BAB 7 ORANG WOKRWANA DAN PERKEBUNAN SAWIT: PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE ACTION

Bab ini berisikan analisa dan refleksi mengenai keberadaan perkebunan kelapa sawit dan kehidupan Orang Kampung Workwana Distrik Arso, Kabupatan Keerom dalam perspektif Livelihood. Analisa dan refleksi ini difokuskan pada pengalaman penduduk setempat memperjuangkan Livelihood yang berkelanjutan disoroti dari dua hal. Pertama, disajikan sebuah penjelasan dan diskusi mengenai latar belakang dan bentuk-bentuk resistensi penduduk terhadap sistem perkebunan kelapa sawit dan dampaknya dilihat dalam rangka memperjuangkan Livelihood berkelanjutan. Resistensi penduduk dalam tulisan ini juga mau disoroti dan direfleksikan dalam perspektif collective action. Kedua, analisa dan refleksi ini mengulas perjuangan penduduk setempat yang berusaha melakukan strategi coping (coping strategies) dalam memperjuangkan Livelihood-nya. Seluruh bagian analisa dan refleksi ini diawali dengan mengangkat secara garis besar visi paradigma pembangunan berkelanjutan dan visi pembangunan Provinsi Papua.

Pembangunan Berkelanjutan di Papua Visi pembangunan Papua menuju terwujudnya Papua Baru menurut Suebu (2007), mengandung prinsip kesinambungan, keseimbangan, efisiensi, efektivitas, kemandirian dan akuntabilitas. Prinsip-prinsip pembangunan tersebut sesungguhnya merujuk pada Undang Undang (UU) R.I, Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dalam undang-undang tersebut pasal 63,

245 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua terdapat pokok tentang Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup. Pasal ini menyebutkan bahwa pembangunan di Provinsi Papua dikembangkan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Kemudian pada pasal 64, tertulis bahwa pemerintah berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup, melindungi sumber daya alam, ekosistem, cagar budaya dan keanekaragaman hayati serta memperhatikan hak-hak masyarakat adat untuk sebesar-besarnya kesejahteraan penduduk. Jadi secara prinsipil dapat dikatakan spirit pembangunan Papua berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001 mengandung paradigma pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) sesuai dengan semangat awal The World Commision on Environment and Development (WCED) yang digagasi oleh Gro Harlem Brundtland [Bdk. Escobar, 1995; Munck & O’Hearn, (Edit.) 1999; Mahinney, 2002; Willis, 2005; Rist, 2008]. Berkaitan dengan gagasan-gagasan pembangunan berkelanjutan, di bawah ini dimuat penjelasan-penjelasan yang menurut hemat penulis relevan bagi kita. Mitchell (1997:31-35), menjelaskan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dipopulerkan oleh World Commission on Environment and Development pada tahun 1987 yang diketuai oleh Gro Harlem Bruntland, Perdana Menteri Norwegia saat itu. Oleh sebab itu komisi tersebut kemudian dinamakan komisi Brundtland. Dalam laporannya tentang Masa Depan Bersama di Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa, Brundtland mengemukakan dua hal penting, yaitu, pertama, perlunya strategi lingkungan jangka panjang untuk mencapai pembangunan berkelanjutan; kedua, mengidentifikasi bagaimana hubungan antarmanusia, sumber daya, lingkungan dan pembangunan yang terintegrasi dalam kebijakan nasional dan internasional. Pembangunan berkelanjutan sebagai suatu paradigma pembangunan yang sarat makna, mengandung unsur-unsur fundamental, berorientasi pada kepentingan baik manusia maupun lingkungan hidup tempat di mana semua makhluk serta sumber daya

246 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action alam berada dan selalu tercukupkan saat ini dan di masa depan. Berikut akan dikemukakan beberapa pemikiran atau pandangan para pemerhati masalah pembangunan dan lingkungan serta sumber daya alam. Misalnya, Tietenberg (2003:95-96) menyatakan bahwa dalam konsep pembangunan, ada dua hal penting yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan kembali kriteria berkelanjutan terkait dengan keberadaan sumber daya alam. Pertama, perihal pengalokasian atau ketersediaan modal secara total tanpa pengurangan nilai dan teruji. Kedua, perlunya menganalisis atau membandingkan hasil produksi yang berkelanjutan sebagai investasi yang tidak berkurang. Berdasarkan konsern yang demikian, Tietenberg (2003:553-560), kemudian mencatat paham pembangunan berkelanjutan sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Komisi Brundtland sebagai berikut: “Sustainable development is development that meets the needs of the present withouth compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Sehubungan dengan paham pembangunan berkelanjutan, Tietenberg pun menawarkan beberapa skenario yang dapat dilakukan sehubungan dengan bagaimana mencermati persoalan pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan. Salah satu skenario yang disebut antara lain yaitu, konsern bukan saja pada tingkat kesejahteraan saat ini tetapi kesejahteraan yang bertumbuh secara berkelanjutan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada 3 (tiga) hal penting yang perlu diperhatikan bila berbicara tentang pembangunan berkelanjutan, yaitu: pertama, aspek kesejahteraan berkelanjutan secara eksistensial; kedua, aspek besarnya tingkat kesejahteraan berkelanjutan sekarang ini berkaitan langsung dengan tingkat kesejahteraan yang akan datang; ketiga, tindakan-tindakan generasi sebelumnya mempunyai sensivitas tertentu terhadap tingkat kesejahteraan generasi yang akan datang. Di sisi lain Komisi Brundtland (Mitchell, 2003:31-35) mengungkapkan juga bahwa, dalam kenyataan kegiatan-kegiatan pembangunan telah mengakibatkan munculnya banyak kemiskinan dan kemerosotan serta kerusakan lingkungan sehingga perlu diusahakan suatu jalan baru pembangunan yang akan membawa kemajuan kemanusiaan bagi seluruh dunia. Berdasarkan pemikiran tersebut komisi ini mencatat 247 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua dua konsep kunci pembangunan berkelanjutan yang perlu diperhatikan, yaitu pertama, terkait soal kebutuhan, khususnya kebutuhan para fakir miskin di negara berkembang; kedua, adanya keterbatasan teknologi dan organisasi sosial berhubungan dengan kapasitas lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sekarang ini dan di masa depan. Dengan menyadari hakekat dan implikasi pembangunan berkelanjutan maka komisi tersebut kemudian merumuskan pokok- pokok pikiran yang dapat digunakan untuk mengembangkan kebijakan pembangunan dan lingkungan. Pokok-pokok pikiran dimaksud adalah memikirkan kembali makna pembangunan, mengubah kualitas pertumbuhan, memenuhi kebutuhan dasar akan lapangan kerja, makanan, energi, air dan sanitasi, kemudian menjamin terciptanya keberlanjutan pada setiap tingkat pertumbuhan penduduk, mengkonservasi dan meningkatkan sumber daya, mengubah arah teknologi dan mengelola resiko, memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan. Selain pikiran-pikiran di atas kita juga perlu melihat perspektif etis pembangunan dan lingkungan. Perspektif etis dimaksud diambil antara lain dari pikiran-pikiran Denis Goulet dan Sony Keraf. Terkait dengan pemikiran ke dua ahli etika tersebut, pertama akan dibicarakan secara singkat pertimbangan-pertimbangan etis Denis Goulet terhadap masalah-masalah pembangunan pada umumnya. Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan mengedepankan pemikiran Sony Keraf yang menyoroti masalah pembangunan lingkungan di . Menurut Goulet (1995:11-19) kebijakan-kebijakan pembangunan yang bersifat etis memperhatikan 3 (tiga) rasionalitas. Menurut Goulet, yang dimaksud dengan rasionalitas dalam perspektif etika pembangunan adalah suatu prosedur cara berpikir yang menyeluruh sebagai asumsi- asumsi berpikir yang bersifat metodologis; suatu bangunan kriteria yang tetap benar dan valid. Menurutnya rasionalitas ada tiga, yaitu rasionalitas teknis, rasionalitas politis dan rasionalitas etis. Pertama, rasionalitas teknis. Tujuan rasionalitas ini ialah menyelesaikan sesuatu dengan tindakan-tindakan konkret dan menggunakan pengetahuan-

248 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action pengetahuan teknis untuk memecahkan persoalan pembangunan. Dengan demikian segala sesuatu yang menghalangi tujuan pembangunan dari sisi kepentingan rasionalitas teknis akan disingkirkan. Kedua, tujuan rasionalitas politis adalah agar institusi politik tertentu tetap eksis dan berperan serta dalam mempertahankan posisi. Pendekatannya ialah melakukan kompromi-kompromi, negosiasi, akomodasi dengan cara-cara yang ramah dan menarik. Ketiga, rasionalitas etis ingin mengedepankan nilai-nilai yang berpihak pada manusia. Pendekatannya adalah memberi pertimbangan tentang sesuatu itu baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, benar atau salah. Logikanya bisa bersifat keras, bisa pula lunak. Jadi menurut Goulet apabila pembangunan dilakukan hanya dengan mengutamakan salah satu rasionalitas, maka akan terjadi proses pereduksian makna antar- rasionalitas dan akan mengakibatkan terciptanya ketimpangan dalam pembangunan yang dapat berakibat merugikan manusia. Untuk itu dibutuhkan suatu interaksi yang mutualistis antar-ketiga rasionalitas tersebut. Artinya, ketiga rasionalitis hendaknya berperan dan berfungsi setara, masing-masing rasionalitas mempunyai kontribusi dalam melihat persoalan pembangunan pada umumnya. Berikut ini akan diberikan contoh lain tentang perspektif etis dalam pembangunan berkaitan dengan lingkungan merujuk pada pemikiran Keraf (2006). Selanjutnya, menurut Keraf (2006:168-173), ada 3 (tiga) hal penting yang perlu diperhatikan ketika berbicara mengenai pembangunan yaitu, aspek ekonomi, aspek sosial-budaya dan aspek lingkungan hidup. Perhatian pada ketiga aspek tersebut mengisyaratkan adanya suatu cara pandang yang menyeluruh dan terintegrasi berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang saling memengaruhi dan saling menentukan satu terhadap yang lain. Dikatakan oleh Keraf bahwa pandangan ini ingin menyadarkan kita bahwa, apabila salah satu aspek saja yang diperhatikan dan diberi posisi yang dominan sementara aspek lain diabaikan maka, kecenderungan tersebut akan melahirkan gangguan-gangguan yang berakibat pada munculnya realitas ketimpangan serta kerusakan baik lingkungan maupun hidup manusia. Agar tidak terjadi kerusakan dan gangguan dalam berbagai aspek kehidupan manusia maka paradigma 249 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua pembangunan yang integratif dan holistik, mau tak mau harus ditempatkan dalam semangat dan prinsip pembangunan yang disebut pembangunan berkelanjutan. Dikatakan juga oleh Keraf (2006:175- 188), suatu paradigma dan praktek pembangunan yang bersifat berkelanjutan harus ditandai oleh prinsip-prinsip berikut ini. Pertama, prinsip demokrasi. Prinsip ini menginginkan agar aspirasi masyarakat menjadi dasar implementasi pembangunan dan bukan kehendak penguasa atau partai politik tertentu demi terwujudnya kepentingan bersama dan bukan kepentingan individu atau kelompok. Untuk itu diperlukan adanya komitmen serta mekanisme politik yang memungkinkan prinsip pembangunan berkelanjutan diwujudkan atau direalisasikan. Prinsip ini juga mengandaikan adanya partisipasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar kepentingannya diakomodir, agenda pembangunan yang transparan dan bersifat akuntabilitas. Sejalan dengan Keraf, Soedjatmoko (1985) menyatakan pembangunan yang demokratis merupakan pembangunan yang mendukung, kebebasan dan martabat manusia. Kedua, prinsip keadilan. Prinsip ini mau menempatkan semua orang dan kelompok dalam peluang yang sama dalam proses pembangunan termasuk menikmati hasil-hasilnya. Itu berarti dalam menerapkan prinsip keadilan tidak ada orang dan kelompok yang diperlakukan secara istimewa oleh negara. Dengan kata lain semua orang atau kelompok harus mempunyai peluang dan akses yang sama terhadap sumber- sumber ekonomi yang diatur negara. Pikiran Keraf tentang prinsip keadilan yang memberi peluang dan akses bagi seseorang atau sekelompok orang sesuai dengan pikiran Sen (1999). Menurut Sen, pembangunan sebagai kebebasan memberi akses kepada seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan, kesehatan, kehidupan ekonomi dan sosial yang aman dan ada kesetaraan secara politik. Dalam konteks ini juga berlaku prinsip bahwa orang atau kelompok yang mendapat manfaat ekonomi paling besar, harus menanggung kerugian yang besar atau membayar secara proporsional kerusakan yang diakibatkan oleh apa yang dilakukannya terhadap lingkungan yang tercemar atau rusak. Ketiga, prinsip keberlanjutan. Prinsip ini mengandung paham bahwa pembangunan

250 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action yang dilaksanakan harus mempertimbangkan aspek sumber daya ekonomi, sosial budaya dan lingkungan dalam jangka panjang. Dengan demikian empat prinsip berikut mengharuskan kita memilih alternatif pembangunan, yaitu yang hemat terhadap sumber daya, hemat dalam penggunaan energi, meminimalkan adanya limbah dalam setiap kegiatan pembangunan dan produksi ekonomi serta adanya prinsip keadilan bagi generasi-generasi berikutnya secara berkelanjutan. Sehingga kita terhindarkan dari kerugian-kerugian material, spiritual, sosial-budaya dan terwujud kehidupan yang bermutu. Dengan begitu dapat dikatakan Mitchell membicarakan persoalan pembangunan berkelanjutan dari sisi manajemen sedangkan Goulet dan Keraf menyorotinya secara etis. Menurut hemat penulis, pandangan-pandangan tersebut penting untuk dirujuk sebagai dasar- dasar pertimbangan baik dalam manajemen perencanaan maupun dalam implementasi pembangunan, serta prinsip-prinsip etis yang digunakan, karena akan membantu mengarahkan kita baik dalam gagasan maupun dalam praktek pembangunan sesuai dengan semangat dan paradigma pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks pembangunan berkelalanjutan inilah gagasan pembangunan Papua Baru dan pembangunan di Kampung Workwana mau dilihat.

Visi Pembangunan Papua Realitas kesenjangan hidup yang dialami orang Papua di kampung-kampung ditandai oleh keadaan tertinggal, miskin, tanpa akses, tanpa infrastruktur dengan tingkat kemahalan yang luar biasa. Kondisi yang demikian sesungguhnya berbading terbalik dengan potensi obyektif alam dan daerah yang amat kaya, sehingga dilukiskan oleh Suebu (2007) dengan istilah “Paradoks Papua”. Paradoks Papua dilukiskan sebagai berikut. Di satu sisi realitas Papua yang tertinggal, miskin, tanpa akses, tanpa infrastruktur dengan tingkat kemahalan yang luar biasa memiliki keunggulan-keunggulan, yaitu status otonomi khusus, penduduk sedikit, uang pembangunan tersedia, keadaan alam yang kaya di sisi lain. Sedangkan Enembe (2015) menyebutnya sebagai

251 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua persoalan “7K”, di Papua. Fenomena 7K, ialah kemiskinan, ketertinggalan, keterisolasian, kemahalan, kebodohan, ketersisihan dan kematian. Mengacu pada fenomena paradox Papua dan permasalahan 7K Papua yang disebut di atas muncul beberapa pertanyaan yang dapat ditelaah lebih jauh. Misalnya, sejauh mana keunggulan-keunggulan Papua sudah dimanfaatkan secara maksimal dalam pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup orang Papua secara berkelanjutan? Mengapa sampai saat ini persoslan 7K masih merupakan masalah aktual pembangunan Papua? Apa saja hambatan dalam pembangunan berkelanjutan di Papua? Paradigma pembangunan apa yang dominan dikembangkan di Papua dan mengapa demikian? Strategi pembangunan apa yang dibutuhkan untuk terwujudnya Papua bangkit, mandiri dan sejahtera dalam perspektif pembangunan berkelanjutan? Sesungguhnya masih terdapat banyak pertanyaan penting dan mendasar yang bisa diangkat terkait dengan permasalahan pembangunan di Papua. Beberapa pertanyaan yang sudah dimunculkan di atas ini dapat dianalogikan sebagai puncuk gunung es di atas lautan persoalan pembangunan yang ada di Papua. Menurut hemat penulis, berdasarkan fenomena paradox Papua dan permasalahan 7K di atas secara eksistensial, maka Suebu dan Enembe mencoba menggagasi orientasi baru pembangunan Papua yang dimulai dari kampung. Menurut UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 huruf J, menyebutkan istilah kampung digunakan untuk menggantikan istilah desa. Orientasi dan strategi baru pembangunan Papua yang lebih adil, bangkit, mandiri dan sejahtera dilatarbelakangi dua alasan (Muridan, dkk, 2009; Dale & Djonga, 2011, Suebu, 2011; Tebay, 2012; Enembe, 2016]. Pertama, selama ini kurang ada perhatian terhadap masyarakat di kampung-kampung yang menyebabkan masyarakat tetap miskin dan terbelakang. Kedua, sebagian besar orang asli Papua berdiam di kampung-kampung terpencil dalam keadaan miskin dan terbelakang.

252 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

Maka gagasan Papua Baru (Suebu, 2007) dirumuskan kembali oleh Enembe (2016) sebagai visi pembangunan yang disebut Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera. Visi pembangunan tersebut ingin diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan strategis yakni melalui Pengelolaan Dana dan Penataan Otonomi Khusus, Gerbangmas Hasrat Papua dan Menuju PON XX 2020. Sedangkan salah satu strategi pembangunan kampung disebut sebagai Program Strategis Pembangunan Ekonomi Kampung (PROSPEK).

