KONFLIK BATIN TOKOH KOREP DALAM NASKAH DRAMA TENGUL KARYA ARIFIN C NOER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Fikry Bermaki NIM 1112013000030

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 2017

ABSTRAK

Fikry Bermaki, 111201300030. “Konflik Batin Tokoh Korep dalam Naskah Drama Tengul Karya Arifin C Noer dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M.Hum.

Korep merupakan rakyat kecil yang memiliki keinginan besar untuk menjadi kaya, tetapi caranya kurang tepat karena cara kerjanya menimbulkan berbagai risiko yang menimpanya sampai ia mengalami konflik batin pada dirinya sendiri. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan konflik batin tokoh Korep dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis. Pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini melakukan simak dan baca.Berdasarkan analisis disimpulkan bahwa Korep mengalami konflik batin. Pertama, superego Korep muncul dalam konflik dengan istrinya. Kedua, ego Korep muncul dalam konflik batin dengan pekerjaannya. Ketiga, id Korep muncul dalam konflik batin dengan Tuhannya. Keempat, id Korep muncul dalam konflik batin dengan dirinya sendiri. Kelima, ego Korep muncul dalam konflik batin dengan tokoh Batu Hitam. Keenam, ego Korep muncul dalam konflik batin dengan dirinya sendiri. Mekanisme pertahanan yang digunakan represi, pengalihan, sublimasi, dan regresi. Melalui tokoh Korep, siswa dapat mengetahui bagaimana sikap bijak yang akan diambil dalam menentukan sebuah keputusan.

Kata kunci: Konflik Batin, Naskah Tengul, Pembelajaran Sastra.

i

ABSTRACT

Fikry Bermaki, 111201300030. “Inner Conflict Character Korep in the Tengul Drama Script by Arifin C Noer and the Implication to Learning Literary in the School”. Department of and Literature, Faculty of Tarbiya and Teacher Sciences, Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta. Supervisor: Ahmad Bahtiar, M.Hum.

Korep is a citizen that have big will to be a rich man, but his way was not appropriate because the work causing many risk that befall him till he had inner conflict to himself. This research aim to describe the inner conflict of character Korep in Tengul drama script by Arifin C Noer and the implication to learning literary in the school. The method used is analysis descriptive. Data collecting used in this research is observing and read. Based on the analysis concluded that Korep had inner conflict. First, Korep’s superego appear in conflict with his wife. Second, Korep’s ego appear in inner conflict with his job. Third, Korep’s id appear in inner conflict with his God. Fourth, Korep’s id appear in inner conflict with himself. Fifth, Korep’s ego appear in inner conflict with Batu Hitam character. Sixth, Korep’s ego appear in inner conflict with himself. Defense mechanism used repression, shifting, sublimassion, and regression. Through the character of Korep, student can know how the wise attitude would be taken in order to make a choice.

Keywords: Inner Conflict, Tengul Script, Learning Literary.

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim.

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah Swt yang telah memberi nikmat iman dan nikmat Islam, juga nikmat kesehatan baik jasmani maupun rohani kepada penulis sehingga penulis diberi kemudahan dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konflik Batin pada Tokoh Korep dalam Naskah Drama Tengul Karya Arifin C Noer dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Salawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Besar, Nabi Muhammad Saw, beserta keluarganya, sahabatnya, dan pengikutnya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat menempuh gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengalami beberapa kendala seperti kurang percaya diri serta kebimbangan dalam menulis. Namun, karena adanya dukungan moral dan dukungan doa dari berbagai pihak, juga adanya saran dan nasihat yang ada membuat penulis terbantu dalam merampungkan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 3. Ahmad Bahtiar, M.Hum., dosen pembimbing skripsi yang telah dengan tulus meluangkan waktu, tenaga, pikiran, saran, nasihat, semangat dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat penulis. Terimakasih atas bekal ilmu yang telah diberikan selama ini. 5. Bapak (Alm) Masyar dan Ibu Nuryani, Orang tua tercinta, yang telah sabar mendidik anak-anaknya di rumah. Terlalu amat banyak dukungan yang diberi hingga penulis tidak bisa menyebutkan segala dukungannya karena penulis tidak

iii

mampu membalas segala dukungannya. Terimakasih bagi Bapak dan Ibu, yang tiada lelahnya mendukung anak-anaknya dalam jenjang pendidikan. 6. Banny Khadafi dan Fuja Dinda Fadila, Adik-adik tercinta, yang telah membantu penulis dengan hiburan-hiburannya sehingga penulis tidak merasa lelah dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Ustaz Syarifudin, guru mengaji, yang telah memberi banyak ilmu dan nasihat sehingga berguna bagi penulis dalam mengamalkan segala tindak tutur dan tindak perilaku. 8. Teman-teman Majelis Ta’lim Al-Alawiyah, yang telah membantu penulis dalam bentuk dukungan moral dan doa, juga dengan candaan yang membuat penulis tidak merasa bosan dalam merampungkan skripsi ini. 9. Teman-teman Pasbrama: Arif, Ahmad, Andri, Dayat, Dewa, Hardi, Idham, Rifqi, dan Yasin, yang telah memberikan semangat serta warna baru bagi hidup penulis selama berada di PBSI. 10. Dinda Mufirdah, yang sudah sedia menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi. Terimakasih atas usahanya menyemangati sampai akhirnya selesai pada waktunya. 11. Feti, Azizah, Srinita, dan Anisa Rahayu Bahtiar, yang telah mau membantu penulis dalam meminjamkan beberapa referensi. Terimakasih atas dukungan dan doanya. 12. Tim Sastranesia, Futsal FITK, dan Futsal MAN 10 yang telah memberi dukungan kepada penulis. 13. Teman-teman PBSI 2012, baik kelas A dan B, yang telah sama-sama bekerja keras, telah membuat kenangan dalam suka dan duka, yang senasib, dan seperjuangan demi tercapainya gelar sarjana pendidikan 14. Teman-teman PPKT di MTsN 13 Jakarta: Amalia, Amri, Ami, Eli, Nisa, Hardi, Nur, yang telah dengan kompak bekerjasama dalam praktik mengajar. Terimakasih atas pengalaman, keceriaan, dan dukungan.

iv

Terimakasih pula kepada pihak-pihak yang belum disebutkan namanya, karena begitu banyak yang memberi dukungan kepada penulis, baik secara struktural maupun kultural, baik berbentuk saran maupun kritikan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, karena itu penulis mengaharapkan kritik dan saran yang membangun dalam penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan pada umumnya. Jakarta, 17 Juni 2017

Penulis

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK …………………………………………………………………………... i

ABSTRACT ………………………………………………………………………... ii

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. iii

DAFTAR ISI …………………………….………………………………………… vi

BAB 1 PENDAHULUAN ………………………………………………………….. 1

A. Latar Belakang ………..…………………………………………………….. 1 B. Identifikasi Masalah ………………………………………………………… 4 C. Batasan Masalah …………………………………………………………….. 4 D. Rumusan Masalah …………………………………………………………… 4 E. Tujuan Penelitian ……………………………………………………………. 5 F. Manfaat Penelitian …………………………………………………………... 5 G. Metode Penelitian …………………………………………………………… 6 1. Sumber Data ………………………………………………………… 6 2. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………….. 7 3. Teknik Analisis Data ………………………………………………... 7

BAB 2 KAJIAN TEORI ………………………………………………………….... 8 A. Hakikat Psikologi …………………………………………………………… 8 1. Pengertian Psikologi ………………………………………………… 8 2. Konflik Batin ……………………………………………………..…. 9 3. Mekanisme Pertahanan …....……………………………………….. 11 B. Hakikat Drama ……………………………………………………………... 14 1. Pengertian Drama ………………………………………………….. 14

vi

C. Unsur Intrinsik Drama ……………………………………………………... 15 D. Pembelajaran Sastra ………………………………………………………... 21 E. Penelitian Relevan …………………………………………………………. 23

BAB 3 BIOGRAFI PENGARANG ……………………………………………... 26 A. Biografi Arifin C Noer ……………………………………………………. 26 B. Karya Arifin C Noer ………………………………………………………. 29 C. Pemikiran Arifin C Noer ………………………………………………….. 31

BAB 4 PEMBAHASAN DAN ANALISIS ……………………………………… 37 A. Unsur Intrinsik Naskah Drama Tengul Karya Arifin C Noer …………….. 37 B. Konflik Batin Tokoh Korep dalam Naskah Drama Tengul Karya Arifin C Noer ……………………………………………………………………….. 79 C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ……………………... 86

BAB 5 PENUTUP ……………………………………………………………….. 90 A. Simpulan ………………………………………………………………….. 90 B. Saran …………………………………………………………………….... 91

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..... 92 LAMPIRAN-LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI RIWAYAT PENULIS

vii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Karya sastra mencakup prosa, puisi, dan drama. Perbedaan naskah drama dengan karya sastra yang lain adalah terletak pada pementasan yang akan dipentaskan nantinya. Bila terdapat sebuah naskah drama, maka naskah tersebut akan diubah dari media visual menjadi audio visual dengan durasi waktu tertentu layaknya film akan tetapi pementasan drama dilakukan secara langsung dengan panggung terbuka. Lain halnya dengan cerpen maupun novel yang hanya dibaca dan belum tentu dipentaskan. Seperti halnya karya sastra yang lain, drama juga memiliki dua unsur, yaitu meliputi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik yang merupakan unsur yang membangun cerita dari dalam terdapat tokoh dan penokohan, tema, alur (plot), latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita berupa nilai sosial, agama, moral, ekonomi, dan politik. Kedua unsur tersebut melekat pada karya sastra. Berkaitan dengan pendidikan, terdapat nilai yang kerap kali dijadikan acuan dalam keseharian para siswa. Semisal nilai moral, bila terdapat tokoh yang baik moralnya, budi pekerti dan tutur bahasanya tentu akan menjadi daya tarik tersendiri bagi siswa yang membaca dan mampu mengambil unsur ekstrinsiknya. Tokoh dan penokohan adalah salah satu unsur intrinsik yang selalu menjadi pusat bacaan saat pembaca atau siswa sedang membaca. Kehidupan dari tokoh inilah yang menjadi perhatian, sebab ketika siswa membaca, keinginan siswa mendapatkan tokoh yang dapat ditiru dari sifat, sikap, dan perilaku. Berbeda halnya tokoh dalam novel dan drama.

1 2

Drama dapat menunjukkan secara bertahap bagaimana tokoh itu sampai berwatak demikian. Sedangkan novel dapat menunjukkan perubahan tersebut.1 Kehidupan seorang tokoh kerapkali dapat dicontoh oleh siswa, tujuan guru memberikan bahan bacaan pun dengan pengharapan siswa dapat terbentuk karakter dan mentalnya sebagai anak bangsa yang berbudi pekerti. Pendidikan yang didapatkan siswa sebetulnya bukan hanya mengacu pada teori pembelajaran saja melainkan dari sikap dan perilaku yang akan dicontohnya. Salah satu cara untuk mengajarkan hal tersebut adalah dengan memberikan bahan bacaan berupa teks karya sastra untuk dipahami dan diambil manfaatnya. Untuk memahami sebuah karya sastra perlu dilakukan analisis struktur teks, salah satunya adalah analisis tokoh dan penokohan. Analisis tokoh dan penokohan yang dilakukan akan memperoleh berbagai macam sifat dan perilaku dan juga akan mengetahui segi kejiwaan dari tokoh, mulai dari sisi psikologis, konflik batin, gaya hidup yang berbeda, sampai kepada kelainan berperilaku. Hal-hal demikian patutlah untuk diajarkan kepada siswa. Bukan hanya untuk sekadar mengetahui perilaku yang baik dan buruk melainkan untuk menanamkan nilai moral yang nantinya akan dilaksanakan pada diri siswa dalam keseharian sehingga terbentuklah karakter yang diharapkan oleh guru pada umumnya. Salah satu diantara penulis naskah drama sekaligus sastrawan ialah Arifin C Noer. Naskah-naskah yang ditulisnya sudah banyak dan telah dipentaskan pula. Kerap kali naskah yang ditulis oleh Arifin adalah hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat kecil karena sastra adalah bagian dari masyarakat. Sifat-sifat suatu masyarakat akan muncul dalam sastra. Sifat atau watak masyarakat menjadi ilham penting bagi pengarang. Masyarakat akan menyertai karya sastra. Lewat deskripsi lingkungan dan tokoh, masyarakat ditampilkan oleh penulis. Dalam lingkungan hidupnya, pesoalan-persoalan dalam lingkungannya, keadaan dan watak masyarakat, dan kepada informasi

1 Rene Wellek & Austin Waren. Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 1993), hlm.288

3

tentang masyarakat tersebut sampai batasan tertentu.2 Akan terlihat jelas bagaimana keseharian masyarakat pada umumnya lewat karya sastra berupa prosa. Bercerita tentang harta yang diperoleh, tentang sebuah keinginan menjadi kaya dengan cara apapun adalah sedikit gambaran dari naskah drama Tengul. Terdapat satu tokoh utama yang menjadi pusat perhatian bagi para pembaca naskah tersebut yaitu, Korep, yang berubah hidupnya dari miskin menjadi kaya dengan sekejap. Kehidupannya berubah bukan tak lain lantaran istrinya yang selalu ribut ingin menjadi kaya sewaktu dia miskin karena hal tersebut, ia merasakan gejolak pada batinnya, berkonflik dengan batinnya hingga memutuskan untuk mencari jalan cepat untuk kaya. Korep berhasil menjadi kaya lantaran melakukan pesugihan, akibatnya ia sering menjadikan istri-istrinya sebagai tumbal untuk kekayaannya. Seringkali Korep menikah tapi tidak lama istrinya akan meninggal dengan hitungan bulan saja. Bukan cuma satu atau dua kali bahkan puluhan kali ia melakukannya. Hal-hal semacam itu tentunya patut dijadikan pelajaran bagi siswa. Pembelajaran sastra di sekolah tentu akan membantu siswa dapat mengenali sifat tokoh atau barangkali konflik batin yang dialami tokoh dapat dirasakan sendiri oleh siswa setelah membaca naskah drama tersebut. Pemilihan naskah drama Tengul tentunya dengan berbagai macam alasan. Pertama, latar belakang rakyat kecil atau rakyat miskin yang kerap kali luput dari pengawasan dan tanpa sadar pembaca atau penikmat drama dapat mengetahui bahwa terdapat sebuah keinginan besar seorang rakyat kecil ingin menjadi kaya dengan cara apapun bahkan dengan cara cepat sekalipun. Kedua, khusus pada tokoh utama, Korep, memiliki konflik batin yang nyata dalam kehidupannya. Ketiga, naskah drama Tengul yang terbit pada tahun 1974 oleh Dewan Kesenian Jakarta dan masih disimpan di Bank Naskah oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini sempat mendapat prestasi ketika dipentaskan. Naskah tersebut dipentaskan dalam lomba pementasan drama tingkat DKI Jakarta pada tahun 2015 dan mendapat peringkat pertama juga berhak untuk

2 Suwardi Endraswara, Teori Kritik Sastra, (: CAPS, 2013), hlm.115

4

mewakili DKI Jakarta berlomba ke tingkat antar Provinsi oleh Sanggar Kummis. Hal yang menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis adalah tokoh utama dalam naskah drama Tengul, yaitu Korep. Pengorbanan Korep untuk menjadi kaya dan perjuangannya untuk kembali menjadi miskin adalah sedikit gambaran tentang ketertarikan penulis dalam menganalisis. Berdasarkan alasan-alasan tersebut penulis tertarik untuk menganalisis naskah drama Tengul karya Arifin C Noer dengan judul penelitian “Konflik Batin Tokoh Korep dalam Naskah Drama Tengul karya Arifin C Noer dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah yang ada yaitu: 1. Kurangnya minat siswa membaca karya sastra, khususnya naskah drama. 2. Siswa tidak memahami unsur intrinsik dalam drama, tokoh dan penokohan karena proses pembelajaran hanya sebatas mengidentifikasi. 3. Siswa tidak memahami konflik batin pada tokoh dalam karya sastra

C. Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan agar lebih terarahnya penulisan, maka penulis hanya membatasi masalah pada konflik batin pada tokoh Korep dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan masalah, maka perlu adanya rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana konflik batin pada tokoh Korep dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer?

5

2. Bagaimana implikasi penelitian konflik batin tokoh Korep dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer terhadap pembelajaran sastra di sekolah?

E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui konflik batin tokoh Korep dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer. 2. Untuk mengetahui implikasi penelitian konflik batin tokoh Korep dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan secara praktis. 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan tentang sastra Indonesia, khususnya mengenai tokoh dalam naskah drama pada pembelajaran sastra di sekolah. 2. Manfaat Praktis a. Bagi guru bahasa dan sastra Indonesia Hasil analisis dapat digunakan guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai masukan bahan ajar apresiasi sastra dalam pengembangan materi pembelajaran apresiasi sastra. b. Bagi peserta didik Karya sastra diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan peserta didik tentang konflik batin pada tokoh Korep dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer sehingga mampu memetik pelajaran mengenai persoalan kehidupan dan masalah dalam kehidupan.

6

c. Bagi peneliti lain Hasil analisis ini dapat dijadikan sebagai bahan bandingan bagi penulis atau peneliti lain yang akan melakukan analisis sastra dengan permasalahan yang sejenis dan dapat pula menambah wawasan serta pengetahuan kepada penikmat karya sastra tentang konflik batin pada tokoh Korep dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer.

G. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan metode deskriptif analisis. Dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.3 Dengan metode tersebut hasil penelitian yang dihasilkan akan berupa deskripsi, bukan berupa angka-angka atau koefisien tentang variabel. Hasil penelitian yang akan dihasilkan adalah berupa data yang sifatnya menuturkan, memaparkan, dan menafsirkan. Metode ini juga digunakan untuk menganalisis suatu dokumen. Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah naskah drama Tengul karya Arifin C Noer. Hal-hal yang perlu dipaparkan dalam analisis ini meliputi beberapa hal seperti sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. 1. Sumber Data Terdapat dua sumber data, sumber data primer dan sumber data sekunder. a. Sumber Data Primer Sumber utama pada penelitian ini adalah naskah drama Tengul, cetakan pertama, karya Arifin C Noer diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1974. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yang digunakan adalah yang berhubungan dengan analisis ini sebagai pelengkap serta penunjang seperti buku- buku, artikel, dan jurnal yang berkaitan dengan analisis.

3 Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.53

7

2. Teknik Pengumpulan Data Pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan pembacaan dan penyimakan dari naskah drama Tengul karya Arifin C Noer secara cermat, terarah, dan teliti. Pada saat membaca naskah drama, penulis mencatat hal-hal yang berkaitan dengan tokoh Korep, dan mengutip beberapa dialog yang dianggap dapat menggambarkan karakter tokoh. Pembacaan dilakukan secara berulang-ulang sehingga data yang didapat lebih akurat dan lebih maksimal. 3. Teknik Analisis Data Beberapa langkah yang dilakukan untuk menganalisis data. Pertama, menganalisis naskah drama Tengul karya Arifin C Noer dengan analisis struktural. Analisis ini dilakukan dengan membaca dan memahami kembali data yang diperoleh. Setelah itu, melakukan pendekatan objektif untuk menemukan unsur intrinsik seperti tokoh dan penokohan, alur (plot), tema, latar, gaya bahasa, sudut pandang, dan amanat. Kedua, analisis dengan teknik pelukisan tokoh dilakukan dengan membaca dan memahami kembali. Mengelompokkan teks-teks yang mengandung bahasan tentang tokoh Korep yang terdapat dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer. Ketiga, mengimplikasikan naskah drama Tengul karya Arifin C Noer pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dengan cara menghubungkan materi sastra di sekolah sehingga tujuan analisis ini dapat berjalan dengan baik. Seluruh analisis ini disusun secara sistematis dengan memberikan kutipan sebagai bentuk data sehingga memudahkan dalam mendeskripsikan makna yang terkandung dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Hakikat Psikologi 1. Pengertian Psikologi Sastra dan psikologi adalah dua disiplin ilmu yang berbeda, sebab sastra adalah hal yang berbau seni dan psikologi adalah ilmu yang mengkaji tentang sikap, perilaku, serta kejiwaan manusia. Sastra lahir dari luapan psikologi pengarang. Jiwa pengarang berupaya menangkap gejala di dunia sekitarnya, lalu diresapi, dan diekspresikan lewat gagasan. Hal ini diungkapkan Lacan dalam Suwardi, bahwa sastra itu ekspresi jiwa lewat kata. Di balik kata, ada pengalaman psikoanalisis yang dalam.1 Pendekatan psikologis menekankan analisis terhadap karya sastra dari segi intrinsik, khususnya pada penokohan atau perwatakannya. Penekanan ini dipentingkan, sebab sebagaimana sudah kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, esai yang diklasifikasikan ke dalam seni (art) sedang psikologi menunjuk kepada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Meski berbeda, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian.2 Gambaran psikis seorang tokoh dalam karya sastra tentu menjadi sorotan bagi setiap pembaca sebab tokoh adalah sosok yang dapat memberi pandangan serta menjadi tolak ukur dalam sebuah cerita. Pada drama, tentunya gambaran psikis sangat penting karena akan berpengaruh besar bagi kostum, tata rias, efek lampu atau cahaya, musik, dan ekspresi. Bila kita tahu kondisi atau psikis tokoh tersebut sedang berduka maka kostum yang digunakan pun seperti orang berduka, misalnya warna hitam yang identik dengan suasana duka, tidak bisa dengan kostum berwarna-warni karena kostum pun menggambarkan psikis dari seorang tokoh.

1 Suwardi Endraswara, Teori Kritik Sastra, (Yogyakarta:CAPS, 2013), hlm.129 2 Atar Semi, Anatomi Sastra, (Bandung: Angkasa Raya, 2011), hlm.79

8 9

Menurut Roekhan, psikologi sastra merupakan disiplin ilmu yang ditopang oleh tiga pendekatan studi. Pendekatan tersebut yaitu: a. Pendekatan tekstual, yaitu mengkaji aspek psikologi sang tokoh dalam sebuah karya sastra. b. Pendekatan representatif pragmatik, yaitu mengkaji aspek psikologi pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya sastra yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. c. Pendekatan ekspresif, yaitu aspek psikologi sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi melalui karyanya, bagi penulis sebagai pribadi maupun wali masyarakat.3 Pada pendekatan-pendekatan tersebut dapat terlihat bahwa dua disiplin ilmu yang berbeda dapat menjadi satu kajian. Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaannya adalah bahwa gejala kejiwaan terdapat dalam sastra adalah gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia riil.4 Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan psikologi sastra berupa pendekatan tekstual sangat tepat untuk menganalisis konflik batin pada tokoh dalam karya sastra, dalam ini adalah drama. Pendekatan tersebut digunakan karena konflik batin dalam tokoh sangat berkaitan dengan tingkah laku dan kehidupan tokoh. 2. Konflik Batin Konflik batin adalah konflik yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih, atau keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku.5 Irwanto berpendapat bahwa pengertian konflik batin adalah keadaan munculnya dua atau lebih kebutuhan pada saat yang bersamaan.6

3 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2013), hlm.97 4 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1990), hlm.93 5 Alwi dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm.587 6 Irwanto dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm.207

10

Sigmund Freud membagi psikisme manusia menjadi tiga bagian, yaitu id, ego, dan superego. a. Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, seks, menolak rasa sakit atau tidak nyaman. Id berlaku seperti penguasa, apa yang dibutuhkan harus segera terlaksana. Cara kerja id ialah berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan.7 Id disebut juga oleh Freud, aspek ini merupakan aspek biologis dan merupakan lapisan psikis manusia yang paling dasar yang mengandung naluri bawaan (seksual dan agresif) dan keinginan-keinginan yang direpresi. Hidup psikis janin sebelum lahir dan bayi yang baru lahir terdiri dari id saja.8 b. Ego memiliki tugas dengan memberi tempat pada fungsi mental utama, misalnya: penalaran, penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Dapat dikatakan ego seperti pimpinan utama dalam kepribadian, layaknya seorang pemipmpin perusahaan ia harus mampu mengambil keputusan rasional demi kemajuan perusahaannya.9 c. Superego merupakan aspek sosiologi kepribadian yang merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional artinya larangan-larangan dan perintah yang berasal dari luar (pengasuh-pengasuh, khususnya orang tua kepada anaknya). Superego lebih menunjukan kesempurnaan daripada kesenangan. Oleh karena itu, superego disebut sebagai aspek moral kepribadian yang berfungsi untuk menentukan benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak dengan demikian maka pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat. Aktivitas superego dapat dirasakan dalam emosi-emosi seperti rasa bersalah, rasa menyesal, dan lain-lain.10 Superego kerap muncul untuk menengahi suatu masalah, misalnya

7 Albertine Minderop, Psikologi Sastra, Cetakan Kedua, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm.21-22 8 Sigmund Freud, Memperkenalkan Psikoanalisis, (Jakarta: PT Gramedia, 1984), hlm 20-21 9 Minderop, Op.cit, hlm.22 10 Freud, Op.cit, hlm.21

11

keinginan seorang yang memiliki id untuk makan mewah karena uang dimilikinya lumayan banyak, tetapi ego orang tersebut hanya menginginkan makan agar tidak lapar dan menambah energi. Kemudian superego timbul dan menengahi dengan menganggap makan secukupnya saja, bila masih ada sisa lebih baik disimpan untuk keperluan lain. Berdasarkan tiga bagian tersebut maka muncul kecemasan (anxitas) yang merupakan situasi yang mengancam kenyamanan suatu organisme serta menghambat kemajuan individu untuk mencapai tujuan. Ancaman yang dimaksud berupa ancaman fisik, psikis, dan berbagai tekanan yang mengakibatkan timbulnya kecemasan. Kondisi ini diikuti oleh perasaan tidak nyaman yang dicirikan dengan istilah khawatir, takut, dan tidak bahagia. Kecemasan (anxitas) dibedakan menjadi dua, yaitu kecemasan objektif (objective anxiety) dan kecemasan neurotik (neurotic anxiety). Kecemasan objektif merupakan respons realistis ketika seseorang merasakan bahaya dalam suatu lingkungan, kondisi ini sama dengan rasa takut. Kecemasan neurotik berasal dari konflik alam bawah sadar dalam diri individu karena konflik tersebut tidak disadari oleh orang yang bersangkutan sehingga ia tidak menyadari alasan dari kecemasan yang terjadi.11 Berdasarkan tingkat kecemasan yang terjadi dalam naskah Tengul, maka penulis akan fokus pada bentuk kecemasan neurotik (neurotic anxiety). 3. Mekanisme Pertahanan Mekanisme pertahanan terjadi karena adanya dorongan atau perasaan beralih untuk mencari objek pengganti. Penggunaan istilah mekanisme pertahanan mengacu pada proses alam bawah sadar seseorang yang mempertahankan dirinya terhadap kecemasan. Mekanisme pertahanan merupakan karakteristik yang cenderung kuat dalam diri setiap orang. Mekanisme pertahanan tidak mencerminkan kepribadian secara umum, tetapi juga —dalam pengertian penting— dapat memengaruhi perkembangan kepribadian. Kegagalan mekanisme pertahanan memenuhi fungsi pertahanannya bisa berakibat pada kelainan mental. Freud membagi

11 Minderop, Op.cit hlm.28

12

mekanisme pertahanan menjadi sembilan, yaitu represi, sublimasi, proyeksi, pengalihan, rasionalisasi, reaksi formasi, regresi, agresi dan apatis, serta fantasi dan stereotype.12 a. Represi Represi merupakan fondasi cara kerja semua mekanisme pertahanan ego. Tujuan seluruh mekanisme pertahanan ego adalah untuk menekan atau mendorong impuls-impuls yang mengancam agar keluar dari alam sadar. Represi bertujuan untuk mendorong keluar impuls-impuls id yang tidak diterima dari alam sadar dan kembali ke alam bawah sadar. Sebagai akibat represi, individu tidak menyadari impuls yang menyebabkan kecemasan serta tidak mengingat pengalaman emosional dan traumatik di masa lalu. b. Sublimasi Sublimasi terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial menggantikan perasaan tidak nyaman. Misalnya, seorang individu memiliki dorongan seksual yang tinggi, lalu ia mengalihkan perasaan tidak nyaman ini ke tindakan-tindakan yang dapat diterima secara sosial dengan menjadi seorang artis pelukis tubuh model tanpa busana. c. Proyeksi Proyeksi terjadi bila individu menutupi kekurangannya dan masalah yang dihadapi atau pun kesalahannya dilimpahkan kepada orang lain. Misalnya, kita harus bersikap kritis atau bersikap kasar terhadap orang lain, kita menyadari bahwa sikap ini tidak pantas kita lakukan, namun sikap yang dilakukan tersebut diberi alasan bahwa orang tersebut memang layak menerimanya. Sikap ini kita lakukan agar kita tampak lebih baik. d. Pengalihan Pengalihan adalah pengalihan perasaan tidak senang terhadap suatu objek ke objek lainnya yang lebih memungkinkan. Misal, adanya dorongan untuk menjadikan seseorang menjadi kambing hitam, yang mana orang tersebut bukan sebagai sumber frustasi namun dijadikan sasaran.

