[ones'

^onesia A AN_____

9

) I / I KESUSASTRAAN MODERN

KESUSASTRAAN INDONESIA MODERN

DALAM

KRITIK DAN ESEI

III j

K '/ OUBH H.B. JASSIN LBMBAGA BAHASA DAN KESUSASTRAAN

r^ 9 3 , w>9 j

GUNUNG AGUNG — DJAKARTA MCMLXVII Penerblt : p.T, GUNUNG AGUNG — Djakarta 1907

Djakarta — Jogjakarta — Surabaja (Sari Agung) Sukamapura — Biak — Manokwari — Merauke — Sorong Tandjung Finang Tokyo

* **

TanggaL I S I

Daftar Gambar Pengarang dan P e n ja ir ......

27 36 43 57

A jip Rosidi Tunas H a ra p a n ...... • k j V Orang Jang Kemtfali, kumpulan Tjerita pendek A. Alexandre Leo . 101 Robohnja Surau Kami, kumpulan Tjerita pendek A.A. Navis . . 108 117 122 132

Rijono Pralikto, Pengarang Tjerita serein ...... 150 . 167 DAFTAR GAMBAR PENGARANG DAN PENJAin

Muhammad Ali . . 44 Toto Sudarto Bachtiar 58 ...... 80 A. Alexandre Leo , 102 A. A. N a v i s ...... 110 Nh. D i n i ...... 118 Toha M o h t a r ...... 124 Trisnojuwono ...... 134 Rijono Pratikto , . . 152 KESUSASTRAAN INDONESIA MODERN

TAK ADA KRISIS KESUSASTRAAN INDONESIA MODERN TAK ADA KRISIS ')

AJA dengan tidak gembira dan berat liati telah meuerima pennin- taan Senat Mahasiswa Fakultas Sastra untuk bitjara pada simpo- S siurn mi. Tidak gembira bukan karena soal-soal jang akan dibi- tjarakan dalanisimposium ini saja anggap tidak penting dan simposium seperu ini tula* ana gunanja, lapi karena segala sjara't jang Iiarus, ada pada seseorang pembitjara dimuka umum, saja rasa tak ada pada saja. Sjarat-sjarat itu ialah ketjekatan bitjara, dan seperti halnja dalam dis- kusi, ketjepatan berpikir, ketjepatan merumuskan, daja reproduksi dan 3aja reaktif terhadap utjapan dan pendapat jang berlainan dari pen­ dapat sendiri, djika perlu dengan tegas dan tjepat melontarkan kembali pikiran-pikiran jang telali dirumuskan dengan baik. Tm semua saja tidak punja dan saja minta maaf karena saia tahu diantara saudara-saudara ada jang spesial datang untuk melihat otot- otot, menjaksikan dan mendengarkan pertempuran jaug seru antara pein- bitjara dan lawan-lawannja para pendebat. Mudah-mudalian sesudab keterangan saja ini saudara akan berkurang ketjewanja dan meiK.mpatkan saja ditempat jang sebenarnja sebagai pe’nindjau. ^ Saja tidak ingkari kebenaran „du clioc des opinions jaillit ]a verite” saja akui banjaknja ragam pendapat dan pendirian dan bahwa dari pemndjauan dari segala sudut mnngkin ditemukan inti-inti persoalan jang sebenarnja. Tapi djustru karena banjaknja matjam ragam penda- 1 7 1 T T U" PuIa maka tiaP reaksi ^ ^lalu spontan aoalan sadja** 3 l£m^a ^ersifat konfrontasi dengan salah satu sudut per-

Maka djikabu saja sesudah pidato ini tak mampu meladeni saudara- saudara dalam diskusi, haraplah djangan salah dipihamkan bahwa saja tak hargai pendapat-pendapat Iain. J Atjara jang dimiuta pada . saja-untuk membitjarakannia ialah- K 'T Bat T Z - ^ dr eSia M° dem 1954‘ P « je b u u a tahun 1954 ^saja Hra S WsHapithurf aka,n k-usastraan'dalT ’ P un itu sebagai titik pangkal untuk menindiau ke- masa silam, kesekarang dan kemasa depan. 3 Dalam uraian ini saja tidak akan bitjarakan pandjang lebar ner- kembangan kesusastraan 7 j - i I 7 ie,,dr Pei i *i • ■» • i • inaonesia modem sediak semula, karena ianfr demikian itu saja kira sudah t j . u • i * Kd*t'na 'an£ /liljikiikan berkali kali i ! umum t1ikelahm> dan sudah djuga dilakukan berkaii kab pun tlalam sim Fakultas Sastra tahun ian- W a^'i bUjarakan ialali keadaannja sekar^ beberapa faset jang 6aja rasa perlu dapat perhatian ietimewa d i k l muflgktfian-kemungkm ann j a dimasa depan.

aisSr5SDePSem tarl95t D,eS N‘ M s ^ Sastra University Indo- Jang segera menierbu kita dalam beberapa talmn belakangan. Ini* ialab lonlaran kata-kala kemnnduran. kelesuan. impasse atau kebun- tuan, krisis, jang katania berdjangkit disegala lapangan masjarakat, djuga daTam kesusaslraan. Dalam pcmbitjaraan ini saja sebisa-bisanja bania akan batasi diri pada kesusastraan. ______Oranp; mengatakan \ada krisis kesusastraan! Dan ada orang me- ngatakan tak ada krisis kesusastraan. Mana jang benar? Baliwa ada orang iang mengatakan kedua pendapat itu tentulab masing-masing ada be- namja. Orang tidak akan mengatakan sesuatu ada iang tidak dilibatnja ada. atau jang mennrut anggapannja tak ada. Dan adanja kebenaran pada kedua pibak ians bertentangan itu, temiata pula dari bukti-bukti iang masing-masing bisa kemukakan. T\ita boleb seludiu atau tak setudiii dengan apa iang diangnapnia bukti-bukti itu. pibak jang: melibatnja tetap menfranjrgapn’a sebagai satu kenjataan. Tni banjalab soal me- inandan" dari dniru.san mana kedjurusan mana, bagian mana sudut mana dan iana lebib D enting laai dari pendirian mana tangganan mana. Dan kalau kita kemukakan pula pendapat kita, maka itu adalah dari salali satu diurusan pandangan pula, iang mungkin diterima mungkin pida tak diterima oleb pihak-pibak jang bertentangan. Djadi saja dengau pidato saia ini tak bermaksud untuk mendesakkan sesuatu pendapat atau pandanaan ianc sudab saia ketabui lebib dahulu tentu baniak nula siidnt-sudutnia jang tidak dililiat oransr seperti saja melibatnja dan berdebat-debatan tentang ini, bagi saja tidak begitu inenarik. "Bitiara tentang krisis kesusastraan soalaja tfdab djad^. buram ka- rena limbulnja sentunen-sentimen dalam pembitjaraan-pembitiaraan salins bertentanaan. Mula-imOa sekali kita den gar orang meniebut- niebut adanja~krisis dalam kesusastraan dan uinumm a kesenian iaiab dalam nerlenniari-pertemiVan’ iang diadakan di Tugn dua tabirn _sesudab neineraban kedan^atan. A^abili” pada permulaan taliun 19.">1 pemunpin . Piidiann:

. r *• I.-L- c‘l \evo,u-'il imlali mereka berikan hasiMiasil seni janfr I>J niii >ai \ Scpuclah pcnjerahan. kedaidalan hing*injn pebasai se- r ^ V ^ r - r ^ t - 11 an?. ka kehilangan indmnnji^r~7 ^ t.1 ATaka

,lalal"ai;!n;“i„i t h !!LLjr'^ " j '7".>'Ia'- <’an '>^1, dan kri.K l,-„ -Ufeu&J K-n

l«-be«p2\S.a» . ru P“ " i - , P - j « W ' kesnsaslraan i„, d.-ncan /

k ,J“ , im.“ ,I""Sa,kul1 b<'h' ri*I>;1 P«>*«l>»an nienjronai krisis

_Asml .Saiii ilalam Simposh.in di Amslerdam lahun jana lah, nion^ f k,m . a',anja ,mr^; laPi i*»P ««c ini hanja bejfa." ,Z

jlT bbe m nipa .,n Ijsriiijpw T riflal'' lek. I1!’'' lapi 'Iia pei-.-oalannja melil',al a(la"ja lianja keftii"a" terbatas l“ pada » ^ kritik- n "

d . p a , : p ^ ^

...... r :n;aka,a; ',,,rki" aa" ""p *** p>- p “

b , r i , f e i l;! ; : '1 ; ^ ; : i^ lik: l'ifl" '7 " k? ia ni?.'' A?r" ' menarik iiaii i V Jn,,tlnm desa ‘i^ambarkannja sangat nerli ilu n-.iMt V 111 pal pula, balnva ktdiidupan se-

dan kosiiiopolil °™"* kota

U Pudjanyga Burn Th. X II No. 7. Djanuari 1851. 2J Cultured Nieuics Indonesia 1953, No. 30. 3' A^ustu^°iti54 '^'er,®‘aPa Konfrontasi? Konfrontasl Th. I No, 1 -2 , Djuli-

41 CvJtureel N’ienws Indonesia 1953, No. 3 0 .

E'KRPTf'rX,,; „ Keamanan dan kelenteraman, kebaikan dan. kesenangan jang di- bajangkannja ada didesa, memaug agak sukar ditjari didalam kota jang hidup bergolak. Tapi apakah ini lidak pula menarik hati untuk bahan karangan, sebaiknja lagi dengan sendiri pegang peranan dalanmja, dari pada hidup jang aman senlosa didalam desa. Saja tidak melihat disini bubungan im pair kesusastraan dengan persoalan kota atau dcsa. Boejoeng Saleh dalam pembitjaraannja tentang Konfrontasi nieni- bahas karangan Sudjalmoko 1) mengakui adanja krisis sosial jang menu nil dia bnkan disebabkan karena krisis kepeinimpinaii seperti diagnosa Sudjalmoko --- tapi karena adanja „djarak atau djurang antara kebutuhan objektif rakjat Indonesia dan kenjataan sosial jang terdapat kini” . Tapi mengenai krisis kesusastraan Boejoeng Saleh positif berpen- dapat balnva krisis sastra tid;|k n d y*. Dan dia m enundjuk pada beberapa basil saslra seperti Kolimrf'a Gcrilja. Diala/i tak ucla LJd/»ng_dun roman* roman jang masih lerbengkalai/ behim ada pi‘iierbit.~". Tentang apa sebabnja sedikit terlahir roman,"Boejoeng Saleh mentjari alasan-alasan dari sndnl kemasjarakalan dan keekonomian. Sebelum pe> rang pengarang-pengarang jang telah berdjasa dilapangan kesusastraan biasanja orang-orang jang lelah inempimjai pckerdjaan tetap sebagai guru, wartawan atau redaktur, sedang kebanjakan pengarang sesudah peran'K semala-mala terganlung dari imbalan tjerita-tjerita jang ditulisnja dan inilah sebabnja mereka banja meniberikan basil pekerdjaan djangka/ pendek, jaitu tjerita pendek. Ditambah lagi faktor-l’aklor seperti kesem-\ pitan perumaban jang lidak memungkinkan pemusatan pikiran. ^ Kesukaran-kesukaran seperti ini sudah djuga dikemnkakan oleh Balfas dua taluiti sebelumnja dalam tulisannja: Mengapa tak ada roman? dalam Siasat 14 Desember 1952. Nugroho \otosusanto dalam Kompas Tli. D.juli-195it, me- neropong apa jang disebul kelesuan dan membuktikan balnva kelesuan itu tak ada. Untuk itu ia bandingkan produksi kesusastraan berupa buku dan madjalab anlara 45-50 dan anlara 50*54 dan keliidupau per- kumpulan kesusastraan dalaifT dua periode itu. Saja tidak akan mengulanginja disini sebab bahan bukti jang dike- inukakannja tjukup mejakinkan. Nngroho mentjoba mentjari asal-usul iahirnja apa jang disebutnja mite kelesuan ini flan mengemukakan liga kemungkinan. jaitu: « Mungkin miro ini terlahir dari pesimiBme umuni. (jVrtinja) pesimismcv' orang-orang tentang zaman sesudah pcinulihan kedauIaTaltT Pesimisme itu disalu pibak dikandung oleh mereka jang hidupnja pj*da_zaraaji federal lebib enak. dan dilain pibak dikandung oleh mereka jang pada waktu hidup sulit ]>ada zaman revolusi punja impian-impian jaug indah dan nuiluk tentang zaman sesudah perang kolonial. ' ^Kemungkinan jang ktdua menurut Nugrolio, ialab bahwa jrolongan * ‘’old cracks” dikalaugan sastrawan jang pada periode 45 mengalami zaman keemasan pada hal pada periode 50 mulai imindur. berpegang erat pada

i) „Kewadjiban jang tak boleh ditunda”, Siasat Th. VIII No. 377, 29 Agus- tus 1954. zaman silam jang indah itu dengan mengagung-agungkan zaman gemi- langnja dan mendjelek-djelekkan zaman ini, dimana muntjul banjalc tokoh-tokoh bam. / * Dan kemungkinai^Jceti^aNialah bahwa sastrawan 45 sangat berorien^ J i3SJ—kgsastra_Belanda. clan karena dinegeri Belanda sehabis Perang ) Dunia II kesusastraan mengalami kelesuarL, karena matinja pemimpin- V pemimpin gerakan peinbaruan, maka angkatan sastrawan Indonesia jang mendjadjarkan diri dengan angkatan Marsman cs pun, sekarang djuga mau tiru proklamasikan kelesuan di Indonesia. Demikian Nngroho.

I Bagi saja sendiri, penemuan sadjak ketjil jang baik selalu menggem- j birakan dan mungkin karena itu saja tak pemali dapat kesan ada kele- I euan. impassqT krisk_ Saja akui bahwa ini pengalainan jang sansrat sub- iektif dan orang bisa menjalahkan saja terlalu melihat dari dekat dan dan dalam hingga hilang sesawangan dari luar dan kalaupun melihat dari udara, selalu mentjari apa jang bagi saja meirarik hati dan melewati ■ aPa j ang tak menarik perhatian saja. ' \ I Utjapan bahwa puisi makin lama makin Jcosong dan kabur mungkin terletak pada perbedaan ukuran apresiasi dan ukuran keindahan dalam seni sesudah perang memang lain dari ukuran jsebelum perang. Apakah jang bisa kita minta lebili dari apa jang telah d’kata- kan dalam satu sadjak jang berhasil ? Satu sadjak jang berhasil adalah satu sadjak jans berhasil, bagahnanapun singkatnja. Ia telah memuat segab iang telah dirasakan oleh peniaimja denccan intuisinia. Be*rtu dmga dalam tierita pendek jang berhasil kita tidak bisa minta lebih dari apa *ans: telah ditierltakan pengarang dalamnja. Pun satu roman jang berhasil hanja terbatas persoalannia dan kita boleh setudju atau tak setudju, dalamnja pencarans: telali meletakkan hasil pemikirannia. perasaannja, dajatjiptanja. Sjarat-sjaraf sosial boleh memhan’lunia alau tak membantunja dalam pekerdjaannia mentjipta. tan.i ini adalah seal seknnder. Sjarat social jangJialk tak selalu mengakibatkan kebaikan tiip^ taenia, djuga_jjalam keada an djelek dia bisa mentjipta sesuatu iang baik, djika mernang Tajjeniman iang b es a rJbukatn j a _d an kuat pribadinia. Hanja kita boleh menaninlcan1 daerah. - iipa^ sad j a jang d jadi perha- pengarang kita, Dan ini sangat luas. Keluasan daerah perhatian imlah jang kita boleh minta dari pengarang, pengarang perse- orangan maupun kolektif. Meskipim ia dapat merasakan. alam jang besar dalam kembang jang ketjil, kita djuga minta daripadanja daerah lain dan kehidupan: alam, masjarakat, tehnik, ekonomi, dunia perdagangan, dunia penerbangan, semua itu hendaklah dapat perhatiannja dan keli- hatan dalam hasil-hasilnja. Seorang pengarang tentang penerbangan baru hasilnja akan mojakinkan, djikalau ia dalam karangannja sanggup mem- pergunakan penMilahan penerbangan, demikian djuga pengarang tentang pelajaran harus dalam perintjian lukisannja kelihatan pengetahuannja dalam hal pelajaran. Dan untuk ini pengarang harus menjelami pel- bagai lapangau itu, nienurut kemungkinan dan kesauggupaunja. Pada umumnja para pemikir kebudajaan dan kemasjarakatan dalaro mentjoba memberikan analisa tentang apa jang dilihat mereka sebagai kelesuan dalam masjarakat dan kebudajaan, tak membitjarakan kesenian dan kesusastraan tersendiri, tapi hanja sebagai embel-embelan, sehingga pembitjaraan mereka bagi saja tetap agak kabur. Ada orang menjebut kemunduran kwalitatif, tapi tidak sampai membitjarakan kwalitas hasil kesenian dan kesusastraan itu sendiri. Orang bitjara tentang keseimbangan tjara hidup jang beluni didapat, karena sebagian orang masih berakar pada masjarakat lama jang static dan sebagian jang muda hidup dalam alam tjita-tjita kebudajaan asing jang baginja masih berupa angan-angan. Tapi apa liubungannja ini de­ ngan misalnja roman Pranioedya Keluarga Gerilja ? Apakah Keluarga Gerilja ini persoalan kebudajaan statis dan dinamis, persoalan manusia Timur dan Barat, persoalan manusia jang abstrak dan teoritis? Keluarga Gerilja adalah hasil kesusastraan pengarang Indonesia jang berakar pada buminja dan bukan untuk dibitjarakan dalam hubungan ada atau tak ada impasse. Djuga sadjak-sadjak jang ketjil, jang berhasil, biar hanja terdiri dari beberapa baris, tak bisa diliubung-hubungkan dengan impasse jang denaan sendirinja ditiadakan oleh sadjak jang ketjil serupa ituj Dengan membitjarakan jang ada ini kita tak akan mungkin sampai pada kesiinpidan teoritis seperti impasse. Impasse hanja ada kalau jang ada ini dengan sengadja mau ditidakadakan. Kita Lak bisa bitjara lagi, kalau orang sudah dari semula bersikap tidak menganggap apa-apa „arus jang, terus menerus dari tjiptaan sastra jang mengisi lembaran-lembaran madjalah kesusastraan dan kebudajaan kita” . Apalagi kalau orang itu sudah menjatakan ukurannjr. sekali dengan ^ tjara jang meremehkan bahwa baginja tak berarti apa jang disebutnja psichologisme perseorangan, „Pengalaman ketjil-ketjil dan getaran suknia jang ketjil-ketjil, jang lianja tjukup untuk mendjelmakan tje- rita-tjerita pendek dan sadjak*sadjak kita” . Karena sudah dari semula mengangkai hidung melihat jang ketjil ini, ia tak akan sampai pada inti djiwa jang terkandung dalamnja, jang tidak kurang mungkin mengandung apa jang disebutnja dengan kata-kata besar „dramatik jang terkandung didalam revolusi kita, dan masalali-masalah kemanu- siaan serta kemasjarakatan jang besar dan jang bergandengan dengan- u ja . Kita djadi terdiam berhadapan dengan orang seperti ini, orang jang barangkali sibuk dengan pikiran memikirkan teori pembangtman politik, ekonomi, kebudajaan, tapi tidak sempat melihat keliidupan dari dekat, apalagi dari dalam untuk merasakan denjut djantimgnja pada urat nadinja. Djarak kita terlalu' djauh dan apakah djawab seniman terhadap pelototan mata pemimpin dari kamar studi seperti itu ? Tidak, seniman pada bungkein, mereka tidak mendjawab, bagaimana mereka akan merumuskan djawabnja, karena mereka bukan teoritikus jang menguasai peristilahan ilmu kebudajaan, ilmu pengetahuan dan kemasjarakatan, apalagi politik kebudajaan dan pemerintahan. Djawab- an jang diberikan dan barangkali paling tepat ialah diain dan terus bekerdja. nja penerbiian hasil-ha«ilS>ramoer1v \ 1 nl^lul l11.1.1^ 1 masa subur- BSETESSj-;“ t S°!/ Tuhnn &> ‘ erI>i> ik«itiu^defcr^AirBl0*>- x r r r f^ - k“»eaa» ^ novel_jang diterbitkan oIeh” ~BaI-ii Vm tak \ e" * an8lmi" 1> P a t e M B . 4alam diadakS iio\ei diterbitkan oleli !>u«taka“ "R-,k^7' p / QlJmgjnpnjerah , Tahun(125^) terbiL buk' ^ « D ^ K a l f ^ " Ga^ P“ ra. J ?ukan Pnmrmalam. Balai 'PusI^Tl.,'' ,U ^ .terbltkan 0,eh Ga’ terdnTaSTtluii djilkTum"- lebal j!n ^ , gg£feug»g dilumvuhk™. Tahun 1952,i»rani0cd yi .nolah L n n^l Tjernadan Blora. jang lorbit £ nflP“ “ kl“ >Pu|™ Ijcrita jang t„bai; karangaiinja jang Iain jang nnimiu] d-,1, ,akiV Be,uni l“gi karangau- lahiin-tahiui lerseb.n. Satu-Sai„n ja L

,cu,ir

__ Baiklah kita ti-ii.,1 .i* , . narnja banjak lagi jang lain, tapi saja rasa memadailah ini sebagai bukti tak adanja kehentian. Orang dengan gampang pula bisa incnjusim satu dal'lar pandjang dari tulisan-tulisan jang sekarang masih born pa naskah-naskah dari pengarang-pengarang jang baru nunitjul, baik kumpulan tjerita pendek inaupun sadjak-sadjak, ada pida roman salu dua. Naskah-naskah itu. ada jang masih dilangan pcngarangnja sendiri dan. ada pula jang sudah beberapa lamanja pada penerbit jang masih ragu-ragu unltik meuerbit- kannja karena pcrtimbangan-pertimbangan komensiil. Diantaranja saja sebutkan jang berikul. jang kebetulan saja ketahui: Dari S..M. Ardan. „Terang Bulan terang dikali” : meiideiigar nama ini saudara tak usah mengehajalkan roiuantik jang bera jun-a jun, karena dalam kumpulan lukisan-lukisan ini Ardan menggambarkan kehidupan sehari-hari rakjal Djakarta, kehidupan jang kedjam dan keras. Dari Harijadi S. Harlowardojo, „I\asih dan Manusia'’. kumpulan sadjak 1950- 1953. Dari Rijono Pratiklo, „Dongeng-dongeng .Modern” : selain dari ini ada lagi naskahnja. kumpulan tjerita pendek

Melihat semua kegialan ini, sama sekaii tak ada alasan untuk her- gelap pandang, kel jualii kalau memaug tak ada keperijajaan pada tenaga- lenaga ini. Dalam pada itu menolak adanja impasse bukan herarli hahwa apa jang dihasilkan sungguh-sungguh sudah mememihi segala sjaral. Kilapun akui hahwa banjak kekurangan disebabkan karena keknrangan penga- I am ail dan kekurangan pengetahuau. Tapi ini adalah soal lain. Lagipula satu sadjak ketjil atau satu tjerita pendek seperti saja katakan tadi, mungkin sebagai sadjak ata\i tjerita pendek tjukup bernilai dipandang dari sudut estetis, hingga tak bisa diperbaiki lagi, karena telah mengan- dung apa jang paling dalam dan paling djauh djadi soal bagi pengarang dan sekilamja. Seluruh kehidupan bisa terbajang dalam satu sadjak ke- tjil atau satu tjerita pendek dan sadjak jang sempurna dalam keketjilan- nja tak bisa kita minta daripadanja supaja lebih daripada itu. Tjerita »»Tjelana Pendek”nja Idrus meskipun pandjangnja hanja dua halaman dan hanja mentjeritakan pengalaman pengarang, dalam isinja memba- jangkan pengalaman sebagian besar orang Indonesia dengan penderi* laannja dimasa Djepang. Begitu djuga tjatatan-tjatatan kampung Yusach Ananda dari Kalimantan, kampungnja mewakili Indonesia dalam hi* dupnja sehari-hari. Dalam tjerita pendek seperti lukisan-lukisan S.M. Ardan saudara bisa dengarkan debar djantung orang ketjil rakjat dje- lata seperti tukang betja dan tukang es dalam kehidupannja sehari-hari, daiam bertjinta dan bertengkar, dalam menghadapi persoalannja sen- din, menghadapi apa jang kita sebut dengan istilah jang besar kesu- aran^kesukaran ekonomis, kesukaran-kesukaran jang dihadapi oleh mereka sebagai manusia biasa, dengan harapan,. kesenangan dan keke* tjewaannja. me!.uki“kai1 kainpungnja jang sunji seorang Yusach Ananda J, . tnJa menggambarkan antara Iain keadaan umuin kelemahan hidnn^ Indonesia, kehidupan dikampung jang tergantung dari ke- akan ifn H0}101" 1 (lunia. dengan orang-orangnja jang hidup tak sadar akan itu, dalam sedih dan senangnja. memasuklT'!1 k°^eb llmtut dar* S.M. Ardan dan Yusach Ananda diperbaiki nl P°Iitik dalam karaiigannja agar kelemahan ekonomi P i n ian,! hi! PT Crintah ? TjeritanJa ™dah bitjara sendiri. Pemim- saslraau° T ™c!K!e,16arkan denjut hati rakjat dalam hasil-hasil kesu- padanja ^ ini bisa mendapat tenaga dan semangat baru dari

("besar^^erdaU* 1.n(l.onesia sedjak Djepang boleh dibilaug sebagian nienipelad1*0 ' 1* l^erila Pendek dan sadjak terutama. Karena itu untuk hundll ^ Ja^1i . menpkuti perkembangannja harus membatjai bundel- ada membaf,;|a il niatl^llah 111111 akan ternj atalab bahwa hasil-hasil itu menghadaTrr^rtr 1 kehidupan^masjarakat, suka duka orang kebanjakan dalam gai keonaran, gangguan keamanan, pertikaian politik atas keadaan P»U> pen8aruh'kedjudian politik dan ekonomi luar negeri ken^alt-aen&aft-^" negeri^-Kemmgan'* kita keinasa stfam dipersegar angan dimasa ,P i ^ . ^ 18311 dimasa pendjadjahan Djepang, perdju- sini kita danat t 1 menghadapi Inggens dan Belanda, pun disana- tjaukan eerm»lJ|llg{,raPan keadaan beberapa daerah jang masih dika- 8aajak'memperlihn'ttSer011|1^0lain'i Sekian. baiJJak tjerita pendek dan djiwa para pengarang*1 J banS8a dan dalam seperti dialami oleh

bern^n^^/*^ seperti tjerita Abas Kartadinata, „Tidak hubunean , an baji kembar dalam kandungan, kita lihat gan soal-soal kemasjarakatan, sambil mendalami hakekat

Th. x No. 10, October 1851. hidup dan mati. Tjerita pendek Darius Marpaung „Perkawinan dan Perdjuangan” ]) mempersoalkan soal-soal manusia jang paling elemen- tcr dalam keadaan jang paling darurat. Bahkan tjerita pendek dalam rumali sakit seperti „Dunia anlara Mati dan Hidup” karangan Sarosi *) menggerakkan pemikiran jang djauh, karena tjerita itu adalali satu penjelidikan dan pengalaman didaerali dimana mati dan hidup hanja dibatasi oleli salu helaan nafas, keduanja berhadap-hadapan dalam per- gelutan jang ngeri. Satu pertanjaan lain ialali bagaimana kwalitas hasil-hasil kesusas*7 traan kita? Tentang kwalitas ini kita bisa banjak berbeda pendapat. Dan kalau saudara sekarang mentjari pengarang Indonesia kaliber Dosto- jefski, kita terpaksa mengatakan tak ada. Kaliber Tolstoi djuga tak ada. Kaliber Sartre atau Camus barangkali ? Anion Tjekov, Ilya Ehren- burg ? Djuga tak ada. Jang ada ialali Idrus^ Pramoedya^Ananta Toer, dan pengarang-pengarang tjerita 'pendek 'd'alanT Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, madjalali Budaya dan Seriosa. Dan kita mempunjai beberapa penjair: Cliairil Anwar jang sudah meninggal dunia beberapa lahun jang lalu, Rivai Apin dan Asrul Sani jang sudali beberapa talnm tidak menjair lagi, dan beberapa penjair dalam madjalah dan surat kabar. Saudara tjari seorang kaliber Home- ros, Siiaakespeare, Goetlie, ElioL, Wijasa, Walmiki, Kalidasa,? Djuga titdak ada. Ja, tentu sadja saudaia tidak akan berteinu kalau memakaikan ukuran itu. Toll saja hargai pengarang-pengarang kita, bagaimana ketjil hasilnja sebagai pemjataan manusia Indonesia sekarang. / Memang ditindjau dari sudut kesusastraan dunia hasil-hasil itu mungkin tidak seberapa berarti seperti Mnhabharata dan lain-lain, tapi djika demikian halnja, maka ilulab baru tingkat jang kita tjapai dan perbandiugan dengan hasil-hasil jang besar hendaknja djadi dorongan jang knat untuk mentjiptakan jang besar. Dan perbandingan inilah jang kita perlukan kalau kita peladjari hasil-hasil jang besar dari dunia tua dan dunia modem sekarang ini. Djauli daripada mcmperketjil prestasi pengarang dan penjair kitav kitapun menjadari bahwa dilihat dalam rangka perkembangan sedjarah dan kwalitas hasil-hasil karangan kita belum boleh berpuas hati dan-: memang kepuasan liali ini tak pernah djadi tudjuan bagi pengarang dan seniman. Bitjara tentang kekurangan-kekurangan pengarang marilali kita perhatikan apa kritik orang terliadap mereka. Ada orang jang inengata- kan bahwa mereka kiirang perhatiajun^inada persoalan-person lan masja­ rakat. Apa jang dimaksud dengan iiutMaiiriieijnniinannja“tak_^5egitu djelas buat saja. Mungkin jang dimaksud ialali bahwa daerali perhatian pengarang tak lebih dari analisa djiwanja sendiri diwaktu bertjinta. Tjerita seperti ini memang banjak, barangkali karena usia kebanjakan pengarang baru sampai pada fase iui. Tapi atas sendirinja persoalan tjinta ini tak ada salahnja diambil sebagai tema tjerita, apalagi kalau pengarang dapat mendjalinkan dalamnja pikiran-pikiran jang dalam tentang manusia dan hidup dan soal-soal kemasjarakatan. Saja tak bisa

1) Mimbar Indonesia, Th. i n No. 52-53, 27 Desember 1949. 2) Mimbar Indonesia> Th. V No. 1, 6 Djanuari 1951.

544/B — (2). bajangkan satu tjerita jang terlepas sama sekali dari masjarakat, atau itu tjerita fantasi belaka, tapi fantasi itupun kehiamja dari pengarang jang tidak bisa melepaskan diri dari masjarakatnja. Fantasi jang deini- kian hidup dalam dongeng-dongeng toh masih bisa kita liargai sepan- djang dongeng-dongeng itu memperlihatkan pada kita kehidupan. batin orang-orang dalam suatu masjarakat dengan tanggapannja tentang dewa* dewa dan alam jang gaib. Mungkin jang dimaksud dengan kurangnja perhatian pada masja­ rakat itu belum adanja kesungguhan nienjelami djiwa dan penghidupan seorang tukang bctja misalnja dalam basil bentuk roman jang besar. Kalau ini jang d;maksud kita buat sebagian bisa menerima. Buat seba­ gian karena kit£i bisa mengatakan bahwa perhatian ada tertudju pada kehidupan masjarakat dan persoalan-persoalan sosial, tapi memang bellum lagi ada roman besar jang bertjerita tentang kehidupan seorang tukang betja, jang memenuhi sjarat-sjarat komposisi, psichologi, dau lam-lain suatu roman. Dan begitu kita bisa mengatakan ada perhatian pada lain-lain da- erah penghidupan manusia, dilaut, diudara, digunung, dikampung, kota, semuanja baru terletak dalam tjerita pendek, belum ada jang erupa roman. Karena itulah maka orang ingin tjari inti sebab mengapa tak ada roman seperti ini.

• . rang jang mentjari sebabnja dalam tak adanja djaminan hidupx| «^nLP,Tfgarain?’ tak adanja perumahan, tapi tak ada jang sampai pada nil d-.l . dlri pengarang. sendiri, kemampuannja, ketabahan- dinVrlnlf” 1 .men..tJfri kahan-bahan pengetahuan dan pengalaman jang K S dalam menghadapi pekerdjaannja. Semua seolah-olah nnrnt mml « dJa.lan menghadapi kenjataan sehari-hari. Disinilah me- , lirliL- K i kuntii berhasil tidaknja pengarang, kuatkah atau 1 menghadapi keadaan sekeliling, menumbuhkan pribadinja da- a, kesukaran jang mengepung dirinja dan tidak menjerah tapi alamann keadaan dalam hasil tjiptaannja. [Sampai kemana peng- I nia itul-l’ -Sampai kemana pemikirannja, sampai kemana pentjarian- j gunakan"1^ Jan®.menenlukan sampai kemana hasilnja dengan memper- / b oakat jang ada padanjafj J

dikota-kota kakat-bakat alam kita, mereka tidak hanja terdapat Icpimnalrik’ dju8a didesa-desa jang paling terpentjil. Tapi f-ampai kembangan ia mpuannja hanja deUgan bakatnia ? Dalam per- iat ianP'Kiilr I?8 *ewadjarnja mungkin mereka bisa djadi seniinan rak- masjarakat k e a r^ T ^ kedaerahamija sendiri. Tapi adanja perkembangan dunia luar, ian* gan industrinj a dan Perhubungannja dengan dan sikap hidun mbawa pengaruli-pengaruh dalam dunia pemikiran Permintaan perl^r^ “^jarakat tertutup. perhatian seorangdes, ? i adalah Pe™ ntaan long kedesa, dia ?idakV a me?genal kot.a dan kalaupun iapu- lain diiw'ini'* L-. ,gI orang de8a Jang tadmJa> tapi orang desa jang . , J ^ ’ karena dia telah mengenal tuntutan-tuntutan kota. Dia adalah seorang desa jang tinggalnja didesa, tapi dia tidak lagi orang desa jang memberi sadjen pada dewa-dewa untuk nixnia supaja hudjan turun dan panen baik. supaj* j Kita ketahui dari sedjarah hidup beberapa tokoh pengarang dunia, bahwa ada jang tidak berpendidikan tinggi, bahkan jang pekerdjaannja tadinja hanja tukang sepatu atau seter dipertjetakan, tapi mereka ini dinegeri jang telah madju mempunjai keuntungan bahwa segala apa jang sampai ketangan mereka berupa batjaan, baik buku ataupun ma- djalah dan surat kabar, sudah mempunjai tingkat lertentu jang dengan sendirinja mengangkat pengetahuan mereka dan menambah kesempur- naan bakatnja untuk mentjiptakan sesuatu dengan semestinja. Pengarang kita tidak begitu beruntung. Mereka hidup dalam keadaan ' masjarakat sedang pada permulaan pertumbuliannja, dari masjarakat I lama kearah masjarakat modern, segalanja sedang dalam fase pertjobaan. j Jang lama tidak setjukupnja lagi dapat memberikan apa-apa jang tjo- ! tjok dengan kebutuhan dan tjitarasanja dan jang baru belum lagi mem- | berikan pegangan jang teguh, karena masih dalam mentjari menemukan i bentuknja sendiri. Dan dalam masjarakat ini merekalah jang ambil L peranan penting dalam pembangunan dan memberi wadjah pada kehi-/ dupan kebudajaan. Jang telah berhasil dari pengarang-pengarang kita ialali mereka jang telah berkenalan dengan pengarang-pengarang luar negeri, meski- pun hasil-hasilnja belum sebesar jang didjadikaimja patokan. Segala jang berharga ditjiptakan sebclum perang dan sesudah perang ialah hasil daripada pendinamisan pikiran jang disebabkan karena adanja pembenihan dalam pertemuan kita dengan dunia luar. Hubungan ini sesudah dan kawan-kawannja, telah putus buat. sementara. Jang datang kemudian dari mereka tidak tjukup menguasai alat pengbubung dengan dunia luar dan mendjadilah tokoh- tokoh dari lini pertama jang djadi patokan bagi mereka. Dalam tingkat pertumbuhan kita sekarang ini sungguh-sungguh terasa sekali kekurang- an penguasaan bahasa asing, dan saja tidak persoalkan apakah itu harus bahasa Belanda atau bahasa Inggeris, bahasa Djerman atau bahasa Pe- rantjis, jang penting ialah terbukanja luas-luae dunia ilmu dan kebu­ dajaan buat kita jang kuntjinja terletak dalam bahasa asing. Ini tidak berarti bahwa kita hendak terus tergantung dari bahasa asing ini, kita- pun sekali waktu akan alami pertumbuhan bahasa Indonesia djadi bahasa ilmu dan kebudajaan, jang djuga akan memperkaja perbendaliaraan ilmu dan kebudajaan dunia. Tapi haruslah dengan aegera diusahakan membuka lebih luas dunia luar dengan penguasaan bahasa asing, djuga untuk mempersempuma bahasa Indonesia dan kandungannja, supaja kita dapat membentuk diri sesuai dengan kemadjuan dunia. Kiranja tak perlu diterangkan bahwa bukan maksud kita akan mengekor dunia luar, tapi dengan pengetahuan tentang dunia luar itu, kitapun mempu­ njai ukuran dan perbandingan akan kemampuan kita dan kemungkinan* kemungkinan kita.

Nugroho menjebut kesusastraan Indonesia modern seolah-olah tjuma „verlate Indonesische versie” dari kesusastraan Belanda. Djuga kalau perhatian ditudjukan pada wilajah lain (misalnja^BariaL niaka bal itu dilakukau djuga via Nederland. Djuga zaman i^elanggang’ jang zaman keemasannja terletak pada periode 1945, dan tertenaT dengan predikat „imiversil”, ternjata universalitasnja sebagian besar tjuma sampai kenegeri Belanda sadja. Deinikian Nugroho. *) Ini ada benarnja dan ada baikxija mempunjai kesadaran pandangan seperti ini. Kita selalu terlambat. Namun demikian inilah gerakan-ge- rakan jang diakui sebagai gerakan pembaiuan kita, baik jang 100% pro maupun jang hanja dengan reserve menerima pengaruh-pengaruh dari luar. Gerakan pembaruan jang toll mempunjai pribadinja sendiri, karena ditandai oleh Iingkungan masjarakatnja sendiri. Pada lial kita hanja berorientasi kearah satu bagian dunia sadja. Betapa lebih banjak kemungkinan-kemungkinan kita dalam pembaruan, sekiranja dunia le­ bih luas lagi terbuka bagi kita daripada halnja sekarang ini. Kesem- patan-kesempatan jang teibuka bagi kita belum llagi sehabisnja kita pergunakan, karena kemampuan kita belum ada, ditambah lagi keragu- raguan kita terhadap dunia luar, beralasan ataupun tak beralasan. Didunia kesusastraan barisan pertama jang mengenal dunia luar masih tetap djadi pelopor, belum ada gantinja. Belum ada pentjarian sendiri jang sadar keluar daerah, karena tak menguasai alat-bahasa. Dikalangan seniman, tak terketjuali para pengarang, ada satu ke- engganan untuk nienjelami ilmu pengetahuan, karena mereka meng- anggap bahwa ilmu pengetahuan barang jang mati dan bisa mematikan bakat senmja. Memang pengetahuan jang sempurna tentang tehnik bisa memberikan kelantjaran memberi bentuk pada tjiptaan, tapi kelan- jaran jang terlalu lantjar, baliajanja ialah bahwa seniman tak lagi merasa perlu memasak pengalaman dalam djiwanja, hingga tjiptaannja Keniiangan djiwa, karena dilahirkan dengan tak ada dorongan dari da- am. api mi djuga lerlalu dililial dari satu djurusan. Penguasaan tehnik HU HCJimiuji JiK-nggodok bahannja dengan kealilian, kalau perlu bikin experimen-experimen jang baru dengan tehnik jang telah diperolelinja. Kalau kita batja beberapa roman sedjarah dan drama pengarang kita, misalnja, kekurangannja dengan segera melontjat ked'e- pan. Kurang penjelidikan setjara ilmiah mengenai bahan jang diolah dan kurang pengetahuan tehnik, hingga suatu drama kwa komposisi, psichologi dan logika tak selain dapat dipertanggung-djawabkan. Keku- rangan-kekuraiigan jang bisa dihilangkan dengan studi jang serius, penjelidikan setjara ilmu pengetahuan. Bakat jang memang ada, daja- tjipta jang besar, tak usah liilang oleh kesadaran ilmu pengetahuan, malah karena itu hasilnja djuga bisa dipertanggung-djawabkan setjara ilmu pengetahuan. Berapa banjak penjair jang memang betul-betul penjair, lapi hasilnja tak peniah mentjapai nilai, karena tak ada pengetahuan dasar tentang persadjakan. Orang tak bisa dengan persediaan seorang baji bikin sadjak dan tjerita, bagaimanapun sutjinja masih djiwa seorang baji. Seumur hidupnja mereka boleh terus menjair dan meugarang, tapi tak pemali u a,IVe“ VaPa^ thigkat penjair dan pengarang. Dengan ini bukan pula j 1, l

i) Dalam karangannja ..Situasi 1954” (II), Kompas Th. IV No. 7, Djuli 1954. Masih terlalu tak diinsafi bahwa sterilitas djiwa dapat diobati an- tara lain dengan banjak membatja. Membatja dapat menggiatkan djiwa manusia, sarna djuga halnja dengan pengalainan. Membatja dan meng- \ alami sama sadja efeknja pada kegiatan djiwa manusia jang meraang mempunjai bakat untuk mengarang. Apakah jang dibatja itu hasil-hasil kesusastraan, tentang kesenian atau ilmu pengetahuan, tidak begitu djadi soal, semuanja eama penting bagi penjadaran dan penggiatan djiwa. - I Ada pendapat bahwa batjaan dan ilmu pengetahuan malah men- djelekan bagi bakat kesenian. Hasil kesenian djadi kaku, tak bemjawa, djustru karena terlalu menguasai alat-alat pengutjapan. Saja pun tak menjangkal bahaja ini. Tapi ini hanja meuandakan bahwa penggodok- an belum ada. Jang penting tetap pematangan dalam djiwa, pematangan pengalainan, pematangan pengetahuan, dilaliirkan dalam bentuk jang didjiwai oleh intuisi kebakatan jang menghidupkan. Pada liemat saja pengalainan dan batjaan jang diolali setjara ini sama nilainja bagi pe- njempumaan hasil tjiptaan. Disiplin dalam berpikir, disiplin dalam tehnik supaja djangan berantakan dalam tjara pengutjapan dan tjara pembentukan.

Sjarat minimum adalah pengetahuan elementer mengenai tehnik, dan tidak itu sadja, liarus ada penguasaan jang memungkinkan bikin cxperimen-experimen baru dengan alat-alat tehnik itu. Sebab ada per- bedaan antara hasil-hasil experimen jang berdasarkan pengetahuan elementer dan hasil-hasil jang tak berdasarkan pengetahuan elementer. Pengetahuan elementer tidak sadja mengenai tehnik, tapi djuga menge­ nai lain-lain pengetahuan. Lebih baik lagi pengetahuan vak jang ber- sifat keahlian, hingga ada disiplin dalam penggunaan alat, pikiran dan Iogika, tidak ngawur seenaknja. Terutama penulisan drama memerlu- kan pengetahuan teori mengenai tehnik. Psichologi dan pandangan hidup tidak tjukup djadi djaininan untuk berliasilnja suatu drama.

Pada umumnja pengarang-pengarang kita masih berusia muda dan kebanjakannja belum kenal hidup kekeluargaan sebagai kepala rumah tangga. Ini tentu banjak berpengartih pada tjara berpikir, pada pan­ dangan hidup dan sikap hidup. Meskipun umur bisa dikatakan bukan uku­ ran mutlak bagi peutjiptaan, oh pengarulinja besar sekali bagi kematang- an pengalainan dan tjiptaan. Pengalainan jang intensif, pentjarian jang sungguh-sungguh bagi pengarang jaug telah berusia 40 atau lebih, hasil pengolahannja tentu bisa diharapkan lebih meluas dan mendalam, lebih matang dari pengalainan seorang puber. Tapi disinipun saja liarus dengan seo-era mengatakan bahwa ini tidak sesuatu jang mullak kebenaran- nja. Saudara bisa pula mengemukakan bahwa dalam kesusastraan dunia djuga ada tjiptaan-tjiptaan besar jang djustru dihasilkan pada usia se- bclum 40 laliun dan seperti halnja di Indonesia ini pengarang-pengarang jang umurnja telah lebih dari 40 tahun, nilainja malah merosot. Saja disini hanja hendak mengemukakan kemungkinan-kemungkinan jang barangkali tak ijotjok pada umumnja, tapi tjotjok pada perseorangan. Disini harus lagi diingati bahwa manusia pengarang itu bukan satu barang jang bisa diperhitungkan setjara mutlak. Dalam menghadapi kehidupan ini dia tidak setjara mutlak tergan- tung pada ada tak adanja krisis dikalangan pemimpin, krisis dimasiarakat, knsis di Eropah, krisis di Amerika atau dimana sadja, seperti embel- embelan jang tak pun ia kekuatan sendiri. Kehidupan kesusastraan mem- punjai dunianja sendm, otonom, souverein, seperti djuga filsafat dan ilrau pensetahuan Lam-lam lapangan memang ada mempengaruhinja, tapi

Udik ^epertiS'enl Z2mx X 2 mengakibatkanm aT r , " eS\ra kesusastraan dan masjarakat pun sempurna. Oran- boleh atiir kehidnnan sastraw-m d-.n menggadiinia tinggi sekali, ini tidak akan aet^ra mutlak berattbat bahwa mutu karansannfa pun Hadi tinsrgi, malah mungkin diadi merosot. Seniman adalah L n u ”ia iane duwanja tidak senerti me?in, asal diminiaki lain • j " V ® 8 Dimasa apa jang disebut krisi di Eropahetran" ini t X d ,U1' penKaran? besar jap- l„hir satu L W u ^ ° h “ da Pen?arang. djuga lahir dalam krisis. ’ Pengarang jang besar bisa

satu sudnt tempat ia 'berdiri. Kesadaran ak*n u * ^ ^— b it l r sikap r — dari dari kehidupan. namun s a n ^ o memilih sudut^t * ^ Iain menffetahui sudut-sudut jang lain inilah >,'7 *Rmnat berdiri denccan asan diiwa. Terutama -eiiman w ^ Mdar den*an sika” kelu‘ masiarakat harus mampunjai ke^adRvJ A T i perni;,taan kehidunan ia hendak sampai padakome p s i <^va ini, kalau benkan satu robekan dari pe^alama^ kehldu^aJ ^ ^ mem‘

dari bakat semata.manTp^ i^ b e A rh " 8f.n™ “n alam dan menimba menemukan ban, berhasil dalam tugasnjT berU9aba mentjari dan

tikan denim barangkali bisa dibnk- Tam kita bisa menserti bahwa daerah n e .i-,1 " Pernah dilakukan. Iihatkan perkamusan iang terbatas Jni h .aInan 1anK ketiil memner- bahan dan lekas kehabisnn nn^T ' ia M ™ kehabisan pendalaman ja m sadar. Lain kelihatan , a rm1" !,s-->n dan dan achirnja perputaran pada satu titik soal " P ^ a n g k a la n

sangat b"ta ih h^oIehT an^ P«kamusan penearang kita nja P^pjbahan-penibahan dalam rnJs l^3 !1 ^ ^n bfniak! Pengadjaran ilmn Pencetahuan* TT.it r Ja at ,^an bertambah pesatm'i bisa meniiisun stati«tik rlnri ’ k ,nei«buktikan ini oran* m ’ l • sastraan Indonesia baru PC"~™ aa” W kata dan p e rk a ^ ™ ^ .

dapat membnktFkanni’r'd'3™ 8 kit“ ada bertambah, meskinun • perkamusan bahasa Inrlonelia” T?1?ka“!neka- Ini adalal, iugas ba^’-Jk^ ntaknja dipakni ' l " * tahu P<*« Mah bertamb2 t hanja mengatakan matahir . ' r v lmn PenK«abuan - oran7 t?d,t 1 • matahari sudah berada 45 dpr ^ a j-Sepen?Ralah ‘ 'nKginia t-mi r ‘ sudah berkenalto d e 4 m . ,1at diatas b o™ on, karena p’J P ' T a: lain-lain. Ada penman' M V*'’ “ an ^ ^ gunakan penstilahan-peristilahan dari dunia penerbangan (Aria Siswo dalam madjalab Kisak 1954). Ke- tjuali istilah-isfcilah ilmiab djuga banjak masuk istilah-istilah miisik, semlukis, dan Iain-lain. Banjak metafor baru dibenluk dari peristilahan tjabang-tjabang Kesenian ini. (Seorang pengarang mengatakan: setjepat presto serta allegro ganti-berganti sepnlu'h djari menekan huruf-huruf mesin tulisku). Mahasiswa Fakultas Sastra bisa bikin diaer- tasi tentang munljulnja metafor-metafor baru ini. Bahasa Indonesia bertambah kaja dalam tangan para pengarang jang mempergunakannja untuk menjatakan pentjarian, penemuan-penemuan dan penaklukan-penaklukannja jang baru dilapangan masjarakat, kebu­ dajaan dan ilmu pengetahuan. ’ Rupanja telah djadi sifat pikiran manusia bahwa ia m emikir kesatu djurusan. Berpikir djurusan sebaliknja djarang dilakukan dan lebih dja- rang lagi memikir dari segala djurusan, melepaskan djurusan jang satu karena mcnjadari adanja djurusan lain dan lebih djarang lagi jang me­ mikir dalam kesegalaan djurusan. Berpikir dalam kesegalaan djurusan dianggap sebagai ketiadaan pribadi. Untuk menundjtikkan pribadi haruslah, berpikir satu djurusan, harus mempertahankan kesatuan djurusan terhadap lain-lain diurusan, meski- pun dibenarkan adanja djurusan-djurusan lain setiara diam-diam atau­ pun dengan diutiapkan. Orang boleh anggap ini ketaksempurnaan pikiran manusia, tapi adanja djelas. ' Demikianlah orang membangunkan teori tentang struktur rukiran Barat dan struktur pikiran Timur. Struktur pikiran Barat kritis, objektif, rasionil, struktur pikiran Timur prelogis, subjektif, irasionil. Dalam per- tentangan ini dipikirkan segala pemjataan hidiip rohani dan djasmaui. Sebagian orang ahli kebudajaan hendak mempertahankan ketimuran, sebagian orang hendak memasukkan apa jang disebut djiwa dan semangat barat. Satu tema jang terutama dibitjarakan hangat-hansat sebelum pe­ rang. Apakah seorang Shakespeare jang begitu irasionil dalam pandangan hidupnja seorang Barat atau seorang Timur ? Apakah Dostojefski seoran? Barat atau seorang Timur ? Saja tidak berani menaniakan selandiutnja, apakah Wijasa seorang Timur atau seorang Barat. Orang bisa dengan positif mengatakan: dia seorang Timur, berdasarkan pandangan hidupnja jang spesifik . Tapi saja ingin tanjakan apakah Pramoedya Ananta Toer seorang Barat atau seorang Timur, kalau kita ukur' pandan^n hidupnja ? Ini saja rasa pertanjaan sia-sia. Pramoedya Ananta Toer adalah Pramoedya Ananta Toer. Chairil Anwar adalah Chairil Anwar. Sitor Situmorang adalah Sitor Situmorang. Saudara boleh tjari akar-akar djiwanja, mungkin saudara akan menemuinja dinegeri Belanda, barang­ kali di Perantjis, mungkin di Junani Purba dan saudara tak heran kalau akan menemuinja djuga dalam Indonesia purba. Jans: penting ialah bahwa ia hasil daripada zamannja, hidup intcns dengan zamannja dan ia adalah pemjataan jang djudjur dari zamannja. Dia adalah dia. Sebagai demikian kita menghargainia, meskipun kita tahu bahwa ad* Mahabharata dan Ramayana, ada Odysseus dan Ilias, ada Shakespeare, Goethe, Dostoiefski. Kita menghargainja sebagai orang jang hidup dari pueat pribadi Manusia di Indonesia. Pada hemat saja tak ada alasan sama sekali untuk meuolak filsafal Barat ataupim Timur dalam pembinaan kebudajaan Indonesia baru. Karena keduanja menibentuk pandangan hidup jang diperlukan oleli tiap mannsia jang hidup sadar. Soalnja bagi kita memberikan keduanja ke- sempatan jang sama besar untuk berkembang dinegeri kita, tidak menganaktirikan jang satu terliadap jang lain. Kita perlukan keduanja dalam segala kekuatannja dan kebesarannja untuk mengetahui daerah dan teiiaga pemikirannja dalam menghadapi kehidupan rohani dan djas- mani kita dan dalam mengukur lenaga kita sendiri sebagai manusia. Menguasai beberapa sistim berpikir hanja bisa memberikan manusia kesadaran penuli akan kedudukan dan tugasnja diatas dunia. Soal atheisme atau theisme bukaulah sifat hakiki dari filsafat Barat ataupun filsafat Timur sebagai pengertian merangkup dan menganggap berbahaja filsafat Barat menandakan tak ada perljaja diri karena tak ada pengertian dan penguasaan mengenai materinja. Pendangkalan jang disebnt-sebut sebagai pengaruli ifilsafat Barat sekarang tak bisa diterima. Atheisme tidak sifat jang umum dari filsafat Barat. Apa jang disebut pendangkalan ialah tak adanja liubungan dengan Tuhan, hingga dalam kesusastraan ini katanja mengakibatkan hanja lukisan manusia sebagai manusia. Apakali pelukisan manusia sebagai manusia implisit berarti bahwa manusia tak pertjaja Tuhan ? Tanggung djawab atas kehidupan sebagai manusia membikin manusia inenggali kedalam djiwanja dan kehidupan seperti ini tak bisa dikatakan dangkal, Dalam sikap dan keadaan seperti ini orang bisa bersikap tlieistis atau atheistis, seperti tiap manusia bisa Pertjaja atau tak pertjaja pada Tuhan. Apabila sebagian pengarang Indo­ nesia tak menjebtit-njebul nama Tuhan, ini tak berarti bahwa ia sudah kehihtngan Tuhan. Dan saja ingin bertanja, siapakah orang Indonesia jang sudah sampai pada penolakan jang sadar akan adanja Tuhan, hingga baginja sudah satu kejakinan bahwa Tuhan itu tak ada. Hanja utjapan sadja seperti: Tuhan sudah mati, belum lagi djadi ukuran bahwa orang itu sudah sungguh-sungguh tak ber-Tuhan, apalagi kalau kita suka meli­ hat manusia itu sebagai suatu keseluruhan pengaiaman dalam waktu dan tempat, utjapan jang seinatjam itu mungkin hanja satu saat dari perdja- Janan kesadarannja jang mungkin bertentangan pula dengan saat-saat sesudalinja seperti terlihat dalam pemikiran dan tjara hidupnja. Dalam karangannja „Kemana Arab Perkembangan Puisi Indonesia” alam Bahasa dan Budaja Th. II Nomor 2, Desember 1953, Slametmul- jono menganggap dengan positif iilsafat existensialisme jang mempe- ngaruhi kesusastraan Indonesia satu bahaja. Sebab, kata beliau, filsafal existensialisme memutuskan perhubungan manusia dengan Tuhan. Dan akibat daripada ini ialah kedangkalan hidup. Tapi djika kita pcrhatikan sedjarah filsafat Eropali dewasa ini, maka ternjata bahwa Kierkegaard, filosof jang dianggap sebagai bapak filsafat exist(*nsialisme adalah seorang KristtMi Protestan. Dia berontak terliadap pelaksanaan agama jang membikin agama hanja satu upatjara, tapi, bukan sesuatu jang hiduj> bagi para penganutnja. Dia tidak pernah „memutuskan perhubungan deugan Tuhan” . Apa jang dikehendakinja, ialah tanggung-djawab perseorangan, tanggung-djawab manusia enkeling, dalam hal-hal jang mengenai keagamaan. Di Djerman dari kalangan Protestan Jaspers terkenal sebagai filoeof existensialis dan dari kalangan Katliolik di Perantjis disebut filosof-filosof Gabriel Marcel dan Lavelle. Dan ketjuali kalangan agama ini, ada pula satu tjabang filsafat existensialisme jang telah djadi aliran tersendiri sebagai peraonalisme dengan pemuka-peinukanja Emmanuel Mounier dan Denfs de Rougemont. Saudara Rangkuti bisa mentjeritakan kepada sau­ dara, bahwa filosof dan penjair besar Islam Muhammad Iqbal itupun, pada hakekalnja seorang existensialis dalam tjaranja berpikir. Semua mereka ini mengakui adanja Tuhan, tapi disamping itu me- iiuntut tanggung-djawab manusia sebagai manusia, terliadap manusia, terliadap masjarakat, terliadap Tuhan. Ada filsafat existensialisme seperti jang dianut oleli filosof-filosof existensialis jang memang tidak pertjaja pada Tuhan seperti Heidegger dan Sartre, tapi mereka ini hanja satu tjabang dari pandangan hidup jang berdasarkau existensialisme. Disam­ ping existensialisme jang theistis ada existensialisme jang atheistis. Utjapan jang menjamaratakan bahwa filsafat existensialisme mem­ bikin orang djadi dangkal, pun perlu ditmdjau lebih djauli. Apakah jang disebut dangkal ? Jang karakteristik pada filsafat existensialisme ialah bahwa manusia bertanggung-djawab terhadap kehidupannja sebagai manusia. Perasaan tanggung-djawab ini membikin dia selalu berkonfrontasi dengan dunia sekftarnja dan dari pusat existensinja menentukan sikap dan perbuatan- nia. Dalam Iial seperti ini dia selalu menggali dalam djiwanja, baik dia perljaja pada Tuhan ataupun tidak pertjaja pada Tulian. Dia senantiasa mempunjai kehidupan batin jang bergolak. Apakah ini satu kedang- kalan ? Kedangkalan pada hemat saja kehidupan jang sudah tersedia, dise- diakan oleh serba aturan jang sudah di-verordmir, diperintalikan dan atas, tinggal hanja mendjalankan sadja tanpa berpikir. Dan dalam Jhat ini tidak ada bedanja orang jaug ber-Tuhan atau tidak ber-Tulian, *e ua nja sama dangkal, tidak lagi mempunjai kehidupan batin sendiri, se a semuanja eudali dituang dalam atjuan-atjuan. 1 Apa jang dilihat orang sebagai krisis saja kira hanjalah satu pergo 'lakan sewadjarnja dalam salu masjarakat jang sedang mentjan perim- I bangan-perimbangan baru dan nilai-nilai baru dalam tjara hidup aru. Bahwa dalam pergolakan ini tiap golongan mempunjai tanggapannja sendiri dan tjita-tjitanja sendiri bagaimana susunan jang sebaiknja dan menganggap penjelesaian golongan lain sama sekali tak berharga, sudali pula” sewadjarnja. Tenaga-tenaga jang kuat sedang berlempur dan achir- nja orang boleh berlanja apakah tangan besi disini bcrguna, atau malah akan memalikan kemungkinan-kemungkinan inisiarif-inisiatif baru jang timbul dengan kuat dan spontan. Banjak dilakiikan kebodolian-kebodoh- an dan ketololan-ketololan, tapi pun ini saja kira terpaksa kita terima bad pemasakan djiwa revolusi jang masih terus herkobar, revolusi men- tiari nilai-nilai jang baru. Sebab revolusi. jang telah kita mulai dalam tahun 1945, malah sudah djauh sebelum itu dengan berdirinja ^ergerak- an-ner^erakan pada permulaan abad ini, masih menerus sampai sekarang dan sama sekali tidak berachir dengan perginja Belanda. Kalau saudara/ bertauja: Kapaii berachir? — Mungkin masih akan 10-20 tahun lagi, j j sampai masjarakat kita telah dapat keseimbangan dalam kehidupan lahir I dan batinnja. Tapi apakah keseimbangan jang seperti ini mungkin dan kalaupun mungkin apakah memang ini kebahagiaau jang ditjita-tjitakan, adalah soal lain, jang barangkali tidak semua orang sama sependapat pula. Ada orang jang berpendapat bahwa keseimbangan berarti diam dan am berarti mati. Djustru dalam geraklah adanja kehidupan. j Djalan buntu kesusastraan tidak ada. Kesusastraan Indonesia tak / pernah berhenti tumbuh dan kita sama sekali tidak bisa bitjara tentang impasse. Pun diwaktu Djepang, tatkala sensur Djepang sangat kerasnja kesusastraan tunjbuh terus sebagai registrasi keadaan dan kedjadian, sebagai pengutjapan harapan dan tjita-tjita, keketjewaan dan kegein- ^biraan.

