PEMILIHAN GUBERNUR 2018: POLITIK IDENTITAS, TATA KELOLA PEMERINTAHAN, DAN KETAHANAN ORANG ASLI PAPUA

THE 2018 PAPUA GUBERNATORIAL ELECTION: POLITICS OF IDENTITY, GOVERNANCE, AND LIFE FORCES OF PAPUAN NATIVES

Cahyo Pamungkas & Devi Triindriasari Lembaga Ilmu Pengetahuan [email protected]

Abstract Indonesia is currently dealing with a wave of identity politics both at the national and at the regional level. During this time, the election of governor or regencies’ head was often the arena of identity politics by both dominant and subordinate groups, mainly by using religious issues. Most present studies of identity politics focus on the use of religious issues in the 2017 gubernatorial election. Different from these studies, this research investigates the use of ethnic identity in the 2018 Papua gubernatorial election. Conceptual objectives of this research are how far the use of identity politics in the elections in Papua strengthens or weakens local governance and the resilience of indigenous Papuans in the future. This research uses observations, interviews, and focuses group discussions in and Wamena, between May and June 2018s. The argument of this study is that identity politics is inherent in the experience of Papuans in the colonial period, the New Order, and Special Autonomy. After Special Autonomy of Papua, tribal identity strengthens to defeat Papua in the new realm of local politics. As a result, most Papuan political elite place elections as a strategy for fighting over resources rather than building governance and improving the resilience of Papuan natives. Keywords: Identity Politics, Gubernatorial Election, Governance, Resilience, National Integration.

Abstrak Indonesia sekarang ini sedang menghadapi gelombang politik identitas, baik di Pusat maupun di daerah. Selama ini, pemilihan kepala daerah sering menjadi arena politik identitas, baik oleh kelompok yang dominan maupun yang tersubordinat, terutama dengan menggunakan isu agama. Kebanyakan pengamat politik identitas memfokuskan kajian pada penggunaan isu agama dalam ranah Pilkada, seperti yang terjadi di DKI pada tahun 2017. Berbeda dengan studi-studi tersebut, artikel ini mengkaji penggunaan identitas etnik dalam Pilkada serentak di Provinsi Papua pada tahun 2018. Tujuan yang bersifat konseptual dari penelitian ini adalah sejauh mana penggunaan politik identitas dalam pilkada di Papua memperkuat atau memperlemah tata kelola pemerintahan dan ketahanan orang asli Papua pada masa mendatang. Sumber data dari penulisan artikel ini adalah pengamatan, wawancara, diskusi kelompok terpumpun di Jayapura pada bulan Mei dan Juni 2018 serta studi pustaka. Argumen yang dibangun dalam artikel ini adalah politik identitas sudah melekat pada pengalaman orang Papua pada masa kolonial, Orde Baru, maupun Otonomi Khusus. Setelah Otonomi Khusus, identitas kesukuan menguat kembali mengalahkan ke-Papua-an dalam ranah baru politik lokal. Sebagai akibatnya, Pemilu lebih ditempatkan sebagai strategi dan siasat elit untuk memperebutkan sumber daya daripada membangun tata kelola pemerintahan dan meningkatkan ketahanan orang asli Papua. Kata Kunci: Politik Identitas, Pemilihan Gubernur, Tata Kelola, Ketahanan, Integrasi Nasional.

Pendahuluan Horowitz (1989), Heyes (2007), dan Agnes Heller (1996) memandang politik identitas Pemilihan kepala daerah seringkali sebagai tindakan politik untuk mengutamakan dilihat dalam perspektif ilmu politik, sebagai kepentingan suatu kelompok sekaligus salah satu bentuk mekanisme demokrasi modern mengecualikan kelompok lain berdasarkan atas untuk memilih pemimpin pemerintahan di kesamaan identitas yang dimilikinya, seperti ras, tingkat lokal. Namun, dalam perspektif sosial, etnisitas, jender, atau keagamaan. Sebagian pemilihan kepala daerah ditempatkan sebagai pengkaji ilmu politik berpandangan bahwa arena tempat menggunakan perbedaan identitas penggunaan identitas sebagai suatu yang budaya sebagai sebuah instrumen politik. diterima dalam sistem politik demokrasi. Amy

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 391 Chua (2018) menyebutkan bahwa pemanfaatan (focus group discussion), dan sejumlah observasi identitas pada masa kini tidak dapat dihindarkan serta wawancara penulis ketika mengunjungi dalam kontestasi politik karena demokrasi Jayapura dan Wamena pada bulan Mei-Juni berfungsi untuk menjamin kebebasan. Sementara 2018, menjelang pelaksanaan Pilkada serentak. itu, Amy Gutman (2011) mengatakan bahwa Informan dalam penelitian lapangan yang juga identitas dalam demokrasi merupakan manifestasi menjadi peserta diskusi mencakup tokoh-tokoh dari agregasi kepentingan. Ia dapat diterima bila masyarakat dari kalangan gereja, masyarakat mampu mendorong nilai solidaritas dalam adat, organisasi non-pemerintah, dan para mengkonstruksi kesadaran publik tentang akademisi di Jayapura. Hasil dari penelitian kewargaan dan melawan diskriminasi terhadap lapangan kemudian dianalisis dengan menggunakan kelompok lain. pendekatan deskriptif dengan membandingkan berbagai temuan kajian literarur mengenai politik Adapun pandangan yang lain menyebutkan identitas dan multikulturalisme. bahwa penggunaan politik identitas dapat menjadi sumber persekusi terhadap kelompok Otonomi Khusus Papua Dan Sentimen sosial tertentu yang berbeda. Misalnya, dalam Primordial konteks Indonesia terutama kasus Pilkada DKI 2017, identitas agama tertentu digunakan oleh Geertz (1973) menyebutkan bahwa sejumlah elit politik untuk melakukan mobilisasi unsur pembentuk masyarakat plural adalah politik (Mietzner & Muhtadi, 2018). Sebagian sentimen primordial. Menurutnya, sentimen besar narasi besar mengenai politik identitas primordial adalah sesuatu yang terberi sebagai sekarang ini lebih banyak menyoroti mengenai sesuatu yang bersifat given atau sebagai budaya menguatnya konservatisme agama. Banyak istilah yang diasumsikan terberi dalam suatu dimunculkan untuk menyebut politik identitas masyarakat yang eksis; hubungan kekeluargaan seperti conservative turn (Bruinessen, 2013) dan tersebut berakar dari sejak lahir hingga menjadi illiberal turn (Hadiz, 2017). Konsep-konsep komunitas agama tertentu, berbahasa tertentu, tersebut terbentuk sebagai sebuah respon dan mengikuti tradisi-tradisi sosial tertentu. terhadap semakin menguatnya penggunaan Sentimen-sentimen primordial ini seringkali identitas agama dalam ruang publik termasuk dijadikan dasar dari pembenutkan unit-unit ranah politik. Diskursus politik identitas masih politik yang memiliki otonomi. Seringkali terjadi tetap relevan untuk dikaji mengingat peta politik ketegangan-ketegangan antarkelompok yang dan arah perubahan ke depan lebih menuju pada memunculkan pandangan-pandangan seperti politik yang semakin plural (Habibi, 2017). tribalisme, parokalisme, dan komunalisme. Masyarakat plural, merujuk pada Geertz, adalah Tulisan ini akan melihat penggunaan suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai politik identitas dalam pemilihan kepala daerah, kelompok yang terikat pada sentimen primordial. dengan melihat dimensi yang berbeda yakni Literatur klasik mengenai masyarakat plural konsolidasi elit di daerah yang masyarakatnya merujuk pada pandangan Van den Berghe (1967) masih termarjinalkan, yakni Provinsi Papua. yang mengatakan bahwa konsekuensi logis dari Kebanyakan studi-studi sebelumnya lebih masyarakat plural adalah adanya interseksi, memusatkan perhatiannya pada praktik pemilu yakni pertemuan atau persilangan antar- noken ataupun menggunakan perspektif tata kelompok-kelompok sosial dari berbagai unsur kelola pemerintahan. Pemilihan gubernur Papua seperti ras, agama, etnik, dan bangsa. Interseksi yang bersamaan dengan Pilkada Serentak tahun ini berimplikasi pada meningkatkan solidaritas 2018 merupakan babak baru dalam perjalanan kelompok pada satu sisi dan menimbulkan politik Papua bersama Indonesia. Permasalahan ketegangan atau konflik pada sisi lain. Interseksi yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah ini dapat terjadi melalui relasi-relasi bagaimanakah politik identitas digunakan dalam perdagangan, perkawinan, pendidikan, dan Pilkada Papua pasca-2004 dan bagaimana pula politik. implikasinya terhadap perbaikan tata kelola pemerintahan dan ketahanan orang asli orang Masyarakat plural atau majemuk atau Papua yang pada akhirnya mampu memperkuat multikultur merupakan sesuatu yang bersifat integrasi nasional. terberi. Namun kemudian, realitas yang plural ini memiliki makna yang berbeda ketika dilihat Tulisan ini merupakan hasil dari dalam spektrum ideologi-ideologi politik. penelitian literatur, diskusi kelompok terpumpun Liberalisme, Marxisme, dan fasisme memiliki