12 Ibid, hlm.29-31

13

e. Rasionalisasi Rasionalisasi memiliki dua tujuan: pertama, untuk mengurangi kekecewaan ketika kita gagal mencapai suatu tujuan dan kedua, memberikan kita motif yang dapat diterima atas perilaku. f. Reaksi Formasi Reaksi formasi mampu mencegah seorang individu berperilaku yang menghasilkan kecemasan dan kerap kali dapat mencegahnya bersikap antisosial. Misal, sikap yang sangat sopan kepada seseorang dapat merupakan upaya menyembunyikan ketakutan. g. Regresi Terdapat dua interpretasi regresi. Pertama, retrogressive behavior yaitu, perilaku seseorang yang mirip anak kecil, menangis dan sangat manja agar memperoleh rasa aman dan perhatian orang lain. Kedua, primitivation, ketika seorang dewasa bersikap sebagai orang yang tidak berbudaya dan kehilangan control sehingga tidak sungkan-sungkan berkelahi. h. Agresi dan Apatis Agresi merupakan perasaan marah yang berkaitan dengan ketegangan dan kegelisahan yang menjurus pada pengrusakan dan penyerangan. Agresi terbagi menjadi agresi langsung dan agresi pengalihan. Agresi langsung adalah agresi yang diungkapkan secara langsung kepada seseorang yang merupakan sumber frustasi, misalnya bagi orang dewasa, agresi semacam ini biasanya dialami dalam bentuk verbal ketimbang fisikal. Agresi pengalihan terjadi bila seseorang mengalami frustasi namun tidak dapat mengungkapkan secara puas kepada sumber frustasi tersebut karena tidak jelas atau tidak tahu kemana ia harus menyerang sehingga berujung kepada mencari orang yang tidak bersalah atau kambing hitam. Apatis merupakan sikap dengan cara menarik diri dan bersikap seakan-akan pasrah. i. Fantasi dan Stereotype Fantasi adalah ketika kita menghadapi masalah yang bertumpuk, kadangkala kita mencari solusi dengan masuk ke dunia khayal, solusi yang

14

berdasarkan fantasi daripada realitas. Stereotype adalah konsekuensi lain dari frustasi, yaitu perliaku pengulangan terus-menerus. Individu selalu mengulangi perbuatan yang tidak bermanfaat dan tampak aneh. Berbagai macam mekanisme pertahanan yang ada, hanya beberapa yang akan digunakan dalam penelitian sesuai dengan pembahasan yang akan dianalisis, yaitu represi, pengalihan, sublimasi, dan regresi.

B. Hakikat Drama 1. Pengertian Drama Drama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau dialog yang dipentaskan. Drama atau sandiwara juga adalah seni yang mengungkapkan atau perasaan orang dengan menggunakan laku jasmani, dan ucapan kata-kata.13 Drama dalam sastra mempunyai kekhususan dibanding genre puisi atau fiksi sebab drama lebih difokuskan kepada bentuk karya yang bereaksi langsung secara konkret. Kekhususan drama juga disebabkan oleh tujuan drama yang ditulis oleh pengarangnya yang tidak berhenti sampai pada tahap pembeberan peristiwa untuk dinikmati secara artistik imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti diteruskan untuk kemungkinan dapat dipertontonkan dalam suatu penampilan gerak dan perilaku konkret yang dapat disaksikan. Drama berasal dari kata Yunani draomai adalah berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya, jadi drama berarti perbuatan dan tindakan.14 Austin Warren berpendapat, bahwa pada intinya drama bersifat sastra, tetapi juga terdiri dari “tontonan” (spectacole) yang harus memanfaatkan keahlian aktor, sutradara, penanggung jawab kostum, dan ahli listrik.15 Sedangkan Ferdinan Brunetiere dan Balthazar Verhagen berpendapat bahwa drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan

13 WS Rendra, Seni Drama untuk Remaja, (Jakarta: Burungmerak Press, 2009) hlm.73 14 Hasanuddin WS, Drama Karya dalam Dua Dimensi, (Bandung: Angkasa, 1996), hlm.1-2. 15 Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm.302

15

harus melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku. Sedangkan menurut Moulton adalah hidup yang dilukisk dengan gerak, drama adalah menyaksikan kehidupan manusia yang diekspresikan secara langsung.16 Berdasarkan tiga definisi tersebut disimpulkan bahwa pengertian drama adalah sebuah karya sastra yang dilukiskan dengan gerak yang memanfaatkan keahlian aktor dan arahan sutradara dan juga melukiskan sedikit banyaknya kehidupan manusia mulai dari sifat, sikap dan perilaku yang diekspresikan secara langsung dalam sebuah pementasan. Akan tetapi, sesuatu yang terjadi di atas panggung tidak termasuk pada teori drama sebagai genre sastra, melainkan kepada ilmu drama sebagai suatu seni pertunjukan yang oleh banyak pihak pada saat ini disebut dengan istilah teater. Harus dipahami pula bahwa di dalam drama terkandung nilai-nilai kebenaran dan keseriusan, dan bukan sekadar “permainan” belaka.17 Drama bukan hanya sekadar bermain dengan imajinasi, bukan pula bermain hanya sebatas sandiwara sebab drama menampilkan segala tentang sikap, perilaku, tindakan, dan ucapan kita dalam keseharian. Satu hal yang menjadi ciri drama adalah bahwa semua kemungkinan itu harus disampaikan dalam bentuk dialog-dialog para tokoh. Akibat dari hal inilah maka seandainya seorang pembaca yang membaca suatu teks drama tanpa menyaksikan pementasan drama mau tidak mau harus membayangkan jalur peristiwa di atas pentas.18

C. Unsur Intrinsik Drama Unsur intrinsik yang terkandung dalam drama tidak berbeda jauh dengan unsur yang biasa ditemukan dalam unsur intrinsik cerpen atau novel. Namun, karena drama adalah seni pertunjukan maka ada elemen-elemen yang wajib ada, yaitu pemain atau pelakon pertunjukan, tempat pertunjukan, dan penonton. Tiga hal inilah yang menjadi elemen paling wajib untuk menggelar

16 Hasanuddin, op.cit, hlm.2 17 Ibid, hlm.3 18 Ibid, hlm.5

16

seni pertunjukan atau drama. Sedangkan unsur yang membangun seni drama sebagai pertunjukan berbeda dengan teks drama.19 Adapun hal yang terdapat dalam unsur drama dalam pertunjukan adalah plot, tata artistik, dialog, dan gerak. Sedangkan unsur teks drama sebagai berikut: a. Tema Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Dalam sebuah drama terdapat banyak peristiwa yang masing-masingnya mengemban permasalahan, tetapi hanya ada sebuah tema sebagai intisari dari permasalahan-permasalahan tersebut. Permasalahan ini juga dapat juga muncul melalui perilaku-perilaku para tokoh ceritanya yang terkait dengan latar dan ruang.20 Tema menjadi dasar pengembangan keseluruhan cerita, bersifat menjiwai seluruh bagian cerita. Untuk menemukan tema haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian- bagian tertentu cerita. Walau sulit ditentukan secara pasti, tema bukanlah makna yang terlalu “disembunyikan”, namun belum tentu juga dikemukakan secara eksplisit. Tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.21 Tema terbagi menjadi dua, tema utama atau pokok atau mayor dan tema tambahan atau minor. Tema mayor dapat diartikan makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum suatu karya. Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas mengidentifikasi, memilih, menimbang, dan menilai di antara

19 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm.163 20 Hasanuddin, Op.cit, hlm.103 21 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakart: Gadjah Mada University Press, 2013), hlm.116

17

sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya yang bersangkutan.22 Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus, makna-makna tambahan itu bersifat mendukung dan atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita. Jadi, singkatnya, makna-makna tambahan atau tema-tema minor itu, bersifat mempertegas eksistensi makna utama.23 b. Tokoh dan Penokohan Baldic dalam Burhan, menjelaskan bahwa tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama sedang penokohan adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya.24 Tokoh-tokoh yang telah “dipilih” oleh pengarangnya biasanya telah “dipersiapkan” sedemikian rupa. Akan tetapi, bagaimanapun pengarang tetap akan menjaga agar “keluar jalurnya” sang tokoh tetap tidak terlalu jauh. Maka, hal-hal yang melekat pada tokoh dapat dijadikan sumber data atau sinyal informasi guna membuka selubung makna drama secara keseluruhan. Faktor-faktor yang dimaksud melekat langsung pada tokoh adalah persoalan nama, peran, keadaan fisik, keadaan psikis, serta karakternya. Aspek-aspek penokohan ini akan saling berhubungan dan berkaitan dalam upaya membentuk dan membangun permasalahan dan konflik di dalam drama.25 Tokoh cerita pada drama dalam menjalankan peran dan perwatakannya diwujudkan dalam bentuk tiga dimensi yang meliputi: (1) Dimensi fisiologi, yakni ciri-ciri fisik yang bersifat badani atau ragawi, seperti usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri wajah, dan ciri-ciri fisik lainnya. (2) Dimensi psikologi, yakni ciri-ciri jiwani atau rohani, seperti

22 Ibid, hlm.133 23 Ibid, hlm.134 24 Ibid, hlm.247 25 Hasanuddin, Op.cit, hlm.77

18

mentalitas, tempramen, cipta rasa, krasa, IQ, sikap pribadi, dan tingkah laku. (3) Dimensi sosiologis, yakni ciri-ciri kehidupan sosial, seperti status sosial, pekkerjaan, jabatan, jenjang pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan pribadi, sikap hidup, perilaku masyarakat, agama, ideologi, sistem kepercayaan, aktivitas sosial, aksi sosial, hobi pribadi, organisasi sosial, suku bangsam garis keturunan, dan asal usul sosial.26 c. Alur (Plot) Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan saksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian.27 Jika sebuah peristiwa atau beberapa peristiwa yang dapat disatukelompokkan itu dihubung-hubungkan, maka akan terlihatlah susunan peristiwa secara kausalitas (hubungan sebab-akibat). Pada akhirnya pembaca akan menemukan sebuah peristiwa atau sekelompok peristiwa akan berhubungan semuanya tanpa ada peristiwa yang terlepas. Hubungan antara satu peristiwa atau sekelompok peristiwa dengan peristiwa yang lain disebut sebagai alur atau plot.28 Rincian Tasrif dalam Nurgiyantoro mengenai plot, yaitu membedakan tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut 1) Tahap situation. Tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama, berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. 2) Tahap generating circumstances. Tahap pemunculan konflik, masalah- masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya

26 Suyadi San, Drama Konsep Teori dan Kajian, (Medan: CV Pratama Mitra Sari, 2013), hlm.12 27 Siswanto, Op.cit, hlm.159 28 Hasanuddin, Op.cit, hlm.89-90

19

konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. 3) Tahap rising action. Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik- konflik yang terjadi, internal dan eksternal, atau keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari. 4) Tahap climax. Tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan yang terjadi, yang dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memilki lebih dari satu klimaks. 5) Tahap denouement. Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri. d. Latar Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.29 Latar harus menunjang dengan alur dan penokohan dalam membangun permasalahan dan konflik. Alur masih netral mengungkapkan peristiwa- peristiwa sebagai bagian dari permaslahan, latar memperjelas keadaan, suasana, tempat, dan waktu terjadinya peristiwa. Demikian juga dengan penokohan yang ada kalanya masih mengambang, maka latarlah yang memperjelasnya.30

29 Burhan, Op.cit, hlm.302 30 Hasanuddin, Op.cit hlm.94-95

20

Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.31 Latar terbagi menjadi tiga bagian, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial- budaya. 1) Latar tempat Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminakan, atau paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. 2) Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. 3) Latar sosial Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.32 e. Gaya bahasa Gaya bahasa dapat dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu pengiasan dan pelambangan. Abrams dan Rachmad Djoko Pradopo dalam Kinayati, membagi majas ke dalam lima bagian: metafora, simile,

31 Burhan,Op.cit, hlm.303 32 Ibid, hlm.314-322

21

personfikasi, metonimi, dan sinekdok. Sedangkan Perine dalam Kinayati , membagi lambang ke dalam empat bagian yaitu lambangg benda, lambang warna dan lambang suasana.33 Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Sastra lebih dari sekadar bahasa, deretan kata, namun unsur “kelebihan”-nya itu pun hanya dapat diungkapkan dan ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu, mendialogkan sesuatu, sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa.34 f. Amanat Amanat merupakan opini, kecenderungan, dan visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya. Amanat di dalam drama dapat terjadi lebih dari satu, asal kesemuanya itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Amanat juga merupakan kristalistik dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar, dan ruang cerita.35

D. Pembelajaran Sastra Pembelajaran sastra berupa pengajaran drama di sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam dua pengajaran, yaitu pengajaran teks drama yang termasuk sastra, dan pementasan drama yang termasuk bidang teater.36 Pentingnya mengajarkan drama sebab sejak mengenyam dunia pendidikan anak-anak sekolah telah dikenalkan dengan drama, apa itu drama dan bagaimana menjalankannya. Materi-materi yang diajarkan pun mesti bertahap agar anak didik paham tentang materi yang diberikan. Drama yang baik diajarkan di sekolah harus memiliki tujuan-tujuan khusus, yaitu; (a) pengembangan kenikmatan dan keterampilan membaca dan menafsirkan drama, dan memeperkenalkan siswa dengan sejumlah karya

33 Kinayati Djojopuspito, Puisi; Pendekatan dan Pembelajaran, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), hlm.17 34 Burhan, Op.cit, hlm.364 35 Hasanuddin, Op.cit, hlm.103 36 Heman J Waluyo, Drama: Teori dan Pengajarannya, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2002), hlm.156

22

yang signifikan; (b) pengenalan tradisi drama dan peranannya dalam sejarah kemanusiaan, (c) pengembangan dasar dan citarasa terhadap drama, film, dan teleivisi; (d) perangsangan perhatian terhadap permainan drama dari penunjangan selera masyarakat, (e) peningkatan pengertian siswa tentang pentingnya drama sebagai sumber pemekaran kawasan terhadap masalah- masalah pribadi dan sosial.37 Ketika anak-anak masuk sekolah sebetulnya mereka penuh dengan gaya imajinasi dan peka terhadap pengamatan dan pengalaman, tetapi di dalam proses pendidikan seringkali insting dramatik ini terbunuh karena mereka setiap hari hanya menghadapi buku dan metode formal dari pengajaran. Di antara mereka pastilah ada calon seniman, penyair, dramawan dan penyanyi dan mereka menghargai segala sesuatu yang indah dan banyak sekali di antara mereka yang „terlindas‟ dan tanpa imajinasi. Maka dari itu, patutlah pendidik memberi ruang bagi anak didik untuk berkreativitas lewat seninya. Suatu rencana pendidikan yang lebih mulia dan lebih sehat dibutuhkan untuk menghindarkan anak itu dari ketiadaan citarasa seni, keindahan dan keriangan yang alamiah yang ada pada mereka. Pendidikan di masyarakat demokratis haruslah mementingkan senni dan menghidupkan dan memperkembangkan daya imajinasai anak-anak. Suatu teater anak-anak dapat merupakan alat pendidikan yang paling efektif untuk mengajarkan demokrasi yang baik.38 Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra.39 Secara tidak langsung, dalam proses drama, tentu siswa diajak untuk membaca naskah, lalu memahami, kemudian menganalisis, dan siswa juga berkesempatan menikmati karya sastra. Ketepatan dalam pengajaran sastra tersebut dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya

37 Rizanur Gani, Pengajaran Sastra Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), hlm.260 38 AJ. Soetrisman, Drama dan Teater Remaja, (Yogyakarta: Penerebit Hanindita, 1980), hlm.47 39 Siswanto, Op.cit. hlm.168

23

meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta rasa, dan menunjang pembentukan watak.40 Pada akhirnya, drama dapat dievaluasi lewat pentasnya. Umumnya, hampir setiap sekolah dari jenjang yang berbeda baik itu SD, SMP dan SMA kerap mengadakan pementasan drama dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Drama yang ditampilkan dapat terjadi karena faktor tugas akhir atau tampil di acara yang diselenggarakan oleh sekolah masing-masing. Bukan hanya di jenjang pendidikan dasar saja drama kerap diselenggarakan bahkan hingga perguruan tingggi pun sering mengadakan pementasan- pementasan untuk dinikmati. Tujuan pementasan pun bukan hanya sekadar menunjukkan adanya hasil belajar melainkan untuk menunjukkan betapa pentingnya kegiatan seni berupa drama.

E. Penelitian Relevan Penelitian relevan bertujuan untuk menghindari adanya plagiarisme. Selain itu, untuk menghindari hal tersebut, penulis akan paparkan beberapa hasil penilitian sebelumnya yang pernah mengkaji hal yang sama untuk dijadikan perbandingan dan penelitan relevan. Skripsi berjudul “Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II Karya Arifin C Noer dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”. Karya Yunita, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 2014. Penelitian tersebut mendeskripsikan hidup seorang tokoh dalam drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II Karya Arifin C Noer. Hasil penelitian tersebut meliputi: pertama, ia menganggap bahwa dunia ini tidak lagi diperlukan cinta kasih, semua hal itu malah akan membuat lemah dan tidak bergairah dalam hidup. Kedua, pandangannya tentang penderitaan berubah, menurutnya, penderitaan adalah ketika ia menikah dan memiliki keluarga. Ketiga, pandangan Waska

40 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988) , hlm.16

24

tentang tanggung jawab yang bagiannya itu kekokohan hidup, tanggung jawab yang ia miliki adalah tanggung jawab terhadap waktu jika ingin menjadi orang besar. Keempat, adalah pandangan hidupnya tentang harapan. Harapan baginya adalah omong kosong, berharap sama saja menjatuhkan diri ke dalam lubang ketakutan.41 Penelitian relevan kedua berupa skripsi yang berjudul “Perilaku Masyarakat Urban dalam Drama Mega,Mega Karya Arifin C Noer dan Implikasinya Pada Pembelajaran Sastra di SMA”, karya Yunia Ria Rahayu, mahaiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 2014. Penelitian tersebut mendeskripsikan perilaku negatif masyarakat urban akibat dari keminskinan. Kemiskinan tersebut meliputi kemiskinan finansial dan kemiskinan mental serta moral akibat rendahnya pendidikan yang didapat. Perilaku negatif tersebut antara lain menjadi pencuri, pengemis, dan wanita tunasusila. Kebimbangan sikap hidup masyarakat urban dalam kemiskinan di kota perantauan mulai terlihat, sehingga perilaku yang muncul akibat kemiskinan berpengaruh terhadap cara mereka untuk bertahan hidup sebagai masyarakat urban.42 Penelitian selanjutnya adalah jurnal sastra yang berjudul “Watak dan Perilaku Tokoh Jumena Mertawangsa dalam Naskah Drama Sumur Tanpa Dasar Karya Arifin C Noer”, yang ditulis oleh Muhammad Imam Turmudzi, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra di Universitas Negeri Semarang pada tahun 2003. Tujuan dalam penelitian ini mendesripsikan watak dan perilaku tokoh Jumena dan fungsi tokoh Jumena sebagai pemantik konflik. Hasil penelitian menunjukkan berbagai macam watak dan perilaku tokoh Jumena

41 Yunita, Skripsi berjudul, “Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang- umang Atawa Orkes Madun II Karya Arifin C Noer dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hlm.1 42 Yunia Ria Rahayu, Skripsi berjudul, “Perilaku Masyarakat Urban dalam Drama Mega,Mega Karya Arifin C Noer dan Implikasinya Pada Pembelajaran Sastra di SMA”, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hlm.1

25

dan fungsi Jumena sebagai pemantik konflik dalam naskah drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C Noer.43 Perbedaan dari tiga karya Arifin C Noer yang ditulis sebagai penelitian relevan berbeda dengan karya yang diteliti oleh penulis yaitu, Tengul. Naskah Umang-umang Atawa Orkes Madun II, bercerita tentang seorang tokoh bernama Waska yang ingin berkuasa. Mega, mega, bercerita tentang kehidupan orang-orang jalanan yang memiliki perilaku urban karena faktor kemiskinan yang melanda. Sedangkan, Sumur Tanpa Dasar, bercerita tentang tokoh Jumena Wartawangsa sebagai tokoh utama yang sudah tua dan memiliki istri yang masih muda tetapi tidak ingin ketika ia mati hartanya dimiliki oleh istrinya. Berdasarkan penelitian relevan tersebut, penulis memiliki kesamaan dan perbedaan dalam melakukan analisis. Perbedaan dari masing- masing penulis adalah pada objek yang dianalisis dan sumber data yang digunakan. Persamaannya adalah penulis dan peneliti sebelumnya sama-sama menganalisis karya sastra dari pengarang yang sama yaitu naskah drama karya Arifin C Noer.