Harapan ke Depan Suebu (2007), melalui buku, Kami Menanam, Kami Menyiram, Tuhanlah Yang Menumbuhkan, berusaha mengemas pokok-pokok pikirannya mengenai persoalan pembangunan Papua yang diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu acuan bersama membangun Papua baru yang lebih adil dan sejahtera. Suebu pun menyatakan harapannya dalam tulisan tersebut agar para bupati/walikota, pimpinan instansi pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta masyarakat mengetahui dan menggunakannya sebagai salah satu sumber untuk mengembangkan program pelayanan masyarakat yang semakin baik khususnya masyarakat yang hidup di kampung-kampung di seluruh tanah Papua. Kemudian Suebu menggagasi konsep pembangunan Papua melalui beberapa kebijakan dasar yaitu, pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan (Growth Centered Development), bertumpu pada kepentingan rakyat (People Centered Development) dan memelihara stabilitas (Development stability) serta kesinambungan pembangunan (Development Continuity). Kebijakan dasar tersebut dilaksanakan berdasarkan 6 (enam) prinsip yaitu kesinambungan, keseimbangan, efisiensi, efektivitas, kemandirian dan akuntabilitas. Berdasarkan strategi dan prinsip tersebut dicetuskanlah 4 (empat) agenda utama pembangunan Papua yakni, menata kembali pemerintah daerah (good governance), membangun Tanah Papua yang damai dan sejahtera secara adil dan merata bagi semua; dengan titik berat perhatian pada daerah pedesaan, terpencil dan rakyat miskin di daerah perkotaan; membangun Tanah Papua yang aman dan damai, 253 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua disiplin, taat hukum dan menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia; meningkatkan dan mempercepat pembangunan prasarana dasar (infrastruktur) di seluruh tanah Papua (darat, laut, udara), tersedianya air bersih, energi dan sistem telekomunikasi yang memadai bagi seluruh rakyat. Oleh karena itu dengan Paradoks Papua ia mau mengungkapkan dua realitas yaitu, penduduk yang miskin (80%) di atas kekayaan alam yang luar biasa. Padahal menurut Suebu, Papua mempunyai empat keunggulan (status otonomi khusus, jumlah penduduk yang sedikit, dana pembangunan tersedia, kekayaan alam) yang dapat dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Maka salah satu program utama pembangunan di masa kepemimpinannya ialah pembangunan kampung, yang disebut Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK). RESPEK difokuskan pada perbaikan makanan dan gizi, pelayanan kesehatan, pendidikan dasar, perekonomian rakyat, perumahan dan infrastruktur kampung. Selain RESPEK, perhatiannya juga tertuju pada pembangunan sumber daya manusia Papua, infrastruktur dan investasi, tetap menjadi bagian penting komitmen pembangunannya selama masa kepemimpinan tahun 2006-2011. Setelah masa kepemimpinan Suebu dan Hesegem, gagasan pembangunan mewujudkan wajah baru Papua yang lebih baik ke depan diteruskan oleh Gubernur bersama Wakil Gubernur Klemen Tinal (20013-2018). Keduanya menggagasi visi pembangunan, Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera.Visi tersebut diuraikan secara luas oleh Lukas Enembe, dalam buku Papua, Antara Uang dan Kewenangan (2016). Menurut Enembe, ada tiga pilar utama pembangunan Papua, yaitu lembaga pemerintahan sebagai eksekutif (Gubernur), legislatif (DPR) dan Majelis Rakyat Papua (MRP), sebagai representasi kultural Orang Asli Papua (OAP). Menurut Enembe, komunikasi yang lebih intensif diharapkan berlangsung di antara ketiga lembaga ini karena ketiganya mempunyai peran signifikan dalam membangun Papua. Ketiga lembaga tersebut diajak Enembe untuk bersama-sama menggumuli perasaan dan nuansa batin rakyat Papua yang tinggal di kampung-kampung, rawa-rawa, lembah dan gunung, pesisir pantai dan pulau-pulau terpencil serta daerah 254 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action perbatasan. Dikatakan oleh Enembe, mereka semua menaruh harapan besar kepada tiga lembaga ini dan ia merasa berdosa ketika meninggalkan atau menghancurkan harapan-harapan mereka. Ada dua agenda besar pembangunan Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera. Pertama, bagaimana orang Papua bangkit dan tampil berperan dalam berbagai sektor kehidupan, berani menghadapi tantangan dan bertanggung jawab; Kedua, membangun kemandirian yang bertitiktolak dari membangun kemajuan ekonomi rakyat Papua. Karena kemandirian mengandaikan saling membutuhkan dan keterbukaan antara pusat dan daerah. Maka kemandirian di sini berarti memberi kesempatan kepada rakyat Papua merencanakan, melaksanakan dan mengelola sumber daya alam di wilayahnya secara mandiri dan bertanggung jawab untuk kesejahteraan rakyat Papua. Berdasarkan visi dan agenda pembangunan yang demikian, salah satu fokus perhatian program pembangunan yang dikembangkan Enembe ialah mengurangi persoalan yang disebut “7K”, yaitu kemiskinan, ketertinggalan, keterisolasian, kemahalan, kebodohan, ketersisihan dan kematian. Menurut Enembe, persoalan 7K tersebar secara merata di seluruh Papua. Fenomena 7K tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.1 di bawah ini yang ditandai dengan 7 tanda panah, meliputi seluruh wilayah Provinsi Papua.

7 K PAPUA

Gambar 7.1. Permasalahan 7 K Papua

255 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Maka menurut Enembe, “Gerakan Bangkit Mandiri dan Sejahtera Harapan Seluruh Rakyat Papua (Gerbangmas Hasrat Papua), berfokus pada: (1) Generasi Emas Papua (Gemas Papua): prioritas menuntaskan buta aksara dan tuntutan wajib belajar 9 tahun, jaminan 1000 hari pertama kehidupan pada kualitas anak dalam pelayanan kesehatan dan asupan gizi sejak janin dalam kandungan sampai berusia dua tahun, peningkatan prestasi olahraga, seni dan budaya serta pengembangan daya saing SDM Papua; (2) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Berdaya Emas): prioritas pada program strategis pembangunan ekonomi dan kelembagaan kampung (PROSPEK); (3) Percepatan Pembangunan Infrastruktur dan Prasarana Dasar; (4) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan. Berdasarkan visi, agenda besar dan strategi pembangunan tersebut di atas dibuatlah kebijakan skema penggunaan dana OTSUS 80:20, yakni 80% dana dikelola kabupaten dan 20% dikelola provinsi. Anggaran tersebut digunakan dengan sasaran, pengembangan dan pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pemenuhan infrasrtuktur dasar. Dengan demikian diharapkan dampak pembangunan akan lebih dirasakan oleh masyarakat Papua yang berada di daerah, khususnya mereka yang hidup di pelosok-pelosok kampung bukan yang ada di provinsi. Menurut Enembe, filosofi PROSPEK bukan sekedar pengalokasian dana ke kampung-kampung tetapi yang utama ialah menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan yang diimplementasikan dengan Pendekatan Kampung Terpadu (PKT). PKT dilakukan melalui pemetaan komoditas unggulan daerah, perubahan pola pikir yang terintegrasi tanam, petik, olah dan jual, melibatkan seluruh SKPD, Kementerian dan Lembaga serta mitra pembangunan BUMN dan BUMD. Visi pembangunan Papua Baru, Bangkit Mandiri dan Sejahtera yang berorientasi pada kampung-kampung dengan strategi Gerakan Bangkit Mandiri dan Sejahtera Harapan (Gerbangmas Hasrat Papua) melalui pendekatan PROSPEK dapat dikatakan memberi sejumlah harapan. Namun menurut penulis harus dikatakan pula sejatinya terdapat beberapa ganjalan yang bersifat politis dan paradigmatis tentang pembangunan Papua yang holistik dan berkelanjutan. 256 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

Pertama, belum tersedianya payung hukum sebagai peraturan pelaksanaan berbentuk Peraturan Daerah Provinsi (PERDASI) maupun Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) serta aturan turunannya secara menyeluruh dan terintegrasi di tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang meliputi aspek pembangunan manusia, ekonomi atau kesejahteraan dan lingkungan hidup sebagai panduan pembangunan daerah. Kedua, adanya tarik menarik kepentingan politik pembangunan antara pusat dan daerah serta antara paradigma pembangunan berkelanjutan dan paradigma pertumbuhan yang melibatkan intervensi korporasi besar nasional dan transnasional yang berakibat pada pelanggaran hak-hak dasar masyarakat (Frangky & Morgan, 2015). Ketiga, terbatasnya pemahaman masyarakat, birokrat, politisi dan mitra pembangunan lain tentang paradigma pembangunan berkelanjutan sehingga rasionalitas politis dan teknis lebih menonjol daripada rasionalitas etis. Keempat, belum diselesaikannya secara hukum masalah-masalah pelanggaran HAM di Papua dan persoalan politik Papua melalui dialog Papua sehingga menimbulkan sikap apriori masyarakat terhadap pemerintah. Kelima, Pendekatan strategi affirmative action yang lebih terbuka dan mandiri melalui revisi Undang-undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Enembe, 2016) yang berlarut-larut menimbulkan kecurigaan masyarakat terhadap pemerintah pusat, yakni pemerintah tidak serius membangun Papua dan hal ini berdampak pada partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Berdasarkan latar belakang keadaan, tujuan dan strategi pembangunan Papua serta kendala-kendala yang ada sebagaimana digambarkan di atas, studi kasus tentang pengembangan kelapa sawit di Kampung Workwana mau dianalisis dan direfleksikan dari perspektif Sustainable Livelihood (Kristian Ansaka dkk., 2009, 329-330; Muridan S. Widjoyo, dkk., 2009; Dale & Djonga, 2011; Tebay, 2012; Majalah Honai, 2013). Sesudah melihat pokok-pokok gagasan pembangunan Papua Baru menurut Suebu dan Enembe, berikut ini dibuat suatu skema visi pembangunan Papua Baru dimaksud yang telah dijelaskan di atas.

257 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

RESPEK (Suebu) Paradoks Papua dan (Suebu, 2007) & PROSPEK Papua: Papua Baru: (Enembe) adil, damai, AntaraUang& Kewenangan sejahtera, (Enembe, 2016) bangkit&mandiri

OTSUS Gambar 7.2 Latarbelakang dan Tujuan Pembangunan Papua

Workwana dan Realitas Pembangunan Kampung Workwana sebagai bagian dari Kabupaten Keerom dan Provinsi Papua diharapkan berkembang juga menuju Papua Baru yang adil, sejahtera, bangkit dan mandiri. Cita-cita menuju Papua Baru, didekati dengan pembangunan di bidang ekonomi melalui perkebunan kelapa sawit, diharapkan berdampak pada aspek kehidupan lain penduduk setempat. Setelah 32 tahun kelapa sawit dikembangkan di daerah Keerom, Distrik Arso mengalami perubahan dan perkembangan sebagai sebuah proses transformasi yang amat berarti dalam berbagai aspek kehidupan penduduk di daerah tersebut. Akan tetapi transformasi tersebut sekaligus juga telah menciptakan konflik sosial, krisis serius yang multidimensi. Krisis tersebut kemudian menjadi ongkos sosial dan ekonomi yang begitu mahal sebagai beban luar biasa penduduk setempat. Akibat pendekatan pembangunan yang demikian, muncullah sikap resistensi penduduk sebagai bentuk sebuah gerakan sosial masyarakat adat sebagai colletive action. Berikut dibuat suatu analisa dan refleksi mengenai permasalahan yang disebutkan. Refleksi atas Resistensi dan Konflik dengan PTPN II Kesuksesan Indonesia sebagai salah satu negara produsen minyak kelapa sawit dunia tidak diikuti oleh kisah keberhasilan dan kesejahteraan masyarakat lokal sebagai petani kelapa sawit atau buruh

258 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action tani pemilik hak ulayat. Justru yang dialami penduduk lokal sebagai akibat pengembangan industri kelapa sawit ialah terjadinya proses pemiskinan penduduk asli setempat, pelanggaran hak sosial, ekonomi dan budaya, hak azasi manusia, kerusakan lingkungan dan konflik- konflik terkait lahan. Tahun 2010 Sawit Watch mencatat lebih dari 663 warga masyarakat berkonflik dengan lebih dari 172 perusahaan dan 106 orang ditangkap akibat konflik-konflik tersebut. Konflik sumber daya alam (SDA) karena adanya eksploitasi yang terjadi baik di Papua maupun di berbagai daerah lain di Indonesia. Seperti dijelaskan oleh Kompas (16 Februari 2013) bahwa konflik karena SDA berkaitan dengan usaha pertambangan, kehutanan dan perkebunan terjadi meluas di 22 provinsi di seluruh Indonesia. Data berikut menggambarkan konflik SDA dimaksud. Tabel 7.1 Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia No Bidang Usaha Jumlah Kasus Luas lahan Keterangan 1. Perkebunan 119 415.000 ha 2. Kehutanan 72 1.3 juta ha 3. Tambang 17 30.000 ha Sumber: Kompas, 16 Februari 2013 Konflik-konflik terkait SDA sebagaimana digambarkan di atas ternyata merupakan masalah yang serius karena berkaitan langsung dengan nasib hidup rakyat, hak atas tanah, dan hutan serta sumber daya penghidupan yang ada. Aditjondro (2003), juga melihat bahwa penanganan konflik-konflik SDA cenderung mengidikasikan terjadinya kekerasan dan bahkan adanya pelanggaran hak asazi manusia HAM. Konflik berlatarbelakang kepentingan hak-hak masyarakat setempat pun terjadi di Papua. Konflik-konflik antara masyarakat dengan pemerintah dan perusahaan berkaitan dengan penggunaan sumber daya hutan masyarakat dan penggunaan lahan- lahan untuk pengembangan industri perkebunan, seperti digambarkan di atas, jauh sebelumnya telah terjadi di daerah Keerom dan Manokwari. Kedua tempat ini memang banyak mengisahkan persoalan konflik antara masyarakat dan perusahaan karena pengembangan kelapa sawit di Tanah Papua berawal dari kedua daerah ini. 259 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Latarbelakang konflik atas tanah sebagaimana digambarkan di atas dapat dilihat dari penjelasan berikut.Fauzi dan Bachriadi [dalam Fauzi & Nurjaya (Penyunting), 2000], mengutip Aditjondro (1995), melihat ada beberapa jenis persoalan konflik tanah di Indoensia. Jenis- jenis konflik tersebut ialah, (1) konflik mayoritas-minoritas, yang umum terjadi di Indonesia, (2) konflik antara warga negara dengan negara, (3) konflik politis-ekologis, (4) konflik antara sistem ekonomi yang berbeda, (5) konflik antara ekosistem-ekosistem, (6) konflik antara sistem hukum yang berbeda. Berkaitan dengan konflik lahan perkebunan masyarakat adat di Workwana dan beberapa kampung di sekitarnya dengan pemerintah dan perusahaan kelapa sawit, sekurang- kurangnya mengandung empat jenis konflik, sebagaimana dilihat oleh Aditjondro. Jenis-jenis konflik tanah di wilayah ini dapat dikatakan berbentuk, a. konflik antara warga negara dengan negara, b. konflik politis-ekologis, c. konflik antara sistem-sistem ekonomi yang berbeda dan d. konflik antara sistem hukum yang berbeda. Selanjutnya akan direfleksikan konflik-konflik dimaksud dalam perspektif konflik tanah ulayat penduduk dengan PTPN II dalam pengalaman penduduk di Workwana. Pertama, Konflik antara warga negara dan negara. Sebagaimana diketahui bahwa PTPN II yang beroperasi di wilayah Distrik Arso di bidang perkebunan sawit, merupakan sebuah badan usaha milik negara. Sebagai BUMN di daerah PPTPN II, bekerja berdasarkan regulasi-regulasi, seperti terkait dengan kontrak lahan yang cenderung tidak berpihak pada rakyat atau masyarakat adat. Sejak awal berdirinya, dikisahkan oleh penduduk bahwa dari pengalaman terlihat jelas BUMN ini menggunakan aparat keamanan negara untuk menekan penduduk memenuhi keinginan perusahaan dan memanfaatkan kuasa pemerintah memanipulasi luas lahan masyatakat yang digunakan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di daerah Distrik Arso. Fenomena ini terang benderang memperlihatkan wujud perlawanan negara terhadap warga negara yang bersifat represif dan melanggar hak-hak ekonomi, sosial dan budaya penduduk setempat (Dale & Djonga, 2011). Pendekatan-pendekatan tersebut ternyata meninggal- kan trauma dan luka batin yang mendalam di masyarakat terhadap 260 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action aparat keamaman, rasa benci yang luar biasa terhadap perusahaan dan pemerintah dan rasa curiga berkepanjagan terhadap kegiatan dan aktivitas baru dari luar. Gejolak psikologis dan sosial ini berdampak pada relasi-relasi sosial masyarakat yang menyebakan penduduk bersikap tertutup terhadap orang lain. Kecuali jika orang yang berelasi dengan penduduk tersebut dilihat sebagai orang yang jujur, memahami dan berpihak, orang yang dipercayai dan diyakini pro penduduk setempat. Kedua, Konflik politik ekologis. Menurut penduduk setempat pengalihfungsian hutan sebagai lahan sawit merupakan sebuah kegiatan politik pemerintah di wilayah perbatasan melalui pendekatan ekonomi. Dikatakan demikian oleh penduduk setempat karena secara politik daerah ini ada di wilayah perbatasan yang harus aman dari berbagai gangguan yang dilakukan oleh kelompok separatis OPM. Karena itu alasan penanaman kelapa sawit merupakan pendekatan keamaman politik ekologis yang tepat. Dengan kata lain perkebunan kelapa sawit di daerah ini mempunyai dua fungsi yaitu, fungsi manifest sebagai kegiatan ekonomi, tetapi juga mengandung fungsi laten sebagai kegiatan politik bagi keamanan daerah perbatasan. Dampaknya ialah partisipasi penduduk di bidang pembangunan ekonomi melalui perkebunan sawit menyisahkan sikap resistensi penduduk. Karena pendekatan politik ekologis daerah perbatasan ini telah menimbulkan berbagai krisis dalam kehidupan penduduk setempat, yaitu krisis ekonomi, krisis lingkungan, krisis kelembagaan masyarakat, dan krisis sosial budaya dengan ongkos ekonomi dan sosial yang luar biasa mahal (Sen, 2000; Aditjondro, 2003). c. konflik antara sistem-sistem ekonomi yang berbeda. Krisis-krisis tersebut di atas, yang ditimbulkan oleh beroperasinya perkebunan sawit di daerah ini dilatarbelakangi oleh paradigma dan sistem pendekatan ekonomi pertumbuhan atau production thingking, yang melihat hutan, tanah dan manusia sebagai alat dan sumber produksi. Oleh sebab itu kelapa sawit dilihat sebagai salah satu komoditi unggulan.yang dapat memenuhi syarat produktivas dan pertumbuhan dimaksud. Dari cirinya sistem pendekatan ekonomi pertumbuhan cenderung mengabaikan paradigma pembangunan berkelanjutan karena sifatnya yang ekstraktif dan mengabaikan sistem ekonomi lain, khusunya

