PENDIDIKAN BERBASIS NILAI-Nllai KEBANGSAAN
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
PENDIDIKAN BERBASIS NILAI-NlLAI KEBANGSAAN: Pendidikan Politik dan Sosialisasi Politik Azyumardi Azra [email protected] Bicara tentang pendidikan berbasiskan nilai-nilai kebangsaan tidak bisa lain berbicara tentang pendidikan politik. Lalu, pembicaraan tentang hubungan antara pendidikan dengan politik bukanlah suatu hal yang baru. Sejak zaman Plato dan Aristoteles sampai masa modern dan kontemporer, para filsuf dan pemikir politik telah memberikan perhatian cukup intens pada masalah ini. Kenyataan ini misalnya ditegaskan dengan ungkapan ―as is the state, so is the school‖ (―sebagaimana negara, seperti itulah sekolah‖), atau ―What you want in the state, you must put into the school‖ (―apa yang anda inginkan dalam negara, harus anda masukkan ke sekolah‖). Juga terdapat teori yang dominan dalam demokrasi yang mengasumsikan, pendidikan adalah sebuah korelasi -jika tidak sebuah persyaratan bagi suatu tatanan demokratis (Coleman dalam Coleman, ed, 1956: 6). Dalam konteks itu, kalau berbicara tentang pendidikan berbasis nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme) Indonesia, pembicaraan niscayalah menyangkut UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Inilah prinsip dasar kebangsaan negara-bangsa Indonesia. Di sini kita pasti harus berbicara tentang politik. Lagi pula, pendidikan nasional merupakan lokus tidak hanya untuk transfer ilmu, kecakapan dan keterampilan, tetapi juga wahana untuk penanaman semangat kebangsaan. Selanjutnya jika berbicara tentang pendidikan dalam kaitan dengan hal kebangsaan, orang harus berbicara --sekali lagi-- tentang ‗pendidikan politik‘. Hal ini tidak lain karena pendidikan politik merupakan wahana efektif untuk menumbuhkan semangat kebangsaan dan kecintaan kepada ke empat prinsip dasar negara-bangsa Indonesia (NKRI). Melalui ‗pendidikan politik‘ --yang bisa berbentuk Mata pelajaran/Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Sejarah, dan bahkan Pendidikan Agama Islam (atau pendidikan agama-agama lain) dapat ditumbuhkan perasaan dan semangat cinta tanah air, yang dalam ajaran Islam disebut sebagai hubbul al-wathan min al-iman-- cinta tanah air adalah bagian daripada iman. PENDIDIKAN DAN ‘PENDIDIKAN POLITIK’ Dengan mengambil kasus dan pengalaman pendidikan Islam, hubungan antara pendidikan dengan politik juga dapat dilacak sejak masa pertumbuhan paling subur dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam, semacam madrasah. Sepanjang sejarah, terdapat hubungan amat erat antara pendidikan dengan politik. Kenyataan ini misalnya dapat dilihat dari pendirian banyak madrasah di Timur Tengah yang disponsori oleh penguasa politik. Contoh paling terkenal dalam hal ini adalah Madrasah Nizamiyyah di Baghdad yang didirikan sekitar 1064 oleh Wazir Dinasti Saljuk, Nizam al-Mulk; di madrasah ini terkenal bahwa pemikir dan ulama besar al-Ghazali pernah menjadi guru besar. Signifikasi dan implikasi politik dan pengembangan madrasah atau pendidikan Islam umumnya bagi para penguasa Muslim sudah jelas. Madrasah-madrasah didirikan untuk menunjang kepentingan politik tertentu penguasa Muslim, di antaranya; untuk menciptakan dan memperkokoh citra penguasa sebagai orang yang mempunyai kesalehan, minat dan kepedulian pada kepentingan ummat, dan–ini lebih penting lagi–sebagai pembela ortodoksi Islam. Semua ini pada gilirannya mereka harapkan dapat memperkuat legitimasi penguasa vis-a-vis rakyat mereka. Persoalannya kemudian, sejauh mana madrasah dan lembaga pendidikan Islam lainnya secara sadar juga difungsikan sebagai wahana ―pendidikan politik‖ anak didik atau masyarakat Muslim umumnya? Hemat saya, lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak masa klasik hingga masa pertengahan, atau tepatnya masa pra-modern, tidak menjadikan ‗pendidikan politik‘ sebagai agenda. Seperti diketahui, lembaga- lembaga pendidikan Islam, di masa-masa tersebut lebih merupakan satu wahana utama bagi transmisi dan bahkan ‗pengawetan‘ ilmu-ilmu Islam. Meski pendirian madrasah, misalnya, sering berkaitan erat dengan motif-motif politik, terdapat indikasi yang kuat untuk bahwa ia tidak terlibat dalam proses-proses politik. Absolutisme politik Muslim– sebagaimana terlihat dari eksistensi berbagai macam Dinasti–tidak memberikan ruang bukan hanya bagi keterlibatan komunitas madrasah, tetapi bahkan masyarakat Muslim umumnya, untuk turut serta dalam proses-proses politik, dan mewujudkan partisipasi politik mereka (lihat Azra, dalam Stanton: 1994). ‗Pendidikan politik‘—dalam pengertian modern—dengan demikian mungkin sedikit sekali mempunyai relevansi dengan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam klasik dan pertengahan. Tetapi ini tidak berarti bahwa apa yang kita sebut sebagai ‗pendidikan politik‘–terlepas dari tingkatan intensitas dan kedalamannya–tidak berlangsung dalam