43 Muhammad Imam Turmudzi, Jurnal Sastra Indonesia vol. 2 no.1, “Watak dan Perilaku Tokoh Jumena Martawangsa dalam Naskah Drama Sumur Tanpa Dasar Karya Arifin C Noer”, (Semarang: UNS, 2003), hlm.1

BAB III

BIOGRAFI PENGARANG

A. Biografi Arifin C Noer Arifin Chairin Noer atau biasa dikenal Arifin C Noer adalah seorang dramawan, penulis sajak, penulis skenario, serta sutradara film dan sinetron. Ia dilahirkan di kota Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret 1941 dan meninggal di Jakarta, 28 Mei 1995. Arifin lahir dari kalangan keluarga sederhana. Orang tuanya hanya pejagal kambing dan ahli memasak daging menjadi sate dan gulai kambing. Meski demikian, hal itu tidak membuat Arifin menjadi terbelakang dan tertinggal pendidikannya dari teman-teman seangkatannya. Ia terus menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi.1 Arifin C Noer merupakan anak kedua dari Mohammad Adnan, seorang tukang sate di Cirebon. Ia sudah memulai kiprahnya sejak SMP. Dirinya menamatkan SD Taman Siswa di Cirebon, SMP Muhammadiyah di Cirebon, dan SMA Negeri Cirebon tetapi di SMA ini tidak tamat, kemudian pindah ke SMA Jurnalistik di Solo. Setelah itu, ia masuk Fakultas Sosial Politik Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta dengan jurusan Administrasi Negara. Kemudian mengikuti International Writing Program di Universitas Lowa, Lowa City, Amerika Serikat.2 Arifin mulai menulis sejak SMP, ia menulis cerpen dan puisi lalu mengirimkannya ke majalah penerbit di Cirebon dan Bandung. Modal awal ia bisa menulis itulah yang membuat dirinya ingin meneruskan harapannya berada dalam dunia sastra atau kesenian. Pada masa SMA, ia telah mengenal beberapa seniman dan sastrawan seperti Sapardi Djoko Damono, Dedy Sutomo, Mochtar Hadi, dan WS Rendra. Arifin pun semakin kerasan untuk

1 Puji Sentosa, Biografi Arifin C. Noer. Puji Santosa lahir di kota Madiun, Jawa Timur, 11 Juni 1961 adalah peneliti utama bidang sastra pada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. http://pujies-pujies.bllogspot.co.id/2010/01/arifin-c- noer.html. Diunduh Kamis, 19-01-2017 2 Yayat Hendrayana, Umang-umang Arifin Impian Kemelaratan. (Bandung: Pikiran Rakyat, 1976), hlm.5

26 27

melanjutkan dunia keseniaannya. Lepas dari sekolah, Arifin melanjutkan ke perguruan tinggi di jurusan Administrasi Negara, Universitas Cokroaminoto, Surakarta. Dari kota Solo, yang penuh dengan kenangan—karena pertama kali Arifin menikah dengan gadis bernama Nurul Aini pada awal tahun 1960- an—Arifin meneruskan perjalanannya ke kota Yogyakarta. Kota pelajar yang memiliki segudang kebudayaan itu membuat Arifin makin kreatif menulis sajak dan menekuni teater. Pertama kali ia bergabung dengan ―Teater Muslim‖ pimpinan Mohammad Diponegoro dan kemudian bergabung dengan ―Bengkel Teater‖ pimpinan WS Rendra. Berawal dari keaktifannya di teater itulah kemudian ia pindah ke Jakarta untuk mendirikan ―Teater Kecil‖ (1968). Teater ini kemudian menjadi ajang kreativitas dan aktivitas Arifin dalam mengembangkan dunia kesenian di Indonesia, khususnya seni teater. Teater Kecil juga dimanfaatkan oleh Arifin C Noer menjadi semacam laboratorium untuk mengembangkan eksperimen-eksperimennya.3 Beda halnya dengan seniman lain, selain Arifin mendirikan Teater Kecil dengan tujuan memajukan seni teater, ia juga ingin teater Indonesia memiliki khas tersendiri. Arifin C Noer dan Teater Kecil adalah sebuah fenomena dalam teater Indonesia modern. Kalau WS Rendra dengan Bengkel Teater menyumbangkan ―Kegagahan dalam Kemiskinan‖ dengan antara lain menggali idiom pengadegan teater rakyat seperti ketoprak, Teguh Karya dengan Teater Populer menyumbangkan upaya menggali realisme Barat dan pola produksi yang sadar pasar sehingga menjadikan teater sebagai hidangan terhormat di masyarakat kelas menengah, Arifin menyumbangkan pemikiran ala Indonesia dengan segala masalah sosial, psikologi, ditambah juga sering memasukkan mistik Jawa/Sunda dalam kemasan Indonesia. Arifin salah seorang pelopor teater Indonesia modern yang membawa cap Indonesia.4 Sampai saat ini nama Teater Kecil tetap berkibar dan telah dikenal luas oleh para pecinta teater dan seni pada umumnya.

3 Puji Sentosa, Op.cit 4 Anonim, Dari Konsep ke Panggung Arifin, (Semarang: Harian Merdeka, edisi Minggu 29 Mei 2005), hlm.13

28

Awalnya, Arifin bekerja sebagi manajer bisnis untuk membiayai teater yang digelutinya. Namun, Arifin sadar hal itu tidak akan berjalan baik. Kesadaran Arifin itulah yang membuat ia berhenti menjadi manajer bisnis. Dunia seni tidak bisa dicampur dengan dunia pekerja. Sebab seni butuh loyalitas dan totalitas dalam melaksanakannya, Arifin pun demikian, tidak seberapa penting gaji dan segala fasilitas yang diterima sebagai pekerja bila imajinasi dalam seninya semakin terbatas. Selepas dari pekerjaannya itu, Arifin berangkat ke Amerika Serikat untuk mengikuti International Writing Program di Universitas Lowa, Lowa City, USA. Sepulangnya dari Amerika Serikat, ia mengembangkan bakat seninya dengan tidak terbatas pada penulisan sajak dan teater. Ia kemudian merambah ke dunia film layar lebar sebagai penulis skenario dan sutradara. Ternyata dunia film membuatnya makin terkenal di berbagai lapisan masyarakat. Uangnya pun makin banyak sehingga dapat menghidupi ―Teater Kecil‖ yang dipimpinnya dan seluruh keluarganya. Selain itu, karena film garapannya, Arifin dapat meraih Piala The Golden Harvest pada Festival Film Asia (1972) dan Piala Citra dalam Festival Film Indonesia (1973, 1974, dan 1990). Dan film garapannya yang mendapat penghargaan terbesar selama pemerintahan Orde Baru adalah ―Pengkhianatan G.30.S/PKI‖ yang dibintangi Umar Kayam. Film ini diputar setiap tahun melalui TVRI dalam memperingati ―Hari Kesaktian Pancasila‖ dan baru diberhentikan setelah pemerintahan Orde Baru tumbang.5 Selain itu, Arifin juga pernah diundang dalam Simposium Film Internasional di Hawai. Hampir lima bulan ia berada di Hawai, tepatnya sejak bulan November 1983 hingga awal Maret 1984. Kepergiannya untuk ikut serta dalam Simposium Film Internasional yang diselenggarakan oleh East-West Centre dalam rangka Hawai Film Festival. Selain itu, kepergian Arifin anak tukang sate Cirebon ini juga mempunyai program riset mengenai apa yang disebut teater ‗modern‘ di Indonesia dan Asia Tenggara di East-West Centre. Agaknya kepergian pendiri dan pimpinan Teater Kecil yang didirikan tahun

5 Sentosa, Op.cit

29

1968, di Balai Budaya ini termasuk istimewa. Bersama karya-karyanya kini membuat Arifin menjadi pembicaraan menarik. Naskah Kapai-kapai, Sumur Tanpa Dasar, Tengul, dan Orkes Madun merupakan naskah yang sering dibicarakan dan dipentaskan oleh grup-grup teater. Selain bidang teater, Arifin juga dikenal sebagai sutradara film dan penulis skenario. Suci Sang Primadona, Harmoniku, Petualang-petualang, Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa, Serangan Fajar, dan Penghkhianatan G30S/PKI, merupakan karya- karyanya.6 Arifin juga dianggap orang yang romantis sebab dari dua pernikahannya ia selalu memberi mas kawin berupa tulisan sendiri. Ketika menikah dengan istri pertama, Nurul Aini, ia memberi mas kawin berupa naskah lakon yang berjudul Prita Istri Kita dan Arifin mendapat dua anak dari istri pertamanya, yaitu Vita Ariavita dan Veda Amritha. Pasangan ini kemudian bercerai pada tahun 1979. Lalu Arifin kembali menikah dengan Jajang Pamoentjak, putri tunggal dubes RI pertama di Prancis dan Filipina, yang juga seorang aktris dengan nama Jajang C Noer. Ketika menikahinya, Arifin juga memberikan karya khusus istrinya yang berjudul Selamat Pagi, Jajang yang digunakan sebagai mas kawin. Arifin juga mendapatkan dua orang anak dari Jajang, yaitu Nitta Nazyra dan Marah Laut.

B. Karya Arifin C Noer Seniman meninggalkan dunia yang fana ini, yang diingat orang adalah karyanya. Demikian pula dengan Arifin C Noer seniman besar Indonesia yang telah pergi untuk selama-lamanya, almarhum masih mempunyai ‗warisan‘ berbentuk sinetron yang menurut pengakuan beberapa kalangan dianggap sebagai salah satu karya terbaiknya. Salah satunya adalah Didi Petet, yang berakting di sinetron Keris yang ditayangkan di televisi nasional pada tahun 1995. Dia mengaku itulah permainan aktingnya yang paling jujur, itulah pertama kalinya Didi Petet ditangani Arifin C Noer selama

6 Yon AG, Anak Tukang Sate yang Diundang ke Luar Negeri, (Semarang: Harian Merdeka, edisi Selasa, 31 Maret 1984 ), hlm.7

30

berkarir di dunia akting. Dari sinetron Keris itulah, Didi mengakui baru mengenal bahwa Arifin ternyata seorang perfeksionis dalam hal memandang kebenaran, Arifin akan segera menegur jika di depan matanya terdapat kesalahan.7 Ketika Arifin mulai berkiprah di dunia perfilman, ia kerap mendapat berbagai penghargaan. Pengalamannya sebagai sutradara teaterlah yang menghantarkannya menjadi sutradara handal. Sebab pengalamannya itu yang menjadikan dasar bagi dirinya unuk mulai merambah dunia layar kaca dan layar lebar. Sebelum merambah dunia perfilman, Arifin juga telah banyak mendapat penghargaan pada dunia sastra. Kreativitasnya di bidang penulisan puisi dan drama makin berkembang sejak pindah ke Yogyakarta. Di tahun 1960, ia bergabung dengan WS Rendra dalam lingkungan drama Jogja dan kemudian ia masuk teater muslim pimpinan Mohammad Diponegoro. Maka, lahir drama Nenek Tercinta, pemenang pertama sayembara penulisan lakon Teater Muslim. Karyanya yang lain adalah Mega-mega, pemenang kedua sayembara naskah drama Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (BPTNI) pada tahun 1967.8 Pada tahun 1972, ia diberi penghargaan berupa Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia atas jasanya dalam mengembangkan kesenian di Indonesia. Lewat naskah Ozon, ia juga mendapat penghargaan berupa Hadiah Sastra ASEAN dari Putra Mahkota Thailand (1990). Dan mendapat Hadiah Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1990). Selain itu, dramanya yang berjudul Kapai-kapai diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dengan judul Moths dan diterbitkan di Kuala Lumpur, Malaysia. Karya-karya Arifin masih banyak dan bukan hanya naskah saja melainkan juga sajak-sajaknya. Buku kumpulan sajaknya adalah Nurul Aini

7 Anonim, Warisan‟ almarhum Arifin C Noer, (Semarang: Harian Wawasan, edisi Jum‘at, 15 September 1995), hlm.4 8 Dendy Sugono, Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm.35

31

(1963), Siti Asiah (1964), Puisi-puisi yang Kehilangan Puisi (1967), Selamat Pagi, Jajang (1979), dan Nyanyian Sepi (1995). Buku dramanya adalah Lampu Neon (1960), Matahari di Sebuah Djalan Ketjil (1963), Nenek Tertjinta (1963), Prita Istri Kita (1967), Mega-mega (1967), Sepasang Pengantin (1968), Kapai-kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), Kasir Kita (1972), Tengul (1973), Orkes Madun I atawa Madekur dan Tarkeni (1974), Umang-umang (1976), Sandek, Pemuda Pekerja (1979), Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi I (1984), Ari-ari atawa Interogasi II (1986), dan Ozon atawa Orkes Madun IV (1984). Film-film dan sinetron yang disutradarai dan ditulis skenarionya sendiri adalah Pemberang (1972), Rio Anakku (1973), Melawan Badai (1974), Petualang-petualang (1974), Suci Sang Primadona (1978), Harmoniku (1979), Lingkaran-lingkaran (1980), Serangan Fajar (1981), Pengkhianatan G.30S/PKI (1983), Matahari- matahari (1985), Sumur Tanpa Dasar (1989), Taksi (1990), dan Keris (1995).9 Begitu banyak karya dan penghargaan yang didapat maka patulah Arifin dikatakan sebagai sastrawan dan sutradara yang handal.

C. Pemikiran Arifin C Noer Arifin adalah seorang dramawan yang turut membangun dunia teater di Indonesia. Pada gebrakan awal Taman Ismail Marzuki (TIM)— berdiri 1968—Arifin ikut memberikan bentuk dan nyawa pada teater Indonesia modern, untuk kemudian menjadi sosok seperti adanya sekarang ini. Teater Indonesia modern berbeda dari perkembangan teater negara jiran seperti Singapura dan Malaysia yang berkiblat pada teater Barat. Teater Indonesia modern memiliki kaitan yang erat dengan tradisi. Bukan hanya karena mempergunakan bahasa Indonesia, tetapi karena menjemput idiom, falsafah dasar tontonan Indonesia yang menjiwai semangat teater rakyat dan teater tradisi. Dengan Teater Kecil, Arifin mengangkat naskah-naskah

9 Sentosa, Op.cit

32

karyanya sendiri (di samping naskah-naskah mancanegara) dengan idiom- idiom personal yang meruap dari latar belakangnya (Cirebon).10 Menurut Indra Soeradi, aktor dan seniman asal Cirebon yang menemukan sekaligus guru dari (Teater Koma), suatu kali pada tahun 1960an, ia pernah diminta membaca oleh Arifin beberapa naskah yang dibuat oleh Arifin seperti Tengul, Sumur Tanpa Dasar, dan Kasir Kita. Ia tidak mengira bahwa berpuluh tahun kemudian, naskah-naskah tersebut menjadi cikal bakal bangkitnya teater Indonesia Baru.11 Arifin, seniman serba bisa. Tetapi jika kita berbicara tentang Arifin penerima SEA Write Awards ‘90, tentu kita bicara tentang Arifin yang sastrawan andal–khususnya sebagai penulis lakon—dan penggagas teater. Di mata pengamat teater khususnya, Arifin dianggap sebagai salah satu pelopor dan pembaharu teater (baru) Indonesia. Dapat dikatakan Arifin membentuk mazhab tersendiri dalam dinamika kehidupan teater baru Indonesia. Kehadirannya menorehkan corak, fenomena tersendiri dalam hal bentuk, gaya pengucapan, yang sama sekali baru dalam dunia teater kita. Dilihat dari kacamata sastra, lakon-lakonnya memang tergolong unik dan mengesankan, bahkan untuk sekadar dibaca sekalipun. Sebagai sutradara andal, Arifin menemukan banyak variasi dalam teater. Ciri-ciri teater Arifin, menurut Abdul Hadi WM adalah: puitis, surealis, dan simbolis. Ciri-ciri ini memungkinkan Arifin menggulati masalah-masalah sosial dan spiritual sekaligus dalam lakonnya.12 Arifin tidak selalu memuja dan membanggakan Barat sebagai referensi untuk berkarya sebab di Indonesia sendiri tidak habis untuk dipuja- puja, referensi begitu melimpah, kehidupan masyarakat di Indonesia bisa dijadikan referensi dalam berkarya. Mulai dari aspek psikologis, sosial, ekonomi, politik, religi, bahkan sampai pendidikan, semua kerap dijadikan satu kemasan yang menarik ketika Arifin membuat karya, utamanya dalam

10 Anonim, Dari Konsep Ke Panggung, Op.cit 11 Sugono, Op.cit, hlm.36 12 Rachmat Hidayat Cahyono, Arifin C Noer: Penerima SEA Write Award „90, (Jakarta: Media Indonesia, edisi Minggu, 14 Oktober 1990), hlm.3

33

drama. Pada masanya, Teater Kecil , bentukan dan pimpinan Arifin, adalah teater yang berbeda dari teater yang lain seperti Teater Populer atau Bengkel Teater. Teater Populer yang jelas berkiblat kepada Barat, tetapi juga tidak sama dengan Bengkel Teater yang menempatkan penonton sebagai raja sekaligus anak kecil, yang harus dihibur atau diberikan pengarahan dengan cerita dan kritik-kritik tajam yang frontal, Arifin mengajak penonton bermain, berkontemplasi, untuk bersama-sama kembali kepada kehidupan sehari-hari di sekitar dengan persoalan sosial dan religiusitas yang tak bisa lepas dari masyarakat yang mayoritas muslim.13 Begitu juga dengan pemikirannya yang berani mengubah tradisi teater Indonesia, yang biasa mengarah ke Barat, kini tidak lagi. Sebab, tradisi baru adalah upaya untuk tetap menghargai Barat sebagai referensi, namun tidak menjadikannya kiblat. Teater Indonesia modern menolak untuk dipetakan menurut pemetaan Barat, karena memang proses dan inpirasinya sebagai produk dari apa yang disebut ―upacara bersama‖, kemudian berbeda dari sesuatu yang umumnya ada dalam referensi Barat. Teater bukan hanya tidak lagi diperintah oleh psikologi, filsafat bahkan juga politik dan agama, tetapi teater adalah rasa. Teater adalah luapan rasa yang ingin melakukan kontak dengan rasa yang lain.14 Selain memberikan tradisi baru bagi dunia tetaer Indonesia, bukan berarti Arifin meninggalkan Barat sebagai referensi. Justru terkadang Arifin merasa marah dan kecewa bila ada anak-anak muda yang setuju dengan tradisi yang dibangun Arifin tetapi tidak gemar membaca. Sebab menurutnya, referensi bisa dari mana saja, jangan karena kita memiliki tradisi baru lantas meninggalkan tradisi lama. Arifin sebenarnya bukan menghujat, ia hanya mengingatkan bahwa tanpa referensi, orang tak akan mungkin bisa bebas. Dengan menguasai referensi, Arifin justru ingin mengatakan bahwa teater Indonesia akan tahu

13 Anonim, Dari Konsep Ke Panggung, Op.cit 14 Ibid

34

jalan-jalannya sendiri dan tidak hanya mengunyah-ngunyah Barat, sebagaimana penyakit lama yang kambuh lagi sekarang pada banyak anak- anak muda berpotensi, yang memposisikan Barat bukan hanya sebagai referensi tetapi kembali dikunyah sebagai kiblat.15 Kerap sekali Arifin juga mengangkat tema tentang humanis dan biasanya mengangkat kisah dari kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Perilaku masyarakat baik yang menengah ke atas atau menengah ke bawah kerap dikemas dengan apik dalam teater. Pada karyanya, Tengul, Arifin memasukkan segala jenis pekerjaan dengan aneka macam orang yang berkeinginan menjadi kaya harta, dengan berbagai macam cara. Padahal mereka sudah memiliki harta, tetap merasa tidak puas. Disinilah, Arifin mengangkat cerita yang menarik dengan caranya. Pentas “Tengul” dikemas dalam sajian olok-olok terhadap orang miskin. Setting panggung dengan rolet judi yang diputar, musik, dan pilihan kostum keseharian kaum papa menjadi sangat mewakili bagaimana mimpi- mimpi orang kecil agar bisa menjadi kaya.16 Dari naskah tersebut Arifin mencoba menggabung seluruh elemen masyarakat, bahwa di setiap masyarakat tidak ada yang berbeda, dalam hal ini pun mereka melakukan segala cara untuk kaya. Drama Tengul, tetap relevan dihidangkan menjelang pesta demokrasi kali ini. Karena dalam persaingan hidup di zaman sekarang taruhan atau berjudi itu diinterpretasikan berbeda, menjadi persoalan mencari keberuntungan atau mengadu nasib, tidak hanya judi togel, umpamanya mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil, sampai pada calon legislatif, juga bentuk lainnya. Bahkan mereka berani mengeluarkan banyak modal

15 Ibid 16 Eriyanti, Pentas “Tengul” Mengolok-olok Kemiskinan, www.pikiran-rakyat.com/seni- budaya/2011/12/15/169456/pentas-tengul-mengolok-olok-kemiskinan. Diunduh Kamis, 19-01- 2017.

35

untuk taruhannya, selain menyogok dengan sejumlah uang dan berbagai fasilitas lainnya, hanya untuk meraih dan mewujudkan sebuah harapan.17 Tema semacam Tengul yang berbicara tentang humanis atau naskah-naskah yang lain yang juga bertema humanis merupakan ciri atau hal yang dianggap sebagai khas bagi Arifin dalam dunia teaternya. Kepiawaian Arifin dalam membungkus seluruh elemen masyarakat ini yang menjadikan penonton, pembaca, dan penikmatnya menikmati betul setiap karyanya. Arifin juga pernah berkomentar dengan amat terangnya, ia pernah menjawab suatu pertanyaan yang bertanya, Apakah ia ingin mengungkapkan masa silam, atau ingin masa silamnya yang penuh kemiskinan itu untuk diperhatikan? Lalu dijawabnya ―Saya menulis itu semua supaya manusia cinta kepada hidup dan kehidupan ini‖.

Tentu saja supaya manusia tak ada yang berani merebut hak hidup orang lain, baik dengan jalan menipu, merampok atau manipulasi.18 Lalu berkaitan dengan tema humanis yang kerap ada dalam karyanya, dan terkadang juga memasukkan agama Islam ke dalam dramanya, ia menganggap Islam agama yang humanis. ―Karena menurut saya, itulah tema terbesar abad ini. Yaitu kelaparan dan kemiskinan, kemiskinan dan kelaparan dalam arti, yang universal, ya kelaparan jiwa ya kelaparan materi‖ ―Islam itu amat humanis, Islam menghormati kedudukan manusia sebagai makhluk yang ditinggikan. Coba saja lihat, bila kita bersalah pada manusia, maka Tuhan tidak mau memaafkan kesalahan itu sebelum ia meminta maaf kepada orang tempat ia bersalah. Ternyata Tuhan tidak mau merebut hak kita manusia untuk memaafkan kesalahan orang lain walau ia lebih berkuasa‖19 Selain seorang realistis, Arifin juga orang yang religius. Memang kerap Arifin memasukkan sedikit nilai-nilai religi dalam karyanya, seperti ada orang yang berkumandang adzan, dalam Tengul. Selain daripada itu, Arifin

17 Abah Jajang Kawentar, Tengul; Bertaruh Jelang Pesta Demokrasi, www.indonesiaartnews.or,id/newsdetil.php?id=434. Diunduh Rabu, 28-12-2016. 18 Inval Adilla, Menghormati Manusia sebagai Makhluk yang Ditinggikan, (Padang: Harian Singgalang, edisi Senin, 3 September 1984), hlm.6 19 Ibid.

36

yang dikenal sebagai sutradara andal, pernah membuat film Pengkhianatan G 30S/PKI, yang menimbulkan banyak kritikan dari berbagai kalangan bahkan ada yang berkomentar bahwa film tersebut adalah pesanan dari pemerintah, tetapi ia mengaku bahwa segala karya yang dibuatnya berdasarkan kesadarannya. ―Saya tak mau bikin film karena lapar! Bagaimana pun saya tak mau menganaktirikan film-film saya. Film-film saya adalah anak- anak saya yang lahir lewat kesadaran hati nurani. Semua yang saya kerjakan adalah sama sadar, baik dalam film maupun dalam teater. Kalau saja bekerjasama dengan pemerintah, itu karena faktor pendekatan yang sama-sama sepaham. Kalau tak sepaham ya buat apa?‖ ―Tiada seorang pun yang dirinya dibayar orang lain, melainkan dibayar oleh diri kita sendiri‖ 20 Arifin telah mengungkapkan apa yang telah dianggap kontroversial karena telah membuat film Pengkhianatan G 30S/PKI. Sama seperti karya yang lainnya, Arifin menganggap tulisannya adalah kesadarannya dalam menulis. Setiap karya yang ditulis hampir selalu Arifin mengangkat kisah berdasarkan apa yang telah terjadi di masyarakat. Masyarakat adalah bahannya untuk menulis dan mendapat inspirasi. Segala kisah yang dialaminya sendiri, atau keluarganya, atau pun orang terdekatnya, serta permasalahan mengenai psikologi, ekonomi, politik sampai pendidikan kerap dijadikan bahan untuk membuat karyanya dan karyanya selalu dikemas dengan rapih dan membuat penikmat sastra menikmatinya.

20 Rosyid EA, Pengakuan Arifin C Noer, (Bandung: Pikiran Rakyat, edisi Mingguan, 14 Oktober 1990), hlm.7

BAB IV

PEMBAHASAN DAN ANALISIS

A. Unsur Intrinsik Naskah Drama Tengul Karya Arifin C Noer 1. Tema Tema adalah pokok pikiran atau dapat disebut sebagai dasar cerita. Tema juga dapat menentukan konflik yang terjadi dalam sebuah cerita dan tema juga menjadi ide dasar pengembangan seluruh isi cerita. Tema dalam naskah drama Tengul secara keseluruhan adalah keserakahan dalam mengumpulkan kekayaan dengan cara apapun. Sampulung : Tidak seorangpun yang memasang tiga-tiga? Seseorang mengangkat tangannya. Sampulung : Cuma seorang? Dua orang lagi mengangkat tangannya.1 Kata memasang di sini menyatakan bahwa akan ada perjudian, sebab kata pasang lalu setelahnya diikuti dengan kata nomina identik dengan perjudian seperti togel, lotre, dan lainnya. Perjudian dengan menebak angka adalah salah satu jalan yang dianggap mudah bagi masyarakat untuk mendapatkan uang dengan cara cepat. Masyarakat yang percaya dengan hal ini bukan kaum laki-laki saja, kaum perempuan pun percaya dan banyak yang ikut dalam perjudian tersebut. Salah satu faktor mereka ikut dalam perjudian adalah karena ekonomi yang di bawah standar serta membutuhkan uang banyak dengan cepat. Tema minor yang terdapat dalam naskah Tengul adalah kemiskinan, tidak pedulinya pemerintah terhadap pekerja, dan lingkungan yang permisif. Kutipan di bawah ini menunjukkan masyarakat lebih percaya hasil judi dibanding hasil pekerjaannya. L.Kurus: Tapi dengan penghasilan kalian yang kadangkala sangat kurang, jangankan untuk berpakaian, bahkan untuk makanpun

1 Arifin C Noer, Tengul, (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1974), hlm.6

37

38

kalian kurang, dapatkah kalian sampai pada impian dan angan- angan kalian? Jelas tidak.2 Kutipan di atas menggambarkan bahwa keadaan masyarakat yang sulit membuat mereka memilih jalan berjudi dan lebih percaya dengan nasib sebagai penjudi dibanding sebagai pekerja. Masing-masing dari mereka punya hasrat untuk menambah kekayaan tetapi karena penghasilan yang didapatnya hanya cukup untuk sehari-hari saja, maka mereka lebih percaya pada perjudian. Faktor kemiskinan serta upah sebagai pekerja adalah salah satu faktor yang mendukung masyarakat untuk berjudi. Kutipan lain menggambarkan tentang kekesalan Korep dengan hasil yang didapatnya sebagai pegawai negeri. Korep: Mau menabung? Apa yang ditabung? Mau korupsi? Apa yang dikorupsi? Satu-satunya jalan adalah pasang lotre. Si Tuli: Dan tidak pernah menang Korep: Dan tidak pernah menang Ketiganya ketawa.3 Kutipan di atas merupakan ungkapan kekesalan Korep dengan bertanya untuk memastikan apa yang harus ditabung sementara penghasilannya hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari, seakan membuka lobang kebobrokan pemerintah saat itu yang tidak dapat memenuhi para pegawainya dalam persoalan gaji. Maka dari itu, ia menganggap dengan berjudi akan mendapat hasil yang diinginkan padahal ia juga tahu tidak pernah menang dalam perjudian. Tingkat kemiskinan yang cukup tinggi menjadikan masyarakat lebih percaya pada perjudian ketimbang pada pemerintah sendiri. Padahal, Korep merupakan seorang pekerja dan banyak tokoh juga yang merupakan seorang pekerja mulai dari pedagang hingga pegawai negeri seperti Korep. Tetap saja pekerjaannya tidak memperoleh hasil yang memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan kutipan Korep yang menganggap pasang lotre adalah jalan satu-satunya merupakan kesadarannya sebagai masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan apapun boleh dilakukan. Mereka tak lagi kenal

2 Ibid, hlm.9 3 Ibid, hlm.16

39

pekerjaan halal dan haram selama pekerjaannya dapat menghasilkan harta untuknya. Inilah yang menjadikan Korep berani melakukan pesugihan selain karena nafsunya untuk mendapatkan harta sebab masyarakat memiliki sifat yang menyamaratakan setiap pekerjaan yang dilakukan oleh warga lain serta tidak ada yang mencemooh pekerjaannya. Berawal dari kehidupan miskin yang dialami dan ketidakpuasan dengan harta yang dimiliki membuat sebagian orang memilih jalan cepat untuk menjadi kaya. Bukan hanya Korep dan Turah bahkan hampir seluruh pemain dalam naskah ini ingin menjadi kaya dengan caranya masing-masing, dalam hal ini perjudian dan pesugihan, sebab pemerintah yang tidak peduli dengan nasib rakyat kecil. Sifat permisif atau membolehkan masyarakat tentang pekerjaan yang dilakukan oleh warga lain seperti berjudi dan pesugihan mendorong adanya keserakahan masyarakat untuk mendapatkan harta dengan cara apapun.