392 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 pandangan yang berbeda-beda dalam melihat demikian, politik identitas mengasumsikan masyarakat plural. Misalnya, liberalisme bahwa hanya satu dari banyak identitas yang kita menekankan perlunya konsep mulitikulturalisme, punya sebagai identits yang menentukan atau yang bertujuan untuk melindungi kelompok- minimal mendominasi politik kita. Konsekuensinya, kelompok minoritas dalam suatu masyarakat politik identitas harus membuang pihak lain yang plural dari relasi-relasi dominasi dan represi berbeda karena tidak sesuai dengan diri kita. kelompok-kelompok mayoritas. Marxisme Ketiga, identitas atau ekspresi identitas bukan memandang bahwa identitas-identitas kebudayaan sesuatu yang tetap, bahkan mengharapkan kita merupakan urusan privat dan tidak menjadi dasar untuk memilih satu dari banyak potensial dari tindakan-tindakan sosial karena yang dinilai identitas yang sesuai, misalnya seseorang adalah kontribusi seseorang atau kelompok memilih menjadi orang Inggris daripada orang terhadap kemanusiaan dan modernitas. Spanyol. Identitas dan ekspresinya dapat bergeser dan dapat berubah, bahkan jika Sementara itu, fasisme melihat bahwa diperlukan lebih dari satu kali. Keempat, kelompok terbesar dalam masyarakat plural perlu identitas bergantung pada konteks, yang dapat dipurifikasi sebagai dasar untuk menyatukan berubah. Politik identitas merupakan serangkaian berbagai kelompok sosial dalam masyarakat strategi atau kebijakan politik yang plural. Tujuan dari fasisme adalah bagimana menggunakan perbedaan identitas sebagai basis menyatukan masyarakat plural ke dalam suatu inklusi dan ekslusi kelompok lain (Horowitz, identitas yang homogen untuk kepentingan 1998). melakukan kontrol, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Hal ini dapat dijumpai Jika politik identitas berusaha untuk dari upaya mendorong ke arah konservatisme menunggalkan suatu identitas tertentu dalam kelompok-kelompok sosial berdasarkan agama suatu masyarakat plural, maka konsep seperti terjadi di Indonesia, India, dan Myanmar. multikulturalisme yang merujuk pada Kymlicka Dalam ideologi fasisme, pembelahan masyarakat (1995) bertujuan untuk memberikan pengakuan didasarkan atas politik identitas, yakni terhadap kelompok-kelompok terutama kalangan kelompok-kelompok dari berbagai kelas pendatang yang dianggap sebagai minoritas dikategorikan sebagai satu kelompok sosial secara identitas. Namun, dalam konteks tertentu, tertentu berdasarkan atas suku, agama, atau menggunakan kerangka multikulturalisme seperti rasnya. Sebagai implikasinya, politik identitas ini dalam melihat persoalan Papua adalah kurang seperti ini mengaburkan dan menghilangkan tepat karena konteks sejarah, sosial, dan politik pembedaan masyarakat atas kelas-kelas budayanya berbeda dengan negara Barat. sosial seperti yang dijelaskan dalam Marxisme Misalnya dalam kasus Kanada, kehadiran migran (Prakash, 2011). dari negara-negara Asia, menuntut pemerintah untuk mengakui hak-hak pendatang dalam Kritik terhadap politik identitas juga kebijakan kewarganegaraan. Namun, dalam disampaikan oleh Eric Hobsbawm (1996), konteks Papua, orang asli harus mendapat sebagai berikut. Pertama, identitas sosial perlindungan dari negara melalui politik didefinisikan secara negatif, yaitu untuk rekognisi karena kedudukannya yang mengatakan berbeda dari yang lain. Kita termarjinalisasi dalam ranah ekonomi. mengenali kita sendiri sebagai kita karena berbeda dari mereka, sehingga kalau tidak ada Secara historis, perkembangan sejarah mereka yang berbeda, kita tidak akan Papua tidak dapat dilepaskan dari politik menanyakan siapa kita. Tanpa orang di luar kita, identitas. Berbagai tulisan menunjukkan bahwa maka tidak ada orang di dalam kita. Dengan kata identitas ke-Papua-an terbentuk pada masa lain, identitas sosial tidak didasarkan atas apa kolonial sebagai anti-tesis dari identitas ke- yang dipunyai bersama oleh anggota-aggota Indonesia-an (Chauvel, 2005; Widjojo dkk, kelompok, bukan berdasarkan atas kemiripan 2008; Drooglever, 2009; Budiatri, 2017). secara fisik, tetapi didasarkan pada konstruksi Konstruksi tersebut terjadi ketika orang Papua sosial. Kedua, identitas dapat dipertukarkan atau merasa terancam oleh para pendatang dari dapat dipakai dalam kombinasi—dan bukan Indonesia yang bekerja pada birokrasi kolonial. sesuatu yang unik. Sebagai akibatnya, tidak ada Setelah Indonesia merdeka, identitas tersebut seorangpun yang memiliki satu dan hanya satu menguat ketika orang Papua mengalami identitas. Manusia tidak dapat dideskripsikan marjinalisasi ekonomi (Mc-Gibbon, 2006) dan kecuali dengan kombinasi banyak sifat. Namun kekerasan politik (Chauvel, 2005). Namun,

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 393 setelah pelaksanaan Otonomi Khusus Papua, ini memicu ketidakpuasan kolektif yang politik afirmasi untuk melindungi hak-hak dasar bermuara pada keinginan untuk merdeka orang asli Papua dimanfaatkan oleh sejumlah elit (Haboddin, 2015). untuk memperebutkan posisi-posisi dalam Pada Pemilu legislatif 2009, dari 56 birokrasi dan distribusi sumber daya dengan anggota DPRP, 18 orang anggota Dewan terpilih mengatasnamakan orang asli Papua. dari komunitas pendatang dan 38 dari orang asli Chauvel (2008, 2010) mengemukakan Papua. Pada Pemilu 2014, jumlah warga bahwa panggung politik di Papua adalah pendatang yang terpilih menurun menjadi 12 persaingan antarelit politik dan birokrasi untuk orang dan orang asli Papua yang terpilih mengontrol sumber daya pemerintah. Desentralisasi meningkat menjadi 42 orang. Identifikasi asli dan Otonomi Khusus telah membuka suatu dan pendatang dilihat dari nama-nama fam situasi politik lokal baru sejak reformasi politik dalam daftar nama anggota DPRD terpilih. 1998. Sejak implementasi Otonomi Khusus pada Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui peningkatan tahun 2002 bersamaan dengan politik elektoral, secara drastis terjadi pada Pilkada 2014 ketika maka representasi orang asli Papua dalam jumlah orang asli Papua pada Fraksi Partai lembaga-lembaga politik dan birokrasi, baik di Demokrat meningkat dari 6 menjadi 13 orang tingkat kabupaten maupun provinsi, meningkat. dan PDIP dari 4 menjadi 7 orang. Hal yang sama Semua anggota MPR, gubernur, wakil gubernur, juga dilihat dari Partai Gerindra, dari 1 menjadi 4 dan bupati atau walikota adalah orang asli Papua. orang asli dalam DPR Papua. Walaupun Wakil bupati atau walikota dan anggota demikian, jumlah wakil pendatang tetap parlemen boleh dari warga pendatang. Dominasi signifikan mengingat jumlah warga pendatang posisi pemerintah lokal oleh para pemimpin asli menempati posisi dominan di sejumlah daerah Papua dapat dimaknai sebagai berpemerintahan pemilihan seperti Kota Jayapura, Kabupaten sendiri di bawah payung Otonomi Khusus. Keerom, dan Kabupaten Merauke. Di sini politik Pengenalan politik demokrasi liberal ini menurut identitas tampaknya tidak kelihatan kuat Chauvel telah memfasilitasi 'Papuanisasi’ dan mengingat tertutup oleh persaingan antarpartai lokalisasi kepemimpinan politik di tingkat lokal. politik yang sejumlah kebijakannya ditentukan Fenomena ini menunjukkan kebangkitan oleh Dewan Pimpinan Pusat di Jakarta. identitas lokal dan membalikkan penguatan Persaingan terjadi antarkontestan dalam satu identitas Papua yang telah diciptakan pada masa partai politik yang memberikan tempat untuk Belanda. menggunakan isu pendatang dan orang asli.