, JaD8 Pent® g ^an memang disadari oleh kita semua, ialah adanja as1 • itu sendiri, djauh lebih penting dari kongres-kongres, polemik- po emik, analisa-analisa, rentjana-rentjana, simposhim-simposium. Kong- res, polemik, rentjana, simposium, memang ada gimanja sebagai penja- ar^ dimana sudah kita berada, dan apa jang kita hendak tjapai, tapi hanja rentjana, teori dan polemik sadja tidak menolong kita, kalau tak ada tenaga-tenaga kreatif sendiri, ba gaimanapun ketjil sumbangannja a am memberi bentuk dan wadjah bagi kesusastraan dan kebudajaan jang sedang tumbuh. Dalam hubunszan inilah kita harus melihat dan dapat hargai usaha- usaha seperti madjalah kebudajaan, kesusastraan dan kesenian dan lem- aran- embaran kebudajaan dalam harian-harian dan dapat pula kita largai kongres-kongres dan lain-lain, betapapun kita anggap pilihan atja- ra pembitjaraan tak begitu tepat atau tak perlu sama sekali, adanja mem- per 1 atkan aktivitas, dan kalaupun aktivitas ini tak disetudjui sebagian orang mungkin karenanja lalu timbul reaksi-reaksi iang akan ternjata lebih baik dan lebih subur. Kita sekarang pada achir taliun 1954. Apakah kesusastraan kita su- a mati betul-betul ? Untuk mendjawab pertanjaan ini kita tak usah meng^si in dengan pathos untuk menjatakan dengan berapi-api masih anja na as kita dan berdenjutnja djamiin^ kita. Kita hanja ingin ber- anja cm ah. Apakah maksud saudara dengan kesusastraan? Kalau sau ara ma sud kesusastraan ialah kehidupan, saja dengan tcnang men- aWa ‘ au ara’ kesusastraan kita sekarang ini sedang liidup bergolak. DJAWABAN ATAS BEBERAPA REAKSI

ALAM simposium jang diadakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Sanra pembitjaraan saia tidak diikuti dengan diskusi, tapi saja ber- Ddjandji akan inenjambut tulisan-tulisan dalam madjalab dan surat kabar iang bersifat polemik. Kescmpatan ini saja pakai untuk mendjawab beberapa pembahasan jang saja anggap serius. Karena reaksi-reaksi terha- dap pidato saja itu dimuat tersebar dalam berbagai m adjalab dan surat kabar tak mungkin bagi saja dan saja tak efektif mendjawabnja satu per satu dalam masing-masing madjalab dan surat kabar jang bersangkutan dan liaraplah dapat diterima saja djawab sekaliannja sekali gus dalam madialah Mimbar Indonesia. *) Saia mu^ai pidato saja dengan permintaan maaf karena saja tak ber- sedia berdiskusi karena segala sjarat iang harus ada pada seseorang pem- bitiara dimuka iimum, Baja tak punia. Sjarat-sjarat itu ialah £etiekatan bitjara, dan seperti halnia dalam diskusi, ketiepatan *>ermkirketiepatan merumuskan, daja reproduksi dan daja reaktif terhadap utjapan dan pendapat jang berlainan dari pendapat sendiri, djika perlu dengan tegas dan tjepat melontarkan kembali pikiran-pikiran jang telah dirumuskan

den Meskipun demikian kementator soal-soal kebudajaan Boejoeng Saleh iang kita kenal sebagai djago bitjara merasa perlu memberi nasihat via tiorong radio supaja saja toh mau berdiskusi di simposium karena bukan satu rintangan kalau tak bisa bitjara (?), jang penting ialah isi pembi­ tjaraan. 2) Ini satu nasihat jang tidak saja perlukan karena saja terlaiu

^ Perlu saja' teraiigkan bahwa sebelum simposium saja telah berkah- kali menolak permintaan untuk berbitjara sambil mengemukakan keku- rangan saja dal-im bertukar pikiran setjara lisan didepan umum, tapi ke^igihan panitia simposium berhwil memaksa saja pada^ achirnja menerima permintaan bitjara, tapi dengan sjarat tanpa diskusi. Diadi djikalau ada penje?alan bahwa „simposmm itu bukan simpo­ sium” maka'ini adalah penjesalan jang mengenai kebidjaksanaan pengunis simposium dalam memilili para pembitjara Supaja ramai s^ arusnia^ f nanitia pilih pembitjara jang memang alili biijara Han ahli berdebat. Saia sendiri bersangka bahwa kompromi jang toh bisa tertjapai antara saia dengan panitia, mungkin djuga karena pertimbangan b a h w a apa jang diniinta dan saja adalah satu balans jang tak begitu perlu diper-

dCb Pidato simposium saja sebut pidato saia, karena diutiapkan didepan simposium, tapi kalau ada orang jang hendak menjebutnja pidato sadja, saja pun tidak keberatan.

7) Djawaban ini dimuat dalam Mimbar Indonesia Th. IX No. 4 dan 5, tgl. 22

2) RRI ^rog^III tgl. 9 Desember 1954, djam 20.45 — 21.00. Dalam pada ilu ingin djuga saja menjelidiki apakah jang disebul sim­ posium itu. Simposium ialah naina salah satu buku Plato dalam mana di- tjeritakannja pertjakapan antara Sokrates dengan kawan-kawannja menge­ nai Eros, dewa ijinta dan hakekat tjinta dalam segala pendjeltmaannja, djasmaniah dan rohaniah. Beberapa orang ahli filsafat bitjara bergilir mengemukakan pendapatnja, pudji-pudjian kepada Eros, masin^-masing dengan tjara jang sebagus-bagusnja. Simposium ini diterdjemalikan ke- bahasa Djerman dengan Gastmahl (terdj. Rudolf Kassner) jan" berarti feestmaal, banket, pertemuan makan-makan dan minum-minum dan kebahasa Belanda dengan Drinkgelag (terdj. P.C. Boutens) jan- berarti herbergvertering, dronkemanspartij (Koenen Hw), bermabuk-mabuk. Per­ tjakapan Junani itu meniang dilakukan sambil makan-makan dan mi- num-mmum, djadi agak Iain djuga dengan simposium jang kita kenal se arang, dimana kita hanja dapat minum satu gelas orange crush dan a ang- adang djuga tidak dapat apa-apa sama sekali. Dan kalau kita len ak mentjari-tjari persaniaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan am agi dengan artinja semula, simposium dulu tak ada penonton dan deba rold i1puJbl'k ldat0"Pit3at0 ‘*an8 PUla d“ kuti oiel]l diskusi atau

c U4U menSatakan faahwa simposium jang diadakan oleli Sastra bukan simposium, hanja karena salah seorang dari tiga tT ^ aV lda" ber,d:skusi’ «ja kira tidak benar. Apalagi Lang jang au engarkan debat telah dapat mengikuti perkelahian Sitor Situ- Pranl°edya l-van-Lwan-

,azim seka™»S

  • * **

    meufa°aka“n h S Z " sa?!*™ tadj u]HfIe,lli ana Pedoman 7 Desember 1954 banjak niemberi W J »1111emudJlkai1 pengarang-pengarang baru jang „menarik bits de"Sa" “ beSiU' “ angkatan pengarang 8ebc] Pe“ S«ra»g-pe“S «anS ba™ itu dengan

    saia UDi'cAp^N^^11?^3? *,a*lwa pembagian 45-50 dan 50-54 bukan dari tahun 50-51-52 karena t I™* m? (1->alah K om Pas 1)< SaJa teropong tahun- dimak«nM, • ta»»ui-tahun itulah jang menu rut dugaan saja me mm / ( 1 Amsterdam ditandaf oleli krisis, tahun-talnm sesndahnja, b a iM L g^ -n ,? I}lcIahirkan ha«*-hasil, djuga tahun-talum lah-madi-il ili o • , , i>a buku manpun jang termuat dalam madja- da„ L b ^ N n a3% mf a V li,lak »»...dingkai tahun-,ahun sesudah 50 S0’ sall> 3™tS disesalkan old. Beb Vuyk. Karena ilu

    *) Kompaa Th. IV No. 7, Djuli 1964. saja agak heran dengan keheranan Rosihan apabila dia mengatakan „alangkah tjepatnja peralilian dari satu angkatan ke angkatan berikut”, seolah-olah sajalah jang bikin angkatan. Baik angkatan maupun penga­ rang perseorangan menjatakan dirinja sendiri dan kalau terdjadi jang demikian, saja akan mentjatatnja. Rosihan tundjukkan adanja ketegangan-ketegangau dalam masjara­ kat karena „kita baru sampai pada kulitnja sadja dari Barat, belum sampai pada inlinja dan mendjadikannja darah daging milik kita sen­ diri”. Ketegangan-kctegangan itulah menurut Rosihan jang disebut djuga krisis, „krisis jang terdapat disegala Iapangan, termasuk djuga krisis dila- pangan kesusastraan” . Penjamaan ketegangan dengan krisis buat saja tidak begitu mejakinkan. Ada ketegangan-kctegangan, tapi ketegangan- ketegangau itu timbul karena pergolakan sewadjarnja dalam satu masja- rakat jang sedang meiitjari perimbangan-perimhangan baru dan nilai- nilai baru dalam tjara hidup baru. Saja anggap kita masih terus dalam revolusi. Apakah ketegangan-ketegangau revolusi disebut krisis ? Apakah revolusi kita tempohari melawan Belanda kita sebut krisis ? Sebagai orang jang mengalaminja dari dalam tak sesaatpun kita teringat kita berada dalam krisis, entail orang jang menonton dari luar. Apakah dimasa revolusi tempo liari ada krisis kesusastraan ? Dimasa Djepang ? Mengapa sekarang liarus ada krisis kesusastraan oleh karena menurut Rosihan Anwar ada kelegangan-ketegangan dalam masjarakat jang dimasa revolusi dan dimasa Djepang toh djuga ada ? Saja berpen- dapat bahwa tak ada krisis kesusastraan. Ketegangan-ketegangan (menu­ rut Rosihan krisis) jang ada malah bisa tambah menjuburkan kesusas* traan, karena kesusastraan adalah bcutuk daripada pengalaman dalam ketegangan-ketegangan menghadapi persoalan-persoalan. Dan dengan ini saja tegaskan pula salah satu daJil saja bahwa kesusastraan mempunjai kehidupannja sendiri, mempunjai kcdudukan jang otonom, seperti djuga filsafat dan ilmu pengetahuan. Seperti saja katakan dalam pidato saja, dalam menghadapi kehidupan ini pengarang tidak setjara nvutlak tergan- tung pada ada tak adanja krisis dikalangan pemimpin, krisis dimasja- rakat, krisis di Eropah, krisis di Amerika atau dimana sadja, seperti einbel-emhelan jang tak punja kekuatan sendiri.

    Mengenai kwantitas pada umumnja orang sama sependapat bahwa ada kegialan taliun-tahun 1950 dan sesudahnja, ketjuali Beb Vuyk dalam Indonesia Raya 1) jang hendak menidakannja dengan mengatakan bahwa karangan-karangan Pram jang saja kemukakan terbit dalam ta- hun-tahun itu sebagian besar sebenarnja ditulis tahun-tahun sebelumnja. begitu djuga karangan-karangan pengarang lain jang terbit dimasa itu menurut Beb Vuyk ditulis sebelum 1950. Dengan demikian ia seolah-olali hendak mengatakan bahwa tahun-tahun 50-51-52 memang tahun-taliun jang kosong sama sekali. Dalam hal ini Beb Vuyk sangat teliti. Dia ada* kan perbedaan antara tahun terbit suatu buku dan kapan selesainja ditulis oleh pengarang, dan kalau dia hendak lebih teliti lagi dia bisa adakah perbedaan pula mengenai kapan bermainnja tjerita, apakah ber- i) Indonesia Raya, 22 Desember 1954. main dimasa revolusi, diwaktu Djepang atau didjaman kolonial dan misalnja hanja menghituag apa jang bermain dimasa revolusi. Mengikuti tjara berpikir Beb Vuyk jang spekulatif baiklah dia menunggu dengan sabar beberapa tahun lagi diterbitkannja kumpulan prosa dan puisi jang sungguh-sungguh ditulis dalam taliun-tahun 50-51-52 jang sampai seka- rang belum dapat penerbit dan setjara iseng-iseng bolehlah ia membalik* balik madjalah-madjalah jang agak bernilai jang terbit dimasa itu, barangkali dengan seleksi jang tidak terlalu keras ia berkenan menerima kumpulan beberapa penjair seperti Toto Sudarto Bachtiar, Harijadi S. Hartowardojo dan beberapa pengarang tjerita pendek. Jang masih saja sajangkan djuga belum terbit kumpulannja maeing-masing sekarang ^ 4snJ Sani, Nuraini dan Rivai Apin, orang-orang jang dalam djalan pikiran Beb Vuyk akan memperkuat barisan pengarang sebeluni 1950. Barangkali direksi Pembangunan dan Pnstaka Rakiat bisa mem- bantu ? J

    Berkata Beb Vuyk: * , ^engan memakai liasiMiasil Pramoedya Ananta Toer, Jassin men* tjoba membuktikan, bahwa tidak ada krisis kesusastraan. Dia menghitung hasil-hasil Pram dari tahun ketahun. Dalam tahun 1949 diterbitkan tidak kurang dari 7 hasil-hasil karangannja, satu produksi jang hebat dan dapat dimengerti sebagai reaksi seorang seniman terhadap revolusi dan perang. Interupsi dari saja: Bukan tahun 1949 tapi tahun 1950 (ini djelas tersebut dalam stensil). jumlah 7 diperoieh pembahaa karena ada jang tertjetjer dalam 8 ensi pidato jang disebarkan panitia Simposium. Jang sebenarnja eau- ^ ru i oa dalam Mirnbar Indonesia Th. VIII No. 50, 11 Desember » al 22, jaitu: tahun 1950 terbit 5 buku Pram dan tahun 1951, 3 buku

    Selandjutnja* berkata Beb Vuyk:J dan bulan sebelum penjerahan kedaulatan, Pram dibebaskan dala 6 h i ltU 8e^esa* padanja manuskrip-manuskrip beberapa novel dan am ulan-bulan kemudian dia menulis seakan dalam satu „demam pentjiptaan . nan !^aR**i^e^ erakai1 kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, Pram di§im- pan tn oukrtduri sampai 31 Desember 1949. dalam m "^* T^er*(a ^lora jang terbit dalam tahun 1952 ditulift u..,,,,,, asa — Buku ini seharusnja dihitune bukan sebagai hasil kifln R ta.bun 1952, akan tetapi sebagai hasil tahun 1950. — Demi- waktu .^ jatli Tjerita dari Blora masih masuk hasil djangka dalamnja " ^an& saja hendak buktikan bahwa tak ada kelesuan

    Selandjuinja pula Beb Vuyk: . ~7 dari 12 hasil-hasil kerdja Pram jang disebut Jassin dalam pidato* nja, delapan ditulis dalam tahun 1949 dan 1950 dan hanja tiga buah dalam tahun jang berikutnja, sedang satu kumpulan lagi belum dike- luarkan oleh . Saja tegaskan bahwa tahun 49 tak ada karangan Pram jang terbit eebagai buku. Unluk memenuhi keinginan Beb Vuyk menempatkan hagil- liasil karangan Pram sesuai dengan tanggal selesainja ditulis, saja akan bantu Beb Vuyk dengan bahan-bahan dokumentasi. Saja tjatatkan kapan eelesai ditulis dan kapan terbit sebagai buku:

    Jang selesai tahun 1949 ialah: Keluarga Gerilja, selesai di Pendjara Bukit Duri bulan Oktober 1949. Terbit di Pembangunan 1950. Subuh, kumpulan tiga tjerita pendek, jang terbaik „Blora” ditulis di Bukit Duri, Mei 1949, terbit di Pembangunan 1950. Perburuan, selesai di Pendjara Bukit Duri 23 Mei 1949, terbit di Balai Pustaka 1950. Pertjikan Revolusi, kumpulan 10 tjerita, satu ditulis di Tjikampek tahun 1946, jang lain ditulis selama 47*48-49 dalam tawanan di Bukit Duri, antaranja satu di Pulau Edam, September 1947. Terbit di Gapura 1950.’ Empat inilah jang saja relakan dimasukkan Beb Vuyk dalam periode djamau federal jang subur dan tak ada krisis (?) menurut dia, Udin dan Takdir Alisjahbana. Dan boleh ambil dua lagi, jaitu Ditepi Kali Bekasi dan Krandji Bekasi djatuh. Keduanja sebenarnja merupakan bagian dari satu roman besar jang hilang disita Belanda tahun 1947, menurut* Pram ditulisnja djuga ditahun itu. Krandji Bekasi djatuh terbit sebagai buku tahun 1947 dan Ditepi Kali Bekasi diterbitkan oleh Gapura tahun 1951. Jang selebihnja ditulis tahun 1950 dan sesudah itu. Buat jang punja perliatian dokumentasi saja tjatalkan djuga apa jang selesai ditulis oleh Pram tahun 1950: Dia jang menjerah, ditulis sesudah keluar dari tawanan, mula-mula dimuat dalam satu nomor Pudjangga Baru Th. XI no. 11-12, Mei-Djuni 1950. ICemudian dimuat dalam Tjerita dari Blora, BP 1952. Bukan Pasarnialam, selesai ditulis bulan Djuli 1950, diterbitkan oleh BP 1951. Mereka jang dilumpuhkan, dua djilid, selesai ditulis bulan *Maret 1950, diterbitkan BP 1951. Tjerita dari Blora, dari 11 tjerita jang dimuat dalam kumpulan ini hanja satu ditulis tahun-1949, selainnja ditulis 1950 dan (satu) 1951. Hasil-hasil Pram jang ditulis sesudah itu tjukup terang dan tidak djadi perebutan, saja tak merasa perlu menjebut satu persatu tanggal selesainja dan tahun diterbitkannja. Terbit pertanjaan: apakah bisa diterima tjara pentjatatan BeO Vuyk ? Bahwa kita mengetahui kapan selesainja satu karangan ditulis, kapan terbitnja dan kapan pula tjerita bermain, adalah keterangan-kete- rangan jang perl'u diketahui oleh ahli sedjarah kesusastraan. Tapi mengera* ballikan segala kepada kapan selesainja ditulis tidak tjara pentjatatan satu-satunja. Bagi saja lebih praktis mentjatat satu hasil penerbitan dari tahun terbitnja dan disamping itu djuga mentjatat kapan sele­ sainja, asal kecluu kedjadian itu djangan terlalu berdjauhan seperti halnja* tjontoh jang dikemukakan oleh Beb Vuyk mengenai hasil- hasil Ambrose Bierce dan Jane Austin. Apalagi mentjatat kapan selesai- nja satu karangan tak selalu bisa dilakukan karena biasanja pengarang tak menjebutkannja, djuga dalam karangan aslinja. Dan kemana mau dimasukkan karangan jang selesai ditulis pada djam 00.00 peralilian tahun lama ketahun barn ? n

    Nama-nama jang saja sebutkan telah mempunjai naskali-naskah karangan puisi dan prosa dalam tahun-tahun sesudali penjerahan kedau­ latan rupanja tidak berkata apa-apa buat Rosihan Anwar dan Beb Vuyk. Penjebutan buat saja mengandung suatu penghargaan nilai, tinggi atau- pun rendah. Bahwa tak ada jang bernilai itu tegas-tegas saja tolak. Bahwa ada jang bernilai terbit itulah jang saja simpulkan dalam tak ada krisis. Perbandingan nilai antara hasil-hasil tahun 1945-1950 dan 1950-1954 seperti jang diharapkan oleh Beb Vuyk memang tidak saja lakukan dalam pidato saja, dalam arti bahwa saja tidak bandingkan hasil-hasil pengarang periode jang satu dengan hasil-hasil periode jang lain. Ini saja anggap satu pekerdjaan sia-sia. Apakah akan diperhadapkan hasil- h

    Kalau saja anggap Ilya Ehrenburg pengarang besar dan menjebutnja sena as engan f jekov, ini saja lakukan dengan sadar. Baik dari Tjekov maupun ( an Ilya Ehrenburg pengarang-pengarang kita masih bisa bela- djar banjak. lapi memang dengan tidak kita taliu tiba-tiba sadja ada orang menggerulu dan tidak kita tahu pula ada orang bertepuk tangan. Saja tidak mgat orang-orang ini dan lidak perliitungkan tepukan tangan atau gerutuan seperti ini. Saja tidak memandang Rimbaud, Baudelaire, Verlaine sebagai penjair-penjair dekaden dari satu masjarakat kapitalis jang hobrok karena ada orang inenganggapnja demikian, sajapun tidak ikut menghukum Gide, Koestler dan lain-lain pengarang jang „murtad” lalu menganggap segala hasil mereka tidak apa-apa, sebaliknja djuga saja tak menganggap mereka pengarang-pengarang jang baik, karena tiu’iientaug slelsel komunisme. Tapi sajapun merasa mempunjai kebcbas- an unluk mengagumi seorang pengarang seperti Ilya Jihrenburg jang

    D'llam karangannja Krisis H.B. Jassin” , dimuat dalam Mimbar Indonesia Th. IX No. 2-3, 15 Djanuari 1955, Sitor Situmorang, berpenda- pat bahwa krisis kesusastraan tidak ada dau tak pernah ada, hanja jang ada ialah krisis ukuran. Sitor memberikan karakterisasi tentang diri saja sebagai kritikus dan bagi saja agak sukar untuk membitjarakan diri saja sendiri. Hal im mcman" lebih baik diseralikau pada orang lain. Tjuma karakterisasi itu mengherankan bagi saja terutama dimana dia mentjoba menganalisa diiwa saja dalam menghadapi pekerdjaan saja, saja rasa agak ringan dan dangkal. Dau memberikan pula kcsan perasaan sentimen jang barangkali setjara tidak disadari menondjol. Perbedaan nkurau anlara saja dengan Sitor sudah tjiikup djelas. Ukurui Sitor adalah ukuran seniman dan seni, berdasarkan pula satu pamlanfan hidup tertouu, sedang bagi saja tidak hanja mlai scm j^ S ditiari Tapi banjak lagi anasir-anasir lain jang menentukan mlai. Jialwa kami dalam beberapa hal bisa bertemu disebabkan karena anasir-anasir itu pun bisa memperkuat kenilaian seni semata. Perbedaan jang paling besar ialah mengenai penempatan hasil pada lalar belakaii" kesedjarahan dan perkembangan kemasjarakatan, djuga perkembangan pengarang dan penjair perseorangan. Mungkin satu hasil dilindiau dari sudut seni tak memcnuhi semua sjarat-sjarat estetika, tapi dinandau" dari sudut perkembangan sedjarah dan masjarakat dan ditin- diau dari” sudut perkembangan perseorangan mempunjai arti. Saja bisa bargai hasil demikian dan saja mempunjai kejakiuan baliwa sebagai observer saja harus menindjau demikian. Lagi pula ukuran senipun tidak hanja satu dan ditindjau setjara ini terus menerus ada krisis ukuran - untuk mengikuti djalan pikiran Sitor — dari sudut salali satu aliran jang hanja mengakui ukuran sen­ diri. Dalam lial ini saja kira lebih baik dipakai kata perbedaan ukuran. Dan tak usali dibawa pada aliran, antara jang perseorangan pun ada perbedaan ukuran dau bukan krisis ukuran. Karena itu dimana sesuatu ukuran djadi kuat, limbul aliran, seperti dinegeri-negeri jang ielah ma- diu orang mengenai dalam eedjaralmja aliran-aliran naturalisme, impress onisme, expresionisme dan lain-lain. Aliran simbolisme karena lam pan- tlaiK'an seuinja tak bisa menghargai naturalisme misalnja dan demikian

    544/B-(3). sebaliknja. Ukuran seni jang mana akan saja pakai ? Hanja akan ber- pegang pada ukuran simbolisme, berarti tak memberi liak hidup ba‘«i aliran-ahran lam dan mi bukan pekerdjaan seorang penindjau. Saja lidak hcmiak mengatakan bahwa seorang seniman penganut simbolisme lidak boleh berpendinan demikian dan meuumpas lain-lain aliran — kalau dia bisa — Hu adalah urusannja sebagai seniman. Saja hanja bisa mentjatat bahwa ada seniman demikian dan sampai satu tingkal menghargainja sebagai salah satu pernjataan dalam kesusastraan. jVIemang seseorang penganut isme kesenian demikian jang melihat lanja dan sudutnja sendiri lalu menganggap semua ukuran jang lain tak benar dan hanja mengatjaukan ukuran; saja tak dapat ikut mem- SuPerl1 demikian- Saja hargai Anas Ma’ruf dalam bebe- n mt dt.w .SC roiuan,ik!ls bl,lau Pumama, lapi saja djuga sc o fcan exprcsionisme Chairil Anwar dan siapa bisa mentie^ali saia S “ “ P Smb0li5mc ^ bari-nja: b S S den-art mo, (.Jorak dan aIlran ba^ saja ada tempatnja, tentu sadja r m 'thn | I ’ 1 ®Jara*’fJarat tertentu jang ijotjok dengan tjilarasa ali- ian* diadi* i L- gKat aclur lJItarasa pnbadi saja. Tjilarasa pribadi inilah J-.'-Tk ukuran bagi saja — bagaimana saja bisa lain ? — Saia me- sikan kebetUnS * *aml,ai Patla ukuran seperti ini — orang boleh sang- ^Slih S T nir3“ ^an1.me"jebul“j“ - bagi saja aendiri b sa ' a t P i'1'Iia,1? 1JaiUl dalam V o n s^ b iU a kesimpulan jang dimia luar! UVI 1 IcrhadaP diri -«»d“ ^ badaP

    sil-h^^jang^seip^ kT tidak ^ ke[Juu.Ii JanS mengenai ha- karena in, »!<„* i",1,11 samPai Pada tingkat sempuma ini, ^lah teoran^,u ‘ relahX KaIau saia me“"ldJi *alu karangau jan- sempurna h u -T "S bukaa1 berartl «lur»h karangau itu sudah hasil rangan jan- ]aju , l , i mUa *’aku'» keadaiin^ dan lempal, atau semua ka- orang lain hll. r,m® ll.u saJa S0liangi. Bahwa pengarang ilu atau i . *. *. • demikian, ilu diluar kemauan saja. Berapn pen-aran^,,.!^.? P®rll.mbail?ka11 karangan jang disampaikan seorang leriina itumm b ^ ’ seI>ulub mungkin hanja satu jang saja jang ditolak oleli ‘sT dei\*?a" pertimbangan dari sudul pedagogis bilan ian- ln; m-°!’ "iuj^ km semua diretour. Dan kalau sein- kareiaJ“ A " n h di'n dimUOt dilcm Pat ,a“ ' ngarane tersebut m muat, satu karangau pengarang itu, adalah liak pe- buka. Dan kalu, nCmP\ukaa karangannja dimana ada kesempalan ter- (lapat “ tT?^ ^ h“ i “ menurut ukuran saja * leI,di mempertimbangkau dengan djudjur

    tor dat™ rJen^n?a!liikl'T r ^ ill^ ,kau, I,aila Silor scmlili- Saban Si- /ah sudah punHdpn L J J3’ ^!a,u ll,la bahwa itu- jang sampai sekaran. aZ T l J" ~ Buangla? 8emua jang lain - ta la S H o, K a l^ ^ k “ ku ^ T ' "al“lara’ ilu buk““ sadjjk Iianfa punja dokunie,m l . , .an .*lan I><-™i»laan bilor,

    Tidak! Saja hargax Sitor sebagai penjair, sebagai penulis drama, sebagai pcnuhs csei, jang mempunjai keliich.pan peiud, p U scliap saat, saja hargai hasil-hasilnja, setudju alau tidak saja dengan isinja, rendah alau tinggi liilainja, scbab hanja dengan demikian saja bisa dapat satu gambaran total dari manusia Sitor. Apakah dengan ini saja mau katakan bahwa Sitor sama nilai dengan Rimbaud ? Sitor adalah salah satu per* njataan dari seorang seiiiman di Indonesia. — Djadi maafkanlah kalau saja tidak penuhi perminlaan Sitor unluk membakar prosa, puisi dan drama- nja jang saja simpan dengan rapi dalam dokumentasi saja. Keragu-raguan Sitor bukan keragu-raguan saja. Lebih djelas lagi tak bisa adanja lianja satu ukuran kesenian kalau diingal pendasaran filsafal dan j)andangan liidup jang menenlukan sikaj? hidup terliadap seni dan masjarakat. Pandangan scni dan ukuran seni berdasarkan keagamaan mesli lain dari ukuran seni untuk seni. Dan agama inipun sudah bermaljam-maLjam pula. Agama Kristen mengcnal Katliolik dan Protestan, agama Islam punja aliran orthodox dan mistik. Dan kalau man didasarkan pada filsafal, ukuran seni jang berdasarkan Thomisme tcntu akan lain dari jang berdasarkan filsafat existensialisme. Pandangan seniman mengenai tugas seniman dan seni berbeda-beda pada masing-masing pendasaran. Dan kita tak bisa adakan proklainasi jang hams ditaati oleh semua seniman: Saudara-saudara, sekarang Aku-isme berdasar Existensialisme. Djuga ddeologi politik jang berlain-lainan mengakibatkan inter- pretasi lugas seni jang berlain-lainan, jang berakibat pula apresiasi seni jang berlain-lainan. BEBERAPA TJATATAN PADA PRASARAN GAJUS SIAGIAN

    ESEI DAN KRITIK SASTRA INDONESIA DEWASA INI *)

    ESAN umum jang saja peroleh dari uraian saudara Siagian ialah tjaranja jang mcngkarakterasi setjara umum, dengan tidak mem- K T*n ^an a^asan*a^asai1 bcrupa ilustrasi jang konkrit sampai kepada detail. Tidak mengherankan kalau akibatnja lantas dirasakan oleli orang jang berkepenlingan sebagai lerdjangan kasar jang tidak memperhitung* kan motif-molif perlimbangan jang lialus dan begitu rumit sangkut nir- njangkul. Tentulah bisa djuga dikatakan sualu keberanian unluk mengatakan tengan kasar — disini dalam arti dengan begitu sadja — apa jang * la,1©SaP sebagai kesalahan orang lain, kalau orang tidak dapat menibe* a an antara keberanian dan kekasaran dan malah mau mencrima ke- 'asaran sebagai kebenaran. Tapi saja kira kekasaran tidak selalu ber-' a asan kebenaran, sebab kekasaran biasanja pendjelmaan kurang pikir an tak adanja kesabaran mempertimbangkan segala sesuatu dari setiap fill ut keimingkiuaiu Sepandjang jang bisa'saja ikuti saja tidak mendjadi ja -in akan masaknja pertimbangan jang dapat membeuarkan peletusaii^ 'C( jengkelan jang merupa sebagai kekasaran. Sehingga saja mendjadi lerus bertanja-tanja akan motif-motif pem- k^K ara- V m U ( ^mana mengemukakan apa jang dianggapnja- agai alasan, nicnurut anggapan saja alasan itu tcrlalu hanja berdiri sen in an tidak dihubungkan dengan alasan-alasan lain jang mungkin sa mempenngan atau memperberal alasan jang pertaina. Saja kira nul U I^1Cn^ i a,n/ mot*f*niotif jang mungkin untuk mendapatkan kesim- nrnn?* J011,®, erJ*asar akalbudi, kesimpulan jang tidak usah berupa koni- tidak^i^d^*11 il^1’ ljeriiPa *e,laga penghantam habis apa jang ternjata

    ada krijik jang berdasar akalbudi, jang merasa tiukup dengan mengatakan: Ini h-i5L- c. t • ■>. ? i <- nhint i-i ti .V. — Stop —. Dan: Ini djelek. — Stop — Karena “ S /^ itik itu pada sifatnja tidak sempurna baik dan tidak iano- bisa d l k ^ l , Jllali basil-hasil pengarang jang besar mungkin ada kliflilr in, » 1 senil,urna baik, seperti halnja dengan hasil-hasil berdasar aLllim/T*1 mo/ Iern- Tapi Pim dalam hal ini Porlu PP11?l,r;iiau (ioinnnrii.i V *•!. cj i l!nlllk sampai pada kesimpulan karakterisasi: Ini waktn li'iciT*! moskipmi sempurna baik dilihat dalam perspektif r> 1 iaS1 ltuP,m mendapat nilai sendiri-sendiri pula, jang mens* ikatnja pada aman dan lingkungannja. S oranxr-nrT^10'11^™1?3* kctcrus-terangan saudara Siagian menundjuki ______p JanS * ld,,ggapnja bersalah atas kesalahan mereka dah ber-

    } S aSy NoGI^Dja?uarfni9^7epari Simp°SiUm Fakultas Sastra U J‘' K isa h lerima kasih pula atas kebaikannja menibcri petundjuk-petundjuk, jang bisa saja lerima dan jang tidak bisa saja lerima. Dalam rcferat jang pandjangnja 12 lialaman lebili, seperempat duripadutija pembitjnra telah berkeuall memberikan ponumdangannju tentang kedudukan saja sebagai kritikus. Maka izinkanlah saja dari sudut saja pula menjalakan diri terhadap beberapa lial jang dikemukakan oleh peinbitjara. Saja menjadari baliwa tidak mungkin hanja ada satu matjam krite- rium dan lidak mungkin hanja ada satu matjam kebenaran selama kriterium dan kebenaran ini hanja keluar dari satu otak manusia. Hal ini mengenai kritik bcrkali-kali telah saja kemukakan, karena itu saja sendiri mengandjurkan supaja maeing-masing membcnJuk kriterium jang berdasar pada penljarian kebenaran masing-masing. Sampai kemana djauhnja pentjarian kebenaran ini dan bagaimana tjara penggunaannja disitulah letaknja nilainja. Denman teliti saja ikuti djalan pikiran saudara Siagian mengenai diri saja! pekerdjaan saja dan tjara saja bekerdja. Sesudah mengatakan bahwa saja mempunjai „gezag” pada para pengarang, ia mcnjalahkan para pengarang ini, karena man mendengarkan saja, sambil mengatakan bahwa sastrawan-sastrawan „kurang sanggup membedakan jang murni daripada jang palsu, emas dari lojang dan Seni daripada Kitsch” . Ini menimbulkan kesan scolah-olah saja dengan sadar atau tidak telah me- mudjikan jang palsu sebagai jang murni, menawarkan jang lojang seba- rrai emas dan Kitsch sebagai Seni. Sualn tuduhan jang sangat berat bagi saja, karena saja senanliasa mengusahakan kemurnian kata batin sebagai dasar ukuran. Saja ingin mendapat bukti-bukti jang konkrit dimana saja telah melakukan kedjaliatan penipuan itu, sebab dengan utjapan saudara Siagian itu saja belum dapat meragukan kata batin saja sendiri. Saudara Siagian menjebut-njebut „kritik lembut , „toleransi jang herlebih-lebihan”, „sifat kompromistis” sebagai lial-hal jang funest bagi . pengarang jang dikritik. Dengan menghilangkan predikat „jang berlebih- lebihan” pada „loIeransi” saja ingin bertanja: „Apakah kritik jang seba- liknja daripada ilu lebih bennanfaat ? Jaitu „kritik keras”, „tidak loleran”, „tidak kenal kompromi” ? Kalau saja bertanja begini saja takut membuat kesalahan jang sama seperti saudara Siagian, jaitu peini- kiran jang seperti lalu-lintas eatu djurusan. Pada lial saudara Siagian dan eaja sama-sama mengerti bahwa ma- sing-masing dari kelompok pengertian ilu tidak bisa berdiri sendiri tapi dalam kehidupan batin jang begitu penuh komplikasi sangkut-bersangkot satu sama lain dan tjampur baur dalam gradasi jang berbeda-beda pula. fapi dalam keumumannja saja tidak bisa menerima karakterisasi saudara Siagian tentang tjara saja bekerdja. Saja bisa lembut, tapi djuga bisa keras dan keduanja saja pakaikan, dimana perlu, pokoknja berda­ sarkan akalbudi. Sifat toleransi jang tidak berlebih-lebihan saja kira ada baiknja, tapi kesabaran djuga ada batasnja. Dan kompromi ? I iinggu duhi. Apa jang dimaksud kompromi ? Hilang diri pribadi seudin dan lebur dalam pribadi orang lain ? Kompromi jang demikian saja tolak. ■Mungkin saudara Siagian menganggap kompromi membenarkan orang lain jang tidak disetudjui. Tapi tidak perlu lamas kehilangan pribadi, bukan ? Kila bisa membenarkan orang lain sepandjang kita bisa mengerti dia dari sudut pandangannja, tapi dalam pada itu kilapun tetap mempu- njai pandangan kita sendiri -dan pendirian kila sendiri. Dan dalam suatu uraian jang berdasarkan ilmu pengelahuan atau mempnnjai per- spektif kesedjarahan, seimia sudut pandangan perlu ditjatat, dilambah pandangan sipeuindjau sendiri. Djadi lain dari seorang seniman menin- djan, jaitu semata-mata dari pusat pengalaman pribadinja sendiri. Saudara Siagian mcndapat kesan bahwa saja terlalu luas membuka- an pmtu bagi pengarang. Kesan itu tidak bcnar. Mungkin benar bagi pmtu rnmah saja, lapi tidak benar bagi pintu hati saja. Dan hal ini e 1 i-e l i lagi sesudah saja membual jjerhilungan dengan „Selamat mgga laiun 1952”. Baliwa sesudah itu masih banjak jang dapat melalui pmtu iati saja, itu memang karena menurut pertimbangan saja ada a asan unluk berbuat begitu. Bahwa alasan itu tidak selalu bisa diterima -aurara Siagian, saja kira terletak pada perbedaan ukuran. Tapi sebagai i us rasi daripada perbedaan ukuran ini saja ingin mengkonfronlir ukuran Cj!l( ^ r‘.1 Siagian dengan ukuran saja berdasarkan balian-balian jang njata. / i ita nja bisa kila membitjarakan satu sadjak, atau satu tjerita, satu ( rama atau satu roman, nanti akan nampak perbedaan itu dan akan apat pula diukur sampai kemana pengertian masing-masing tentang ■esusaj«traan, alau perbedaan pendirian masing-masing dalam kriterium "esusastraan. Dengan begini kila membatasi persoalan dan tidak sampai pac a generalisasi dan abstraksi jang mengawang-awang. Antusiasme jang saudara Siagian lihat apahila saja mengemukakan se^uatu karangan jang baik, senanliasa berdasarkan apa jang memhikin saja antusias dan apa sebabnja saja anlnsias, saja tjoba merumuskannja. t audara Siagian mengatakan apa jang saja pudjikan sebagai irilan, ada- a i lanja petjahan katja, dapatkah saudara Siagian membuktikan bahwa )etu -)elul intan itu tjuma katja, melalui pula analisa ilmu kimia dan memherikan formula strnklurnia ? T> | , ^ a lwa aniusiasme saja mengenai satu karangan dari seseorang Pcn; aran^ l>dak selalu bisa dipakaikan pada karangan lain dari penga- mp1^ >llj* ( ^U'ia’ saJa mau tfirima. Dan dalam hal ini djanganlah antusias- ■ oi ang satu karangan itu lalu dipakai sebagai diploma bagi semua n m 'lf11 Pp,J?arang itu, sebab ini bukan maksnd saja dan saja tidak momn.mi! . ^nggung-djawab pengarang itu, jang sebagai pengarang nicinpmijji langgnng-djawabnja sendiri. k’™ salah paham mengenai ukuran saja, salali paliam f3 lU luau Jar* Sl,,1ibernja lebih djauh terletak pada masih ber- cifq» rafnil(‘ntarjs‘ija saja melakukan pekenljaan saja selaina ini. Dan kesn^ar|a/ nKlk'lriS ^'se*);ibkan karena sedang masih bertumbuhnja h'iinr«iS r,aai* UiV lllas*ll£‘J11asing pengarang masih dalam proses perkem- iii»iwCll?^aiJa” S "°*um iiieniuiigkinkan penindjauan setjara inlegral me- njeluruh dan ma,ing-masi„g„ja. ®ai‘* belum mombuat satu studi jang lengkap tentang Utuy Sontani, n ang ramoedya Ananta Toer, tenlang Sitor Situmorang, tentang per- em Mngan puisi dan prosa Indonesia sekarang ini, untuk menilai ma- sing-maMng itu tapi saja bisa mengatakan, baliwa saja terus-menerus memperhatikamija, mengumpulkan bahan-bahan, mcmbnat tjatatan-tja- tatan, untuk setjara tidak ragu-ragu jnila sekali waktu menjuguhkannja kepada saudara: „Inilah pendapat saja”. Dan pastilah tidak hanja pn* djian jang bisa diberikan kepada tiap pengarang. Dalam pada itn bagaimana pendapat saja tentang Tdrus sudah setjara habis saja kemukakan dan tentang Jdrus ini bnat sementara tidak ada la<*i jang bisa saja tambahkan. Begitu djuga ten't'ang Chairil Anwar. Saja sedang membual studi tentang Amir Ilamzah dan Pramoedyi Ananta Toer dan kalau ada orang mengatakan bahwa perhatian saja tidak keluar dari Chairil Anwar selama ini, maka ini adalah pandangan dari luar sadja. Saudara Siagian membandingkan saja dengan tukang kebun jang ka- rena sajan» pada tanaman muda, menimbunnja dengan begitu banjak tai sapi, sehingga tanaman itu'mati dan jang tumbuh subur adalah rumput- runipuL Tni berarti bahwa dikebun saja hanja tumbuh rumput-rumput dan ada tai sapi banjak sekali. Apakah mungkin saja tidak melihat peristiwa ini dikebun saja sen­ diri 9 Dan lidak pula mengusahakan menghilangkan rumpul-rumput ini, dikebun saja sendiri ? Kalau jang saudara maksud dengan kebun ialah madjalah-madjalah jang saja asuli* saja minta bukti-bukti jang konkrit dari adanja rumput-rumput itu. Tapi kalau jang dimaksud de- nrran kebun ialah daerah jang luas dari penerbitan-penerbilan sekarang ini, saja ingin melepaskan diri dari langgung-djawab tentang bentjana itu.

    Saudara Siagian. , Saia in "in meugetahui siapakah snob, epigon dan plagiator jang telali saja gembirakan hatinja untuk memamerkan liasil-hasilnja dalam ruan - an madialah jang ada dalam kompetensi saja atau pernali ada dalam kompetensi saja untuk menenlnkan penuiatannja. Dan untuk ™embal1^ soalnia apakah nama hasil snobisme, epigomsme dan plagiat jang tela men dap at f i a t dari tangan saja itu? Barangkali saja bisa membuktikan perbedaan pendapat dengan saudara Siagian tentang apa jang diselm - Eii snobisme, epi-ronisme dan pllagiat itu. Pembatasan penjelidikan hanja pada madjalah-madjalah jang saja asuh atau pernah saja asuh^ saja mint i sebab saja lidak berlanggung-djawab alas pemasangan ditempat Iain. Sebab tidak djarang jang saja tolak karena saja anggap tidak me- menuhi sjarat, muntjul ditempat lain. Saudara Siagian memadjukan pertanjaan: „Berapa dari bunga- bun-a ian«* ditanam saudara Jassin dalam Gema Tanah Air tjetakan pertama iang masih hidup?” Saja man djawab dengan pertanjaan kem- bali* Apakah bunga-bunga jang saja tanam dalam Gema Tanah Air itu sekaran" sudah mati ? Maksud saja, apakah hasil-hasil jang saja kuin- milk an dalam Gema Tanah Air sekarang sudali tidak bisa dianggap baik L ai sebagai wakil daripada masanja ? Saja kualir saudara Siagian disim mentjampurbaurkan orang dengan hasilnja. Seseorang seniman bisa ineiig- hasilkan sesuatu jang baik dan barangkali jang baik itu hanja satu ilu sadja Tang baik ini'ikan hidup terus, meskipun seniman itu kemudian mati dalam arti bahwa dia tidak dapat mentjipla lagi sesudah itu. Saja sebutkan hasil-hasil ^ alujati, Anas Ma’ruf, Rosihan Anwar, jang sampai sekarang saja masih bisa pertanggung-djawabkan dari sudut literer, mcs- kipun mereka kemudian tidak mcnljapai tingkat itu lagi. Bagi saja apa jang termuat dalam Gema Tanali Air tjclakan I ilulah hasil-hasil kesusas­ traan jang baik dalam djangka waktu 1942-1943. Dan disini saja melihat pertumbuhan kesusastraan sebagai pertumbuhan kolektif, tidak hanja se­ bagai pertumbuhan perseorangan, tiap individu membanlu dalam per­ tumbuhan organisme jang beniama kesusastraan itu. Dan saja kira inilah niemang sifat dan tugas penjusun bnnga rampai dalam lingkat kesusastraan kita di Indonesia dewasa itu. Kekuatiran saudara Siagian })ahwa orang-orang jang pernah menulis hanja satu kali itu telah dianggap masjarakat sc))agai pent jipta-pcnt jipta jang besar untuk selama-lamanja, adalah kekuatiran j ang tidak berda- sarkan pertimbangan soal. Tentu sadja orang lain bisa meujusun satu kumpulan Gcma Tanah Air jang meliputi djangka waklu jang sama, jaitu tahun 1942—1943 dan hasilnja mungkin akan lain sekali. Tapi sajang lidak ada orang lain melakukannja, seliingga bisa diukur dan dibanding kwalitas keduanja an disudut mana masing-masing penjusun berdiri memandang objeknja. Bertalian dengan ini saja sebut satu matjam pendirian jang niau meietakkan titik berat kriterium hasil sastra sebagai pernjataan jang sa( ar dari diri pribadi pent jipta dan sampai pada kesimpulan bahwa e.u.m ada ro«ian Indonesia, belum ada drama Indonesia dan belum ada -A11 Qnes^a5 karena belum ada manusia Indonesia jang lelali terben- tu •. an dengan sendirinja belum bisa ditulis sediarah kcsuaastraan Indonesia. Saja tidak tergolong orang jang inempunjai pendirian demikian (an sa( ar akan perbedaan pendirian ini, saia terima ketidakpuasan pen- dinan orang lain itu terhadap pendirian saja. Mengenai susunan Gema Tanah Air, djikalau ldrus misalnja tidak pemuatan „Sangkuriang” Darmawidjaja, ini saja bisa dan sMc ** -|a- Gna £ ntara keduanja ada perbedaan visi, perbedaan tjorak k i 1 aP J1''3* Tapi orang ketiga mungkin bisa menghargai pendirian n,as^nS'mash)g pada tempatnja dan dengan ukuran jang o n n . r T !,-8 . n . Pada liasil masing-masingnja. Ini bukan berarti bahwa i.*. *7 *7 1^.a *U1 sendiri tidak inempunjai ukuran, djustru karena ada irannja jtutah maka ia dapat menentukan nilai masing-masing dan 311 niereka tlitempatnja masing-masing. Dan susunan ini ada- usunan orang ketiga itu, nienurul pandangan dunianja. keemnat kaUkaif °fang ketiga, tapi saja djuga bisa mengatakan orang ’ or.an£ kelima. Dan masing-masing orang ini akan mempunjai iir1aL-llTann^a *S° *r*’sendiri tentang orang pertama dan kcdua tadi. Maka 1 nien^ lcrankan. kalau Sitor Situmorang berbeda pendapat dengan s.usunan pekerdjaan jang berdasarkan tanggapan 6aja, se- c « . sV1^"!nasU1^ m°nipunjai konsepsinja dan sikap hidupnja sendiri- t; V ilrJ’ c?^l,Pl,n saja tak usali berketjil hati kalau saudara Siagian tidak sependapat dengan saja. Tapi sampailah kita pada ,,gezag” seorang kritikus, „auloritas” dan l-!» n”.arn Mengapa kritikus/eseis jang seorang lebih didengarkan ai,^a. ,ri kritikus/eseis jang lain? Inilah rahasia besar jang tidak wa an oleh kebanjakan kritikus dan eseis kita. Rahasia itu menurut pendapat saja terletak pada kesungguhan, kedjudjuran, ketelitian. kete- kunan pendalaman dan pemusatan pikiran sikritikus/cseis pada maten iaiiff «edang dibahasnja, jang didasarkan atas pengalaman, pentjanan, pem'ondapan, pemikiran jang paling dalam dan paling djauli menurut keinampuannja. Maka pembahasannja sebagai esei dan kritik mempunjai kedalaman, mempunjai bobot dan tenaga lontar, tenaga pengaruh jang djauli dan dalam. Dengan tjara inilali krilikus/eseis m e n t ja r i kebenaran, ;.,n Saja anggap satii bahaja mengukur seseorang pada satu kechilafannri

    dari H ^ n en W lii111 ni,enier11"ka^ kesabaran dan kita tidak bisa menuntut maulahpuli sarim * V* .lat U slk?P dJlwa ian® sama- Dalam.hal itu ruscliarUkin lS » i! tJ,ara momiu,iau saudara Siagian jang tidak ha- ‘ • Sa^a kei'komproini dengan belian. nm ltnL'aU d3un s?oran£ 5no13 saJa masih bersedia mengharapkan apa- denUn S, aga\ mam,sia mungkin dia satu kali waktu akan djemu dia dau SaJa snobnja clan menemukan inti dirinja. Tapi selama saianmi^ mM 1£en ,erikan hasil jang melengket padanja sifat-sifat snob, tiara 3 gegabah mcnjadjikan hasil jang snob ini sebagai niu-

    «aud^ai°sa 11.er^odaan te»iperamen pula saja tidak begitu positif seperti kprnn™ ?a?ian »akan berusaha sedapat-dapatnja untuk merangsang

    Pcn.ndj.TUtent™ • epa nmluh dengan sendirinja. nalan clirj j menfcuai kritik ini berdasar pada kekurangan penge- kekurniffi./ an "cf erliaJaan pada diri sendiri jang berdasar pula pada Seo penSalan,ai1 kekurangan pengelahuan. hasil*" janoHdil^aha^nTT ^lail^a hisa mendasarkan kritiknja pada kwalitas nja dengan nertanJln 311 f.eilfrarang Jane mendjaga kwallitas karangan- kepada kritik Q ^ unoan

    (1956) MUHAMMAD ALI PENGARANG LAPAR

    AHUN 19S9 kita berbahagia melihat terbitnja buku Muhammad A li Hitam atas Putih sesudali naskahnja jang pertama dikirimkan T tudjuli tahun sebelum'nja kepada Balai Pustaka. Memanglah penga­ rang harus punja kesabaran hiar biasa kalau man melihat anak tjiptaan- nja laliir dengan selamat. Marilah saja perkenalkan saudara pada ajah jang berbahagia ini. Namanja jang leugkap ialah: Muhammad Ali Maricar, dilahirkan tang- -',1 93 April 1927 di Surabaja. Ajahnja seorang India asli dan ibunja India pcranakan Indonesia. Sesudah tamat H.A.S. Gubcrnemen (Gouyeriie- mcnt* Hollands Arabische School) tahun 1941, ia kemudian beladjnr bahasa Inggeris dan Belanda pada guru partikulir diwaktu Djepang. Sediak 1947 ia kerdja di kantor kotapradja Surabaja dan dalam pada itu diadi redaktur bulanan Mimbar Pemuda (1947-1948) dan wakil pe- minipin redaksi Mingguan Pahlawan (1949-1950). Kemudian la terbit- kan inadjalah Bakat jang mengutamakan tjerita pendek. Mulai bergerak dilapangaii sastra tahun 1942, sadjak-sadjak dan tjentanja

    kemudian dimual dalam beberapa inadjalah kebndajaan dan kesusas­ traan seperti Gema Suasana, Mimbar Indonesia, Siasat— Gelanggang, Zenith, Pudjangga Baru (kemudian Konjrontasi), Kisah, Budaya, Indo­ nesia dan Iain-lain. Karangan-karaugan jang dibukukan ialah 5 Ira- cedi (1954), Siksa dan Bajangan (1955), Persetudjuan dengan I bits (1955) ketiganja diterbitkan oleh Pcnerbit Balai Buku Surabaja, Kii- hur tak bertanda (1955), diterbitkan oleh S. Alaydrus & Sons dan Ga- ruda, Surabaja dan Hitam atas Putih (BP 1959). Hitam atas Putih adalah kumpulan tulisan Muhammad Ali berupa sandiwara, sadjak dan tjerita pendek. Kila temui disini sandiwara radio Lapar” jang pernah disiarkiui beberapa kali oleh RRI Djakarta tahun 1959 t\an dimuat dalam madjalah Zenith i) sedangkan sadjak-sadjak dan tjerita peiuleknja sudah pula kita lihat dimuat dalam madjalali-madjalaii j aXi

    Sandiwara radio „Lapar” ber.nain diluigkungan orang mclarat peildiaga gardu kercta api jang n.Ukin . Ijerita jang pmlja bentuk_ „.e- Ji.i«kar ini diin.ilai dengan pertjakapan dua orang djaga, Amat dan lon o tenlan* *«ara gaib jang kedengaran melolong berter.ak lapar saban kali karena api k-wat. Mereka kenali suara ilu sebagai suara 1 ulero danbun- uja Tini jang keduanja mali kegilas kercta api. Dalam sorotan bal.k kita lain diperkenalkan dengan kehidupan laki bim jang telah memng a itu, kehidupan mehrat jang penuli perlengkaran disebabkan sang »uarai kehilan«an kerdja dan hidup menganggnr. Dalam kebuntuan pikiran Putero 'ialu usir isterinja dan nekat djadi pembegal. Islerinja terlunta- lunta terpaksa djual anaknja dan kemudian mendjadjakan dinnja. Llki i«teri bertenm kembali didaerah pelatjupm. 1 ulero adjak isleri.iia kembali hidup mkun serunmh tangga, tapi Tmi menolak karciia tak ada l.arapannja lagi unluk hidup bahagia „kita mi bangkai-bangkai jang lerlempar dan sia-sia, dan bangkai-bangkai tak berliak bitjara ^er- kara hidup. Hidup hanjalal. bagi mereka jang punja harapan , katanja. Putero kedjar isterinja hendak membawanja dengan paksa pulan keruinah, tapi djustru pada vaktu itulab kereta api malam lewat dan mcnubruk mereka sampai hantjur...... , . • Pada achir tjerita Ainat dan Tono pasang mat bikm selamatan bagi rub suami isteri jang malang itu, meskipun guna kcperlnan itu mereka harus kurbankan beras pembagiannja. , Tierita iang melodramatis im tjnkup punja penggahan djnva untuk |jisa diterima, bahkan alasan Tini untuk mendjual anaknja tjukup untuk luenoriina djalan pikiraunja. i ,Aku lapar", katanja. „APa jang harus kiijakukan dalam keadaan seperti itu? Tati teutu akan mati kelaparan djika dia tulak kudjual. Aku man, kalau dia mcsti mati djuga, djanganlah dia mati kelaparan. Be-itulah, lantas dia kudjual lima puluh rupiah harganja Bahkan diri- kuVndiripuu kutawar-tawarkan pada siapa jang man bell, dan barga­ in a tidak seniahal itu pula” (lial. 23). Tierita pendek „Kegagalan” adalah sedjems dengan sandiwara radio Lapar” . Jatim jang nampaknja radjin ibadat, mati dalam talianan karena kedapatan sedang mentjuri. Ia ahli ibadat jang sudah ubanan, jang hafal diluar kepala wirit dan doa dan tak pernah nieninggalkan waktu sembahjang lima kali sehari. Tapi inilah dia filsafal lapar jang berkali- kali dikatakannja pada isterinja beberapa w aklu scbehun ia tertangkap: kalau kita memang terdjepit, benar-beiiar terdjepit, dan lak ada c-jdlan keluar lagi, dalam keadaan seperti itu, maka babi, kalak, ular alau S ;1 T*idj.a makanan jang diharamkan agama kila, boleh kita makan. endeknja segala jang dulunja haram dengan sendirinja mendjadi halal kalau kila sedang menghadapi mali lapar. Karena mati kelaparan itu sungguh-sungguh terkutuk” . Isterinja Inein djadi gila karena derila dan lerpaksa djadi germo. k.d.11 belaPa niakaial dan kesuljian niat bertelangga malah hidup serumah, Uu w T L Pf aljUr “ " V " * berfcata p-.cla Inem: „M bok, oran* wan-i seboml I.,1'- ,0Tr’ i 1 dlPerscimja sepuiuh rupiah dan minjak tiain di i 1,P e J1 * Kalau saban malam aku bisa tangkap jang sema- m bok tok hadj, 1 ilkU ^ b^ “ k Ri° seder]iane^V^ ajr niaianja bcrljuljuran, lapi pula ^wli-laliaii Rp L-'t IaU1 ^ kediadian ^ lawaiija petjah lak ter- ini kini sudah tn-i T'T L i”! ? niermgis-rnigis: „0h, benar-benar dunia mentjurimcntjuri“t tjalul-tjatut t ! ;J“,akkah ...... ? ” sekali’ "h'i ibadat sndah

    Muhammad ^fy.lk!-llnia AU 'ianrtei^1"^ «Bahu”, ; satuT l fragmenfra£n;eu jangif11*? diangkat dari ijeritatjerita tentang tuan ZeL innr lv dibukukan Si/rs« dan Bajangan. Tjeritanjajcrilanja tjakijak dan atas iniJn.;*fini/ialiFw ir* ------‘ 1?tcri u-ttdaa -““*-«"aKUja««ak-anaknja pergipergi keke Pun-Pun- kerrlia rliruntd , i, r> “ eiienma seorang perempuan muda unluk an. — Siil k7 • , ' r. erempuan ini ialah In a dalam Siksa dan Bajane- karena lvm I”1] 'I'111 isterinja pulang lebih dulu dari rentjana semula dan Ina din ' “ Rictus didjalan. Pertjekljokan tak dapat dielakkan dalam tieritaTnP11^ ™ma*1, ^asib lna dengan anakuja Tali Ijeriia « uidiu-i ,nei.IE,nj?alkan kila pada nasib Tini dan anaknja dalam •libel? oWU k o C ^ ' 1'0 AT?' Tal>i kalaU Tini lh,Iam ^ . p a r ” anaknja djasa, maka In i\ft ew ja!lg lak mau lnembennja wang tanpa balas alasan diu«a di ,* “ “ ^ (dan „Bubu”) oleh keluarga hidupan keluarl- \rU n,a 11,Cnlal1 kttmia dia“ fcW membahajakan ke- ratan tani K„l- . >lcmi,ng sang siiami ingin monolongnja dari kemela- I oukan tanpa niaksud tersembunji. observas? knTVV^ 1^11 *jerita iui iulah bidujjnja hikisan-Iukisan karena mu.tahUa^u^ 1 ** T.Ua? baik liati lidak menjadari ke- adalah satu lino • n,1Ja. Jan? bertenlangan dengan kepentingan isterinja k a sih ^ tl^ tg iiu * te,lal.U kiU k™al <**“'■»*«» ll,a„-tuan besar. Be/- hibung be isadari la pengeual tuan Zet. Tid Jc kin bi^a dibt1^ « imaui dau diangan-angankan tuan Zet lidak mung- tiemburu ki»w,m^U • a* 1,sterinia JanS P™klist jang dengan inluisi dan nitaannja tabu akibal apa jang akan mcnimpa. Kamii intelck tidak dapat tempat dalam tjerita-tjerita Muham­ mad Ali ketjuali sebagai orang-orang jang memandang rendah kaum susah. Dan scolali unluk mcujerel kaum enak ini nienjaksikan dan men- derita sendiri penderitaan kaum susah dalam Kubur tak bertanda sianak orang kaja jang mandja didjaluhkannja djadi miskin dan tjatjat seumur hidupnja, dan mengalami bclapa ia diedjeki dan dihina oleh kaum enak itu. Begitupun dalam 5 Tragedi jang tidak begilu berhasil, Susmini djadi korban kaum enak hingga achirnja merangkak-rangkak didaerali gerbong kereta api. Dalam sandiwara ,,Lapar” keluarga tjeadekiawan tjimia mau menolong simiskin dengan mengambil anaknja unluk selama-lamanja, sedang dalam tjerita „Babu” sang luan pura-pura mau menolong tapi sebenarnja maksudnja serong. Dalam tjerita „Hanlu” kila dibawa pada pelaljur lapar lingkat ter- bawali jang dalam kesengsaraannja masih punja perikemanusiaan liendak menolong baji jang dibuang oleh sepasang manusia bersedan mewah, membawanja kesarangnja dikolong djembatan. Dalam „Anak Kakjat” jang djuga berlemakan lapar dan derita, seorang jang berlagak intelek tidak segan-segan hendak mentjalutkan anak-anak seorang temannja jang mengeluh karena kesukaran hidup. Tapi dalam hal ini tjinta anak masih lebih besar dari paksaan derita. Tidakl'ah linggi keinginan orang-orang inelarat jang digambarkan Muhammad Ali. In a dalam Siksa dan Bajangan hanja -ingiu tinggalkan kamar sewa jang sempit dan apak, makan nasi djagung tiap hari dan bukannja kerak dan ketcla: ia impikan sepasang sandal beludru untuk anaknja jang ketjil. Tjita-tjita Prapto dalam Kubur tak bertanda pun tidak tinggi. Untuk mengisi perutnja ia djadi tukang pompa bensin, djadi kelasi, djadi kuli, kusir, djadi pengemis. Pun ia pernah djadi tukang betja dan pernah pula mentjopet beberapa kali. Satu tjita-tjita jang tidak tertjapai olehnja, jaitu djadi djuru lulis, sebab ia tak pandai menulis karena tak pernah sekolah. Dan apabila Marini dalam tjerita „Hantu” lari tunggaiig-langgaug karena razzia polisi susila dimuka pasar, maka jang pertama teringat oleh- nja ialah makanan jang lerpaksa ditinggalkannja: „Piring tahuku, aduh sajang Ti, masih mundjung. Kutinggalkan begitu sadja”. Tjerita pendek „Si Pukul-Tudjuli” jang pernah kita batja dalam Sia- sat ]) mentjeritakan pelaljur ketjil uiiiur sebelas tahun tidak kila temui dalam kumpulan ini, mungkin tidak bisa melalui lapisan susila penerbit. Tapi ada sadjak jang sama temanja, jaitu „Gadis ketjil disimpang sepi” jang akan saja kutipkan nanti.

