Candi Panataran: Candi Kerajaan Masa Majapahit

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Candi Panataran: Candi Kerajaan Masa Majapahit CANDI PANATARAN: CANDI KERAJAAN MASA MAJAPAHIT Hariani Santiko Abstrak. Candi Panataran adalah candi kerajaan (State Temple) Kerajaan Majapahit, didirikan di sebuah tanah yang berpotensi sakral karena di tempat itu terdapat prasasti Palah dari jaman Kadiri, berisi tentang pemujaan Bhatara ri Palah. Berdasarkan angka tahun yang ditemukan di kompleks candi, setidaknya Candi Panataran dipakai sejak pemerintahan Raja Jayanagara hingga Ratu Suhita. Pada jaman Majapahit, Candi Panataran adalah candi untuk memuja Paramasiwa yang disebut dengan berbagai nama, tattwa tertinggi dalam agama Siwasiddhanta. Bahkan ada kemungkinan sebuah Kadewaguruan (tempat pendidikan agama) dibangun di sekitar kompleks candi, tetapi dimana kepastian letaknya, belum jelas. Candi Panataran adalah “pusat spiritual” kerajaan Majapahit. Kata Kunci: Bhatara ri Palah, Parwatararajadewa, Trisamaya, Rabut Palah, Kadewaguruan, axis mundi Abstract. Panataran Temple was a state temple of the Majapahit Kingdom, which was built on a piece of land that had the potency to be sacred because there was an inscription, the Palah inscription, from the Kadiri period. The inscription is about devotion to Bhatara ri Palah. Based on a date found within the temple complex, it is assumed that at least the Panataran Temple was functioned since the reigning periods of King Jayanagara until Queen Suhita. During the Majapahit period, the Panataran Temple was a temple dedicated to Paramasiwa, who was known by various names, the highest tattwa in Siwasiddhanta religion. In fact, there is a possibility that a Kadewaguruan (centre of religious teachings) was built around the temple complex, but the exact location is yet to be found. The Panataran Temple was the “spiritual centre” of the Majapahit Kingdom. Keywords: Bhatara ri Palah, Parwatararajadewa, Trisamaya, Rabut Palah, Kadewaguruan, axis mundi 1. Keletakan, Usia, dan Nama Candi Kerajaan Kadiri, yaitu prasasti Palah dari tahun Kompleks Candi Panataran terletak 1197 Śaka yang dikeluarkan atas perintah raja di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Śṛṅga. Prasasti sekarang masih in-situ, berisi Kabupaten Blitar. Candi terletak di sekitar tentang hadiah sima untuk seseorang yang 13 km sebelah timur kota Blitar, dan berada bernama Mpu Iswara Mapanji Jagwata, yang di sebelah barat daya lereng Gunung Kelud, telah berjasa karena melakukan pūja setiap hari gunung berapi yang sangat aktif memuntahkan kepada Paduka Bhatara ri Palah (OJO LXXIV). lahar. Kompleks candi terbagi dalam 3 Keistimewaan Kompleks Candi halaman, halaman terpenting tempat candi Panataran, keistimewaan Candi Panataran induk didirikan adalah halaman ke-III atau terlihat pada ukuran kompleks candi yang halaman paling belakang. Ketiga halaman luas, dibangun di atas hamparan tanah seluas tersebut memperlihatkan ketinggian yang 12,946 m2 (Wahyudi 2005:36), di samping itu tidak sama, halaman III dahulunya lebih candi di bangun di atas tanah yang berpotensi tinggi permukaan tanahnya dari halaman II, sakral sejak jaman Kadiri. Dalam kompleks I. Namun karena lahar Gunung Kelud yang tersebut terdapat sebuah prasasti dari masa sering meletus, tinggi permukaan tanah ketiga 20 halaman hampir sama. Bahkan keletakan 2 antar keluarga kerajaan tetap berlanjut, oleh patung Dwarapala (penjaga pintu gerbang) karenanya Wikramawarddhana tidak mungkin Kompleks Panataran sekarang lebih rendah dari konsentrasi pada bidang kesenian. Di samping jalan di depan kompleks. Secara keseluruhan, pertentangan keluarga, wabah kelaparan pun candi menghadap ke barat, atau lebih tepatnya sedang terjadi di Majapahit (Noorduyn 1982: antara barat dan barat daya. Berbagai sisa sarana 208). ibadah yang ada di ketiga halaman tersebut, di Nama candi, dalam beberapa sumber tambah 2 buah pemandian suci (patīrthān), di tertulis yaitu kakawin Nāgarakṛtāgama, buat pada masa berbeda, berlangsung dalam Kidung Margasmara yang berasal dari tahun kurun waktu 257 tahun. 