masyarakat Muslim umumnya. Bahkan ‗pendidikan politik‘ mungkin menjadi salah satu concern utama para pemikir politik Muslim, semacam al-Mawardi atau al-Ghazali. Sebagaimana bisa diduga dalam ‗pendidikan politik‘ para pemikir politik Muslim merumuskan dan mengajarkan tentang, misalnya, hak-hak kewajiban timbal-balik antara penguasa dan rakyat. Bahkan para pemikir semacam ini menerbitkan kitab-kitab panduan, termasuk karya al-Ghazali Nashihat al-Muluk, yang diperuntukkan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Semua hal yang bisa dipandang sebagai termasuk ke dalam ‗pendidikan politik‘ ini, umumnya dilihat dari perspektif syari‘ah atau fiqh (lihat Lambton, 1991). Barulah ketika modernisme mulai menemukan momentumnya di wilayah-wilayah Muslim di Timur Tengah, khususnya di Turki dan Mesir sejak paruh kedua abad ke-19, lembaga-lembaga pendidikan juga sedikit banyak berfungsi sebagai arena ‗pendidikan politik‘. Lembaga-lembaga pendidikan modern Islam ini diarahkan juga untuk mencapai tujuan-tujuan keagamaan dan politik tertentu, yang tentu saja harus sesuai dengan semangat modernisme keagamaan dan politik Islam. Dengan demikian, apa yang disebut sebagai ‗pendidikan politik‘, kelihatannya lebih merupakan fenomena politik modern. Sebab itulah pembahasan tentang ‗pendidikan politik‘ dan pendidikan Islam lebih baik kalau difokuskan pada fenomena negara-bangsa Muslim dewasa ini. PENDIDIKAN POLITIK ATAU SOSIALISASI POLITIK Istilah ‗pendidikan politik‘ (political education)–sebagaimana sering digunakan di Indonesia kelihatannya bukanlah suatu terma atau konsep yang lazim digunakan dalam kajian-kajian politik kontemporer. Keengganan menggunakan istilah ‗pendidikan politik‘ agaknya berkaitan dengan konotasi negatif yang melekat pada dirinya. Dengan melihat kenyataan bahwa hampir seluruh lembaga pendidikan dikontrol pemerintah, Alfred de Grazia dalam buku klasiknya The Elements of Political Science hampir mengidentikkan ‗pendidikan politik‘ dengan ‗propaganda‘ untuk memperkuat legitimasi dan status quo penguasa. Batas antara pendidikan politik dengan propaganda sulit dibuat. Pendidikan politik–sama dengan propaganda–bertujuan membangun dukungan bagi kebijakan-kebijakan penguasa. Melalui pendidikan politik, penguasa ‗mendidik‘ anak didik tentang, misalnya, bagaimana bertingkah laku sebagai warga negara atau bagaimana menyikapi pemerintah, negara-bangsa dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, pendidikan politik yang semula bersifat persuasif dapat berubah menjadi koersi (pemaksaan) fisik (de Grazia, 1952: 39, 255). Agaknya karena mempertimbangkan hal di atas itulah James S. Coleman ketika berbicara tentang pendidikan dalam hubungannya dengan politik lebih senang menggunakan istilah ‗sosialisasi politik‘ (political socialization) (Coleman dalam Coleman, ed: 1965: 18). Istilah dan konsep ‗sosialisasi politik‘ sekarang telah menjadi bagian yang diterima sepenuhnya dalam kosa kata ilmu politik. Istilah sosialisasi politik mengacu kepada proses di mana individu-individu memperoleh sikap dan perasaan terhadap sistem politik; dan terhadap peranan mereka di dalamnya, yang mencakup: cognition (apa yang diketahui atau dipercayai seseorang tentang sistem politik, eksistensinya, dan modus operandi-nya); feeling (bagaimana perasaan seseorang terhadap sistem politik, termasuk kesetiaan dan perasaan kewajiban sipil); sense of political competence (apa peranan seseorang dalam sistem politik). Lebih tegas lagi, sebagaimana dirumuskan Almond, ―sosialisasi politik adalah proses induksi [seseorang] ke dalam kebudayaan politik‖ (political culture) (Almond, dalam Almond & Coleman, 1960: 27). Sistem dan lembaga pendidikan merupakan salah satu dari institusi terpenting dalam sosialisasi politik tersebut, terutama sejak seorang anak didik mulai memperoleh pendidikan sampai ia mencapai kedewasaan. Almond dan Verba yang melakukan kajian perbandingan di lima negara bahkan memperkuat studi-studi sebelumnya, yang menyimpulkan bahwa pendidikan formal merupakan faktor yang sangat menentukan (decisive) dalam proses sosialisasi politik. Kedua ahli politik ini menemukan korelasi positif antara pendidikan dengan kognisi dan partisipasi politik. Menurut Almond dan Verba, pencapaian dalam pendidikan kelihatannya merupakan memberikan dampak demografis terpenting terhadap sikap dan tingkah laku politik. Orang tidak terdidik atau dengan pendidikan terbatas adalah aktor politik yang berbeda dengan orang yang telah mencapai tingkat pendidikan lebih tinggi (Almond & Verba, 1963: 379, 380-87). Tetapi bagaimanakah sebenarnya hasil akhir sosialisasi politik yang dapat dicapai melalui pendidikan? Untuk menjawab pertanyaan ini setidak-tidaknya terdapat empat hal penting yang perlu dikaji lebih jauh, karena melibatkan persoalan-persoalan cukup kompleks. Pertama, arah orientasi politik yang ditanamkan melalui pendidikan formal; kedua,