Sementara itu, untuk1 Anggota2 Dewan Pemilu dan Politik Identitas Pasca Otsus Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi Papua Papua baik dalam Pemilu 2009 maupun 2014, tidak Sebagaimana disebutkan dalam buku banyak menggunakan politik identitas berdasarkan Papua Road Map (Widjojo, dkk, 2008), salah orang asli dan pendatang. Tiga dari empat satu akar persoalan konflik Papua adalah anggota DPD pada tahun 2014, Mesakh Mirin, marjinalisasi orang asli Papua. Salah satu Yanes Murib, Edison Lambe, berlatarbelakang rekomendasi yang diusulkan adalah rekognisi orang asli Papua, sedangkan satu anggota dari orang Papua dalam bentuk kebijakan afirmasi komunitas pendatang yang beragama Serani dan bagi orang asli Papua di semua bidang. Proses merupakan seorang pendeta, yakni Pdt. Carles rekognisi dalam ranah politik berlangsung secara Simaremare.3 Pada Pemilu 2009, tiga dari empat alamiah dan sudah menjadi kesadaran bersama, anggota DPD berasal dari orang asli Papua, baik di kalangan orang asli Papua maupun warga yakni Tony Tesar, Herlina Murib, dan pendatang. Berdasarkan buku Updating Papua Road Map yang ditulis pada tahun 2015 (Rudyarti dan Pamungkas, dkk.), salah satu politik rekognisi yang tampak adalah rekognisi dalam politik. Pandangan tersebut dibuktikan 1 dengan sebagian besar orang asli Papua yang https://www.viva.co.id/berita/nasional/ menduduki jabatan DPR Papua. Diskursus 95971-inilah-56-anggota-dpr-papua 2http://tabloidjubi.com/16/2014/10/31/ pendatang dan orang asli masih relevan anggota-dpr-papua-periode-2014-2019-dilantik/ mengingat pada masa Orde Baru sebagian besar 3http://www.dpd.go.id/anggota-dpd/2014- pejabat biokrasi berasal dari pendatang dan hal 2019#

394 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 Tabel 1 Perolehan Kursi Partai Politik di DPR Papua Hasil Pemilu 2009 dan 2014 Partai Politik Jumlah Kursi Status Jumlah Kursi Status 2009-2014 Pendatang Asli 2014-2019 Pendatang Asli Demokrat 9 3 6 16 3 13 PDIP 6 2 4 7 0 7 12 5 7 6 3 3 Gerindra 1 0 1 6 2 4 Hanura 3 0 3 5 0 5 PKB - - - 5 0 5 Nasdem - - - 3 0 3 PKS 1 1 0 3 1 2 PKPI - - - 2 2 0 PAN 3 1 2 2 1 1 PPP - - - 2 0 1 PDS 5 2 3 - - - Kedaulatan 3 1 2 - - - PBR 3 2 1 - - - Patriot 3 1 2 - - - PNI Marhaen 1 1 0 - - - PPRN 1 0 1 - - - PNBK 2 0 2 - - - PPDI 1 0 1 - - - PKDI 1 0 1 - - - Barnas 1 0 1 - - - Total 56 18 38 56 12 44 Sumber: data diolah dari Viva.co.id 9 Oktober 20091 dan Majalah Jubi 31 Oktober 2014.2

Ferdinanda Ibo Yatipay4, sedangkan dari Hanura, PKB, Nasdem, PKS, PAN, PKPI, PBB, komunitas pendatang adalah Paulus Yohanes dan PPP. Karir politik dimulai Sumino. Di sini tampaknya komunitas pendatang ketika dia terpilih sebagai wakil bupati Puncak Muslim selalu gagal dalam mencalonkan Jaya periode 2001-2005. Karir politiknya terus anggota DPD dari komunitasnya. Jumlah memuncak dengan duduknya dia sebagai Bupati pendatang yang terpilih sebagai anggota DPR RI Kabupaten Puncak Jaya pada tahun 2007-2012. masih cukup signifikan baik pada Pemilu DPR Di saat yang sama ketika dia menjabat sebagai RI tahun 2014 dan 2019. Dalam Pemilu 2009, Ketua DPD Partai Demokrat, pada tahun 2013 terdapat tiga dari 10 orang yang merupakan Lukas Enembe berhasil memenangi pertarungan orang dari luar Papua, sedangkan dalam Pemilu pilkada di Papua pada tahun tersebut. Pasangan 2014, ada 4 dan 10 orang anggota DPR dari luar Lukas Enembe, Klemen Tinal memulai karir orang asli Papua yang terpilih—satu orang tidak sebagai administratitive supervisor PT. Freeport pernah menetap di Papua. Indonesia di tahun 1993. Sebelum berpasangan dengan Lukas Enembe, Klemen Tinal pernah Pemilihan gubernur (pilgub) Papua menjabat sebagai Bupati Mimika periode 2002- tahun 2018 diikuti oleh dua pasangan calon 2006 dan periode 2008-2013. Bernaung di gubernur dan calon wakil gubernur. Pasangan bawah partai Golkar, Klemen Tinal adalah Ketua pertama adalah Lukas Enembe dan Klemen DPD Partai Golkar sejak 2013. Sebelumnya dia Tinal yang merupakan pasangan petahana adalah ketua DPC Partai Golkar Kabupaten periode sebelumnya.5 Pasangan ini didukung Mimika 2003-2010 dan pernah duduk sebagai oleh sepuluh partai politik. Kesepuluh partai ketua Pemuda Pancasila periode 1997-2001. politik tersebut adalah Partai Demokrat, Golkar, Pasangan cagub dan cawagub kedua 4http://www.dpd.go.id/anggota-dpd/2009- adalah John Wempi Wetipo (JWW) dan Habel 2014# Melkias Suwae (HMS). JWW merupakan 5 https://nasional.kompas.com/read/2018/01/ mantan Bupati Jayawijaya periode 2008-2013 12/09000871/fakta-seputar-pilkada-papua