    * ••••

    Adakali dunia seperti jang digambarkan Muhammad Ali dalam tjerita- tjeritanja ? — Memang ada. Dan kitapun tahu bahwa penderitaan dan keputus-asaan penghuni pondok-pondok, taman-laman, gerbong-gerbong dan kolong-kolong djembatan, terutama dikota-kota jang besar tanpa kita sendiri bisa berbuat apa-a]»a. Dari pihak pengarang kila lidak lihal se- i) Siasat, Th. VI No. 283, 12 Djuni 1952. L suatu saran bagaimana mempcrbaiki keadaan dan memmtut ini daripacla nja barangkali tidak terlalu adil. Sebagai orang jang sadar agama Muhammad Ali dalam beberapa tjeritanja mau membcri agama sebagai obat kebobrokan moril, tapi itupun dengan ragu-ragu, ingallah pada Jatim dalam „Ivegagalan’ jang bukan tidak beragama tapi terpaksa meiig- alah pada lblis karena lapar. Dan teriiigallah saja pada utjapan seorang germo jaug berfilsafat: „orang boleh tidak ganti pakaian satu tahun, tapi orang tidak bisa tidak makan tiga hari” untuk niembenarkan peker- rijaan anak-anaknja. . ^ an ^dak tjukup ada polisi susila untuk menghalau atau paling se- dikit mengurangi kedjahatan dan ketjabulan, kalau tidak dengan usaha jang njata mempcrbaiki keadaan sosial. Jang tidak punja tcma lapar dalam tjerita-tjerita Hitam atas Putih la a „ engkela , „Rapal”, dan „Achir Zaman”. Semua punja keislimewa- an oAservasi psichologis jang tepat sekali. Dan djelas bukan ditulis sekedar nanja karena ingm menulis. i. ^ a^am «Sengketa Muhammad Ali mentjeritakan kedjadian Iumrah V “ ¥ eu am autara dua keluarga karena urusan auak-anak. Tapi se- tn-rf-.3!11 ° rUl11^ tl!a tenis dendain mendendam, antara anak-anak tekh 1 *I)Cr amflan’ dan hal ini digambarkan Muhammad Ali dalam kontras jang lutju tapi dalam maknanja. i se" aktu Tarip duduk-duduk didepan radionja, dikampung T U lari keIuar- Da“ dilihatnja: anaknja hcrdiri iidak m m j 1.1 pC arauSan rumah Tardjo. Dau pada ketika itu Tardjo sedang memaralu anaknja sendiri: J o

    dpn.r”^era^*) ®lldab kukatakan padamu; djangan eekali-kali main BenSal ^enar engkau. Apa kau mau ikut-ikut djadi bc- ifn -it * "i* il setf n * Sekali lagi kuliliat engkau bersama-sama anak iru’ ak« gasak kepalamu!” Lain didjewernja telinga anak itu. an'ikn;er^a^ 7^ aUiper^St*Wa *lu’ Tarip naik darah. Ia melompat mcnorkam hujung-lmjung1* ( ^ mene^aatanmja» demikian keras, hingga anak itu ter-

    suki’ m S ! ! ’ teriaknja. „Kau betul-betul anak djahanam. Kau kira aku pulang !” mU inam deil^an auak tukang tenung ilu ? Binalang ! Ajo

    dal imTmw!,3 terkentjing-kentjing sampai basah tjelananja. Dan manisan diu-i n lL C'? ma,1I1J:i berhamburan tertjetjer ditanah. Tapi masih sempat iiati-hati * ** memillloutlija salu-satu, seraja membersihkannja dengau

    »Apa ilu ? bcntak Tarip «IVrmen pak. ” „Oari inana kgu dapat ?”

    Tardjo ^ ^ ...... fakul-lakul anak ifu menuding kawannja, anak

    ,,Ajo buang !” teriak Tarip kcras-keras. na ilu masih merenungi sajang manisannja. Tapi Tarip sudah gila sungguh-sungguh. Direbutnja manisan itu dari tangan anaknja. Segera dilemparkannja ketanah lalu dengan kedua ke- lompennja manisan itu diindjak-indjaknja sampai hantjur mumur. „Ajo pidang!” perintahnja kemudian. Seperti seekor kambing anak itu mengikuti bapaknja. Diruinalmja, masih kedengaran suara Tardjo mengantjam: „Awas kalau kau main lagi sama anak itu. A w as!” (lial. 67-63) Dalam tjerita „Rapat” Muhammad Ali melantjarkan sindiran ter­ hadap rapat-rapat kampung jang membitjarakan soal-soal besar seperti soal-soal politik tinggi dan perdamaian dunia, tapi tidak mau membi­ tjarakan soal-soal jang praktis dan langsung mengenai keamanan dan kesedjahteraan kampung. „Achir Zaman” satu skets ringan jang menarik karena hidupnja, jaitu pfertjakapan seorang pemuda dengan seorang hadji jang mengira-ngira- kan bahwa saat kiamatnja dunia sudah dekat, karena kegandjilan ber- tainbah banjak, dimuka bumi orang ingkari kekuasaan Allah dan dilangit kabarnja orang sibuk mendirikau stasiun pergi kebulan. Dan tatkala sang pemuda meniadjukan pendapat: ”— kalau orang mau pergi kebulan, itu (pun) hanja suatu kemadjuan ilmu belaka”, maka menjebut-njebut- )ah pak Hadji dan berkata: „Apakah orang-orang jang hendak mengo- tori tjahaja bulan dengan sepatu-sepatu mereka itu dinamakan kemadju- an ?” (hal. 100-101).

    Sesudah membitjarakan drama dan tjerita pendek dalam kumpulan ini, marilah saja bitjarakan pula sadjak-sadjak Muhammad Ali. Dalam buku ini dimuat 17 sadjak dan saja teringat kepada 32 sadjak jang pemah dikirimkannja kepada penerbit Balai Pustaka dengan nama „PerdjaIanan dalam Malam”, tapi dikembalikan dengan tjatatan supaja dikeluarkan beberapa sadjak. Ketjuali dua sadjak murah „Pulang” dan „Bila dia bertanja” jang menjelinap dalam kumpulan ini, pada umunmja pilihan Muhammad Ali nilainja dapat dipertanggung-djawabkan, suatu hal jang tidak selain bisa dikatakan tentang pengarang jang membuat sendiri kumpulan ka- rangannja. Tapi ada djuga beberapa sadjak jang saja merasa kehilangan dengan tidak dimuatnja, jaitu „Lumpur dan Sinar” *), „Sebuah tjerita untuk si Mungil” , „Sadjak buat Tini”, dan „Suara dari Sudut-sudut Gelita” . Kumpulan sadjak dimulai dengan empat sadjak pemjataan hubung- an penjair dengan Tuhan. Tanggapan Muhammad Ali monistis, seperti kita lihat dalam sadjaknja „Aku”, „Tentang Tuhan” dan „Aku depan Tuhanku” . Dalam „Tentang Tuhan” dia mengedjek djenaka tanggapan panteistis sedang dalam dua sadjak lain dia akui kelataan manusia tanpa Tuhan. Walaupun demikian dalam sikapnja jang akrab terhadap Tuhan nampak pengaruh panteisme djuga:

    1) Pada hemat saja lebih baik versi jang dimuat dalam Mimbar Indonesia Th. Ill, No. 22, 28 Mei 1949 dari jang direntjanakan untuk kumpulan jang bemama „Perdjalanan dalam Malam”. O, kalau kau kiisimpan dalam diriku Selalu serta kemana kubawa Tidaklah lidali akau kaku njebut namamu saat djantung berdenjut Dan tiadalali bibir pedih begini: petjab-petjab kena pipa tjandu („Aku depau Tulianku”, hal. 29) Demikian dalam „ICepada Penjembalx Bintang” penjair menjatakan kepertjajaannja pada jang kekal dan bukan pada jang fana, bukan pada segala jang boleh riatang dan pergi, dan pergi seperti bintang dan hari (hal. 30,i Dan kesadaran akan kefanaan djuga jang d'ibajangkan penjair du- lam „Kepada Gadis Tjintawati” : Tjintawati, kukasiJii engkau, seperti murai ngagiimi fadjar dan embun pagi dan aku tabu: kaupun pasti hilang kembali (hal. 41) Sungguli sajang bagian landjutan sadjak „Tjerita tentang Kein- dahan diliilangkan (atau tertjeter ?), sebab djustru bagian kedua ini lebih baik dari bagian pertama. Karena bagian kedua ditiadakan, lalu titel sadjak tidak tjotjok dengan isinja. Mungkinkah ditiadakan karena adanja kalimat-kalimat ini (saja kutip dari kumpulan jang masih berupa naskah „Perdjalanan dalam Malam” I:

    — Lihat Jajar-lajar berkembangan peraliu-perahu telah bertolak sarat niual impian dan angin laut, o angin laut jang melintjahkan kelasi-kelasi angin laut jang melambungkan njanji-njanji lihat, liliatlah itu semua, betapa mesra ...... mereka kutjup bibir dewi kehidupan, betapa mesra Mengapa kegelapan ? Mengapa hanja kegelapan ? Mengaj)a't

    Tapi betapa aku bisa bertjeritra tentang kemolekan sekuntu m bunga kalau beribu bunga-bunga hantjur terpidjak ? Dan mereka menangis: pandanglali kami, pandanglah kaini ! Dan betapa aku bisa bertjeritra / Tentang kitjau burung kutilang alau mendung telah menggulung bintang-kemintang ? Hamskah aku berlagak seperti taniu-tamu dalam pesta meriah ? amu-tamu jang tidak peduli pada djam-malam tamu-tamu jang mabok oleh champagne dan aroma taniu-tamu jang meratjau tentang hari ini dan hari nanti dan jang selalu, selalu, dan selalu mengangkat gelas sambil bersorak: selamat dan sedjabtera ! Dan mereka bakar suatu zaman Mereka bakar suatu zaman ! Memanglah kita harus punja rasa kemanusiaan jang maha dalam untuk bisa merasakan tragik kehidupan dan tidak hanja ketjabulan da­ lam sadjak seperti „Suara dari Sudut-sudut Gelita” jang ada dalam kumpulan asli tapi tidak kita temui dalam Hitam atas Putih ini. Inilah dia kontradiksi jang djadi hakekat kehidupan: SUARA DARI SUDUT-SUDUT GELITA (waktu malam djauh dipinggir kota) pinta ini datang dari daratan sepi dimana tiada lagi orang bitjara perkara kasih dan kasih sendiri sudah lama tidak berkisah disini teriak tersekat kar’na siksa dan paksa membusukkan daging-daging dan rasa dan keindahan paling utama: rengutan maut dimalam buta ! kami liidup dari tipuan mimpi dan minum d'arah sendiri dan kami akan mati sebelum terbit 6ang matari kami lupa pada semua tjinta, djika ia ada dan biarkan kami buta dan kalau kau datang dengan lagu tjinta semata kami sudah buta djangan bawa lagu kemari o, djangan bawa lagu kemari kami djemu pada lagu kami bentji pada lagu kami runtuli kar’na lagu djika kau datang ...... datanglah diam-diam dan telandjang dengan tjaja didada dan rona dimuka dan ketjuplah kening kami jang panas dengan bibir tjinta o, kami haus akan tjinta ! Untunglah „Gadis ketjil disimpang sepi” tidak dihilangkan dalam kumpulan ini, jaitu sadjak jang mempunjai tema sama dengan tjerita „Si Pukul-Tudjuh”. seorang gadis behun bernama mendjual mimpi disimpang sepi gadis ketjil sekali

    Apa kau tiari, gadisku, dalam malam selarut ini ? Kau tak takut orang mati liidup kembali ? All, aku lagi menanti orang mati lewat disini Dia beri aku api, aku beri dia mimpi ! Pulanglali gadis, pulanglali ketjil djangan kau mati malam ini aku beri kau renda, aku beri kau pita dan sebuali nama djelita Apakah renda ? Apakah pila dan nama djelita ? Dan aku pulang kemana ? Ah, sini rokok sebatang, tjetuskan api-api ! Dan tuan mau mimpi ? (hal. 37)

    **

    Supaja dapat gambaran lengkap tentang hasil pekerdjaan Muham- mad Ali baik dibitjarakan djuga tjerita-tjeritanja jang lain jang telah dibukukan. Kubur tak bertanda tjerita tentang seorang pradjurit gerilja Su- jono jang mengalami keketjewaan pahit. Ia djatuli melarat karena matanja djadi buta dan tatkala ia tjoba bertemu dengan bekas kekasih* nja, ia dapat perlakuan jang menjakitkan liatinja. Dalam keadaan mata ge ap dipukulnja bekas kekasihnja itu dan oleh karena itu dia ditangkap oleh polisi dan dimasukkan dalam tahanan. Seperti djuga tjerita „Lapar”, Kubur tak bertanda oleh pengarang di- uat sandiwara radio jang pernah beberapa kali dimainkan oleh RRI ja arta tahun 1952, dengan nama „Sel 13” , dalam mana beda' dengan jenta labonnja Sudjono pada achirnja bunuli diri dalam sel. Disini Mu- lamma Ali agaknja mau minta perhatian terliadap bekas pedjuang tan- ^a, aifS3’ T-Pj tokohiija, Sudjono, bukanlali orang jang sudah terbentuk " a ai.n^a . au dia masuk tentara bukanlah karena kejakinannja sudah masa tapi sekedar hanja ikut-ikutan. Pakaian seragamnja hanja untuk bersombong pada ibunja. ^ ierJta ini terasa sentimentil romantis, terlalu banjak perasaan dari I ran. tJetapapun beralasan perasaan tersinggung seorang bekas pedjuang jang merasa dirinja berdjasa dan pantas dikasihani sesudah ia invalid, 1,1 a aTC*la ,nen»ntut dari masjarakat pengliargaan jang tidak ber* sjarat. Vita dapat bajangkan penderitaan Sudjono kehilangan mata, tapi apa )i a dia dengan badju tjompang-tjamping masih mengharapkan per- ^il^h ’ n .* meraju” waklu mendatangi bekas kekasih jang sudah pu a er?uami, maka itu tjuma bisa terdjadi dalam angan*angan seorang pemuc a jang tak tahu diri dan tidak punja pengalainan sama sekali. Lcpas dari lukisan-lukisan jang bagus dalam buku ini saja acliiri mem latjanja dengan perasaan tidak puas, karena pengarang tidak ber* iasi mejakmkan saja akan kesehatan ala?an Sudjono untuk berlaku ne- a ( an emungkinan kebenaran lukisan Trisni dan suaminja jang digam* ar an sama sekali tidak punja perikemanusiaan. Dalam memihak pada u jono pengarang lalu kehilangan keseimbangan pikiran dan seperti orang dalam sesuatu perkara hanja mengemukakan segala jang djelek pa a pihak lawannja. Lagi pula pengarang rupanja tidak menjelami pe- rubahan djiwa jang mestirija terdjadi pada tiap orang jang djadi bxita, jaitu kehilangan pertjaja diri dan timbulnja rasa kurang liarga diri. Pengarang menggambarkan Sudjono berdjiwa seperti orang sehat sa­ dja dan tidak tjatjat badannja. Dan apakah alasan siknp Trisni jang sombong itu? Kalau berubah dari jang dulu apa Iantarannja? Toh tidak hanja karena sekarang su­ dah kaja? Sebab tidak semua orang jang djadi kaja mesti djadi sombong pula. Perbelokan batin Sudjono jang djadi tawakal dan keinsafan jang pada achirnja menjelinap dalam sanubarinja, terasa seakan dibisikkan oleh pengarang jang ingin membawanja kembali kedjalan Ilahi. Tjerita Siksa dan Bajangan dibuka dengan satu pengalaman super­ natural: penggali kubur Jatim ketamuan pendjelmaan roll seorang jang mati dalam ketjelakaan dalam pabrik. Kemudian ditjeritakan pengalaman isteri dan anak jang ditinggalkan sampai mereka temui pula adjahija. Djalan tjerita tercntang datar: Sang suami tewas dalam ketjelakaan, isteri dan anaknja menjeret diri ditengah rimba manusia-manusia jang siap menerkam dan achirnja menemui kematian mengerikan. Orang-orang jang ditemui dua beranak itu hanja sekali bertemu seperti orang berpa- pasan djalan. Tidak terdjalin antara mereka sesuatu ikatan jang menim- bulkan persoalan-persoalan jang perlu dipetjahkan ataupun diuraikan. Satu-satunja kesempatan jang memungkinkan terdjadinja tjerita ialah pertemuan dengan tuan Zet, tapi kesempatan ini serta-mcrta ditutup njonja Zet jang mengacliiri pertemuan mereka dengan pengusiran. Dalam kedataran rentangan tjerita bab-bab terasa berdiri sendiri seakan-akan tjerita pendek jang bulat dalam dirinja. Jang demikian itu dapat dikatakan tentang bab pertama, pertemuan Jatim penggali kubur dengan roll orang mati, bab kedua, intermezzo dalam rumah tangga tuan Zet dengan muntjulnja Ina dengan anaknja, dan bab keempat adegan jan<* dilukiskan sangat hidup1 dalam restoran dan adegan salah tampa ter­ hadap Ina jang disangka pcntjopet. Dan inilali pula bab-bab jang paling baik dalam buku ini, dengan lukisan jang tepat karena observasi psicho- logis jang tepat. Dalam tjerita ini Muhammad Ali tidak ada melihat djalan lain dari bunuh diri. Putus asa karena tidak mendapat tempat didunia jang luas ini pada achirnja Ina menerdjunkan diri bersama anaknja dalam sungai jang menggelora, tidak sempat lagi melihat tjaliaja Ilahi dan mengutjap istigfar seperti Sudjono dalam Kubur tak bcrlanda. Persetudjuan dengan Iblis adalali satu tjerita simbolis jang didasar- kan atas ajat-ajal surat AIi-Baqarah 34— 36. Meskipun psichologis tjukup mendalam, tendens tjerita terlahi njata, hingga kita seolali berhadapan dengan boneka-boneka. Aminudin jang pada mulanja sesuai dengan namanja setia agama, pada umur tigapuluh dapat digoda iblis, hingga djadi pelanggar adjaran affama. Perobahan Aminudin mulai dengan bertemunja kembali dengan seorang kekasili lama jang telah djadi bunga raja kelas tinggi. Inilali dia umpan-sang Iblis dan Aminudin terujata tak tjukup kuat menolak godaan. Iblis dimuntjulkan pengarang seperti Goethe memuntjulkan Mephis- topheles menghadapi Faust. Pertjakapan Iblis dengan Aminudin adalah pertjakapan otak jang berakar pada kesadaran tradisi dan moral dengan nafsu-nafsu badani jang tidak terkendali. Iblis adalah antitese jang me* nentang tese-tese dan pertjakapan antara Aminudin dan Iblis adalah soal djawab dialektis jang tidak mentjapai kebulatan sintese. Sang Iblis adalah retorikus ulung jang berbahaja seperti dengan bagus dilukiskan Muham­ mad Ali dalam pertjakapan berikut. (Aminudin tepekur mendengar andjuran Iblis supaja pergi kerumah Ema bekas kekasihnja. Berkata Iblis) „Pengalamanku Mas, terlalu luas. Aku telah banjak membantu menjelesaikan berbagai soal jang pelik-pelik dan usaha-usaha besar. Aku pernah membebaskan Adam dan Hawa dari tawanan luhan koluar dari pendjara jang disebut sorga ...... „Soalmu ini hanja soal biasa sadja, soal ketjil dan tak berarti, soal llaki-laki muda jang hendak menemui perempuan muda ...... ” Kepalia Aminudin kian tertekur, seperti kap-lampu beranda iana didojongkan kebawah. „Mengapa ?” tanja Iblis inendesak, „Kau takut menghadapi ketjan- tikan ? Kau takut menentang kegenitan ? Takut imanmu akan runtuh ?” „Tidak!” seru Aminudin tiba-tiba dan bemafsu, „Aku jakin akan keteguhan imanku. Aku sanggup mengendalikan nafsuku...... !” ,,Djika demikian ...... , "sambung Iblis pula, „mengapa bimbang? Me­ ngapa kau tepekur disini, dan membiarkan seorang wanita djelita lama menanti-nanti...... ? Ah, sungguh engkau Iaki-laki tak tahu adat!” Sekonjong-konjong Aminudin bangkit, dan berseru memanggil pela- jan restoran itu, membajar harga lemonnja. ,,Engkau pergi ? tanja Iblis berseri-seri. „Aku pergi” djawab Aminudin pasti.” fhal. 21-22)

    I’- setapak demi setapak membawa Aminudin tambah jau edjalan sesat. Djuga dalam berhadapan dengan Ema jang banjak daH^d^h*311 V m*nud^n kalah dalam perdebatan, perdebatan antara baik *^a a . jPa jang djahat dihiasi demikian rupa hingga bagus nam- P nja. minudin lalu kehilangan pengertian setia pada isteri, ia djadi koruPtor> dan achirnja djadi pembimuh kekasihnja sendiri Ti^L- t" i. menSadukannja kepengadilan agama setelah mengandung. I • JU_'UP sampai disini permainan Iblis. Diburu ketakutan pada nHnU n mengachiri hidupnja dengan terdjun kedalam sungai. /I/-13 t Trage^ tidak lebih tinggi nilainja dari Persetudjuan de- siiHVh + u lerasa sipengarang menggurui, dan sedjak permulaan kita rat kar 3 U, ma° a, djalan tjerita mau dibawanja. Susmini djatuh mela- ?fen,a lJPa diri, meninggalkan tunangan seniman jang idealistis dan rliaJ^TCutl1tu ang tjatut jang kaja. Wanita Susmini harus dapat hukuman, J ^ me arat liidup dibawah gerbong dan betapapun idealisnja tun an g- miikanja11^ *>CI1',a*ri diapun pada achimja hanja datang untuk meludahi

    . , ^e?.a.wa* tukang tjatut, Rudjito, digambarkan keanak-anakan J*. a.m. an pikirannja hingga tidak mejakinkan, demikian pun Sus- ini jang begitu sadja meninggalkan tunangan dan menjerahkan diri a am pelukan sang Don luan karena dibawa bermobil-mobilan dan dibe- lik.au perhiasan indah, mengingatkan tema film jang murah. Pertemuan direstoran antara Susmini dan Rudjito mengingatkan adegan demikiaE pula dalam Atheis. Sifat Rudjito dan lukisan orangnja pun mengingat- kan pada Anwar dalam roman itu. Ibu Sumini jang muntjul sebentar rupanja tidak punja fungsi dalam hubungan dengan anaknja. Terasa tjerita ini terlalu simplistis dan skematis. Analisa psichologis tokoh-tokob sama sekali tidak memuaskan. Apabila kita tutup buku ini kita seolah barusan membatja satu ichtisar tjerita.'Nama buku 5 Tragedi dalam hubungan isi tjerita bagi saja merupakan teka-teki jang tidak ber- djawab. Membatja tjerita-tjerita Muhammad Ali jang agak pandjang ada timbul kesan, bahwa semuanja tjerita itu tidak ada jang sampai selesai. Dari Kubur tak bertanda kita harapkan penggalian psichologis lebih men- dalam dan pelukisan nasib dan pengalaman invalid Sudjono jang lebih meiakinkan dalam penderitaan kemanusiaan. Siksa dan Bajangan dan 5 Traaedi kiranja tema tjeritanja dapat digabung sebagai roman keluarga koruptor tuan Zet dengan tjabang-tjabang kisah kehidupan orang-orang ian* diadi melarat karena perbuatannja. Dari Muhammad All boleh di- harapkan satu roman besar jang punja kelirbelakang masjarakat jang luas Tjerita-tjeritanja jang sudah terbit sebagai buku tebalnja tak me- lebihi lima vel format ketjil dan menumt perumusan tentang pandjang- nja masih termasuk tjerita pendek.

    * **

    Mulai terasa kedjanggalan dalam alasan jang selalu dikemukakan oran" apa sebab pengarang sesudah kemerdekaan memilihtjerita pendek sebagai bentuk untuk mengungkapkan dunia tjitanja. Alasan itu ialah bahwa tjerita pendek digemari oleh pembatja karena selesai dibatja dalam lima belas menit sampai dua djam paling lama dan dalam serba tergesa-gesa pembatja tak punja waktu untuk membatja roman berdjam- djam lamanja. Alasan l a i n l a g i ialah bahwa tjerita pendek jang biasanja dimuat dimadjalah atau surat kabar itu bisa didapat lebih muxah dan buku roman jang tebal dan ada lagi jang menjatakan bahwa tak ada penerbit jang mau menerbitkan roman karena ongkosnja terlalu berat. Semua ini mungkin benar tatkala dikemukakan pertama kali pada per- mulaan revolusi tapi kemudian telah kehilangan kekuatannja. Kalau kita kupas satu persatu alasan-alasan tersebut dapatlah kita katakan bahwa para penerbit telah menerbitkan kumpulan tjerita pen­ dek dan puisi jang tebalnja tak kurang dari tebalnja roman dan ini berarti bahwa ongkos produksi buku roman telah dapat diatasi. Disam- ping it,u djangan pula kita lupa bahwa banjak roman lama jang terpaksa berulan^-ulang ditjetak karena banjaknja pennintaan dan sungguhlaii bukan kelalaian para penerbit lagi apabila tak ada penerbitan roman baru dari pengarang-pengarang baru. Setahu saja malah ada penerbit jang mcnantang para pengarang supaja memilis roman besar untuk me­ reka terbitkan tapi tantangan ini menemui sikap lesu dan lumpuh. Popularitas tjerita pendek jang semula hanja dapat tempat dalam madjalah dan sural kabar, — jang memualnja hanja sebagai sambilan belaka satu tjerita saban terbit —, kemudian telah menmgkal. hingga

    DD kita telah saksikan terbitnja madjalah-madjalah chusus tjerita pendek seperti Kisah, Prosa, dan Tjerita jang djuga tidak hanja tjukup dun djam untuk membatfanja. Roman-roman uiangan tjetak sedjak Sitti Nurbaja sampai Atheis harganja tak bisa dikatakan rendah, tapi orang membelinja djuga, be- ptupun kumpulan tjerita pendek orang sediakan uang dan waktu imtuk itu. Publik pembatja lambat laun telah djadi matang dan mengharap- harap terbitnja roman baru disampiug kumpulan tjerita pendek dan pmsi. TOTO SUDARTO BACHTIAR

    PENJAIR „IBUKOTA SENDJA”

    EORANG penjair jang berbahagia mendapatkan penerbit untuk sadjak-sadjaknja ialah Toto Sudarto Bachtiar. Dia mulai menja- S cljak tahun 1950 dan disamping itu menulis esei dan menter- djemahkan kesusastraan asing. Dilahirkan tanggal 12 Oktober 1929 di Palimanan, Tjirebon, ia mendapat pendidikannja di Cultuurschool Tasikmalaja, tamat 1946, Mulo Bandung 1948 dan SMA Bandung 1950. Tahun 1952 ia djadi mahasiswa Fakultas Hukum dan Pengetahuan Ma­ sjarakat Universitas Indonesia di Djakarta. Dua kumpulan sadjaknja jang telah diterbitkan, jailu Suara, kum­ pulan sadjak 1950-1955, oleh BMKN tahun 1956 dan Etsa, oleh Pem- bangunan tahun 1958. Jang termuat dalam dua kumpulan ini belum semua, masih banjak jang tersebar dalam madjalah Mimbar Indonesia, Zenith, Siasat, Indonesia, Pudjangga Baru dan Kisah. Dalam Suara terkumpul 43 sadjak, sedaug Etsa memuat 40 sadjak. agaknja jang dianggapnja terbaik sesudah pemilihan jang keras. Suara menurut pendjelasan djudulnja adalah „kumpulaan sadjak 1950-1955” . Orang akan dengan sendirinja mengira bahwa Etsa jang terbit kemudian hanja memuat sadjak-sadjak sesudah- 1955, tapi tidak demikianlah lialnja. Didalam Etsa djuga ada sadjak-sadjak jang ditulis dalam djangkawaktu jang sama dengan Suara, hingga keduanja bisa dibitjarakan bersama-sama. Namun ada perbedaan. Apabila dalam Suara sadjak-sadjak kebanjakannja bersifat bertjerita, dalam Etsa teruta- ma ada pembati'nau. Penjair seolali tidak bitjara pada orang lain, tapi bitiara nada diri sendiri. Kala-kata merupakan dunia-dunia iang isinja sukar dirumuskan karena luasnja seluas kehidupan dalam serba kemung- kinannja. Ivata-kata mengandung arti jang lepas dari artinja jang sempit dan hanja merupakan alat untuk mengimgkapkan kemungkinan-kemung- kinan isinja jang lebih luas. Dan keluasan arti itu diperluas pula dengan kombinasi-kombinasi kata jang masing-masing mengandung kemungkinan- kemungkinannja pula. Sadjak-sadjak dalam Etsa lebih matang, kurang evokatif karena abstraknja kiasan-kiasan, tapi tjukup asosiatif bagi jang matang pengalaman. Kalau kita perliatikan tema-lema jang diungkapkan Toto dalam Suara dapatlah digolongkan seperti berikut. Jang paling menondjol ialah tema-tema sosial, tentang kemiskinan dan kemelaratan si orang ketjil, belas kasihan pada jang hidup sia-sia, solidaritas dengan „dunia jang luka dan teriantar” . Termasuk dalam golongan ini sadjak-sadjak seperti „ICereta Mati” , „lbukota Sendja” , „Lagu Orang-orang malang” , „Pahla* wan tak dikcnal”, „Gadis Peminta-minta”, „Kepada Simiskin”, dan lain- lain. Pun kita temui aadjak-sadjak jang seinata mengungkapkan suasana mentfengkam dalam saat-saat tertentu situasi manusia dalam kesunjian, TOTO SVDABTO BACHTIAR kekosongan dan pendambaan seperti „Antjaman”, „Nocturno , «Elegi buat Zizi”, „Malam Maut”, dan lain-lain. Termasuk golonganini sadjak. sadjak kenangan pada jang mati: „Memento M on”, „Buat Nisan Mam dan sadjak hiburan diri dalam kenangan kematian, „Focus . Selain itu kita temui sadjak-sadjak tentang pengembaraan dan kerawanan perpisahan — „Dipelabulian”, „Lagu Pembiusan” —, tapi djuga kepenuhan hidup dalam kepalilawanan dan kepastian dalam pentjanan dan penemuan din, seperti dalam sadjak-sadjak „Riwajat”, „Tentang Kemerdekaan , „Seka- rang aku tabu”, „Perbandingan” dan lain-lain. Beberapa sadjak Toto adalah pertjakapan dengan sang waktu („Pada Sangkala” ), dengan kawan („Pernjataan’\ „Berdjabat Hati”, „kepada f f » ) dengan kekasih („Malam Dingin”), dengan orang jang mende- rita kadang hanja dengan diri sendiri. „Berdjabat Hati” adalah satu pertjakapan dengan Guillaume, agaknja jang dimaksud penjair surrealis Perantjis Guillaume Apollinaire, tentang tjinta dan maut. Puisi Toto terutama dalam Etsa adalah djawaban atas pertanjaan: apakah manusia? Lebih chusus: manusia penjair jang mengalami hidup pada W a n dSTdjiwa. Sebagai demikian sadjak-sadjaknja adalah sadjak- sadjak metafisis, sadjak-sadjak renungan din tentang adanja diduma, pertanjaan dari mana kemana, apa jang dapat ditjapai dan apa jang harus kembali dilepaskan, apa jang terampas dan apa jang lepa,. Pengembaraan, petualangan, tak ingin tenkat pada lembaga-Jembaga, inilali existensi sang penjair. Dalam keisengan dan pengei^araan p. menulis sadjak. Bagi penjair jang utama dalam k^ du pm ialahprag alaman, penffhajatan. Hidup jang tidak dihajati pada din biikanlah hidup. „Hidup bagi jang hidup setiakan denta”, „kenangan hidup hanja bagi jang hidup”, kata Toto dalam „Dunia sebelum tidur . Dalam sadjak „Lagu Orang-orang malang” sebentar kita terhenti pada bagian kalimat: „Mereka jang indah dalam merasa . Siapakah jan Lerasa indah dalam merasa ? Kata „mdah saja kira mengandun* penilaian penjair dan bukan harus diliubungkan dengan perasaan sub- ?ektif si orang malang jang disjairkannja. Penjair merasa adalah satu keindahan bahwa pun dalam kemalangan orang masih bisa merasakan kemalangannja. , Kesadaran akan kefanaan hidup jang beptu membun, dalam hidup Chairil Anwar, pun nampak dalam sadjak-sadjak Toto Sudarto „Muka daii ^Tjatatan unluk Haritua”. Tragik manus a jang berusaha seumur hidupnja hanja unluk merambah djalan setapak kepekuburan. memeras keringat sebelum ubanan dan membuka djalan setapak, disana tempatnja kembodja akan mengaling megapnja napas langit biru atau tjinta jang djadi tua bersama kita („Tjatatan unluk Haritua” )

    Dalam masa tak ada kesibukan senantiasa kekosongan dan kesepian datan* menjerbu, balikan dimasa menghadapi persoalanpun perasaan itu adakalanja timbul djuga, perasaan jang dibarengi kegamangan dan kenge- rian. Suasana demikian diungkapkan dalam sadjak „Rnmah ko&ong , suasana penungguan, harapan dan kesepian. sebelum pasti kau pulang aku tak tahu pukul berapa sekarang dinding kamar aneka wama serba membisu sadja penuh tanja simji jang membuka sendu pagi hari mcngadjakku memandang keluar djendela betapa besar arti lubang pada kainnja hidjau daunan mengirai sampai niengembang sendja kalau engkau datang pasti hidup kembali ditanganku terpegan«- tapi kini, aku tak tahu djam berapa C jang kutahu, anakkn baru lama sekali kan datan-

    renjai air mata sama djatuh rindu kudus musim kemarau menambahku djadi tua tapi remadja tua karena denjut waktu remadja karena pengalainan'segar tiba dipundakku renjai air mata sama djatuh rindu kudus musim kemarau menambahku djadi tua tapi remadja tanda dirnnu masih ada

    tta^S kku aU bcrsekutu dengansang M a u t:^ SemmtlaSa mcntjengkam manusia dan

    Bila kita (batja: kami) terdjebak olehmu -fcfk-baiknja • B .Pta keiam dunia janf

    Kadang lebih cnaklah ' ■(”Pada SanSkala”> dan putus asa (J fim p j-). acfaTab “sin n,enSal™ i ketjewa tap. lepas kembali. 1 aflalah satu misteri, serasa tertangkap Waktu berlalu, ,,deHk- riot-) i penjair meudjalani hidup ^

    j ’ 1 " ' Ji Sa . ? r “ “rl ahr r " ' aCl,im' a

    I -4'Pi dalam malam hika

    t” ^erbandingan” ) Hidupilah hidup walaupnn dalam derita didunia jang penuli dosa dianggap sementara orang. Pengertian dosa djadi persoalan bagi penjatr sendiri. Berkata ia dalam ,,Limas . Kuliarap tangan waktu jang beda Mengepalkan Lindju bagi dosa Jang mcmbnngkuk Menghadapi kita Dan dalam „ICilang” Setelab sepagut sajang tjinta badani Taliu pula arti ketimggalan kasih tanpa nabi Kilan" hidup damba sekilas persetubuhan djiwa Mengelnhkah kau bawah sadar jang matang

    s i ° s s . - JU-.« w K U ffel? «— kan Chairil Anwar djuga dalam sadjaknja „Kepada IVawan Hantjurkan lagi apa jang kau perbuat, Hilang sonder pusaka, sonder kerabat,. Tidak minta ampun atas segala dosa, Tidak memberi pamit pada siapa sadja . c „AU «n„dara kata Toto pada kawannja jang mati. Dinku Sama sadja saudara, K gunanja salmg mema- dan dirimu sama-sama pen 1 — perbnatan kita, amal

    afkan ? Ja.ig p c n l i n g bukanlali dan tak bisa diba- jang mcmbeku dalam laku pei ma n”m!iaf didaerah mati, pun

    landjut ------TS,“ 'S^ s ...... ,,k” “ ini: ‘ 1 KEPADA ORANG MATI kalau aku kaumaafkan, karena maaf baik, kau tak pernali mengerti dirimu kalau kau kumaafkan, karena maaf baik, kau tak mengerti dirimu begitu banjak maaf, buat begitu banjak dosa bc«itu banjak dosa, buat begitu banjak maaf hanjakah tersedia buat daerah mati tanpa liawa. tanpa kemauan baik t tapi kau tak kumaafkan djuga, sangat sajang tanpa mengerti diriku tanpa mengerti dirimu sedang aku tak mau mall muda sekarang wr ■ In Tnto adalah perlambang tjinta, machluk jang pada- Wamta pada Tot ^embikin hidup djadi berarti baginja. nJl ke."nW U ntaia’n '1 hidup jang kena tjahaja/Gerak jang me- warnai manusia” u^Focus” 15 S j. Dalam liidup manusia tjinta meinegan» peranan penting. Tjinta jang „datang seperti adjall seorang/dari padang pandjang tak dikenal”. Tjinta jang memenulii liidup tapi djuga dapat mentjiptakan kekosongan jang meruang. Tjinta membawa suka tapi djuga kepedihan, keduanja „saling bertjiuman, saling meruntuhkan” („Kamar” 46 S). Kekekalan tjinta boleh diragukan, karena hidup ma­ nusia sangat terbatas, tapi dengan tjinta penuhilah setiap saat („Nja- njian Malam Hari”, 41 S). Kelembutan dan kesutjian hati adalah hiburan bagi dunia jang penuh bentjana („Temarang” 37 S). Dalam menghadapi kehidupan dan tjita-tjita pada achimja tinggal kepertjajaan pada diri sendiri, pada hubungan orang seorang. Rumah-rumah runtuli pada saatnja Bagai harapan dan kita Tinggal lagi kepertjajaan pada hubungan Orang-seorang dalam malam dingin („M alam Dingin” 34 S) t' , ^ tafsirkan setjara dangkal seolah sadjak „Tanja” (28 S) isinja Ja u , tapi jang inti ialah misteri jang dinjatakan penjair dalam bait jang terachir:

    t a n j a Senandung hati jang kelam, Kembara ditengah malam Berpisah kembali karena potongan sadjak Usah bertanja kapan kembali bertemu Malam kasip jang menegurmu Waktu lewat — ah perempuan ! Luka riang jang tengadah Butir-butir debu jang menjinggung udara Menggaris paha: nafsu jang mumi Jang berdegup kesumba Membelai pusat dan dinihari Senandung hati jang djauh Kepingin aku bertanja Malam larut jang bagaimana Mengobarkan fadjar musim-musimku Gadis, dan kita larut dalamnja ',,te«ak”Ul] f i k ^ anP UJ1S a“ tara ada dan tiada, antara sibuk dan sepi dan'nmr / kegagalan senantiasa meninggalkan perasaan kosong kerimlun18 ^ }” 6aSalM 8 E ), dalam pendambaan tjinta bahagia terasa 19 E) w* i3n , 3ettduan («PenSantar” 13 E, „m im pi” 18 E, Mdjendela” indnli 1 U? j keras dari batu” („Temarang” 37 S), tapi djuga mentiiT*; ” depan mata” („Kawan” 30 E). Dan Toto tidak sekedar kelasi i*n Cgf.,ra an dukana dalam pengalaman hidup. Terhadap la v. ^U1Jia tar*k tali dan pukul tifa” dan bemjanji: „Cherohez ia temme, cherchez la femme”. Kapitan memahatkan darah dipintu pelalmlian pertama dan mendoa: Cherchez la personnalite, cherchez la personnalite I „Riw ajat” 9 S) Kesadaran akan kepenjairan bukan sesuatu jang menimhulkan raa, sebab penjair adalah manusia terkutuk. Ia terkutuk untuk teru* cembara dengan demam keinginan membawa kebenaran. „Karena

    Anggota kaum jang rindu Berharap tanpa pengalaman, terbuka Bagi segala putus asa jang kekal Tanpa berachir tanpa penjerahan U,Dunia Bisik” 24 S\

    Meno'apa kurasa senasib denganmu dalam kehidupan Karena sadjakmu jang mengadu tenaga dengan kematian Aku memang tak kenal keradjaanmu Tapi keradjaanmu disini, aku menundjuk kehati Mengapa orang harus kenal-mengenal Padahal rasa*merasa lebih sangat ta zim Hingga pudar segala garis-garis jang menepis kita Siksa jang terberat, buahnja matang

    aku tak perlu tahu dia siapa tapi kami pdrnah sama mentjinta) malam aku dan dia tak ada bedanja hidup keras indah menari depan mata i„K aw an” 30 E)

    kotamu hidup tak membcrimu harga hidup diatas pusaran tiada batas penjair jang tangannja mendjamab bintang tatkala hari djauh siang tjintamu dimanapun ada membisikkan tangismu kemana sadja diantaranja gelung awan rawanmu sangat agung dan bim

    i ....kepada k.p.” 33 E)

    kalau dia sudah lama pergi setiap orang bam mau mengerti puisi dialah orang besar jang bisa bitjara sonder kata tapi dia sudali lama pergi, mati

    („dia” 34 E) ■ Dl.dalam Toto memperllihatkan dirinja sebagai anak Djakarta jan tjinta pada kotanja. „Ibukota sendja” 1 ) satu lukisan jan- mesra TakaT^ad^ naH rta ^ ^ehiduPan JanS berlangsung dalamnja, meru- d i n n e r n n f JiJ? u P?pule? ,pada Peri°™*>aan-perlonibaan deklamasi k a rtf ^eba^ai t an oieh golongan seniman kepada walikola Dja- d u p a n TeZ , n 2? T1™* uaSlh 3138 Perhatian belia" terf* d“P kehi- karena dal™ * “ • kebanSSaan j a*g mengandung edjekan nasib « - t'E,E" k™"““ *■ ...

    IBUKOTA SENDJA Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan teliandjang mandi Uisungai kesajangan, o, kota kekasih ilakson oto dan lontjeng trem saing-menjaingi ara menekan berat diatas djalan pandjang berkelokan Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam sendja _ engurai dan lajung-lajung membara dilangit barat daja U, kota kekasih Tekankan aku pada pusat hatimu itengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu Aku seperti mimpi, bulan putih dilautan awan belia umber-sumber jang murni terpendam enantiasa diselaputi bumi keabuan an tangan serta kata menahan napas lepas bcbas enunggu waklu mengangkut maut Aku tiada tabu apa-apa, diluar jang sederhana janjian-njanjian kesenduan jang bertjanda kesedihan -enunggu waktu keteduhan terlanggar dipintu dinihari rla uikeabadian mimpi-miinpi manusia Klafcson dan lontjeng bunji bergiliran a am penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari * ara kuli-kuli jang kembali an perempuan mendaki tepi sungai kesajangan Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa awali bajangan samar istana kedjang ajung-Iajung sendja melambung hilang a hitam malam mendjulur tergesa Suniber-suniber murni menetap terpendam S®,lantlasa^ diselaputi bumi keabuan ------er a sendjata dan tangan menahan napas lepas bebas

    2) kaJi dalam Siasat V/208' 18 Maret 1951- sadjak „Ibuko^a^entHa’’ ? 8rsemkahan setjarik kain dengan oenaja , dikerdjakan oleh pelukis O. Effendi, O, kota kekasili setelah sendja Kota kediamanku, kota kerinduanku Sadjak suasana kola Djakarta nampak pula dalam sadjak „Djalan- djalan” dan perhatian pada rakjat rendahan jang kita lihat dalam fla- djak-sadjak „Kereta Mati”, „Lagu Orang-orang malang”, „Djurang Musim”, „Gadis Peminta-minta”, „Kepada Simiskin” dan beberapa lagi sadjak jang lain. Sadjak „Kereta Mati” mengungkapkan nasib tukang betja jang „mengajuh hingga pelabuhan pengliabisan” tanpa harapan.

    KERETA MATI Seorang pengcndara kereta Beroda tiga, manis Mengajuh hingga pelabuhan pengliabisan Mendaki dan menurun Djari-djari berdjarak kaku Mendjauhkan mimpi dalain rongga malain Kalung bintang dan bulan berombak awan ungu 0 , semua djauh manis Selingan tjuma senjampang ditelinga Mobil dan trem lalu Dan perempuan berlagu pilu Bagi manusia berdjiwa kuda Dimana djiwa diatas roda dihela waktu ! Batuk hampa mengamuk dan berkuasa Dalain dada luka terbuka Kemauan terpendam dialam beku Seorang pengendara kereta Beroda tiga, manis Mengajuh mendaki pelabuhan pengliabisan Bertebing ljuram, menunggu dan menganga 0 , semua djauh manis Tiada karangan bunga lersilang Tiada kepedihau enggan hampir Manusia monangis ditepi pelabuhan pengliabisan Tak kurang merasuknja kemiskinan dan kemelaratan dalam sadjak „Gadis Peminla-minLa”, salu lukisan jang mengingatkan „Gadis ketjil disimpang sepi” Muhammad Ali, penjair Surabaja. Ja, penderitaan di- kota-kota banjak pcrsamaannja, kota-kota jang menarik setjara lahiriah bagi oraug desa, karena kegemilangan jang nampak dari djauh. Inilah pertemuan Toto dengan „Gadis Peminta-minta” :

    GADIS PEMINTA-MINTA Setiap kita bertemu, gadis ketjil berkaleng ketjil Senjummu terlalu kekal imtuk kenal duka Tengadah padaku, pada bulan merah-djambu Tapi kotaku djadi liilang, tanpa djiwa Ingin aku ikul, gadis ketjil berkaleng ketjil Pulang kebawah djembatan jang melulur sosok Hidup dari kehidupan angan-angan jang gemerlapan Gemhira dari kemajaan riang Duniamu jang lebih tinggi dari menara katedral Melintas-lintas diatas air kotor, tapi jang begitu kauhafal Djiwa begitu murni, terlalu murni Untuk bisa membagi dukaku Kalau kau mati, gadis ketjil berkaleng ketjil Bulan diatas itu, tak ada jang punja Dan kotaku, ah kotaku Hidupnja tak lagi punja tanda Dan inilah pertemuan Toto jang lain dengan kaum djembel, orang- orang jang tersisih, „saudara(ku) seibu sebapa” . Terliadap nasib mereka ia merasa berdosa, tapi iapun hanja seorang dari mereka jang ingin ber- kata pada Pemimpin.

