebagai maqam oleh sebagian sufi. Dari sekian maqam-maqam atau
tahapan-tahapan spiritual yang harus dilalui oleh seorang yang
berkehendak untuk mendekatkan diri pada Tuhan yang disepakati
oleh para sufi pada umumnya yaitu sebagai berikut:
1) Taubat
Maqam pertama yang harus dilalui oleh seseorang salik
atau orang yang ingin membersihkan hati dan mendekatkan
diri kepada Allah ialah taubat. Taubat merupakan awal
berangkatnya seorang salik menuju kepada tingkatan
berikutnya. Karena itu, membangun taubat harus dengan kuat.
2) Wara’
10 Abu N. Al-Luma’ As-Sarraj, (Surabaya: Risalah Gusti. 2009), hlm. 89 101
Wara’ merupakan salah satu maqam atau kedudukan
spiritual yang harus dilalui oleh seseorang yang menempuh
jalan sufi. Wara’ secara bahasa ialah menjauhi dosa, lemah,
lunak hati, dan penakut. Para sufi memberikan definisi yang
beragam tentang wara’ berdasarkan pengalaman dan
pemahaman masing-masing. Ibrahim Ibn A’dham mengatakan
bahwa wara’ adalah meninggalkan syubhat (sesuatu yang
meragukan) dan meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.
Asy-Syibli memberikan pengertian yang lebih mendalam,
yakni bahwa wara’ itu ialah menjauhi segala sesuatu selain
Allah.11
3) Zuhud
Suatu istilah yang sering kita dengar dalam ilmu tasawuf
ialah zuhud. Sebelum ilmu tasawuf berkembang, istilah zuhud
sering digunakan untuk orang-orang yang berusaha
membersihkan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam tradisi tasawuf, zuhud merupakan salah satu maqam
yang harus dilalui calon sufi untuk berada sedekat mungkin
dengan Allah.
4) faqir
11 Abu N. Al-Luma’ As-Sarraj, (Surabaya: Risalah Gusti. 2009), hlm. 92 102
Menurut Al-Ghazali, faqir adalah hilangnya apa-apa yang
dibutuhkan. Artinya, ia benar-benar membutuhkan yang hilang
itu. Jika seseorang kehilangan apa-apa yang tidak ia butuhkan,
maka bukan faqir namanya. Begitu pula jika barang yang
dibutuhkan itu ada dan bisa didapatkan, maka orang yang
membutuhkan itu tidak bisa disebut faqir. Senada dengan al-
Ghazali, Al-Jauziyah juga memandang faqir sebagai orang
yang senantiasa membutuhkan Allah dalam segala keadaan
dan mengakui keunggulan segala apa yang ada di sisi-Nya
dibanding dengan segala yang dimilikinya.12
5) Sabar
Kedudukan spiritual sabar adalah kedudukan spiritual yang
mulia.13 Untuk menguatkan pendapatnya, ia mengemukakan
pandangan para sufi tentang sabar tersebut. Menurutnya, Al-
Junaid pernah ditanya tentang sabar, kemudian ia menjawab:
“Sabar ialah memikul semua beban berat sampai habis saat-
saat yang tidak diinginkan". Ibrahim Al-Khawwas berkata:
Sebagian besar manusia lari dari memikul beban berat sabar.
Kemudian mereka berlindung diri pada berbagai sarana
(sebab) dan pencarian, bahkan mereka bergantung padanya
seakan-akan sesuatu tersebut yang bisa memberinya.
12 I. et.al Isma’il, Ensiklopedi Tasawuf Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm.358 13 Abu N. Al-Luma’ As-Sarraj, (Surabaya: Risalah Gusti. 2009), hlm. 102. 103
6) Tawakal
Menurut Muhammad ibn Ash-Shiddiqi, tawakkal adalah
engkau mencukupkan diri dengan pengetahuan Allah tentang
dirimu, dari ketergantungan hatimu kepada selain-Nya, dan
engkau mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allah.
Menurut Abu Said Al-Kharraz, tawakkal adalah percaya
kepada Allah, bergantung kepada-Nya, dan tenteram terhadap-
Nya dalam menerima segala ketentuan-Nya, serta
menghilangkan kegelisahan dari dalam hati terhadap perkara
duniawi, rizki, dan semua urusan yang penentunya adalah
Allah.14
7) Ridha
Ridha adalah kedudukan spiritual yang mulia. Ridha adalah
pintu Allah yang paling agung dan merupakan surga dunia.
Ridha adalah dapat menjadikan hati seorang hamba merasa
tenang di bawah kebijakan hukum Allah Azza wajalla. Al-
Qannad pernah ditanya tentang ridha, ia menjawab: Ridha
adalah tenangnya hati atas berlakunya takdir. Dzunnun al-
Misri pun pernah ditanya tentang ridha, lalu ia menjawab:
Ridha adalah senangnya hati atas takdir yang berlaku padanya.