1380 Saka (1458 Masehi) dan naskah Sunda Usia Candi. Kebiasaan yang baik Kuna Bhujangga Manik yang diperkirakan pada jaman Majapahit ini adalah, seringkali berasal dari sekitar tahun 1500, ada beberapa mencantumkan angka tahun pendirian nama. Dalam Nāgarakṛtāgama disebut Palah suatu bangunan atau arca, hal yang belum (Nāgarakṛtāgama pupuh XVII, pupuh LXI:2, pernah terjadi pada masa sebelumnya. Raja pupuh LXXVIII:2). Sementara itu dalam Majapahit yang mulai membangun Candi Kidung Panji Margasmara (Robson 1979:310), Panataran adalah raja kedua Majapahit, yaitu dan dalam naskah Bhujangga Manik Raja Jayanagara (1309-1328), Kemudian (Noorduyn 1982:434), menyebutnya Rabut dilanjutkan oleh Ratu Tribhuwanotunggadewī Palah.1 Dalam Kidung Margasmara terdapat yang memerintah tahun 1328-1350, kemudian pula nama Panataran, namun menurut Rājasawarddhana dyah Hayam Wuruk tahun penelitian Deny Yudo Wahyudi, dengan 1350-1389, dan Suhitā yang memerintah tahun memperhatikan konteks dalam kalimatnya, 1400-1477 (Sumadio 1984:430-441). Sebagai “panataran” merupakan bagian dari Palah, contoh dua buah Dwarapala (penjaga pintu) bukan nama lain dari Palah. Kemungkinan gerbang masuk Kompleks Candi Panataran terkait dengan kata “natar” yang berarti berangka tahun 1242 Śaka (1320 Masehi), “halaman”, apabila benar maka “Rabut Palah” Candi Angka Tahun 1291 Śaka (1369 Masehi), dapat diduga merupakan penyebutan nama Dwarapala candi induk semuanya berangka sebuah kompleks percandian tempat upacara tahun 1239 Śaka (1347 Masehi) dan lain berlangsung yang berupa sebuah dataran, sebagainya. Berdasarkan angka tahun tersebut, sedangkan Panataran mungkin merupakan Candi Panataran dikaitkan dengan 4 orang nama dari salah satu bangunan sucinya yang raja, yaitu: paling besar (Wahyudi 2005:122). - Raja Jayanagara (1309 – 1328) Dugaan tersebut masuk akal, namun - Ratu Tribhuwanottungadewi (1328-1350) menurut pendapat penulis, “panataran” - Raja Hayam Wuruk (1350-1389) mungkin berasal dari kata “natar” yang berarti - Ratu Suhita (1400 – 1477) “halaman”, maka kata “panataran” berarti Angka tahun semasa pemerintahan seluruh halaman kompleks tempat aktivitas Raja Wikramawarddhana, ayah Ratu Suhita, agama, dan Rabut Palah adalah nama bangunan yang memerintah tahun 1389-1400, tidak sucinya? Bukankah dalam naskah Bhujangga ditemukan. Alasannya dapat penulis kaitkan Manik dikatakan: dengan pendapat N.J.Krom (1931:427, 430- ….Rabut Palah 432), yang mengungkapkan bahwa di Majapahit kabuyutan Majapahit ketika itu sedang terjadi krisis eksternal nu disēmbah ka na Jawa maupun internal. Perang saudara antara …………… Wikramawarddhana (keraton timur) melawan datang nu puja ngancana Wirabhumi dari Blambangan (keraton barat) nu nēmbah henteu pēgatna telah dimenangkan oleh Wikramawarddhana. nu ngidēran ti nagara2 (Noorduyn 1982:432). Namun kemenangan tersebut tetap tidak 1 Kata “rabut” dapat berarti tempat suci dan juga berarti bukit mengembalikan kejayaan Majapahit, intrik 2 Lihat Noorduyn untuk transliterasinya. 21 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 21 No.1 Mei 2012 Terjemahan: buah pendapa teras, sebuah struktur bata, …Rabut Palah dan sebuah candi yang disebut Candi Angka tempat suci di Majapahit Tahun. Pendopo Teras pertama oleh Satyawati yang dipuja oleh segenap (orang) Jawa Sulaiman (1981) disebut “Bale Agung” terletak mereka datang memuja beramai-ramai3 di sebelah barat laut, membujur utara-selatan yang menyembah tiada putus-putusnya dengan ukuran panjang 37 m x 18,84 m, tinggi mereka datang dari segala penjuru (Wahyudi 1,44 m. Dinding polos, namun di bagian bawah 2005:123-124). terdapat hiasan berupa 