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 395 dan 2013-2018, sedangkan HMS adalah ketua Kelima, Dirk Wabiser dan SP Inaury yang DPRD Kabupaten Jayapura 1999-2001 dan keduanya dari pesisir (Biak) dan pesisir Barat Bupati Kabupaten Jayapura dari 2001 sampai Papua Barat (pantai). Dalam Pemilu 2006, 2011. JWW dan HMS didukung oleh PDIP dan pasangan Barnabas Suebu-Alex Hesegem Partai Gerindra. Saat ini, JWW masih menjabat berhasil mengalahkan keempat pasangan lainnya. sebagai Bupati Jayawijaya dua periode, 2008- Keduanya didukung oleh PDI-Perjuangan, yang 2013 dan 2013-2018. JWW mendapatkan merupakan oposisi dari Partai Demokrat yang penghargaan pada saat menjabat Bupati sedang berkuasa pada saat itu. Jayawijaya, yakni dari Komisi Pemberantasan Sebagaimana telah dijelaskan dalam Korupsi (KPK) soal Laporan Harta Kekayaan paparan sebelumnya, dalam Pilgub Papua Penyelenggara Negara (LHKPN) dan dari selanjutnya, tahun 2013, Lukas Enembe yang Kementerian Keuangan soal penilaian tertinggi berpasangan dengan Klemen Tinal (gunung- BPK soal pengelolaan keuangan di Kabupaten pantai) berhasil mengalahkan empat pasangan Jayawijaya tahun 2017. lainnya dengan suara 52%. Keempat pasangan Kedua pasangan ini mencegah penggunaan lainnya adalah Noakh Nawipa-Johannes Wob identitas berdasarkan etnik karena baik Enembe- (Jayawijaya-Merauke, gunung-pantai), MR Tinal maupun JWW-HMS merupakan kombinasi Kambu-Blasius A Pakege (Jayapura, Jayawijaya, antara etnik gunung dan pantai. Enembe dan pantai-gunung), Habel Melkias Suwae-Yop Waetipo merupakan tokoh-tokoh yang Kogoya (Jayapura, Jayawijaya, pantai-gunung), berlatarbelakang etnik pegunungan, yakni Wellington Wenda-Weynand Watory (Jayawijaya, Pegunungan Jayawijaya. Sementara itu, Tinal Jayapura, gunung-pantai), dan Alex Hesegem- merupakan figur dari keluarga etnis Papua dari Marthen Kayoi (Jayawijaya, Yapen, gunung- Kaupaten Mimika, dan Suwae merupakan figur pantai).7 Berpasangan dengan Klemen Tinal, dari etnis Tabi, Jayapura; keduanya merupakan Lukas Enembe berhasil mengalahkan pasangan daerah pesisir Papua. Di sini masing-masing lain dan duduk sebagai Gubernur Papua periode kandidat menggunakan representasi calon dari 2013-2018. gunung dan pesisir sehingga sama-sama mempertimbangkan penggunaan identitas etnis Pilkada Serentak 2018 dan Tata Kelola dalam Pilkada. Ketika representasi etnik Pemerintahan dipenuhi, maka kemenangan tergantung dari Pada tahun 2018, Provinsi Papua dan penggunaan sumber daya dan jaringan serta tujuh kabupaten di dalamnya, yakni Membramo strategi yang digunakan, terutama di daerah yang Tengah, Paniai, Puncak, Deiyai, Jayawijaya, padat penduduk seperti Pegunungan Tengah. Biak Numfor, dan Mimika, akan Penggunaan politik identitas bukan menyelenggarakan Pilkada Serentak. Menarik sebuah fenomena yang baru, akan tetapi sudah jika melihat komposisi DPRP. Dari 57 kursi di dimulai sejak pemilihan langsung Gubernur di DPRP, 77,19% atau 44 kursi mendukung Provinsi Papua. Sebagai contoh, pada Pemilihan pasangan nomor satu. Belum lagi anggota DPRP Gubernur 2006, terdapat lima pasang calon yang dari jalur adat sebanyak 14 kursi juga hampir semuanya merupakan kombinasi gunung mendukung pasangan Lukas Enembe-Klemen dan pantai atau pantai dan gunung seperti Tinal untuk periode selanjutnya. Sementara itu, berikut.6 Pertama, Barnabas Suebu dan Alex dukungan untuk pasangan nomor urut dua hanya Hesegem, merupakan tokoh yang berlatarbelakang sekitar 13 kursi atau hanya sekitar 22,8%. Di pantai (Biak) dan gunung (Jayawijaya). Kedua, atas kertas posisi pasangan Lukas Enembe- Lukas Enembe dan Arobi Achmad Aituarau, Klemen Tinal menang dengan didukung merupakan pasangan dari gunung (Jayawijaya) mayoritas suara partai politik di DPRD Provinsi dan pantai (Kaimana). Ketiga, John Ibo dan Papua.8 Hanya saja John Wempi Wetipo yang Paskalis Kossay yang berasal dari pesisir dahulu adalah tim sukses Lukas Enembe-Klemen (Jayapura) dan gunung (Jayawijaya). Keempat, Tinal pada periode sebelumnya sekarang justru Pasangan Cosntan Sarma dari Serui (pesisir) dan Donatus Mote (suku Mei, Paniai, gunung). 7https://regional.kompas.com/read/2013/02/ 14/10091727/Lukas.Gubernur.Papua.Terpilih. 6https://www.antaranews.com/berita/31139/ 8 https://regional.kompas.com/read/2018/01/ pasangan-bas-alex-raih-suara-terbanyak-pilkada- 12/13473231/bersama-pdi-p-dan-gerindra-pasangan- papua josua-jadi-lawan-paslon-petahana

396 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 memilih menjadi kompetitor pasangan ini. Pada pilkada yang seringkali dimobilisasi secara masif saat itu, Jhon Wempi Wetipo mampu oleh para elit politik untuk kepentingan pribadi mengumpulkan suara yang signifikan bagi Lukas atau kelompoknya. Enembe-Klemen Tinal di Wilayah Pegunungan Beberapa informan menyampaikan bahwa Tengah Papua. Setidaknya Jhon Wempi Wetipo pilkada atau Pemilu di Pegunungan Tengah sudah menguasai Pegunungan Tengah Papua jika Papua dipertanyakan validitas proses dan dia berhasil mengumpulkan suara yang sama perolehan suaranya. Salah seorang staf di bagi dirinya. Pemkab Jayawijaya mengatakan bahwa dirinya Kontestasi antarkandidat dalam Pemilihan dan puluhan warga pendatang memilih pasangan Gubernur Papua ini menyebabkan tingkat Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014. Namun, kerawanan yang cukup tinggi mengingat kedua dalam pengumuman hasil pemilihan, semua pasangan memiliki basis yang sama, baik di suara hanya menjadi milik satu kandidat, yakni daerah pegunungan maupun pantai. Pengalaman pasangan Jokowi-JK. Hal tersebut juga berlaku pada Pilkada sebelumnya, terutama di daerah untuk sistem Noken; suara dari kampung- Pegunungan Tengah yang seringkali diwarnai kampung atau distrik ketika masuk rekap dapat oleh perusakan fasilitas publik dan perang berubah menjadi suara milik kubu lawan. Pemilu antarkelompok etnis. Sejumlah media seperti di Papua, baik Pilpres, pilgub, atau Pilkada, Media Indonesia dan Kompas9 mengulas tentang bukan tergantung dari pilihan rakyat tetapi perlunya kewaspadaan terhadap Pilkada kuncinya adalah siapa yang menguasai kapital Serentak 2018 di sejumlah daerah karena dan memepengaruhi sejumlah lembaga negara memiliki indeks kerawanan Pemilu yang cukup (Wawancara dengan AH, staf Pemkab tinggi. Provinsi Papua, misalnya, memiliki Jayawijaya, di Wamena pada 30 April 2018). indeks kerawanan paling tinggi, yakni 3,41%, Keteganganatau bayang-bayang konflik komunal yang berarti sebagai daerah yang dianggap dan juga politik uang adalah beberapa potensi paling rawan. Faktor penyebabnya antara lain kerawanan dalam pelaksanaan pilkada Papua. adalah maraknya politik identitas, penggunaan Apabila pilkada Papua ditempatkan sebagai isu SARA, dan politisasi birokrasi. bagian dari proses demokratisasi di Tanah Papua menuju Papua yang damai, hal ini berarti bahwa Pilkada Papua di Pegunungan tengah pilkada harus diletakkan posisinya sebagai ruang pada umumnya masih menggunakan sistem publik bagi masyarakat Papua untuk Noken. Sistem tersebut telah memiliki landasan berpartisipasi dalam proses politik dan hukum yang ditetapkan oleh Mahkamah menentukan masa depan mereka di Papua. Oleh Konstitusi (MK) sejak 2009. Pemilu Noken karena itu, para calon gubernur dan wakil merupakan sistem pemilihan yang sesuai dengan gubernur dapat menggunakan ruang-ruang untuk tradisi budaya orang Melanesia. Namun, dalam kampanye dengan pertarungan diskursus dan praktiknya, sistem ini rawan untuk dimanipulasi program-program politik yang mencerahkan oleh sejumlah elit politik yang melakukan orang Papua, sehingga mereka dapat memilih intervensi kepada para kepala suku. Seringkali sesuai dengan aspirasi dan rasionalitas jumlah suara pemilih yang berasal dari warga politiknya. Dengan demikian, perbedaan agenda kampung berubah atau tidak sesuai lagi ketika dan kepentingan politik tidak dieksploitasi hanya dihitung ulang di ibu kota kabupaten ataupun sebatas10 mendukung atau tidak mendukung provinsi (Wenda, dkk., 2013). Perbedaan jumlah integrasi nasional, tetapi dipandang sebagai suara antarpasangan calon kepala daerah tersebut sebuah pembelajaran membangun sebuah menyulut konflik komunal antarpendukung demokrasi politik yang bersifat deliberatif. pasangan dan tidak jarang menjadi perang antarkampung atau kerap diberitakan sebagai perang suku. Meskipun istilah ini tidak tepat secara antropologis karena tradisi perang suku di Papua muncul akibat hal-hal yang menyentuh persoalan adat dan karena dilakukan tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum adat. Hal ini sangat berbeda dengan konflik komunal dalam konteks

9https://kompas.id/baca/x/politik/2018/02/ 10 http://mediaindonesia.com/read/detail/ 10/sengketa-diantisipasi/ 134311-proteksi-hak-pilih-di-papua-minim

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 397 Diagram 1 Diagram Indeks Kerawanan Pemilu 2018