261 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua sistem pendekatan ekonomi subsisten (Barnard dan Spencer, 1996, 288- 291)22, penduduk setempat yang memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan hidup bagi manusia. [Escobar, 1995; Munck & O’Hearn, (Ed.), 1999; Acemoglu & Robinson, 2014]. d. Konflik antara sistem hukum yang berbeda. Secara kelembagaan pertikaian atau konflik ini memperlihatkan adanya pertarungan yang diungguli dan didominasi oleh hukum positif negara atas tradisi penduduk setempat. Orang Workwana, Arsokota dan orang Keerom pada umumnya sebenarnya mempunyai aturan atau tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang secara turun-temurun untuk mengatur kehidupan bersama sebagai suatu masyarakat atau yang dikenal dengan sistem tenurial penduduk (Patay, 2005; Colchester, at. al., 2007; Marti, dkk., 2008 ). Namun tradisi tersebut berbenturan dengan hukum positif yang dipakai negara atau BUMN seperti PTPN II atas nama kepentingan umum atau negara mengalahkan tradisi atau kebiasaan penduduk setempat. Masalahnya ialah banyak penduduk tidak memahami aturan hukum yang ada sehingga masyarakat biasanya menjadi korban atas produk hukum negara tersebut. Implikasi lain ialah, ketika penduduk menolak hukum negara, mereka dengan mudah distigma sebagai anti negara, separatis dan lain-lain. Penggunaan hukum yang berbeda dapat digunakan penguasa sebagai alat teror dan manipulasi terhadap masyarakat. Padahal negara seharusnya melindungi atau mengayomi warganya dari segala bentuk intimidasi dan stigmatisai dan berbagai pendekatan yang bersifat eksploitatif terhadap penduduk setempat (Bdk. Yunus Ukru, dkk., 1993; Malak, 2006).

22Menurut Barnard dan Spencer tipe “hunter and gatherer society”memperlihatkan dua hal. Pertama, kelompok ini merupakan suatu kategori sosial, tipe organisasi sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat yang subsisten yaitu kehidupan yang bergantung pada tumbuh-tumbuhan serta binatang-binatang liar yang ada di hutan dan menanam berpindah-pindah. Selain itu tipe organisasi sosial masyarakat seperti ini merupakan bentuk masyarakat egalitarian yang sederhana. Kedua, bentuk masyarakat seperti ini dilihat sebagai suatu simbol solidaritas dari gerakan budaya suatu masyarakat. Pandangan ini dapat dikatakan sejalan dengan studi Boelaars (1986), yang melihat budaya masyarakat Papua terbagi ke dalam beberapa tipe budaya yang melatarbelakangi kehidupan sehari-hari. Boelaars membedakan tipe masyarakat yang disebut peramu dan masyarakat petani. 262 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa masalah hak ulayat dan tuntutan ganti rugi tanah bukan merupakan urusan yang mudah seperti membalik telapak tangan, sebagaimana dijelaskan oleh Wenehen (2005) dan Malak (2006). Dari catatan-catatan di atas jelas terlihat terjadi beberapa kali pelepasan tanah adat atau tanah ulayat yang dilakukan oleh masyarakat adat di Arso, baik yang dilepas oleh pemilik yang sah maupun bukan pemilik hak ulayat yang sah, dengan total luas mencapai 92.410 hektare. Semua lahan tersebut dilepas dalam kurun waktu sebelas tahun, dari tahun 1981 sampai 1992 sebagaimana dicatat oleh Rosariyanto dan Ansaka, dkk., serta berdasarkan penjelasan masyarakat. Dari surat-surat pelepasan yang ada tidak satupun surat yang terbebas dari klaim. Rosariyanto dkk., dan Ansaka dkk., menyebut alasan masyarakat mengklaim surat-surat tentang pelepasan tanah ulayat sebagaimana disampaikan oleh beberapa tokoh adat yang ditemui penulis, karena hal-hal berikut: tanah ulayat yang dilepaskan diubah tempatnya baik untuk areal perkebunan maupun lokasi transmigrasi PIR tanpa koordinasi, pelepasan dilakukan oleh pemilik yang tidak sah, rekognisi diserahkan kepada pihak yang tidak berwenang karena bukan pemilik hak ulayat yang sesungguhnya. Potret penduduk setempat di Workwana memperlihatkan wajahnya yang sedang mengalami transformasi atau sedang berproses dalam perubahan. Perubahan itu ditandai oleh situasi di mana mereka sedang beranjak dari keadaan subsisten, bergantung pada alam, hutan dengan segala sumber daya penghidupan yang ada di dalamnya, ke bentuk kehidupan baru yang lebih produktif, sebagai petani kelapa sawit, peternak, pedagang, pegawai negeri sipil, pegawai swasta dan lain-lain diterjang berbagai krisis serius. Situasi demikian itulah yang dimaksud dengan proses transformasi sosial di Workwana dan sekitarnya yang berwajah destabilisasi, disparitas pendapatan dan sosial serta deteritorialisasi kehidupan penduduk asli setempat sebagai dampak pembangunan. Proses transformasi sosial yang sejatinya mengembangkan, memajukan dan meningkatkan mutu hidup penduduk setempat ternyata berdampak menimbulkan krisis serius di beberapa aspek kehidupan orang Kampung Workwana. 263 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Konflik tersebut tidak berakhir di sini tetapi berlanjut pada munculnya sikap resistensi penduduk. Seperti telah diuraikan pada Bab 6, resistensi penduduk terhadap PTPN II tidak dilakukan orang Workwana sebagai penduduk kampung di mana terdapat perkebunan kelapa sawit tetapi dilakukan secara bersama-sama dengan warga kampung-kampung tetangga sebagai komunitas masyarakat adat. Oleh karena itu sikap resistensi penduduk dilihat sebagai colletive action. Resistensi penduduk dilatarbelakangi oleh berbagai hal berikut. Adanya kecurigaan penduduk terhadap pemerintah dan perusahaan yang memanipulasi luas lahan perkebunan sawit dari 5.000 hektare menjadi 50.000 hektare; kemudian setelah lebih dari 25 tahun masa tanam ternyata kelapa sawit tidak memberi kesejahteraan kepada penduduk sebagaimana dijanjikan pada awal pelepasan tanah-tanah penduduk untuk perkebunan sawit; urusan sawit menimbulkan beban- beban biaya saat panen, saat memasukkan TBS di pabrik, pemeliharaan kebun, termasuk penyelesaian beban kredit perusahaan untuk pengembangan perkebunan sawit, terjadi fluktuasi harga bahkan sampai mencapai harga terendah yang merugikan penduduk setempat sebagai petani sawit, hilangnya hutan dan lahan penduduk untuk mencari nafkah secara subsisten. Keadaan ini kemudian memunculkan sikap resistensi sebagai collective action penduduk. Dari perspektif resistensi yang dikembangkan oleh Vinhagen Stellan (2007) dapat dijelaskan bahwa, resistensi dilihat sebagai sikap atau tindakan tandingan atas kekuatan-kekuatan dominan dalam relasi-relasi, proses atau institusi-institusi untuk memperjuangkan kesetaraan dalam kehidupan bersama. Singkatnya, Vinhagen menyatakan ada empat hal penting dalam definisi resistensi: (1) ada suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang; (2) dalam rangka merespon kekuasaan; (3) menghadapi tantangan kekuasaan; (4) berisikan kemungkinan mengurangi penguasaan. Ia pun membedakan dua bentuk resistensi. Resistensi dengan kekerasan yang pada umumnya digunakan melalui, revolusi, demonstrasi, pemogokan dan boikot. Sendangkan bentuk-bentuk resistensi tanpa kekerasan seperti, resistensi diskursif (bentuk simbolik komunikasi dengan membangun argumen yang baik, atau menyampaikn laporan hasil 264 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action penelitian tandingan, image tandingan, perilaku tandingan); kompetisi, tidak bekerja sama, bekerja sama selektif, menarik diri, menghentikan suatu proses, lelucon yang merusakkan. Bila penduduk di Workwana, Arsokota dan sekitarnya menunjukkan resistensi mereka dalam berbagai bentuk. Ada protes melalui surat-menyurat, secara demontrasif berhenti panen (menjual dan mengontrakan lalan), melakukan pemalangan pabrik dan kebun Inti perusahaan, mempertahankan wilayah segitiga emas, dan melakukan upacara adat tanda penghentian kegiatan di perkebunan sawit. Bila bentuk-bentuk resistensi masyarakat adat ini dibandingkan dengan bentuk-bentuk resistensi yang disebut Vinhagen, terlihat ada beberapa perbedaan penting yang dapat disebutkan sebagai berikut. Resistensi orang Arso berbentuk: tindakan tanpa kekerasan seperti, menempuh jalur hukum, menjual dan mengontrakan lahan; sedangkan resistensi dengan kekerasan ialah memalang pabrik dan kebun inti perusahaan. Bentuk resistensi ketiga ialah upacara adat. Upacara adat mengandung peringatan, teguran dan sekaligus ancaman. Jadi reisistensi ketiga mengandung tidak bersifat kekerasan tapi juga megandung unsur-unsur kekerasan karena terdapat ancaman. Dengan demikian resistensi dalam kasus ini dapat dikatakan merupakan colletive action tidak saja dilakukan oleh masyarakat adat Arso tetapi juga mengikat dan mengandung sanski bagi perusahaan atau pihak lain yang melanggar apa yang sudah dibuat dalam upacara adat. Selanjutnya akan direfleksikan dampak kelapa sawit terkait dengan Livelihood penduduk.

Kelapa Sawit: Tinjauan Livelihood Orang Workwana Hasil penelitian yang dilakukan penulis di Workwana memperlihatkan bahwa pembangunan dengan pendekatan production thingking yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi, berdampak memunculkan polarisasi masyarakat. Polarisasi tersebut menjadikan di satu pihak ada pemerintah, perusahaan dan pemodal sebagai penguasa, dan di pihak lain ada masyarakat atau penduduk setempat, sebagai

265 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua entitas yang dikuasai. Artinya secara sosial terkonstruksi sistem dan struktur sosial ekonomi dan politik yang didominasi penguasa, dan korporasi bermodal sebagai penentu kebijakan, berhadapan dengan masyarakat petani dan buruh tani, nelayan, buruh pabrik, orang desa dan tenaga upahan lainnya sebagai pelaksana kebijakan. Dampak polarisasi tersebut memunculkan relasi-relasi sosial ekonomi dan politik yang disosiatif, mengandung relasi dalam kesenjangan atau ketimpangan yang luar biasa. Relasi yang disosiatif dan timpang tersebut bermuara pada resistensi masyarakat seperti yang terjadi dalam pengalaman kasus perkebunan sawit di Distrik Arso. Selanjutnya akan dijelaskan berbagai bentuk konflik yang bermuara pada sikap resistensi masyarakat di wilayah Workwana dan sekitarnya. Di satu sisi harus diakui bahwa berbagai perubahan dan perkembangan yang bersifat makro telah terjadi dalam kehidupan masyarakat di tempat ini secara khusus melalui pengembangan perkebunan kelapa sawit dan kegiatan pembangunan lainnya. Dari penuturan penduduk, masa-masa emas hasil kelapa sawit bagi mereka hanya berlangsung beberapa saat, setelah itu warga kembali mengalami keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama sejak produksi kelapa sawit terus menurun dan warga berhenti mengurus kelapa sawit sejak tahun 2000. Di sisi lain harus dikatakan pula bahwa pendekatan pembangunan seperti yang telah dilakukan selama ini telah menimbulkan persoalan-persoalan pembangunan yang signifikan terhadap Livelihood penduduk asli setempat di Kampung Workwana, termasuk penduduk kampung-kampung tetangga.

Krisis-krisis Akibat Pengembangan Kelapa Sawit Kehadiran kelapa sawit sebagai komoditas unggulan yang selalu dibanggakan dan telah menyebar di seluruh Indonesia ternyata memunculkan masalah serius dalam kehidupan penduduk asli setempat karena kelapa sawit menyebakan terjadinya sejumlah krisis yang berdampak luas dan signifikan bagi kehidupan mereka. Studi tentang 266 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action kelapa sawit di Workwana memperlihatkan munculnya berbagai krisis,yakni krisis ekologi (lingkungan), ekonomi, kelembagaan dan sosial budaya. Krisis yang paling konkrit atau nyata diarasakan dan dialami ialah krisis ekologi, kemudian krisis ekonomi, sesudah itu krisis kelembagaan dan krisis sosial-budaya yang berkaitan dengan nilai-nilai hidup penduduk setempat. Berikut ini dibuat penjelasan mengenai krisis-krisis dimaksud sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini. Dalam urutan krisis-krisis yang terjadi, krisis lingkungan atau ekologi di tempatkan paling awal, dan terletak di bawah kemudian disusul krisis-krisis yang lain.

Sosial-Budaya

Kelembagaan

Ekonomi

Ekologi Gambar 7.3 Jenis-jenis Krisis Krisis Ekologi (Lingkungan) Krisis ekologi lebih bersifat krisis material yang langsung dialami, dan mendasar karena langsung berkaitan dengan unsur kehidupan yang langsung berkaitan dengan kepentingan hidup manusia dan berdampak terhadap Livelihood penduduk setempat. Krisis ekologi atau krisis lingkungan, berkaitan dengan rusaknya lingkungan dan ekosistem yang berdampak signifikan merugikan manusia. Untuk menganalisis krisis ekologi, pemikiran-

267 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua pemikiran yang berhubungan dengan persoalan ekologi digunakan untuk melihat persoalan dimaksud. Jain (2001) menjelaskan bahwa, lingkungan hidup terdiri dari tiga komponen dasar yang saling berhubungan dan memengaruhi yaitu (1) unsur fisik (pohon, tanah, batu, air dan lain-lain); (2) udara, cuaca dan angin, dan lain-lain; (3) makhluk hidup (manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan). Ketiga komponen ini membentuk satu jaringan yang terpadu dan serasi. Masing-masing komponen berada pada tempatnya dan berperan membentuk suatu ekosistem kehidupan yang terpadu. Namun masalah ekologi muncul ketika salah satu komponen dirusakkan. Artinya adanya perubahan pada salah satu bagian dari ekosistem yang ada akan memengaruhi pula kesimbangan seluruh ekosistem. Merujuk pada pemikiran Jain di atas dapat dikatakan bahwa ekosistem yang terganggu di wilayah perkebunan kelapa sawit di daerah Workwana dan sekitarnya karena hutan-hutan ditebang dan tanah masyarakat dialihfungsikan, berdampak menimbulkan krisis lingkungan hidup [Aditjondro, 2003, 59-103 & 403-425; Frangky & Morgan (Penyunting), 2015]. Dampak kerusakan ekologi atau lingkungan ternyata telah menimbulkan krisis berkepanjangan berkaitan dengan tersingkirnya Livelihood subsisten (Boelaars, 1989) penduduk asli di sekitar perkebunan kelapa sawit sebagai suatu persoalan serius pembangunan di daerah, Ansaka dkk. (2009) mencatat Perseroan Terbatas Perkebunan Nasional (PTPN) II Tanjung Morawa Medan telah membuka lahan perkebunan kelapa sawit sekitar 51.310 hektare di daerah Kabupaten Keerom. Dengan demikian hasil studi kasus di Workwana ini memperlihatkan krisis tersebut ditandai oleh fenomena-fenomena berikut. Pertama, hutan sebagai tempat dan sumber Livelihood penduduk asli yang di dalamnya terdapat jenis-jenis flora dan fauna serta berbagai potensi kekayaan alam, hilang. Selain itu hutan dengan tutupan humus organik dan sebagai daerah serapan air, sebagai habitat hewan liar dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat bagi penduduk sebagai suatu ekosistem yang terpadu pun berubah fungsi, tidak dapat dimanfaatkan dan sulit ditemukan oleh penduduk