    KEPADA SIMISKIN

    I Terasa aneh dan aneh Sepasang-sepasang mata memandangku Menimpakan dosa Terus terderitakankah pandang begini ? • Rmnah-rumah terlalu rendali Dan tanganku hanja bisa menggapai Diantara ruang tak berudara Dimana keluh mengapung-apung Takut mcngguratkan fadjar jang salah Dan perdjalanan masih djauh T- api antara kami Tak ada jang memisahkan lagi

    II Saudara-saudaraku, seibu sebapa Kita orang-orang tersisih Terluput dari takdir dan djalan besar Barangkali kubur-kubur bagi kami telah menganga Tetapi apa kubur bagi kita Kita terkubur, sebelum sempat berkata Kepada Pemimpin Barangkali djiwa kita djiwa kembara Menobatkan diri dari taburan bunga Saliiig menekankan hati kita baling mendjabat tangan kita, karena kita sesaudara Djuga perhatian pada manusia jang nampak dalam sadjak „Pahla* wan tak^ dikenal”, pahlawan jang mati muda, jang tanpa perhitungan egosentris nienjeralikan njawa bagi revolusi, tapi kemudian djasa-djasa- nja dichianati dengan djalan penjelewengan oleh jang tinggal. Dalam sikapnja dapatlah dikatakan bahwa Toto seorang penjair jang romantis. Seorang pengelana jang mentjari makna hidup dalam pengem- baraan, meneraukan dan melepaskan lagi. Tapi beda dengan romantikus jang platonis dia mendjeladjak kehidupan, berdiri ditengali-tengahnja dan sampai pada pengertian hidup jang serba ganda. Maka dapatlah ia berkata r bersama nasib kita beterdjunan dalam lembah malam mengetuknja dan membenahinja dunia tjukup indah disini, kata orang keraarin malam kita bersama-sama mengangguk, karena kitapun lebih tahu („Pengembara” II 45 E ) Ja, kitapun lebih tahu, tidak lianja keindahan tapi djuga penderi- taan. Kalau orang hanja melihat lahirnja mudahlah tertipu, seperti djuga penjair: dulu aku selalu tak habis sangka semua gampang terbaris djadinja depan katja djuga bajang-bajang pengliabisan jang latarnja baru malam ini kutahu („Pengembara” II 45 E) Sesudah menemukan penjair jang sepi sedia meninggalkan lagi. „menudju arah dimana musim-inusimnja bisu/buat selamanja („Djen- dela” 19 E). Angin pagi adalah kawannja jang setia, karena mereka sama-sama pengembara „dari tempat, dimana gelombang-gelombang ber- sitahan” („Angin Pagi” 21 E). Betapapun muram nadanja, namun nafsu liiduplah jang memantjar dari tiap sadjak. Bahkan djustru dalam suasana kekosongan dan keham- paan nafsu hidup itu berkobar-kobar minta diisi. Sangat nikmat kemerdekaan. Pikiran ini berkali-kali dikemukakan Toto. Betapapun kemerdekaan „membebankan nasib dan bentjana”, „terasa njaman mengenang djalan-djalan diluar pendjara/menadjamkan sanggurdi bagi pematju djalanan”. Maka kelegaan kemerdekaan harus diterima bersama nasib dan bentjana (” au revoir 46 E)• Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara Djanganlali takut padanja, Kemerdekaan ialah tanah air penjair dan pengembara Djanganlah takut padaku, Kemerdekaan ialah tjinta salili jang mesra Bawalah daku kepadanja („Tentang Kemerdekaan” 22 S) Kemerdekaan penjair laksana laut jang tak pernah takluk dan tak pernah d'usta, seperti katanja dalam ,,Malam Maut 21 S): MALAM MAUT Karena laut tak pernah takluk, lautlah aku Karena laut tak pernah dusta, lautlah aku Terlalu hampir tetapi terlalu sepi Tertangkap sekali terlepas kembali Ah, malam, gumpalan tjahja jang selalu berubah warna Beginilali bila mimpi menimpa harapan bantji Tak kusangka serupa dara Sehabis mentjium bisa meudera Karena laut tak pernali takluk, mereka tak tahu aku dimana Karena laut tak pernah dusta, ku tak tahu ijintaku di- mana Terlalu hampir tetapi terasa sepi Tertangkap sekali terlepas kembali. Banjak kita bertemu aforisme, hikmat hidup jang didapat dalam pengalaman, dalam bentuk djalan pikiran kadang seolah paradoxal, tapi logis dalam intinja. Misalnja: „siksa jang terberat, buahnja matang”, („Kepada W.W.” 42 S), „Lembut dan kesutjian ada!ah:/Rasa hibur bagi dunia bentjana kita” ; „Lembut dan kesutjian patut dikenang,/Rasa hibur bagi bentjana kita” („Temarang” 37 S). Salah satu keistimewaan dalam djalan pikiran penjair ialah adanja ketegangan paradox, ketcgangan kontradiksi, penghadapan tese dan antitese jang tidak selalu dikendorkan dalam sintese. Bukankali demikian halnja bahwa kesenangan ada disamping kesedihan, kehidupan ada di- samping kematian, jang satu tak bisa ada tanpa jang lain? Demikianlah bisa bitjara tentang „Kematian jang masih hidup” („Elegi buat Zizi 18 S), „luka riang jang tengadah”, „nafsu jang murni” („Tanja ’ 28 S)* „gairah pedili”, („Kamar” 46 S), rindu kudus musim kemarau jang meuambahnja djadi „tua tapi remadja” („renjai” 35 E ). Kadang- kadang ia mempergunakan kala-kata jang nampaknja isinja paradoxal tapi dihubungl.an dengan talakalimat ternjata sama sekali tidak para­ doxal. Misalnja: ,,kegairahan. gugur dipusat kehidupan” („Sekarang aku tahu 29 S )t „h:iri-hari gemilans orang-orang terlunta” (,,Djurang musim” 27 S). Pengertian sadjak-sadjak Toto Sudarto seperti umumnja puisi modern banjak lergantung dari kepandaian pembatja menginterpolasi dan me- motong-motong serta menjusun kelompok kata dalain satuan-satuan pengertian dan pernafasan. Interpolasi, pemotongan dan penjusunan itu tergantung dari interpretasi dan sebaliknja menentukan interpretasi. rerlontjatan baris atau enjambemen adalah akibat dari penjusiman ke- ompok berdasarkan interpretasi. Ada menarik untuk menjelidiki kemungkinan-kemungkinan kesan fu g estetis timbul dalam persadjakan Toto Sudarlo dengan membuat kombinasi-kombinasi kelompok kata dan penempatan tanda-tanda isti- rahat jang berbeda-beda antara kalimat. Satu tjontoh penjusiman dan pemotongan lahiriali jang mungkin betla dengan struktur batiniah, saja ambil dari sadjak ,,Lagu Orang-orang malang” : Djudjurlah bersikap bila tangis tiba Demi hasrat jang kiau menjala Berlumur keluh terhadap waktu Jang tak mengachiri lamunannja Melihat susunan sadjak kila bertjenderimg berhenli istirahat pada tiap achir baris. Baris pertama lalu berarti: kalau datang malang hemlak- lah bersikap djudjur. Pun apabila dihubungkan dengan baris kedua, baris pertama mempunjai arti jang logis: sikap jang djudjur adalah „Demi hasrat jang kian menjala” . Kemungkinan Iain ialah bahwa antara baris pertama da.i kedua tidak ada istirahat, tapi ada perlontjatan bans. Maka „Demi liasrat jang kian menjala” adalah keterangan pada „tangis . Demikian pula baris keliga dan keempat perbedaan tafsiran akan membikin orang menaruh istirahat membatja ditempat jang berlain-lain- an. Setjara i'ahiriali orang berljenderung istirahat sebentar diudjung bans keti^a dan terbukalah kemungkinan arti bahwa baris keempat merupakan keterangan pada perkataan „waktu”. Djadi: „waktu, jang tak mengachm lamunannja”. Meskipun bisa, tapi ini tidak begitu logis. Kemungkinan lain ialah baliwa disini kita berliadapan dengan inversi, jaitu apabila kita interpolasi, kita sisipkan kata „orang” didepan baris keempat, dan intonasi membatja pun djadi seperti berikut: berlumur keluh terhadap waktu 3 (Orang) Jang tak mengachiri lamunannja antara baris ketiga dan keempat tak ada istirahat. Satu tjontoh lain dari interpolasi dimana perbedaan tjara adalah aki- bat perbedaan tafsiran dan mengakibatkan perbedaan arti. Sampailah lama tangisan jang djudjur Jang sebatang kara („Lagu Orang-orang malang” 26 S)

    „Djndjtir” mungkin bisa diartikan sebagai keterangan pada „tangi- san’Ctapi djuga mungkin sebagai keterangan pada „orang” apabila diada- kan interpolasi: „tangisan (orang) jang djudjur” . ,,Jang sebatang kara atau dengan interpolasi „ (orang) jang sebatang kara adalah aposisi pada ..(orang) iang djudjur”. Ungkapan „tangisan jang djudjur bisa kita anjigap sebagai lawan „tangisan jang dibual-buat” jang tentunja dilakukan tanpa kedjudjuran oleh orang jang tak djudjur. Bans pertama dan kedua harus dlbatja sebagai kalimat inversi. Satu tjontoh bagaimana kita akan dapat kesukaran apabila salah poton" atau salah liubung saja alami dengan dua bans pertama sadjak „Berdjabat Hati” {39 S). Sadjak ilu mulai begun: Ja, Guillaume, tak apa kita bertjinta ^ Tak putus-putus, asal rindu dendamnja (Aku waspada djuga pada tangan waktu) (Pada chianal jang mentjekikku bila ’ku alpa) Kesukaran timbul karena saja membatja dengan perlompatan dari baris pertama kebaris kedua dan berhenti istirahat pada koma dibela- kan" ,,tak putus-putus” . Tapi dengan demikian bagian kalimat selandmt- nia tak mcmpakan kalimat selesai dengan bagian jang pertama dan tidak pula ada persambungan arti bila dihubungkau dengan bans-bans selan- djutnja. Jang tepatnia saja kira ialah istirahat sebentar pada achir bans pertama, kemudian baris kedua dibatja selesai tanpa istirahat ditengah* tengahnja. Dengan mengenaHi baris kedua ini sebagai mversi, barulah djelas ifungsi „asal” sebagai kata penghubung jang menjatakan sjarat. Koma dibelakang „tak putus-putus” meskipun dimaksud untuk kedje- lasan, temjata bisa membingungkan.' Kalimat inversi agak sering djuga bertemu dalam sadjak Toto Su- darto disamping gedjala perlontjatan baris. Tjontoh: datanglah dulu, wahai saat*saat jang menenangkan tubuh Dimana djaiili kenangan ’kan kebinasaan

    („Noktumo” 11 .S) (inversi dalam baris kedua).

    • ^erikan ^agi beberapa tjontoh perlontjatan baris dan interpo- lasi. Perlontjatan baris saja tandai dengan tanda 3 dan kata jang diinter- jjolasi ditaruli antara tanda kurung. Sakit jang merasuk bersautan 3 Disebelali dada kanan, Zizi/ Tak membuatku (djadi) penderita etc.

    Rumah-rumah runtuh pada saatnja 3 Bagai liarapan/dan (bagi) kita 3 Tinggal lagi kepertjajaan pada hubungan ^ Orang-orang dalam malam dingin / /

    („MaIam Dingin” 34 SJ Kenangan hidup hanja bagi jang hidup / / Bingkis tjahja 3 Dalam musim jang segera matang / Menghalau degup rongga berudara sedih / /

    („Dunia sebelum tidur” 25 S)

    Tentu orang bertanja: manakah tafsiran jang benar dan tjara mem- a Ja jang tepat? Djelas bahwa tidak selalu hanja ada satu kemungkinan an iap kemungkinan jang dapat dipertanggung-djawabkan sedikit ba- kaia .n?e’nr,imJai kebenarannja. Segala kemungkinan itu malah memper- munM-1, 8uasana jang diungkapkan. Sampai kemana kemungkinan-ke* kan k ^ 0,3/1 *tU oleh penjair adalah soal lain. Ia mengungkap- jjatj e. 11 8ePerti dialaminja dan dalam bahasa'ia menuangkan isi Ja’ Peojair jang dengan sadar mempergunakan bahasa dengan me ^ Jan§ ^^ungkinkan aueka tafsiran, ada pula jang dengan intuisi penTanuf1^13 h v ^ 3^aSa dan ,nentiaPai JanS sama. Jang djelas pada kanka V £me bahasa dipergunakan dengan sadar untuk mengung- darto bukG VPan 8etjara polyinterpretabel. Dan dalam lial ini Toto Su* delaire ^ ^ kenal dengan pemuka-pemukanja Rimbaud dan Bau- dani^rrv 1?lcrri]).Ual orang seolah berhadapan dengan teka-teki mengha- bacai n '8adjak Toto Sudarto ialah penggunaan kata-kata sckedar se- nia tr / ^ dar* kehidupan jang luas dengan segala kemungkinan- isi Ora an£kum dalam atjuan-atjuan pengertian jang tunggal for T t°^ &irU8 rnenem,lkan kuntji-kuntji pengertian simbolik dan meta- i .° ° udarto untuk dapat menikmati puisinja sepenuhnja. Lagipula ka 31nan *anggapan hidup, rasa hidup dan sikap hidup akan menjukar* u orang mengertinja, apalagi orang jang orthodox dan statis dalam pandangan hidupnja. Simbolik jang dipergunakan Toto sungguh luas dalam artinja, mem- bikin puisiiija tak boleh kita artikan setjara chususdan eempit harfiah. Simbolik adalah kiasan tapi isinja lebih luas. kiasan sekedar me- njatakan apa jang dialih sebntkan, tapi simbolik menjatakan ketjual. ian" disebutkan lebih lagi dari itu. Apabila penjair dalam eadjaknja „ia - nja mengatakan „Senandung hati” maka jang dimaksudnja bukan sadja lagu, tapi djuga orang jang melagukannja, dalam hal imi penjair. Begitu- pun „malam kasip” ketjuali malam jang larut djuga dimaksud perem- ptian jang dikandung malam itu. „Tidnr” mungkin tidak lianja berarti

    tidur tapi djuga „mati” dalam arti bahwa orang berada diluar kesadaran dalam kedua matjam keadaan itu („Duma sebelum tidur 25 6 ). beba liknja „luka riang” adalah kiasan buat perempuan, kiasan jang berda- sarkan kesan paradoxal. Lebih sukar lagi menangkap arti kiasan dalam simbolik sepert, bintik hitam dalam dunia jang gelisah” („Dunia sebelum tidur . Apakah jang dimaksud dengan bintik hitam? Agaknja ket.adaan arti manusia dalam hubungan alam besar dimana ,a merupakan bmtik hitam, menjebabkan penjair menjebutnja demikian. Dalam penggunaan kiasan dan simbolik jang demikian ganda isinja tidaklah mengherankan baliwa masing-masing pembatja memetik arti an« sesuai dengan daja asosiasinja. Jang dangkal mena.sirkannja setjara harfiah, jang lebili berpengalaman mengliubungkannja dengan kehidupan ang luas. Kehidupan jang luas jang memungkmkan penafs.ran aneka sesuai dengan serba kemungkinan jang disuguhkannja pada m°mi=ia Kita liliatlali betapa djadi serbagandanja dunia pmsi Toto Sudarto Kita berhadapan dengan sadjak jang polyinterpretabel luasnii kehidupan. Tapi kehidupan ini adalah tjiptaan s e o r a n g penjair L bahasa tak mungkin mengungkapkan seluruh peng- alamannja dalam gambaran jang beku hingga pun pada saat terdjadmj. cnno- nentiair hanialah salah satu bentuk kehidupan jang ' polyinterpretabel. Dalam polyinterpretabilitas sadjak dan Pol>'jn^ P ^ tabilitas pentjipta sampailah kesan pada pembatja jang sebagai bentuk kehidupan polyinterpretabel pula dalam sifatnja Dalam hubungan ke- t o pihak jang polyinterpretabel inilah l.arus dnempatkan pengert.an suatu sadjak din teranglah betapa mustahihija member,nja penafs.ran jang beku dan dogmatis. Kita hanja bisa mendekatinja dar, masing-ma- ing pandangan perseorangan jang tak mungkm lenglcap dalam dir.nja ■malagi sesuai sebulatnja dengan tanggapan sang penjair. Tafsiran sadjak djadi bergantung djuga pada kedewasaan pengalaman dan tanggapan peorang penafsir. . Oleh ke^andaan kemungkinan interpretasi tiap kali membatja sadjaK kita berhadapan dengan dunia penjair jang lain, dengan dunia kita sen- diri jang senantiasa berubah dalam segala kemungkinannja sesuai dengan keadaan djiwa kita pada tiap ketika. Tiadalah ubahhja bila kita men- dengarkan musik klasik, bunji lagu sekedar mengurai tjairkan djiwa dan kebekuannja, mengalami dunia-dunia jang tiada tersebut dan tiada teruraus. . 1 Dielaslah bahwa untuk mengerti sadjak jang m a t a n g diperlukan pengalaman dan pemikiran jang matang pula. Karena lianjalah dalam ke- matangan pengalaman dan pemikiran dapat dirasakan serba kemungkinan tak W « f l L Ut;iapar |jaf S 5a,nrSat benar bahwa sadj ak han,s dirasakan, tak mim f dJelaskan. Memang keterangan bukan penghajatan dan p t i Z S n3” " T Pe“ 8^ajatan. Tapi proses jang terdjadi dalam & u i " r b a, r n ap,at di?,ebut (1jeIask»»> dianalisa. D a i disinilah iane timbul nail ^ ’ lkut menganalisa perasaan dan pikiran jang timbul padanja oleh pembatja sadjak jang dihadapinja.

    * **

    iantr m pni^ pendai puisi Toto Sudarto berbeda-beda. Disamping ]nJ ff . obargainja sangat tinggi seperti M. Balfas sampai tahun 1960 ada ada ?an!n§ meiJSai?SgaP hasil-liasilnja seperti teka-teki belaka bahkan ini sail r?m6ma Ja penJair Kitsch. Terhadap penamaan jang terachir 83ja den8a" tegas menjatakan keberatan.

    danaf n!eLnmT ganj —P ,ba]llwa Toto dalam penggunaan bahasa telali wXk Tnt? tMa? lH Chairil Auwar' bahasa sadjak. katania daln. “^undj-.ikkan pengaruh Chairil barang sedikitpun”, tak danat J ” Pembl.tjaramij a tentang kumpulan sadjak Suara. i) Saja pengaruh dik P*kiran i11*- Selintas hatja terus melontjat dau v a r ls t 7 Chairil AnWar’ ™ ^P™ dalam kombinaei \Tisan Mam” C Nama’nama sadjak seperti „Nocturno”, „Buat dipelabuhun *Biru” *1 ^emintar1.nin|a”* »Perempuan”, „Kamar” , MKelasi dindiil col* i I- , uKau S£>dja dengan segera mengingatkan djudul- iana A83, J Chairil Anwar, tapi djuga pokok-pokok perhatian exDrUivit^c' ru3 .31?! peadjelasannja Balfas bitjara tentang ketiadaan seluruh sari; l-

    kan p e rlfa ta a n ^ t^ ^ ^ 13 Pada ^ 0t° Pasti*ab ada Pu^a ka^au kita tafsir- tidak nernah enSan pemjataan diri dan nada jang manis bukan „Sadjak Putih” •6m an dalam puisi Chairil Anwar. Ingatlah misalnja warna nelnmy;” j ,U11K dengan kalimat „Bersandar pada tali dipulau” dan te T* -jak;‘sadjak „Buat Album D.S.”, „Tjintaku djauh Pemb Cr*1 31113 8ai^^ak'sadjak jang mendjelang kematian penjair. hidup existeiiT^a/istis dibawa Chairil ialah rasa hidup dan sikap alami dan dihidan; V i pu,sat rasa hidup barn ini dunia sekitar di- jatan diusahakm ^ sekedar diketahui. Pengalaman dan pengha- melambanakan n- lmantJar dari bahasa dan fungsi bahasa djadilah dengan------an aku dan in-i’t8epera intuisraja. wMaka iaat,av/pun dalam ch rhal r mi -

    11 1 9 5 7 .Ulan sadJ*ak Toto Sudarto Bachtiar”, Harian Abadir VU/142, 4 Dju- Toto adalah sedunia dengan Chairil Anwar, ialali dunia existensi kepe- njairan. Sua«ana daerali perbatasan antara mimpi dan kenjataan, antara maut dan kehidupan, antara keraliasiaan dan kesadaran, suasana antara ian« tak tcrdjamrkau dan jang terangkum, sama-sama menafasi baik pmsi Chairil Anwar maupun puisi Toto Sudarto. Pada keduanja ada persa- maan dalam tjara mentjiptakan suasana itu dengan bahasa, fjngari kiasan, dengan perlambangan. Karena itu beda dengan Balfas saja hen- dak menegaskan bahwa Chairil dan Toto berdin diatas lataran jang sama dengan rasa hidup jang sama: existensi din. I)iu"'i pada Toto kita bertemu tema hidup dan maut, tjinta dan wam- la, kebebasan dan keterbatasan. „Pernjataan” (30 S) adalah satu dialog dengan Chairil Anwar dimana penjair menjatakan persamaan rasa hidup.

    Belai malam jang gugup Mendjadi saksi kila berdua Terliadap makna dan kata-kala Jang hidup dalam hidup keras berdegup Mengingatkan sadjak „Buat Album D.S.” sadjak Lagu Pembiusan” (14 S) jano keduanja bertemakan gadis dan kelasi. lde Wi.lein Elsschot dan Chairil Anwar jang segera menondjol pada batjaan kuplet pertama „Kepada Siiniskin” (43 S ): Terasa aneh dan aneh Sepasang-sepasang mata memandangku Minimpakan dosa . . y Terus terderitakankah pandang begmi i Bandingkanlah dengan „Kepada Peminta-minta" Baik-baik, aku akan menghadap Dia Menjerahkan diri dan segala dosa Tapi djangan tentang lagi aku Nanti darahku djadi beku Pahlawan Toto jang tak dikenal seperti djuga pahlawan Chairil Anwar MacLeish matinja mati inuda. „Senjuni bekunja mau berkata. aku sangat muda" („Pahlawan tak dikenal 48 S). Selandjutnja dengan gampang kita bisa menuiidjukkan kata-kata ian* mengingatkan diksi dan ungkapan Chairil Anwar, misalnja kata- kata pengap, pengap napas, kujup, kepak sajap, pelabuhan penghabisan, dan sebagainja; serta kiasan-kiasan pengungkap suasana seperti: Putjat mentjat langit malam Bersandar kepada kesunjianku terserali berlalu Bajangan dibelakangku memburu Begitu montjengkam („Antjam an” 10 S)

    Aku waspada djuga pada tangan waktu, Pada chianat jang mentjekikku bila ’ku alpa („Berdjabat Hati” 39 S) Dunia malam jang lebam biru Luka dan terbuka

    („Limas” 32 S) Tjontoh-tjontoh ini sekalian memperlihatkan pula penggunaan ba­ hasa jang expresif. - Selandjutnja kiasan „kelasi” bagi seorang pengembara, petualang, penjair seperti dalam „Kelasi dipelabuhan Biru” (47 S) dan dalam „Lagu Pembiusan (14 S ): — Iautan jang membawa betah lelaki Dan kelasi jang rindu menjusur pesisirnja Bandingkan dengan Chairil Anwar: Kelasi bersendiri dilaut biru, dari Mereka jang sudah lupa bersuka („Buat Album D.S.” )

    Tapi Totopun punja kiasan-kiasan jang has penemuan sendiri, se­ perti: „Kilang Hidup’’ untuk manusia („Kilang” 33S” ), „busur malam-' untuk kapal jang mcJantjar ladju digelap malam („Dipelabiihan” 6 S” ), ,, ‘aju apung dalam gelombang sehari” untuk manusia jang hidupnja sing- kat („Buat Pai” 23 S), dan sebagainja. Pada Chairil nampak keberanian membentuk kiasan-kiasan baru jang ane i ‘ at ang berLentangan dengan logika tradisionil. Misalnja: ,,Sebuah cien e a menjerahkan kamar ini/pada dunia” (,.Sebuah Kamar” ). Pada 0 0 ( Jllga kita lihat keanehan jang menarik perhatian itu: „Detik-detik me ompat dari djam/tanpa liormat”. Kalau pada Chairil personifikasi masi i lerpokokkan barang jang kongkrit — sebuah kamar — maka pada o o pokok itu suatu jang abstrak — detik-detik. Satu tjontoh jang lain: wierpaksa kuasingkan matahari” („Focus” 15 S). Toto bitjara tentang „ta- kplf11 ^ a^am «Berdjabat Hati” 39 S), „langan nasib mengulur S) T^13 1 i"U ,,dosa jan? membungkuk menghadapi kita” („Limas” 32 • esa aiari ko^mis membikin ia sampai pada kiasan-kiasan kepenja- n!*n«8epeitl ln*\"Matahari luka —• masih belas menurun tjahja” (Lagu an’ 44°S^n^w?na-tm^ 5 «kemelut bulan diudjung pagi” („Perempu- kem t'-T * daiX £ad*s dikiaskannja dengan „Lintasan hidup jang lik iaii® jan2 mewvarnai manusia” („Focus” 15 S). Dan roman- » 1 Tei?,arang” 37 S) tak kalah dengan Chairil Anwar: „Ber- N^adjak^Putih”1) WRrn;- f^ ^ V K a u depanku bertudung sutra sendja” nikmati baris-bari's senerH K * ™ dan “ '"“f °ran? bisa. m':' hari iansr han,m” £ ”R°song mata 3an& ngilu/Memandang han- laskan nmJ* («Siuman 36 S). Tentulali kita bisa menerang-dje- diudiunffnaff*”11!-* I** men£aPa misalnja dikatakan „kemelut bulan tfih'iin * • *UU ldan *ncngalami kemelut karena berteinpur dengan daia * ai V.3” ? mulai bersinar dipagi hari. Tapi dengan demikian „ika S| IJie“ dJadl Iwnah, didesak oleh pikiran jang tunduk pada lo- knta ° ■ i * parafrase, penterdjemahan puisi, dalam kata- [ sais jang kurang dari aslinja: „dengan djari kakinja ditulisnja sebuah sadjak” (,.Keterangan” 45 S), artinja: dalam pengembaraan ditu- lisnja sebuah sadjak. Tak djemu ku tulis surat beribu didadanja, Tanpa alamat Jang dimaksud bukan surat, tapi kata-kata, itupun bukan ditulis tapi diutjapkan, tanpa bunji, dalam hati. Djawabnja selalu tiada. Bisu pada bibirnja Terlalu bisu untuk mengutjap kata-kata berbisa („Perempuaa” 44 S)

    Kata-kata disebut „berbisa” karena terlalu kasar untuk menjebut- kan perasaan jang paling dalam. Maka lebih baik membisu dan senjum^ Tafsiran ini djika dihubungkan dengan sadjak ,,Kepada . dima dinjatakan bahwa „rasa-merasa lebih sangat ta zim . Pengaruh liku lekuk djalan pikiran Chairil Anwar misalnja kita kenali pada proses pelontaran apa jang terpendam Sesuatu sadjak mula. b“ itu sadja dengan lontaran pikiran jang merupakan suatu kesimpulan dari pemikiran jang pandjang sebelumnja. Demikian sadjak „Perban- dln-an” dimulai begini: „Itu sadja. Detik-detik melompat Tanpa liormat, etc.” . Bandingkanlah dengan sadjak Chainl „NisaBi jang mulai dengan kalimat jang seharusnja satu kesimpulan dan_ suatu _ nunoan jang pandjang: „Bukan kematian benar mcnusuk kalbu (tapi Keridlaannm menerima segala tiba”. Sadjak ”Bel^ a^ tk. “ bgljinta” nun mulai dengan kesimpulan: „Ja, Guillaume, tak apa kita bertjint dan gedjala demikian pula jang nampak dalam beberapa sadjak seperti misalnja sadjak „gagal” (8): beginilali djadi kalau ditunggu penghabisanaja putus asa etc.

    Adakalania pula ditengah sadjak kita dikedjutkan dengan inter- ,1 ' lr ■ ^ntt mpmbikin sadiak itu seolah satu dialog dengan din sendir , tJC diri oran^ lain. Pelontaran-pelontaran tiba-tiba ini banjak kita temukan pada likiT lekuk djalan pikiran persadjakan Chairil Anwar. Saja berikan tjontoh dari Toto Sudarto. Malam kasip jang menegurmu Waktu lewat — ah perempuan ! Luka riang jang tengadah etc. („T anja” 28 S,1

    Bandingkan ini dengan pertjakapan diri Chairil Anwar: __ kita sama termangu Saling bertanja: Apakah ini? Tjinta? Keduanja tak mengerti. Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri. Ah ! Hatiku jang tak mau memberi Mampus kau dikojak-kojak sepi. Atau ini: („Sia-siaw)

    Kudengar seru menderu — dalam hatiku ? — Apa hanja angin lalu ? Lagu lain pula Menggelepar tengah malam buta Ah ...... ! i Segala menebal, segala mengental etc.

    („Selamat tinggal” )

    bikin nafawn?taU ^aris. banJak kertemu dalam sadjak Toto Sudarto, mem- -p^ti parChaIrTlgh UI; litjinnja. Tapi djuga k^udian m^ijalurkamija ken^baH «“” • 0, pandang jang kekal hanja kekal 3 A ada lautan jang membawa betah lelaki 3 an kelasi jang rindu menjusur pesisirnja/ jangan terkedjut. Pandang malam pandjang akan selesai// („Lagu Pembiusan.” 14 S) Bandingkan dengan gaja Dan kita uanti tiada sawan lagi diburu lika bedil sudah disimpan, tjuma kenangan berdebu; 1 a memburu arti atau diserahkan kepada £ . anak laliir sempat, arena itu djangan inengerdip, tatap dan penamu asah, 1 !s karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau baaah 1

    („Tjatetaa th. 1946” ) Mengenai pengaruh f’l * 'i j nja, kiranja sekali walr. iait™ pada puisi Indonesia sesudah muntjul- bukau sadja m engenai teh^iL-^ j!*eI.idiki dengan luas dan mendalam, senian dan pandangan hid.m ^ ^ Persadjakanuja, tapi djuga visi ke- n ja penjelidikan itS dan^t ?enai PandanSa» dan sikap liid u p - tjerita pendek. 1 diluaskan djuga kepada penulisan drama dan

    dak mengatakan^bahwa^T1 pen^arub Chairil pada Toto bukan saja hen- pembebek jang tidak m m ^° °, 8f° rans epigon belaka. Epigon hanjalah Toto ada pentierman

    i) D a l a m pembitjaraannja : „Toto Sudarto Bachtiar”, Siasat X/472,27 Dju- ni 1956. AJIP ROSIDI TUNAS HARAPAN

    D im 1 w«ktu kurang dan lima taliun dari tangan Ajip Rosidi dpi ^ i 1 Rossidliy) telali terbit tidak kurang dari mii« i Ln * V CrUpa kumP«lan tjerita pendek, novel, esei dan buki itu b e W aw JaUg menakdJubkan’ apalagi kalau diingat bahwa dialah dan «urai Se-mUa Luhsanuj a JanS tersebar dalam ma- berbahasa Simda. LahiT’tahuu 1938 bj r^ahaSf lndoa™ia ma'upun jang nienuli* uniln.m J t iV 1 1938 sudflh pada umur 13 tahun ia mulai madjalah oran* a ? dimadJalaH sekolah kemudian lolos kemadjalah- itu selengah-seleno-ah3^ . ^ r3ng menSlkuti perkembangarmja jang pesat dan tjuriga melihat n il^ T Pe™saan. kaf™ tapi djuga dengan kuatir djuga kehadimnr, • i 1 asibHasilnja. Dan apabila orang menerima jang berikut at™ *1 i?*u senantiasa dengan harapan semoga hasilnja nja. 6 1 memcnuhi pengharapan-pengharapan sebelum- hitkan J"\mg tek'|H terbit ialah Tahun-tahun Kematian diter- olek BalaTpustak^t^^^n-J111? 19*S' Di*™S«h Ke^arga diterbitkan nguaan jaitu SobunJ i?Un i f buku diterbitkan oleh Pemba- Penganten talnm 1 maka Hal itu liarus dilihat da- an jang diberikan nirlni •” i em? . n *lu‘ apakah Ajip memenuhi harap- Tjerita 'an ' ^ 3 1 Hhat dalam hasil-hasilnja kemudian. man revolusi dil^mmm* ^ :\ lan\ Pen£babisan” membawa kita kedja- genlja, Maman, deniL L J.lborelanS Dialiwa»gi jang sepi. Seorang atas permintaan aiahnii , en^amar sebagai petani, pulang kekampung tahui oleh Belanda ta n i^ u ?nakl^ a meninggal. Hal itu dapat dike- dapat melolosknn a L i r» , sebe!um Belanda dapat menanskannia. in aku telah berhubunr,™ ,1 lapi kemudian sibungsu Ahmad jang men*l dibawa. Tapi pen "fbant "aT ka-na itu dialah jang achirnja kena tembak dium lm ? temJata sia-sia, karena Maman pada mnak djuga tatkala menjeberangi eungai. Perliakapan iang terdjadi antara Madjid dan ajalinja dengan Be- landa patroliT terasa ^edikit lamban. Madjid „terkedjut” apab.la la[ tak perlu terkedjut lagi (bal. 55), ajah terkedjutbangun apabi a mestinja sudah lebih dulu bangun karena nbut-ribut dirumahnja (hal. 57), dan si Belanda digambarkan pikirannja lamban betul untuk mengerti segala sesuatu dengan tjepat (pemeriksaan hal. 60 dst.). Seluruh P °™ "^ aa” berdialan alon-alon dan lidak menimbulkan kesan ketegangan, kekageta.i kelakutan dan kckaljau-balauan. Kedjadian-kedjadian digambarkan tanpa dinaniik. , ICelambanan pikiran nampak pula pada Hainan jang sedang melan- kan diri dari kedjaran Belanda. Bertanja ia pada dinnja sendiri: „Anel _ mengapa orang selalu mentjariku” (bal. 68). Satu pertanjaan to o jan" tak mungkin keluar dari otak seorang peran g jang memilih tempat dibarisan gerilja. ICeberanian si bungsu Ahmad jang tiba-tiba memadjukan diri mau menggantikan abangnja untuk ditangkap pun tidak mempunjai dasar jang kuat karena dia dan semula d.lukiskan sebagai anak jang penakut. Dan kenekatan djuga memerlukan pers.apan

    j Tak nampak pergulatan psichologis dalam tokoh-tokoh ^j®rlta nerti l'ang kita lihat pada Pram dan Muhammad Ah. Si Ajah jan mennn»»u puteranja kembali dari daerah gerilja untuk mendjen

    kadanE-kadau" riak-riak ketjil dipennukaan, pergolakan pada jang ;e m udial baUniah dan lahiriali. Pada Pram pun lukisan alam mempunjai dramatik jang n.emperkuat kesan kehebatan pergolakan djiwa „Malain kian menipis. Langit jang hitam lama kelamaan djad,; biru tua Dan keadaan sekitar turut biru tua djadmja. Kedua sosok nibuh itupun djadi biru lua sekarang dan kian menjata dengan malam Kini a"ak kelihatanlah keadaan keduanja. Pradjunt Kartim. dan kopral Tjanimin menjaudang topi badja dipunggung; dan ransel diuga Didepai keduanja 'terpasang seputjuk se.iapan-mesin waterkoe- ling” (Keluarga Gerilja, tj. I, lialaman 39). Bandingkanlali ini dengan lukisan Ajip. „Hari makin gelap dan menggelap djuga. Garis-garis sinar mata­ hari tak ada jang ketinggalan. Dan pekuburan itu dipeluk tjaja pedu- n ™ t masih m.njala dibawah abu jang kekelabuan. Vang. kem«ijai. jjang terbakar dan tadi mengawang, sudah hilang” (Tahun-tahun kema- tian, hal. 18). Apakah pengaruh seruling Sunda jang tipis mengawang kelangit biru ? Mungkin, tapi hubungan dengan keabadian belum mentjapai pe terauan. . . a **,-, Berhalaman-halaman dan berpuluh halaman kita batja tjerita Aji* tanpa bertemu dengan pikiran-pikiran jang aneh menggelikan at istimewa mengagumkan, demikianpun kita sia-sia^ menljan pi* j pi^ura bahasa jang tiba-tiba tjemerlang mengilau. Tak ada per.oa AJIP ROSIDI persoalan besar jang perlu dipetjalikan dan minta otak kita berderak- derak ikul memikirkan. Kita seperti mendengar lagu jang senada membosankan. Timbul pertanjaan dalam pikiran eajar mengapa Ajip tidak mam* pu menimbulkan suasana jang'm estinja linibul dalam sesuatu lukisau jan

    Begini: (Ini nadanja Pram, HBJ). Tiga orang manusia — dan bukan kambing atau domba atau ker- bau _ seorang sudah tua dan beralis dan berambut putih; bergigi ting^al beberapa buah lagi hitam kemerahan karena banjak meroko* obro* tak teratur. Matanja rabun — dalam banjak hal dan ^emaau orang itu seperti ajahnja — warnauja kelabu seperti mata Belanda- Belanda itu. Dan dua orang jang lain masih muda. Tubuhnja kuat. Menurut pendapat Madjid ketiganja petani djuga. Karenr walaupun jang seorang sudah sedemikian tua, tapi tubuhnja kuat. Urat-urat darah keliliatan pada tangan dan kakinja, berwarna biru mengganteng. Sebelum pertundjukan mulai, pak Wedana — Wedana baru, karena janw lama melarikan diri kegunung dan menggabungkan — berpidato. Pidato itu demikian ringkas, pendek dan penuh gaja, tapi pun bensi. Dan katanja sambil menundjuk kepada ketiga orang itu — dan dari mulutnja berhamburan ludah bersama segala apa jang diutjap- kannja. Inilah para pelanggar aturan, mereka berani keluar malam. Barang* kali mereka mau menggarong. Untung dapat tertangkap. Dan sekarang djatuhlah hukuman kepada para pelanggar aturan itu. Karena itu saja nasihatkan kepada saudara-saudara djanganlah saudara berani keluar malam. Tentara Keradjaan mungkin akan kelira menangkap saudara, karena disangkanja saudara garong atau anggauta gerombolan. Pengatjau jang tak bermalu itu. Dan hukumanpun djatuhlak. Sebelum rakjat mengartikan pidato. Wedana — jang beberapa hari kemudian ditjulik dan dikubur hidup-hidup kabarnja — terdengarlah rentetan tembakan kearah ketiga orang jang inalaug itu, mereka berdiri diatas bangku dan menghadap kearah mulut-mulut maut itu. Dan tjuma sekedjap — tjuma sekedjap — ketiga orang itu roboh seperti daun keanginan, dan gugurlah ketanali. Darah jaug seperli keljap bertjampur benak jang kuning-kekelabuan. Dan rambut jang putih jang mendjadi berubah warnanja — mendja­ di sebuah warna-tak-bernama. Penonton-penonton itu berteriak, mendjerit atau — pingsan. Dan rata-rata mereka pening (hal. 32-34). ... Kengerian sama sekali tidak kita alanii, sebab kita hanja ditjeritai Jip sadja. ICita tidak dibawa menelusup kedalam djiwa orang-orang jang 1 'uni mati itu, pun tidak kedalam djiwa orang-orang jang kengerian menonton, Apa jang mengerikan ? Kita ingin mengalami sendiri kengerian itu meskipun hanja dalam bajangan otak kita, kita ingin gementar keta- kutan, djidjik dan niuak. Untuk menimbulkau kasihan orang tidaklali tjukup mendeskripsi- au orang jang perlu dikasiliani itu sebagai orang jang sudah tua, beralis an erambut putih, bergigi tinggal beberapa buali dau matanja rabun eper 1 ajah kita dan sebagainja, -tapi perlulah menarik simpati kita pada* nja engan sesuatu jang lebih batiniah. Dan untuk menimbulkan anti- f V oranl.kepada seseorang tidaklah tjukup pula orang mengatakan bahwa ia bitjara dengan ludah berhamburan dari mulutnja. hila r>^k*SaU eksekua* sama sekali tidak ada tenaga dramatiknja dan apa- atau m Porkan: »Penonton-penonton itu berteriak. mendjeriL terd’- 1' ^lm^aan, maka kita hanja melongo mengapa semua itu harus tan innl an. aPakah itu satu kiasan jang terlahir spontan dari peugama- anginan” ? U* anS‘ora«g jang kena tembak itu „roboh seperti daun ke-

    tierita^ia^1111 A*/1 k*asau niemang saJah satu kelemahan Ajip pula. Ber- \ \mad a^an berteriak, tetapi mulutnja dibuugkam oleh u H ‘jepat sebagai kila I m e n j a m b a r *■ a P a» membungkam mulut jang menganga” '(hal. 18). nPn^r,n P ^agai kilat” adalah satu kiasan jang klise dan apabila memnorirnn^ 111" !1 ^ an «menjambar putjuk kelapa” maka terasa ia diakan mn‘ kegembiraan pesta di« bisa terima. Tenngatlah kita pada hubungan ilr£T c ° ha.11 kita berdebar-debar kesenangan. Tapi dalam dan berdebar-dcliamTa” UL,ki. f an ^ J'P ia]al\ suasana menakutkan kutan Dan snkarl ? i • disebabkan karena habis berlarMari keta-

    Ptidak’tebS u r” (hal 87) seperti V““ 1 a n g"T i t TT* baru selesai f d i k a- Tjerita kedua, „Ajahku”, mentjeritakan tentang ajah jang ikut giat didaerali gerilja dan kemudian ditangkap oleh Belanda. Pan tjerita ini gajanja datar, tak ada keanelian dalam liku-lckuk djalan pikiran, dalam kedjadian, dalam pertjakapan, dan kita djadi bertanja pada diri sen­ diri buat apa Ajip mentjeritakan ini semua. Tidak terasa mendesak sesuatu kemustian, tak ada api menggelora dalam djiwa. „Sebuali Langgar” mentjeritakan tentang kiai Rahman jang meng- gabungkan diri dengan gerilja untuk membalas dendain pada Belanda jang telah membakar langgarnja. Nasibnja malang, kiai ini tewas dalam pertempuran. Mungkin karena pengalaman Ajip tidak pernab memba- wanja kefront dan pengetaliuannja tentang pertempuran didapatnja dari tangan kedua, lukisan-lukisannja meng-umum sadja, peristilahan persendj^taan kurang mejakinkan. Dia bitjara tentang „suara jang men- tretet membisingkan telinga”, „peluru mendengking tjepat diatas kepala”, ,.perlawanun jang scngit dari konpoi itu”, „granat-langan djatuh dianlara dua buali truk dan meletus dan truk itu menderita kerusakan jang besar: terbakar”. Dan kita tertawa sadja membatja pern- beritaan jang kekanak-kanakan ini: „— dari sela-sela semak (Rahman) menondjolkan senapannja dan ditudjukau kedjalan, sedang dari lubang itu keluar sebutir katjang berdjalan tjepat sangat, mendenging dan ka­ lau kena kepala orang, orang itu akan dibawanja naik keaherat oleb benda jang seperti katjang itu'’. — (bal. 104)..Salu lial jang aneh dalam tjerita ini ialah bahwa kiai Rahman seolah hanja seorang dirinja meng­ hadapi konpoi Belanda. Tentang kawan-kawannja Ajip tidak bitjara apa-apa. Hanja apabila mortir petjali menjambar hilang kepala Rahman, maka Ajip meinberitakan: „Tentara kita mundur” (hal. 105). Pun tjerita Dalam Penjerangan” adalah satu tjeriia jang mustahil. Satu pasukan gerilja dimalain hari menjerang pos tentara Belanda dan berhasil menewaskan musuh jang djauli lebih banjak dan kuat dan mereka. Dari pihak gerilja hanja tiga orang luka tidak berarti. Satu keadjaiban djika dipikir bahwa mereka hanja bersembunji dibelakang balang-batang pisang sebagai benteng pertalianau. Ajip tidak mentjerita­ kan apakah mereka pakai djiiuat. Dalam ^ b en la r” satu pasukan ketjil gerilja diserbu oleh dua- belas Belanda Nica jang menjamar sebagai pedagang gula. Pasukan ^erilja mempertahankan diri sampai detik djantung jang penghabisan, dan Belanda-Belanda itu djuga mati „beberapa orang”. Kurang me­ jakinkan tjerita ini karena tak masuk diakal bahwa Belanda-Belanda jan«r didatangkan dari negeri sedjauh separuh keliliug bumi itu mau menghadapi sendiri bahaja dalam pertempuran seketjil itu. Menurut kebiasaannja untuk pekerdjaan jang demikian dikedepankan serdadu sewaan orang Indonesia sendiri dan Belanda datang kemudian. Agaknja Ajip kemudian menjadari djuga kekurangannja mengam- bil perang gerilja sebagai bahan, ternjata dari pengakuannja sendiri dalam Perdjalanan Penganten jang ditulisnja lima enam tahun kemu- dian: M__ Aku dewasa itu masih ketjil benar, belum mengerti apa-apa, masih suka main gundu. Samasekali tidak tahu kedalisatan dan kekedjam- an Belanda dan samasekali tak mengalami perang gerilja, meski aku pernah menulis beberapa karangan berupa tjeritapendek tentang itu, jang tentu sadja akan menimbulkan tertawa bagi orang jang sendiri pemah pergi bertcmpur” (hal. 60). Namun demikian Tahun-tahun Kematian menarik hati sebagai gedjala dan akan mempunjai nilai dokumenter jang berliarga apabila pengarang kemudian tumbuh djadi pengarang jang besar.

    Apabila dalam Tahun-tahun Kematian pelakon-pelakon diroman- tisir, ™aka Ditengah Keluarga merupakan biografi pengarang sendiri. Ajip disini memperlihatkan album keluarganja dan mentjeritakan pada kita riwajat hidup mereka dan terutama kehidupan pengarang sendiri dalam suka dukanja. Bagian pertama „Hari-bari punja Malam” ialah lukisan-lukisan kesukaran dan kesedihan pengarang semasa ketjil daa sebagai anak sekolah dan bagian kedua, „Hari*hari punja Siang” ialali lukisan-lukisan hari-harinja jang tjerah dan gembira. Ditengah Keluarga terbit tahun 1956 dan kalau kita perliitungkan amanja satu naskah dikerdjakan dipertjetakan, dapatlah dikatakaa ahwa tjerita ini mestinja ditulis Ajip pada ufflur 17 tahun kebawah. itulis dalam waktu pengarang masih terlalu rapat pada pengalaman 15iln^f.’ 4^a kelum dapat melepaskan diri dari kedongkolan-kedongkolan pn adi dan hal ini berakibat memberi kesan kementahan dan ketidak- angan.^ Akan lebih simpatiklah apabila „A ku” menghadapi soal^soal eluarganja^ ini dengan maklum dan menjelesaikan sendiri kesukaran- esu arannja tanpa ngomel pandjang lebar terhadap orang tuanja. Dalam tjerita-tjerita ini Ajip tidak berhasil mengangkat persoalan- dalamM* ,nJa ketingkat semesta, seperti halnja William Saroyan It 1 * .le ls Aram, jang djuga mentjeritakan masa kanaknja dengan e jenakaan jang penuh arti. Saja sebut buku ini karena Ajip pemah at^anJf seperti berkali-kali dikatakannja dalam Perdjalanan ganten (hal. 95, 101, 102). Saroyan djuga kita kenal melalui ter- jemahan Anas Ma’ruf Komedi Manusia. rang ^ °l PenSarang muda dapatlah kita mengerti kekenesan penga- ranff t*” • aJam. ^ampir tiap karangannja mengatakan bahwa ia penga* i,Bukankah (k^l pe.mbatia aSak mengganggu djuga. Merenung ia: ku dib ' ' . . aniaPun) orang tuaku, jang menjebabkan kehadiran- j in.1’ JanS menjebabkan aku lahir dan sekarang membikin lis a* 3 * 1j * ^ (^Ditengah Keluarga”, hal. 33), aku bisa menu- __7.^ aub malam, aku bisa m e n g a r an g lebili banjak lagi”, i’ Pemah ada madjalah jang mau memuat tjerita pendek wahnia fknt ?i! \® de.nSan tangan („Herc.ules”, hal. 53), „barangkali ar- hal 65) ak u melihalku ketika mengetik tjerita ini” („Kutukan,,) u -j- . afean menulis seperti pengarang-pengarang luar negeri, iang 77). Seofah^h 1^6'^11^ 8 ^an d^SanSSu kesulitan-kesulitan lain” (hal. berkata* w°u tak dapat menahan kebanggaannja dan saban kali ■Ajip mem- 6 ^ saJa Djuga dalam Perdjalanan Penganten berani *^ amerkan penghidupannja sebagai pengarang untuk mana ia *eram mengurbankan kedudukannja sebagai pegawai. nada ^ niem!3uka tjerita tentang dirinja dalam ,,Kekajaanku” dengan ianrr J” aU me,ulju’ taP* anasir kelutjuan itu tidak mendapat bentuk jaag dapat menggelitik rasa lutju kita. „Aku anak ajaliku jang sulung (katanja). Aku anak lbuku jana 6ulun®. Aku lelaki. Ja, aku lelaki. Ini pentmg kudjelaskan, karena per­ nah aku dirumah sakit disangka wanita, karena namaku. Aneh sebenar- nia karena nama itu sendiri sedikitpun tak mirip dengan nama wanita, bangsa apapun djuga. Tapi memang aku pemah disangka wanita se- mata-mata karena namaku sadja” (hal. 13). Sebagai orang luar kita tidak tahu apakah nama Ajip itu nama nerempuan ataukah lelaki dan kalau kita menjangka orang jang ber- nama demikian perempuan, itu bukanlah satu kelutiuan atau keanehan, tapi semata-mata suatu ketidaktahuan jang bisa dimaafkan. Apab:la kalau menurut pengakuan pengarang nama itu dikampungnja sendivi Sedikitpun tak mirip dengan nama wanita” , maka ^alali mengerti orang j’an- menjangkanja wanita itu adalah satu kekehruan jang bodoh. ° Sediak ketiil papinja Ajip telah bertjerai dengan maminja dan pertieraian itu banjak pengarulinja padanja .Mammja kemudian kawm lagi tiga kali dan papinja kawin lagi dua kali. Adik kandung Ajip jang sepapi semami hanja seorang, tubulmja seperti tjatjing. Hami tiri Aiip jang pertama mati dan dua orang anaknia disera - kan papinja pada maminja Ajip jang asli. Papinja man rudjuk lagi, tapi usul baik itu ditolak oleh mami. Papi tak putiis asa dan men^ga - tung diri, tapi kawin lagi dengan seorang djanda alit jans telah punj anak dua orang. Sebagai orang jang berkedudukan guru tidaklah sukar baginja mentjari ganti. Demikianlah mami dan papi Ajip tetap berpisah dan hidup ber- pisah. Ajip dan adiknja tinggal dengan maminja dan bersama papi J tinggal mami tiri dan adik-adik tirinja. ^ C Sesudah silsilah keluarga ini kita lalu disugulii lukisan si Jtl51 ian* kediam, ditulis dengan emosi sepihak jang merasa haknja dnndjak- indjak dan seperti biasanja dalam hal begini tidak ada usaha untuk mengerti persoalan-persoalan piliak lawan. Dan Ajip merasa kaja apabila kemudian mendapat seorang ajaii tiri. Dan dengan nada mau melutju pula ia berkata: Dan berbanggalali aku kini dengan kekajaan tiriku, karena seka- ran^'aku punja seorang ibutiri, beberapa orang saudaratiri, dan seorang kakSktiri (snami bunda ilra), dan seorang lagi nenekt.r, hsten a jab bapak). Bukanknh itu kekajaan jang bukan main i (hal. JU). Sementara membatja tuduhan-tuduhan Ajip jang bertubi-tubi, tim- bul sadia napsu saia untuk memiliak pada pihak jang dapat serangan. Bao-i saja belumlah mejakinkan tudidian pengarang pada lbn tin dan aiahnia. bahwa mereka sengadja tak mau membantunja dan gadu aiah- nia lebih dari linkup untuk melaknkan iang demikian, apalasi duka diin^at bahwa keluarga aiah itu terdiri dari enam orang nula. Orang lua/gampang sadja mau mengatur pengeluaran belandja, kalau sendiri belum pernah mengalami hidup bertanggungan keluarga. Dalam tjerita „Kutukan” pengarang dengan cliusus melantiarkan serangan iang sengit pada aiah kandung dan ibu tirinia. Dari aiah kan- dungm'a dia menuntut supaja ikut meinikirkan nasibnia Aiip, nasib adiknja, nasib kakek dan neneknja. Sebab, demikian Ajip, ajalinja itu „hidup terpandang oleh masjarakat kota”, dan „ajabku akan mampu, lebih dari raampu, djika mau menanggung orang tuanja”. Dan Ajip djadi penjambung lidah nenek-nenek tua, apabila ia menjerang isteri ajahnja itu dengan atjuan djalan pikiran, bahwa ia „lebih suka mem- beri orangtuanja sendiri, membikin betul rumah kakeknja sendiri, dari pada mengurus hidup mentuanja, daripada menegakkan rumah mentua- nja jang (eekarang) sudah dojong kebarat itu” (lial. 63-64). Dalam hal ini Ajip masih spesifik seorang anak kampung jang mem- punjai djalan pikiran patriarchal. Tentang ibu tiri jang begitu ditjo- reng moreng saja ingin tafsirkan, bahwa ia bertindak berdasarkan pertimbangan-perlimbangan keselamatan rumah tangganja sendiri dan harusnja dimaklumi. Saja kira ia seorang jang bersikap tegas dan tidak pura-pura seperti orang lain jang mau menolong, tapi mengeluh dan me- ngata-ngatai dibelakang-belakang. Mempunjai gedung besar belum ber* f/V *j5nSP1,n herlimpah-Iimpahan dan hati djadi terbuka memberi sede- member* kakek uang sekal'i dua kali untuk menggembirakannja, » an ah satu pekerdjaan jang berat, apalagi kalau uang itu hanja pem- oenan orang pula, bukan hasil djerih pajah sendiri. ‘ , ^?^a!mana A-PP beladjar naik sepeda dan kedongkolannja pada aja nja Jang hanja berdjandji-djandji akan membelikannja, ditjerita- Kannja dalam „Hercules”. Tidaklah simpatik tjaranja merengek-rengek -n a .V . an ^juga sepeda barn pada ajahnja dan kemudian setjara JihaV * i a*n de“ »an mentjuri-tjuri membawa lari sepeda baru jang mja * iD1. Satu kcnakalan jang tak bisa dimaafkan dan kele- n.,Jan®i iang achirnja mengalah, bagi saja merupakan tanda ung m saja terlalu kekotaan untuk bisa mengerti.

    nilai^lan11^ 1 ^ fmar dalam Impian” adalah tjerita jang tidak mengatasi DileneahK*1! ^ sfbenarnja agak djanggal dimuat dalam kumpulan diri Dalam^^A^ karena chusus mentjeritakan tentang diri sen- jan^ keti^d^np/1?- merj!jerUakan pengalaman getir seorang peladjar, madjalah sekolah T** seorang pengarang dan pengasuh suatu ,__ AJenta mi mempuni’ai nada kasihan diri iang seakan Untun

    t a n i a ^ . Per^Cna^an 8aildara dengan A jip dari sudut tjeri- o » J tu tjerita „Seorang Djepang”.

    TatkV^U^»?Jai?>arUi ^ a^ai1 enam >ahnn tatkala Djepang datang kekotanja. seoranl m ." P? SU.alV hari datang; kerumah kakek jang djadi lurah g J P ng kenpeitai, jang kemudian temjata mempunjai perhatian terhadap ibu Ajip jang kebetulan sedang mendjanda. Bermatjam-ma- tjamlah usaha Mitsu untuk memikat hati ibu, tapi romance sepihak itu terputus tiba-tiba oleh djatuhnja Djepang dan dimasukkannja Mitsu da- lam kamp tawanan. Kundjungan Mitsu kerumali kakek, digambarkan Ajip seperti beri- k u t : suatu sendja, datang Mitsu, kenpei kota kami mengendarai mo- torpitnja. Kali ini dia sendirian. Kami anak-anak jang sedang main-main dipe- lataran rumah kakek, menjambutnja dengan tenakan:

    B ansai! Dan ia membalas salam kami dengan manis dimams-mamskan. Ditaruhnja motorpit didjalan depan rumah. Kemudian datanglah kami merubung benda jang djarang kami liliat itu dengan heran. Aku merasa bangga, karena ada Djepang mau masuk kerumali kami, artinia rumah kami istimewa, rumah kami menank tuan Nippon itu. Dan aku inelagak kepada anak-anak lainnja, dengan melarang mereka dekat kemotor ilu” (hal. 87-88). i i • Lukisan ini adalali lukisan anak-anak umumnja, tapi djuga lukisan sebagian besar orang dewasa jang bangga menerima saudara tua. Tapi apabila saudara tua ini kemudian berbuat jang aneh-aneh, maka kitapun mensenalinja sebagai manusia biasa jang mengge 1 an dalam kekurrmgankekurangannja. Bertjeritalah Ajip tatkala kemu 1 Mitsu datang lagi: Dia pakai sanmg, djas, kopiah dan ditangannja sebuah tongkat. Dan matanja jang biasanj'a telandjang itu, telah dipasangi ^jam aU . Dan dimulutnja sebuah serutu. Kajak (benar) orang Arab djika dililiat da i

    ^ K a m i tertawa melihat pakaiannja itu. Ibu s a m b i l melengoskan muka kearali tembok, karena djidjik dan bentji benar melihat Mitsu jang: se­ lalu ingin menarik perhatian. Dan Mitsu gembira Pfkirnja dia telah berhasil menarik perhatian kami. Ja, menank perhatian. Walau demi sebenamia, bisa dibandingkan, disamakan dengan anak-anak sadja, jan,, bisa menarik perhatian orang-orang dengan mentjorengi muka dengan arang.

    Tak lama kemudian kakek datang dan kakekpun seperti telah bisa didugakan, tertawa melihat pakaian jang salah letak itn, tak pada tem-

    1,3 J Ah pantas betul, tuan. Pantas betul. Kajak kiai benar-benar, pudji kakek. Dan mendapat pudjian itu, Mitsu makin gembira pula. Dia ter­ tawa dan tertawa lagi. Dan mengeluarkan sepak serutu buat kakek jane diterima kakek dengan gembira sekali. Dan sore itu, dia makan dirumali kami. Laliap betul, ICetika dia akan pulang — dia djalan kaki kerumali kami, karena tentu sadja dia takkan bisa naik motor dengan pakaian seperti itu banjak anak.auak jang tertawa-tawa, berdin dikedjauhan. Dan Mitsu orang gila sukses itu — membalas tawa anak-anak. Dan dari djauh dia diiringkan anak-anak. Anak-anak jang mengikuti dia karena kagum, bangga: tak ada kritik, karena kami, anak-anak menganggap apa jang dikerdjakan oleli orang Djepang adalah bagus dan wadjib ditiru”. (bal.

    Kalau Ajip dalam Tahun-tahun Kematian mempermainkan fantasi- nja dan dalam Ditengah Keluarga mengambil bahannja dari lingkungan keluarganja, maka dalam Sebuah Rumah buat Hari tua kita mengira ia akan menindjau masjarakat jang lebih besar sekelilingnja. Dugaan ini iperkuat oleh dua tierita pertama jang merupakan satire mengenai ma­ sjarakat jang^ luas. Tapi perkiraan kita tidak seluruEnja benar, karena "etjuah dua tjerita ini tjerita-tjerita jang lain bersifat ,.Ditengah Keluarga’5 dalam lial ini keluarga rnmali tangga Ajip sendiri, meskipun *° ° ‘tok°b dalam tjerita tidak selalu bergaja aku dan ada pula tjerita jang bersifat pemotretan tentang kawan seniman.