Sumber: Media Indonesia Online 27 November 201710

Dari hasil diskusi kelompok terpumpun seperti kesehatan dan pendidikan. Sebagaimana yang diselenggarakan oleh LIPI pada tahun 2018 disampaikan oleh Anderson (2015) bahwa mengenai antisipasi persoalan keamanan Pilkada selama ini Pemerintah Indonesia hadir secara Papua, teridentifikasi sejumlah persoalan sosial terbatas di Papua dalam pemenuhan kebutuhan yang berpotensi digunakan sebagai bahan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. kampanye negatif.11 Misalnya, isu kerawanan Persoalan lainnya adalah tradisi politik pangan dan kekurangan gizi buruk di sejumlah yang masih berkembang dalam birokrasi di wilayah seperti disampaikan oleh perwakilan Indonesia, yaitu politik balas budi, yang tidak Badan Pengawas Pemilu Provinsi Papua. hanya terjadi di Tanah Papua. Menurut Menurutnya, kedua persoalan tersebut dapat informasi dari Bawaslu, pasangan calon bupati dijadikan black campaign untuk menyerang atau gubernur pada umumnya akan menjanjikan kinerja Gubernur Enembe. Sebagai contoh, Dana pada tokoh-tokoh dalam birokrasi untuk Otsus selama ini digunakan untuk apa saja, mendukungnya dengan imbalan jabatannya akan mengapa masih ada gizi buruk dan kekurangan dinaikkan jika mereka terpilih. Hal ini pangan di daerah-daerah terpencil di Papua. Apa menjadikan kebanyakan PNS menjadi tidak saja yang sudah dikerjakan oleh Gubernur untuk netral dalam pilkada, karena akan menggunakan memberikan pelayanan publik dan pemenuhan sumber daya dan jaringan yang dimilikinya di kebutuhan dasar kepada rakyat Papua. Namun, birokrasi untuk memenangkan pasangan tersebut. penggunaan isu kesehatan dalam kampanye ada Sebagai akibatnya, jika pasangan itu menang, baiknya karena siapapun calon gubernur, bupati maka apapun latar belakang dan pendidikanya, atau walikota di Papua memiliki kewajiban akan diangkat menjadi pejabat di pemerintahan untuk memberikan pelayanan kebutuhan dasar daerah meskipun tidak mampu. Konsekuensi yang tidak diharapkan adalah jika pasangan 11FGD Tim Kajian LIPI tentang Antisipasi tersebut menang dan tidak memenuhi janjinya, Keamanan terhadap Pilkada Serentak di Papua maka orang itu akan merasa sakit hati dan tanggal 1 Februari 2018 di Padang Bulang-Jayapura bergabung dengan kelompok-kelompok bersenjata. dipandu oleh Dr. Adriana Elisabeth.

398 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 Selain politik balas budi, tradisi lainnya Ikatan etnisitas diakui sedikit banyak adalah fanatisme pendukung terhadap calon, telah menjadi komoditas politik dalam momen yang mungkin saja masih memiliki relasi sosial pilkada. Sebetulnya tidak terlalu fair, jika atau hubungan kesukuan atau telah memberikan kondisi masyarakat asli Papua yang beragam ini sesuatu yang berharga kepada mereka. Dalam dipaksakan untuk menggunakan politik hal ini, pendukung fanatis adalah konsekuensi demokrasi dengan sistem terbuka. Akibatnya dari politik balas budi yang dilakukan oleh bukan jasa atau profesionalitas yang calon. Tingkat pengetahuan politik yang relatif dikedepankan melainkan identitas yang kemudian rendah, dan tingkat patronase hubungan lebih dikemukakan. Dalam sistem politik kesukuan yang tinggi, membuat fanatisme identitas, semua orang saling menjaga terhadap pendukung juga sangat tinggi di Papua. kehormatannya. Segala cara digunakan agar Hal ini bermuara pada konflik kekerasan jika namanya tidak jatuh di mata keluarganya. Hal ada pasangan calon yang merasa dicurangi inilah yang menyebabkan keterbelahan di dalam Pilkada. tingkat masyarakat akibat kontestasi politik di pilkada. Suara pemilih dapat dilihat dari peta Fanatisme pendukung disebabkan salah dukungan masing-masing calon. Jika kedua satunya oleh penggunaan politik etnisitas dalam kandidat berasal dari latar belakang yang Pilkada Papua yang masih kental. Menurut berbeda maka kemungkinan besar digunakannya Septer Manufandu, Deputi Koordinator Jaringan identitas etnisitas masing-masing kelompoknya Damai Papua (JDP), ikatan etnisitas sejak dulu akan semakin besar. telah digunakan sebagai komoditas politik, sehingga bukan profesionalitas yang dikedepankan Pemilihan kepala daerah yang telah tetapi identitas yang diutamakan menjadi berlangsung seiring dengan reformasi politik pertimbangan politik, terutama berbasis nasional diharapkan dapat meningkatkan etnisitas. Segala cara akan digunakan oleh akuntabilitas pemimpin yang dipilih sehingga seorang tokoh, yang dianggap big man, untuk mampu berdampak pada peningkatan pelayanan menjaga agar nama baiknya tidak jatuh di mata publik. Namun, di Papua, politik elektoral tidak disertai dengan perbaikan tata kelola kelaurga, suku, dan pendukungnya. Hal ini 12 menjadikan masyarakat terbelah menjelang pemerintahan seperti beberapa contoh berikut. pilkada. Ketika kedua pasangan calon memiliki Misalnya, pelayanan publik secara umum di beberapa kabupaten Pegunungan Tengah tidak identitas etnik yang berbeda, maka cenderung ada, kebanyakan pejabat seperti Bupati, Kepala suara yang akan diperoleh berbanding lurus Dinas, dan kepala distrik bermukim di Kota dengan jumlah anggota komunitas etniknya. Wamena. Namun, ketika dicari di kota ini, sulit Untuk mengatasinya, masyarakat sipil pada ditemukan keberadaannya. Beberapa kasus yang tingkat akar rumput perlu diberikan pendidikan muncul sekarang ini adalah munculnya politik agar kohesi sosial di level masyarakat pelantikan Bupati Adat dengan masa yang cukup tidak terpecah belah. besar yaitu Jhon Tabo di Tolikara (lawan Bupati Berdasarkan beberapa literatur, tingkat Usman Wanimbo), dan Brion Wenda di modernisasi antarsuku-suku di Papua berbeda- Kabupaten Lani Jaya. Kedua bupati ini telah kalah di MK dan kalah di Depdagri tetapi beda terutama antara mereka yang tinggal di mereka tetap melawan dan didukung masa pegunungan dan pesisir atau pantai. Bagi orang bawah, serta dilantik oleh Jokowi Center. Kasus asli Papua yang menetap di pesisir pantai, selanjutnya adalah Bupati Abock Busop STH perjumpaan dan interaksi dengan dunia luar MA telah memberhentikan 200 dari 300 kepala terjadi jauh lebih awal daripada orang asli Papua kampung dengan cara mengangkat PLT Kepala yang menetap di pegunungan Tengah. FC Kampung, mereka yang diberhentikan dengan Kamma (1972) dan Widjojo (2008) misalnya alasan terkena kasus korupsi walaupun SK nya menceritakan mengenai legenda Gurabesi yang masih berlanjut. Salah seorang aktivis Hak Asasi berasal dari Biak sudah berinteraksi dengan Manusia, Theo Hesegem, kemudian membawa Kesultanan Tidore sejak akhir abad ke-17. kepala kampung ini bertemu Gubernur, Sementara itu, penduduk asli Pegunungan

Tengah baru membuka interaksi dengan misi 12 zending pada permulaan bahkan pertengahan Hasil Rapat Organisasi Non-Pemerintah se-Jayapura untuk mengidentifikasi sejumlah abad ke-20. persoalan menjelang Pemilihan Gubernur Papua 2018 pada tanggal 28 Mei 2018 di Kantor Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) Jayapura