268 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action di sekitarnya. Kedua, terjadi degradasi dan deforestasi hutan yang berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan alam, tercemarnya tanah oleh berbagai jenis bahan kimia, meningkatnya bencana banjir di musim hujan dan kekeringan hebat di musim panas di daerah Distrik Arso. Fenomena banjir yang parah dialami masyarakat sebagai akibat degradasi dan deforestasi lingkungan ketika musim hujan, terjadi di beberapa daerah di wilayah Distrik Arso. Sebaliknya, ketika musim kemarau daerah ini mengalami kesulitan air bersih untuk konsumsi dan keperluan rumah tangga. Ketiga, diakui oleh penduduk bahwa debit air di sumur-sumur masyarakat dari waktu ke waktu terus menurun dan terjadi peningkatan pencemaran air yang berdampak pada kesehatan penduduk. Dokter Evi Kepala Balai Pengobatan St Lusia Workwana menyatakan, air yang keruh itu pada umumnya, berbau dan terasa asam. Menurut beberapa informan di Workwana, keadaan air yang sedemikian buruk disebabkan antara lain oleh kelapa sawit yang ada di daerah ini, yang cukup banyak menyerap air di satu sisi. Di sisi lain pasokan air terus berkurang akibat hutan-hutan gundul dan terjadi berbagai pencemaran air karena tanah-tanah mengalami pencemaran berbagai jenis zat kimia yang digunakan untuk pemupukan. Menurut informasi penduduk setempat, salah seorang peniliti asal Jepang beberapa tahun silam menyatakan bahwa di daerah ini satu pohon sawit setiap hari menyerap air kurang lebih 6 sampai 8 liter. Hal ini dapat dibandingkan dengan hasil Penelitian Lingkungan Universitas Riau, yang menyebutkan bahwa satu pohon sawit setiap hari menyerap air sebanyak 12 liter23. Pernyataan-pernyataan tersebut tentu mengindikasikan bahwa kelapa sawit memang mempunyai dampak terhadap lingkungan yang memengaruhi ketersediaan air secara memadai yang dibutuhkan manusia dan makhluk hidup lainnya. Keempat, sebagaimana dikatakan penduduk, dengan dibabatnya hutan-

23Syaiful Ahmad mengutip hasil Penelitian Lingkungan Universitas Riau yang menyatakan, dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (ST. Ariful Amri MSc, dalam Riau Online, Pekanbaru). Di samping itu dicacat pula bahwa pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya (https://adekrawie.wordpress.com/2007/07/27/ dampak-ekologi-dan-lingkungan-akibat-perkebunan-sawit-skala-besar/, diunduh 4 November 2016) 269 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua hutan, penduduk setempat mengalami kesulitan memperoleh berbagai jenis bahan baku lokal berupa kayu, rotan dan lain-lain untuk keperluan membangun rumah, pembuatan pagar dan keperluan rumah tangga lainnya. Artinya hilangnya bahan-bahan baku dari hutan berarti hilang pula berbagai sumber penghidupan yang biasa dimanfaatkan untuk kepentingan hidup penduduk setempat. Hilangnya berbagai bahan baku lokal mengakibatkan penduduk setempat semakin tak berdaya dan terpuruk. Sebagai perbandingan dapat dilihat hasil Studi Kasus di 5 Pulau Besar di Indonesia Periode 1990 s/d 2010, Majalah Sawit Indonesia, 15 Februari-15 Maret 2014, yang menyebutkan: Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yang mengubah tutupan lahan tidak hanya akan mengurangi stok karbon, akan tetapi juga mengancam kerusakan keaneka- ragaman hayati, berkurangnya cadangan air dan kualitas tanah dan berkurangnya habitat satwa yang dilindungi. Studi ini sebenarnya bertujuan sebagai bahan masukkan bagi pemerintah Indonesia untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Karena krisis ekologi pada dasarnya bertentangan dengan prinsip etika pembangunan berkelanjutan (Goulet, 1995 dan Keraf, 2006). Dan dalam perspektif Community Development menurut Ife Jim (2002), secara ekologis, pembangunan dilihat lebih holistik, berkelanjutan, beragam dan seimbang antara berbagai kepentingan di mana manusia merupakan bagian dari sistem ekologi tersebut. Sejalan dengan pemikiran Ife, Bjorn Hettne (2001, 347-350) menjelaskan bahwa, proses pembangun- an yang mengancam sistem ekologi suatu kawasan, merupakan ancaman kultural bagi kelompok etnis yang hidup di tempat ini. Selain itu juga krisis ekologi di Papua seperti yang diakibatkan oleh pembangunan, termasuk kerusakan lingkungan akibat kelapa sawit disoroti Karel Phil. Erari (Prisma, No. 6 Tahun XXVI, Juni-Juli, 1997) dan Alua (2004) sebagai penghacuran tanah atau bumi sebagai ibu yang menafkahi manusia dalam pandangan dunia orang Papua.

270 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

Krisis Ekonomi Dampak lain yang tidak kalah penting dan mengakibatkan terjadinya krisis berkepanjangan yang langsung menghancurkan kehidupan penduduk setempat ialah krisis ekonomi. Menurut Bapak Lamber Welib, salah seorang tokoh masyarakat dan tokoh Gereja setempat: makanan sehari-hari orang di kampung ini sebenarnya berasal dari usaha berkebun seperti menanam ubi-ubian, keladi, pisang. Ada juga yang dijual dan uang itu untuk membeli beras dan lain-lain. Selain itu orang kampung juga masih pangkur sagu, berburu binatang liar seperti babi, tikus tanah, burung di hutan dan cari ikan di kali. Tetapi saat ini bahan makanan dari kebun di hutan semakin menipis dan sulit karena hutan-hutan dibabat, kayu-kayu diambil oleh pengusaha kayu dan hutan beralihfungsi sebagai kebun kelapa sawit, perumahan dan lain-lain. Fenomena ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, hilangnya aset dan akses ekonomi subsisten penduduk. Keadaan ini ditanggapi serius oleh penduduk karena hilangnya hak ulayat dan sistem tenurial setempat dengan segala kekayaan sumber daya kehidupan yang ada dikalkulasi sebagai kerugian luar biasa bagi orang Workwana dan kampung-kampung tetangga di sekitarnya saat ini dan anak-cucu mereka di masa depan. Menurut penduduk setempat pembabatan dan pengalifungsian hutan-hutan serta tanah masyarakat sebagai pusat Livelihood setempat sebagai perkebunan kelapa sawit, menghilangkan aset-aset ekonomi dan menutup akses penduduk menikmati sumber daya kehidupan yang mereka miliki [Chambers & Conway, 1991; Krantz, 2001; Kartodiharjo & Jhamtani, (Ed.,), 2006]. Artinya proses transformasi melalui pembangunan yang terjadi dengan pendekatan industri perkebunan kelapa sawit sebagai Livelihood baru tidak otomatis berdampak meningkatkan kehidupan ekonomi penduduk setempat. Hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan pengetahuan dan keterampilan susbsiten penduduk lokal yang berfungsi bagi kehidupan Livelihood yang subsisten pula. Penduduk setempat membutuhkan proses adaptasi kognitif dan kultural sebagai habitus baru pengembangan kehidupan ekonomi dan bidang-bidang kehidupan lainnya. Dengan kata lain pengetahuan dan keterampilan subsisten 271 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua menjadi disfungsional terhadap sistem industri perkebunan kelapa sawit sebagai Livelihood yang baru. Bahkan menurut penduduk setempat, kondisi yang berujung pada pemutusan hubungan mereka dalam kesatuannya dengan lingkungan alam sumber Livelihood, dilihat sebagai proses penyingkiran dan pemiskinan masyarakat. Kedua, krisis ekonomi ternyata juga menimbulkan krisis psikologis. Penduduk setempat pun menilai pendekatan pembangunan ini selain memiskinkan juga menimbulkan kebingungan, tekanan, putus asa dan trauma dalam hidup. Ungkapan-ungkapan pengalaman penduduk tersebut dirumuskan oleh John Djonga Pr (Rosariyanto, dkk., 2008), seorang misionaris yang bekerja sejak tahun 1992 di daerah ini: Hampir semua orang menjadi bingung, cemas, ragu-ragu dan gelisah karena perubahan yang begitu cepat dan menyeluruh. Tidak sedikit orang yang mengalami shock ekonomi, merasa masa depan suram dan putus asa. Arah hidup menjadi kabur karena tuntutan ekonomi yang luar biasa. Bila hari ini mereka mendapatkan uang maka uang tersebut akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan hati saja. Kebiasaan menyimpan uang atau memanfaatkannya untuk hal-hal yang memang dibutuhkan belum tertanam baik dalam tindakan mereka. Senada dengan Djonga, tokoh adat masyarakat Workwana Bapak Herman berujar: “kerja seperti ini merupakan bentuk penipuan karena harta kekayaan alam kami diambil dengan alasan dipakai untuk kepentingan negara padahal masyarakat tidak mendapat apa- apa”. Menurut Bapak Herman, saat ini masyarakat hidup dalam keadaan yang makin hancur dengan penipuan-penipuan yang dibuat melalui usaha perkebunan kelapa sawit. Dikatakannya, “orang Papua sebagai pemilik tanah, menjadi korban di atas tanahnya sendiri”. Ia pun berceritera ketika rombongan yang diikutinya bersilahturahmi dengan Presiden SBY di istana Negara Jakarta, sebagai perwakilan masyarakat adat Keerom, ia mengatakan, “Tanah Papua tidak diperjualbelikan tapi hanya kontrak”. Jadi kehadiran perusahaan untuk mensejahterakan masyarakat melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, pengembangan 272 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action ekonomi, perumahan, listrik dan air bersih, semuanya hanya merupakan janji belaka, karena bila diamati secara cermat dan saksama, saat ini sesungguhnya baik masyarakat Kampung Arsokota maupun Kampung Workwana sedang berada dalam keadaan terpuruk di berbagai aspek kehidupan. Menurutnya sistem pembangunan yang digunakan ini juga merusak masyarakat karena minuman keras (miras) dipakai untuk membujuk masyarakat, khususnya orang muda diperalat untuk kepentingan tertentu. Pendapat serupa juga disampaikan salah seorang tokoh masyarakat di Workwana bahwa, masyarakat sekarang sedang mengalami luka di hati yang dalam karena di masa lalu masyarakat disiksa, ditindas dan dibunuh karena kepentingan kelapa sawit. Ketika itu masyarakat juga sering diperalat untuk demi kepentingan pemerintah yang menimbulkan sikap saling curiga di antara warga. Anak-anak muda juga sekarang gampang sekali diperalat untuk kepentingan tertentu dengan cara memberi minuman keras. Pengalaman yang mencemaskan, menggelisahkan, pengalaman shock ekonomi, arah hidup tidak jelas, bahkan putus asa dan traumatis ini merupakan ekspresi tentang ketidakpastian akan masa depan bagi penduduk asli, bukan realitas yang dibuat-buat. Kondisi ini merupakan realitas kehidupan penduduk asli Workwana yang sedang mengalami frustrasi dan kebingungan karena saat ini mereka berada dalam keadaan tanpa aset dan akses untuk membangun hidup yang lebih baik. Ketiga, ketika perkebunan sawit mulai dikembangkan perusahaan mengambil kredit bank untuk membiayai penyelenggaraan perke- bunan. Ketika masa panen, penduduk setempat sebagai petani plasma dan semua peserta PIR, perusahaan memotong hasil penjualan kelapa sawit petani sebagai beban yang harus diselesaikan petani. Pembayaran kredit ini dirasakan sebagai beban ganda yang memberatkan petani karena mereka pun harus membayar ongkos-ongkos seperti, ongkos truk yang mengangkat TBS ke pabrik, ongkos buruh tani yang memetik dan memikul sawit serta ongkos makan, rokok dan sejumlah setoran wajib yang harus diberikan kepada kelompok tani dan lain- lain. Pengalaman ini terus berlangsung sampai kredit tersebut lunas terbayar padahal dari waktu ke waktu hasil panen terus menurun sehingga sejumlah orang menjual lahannya dan melepas kepada pihak 273 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua lain dengan sistem kontrak. Keterlibatan petani Kampung Workwana sebagai pemilik lahan atau tuan lahan menyelesaikan kredit perusahaan sebagai suatu proses pertukaran dari sistem yang tidak adil dan tidak seimbang. Bahkan petani merasa sebagai tuan lahan, mereka hanya diperas sehingga tak berdaya dan dimiskinkan. Jadi akselerasi pembangunan melalui pendekatan ekonomi seperti ini dapat dikatakan telah merongrong hakekat hidup penduduk lokal yang subsisten dengan kekayaan alam yang mengandung aneka ragam hayati dan menjadikannya petani perkebunan monokultur yang tidak beruntung. Pendekatan pembangunan ekonomi yang ekstraktif (Acemoglu & Robinson, 2014, 77-80) seperti ini ternyata telah menimbulkan masalah yang serius bagi masa depan manusia Papua. Lebih dari itu pendekatan ini justru dicurigai oleh penduduk setempat sebagai realisasi kepentingan dan tujuan politik (fungsi laten) pembangunan daerah perbatasan atas nama kepentingan dan tujuan pembangunan ekonomi (fungsi manifest) di daerah. Pandangan dan penilaian ini muncul di kalangan penduduk setempat karena pengalaman dengan sistem usaha perkebunan kelapa sawit di wilayah Workwana telah memosisikan penduduk asli setempat yang semula merupakan tuan lahan dengan alamnya yang kaya menjadi penduduk yang tuna lahan dan miskin serta tak berdaya. Krisis Kelembagaan Intervensi pembangunan melalui pengembangan perkebunan kelapa sawit di daerah ini, dalam studi kasus yang dilakukan ternyata juga memperlihatkan bahwa pembangunan yang dilakukan berdampak menggusur aspek kelembagaan penduduk asli di Kampung Workwana dan kampung-kampung sekitarnya. Ketika aspek kelembagaan masyarakat kampung tergusur akibat pembangunan muncul krisis serius kelembagaan masyarakat setempat yang sudah terstruktur dalam hidup masyarakat setempat. Dengan kata lain secara kelembagaan kampung yang sebelumnya otonom, tidak otonom lagi karena berbagai intervensi seperti intervensi politik, ekonomi dan lain-lain sebagai bagian dari sistem dan struktur negara bangsa [Bdk. Kartodiharjo & Jhamtani (Ed.,), 2006; Kolopaking, (dalam, Satria, dkk., Ed), 2011]. 274 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

Krisis kelembagaan yang ditemukan dapat dilihat dari fenomena berikut: penggunaan undang-undang dan aturan-aturan negara sebagai dasar hukum untuk pengalihfungsian tanah ulayat demi kepentingan perkebunan kelapa sawit mengalahkan hukum adat dan hak ulayat masyarakat setempat; penduduk saling klaim hak ulayat ketika ada pelepasan tanah adat kepada pihak perusahaan melalui pemerintah sebagai gejala kapitalisasi tanah adat yang tidak pernah terjadi sebelumnya; terjadi penggunaan wilayah segi tiga emas oleh oknum- oknum warga kampung tertentu secara sepihak untuk kepentingan bisnis pribadi, menimbulkan protes warga kampung tetangga karena wilayah tersebut merupakan wilayah hutan lindung bersama beberapa kampung di Distrik Arso. Situasi seperti ini rentan menimbulkan konflik antarwarga; tokoh-tokoh adat dimanfaatkan oleh PTPN II sebagai pegawai perusahaan untuk mengamankan kepentingan perusahaan dari tuntutan-tuntutan masyarakat adat. Hal ini menimbulkan keadaan dilematis pada tokoh-tokoh adat setempat, apakah berpihak pada kepentingan masyarakat atau kepentingan perusahaan; sistem tenurial setempat diabaikan karena dalam transaksi pelepasan tanah, hak-hak dasar masyarakat di bidang sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan hidup diganti dan dihargai dengan uang serta barang-barang yang oleh masyarakat dinilai tidak setimpal. Apalagi cara-cara yang digunakan dalam transaksi tersebut menurut penduduk setempat bersifat manipulatif, karena janji-janji tidak pernah ditepati perusahaan, penuh kekerasan dan tidak adil; peran Yuskwondor dan Sagaiken di wilayah ini sebagai kepala kampung, kepala adat dan penguasa tanah-tanah yang tidak berpenduduk tidak diperhitungkan lagi. Dengan begitu dapat dikatakan pendekatan pembangunan yang dilakukan ternyata bersifat ekstraktif (Acemoglu & Robinson, 2014), karena kegiatan pembangunan ekonomi tersebut menguras atau mengeruk kekayaan lingkungan alam sebanyak-banyaknya, meng- abaikan sistem kelembagaan masyarakat dan sistem sosial-budaya setempat sehingga berdampak mengakibatkan kerugian besar bagi penduduk setempat khususnya generasi yang akan datang.