10 ekor naga yang berlilitan, seolah menyangga teras tersebut. Nama tempat suci Panataran ini yang Kepala naga yang ada di sudut pipi-pipi tangga rupanya masih tertinggal, bahkan dipakai menjadi lapik arca Dwarapala tangga tersebut. untuk menyebut seluruh kompleks termasuk Pendapa Teras (batur) kedua membujur bangunan sucinya. utara-selatan pula, tetapi lebih kecil ukurannya dari “Bale Agung” yaitu 29,05 m x 9,22 2. Penemuan dan Tinjauan Singkat Data m, tinggi 1,50 m. Seperti teras pertama, Artefaktual Pendapa Teras ini berada di atas lilitan 8 Dalam kitab Sir Stamford RafllesThe ekor naga. Dinding diberi relief, yang dibaca History of Java (1817) disebut nama seorang secara prasawya (kebalikan arah jarum jam), Belanda bernama Horsfield yang telah tetapi belum semua bisa dikenali ceritanya/ melakukan kunjungannya ke Kompleks adegannya. Di antaranya terdapat relief naratif Panataran. Kemudian Rigg tahun 1849 Sang Satyawan, Sri Tanjung, Bubuksah dan menguraikan struktur bangunannya dalam Gagangaking. dan beberapa adegan yang karangannya berjudul “Tour from Soerabaia” belum diketahui ceritanya misalnya pada sudut dimuat dalam Journal India Archipelago, no.3, timur laut terdapat relief yang menggambarkan halaman 236-247. Setelah itu banyak lagi yang seseorang memakai topi těkěs, menghadap membicarakan Candi Panataran, dari berbagai Bhatārī Durgā yang ada di kuburan Setra segi. Gandamayu, dikelilingi oleh berbagai jenis Seperti telah dikemukakan terdahulu, hantu (Santiko 1987). kompleks candi terdiri atas 3 halaman, yaitu Menarik perhatian adalah di bingkai halaman I, II, III dan 2 buah kolam suci, kita sebelah atas sebagian dari relief terdapat sebut saja patīrthān I dan II. Patīrthān I inskripsi sebagai petunjuk kepada śilpin sekarang ada di luar halaman candi di tepi yang memahat relief di bawahnya4. Inskripsi jalan raya, sedangkan patīrthān II terdapat di pendek-pendek tersebut berjumlah 19 buah, halaman III di sudut tenggara dan keletakannya dan sebagian dari inskripsi tersebut telah lebih rendah dari halaman III. Kolam
Recommended publications
  • Download Download
    KAJIAN PENDAHULUAN TEMUAN STRUKTUR BATA DI SAMBIMAYA, INDRAMAYU The Introduction Study of Brick Structural Found in Sambimaya, Indramayu Nanang Saptono,1 Endang Widyastuti,1 dan Pandu Radea2 1 Balai Arkeologi Jawa Barat, 2 Yayasan Tapak Karuhun Nusantara 1Jalan Raya Cinunuk Km. 17, Cileunyi, Bandung 40623 1Surel: [email protected] Naskah diterima: 24/08/2020; direvisi: 28/11/2020; disetujui: 28/11/2020 publikasi ejurnal: 18/12/2020 Abstract Brick has been used for buildings for a long time. In the area of Sambimaya Village, Juntinyuat District, Indramayu, a brick structure has been found. Based on these findings, a preliminary study is needed for identification. The problem discussed is regarding the type of building, function, and timeframe. The brick structure in Sambimaya is located in several dunes which are located in a southwest-northeastern line. The technique of laying bricks in a stack without using an adhesive layer. Through the method of comparison with other objects that have been found, it was concluded that the brick structure in Sambimaya was a former profane building dating from the early days of the spread of Islam in Indramayu around the 13th - 14th century AD. Keywords: Brick, structure, orientation, profane Abstrak Bata sudah digunakan untuk bangunan sejak lama. Sebaran struktur bata telah ditemukan di kawasan Desa Sambimaya, Kecamatan Juntinyuat, Indramayu. Berdasarkan temuan itu perlu kajian pendahuluan untuk identifikasi. Permasalahan yang dibahas adalah mengenai jenis bangunan, fungsi, dan kurun waktu. Struktur bata di Sambimaya berada pada beberapa gumuk yang keletakannya berada pada satu garis berorientasi barat daya – timur laut. Teknik pemasangan bata secara ditumpuk tanpa menggunakan lapisan perekat.
