Collective Action
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB 7 ORANG WOKRWANA DAN PERKEBUNAN SAWIT: PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE ACTION Bab ini berisikan analisa dan refleksi mengenai keberadaan perkebunan kelapa sawit dan kehidupan Orang Kampung Workwana Distrik Arso, Kabupatan Keerom dalam perspektif Livelihood. Analisa dan refleksi ini difokuskan pada pengalaman penduduk setempat memperjuangkan Livelihood yang berkelanjutan disoroti dari dua hal. Pertama, disajikan sebuah penjelasan dan diskusi mengenai latar belakang dan bentuk-bentuk resistensi penduduk terhadap sistem perkebunan kelapa sawit dan dampaknya dilihat dalam rangka memperjuangkan Livelihood berkelanjutan. Resistensi penduduk dalam tulisan ini juga mau disoroti dan direfleksikan dalam perspektif collective action. Kedua, analisa dan refleksi ini mengulas perjuangan penduduk setempat yang berusaha melakukan strategi coping (coping strategies) dalam memperjuangkan Livelihood-nya. Seluruh bagian analisa dan refleksi ini diawali dengan mengangkat secara garis besar visi paradigma pembangunan berkelanjutan dan visi pembangunan Provinsi Papua. Pembangunan Berkelanjutan di Papua Visi pembangunan Papua menuju terwujudnya Papua Baru menurut Suebu (2007), mengandung prinsip kesinambungan, keseimbangan, efisiensi, efektivitas, kemandirian dan akuntabilitas. Prinsip-prinsip pembangunan tersebut sesungguhnya merujuk pada Undang Undang (UU) R.I, Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dalam undang-undang tersebut pasal 63, 245 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua terdapat pokok tentang Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup. Pasal ini menyebutkan bahwa pembangunan di Provinsi Papua dikembangkan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Kemudian pada pasal 64, tertulis bahwa pemerintah berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup, melindungi sumber daya alam, ekosistem, cagar budaya dan keanekaragaman hayati serta memperhatikan hak-hak masyarakat adat untuk sebesar-besarnya kesejahteraan penduduk. Jadi secara prinsipil dapat dikatakan spirit pembangunan Papua berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001 mengandung paradigma pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) sesuai dengan semangat awal The World Commision on Environment and Development (WCED) yang digagasi oleh Gro Harlem Brundtland [Bdk. Escobar, 1995; Munck & O’Hearn, (Edit.) 1999; Mahinney, 2002; Willis, 2005; Rist, 2008]. Berkaitan dengan gagasan-gagasan pembangunan berkelanjutan, di bawah ini dimuat penjelasan-penjelasan yang menurut hemat penulis relevan bagi kita. Mitchell (1997:31-35), menjelaskan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dipopulerkan oleh World Commission on Environment and Development pada tahun 1987 yang diketuai oleh Gro Harlem Bruntland, Perdana Menteri Norwegia saat itu. Oleh sebab itu komisi tersebut kemudian dinamakan komisi Brundtland. Dalam laporannya tentang Masa Depan Bersama di Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa, Brundtland mengemukakan dua hal penting, yaitu, pertama, perlunya strategi lingkungan jangka panjang untuk mencapai pembangunan berkelanjutan; kedua, mengidentifikasi bagaimana hubungan antarmanusia, sumber daya, lingkungan dan pembangunan yang terintegrasi dalam kebijakan nasional dan internasional. Pembangunan berkelanjutan sebagai suatu paradigma pembangunan yang sarat makna, mengandung unsur-unsur fundamental, berorientasi pada kepentingan baik manusia maupun lingkungan hidup tempat di mana semua makhluk serta sumber daya 246 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action alam berada dan selalu tercukupkan saat ini dan di masa depan. Berikut akan dikemukakan beberapa pemikiran atau pandangan para pemerhati masalah pembangunan dan lingkungan serta sumber daya alam. Misalnya, Tietenberg (2003:95-96) menyatakan bahwa dalam konsep pembangunan, ada dua hal penting yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan kembali kriteria berkelanjutan terkait dengan keberadaan sumber daya alam. Pertama, perihal pengalokasian atau ketersediaan modal secara total tanpa pengurangan nilai dan teruji. Kedua, perlunya menganalisis atau membandingkan hasil produksi yang berkelanjutan sebagai investasi yang tidak berkurang. Berdasarkan konsern yang demikian, Tietenberg (2003:553-560), kemudian mencatat paham pembangunan berkelanjutan sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Komisi Brundtland sebagai berikut: “Sustainable development is development that meets the needs of the present withouth compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Sehubungan dengan paham pembangunan berkelanjutan, Tietenberg pun menawarkan beberapa skenario yang dapat dilakukan sehubungan dengan bagaimana