    Kumpulan ini tidak merupakan satu kesatuan seperti Ditengah K g- kesat^ n r^a^mn’i'a^mn Kematian, sepandjang kita bisa bitjara tentang uan rentetan pengalaman jang berpusat pada satu tokoh atau satu e iiarga Setjara diperintji kita-dapati dua satire. „ICrisis Kesusasteraan 1 V* Antahberantah” dan „Sebuah Rumah buat Haritua”J tiga iukisan hidup kerumahtanggaan,' „Sehabis Mirppi^ „Buah Appel” dan ” ’ dua lukisan hidup budjanganjCMataliariy dan „Antara Ka­ rim S3-tU Potret seorang pelukis. „Seffu aliEukisan telah terdjual” dan ^lerita fantasi, „Pada suatu Sore” dan „M im pi Masasilam” . den« ^ °jan^ mengikuti perkembangan kesusastraan, dapatlah I®311, mwdah mengenali siapa-siapa dan utjapan-utjapan siapa jang di- Kesuka a. m »Krisis Kesusasteraan di Republik Antahberantah”. ialah bah*11133 baran£kali seperti biasanja dalam satire jang demikian, daiani ** tokoh-tokoh ada jang merupakan perpaduan beberapa tokoh maan astarakat jang dalam djiwa dan utjapannja mempunjai persa- r>erit* Persamaan. Demikianlah kita bisa lihat disini memainkan peranan taka de m a"lCmbaSa Sep6rti Kementerian P -P * dan K - Balai Pus- oran/r Para redaktumja jang bersemangat kolot, tanggapan Alisiahb311^ P^.rseoranffan seperti Muhammad Yamin, Sutan Iskandar, sukar ba^^' ’ Sudjatmoko, Jassin dan lain-lain. Djuga tidaklah Piidianwa1 plta unluk mengenali Angkatan Penulis Pertengahan sebagai di'iKU T>a i ani* Angkatan Penulis Baru sebagai Angkatan 45 dan ina- 3 * PfnSh*dapan sebagai Konfrontasi. tidaknT^3, '*an^ ter^a*1ir tatkala masjarakat mempersoalkan ada undan* ? S1S ^ dunia kesusastraan, jang dimulai oleh orang-orang adalah j!ucusa Amsterdam dan kemudian merembet ke Indonesia, rakat » 8 lran atas kedjadian-kedjadian dimasjarakat, chususnja masia- politik jirQnK.'1T]Jn"aran^ iang djadi terlibaf dalam permainan belat-belit dalam P^rtentangan pendapat jang membagi kalangan pengarang untnlr Ua oleh golongan oposisi diberi isi pertentangan politik mukak^ ^ 0 k kan kabinet 3anS sedanp berkuasa. Tidak lupa Ajip menge- n beberapa persoalan pengarang dan penerbitan bukunja, misaLnji u t, ^Ar, K-.fi in nenerbit ianjj hanja menerbitkan tjetak ulangan, k e b e t u l a n pengar^ngnj. W da,am -daksi badan penerbn tersebut.

    men-eragoti daa bikin lumpuh aparatui■ adimmstrasi negara,!lun timbul ketegangan-ketegangan jang berachir dengan perleda p dakan jang membahajakan keselamatan negara. Aiip melihat sal ah satu sudut dari sarang korupsi ini. Tempat itu ialah kantor Naskah dan Madjalah, dimana beberapa orang pengaran ialah Kantor 7 , ' TT«man telah pernah mengalami penga-

    mania ' ^ o r itu,' A b M k £ “ diputar

    d ^ L n b “ aslinja bisa menerima honorarium jang membikin dia sekaiig j kaja, meskipun sudah dibagi dua «lengan sang P^ . , 3 Abdoel Hamid Noer, meskipun dengan u,.™* hari tua namanja karena mengingat f “^dapat membuat rumah^^"^pi harap- dan dapat hidup mewah, bebas dan ketakutan mend * feP emil. annja itu tetap tinggal impian, sebab sang PeSa'™* J “ i/fceuntungafl kan dialan jang lebih litjik lagi untuk mendapatkan segala fceum B bagi dirinja. . . . _ , Tierita lain ian* tak knrang menariknia dalam kumpulan mi. ialah Sebuali Lukisan tel.l, terdjual”. Ini adalah lukisan ^

    sudut pandangan pelukis itu sendiri. Keg.gihanma dalam mentjan ap iang hidup mengendap dalam dirinja dengan akibat Perten"ka” " £ L»karan den«an orang tua dan guru, penjadaran dan pengambilan aikfp terhadap0 pendapat-pendapat jang berbeda dan meMtjnba mcmnc -

    k o s a bakatnja jang wadjar, dilukiskan dalam gaja rcnungau jang seder liana dan simpatik. Sesudah berkali-kali lnkisannja ditolak o l e h seorang guru pelutos 1ang menganggap ia tidak berbakat, achirnja ia d.ter.ma djuga atas per thnban^an kasihan dan masuklah ia lat.han melukw, d.mana la temukan dunia dan dirinja, jang kemudian dipertahankannja dengan kesadar . „Inilah permulaan liidupku sebagai pelukis. Aku tidak bisa mem- buktikan bahwa anggapan pelukis terkena m, salah, tetap. aku se a merasa damai kalau ak„ lagi menghadapi kertas gambar. Aku selalu merasa terlepas^ dan keruwetan-keruwetan dan pertengkaran-pertenc- karan dengan ajahku kalau aku lagi melukis. Segetalah dalam melukfs aku mcneinukan kedamaian dan meneinukan kegemaran. Jan* terpen- ting ialah: kehidupanku kudjumpai dalam melukis. Segera* melukis menjita sebagian besar waktuku. Waktu dirun,ah kuhabiskan dengan melukis, sehingga dinding-dinding rumah kami penuh dengan gambar- gambar jang kub.km ICalau baru sadja aku menjelesaikan sebuah gam- bar, segera dengan bangganja kupakukan didinding dan kupandangi ;!';;,; arl £ en“ h kebanggaan dan kegngahan. Tetapi ketika ajahku melihat pa m mg rumah sudah penuli dengan gambar-gambarku jang pada anggapannja samasekali tak baik, timbullah marahnja. DirobekSjalah x v & v s s ? dan d“ nja aku-“ — a i * bar-^mi!S.rLeSai!>airan¥ I !uIan» 1 j4lltiainan dan maruh ajah tentang gam- itu ad il-.I> U ,l 1 aS* n*arah seorang ajah jang bisa diterima anaknja, dunia anaknin I ! Seorang ajah jang mentjoba merampas dao-inffkn n ’ melukis sudah mendjadi duniaku, mendjadi darah thmnnr an SCSU,ai dengan watakku, tak kuiiigm seorangpun turnt tjampur dengan soalku, biarpun orang itu ajahku sendiri

    m en ah an ^ ak ^ ^ r^ 6-56'111131!" ^ *3ng bisa kllbaianSkan jang selama ini lidak i 1 l'umab JanS kurasa makin sempit ilu, sekarang 90-91) a angan lagi. Peduli apa rumah, peduli apa ibu !” (hal.

    ,3im pi\lasaa!ih1ii^es lmCnSi W ' PantJaindera ditjoba Ajip dalam Banowati nut* ’ ra?£ perempuan kesurupan inengaku dia puteri dia berhnc'l ra.ne?ara Astinapura dan kedalam dunia mimpinja ini Abinian ^ L ? ; ,1Jeret TatanS Ja»S kala perempuan itu ialah dua perii’ k? *** negara,^ adukara. Lepas dari dunia luar, mereka ber- Tatane seol^ T *T aanid,ipimtjak Sunun& dan beberapa waktu pemuda dimasa silam i • ? P J“alam dunia jang silam. Hidup berkasih-kasihan kapal tei-lim«rn-D , la<‘hlriJdengan bengisnja oleh pendjatuhan bom dari man in kemh'Tn i?. v m* Puteri Banowati hilung tiada bekas dan Abi- ^ ^ j,adi lalang jang banjak ngelamun.

    dengan poirlarru” 13- A**’ sadar ataxi tidak Ajip memperhadapkan kita indriah dan dun*” .£akab k«njataan ? Dimanakah batas antara dunia oleh pamjaindra^kn2, i-.Ap^kah keniataa" il» hanja apa jang ditjapai kita seliara ’ ,tambab dengan apa jang tiinbul dalam benak bungan konjataan in i^ d SekaH"sekali seljara tak sadar ? Dan apakah Iiu- dengan kenjatainIkV',enSian k?niataau lain JailS sesekali bersinggnngan Aiip tidak mendiiw^k l a^‘ r1’ selli,,Sf?a merupakan kerahasiaan ? .tanja. buat kita, diapun hanja salah seorang jang ber-

    Persoalan-peraoahn^r011131*1 SCPerti illilab ian8 senantiasa menarik hati. persoalan-persoalnn f ?masJarakatan, persoalan-persoalan perseorangan, bahasa. ‘ ‘dsafi, tentu sadja diungkapkan dengan kcseniau p e r h a t i a n kedt\nSaran’ ke9eni;,n bahasa kurang dapat dan ungkanan^nn t bukan berarti, bahwa ia mempergunakan klise ckapan jang sudah usang, tapi ia mempergunakan ba- hasa sekedar sebagai alat pemberita meskipun harus diakui bahwa, jang demikian itu dilakukannja dengan kelentuuan. Tapi sesekali kita mene mui susunan kalimat jang djorok, kiasan jang tidak membai,,gu dan malali kiasan jang' semu. Dan apabila kita melihat dalam perkembangannja, maka lial itu lebih banjak m=™P^anJ ^ diuari dalam djauhnja pemandangan dan pemikiran. Sebagai seorang pengarang jang tumbuh semata karena bakat, Ajip tidak dengan sadar menggali kemungkinan-kemungkinan dalam persoalan dan ala nngkapannja, dan inilali menurut pendapat saja sebabnja maka n.la hasil-hasilnja berheda-beda mutunja, sesudah hasil-liasil jang lemah U ba-tiba ada jang bisa dikelengahkan untuk kemudian kembali lag. paoa kedataran jang mendjemukan. Malali tendensi itu kadang-kadang nam- pak dalam rangka satu-satu hasilnja.

    Mengertilah kita mengapa dalam kumpulant Sebuah R u m a h buat Hurit.ua dimuat djuga tjerita-tjerita jang tidak berarti dan berdjawab pula kesan kita tentang bukunja jang kemudian Perdjalanan Penganten jang tidak niengatasi laporan pandangan mala. Tierita , Rumah” memberikan kemungkian baik bagi pengarang un- tuk membuktika 11 komampnan membangun suasana, tapi jang demikian itu tidak terdjadi. Ketakutan sang isteri diburu nmnp.-mimp. ^ " ^ ja - hat, kesepian sang pengarang ditinggal semlm, tulak mengesan pada

    P ^ P a d a sualu Sore” meskipun ber-aku, bukanlali biografi peng;arang sendiri seperti „Sehabis Mimpi”, „Bual. Appe dan ‘ rita seorang bekas pedjuang gerilja jang gagal da,am h.duij (lian diangkat oleh seorang kawan. Ternjata isteri kawan ini adalah anak seorang lurah jang dalam revolusi dibunuh dengan kedjam oleh „aku karena salali paliam. .. Tjerita ini agak sentimentil. Pembangunan suasana tidak terlJ.pW,

    usaha pemakaian kemungkinan-kemungkinannja dengan kesadaran, lnng^ kelintjahan itu sekedar gerak tanpa keistimewaau. Ngeri, kedjam ^en ; sara, hanjalal. pongertian-pengert.an jang disebut-sebut, kita send tidak merasa dan tidak melihat, karena itu tal.-tal. djiwa kita tidak

    tergetar.^;k a kemuakon jang meresap kemlang sumsurn, kita L rasakan dalam lukisan „Matahari”, dimana pengarang | ■uUnvx dua observasi jang teliti mengenai sekilar dan anahsa hakeka* » diri.Sedangkan lukisan watak Rukma jang exentnk, tjukup berliasi^J dalam tjerita „Anlara Kawan”.

    Perdjalanan Penganten menurut pengarang, adalah latihan terapbl^ dalam mcnulis tjerita. Jang kemudian dan ini barulah akan basil jan,. benar-benar, katanja. Tierita ini mempunjai plot Irpos. Beberapa b a g i a n , karena nierup - kan tjerita tersendiri, telah lebih dulu dimuat sebagai l3e» ta dalam berbagai madjalab. Tak ada pemasalahan-permasalalian jan0 berat, hanja kesan-kesan jang tak digodok dan agaknja hanja interesan bagi pengarang mengenai orang-orang sekitamja. Segala jang ditjerita- kan mengenai kepertjajaan, adat istiadat dan sebagainja, rasanja sudah urnum diketahui dan karena itu tidak meraikat hati. Seperti djuga dalam DitengahJCeluarga kepengarangan masih sesuatu jang dipamerkan dan belum mentjapai kedewasaan. Tak ada pengolalian bahan jang banjak djad.tjer.ta jang mempunjai komposisi dan tanggapan dunia tersendiri. Kehidupan terhampar datar didepan kita dalam kesehariannja.

    Ked^Ukp-,iran Pr

    pendahuluan upatjara perkawinan lalu nda id ntakan sebagai ke Djatiwangi, Talu kundjungan pada aiah korumor ? ? J “ jaan babarit, lalu perdjalanan kembali ke D ja k a rta Dul ' “ T i , " 3 PCra' adegan tersendiri pula tentano- r>P»-rlJol P * sudah itu satu tiv/angi untuk menemui ajahnja — sekalThV ]peil"aranb sen(1iri ke Dja- bahwa ia tak berhasil m e S i k a n u l , UDtuk memberi tal™’ - kemudian sekali lagi perdjalanan pul?n“nDjakirtanDi‘Pf T r mi bersama dengan isteri dan seteiJni', Jaka.rta;PJa.tlwangi, sekali tentulah mungkin sadia peralan™ .«i I°alam .ke> d ia n sehari-hari tjerita akan membosankan djuga. ° ^ an^an lni’ taP* dalam satu

    menggelikan baginja^are^a ^ia^m e perkawinan. mereka jang serba stambul. Suasana chusjuk dan mi

    Apakah salah agama kalau orang tak mau W T** dlrUmuska" W in '.: para leluhur berpegang padanjf ? Sebarian^hrT f8?® Padanja SePerti gedjala ini kegagalan agama sebagai peaan^n a m e,ihat dalam tjar. djawaban sedjauh itu, tapi m em bukU kfn1 T Ajip tidak men' alaman dan s.kapnja. Mungkin kita bSu™ hi T d[,llam Pen?‘ karena dia hanja barn anak-anak, tatkak t f .b,lJara tentang sikap, belas tahun. ’ tatkala kawm pada umur tudjuh Betapa naifnja pikiran Aiin nnn, 1 i kepala kantor penerbitan Balai P u stak ai,™ ?.j;en??,I,mannja dengan kataannja bertjerit. djadi pe™inu a „V S S ,,1 K™11* 8a'ah tafsi>- P* tahuan tentang ps.chologi seorang kepala kant ‘ sediki‘ Penge- bahwa .a d.us.r dengan senjumaf dan ka,a“ “a jT ™Snia U m™jadari Dalam kepala kepala-kantor harusnja dia biJ g " T * (hal- «-44). sebaiknja berhenti sadja karena tidak , , 1 m?mbatja, bahwa ia J ‘P Punja sifat jang tekun untuk djadi pegawai jang baik, jaitu duduk dikantor dari djam tudjuh pagi sampai djam dua siang. Sesekali pengarang hanjut dalam perasaan patriotisme jang terasa djanggal dan kembung (hal. 36-39, dalam perdjalanan Djatiwangi-Dja- karta). Bagian Kedua mentjeritakan bagaimana pengarang djadi ajah de­ ngan pandjang lebar delik demi detik mengikuti pikiran dan perasaannja dalam perkembangan kedjadian. Semuanja merupakan impresi-imprebi jang tak menarik, karena lak adanja sesuatu keistimewaan dalam pelu- kisan dan liku lekuk pikiran. Sekali ada djuga kita tersenjum melihat ketjanggungan pengarang djadi ajah untuk pertama kali, uang tak punja segala tak sedia dan tat­ kala liarus bajar rumali sakit, pindjam pula dari supir oplet jang diium- pangi dan belum dibajar sewanja. Sungguh djalan pikiran kampung jan” manusianja masih erat saling berhubungan. Tapi kelalaian bakal san* ajah, bukanlah satu hal jang spesifik kampung dan dapat dipudji. Dialan pikiran kampung memang sxikar untuk dimengerti. Apabila ajah pengarang terlibat dalam kesulitan uang karena korupsi, maka ibunja- lah iang memikirkan bagaimana menietjahkan soal itu, padahal mereka sudah bertjerai dan mestinja tak ada hubungan apa-apa lagi (dalam Perdjalanan Penganten, hal. 22). Kalau bagian kedua akan kita perintji bab-babnja, maka akan kita dapati djudul-djudul,seperti berikut: Waktu aku pertama kali akan dja- aiah __Waktu isteriku akan melahirkan — Waktu isteriku melahirkan dan aku djadi bapa pada umur delapan belas tahim — Waktu mengun- diungi isteriku kerumali sakit bersalin — Terkenang masakanakku waktu bulan puasa — Upatjara gunting rambut anakku — Upatjara mudun lemah __Nenekku sakit — Nenekku berdukun — dan seterusnja dan seterusnja. Buat orang jang punja perhatian buat antropologi barangkali akan mena­ rik lukisan-lukisan upatjara adat istiadat, soal-soal kepertjajaan dan tali- iul gedjak-gedjala akulturasi dan sebagainja itu, tapi jang ditjentakan iriipun bagi para alili budaja saja kira bukan lial-hal jang rahasia lagi. Tinn-o-al dikampung seperti bisa direka semula tidak pula lama, ha- nia beberapa bular. lalu kembali ke Djakarta. Itupun karena pengarang diin^atkan oleh sang isteri, supaja berusaha berdiri sendiri dan djangan hanja membebani keluarga dikampung dengan kehadiran mereka. Sebab hidup sebagai pengarang tidak berarti bahwa honorarium menga- lir kekantong dengan deras dan teratur. Titel buku Perdjalanan Penganten bersangkut paut dengan pertja- kapan suami isteri dalam perdjalanan pulang dari Tjirebon ke Dja­ karta setelah meninggalkan baji mereka atas permintaan ajah dan ibu ian«- kesepian, karena kematian nenek. Satu pengorbanan jang besar diuga bagi suami isteri jang muda, tapi berkatalah sang suami: anggap sadialah semua perdjalanan ini sebagai perdjalanan-penganten kita, per- dialanan bulanmadu kita. Dan sebagai perdjalanan bulanmadu, sebaik- nia kita tak kembali dengan membawa seorang baji ...... ” (hal. 161). Tapi djanganlah kita tjari apa-apa dibelakang utjapan ini dengan meng- -unakan psichologi Freud, sebab mungkin akan menggugat „kepriba- dian bangsa”. Dengan berachimja Perdjalanan Penganten beracliirlali babak pertama liidup Ajip: Pertemuan kembali masa kini dengan impian masa kanak. Pertemuan itu ad'alali sualu kegagalan, seperti di* akuinja dalam kata pcngantar kumpulan sadjaknja Tjari Muatan (hal. 10-11). Biasanja orang menulis biografi tentang 6eseorang jang telah sangat berdjasa dan ada djuga orang jang inenulis biografinja sendiri atas desak- an orang lain, karena hidupnja dianggap penting oleh masjarakat. Dari orang golongan kedua ini djarang pula jang hanja atas desakan menulis biografinja, kalau dia sendiri tidak merasakan kepenlingannja dan dalam hal itu dia akan menulis biografinja sendiri tanpa permintaan orang luar. Ajip menulis biografinja, agaknja sekedar sebagai bahan untuk meaulis sastra dan penlingnja biografinja ini terganlung dari nilainja sebagai hasil sastra. Kita inengliarap karja-karja jang berarti, supaja hasii-hasilnja jang pertama ini djadi berharga pula, nieskipun hanja sekedar sebagai bahan sedjarali tinluk mengenai pertumbuhan pengarang jang kemudian akan diakui kebesarannja.

    #**

    Mengenai puisi Ajip Rosidi saja dengan senang hati bisa mengata- an bahwa ada kemadjuan. Mulai dengan sadjak-sadjak jang tidak aPa'aPa> dalam isi ada tendensi kepada peluasan dan pendalaman. i es ipun Ketemu Didjalan dan Pesta terbit pada tahun jang sama, saja 'ira sadjak-sadjak Ajip dalam Ketemu Didjalan melihat isinja ditulis pada umur jang lebih muda dari sadjak-sadjak dalam Pesta. „Lipatan Setangan” dalam Ketemu Didjalan adalah kesan-kesan jang nngan isinja, begitu ringan hingga tidak mengesan. Dalam bentuk pun mereka merupakan pemberitaan dan usaha untuk mentjiptakan lena iaflaan dengan penghilangan tanda batja dan penjusunan kalimat j S, ari sim ian sintaxis jang lazim, tak dapat mcngangkat isinja jang dangkal. Sekedar tjontoh saja kutipkan:

    DANAU LEMBANG dibelakang bajangbajang / ketawa duadua panas ujauh lampudjalan / pagarpagar polionan dipinggirdipinggir dan lari sepeda ketjepatan edan dikedjar perempuan tawanja djauh kedalam riak air melipatlipat bangkubangku pada penuh / berdempet pohon antara dia dengan lampu sekitarnja samartjaja / kesana pelahan senjum lagi ulan aiakin tua / larut kian tjepat tiba. ^ GSta J*ang terdiri dari tidak kurang dari tigapuluh sa- s it rial 18 1 a umur tahun. Isinja ialah tangkapan-tangkapan 6e- lanj? m ^ln i!i!aSania pulus asa’ suasana kesepian, keharuan-keharuan keljil dunan najC kedataran hidup sehari-hari, perkenalan dengan kehi- hidun P^a*am- ^an para PengHuninja, disana sini pentjarian makna I • ti janan makna hidup sesudah menatap sekeliling dan meliliat- mengalami hanja kesepian dan keputusasaan, membawa penjair pada penemuan tugas kepenjairan: sungguh hidupkn didmiia empat diudiug diluarnja djalandjalan begitu lengang didalamnja kepahitan mendepai sepi didalamnja terkubur aku sendiri ingin merapatkan diri pada kesedjukan sendja ingin menuiis dan hidup kedainaian kcrdja menekankan pada dada degup kehidupan meleburkan diri pada mereka dalam sadjak („surat buat jassin” )

    Tapi pemjataan ini masih merupakan program kerdja, kepenjairan hanja baru terLjapai dalam kepengalamau dan kepeniikiran, pemikiran jang mentjari dan terus mentjari dan pada achirnja sampai pada kesim> pulan pesimistis: walau tabu kepauaan / inginkan keabadian / walau ngerti ketakkekalan menolaknja dalam bersama / tjoba petjahkan kesunjian dalam bordua / bangnnkan sinar kehidupan setelah siasia menljoba siasia berlindak ia tinggalkan kehidupan Ixampa / ia mengelak inikah kebenaran hakiki / kedjudjuran berkata inikah tjinta tulus berikan segala ia punja dirinja tak menemui djawaban dallam berpikir dan seluruh hidup inenjianjiakan uinur karena keabadian bersama kepanaan lahir sinar kebahagiaan mendapatinja dalam kubur

    („walau tabu” )

    Pesimistis kesimpuhui penjair, karena Iain dari misalnja jang masih menemui kebahagiaan dalam kesadaran mengabadikan kerdja dalam kefanaan, „sinar kebahagiaan” penjair Ajip „mendapati- nja dalam kubur”. Tapi kita tak usah kuatir bahwa ia gantung diri, karena dalam prakteknja iapim menjadari, bahwa ini djalan buntu dan akan pertjumalah titel Pesta kumpulan ini. Bersjairlah ia dalam salah satu dari sadjak-sadjak secljiwa jang mengisi paroh kedua kumpulan ini: mesli kutinggalkan liidup tenang mesti pergi kehidupan gelombang

    lebih baik melakukan panggilandjiwa lebih baik menenggelamkau diri dalam kehidupanmalam dan aman dalamnja karena setia tak dikatakan tak didjandjikan („panggilan” ) Ketularan oleh kesepian Sitor dalam masa keisengannja, pun nafas dan permasalahan Sitor terlalu kita rasakan dalam sadjak-sadjak seperti „Penjair”, „Kediamdiaman”, „Lagu Kehidupan”, „Lagu Malam”, „Rampas” , „Djaka dan Gadis” dan lain-lain. Saja kutip salali satu, per- njataan - kebanggaan penjair jang dalam isi tak kurang vitalnja dari „Aku”-nja Chairil Anwar: ,

    penjair bukan semata karena duka tidak semata karena sepi tapi hidup dihidupi olehnja djika karena duka tjunia telah lama diam djika dalamnja pun karena kira telah lama tenggelam Seperti djuga Chairil Anwar pun Ajip dalam hidup jang intens mentjoba mentjapai nilai-nilai jang paling inti untuk sampai pada kese- mestaan. Maka dapatlah ia merasakan kegamangau berada antara ada dengan tiada, merasakan keabadian dalam kefanaan („moksha”, „per- tjakapan”, „tahun demi tahun”) : semua tahun kembali terkenang / lapar dan rindu mata telah djadi katja pudar / melembari urat wadjah mari kita leburkan diri / melumat satu djat kita kan hidup satu degup dalam satu gerak

    („tahun demi tahun” )

    dan dapatlah ia bitjara kepada masa lampau: telah kupilih warna dan arah biar masih berdjabatan / kupamitkan arah jang salab 4 („kepada masalampau” ) Meskipun ada nafas Sitor dan Chairil dau disana sini nampak ung- kapan-ungkapan jang mengingaikan pada mereka, Ajip mempunjai ^anSOa(fn, i?em^ ran dan pentjarian sendiri. Bahkan dalam persamaan jang ada dirasakannja dengan seniman pelukis Affandi, ia aetap berdiri i epannja sebagai orang jang sadar akan kelainannja: mari habiskan hari paling tjerah cjemi kesamaan kita tapi palingkan aku dari balik keriaan sorot kelintjahanmu karena ketunggalnadaan memuakkan daku

    („kepada affandi” )

    Kumpulan sadjak Tjari Muatan terdiri dari empat kumpulan sadjak jang terdiri dari „Tjari Muatan”, „Kota demi Kota”, „Suratwasiat Penjair Komeng Komaruddin” dan „Dipuntjak Gunung paling tinggi”. Sadjak-sadjak ini lebih matang dari kumpulan Pesta dan jang terkumpul dalam Kotemu didjalan. Ada pikiran dan sikap jang sadar sebagai dasarnja. „Tjari Muatau” dapat dikatakan lagu-l!agu Djakarta. Djakarta jang menibangkitkan kesadaran kepenjairan, Djakarta jang karena itu di- tjintai, tapi djuga djkutuki, karena semua telah liilang „asli”, „tinggal pergulatan dalam kerdja karena darah, liarus mengalir” . Di Djakartalah tumbuh persahabatan oleh kesadaran senasip sepenanggungan, dengan seniman, dengan pcngemis, dengan ponari dan wanita malam. Penjair melihat dirinja dalam Donggo penjair Sumhawa, jang nicninggalkan du- nianja untuk mentjari diuiia baru kota djutaan, tapi jang senantiasa rin­ du pada dunia jang ditinggallkannja. Donggo rindu pada kudanja, meski- pun di Djakarta dia punja sepeda dan seperak dikautongnja: sumbawa punja kuda, ajam bertelur, padangrumput mematju la vidi dan gadis-gadis dipingitan ingin Iepas karena hati penuh madu ingin didekap njala neraka di darahnja ljuma sepeda di djakarta — kuda-kuda di sumbawa donggo rindu la vidi kuda kesajangan . mesra bunda mengelus kening sianak bapa sakit, djakarta memisah kasih di djakarLa donggo anlar kota kemimpinja relung malamnja, sumbawa didadanja menjala („anak sumbawa” )

    Pengendapan dalam dcgup djantung nadi perempuan malang jang kita alami dalam sadjak „Tjari Mualan”, pengendapan mesra jang di- njatakan dengan kataganli orang pertama: kami. sinar pudar betja tjari muatan , menemui kami jang liidup malamhari sebelum djam sebelas berdentang sebeJum ilu liidup sudah liarus dipenuhi siapa monemhus gang menemui kami memberi kaini napas dan itu lak kami siakan kami berikan apa jang kami bisa berikan dan malam putjat menjifakan hudjan diwaning kami tertawa bersonda-tjubitan sambil mengharap londjakan tiba-tiba: ,mari! 5 sudah mereka rampas sawah dan rumah kami dan lelaki kami berangkat tak kembali M'behtm sungguh-sungguh kami punah muka perong gigi ompong tubuh reol sebclum habis hudjan malam dan berserali lampu betja pudar dan makin pudar lambang pernjataan hadir kami warna kuning dan merahkesumba membungai bumi Kemesraan jang sama dan ketjinlaau pada orang desa jang lerusir kekota menafasi pula sadjak „\Vasil”, tjerita perempuan jang keliilangan segala dan lari kekota untuk mengalami kekalalian demi kekalalian. Dan pada putus asa mendjerit dari kesadaran akan ketidakadilau dalam lagu duka „Djembatan Dukuh” : Malam-malam dingin dan pekat kita masih berdjalan Rumali-rumah besar dan megah kita lewati tegap dan angkuli tapi kita musti berdjalan inenjusuri malam, menjusuri kepekatan untuk sedjemput liarapan, untuk sedjemput ketjintaan

    Akan lelapkah kota tidur malam ini, sedang kita gelandangan, padahal kita warga jang mentjintai ? Akan tjederakah tangan jang mengulurkan kasih sedang kita dilewalinja, walau kita warganegara setia ? Mengingatkan „kepada Peminla-minla” sadjak „Pengomis Senen” dun nafas Audcii-CIiairil terasa dalam „Djembatan Dukuh” (bandingkan dengan „Lagu orang Usiran” ). Demikianpun ada bagian-bagian jang beralun nafas Rivai, seperti misalnja dalam „Surat buat Pa Said”. Tapi semua itu tidak mengurangi kemampuan penjair dalam pengungkapan dan pentjariannja sendiri. Dalam „ICota demi kota” penjair melukiskan pengembaraan dengan esepian dan dukanja, kerinduan dan harapannja, mendjeladjahi kota enu kola, dalam dada membara ketiintaan kepada sawah dan pegu- nungan:

    Tiada djemu-djemunja napsu kembara jang resali Meremas-remas hati jang senantiasa gelisali Rindu pada papasan kelabu pegimiuigan bendja jang merah udjan djatuh atas pesawahan (hal. 39) mutu 3'an R kumpulan berikut termuat djuga sadjak jang kurang d ‘L- li?3’ aeaimaiia suatu sadjak tidak jnentjapai universalitas karena in « 311 fktualitas nampak pada sadjak „Pernjataan”. Penjebut- ba~i ama dalam bentuk vokatif berkali-kali dalam sadjak ini, mei n"1Un£kin mempunjai arti pribadi, tapi itu pula jang ien0cnususkan sadjak itu lerludju pada orang seorang dan seolah meug- , “ a,n orang lain. Sekiranja sadjak ini sekedar disertai anak djudul • • lau,"kepada Alun” dan penjebutan nama itu diliillangkan dalam , \ a*an lebili luaslah djengkauannja. Menimbulkan pertanjaan pa a?lan-bagian I sampai dengan XI dalam sadjak „ulanglahun -i •Peil1.Jara lidak disusun beruntun, tapi halaman demi lialaman, an c juga sadjak „dalam tahanan” jang terdiri dari dua bagian. gitnn .Wa^.t Penjair komeng komaruddin” menjatakan penegasan . j 1 enjair. Dibuka dengan lagu tjinta „tanahair’\ kiunpulan ini ditu- p t engan „surat buat pa said” . *) Apa jang tadinja hanja kepertjajaan, ) Pak Said ialah pemimpin Taman Siswa Djakarta, bekas guru Ajip. telah tumhuh djadi kejakinan jang tak boleh diganggu gugat, hingga dapallah ia bcrkala kepada gurnnja jang mewakili sualu dunia: Kupertjajakan nasib digenggaman tangan- sendiri Kupertjajakan hari depan pada Iangkah jang kulangkalikan ICutoIak kasih jang kauberikan, ingin hidup sendiri Ingin niemilih satu warna, antara wama begitu ragam ingin satu tjinta, antara tjinta beragam mat jam Aku adalah diri mereka jang hadir jang berani menolak kehadiran diri sendiri

    Karena aku tahu arali dalam keragaman arah Karena aku tak tahu arah dalam ketunggalan arah Karena aku mentjari humi jang kutjari Kulepasknn kasih dalam keragaman arah Dan arahku sudah pasti („surat buat pa said”) Dalam keberanian merombak batas-batas pemikiran dan memba- ngunkan kembali dalam kesatuan jang lebih tinggi, Ajip tiba pada hakekat kebenaran. Dia bitjara dalam paradox-paradox jang membu- jarkan kebekuan-kebektian dan membuka djalan kesemua pendjuru. Maka sampailah ia „dipimtjak gunung paling tinggi”, dimana batas ke- njataan membuka kealam diluar djangkauan pantjaindera, tapi hidup dengan suburnja masih dalam apa jang disebut chajalan. Ia mengenali dirinja dalam dongengan jang didongengkan nenek masa ketjilnja dan melihat dongengan itu dalam kenjataan kini. Dongengan bukanlah sesu- atu jang lepas dari kehidupan kini, tapi adalah satu bagian dari padanja, tak dapat dipisali'bedakan. aku, akulah jang telah hidup dalam dongengan aku, akulah jang didongengkan nenek dalam masakanak akulah itu* akulah jang mengalaminja

    dan aku jang bermata hitam dan rambut mendjalar dikening akulah jang hidup dalam ini djaman menghadapi bidadaii lagi mandi

    tak kumaksud berbuat seperti djedjaka mentjuri badju bida- dari

    karena ilu tjurang telapi kuingin sekali seorang mau tinggal bersamaku dan hidup dihumi ini karena kuwarisi darah merah dan menj&la; kami kan tertawa melihat film bikinan manusia tcnlang surga lalti kami kan tertawa mendengar manusia memiinpikannja („pada sendja” ) Dan Ajip menjairkan kembali dongeng-dongeng jang pernah dide- ngarnja dari nenenda, dongeng-dongeng jang djadi dasar kepertjajaan dan chajalan, tentang burak siluman jang karena ibunja kena kutukau dari Radja Siluman, kakinja berupa telapak kuda dan ditakdirkan meng- ganggu anak perawan jang tengah hari sendirian turun kepantjuran („bu- rak siluman.” ) ; tentang kuntilanak jang dari dunia sana mcngganggu wa- uita dan baji, karena mentjari anaknja jang ketinggalan dibumi; tentang bujut jang kala wafatnja didjemput oleli singa mengaum dan derap lang- kah seribu machluk („telah pergi bujut tertjinta” ) ; tentang anak jaug hilang dibawa kelong dan ditemukan kembali diputjuk kiara jang tinggi. Kedjantanan jang berani mempertaruhkan segala, adalah satu tenia jang paling membangkitkan chajal pengarang segala djaman. Chairil menghidupkan semangat ini dalam „Beta PaUiradjawane’\ Sitor dalain «Matinja Djuara Djudi”1) , Rendra dalam sadjaknja „Atmo Karpo”, dun untuk melangkah keluar negeri jang paling terkenal ialali Manusia Uta- manja Nietzsche, jang „hidup diluar batas pengertian baik dan buruk”. Manusia Utama ini tak bisa kita ukur dengan ukuran biasa, tanpa men- djungkir balik ukuran segala uilai. Ajip pun tertarik pada tokoh sema- ngat ini, jang ditokohkannja dalam „Djante Arkidam” : Dipendjudian diperalatan Hanjalah satu djagoan Arkidam. Djante Arkidam

    Betina mana tak ditaklukkannja? Midutnja manis djeruk garut Lidahnja scrbuk kelapa puan Kumisnja tadjam sapu idjuk Arkidam, Djante Arkidam Inilali puisi rakjat dipulas kembali setjara mcnarik, dengan bahasa ndonesia baru. Daja chajal para leluhur jang telah mentjiptakan dongeng ,a VJ^gan kembali hidup dalam penjair, lebih kaja karena alam iniiiipi an a*am njata dipadu satu.

    i) Siasat, Th VII No. 332, 18 Oktober 1953. 100 ORANG JANG KEMBALI KUMPULAN TJERITA PENDEK A. ALEXANDRE LEO

    ALAH seorang pengarang jang muntjul lewat Kisah, ialah Andrea Alexandre Leo, jang nama aslinja dalam stainbuk sekolah S Zulkarnain. Laliir 19 Agustus 1935 di Lahat dan lulus udjian SMA di Malang tahun 1954, ia kemudian masuk Balai Pustaka, kerdja dibagian redaksi. la mulai mengarang sedjak duduk di SMP, antara lain dalam liraividjaja, Djojobojo, dan madjalah-madjalah ketjil seperti Merah Putih, kemudian dalam Mimbar Indonesia dan lain-lain. Pada Balai Pus­ taka terbit bukunja jang pertama Orang jang kembali (1956), kumpulan tjerita pendek 1953— 1955. Pertama kali Leo menarik perhatian saja, ialah dengan tjeritanja „Pantai” jang dimuat dalam madjalah Kisah.1) Menarik perhatian karena adanja nafas kerahasiaan dan nada kefalsafian jang memperli- hatkan satu pemikiran tentang nasib manusia dalam hubungannja dengan ian* abadi. Djuga dalam kumpulan tjerita pendeknja ini nampak hu­ bungan itu, jang tjara sadar dirasakannja, seperti dinjatakannja dalam kata pengantar: „Aku namakan buku ini: Orang jang kembali dengan suatu kejakinan jang tersimpul dalam kaliinat itu sendiri Pa(fa txtl terachir semua pengutuk dan pendurhaka akan kembali dan bagiku ke- i)ada Tuhan. Tuhan adalah mesra dan pengasingan daripada-Nja kiranja terdjadi diPuar kesadaran jang amat djauli. Dan Tuhan bagiku adalah pula kesadaran dan bitjara tentang Dia bukan penjeralian’ . Beda dengan banjak pengarang lain jang sok atheis dan melantjar- kan kata-kata tak sopan balikan inenghina agama d'an Tulian. pada Leo pengertian agama dan Tuhan adalah sutji. Dalam melihat dan mengukur tingkah laku manusia. ia selalu menghubungkannja dengan kekuasaan jang ada diluar dirinja dan sering ia menjatakan keinaraliannja pada orang jang lak taat pada agama dan Tuhan. Terliadap ibu-ibu jang men- djaga anaknja hanja tatkala ada bahaja mengantjam tapi kemudian melalaikannja, ia mendapat alasan untuk berkata: „— gelagat mereka dalam mendjaga anak-anaknja itu sama sadja dengan tjara umumnja orang memperljajai Tuhan: ditaati sungguh-sungguli, hanja sewaktu menghadapi hantu krisis. Begini ini, biasa sadja bagi mereka jang ber- budi kerdil, jang berwatak oportunis, jang sama sekali tidak kenal rasa setia” („Djembatan jang ditutup”, hal. 18). Dalam semua tjeritanja Leo menjebut dan menipereoalkan agama. Xasib mannsia era! hubungannja dengan tingkah laku dan perbuatannja dan lebih djauh lagi. tingkah laku orang jang melahirkann ja. Karena perbualan ajahnjalah maka Auli harus menderita dan hinasa dan karena perbualan luan Fritz djugalah, maka anaknja lahir tjatjat tak bermata i„Orang jang kembali” ). Kadang-kadang djalan pikirannja determini--

    Dimuat dengan Sorotan dalam Kisah n /6 , Djuni 1954. Lihat djuga Analisn. Gunung Agung 1961.

    tis. „Djanganlali manusia berharap akau dapat menggenggam suatu kepas- tian dalam kepalan tangannja” , demikiau salali satu dalilnja („PertjajaJah ia, setelah itu”, hal. 82). „Keinginan dunia akan selalu bertentangan dcngan keinauan manusia, karena bukan manusia jang berkuasa diatas du­ nia tapi adalali dunia jang berkuasa atas mamisia” (ibid. hal. 92). Namun demikiau ia tak sampai pada defaitisme. Bagi orang jang bertobat ada djalan terbuka. Tulian menerima setiap doa. Tuhan mengampuni setiap orang jang bersalah, jang telah menjedari kesalahannja , ,,Tuhan inendengar setiap orang jang tobat” („Orang jang kembali” , hal. 141,142). Tentano1 a gam a pengarang berfatwa: „Agama bukan djembatan kesjorga atau djalan jang lurus langsung menudju ketjita-tjita muluk. Tapi adalah tumpuan dan pegangan satu-satunja dikalta manusia kebun* tuan __ agama janij sebenarnja adalah pusat seluruh kebatinan manusia jang sudjud kepada Jang Tunggal. Manusia jang sarna sekah tidak ber- kebatinan lebih baik lidak mengakui beragama. Pendek kata ketabahan balin jang kuatlah jang terpenting: Melaksanakan segala daja akal dan iipaja sambil tawakal selalu” („PertjajaIali ia setel'ali ilu , hal. 34). Tokoli dokter dalam „Orang jang kembali” adalah perendah hati, bidiaksana dan penuli bikmat. „Kesanggupanku sekedar menggembira- kan orang lain. Dan tentang terima kasih dan rasa bersukur tuan, tun- djukkanlah kepada Tuhan”, katanja pada tuan Fritz. Dan sebagai orang iang pengalaman dalam pekerdjaan, ditambahkannja: „Aku te a i iasa

    merasakan gembira dan ketjewa, tuan Fritz. G e m b i r a , karena kerdja u berhasil dan ketjewa, karena daja-upaja jang kusangka akan berhasii baik mendjadi gagal oleli suatu keadaan jang tidak disangka-sangka. iJanaku tiukup kerap meliiiat sinar harapan padam dimata nbuan manusia, disii' sul oleh ketjewa jang mcnggelapkan h a ll Segala itu sedikit-banjak telah mcnebalkan peraeaanku. Namun begitu, terlblu banjak meiigetjewakan orang lain tidak pula mengenakkan bagi perasaan (hal. Ic51). San" isteri jang tawakal menerima anaknja jang lahir tjatjat sebagai kehendak Jang Maha ICuasa dan tjatjat anaknja bukan karena kesalahan sang ajah. Baginja tidak djadi soal apa bagian inanueia dan apa bagian Tuhan. Baginja segalanja adalah kehendak Tulian. „Tuhaii tidak meng- hendaki manusia selalu berbuat salah. Tuhan hanja menghendaki setiap manusia memperbaiki diri” (hal. 139). Sehubungan dengan kepertjajaan agama ini, ialah kepertjajaan pada dongeng dan tjerita kemasukan roh djaliat. Seorang kawan bernama Leila inengalami tjobaan: kemasukan roh neneknja jang mau ikut tjam- pur dalam soal duniawi, mentjegah ljutjunja kawin dengan „orang Sebe- rang”. Betapapun njatanja kedjadian ini bagi pengarang, hal itu hanja dianggapnja mimpi jang buruk dan pertjaja mutlak pada Tulian, ia menasihati supaja tetap berpegang pada kenjataan kejakinan. Mata puritein pengarang adakalanja inerusak kebebasan orang lain dalam gerak geriknja, seperti dalam „Biograpi Abangku”. Demikian ia liiarah pada abangnja hingga si Abang tidak muntjul dengan pnbadi- nja sendiri, karena harus melalui mata sensur sang pengarang jang ta segan-segan mengguruinja. Oleh subjektivitas jang meluap tak sanggup a pengarang mengaugkat lukisan abangnja kesatu tingkat jang punja _e i- dupannja sendiri, tapi agaknja kesalahan terletak pada abangnja djuga ja n g rupanja bukan pribadi Atmo Karpo, Djanle Arkidam alaupun Dionisos, jang inenuntut kepribadian bulat mutlak lak boleh ditawar. Abang si pengarang adalah orang kepalang langgung dalain kehidupan- nja. Dia mau djadi seniman tapi berhenti dileugah djalan dan puntjak ketiadaan dirinja ialah, apabila ia mau djadi pengarang tapi menjuruh orang lain mengarang untuk dia. Terhadap orang begini kita hanja bisa merasa djidjik. Terhadap si Abang ini djuga pengarang berkisali dalam tjerita „Aulfi. , meskipun hanja sambil lalu. Sementara anaknja sakiL kcras, si Abang meninggalkan rumah mengadu ajam semalam-malaman main domino. Auli tak dapat ditolong, resep jang diberikan dokter tak bisa dibeli obatnja dischiruh Indonesia. Tapi satu kenangan jang pahit bagi „aku _sang pengarang, jaitu bahwa ia tak sempat memberikan Ijoklat jang diminla kemenakannja. Dan sebabnja karena kelalaiannja jang tak masuk akal. Pertama kali ia lupa beli, jang kedua kali tjoklat jang sudah < 1 Jehnja ketinggalan pula dan djatnh kelangan kemenakan-kemenakan jang nakal dan apabila achirnja ia berhasil membawa tjoklat jang ma- ijamnja lain dari jang sudah didjandjikannja, maka sisakit sudah meng* lembuskan nafas pengliabisan. Tjeritanja seperti mimpi buruk berkedjar- edjaran, tapi tanpa kesadaran akan kemiingkinau kedjadian. Gajanja Leo tak dapat dikatakan lantjar dalam arti djalan pikirannja tjepal berpindah-pindah dan gerak djalan tjeritanja lintjah mengalir, seperti misalnja pada Nugrolio Notosusanto dan Trisnojuwono. Ia lontar-

    Naniun gaja serins ini mengandu-iig humor jang sesekali meriak ►uasana. Ia mulai tjeritanja „Djembatan jang ditulup” , kenangan pada a ‘lng,_kota jang manis, seperti berikut: V- aku kcrtjerita bahwa dikotaku djalan-djalan bertambah pan- < jang, janganlalx berasosiasi: dikotaku pembangunan berdjalan dengan lantjar. Malah sebaliknja. 1- V, akn ^eildak pulang dari bepergian — aku dipersilahkan terlebili (a n u geiak badan sepandjang atau sekeliling kota. Kisah ini terdjadi pada suatu nuisim hudjan. 1 . t^ ri t lk |U m,'nSa^r sebuali kali. Ditengah-tengah betul. Kali itu tak ( apa t i 'alakan hesar, djika dibanding dengan sungai Amazone, atau Nil, a aupun Jang fsc Kiang tak lebih ia dari sebuali selokan ketjil ianc bermata air sadja. Tapi semua orang tahu sifat air. Dan pada nuisim hudjan itu kaliku- imn ponnli dengan air. Bahkan kebanjakan. Banjak sekali, hingga kaliku nu nanggung derita sebagai tempat air jang sebaujak itu jang sama sekali lak. pnnja perasaan’’ dial. 11-12). Kesajangan pengarang memantjar dari tiap kalimatnja. Kesajangan pada manusia dan barang jang tidak bernjawa dalam istilah kita. Sebab, semuanja itu adalali isi incngisi kebutuhan masing-masing dan benda tak bernjawa malah besar djasanja pada manusia, maka itu pengarang memandangnja sebagai machluk jang hidup djuga, mempunjai saat lahir, remadja dan tua dan pula saat matinja. Perhatikanlah misalnja djem­ batan jang sudah tua itu, jang dalam liidupnja punja hubungan dengan manusia, dengan kali jang mcngoreki fondamennja dan tatkala ia tambah parah penjakitnja, djadi persoalan hangat dalam dewan perwakilan rak- jat dikotanja. Maka djadi pentinglah djembatan itu, djadi pusat per­ hatian Persoalan sang djembatan menimbulkan pengalaman pada manusia. Tidak. pengarang tidak kehilangan pandangan kritisnja karena tjin- tanja. Dia djuga melihat dan mengutuk sifat-sifat manusia jang serakah dan pura-pura, tatkala djembatan tetap terbengkalai karena sabotase pekerdja bangunan jang te-es-te dengan polisi. Ia tetap tersenjum, tapi senjuman njengir jang paliit, melihat lakon manusia tak punja susila menulari manusia lain. Apabila gagal pembangunan djembatan jang pegang peranan ulama dalam tjerita ini, berkatalah ia. ,,Dengan demikian pembaiigunan berlienti sendinnja, lebih-lebih lao-i oleh karena keniungkinan-kemungkinan imtuk mengatasi kekosongan ka°s telah tnmpas samasekali. Murid-murid Sekolah Landjutan telah sele- «ai dengan pembuatan Akte Kelaliiran. Dan perdagangaii tandatangan terniata'kuranc laris dan akaa membarui lagi surat-surat izm mungkin menimbulkan amarah penduduk dan melenjapkan kepertjajaan kepada Dewan Pemerintahan. Pendek kata anggota-anggota Dewan telah kehi­ langan akal. Akibatnja: Djembatan kami bulat-bulat diserahkan kepadi nasibnja sendiri. Sementara itu ahli bangun-bangunan, jang ketjakapannja dengan sunaeuh mati” didjamin oleh ketua seksi pembangunan, tidak kelihatan lagi puntjak hidungnja jang mclcngkung, dan kuli-kuli pada menjumpa . Dan restan bahan-bahan pembaiigunan berupa batu, pasir, kapur, seme dan lain-lain dibiarkan bergeletakan begitu sadja. Akan tetapi tidak lai" Adapun penduduk kota kami tiba-tiba insaf, bahwa uang jang diper- gunakan buat pembangunan itu adalah uang mereka sendiri. Djadi kalau mereka ambil bahan-bahan jang bergeletakan itu, adalah hak mereka. Lalu pikulan-pikulan dan kerandjang-kerandjang pada mmitjul im­ tuk melenjapkan sisa kenangan pahit akan kegagalan pemerintah kotaku. Dan sebentar sadja seinua batu, pasir, kapur, semen dan lain-lainnja nienguaplah: Didjual lagi kepada perusaliaan-perusaliaan pembangunan, jang dulu djadi leperansir pemerintah koia. Akibatnja perusahaan-perusahaan tersebut makin subur djuga. Pen­ deknja jang kaja tambah kaja. Dan si miskin tambah pajah” (hal. 23-24). Tjerita ini — jang lerbaik dalam kumpulan menurut hemal saja - - adalah kritik unsial. tapi kritik jang didasari pengertian dan peniaalan. Banjak krkurangan dan kelimpangan diniasjarukat. tapi siapa jang dapat disalahkan V Pikiran jang mentjari kebulatan persoalan tidak *llinPal pada sini.-nie jang mdjam nunjalahkan. Ia mentjari dan mengerti, melinal Upsnn«r.«nihan tani kemamiMian lerbatas, karena mata ranlai tidak semu ' sama kuat untuk menggerakkan roda masjarakat semestinja. Malah ada tenaga-tenaga nakal jang bukannja mendorong kemuka, tapi menggandnl memberati, bahkan menarik arah berlawanan hingga berdjalan mundur. Ja, ini memang masjarakat anak-anak jang main dalam kesungguhan, tapi tak sadar akan kechilafannja, demi’dan mereka terseret dalam nafsu tiada terkendali. Dan melihat permainan demikian, tersenjumlah penga- rang dari tempat ketinggian.

    Humor Leo adalah liumor mengendap, bukan humor jang mengilau mementjar. Ia bertjerita sambil tersenjum, senjum jang bukan penghias muka tapi timbul sendirinja dari djiwa tersenjum, karena melihat kelu- tjuan dalam berbagai peristiwa. Kelutjuan itu nampak dalam analisa perbandingan jang memperlihatkan kementjongan-kementjongan meng- gelikan, dalam tanggapan, dalam djalan pikiran, dalam kenjataan peris- tiwa dan kedjadian. 1 1 ^dak semua tjerita Leo sama berhasil. „Tahun-tahun jang a u dimulai dengan tjara jang menarik karena adanja humor, tapi se an jutnja niendatar. Lelutjon berak ditjelana mungkin kena bagi fau- tasi anak-anak, tapi bukan lelutjon jang bikin orang dewasa tertawa cnan0«

    j. . Tjerita aentimentil kenangan pada ibunda, j ang berkepala „Untuk innja sendiri . Tjerita kasili tak sampai dan kawin paksa, buku tjatatan 3 asa ii airmata, bunuh diri karena ketjewa. Hanja ketaatan pada Tu­ an a i jang mentjegah ibu mengambil djalan jang terkutuk. Dan berkat ana nja, jang walaupun masih dibawah umur, tjukup berhikmat dau memben nasihat baik-baik pada ibunja: -it ”®®rdiandjila]i ibu ! Ibu sekarang harus kembali kepada Dunia ibu, 1 s.u a. faf* tidak diharuskan selamanja bersedih hati. Kalau ] Jjin.^se a u* i11' kerarti ibu mengingkari putusan Tuhan, dan jah, sekali aditn«U nT t ali kc^ahiranku. Kini marilah kita bersama •sama meng- ini bn*1^ 6*! a Untuk ini kuusulkan supaja ibu menutup buku ketjil baru jang^mei*JUtUJa dau menjingkapkan mata dan hati bagi kehidupan

    kita ^m^r.akUi Masa datang, dibanding dengan masa dibelakang 106-107) Un” iarapan bahagia lebih besar bagi ibu dan aku” (hal.

    P , ^ - t^ apan-'>- tiakaP -l eteris dan falsafi kita temukan dalam tjerita ,,i ertjajalah ia, sctelnli u „ ’> • i i -t mi j , dU ltu » sesuai dengan suasana dan persoalan menge- hati W n l.l V-\Ubr ? an denSau roh orang mati dan kalau kita tidak hati- dilingkungan puber. “ Pada (lasarnia kita berhadapan dengan kisah

    manalhklup bTrkeluafff?1^ ]1’ le" tl,lah Le° Pc™ah membajangkan bagai- miinfflcimn ^ • .• rSa sebagai pengarang. Renungannja mengenai ke- DisM Sana if*’ “ ^rluu, ^ ,ah„ hanja komi". dalam kaud.uigan^erckT '““ dC“gan isleri.janS ,;mb,T0 dia nortilr • T- , tm?Sal dikamar jang sempit, sipcngarang ker- pen«-aran°- d m 1*-3! Pa” m alam, sedang penghasilan tak tjukup. Antara dan'keni?*'* 1S e™nja terbit pertikaian, masing-masing mewakili tjita nsan nk J?ertlkaiau Ja»g herachir dengan pembunuhan embryo de­ ngan tak sengadja oleh pengarang. Siapa hersalali? Keduanja sama benar dalam mempertahankan sudut pandangan masing-masing, hanja belum tertjapai salu kompromi, jang berarli salah satu piliak;harus mengalah atau raasing-masing pihak harus mengurangi pribadinja. Dalam tjerita ini pengarang. hanja mengemukakan peraoalan, tapi melihat gelagatnja sang suami jang merasa bersalah akan tunduk pada isterinja dan memilih liidup aman djadi pegawai jang patuh. Dalam „Orang jang kembali”, pengarang memperlihatkan kemam- puan ufttuk mentjipta ketegangan. Sang ajah jang datang kerumah sakit tidak sekaligus ditjeritai sang dokter apa jang kedjadian sebenamja, se- dikit demi sedikit disingkapkan bentjana jang menimpa suami isteri: anak jang laliir matanja buta. Adalah satu keanehan jang menarik hati, bahwa dalam kumpulan ijerita Leo, kita menghadapi d'ua matjam lingkungan agama. Dalam tu- djuli tjerita pertama lingkungan itu ialali Islam, tapi dalam tjerita ter- achir kita berkenalan dengan Lena dan tuan Fritz jang keduanja taat dalam suasana lontjeng geredja. Sedikit aneh, karena kedelapan tjerita dapat dianggap didasari oleh satu gagasan: pada titik terachir semua pengutuk dan pendnrhaka akan kembali dan bagi pengarang kepada Tuhan. Agaknja mengenai agama, saraalali sikap pengarang dengan pe- njair , jang menjatakan dalam salah satu sadjaknja:

    Padaku semua tiada berguna Hanja satu kutunggu hasrat Merasa dikau dekat rapat Sempa musa dipuntjak tursina

    \

    I ROBOHNJA SURAU KAMI KUMPULAN TJERITA PENDEK A.A. NAVIS i)

    PABILA kila perhalikaii karangan-karangan Nur Sutan Iskandar, maka akan kita liliat baliwa ia selalu tak lupa menjuruh tokoli- A 'tokohnja melakiikan ibadah senibahjang lima kali seliarr. Tapi tak pernah ia melukifkan agama sebagai permasalahau bagi batin manusia tlalani meiighadapi soal-soal kednniawian. Pun dalam Djangir Bali dalaii: mana ia niempertemukan pemuka Islam dan gadis Bali beragama Hindi;, •esjidaran agama tidak mengalami konflik apa*apa. Pun Hamka dalam t (iivah Lindungan Kanbnh dan karangannja jang lain, tidak melukiskaji agama sebagai permasalahan djiwa manusia jang perlu dipetjahkan dan l°l ° jang digambarkannja hanja kebetnlan orang beragama •- am dengan lingkungan dan adat kebiasaan orang Islam. Maka tak i apat ah kila ukur sampai keniana keunggulan agama itu dan sampai emana kekuatan kejakinaix orang jang memehiknja. Dengan ini saja bukan liendak mengatakan bahwa Sutan Iskandar t an lamka bukan orang Islam tulen, tapi dalam ketaalan mereka pada agama, mereka menggambarkan tokoh-tokoh jang djiwanja datar dan r-L.aUVUn a PerS°^kan, sebabnja bukan karena persoalan agama. Pada s ant ar pergolakan itu disebabkan sebagian besar karena tjinta tanah Upl 1tJlta‘*j*ta kemasjarakatan sedang pada Hamka tjinta kelamin dan bnh a ta ,J.elakang konstelasi masjarakat dengan lembaga adatnja jang t r.° V -^^Kipuu Iskandar bukan orang Nasrani, dia dengan mudah li^ X tje7nta ^ airata Tjinta dan Ketvadjiban, jang kebetulan ber- suasana kenasranian, tapi dalain temanja punja teraa W in!” a3i- I ? • aI>a^^a Hamka digolongkan orang pada pengarang lviHi i T i* i i *lu lon,tama disebabkan karena kerdjanja sebagai niu- k„ !" "ef lK “kannja sebagai redaktur madjalah Islam dan oleh banjak beda d on ^ 1 nif n?,>nai ke-Islaman. Tjerita-tjeritanja dalam napasnja tiada t^mpat sutjj1 b a ^ * P^rtj*Iltaan *a*n ’ nieskipun latar belakangnja

    dikatakan, bahwa pengarang-pengarang Islam eebelum pe- niehikiskan konflik djiwa keagamaan dalam meng* tid-iJt«S°Vi.0a ^ ere^a adalah penganut Islam jang taat dan nor^rv.l na>. °n i- • f n,*kian. Maka itu adalah sangat menarik persoalan- R oh n h ?1’ kupas oleh Navis dalam kumpulan tjeritanja rinl7 “ ?■“ kam i' fW *n penjelcsaian jang tidak selalu tjo- •K- arjaian nrlndox, karena kebcraniann ja inenrmnuh djalan jukiran semliri. 1 1

    * ^ >Jr ^^“birkan di Padangpandjang tanggal 17 \opember

    1) Nxisantara, Bukittinggi-Djakarta-, (1956). lOU tenaga-tenaga kreatif, Navis djuga pawlai menial,at patung, melukis dan bemiam suling. Ketjuali tjerita pendek dia djuga mengarang sandiwara radio dan limljauan kesenian. Dilapangaii kerdja praktek, la perna, djadi kuli di pabrik poraellin Padangpandjang, djadi guru (ii Sekolali (rum Puteri Ksalria Bukittinggi dan acbirnja djadi Kepala Lrusan Ke­ senian Perwakilan Djawatan Kebudajaan Sumatra Tengali. Seperti djuga Alexandre Leo, Navis mau mengemukakan satu gagasan dengan tjerita-tjeritanja. Dan gagasan itu ialah tanggapa.uija meuge- nai hidup beragama. Hidup beragama bagmja bukanlah sekedar inelakukan segala suruhan agama tanpa p.k.r, tap, hendaklah agama itu suatu jang hidup dalam batin dan dimana peril, disesua.kan dengan hati mirani. Kerdja otomaiis tidaklali mungkin mrndatangkan pabala, karena kejakinati lidak terudji. Dalam tjerita pertama jimp aamanja sama dengan djudul kumpulan. 'Navie meiitjeritakan seorang pendjaga surau jang kuat benhadah, tapi acliimja mati bum.li diri karena sindiran seorang pembuak bahwa hidup demikian tidak diridoi Allah djika tidak disertai amal kemasjarakatan. Nampak,Ija pengarang memberatkan amal duniawi dari amal achiral. Daman meninggalnja kakek garin. robohlah pula surau jang duljagan a, seolah-olah surau dan orang tua itu tak ada fungsinja bagi masjarakat. Saja lak dapat menahan diri mengutipkun gain bagian dan tjerita Adio Sidi. jang begitu mempengaruhi kakek hingga ia buiuili din. Satu iierita alegori, jang plasti, dalam lukisan,ija aktuil dalani penganibilan tjontoh-tjonLoh dan dengan gaja dan nada smdiran jang paint dan tadjaM serta dengan isi jang nierangkum persoalan duma dan acbua . Pada suatu waktu, kata Adjo Sidi menuilai. diaehirat Tubaii Allah mpmeriksa orang-orang jang sudah berpulang. 1 aru inalaikaL bertugat, disampin'iija. DitangauNja tergenggam daftar dosa dan paliala manusia. Bc°itu banjak orang jang diperiksa, maklumlah dimana-mana ada peraiiji. Dan diantara orang-orang jang dipenksa itu ada .seorang jang didu m dinamai Hadji Saleh. Hadji Saleh tersenjum-senjum sadja karena dia sudah begitu iakin dimasukkan kesorga. kedua tangannja ditopangkan- nia dipinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepah kekuduk. Kelika dililialnja orang-orang jang masuk neraka, bib.rnja ,renjimggingkan senjum edjekan. Dan ketika melihat orang jang masuK sorga ia nielanibaikan tangannja, seolah-olali hendak mengatakan „st la- mat ketemu nanti”. Bagai tak habis-habisnja orang jang berantn begilu pandjang. Susul jang dimuka, bertambali jang dibelakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifatnja. Acbirnja sampailah giliran Hadji Saleh. Sambil senjum bangga 1a menjembah Tuhan. Lain Tuhan mengadjukan pertanjaan pertama.