    [Show full text]
  • Akulturasi Di Kraton Kasepuhan Dan Mesjid Panjunan, Cirebon
    A ULTURASI DI KRATON KA URAN DAN MESJID PANJUNAN, CIREBON . Oleh: (.ucas Partanda Koestoro . I' ... ,.. ': \.. "\.,, ' ) ' • j I I. ' I Pendukung kebiidayaan adalati manusia. Sejak kelahirannya dan dalam proses scis.ialisasi, manusia mendapatkan berbagai pengetahu­ an. Pengetahuan yang didapat dart dipelajari dari lingkungan keluarga pada lingkup. kecil dan m~syarakat pa.da. lingkup besar, mendasari da:µ mendorong tingkah lakunya. .dalam mempertahankan hidup. Sebab m~ri{isjq ti.da.k , bertin~a~ hanya k.a.rena adanya dorongan untuk hid up s~ja, tet~pi i1:1g~ kp.rena ~ua~u desakan baru yang berasal dari ·budi ma.nusia dan menjadi dasar keseluruhan hidupnya, yang din<lmakan - · ~ \. ' . kebudayaan. Sehingga s~atu . masyarakat ketik? berhadapan dan ber- i:riteraksi dengan masyarakat lain dengan kebudayaan yang berlainan, kebudayaan baru tadi tidak langsung diterima apa adanya. Tetapi dinilai dan diseleksi mana yang sesuai dengan kebudayaannya sendiri. Budi manusia yang menilai ben.da dan kejp.dian yang beranek~ ragam di sekitarhya kemudian memllihnya untuk dijadikan tujuan maupun isi kelakuan ·buda\ranva (Su tan Takdir Alisyahbana, tanpa angka tahun: 4 dan 7). · · II. Data sejarah yang sampai pada kita dapat memberikan petunjuk bahwa masa Indonesia-Hindu selanjutnya digantikan oleti masa Islam di Indonesia. Kalau pada masa Indonesia-Hindu pengaruh India men~ jadi faktor yang utama dalam perkembangari budaya masyarakat Iri­ donesia, maka dalam masa Islam di Indonesia, Islam pun inenjadi fak­ tor yang berpengaruh pula. Adapun pola perkembangan kebudayaan Indonesia pada masa masuknya pengaruh Islam~ pada dasarnya 'tidak banyak berbeda dengan apa yang terjadi dalam proses masuknya pe­ ngaruh Hindu. Kita jumpai perubahan-perubahan dalam berbagai bi­ dang .