2. Alur Alur merupakan runtutan jalannya cerita dari awal sampai akhir cerita. Alur yang digunakan dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer adalah alur maju. Dikisahkan dalam naskah, kehidupan tokoh Korep dalam hidupnya berawal dari kemiskinan, lalu menjadi kaya dengan caranya sendiri dan miskin kembali dengan caranya sendiri. Alur memiliki tahapan, tahapan tersebut dibagi menjadi lima menurut Tasrif dalam Nurgiyantoro. Kelima tahapan tersebut adalah sebagai berikut: a) Tahap Situation Tahap situasi dalam Tengul berawal dari pembukaan di babak pertama. Pada tahap ini dibuka dengan menceritakan seorang tokoh yang sedang ditunggu oleh banyak orang. Tokoh tersebut adalah Sampulung. Sampulung: Hadiah pertama jatuh pada angka ....4

4 Ibid, hlm.2

40

Seperti dalam naskah, warga menanti tokoh tersebut untuk datang seakan mereka mendapat durian runtuh. Kedatangan Sampulung memberi kebahagiaan bagi mereka. Pengumuman yang disampaikan Sampulung memperlihatkan bahwa akan ada perjudian yang akan segera dimulai terbukti dengan dia menyebutkan kata hadiah dan merujuk pada angka yang akan disebutkannya. Kemudian, pengenalan tokoh utama, terlihat ketika terjadinya perselisihan antara tokoh utama, Korep dengan istrinya, Turah. Perselisihan yang terjadi merupakan tahap pengenalan situasi. Korep: Apa yang akan kau lakukan kalau menang malam ini? Turah: Besok bangun pagi-pagi. Tanpa mandi lebih dulu saya akan menuju ke sebuah toko emas. Saya akan membeli dua puluh perhiasan yang paling mahal. Dari sana limabelas set langsung saya pakai pulang. Di rumah saya akan bercermin seharian menikmati perhiasan yang melekat pada pakaian saya5

Kutipan di atas menggambarkan situasi bahwa perjudian adalah hal yang wajar dan biasa terjadi bagi mereka terlihat dari pertanyaan Korep untuk Turah. Pertanyaan Korep juga sebetulnya menunjukkan sikap tidak sukanya terhadap hal yang dilakukan oleh istrinya untuk bermain judi. Korep seakan tidak dapat memiliki daya untuk menahan istrinya agar tidak mengikuti perjudian. Ia hanya mampu mendengarkan istrinya berkhayal tanpa bisa menghentikan harapan-harapannya tersebut. Pengenalan berikutnya adalah munculnya Tuli cs saat perjudian berlangsung. Kemuculan mereka membuat acara perjudian semakin ramai karena keanehan mereka yang diperlihatkan kepada warga yang lain. Mulai dari Tuli yang tidak baik pendengarannya, Bisu yang tidak bisa bicara, dan Pandir yang memiliki gangguan mental. b) Tahap Generating Circumstanses Tahap pemunculan konflik, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap

5 Ibid, hlm.3

41

pemunculan konflik dalam Tengul sendiri adalah dengan memunculkan dua tokoh, yaitu Korep dan Turah. Mereka berselisih pendapat, Turah ingin harta lebih banyak sedangkan Korep ingin kehidupan yang sederhana. Tahap pemunculan konflik lainnya ditunjukkan setelah dilakukan pemutaran papan rolet dan angka yang keluar adalah nol kembar, semua kecewa termasuk Turah, yang telah menggadaikan seluruh barangnya termasuk yang melekat pada dirinya. Turah: Tuan tidak seharusnya menipu saya dengan cara kasar seperti itu Sampulung: Saya sudah memenuhi permintaan kamu. Kamu minta nol kembar Turah: Maksud saya delapan kembar (kemudian menangis) Sampulung: Sudahlah….Turah Turah: (Terus menangis) Saya telah menjual semuanya…saya telah kehilangan semuanya…. Sampulung: Semuanya? Turah: Saya telah menjual cincin dia…saya telah menjual cincin saya…saya telah menjual subang saya…saya telah menjual kalung saya… Sampulung: Cuma itu? Turah: Saya telah menjual kesenangan dia… saya telah menjual kehormatan saya… 6 Kutipan di atas memperlihatkan pengorbanan Turah untuk bermain judi. Sifatnya yang keras kepala membuat dirinya tidak menghiraukan risiko yang akan dirasakan olehnya. Ketika dia berselisih paham dengan Korep sebetulnya itu adalah kesalahan sebagai seorang istri karena tidak sepatutnya sebagai seorang istri berlaku demikian. Keberaniannya menjual kehormatannya bukan semata karena keinginannya melainkan karena kehidupannya yang serba kekurangan dalam segi ekonomi. Itulah sebabnya ia sampai rela menjual kehormatannya. Pada tahap pemunculan konflik ini, konflik yang terjadi berdasarkan faktor eksternal, Turah telah menjual seluruhnya demi

6 Ibid, hlm.13

42

mengikuti perjudian. Hal ini tentunya menjadi kendala sendiri bagi dirinya ketika kalah dan tidak mendapat apa-apa. c) Tahap Rising Action Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal dan eksternal, atau keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari. Tahap peningkatan konflik ini dimulai dengan situasi Korep bertemu dengan Tuli cs (Si Tuli, Si Bisu, dan Si Pandir). Si Tuli mengabarkan hal yang tidak enak didengar kepada Korep, yaitu istrinya, Turah, telah menjual kehormatannya. Korep mulai tertarik berbincang dengan ketiganya sampai mengikuti jejaknya. Si Tuli: Untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak daripada hasil yang kamu peroleh sebagai pegawai kecil sangat bodoh kalau kamu memilih pekerjaan sebagai perampok kecil. Percayalah untuk itu kamu harus menjadi pegawai besar atau perampok besar. Tapi sementara itu barangkali kamu tahu ada jalan lain kecuali jalan pembesar-pembesar dan jalan ini jalan pendek para dewa Korep: Menarik. Jalan macam apa itu? Si Tuli: Tapi sebelum jauh tidakkah lebih dulu kamu ingin tahu siapa kami seseungguhnya? Korep: Persetan! Saya tidak peduli siapa kalian seseungguhnya!7

Kutipan di atas memperlihatkan tahap peningkatan konflik yang terjadi setelah Korep tertarik dan mau bergabung dengan Tuli cs. Faktor eksternal yang berasal dari Tuli cs serta karena ulah istrinya membuat Korep berusaha melampiaskan kemarahannya dengan mengikuti ajakan Tuli cs. Jalan pendek para dewa sendiri merupakan istilah sebagai cara cepat dalam mendapat harta. Rasa pelampiasan Korep membuatnya sudah tak peduli dengan risiko-risiko yang akan dihadapinya, situasi seperti ini

7 Ibid, hlm.17

43

membuat Korep hampir sama dengan Turah saat dia ingin sekali untuk mengikuti ajang perjudian. d) Tahap Climax Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memilki lebih dari satu klimaks. Jalan pendek para dewa ini, mempertemukannya dengan Batu Hitam. Tahap klimaks pertama terjadi ketika bertemu dengan Batu Hitam untuk meminta dirinya menjadi orang kaya. B.Hitam: Jangan terburu-buru berterimakasih. Benar kamu berani menjadi orang kaya? Sakit lho jadi orang kaya!!! Korep: Hamba berani, mbah, benar-benar berani B.Hitam: Lalu apa yang akan kamu pertaruhkan sebagai modal? Anak? Korep: Hamba belum punya anak, mbah. Kecuali itu hamba sangsi akan bisa punya anak B.Hitam: Lalu istri? Korep: Hamba kira, mbah8 Berdasarkan kutipan di atas, klimaks terjadi ketika Korep bersungguh-sungguh menjadi orang kaya dengan segala risiko yang akan dihadapi nantinya. Risiko memilih pesugihan menjadi alternatif mencari harta adalah mengirimkan korban atau tumbal kepada sesembahannya. Kutipan di atas memperlihatkan Batu Hitam sebagai yang disembah oleh Korep meminta korban. Faktor internal dalam memilih korban yang akan ditumbalkan menjadi momok bagi Korep sampai akhirnya ia memilih istri yang akan ditumbalkan untuk hartanya. Sebetulnya, bukan lantaran ia tidak memiliki anak melainkan ia sudah kecewa dengan kelakuan istrinya, yang menjual seluruhnya, maka ia lampiaskan istri-istrinya kelak untuk dijadikan tumbal. Kutipan di bawah ini menggambarkan tahap klimaks Korep ketika harus kehilangan istri yang dicintainya. Korep: Jangan tinggalkan saya

8 Ibid, hlm.22

44

Istri: Selalu permintaanmu yang tidak-tidak. Bagaimana mungkin saya tidak meninggalkan kamu atau sebaliknya? Korep: Setidak-tidaknya…. Istri: Setidak-tidaknya tidak usah dikuburkan begitu? Dibalsem begitu? Korep: tidak tahu. Tapi saya mohon jangan tinggalkan saya Istri: Kamu menderita sekali pasti. Selalu permintaanmu aneh- aneh. Bagaimana mungkin kamu mengharapkan pohon mangga berbuah kepala kucing?9 Konflik eksternal dengan Batu Hitam mengenai tumbal membuat Korep kehilangan istri-istrinya. Ini adalah yang keempat belas kalinya, bedanya adalah istri yang saat ini sangat dicintainya. Selain itu, dari kutipan di atas, istri Korep seakan telah mengetahui risiko ketika menjadi seorang istri dari Korep yaitu ia akan meninggal, tidak jauh dari pesta perkawinannya terlihat pada baris kedua pada kutipan. Korep mengalami situasi tidak mengenakkan, dimana seluruh ajudan serta istrinya telah meninggalkannya yang tersisa hanya dia dan hartanya. Kondisi yang berasal dari eksternal tersebut membuat Korep merenung dan berpikir. Selain itu, konflik internal pada diri sendiri pun dialami olehnya, ketika ia merasa asing dengan hartanya sebab tidak ada orang yang mau mendekati atau bergaul dengannya, tetapi ia juga butuh harta karena itulah impiannya selama ini. e) Tahap Denouement Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita dapat diakhiri dengan tahap ini. Kutipan di bawah ini menceritakan Korep bertemu perempuan untuk dijadikan istri yang kelima belasnya. Korep: Aku cinta padamu Perempuan: Saya terlalu muda untuk masuk lubang kubur seperti keempat belas mendiang istrimu…. Korep: Tapi saya cinta kau Perempuan:Tapi saya ngga mau mati muda Korep: Lalu bagaimana? Perempuan: Buanglah kekayaan dan kembalikan pada Embah Korep: Sebentar, sebentar, tunggu, buang maksudmu?

9 Ibid, hlm.37

45

Perempuan: Ya, buanglah. Saya juga cinta kau Korep: Tunggu…Tunggu… Korep: Wanita, kali ini kulamar kau dengan sebatok air sumur. Percayalah sebagian kekayaanku telah ku bagi-bagikan dan sebagian lagi ku buang ke laut selatan, sesenpun tak lagi tersisa milik Embah di dalam gubuk ini. Percayalah kau tak akan mati muda. Karena itu, angan-anganku, dalam pesta kawin yang paling istimewa ini kita tidak perlu memesan peti-mati seperti biasanya.10 Kutipan di atas menggambarkan bahwa Perempuan sudah tahu akibatnya jika menjadi istri Korep. Faktor masyarakat yang permisif membuatnya mudah mengetahui berita tersebut. Kematian menjadi taruhannya. Faktor internal juga dialami oleh Korep, saat dia diberi pilihan oleh Perempuan sampai ia membawakan batok kelapa. Batok kelapa menjadi simbol bahwa dirinya sudah meninggalkan seluruh harta pesugihannya, bahwa dia sungguh-sungguh dalam melabuhkan cintanya sebab dia tidak ingin berada dalam kehidupan yang salah meskipun di akhir cerita keduanya sama-sama mati setelah menikah. Korep yang di tengah cerita dengan sangat ambisius ingin menjadi orang kaya sampai melakukan pesugihan, seakan terketuk pintu hatinya untuk kembali sederhana setelah berhadapan dengan Perempuan. Sebab, di akhir cerita ia kembali miskin atau penuh kesederhanaan. Peristiwa tersebut merupakan bagian dari penurunan klimaks untuk mengakhiri cerita.

3. Tokoh dan Penokohan Tokoh cerita pada drama dalam menjalankan peran dan perwatakannya diwujudkan dalam bentuk tiga dimensi yang meliputi: (1) Dimensi fisiologi, yakni ciri-ciri fisik yang bersifat badani atau ragawi, seperti usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri wajah, dan ciri-ciri fisik lainnya. (2) Dimensi psikologi, yakni ciri-ciri jiwani atau rohani, seperti mentalitas, tempramen, cipta rasa, karsa, IQ, sikap pribadi, dan tingkah laku. (3) Dimensi sosiologis, yakni ciri-ciri kehidupan sosial, seperti status sosial, pekerjaan, jabatan, jenjang pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan pribadi, sikap

10 Ibid, hlm.42

46

hidup, perilaku masyarakat, agama, ideologi, sistem kepercayaan, aktivitas sosial, aksi sosial, hobi pribadi, organisasi sosial, suku bangsam garis keturunan, dan asal usul sosial. Tokoh dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer terdapat beberapa tokoh, yaitu: Korep, Turah, Sampulung, Sang Bandar, Lelaki Kurus, Tuli cs (Si Tuli, Si Pandir, dan Si Bisu), Batu Hitam, Istri, dan Perempuan. Sebenarnya masih ada beberapa tokoh lainnya tapi mereka tidak ditampilkan karakter atau wataknya dalam cerita. Tokoh tersebut adalah Gombloh, Pak Kusno, Embah, Young Lie, Anak Gombloh, Anak Kusno, Paman, Seseorang, dan Orang yang siap menembak. Sepuluh tokoh dalam naskah drama Tengul adalah tokoh yang memiliki peranan penting dan terlihat dari watak atau karakter mereka. Masing-masing tokoh tentunya memiliki watak yang berbeda. Dari perbedaan inilah membuat cerita Tengul menjadi semakin menarik. Berdasarkan peran dan watak serta pentingnya tokoh dalam cerita, maka tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh utama yang utama dan tambahan, serta tokoh tambahan utama dan tokoh tambahan yang tambahan. a. Korep Dilihat dari peran pentingnya pada naskah drama Tengul, Korep merupakan tokoh utama. Perannya dari awal kemunculannya di cerita sampai akhir cerita selalu membahas tentang dirinya dan tema yang muncul seringkali terucap dari dialog Korep dengan tokoh lain saat peristiwa sedang terjadi. Kemunculan Korep pada awal cerita memperlihatkan dimensi psikologisnya, terlihat ketika ia berselisih paham dengan istrinya mengenai kehidupan mereka selama ini. Korep: Kamu sudah mulai berbahaya Turah: Karena impian-impian saya? Korep: Lebih baik kita hentikan semua ini Turah: Kenapa? Korep: Saya takut Turah: Takut apa? Korep: Takut kaya

47

Turah: Betul-betul budak Korep: Saya kira kita sudah cukup bahagia dengan apa yang sudah ada di rumah .11 Dimensi psikologis ini menunjukkan Korep memilih bersikap mengalah ketika menghadapi istrinya yang penuh dengan khayalan. Kemauan istrinya yang keras untuk mendapat harta membuat Korep semakin tertekan tetapi ia tetap mempertahankan prinsipnya untuk hidup sederhana. Kutipan kata “takut kaya” bukan semata-mata ia takut untuk menjadi kaya melainkan cara untuk menjadi kaya yang ia takuti. Keinginan istrinya untuk bermain lotre membuat Korep tidak senang tapi ia berusaha untuk tidak melawan istrinya karena ia ingin mempertahankan rumah tangganya. Korep merupakan suami yang memiliki sifat penyayang, sabar, dan selalu bersyukur dengan keadaan. Sikap Korep yang berusaha untuk mengalah terhadap istrinya menggambarkan wataknya yang sabar serta penuh kehati-hatian dalam bertindak kepada istrinya. Akan tetapi prinsip hidupnya ini tidak berjalan mulus sebab di babak kedua Korep mengalami sedikit gangguan dengan psikologisnya. Setelah beberapa saat Korep terjaga dari tidurnya. Beberapa detik ia memastikan keadaan di sekitarnya. Kemudian ia mencari sesuatu di dalam saku bajunya. Ia mengeluarkan sepotong rokok dan menyalakannya. Dengan begitu ia merasa sedikit hangat.12 Awal cerita Korep tidak diceritakan sebagai seorang perokok sampai di babak akhir pun tidak ada yang mengisahkan Korep sedang merokok, hanya di awal babak kedua saja. Hal ini membuktikan bahwa Korep mengalami tekanan dalam hidupnya hingga ia memutuskan untuk merokok. Orang-orang yang tidak biasa merokok kemudian suatu waktu ia merokok, biasanya mengalami stress, ia menganggap dengan merokok dapat meringankan beban hidupnya sehingga tidak menimbulkan stress berlebihan. Korep mulai merasa sudah tidak tenang meski ia berusaha

11 Ibid, hlm.4 12 Ibid, hlm.14

48

tenang mengingat istrinya memaksakan diri untuk bermain lotre yang ia tidak senangi. Tekanan yang dialami Korep semakin bertambah ketika ia kedatangan Tuli cs. Mereka menyampaikan berita bahwa istri Korep telah menjual kehormatannya. Kondisi psikis Korep semakin terganggu sampai ia mendadak lebih suka menjadi orang kaya. Jalan pertama yang akan dicoba adalah menjadi perampok, dengan hasutan Tuli cs ia tidak jadi merampok dan beralih untuk memilih pesugihan sebagai jalannya. Goyahnya Korep mempertahankan prinsip hidup sederhananya bukan hanya disebabkan karena ulah istrinya melainkan ia ingin melampiaskan kemarahannya yang tidak tahu harus dilampiaskan kepada siapa dan dengan cara apa. Sikap yang suka berubah-ubah ditunjukkan Korep bukan hanya ketika dia tiba-tiba merokok dan ingin menjadi kaya saja melainkan ketika dia sudah menjadi kaya lalu ia kembali ingin menjadi sederhana. Korep: Memang saya cuma menimbang selama tigapuluh detik untuk memutuskan jadi hartawan dan secara urkan saya pun jadi hartawan dan rupanya menjadi kayapun merupakan sebuah belantara asing buat saya. Sekarang saya baru insyaf bahwa saya tidak siap memasuki rimba ini. Dan terus terang saya sudah capek tapi saya tak tahu dimana saya harus melepaskan lelah.13 Kutipan di atas membuktikan sikap yang suka berubah-ubah yang dilihatkan oleh Korep. Hal tersebut terjadi ketika Korep sudah menjadi hartawan dan kembali dia ingin menjadi sederhana saat dirinya sudah ditinggal oleh istri dan ajudannya. Kata belantara asing yang dilontarkan oleh Korep bagian dari rasa penyesalannya sudah menjadi kaya dengan cara yang salah dan adanya pengharapan untuk kembali pada kehidupan sebelumnya. Dimensi psikologis Korep yang kerap goyah ketika menghadapi masalah membuatnya memiliki sikap labil, mulai dari perokok, ingin menjadi kaya, dan kembali ingin menjadi sederhana. Korep: Impian-impian dan angan-angan tentang kemewahan tidak pernah luntur dan ia percaya suatu ketika akan mendapatkannya.

13 Ibid, hlm.39

49

Tapi ia sadar kemewahan itu tak kunjung tiba selama mengharapkan dari kantor dimana saya kerja sebagai pegawai negeri rendahan, sebagai juru arsip. Mau menabung? Apa yang ditabung? Mau korupsi? Apa yang dikorupsi? Satu-satunya jalan adalah pasang lotre.14 Berdasarkan kutipan di atas mempertegas dimensi sosial Korep yang bekerja sebagai juru arsip. Juru arsip zaman sekarang dapat digambarkan sebagai seorang dokumenter surat atau staff bagian surat- menyurat pada sebuah kantor. Meskipun pekerjaannya sebagai pegawai negeri tapi gaji yang diperoleh tergolong kecil karena pada tahun 1970an, gaji seorang pegawai negeri belum tinggi seperti sekarang, bahkan banyak orang yang menyayangkan pekerjaan menjadi pegawai negeri karena upahnya yang tidak seberapa berbeda pada zaman sekarang, dimana orang- orang antri untuk mendapat jatah sebagai pegawai negeri karena upahnya tinggi dan uang tunjangannya pun berbeda. Penghasilan yang tidak sesuai harapan Turah itulah yang kemudian menjadi alasan bagi dirinya. Turah menganggap penghasilan suaminya tidak pernah menutupi kebutuhan dan keinginannya selama ini. Permainan lotre pun sudah menjadi hal yang umum dan lazim terjadi pada tahun tersebut maka dari itu Turah memilih bermain lotre sebagai jalan terakhir untuk menjadi kaya dan Korep memakluminya. Lotre adalah permainan judi sejenis togel karena sama-sama memasang angka dan bertaruh sebanyak-banyaknya lalu seandainya menang akan dikalikan dua hingga sepuluh kali lipat dari uang taruhannya, bedanya hanya menggunakan papan rolet yang akan diputar. Korep: Gombloh, sediakan makan buat Nyonya. Jangan lupa pete bakar dan sambelnya.15 Korep: Cung, segera kembali ke toko dan entah dengan cara apa kamu bawa secara kilat sebuah tempat tidur yang baru.16 Kutipan pertama dan kedua di atas memperlihatkan bahwa ada kalimat suruh yang dilontarkan Korep kepada seseorang, yang pertama

14 Ibid, hlm.16 15 Ibid, hlm.27 16 Ibid, hlm.32

50

kepada ajudannya dan yang kedua kepada pekerja toko. Bila dilihat dari kehidupan sebelumnya, dimana Korep hanya seorang pekerja yang terbiasa disuruh-suruh, kini ia mampu untuk menyuruh orang untuk bekerja untuknya. Kehidupan Korep berubah yang sebelumnya hidup di bawah garis kemiskinan kini menjadi orang kaya dan dua kutipan tersebut memperlihatkan sikap Korep pada keberaniannya untuk menyuruh seseorang saat dirinya menjadi orang kaya. Dimensi fisiologi Korep bermula dari nama Korep yang berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti berupa luka atau penyakit yang biasa diderita oleh ayam bangkok (ayam aduan) pada bagian wajah dan jengger. Sama seperti halnya sifat Korep, dimana ia memiliki nafsu untuk menjadi orang kaya setelah mendengar kabar pahit tentang istrinya dari Tuli Cs kemudian dia melakukan pesugihan. Korep: Beberapa waktu yang lalu, kemarin barangkali atau semenit yang lalu barangkali, atau tigapuluh tahun lalu barangkali, saya masih sempat mampu menentukan keinginan saya dan menciptakan apa saja. Saudara-saudara sendiri ikut menyaksikan selama empatbelas tahun saya menguburkan empatbelas orang istri, tapi setelah itu tidak seorangpun yang datang. Dan tahun-tahun belakangan ini saya telah mencoba mendekati dan melamar sekiar tigapuluh tiga perempuan tapi semuanya menolak.17 Kutipan di atas memperlihatkan usia Korep yang menginjak 45 tahun lebih. Selama itu pula riwayat mempersunting perempuan telah banyak diketahui orang-orang dan hal itu adalah hal yang lazim bagi warga sekitar. Usia seperti itu seharusnya Korep telah memiliki anak tetapi karena jalan yang ditempuh adalah jalan musyrik serta karena kesepakatannya dengan Batu Hitam, maka ia tidak memiliki keturunan bahkan sampai ajal datang menjemputnya. Gambaran bentuk tubuh Korep digambarkan oleh Turah pada awal cerita ketika mereka melakukan perselisihan. Korep: Saya lebih suka hidup sederhana.