    Engkau '{ Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Hadji Saleh namaku. Aku lidak tanju nama. Nama bagiku tak perlu. Nama hanja buat engkau didunia. Ja, Tuhanku. Apa kerdjamu didunia ? Aku menjembali Engkau selalu, Tuhanku. A .A . N AVIS

    110 f a k u u t a s - sfX Lain ? Setiap Iiari, setiap malam, bahkan sctiap masa, aku menjebut-njebut namaMu. Lain ? Segala tegaliMu, kulicntikan, Tulianku. Tak pernah aku berbuat djahat” walaupun dunia seluriduija penuh dosa-dosa jang dihumbalang- kan Iblis laknat itu. Lain ? Ja, Tuhunku, tak ada pekerdjaanku selain dari beribadat, menjem- bahMu, menjebut-njebut namaMu. Bahkan dalam kasiliMu, ketika aku sakit, namaMu mendjadi buah bibirku djuga. Dan aku selalu berdo’a, meudo’akan kemurahan liatiMu untuk menginsafkan umatMu.

    Lain lagi ? Sudah liambaMu tjeritakan semuanja, 0 Tuhan jang Malia Besar, pengasili pcnjajang, lagi adil clan malm lain,. Ha.lji Saleli jang sudah kuju mentjobakan siasat merendahkan diri dan memudji luJian dengan pengliarapan semoga Tuhan bisa berbuat lembul terhadapnja. Dan tidak sal ah tanja padanja. Tapi Tuhan bertanja lagi: Tak ada lagi ? 0, o, ooo. Aku selalu membatja kitabMu, o, Tuhan. Lain ? Sudah kutjeritakan semuanja, o, Tulianku. Tapi kalau ada djuga jang aku Iupa mengatakan, akupun bersjukur karena Engkaulah jang Maha Tahu. . Stmgguli tidak ada lagi jang kau kerdjakan didunia selain dari jang kau tjeritakan tadi ? Ja, itulali semuanja, Tulianku. Masuk kamu. Dan malaikat dengan sigap mendjewer Hadji Saleh keneraka. Hadji Saleh tidak niengerti kenapa ia dibawa' keneraka. Ia tak mengerti apa jang dikehendaki Tuhan dari padanja dan ia pertjaja lulian tidak akan chilaf. Alangkah terkedjutnja Hadji Saleh, karena dineraka itu banjak teman-temannja didunia terpanggang liangus, merintih kesakitan. Dan ia tainbali tak mengerti lagi dengan keadaan dirinja, pada hal semua orang-orang jang dilihalnja dineraka tak kurang ibadahnja dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang jang telali sampai empat belas kali ke Mekali, bergelar sjecli pula. Dan Hadji Saleh mcndekali mereka, lalu bertanja kenapa mereka dineraka semuanja. Tapi sebagaimaua Hadji Saleh, orang-orang ilupun tak mengerti djuga.

    ICalau begitu kita harus minta kesaksian kesalahan kila. Kita liarus mengingatkan kepada Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasnkkan kita ke* neraka ini. Benar. Benar. Benar. Sorakan jang lain membenarkan Hadji Saleli. l) Kehilangan harga diri. Kalau Tuhan tak mau inengakui kesilapaniN’ja, bagaimana ? euatu suara melengking didalam kelonipok orang banjak itu. Kita proles, kila resolusikan, kata Hadji Saleh. Apa kita repolusikan djuga ? tanja suara jaug lain, jang rupanjd didunia mendjadi pcmimpin gerakan repolusioner. Itu tergantung dengan keadaan, kata Hadji Saleh pula. Jang penting sekarang, mari kita bersama-sama bordemonstrasi menghadap Tulian.

    Lalu mereka berangkatlali bcrsama-sama mengliadap Tuhan. Dan. Tulian bertanja: „Kalian mau apa ?” Hadji Salcli jang djadi pemimpia dan djuru bitjara tampil kedepan dan dengan suara jang menggeletar berirama indah, ia memulai: U, luhan kami jang malia benar. Kami jang menghadapMu ini adalah umatMu jang paling taat beribadal, paling taat menjembaliMu. Kami orang-orang jang selalu menjebut namaMu, menmdjwnuclji kebesaranMu, keadilanAIu dan lain-lamnja. KitabMu kami apal diluar kepala kami, tak sesat sedikitpun kami membatjanja. Akan tetapi Tuhanku jaug maha kuasa, setelah kami Engkau panggil kemari Engkau niasukkan kami keneraka. Maka scbelum terdjadi hal-hal jang tak dimgini, maka disun, alas nama orang-orang jang tjinta padaMu, kami menuntut agar hukuman jaug engkau djatuhkan kepada kami ditin-

    & “ a l t lS l kkan kami kCS°rSa Sebagaimana Kalian didunia tinggal dimana't Kami mi adalah UmatAIi, jang tinggal di Indonesia, Tuhanku. 0, dinegeri jaug lanalinja subur itu ? Ja, benarlah itu Tuhanku.

    ^ °'eh ^ *■ W-

    m< d T n ------. ‘ “ c,mJulul*iuin Uimuman kepada mereka in, ditanamT”' 'analmja beP'" tumbuh tanpa Benar. Benar. Benar. lu.Iah ne^eri kami. Dimmer., ,l„„ana pendndnknja melaral ii„ V Ja, ja, ja, ilulah. Dinefreri, jan;; lama diperbudak lain orang v Ja. Tnhanku. Snn^nh lakna, pendjadjah it„, Tnhankn J)an hutil Uinulimiu nicrok^ vmcr », gerinja 'i 1 ^ eneerukii]a dan diangkut kcnc- lienar Tuhanku. Iiinsga kami t .1 i bangsaf. mereka. ' IK a*>oL al,a*apa lagi. Sungguh Dinegeri jang selalu katjau itu, liiniro-n , berkelahi, sedang basil tanahmu orann- v U1 . u8an kainu selalu bukan ‘t ° 1 * Ju^1 J°ng mengambilnja, Benar Tulianku, tapi kami soal harta benda itu, kami tak mau tahu, jang penting bagi kami ialah menjembah dan memudji Engkau. Engkau rela tetap nielarat, bukan ? Benar. Kami rela sekali Tuhanku. Karena kerelaannui itu, anak tjutjumu djuga nielarat, bukan ? Sungguhpun mereka anak tjutju kami itu melarat, tapi mereka se­ mua pintar inengadji, kitabMu mereka hafal diluar kepala belaka. Tapi seperti kamu djuga, apa jang disebutnja tidak dimasukkan kehatinja, bukan ? Ada, Tuhanku. Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu nielarat, Iiingga anak tju­ tjumu teraniaja semua. Sedang harta bendamu kau biarkan oran" lain mengambihija unluk anak tjutju mereka. Dan engkau lebih suka ber- kelahi antara kamu sendiri, saling menipu saling memeras. Aku beri kau negeri jang kaja raja, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat sadja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluli, tidak mem- bauting tulang. Sedang aku menjuruh engkau semuanja beramal, kemu- dian bam beribadat. Tapi kau membalikkannja. Seolah-olah aku ini kau anggap suka pudjian, mabuk disembah sadja. Tidak. Kamu semuanja mesti masuk neraka. Hai malaikat, lialaulah mereka ini kembali kene­ raka. Letakkan dikeraknja” . (hal 12-20). Berapa keberatan kita bisa kemukakan mengenai psichologi tjerita, meskipun dengan ingatan bahwa tjerita ini harus dipandang sebagai ka- rikatur atau edjekan jang biasanja dilukis dengan sengadja mengliilangkan beberapa segi lertcntu. Keputusan bunuh diri oleh kakek garin pendjaga surau, sesudah mendengar tjerita perumpamaan Adjo Sidi, adalah satu perbuatan diluar perhitungan dan mengheraukan. Sang kakek dalam dja­ lan pikiran ortodox sebetulnja tak perlu putus asa, bahkan seharusnja inemperbanjak amal dunianja disamping amal achirat, apalagi djika ia ingat baliwa bunuh diri bukan perbuatan jang diridoi Allah. Lagi pula sifat-sifat Hadji Saleh jang ditjeritakan Adjo Sidi memang tak dibolehkan dalam agama. Misalnja angkuh dan sombong, djuga terhadap Tulian jang dianggapnja bersifat chilaf dan dikiranja luidur dibentak. Dan bersifat pura-pura. Tambah tidak mengerti kita keputusan kakek, apabila kita ingaL bahwa iapun punja fungsi jang berguna dalam masjarakat, meski- pun hanja sebagai pengasah pisau disamping kerdjanja djaga surau. Tidak semua orang punja kemamptian dan kesempatan untuk memberikan dja- sa jang sama pada masjarakat dan keputusan kakek bunuh diri, disebab- kan karena tafsiran jang keliru mengenai dongengan Adjo Sidi. Adjo Sidi diakui pembual jang kuat kerdja, tapi adakah djuga dia kuat ibadali ? Tak ada petundjuk kearah ini. Dan kemenangannja adalali kemenangan orang jang mementingkan kerdja diatas dunia. Satu tjerita lain jang menarik dalam kumpulan Navis, ialah „Datang- nja dan perginja”, karena penjelesaian jang extrim. Seorang ajali jan°- telah sia-siakan anak dan salah seorang isterinja, dihari tuanja berkali* kali dapat surat dari anaknja jang telah djadi dewasa, supaja datang berkundjung melihat menantu dan itjutjunja. Lama sang ajah tak mau memenuhi undangan itu karena rasa angkuh, malu dan rasa bersalah, tapi achirnja ia pergi djuga. Ia bertemu dengan bekas isterinja jang membukakan raliasia jang mengagetkannja. Anaknja Masri telali kawin dengan Am i, keduanja lurunan darahnja berlainan ibu. Sang ajali me* njalahkan bekas isterinja mengapa tak memberitahu kckcliruan ilu pada Masri, tapi sang ibu mendjawab bahwa sudah terlanibat dan ia tak mau merusakkan kehidupan bahagia kedua anak itu. Dalani perdebatau mengenai baik buruknja memberitahu, sang ajah acbirnja mengalali dan pulang kembali tanpa menemui kedua anaknja. Masalah jang menondjol disini ialah: berdosakali orang jang men- djalani dosa tanpa inengetahui perbuatannja dosa, seperti Masri dan Am i jang hidup sebagai suami isteri tanpa menjadari, bahwa mereka bersau­ dara ? Djuga apabila mereka hidup taat beragama ? Djawaban pengarang: tidak, mereka tidak berdosa. Karena itu si ibu dan ajah hams membiar- kan mereka dalani ketidaktaliuan. Seluruh tanggung-djawab djaluh pada ibu dan ajah jang liarus bersedia memikul segala dosa. Kekeliruan jang didjalani anak-anaknja, adalah akibat perbualan orang tuanja dan orang tua tak berhak mendjerumuskan mereka dalam kesedihan dan kelian- tjuran bahagia. Nampak belapa pengarang djuga disini mementiugkan hidup didunia dengan manusia jang bertauggung-djawab masing-masing atas segala perbuatannja. Kebaliagiaan manusia lebih penting dari keja- kinan ke-Tuhanan. „Dosa kepada Tuhan, mudah mendapat ampunannja”, kata sang ajah, „karena Tuhan itu pengasih dan penjajang. Tapi kalau dosa itu kepada manusia, sukar sekali mendapat penjelesaiannja. Dan aku, aku tak hendak membuat dosa lagi bagi manusia —” (hal. 56-57). Sung- guh satu djalan pikiran jang menjimpang dari kepertjajaan ortodox. , Dalam tjerita ini tidak didjelaskan mengapa sampai bisa terdjadi _ekeliruan perkawinan dua saudara, satu kealpaan jang mengganggu 3uga, meskipun persoalan tjukup mentjengkam perhatian. Saja kutipkan perdebatan sengit antara ajah dan ibu:

    1' t^*1 kaU meuer*ma peristiwa ini ? Demikian djuga aku. Semen- * ^ mereka bersaudara kandung, sampai sekarang aku me- njer ia an diriku dipukuli kutukan. Rela aku menderila segala dosa-dosa, lagi 11161:6 tetap berbaliagia. Suara Ijah memasuki rumpiui telinganja

    Mengapa tak kau katakan ? Mengapa aku katakan ? itu dos” .,)0rai1^ lua *lu mcnibukakan matanja jang bertanja. Bukankah

    Benar. Bagi siapa jang tahu. kan d ^ 1*61^ ^>arkan mereka tak tahu ? ia mulai membangkang- Wiuljibi111^ ^daupun bagaimana liarus mereka tahu. liarus. Mesti.

    i (ba lenuih lagi. Dan dengan suaranja jang mendeeis. Ini, semua n 1* Dosa. Dosa bagi kita, bagi kau, bagi aku. Dan bagi mereka. cniudian ia berkata seolah kepada dirinja sendiri: Aku liarus mein- •»en i.aiV an kepadauja. Mereka harus bertjerai. Mesti. Sudah selama i u a u mendapat keridhaan Tulian, kenapa pula liarus kukotori diachir l up 'u kini ? Mesti aku katakan kepadanja. Dan dia memitjingkan matanja lagi. Dan dalam pada itti ia mendengar Ijah m cngcdjek: Oh, alangkah tamaknja kau. Maumu hanja supaja kau bebas dari akibat pekerdjaan- niu jang salah dulu. Hingga kini kau djuga ingin nierusakkan kebahagiaan anak-anakmu, hanja karena kau takut memikul hukumanmu. Ijah, katanja lesu. Biarkan mereka berbahagia dalam ketidak tahuannja. Aku tak sanggup. Tak sanggup ? Aku tak sanggup menghadapi kutukan Tuhan, Ijah. Hm. Sekarang pandai kau mengatakan itu. Kenapa tidak dulu- dulu ? Tapi ia tahu, ia salah. Lalu dia diam. Dan halinja luka. Luka oleh edjckan Ijah. Ketika dia berkata lagi, suaranja mcnjatakan kepastian' dan keluar dengan penuh kelenangan, katanja: Ijah. Wal’aupiux bagaimana, biar apa jang kau katakan itu benar, adalagi kebenaran jang inesti didjundjung lebih tinggi. Perkataan Tuhan. Manusia harus berani berkurban untuk mendjtindjung tinggi peraturanNja. Hm. Sekarang pandai kau berkata tentang Tuhan. Kenapa ? Karena kau hendak menjembunjikau kesalahan perbuatanmu semata. Karena kau hendak mengelakkan akibat perbuatanmu jang salah dulu. Kau pikir dapatkah ampunan itu dikedjar dengan penjerahan diri, dengan tiada menanggung risiko kesalahan sendiri ? Walaupun bagaimana, mesti kukatakan, ia menegas lagi. Demi mendjundjung perintah Tuhan ? Demi mendjundjung perintah Tuhan jang kusembah siang dan malam. Tapi djuga untuk merubuhkan kebahagiaan hidup manusia. Ja. Karena manusia itu berakal, beriman. Omong kosong. Akal manusia. Iman manusia hanja suatu pelarian dari ketakutan pembalasan atas kesalahannja. Kau murtad, Ijah. Lebih baik dari orang pengetjut seperti kau.

    Sebentar anak-atiakku akan datang. Kau lihatlah nanti, betapa ba- liagianja. Dan mereka sudah punja anak dua. Hampir tiga malali. Dan kalau mereka kau beritaliu, bahwa mereka bersaudara kandung, me­ reka mesti berpisah. Kalau mereka mengerti, beriman seperti kau, boleh sadja. Tapi kalau mereka tak beriman, liantjurlah liari kemudiannja jang dtilu-dulunja pernah kau rusakkan. Mereka bertjerai. Betapalaii dalamnja tusukan edjekan orang kclak, hingga turuu temurun. Dan edjekan itu menjakitkan hati. Hanja baiknja kalau mereka beriman, beriman seperti kau. Kalau tidak ? Ijah berkata-kata lama sekali. Dan selama itu piila orangtua itu tiada disadarinja, bangunan pendiriannja dikorek-korek. Aku tahu, bah­ wa hal ini dosa besar kalau tidak memberitahukannja. Tapi aku dari mula djuga salah. Aku kasep mengetahui hubungan mereka. Daiam hal ini mereka tidak salah. Dan selagi aku tak mengatakan sesuatu, aku tertindih dosa setiap waktu. Tapi aku tahani bertahun lamanja. Kurang* kah imanku ? Dosaku adalah dosaku. Dan tak akan kuberikan keorang lain, kalau orang Iain akan hantjur lebur. Kau sebagai laki-laki, tak merasa pahitnja hidiip bertjerai dari suami. Aku merasakan itu. Dan aku tak suka Arni akan menelan kepahitan djuga” (hal. 52*56). Tentang tenaga gaib bunji hiola sudah sering ditjeritakan pengarang kita, antara lain oleh Rijono Pratikto. Pun Navis bertjerita tentang ini dalam kisahnja „Pagi-pagi ada tjerita”. Demikian mempesona bunji biola itu hingga menimbulkan tjemburu antara suami isteri, tapi per- tjektjokan dapat didamaikan dengan perantaraan ajah jang minta per* tolongan dukun. Tak djelas bagi saja apa jang hendak dikalakan Navis dengan tjerita ini. Mungkin kesimpulan pada acliir tjerita: „— Isteri jang setia biar apa sadja jang menggodanja taklah akan mau meninggal* kan suaminja. Tapi pendapat ini sadja tidak penting, jang penting ialah kehadiran ajahku, jang telah nieujelesaikan segalanja. Dan itulah arti ajah . Ja, bagi Navis ajah adalah sahabat, sedikitnja bukan musuli. Ajah inenghendaki kebahagiaan anaknja seperti dikemukakannja dalam „Anak kebanggaan” dan -,Datangnja dan perginja”. Dan tanggapannja tentang hidup bahagia suami isteri, dapat disimpulkan sebagai berikut: Hidup- lah tenggang menenggang dan djaulikan perbuatan dan kata-kata kasar jang menghina jang akan menjakitkan hati pihak lain. „Angin dari Gunung” satu tjerita jang redup dengan suasana ke­ nangan jang keimpian. Pertemuan dua bekas kekasih sesudah sembilan tahun berpisah. Gadis jang dulu begitu lintjali bergerak dibarisan depan, kini tjatjat tidak berdaja. Namun daja liidupnja tak patali, sisa udupnja diabdikannja pada neneknja, satu bagian dari masjarakat djuga. ,,Anak Kebanggaan” punja plot lilin jang marak, kemudian mati aendirinja. Seorang ajah jang mimpikan kebesaran anaknja dan sampai a janja tak tahu, baliwa anaknja itu mengalami kegagalan. Achirnja tjerita „Pada pembotakan terachir” pada hemat saja tidak muntju pada perinukaan dasar. Dalamnja saja tak melihat sesuatu ga- ^asan an persoalan, sekedar salu kemenangan sepihak jang tak punja et a aman analisa. Nasib anak jatim jang mengalami kekedjaman dau dan"311111 1 adalah satu tema jang sudah terlalu banjak dikisahkan < an pengarang tak dapat mengangkat tjeritanja dengan sesuatu keisti- mewaan alam tjara pelukisan, penguraian persoalan dan penguraian orano- k*^ ^.al*m Maria dan neneknja Mak Pasah, dilihat. dengan mata ‘ h? .e ianF. ta^ PUnj» pengertian, tak mungkin mejakinkan bagi pem a*Ja- vekedjaman Mak Pasah jang melanggar batas tak beralasan ran a lat dan pengarang tak berhasil mentjiptakan suasana jang batkUn^' m n Pem^atja menerima peristiwa dan bentjana jang diaki- D U A D U N IA

    TUDJUH TJERITA PENDEK NH. DINI

    ALAH satu penerbit jang mentjoba menerbitkan buku-buku berni­ lai sastra ialah N.V. Nusantara, berkedudukan di Bukittinggi- S Djakarta-Medan. Tahun 1956 terbit pada penerbit ini dalam „Seri Denai” Robohnja Surau Kami karangan A.A. Navis dan Dua Dunia Nil. Dini. Sajang usahanja palali ditengah djalan. Lain-lain buku jang diiklankan akan terbit dalam seri jang sama 'tidak pernah menjusul, ialah „Pantai Selatan” Mottinggo Boesje, „Daun Kering Trisuo Suraar- dio „Tjermin Air” Dt. B. Nurdin Jacub, „Pesta Menghela Kaju” i) karangan idem, „Sekelumit Njanjian Sunda” 2) Nasjah Djamin dan lain-lain. Bagaiinana nasib naskah-naskah jang belum terbit itu, tidak djelas. Pengarang wanita Dua Dunia Nil. Dini nama lengkapnja ialah Nur- hajati Suhardini, lahir di Semarang tanggal 29 Pebruari 1936, satu tang- ffal jang menjebabkan ia hanja sekali empat tahun merajakan nan Faliirnja. Tamat SMA tahun 1956 ia kemudian masuk kursus stewardess dan tahun berikutnja kerdja di GIA (Garuda Indonesian Airways), Djakarta. 3) Dua Dunia disebut Dini kumpulan tjeritanja karena tjerita jang pertama berdjudul demikian. Dan bukan itu sadja. Tjerita-tjerita semua bertemakan dua dunia. Dalain tjerita jang pertama dunia itu ialah dunia laki dan dunia wanita, dunia bebas dan dunia terikat. Kebebasan jang mengindjak-indjak keterikatan meluar batas. Hingga timbul ketegangan. Kalau diselidiki lebih landjut sebcnarnja ada lagi dunia ketiga. Jaitu dunia orang tua jang tak tahu harga diri dan menerima pemberian jang akan inengikat. Dalam tjerita ..Isteri Pradjurit” dua dunia jang diperhadapkan ialan dunia feodal dan dunia wanita baru jang mau melepaskan diri dari ke* kangan lama. Ningsih seorang wanita ningrat kawin dengan Gardjo, seorang pradjurit biasa. Gardjo gugur dan Ningsih terpaksa kembali kelingkungan lama, menderita liinaan dan edjekan dari keluarganja sen­ diri. Kewanitaan dan moral masjarakat Ningsih tak berani menghadapi omongan masjarakat. „Aku tak berani menghadapi sangkaan orang jang • lidak-tidak terliadapku”, katanja. „Perempuan berumah sendirian dengan anak ketjil. Dan nanti kalau ada beberapa kawan laki-laki bertamu. ah aku tidak bisa hidup begitu” (hal. 26).

    1) Baru terbit th. 1962. 2) Diterbitkan oleh B.P. th 1962. 3) Bulan Djuni 1960 Dini meninggalkan tanah air dan kawin dengan wakil konsul Perantjis, Yves Coffin, di Kobe, Djepang.

    Pun dalam tjerita ini atla lagi dnnia ketiga, jaitu dunia Nik, jang mau atasi komplex kewanitaannja dengan melandjutkan sekolali hendak mentjapai kedudukan dalam masjarakat. Begini alasannja: „ISarto sau- dara sepupu Ningsih mempunjai sebutan gelar jang ada djauli diatasku. Aku tak punja sebutan apa-apa. Dan aku merasa tergugah oleh kesom- bongankn sendiri: aku harus mempunjai sebutan jang ada diatasnja, sebutan jang bukan sisa-sisa kefcodalan. Dan aku lari dengan kesom- bongan. Achiriija aku sadar, bahwa itu bukanlali satu kesombongan, melainkan satu kesadaran akan harga diriku sebagai perempuan jang mau mengulurkan tangan dalam kerdja masjarakat” (hal. 27-28). Tjerita ketiga jang punja tema dan latarbelakang dua dunia pula ialah JPendurhaka”.1) Si gadis jang telah penuh dengan kedongkolan meliliat kekalahan saudara-saudaranja kaum wanita, djadi nekat dan kasar terhadap ibunja jang mewakili dunia silam. Sedikit bombastis ia djadinja dalam memperlahankan kemcrdekaan pribadinja, apabila ia berkata: „Hidupku bukan lagi kini kepunjaan ibu atait keluarga. Bukan pula kepunjaanku. Tapi liidup dan adaku kini kepunjaan negara kepu­ njaan bangsa, kepunjaan tanali air ini. Segala jang kulakukan bukan untuk kepuasanku semata. Aku ingin bekerdja. Dan bekerdjaku ini djuga harus berisi dengan bakti” (Iial. 67). Dia tuntut keadilan dan kebebasan wanita, djangan ada diskriminasi antara wanita dan pria. Letusan-letusan jano- agak mengagetkan djuga bagi kita jang mcngira bahwa pintu sudah terbuka sesiulali Raden Adjeng Kartini menjingkapkan dunia lerang pada achir abad jang lain. Komplex wanita terhadap lelaki nampak pula dalam „Djataju , tje­ rita tentang gadis Prita jang memang diharapkan orang tuanja lahir seba­ gai wanita. Nasibnja malang, ia penjakitan dan malaria tropika merusak urat sarafnja. Ia djadi wanita lemah, tapi kuat daja fantasinja. Seperti garuda Djataju ia ingin terbang dan tatkala ada kescmpatan ia naik sepeda sku't’er, dipatjunja ladju htngga rasanja seperti terbang. Tapi achimja ia kehilangan keimbangan dan mati terpelanting. Djadi perLanjaan bagi saja apakah Prita ini pahlaw an impian jang hanja mcmbuktikan kelemalian wanita atau hanja satu bajangan tanpa simbolik. Orang ingin hubungkan tjerita ini dengan pililian lapangan kerdja Dini kemudian.

    Keinginan Dini mempertaliankan kaumnja sampai-sampai kedaerah tabu bagi wanita susila. Mau kenal lebih dekat dengan nasib kaumnja ia dengan berani melukiskan „Perempuan W aning” , dengan lukisan suasana dan pertjakapan dacrah malam. Tapi perempuan warung Dini bukan sem- barang perempuan waning. Ja adalah Kinah jang laliu harga diri dan beranf mengliadapi nafsunja sendiri dan badjingun Mardjo jang pernah merampai kegadfeaunja. Dan idealisme Dinilah jang kita dengar apabila Kinah berkata pada Mardjo: „Untuk sekedar tjari makan banjak djalan- nja. Kau djangan mcngira semua perempuan diwarung itu djalang • Tjaraku mentjari makan lialal, tak mengganggu orang lain —” (bal. 102-

    103)’Dikalangan orang sederhana melarat pula bermain • tjerita • ,,K.ela- I ' 1 hiran”. Dimana tenaga orang diperdjual belikau dan orang jang lemah

    1) Lihat d ju ga: Jassin, Analisa. Gunung Agung, Djakarta 1961. tak dapat kesempatan dan tambah nielarat. Dilingkungan ini kedjudjuran sukar dipertahankan, tapi bukan tak ada. Dan apabila kesuka ran meniun- tjak, rasa setiakawanpun tergugah. Demikianlah Sardin jang hidup me- nganggur karena kedapatan mentjuri, tatkala isterinja melahirkan, tak kurang kawan-kawan jang datang menjumbang. Hingga ia tak perlu men* djalankan niatnja, mendjual kegadisan adik isterinja untuk dapal uang dari si hidung belang. Dan keluarlah moral Diiii: „Begini inilah hidup dengan orang jang tahu penderitaan. Mereka bergerombolan mengumpul disaat susah, dan mereka jang mendjumpai hidup senang berpukulan tak kenal waktu” (hal. 63). Dalam tjerita terachir Dini bertanja: Kalau seseorang djadi pembn- nuh diluar kemauannja, siapakah bertanggung djawab? Menurut aturan ia tetap seorang pembunuh dan harus diliukum. Sopir jang melanggar orang hingga mati, hukumaruija ialah pcndjara. Orang lidak ikut mem- pertimbangkan keadaan djiwanja jang katjau karena memikirkan isteri­ nja J^ng meninggal, kampung lialaman jang dibakar gerombolan. Sopir jang ditjeritakan Dini dalam „Penemuan” pcnuli penjesalan, tapi dia tak mau akui bahwa pcndjara bisa menghilangkan dosa. „Disana lianja akati menambah kesakitan”, katanja. „Tjuma aku jang bisa mengadili dan me enjapkan dosa itu”. Dan tak ada djalan lain bagi pembunuh ini dari

    Ditulis_pada umur jang masih sangat peka, tjerita-tjerita Dini terasa sen mientiX dan kadang melodramatis. Persoalan-persoalan jang akan 1 ewati orang dewasa jang pengalaman begitu sadja, baginja djadi buah renungan erlarut-Iarut dan mengharukan hati. Persoalan ketjil djadi persoalan besar dalam mana ia ikut tergugat tanpa bisa menguasai diri. nalint^h* SatU bagian dari „Perempuan Warung”, tjerita jang f. *a , 1 kumpulan ini saja rasa. Dalamnja lerbajang keberanian idealisme ^ * Juc^uran arialisa, rasa sosial, tjampur romantik dan

    „ nli W ° nama laki-laki iiu, kasar dan tak sopan sikapnja dalam per- oleh keba^'ldT^ Tapi sen j um dan ketegapannja tak bisa dilupakan man ba■ P »

    M * " da” ® diarl! m il’ nia a a l'laki disana kebanjakan mendjadi pendjaliat, nien- “ f a? ramP°k. Selingkungan desa ditumbulii perbuatan ke- membunuh, menganiaja. Dan tanah disitu tetap keras dengan i) Timur Semarang\ sebidang disana sebidang disini ditumbuhi djagung atau ubi kaju jang merunduk kena angin kering. Sedjak dulii mula, sedjak djaman Belanda, Karangawen terkenal rampok dan kediahatan-kedjahatan jang disebarkan kedaerah-daerah sekitarnja. Dan Mardjo jang tegap jang manis senjumnja itupun satu ke- djahatan pula, sebagian kekedjaman jang membual dari Karangawen kedaerah Mranggen. Ia ditangkap disana, kelika sedang berusaha meram- pas harta orang jang lalu didjalan antara Karangawen*Semarang. — Kapan kau lepas, kang ? — Kinali mentjoba bitjara. — Siulali lama — orang laki-laki itu mulai merokok, Kansas, mewah benar bagi orang seperti dia. Tapi Mardjo memang keliliatan kaja, arlo- djinja besar, badjunja bagus, dan sarungnja tenunan lialus. — Sudah pulang kedesa ? — Kinali masih membelakangi laki-laki itu. — Sudah — Kinah kembali duduk ditempalnja semula. Ia berpikir tentu Mardjo tahu dari orang desanja bahwa ia sudah kawin. — Tapi akan menetap disini sekarang — lalu ia memandang kepada Kinah makin dekal — Kau tak mau nunggn aku dnht —

    „Kinali sekali ini tersenjum. Mukanja jang kaku itu djadi manis olehnja. Sinar lampu bioskop jang masuk kewarung tepat djatuh iwa djalinja. Matanja jang selalu menjinarkan perasaan tersipu itu tjer ang bertialiaja. Mardjo tak sabar inemegang tangan Kinah. Ditekan-tekannja penuli nafsu. Kinah agak terkedjut dan hendak ditariknja tangannja tapi erat dipegang oleli Mardjo. __Kau djuga berbuat begini dengan laki-laki lain jang datang ke&ini. Diano-an pura-pura malu kepadaku — dan didekatkannja mulutnja kete- linga^Kinah. Suara bisikan perlahan, tapi suara itu turun kehati Kina dengan tamparan jang memerahkan matanja. Ia tjepat berdin melepaskan pegangan tangan jang kasar itu. Terengali-engali nafasnja ia berkata. __Kau masih tetap badjingan, kang. Tidak ! Aku bukan perempuan jang seperti kau?angka.

    „Kini ia mau kuat. Terasa tertikain oleh kata Mardjo jang mengang- gapnja sebagai perempuan-perenipuan waning jang d a t a n g berdjadjakan kehormatan tjuma untuk beberapa rupiah. Ia mau menuudjukkan keting- gian martabatnja sebagai perempuan kepada Mardjo.

    Tjaraku mentjori makan halal, tak mengganggu orang lain — dan mau dikatakannja bahwa ia bukan maling bukan rampok seperti Mardjo. Tapi perasaannja sebagai perempuan tak sampai hati melukai hati laki- laki itu. . Mardjo berdiri. Tangannja meletakkan uang puluhan dimedja. Tersenium ia memandang kepada Kinah dengan kedjap mata jang kurang adjar. — Besok aku kemari lagi — ia keluar”. (hal. 97*103) PULANG

    SATU NOVEL TOHA MOHTAR i)

    EDJUK. Iiali penuli bahagia membatja tjerita pulang halaman demi shalaman. Satu lagu perdjuangan dan puisi hidup jang sederhana seperti alam. Naclanja mesra, keharuannja murni, tjinta tanah air mendalam menafasi seluruh tjerita. Kisahnja sangat sederhana. Tamin pulang kedesa sesudali tudjuh tahun rneninggalkannja sebagai heilio. Karena kesukaran dimasa Djepang dan revolusi, didapatinja sapi tak ada lagi dan tanah pusaka sudah ter- (ijual. Tanah kebanggaari, sumber hidup sepandjang zaman. Dengan uang simpanannja dan pendjualan perhiasan, Tamin tebus kemballi sapi dan sawah. Semua berdjalan sederhana, tak ditemui kesukaran-kesukaran. Dengan kembalinja sapi dan sawah, sebenarnja dapatlah tjerita ber- achir, Tamin kerdja keras disawah dan seorang gadis tjantik menjongsong hidupnja. Dapatlah kita bajangkan bahwa niereka kawin dan beranak pmak. Tapi tidak doniikian halnja. Sedikitnja bajangan itu tidak setjepat itu terdjadi. Ada satu kedjadian jang mendjauhkan Tamin dari padanja. ‘ sua.tu. Pertemuan Tamin diminta tjerita dan karena terdesak ia isa kan tjerita bohong. Ia malu karena pernah digunakan Sekutu me- aW-^ an?sanja, maka ditjeritakannja bahwa ia berdjuang bersama ilnUn^ Unun* Djawa Barat. ICebohongan ini memburunja dan t U ’eta*man ia melarikan diri dari kampungnja. ICembali ia mengem- nT.Ja anPa tl,djuan, hingga achimja sesudali berbulan-bulan ia bertema aiTJPunf? Surabaja. Pak Bandji menjanipaikan kabar, bahwa T^rnS^ |a'l.nJ®n'lllggal dan orang sekampung mengharapkan pulangnja. hon am*1’ 1 bahwa niereka seorangpun tak taliu akan kebo- l*?ere , tjinta padanja, rindu suaranja menemhang. Dia hanja i7nfnL^\r" , Jar djangan kedjudjurannja sendiri. Maka pulanglah ia untuk kedua kalmja, pUlan{, kkampung jang ditjintainja.

    pandarber"3^!1^ 1 SatU orang pendiam dan sungguh-sungguh, tak bi‘ iT i.i^aU / .n Sl,ka nienjepi, seorang penjair jang introvert, sibuk IaknniT ( T*aii' * S0|Kliri, jang karena itu tak dimengerti dan tingkali ,iin t.i ^ a(il P£rt^niaan bagi orang luar. Tjanggnng dalam pergaulan oranp'* 1 f 31 Jte^a^ar ia gelisali ditengah orang banjak, menjangka T aZ L l:Z T ?-ak*n. diHnja <3a“ mengertilali kita mengapa ia lari sanff nuff>r; pi. iraunJa sendiri. Tjerita tembang jang dibuatnja, dimana niinrliulft- 1_CI1,lllslil pahlawan rakjal jang mati dalam perkelahian, me- tmirin Jan£ sentimentil dan melankolis. Sedikit berten- G ‘ en*uk kadannja jang padat perkasa, tapi tak mustahil. j. • gaja kenangan, sana sini diseling pertjakapan jang laliir dan kepenuhan. Kehan.un mendjedjakkan kaki kembali dikampung

    1) Terbit dalam seri Pem di Pembaxigunan, 1958. halaman, pertemuan dengan adik dan orang tua, kesederhanaan orang kampung berchabar tentang negeri orang, semua itu dikisahkan dengan penuli kemesraan jang wadjar dan tanpa kesentiinentilan. Bertjerita Toha tentang Tamin tatkala pertama kali berdiri dipinggii desa: „Ia hendak berteriak sekuat-kuatnja tak tahu mengapa. Tapi djika berbuat itu, maka suaranja dikembalikan pandjang oleh semak-sema didataran tinggi disamping kampungnja. Seperti dulu djuga, ia menjangka ada orang djauh jang mendjawab suaranja dengan gema jang pandjang. Didjangkaunja segenggam tanah, dikepalnja sekeras batu, lalu dilempar- karnija sekuat tenaganja melewali bidang sawah dan pematang. Alangkah senangnja untuk mendengar suara djatulinja jang mcnimpa genangan air, dan alangkah indahnja melihat burung-burung bangau jang takut dan tcrhang karcnanja, tinggi melawan awan dan hilang djauh dibaral, dalam keeinasan langit jang mengantar turunnja mentari . „Pulang. Apakah jang dapat lebih menggclorakan hati danpada me­ ngalami pertemuan dengan keluarga kembali ? lbunja sajang, wadjahnja jang bersih dan pandangannja jang mcnenteramkan, rambu nja jang a separo putih, matanja jang hitam sedjuk ilu, apa jang bisa ter ja i sea- ma tudjuli tahun ini ? Betapa pula wadjah ajahnja jan^ ^ , wadjah jang berkerut-kerut dengan alis kelabu t e b a l , memitupi ma anj, jang ketjil, dan telah berseinbunji, djauh kedalam. Tudju ta iun. pa aerangan iang bisa diberikan oleh waktu sepandjang itu kepada adiknja Sumi, satu-satunja jang lertjinta dibumi ini ? Ia tak dapat mem Jjang kannja, dan itulah jang mengisi setiap napasnja kini, dengan gi dan ketjemasan” (hal. 8-10). Pertemuan abang dan adik dilukiskan dengan penuh kemesraan pula. Kebanggaan adik melihat abang kuat perkasa, ketjmtaan abang bertemu adik telah gadis dewasa. „Gadis itu terhenti dekat pintu, matanja inemandangi orang asmg jang seperti tak pernah dikenal sebelumnja. Adalah benar m mengetalnn itu- lah kakaknja, Tamin, jang begitu banjak mendjadi atjara pertjakapan iang tak pernah mendjemukan. Tapi tidaklali ia menjangka, bahwa lamin akan sebesar itu. Ia tak pernah mcmbajangkan bahwa tuhuhnja akan be- critu tegap dan tinggi, dan tangannja jang keluar dari lengan badju jang digulung itu, begitu bulat dan hitam. Seperti djuga ajalinja, alisnja itu begitu subur dan hitam melindungi matanja jang hitam berkilau. Alang­ kah tampannja wadjah jang hitam itu, dan alangkah lebarnja pundak jang penuh itu. Dan, betapa besarnja kekuatan jang tersimpan dalam tu- buh jang begitu penuh ! Ia pertjaja, bahwa kekuatan itu akan tjukup untuk menalian amuknja kcrbau jang paling buas dari selurnli kampung­ nja. Ja, betapa akan bangganja nanti, djika ia bisa berdjalan disamping kakaknja memutari kampung. „Lihat, ini kakakku, Tamin. Ia datang djuga acbirnja !”

    „Jai ia (Tamin) tahu, gadis ilu adalah Sumi adiknja. Ia berdiri dihadapannja seperti patung, terpesona oleh lukisan jang tak pernah dibajangkan. Rambutnja jang lebat seliitam arang, digelung bnlat-bulat menutup kuduknja. Wadjah bulat hitam, sebulat matanja jang benmg TOHA MOHTAR berkilau hidup. Bibimja jang ramping hitam-iiitam semburat mer^s, dan cljelas sekali bchwa itu adalah warna darah jang bersembunji di- balik kulitnja basah. Lehernja jang djendjang seperti lemas menjangga kepalanja, dadanja penuli, subur seperti buah datang waktunja mekar. Tangannja hitam, pandjang, lepas menggantung dari pundaknja jang bulat” (hal. 14-15). Dan belapa baliagia suasana keluarga jang baru bertemu kembali, penuli lawa dan kelakar jang seliat dalam kesederhanaannja. Tamm di- minta tjerita tentang pengalamannja jang banjak dalam perdjalanan jang djauh. „Ja, Kang Tamin”, menjela Sumi, „kita sudah bertjerita banjak, kini datang giliranmu. Tjeritakan tentang negeri djauh. Orang menga­ takan, wanita mereka melobang dahinja dan mengisinja dengan intan iano- berkilau. Benarkah itu?” Tanja itu diantar oleh pandang matanja jang bening, tapi punja bajangan jang djauh mendalam. Hitam sekali mata itu dalam ijahaja tintir jang tidak begitu kuat. Tamin tersenjum seperti hendak tertawa, mengambil selembar daun diagung, digulungnja tembakau, 'dinjalakan dan dnsapnja dalam-dalam. Ia seperti masih tak hendak memulai bitjara dan adiknja meiidesa£. „Tjeritakan bagaimana mereka berhias, tjita jang disenanginja dan bagaimana mereka memasak!” „Aku pergi tjuma sebagai Heiho, Sumi, kewadjibanku berkelahi an menembak, pengembaraanku ditengah hutan belantara. Aku tak perna melihat mereka” , sahut Tamin tertawa. ,Itu boliong!” kata Sumi tertawa. „Kau laki-laki, Kang Tamin. IV e- nffapa kau tidak memilih satu dari mereka, membawanja pulang kemari, bfar kampung ini bcrtambah kaja!” Ia tertawa lagi, lalu disusul tawa itu oleh ajah dan ibanja.

    Biarkan dia bertjerila menurut tjaranja. Itu akan lebili baik. Engkau minta jang bukan-bukan !” kata ajahnja kepada Sumi- „Negara apa itu jang telah kau datangi, Min?” tanjanja k e p a d a Tamm. „Negara itu disebut Burma, ajah!” sahutnja serak. „Burma? Kita pernah mendengar nama negara itu. Banjak Heiho jang dibawa Djepang kesana. Berapa djauhnja itu dari sini?” Kita berdjalan sepuluh Iiari dilaut dan sebulan didarat!” kata Ta­ m i n ”Pelan-pelan warna kembali merajapi wadjahnja, dan matanja jang hitam mulai bertjaliaja. „Alangkali djauhnja!” kata Sumi, „Djadinja engkau sudah dipinggir bumi*, Kang Tamin. Belapa itu rasanja untuk sepuluh liari ditengah laut? Engkau maksudkan malamnja djuga ?” Tamin menjahut sambil tertawa, „Tentu sadja djuga malam-malam- nja. Djika engkau berlajar, seperti djuga didarat, sedjauh pandang eng­ kau hanja melihat tanah dan gunung, maka dilaut engkau hanja melihat air. Didepanmu, disamping adaPah air semata-mata tidak sedjemput tanah jang tampak !” „Air semata ! Dan engkau di'iengah-tengahnja. Alangkah^gaibnja, bah­ wa kini engkau bisa pulang kembali!” Semua djadi tertawa” (hal. 21-23). Penuh kasili sajang Tolia mciiggambarkan manusia clan alani Tamin bckas lieibo kuat perkasa, adiknja gadis kampung penuh dan sehat, Ibu dan Ajah jang telah tua. Teiitang dukun tua bergigi satu, jang bilia terlawa giginja jang menondjol ikut bergerak-gerak dan mengatakan pada siapa sadja, bahwa gigi jang satu itu akan dibawanja bersaina kekubur (hal. 38), tentang anak-anak jang niantjing dan sebagainja. Lukisan alam jang idilis manis dalam kesederhanaannja, demikian djuga lukisan manusia seder­ hana dalam pikiran. Betapa penuh kasili sajang pertjakapan Sumi dengan abangnja, tanpa noda jang melumuri djiwa kota. Mereka bitjara tentang sapi, tentang sawah, tentang kain tjita, badju dan kain dan tentang gadis sekampung. Kita ikut merasakan debaran djantung gadis clesa jang di- djandjikan akan dibelikan perhiasan oleh abangnja dan niatnja kenes akan. niemperagakannja pada kawan-kawannja. „Tak pernah dalam seluruli hidu pnja ia (Sumi) mendapatkan ke- sempatan untuk memilih badju dan kain sekaligus. Betapa lamanja un- u ' inenanti besok ? Ia liendak memilih tjita sutera jang berbunga me- an* halinja ia melihat diri sendiri dalam pakaian itu; kain ia 1 - o o, tapi akan serasikah itu dengan warna kulitnja? Ia liendak ter- senjum, dan senjum itu tjuma melintas rlipodjok bibir. Untuk pertama 'a i ia akan mampu menimbulkan iri dalam hati teman-temannja, gadis sekampung” (hal. 29-30). To3ia bertjerita tentang manusia biasa dengan keinginan-keingman- ja jang se er aana, liamun tjita-tjitanja melampaui batas-batas negara. 1 w UIaA,Se°ran8 ^lumauis jang bitjara, apabila Tamin pada adiknja nia ken<5a a!llan^ a dinegeri asing, tatkala kesepian merindukan ibu gadis pribimii31^ 111 ^ 3)erl;cnui dengan manusia pelani dan kawin dengan bat. Ja seoran ^adan®. sePerli itu, Mak, aku mendapatkan seorang saha- ketiifian KJUuanja terhadap tanah. “ ua’taiSah p e ^ llan a.ku m*lihat isterinja. Se- rinia seonno- , ngalaman jang paling besar selama dinegeri orang. Iste- ngin k e^ eZ ir U 3 Sedikit muda dari eilSkau’ mcTicrima aku de- an dan keramalian, meski aku asing baginja. Dan matauja jang bitjara kepadaku, aku tahu, betapa Iembul dan sedjuk mata itu. Ada­ lah untuk pertama kali sedjak aku meninggalkan rumah ini, djauh di- negcri orang, aku merasai seperti dirumali sendiri. Aneh dan asiug sekah datangnja perasaan itu. Bagaimana itu bisa terdjadi! lewat mata isterinja jang begitu sedjuk, keramahannja jang tulua, aku seperti bisa melihat engkau kembali. Kerinduanku jang tidak ter- talian-tahan seperti mendapatkan obat djua. Tuhan berbitjara kepadaku achirnja. M__ kunikahi anaknja, seorang'gadis semuda Sumi. Itu terdjadi tidak sebulan sesudah perkenalan kami!” (hal. 85-37). Dan ibu Tamin bukanlah seorang perempuan pitjik jang bak kata pepatah lama: seperti katak dibawah tempunmg. Ia ingin temu menantu dan tjutju, iinpian setiap orang tua, jang telali punja anak dewasa. Tjerita Tolia hams diresapkan. Dengan menganalisanja kita akan me- rusaknja. Kita liarus ikuli dia seperti mengikuti aliran hidup dalam sa- diak jang baik. Ja, tjeritanja adalah puisi jang tak dapat diuraikan tanpa merusak kesatuannja. Kita bisa djelaskan, tapi pendjelasan akan senan- tiasa kurang dari aslinja, ketjuali djika pendjelasan itu sendiri djadi puisi. Pendjelasan menghadapkan kita pada objek jang didjelaskan dan ada bahaja bahwa berpegang pada pribadi sendiri, kita takkan mengerti perdjalanan lahiriah dan menolak alasan batiniah sang objek. Djalan pandiang liarus ditcmpuh. Betapapun kita tak setudju dengan perdjalanan lahiriah, kita harus Ljoba satukan diri dengan perdjalanan batiniah sang obiek. Dan sesudah itu kita tentukan sikap lagi. Saja bisa &uti djalan pikiran Tamin jang ambil putusan mengembara untuk kedua kalinja, no- mini demikian sesudah itu saja tak setudju, karena dengan ukuran watak saia sendiri, saja tidak akan senlimentil begitu hanja karena takut diang- irap bukan pahlawan, lalu mengeluarkan tjerita bohong. Tapi itu adalah saja. Dan bukan Tamin dalani tjerita atau orang lain dalam kenjataan. Tamin adalah mungkin dan tak bertenlangan dengan kebenaran umum.im. . . , . *i Ivcistimewaan Toha ialah, bahwa ia dengan murnmja bisa mengikuti dan membawa kita ikuti gerak gerik djalan pikiran orang jang dilukis- kinnja, perasaan orang jang paling halus dalam menghadapi P fn stiw a- peristiwa jang mengharu kalbunja, dalam harapan dan tjila-tjita Dan kemumian itu disebabkan karena ia masih satu dengantokoh-lokolmja, mengerti kcinginan dan hasrat mereka dalam suka dukanja la adalah ,K‘n"aran" rakjat satu dengan rakjatuja dan mengukur m e r e k a dengan ukurannja sendiri. Karena itu lak adalah nada edjek dan ijemooh terha- dap rakiat eederhana jang dilukiskannja dan tidak pula la kasihan bei le­ bih 1‘ebihan. Ia bitjara sebagai seorang dari mereka, bukan sebagai seoraug kota ian-r menganggapnja bodoli dan memaksanja mendjuruskaa pikiran kearali iang dimaiiinja. Ia hargai tjila-tjita orang desa petam jaug meng- an^ap tanah sebagai kehidupan, bukan sebagai orang luar, tapi sebagai orang senafas dengan mereka. Maka itu ia bisa tjerita tentang ibu Tamin iane penuh tjita-tjita mengenai dunianja: djauh dalam dasar hatinja perempuan tua ilu melihat kembalinja sawah jang telali bermusim-musim dikerdiakan oran.-r. Ia melihat betapa ramai rumahnja kembali dengan ajam-ajamuja, betapa Sumi radjiu menaham bibit-bibit ditengah sawah, dan badjak disamping kandang itu akan niengkilat kembali, dan lannn jang pulang setiap petang dengan kerxngatnja bertjutjuran. Rumahnjd hendak hidup kembali” (hal. 62-63). Mengertilah ^kita bagaimana terdjadinja ungkapan „tanah air” dan „tjinta tanah air jang sehari-hari kita gunakan tanpa menjadari isinja, apabila Toha bertjerita betapa besar artinja tanah air bagi petani. ngah malam kadang-kadang, atau djauh sebelum mendjelan" pa

    Kalau seperti inilah mutu hasil karja jang disebut realisme sosialis, saja dapat menerimanja dengan scnang hati, karena lak sesaatpim saia tenngat akan propaganda palsu. Satu tjerita jang baik kila ingin batja berulang kali dan tiap kali kita akan djum pi dengan sudut-sudut baru jang tadima tak kita Iilial an mengajakan batin kita. Sebaliknja buku jang djclek atau kurang ,0 j ’ -a l“ an&au batja akan menampakkan kekurangan iane kita teinui pada batjaan pertama lebih djelas dan bikin hati kita kcrui merut karena rita TinTlfi..1 e.mllalJa tjerita kita bukan sekedar man tahu djalan tje- cusan » L d j1. kepuasaan lebih linggi dalam kebagusan isi dan keba- gusan tjara nienghidangkan isi.

    bun^hnhn^L1 ^ an l0glka lla,am djalan tjerita, pikiran kita menghu- d b a T . a ja,’« SUtl“h dibatia dengan apa jang sedang

    J ,an tjerita akanr la mengganggu apa jans akr kesenangan kila. diuk da^!mlI1ti*>^]tat^*cesa^a*ian kesar, beberapa keehilafan bisa ditun- nia nenjrari 7 f-, la’ kecliilafan jang niudali dihilangkan, sekira- dikirim kepertjefakanWaSpada mcneliti karangannja kembali sebelum mendiediakkan^3^- t'j?r*ta dikisahkan Tamin seolah baru pertama kali neTeri a fn . n t d~ an.ah air kembali’ ae8udah bertahin-tahua di- volusi bertemnuV d kemudian dikatakan, bahwa ia dizaman re- termakan n Ramping Belanda menindas bangsa sendiri, karem K S l S t l K T ^ SeklUu me»S agetkan djuga, karena Pak Djais tak memberi kerdiakan u?tuk Peraeaan demikian. Ditjeritakan bahwa Tamin Kerajakan sawah dengan 8api pindjaman (hal. 65), pada hal sebelumnja dikatakan baliwa ia telah djual perhiasan hingga tjukup uang persedia- an untuk membeli sapi dan sawah (hal. 62). Larinja Tamin karena kebohongan ketjil masih dapat saja terima sebagai ilustrasi dari kesunggulian dan tanggung-djawab bekas heiho Tamin terliadap arti kata jang orang lain lontarkan seenaknja sadja, seperti wakil Pemerintah jang datang dari kota memberi wedjangan dimakam pahlawan, sedang dia djuga jang dimasa perang Asia Timur Raja menggalakkan pemuda untuk masuk heiho dan djadi unipan me* riam. „Alangkah gympangnja unluk bitjara seperti itu, untuk berkata tanpa hati sepolong djua” (hal. 109, 110). Ja, banjak memang tenaga- tenaga kerdja jang sungguli, jang terpukau oleh omong gede orang besar, hingga mengira usalianja ketjil tak berarti. Demikian pun pergi- nja Tamin dari desa, betapapun anehnja dilihat dari sudut mata ke* njataan, setjara artistik punja kebenaran jang bisa diterima. Tak ada ketaklogisan dalani djalan pikirannja jang dikuasai obsesi, bahwa ia telah lakukan perbuatan kedji, bercliianat pada kata. Penderitaan ba- tinnja satu bukti kesungguhan kedjudjurannja. ICiasan-kiasan tidak keluar dari rangka suasana dan djiwa kedesa- an. Tamin dikatakan kekuatannja „tjukup untuk menalian amuknja ker* bau jang paling buas dari seluruh kainpungnja” (hal. 14) dan sawah harganja „dua lipat dari liarga sapi dewasa” (hal. 37). Dan dalam sua­ sana ini pada tempatnja perbandingan: „mataliari telah setinggi njiur (hal. 57). Orang tua menghitimg umurnja dengan peristiwa alam dan dengan bangga Pak Bandji bertjerita, bahwa ia telah kawin dan punja anak tatkala gimung Kelud meletus (hal. 79, 80). Achirnja satu lagi kulipan dari buku ketjil bernilai ini, tentang kepandaian Tamin menembang, apa isi tembangnja dan betapa penga- ruhnja pada orang sedesa. Tahulah kita bagaimana tembang tertjipta dan kemudian djadi milik bersama, djuga betapa tjaranja pola-lama kadang berobah, dirobah oleh sang penjair. „Dan pertama kali ketika ia menembang mendjelang malam, seluruli kampung seperti tersentak karenanja. Itu adalah hari pertama ketika ia mengerdjakan sawahnja. Ia merasa tjapai, inemharingkan tubuhnja pan- djang-pandjang diatas dipan sambil mengepulkan asap rokok daun dja- gung keatas langit-langit. Seperti ada sesuatu jang menggerakkan ia untuk duduk, dibuangnja puntimg rokok kesamping dipan, lalu pelan-pelan suaranja naik dalam lagu Asmaradana. Suara itu penuli dan lunak me- ngajunkan udara dalam riunahnja, inenembusi lobang-lobang dinding dan mendjalari kegelapan diluar, menjentuli daun-daun dan dibawa angin merajapi dinding-dinding rumah seluruh desa. Seperti tergetar uda­ ra desa jang tcnang itu penuh oleh alunan suaranja. Jang belum pernah mengenai, mendjulurkan kepala, itulah suaranja ? Alangkah merdunja. Jang pernah meugenalnja menerimanja dengan kagum, dia sempat menembang achirnja. Tudjub tahun seperti tak berobah suara itu. Dau anak-anak pemantjing dipinggir kali jang pernah ditemuinja mengangkai kepala dalam tidurnja, ia niemenuhi djandji, ia memenuhi djandji! Kang Tamin menembang untuk kita malam ini. Dan hati para gadis- dalam kampung jang ketjil itu djadi bangun karenanja, dibawa oleh suara Ta- min naik dan lurun mengikuti irama, mereka meuutup matanja pelan* pelan dan mimpi indali inengantar tidur niereka malam itu. Djika ada suami isteri jang bertengkar pada malam seperti itu, niereka akan ber- lienti, mata akan berpandangan-pandangan dan damai menguasai kalbu. Alangkali lunaknja, alangkali Iialusnja ? Lagu itu punja kekuatan un- luk menggerakkan hati seluruh kampung.