    [Show full text]
  • Ecotourism at Nusa Penida MPA, Bali: a Pilot for Community Based Approaches to Support the Sustainable Marine Resources Management
    Ecotourism at Nusa Penida MPA, Bali: A pilot for community based approaches to support the sustainable marine resources management Presented by Johannes Subijanto Coral Triangle Center Coauthors: S.W.H. Djohani and M. Welly Jl. Danau Tamblingan 78, Sanur, Bali, Indonesia International Conference on Climate Change and Coral Reef Conservation, Okinawa Japan, 30 June 2013 Nusa Penida Islands General features Community, Biodiversity, Aesthetics, Culture, Social-economics • Southeast of Bali Island • Nusa Penida Islands: Penida, Lembongan and Ceningan Islands • Klungkung District – 16 administrative villages, 40 traditional villages (mostly Balinese)- 45.000 inhabitants • Fishers, tourism workers, seaweed farmers, farmers, cattle ranchers • Coral reefs (300 species), mola-mola, manta rays, cetaceans, sharks, mangroves (13 species), seagrass (8 species) • Devotion to tradition, rituals and culture, preserving sacred temples: Pura Penataran Ped, Pura Batu Medauh, Pura Giri Putri and Pura Puncak Mundi. Local Balinese Cultural Festival Marine Recreational Operations Table corals Manta ray (Manta birostris) Oceanic Sunfish (Mola mola) Historical Background Historical Background • 2008 - Initiated cooperation TNC/CTC – Klungkung District Government • Ecological surveys – baseline data • 2009 - Working group on Nusa Penida MPA Establishment (local government agencies, traditional community groups, NGO) • Focus Group Discussions – public consultations & awareness • Marine Area reserved for MPA – 20.057 hectares - Klungkung District Decree no. 12 of
    [Show full text]
  • Bělahan and the Division of Airlangga's Realm
    ROY E. JORDAAN Bělahan and the division of Airlangga’s realm Introduction While investigating the role of the Śailendra dynasty in early eastern Javanese history, I became interested in exploring what relationship King Airlangga had to this famous dynasty. The present excursion to the royal bathing pla- ce at Bělahan is an art-historical supplement to my inquiries, the findings of which have been published elsewhere (Jordaan 2006a). As this is a visit to a little-known archaeological site, I will first provide some background on the historical connection, and the significance of Bělahan for ongoing research on the Śailendras. The central figure in this historical reconstruction is Airlangga (991-circa 1052 CE), the ruler who managed to unite eastern Java after its disintegration into several petty kingdoms following the death of King Dharmawangśa Těguh and the nobility during the destruction of the eastern Javanese capital in 1006 (Krom 1913). From 1021 to 1037, the name of princess Śrī Sanggrāmawijaya Dharmaprasādottunggadewī (henceforth Sanggrāmawijaya) appears in sev- eral of Airlangga’s edicts as the person holding the prominent position of rakryān mahāmantri i hino (‘First Minister’), second only to the king. Based on the findings of the first part of my research, I maintain that Sanggrāmawijaya was the daughter of the similarly named Śailendra king, Śrī Sanggrāma- wijayottunggavarman, who was the ruler of the kingdom of Śrīvijaya at the time. It seems plausible that the Śailendra princess was given in marriage to Airlangga to cement a political entente between the Śailendras and the Javanese. This conclusion supports an early theory of C.C.
    [Show full text]
  • Character Education Value in the Ngendar Tradition in Piodalan at Penataran Agung Temple
    Vol. 2 No. 2 October 2018 Character Education Value in the Ngendar Tradition in Piodalan at Penataran Agung Temple By: Kadek Widiastuti1, Heny Perbowosari2 12Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar E-mail : [email protected] Received: August 1, 2018 Accepted: September 2, 2018 Published: October 31, 2018 Abstract The ways to realize the generation which has a character can be apply in the social education through culture values, social ideology and religions, there are in Ngendar’ traditions that was doing by the children’s in Banjar Sekarmukti, Pangsan Village, Petang District, Badung regency. The purpose of this research to analyze the character values from Ngendar tradition. The types of this research are qualitative which ethnographic approach is. These location of this research in Puseh Pungit temple in Penataran Agung areal, Banjar Sekarmukti, Pangsan Village. Researcher using purposive sampling technique to determine information, collecting the data’s using observation, interviews, literature studies and documentation. The descriptive qualitative technique’ that are use to data analyses. The result of this research to show; first is process of Ngendar as heritage that celebrated in six months as an expression about grateful to the God (Ida Sang Hyang Widi Wasa). The reasons why these traditions’ always celebrated by the children’s are affected from holiness, customs and cultures. Second, Ngendar on the naming the characters which is as understanding character children’s with their religion that are affected by two things, the naming about religion behavior with way reprimand and appreciation through their confidence (Sradha) and Karma Phala Sradha. Next function is to grow their awareness.