17 Ibid, hlm.39-40

51

Turah: Saya bisa membayangkan betapa damainya dunia ini kalau semua manusia adalah fakir-fakir, paling sedikit mereka tidak akan saling berkelahi karena sama-sama kurus dan tidak punya tenaga.18 Kutipan dari Turah menggambarkan tentangan yang diperlihatkan olehnya kepada Korep. Fisiologis Korep yang berupa bentuk tubuh digambarkan oleh Turah bahwa ia memiliki badan kurus sebab Korep sendiri merupakan seorang yang sederhana dan lebih suka hidup dengan apa adanya seperti kehidupan yang tidak mewah atau miskin. Gambaran bentuk tubuh korep lainnya tidak terlalu terlihat karena sangat jarang yang membahas bentuk tubuh Korep secara detail. Saat upacara penguburan berlangsung Korep diceritakan menggunakan kacamata hitam. Selain menggambarkan berita tentang duka, hal ini juga menjadi pertanda bahwa Korep sudah makmur dan memiliki tubuh yang lebih subur dibanding sebelumnya, ditambah lagi pada halaman 41, Korep diceritakan sebagai pengantin yang penuh warna. Selain keceriaan yang tergambar, perawakan tubuh Korep pun tentu bertambah baik tidak kurus seperti saat hidup miskin di awal cerita. Perempuan melempar Korep. Kemudian Korep yang amat gagah lantaran kostum dan segala perhiasan dan atribut muncul bersama iringan orang-orang yang membawa kotak-kotak hadiah.19 Postur Korep disebutkan dalam teks ini, ia tergambar amat gagah. Kejantanan seorang pria ketika bertemu lawan pasangannya biasanya akan terlihat sangat gagah dengan segala usahanya. Namun, dengan umur yang sudah berkepala empat tetap tidak segagah anak muda pada umumnya tapi badan yang proporsional dan tegap adalah usaha yang biasa dilakukan oleh lelaki pada umumnya untuk menarik lawan jenisnya. Melalui pemaparan dalam tiga dimensi dalam tokoh Korep, pembaca dapat mengetahui ciri fisik, keadaan psikologis, serta kondisi sosial tokoh Korep dalam naskah Tengul karya Arifin C Noer. Dalam

18 Ibid, hlm.5 19 Ibid, hlm.40

52

naskah tersebut, kondisi fisik Korep digambarkan oleh Turah dengan berbadan kurus. Setelah itu ia hanya digambarkan tokoh yang gagah setelah menjadi kaya dan tidak ada lagi kutipan yang secara rinci menggambarkan fisiknya. Selanjutnya, kondisi piskologis Korep, diceritakan bahwa ia memiliki sifat labil, mudah goyah, dan tidak menentu. Pada awal cerita ia diceritakan sebagai orang miskin yang punya prinsip tetap sederhana, lalu ia tiba-tiba ingin menjadi kaya, di tengah cerita ia menjadi orang kaya, di akhir cerita ia kembali ingin menjadi orang sederhana. Penggambaran dimensi sosial, Korep memiliki kehidupan yang berbeda dengan cepat, awalnya ia hanya bekerja sebagai pegawai negeri rendahan kemudian ia menjadi seorang hartawan karena pesugihannya, dan di akhir cerita ia kembali miskin juga tidak menjadi apa-apa. Dengan demikian, pemaparan ketiga dimensi tersebut, pembaca dapat mengimajikan tokoh Korep lebih nyata. b. Turah Turah yang berperan menjadi istri Korep diceritakan sebagai tokoh utama tambahan. Peran Turah mendominasi jalannya babak satu dalam naskah Tengul karya Arifin C Noer. Awal cerita, dimensi psikologis Turah mulai terlihat. Korep: Apa yang akan kau lakukan kalau menang malam ini? Turah: Besok bangun pagi-pagi. Tanpa mandi lebih dulu saya akan menuju ke sebuah toko emas. Saya akan membeli dua puluh perhiasan yang paling mahal, dari sana lima belas set langsung saya pakai pulang. Di rumah saya akan bercermin seharian menikmati perhiasan yang melekat pada pakaian saya Korep: Kamu sudah mulai berbahaya Turah: Karena impian-impian saya? Korep: Lebih baik kita hentikan semua ini20 Berdasarkan kutipan di atas, Turah digambarkan memiliki sifat tidak bersyukur, penuh nafsu, dan membangkang terhadap suami. Impian- impiannya seperti bercermin seharian dan memakai lima belas set emas merupakan hal-hal yang sulit terjadi, untuk orang yang memiliki harta pun

20 Ibid, hlm.3-4

53

belum tentu akan berlaku seperti itu apalagi orang yang tidak memiliki harta seperti Turah. Segala khayalannya itu yang menunjukkan bagaimana diri Turah memiliki nafsu yang kuat untuk memiliki harta sebanyak- banyaknya. Dimensi fisiologis Turah berawal dari namanya. Turah dalam bahasa Kawi memiliki arti yang masih tersisa. Bila dibaca dengan seksama, perempuan-perempuan yang dinikahi Korep memiliki nama yang sama, yaitu Turah. Korep sempat kaget dengan perempuan-perempuannya karena nama istri pertama sampai istri terakhir namanya sama. Hal ini tentu seperi arti namanya, yang masih tersisa. Dapat dikatakan bahwa Turah adalah perempuan yang tersisa untuk Korep dan tidak ada nama perempuan lain. Sampulung: Kau cantik, Turah. Turah: (Ketawa) Kau dengar lagi. Dia bilang saya cantik. Apa kata saya? Saya cantik. Sebenarnya tidak perlu saya sadari saya sudah cantik.21

Berdasarkan kutipan di atas, fisiologis Turah tidak terlihat mendetail, ia hanya digambarkan cantik oleh Sampulung. Kata cantik yang terlontar dari Sampulung pun terlihat hanya sebuah rayuan kepada Turah tapi ada kemungkinan besar bahwa memang Turah memiliki paras yang cantik maka dari itu ia sangat berambisi untuk memenangkan lotre dan akan mendapatkan harta. Selebihnya, permasalahan mengenai umur, bentuk badan, dan lainnya tidak tergambar dengan jelas. Turah: Saya telah menujal kesenangan dia, saya telah menjual kehormatan saya Si Tuli: Akhirnya, akhirnya? Turah: Saya kehilangan semuanya, saya tidak mendapatkan apa- apa Sampulung: Nanti dapat, jangan kuatir sayang Turah: Dia tidak punya apa-apa lagi untuk dijual, saya juga tidak punya apa-apa lagi untuk dijual.22

21 Ibid, hlm.10 22 Ibid, hlm.13

54

Kutipan di atas menggambarkan dimensi sosial Turah, dimana ia memiliki sikap hidup yang berbeda dalam memenuhi nafsu untuk menjadi kaya, yaitu dengan memilih jalan yang sama tapi dengan cara yang berbeda. Seluruh pemain ikut dalam ajang lotre begitu juga Turah, tapi ia mencoba untuk memberi suap kepada Sampulung selaku pembawa acara. Ia tidak memiliki modal untuk berjudi lalu ia menjual seluruh barang yang melekat hingga menjual dirinya sendiri. Sikap berani dari Turah untuk menjual kehormatannya bukan karena terdesak ingin kaya semata melainkan masyarakat yang permisif atau membolehkan pekerjaan apa saja yang menjadikan dirinya berani. Bahkan Sampulung mengatakan “Dalam keadaan darurat perdagangan serupa ini bisa dimaklumi”. Hal tersebut menguatkan pandangan bahwa sebagian masyarakat dalam cerita ini menganggap tidak apa-apa bila sampai berlaku demikian. Melalui pemaparan tiga dimensi tersebut, terlihat penggambaran fisiologis, psikologis dan sosialis dari Turah. Secara fisiologis, Turah memiliki paras cantik sesuai dengan ucapan dari Sampulung meskipun tidak ada lagi gambaran mengenai bagaimana bentuk tubuhnya, usianya, dan detail cantiknya. Secara psikologis, Turah memiliki watak tidak bersyukur, penuh nafsu, dan membangkang terhadap suami. Hal ini dibuktikan dengan dirinya yang kerap berselisih dengan suaminya lantaran tidak pernah dituruti segala inginnya tentang harta. Secara sosial, Turah digambarkan memiliki sikap hidup yang berani mengambil resiko sampai ia akhirnya menjual kehormatannya untuk modal bermain lotre. Hal ini juga tidak lepas dari sifat permisif dari masyarakat yang membolehkan pekerjaan apa saja dilakukan oleh warga lainnya. Dengan demikian, pemaparan ketiga dimensi tersebut dapat membuat pembaca mampu untuk mengimajikan tokoh Turah lebih nyata. c. Sampulung Sampulung berperan sebagai tokoh tambahan yang utama, perannya tidak terlalu banyak dalam naskah ini. Kemunculannya mendominasi di babak satu. Meski hanya sebentar, perannya sangat

55

penting membawa pemikiran penonton atau pembaca menjadi tahu akan ke mana arah cerita tersebut layaknya dalang. Sandiwara ini dimulai dengan lampu auditorium yang masih menyala. Tergdengar gemuruh suara orang yang mengelu-elukan nama seseorang yang meruoakan tokoh pujaan. Gemuruh suara itu semakin mendekat. Kemudian seseorang muncul di depan penonton. Ia melambai-lambaikan tangannya kepada orang-orang yang terus mengelu-elukan namanya. Orang itu bernama Sampulung yang lincah dan tangkas dalam bicara dan menciptakan suasana. Pendek kata ia adalah seorang actor yang unggul.23 Dimensi fisiologis Sampulung diawali dengan penggambaran tentang dirinya, dimana namanya selalu diteriakkan, disamakan dengan tokoh pujaan, serta gerak-geriknya yang lincah, dan juga mahir dalam bicara maupun menciptakan suasana. Hal ini membuat Sampulung tergambar gagah, menarik perhatian, gaya berbusananya dapat perhatian khusus, dan terlihat bijak ketika berbicara seperti pembawa acara pada umumnya karena dirinya yang menjadi pusat perhatian. Tampak papan rolet dengan angka-angkanya yang agak kabur oleh asap kemenyan. Kecuali itu tampak pula Sampulung dengan senyumnya: ia baru saja membenahi rambutnya.24 Kutipan tersebut juga memperlihatkan bagaimana Sampulung kerap memperhatikan penampilannya. Penampilan kali ini adalah mengenai rambutnya. Bila seseorang kerap kali memperhatikan penampilannya maka dia termasuk orang yang percaya diri sebab sebelum bertemu dengan orang banyak lebih dahulu ia memperbaiki penampilannya. Hal inilah yang membuat penokohan Sampulung memiliki sifat percaya diri terlihat dari fisiologisnya mengenai penampilan atau busana yang dikenakan. Sampulung: Menjadi tokoh nasib sama sekali tidak ada enaknya karena selalu dicemooh oleh hati, namun berlangsungnya lakon tak dapat dihalangi. Silakan menyaksikan dan mencemooh diri

23 Ibid, hlm.1 24 Ibid, hlm.5

56

saya, sudah tentu setelah saudara-saudara memuja-muja dan menjilat-jilat saya.25 Kutipan di atas memperlihatkan dimensi psikologis dan sosiologis Sampulung. Bila pada kutipan sebelumnya Sampulung diceritakan memiliki kepercayaan diri tinggi, maka kali ini Sampulung seperti tidak menyukai dengan pekerjaannya tapi harus tetap disukai. Dimensi psikologis Sampulung memperlihatkan bahwa ia memiliki rasa tidak suka dengan pekerjaannya. Selain membicarakan psikologis, kutipan tersebut juga membahas dimensi sosiologis, terlihat dari jabatannya sebagai tokoh nasib. Tokoh nasib disini merupakan tokoh yang mengetahui akan nasib dari para tokoh lain yang ada di naskah. Sampulung seperti dalang dalam perwayangan, ia seakan sudah mengetahui jalan cerita pada naskah. L.Kurus: Tiga-tiga. Kasihani mereka Sampulung: Karena cuma tiga orang yang pasang tiga-tiga, begitu? Benar-benar angka baik buat Bandar. Lalu apa yang akan terjadi atas diri orang-orang yang sedemikian banyak percaya pada angka dua tujuh, yang barangkali ada di antara mereka telah menjual seluruh miliknya untuk yang pasangannya?26 Kutipan di atas menggambarkan dimensi sosial Sampulung berdasarkan pandangan hidupnya mengenai para pemasang. Lelaki Kurus berusaha meminta angka tiga-tiga sementara Sampulung angka dua tujuh demi kesejahteraan para pemasang. Pandangan Sampulung yang membela kaum miskin menggambarkan bahwa ia juga memiliki sifat peduli terhadap mereka. Akan tetapi, di balik sifat pedulinya, ia seperti telah megetahui banyak pemasang yang rela mencari modal untuk bermain lotre. Hal tersebut diperkuat oleh kutipan sebelumnya yang membahas jabatan Sampulung sebagai tokoh nasib pada naskah ini. Turah: Tuan pikir begitu Sampulung: Dalam keadaan darurat perdagangan serupa ini bisa dimaklumi27

25 Ibid, hlm.3 26 Ibid, hlm.8 27 Ibid, hlm.13-14

57

Pandangan Sampulung mengenai Turah yang telah menjual kehormatannya untuk mencari modal bermain lotre adalah pandangan yang berasal dari kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di naskah Tengul. Ketika seluruh masyarakat berlaku permisif, atau membolehlan setiap warga bekerja apa saja menjadikan Sampulung juga merasa wajar jika Turah berlaku demikian. Pandangan Sampulung mengenai hal tersebut diperkuat dengan dua kutipan sebelumnya, dimana dia seakan sudah tahu apa yang akan terjadi nantinya. Setiap perlakuan yang memang haram bila dalam keadaan darurat semua bisa dimaklumi, begitulah menurut Sampulung. Sama halnya pula ketika tidak ada makanan yang bisa dimakan, segala jenis makanan yang haram pun boleh dimakan karena keadaan darurat. Perlakuan Turah sebetulnya menyimpang dan tidak pantas untuk ditiru tapi tokoh Sampulung kembali dapat membawa pikiran banyak orang bahwa keadaan Turah sedang darurat dan mau tidak mau harus melakukan hal tersebut untuk dapat ikut dalam perjudian. Melalui tiga dimensi tersebut dapat tergambar bagaimana dimensi fisiologis, psikologis, dan sosiologis dari Sampulung. Dimensi fisiologis Sampulung berdasarkan kutipan-kutipan yang tertera di naskah menggambarkan dirinya gagah, menarik perhatian, gaya berbusananya dapat perhatian khusus, dan terlihat bijak ketika berbicara. Tidak ada lagi detail mengenai fisiologis dari Sampulung, tidak ada yang menyinggung usia dan rupa wajahnya. Dimensi piskologis Sampulung memperlihatkan bahwa ia memiliki rasa tidak suka dengan pekerjaannya, yaitu sebagai tokoh nasib. Tokoh nasib disini merupakan tokoh yang mengetahui akan nasib dari para tokoh lain yang ada di naskah. Dimensi sosiologis Sampulung terlihat dari dirinya yang memiliki pekerjaan sebagai tokoh nasib, pandangan yang berbeda untuk membela kaum miskin, dan pandangan hidup mengenai bolehnya perdagangan kehormatan yang dilakukan Turah. Gambaran tokoh Sampulung dalam naskah Tengul karya

58

Arifin C Noer ini diharap mampu membuat para pembaca dapat mengimajikan tokoh dengan nyata. d. Sang Bandar Seorang lelaki gemuk berdiri dekat sajen sambil makan kwaci. Lelaki itu adalah Bandar. 28

Kutipan di atas menggambarkan dimensi fisiologis Tokoh Bandar dalam naskah Tengul karya Arifin C Noer. Dimana ia berjenis kelamin laki-laki dengan postur tubuh gemuk atau gempal. Ciri fisik Bandar tidak tergambar lagi dengan jelas hanya gemuknya saja, tidak dijelaskan apakah memiliki tato, lalu usianya berapa, serta ciri wajahnya. Dimensi sosiologis tokoh Bandar terlihat dari pekerjaannya sebagai seorang Bandar yang memang serakah dengan harta. Pekerjaan sebagai Bandar tidaklah pusing, hanya menunggu hasil dari para pemasang yang kalah dalam perjudian, lalu Bandar yang menjadi kaya. Bandar: Jangan kuatir. Akan saya selesaikan tugas mulia ini. Terus terang kematian serupa ini saya idam-idamkan sejak lama, kematian dalam bertugas.29

Kutipan di atas memperkuat dimensi sosialnya berdasarkan kutipan sebelumnya, dimana pekerjaan sebagai bandar adalah hal yang disukai olehnya. Hal ini membuat dirinya rela sampai mati untuk mempertahankan pekerjaannya sebagai seorang bandar judi. Bandar: Tolong mintakan maaf oom yang sebesar-besarnya kepada handai tolan yang merasa oom sakiti hatinya ya.30

Kutipan di atas memperlihatkan dimensi psikologis Bandar pada rasa. Dimana ia memiliki rasa menyesal telah menyakiti banyak orang. Pekerjaan sebagai bandar memang kerap memakan korban, utamanya korban rasa sakit hati karena angka pasangannya tidak pernah didapat, selain itu uang yang jadi taruhan pun raib, dan akhirnya mereka tidak mendapat apa-apa jika kalah. Dengan sadarnya, Bandar meminta maaf di

28 Ibid, hlm.3 29 Ibid, hlm.11 30 Ibid, hlm.12

59

depan umum sebelum ia menghembuskan nafas terkahirnya setelah ditembak oleh seseorang. Melalui tiga dimensi tersebut, sosok Bandar tentu sudah tergambar bagi para pembaca. Secara dimensi fisiologis, Bandar memiliki perawakan yang gemuk. Penjelasan lainnya tidak ditemukan seperti usia, tinggi atau pendeknya, serta ciri wajah yang lainnya. Secara dimensi sosiologis, tentu sesuai dengan namanya ia memiliki pekerjaan sebagai Bandar. Pekerjaan ini sangat disukai olehnya terbukti dengan ia rela mempertahankan pekerjaan sebagai bandar sampai ia mati. Secara dimensi psikologis, menjadi seorang bandar tidak selamanya asyik, terbukti dengan penembakan yang dilakukan kepadanya, dan Bandar memiliki rasa menyesal telah mengecewakan banyak pihak. Berdasarkan gambaran mengenai tokoh Bandar, para pembaca diharap mampu untuk mengimajikan tokoh tersebut. e. Lelaki Kurus Lelaki Kurus merupakan tokoh tambahan dalam naskah Tengul karya Arifin C Noer. Kemunculannya hanya terdapat di babak satu bersama dengan Bandar. Kemudian datang lagi yang lain. Seorang lelalki gemuk berdiri di suatu tempat dekat sajen sambil makan kwaci. Lelaki itu adalah Bandar. Seorang lelaki kurus menari-nari seperti kesurupan.31

Dimensi fisiologis L.Kurus terlihat pada kutipan di atas. Sesuai dengan namanya, ia memiliki perawakan kurus. Ciri fisik lainnya tidak dijelaskan lagi, bagaimana rupa wajahnya atau berapa usianya. L.Kurus: Benar-benar kalian menghendaki angka dua tujuh malam ini dan menghendaki Bandar bangkrut lalu melarikan diri membiarkan kalian menggigit jari?32

Kutipan di atas menggambarkan dimensi sosiologis L.Kurus mengenai pekerjaannya secara tidak langsung. L.Kurus adalah seorang pengawal dari Sang Bandar. Bila Bandar menari ia ikut menari, bila Bandar senang ia ikut senang, bila Bandar sedih ia pun ikut sedih. Dalam

31 Ibid 32 Ibid, hlm.9

60

keadaan apapun L.Kurus selalu membela Bandar walau dalam keadaan salah. Bandar selalu diagungkan oleh L.Kurus sebab tanpa Bandar ia bukanlah siapa-siapa dan kehidupannya berdasarkan kemakmuran Bandar. Adapun perawakannya yang kurus merupakan gambaran bahwa pekerja sebagai bawahan berbanding terbalik dengan atasan bila dibandingkan perawakan antara Bandar dan L.Kurus L.Kurus: Saya hanya tidak bisa membayangkan apa yang akan kalian kerjakan apabila bandar-bandar dengan permainannya yang sangat alamiah ini lenyap. Sebagai orang yang berurusan dengan kemenyan dan bunga-bunga dan segala roh yang gentayangan saya berusaha seobjektif mungkin berdoa.33

Sikap pribadi yang ditunjukkan L.Kurus kepada warga merupakan bagian dimensi psikologis dirinya. Ia tidak ingin Bandar kalah sebab tidak akan ada yang menghidupinya. Ia hanya dapat berdoa bila Bandar mati. Sikap tersebut diambil lantaran hampir seluruh warga menginginkan menang sementara L.Kurus ingin warga kalah. Bila seluruh warga menang maka akan menjadi tekanan berat bagi L.Kurus dan hidupnya menjadi tidak makmur. Melalui pemaparan tiga dimensi tersebut, dapat terihat ciri fisik, psikologis, dan sosiologis dari tokoh Lelaki Kurus. Berdasarkan dimensi fisiologis, L.Kurus memiliki ciri fisik kurus sesuai dengan namanya. Tidak ada lagi penjelasan lainnya mengenai ciri fisik darinya. Secara psikologis, L.Kurus memiliki sikap pribadi mengenai nasib Bandar. Ia tidak punya pilihan lain selain berdoa, sebab ia menggantungkan nasib pada Bandar. Berdasarkan dimensi sosiologis, L.Kurus bekerja sebagai pengawal Bandar, pekerjaannya ini disampaikan secara tersirat mengingat seorang Bandar selalu memiliki tangan kanan. Selain itu, ia selalu membela Bandar dengan pandangannya. Perawakannya yang kurus menggambarkan kesusahannya dalam hidup dan perawakan Bandar menggambarkan banyaknya harta yang didapat sebagai bandar. Dengan demikian,

33 Ibid, hlm.10

61

gambaran mengenai L.Kurus diharapkan dapat memberi kemudahan pembaca untuk mengimajikan tokoh tersebut. f. Tuli cs Tuli cs merupakan sebutan bagi tiga tokoh yang berperan, yaitu Si Tuli, Si Pandir, dan Si Bisu. Mereka termasuk tokoh tambahan yang utama. Perannya cukup vital sebab mereka yang mampu menjerumuskan Korep untuk dapat pesugihan demi harta. Sampulung: Boleh saya ingin tahu? Seseorang ternyata bisu Sampulung: Coba yang lainnya berapa pasanganmu? Ternyata yang seorang lagi tuli Sampulung: Kamu? Yang seorang lagi kayak pandir (menyembunyikan kertas lotrenya)34

Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana fisiologis dari ketiga tokoh tersebut. Sesuai dengan namanya, Si Tuli memiliki kekurang pada pendengarannya, Si Bisu ternyata tidak bisa bicara, dan Si Pandir yang memiliki kelainan otak atau cacat mental. Kelainan yang diderita tiga tokoh tersebut menandakan sebagian daripada fisiologis yang ada. tanda atau ciri fisiologis lainnya tidak dijelaskan lebih rinci seperti bagaimana postur dari masing-masing tokoh, bagaimana rupa wajah dari mereka, dan dari segi usia. Si Tuli: Tapi nasib kamu tidak akan lebih baik daripada sekarang sebagai juru arsip. Untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak daripada hasil yang kamu peroleh sebagai pegawai kecil sangat bodoh kalau kamu memilih pekerjaan sebagai perampok kecil. percayalah untuk itu kamu harus menjadi pegawai besar atau perampok besar. Tapi sementara itu barangkali kamu tahu ada jalan lain kecuali jalan pembesar-pembesar dan jalan ini jalan pendek para dewa. Korep: Menarik. Jalan macam apa itu? Si Tuli: Tapi sebelum terlalu jauh tidakkah lebih dulu kamu ingin tahu siapa kami sesungguhnya? Korep: Persetan! Saya tidak peduli saipa kalian sesungguhnya!35

34 Ibid, hlm.4-5 35 Ibid, hlm.17

62

Berdasarkan kutipan di atas, Tuli cs memiliki sifat menghasut. Hal ini menunjukkan dimensi sosial berdasarkan perilaku dari tokoh tersebut. Kepandaian Tuli cs dalam menghasut Korep untuk menuju jalan yang salah adalah bagian dari sifat mereka. Mereka tentu akan senang bila mendapat korban seperti Korep yang terjerumus dalam dunia pesugihan. Iming-iming mendapat harta dengan cara cepat merupakan cara paling ampuh untuk mendapat korban. Berdasarkan dua dimensi yang telah dipaparkan telah diketahui sedikitnya mengenai tokoh Tuli cs. Secara fisiologis, ketiga tokoh memiliki ciri fisik sesuai dengan namanya. Si Tuli memiliki kelainan tidak bisa mendengar, Si Bisu tidak bisa bicara, dan Si Pandir memiliki kelainan otak atau cacat mental. Secara sosiologis, Tuli cs memiliki sifat menghasut. Hal ini memperkuat dimensi sosialnya mengenai perilaku atau sikap hidup. Berdasarkan pemaparan dua dimensi tersebut tentu akan membantu para pembaca dalam mengimajikan tokoh Tuli cs. g. Batu Hitam Batu Hitam merupakan tokoh tambahan, tapi perannya cukup penting sebab dialah yang membuat Korep menjadi kaya karena telah menyembahnya. Akan tetapi, kemunculannya dalam naskah tidak terlalu banyak dan dia hanya muncul dalam peristiwa ketika Korep ingin kaya dan mengambil istri keempat belas Korep. Korep: Dengan siapa kita akan bertemu? Si Tuli: Batu Hitam Korep: Saya harap saja dia ramah Si Tuli: Ramah dan tidak ramah. Saya harap saja kamu tidak mudah tersinggung karena beliau betul-betul batu dan nama beliau Batu Hitam.36

Dimensi fisiologis Batu Hitam dimulai dengan ucapan Si Tuli, ia menceritakan bahwa bila ingin kaya korep akan bertemu dengan tuannya yang bernama Batu Hitam. Si Tuli juga memberitahu bagaimana watak dari Batu Hitam. Selain dikatakan memiliki watak ramah dan tidak ramah,

36 Ibid, hlm.21

63

kata “batu” di sini juga menggambarkan watak bahwa ia memiliki sifat keras kepala. Namun, bisa saja pembaca memaknai kata “batu” adalah tokoh tersebut benar-benar berasal dari batu dan memiliki sifat keras kepala. Sekelompok orang-orang tadi kini telah berubah jadi sebungkah batu raksasa hitam dengan sedikit mengandung warna hijau lumut. Batu raksasa itu kelihatannya bernapas.37

Kutipan di atas merupakan dimensi fisiologis dari Batu Hitam, yaitu tokoh berbentuk batu dan berwarna hijau. Warna hijau sendiri identik dengan hal yang kerap bersinggungan dengan Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul. Tidak ada lagi ciri fisik yang menjelaskan kondisi tubuh dari Batu Hitam. Kutipan di atas menguatkan pendapat pada kutipan sebelumnya yang memaknai kata “batu” merupakan bentuk dari tokoh Batu Hitam. Batu Hitam: Barangkali inilah persembahan kamu yang paling sempurna Korep: Tapi juga barangkali inilah persembahan saya yang tidak disertai ketulusan saya Batu Hitam: Embah tidak akan pernah merasa rugi karena hatimu tidak tulus.38

Kutipan di atas mewakili dimensi sosiologis Batu Hitam mengenai jabatan dan perilaku. Kata “persembahan” yang diucapakan mengungkapkan bahwa Korep telah menyembah kepadanya. Hal ini berarti jabatan Batu Hitam adalah yang disembah untuk kekayaan. Selain itu, pada ucapan Batu Hitam yang kedua di kutipan atas menggambarkan betapa tidak pedulinya terhadap perasaan Korep, yang tidak rela kehilangan istri keempat belasnya. Penyebabnya adalah Korep yang bersedia menjadikan istri-istrinya tumbal demi kekayaan. Hal ini menguatkan kutipan awal dalam pembahasan tokoh Batu Hitam bahwa kata “batu” juga berarti bagian dari watak tokoh Batu Hitam.

