The 2018 Papua Gubernatorial Election: Politics of Identity, Governance, and Life Forces of Papuan Natives
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
PEMILIHAN GUBERNUR PAPUA 2018: POLITIK IDENTITAS, TATA KELOLA PEMERINTAHAN, DAN KETAHANAN ORANG ASLI PAPUA THE 2018 PAPUA GUBERNATORIAL ELECTION: POLITICS OF IDENTITY, GOVERNANCE, AND LIFE FORCES OF PAPUAN NATIVES Cahyo Pamungkas & Devi Triindriasari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [email protected] Abstract Indonesia is currently dealing with a wave of identity politics both at the national and at the regional level. During this time, the election of governor or regencies’ head was often the arena of identity politics by both dominant and subordinate groups, mainly by using religious issues. Most present studies of identity politics focus on the use of religious issues in the 2017 Jakarta gubernatorial election. Different from these studies, this research investigates the use of ethnic identity in the 2018 Papua gubernatorial election. Conceptual objectives of this research are how far the use of identity politics in the elections in Papua strengthens or weakens local governance and the resilience of indigenous Papuans in the future. This research uses observations, interviews, and focuses group discussions in Jayapura and Wamena, between May and June 2018s. The argument of this study is that identity politics is inherent in the experience of Papuans in the colonial period, the New Order, and Special Autonomy. After Special Autonomy of Papua, tribal identity strengthens to defeat Papua in the new realm of local politics. As a result, most Papuan political elite place elections as a strategy for fighting over resources rather than building governance and improving the resilience of Papuan natives. Keywords: Identity Politics, Gubernatorial Election, Governance, Resilience, National Integration. Abstrak Indonesia sekarang ini sedang menghadapi gelombang politik identitas, baik di Pusat maupun di daerah. Selama ini, pemilihan kepala daerah sering menjadi arena politik identitas, baik oleh kelompok yang dominan maupun yang tersubordinat, terutama dengan menggunakan isu agama. Kebanyakan pengamat politik identitas memfokuskan kajian pada penggunaan isu agama dalam ranah Pilkada, seperti yang terjadi di DKI pada tahun 2017. Berbeda dengan studi-studi tersebut, artikel ini mengkaji penggunaan identitas etnik dalam Pilkada serentak di Provinsi Papua pada tahun 2018. Tujuan yang bersifat konseptual dari penelitian ini adalah sejauh mana penggunaan politik identitas dalam pilkada di Papua memperkuat atau memperlemah tata kelola pemerintahan dan ketahanan orang asli Papua pada masa mendatang. Sumber data dari penulisan artikel ini adalah pengamatan, wawancara, diskusi kelompok terpumpun di Jayapura pada bulan Mei dan Juni 2018 serta studi pustaka. Argumen yang dibangun dalam artikel ini adalah politik identitas sudah melekat pada pengalaman orang Papua pada masa kolonial, Orde Baru, maupun Otonomi Khusus. Setelah Otonomi Khusus, identitas kesukuan menguat kembali mengalahkan ke-Papua-an dalam ranah baru politik lokal. Sebagai akibatnya, Pemilu lebih ditempatkan sebagai strategi dan siasat elit untuk memperebutkan sumber daya daripada membangun tata kelola pemerintahan dan meningkatkan ketahanan orang asli Papua. Kata Kunci: Politik Identitas, Pemilihan Gubernur, Tata Kelola, Ketahanan, Integrasi Nasional. Pendahuluan Horowitz (1989), Heyes (2007), dan Agnes Heller (1996) memandang politik identitas Pemilihan kepala daerah seringkali sebagai tindakan politik untuk mengutamakan dilihat dalam perspektif ilmu politik, sebagai kepentingan suatu kelompok sekaligus salah satu bentuk mekanisme demokrasi modern mengecualikan kelompok lain berdasarkan atas untuk memilih pemimpin pemerintahan di kesamaan identitas yang dimilikinya, seperti ras, tingkat lokal. Namun, dalam perspektif sosial, etnisitas, jender, atau keagamaan. Sebagian pemilihan kepala daerah ditempatkan sebagai pengkaji ilmu politik berpandangan bahwa arena tempat menggunakan perbedaan identitas penggunaan identitas sebagai suatu yang budaya sebagai sebuah instrumen politik. diterima dalam sistem politik demokrasi. Amy Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 391 Chua (2018) menyebutkan bahwa pemanfaatan (focus group discussion), dan sejumlah observasi identitas pada masa kini tidak dapat dihindarkan serta wawancara penulis ketika mengunjungi dalam kontestasi politik karena demokrasi Jayapura dan Wamena pada bulan Mei-Juni berfungsi untuk menjamin kebebasan. Sementara 2018, menjelang pelaksanaan Pilkada serentak. itu, Amy Gutman (2011) mengatakan bahwa Informan dalam penelitian lapangan yang juga identitas dalam demokrasi merupakan manifestasi menjadi peserta diskusi mencakup tokoh-tokoh dari agregasi kepentingan. Ia dapat diterima bila masyarakat dari kalangan gereja, masyarakat