    [Show full text]
  • Sustainable Tourism Approach in Trowulan Heritage Destination – Mojokerto, East Java
    Sustainable Tourism Approach in Trowulan Heritage Destination – Mojokerto, East Java 1st Diena Mutiara Lemy1, 2nd Elang Kusumo2 {[email protected], [email protected]} Universitas Pelita Harapan, School of Hospitality and Tourism, UPH Tower D 3rd floor Lippo Village Karawaci Tangerang Indonesia1,2 Abstract. Trowulan as one of cultural heritage tourism sites in Indonesia has a strategic role in building the national identity, considering that Trowulan is the center of Majapahit, a large kingdom around the 13th century whose territory covered the territory of the present Indonesia to the Malay peninsula. The Trowulan site is currently under the management of the East Java Cultural Heritage Preservation Center (BPCB), Directorate General of Culture, Ministry of Education and Culture. The focus of BPCB in managing this site is Rescue, Secure, Maintenance and Development of cultural heritage. Some problems related to the discovery of cultural heritage objects and interest conflicts of local people in earning a living in the land area become critical issues that should be addressed. Based on the description above, this paper reviews the Sustainable Tourism approach to help overcome the problems in Trowulan. Keywords: sustainable tourism, Trowulan, cultural heritage tourism, Majapahit kingdom 1 Introduction Majapahit Kingdom (Majapahit) is one of powerful kingdoms in Indonesia. Founded by Raden Wijaya in 1293 AD, Majapahit reached its peak in 1350 - 1389 under King Hayam Wuruk [1]. The center of Majapahit, based on the results of research and archaeological remains, is the Trowulan site. Trowulan Site is a very important historical area. The Trowulan site is located 70 km southwest of Surabaya in the Trowulan District area (Mojokerto Regency, East Java).
    [Show full text]
  • THE BALI TEMPLE RUN Temples in Bali Share the Top Spot on the Must-Visit List with Its Beaches
    CULTURE THE BALI TEMPLE RUN Temples in Bali share the top spot on the must-visit list with its beaches. Take a look at some of these architectural marvels that dot the pretty Indonesian island. TEXT ANURAG MALLICK he sun was about to set across the cliffs of Uluwatu, the stony headland that gave the place its name. Our guide, Made, explained that ulu is ‘land’s end’ or ‘head’ in Balinese, while watu is ‘stone’. PerchedT on a rock at the southwest tip of the peninsula, Pura Luhur Uluwatu is a pura segara (sea temple) and one of the nine directional temples of Bali protecting the island. We gaped at the waves crashing 230 ft below, unaware that the real spectacle was about to unfold elsewhere. A short walk led us to an amphitheatre overlooking the dramatic seascape. In the middle, around a sacred lamp, fifty bare-chested performers sat in concentric rings, unperturbed by the hushed conversations of the packed audience. They sat in meditative repose, with cool sandalwood paste smeared on their temples and flowers tucked behind their ears. Sharp at six, chants of cak ke-cak stirred the evening air. For the next one hour, we sat open-mouthed in awe at Bali’s most fascinating temple ritual. Facing page: Pura Taman Saraswati is a beautiful water temple in the heart of Ubud. Elena Ermakova / Shutterstock.com; All illustrations: Shutterstock.com All illustrations: / Shutterstock.com; Elena Ermakova 102 JetWings April 2017 JetWings April 2017 103 CULTURE The Kecak dance, filmed in movies such as There are four main types of temples in Bali – public Samsara and Tarsem Singh’s The Fall, was an temples, village temples, family temples for ancestor worship, animated retelling of the popular Hindu epic and functional temples based on profession.