37 Ibid, hlm.22 38 Ibid, hlm.33

64

Melalui dimensi fisiologis dan sosiologis yang dipaparkan di atas dapat terlihat sedikitnya bagaiamana kondisi fisik dan kondisi sosial dirinya. Dimensi fisiologis Batu Hitam memberi gambaran bahwa dirinya berbentuk batu dan berwarna hijau. Tidak ada lagi gambaran mengenai fisiologis Batu Hitam, selain bentuk tubuh, warna dirinya, dan nama. Dimensi sosiologis Batu Hitam menggambarkan sosoknya memiliki jabatan sebagai yang disembah oleh Korep untuk menjadi kaya. Ditambah dengan watak yang keras kepala dan tidak peduli dengan perasaan Korep. Dua dimensi tersebut diharap dapat membantu para pembaca dalam mengimajikan tokoh Batu Hitam, mulai dari fisiologis dan sosiologisnya. h. Istri Tokoh Istri seperti nama tokohnya yaitu berperan sebagai istri dari Korep, istri keempat belas. Ia berperan sebagai tokoh tabahan dalam naskah sebab perannya hanya berada dalam satu peristiwa saja. Korep: Dengan bahagia saya ingin mengatakan juga bahwa berbeda dengan istri-istri saya yang telah dikuburkan, istri saya kali ini lebih lincah, lebih suka lenggang-lenggok dan murah ketawa. Korep: Saudara-saudara saksikan sendiri dengan telinga dan kepala sendiri. Ia ketawa begitu gampang seperti bocah berusia dua tahun Korep: Lihat kangmas, sayang (KETAWA). Istri saya berhenti ketawa kalau saya ketawa Korep: Dengan sangat bangga saya umumkan bahwa penganten perempuan yang molek ini sedang dalam keadaan hamil tiga bulan.39

Kutipan di atas merupakan gambaran dimensi fisiologis dari tokoh Istri. Tokoh Istri digambarkan suka lenggak-lenggok, berwatak ceria, suka tertawa, dan dinikahi saat tengah mengandung seorang anak. Watak Istri digambarkan oleh Korep saat melakukan pidato di pesta pernikahannya. Hal ini merujuk kepada sifatnya yang ceria dan kondisi tubuhnya yang sedang hamil. Tidak ada lagi penjelasan mengenai kondisi fisiknya, baik berupa postur, usia, atau rupa wajahnya.

39 Ibid, hlm.26-27

65

Istri: Soal sepele memang, tapi saya yang akan menempatinya bukan barang sepele. Saya tidak akan menempati peti mati dengan model itu-itu juga. Setidak-tidaknya saya memerlukan hiasan lebih banyak. Juga jangan pergunakan kayu sembarangan hingga pada minggu ketiga di bawah tanah nanti wajah saya sudah penuh oleh cacing, ulat, dan rayap. Dan saya minta supaya agak luas sedikit sehingga saya lebih bebas bergerak. 40

Kutipan di atas menggambarkan dimensi sosiologis dari Istri. Ia memiliki pandangan pribadi mengenai peti mati yang akan digunakannya. Pandangan tersebut memberi tanda bahwa istri keempat belas ini telah mengetahui kebiasaan Korep dalam hidupnya, yakni menikahi lalu menguburi setiap istrinya. Kebiasaan yang dilakukan Korep tersebut membuat Istri berani meminta peti mati yang berbeda dari istri-istri sebelumnya. Korep: Bagaimana perasaanmu sekarang setelah hidup berlimpah kekayaan dan kemewahan? Istri: Bagaimana ya? Korep: Bagaimana? Istri: Biasa Korep: Barangkali juga rasa bangga? Istri: Ya, bangga Korep: Nah… Istri: Lalu apa? Perasaan-perasaan semacam itu sama sekali tidak istimewa. Saya memiliki semua yang saya miliki sekarang sejak saya menangis dan ketawa di dunia ini. Pernah saya hidup dalam, keadaan miskin yang tidak kepalang tanggung toh saya tidak pernah mau berubah hanya karena soal-soal sepele. Saya suka ketawa, dan kesukaan saya ini tidak mengenal waktu dan tempat.41

Kutipan tersebut menggambarkan dimensi psikologis Istri mengenai rasa. Selama ia menjadi istri keempat belas Korep, ternyata ia tidak terlalu menganggap pemberian harta dan kemewahan lainnya adalah hal yang spesial atau istimewa. Rasa yang ditunjukkan Istri adalah sikap biasa saja juga dengan rasa yang biasa saja tidak heboh seperti orang kaya baru. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi psikologis Istri berawal dari

40 Ibid, hlm.28 41 Ibid, hlm.35

66

pengetahuannya mengenai cara Korep memperlakukan istri-istrinya menjadi tumbal kekayaannya sehingga ketika Istri mendapat harta beserta kemewahan lainnya ia tidak merasa istimewa dan tetap seperti kedatangan awalnya, yaitu suka ketawa. Melalui gambaran ketiga dimensi tersebut dapat dilihat kondisi fisiologis, psikologis, dan sosiologis dari tokoh Istri. Tokoh Istri digambarkan suka lenggak-lenggok, berwatak ceria, suka tertawa, dan dinikahi saat tengah mengandung seorang anak. Tidak ada lagi penjelasan mengenai kondisi fisiknya, baik berupa postur, usia, atau rupa wajahnya. Berdasarkan dimensi psikologis, tokoh Istri memiliki rasa yang berbeda dari para istri sebelumnya, ia tidak merasa istimewa dengan hadirnya harta dan kemewahan yang didapatnya saat menjadi istri Korep. Dimensi Sosiologis Istri menggambarkan pandangan pribadi mengenai peti mati yang digunakannya saat mati nanti. Ia meminta peti mati yang khusus untuknya. Hal ini dikarenakan oleh kebiasaan Korep yang kerap menikahi lalu menguburi istri-istrinya. Dengan demikian, ketiga dimensi tersebut diharapkan mampu membantu pembaca dalam mengimajikan tokoh Istri. i. Perempuan Korep: Turah… Perempuan: Ya, mas Korep: Kau cantik42

Kutipan tersebut menunjukkan dimensi fisiologis Perempuan yaitu ciri fisik. Ia memiliki paras cantik sehingga Korep tertarik. Akan tetapi, tidak ada lagi ciri fisiologis lainnya yang dijelaskan di naskah mengenai dirinya seperti usia, postur, dan rupa wajahnya. Tokoh perempuan sendiri merupakan tokoh tambahan karena hanya muncul di akhir cerita dan berperan sebagai istri kelima belas atau istri terakhir dari Korep. Perempuan: Saya hitung lima kali, kalau tidak segera bubar rambutmu saya bakar. Satu … Perempuan: Jangan dekat Korep: Aku cinta padamu

42 Ibid, hlm.43

67

Perempuan: Saya terlalu muda untuk masuk lubang kubur seperti keempat belas mendiang istrimu43

Kutipan di atas menggambarkan dimensi psikologis Perempuan yang memiliki sikap berhati-hati dengan bujukan Korep. Bukan bersikap labil karena di awal ia menolak lalu tidak lama ia menerima Korep. Melainkan, ia ingin melihat kesungguhan dari Korep, sikap kehati-hatian disertai ketegasan inilah yang membantu dirinya untuk dapat melihat kesungguhan Korep dalam melepaskan seluruh kekayaan yang diraihnya selama ini dengan jalan yang salah. Korep: Kita bersanding sekarang. Kita pengantin sekarang. Kau duduk di sini. Kau benar. Saya telah buang semuanya. Tak sesenpun tersisa milik Embah di gubuk ini Perempuan: Kita undang orang-orang di bawah jembatan sana untuk memeriahkan pesta ini44

Kutipan di atas menggambarkan dimensi sosial pada Perempuan bahwa ia telah memiliki status sosial sebagai sepasang pengantin. Dengan kesungguhan Korep serta sikap tegas dan kehati-hatian Perempuan, akhir cerita mereka menikah dengan ala kadarnya. Hal ini menunjukkan kehidupan yang sebelumnya masih bergelimang harta, kini setelah menikah untuk yang kelima belas kalinya hidup Korep dan Perempuan menjadi miskin. Melalui gambaran dengan ketiga dimensi yang diperlihatkan, dapat diketahui bagaimana ciri fisik, psikologis, dan sosiologis dari tokoh Perempuan. Melalu dimensi fisiologis, ciri fisik tokoh Perempuan tergambar cantik. Tidak ada lagi rincian mengenai kondisi fisik lainnya seperti postur tubuh, usia, dan lainnya. Melalu dimensi psikologis, ia memiliki sikap berhati-hati dan tegas. Terlihat ketika ia menolak rayuan Korep dan membuat Korep mampu untuk meninggalkan kekayaannya demi dirinya. Melalui dimensi sosiologis, Perempuan telah memiliki status sosial sebagai seorang istri dari Korep dan hidup dalam kemiskinan.

43 Ibid, hlm.40-41 44 Ibid, hlm.42

68

Dengan demikian, melalui tiga dimensi tersebut dapat membantu pembaca dalam mengimajikan tokoh Perempuan dan juga pemeran atau aktor yang akan memerankan tokoh Perempuan sudah memiliki gambaran mengenai tokoh tersebut. Penempatan tokoh yang dilakukan oleh Arifin dalam naskah ini sungguh luar biasa. Hampir seluruh pemain, yang sudah dijabarkan di atas, memiliki peran penting dalam naskah sehingga cerita di dalamnya sangat padu.

4. Latar Latar merujuk pada tempat, waktu, dan lingkungan sosial masyarakat yang terjadi pada peristiwa dalam naskah atau cerita. Latar dibagi menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat menunjukkan terjadinya peristiwa di suatu tempat seperti rumah, pantai, lapangan, dan lainnya. Latar waktu menunujukkan suatu peristiwa terjadinya kapan, apakah di malam hari, siang hari atau sebagainya. Sementara latar sosial budaya menunjukkan terjadinya sebuah peristiwa disebabkan oleh masyarakat yang memiliki budaya yang berbeda dengan tingkat sosial yang berbeda. Latar Tempat Naskah Tengul karya Arifin C Noer merupakan surealis, yaitu ada makna simbolik di dalamnya. Dalam hal ini, latar tempat naskah Tengul ada beberapa tempat yang memiliki makna simbolik di dalamnya seperti Sungai Nanah dan Laut Selatan, latar tempat lainnya dijelaskan melalui dialog antar pemain secara gamblang. Berikut latar tempat yang ada dalam naskah Tengul: Di Rumah Turah: Saya akan jalan-jalan memamerkan kekayaan saya sambil menyemprotkan wewangian ke sekitar pekarangan rumah. Tepat tengah hari saya akan mengerahkan beberapa orang yang sanggup mengumpulkan beberapa gumpal mega agar tetap berada di atas rumah kita Korep: Saya kira kita sudah cukup bahagia dengan apa yang sudah ada di rumah45

45 Ibid, hlm.4

69

Kutipan tersebut menggambarkan suasana antara Turah dengan Korep. Sebetulnya, ketika kata “di rumah” dilontarkan oleh Korep ada kemungkinan ia hanya sekadar menyadarkan Turah sdengan caranya tetapi bila dianalisa kembali, pertengkaran suami istri tidaklah mungkin akan terjadi di tempat umum melainkan di dalam rumah. Dapat dikatakan, kata “di rumah” dalam kutipan tersebut selain Korep mencoba menyadarkan Turah, juga ia menunjukkan rumah dalam arti sebenarnya sebab berada di dalam rumahnya. Gombloh: Saya sendiri tidak begitu heran karena peristiwa- peristiwa ganjil seperti ini bukan sekali dua kali terjadi di rumah ini. Selama saya kerja saya telah mengalami peristiwa ganjil sebanyak tujuh kali rata-rata setiap hari. Karena itu apa yang ganjil di rumah ini buat saya tidak ganjil sama sekali.46 Kata “rumah” kali ini benar-benar rumah karena Gombloh, seorang ajudan, tengah menceritakan peristiwa yang terjadi di dalam rumah. Hal berbeda dengan rumah pada kutipan sebelumnya adalah rumah ini merupakan tempat tinggal Korep setelah ia menjadi kaya dan telah memiliki empat belas orang istri. Kuburan Suatu upacara penguburan. Korep yang kaya raya memakai kaca mata hitam. Korep: Pada sore gerimis rincis-rincis seperti ini, upacara penguburan sempurna sekali seperti adegan dalam sebuah filem garapan seorang sutradara yang cermat dan suka menyanyi. Bahkan bunga kamboja yang berserakan di tanah begitu rapih komposisinya, sementara tidak seekor cacingpun yang menodai keindahannya, sehingga tanah seolah-olah menjadi sehelai permadani buatan itali. Seseorang menyuarakan azan. Kemudian liang lahatpun ditutup dengan timbunan tanah.47 Kutipan tersebut menggambarkan Korep sedang berada di kuburan melakukan upacara penguburan istrinya yang kedua belas. Kebiasaan Korep setelah melakukan pesta adalah upacara penguburan.

46 Ibid, hlm.28 47 Ibid, hlm.23

70

Maka dari itu, latar tempat dengan menggunakan latar kuburan cukup sering digunakan seperti dalam naskah di awal babak III, halaman 23, 24, dan 25. Hal itu menunjukkan latar tempat kuburan adalah hal yang menunjukkan matinya seorang istri Korep sebab istri-istrinya akan menjadi tumbal dari kekayaannya. Sungai Nanah Si Tuli: Nanti kamu akan melewati sungai nanah dan kamu boleh minum sepuas-puas kamu. Tapi, kamu perlu bersabar. Korep: Betul-betul saya merasa haus. Bibir saya serasa pecah- pecah sudah Si Tuli: Untuk menikmati kelezatan nanah tidak cukup bibir pecah tapi hangus, Korep, hangus. Kamu masih perlu belajar menahan nafsu, baru apabila cukup padat hamburkanlah sehingga kamu terbiasa rakus.48

Latar tempat kali ini berbeda dengan sebelumnya sebab latar tempat kali ini terdengar ganjil atau asing. Seperti yang sudah disampaikan sebelum menganalisa latar tempat bahwa naskah Tengul merupakan naskah surealis, sesuai dengan gaya pengarangnya, yaitu Arifin C Noer yang kerap memasukkan makna-makna simbolis di hampir seluruh naskah yang dibuatnya. Naskah ini juga demikian, terdapat makna-makna simbolis dan ini terjadi di latar tempat. Sungai Nanah di sini dapat dikatakan sebuah sungai yang airnya berasal dari nanah manusia itu sendiri. Mengingat Arifin adalah seorang religius, ternyata Sungai Nanah juga terdapat dalam hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Umamah yang memiliki arti sebagai berikut “Ia didekatkan kepada air nanah tersebut, lalu ia pun meminumnya dengan terpaksa. Apabila air nanah tersebut didekatkan, wajahnya akan terbakar, kulit kepala dan rambutnya berjatuhan. Jika ia meminumnya, air tersebut akan memotong usus-ususnya hingga keluar dari duburnya.” (HR At-Tirmidzi)

48 Ibid, hlm.20

71

Kutipan hadist di atas membahas mengenai minuman para penghuni neraka saat berada di neraka Jahanam, mereka akan meminum air yang berasal dari nanah penduduk neraka itu sendiri. Hal ini juga berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh Korep, mengingat persekutuan yang dilakukan oleh Korep serta keinginannya untuk menjadi seorang perakus harta seperti yang tertera di kutipan Si Tuli, sebelum kutipan hadist, menunjukkan bahwa perilakunya tersebut sudah mengantarkan ia ke bayang-bayang api neraka. Hal ini dikuatkan dengan kutipan si Tuli berikut ini Si Tuli: Untuk menjadi perakus tidak cukup perut panas tapi biarkan terus terbakar hangus, biarkan sampai terjadi kebocoran supaya kamu bisa makan non-stop.49

Ucapan Tuli tersebut menguatkan bahwa Korep seperti sedang melakukan apa yang biasa dilakukan oleh para penghuni neraka ketika mereka makan atau minum, hal ini dikuatkan oleh hadist yang dibahas sebelumnya. Maka dari itu, Sungai Nanah dalam naskah Tengul merupakan makna simbolik dari kelakuan Korep yang melakukan persekutuan dan menyukai keserakahan, sehingga Sungai Nanah adalah hal yang akan diperolehnya nanti. Laut Selatan Korep: Wanita kali ini kulamar kau dengan sebatok air sumur. Percayalah sebagian kekayaanku telah ku bagi-bagikan dan sebagian lagi ku buang ke laut selatan.50 Berdasarkan kutipan tersebut terlihat Korep tengah melamar seorang perempuan dengan kesungguhannya, terbukti dengan ia rela membuang seluruh hartanya ke Laut Selatan. Latar tempat “Laut Selatan” sendiri identik dengan tempat pesugihan dan tempat orang memuja Nyi Roro Kidul. Sebagian daripada orang-orang yang mempercayai keberadaan Nyi Roro Kidul adalah mereka yang juga sebagai pemuja, pemberi sesajen kepada Nyi Roro Kidul di malam bulan purnama atau

49 Ibid, hlm.20 50 Ibid, hlm.41

72

malam satu Suro. Kepercayan seperti ini masih ada di daerah Pulau Jawa, tepatnya di bagian laut selatan Jawa seperti daerah Parangtritis atau Pelabuhan Ratu. Latar Waktu Latar waktu dalam naskah Tengul karya Arifin C Noer yang diterbitkan pada tahun 1974 mengisahkan kondisi sosial masyarakat bahwa hampir seluruh elemen masyarakat mengikuti ajang perjudian, dalam hal ini adalah lotre. Hal ini tidak terlepas dari sejarah pada tahun 1970-an bahwa perjudian jenis lotre pernah dilegalkan oleh Pemerintah, baik daerah maupun pusat, dengan tujuan mendongkrak ekonomi. Korep: Mau menabung? Apa yang ditabung? Mau korupsi? Apa yang dikorupsi? Satu-satunya jalan adalah pasang lotre51 Sependapat dengan kutipan Korep di atas bahwa satu-satunya jalan adalah pasang lotre. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat pada tahun 1969 Jawa Timur ditunjuk oleh KONI Pusat untuk menjadi tuan rumah PON VII. Akan tetapi, Pemerintah Provinsi Jawa Timur merasa bingung sebab belum lama pemerintah pusat berganti kepemimpinan di bawah pimpinan Bapak , yang disebut dengan orde baru, membuat politik dan ekonomi nasional belum stabil. Di tengah kebingungan, Acub Zainal, Komandan Korem 084/Bhaskara Jaya, bersedia mencarikan dana. Caranya, dengan menyelenggarakan lotre dalam bentuk lotto (lotere totalisator). Meski heran dengan langkah tersebut, semua yang hadir menyetujui.52 Hal ini tentu menimbulkan polemik bagi masyarakat, akan tetapi hal ini juga yang akan mendongkrak ekonomi masyarakat dan dapat membantu penyelenggaraan PON VII.

Sejarah singkat mengenai perjudian berbentuk lotre berlanjut hingga Pemerintah pusat, yang akhirnya mengikuti jejak langkah pemerintah kota Surabaya. Pemerintah pusat yang kala itu dipimpin oleh

51 Ibid, hlm.16 52 Aryono, Lotere untuk PON, http://historia.id/olahraga/lotere-untuk-pon. Diunduh pada 25/10/2017.

73

Presiden Soeharto juga mengadakan program lagi bernama SDSB atau Sumbangan Dana Sosial Berhadiah. Dengan program ini masyarakat bisa membeli kartu yang kelak akan diundi dan menghasilkan hadiah yang banyak. Sayang, program tersebut gagal berjalan lama. Yang menyebabkan proyek ini tidak bisa berjalan dengan lancar adalah adanya kemacetan dana. Pengelola proyek ini tidak menjalankan perannya dengan baik. Dana dari SDSB yang harus digunakan untuk kepentingan masyarakat justru berakhir dengan penggelapan. Dengan dana terkumpul hingga 221 miliar rupiah, hingga tidak bisa dilanjutkan. MUI pun akhirnya menyatakan lotre dilarang dan tidak boleh dilakukan lagi.53 Beberapa hal yang disebutkan, tidak jauh beda dengan kisah Tengul, dalam hal ini adalah Bandar, yang kerap meraup untung dibanding para pemasang. Ketika para pemasang kalah, Bandar yang akan mendapat taruhannya atau juga bisa barangkali Bandar melakukan tipu-tipu kepada para pemasang sehingga Bandar yang selalu menang dan para pemasang tidak pernah menang juga tidak mendapat apa-apa, hanya iming-iming hadiah besar saja. Latar waktu lainya dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer adalah waktu yang telah dilakoni oleh para pemain, semisal waktu di malam hari, sore hari, dan 30 tahun. Malam Hari Sampulung: Tetapi sebaliknya dengan rasa bangga saya umumkan bahwa hadiad-hadiah langsung akan diberikan malam ini juga dan di tempat ini juga.54

Sampulung: Bagaimana saudara-saudara? Angka berapa pasaran malam ini? Sebagian besar orang: Dua tujuh Sampulung: Dua tujuh. Kalian yakin angka dua tujuh akan keluar sebagai angka mujur malam ini?55

53 Adi Nugroho, Sejarah Judi Togel yang Pernah Dilegalkan Indonesia pada Tahun 1960-an, http://www.boombastis.com/sejarah-togel/81088. Diunduh pada 25-10-2017 54 Arifin, Op cit, hlm.1 55 Ibid, hlm.5

74

Si Tuli: Jangan sekali-kali tanyakan kenapa selalu malam Kita memang akan memasuki malam demi malam56 Sore Hari Korep: Pada sore gerimis rincis-rincis seperti ini, upacara penguburan sempurna sekali seperti adegan dalam sebuah filem garapan seorang sutradara yang cermat dan suka menyanyi…tapi pada sore hari ini seekor burung cemani telah menyampaikan sehelai saputangan berbunga-bunga oranye sambil membisikkan ke telinga saya bahwa sudah waktunya saya tidak perlu bersedih atau mencucurkan airmata baik asli maupun buatan, lantaran tanda-tanda tua telah tiba, tanda waktu bersuka ria.57 30 Tahun Korep: Beberapa waktu yang lalu, kemarin barangkali atau semenit yang lalu barangkali, atau tigapuluh tahun yang lalu barangkali, saya masih sempat mampu menentukan keinginan saya dan menciptakan apa saja, tapi sekarang di tengah istana yang mewah ini saya adalah bola gombal yang ditendang-tendang dan dimainkan oleh masa bocahku dan yang paling pahit menyadari bahwa saya ditentukan oleh keinginan saya.58

Gambaran latar waktu yang ditulis oleh Arifin C Noer, sebenarnya untuk menguatkan cerita. Bermula dari waktu malam hari, yang biasa orang beristirahat untuk tidur, tapi kali ini berbeda karena waktu malam hari juga digunakan untuk melakukan kegiatan lain seperti berjudi. Kegiatan perjudian di malam hari terasa meriah dibanding dilaksanakan pada pagi, siang atau sore hari. Latar waktu sore hari untuk penguburan, Korep selalu menguburkan istri-istrinya di sore hari. Latar selanjutnya adalah waktu 30 tahun, yang merupakan waktu Korep dalam mengubah hidupnya, mulai dari kehidupan miskin, lalu menjadi kaya raya, lalu kembali menjadi miskin. Kehidupan tersebut memakan waktu 30 tahun lamanya. Latar waktu diterbitkannya naskah Tengul pada tahun 1974, dimana pada sebelumnya, tahun 1968, ternyata perjudian berupa lotre dianggap legal dan dibolehkan oleh pemerintah daerah maupun pusat.

56 Ibid, hlm.18 57 Ibid, hlm.24 58 Ibid, hlm.39

75

Tujuan diadakan lotre ini untuk mencari dana guna menanggulangi dana yang cukup besar untuk menyelenggarakan PON VII di Jawa Timur. Kemudian, program lotre tersebut digunakan oleh Pemerintah pusat tapi dengan nama yang berbeda, yaitu Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Namun, tidak seperti lotre sebelumnya, perjudian berbentuk SDSB ini tidak jelas tujuannya serta terkesan lebih banyak korupsi sehingga program lotre serta SDSB tidak berjalan lama dan segera dilarang oleh MUI. Sampai kini, meskipun perjudian sudah dilarang keras tetapi perjudian secara tersembunyi masih didapatkan seperti sabung ayam, togel, dan yang lebih berteknologi, yaitu judi online lewat media internet.