275 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Krisis Sosial-Budaya Krisis ekologi, ekonomi dan kelembagaan bagi orang Papua bukanlah aspek-aspek yang berdiri sendiri. Krisis-krisis tersebut secara langsung berkaitan dengan world view (Geertz, 1973; Mantovani, 1991; Alua, 2004; Franklin, 2007) penduduk asli di mana terdapat sistem nilai, struktur, kebiasaan dan sistem sosial sebagai kerangka acuan hidupnya. Menurut Geertz, di dalam setiap world view terdapat dua hal pokok. Pertama, ada aspek moral (dan aspek estetika) sebagai unsur yang bersifat evaluatif, biasanya disadari sebagai etika dalam suatu masyarakat. Kedua, terdapat aspek kognitif sebagai unsur esensial, berupa pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan manusia yang menjadi pegangan hidup suatu kelompok masyarakat. Aspek kognitif seperti ini secara filosofis disebut oleh Fay (1997) sebagai “epistemologi orang dalam”. Maksudnya pengetahuan kelompok masyarakat tertentu tentang alam, manusia dan kehidupan sosialnya dalam lingkungan tertentu. Pengetahuan tersebut hanya diketahui oleh kelompok yang mempunyai pengetahuan tersebut. Implikasi sosialnya ialah kelompok luar atau kelompok lain perlu memahami apa yang menjadi pengetahuan setempat termasuk aspek moral yang menjadikannya tetap eksis. Konsekuensinya, mengabaikan epistemologi orang dalam berarti meremehkan eksistensi kelompok atau komunitas setempat. Sejalan dengan pikiran Geertz dan Fay, Franklin Karl J. (2007), dalam tulisannya berjudul, Framework For A Melanesian Word View, juga menyatakan bahwa dalam world view suatu kelompok masyarakat terhimpun paham tentang nilai-nilai hidup dan nilai-nilai tersebut biasanya digunakan sebagai prinsip moral dan rujukan dalam bertingkahlaku serta cara memandang kehidupan dan dunia. Apa yang dijelaskan Geertz, Fay dan Franklin terkait pengetahuan dan nilai-nilai masyarakat, diuraikan secara lebih terperinci oleh Mantovani Ennio (1991) dan Alua (2004). Untuk menganalisis latar belakang krisis yang dialami orang Workwana ini, penulis menggunakan penjelasan Mantovani dan Alua untuk memahami permasalahan tersebut. Menurut Mantovani dan 276 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

Alua, kehidupan orang Melanesia pada umumnya, khusunya orang Papua, dibangun berdasarkan sistem nilai yang secara tradisional ada dalam world view yang terdiri dari unsur-unsur penting yaitu community (hubungan darah dan perkawinan), relationships (dengan leluhur dan tanah) dan exhcange (resiprositas). Nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai yang substansial dalam kehidupan penduduk asli setempat. Berdasarkan nilai-nilai dasar tersebut, pendekatan pembangunan melalui perkebunan sawit yang membabat habis hutan dan terjadi penguasaan serta alih fungsi lahan-lahan masyarakat, sudah jelas bertentangan dan merusak nilai-nilai dasar orang Papua, yang mengutamakan community, relationship dan exchange. Dikatakan community dirusakkan karena penghargaan akan kelompok dan persekutuan hidup dengan pola hubungan yang seimbang dan saling menghargai, ditransformasikan ke dalam sistem dan struktur sosial baru lewat sistem PIR yang berwatak kapitalis (Alatas, 1988, 3-47). Jadi, relasi yang terbangun dalam kasus kelapa sawit ini dapat dikatakan sebagai berikut. Pemerintah dan perusahaan kelapa sawit yang memperalat aparat keamanan untuk menekan penduduk mengalihfungsikan hak ulayatnya di Arsokota dan Workwana, secara kelembagaan seharusnya berlangsung dalam posisi setara, saling menghargai sebagai subyek. Akan tetapi dalam kenyataan urusan tersebut berlangsung dalam pendekatan subyek-obyek, penuh intimidasi dan ancaman. Artinya, relasi tersebut berlangsung dalam posisi di mana pemerintah dan perusahaan sebagai entitas yang superior sedangkan penduduk setempat merupakan entitas yang inferior. Dengan kata lain, penduduk setempat sebagai pemilik hak ulayat hanya menjadi obyek pembangunan sedangkan perusahaan dan penguasa sebagai subyek atas nama pembangunan negara. Kondisi seperti ini disebut oleh Galtung sebagaimana diulas oleh Marsana Windhu (1992), sebagai cara-cara penggunaan kekuasaan struktural, yang di dalamnya terdapat struktur-struktur yang bersifat eksploitasi, penetrasi, fragmentasi dan marginalisasi. Hal ini tentu bertentangan dengan pola hubungan kesetaraan yang menghargai hak-hak dasar manusia dan bertentangan dengan sistem dan struktur penguasaan wilayah dan sumber-sumber penghidupan yang dimiliki penduduk asli 277 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua setempat sebagaimana digambarkan di atas oleh Mantovani dan Alua. Kemudian sistem pertukaran atau exchange yang seharusnya menggambarkan proses resiprositas yang saling menguntungkan tidak terjadi dalam transaksi jual beli tanah-tanah bahkan seluruh proses tersebut dianggap tidak adil dan manipulatif yang merugikan pemilik hak ulayat. Hal-hal inilah yang menjadi latar belakang munculnya sikap resistensi penduduk. Dengan demikian dapat dikatakan seluruh sistem baru yang diintrodusir ke dalam kehidupan penduduk asli di Workwana dan sekitarnya rentan menimbulkan masalah. Dikatakan rentan karena exchange tersebut ternyata menimbulkan tuntutan atau klaim-kalim penduduk setempat atas kepemilikan hutan dan lahan karena pendekatan yang digunakan pemerintah dan perusahaan tidak mencerminkan penghargaan baik terhadap lingkungan (sumber hidup), sistem ekonomi (mata penharian) dan sistem kelembagaan (struktur sosial dan norma-norma) maupun secara sosio-kultural (nilai-nilai, dan kebiasaan) terhadap penduduk asli setempat. Contoh, terjadinya klaim- klaim sebagai bentuk resistensi moral sosial24 penduduk setelah terjadi pelepasan tanah atas nama kelompok tertentu pada masa-masa awal pembukaan perkebunan kelapa sawit di daerah ini, yang ditolak oleh kelompok lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa para pihak terkait belum semuanya terlibat (Wenehen, 2005) dan sistem pertukaran yang terjadi tidak saling menguntungkan karena tidak bersifat resiprokal menurut world view setempat. Bahkan kompensasi-kompensasi yang dibuat perusahaan dan pemerintah terhadap warga masyarakat di Workwana dan sekitarnya dinilai tidak wajar, tidak seimbang atau

24Perubahan-perubahan yang dihadapi Orang Papua seperti yang dialami Orang Marind di masa lalu dan menimbulkan reaksi tertentu masyarakat digambarkan Boelaars (1986), sebagai moral depression. Keadaan depresi moral muncul dalam sikap apatis, tidak berdaya, keseganan menerima perubahan-perubahan. Pengalaman tersebut berbeda dengan pengalaman Orang Keerom di Workwana, Arsokota dan sekitarnya. Di sini penduduk bereaksi menolak pencaplokan hak ulayat penduduk dan menuntut perlakuan yang lebih adil dari perusahaan dan pemerintah dengan berbagai cara, pemalangan pabrik dan kebun inti serta beberapa upaya lain. Keadaaan ini dapat disebut sebagai moral resistance atau resistensi moral penduduk. Rujukan reisistensi moral ini adalah world view dan etika etnik (Mantovani, 1991). 278 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action tidak sebanding dengan luas lahan yang diberikan. Ketidakseimbangan itu terlihat dari apa yang dikalkulasi masyarakat berkaitan dengan luasnya lahan-lahan yang diambil atau dilepas dengan imbalan yang tidak memadai. Selain itu pengalaman penggunaan segitiga emas pun oleh masyarakat sebagai milik bersama beberapa kampung di Distrik Arso menjadi soal ketika dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk kepetingannya, diklaim oleh kelompok lain sebagai pelanggaran atau penyalahgunaan kekayaan milik bersama. Menurut informan yang ditemui di Workwana, keadaan ekonomi yang semakin sulit sekarang mendorong warga Kampung Workwana terlibat mengolah kayu di hutan untuk dijual ke luar Keerom. Dikatakannya, cara-cara demikian hanya menambah dan memperluas hilangnya tempat berburu dan mencari makan penduduk di hutan. Karena saat ini hutan sudah habis, pohon-pohan kayu ditebang, kayunya diambil dan diolah oleh pengusaha kayu yang kemudian menjualnya ke luar Keerom atau ke luar Papua sementara penduduk atau warga kampung tidak mendapat apa-apa. Padahal sesungguhnya dalam sistem tenurial di wilayah Workwana dan Arso dikenal pembagian tata ruang lahan yang berfungsi untuk berbagai aktivitas. Sistem tenurial atau tata ruang lahan terdiri dari, dusun sagu (Na Numui), hutan tempat berburu binatang (Ma Disih), lahan untuk berkebun (Ma Mandap) dan kali atau telaga, tempat mencari dan menangkap ikan (Ubyagey). Sistem tenurial ini hilang begitu saja akibat pengembangan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan PTPN II dan penebangan hutan secara masif yang dilakukan para pengusaha kayu di wilayah ini dan seluruh wilayah Keerom (Gusbager, 2001 dan Patay, 2005). Dari sisi world view, Alua (2004), yang mengutip Whiteman (1984), menyatakan nilai-nilai sentral bagi orang Melanesia pada umumnya, termasuk orang Papua adalah nilai kelangsungan hidup (continuation of life), perlindungan atas hidup (protection of life), pemeliharaan hidup (maintenance of life) dan perayaan atas hidup (celebration of life) sebenarnya masih dipegang penduduk asli di Papua. Dengan merujuk pada Whiteman, Alua mau menyatakan

279 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua bahwa gambaran kehidupan yang dimiliki orang Papua ialah kehidupan dalam kesatuannya dengan seluruh komsos atau alam semesta, terjadi secara berkelanjutan. Karena itu relasi-relasi yang dibangun harus relasi yang benar dan tepat baik dengan manusia maupun dengan leluhur serta alam termasuk di dalamnya prinsip mengumpulkan kekayaan dan tidak bersifat eksploitatif. Dengan prinsip tersebut kehidupan manusia dibangun dan berlangsung terus sehingga menjamin pula kehidupan generasi berikut. Berdasarkan pemahaman Whiteman yang dikutip Alua tersebut, harus dikatakan penetrasi sistem pembangunan seperti yang dialami penduduk di Workwana dan sekitarnya merupakan upaya sadar yang telah merusak jati diri manusia dan nilai-nilai hidup orang Papua di Workwana dan sekitarnya. Karena itu pendekatan ini dapat dikatakan secara langsung mengancam kehidupan masa kini dan masa depan penduduk secara berkelanjutan. Dengan begitu harus dikatakan bahwa seluruh pendekatan yang digunakan oleh pemerintah melalui PTPN II, secara paradigmatis dan riil kontekstual bertentangan dengan visi pembangunan Papua baru secara berkelanjutan yang diamanatkan oleh UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Demikian juga pendekatan tersebut bertentangan dengan visi pembangunan Papua yang adil dan sejahtera secara berkelanjutan menurut Suebu (2007) dan visi Papua bangkit, mandiri dan sejahtera menurut Enembe (2016). Jadi keterpinggiran dan krisis-krisis yang diakibatkan oleh pendekatan dan pelaksanaan pembangunan seperti yang dialami orang Workwana sesungguhnya bertentangan dengan semangat pembangunan berkelanjutan yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip human security bagi penduduk setempat (Mahbub Ul Haq, dalam Kanti Bajpai, 2000: 9-36 & Dan Henk, 2005:92-94). Dan Henk (2005:92-94) menyatakan bahwa: The concept of security has for too long been interpreted narrowly: as security of territory from external aggeression, or as prortection of national interests in foreign policy or as global security from the threat of a nuclear holocaust. It has been related more to nation-states than to people…. 280 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

Forgotten were the legitimate concerns of ordinary people …. For many of them, security symbolized protection from threat of disease, hunger, unemployment, crime, social conflict, political repression, and environmental hazards”. Mengingat gagasan mengenai human security begitu penting maka Kanti Bajpai (2000: 9-36), dalam tulisannya tentang Human Security and Measurement, mengajukan beberapa pertanyaan penting. Pertama, aman bagi siapa?; kedua, aman dari ancaman-ancaman apa?; ketiga, aman dalam arti apa?. Untuk menjawab dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan tersebut, Bajpai mengutip pikiran Haq sebagai berikut. Dikatakannya, menurut Mahbub ul Haq (Bajpai, 2000:10-17), human security bukan berkaitan dengan keamanan negara-negara dan bangsa-bangsa tetapi keamanan bagi individu-individu dan masyarakat. Karena human security harus mengandung: a. economic security. Maksud economic security ialah suatu kehidupan ekonomi di mana setiap individu diharapkan dapat menikmati keadaan hidup yang baik dan aman dari hasil pekerjaan yang dilakukan atau secara sosial hubungan-hubungan yang ada dapat melindunginya; b. food security. Food security adalah suatu keadaan yang mana setiap individu dapat menikmati pangan yang aman, terlihat dari terdapatnya akses untuk menikmati pangan melalui kekayaan atau aset-aset, pekerjaan atau pemasukannya: c. health security. Kemudian health security adalah keadaan terbebasnya individu dari berbagai macam penyakit dan kemungkinan adanya penyakit serta adanya akses kesehatan untuk perawatan diri: d. environmental security. Environmental security adalah keadaan di mana terintegrasinya tanah, udara dan air yang memungkinkan manusia hidup dengan aman; e. personal security. Yang dimaksud dengan personal security ialah suatu keadaan yang menunjukkan adanya individu yang bebas dari kejahatan dan kekerasan, khususnya perempuan dan anak yang lebih rentan terhadap kejahatan dan kekerasan: f. community security. Makna community security adalah keadaan martabat komunitas yang secara kultural berada dalam situasi damai antar-komunitas, yang di dalamnya individu dapat hidup dan berkembang: g. political security. Political

281 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua security maksudnya ialah suatu situasi di mana ada perlindungan atas hak-hak azasi manusia dari berbagai kekerasan.

Keterangan: L.L : Livelihood Lokal (Subsisten) L.B : Livelihood Baru(Kelapa Sawit) : Ketergantungan pada livelihoodbaru,industri sawit : Putusnya hubungan dengan livelihood awal ? : Keadaan tanpa modal-modal dalam LB Gambar 7.4. Tuan Lahan Menjadi Tunalahan: Perspektif Livelihood Gambar 7.4 di atas mau menunjukkan posisi penduduk asli Workwana yang semula dengan Livelihood subsisten mempunyai aset- aset yang dapat dipakai untuk mengelola hidup (aset atau modal manusia, finansial, sosial, personal dan alam), mengalami transformasi sebagai petani kelapa sawit namun justru diterpa krisis ekologi, ekonomi dan budaya yang menjadikannya penduduk yang hidup tanpa aset-aset dan tanpa akses. Dengan kata lain proses transformasi yang terjadi telah memosisikan penduduk asli setempat dari tuan lahan yang kaya karena alamnya, menjadi penduduk tunalahan tanpa aset dan akses serta menjebaknya ke dalam kemiskinan tanpa modal-modal yang seharusnya dimiliki.

282 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

Krisis -krisis Perspektif Sustainable Livelihood Pada pokok krisis ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosial- budaya, yang terjadi sebagai dampak dari kehadiran kelapa sawit bagi penduduk di Workwana dan sekitarnya ingin dilihat dari perspektif Sustainable Livelihood. Terkait dengan permasalahan yang disebut di atas, lebih jauh dikatakan oleh Chambers dan Conway, Krantz dan lain-lain bahwa, di dalam Livelihood ada yang disebut Sustainable livelihood. Prinsip Sustainable Livelihood amat konsern terhadap berkelanjutan hidup bagi generasi yang akan datang, baik jangka pendek maupun jangka panjang di aras lokal dan global. Dalam paham Sustainable Livelihood aset-aset ada berbagai bentuk dan disebut juga sebagai modal-modal manusia. Oleh karena itu dalam Sustainable Livelihood aset-aset atau modal-modal yang dimiliki manusia dilihat sebagai potensi penangkal (coping) untuk menanggulangi tekanan dan goncangan hidup yang dialami seseorang atau sekelompok orang (Chambers & Conway, 1991; Krantz Lasse, 2001;). Berdasarkan kekuatan yang dimiliki Sustainable Livelihood sebagai suatu perspektif tentang kehidupan manusia dan potensi-potensi yang terintegrasi di dalamnya, krisis-krisis yang disebutkan di atas mau dianalisa dan direfleksikan. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya Sustainable Livelihood mempunyai sejumlah kekuatan: pertama, kemampuan untuk melihat secara menyeluruh baik sumber daya alam maupun sumber daya sosial sebagai modal manusia; kedua, di dalamnya ada pendekatan-pendekatan yang bersifat mikro dan makro secara berjejaring, memungkinkan untuk mengatasi kerentanan-kerentanan yang ada dengan cara mengevaluasi dan memprogramkan pendekatan-pendekatan terhadap persoalan sosial ekonomi secara lebih realistis. Itulah sebabnya kekuatan-kekuatan tersebut ingin digunakan dalam berrefleksi tentang krisis-krisis yang disebutkan di atas. Secara singkat dapat dikatakan krisis-krisis ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosial-budaya ternyata berdampak menimbulkan keterpinggiran dan kesulitan masyarakat di Workwana dan sekitarnya dalam mencari nafkah sebagaimana biasa didapatkannya dari kekayaan 283 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua alam yang tersedia baginya. Kesulitan hidup ini disebut sebagai keadaan hidup yang terpinggirkan dan miskin karena tidak ada lagi Livelihood penduduk yang terdiri aset-aset yang kelihatan (tangible assets) yang dapat diandalkan. Dalam konteks alam Workwana tidak terdapat lagi berbagai jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, buah- buahan, sagu dan lain-lain sebagai bahan pokok konsumsi sehari-hari penduduk dan semakin sulit menemukannya di sekitar kampung dan hutan-hutan yang tersisa. Selain hilangnya tangible asset, hilang pula hak-hak dan akses-akses (ingtangible assets) karena terjadi alih fungsi dan alih kepemilikan berbagai asset yang dimiliki. Keadaan ini tentu menyebabkan penduduk setempat tak berdaya dan terpinggirkan karena kehilangan Livelihood yang menjadi tumpuan utama hidupnya. Perubahan-perubahan yang begitu cepat menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang selama ini masih dijalani dan mendorong penduduk Workwana menyesuaikan diri, cara berpikir dan bertindak menurut paradigma production thingking, employment thingking dan poverty line thinking (Chambers & Conway, 1991). Artinya bila orang Workwana ingin melanjutkan kehidupannya atau mengembangkan Livelihood-nya, mereka harus terlibat berproduksi melalui kebun kelapa sawit. Itu berarti orang Workwana harus menyatu dengan perkebunan kelapa sawit baik sebagai petani maupun buruh tani. Karena bila tidak demikian orang Workwana akan tersingkir dan semakin sulit mencari nafkah karena Livelihood baru menuntutnya harus mencari nafkah melalui kelapa sawit. Akibatnya ukuran kesejahteraan bagi penduduk ini ditentukan menggunakan alat ukur dunia industri, yakni manusia, tanah dan komoditi menjadi alat produksi melalui usaha perkebunan kelapa sawit. Karena dari keterangan para informan setempat, seorang pemilik perkebunan kelapa sawit dituntut membayar biaya-biaya seperti, administrasi, kredit perusahaan, ongkos sewa buruh, makan minum buruh, sewa kendaraan pengangkut TBS, pengeluaran-pengeluaraan ekstra pelancar di pabrik untuk petugas dan berbagai biaya lainnya yang tidak kecil. Hal-hal yang disebutkan ini ternyata menjadi beban yang berat bagi petani penduduk setempat. Tuntutan-tuntutan tersebut makin membuat hidup petani setempat atau orang asli Workwana terpuruk. 284 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