    [Show full text]
  • Download Article (PDF)
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 552 Proceedings of the 4th International Conference on Arts and Arts Education (ICAAE 2020) Life Values in Gapura Bajangratu Katrin Nur Nafi’ah Ismoyo1,* Hadjar Pamadhi 2 1 Graduate School of Arts Education, Yogyakarta State University, Yogyakarta 55281, Indonesia 2 Faculty of Languages and Arts, Yogyakarta State University, Yogyakarta 55281, Indonesia *Corresponding author. Email: [email protected] ABSTRACT This study employed the qualitative research method with Hans-George Gadamer’s semiotic approach and analysis based on Jean Baudrillard’s hyperreality. According to Gadamer, truth can be obtained not through methods, but dialectics, where more questions may be proposed, which is referred to as practical philosophy. Meanwhile, Jean Baudrillard argues that “We live in a world where there is more and more information, and less and less meaning …”. This paper discusses the life values of Gapura Bajang Ratu in its essence, as well as life values in the age of hyperreality. Keywords: Gapura Bajangratu, life values, hyperreality, semiotics 1. INTRODUCTION death of Bhre Wengker (end 7th century). There is another opinion regarding the history of the Bajangratu Gapura Bajangratu (Bajangratu Temple) is a Gate which believe it to be one of the gates of the heritage site of the Majapahit Kingdom which is located Majapahit Palace, due to the location of the gate which in Dukuh Kraton, Temon Village, Trowulan District, is not far from the center of the Majapahit Kingdom. Mojokerto Regency, East Java. Gapura Bajangratu or This notion provides historical information that the the Bajangratu Gate is estimated to have been built in Gapura gate is an important entrance to a respectable the 13-14th century.
    [Show full text]
  • Potency Exploration of Trowulan Cultural Heritage Area As Educational Facility
    Potency Exploration of Trowulan Cultural Heritage Area as Educational Facility Retno Eka Pramitasari, Nur Muflihah Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang, Indonesia Keywords: Exploration, Cultural Heritage, Educational Facility. Abstract: Trowulan is a very popular cultural heritage area in Mojokerto city and designated as a National Tourism Strategic Area which is thick with cultural and historical elements. The purpose of this study to explore the tourism and cultural heritage potency in Trowulan area as education facility. The object of this research is the existing cultural heritage in the Trowulan area including Bajang Ratu Gate, Petirtaan Tikus, Brahu Temple and Majapahit Information Center. This study used descriptive research with a qualitative approach and sampling techniques using purposive sampling techniques. The results of this study indicated that the majority of visitors who are student-certified were 52.5%, the response of visitors related to the perception of the attractiveness of the tourist environment was 62.1% very interesting, and the perception of tourist accessibility to visitors responds 76.4% supported this condition. Visitors expressed satisfaction with the facilities and activities in the tourism object. This proved that the Trowulan cultural heritage area can be used for holidays and educational facility. 1 INTRODUCTION the potency as a tourism place, a media of educating both history and culture. Likewise with people in Indonesia is a country that is rich in history and several large cities, there are among them who do not culture in the past, namely the existence of kingdom know the historical sites and religious tourism in spread among others the Majapahit kingdom, Trowulan.
    [Show full text]
  • Higher Education for Technology and Innovation Project: Institute
    Initial Environmental Examination August 2020 Indonesia: Higher Education for Technology and Innovation Project Institute Teknologi Sepuluh November, Surabaya Prepared by the Government of Republic of Indonesia’s Ministry of Education and Culture for the Asian Development Bank. CURRENCY EQUIVALENTS (as of 04 August 2020) Currency unit – Rupiah (Rp) KN1.00 = $ 0.00006799 $1.00 = Rp 14,708 ABBREVIATIONS ADB - Asian Development Bank AMDAL - Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Analysis of Environmental Impact) ANDAL - Analisis Dampak Lingkungan (Environmental Impact Assessment) BOD - Biological Oxygen Demand CEMP - Contractor’s Environmental Management (and Monitoring) Plan COD - Chemical