5. Gaya Bahasa Gaya bahasa yang kerap digunakan dalam naskah ini menggunakan bahasa kiasan atau disebut majas. Naskah drama kali ini berbeda dengan naskah lainnya karena naskah ini terdapat beberapa puisi dalam dialog, terutama ketika Korep berdialog atau bercakap. Puisi yang dikeluarkan oleh Korep juga kebanyakan mengandung majas. Berikut adalah majas-majas yang digunakan dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer: Metafora Penulis dalam menciptakan metafora dipengaruhi oleh lingkungannya karena persepsi penulis terhadap gejala alam dan gejala sosial tidak dapat lepas dari lingkungannya juga.59 Turah: Mata kamu seolah-olah masih melihat cahaya raja zaman dulu kala, cahaya yang sebenarnya tidak ada, cahaya yang sebenarnya tercipta oleh rasa takut dan lapar.60

Pada kutipan di atas terlihat bagaimana Turah memberi penjelasan kepada Korep setelah sebelumnya mereka sempat cekcok lantaran Turah sudah tidak tahan dengan hidup miskin dengan penghasilan Korep yang

59 Kinayati Djojopuspito, Puisi; Pendekatan dan Pembelajaran, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), hlm.17 60Arifin, Op.cit, hlm.4

76

tidak seberapa. Penghasilan Korep tidak membuat mereka menjadi kaya dengan cepat maka dari itu Turah memutuskan untuk ikut dalam ajang perjudian, mengadu nasib, dengan harapan akan menang. Kata cahaya yang dilontarkan Turah kepada Korep merujuk kepada hal yang dianggap sebagai hal baik yang akan terjadi di masa yang datang. Cahaya yang dimaksud Turah juga cahaya yang tidak akan terjadi karena hal-hal baik tersebut hanya angan dan harapan semata dan hanya didapat oleh penguasa-penguasa bukan rakyat. Sinekdok to Tem Pro parte Penggunaan kata keseluruhan untuk sebagian. Terjadi usai Turah mengaku telah menjual berbagai macam barang termasuk dirinya sendiri ketika ia kalah dalam undian lotre. Turah: Saya telah menjual kesenangan dia…saya telah menjual kehormatan saya…61 Majas ini menggambarkan kesedihan Turah dengan pengakuannya yang telah menjual kesenangan Korep untuk modal demi dapat memenangkan lotre. Namun, ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Ucapan Turah yang mengatakan kesenangan dia lalu disusul dengan kehormatan saya, memberi penjelasan bahwa kesenangan yang paling penting dimaksud Turah adalah kehormatannya dibanding kesenangan lainnya. Simile Korep: Sementara tidak seekor cacing pun yang menodai keindahannya, sehingga tanah seolah-olah menjadi sehelai permadani buatan Itali.62

Kutipan tersebut terjadi ketika Korep sedang berpidato dalam upacara penguburan istri kesebelasnya. Pidato tersebut kerap dilakukan Korep setiap kali istrinya meninggal dunia tanpa sebab yang jelas. Lewat pidatonya, Korep kerap menggunakan bahasa yang puitis, baik dalam pidato penguburan atau pidato pernikahan. Korep menggunakan majas

61 Ibid, hlm.13 62 Ibid, hlm.23

77

simile dalam pidatonya kali ini dengan menggunakan kata seolah-olah, untuk menyandingkan antara tanah dengan permadani buatan Italia. Metonimia Korep: ….dan pula sore ini juga seperti upacara yang baru lalu seekor burung gagak cemani telah menyampaikan pada saya sehelai saputangan berbola-bola oranye sambil membisikkan di telinga saya bahwa sudah waktunya saya tidak perlu bersedih atau mencucurkan airmata baik asli maupun buatan, lantaran tanda- tanda tua telah tiba, tanda waktu bersuka-ria63

Setiap dalam pidatonya, Korep hampir selalu menggunakan kata yang sama tetapi ada penambahan-penambahan di setiap pidatonya. Kali ini, dalam pidato penguburan istri ketiga belasnya. Korep menggunakan majas metonimia yang merupakan bahasa kias pengganti nama, penggunaan untuk menyatakan sesuatu karena mempunyai pertautan yang dekat dan relasional.64 Adanya burung gagak cemani, yang diceritakan membawa sehelai saputangan berbola orange seperti sedang membawa kabar baik bagi Korep, yaitu telah datang perempuan selanjutnya untuk dijadikan istri. Pidato penguburan satu dengan yang lain selalu terdapat burung cemani dengan saputangan orange. Hal ini menunjukkan akan ada hal gembira bagi Korep dan akan ada hal yang tidak baik bagi istri Korep. Adanya burung gagak selalu identik dengan adanya akan terjadinya sesuatu hal yang tidak baik, sementara warna orange identik dengan kecerahan dan kesenangan. Kesenangan tersebut diperuntukkan Korep yang akan memiliki istri dan akan bertambah kekayaannya. Personifikasi Perempuan: Tapi kita perlu saksi Korep: Kamar apek ini, cicak, tikus-tikus, coro, laba-laba, lalat dan segala macam serangga akan tampil sebagai saksi yang lebih jujur.65

63 Ibid, hlm.25 64 Kinayati, Op.cit, hlm.19 65 Arifin,Op.cit, hlm.42

78

Korep menikah yang kelima belas kalinya, kali ini dengan tokoh Perempuan. Perempuan menginginkan adanya saksi di pesta pernikahannya tapi menurut Korep tidak perlu karena kamar apek bersama serangga-serangga sudah cukup menjadi saksi, bahkan mereka dianggap sebagai saksi yang lebih jujur. Kutipan kali ini memperlihatkan bahwa Korep menggunakan majas personifikasi dalam dialognya dengan Perempuan. Menyamakan benda dengan sifat manusia adalah pengertian dari personifikasi. Kamar apek dianggap mampu menjadi saksi bagi pernikahan mereka layaknya manusia yang bersaksi di depan penghulu. Kepiawaian Arifin dalam memasukkan bahasa puitis membuat Tengul, utamanya tokoh Korep, lewat kata-kata puiisnya mampu membuat bahasa yang tercipta tidak monoton dan lebih ke arah romantic karena kepuitisannya dalam berdialog.

6. Amanat Amanat merupakan pesan yang tersampaikan secara tersirat dalam cerita kepada pembaca. Setiap pengarang atau penulis tidak hanya sekadar menulis saja melainkan memiliki tujuan untuk memberi pesan kepada para pembacanya. Dalam drama atau naskah drama sendiri tentu terdapat amanat, biasanya pesan tersebut terdapat dalam dialog tokoh-tokoh yang berperan. Seringkali dalam Tengul, Korep mengatakan hidup sederhana lebih kaya daripada hidup kaya. Artinya, hidup dengan kondisi apapun patut disyukuri dan berbangga dengan hidup yang sederhana tapi bahagia daripada hidup kaya tapi tidak bahagia. Turah yang terus merengek untuk menjadi kaya kepada Korep dan tidak berhasil juga dan Korep yang kaya dengan cara cepat tapi tidak menemukan kebahagiaan selama hidup dengan kekayaannya.

79

B. Konflik Batin Tokoh Korep dalam Naskah Drama Tengul Karya Arifin C Noer Konflik batin adalah konflik yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih, dapat dikatakan sebagai keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku. Konflik batin yang terjadi berdasarkan id, ego, dan superego sesuai dengan hal masalah yang dialami tokoh. Konflik batin terjadi oleh Korep, tokoh dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer. Ada beberapa peristiwa konflik batin yang terjadi dalam diri Korep. Pertama, Korep mengalami konflik batin dengan istrinya. Korep muncul di awal cerita dengan istrinya, Turah, dalam keadaan bercekcok antar keduanya mengenai Turah yang kerap berkhayal tentang dirinya jika menang lotre. Saat perselisihan berlangsung, seperego Korep muncul untuk menahan nafsu dirinya agar tidak berselisih dengan istrinya. Turah : Betul-betul budak Korep : Saya kira kita sudah cukup bahagia dengan apa yang sudah ada di rumah Turah : Saya bisa memahami ketakutan kamu. Sederhana sekali soalnya; kamu terbiasa miskin dan prihatin dan pada dasarnya kamu hanya takut kecewa dan malas. Seperti banyak irang kamu merasa cukup puas dengan kerja ala kadarnya dan hasil ala kadarnya.66

Saat perselisihan terjadi superego Korep muncul untuk menengahi permasalahan, akan tetapi istrinya tetap saja memaksa bentuk-bentuk khayalan yang belum tentu terjadi. Korep tidak ingin ada perceraian bukan lantaran cinta semata melainkan perceraian adalah suatu hal yang buruk dipandang masyarakat, maka dari itu Korep memilih untuk mempertahankan rumah tangganya dan memilih sikap untuk mengalah. Sebenarnya, percekcokan yang timbul tidak harus terjadi lantaran masalah yang ditimbulkan berdasarkan khayalan saja. Turah berkhayal ingin kaya, sementara Korep menghimbau Turah untuk berhenti berkhayal dan selalu merasa cukup dengan kesederhanaan.

66 Ibid, hlm.4

80

Perselisihan suami-istri tersebut cukup sengit sampai Turah berani menantang Korep untuk bercerai. Korep merasa pertengkarannya sudah tidak wajar karena semakin dijawab olehnya, istrinya semakin menjadi-jadi, Korep mengalah untuk tidak berkata terlalu banyak. Ia melakukan represi sebagai mekanisme pertahanan dirinya, sebab ia berupaya untuk menghindari dirinya dari kecemasan yang nantinya akan berbuah menjadi traumatik baginya. Turah : Kalau saya bilang soal cita-cita, kamu bilang saya penuh nafsu. Tapi sudahlah. Pendeknya dengan penjelasan saya tadi kamu bisa mengerti mengapa saya ingin supaya kita bisa kaya. Kalau kamu keberatan dengan tugas semacam itu silahkan ke kantor pengadilan dan urus perceraian kita. Korep : Saya tidak bisa Turah : Sudah tentu karena kamu mencintai saya. Iya toh.67

Korep menahan id dan ego dengan melakukan represi pada dirinya. Bila id dan ego pada dirinya tidak tertahan, bukan tidak mungkin pertengkaran akan semakin besar dan berujung fatal seperti perpisahan atau perceraian. Akibat yang ditimbulkan adalah traumatik pada korep, rasa cemas akan hilang pasangannya. Maka dari itu, Korep melakukan represi dengan cara tidak menantang perkataan Turah selain karena takut akan hilang cinta dan kasih sayangnya, ia juga tidak ingin perceraian terjadi karena perceraian adalah suatu hal yang buruk di masyarakat. Pertahanan konflik dilakukan juga untuk menghindar dari kecemasan neurotik, dimana kecemasan ini berasal dari alam bawah sadar yang kerap mengganggu individu karena terjadi tanpa disadari oleh individu tersebut. Kedua, konflik batin dengan pekerjaan sebagai pegawai negeri. Setelah Korep mengetahui istrinya menjual diri demi modal bermain lotre dari Tuli cs, ia merasa kesal dengan perbuatan istrinya karena tidak sepatutnya seorang istri berbuat demikian. Alasan yang membuat istrinya berlaku demikian tentu karena pendapatan yang dihasilkan Korep tidak pernah memenuhi kebutuhan istrinya. Korep bekerja sebagai pegawai negeri dengan pekerjaannya sebagai juru arsip atau zaman sekarang seperti

67 Ibid, hlm.5

81

dokumenter surat atau bagian surat-menyurat. Pekerjaan sebagai pegawai negeri pada tahun 1970an memang hanya mendapat upah honor yang tergolong kecil. Korep menggunakan ego dalam menyelesaikan masalah yang selama ini terpendam dalam benaknya. Sebab ego dalam hal ini bertugas untuk dapat memutuskan suatu permasalahan dengan mempertimbangkan apakah ia dapat memuaskan diri tanpa mengakibatkan kesulitan bagi dirinya sendiri. Ego tersebut digunakan sebagai sifat bijaknya sebagai suami karena istrinya yang selalu meminta barang mewah. Si Tuli: Dan istrimu? Korep: Sejak bulan pertama berumah tangga saya mengenalnya sebagai satu bungkah semangat yang tidak pernah padam. Seluruh hidupnya hanya ingin berbakti kepada nafsunya. Impian-impian dan angan-angan tentang kemewahan tidak pernah luntur dan ia percaya suatu kitka akan mendapatkannya. Tapi iasadar kemewahan itu tak kunjung tiba selama mengharapkan dari kantor dimana saya kerja sebagai pegawai negeri rendahan, sebagai juru arsip. Mau menabung? Apa yang ditabung? Mau korupsi? Apa yang dikorupsi? Satu-satunya jalan adalah pasang lotre.68

Korep sadar akan dirinya yang tidak memiliki upah yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan istrinya hingga ia pun juga sadar bahwa memasang lotre adalah jalan yang tidak salah karena pekerjaan untuk rakyat kecil tidak ada yang memiliki gaji tinggi termasuk pekerjaannya sebagai pegawai negeri. Tapi setelah mendengar kabar istrinya menjual diri, Korep merasa kecemasannya selama ini pun terjadi pada kehidupannya. Korep menggunakan mekanisme pertahanan pengalihan pada dirinya, ia merasa tidak senang dengan pekerjaannya yang tidak membuahkan hasil, ia bekerja denga gaji yang amat rendah sehingga tidak memberi kesejahteraaan baginya dan bagi keluarganya sehingga istrinya berani berbuat tidak pantas maka ia mengalihkan tindakannya ke arah lain. Ia ingin merampok dengan alasan ingin kaya, ia sudah mengabaikan prinsipnya untuk selalu merasa cukup dalam kesederhanaan.

68 Ibid, hlm.16

82

Korep: Saya kira lebih baik saya merampok Ketiganya ketawa Korep: Saya sungguh-sungguh Si Tuli: Kenapa kau tiba-tiba ingin merampok? Korep: Saya ingin kaya Ketiganya ketawa Korep: Saya sungguh-sungguh Si Tuli: Kenapa kamu tiba-tiba ingin kaya? Korep: Hanya ingin membuktikan bahwa saya tidak takut kaya69

Kegelisahan yang dialami Korep karena kecemasan yang selama ini dikhawatirkan terjadi padanya. Keinginan merampok memang hanya sebagai pengalihan terhadap pekerjaannya sebagai pegawai negeri yang hanya mendapatkan gaji rendah. Tapi rasa keinginannya menjadi kaya juga ada terbukti dengan niatnya yang ingin merampok. Ketiga, Korep merasakan konflik batin dengan Tuhannya. Tidak sampai ia merampok, ia beralih kepada pekerjaan yang lebih ekstrem, yaitu pesugihan. Korep mendapati pekerjaannya setelah bertemu dengan Tuli cs karena menganggap jalan tersebut lebih cepat menghasilkan uang daripada pekerjaannya. Awal cerita ia selalu beranggapan hidup sederhana lebih kaya dari hidup kaya, kesederhanann yang dijalaninya selalu dipertahankannya bahkan sampai di depan istrinya tapi setelah bertemu Tuli cs prinsip yang selalu disanjungnya tersebut tidak berlaku dan lebih tertarik pada materi. Si Tuli: Untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak daripada hasil yang kamu peroleh sebagai pegawai kecil sangat bodoh kalau kamu memilih pekejaan sebagai perampok kecil. Percyalah untuk itu kamu haruss menjadi pegawai besar aau perampok besar. Tapi sementara itu barangkali kamu tahu ada jalan lain kecuali jalan pembesar-pembesar dan jalan ini jalan pendek para dewa. Korep: Menarik. Jalan macamapa itu? Si Tuli: Tapi sebeum terlalu jauh tidakkah lebih dulu kamu ingin tahu siapa kami sesungguhnya? Korep: Persetan! Saya tidak peduli siapa kalian sesungguhnya!70

Korep dalam hal ini menggunakan id, ia tidak menghiraukan agama yang dianut, juga tidak peduli dengan larangan Tuhannya untuk tidak

69 Ibid, hlm.17 70 Ibid, hlm. 18-19

83

melakukan perbuatan musyrik tersebut. Ia hanya memikirkan untuk menjadi kaya dengan cara apapun tidak dengan berpikir bagaimana caranya. Nafsu dirinya untuk menjadi kaya, kini sama dengan nafsu istrinya dalam mengkhayalkan harta dalam pemenangan lotre. Kecemasan yang dialami Korep adalah cemas dalam hartanya, bila ia hanya menjadi perampok ia hanya akan mendapat resiko saja tanpa mendapat keuntungan besar. Korep berada di alam bawah sadarnya untuk menjadi kaya, id yang digunakan menjadikan dirinya tidak lagi kenal dengan Tuhannya. Ia menggunakan mekanisme pertahanan sublimasi, dimana ia mengalihkan jalan merampok ke jalan pesugihan. Kedua jalan tersebut sama-sama tidak baik tapi jalan sebagai perampok tentu akan tidak dapat diterima oleh sosial mengingat menjadi rampok resiko yang dihadapinya besar beda halnya dengan pesugihan yang jalan kerjanya tidak terlihat oleh orang-orang tetapi menghasilkan banyak materi. Bentuk sublimasi tersebut membuat Korep yakin terhadap pilihannya untuk melakukan pesugihan karena hasil yang akan didapatnya akan lebih banyak. Keempat, Korep konflik batin dengan dirinya sendiri. Setelah Korep menyetujui ajakan Tuli cs, ia bertemu Batu Hitam untuk menjalani pesugihan. Batu Hitam memberi pujian pada Korep yang telah berhasil melewati rintangan yang diberinya. Korep semakin tinggi hati dipuji dan semakin meningkat nafsunya untuk menjadi kaya. Disini, id Korep muncul sebab hasratnya untuk menjadi kaya lebih besar ketimbang ingin menahan nafsunya. Ia juga sampai lupa dengan kehidupan sebelumnya yang penuh kesederhanaan yang selalu dibanggakan oleh dirinya. Korep: Terimakasih, mbah B.Hitam: Jangan terburu-buru berterimakasih. Benar kamu berani menjadi orang kaya? Sakit lho jadi orang kaya. Korep: Hamba berani, mbah, benar-benar berani B.Hitam: Lalu apa yang akan kamu pertaruhkan sebagai modal? Anak? Korep: Hamba belum punya anak, mbah. Kecuali itu hamba sangsi akan bisa punya anak B.Hitam: Lalu istri? Korep: Hamba kira, mbah

84

B.Hitam: Kamu benar-benar akan menjadikan istrimu tumbal dan membiarkan istrimu mati? Korep: Bukan saja istri, mbah, anakpun bamba bersedia kalau hamba punya anak. Juga kalau mungkin hamba persembahkan para tetangga.71

Korep menggunakan id dalam memutuskan hal tersebut lantaran ia sudah telanjur ingin menjadi kaya dengan nafsunya, tanpa mempertimbangkan kembali resiko yang akan diterimanya. Sublimasi kembali menjadi mekanisme pertahanan dirinya. Pemilihan mekanisme pertahanan sublimasi menjadikan Korep kalap akan prinsipnya sehingga ia menganggap pesugihan adalah jalan yang sama dengan merampok tapi penghasilan yang didapat berbeda. Kelima, Korep mengalami konflik batin dengan tokoh tambahan, Batu Hitam, yang merupakan tokoh yang disembahnya untuk menjadi kaya. Konflik ini ditampilkan oleh Korep diawali dengan kegelisahannya dengan tokoh bernama Batu Hitam Setelah Korep semakin bertambah hartanya dan kehidupannya semakin sejahtera. Namun, Istri yang keempatbelasnya kali ini, yang sangat dicintainya, diambil oleh Batu Hitam karena ulahnya sendiri. B.Hitam: Barangkali ini lah persembahan kamu yang paling sempurna. Seorang perempuan muda, hampir-hampir tanpa dosa, hampir-hamir bocah Korep: Tapi juga barangkali inilah persembahan saya yang tidak disertai ketulusan saya B.Hitam: Embah tidak akan pernah merasa rugi karena hatimu tidak tulus. Tapi sungguh perembahanmu kali ini betul-betul mulus Korep: Saya tidak pernah bisa melupakannya72

Ego Korep kali ini muncul agar tetap mendapat kepuasan cinta. Ia ingin istri keempatbelasnya terus bersamanya, ia seakan-akan lupa dengan kesepakatan yang dilakukan dengan Batu Hitam bahwa istri-istrinya nanti akan menjadi tumbal dari kekayaannya. Saat istrinya diambil oleh Batu Hitam, Korep mulai merasakan kecemasan dalam dirinya, istri yang dicintanya tidak ingin dilepas begitu saja, ia selalu menginginkan istrinya

71 Ibid, hlm.22-23 72 Ibid, hlm.34

85

untuk tetap bersamanya. Korep selalu menggunakan ego, ia hanya terbawa nafsunya untuk mendapatkan istrinya kembali padahal sudah ada kesepakatan dalam hal ini. Saat Korep memiliki istri yang keempatbelas, ia menganggap istrinya seperti anak kecil, tapi saat akan kehilangan istrinya karena perbuatannya sendiri, justru Korep yang terlihat seperti anak kecil. Terlihat dalam mekanisme pertahanan yang dilakukan oleh Korep, yaitu regresi, dimana seseorang akan berlaku layaknya anak kecil seperti menangis, manja uuntuk memperoleh perhatian dari orang lain. Korep melakukan regresi dengan meminta istrinya kembali kepada Batu Hitam, Korep merayu istrinya untuk tidak masuk ke liang kubur, dan ia meminta istrinya untuk tetap hidup dengannya. Permintaannya selalu mengikuti nafsu semata sehingga mendorong ego pada dirinya untuk selalu mengutamakan hasratnya tanpa melihat resikonya. Istri: Selalu permintaanmu aneh-aneh. Bagaimana mungkin kamu mengharapkan pohon mangga berbuah kepala kucing?73

Perkataan Istri sebetulnya untuk menyadarkan Korep bahwa yang dilakukannya untuk merayu Batu Hitam dan dirinya hanya sia-sia saja sebab tujuan utamanya adalah untuk meraih harta bukan untuk meraih kebahagiaan. Keberadaan id Korep yang menginginkan dua hal sekaligus, mendapat harta juga mendapat cinta, membuatnya semakin lupa akan asal mula dirinya berawal. Keenam, konflik batin dialami Korep ketika bertemu perempuan, ia mengalami konflik batin dengan dirinya sendiri. Setelah kehilangan istri keempat belasnya, ia sempat merasa sudah tidak peduli dengan hartanya. Ketika harta yang diimpikan sudah didapat, ia justru kehilangan kebahagiaan termasuk kehilangan pendamping hidup dan para ajudannya. Tidak lama, ia menemukan perempuan, seluruh cara dilakukan olehnya tapi perempuan tersebut menolak. Korep: Aku cinta padamu

73 Ibid, hlm.37

86

Perempuan: Saya terlalu muda untuk masuk lubang kubur seperti keempat belas mendiang istrimu Korep: Tapi saya cinta kau Perempuan: Tapi saya nggak mau mati muda Korep: Lalu bagaimana? Perempuan: Buanglah kekayaan dan kembalikan pada Embah Korep: Sebentar, sebentar, tunggu, buang maksudmu?74

Perempuan memberi syarat untuk membuang seluruh hartanya yang didapat dari hasil pesugihan bila ingin bersamanya. Pada pilihan tersebut, Korep sempat berpikir dan harus memilih mana yang harus didahulukan antara kebutuhan atau keinginan, antara harta atau wanita. Ego Korep muncul dalam situasi seperti ini, Korep memilih perempuan dibanding hartanya. Keputusannya baik karena memilih kebahagiaan daripada harta yang hanya membuatnya merasa asing dan tidak memiliki kebahagiaan. Mekanisme pertahanan yang digunakan pun adalah represi, dimana ia merasa sadar dalam melakukannya, ia tidak ingin kegelisahan dalam harta yang selama ini terjadi terulang dalam hidupnya. Represi membuatnya merasa tidak perlu berada dalam kecemasan yang berlebih sebab dia pun sudah tidak peduli dengan hartanya.