mencermati persoalan pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan. Salah satu skenario yang disebut antara lain yaitu, konsern bukan saja pada tingkat kesejahteraan saat ini tetapi kesejahteraan yang bertumbuh secara berkelanjutan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada 3 (tiga) hal penting yang perlu diperhatikan bila berbicara tentang pembangunan berkelanjutan, yaitu: pertama, aspek kesejahteraan berkelanjutan secara eksistensial; kedua, aspek besarnya tingkat kesejahteraan berkelanjutan sekarang ini berkaitan langsung dengan tingkat kesejahteraan yang akan datang; ketiga, tindakan-tindakan generasi sebelumnya mempunyai sensivitas tertentu terhadap tingkat kesejahteraan generasi yang akan datang. Di sisi lain Komisi Brundtland (Mitchell, 2003:31-35) mengungkapkan juga bahwa, dalam kenyataan kegiatan-kegiatan pembangunan telah mengakibatkan munculnya banyak kemiskinan dan kemerosotan serta kerusakan lingkungan sehingga perlu diusahakan suatu jalan baru pembangunan yang akan membawa kemajuan kemanusiaan bagi seluruh dunia. Berdasarkan pemikiran tersebut komisi ini mencatat 247 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua dua konsep kunci pembangunan berkelanjutan yang perlu diperhatikan, yaitu pertama, terkait soal kebutuhan, khususnya kebutuhan para fakir miskin di negara berkembang; kedua, adanya keterbatasan teknologi dan organisasi sosial berhubungan dengan kapasitas lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sekarang ini dan di masa depan. Dengan menyadari hakekat dan implikasi pembangunan berkelanjutan maka komisi tersebut kemudian merumuskan pokok- pokok pikiran yang dapat digunakan untuk mengembangkan kebijakan pembangunan dan lingkungan. Pokok-pokok pikiran dimaksud adalah memikirkan kembali makna pembangunan, mengubah kualitas pertumbuhan, memenuhi kebutuhan dasar akan lapangan kerja, makanan, energi, air dan sanitasi, kemudian menjamin terciptanya keberlanjutan pada setiap tingkat pertumbuhan penduduk, mengkonservasi dan meningkatkan sumber daya, mengubah arah teknologi dan mengelola resiko, memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan. Selain pikiran-pikiran di atas kita juga perlu melihat perspektif etis pembangunan dan lingkungan. Perspektif etis dimaksud diambil antara lain dari pikiran-pikiran Denis Goulet dan Sony Keraf. Terkait dengan pemikiran ke dua ahli etika tersebut, pertama akan dibicarakan secara singkat pertimbangan-pertimbangan etis Denis Goulet terhadap masalah-masalah pembangunan pada umumnya. Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan mengedepankan pemikiran Sony Keraf yang menyoroti masalah pembangunan lingkungan di Indonesia. Menurut Goulet (1995:11-19) kebijakan-kebijakan pembangunan yang bersifat etis memperhatikan 3 (tiga) rasionalitas. Menurut Goulet, yang dimaksud dengan rasionalitas dalam perspektif etika pembangunan adalah suatu prosedur cara berpikir yang menyeluruh sebagai asumsi- asumsi berpikir yang bersifat metodologis; suatu bangunan kriteria yang tetap benar dan valid. Menurutnya rasionalitas ada tiga, yaitu rasionalitas teknis, rasionalitas politis dan rasionalitas etis. Pertama, rasionalitas teknis. Tujuan rasionalitas ini ialah menyelesaikan sesuatu dengan tindakan-tindakan konkret dan menggunakan pengetahuan- 248 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action pengetahuan teknis untuk memecahkan persoalan pembangunan. Dengan demikian segala sesuatu yang menghalangi tujuan pembangunan dari sisi kepentingan rasionalitas teknis akan disingkirkan. Kedua, tujuan rasionalitas politis adalah agar institusi politik tertentu tetap eksis dan berperan serta dalam mempertahankan posisi. Pendekatannya ialah melakukan kompromi-kompromi, negosiasi, akomodasi dengan cara-cara yang ramah dan menarik. Ketiga, rasionalitas etis ingin mengedepankan nilai-nilai yang berpihak pada manusia. Pendekatannya adalah memberi pertimbangan tentang sesuatu itu baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, benar atau salah. Logikanya bisa bersifat keras, bisa pula lunak. Jadi menurut Goulet apabila pembangunan dilakukan hanya dengan mengutamakan salah satu rasionalitas, maka akan terjadi proses pereduksian makna antar- rasionalitas dan akan mengakibatkan terciptanya ketimpangan dalam pembangunan yang dapat berakibat merugikan manusia. Untuk itu dibutuhkan suatu interaksi yang mutualistis antar-ketiga rasionalitas tersebut. Artinya, ketiga rasionalitis hendaknya berperan dan berfungsi setara, masing-masing rasionalitas mempunyai kontribusi dalam melihat persoalan pembangunan pada umumnya. Berikut ini akan diberikan contoh lain tentang perspektif etis dalam pembangunan berkaitan dengan lingkungan merujuk pada pemikiran Keraf (2006). Selanjutnya, menurut Keraf (2006:168-173), ada 3 (tiga) hal penting yang perlu diperhatikan