14 A. Isa, Hakikat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah 2010), hlm. 261. 104
Ibnu Atha berkata: Ridha adalah melihatnya hati nurani pada
pilihan Allah yang lebih dahulu telah ditetapkan untuk hamba-
Nya, agar ia tahu bahwa Allah memilihkannya yang terbaik
untuknya, sehingga ia ridha dan tidak jengkel dengan-Nya.15
3. Al-ahwal (Kodisi Spiritual) dalam Tasawuf Ahwal adalah keadaan-keadaan spiritual yang menguasai qalbu
dalam menempuh jalan menuju Tuhan. Istilah ahwal dalam tasawuf
digunakan untuk menunjukkan keadaan spiritual.Al-hal merupakan
sebuah kondisi yang melekat dalam qalbu, merupakan efek dari
peningkatan maqomat seseorang. Secara teoritis memang bisa
dipahami, bahwa seorang hamba kapan pun ia mendekat kepada
Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan
mujahadah, maka Allah akan memancarkan cahaya dalam qalbu
hamba tersebut. Yang termasuk kepada al-ahwal menurut Abu Nashr
as-Sarraj16 yaitu muraqabah, qurbah, mahabbah, khauf, roja, syauq,
uns, thuma’ninah, musyahadah, danyaqin.
a. Muraqabah
Yang dimaksud muraqabah bagi seorang hamba yaitu: “Suatu
pengetahuan dan keyakinan bahwa Allah Swt yang ada dalam hati
nuraninya selalu melihat dan Maha Mengetahui”.17 “Muraqabah
yaitu seseorang melihat Allah dengan mata hatinya dan meyakini
15 Abu N. Al-Luma’ As-Sarraj, (Surabaya: Risalah Gusti. 2009), hlm. 110 16 Abu N. Al-Luma’ As-Sarraj, (Surabaya: Risalah Gusti. 2009), hlm. 88. 17 Abu N. Al-Luma’ As-Sarraj, (Surabaya: Risalah Gusti. 2009), hlm. 112. 105
sedalam-dalamnya bahwa Allah itu ialah Tuhan yang menciptakan
kita”18
b. Qurbah(Kedekatan)
Apa sebenarnya yang dimaksud al-qurbah menurut pandangan
para sufi? Kondisi spiritual qurbah bagi seorang hamba yaitu
menyaksikan dengan mata hatinya akan kedekatan Allah subhanahu
wa ta’ala dengannya. Dengan demikian, ia akan melakukan
pendekatan diri kepada-Nya dengan ketaatan-ketaatan dan seluruh
perhatiannya selalu terpusatkan di hadapan Allah dengan selalu
mengingat-Nya dalam segala kondisinya, baik secara lahiriah
maupun secara rahasia hati.19
c. Khauf (Rasa Takut)
Khauf yaitu rasa takut kepada Allah swt sebagai akibat dari
kedekatannya dengan Allah. Di antara orang yang sudah mencapai
kondisi spiritual khauf (rasa takut) kepada Allah swt itu ada yang
rasa takutnya menguasai hatinya karena ia melihat kedekatan Allah
dengannya, ada pula di antara mereka yang hatinya dikuasai rasa
cinta (mahabbah). Hal itu terjadi sesuai dengan pembenaran
(tashdiq), hakikat keyakinannya, dan rasa takut (khasyyah) yang
diberikan Allah dalam hati hamba-Nya.
18 Sy.M.J. Jaho, Tegur Sapa Untuk Hati (terj.), (Jakarta: Yayasan Emiliyyatil Abbasiah, 2002), hlm. 22 19 Abu N. Al-Luma’ As-Sarraj, (Surabaya: Risalah Gusti. 2009), hlm. 116. 106
d. Roja (Rasa Pengharapan)
Rasyidi menjelaskan bahwa roja yaitu suatu sikap mental
optimisme dalam memperoleh karunia Allah yang disediakan bagi
hamba-hamba-Nya yang shaleh. Oleh karena Allah itu Maha
Pengampun, Pengasih, dan Penyayang, maka bagi hamba yang taat
merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia Allah, jiwanya
penuh harapan mendapat ampunan, merasa lapang, penuh gairah,
menanti rahmat dan kasih sayang Allah, karena ia yakin bahwa hal
itu akan terjadi. Dalam pandangan sufi, roja merupakan salah satu
tingkatan yang harus dilalui oleh seorang salik untuk memperoleh
derajat tertinggi di sisi Allah, tetapi tidak semua sikap roja bisa
dikatakan maqam. Baru dikatakan maqam apabila sikap itu telah
mendarah daging dan menyatu dalam jiwa. Kalau sikap itu hanya
sementara saja dan pada suatu saat menghilang, maka yang demikian
itu dikatakan hal.20
e. Syauq
Syauq yaitu suatu kerinduan kepada Allah Swt. Di dalam
tasawuf istilah syauq digunakan untuk mengekspresikan meluapnya
keinginan hati untuk bertemu dengan Kekasih, atau kerinduan yang
mendalam kepada Kekasih, yakni Allah Azza wa Jalla. Salahudin
20 I. et.al Isma’il, Ensiklopedi Tasawuf Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. 994. 107
menjelaskan, bahwa syauq adalah kerinduan untuk melihat Kekasih,
kerinduan untuk dekat dengan Kekasih, kerinduan untuk bersatu
dengan Kekasih, dan kerinduan yang mendalam untuk meningkatkan
kerinduan itu sendiri kepada Kekasih. Lebih lanjut, Salahudin
mengemukakan beberapa pendapat para sufi tentang syauq.
f. Uns
Uns yaitu suatu keadaan spitual seorang sufi yang merasa intim
atau akrab dengan Tuhannya, karena telah merasakan kedekatannya
dengan-Nya. Uns adalah keadaan spiritual ketika qalbu dipenuhi rasa
cinta, keindahan, kelembutan, belas kasih, dan pengampunan Allah.