D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Analisis konflik batin tokoh Korep dalam naskah drama Tengul karya Arifin C Noer dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran sastra di sekolah, baik di Sekolah Menengah Pertama atau di Sekolah Menengah Atas, yaitu melalui materi unsur intrinsik dan ekstrinsik drama serta dalam materi menulis drama. Melalui materi-materi tersebut siswa dapat mengetahui apa saja yang akan dikaji dan dipelajarinya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan drama. Belajar sastra membuat siswa semakin dapat mengembangkan pemikirannya dalam menganalisis pelajaran, dalam hal ini adalah materi unsur intrinsik dan ekstrinsik yang memang menjadi materi pokok dalam pembelajaran sastra. Bukan hanya menjadi rajin membaca ketika siswa

74 Ibid, hlm.41

87

dihadapkan dengan pelajaran sastra seperti membaca cerpen, novel, atau drama melainkan siswa juga dapat mengambil setiap amanat yang terkandung dalam cerita. Melalui pembelajaran sastra, khususnya mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik, siswa dapat mengaplikasikannya dalam keseharian mereka melalui analisis dan amanat yang mereka temukan dalam cerita. Dengan cara demikian, tentu siswa akan lebih dapat mengembangkan lagi kemampuan berpikir, sikap, dan keterampilannya dalam belajar sastra serta dapat diimplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Selain siswa yang dapat mengambil manfaat dari pembelajaran sastra, seorang guru juga bisa mengambil kemanfaatan dari memberikan pelajaran sastra. Guru dapat memberi ilmu yang sudah dimilikinya kepada siswa dengan berbagai macam metode yang menyenangkan, yang bervariatif sesuai dengan kondisi kelas dan agar supaya siswa dapat menyukai pelajaran terkait dengan sastra. Metode yang digunakan guru tentunya yang dapat menyenangkan siswa supaya siswa tertarik dengan pembelajaran sastra sebab tidak semua siswa menyukai sastra. Dalam hal ini, peran guru amat penting dalam membantu siswa selain untuk membangun rasa ketertatrikannya terhadap pembelajaran sastra juga untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Banyak siswa yang paham mengenai sosialisasi tapi tidak semua siswa mampu mengarahkan jiwa sosialnya ke arah yang benar, di sini tugas guru untuk mendidik siswa untuk dapat menghargai satu sama lain, pentingnya hubungan bermasyarakat, serta membaur dengan siapapun. Jika drama dikaitkan dengan kompetensi dasar, maka hal itu dapat dijadikan bahan untuk mengetahui perilaku manusia secara pribadi melalui dialog-dialog yang diucapkan tokoh-tokoh yang berperan, khususnya dialog Korep dalam drama Tengul karya Arifin C Noer. Amanat yang terkandung dalam setiap karya sastra dalam pembelajaran sastra juga dapat memberi manfaat kepada siswa seperti dalam Tengul karya Arifin C Noer, siswa diharapkan mampu untuk mensyukuri segala nikmat yang ada, tidak perlu berlebih-lebihan dalam harta, jangan mencari harta dengan cara haram, dan berbanggalah dengan hidup sederhana yang bahagia daripada hidup dengan

88

kekayaan harta tapi tidak bahagia. Selain mengambil amanat yang ada, siswa juga dapat belajar mengenai mendapatkan harta bahwa untuk memiliki harta maka harus bekerja keras terlebih dahulu, jangan mengharapkan dari jalan haram seperti judi dan pesugihan, dan jalan tersebut harus dijauhkan. Siswa diharapkan dapat mengikuti setiap proses belajar dengan baik dan benar. Guru bertangggung jawab atas hal ini, untuk itu guru perlu metode yang variatif dalam mengajar untuk meningkatkan antusias siswa dalam pembelajaran sastra. Tujuan dari metode-metode yang berbeda adalah supaya siswa tidak merasa bosan dan supaya tujuan belajar, yaitu pesan dari pembelajaran dapat ditangkap oleh siswa dan tersampaikan dengan benar sehingga siswa dapat mengaplikasikannya ketika berada di rumah atau di lingkungan sekitar. Materi mengenai unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik memang sering didapatkan siswa di pelajaran bahasa Indonesia, mulai dari bangku SD- SMA, tapi karya sastra yang berbedalah yang membuat siswa harus membaca dan menganalisis lagi. Selain materi tersebut, jika naskah drama Tengul karya Arifin C Noer dijadikan sebagai buku sumber pembelajaran drama di SMA kelas IX, maka guru dapat memberi arahan kepada siswa untuk mendeskripsikan perilaku tokoh utama dalam drama Tengul. Materi tersebut terdapat dalam pembahasan unsur intrinsik, mendeskripsikan perilaku tokoh. Guru dapat mengajarkan kepada siswa bagaimana sikap yang benar ketika seseorang hidup dalam kesederhanaan dan memiliki harta yang tidak banyak, yaitu mensyukurinya dan tidak perlu banyak mengeluh. Selain itu, guru juga dapat mengajarkan bahwa untuk dapat hidup dengan kekayaan maka seseorang yang mau hidup kaya tersebut haruslah bekerja keras, tidak boleh dengan jalan haram seperti berjudi dan melakukan pesugihan. Maka penting juga bagi peserta didik untuk mengetahui bahwa pentingnya hidup bertetangga, mengenal masyarakat lain di lingkungan sekitar, dan juga saling berbagi bila memiliki rezeki yang berlebih. Melalui naskah drama Tengul karya Arifin C Noer, guru juga dapat menceritakan bagaimana kondisi masyarakat pada tahun 70’an bahwa pada

89

tahun tersebut masyarakat sudah mengenal pasang lotre sebagai batu loncatan bila harta yang dimilikinya tidak memenuhi keinginanannya dan juga sebagai salah satu jalan utama untuk mendapat harta. Selain itu, dapat dikatakan bahwa perjudian amat marak pada tahun tersebut dan muncul jalan lain yaitu pesugihan, dimana untuk menjadi kaya raya seseorang harus mengirimkan tumbal untuk menambah pundi-pundi hartanya. Guru wajib memberitahu bahwa perilaku masyarakat pada tahun tersebut tidak boleh ditiru karena bila dihubungkan dengan era modern seperti sekarang sangat tidak cocok karena banyak pekerjaan yang lebih layak jika mau bekerja keras.

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan Setelah melakukan analisis terhadap naskah drama Tengul karya Arifin C Noer maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Konflik batin yang terjadi pada Korep disebabkan beberapa hal. Pertama, Korep mengalami konflik batin dengan istrinya. Saat perselisihan berlangsung, seperego Korep muncul untuk menahan nafsu dirinya agar tidak berselisih dengan istrinya. Ia juga menggunakan represi sebagai mekanisme pertahanannya agar tidak terjadi kecemasan dalam dirinya dan untuk mempertahankan rumah tangganya sebab perceraian adalah hal yang buruk di mata masyarakat. Kedua, konflik batin dengan pekerjaannya sebagai pegawai negeri. Ia menggunakan ego untuk memutuskan suatu permasalahan ketika istrinya terus-terusan meminta barang mewah. Ia juga menggunakan pengalihan sebagai mekanisme pertahanan. Ketiga, Korep merasakan konflik batin dengan Tuhannya. Ia cenderung menggunakan id dalam mencapai keinginannya dan menggunakan sublimasi sebagai mekanisme pertahanannya. Keempat, Korep konflik batin dengan dirinya sendiri. Id Korep muncul untuk mengutamakan nafsu mendapat harta. Korep menggunakan sublimasi sebagai mekanisme pertahanannya. Kelima, Korep merasakan konflik batin dengan Batu Hitam. Ia menggunakan ego dalam menginginkan istrinya tetap hidup bersamanya dan menggunakan regresi sebagai mekanisme pertahanannya. Keenam, konflik batin dialami Korep ketika bertemu perempuan, ia konflik batin dengan dirinya sendiri. Munculnya ego dalam mengambil keputusan untuk memilih perempuan sebagai istri terakhir adalah tepat sebab Korep mendapatkan kebahagiaan. Ia menggunakan represi sebagai mekanisme pertahanannya. 2. Implikasi pembelajaran sastra di sekolah melalui drama Tengul karya Arifin C Noer berkaitan dengan kompetensi dasar untuk mendeksripsikan

90 91

perilaku manusia melalui dialog naskah drama. Melalui tokoh Korep dalam Tengul, siswa dapat mengetahui bagaimana sikap yang akan diambil dalam menentukan sebuah keputusan. Siswa diharapkan mampu untuk mensyukuri segala nikmat yang ada, tidak perlu berlebih-lebihan dalam harta, dan jangan mencari harta dengan cara haram. Selain mengambil amanat yang ada, siswa juga dapat belajar mengenai penulisan teks drama sesuai kompetensi dasar yang harus terpenuhi, siswa juga dapat mengetahui unsur-unsur drama. Melalui Tengul, siswa diharapkan dapat bekerja keras tanpa jalan curang dan bila mendapat rezeki maka patut untuk disyukuri. Selain itu, siswa dapat diberi motivasi untuk menggali lebih dalam potensi yang dimiliki sehingga dapat berkembang dan dapat memanfaatkan potensi yang ada agar impian yang dimilikinya tercapai. B. Saran 1. Naskah drama Tengul karya Arifin C Noer dapat digunakan sebagai bahan dalam pembelajaran sastra di sekolah oleh guru, baik dalam pembelajaran menulis maupun pementasan drama. 2. Melalui pembelajaran sastra, siswa dapat menanamkan sikap positif terhadap karya sastra sehingga siswa mampu mengapresiasi setiap karya sastra dan siswa juga dapat mengambil setiap amanat atau pesan dari setiap karya sastra yang dibaca maupun yang dipelajari. 3. Pembelajaran konflik batin tokoh Korep dalam naskah drama Tengul diharapkan kepada siswa untuk dapat mengambil keputusan secara bijak dalam menentukan sebuah pilihan, bersyukur dengan segala nikmat dan rezeki yang didapat, dan mampu berperilaku baik dalam keseharian sesuai dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Aminuddin. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1990.

Adilla, Inval. “Menghormati Manusia sebagai Makhluk yang Ditinggikan”. Harian Singgalang, Edisi Senin 3 September 1984.

AG, Yon. “Anak Tukang Sate yang Diundang ke Luar Negeri”. Harian Merdeka, Edisi Selasa 31 Maret 1984.

Anonim. “Dari Konsep ke Panggung Arifin”. Harian Merdeka, Edisi Minggu 29 Mei 2005.

------. “Warisan’ almarhum Arifin C Noer”. Harian Wawasan, Edisi Jum’at 15 September 1995.

Aryono, Lotere untuk PON, http://historia.id/olahraga/lotere-untuk-pon. Diunduh pada 25/10/2017.

Cahyono, Rachmat Hidayat. Arifin C Noer: Penerima SEA Write Award ’90. Media Indonesia, Edisi Minggu 14 Oktober 1990.

Djojopuspito, Kinayati. Puisi; Pendekatan dan Pembelajaran. Bandung: Penerbit Nuansa, 2005.

EA, Rosyid. “Pengakuan Arifin C Noer”. Pikiran Rakyat, Edisi Mingguan 14 Oktober 1990.

Endraswara, Suwardi. Teori Kritik Sastra. Yogyakarta: CAPS, 2013.

------. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS, 2013.

Eriyanti, Pentas “Tengul” Mengolok-olok Kemiskinan, www.pikiran- rakyat.com/seni-budaya/2011/12/15/169456/pentas-tengul-mengolok- olok-kemiskinan. Diunduh Kamis, 19-01-2017.

92 93

Freud, Sigmund. Memperkenalkan Psikoanalisis. Jakarta: PT Gramedia. 1984.

Gani, Rizanur. Pengajaran Sastra Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988.

Hardjana, Agus M. Stres Tanpa Distres: Seni Mengolah Stres. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Hendrayana, Yayat. Umang-umang Arifin Impian Kemelaratan. Bandung: Pikiran Rakyat. 1976.

Irwanto dkk. Psikologi Umum. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Kawentar, Abah Jajang. Tengul; Bertaruh Jelang Pesta Demokrasi, www.indonesiaartnews.or,id/newsdetil.php?id=434. Diunduh Rabu, 28- 12-2016.

Minderop, Albertine. Psikologi Sastra. Cetakan Kedua. Jakarta: Yayasan Putaka Obor Indonesia, 2011

Noer, Arifin.C Tengul. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1974.

Nugroho, Adi. Sejarah Judi Togel yang Pernah Dilegalkan Indonesia pada Tahun 1960-an. http://www.boombastis.com/sejarah-togel/81088. Diunduh pada 25-10-2017.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakart: Gadjah Mada University Press, 2013.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Rahayu, Yunia Ria. “Perilaku Masyarakat Urban dalam Drama Mega,Mega Karya Arifin C Noer dan Implikasinya Pada Pembelajaran Sastra di SMA”. Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2014. 94

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Rendra, WS. Seni Drama untuk Remaja. Jakarta: Burungmerak Press, 2009.

San, Suyadi. Drama Konsep Teori dan Kajian. Medan: CV Pratama Mitra Sari, 2013.

Semi, Atar. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya, 2011.

Sentosa, Puji. Biografi Arifin C. Noer, http://pujies- pujies.blogspot.co.id/2010/01/arifin-c-noer.html. Diunduh Kamis, 19-01- 2017.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.

Sobur, Alex. Psikologi Umum: dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Pustaka Setia, 2003.

Soetrisman, AJ. Drama dan Teater Remaja. Yogyakarta: Penerbit Hanindita, 1980.

Sugono, Dendy. Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2009.

Turmudzi, Muhammad Imam. “Watak dan Perilaku Tokoh Jumena Martawangsa dalam Naskah Drama Sumur Tanpa Dasar Karya Arifin C Noer”. Jurnal Sastra Indonesia vol.2 no.1. Semarang: UNS, 2003.

Wellek, Renne & Austin Waren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 1993.

WS, Hasanuddin. Drama Karya dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa, 1996.

Waluyo, Herman J. Drama: Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2002. 95

Yunita. “Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II Karya Arifin C Noer dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”. Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2014. Lampiran 1

A. Sinopsis Naskah Tengul

Naskah Tengul menceritakan mengenai situasi masyarakat miskin yang mencoba memperbaiki nasib dengan cara yang berbeda, yaitu dengan berjudi memasang lotre dan ada pula sampai melakukan pesugihan. Bermula dari kemiskinan yang melanda sebuah kelompok masyarakat, mereka menginginkan menjadi orang kaya dengan cara yang salah. Masyarakat yang ikut dalam perjudian pun dari berbagai macam latar belakang mulai dari pedagang, pegawai negeri, sampai seorang haji. Pendapatan yang mereka peroleh selama ini belumlah cukup menurutnya maka dari itu berjudi atau pesugihan adalah salah satu cara untuk menambah kekayaan yang mereka peroleh. Tokoh utama dalam naskah Tengul bernama Korep, ia seorang pegawai negeri sipil yang mempunyai istri bernama Turah. Istrinya begitu ambisius untuk menjadi orang kaya dan menuntut Korep untuk mengikuti kemauannya. Meskipun Korep telah memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri tapi pendapatannya belum cukup untuk memenuhi keinginan Turah. Korep tetap bersikeras pada prinsipnya yaitu “hidup sederhana lebih kaya dari hidup kaya”. Korep mencoba untuk menyadarkan Turah bahwa lebih baik merasa cukup daripada selalu merasa kurang tapi Turah tetap tidak puas dengan harta yang diperoleh dari suaminya. Tuntutan dari istrinya membuat Korep stress, lalu pergi untuk tidur dan membiarkan istrinya berjudi bersama warga yang lain. Saat berjudi akan berlangsung, terdapat seorang seperti moderator dalam sebuah acara, Sampulung, ia yang memimpin acara perjudian sebelum berlangsung yang juga dihadiri oleh Bandar dan Lelaki Kurus, sebagai asisten Bandar. Warga telah duduk pada tempatnya masing-masing dan telah memegang nomor undian masing-masing. Perjudian pun dimulai dengan bunyi senapan sebagai tandanya. Setelah papan rolet diputar ternyata angka pasangan tidak ada yang keluar, semua kecewa termasuk Turah, ia menangis lantaran telah menghabiskan banyak modal agar menang. Modal yang dikeluarkan Turah supaya menang tidak tanggung-tanggung, bahkan ia sampai rela melakukan segalanya demi modal bermain judi. Korep tidak tahu keadaan terbaru dari Turah bagaimana, apakah istrinya menang atau kalah seperti biasanya?. Korep terbangun dari tidurnya lantaran diganggu oleh Tuli cs yang terdiri dari Si Tuli, Si Bisu, dan Si Pandir. Mereka bertiga memberi kabar kepada Korep bahwa istrinya telah menjual kesenangannya kepada orang lain. Mendengar hal itu Korep berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya berkata lain, ia kecewa istrinya dapat berbuat nekat demikian. Keadaan Korep stress sampai ia sempat berpikir untuk merampok agar bertambah hartanya dan dapat menyenangkan istrinya di rumah tapi niat tersebut digagalkan oleh Tuli cs karena menurut mereka kegiatan seperti merampok adalah pekerjaan sia-sia, kalau dapat harta memang bagus tapi kalau dipukuli warga akan besar risikonya. Tuli cs kemudian malah mengajak Korep untuk memperoleh kekayaan dengan cara yang berbeda, yaitu dengan jalan pintas, mereka menyebutnya jalan cepat para dewa, yaitu dengan cara melakukan pesugihan. Korep langsung menyetujui ajakan Tuli cs karena ia sudah dibutakan oleh harta yang akan didapatnya nanti. Pesugihan yang dilakukan Korep menuntut ia untuk mempersembahkan tumbal setiap tahunnya. Setiap tumbal yang diberi semakin bertambah pula harta Korep. Korep memiliki perjanjian dengan Batu Hitam dalam memberikan tumbal, karena ia tidak memilikii anak maka setiap perempuan yang akan menjadi istrinya akan menjadi tumbal. Setiap tahun Korep menikahi perempuan yang akan ia jadikan tumbal bagi Embah. Sudah empatbelas kali ia menikah, semakin lama harta kekayaan Korep semakin bertambah, namun hatinya tetap saja tidak bahagia, karena ia kehilangan istri-istri yang dicintainya dan satu persatu orang didekatnya pun pergi. Korep merasa sepi, sebab biasanya ia selalu ditemani oleh istri dan ajudan- ajudannya. Kehidupan Korep banyak berubah karena tidak ada lagi yang menemaninya bahkan tidak ada lagi perempuan yang ingin menjadi istrinya karena sudah taut menjadi tumbal kekayaan Korep. Hingga suatu ketika Korep mencoba melamar calon istrinya yang kelimabelas, namun kembali mendapat penolakan dengan alasan perempuan tersebut takut bernasib sama seperti istri-istri Korep sebelumnya, meskipun sebenarnya perempuan tersebut juga mencintai Korep. Akhirnya dengan bujuk rayu Korep, perempuan itu mau menerima lamaran tersebut dengan syarat bahwa Korep harus mengembalikan seluruh hartanya kepada Embah. Korep kemudian menuruti keinginan perempuan tersebut. Ia mengembalikan semua harta kekayaannya kepada Embah. Korep melamar perempuan tersebut hanya dengan sebatuk air sumur dengan pakaiannya yang robek-robek karena hartanya sudah dibuang. Ada beberapa yang dibuang di Laut Selatan dan ada yang dibagikan ke orang-orang. Akhirnya, Korep dan perempuan itu memutuskan untuk menikah, dan Korep kembali hidup sederhana bersama istri kelimabelasnya tersebut. Mereka melangsungkan pernikahannya dengan sederhana dengan cukup berdua saja tanpa mengundang siapapun. Di akhir cerita, Korep tidak juga mendapat kebahagiaan sepenuhnya karena setelah Korep dan istrinya melakukan pesta perkawinannya, mereka mengalami batuk parah secara bersamaan kemudian meninggal.

Lampiran 2

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Satuan Pendidikan : SMA

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

Kelas/Semester : XII (Dua Belas) / 2 (dua)

Alokasi Waktu : 1 Pertemuan (2 x 45 menit)

A. Kompetensi Inti 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan mematuhi norma-norma bahasa indonesia serta mensyukuti dan mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. 2. Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun dan percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya. 3. Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata. 4. Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang atau teori.

B. Kompetensi Dasar 1.2 Menghargai dan mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa sebagai sarana memahami informasi lisan dan tulis. 2.2 Memiliki perilaku percaya diri dan tanggung jawab dalam membuat tanggapan pribadi atas karya budaya masyarakat Indonesia yang penuh makna. 3.1 Memahami kaidah dan struktur teks drama baik melalui lisan dan tulisan. 4.1 Menganalisis teks drama baik secara lisan maupun tulisan. C. Indikator Pencapaian Kompetensi 1. Peserta didik dapat menentukan tokoh dengan penokohannya 2. Peserta didik dapat menentukan konflik dengan menunjukkan data yang mendukung 3. Peserta didik dapat menentukan tema dengan alasan 4. Peserta didik dapat menentukan pesan dengan data yang mendukung 5. Peserta didik dapat merangkum isi drama berdasarkan dialog yang didengar 6. Peserta didik dapat mengaitkan isi drama dengan kehidupan sehari-hari D. Tujuan Pembelajaran Setelah proses pembelajaran, peserta didik diharapkan: 1. Menghargai dan mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan Bahasa Indonesia sebagai sarana memahami informasi baik yang disajikan secara lisan maupun tulisan 2. Mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra 3. Memiliki sikap tanggung jawab, peduli, responsif, dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk menganalisis drama baik melalui lisan maupun tulisan

4. Mengidentifikasi peristiwa, pelaku dan perwatakannya, dialog, dan konflik pada pementasan drama 5. Menyusun hasil analisis struktur drama baik secara lisan maupun tulisan dengan tepat E. Materi Ajar 1. Penjelasan mengenai struktur drama (unsur intrinsik) 2. Menganalisis rekaman drama F. Strategi/Metode/Pendekatan Pembelajaran 1. Diskusi Kelompok 2. Tanya Jawab 3. Latihan/Penugasan 4. Demonstrasi/Peragaan Model G. Kegiatan Pembelajaran

KEGIATAN DESKRIPSI KEGIATAN ALOKASI WAKTU Pendahuluan 1. Guru mengucapkan salam, 10 Menit menanyakan kabar, dan menanyakan kepada siswa apakah siswa pernah menonton pementasan drama atau tidak. 2. Peserta didik yang mengaku pernah menonton diminta untuk menceritakan sekilas pementasan drama tersebut dengan menjawab beberapa pertanyaan panduan yang diajukan Guru. Pertanyaan diarahkan untuk mengungkap tokoh dan perwatakannya, peristiwa penting,

pesan moral, dan konflik yang dialami tokoh. 3. Peserta didik menerima informasi tentang keterkaitan pembelajaran sebelumnya dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan. 4. Peserta didik menerima informasi kompetensi, materi, tujuan, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan. Inti Mengamati 20 Menit 1. Guru memutarkan cuplikan pementasan drama. 2. Peserta didik mengamati cuplikan pementasan drama dengan tertib dan disiplin. 3. Peserta didik menandai struktur pada cuplikan pementasan drama. Menanya 4. Peserta didik dengan bimbingan pendidik menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan pemutaran cuplikan drama yang sudah ditampilkan dengan kata tanya apa, siapa, mengapa, dimana, kenapa, dan bagaimana, sesuai dengan cuplikan pementasan drama tersebut dan menggunakan bahasa Indonesia yang

baik dan benar. Mengumpulkan Informasi 5. Peserta didik mendiskusikan dengan teman kelompoknya yang terdiri dari 5-6 orang dengan mendiskusikan mengenai cuplikan pementasan drama yang sudah ditampilkan. Mengasosiasi 6. Peserta didik menarik kesimpulan mengenai cuplikan pementasan drama yang sudah ditampilkan. Mengkomunikasikan 7. Peserta didik mempresentasikan mengenai pengamatan yang telah dilakukan terhadap cuplikan pementasan drama yang sudah ditampilkan. 8. Peserta didik lain menanggapi pengamatan yang sudah dipresentasikan. Penutup 9. Peserta didik bersama guru 10 Menit menyimpulkan hasil pembelajaran terkait dengan cuplikan pementasan drama. 10. Siswa melakukan refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilakukan. 11. Siswa menjawab pertanyaan mengenai pementasan drama.

12. Siswa dan guru merencanakan tindak lanjut pembelajaran untuk pertemuan selanjutnya

H. Media/Alat dan Sumber Pembelajaran 1. Rekaman pementasan drama 2. LCD 3. Bahasa Indonesia: Ekspresi Diri dan Akademik. 2013. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 4. Hasanuddin WS. Drama Karya dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa, 1996. I. Penilaian 1. Penilaian Pengetahuan Mata Pelajaran : ...... Kelas/Semester : ...... Tahun Ajaran : ...... Bubuhkan tanda √ pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan.

Pemahaman mengenai struktur drama No. Nama Siswa 1 2 3 4

1.

2.

3.

Pemahaman mengenai struktur drama No. Nama Siswa 1 2 3 4

4.

5.

Rubrik Rubrik Skor

Memahami struktur drama dengan kurang tepat 1 Memahami struktur drama dengan cukup tepat 2 Memahami struktur drama dengan tepat 3

Memahami struktur drama dengan sangat tepat 4

Pedoman Penilaian: Skor = Jumlah penilaian angka seluruh aspek Nilai = skor yang diperoleh x 100 skor maksimal 2. Penilaian Keterampilan a. Teknik : Tes Unjuk Kerja Peserta didik membuat makalah dan mempresentasikan di depan kelas Pemahaman mengenai drama No. Nama Siswa 1 2 3 4 1. 2. 3. 4.

Pemahaman mengenai drama No. Nama Siswa 1 2 3 4 5. Rubrik Rubrik Skor Memahami struktur drama dengan kurang tepat 1 Memahami struktur drama dengan cukup tepat 2

Memahami struktur drama dengan tepat 3

Memahami struktur drama dengan sangat tepat 4 Pedoman Penilaian: Skor = Jumlah penilaian angka seluruh aspek Nilai = skor yang diperoleh x 100 skor maksimal 3. Penilaian Sikap Mata Pelajaran :...... Kelas/Semester:...... Tahun Ajaran :...... Waktu Pengamatan: ...... Karakter yang diintegrasikan dan dikembangkan adalah kreatif, tanggung jawab, dan santun. 1. 1, jika sama sekali tidak menunjukkan usaha sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas 2. 2, jika menunjukkan sudah ada usaha sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas tetapi masih sedikit dan belum konsisten 3. 3, jika menunjukkan ada usaha sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas yang cukup sering dan mulai konsisten 4. 4, jika menunjukkan adanya usaha sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas secara terus-menerus dan konsisten

Bubuhkan tanda √ pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan. Percaya Diri Tanggung Jawab No. Nama Siswa 1 2 3 4 1 2 3 4 1. 2. 3. 4. 5. Pedoman Penilaian: Skor = Jumlah penilaian angka seluruh aspek Nilai = skor yang diperoleh x 100 skor maksimal Mengetahui, Jakarta, …...... Kepala Madrasah Guru Mata Pelajaran

Drs.H.Fahrurozi, M.Pd Fikry Bermaki NIP. NIP.

RIWAYAT PENULIS

FIKRY BERMAKI merupakan anak dari pasangan Masyar (alm) dan Nuryani, lahir pada tanggal 22 Maret 1994 di Jakarta. Menuntaskan pendidikan dasar di SDN 13 Meruya Utara, kemudian melanjutkan ke SMPN 207 Jakarta, melanjutkan sekolah menengah di MAN 10 Jakarta. Tahun 2012 melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sejak kecil tinggal bersama kedua orangtuanya. Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Adik pertamanya bernama Banny Khadafi dan adik keduanya bernama Fuja Dinda Fadhila. Ia sempat mengajar bidang studi Bahasa Indonesia di MtsN 13 Jakarta selama 4bulan di tahun 2016, mengajar bidang studi yang sama di Bimbel Smartplus Cinere selama 3bulan di tahun 2017, mengajar bidang studi yang sama di Bimbel Rumah Belajar Sahabat Ciledug dari bulan September 2017 sampai sekarang. Saat kuliah di semester 5, ia sudah mulai mengajar ektrakulikuler futsal di MAN 10 Jakarta sampai sekarang.