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 399 pangdam, dan Kapolda di Jayapura. PLT yang serupa juga terjadi di Kabupaten Nduga Gubernur Soedarmo membatalkan SK bupati ini dan Yahukimo tempat sejumlah anak balita dan Muspida Provinsi akan mengunjungi terjangkit penyakit gizi buruk. Namun demikian, Yahukimo. Sampai sekarang di Yahukimo dan ironisnya, belum muncul konsep human security Nduga tidak ada pelayanan publik sama sekali dari masing-masing calon gubernur atau wakil demikian juga di kabupaten yang terkena gubernur. Isu yang muncul dalam kampanye dampak konflik Pilkada seperti Kabupaten adalah pemekaran daerah otonomi baru seperti Tolikara dan Lany Jaya (FGD Mengantisipasi kabupaten atau distrik yang bersifat elitis, untuk Pilgub Papua oleh ALDP di Jayapura, 28 Mei mendistribusikan jabatan politik dan sumber 2018). daya ekonomi sebagai satu-satunya gantungan Politik elektoral di Papua tidak hidup elit Papua.13 berbanding lurus dengan pelayanan publik. Misalnya di Pegunungan Bintang, bupati yang Pemilihan Gubernur Papua 2018 dan tegas dan disiplin hasil Pilkada 2017 diusir Integrasi Nasional beserta kepala DPRD nya sehingga mereka Berbagai liputan di media massa berkantor di Jayapura. Alasannya dalah memberitakan bahwa pemilihan gubernur penyalahgunaan wewenang karena Bupati Provinsi Papua ditandai dengan beberapa memecat staf dinas yang tidak disiplin baik para ketegangan antara calon gubernur incumbent pendukung maupun lawan-lawan politiknya. Lukas Enembe dengan sejumlah pejabat Kasus yang lain adalah di Meepago ketika para Pemerintah Pusat. Menjelang akhir kandidat dibela oleh anggota KPU sehingga Pemerintahan SBY (2013), Gubernur Enembe saling berupaya untuk menjagal, yaitu Hans mengusulkan draf RUU Otsus Plus, yang Magal dengan Amoleng. Mereka saling kemudian ditolak oleh Presiden Jokowi dan mengancam, kalau salah satu diluluskan maka DPR terpilih pada tahun 2014. Draf tersebut akan ada perang suku. KPUD Kabupaten mengusulkan sejumlah kewenangan yang lebih Mimika menyerahkan kasus ini kepada KPU besar bagi Provinsi Papua, bahkan pada tingkat Provinsi. KPU Papua membawa kasus ini ke internasional. Gubernur Enembe juga dianggap MA tetapi rekomendasi MA adalah oleh sejumlah pejabat di Jakarta sebagai kurang mengembalikan kasus ini kepada Bawaslu dalam mendukung kebijakan-kebijakan Pemerintah waktu satu minggu untuk bermusyawarah. Pusat, termasuk tidak menyambut kedatangan Karena tidak ada hasil, maka MA Presiden Jokowi ke Papua pada suatu kunjungan mengembalikan kepada Bawaslu, Bawaslu resmi pada tahun 2015. kemudian merekomendasikan kepada para calon untuk bermusyawarah selama satu minggu. Selanjutnya, ketika Gubernur Enembe Kasus lain di Paniai adalah Gubernur melantik diperiksa oleh Bareskrim pada 2017, sejumlah Musa Isir sebagai PLT Bupati Paniai karena demonstrasi mendukungnya terjadi di Jayapura Bupati Yohanes You sudah berakhir masa yang menganggap bahwa pemeriksaan tersebut jabatannya pada 16 April 2018, sedangkan sebagai bagian dari kriminalisasi yang dilakukan Yohanes You dan massanya menganggap bahwa oleh lawan-lawan politiknya. Peristiwa itu masa jabatannya berakhir sampai 23 Juni 2018. mengindikasikan adanya persoalan antara Papua Ketika pelantikan, massa Bupati menyerang dan Jakarta. Ketika pasangan cagub/cawagub Gubernur dan PLT Bupati baru sehingga ricuh Lukas Enembe-Klemen Tinal diusulkan oleh 10 sampai sekarang belum terkendali. Pelayanan partai politik di Papua melawan pasangan John publik di Paniai sudah lumpuh selama lima Wempi Wetippo-Samuel Huwae, maka bulan terakhir, roda pemerintahan Paniai tidak diskursus yang dimunculkan oleh media adalah berjalan sama sekali. kontestasi antara Papua dan Jakarta. Pandangan ini berpotensi memecah belah orang Papua Pilkada Papua seharusnya menjadi secara politik dan cenderung menutupi persoalan sebuah mekanisme politik mencari pemimpin mendasar, seperti eksploitasi sumber daya alam, Papua yang mampu mengatasi krisis rentannya siklus kekerasan politik dan marjinalisasi yang daya tahan dan keberlanjutan orang Papua. terus berlangsung di Tanah Papua. Sebagai contoh, salah satu kabupaten di Provinsi Papua, Asmat, pada tahun 2017 mengalami krisis gizi buruk yang mengakibatkan kematian 13 masal kurang lebih 67 anak Balita. Fenomena Disampaikan oleh salah satu dosen UNCEND (MY) pada 15 Maret 2018.

400 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 Selama ini kebanyakan gubernur, mengalahkan Enembe atas sikapnya terhadap bupati, dan wali kota di Tanah Papua dari masa Jakarta. Sejumlah intelektual dan aktivis di integrasi sampai sekarang lebih menempatkan Jayapura menilai bahwa Pilkada Gubernur posisi mereka sebagai kepanjangan Pemerintah Papua 2018 adalah medan pertarungan Pusat daripada menjadi juru bicara rakyat Papua. kepentingan Jakarta dengan kepentingan orang Setiap kebijakan pemerintah yang diambil selalu Papua. Pilkada Gubernur Papua didesain secara atas petunjuk dan arahan dari Jakarta.14 prosedural terlihat demokratis, tetapi secara Kewenangan Otsus Papua jika ditelusuri lebih subtansial mudah terbaca alur politik apa yang jauh hanyalah semacam kamuflase untuk diinginkan Jakarta. Pemerintah Pusat dicurigai meredam aspirasi merdeka Papua. Pemimpin sedang mengimplementasikan sistem pemilu Papua yang terpilih dan memimpin, kewajiban yang direkayasa sehingga terlihat demokratis utamanya mengamankan kepentingan Jakarta di tetapi sudah ditargetkan untuk menyingkirkan Papua meskipun harus mengorbankan orang asli. kandidat tertentu. Hal ini dapat ditelusuri dari indoktrinasi NKRI Namun, ternyata asumsi tersebut harga mati merupakan salah satu rantai politik meleset di luar dugaan, baik oleh orang Papua Jakarta untuk mengikat setiap pemimpin Papua. maupun para pejabat Pemerintah Pusat. Hasil Namun, ketika Lukas Enembe terpilih menjadi pemilihan gubernur Papua 2018 dimenangkan gubernur Papua pada tahun 2013, kepentingan pasangan Lukas Enembe-Klemen Tinal yang Jakarta mulai terganggu karena Lukas mencoba mendapat 67,54% dukungan.16 Komisi Pemilihan menyampaikan suara yang berbeda dari Umum (KPU) Provinsi Papua dalam rapat pleno Pemerintah Pusat. Misalnya, dia menolak rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilihan campur tangan Pemerintah Pusat dalam rencana Gubernur dan Wakil Gubernur Papua pemekaran provinsi baru dan mengkritik menyatakan pasangan Lukmen meraih sebanyak Pemerintah yang hanya sedikit merekrut 1.939.539 suara dari total suara sah 2.871.547 mahasiswa Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri suara. Sementara itu, pasangan lawannya hanya dari Provinsi Papua. Ketika Lukas ingin memperoleh 932.008 suara atau 32,45% dari melaksanakan Otsus Papua sesuai dengan total suara sah. Dari 29 kabupaten/kota yang ada Undang-Undang No. 21/2001, maka Pemerintah di Papua, pasangan Lukmen meraih suara meyakini Otsus adalah jalan menuju terbanyak di 20 kabupaten, yakni Kabupaten kemerdekaan Papua. Bahkan, beberapa pernyataan Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Paniai, Lukas seperti: “saya gubernur terakhir di Papua” Kepulauan Yapen, Yalimo, Tolikara, Nabire, dimaknai bahwa Lukas Enembe mendukung Keerom, Yahukimo dan Kabupaten Boven Organisasi Papua Merdeka.15 Padahal Digul. Kemudian Kabupaten Mamberamo Raya, semangatnya adalah mengkoreksi sejumlah Dogiai, Mappi, Waropen, Nduga, Puncak, kebijakan Jakarta yang terlalu takut dengan gaya Mamberamo Tengah, Deiyai, Mimika, dan kepemimpinannya yang bersifat populis. Kabupaten Lanny Jaya. Di sembilan kabupaten Sejumlah kontroversi muncul pada sisanya, pasangan lawan lebih unggul, meski tahun 2017 ketika Gubernur Lukas bertemu dengan selisih tipis.17 dengan Kapolri, Kepala BIN, dan mantan Namun demikian, beberapa kritikan Kapolda Papua Paulus Waterpauw ketika tetap muncul dari sejumlah intelektual Papua. Gubernur sedang dihadapkan pada tuduhan Misalnya, kampanye calon gubernur dalam korupsi oleh KPK. Setelah itu, Lukas melakukan Pilkada Papua di depan rapat paripurna DPR konferensi pers dan mengatakan bahwa dirinya Papua pada tahun 2018 tampaknya absen dari diminta untuk mengamankan suara Presiden perdebatan yang bersifat konseptual maupun Jokowi di Provinsi Papua dalam Pilpres 2019. yang bersifat praktis untuk menyeleseikan Sejumlah kontroversi antara Pemerintah Pusat persoalan internasionalisasi Papua merdeka dan dan Gubernur Lukas Enembe menjelang Pilgub sejumlah kekerasan politik terhaap sejumlah 2018 memunculkan dugaan bahwa Pilgub Papua merupakan momen yang tepat untuk