Suasana ini makin terasa ketika hasil panen dari waktu ke waktu menurun sesuai dengan usia tanam yang lebih dari 32 tahun. Padahal sebelumnya petani tersebut adalah tuan lahan, pemilik lahan yang kapan saja ingin mengolah dan memanfaatkan hutan serta lahannya yang kaya dapat dilakukan sesuai kebutuhannya. Dengan kata lain tersingkirnya Livelihood setempat menjadikan orang-orang di Workwana, termasuk juga penduduk di beberapa kampung sekitar, atau apa yang disebut Sen (2000) berada dalam keadaan deprivasi. Artinya keadaan deprivasi menyebabkan mereka tersingkir dalam Sustainable Livelihood karena tersingkir pula aset-aset atau modal- modal yang dimiliki. Padahal menurut Scoones Ian (1998) dan Krantz (2001) di dalam Sustainable Livelihood terdapat berbagai kapital, yaitu natural capital (tanah, air, udara, sumber-sumber daya terbarukan dan jasa lingkungan, seperti sistem peredaran air, pengolahan limbah dan lain-lain) economic atau financial capital (uang, kredit/debit, tabungan, dan aset-aset ekonomi lainnya seperti infrastuktur dasar, alat-alat produksi dan teknologi) human capital (keterampilan, pengetahuan, kemampuan kerja dan kesehatan yang baik, kemampuan fisik) dan social capital (jejaring, hak-hak sosial, relasi sosial, afiliasi-afiliasi dan asosiasi-asosiasi) yang dibutuhkan untuk mengembangkan hidup. Hal serupa juga dilihat Sachs (2005) dari studi yang dilakukan di beberapa tempat di dunia. Ia menyatakan manusia mempunyai berbagai kapital yang seharusnya ada agar seseorang atau sekelompok orang tetap eksis dan mampu mengaktualisasikan dirinya dan terhindar dari perangkap kemiskinan. Kapital-kapital tersebut adalah human capital (kesehatan, gizi dan skil); business capital (mesin-mesin, berbagai fasilitas, alat transportasi diperlukan untuk kegiatan pertanian dan industri serta jasa pelayanan lainnya sebagai modal bisnis); infrastructure (infrakstruktur seperti jalan, listrik, air dan sanitasi, bandara dan pelabuhan laut, sistem telekomunikasi); natural capital (modal alam berupa tanah yang subur dan baik untuk ditanami, ketersediaan keanekaragaman hayati, berfungsinya ekosistem yang baik); public institutional capital (modal institusi publik berupa hukum dagang, sistem peradilan, institusi pemerintah serta kebijakan pelayanan dan pembagian kerja); knowledge capital (ilmu pengetahuan dan teknologi).

285 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Perbedaan antara modal-modal yang disebut Scoones, Krantz dan Sachs di atas terlihat pada peran institusi publik sebagai salah satu modal yang tidak dijelaskan lebih rinci oleh Scoones dan Krantz. Namun menurut penulis unsur modal institusi publik yang disebut Sachs sebenarnya berkaitan dengan modal sosial yang disebutkan Scoones dan Krantz sebagai salah satu modal sosial. Karena secara kelembagaan di dalam modal sosial terdapat jejaring, berbagai asosiasi dan hak-hak yang diatur dalam lembaga-lembaga publik terkait. Jadi memang terdapat perbedaan penyebutan, tetapi baik modal sosial menurut Scoones dan Krantz maupun modal institusi publik menurut Sachs, mempunyai peran dan fungsi yang sama. Perbedaan lain di antara Sachs dengan penganjur Sustainable Livelihood ialah, Sachs menekankan input dari luar, sedangkan penggagas Sustainbale Livelihood mengandalkan human capital dan kapital lainnya dari orang setempat atau penduduk. Dari studi kasus di Workwana memang terlihat penduduk ini sedang berada dalam keadaan tunalahan dan menjadi penduduk yang hidup tanpa beberapa modal yang seharusnya ada. Dengan kata lain penduduk ini sedang mengalami krisis karena ketiadaan modal-modal yang mereka miliki seperti disebutkan dalam Sustainable Livelihood seperti natural capital, economic atau financial capital, human capital dan social capital. Dalam keadaan tunalahan penduduk Workwana kehilangan beberapa modal seperti natural capital dan economic capital sebagaimana sudah digambarkan sebelumnya yang menyebabkan mereka mengalami krisis hidup. Namun dari studi kasus di Workwana terlihat walaupun penduduk kehilangan beberapa modal hidup, ternyata modal manusia dan modal sosial masih menjadi kekuatan yang digunakan untuk mensiasati Sustainable Livelihood sehingga mereka tetap eksis. Berikut akan dijelaskan beberapa kelompok penduduk yang mampu menyiasati hidup menggunakan modal-modal yang ada sehingga tetap eksis sampai saat ini. Kelompok-kelompok dimaksud adalah kelompok perempuan dan kelompok berpendidikan serta kaum muda tunakarya. Kelompok- kelompok ini bukan merupakan bagian dari mayoritas penduduk

286 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action kampung akan tetapi keberadaan kelompok ini memberikan perspektif baru dalam memperjuangkan Livelihood dan Sustainable Livelihood.

Keterpinggiran Orang Workwana: Sebuah Refleksi Keterpinggiran orang Kampung Workwana khususnya dan pada umumnya penduduk Kampung Arsokota serta beberapa kampung lain di sekitarnya terjadi melalui pendekatan-pendekatan pembangunan, yang bersifat represif, stigmatisasi, terjadi deforestasi, janji-janji palsu, permainan harga kelapa sawit, pengalihan kepemilikan lahan, dan program transmigrasi umum dan trasmigrasi petani PIR. Fenomena keterpinggiran ini mendorong munculnya sikap resistensi penduduk sebagaimana telah disebutkan lebih dahulu pada Bab 6. Pertama, Pendekatan represif. Sejarah masuknya kelapa sawit di daerah ini menyisahkan sejumlah pengalaman yang disebut “memoria passionis” bagi penduduk di Kampung Workwana, dan kampung-kampung di sekitarnya. Dikatakan demikian karena dari ungkapan-ungkapan penduduk dan data-data lain yang ditemui penulis, diketahui bahwa pendekatan yang dilakukan pemerintah dan perusahaan kelapa sawit pada awal tahun 1980-an di daerah ini agar program perkebunan kelapa sawit dapat dikembangkan dilakukan dengan pendekatan kekerasan dan ancaman senjata. Dalam kondisi represif tersebut, tidak ada pilihan lain bagi penduduk selain dengan terpaksa menyerahkan harta tanah ulayatnya untuk negara dan perusahaan atas nama pembangunan. Memoria passionis ini dirasakan amat memojokkan penduduk, membuat orang kampung tak berdaya. Pendekatan-pendekatan tersebut merupakan bentuk perampasan dan pemaksaan penguasa terhadap penduduk sipil yang tak berdaya. Pengalaman yang sangat menyakitkan orang Arso pada umumnya ini sebagai kenangan pahit, selalu diungkapkan orangtua kepada anak- anaknya. Dengan demikian pengalaman ini bukan hanya menjadi pengalaman kaum tua, tetapi secara turun temurun akan terus dikenang orang setempat sebagai sejarah sosial penduduk (Burke, 2015, 20-30). Kekuatan penguasa menundukkan masyarakat dengan cara-

287 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua cara yang licik dan penuh kekerasan menandakan ketidakmampuan penguasa melakukan negosiasi dengan masyarakat sipil sehingga bertindak otoriter. Dengan begitu masyarakat setempat menjadi entitas yang tak berdaya karena ia harus berhadapan dengan tiga kekuatan yang mempunyai daya tekan amat kuat, yaitu pemerintah, pengusaha dan militer (Budiardjo C., & Liem S. L., 1988). Hal ini menunjukkan bahwa setiap bentuk perlawanan penduduk terhadap usaha perkebunan kelapa sawit, maka akibatnya selalu akan berhadapan dengan apara keamaman. Kisah Roni Fatagur dari Desa PIR V. Roni yang pernah ditahan aparat keamanan karena mencoba melarang perusahaan membuka hutan di daerahnya pada masa-masa awal perusahaan bergiat membuka lahan perkebunan kelapa sawit walaupun kemudian ia dikembalikan ke rumahnya oleh seorang anggota polisi memperlihatkan bahwa, aparat keamanan selalu dipakai sebagai alat pemukul penguasa. Kisah lain penduduk yang mengalami tekanan luar biasa di Workwana dan sekitarnya terungkap juga melalui pengalaman yang diungkapkan oleh jururawat Dimara (KdK.No. 27/Th. V, Desember 1987), seorang petugas kesehatan, yang dimuat dalam buletin Kabar dari Kampung. Kedua, Stigma Separatis. Situasi sosial politik di Papua antara tahun 1969 sampai tahun 1980-an, boleh dikatakan tidak menguntungkan bagi orang Papua pada umumnya. Pengalaman tersebut juga dirasakan oleh orang Keerom yang berada di wilayah perbatasan bagian utara Papua. Karena ketika itu gerakan-gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) berdampak signifikan bagi penduduk baik di kota-kota maupun di kampung-kampung. Akibatnya secara sosial politik penduduk selalu dicurigai dan dituduh dengan stigma sebagai bagian dari OPM. Pengalaman seorang petani kelapa sawit di Workwana bernama Thomas Wenda memperlihatkan betapa kuat stigma OPM menyudutkan seseorang atau sekelompok orang. Ia dituduh oleh aparat keamanan sebagai bagian dari OPM karena memiliki marga yang sama dengan tokoh OPM Mathias Wenda yang hidup di sekitar perbatasan. Kecurigaan pihak keamanan membuat Thomas Wenda ketakutan dan memutuskan untuk keluar dari desa atau Kampung Workwana. Namun setelah diklarifikasi melalui Bapak 288 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

Lamber Welip di Pos Keamanan Kali Tami, Thomas Wenda mengurungkan niatnya pulang kampung. Dengan demikian dapat dikatakan strategi pendekatan stigma membuat penduduk selalu berada pada posisi tawar yang sangat lemah bahkan tak berdaya. Ketiga, penghilangan pusat Livelihood penduduk (deforestasi). Dari Gambar 5.2 tentang Denah Kampung Workwana pada Bab 5, dalam tulisan ini terlihat jelas bahwa Kampung Workwana nyaris dikelilingi oleh kebun kelapa sawit. Fenomena ini menunjukkan bahwa Workwana sedang dikepung oleh kelapa sawit dan dengan demikain kehilangan hutan tempat penduduk mencari nafkah. Sehingga penduduk tidak mempunyai pilihan lain untuk berusaha mencari nafkah karena kehilangan pusat Livelihood susbsisten. Kondisi ini tentu berdampak pada kehidupan ekonomi rumah tangga dan aspek kehidupan lainnya. Proses deforestasi berlangsung terhadap hak ulayat hutan penduduk terjadi setelah pemerintah mengeluarkan berbagai izin usaha bukan saja untuk pengembangan kelapa sawit di daerah tetapi juga izin Hak Penguasaan Hutan (HPH) kepada para investor dari luar Papua. Dampaknya ialah pohon kayu ditebang dan hutan menjadi gundul, ribuan bahkan jutaan kubik kayu keluar dari Kabupaten Keerom untuk diekspor. Proses deforestasi masih terus berlangsung hingga saat ini, terlihat dari setiap hari lebih dari 30 truk bermuatan kayu olahan melintas dari Keerom ke Kota . Deforestasi juga berdampak bagi penduduk karena membuat penduduk kehilangan berbagai sumber daya penghidupan, seperti bahan makanan berupa hewan dan tumbuh-tumbuhan serta berbagai jenis kayu untuk keperluan rumah tangga. Keadaan ini membuat penduduk semakin tak berdaya menghadapi berbagai bentuk kegiatan yang bersifat eksploitatif di kampung dan di sekitarnya. Keempat, janji-janji yang tidak pernah dipenuhi. Dikatakan oleh beberapa tokoh masyarakat setempat bahwa tanah ulayat penduduk diambil perusahaan dengan janji-janji yang menggiurkan. Dikatakan bahwa perusahaan akan membuat masyarakat hidup sejahtera, akan dibuatkan rumah sehat, anak sekolah akan dibiayai sampai ke perguruan tinggi, penduduk kampung akan dijadikan

289 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua karyawan perusahaan, rumah-rumah penduduk akan dipasang listrik, akan disediakan air bersih sampai di rumah-rumah dan akan disediakan mobil untuk melayani masyarakat. Karena tergiur oleh bujukan tersebut secara perlahan tapi pasti, lahan-lahan penduduk dilepas kepada perusahaan sehingga warga setempat kehilangan tempat mencari nafkah di hutan. Janji-janji manis itupun tak pernah diwujudkan dan hanya menyisahkan penyesalan yang luar biasa bagi penduduk. Menurut orang kampung, berbagai infrastruktur yang sekarang ada dan berkembang di Workwana bukan hasil usaha PTPN II tetapi merupakan usaha masyarakat dan dukungan pemerintah daerah. Padahal orang Workwana sama seperti orang Papua lainnya, memahami konsep janji sebagai sebuah prinsip pertukaran atau exchange, bersifat resiprokal, timbal balik yang seimbang antara apa yang diberi dan apa yang diterima (Bdk. Whiteman, 1984; Mantovani, 1993; Alua, 2004). Karena itu sejumlah tokoh adat dan masyatakat menyatakan, kegiatan-kegiatan ini merupakan bentuk penipuan terhadap penduduk. Kelima, harga sawit yang tidak menentu. Menurut Thomas Lobai, pendamping petani kelapa sawit di wilayah Distrik Arso, dilakukan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Menurut Thomas, harga kelapa sawit biasanya mengikuti harga mata uang dolar Amerika, bila dolar menguat harga sawit tinggi. Namun Ia mencurigai dan menyatakan kemungkinan ada oknum-oknum tertentu berperan mempermainkan harga kelapa sawit tersebut. Harga kelapa sawit yang terus merosot di wilayah ini membuat penduduk tidak tertarik untuk melanjutkan usaha tersebut sehingga terjadilah penjualan lahan dan mengontrakan lahan. Hal ini membuat penduduk semakin tak berdaya, karena tidak memiliki lahan usaha dan bergantung pada hasil kontrak dan jual lahan yang jumlahnya amat terbatas. Keenam, kehadiran transmigrasi umum dan PIR, para pencari kerja dari luar, pedagang dan penduduk lainnya dengan berbagai latar belakang profesi mempunyai dampak yang besar pada penduduk setempat. Program transmigrasi yang diharapakan mempercepat proses

290 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action alih pengetahuan dan transfer budaya di bidang pertanian, teknologi dan ekonomi serta berbagai pengetahuan lain yang diharapkan mendukung proses pembangunan di daerah, tidak serta merta terjadi seperti orang membalik telepak tangan. Studi Dale dan Djonga (2011) di Kabupaten Keerom tentang hak-hak sosial, budaya dan ekonomi penduduk asli menunjukkan adanya fenomena terabaikan dan terpinggirkannya penduduk asli setempat di seluruh wilayah Kabupaten Keerom, termasuk di Workwana dan Arsokota karena didominasi para transmigran dan generasi keduanya, pencari kerja dari luar, pedagang dan lain-lain. Keterpinggiran tersebut berkaitan dengan kegiatan ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, infrastruktur dan lain-lain. Memang harus diakui pula bahwa terdapat kontribusi signifikan dari kelompok-kelompok yang disebutkan di atas dalam seluruh proses pembangunan daerah di Kabupaten Keerom seccara keseluruhan, khususnya di distrik-distrik dan kampung- kampung. Namun keterpinggiran tersebut dapat dikatakan terjadi karena adanya persaingan di aspek modal manusia, modal usaha, modal pengetahuan, modal institusi publik (Sachs, 2005). Modal-modal yang diharapkan ada ternyata tidak mendukung penduduk setempat sehingga membuatnya kalah bersaing dengan kelompok-kelompok lain yang datang di daerah Arso khusunya dan daerah Keerom pada umumnya. Dari segi usaha atau kegiatan ekonomi misalnya, dapat dilihat setiap sore hari di pasar Workwana pada Gambar 3.3 dan 3.4 pada Bab 3 tulisan ini. Gambar tersebut menunjukkan kesenjangan yang besar antara para penjual orang asli Workwana dan penjual- penjual pendatang dari PIR 1 dan PIR 2 dan sebagainya dilihat dari segi barang jualan dan modal yang digunakan. Penjual asal Kampung Workwana umumnya hanya menjual sayur, pinang dan ubi-ubian. Artinya, modal-modal yang dipunyai golongan penduduk pendatang berdampak pada kapabilitas yang lebih unggul untuk menguasai aset- aset daripada penduduk setempat. Gejala kalah bersaing juga terlihat dari ketidakmampuan sejumlah penduduk setempat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga terpaksa harus berutang baik terhadap pedagang pendatang maupun penjual orang Workwana. Selanjutnya