Bahri mengutip beberapa pendapat para sufi tentang apa yang
dimaksud dengan uns. Menurut Abu Sa’id Al-Kharraz, uns adalah
perbincangan ruh dengan Sang Kekasih pada kondisi yang sangat
dekat. Dzunnun Al-Misri memandang uns sebagai perasaan lega
yang melekat pada sang pencinta terhadap Kekasihnya. Menurut
Suhrawardi, uns diperoleh seseorang dengan sebab ketaatan kepada
Tuhan, senantiasa selalu berdzikir kepada-Nya, membaca firman-
Nya, dan melakukan serangkaian kedekatan-kedekatan kepada-Nya.
g. Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah salah satu kondisi spiritual sebagai
anugerah Tuhan yang diperoleh oleh seorang sufi yang sedang 108
melakukan pendakian spiritual menuju Tuhan. Thuma’ninah berarti
tenang dan tenteram. Orang yang memperoleh kondisi jiwa ini tidak
lagi dihinggapi rasa was-was dan khawatir. Tidak ada lagi yang
dapat mengganggu perasaan dan pikirannya, karena sudah berhasil
mencapai kesucian jiwa yang paling tinggi. Dia sudah dapat
berkomunikasi dengan Allah swt, karenanya ia merasa sangat senang
dan bahagia.
h. Musyahadah
Rosyidi menjelaskan bahwa musyahadah itu bisa tercapai
dengan melalui mujahadah (kesungguhan) dalam beramal. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikatakan Imam Al-Qusyairi bahwa
“Barangsiapa yang menghiasi lahirnya dengan mujahadah, niscaya
Allah memperbaiki “sirr” (rahasia batin) hatinya dengan
“musyahadah”. Maksudnya, merasakan kehadiran Allah dalam rasa
hatinya.21
i. Yaqin
Di dalam tasawuf istilah yaqin mengacu kepada ketetapan hati
kepada Allah berdasar ilmu yang tidak berubah, tidak bisa
dipalingkan, tidak bisa dibolak-balik, dan tidak lenyap ketika ada
goncangan dan keraguan. Keyakinan ini tercermin, misalnya dari diri
21 I. et.al Isma’il, Ensiklopedi Tasawuf Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. 907 109
pribadi Imam Ali ibn Abi Thalib sebagaimana yang dikemukakan
oleh Salahudin, bahwa ia pernah menyatakan: “Bahkan jika selubung
antara yang tampak dan tidak tampak diangkat, keyakinanku tak
akan bertambah”. Rasulullah bersabda: “Keyakinan akan membawa
hamba Allah kepada setiap keadaan yang luhur dan setiap tempat
pemberhentian yang menakjubkan”.
B. Macam-Macam Hizb
1. Pengertian Hizb
Hizb berasal dari bahasa Arab, yaitu Hizbun.Artinya partai, kelompok,
golongan, jenis, wirid, bagian, tentara, pasukan atau senjata.Dalam
pembahasan ini arti Hizbun adalah jenis wirid yang bahasa keseharian
disebut hizb.22Hizb adalah suatu do’a yang cukup panjang, dengan lirik dan
bahasa yang indah yang disusun ulama besar.223Hizb adalah kumpulan do’a
khusus yang sudah sangat populer di kalangan masyarakat Islam khususnya
di pesantren dan tarekat. Hizb ini biasanya merupakan do’a andalan seorang
Syaikh yang biasanya juga diberikan kepada para muridnya secara ijazah
yang jelas (ijâzah sharîh). Do’a ini diyakini oleh kebanyakan masyarakat
Islam atau kaum santri sebagai amalan yang memiliki daya spiritual yang
22 Ki UmarJogja, “Definisi Ilmu Hizib,” artikel diakses pada 30 Juni 2019 dari http://rasasejati.wordpress.com/kajian-ilmu-ghoib/hizib-ratib 23Hizb yang terkenal adalah hizb yang di susun oleh Abû Hasan al- Syâdzilî, pendiri TarekatSyadziliyahantaralain, hizbal-bahr,hizbal-nashr,hizbal- barr(al-kabir)dan lain-lain. Lihat Abi ́Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al- Jazuli, Dalail al-Khairât ma al-Ahzab, (Surabaya: Nabhan, t.th). 110
sangatbesar.24Hizb adalah himpunan ayat-ayat al-Qur’an dan untaian kalimat zikir, Asma Allah dan do’a yang disusun untuk diamalkan dengan membacanya atau diwiridkan (diucapkan berulang-ulang) sebagai salah satu bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt (Taqarrub