Oxygen Demand DELH - Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (Environmental Evaluation Document) DLH - Dinas Lingkungan Hidup [Environmental Agency] DO - Dissolved Oxygen EIA - Environmental Impact Assessment EMC - Environmental Monitoring Checklist (of ADB) EMP - Environmental Management Plan EMMP - Environmental Management and Monitoring Plan GOI - Government of Indonesia GRM - Grievance Redress Mechanism GRC - Grievance Redress Committee HETI - Higher Education for Technology and Innovation HEI - Higher Education Institutions HIV - Human Immunodeficiency Virus HM - Hazardous Material(s) HW - Hazardous Waste(s) IA - Implementing Agency IEE - Initial Environmental Examination IFC EHS International Finance Corporation Environmental Health and Safety KEPMEN - Keputusan Menteri (Ministerial Decree) KEPRES - Keputusan President (Presidential Decree) MENLH(K)/ -
    [Show full text]
  • Magisterarbeit
    MAGISTERARBEIT Titel der Magisterarbeit Synkretismen im Sakral- und Profanbau Javas Eine globalgeschichtliche Perspektive Verfasserin Desiree Weiler B.A. angestrebter akademischer Grad Magistra der Philosophie (Mag. phil.) Wien, 2012 Studienkennzahl lt. Studienblatt: A 066 805 Studienrichtung lt. Studienblatt: Magisterstudium der Globalgeschichte Betreuer: Univ.-Prof. Dr.techn. Erich Lehner Ich erkläre ehrenwörtlich, dass ich die vorliegende wissenschaftliche Arbeit selbstständig angefertigt und die mit ihr unmittelbar verbundenen Tätigkeiten selbst erbracht habe. Ich erkläre weiters, dass ich keine anderen als die angegebenen Hilfsmittel benutzt habe. Alle ausgedruckten, ungedruckten oder dem Internet im Wortlaut oder im wesentlichen Inhalt übernommenen Formulierungen und Konzepte sind gemäß den Regeln für wissenschaftliche Arbeiten zitiert. Die während des Arbeitsvorganges gewährte Unterstützung einschließlich signifikanter Betreuungshinweise ist vollständig angegeben. Die wissenschaftliche Arbeit ist noch keiner anderen Prüfungsbehörde vorgelegt worden. Diese Arbeit wurde in gedruckter und elektronischer Form abgegeben. Ich bestätige, dass der Inhalt der digitalen Version vollständig mit dem der gedruckten Version übereinstimmt. Ich bin mir bewusst, dass eine falsche Erklärung rechtliche Folgen haben wird. Wien, am Dank an: Familie Weiler Ana Purwa Laura Sprenger Helmut Rachl Lucia Denkmayr Katharina Höglinger Christian Tschugg Marc Carnal Prof. Dr. Erich Lehner Dr. Ir. Ikaputra Gadjah Mada Universität in Yogyakarta 4 Inhaltsverzeichnis
    [Show full text]
  • Pakuwon Pada Masa Majapahit: Kearifan Bangunan Hunian Yang Beradaptasi Dengan Lingkungan
    Pakuwon Pada Masa Majapahit: Kearifan Bangunan Hunian yang Beradaptasi dengan Lingkungan Agus Aris Munandar Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Berdasarkan data relief yang dipahatkan pada dinding candi-candi zaman Majapahit (Abad k-14—15 M), dapat diketahui adanya penggambaran gugusan perumahan yang ditata dengan aturan tertentu. Sumber tertulis antara lain Kitab Nagarakrtagama menyatakan bahwa gugusan perumahan dengan komposisi demikian lazim dinamakan dengan Pakuwon (pa+kuwu+an). Kajian yang diungkap adalah perihal bentuk-bentuk bangunan dalam gugusan Pakuwon, keletakannya pada natar (halaman) sesuai arah mata angin, dan juga fungsi serta maknanya dalam kebudayaan masa itu. Bentuk bangunan hunian masa Majapahit berdasarkan data yang ada, cukup berbeda dengan dengan bangunan hunian (rumah-rumah) dalam masa selanjutnya di Jawa. Perumahan di Jawa sesudah zaman Majapahit cenderung merupakan bangunan tertutup dengan sedikit bukaan untuk sirkulasi udara, adapun bangunan hunian masa Majapahit berupa bentuk arsitektur setengah terbuka, dan hanya sedikit yang tertutup untuk aktivitas pribadi penghuninya. Bangunan hunian mempunyai ciri antara lain (a) berdiri di permukaan batur yang relatif tinggi, (b) setiap bangunan memiliki beranda lebar, dan (c) jarak antar bangunan dalam gugusan Pakuwon telah tertata dengan baik. Agaknya orang-orang Majapahit telah menyadari bahwa bangunan huniannya harus tetap nyaman ditinggali walaupun berada di udara yang lebab dan panas matahari terus menerpa sepanjang tahun, dan kadang-kadang banjir juga memasuki permukiman. Bentuk bangunan hunian masa Majapahit, hingga awal abad ke-20 masih dapat dijumpai di Bali sebagai bangunan dengan arsitektur tradisional Bali. Akan tetapi dewasa ini bangunan tradisional tersebut telah langka di kota-kota besar Bali, begitupun di pedalamannya.
    [Show full text]