291 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua akan dianalisis dan direflesikan keadaan orang Workwana dalam perspektif Livelihood. Dengan melihat fenomena keterpinggiran di atas harus dikatakan bahwa pendekatan pembangunan yang mengandalkan pertumbuhan melalui industri perkebunan kelapa sawit seperti yang terjadi di wilayah Distrik Arso khususnya di Kampung Workwana, ternyata berkontribusi menghasilkan kesenjangan hidup bahkan terjadi keterpinggiran penduduk asli dalam berbagai aspek kehidupan. Seorang informan di Workwana menyatakan kelapa sawit telah menyebabkan banyak anak kampung putus sekolah dan menikah di usia muda yang menyebakan mereka menjadi penganggur di kampung. Setelah Kabupaten Keerom berdiri, banyak dari antara kaum muda tersebut mulai berpikir dan menyadari pentingnya pendidikan sekolah serta ijazah dan dampaknya bagi pekerjaan dan hidup. Pengalaman keterpinggiran bukan hanya terjadi di Workwana dan Arsokota tetapi terjadi juga di berbagai kampung di wilayah Kabupaten Keerom (Ansaka dkk., 2009; Dale dan Djonga, 2011), bahkan terjadi pula di seantero Papua (Suebu, 2007& Widjoyo M.S. dkk., 2009; Ansaka, dkk., 2009; Tebay, 2012; Enembe, 2016). Ketujuh. Pengalaman-pengalaman yang meminggirkan orang Workwana dan penduduk sekitarnya melalui pendekatan-pendekatan manipulatif perusahaan dan pemerintah ketika itu, tidak hanya menimbulkan konflik tetapi berujung pada sikap resistensi penduduk sebagai suatu collective action yang menjadi gerakan moral sosial penduduk menolak perusahaan kelapa sawit di daerah ini.

Strategi Coping Orang Workwana Urusan pengolahan kebun kelapa sawit sudah ditinggalkan dan diserahkan kepada pihak lain. Tetapi urusan livelihood harus berlangsung terus karena masih ada generasi berikut. Selain itu sebenarnya terdapat world view orang Papua sebagai bagian dari orang Melanesia yang berpikir, hidup harus terus berlangsung, hidup harus dilindungi, hidup harus dirayakan atau dinikmati (Mantovani, 1991 & 292 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action

Alua, 2004). Prinsip ini sejalan dengan paradigma Sustainable Livelihood. Selanjutnya, bagian ini merupakan suatu penjelasan tentang fenomena kekompok masyarakat dilihat dari perspektif Sustainable Livelihood yang sedang berinisiatif memperjuangkan nasib keluarga dan dirinya untuk masa depan yang lebih baik. Kelompok-kelompok Orang Workwana Sebelum membahas lebih jauh tentang strategi kelompok- kelompok dalam mengembangkan Livelihood-nya secara berkelanjutan, penulis ingin membedakan masyarakat Workwana menurut cara mereka menanggapi dampak transformasi sosial di kampung halamannya. Kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok kaum tua, kelompok perempuan, kelompok terdidik dan kelompok tunakarya atau tunaskil. Pertama, kelompok kaum tua dan dewasa. Kelompok kaum tua ini pada umumnya terdiri dari kaum laki-laki di kampung yang dari sisi Livelihood sehari-hari bergumul dengan aktivitas subsisten. Kelompok ini masih berpegang pada tradisi setempat, beraktivtas melalui kegiatan-kegiatan subsistensi di wilayah yang memungkinkannya bergiat mempertahankan hidupnya. Kelompok ini juga termasuk orang-orang yang berjuang mengelola kebun kelapa sawit 32 tahun lalu dan mengalami masa-masa sulit di awal-awal perubahan dan perkembangan daerah ini. Menurut informasi penduduk, sebagian besar dari kelompok ini telah meninggal dunia. Namun dari antara kaum tua yang ada, beberapa orang direkrut menjadi karyawan perusahaan sebagai siasat melibatkan penduduk setempat sekaligus sebagai simbol kerja sama dan pengakuan masyarakat terhadap perusahaan. Kedua, kelompok perempuan Workwana. Kelompok ini ternyata merupakan kelompok potensial yang berinisiatif mencari jalan terhadap kemandekan Livelihood keluarga di kampungnya. Salah satu prinsip yang dikemukakan kelompok ini kepada penulis ialah adanya semangat untuk berjuang yakni, “kalau kita berusaha pasti bisa”. Kelompok paruh baya ini masih tetap semangat berusaha menanggulangi persoalan tekanan hidup di kampung agar keluarganya dapat terus bertahan dalam semangat Sustainable Livelihood. Beberapa 293 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua kegiatan yang dilakukan seperti sudah diungkapkan terlebih dahulu ialah berjualan di pasar Workwana setiap sore hari, mengusahakan kios dan memelihara ternak di kampung. Dari pengamatan selama penelitian, pada sore hari di pasar terlihat dengan jelas selain ibu-ibu paruh baya terdapat juga perempuan-perempuan muda Workwana berjualan di pasar. Menurut kelompok ini, berjualan di pasar bermanfaat karena di tempat tersebut ada peluang, barang jualan dibeli orang dan dengan demikian mereka mendapat uang yang dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga termasuk membiayai anak sekolah. Selain kegiatan berjualan, terdapat pula sejumlah perempuan muda dan dewasa bergiat sebagai buruh tani di perkebunan kelapa sawit di Distrik Arso Timur yang diurus oleh perusahaan Rajawali. Berkaitan dengan permasalahan hak-hak atas hutan dan tanah yang terus dipersoalkan masyarakat, menurut kaum perempuan di sini,hal tersebut merupakan urusan bapak-bapak dan kaum lelaki. Ketiga, kelompok terdidik atau berpendidikan. Kelompok ini pada umumnya terdiri dari golongan muda potensial yang berpendidikan sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Kelompok ini bergiat dalam berbagai profesi sesuai dengan perkembangan daerah dan peluang yang ada di Kabupaten Keerom. Terdapat 17 orang, bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pemda Keerom. Bahkan salah orang putra Workwana merupakan dosen di sebauh perguruan tinggi negeri di Provinsi Papua Barat. Mereka ini pada umumnya mempunyai posisi-posisi yang baik di Pemda Keerom. Ada pula yang bergiat di bidang politik, 1 orang menjadi anggota legislatif Kabupaten Keerom dan ada pula yang aktif sebagai pegawai swasta di beberapa lembaga swasta. Selain itu terdapat pula 5 orang yang berprofesi sebagai pengusaha. Kelompok muda berpendidikan ini juga menjadi kelompok yang ikut prihatin dengan situasi daerah, kampungnya dan masyarakat adat terkait perjuangan warga masyarakat baik di Workwana maupun Arsokota yang terus menuntut hak atas tanah-tanah yang digunakan sebagai perkebunan sawit. Hal tersebut menjadi keprihatinan mereka juga karena masalah hak ulayat berkaitan dengan aset-aset Livelihood orangtua, marga, keluarga dan masa depan suku atau keretnya. Jadi baik kelompok tua maupun kelompok muda terdidik sama-sama menyadari betapa

294 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action penting suatu lingkungan hidup berkelanjutan (environmental sustainability) agar sebagai suatu entitas masyarakat terjadi pula kehidupan sosial yang berkelanjutan (social sustainability) sebagai unsur-unsur penting Sustainable Livelihood. Keempat, kelompok tunakarya. Kelompok ini pada umumnya terdiri anak-anak muda yang tidak bersekolah dan putus sekolah. Kelompok ini pada umumnya tidak mempunyai keterampilan khusus seperti orangtua mereka sehingga tidak melanjutkan lagi aktivitas hidup subsisten. Menurut penuturan informan yang ditemui di Kampung Workwana, kelompok ini pada umumnya tidak bergiat secara subsisten karena mereka tidak dibiasakan berburu binatang dan melakukan kegiatan subsisten lainnya sehingga tidak punya pengalaman seperti orangtua mereka. Pengalaman seperti orangtua mereka juga tidak diturunkan kepada kaum muda karena tempat-tempat sumber Livelihood untuk melakukan aktivitas subsistensi tidak ada lagi. Oleh karena itu mereka memilih bergiat sebagai tukang ojek, penunggu pos adat yang menerima setoran dari mobil pengangkut kayu olahan dari berbagai tempat yang melintas di depan Kampung Workwana dan kegiatan- kegiatan spontan lain yang dibutuhkan masyarakat. Menurut sekretaris kampung, kelompok ini juga biasanya melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu yang diberikan oleh pemerintah kampung seperti memperbaiki pagar atau memperbaiki rumah warga. Selain itu karena tanpa keterampilan nampaknya kelompok ini tampil sebagai kelompok tunakarya yang rentan dipengaruhi dengan minuman keras (miras) oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengganggu suasana dan ketenangan masyarakat di kampung. Strategi Sustainable Livelihood Orang Workwana Ada berbagai strategi yang ditawarkan dalam mengembangkan Sustainable Livelihood oleh para penggagas perspektif Livelihood. Strategi tersebut ingin dilihat dalam pengalaman orang Workwana. Chambers & Conway, misalnya, menawarkan beberapa strategi campuran termasuk memanfaatan kebiasaan masyarakat yang produktif dalam melakukan berbagai usaha. UNDP, menawarkan strategi adaptasi dengan pendekatan ekonomi yang efektif. Butler & 295 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Mazur mengusulkan melakukan diversifikasi Livelihood agar food security terjamin. Dan Henk mengedapankan aspek security sesuai dengan apa yang dapat dilakukan untuk menjamin kelangsungan hidup, sedangkan Ian Scoones menawarkan selain diversifikasi ada juga intensifikasi dan ekstensifikasi serta migrasi. Sementara itu Saragih dkk, menekankan strategi manajemen yang integratif yang pada umumnya digunakan dalam Sustainable Livelihood dengan memperhatikan hubungan antara unsur-unsur mikro dan makro dalam masyarakat secara berkelanjutan sehingga Sustainable Livelihood tetap berlangsung. Nampaknya setiap situasi dan konteks yang berbeda mempunyai strategi yang berbeda pula di samping strategi yang umumnya dapat digunakan sebagai strategi Sustainable Livelihood. Studi kasus di Workwana menunjukkan, strategi yang digunakan masyarakat untuk menjawab permasalahan Sustainable Livelihood sebagai berikut. Dari tawaran-tawaran strategi Sustainable Livelihood yang disebut Chambers dan Conway serta penggagas strategi lainnya, dalam studi kasus di Workwana terlihat ada dua strategi utama yang dilakukan masyarakat atau penduduk untuk menghadapi tekanan dan goncangan hidup. Strategi-strategi tersebut dapat dikategorikan dalam dua jenis strategi. Pertama, ada strategi resistensi sebagai gerakan moral sosial penduduk yang dilakukan oleh kelompok otoritas adat dan penduduk lainnya. Kedua, ada pula strategi coping (coping strategy) yang dilakukan kaum perempuan dan kelompok berpendidikan atau terdidik dan kelompok muda tunakarya. Pertama, strategi resistensi moral sosial berjejaring. Strategi ini merupakan suatu perjuangan yang berhubungan langsung dengan hak- hak penduduk atau masyarakat di Workwana dan sekitarnya. Dari hasil studi kasus jelas terlihat bahwa penduduk setempat tidak berjuang sendiri tapi mereka melakukan perjuangan berjejaring dengan berbagai pihak sebagai suatu pergerakan moral sosial bersama masyarakat. Strategi ini dijalankan masyarakat adat di wilayah Distrik Arso yang terdiri dari penduduk Kampung Arsokota, Kampung Workwana dan beberapa kampung di sekitarnya, lembaga hukum perguruan tinggi dan swasta, Komnas HAM serta pihak Gereja Katolik. Kedua, strategi coping. Strategi ini pada umumnya dilakukan secara beragam oleh 296 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action kelompok-kelompok yang berbeda dari Kampung Workwana untuk menanggulangi masalah tekanan dan goncangan hidup rumah tangga akibat terputusnya usaha-usaha penduduk membangun Sustainbale Livelihood melalui kebun kelapa sawit. Strategi coping di Workwana dikembangkan bervariasi dan dilakukan oleh kelompok-kelompok, seperti kelompok perempuan, kelompok berpendidikan dan kekompok kaum muda tunakarya. Oleh karena studi kasus ini menggunakan juga pendekatan studi fenomenologi maka dari fenomena-fenomena yang mencuat berkaitan dengan perjuangan Sustainable Livelihood penduduk perlu dicari arti atau makna serta peran dan fungsi dari usaha-usaha tersebut. Pertama, strategi resistensi. Strategi ini berisikan bentuk- bentuk tuntutan terkait dengan batas waktu penggunaan tanah ulayat penduduk, perlakukan yang adil dalam imbal beli tanah masyarakat dihubungkan dengan identitas lokal, identitas marga atau keret dan suku. Resistensi ini dilakukan secara berjejaring dengan cara membuat pengaduan-pengaduan dan gugatan hukum melalui Lembaga Bantuan Hukum Universitas Cenderawsih Jayapura, Komnas HAM Perwakilan Papua yang difasilitasi oleh SKP Jayapura secara berjenjang sampai ke pusat di Jakarta. Kedua, resistensi moral sosial ini merupakan bentuk penolakan terhadap kesewenang-wenangan negara dan korporasi besar yang telah memperalat aparat keamaman untuk membungkam masyarakat dan memperdayakan penduduk asli setempat agar dapat memenuhi program pembangunan BUMN atas nama pembangunan nasional. Dengan demikian resistensi merupakan strategi masyarakat mendorong penguasa atau pemerintah mengakui hak komunitas masyarakat adat di wilayahnya. Sikap resistensi ini telah diperjuangkan sampai ke Jakarta melalui DPR RI di Jakarta bahkan telah disampaikan pula kepada Presiden (SBY) ketika itu. Ketiga, resistensi moral sosial sebagai sebuah usaha memperjuangkan kembali hak-hak dan aset-aset sebagai unsur pokok Sustainable Livelihood yang menjamin kesejahteraan dan masa depan generasi yang akan datang. Masalah yang ditemui di sini antara lain seperti