Ilallah). Jadi kandungan dari sebuah hizb selain berisi pujian mengagungkan
Asma Allah SWT dan shalawat Nabi juga mengandung doa untuk memohon pertolongan kepada Allah. Hizb juga mengandung banyak rahasia
(sirr) yang sulit dipahami oleh orang awam, seperti kutipan beberapa ayatal-
Qur‟anyangterkadangisinya seperti tidakterkait dengan lafal rangkaian doa sebelumnya. Para ahli hizb berpendapat bahwa dalam hal ini yang terkait adalah asbabunnuzul-nya.25
2. Hizb-Hizb Tarekat Syadziliyah
a. Hizb al-Asyfa’
Hizbal-asyfâ ‟adalah hizb yang khasdari Tarekat
Syadziliyah di Tulungagung. Sebelum seseorang mengikuti
prosesi baiat atau talqin zikir, biasanya ia dianjurkan untuk
membaca hizbal-asyfa‟, untuk membuka hati dan
membersihkannya dari kotoran nafsu. Adapun cara
mengamalkan, apabila disertai puasamaka hizbal-asyfâ‟
dibaca setiap selesai shalat fardhu dan puasa dilaksanakan
24 Heri MS Faridy, dkk., ed., Ensiklopedi Tasawuf, jilid III (Bandung: Angkasa, 2008), hlm.1153. 25 Ki UmarJogja, “Definisi Ilmu Hizib,” 111
selama tiga hari, tujuh hari, sepuluh hari atau empat puluh
hari, sesuai dengan petunjuk Mursyid. Puasa dimulai pada
hari selasa, rabu dan kamis. Apabila tidak disertai puasa,
maka pembacaan hizbal-asyfâ ‟dilaksanakan cukup sekali
dalam sehari semalam.26
b. Hizb al-bahr
Hizb al-bahr ditulis pada saat Syaikh Abu Hasan al-
Syâdzilî dalam perjalanan di Laut Merah dan mendapat
langsung dari Rasulullah. Al-Syadzili membacanya dalam
rangka berdoa agar selamat dalam perjalanan di Laut Merah.
Penerapan dalam mengamalkan hizb al-bahr Tarekat
Syâdziliyah di bekasi, bagi seseorang yang sudah
mendapatkan ijazah hizb al-bahr, dianjurkan agar setelah
mengamalkan wirid Tarekat Syâdziliyah diteruskan dengan
membaca hizb al-bahr. Hal ini sesuai dengan anjuran al-
Syadzili. Tatacara membacanya, setelah membaca al-fatikhah
yang terakhir atau sebelum doa kemudian dilanjutkan
membaca hizb al-bahr dengan diawali membaca al-fatikhah
lillaahi ta’ala, lalu langsung membaca hizb al-bahr. Hizb al-
bahr diakhiri dengan membaca al-fatikhah 7 kali, lalu ditutup
dengan membaca doa.13Hizb al-bahr biasanya dibaca setelah
26Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran” hlm.168. 112
shalat Ashar dalam tradisi Tarekat Syadziliyah (demikian
keterangan Ibn Atha’illahal-Iskandari).27
c. Hizb al-Kafi
Cara mengamalkan hizb al-Kafî ini dimulai dengan
membaca al-Fatihah yang ditujukan kepada Allah Swt., Nabi
Muhammad Saw., Sayidina Abu Bakar al-Shidiq, Sayidina
Umar ibn al-Khaththab, Sayidina Ustman bin affan, Sayidina
ali bin Abi Thalib, Sayidina Hasan dan Husain, Syaikh abd
al-Qadir al- Jailani, Mbah Panjalu, Wali Sembilan di
Indonesia, Sunan Kalijaga, Syaikh Mustaqîm bin Husain,
Syaikh Abdul jalil bin Mustaqim, kedua orang tua dan Nabi
Hidhiras.
Cara mengamalkannya pertama, membaca surat al-
Fatihah yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw., Nabi
Dawud as., Nabi Sulaiman as., Sayidina Âsif bin Barkhaya,
Sayidina Qalfatriyus, Sayidina Abu Bakar al-Shidiq,
Sayidina Umar ibn al-Khaththâb, Sayidina Ustman bin
Affan, Sayidina Ali bin Abi Thalib, Sayidina Hasan dan
Husain, Syaikh Abd al-Qâdir al-Jailani, Syaikh Syams al-
Din, Syaikh Imam al-Ghazali, Syaikh Abd al-Salam, Syaikh
Abu Hasan Al-Syadzili, Abu Abbas al-Mursi, Syaikh Abu
27Miftahussurur Anwar dan Muhdhor Ahmad Assegaf, Imam Ali Abil Hasan Asy- Syadzili:Kepribadian dan Pemikiran (Jawa Tengah: Al-Anwar, 2002), hlm.137. 113
Abbas bin Ali al-Buni, Mbah Panjalu, Syaikh Mustaqim
bin Husain, Syaikh Abdul al-jalil bin Mustaqim, kedua orang
tua dan Nabi Hidhir as.