mampu mendorong nilai solidaritas dalam adat, organisasi non-pemerintah, dan para mengkonstruksi kesadaran publik tentang akademisi di Jayapura. Hasil dari penelitian kewargaan dan melawan diskriminasi terhadap lapangan kemudian dianalisis dengan menggunakan kelompok lain. pendekatan deskriptif dengan membandingkan berbagai temuan kajian literarur mengenai politik Adapun pandangan yang lain menyebutkan identitas dan multikulturalisme. bahwa penggunaan politik identitas dapat menjadi sumber persekusi terhadap kelompok Otonomi Khusus Papua Dan Sentimen sosial tertentu yang berbeda. Misalnya, dalam Primordial konteks Indonesia terutama kasus Pilkada DKI 2017, identitas agama tertentu digunakan oleh Geertz (1973) menyebutkan bahwa sejumlah elit politik untuk melakukan mobilisasi unsur pembentuk masyarakat plural adalah politik (Mietzner & Muhtadi, 2018). Sebagian sentimen primordial. Menurutnya, sentimen besar narasi besar mengenai politik identitas primordial adalah sesuatu yang terberi sebagai sekarang ini lebih banyak menyoroti mengenai sesuatu yang bersifat given atau sebagai budaya menguatnya konservatisme agama. Banyak istilah yang diasumsikan terberi dalam suatu dimunculkan untuk menyebut politik identitas masyarakat yang eksis; hubungan kekeluargaan seperti conservative turn (Bruinessen, 2013) dan tersebut berakar dari sejak lahir hingga menjadi illiberal turn (Hadiz, 2017). Konsep-konsep komunitas agama tertentu, berbahasa tertentu, tersebut terbentuk sebagai sebuah respon dan mengikuti tradisi-tradisi sosial tertentu. terhadap semakin menguatnya penggunaan Sentimen-sentimen primordial ini seringkali identitas agama dalam ruang publik termasuk dijadikan dasar dari pembenutkan unit-unit ranah politik. Diskursus politik identitas masih politik yang memiliki otonomi. Seringkali terjadi tetap relevan untuk dikaji mengingat peta politik ketegangan-ketegangan antarkelompok yang dan arah perubahan ke depan lebih menuju pada memunculkan pandangan-pandangan seperti politik yang semakin plural (Habibi, 2017). tribalisme, parokalisme, dan komunalisme. Masyarakat plural, merujuk pada Geertz, adalah Tulisan ini akan melihat penggunaan suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai politik identitas dalam pemilihan kepala daerah, kelompok yang terikat pada sentimen primordial. dengan melihat dimensi yang berbeda yakni Literatur klasik mengenai masyarakat plural konsolidasi elit di daerah yang masyarakatnya merujuk pada pandangan Van den Berghe (1967) masih termarjinalkan, yakni Provinsi Papua. yang mengatakan bahwa konsekuensi logis dari Kebanyakan studi-studi sebelumnya lebih masyarakat plural adalah adanya interseksi, memusatkan perhatiannya pada praktik pemilu yakni pertemuan atau persilangan antar- noken ataupun menggunakan perspektif tata kelompok-kelompok sosial dari berbagai unsur kelola pemerintahan. Pemilihan gubernur Papua seperti ras, agama, etnik, dan bangsa. Interseksi yang bersamaan dengan Pilkada Serentak tahun ini berimplikasi pada meningkatkan solidaritas 2018 merupakan babak baru dalam perjalanan kelompok pada satu sisi dan menimbulkan politik Papua bersama Indonesia. Permasalahan ketegangan atau konflik pada sisi lain. Interseksi yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah ini dapat terjadi melalui relasi-relasi bagaimanakah politik identitas digunakan dalam perdagangan, perkawinan, pendidikan, dan Pilkada Papua pasca-2004 dan bagaimana pula politik. implikasinya terhadap perbaikan tata kelola pemerintahan dan ketahanan orang asli orang Masyarakat plural atau majemuk atau Papua yang pada akhirnya mampu memperkuat multikultur merupakan sesuatu yang bersifat integrasi nasional. terberi. Namun kemudian, realitas yang plural ini memiliki makna yang berbeda ketika dilihat Tulisan ini merupakan hasil dari dalam spektrum ideologi-ideologi politik. penelitian literatur, diskusi kelompok terpumpun Liberalisme, Marxisme, dan fasisme memiliki 392 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Tahun 2018 pandangan yang berbeda-beda dalam melihat demikian, politik identitas mengasumsikan masyarakat plural. Misalnya, liberalisme bahwa hanya satu dari banyak identitas yang kita menekankan perlunya konsep mulitikulturalisme, punya sebagai identits yang menentukan atau yang bertujuan untuk melindungi kelompok- minimal mendominasi politik kita. Konsekuensinya, kelompok minoritas dalam suatu masyarakat politik identitas harus membuang pihak lain yang plural dari relasi-relasi dominasi dan represi berbeda karena tidak sesuai dengan diri kita. kelompok-kelompok mayoritas. Marxisme Ketiga, identitas atau ekspresi identitas bukan memandang bahwa identitas-identitas kebudayaan sesuatu yang tetap, bahkan mengharapkan kita merupakan urusan privat dan tidak menjadi dasar untuk memilih satu dari banyak potensial dari tindakan-tindakan sosial karena yang dinilai identitas yang sesuai, misalnya seseorang