16https://tirto.id/hasil-pilkada-2018-di-17- 14Disampaikan oleh salah satu dosen provinsi-sesuai-rekapitulasi-suara-di-kpu-cNUk Uncend (MY), 27 Februari 2018 17https://www.cnnindonesia.com/nasional/ 15Disampaikan oleh salah seorang informan 20180711071737-32-313153/lukas-enembe-klemen- dari pers lokal di Jayapura 27 April 2018. tinal-menang-pilgub-papua-2018.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 401 orang Papua.18 Kekeliruan mendasar yang bentuk baru kolonialisme internal yang muncul dari kedua calon gubernur tersebut bertingkat. 19 adalah melihat bahwa kedua isu strategis ini Integrasi Papua akan semakin kuat bukan tanggung jawab daerah tapi pemerintah kalau Pemerintah Daerah mampu memberikan pusat. Hal ini menandakan bahwa posisi pelayanan publik yang memadai sehingga gubernur adalah sesuatu yang terpisah dari kehadiran negara dirasakan oleh orang Papua. Pemerintah Pusat dan tidak ada visi yang jelas Selama ini, sebagaimana disampaikan oleh antara keduanya untuk mencari terobosan guna Anderson (2015), ketidakamanan di Papua mendorong proses perdamaian dari bawah. utamanya disebabkan oleh kurangnya pelayanan Memang benar sebagian argumentasi mereka publik. Jika ditelusuri lebih jauh, politik bahwa Pemerintah Pusat memiliki peran yang elektoral tidak berkaitan langsung dengan cukup besar dalam munculnya kedua persoalan meningkatnya pelayanan publik di Provinsi yang berdampak internasional. Namun, Papua. Pengamatan di Kabupaten Jayawijaya kekeliruan berpikir seperti ini yang menyebabkan dan Yalimo menunjukkan bahwa masih banyak kedua masalah berkembang liar dan menjadi sekolah dasar yang kehadiran gurunya hanya siklus konflik dan kekerasaan yang tidak dua sampai tiga orang, satu guru PNS dan dua kunjung selesai. Siapapun gubernur Papua guru honorer. Jumlah anak sekolah dari kelas I belum pernah muncul gagasan alternatif untuk sampai kelas VI dikumpulkan dalam satu kelas menyeleseikan kedua persoalan ini. Pandangan sehingga tidak dapat dibedakan dengan jelas yang muncul di sejumlah kalangan intelektual kelas masing-masing murid. Banyak guru PNS Papua adalah bahwa kedua persoalan besar yang sudah diberikan rumah dinas di dalam tersebut menjadi bahan peta jalan bagi sejumlah kompleks Sekolah Dasar, yang biasanya di elit baik sipil dan militer di Papua untuk kampung-kampung, lebih memilih untuk memainkan politik anggaran dan pembagian menetap di kota dan membangun rumahnya kekuasaan. Mungkin dalam pemikiran mereka, sendiri. Meskipun terdapat peningkatan dalam semakin banyak pelanggaran HAM, semakin pelayanan kesehatan, yang ditunjukkan dengan meningkatkan isu Papua merdeka, akan menjadi dibukanya layanan puskesmas setiap hari di dua semakin terbuka lebar kesempatan untuk daerah ini, tetapi jumlah tenaga medis dan obat- meminta pemekaran wilayah dan menduduki obatan masih belum merata untuk orang asli jabatan-jabatan publik strategis. Papua yang tinggal di kampung-kampung Apabila tuduhan tersebut benar, maka (Laporan TAF-LIPI, 2018). cukup ironis perilaku elit politik Papua. Mereka Pada tahun 2017, kedua provinsi ini mengeksploitasi marjinalisasi orang Papua merupakan provinsi yang paling miskin di sebagai isu merdeka dan pelanggaran HAM Indonesia, dengan persentase jumlah orang untuk mengejar keuntungan ekonomi dan posisi miskin mencapai 27,74% (Papua) dan 23,01% status sosial. Rakyat Papua akhirnya menjadi (Papua Barat), jauh di atas rata-rata nasional korban dari pertikaian antara elit Jakarta dan (9,82%). Indeks Pembangunan Manusia kedua Papua. Pemerintah Pusat sulit sekali provinsi ini juga paling rendah, yakni 58,05 menyelesaikan persoalan konflik Papua karena (Papua) dan 62,21 (Papua Barat) yang jauh di sejumlah elit Papua menjadikan isu Papua bawah rata-rata nasional (70,18) (BPS Papua merdeka dan isu pelanggaran HAM sebagai 2017 & BPS Papua Barat 2017). Angka perisai politik yang efektif melindungi mereka. Partisipasi Murni untuk tingkat SD, SMP, dan Oleh karena itu, ketiadaan konsep atau ide calon SMA di Papua adalah 72,30%, 42,86%, dan gubernur Papua tentang penyelesaian isu Papua 33,24%--yang artinya masih banyak jumlah merdeka dan pelanggaran HAM dalam visi misi anak usia sekolah yang tidak melanjutkan ke mereka merupakan suatu indikasi yang tidak jenjang SMP dan SMA (Ikhtisar Data diinginkan. Pilkada Papua mungkin bukanlah Pendidikan, 2017).20 kesempatan bagi rakyat Papua untuk mengakhiri marjinalisasi, akan tetapi memperkuat suatu

19Disampaikan oleh MY, dosen FISIP Uncend pada 10 Maret 2018 dan 20 Februari 2018. 20http://publikasi.data.kemdikbud.go.id/uplo 18Disampaikan oleh dosen FISIP Uncend adDir/isi_FC1DCA36-A9D8-4688-8E5F- (MY) pada 10 Maret 2018. 0FB5ED1DE869_.pdf

402 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 Masalah ketahanan orang asli Papua antitesis dari identitas ke-Indonesia-an. juga ditentukan oleh daya dukung lingkungan Sementara itu, pengalaman bersama Indonesia atau habitat ekologinya mengingat hidup mereka semakin memperkuat identitas tersebut sebagai bergantung pada alam dengan bekerja sebagai akibat tidak langsung dari operasi militer dan pemburu, pekebun, atau pencari ikan secara marjinalisasi ekonomi. Namun, pascareformasi subsistence. Namun, data pada tahun 2016 1998, terutama setelah pemberlakuan Otsus mengenai konsesi penguasaan hutan yang Papua, identitas ke-Papua-an terdistorsi ke dilaporkan oleh Yayasan Pusaka menunjukkan dalam identitas kelompok etnik sebagai strategi bahwa sebagian besar hutan di Papua dikuasai atau siasat elit Papua untuk memperebutkan oleh perusahan kelapa sawit (2,4 Juta Ha), sumber daya yang disediakan oleh negara tambang (5,9 Juta Ha), pengusaha HPH (7,9 Juta melalui pemekaran daerah otonomi baru. Ha) dan Pengusaha HTI (4,3 Juta Ha).21 Dengan Kedua, politik elektoral baik pilkada demikian, ruang hidup orang asli Papua dari hari gubernur maupun pilkada bupati atau wali kota ke hari semakin sempit karena tekanan dari di Tanah Papua tidak seluruhnya mendorong perusahaan perkebunan dan perusahaan tambang perbaikan tata kelola pemerintahan. Pemilu yang sebagaimana ditunjukkan oleh tabel di bagian masih menggunakan sistem noken di sejumlah awal. Di samping itu, kerusakan hutan secara daerah pegunungan Tengah telah memunculkan umum sedang berlangsung di Papua, baik karena kekhawatiran perang suku karena penggunaan investasi sawit dan tambang maupun oleh identitas etnik yang berlebihan. Tingkat pembuatan jalan trans-Papua. Data dari Global modernisasi yang berbeda-beda antara gunung Forest Watch (2018) menggambarkan bahwa dan pantai menyebabkan Pemilu di daerah dari 31.378.186 Ha hutan di Papua, selama pegunungan sebagai arena dominasi terhadap tahun 2001-2017 telah hilang sebanyak 566.770 kelompok lain. Selain itu, kesulitan geografis Ha.22 dan kurangnya transparansi menjadikan validitas