d. Hizb al-Nashr
Hizb al-nashr adalah Sebelum membaca hizb al-
nashr ini terlebih dahulu membaca surat al-Fatihah seperti
biasanya dan ditambah kepada Syaikh Abu Abbas al-Mursi,
Syaikh al-Badawî, Arwah al-mujahidin fi sabilillah fi Mishr,
Tsuraya, Iraq, wa sair buldan al-muslimin ammah.28
e. Hizb al-Birhatiyah
Hizb al-birhatiyah adalah hizb yang diijazahkan oleh
Syaikh Abdul Razzaq al-Termasi kepada Syaikh Mustaqim
bin Husain, yang merupakan awal persahabatan dan
hubungan spiritual. Hubungan di antara keduanya sama yaitu
menjadi guru dan murid. Syaikh Abdul Razzaq al-Termasi
memberikan ijazah kepada Syaikh Mustaqim bin Husain
dengan hizb al-Birhatiyah, sedangkan Syaikh Mustaqim bin
Husain memberikan ijazah kepada Syaikh Abdul Razzaqal-
Termasi berupa hizb al-kafi.29
Cara mengamalkan hizb al-Kafi ini dimulai dengan
28 Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran” hlm. 178- 179 29 Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran” hlm. 169. 114
membaca al-Fatihah yang ditujukan kepada Allah Swt., Nabi
Muhammad Saw., Sayidina Abu Bakar al-Shidiq, Sayidina
Umar ibn al-Khaththab, Sayidina Ustman bin Affan,
Sayidina Ali bin Abi Thalib, Sayidina Hasan dan Husain,
Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani, Mbah Panjalu, Wali
Sembilan di Indonesia, Sunan Kalijaga, Syaikh Mustaqim
bin Husain, Syaikh Abdul jalil bin Mustaqim, kedua orang
tua dan Nabi Hidhiras.
f. Hizb al-Barr
Waktu yang tepat dipilih untuk membaca hizb al-
Barr yang dikenal dengan nama hizb al-Kabir ini, dalam
tradisi Tarekat Syadziliyah adalah sehabis shalat subuh.
Pada waktu membacanya hendaklah tidak berbicara kepada
orang lain saat membaca hizb al-Barr kecuali karena
kebutuhan, seperti misalnya ketika kembali Salam.
Dikatakan Abu Hasan al-Syadzili: “Barangsiapa yang
membaca hizb ini, maka dia akan memperoleh segala apa
yang telah kami peroleh dan terhindar dari bahaya yang
Allah hindarkan dari kami”.30
30Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili, hlm. 118 115
3. Pengaruh Hizb Bagi yang Mengamalkannya
Istilah hizb sudah dikenal semenjak masa Rasulullah Saw. Pada proses
berikutnya, hizb menjadi bagian dari tradisi sufi. Ordo sufi yang paling
terkenal dengan hizbnya adalah Tarekat Syadziliyah. Tarekat ini terkenal
dengan hizb al- asyfa‟, hizb al-kafî, hizb al-bahr, hizb al-baladiyah, hizb al-
nashr, hizb al-barr.21 Selain itu ada hizb al-saifi yang terkenal dalam Tarekat
Qadiriyah dan Ahmadiyah Idrisiyah. Hizb-hizb ini ada yang berasal dari
ilham, talqin dari Rasulullah Saw, mimpi, adapula yang diijazah dari
Sayyidina Ali r.a.31
Hizb inilah ciri utama Tarekat Syadziliyah yang dapat dirasakan hingga
saat ini. Dikatakan bahwa doa-doa tersebut sangat makbul dan Syaikh Abu
Hasan al-Syadzili mengakui bahwa dirinya menerima langsung dari lisan
Nabi dalam penglihatan spiritual.32 Dalam ajaran Tarekat Syadziliyah, para
muridnya juga dianjurkan untuk membaca hizb-hizb yang diijazahkan sang
guru. Hizb-hizb itu perlu dibaca, dimaksudkan agar bisa menjadi bekal,
tameng, benteng dan senjata untuk berperang melawan hawa nafsu dan iblis
yang akan selalu merintagi dan mengganggu perjalanan si murid (salik)
dalam menuju kehadirat Allah Swt.33
Seorang yang mengamalkan hizb al-bahr dengan terus-menerus, akan
31 Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran: Studi pada Pondok Peta di Tulungagung,” hlm. 168. Tentu saja masih banyak hizb-hizb Abû Hasan al-Syadzili. Lihat Abi ́Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazuli, Dalail al- Khairat má a al-Ahzab, (Surabaya: Nabhan, t.th). 32 Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara”, hlm. 38. 33Abd.Halîm Mahmûd, Abû Hasan al-Syâdzilî; al-Shûfi al-Mujâhid al-Arif biAllâh.PenerjemahAbubakarbasymeleh(Mesir:Dar-alTuratsAl‟Arabi,tt),hlm82. 116
mendapat perlindungan dari segala bala. Bahkan, bila ada orang yang bermaksud jahat mau menyatroni rumahnya, ia akan melihat lautan air yang sangat luas. Si penyatron akan melakukan gerak renang layaknya orang yang akan menyelamatkan diri dari daya telan samudera. Bila di waktu malam, ia akan terus melakukan gerak renang sampai pagi tiba dan pemilik rumah menegurnya. Orang-orang yang tidak percaya dengan hal-hal supranatural, mungkin tidak akan percaya dengan hal itu.