    Tembang itu mengisahkan seorang anak kampung jang pergi kekota keradjaan dan berhasil mendjadi tukang kuda dalam istana. Puteri radja satu-satunja jang masili remadja acliirnja djatuli tjinta, sebab dikisahkau anak kampung tukang kuda itu tampan dan gagali sekali. Radja djadi murka mendengar peristiwa itu dan sebagai pentjegah peristiwa itu radja mengadakan sajembara: barang siapa bisa menundjukkan dirinja paling pandai bermain pedang akan djadi menantu keradjaan dan berliak di- angkat djadi putera-malikota. Tak ada jang memasuki sajembara itu, sebab telah tersiar kabar, bah­ wa seorang putera radja negeri lain, telah nienjatakan mengikuti sajem­ bara itu. Anak radja itu terkenal sebagai ahli bermain pedang jang tak ada taranja, dan oleli baginda radja negeri itu meniang diharapkan untuk diambil sebagai menantu. Dekat batas waktii sajembara itu habis, muntjullah tukang kuda itu se agai penantang. Maka ramailah alun-alun dikundjungi oleh penduduk se uruh negeri liendak menjaksikan perkelahian pedang jang pasti akan a sjat itu. Pada waklunja muntjulliah putcra radja mengikuti sajembara engan pakaian kebesaraan kegelanggang dengan pedang mengkilat dita- ngan, sedang tukang kuda itu dengan pakaiannja jang bersahadja tapi tampan dan gagali sekali dengan pedang pula ditangan. Tak seorangpun a an mengira, bahwa tukang kuda itu akan dapat mengimbangi keinahir- an putera radja jang telah begitu tersohor.

    Diluar dugaan orang jang mengikuti kisali tembang itu, maka anak tukang kuda itu meninggal dalam gelanggang, putus leliernja

    al as *1 lawann->a d a i1 majatnja diangkat orang dan ditanani ketem- nobatk putera radja jang dinjatakan sebagai pemenang, di- . an ®ebagai pengganti baginda dan berliak inengambil puteri seba- mend^el1'1218111*^ kisali itu tidak berhenti disana, sebab pada eaat t • c S llpatjAra puteri itu lenjap/tak seorangpun jang mengetahui- t ’• .®^Cra )aginda mengerahkan seluruh. balatentara untuk mentjarinja tapi itu telah terlamfcat.

    fl!r-;/-Uteiri radia *jantik itu didapati orang meninggal friembunuli 13a engan sebilah keris diatas pusara tukang kuda, kekasihnja. Kisali itu dalam bahasa Kawi, disusun dalam benttik tembang lagu ismaradana; susunan itu begitu indahnja dan djadi hidup dalam ba- jangan setiap pendengarnja jang mengeual bahasa itu.

    Tamin^U^an” *Ul ka3a31 dalam-gelanggang djadinja?” tanja ajah

    »Ja, Pak! Tapi ia menang dalam inerebut hati puteri itu!” „Alangkah indahnja kisah itu. Kukira itu belum pernah ada dalam buku-buku!’* „Tidak! Itu tidak terdapat dalam buku!” „Bagahnana engkau tahu itu? Dari mana kau dapat itu!” Hening sedjenak. Tamin tidak segera menjaliut. Lalu dengan suara pelahan dan setengah ragu-ragu ia berkata: „Itu lantaran aku sendiri jang menjusunnja!” „Kau?” kata ajahnja terkedjut. „Kau? Siapa bisa pertjaja itu? Eng­ kau anakku?” „Ja Pak! Kususun itu selama perdjalanan dan kutembangkan itu dinegeri djauh meski orang tak mengerti artinja!” Dan esoknja, dan hari-hari sesudahnja, kisah itu mendjadi atjara pembitjaraan orang kampung. Mereka kagum akan isinja, dan sebentar sadja ia merata mendjadi milik seluruh desa. Tamin pulang raenibawa tjerita tembang unluk kita” (hal. 66-70). TRISNOJUWONO DAN DUNIANJA

    I A N G IN LAUT Adalah satu hal jang mengherankan, bahwa Trisnojuwono jang mem­ berikan harapan-liarapan baik dengan bukunja Laki-laki, dan Mesiu, me- njodorkan kumpulan Angin Laut jang djaidi dibawah nilai pada masja­ rakat jang mulai mengaguminja. Iveduanja terbit pada Pembangunan berantara satu tahun, jang per­ tama terbit tahun 1957 dan jang kedua tahun 1958. Ada alasan untuk du* gaan bahwa urutan penerbitan mestinja terbalik, tjerita-tjerita jang di- kumpulkan dalam Angin Laut lebih dulu ditulis dari tjerita-tjerita dalam Laki-laki dan Mesiu. Mungkin djuga terdjadinja sewaktu, tapi pilihan untuk Laki-laki dan Mesiu, lebih dipertanggung-djawabkan- nilainja. Be­ tapapun djuga harapan jang dengan beralasan dipandjatkan orang pada Trisnojuwono pada waktu terbilnja Lalzi-laki dan Mesiu, djadi kendor dengan terbitnja Angin Laut. Ivegiatannja menulis tjerita dalam sekiau banjak surat kabar dan madjalali — Berita Minggu, Pikiran Rakjat, Ria, 1 jinta, IContjo, Roman, Star Weekly, Trio dan banjak lagi — tidak me­ nimbulkan kekaguman, malah keketjewaan pada orang jang masih meng- harapkan sesuatu jang bernilai sastra dari padanja. dikumpulkan dalam Ang in Laut masih versi jang agak ba- i ari tjerita-tjerita hiburan jang diobral Trisno dalam madjalah dan surat kabar. Ketjuali dua tjerita, jailu „Pak Amin” dan ,,Pahlawan”, se- mua tjerita berperankan „Aku” , seorang pengarang. Ini tentu sadja bukan f Keterusterangan ada baiknja, tapi pameran kompleks-kom- pe kekerdilan memualkan djuga, kompleks-kompleks hina diri jang jari saluran, tapi terlalu kentara masih dasarnja. Sebagian besar tjerita- jenta a aiah projeksi keingman pemuda sebelum kawin, bahan mentah penga aman-pengalanian jang belum disublimasi. Meskipun tidak semua u a am semua tjerita namanja sama, begitupun tidak semua Dia da- am semua tjerita punja nama jang sama, dapatlah diraba, bahwa tjerita sebagian besar bersifat otobiografis. ■ , Pe °a 1a^-P(-rsoal an tak besar dan plot tjerita terasa ditjari-tjari. Ini- a ma jamnja tjerita-tjerita jang dibatja dalam madjalah ringan sambil a u a am perdjalanan kereta api atau kapal terbang jang djauli, itupun o e pemuda-pemuda belasan tahun jang dimianja terbatas pada patjar- p jaran, angan-angan perkawinan, djago-djagoan dan pahlawan-pah- awanan. Apakah jang bisa diliarapkan dari orang jang persoalannja di- a asi o eh gangguan pikiran seperti ini: „Aku sadar bahwa tidak ada perempuan jang niungkin tertarik padaku pada pertemuan pertama” . \ k3** 130), »betulkah kau tjinta padaku, orang seburuk mi UAku dan Angan-angan”, hal. 90, 92) dan „aku laki-laki jang ba- njak disukai oleh gadis-gadis manis” („Rumah Baru”, hal. 162), „dalam hati ketjilku (aku) tetap punja rasa rendah diri karena tampangku jang tidak menarik” („Retnowati’\ hal. 133). Kegelisahan inilah jang menim- bulkan segala kcgiatan: mengarang, tjari rumali, masuk tentara dan se- bagainja. > Perkataan tjinta dengan rojal tersebar disetiap halaman. Kata ini terlalu. besar untuk dirangkum isinja oleh orang biasa, tapi^ salah sata tafsiran diungkapkan dalam tjerita „Retnowati”. Ini tjinta jang murni konon. Sang Aku s-etaliun lamanja saban hari Minggu duduk dipodjok nonton si Gadis latihan tari, baru berkenalan bitjara. Itupun tjara kebe- tulan dibioskop waktu nonton. Kemudian berbulan-bulan hanja begitu. Papasan didjal'an, lambaikan tangan. Berfilsafat Aku jang djatuh tjinta „dengan hati seperti api” : „Kalau djatuli tjinta berbuatlah atjuh tak atjuh, atau kalau djatuli tjinta pendamlah rasa itu dan bersikaplah sebiasa nnmgkin” (hal. 132). Maka lama kelamaan eratlah hubungan niereka. Untuk mendjemput- nja kesekolali sang Aku bolos dari kantor. Dengan senang sang Aku tje- rita tentang dirinja seolah mendjeladjali dan mendapatkan peneinuan- penemuan ltiar biasa: „Dengan seintji demi seintji. selangkah demi se- langkah (itu)” aku berhasil. „Ia ternjata sangat menjukaiku, tentu sadja karena aku bisa melajaninja. •—■ Tjerita-tjeritaku kerap kusertai dengan hal-hal sedih tentangku jang bisa menimbulkan rasa kasilian. Ia djadi sajang padaku ...... dan seterusnja, dan seterusnja” (hal. 133). Saudara liliatlah, ini sematjam kursus tentang tjinta bagi anak-anak tanggung dan meskipun tidak pedagogis, lebih pada tempatnjja dima- djalah pemuda untuk mempertjepat proses pengertian tentang t’jinta. Sa- jangnja sang Aku gagal dalam merebut hati sang Gadis, jang menampar- nja seperti terdjadi difilm, tatkala ia liendak praktekkan teori tjinta jang dinamis. Selingkungan dengan tjerita „Retnowati” dan liarusnja dibatja lebih dulu, ialah „Awal Musim Semi”. Sang Aku berkundjung pada gadis mania jan

    1) Kisah IV /4 , April 1956. Tini sudnli setcngah gila inerindukan anak. Aku ilidak setudju, tapi sudah terlambat. Kenapa lidak dulu-dulu kusadari dan kuusahakaa sebaik-ba- iknja? Tini sudah mengandung! Tjelaka. Bentjana sudah dekat sekali” (hal. 85). Tidak, Aku bukan takut anaknja lahir tjatjat karena sakit sifilis, seperti begitu mentjengkam ditjeritakan Abas Kartadinata dalam tjerita­ nja „Njanjian Sumbang ditengah Malam”. *) Dia hanja takut anaknja tak tjantik seperti ibunja, tapi djelek seperti bapaknja. Apakah ini tidak satu pantjingan pula bahwa sang Bapak tidak sedjelek sangkanja? •— Dia sangat berat hati untuk bitjara dengan isteri- nja, katanja, meskipun ia seorang berani, „pernah berani membunuh serdadu Belanda” (hal. 91). Lagi-lagi kompleks rasa djago dan ingin di* pudji, koinentar kita. Ketakutan bakal ajah terasa berlebih-lebihan dan alasan-alasannja ditjari-tjari. Berkata ia pada isterinja: „Misalkan, d ia ..... laki-laki. Tidak Ljatjat, tidak, aku pertjaja itu, tapi dia ... dia ... seburuk bapaknja! Tjo- ba bajan^kan, bagaimana maljam hidup jang liarus ditempuh? Setelah dewasa tentu akan menderita berat dari jang pernah kualami. Ia liidup hanja untuk menderita. Ia akan selalu djatuh tjinta pada gadis-gadis paling tjantik. Sedang aku jakin, tidak akan ada gadis jang tjantik jang mau bergandengan dengannja. Apalagi membalas tjintanja. Ia akan seJalu merasa rendah dan hina, ia akan lerasing dari pergaulan ... dan se e- rusnja dan seterusnja. „Karcna itu aku tidak mau punja anak. Karena itu aku tidak mau kalau anak kita hidup terus. — Kau sudah mengandung sebesar itu ... Apa jang liarus kila perbuat? Aku tidak kuat lagi disiksa angan-angan

    Lain menangislah suami isteri berpelukan. Hati sang Aku „liantjur (hal. 92*93). Snobistis saja rasa penjebutan lagu-lagu asing jang saban waktu harus dinjanjikan, tak peduli tjotjok atau tidak dengan tempat dan suasana. Tini melagukan „Wiegenlied” dalam berbetjak kebioskop dengan suaminja, sedang sebelunuija mereka bertengkar hingga ia menangis. Mendjelang pagi sesudah semalani-malaman tak tidur „dengan hati leo-a” (sang) Aku tertidur diiringi suara Tini lembut menggumamkan „Liebestraum” (hal. 94). Sang Aku menjanji „I1 Trovatore” waktu mandi dan naik kereta api (hal. 161). Dan banjaklah lagu-lagu disebut: ,,Home sweet Home”, „Santa Lucia”, „Nocturne” Chopin („Awal Musim Semi , hal. 40, 44, 55), „The Blue Tango” („Kutjing”, hal. 79) dan banjak lagi. Satu tjerita jang djuga hanja tjukup baik untuk madjalah ringan ialah „Ular Belang”. Pengalainan beberapa pennida jang hidup sepetak dan pada satu waktu digegerkan dengan adanja ular. Mereka biuiuh ular itu jang temjata ular belang, tapi orang kampung jang pertjaja talijul meramalkan bahwa akan datang lagi jang lain. Dan betul sadja, kemu- dian datang lagi jang lain jang djuga mereka bunuh. Ternjata ular ini bukan djenis ular belang dan orang kampung meramalkan bahwa akan datang dna matjam ular lagi jang akan membalas dendam atas kematian kawannja. Orang kampung djadi mcmusulii pemuda-pemuda jang telah

    1) Zenith I I / 6 . Djuni 1952. djadi sebab akan datangnja benljana besar dan. tak tahan pembekotan, para pemuda achirnja pind'ah kembali kekota.

    Tidak memperlihatkan achlak jang baik tukang tjerita dalam „Ma- tanja sebening Mataku”. Sang Aku jang memperkosa anak gadis seorang hadji, tatkala ditanja, terlalu pengetjut untuk mengakui perbuatannja, meskipun didjandjikan mereka akan dikawinkan dengan baik. Pandang- annja terhadap orang desa sangat rendah karena dia merasa orang kota^ terpeladjar, sedang Harti meskipun tjanlik „hanja keluaran sekolah desa . Dan dia „tidak berani kawin dengan anak desa jang tjantik itu” (hal. 146, 147).

    Mendjidjikkan ijaranja aku tjerita tentang perkosaan pengetjut jang 1 akukannja: Harti kulihat keluar dari pintu belakang. ICudengar ka- *aV'atanja pada pelajannja bahwa ia hendak kekakus. Dan selangkah lagi 6 kakus’ kudekap Harti. Ia meronta-ronta sekuatnja, tapi U 1 1 |;uat- Dan terdjadilah hal itu. Aku telah berbuat sesuatu l3]1^ P®rna^ kuperbuat sebelumnja. Nafsu dan dendam kulepaskan, a u utmggalkan Harti jang terbaring menangis ditanah” (hal. 147). Mengenai perintjian tidak ditjeritakan apakah Harti mulutnja di- sumpa nngga tak dapat berteriak minta tolong dan apakah ia tidak terberak-berak, tapi sugesti kearah itu tjukup djelas. At kemudian :mengandung, dikawinkan dengan orang lain, karena u a mengaku. Dan tatkala pahlawan kita sepuluh tahun kemudian er emu ^ embali dengan Harti sekeluarga, ia menjesal, karena Harti nampa nja^ „masih setjantik dulu, tapi lebih masak, nampak lebih ter- K^rt'”arn l djadi merasa djatuh tjinta betul-betul pada 1 ' 13 • 9), katanja. — Baiklah tak usali kita tanjakan apakah aksud sang pahlawan dengan „terpeladjar” dan „tjinta”. dnnnii^3-^ bfraku sang pengarang dalam tjerita „Pak Amin” jang hi- Untun"S(]a i*n l*na* ljari kerdja tak dapat hingga timbul niat mentjuri. dia na"' I.3 Ju.mPa ^awan lama jang mengadjaknja ketangsi dan memberi kebiilr81 L-11 r° °* dan ^'am*(^ani memasukkan wTang kekantongnja. Tapi t]i i a.n. im lak dapat ikut dikeljap keluarga dirumah. Ditengah saan karTu p eS dn ^ 'p l ^ a kebetu!a!1 melantjarkan pemerik- ta l .* uujuk. rak Amin ditahan, tapi la mentjoba lari mau an- _ 351 Pac*a anak isterinja. Dia ditembak dan orang digubuk sia- menunggu pulangnja. S t r„c„ i3„^itema JanS baik, agaknja dengan dasar pikiran mau menffffugat aiah benT31*!^ ? nP korban. Memang satu tragik telah terdjadi: Sang lim mpl.t i a am c'Ja^an pikirannja, polisipun tak dapat disalalikan da- Pile Ami Ur>ai1 tu6afnia- Tapi tak tjukup aliasan untuk berpihak pada luna kirfn ertanJa 18 Pernah berniat djelek, kedua tak teguh alasannja harun nnni P^^dut.uk dan ketiga, ketaksabarannja hingga melarikan diri but ana Jang.Patut ditanggungnja sendiri. Lagipula tak dise- sendiri rml. t f m menganggur, apakah tidak karena salahnja k'lr^n a*u • Perfoa^an Amin harus ditindjau dari segala sudut, mPnflr!lrPem at^Ui 8ematjam hakim dan pengarang harus dapat )nkim ;- 811nipatl gl oran8 J*ang dipihakinja. Pengarang djuga seorang J ng harus mengerti persoalan orang-orang jang dihadapinja. Tjerita lain jang tak beraku ialah „Pahlawan” . Tentang Ipin jang menderita penjakit veneris dimasa revolusi, tatkala sukar mentjari obat. Karena itu ia takut kawin dan tjari kompensasi masuk TICR. Ru- panja waktu itu tak ada pemeriksaan kesehatan sebelum masuk tentara. Karena penjakit Ipin nekat dan masuk pasukan penggempur dengan harapan akan gugur sebagai pahlawan. Dalam satu pertempuran ia luka parah, tapi tidak tewas. Sesudah dirawat dirumah sakit, ia sembuli, djuga penjakit jang ditakutinja jang ternjata hanja penjakit gono jang baik eendirinja dengan suntikan penisilin. Dikisahkan dari luar, tjerita ini tidak punja penemuan-penemuan psichologis seperti tjerita Sarpin Danuasmara dalam M ereka jang dilum- puhkan. Nada jang kesungguh-sungguhan tidak pula dapat memberinja tjorak humor ataupun satire, meskipun bahan tjerita baik sekali untuk itu. Satu*satunja tjerita jang agak bisa dipertanggungdjawabkan dalam kumpulan Angin Laut ini, ialah „BcIla”, meskipun temanja bisa ditjap bordjuis. Sepasang suami isteri tak beranak pada satu hari dapat andjing jang bagus, dinamai mereka si Putih. Andjing ini sesudah beranak, meng- hilang. Segala daja upaja untuk mentjarinja kembali, sia-sia dan dua anak jang ditinggalkannja sesudah beberapa hari mati kelaparan. Sebenarnja tjerita bisa berachir disini, tapi disainbung lagi. Si Putih datang kembali sesudah anak-anaknja mati dan dalam kemarahannja sang isteri mengusirnja. Malang bagi si Putih ditengah djalan ia mati dilanggar mobil. Dan beberapa hari kemudian tjara kebetulan sang suami dapat ke- terangan, bahwa si Putih sebenarnja bernama Bella dan andjing kepunja* an dokter Amin. Dirumah dokter itu ia tinggalkan pula beberapa anak, selamat. Anak-anak jang dilaliirkannja sebelum bertemu suami isteri da* lam pokok tjerita. Bordjuis sifat tjerita, karena tjurahan perhatian berlebih-lebihan pada andjing: disajang-sajang, dimandikan dengan sabun wangi, diberi daging dan busu, dirawat istimewa, seolah tak ada soal lain jang lebih penting, soal manusia jang melarat. Dalam masjarakat jang teratur memang hewan- pun perlu dapat perhatian dan kita kenal perkumpulan bersembojan „Sa- jangilah binatang” Dapatlah diharapkan bahwa orang jang sajang bina- tang, djuga sajang manusia. Suami isteri jang diljeritakan, meskipun bukan orang melarat, bukan pula orang jang tidak kenal kesedilian. Sudah dela- pan Tahun mereka kawin, tapi tak dapat anak. Kawan-kawan mereka tak punja, kehidupan rumah tangga mendatar sadja. Hiburan satu-satunja bagi mereka hanja radio dan bagi sang suami isap pipa. Maka tak lieranlah, bahwa datangnja andjing djadi peristiwa penting dalam kehidupan me- reka. Tentang si Putih melahirkan dikisahkan pandjang lebar, begitupun tentang anak-anaknja dan usaha-usaha sang isteri memeliharanja setelah ditinggalkan ibunja. Saja kutipkan beberapa lukisan jang bagus, ditang- kap pada saat-saat kelahiran peristiwa: „Si Putih dengan susah pajah masuk kekerandjang, mcletakkan ba- dannja jang hampir memenuhi kerandjang itu. Dan isteriku lebih banjak tertawa ketjilnja ketika melihat anak-anak andjing itu menjusu dengan l) Tentara Keamanan Rakjat. rakusnja. Tepian kerandjang dan kain dasar ken a darah sanasini, ngeri aku melihatnja. — Mungkin bapaknja bulldog, ja mas. Mukanja begitu pendek dan melebar. Tapi kok tak ada jang putili seperti ibunja. Kenapa keduanja tjoklat, ja mas? ,,Sambil berbitjara ia mengusap-ugap kedua anak andjing itu de­ ngan djari-djarinja. Lalu sambungnja: Bagus, ja mas? Nanti Hentu pandjang djuga bulimia seperti si Putin. ,,Begitulah kedatangan seekor andjing asing telah membawa ke- gembiraan, memberi kesibukan kepada isteriku. Rumahtangga kami ber- tambah tiga penghuninja, sedjak hari itu. i ”^?Jakuan si P«tih sesudah melahirkan, lebih gelisah lagi. Tak per- na 1 ei latan tenang. Berlarian kian kemari, kalau sedang tidak menju- sui ana -anaknja. Isteriku demikian atjulinja hingga malam itu ia menju- su u sesudah lewat tengah malam. Masih sempat djuga ia berkata tentang J !J enak?an anak'auak si Putih. Paginja, waktu pelajan kami datang se- Per op semmggu, isteriku menambah pekerdjaan pelajan kami. Ha- t- L._T-n ^1 setiap belandja, harus menjediakan makan n^tnTi r»X &A 1311 •Unt\ .S^ ^ ut^1* Dengan setengah hati, bibi, pelajan kami npras. a Perln*ail isteriku. Tapi isteriku selalu kurang menghiraukau perasaan orang lam. Aku tahu, bibi orang Islam. s*an^ kami tidak djadi kebioskop seperti jang telah kami nenihnn' n ^ eraPa ^ g g u jang lalu. Isteriku tak mau meninggalkan ia ipr»c r^*611^ T kamar sebelah dapur itu. Dari pagi sampai petan.q:, Aku .n andjing-andjing itu. Benar-benar dimandjakan. inenjelesaikan pekerdjaan kantorku jang kubawa pulang.

    m a la m ^is^en^ kl6empat’ ?ia r i Senin’ kira-kira mendjelang djam delapan poh-gopoh deilg3H tjemas masuk kamar bekerdjakii dengan tergo-

    kembali ^Haru ke^uar’ mas* ^a keluar, mas. Sudah agak lama belum 1 Jan> mas. Anak-anaknja kelaparan, belum disusui, mas. andiine^erlrtf^1 kebe^;,kang diikuti isteriku. Rengek anak-anak itu dengan sekn^tmin8’r?1,ns mengharukan. Didalam kerandjang ketjil dengan suarania * ena^anja keduanja bergerak-gerak liar, membalik-balik an. Aku seser .membingungkan. Isteriku benar-benar kebingun;:- Sudah sepi benar’ n besar setelah menjalakan pipaku jang mati.

    - Bagaimana, mas? Tidak ketemu?

    tiba ’m e k n ^ h k l h e k l 311 kePa la *a1n tanSan kanan- Ia ketjeiva, tapi tiba- difikirka^a, jang 1081,1 ak" ,ahu al’ a * “ >«

    Mas, tolong tjepat buatkan susu, susu putih.

    sege^f s l w kTT UTia’1 ba™Iah kllketahui kehendaknja. Segelas susu ai. Isteriku setelah siap dengan alat-alatnja, jaitu sebuah pipet jang sudah dibcrsihkan, sebuah pentil sepeda pandjangnja kira-kira 4-5 cm dan sehelai kain bersih, mulailah ia mengerdjakan rentjananja. Anak andjing jang tjoklat tua, jang lebih besar sedikit dari jang se- ekor lagi, dipegang pada lehernja, pentil sepeda jang sudah disainbung- kan dengan pipet, disedotkan susu jang sudali didinginkan ditjawan, lain dengan sangat hati-hati diharengi suaranja jang seperti mendiamkan baji jang sedang rewel menangis, anak andjing itu diberrnja minum. Aku ms- lihatkan sadja, makin kuat pipa digigit-gigit. Aku berdoa moga-moga ber- hasil usaha isteriku iiu ...... ”

    „Malam makin dingin. Tak begitu hangat lagi pipaku dalam geng- gaman. Dan kami terns mcntjari si Putih. Tiap andjing jang berlalu kuperhalikan dengan saksama. Sajup kudengar suara isteriku memang* t?"il-m anrr CO2 il, “ aku bersuit-suit kian keniari. Sudah sepi, tak ada orang jang nampak. „Tidak berhasil. Waktu aku pulang sudah pukul duabelas lewat. Is­ teriku sudah dirumah, tjemas menunggui anak-anak andjing jang tak uiaii djuga menelan susu dari bltek. Aku mengerti kekusutan hati isteriku. Ka­ mi sudah putus asa. Seperti mengichlaskan kematian seseorang, isteriku menutup pintu kamar sebelah dapur dan kami pelahan m a su k kedalam rumah diiringi rengek anak-anak andjing jang terus djuga mentjitji-tjitjit membingungkan.

    „Paginja, isteriku jang kukira semalaman tak bisa tidur, terus men- tjoba menjusui auak-anak andjing itu dengan pipet. Aku pergi kekantor dengan kuatir. Siang pulang dari kantor, isteriku sedang m a r a h pada bibi” karena tak mau memegang andjing. Kusut benar isteriku. Belum maudi, beliun makan, belum berganti pakaian. Ia nampak djauh lebih tua. „Siang berikulnja, sepulangku dari kantor, kedua anak andjing itu sudah dikubur didekat kamar mandi, dekat lempat keduanja dilahirkan. Isteriku menangis terisak-isak, tampak kurus dan laju. Bibi sendirian didapur, sibuk memasak” (hal. 29-33). Demikianlah achir anak andjing itu.

    II

    LAKI-LAKI DAN MESIU

    Beda dengan Jjerita-tjerita dalam Angin Laut, jang meskipun ber- aku, nama tokoh utama berlain-lain, dalam semua tjerita Laki-laki dan Mesiu sang Aku bernama Trisno (Hanja dalam tjerita „Restoran” sersan major Aku bernama Rahman). Dan dalam tjerita-tjerita tersebut kemu- dian ini kita tidak terlalu diganggu dengan persoalan-persoalan cl^ sl’3 pribadi jang begitu mendjengkelkan dalam Angin Laut. Dalam Laki-laM dan Mesiu sang Aku setjara simpatik tahu kadar diri, hingga tak lupa memberi perhatian. pada tokoh-tokoh lain dan persoalan Iain jang lebih umum menarik perhatian. Kita temui dasar pandangan dan ide jang membikin tjerita djadi berarti, meskipun tidak selalu memuaskan' ka­ rena belum bulat dipikirkan. Saja rasa sebagai satu kekurangan, bahwa pengarang seringkali — entah sadar atau tidak — mempergunakan antiklimaks dalam plot tjeri­ ta. Dimana kita mengira sesudah persiapan ketegangan jang teliti, akan menemukan puntjak pemetjahan, disitu kila ketjewa oleh penjelesaian jang sepele. Kita tidak temukan klimaks dan penamaan antiklimaks dju* ga sebenarnja kurang tepat, karena setjara logis baru ada antiklimaks kalau ada khmaks. Tjerita-tjerita jang disudahi dengan antiklimaks ialah Kopral Tohir, Restoran, Pagar Kawal berduri, Rantjah dan Lewat Tam- J ” 1' 1 1 V.111,3 s sekenarnja bisa dipergunakan unluk menimbulkan hu* a<-T-,r G ,Je. an»cfaP1 dalam tjerita-tjerita jang berachir demikian, tidak Knw-.fr *Lfi ?oal;soaInja terlalu serius, djuga achir tjerita „Pagar i j , f U1? lak ada nada humor ataupun edjekan. Dan tak ada im- balan bag! keketjewaan kita. Tidak kcbctulau ijerita (Si) „TinggUr dimuat sebagai jang pertama hnnai? 0 ^ ni f U-aU -ni' *ui!ah tjerita jang dapat hadiah pertama Kisah ta. i ' .a®* aaJa sendiri jang terbagus dalam kumpulan ini ialah „Di* Jan3 djuga pernah dimuat dalam Kisah tahun 1955. *) rHenKi, t at*a*ah tjerita tentang pengalainan sersan major Aku keras rlit Uk ,ae * Pertempuran dimana berlakn hukum tentara jang

    H/rqi i® , au?- 1 ada suatu kah ditangkapkT en orang-orang 3ans ked:’a“ iang da“ ditju* w born ini'. * ’T*1 Uil®an dengan gerombolan, antaranja ada seorang jang Aku =e2p S1 lu?^d* Karena orangnja baik dan djudjur, sersan major kan dia b* erfail,5 Padanja dan memberi dia kepertjajaan penuh. Bah* ermaksud akan menolongnja dalam pemeriksaan lebih landjut. dan geraa pat*a.6Ua*u bari dengan tidak setahunja 6i Tinggul diangkut mati Hn n maJor Aku terlambat datang ditempat eksekusi. Si Tinggul Ja ^ Pemoriksaa" lebih teliti. terhadrp mInnaB‘Sin|lpali^ dal.am si TinSSuI> ialaJl perhatian jang djudjur sini kita tid k 13 1 tJaranja sanS Aku mentjurahkan perliatiannja. Di* pleks menondjolkan^d' dig3nggU olch saIlibul bikajat jang penuh kora-

    nusia katlang11 i1iamPa^t djelas dibalik kedjadian: bagaimana nasib ma- orang ianj? lin«*ei^ an l^ara lak bertanggung djawab ditentukan oleh nja lerdapat dM 1Pcdoman nafsunja sendiri. Kebenaran ini tidak ha- wono, tapi dimrfv Perte,lnPuran seperti jang ditjeritakan Trisnoju* temukan sebagai I nasJarakat sekitar kita. Despot demikian bisa kita perusahaan buat uepa!u .rumah tangga buat keluarganja, sebagai kepala dikalano-an univ* * sebaSai Suru sekolah buat muridnja, babkan adalah 'buaia-h ” U?8 se" a^ai mahaguru. buat mahasiswanja. Mereka djadi neraka " keIjetulan dapat kedudukan dan bikin dunia

    Namun demiki‘j»i L- > • • mereka kita tiohVrli? arena mercka mipun manusia djuga, sebaiknja ------J tlJuga mengertinja sebagai manusia. Trisno dalam tje* O Kisah Ill/li, Nopember 1955. ritanja baik sekali mendekati si Tinggul, tapi tak berusaha mengerri Pak Kapten dari sudut keanehan djiwanja. Apakali alasannja untuk ber- laku kedjam — dapat diterima ataupun tidak — dan apakah latar bela- kangnja maka ia bersifat demikian ? Lagipula dalam pemeriksaan pendahuluan oleh sersan m ajor Aku, si Tinggul telah mengaku bahwa ia telah bantu gerombolan dengan mem- berinja beras berkali-kali karena takut. Pengakuan seperti ini didaerah pertempuran srfnggnh fatal dan merupakan alasan jang kuat untuk menghukum seberat-beratnja. Membiuitu gerombolan adalah satu dosa jang besar ditindjau dari sudut kepentingan militer. fcaklor takut tidak djadi pertimbanga.n dan proses perbal sersan major jang dibuat dengan djudjur dan bermaksud baik sama sadja dengan ponis mati bagi si Ting­ gul. Dan kita hanja bisa salahkan gedjala perang jang mentjiptakan ketegangan dalam djiwa manusia, hingga hilang keadilan dan kesehatan pertimbangamija. Satu tjerita wild west „Kopral Toliir”. Ditempatkan sebagai koman- dan peleton, sersan major Trisno berhadapan dengan anak buah jang telah keliilangan disiplin. Tidak mengherankan, karena djuga komandan kompi seorang kapten jang lebih bersifat bapak dari pemimpin. Pra- djurit-pradjurit berpakaian seenaknja dan staif kompi nampaknja malas dan lesu. Sebagai orang jang suka disiplin, sersan major Trisno mulai adakan perobahan-perobahan dalam peletonnja sendiri. Satu pekerdjaan jang tak mudah, karena banjak menemui pertentangan. Ada Kopral Jan? ta_ mau turut perintah mengenai keseragaman pakaian, malah ada pradjurit djagoan jang menentnng mentjabut pisau. Semua itu dihadapi dengan sikap jang tegas oleh sersan major. Beberapa adegan dari tjara-tjara mendjinakkan anak buah jang liar ini. Bertjerita Trisno: „Sekali seorang anak buah peletonku sangat marah, karena gadjinja kubagi dua. Sebab isterinja mclaporkan padaku bahwa ia tidak perna menerima uang belandja sudali beberapa bulan. Bertolak pinggang is mendatangiku waktu aku sedang berada dihalaman tangsi. „Major djangan tjampur urusan rumah tangga saja ! Itu gadji hak saja!” ICeteranganku lidak ia mengerti, malah tjepat ia menarik pisau dengan „hahh-huhh” jang membentak-bentak.

    „Kalnu major suka sama bini saja bilang sadja !” Betul-betul ngawur dia. Kemarahannja tidak bisa diredakan lagi dengan kata-katd. Aku tidak bisa lagi menghindarkan tantangannja itu. Matanja kutatap ladjam dan waktu ia dengan galaknja menerkam, ku- sambar pergelangan tangannja. Tjepat dan meiigaget kutekuk lengan kokoh itu kepunggungnja dan bersamaan dengan lepasnja pisau dan tangannja rambutnja kudjambak keras dan sepatuku m endorongpung- gungnja sekualkn. Terdjerembab ia terpelanting dihalaman tangsi jang banjak kerikilnja. Kemudian perlahan anak-anak lain kuawasi dengan pandangan seakan-akan berkata balma siapa sadja boleh madju niela* wanku. Lalu pisau kuambil sambil berkata terang: „Kali ini saja tidak akan lapor ke P.M., tapi djangan ada jang meng- ulangi lagi !” * Pisau knlemparkan, menantjap ditanah diantara tangan dan kepala anak buah jang kurangadjar tadi. Ia kaget, tapi tcnskurap ditanah dengan nafasnja jang terengah-engah” (hal. 29-30). Kali jang lain pula ia bertjerita: „Suatu liari seorang sersan bekas KNIL, dengan somhong menrontah- kan kata-kata jang rupa-mpanja sudah lama dipendamnja. Ia bersandar di- pinggiran bangku kan tin membelakangiku. „Bosan aku ! Sc-k-disiplin ! Huhh, baru turun dari hutan masuk tangsi sudah besar kepala ! Mentang-mentang baru lepas latihan ! Mentang-men- tang bekas pedjuang ! Anak kemarin sore ! Baru berapa lama sih djadi tentara?! Dikiranja aku takut !” Suaranja kei*as menantang dan dikantin sedang banjak orang. Ma­ ra u ti a bisa luikuasai. Dengan tadjam lepas sadja dari mulutku: „Mau apa san ?” x) «Apa-apa mau ! dan ia membalikkan badannja, sombong. i it en^ lY \ *tu ljepat kutjabut pestol pcmbantuku jang sedjak tadi nerciiri clulekatku dan dengan teriakan kulemparkan padanja. Sigap la menerimanja, lalu kutantang. - ^ djagoan ! Isi pestol itu ! Mau mcntjoba silakan ! Djangan menjindir-njindir, isi pestol itu ! Saja siap’V

    disekitar1 menSge“ Sgam peSto1- Jang

    Saja”rela ^ llw“ ? ! ...... !

    mensffer0]!*'11 kl*tarik dan kudjatuhkan ketanah. Sersan itu makin putjat, Pinggfran peSt° lnja diletakkan di'

    itu. D a n ^ h u h d /k ^ g e . n t 1a r ( , a u lakut Pada major Trisno? Ada, dia akui perasaan kewadiih . . a dial)UU manusia biasa djuga. Hanja karena patik. Dan kedi ]‘ ann^a la tekau ketakutan itu. Kedjudjurannja sim- bagaimana ia in UU djuSa Jaug kila hargai dalam ia mentjeritakau jang telah lama ben.r ^ k?Pral ToIlir JailS mengamuk. Kopral Toliir Tohir diuira Inn* pauanja, karena lindakan-tindakannja. Tapi kopral dengan lemah leith m ^ 151* biaSa* MaJ’or Trisno daPat mcnundukkannja anaknia ianff m u il, C me»gingatkannja pada isterinja dan pada

    ralikau d iri'Sb hu £ inaup h J lebih lama. Iemahlah k°pral Tohir' Ia menje'

    2) San = pang-giian pada sersan. Psichologis dapatlali diterima pembangunan plot tjerita, meskipun kita merasa ketjewa bahwa pada achirnja tak terdjadi apa-apa, tak ter- djadi perkelahian jang seru sesudah kita diperkenalkan dengan watak major jang keras dan kebentjian kopral jang memuntjak. Disini nampak: satu antiklimaks jang dalam (Si) „Tinggul” djuga mulai samar-samar kelihatan. Kopral Tohir dihukum empat tahun karena dipersalahkan berontak, satu hal jang tak usah mengherankan karena kesalahannja melanggar disiplin susila (dia bawa perempuan djalang ketangsi), me- nantang-nantang atasannja berkelahi, merampas stengun dan menembak bintara piket. Sebenamja tjokuplah tjerita berachir disini. Tapi Trisno tak bisa menahan liati dan menambahkan satu adegan lagi jang sensasionil dra­ matis. Sesudah empat tahun tiba-tiba sadja Kopral Tohir berdiri diam- bang pintu dengan pisau terselip dipinggang dan mukanja lebat beram- but. Tapi tidak untuk membalas d'endam ia datang, hanja minta ma- af. Dan Trisno dan Tohir rangkul-merangkul bertangis-tangisan. Tema jang sama dan ide jang sama seperti „Kopral Tohir” kita lihat dalam tjerita ,,Restoran”. Disini sang Aku kepala peleton jang djuga suka disiplin dan demi untuk mempertahankan disiplin dengan tegas bertindak terhadap anak buahnja. Pulang terlambat ketangsi hukum- annja tiga hari tutupan. Tatkala sekali waktu ada laporan tentang peme- rasan oleh tiga orang anak buahnja terhadap pemilik restoran Tionghoa, sang Aku beberapa minggu berturut-turut menjelidiki sendiri kebenaran. tuduhan itu. Ternjata biang keladinja kopral Dullah jang rupanja sudah pengalaman dalam pemerasan seperti itu (hal. 68). Meskipun ia keper- gok oleh komandannja sedang minta uang dari kasir restoran, ia masih dapat membela diri bahwa ia sekedar minta kembali utang lama dan sang kasir karena takutnja membenarkan perkataannja itu. Tapi pada kesempatan lain ia kepergok pula sedang mengantjam jang punja resto­ ran dan komandan menggasaknja didepan umum hingga setengah modar. Tjerita ini djuga berachir dengan antiklimaks. Dimana kita mengira akan melihat perkelahian jang seru, kopral Dullah tidak memberikan perlawanan, malah mundur terus-menerus. Dan djurang antiklimaks men- tjapai titik dalamuja, apabila ia dalam keadaan susah-pajah mengedjar komandan jang sudah berdjalan djauh, hanja untuk mengatakan bahwa badannja sakit dan menanjakan apakah major marali ...... Lukisan saat-saat jang tegang sangat baik, dengan aksi dan perke­ lahian jang tak kalah dengan tjerita dalam film koboi. Tapi kalau dalam film koboi perkelahian dilakukan tanpa ampun dari kedua belah pihak jang kedudukannja sama, maka dalam tjerita Trisnojuwono salah satu pihak dalam kedudukannja sebagai orang bawahan terpaksa kalah sema- ngat, karena takut tuduhan insubordinasi. Kopral Dullah tak melawan melihat dalam sersan major komandannja. Dan bukan itu sadja, meski­ pun dikatakan bahwa ia seorang pemeras jang pengalaman, iapun se­ orang pengetjut iang hanja berani terhadap orang tak berdaja, seperti memukul pelajan dan mengantjam kasir. Djadi dalam hal ini pekerdja- an sang major agafc lebih ringan dari pemuda djagoan jang menghadapi bandit jang merdeka, punja anak buah dan daerah kekuasaannja sendiri. Kebaikan komandan terasa dilebih-lebibkan, apabila dikatakan bah­ wa ia memaksa kaair restoran menerima uang buat minuman jang tak dibnjar anak buahnja jang nakal (bal. 74), apalagi kalau diingat bahwa sang kasir telah mengaku berhutang pada mereka. Tjara logisnja tentulali makan-minumnja bisa diperhitungkan. Satu kisah tentang disiplin dan tanggung djawab djuga tjerita „Ran- tjah”, dimana pengarang mengisahkan pengalaman disatu pos terdepan didesa Rantjah. Tatkala itu ia sebagai kepala pasukan dimusuhi seorang kepala regu, karena sikapnja jang disipliner. Antara keduanja timbul ketegangan jang tambah hebat, karena fitnahan kepala regu, bahwa ta main api dengan isteri Pak Lurah. Tapi sebelum terdjadi apa-apa datang penjerbuan Belaada, dalam mana kepala regu luka parah dan njawanja dihabisi kepala pasukan untuk menjingkatkan penderitaannja. Terasa sebagai satu deus ex machina tertembaknja kepala regu, hing­ ga tak ada harapan lagi untuk hidup. Tandjakan ketegangan aebelumnja jang tertjipta, karena pertentangan antara komandan pasukan dan kepala regu, dengan ini diselesaikan diluar perkembangan psichologis. Dimana harusnja ada klimaks, tertjipta antiklimaks. Pertimbangan kepala pa­ sukan untuk menghabisi njawa kepala regu bisa diartikan ganda: karena kasihan atau dendam, atau keduanja bersama-sama. Tjerita jang berantiklimake pula tjerita „Lewat Tambun”. Dua pa­ sukan pasang seteleng dan mentjegat kereta api jang membawa beras Pe- mer*ntah ke Djakarta. Pemimpin-pemimpin pasukan keberatan beras itu dibawa ke Djakarta, karena dianggapnja sama sadja dengan memberi makan pada pihak Nica, sedang pemimpin pengawal kereta api mene* rangkan, bahwa beras itu untuk orang Republik jang kelaparan. Tertjip­ ta ketegangan, karena masing-masing pihak tak mau mengalah. Achirnja pemimpin pengawal memerintahkan kereta api berdjalan, pasukan pen- jegat bersiap-eiap, tapi tak meniusul perintah tembak sampai kereta api hilang dan pandaagan mata. Sia-sialah segala ketegangan jang sedikit demi sedikit ditjiptakan engan memperkenalkan kepala pasukan jang tegap dan berani dan per- eng arannja dengan kepala pengawal kereta api. Kalau dipikir lebih lan- ju , memang kurang kuat alasan pasukan untuk menahan kereta api, pa agi arena ada surat perintah dari Pemerintah pusat jang seharusnja mah* 1 -f f meneruskan perdjalanan dari pihak pengawal dan kelc- an peutjegat bisa dimengerti, hingga ketegangan terasa ditjip- tatan atas dasar jang semu. arman’ adalah satu tjerita tentang rentjana penjerbuan jang j i Sagah Penjerbuan itu akan dilakukan didaerah Belanda oleh lcatan^3! ° ran£ §erilja dengan bantuan Pak Parman, seorang Lurah ang- Pak Pn 6 an j dikira pro Republik. Tidak djelas disini apakah rol m i r . I .?*an , a*am penggagalan penjerbuan itu. Sebagai orang jang me- mnaf r i 6ebagai Republik, lagi pula masih bertalian keluarga

    J- • ^__ £1 dengan w tukang tjerita LJU11LU ------— Pak j - flX V A,Parman saudara kandung n a u u u i i g ibu* Kpdnfl k iar menenma pengchianatan jang dilakukannja dengan tiba-tiba. hntiia G 36 ora“ " penjerbu gerilja masuk perangkap Belanda, hingga munffkintitTr^ ]fnghidup. Apakah pentjegatan itu hanja kebetulan atan S n Ginun, pembantu Lurah jang berchianat? Tapi itupun su- kar diterima, karena ia kepertjajaan Parmari! Semuanja pertanjaan- pertanjaan jang tidak berdjawab dan member. kesan tjerita ini belum selesai. Dan memang belum selesai, karena adalah satu fragmen dan kisah biografis „Si Anak Hilang” jang pernah d.muat sebagai fuUIelo.l dalam harian l’ikiran Rakjat') di Bandung dan dimual kembali dalain madjalah Trio 1960. Sal., tjerita jang penuli rasa kcinanusiaau, ialah tjerita „Pagar Kawat Berduri”. Tentang para law anan jang dapat perlakuan baik dan koma..- dan pendjara, hingga timbul saling mengerti dan sahng simpati. lapi suasana da.nai ini berubah, tatkala pada suatu malam kedapatan dua orang lawanan moujel.mdup kebagian tawanan perempuan. Peiu jagaan diperkeras dan hubungan antara lawanan dan pendjagu djadi beku. Ketegangan jang tertjipta oleh persiapan dua orang _ tawanan jang mengaku hendak melarikan diri, disudah. dengan ant.klimaks, apabila mereka lertembak dan ternjata b a h w a mereka sebenan.ja hanja mentjar, perempuan untuk nielepaskan nafsunja. Dalam „Dropprng-zone” diljeritakan pengalaman satu pasukan jang bertugas mengadakan operasi jang disebut „0pe.asi Garuda . Sesudal beberapa hari diperdjalanan, mereka keliabisan beras dan semangat p. sukan mulai Umm. Karena kelaparan, ada jang mentjur. s.sa s.m p.nn makanan kawan dan ada pula jang m a s u k kampung minta nasi pa a pu ; duduk. Untuiig hubungan dengan komando iiiduk tetap ada dan sc*.■ memuiggu dengan penuh harap dan tje.nas, achirnja datanglah pe»awat terbang Dakota melcmparkan makanan dau udara. Jang istimewa dalam tjerita ini, ialah lukisan anak buah ,hjmn tmg- kal, lakunja selama perdjalanan operasi, jang hamp.r mendala.igkanben tjana itu. Sangat hidup Trisnojuwono menggambarkan reaks. d iwa_ me reka, anak-anak jang berani dan baik l.ati, .apt sebaga, man si, tak lu put {lari keehilafan apabila dikepung kesvikarau. Hasan jang diliukun, karena minta nasi dan penduduk, sesuda dapa pembagian minta permisi antarkan beras, sum dan dendeng kepada pen duduk jang diniinlainja nasi. Menurut tjatatan sedjarah hidupnja jang penuh avontur Hu »), Tri.- nojuwono pernah mengikuti latihan-Iatiha.i pasukan pajung AUR , hm ga me.idapat brevet. Dari masa inilali agaknja .a dapat bahan bua tjer. fanja „Permainan” (daiam Angin Laut) dan „bebeluni Pajung terbuka . Kalau „l*ermainan” lebih bersifat reportase, maka dalam ,,Sebclun . jung terbuka” ia tjoba- melukiskan pengalaman s e o r a n g para»u u, K dari sudut pengalaman djiwanja waktu latihan terdjun dan udaia bua

    l) Pikiran Rakjatmin-juv bulanuuicwi Mei - 1958.---- Trisnojuwono dilahirkan tanggal 5 Desembfci 1926 di ^ a jat dikan S.M. A. tamat 1947. Tahun 1946 masuk P a s u k a n 40 T*nta:laRai 3 Mataram Jogjakarta, 1947 - 1948 anggota Corps -ndteiTim ba. dan Djombang. Tahun 1949 tertangkap dan dl^asi^kan pendjara A rawa 10 bulan Berhasil melarikan din waktu sakit d i ^ J : rang. 1950 masuk T.N.I. divisi Siliwang! dan ikut f n ten“ ; Combat Intelligence, Kesatuan Komando, pasukan pajung A.U.R.I. samp dapat brevet. pertama kalinja. Dalam sorolannja mengenai tjerita inix) M. Balfas menggolongkan tjerita ini dalam djenis tjerita tentang peristiwa dengan pokok pikiran : terdjun dari kapal terbang, satu pengalaman jang masih baru di Indonesia. Kisali kemudian adalah kisah perdjuangan ,,manusia biasa'5 antara takut disatu pihak dan kewadjiban dilain pihak. Jang djadi soal bagi kita untuk penilaiannja, menurut Balfas ialah: „apakali peris- liwa jang mau dilukiskan itu tjukup menarik atau tidak dan apakah orang jang mengalami peristiwa itu bisa kita terima atau tidak. Kalau dia seorang lemah, dikuasai oleh takut semata, atau seorang hero jang mendjalani peristiwa itu dengan enak sadja, maka tjeritanja tentu tidak akan dapat menarik. Djustm karena sipengarangnja adalah seorang manusia biasa dan eehat djiwanja, tidak mentah-mentah rebah pada takutnja dan tidak pula melondjak tinggi dengan heronja, bahkan ia mempunjai hati jang sama kita kenal itulah maka karangannja djadi interesan”. Dengan tidak menolak djalan pikiran Balfas, dalam membatja tjerita mi saja tertumbuk pada kementahan djiwa pradjurit pajung jang dilukis- an. I erkenalan pertama dengan si Aku, dengan segera memberi kesan a nv'a ia seorang niuda, bukan sadja muda usia tapi djuga muda pengala­ man. Ini kita lihal dari gerak-geriknja jang belum punja titik berat dalam lnnja, balikan pun djuga dalam menghadapi apa jang ditjintainja. Pergi pa a^ 'ekasilinja, meskipun liauja untuk pamitan sebentar, ragu-ragu dia. anja karena tjintanja sedang menghadapi udjian. Tidak, dia pulang, a u menu i» surat. Isinja! Bahwa „Aku tjinta padanja, aku ingat pada­ nja ma am itu dan kalau ada kedjadian apa-apa supaja ia djangan lama- Jf.11.1**, e.rse, ’ datl aku membolehkan ia kawin dengan orang lain” . — i a isa lebih ringan bukan ? Maklumlah masih muda. Gadis itu tentu- sum*113^ 1 nil^da Pula. Dan tentunja bisa punja pikiran mau lontjat dalam in^at^ k dJanSaii dia sedili dan putus asa, dia tak usah lama-lama ba^u a*\i b a kaw'in deli. Aku kasih izin. Ja, memang surat jang oraii"5' 1 ■ jer^ u Ijeugeng dan djuga tidak sinis. Hanja ditulis oleh selerT ,l1 tabu apa jang ditulisnja. Dan karena itu saja kehilangan ra untuk membatjanja.

    nuruPef la Pabng bagus dalam kuinpulan Laki-laki dan Mesiu, me- mendae - 8a-*a! *a^ah „Dikaki Merapi” karena ide kamanusiaan jang kemanusia*^ * P-**a ^an® menarik saJa dalam (Si) „Tinggul”, ide biar dal ^an® a^adi, jai*g akan senantiasa muntjul dalam hati nurant, am kehangatan suasana bentji dan dendam betapapun. kemudaa*1 l?eriia llludah sadja. Seregu pasukan peladjar sukarela, dalam mentie^at11^3 . l"ai1 Sembira dan penuh semangat melakukan tugas Tn*T«k;£- °nV" 1 mi,suh» sekali waktu tertumbuk pada pengalaman jan* membikin mereka berpikir lebih dalam.