hasil dan proses Pemilu masih dipertanyakan. Penutup Sebagai implikasi dari sistem Pemilu yang Sebagaimana diuraikan di bagian terdistorsi, maka muncul resistensi dari calon pendahuluan, artikel ini ditulis untuk yang kalah yang mengklaim bahwa mereka menguraikan penggunaan politik identitas dalam adalah pemimpin daerah secara adat. Selain itu, pemilihan kepala daerah di Tanah Papua dalam perdebatan kampanye, jarang sekali pascaOtonomi Khusus serta implikasinya dalam muncul persoalan bagaimana membangun menjaga integrasi Papua di dalam negara keberlanjutan dan daya hidup orang Papua. Indonesia. Berdasarkan paparan di bagian awal Pemilu cenderung masih berfungsi sebagai dapat diperoleh informasi sebagai berikut terkait sarana untuk membagi sumber daya politik identitas di Papua. Pertama, politik antarkelompok elit di Papua. identitas telah melekat bersamaan dengan Ketiga, pemilihan kepala daerah di perkembangan masyarakat Papua. Pengalaman Papua, terutama pemilihan gubernur, menjadi orang Papua pada masa Belanda telah ranah perebutan pengaruh politik antara membentuk identitas ke-Papua-an sebagai sejumlah elit yang mendukung kebijakan

21 Pemerintah Pusat dan sejumlah elit yang https://www.google.com/search?q=peta+k mengklaim pro-rakyat Papua. Kekhawatiran onsesi+hutan+di+Papua,+pusaka&safe=active&sourc e=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjN- bahwa jika pasangan petahana yang menang 5upqMTdAhXBPI8KHdYbCi4Q_AUICigB&biw=16 akan mendorong gerakan Papua merdeka 00&bih=794#imgrc=d-3NyR28-qZcPM: tidaklah beralasan karena setelah terpilih, 22Jansen, M. C., P.V. Potapov, R. Moore, M. pasangan ini langsung menunjukkan kesetiaannya Hancher, S. A. Turubanova, A. Tyukavina, D. Thau, untuk memenangkan Presiden Jokowi dalam S.V. Stehman, S.J. Goetz, T.R. Loveland, A. Pilpres 2019. Hal ini berarti Pilkada di Papua Kommareddy, A. Egorov, L. Chini, C. O. Justice, and tidak berkaitan langsung dan cenderung tidak J.R.G. Townshend. 2013. “High-Resolution Global membawa dampak positif dalam menguatkan Maps of 21st-Century Forest Cover Change.” integrasi Papua atau memperkuat identitas ke- Science 342 (15 November): 850–53. Data available Indonesia-an di Tanah Papua. Konsekuensi lain on-line from: http://earthenginepartners. appspot. com/science-2013-global-forest. Accessed through adalah jika pemimpin yang dipilih tidak memiliki Global Forest Watch on [date]. www.global kapasitas untuk mengatasi marjinalisasi orang forestwatch.org Papua dan menyelenggarakan tata kelola

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 403 pemerintahan yang profesional maka Elections, Institutions and Society (pp. keberlanjutan kehidupan dan penghidupan orang 307-329). ISEAS–Yusof Ishak Institute. asli Papua dipertanyakan. Geertz, C. (1973). The Interpretation of

Cultures. New York: Basic Books, Inc. Daftar Pustaka Gutmann, A. (2011). Identity in Democracy. Anderson, B. (2015). Papua's Insecurity: State Princeton University Press. Failure in the Indonesian Periphery. Policy Studies pada East-West Center, Habibi, M. (2017). Identity Politics in Indonesia. No. 73. 10.13140/RG.2.2.16590.66887. https://www.eastwestcenter.org/publicat Haboddin, M. 2015. Politik Primodialisme ions/papuas-insecurity-state-failure-in- dalam Pemilu di Indonesia. Malang: the-indonesian-periphery Universitas Brawijaya Pers. Heller, A & Riekmann, S.P. (1996). Biopolitics: Heyes, C. (2007). Identity Politics. Standford The Politics of The Body, Race Enciclopedia of Philosophy. Dalam E.N. and Nature. Brookfield:Avebury. Zalta (ed.). Donwload di https://plato. stanford.edu/entries/identity-politics/ BPS Papua. (2017). Papua Dalam Angka 2017. (Diakses 20 September 2018). Jayapura: BPS Provinsi Papua. Hadiz, V. (2017). Behind Indonesia’s illiberal BPS Papua Barat. 92017). Papua Barat Dalam turn. Artikel pada New Mandala, Angka 2018. Manokwati: BPS Provinsi http://www.newmandala.org/indonesia- Papua Barat. illiberal/ (Diakses 20 September 2018). Budiatri, A.P. (2017). Dikotomi Identitas Horowitz, D.L. (1998). Demokrasi pada Keindonesiaan dan Kepapuaan Pasca Masyarakat Majemuk (Democracy in a Orde Baru. Jurnal Penelitian Politik, plural society). Dalam Nasionalisme, Vol 14, No 1 (2017), DOI: https:// konflik etnik dan demokrasi (Nationalism, doi.org/10.14203/jpp.v14i1.712. ethnic conflict and democracy). Drooglever, P.( 2009). An Act of Free Choice: Diterjemahkan oleh Somardi. Bandung: Decolonization and the Right to Penerbit ITB, 43-70. SelfDetermination in West Papua. Hobsbawm, E. (1996). Identity Politics and the Oxford, UK: Oneworld Publications. Left, New Left Review; London0.217 Chua, A. (2018). Political Tribes: Group (May 1, 1996). Instinct and the Fate of Nations. New Kamma, F.C. (1972). Koreri Messianic Movements York: Penguin Press. in the Biak-Numfor Culture Area: The Chauvel, R. (2005). Constructing Papuan Hague: Martinus Nijhoff. Nationalism: History, Ethnicity, and Kymlicka, W. (1995). Multicultural citizenship: Adaptation. Washington, D.C.: East- A liberal theory of minority rights. West Center Washington. Clarendon Press. Chauvel, R. (2008). Rulers in their own country? McGibbon, R. (2006). Pitfalls of Papua: Special autonomy and Papuan aspirations Understanding the Conflict and Its Place have been thwarted by Jakarta and in Australia Indonesia Relations. New hampered by the administrative South Wales: Lowy Institute for fragmentation sponsored by local International Policy. 2006. politicians. Inside Indonesia No. 94 (Oct-Dec). Mietzner, M & Muhtadi, B. (2018) Explaining http://papuaweb.org/dlib/jr/ii/94.pdf the 2016 Islamist Mobilisation in (Diakses 20 September 2018). Indonesia: Religious Intolerance, Militant Groups and the Politics of Chauvel, R. (2010). Electoral Politics and Accommodation, Asian Studies Review, Democratic Freedoms in Papua. In E. 42:3, 479-497, DOI: 10.1080/10357823. Aspinall & M. Mietzner (Eds.), 2018.1473335 Problems of Democratisation in Indonesia:

404 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 Prakash, K. (2011). The Challenge of Identity Van Bruinessen, M. (Ed.). (2013). Contemporary Politics. The Marxist, XXVII 1–2, Developments in Indonesian Islam: January–June 2011. Explaining the" conservative Turn". Institute of Southeast Asian Studies. Rusdyarti, S.R & Pamungkas, C. (2017). Updating Papua Road Map: Proses Widjojo, M. S. (ed.). (2008). Papua Road Map: Perdamaian, Politik Kaum Muda dan Negotiating the Past, Improving the Internasionalisasi Konflik Papua. Present, and Securing the Future. Jakarta: Obor. Jakarta: LIPI, Yayasan Tifa, dan Yayasan Obor Indonesia. Van den Berghe, P. (1967). Dialectic and Functionalism: Toward a Synthesis, Wenda, P.L., Yoman, Y. & K. (2013). dalam N.J. Demerath III et.al.eds., Pemilukada Gubernur Provinsi Papia System, Change, and Conflict, The Free Tidak Demokratis. Jayapura: Lembaga Press, New York, Collier-McMillan Intelektual Tanah Papua. limited, London.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 405

406 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018