Ada background kisah yang amat menarik tentang asal muasal hizb al- bahr Syaikh Abu Hasan al-Syadzili. Kisah itu ditulis oleh Haji Khalifah, pustakawan terkenal asal Konstantinopel (Istanbul Turki). Hizb al-bahr ditulis Syaikh Abu Hasan al-Syadzili di Laut Merah (Laut Qulzum). Di laut yang membelah Asia dan Afrika itu Syaikh al-Syadzili pernah berlayar menumpang perahu. Di tengah laut tidak ada angin bertiup, sehingga perahu tidak bisa berlayar selama beberapa hari, dan beberapa saat kemudian
Syaikh al-Syadzili melihat Rasulullah. Rasulullah datang membawa kabar gembira. Lalu, menuntun Syaikh Abu Hasan al-Syadzili melafadzkan doa- doa. Usai al-Syadzili membaca doa, angin bertiup dan kapal kembali berlayar. Doa-doa itu kemudian diabadikan oleh al-Syadzili dan diajarkan kepada murid-murid tarekatnya. Kemudian diberi nama hizbal-bahr.
Disebut hizbal-bahr karena doa-doa ini tersebut mempunyai ikatan.
Seseorang yang membaca atau mengamalkan hizb-hizb tersebut yang dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dan dengan niat yang benar maka akan berpengaruh spiritual yang besar terhadap hati dan jiwa serta ruhaniyah 117
murid-murid. Pengaruh spiritual itu akan didapatkan oleh siapapun yang mengamalkan dengan syarat meminta ijazah dari guru yang berwenang. Dari spiritual guru itulah akan disalurkan pancaran sinar berkah kepada diri murid. Seorang yang mengamalkan suatu hizb tanpa proses ijazah dari seorang guru, maka ia tidak akan memperoleh manfaat secara ruhaniah, bahkan syetanlah yang akan menjadi gurunya dan ia akan tersesat.34
Menurut Tarekat Syadziliyah, daya spiritual hizb itu bukan datang dari jin, tetapi murni dari Allah. Apabila terjadi kasus seseorang yang mengamalkan hizb ini, ternyata jin yang turut campur, maka yang perlu diluruskan adalah niat seseorang mengamalkan hizb tersebut. Amal sebaik apapun jika niat dalam hatinya jahat maka niat jahatnya itulah yang akan menjadi kenyataan dan hasilnya hanya akan berhenti pada niatnya itu, yang biasanya tidak ikhlas karena Allah. Oleh karena itulah, jika seseorang akan memasuki suatu tarekat, yang paling penting adalah menata dan meluruskan niat dalam hatinya semata-mata hanya karena Allah.35Seorang guru adalah orang yang berhak memberikan rekomendasi kepada seorang murid untuk mengamalkan suatu amalan, sehingga amalan yang dilakukan mempunyai pengaruh signifikan terhadap kemajuan spiritual murid.
Tujuan hizb adalah untuk diamalkan agar diri seseorang menjadi dekat dengan Allah. Dalam arti, Allah akan meredai orang yang mengamal hizb tersebut. Bahwasanya hizb ini tidak boleh dibaca, melainkan setelah mendapat izin dari orang yang mempunyai keizinan untuk
34Muhammda Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran: Studi pada Pondok Peta di Tulungagun,” hlm. 167. 35Heri MS Faridy, Ensiklopedi Tasawuf , hlm. 1153. 118
mengijazahkannya kepada orang lain. Hizb ini tidak boleh di baca dengan tujuan untuk memudharatkan dan menzalimi. Hendaklah hizb ini dibaca dengan niat untuk membentengi diri, melindungi diri dan memohon perlindungan semata-mata karena Allah Swt. Dikatakan Abu Hasan al-
Syadzili: “Barangsiapa yang membaca hizb ini, maka dia akan memperoleh segala apa yang telah kami peroleh dan terhindar dari bahaya yang Allah hindarkan dari kami”.31 Ini karena hizb adalah kategori doa atau zikir yang bertujuan memperkuat tauhid pengamal tersebut. BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara garis besar, skripsi ini melihat konsep pendektan diri kepada Allah dalam tarekat Syadziliyah, dengan menilik motivasi seseorang untuk mengamalkan dzikir dan pengaruhnya bagi seseorang.
Pertama, motivasi seseorang mengamalkan mengetahui bawah, dzikir adalah media untuk berkomunikasi dengan Allah, dengan dzikir seseorang bisa merasakan ketenangan di dalam jiwa, menghilangkan stres, meringankan badan, hingga apabila ada musibah atau ujian yang datang dari Allah maka akan timbul kesabaran dan selalu berserah diri kepada Allah SWT.
Selain di dalam al-Qur’an dan al-Hadits Rasulullah Saw banyak memerintahkan kita untuk memperbanyak dzikir, dzikir juga mengangkat derajad seseorang dan mendapat ampunan sekaligus pahala yang besar.
Motivasi yang didapat dari mengamalkan dzikir adalah, paling tidak ada beberapa motivasi zikrullah yang dapat disebut di antaranya ialah: a).