    Saja kutipkan bagian achir jang mengharukan:

    tidak^k!^!^!1111 ^ailiak barang-barang berantakan. Barang-barang jang lianfni' rl 1 . §a. sama sekali, disamping sisa-sisa bekas truck-truck jang tehf keruan lagi bentuknja. Dan tahulah kami apa jang ______^ *» JauS sebenarnja lelali terdjadi. Darto tak berkata apa-apa,

    !) Kisah IV/4, April 1956. seperti orang kehilangan akal ia pelan melangkali. Marno segera me- njuruh semuanja meninggalkan tempat itu. „Mataku masih djuga sempat memperhatikan sekitarku. Didjalan itu berserakan selain bekas-bekas konvoi, sepotong selendang batik jang sebagian hangus, beberapa sandal dan sepatu perempuan dan kanak- kanak. Sebuah kopor terbuka dan kotjar-katjir isinja, diantaranja topi baji jang disulam dengan sutera. Ada pula kartii pengungsi diantara tete- san-tetesan darah jang banjak dan sudah beku. Diatas rumput dipinggir djalan tergeletak sebuah boneka ketjil. „Kami tinggalkan tempat itu dengan terhujung karena keketjewaan jang melukai hati kami. Kata Kresna — sesudah kami berdjalan agak djauh — ia melihat majat anak ketjil terhampar diantara belukar diba- lik tanggul djalanan. Darto seperti tidak menghiraukan kami lagi, ber­ djalan diam mendahului kami. „Bagi kami Darto tidaklah lajak merasa bersalali karena kebetulan dia jang^ menarik pasangan bomtarik. Kami djuga melempari granat- granat dan menembaki konvoi itu. Kalau kami tahu bahwa konvoi itu konvoi pengungsi jang mengangkut terutama perempuan-perempuan dan kanak-kanak, tentulah tidak akan kami perbuat! „Sedjak itu Darto tidak mau ikut lagi dalam regu kami.” RIJONO PRATIKTO PENGARANG TJERITA SEREM

    API DAN BEBERAPA TJERITA PENDEK LAIN

    EORANG pengarang jang subur mengarang tjerita pendek sedjak berumur 15 talmn, ialah Rijono Pratikto. Kumpulan tjeritanja A pi diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1951 dan Si Rangka oleh S Pembangunan tahun 1958. Lahir di Semarang tanggal 27 Aguslus 1932, ia menamatkan SMP tahun 1951 dan masuk Fakultas Pengetahuan Tehnik bagian Bangunan Umum di Bandung. Selama revolusi peljali ia berada di Ambarawa, dimana ajahnja jang meudjabat Kepala Polisi hilang tak tentu kubur, rumali beserta isi habis terbakar. Rijono tertarik pada kesusastraan tatkala muntjul karangan-karang- an Idrti8 dan tidaklah mengherankan kalau karangan-karangannja jang pertama banjak dipengaruhi oleh Idrus. Tjerita Rijono jang pertama berdjudjul „Api” bertanggal Djanuari 1949, dimuat dalam Mimbar Indo­ nesia.1) Tatkala itu Belanda baru melantjarkan aksi militernja jang ke­ dua tanggal 19 Descmber 1948 — jang dihentikan oleh tjampur tangan Dewan Keamanan dan suasana antara Belanda dan Indonesia masih hangat. lenlaiig suasana aksi militer kedua inilah Rijono bertjerita, dengan ' *nia{Uinasi jang mengherankan bagi seorang anak jang masih duduk • i SMP.2) Seperti djuga Chairil Anwar dalam Krawang-Bekasi, Rijono mengidentifikasikan diri dengan roll orang jang mati, dalam hal ini se­ orang \vanita jang mengalami kebalauan pertempuran, suaminja mati dan ia sendiri terbakar habis djadi abu, bersama baji dan anaknja dalam kan- ( ungan. Gajanja bortjerita singkat-singkat, lontjat-lontjat, disana sini ada. ironi jang pahit ijenderung ke sinisnie dan sarkasme. Barangkali kurang pa nama-nama ini, karena dikisahkan dari sudut pandangan orang vampung sederhana, nada tjerita kesungguh-smngguhan dan tragis dalam esannja. Orang kainpiin.tr sederhana bukan dalam arli bodoli, karena ada punja ogika. Pengguuaan istilah-istilah jang intelektualistis adalah akibat >ersatunja aku pengarang dan aku sang roll, kontaminasi subjek jang me- mm )u an keanehan, tapi bisa diterima masih dalam logikanja. Tjerita jang bersuasanakan kcimpian membikin kita bcrsedia menerima logika i'L *IrVI * ke;r.ipian. Dan betapa meiigenanja tjerita ini sebagai kri- 1 an terliadap keadaan, dapat dibuktikan oleh tegoran pihak dinas inte lgeuce Belanda terhadap madjalah jang memuatnja. Sekedar untuk mcmpeilihalkan gaja Rijono dalam tjeritanja jang per­ tama ini, saja kutipkan satu bagian jang penuh ironi dan sarkasme, tapi ( jnga tak sun ji dari getaran-getaran kehanian roinantik. M MI 11/10, 5 Maret 1949. 2) Tatkala itu Rijono murid SMP di Tegal. „Korban bertambah djuga tiap harinja. Badan-badan perdjoangan. Lasjkar-Iasjkar. Tentara dan ...... penduduk. Taman Fahlawan turn- buh dimana-mana. Aku tak tabu pertjaturan politik. Bagiku seperti binatang berfilsafat. Timbul perang besar. Tiba-tiba pula timbul bentjiku. Bentji seperti suami. Kata orang, perang itu namanja: Aksi Polisi. Desa tak aman. Timbul istilah baru: „pengatjau”. Aku tak tahu akan ,,pengatjauv, dan tjuri dari perkataan apa, tapi tabu akan garong, apa itu sama? Perampokan terdjadi dimana-mana. Djuga oleh jang berkata: men* djaga ketenteraman. Pembunuhan-pembunulian. Sifat binatang — masih kurang puas — djadi sifat sjaitan. Tapi me- mang „pengatjau” dan „pengatjau” ada dua. Pengatjau berpolitik dan pe* ngatjau lapar. Entah pula, apa arti politik bagiku. Kalau karena lapar djadi itu, itu Iain lagi. Dan tiap kali desaku dikelilingi patroli. Saja kira ada perkelaliian lempar-leinparan dengan tjat berwarna, hingga pakaian tjoreng-moreng tak tentu, tapi kiranja aku salah sangka”.

    „Dan suatu kali, hatiku tak tenteram. Karena getaran patroli jang ma- kin panas hati, selalu gagal dalam usaha memberantas rumput, akar-akar* nja selalu ada sadja hingga tumbuh kembali. Dan akar ini ada jang singgah didesaku. Desaku tersebut: sarang „pengatjau”. Tapi beruniform, djadi ...... Harimau-harimau datang. Belang-belangnja terang. Mereka mengaum, akan makan daging dan „pengatjau”, dan ...... rumput serta akar-akarnja. Perkelaliian sebentar. Beberapa ekor harimau nieraung kesakitan, ke- na tombak. Dan karena harimau terlalu banjak, orang-orang jang akan di- telan — lari menghilang. Harimau panas. Seluruh desa diamuk. Laki-laki harus keluar — dibu- nuh. Rumah-rumah dibakar. Ditepi sungai harimau mengadang. Orang-orang tak tahu, jang lari terdjun kesungai menjelamatkan diri. Dan disitu diterkam harimau. Runiah-rumah terbakar semua. Baunja memabokkan. Ah, tiba kiamat rupanja. Suamiku telah hilang, hanja terdengar djeritannja, seperti kam- bing disembelih. Rumahku terbakar. Aku lari keluar. Tapi tiba diluar teringat akan bajiku, didalam kamar. Aku hendak kembali masuk, biar api telah sungguh-sungguh djadi api. Tetapi ...... aku merasai sepakan kaki harimau dan aku ...... djatuh terdjerumus kedalam api menjala, bersama anak jang masih dalam kandungan. Sekarang, bukan lagi api rokok jang mengenai tanganku, seperti dulu. Sekarang api, jang membakar seluruh tubuhku. Tak usah kau tanja bagai- mana sakitnja. Panas! Panas! vr

    RIJONO PBATJKTO O Tuhan, aku tak pernah memhakar daging, biar daging hewan mati, satai, tetapi mengapa aku sekarang begini? Aku tak berdosa apa-apa. Sebelum mati aku tak dapat memungkirkan keindahan alam dalam hati. Seperti lainnja. Bagaimana padiku jang menguning dikaki gunung kebiruan ? Seka* rang sendja, tentulah matahari meninggalkan bekas kemerahan di Barat. Aku tak dapat memandang semua keindahan ini, untuk penghabisan kali. Ganti keindahan: api. Api jang merah. Jang sedang menelan rumahku. Panas. Dan aku meninggal dengan merasai panas sangat. Sebagai ganti kitjau burung-burung difadjar: suara berdetak-detak dari kaju jang rantuh — hitam-hitam. Sekarang: aku telah djadi abu. Dan tulang-tulangku telah djadi arang hitam. Aku dan rumah, menuruti djaman persamarataan, sama-sama djadi abu. - Tak ada jang mengingat aku, atau menitikkan air matanja. Setetespun tak ada. Doa tak ada. Tak ada nisanku jang penuh bunga-bunga mawar merah dan melati — ditaman indah. • Aku hilang dalam kenangan orang. Aku mati dengan tak bernama. Sedjarah tak akan mentjatat namak-fz. Tapi biarlah, abuku akan djadi pupuk ...... (hal. 6— 9)

    Bagi orang jang tertjengkam dalam suasana ketakutan pada hari-hari pertempuran, pembakaran dan pembunuhan itu, tidaklah sukar mengerti baliwa jang dimaksud dengan harimau belang, ialah pasukan-pasukan nica jang terkenal dengan matjan loreng oleh pakaiannja jang tjoreng moreng dan pengatjau, garong dan rampok ialah sebutan Belanda bagi pemuda pelopor dan gerilja. Sarkasme Rijono tidak begitu tadjam menggigit seperti sinisme Idrue, mungkin karena perlainan pengalaman, Rijono masih terlalu muda waktu mengalami penderitaan, dia hanja mendengar-dengar dan kenikmatan per- lindungan orang tua masih sempat dirasakannja, meskipun ajahnja hilang dalam bertugas. Apa jang kita liliat sebagai sarkasme dan sinisme tidak terlahir dari djiwa jang paliit dalam penderitaan, tapi hanja pengaruh semen'tura, terbukti dari menghilnngnja tjorak itu dalam tjerita-tjeritanja kemudian. Lain halnja dengan Idrus jang tak mampu menghilangkannja lagi dalam perkembangannja selandjutnja. „Pantalon dan Sepatuku” menarik hati saja, karena kewadjarannja bertjerita dan berdasarkan pengalamannja sendiri pula, tatkala masih anak sekolah. Tidak besar persoalan jang dikemukakannja, tapi tak ada kepura-puraan dan pasang aksi jang begitu mendjengkelkan pada keba- njakan pengarang muda, sebaliknja kesederhanaan, kedjudjuran dan kelentunan djiwa dalam menghadapi persoalan-persoalannja jang ketjil, sangat menarik hati. Bertjerita ia tentang pantalonnja jang pertama, Mpan* talon jang lahir sebelum dia lahir” . „Biikan dari gabardin dan bukan pula dari bagordin. Tapi jang terang, ia adalah dari bahan dulu sebelum perang” . „Kata ibu, ini adalah kepunjaan ajah, dan sekarang, ia adalah untuk- ku. Bahannja masih kuat. Aku masih ingat, dulu djika ajah sedang pakai pantolan. Karena aku masih ketjil ajah kupandang besar. Tapi sekarang, kupakai bekas pantalonnja, presis djuga. Pada pikirku, djadi ajah dulu besamja seperti aku” (hal. 10). Dan tentang sepatu dan kaosnja tak kurang pula pentingnja baginja. Memang, inilah dunia anak-anak jang sederhana. Dan tjaranja mentjeri- takan gerak-gerik djiwanja sangat simpatik dalam kedjudjurannja. „Sepatuku ini telah rusak. Disana-sini djahitannja sudah retas, dan pula kulitnja telah sobek-sobek. Meskipun demikian, ia masih punja su- aranja jang berat: tuk-tuk-tuk. Orang jang bersimpang djalan, pertama kali menengok kesepatuku, karena tertarik akan suaranja itu, tetapi kemudian lekas-lekas dipalingkannja pandangannja. Ia takut memandaug sepatuku karena takut dikira nanti sombong, mengedjek sepatuku jang telah bosok. Dan aku ? Aku takut pula dipandangnja, karena maluku. Djadi dia tak memandang sepatuku, akupun merasa untung djuga. Djadi tiap-tiap disekolah, aku selalu malu. Lebih tjelaka lagi djika ada djam gerak badan. Dalam gerak badan T*rus badiu dan sepatu ditanggalkan. Ini lebih tjelaka lagi, karena aku harus menanggalkan sepatu. Kalau sepatuku sudah terang dia rusak. Tetapi ketika sepatu ini telah terlepas ...... tinggallah gombal rompang-ramping kotor melekat dikaki. Inilah kaos kakiku. Kawan- kawan. memandangnja pula. Tetapi kemudian lekas-lekas'dipalingkannja Pula panxlangannja, takut kalau dikira mengedjek aku. Ini kebetulan agiku. Karena maluku akan bertambah dengan bau kaos kakiku jang etjut busuk. Maka oleh karena ini pulalah, djika aku hendak mentjopot sepatuku, aku pergi dulu djauh dari kawan-kawan dan dibalik sebuah pohon, kukerdjakanlah” (hal. 12). Satu tjerita jang tak djauh beda temanja dengan „Pantalon dan Se- t* k*1 <1 * t ^ *^er*ta i3uku”. Tapi nadanja lebih serius, anasir humor ri f a’fT1'/.tentanS pengalaman anak-anak jang melahirkan sematjam i sa at, nlsafat hidup anak-anak jang karfena ingin membeli buku, lalu me amun dan mendjalankan daja upaja bagaimana mendapatkan uang. f , r^ eJ?.ta, Kawin” dalam gajanja mengingatkan tjerita-tjerita rus „Djalan lain ke Roma” dan „Aki”. Djuga dalam liku-lekuk djalan P iran dan humomja, eerta adauja sadjak disana-sini. Tapi dalam ide, Kyono kadang-kadang lebih berani. Isak seorang klerk ketjil jang bertjita-tjita tentang kariemja dimasa epan: paugkatnja akan naik dari djurutulis djadi asisten wedana, kemu- an Jadi wedaua dan achimja djadi bupati. Dengan sendirinja gadjinja entu akan naik pula. Ia akan mempunjai anak sepuluh orang, masing- masing dengan keistimewaannja hingga Isak akan terdjamin hidupnja , ari t^anja. Jang pertama akan harus djadi dokler, jang kedua djadi i!11’ J^S ketiga djadi insinjur dan demikian seterusnja, jang keempat djadi portir bioskop, jang kelima kepala stasion, jang keenam kapten kapal dan seterusnja dan jang terachir ditjita-tjitakannja djadi bupati. Tapi semua tjita-tjita ini tak ada jang djadi. Sesudah 35 tahun Isak masih tetap seorang djurutulis ketjil, gadjinja sebulan kurang sadja, meskipim ia tak dapat anak dan hanja tinggal berdua dengan isterinja. Menarik hati tjerita ini karena humor jang terkandung dalamnja dan kritikan terhadap masjarakat jang nampak disana-sini. Misalnja kntik terhadap kebiasaan memberi sedekah pada pengemis dengan permintaan, supaja pengemis akan mendoakan kesedjahteraan dan keluarga orang jang tjukup kaja untuk memberi sedekah. Sungguh tanggapan jang terlalu berakar dalam masjarakat dan tidak dirasakan sebagai satu keanehan lagi, kalau tidak dipertentangkan paradoksnja. Saja kutipkan satu fragmen untuk memperliliatkan gaja dan nada edjekan Rijono dalam mengemu­ kakan gagasan: „Isak selalu menasehatkan kepada anaknja (ini), agar ia selalu mem­ beri sedekah kepada orang pengemis. Orang pengemis mempunjai doa jang mandjur, kata Isak. Dan anaknja mengangguk-anggukkan kepalanja, dan ia minta raeme- gang tangan bapaknja untuk ditjiumnja karena bapaknja telah mem­ berikan nasehat jang sangat berharga. Berkat doa-doa pengemis-pengemis, anak Isak jang bungsu ini, akan djadi asisten-wedana, kemudian djadi wedana, dan achirnja djadi bupati. Ia tak lupa-lupa, menurutkan nasehat bapaknja: memberi sedekah kepada pengemis-pengemis. Dan tiba-tiba ia djadi pusing kepala, seolah- olah otaknja mempunjai koreng jang bernanah dan berbau: Pengemis* pengemis dalam kota meradjalela ! Djumlahnja hampir menjamai penduduk asli. Anak Ishak djadi bingung, dan ia memutuskan: akan memilih dua tiga orang pengemis sadja, jang harus berdiam didalam kabupaten. Sisa* nja, harus diberantas ! Sampai-sampai ia achirnja berani memerintahkan dengan tangan besi: Bagi pengemis, hukuman pantjung kepala ! Tetapi tiga prang pengemis jang disuruhnja berdiam dikabupaten, mendjadi gemuk-gemuk. Mereka tak boleh bekerdja. Mereka harus du- duk-duduk sadja seperti kalau mereka duduk diperempatan djalan, dan mereka itu diberi makan minum dengan setjukupnja. Tapi satu hal tak boleh mereka lupakan: mereka harus senantiasa membatja doa agar anak Isak itu, dapat terus naik pangkat, setinggi mungkin jang dapat tertjapai olehnja. Anak Isak akan sadja memilih pengemis jang tidak dapat ber- djalan jang duduk diperempatan djalan dan jang dulu mendoakan bapak­ nja hingga djadi bupati” (hal. 39-40). Fantasi manusia jang berani mempersempurna tehnik jang akan menghantjurkan manusia sendiri dengan plastis dan lutju digambarkan oleh Rijono, gambaran jang mengandung kritikan sekali. Demikian dia bertjerita : „Anak Isak akan djadi seorang dokter, jang dapat memandjangkan umur manusia dengan sematjam suntikan. Orang jang telah tua, kulitnja telah berkerut-kerut, akan dibikinnja mendjadi seorang manusia baru, jang masih muda. Dan achirnja: Kepandaian anak leak ini meningkat terus, hingga achirnja dapat menghidupkan orang jang telah mati 3 hari lamanja. Sebuah keluarga jang sedang menangis tersedu-sedu menangisi seorang saudaranja jang meninggal, tiba-tiba hampir djadi orang setengah gila gemua, karena terlalu gembiranja, melihat majat saudaranja jang telah meninggal dunia itu dan telah agak berbau majat sedikit, hidup kembali: berkat pertolongan anak Isak. Dan seorang saudara dari orang jang mati iiu, malahan tidak setudju. Katanja: Kalau begitu, Tuhan bagaimana? Orang-orang tak akan ada jang mati lagi. Lalu dia bikin sjair: Dunia akan penuh manusia dan manusia djadi kekal Kiamat dunia ditahun 1991: akan madju beberapa tahun lagi. Kiamat dunia beberapa tahun lagi! Manusia akan makan manusia”. (hal. 42-43) Dan tentang anak Isak jang akan djadi insinjur katanja: „Mula-mula akan dibuatnja, sebuah istana jang berada diudara. Istana mi tergantung diawang-awang, dan djika ia hendak berhubungan dengan dunia, dipergunakanlah pesawat-pesawat terbang raksasa jang terbangnja melebihi ketjepatan suara. Sesudah itu dia akan bikin manusia-manusia timan daripada zat-zat jang terdapat dibumi. Manusia-manusia buatannja, meskipun masih agak kasar bentuknja, telah boleh dikatakan menjamai keadaan manusia. Dia dapat berpikir, dia dapat bekerdja. Dan orang-orang ini nanti akan disu- ruhnja mendjaga istananja diudara tadi, Mereka akan dipersendjatai de­ ngan sendjata-sendjata jang ultra modern, kata Isak. Dan mereka semua ini tidak akan takut mati. Mereka akan membela anaknja dengan mati- matian djika ada sesuatu jang menjerang anaknja itu. Dan seorang daripada manusia buatan ini nanti akan bikin sadjak pula: Manusia bangsaku akan memerintah dunia Manusia jang membikin kami, akan kita bikin musnah! Manusia asli akan lenjap Dan manusia bikinannja akan mengganti. Anak Isak akan tersenjum, dan dia bilang: Tidak bisa! Tidak bisa! Aku punja sendjata sebesar bidji djagung. Dan djika kamu manusiaku ...... akan berontak, kamu akan djadi aether !” (lial. 43-44). Demikianlah permainan fantasi Rijono jang hidup dan lintjah. Tjerita „Dengan Maut” mulai memperlihatkan kemau-mauan Rijono: mentjiptakan suasana jang serem menggetarkan dengan djalinan plot jang penuh ketegangan. Seorang guru ditangkap gerombolan dan didjatuhi hu> uman mati. Karena diketahui bahwa ia djuga pengarang, padanja diberi kesempatan menulis oleh kepala gerombolan. Lima setengah djam dia me- nulis tak henti-hentinja, kemudian dibawa ketempat exekusi. Tapi tiba-tiba datang perintah dari atasan menunda liukuman mati itu. Padanja diberi Kesempatan pula menulis dan duapuluh djam dia terus-menerus pula me- nulis mentjatat pengalamannja. Keeeokan harinja ia dibawa pula ke- tempat exekusi, tapi pun kali ini hukumannja ditunda dan ia dapat ke- sempatan lagi menulis sembilan djam. Dan achirnja ia dibebaskan sama sekali. Tulisannja kemudian diterbitkan sebagai buku. Sajang pertanjaan-pertanjaan jang menimbulkan ketegangan pada tje* rita, tidak dapat djawaban setjukupnja. Ketegangan-ketegangan tidak tju- kup diduktmg oleh motivasi-motivasi. Apa sebabnja sang guru ditjulik dan atas dakwaan apa ia dihukum, tidak djelas. Apa sebabnja pelaksanaan hu- kuman matinja ditunda sampai beberapa kali dan achirnja dibatalkan sa­ ma sekali/djuga tidak djelas. Apa jang djadi pertimbangan kepala gerom- holan memberi kesenipatan menulis dan apa maunja dengan tulisan itu, hegitupun apa jang dipikirkan guru pengarang tidak terang. Ketegangan jang kita alami sampai achir tjerita, berdasarkan pertanjaan-pertanjaan jang tidak berdjawab dan karena itu mengetjewakan. Apa jang dituliskan sang guru pengarang dalam kurang lebih tigapu- luh lima djam, hanja dinjatakan dengan kata-kata jang umum dan tidak mengesan. Mungkin akan lebih memuaskan, apabila tjerita langsung me* rupakan buku tjatatan sang guru pengarang, dimana dia mengisahkan pe- ngalamannja dan mengemukakan penemuan-penemuan nilai hidup. Tapi djustru inilah jang tidak kita temukan pada Rijono dan kemudian djadi kekurangannja jang kronis. Sungguh interesan sekali mengetahui apa jang ditulis siterhukum dalam tiga puluh lima djam achir-achir hajatnja itu, satu kesempatan jang memungkinkan orang bikin roman jang tebal, kalau memang telah matang pengalaman. Si Aku penindjau dalam tjerita mejakin-jakinkan kita: „Ia (si guru pengarang) mu'ai menulis. Biar liatinja putus. Hanja karena dorongan, ingin meninggalkan kata-kata penghabisan. Dan kalau sudah membatja kata peninggalan ini kau akan mentjutjurkan air matamu. Hatimu akan hantjur, dan ia akan terus menggores dalam hati. Sehari kaubatja dua kali, tetap ia tak membosankan”. Tentu ada interupsi dari kita: „Apa jang dituhsnja ?” tapi tidak ada djawaban. Kepala gerombolan jang membuka*buka itu hanja ber- kata: „Ah, sudah banjak betul”. Dan diberinja waktu menulis lima menit laSi’ v ... Dan kembali si Aku penindiau mejakinkan: „Bagian tulisannja mi- lah, jang penuh berdjiwa, mendjadi djiwa seluruh karangannja. Bagian inilah jang banjak memungkinkan menghanjut bendungan air mata, jang selama membatji* itu, ditioba untuk membendungnja”. Tapi apa isi tulisan itu masih tetan gelap bagi kita. Sabarlah, mungkin nanti tabir terbuka djuga. Sesudah dua puluh djam menulis lagi si Aku penindjau hanja mengatakan bahwa si guru pengarang „antarania minta ammin kehadapan Tuhan. Ia tak berdosa. Ia memberi nasihat. Ia memberi petua” . Kita mulai ketjewa. Dan apabila pada kesempatan ketiga kalinja kita tidak diuga disuguhi sesuatu pendielasan istimewa, maka kita me­ rasa seperti baru sadja menghadiri pidato tukang obat jang menarik, tapi tidak mejakinkan untuk membeli obatnja. Dan tidaklah kita merasa sang guru pengarang telah dirugikan, bahwa bukunja hanja dinilai har- ganja satu rupiah satu buku. SI BANGKA DAN BEBERAPA TJERITA PENDEK LAIN

    Dalam kumpulan Si Rangka dan beberapa tjerita pendek lain, di- muat tjerita-tjerita Rijono jang serem. Tapi kalau dalam beberapa tjerita dalam Api kesereman itu disebabkan karena kedjadian-kedjadian jang wadjar dalam masjarakat, maka dalam Si Rangka kesereman itu dise­ babkan karena hubungan dengan kepertjajaan dan tahjul. Sebagai orang jang suka mentjeritakan tentang tahjul, ingin kita mengetahui bagaimana kepertjajaan Rijono dan sikapnja terhadap tah­ jul. Dalam pendjelasannja terhadap sorotan saja mengenai Kepandja- ngannja *) dalam Kisah, dikatakannja, bahwa „Pada djaman ini, bukan djamannja orang (apalagi jang sudah merasa terpeladjar) suka tahjul. Tapi saja tidak segan-segan (biar bagaixnana kata orang) untuk bertje- rakjat"1*1) S tjerita-tjerita demikian masih terdapat pula pada n p r t ^ ^ ^ T 311- ln\ ^ a ? dif ? matis' karena Rijono tidak mendjawab bisa seora'”s pertjaja pada tahjul dan agaLjaLnfa ma^ jang beredar dikalangan rakjat. Hanja dengan demikLn Hta b i a me- nerima betapa ia dalam tjenta-tjerita lain seo^ah membenarkan adinia tahjul, ja.tu dengan memandangnja dari sudut pandangan rakjat Rijono sendiri menganggap tahjul suatu penjakit rakjat J J ada ^erm^^nvmatja^'kepert^ajaa^^dilT^1'^ bahwa luas pula. Ketjuali lingk^gan ^a^arakat '* ^ atau sok tak pertiaia kiti j - l . 1SWa Jan& tak Pertl aJa pertengahan pegawai dan pengusaha' seaman oranS Solo“S“n gang. ’ seimnan» tentara, petani dan peda- da.amj d L ^ o tikaL stnSp“ •“ bi°a diha.i mengandung kepertjajaan tahii 1 1 3 . Je" ta‘tJenta Jang memihak dan serem meng^riSr aDi Hdat " ‘I"1*"**** 5a«g sekedar Tjiri janB L ,s ^ tahjul. baik jang berhubungan maunun inn’ 'r i l kerahaslaan jang mengerikan, tahjul. g maupun jang tidak langsung berhubungan dengan n ja ^ lC k /h Z p a L ^ n Z a ^ ^ R 81 *a"/ca” -Kepand jansan- tergolong djuga dalam d jc n u Z t k f S* * * “ -Tangan”. ,,Melia"’ djadian dalam kenjataai. mengenai buah mimpi jang ke- Termasuk djenis kedua tierita r, , seekor Andjing” dan,, TawanfuLukisan”, „Setia tjenderung memarukkannia dalam ' .J^ a ;3atu Alam” saja ber- tang buah mimpi jang kedj«d’ ! ^ 1* ^ ^ n ? IM* kiP“ ™ djuga ten- nja gramt djadi kapur, jang oleh peLaraL dh ia'ah berubah- rena reaksz kimia dan oleh karena ftu teranln, I ” "? " disebabkan ka- kenjataan ilmiah. Begitupun saja rasa Hrll * 1 duaia tahJul kedunia ------J »a tidak tentang tahjul tierita Pen- 1) Lihat djuga Jassin, Analisa tjet ke 9 ’ 2 ) Kisah n/5, Mei 1954. J ' ke‘2’ Gui™ng Agung, Djakarta 1965. tiaharian jang djudjur”, karena tukang kebun jang ditjeritakan berhu- bungan dengan roh tidak sebenamja demikian, ia hanja menderita sakit halusinasi. . . Diluar pembagian dalam dua golongan ini berdiri ,,Kepertjajaan seorang Rakjat”, karena isinja tidak memihak kepertjajaan tahjul dan suasananja pun tidak serem. Ini bisa dianggap sebagai suatu pendjelasan Rijono tentang sikapnja terhadap kepertjajaan tahjul dan tidak kebetu- lan ditaruh paling achir. Dari tierita-tjerita djenis pertama, jang paling berhasil mengungkap- kan suasana serem ialah „Si Rangka” . Seorang isteri muda saban malam mendengar suara biola dari kamar sebelahnja, tapi anehnja suaminja tidak mendengar apa-apa. Pendengaran itu disertai rasa takut jang tak dapat diterangkannja dan tak dapat dihalaukan oleh suammja dengan kata-kata dan budjukan. Pada suatu malam ketika sang isteri ditinggalkan suaminja untuk suatu urusan jang penting, ia ketamuan seorang sahStbat lama, Narjo. Ta- mu ini sudah beberapa kali datang, tapi selalu apabila sang suami tak ada dirumah. ICatanja ia sedang tjari rumah baru, karena rumahnja j g

    tjintanja. Katanja ia selalu main menggesek biota

    lih seDerti tertindih oleh sesuatu jang berat. Uh sepem achirnia digali tempat arah suara itu Atas petundjuk seorang d , . . kemudian dikuburkan datang dan diketemukanlah rang ^ -a kembali ketamuan Narjo ditempat lam. Tapi Suriah t kprUinahnia jang baru dan iapim meng- jang mengadjaknja pergi, pulang kerumalmja j c hembuskan nafasnja jang penghabisan. M oleh pertjakapan-pertjakapan jang ke Ketegangan lerpehhara b maknanja 3ebel„m mendjelang achir rahasiaan dan tidak dising I s(,d;kil demi sedikit. Kita begitu di- l i t a n y dakla6.fm™Spi ^ * * * . . i • VU „tn tiara pentjeritaan Poe, jang dalam mentjiptakan D i s m i s a j a hhat satu tjar P ^ J ^ sampai achir tjerita, dengan kesereman, djuga meme ^ fcesatuan tudjuan dan kesatuan efeekP1aa„ 7 ^ t u k S a p a i n j a didjuruskan segala siasat tehmk sastra

    kePtpSah apa *- £*» t n Z f n , k“a S K * la VW * * *“ * ^ mukau pembatja sampai keacliir tjerita. i) BuhuKita U/9, September 1956. Tjaranja menjusun tjerita memungkinkan adnnja daja tjerita pe- ngikat itu. Ia seenaknja menambah mengurangi sesuatu ditengJh-tengaB tjerita demi kelantjaran kisah. 8 ° " „Disuruhnja kita kagum akan kekajaan fantasinja dan dinaksanja lata menggeleng-gelengkan kepala akan keluarbiasaan daja fantasija. Di- pukaunja fat. buat terus membatja, diseretnja kita mengikuti demi raha^a benkut segala likunja sampai keachir tjerita: iui berkat kepandatannja membangun tjerita, dalam tjaranja mengachiri serta dalam tjarania me- mulai, jang semuanja memhikin pembatja bertanja-tanja. Inilah kekuatan Rijono jang seolah sedang menumpuk, menjusun batu demi batu Kita t.dak beram tjepat-tjepat bilaug tumpukau batu itu ban™ a„ sedung

    Djika RijoanoU ^ WaSa Sebe.,Um t*® """ **" e S k i08 u i v i. !i. memasangkan batu terachir ataunun atannia bertingkat P ^ g

    saua^erem'd^m baSaimana tjaranja Rijono mentjiptakan sua­ sana serem dan memehhara ketegangan dalam tjeritanja „Si Rangka” . d a ta n ^ ^ a „ ^ . (}atang bertamu dikatakan, bahwa ia selalu pada kita Din™ n8 T*™* B?nJamin tidak ada- Ini menimbulkan tjuriga racsa i, ? Sang lsteri* Suriah. Apalagi bagi Suriah, iang me- n ja Tamu ^ a ^ T n 31^ ^ i ! ” 8UmUr 3*ang dalam’ aPabila menatap mata- menjebutkan temn Perasaan gamang ini tidak pula mau hingga ia W in nfn^ kediamannja, iang katanja ditekan oleh pihak lain Semua itu I j i - pa P*bak lain itu» tldak ma« ia menjebutnja. tahu Dan m ,^ lklD 8" asana kerahasiaan, jang merangsang keinginan S n l Aku T i T D buI« r°ma Perkataan Nari° janI bisa diartikan Lalu fc nang berkubur di™mab” mengerikan V a n ^ l ? 11- andjinS menggonggong dengan suaranja jang mengsesek i J.0 mentJeritakan riwajat hidupnja, kegemarannja fegeseK uiola dan tjaranja ia mati dianiaja oleh Djepang. rita: dhemukln11 klta, detik demi detik dibawa pada pengachiran tje- jang penghabisan^11 manu8ia dan Suriah menghembuskan nafasnja

    terka. ^ u r i a ^ i ^ ™ ^ ^ 363113 ada dJuSa terdJadi keHutjuan, karena salah bertania nada =,fg selalu mengeluh mendengar biola, pada suatu kali meredakan talr a™inJa: »Mas, engkau tiada mendengar?” Dan untuk

    takdjuga usah mendengarnTaerjaha’ »ak„i« nfi . ’ akua k endd-iaWaI> dJ“Sa mendengamja, ‘ T 8Uan,-1: karenai,’B i°la ituJah engkau? ^ tani suara « * P* terni ala j atl bukan mendengar suara biola lagi, tapi suara orang merimih, seperti tertindih barang jang berat. iann- hilanl6^ adJail) pula tjerita „Kepandjangannja”. J) Seorang baji djing Duannluh "f ^ and.unf an, kemudian hidup dalam rupa seekor an- diadi manusia 13 ,h\ P sebaSai hewan dan baru beralih rupa Apa sebab mat♦ V- tatkaIa menghembuskan nafas jang penghabisan. dan kerah^i™ 1? £ j?dl keadjaiban-keadjaiban itu, tidak didjelaskan -kerahasian tetap tinggal rahasia. Hilangnja baji dalam

    kembal? SfSm l? at sorotajl saja dalam Kisah Maret dimuat Kembali dalam Analisa, Gunung Agung, DjakartaTL/3, 1961. 1954, kandungan dikatakan terdjadi sesudah sang isteri bermimpi telah mela- hirkau anaknja. Djuga kisah tentang peralihan rupa tjerita „Pembalasan pada Manu­ sia” . Ini tentang seorang jang dengan tidak setaliunja berubah djadi bina* tang dan makan bajinja, karena disangkanja semangka. Apa sebabnja orang itu djadi binatang dan kemudian sesudah mati kembali djadi ma­ nusia, tidak- didjelaskan. Hanja dikatakan, bahwa pernah ada orang jang mati kena pagar listerik, karena hendak mentjuri semangka. Orang inilah rupanja jang membalas dendam. Tapi pembalasan dendam itu tidak di- tudjukan pada orang jang memasang kawat berlisterik, tapi terhadap orang lain jang tidak bersalah apa-apa. Satu keberatan besar bisa dikemukakan terhadap tjerita-tjerita Rijono Pratikto, seperti djuga terhadap tjerita-tjerita umumnja jang hanja untuk sensasi, jaitu tak adanja anasir moral. Betapapun terguntjang- nja imadjinasi kita karena pentjiptaan suasana jang berhasil, kita sukar menemukan sesuatu jang bisa dipetik bagi pengajaan batin. Kita perha- tikanlah misalnja „Tiga Benua”, „Melia” dan „Setia seekor Andjing” „Tiga Benua” satu tjerita tentang djin-djin. Sepasang suami isteri jang kaja dan liidup bahagia, selalu dapat gangguan dari pentjuri. KarenJ itu dengan pertolongan seorang Arab, raereka memelihara beberapa djm. Tjelakanja diantara djin-djin itu ada satu djin wanita jang djadi rebutan antara djin-djin lelaki. Rumah suami isteri oleh karenanja s e l a l u hiruK pikuk tanpa kelihatan apa-apa. Achirnja tinggal lagi sepasang suami isteri djin, karena jang lain lain mati semua dalam perebutan. Rumah djadi aman kembali, tapi kemudian sepasang djin ini beroleh anak-anak dan timbul pikiran mereka untuk menguasai rumah seluruhnja dan mengusir penghuni jang sah. Untuk mentjapai maksud itu, mereka bikin gara-gara. Dua° orang anak penghuni manusia dibikinnja sakit, hingga meninggaJ berturut-turut. Ketika anak ketiga djatuh sakit pula, suami isteri manu- sia pergi kedukun dan dikctahuilah siapa jang menjebabkan penjakit. Tapi orang Arab jang punja djin telah pindah dan terpaksalah sang dukun sendiri menghadapi djin-djin dengan mantera-mantera, diban u oleh suami isteri dengan doa dan puasa. Berbulan-bulan perdjuangan denaan djin berdjalan dan melihat gelagatnja manusia akan kalah. isteri beragak-agak akan pindah, tapi djustru waktu itulah orang ra pulang dari perdjalanan dan mengusir djin-djin. Namun demiki;an J«e- luarga manusia pindah djuga, karena rumah mereka telah penuh diramnan tumbulian. Agaknja tjerita ini dibangun oleh Rijono tatkala melihat rumah tua jang tak dapat didiami lagi dan mendengar riwajainja dan orang Kam­ pung. Banjak tjerita-tjerita Rijono jang terdjadi demikian. T e n t u sadja ia dalam membangun tjeritanja menambah mengnrangi dengan tanta;I?J_ sendiri. Mengenai tjerita ini, tidak terang apa sebab dia menjebutnja « Al* Benua”, karena hnnja ada satu rumah jang kemudian merupakan sa benua tumbuhan. Suasana kegaiban dan kengerian tidak tertjipta, rena tjerita lebih banjak didjelaskan dari didramatisir. Djuga sukar memetik apa-apa dari tjerita Rijono „Melia”, jang me- ngisahkaa tentang seorang pengarang wanita jang perasa, pe‘ nulis tjerita dan penjair. Karena mengundjungi rumah buta, ia dikedjar- kedjar mimpi bahwa anaknja akan tjatjat. Dan betul sadja, anaknja lahir tjatjat dan meninggal. Tidak dikatakan tjatjat apa, buta, tuli, tak punja kaki dan tangan, dempet, ataukah punja tiga buah dada, seperti jang di- mimpikannja bertnrut turut. Bagaimana kedjadian ketjil bisa merangsang fantasi Rijono, nampak pula dalam „Setia seekor Andjing” . Pamannja menemukan seekor andjing ketjil dan memeliharanja sampai besar dan sesudah paman meninggal, andjing jang setia itu sampai beberapa kali menggali paman dari kubumja. Orisinil tjerita Rijono „Tawanan jang lari”, dimana ia mentjeritakan 6atu tragik jang menggelikan. Seorang tawanan siuman kembali dari ping- sannja kena peluru dan mendapati tangannja terikat dengan rantai pada polisi pengawalnja jang telah mati dalam serbuan gerombolon. Supaja dapat melarikan diri dipotongnja tangan pengawal itu, tapi keratan ta­ ngan jang tinggal tak mau lepas dari rautainja. Terpaksalah ia lari dengan membawa keratan tangan itji dan mau ia rasanja memotong tangannja sendiri, agar lepas dari tangan jang membusuk itu. Tapi pisau ketinggalan. Urat sarafnja djadi terganggu dan ia lari ketakutan kian ke- man, hingga achirnja patroli menembaknja mati. Saudara boleh pertjaja atau tidak, tapi nampak disini sampai kemana ima jinasi Rijono mendjeladjah kemungkinan-kemungkinan daerah pe- agalaman manusia. D Seln .ia ^ tangan pula Rijono bertjerita dalam kisahnja jang ju u enilkian. Satu sisa pasukan jang terpukul kutjarkatjir dan C.Kang mfntiari djalan keluar dari kepungan musuh, menemui majat erapa awan mereka jang tertimbun oleh puing dan kemudian majat •epa a pasu an mereka sendiri. Anehnja jang tersebut kemudian ini hanja T n^ - ej^ ar seo^a^ menghadang sedang badannja tertimbun sa- n„olllr„ ’ er J , 1 Perteugkaran antara anak buah dan pengganti kepala satn ba^wa perdjalanan harus diteruskan. Tapi belum dan aia 6 6£ mereka berdjalan, mereka telah masuk perangkap musuh dan sisa pasukan gugur semua.

    dilukiskau Rijono dalam „Pada Sebuah Lukisan”, terkemuka. Satu buk^ P®ngaranS sadistis oleh seorang pamong pendidik n crp*r! in i nairwa pengarang berhasil menimbulkan efek ke* tentanir cm** es^‘aman pada pembatja. Dalamnja Rijono mengisalikan pelukis samh^f *8 t,entara jang sedang duduk dilukis oleh seorang nialc me,ltJeritakan pengalamannja dimasa lalu. Ia sudah ba­ dan mata-mata B ^ a n d a ^ ^ ’ antarania Achmad, seorang pengchianat kinnia ___ • i. . „ Bagaimana tjaranja la membunuh, digambar- Mula-mula hmdalf‘dibakami “ f .dil|fekiknjaf) darahnja. w U "ak r d f t r a-dalam gUtji’ »P«i! f “ P“ B dikubu, Tapi semnat mpnJk .^imja perutnja sadja dibedahnja, tapi sebelum ia sempat menguburnja, ia kedapatan oleh Belanda. bar !J’erila dengan tidak disadari pelukis, telah tergain- muka harimau diatas kanpas. a am pembitjaraannja dalam Tjerita-pendek Indonesia Aiip Rosidi membandujgkan tjerita ini dengan tjerita Poe „Kutjing Hitam”, jang djuga mengisahkan kekedjaman demikian. Dan Poe pun pernah dituduh orang sadistis, masochistis, vampiristie dan sebagainja, karena tjerita- tjeritanja jang dianggap terlahir dari djiwa jang sakit. Mengingatkan pada Poe ketjuali tjara menimbulkan suasana dan tjara memelihara ketegangan, djuga isi beberapa adegan dalam tjerita dan djalan beberapa tjerita. Kekedjaman terhadap binatang dan manusia, seperti kita lihat dalam karangan „Kutjing Hitam”, nampak pula dalam karangan Rijono ,,Kepertjajaan seorang Rakjat” dan „Pada Sebuah Lu­ kisan”- Djalan tjerita Rijono „Batu Alam” dengan beberapa ubahan t'okoh dan pokok perhatian, mengingatkan „The Gold-Bug” Poe. Apabila dalam The Gold-Bug gambaran pada perkamen djadi timbul, karena panasnja api menjebabkan perubahan-perubahan kimia, maka dalam Batu Alam perubahan kimia itu menjebabkan batu keras berubah djadi kapur. Hanja pada Poe lebih teliti dan mejakinkan tjaranja menerangkan kedjadiau* kedjadian misteri dengan akal pikiran. Malah dalam tjerita-tjeriilanja jang bersifat .tjerita detektif, analisa dengan akal pikiran itu sangat kuat. Kaiangan-karangan Poe dikatakan orang seperti bangunan arsitektur dan demikian pula agaknja pendapat Rijono mengenai bangunan tjerita­ nja. Bagi keduanja tjerita adalah suatu hasil1 pemikiran otak terutama, diisi dengan daja imadjinasi jang kaja. Kalau daja imadjinasi itu pada Poe bersumber pada tjerita-ajerita tahjul orang Negro jang semasa ketjil didengarkannja dengan minat, maka pada Rijono sumber itu ialah dongeng-dongeng rakjat sekitarnja.

    Tjerita „Batu Alam” 6ingkatnja seperti berikut. Ketjewa dengan kehidupan kota, seorang pematung menarik diri dan hidup sebagai pe* tani dengan isterinja diudik. Sampai pada suatu hari ia mengundang ka- wannja Ton, supaja datang ketempatnja untuk membantunja dengan suatu pekerdjaan jang penting. Ingin mengetahui keadaan kawannja, Ton memenuhi undangan itu. Temjata Sumanta — demikian nama pematuug itu — sudah djadi petani jang makmur, tapi kesukaannja jang lama tak dilupakannja, Dalam rumahnja banjak patung-patung dan ia sedang sibuk dengan rentjana besar jang timbul karena ia m im pi kedatangan seorang asing. Orang asing itu menjuruhnja menggali bukit dekat rumahnja. Djika tanah dan rumput jang menutupinja disingkirkan, .maka batu akan timbul, baik sekali untuk dipahat djadi artja jang besar. Betul sadja sesudah diselidiki memang ada batu besar dalam bukit itu dan dengan bantuan Ton, Sumanta berminggu-minggu menggali bukit itu, hingga sesudah dua bulan achirnja muntjul satu batu tunggal jang besar sebangsa granit. Sumanta dengan segera mengerdjakan batu itu, tak kenal siang dan malam, memberituk 6atu artja gerilja. Hudjan dalam pada itu tak turun-turun dan patjeklik mengantjam. Bertentangan dengan kemauan petani-petani jang mendoa supaja hudjan turun, Sumanta sebaliknja membentji hudjan karena akan menghambat peker- djaannja. Tapi pada suatu malam turim djuga hudjan Iebat dan keesok- an harinja Sumanta melihat hasil tjiptaannja telah berubah djadi tumpukan kapur. Rupanja air hudjan telah menjebabkan reaksi kimia jang merobah batu djadi kapur. Ketegangan terpelihara baik dalam tjerita ini. Tapi ada beberapa hal jang tidak dipertanggungdjawabkan. Dalam perdjalanan kerumah Sumanta, kusir delman mentjeritakan pada Ton dongengan rakjat ba- gaimaiia terdjadinja bukit batu. ICatanja bukit itu sebenarnja badan raksasa jang dibunuh dan ditanam disitu dan senantiasa masih mengha- rapkan membalas dendam pada manusia. Dalam mimpi Sumanta r a k s a s a ini tidak muntjul, hanja dikatakan seorang asing. Dan apabila peker- djaan achirnja gagal, kita masih mentjari-tjari hubungan kedjadian ini dengan tjerita sang kusir jang mengandung antjaman kemasa depan. Karena hubungan antara kedjadian dengan dongengan dan impian samar- samar maka efek kesereman djadi bujar. Keterangan reaksi kimia akan lebih mejakinkan, apabila disertai rumus-rumus analisa kimia. Tjerita „Pentjaharian jang djudjur” mengisahkan tentang seorang tukang arit jang bekerdja pada suatu keluarga untuk menambah peng- hasilannja. Tapi ia dianggap gila sebab bagi orang lain, rumah jang saban hari dibersihkannja, nampak sebagai puing belaka dan p e n g h u n i rumah itu telah tewas kena bom dimasa revolusi. Anehnja pak Djojo — demikian nama tukang arit itu — dapat memperlihatkan uang jang diterimanja dari njonja rumah. Ia ditangkap dan dituduh mentjuri, tatkala didapati oleh ahli waris sedang membuka lemari untuk meng- ambil gadjinja. Tak adanja batas antara kenjataan dan chajal, pada kita menimhul- kan sangkaan, bahwa Pak Djojo menderita penjakit halusinasi. Dalam tjerita jang terachir, „Kepertjajaan seorang Rakjat”, Rijono berkisah tentang pengalainan seorang mahasiswa dengan seorang tukang sate jang tatkala berpapasan dimintainja api. Si Tukang sate gusar, karena kedjadian itu suatu alamat, bahwa dagangannja takkan laku. Tapi si maha- siswa menghibumja dengan mengatakan, bahwa kepertjajaan itu hanja tahjul. Dan untuk membuktikan dengan mata kepala sendiri benar tidak- nja, mendjelang tengah malam si mahasiswa mentjari tukang sate itu ditempatnja biasa berdjualan. Dan sebenarnja, satenja masih banjak. Tanpa pikir pandjang si mahasiswa memborong semua sate — lebih 200 tusuk — hanja untuk mempertahankan utjapan jang telah dilahir- kannja. Tapi apa latjur ? Keesokan harinja didengamja dari si tukang sate, bahwa sate jang dibelinja malam kemarinnja itu, adalah punja te- mannja jang dititipkan padanja, sedang dagangannja sendiri sudah laris. Dalam tjerita ini Rijono tidak meninggalkan humornja. Kita terpaksa tertawa memikirkan akan diapakannja sate eekian banjak itu dan kita merasa geli, bahwa ia ternjata tertipu karena salah sangka. . Soal. lain ialah, apakah ia telah menjembuhkan apa jang dianggap- nja penjakit rakjat? Saja kira tidak. Kepertjajaan jang telah turun- teJn^rUn» tidak bisa dibatalkan dengan satu pertjobaan sadja. Malah ia e ah menambah penjakit tukang sate jang dengan sengadja (?) mem* ohong dan mengatakan bahwa dagangannja belum laku, pada hal dia hanja menunggui dagangan kawannja. K i .^ ta tak dapat mengatakan bahwa Rijono tak tjukup punja kepri- badian dan hanja mentjontoh Poe, karena oleh penggalian dalam masja­ rakat jang lain, ia menemukan banjak kedjadian dan situasi jang lain. Lagipula dalam situasi-situasi jang serem, ia masih bisa menemukaii Iial-hal jang menggelikan, satu hal jang tak kita temukan pada Poe. Mengenai telinik tjerita, nampaknja ia masih terus dalam pentjarian. Tjerita-tjeritanja jang ditulis kemudian dari Si Rangka dan belum sem - pat dibukukan, memperlihatkan usaha untuk melepaskan diri dari pe- ngarang Amerika itu. x)

    1) Lihatlah pendjelasannja mengenai tehnik tjerita-tjeritanja ,,Beberapa Experimen”, dimuat dalam Siasat X/455, 29 Pebruari 1956.

    INDEKS

    A Dibawah Lindungan Kaabah, 108 Aidit, Sobron, 15, 78 Dimyati, M., 15 Ajip, lih.: Rosidi, Rossidhy Dini, Nh., 135 Ali, Muhammad, J/S-56, 65, 79 Ditengah Keluarga, 78, 8Jr 88, 92 Alisjahbana, Sutan Takdir, 9, 12, Ditcpi Kali Bekasi, 14, 31 31, 88 Djalan Mutiara, 14 Ananda, Yusach, 15, 16 DjaJan tak ada XJdjung, 11, 14 Angin Laut, 132-11,1 Djangir Bali, 108 angkatan, soal, 29 Djedjak Langkah, 14 Angkatan 45, 88 Donggo, 97 Anwar, Chairil, 17, 19, 23, 32, 34, 39, Dostojefski, 17, 23 41, 59, 61, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 89, Dringkgelag, 28 100, 150 Dua Dnnia, 117-121, 135 Anwar, Rosihan, 28, 29, 32, 39 Api dan beberapa Tjerita pendek E lain, 14, 150-157 Ehrenburg, Ilya, 17, 32, 33 Apin, Rivai, 17, 30, 32, 98 Eliot, 17 Apollinaire, Guillaume, 59 Elsschot, Williem, 73 Ardan, S.M., 15, 16, 32, 78, 159 Eros, 28 Atheis, 55, 56 Etsa, 57, 59, 75 atheisme, 24, 25 cxistensialisme, existensialis, 24, 25, atheisme-theisme, 25 35 Auden, 98 expresionisme, 33, 34 Austin, Jane, 31 Awal dan Mira, 14 F Freud, 93 B Bachtiar, Toto Sudarto, 30, 32, 57-77 G Balfas, M., 11, 14, 72, 73, 136, 148 Gastmahl, 28 Baudelaire, 32, 70 Gelanggang, 19 Beirce, Ambrose 31 Gema Suasana, 43 Boutens, P.C., 2 8 Gcma Tanah Air, 39, 40 Budaya, 17, 43 ”gezag” 40-41 Bukan Pasarmalam, 14, 31 Gide, 32 Bunga Rumah Mahan, 14 Goethe, 17, 23, 53 Boesje, Mottinggo, 117 U C Hadimadja, Aoh K arta, lih.: K arta- Camus, 17, 33 hadimadja Chairil, lih.: Anwar Hamka, 108 D Hamzah, Amir, 39, 107 Harijadi, lih.: Hartowardojo, Harija- Darmawidjaja, 40 Dia jang menjerah, 14, 31 di S. Hartowardojo, Harijadi S., 15, 30, 32,. 77 Heidegger, 25 Laki-laki dan Mesiu, 132, l^l~ih^ Lavelle, 25 Hindu, 108 Hitam atas Putih, JfS-52 Leo, Alexandre, 15, 101-107, 109 Homeros, 17 5 Tragedi, 43, 47, 5 4 -5 5 humor, 154, 155 Lingkaran-lingkaran retak, 14 Lubis, Mochtar, 1 4 , 1 7

    M Idris, Soewardi, 15 MacLeish, 73 Idrus, 16, 17, 32, 39, 40, 150, 153, 1 5 4 Mahabrata, 17, 23 Ilias, 23 Manusia dan Tanahnja, 1 4 impresionisme, 33 Marcel, Gabriel, 25 Indonesia, 43 Marpaung, Darius, 1 7 Iqbal, Muhammad, 2 5 Marsman, 12 Iskandar, Nur Sutan, 8 8 , 108 M a’ruf, Anas, 34, 39, 84 Islam, 25, 35, 107, 108 Mereka jang dilumpuhkan, 14, 31, 139 metafor, 23, 70 Mimbar Indonesia, 17, 4 3 Jacub, Dt. B. Nurdin, 1 1 7 Mohtar, Toha, 122-1S1 Jang terempas dan terkandas, 14 Mounier, Emamnuel, 25 Jaspers, 25 My Name is Aram, 84 Jassin. H.B., 30, 33, 39, 8 8 N K Nashar, 89 Kalidasa, 17 Nasrani, 108 naturalisme, 33 Kartadinata, Abas, 1 6 , 1 3 7 Kartahadimadja, Aoh, 14 Navis, A.A., 108-116, 117 Kartini, Raden Adjeng, 1 1 9 Nietzsche, 100 Kassner, Rudolf, 28 Notosusanto, Nugroho, 11 12, 19, 20, 28, 104 Katahati dan Perbuatan, 1 4 Nugroho, lih. Notosusanto Kedjatuhan dan Hati, 1 4 Nuraini, Siti, 30 U, 13, 14, 31, 79 Nusantara, N.V., 117 78' 64' 97-10° O Kierkegaard, 24 Odysseus, 23 Kirdjomuljo, S., 1 5 7 7 Kisah, 17, 43, 56 Orang jang kembali, 101-107 Orang-orang sial, 14 Kisah sewadjarnja. 1 4 Koestler, 3 2 Komedi Manusia, 8 4 Pane, Sanusi, 95 Komunisme, steisel, 33 pendangkalan, 24 Konfrontasi, 9 , n , 4 3 8g Perburuan, 14, 31 Kongres Perdamaian, 3 3 Perdjalanan Penganten, 78, 84, Krandji Bekasi djatuh, 3 1 Persetudjuan dangan Iblis, 43, 53-54 krisis kesusastraan, 8 - 2 6 , 28-35 personalisme, 25 ntenum sastra, 37, 38, 40, 4 1 4 2 Pertjikan Revolusi, 14, 31 Kubur tak berta^a, ,43. 4 7 5 2 -5 3 , 5 4 pesimisme, 11 Pcsta, 78, 94-96, 97 Si Djamal dan Tjerita-tjerita tain, 14 plagiat, 41 Siksa dan Bajangan, 43, 46, 47, 53, 55 Plato, 28 simbolik, 70-71 Poe, Allan, 159, 162, 163, 164 simbolisme,, 33 34, 70 polyinterpretabel, 70, 71 SimposiiWi, 28 Pram, Pramoedya, lih.: Toer, Pra- Simposum di Amsterdam, 14, 28 moedya Ananta sinisme, 150, 153 Pratikto, Rijono, 14 15, 32, 116, Si Rangka, 150, 150-165 150-165 Siregar, Bakri, 14 Prosa, 56 Siswo, Aris, 15 Pudjangga Baru, 9, 88 Sitor, lih.: Situmorang Pudjangga Baru 9, 43 Siti Nurbaja, 56 Pudjani, 15 Situmorang, Sitor, 14, 17, 23, 28, 32, Pulang, 122-131 33, 34, 35, 38, 40, 88, 96, 100 R Slametmuljono, 24 Sokrates, 28 Ramadhan K.H ., 15 Sontani, Utuy Tatang, 14, 32, 38 Ramayana, 23 Stalin, 33 Rang-kuti, 25 Rendra, W.S., 15, 100 Sticusa, 9, 88 Rimbaud, 32, 35, 70 Suara, 57-77 Rivai, lih.: Apin Subuh, 14 31 Robohnja Surau Kami, 108-116, 117 Sudjatmoko, 10 n, 11, 88 roman, 12 Sukanto S.A., 15 Rosdy, Zen, 15 Sumardjo, Trisno, 14, 117 Rosidi, Ajip, lih. djuga: Rossidhy, Supangat, Walujati, 15 AJip, 78-100, 162 Surat Kertas hidjau, 14 Rosihan, lih.: Anwar, Rosihan

    Rossidhy, A ., lih. djuga: Rosidi, T A jip, 15 Rougemont, Denis de, 25 Tafsiri, Alwan, 15 Rukiah, S., 14 Tahun-tdhun Kematian, 15, 78-84 Tandus, 14 8 Terang Bulan terang dikali, 14 Sadjak, 16 theisme, 24, 25 Said, Pak, 99 Thomisme, 35 Saleh, Boejoeng, 11, 27 Timur-Barat, 23, 24 Sani, Asrul, 10, 17, 18, 30, 32 Tjari Muatan, 78, 94, 96-100 sarkasme, 150, 153 Tjekov, Anton, 17, 32 Sarosi, 17 Tjerita, 56 Saroyan, William, 84 Tjerita dari Blora, 14, 30, 31 Sartre, 17, 25, 33 tjerita pendek, 11, 12, 16, 55 Sastrawinata, Saleh, 14 Tjerita pendek Indonesia, 78, 162 Sebuah Rumah bunt Haritua, 78 88-91 Tjinta dan Kewadjiban, 108 Scriosa, 17 Tolstoi, 17 Shakespeare. 17, 23 Trisnojuwono, 104 132-149 Siagian, Gajus, 36-42 Toer, Pramoedya Ananta, 13, 14, 17, Siasat, 17, 43 23, 28, 29, 30, 31, 32, 38, 39, 79, 89 V W Udin, 9, 31 Wairata, L., 108 ukuran seni, 35-35 Walmiki, 1 7 Umar, Hussyn, 15 Walujati, Louise, 3 9 universil, unive'rsalitet, 20 Wijasa, 17, 23 Usman, Zuber, 89 Y Yamin, Muhammad, 88 V Z Verlaine, 32 Zenith, 17, 43 Vuyk, Beb, 28, 29, 30, 31, 32 Zulkamain, 15, 101

    k e © b a .l :

    O rw ______. . i

    = T g ^ ====-■" ““ t

    ' “ ? 1 MAR 2M4

    A* ■..•,-■■

    " ^ ]n '-'• >« \A!m - - 1 ’

    > ■ ■

    I t IM?

    A'riSc

    f i n

    'Z / h a

    6ri«£

    I f W

    Perpustakaan Ul