297 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua dikutip Malak (2005), tentang pernyataan Gibb dan Bromley, bahwa ada tiga jenis klaim terhadap tanah yaitu, klaim negara, klaim pribadi dan klaim komunal masyarakat adat sebagai pemilik tanah (Wenehen, 2005). Yang lebih rumit lagi menurut Marti Serge (2008), ada beberapa regulasi yang tidak pro rakyat, misalnya UU No.5/1999 tentang Hak Guna Usaha (HGU) kepada seseorang atau badan hukum tidak bisa diklaim masyarakat lokal atas izin negara terhadap HGU tersebut yang sebelumnya merupakan tanah komunal. Selain itu UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan mengizinkan penggunaan lahan selama 35 tahun dan dapat diperpanjang 3 kali sehingga mencapai 120 tahun. Kemudian UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, menempatkan hak-hak investor di atas hak-hak masyarakat untuk memperpanjang HGU awal 60 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 35 tahu. Menurut Marti, regulasi-regulasi ini berlaku untuk konsesi pertambangan, perkebunan, industri bubur kertas dan penebangan kayu. Artinya regulasi-regulasi ini memperumit tuntutan masyarakat atau penduduk lokal karena tidak pro rakyat tetapi pro penguasa dan korporasi besar dan pemodal besar. Maka dilihat dari azas keadilan dan prinsip etika pembangunan yang menjadi prinsip Sustainable Livelihood terkait hak-hak rakyat di bidang sosial, budaya dan ekonomi, regulasi-regulasi yang tidak pro-rakyat perlu dikaji lagi karena ternyata dapat mendorong atau menggiring masyarakat khususnya penduduk lokal masuk ke dalam perangkap kemiskinan, hidup tanpa modal-modal atau tangible asset yang seharusnya ada untuk hidup (Scoones, 1998; Krantz, 2001; Sachs, 2005). Jadi strategi ini dilakukan karena sebenarnya masyarakat setempat sedang berada dalam keadaan yang disebut oleh Ferguson dan Muray (2001) serta Morse & McMara, (2013) sebagai vulnerability context. Vulnerabilty context dalam studi kasus ini ditandai oleh keadaan ketersingkiran dan krisis-krisis, seperti yang telah disebutkan terlebih dahulu. Kedua, Strategi Coping. Sebagaimana dijelaskan di atas, strategi ini pada umumnya dilakukan oleh penduduk Kampung Workwana dengan beragam usaha kegiatan untuk menanggulangi masalah tekanan dan goncangan hidup rumah tangga akibat terputusnya usaha- usaha penduduk membangun Sustainable Livelihood melalui kebun 298 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action kelapa sawit. Strategi Sustainable Livelihood yang dikembangkan bervariasi dan dilakukan juga oleh berbagai kelompok seperti kelompok perempuan, kelompok berpendidikan dan kekompok muda tunakarya dengan cara: Satu, memanfaatkan human capital. Ternyata krisis yang terjadi tidak membuat semua orang di Workwana putus asa dan hilang akal. Situasi yang ada justru menyadarkan kelompok- kelompok seperti kaum perempuan, kaum terdidik dan berpendidikan banting stir, menangkap peluang yang ada, beruhasa membangun Sustainable Livelihood dengan berbagai cara. Demikian pula golongan muda putus sekolah, tunakarya yang minim keterampilan berupaya memanfaatkan berbagai kemungkinan yang dapat dilakukannya untuk membangun hidup sesuai dengan kapabilitasnya sebagai orang muda. Dua, terbebaskan dari perangkap kemiskinan. Usaha mengembangkan Sustainable Livelihood tentunya memberi pesan bahwa penduduk setempat tidak ingin terjebak dalam perangkap kemiskinan karena sedang berada dalam vulnerability context, sebagaimana pada umumnya terjadi ketika Livelihood penduduk hilang. Karena dalam keadaan demikian diandaikan semua modal-modal atau aset-aset yang dipunyai penduduk turut hilang padahal sesungguhnya yang tersisa ialah intangible assets yang merupakan modal manusia yang penting. Memang bila dlihat dari ungkapan penduduk ketika diwawancarai saat penelitian berlangsung dikatakan bahwa saat ini mereka tidak memegang uang lagi seperti masa-masa awal panen kelapa sawi di Workwana tapi dapat dilihat dari apa yang diusahakan, ternyata penduduk setempat mempunyai human capital yang dapat difungsikan dalam menanggulangi tantangan dan tekanan hidup yang dialami. Tiga, akibat proses interaksi sosial dengan penduduk lain khususnya kaum pendatang atau transmigran terjadi proses belajar bersama bagaimana mengembangkan diversifikasi Livelihood untuk menangkal dan menanggulangi permasalahan Sustainable Livelihood. Empat, kelompok perempuan menangkap peluang ekonomi melalui pasar dan usaha keluarga yang dapat dilakukan di rumah. Sedangkan kaum berpendidikan melihat peluang lain sesuai dengan perkembangan daerah untuk berprofesi sebagai pegawai negeri, pengusaha atau politisi. Sedangkan kelompok muda tunakarya memanfaatkan apa yang

299 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua bisa dilakukan bila peluang-peluang yang ada tidak menuntut keterampilan-keterampilan khusus. Fenomena yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa di satu sisi hak-hak masyarakat setempat tetap perlu diperjuangkan dan diatur kembali, imbal beli melalui penyerahan aset-aset berupa hutan, tanah dan segala kekayaan alam yang ada di atasnya hendaknya diproses dan ditata kembali agar mengandung unsur-unsur keadilan dan kepantasan bagi penduduk. Karena menurut penduduk setempat ketidakadilan dan ketidakpantasan dalam transaksi imbal beli aset-aset Sustainable Livelihood telah menciptakan vulnerability context (Morse & McMara, 2013) yang dapat mengekalkan kerentanan serta kemiskinan baik pada aras individu dan lingkungannya maupun pada konteks yang lebih luas yakni masyarakat di wilayah Keerom. Usaha memperjuangkan Livelihood berkelanjutan, dilakukan bersama-sama penduduk di Workwana, dan orang Arsokota serta penduduk kampung-kampung sekitarnya sebagai masyarakat adat Arso. Oleh karena itu usaha tersebut ingin dianalisa dan direflesksi dalam perspektif collective action. Perjuangan Sustainable Livelihood Sebagai Collective Action Studi ini menunjukkan pula bahwa usaha atau perjuangan mempertahankan Sustainable Livelihood, tidak dilalukan secara individual tetapi dilakukan secara berkelompok. Karena itu seluruh tindakan resistensi penduduk setempat dapat dikatakan sebagai collective action karena resistensi menyatukan penduduk Workwana, Kampung tetangga Arsokota dan beberapa warga kampung lainnya di Distrik Arso. Jadi collective action penduduk ini sesungguhnya mengandung makna sebuah perjuangan demiki kepentingan bersama orang-orang Arso sebagai masyarakat adat. Dengan demikian resistensi penduduk di daerah ini dilihat sebagai collective action (tindakan kolektif) karena diorganisir oleh kelompok masyarakat adat. Menurut Olson (2002), collective action biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok yang terorganisasi sesuai dengan interes kelompok. Kelompok terorganisasi Olson berbeda 300 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action dengan kelompok masyarakat adat Arso. Kelompok terorganisasi yang dibahas Olson berlatarbelakang kepentingan ekonomi dalam lingkungan masyarakat industri yakni kelompok buruh. Sedangakan kelompok terorganisasi dalam studi ini merupakan gerakan sosial yang ditandai oleh colletive action di bawah payung masyarakat adat yang memperjuangkan kepentigan hak-hak adat tanah ulayat. Namun kesamaannya ialah tindakan kelompok-kelompok terorganisasi tersebut termasuk masyarakat adat di Workwana dan kampung sekitarnya disebut sebagai colletive action karena terfokus pada perjuangan kepentingan kelompok. Collective action orang Workwana dan sekitarnya merupakan sebuah gerakan moral sosial masyarakat, tidak berlangsung atas nama kelompok kampung tetapi atas nama masyarakat adat Arso. Karena itu bentuk resistensi ini merupakan collective action, seperti disebut Vanni (2014) sebagai sebuah kerjasama yang muncul dari masyarakat bawah yang berjejaring. Collective action di Workwana dan sekitarnya dapat dikatakan berjejaring karena merupakan gerakan masyarakat adat yang disebut masyarakat adat Arso, terdiri dari penduduk kampung-kampung di Distrik Arso yang muncul dari bawah, yakni dari kalangan masyarakat setempat. Menurut Vanni, collective action yang berjejaring merupakan social capital masyarakat. Dengan demikian collective action orang Workwana dan sekitarnya bila dilihat dari peranan dan tujuan kelompok sebagaimana dijelaskan oleh Schutz dan Sandy (2011), ingin mencapaiu tujuan tertentu. Kasus collective action masyarakat adat di Arso bertujuan ingin memengaruhi pemerintah dan perusahaan untuk mengembalikan hak-hak masyarakat atas hutan dan tanah yang digunakan baik sebagai perkebunan kelapa sawit. Salah satu taktik collective action yang terakhir digunakan oleh kelompok masyarakat adat tersebut pada akhir tahun 2016 ialah melakukan upacara adat peruhasaan menutup aktivitas perkebunan. Perjuangan penduduk tidak berhenti di situ karena dalam perspektif sustainable livelihood ada berbagai strategi yang dapat dilakukan agar terjadi penguatan kapasiltas dan kapabilitas penduduk. Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan ialah adanya program pemberdayaan. 301 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

Pemberdayaan: Strategi Sustainable Livelihood Pemberdayaan sebagai strategi sustainable livelihood yang dibahas di sini berkaitkan dengan perjuangan orang Workwana agar tetap eksis menghadapi berbagai tekanan dan goncangan hidup. Perkebunan industri kelapa sawit sebagai sistem ekonomi pasar yang kapitalistik masuk dalam kehidupan masyarakat asli di kampung Workwana Distrik Arso Kabupaten Keerom sebagai sistem livelihood atau bentuk penghidupan baru. Sistem livelihood baru tersebut mengandaikan adanya kapabilitas penduduk yang sesuai dengan tuntutan sistem usaha yang baru pula. Diakui atau tidak pendekatan tersebut telah menyingkirkan livelihood masyarakat setempat dengan segala kapabilitas, aset dan aktivitas untuk membangun kehidupannya secara berkelanjutan dan bermakna baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan kata lain, hilangnya semua aset yang dimiliki masyarakat karena alihfungsi dan alihkepemilikan berdampak pada livelihood penduduk setempat. Tersingkirnya livelihood berarti pula tersingkir dan terabaikannya nilai-nilai eksistensial dalam world view masyarakat (Geertz, 1973; Mantovani, 1998; Alua, 2004). Dalam studi tentang kehidupan penduduk asli di kampung Workwana Distrik Arso menunjukkan tersingkirnya livelihood setempat identik dengan tersingkirnya nilai-nilai dasar yang ada dalam world view setempat seperti, community, life, relations, exchange (Ennio Mantovani, 1993). Tersingkirnya livelihood setempat berarti pula hilangnya kapabilitas masyarakat untuk mengaktualisasikan diri sebagaimana mestinyta. Ketiadaan kapabilitas dalam diri seseorang menimbulkan apa yang disebut Sen (2000) sebagai bentuk deprivasi. Dengan demikian, tersingkirnya livelihood dapat mengakibatkan muncunya vulnerability context kemiskinan atau deprivasi penduduk setempat karena hilangnya berbagai capital yang dimilikinya (Krantz, 2001;Sachs, 2005). Tersingkirnya livelihood mengindikasikan terjadi pula proses eksklusi sosial (social exclusion) masyarakat. Social exclusion (eksklusi sosial), menunjukkan adanya situasi eksploitasi, penetrasi, fragmentasi dan marjinalisasi yang menyebabkan masyarakat tidak eksis sebagaimana mestinya. Social exclusion merupakan suatu proses di 302 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action mana individu atau komunitas masyarakat secara sistemik dihalangi hak-hak, peluang dan sumber-sumber (seperti perumahan, pekerjaan, pemeliharaan kesehatan, hak-hak sebagai warga negara, partisipasi politik, proses-proses lain yang seharusnya dijalani) yang pada umumnya ada dalam kehidupan warga dan yang merupakan unsur penting bagi integrasi sosial masyarakat. Adolfo Figuerros dalam tulisannya berjudul Social Exclusion and Rural Underdevelopment (1999) menjelaskan, secara teoritis ada tiga tipe aset yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi dan perubahan sosial. Aset-aset yang dimaksud adalah aset ekonomi (tanah, modal fisik, modal uang dan modal manusia); aset politik (hak- hak yang tidak dapat diganggu gugat sebagai anggota masyarakat); dan aset budaya sebagai suatu sistem sosial yang menunjukkan karakteristik tertentu individu (bahasa, ras, seks, sistem keluarga, pendidikan, pekerjaan, agama dan asal daerah). Menurut Figuerros, aset ekonomi menunjukkan kepemilikan pribadi, aset politik dan kultural menunjukkan prestise seseorang, namun dapat menimbulkan stigma sosial yang memunculkan diskriminasi dan segregasi sosial. Berkaitan dengan keterbelakangan pembangunan pedesaan, Figuerros menyatakan pada umumnya keluarga petani pedesaan sebagai suatu unit kerja mempunyai tanah, modal fisik dan modal kerja yang terbatas. Akibatnya, petani tidak dapat menabung dan meningkatkan kapasitas diri bersumber pada modal-modal yang diperlukan sehingga secara ekonomi pasar, digolongkan sebagai unsur masyarakat miskin. Di sisi lain, kehidupan petani bisa berkembang sebab dunia kapitalis memungkinkan petani bekerja dengan teknologi sebagai ruang bagi petani setempat untuk mengadopsi inovasi-inovasi dan akan mempercepat pertumbuhan dengan menghasilkan barang-barang yang dapat dipasarkan. Namun, hal ini tidak terjadi di dunia ketiga dan bahkan petani mengalami stagnasi sehingga menimbulkan keterbelakangan. Selain itu, Glenn C. Loury (2000) dalam makalah, Social Exclusion and Ethnic Groups: The Challenge to Economics menjelaskan bahwa perlu melakukan apa yang disebut development affirmative action kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan kapabilitas dan akses sehingga masyarakat tersebut juga

303 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua mampu bersaing dengan orang lain. Pendekatan development affirmative action merupakan tindakan inklusi sosial (social inclusion) sebagai suatu tindakan afirmatif, yang mengganti keadaan dan kebiasaan yang mengarah ke eksklusi sosial. Loury mencatat rumusan Bank Dunia mengenai definisi inklusi sosial, sebagai proses perbaikan kemampuan dan keadaan yang merugikan manusia, sebagai peluang dan penghargaan terhadap identitas manusia untuk menempatkannya sebagai bagian di dalam masyarakat. Oleh karena itu development affirmative action bisa terjadi bila ada strategi proteksi baik secara politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum maupun bentuk-bentuk program dan aksi pemberdayaan masyarakat. Karena melalui pemberdayaan penduduk setempat dapat ditingkatkan kapabilitasnya sehingga ia mampu melakukan proses coping yang dapat membebaskannya dari kerentanan yang menjebaknya ke dalam perangkap kemiskinan. Untuk itu dibutuhkan cara-cara intervensi yang tepat sebagaimana disarankan oleh pendekatan sustainable livelihood, yang ciri-cirinya berpusat pada rakyat (people-centered), holistik, dinamis, membangun kapasitas dan kapabiitas lokal, memperhatikan hubungan makro dan mikro secara berkelanjutan. Melalui pendekatan-pendekatan yang berjejaring dengan fokus pada pengembangan ekonomi skala kecil dan peningkatan knowlwdge capital lainnya sehingga terjadi sebuah proses habitus antara berbagai kapital digambarkan oleh Bourdieu (1986) sebagai berikut. Proses habitus yang digambarkan Bourdieu diharapkan terjadi melalui proses berikut: economic capital dapat menjadi cultural capital, cultural capital menghasilkan social capital dan social capital dikembangkan sebagai economic capital penduduk setempat. Dengan demikian konteks situasi penduduk yang rentan dan dapat menjadikannya terjebak ke dalam kemiskinan dapat di atasi. Dalam konteks Workwana, rumahtanga-rumahtangga diharapkan bisa mengembangkan sustainable livelihood karena mempunyai kapabilitas atau sumber daya manusia (human capital). Pengembangan human capital antara lain berkaitan dengan penggunaan alat-alat teknologi sebagai pendukung berbagai kegiatan usaha dengan cara berjejaring,

304 Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action termasuk menabung, untuk membangun sustainable livelihood yang baru secara berkelanjutan. Pemberdayaan Rumah Tangga Seperti telah dijelaskan di atas visi pembangunan di Papua saat ini diarahkan baik berdasarkan visi pembangunan nasional maupun visi pembangunan daerah yang dielaborasi dalam konteks otonomi khusus Papua. Visi pembangunan Papua saat ini dirumuskan Enembe ialah, Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera (Enembe, 2015). Dengan visi tersebut, agenda utama pembangunan yang digagasi Enembe dalam masa kepemimpinannya terdiri dari pokok-pokok perhatian berikut. Pertama, bagaimana Orang Papua bisa berdiri tegak sesuai harkat dan martabatnya sebagai Orang Indonesia, berperan dalam berbagai sektor kehidupan yang dimulai dari kebangkitan individu, keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas. Kedua, bagaimana membangun kemandirian, bertitik tolak dari kemajuan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan Orang Papua, melalui perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan sumber daya alam secara bertanggungjawab. Menurut hemat penulis selain mengelola sumber daya alam secara bertanggungjawab, aspek pengembangan sumber daya manusia secara berkelanjutan merupakan conditio sine qua non dalam pembangunan. Maka untuk mewujudkan agenda pembangunan tersebut penulis memberi perhatian pada bentuk intervensi pembangunan berdasarkan studi kasus di Kampung Workwana sebagai berikut. Dari perspektif livelihood, penduduk setempat sendiri berperan sebagai pelaku yang melakukan penguatan kapabilitas dirinya. Artinya intervensi pemberdayaan pertama-tama hendaknya terjadi di dalam komunitas penduduk kampung dengan sasaran utama pada rumahtangga-rumahtangga. Gambar berikut merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan ketika proses pemberdayaan rumahtangga- rumahtangga dan kelompok-kelompok dilakukan. Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan, yang berperan memengaruhi kehidupan rumahtangga-rumahtangga di Workwana. Pertama, memahami kondisi riil penduduk yang mengalami krisis-krisis dan menjadikannya secara eksistensial tersingkir atau termarjinalisasi. Kedua menggunakan

305 TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua unsur-unsur pokok sustainable livelihood, berpuat pada penduduk, menggunakan modal manusia atau kapabilitas, kerja berjejaring, dengan aktivitas ekonomi skala kecil, memanfaatkan akses yang ada. Ketiga, dengan demikian penduduk diharapkan akan mampu melakukan coping secara berkelanjutan, sebagai penduduk yang mandiri sehingga terjadi diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi. Gambar di bawah ini menggambarkan alur pemberdayaan dimaksud.

Pemberdayaan • Keadaan penduduk •Coping termarjinalisasi berkelanjutan • Krisis-krisis •Kapabilitas • Diversifikasi, intensifikasi dan • Aset-aset dan akses •Modal manusia ekstensifikasi •Berjejaring •Aset dan akses •Aktivitas ekonomi Realitas skala kecil Sustainable Livelihood

Gambar 7.5 Proses Pemberdayaan: Diversifikasi Sustainable Livelihood Secara konkrit pemberdayaan tersebut dapat dilakukan melalui rumahtangga-rumahtangga di kampung agar terbentuk rumahtangga- rumahtangga madiri dan hidup lebih sejahtera. Pemberdayaan penduduk kampung dapat dilakukan oleh para pihak yang peduli dengan keadaan penduduk yang rentan terjebak dalam vulnerable context yang dapat memiskinkannya.

306