Memberatkan timbangan hasanat di Yaumul Mizan. Kata Rasulullah ada ucapan zikir yang ringan diucapkan dan berat timbangan kebaikannya di antaranya ialah:
Subhanallah, walhamdulillah walaa ilaha illallah wallahu akbar. b). Sebagai alat kontrol dan pengendali diri jika sudah berhasil meraih kemenangan dan kesuksesan. Allah berfirman: “Ketika pertolongan Allah, dan kemenangan sudah
119 120
datang dan kamu lihat orang-orang berbondong-bondong masuk ke dalam agama
Allah (Islam) keseluruhannya, maka bertasbihlah memuji Rabbmu dan beristigfarlah. Sesungguhnya Ia Maha Pengampun”. Ayat itu mengingatkan kita agar tetap berzikir seandainya kemenangan sudah kita raih karena zikir akan jadi pengendali agar kita tidak lupa diri, ghurur atau takabbur.
Kedua, pengaruh dzikir terhadap seseorang yang mengamalkan. Dzikir menpunyai pengaruh yang sangat hebat terhadap kesehatan jiwa dan mental.
Pengaruh dzikir terhadap jiwa ini bisa diperoleh dengan bacaan-bacaan dzikir seperti tahlil, tasbih, tahmid, takbir, basmalah, hauqalah, hasbalah, membaca Al-
Qur’an dan asmaul husna. Sebagai makhluk berfikir manusia tidak pernah merasakan puas terhadap kebenaran ilmiah, yaitu kebenaran akal.
Memperbanyak mengingat Allah di dalam qalbu dan menyebut-Nya dengan lidah yang lazim disebut Dzikir khafi dan dzikir jahr. Dzikir dalam bentuk ini akan mengantarkan manusia meraih nur dzikir dalam rongga batin sehingga hatinya akan merasakan nur al-hayat (cahaya kehidupan) yang abadi dan bersifat ukhrawi; Menghilangkan kekusyukan hati sehingga bekonsentrasi penuh kepada
Allah SWT, serta mencapai ma’rifatullah melalui tahap pembersihan hati dari sifat-sifat tercela. Dzikir secara keseluruhan tidak hanya dalam bentuk lisan, tetapi dikenali dengan dzikir hati yang akan muhasabah akal lalu mendorong dzikir lisan, dan kemudian akhirnya dzikir amal yaitu akhlakul karimah.
Jama’ah yang melakukan proses dzikir begitu bayak dampak dan manfaat yang mereka rasakan. Mulai dari ketenangan jiwa, perasaan tenang hingga dalam 121
melakukan aktifitas terasa santai. Mengamalkan dzikir berkonsentrasi dalam melakukan proses dzikir tersebut akan merasakan kenikmatan beribadah. Selain bernilai ibadah ternyata dzikir juga dapat menyehatkan jasmani dan rohani.
Selain itu juga dampak dari berdzikir ini dapat memperkuat daya ingatan yang mana seluruh anggota tubuh difungsikan dan fokus terhadap bacaan-bacaan yang disampaikan hingga urat-urat saraf bergerak dan menyabut nama Allah.
Disamping itu dampak dari berdzikir dapat menimbulkan semangat beribadah, ringan badan membuat seseorang menjadi tawaduk, rendah hati dan dijauhkan dari sifat sombong. Maka merugilah orang-orang yang enggan menyebut nama
Allah dalam hatinya sehingga timbullah berbagai permasalahan-permasalahan yang ia hadapi.
B. SARAN
Saran penulis untuk kelanjutan dari penelitian ini adalah, Tarekat Syadziliyah baik untuk dikembangkan di perguruan tinggi Islam di Indonesia, sebagai salah satu bentuk komitmen menjaga spiritualitas mahasiswa di Universitas Islam.
Karena Tarekat Syadziliyah adalah tarekat yang penulis katakan seimbang antara pencarian dunia dan akhirat.
Saran yang lain adalah, Tarekat Syadziliyah juga bagus untuk di ijazahkan dalam setiap mata kuliah keislaman atau tasawuf di perguruan tinggi Islam di
Indonesia, agar setelah mempelajari seputar tasawuf dan tarekat, mahasiswa mendapatkan satu amalan tarekat sebagai hasil dari perkuliahan seputar tasawuf dan tarekat. 122
DAFTAR PUSTAKA BUKU
Abdullah Taufik et.al, “Tarekat”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2008 Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006 Annemarrie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta 2009 Anshori Afif, Dzikir dan Kedamaian Jiwa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Askat Abu Wardah Bin, Wasiat Dzikir dan Doa Rasulullah SAW, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2000 Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Rajawali Pers, 1992 Atjeh Aboebakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian tentang Mistik), Cet.III, Solo: CV. Ramadani, 1985 Barsani Noer Iskandar al, Tasawuf Tarekat Dan Para Sufi, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001 Bastaman Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam, cet. III , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 Basundoro Purnawan, Pengantar Sejarah Kota, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012 Bruinessen Van Martin, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Isam di Indonesia, cet III, Bandung: Mizan, 1999 Bungin Burhan, Metode Peneletian Sosial Format-Format Kualitatif dan Kuantitatif, Surabaya: Airlangga University Press, 2001 Chodjim Ahmad, Alfatihah, Membuka Matahari Dengan Surat Pembuka, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003 Dzaky Bakran Adz-, HM. Hamdani, Konseling dan Psikoterapi Islam, Jogyakarta: PT. Fajar Pustaka Baru, 2006 Faishol Fath Amir Dr., Benteng Diri, Jakarta; Fath Institute, 2015 Ghazali Imam, Keajaiban Hati, (terj. Nur Hicmah), Dari Ajaib Al Qalb, Jakarta: Tirta Mas, 1984 Hamid al-Gazali Abu muhammad, Ihya Ulum al Din, Jilid III, Kairo Mustofa al- Bab al-Halabi, 1333 H Hendriansyah Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ulmu Sosial, Jakarta, PT Gramedia, Salemba, 2010 Hubungan Masyarakat SETDA Kab. Bekasi: Bekasi Membangun, Bandung: BPS Jawa Barat, Edisi I, 2007 Ibnul Qoyyim al-Jauziyeh, Fawaidu al-Adzkar: Dzikir Cahaya Kehidupan, Cet. Ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 2002 123
Irwanto, dkk., Psikologi Umum, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991 Junaidi dan Fuzan, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Ar-Ruzz media, 2012 Kuncoronintar, Metode-Metode Penelitian Masyarkat, Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 2005 Maleong Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1989 Masyhuri A. Aziz, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, Surabaya: IMTIYAZ, 2014 Muhaimin H, Renungan Keagamaan dan Dzikir Kontekstual Jakarta: Rajawali Pers, 2014 Mulyana Dedi, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010 Mulyati Sri, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabaroh di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005 Munir Amin Samsul, Energi Dzikir, Jakarta:Bumiaksara, 2008 Najib Ahmad, Manusia Modern, Bandung: Mizan Media Utama, 2002 Nawawi Ismail, Risalah Pembersih Jiwa: Terapi Prilaku Lahir & Batin Dalam Perspektif Tasawuf, Surabaya: Karya Agung Surabaya, 2008 Pemerintah Daerah Bekasi Tingkat II Bekasi, Sejarah Bekasi Sejak Pemerintahan Purnawarman sampai Orde Baru, Jakarta: Yayasan Historia Vitae Magistra (Yavitra), 1992 Raco J.R, Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karekteristik dan Keunggulannya, Jakarta: Grasindo, 2010 Setiyawan R. Conny, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Grasindo, 2007 Shihab M. Quraish, Wawasan Al-Quran tentang Dzikir dan Doa, cet. Ke-1 Jakarta: Lentera Hati, 2006 Sholeh Moh, Tahajjud Manfaat Praktis Ditinjau Dari Ilmu Kedokteran Tetapi Relegius, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999 Soehada Moh, Metode Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), Yogyakarta: Bidang Akademik, 2008 Soemanto Wasty, Pengantar Psikologi, Jakarta: Bina Aksara, 1988 Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002 Sopandi Andi, Sejarah Dan Budaya Kota Bekasi; Sebuah Catatan perkembangan Sejarah dan Budaya Masyarakat Bekasi, Bekasi: Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan , dan Kepariwisataan Kota Bekasi, 2009 Sugiono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixweds Metods), Bandung: Alfabeta, 2013 124
Sukarno, “Marilah Kita Kubur Partai-Partai (1956)”, dalam Herbert Feith & Lance Castles (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta: LP3ES, 1988 Sulistiyo Basuki, Metode Penelitian, Jakarta: Penaku, 2010 Syekh Nawawi Ibn Umar Al-jawi, Nasho-ihul ‘ibad: Nasehat Bagi Sang Hamba, Surabaya: Gita Media Press, 2008. Syukur Amin, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern, Jogjakarta: Pustaka, 2003 Taftazani Abu al Wafa, Sufi dari Zaman ke Zaman. (Terj Ahmad Rofi’ ‘Utsmani), Bandung: Pustaka, 1997. Umary Barmawie, Materi Akhlak, Solo: Ramadhani, 1995 Ya’kub Hamzah, Etika Islam, Bandung: CV Diponegoro, 1996 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet. XIX, Jakarta: Gunung Agung, 1982 JURNAL Riyadhi A, Tarekat Sebagai Organisasi Tasawuf: Melacak Peran Tarekat dalam Perkembangan Dakwah Islamiyah, Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2, Nopember 2014
SKRIPSI DAN DISERTASI
Sa’adatul Jannah, Tarekat Syadziliyah dan Hizbnya, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011 Zuhdi Zaenu, Ibadah Penganut Tarekat: Studi tentang Afiliasi Madzhab Fikih Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Shiddiqiyyah, dan Syadziliyah di Jombang, Disertasi IAIN Sunan Ampel, 2013 Juni Muhammad, Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah di Kabupaten Bekasi, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008 Sri dan Wiwi, Laporan Penelitian Kolektif: Tasawwuf Pasca Ibn Arabi, Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN, 2006.
ONLINE: Yufridawati, Pembinaan Kota: Studi Kasus Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Bekasi. Diambil dari: http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak- 76536.pdf, pada tanggal 4 Februari 2019 Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bekasi, diakses pada tanggal 3 Februari 2019